Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Al-Hikam - Ibnu'Atha'illah

Maka, ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi orang berilmu yang selalu memperturutkan hawa nafsunya itu? Sebaliknya, kebodohan apakah yang dapat disebutkan terhadap orang yang sudah dapat mengekang hawa nafsunya itu?

Sufisme adalah INTI dan JIWA Islam
KITAB  AL-HIKAM

Penerbit : “Risalah Gusti” jl. Ikan Mungsin XIII/I – Surabaya

Tahun : Rabi’ul Awal 1420 /Juli 1999

Penerjemah : Roudlon, S. Ag.

Penyadur : Pujo Prayitno

PEMBUKA

Ibnu’Atha’illah lahir di Mesir pada pertengahan abad ke 7 H/ke-13 M, sejauh data yang ada, dan ia wafat di tempat yang sama pada tahun 709 H/1309 M. Hidup di Mesir pada jaman Pemerintahan Mamluk Mesir yang pada masa itu menjadi pusat Agama dan Pemerintahan dunia Islam belahan Timur setelah kekhalifahan Baghdad hancur pada tahun 656 H./1258 M.

Aforisme 1.

Ibnu ‘Atha’illah – semoga Allah Swt. Senantiasa meridhainya – berkata :
1
Salah satu tanda kalau seseorang menggantungkan diri pada amal usahanya sendiri adalah berkurangnya harapan (terhadap rahmat Allah) ketika terjadi suatu kegagalan.  (Seseorang  seharusnya lepas terhadap amal usahanya, tidak memperdulikan apakah hasilnya baik atau buruk. Kita harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan-tindakan diri sendiri).
2
Keinginan untuk menyendiri dengan menghindarkan diri dari urusan duniawi (tajrid), padahal Allah masih menempatkanmu ke dalam kelompok orang-orang yang harus berusaha untuk mendapatkan penghidupan duniawi (fil-asbab), adalah nafsu yang tersembunyi (halus). Adapun keinginanmu untuk berusaha mendapatkan penghidupan duniawi, padahal Allah telah menempatkan dirimu ke dalam orang-orang menyendiri (tajrid), adalah sutu kemunduruan dari cita-cita mulia (al-himmah al-‘aliyya).
(Lafal tajrid membawa implikasi pada pengasingan diri (‘uzlah) dari masyarakat karena ingin mendektakan diri kepada Tuhan. Orang yang berbuat demikian disebut mutajarrid. Sebaliknya, orang-orang yang membawa kehidupan kotemplasinya dalam masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan disebut mutasabbib).
al-himmah al-‘aliyya – ini bukanlah persoalan pilihan, bukan pula masalah pekerjaan yang ditentukan oleh tendensi-tendensi setiap individu pada umumnya seseorang barangkali membantu syeikh dan juga mengendalikan orientasi akhir dari orang faqir.
3
Kerasnya semangat (sawbiqul –himam) tidak akan mampu menembus “dinding” takdir Tuhan (aswar ad-aqdar). (Apa saja bisa menjadi tujuan atau cita-cita (himmah) seseorang, namun kesemuanya tidak dapat membatalkan apa yang telah Tuhan takdirkan harus terjadi. Permulaan tujuan dapat diumpamakan suatu panah, maka tujuan (panah) tidak dapat menembus tembok Tuhan, itu menggambarkan kokonya takdir yang sudah ditetapkan.
4
Isitirahatkan diri (nafsu)mu dari segala urusan duniawi yang engkau berusaha mengaturnya (at-tadbir), karena segala apa telah dilakukan (dijamin) “Selain dirimu” yakni Allah seharusnya engkau tidak perlu sibuk melakukannya. (Tadbir berarti perhatian urusan kebutuhan pribadi dalam hidup, dan lebih khusus lagi dalam kehidupan seseorang sehari-hari, dimana ini dapat mengaburkan kewajiban diri seseorang kepada Tuhan. Tadbir demikian adalah sifat yang negatif dan seyogyanya dieliminir. Namun jika hal itu di arahkan pada perintah Allah, maka akan mejadi positif dan bukan menjadi perintang dalam menuju jalan Allah. Untuk itu, bila di arahkan pada perintah Allah, maka akan menjadi positif dan bukan menjadi perintang dalam menuju jalan Allah. Untuk itu, bila diarahkan pada perintah Allah, maka ia bukan merupakan kehendak pribadi (nafsu – diri) tetapi kehendak-Nya. Maka, perencanaan masa depan seharusnya dirangaikan pada pencapaian Ma’rifat, sehingga masa depannya terpelihara oleh perencanaan-perencanaan yang cermat).
5
Kesungguhanmu untuk meraih segala apa yang sudah pasti dijamin untukmu dan keteledoranmu terhadap segala apa (perintah) yang dibebankan kepadamu, adalah bukti dari kaburnya mata hatimu (Bashirah). (Ini sama dengan hikmah no.4; hanya lebih terinci. Penghidupan salik di dunia ini telah dijamin oleh Dzat Yang Maha Pemberi; orang harus mengalir bersama-sama dengan-Nya tanpa merasa tegang yang tak semestinya. Jika ketegangan yang demikian muncul dan mendorong sang salik lalai dari kewajibannya seperti shalat dan sejenisnya, maka ketajaman (pandangan visioner)nya beangsur-angsur berkurang).
6
Sekalipun dilakukan doa secara rutin, tapi jika ada kelambatan waktu pemenuhan doa (al-‘atha), maka janganlah engkau putus harapan, sebab Allah menjamin untuk mengabulkan dia dalam apa yang Dia kehendaki untukmu, dan bukan menurut apa yang engkau kehendaki, dan waktunya adalah sesuai dengan kehendak-Nya, bukan sesuai dengan kehendakmu. (Pemberian (al-‘atha) adalah respon surga terhadap faqir, tanda bahwa ia tengah menuju Allah).
7
Jika apa yang dijanjikan (Allah) kepadamu belum turun, padahal waktunya telah tiba, maka janganlah engkau sampai meragukan janji tersebut. Jika tidak demikian, maka pandangan mata hatimu akan menjadi kabur dan pancaran cahanya (sarirah) akan redup dan padam. (baik No.6 dan 7, keduanya membicarakan persoalan yang sama; orang jangan menyerah pada keputus-asaan atau keraguan jika sesuatu tidak sesuai dengan pilihannya, karena ini dapat menutupi pandangan mata batin).
8
Jika Tuhan membukakan pintu ma’rifat bagimu, maka janganlah engkau menghiraukan soal amalmu yang masih sedikit atau membandingkannya. Karena sesungguhnya Tuhan tidaklah membukakan bagimu melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti, bahwa ma’rifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amalmu adalah pemberian dari dirimu? Maka di manakah letak perbandingan antara apa yang Dia anugerahkan kepadamu dengan apa yang engkau berikan kepada-Nya? (Tidak ada ukuran umum antara amal yang sepele dari orang yang berjalan di jalan Allah dengan hasil besar yang diperolehnya. Bisa saja Allah secata tiba-tiba datang tanpa di undang dengan wahyu-Nya sehingga nampak besarnya hasil dari amal seseorang).
9
Beraneka ragamnya amal perbuatan itu adalah karena tingkatan-tingkatan karunia spiritual (waridatul-ahwal) yang diberikan kepada hamba-Nya berbeda. (Karunia spiritual (waridat) mempengaruhi hall (state) jiwa dalam keleluasaan, kesempitan dan kedekatannya dengan Tuhan: namun ini semua bersifat batiniah. Karunia spiritual itu sendiri terlihat dan termanifestasikan dalam tindakan lahiriah yang meliputi pernyataan-pernytaan, dan berbagai hall (keadaan) penting lainnya).
10
Amal perbuatan merupakan bentuk kerangka yang tidak hidup (shuwr qa’imah), namun nila keikhlasan di dalamnya (sirr al-ikhlash) memberikan ruh hidup padanya.
11
Tanamlah dirimu dalam “tanah” kerendahan (kurang di kenal), karena segala sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak di tanam terlebih dahulu, maka tidak akan berbuah dengan sempurna.
12
Tidak ada yang lebih menguntungkan jiwa (hati nurani) daripada kegiatan uzlah untuk memasuki medan perenungan atau tafakur (maidan fikrah). (“Medan tafakur atau meditasi” di sini dimaksudkan sebagai penghapusan nafsu, lawan dari idnividualisme yang mengembangkan ego).
13
Bagaimana hati seseorang dapat terang (tersinar) sementara gambar dunia ini terlukis dalam cermin hatinya? (“Hati) tidak hanya merupakan pusat pancaran nur (cahaya) tempat bertemunya pancaran ruh dan nafsu, naum juga tempat kegelapan, ilusi, dan kelalaian bagi para pendosa. Tarik menarik antara ruh dan nafsu di medan pengasingan diri (kontemplasi) terjadi, ini untuk menetukan mana dari keduanya yang akan memerintah hati. Jika ruh yang menang, maka hatilah yang beruntung), Atau bagaimana ia sendiri masih terbelenggu syahwatnya? Atau bagaimana ia sendiri belum suci dari tindakan-tindakan dosa akibat kelengahannya (terhadap Tuhan)? Atau bagaimana ia dapa memahami rahasia gaib (daqa’iqul-asrar) padahal ia belum bertobat dari segala kesalahannya?
14
Kosmos (al-kaun) itu serba gelap. Ia hanya terang dengan (karena) terang-Nya Dzat Yang Mahatampak (Zhuhur al-Haqq) ddi dalam dirinya. Barangsiapa melihat kosmos (alam) namun tidak memperhatikan Tuhan di dalamnya, atau padanya ata sebelum atau sesudahnya, maka ia adalah orang yang memerlukan cahaya dan tertutup pancaran ma’rifat oleh mendung benda-benda alam ini (al-atsar). (Kegelapan kosmos (alam) melambangkan kefanaannya dan ketiadaan. Apapun yang ada sebenarnya berasal dari Sang Qadim, Allah swt. Tiada tampak Sumber ajaib (misteri) yang ada di balik (yang terhijab) berbagai benda alam ini. Perhatikan persamaan kegelapan dengan kefanaan, cahaya dengan kehidupan).
15
Sebagian di antara bukti yang memperlihatkan adanya kekuasaan-Nya adalah bahwa Dia menghijab (menyelubungi) dirimu dari melihat kepada-Nya dengan hijab (tabir) yang tidak ada wujudnya di sisi Allah. (Pemikiran yang menyatakan bahwa dunia memiliki wujud (realita) tersendiri di luar Yang Nyata (Allah) adalah sebuah ilusi, suatu “hijab”, karena tidak terdapa tdua wujud (real) yang bertentangan dengan konsep tauhid
16
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang menampakkan segala sesuatu (azh-zhahara kulla syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, bila Dia-lah Yang tampak pasa segala sesuatu (zhahara bi-kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kelau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Yang tampak dalam setiap sesuatu (zhahara fi kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Yang Nyata untuk setiap sesuatu (azh-zhahir li kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kelau sesuatu dapat menghijabTuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Nyata (azh-zhahir) sebelum adanya segala sesuatu (qabla wujudi kulli sya;”).
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia lebih jelas tampak dari pada segala sesuatu (Azhharu min kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Maha Esa (al-Wahid) yang tiak ada di samping-Nya sesuatu apap pun?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada segala sesuatu lainnya?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal seandainya tidak ada Dia niscaya tidak akan ada segala sesuatu?.
Ini semua adalah suatu keajaiban, bagaimana Yang Maha Wujud (al-Wujud) dijelmakan kepada sesuatu yang bersifat tiada (al-‘adam), dan bagaimana sesuatu yang baru (al-haditas) yang bersifat bergantung pada lainnya dapat berdiri di sisi Tuhan Yang memiliki sifat kekal (wash al-qidam). (Himah ini mencoba mendobrak khayalan (ilusi) yang disebut dalam hikmah No.14, kecuali dikatakan bahwa asal dari hijab ada dalam Kekuasaan Tuhan, maka kekuatan ajaib-Nya menciptkan sesuatu yang tidak ada “di sisi”-Nya, mengingat di sini asal dari hijab adalah dalam individu, yang tidak mengetahui bahwa apa pun tidak dapat menghijab Dzat Yang Maha Esa (al-Wahid).

Aforisme 2.

Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
17
Barangsiapa yang berdoa mengharapkan sesuatu, tapi tiba pada waktunya pemberian itu tidak sesuai sebagaimana yang diinginkan, maka itu sama sekali bukan karena ketidaktahuan (Sang Pemberi) terhadap doa itu.
18
Menunda beramal (saleh) karena ingin menantikan kesempatan yang lebih baik (bebas), adalah suatu tanda kebodohan dari (ru’unat an nafsi).
19
Jangan meminta kepada Allah supaya engkau dipindah dari suatu hall(state) ke hall yang lain. Sekiranya Dia menghendaki yang demikian, maka Dia tentu telah memindahkanmu tanpa mengubah hall mu yang sebelumnya.
20
Seoran salik yang mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al-haqiqah) segera memperingatkan kepadanya “Bukan itu tujuan  yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” Demikian pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh hakikatnya, “bahwa kami semata-mata adalah sebagai batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah :102; Dengan kata lain, pencapaian (buah) awal dari tarekat bukanlah merupakan tujuan; masih banyak lagi jalan yang mesti didatangi. Keindahan lahiriah atau “pesona” dari sesuatu hanyalah besifat indikatif dari wujud batiniah, dan yang tersebut terakhir adalah lebih “nyata”. Orang gharus terus dalam proses penghalusan batin dan tidak berhenti pada sesuatu yang lahiriah).
21
Permintaanmu kepada Tuhan adalah kecurigaanmu kepada-Nya, khawatir tidak diberi. Permintaanmu kepada-Nya adalah karena kekuranganmu dari-Nya. Permintaanmu kepada selain dari-Nya adalah karena engkau tidak punya rasa malu terhadap-Nya. Adapun permintaanmu kepada-Nya agar Dia dekat denganmu adalah karena jauhnya dirimu dari-Nya. (Ini tidak lantas berarti bahwa hamba (‘abd) tidak semestinya menuntut ini dan itu; yang diharamkan, janganlah ia menuntut hal yang demikian sambil berpikir bahwa ia telah dilupakan. Dia juga tidak seharusnya melarikan diri (bersandar) kepada (sesama) makhluk dengan tujuan mencapai pertolongannya, seolah-oleh pertolongan ini dapat sempurna kalau dengan kebohongan, tipu daya dan kemunafikan. Sebaliknya, campur tangan Tuhan terjadi dalam semua bidang; oleh karena itu orang harus menyadari hal ini dalam segala kesempatan. Orang harus tetap memelihara perilaku baik terhadap Tuhannya).
22
Tiada suatu nafas hilang darimu, kecuali takdir Tuhan melepasnya darimu.
23
Jangan menunggu sampai habisnya rintangan-rintangan (al-aghyar) untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab yang demikian itu akan menghalangimu dari melaksanakan kewajiban-kewajibanmu untuk mendekatkan diri (al-muraqabah) terhadap-Nya dari yang telah dibebankan kepadamu. (Lafal “al-aghyar” berarti keanekaragaman alam, yang merupakan sifat alam yang mengikat hati dan mencegahnya dari bentuk perhatian khusus terhadap kehadiran Tuhan. Oleh karena itu, orang harus waspada penuh perhatian terhadap Kehadiran Tuhan dalam hati, karena itulah yang merupakan nilai sejati).
24
Selama masih di dunia ini, janganlah engkau terkejut dengan adanya kesukaran hidup. Sesungguhnya ia tidak melahirkan apapun kecuali apa yang terkandung dalam sifat alamiahnya yang sementara. (Hikmah ini berkaitan dengan hikmah No.23, karena amenguraikan sifat-sifat dunia yang bukan merupakan Tuhan. Pada dirinya tidak terdapat sifat keutuhan, ia terpenuhi oleh kenikmatan dan penderitaan, dan hanya Tuhan yan benar-benar memiliki kebahagiaan tanpa penderitaan. Kecuali jika ia mengharapkan kesempurnaan dunia; tikda dapat menjadi wujud Tuhan, tapi bisa mencapai kesempurnaan. Jika dunia dapat sempurna, maka ia bukanlah menjadi Tuhan, yang tentu saja mustahil karena itu berarti akan terdapat dua “Tuhan.”).
25
Tidak akan pernah terhenti petolongan Tuhan yang dimintakan kepada-Nya, namun tidak akan tercapai permintaan yang engkau sadarkan kepada dirimu sendiri.
26
Di antara tanda berhasilnya akhir perjuangan adalah penyerahan diri kepada Allah yang dilakukan sejak awal perjuangannya.
27
Barang siapa yang pasa masa pencarian kebenaran (masa suluK terang penuh cahaya ketaatn, maka diakhirnya pun akan terang (dengan cahaya ma’rifat).
28
Apa yang tersembunyi dalam alam ghaib (ghaib a-sara’ir) pasti akan termanifestasikan (tampak) dalam alam nyata (syahadah azh-zhawahir).
29
Betapa jauh berbedanya antara orang yang berargumentasi bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dengan orang yang berdalih bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Yang pertama adalah, orang yang mengawali segala, dari Allah (al-Haqq) dan membuktikan hal itu dengan referensi, sehingga ia menetapkan adanya sesuatu dari Asal Mulanya. Sedang yang kedua adalah orang yang berangkat dari bukti-bukti ciptaan untuk menuju kepada Allah! Orang ini tidak sampai kepada Allah. Untuk itu, bilakah Allah itu gaib, sehingga orang perlu bukti untuk menuju kepada (mengetahui adanya) Allah? Atau bilakah Dia itu jauh, sehingga adanya alam (al-atsar) sendiri yang akan menyatukan kita dengan-Nya? (Ilmu ma’rifat mengarahkan pokok permulaannya dari kesempurnaan Sang Haqq, tiak dari ciptaan-Nya; oleh karena itu ilmu ini berjalan ke bawah ke dunia, tidak berjalan menuju ke atas dari dunia untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi persoalan bagi kaum teolog dan para filosuf serta lainnya yang berpendapat, “Dari kesempurnaan sesuatu kepada Kesempurnaan Tuhan.” Dan keanekaragaman alam pada Keesaan Tuhan. Namun pendapat mereka ini cacat karena Tuhan tidak pernah “absen” (gaib) pada setiap kesempatan, sehingga setiap orang dipaksa harus membuktikan adanya Tuhan, ataupun harus mencapai-Nya bila berada begitu “jauh”. Sebaliknya, Tuhanadalah senantiasa hadir dan dekat. Kita seharusnya memulai dengan Tuhan, tidak dengan dunia).
30
Mereka yang telah sampai kepada Allah, “Hendaklah orang yang mampu membelanjakan menurut kemampuannya” (Qs. Ath-Thalaq : 7) Mereka yang tengah menuju kepada Allah, “Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberi nafkah dari harta yanng diberikan Allah kepadanya....” (Qs. At-Thalaq :7). (Orang yang mencapai tujuan tarekat  diberkahi Tuhan dengan karunia dan ma’rifat, sehingga mereka memancarkan cahaya (nur) kepada yang lainnya secara spontan, sementara orang yang masih berjalan (salik), tidak memiliki kekayaan ruhaniah yang melimpah).
31
Salik, orang-orang yang tengah menuju kepada Allah telah mendapat hidayah dengan nur ibadat yang merupakan amalan untuk taqarub kepada Allah (tawajjuh), sedang orang-orang yang telah sampai kepada Allah tertarik oleh nur yang langsung dari-Nya, bukan sebagai hasil ibadat tetapi semata-mata karena karunia Allah (muwajahah). Maka, orang-orang salik menuju ke alam nur, sedangkan mereka yang telah sampai berkecimpung di dalamnya, sebab mereka ini telah bersih dari segala sesuatu selain Allah. Firman-Nya, “”Katakanlah : Allah, .... Kemudian tinggalkan yang lain-lain di dalam kesibukan mereka berkecimpung (bermain-main). (Qs. Al-An’aam :92) (Cahaya ibadat (tawajjuh) adalah cahaya yang berkaitan dengan tingkatan Islam (“berserah”) dan tingkatan Iman (“percaya”), sementara cahaya ma’rifat (muawajahah) adalah cahaya yang berkaitan dengan tingkatan ihsan (“kebajikan spiritual”). Tingkatan yang disebut terakhir ini berkaitan penyatuan dengan Tuhan di dalam Diri-Nya, sehingga segala sesuatu yang lain menjadi tak berguna untuk dibicarakan).

Aforisme 3.

Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
32
Usahamu untuk mengetahui beberapa kekurangan ( al-‘uyub) yang tersembunyi di dalam dirimu adalah lebih baik daripada menyingkap teirai gaib *al-ghuyub) yang tertutup darimu.
33
Al-Haqq (Allah) tidak pernah terhijab darimu, malahan engkaulah yang terhijab dari melihat-Nya. Bila sekiranya ada sesuatu yang menghijab Allah, berarti sesuatu itu dapat menutupi Allah, dan sekiranya ada tutup bagi Allah, berarti Wujud Allah terbatasi dan sesuatu yang membatasi itu dapat menguasai terhadap yang dibatasi, padahal Allah adalah yang berkuasa atas semua hamba-Nya. (Qs. Al-An’aam : 18 : -- Allah itu Maha Kuasa, tidak ada sesuatu yang dapat membatasi-Nya, karena tidak ada dua Dzat Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu, Dzat Yang Hak tidak dapat dihijab oleh segala apap pun; orang-orang yang terhijab dan terjerumus dosa, memiliki keyakinan bahwa “sesuatu” dapat menghijab Dzat Yang Haqq, namun ini hanyalah sebuah ilusi).
34
Di antara sifat-sifat manusiamu yang seyogyanya engkau buang adalah sifat yang menyalahi kehambaanmu, dengan begitu mudah bagimu menerima panggilan Allah dan mendekat kepada-Nya.
35
Sumber dari setiap maksiat, kelalain dan syahwat adalah keinginan untuk memuaskan nafsu diri (hawa nafsu), sedangkan sumber dari setiap ketaatan, keinsyafan dan kebajikan adalah pengelimineran (penghapusan) terhadap nafsu diri. Labih baik bagimu berkawan dengan orang bodoh tapi tidak memperturutkan hawa nafsunya, daripada berkawan dengan orang berilmu namun senang memperturutkan hawa nafsunya, Maka, ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi orang berilmu yang selalu memperturutkan hawa nafsunya itu? Sebaliknya, kebodohan apakah yang dapat disebutkan terhadap orang yang sudah dapat mengekang hawa nafsunya itu?
36
Cahaya mata hati (Su’a’u al-bashirah) dapat memperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan mata hati itu sendiri (‘ain al-bashirah) dapat memperlihatkan kepadamu akan sifat ketiadaanmu (‘adam) karena sifat Wujud-Nya. Dan hakikat mata hati itulah (Haqq al-bashirah) yang menunjukkan kepadamu Wujud (adanya) Allah, bukan ketiadaanmu ata wujudmu. (Hikmah ini sangat penting, karena berkaitan dengan satu di antara tiga persoalan sufisme klasik, yaitu berkaitan dengan persoalan lainnya yang disusun dalam urutan hirarki. Hal ini tidak banyak ditemukan dalam al-Hikam, di sana Ibnu ‘Atha;illah secara umum tidak memaparkan bagian permulaan atau bagian yang lebih inferior dalam pendapatnya, namun membatasi diri pada bagian-bagian yang lebih tinggi (superior) di dua persoalan terakhir. Umpamanya, cahaya mata hati (Sya’a’u al-bashirah) berkaitan dengan pengetahuan doktrinal atau teoritis dari pengetahuan pasti (‘ilm al-yaqin); mata hati (‘ain al-bashirah) atau teoritis dari pengetahuan pasti (‘ilm al yaqin) mata hati (‘ain al-bashirah) berkaitan dengan terbukanya mata hati Dzat Yang Haqq, atau berkaitan dengan tahapan/tingkatan relaisasi ‘ain al-yaqin; kebenaran hakikat mata hati (haqq al-bashirah) berkaitan dengan kebenaran pasti (haqq la-yaqin), akhir dari tarekat.
37
Allah ada, dan tidak ada sesuatu pun di samping-Nya, dan kini sebagaimana ada-Nya semula. (Kadang-kadang hikmah ini dikatkan dengan hikmah sebelumya, melalui paparan kebenaran/hakikat mata hati (haqq al-badhirah), tahapan terakhir dalam tarekat, yang berarti kesadaran (realisasi) bahwa tidak ada sesuatu di samping Dzat Yang Haqq. Namun hikmah ini juga dapt berdiri sendiri, tidak hanya sebagai satu hikmah, tetapi lebih merupakan sebuah qaul yang secara luas tersebar di antara para Sufi, dan qaul ini menunjukkan kemutlakan Dzat Yang Haqq tanpa sekutu.

Aforisme 4.

Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
38
Hendaknya jangan sampai kemauanmu tertuju pada selain Allah, karena harapan seseorang tidak dapat melampuai Dzat Yang Maha Pemurah Hati (al-Karim).
39
Jangan memohon sesuatu kepada selain Allah karena Dia Sendiri Yang memberikan (pemenuhan hajat) kepadamu. Bagaimana sesuatu selain-Nya akan dapat mengubah sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya? Dan bagaimana orang yang tidak mempu membebaskan dirinya sendiri akan dapat membebaskan bencna dari orang lain?
40
Jika engkau tidak husnuzhan tehadap Allah karen sifat-sifatnya, maka husnuzhan-lah karena karunia-Nya  atas dirimu. Bukankah Dia selalu memberikan kepadamu segalas sesuatu yang baik-baik? Dan bukankah Dia selalu menganugerahkan nikmat-Nya kepadamu?
41
Betapa anehnya orang yang lari dari apa yang sangat dibutuhkan dan malah mencari apa yang tidak kekal! “Sesungguhnya mata kepala itu tidak buta, tapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj : 46). (“Hati” yang kabur tidak dapat melihat relativitas dunia dan ketidak kekalannya, dan sesungguhnya takdir Tuhan tidak dapat dielakkan. Kegelapan terdapat dalam hati yang demikian).
42
Janganlah berpindah dari satu alam ke alam lainnya, sebab engkau akan menjadi seperti keledai di sekitar penggilingan : di sekitar itu pula ia selalu kembali, tujuannya sama denga mula berjalannya. Tetapi hendaklah engkau berpindah dari semua alam (al-akwan) menuju Sang Pencipta Alam (al-Mukawwin), “Sesungguhnya kepada tuhanmulah segala kesudahan.” (Qs. An-Najm : 42). (Orang yang terkusai sifat makhluk dan tidak pada Sang Khalik, maka ia terjerat dalam keanekaragaman alam, dan berjalan berputar-putra tanpa bisa keluar. Dalam Hadis Nabi, saw. dinyatakan tentang pentingnya niat dalam tarekat : Orang harus mendalaminya bersama Tuhan.
Dan perhatikan sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang hijrah demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rsulullah; dan barangsiapa yang hijrahnya demi mendapatkan kekayaan duniawi atau demi perempuan, maka hijrahnya akan terhenti pada apa yang ia maksudkan tersebut.” Pahamilah sabda ini dan renungkanlah persoalan ini jika engkau mampu, semoga engkau bahagia.

Aforisme 5.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
43
Jangan berkawan dengan orang yang keadaannya tidak dapat membangkitkan semanagtamu terhadap dirimu dan pembicaraannya tidak membimbing  dirimu ke jalan Allah swt.
44
Engkau mungkin berbuat keliru (dosa), tapi tampak olehmu sebagai kebajikan (al=ihsan), oleh karena persahabatanmu denga orang yang jauh lebih rendah (akhlaknya) darimu.
45
Amal perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan tidak dapat dianggap kecil, dan amal perbuatan yang dilakukan dengan penuh ketamakan tidak dapat dianggap besar.
46
Baiknya amal adalah hasil dari baiknya budi dan hati. Adapun baiknya budi dan hati muncul dari kesungguhan (at-tahaqquq) atas apa yang diperintahkan (maqam al-inzal).
47
Jangan meninggal dzikir, sebab di saat berdzikir engkau belum tentu selalu ingat kepada Allah. Sesungguhnya kelalaianmu terhadap Tuhan ketika tidak berdzikir adalah lebih buruk daripada kelalaianmu terhadap Allah di saat engkau berdzikir. Semoga Tuhan mengangkatmu dari dzikir yang lalai (ghaflah) menuju pada dzikir yang disertai dengan kesadaran terhadap-Nya (yazhah), dan dari dzikir yang disertai dengan kesadaran (ingat) kepada-Nya menuju pada kesadaran akan kehadiran-Nya (hudhur), dan pula dari dzikir yang diseertai rasa kehadiran-Nya menuju pada peniadaan terhadap selain Allah. “Dan demikian itu bagi Allah tidak sukar.”  (Qs. Ibrahim : 20) “Dzikir” yang dibicarakan di sini adalah sarana dasar penyadaran (ralisasi) ruhaniah yang sangat penting dalam Sufisme. Inilah maksud dzikir, dengan model yang tetap, yaitu dengan menyebut nama-nama Tuhan, khusus nya Asmaul Husna, “Allah” dengan izin dn petunjuk Syeikh Sufi. Di sini Syeikh Sufi menjelaskan berbagai tahapan awal dalam dzikir.

Aforisme 6.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
48
Di antara tnada matinya hati yaitu tidak adanya perasaan sedih atas amal yang engkau abaikan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau perbuat.
49
Janganlah kebesaran suatu dosa terasa dalam penglihatanmu, sehingga dapat merintangi dirimu dari berprasangka baik kepada Allah, karena sesungguhnya siapa yang benar-benar mengenal Tuhannya, maka akan menganggap dosanya tak seberapa dari kemurahan-Nya.
50
Tiada dosa kecil ketika keadilan-Nya berhadapan denganmu, dan tida dosa besar ketika karunia-Nya berhadapan denganmu.
51
Tiada amal yang bernilai bagi hati melebihi dari amal yang tidak engkau sadari dan kecil dalam pandanganmu.
52
Tuhanlah yang memberikan karunia spiritual (warid) kepadamu sehingga engkau dapat mendekat dan masuk  (waridan) kepada Allah.
53
Tuhan memberikan warid kepadamu sehingga dapat menyelamatkanmu dari cengkeraman benda-benda fana (mon yadi al-aghyar) dan membebaskanmu dari perbudakan segala sesuatu selain Allah (min riqii al-atsar).
54
Tuhan memberikan warid kepadamu sehingga dapat mengeluarkanmu dari penjara kehidupanmu dan sifat-sifatmu menuju ke alam yang tiada batas, yaitu medan kotemplasi.
55
Cahaya (al-anwar)  adalah kendaraan pengantar (mathaya) hati dan segala rahasia (al-asrar).
56
Cahaya adalah tentara hati, sebagaimana kegelapan yang merupakan tentara nafsu. Maka ketika Allah hendak menolong hamba-Nya, Dia melengkapi hamba tersebut dengan tentara cahaya (junud al-anwar) dan menghentikan darinya kuatnya kegelapan dan kepalsuan (madad az-zhulm wal aghyar).
57
Dalam pembukaan tabir gaib (kasyf) terdapat unsur hidayah (an-nur) sebagai penerangnya, dalam penetuan hukun (al-hukm) terdapat unsur mata hati (al-bashirah) sebagai penentu terlaksananya hukum, dan dalam kemjuan (al-iqbal) serta kemudnuran (al-idbar) terdapat unsur hati (al-qalb) sebagai pelaksanaannya.
58
Hendaknya jangan sampai ketaatanmu membuatmu bahagia karena engkau merasa telah mampu melaksanakannya, tetapi berbahagialah atas perbuatan taat itu karena ia merupakan karunia Tuhan terhadapmu. “Katakanlah, dengan karunia Tuhan (Allah) dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yunus : 58). (Kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa karunia Tuhan.)
59
Allah menghindarkan orang-orang yang menuju kepada-Nya dan juga menghindarkan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya dari melihat atau mengagumi amal (ibadat) dan keadaan diri mereka. Tuhan bertindak demikian kepada orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya adalah, orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya adalah, karena mereka dalam amal indabatnya belum dapat melaksanakan dengan ikhlas (ash-shidq) menurut apa yang diperintahkan: dan juga terhadap orang-orang yang telah sampai kepada-Nya adalah, karena Dia menjadikan mereka lupa pada amal mereka sendiri demi bersaksi kepada Allah (bisyuhudihi).
Aforisme 7.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
60
Bila tidak ada bibit tamak (thama’), maka cabang dari kehinaan (agshanudz-dzull) tidak akan tumbuh berkembang biak.
61
Tidak ada sesuatu yang menuntun dirimu, seperti angan-angan kosong (al-wahm).
62
Dalam segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan, engkau adalah orang yang merdeka, bebas (hurr); namun dalam segala sesuatu yang engkau butuhkan berarti engkau adalah seorang budak (‘abd).
63
Barang siapa yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah oleh sebab gaibnya pemberian karunia Allah (mulathafat al-ihsan), maka akan diseret supaya mendekatkan diri kepada-Nya dengan rantai ujian (salasil al-imtihan).
64
Barangsiapa tidak bersyukur atas nikmat_nya (na-ni’am) berarti menginginkan hilangnya nikmat tersebut, dan barangsiapa mau bersyukur atas nikmatn-Nya berarti telah mengikat nikmat tersebut dengan talinya sendiri.
65
Takutlah akan karunia Allah yang selalu engkau peroleh di saat engkau tetap berbuat makssiat kepada-Nya, (yang demikian itu) lambat laun akan mengancurkanmu. “Kami nanti akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raaf : 182)
66
Di antara tanda kebodohan orang baru (murid) adalah, jika ia melakukan kesalahan, maka hukumannya ditangguhkan, sebagaimana dikatakan, “Jika ini termsuk dosa, Allah pasti sudah tidak memberikan pertolongan (imdad) dan membuangnya.” Pertolongan (al-madad) dapat dihentika (diputuskan) darinya dengan tanpa disadari, seperti tidak adanya tambahan (al-mazid). Dan kadang pula ia telah dibuang  (al-bu’d) dengan tanpa mengetahuinya, sekalipun hanya berupa membiarkan engkau memperturutkan apa yang engkau senangi.
67
Jika engkau melihat seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga bacaan-bacaan doa (al-aurad) dan ia lama tidak mendapat pertolongan Allah di dalamnya, janganlah engkau meremehkan apa yang Allah berikan kepadanya, engkau tidak melihat tanda-tanda orang ‘arif (shiyamul-‘arifin) pada ddirinya atau tidak melihat keagungan para pengasih Allah (nahjat al-muhibbin) tersebut. Sebab bila tidak ada karunia spiritual (warid), maka tidak akan ada rangkaian doa (al-wird).
68
Allah menjadikan sebagian kaum dalam keadaan taat beribadat kepada-Nya (li khidmatihi), dan Allah memilih yang lainnya lagi untuk mencintai-Nya (bi mahabbitihi). “Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (Qs. Al-Isra’ : 20). Hikmah no. 68 dan 67 berkaitan dengan universalitas pemberian karunia Tuhan bagi hamba-Nya. Perhatikan ketiga klasifikasi pada dua hikmah tersebut, yaitu hamba, pecinta dan orang ‘arif, yang menunjukkan tiga cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan : melalui rasa cemas (makhafah), kecintaan (mahabbah) dan ma’rifat kepadanya).

