Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 27 Juli 2013

Membuka Rahasia Ilmu Jawa

.


MEMBUKA RAHASIA ILMU JAWA
(Bab Membuka Rahasia Ilmu Samadhi/Yoga Orang Jawa - Mengurai sedikit Ajaran Syech Sitijenar)
Penyunting : Pujo Prayitno

Tulisan berikut, terjemahan bebas bersumber dari
Buku Serie Adamakna Jilid Angka : Sekawan,
Kawedalaken dening : Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, Penerbit : “SOEMODIDJODJO MAHA DEWA”
Ngayugyakarta Hadiningrat. Tahun : 1994.
Dari Bab Yang berjudul “Aji Pameleng”

Tata cara “Samadhi” (Yoga), disebut juga “AJI PAMELENG”; yang bermakna “Aji” = Ratu; “Pameleng” = Konsentrasi = Tapa – Bertapa - Samadhi, mengandung maksud, sebuah niat yang paling utama untuk bertapa atau Samadhi. Bertapa – Samadhi, disebut juga : Manekung, Tafakur, Pubarata, Mengendalikan Budi, mengendalikan cipta, menenangkan raga, yoga, dan sebagainya.

Tempat untuk menjalankan hal tersebut, dinamakan Pertapan, Pamurcitan, Pamursitan, dan lain sebagainya. Sedangkan teorinya disebut “Daiwan”, dawan, tirta amerta, tirta kamandhanu, tirta nirmala, mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastra cetha, ataupun Sastrajendrayuningrat Pengruwating Diyu, dan lain sebagainya.

Sedangkan manfaat ilmu Samadhi dan tindakan yang demikian, digunakan sebagai sarana menyempurnakan dalam menjalankan Ibadah, agar mendapatkan keselamatan hidup, sebab bisa sebagai sarana untuk bisa melakukan tindak laku utama dengan sempurna, dan juga bisa digunkan sebagai sarana ketika diri ada hajat keperluan yang sangat penting untuk memohon anugrah hidup kepada Tuhan Yang Maha Murah.

Sedangkan mengapa di dunia ada ilmu tata cara bertapa (Yoga) Samadhi yang demikian, menurut dari kata-kata tersebut, ternyata banyak yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Dengan demikian terbukti bahwa Ilmu Samadhi, berasal dari ilmu para pertapa (Yogi) dari Hindu India pada jaman dahulu. Barangkali saja bersamaan dengan ketika Bangsa Hindu membuat Candi-candi dan patung-patung pada saat itu. Awal mula ilmu tersebut, hanya untuk bangsa Hindu, tidak terkecuali Bangsa Hindu yang beragama apa saja akan bisa melakukan Samadhi. Sebab hanyalah Ilmu Samadhi (Tafakur) ini saja yang menjadi pembuka ilmu di seluruh dunia, dan juga menjadi ujung tombak dalam Ilmu Agama.

Lama-kelamaan Bangsa Hindu merantau ke Tanah Jawa dan ke berbagai negara lain, serta juga mengajarkan Agama dan ilmu yang dianutnya. Demikian Juga Ilmu Samadhi juga tidak ketinggalan. Imu Samadhi di Tanah Jawa bisa berkembang dengan subur, sebab masyarakat Jawa tidak pilih-pilih ilmu, dan juga orang Jawa senang berguru dan bisa menjalankan dengan sempurna ilmu apa saja yang masuk ke Tanah Jawa. Sebab ilmu yang demikian bisa selaras dengan dasar jiwa orang Jawa, sehingga orang jawa dengan mudahnya bisa menerima ilmu tersebut.  Ditambah juga dengan banyak nya orang Hindu yang pergi ke tanah Jawa, dengan tujuan berdagang, menyebarkan Agama dan juga ilmu bijaknya. Sekejab saja hampir semua orang Jawa di masa itu, memeluk Agama Hindu.

Kemudian disusul dengan datangnya Bangsa Arab ke tanah Jawa, yang juga dengan membawa Ilmu dan Agama Nabi Muhammad, saw. Yaitu Agama Islam, sehingga sedikit mengurangi perkembangan Agama Hindu, sebab, banyak juga orang Jawa yang memeluk Agama Islam. Hanya saja, Agama Islam tidak punya Ilmu Samadhi, sebagaimana tersebut di atas.

Ketika Islam telah berkuasa dengan berhasil mendirikan Kerajaan Demak (Bintara), kemudian Negara melarang orang Jawa untuk menyebar luaskan Ilmu Samadhi, demikian juga dipaksa berganti agama untuk memeluk Agama Islam.

Namun, tidak semua orang Jawa mau masuk untuk memeluk Agama Islam. Walaupun telah memeluk Agama Islam, namun tidak sepenuhnya menjalan Syariatnya, hanya sebatas karena takut pada hukuman raja saja. Sehingga Agama Islam yang dianut hanya sebatas luar atau di lahir saja. Dalam jiwa dan batin mereka, masih tetap beragama Hindu. Sehingga Ilmu Samadhi masih tetap dijalankan, hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan pada malam hari di atas jam 12 malam. Sedangkan tempat untuk bertapa di tempat yang tidak terhalang apapun, yaitu di tempat terbuka yang luas, seperti di dalam hutan, di sungai dan sebagainya, asal saja tempat yang benar-benar sepi. Diajarkan dengan cara bisikan, tidak boleh terdengar oleh siapapun, walaupun oleh dedaunan, rumput, hewan dan juga hewan kecil yang merayap di tanah juga tidak boleh mendengar. Jika ikut mendengar maka mereka yang mendengar akan berubah menjadi manusia. Sehingga diajarkan dengan cara, Guru duduk berhadapan dengan cara beradu dahi dengan murid, dan guru berpesan bahwa apa yang diajarkan tidak boleh diberitahukan kepada siapapun juga, tanpa ijin dari sang guru. Jika di langgar, maka sang murid akan mendapat celaka karena akan mendapat hukuman dari Tuhan. Cara yang demikian bertujuan agar ajaran Ilmu Samadhi (Yoga) tidak bisa di ketahui oleh Pemerintah yang berpedoman pada ajaran Agama Islam, sebab apabila sampai ketahuan, akan mendapat hukuman yang sangat berat.

 Sampai dengan jaman sekarang, walaupun negara sudah tidak melarang dengan adanya Ilmu Samadhi (yoga), namun cara menyebar luaskan ajaran tersebut, masih tetp sama dengan cara sembunyi-sembunyi seperti di jelaskan di atas. Sehingga mendapat julukan oleh orang yang tidak suka ajaran tersebut, atau oleh orang yang beragama Islam, bahwa ajaran Ilmu Samadhi (yoga) tersebut disebut Ilmu Klenik. Berasal dari kata “Klenik” sehingga di tanah Jawa ada sebutan “Abangan” dan “Putihan” (merah dan putih). Yang diberi julukan “Abangan” adalah orang jawa Islam yang tidak menjalankan Syariat Agama Islam, sedangkan “Putihan” adalah sebutan bagi orang jawa yang menjalankan sepenuhnya Syariat Agama Islam, disebut Santri. Sehingga Santri disebut juga “Putihan” sebab pada umumnya pakaian yang digunakan oleh Santri yang ber Agama Islam, itu lebih bersih di banding dengan orang Jawa yang tidak ber Agama Islam.

Kembali kepada Ilmu Samadhi (yoga), bahwa disebut Ilmu Rahasia di karenakan seperti keterangan tersebut di atas. Sedangkan yang sesungguhnya nama Ajaran Rahasia itu, sebetulnya tidak ada. Sehinga boleh-boleh saja di ajarkan kepada siapa saja, baik kepada yang muda atau juga kepada yang sudah berumur tua, dan juga boleh diajarkan sewaktu-waktu kapan saja, apabila ada seseorang yang benar-benar sangat membutuhkan Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut. Sebab, tata cara yang demikian itu, agar ajaran tersebut bisa diketahui oleh orang banyak, lebih-lebih bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut ternyata menjadi pemuka dari semua Ilmu, sehingga wajib disebar luaskan agar menjadi pengetahuan bagi generasi muda ataupun juga yang sudah tua, tanpa melihat tinggi rendah dari martabat dan derajat seseorang.

 Tibalah pada suatu masa, ada cerita kejadian yang tidak di sangka-sangka, di belakang hari Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut bisa di terima oleh orang Islam, sebab mereka percaya bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersbut, memang benar sebagai puncak ilmu yang bisa menghantarkan kepada keselamatan, kehormatan, ketenteraman dan sebagainya. Sehingga Ilmu Samadhi (yoga) tersebut oleh se orang yang telah terbuka pintu hatinya dengan kebenaran, yang bernama “Shech Sitijenar” atau Syech Lemah Abang, yang nama aslinya “San Ali Ansar” ada juga yang menyebut “Kasan Ali Ansar”, yang kedudukan tingkat ilmunya juga sebagai Pemuka Agama setingkat Wali, kemudian digubah oleh nya di kitab buatannya yang disebut “Daim”, mengambil dari asal kata “Daiwan” , yang kemudian digunakan sebagai tata cara dalam melakukan ibadah, dengan cara dirobah susunan katanya, menjadi : “Sholat Daim” (Sholat yang tiada terputus). Sehingga oleh ajaran Syech Sitijenar Sholat terbagi menjadi dua, yaitu Sholat 5 waktu, disebut Sholat Syariat, Sholat lahir. Yang ke dua Sholat Daim. Sholat  ini adalah Sholat di dalam batin, mengandung maksud juga menyatukan rasa diri pribadi dengan Tuhan atau dalam Bahasa Jawa disebut “Manunggaling Kawula Gusti”, atau “Loroning Atunggal” (Dua menjadi satu).

Kitab buatan Syech Sitijenar kemudian digunakan sebagai pedoman dalam ajaran tersebut. Setelah berhasil mendapat perhatian oleh orang banyak, di situ Sholat 5 waktu dan Syariat Agama Islam oleh pengikut Syech Sitijenar, ajaran nya banyak yang ditinggalkan ataupun tidak di ajarkan lagi. Perhatian para penyebar Ilmu murid Syech Sitijenar hanya mengajarkan Sholat Daim saja. Sehingga orang jawa yang semula sudah memeluk Agama Islam terlebih lagi yang belum, semua condong dan berguru kepada Syech Sitijenar, sebab ajarannya lebih mudah, terang dan nyata.

