Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 31 Agustus 2014

Filsafat India oleh Radhakrisnan

Ini membahas Filsafat, bukan membahas Agama. Harap maklum.
 TERJEMAHAN FILSAFAT INDIA – Oleh RADHAKRISNAN
(Indian Philosophy)
Edit : Pujo Prayitno

DAFTAR  -  ISI

BAB .I : PENGANTAR
1.  Keadaan Alam di India
2.  Ciri-Ciri Umum dari Alam Fikiran India
3.  Beberapa dakwaan yang dituduhkan pada Filsafat India
4.  Nilai dari Studi yang ditujukan pada Filsafat  India
5.  Berbagai Periode di dalam Perkembangan Alam Fikiran India
BAB. II : PENUTUP KATA
6.  Perkembangan Filsafat
7.  Kesatuan dari Semua System
8.  Kemunduran Filsafat di Hari-hari Belakangan
9.  Keadaan Sekarang


Corak umum Filsafat India – Keadaan alam di India – Banyaknya perhatian akan hal-hal di lapangan intelektual - Kepribadian Filsafat India – Pengaruh dari Barat – Corak Kejiwaan/Kerohanian di dalam alam fikiran India – Hubungan yang erat antara filsafat dengan hidup  seseorang dan Agama – Tekanan pada subyektivitet – Dasar Psychologis dari Metaphysica – Apa yang dicapai oleh India  dalam lapangan Ilmu Pengetahuan  yang positif – Synthesis teoritis dan analysa Ilmiah – Timur Sedang merenung – Idealisme yang Monistis – Bentuk yang bermaam-macam dari Idealisme yang Monistis, yaitu Non Dualisme, Minisme murni, Monisme yang tidak murni (modified) dan Monisme yagn tidak dinyatakan (Implicit) – Tuhan yagn didasarkan atas intuisi – Darsjan – syarat-syarat yang diajukan oleh Syamkara bagi mereka yagn hendak mempelajari Filsafat – Conservatisme yang construtif di dalam alam fikiran India – Persesuaian dan kontinuitit (kelangsungan) yagn terdapat di dalam alam fikiran Inida – Meninjau dakwaan-dakwaan yang ditutudkan pada Filsafat India seperti misalnya pessimisme, dogmatisme, sikap acuh tak acuh terhadap Ethica dan corak yang tidak progresif – Bernilaianya studi yang ditujukan  pada Filsafat India – Mengapa kita mempergunakan istilah “Filsafat India” – Methode Historis – Kesulitan dalam menetapkan urut-urutan menurut waktu (Chronologi)  - Berbagai periode di dalam perkembangan Alam Fikiran India – Hal-hal yang berhubungan dengan Weda, Cerita-cerita kepahlawanan, systimatik dan scholastik – Buku-buku Sejarah Filsafat India sebagaimana ditulis oleh Pengarang-pengarang India.

1.  KEADAAN ALAM DI INDIA
Syarat pertama yang diperlukan oleh Filsafat untuk berkembang, dan diperlukan oleh kesenian serta ilmu pengetahuan untuk berbunga, adalah adanya masyarakat yang berdiri kukuh, yang dapat menjamin keamanan serta ketenangan hidup. Tidak mungkin ada kebudayaan yang beranekaragam, apabila anggota-anggota masyarakatnya masih mengembara untuk berjuang bagi hidupnya, dan mati karena kelaparan.  Dewi nasib telah menempatkan  India pada bagian permukaan bumi, di mana alam membagi-bagikan kekayaannya dengan leluasa, dan dimana segi-segi penghidupan memberikan harapan-harapan yang menyenangkan.
Untuk waktu yang lama, Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi dan membujur panja g di sebelah sana, serta lautan luas yang mendampingi pantai di sebelah sini, telah membantu India dalam menolak serangan/serbuan dari luar/ Alam yagn dermawan memberi makanan yang berlimpah-limpah, sehingga penduduknya tidak usah bekerja mati-matian, dan tidak usah berjuang untuk hidup. Tidak pernah dirasakan oleh orang India bahwa dunia itu merupakan pusat pertengkaran, dimana orang berebutan kekuasaan, kekayaan dan pengaruh. Bilama orang sudah tidak perlu memaksa sumber sumber-sumber alamnya untuk memberikan hasil yang sebesar-besarnya dan tidak perlu berusaha untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan/kekuasaan-kekuasaan di bumi ini, maka ia lalu mulai memikirkan tentagn cara hidup yang bertingkat lebih tinggi, yaitu suatu cara hidup yang lebih didasarkan atas kerohanian/kejiwaan. Barangkali juga iklim yang “Memenatkan” (enervating) itu, sedikit banyak telah ikut mendorong orang India untuk menghindari keramaian hidup, dan mencari tempat untuk beristirahat. Hutan belukar dengan lorong-lorongnya yang luas dan teduh, memberi kesempatan banyak kepada “Jiwa-Jiwa yagn salah” untuk mengembara di situ dengan hati yang tenang, untuk memimpikan hal-hal yang aneh-aneh, dan untuk menyanyikan lagu-lag yang riang gembira. Mereka yang sudah bosan akan keramaian hidup mengadakan semacam perjalanan “Jemaah Haji” (pilgrimage) ke tempat-tempat yang demikian itu, untuk memperoleh rasa tenang di dalam sanubarinya, dengan mengalihkan perhatiannya keapda menderunya  angin dan gemerciknya air yang menetes, mendengar musik-musik indah yang dinyanyikan oleh daun-daun, sehingga akhirnya dapat pulih kembali hati mereka dan segar kembali jiwa mereka. Dan tempat-tempat yang dipakai oleh pera perenung India dalam bersamadi untuk memikirkan soal-soal hidup secara “mendalam” adalah yang di dalam bahasa kami disebut “Asjrama-asjrama” dan “Teponawa-teponawa” atau tempat-tempat bertapa di dalam hutan. Yang ikut mendorong orang India untuk menyelenggarakan ara hidup yang “bertingkat lebih tinggi” itu adalah :
1.         Adanya ketentraman di dalam hidup.
2.         Adanya kekayaan akan sumber-sumber alam.
3.         Terhindarnya orang-orang India dari kegelisahan-kegelisahan batin, dan
4.         Adanya rasa acuh-tak acuh terhadap kenikmatan-kenikmatan di dalam hidup.
Hal ini menyebabkan bahwa sejak permulaan Sejarah India, di sna terdapat :
1.         Sikap jiwa yang tidak mau bertawakal.
2.         Cinta akan kebijaksanaan akal.
3.         Nafsu besar dalam mengejar cita-cita “tinggi” dari akal.
Dengan adanya bantuand ari alam, dan adanya keleluasan intelek untuk merenungkan tentag kesulitan-kesulitan yang dihadapi, orang India berhasil menghindari  keruntuhan yang menurut Plato akan menimpa mereka yang membenci akal. Katanya (Bacalah “Phaedo”) :
“Ada satu hal yagn perlu sekali mendapat perhatian, yaitu janganlah kita sampai mendatangkan kecelakaan besar dengan menjadi manusia yang membenci akal”.
Kenikmatan yang dirasakan dalam memahami sesuatu, merupakan kemurnian batin yang paling luhur yang pernah dapat dicapai oleh manusia. Dan nafsu orang India untuk memperoleh kemurnian itu, menjiwai semangat yang menyala-nyala di dalam akalnya.
Di banyak negeri-negeri lain, orang-orang gyang memikirkan tentang “Apakah hidup itu? Dan “Apakah yang dapat disebut ada/Berada”, itu tergolong oang-orang yang melakukan pekerjaan mewah. Di negeri-negeri itu, titik berat diletakkan pada perbuatan-perbuatan, sedang cita-cita filsafat hanya ditempatkan “Di antara kurung “ saja. Di India Kuno, Fiflsafat tidaklah dimaksudnkan untuk sekedar membantu sesuatu cabang ilmu pengetahuan atau pun sesuatu cabang kesenian, melainkan senantiasa mempunyai kedudukan penting sebagai “Ilmu yang berdiri sendiri”. Sebaliknya, di barat – Malahan juga ketika Filsafat Barat sedang mengalami “masa semarak” diwaktu mudanya, yaitu pda jaman Plato dan Aristoteles – orang lebih condong untuk mengatakan bahwa Filsafat adalah alat pembantu dalam mempelajari hal-hal lain, seperti halnya dalam mempelajari politik atau pun Ethica. Pada jaman abad-abad pertengahan, Filsafat itu merupakan theologi; bagi Bacon dan Newton, Filsafat adalah ilmu pengetahuan alam kodrat, sedang para ahli fikir dari abad ke-19 menganggap Filsafat sebagai Sejarah, Politik dan Sosiologi. Di India, Filsafat itu “Berdiri di atas kakinya sendiri” sedang ilmu-ilmu lainnya memandangnya sebagai sesuatu yang dapat diharapkan akan memberikan ispirasi-inspirasi (ilham-ilham) serta kekuatan kepadanya. Di sini, Filssafat merupakan ilmu pengetahuan induk yang memimpin ilmu-ilmu pengetahuan lainnya; dan tanpa Filsafat, ilmu-ilmu pengetahuan ini dengan mudah akan menjadi “kosong” dan menjadi tertawaan orang banyak. n mengenai Dewa/Tuhan yang abadi, yang menjadi dasar dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Di dalam Mundaka Upanisad dikatakan tentang : “Brahma-Widya atau ilmu pengetahuan,
Berkatalah Kautilya : “Filsafat adalah lampu yang menerangi semua Ilmu Pengetahuan saja; Filsafat adalah alat penjaga bagi segala macam kewajiban.
Oleh karena Filsafat itu adalah suatu usaha menusia untuk menelaah persoalan-persoalan mengenai alam semesta, maka sebagai usaha manusia, Filsafat itu lalu juga terpengaruh oleh faktor-faktor kebangsaan dan kebudayaan/peradaban. Masing-masing bangsa mempunyai cara berfikir dengan coraknya sendiri-sendiri. Sejak berabad-abad di dalam sejarah, melewati pasang ssurutnya nasib yang pernah dialami oleh India, dapatlah terlihat di sana adanya ciri-ciri yang sama, yaitu : “Selalu nampak gejala-gejala/peristiwa-peristiwa psycologis tertentu, yang secara turun temurun  dan waris mewaris akan tetap menjadi tanda chusus bagi  rakyat India, selama mereka ini masih dianugerahi untuk menjalani hidup yang tersendiri.”
Artinya “Hidup tersendiri” ialah bahwa mereka berkembang dengan cara yang tidak tergantung pada pengaruh dari bangsa lain. Jadi tidak usah berarti  : “Berkembang dengan cara yang tidak sama dengan bangsa lain”. Sebab, secara mutlak, “Ketidak samaan yang 100%” itu tidak ada, tidak lain karena di mana-mana saja (di bumi ini) menasia itu tetap sama, terutama kalau dilihat  segi-segi kejiwaannya. Adanya perbedaan-perbedaan kecil itu disebabkan karena bangsa yang satu dengan bangsa yang lain itu :
1.         Berbeda lam usia.
2.         Berbeda dalam sejarah, dan
3.         Berbeda di dalam watak.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang kecil ini, maka kebudayaan dunia lalu boleh dikata “bertambah kaya” dan jalan yang ditempuh dalam mengejar perkembangan-perkembangan di lapangan Filsafat itu sudah terang tidak lebih mudah daripada jalan mana saja yang memberi kemungkinan  bagi tercapainya hasil-hasil lain yang juga mempunyai arti bagi umat manusia. Sebelum kita kembali membicarakan berbagai ciri-ciri khusus dari alam fikiran India, ada baiknya kiranya untuk menyapaikan lebih dahulu kepada para pembaca, sepatah dua patah kata tentang pengaruh Barat terahdap alam fikiran India.
Berulang-ulang orang menanyakan ya atau tidaknya serta sampai berapa jauhnya alam pikiran Idnia itu mengoper ide-ide dri sumber-sumber asing, misalnya dari Yunani. Beberapa di antara pendapat-pendapat yagn diajukan oleh ahli-ahli pikir India, menyamai ajaran-ajaran dari yunani Kuno sedemikian rupa hingga siapa saja yang berkehendak mencurigai  kemurniannya sesuatu  system pikiran juga berasal dari India, mudah saja dapat menuruti kehendaknya itu. Adalah suatu usaha yagn sia-sia belaka, untuk menyelidiki apakah  ada pertalian antara ide-ide dari India dan ide-ide dari Yunani Kuno. Adanya persamaan-persamaan secara kebetulan itu, oleh mereka yang tak memihak dianggap sebagai suatu pralelisme di dalam sejarah. Mungkin ada berbagai orang yang telah mengalami hal hal yang sama; dan persamaan di dalam pengalaman ini sudah tentu dapat menimbulkan pandagan-pandangan. Pendapat-pendaat yang sama pula. Tidak ada bukti-bukti yang nyata, untuk menunjukkan adanya pengoperan-pengoperan langsung ide-ide Barat oleh orang-orang India. Uraian kami di bawah ini akan memperlihatkan bahwa alam pikiran India berupa suatu usaha akal manusia yang tidak pernah kena pengaruh dari luar. Di India persoalan-persoalan Filosofis didiskusikan tanpa ada pengaruh atau pun pertalian dengan Barat. Meskipun sekali-sekali ada “pergaulan” antara India dan Barat, namun India telah berkesempatan untuk mengembangkan cara hidupnya sendiri, Filsafatnya sendiri, dan agamanya sendiri, sesuai dengan cita-citanya sendiri. Entah manakah tempat asal yang sebenarnya dari kaun Arya (Aryans) yang datang ke semenanjung kami, tetapi yang tearng ialah bahwa mereka kemudian tidak lagi berhubungan dengan keluarga-keluarga sedarah mereka di Barat atau pun di Utara, dan bahwa mereka berkembang menurut lini-lini (garis-garis) mereka sendiri. Memang benar, bahwa India berulang-ulang diserbu oleh musuh yang masuk ke daerah kami melalui tapal batas Barat Laut; tetapi selalu Iskandar (Alexander), tidak ada di antara mereka yang telah berusaha untuk melancarkan hubungan kejiwaan antara Barat dan Timur. Hanaya sejak hari-hari belakangan ini saja (yaitu setelah erbuka pintu-pintu lautan) makin dipererat hubungan-hubungan yang akrab, yang hasil-hasilnya.akibat-akibatya dpat dikatakan sekarang, karena hasil-hasil/akibat-akibat inimasih tenagh menjadi. Maka untuk praktisnya, marilah kita sekarang memandang alam pikiran India sebagai suatu “System yang tertutup” atau suatu “pertumbuhan yangautonom”.
Catatan Penulis :
Sudah cukup kalau diperhatikan di sini, bahwa di antara aliran-aliran kefilsafaan yang terdapat di India, alairan Nyanya yang pertama nampak sesuai sekali dengan aliran partipatetis; aliran Nyaya yang kedua  (kadang-kadang disebut Waisyesika) adalah sesuai dengan kefilsafatan India; kedua aliran Mimamsa (satu di antaranyasering disebut Wedanta) sesuai dengan kefilsafatan Plato; aliran Samkhya yang pertama itu sesuai dengan aliran Italia (yaitu madzhab keagamaan dan kefilsafatan yagn didirikan oleh Pythagoras di Italia bagian Selatan), dan aliran kedua dari Patanjali nampak sesuai dengan kefilsafatan kaum Stoa. Dengan demikian maka Gautama itu dapat dikatakan sebanding dengan Aristoteles, Kanada sebanding dengan Thales, jaimini dengan Socrates, Wyasa dengan Plato, Kapila dengan Pythagoras, dan Patanjali dengan Zeno).
Banyak orang berpendapat bahwa alam pikiran Yunani telah kena pengaruh dari India,s edang sebaliknya hanya sedikit orang yang mengemukakan bahwa alam pikiran India banyak dipengaruhi oleh Yunanni.

2.         CIRI-CIRI UMUM DARI ALAM PIKIRAN INDIA
Pada hakekatnya, Filsafat India itu bersifat kejiwaan/kerohanian (spiritual). Dan yang memungkinkan India  sampai dapat bertahan terhadap serbuan-serbuan sepanjang waktu dan terhadap kejadian-kejadian di luar perhitungan  sepanjang Sejarah, adalah keteguhan jiwa/rohaninya, jadi bukanlah struktur politiknya atau pun organisasi sosialnya. Berulang-ulang di dalam sejarah, serbuan-serbuan dari luar dan percekcokan-percekcokan  di antara kami dengan kami  sendiri, hampir saja merusak kebudayaan India. Orang-orang yang datang dari baik Yunani maupun dari Scythia, orang-orang Iran dan orang-orang Mongol, Orang-orang Perancis  dan orang-orang Ingris, berganti-ganti telah berdaya-upaya untuk menindasnya, tetapi India tetap berdiri dengan tegak. Akhirnya ternyata bahwa India tidak dapat ditaklukkan, dan semangatnya yan menyala-nyala sejak dahulukala, masih tetap berkobar sampai sekarang. Sepanjang hidupnya, orang India itu selalu mengejar satu tujuan. Yaitu, mereka berjuang demi kebenaran dengan menjauhi kesesatan. Mungkin kami telah membuat kesalahan-kesalahan besar, tetapi apa yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan kecakupan yang kami iliki. Sejarah alam pikiran India menggambarkan penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh akal dengan tiada hentinya,  yaitu penyelidikan-penyelidikan yang ditujukan pada soal-soal yang tetap lama, tetapi sekaligus juga tetap baru.
Seluruh kehidupan di India dikuasai oleh cita-cita kerohanian/kejiwaan. Yang diperhatikan oleh Filsafat India adalah tempat-tempat kedamaian yang tetap bagi manusia, jadi bukannya kesepian yang “lebih sunyi dariapda di bulan”. Yang dijadikan titik permulaan dari Filsafat India adalah hidup, dan setelah melewati berbagai-bagai madzhab/aliran, maka Filsafat ini dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Buah-buah karangan yang ternama mengenai Filsafat India itu tidak ditulis dengan sikap yang angkuh, dan juga tidak memaksa secara mutlak para pembacanya untuk menurutinya. Jadi tidak seperti yan banyak di usik-usik oleh kritik-kritik dan komentar-komentar di hari-hari belakangan. Berbiara tentang “Gita” dan “Upanisad-upanisad”, tidak dapat dikatakan bahwa buah-buah karanganini adalah jauh dari kepercayaan rakyat. Tulisan-tulisan tersebut tidak saja berupa bahan literatur yang tinggi nilainya, tetapi sekaligus juga merupakan ?Kendaraan dari system-system pikiran yang besar dan hebat”. Di dalam “Purana-purana” terdapat kebenaran yang diberi bentuk Mythe dan cerita, dengan maksud supaya dengan jalan demikian kebenarannya itu dapat dipahami oleh orang-orang banyak. Di India, suatu tugas yagn sulit sekali, yaitu tugas untuk menarik perhatian khalayak ramai serta mengarahkan perhatian  itu pada metaphysica, sudah dapat terpenuhi.
Yang menjadi tujuan daripada peletak dasar-dasar Filsafat, adalah mengadakan pembaharuan-pembaharuan di lapangan sosial dan kerohanian di dalam negeri. Bilamana kebudayaan India itu disebut kebudayaan Brahmana, maka yangdimaksudkan hanyalah bahwa orak pokok dan alasan-alasan yang dijadikan alat pendorong di situ berupa hasil-hasil ciptaan dari baik hali-ahli Filsafatnya maupun dari pikiran yang religiuas, sedang pencipta-penciptanya sendiri bukan semuanya orang-orang yang menurut kelahirannya tergolong kasta Brahmana. Ide Plato bahwa para ahli filsafat harus menjadi penguasa dan pimpinan masyarakat, itu dipraktekkan di India. Di sini orang berpendapat bahwa kebenaran-kebenaran yang “terdalam” (ultimate) berupa kebenaran-kebenaran yang terletak di bidang kerohanian/kejiwaan, dan di dalam cahaya kebenaran-kebenaran kerohanian/kejiwaan ini, orang harus menuju ke kemurnian hidup yagn sesungguhnya.
Keagamaan di India itu tidak didasarkan atas dogma-dogma, melainkan atas :
Sythesis-synthesis akal, di mana terus menerus dikumpulkan konsep-konsep   baru, sesuai dengan kemajuan-kemajuan di lapangan Filsafat. Keagamaan India banyak didasarkan atas experimnet-experiment, sedang sifatnya hanyalah sementara saja; tidak lain karena di situ diusahakan supaya jalannya dapat sejajar dengan kemajuan-kemajuan pikiran manusia.
Banyak dilancarkan kritik-kritik yang isinya begini :
“Karena lama pikiran India menitik-beratkan pada intelek, maka Filsafar lalu menduduki tempat Agama.”
Kritik-kritik ini menggambarkan coraka rationil yang terdapat di dalam keagamaan di India. Di India belum pernah kami menjumpai gerakan keagamaan yagn tidak mengandung isi kefilsafatan; dan isi kefilsafatan ini selalu dipelihara baik-baik dan diperkembangkan sebagai alat penguatnya. Berkatalah Havell (Di dalam bukunya yang berjudul : “Aryan Rule in India”) :
“DI India, Agama itu sukar dapat disebut dogma, melainkan berupa Hypothesis kerja dari tingkah laku manusia, yang di sesuaikan dengan berbagai fase/tingka perkembangan jiwa dan dengan berbagai syarat-syarat hidup.”
Setiap usaha untuk mengkristalisasikan Agama menjadi sesuatu kepercayaan  tertentu, pasti disusul usaha-usaha menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan lama yang bersifat kerokhanian.kejiwaan, dan juga disusul dengan reaksi-reaksi filosofis yang melancarkan perang kritik untuk membela apa yang benar dan menghantam apa yang salah. Sudah berulang-ulang dan juga untuk seterusnya, kai telah dan akan menyaksikan, bahwa stiap kali apabila kepercayaan-kepercayaan yang tradisional itu pada sesuatu saat sudak sesuai lagi, atau pun tidak lagi benar karena jamannya sudah berubah, maka lalu datanglah bimbingan di dalam bentuk suatu pandangan dari seorang guru baru, entah Buddha, entah Mahawira, Entah Wiyasa, entah Syamkara, yang kembali mengeduk bagian terdalam dari hidup kejiwaan/kerohanian. Sudah terang ini merupakan  saat-saat penting  di dalam sejarah alam pikiran India, yaitu saat-saat dimana dilakukan testing/ujian terhadap bagian terdalam dari diri manusia, saat-saat di mana orang membalik matanya untuk memandang dirinya sendiri secara mendalam. Saat-saat di mana jiwa manusia memulai pengembaraan-pengembaraan baru, atas desakan dari semangat yang menyemburkan jalannya ke sisi yang larut, dan yang tidak diketahui darimana datngnya. Yang menyebabkan ke-Agamaan di India dapat tetap “hidup dan nyata” Adalah : “Adanya hubungan yang erat antara kebenaran-kebenaran yang diakui dalam dalam Filsafat dan kehidupan sehari-hari dari rakyat India.
Soal-soal keagamaan yang mengobarkan semangat di lapangan Filsafat. Secara tuun-temurun pikiran orang India telah di arahkan pada soal soal mengenai :
1.         Sifat-sifat Ketuhanan.
2.         Akhir dari hidup.
3.         Hubungan antara Jiwa/roh individual (perseorangan) dan jiwa universal.
 Walau pun pada umumnya Filsafat India itu tidak terlepas 100% dari pertimbangan-pertimbanganpara pemuda keagamaan, namun diskusi-diskusi kefilsafatan selalu diselenggrakan tanpa gangguan-gangguan dari formalitet-formalitet keagamaan. Orang tidak pernah mencampur-adukan Agama dengan Fisafat. Dan karena ada hubungan yang erat antara teori dan praktek, antara ajaran dan praktek hidup, maka : “Bagi kefilsafatan yang tidak tahan terhadap ujian-ujian di dalam praktek-hidup sehari-hari (tidak di dalam arti yang pragmatis, melainkan di dalam arti yang lebih luas), tidak ada kemungkinan untuk tetap berpengaruh”.
Bagi mereka yang menyadari “pertalian darah yang sebenarnya” antara praktek hidup dan teori, maka filsafat dijadikan pegangan hidup dan dipraktekkan dengan suatu cara hidup yang ditujukan untuk melaksanakan keinginan-keinginan  di dalam lapangan kejiwaan/kerohanian. Tidak pernah ada sesuatu ajaran (ajaran-ajaran di dalam Samkhya-pun tidak) yang hanya tetap berupa “kta-kata indah” atau pun “dogma sesuatu madzhab” saja. Setiap ajaran telah meresp sebagai keyakinan di dalam jiwa, menggerakan hati manusia dan memperepat berdebar-debarnya jantung.
Tidaklah benar, kalau orang mengatakan bahwa Filsafat di India tidak pernah menyadari dirinya, atau pun tidak pernah menapai tingkat yang kritis, pun pada fase-fase permulaan, renungan-renungan akal sudah ditujukan untuk mengoreksi keperayaan yagn dicapai dengan jalan keagamaan. Ikutilah kemajuan-kemajuan Agma sebagaimana dapat disaksikan di dalam proses perkembangan dari nyanyian-nyanyian pujaan Weda sampai lahirnya Upanisad-upanisad. Kemudian seaktu kami menginjak jaman Bduddhisme, semangat yang menyala-nyala di dalam lapangan Filsafat itu sudah mempunyai  bentuk tertentu, yaitu sudah menjadi suatu sikap akal (attitude of mind) yang dalam menghadapi hal-hal yang bercorak intelektual tidak mau mendengarkan perimbangan-pertimbangan pihak luar (bagaimana pun besarnya juga kewibaan dari pihak luar itu), dan yang tidak mau mengakui adanya batasan-batasan di dalam lapangan kerjanya; kecuali apabila batasan-batasan itu merupakan hasil-hasil penyelidikan logika yang dilakukan secara mendalam, yang menguji segala sesuatu, dan yang mengikuti jalan pikiran ke manapun juga tanpa takut-takut. Setelah India memperoleh beragai “darsjana” atau “system-system pikiran” orang dapat menarik konklusi adanya usaha yang keras dan terus-menerus , untuk berpikir secara systimatis.
System-system tersebut sama sekali lepas dari faktor-faktor keagamaan yang tradisional, dan juga terlepas dari purbasangka-purbasangka.
Buktinya : “Di dalam Samkhya, tidak disebut-sebut tentang adanya Tuhan, dan juga diyakini bahwa hal itu tidak dapat dibuktikan seara teoritis.”
Di dalam Wisjesika dan Yoga diterima danya makhluk yang tertinggi, tetapi makhluk ini tidak dianggap sebagai pencipta dari alam semesta. Dan bilamana Jaimini menunjuk pada Tuhan, maka itu hanya dimaksudkan untuk menyangkal adanya pimpinan dari Tuhan, dan untuk menyangkal bahwa Tuhan menguasai dan menetapkan tata susila di dunia ini. Sudah terkenal bahwa system-system Buddhisme yang dulu-duu, sama sekali acuh tak acuh terhadap Tuhan. Ada orang-orang yang materialistis, yaitu kaum Carwaka, yang menyangkal adanya Tuhan, menertawakan para pendeta, mencemooh Weda-Weda dan mencari kebahagiaan di dalam kesenangan-kesenenangan.
Meskipun agama dan tradisi-tradisi sosial memegang peranan utama di dalam hidup, namun itu tidak mengganggu penyelidikan-penyelidikan Filsafat, yang dilakukan dengan bebas. Ada suatu hal yang berupa paradox yagn aneh, tetapi namun demikian toh jelas-jelas meruakan suatu kebenaran, yaitu : “Walau pun hidup sosail dari seorang individu itu masih terikat pada pembedaan-pemebedaan yang diadakan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain, namun orangnya sendiri masih bebas untuk mengikuti pendapatnya pribadi.
Seara bebas dan leluasa, akal orang India dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mengkritik kepercayaan-kepercayaan yang mengurung manusia sejak ia dilahirkan. Inilah sebabnya mengapa di India pikiran-pikiran yang menyimpang dari keagamaan yang berpengaruh, pikiran-pikiran yang sceptis, pikiran-pikiran yang menentang keagaam, pikiran-pikiran yang rasionalistis, pikiran-pikiran yang menetang kepercayaan-keprcayaan yang dogamtis, itu semuanya dapat tumbuh dengan suburnya. Menurut Mahabharata : “Masing-masing MUNI pasti mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.”