Aforisme 8.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
69
Amal karunia spiritual Allah (al-waridat al-ilahiyyah) jarang datang kecuali dengan tiba-tiba dan ini agar tidak ada pengklaiman dari para hamba bahwa mereka telah melakukan persiapan dalam menerrimanya (bi wujud al-isti’dad).
70
Siapaun yang engkau lihat, berarti orang bodoh bila ia selalu menjawab segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya atau menunjukkan segala sesuatu yang ia saksikan atau menyebut segala yang ia ketahui.
71
Allah menjadikan akhirat tempat pembalasan bagi hamba-Nya yang Mukmin, karena dunia ini tidak dapat memuat apa yang akan Dia berikan kepada mereka, dan juga karena Dia menganggap nilai mereka terlalu tinggi jika hanya diberi pahala di dunia yang  tidak kekal.
72
Siapa yang merasakan buah dari amalnya dengan segera, maka dapat menjadi bukti dditerima amalnya tersebut (al-qabul). (Al-qabul dalam hikmah ini berarti penerimaan (pengabulan) Allah).
73
Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka perhatikanlah di mana Dia menempatkanmu saat ini.
74
Ketika Allah memberimu rasa puas melakukan ketaatan dan menjadikanmu tidak sadar atasnya karena Allah semata-mata, maka ketahuilah bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepadamu, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Aforisme 9.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
75
Sebaik-baik yang dapat engkau minta dari Allah adalah yang Allah perintahkan kepadamu.
76
Satu di antara tanda penipuan terhadap dirimu sendiri adalah malas melakukan ibadat yang disertai dengan tidak adanya kemauan untuk meninggalkannya dalam hidup.
77
Orang yang mempunyai ma’rifat (al-‘arif) bukanlah orang yang bila membuat kiasan simbolik (isyarah) merasa Tuhan lebih dekat kepada dirinya daripada isyarah-nya. Sebaliknya, orang ‘arif (gnostik) adalah orang tidak memiliki isyarah karena kehidupan dirinya menyatu dalam Wujud Tuhan (li fana’ihi fi wujudihi) dan keasyikannya dalam kontemplasi (tafakur) kepada-Nya.
78
Pengharapan (ar-raja’) itu harus disertai dengan amal, kalau tidak demikian, maka itu adalah lamunan (umniyyah).
79
Yang diminta orang ‘arif kepada Tuhannya adalah agar menjalankan kehambaan (al-‘ubudiyyah) dan menunaikan kewajiban terhadap Tuhan (ar-rububiyyah).
80
Allah swt. Melapangkan dirimu agar engkau tidak dalam kesempitan (al-qabdh), dan Allah menyempitkan dirimu agar tidak hanyut dalam kelapangan (al-basth), dan Dia melepaskan dirimu dari keduanya agar engkau tidak menggantungkan kepada sesuatu selain-Nya. (Kesempitan dan kelapangan adalah wujud keadaan (tingkatan) spiritual/ruhaniah, karena keduanya memiliki pantulan-pantulan psikologis, seperti kesusahan dan kebahagiaan. Keduanya adalah keadaan yang silih berganti sepanjang dalam jalan tarekat, serupa dengan pergantian siklus siang dan malam. Kesempitan terkait dengan rasa cemas (khauf) kepada Allah, kelapangan terkait dengan harapan (raja’) kepada Allah; dan pada bagian yang lebih besar lagi, kesempitan berkaitan dengan Keagungan dan Kekuasaan Tuhan (al-Jalal), sementara kelapangan berkaitan dengan Keindahan (al-Jamal), dua aspek dari Keesaan Tuhan. Namun orang yang salah sampai pada Keesaan Tuhan itu sendiri baginya bukan masalah, apakah berada dalam kesempitan atau kelapangan.
81
Bagi orang ‘arif, ia akan lebih khawatir dalam kelapangan daripada berada dalam kesempitan, dan hanya sedikit sekali yang dapat berdiri tegak di batas-batas adab (hudud al-adab) dalam kelapangan itu.
82
Lewat kegembiraan hawa nafsu dapat masuk dalam kelapangan, namun di dalam kesempitan ia tidak memperoleh bagiannya. Karena itu manusia lebih aman dalam kesempitan, karena hawa nafsu tidak dapat memperdaya.
83
Kadangkala Allah memenuhi segala kebutuhanmu tetapi mencabut taufik hidayah-Nya, dan kadang pula Dia tidak mememnuhi kebutuhanmu tetapi membeikan taufik hidayah-Nya.
84
Ketika Allah membukakan pengertianmu tentang penolakan-Nya (al-man’u), maka penolakan tersebut sama artinya dengan pemberian (al-atha’).
85
Secara lahiriah, alam semesta (al-akwan) ini adalah sebuah tipuan (ghairrah), namun secara batiniah, mereka ini adalah peringatan (‘ibrah). Nafsu akan melihat lahir tipuannya (Zhahiri ghirratiha) peringatannya (bathini ‘ibratiha). (sekalilagi, sebagaimana dalam hikmah No.20, Ibni ‘Atha’illah memberi perhatian pada aspek batiniah dan lahirian, ego yang melekatkan diri pada bentuk-bentuk lahiriah, hati atau mata hati dissambungkan dengan dzat-dzat batinnya).
86
Jika engkau menginginkan kemuliaan (izz) yang tidak rusak, maka jangan membanggakan kemuliaan yang rusak.
87
Perjalanan nyata (ath-thayy al-haqiqi) adalah bila dimensi dunia (masafat ad-dunya) dilipat darimu, sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri.
88
Pemberian manusia itu adalah suatu kerugian (al-hirman) dan pelokan dari Tuhan adalah kebaikan (al-ihsan).

Aforisme 10.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
89
Mahaagung Tuhan kami, yang akan membalas di kemudian hari hamba-Nya yang beramal dengan segera.
90
Cukuplah ini sebagai balasan Allah atas ketaatanmu, yaitu Allah telah menetapkanmu sebagia ahli taat.
91
Ini cukup sebagai balasan Allah atas orang-orang yang beramal saleh, dimana Allah telah memberikan ketaatan di dalam hati mereka dan memberinya kesenangan ber khalwat, menyendiri dengan-Nya (mu’anasah).
92
Barangsiapa menyembah Allah demu sesuatu yang ia harapkan, demi sesuatu dari Allah, atau karena untuk menolak datangnya siksa-Nya (al-‘uqubah), berarti ia belum menegakkan haknya terhadap  sifat-sifat Allah yang sebenarnya (bi haqqi aushafihi).
93
Ketika Allah memberikan karunia-Nya, maka Dia memperlihatkanmu pada belas kasih (birr)-Nya; ketika Dia mencabut karunia-Nya, maka Dia memperlihatkan kepadamu kekuasaan (qahr)-Nya. Dan dalam semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan datang kepadamu dengan kelembutan-Nya.
94
Penolakan (al-man’u) dari Allah terasa pedih bagimu hanya karena tidak adanya pemahamanmu atas rahmat-Nya dalam penolakan tersebut.
95
Kadangkala Allah membuka pintu ketaatan untukmu, namun belum membuka pintu pengabulan; atau kadangkala Dia menakdirkanmu untuk berbuat dosa, namun hal ini justru menjadi sebab sampainya engkau kepada-Nya.
96
Suatu perbuatan maksiat yang menimbulkan perasaan rendah diri dan akhirnya membutuhkan rahmat adalah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa sombong dan besar diri.
97
Ada dua nikmat yang tidak ada saru pun makhluk yang dapat terlepas darinya dan terhindar darinya; yaitu nikmat penciptaan (ni’mat al-ijadi) dan nikmat pemenuhan kebutuhan (ni’mat al-imdad).
98
Pertama-tama Allah memeberikan karunia kepadamu melalui nikmat penciptaan *bi al ijadi), dan yang kedua melalui nikmat pemenuhan kebutuhan (bi tawali al-andad) yang terus menerus.
99
Kekuranganmu adalah sifat aslimu, karena peristiwa-peristiwa tidak dapat menghilangkan kekuranganmu; cobaan yang yang hadir di dunia ini tidak lain adalah pengingat bagimu atas apa yang engkau benci dari kekuranganmu. (Sifat manusia sepenuhnya menggantungkan keberlangsungannya kepada Tuhan dengan suatu cara yang semestinya, sebagaimana dinyatakan dalam hikmah No.97 dan 98. Dua nikmat, nikmat penciptaan (ijad) dan nikmat pemenuhan kebutuhan (imdad) jika dicabut kembali, maka akan menjadikan kita tidak memiliki apa-apa; oleh karena itu, kita akan benar-benar dalam keadaan fakir. “Sebab” (kejadian0kejadian) yang di antaranya meliputi seperti keadaan baik, sehat dan cinta tidak dapat menghilangkan kefakiran manusai. Cobaan yang menimpa kita, seperti penderitaan dan kesengsaraan adalah untuk memperingatkan akan kefaikiran kita yang mendorong kita pada kelalaian).
100
Sebaik-baik kesempatan yang engkau miliki adalah kesempatan dimana engkau dapat menyaksikan kekuranganmu, dan dengan itu engkau kembali ke wujud rendahmu.
101
Apabila Allah telah menjemukan engkau dari makhluk, maka ketahuilah bahwa Dia akan membukakan untukmu perasaan dekat dengan-Nya.
102
Ketika Allah melonggarkan lidahmu untuk meminta, maka ketahuilah bahwa Dia hendak memberimu sesuatu.
103
Hajat kebutuhan (al-idhthirar) orang ‘arif tidak kunjung hilang, dan mereka tidak pernah merasa tenang bila bersandar kepada selain Allah. (Hajat kebutuhan orang ‘arif tidak pernah hilang karena ia tahu bahwa ia tidak dapat tenang kepada sesuatu selain Allah, karena tiada sesuatu “di sisi” Allah).
104
Allah menerangi alam lahiriah (azh-zhawahir) dengan cahaya makhluk (atsar)-Nya, dan menerangi hati batiniah (as-sara’ir) dengan cahaya sifat-Nya (bi anwar aushafihi). Karena itulah cahaya alam lahiriah terbenam, sementara cahaya (nur) hati dan batin tidak dapat terbenam. Hal ini sebagaimana sebuah peribahasa Sufi, “Sesungguhnya sinar matahari itu terbenam di malam hari, namun, sinar hati (syam al-qulub) itu tidak pernah terbenam!.”

Aforisme 11.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
105
Untuk meringankan rasa penderitaanmu, Allah telah mengajarimu bahwa Dia-lah Dzat Yang mengujimu.  Dzat Yang melimpahkan penderitaan kepadamu dengan takdir-Nya (al-aqdar) adalah juga Dzat Yang biasa memberikan kepadamu sebaik-baik pilihan-Nya (husnul ikhtiyar).
106
Barangsiapa menganggap nikmat karunia Allah terlepas dari bala’ ujian yang ditakdirkan-Nya, maka yang demikian itu karena piciknya pandangan imannya.
107
Tidak dikhawatirkan bahwa jalan yang menuntun kepada Allah akan membingungkanmu, namun yang dikhawatirkan adalah hawa nafsu yang akan mengusaimu.
108
Mahasuci Allah Yang telah menutupi rahasia-rahasia  batiniah (sirr al-khusuhiyyah) keitimewaan orang ‘arif dengan tampaknya sifat-sifat yang umum (bi zhuhur washf al-basyariyyah) manusia, dan yang telah menampakkan sifat kebesaran Ketuhanan (‘azhamat ar-rububiyyah) dengan menunjukan sifat-sifat kehambaan (al-‘ubuddiyah); kelemahan dan kebutuhan hamba-Nya. (“Rahasia kesucian” (sirr al-khushushiyyah) Allah terkait dengan alam ma’rifat, yang ditabiri dan dilindungi selubung sifat kemanusiaan dan segala noda, disempurnakan dengan sifat kemanusiaan yang bertindak sebagaii tempat suci. “Ketuhanan” terkait dengan Sifat Tuhansebagai Sang Pencipta; istilah yang melengkapinya yang berkaitan dengan manusia adalah “Penghambaan”, yaitu pengabdian terhadap Tuhan).
109
Jangan menuntut terhadap Tuhanmu karena permohonanmu (mathlab) belum dikabulkan; sebaliknya, tuntutlah pada dirimu sendiri yang tidak memenuhi kewajiban-kewajibanmu.
110
Apabila Allah menjadikanmu tunduk pada perintah-Nya secara lahiriah dan memerintahkanmu menyerah pada kekuasaan-Nya secara batinia, berarti Allah telah menambah nikmat-Nya kepadamu.
111
Tidak semua orang yang tampak keistimewaannya, berarti sempurna pembersihannya (dari penyakit-penyakit hawa nafsu) atau penyaringannya (yakni dalam golongan para orang ‘arif). (Manifestasi karamah atau tanda-tanda keistimewaan (keajaiban) oleh kesucian diri adalah bukti nyata sebagai orang pilihan, namun ini tidak bearti bahwa ia memiliki kesempurnaan tarekat atau ia akan terus menerus menyempurnakan pencapaian kebebasannya dalam ari keseluruhan).