Sedangkan Ilmu Samadhi yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar berasal dari Kyai Ageng Pengging, sebab Syech Sitijenar adalah masih saudara dari Kyai Ageng Penging. Ilmu Samadhi (Yoga) oleh Syech Sitijenar diajarkan kepada “Raden Watiswara” juga bernama “Pangeran Panggung”, yang juga dia mempunyai derajat Wali. Kemudian diajarkan kepada “Sunan Geseng”, yang juga bernama “Ki Cakrajaya” yang berasal dari daerah “Pagelen”.  yang dalam cerita ketika dia belum menjadi Wali, mempunyai pekerjaan “nderes” mengambil air sari bunga pohon kelapa untuk dibuat menjadi Gula Kelapa. Kemudian olehnya diajarkan kepada orang banyak . Demikian juga para sahabat Syech Sitijenar yang telah terbuka hatinya oleh ajaran Syech Sitijenar disuruh mendirikan perguruan untuk menyebarkan Ilmu Samadhi tersebut. Semakin lama semakin banyak dan berkembang, sehingga berhasil menyaingi bahkan melemahkan kekuasan Wali yang lain  dalam hal menyebarkan Ilmu Agama Islam, sehingga banyak masjid yang kosong.

Untuk menanggulangi keadaan yang demikian agar tidak semakin berkembang luas, maka Kyai Ageng Pengging dan juga Syech Sitijenar beserta pengikutnya semuanya di hukum pancung oleh para Wali yang mendapat perintah dari Sultan Demak. Demikian juga Pangeran Panggung tidak ketinggalan pula, di hukum dengan cara dibakar di tengah alun-alun Demak, untuk dijadikan contoh agar supaya orang-orang dan para pengikutnya menjadi takut, dengan harapan supaya bersedia meninggal ajaran Syech Sitijenar.

Dalam cerita tersebut, tubuh Pangeran Panggung tidak bisa terbakar api, kemudian dia keluar dari dalam api dan meninggalkan kerajaan Demak. Ada salah satu kisah cerita bahwa, pada saat Pangeran Panggung sedang berada di dalam api, Pangerang panggung mengarang Kitab yang diberi nama “Suluk Malang Sumirang”. 20 Bait Tembang Macapat yang termuat di dilam buku "Suluk Walisana" Karangan Sunan Giri ke II (Jenis lagu Jawa). Sebelum meninggalkan Demak, buku itu diserahkan kepada Raja Demak. Dan pada saat Pangeran Panggung pergi meninggalkan api, Sultan Bintara dan para punggawa kerajaan, beserta para Wali, kalah wibawa oleh kesaktian Pangeran Panggung, sehingga termangu dan tidak bisa berbuat apa-apa bagaikan tersihir.  Setelah Pangeran Panggung pergi jauh, barulah Sultan Demak dan para Wali sadar bahwa Pangeran Panggung selamat dari hukuman bakar. Sehingga mereka merasa kalah oleh kesaktian Pangeran Panggung, yang mendapat Anugrah kasih sayang dari Tuhan. Kemudian datang Punggawa kerajaan melapor bahwa Sunan Geseng atau Cakrajaya pergi juga menyusul langkah Pangeran Panggung. Kemudian setelah sadar, barulah muncul kemarahan Sultan Demak, sehingga kemudian menyuruh prajuritnya untuk membunuh sahabat dan semua murid Syech Sitijenar yang telah berhasil ditangkap, sedangkan yang tidak tertangkap melarikan diri mencari selamat.

Para sahabat dan murid Syech Sitijenar yang masih hidup di dalam pelariannya, kemudian mendirikan Perguruan dan terus melestarikan ajaran “Ilmu Samadhi”, namun dengan cara ditutupi dengan ajaran Syariat Islam seperti pada umumnya, agar tidak di ganggu ataupun dilarang oleh para Wali pembela Kerajaan Demak. Sedangkan isi ajarannya, sebagai berikut :

Cara pengajaran Ilmu Samadhi yang kemudian disebut Sholat Daim dibarengi dengan pengajaran Sholat 5 waktu, juga rukun Islam lainnya. Ajaran Sholat Daim kemudian diberi nama Naksobandiyah, sedangkan isi ajaran diberi nama “Tafakur”. Cara yang lain, tata cara dalam cara mengajarkan ilmu tersebut,  sebelum para murid diberi ajaran Sholat Daim, terlebih dahulu para murid dilatih menjalankan beberapa macam jenis dzikir dan juga membaca ayat-ayat suci. Sejak saat itu Ajaran Ilmu Samadhi, ada dua macam yaitu :

1.     Ilmu Samadhi yang sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh para murid Syech Sitijenar yang ditutupi atau oleh ajaran Rukun Islam.  Ajaran tersebut pada jaman selanjutnya mengalami perubahan karena tidak sesuai lagi dengan ajaran pada awal ilmu itu ada. Sehingga para guru pada jaman sekarang dalam menyampaikan pengajaran Ilmu Samadhi, yang telah berganti nama menjadi Naksobandiyah dan juga Satariyah, mengira bahwa ilmu tersebut perasal dari Jabalkuber atau Mekah, walaupun Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah yang asli itu ada, dan cara pengajarannya tidak sama seperti tersebut di atas. Sehingga para Kyai guru Agama Islam, memberi julukan Guru Klenik kepada para guru yang mengajarkan Ilmu Samadhi yang berpedoman pada ajaran Jawa yang bersumber dari ajaran Syech Sitijenar, dan Para Kyai Guru tersebut memberi julukan nama “Kiniyai” mengandung maksud Guru yang mengajarkan ilmu setan. Sedangkan sebutan Kyai adalah hanya untuk guru yang mengajarkan Ilmu Nabi.
2.  Ajaran Ilmu Samadhi cara Jawa, yang bersumber dari Kyai Ageng Pengging yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar (jaman sekarang diberi julukan klenik), tersebut yang pada awalnya berdasar pada 5 pedoman, sebagaimana berikut :

2.1.  Setya tuhu;  sangat bersungguh-sungguh dan jujur.
2.2. Santosa; berbuat adil, tanggung jawab tidak berbuat semaunya sendiri.
2.3.  Benar dalam semua pekerjaan; Sabar; kasih sayang pada sesama, tidak mengunggulkan dirinya sendiri, tidak berwatak kejam.
2.4.   Pinter saliring kawruh, Pandai dalam banyak ilmu, terlebih lagi pandai menjaga perasaan sesama, serta bisa mengendalikan nafsu amarah dalam diri, tidak serakah terhadap harta benda.
2.5.  Susila anor – raga, Selalu bersikap sopan santun, serta bersikap yang bisa menyenangkan orang lain dan juga indah dalam berkata-kata apalagi terhadap orang yang sedang menderita kesusahan.

 Tindakan 5 macam tersebut harus dilakukan bersama saat ketika menjalankan Samadhi, yaitu mengendalikan Cipta mengheningkan cipta. Oleh karena itu menurut ajaran Jawa, tentang Ilmu Samadhi dan juga 5 macam tindakan tersebut di atas, akan diajarkan kepada semua anak muda atau orang tua tidak memandang tinggi rendahnya kelas dalam masyarakat. Sebab inti ilmu dan tinggi tingkatan ilmu seseorang apabila tetap dalam menjalankan  Samadhi, dan mampu menjalan 5 ajaran tersebut di atas, maka manusia akan mendapatkan ketentraman, sedangkan dengan adanya ketentraman menyebabkan hidup merdeka dalam rasa. Jika tidak demikian, sampai dengan akhir jaman, seseorang akan mengalami nasib sengsara, tergilas oleh roda jaman, sebab rusak hati nurani diri.

Tentang Ilmu Samadhi yang diberi nama Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah, yang berasal dari Syech Sitijenar, telah dijelaskan di muka, namun tata caranya tidak dijelaskan. Di sini hanya akan menjelaskan tata cara melakukan Samadhi cara Jawa, sebelum tercampur dengan Agama lain, sebagai berikut :

Semoga para pembaca tidak salah terima, bahwa Samadhi itu, akan menghilangkan rasa hidup manusia atau pun akan mengeluarkan ruh dari badan. Pemahaman yang demikian, berasal dari pemahaman yang terkandung dalam cerita “Sri Kresna” raja Dwarawati, atau “Arjuna” yang sedang menjalankan “Raga Sukma”. Agar diketahui di sini, bahwa cerita demikian hanya sebatas ibarat saja.

Tata cara Samadhi Jawa adalah sebagai berikut : Kata Samadhi = Satu rasa = memusatkan rasa = rasa jati = rasa ketika rasa belum bekerja. Sedangkan berjalannya rasa disebabkan oleh hasil pengalaman-pengalaman yang diterima atau kejadian-kejadian yang di terima dalam hidup sehari-hari. Itulah kerja rasa yang disebut berfikir. Berasal dari kekuatan ilmu, pengalaman, dan peristiwa hidup sehari-hari, sehinga Pikiran manusia bisa menganggap baik dan buruk, yang bisa menjadi penyebab Tata cara, tindakan, sikap, dan sebagainya, yang kemudian akan menjadi kebiasaan.

Sedangkan anggapan tentang baik dan buruk, yang telah menjadi kebiasaan tersebut, apa bila buruk memang benar-benar buruk, dan apabila biak, memang benar-benar baik, itu sebetulnya belum tentu benar. Hal ini karena hanya disebabkan oleh kebiasaan cara berfikir saja, atau anggapan diri sendiri saja. Anggapan yang demikian, tidak mesti benar, tetap hanya sebatas kebiasaan tata cara berfikir saja, sehingga hal itu bukan yang sebenarnya.

Sedangkan maksud dan tujuan Samadhi, adalah bertujuan untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang sebenar-benarnya (Kajaten). Sedang tata cara nya adalah dengan memahami dan menghilangkan segala anggapan dari kekuatan daya pikir sendiri, disebut hilangnya tempat dan tulisan (Sirnaning papan lan tulis). Setelah berhasil menguasai daya pikir yang demikian, maka itu ujud rasa yang sesungguhnya rasa (rasa jati) yang bisa mengetahui segala sesuatu tanpa petunjuk (Dalam bahasa Jawa disebut "Tanpa Tinulis bisa dibaca"). Sedangkan hal demikian akan bisa dicapai dengan cara menghentikan segala pengaruh gerak pikiran, dengan cara mengendalikan segala gerak anggota badan.

Mengendalikan pengaruh dari gerakan badan yang paling  maksimal adalah dengan cara tidur terlentang, tangan bersedakep melipat kedua tangan atau kedua tangan diluruskan, kedua telapak tangan ditempelkan di kedua paha kanan dan kiri, kaki diluruskan, telapak kaki yang kanan di atas telapak kaki kiri, sikap yang demikian disebut “Sidakep saluku tunggal”, (Bersidakep berkaki satu). Dan juga memusatkan pandangan atau menghentikan gerak mata. Tindakan demikian disebut “Meleng” (Memusatkan mata). Sikap demikian akan bisa mengendalikan gerak pikiran, serta mengendalikan gerak rasa, sedangkan pusat titik mata di arahkan dan di pusatkan memandang ujung hidung dengan menyatukan dua titik pandangan mata menjadi satu, dengan cara memejamkan kedua mata.

Langkah selanjutnya adalah menata keluar masuknya nafas, dengan cara mengendalikan jalannya nafa. Dimulai nafas berjalan dari puser perut, di tarik ke atas melewati pangkal mulut  Cethak) terus di naikan ke atas hingga masuk ke dalam otak, kemudian di tahan semampunya di dalam otak. Dalam melakukan tarikan nafas yang demikian, dilakukan sampai dengan badan merasa tidak punya daya kekuatan untuk mengangkat apapun, sedangkan yang di kendalikan adalah jalannya rasa. Apabila telah terasa berat dalam menahan nafas, kemudian nafas dilepaskan dengan perlahan-lahan. Sikap yang demikian yang disebut Sastracetha. Arti dari “Cetha” = penempatan ilmu, “Cetha” = Suara Cethak (pangkal mulut) yang berat.

Disebut demikian, sebab ketika sedang melakukan tarikan nafas dari pusat perut melewati dada terus naik melewati cethak (pangkal mulut) sampai masuk ke pusat otak. Apabila jalan nya pernafasan tidak di kendalikan, maka nafas hanya akan mengikuti jalan nafas sendiri saja, cara nafas yang demikian tidak akan sampai naik masuk ke dalam otak, sebab nafas baru sampai di pangkal mulut (cethak) akan turun kembali dan keluar lagi. 

Langkah demikian disebut juga “Daiwan” (dawan), maksudnya : Mengendalikan perjalan nafas yang panjang dan dengan tenang, dengan mengucapkan mantra di dalam batin, yaitu yang berbunyi “Hu” bersama dengan masuknya nafas, yang berjalan dari puser, cethak sampai ke pusat otak. Kemudian mengucapkan “ya” bersama sama saat melepaskan nafas yang berjalan dari pusat otak – cetahk – sampai ke perut. Naik dan turun nya perjalanan nafas akan selalu melewati dada dan cethak.

Hal demikian disebut “Sastracetha” sebab, ketika mengucapkan mantra sastra dua macam : Hu – ya, yang hanya di batin saja, akan terasa di dalam cethak (pangkal mulut). (Mantra dua macam tersebut, Hu dan Ya, di dalam ajaran Naksobandiyah dirubah menjadi berbunyi : Hu – Allah, menyebutnya juga bersamaan dengan perjalanan nafas. Sedangkan dalam ajaran Satariyah sebutan tersebut , menjadi : Ha ilah Ha illalloh, namun tidak digabung dengan pernafasan).

(Sedikit tambahan penyunting : Pada saat melakukan pernafasan demikian, usahakan mengendurkan urat wajah se rilex-rilex nya atau sesantai mungkin, dibarengi seolah-olah tersenyum, dan mengendurkan urat otak se santai santainya, dan yang terpenting... jangan dibarengi menelan ludah – penyunting hanya sebatas belajar yoga dan sangat bermanfaat ketika sedang menghadapi problim kehidupan).

Kebiasaan yang biasa terjadi, dalam melakukan pernafasan dengan cara demikian, dalam satu angkatan bernafas hanya mampu mengulang sebanyak 3 kali pernafasan, biasanya sudah terengah-engah. Apabila sudah tenang, maka di ulang lagi. Tindakan demikian dilakukan berulang-ulang, hingga jika semakin lama dan makin banyak dilakukan, akan semakin baik. Sedangkan dalam satu kali angkatan tindakan yang demikian disebut : “Tri pandurat” yang artinya “Tri” = tiga; “Pandu” = suci; “Rat” = Dunia = tubuh = tempat, yang bermakna juga : Tiga kali tarikan nafas, maka itu berarti telah bisa sampai di hadapan Yang Maha Suci yang bertempat di dalam otak (Susuhunan = yang di suwun) tempat permohonan. Yaitu yang disebut “Kawula Gusti”, maksudnya : Ketika kita menarik nafas , kita sebagai ibarat Gusti (Tuhan); dan ketika melepas nafas, kita kembali sebagai “Kawula” (makhluk). Hal yang demikian, diharapkan para pembaca tidak salah menafsirkan. Bahwa yang disebut “Kawula Gusti” (Makhluk dan Tuhan), itu bukan nafas kita, namun hanya daya kekuatan dari pikiran dan cipta kita. Sehingga, dalam inti melakukan Samadhi adalah kita harus dengan cara memanjangkan masuk dan keluarnya nafas, dengan menjernihkan penglihatan, sebab penglihatan adalah terjadi dari pengaruh rasa.

Sedangkan sikap Samadhi, seperti yang telah di jelaskan di atas, juga bisa dengan jalan di percepat, asal dilakukan dengan cara tidak terputus dalam mengendalikan jalannya pernafasan, bisa dilakukan pada saat duduk, berjalan ataupun pada saat bekerja, juga sebaiknya dalam melakukan pernafasan dengan cara tersebut, dengan jalan mengucapkan mantra yang berbunyi : “Hu –Ya” seperti dijelaskan sebelumnya...ataupun juga bisa diganti sesuai dengan keyakinan nya masing-masing.

Selain itu, berdasar kata daiwan, juga masih mempunyai arti yang lain, yaitu panjang tidak berujung atau bermakna langgeng, yang mempunyai maksud bahwa nafas kita adalah sebagai tanda hidup tiap diri pribadi. Sedangkan bahwa nafas itu ada, ditandai dengan adanya keluar dan masuk nya angin tanpa berhenti, yang bersamaan juga dengan berjalannya detak jantung yang seiring juga dengan perjalanan peredaran darah (Ruh). Bahwa, apabila keduanya berhenti tidak bekerja, maka disebut meninggal dunia, yaitu rusaknya jasad manusia yang akan kembali kepada asalnya. Sehingga sebaiknya, dalam bernafas diusahakan dipanjangkan juga, agar umur kita bisa panjang untuk hidup di dunia.

Dengan adanya uraian di atas, menunjukan bahwa Ilmu Samadhi, ternyata besar manfaatnya, sehingga disebut juga “Sastrajendrayuningrat Pangruwating Diyu”. Artinya : “Sastra” = Ilmu; “Jendra” = berasal dari kata Harja dan Endra. Artinya “Harja” = bahagia; “Endra” = Raja; “Yu” = Selamat; “Ningrat” = Dunia = tempat = Badan, mengandung maksud : Mustika dari ilmu yang bisa menyebabkan keselamatan hidup, kebahagia an hidup, ketenangan hidup, dan lain sebagainya. Sedangkan makna dari “Pangruwating Diyu” = menghancurkan diyu; sedangkan “Diyu” = Raksasa, Denawa, Asura, sebagai lambang dari Kejahatan, penyakit, kotoran, Bahaya, pikiran gelap, kebodohan, dan sebagainya. Sehingga sifat Diyu itu berlawanan dengan Tuhan, yaitu : Pandai, Indah, Selamat, dan sebagainya. Mengandung maksud juga bahwa, bagi siapa saja yang bisa mengalahkan segala kejahatan dan segala penghalang hidup. Artinya, bagi siapa saja yang selalu menjalankan Samadhi yang tiada henti, maka apabila dilakukan oleh manusia jahat, akan hilang sifat jahatnya dan akan berubah menjadi orang baik. Orang yang sedang sakit, akan hilang sakitnya. Orang angkara murka, orang kejam, akan menjadi orang yang sabar, menerima apa adanya, dan jadi orang yang penyayang. Jika dilakukan oleh pembohong, akan berubah menjadi orang jujur, Bodo akan menjadi pinter, dan sebagainya.

Bisa juga untuk menghilangkan, segala macam bencana dan segala rencana jahat, bahaya dan halangan apapun, yang tumbuh dari kegelapan jiwa diri pribadi, semuanya akan hilang musnah “Lebur dening pangastuti” karena menjalankan ulah Samadhi. Demikian juga bisa membentengi diri dari serangan bahaya yang berasal dari perbuatan orang lain, dan juga makhluk lainnya, baik yang berupa hewan yang jahat atau juga makhluk halus yang jahat, akan musnah terbakar dari kewibawaan ahli Samadhi.

Harapan penyunting, bahwa akan lebih sempurna apabila menjalankan ajaran kebaikan dari teori yang di dapat dari luar diri apabila diimbangi dengan keadaan sucinya hati karena ulah Samadhi, yang dilakukan dengan olah rasa, tafakur dan Samadhi apabila melakukan ajaran kebaikan, akan semakin sempurna dan tidak kaku. Karena bukan hanya berdasar teori dalam Ilmu Syariat saja, tapi juga dengan olah rasa sehingga kebenaran mutlak akan menjadi pedoman dalam segala tindak perbuatan dirinya.

Nuwun...
Kota Sepanjang – Kabupaten Sidoarjo – Jawa Timur, 27-7-2013.





Kamis, 25 Juli 2013

Rahasia Tahapan Kelahiran Manusia Ilmu Jawa Jawa

Pikiran yang cerdas yang dihasilkan oleh penalaran sendiri, akan bisa membuat orang bisa mengerti sendiri tentang segala hal tanpa harus melalui belajar dari suatu ajaran yang dibuat oleh orang lain.




RAHASIA TAHAPAN KELAHIRAN MANUSIA JAWA
(Kunci Pembuka Tabir  Rahasia di balik Ramalan Jaya Baya)
Oleh : Pujo Prayitno

KATA PENGANTAR

Tulisan berikut, terjemahan bebas bersumber dari Buku Serie Adamakna
 Jilid Angka : Sekawan, 
Kawedalaken dening : Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya, 
Penerbit : “SOEMODIDJODJO MAHA DEWA” 
Ngayugyakarta Hadiningrat. Tahun : 1994.

Cerita hidup!! sejak jaman dahulu sampai sekarang bisa dikatakan selalu sama, yaitu hidup akan selalu menjadi bahan permainan wiyasa yaitu selalu menjadi permainan cipta, rasa, karsa dan juga ripta diri dari dalam diri manusia itu sendiri.

Cipta boleh di kata cetusan hati; Rasa bisa diartikan perasaan hati; karsa itu keinginan hati, ripta itu menyangkut pikiran dan pengalaman. Dari ke empat unsur itulah, segala tindakan manusia selalu di bawah kekuasaan dan  permainan mereka, yang berupa Cipta, ripta, rasa, dan karsa dari dalam diri manusia. Jarang sekali manusia yang bertindak atas dasar kehendak Tuhan. Sedangkan sesungguhnya, ke empat unsur tersebut adalah hanya tamu yang selalu datang dan pergi setiap saat mendatangi tiap diri manusia. Dimana .. diri manusia yang sesungguhnya adalah yang menyaksikan datang dan perginya tamu ke empat unsur tersebut; bukan diri yang di kendalikan oleh mereka. Hanya manusia yang terpilih dari yang terpilih yang mampu bertindak demikian.

Wiyasa atau empat unsur tersebut, ada yang mudah di pahami dan ada pula yang sulit untuk di mengerti. Untuk itu, ada ibarat bahwa, bisa dari hewan kelabang dan kalajengking terletak pada sengat nya. Bisa dari ular adalah pada semburan bisa dari giginya. Sedangkan bisa dari ajaran dan kitab-kitab para cerdik pandai tidak lain terletak pada cerah dan tidaknya  pemahaman tiap diri  pribadi, bukan dari isi kitab-kitab yang di baca. Isi kitab, sebatas membantu sedangkan kitab sebenar-benar – nya kitab... adalah yang ada di dalam diri tiap diri manusia.

Oleh karena, para pengarang sastra khususnya Sastra Jawa, ketika memberikan ajaran atau pun tuntunan, kebanyakan di bungkus dalam indah dan menarik dari alur ceritanya, dengan cara di bungkus oleh ibarat dan kata-kata kias. Sehingga tidak ada kata atau kalimat yang disusun apa adanya, bahkan susunan kata nya di buat dengan sistim tebakan agar pembacanya menebak dan mengira-ira sendiri isi yang terkandung dalam sastra tersebut, dengan penalaran pribadi nya masing-masing berdasarkan daya pikir dan telaah serta kecerdasan pikiran nya sendiri.

Hal demikian, harapan pembuat kitab dengan cara menyusun sebuah kitab yang berdasarkan alur cerita yang indah dengan maksud untuk menyembunyikan isi dari kitab yang dibuatnya. Hal demikian adalah dengan tujuan, agar pembaca nya tidak hanya memahami apa isi asli sesungguhnya dari kitab tersbut, juga diharapkan pembacanya mengerti dan paham isi yang palsu  yang terkandung di dalam kitab tersebut. Apa bila pembacanya telah memahami dan mengerti isi yang palsu, otomatis dengan sendirinya pembaca kitab tersebut, akan memahami dan mengerti isi yang sebenarnya dari ajaran yang terkandung dalam kitab tersebut, yang ternyata isinya sangat bermanfaat bagi pembaca  kitab itu sendiri. Sebaliknya, apabila pembacanya salah dalam menafsirkan isi yang terkandung dalam sebuah kitab, karena terkena tipuan oleh indah dan menarik alur ceritanya, dan kemudian penafsiran yang salah tersebut di sebar luaskan kepada orang banyak, baik dengan cerita lesan atau di urai dalam karya sastra lain nya, justru hal yang demikian akan semakin besar pengaruh sesat dari isi kitab tersebut.

Perbuatan dan sikap pengarang kitab, dengan cara menutupi kandungan isi yang sebenarnya dari ajaran yang diuraikan dalam karya sastra yang dibuat oleh nya, dengan harapan agar para pembacan kitab tersebut, menggunakan nalar dan pemikiran yang bijaksana serta menggunakan kecerdasan berfikir pembaca kitab itu sendiri, agar pembaca kitab, bisa memahami dan mengerti apa maksud yang sebenarnya dari isi sebuah kitab.   Karena dengan menggunakan kecerdasan berfikir yang demikian, maka akan melatih pembacanya untuk menjadi orang yang cerdas. Karena dengan pikiran yang cerdas yang dihasilkan oleh penalaran nya sendiri, maka akan bisa membuat orang bisa mengerti sendiri tentang segala hal tanpa harus melalui belajar dari suatu ajaran yang dibuat oleh orang lain, yang dengan kata lain bisa menerima dan memahami ilmu-ilmu yang berasal dari dalam dirinya sendiri, sehingga , ilmu yang keluar dari dalam diri nya sendiri  tentunya adalah ilmu yang benar ... sebenar-benar nya ilmu.

Beda dengan ilmu yang di dapat dari belajar kepada orang lain, kadang ilmu dari orang lain itu sumbernya hanya berdasar dari kepercayaan saja, hingga kadang benar dan salah, serta benar-benar nyata dan tidaknya, tanpa di olah dulu oleh daya pikir dan tanpa di nalar kebenaran ilmu tersebut. Yang demikian itu, yang disebut tetap tertipu oleh ajaran yang pelajari tersebut; karna percaya ... tanpa dasar yang benar. Percaya yang demikian itu.. adalah sebagai sumber penyebab kacaunya pikiran dan jelas akan mengakibatkan kebingungan, karena pikiran yang demikian sama saja dengan pikiran yang di kendalikan oleh pikiran orang lain, bukan oleh pikiran sendiri. Itu lah yang menyebabkan seseorang tersesat dalam pikiran yang penasaran dan kebingungan.

Percaya tanpa dasar yang demikian, sebagai penghalang besar terhadap hal apa saja, dan apa bila dijadikan dasar dalam segala hal, akan sangat merugikan. Sedangkan apabila daya pikir dan kecerdasan diri telah bisa mendiri berdiri sendiri, barulah pikiran diri akan lenyap dari rasa percaya tanpa dasar. Segala macam urusan tidak akan berubah-ubah, atau tidak akan terpengaruh oleh pendapat dari siapa saja, sebelum di pikir sendiri dengan se benar-benar berfikir, sehingga memang benar bahwa cara berfikir yang dengan cara tersebut akan membawa kepada kebenaran dan keselamatan diri manusia itu sendiri. sehingga dengan demikian, segala hal apa saja seharus nya di hubung-hubung kan terlebih dahulu, sehingga akan menghasilkan kebenaran yang se benar-benar nya kebenaran. Seharus nya yang demikian itu yang harus manjadi dasar dalam tiap langkah tiap manusia, dengan harapan diri tidak akan merasakan kuatir lagi, karena segala tindakan yang dilakukan atas dasar tumbuh dari pikiran dan kecerdasan dalam diri sendiri.

Berdiri sendiri mandiri yang demikian, berarti atas dasar ilmu dari dalam diri sendiri, dan dengan pemahaman diri memahami betul posisi yang sebenarnya dari apa yang sedang di kerjakan, dan juga memahami segala perbuatan benar dan salah sarta segala akibat yang harus di terimanya atas segala apa pun juga yang akan dikerjakannya. Sehingga segala pekerjaan apa saja yang akan dikerjakan tidak akan meninggalkan kewaspadaan, ke hati-hati an dan juga perhitungan yang matang.


AJARAN CATUR  YOGA

Oleh karena agar para pembaca tidak salah tafsir, terhadap isi kitab yang digubah oleh para Pujangga jaman dahulu,  yang di gubah dengan ke indahan bahasa dan alur cerita yang indah; yang menerangkan sebuah ajaran ilmu yang di gubah dengan bentuk sebuah cerita dengan nama cerita “empat jaman”, yang disebut : Jaman Kretayoga, Tirtayoga, Dwaparayoga,  dan Kaliyoga, maka di sini akan di uraikan makna sebenarnya maksud dan isi yang terkandung di dalam ajaran tersebut. Sebab, dengan adanya  cerita tersebut, ternyata bisa menyebabkan rasa penasaran yang besar. Sedangkan yang menyebabkan sangat membingungkan, adalah cerita yang terkandung di dalam cerita pada Jaman Kaliyoga. Dengan adanya Jaman Kaliyoga tersebut, banyak menimbulkan salah tafsir, sehingga banyak dipahami sebagai Jaman Sengara, yaitu jaman yang penuh pergolakan, atau juga dimaknai jaman akhir, yaitu jaman mendekati kiyamat.

Dengan adanya sebutan empat jaman tersebut di atas, hampir di seluruh Tanah Jawa, dan hampir semua orang jawa boleh dikatakan merata telah mengetahui ajaran tersebut. Hal tersebut disebabkan semakin lama semakin banyak buku-buku, majalah-majalah yang berhubungan dengan budaya jawa yang memuat cerita tersebut. Sayangnya, kesemuanya itu sejak dari dulu hanya memuat cerita asli dari cerita empat jaman tersebut, dan belum ada yang mengurai isi yang tersurat atau membuka rahasia di balik cerita tersbut.

Untuk itu, dalam uraian selanjutnya akan kami coba membuka rahasia yang terkandung dalam cerita empat jaman tersebut, yang dalam Serat Nitisastra termuat dalam “Pupuh Tembang Kusumawicitra” sebagaimana, uraian berikut :

Dalam suatu cerita, ada kata-kata : CATURYOGA, yang berarti “Empat Jaman” atau “Jaman yang berjumlah empat” itu adalah sebuah cerita yang termuat di dalam Serat Nitisastra. Sedangkan Serat Nitisastra, jika tidak salah adalah bagian dari Serat Mahabarata pada bagian Markandeyasamyasa Parwa Bab. 187 s/d 190, dan juga pada bab Tirtayatra Parwa bab 148 dan 149. Pada awalnya Serat Nitisastra digubah dalam Bahasa Kawi pada akhir Jaman Majapahit, yang selanjutnya oleh generasi selanjutnya di terjemahkan ke dalam Bahasa Jawa biasa. Dan untuk selanjutnya Serat Nitisastra di bagian “Pupuh Tembang Kusumawicitra” Di buat buku tersendiri, dan di gubah dengan cara dirobah cerita nya, Kata-kata nya di robah dengan cara di tambah atau juga di kurangi, kemudian berubah menjadi “SERAT JANGKA JAYABAYA” yang menceritakan akan datang nya “Ratu Adil Herucakra Tunjungseta Semune Pudhak Sinumpet” dan lain sebagainya.

Sesungguhnya, cerita tersebut di dalam Serat Nitisastra dalam “Pupuh Tembang Kusumawicitra” adalah sudah jelas bahwa cerita tersebut di gubah dengan bahasa kias yang arti sesungguhnya adalah gambaran dari cerita Proses hidup seorang manusia, sejak jaman sebelum masuk ke dalam kandungan seorang Ibu, kemudian lehir ke alam dunia sampai dengan saat meninggalnya. Itu... makna sesungguhnya... bukan sebuah ramalan.

Makna yang sesungguhnya seperti demikian itu, karena di dalamnya menguraikan cerita tentang adanya empat jaman, di uraikan dalam “Tembang Kusumawicitra” sebuah lagu yang mengandung maksud memberikan ibarat sebagai petunjuk.

Adapun makna dari kata “Kusumawicitra”  adalah bermakna Bunga yang teramat Indah, Yang disebut juga : Bunga Teratai (Taratya). Bunga teratai mempunyai banyak nama lain, di antaranya : Tunjung, Padma, Kumudhu, Kumala, Sarasedya, Sisiktunjung, Sijanu, Semawi, Winata, Pakoja, Mundara, Madana, Bayem Sujar, Irim-irim, Padmanata, Padmaraga, Padmanaba, Satapatra, Surajawe, dan Indiwara. Dari kesemua nama-nama tersebut menggandung arti sendiri-sendiri. Di sini tidak diterangkan makna dari masing-masing nama tersebut, akan tetapi akan dijelaskan maksud keselurahan dari adanya bunga teratai tersebut. Sedangkan makna tersirat dari bunga teratai adalah sebagai lambang dari biji hidup manusia. Apalagi dari tiap bunga kebanyakan juga sebagai biji hidup dari sebagian besar tumbuhan, dari bunga menjadi, bakal biji, dari bakal biji akan menjadi buah.

Adapun dengan adanya “Tembang Kusumawicitra” yang bermakna : Bunga yang teramat indah, mengandung maksud sebuah cerita yang di mulai dari sebuah biji yang hendak menggelar sebuah wujud yang lebih utama, terbawa dari makna kata : “Kusuma” = Bunga = biji; “Wi” = Lebih; “Citra” = Rupa = ber wujud = Menjadi ada.

Agar lebih jelas lagi, akan kami sunting “Tembang Kusumawicitra, sebagaimana berikut :

TEMBANG KUSUMAWICITRA

1.
<*> Manawi dumugi ing jaman Kaliyoga; Mboten wonten ingkang nglangkungi tiyang sugih, Boten kocap tiyang ingkang guna;  ingkang prawira, Utawi Pandhita putus; Sadaya sami merak anembah dateng tiyang sugih.

<*> Apabila sampa pada Jaman Kaliyoga, Tidak ada yang bisa manandingi orang kaya, Tidak juga oleh orang yang banyak ke ahlian nya, orang pemberani, Ataupun Pandhita Ulama berilmu tinggi, Semua akan mendekat menyembah kepada orang kaya.

2.
<*> Ing jaman ngriku bangsaning Pandhita sirna, Lawan bangsaning Ratu samimlarat kawelas asih; Anak sami purun dipun pitenah; Para pandhita sami nglampahaken dados nahkoda.

<*> Pada jaman itu golonga Pandhita Ulama hilang; Dan juga para Pemimpin semuanya miskin dan perlu di kasihani; Anak rela di fitnah; Para Pandhita Pemuka Agama justru menjalan perbuatan sebagai nahkoda.

3.
<*> Bumi tansah gonjing, Jagad tansah dahuru; Ratu kekirangan arta, Tansah pinisungsungan ing tiyang sugih; Sagung ingkang ulah pedamelan sami nurut ingepahan; Seganten mili dateng lepen.

<*> Bumi selalu bergetar; Dunia selalu tidak aman; Raja kekurangan uang; Selalu dibantu oleh orang kaya; Semua yang bekerja  menurut dan hanya diberi gaji saja; Laut mengalir menuju sungai.

4.
<*> Tiyang bebet (darah) asor wangsul dados tiyang luhur; Kamurkanipun tiyang saya anglangkungi; Sang Ratu kalumuhan dateng Sang Pandhita; Boten wonten ingkang anglampahi panembah.

<*> Manusia bermental rendah kembali menjadi manusia yang diutamakan, Angkara murka manusia semakin merajalela,  Raja malas bersikap seperti Pandhita; Tidak ada yang menjalankan syariat Agama.

5.
<*> Kaliyan wedaling kaluhuran saking dipun saranani arta; Karanten Sang Ratu kawisesa dateng tiyang sugih; Tiyang salah dados awet ing ndamel; Tiyang leres dados katiwar-tiwar; Awit saking melarat.

<*> Dan juga bisa keluarnya ajaran yang luhur dengan jalan pakai syarat uang; Karena para pemimpin di kuasai oleh orang kaya; Orang bermental jelek justru bertahan di dalam pekerjaan; Orang benar justru di biarkan dan di abaikan; Karena kemelaratan nya.

6.
<*> Tiyang murka sangsaya andadra dados angsal panggenan; Tiyang sabar wekasan dados kirang paramarta; Tiyang dursila durjana sami adamel cilakanipun tiyang sepuhipun.

<*> Orang serakah semakin menjadi dan justru mendapatkan tempat; Orang sabar akan menjadi kurang selamat; Orang durhaka, penjahat, akan membuat celaka orang tua nya.

7.
<*> Sang Ratu sasat suwita dateng Papatih; Sagung ingkang andum sami amilih; Pratingkahipun sawenang-wenang; Ical berkating bumi; Sami kasrakat; Kadosta oyod-oyodan; Gegodhongan, woh-wohan sami tanpa guna.

<*> Para Pemimpin bagaikan mengabdi pada wakilnya; Semua yang memberi sedekah hanya kepada yang di pilih saja; Tindakan nya se wenang-wenang; Hilang berkah bumi; Semua mengalami sengsara; Seperti dari jenis akar-akar an; Daun-daun nan; Buah-buahan semua tidak berguna.

8
<*> Ingkang saged, ingkang kuwasa, Boten angresepi ing jagad; Bangsa Pandhita, Satriya, Waisya; Miwah bangsa Sudra, Sami tunggil padamelan; Karanten sajagad sami angaken saged; Sami ngegung aken dhiri; Boten wonten ingkang purun kasoran.

<*> Yang bisa yang berkuasa; Tidak membuat indah dunia; Golongan Pandhita Ulama; Pemimpin, Pedagang, dan para buruh, semua menjadi satu dalam pekerjaan; Karena semua orang mengaku bisa; Semua menyombongkan diri; Tidak ada yang mau kalah.

9.
<*> Tiyang ulah sastra tuwin puja samadi boten wonten ingkang anut ing pamardining Pandhita; Tanpa damel; Sagung japa mantra boten wonten ingkang katarimah; Adil hukum boten anglabeti; Temah dados durgama.

<*> Orang yang melakukan pekerjaan di bidang seni dan para Pemimpin Umat, tidak ada yang berpedoman kepada tuntunan yang benar; Tidak berguna; Semua do’a mantra tidak ada yang terkabul; Tidak ada keadilan Hukum; Hingga akhirnya menjadi rusak semua aturan.

10.
<*> Sami rebah ing sekar cempaka; hangsoka, hangsana, cendhana, wungu, kenanga, surastri, nagasari, Sadaya wit ipun sirna sami winadungan; tinegoran, tinutuhan, kaprapalan erining pang secang lawan pilang.

<*> Bunga Cempaka semuanya tumbang; Bunga Soka; Bunga Hangsana; Bunga Cendhana, Bunga Wungu, Kenanga; Surastri; Nagasari; Semua pohon bunga itu di tebang habis.

11.
<*> Sakhatahing peksi: Merak, banyak, dhandhang, bango, sapanungilanipun, sami lebur pinasangan pikat lajeng sinengkeran; Ingkang suka bingah namung : segawon, babi, sami ingopenan, pinilala tinuwukan erah kalihan daging.

<*> Semua jenis burung : Merak, Angsa; Dhanddhang; Bangau; dan sebagainya, semua musnah di tengkap menggunakan jaring kemudian di kurung; yang merdeka hanya : Anjing, babi karena dirawat; dengan harapan bisa di ambil darahnya dan juga daging.

12.
<*> Salebeting jaman Kaliyoga, sakathahing tiyang sami langkung angkaramurka; Tansah tukar arebar kaluhuran; Tiyang sajagad sami boten uninga dateng sedherek, Mengsah ingkang sampun kathah cacadipun rinangkul minangka kanthi.

<*> Ketika memasuki Jaman Kaliyoga; Orang semakin menjadi-jadi angkara murka nya; Selalu berselisih berebut kebenaran; Manusia se dunia tidak kenal lagi kepada saudaranya; Musuh yang jumlahnya sangat banyak justru di jadikan sahabat.

13.
<*> Wewalering Dewa tinarajang; Sakathahing candhi rinisakan; Kabuyutan boten wonten damelipun; Sami samun sagung cariyos papakem; Kagunan, kasantikan, sami linebur dening tiyang bodho ingkang murka ing jagad.

<*> Petunjuk Tuhan di langgar; Banyak tempat ibadah di hancurkan; Ajaran kebenaran tidak ada gunanya; Semua cerita ajaran para Pujangga kosong; Ke ahlian; kepandaian, semuanya musnah dihancurkan oleh orang bodoh yang bersifat angkara murka di dunia.

14.
<*> Kacariyos ingkang jaman punika saestunipun sakawan; Ingkang wiwitan nama jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana ingkang dados witing ngagesang; Punika prenahipun wonten pulunging galih; Saweg taksih siniwi ing Swarga.

<*>  Sesungguhnya jaman itu terbagi menjadi empat jaman; Yang pertama bernama Jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana yang jadi awal kehidupan; Itu masih bertempat di dalam dari dalam batin yang paling dalam (Sang Hyang Pramana berpindah tempat). Masih tersimpan di Surga.

15.
<*>Kaping kalih jaman Tirtayoga; Prenahipun Sang Hyang Pramana wonten samadyaning paningal; Kaping tiga jaman Dweparayoga; Prenahipun Sang Hyang Pramana (Sang Hyang Atma) wonten ing daging lawan erah.

<*> Yang ke dua Jaman Tirtayoga; Sang Hyang Pramana berpindah tempat ke dalam inti penglihatan; Yang ke tiga Jaman Dweparayoga;  Sang Hyang Pramana yang disebut juga Atma, berpindah tempat masuk ke dalam seluruh tubuh dan peredaran darah.

16.
<*> Kaping sekawan Jaman Kaliyoga; Sang Hyang Pramana manggen ing kulit lawan wulu puhun; Dene yen jaman Kretayoga yuswaning Sang Hyang Pramana sakethi taun.

<*> Yang ke empat Jaman Kaliyoga; Sang Hyang Pramana berpindah tempat ke dalam kulit dan bulu halus; Sedangkan umur Sang Hyang Pramana  pada jaman itu sebanyak “Sakethi” tahun.

17.
<*> Ing jaman Tirtayoga punika gesanging Sang Hayng Pramana dumugi saleksa taun; Ing Jaman Dweparayoga yuswa sewu taun langkung satus taun kalihan satus wulan.

<*> Pada jaman Tirtayoga ini, umur Sang Hyang Pramana sampai dengan “Saleksa” Tahun. Pada Jaman Dweparayoga, umurnya seribu tahun, lebih seratus tahun dan seratus bulan.

18.
<*> Yen Jaman Kaliyoga punika yuswanipun enggal-enggal; Kados upaminipun gebyaring kilat wonten ing mendung; Kala ing Jaman Kretayoga; Wiwitipun ingkang dados perang putranipun Pandhita nama Dewi Naruki.

<*> Ketika memasuki jaman Kaliyoga di sini, berumur pendek, Ibarat secepat kilat ketika mendung; Ketika jaman Kretayoga , yang menjadi penyebab perang adalah anak seorang pandhita yang bernama “Dewi Naruki”.

19.
<*> Ing Jaman Tirtayoga; Jalaranipun ingkang dados perang ageng nama Dewi Sinta (Janaki); Ing Jaman Dweparayoga ingkang dados wiwitaning perang Dewi Drupadi; Kocap Putri linuwih.

<*> Pada jaman Tirtayoga; yang menjadi penyebab perang besar bernama Dewi Sinta (Janaki); Ketika jaman Dweparayoga yang menjadi penyebab perang “Dewi Drupadi: Terkenal Putri yang mempunyai banyak kelebihan.


20.
<*> Ing Jaman Kaliyoga kathah ingkang dados sababipun perang ageng inggih punika; Pawestri, Siti, miwah rajabrana; Mila kaenget-engeta; Sang sujana sampun pijer olah arta; Amrih dhateng tiyang estri.

<*> Pada Jaman Kaliyoga, sangat banyak yang bisa menyebabkan perang besar, diantaranya, yaitu : Wanita; Tanah atau Negara; dan juga Harta benda; Maka dari itu perlu selalu di ingat; Wahai para manusia.. jangan selalu bermain uang; dihambur-hambur kan kepada para wanita.





Keadaan rangkaian kalimat di dalam “Tembang Kusumawicitra” yang telah di jelaskan seperti tersebut di atas, sebetulnya pada bagian nomor 14, seharusnya yang menjadi awal cerita sampai dengan nomor 20;  kemudian di sambung  oleh cerita nomor 1 sampai dengan nomor 13.

Sebelum menjelaskan cerita keadaan empat jaman (Catur Yoga) perlu diterangkan terlebih dahulu tentang kata “Jaman” Di sini bukan kata jaman yang bermakna masa atau suatu waktu; akan tetapi yang dimaksud adalah : Jaman = Manusia (Janma = manjanma = menjelma = mengada = menitis).

Sehingga di dalaman Candrasangkala watak 4 keluaran Yogyakarta – Pengarang – B.P.H. Suryanegara, kata Yoga (jaman) di artikan Air Bibit Manusia, dengan maksud  atau sebutan lain : Sebuah air yang akan menjadi manusia, yang disebut juga : Rahsa.

Sedangkan asal usul manusia, jalan yang harus dilewati adalah melalui empat tahapan, yaitu yang disebut 4 jaman atau dengan sebutan lain : Caturyoga, yaitu : Kretayoga; Tirtayoga; Dwaparayoga dan Kaliyoga.

Tahapan pertama disebut “Kretayoga” yang mempunyai makna : Wujud hidup manusia; adalah berawal dari ketiadaan; yaitu hidup manusia yang disebut masih berada di alam kosong (Sunyaruri), yaitu alam yang belum ada apa apa. Sehingga dilambangkan dengan sebutan jaman Kreta, artinya “Selamat” tenang. Sedangkan makna sesungguhnya  dari “Selamat” adalah yang tidak ada apa-apa, tidak nampak apa-apa, tidak terasa apa-apa, tidak punya keinginan apa-apa, tidak berfikir apa-apa. Di tempat itu manusia masih di jaga di alam surga, sedangkan di alam surga sebenarnya di sana tidak ada apa-apa. Karena tidak ada apa-apa, tempat juga belum ada, hingga berada di tempat yang tidak ada apa-apa. Sehingga kata Surga, adalah hanya sebagai ibarat suatu keadaan yang tidak ada apa-apa (Suci).

Yang disebut : Yang pertama “Jaman Kretayoga” Sang Hyang Pramana yang menjadi bibit hidup, posisinya berada di pusat batin. Bahwa maksudnya adalah asal hidup manusia adalah dari alam kosong alam yang suci (Sunyaruri), turun dan berada pada pusat rasa se orang Laki-laki ketika masih bayi. Sedangkan diceritakan manusia berada di Jaman Kretayoga mempunyai umur 100.000 tahun, hitungan tersebut hanya sebagai ibarat dari cerita keadaan yang sangat lama tanpa ada masa akhir.  Sebab, sangat tidak mungkin apabila ada manusia yang bisa membuktikan dan mengetahui cerita hidup yang begitu lamanya. Sehingga maksud cerita tersebut di atas adalah menceritakan bahwa apabila biji manusia akan melanjutkan proses hidup menuju tahapan berikutnya adalah harus melewati empat tahapan seperti tersebut di atas.

Sedangkan yang disebut : Pada Jaman Kretayoga, bahwa yang menjadi penyebab perang adalah Dewi Naruki, artinya “Naruki” = Mengisi = menempati = Manuksma = Manjanma = menjalma = mengejawantah = berwujud. Sedangkan di kisahkan dalam perang merebut Sang Dewi tersbut, sebagai ibarat, Bahwa setiap yang bernyawa  tentu mempunyai watak kepada ingin melakukan olah Sanggama (Menyatukan rasa) dengan lawan jenisnya; Tujuan sanggama adalah akan menurunkan biji manusia. Akan tetapi masalah akan menurunkan biji bagi manusia karena sudah menjadi watak, maka kebanyakan manusia tidak ingat bahwa tindakan demikian bisa akan menurunkan biji manusia. Kebanyakan manusia di dalam batin nya hanya menuruti keinginan ingin merasakan nikmatan nya asmara saja. Seperti juga, seperti watak dari orang makan adalah bertujuan sebatas agar kenyang saja, namun kenyang tersebut tidak masuk dalam angan-angan nya. Sedangkan angan-angan nya hanya punya hasrat kepada rasa enak dan nikmat dari rasa makanan yang dimakan.

Bab sebagai tanda bahwa apabila dalam sanggama tersebut hanya berasal dari pengaruh angan-angan ingin menurunkan biji saja adalah dari perbuatan hewan, yaitu apabila tidak pada masa akan menurunkan biji, di situ tentu tidak mau melakukan senggama. Hewan dalam melakukan sanggama mengikuti peredaran musim kawin dari hewan tersebut.

Demikian juga, ketika hewan sedang hamil, juga tidak akan mau melakukan senggama. Yang demikian sebagai tanda yang nyata, sebab watak dari hewan adalah masih menempati watak murni, tidak tercampur oleh pengaruh hawa nafsunya. Demikian juga dalam hal makan, bahwa hewan ketika makan hanya sebatas makan, makan hanya bertujuan agar kenyang, itu saja, yaitu seperti yang di contoh kan oleh ular, cara makan nya hanya di telan saja, yang tentunya cara makan yang demikian tidak akan bisa merasakan enak dari makanan.

Tahapan ke dua, disebut Tirtayoga, yaitu disebutkan bahwa biji hidup manusia yang sedang berada di dalam pusat rasa, berawal dari bunga, berkembang kemudian menyebar di seluruh anggota badan seorang laki-laki. Seperti itu keadaan manusia, di awali dari sejak lahir dan berkembang semakin besar, di situ biji dari bakal anak ikut berkembang juga sampai dengan manusia itu memasuki masa dewasa. Sedangkan yang disebut umur dewasa, yang telah lengkap tumbuh dan berkembang dari rahsa yang berada di dalam badan seorang laki-laki. Ibarat sebuah isi yang sudah bisa memenuhi tempatnya, yaitu ketika seorang laki-laki telah memasuki masa dewasa. Di situ biji manusia kemudian disebut bertempat di dalam alam Tirtayoga., karena keadaan rahsa biji hidup manusia masih menyatu dengan darah dan rahsa seorang laki-laki, seperti ibarat madu dengan rasa manisnya, tidak mungkin bisa di pisah. Sedangkan mengapa disebut jaman Tirtayoga, karena kedudukan Sang Hyang Pramana saat itu berada di dalam pusat penglihatan, yang demikian adalah di dalam angan-angan dan di dalam penglihatan, yang disebut : “CIPTA”.  Mengapa disebut demikian?, Karena gerak dari rahsa bibit hidup manusia yang sedang berproses, sedang berada di bawah kekuasaan dari daya cipta. Apabila rasa manusia belum terserang  rasa asmara, tidak mungkin biji hidup manusia tersebut akan keluar.

Sedangkan mengapa disebut bahwa : Biji hidup manusia ketika di Jaman Tirtayoga hanya berumur 10.000 tahun, cerita yang demikian itu juga hanya sebagai peribahasa saja, sedangkan maksud yang sesungguhnya adalah suatu masa yang sudah dekat menuju hidup nyata di alam dunia, dibanding ketika masih berada di Jaman Kretayoga. Sebab proses  pindah dari biji hidup tersebut, dari bayi lahir sampai dengan dewasa, dan berada dalam umur seorang laki-laki sejak dari umur 14 tahun barulah biji manusia memasuki Jaman Tirtayoga. Oleh karena telah sampai masa puber, di situ kemudian lebih cepat waktu yang dibutuhkan agar bisa terlaksana biji hidup manusia tersebut,  pindah menuju jaman Dwaparayoga.

Sedangkan yang disebut : Ketika Jaman Tirtayoga yang menjadi penyebab terjadi perang adalah Putri di Matili yang bernama Dyah Wara Sinta.  Kata “Sinta” mengandung maksud = Isi, anta = mempunyai hasrat. Kata Isi Anta tersebut adalah suatu kata yang berasal dari Jaman Hindu, yang pada saat itu semua kata tersusun terbalik di banding susunan kata Jawa jaman sekarang, Sebagai contoh nama Pandhu Putra dalam bahasa Jawa menjadi Putra Pandhu, Raja Putra menjadi Putra Raja dan sebagainya. Sehingga kata “Isi Anta”  menurut Bahasa Jawa menjadi “Anta Isi”. Artinya Anta = kamu, isi,,, sudah jelas maksudnya, sehingga bisa berarti = Kamu Isi, lebih jelasnya lagi; Kamu sudah punya rasa ingin bersanggama. Sehingga Dewi Sinta juga mempunyai nama lain Dewi Janaki (Karena Dewi Sinta adalah Putra Raja Janaka di Kerajaan Matili). Kata Janaki berasal dari kata “Ja” = Keluar; “Naki” = mempunyai putra. Dewi Sinta juga punya sebutan lain : “Matili”, yang berasal dari kata “Patil”, yang berarti :  “Sifat” dan “Pentil”, mengandung maksud bahwa apabila sifat manusia sudah pentil (mengeluarkan bakal biji), dengan tanda telah birahi. Kata Matili juga bermakna Kawin, atau juga kata matili = matala = awal mula. Kata “Matala” berasal dari kata “Tala”, yaitu rumah lebah, maksud dari kata “Matala” (Matili), dikatakan bahwa biji kehidupan manusai sudah akan masuk rumah, ke dalam rahim seorang wanita, juga bermakna menempati atau membutuhkan tempat.

Sedangkan yang disebut dalam “Serat Ramayana” : Ketika Negara Matili mengadakan pertandingan (sayembara), Siapa saja yang bisa menarik Gendhewa (busur panah)  Pusaka Matili (alat untuk melontar panah), siapa saja yang bisa memenangkan “Sayembara” (Sayem = Sendiri, bara = mempunyai kelebihan; berarti : Yang mempunyai kelebihan sendiri) dalam sayembara tersebut  yang bisa berhasil menang adalah seorang Satria yang bernama Rama, namun hanya berhasil menarik busur saja, tidak digunakan untuk melepaskan panah.

Sedangkan tindakan menarik busur panah tersbut, sebagai lambang dari rahsa manusia yang sudah Mentheng-Mentheng (bergelora) bagikan tali busur yang di tarik di dalam diri seorang laki-laki (Sangat berhasrat), karena sangat ingin berperang . Sehingga kata “Menthang = penthang-penthang = dorongan yang sangat kuat untuk melakukan asmara : ulah asmara.

Keturunan ke tiga, disebut :Dwaparayoga. Kata Dwapara = Dopara, mengandung maksud tidak mungkin, aneh; yaitu : Rahsa biji bakal hidup manusia ketika telah keluar, di terima di dalam rahim seorang wanita.

Sedangkan yang disebut : Ketika Jaman Dwaparayoga, sebagai penyebab terjadinya perang “Dewi Drupadi”, artinya “Dru” = Jelek; “padi” = kelakuan; artinya : karena dari kelakuan kejelekan; maksudnya adalah ketika biji hidup manusia berada di dalam rahim, itu adalah tempat yang jelek. Barangkali karena apabila kurang lengkap pencampuran nya, tentu tidak akan lestari untuk menjadi anak manusia yang lahir ke alam dunia dengan terjadinya keguguran kandungan. Sehingga daya hidup manusia ketika berada di dalam kandungan seorang wanita, akan menghadapi tantangan dua macam masalah. Yang pertama, barangkali dari asal biji hidup yang jelek; yang ke dua : Barangkali ada suatu sebab yang ditimbulkan oleh keadaan rahim. Sehingga tidak seperti ketika masih berada di dalam Jaman Tirtayoga dan Jaman Kretayoga, sebab di situ tempat yang tidak ada halangan apapun.

Dewi Drupadi dalam cerita adalah anak dari Raja Drupada, makna dari “Dru” = Jelek; “Pada” = Tempat, mengandung maksud adalah suatu tempat yang jelek. Begitu juga Dewi Drupadi dalam cerita mempunyai Suami (Semah) lima laki-laki (Pandhawa). Kata “Semah” = Suami = perkawinan = Campuran = bumbu. Yaitu suatu percampuran bakal manusia, yang sesungguhnya berasal dari suwung 1. (kosong – Sunyaruri), 2. Dari suatu panas - api;  3. dari hawa - udara,  4. dari air dan 5. dari bumi. Campuran dari lima bahan tersebut di lambangkan dengan Pandhawa. 1. Yudhisthira, yaitu suwung – kosong; 2. Bhima, sebagai angin atau pun hawa; 3. Arjuna adalah sebagai air dan tanah (Air juga sebagai tanah, karena kekentalannya hingga disebut juga tanah); 4. Nakula, sebagai hawa panas dari air dan tanah; 5. Sadewa, sebagai hawa dingin dari air dan tanah tersebut. Sedangkan panas dan dingin (lebih dan kurang nya) adalah kembar = jodho = seimbang. Mengandung maksud : bahwa reaksi dari panas dan dingin sama kuatnya, hal demikian tentu bisa menjadikan suasana. Walau sama kuatnya, namun pengaruh dingin dan panas tersebut, tidak dengan ukuran yang sama. Sebab apabila sama akan menjadi hancur ke dua-dua nya, tidak jodoh; artinya : Tidak bisa menghasilkan suasana baru, karena akan hilang rasa panas dan dingin  atau disebut kurang dan lebih. Dingin dan panas tersebut disebut juga Dewa Kembar, disebut Sang Hyang Aswin; untuk lebih mudahnya : Adanya Nakula dan Sadewa bisa dikatakan daya lebih dan daya kurang dengan satu tujuan.

Sehingga Dewi Drupadi disebut juga Rajaputri di Pancala (Dalam cerita Wayang disebut Cempala), mengandung maksud “Panca” = lima, “La” = berubah; artinya : Di dalam ari-ari adalah tempat bercampur nya lima unsur yang menjadi satu ujud dari asal susunan  manusia. Kata “Pancala” juga bisa di artikan berasal dari kata “Pancal-pancalan”  yaitu tekanan bayi untuk meloncat ketika akan lahir ke dunia. Makna yang dimikian juga digunakan untuk orang yang meninggal dunia (dalam Bahasa Jawa disebut “Pancal ndunya” = meninggal dunia). Dengan demikian kata tersebut, adalah kembali kepada makna kata “Pancala” : Bayi menekan ari-ari kemudian lahir ke alam dunia.

Sedangkan dalam cerita Wayang disebut : “Cempala” artinya , Cem berasal dari kata “Cencem”; “Pala” = Buah” maksudnya adalah adanya Biji manusia. Ini mengandung maksud : Ari-ari dalah yang menjadi tempat proses reaksi dari biji manusia, sehingga bisa menumbuhkan bentuk dari manusia.

Kembali pada cerita Ratu Pancala (Cempala) Raja Drupada, diceritakan ketika raja mengadakan sayembara dengan ujud sayembara berupa menarik busur panah, bagi siapa saja yang berhasil menarik busur tersebut, akan di nikah kan dengan Sang Raja Putri Dewi Drupadi. Di situ Pandhawa mendapat perintah dari kakek nya Resi Wiyasa (Abiyassa) , bahwa sudah menjadi ketetapan Dewa, bahwa Rajaputri dari Pancala Sang Ratnaning Ayu Dewi Drupadi akan menjadi istri Pandhawa Lima, sehingga disuruh untuk mengikuti sayembara, sedangkan yang bisa menarik tali busur dengan sempurna adalah Sang Arjuna.

Oleh karena sudah menjadi ketetapan Dewa, bahwa Dewi Drupadi akan menjadi istri dari lima orang Satria Pandhawa. Cerita yang demikian cocog dengan keterangan di depan. Sedangkan adanya sayembara sebagai perlambang Olah Seni Bercinta, bangkitnya rasa diri karena dorongan seluruh anggota badan, melesat masuk ke dalam otak. Panah mengenai mulut = (Dalam Bahasa Jawa “Cangkem”), sebagai lambang dari Rahim wanita. Sedangkan disebut : Arjuna yang bisa berhasil dengan sempurna, yang demikian sebagai petunjuk, untuk mempermudah ibarat agar mudah diterima oleh pikiran, bahwa ternyata penyebab hidup manusia pengaruh terbesar adalah dari air rahsa (Arjuna). Sedangkan yang disebut Hidup Manusia dari :  ketiadaan, Hawa, angin, Api dan Bumi itu tidak mudah untuk di pahami oleh pikiran.

Sedangkan mengapa disebut berasal dari Awang uwung (Kosong), sebab manusia mempunyai keadaan yang tidak nampak oleh mata, seperti : Tentang Atma, Budi dan sebagainya. Yang berasal dari angin, terbukti manusia mempunyai nafas. Berasal dari bumi, terbukti mempunyai wujud rahsa yang berbentuk kasar, yaitu : kulit, daging, tulang, sumsum dan sebagainya. Berasal dari air, terbukti menusia mempunyai darah, dan darah tersebut bisa menyebabkan daya dingin dan daya panas, yang berasal dari dalam diri sendiri, juga daya yang berasal dari luar badan. Yang demikian itu, diceritakan di dalam Serat Mahabarata, walaupun Dewi Drupadi menjadi istri dari lima orang satriya Pandhawa, namun di dalam hati Dewi Drupadi, yang paling di cintai atau di kasihi adalah hanya Arjuna. Kata di kasihi = yang paling dekat, ialah yang paling dekat, yang mengandung maksud : Bahwa saksi hidup manusia terjadi dari rahsa Arjuna, juga disebut : Mani, Madi, Wadi, Manikem.

Keturuna ke empat, disebut Jaman Kaliyoga, sebagai lambang hidup manusia berada di alam dunia, yang disebut berada di Jaman Kaliyoga. Sang Hyang Pramana bertempat di kulit dan rambut, sebab badan manusia seluruhnya sebagai tempatnya hidup yang sejati, walaupun dalam pucuk rambut sampai dengan pucuk kuku sekali pun, juga ketempatan rahsa dari hidup manusia sejati. Sedangkan yang disebut, apabila berada di Jaman Kaliyoga tersebut, berumur sangat cepat  (pendek-pendek), bagaikan seperti sinar dari kilat ketika mendung. Oleh karena dengan adanya kata cepat-cepat tersebut, mengandung maksud bahwa,  suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga sama dengan tiap-tiap dilakukan oleh manusia yang baru lahir sampai dengan meninggal. Sedangkan yang disebut : Umur manusia di ibaratkan hanya secepat kilat ketika ada mendung, maksudnya adalah, apa bila di banding dengan umur dunia se isinya ini.  Walaupun manusia andai kata bisa berumur sampai dengan 1.000 tahun, itu juga belum sebanding. Umur dunia yang tanpa awal dan tanpa akhir tersebut, juga disebut di dalam Serat Babad Pandhawa.

Ketika di dunia mulai menginjak Jaman Kaliyoga tersebut ada sekitar 432.000 tahun, dan setelah itu dunia musnah. Walaupun di situ disebut bahwa umur dunia ada batasan nya, bagaimana caranya untuk bisa menyaksikan, apabila cerita tersebut nyata-nyata benar? Sebab, yang akan membuktikan tentunya sudah meninggal dunia semua, walaupun telah di ganti oleh generasi manusisa yang lahir baru, seandainya rata-rata mempunyai umur 100 tahun. Sehingga manusia yang akan lahir sampai berjumlah 4.320 keturunan, itu baru bisa membuktikan umur dunia di Jaman Kaliyoga yang mempunyai umur 432.000 tahun tersebut. Apabila dijumlah umur dari ke empat jaman tersebut berjumlah 432.000 tahun, apa mungkin masih ada manusia yang percaya kepada umur dunia tersebut? Atau juga, bahwa yang disebut : Jaman Pralaya (Sirna – musnah), itu seperti apa? Apakah nyawa sudah sudah tidak dapat hidup di muka bumi lagi? Dan apa karena bumi nya yang musnah?

Sedangkan yang tersebut di baris angka 16 Tembang Kusumawicitra, yang menyebutkan Jaman dengan kata YEN (ketika), yaitu yang menyebutkan :  Yen Jaman Kretayoga (Ketika jaman kretayoga) umur Sang Hyang Pramana sakethi tahun; Kata “Yen” tersebut mengandung maksud segala sesuatu yang terjadi ber ulang-ulang kejadian nya, sama artinya dengan kata tiap-tiap ; seperti : Katika musim hujan = tiap-tiap musim hujan. Jadi dengan demikian bahwa, Jaman Kretayoga tersebut adalah jaman yang berulang-ulang di lalui. Artinya :  Selamanya; tiap-tiap hidup manusia yang lahir di dunia, juga pasti melewati Jaman Kretayoga. Sedangkan apabila diartikan bahwa hanya sekali hidup, tentunya akan mengunakan kata : Dhek (Pada) Pada Jaman Kretayoga, yang artinya tidak akan terjadi lagi.

Sedangkan kata Kali, makna sesungguhnya adalah Nama dari Seorang Dewi yang bernama Bathari Durga (Chali Dewi), dan juga mempunyai nama lain Sang Hyang Candhi. Sedangkan Snag Hyang Kali, adalah istri dari Sang Hyang Siwa. Dewa yang bertugas membuat kerusakan. Sang Hyang juga sebagai istri dari Sang Hyang Kala (Chala Dewa), Dewa dari segala sebab, yaitu sabab sebagai penyebab rusak.

Dan sesungguhnya Sang Hyang Kala sama saja dengan Sang Hyang Siwa, di dalam cerita Wayang dan juga termuat dalam Serat Pustaka Raja Purwa. Sang Hyang Kala anak dari Sang Hyang Siwa. Kata Anak = Anane (Adanya), mengandung maksud menyebutkan bahwa Sang Hyang Kala adalah sama saja dengan Sang Hyang Siwa, sama saja dengan Sang Hyang Mahadewa, Dewa dari Pembuat Kerusakan.

Dari penjelasan tersebut di atas, dengan adanya Jaman Kaliyoga, adalah menjelaskan : Bahwa ketika berada di alam dunia adalah sama saja masuk ke dalam Jaman Kerusakan, dengan bukti juga bahwa bumi disebut juga : Marcapada. Marcapada = Marcupada; Marcu = Api, atau yang meledak (Marcu = Mrecon = bom; sedangkan kata “Pada” = tempat. Sehingga bumi adalah : Tempat yang panas, dan juga disebut : Panasnya Badan atau panasnya Hati. Dengan adanya panas tersebut kemudian diberi lambang Dewa yang menguasai, bernama Sang Hyang Yama = Jama, adalah dewa yang bertugas menguasai neraka. Dan juga sebagai dewa dari yang paling bawah (asor), dan juga bertugas sebagai dewa pati (Dewa pencabut nyawa).

Sedangkan dengan adanya 3 Dewa : Sang Hyang Siwa yang bertugas membuat kerusakan; Sang Hyang Kala yang bertugas membuat penyebab dari kerusakan; Sang Hyang Yama, yang bertugas menjaga Neraka (Dewa penyebab panas), yang sebetulnya ke tiga dewa tersebut adalah tidak ada. Karena hanya berhenti di dalam bahasa ibarat saja. Sedang maksud yang sebenarnya adalah sebagai yang menggambarkan penyebab rusaknya hidup manusia, seperti :

1.     Sang Hyang Siwa, di dalam cerita ini berkedudukan, sebagai simbul rusak karena disebabkan oleh Budi, dan cara berfikir yang rusak.
2.     Sang Hyang Kala, simbul dari rusak nya perbuatan.
3.     Sang Hyang Yama (Jama), simbul dari rusak nya cipta atau keinginan.

Dari ke tiga kerusakan tersebut di atas, disebut juga manusia yang telah rusak budi pekerti nya, yang akan menjadi manusia yang angkara murka. Sedangkan makna yang tersirat dari ke Tiga Dewa tersebut, yang telah di maknai seperti di atas, adalah hanya berlaku pada KISAH DAN CERITA ini saja. Sedangkan dalam cerita dan kisah yang lain nya adalah mempunyai makna sendiri-sendiri, menurut isi cerita yang di ceritakan nya.

Sedangkan ujud penjelasan kerusakan dunia tersebut, telah di contoh kan pada Tembang Kusumawicitra Nomor. 1 sampai dengan Nomor. 7. (Lihat di atas).

Semua keterangan di atas, telah jelas dan terang bahwa yang disebut : Jaman Kaliyoga, adalah jaman yang menceritakan tentang akal budi manusia yang rusak di dalam hidup di dunia, sejak awal terciptanya dunia sampai dengan akhir dunia akan selalu ada. Sehingga jaman kaliyoga, selalu ada di setiap jaman dalam kisah hidup manusia. Jaman Kaliyoga tidak Cuma sekali saja muncul, akan tetapi berkali-kali. Tiap masa akan ada Jaman Kaliyoga.


Nuwun.........

Kota Sepanjang – Kabupaten Sidoarjo, 25 Juli 2013.