Semuanya ini menunjukkan bahwa akal orang India mempunyai corak intelektual yang kuat, yaitu sejenis akal yang berusaha mengetahui kebenaran yang sedalam-dalamnya serta semua segi kegiatan-kegiatan manusia. Dorongan yang intelektuil ini tidak hanya berbatas pada Filsafat dan Theologi saja, teteapi juga melebar sampai di lapangan-lapangan Logica an Gramatica, rhetorica 9ilmu pidato) dan bahasa kedokteran dan astronimo; pada kenyataannya malahan sampai di semua lapangan kesenian dan ilmiah, dari ilmu bangun-bangunan (architecture) sampai ilmu hewan. Segala apa saja yagn bermanfaat bagi hdiup atau menarik bagi akal, dijakdikan obyek dari penyeledikian dan kritik. Anda akan memmpunyai sekedar bayangan betapa luasnya hidup  keintelektualan di India itu, bila mana anda mempunyai gambaran bahwa pun untuk hal-hal yang keil-kecil seperti misalnya hal memelihara kuda dan melatih gajah, itu ada SASTRA-SASTRANYA dan literaturnya sendiri.
Usaha Filsafat untuk menetapkan sifat-sifat dari apa yan dinamakan Kenyataan itu ada yang dimulai dengan berpokok pangkal pada “DIRI YANG BERFIKIR” dan ada pula yang dimuali dengan berpokok pangkal pada “OBYEK_OBYEK PIKIRAN”.” Kalai tindajauannya sedang diarahkan kelaur (artinya di luar diri manusia), maka yang dijadikan obyek pikiran adalah kejadian-kejadian yang “datang dan lalu” di dalam waktu yang singkat  dan di dalam jumlah yang banyak”. Di dalam “Atmanam Widdhi” atau “Kenalilah diri kita” Disebutkan dengan singkat :
“Apa yang merupakan hukum, dan juga disebut Nanam-nama para Nabi. Di dalam diri manusia terdapat jiwa yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Psykchologi an Ethica meerupakan ilmu-ilmu pengetahuan yang pokok. Digambarkan bermacam-macam bentuk dari cara hidup yang berdasarkan akal, dengan varietet-varietetnya yang serba  dynamis, dan dengan sisi-sisinya yang terang serta sisi-sisinya yang gelap.”
Psychologi India menyadari : “Bernilainya pemusatan pikiran (concentration), dan ini dianggap merupakan alat untuk menangkap kebenaran. Ada kepercayaan bahwa segala macam tingkat hidup atau pun tingkat pikiran itu dapat diapai dengan jalan melatih secara methodis kehendak serta pengtehauan manusia.”
Psychologi tersebut mengakui adanya hubungan yan erat antara rohani dan jasmani. Pengalaman-penagalaman psychis seperti di dalam telepathi dan di dalam “memperoleh penglihatan tanpa mempergunakan pancaindra” (Clairvoyance; Halderziendhied), tidak dianggap sebagai hal-hal yang abnormal atau pun hal-hal yang ajaib. Itu bukan akibat sakitnya akal dan juga bukan ilham yang diberikan oleh Tuhan, melainkan itu merupakan kekuatan-kekuatan yang dapat dimiliki oleh akal manusia setelah memenuhi syarat-syarat tertentu; dan syarat-syarat ini telah ditetapkan dengan seksama.
Akal manusia itu mempunyai tiga aspek, dan sesuatu pengetahuan itu dapat :
1.         Menyelam di bawah kesadaran.
2.         Di sadari (Consciousness), atau
3.         Dapat berlomba di atas kesadara (superconsciousness).
Peristiwa-peristiwa psychis yang dikatakan abnormal, yaitu yang disebut dengan istilah-istilah “keadaan bahagia dan terharu yang berlebih-lebihan” (ecstasy), “Kepandaian yang luas biasa” (Genius), “Inspirasi” “keadaan gila”, itu semuanya adalah hasil/akibat dari bekerjanya akal di dalam wilayah yang berada di atas kesadaran. System kefilsafatan Yoga terutama memperhatikan pengelaman-pengalaman seperti ini, sedang system-system lainnya sering menunjukkan pada pengalaman-pengalaman itu untuk dipergunakan bagi kepentingannya sendiri.
Bagian-bagian (sschema-schema) di dalam Metaphysica, itu didasarkan atas materi (bahan) yang diberikan oleh ilmu psychologi. Kritik-kritik yang dilemparkan pada Metaphysica Barat, bahwa Metaphysica Barat ini sifatnya berat sebelah karena hanya memperhatikan “Keadaan bangun” saja, memang ada dasar-dasarnya pula ( yang bukan keadaan bangun), dan yang sama-sama berhak untuk dijadikan bahan pertimbangan. Alam pikiran India memperhitungkan :
1.         Bentuk-bentuk terjaga/bangun.
2.         Keadaan bermimpi, dan
3.         Keadaan tidur tanpa bermimpi.
Bilamana kira meninjau kesadaran di dalam keadaan bangun sebagai keseluruhan, maka kita lalu memperoleh konsep-konsep yang realistis, dualistis dan pluralistis mengenai retaphysica. Bilamana kita mempelajari kesadaran di dalam keadaan bermimpi, maka hal itu akan membawa kita pada ajaran-ajaran  yang subyectivistis. Dan studi akan keadaan tidur tanpa bermmpi membawa kita pada teori-teori yang abstrak dan mystis. Untuk memperoleh kebenaran, kita harus mempertimbang-timbangkan dan memperhitungkan segala macam bentuk-bentuk kesadaran.
Adanya perhatian yang meluap-luap akan subyektivisme ini belum berarti bahwa di lapangan ilmu-ilmu pengetahuan yag obyektif, India lalu tidak berhak untuk ikut bersuara. Sebab apabila kita melihat hasil-hasil yagn telah dicapai oleh India di dalam lapangan  ilmu pengetahuan yang positif, kita malahan akan menyaksikan hal yang sebaliknya. Orang-orang India pada jaman dulu-dulu, telah melatakkan dasar-dasar dari pengetahuan mathematica dan mechanica. Mereka berhasil untuk mengukur kekuatan cahaya lampu, membagi-bagi tahun, membagi-bagi ruang angkasa, menyelidiki jalannya matahari dan planet-planet melewati ruang mintaku al buruj (zodiacal), menganalisa susunan dari apa yang disebut “kebendaan” dan mempelajari sifat-sifat burung dan binatang-binatang lain, tanam-tanaman dan bibit. Kami kutip di sini sebagaian dari apa yagn dimuat di dalam “Aitareya Brahmana”, yaitu yang telah diutlis sedikit-dikitnya 2.000 tahun sebelum Copernicus dilahirkan. “Matahari tidak pernah terbenam atau pun terbit. Bilamana orang berkata kepada dirinya bahwa matahari akan terbenam, maka sebentar lagi matahari akan mengubah siang yang ada di bawahnya, menjadi malam; dan mendatangkan siang pada bagian lain. Sedangkan kalau orang berkata bahwa matahari terbit pada pagi hari, maka itu berarti bahwa matahari hanya sekedar menggese tempatnya pada berakhirnya malam, dengan mendatangkan siang di bawahnya, dan mendatangkan malam pada bagian lainnya. Pada kenyataannya, matahari itu tidak pernah terbenam.
Walau pun ini hanya idceritakan sebagai hikayat (folklore) saja, toh itu menarik perhatian kita.
Di dalam “Indian Wisdom” buah arangan Monier Williams, tertulis : “Bagaimana pun juga konklusi kita, dalam kita menyelidiki sumber manakah yang pada aslinya telah memberikan ide-ide pertama di dalam lapangan astronomi yang sekarang sudah tersebar di seluruh dunia, namun selalu da kemungkinan bahwa pendapatan aljabr di lapangan astronomi dan geometri itu adalah berkat jasa-jasa orang-orang Hindu ini, orang-orang Arab menerima tidak saja konsep-konsep pertama mengenai analysa yang berdasarkan Al Jabar, tetapi juga simbol-simbol angka yagn tidak ternilai harganya itu, serta cara-cara menulis angka-angka desimal (angka di belakang koma sebagai tanda persepuluhan) yang sekarang dipergunakan di mana-mana di Eropa, dan juga memberi jasa-jasa pada kemajuan ilmu hitung.
Colebrooke yang meneterjemahkan buku karangan Bhaskara mengenai Aljabar, mengemukakan : “Jalannya bulan dan matahari telah diikuti dengan seksama oleh orang-orang Hindu, dan hasil-hasil yang mereka  capai asalah sedemikian baiknya hingga teori mereka mengenai beredarnya bulan itu lebih tepat daripada yang pernah diajukan ole orang-orang Yunani. Mereka membagi-bagi Eclipcita (yaitu lingkungan besar yang menurut pandangan mata adalah jaan yang dilalui oleh Matahari tiap-tiap tahunnya, red) di dalam 17 dan 28 bagian. Ini merupakan suatu pembagian yang aaagaknya didasarkan atas pendapatan mereka sendiri, sedang inspirasinya telah mereka peroleh sewaktu mereka mempelajari “Periode Bulan” (Moon’s periode) yang mereka nyatakan dengan jumlah “hari”. Mereka terutama cakap sekali dalam menggambarkan jalannya planet yagn sinarnya paling terang kalau dibandingkan dengan planet-planet pening lainnya (yaitu Yupiter, red) dan mereka menemukan “Periode Yupiter” yang dihubungkan dengan periode matahari dan periode bulan, dan yang dimasukkan ke dalam penanggalan mereka, yaitu suatu penanggalan yang didasarkan atas cyclus yagn terdiri atas 60 bulan, dan yang sudah lazim dipakai di kalangan orang-orang Kadec (Chaldeans).
Di dalam “Sanskrit Literature” buah karangan Max Muller tertulis : “Sekarang oran sudah bersepakat bahwa orang-orang Hindu pada jaman dahulu sudah menguasi dan mengembangkan dua macam ilmu pengetahuan, yaitu Logica dan Gramatika.”
Wilson mengemukakan (Lihatlah “Works”) : Di dalam ilmu kedokteran, seperti juga di dalam Astonomi dan Metaphysica, orang-orang Hindu pernah mengalami jaman yang dapat menandingi hasil-hasil yang dicapai oleh bangsa-bangsa yang paling maju di dunia ini. Di dalam hal obat-obatan dan ilmu bedah mereka memperoleh kecakapan yang tidak kalah dengan siapa saja yang hasil-hasil penyelidikannya pernah didokumentasikan (dan dapat dilaksanakan) sewaktu dunia belum diperkenalkan dengan ilmu anatomi oleh penyelidik-penyelidik dari jaman modern.”
Memang benar bahwa kami tidak pernah memperoleh pendapatan-pendapatan yang berupa alat-alat mechanis besar. Ini tidak lain disebabkan karena kami sudah dianugerahi oleh Alam dengan saluran-saluran air yagn besar-besar, dan dengan persediaan makanan yang banyak. Ada juga baiknya untuk mengingat bahwa bagaimanapun juga, pendapatan-pendapatan mechanis itu termasuk abad ke-16 dan abad-abad kemudian sewaktu India kehilangan kemerdekaannya, sehingga kami lalu hidup di dalam wilayah “orang lain”. Pada saat India kehilangan kemerdekaannya, dan kemudian bertingkah dengan bangsa-bangsa lain, India boleh dikatakan kena tulah, sehingga “berubah menjadi batu”. Sampai dengan waktu itu, India dapat memelihara kecakapannya di dalam lapangan kesenian, pekerjaan tangan dan industri, dan sudah barang tentu juga di dalam lapangan Mathematica, Astronomi, ilmu kimia, obat-obatan, ilmu bedah dan juga di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan Physis sebagaimana sudah dipraktekkan pada jaman kuno. Orang India mengetahui bagaimana caranya memahat batu, membuat lukisan-lukisan, menggilapkan emas, dan menenun bahan-bahan pakaian yang indah. India telah mengembangkan segala macam kesenian (baik yang “Halus” mau pun yang dikerjakan dengan mesin) yagn dibutuhkan oleh setiap mesyarakat yang beradab. Kapal-kapal India mengarungi Saumudra besar, dan kekayaannya melimpah-limpah sampai mengalir ke Judea (Negeri bangsa Yahudi), Mesir dan Roma, Konsep-konsepnya mengenai manusia dan masyarakat, tata-susila dan Agama, benar-benar menarik perhatian (untuk waktu itu). Tidak ada dasarnya untuk mengatakan bahwa rakyat India berlomba-lomba di dalam pusisi dan mytologi, atau pun untuk mengatakan bahwa mereka membenci ilmu pengetahuan serta Filsafat, sekali pun benar juga kalau orang mengatakan bahwa mereka lebih bermaksudd mencari kesatuan di dalam segala sesuatu, daripada menonjol-nonjolkan perbedaan-perbedaannya.
 Kalau pembaca mengijinkan, ssaya akan membeda-bedakan antara :
Akal yang speculatif (yang murni teoritis), dan
Akal yang bersifat /bercorak ilmiah.
Akal yagn speculatif atau murni teoritis itu lebih bersifat syntheteis, sedang akal ilmiah itu lebih bersifat Analystis. Akal yagn speculatif lebih cenderung untuk menciptakan kefilsfatan-kefilsafatan cosmis (cosmos = Dunia) yang dengan pandangan yang luas dapat memberi keterangan tentang asal usul dari segala sesuatu saja, keteranagan-keterangan mengenai sejarah (Yang dimulai sejak sekian abad yag lalu), dan juga mengenai leburnya serta mundurnya dunia kita ini.
Sebaliknya, akal ilmiah itu mempunyai kecondongan untuk merenungkan secara mendalam tentang hal-hal yang chusus serta keistimewaan-keistimewaan dari dunia ini, sehingga mengabaikan arti “kesatuan” dan “Keseluruhan”. Alam pikiran India berusaha untuk : Meninjau segala sesuatu saja dengan pandangan yang luas dan yang tidak terikat pada perseorangan (Impersonal).
Dengan demikian maka ada bahan untuk mengkritik bahwa alam Pikiran India lebih bersifat idialistis dan teoritis, kaerna menciptakan khayalan-khayalan di dalam dunia impian, dan membuat penganut-penganutnya menjadi dicap sebagai “orang-orang asing” di dunia ini. Sebaliknya, alam pikiran Barat itu lebih bersifat khusus, lebih terikat pada perseorangan dan lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan umum (pragmatistic).
Akal yang bercorak ilmiah menggantungkan diri pada pancaindra, sedang akan yang speculatif berpegang pada “perasaan jiwa” Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa yang menyebabkan orang India (yang tanpa gangguan dari dunia luar mendpat keanugerahan untuk sesuka hati menikmati hal-hal yang indah di dalam dunia ini, dan juga untuk melahirkan kekayaan jiwanya di dalam bentuk nyanyian dan dongengan, musik dana tari-tarian, rite-rite dan Keagamaan), meleburkan dirinya ke alam renungan-renungan, adalah keadaan alam sekitarnya. Berulang-ulang orang mengejek dengan kata-kata : “Awas! Timur Sedang merenung!”, dan ini memang mengandung kebenaran.
Karena adanya pandangan yang systhematis, Filsafat India lalu meliputi berbagai ilmu pengetahuan yang di dalam jaman moderen ini menjadi di-differensiasi-kan (diperinci). Selama kira-kira seratus tahun yagn akhir-akhir, berbagai cabang pengetahuan yag mula-mula termasuk Filsafat, antara lain Ekonomi, Politik, Tata Susila, Psychologi, Pendidikan, itu telah melepaskan diri satu persatu. Pada jaman Plato, yang termasuk Filsafat itu adalah semua imu pengetahuan saja, yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia dan yang menjadi pusat perhatian dari renungan-renungan menusia. Demikian juga naskah-naskah India yang kuno-kuno menggambarkan suasana kefilsafatan didalam arti yang seluas itu. Pada hari-hari kemudian, Filsafat Barat itu menjadi synonim (sama) dengan Metaphysica, yang terdiri atas diskusi-diskusi yang “Gelap dan dalam” (Abstruse) mengenai pengetahuan, mengenai sifat ada / ke-beradaan dan mengenai nilai. Maka terdengarlah keluh kesah bahwa Metaphysica itu sifatnya menjadi 100% teoritis, karena dipisahkan dari aspek-aspek yang praktis dan juga dari persangkaan-persangkaan (imagination) yang biasa dilakukan oleh manusia.
Setelah kita mengetahui bahwa pikiran orang India di titik-beratkan pada soal subjectivitet, yang berjalan bersama dengan suatu kecenderungan untuk mencapai pandangan yagn synthetis, maka tidaklah sukar untuk sampai pada kesimpulan bahwa di dalam keadaan yang demikian :
Idealisme yang Monistis-lah yang dianggap merupakan sumber kebenaran dari segala sesuatu yang kita hadapi.
Catatan Redaksi :
Monisme (monos = tunggal) alah filsafat yang mendasarkan segala-galanya pada Satu Azas semata-mata. Lawan : Dualisme dan Pluralisme.
Seluruh pertumbuhan pikiran yang berhubungan dengan Weda di dasarkan atas itu. Dan Idelisme yang Ministis ini menjadi dasar dari Agama Buddha dan Agama Brahma. Idelisme yang Monistis merupakan Kebenaran yang Tertinggi yang diwahyukan kepada India. Malahan juga system-system yang menamakan dirinya “Dualistis” dan “Pluralistis” itu agaknya sudah kemasukan corak Ministis yagn kuat. (Dualisme adalah Filsafat yang mengajarkan bahwa kenyataan itu berdasarkan dua azas. Hakekat yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Dan Pluralisme mendasarkan kenyataan itu pada pelbagai azas/hakekat yang masing-masing tidak berhubungan satu dengan lainnya, Red.).  Bilamana kita dapat mengabstraksikan pendapat-pendapat yang saling berbeda, dan menemukan corak umum yang terdapat pada alam fikiran India, maka kita akan mengatakan bahwa : Filsafat India mempunyai kecenderungan untuk menafsirkan hidup dan alam kodrat itu sesuai dengan pandangan Idealisme yang Ministis. Tetapi kecenderungannya ini adalah sedemikian plastisnya, sedemikian hidupnya dan sedemikian banyak macamnya, hingga mempunyai bentuk yag rupa-rupa dan terlahirkan di dalam bermacam ragam ajaran-ajaran yang dapat saling bermusuhan.
Marilah kita meninjau dengan singkat bentuk-bentuk pokok dari Idealisme yang Monistis sebagaimana terdapat di India, tanpa memperhatikan detil-detil dari perkembangannya, ata pun penilaian-penilaian yang diberikan di dalam bentuk kritik. Dengan jalan demikian kita akan dapat mengenal corak dan fungsi Filsafat menurut pandangan orang India. Untuk maksud ini, kita menggolong-golongkan Idelisme yang Monistis itu ke dalam empat type, yaitu :
1.         Non Dualisme atau Adwaitisme.
2.         Monisme yang murni.
3.         Monisme yang dimodifikasi-kan (yang diberi bentuk lain; jadi sudah tidak murni lagi), dan
4.         Monisme yang implicit (artinya tidak dinyatakan, tetapi sudah terkandung secara diam-diam, Rd).
Penyelidikan-penyelidikan filsafat dilakukan atas dasar fakta-fakta yagn telah dialami. Dibutuhkan jalan fikiran yang logis untuk menentukan apakah fakta-fakta yang nampak pada seseorang itu dapat diterima oleh semua orang saja, ataukah hanya bersifat subyectif. Orang baru mau menerima kebenaran sesuatu teori, bilama teori ini dapat memberi keterangan yang memuaskan tentang fakta/fakta-fakta yang bersangkutan. Sudah saya kemukakan bahwa fakta-fakta yang berupa fikiran atau kesadaran manusia itu telah dipelajari oleh ahli-ahli fikir India dengan perhatian dan kecermatan yagn tidak kurang daripada yang dicurahkan oleh tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari jaman moderen pada studi mengenai fakta-fakta di dunia luar (artinya di luar diri manusia). Konklusi-konklusi kefilsafatan yagn disampaikan oleh Monisme yang Adwaitis di dasarkan atas : “Bahan-bahan yang diperoleh dengan jalan pengawasan-pengawasan dalam lapangan psycologi.
Kegiatan-kegiatan manusia itu dapat berlangsung di dalam :
1.         Keadaan terjaga/bangun (state of waking).
2.         Keadaan bermimpi (state of dreaming), atau.
3.         Keadaan tidur tanpa mimpi (state of dreamless sleep).
Di dalam keadaan bermimpi, kita berhadapan dengan sebuah dunia yang benar-benar konkrit. Tetapi dunia ini tidak kita sebut nyata, oleh karena di dalam keadaan bangun kita berkesimpulan bahwa dunia impian itu tidak sesuai dengan dunia yang kita hadapi di dalam keadaan bangun. Tetapi bagaimana pun juga, kalau ditinjau dari keadaan bermimpi (jadi suatu tinjauan yang sifatnya relatif), maka dunia impian pun adalah nyata. Dan kalau kita berpendapat bahwa keadaan bermimpi itu kurang nyata daripada keadaan bangun, maka yang menjadi dasar dari pendapat itu bukanlah pengetahuan kita akan tetapi yang merupakan kebenaran yang sesungguhnya, melainkan kalau kita berpendapat lain, ini akan bertentangan dengan norma-norma yagn sudah diakui di dalam “hidup dengan keadaan bangun” (Waking life).
Tetapi sebaliknya, kenyataan yang diakui di dalam keadaan bangun pun adalah suatu hal yang relatif. Sebab kenyataan itu tidak terus menerus ada, dan hanya bertalian dengan keadaan bangun saja. Segera setelah kita mulai bermimpi atau pun tidur, kenyataan yang demikian itu menjadi lenyap. Hubungan antara kesadaran bangun dan dunia yang dihadapi olehnya ialah : “Serupa dengan hubungan antara kesadaran bermimpi dan dunia impian.
Jadi kedua-duanya tidak dapat disebut “nyata secara mutlak”. Berkatalah Syamkara : “Dunia impian itu sehari harinya menghilang/menyelam (untuk sementara) ke sesuatu tempat di bawah kesadaran kita, sedang dunia pancaindra itu menghilang/menjelma di dalam keadaan-keadaan yang khusus/khas.”
Di dalam keadaan tidur tanpa mimpi berhentilah kesadaran yang kita alami secara empiris (yang kita alami berkali-kali dengan panca indra. Red). Beberapa ahli fikir India berpendapat bahwa di dalam keadaan tersebut kita mempunyai : “Kesadaran yang tidak berobyek.”
Bagaimanapun juga, teranglah sudah bahwa di dalam keadaan tidur tempat mimpi kita tidak dapat mengatakan bahwa kesadaran kita menjadi “Tidak ada”, sebab pendapat atau hypothesis yagn demikian adalah bertenetangan dengan apa yang nanti kita ingat setelah kita bangun kembali dengan segar bugar. Kita sudah dengans endirinya mengakui bahwa  “diri” kita terus-menerus tetap ada, meskipun pada saat-saat itu (yaitu dalam keadaan tidur tanpa mimpi) tidak da hal-hal yang kita alami. Pada saat-saat itu tidak terasa adanya obyek, dan obyeknya memang tidak ada selama kita tidur dengan nyenyak. Diri murni kita agaknya tidak terganggu oleh timbul dan lenyapnya ide-ide macam apa saja, yang (timbul dan lenyap itu) disertai dengan perasaan-perasaan tertentu.
“Diri manusia tidak berbeda pada saat yang satu dan saat yang lain, dan juga tidak berubah-ubah seperti hal-hal/barang-barang yang mengelilingi nya. Hal-hal/barang-barang inilah yang berubah ubah dan berbeda-beda pada saat yang satu dan saat yang lain” (Bhamati).
Jadi, diri yang tetap sama dan satu di tengah-tengah segala macam perubahan-perubahan itu mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan perubahan-perubahan tersebut. Yang berubah-ubah adalah keadaanya, sedang Dirinya adalah tetap sama.
“Dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, sepanjang cyclus waktu, yang entah panjang entah pendek, baik pada masa lampau maupun pada masa depan, hanya kesadaran yang menerangi dirinya sendiri inilah yang tidak pernah terbit atau pun terbenam” (Pancadasji).
Di sini dirasakan adanya suatu “kenyataan yang tak bersyarat” yaitu bahwa waktu dan ruang bersama-sama dengan obyek-obyeknya pada sesuatu saat akan lenyap. Tatapi diri kita menjadi penonton tetap dari seluruh drama dari ide ide yang bertalian dengan suasana hati/perasaan-perasaan pada waktu bangun, pada waktu bermimpi dan pada waktu tidur. Kita meyakini bahwa pada kita ada sesuatu yang melebihi/mengatasi rasa senang dan sedih, melebihi/mengatasi kebajikan dan kejahatan, baik dan buruk, yaitu ada diri yang : “Tidak pernah mati, tidak pernah dilahirkan. Karena tidak dilahirkan, kekal dan abadi, maka yang sudah ada  sejak sedia kala ini tidak akan ikut rusak dengan hancurnya jasmani. Bilamana si pembunuh mengira bahwa ia dapat membunuh, atau pun yang di bunuh mengira bahwa ia dibunuh, maka kedua-duanya tidak mengetahui apakah kebenaran itu. Sebab diri (the self)  itu tidak membunuh dan juga tidak dibunuh” (Katha Up.).
Diri yag tetap sama itu didampingi oleh obyek-obyek yang menurut pengalaman-pengalaman kita, adalah berbeda-beda. Diri tersebut sifatnya adalah permanen dan terus menerus sama, sedang obyek-obyeknya bersifat tidak permanen dan selalu berubah-ubah. Diri ini sifatnya adalah : Absolut ( Mutlak), dan tidak tergantung pada obyek-obyek, sedang obyek-obyek ini berubah-ubah menurut suasana yang meliputi hati manusia. (Moods).
Lalu bagaimanakah keterangannya mengenai keadaan di dudnia ini? Di dalam dunia, perubahan-perubahan yang kita alami itu terikat pada : 1. Ruang, 2. Waktu, dan 3. Musabab (Sebab).
Berbeda dengan Diri yang satu, yang universal, yang tetap sama itu, di dalam dunia terdapat banyak sekali pribadi-pribadi/hal-hal khusus (particulars) yang sifat-sifatnya saling bertentangan. Tentang hal-hal yang khusus ini kita hanya dapat berkata bahwa itu “Bukan Diri”, melainkan obyek-obyek dari sesuatu subyek. Sifatnya tidaklah nyata, di dalam keadaan yang bagaimana pun juga. Katagori-katagori pokok di dalam dunia pengalaman, yaitu waktu ruang dan musabab, sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self contradictory). Sebab waktu, ruang dan musabab adalah istilah-istilah relatif yang masing-masing tergantung pada bahan-bahan atas mana pengertian-pengertian itu tersusun. Waktu, ruang dan musabab itu pada kenyataannya tidak sungguh-sungguh ada. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa waktu, ruang dan musabab itu sama sekali tidak ada.
Dunia mengelilingi kita. Kita bekerja di dunia, dan kita menjelajahinya. Tetapi kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui mengapa dunia ini ada. Kenyataan inilah, yaitu : “Kenyataan bahwa orang tidak dapat menerangkan mengapa dunia ini ada, adalah yang dimaksud dengan istilah “MAYA”.
Kalau kita bertanya apakah hubungannya antara “DIRI” yang mutlak dan perubahan-perubahan yang Empiris, dan bertanya mengapa dapat terjadi dan baaimana terjadinya, sampai ada dua macam hal itu, maka kita sebetulnya sebelum apa-apa sudah menerima bahwa segala sesuatu itu mempunyai “mengapa”-nya dan “bagaimana”-nya. Dan kalau orang mengatakan (sekedar sebagai jawaban atas pertanyaan pertanyaan di atas itu) bahwa yang  KEKAL dan ABADI menjadi fana, atau pun bahwa yang kekal dan abadi itu melahirkan diri-Nya di dalam bentuk kefanaan, maka pembelaan semacam itu adalah omong kosong belaka. Yang fana dan terbatas tidak dapat merupakan suatu perwujudan dari yang Kekal dan TAK TERBATAS. Andaikan yang abadi itu melahirkan diri-NYA din dalam bentuk “kefanaan”, maka pada saat itu terjadi, hilangnya sifat keabadian-Nya, sehingga menjadi fana pula. Dan kalau orang mengatakan bahwa yang MUTLAK “turun derajatnya” atau “mundur” sampai menjadi empiris (artinya sampai dapat dialami dengan pancaindra, Red), maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa yang Mutlak itu tidak sungguh-sungguh mutlak. Tidak mungkina ada kemunduran yang menimpa sesuatu yang Sempurna, dan tidak mungkin ada kegelapan yang berlindung di dalam kecemerlangan-Nya yang sempurna. Kita tidak mau mengakui bahwa yagn Sempurna sedang berubah, dan menjadi fana karena perubahan itu. Sebab “perubahan” itu mengandung arti “berkehendak” atau pun “mempunyai suatu keinginan”, dan yang dapat berkehedak atau mempunyai keinginan itu tidak lain hanyalah hal-hal yang tidak sempurna saja.
Diri yang Mutlak tidak dapat menjadi obyek pengetahuan, sebab segala sesuatu yang diketahui itu sifatnya terbatas dan relatif. Pikiran kita yang serba terbatas itu tidak dapat menerobos ikatan-ikatan waktu, ruang dan musabab. Pikiran kita merupakan bagian dari dunia relatif. Maka dengan demikian tidak dapatlah kita dengan pikiran (yang sifatnya relatif itu) mengenal Diri yang Mutlak. Pengalaman-pengalaman kita yang hanya relatif itu adalah : “ Suatu impian di dalam keadaan bangun”.
Ilmu pengetahuan dan Logica merupakan baik bagian-bagian maupun hasil dari impian di dalam keadaan bangun itu. Kegagaan Metaphysica untuk menangkap hal-hal di luar dunia pengalaman itu tidak usah ditangisi atau ditertawakan, tidak usah dipuji atau pun di cela, melainkan harus dimengerti/ dipahami. Dengan kerendahan hati yang menjadi tanda dari kekuatan akalnya, entah Plato entah Nagarjuna, entah Kent entah Syamkara, menerangkan baha pikiran manusia itu hanya berkisar pada hal-hal yang relatif, dan tidak berurusan dengan yang mutlak.
Walau pun yang mutlak tidak dapat dikenal/diketahui dengan jalan Logica, namun siapa saja yang berusha mengetahui apakah kebenaran itu, tentu mau mengakui bahwa yang Mutlak itu merupakan suatu lingkungan kenyataan, di mana kita hidup, bergerak dan berada, Hanya dengan : Perantaraan yang Mutlak atau Kenyataan itu, segala sesuatu lainnya dapat dikenal/diketahui. Yang Mutlak itu merupakan Saksi Abadi dari segala Pengetahuan.
(1)        
Para pengikut Non Dualisme menyiarkan ke mana-mana, bahwa teori mereka didasarkan atas hubungan yagn logis dari fakta-fakta. Menurut Mereka : “Yang merupakan kenyataan yang Terdalam adalah Diri, yang dirasakan oleh semua saja, oleh karena Diri ini adalah Diri dari segala sesuatu yagn diketahui danjuga dari segala sesuatu yang tidak diketahui. Jadi adanya diri itu hanya dirasakan saja, tidak di kenal/diketahui, sebab satu-satunya pihak yangg mengenal-Nya/mengetahui-Nya, tidak lain hanya Diri itu sendiri. Bagi mereka, Diri itu adalah yang merupakan satu-satunya Kebenaran dan Keabadian, dan di samping itu tidak ada lainnya. Mengenai hal-hal beraneka warna yang kita alami sehari-hari itu pengikut-pengikut Non Dualisme mengatakan : Yah! Hal-hal itu memang ada di muka kita, tetapi tidak untuk seterusnya, sebab tentu akan berakhir pula. Kita tidak tahu, dan juga tidak dapat mengetahui mengapanya. Semua obyek-obyek pengalamana merupakan hal-hal yang bertentangan, teteapi namun demikian, semuanya itu adalah fakta-fakta yang sebenarnya.” Demikian inilah sikap filosofis dari Adwaita, ata pun sikap Non Dualisme sebagaimana dibela oleh Gaudapada dan Syamkara.
(2)        
Ada pengikut-pengikut Adwaitisme yang tidak puas dengan pandangan ini, dan merasa bahwa tidak ada baiknya untuk menutupi kekacauan pikiran kita dengan mempergunakan perkataan “Maya” sebagai perisai. Maka berusahalah mereka untuk memberi keterangan-keterangan yang positif, mengenai hubungan antara keadaan yang sempurna (yang tidak mengandung sesuatu yagn negatif, yang tetap nyata, dan dapat dirasakan di dalam inti terdalam dari pengalaman-pengalaman kita) dan dunia perubahan (Yang keadaannya tidak sempurna). Untuk membela dan melindungi Kesempurnaan dari Kenyataan yagn Satu itu, mereka terpaksa mengatakan bahwa : Perubahan-perubahan itu tidak disebabkan karena kenyataan yang sempurna ditambah dengan unsur dari luar, sebab di luar-Nya sudah tidak ada apa-apa. Yang menyebabkan perubahan-perubahan itu tidak lain jalan karena Kenyataan yang Sempurna itu dikurangi unsur-unsur-Nya.
Jadi prinsip yang mereka pakai untuk menerangkan perubahan-perubahan di dalam alam semesta itu sifatnya negatif, seperti yagn dikemukakan oleh Plato dengan istilah “Ke-tidak – ada- an”, dan juga oleh Aristtoteles dengan istilah “Kebendaan/kejasmanian”. Dengan mempergunakan prinsip yang negatif ini, yang Tetap dan Tidak Berubah-ubah lalu digambarkan sebagai tersebut di dalam kejamakan yang bergerak (teh moving many). Tetapi yang tetap dan tidak Beruba-ubah itu tidak terkandung di dalam kenyataan yang bergerak/berubah-ubah. Seperti halnya dengan sinar-sinar yagn mengalir dari matahari, padahal mataharinya sendiri tidak mengandung sinar-sinar itu. Bagi mereka : MAYA adalah prinsip negatif yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dan timbulnya kejadian-kejadian di mana-mana, dan bersama itu juga menciptakan kegadudhan-kegaduhan tanpa akhir serta huru-hara yagn terus menerus.
Jadi, perubahan yang terus menerus di dalam alam semesta itu diterangkan sebagai disebabkan oleh degradasi (kemunduran, turunnya derajat) dari yang Tetap dan Tidak Berubah-ubah. Penkataan “Nyata” itu adalah untuk menggambarkan segala sesuatu yang di dalam proses perubahan menjadi positif. Segala sesuatu di dunia senantiasa berjuang untuk memperoleh kembali sifat nyatanya, berjuang untuk mengisi kekurangan-kekurangannya, berjuang untuk membersihkan diri dari kekususannya serta kesendiriannya. Akan tetapi ini terhalang, karena masing-masing mempunyai kekosongan di bagian dalamnya  (Inner Void), yaitu masing-masing mempunyai MAYA yang negatif yang berupa interval (celah) antara “Apa ujudnya” dan “Apa seharusnya” masing-masing itu. Bilamana kita bisa menghilangi MAYA, yaitu kita meniadakan kecondongan kita ke  arah ke-Duaan (artinya kita janganlah membeda-bedakan antara Diri yagn Mutlak dan Perubahanperubahan yang Empiris sebagai dua hal yang berdiri sendiri-sendiri, Red), menghapus interfalnya mengisi kekurangan-kekurangannya sehingga memungkinkan berhentinya kegaduhan-kegaduhan, maka ruang, waktu dan perubahan akan kembali ke dalam keadaannya yang asli dan murni. Selama MAYA masih merajalela dengan kekurangan-kekurangannya seperti sedia kala, maka segala sesuatu itu ditakdirkan untuk tetap berada di dalam dunia ruang-waktu-musabab. Maya bukanlah buatan manusia. Maya sudah ada sebeum intelek kita ada, dan maya juga tidak tergantung pada intelek kita. Maya benar-benar : Merupakan generator (alat pembangkit gaya/tenaga) dari segala sesuatu yagn ada di dunia; juga generator dari intelek. Maya adalah kekuatan raksasa yang terkandung di dalam dunia seluruhnya. Kadang-kadang maya juga disebut Prakitri.
Di susulnya pertumbuhan oleh kemudnuran, terjadinya evolusi-evolusi cosmis secara berulang-ulang, itu semua menandakan bahwa dunia masih terdiri atas kekurangan-kekurangan. Dikatakan bahwa dunia perubahan itu adalah suatu interupsi terhadap keberadaan. Maya mencerminkan kenyataan. Proses keduniawian itu lebih banyak merupakan kebalikan (inversion), dan bukannya penyalinan (translation) dari Ke-Berada-an yang Tetap dan Tak Berubah-ubah (immutable being). Namun demikian, dunia maya tidak dapat berdiri sendiri kalau dipisahkan dari ke Berada-an yang Murni. Andaikata tidak ada Ke-Tetap-an yagn Tak Berubah-ubah, niscaya tidak akan ada gerakan; sebab gerakan itu adalah suatu degradasi saja dari yang Tetap dan Tak Berubah-ubah. Keadaan yang tidak bergerak merupakan : “Kebenaran yang tersembunyi di belakang gerakan-gerakan yang Universal.
Seperti juga “Menjadi” itu adalah kemunduran/penyelewengan dari “Berada”, maka :
Awidya pun atau “Ke-Tidak-tahu an” merupakan kemunduran dari Widya atau “pengetahuan”
Untuk mengetahui kebenaran itu, dan untuk memahami apakah yang merupakan Kenyataan, kita lebih dahulu harus membebaskan diri kita dari awidya dan dari ukuran-ukuran yang didasarkan atas intelek. Sebab alat-alat pengukur ini akan pecah dan rusak pada saat kita hendak memasukkan (dengan paksaan) kenyataan ke dalamnya.
Ini tidak dimaksudkan sebagai uraian untuk minta maaf karena adanya kelmabatan/kemalasan berfikir. Di dalam pandangan ini, Filsafar sebagai Logica dalam mempergunakan pikira, membujuk penganutnya untuk meninggalkan saja konsep-konsep yang berdasarkan intelek. Sebab konsep-konsep intelektual ini hanya dapat dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan praktis di dalam dunia perubahan. Di sini Filsafat menyampaikan kepada kita, bahwa selama kita masih terika intelek, dan selama kita masih tersesat di dalam dunia keanekawarnaan atau dunia kejamakan, maka akan sia-sialah usaha kita untuk kembali ke kesederhanaan dari yang Satu- itu.
Apabila kita bertanya mengapa ada Awidya, mengapa ada Maya, yang menyebabkan mundurnya Windya dan mundurnya tingkat “berasa” maka pertanyaan yang demikian itu tidak dapat terjawab. Di sini Filsafat sebagai logika mempunyai fungsi yang negatif yaitu :
1.         Untuk memperlihatkan bahwa semua katagori-katagori intelektual itu tetap tidak akan mencukupi.
2.         Untuk menunjukkan bagaimana terikatnya obyek-obyek di dunia ini kepada akal yang memikirkan tentang obyek-obyek itu; dan bahwa tanpa obyek akalitu tidak dapat berdiri sendiri.
Akal tidak dapat memberi tahu apa-apa mengenai yang abadi dan yang tidak berubah-ubah, yang berada secara tersendiri, artinya tidak tergantung pada kejadian-kejadian di dunia. Dan akal tidak dapat menceritakan sesuatu tentang Maya yang menyebabkan terciptanya dunia. Akal tidak dapat membantu kita untuk secara langsung sampai pada kenyataan. Sebaliknya, akal malahan mengatakan kepada kita bahwa untuk mengukur Kenyataan, kita harus memberi bentuk baru (yang mungkin sekali berbeda amat dengan ujud yang sesungguhnya, Red). Kepada apa yang disebut Kenyataan itu. Sebab, bilamana akal pada suatu hari dapat mengenakan suatu ujud tertentu pada Kenyataan, hal itu mungkin dapat membantu manusia di dalam usahanya untuk mencari Kebenaran. Yaitu kita lalu dapat memikirkannya sampai sedetail-detailnya, kita dapat mempertahankannya secara logis, dan kita dapat menolongnya untuk “Berbiak”.
Akan tetapi para penegak Monisme yang Murni mengatakan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada akal abstrak, yaitu suatu kekuatan yang memungkinkan manusia untuk merasakan “Daya Pendorong” dari kenyataan. Tidak lain orang harus mengendepkan dirinya ke dalam : Kesadaran yang Universil, dan membuat dirinya menjadi “Lebar dan Luas” di tengah-tengah segala sesuatu yagn juga serba lebar dan luas itu.
Dengan cara demikian, orang lalu lebih banyak mengalami daripada memikirkan Kenyataan, sehingga ia lalu ikut menjadi nyata sendiri, tanpa banyak mengetahui tentang apakah Kenyataan itu. Monisme yagn Extrem demikian, yang membeda-bedakan :
1.         Antara Logika dan Intuisi.
2.         Antara Kenyataan dan Ke-Berada-an.
Kita dapatai pada beberapa Upanisad, pada Nagarjuna dan pada Syamkara kalau suasana hatinya sedang diliputi dengan perasaaan-perasaan yang Ultra Filosofis (Ultra = berlebih-lebihan); pada Syri Harsa dan juga pada penganut-penganut aliran Wedanta Adwaita, sedang kumandangnya di Barat terdengar pada Parmenides dan Plato, Spinoza dan Plotinus, Bradley dan Bergson, dan jangan dilupakan : pada Mystik Barat.
-------------------------------------------------------------------------
Catatan Penulis :
Dapat dikatakan bahwa di dalam kefilsafatan Samkhya terdapat keterangan-keterangan yagn serupa mengenai pengalaman-pengalaman manusia. Tidak ada kata-kata yang menyinggung kelemahan-kelemahan/kekurangan-kekurangan dari “alat-alat” yang dipergunakan untuk dapat mengalami sesuatu. Perbedaannya hanyalah bahwa di dalam kefilsafatan Samkhya ada prasangka-prasangka yagn pluralistis, tanpa dasar-dasar yagn logis. Kalau pluralisnya hapus (sebagaimana akan terjadi bilamana diuji sebentar saja dengan logika), maka teori Samkhya menjadi identik (sama) dengan Monisme Murni yagn digambarkan did atas.
-------------------------------------------------------------------------
Entah apakah artinya Ke-Beradaan yang Murni bagi intuisi, tetapi bagi intelek ke-Beradaan yang Murni itu tak lain dan tak bukan adalah suatu abstraksi yagn absolut. Ada anggapan, bahwa ke-Berada-an itu berlangsung terus, juga andaikata tiap-tiap fakta dan tiap-tiap obyek pancaindra sama sekali di hapus. Shingga dengan demikian, ke-Berada-an itu adalaha :
Sisa/Ampas yagn tinggal sebagai hasil peng-abstraksi-an dari alam semesta seluruhnya.
Memang adalah suatu latihan yang sulit bagi pikiran manusia, untuk menghilangkan lautan dan daratan, waktu, matahari dan bintang-bintang, ruang dan waktu, manusia dan Tuhan, dari kesadarannya. Tetapi kalau kita berusaha untuk menghapus alam semesta, maka agaknya lalu tidak ada sisa lagi untuk dijadikan obyek pikiran. Pikiran manusia yang sifatnya terbatas dan rational, dengan kegelisahan yang mendekatai ke-putus-asa-an, sampai kepada kesimpulan bahwa lalu tidak ada apa-apa lagi kalau segala sesuatu dihapus. Jadi dalil pokok dari intuisi, bahwa “Ke-Berada-an itu ya ada begitu saja”, itu bagi akal artinya “tidak ada apa-apa” mengingat kata-kata Hegel :
Akal hanya dapat bekerja kalau menghadapi fakta-fakta tertentu, hal-hal yang sudah konkrit. Bagi akal, setiap pernyataan yang memperkuat hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung penyangkalan terhadap hal itu, dan sebaliknya setiap pernyataan yang menyangkal hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung penguatan terhadap hal itu. Setiap fakta yang konkrit adalah suatu “Kejadian” yang timbul dari kombinasi antara “Ada” dan “Tidak ada”, antara yang positif dan yang negatif.
Mereka yang tidak puas dengan hanya merasakan Ke Berada an atas dasar intuisi ssaja, emnginginkan suatu synthesis yang dicapai dengan jalan akal (sedang akan ini menurut indting bawaannya selalu menuju ke hal-hal yang kongkrit). Mereka ini lalu tertarik akan system : “Idealisme yang obyectif.”
(3).
Penganut-penganut idealisme yang kongkrit ini berusaha menyatukan kedua konsep, yaitu :
1. Konsep mengenai ke-Berada-an yang Murni, dan
2. Kosnep mengenai Perubahan-perubahan yang Nampak.
Ke dalam satu systhesis, dengan mengemukakan adanya Tuhan. Pun para pengikut Monisme yagn extrem mengakui bahwa Perubahan itu tergantung pada Ke-Berada-an, sedang sebaliknya ke-Berada-an itu tidak tergantung pada perubahan. Dengan jalan demikian orang sampai pada sejenis “kemutlatakan yang terbias” (refrated absolute), yaitu orang sampai pada Tuhan yang memungkinkan terbentuknya dunia . Sifat-sifat Tuhan merupakan kombinasi :
1.         Antara hakekat ke-Berada-an dan hakekat Perubahan.
2.         Antara Ke-Satu-an dan ke-Jamak-an.
3.         Antara sifat Tidak Terbatas dan Sifat Terbatas.
Yang mula-mula merupakan ke-Beradaan yang Murni; sekarang menjadi Subyek yagn mengubah dirinya menjadi obyek, dan kemudian memungut kembali obyeknya itu untuk dimasukkan lagi ke dalam dirinya. Untuk mempergunakan istilah-istilah Hegel :
“Posisi, oposisi dan komposisi terus menerus susul-menyusul di dalam proses yang abadi. Yaitu suatu proses yang jalannya ibarat berputar-putar di dalam sebuah lingkaran”.
(Catatan Penulis : Istilah-istilah Hegel ini lebih terkenal dengan “the is, antithesis dan synthesis”).
Hegel dengan tepat telah melihat bahwa dua syarat yang harus dipenuhi untuk adanya sebuah dunia yang kongkrit itu ialah :
a.         Harus ada subyek, dan
b.         Harus ada obyek.
Di dalam segala sesuatu yagn kongkrit, tentu ada kombinasi antara subyek dan obyek, jadi antara dua hal yang berlawanan. Pun tentang Tuhan Yang Maha Agung dikaakan bahwa pada diri-Nya terdapat dua corak yagn berlawanan, di mana corak yang satu tidak saja ditimbulkan oleh yang lain, tetapi corak yagn satu itu adalah juga corak yang lain. Dan bilamana orang sudah menyatakan adanya Tuhan yagn dynamis yang secara abadi teriakt apda “berputarnya roda” maka ia dengan sendirinya lalu menyadari bermacam-macam tingkat “Berada”, dari Beredanya kesempurnaan Tuhan sampai Beradanya debu yang hina. Bersamaan dengan itu, maka setelah ditetapkan adanya Tuhan yang demikian, orang lalu juga memperkuat adanya bermacam-macam tingkat “Kenyataan”, dari tingkat yagn sungguh-sungguh Nyata sampai tingkat / keadaan yagn “hampa samasekali” (Nothing). Dengan demikian maka atas dasar fikiran, orang telah menyusun suatu alam semesta yang sesuai dengan kehendak fikiran, yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan oleh fikiran. Di dalam alam semesta yang demikian itu, adanya subyek dan obyek merupakan faktor-faktor yang penting. Di sini pengertian-pengertian ruang, waktu dan musabab tidak dianggap sebagai hal-hal yagn subyectif, sebab itu memenuhi prinsip-prinsip universil dari fikiran.
Bilaman orang dalam mengikuti pandangan Monisme yang Murni tidak begitu mengerti mana yang sama dan mana yang berbeda, maka di sini (yaitu dalam mengikuti pandangan Idealisme yang obyektif) ia akan memperoleh pengertian yang lebih terang, Dikatakan bahwa :
Dunia telah bertumbuh dari sesuatu yang satu dan Sama menjadi hal-hal yang berbeda satu dengan lainnya. Maka dari itu persamaan dan perbedaannya tidak dapat dipisah-pisahkan. Tuhan merupakan dasar yang terdalam yaitu dasar persamaan; sedangkan dunia adalah bentuk luarnya, yaitu tempat di mana dipancarkan Kesadaran yagn mula-mula hanya ada di bagian terdalam.
Pengikut-pengikut monisme yang murni tidak dapat menerima adanya Tuhan yang demikian itu. Sebab, menurut teori mereka, Tuhan semacam itu justru merupakan kemunduran ini hanya selangkah saja, artinya di mana interval yagn memisahkannya dari keberadaaan yang Murni atau kemutlakan itu adalah sekecil-kecilnya. Jadi lalu merupakan hasil dari awidya yang terpisah dari widya oleh interval yagn sekecil-kecilnya.
Dengan perkataan lain, Tuhan yang konkrit ini merupakan hasil tertinggi dari kecerdasan manusia. Tetapi sayangnya iayalah bahwa sekali pun “Tertinggi”, tetapi toh tetap masih merupakan “hasil” saja. Sedang kecerdasan kita, sekalipun sudah berdekatan sekali dengan widya, toh masih belum merupakan widya. Tuhan seperti yang digambarkan ini, mengalami keberadaan tingkat Maximum, sedang kekurangannya adalah minimum sekali. Tetapi, bagaimana pun juga, toh masih ada kekurangannya. Sekali tersentuh oleh kekuatan maya yagn sekecil-kecilnya, sekali mundur dari keberadaan yang sempurna, maka terlemparlah Tuhan ke dalam ruang dan waktu, sekali pun ruang dan waktu ini masih berdekatan sekali dengan ke tidak terbatasan dan keKekekalan yang mutlak. Di sini yang mutlak berubah menjadi Tuhan Pencipta Alam Semesta yagn sekarang berada di dalam sesuatu ruang (entah ruang mana), dan yang dari “bagian dalam” menggerakkan segala sesuatu tanpa beralih tempat. Dengan demikian Tuhan mencerminkan kemutlakan yang sudah di objectivir, artinya dibuat jelas bagi pengertian manusai dengan ditempatkan-Nya disesuatu ruang dan dengan digambarkan-Nya sebag “Sesuatu”, yaitu sebagai Jiwa/roh yang masuk ke dalam segala sesuatu/ Jiwa/roh ini adalah Brahmanmaya, ada dan tidak ada, obyek dan subyek, kekuatan abadi, Penggerak yang tak bergerak menurut Aritoteles, Diri yang Mutlak menurut Hegel, wisyistadwaita (absolut dan relatif) menurut Ramanudja, baik causa Efficiens mau pun Causa Finalis dari alam semata. Dunia itu tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, oleh karena kekuatan yang diberikan oleh Tuhan mustahil mempunyai permulaan, dan juga musthil akan pernah berakhir. Memang sudah menjadi sifat hakekat-Nya, bahwa Tuhan tidak pernah berhenti atau pun beristirahat.
Tidak usah diragu-ragukan lagi, bahwa gambaran di atas ini merupakan konsep tertinggi yagn dapat dicapai oleh pikiran manusia. Bilmana kita mengikuti pikiran kita sampai ke “ujung-ujung”-nya, di mana intelek kita selalu berusaha untuk mempersatukan segala sesuatu yagn ada di dunia ini, dan berusaha amenciptakan synthesis antara hal-hal yang berlawanan, maka akhirnya kita akan memperoleh suatu konsep yang sifatnya adalah antara “ada dan tidak ada”, atau merupakan kombinasi antara kedua-duanya. Dan konsep ini telah kita peroleh setelah kita mengepres (dengan paksaan) segala sesuatu ke dalam suatu “keseluruhan”. Di dalam hal ini, Filsafat mempunyai corak yang constructif, dan karenanya, Filsafat lalu bersifat positif dan berfungsi Synthetis.
Pun di sini, pemahaman yagn berdasarkan logika dan “permainan abstraksi”, melarang kita masuk ke dunia kekonkritan, padahal hanya di dalam dunia yang konkrit abstraksi-abstraksi itu dapat hidup dan bergerak. Bilamana ada hal-hal yang kurang logis, sehingga sukar untuk dipahaminya, maka ratio manusia lalu mencari jalan keluar, Dengan berpangkal pada dunia pengalaman, pikiran menusia mencari  jalan dan naik sampai tercapainya prinsip ke-Tuhan-an. Dan setelah dengan jalan dmeikian, orang menemukan konsep mengenai keseluruhan, maka turunlah kembali pikirannya, untuk meneliti detail-detailnya, dan meninjau kembali bagian-bagian dari keseluruhannya itu. Tetapi segala macam dogmatisme di dalam lapangan logika, yang bagaimana pun besarnya juga kepercayaannya akan kekuatan akal, akan berhenti pada konsep mengenai dunia ini, tanpa mengharapkan hasil yang lebih dari itu. Dan kalau orang sudah ragu-ragu akan kemutlakan pikirannya, maka timbul lah kesulitan-kesulitan. Orang mulai bertanya : Apakah adal larangan, bahwa pengetahuan kita disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari akal yang menurut sifatnya ingin “mempersatukan dan memisah-misahkan” segala sesuatu. Barangkali kalau ada akal yang sifatnya lain (jadi yang tidak ingin mempersatukan dan memisah-misahkan segala sessuatu), dibutuhkan pula pengetahuan yang laind aripada pengetahuan kita sekarang. Pada hemat kita , semua pengetahuan it sama saja bentuknya. Tetapi kalau ada kritik-kritik yang membantahnya, sukar juga untuk membela pendapat itu. Betul, konsep kita mengenai Kenyataan itu mungkin dianggap benar oleh pikiran kita, tetapi bagaimana mungkinnya menggambarkan Kenyataan dengan pikiran, di mana Kenyataan itu tidak identik dengan pikiran? (Kita toh juga tidak dapat mengganbarkan kambing dengan sapi, satu kambing 1/3 sapi?. Pen). Dan kalau kita mengepres semua konsep ke dalam satu konsep saja, itu belum berati bahwa kita lalu sudah mengatasi semua konsep. Kita masih bisa membela “Ya, tetapi dengan demikian kita lalu tahu hubungannya antara konsep yagn satu dengan yang lain! Tetapi ini pun akan dijawab dengan “Ada atau tidak adanya hubngan itu ditetapkan oleh akal kita. Mungkin di antara hal-halnya sendiri (yang kita konsepkan) itu tidak ada hubungannya sama sekali. Hubungan-hubungan itu hanya terdapat pada akal, sebab akal inilah yagn selalu menghubung-hubungkan. Dan bagaimana pun cerdasnya sesuatu akal, hingga dapat menemukan hal-hal yang bukan-bukan, akal itu toh tetep akal manusia biasa saja.”
Teori dari Monisme yagn dimodifikasikan sebagaimana telah digambarkan di atas, diterima oleh beberapa Upanisad dan oleh Bhagawatgita, oleh beberaa penganut Budhhisme dan oleh Ramanuja, dan mungkin juga oleh Badarayana. Di Barat pendpat semacam itu kita jumpai pada Aristotele dan Hegel.
Menurut pendapat Non Dualisme atau Adwaitisme, Ke-Beradaan yagn sempurna itu, sifatnya adalah nyata, sedang perubahan-erubahan yagn tidak nyata itu merupakan fakta-fakta. Tetapi mengapa demikian halnya mereka tidak tahu. Menurut pandangan Monisme yang Murni, perubahan-perubahan di dunia itu adalah suatu penceburan (precipitation) dari ke-Beradaan yagn Murni ke dalam ruang dan waktu, akrena terdorong oleh kekurangan-kekuarangan yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan. Menurut pandangan Monisme yang dimodifikasikan, hasil tertinggi yang dapat kita peroleh adalah suatu synthesis yang berupa Tuhan, Yaitu suatu synthesis antara ke-Beradaan yang Murni dan ke-Tidak Berada-an.
(4)        
Dengan demikian Logica seakan-akan memaksa kita untuk memperkuat adanya bermacam-macam tingkat Kenyataan. Bilamana kita menolak konsep mengenai Ke-Beradaan yang Murni karena tidak dapat dipergunakan di dalam dunia pengalaman ini, dan kita menolak juga ide mengenai Tuhan Pencipta Alam Semesta karena tidak logis, maka lalu hanya tinggal perubahan-perubahan saja, yang banyak sekali jumlahnya dan yang masing-masing senantiasa hendak berubah-ubah lagi menjadi sesuatu  lain. Maka lalu tercapailah prinsip pokok dari Buddhisme. Yaitu bahwa atas dasa hypothesis dari Monisme yang dimodifikasikan , corak/watak khusus dari bermacam-macam tingkat sebagaimana terdapat di dunia ini, harus diukur menurut jarak yang memisahkannya dari Kenyataan yang sempurna. Semuanya ini mempunyai persamaan, yaitu bahwa semuanya saja terikat pada ruang dan waktu. Tetapi kalau masing-masing itu kita perhatikan dari jarak yang lebih dekat, maka kita akan menemukan makin banyak tanda-tanda yang khusus. Kalau kita sekarang menerima adanya perbedaan antara kenyataan-kenyataan yang berpikir (Thinking reals) dan obyek-obyek yang tidak berpikir (unthinking object), maka kita akan sampai pada kefilsafatan dualistis dari Madwa. Ini pun pada dasarnya  adalah suatu Monisme, selama kenyataan-kenyataan itu masih dianggap tergantung (paratantra) padsa Tuhan, dan selama Tuhan ini masih dianggap sebagai satu-satunya yang berdiri sendiri dan tidak tergantung pada siapa atau apa pun juga (swatantra).
Sebaliknya kalau kita menitik beratkan, bahwa mahluk-mahluk yang berpikir itu tidak tergantung pada siapa atau apa pun juga, meka kita lalu sampai pada Pluralisme yang dianut oleh Samkhya, asal adanya kita di sini dengan mengusik-usik tentang adanya Tuhan, yang toh tidak dapat dibuktikan. Kalau sekarang masih ditambahkan adanya obyek-obyek di dalam jumlah yang jamak/banyak (Pluralisme), maka kita sampai pada Realisme yang Pluralistis, di mana Tuhan Pun dianggap sebagai salah satu diantara kenyataan-kenyataan lainnya, Sekali pun Tuhan ini lebih luhur dan lebih berkuasa daripada lainlainnya.
Dalam membicarakan tentang tingkat-tingkat kenyataan yang berbeda-beda, agaknya masing-masing ahli Filsafat mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri mengenai bagaimana coraknya “Kekhususan” yang terdapat pada tiap-tiap hal. Dan apakah sesuatu system itu menuju ke Atheisme atau ke Theisme, hal itu sma sekali tergantung pada banyak sedikitnya perhatian yagn dicurahkan pada ada atau tidak adanya sesuatu yang Mutlak sebagai pihak yang mengawasi/melindungi permainan drama alam semesta. Kadang-kadang suatu system memang menjadi kilau kemilau kalau pusat perhatiannya disinarkan pada Tuhan, tetapi kadang-kadang juga malahan menjadi kabur. Maka dengan demikian ada bermacam-macam jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam ia menyatakan reaksinya terhadap persoalan-persoalan di dunia ini, dan jalan yang dipilihnya itu sudah tentu harus sesuai dengan pikirannya sendiri.
Di dalam alam pikiran India benar-benar dapat dikatakan adanya : Harmoni (keselarasan) antara Tuhan dan manusia. Jadi tidak seperti di Barat, di mana perbedaannya malahan agak menonjol.
Menonjolnya perbedaan itu nampak pada mythologi-mythologi. Mytho mengeneai Promotheus yagn dianggap sebagai pembela umat manusia (oleh karena ia berusaha membela nasibnya terhadap usaha Zeus untuk memusnahkan jenis manusia dengan makhluk jenis lain), juga cerita tentang Hercules yang dengan bekerja berat berdaya upaya untuk menghindarkan kemusnahan dunia, atau pun konsep mengenai Kristus sebagai “Putra Manusia” (Son of Man), semuanya menunjukkan bahwa manusia itu dijadikan pusat perhatian orang Barat. Memang benar, bahwa Kristus juga disebut Putera Tuhan, yaitu Putera tertua yang harus dikorbankan untuk meredakan amarah Tuhan. Tetapi bagaimana pun juga, yang hendak saya tandaskan di sini yaitu bahwa : Di dalam kebudayaan barat terdapat suatu kecenderungan pokok untuk mengemukakan adanya oposisi antara manusia dan Tuhan, dimana manusia melawan kekuasaan Tuhan dan “Mencuri api-Nya” (di sini penulis menunjukkan pada Promethous yang menccuri apai dari Zeus, yaitu api yang hendak dipergunakan untuk membasmi umat manusia, Pen) dalam membela nasibnya sendiri.
Menurut Anggapan orang India :
Adanya manusia itu adalah karena Tuhan. Karena pengorbanan Tuhan lah dunia seluruhnya itu dapat berujud seperti yang kita saksikan ini.
Di dalam Purusa Suktadikemukakan adanya “Pengorbanan abadi” yang dilakukan oleh Tuhanuntuk dapat memelihara manusia serta dunia. Di dalam Purusa Sukta tersebut, dunia seluruhnya itu digambarkan sebagai sesuatu yang luasnya serta besarnya tidak ada bandingnya, dan yang menjadi “hidup” karena digerakkan oleh sesuatu roh/Jiwa. Di dalam Substansi Roh/Jiwa ini sudah terkandung segala macam bentuk hidup. Yang memegang peranan utama di dalam alam pikiran India, yaitu yang memberi warna pada kebudayaannya, dan yang memberi bentuk. Ujud pada pikiran-pikirannya, adalah : Corak kerohaniannya/kejiwaannya.
Yang dijadikan dasar  dari Sejarah Kebudayaan India adalah pengalaman-pengalaman di dalam lapangan kerohanian/kejiwaan. Pada khususnya, pengalaman-penglamana ini adalah suatu : Mysticisme. Bukan Mysticisme di dalam arti mempergunakan kekuatan-kekuatan gaib melainkan semata-mata suatu desakan untuk menundukkan sifat-sifat manusia akepada suatu disiplin yang akan membantu manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dalam lapangan kerokhanian/ Kejiwaan.
Dimana kitab-kitab dari Kaum Yahudi dan kaum Nasrani itu banyak menunjukkan coraknya yang religius dan Ethis, di dalam kitab-kitab suci dari orang-orang Hindu itu lebih nampak corak kerohaniannya/kejiwaannya, sedang di samping itu ada pula desakan untuk mengikat hidup manusia pada disiplin keagamaan. Sehingga menurut kenyataannya. : Satu-satunya hal yang benr-benar hidup di India adalah ke Beradaan Abdai dari Tuhan.
Di dalam proses perkembangan dari kefilsafatan mana saja, pada akhirnya tentu akan tercapai suatu anggapan bahwa segala sesuatu yagn nyata itu tidak dapat bertentangan dengan dirinya sendiri (Self contradictory). Menurut Sejarah Filsafat, dibutuhkan waktu yang lama, sebelum manusia menyadari pentingnya anggapan yang demikian itu serta mempraktekkannya dengan penuh keyakinan. Tanpa menyadarinya betul-betul, maka sesuai dengan apa yang tertera di dalam Reg Weda, orang India menganggap pengetahuan itu sebagai bernilai. Kemudian setelah tercapai tingkatan Upanisad, muncullah persoalan-persoalan yang dialecttis dan dirasakan adanya kesulitan-kesulitan yagn timbul dari pengetahuan. Di sini nampak adanya usah-usaha untuk memberi batas-batas pada pengetahuan manusia dan untuk memberi tempat kepada intuisi. Tetapi usaha-usaha ini dilakukan dengan cara ygn semi filosofis  (jadi tidak 100% filosofis). Dan sewaktu orang mulai meragu-ragukan kekuatan dari akan, maka munculllah scepticisme, dan muncul pula kaum materialist serta kaum nihilist (Kaum Nihilist adalah mereka yang hendak meruntuhkan segala macam keyakinan yang dimiliki oleh manusia, Pen). Karena menyetujui apa yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad, yaitu bahwa kenyataan yang tidak nampak itu tidak dapat dipahami denganintelek yang bersenjatakan Logica, maka Buddhisme lalu memperkkuat ajaran yang mengatakan bahwa : “Dunia yang nampak ini bukanlah merupakan suatu kenyataan. Bagi Kaum Bidhhist, adanya pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu memang suatu hal yang sudah sewajarnya, sedang dunia pengalaman itu menurut mereka semata-mata merupakan tekanan (tension) yagn ditimbulkan oleh pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu. Manusia tidak dapat mengetahui apakah masih ada hal-hal lain di samping apa yang ada di sekitar kita ini, sedang apa yang ada ini tidaklah merupakan kenyataan karena mengandung pertentangan-pertentangan terhadap dirinya sendiri (self contadictory).
Konklusi yagn demikian ilah yagn akhirnya dicapai di dalam perkembangan Buddhisme.
Di dalam teori Nagarjuna dinyatakan bahwa pandangan yang terdapat di dalam Upanisad-upanisad itu mempunyai kedudukan yang central (menduduki tempat pusat). Pernyataan Nagarjuna ini di sandarkan atas dasar-dasar yang logis. Dan pandangan yang dikatakan mempunyai kedudukan yagn central itu adalah demikian :
Kenyataan itu ada, sekali pun kita tidak dapat mengenalnya atau mengetahuinya. Dan segala sesuatu yang kita ketahui itu tidaklah nyata, sebab tiap-tiap usaha untuk menafsirkan dunia ini sebagai “Systemn yagn masuk akal” pasti akan gagal,
Pandangan yang demikian ini sduah abrang tentu mendorong timbulnya kritik-kritik yagn meremehkan kekuatan akal, dan kritik-kritik ini dilancarkan dengan penuh keyakinan. Di katakan bahwa : Pikiran itu sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self Contradictory), atau bahwa pikiran itu tidak mencukupi.
Berbedalah jawaban-jawaban yang diberikan atas pertanyaan : “Mengapa pikiran itu tidak mampu untuk menangkap kenyataan?” Ada yang menjawab :
1.         Karena Pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian saja dan tidak mengenai keseluruhan.
2.         Karena strukturnya memang kurang sempurna, atau karena sifatnya memang sudah bertentangan dengan dirinya sendiri.
Sebagaimana telah kita lihat,a da juga pihak-pihak yang mempertahankan bahwa Kenyataan itu, sifatnya rational, tetapi dengan catatan bahwa Kenyataan itu bukan ratio semata-mata (melainkan lebih dari itu). Sehingga ratio manusia itu tidak akan mampu untuk menangkap Kenyataan seluruhnya. Jadi yagn merupakan Kenyataan itu adalah lebih daripada yang dapat diberi tahukan oleh pikiran/akal.
Pikiran itu memberikan kepada kita suatu pengetahuan mengenai Kenyataan. Jadi melulu suatu pengetahuan saja, dan bukan Kenyataannya sendiri.
Ada pihak lain yagn merasa bahwa yagn disebut “Kenyataan” itu sifatnya sama sekali sesuai dengan dirinya sendiri (self Consistent), sedang yang disebut “Pikiran” itu sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self Contradictory). Bekerjanya pikiran itu selalu didasarkan atas adanya subyek dan obyek, sedang Kenyataan yang mutlak itu adalah sesuatu di mana akedua antithesis tersebut sudah hapus. Pikiran yang bagaimana pun juga konkritnya, artinya pikiran yagn sudah berusaha mati-matian untuk mengkombinasikan “Kejamakan” sampai menjadi “Kesatuan” itu toh masih tetap abstrak saja, sebab sifatnya memang bertentangan dengan dirinya sendiri. Maka apabila kita hendak menangkap kenyataan, pikiran kita harus dilenyapkan lebih dahulu.
Sehubungan dengan hypothesis yagn menyatakan bahwa pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian saja, dan tidak mengenai keseluruhan, orang mengemukakan : “Apa yang kita tangkap dengan jalan pikiran itu tidak bertentangan dengan Kenyataan, tetapi itu hanya menyampaikan kepda kita sebagian saja dari kenyataan. Pandangan-pandangan yang menegnai bagian-bagian itu saling bertentangan oleh karena hanya mengenai bagian-bagian saja. Pandangan-pandangan demikian dapat benar juga, asal diingat bahwa kebenarannya itu hanya terbatas pada bagian-bagian saja, jadi tidak merupakan seluruh kebenaran.”
Dari hypothesis ygn kedua, yaitu yang menyatakan pikiran tidak mampu untuk menangkap Kenyataan karena strukturnya memang kurang sempurna, atau karena sifatnya memang sudah bertentangan dengan dirinya sendiri, orang sampai pada suatu pendapat bahwa Kenyataan itu dapat ditangkap dengan : Sejenis perasaan atau intuisi.
---------------------------------------------
Catatan Penulis :
Bandingkanlah dengan Bradley yang mengatakan bahwa kita dapat mencapai sampai pada Kenyataan dengans ejenis perasaan, dan Mc. Taggart yang menganggap Cinta.kasih sayang sebagai cara yang paling memuaskan mencerminkan kenyataan yang Mutlak.
------------------------------------------------------
Juga pendapat yang pertama tadi mendesakkan supaya pikiran kita ditambah dengan perasaan, bilamana kita masih inging menangkap Kenyataan yang lengkap.
Dengan demikian orang India agaknya membutuhkan sesuatu unsur lain untuk ditambahkan pada pikiran, dan ini disarankan dengan adanya istilah Darsjana yang berarti sesuatu system kefilsafatan atau sesuatu Syastra (Ajaran).
Istilah Darsjana itu berasal dari perkataan Darsj yang berarti “melihat”. Dengan “Penglihatan” ini dapat didmaksudkan suatu pengawasan yagn dilakukan dengan pancaindra, dapat juga suatu pengetahuan yagn didasarkan atas konsep-konsep pikiran, dan dapt juga suatu pemadnangan yang dalam yagn diperoleh dengan jalan intuisi. Darsj dapat berarti menyelidiki fakta-fakta, menyelidiki dengan mempergunakan dasar-dasar logica, atau memperoleh pemandangan yang dalam dengan perantaraan roh/jiwa. Pada umumnya, darsjana itu berarti pembahasan yang kritis, pemeriskaan dengan mempergunakan dasar-dasar logica atau pun System. Tetapi sewaktu pikiran-pikiran yang filosofis masih berada pada tingkat pendahuluan (artinya belum mengalami perkembangan-perkembangan lebih lanjut), yaitu sewaktu filsafat masih banyak didasarkan atas intuisi melulu, tidak pernahlah perkataan Darsjana dipergunakan di dalam arti sebagaimana diuraikan di atas tadi. Hal ini menunjukkan bahwa darsjana bukanlah intuisi, sekali pun mungkin banyak pertaliannya dengan itu. Barangkalai darsjana itu memang dimaksuddkan untuk menujuk pada :
Suatu System yang telah didperoleh dengan jalan intuisi dan yang kemudian diberi dasar-dasar yang logis.
Di dalam system-system Monisme yang extrem, Filsafat membuka jalan bagi tercapainya pemandangan yang dalam dengan jalan intuisi, karena di situ digambarkan bagaimana lemahnya kekuatan dari pikiran manusia. Di dalam system-system Monisme yang tidak extrem, dimana kenyataan itu digambarkan sebagai suatu keseluruhan yang konkrit, Filsafat paling berhasil untuk memberi gambaran tentang kenyataaan yang memenuhi angan-angan manusia.
Tetapi bagaimana pun juga, yang disebut Kenyataan itu itu jauh melebihi/mengatasi katagori-katagori yang dikenal oleh manusia. Menurut Monisme yagn extrem, hanya suatu pemandangan yang dalam yagn kita peroleh dengan jalan intuisi, dapat menyampaikan kepada kita betapa penuhnya dan lengkapnya apa yang disebut Kenyataan itu. Sedang menurut Monisme yang konkrit, yagn dapat menyampaikan itu adalah suatu penglihatan yang dalam (Insight) dimana pengetahuan manusia sudah bercampur gaul dengan perasaan-perasaan dan emosi. Dikatakan bahwa dengan mempergunakan konsep-konsep pikiran, orang tidak dapat memperoleh kepastian seperti dengan jalan “mengalami”. Sekali lagi saya ulangi, bahwa suatu pendapat atau pandangan yang bagaimana pun juga logisnya, hanya diterima sebagai benar, bilamana dapat bertahan terhadap ujian-ujian hidup.
Pengertian yang diberikan oleh perkataan Darsjana itu memang samar-samar, sebab dengan istilah itu tidak saja dilukiskan pembelaan yang dealectis sebagaimana dilakukan oleh Monisme yagn extrem, tetapi juga kebenaran intutionil (kebenaran yang diterima atas dasar intuisi) yagn menjadi dasar dari pembelaan itu. Filosofis, Darsjana di sini berarti menguji kekuatan intuisi dan mempropagandakannya dengan mempergunakan dasar-dasar logica. Malahn di dalam system-system lainnya, darsjana itu berarti menguji logis tidaknya suatu uraian pembelaan terhadap kebenaran yagn telah diperoleh atas dasar konsep-konsep pikiran, dengan atau pun tanpa bantuan intuisi. Dengan demikian maka darsjana itu menguji segala pandangan saja yang dimiliki oleh manusia dalam ia hendak menggambarkan kenyataan. Dan apabila yang disebut Kenyataan itu hanya Satu, maka segala macam pandangan yang menggambarkan Kenyataan yang satu itu, tentunya harus “Sesuai dan sepakat” satu dengan lainnya. Di dalam padnangan-pandanganitu tidak boleh ada sesuatu yagn terselip di situ secara kebetulan saja, melainkan masing-masing harus mencerminkan sudut pandangnya sendiri-sendiri dalam meninjau kenyataan yang satu itu. Dan setelah orang mengumpulkan semua sudut-sudut pandangan yagn saling berbeda itu (berbedanya disebabkan karena masing-masing memotret Kenyataan yang Satu itu dari lain sudut) untuk dipertimbang-timbangkan secar mendalam, maka gambaran tentang Kenyataan yang kemudian deiberikan dengan dasar-dasar Logica, adalah setingkat lebih tinggi. Tetapi setelah ia menyadari bahwa kosnep-konsep pikiran itu tidak mampu untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai Kenyataan, maka ial lalu mencoba untuk menangkap Kenyataan dengan jalan intuisi, dimana ide-ide yang didasarkan intelek kehilangan perannya. Di sinilah orang berhadapan dengan Monisme yagn extrem did alam keadaan yang  semurni-murninya. Tetapi dari sini mereka kembali lagi menggambarkan Kenyataan menurut Logica pikiran, kembali lagi mereka mempertimbang-timbangkan detil-detilnya dengan hanya maju melangkah demi selangkah. Hasil dari pertimbangan-pertimbangan ini, mereka nyatakan di dalam system-system yang beraneka warna itu. Dan kalau di dalam hal yang terakhir ini orang mempergunakan istilah darsjana, maka itu berarti suatu pembahasan ilmiah yang ditujukan untuk menggambarkan Kenyataan. Inilah enaknya mempunyai perkataan yang samar-samar; satu perkataan saja sudah dapat melukiskan bermacam-macam inspirasi kefilsafatan yagn serbag kompleks itu.
Suatu darsjana adalah suatu “Pengnangkapan dengan perantaraan roh/jiwa kita” suatu pemandangan yang lengkap lalu menampakkan diri, pada mata jiwa/mata roh (soulsense). “Pandangan jwia” ini, juga hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar merasakan filsafat di dalam cara hidupnya, (di India) menjadi : “Tanda yagn membedakan ahli filsafat yagn sebenarnya dari lain-lainnya.
Dengan demikian maka yang dapat mencapai hasil-hasil tertinggi di dalam fislafat, itu hanyalah : Mereka saja yang pada dirinya sendiri sudah berhasil lebih dahulu untuk mensucikan roh/jiwanya.
Penyucian ini harus dapat dilakukan, setelah orang menerima adanya kekuatan lain yagn amsih tersembunyi di dalam ddirinya. Dan ini abru diyakini, setelah ia benar-benar menemukan kekuatan itu, yang memungkinkan dia untuk memeriksa serta memahami hidup seluruhnya. Karena adanya sumber yang  “dalam” ini, maka seorang ahli Filsafat dapat mengajar pada kita tentang kebenaran hidup. Yaitu suatu kebenaran yang tidak dapat ditemukan dengan mellu mempergunakan intelek. Dan pandangannya mengenai hidup itu, boleh dikatakan timbul dengan sendirinya. Laksana buah yang tumbuh dari sekuntum bunga, atas dasar suatu kekuatan gaib yagn dicari oleh manusia dengan bermacam-macam jalan.
Sebelums eseorang yang mencari kebenaran itu dapat mulai dengan penyelidikan-penyelidikannya, ia lebih dahulu harus smemenuhi syarat-syarat pokok tertentu. Di dalam komentar yang ditulis oleh Syamkara mengenai “Sutra” (buku penuntun) pertama dari Sutra-Sutra Wedanta, ia mengatakan bahwa setiap siswa yang mempelajari filsafat harus memenuhi 4 macam syarat, yaitu :
1.
Ia harus tahu adanya perbedaan yang abadi dan yagn tidak abadi. Ini tidak berarti bahwa ia harus mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai itu, sebab pengetahuan yang demikian tentunya baru dapat diperoleh pada akhir-akhir penyelidikannya. Yang dimaksudkan hanyalah bahwa ia harus mempunyai kecenderungan yang metaphyssis, artinya janganlah ia menerima begitu saja atau menganggap segala sesuatu yagn dilihatnya itu sebagai “nyata secara mutlak”. Jadi supaya pada setiap saat si penyelidik itu sudah siap-sial untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya sendiri, Ia harus :
1.         Mempunyai jiwa yang bersedia untuk memeriksa serta menguji segala sesuatu dengan ketelitian;
2.         Mempunyai kekuatan untuk membayang-bayangkan (imagination) mana yang benar dan mana yang tidak, dan membayang-bayangkan kebenaran apa yang dapat di abstraksikan dari kejadian-kejadian yagn nampaknya tidak berhubungan satu dengan lainnya.
3.         Mempunyai kebiasaan untuk bersemdi, sehingga pikirannya tidak akan terbuang-buang karena melayang ke tempat-tempat yagn bukan menajdi tujuannya.
2.
Ia harus dapat mengekang keinginan-keinginannya akan melihat buah-buah dari usahanya, baik mengekang untuk hidupnya sekarang maupun untuk hidupnya di masa depan.
Di sini orang harus menjauhkan diri dari :
1.         Segala macam keinginan, sampai juga keinginan yang hampir-hampir tak berarti;
2.         Alasan-alasan perseorangan;
3.         Kebutuhan-kebutuhan praktis.
Tujuannya tak lain ialah menyelidiki apakah pikirannya dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Bagaimanakah seseorang dapat mempergunakan inteleknya sebaik-baiknya? Tidak lain, ia harus benar-benar memahami segala sesuatu yang baik maupun yang buruk. Seorang ahli Filsafat adalah seorang naturalis, artinya ia harus mengikuti segala kejadian tanpa menonjol-nonjolkan kebaikannya atau pun meremehkan keburukannya atas dasar prasangka sendiri. Ia haruss berdiri “di luar hidup”, dan dari situ ia meninjau hidup. Mereka dikatakan bahwa orang yang demikian tidak boleh menyayangi baik masa sekarang mau pun masa depan. Setelah itu, barulah ia dapat berpikir dengan erang, dapat menilai dengan kesungguhan hati, dan dapat memperoleh suatu pandangan cosmis yagn tak terikat pada perasaan-perasaan perseorangan, sedang perhatiannya terpusatkan pada faktanya melulu. Untuk mencapai tingkat ini, ia lebih dahulu harus menyesuaikan suasana hatinya, sebagaimana diminta oleh syarat yagn ke tiga.
3.
Ia harus :
1.         Mempunyai hati yang tenang.
2.         Menguasai dirinya sendiri.
3.         Membelakangkan dan rela mengorbankan kepentingan dirinya sendiri,
4.         Sabar
5.         Tenteram pikirannya.
6.         Beriman/Berketeguhan batin.
Hanya dengan jiwa yang terlatih, yang menguasai seluruh raga.jasmani dengan 100%, orang dapat melakukan penyelidikan-penyelidikan dan melakukan semadi/perenungan dengan tiada hentinya (selama masih hidu). Tak sesaat pun obyeknya akan hilang dari pikirannya, dan tak sesaat pun perhatiannya akan tergoda oleh keinginan-keinginan keduniawian. Seorang pencari kebenaran harus berani mengorbankan segala-galanya untuk mencapai tujuannya yang tertinggi. Maka diperlukan sekali bahwa ia :
1.         Menundukkan dirinya pada suatu discipline yagn keras.
2.         Menjauhkan dirinya dari kesenangan-kesenangan.
3.         Menderita kesedihan, dan
4.         Tahan terhadap penghinaan-penghinaan.
Dengan adanya disiplin kejiwaan yang juga mengandung suatu ujian tanpa rasa sayang terhadap dirinya sendiri, maka si pencari kebenaran dapat sampai pada suatu tingkat di mana kebebasannya akan berakhir (end of Freedom).
4.
Sebagai syarat ke-4 dikemukakan bahwa siswa yang mempelajari Filsafat harus mempunyai hasrat besar untuk mencapai moksa atau pembebasan. Orang yang jiwanya sudah “bersuasana metaphysis”, yang telah melepaskan segala macam keinginannya dan telah menjalani nya dan telah menjalani latihan-latihan seperti tersebut di atas tadi, hanya memiliki satu hasrat besar, yaitu untuk mencapai “Titik Akhir” atau “Tingkat Abadi”.
------------------------
Rakyat India itu sedmeikian besar rasa hormatnya terhadap para ahli Filsafat yagn cemerlang dalam mempergunakan daya pengetahuan serta inteleknya, hinggga mereka benar-benar memuja tinggi ahli-ahli filsafat itu. Nabi-Nabi ini, yagn dengan rasa setia akan kebenaran berusaha keras untuk memahami rahasia-rahasia dunia dan untuk merumuskannya, yang siang malam memeras peluhnya, benar-benar mencerminkan istilah “Ahli Filsafat” di dalam artinya yangpokok. Demi kepentingan umat manusia, mereka menarik pelajaran dari hal-hal yang dialaminya. Maka dari itu jgua tidak mengherankan bahwa untuk selama-lamanya, makhluk yang berjenis manusia akan tetap berterima kasih pada mereka.
Corak kebangsaan lain yang terdapat di India, berupa : “Pemujaan/penghormatan terhadap masa yang lampau.
Di sana nampak adanya semnagat untuk mempertahankan hal-hal yang lama, dari abad ke abad dengan kesetiaan yang berlebih-lebihan. Apabila orang India menghadapi sesuatu kebudayaan baru atau pun suatu pengluasan pengetahuan yagn datang mendadak, ia tidak akan menyerah begitu saja pada kehendak hatinya pada saat itu, melainkan ia akan berpegang erat pada kepercayaannya yagn treadisionil, dan ia akan berusaha untuk memasukkan yang baru ke dalam yang lama. Adanya “Liberalisme yang conservatife” ini menjadi pendorong dalam tercapainya hasil-hasil yang gemilang di lapangan kebudayaan dan peradaban India. Di antara akebudayaan-kebudayaan tinggi yang terdapat pada jaman Kuno, sekarang hanya tinggal kebudayaan India saja yang masih hidup. Kejayaan dari peradaban/kebudayaan Mesir hanya dapat kita pelajari dan laporan-laporan para ahli archeologi atau dari tulisan-tulisan Hieroglyphe yang  ditinggalkan oleh orang-oran Mesir dari jaman Kuno. Dari kerajaan Babylon yang dahulu mempunyai tokoh-tokoh yang luar biasa pandainya di dalam lapangan ilmiah, irigasi dan tehnik, sekarang hanya tinggal timbunan puing saja. Kebudyaan romawi yagn tersohor karena lembaga-lembaga politiknya dan cita-citanya ke arah keadilan dan persamaan, sebagian bear boleh dikatakan sudah termasuk/ masa yang silam. Sebaliknya peradaban/kebudayaan India yang menurut taksiran paling sedikit sudah 4.000 tahun usianya, kini masih tetap hidup di dalam bentuk-bentuknya yangpokok. Kebudayaan yang sudah bersinar sejak jaman Weda itu, boleh di kata adalah muda dan tua sekaligus. Sudah berulang-ulang terjadi, bahwa akebudayaan tersebut mengalami peremajaan, setiap kali kalau perjalanan sejarah menghendakinya. Dan kalau sampai ada perubahan-erubahan, maka perubahan-perubahan ini tidaklah disadari. Bagaimana pun juga, setiap kali terjadi perubahan, maka katanya aitu hanya suatu pemberian nama baru saja kepada cara berpikir yang lama. Di “Alam Reg Weda: kita dapat membacanya, betapa besarnya perhatian orang-orang Arya yang menyerbu dahulu (yang keyakinan-keyakinanya di dalam soal-soal keagamaan sangat terkenal) akan konsep-konsep yang dimiliki oleh penduduk bumiputra. Di dalam Weda Atharwa kita dapat melihat bahwa di samping Dewa-Dewa Langit dan Matahari, Api dan Angin, sebagaimana dipuja oleh orang-oran Arya dari Gangga sampai Hellespont, masih ditambah lagi Dewa-Dewa cosmis yang diperincinya tidak begitu tegas. Upanisad-Upanisad dianggap sebagai peninggalan yang tetap berjiwa atau lebih tepat : dianggap sebagai perwujudan dari sesuatu yagn sudah tercantum di dalam nyanyian-nyanyian pujaan Weda. Orang mengatakan bahwa Bhagawadgita (di blog yang sama ada Bhagawat Gita Bahasa Jawa). Menyebutkan secara berturut-turut ajaran-ajaran yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad. DI dalam syair-syair kepahlawanan India, terdapat :
“Titik pertemuan antara konsep-konsep religius terpenting yagn datang dari “laur” dan pemujaan terhadap keadaan alam sebagaimana dilakukan pada jaman sebelum masuknya orang-orang “luar.”
Adanya rasa hormat dan pemujaan terhadap jaman kuno, menggalang jalan bagi tercapainya hasil-hasil yang gemilang pada jaman baru.
-------------------------------------------
Catatan Penulis :
Bandingkanlah denngan apa yang ditulis oleh Gilbert Murray di dalam “Four Stages of Greek Religion: : “Pernyataan bahwa hal sesuatu baru merupakan hal yang lama, adalah ciri umum yang menjadi tanda dari pergerakan-pergerakan besar. Demikian dikatakan bahwa  Reformasi itu adalah suatu pergerakan untuk kembali ke-Kitab Injil, Pergerakan Evangeli di Inggris menyatakan hendak kembali ke Injil, sedang pergerakan Gereja Tinggi (High Church) hendak kembali ke Gereja yagn dulu-dulu. Unsur yang penting ini kita dapati pula di dalam Revolusi Perancis, yaitu usaha terkuat di dalam sejarah manusia untuk mematahkan ikatan-ikatan/tradisi-tradisi dari jama yang lampau, di mana orang bercita-cita akan kembali ke “Kebajikan Republik Romawi” (Th. 510 – 27 sebelum M.) ataupun kembali pada kesederhanaan – manusia yang sewajarnya.”
--------------------------------------------
Semangat yang lama tetap dipertahankan, sekali pun tidak di dalam bentuk-bentuknya yagn lama. Kecenderungan ini, yaitu kecenderugnan untuk mempertahankan type/pola yang sama, telah menimbulkan sementara pernyataan yang ganjil sekali, sebab orang India dikatakan tidak mobil (tidak suka “bergerak”). Padahal, pikiran oarng India itu tidak bernah berhenti, sekali pun tidak dikehendaki patahnya ikatan-ikatan dengan jaman yang lampau.
Adanya rasa hormat terahdap masa yang silam menyebakan bahwa di dalam alam pikiran India terdapat continutit (kelangsungan) yagn terus menerus, tanpa ada titi-titik berhenti. Abad yagn satu teriakt apda abad yagn lain oleh suatu cinta saleh yagn terdapat di dalam hati sanubari orang India. Kebudayaan Hidnu adalah buah yagn dihasilkan oleh pergantian-pergantian abad, dan juga deikerjakan oleh breatus-ratus generasi. Di antara generasi-generasi ini ada yang berbadan panjang, yang bekerja lambat denga  muka suram, tetapi ada pula yang berbadan pendek, yagn bekerja cepat dengan muak berseri-seri. Masing-masing di antara mereka ini telah menyumbangkan sesuatu kwalitet pada tradisi yang luhur dan kaya itu, yang tetap masih hidup, walau pun juga mengandung tanda-tanda dari msa lampau yang sudah mati. Jalan hidup yagn ditempuh oleh Filsafat India itu diibaratkan jalannya iar yang meluncur berguling-guling dengan suka ria dari sumbernya  di antara puncak-puncak pegunungan di sebelah Utara, yagn kemudian menderas melintasi lembah-lembah dan padang-padang yagn teduh dengan menyerkap di dalam arusnya yagn perkasa itu, aliran-aliran lain yang lebih kecil, sehingga akhirnya sekausa raja berjalanlah ia dalam santun melewati negeri-negeri dan rakyat-rakyat yagn tersangkut paut hart akekayaannya. Dengan nejinjing ribuan perahu di dlam pangkuannya. Siapa gerangan yang tahu apakah dan kapankah arus yang super kuasa itu, yang kini masih terus menerus mengalir dengan hiruk pikuk dan dengan kemauan yang penuh rasa gembira, akan masuk ke dalam Samudra, yaitu ayah dari semua arus dan aliran.
Dengan tiada perkecualian, semua ahli pikir India menganggap keseluruhan dari Filsafat India, sebagai : “Satu system wahyu-wahyu yagn saling susul menyusul secara terus menerus.
Mereka percaya bahwa tiap-tiap peradaban/Kebudayaan itu sudah dengan sendirinya mengembangkan sesuatu pikiran yagn berasal dari Dewa/Tuhan.
-------------------------------------------
Catatan Penulis :
Sifat pembawaan yagn terdapat pada setiap bangsa ini, yaitu keyakinan bahwa yagn dilaksanakan dan diperkembangkan itu adalah pikiran yang berasal dari Dewa/Tuhan, oleh orang Yunani deisebut “Sifat Asli” (Nature), dan oleh Orang India disebut “Dharma”.
-------------------------------------
Di sini terkandung suatu teologi (filsafat yagn mengajarkan bahwa segala kejadian di alam ini disebabkan dan ditentukan oleh tujuannya atau causa finalisnya, Pen) Yang mengajarkan bahwa hidup tiap-tiap bangsa itu berkembang menuju ke kesempurnaan) Mengenai hal ini ada berbagai padnangan yang berbeda-beda, tetapi semuanya dianggap sebaga cabang-cabang dari satu pohon. Pandangan yangsatu menempuh jalan yang salah, yang lain terbentur pada jalan buntu, tetapi bagaimana pun juga, bersama-sama mereka akan menemukan jalan raya yang menuju ke kebenaran. Antara kita dengan kita, caranya mendamaikan ke enam system yang orthodox itu digambarkan sebagai seorang Ibu yang menunjukkan bulan kepada anaknya dengan berkata “Liharlah lingkaran yang bersinar di atas pohon itu!” Ini mudah sekali di tangkap oleh si anak, tanpa juga menyebut-nyebut tentang jauhnya jarak yang memissahkan bumi dari bulan. Sebab kalau itu disebut-sebut, akibatnya akan membingungkan si anak saja. Demikian juga kalau kita mengikuti pandangan-pandangan yang berbeda-beda itu, kita akan menjadi bingung, sebab tiap-tiap pandangan itu telah disesuaikan dengan apa yang dapat dipahami oleh sekelompok manusia tentunya, masing-masing dengan kelemahannya sendiri-sendiri.
 Di dalam Prabodhacandrodaya, yaitu sebuah drama (ceritera sedih) yagn coraknya filosofis, dikatakan :
“Keenam system kefilsafatan Hindu itu tidak dapat dilepaskan satu dari lainnya, tetapi dengan sudut pandangan yang berbeda-beda, mereka bersama-sama mendukung kemegahan dan kebesaran Tuhan yag Satu dan yagn tak terciptakan, Keenam-enamnya bersma-sama merupakan focus (titik api) yang hidup dari sinar-sinar yang bercerai berai sebagaimana dipancarkan oleh umat manusia (dengan segi-seginya yang bermacam-macam) dalam mereka hendak menggambarkan matahari yagn amat indah itu.”
Di dalam Sarwadarsanasamgraha, yatu buah ciptaan Madhwa (1380 M) disebut tentang adalah 16 system pikiran yang amsing-masing diberi nomor urut, dan di susun dari bawah ke atas, untuk menunjukkan adanya rentetan system-system yagn saling susul-menyusul melewati garis yang menanjak. Yang ditempatkan di atas sendiri adalah Wedanta adwaita (atau Non dualisme), Madhwa menempatkan dirinya pada sudut pandangan Hegel, dan menganggap Sejarah Filsafat India sebagai suatu usaha yagn progesif untuk memperoleh konsep yagn tegas dan terang mengenai dunia. Ia mengatakn bahwa :
“Dengan adanya system-system yang susul-menyusul itu, apa yang disebut “kebenaran” dikeluarkan dari selubungnya sedikit demi sedikit. Dan kita baru akan memperoleh kebenaran yagn lengkap apabila rentetan system-system itu sduah lengkap. Di dalam Wedanta Adwaita, sinar-sinar yang bercerai berai sudah dipersatu-padukan sedemikian rupa hingga bersama-sama mempunyai focus satu.
Wijnanabhiksu, seorang theolog dan ahli pikir dari abad ke 16- beranggapan bahwa system-system itu semeuanya mempunyai kewibawaannya sendiri-sendiri. Di dalam usahanya untuk menyesuaikan system yagn satu dengan yang lain, ia membeda-bedakan, antara :
“Kebenaran praktis dan kebenaran metaphysis, sedang samkhya diapndang berisikan pernyataan yang memberi keputusan terakhir di dalam soal kebenaran.”
Madhusudana Saraswati menulis di dalam buah karangannya yang berkepala Prasthanabheda :
“Maksud yang dikandung oleh para Muni, yaitu penulis-penulis dari system-system tersebut, adalah mendukung teori maya, sedang tujuan mereka yalah menetapkan atas dasar bukti-bukti, adanya Satu Tuhan yang tertinggi yang merupakan sat-satunya hakekat. Dan pendapat dari muni-muni itu mustahil keliru, sebab mereka mengetahui segala-galanya.
Karena mereka melihat bahwa manusia itu tidak dapat secara sekaligus memasuki wilayah kebenaran yang Tertinggi, tidak lain karena masih terikat pada kebiasaannya untuk mengejar-ngejar obyek-obyek pancaindra, maka mereka lalu memberikan kepada umat manusia bermacam-macam teori dengan maksud supaya orang jangan jatuh ke dalam jurang atheisme. Tetapi ada banyak orang yang mengerti tujuan apa yang hendak dicapai oleh para muni. Dan karena ada anggapan yagn salah, yaitu bahwa para muni malahan memberi pelajaran yang bertentangan dengan isi Weda-Weda, maka orang lalu lebih suka mempelajari semua ajaran saja yang diberikan oleh madzhab-madzhab/aliran-aliran yang ada. Dengan demikian orang India menjadi penganut dari berbagai system bersama-sama.
Maka lalu juga ada usaha-usaha untuk menyesuaikan system yang satu dengan lainnya. Dan ini memang banyak diusahakan oleh hampir semua kritisi dan komentator. Bedhanya system yagn satu dengan lainnya itu lalu hanya berkisar pada apa yang dianggap sebagai kebenaran. Para pembela Nyaya (seperti misalnya Udayana) menganggap Nyaya sebagai satu-satunya kebenran, sedang para Theist menganggap Theist sebagai yang benar. Adalah sesuai dengan jiwa kebudayaan India, untuk beranggapan bahwa arus-arus pikiran yang bermacam-macam sebagaimana mengalir di tanah India itu, akan melapaskan airnya ke dalam satu-satunya sungai yang air bahnya akan menuju ke Hadirat Tuhan.
Sudah dari permulaan, orang India merasa bahwa yang dinamakan Kebenran itu mempunyai banyak sisinya. Masing-masing pandangan mendekatinya dari sisi yang berlainan. Maka apa yang dicerminkan oleh masing-masing pandangan itu tentunya kurang lengkap darpada yang dicerminkan oleh semua pandangan bersama-sama. Adanya pandangan dasar yang demikian ini menyebabkan bahwa orang India : “Sifatnya toleran (meneggang rasa atau hati orang lain) dan dapat menerima pandangan-pandangan lain.
Pun ajaran-ajaran yang berbahaya diterima olehnya tanpa ras takut-takut, asal saja ajaran-ajaran itu tersandarkan pada Logica. Malahan dimana mungkin, ia akan tetap membantu supaya semua ajaran-ajaran itu dapat hidup langsung. Ini suatu hal yang juga termasuk tradisi India. Dalam mempelajari Filsafat India, kita akan menjumpai berbagai contoh di mana orang India benar-benar memperlihatkan toleransi yang sebesar-besarnya.
Sudah barang tentu, bahwa berpandangan yang seluas itu ada bahaya-bahayanya. Dan memang sudah kerap kali terjadi bahwa sikap yang demikian ini :
1.         Mendatangkan pikiran-pikiran yagn kabur dan samar-smar pada ahli-ahli filsafat India.
2.         Menyebabkan mereka menerima begitu saja pandangan-pandangan baru tanpa banyak memikirkannya, dan
3.         Membawa mereka ke-eclecticisme yang “murah-murahan.”
3.  BEBERAPA DAKWAAN YANG DITUDUHKAN PADA FILSAFAT INDIA
Kita banyak mendengar bahwa di dalam serangan-serangan yang dilakukan terhadap filsafat India orang menonjol-nonjolkan :
1.         Pesimisnya;
2.         Dogmatismenya;
3.         Sikapnya yang acuh tak acuh terhadap Ethica, dan
4.         Sifatnya yang tidak progresif.
Hampir setiap kritik yang dilancarkan terhadap filsafat dan Kebudayaan India menonjol-nonjolkan pessimismenya. Kami sebaliknya, tidak mengerti bagaimana pikiran manusia dapat bekerja dengan bebas dan dapat memberi bentuk baru pada cara-cara hidup, andaikata sudah penuh berisikan rasa payah andaikata sudah penuh berisikan rasa payah dan muak serta tertimpa oleh perasaan putus asa. Baiklah dikatakan sebelumnya, bahwa lapangan kerja dan kebebasan Filsafat India itu tidak dapat menerima adanya pessimisme yang berlebih-lebihan. Boleh juga orang mengatakan bahwa Filsafat India itu  pessimistis, asal saja perkataan pessimistis itu diambil di dalam arti : “Tidak puas dengan apa adanya.”
Tetapi kalau diambil arti ini, lalu semua kefilsafatan adalah pessimistis. Sebab yang menimbulkan persoalan-persoalan Filsafat  dan Agama itu adalah penderitaan-penderitaan yang terdapat di dunia ini. System-system ke-Agamaan yang menitik beratkan pada “pembebasan” (dari dosa-dosa) itu mencari jalan untuk dapat lolos dari hidup yang singkat ini. Tetapi apa buruknya untuk mencari kenyataan di dalam keadaannya yang sebenarnya (Sebagaimana diusahakan oleh Filsafat India)? Di dalam Filsafat India istilah “SAT” itu baik menunjukkan apda Kenyataan mau pun Kesempurnaan. Kebenran dan Kebaikan atau lebih tepat : Kenyataan dan Kesempurnaan, itu berjalan bersama-sama. Kenyataan mempunyai nilai yang tertinggi, dan bukankah nilai yang tertinggi itu menjadi dasar dari segala macam optimissme
Prof. Bosanquat menulis :
“Aku percaya akan optimisme, tetapi masih harus ditambahkan bahwa optimisme itu baru mempunyai arti, bilamana terus menerus berjalan bersama-sama dengan pessimisme, sampai tiba pada sesuatu titik di mana apa yang disebut pessimisme itu sudah teratasi/terlampau. Aku yakin bahwa apa yang kunyatakan ini harus menjadi jiwa yang sebenarnya dari hidup. Dan bilamana ada orang yang menyatakan bahwa pernyataanku ini mengandung bahaya, dan menganggapnya sebagai alasan yang dicari-cari saja untuk membenarkan adanya ketawakalan pada hal-hal yang buruk, maka aku akan menjawab bahwa setiap kebenaran saja yang diteropong dengan ketelitian, dengan demikian lalu juga ada bahayanya kalau dipraktekkan”. (Bacalah “Social and Internasional Ideals”, dan bandignkanlah dengan apa yang dikatakan oleh Schopenhauer : “Bilamana optimisme itu hanya berupa omong kosong belaka tanpa dasar-dasar pikiran, maka itu semata-mata akan menggabarkan kegilaan dan penderitaan manusia yang tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata.”
Para ahli pikir India memang dapat disebut pessimisme,a sal saja diambil di dalam arti bahwa mereka : “Memandang tata dunia ini sebagai suatu hal yang buruk, dan sebagai suatu khayalan/kebohongan belaka.
Tetapi, di samping itu merupakan juga optimistis, oleh akrena mereka merasa bahwa tentu ada jalan kelaurnya, yang menuju ke wilayah Kebenaran atau juga di wilayah kebaikan.
Orang mengkritik bahwa Filsafat India itu dogmatis melulu, padahal Filsafat di dalama rti yang sebenarnya tidak boleh dan tidak dapat hidup langsung atas dasar penerimaan sesuatu dogma. Apakah tuduhan yang demikian ini benar atau tidak, hal itu saya serahkan pada anda yaang tengah mempelajari buku ini. Banyak di antara system-system Filsafat India mempersoalkan pengetahuan manusia, memperbincangkan asal mulanya serta nilainya sebgai alat untuk mempelajari soal-soal lain. Memang benar bahwa pada umumnya orang memandang Weda atau Sruti sumber pengetahuan yang berkewibawaan, sehingga orang juga banyak menghormatinya. Akan tetapi, sessuatu kefislafatan hanya akan menjadi dogmatis, apabila kefilsafatan itu sebelum apa-apa sudah beranggapan bahwa did alam hal ini :
“Pernyataan-pernyataan yang tertera di dalam weda dapat lebih dipercaya daripada pancaindra kita, dan mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada konklusi-konklusi akal manusia.
Pernyataan-pernyataan di dalam Weda-weda berupa Aptavacana atau sabda-sabdadari para arif bijaksana. Dan kalau kamis edang menghadapi sesuatu persoalan yang sulit, kami dapat mengharap bantuan dari apa yang tercantum di dalam sabda-sabda itu, asal saja ada keyakinan pada kami bahwa para arif bijaksana itu mempunyai “alat-alat” yang lebih baik dariiapda alat-alat manusia biasa untuk menilai bermacam-macam persoalan. Pada umumnya, pernyataan-pernyataan di dalam Weda itu menuju pada pengalaman-pengalaman para Nabi (Seers) yang harus diperhatikan dalam hal orang hendak menafsirkan Kenyataan secara rational. Penglaman-pengalaman tersebut berupa pengalaman-pengalaman dalam memperoleh pemadangan yang terang dan dalam dengan jalan intuisi (Intuitional Experiences), dan dapat diperoleh siapa saja, asal mau! Bantuan yang kami harapkan dari Weda-weda itu tidaklah mengenai soal-soal yang extra filosofis. Seseorng yang hatinya suci muerni, tanpa ragu-ragu menerima apa yang dialaminya dengan jalan intuisi, jadi disamakan dengan orang biasa yang menerima begitu saja sesuatu dogma.
Memang benar bahwa di kemmudian hari, sewaktu komentar-komentar di tulis, di dalam lapangan Filsafat terdapat suasana yang orthodox (jadi di mana orang berpegang erat pada pedoman-pedoman lama. Pen) yaitu sewaktu orang hanya memikirkan bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk membela secara academis (jadi teoritis melulu) dogma-dogma yang telah diterima. Meskipun tentang system-system yang dulu-dulu juga dikatan bahwa sifatnya hanya menerangkan/menjeaskan semata-mata, dan bahwa system-system tersebut berupa komentar-komentar atas naskah-naskah lama, namun tidak pernah dikandung maksud bahwa system-system itu akan diterima begitu saja., oleh karena memang di insyafi bahwa Upanisad-upanisad  yang merupakan sumber ilmu bagi system-system itu, mempunyai banyak segi-segi yang bermacam-ragam, Tetapi sesudah abad ke-8, pertengkaran di dalam lapangan filsafat memperoleh corak yang tradisional dan scholastis (artinay di mana kaum muda di didik untuk mengoper pendirina guruny, dst. Pen). Sehingga tidak lagi terdapat kebebasan seperti di dalam periode-periode sebelumnya. Para pendiri-pendiri madzhab dinyataan sebagai orang-orang yang kudus/suci, sehingga tidak mungkin lagi untuk menyelidiki atau menguji pendpat-pendapat mereka, sebab itu dianggap mengurangi penghormatan dan mengurangi penghargaan yang layak diberikan kepada mereka. Dengan demikian sudah tertancaplah dalil-dalil pokok  yang akan didengung-dengungkan untuk seterusnya, sedang yang menjadi fungsi dari para guru itu hanyalah menyampaikan saja kepercayaan dari aliran/ madzhabnya, dengan sekedar perubahan-perubahan yang dibutuhkan oleh jaman.
Orang mencari alasan-alasan baru untuk menegakkan konklusi-konklusi dari jaman yang sudah lama lampau, dan menempuh jalan keluar baru sampai terbentur pada kesulitan kesulitan yag beru pula, sehingga akhirnya kembali lagi dia pada pegangan-pegangan yang lama dengan mengubah sedikit pokok persoalannya. Orang tidak banyak merenungkan lagi tentang soal-soal hidup yang sifatnya “lebih mendalam”, sedang terlalu banyak diskusi dicurahan pada hal-hal yang dibikin-bikin oleh manusia. Kekayaan tradisi India membeleenggu orang-orangnya dengan beban yang sedemikian beratnya, hingga ilsafat berhenti bergerak, dan kadang-kadang malahan hampir-hampir berhenti bernafas. Tuduhan yang pada umunya dilemparkan pada keseluruhan dari Filsafat India, yaitu bahwa Filsafat India tidak memberi sesuatu manfaat, mungkin ada dasarnya, kalau kita melihat kata-kata yang berlimpah-limpah sebagaimana dinyatakan di dalam risalah para komentator. Mereka ini semata-mata mencari nafkah sebagai ahli Dialectica (Ahli-ahli debat yang mempergunakan dasar-dasar Logika.Pen) Jadi bukan Rasul-Rasul berilham. Yang menunjukkan jalan-jalan hidup atau pun menunjukkan jalan ke keindahan, seperti halnya dengan ahli-ahli filsafat dari generasi yang dulu-dulu. Namun demikian, di bawah lapisan kerak yang melekat pada taman itu, jiwa orang india masih tetap muda, sehingga sekali-kali kerak itu  diterobosi dengan tunas yang hijau dan lunak. Tampillah ke muka tokoh-tokoh seperti Syamkara atau Madhwa, yang menamakan dirinya komentator, tetapi sekaligus juga memperhatikan adanya azas kejiwaan yang menuntun gerakan-gerakan di dunia ini.
Acap kali dikemukakan bahwa Filsfat India tidak bercorak Ethis, Farcuhar menulis di dalam “Hibbert Journal” : “Boleh dikatakan bahwa di dalam batas-batas alam pikiran Hindu, tidak terdapat kefilsafatan ethis.”
Tuduhan yang demikian ini tidak dapat dipertahankan. Adalah suatu hal yang lajim, bahwa orang India selalu berusaha untuk mengisi seluruh hidupnya dengan kekuatan kejiwaan/kerohanian. Konsep yang terpenting di dalam alam pikiran India adalah yang mengenai Kenyataan, dan kemudian yang mengenai Dharma. Dan apakah intinya ethis atau tidak mengenai hal itu dapat dikatakan bahwa baik Buddhisme, Jainisme mau pun Hinduisme tidak kalah ethisnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan lainnya. Sebab di situ ada anggapan bahwa kesempuranaan di dalam lapangan Ethica merupakan langkah pertama ke arah pengetahuan yang bercorak keagamaan.
Ada tuduhan bahwa Filsafat India tetap “berhenti di tempatnya saja” (stationary) dan berupa “proses menebah jerami tua” dengant idak hentinya. Istilah timur yang tidak berubah-ubah” juga dipakai untuk menyatakan bahwa di India jarum yang menunjukkan waktu itu sudah tidak maju-maju lagi, dan malahan berhenti untuk selama-lamanya.
a.         Kalau dimaksudkan bahwa Filsafat India itu tidak prograsif karena persoalan-perosalannya sama, maka janganlah tuduhan yang demikian itu hanya dilemparkan pada Fislafat India saja,s ebab did alam perkembangan dari kefilsfatan apa saja, tentu terdapat ke-tidak progresif-an. Dari abad-ke abad,d an dimana pun juga persoalan-persoalan lama mengenai Tuhan, mengenai kebebasan, dan mengenai keabadian itu selalu berkali-kali diulangi, dan selalu berakhir dengan pemecahan yang tetap tidak memuaskan. Tetapi meskipun bentuk persoalannya sama, namun materinya (isinya) berlainan. Misalnya da perbedaan yang besar sekali antara Tuhan yang digambarkan di dalam nyanyian-nyanyian pujaan Weda, dan Diri Yang Mutlak sebgaimana digambarkan oleh Sjamkara. Filsafat adalah kumandang dari suatu keadaan tertentul dan oleh karena setiap keadaan itu menjadi “baru” lagi pada tiap-tiap generasi, maka usaha-usaha di dalam lapangan Filsafat pun perlu diperbaharui pula.
b.         Ataukah dimaksudkan bahwa tidak terdapat perbedaan pokok antara pemecahan yang diberikan di dalam kitab-kitab suci India Kuno dan yang diberikan di dalam buah-buah kerangka Plato atau pun di dalam kitab-kitab Agama Nasrani? Kalau ini yang dimaksudkan, maka ini hanya menunjukkan bahwa Jiwa Universil yang Satu itu, yang selalu membagi-bagikan kasih sayang-Nya dari zaman ke zaman (sekali pun dengan jangka waktu yang agak panjang) memperdengarkan kembali suara-Nya untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Pesanan yang kudus /Suci ini menerobos rintangan-rintangan zaman dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda, sesua dengan adanya bangsa-bangsa dan tradisi-tradisi yang berbeda-beda pula.
c.         Ada juga kemungkinan, bahwa yang dimaksudkan yaitu adanya penghormatan tertentu terhadpa masa lampau, yang memaksa para ahli piir India untuk menuang minuman anggur baru ke dalam botol-botol yang lama. Tetapi kalau ini yang dimaksudkan, maka saya akan kembali menandaskan pernyataan saya di muka, yaitu bah hal  ini justru merupakan tanda khusus dari alam pikiran India. Filsafat India bertubuh dengan memungut kembali segala kebaikan yang pernah rontok pada hari-hari yang lampau, untuk ditambah dengan kebaikan-kebaikan lain. Sedikit-demi sedikit. Oang India mewaris kepercayaan nenek moyangnya, yang diubah sedikit bentuknya untuk memenuhi panggilan jaman. Kalau orang mengkritik bahwa alam pikiran India tidak dapat disebut bernilai karena tidak disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, maka saya akan menjawab bahwa orang-orang yang sedang sibuk-sibuknya mengenyam sesuatu perkembangan baru, selalu cenderung untuk memberi cap yang demikian itu pada hal-hal yag menurut pandangannya sudah ketinggalan jaman. Yang mengkritik demikian itu mungkin mengira, bahwa perkembangan-perkembangan ilmiah telah menimbulkan perubahan-perubahan besar pada inti/hakekat filsfat. Kalau ditinjau dari segi-seginya ilmiah, memang teori-teori seperti yang mengenai “Evolusi biologis” dan mengenai relavitet physik” itu adalah revolusioner sekali, tetapi sebaliknya, teori-teori tersebut sama sekali tidak mengacaukan kefilsafatan-kefislafatan lama, melainkan malahan memperkuat kebenarannya, dengan menilainya dari sudut-sudut pandangan baru.
d.         Tentang tidak progresifnya Filsafat India dan tetap berhentinya di tempat yang sama, itu memang suatu tuduhan yang benar, asal saja dituduhkan pada periode yang datang sesudah jaman para komentator ulung yang pertama-tama. Beban yang ditinggalkan oleh masa lampau terasa semakin berat, segala inisiatif terkekang kuat-kuat, dan dimulailah suatu pekerjaan yang serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh para scholastici apad aabad pertengahan, dimana kewibawaan serta tradisi dihormati sebesar-besarnya, dan dimana prasangka-prasangka theologis sduah meresap dalam-dalam. Andai kata ada lebih banyak kebebasan, maka sudah terang bahw para ahli Filsafat India lalu akan lebih berhasil dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai. Sebab untuk melanjutkan perkembangan daari Filsafat yang hidup, dan untuk tetap memelihara dan menyuburkan tenaga-tenaga yang kreatif, dibutuhkan adanya kontak secara bebas dengan gerakan-gerakan hidup di dunia ini, supaya benar-benar dapat terselenggara kebebasan di dalam alam pikiran. Filsafat India yang telah kehilangan kekuatan serta tenaganya sejak negaranya menderita kekalahan politik, baranggkalai akan mendapat ilham-ilham baru dan dorongan baru dari jaman yang sekarang sedang menyingsingkan fajarnya di atas India. Bagaimana pun juga , bila mana para ahli pikir India dapat mengkombinasikan cintanya akan masa lampau dengan kehausannya akan Kebenaran, maka Filsafat India akan menginjak suatu masa depan yang segemilang masa lampaunya.

4.  NILAI DARI STUDI YANG DITUJUKAN PADA FILSAFAT INDIA
Orang mempelajari Filsafat India tidak sebagai barang antik (kuno) semata-mata. Ada manfaatnya juga untuk mengerti bagaimana jalan pikirannya para ahli filsafat pada masa yang lampau, dan bagaimana ujudnya ide-ide yang menghinggapi mereka. Hal sesuatu yang pernah menjadi pusat perhatian orang banyak, untuk seterusnya tidak akan kehilagan seluruh nilainya. Dengan menilik kembali kaum Arya yang memuja-muja Weda, orang dapat menyaksikana danya pergulatan besar antara pikiran yang kuat dengan persoalan-perosalan yang tergolong paling sulit diantara yang pernah dihadapi oleh manusia yang berpikir, Kata Hegel :
“Sejarah Filsafat di dalam arti yang sebenarnya, tidak berkisar pada amsa yang lampau, melainkan berkisar apda masa sekarang yang kita hadapi di manapun kita berada. Dan hasilnya bukanlah sebuah musium yang berisikan kesesatan-kesesatan dari intelek manusia, melainkan sebuha bangsal dimana orang mendewa-dewakan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai tingkat Logica, di dalam alam pikiran seluruh umat manusia” (Logicc” terjemahan Wallace).
Aka ternyata pula bahwa Sejarah Filsafat India berlainan sekli dengan kesan pertama yang kita peroleh daripadanya. Sebab Filsafat India bukanlah semata-mata suatu rentetan saja dari ide-ide yang susul-menyusul di dalam jangka waktu yang pendek.
Memang mudah sekali untuk memandang Filsafat sebagai olah raga saja, sebab bagi mereka yang sudah puas dengan hidup berpancaindra dan berpikir tanpa aturan, persoalan-persoalan Filsafat nampak sebagai hal-hal yang tidak nyata dan yang tidak masuk akal. Mereka yang memusuhi Filssafat mengkritik bahwa pihak-pihak yang menjelang gerakan diskusi-diskusi Fislafat itu membuang-buang waktu saja dengan saling damprat mendamprat secara logis dan main sulap dengan intelek manusia, sedang yang dibicarakan panjang lebar itu tak lain daripada teka-teki seperti : “Mana yang ada lebih dulu, telor atau ayam?” (Bagaimanapun juga, ini ternyata bukan soal yang remeh-remeh. Bacalah “Luck or Cunning” buha karangan Samuel Butler).
Persoalan-persoalan yang dibicarakan di dalam Filsafat India telah mengagumkan umat manusia sejak dahulu kala, sekali pun persoalan-persoalan itu belum pernah duga mendapat penyelsaian yang memuaskan. Agaknya manusia itu mempunyai kebutuhan atau keinginan besar untuk mengetahui sifat hakekat baik dari apa yang dinamakan roh/Jiwa mau pun dari Tuhan. Setiap orang yang mau memikirkan bahwa dirinya dari lahir sampai mati nyata-nyata terseret oleh arus yang mengalir tanpa berhenti mau memikirkan tentang alun hidup yang makin meninggi, tentang hal-hal yang jadi menjadi dan susul menyusul dengan tiada hentinya, tentu akan bertanya :
“Apakah maksudnya ini semua? Apakah artinya sebagai keseluruhan, kalau kita menyampingkan dulu kejadian-kejaidan yang kecil-kecil dan membingungkan?”
Filsafat bukanlah suatu keanehan, melainkan suatu hal yang memenuhi kepentingan/kebutuhan orang India. Memang ada orang-orang yang berfilsafat untuk mencari nafkah; dan ini boleh jadi adalah suatu pekerjaan yang sia-sia. Tetapi kalau itu kita kesampingkan, maka dapat dikatakan bahwa di dalam lapangan logica, di India terdapat perkembangan-perkembangan pikrian yang paling maju. Buah-buah karya dari para ahli filsafat India adalah sedemikian bernilainya bagi kemajuan pengetahuan manusia, sehingga akami menganggap pekerjaan mereka sebgai sesuatu yang patut dipelajari dengan sungguh-sungguh, sekalipun mungkin juga mengandung kekeliruan yang menyolok mata. Bilamana adanya sophisme-sophisme yang mencemarkan nama Fislafat pada waktu yang lampau itu dijadikan alasan untuk meniadakan pelajaran fislafat, maka tidak hanya studi akan Filsafat India saja, tetapi juga seluruh studi yang berbau filsafat itu sebaiknya dihapuskan pula.
Bagaimana pun juga, ampas ayang masih tinggal di dalam saringan yang dipakai untuk menepis kebenaran yang tetap (Boleh diakui bahwa ini adalah iuran yang berfaedah sekali bagi perkembangan pikiran manusia), Itu tidak seberapa banyak, juga setelah diperhitungkan buah-buah kerja dari ahli-ahli pikir Barat yang besar-besar seperti Plato dan Aristoteles. Orang mudah tersenyum geli, kalau menghadapi langgam musik halus yang menggema di dalam buah-buah karangan Plato, atau menjumpai dogmatisme Descartes yang buta celik, atau berhaapan dengan Empirisme Hume yang kruang segar, atau meninjau paradox-paradox Hegel yang menyengangkan. Tetapi bagaimana pun juga, tidak dapat kita bantah studi yang dipusatkan pada buah-buah kerja mereka itu menguntungkan juga.
Kembali pada filsafat India, walau pun di antara kebenran-kebenran hakiki dari Filsafat India itu hanya sedikit saja yang telah ikut membentuk sejarah alam pikiran manusia, namun di situ terdapat synthetis-synthetis umum serta konsep-konsep yang diajukan dengan cara yang systematis oleh entah  Badarayana entah Syamkara, yang sebagai patokan-patokan pembatasan di dlaam pikiran manusia dan sebagai tugu-tugu peringatan akan kepandaian sesama kita, sudah barang tentu akan menghias sejarah kita untuk selama-amanya.
------------------------------------
Catatatn Penulis :
Catatan penulis :
Banyak sarjana-sarjana Barat mengakui bernilainya Fislafat India. Kata Victor Cousin :
“Sebaliknya apabila kita mengikuti pergerakan-pergerakan di Timur dalam lapangan kepujanggaan dan Filsafat, maka yang terutama berasal dari India (dan yang mulai menyebar ke Eropah) itu menarik perhatian karna banyaknya kebenraan-kebenaran yang terdapat di dalamnya. Dan kebenaran-kebenaran ini sedemikian dalamnya, dan sedemikian berbedanya dengan hasil-hasil remeh yang kadang-kadang menyebabkan para ahli di eropah menghentikan pekerjaannya, hingga kita terpaksa membuka topi dan mengakui bahwa di Timur kita menemukan tanah air dari kefilsafatan tingkat Tertinggi.
Menurut Max Muller :
“Sampai kini orang eropa itu kebanyakndisuapi saja dengan pikiran-pikiran Yunani dan Romawi, dan  jgua dengan ide-ide yang berasal dari bangsa Yahudi. Tetapi jikalau sekarang aku merenung diri, untuk memikirkan tentang kesusteraan manakah yang sekiranya dapat memberikan kepada oran Eropa jalan baru yang paling banyak memenuhi harapan, yang dapat lebih difahami, yang lebih universal sifatnya, yang pada kenyataannya lebih cocok dengan sifat-sifat manusia, yang tidak saja sesuai dengan hidup sekarang tetapi juga dengan suatu hidup abadi yang memenuhi idam-idaman manusia, maka aku sekali lagi akan menunjuk ke arah India.”
Max Muller juga berkta :
“Di antara bangsa-bangsa yang apda hakekatnya berpegang teguh pada kefilsafatannya dan metaphysicanya sendir, dan yang pada bakatnya mempunyai hasrat untuk menyelaminya, seperti bangsa Jerman apda jaman sekarang dan bangsa Yahudi pada jaman dahulu terdapat juga bangsa Hindu yang menduduki tempat nomor satu kalau ditinjau dari lamanya waktu”.
-----------------------------------------
Bagi seorang Pelajar India, studi akan Filsafat India saja sudah dapat memberikan kepada suatu penglihata yang tajam perihal kedudukan India pada masa yang lampau. Pada waktu sekarang, orang Hindu pada umumya menganggap system-syste dari jaman yang lampau, yatu Buddhisme dan Adwaitisme, semuanya sebaga sama-sama bernilai dan dapat diterima oleh akal. Pengarang-pengaran dari system-system it dipuja-puja, sebagai Dewa. Studi akan Filsafat India akan membawakan baik pengertian yang jelas tentang situasinya, sudut pandangan yang tehuh dan tak memihak, mau pun keinsyafan bahwa segala sesuatu dari jaman kuno itu tidak boleh dianggap sduah sempurna. Dan tercapainya keinsyafan yang demikian ini adalah sesuatu yang pantas dicita-citakan. Sebab apabila intelek itu sudah dilepaskan dari tekanan-tekanannya, maka lalu dimungkinkan tembulnya pikiran-pikiran yang asli dan usaha-usaha yang kreatif. Boleh jadi ada orangg-orang India yang pada waktu sekarang dengan hati berat merasa puas dengan mengetahui beberapa detail saja dari permulaan sejarah negerinya. Memang orang-orang tua itu suka menghibur dirinya dengan ceritera-ceritera dari masa mudanya; dan suatu cara untuk melupakan masa sekarang yang seburuk ini, adalah membaca tentang masa lampau yang serba gemilang.

5.  BERBAGAI PERIODE DI DALAM PERKEMBANGAN ALAM PIKIRAN INDIA
Saya pandang perlu untuk sekedar memberi alasan mengapa saya telah memilih “Fislafat India” sebagai kepala dari buku ini, dan mengapa saya membicarakan fislafat orang-orang Hindu terlepas dari suku-suku bangsa lain yang juga berdiam di India. Yang terutama menjadi alasan adalah :
“Adanya kebiasaan untuk mempergunakan istilah itu. Pun pada waktu sekarang ini dapat dikatakan bahwa istilah “India” itu terutama berarti “Hindu”. Dan yang kita bicarakan di sini adalah Sejarah Alam Pikiran India, hanya sampai tahun 1.000 M. Atau lewat sedikit. Jadi sebelum kekayaan-kekayaan orang Hindu menjadi didpertalikan dengan hl-hal yang bukan asli Hindu.
Berbagai-bagai orang pada jaman yang berbeda-beda telah memberikan sumbangannya kepada perkembangan yang terus menerus dari alam pikiran India. Dan kekuatan jiwa India telah memberikan pengaruhnya yang tidak sedikit. Bagi kita tidaklah mungkin untuk mempunyai kepstian tentang chronologi (urut-urutan waktu) dari fase-fase perkemebangan itu. Tetapi bagaimana pun juga, kita akan berusaha untuk meneropong alam pikiran India dari sudut sejarah.
Ada berbaai aliran yang ajaran-ajarannya bersangkut paut dengan keadaan sekitarnya, dan sebaiknya semuanya ini di tinjau bersama-sama. Sebab, kalau ditinjau satu per satu, akan hilanglah daya penariknya, dan kita akan memandangnya sebagai tradisi-tradisi yang sudah mati.
Tiap-tiap system kefilsafatan itu adalah jawaban atas suatu pertanyaan positif yang timbul pada periode yang bersangkutan. Dan kalau orang pada sesuatu periode memnadang suatu persoalan dari sudutnya sendiri, maka ia tentu akan menemukan sesuatu kebenaran juga. Kefilsafatan-kefilsafatan India itu bukanlah sejumlah dalil-dalil yang memberikan penyelesaian ata pun juga yang dijadikan pegangan orang tanpa diketahui artinya yang sebenarnya, melainkan merupakan :
“Pernyatan dan evolusi sesuatu pikiran, yang  perlu kita selami dahulu, kalau kita ingin mengetahui bagaimana terbentuknya system-system tersebut.
Kita berusaha mengakui adanya :
“Hubungan setia-kawan (Solidarity) antara ffilsafat dan Sejarah antara hidup yang berdasarkan inntelek dan keadaan-keadaan sosial.
Dalam gambaran Walter Pater :
“Seperti pohon cemara yang tumbuh dengan gerak berputar (suatu hal yang tentunya dipandang sebagai perminan alam belaka kalau kebetulan terjadi di tenagh-tengah lapangan rumput di Inggris) itu dapat dianggap sebagai akibat dari pergulatan antara kekuatan-kekuatan dari arus-arus air yag mengalir di pegunungan Lapa (Alpine), atau dianggap sebagai ciptaan yang dipaksakan oleh keadaan, atau juga sebagai ciptaan yang sudah logis kalau melihat adanya fakta-fakta tertentu, maka demikian juga kepercayaan-kepercayaan yang bagaimana pun anehnya itu akan dilihat sebagai hal-hal yang sudah semestinya, asal saja orang tahu bagaimana cara menghubung-hubungkan dengan keadaan sekitarnya. Sebenarnya, kepercayaan-kepercayaan itu merupakan bagian-bagian dari keadaan sekeitarnya (Plato and Platonism).
Methode historis menghendaki supaya kita jangan memihak dalam kita meninjau pertarungan antara berbagai aliran, tetapi supaya kita mengikuti perkembangannya dengan sikap tak peduli mana yang menang dan mana yang kalah.
Karena kita menyadari betapa pentingnya peranan “waktu” di dalam Sejarah, maka kita juga sangat menyayangkan bahwa di India hampir-hampir tak pernah diadakan pencatatan tentang kapan lahirnya sesuatu system. Sehingga orang tidak dapat mengetahui system mana yang ada lebih dahulu, yang ini atau yang itu. Orang India pada jaman kuno sedemikian sedikit perhatiannya akan Sejarah, atau barangkali juga dapat dikatakan sedemikian berlebih lebihan perhatiannya akan filsafat, hingga kita sekarang lebih banyak mengetahui tentang kefilsafatannya daripada tentang ahli-ahli filsafatnya. Tetapi sejak lahirnya Buddha, orang menaruh lebih banyak perhatian akan urutan waktu. Meluasnya apengaruh Buddhisme terjadi bersamaan dengan meluasnya kekuasaan orang Iran sampai sungai Indus, di bawah Dynasti Achaemenidia dari Iran. Dan menurut pendengaran, Buddhisme ini menjadi sumber dari mana orang Barat mulai mengetahui sesuatu tentang India, yaitu karena dipelajari oleh Hecateus dan Herodotus.
Di dalam garis besarnya, Filsfat India itu dibagi-bagi sebagai berikut :
1.
Periode Weda (Tahun 1.500 – 600 sebelum Masehi) yang meliputi jaman tegaknya kekuasaan orang-orang Arya dan meluasnya kebudayaan serta  peradaban Arya secara selangkah-demi selangkah. Pada periode ini tercatat berdirinya Universitas-Universitas kehutanan” dimana idealisme tinggi dari India mulai berkembang. Di situ kita menghadapi aliran-aliran pikiran yang susul menyusul dan yang dapat mudah dikenal karena adanya Mantra-Mantra atau nyanyian-nyanyian pujaan, pemeluk-pemeluk Agama Brahma, dan Upanishad-uphanisad. Pendapat-pendapat yang diajukan di dalam periode ini belum dapata disebut filosofis menurut arti katanya juga teknis. Ini adalah suatu periode di mana orang masih meraba-raba dan mencari-cari di mana pikiran dan tachayul saling bercakar-cakaran. Tetapi untuk memenuhi ketertiban dan urut-urutan dalam menguraikan pokok pembicaraan kita ini, perlulah kita mulai dengan membahas pendapat-pendapat yang ermuat di dalam nyaian-nyanyian pujaan Regweda, dan membicarakan tentang sudut pandangan yang terdapat di alam Upanishad-Upanishad.
2.
Periode hikayat/cerita-cerita kepahlawanan (epic Periode ; 600 sebelum Masehi sampai 200 sesudah Masehi). Di sini berkembanglah baik Upanishad-Upanishad yang dulu-dulu, mau pun darsjana-darsjana atau system-system kefilsafatan. Hikayat Ramayana dan Mahabharata menjadi alat pemancar dari amanat baru yang datang dari hubungan antara sifat kepahlawanan dan sifat Ke-Tuhanan di dalam diri manusia. Pun di dalam periode ini kita menjumpai suatu pen-demokrasian”secara besar-besaran dari ide-ide Upanishad ke dalam Buddhisme dan kedalam Bhagawadgita. System-system yang religius dari Buddhisme, Jainisme, Syiwaisme, dan Wishnuisme termasuk periode ini. Perkembangan dari pikiran-pikiran abstrak, yang mencapai puncaknya pada berbagai aliran/madzhab Fislafat India di dalam bentuk dasjana, juga termasuk periode ini. Kebanyakan di antara system-system itu mulai timbul kira-kira bersamaan dengan melebarnya Buddhisme, sedang system  system ini berkembang dari abad ke abad secara berdampingan. Tetapi buah-buah kerja yang disusun systematis oleh aliran/aliran/madzhab-madzhab tersebut baru selesai dan baru dapat kita saksikan pada periode yang kemudian.
3.
Lalu datang periode Sutra )Sejal 200 tahun, sesudah Masehi) Yang dijadikan pokok pembicaraan menjadi sedemikian banyaknya, hingga sukar sekali untuk menguasai seluruhnya. Maka juga dirasakan perlunya  untuk membuat sekema kefilsafatan yang pendek dan ringkas. Ikhtisar ini dibuat di dalam bentuk Sutra. Sutra-sutra ini tidak dapat dimengerti kalau tidak ada komentarnya, maka juga tidak mengherankan bahwa komentar-komentarnya menjadi lebih penting daripada sutra-sutranya sendiri. Di dalam perkembangan pada periode ini sudah tercapai suatu sikap yang kritis  di dalam lapangan filsafat. Di dalam periode-periode sebelumnya kita sudah menjumpai diskusi-diskusi kefilsafatan dimana akal tidak bagitu saja menerima apa yang dikatakan orang, hingga terdapat suatu “permainan” yang mengitari pokok persoalannya, dengan mengajukan keberatan-keberatan dan jawaban-jawaban atas itu. Dengan jalan intuisi, para ahli pikir dapat sampai pada prinsip-prinsip umum yang bagi mereka agaknya dapat menerangkan segala aspek alam semesta. Sekali pun di sini synthesis-synthesis kefilsafatan itu sifatnya sudah mendalam dan cermat, namun keadaannya boleh dikata “menderita terus menerus” karena tidak ada sikap yang terutama kritis seperi dianjurkan oleh Knt. Tanpa amengkritik lebih dahulu apakah manusia itu mampu untuk memecahkan persoalan-persoalan filosofis, mereka mengarahkan pandangannya kepada dunia dan berpikir-pikir sampai tercapai konklusi-konklusinya. Usaha-usaha pertma yang diadakan untuk memahami dan menerangkan dunia, belum dapat disebut ‘Sungguh-sungguh filosofis”, oleh karena mereka belum diganggu oleh suara-suara yang menanyakan sampai berapa jauhkah kekuasaan manusia di dalam hal ini. Dan apa sudah tepatkah alat-alat dan criterium-criterium yang dipergunakan di sini. Seperti dikatakan oleh Caird : “Akal manusia sedang begitu sibuk menyelidiki obyeknya, hingga tidak ada kesempatan untuk mengawasi dirinya sendiri”. (Bacalah “Critical Philosophy of Kant”). Setelah sampai pada sutra-sutra, maka barulah pikiran-pikiran dan renungan-renungan itu menyadari dirinya, sehingga pikiran-pikiran dan renungan-renungan tidak lagi semata-mata merupakan paham-paham satau pun menggambarkan “kebebasan yang masih dipengaruhi oleh Agama”. Mengenai system-systemnya sendiri tidak dapat dikatakan dengan tepat, mana yang lahir lebih dahulu dan mana yang datang belakangan.
Aliran-aliran itu saling tunjuk menunjuk, yaitu di dalam hal yang satu menerima pandangan Samkhya, dan Waisyesika mengakui kebenaran pandangan Nyata maupun samkhya. Nyaya menunjuk pada baik Wedanta mau pun samkhya. Secara langsung atau tidak langsung, Mimamsa mengakui bahwa aliran-aliran lainnya telah muncul lebih dahulu daripadanya. Tetapi demikian juga pendapat Wedanta. Menurut Prof. Garbe, aliran yang tertua adalah aliran Samkhya, Kemudian muncul Yoga, dan yang terakhir adalah Waisjesika dan Nyaya. Periode Sutra tidak dapat dibedakan dengan tegas dari periode scholastik para komentator. Kedua periode tersebut boleh dikata masih berlangsung sampai kini,
4.
Periode Scholastik pun mulai sejak abad ke 2 sesudah M. Mustahil bagi kami, untuk menarik garis perbatasan yang tegas antara Periode ini dan Periode Sutra. Tetapi di sini tercatat nama-nama besar seperti Kumarila, Syamkara, Syridhara, Ramanudja, Madhwa, Wacaspati, Udayana, Bhaskara, Jayanta, Wijnanabhiksu dan Raghunatha. Kesustraan yang terdapat di dalam periode ini pada umumnya berbentuk pertengkaran pena. Kita menghadapi di sini guru-guru Filsafat yang bercekcok karena masing-masing mempunyai teori-teorinya sedniri yang cerdik licin, dengan mengajukan alasan-alasan yang tersusun rapih. Mereka dengan ganas bertengkar dalam menetapkan sifat-sifat umum atas dasar Logica. Banyak sarjana-sarjana India takut membuka buku-buku mereka ini, sebab buku-buku itu tidak memberi penjelasan, melainkan acapkali malahan membingungkan. Tidak soerang pun menyangkal bahwa mereka cerdik dan penuh bersemangat. Tetapi dari mereka kita hanya menerima kata-kata saja, dan bukan sesuatu jalan pikiran. Kita tidak memjumpai filsafat, melainkan suatu pertengkaran dengan kata-kata yang tepat sekali kalau dipandang dari sudut Logika. Ini juga jamannya komentar-komentar dari jenis yang paling buruk, yang pikirannya samar-samar, tetapi yang menguasai Logica didalam bentuk kata-kata yang tersusun rapih, sedang mereka bersikap tidak sabar terhadap pihak lawan. Sudah barang tentu ada pula komentar-komentar dari jenis yang lebih baik, dan yang nilainya sama tingginya dengan ahli-ahli pikir kuno yang dikomentari buah karyanya. Komentator-komentator seperti syamkara dan Ramanuja, kembali menandaskan ajaran-ajaran lama, dan pernyataan mereka adalah sama nilainya dengan sesuatu pendapatan baru di dalam lapangan kejiwaan/kerohanian.
Ada beberapa buku “Sejarah Filsafat India” yang semuanya ditulis oleh pengarang-pengarang India. Hampir semua komentator di kemudian hari mendiskusikan ajaran-ajaran orang lain yang ditilik dari sudut pandangnya sendiri. Sehingga dari komentator meraka ini kita dapat mempunyai bayangan tentang bagaimana pandangan-pandangan orang pada jaman yang menjadi obyek pembicaraan itu. Ada pula orang-orang yang dengan hati sadar berusaha untuk menguraikan system-system yang beraneka warna itu secara berturut-turut.
Di antara “Laporan-laporan historis” tersebut dan beberapa yang penting , dan yang akan saya sebutkan di bawah.
1.              Saddara Jamuccaya atau “Ringkasan dari enam system” adalah nama buah karangan yang ditulis oleh Haribhadra. Kata Barth : “Haribhadra yang menurut tradisi meninggal pada tahun 529 sesudah Masehi. Tetapi menurut penyelidikan yang lebih seksama ternyata hidup apda abad ke 9, yang suka mempergunakan kata-kata yang sama tetapi lain artinya, adalah seorang gpenganut Brahmanisme yang kemudian beralih menganut Jainisme. Ia masih termasyhur sebagai pengarang dari 1400 Prabandha (artinya 1400 bab) dan agaknya ia adalah salah seorang di antara mereka yang pertama-tama telah memasukkan bahasa Sanskerta ke dalam literatur kefilsafatan dari pengikut-pengikut Janisme Sywetambara. Bagi penganut-penganut Brahmanisme, apa yang disebut 6 system itu terdiri atas : Kedua Mimasa, Samkhya dan Yoga, Nyata dan Waisyesika. Sebaliknya Haribadra di dalam buah pena  tersebut telah membahas secara pendek dan obyektif di dalam 87 Sloka, prinsip-prinsip pokok dari Kaum Buddhist, dari Jainisme, dari pengikut-pengikut Nyata, dari Samkhya, dari Waisyesika dan dari Mimamsa. Dengan demikina maka Haribhadra menempatkan alirannya sendiri (yaitu Jainisme), bersma-sama dengan aliran-aliran yang mempunyai banyak pertalian dengan jainisme, di antara aliran-aliran lain  yang menjadi lawan. Dan lawan mereka adalah kaum Budhhist dan kaum Ritualist dari aliran Jainisme. Yang akhir ini dipersekutukan olehnya dengan kaum Lokayatika, yaitu kaum Materialist yang atheistis. Ini dilakukan olehnya, tidak karena ia fanatik sekali dalam soal penggolong-golongan sekte, dan juga tidak untuk menuruti keinginannya sendiri, melainkan atas dasar suatu pendapat yang pada waktu itu memang banyak dianut, juga diantara para penganut Brahmanisme (Bacalah “Indian Atiquary”).
2.              Orang berpendapat bahwa Samantabhadra, seorang pengikut Jainisme digambarkan dari abad ke-6, telah menulis buku yang berkepala “Aptamimamsa”, dimana ia memperkenalkan kita dengan aliran-aliran filosofis yang beraneka warna itu (Bacalah buah karangan Widyabhushan “Mediaeval Systems of Indian Logic”).
3.              Seorang Buddhist Madhya-Muka, yaitu Bhawawiweka, termashur sebagai pengarang dari “Tarkajwala” yang berupa suatu kritik terhadap aliran-aliran Mimamsa, Samkhya, Weisyesika dan Wedanta.
4.              Menurut mereka yang sudah membaca, Widyananda, seorang pengikut Jainisme Digambarkan di dalam bukunya “Astasahasri” dan juga :
5.              Merutungga (juga seorang Jainist Digambara) di dalam bukunya “Saddarsjana –Vicara” (Tahun 1.300 sesudah M) telah mengkritik system-system Hindu.
6.              Pembahasan mengenai Filsafat India yang terkenal sekali, adalah yang dilakukan oleh Madhawacarya (Seorang penganut aliran Wedanta yang termasyhur) di dalam buku yang berjudul “Sarwadarsjanasamgraha”, Ia hidup pada abad ke 14, di India Selatan.
7.              “Sarwaseddhantasarasamgraha” yang menurut anggapan telah ditulis oleh Syamkara (Anggapan ini agaknya keliru. Bacalah “Indian Logic”, buah karangan Keith) dan :
8.              “Prasthananabheda”, buah karangan Madhusudana Saraswati (bacalah “Six Systems”, buah karangan Max Muller), mengandung bahan-bahan yang berguna sekali dalam mempelajarai kefilsafatan-kefilsafatan India yang beraneka warna itu.


BAB.II : PENUTUP KATA
6. PERKEMBANGAN  FILSAFAT
Jalan yang ditempuh oleh Filsafat Hindu di dalam proses perkembangannya –Kesatuan dari system-system yang bermacam-macam –Semangat di dalam lapangan Filsafat mengalami kemudnuran di hari-hari belakangan – Kontak/Hubungan dengan Barata – Keadaan sekarang  - Conservatisme dan Redicalisme  -  Masa Depan.
7. PERKEMBANGAN  FILSAFAT
Sepanjang sejarah, bangsa India selalu digoda-goda oleh pikiran untuk menemukan sebuah dunia idam-idaman, yang lebih nyata dan lebih sukar didekati daripada dunia nyata dan lebih sukar didekati daripada dunia yang biasa kita hadapi sehari-harinya, dan yang merupakan tempat kediaman yang sebenarnya dari roh/jiwa. Apa yang kita lihat di India, benar-benar melukiskan usaha manusia yang tak kunjung padam untuk memecahkan teka-teki yang menyelubungi Sphinx, dan untuk menempatkan dirinya pada tangga kesusilaan dan kerohanian/kejiwaan, yang menjulang tinggi di atas watak-watak kebinatangan. Perjuangan ini telah berlangsung sejak 4.000 tahun yang lalu (atau lebih, kalau penemuan-penemuan para ahli purbakala di Sind dan di Punjab baru-baru ini, yang membuka tabir penutup jaman yang sudah lama-silam, ikut didperhitungkan), Sejarah manusia telah mencatat berbagai hal yang akan tetap merupakan tugu-tugu peringatan di dalam perkembangan filsafat, yaitu :
a.         Adanya kepercayaan seperti yang terdapat pada kanak-kanak saja (Naviva) bahwa dunia itu dikuasai oleh Dewa-dewa Matahari dan Langit, yang dari atas mengawasi baik buruknya tingkah laku manusia;
b.         Adanya kepercayaan bahwa Dewa-Dewa yang dapat dipaksa secara halus dengan do’a atau rite untuk memenuhi permintaan manusia, itu adalah bentuk-bentuk ssaja dari Satu Makhluk Tertinggi;
c.         Adanya keyakinan besar bahwa jiwa yang suci murni yang memberi tahu bahwa hidup itu abadi, adalah Satu dengan roh terdalam dari manusia (Innermost soul of man);
d.         Timbulnya materialisme, scepticisme dan fatalisme, dan digantikannya isme-isme tersebut dengan system-system ethis dari Buddhisme dan Jainisme yang pada pokoknya mengajarkan bahwa dengan atau tanpa Tuhan, orang dapat membebakan diri dari segala macam bencana, yaitu dengan jalan menjauhi kejahatan/keburukan, baik di dalam pikiran, perkataan mau pun perbuatan;
e.         Theisme liberal dari Bhagawadgita yang mengajarkan bahwa di samping kesempurnaan metaphysis, jiwa itu masih harus dilengkapi dengan kesempurnaan ethis;
f.          Schema Nyaya yang didasarkan atas Logica. Daripadanya, dunia pengetahuan telah mendapat katagori-katagori yang sampai kini masih tetap dipergunakan;
g.         Caranya system Waisyesika menafsirkan alam kodrat;
h.         Teori-teori Samkhya di dalam lapangan ilmiah dan psychologi;
i.           Schema Yoga yang menunjukkan jalan ke arah Kesempurnaan;
j.           Tata tertib di dalam lapangan Ethisca dan Sosial sebagaimana dianjurkan oleh Mimamsa, dan penafsiran religius mengenai kenyataan tertinggi sebagaimana diajukan oleh Syamkara, Ramanuja, Madhwa dan Mimbarka, Wallabha dan Jiwa Goswami.
Di dalam urut-urutan yang logis, type yang satu menyusul type  yang lain, dan aliran yang satu menyusul aliran yang lain. Selama hidupnya, orang India tidak pernah berhenti bergerak, dan di dalam perkembangan ini, cara hidupnya yang makin konkrit bentuknya itu kadang-kadang berubah,s esuai dengan kebutuhan-kebutuhan physik, sosial dan cultural. Mula-mula, sewaktu orang India melakukan segala sesuatu baru untuk pertama kalinya, tidak ada praktek-praktek dari masa lampau yang dapat dicontoh. Bagaimana dapat mencontoh kebijaksaan kalau ini belum pernah ada sebelumnya, dan bagaimana caranya mengatasi kesulitan-kesulitan yang bukan main banyaknya itu! Namun demikian, hasil-hasil yang mereka capai di dalam alam pikiran dan praktek, bolehlah dibanggakan. Tetapi hasil-hasil ini belum lengkap, dan masih dapat diharapkan perkembangan-perkembangan lain, sebab Sphinx-nya masih tetap tersenyum simpul. Filsafat India belum lagi mencapai tingkat kedewasaannya.
Dalam mempelajari filsfat India (dan Juga dalam mempelajari Filsafat-filsafat lainnya), orang tak saja mendapat bayangan tentang betapa sulitnya memecahkan soal “Keberadadaan” yang luas lainnya serta banyak rahasisa-rahasianya itu, tetapi juga mendapat bayangan tentang betapa bernilainya usaha-usaha manusia yang tak kenal lelah itu untuk memahaminya. Rentetan panjang ahli-ahli pikir, berjuang mati-matian untuk menyumbangkan sekedarnya pada “Kuil Kebijaksanaan”, dan untuk menambahkan sesuatu baru pada pengetahuan manusia yang masih kurang-kurang gsaja. Tetapi pikiran manusia belum lagi mampu untuk mendekati cita-cita yang tak mungkin ditinggalkan tetapi juga tak mungkin terlaksanakan. Kami jauh lebih yakin akan gelapnya keadaan yang mengelilinginya dan akan kurangnya tenaga serta kekuatan manusia untuk menerangi kegelapan itu dengan obor yang kami waris dari jaman-lampau yang gilang-gemilang. Bagaimana  pun juga, jarak yang masih memisahkan kami dari tujuan terakhir, tidak begitu jauh lagi kalau dibandingkan dengan keadaan pada jaman-jaman yang lampau. Tetapi jarak itu nampaknya tidak mungkin terlampaui, dan manusia barangkali akan teteap terikat seperti Prometheus pada batu rahasia, dengan tali temali dari akal yang serba terbatas.
Kata Xenophanes (Gomperz : “Greek Thinkers”) :
“Tidak seorang pun pernah berhasil memperoleh kepastian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Dewa-Dewa dan yang berhubungan dengan apa yang ku namakan “Sifat-sifat Universal”, dan di masa depan pun tidak akan ada orang yang dapat mencapainya. Malahan andaikata ada yang kebetulan menemukan kebenarannya, ia sendiri toh tidak tahu, sebab segala sesuatu saja dapat nampak benar.”
Tetapi, filsafat tidak dimaksudkan untuk menelorkan usaha-usaha yang sia-sia belaka. Filsafat menolong kita untuk ikut merasakan bahwa tali- temali yang mengikat manusia itu makin berubah dari jaman ke jaman. Filsfat mempertebal keyakinan manusia akan ke-tidak-sempurnaannya. Sehingga makin mendalamlah pengertiannya tentang apa yang dinamakan “Kesempurnaan”, dan makin terasalah bahwa hidupnya masih jauh dari sempurna. Bahwa Dunia tidak dapat dibuka tabir rahasianya oleh intelek manusia seperti yang menjadi keinginan kita, tidak usah dikagumi, sebab ahli filsafat itu adalah pecinta kebijaksanaan semata-mata, dan bukannya pemiliki kebijaksanaan. Yang dipersoalkan bukan akhirnya perjalanan, melainkan perjalanannya sendiri. Lebih baik masih di tengah jalan, daripada sudah sampai.
Menjelang tamatnya buku ini, kita boleh bertanya :
1.         Apakah fakta-fakta yang diketahui dari Sejarah itu memperkuat kepercayaan manusia akan adanya kemajuan-kemajuan?
2.         Apakah perjalanan yang ditempuh oleh pikiran manusia itu, maju atau mundur arahnya?
Pertanyaan ini mempunyai ekor-ekornya yang tidak dapat diabaikan. Di India orang percaya bahwa ia mendapat kemajuan-kemajuan, sebab seperti yang sudah saya katakan, cyklus-cyklus waktu di sana saling terikat oleh seutas tali yang hidup. Pada intinya, perkembangan-perkembangan yang selalu maju ke depan itu tidak pernah mengenal titik berhenti. Malahn juga revolusi-revolusi yang mengancam akan menelan masa yang lampau, judtru menolong memperbaiki kerusakan-kerusakannya. Angin-angin yang berhembus ke arah belakang, ternyata lebih memperkuat daripada menghambat proses perkembangan itu. Periode dkemunduran seperti yang dialami  dihari-hari belakangan ini, sebetulnya amerupakan periode peralihan saja dari cara hidup yang lama ke cara hidup yang baru. Dua macam arus, yang satu maju yang lain mundur, bercampur di sini. Pada sesuatu waktu, arusnya amengalir maju dengan kencangnya, pada lain waktu lagi, nampaknya lebih mundur daripada maju, tetapi : “Kalau ditilik perkembangan seluruhnya, maka arus itu terang-terang maju ke depan.
Tidak ada gunanya untuk memungkiri bahwa di dalam proses itu tercatat hal-hal yang tenggelam musnah. Tetapi lebih baik kehilangan barang yang tidak seberapa jumlahnya daripada membendung arus yang didorong oleh jaman lampau dan yang telah mengakibatkan menetesnya air mata banyak. Bagaimana pun juga, andaikata perkembangannya tidak berlangsung seperti yang kita saksikan ini, maka akibat-akibatnya tentu akan lebih buruk. Yang kami pentingkan ialah amsa depan. Kami sekarang dapat mempunyai pemandangan yang lebih terang dan lebih jauh daripada mereka yang hidup sebelum jaman kami, sebab kami sekarang dapat berdiri di atas punggung mereka. Daripada menikmati saja ahasil-hasil dasar yang dengan kemuliaan hati telah dicapai di dalam masa yang silam, lebih baik kami sekarang mendirikan bangunan yang lebih tinggi dan luhur, dengan usaha-usaha yang senilai dengan yang dilakukan dahulu dan yang sesuai dengan pandangan-pandangan moderen.
8. KESATUAN  DARI  SEMUA SYSTEM
Dua buah pedoman yang di dalam bentuk yang berbeda-beda telah memberi warna kepada usaha-usaha para ahli pikir India, adalah :
1.         Rasa setia terhadap tradisi, dan
2.         Sumpah taat pada kebenaran.
Setiap ahli pikir mengakui bahwa prinsip-prinsip yang menjadi pegangan para tokoh dari jaman yang lampau, berupa tugu-tugu yang terbikin di dalam pabrik kerohanian.kejiawaan. dan bilamana tugu-tugu ini sampai kena fitnah, maka fitnahan ini akan memerciki kebudayaannya sendiri. Karena rakyat India bersifat prosesif, dan kaya raya akan tradisi-tradisi, maka mereka lalu berjaga-jaga, jangan sampai kebudayaan mereka terlantar, sekali pun mungkin juga mengandung unsur-unsur yang tidak construktif, Ahli-ahli pikiran berusaha sekeras-kerasnya untuk menerangkan, melambangkan, mengubah dan memuliakan penuturan-penuturan yang tradisional, karena emosi-emosi manusia terpusatkan di sekitar penuturan-penuturan itu. Ahli-ahli filsafat India di kemudian hari membenarkan ketereangan-keterangan filosofis yang bermacam ragam sebagaimana diberikan oleh tokoh-tokoh yang hidup lebih dahulu dalam menafsirkan alam semesta, dan mereka menganggap penafsiran-penafsiran ini sebagai cara yang berbeda beda untuk mendekati kebenaran. Pendapat-pendapat yang berbeda-beda itu tidaklah dianggap sebagai petualangan-petualangan pikiran manusia begitu saja di dalam wilayah asing yang belum di kenal orang, yang tidak berhubungan satu dengan lainnya, dan juga tidak dianggap sebagai koleksi (kumpulan) keanehan-keanehan filosofis, melainkan dianggap sebagai pernyataan dari Satu Akal, yang telah mendirikan sebuah Kuil/Candi besar, terddiri dari banyak sekali tembok-tembok dan bangsal-bangsal, gang-gang dan tiang-tiang.
Logica dan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama, saling terikat seperti bagian bagian tubuh dari mahkuk hidup. Setiap langkah baru di dalam kemajudan pikiran manusia, selalu dilantik dengan perbaikan-perbaikan di dalam lapangan logica. Persoalan mengenai methode, yang erat hubungannya dengan sifat-sifat akal manusia, dipandang mempunyai nilai yang tinggi.
Menurut System Nyata :
“Sesuatu kefilsafatan hanya dapat berdiri kukuh apabila didasarkan atas logica.
System Waisyesika memperingatkan bahwa :
“Sesuatu kefilsafatan hanya dapat memperoleh hasil-hasil yang baik, apabila mempertimbang-tibangkan dan memperhitungkan susunan-susunan dari perujudan-perujudan physis.
Ini mengandung anjuran, janganlah kita sampai “membangun di awang-awang”. Sekali pun Physica dan Metaphysisca itu berbeda sekali dan tidak dapat dicampur adukkan, namun suatu skema kefilsafatan itu harus sesuai dengan hasil-hasil Ilmu Pengetahuan alam Kodrat.
Tetapi system Samkhya memperingatkan :
“Awas!!!!.... Janganlah kita beranggapan bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi dunia phisis, itu berlaku juga bagi alam semesta seluruhnya. Sebab kesesatan yang demikian selalu merupakan yang bercorak ilmiah.”
Sumber-sumber alam tidak menghasilkan kesadaran. Tidak dapa “Keadaan Alam” itu dinyatakan dengan istilah “Kesadaran” atau dijabarkan  menjadai “Kesadaran”, dan demikian juga sebalinya; maka usaha-usaha dari  baik Metaphysica yang murni ilmiah mau pun metaphysica yang psichologis untuk melakukan hal itu, akan sia-sia belaka.
Yang menjadi pokok pembiacaraan di dalam aliran Yoga, adalah : “Pengalaman-pengalaman di lapangan Keagamaan.”
Kenyataan itu tidak hanya terdapat di dalam Ilmu Pengetahuan dan di dalam hidup manusia saja, tetapi juga di dalam pengalaman-pengalaman ke-Agama-an.
System-syste Purwa Mimamsa dan Wedanta menitik beratkan pada : )ethica dan Agama.
Persoalan kefilsafatan yang terutama di perhatikan oleh aliran Wedanta adalah :
“Hubungan antara alam kodrat dan akal/pikiran.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang-orang yang kudus/suci tidak saling bertentangan, dan demikian juga halnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan di India. Realisme  dari system-system Nyaya dan Waisyesika, Dualisme dari system-system Samkhya dan Yoga, dan monisme dari system Wedanta itu tidak saling berbeda karena yang satu benar yang glains salah, melainkan hanya karena : “Yang satu lebih benar daripada yang lain.
Sebab, yang tersebut pertama memang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari mereka yang tidak begitu cerdas (mandadhikari), yang ked dua disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari mereka yang biasa saja pikirannya (madhyamadhikari), dan yang ketiga disesuaikan dengan kebutuhan=kebutuhan dari mereka yang panda-pandai (Uttamadhikari).
Bandingkanlah dengan apa yang dikatakan oleh Kant (diambil dari buku J.Ward “A study of Kant”) :
“Suatu cara untuk mempertahankan kehormatan akal manusia ialah menyesuaikan pernyataan-pernyatan dari akal itu sebagaimana kita dapati pada para ahli pikir yang jitu-jitu, dan menemukan apa yang merupakan kebenaran. Sebab mustahil tokoh-tokoh yang bekerja dengan cermat dan teliti itu akan 100% keliru dalam mengincar Kebenaran, sekalipun pendapat-pendapatnya dapat saling bertentangan.”
Pandangan-pandangan yang berbeda-beda itu semuanya :
“Terpahat dari sebuah batu saja, sedang pandangan-pandangan itu bersama-sama merupakan Satu Keseluruhan. Masing-masing tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan yang “tertutup”itu.
Sesuatu  sckema mengenai alam kodrat hanya dapat dipandang lengkap, bilamana :
Sudah memperhitungkan segi-segi Logica, Physica, Psychologi dan Esthica, Metaphysica dan Agama secara bersama-sama.
Setiap system pikiran di India menyumbangkan teorinya sendiri mengenai pengetahuan, dan menyumbangkan penafsirannya sendiri mengenai alam kodrat dan akal, Ethica dan Agama. Apa yang kita ketahui mengenai alam semesta, makin lama makin banyak dan mendalam, karena adanya bimbingan dari ilmu-ilmu pengetahuan alam kodrat. Maka dari itu kita juga tidak dapat merasa puas, apabila hidup manusia itu hanya ditinjau dari sesuatu sudut pandangan tertentu saja. Kalau di masa depan masih ada usaha-usaha untuk meperkembangkan Filsafat, maka :
“Harus diperhitungkan pula hasil-hasil dan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam kodrat dan psychologi di hari-hari belakangan ini.
9. FISAFAT  DAN  HIDUP
Yang menjadi fungsi dari Filsafat adalah :
“Mengatur Hidup dan menuntun manusia di dalam perbuatan-perbuatannya.
Filsfat memegang pucuk pimpinan dalam menentukan arah perjalanan kita, melewati hutan-hutan Perubahan yang tersebar di seluruh dunia. Filsafat hanya dapat hidup, kalau berdekatan dengan hidup manusia. Perkembangan pendapat-pendapat serta ide-ide para ahli pikir itu berlangsung di dalam proses sejarah belajar bagaimana menghormati ahli-ahli pikir itu, tetapi juga bagaimana caranya memperoleh semangat kerja seperti mereka itu. Nama-nama seperti Wisywamitra, Yadjnawalkya dan Gargi, Buddha dan Mahawira, Gautama dan Kanada, Kapila dan Patanjali, Badarayana dan Djaimini, Syamkara dan Ramanudja, itu menarik perhatian para penulis-penulis sejrah, tiada karena dpat menjadi bahanpembicaraan semata-mata, melainkan karena itu adalah :
“Contoh-contoh dari tokoh-tokoh yang berkepribadian.
Karena mereka, Filsafat dapat meneropong dunia dengan kekuatan yang berdasarkan pikiran dan pengalaman. Kalau pikiran sudah sampai pada akhir perjalanannya, maka setelah dipraktekkan dan diuji dengan ujian hidup, berubahlah pikiran itu menjadi Agama. Menaati discipline Filsafat itu berarti : “Memenuhi Panggilan Agama.
10. KEMUNDURAN FISLAFAT DI HARI-HARI BELAKANGAN
Buku ini tidak dimaksudkan untuk memperkuat kritik yang banyak dilemparkan, yaitu bahwa seakan-akan sudah sesuai dengan jiwa India, Kalau orang takut-takut mempergunakan pikirannya. Tidak dapat kami mengabaikan begitu saja seluruh kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di dalam alam Filsafat India, dengan alasan bahwa kita lebih suka  menghormati jiwa ketimuran yang masih mengambang-ambang di dalam khayalan-khayalan dan mythologi kanak-akank. Tetapi bagaimana pun juga, di dalam tiga atau empat abad yang terakhir ini, emmang ada banyak hal yang memperkuat prasangka-prasangka yang demikian itu.
India sekarang sudah kehilangan peranan historisnya; India tidak lagi menjadi pelopor pengetahuan tinggi di Asia.
----------------------------------------
.Catatan Penulis :
Di bawah Judul “China’s debt to India”, Prof. Liang Ghi Cho, menulis :
“India telah mengajar kami untuk menginsyafi arti dari kebebasan yang mutlak. Prinsip pokok ini, yang menghendaki kebebasan di dalam cara-cara berpikir, memungkina manusia untuk melepaskan diri baik dari ikatan-ikatan adat dari jaman yang lampau, mau pun dari kebiasaan-kebiasaan dari jaman ini. Dengan adanya kebebasan berpikir, manusia dapat menjauhkan diri dari kekuatan-kekuatan yang timbul dalam mengejar kepentingan-kepentingan materiil, yang selalu hendak memperbudak kita .................. India juga telah mengajar kami tentang apakah artinya Cinta yang mutlak itu. Yaitu sejenis perasaan kasih sayang murni terhadap semua makhluk yang hidup, yang meniadakan godaan-godaan seperti iri hati, rasa marah, sikap tak sabar, rasa jijik dan nafsu berkonkurensi, Yaitu suatu cinta  merasa yang dengan rasa sayang menaruh sympathi pada hal-hal yang tidak normal, pada kejahatan-kejahatan dan pada perbuatan-perbuatan dosa. Itulah cinta mutlak, yang mengakui bahwa segala sesuatunya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari lainnya.”
Ia meneruskan uraiannya dengan menerangkan sumbangan-sumbangan apa yang telah diberikan oleh India kepada Tiongkok di dalam lapangan kesusasteraan dan kesenian, musik dan ilmu bangun-bangun, seni lukis dan seni pahat, drama, puisi dan cerita-cerita chayalan, astronomi dan kedokteran, sosial dan pendidikan. Sudah terkenal bahwa India telah memancarkan pengaruhnya ke Birma dan Sailan, Jepang dan Korea.
---------------------------------------------
Ada beberapa orang yang mendapat kesan, bahwa sungai yang telah mengalir dengan derasnya dari abad ke abad, itu nampaknya akan berakhir di dalam rawa yang airnya menggenang tanpa guna. Ahli-ahli filsafat atau lebih tepat : penulis-penulis risalah kefilsafatan pada masa kemunduran ini menamakan dirinya “Pemuja-pemuja kebenran”. Tetapi sayangnya, bagi mereka memuja kebenaran itu berarti :
1.         Menghormati uraian-uraian yang nampaknya logis, tepat dan rapih, tetapi sebetulnya tidak (Sophistreis, dan
2.         Menjunjung tinggi usaha-usaha untuk membeda-bedakan sampai ke detail-detailnya dogma-dogma dari sesutu aliran.
Orang-orang ini, yang mencari nafkah dengan berkedok ahli dialectica, mengira bahwa saluran keccil yang mereka pancurkan ke dalam pasir dan menguap menjadi kabut, itu merupakan sungai raksasa dari Filsafat India.
Hal ini adalah akibat dari berbagai sebab. Perubahan-perubahan di dalam lapangan politik, yang terjadi setelah orang-orang Islam berpengaruh di sana, membuat otak dan jiwa  menuasia menjadi alat-alat mesin yang conservatif. Dan di dalam suatu jaman, dimana hampir setiap hidung membanggakan dirinya sendiri dan ingin mengadili sendiri, sehingga tata tertib sosial serta pegangan-pegangan/keyakinan-keyakinan lama  diancam akan dihancur leburkan ke dalam kekacauan anarchi, maka sudah tentu orang lalu menginginkan sesuatu kekuasaan yang berkewibawaan. Kemenangan pihak Islam, bersama-sama dengan proganda-propagandanya, dan kemudian pergerakan-pergerakan misi agama Nasrani, telah berusaha keras untuk menggoncangkan masyarakat Hindu yang kukuh sentausa. Dan setelah kemudian orang benar-benar menginsyafi adanya kegoncangan-kegoncangan dan kegoncangan-kegoncangan, maka kekuasaan yang berkewibawaan lah yang dianggap sebagai satu-satunya tiang yang dapat menopang keamanan sosial dan tata tertib Ethis. Orang Hindu yang  melihat akan terjadinya bentrokan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, memperkuat kedudukannya dengan mengadakan perserikatan-perserikatan sebagai pagar untuk merintangi masuknya ide-ide dari luar. Tetapi masyarakat yang tidak mempunyai kepercayaan terhadap akal, dan yang sudah tidak mau mendengarkan lagi petunjuk-petunjuk yang sehat, menceburkan dirinya ke dalam pelukan kekuasaan asing, yang melarang setiap pikiran untuk mengembara dengan bebas dan leluasa. Maka pada saat itu lah akal orang India mulai melalaikan  kewajibannya. Tidak ada lagi ahli-ahli pikir, melainkan pelajar-pelajar saja yang terlalu payah untuk membuat coretan-coretan baru, dan yang sudah puas kalau dapat mengumandangkan suara-suara lama. Sepanjang beberapa abad, mereka ini berhasil untuk membohongi dirinya sendiri dengan teori-teori yang katanya sudah dapat memutusi segala persoalan. Dengan lenyapnya jiwa yang creatif, maka “Filsafat” menjadi dicampur  adaukkan dengan “Sejarah Filsafat”. Filsafat tidak lagi memenuhi fungsinya, dan sekarang menjadi terbalut singsat di dalam kubu bayang-bayang. Dengan demikian, maka Filsafat lalu menyalahi dirinya sendiri, karena tidak lagi menjadi pembimbing dan penjaga akal yang sehar. Banyak di antara mereka ini menyangka bahwa bansga India telah mengadakan  perjalanan yang jauh sekali, dan telah sampai pada tujuannya dengan menghabiskan  tenaga terakhir. Mereka sudah penat dan letih, dan rasanya  akan jatuh-jatuh saja, karena ingin berbaring untuk melepaskan lelahnya. Mereka yang tahu bahwa perjalanannya belum berakhir, dan yang melihat bahwa di muka masih terbentagn wilayah yang luas, malahan takut akan bahaya-bahaya yang mungkin menunggu di sebelah sana, Mereka yang berkecil hati ini, tidak berani menanyakan apa artinya hidup bertangan hampa, atau menanyakan tentang ada tidaknya nilai-nilai yang abadi. Sebab hantu yang mengawasi penyelidikan-penyelidikan di dalam wilayah yang belum dikenal, tidak mudah diusir, dan malahan juga ingin disingkiri oleh mereka yang berbesar hati, bilaman mungkin! Kekuatan manusia yang bagaimana pun juga besarnya, kadang-kadang dikendurkan oleh kuman-kuman penyakit tidur.  Dan di dalam tiga atau empat abad yagn terakhir ini, Filsafat India benar-benar terserang oleh peneyakit ini.
11. KEADAAN  SEKARANG
Agama-Agama yang mempunyai kedudukan penting di dunia ini dan bermacam ragam aliran-aliran pikiran, kini telah saling bertemu di wilayah India. Adanya kontak dengan orang dan jiwa Barat, mengusikm perasaan puas yang sementara itu dapat menenangkan hati serta pikiran orang India. Setelah orang India ini mulai mengenal dan kemudian menyelami materi dari kebudayaan asing, ia mendapat kesan bahwa tidak ada sesuatu jawaban resmi yang dapat diberikan atas  persoalan-persoalan yang intinya terlalu “Dalam” (ultimate problems). Orang tidak lagi  percaya akan benarnya jawaban-jawaban/pemecahan-pemecahan yang tradisional, dan hal ini sedikit banyak telah ikut membuat pikiran manusia menjadi :
1.         Lebih bebas, dan
2.         Lebih mudah dapat menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan lain.
Orang tidak lagi berpegang pada tradisi, dan di samping para ahli pikir yang sedang sibuk-sibuknya membangun rumah di atas pondasi lama, ada pula anasir-anasir yang hendak  membuat fundamen yang sama sekali baru. Tidak dapat tidak, perhatian kita tentu tertarik oleh jaman peralihan ini, yang mempercepat berdebar-debarnya jantung kita.
Paling belakang ini, India enak-enak termenanung saja di tanah becek di pinggir sungai, tanpa juga dihampiri oleh saluran pikiran yang apda waktu yang bersamaan sedang mengalir dengan derasnya. Akan tetapi, India tidak lagi terpencil sendirian. Kalau kita menunggu tiga atau empat abad lagi, mungkin para penulis sejarah dapat bercerita banyak tentang hasil-hasil/akibat-akibat dari pergaulan antara India dan Eropah ini. Tetapi bagi kita sekarang, hasil-hasil/akibat-akibat itu masih belum nampak. Di India sendiri, pada dewasa ini tercatat :
1.         Usaha-usaha untuk memperluas pengalaman.
2.         Tumbuhnya sikap yang krits dan
3.         Adanya rasa segan untuk meneburkan diri di dalam yang teoritis melulu.
Tetapi di samping itu masih ada juga sudut pandangan lain. Sebab memang sudah menjadi hasilnya, bahwa baik di dalam pikiran mau pun di dalam perbuatan-perbuatannya, orang India harus mengalami kemunduran; mundur ke arah anarchi dan mundur ke tingkat budak. Bagi kebudayaan dan peradaban, kedua-duanya tidak baik. Anarchi dapat membawa rasa tak aman di dalam soal-soal materiil, keruntuhan kekuatan ekonomi dan bahaya sosial, yaitu kekeruhan-kekeruhan yang dapat segera lenyap, asal orang mau menjadi budak dari kekuasaan asing.Tetapi adalah suatu hal yang keliru sekali, untuk mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dari tinggi rendahnya tingkat kebudayaan atau peradaban itu adalah ada atau tidak adanya kemakmuran economis dan dapat atau tidaknya tata-tertib sosial itu ditegakkan.
Bagaimana pun juga, dapat mudah dimenegrti bagaimana perasaannya orang-orang India ketika pada awal abad ke 19 (setelah generasi-generasinya sekian lama menyaksikan pertengkaran-pertengkaran di antara orang-orangnya sendiri dan mengalami penderitaan-penderitaan di dalam hati sanubarinya) mereka menyambut dengan gembira datangnya pemerintahan Ingris, yang diharapkan akan dapat menuntun mereka ke abad Keemasan. Tetapi di samping itu, kita juga dapat setuju dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang India dewasa ini, yaitu bahwa jiwa manusia :
1.         Tidak ingin hidup enak, melainkan ingin bahagia.
2.         Tidak menginginkan keamanan, melainkan ingin hidup bebas.
3.         Tidak menginginkan stabilitasi ekonomi atau pun Pemerintahan yang baik, melainkan ingin membersihkan diri dari dosa-dosa, tanpa segan-segan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat atau pun penderitaan kalau ini memang harus dilaksanakan dahulu untuk mencapai itu.
Karena tidak ada autonomi politik, maka lalu tidak ada daya pendorong bagi timbulnya kebajikan-kebajikan, juga kebajikan-kebajikan yang sifatnya  tidak politis. Ingris telah mendatangkan perdamaian dan keamanan di wilayah Inida, tetapi ini bukanlah merupakan tujuan kita yang terakhir. Sebab kita harus mengakui bahwa stabilisasi ekonomi dan keamanan politik itu hanya alat-alat saja (sekali pun juga alat-alat yang penting sekali) untuk mencapai kebebasan di lapangan kejiwaan/kerohanian. Pemerintah Ingris yang dengan keras kepala selalu meementingkan dan memaksa kehendaknya sendiri, sudah barang tentu melupakan kebutuhan-kebutuhan para hambanya di lapangan kejiwaan. Maka sekali pun membawa perbaikan-perbaikan dan keringanan-keringanan, tidak berhasillah mereka untuk tetap melakukan penindasan, dan tidak berhasillah mereka untuk meyakinkan para hambanya akan baiknya system pemerintahan Ingris. Dan bilamana sumber-sumber hidup menjadi makin kering, bilamana idam-idaman yang diimpi-impikan oleh bangsa India sejak ribuan tahun makin menjauh, bilamana cahaya yang menerangi kesadaran jiwa manusia makin kurang berkilaunya. Bilamana orang tidak lagi begitu bebas dalam mempraktekkan kemampuan-kemampuannya masing-masing, bilamana keindahan serta kenikmatan hidup, dan rasa tenang dan damai sudah makin berkurang, atau sebagaimana dikatakan oleh orang India, Bilamana Pranaramam, mana anandam, santi samrddham menjadi makin mundur, maka tidaklah mengherankan bahwa orang India lalu tidak lagi merasakan ringannya tanggungannya, melainkan hanya meyakini adanya beban berat yang menindas dan menggencatnya.
Tidak ada manfaatnya untuk membicarakan tentang betapa hebatnya pekeraan orang-orang Ingris dahulu, sebab sejarah sudah terlanjur memberikan keputusannya, justru suatu keputusan yang didasarkan atas tinggi rendahnya nilai kejiwaan/kerohanian yang terdapat di dalam di dalam pekerjaannya itu. Bahwa dpemimpin-pemimpin dari generasi belakangan ini sduah merasa puas dengan hanya mengumandangkan lagu-lagu lama saja, dan tidak memperdengarkan suara-suara baru, bahwa mereka hanya merupakan “perantara-perantara indtelektual” saja dan bukannya ahli-ahli pikir yang asli, itu seberapa banyak adalah akibat dari “perkenalan yang mengejutkan” dengan jiwa Barat, dan juga akibat dari perbudakan yang membuat orang India berputih mata \. Orang-orang Ingris sendiri tahu juga, bahwa sikap India dewasa ini, yang entah disebut mengacau keamanan, entah memberontak, entah menentang, itu mempunyai dasar-dasarnya yang dalam. Orang-orang Inggris berdaya upaya untuk meresapkan kebudayaan mereka ke dalam hati orang-orang India, dan sudah barang tentu mereka menganggap kebudayaannya sendiri lebih tinggi tingkatannya. Mereka merasa bahwa cara yang sebaik-baiknya ialah menyalurkan kebudayaan mereka melalui penerangan dan pendidikan, dan ini mereka lakukan tanpa ragu-ragu dan tanpa kenal payah, dengan suatu system yang memang rapih sekali.
Tetapi orang India tidak dapat menerima politik “Imperalisme kebudayaan” ini. Ia berpegang erat pada adat kebiasaan kuno dan ini adalah salah satu sebabnya, mengapa ia dapat berhasil mengendalikan kegoncangan nafsunya, berhasil membuka matanya, dan berhasil memberantas penyelewengan-penyelewengan dari keinginannya. Siapa saja yang kenal akan sejarahnya, tentu dapat sehati dengan hasrat orang India untuk mendiami “rumah kejiwaannya” sendiri, sebab : “Sarwas swe swe grhe raja, artinya setiap orang adalah raja didalam rumahnya sendiri.
Karena tidak ada kemerdekaan di dalam lapangan politik, maka jiwa orang India yang hendak bergerak secara bebas, lalu mendapat gangguan. Maka tidak mengherankan, bahwa hal ini dirasakan sebagai penghinaan besar. Pekik “swaradji!” dimaksdukan sebagai pernyataan dari hasrat orang India untuk melindungi, jangan sampai ada gangguan-gangguan yang dapat berpengaruh di lapangan kerja dari jiwa/roh.
Bagaimana pun juga, masing-masing memberi banyak harapan. Bilamana orang India dapat membersihkan gangguan-gangguan tersebut dan mencapai kemerdekaan di lapangan kejiwaan, bantuan besar bagi perkembangan jiwa orang India.
Di dalam lapangan kebudayaan, tidak pernah alam pikiran Hindu menghasilkan ajaran-ajaran yang menyerupai ajaran Monroe. (Doktrina Monroe yang juga terkenal sebagai ajaran “Amerika untuk bangsa Amerika”, menghendaki bahwa Eropah tidak boleh campur tangan di dalam urusan-urusan Amerika, dan sebaliknya Amerika juga tidak akan ikut campur tangan di dalam urusan orang-orang Eropah. Pen). Malahan juga pada zaman kuno, sewaktu India masih dapat memberikan cukup banyak santunan-santunan rohani kepada rakyatnya sendiri, tidak pernah mereka mengalami sesuatu periode di mana mereka segan-segan untuk menerima dengan baik hasil-hasil dari ide orang asing. Pada zaman yang cemerlang itu, sikap orang-orang India dapat disamakan dengan sikap orang-orang Athena yang terkenal karena kecerdasannya, di mana Pericles berkata : “Kita dengan senang mendengarkan pendapat-pendapat orang lain, dan kita tidak memalingkan muka terhadap mereka yang tidak stuju dengan pendapat kita”.
Ketakutan orang India pada pengaruh dari luar, sudah seimbang dengan kelemahan-kelemahannya, dan seimbang dengan tidak adanya kepercayaan pada dirinya sendiri. Kami mengakui, bahwa kini pada muka kami nampak kerut-kerut akibat kesedihan, sedang rambut  kami nampak putih karena umur lanjut. Yang sehat-sehat pikirannya di antara kami, hatinya makin lama makin was-was, dan malahan ada yang menjadi pessimistis sekali, hingga menjadi pertapa-pertapa intelektual. Dengan demikian maka tidak adanya “kerja sama” antara Kebudayaan Timur dan Barat di sini adalah akbita dari suatu keadaan yang tidak wajar (Unnatural), jadi hal itu tidak akan teteap demikian untuk seterusnya. Tetapi walau pun tidak ada kerja sama, namun ada usaha-usaha untuk mengerti dan menerima baik jiwa dari kebudayaan barat. Apabila India dapat memasukkan untnsur-unsur yang bernilai dari kebudayaan Barat, kemudian kebudayaannya sendiri, maka hal itu semata-mata akan merupakan ulangan belaka dari parallelisme-parallelisme yang sudah kerap kali terjadi di dalam Sejarah Alam Pikiran India.
Orang-orang yang sama sekali tidak kena pengaruh Barat, kebanyakan tergolong lapisan intelektual dan bangsawan-bangsawan yang bermoral. Mereka itu acuh tak auh terhadap perkembangan-perkembangan politik, dan tidak begitu mengharap-harapkan sesuatu, karena mereka sudah bertawakal pada keadaan, dan hidup menyendiri. Mereka beranggapan bahwa tidak ada banyak hal lagi yang patut dipelajari atau patut ditinggalkan. Dan satu-satunya hal yang mereka lakukan sebagai kewajiban, adalah melamunkan Dharma abadi dari masa yang lampau. Mereka menginsyafi adanya kekuatan-kekuatan lain yang sedang mengamuk dan yang belum dapat dikuasai. Mereka menganjurkan supaya angin-angin badai dan kekecewaan-kekecewaan yang mengancam hidup dari segala sudut itu dihadapi saja dengan penuh ketenangan dan penuh rasa harga diri.
Andaikata mereka ini hidup di dalam jaman yang “lebih baik” niscaya mereka akan lebih berhasil untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitarnya, dan niscaya mereka tidak akan mau berhenti mengadakan usaha-usaha untuk menyesuikan Filsafat yang rational dengan agama rakyat. Mereka selalu bersedia memberi penjelasan-penjelasan mengenai Agama, dan bersedia membelanya terhadap kecaman-kecaman dari pihak yang tidak percaya, dengan mempergunakan methode allegoris (Methode yang didasarkan atas sysbol-symbol/lambang-lambang,Pen) dalam memberi tafsiran-tafsiran yang theologis. Di dalam gambaran mereka lapangan kerja Agama itu meliputi seluruh sifat-sifat manusia meliputi kecerdasannya dan cita-citanya, baik cita-cita yang praktis maupun yang emosional (yang berdasarkan getaran-getaran jiwa, Pen,) Andaikata kini, mereka yang mewakili kebajikan jaman kuno itu juga mempunyai inspirasi-inspirasi seperti tokoh-tokoh dahulu, niscaya mereka dengan kecerdasan  yang diwaris dari jaman kuno, sudah membangun suatu skema baru yang mentereng karena garis-garisnya yang asli, dan karena suasananya yang bebas. Jadi mereka tidak akan duduk menganggur begitu saja, untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak suka bekerja sama dengan kekuasaan asing. Sebaliknya mereka ini menghormati setinggi-tingginya “penuntun-penuntun yang berkewibawaan” (Authtority) di dalam alam pikiran dan alam perbuatan, baik yang berhubungan denegan kejiwaan amupun dengan hal-hal yang nilainya tahan lama, sehingga dengan demikian mereka mudah dituduh sebagai “Budak-budak di lapangan kejiwaan” dan sebagai “pekerja-pekerja di dalam kamar gelap”. Dimana dahulu orang mampu dan bersedia memberikan alasan-alasan  yang rasional, mengapa mereka tetap setia pada sesuatu penuntun berkewibawaan yang menjadi pilihannya (entah apakah penuntun-pemilihannya ini berupa Weda atau Agama), dan di mana dahulu, penuntun-penuntun yang berkewibawaan itu memperdengarkan amanatnya melalui censur logika akal yang menyaringnya secara kritis dan menafsirkannya secara filosofis, sekarang penghormatan tentang “penuntun-penuntun yang berkewibawaan” itu justru merupakan penjara bagi jiwa manusia. Orang beranggapan bahwa menguji kebenaran naskah-naskah kuno itu berarti kurang menghormati tokoh-tokoh yang sudah meninggal. Sebaliknya, kalau orang menerima kebenarannya, maka itu diangggap sebagai tanda kesetiaan. Setiap pertanyaan atau pun keragu-raguan ditindas dengan mendengungkan naskah-naskah kuno, sedang kebenaran-kebenaran ilmiah itu tidak diakui 100% kalau tidak sesuai dengan Agama/kepercayaan yang dianut. Sikap yang passif dan sabar, menurut dengan patuh dan tanpa bertanya, dan bertawakal pada nasib dan keadaan, dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai nilai utama di dalam lapangan intelektual. Maka juga sama sekali tidak mengherankan bahwa risalah-risalah kefilsafatan dari jaman belakang ini, tingkatnya jauh lebih rendah daripada buah-buah karya dari abad-abad yang lampau. Andaikata pikiran mereka tidak begitu tegang, keras dan liat, maka pandangan mereka tentu tidak sesempit itu.
Ahli-ahli pikir India adalah waris-waris dari :
“Tokoh-tokoh yang mempunyai tradisi luhur, yaitu yang menaruh kepercayaan pada Akal.”
Bukanlah menjadi keinginannya para Nabi dahulu, untuk menyalin/meniru hal-hal yang lama, melainkan untuk :
“Menciptakan hal-hal yang beru”.
Nabi-Nabi itu senantiasa mempunyai hasrat besar untuk :
1.         Mencari kebenaran-kebenaran baru di dalam wilayah yang belum di kenal, dan
2.         Mencari jawaban atas teka-teki pengalaman-pengalaman yang selalu berubah-ubah, jadi yang selalu merupakan bahan baru.
Warisan sebanyak itu, pada aslinya tidak pernah dimaksudkan  untuk memperbudak jiwa dari generasi-generasi yang datang gkemudian. Maka janganlah kita hanya menyalin/meniru saja pemecahan-pemecahan yang diberikan oleh jaman yang lampau, sebab tidak pernah sejarah itu berulang di dalam ujud yang persis sama. Apa yang sudah dijalankan pada masa yang silam, tidak perlu diulangi lagi pada masa kita sekarang. Kita hendaknya mengikuti segala sesuatu dengan mata terbuka, supaya dapat menemukan persoalan-persoalan yang perlu kita renungkan, dan juga perlu kita pecahkan dengan inspirasi dari jaman yang lampau. Semangat mencari kebenaran itu tidak selalu mempunyai  bentuk-bentuk yan sama saja. Maka hendaknya kita setiap kali memperbaharui lagi bentuk-bentuk yang lama. Malahan juga kalimat-kalimat yang lama, harus dipergunakan dengan cara yang berlainan. Filsafat dari masa sekarang harus mempunyai arti bagi masa sekarang, tidak bagi masa yang silam. Yang ditafsirkan oleh filsafat, adalah hal ikhwal mengenai hidup, yang disifatinya tetap asli saja. Maka Filsafat sebagai juru tafsirnya, harus pula mempunyai bentuk dan isi yang sama aslinya dengan itu. Dan oleh karena masa sekarang itu adalah lanjutan dari masa yang lampau, maka dengan demikian juga continuitet yang berlangsung dari dahulu sampai sekarang, juga tidak akan terpatahkan karenanya.
Salah satu di antara alasan-alasan yang dikemukakan oleh kaum conservatif yaitu bahwa : “KEBENARAN ITU TIDAK TERPENGARUH OLEH WAKTU” Mustahil sesuatu kebenaran itu dapat diganti, seperti juga tidak mungkin untuk mengganti keindahan matahari terbenam atau pun kasih sayang ibu terhadap anak. Saya mengakui, memang kebenaran itu boleh jadi tidak berubah-ubah, tetapi kebenaran yagn tetap sama itu dilahirkan di dalam sesuatu bentuk yang berdasarkan unsur-unsur  yagn dapat berubah-ubah. Maka bolehlah jiwa kita itu sama dengan jiwa kuno, sebab benih dari ide-ide kuno itu tetap memegang peranan pening, tetapi tubuh kita  dan juga berdebarnya jantung kita, tidak boleh ketinggalan jaman. Orang lupa, bahwa Agama kita ini adalah hasil dari perubahan-perubahan dan pergantian-pergantian abad. Maka kiranya juga tidak ada alasan untuk melarang Agama berganti/berubah bentuknya, asal saja dikehendaki oleh jiwa dari jaman baru. Boleh orang tetap setia  sesetia-setianya pada kepercayaan  yang lama, tetapi jiwanya  (yang sudah ketinggalan jaman) haruslah diubah. Andaikata para pemimpin dari orang-orang Hindu yang hidup 2.000 tahun yang lalu (yang tidak banyak mengenyam ilmu pengetahuan tetapi yang berjiwa besar) itu datang kembali lagi ke bumi, maka mereka akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa di antara penganut-penganut mereka yang paling setia (artinya yagn berpegang erat pada penafsiran secara lurus/ leterlijk dari ajaran-ajaran mereka, dan tidak ada seorang pun yang mengikuti langkah-langkah mereka, dan tidak pernah menyeleweng dari itu), tidak ada seorang pun yang mengikuti langkah-langah mereka tepat 100% seperti yang mereka kehendaki dahulu.
-----------------------------------------
Catatan penulis :
Bandingkanlah dengan aapa yang dikatakan oleh Aurobindo Ghosh, di dalam “Arya” :
“Andaikata orang India dari jaman Upanisad, atau dari jaman Buddha, atau dari abad klasik yagn datang kemudian, itu pada jaman moderen ini kembali melihat tanah airnya, amak ia akan menyaksikan betapa eratnya bangsa India berpegang pada bentuk-bentuk luar, rangka-rangka dan kulit-kulit dari jaman yang lampau, tanpa juga mengerti banyak akan intinya yang sebenarnya. Sebab intinya yang sebenarnya adalah jauh lebih luhur dan mulia daripada yang mereka sangka.
Ia akan tercengang melihat betapa miskinnya jiwa mereka, betapa tipisnya keinginan mereka untuk bergerak, betapa statisnya sikap mereka hingga mengulang-ulangi saja lagu-lagu yang lama, betapa sedikitnya perhatian mereka akan ilmu pengetahuan, betapa tipisnya hasil mereka di dalam lapangan kesenian, dan betapa lemahnya daya  pencipta mereka.”
----------------------------------------
Pada dewasa ini, kukup yang bertumpuk-tumpuk, sudah menghalang-halangi mengalirnya air, dan merintangi gerak bebas dari jiwa. Apabila orang berkata bahwa bentuk-bentuk kuno yagn sudah “mati” (sebab tidak lagi mengandung kebenaran-kebenaran  yang tidak boleh diabaikan) itu terlalu antik dan terlalu berkewibawaan untuk dibuat main-main, maka itu berarti memperpanjang saja penderitaan pasien yagn sudah lama merana karena racun dari sampah-sampah busuk yang ditinggalkan oleh masa yang silam. Seharusnya jiwa yang conservatif itu membuka pintu untuk memberi jalan kepada perubahan-perubahan yagn tidak dapat kita cegah. Tetapi karena pintunya tidak terbuka lebar, tidak lain karena orang belum merasa apa perlunya mengadakan perubahan-perubahan, maka di dalam lapangan Filsafat lalu mendapat suatu campuran yang aneh. Yaitu campuran antara  kecerdasan yang meresap ke mana-mana dan kebingungan-kebingungan yagn sifatnya ajauh dari filosofis.
Mereka yang mau berpikir, seharusnya mengerahkan sebagaian besar dari tenaganya pada soal-soal :
1.         Bagaimana caranya membebaskan kepercayaan lama serta kekuatan-kekuatan lama dari kukupnya;
2.         Bagaimana caranya menyesuaikan Agama dengan jiwa ilmiah;
3.         Bagaimana caranya memenuhi dan menafsirkan permintaan-permintaan dari tabiat-tabiat perseorangan, dan
4.         Bagaimana caranya menguasai kekuatan-kekuatan yang bercerai berai dengan mendasarkan diri atas kepercayaan orang-orang dari Jaman Kuno.
Tetapi sayangnya. Ada beberapa orang yang pikirannya tidak dicurahkan pada soal-soal tersebut, melainkan pada hal-hal yang menarik perhatian para ahli purbakala. Dan dilapangan ini kemudian memang terdapat berbagai specialis (ahli). Pendidikan yang diberikan oleh Negara, sifatnya religius dan tidak didasarkan atas pandangan yang luas. Orang belum insyaf-insyaf saja bahwa jiwa yang diwaris dari jaman kuno itu tidak hanya diperuntukkan bagi beberapa  gelintir manusia saja. Ide-ide adalah  kekuatan, dan kekuatan-kekuatan ini harus dipancarkan, apabila tidak dikehendaki bahwa generasi sekarang akan mengakhiri hidupnya. Dan memang akan mengherankan sekali, andaikata jiwa dari Upanisad, dari Gita dan dari dialog-dialog  Buddha (yang dahulu dapat menggerakkan manusia sampai menciptakan hasil-hasil yang gemilang) itu tidak lagi dapat memberikan pengaruhnya kepada manusia jaman sekarang. Jikalau (sebelum terlambat) sekarang diadakan reorganisasi di dalam tata hidup nasional, maka alam pikiran India akan dapat melangkah ke suatu mada depan yang penuh harapan. Dan orang tidak dapat meramalkan sebelumnya, bunga-bunga apakah yang akan mekar nanti, dan buah-buah apakah yang masih dapat masak pada pohon-pohon tua yang masih tetap tahan uji.
Di samping orang-orang yang conservatif (kolot) di dalam pikiran dan perbuatan, yang tidak kena pengaruh dari kebudayaan Barat, ada beberapa lainnya yang setelah mendapat pendidikan di dalam cara-cara berpikir secara Barat, kemudian menganut suatu kefilsfatan yagn Rationalistis Naturalistis, dan minta supaya mereka dibebaskan dari beban yagn ditinggalkan oleh jaman kuno. Mereka itu mempunyai tradisi yang tidak kenal toleransi, dan tidak begitu percaya bahwa kebijaksanaan orang India sudah mencapai tingkat kedewasaannya. Dikap dari mereka yang menyebut dirinya “Progressif” ini, dapat mudah dimengerti. Jiwa yang diwaris oleh bangsa kami, tidak dapat melindungi India terhadap serangan-serangan dari para “penyerbu” dan para “perusak” itu. Agaknya India telah dikhianati sedemikian rupa hingga sekarang kehilangan kemerdekaannya. Sebab mereka yang menamakan dirinya “pecinta tanah air ini, berharap besar untuk meniru negara-negara Barat dalam mengejar dan memenuhi keinginan-keinginan materiil. Mereka menghancurkan akar-akar dari kebudayaan kuno, untuk memberi tempat kepada barang-barang baru yang diimpor dari Barat. Sampai di hari-hari belakangan, Filsafat India telah dijadikan obyek di dalam studi yagn diselenggarakan pada Universitas-Universitas India, dan malahan pada saat ini kedudukannya di dalam rencana pelajaran Filosofis pada Universitas-Universitas itu tidaklah begitu besar artinya. Seluruh system pendidikannya mengandung saran, seakan-akan kebudayaan India itu lebih rendah tingkatannya. Sekali pun politik  yang dipraktekkan oleh Macauly itu mengandung nilai-nilai kebudayaan, namun itu terang-terangan menyebelah pihak dan berat sebelah. Politik tersebut dilakukan dengan sangat berhati-hati, dan mempergunakan kata-kata pilihan yang halus untuk memperingatkan kita pada kekuatan dan pada pentingnya kebudayaan Barat. Tetapi bagaimana pun juga berhati-hatinya, dan bagaimana pun halusnya juga kata-katanya, politik itu tidak mendorong orang India untuk menyayangi kebudayaannya sendiri. Harapan Macaulay sedikit banyak telah terpenuhi, sebab akhirnya telah dididik : “Orang India yang “lebih Ingris daripada orang Ingris sendiri.”
Sudah barang tentu bahwa bebereapa diantara mereka ini sependapat dengan kritik-kritik orang luar, yang memang memusuhi kebudayaan India. Kalau kita melihat evolusi kebudayaan India. Kalau kita melihat Evolusi kebudayaan di India, demikian akta mereka, maka kita akan menyaksikan pemandangan yang suram. Sebab di situ kita akan mendapat kebodohan-kebodohan dan takhayul-takhayaul, tanpa melihat satu keselarasan pun. Baru-baru ini, seorang di antara mereka mengatakan : “Kalau India masih ingin maju dan masih ingin menginjak jaman yagn bersemarak, maka di dalam lapangan kejiwaan, Inggris harus menjadi ibunya, sedang yunani harus menjadi neneknya!”
Tetapi karena ia tidak menaruh kepercayaan pada agama, maka ia juga tidak ingin mengganti Hinduisme dengan Agama Nasrani.
Orang-orang yang menjadi korban dari jaman yang penuh dengan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan-penderitaan ini, memberi kesan kepada kita, bahwa yagn merupakan sisi lemah dari benteng pertahanan nasionalisme itu ialah :
“Tidak adanya cinta akan alam pikiran India. Tetapi mungkin ini alah akibat dari bertingkahnya golongan intelektual saja!”
Adalah suatu peristiwa yang mencengangkan, bahwa justru sewaktu Barat mulai menghargai kebudayaan India, beberapa di antara putra-putra India sendiri malahan mulai menghinanya. Berkali-kali Barat telah berdaya upaya untuk meyakinkan orang-orang India, bahwa Filsfat India tidak dapat masuk akal, bahwa kesenian India tidak berjiwa, bahwa Agama India menggelikan, dan bahwa Ethica India mengerikan. Kemudian setelah Barat merasa bahwa apa yang dikatakan itu tidak 100 persen benar, maka beberaepa di antara orang-orang India sendiri justru memperkuat kebenarannya 100%.
Sekali pun sukar juga untuk menarik manusia kembali ke kebudayaannya sendiri, yang lebih rendah tingkaatannya kalau ditinjau dari sudut logica  pikiran Barat, yaitu dengan maksud supaya kita dapat membersihkannya dari keragu-raguan dan kekuatan-kekuatan dialectica yagn destructif, namun jangan dilupakan bahwa kita akan lebih mudah membangun di atas fundamen yang sduah ada, daripada berusaha untuk menggantinya dengan stuktur  yang sama sekali baru, mengenai tata susila, mengenai tata hidup, dan mengenai ethica. Kita tidak dapat memotong-motong dan memisahkan diri kita dari sumber-sumber hidup kita. Berlainan dengan konstruksi konstruksi di dalam ilmu ukur, skema-skema kefislafatan ittu adalah buah-buah dari hidup manusia. Apa juga yang diwariskan oleh sejarah kepada kita, adalah makanan yang harus kita hirup, kalau kita tidak mau mati karena kehabisan tenaga.
Kaum conservatif benar-benar yakin akan kemegahannya warisan-warisan dari jaman kuno, dan mereka benar-benar yakin bahwa kebudayaan moderen tidak memberi tempat kepada Tuhan. Demikian juga kaum Radical mempunyai kepastian bahwa warisan-warisan dari jaman kuno itu tidak berguna, dan bahwa yang bernilai tinggi itu adalah Rationalisme yang Naturalistis. Banyak dapat  dikatakan tentang kedua pandangan itu. Tetapi kalau kita mempelajari sejarah Alam Pikiran India dengan baik, maka kita akan berkesimpulan bahwa : “baik pandangan kaum Conservatif mau pun pandangan kaum Radical itu kedua-duanya sama-sama kelirunya.
Mereka yang mencacimaki kebudayaan India karena dikatakan tidak berguna, terang-terang tidak mengetahui banyak tentang hal itu, sedang mereka yang memuja-mujanya karena dianggap paling sempurna, juga erang-terang tidak mengetahui banyak mengenai kebudayaan-kebudayaan lain. Kaum Radical dan Kaum Conservatif, yang satu dengan cita-citanya akan mencapai hal-hal yang baru, yang lain dengan idam-idaman untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran yang lama, kedua-duanya harus saling dekat  mendekati dan saling paham-memahami pendiriannya. Sebab tidak dapat orang itu menyendiri di dalam sebuah masyarakat kecil, di mana umat manusia tersebar di dunia yagn luas, dengan kapal-kapal terbang, kapal-kapal, kereta api dan P,T,T, yang menghubungkan orang satu dengan yang lain hingga menjadi satu “keseluruhan hidup”. System pikiran kita harus mengadakan aksi dan reaksi terhadap kemajuan-kemajuan dunia. System-system yang tidak bergerak itu sama saja dengan kolam air yang dikerumuni oleh tumbuh-tumbuhan yagn tak sedap dipandang mata, sedang sebaliknya sungai-sungai yang mengalir, itu setiap kali membawa persediaan air baru dari sumber-sumber inspirasinya. Tidak ada salahnya untuk meresapkan kebudayaan-kebudayaan lain di dalam hati sanubari kita. Hanya saja, kita harus : Menambah, mempertinggi dan memurnikan unsur-unsur yang kita oper, untuk diolah bersama-sama dengan yang paling baik di antara unsur-unsur kebudayaan kita sendiri.
 Bagaimana caranya mengolah dan menggodok berbagai unsur itu di dalam kuali nasional, hal itu didalam garis besarnya diterangkan di dalam buah-buah karangan dari Gandhi dan Tagore, dari Aurobindo Ghosh dan Bhagawandes. Buah-buah karangan ini memberi sementara harapan akan datangnya masa depan yang gemilang, menunjukkan beberapa bukti bahwa pandangan-pandangan yang scholastis sudah tertaklukkan, dan juga mengumandangkan suara-suara yang kembali menuju ke keagungannya kebudayaannya sendiri. Di samping mengoreti sumber-sumber dari Idealisme yagn Humanistis di India dahulu, penulis-penulis itu memperingatkan supaya kita memperhatikan alam pikiran Barat, dan supaya itu diresapkan di dalam hati sanubari kita. Mereka berhasrat akan mempergunakan kembali sumber-sumber dari jaman kuno, dan berhasrat akan mengalirkan airnya ke tanah-tanah di mana merajalela bahaya kelaparan dan kehausan, dengan pimpinan yang suci murni dan yang bersih dari segala macam korupsi.
Tetapi apda prakteknya, masa depan yang akan datang, tidak akan memenuhi idam-idaman kita seluruhnya. Dengan lesunya kegiatan-kegiatan di dalam lapangan politik (yang telah menghabiskan banyak tenaga dan pikiran terutama dari yang pandai-pandai di antara orang-orang bangsa India), dengan diperbanyaknya dan didperluasnya studi mengenai alam pikiran India pada Universitas-universitas baru (sedang Universitas-universitas yang lama  lambat laun mengikuti juga, sekali pun dengan perasaan enggan), mungin fajar masih dapat menyingsing. Sedang Kaum Conservatif, yang lebih suka melihat  masa yagn silam daripada masa depan, nampaknya tidak akan berdaya lagi di hari-hari yang akan datang.
Persoalan yang apda dewasa ini sedang dihadapi oleh Filsafat India, yaitu :
1.         Apakah Filsafat India akan dijadikan suatu upacara/ibadah keagamaan (cult) saja, dengan lapangan kerja yang terbatas dan tanpa dibolehkan menyelidiki fakta-fakta yagn sekarang ada, atau;
2.         Apakah Filsafata India akan diberi hidup dan dibuat nyata, agar supaya tidak menyalahi dirinya sendiri dan dapat merupakan salah satu dari unsur-unsur penting yang menentukan kemajuan umat manusia, dengan jalan mempertalikan pengetahuan modern (yang sudah luas sekali) dengan cita-cita dari ahli-ahi Filsafat dari jaman kuno.
Semua gejala-gejala yang ada, menunjukkan bahwa masa depan akan menyaksikan terlaksananya akemungkinan yagn nomor dua, agar supaya orang dapat setia akan system-system pikiran yang dahulu-dahulu, dan sekaligus juga memenuhi panggilan Filsafat, maka ia harus : “mempunyai pandangan yang makin lama makin bertambah luas.”
Hanya bilamana Filsafat India dapat maju dan dapat memuliakan hidup kita, maka barulah itu ada artinya bagi amsa sekarang, dan barulah orang mau mengakui bahwa filsafat India itu memang benar-benar diperlukan. Mudah-mudahan hal itu dapat terlaksana hendaknya, sebab kalau kita melihat proses perkembangan filsafat India dari masa yang lalu, maka kita benar-benar mempunyai banyak harapan. Terutama dengan adanya ahli-ahli pikir yang ulung-ulung seperti Yadjna Walkya dan Gargi, Buddha dan Mahawira, Gautama dan Kapila, Sjamkara dan Ramanudja, madhwa dan Wallabha, dan banyak lainnya, maka India menjadi berhak untuk ikut menghias kulit bumi. Sebab tokoh-tokoh itu merupakan bukti yang nyata, bahwa : “Bansga India adalah suatu bangsa yang bermartabat, suatu bangsa yang berjiwa.
Lain dari pada itu, mereka juga menunjukkan adanya kemungkinan, bahwa India masih sanggup bangkit untuk berdiri lebih tinggi daripada tingkatnya sekarang, dan bahwa kesanggupan yang seluhur itu dapat terlaksana pula.

T A M A T
Kota Sepanjang, Sidoarjo, Jatim, Jum’at : 5 September 2014.