Aforisme 12.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
112
Hanya orang bodoh yang mengabaikan rangkaian bacaan-bacaan doa atau litani (al-wird). Karunianya (al-warid) akan ditemui di akhirat kelak, sementara wirid (al-wird) akan habis dengan habisnya dunia ini. Dan yang paling baik untuk ditekuni orang adalah sesuatu yang tak kunjung habis. Wirid adalah apa yang Allah minta darimu, sedangkan warid (al-warid) adalah apa yang engkau minta dari-Nya. Maka, di manakah perbandingan antara apa yang Allah minta drimu dengan apa yang engkau minta dari-Nya?
113
Datangnya pertolongan-Nya (wurud al-imdad) adalah sesuai dengan daya persiapan (al-isti’dad), sedangkan terbit (tutun)nya nur Allah (syuruq al-anwar) adalah menurut sucinya batin (shafa’ul asrar).
114
Bila orang yang lalai bangun di pagi hari, maka yang ia pikirkan adalah apa yang harus ia kerjakan. Sedangkan bagi yang berakal adalah menyaksikan apa yang Tuhan lakukan di pagi hari ini terhadap dirinya.
115
Ahli-ahli ibadat (al-‘ubdad) dan para asketis (az-zuhdad) merasa risau dari segala sesuatu karena tidak melihat Tuhan di dalamnya. Andaikan mereka melihat Tuhan di dalam segala sesuatu, maka pasti tidak akan risau dari sesuatu tersebut. (Para ahli ibadat dan kaum eskatis dalam Kitb al-Hikam (bagian aforisme) ini dibedakan dengan ahli ma’rifat (‘arif), yaitu orang yang melihat Tuhan dalam segala sesuatu).
116
Allah memerintahkan dirimu selama hidup di dunia ini untuk memperhatikan alam ciptaan-Nya; dan kelak di akhirat Dia akan memperlihatkan kepadamu akan kesempurnaan Dzat-Nya (Kamal Dzatihi).
117
Allah telah mengetahui bahwa engkau tidak akan sabar jika tidak melihat kepada-Nya, maka Allah memperlihatkan kepadamu apa-apa yang asli butan-Nya.
118
Karena Tuhan (al-Haqq) mengetahui bahwa engkau mudah jemu, maka Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu; dan karena Allah mengetahui bahwa engkau pun bersifat rakus, maka Dia membatasi pendirian shalat dalam beberapa waktu saja, sehingga perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat (iqamat as-shalat), bukan sekedar shalat (wujud ash-shalat), karena tidak semua orang yang mengerjakan shalat dapat sempurna shalatnya. (“ibadat ritual” kaitannya dengan shalat lima waktu, dibebankan oleh syariat Islam kepada seluruh kaum Muslimin, dan merupakan salah satu dari “lima pilar Agama” (Rukun Islam), yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan Haji;. Orang jangan bingung antara ibadat shalat dengan ibadat dzikir, yang merupakan doa dalam hati yang tidak pernah berhenti).
119
Shalat adalah sebagai penyucian hati (thuhrah li al-qulub) dan pembuka pintu gaib (istiftah li bab al-ghuyub).
120
Shalat adalah tempat bermunajat serta sumber untuk memanjatkan puji syukur dimana domain-domain terdalam (hati) dilapangkan dan terbitlah terang. Allah mengetahui wujudmu yang lemah, sehingga Dia menyederhanakan bilangan shalat; dan Allah pun mengetahui hajatmu pada karunia-Nya; sehingga Dia melipatgandakan pahala.
121
Apabila engkau menuntut pahala atas suatu amal, maka pasti engkau pun akan ditutnt ketulusan (ash-shidq) amal tersebut. Karen itu bagi yang belum memiliki ketulusan (al-murib) harus merasa cukup puas bila ia telah selamat dari tuntutan.
122
Jangan menuntut pahala atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu sendiri. Cukup besar pahala Allah bagimu jika Dia meridhai amal tersebut.
123
Jika Allah hendak menunjukan karuna-Nya kepadamu, maka Dia menjadikan dan menamakan amal itu perbuatanmu (khalaqa fanasaba ilaika).
124
Tiada batas akhirnya kejelekanmu jika Allah mengembalikan engkau pada kekuatan daya upayamu sendiri; dan tiada habis kebaikanmu jika Allah memperlihatkan kemurahn-Nya kepadamu.

Aforisme 13.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
125
Berpeganglah pada sifat-sifar Allah dan perhatikan sifat-sifat kehambaanmu.
126
Allah melarangmu mengakui apa pun yang bukan milikmu dari makhluk lain; juga apakah mungkin Dia mengizinkanmu mengakui sifat-sifat-Nya, padahal Allah adalah Tuhan semesta alam?
127
Bagaimana hukum aam (al-‘awa’id) dapat disingkapkan semuanya untukmu sehingga menghasilkan keajaiban, padahal engkau belum mengubah kebiasaan jelekmu?.
128
Tujuan pada setiap persoalan bukanlah sekedar wujud permohonan. Tujuan pada setiap persoalan adalah jika engkau berbekal dengan adab sopan-santun (husnul adab).
129
Tidak ada permohonan sangatmu seperti dalam kebutuhan terpaksamu, dan juga tidak ada pahala yang pemberiannya kepadamu lebih cepat daripada merasa rendah dan sangat mengharapkannya.
130
Jika engkau ingin menyatu dengan Allah hanya setelah lenyapnya kejahatan dan terhapusnya kepongahan, maka engkau tidak akan pernah bersatu dengan-Nya. Tetapi ketika Allah ingin menyatukan dirimu dengan-Nya, maka Dia menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat-Nya dan menyembunyikan kekurangamu dengan karunia-Nya. Dan demikianlah Dia menyatukanmu dengan Diri-Nya melalui kebaikan apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan bukan melalui kebaikan yang engkau berikan kepada-Nya.

Aforisme 14.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
131
Jika tidak ada kebaikan tutup (sifat menutupi dari) Allah (jami sitrih), maka tidak akan ada amal yang layak untuk diterima.
132
Engkau lebih membutuhakan kebesaran Allah (hilm) pada saat engkau menaati-Nya daripada ketika engkau berbuak maksiat kepada-Nya.
133
Sifat tutup Allah (as-satr) itu terbagi dua, tertutup dari kemaksiatan dan dan tertutup dalam kemaksiatan. Orang awam minta kepada Allah agar ditutupi dari berbuat maksiat karena khawatir akan jatuh kedudukannya dalam pandangan manusia. Namun orang pilihan (terpilih) minta kepada Allah agar ditutupi dalam berbuta maksiat karena khawatir jatuh dari pandangan Sangn Penguasa.
134
 Barang siapa memulikan dirimu, maka sebenarnya hanya memuliak Tutup Allah di dalam dirimu. Oleh karena itu, pujian adalah hanya kepada Allah Yang menutupi dirimu, bukan kepada orang yang memuliakan dan berterima kasih kepadamu. (Islam memandang karamah sebagai akibat dari terputusnya hukum alam (kharq al-‘awa’id) atau teputusnya “kebiasaan alam”. Ada aturan main pada “kebiasaan”. Selama kebiasaan buruk seseorang belum dikurangi, maka sia-sia saja bekeinginan untuk memamerkan karamah (keistimewaan).
135
Bukanlah sahabatmu kecuali orang yang ketika mengetahui kejelekanmu ia tetap  berteman denganmu, dan hal ini hanya ada pada Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya sebaik-baik yang engkau jadikan sahabat adalah Allah Yang tidak meminta sesuatu darimu untuk-Nya.
136
Seandainya nur keyakinan (nur al-yaqin) bersinar, maka engkau akan dapat melihat akhirat itu begitu dekat  sehingga engkau tidak beranjak padanya, dan akan melihat bahwa suramnya kehancuran telah melanda di atas keindahan dunia ini (mahasin ad-dunya).
137
Tidak ada sesuatu dari benda di sisi Allah yang menghijab dirimu dari-Nya, karena segala sesuatu selain Allah itu tidaklah ada. Sudah tentu, bayangan (ilusi) suatu benda di sisi Allah itu tidaklah ada. Sudah tentu, bayangan (ilusi) suatu benda di sisi Allah adalah apa yang menghijabmu dari-Nya. (Di sini, doktrin ilusi dipaparkan untuk menerangkan hijab (tabir) yang sering disebut dalam kitab al-Hikam dan karya-karya sufi lainnya. Tabir muncul dari ilusi ini, yang membantu berkembangnya pendapat bahwa ada dua Dzat Yang Maha Kuasa. Dalam Silam pandangan semacam ini adalah syirik dan merupakan dosa besar. Dalam doktrin tabir dinyatakan bahwa ada sesuatu di sampng Dzat Yang Haqq yang menghijab kaum pendosa dari Tuhannya. Ibnu ‘Atha’illah sadar betul akan relativivtas dunia dan tingkatan-tingkatan wujud, namun ia berkata bahwa ilusi melahirkan pendapat bahwa relativitas bersifat mutlak. Oleh karena itu akhirnya dapat mengurangi Wujud Ilahiah. Dzat Yang Maha Esa. Inilah kandungan syahadat tauhid, “la ilaha illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah), yang dalam sematan Sufinya, “Tiada wujud kecuali Wujud Ilahiah.”
138
Seandainya Allah tidak menampakkan diri pada benda-benda alam ini (al-mukawwanah), maka penglihatan kepada-Nya tidak akan mungkin dirasakan mereka. Seandainya Allah menampakkan sifat-sifat-Nya secara lahiriah, maka makhluk ciptaan-Nya pasti akan lenyap. (Jika tidak ada penghidupan Tuhan (ijad) pada benda-benda dan alam, maka tidak akan ada makhluk apa pun (tidak ada alam semesta), dan tentu saja tidak akan ada penglihatan sesuatu oleh individu (tidak ada alam semesta). Seandainya sifat-sifat Tuhan diwiujudkan dalam bentuk aslinya, maka semua makhluk pasti akan lenyap).
139
Allah menampakkan segala sesuatu secara lahiriah karena Dia-lah Yang bersifat Batin (al-Bathin, Gaib), dan Allah merahasiakan segala sesuatu karena Dia-lah Yang bersifat Zhahir. (Kata al-Bathin (interior) dan azh-zhahir (eksterior) adalah dua asma Allah dan diambil dari Qs.al-Hadiid : 3- “Dialah yang Awal dan yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” Inilah salah satu bentuk asma Allah dalam al-Qur’an yang banyak digunakan oleh kaum sufi. Keduanya saling melengkapi : Ketika seseorang manyatakan asma “Yang batin” berarti juga asama “Yang Zhahir”. Makhluk itu nyata karena Allah adalah Dzat Yang Batin. Sumber tersembunyi dari semua perwujudan yang mengalami perkembangan. Sebaliknya, makhluk itu tersembunyi (batin) karena Allah adalah Dzat Yang Zhahir, lebih jelas dan nyata daripada sifat simbolik dunia yang menunjuk kepada-Nya. Orang seharusnya tidak melupakan bahwa asama, seperti “azh-Zhahir” (Yang Zhahir), itu melmbangkan wujud transendental dan tidak semestinya dipahami secara harfiah : dunia yang zhahir bukanlah “Yang Zhahir” itu sendiri, melainkan hanya simbol-Nya. Kalau tidak demikian, maka hal ini akan menjadikan keduanya identik dengan sesuatu, yang berarti identik juga dengan menghilangkan tingkatan-tingkatan wujud  atau mengurangi segala sesuatu yang tercipta dari sumbernya. Dalam masalah ini, tidak akan ada alam zhahir sama sekali kecuali “Dzat Yang Zhahir” atau “Dzat Yang Nyata.” Yang mana secara ontologis tiada sesuatu sebelum “Dzat Yang Wujud.” Sebagaimana dikatakan Ibnu’Atha’illah sendiri (dalam hikmah no.15), “Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Zhahir (azh-Zhahir) sebelum adanya segala sesuatu).
140
Allah mengizinkanmu merenungkan apa-apa yang berada dalam alam ini, namun Dia tidak mengizinkanmu berhenti pada benda-benda alam yang itu-itu saja. “Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” Dengan firman Allah swt., “Perhatikanlah apa yang ada di langit,”(a) Dia telah membukakan pintu jalan pengertin bagimu. Karena itu, Allah Swt., berfirman “Perhatikanlah langit itu”, sehingga tidak menunjukkanmu pada adanya benda-benda semata. (a) Qs. Yunus : 101----- Kita menemukan kembali perbedaan antara aspek-aspek batiniah dan lahiriah dari benda-benda, sebagaimana telah kita lihat dalam hikmah no.20 dan 85. Kita jangan berhenti pada bentuk-bentuk (zhahir) benda, namun kita harus menuju pada esensinya (batin) karena hanya ini yang bis membebaskan kita.
141
Alam semesta (al-akwan) ada (tsabitah) bila ditetapkan dengan kekuasaan Allah, dan akan musnah (mamhuwwa) dengan keesaan Dzat Allah (bi Ahadiyat dzatihi). (Di sini ada dua pandangan. Pertama : perspektif kehidupan (eksistensi) seperti, dunia ada karena ia berasal dari Tuhan. Sang Pencipta, prinsip ontologisnya, yang mana tanpa –Nya dunia ini) tidak akan pernah ada. Kedua : Perspektif keyakinan, seperti : dunia ini bagaimanapun bukanlah apa-apa karena sesungguhnya tidak ada sesuatu “di sisi” atau “di samping” Allah Yang Esa. Di satu sisi, dunia ini memang ada, namun di sisi lain, dunia ini benar-benar tidak ada atau memang tidak ada sama sekali, keran hanya Allah-lah Dzat Yang Haqq.



Aforisme 15.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
142
Orang-orang memuji kepadamu karena apa yang mereka sangka ada di dalam dirimu; sebaliknya engkau seharusnya menyalahkan (mencela) dirimu karena apa yang engkau ketahui ada di dalamnya.
143
Ketika orang Mukmin di puji, maka ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak didapatinya pada dirinya.
144
Seodoh-bodh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinan karena mengikuti persangkaan (zhann) dari orang lain.
145
Apabila Allah membiarkan pujian terhadapmu terus menerus, padahal engkau tidak layak mendapatkannya, maka pujilah Allah karena Dia-lah Yang layak mendapatkannya.
146
Ketika kaum asketik (az-zuhhad) dipuji, maka mereka menjadi takut karena melihat pujian yang demikian itu datang dari sesama makhluk; sementara ketika orang-orang ‘arif (gnostik) dipuji, maka mereka merasa gembira karena melihat pujian yang demikian itu datang dari Sang Penguasa Sejati.
147
Jika manakala diberi sesuatu, pemberian tersebut membuatmu gembira, dan jika manakala ditolak dari sesuatu, penolakan tersebut membuatmu sedih, maka yang demikian itu adalah sebagai bukti dari ketikdak dewasaanmu dan dan belum bersungguh-sungguh sifat kehambaanmu.

Aforisme 16.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
148
Apabila engkau melakukan suatu dosa, maka hal ini jangan menjadi alasan keputus-asaanmu dalam mendapatkan istiqamah di hadapan Tuhanmu, karena perbuatan tersebut mungkin menjadi dosa terakhir yang diterapkan untukmu.
149
Apabila engkau menginginkan pintu harapan dibukakan (Allah) untukmu, maka perhatikanlah apa yang Dia berikan kepadamu;  namun jika engkau menginginkan pintu kecemasan dibuka untukmu, maka perhatikanlah apa-apa yang sudah engkau perbuat terhadap-Nya.
150
Kadangkala Allah mengaruniamu pengetahuan (ma’rifat) di saat kegelapan kesedihan (lail al-qabdh), apa yang tidak engkau ketahui di saat terangnya nikmat kelapangan (fi isyraq nahar al-basth). Engku tidak mengetahui mana yang lebih dekat manfaatnya bagimu. (Qs. Ali imran : 11) (Bandingkan hikmah ini (hikmah no.150) dengan hikmah No.81 dan perhatikan persamaan antara malam dengan kesempitan dan siang dengan kelapangan).
151
Tempat terbitnya Nur Ilahi adalah hati manusia dan rahasia-rahasianya.
152
Nur yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang datang langsung dari perbendahraan alam gaib.
153
Nur yang dicapai dengan panca indera menerangkan bagimu ciptaan Allah (al-atsar) yang berupa benda-benda, sebaliknya nur iman (keyakinan) dapat menunjukkan kepadamu hakikat sifat-sifat Allah (aushaf). (Perbedaan yang dimaksud di sini adalah antara cahaya (nur) fisik dengan cahaya ruhaniah. Cahaya fisik (zhahir) menutup dunia inderawi di sekitar kita, sementara cahaya ruhaniah menutup alam transenddental. Sifat-sifat yang dibicarakan adalah yang berkaitan dengan Kekuasaan, Kehendak, Ilmu dan Hidup Allah, serta sifat-sifat Tuhan lainnya. Ada kemungkinan interpretasi lain atas hikmah ini dengan interpretasi yang dimaksud, adalah berkaitan dengan tiga bagian Cahaya ruhaniah. Pertama : Nur Islam (nur al-Islam) yang membawa pada pematian diri di dalamTindakan-tindakan Tuhan (a;-af’al), yang sama dengan konteks ini adalah al-atsar). Kedua : Nur Iman (nur al-Iman) yang membawa pada pematian diri di dalam sifat-sifat Tuhan. Ketiga : Nur Ihsan (nur al-ihsan) yang membawa pematian diri pada Dzat Tuhan, Syeikh sufi berhenti di sini, yakni tingkatan kedua, mengingta hanya ada satu tingkatan, yakni tingkatan nur al-Iman, karena ia sudah memuat nur ihsan, atau karena tingkatan kedua ini bila dikatkan dengan tingkatan pertama, ia sudah mengandung suatu unsur penyerahan diri (al-islam). Meski demikian, orang dapat melihat adanya ssuatu susunan bertingkat (hirarki), sehingga hati bisa berhenti pada tingkatan pertama atau pada tingkatan kedua dan tidak berproses ke atas lagi pada Sumber Nur itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan Ibnu’Atha’illah sendiri pada hikmah berikutnya.
154
Adakalanya hati itu terhenti pada sinar cahaya-cahaya itu sebagaimana terhijabnya nafsu oleh gelapnya benda-benda makhluk.
155
Dalam menyayangi mereka, Allah menutupi cahaya hati dengan pekerjaan-pekerjaan Zhahir sehingga mereka tidak dicaci maki ketika mengutarakan dirinya atau dituduh mencari-cari kamashuran.

Aforisme 17.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
156
Mahasuci Allah Yang tidak membuat tanda apa pun untuk mengenalkan orng-orang suci (wali) kecuali sekedar untuk mengenalnya, dan juga tidak seorang pun dapat bertemu mereka kecuali orang yang di kehendaki Allah untuk bertemu mereka. (“Orang-orang Suci (the saints) yang dimaksud di sini adalah para syeikh (guru) tarekat Sufi, Allah menuntun salik dengan karunia bimbingan-Nya menuju menjadi Syeikh, sehingga ia dapat menyatu (dekat) dengan Allah. Tanda menuju untuk menjadi syeikh adalah menuju (mendekatkan diri) kepada Allah. Ada hubungan antara hikmah ini dengan hikmah no.155, oleh karena itu cahaya batiniah orang-orang Suci tersembunyikan oleh sifat kemanausiaan lahiriahnya, sehingga amat sulit mengetahui syeikh (guru atau orang Suci), Bandingkan juga hikmah ini dengan hikmah No.108).
157
Kadangkala Allah memperlihatkan kepadamu sebagaimana dari kegaiban alam Malakut, Namun Dia menutupimu dari mengetahui rahasia-rahasia para hamba-Nya.
158
Barangsiapa dapat mengetahui rahasia-rahasia para hamba tanpa meniru sifat rahmat Tuhan (ar-rahmah al-Ilahiyyah), maka pengetahuannya tersebut akan menjadi bencana (fitnah) dan sebab tibanya bahaya (al-wabal) atas dirinya sendiri.
159
Andil nafsu dalam perbuatan maksiat itu jelas terang (zhahir jalli), sementara andilnya dalam perbuatan taat itu halus dan samar (bathin khafi). Untuk mengobati yang samar itu amat sukar menyembuhkannya.
160
Kadangkala riya’ masuk ke dalam dirimu melalui yang tidak seorang pun melihatnya.
161
Keinginanmu agar orang-orang mengetahui keistimewaanmu (khusushiyyah) adalah bukti dari adanya ketidaktulusan dalam kehambaanmu (‘ubudiyyah).
162
Hilangkan pandangan makhluk terhadapmu karena puas dengan penglihatan Allah kepadamu!
Lupakanlah perhatian mereka terhadapmu karena melihat bahwa Allah menghadap kepadamu.
163
Siapa yang mengenal Allah (al-Haqq), maka pasti dapat menyaksikan-Nya pada tiap-tiap sesuatu.
Dan siapa fana’ (ekstase) dengan Allah, maka pasti lupa dari segala sesuatu.
Dan barangsiapa benar-benar mencintai Allah, maka pasti tidak memilih sesuatu selain-Nya.
164
Hanya karena Allah sangat dekat (syiddatu qurbihi) denganmu, sehingga menghijabmu dari melihat-Nya.
165
Hanya karena Allah amat jelas (syiddatu zhuhurihi), maka Dia terhijab, dan karena Nur Allah yang kuat, maka Dia samar dari penglihatan.

Aforisme 18.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
166
Janganlah doa permohonanmu engkau jadikan sebab (alat pemberian Allah. Hendaknya oda permohonanmu dimaksudkan demi menunjukkan kehambaanmu dan menunaikan hak-hak Allah.
167
Bagaimana permohonanmu yang datang belakangan dapat menjadi sebab pemberian Allah yang telah diputuskan pada waktu sebelumnya? (Permohonan seseorang terjadi (baru berlangsung) di dunia yang sementara, sementara pemberian Tuhan (kepada manusia) telah ditetapkan sejak zaman azali, “sebelum” orang tersebut memohon. Jadi, sebagaimana dikatakan dalam hikmah No. 168, sesuatu yang bergantung seperti permohonan tidak dapat menjadi sebab pemberian-Nya, karena (sudah ditetapkan) di azali, yang tidak ada sesuatu yang berhubungan dengan waktu lampau atau sekarang, yang ada hanyalah “karunia” dan “pemberian” (hikmah No.169). Ini tidak lantas berarti sebagai suatu pernolakan terhadap (adanya usaha) permohonan, karena pada hikmah sebelumnya (no.166) Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan bahwa seseorang semestinya memohon demi menunjukkan kehambaan seseorang  dan menunaikan hak-hak Allah sebagai Tuhan. Lebih dari itu, permohonan seseorang itu sendiri harus tunduk pada Kehendak Tuhan, sebagaimana pernyatan Ibnu ‘Atha’illah secara tidak langsung dalam hikmah ni.171. Ketika itu, beliau menyatakan bahwa segala sesuatu tergantung pada Kehendak Tuhan, yang tentu saja terrmasuk (pengabulan) permohonan seseorang.
168
Hukum Allah yang azali (hukum al-azal) menjadi sandaran sebab-musabab (al-‘ilal) penggantungan.
169
Perhatian Allah (‘inayatuhu) kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Di manakah angekau ketika Allah menetapkan karunia-Nya kepadamu di zaman azali dan ketika Dia menentukan pemeliharaan-Nya? Amal saleh dan hal-hal lainnya pada waktu itu belum ada. Bahkan belum terdapat sesuatu pun selain semata-mata karunia dan pemberian.
170
Allah mengetahui bahwa semua hamba mengharapkan mendapat rahasia inayah-Nya di dalam diri mereka masing-masing, maka Allah swt., berfirman “Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya.” (Qs. Al-Baqarah :105) Dan Allah juga mengetahui bahwa andaikan Dia meninggalkan mereka pada keadaan yang demikian, maka mereka akan meninggalkan seluruh usaha karena berserah pada hukum azali, karenanya Allah berfirman : “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (qs. Al-An’aam :56) Oleha karena karunia Allah atas semua makhluk-Nya telah “selesai” ditetapkan, maka masing-masing makhluk secara alamiah tinggal menunggu saja munculnya karunia dalam bentuk apa pun di dalam dirinya; namun ayat-ayat al-Qur’an secara gamblang menunjukkan bahwa Tuhan menetapkan ini dan itu kepada seseorang karena Rakhmat-Nya, dan hal tersebut termasuk beberapa bagian karunia-Nya. Supaya jangan menimbulkan kelalaian dan pengabaian usaha (memohon). Al-Qur’an menunjuk secara tepat orang-orang yang termasuk memperoleh karunia (atau rahmat), yaitu orang-orang Muhsinun, orang-orang yang memiliki kebajikan spiritual (ihsan).
171
Segala sesuatu itu bersandar paa Kehendak Allah (al-masyi’ah), sementara Kehendak Allah itu tidak bersandar pasa sesuatu apa pun. (Seua makhluk tunduk pada Kehendak Penciptanya, namun Kehendak Sang Pencipta tidak tunduk kepada makhluk).

Aforisme 19.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
172
Kadangkala sopan santun yang baik (al-adab) mendorong orang ‘arif untuk meninggalkan permohonan karena menyerahkan pada pemberian Allah, atau karena sibuk berdzikir (kontemplasi) kepada Allah, sehingga menghalanginya memohon kepada-Nya.
173
Sesungguhnya yang harus diingatkan itu hanyalah orang yang mungkin lupa, dan yag harus ditegur adalah orang yang teledor (sembrono).
174
Hari Raya (menyenangkan) orang-orang baru (para murid yang sedang melatih diri untuk taqarub kepada Allah) adalah di saat tibanya kesukaran (kemiskinan serba kekurangan sehingga merasa rendah dan hina diri) kepadanya.(Hikmah no.174-8 berkaitan dengan persoalan kemiskinan ruh (spiritual) “Kesukaran” atau “kemiskinan” bagi murid adalah amat penting (lihat juga hikmah no.99), kemiskinan adalah masalah peniaaan diri di hadapan Allah).
175
Mungkin engkau mendapat kelebihan (lebih banyak) karunia dan kebesaran dari Allah di saat kesukaran itu, yang tidak bisa engkau dapatkan dengan puasa dan shalat.
176
Berbagai macam ujian bala’ kesukaran itu, bagaikan hamparan hidangan karunia.
177
Jika engkau menghendaki datangnya pemberian-pemberian (karunia besar) Allah kepadamu, maka bersungguh-sungguh dalam membuktikan kehambaannmu, yaitu kemiskinan (al-faqr) kebutuhan, kerendahan di hadapan-Nya sebagai hamba yang benar-benar fakir. “Sesungguhnya yang berhak menerima pemberian-pemberian (sedekah) itu hanyalah mereka yang betul-betul fakir.” (Qs. at.Taubah : 60). (“Hari raya” dan “hidangan” yang disebutkan dalam hikmah No.174 & 177, adalah kesemuanya buah dari tarekat, seperti ilham, karunia, kebajikan dan kearifan. Semua ini mengantarkan pada suatu tingkatan, dimana pada tingkatan ini keberadaan ego (nafsu diri) hilang lewat proses kefakiran).
178
Sadarilah sifat-sifatmu niscaya Allah akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya;
Sadarilah kehinaanmu niscaya Allah membantumu dengan kemuliaan-Nya;
Akuilah kekuranganmu niscaya Allah akan membantumu dengan kekuasaan-Nya;
 Akuilah kelemahanmu niscaya Allh akan membantumu dengan keagungan dan kekuatan-Nya.

Aforisme 20.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
179
Adakalanya seorang yang belum sempurna istiqamahnya diberi rezeki kekeramatan (karamah).
180
Di antara tnda bila Allah menetapkanmu dalam suatu tingkatan yaitu, bila Dia mendudukan pada tingkatan itu, engkau mendapatkan buah darinya (an-nata’ij).
181
Siapa yang mengajar karena memandang kebikan dirinya sendiri, maka ia akan diam bila berbuat salah (dosa), dan barangsiapa mengajar (berbicara) menurut kebaikan Allah bagi dirinya, maka ia tidak akan diam bila berbuat salah.
182
Nur para orang bijak (syeikh) selalu mendahului perkataannya, sehingga di mana pun terjadi penerangan, maka sampailah ungkapan mereka.
183
Setiap kalimat yang sudah terucap (keluar) pasti membawa corak hati (kiswatul –qalb) dari yang mengeluarkannya.
184
Barang siapa telah diberri izin (Allah) untuk berkata-kata (menerangkan), maka segala kata-katanya (‘ibarah) dapat dimengerti oleh para pendengarnya, dan segala kiasan simbolisnya (isyarah) akan menjadi terang bagi mereka.
185
Kadangkala cahaya alam hakikat itu akan tampak pudar ketika engkau belum diberikan izin untuk mengungkapkannya.
186
Ungkapan merreka ini adalah kaena luapan dari suka cita yang sangat atau karena tujuan memberi petunjuk kepada seorang murid. Yang pertama itu adalah hal keadaan orang yang masih salik; sementara yang terakhir adalah hal keadaan orang yang sudah matang dan benar-benar mendalam di bidang ilmu hakikat.
187
Perkataan adalah makanan bagi pendengar yang berhajat; dan bagianmu dari padanya adalah hanya apa yang dapat engkau makan.
188
Kadangkala orang yang membicarakan (menerangkan) tentang suatu maqam (tingkat) dalam kewalian itu, seorang yang ingin sampai kepadanya dan baru mengintai. Dan adakalanya orang yang membicarakan itu orang yang telah sampai ke dalamnya. Yang demikian itu adalah membingungkan kecuali bagi orang yang memiliki mata hati yang tajam (terang hati nuraninya).
189
Tidak layak bagi seorang salik (yang baru merangkak dalam jihad melawan hawa nafsu) mengungkapkan apa (karunia) yang ia dapat dari Tuhan (waridat), karena yang demikian itu sesungguhnya akan mengurangi pengaruhnya dalam hatinya sendiri, dan merusak (menghalangi) kesungguhannya terhadap Tuhan.
190
Jangan mengulurkan tanganmu untuk menerima pemberian sesuatu dari sesama makhluk keculai engkau melihat bahwa Sang Pemberi (al-Mu’thi) adalah Tuhanmu. Bila telah demikian, maka terimalah dari mereka yang sesuai, dengan ilmu pengetahuan.
191
Kadangkala orang ‘arif itu merasa malu meminta hajatnya kepada Tuhannya karena sudah puas dengan kehendak-Nya. Manak, bagaimana tidak akan malu minta hajatnya kepada makhluk-Nya?

Aforisme 21.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
192
Apabila dua persoalan (hal) tampak membingungkan, maka lihatlah mana yang lebih berat terrhadap hawa nafsu, maka ikutilah, sebab tidak akan terasa berat terhadap hawa nafsu kecuali yang baik.
193
Di antara tanda memperturutkan hawa nafsu adalah bergegas dalam amalan sunnah dan malam dalam amalan wajib.
194
Allah sengaja menetapkan amal taat itu dalam waktu-waktu tertentu untuk tidak menahanmu dari mengerjakannya karena keteledoran dan kamalasanmu yang suka mengada-ada, tetapi Allah memperluas waktunya supaya tetap ada bagimu kesempatan memilih waktu yang lebih tepat/ringan atau lebih khusyu. (“Waktu tertentu” berkaitan dengan ibadat wajib dalam Islam, seperti shalat lima waktu pada selang waktu yang telah ditetapkan, sehingga membolehkan kaum saleh untuk memilih waktu mereka sendiri dalam melaksanakan shalat).
195
Allah mengetahui ketidakseriusan hamba-Nya dalam berhubungan dengan-Nya, sehingga Dia menjadikan amalan taat sebagai kewajiban mereka. Demikianlah Allah menarik mereka pada ketaatan dengan rantai kewajiban (bi salasili al-ijab). Sesungguhnya Tuhanmu kagum kepada orang-orang yang ditarik ke surga dengan rantai.
196
Allah menjadikan pengabdian terhadap-Nya (khidmah) sebagai kewajiban atas dirimu, yang sebenarnya sama juga dengan mengarahkan bahwa Allah membuat jalan masuk ke surga-Nya sebagai kewajiban atas dirimu.
197
Barang siapa merasa ganjil (tidak mungkin) dapat diselamatkan oleh Allah dari pengaruh hawa nafsu syahwatnya, atau dihindarkan dari kelalaiannya, maka berarti ia telah memperlemah kekuasaan Allah (al-Qudrah al-Ilahiyyah). “Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Qs. al-Kahfi : 45).
198
Kadangkala kegelapan itu datang kepadamu sehingga Allah dapat menyadarkanmu atas kebesaran nikmat karunia-Nya yang diberikan kepadamu.
199
Orang yang tidak mengetahui harga nikmat ketika adanya nikmat itu, maka ia akan mengetahui harga kebesaran nikmatnya ketika telah lenyap.
200
Karunia nikmat hendaknya jangan malah membuatmu bingung untuk memnunaikan kewajiban mensyukurinya, karena keadaan yang demikian sesungguhnya akan merendahkan martabatmu.
201
Sakit yang sukar disembuhkan adalah ketika manisnya hawa nafsu menguasai hati.
202
Hanya ketakutan yang menggetarkan (khauf muz’ij) atau  rindu yang menggelisahkan (syauq muqliq) yang dapat mengusir syahwat dari dalam hati. “Ketakutan yang menggetarkan” (khauf muz’ij) berkaitan dengan kekuasaan dan kebesaran Tuhan (al-Jalal). “Rindu yang menggelisahkan” (syauq muqliq) berkaitan dengan Keindahan Tuhan (al-Jamal), yang membuat daya tarik sehingga melahirkan nafsu yang mengikat sang murid dan menunjukkannya kepada yang di atas.
203
Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yag memiliki persekutuan, demikian pula Allah tidak menyukai hati yang memiliki persekutuan. Jika amal memiliki persekutuan, maka Allah tidak menerimanya, dan bila hati memiliki persekutuan, maka Allah tidak mau mendekatinya. (Persekutuan (syirik) adalah dosa besar dalam Islam. Syirik adalah mempersekutukan sesuatu atau seseorang dengan Allah, seolah ada dua Tuhan atau lebih. Dalam bidang aqaid, syirik dalam perbuatan munafik (nifaq) yang berlawanan dengan ketulusan (ikhlash). Pengakuan akan Keesaan Tuhan (tauchid) menuntun bertambahnya perasaan ikhlas di dalam faqir. Maksiat harus lenyap. Amal perbuatan orang-orang musyrik adalah suatu amal yang dilakukan tanpa ada Tuhan dalam pandangannya; hati orang yang musyrik adalah hati yang menicntai sesuatu yang lain selain Allah.

Aforisme 22.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
204
Beberpa Nur Ilahi ada yang hanya diizinkan oleh Allah untuk sampai ke hati (al-wushul) dan ada pula nur Ilahi lainnya yang diizinkan Allah masuk ke dalam hati (ad-dukhul). (Nur (cahaya) yang diizinkan untuk ‘sampai’ terdapat pada orang-orang yang berIman (ahl al-iman), tapi memiliki hati yang belu sepi dari dunia, karena cermin-cermin mereka memantulkan bentuk-bentuk duniawiah. Dengan demikian, cahaya itu berhenti di luar hati. Adapun “cahaya” yang diizinkan masuk” terdapat pada orang-orang yang mempunyai kebajikan  (ahl al-ihsan) dan hatinya sudah sepi dari (unsur) dinuawiah, sehingga cahaya ini dapat masuk ke hati yang amat dalam. Hikmah ini selanjutnya dijelaskan dalam hikmah berikutnya, yaitu pada hikmah no.205-6. Orang akan mencatat bahwa ia (Ibn’Atha’illah) tidak menyebut nur apa pun yang terdapat (dimiliki) ahlul Islam, boleh jadi karena cahaya hanya di tingkat iman, sehingga orang  dapt menyebut “cahaya-cahaya” sesuai yang  dimaksudkan, atau cahaya nyata dalam pengertian yang lebih mulia.
205
Adakalnya nur Ilahi datang kepadamu, namun didapi hati masih dipenuhi dengan hal-hal keduniaan (hawa nafsu), maka ia kembali lagi ke tempat di mana ia semula diturunkan.
206
Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka Allah akan memenuhinya dengan ,a’rifat dan rahasia-rahasia.
207
Jangan menganggap karunia Allh yang lamban, namun... anggaplah bahwa engkau merasakan kelmabatan dirimu menghadap kepada Tuhan.
208
Kewajiban-kewajiban di dalam waktu dapat diqadha’i-nya, tetapi hak-hak yang disediakan Allah dalam waktu tidak dapat diulangi. Sebab, tiada suatu waktu melainkan ada hak kewajiban yang baru dan perintah yang ditekankan. Maka, bagaimanakah engkau   akan menyelesaikan hak lainnya, sedang engkau belum menyelesaikan hak Allah dalam waktu itu?
209
Bagian dari hidupmu yang belaku tidak dapat ditarik kembali, dan bagian dari hidupmu yang bermanfaat tak ternilai harganya.
210
Tiada engkau mencintai sesuatu melainkan pasti menjadi budak dari apa yang engkau cintai itu, dan Allah tidak suka bila engkau menjadi hamba (budak) sesuatu selain daripada-Nya.
211
Ketaatanmu tidak berguna bagi Allah, dan kemaksiatanmu tidak memberi bahaya apa pun kepada-Nya. Allah menyruhmu berbuat taat dan melarangmu berbuat maksiat adalah demi kepentinganmu sendiri, bukan untuk kepentingan Allah.
212
Kemudian Allah tidak bertambah ketika seseorang mendekatkan diri kepada-Nya, dan demikian juga kemuliaan-Nya tidak berkurng ketika seseorang menjauhi-Nya.

Aforisme 23.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
213
Sampainya (wushul) dirimu kepada Allah adalah sampaimu pada ilmu-Nya. Jika tidak demikian, maka Mahasuci Allah untuk disatukan dengan segala sesuatu atau segala sesuatu disatukan (disambung) dengan-Nya. (Penyatuan dengan Tuhan adalah persoalan identitas yang amat penting melalui ,a’rifat. Ini dapat tercapai dengan mengikuti sinar spiritual vertikal kembali ke arah Sumbernya melalui pengetahuan iluminatif. Identitas penting ini jangan dikacaukan demngan masalah horizontal. Tingkatan-tingkatan Alam (Reality) merupakan susunan-susunan (stratifikasi) yang tidak mengizinkan urutan antara tingkatan-tingkatan yang lebih rendah dengan masalah Prinsipnya. Tingkatan-tingakatan fundamental Alam (Reality) sebagaimana diterima dalam ajaran Ibnu’Atha’Illah dan Sufisme pada umumnya, adalah bersifat material, fisi dan ruhaniah. Alam yang bersifat fisik atau yang dapat dirasakan indera atau bidang material disebut al-Mulk, yaitu tingkatan terbawah dan amat terbatas. Alam yang lebih halus namun tetap bersifat fisik atau bidang jiwa disebut al-Malakut, yang secara hirarki labih tinggi dari Alam al-Mulk dan sedikit terbatas. Alam yang bersifat ruhaniah melebihi bentuk-bentuk, dan oleh karena itu ia tidak terbatas disebut Alam al-Jabarut. Alam terakhir ini dianggap sebagai lingkaran pusat. Sampai (bersatu) nya kita dengan Tuhan, dlam simbolisme ini, akan diikat dengan mengikuti sinar ruhani dari Dzat Yang Asal dan kembali kepada-Nya. Inilah gambaran identitas penting itu.
214
Dekatmu kepada Allah itu seakan-akan engkau melihat dan memperhatikan dekatnya Allah kepadamu. Kalau tidak demikian, maka darimanakah engkau dekat dengan-Nya?
115
Hakikat ilu yang diturunkah Allah kepada orang-orang ‘arif ketika iluminasi (tajali) itu singkat (mujmal), tetapi penjelasannya muncul setelah proses memori (penangkapan). “Apabila Kami selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami penjelasannya.” (Qs. al-Qiyaamah : 18-9 ) (Karunia-karunia spiritual (waridat) diberikan secara sintesis. Ia hanya setelah dilakukan pembacaan atau perpaduan (asimilasi) yang penjelasannya dapat dirinci. Ayat al-Qur’an ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan terhadap Wahyu al-Qur’an. Sementara kaum sufi, menambahkan, bahwa ayat al-Qur’an ini tidak hanya ditujukan (menjelaskan) pada wahyu namun juga menyatakan tentang ilham (waridat).
116
Apabila datang warid (karunia spiritual) dari Allah kepadamu, maka akan langsung menghancurkan kebiasaan-kebiasaanmu. “Sesungguhnya raja-raja itu jika masuk ke suatu desa (kota) merombak segala keadaan.” (Qs. an-Naml : 34).
117
Warid (karunia spiritual) itu datang dari Dzat Yang Mahakuasa. Karena itu, tidak ada sesuatu yang dapat berhadapan dengannya melainkan dimusnahkannya hingga lenyap sama sekali. “Sebenarnya Kami melemparkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Qs. al-Anbiyaa : 18). (Karunia Tuhan (ilham) memiliki pengaruh penyucian terhadap jiwa, karunia juga bersifat menerangi, oelh karena itu dapat menghancurkan segala ilusi dan perbuatan-perbuatan maksiat).
218
Bagaimana Allah (al-Haqq) dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia itu Zhahir dan memiliki Wujud hadir dalam apa yang menghijab-Nya?
119
Jangan putus harapan untuk diterimanya amal perbuatan yang engkau kerjakan dengan tidak khusyu’ sebab masih ada kemungkinan amal itu diterima meskipun buahnya belum dapat engkau rasakan seketika itu juga.
120
Jangan menegaskan terhadap sesuatu warid yang buahnya belum engkau ketahui. Tujuan dari berkumpulnya awan bukanlah sekedar turunnya hujan; tetapi tujuan sebenarnya adalah tumbuhnya buah.
121
Setelah Nur Warid bersinar dan semua rahasia tertangkap, jangan meminta kelanggengannya, karena engkau telah berada di dalam Tuhan yang memungkinkanmu melepaskan segala sesuatu; sebab tidak ada sesuatu yang memungkinkanmu melepas Tuhan.
122
Bukti kalau engkau belum bertemu Allah adalah engkau berusaha untuk tetapnya sesuatu selain-Nya, dan bukti bila engkau belum benar-benar berhubungan dengan Allah adalah engkau merasa risau saat kehilangan sesuatu selain-Nya.

Aforisme 24.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
223
Walaupun bermacam-macam bentuknya, nikmat itu hanya karena merenungkan dan mendekatkan diri kepada Tuhan; dan walaupun mermacam-macam bentuknya, sikssa itu karena adanya Hijab-Nya. Dan oleh karena itu, hijab adalah penyebab siksa, dan kesempurnan nikmat adalah melalui melihat kepada Dzat Allah Yang Mahamulia.
224
Bahwa hati manusia kecemasan dan kesedihan adalah karen masih ada yang menghalangi pandangan batiniah, yakni belum dapat melihat musyahadah kepada Allah.
225
Di antara kesempurnaan nikmat (tamamun-ni’mah) yang iberikan kepadamu, jika Allah memberikan rezeki yang cukup dan menahanmu dari apa yang dapat menyesatkanmu.
226
Kesedihanmu atas sesuatu akan berkurang jika kesenanganmu atas sesuatu tersebut engkau kurangi.
227
Bila engkau tidak ingin dipecat, maka jangan memangku suatu jabatan yang tidak langgeng bagimu.
228
Jika permulaannya membuatmu tertarik, maka akhirnya akan membuatmu jemu; jika lhairnya membuatmu terpikat, maka batinnya akan membuatmu terhalang.
229
Allah sengaja hanya menciptakan dunia ini sebagai tempat kerusakan  dan sumber kerusuhan yang dengan jalan ini ekan menjemukan terhadapnya.
230
Allah mengetahui bahwa engkau tidak akan dapat menerima (suatu kebaikan) hanya dengan nasihat saja, oleh karena itu Dia menjadikan contoh citarasa dunia yang sedikit banyak bagiannya akan memudahkanmu,
231
Ilmu yang bermanfaat adalh ilmu yang sinar cahayanya meluas dalam dada, dan membukapenutup hati.
232
Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang diserta rasa takut 9al-khasyyah) kepada Allah.
233
Ilmu itu jika disertai dengan rasa takut kepada Allah, maka itu yang menguntungkanmu; jika tidak, maka itu berbahaya (lawan) bagimu.
234
Apabila yang menyakitkan (menyedihkan) hatimu adalah tidak mengharapkan orang-orang kepadamu, atau celaan-celaan orang terhadapmu, maka selidikilah apa yang diketahui Allah dari perbuatanmu (karenanya, koreksilah keadaan diri yang sebenarnya menurut apa yang diketahui oleh Allah), maka bila kau belum puas dengan apa yang sebenarnya telah diketahui oleh Allah itu, bala’ yang menimpau karena tidak puas terhadap apa yang diketahui-Nya itu adalah lebih besar daripada bala’ menyakitkan yang datang dari sesama manusia.
235
Allah memang sengaja menciptakan gangguan terhadap dirimu dari tangan orang-orang itu, supaya engkau tidak menyerah kepada mereka. Allah ingin menjemukanmu dari segala sesuatu, sehingga tiada sesuatu yang akan memalingkanmu dari-Nya.
236
Jika engkau tahu bahwa setan tidak akan pernah lupa kepadamu, maka janganlah engkau lupa kepada Tuhan yang nasibmu ada di tangan-Nya.
237
Allah sengaja menjadikan setan sebagai musuhmu, supaya engkau jemu terhadapnya dan berrlindung kepada Allah, demikian pula Allah tetap menggerakkan hawa nafsumu agar engkau tetap selalu menghadap kepada-Nya untuk melawan hawa nafsu.

Aforisme 25.

Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya ....... berkata :
238
Baramgsiapa merasa rendah hati (tawadhu’), maka berarti ia benar-benar sombong, sebab tidak mungkin merasa tawadhu’ kecuali ia merasa besar/tinggi, karena itu bila kau menetapkan bahwa dirimu itu besar, maka kau benar-benar sombong (mutakabbir). Apabila Kau menetapkan diri ber-tawadhu’ padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar telah menjadi sorang mutakabbir.
239
Orang tawadhu’ bukanlah orang yang kettika ber-tawadhu’ merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri; tetapi orang tawadhu’ adalah orang yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.
240
Hakikat tawadhu’ adalah yang timbul karena memperhatikan/melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.
241
Tidak ada sesuatu yang dapat melepaskanmu dari sifat kesombongan, kecuali engkau melihat sifat-sifat Allah.
242
Seorang mukmin sibuk memuji syukur kepada Allah, sehingga tidak sempat memuji diri sendiri, sebagaimana ia sibuk menunaikan kewajiban-kewajiban terhadap Allah, sehingga lupa kebutuhan dirinya.
243
Orang yang mecintai (al-muhibb) itu bukanlah orang yang mengharap balasan apa pun dari kekasihnya (al-mahbub) atau mencari beberapa maksud, tetapi sesungguhnya orang yang mencintai adalah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa pun kepadanya.
244
Andai tidak ada medan perjuangan melawan hawa nafsu/syahwat (mayadin an-nufus), pasti tidak terbukti perjalanan orang-orang yang menuju kepada Allah, sebab memang tiada jarak antaramu dengan Allah untuk ditempuh dengan kendaraan, dan juga tidak pernah putus antaramu dengan Allah, sehingga dapat disambung oleh hubunganmu.
245
Allah menempatkanmu dalam pertengahan ( al-‘alam al-mutuwassith) antara alam Mulk (dunia) dan alam Malakut (gaib) untuk memberimu pengetahuan tentang kebesaran di antara sesama makhluk, dan bahwa engkau adalah permata (jauhar) yang diliputi mutiara-mutiara Allah (mukawwanah) yang tersembunyi.
246
Alam (al-kaun) hanya dapat mencukupimu dari sudut jasmanimu (jismaniyyah) semata, tapi tidak memuaskanmu dalam keruhanianmu (tsubutu ruhaniyyatika). Orang yang ada di alam ini (dunia) sebelum terbuka baginya alam gaib, maka ia tetap terkurung oleh syahwat dan adat kebiasaannya, dan terkepung oleh kepentingan-kepentingan kerangka badannya.
247
Sepanjang engkau belum dalap melihat Sang Pencipta alam (mukawwin), maka engkau tetap terikat oleh alam; namun bila engkau telah melihat-Nya, maka alamlah yang tunduk kepadamu.
248
Adanya sifat-sifat kewalian (khushushiyyah) tidak berarti bahwa sifat-sifat awam manusia itu tidak ada. Kewalian adalah identik dengan terangnya matahari di siang hari : ia tampak di ufuk namun bukan berasal dari ufuk. Kadangkala nur sifat-sifat Allah memnacar pada kegelapan kejaidan wujudmu; dan mengembalikanmu pada asal kejaidanmu. Maka, terangnya siang hari itu, bukan berasal dari dirimu dan kepadamu, namun ia datang atas dirimu.
149
Dengan adanya ciptaan-Nya (al-atsar), Allah menyatakan adanya Nama-nama-Nya (Asma’), dan dengan adanya asma-asma-Nya, Allah menyatakan kekelan sifat-sifat-Nya (aushaf), dan dengan adanya sifat-sifat-Nya, Allah menyatakan Dzat-Nya (Dzat), oleh karena itu mustahil suatu sifat berdiri sendiri tanpa Dzat. Maka orang-orang majdzub, yang memiliki daya tarik (arbabu al-jadzb) pertama berangkat dari kesempurnaan Dzat Allah, kemudian menurun melihat pada sifat-sifat-Nya, lalu mereka bersasndar (at-ta’allluq) pada asma-asma Allah; dan kemudian turun melihat makhluk ciptaan-Nya. Sebaliknya, adalah pada orang salik yang bejalan dari bawah naik ke atas, maka puncak pencapaiannya adalah pada permulaan orang majdzub, dan permulaan orang salik adalah akhir bagi orang majdzub. Namun karena ini tidak diambil secara harifah, karena keduanya mungkin bertemu di suatu jalan, yang satu dalam pendakiannya (ath-thariq) dan yang lain dalam penurunannya (fi tadallihi). (Orang majdzub/ekstatik (al-majdzub) ditarik oleh al-jadz (daya tarik surgawi) pada awalnya, oleh karena itu ia tidak mengalami tarekat dengan segala rintangan dan masalahnya, sebagaimana yang dialami oleh salik dan karena itu pula orang majdzub ini jarang sekali. Dengan adanya makhluk di alam semesta ini, sebagaimana dikatakan syeikh Ibnu’Atha’illah, dimaksudkan agar setelah berproses akhirnya dapat menunjukkan asma-asma Tuhan. Dan Asma-asma tersebut kemudain dapat menunjukkan pada sifat-sifat-Nya, seperti Dzat Yang Hidup, Yang Mengetahui, Yang Berkehendak, dan sifat Allah lainnya; dan dari sifat-sifat-Nya ini kemudian dapat menunjukkan pada Dzat-Nya, dan dari sinilah segala sesuatu berproses).
250
Hanya dalam alam Malakut yang gaib nilai cahaya (nur) hati dan rahasia-rahasianya (anwar al-qulub wa al-asrar) diketahui, sebagaimana cahaya langit tidak menampakkan diri kecuali dalam alam Mulk yang kasat mata (syahadatul al-Mulk). (Di sini Ibnu’Atha’Illah hanya meninggung alam al-Mulk dan alam Malakut. Yang disebut terakhir ini menggambarkan segala sesuatu yang ada di luar dunia ini, dan karena alasan itu tidak menyebut alam Jabarut).
251
Bagi yang beramal taat, diperolehnya buah dari amal ketaatn di dunia ini, adalah kabar gembira atas adanya pahala di akhirat.
252
Bagaimana engkau dapat meminta ganjaran suatu amal padahal Allah Sendiri yang  memberikan kepadamu ganjaran itu? Atau bagaimana engkau dapat meminta ganjaran suatu keikhlasan padahal Allah Sendiri yang memberikan pahalanya kepadamu?
253
Nur iman sebagian orang melalui dzikirnya, sementara dzikir dari sebagian orang yang lain mendahului nurnya, dan ada pula sebagian orang yang berbarengan antara nur dan dzikirnya, demikian juga ada sebagian orang (kaum) yang tidak ada dzikir dan tidak ada nur. Ada ahli dzikir (dzakri) yang khusysu’ berdoa sehingga hatinya terang bercahaya; dan ada ahli dzikir yang hatinya bercahaya dan kemudian ia khusyu’ berdoa.
254
Tidak terjadi dzikir pada sisi lahirnya (zhahiru dzikr) keculai timbul dari batin penglihatan dan pemikiran (bathinu syuhud wa fikra).
255
Allah telah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia memintamu untuk memberikan persaksian. Dengan demikian, bagian zhahir-nya menyatakan ketuhanannya, sementara hati dan kesadaran batin menyadari keesaan-Nya.
256
Allah telah menganugerahimu dengan tiga pahala kemuliaan (karamah); Dia menjadikanmu ahli dzikir kepada-Nya, jika tidak ada karunia-Nya, maka engkau pasti tak layak atas limpahan dzikir-Nya; Dia menjadikanmu selalu diingat-Nya (madzkur bihi) karena Dia Sndiri yang menisbahkan hubungan-Nya denganmu; dan Dia Yang Menjandikanmu selalu diingat oleh apa-apa yang ada di sekitar-Nya (madzkur ‘indahu) karena Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.
257
Kadangkala umur itu panjang, namun sedikit manfaatnya, dan kadangkala umur itu pendek namun banyak manfaatnya.
258
Barangsiapa diberi berkah (usia)nya, maka dapat mencapai dalam masa yang singkat dari karunia Allah yang tak terhitung dan tidak terbatas itu.
259
Kekecewaan yang serendah-rendah kekecewaan adalah jika kosong dari kesibukan/kerja, tapi kemudian tidak menghadap kepada Allah, atau sedikit rintangan tapi tidak menghadap kepada-Nya.
260
Bertafakur (meditasi) adalah perjalanan hati dalam medan alam
261
Bertafakur adalah perila hati (siraj al-qalb), maka ketika ia padam, hati tidak memiiki penyinaran.
262
Tafakur itu ada dua macam; tafakur (pikiran) yang timbul dari iman (tashdiq) dan timbul karena melihat (‘iyan) dan menyaksikan (syuhuda) kenyataan. Yang pertama adalah bagi ahli i;tibar (arbab al-i’tibar), sedang yang kedua adalah bagi ahli atau mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat kenyataan dengan mata hatinya (arbab asy-syuhud wa al-istibshar).  (Tafakur yang lahir dari iman menunjukkan bahwa tafakur dimulai dari fenomena di dunia ini dan mengembalikan pada asal-muasalnya, yakni Tuhan. Tafakur yang lahir dari melihat dan menyaksikan, yaitu tafakur yang deimulai dengan (dari) al-Haqq itu sendiri, dan merupakan hasil dari pengetahuan yang nyata (ma’rifat). Hikmah ini banyak memiliki keterkaitan dengan hikma No.29).

Bagian  ke dua
Empat risalah dalam kitab  al-hikam

RISALAH  PERTAMA

Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada teman-temannya, berliau berkata --- semoga Allah senantiasa meridhainya :
“Amma ba’du, sesungguhnya bidayah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan nihayah (puncak akhirnya). Dan siapa yang sejak semula (bidayah-nya) selalu bersandar kepada Allah, maka di puncak akhirnya juga akan sampai kepada-Nya. Dan yang harus dikerjakan (disegerakan) adalah amal ibadat yang engkau sukai dan cekatan dalam melakukannya, sementara yang harus diabaikan adalah apa-apa yang sering mempengaruhimu. Barang siapa yakin bahwa Allah menuntut kepadanya, maka ia benar-benar menghadap Allah. Dan barang siapa mengetahui bahwa segala urusn adalah di tangan Allah, maka pasti bertawakal kepada-Nya. Dan bahwa sanya sendi-sendi bangunan alam ini pasti akan rusak dan binasa segala kesenangan barang berharganya. Orang yang sempurna akalnya adalah orang yang lebih suka sesuatu yang kekal daripada rusak binasa. Karena telah terang nur hatinya dan tampak tanda-tanda bukti nur itu pada raut wajahnya. Maka ia memalingkan diri dari dunia ini, dan mengabaikannya dengan memejamkan mata dan berjalan terus, tidak menganggapnya sebagai tanah air atau tempat tinggal, bahkan terus bangkit ingin segera sampai kepada Allah dan terus berjalan menuju kepada-Nya, sambil berharap pertolongan-Nya untuk segera sampai kepada-Nya, tetap terus bersemangat hingga berlabuh di hadratil Qudsi (hadhrat al-Quds) di atas hamparan kesenangan, tempat bermunajat, tempat bercakap-cakap (al-mufatah) bertatap muka (al-nuwajahah), bertemu akrab (al-mujalasah), berdiskusi (al-muhadatsah), berkontemplasi (al-musyahadah) dan tenpat berpandangan (al- muthala’ah).
Hadratil Qudsi itu menjadi sarang hati mereka : mereka mencari perlindungan di dalamnya dan menghuni di dalamnya. Maka apabila mereka tiba di langit (yakni menunaikan) hak kewajiban, atau turun ke bumi (yakni memperturutkan hawa nafsu) keduanya itu dengan izin (al-idzn), stabilitas (at-tamkin) dan keyakinan (al-yaqin). Karena itu (bila) tidak menunaikan kewajiban dengan menyalahi adab atau kelalaian, demikian pula bila menurutkan hawa nafsu, bukan semata-mata (karena) dorongan syahwat yang meluap atau kesenangan duniawi, melainkan mereka masuk ke dalam kedua bagian (tiba di langit dan turun ke bumi) itu dengan bantuan pertolongan Allah, dan untuk keridhaan-Nya, menurut tuntunan Allah, serta berharap kepada-Nya.
“Katakanlah” YA Tuhan, masukanlah aku ke dalam kebenaran, dan keluarkanlah aku dalam kebenaran pula.” Supaya tetap pandanganku bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Engkau menjadikan (memasukkan)ku, Demikian pula penyerahan dan taat ku hanya kepada-Mu semata ketika Engkau mengeluarkanku, dan membantu kawan-kawanmu, dan tidak membantu nafsu dan musuh-musuhku, membantuku untuk mengenal kelemahan diri dari nafsuku, dan melenyapkanku dari belenggu perasaanku.”

RISALAH  kedua

Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada kawan-kawannya, beliau berkata  Semoga Allah senantiasa meridhainya :
“Jika mata hari (‘ain al-qalb) memandang bahwa Allah itu Tunggal (Wahid) dalam segala karunia-Nya, maka syariat menyuruh harus berterima kasih (sykur) pula kepada sesama makhluk.
Dalam perkara nikmat, sesungguhnya manusia itu terbagi menjadi tiga golongan : Pertama : Yaitu orang yang lalai (al-ghafil) terhadap Tuhan, tenggelam dalam kelalaiannya, kuat jiwa mterialnya, padam jiwa batiniahnya (hadharatu qudsihi), ia melhiat kebaikan situ semata-mata datang dari sesama manusia dan tidak melihatnya dari sudut padang Tuhan Semesta Alam, maka ia telah keluar dari keimanan, persekutuannya (syirk) jelas, ia keluar dari sikap bergantung diri (kepada Allah), yang kesemuanya itu juga merupakan syirik yang samar.
Kedua : yaitu orang yang menguasai alam batin (ahli haqiqat(, dengan melihat Raja Tang Hak (al-Malik al-Haqq), meniadakan sesama makhluk, dan orang yang melihat kepada Dzat Yang menentukan sebab akibat dan lupa pada akibat itu sendiri; dialah seorang hamba yang bertatap muka dengan Dzat Yang Nyata (al-Haqq) yang kemuliannya tampak didalamnya. Dan yang sempurna adalah hamba yang minum dari nur tauhid, kemudian ia bertambah kesadarannya, dan lenyap dari melihat sesuatu selain Allah, kemudian bertambah dekatnya dan dekatnya dengan Allah tidak mempengaruhi (menutupi) pisahnya, demikian pula pisahnya tidak menutupi dekatnya, fana’nya dari makhluk tidak menghalangi tetap ingatnya, demikian juga kepada makhluk tidak merintangi fana’nya (mabuk cintanya kepada Allah (ekstase), dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, dan memberi pada setiap sesuatu haknya.
Abu Bakar as-Siddiq ra. Telah berkata kepada Aisyah r.a., ketika Alalh menurunkan ayat yang menjelaskan kesuciannya dari tuduhan-tuduhan orang-orang munafik terhadap Rasulullah saw. (Aisyah, satu di antara istri-istri Nabi Muhammad saw., yang telah dituduh berbuat zina namun kemudian dijelaskan oelh wahyu al-Qur’an (Qs. an-Nuur : 11-20)Hai Aisyah, berterimakasihlah terhadap Rasulullah!” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih (bersyukur) kecuali kepada Allah,” Abu Bakar kemudian menunjukkan kepadanya tingkat kedudukan yang lebih sempurna, yaitu kedudukan Baqa’ (Ketiga), yang membutuhkan pengakuan makhluk (itsbat al-atsar). Dan Allah swt., berfirman : “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ayah budamu.” (Qs. ash-Shafaat : 14). Rasulullah saw. juga bersabda : “Orang yang tidak mau bersyukur (berterima kasih) kepada sesama manusia berarti tidak bersyukur kepada Allah.”. Tetapi ketika itu Aisyah tengah dipengaruhi perasaannya, lupa dari semua makhluk, sehingga tidak melihat sesuatu kecuali Dzat Allah Yang Esa dan Mahakuasa (al-Wahid al-Qahhar).”

RISALAH  ketiga

Ibnu’Atha’Illah berkata --- semoga Allah senantiaa meridhainya :
Ketika beliau ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Dan kepuasan mataku (qurratu ‘aini) telah diberikan oleh Allah dalam shalat.” Apakah hal itu khusus untuk Rasulullah atau juga ummatnya mendapat bagiannya? Kemudian ia menjawab :
“Sesungguhnya kepuasan melihat kebesaran Jalalullah itu menurut kadar kekuatan ma’rrifat terhadap apa yang dilihat itu. Sedang ma’rifat Rasulullah saw. itu tidak dapat disamakan dengan ma’rifat lain-lainnya; oleh karena itu, kepuasan seseorang tidak sama dengan kepuasan Rasulullah saw.
Kami sudah menyatakan bahwa kepuasan Rasulullah dalam shalat adalah sesuai dengan tingkatan penglihatan beliau terhdap keagungan obyek yang dilihat (bi syuhudihi Jalalah masyhudihi) karena beliau sendiri telah mengisyaraktkan  sebagaimana sabdanya : “di dalam shalat.” Dan tidak berkata : “Dengan shalat” sebab beliau tidak akan puas/senang hatinya selain kepada Tuhannya. Bagaimana tidak demikian, padahal Nabi saw. sendiri yang menganjurkan untuk mencapai tingkat itu dengan sabdanya : “Sembahlah Allah solah-olah engkau melihat-Nya.” Oleh karena itu menjadi tidak mungkin bagi beliau jika melihat Allah dan lain-lainnya di samping Allah.
Sekiranya ada orang berkata. “Kepuasan itu karena shalat yang merupakan sebagian karunia Allah yang timbul langsung dari sumber pemberian-Nya, maka bagaimana tidak akan gembira denga melaluinya, atau bagaimana tidak menjadi puncak kepuasan dengan melaluinya? Sementara Allah swt berfirman : “Katakanlah,” Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (Qs. Ynus : 58).
Maka ketahuilah bahwa dalam ayat tersebut juga telah ada isyarat untuk jawaban terhadap pertanyaan ini bagi orang yang memperhatikan rahasia dari pernyataan-pernyataan, karena Allah swt, memfirmankan , “dengan itu hendaklah engkau bergembira, hai Muhammad,” Dengan kata lain (seolah0olah) difirmankan : “Katakanlah kepada mereka.”. Hendaknya mereka bergembira dengan melalui amal saleh dan kemurahan hati, tetapi kegembiraan mu hendaknya hanya dengan-Nya Yang Maha Memberi, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman : “Katakanlah, Allah, kemudian biarkanlah mereka bermain-main (berkecimpung).” Qs. al-An-aam : 92).

RISALAH  keempat

Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada kawan-kawannya, beliau berkata  Semoga Allah senantiasa meridhainya :
“Manusia di dalam menghadapi datangnya nikmat karunia Allah (wurud al-minan) terbagi ke dalam tiga golongan : golonga pertama adalah : mereka yang gembira dengan karunia nikmat itu, bukan akrena si pemberinya tetapi semata-mata karena kelezatannya dan kepuasan hawa nafsu dari nikmat tersebut. Orang yang demikian adalah termasuk orang yang lalai (al-ghafilin), dan Allah telah memperingatkan, “Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, maka Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. (Qs. al-An-aam :44).
Golonga kedua : Adalah  oarng yang bergembira dengen karunia nikmat karena memandang bahwa itu adalah karunia  dari Allah Dzat Yang memberikan nikmat kepadanya. Allah menunjuk golonga ini sebagaimana dalam firman-Nya : “Katakanlah, Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (qs. Yunus : 58).
Adapun golonga ketiga : Adalah orang yang bergembira dengan nikmat karunia Allah tidak karena kelezatan lahiriah nikamt tersebut dan bukan karena karunia-Nya, tetapi karena ia sibuk memperhatikan Allah (al-jam’alaih) sehingga memalingkan dari segala selain-Nya, maka tiada terlihat olehnya kecuali Allah. Orang demikian adalah sebagaimana dalam firman Allh swt., “Katakanlah, ‘Allah, kemudian biarkanlah mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung (main-main) (Qs. al-An’aam : 92). Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud as. “Hai Dawud, katakanlah kepada orang-orang shiddiqin; hendaklah mereka gembira dengan Aku, hendaklah mereka merasakan nikmat dengan berzikir kepada-Ku.”
Semoga Allah menjadikan kegembiraanmu den kegembiraan kami dengan Allah dan rela terhadap apa-apa yang datang dari-Nya; semoga Allah menjadikan kami termasuk golongan orang-orang yang mengerti Allah; semoga Dia tidak menjadikan kami termasuk golongan orang-orang yang lalai; dan semoga Dia menyertai kami di jalan orang-orang yang bertakwa dengan karunia dan kemurahn-Nya.”

Bagian  ke tiga
Munajat  (doa) dalam kitab al-hikam

Munajat  (doa)

Dan Ibnu’Atha’illah --- semoga Allah senantiasa meridhainya – berkata :
1
“Tuhanku, akulah yang fakir di dalam kekayaanku, maka bagaimana tidak akan merasakan kefakiran dalam kefakiranku?.”
2
“Tuhanku, akulah hamba yang bodoh dalam ilmu pengetahuanku, maka bagaimana tak akan lebih bodoh lagi dalam hal-hal yang aku masih bodoh tidak mengetahuinya?.”
3
“Tuhanku, perubahanperubahan aturan-Mu (tadbir) dan cepat tibanya takdir-Mu, telah menahan hamba-hamba-Mu yang ‘arif dari penyadaran pemberian atau putusasa dari pada-Mu selama dalam ujian.”
4
“Tuhanku, akan muncul apa-apa yang layak dengan kerendahan, kekurangan dan sifat kebodohanku, dan dari-Mu pasti akan muncul segala hal yang layak dengan Kemuliaan-Mu.”
5
“Tuhanku, Engkau telah menyifati diri-Mu dengan sifat belas kasih terhadapku, dari mulai sebelum adanya kelemahan (bentuk)ku ini; maka, apakah kemudiann  Engkau akan menolakku dari kedua sifat-Mu setelah adanya kelemahanku?.”
6
“Tuhanku, apabila amal kebaikan (al-mahasin) muncul dariku, maka itu adalah semata-mata karena karunia-Mu; dan itu adalah hak-Mu untuk memberkatiku. Dan apabila kejahatan (al-masawi) muncul dariku, maka itu adalah semata-mata karena keadilan-Mu: itu adalah hak-Mu untuk menuntutku.”
7
“Tuhanku, bagaimana dapat Engkau tinggalkan aku untuk mengurusi diriku sendiri, padahal Engkau-lah Yang menjamin aku? Dan bagaimana aku dapat dalam bahaya, padahal Engkau-lah Temanku? Atau, bagaimana ku dapat kecewa dengan-Mu, pdahal Engkau-lah Penghiburku? Inilah aku yang sedang beusaha mendekat kepada-Mu dengan melalui kefakiranku kepada-Mu. Bagaimana aku dapat mendekat kepada-Mu dengan melalui sesuatu yang mustahil akan dapat sampai kepada-Mu? Bagaimana aku dapat mengadu kepada-Mu tentang keadaanku, padahal aku tidak tersembunyi daripada-Mu? Atau bagaimana aku nyatakan kepada-Mu dengan kata-kataku, padahal kata-kata itu datang dan kembali kepada-Mu? Atau bagaimana harapanku dapat hancur, padahal telah datang menghadap-Mu? Atau bagaimana keadaanku tidak akan menjadi baik, padahal ia berasal dari-Mu dan kembali kepada-Mu?
8
“Tuhanku, betapa lunaknya Engkau terhadapku, padahal aku begitu dungu, dan alangkah besar-Nya rahmat-Mu kepadaku, padahal sangat jelek perbuatanku.”
9
“Tuhanku, betapa dekatnya Engkau kepadaku, dan alangkah jauhnya aku dari-Mu.”
10
“Tuhanku, betapa kasih-Mu kepadaku, maka apakah yang telah menutupiku dari-Mu?
11
“Tuhanku, aku telah mengerti dengan perubahan keadaan dan pergantian-pergantian masa, bahwa tujuan-Mu dariku adalah untuk memperkenalkan kekuasaan-Mu kepadaku, dalam segala keadaan dan masa, sehingga aku tidak melupakan-Mu dalam segala apa-pun.”
12
“Tuhanku, kapan saja dosa-dosa ku membungkamku, maka kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.”
13
“Tuhanku, Jika dalam kebaikan seseorang masih banyak kemaksiatan (kesalahan). Maka bagaimanakah tidak akan menjadi kemaksiatan itu sebagai dosa? Dan jika semua ilmu dan pengertian seseorang itu sekedar pengakuan belaka, maka bagaimana tidak akan menjadi semua pengakuannya itu kepalsuan belaka?.” (Kebajikan-kebajikan yanng diklaim orang untuk dirinya sendiri adalah suatu kesalahan karena terdapat unsur egisentrisme. Demikian juga dengan melakukan kebenaran demi karunia spiritual (ilham), dan juga ego yang mengakui sebagai miliknya sendiri. Kalau begitu, ia tengah mengatakan, jika kebajikan-kebajikan dan amal kebaikan belum bersih dari individualisme, maka bagaimana dengan dosa-dosa dan pengakuan-pengakuan sebanyak itu?).
14
“Tuhanku, hukum putusan-Mu yang pasti terlaksana dan kehendak-Mu yang memaksa, keduanya itu tidak memberi kesempurnaan bagi orang yang pandai berkata-kata, atau bagi orang yang mempunyai kesaktian untuk melaksanakan kesaktiannya.”
15
“Tuhanku, berapa banyak amal taat yang telah ku lakukan dan keadaan yang telah kuperbaiki, tiba-tiba harapanku terhadapnya digagalkan oleh keadilan-Mu, namun aku telah dibebaskan oleh karunia-Mu dari bergantung nasib pada amal perbuatan lahir batin itu.”
16
“Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa meskipun ketaatan itu tidak terus-menerus dalam praktiknya, tapi ia tetap terus (langgeng) dalam perasaan cinta dan niatku pada amal perbuatan tersebut.”
17
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapt memutuskan, padahal Engkau-lah Yang Maha Menentukan (al-Qahir) dan bagaimana aku tidak akan dapat memutuskan, padahal Engkau-lah Yang Maha Memerintahkan (al-Amir).?”
18
“Tuhanku, hlir mudikku pada alam benda ini menyebabkan jauhnya perjalanan, karena itu dekatkanlah aku kepada-Mu dengan sesuatu amal yang segera dapat menyampaikanku kepada-Mu.”
19
“Tuhanku, Bagaimana dapat dijadikan alasan (dalil) untuk menunjukkan kepada-Mu, sesuatu yang bergantung  kepada-Mu? Adakah sesuatu selain-Mu yang dapat mewujudkan apa-apa yang tidak Engkau miliki, sehingga ia dapat menjadi pencinta-Mu? Bilakah Engkau gaib, sehingga diperlulan petunjuk yang dapat menunjukkan kepada-Mu? Dan bilakah Engkau jauh sehingga alam ini sendiri yang menunjukkan (mendekatkan) kami kepada-Mu?”  (Sebagaimana terlihat, ini hampir sama dengan hikmah No.29. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah lebih “Nyata” (Zhahir) daripada makhluk-Nya. Adalah Tuhan Yang membuktikannya, bukan mereka yang membuktikan Tuhan).
20
“Tuhanku, sungguh buta mata yang tidak melihat pengawasan-Mu (raqib) dan sungguh sia-sia (rugi) dagangan seorang hamba yang tidak dapat bagian cinta-Mu.”
21
“Tuhanku,, Engkau telah memerintahkan aku untuk kembali ke alam ini, maka kembalikanlah aku padanya dengan diliputi pancaran cahaya dan petunjuk penglihatan batin (al-istibar), sehingga aku bisa kembali kepada-Mu dari alam ini sebagaimna ketika aku masuk ke dalamnya, dengan keberadaan batinku (as-sirr) yang terpelihara dari memperhatikannya dan semangatku (al-himmah) yang enggan bersandar padanya. Sungguh Engkau berkuasa atas segala sesuatu.”
22
“Tuhanku, inilah kehinanku yang nyata di depan-Mu, dan inilah keadaanku yang tidak tersembunyi dari-Mu. Dari-Mu aku memohon agar sampai kepada-Mu dengan melalui cahaya-Mu dan tegakkanlah aku dihadapan-Mu dengan melalui kesungguhan dan pengabdian!,”
23
“Tuhanku, Ajarilah aku  dengan ilmu-Mu yang masih tersimpan, dan lindungilah aku dengan rahasia nama-Mu yang senantiasa terpelihara.”
24
“Tuhanku, jadikanlah aku memahami tingkat hakikat dari orang-orang muqarrabin, dan jadikanlah aku berjalan di jalan orang-orang mujdzab (ahlul-jadzb), yang merupakan orang-orang yang Engkau kasihi yang tertarik langsung kepada-Mu.”
25
“Tuhanku, melalui aturan-Mu (at-tadbir) buatlah aku puas dengannya daripada dengan aturanku sendiri, dan dengan pilihan-Mu daripada pilihanku sendiri, serta dudukkanlah aku di tempat-tempat kebutuhanku yang sungguh-sungguh.”
26
“Tuhanku, keluarkanlah aku dari kerendahan diriku (nafsuku) dan bersihkanlah aku dari keraguan dan syirik sebelum masuk ke liang kuburku. Aku memohon pertolongan-Mu, maka tolonglah aku; kepada-Mu aku berserah, maka jangan serahi aku dengan sesuatu yang lain; kepada-Mu aku memohon, maka janganlah kecewakan aku; pada karunia-Mu aku berharap, maka jangan tolak diriku; kepada-Mu aku mendekat, maka jangan jauhkan aku; dan pada pintu-Mu aku berdiri, maka jangan campakkan aku.”
27
“Tuhanku, Mahasuci keridhaan-Mu itu akan tergantung pada sesuatu sebab dari pada-Mu, maka bagaimana akan bersebab dari padaku? Sedang Engkau Dzat Yang terkaya daripada sampainya sesuatu kemanfaatan dari Diri-Mu Sendiri, maka baaimana mungkin akn membutuhkan sesuatu dari padaku, padahal akulah hamba ciptaan-Mu ya Allah?.”
28
“Tuhanku, sesungguhnya takdir dan putusan-Mu telah menguasaiku, dan hawa nafsu telah menjadikanku tawanan. Jadilah Penolongku sehingga menolongku dan juga Penolong bagi yang lainnya melalui diriku. Kayakanlah aku dengan karunia-Mu sehingga puas dengan Diri-Mu daripada aku meminta-minta. Engkau Dzat Yang menjadikan cahaya-cahaya bersinar di dalam hati par Wali-Mu sehingga mereka mengenal-Mu dan menegaskan keesaan-Mu. Engkau-lah Dzat Ynag menjadikan dunia ini hilang dari hati para pencinta-Mu sehingga mereka tidak mencintai sesutu selain-Mu dan menolak sesuatu selan-Mu. Engkau-ah Dzat yangmelindungi mereka ketika dunia menjadikan mereka jemu. Engkau-lah Dzat Yang menunjukkan mereka hingga tanda-tndan petunjuk menjadi  jelas bagi mereka. Orang-orang yang kehilangan=Mu – apa yang telah ia temukan? Orang yang telah menemukan-Mu – apa yang hilang darinya? Barangsiapa menjadikan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti, maka pasti akan kecewa, dan barangsiapa hendak menyimpang dari-Mu, maka pasti akan rugi.”
29
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat berharap pada sesuatu selain-Mu, padahal Engkau tidak pernah memutuskan pertolongan-Mu? Dan bagaimana akan dapat meminta sesuatu kepada selain-Mu, padahal Engkau tidak pernah mengganti kebiasaan-kebiasaan dalam memberikan anugerah? Wahai Dzat Yang menjadikan teman tercinta-Nya merasakan manisnya bermunajat kepada-Nya sehingga mereka dapat berdiri di hadapan-Nya dengan suka cita. Ya Tuhan Yang memakaikan pada para wali-Nya dengan pakaian kebesaran (takwa) sehingga mereka dapat berbangga dengan kemulian-Nya – Engkau-lah Dzat Yang berdzikir (adz-dzikr) sebelum orang-orang berdzikir. Engkaulah Dzat Yang Permulaan (al-Badi’) yang memberi bantuan pertolongan kebaikan sebelum para ahli ibadat menghadap-Mu. Engkau-lah Dzat Pemurah (al-Jawwad) di dalam memberi sebelum orang-orang meminta, dan Engkau-lah Dzat Yang Maha Pemberi (al-wahhab),  kemudian terhadap apa yang telah Engkau berikan itu. Engkau pinjam (untuk dibayar berlipat ganda).”
30
“Tuhanku, dekatkanlah aku dengan Rahmat-Mu sehingga aku bisa mencapai-Mu, dan tariklah aku dengan karunia-Mu sehingga aku bisa menghadap kepada-Mu.”
31
“Tuhanku, harapanku tidak putus dari pada-Mu, meskipun aku telah berbuat dosa maksiat, demikian pula rasa takutku kepada-Mu tidak hilang meskipun aku telah berbaut taat kepada-Mu.”
32
“Tuhanku, Dunia (materi) ini telah mendorongku untuk pergi menghadap-Mu, dan pengetahuanku akan kemurahan-Mu telah membuatku berdiri di depan pintu-Mu.”
33
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat kecewa padahal Engkau-lah harapanku, atau bagaimana aku akan dapat terhina padahal kepada-Mu-lah aku bersandar dan berserah diri?”
34
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat menganggap diriku ini mulia padahal Engkau telah menempatkanku dalam kehinaan, atau bagaimana aku tidak akan dapat menganggap diriku ini mulia padahal Engkau telah menisbahkan diriku dengan Diri-Mu?
Bagaimana aku tidak akan berhajat kepada-Mu, sementara engkau telah menempatkanku dalam kemiskinan, tetapi bagaimana aku akan miskin  padahal Engkau telah mencukupiku dengan kemurahn-Mu?
Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau, engkau telah memperkenalkan diri pada tiap sesuatu, sehingga tiada sesuatu pun yang yang tidak mengenal-Mu. Dan Engkau-lah Yang telah memperkenalkan diri-Mu kepadaku dalam seala sesuatu; dengan begitu aku telah melihat-Mu jelas pada tiap sesuatu, dan Engkau-lah Yang Zhahir pada tiap sesuatu. Wahai Tuhan Yang menembunyikan diri di atas Arasy-Nya beserta Sifat Rahmaniah-Nya, sehingga Arasy itu lenyap di dalam rahmaniah-Nya, sebagaimana alam semesta lenyap di dalam Arasy-Nya--- Engkau telah melenyapkan makhluk, dan melenyapkan yang lainnya dengan kepungan pancaran cahaya! Wahai Tuhan, Yang di balik kemuliaan-Nya, tertutup dari pandangan, Wahai Tuhan Yang selalu bersinar dalam kesempurnaan keindahan-Nya dan Yang kebesaran-Nya dimengerti oleh batin orang-orang ‘arif, bagaimana Engkau akan dapat lenyap padahal Engkau-lah Dzat Yang Zhahir (azh-zhahir)? Atau bagaimana Engkau akan dapat gaib, padahal Engkaulah Dzat Yang selalu hadir dan mengawasi.”
Dan Allah Yang memberi Taufik (al-Muwafiq), dan kepada-Nya aku berharap bantuanpertolongan.

Sepanjang – Sidoarjo – 12 – 10 – 2013 - jatim


2 komentar: