Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Senin, 15 September 2014

KUNCI SWARGA BAHASA INDONESIA FALSAFAH KETUHANAN DARI JAWA

Membaca Falsafah Jawa, Jika tidak tuntas sangat berbahaya.
"Jangan Suka Berbantahan Masalah Ilmu"
"Lebih mudah dipahami oleh yang sudah memiliki ilmu Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun"
“FALSAFAH KETUHANAN : TERJEMAHAN BEBAS BUKU KUNCI SWARGA”
Oleh : Faqier ‘Abdul Haqq (Bratakesawa)
Penerbit : Jajasan ‘Djojobojo” Surabaya
Tahun : 1952.
Penerjemah : Pujo Prayitno
DAFTA    -    ISI
PRAWACANA  (tidak diterjemahkan)
Bab.I : URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT TUHAN YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI DZATI WAJIBI’L MAUJUDI).
Bab.II : URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT (BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L AQIYAAMATI)
Bab.III : URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA TUHAN DAN ADANYA YAN GAIB-GAIB (BABU MA’RIFATULLAH WA GHAIBI’L MAUJUUDI)


PRAWACANA  (tidak diterjemahkan)
Bismi’llahi’ rrahmani’rrahiem
Atas asma Dalem Gusti Allah ingkang maha Mirah ingkang Maha Asih.
KULA NUWUN, anggen kula cumantaka ngripta serat “Kunci Swargo (miftahul jannati) punika, boten saking bade ngongasaken kalangkungan kula ing babagan falsafah tuwin tashawwuf adedasar Islam, ingkang kula pancen boten gadah kalangkungan babagan punika, sayektosipun namung saking kaderenging achlaq, tumrap bangsa kita ingkang sampun uwal saking penjajah punika.
Saking pamanah kula: mubalipun panindak warni-warni ingkang mitunani masyarakat tuwin praja, ngrebdanipun panindak nyulayani wulangan agama ingkang dipun siyaraken para Rasul, tuwin tuwuhipun grombolan “Kabatosan” pinten-pinten ingkang sisip sembiripun cacad-cinacad : andadosaken karingkihaning bangsa, punika boten sanes, jalaran kita kesupen dating ingkang sinebut asma Allah.
Jalaran saking punika, amila serat punika, boten sanes inggih namung bade isi andaran iktikad ingatasipun pangeran ingkang Maha Esa, miturut salah satunggaling paham. Pangandaripun adedasar dalil naqli (kitabing Pangeran) tuwin dalil ‘aqli (akal pikiran) sagadugipun ingkang ngandaraken. Punapa dene kaurutaken wiwit saking tataran iman(percaya ingkang boten namung tiru-tiru) dumugi tataran ma’rifat (weruh, ingkang sanes weruhing netra), kagubah ing basa Ngoko adapur soal-jawab, dados 3 bab.
Sarehning ingkang kula andaraken punika nama satunggaling paham, amila saupami wonten ingkang boten nyuwaweni jalaran ngrungkebi paham sanes, nuwun inggih boten aneh. Ewadene kula inggih ngunjukaken suka sukur kula ing Pangeran dene serat punika, boten ketang namung panda latu sapelik, meksa wonten ingkang rumaos kasuluhan, katitik saking datenging serat-serat saking para maosipun “Kunci Swarga”, ingakang sami mratelaken mareming panggalihipun.
Nalika manitra ( cap-capan I ) sinangkalan : Tri Murti Salira Nabi ( 1883 Jawi = 1952 Masehi
Salamipun
PANGRIPTA
Bab.I : URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT TUHAN YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI DZATI WAJIBI’L MAUJUDI).
1.  WREDATAMA : Kakak, Atas kedatanganku ke sini, karena aku libur panjang, untuk mohon diajari Ilmu kenyataan yang menjadi keyakinan kakak.
Perintah Kakak setahun yang lalu, sudah saya  laksanakan. Aku sudah berguru ke sana ke mari dan sudah membaca buku-buku tentang Agama dan tentang Ilmu Batin.
Sehingga kedatanganku ke sini bisa diibaratkan mengambil air menggunakan pikulan air, seperti petunjuk Kakak dahulu, apakah tidak demikian?
Hew
1. MUDADAMA:       Syukurlah, beruntunglah jika kemu sejak ketika itu tidak hanya berhenti pada niat saja.
Memang, bukan hanya dirimu saja yang saya sarankan demikian. Dengan tujuan agar tidak fanatik. Sebab menurut penadapatku, fanatik itu menjadi penghalang besar, terhadap orang yang sedang mencari ilmu hakikat. Karena menjadikan mereka jadi kehilangan penalaran, itu disebabkan terttutup oleh keyakinan “menolak” atas pendapat orang lain.
Lebih tinggi lagi kerugian, orang yang belajar ilmu hakikat  jika sudah fanatik terhadap sesama manusia. Apapun ajaran gurunya, diterima apa adanya hingga lahir batin, tanpa di telaah sama sekali. Padalah, walau-  pun Firman Tuhan yang tercantum di dalam Kitab-Kitab Agama itu pun, penghayatannya juga harus menggunakan akal dan pikira.
2.. WREDATAMA: Aku baru paham sekarang, bahwa petunjuk Kakak itu, mengandung maksud yang demikian. Saya kira, ketika Kakak memberi perunjuk ketika itu, disebabkan saya dikira belum kuwat untuk meguasai ilmu hakikat, atau bagaimana ?
2. MUDADAMA : Belum kuat bagaimana? Apakah kamu beranggapan bahwa seseorang yang belajar Ilmu Hakikat ada yang menjadi gila, oleh karena belum kuwat? Seandainya ada Ilmu yang bisa menyebabkan gila, sudah bisa ditentukan bahwa itu bukan Ilmu Hakikat.
Sederhananya, bahwa Ilmu Hakikat itu sama sekali tidak ada bahanya dan tidak merugikan. Dan jika bisa “terkabul” justru bermanfaat dan menyelamatkan baik di dunia hingga akherat. Sehingga dikatakan jika “Terkabul”, tentunya ada yang “tidak terkabul”. Yaitu belajar ilmu yang tidak bisa membuahkan Iman (kepercayaan), dan anggapan (Keyakinan). Karena takdir manusia, antara yang satu dengan lainnya tidak ada yang sama. Kata lainnya : Beda-beda takdir tiap diri.
3. WREDATAMA : Bagi yang telah mendapat anugrah Iman dan niat, apakah masih diperlukan membandingkan dengan ilmunya orang lain?
3. MUDADAMA : Sangat perlu, itu tidak, namun tidak ada jeleknya, artinya tidak ada ruginya. Sebaliknya ; Jika menolak, membantah, tidak mau memahami lain ilmu, itu sudah pasti ruginya, karena terjerumus ke dalam kefanatikan itu tadi.
Fanatik yang seperti itu, artinya tidak bisa merasa bahwa diri manusia itu mempunyai sifat sial, sifat lupa, banyak kekuarangannya. Merasa telah benar sendiri, merasa paling sempurna, itu sebetulnya karena kelemahannya, merasa khawatir  jika terpengaruh oleh  lain ilmu.
Menambah ilmu itu janganlah kuatir bahwa Iman dan cita-citanya akan goyah. Seandainya keyakinan dan kepercayaannya menjadi goyak dikarenakan ketika mempertimbangkan dan menelaah ilmu milik orang lain, itu menandakan bahwa Iman dan Cita-cita sebelumnya dikarenakan belum 100%. Iya apa tidak? Kan tidak merugikan ?
Atas orang yang tidak fanatik, sekira ilmunya orang lain di anggap salah, tidak cukup hanya dengan dasar  “Saya menolak”. Pastilah ada alasan yang jelas, bagian mana yang dianggap salah, dan apakah sebabnya sehingga di anggap salah.
Sekarang saya bertanya kepadamu : Apa yang kamu peroleh dari kamu berguru dan membaca Buku-buku itu bagaimana? Apakah masih belum ada yang bisa memuaskan pikiranmu?
4. MUDADAMA:     Apalagi merasa puas, mengerti saja belum, Kak, Sebab, pemahamanku dari tiap jenisnya beda penjabarannya dan juga kalimatnya. Entah karena akebodohanku, atau bagaimana. Sehingga saya minta Kakak berkenan memberikan penerangan tentang hal itu dan mengajarkan Ilmu Hakikat itu.
4. WREDATAMA:    Penyebab kebingunganmu itu bisa juga  dari dirimu sendiri, yaitu karena menyamakan sesuatu yang sesungguhnya tidak sama.
Tiap-tiap guru atau pengarang buku itu memang tidak harus sama penguraiannya dan kalimat-kalimatnya (istilah) yang digunakannya, sehingga tidak usah kau banding-bandingkan. Gantilah saja penalaranmu. Nantinya akan kau temukan sebagian atau sedikit, dari uraian tadi, yang sama persisi, dan cocok dengan akal pikiranmu.
Namun bisa juga penyebab kebingungan itu tidak dikarenakan kesalahanmu. Sebab tidak kurang tukang memberi penerangan, yang seharusnya bisa menjelaskan sesutu yang sulit, justru membuat bingung atas sesuatu yang mudah.
Bia terjadi yang demikian itu, ada yang tidak disengaja, artinya memang tidak punya dasar keahlian tentang bagaimana cara menerangkan agar mudah dipahami. Ada yang memang disengaja; Membikin bingung itu ada dua tujuan :
a. Dia sendiri memang tidak mengerti tentang sesuatu yang dia terangkan, sehingga hanya mengatakan saja suatu keterangan yang pernah dia dengar, dengan diawur saja.
b. Dirinya memang sangat paham tentang yang dia jelaskan, namun memang tidak mau membuka rahasianya, penyebabnya : Itu bermacam-macam. Ada yang karena sangat bijaksananya, ada yang karena .......... silahkan tebak sendiri.
5. MUDADAMA:     Menyela kata Kak!! Tadi kakak mengatakan (Bab.I No.2) : Ada pencarian yang tidak terkabul, yaitu yang tidak membuahkan Iman dan keyakinan. Dan jika keterangan yang diterima itu memang jelas, terang-terangan, dan juga cara menerangkannya memang bisa, apakah masih ada yang tidak bisa menerimanya sehingga menolaknya?
5. WREDATAMA:    Menerimanya memang bisa menerima, mengerti pun bisa mengerti juga, namun, bisa digambarkan sebagai berikut :
A, B, dan C. Sama-sama menerima penjelasan tentang keburukan orang merokok, dikarenakan tembakau itu mengandung racun yang bernama Nikotin, yang bisa membuat rusaknya badan.
Si A, ranpa ragu-ragu, kemudian berhenti merokok, karena telah paham betul  atas penjelasan tersebut, karena kuatnya peyakinannya.
Si B, juga memahami atas penjelasan tersebut, dan juga percaya bahwa merokok itu merugikan kesehatan badan, namun....... tidak bisa menghentikan merokok, karena kurang kuat pendiriannya, seingga berhenti merokok itu terasa sangat berat baginya.
Si , juga paham atas penjelasan tersebut, namun setengah percaya dan tidak percaya, Dalam batinnya berkata : “Soal racun itu terkadang hanya perkiraan saja, karena tidak kelihatan. Yang jelas saja, bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok itu terlihat kurang pantas. Shingga entah benar atau tidaknya tentang cacun, aku tetap terus merokok, agar tidak terlihat tidak pantas.:
Pikirkanlah hal itu. Baru menerangkan soal rokok saja, hasilnya tidak sama. Apalagi penjelasan tentang Ke-sukma-an / Ilmu hakikat  yang berjuta-juta kali lipat guna dan manfaatnya, karena bisa sebagai jalan masuk surga atau masuk neraka.
Jika saja Iman dan Keyakinan itu, manusia bisa membuatnya, maka ketika di masa hidup para Rasul tidak akan ada orang Kafir. Iya apa tidak? Nah.... sekarang apakah yagn kau inginkan.. sampaikanlah dengan jelas...
6. MUDADAMA : Yang kuinginkan tidak lain mohon diberi ajaran tentang Ilmu Hakikat, yang bisa dipergunakan dalam hdiup di dunia dan di akhirat, barangkali saja saya bisa memahaminya. Sebab saya merasa belum mempunyai keyakinan dan pegangan yang sebenarnya, walau pun saya telah berguru  ke mana-mana dan sudah membaca bermacam-macam Kitab.
6. WREDATAMA : Ya sudahlah, Jika memang niatmu sudah jelas begitu. Namun pahamilah, Bahwa Kakakmu ini tidak pernah “memberi ajaran” seperti yang kau inginkan itu. Itu adalah kebiasaan di masa lalu, yang harus duduk di kain mori putih, atau di tempat yang tidak terhalang pepohonan. Aku tidak mempergunakan cara seperti itu.
Alangkah baiknya mempergunakan cara tanya jawab saja. Kamu, bertanyalah sekehendak hatimu, apa yang kau inginkan, akan saya jawab semampuku. Jika jawabannya belum memuaskan, bantahlah, hinga kau merasa puas.
Cobalah sekarang, apa yang akan kamu tanyakan?
7. MUDADAMA : Waduh!! Jika Kakak menghendaki cara seperti, sangatlah susah bagiku, Karena membuat pertanyaan itu tidak gampang. Sebentar saya pikirkan terlebih dahulu. Pertanyaan apa yang harus dahulukan, karena sangatlah banyak tentang bab-bab yang akan saya mohon untuk dijelaskan.
7. WREDATAMA: Sukurlah! Jika kamu telah mempersiapkan banyak pertanyaan. Sesungguhnya bertanya itu tidak sukar. Hanya saja, dari pertanayaan itu, maka bisa diukur ilmu yang dimiliki.oleh yang bertanya.
Memang, yang lebih mudah dari yang mudah itu, adalah mendengarkan “Pengajaran” seperti yang kau inginkan. Namun, jika dirimu biasa mempergunakan cara seperti itu, maka penalaranmu tidak bisa berkembang, dan tidak bisa membuahkan kepercayaan dan keyakinan yang sebenarnya.
Maka dari itu, lebih baik mempergunakan cara tanya jawab iitu saja. Dan sebaiknya tanya jawab ini catatlah semuanya, barangkali saja ada gunanya untuk siapa saja yang menghendakinya.
Catatlah seperlunya saja, janganlah takut-takut, karena Negara Kita ini berdasar Demokrasi ; Tidak ada halangannya untuk mengeluarkan dan menyebarkan pendapat tentang bab apa saja.
Agar supaya lebih terperinci penjabarannya, pahamilah olehmu, bahwa yagn disebut Ilmu Hakikat, Ilmu jiwa, Ilmu ke-sukma-an, Kerokhanian, kesempurnaan, ke-Allah-an, Kebatinan, ada juga yang menyebutnya Asal dan Tujuan Kejadian (sangkan paran) atau Ilmu Tua, itu adalah :
Menjelesskan tentang Allah
Menjelaskan Tentang kematian
Menjelaskan tentang Jalan Ma’rifat Ketuhanan
Menjelaskan tentang yang gaib.
Namun, banyak dari mereka, barangkali kali merasa khawatir akan segera meninggal dunia, yang lebih diutamakan itu adalah mencari ajaran tentang sikap seseorang yang akan meninggal dunia. Sedangkan penjelasan tentang hal lain-lainnya tidak menjadi perhatiannya.
Ada juga yang walau pun sedikit pernah mendengar kalimat “Ma;rifat” namun tiba-tiba melakukan latihan yang menurut anggapanya adalah merupakan Jalan Ma’rifat kepada Tuhan. Itu juga tidak memiliki perhatian terhadap ajaran yang lain-lainnya.
Ada lagi yang perhatiannya adalah hanya kepada yang gaib-gaib, tanpa berdasar kepada keterangan yang jelas. Tentang hal yang lainnya yang justru lebih penting , tidak menjadi perhatiannya.
Seekrang, silahkan bertanya sekehendak hatimu, namun sebaiknya ikuti tata urutan yang telah tersebut di atas, barangkali saja , dari jawaban yang saya berikan bisa menjadikan terang dan puasnya hatimu.
8. MUDADAMA : Terima kasih, Kakak telah memberi pedoman urut-urutan dari pertanyaan. Namun sebelumnya saya mohon penjelasan terlebih dahulu. Yang dalam pencariannya dengan cara tidak urut , itu kerugiannya di mana?
8. WREDATAMA:  Tidak hanya mendapatkan kerugian, justru itu termasuk masuk ke dalam bahaya yang mengerikan, Cobalah dipikirkan :
Meninggal dunia itu seharusnya kan : Innaa lillahi wa inna ilaihi raji’uun (Al-Baqarah 156 = Sesungguh asal dari Allah kembali kepada Allah). Namun akan kembali ke manakah, bila tentang ke-Allah-an, seseorang imannya masih ragu-ragu dan juga dalam keyakinannya?
Demikian juga halnya bagi bagi yang belajar Ma’rifat, padahal belum jelas tentang ke-Allah-an. Apa yang akan di makrifatkan, jika iman dan keyakinannya masih ragu-ragu? Nah kan, itu lebih baik yang rajin menjalankan Shalat Syari’at saja – menurut Agamanya sendiri-sendiri yang di senangi – yang sama sekali tidak ada bahayanya.
Sedangkan bagi yang perhatiannya tertuju kepada yang Gaib-gain itu, bila sampai terlupa atau tanpa pejelasan yagn jelas, pastilah akan celaka, sebab belum bisa membedakan diantara “Yang Iya” dan “yang bukan”
9. MUDADAMA : Mohon ijin Kak, menyela untuk mohon penjelasan : Ada pencarian yang harus melewati bahaya, ada yang tidak, hal itu pemahaman saya belum jelas. Jika sampai kepada yang dicari (kembali kepada pangkuan Tuhan), seharusnya kan memilih yang tidak ada bahanya. Apakah tdiak demikian?
9. WREDATAMA: Dalam hal memilih, saya tidak bisa menyarankan, itu tergantung dari kesenangan diri masing-masing untuk memilih. Sampai atau tidaknya atas yang menjadi tujuannya, itu tergantung kuasa dan keadilan Tuhan sendiri. Wallahu a’lam, Hanya Tuhan Allah yang Maha Mengetahui.
Namun jika soal pencarian atau  ibadah kepada Tuhan, itu memang ada 4 tingkatan, yaitu :
1.    Syari;at, artinya : Aturan yang berupa aturan Agama tentang perintah dan larangan yang harus dijalankan. Sebagai dasarnya harulah percaya, bukan yang itu bukan yang ini. Itu sebagai ujian ketika menghamba kepada Tuhan dengan cara bersungguh-sungguh.
2.    Thariqat, artinya : Jalan atau petunjuk, berupa petunjuk yang memberi pengertian akal dan pikiran, sehingga keyakinannya tidak hanya ikut-ikutan, dan menjadi sarana untuk mencapai kepada Hakikat.
3.    Haqiqat, artinya : Sejati atau nyata, itu adalah sudah bisa merasa di dalam halusnya rasa tentang perbedaan yang Nyata (Haq) dengan yang bukan (bathal), yang berasal dari perjuangan yang berdasar petunjuk tersebut. Diri yang lain sudah tidak bisa ikut campur sama sekali.
4.    Ma’rifat, artinya : Melihat, namun bukan penglihatan mata ketika melihat. Itu adalah suatu hal yang sudah bisa menyatakan tentang Kenyataan, yang dalam menyatakannya sama sekali tidak mempergunakan alat. Tentang hal itu, selain bahwa orang lain sudah tidak bisa ikut campur lagi, diri sendiri pun tidak bisa menceritakan kepada diri yang lain.
Berdasarkan keteranga  tersebut, bahwa sesungguhnya yang terpenting  ada pada tingkatan Thariqat. Namun bagi seseorang yang hanya menjalan syri’at saja, asal dengan sungguh-sungguh, jika diperkenankan itu juga akan mendapat anugerah petunjuk  yang berasal bukan dari orang lain, itu disebut Ilham. Shingga Rasul Allah pernah bersabda : “Aktsaru ahli’Ijannati albalhu wa illiyuuna lidzawi alalbaabi (Hadist), Kebanyakan orang yang hali surga itu orang yang bodoh-bodoh, sedangkan yang berada di Illiyun – Surga yang tertinggi .. ituadalah orang yang pintar-pintar).
“Pintar” di sini bukan bermakna pintar dalam hal ilmu keduniaan (mahir), yang terendah adalh di baigan Thariqat. Sebab untuk menetapkan bahwa sesuatu itu ilham atau bukan, itu haru ada keterangan yang jelas. Dan jika ilham palsu yang diyakini, maka akan gagal untuk menjadi Ahli ‘Ijannati (penghuni surga)).
10. MUDADAMA : Jika demikian, atas semua keterangan Kaka itu, seandainya saya bisa menerima, baru termasuk di tingkat Thariqat, apakah demikian Kak?
10. WREDATAMA :  Nah... menurut perasaanmu bagaimana? Segala sesuatu yang masih bisa dikatakan, baik berupa tanya jawab, atau yang berupa ajaran atau urutan Wirid, hal itu sudah jelas masih berada di tingkat Thariqat. Namun yang berbentuk Ajaran atau rangkaian Wirid, banyak yang tanpa penjelasan, serta ketika mendapatkan itu semua dengan syarat Tirakat atau ada larangannya, sehingga menyebabkan banyak yang tertarik.
Sedangkan untuk bisa sampai di Tingkat Hakikat itu masih sangat jauh. Untuk sampai ke Tingkat Ma;rifat itu semakin sangat jauh sekali.
Maka dari itu, kamu jangan sampai punya anggapan, bahwa hanya karena sudah mengerti, itu sudah sampai di Tingkat Hakekat atau Ma;rifat, itu bukan. Paling tinggi baru sampai buah dari Iman dan keyakinan, yang menjadi pedoman dalam berjuang untuk mencapai Hakekat dan Ma’rifat yang jauhnya sangat jauh itu.
Jangan menggampangkan, namun juga jangan cepat “putus asa” dan jangan menyalahkan diri sendiri.
Ketika kita merusaha mencapai Ma’rifat itu bukan aneh pun bukan tidak wajar, sebab Tuhan sendiri memerintahkan demikian : Kullama ruziquuwa minhaa min tsamaratin rizqan qaaluuwa hadzaa adzdzie ruziqna min qablu wa utuwabihi mutatsabihan (Al-Baqarah 25 = Seandainya orang-orang itu diberi rijeki dari buah-buahan surga, akan berkata : “Ini sama dengan yang diberikan kapaku seperti dahulu). Artinya, orang-orang yang mendapatkan kenikmatan surga ketika di akherat itu telah pernah merasakan kenikmatan (ma’rifat) kita hidup di dunia dahulu.
Ada juga perintah Tuhan, yang seperti ini : Waman kana fiehadziehi a’ma fahuwa fiel achirati a’ma wa adlallu saielan (Isra :72 = Barang siapa yang di sini buta, maka dia di akhirat pun buta, tidak tahu jalan).
Sehingga seseorang yang ingin mencapai Ma’rifat denegan benar, itu tidak lain berniat merasakan surga di dalam ketika masih memiliki raga ini, dan agar tidak buta ketika di dunia dan di akhirat.
11. MUDADAMA : Iya, Iya Kak, saya sudah paham. Namun dalam saya memohon penjelasan mengenai bahwa dalam berusaha ketika ada bahanya denga yang tidak ada bahayanya, Kakak belum memberi jawaban. Hal itu bagaimanakah kejelasannya? Dan juga yang dikatakan menjadi penghalang besar, itu mohon dijelaskan sekalian.
11. WREDATAMA : Oooo... Ibaratnya begini : Seseorang yang berhenti pada syari’at saja, yang maksudnya sama sekali tanpa ilmu Tarikat yang jelas, itu sama halnya dengan seseorang yang tidak pernah bepergian, mengumpulkan bekal untuk perjalanan jauh, seumpama pergi Haji ke Makkah. Juka memang benar-benar, selain bekal yang berupa uang, tidak boleh tidak, harus berbekal ilmu tentang tata cara orang naik kereta, Cara naik kapal laut, cara setelah sampai di Tanah Arab, dan lain sebagainya, Itu benar kan?
Dan seumpama seseorang itu tidak mempunyai ilmunya, semestinya tentu tida jadi bepergian, terhenti di rumah saja. Namun hal itu, sama sekali tidak ada bahayanya. Justru telah berhasil mengumpulkan uang yang banyak gunanya (“amal Shalih = berbuat baik). Namun jika kemudian mendapatkan Ilham, hal itu tidak masuk dalam gambaran ini.
 Sedangkan yang belajar ilmu Ma’rifat atau ilmu hakikat kesempurnaan mati, padahal belum bisa memahami dengan jelas keterangan tentang itu, itu sama halnya dengan seseorang yagn pergi Haji, yang sudah terlanjur berada di dalam kereta atau di dalam kapal, namun tidak membawa tiket atau karcis, dan juga sama sekali tidak tau ke mana tujuan dari yang dinaikinya itu, dan lagi tidak tau Makkah itu ada di mana. Dan orang itu ada yang membawa bekal, ada juga yang tidak membawa bekal sama sekali.
Apakah hal seperti bukan merupakan bahaya besar? Dari golongan inilah yang kemudian mencela  terhadap orang yang menjalankan syari’at. Sehingga diberi julukan dengan sebutan klenik oleh para ahli syari’at.
Seseorang yang patuh pada aturan, patuh pada perintah, tunduk kepada kedisiplinan.... malah di cela! Hal itu sangat tidak pantas bagi yang mencelanya taa? Seharusnya, walau pun dirinya tidak menjalankan syari’at, tidak bisa menyalahkan orang yang menjalan syaria’at itu.
Maka dari itu, jika dirimu ingin belajar ilmu ma’rifat, sebaiknya, juga dengan menjalankan syari’at, sesuai dengan Agama yang gkau anut. Itu menjadi pondasi, untuk mempermudah mencapai cita-citamu, seukuran dengan derajat dan martabatmu. Jika tidak bisa menjalankan, hal itu terserah saja, namun jangan sekali-kali meremehkan orang lain yang menjalan syari;at.
Sebaliknya, jika kau bersungguh-ssungguh belajar Ma’rifat, jangan kamu khawatir di tuduh “klenik”. Seandainya saja, tiap ma’rifat itu klenik, tentunya tidak akan ada yang bernama Mu’min Khas, tidak ada yang bernama wali, dan juga tidak perlu para filsuf mengarang kitab-kitab falsafah dan juga para sufi yang mengarang Kitab-kitan Tashawwuf.
Sedangkan bagi yang menjadi perhatiannya adalah hal yang gaib-gaib, itu adalah :
a.         Ketika seseorang telah memperoleh keterangan yang jelas, dan sudah mencapai di tingkatan hakikat, itu bagaiakn orang pergi haji, namun perhatinnya hanya senang melihat kota Jakarta saja.
b.         Sedangkan bagi seseorang yang belum memeproleh keterangan yang jelas, serta belum bisa mencapai apa-apa, itu ibaratnya bagaikan seseorang yang bepergian dengan tujuan hanya ingin melihat keindahan ssuatu tempat, namun tidak mengetahui bahwa yang indah itu apanya, dan sedang berada di kota apa. Tentang pergi Haji, sama sekali tidak masuk ke dalam pikirannya  atau hanya dipikir sambil lalu saja.
Sudahlah, cukup ini saja, sepertinya dirimu sudah mempersiapkan pertanyaan yang hebat. Hayooo mau bertanya apa lagi?
12. MUDADAMA :  Ini masih tergolong hanya menyela terlebih dahulu, agar semakin sempurna pengertianku, Kak. Kakak tadi mengatakan, Ilmu hakikat atau ilmu kejiwaan atau lain sebagainya itu tadi, hal itu memang sama saja, ataukah berbeda-beda? Bila beda sebutannya, itu seharusnya juga beda ujudndya dan beda artinya pula, walau pun perbedaaanya hanya sedikit. Apakah tidak demikian ?
12. WREDATAMA : Wahhh, jika berbicara hakikat mempergunakan jalan penjelasan kata, itu agak susah. Sebab kata-kata yang dipergunakan pada tingkat Hakikat yang terbanyak dalam Bahasa Arab atau Sanskrit, yangsudah berubah makna dari yang sebenarnya. Sehingga jika kau ingin memahami sebuah ajaran itu, rasakanlah maknanya saja.
Demikian juga halnya, tentang nama-nama ilmu yang kamu tanyakan itu, sesungguhnya tidak hanya berbeda sedikit, ada yang beda maknanya banyak sekali. Namun pada umumnya hanya diringkas saja, dianggap sama saja.
“Kenyatan/Yang Nyata adanya” (Kasunyatan = Bahasa Jawa), itu makna sederhananya hanya sampai menjangkau tingkatan Hakikat saja, sebab berasal dari kata dasar “Nyata” yang artinya HAQ, Namun kata “Kasunyatan” yang berasa dari bahasa Sanskrit “Sunyata” (menerangkan tentang Sunya, tentang yang kosong), itu mengandung makna telah sampai tingkatan Ma’rifat (“arifin).
“Kejiwaan” dan “Kerokhanian” itu memang maknanya sama, yaitu ilmu tentang Jiwa atau Roh, maksudnya : Badan halus. Namun sekarang ini, kata “Jiwa” itu banyak yang dimaknai Budi Pekerti, terkadang bermakna semangat, malah ada yang hanya bermakna ...................... Nafsu. Nah, itu kan bukan ilmu Ke –Allah-an, sebab roh (jiwa), itu, bukan Allah.
“Kasukman” tentang suka, makna dasarnya adalah kailingan/kesadaran ingatan, sebab “Suksma” itu artinya adalah hilang atau tidak terlihat mata. Namun sudah sejak jaman dahulu bahwa Allah sering disebut juga Hyang Suksma, sehingga Ilmu Kasuksman itu, dianggap mempunyai arti sama dengan ilmu Tentang Allah.
“Kasampurnan” (kesempurnaan), itu berasal dari kata “sempurna” maksud sebenarnya ada “Sempurna dalam kematiannya”. Namun mati yang sempurna itu pada umumnya yang kembali kepada asal, Kembai kepada asal mulanya, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” itu tadi.
“Ka-Allah-an” (tentang Allah), dalam bahasa Indonesianya Ke-Tuhanan, itu adalah Ilmu yang menerangkan tentang Dzat, Sifat, Asma dan Af’al  dari Tuhan. Bisa dimaknai lebih luas lagi : Juga menerangkan tentang cara ibadah kepada Allah, dalam lahir dan batinnya, juga disebut Sari’at, Tarikat, hakekat dan Ma’rifat itu tadi.
“Kebatinan”, itu makna dasarnya adalah, semua ilmu yang bukan tentang lahir, yaitu tentang segala jenis Mantra, aji kesaktian dan kelebihan itu semua termasuk ilmu kebatinan. Nah yang ini memang tidak termasuk ilmu tentang Ke-Tuhanan.
“Sangkan paran” (Asal dan tujuan), itu ilmu yang menerangkan Sangkan (asal) ketika belum tercipta itu bagaimana, dan parene (pada akhirnya) itu bagaimana. Sehingga jika tidak melenceng sama juga dengan Kasampurnan itu tadi.
“Ngelmu Tuwa” /Ilmu tua, itu maknanya juga ilmu tentang Kesempurnaan dalam kematian. Sebab orang yang sudah tua  pada umumnya itu sudah mendekati saat kematiannya, sehingga seharusnya sudah waktunya ingat dan berusaha mencari ilmu tentang mati, sehingga di saat kematiannya tidak asal-asalan saja.
Seperti itulah keterangan ringkas tentang pertanyaanmu tadi, menurut pemikiranku.
13. MUDADAMA :  Iya Kak, ringkasan-ringkasan tersebut, saya sudah bisa menerimanya. Namun sekrang saya mohon penjelasan tentang yang inti, sesuai dengan batasan-uraian Kakak tadi (Bab I No.7), yaitu mohon diterangkan tentang “Allah”.
Ada yang berpendapat, bahwa sesungguhnya Allah itu hanya “Asma”, hanya anggapan atau sebutan saja, sesungguhnya tidak ada. Dicari di alam manapun, tidak akan bisa ditemukan. Pendapat yang demikian, menurut Kakak itu bagaimana?
13. WREDATAMA : Sabar dulu, sebab hal itu harus diperinci, jangalah dicampur aduk, agar tidak membingungkan.
Tentang sebutan “Allah” itu memang benar, memang hanya Asma atau sebutan buatan manusia ini. Sedangkan manusia dalam membuat nama adalah menurut bahasannya masing-masing, dan anggapan orang sendiri-sendiri. Yang membuat kata “Allah” itu orang Arab, artinya : Yang disembah. Sedangkan bangsa kita atau orang Jawa menyebut dengan sebutan “Pangeran” artinya “: Yang diikuti” (dikawulani/di ngengeri). Dalam Bahasa Indonesia disebut “Tuhan” artinya “Tuan” atau “de Heer” yaitu “Majikan” (bendara).
Namun jangan kau kira bahwa Allah itu asma Eigennaam, seperti nama manusia, itu bukan. Dalam menulisnya menggunakan Huruf Besar, bahkan di tambahi dengan kata “Gusti” itu hanya “Tata Krama” (Sopan santun) saja. Sehingga jika dirimu menyebutkan hanya asma, anggapan saja atau sebutan saja, itu pun tidak salah.
Namun jika pemahaman untuk memahami sebutan “ Sejatine ora ana” (Sebenarnya tidak ada), hal itu tidak benar. Sebab, semua sebutan, tidak perduli hanya sebutan saja, atau sekedar nama saja, yang disebut itu pastilah ada.
Oleh karena sebutan “Allah” itu buatan manusia, demikian juga dengan sebutan yang lainnya, sehingga ada sebuah ajaran yang mengatakan : Manusia itu mengada dengan sendirinya, sebelum Allah, malaikat, bumi, langit : Ada”, Itu tetap kata yang menyesatkan, dan tidak perlu di pikir..
Tentang ada atau tidak adanya itu, selain tidak bergantung  sebutannya atau hanya anggapan saja atau sebutan nama, juga tidak tergantung ditemukan atau tidak dditemukan dalam pencariannya. Contoh dari yang kasar hingga yang halus, itu begini :
Baksil itu jelas ada, iya kan? Akan tetapi, untuk meyakinkan kita tentang adanya, itu bila kita lihat menggunakan mikroskop.
Atom itu juga jelas ada, iya kan? Akan tetapi lebih lembut dibanding dengan baksil. Sehingga untuk meyakinkan bahwa itu ada, bukan menggunakan mikroskop, yaitu menggunakan alat lain untuk memisahkan atom dari benda yang ada atom-nya.
Warna merah itu pasti ada, iya  kan? Akan tetapi meski dilihat dengan mikroskop, dipisah menggunakan cara apa pun saja, itu tidak akan bisa. Berkali-kali hanya bisa bertemu dengan benda yang mengandung warna merah, contohnya bunga wora-wari.
Rasa peda itu ada, iya kan? Akan tetapi tidak bisa dibuktikan dengan mikroskop atau alat pemisah, berulang kali kita hanya bisa bertemu dengan barang yang mengandung rasa pedas, seperti contohnya lombok.
Dan, Hari Minggu itu kan jelas adanya, kan? Akan tetapi bagaimana agar bisa kita ini bertemu dengan hari Minggu itu, yang lebih halus dibandingkan dengan warna merah atau rasa pedas?
Kita yakin bisa bertemu dengan Hari Minggu, akan tetapi tidak seperti bertemunya antara dirimu dan aku “Bertemu nyata” seperti sekarang ini. Ketika melihat semua kantor tutup, Sekolah dan Pegadaian juga tutup, kemudian teringat di kala kemarin sore tercium bau orang membakar kemenyan... tentunya baru bisa menetapkan bahwa saat itu adalah sungguh-sungguh hari Minggu, iya kan?
Sedangkan tentang Allah itu tadi, menurut pemahamanku, aku yakin seyakin-yakinnya. Tuhan Allah itu ada. Itu tidak karena dari meniru-niru, dikarena mendengar kalimat Dzat Wajibul Wujud (Dzat yang pasti adanya) itu tidak. Hal itu seperti keyakinanku kepada Hari Minggu tersebut tadi.
Aku dan dirimu tidak bisa bertutur kata seperti ini, intinya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Dzat yang wajib adanya itu, tidak ada. Sehingga tidak sia-sia Kaum Muslimin, setiap akan melakukan apapun saja, mengucapkan Bismillah atau Bismillahi rrahmaanir-rahiem (Asta Asma Allah yang Maha murah dan Maha Asih). Sayangnya, bahwa kebanyakan, dalam pengucapannya hanya terbawa karena kebiasaan saja, tidak merasuk dalam hati sanubari.
Demikian juga, tidak percuma ada lafal yang mengatakan : Laachaula walaaquwwata illa billah (Tidak ada daya kekuatan selain atas pertolongan Allah). Sayangnya, bagi bangsa kitahasa Arab, dalam pengucapannya berubah menjadi “Wala-wala kuwatta” sehingga menjadi beda maknanya. 
14. MUDADAMA : Maaf, Kak. Kakak mengatakan “Manusia tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Allah itu tidak ada”, itu penjelasannya bagaimana ? Dan apakah ada uraian lainnya lagi yang menyebabkan Kakak yakin dengan seyakin-yakinnya tang adanya Allah itu?
14. WREDATAMA : Benar, Kejarlah jangan sungkan-sungkan, jika hatimu belum puas!
Siapa pun juga, semestinya yakin, bahwa dirinya itu tdiak bisa berbuat apa-apa, selain atas pertolongan Allah? Sebagai bukti bahwa seseorang tidak bisa mempergunakan bagian dari badan, .. yang diaku sebagai miliknya – akan patuh sekehendak hatinya. Sebagai contohnya, tidak akan bisa memerintah mata untuk bergantian, mata yang satu tidur dan satunya terjaga. Tidak bisa mempertahankan umur, walau hanya satu menit saja, jika telah sampai waktu meninggalnya.
Serta, di dalam hidupnya, masih saja mendapatkan sifat sial serta sifat lupa.
Itulah keadaan yang ada di raga kita. Sekarang cobal renungkanlah tentang alam yang tergelar ini, seperti contohnya :
Siapakah yang memerintahkan Bulan dan Matahari sehingga berjalan sesuai garis edarnya dengan tetap, yang tidak akan bisa dipengaruhi oleh kehendak manusisa ? Siapakah yang memerintahkan Bumi, laut, sungai, gunung, serta semua isinya? Siapakah yang menciptakan hujan serta tumbuh-tumbuhan  yang dipergunakan sebagai sumber makanan makhluk hidup ini? Singkatnya saja, sangat banyak sekali tanda dan saksinya, Bacalah Al-Qur’an, dan sekarang kan sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Daerah atau Bahasa Indonesia.
15. MUDADAMA : Penjelasan yang demikian, saya masih belum puas, Kak!! Apa yang telah dijelaskan itu semua, kita ini hanya menemukan barang yang telah tercipta. Oleh karena merasa tidak bisa membuatnya dan tidak bisa menguasainya, kemudian tumbuh perkiraan sesuai hukum adat, pastilah ada penciptanya, serta kira-kira ada yang menatanya. Dan semestinya yang mencipta dan yang mengaturnya itu sangatlah berkuasa. Apakah tidak demikian?
15. WREDATAMA : Nahhh... kan begitu! Ini namanya diskusi (bertukar pikiran) sungguhan. Sekarang bergantian, berilah saya keterangan terlebih dahulu. Tentang keadaan yang sudah tergelar ini semua, menurut pendapatmu, bagaimanakah asal kejadiannya ? Maksudnya, berasal dari daya apa, dan apakah sebabnya, tercipta ?
16. MUDADAMA : Adanya itu, tercipta dengan sendirinya Kak! Hal itu disebut Naturwet, atau aturan hukum kodrat. Hal itu bisa terjadi karena bersatunya suatu bahan atau menyatunya daya tarik menarik.
16. WREDATAMA : Bagus!!  Nah, yang mengadakan Wet atau aturan, bahwa Yang ini berkumpul dengan yang itu akan menjadi begini, yang di sini dan dan yang di sana akan menjadi seperti itu, siapakah itu atau apa sebutanmu untuk menyebutkannya?
17. MUDADAMA : Yang mengadakan aturan hukum kudrat tidak lain adalah Kudrat. Yang menciptakan Natuurwet juga ... natuur. Ya itulah Natuur itulah yang mempunyai kekuatan tertinggi. Di atasnya Natuur itu, sudah tidak ada kekuatan lagi.
17. WREDATAMA : Sebentarlah dahulu!!, Yang kamu bicarakan itu, dirimua hanya menirukan saja kepercayaan dan keyakinan orang lain, apah yang menjadi keyakinan dirimu? Seandainya itu Iman dan keyakinan mu sendiri, apakah kamu sudah benar-benar mantap ? Sudah tidak ada keraguan lagi?
18. MUDADAMA : Waduh .. ketahuan rahasiaku!! Seandainya saya sudah mempunyai pedoman dan keyakinan seperti itu, tentunya saya tidak mohon penjelasan ke sini. Saya hanya menirukan saja, pendapat dari golongan Natuuralist saja, Kak ! Saya sendiri masih bingung. Entahlah apa yang saya yakini. Ada pendapat yang seperti itu, sepertinya akan terbawa, oleh karena tidak bisa yang lebih tinggi lagi, akan tetapi juga tidak... berani, karena belum merasa cocok.
18. WREDATAMA : Waa... sepertikah kejelasannya. Bila “Kudrat” yang kamu sebut-sebut itu tadi “Kudrat” kata Arab (Qudrat), itu memang sebagian dari sifat-sifat Tuhan, sedangkan maknanya adalah “Kuasa”. Sifat Kadiran (Qadiran) artinya yang berkuada. Sehingga tidak salah bila Allah disebut Yang Maha Kuasa, namun itu hanya menyebutkan sebagian dari sifatnya saja, sifat-sifat yang lainnya masih banyak.
Sehinggga bukan si Kudrat itulah, daya kekuatan yang paling tinggi, daya kekuatan sebenarnya yang tertinggi itu, tentunya yang mempunyai sifat Kudrat dan sifat Kadiran itu tadi.
Sedangkan bila “Kudrat” atau “Kodrat” dalam Bahasa Jawa, maknanya hampir mirip dengan kamu sebut Natuur itu tadi. Jika saya tidak salah, “Kodrat” dalam bahasa Jawa itu bermakna, ya seperti itu tadi, sedangkan “Natuur” itu, bermakana seluruh yang tergelar ini, seluruh alam semesta.
Itu pun belum tepat bila dianggap sebagai daya kekuatan yang tertinggi. Sebab, seumpama bisa saya sebut “bekerja” itu semua hanya buah dari Perbuatan tuhan. Sedangkan bila Tuhan berkehendak untuk menciptakan segala sesuatu : “Yaquulahu Kun Fayakuun (Al-Baqarah 117, Maryam 35, Yaasin 82 = Berkatalah Tuhan, “Jadilah” maka menjadi ada”
Nah sekarang ketahuilah olehmu yang jelas bukti-buktinya, bila Natuur yang dianggap daya kekuatan atau Penguasa yang tertinggi oleh golongan Naturalist itu, sesungguhnya bukan daya kekuatan atau Penguasa yang tertinggi.
(a)       Kaum Naturalist memiliki keyakinan, bahwa semua kejadian (akibat) itu tentu ada penyebabnya, namun kenyataannya, ada beberapa kejadian yang dia tidak bisa menemukan penyebabnya, alias menemui jalan buntu. Sebab bila dipikir karena bersatunya sesuatu tidak bisa ditemukan, dari daya tarik menarik pun juga tidak bisa ditemukan. Seperti contohnya :
Apakah sebabnya watak dari si A itu mudah gelisah, mudah bingung, gampang sedih; sedangkan si B tenang, tidak mudah kebingungan dan selalu gembira? Sebab campurannya tidak sama. Benar! Namun, apakah yang menyebabkan bahan-bahannya menjadi berbeda-beda? Jawabannya hanya kadang-kadang atau tiba-tiba seperti itu!.
Apakah yang menyebabkan si C senang membeli Undian berhadiah, akan tetapi tidak pernah menang, sedangkan si D hanya mencoba-coba saja dan hanya membeli satu kali, dan persis mendapatkan nomor satu? Jawabannya hanya kebetulan atau tiba-tiba itu tadi.
Sedangkan bagi yang percaya kepada adanya Tuhan, tidak pernah menemukan kebutuan yang seperti itu, walau pun kita juga yakin kepada adanya aturan hukum Sebab dan Akibat. Kebetulan atau tiba-tiba, yang sepertinya hanya mempercayai pendapat sendiri itu, menurutku tidak ada. Karena hal itu sesungguhnya patuh pada garis atas kehendak Tuhan Yang Maha Adil.
(b). Natuur itu bersifat bisu, Namun Allah itu memiliki sifat Kalam, yang bermakna Sabda dam sifat Mutakaliman yang bermakna Yang bersabda. Sehingga ada makhluknya yang mendapat perintah Tuhan, itu adalah para Nabi.
(c). Natur itu, bersifat Buta, Tuli dan Bodoh, dan lain-lainnya, ringkasnya itu, walaupun saya katakan semalam suntuk pun tidak akan ada habisnya. Bagaikan membandingkan satu buah bulu gajah dengan ujud gajah.
19. MUDADAMA : Iya, iya Kak, saya sudah mengerti. Saya sudah yakin bahwa Allah itu ada dan DIA itu daya kekuatan atau Penguasa yang paling berkuasa.
19. WREDATAMA : Syukurlah, bila kamu sudah mendapat Iman, Namun kamu harus mengerti, bahwa Imanmu itu masih termasuk golongan Iman orang Taqlid, arttinya, hanya ikut-ikutan saja kepada orang banyak atau mengikuti keyakinan dari Kakakmu, Aku, kamu pikir : Mana mungkin punya maksud untuk menyesatkan, tidak.
Syeikh Imam Ghazali, dalam menjelaskan tentang Iman itu, ada tiga macam :
(1)       Imannya orang yang yang ikut-ikutan itu tadi, ibaratnya, kamu percaya bahwa di Kampung Snetul itu orang yang bernama Pak Pawira, Badannya tegap, rumahnya menghadap ke selatan, menghadap ke jalan raya. Oleh karena banyak orang yang menceritakan seperti itu. Iman yang seperti itu, bila orang banyak itu salah, kamu ikut salah. Sehingga mudah sekali berubah.
(2)       Imannya bagi orang yang Ahli Kitab Agama (Usulluddin), Ibaratnya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul tadi memang benar ada orang yang bernama Pawira, karena pernah lewat di depan rumahnya, serta pernah mendengar suara Pak Pawira yang terdengar dari jalan. Iman yang eperti itu masih bisa salah, karena suara yang terdengar belum tentu suara dari Pak Pawira yang sebenarnya.
(3)       Imannya orang ahli Ma’rifat (“Arifin), ibaratanya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul itu tadi, memang benar ada orang yang mempunyai nama Pak Pawira, badannya tegap, karena pernah bertamu dan sudah pernah bertemu dengan Pak Pawira sendiri. Inilah Iman yang sebnar-benarnya. Begitu pun masih ada tingkatannya, yaitu : Jika ketika bertandang di waktu matahari terbenam, tentunya kurang jelas dibanding dengan setelah menyalakan lampu. Pertemuan dengan peneranga lampu tentunya kurang jelas dibanding dengan penerangan Matahari.
20. MUDADAMA : Bagaimana penalarannya, Kakak mempunyai anggapan, bahwa kepercayaanku kepada adanya Tuhan itu baru termasuk kepercayaan yang mudah berubah ?
20. WREDATAMA : Tentu saja tau! Karena sejak awal kamu masih ragu-ragu, namun  dengan spontan dan tiba-tiba kamu sekarang menyatakan bahwa telah memiliki keyakinan tentang sesuatu yang sulit seperti itu.
Hayooo, apakah kau tau : Apakah sebabnya kita ini wajib berbakti kepada Tuhan? Seandainya kamu sudah menjalan ibadah, sudah pasti di dalam angan-anganmu itu ada maksud pengharapan menerima pahala serta takut akan menerima seiksa. Iya kan? Padahal di dalam Al-Qur’an menjelaskan : Wama dhalamnaahum walakin dhalamuu anfusahum (Huud 101, Al-Ankabut 40 = Allah tidak menghukum hambanya, akan tetapi hamba-lah yang menyiksa dirinya sendiri).
Apakah sebabnya kamu mengharap-harap menerima pahala, serta takut mendapat siksa itu???
Sebab : Tuhanmu itu, kamu bayang-bayangkan berujud sesuatu yang duduk di singgasana emas yang ada di langit. Atau berujud Markas yang sangat besar, berserta anggota staf yang sangat banyak : Ahli memberi perintah, membagi pahala dan memberi hukuman. Iyaa kan ?
Sehingga ketika kamu mengalami musibah, kadangkala memohon kepada-Nya, sedangkan ketika sedang dalam keadaan senang, biasanya kamu lupa. Kesadaran an ingatanmu hanya jika sedang beriibadah, terlebih lagi ketika berada dalam keadaa susah itu tadi.
Dan jika memohon, namun tidak dikabulkan, hatimu kau paksa-paksa untuk ikut menuduh bawa Tuhan itu adil. Akan mengatakan tidak adil, tidak berani. Akan tetapi sesungguhnya hatimu belum menerima, karena kamu belum paham. Ketika kamu menyebut adil itu, hanya meniru-niru kata orang kebanyakan saja. Benarkah demikian?
21. MUDADAMA : Aduh Kakaaaaakkk! Memang benar seperti itu, anggapan dana bayanganku. Terus, yang disebut Tuhan itu apa? Apakah hawa? Bukan. Apakah cahaya? Bukan. Apaka Daya? Bukan. Apakah zonnestelsel? Bukan. Apakah Cosmos? Bukan. Terus, apakah itu? Mohon untuk dijelas se jelas-jelasnya. Apa dan Manakah Tuhan itu?
21. WREDATAMA : Tentusaja, semua itu bukan, karena yang kau sebut-sebut itu, semuanya barang baru, yang terkena halangan serta selalu berubah-ubah. Sedangkan Tuhan itu, Awal tidak ada yang mengawali, serta kekal tidak mengalami perubahan.
Singkatnya : Jangankan hanya Zonnestelsel (Wilayah Matahari), bahkan di luar Zonnestelsel sekali pun, juga di bawah kekuasaan Dzat Tuhan Yang Maha Agung. Padahal, baru menggambarkan Zonnestelsel saja, nalar seseorang sudah tidak bisa menjangkau, Begitu bukan ?
Pertanyaanmu : “Tuhan itu apa dan mana” itu pemikiran yang terlampau jauh. Sebaiknya, pahami terlebih dahulu sifat-sifat-Nya saja. Sifat-sifat Tuhan itu di jelaskan di dalam Al-Qur’an, serta ssudah ada yang menghimpun dan sudah disepakati oleh orang banyak : 20 jumlahnya, yaitu :
 1. wujud                                     = ana / Ada
 2. qidam                                     = Terdahulu
 3. baqaa                                     = Kekal
 4. muhaalafah li’lhawaaditsi          = Berbeda dengan Makhluk
 5. qiyaamu bi nafsihi                    = Berdiri sendiri
 6. wahdaniyat                             = sawiji / Esa (Satu-satunya)
 7. qudrat                                     = Kuasa
 8. iraadad                                   = Berkehendak
 9. ‘ilmu                                       = Mengetahui
10. hajjat                                     = Hidup
11. sama                                     =Mendengar         
12. bashar                                   = Melihat
13. kalaam                                   = Berbicara
14. qaadiran                                 = Yang Berkuasa
15. muriedan                                = Yang Berkehendak menentukan
16. ‘alieman                                 = Yang Mengethui
17. hayyan                                   = Yang Hidup
18. sami’an                                  = Yang Mendengar
19. bashieran                               = Yang Melihat
20. mutakalieman                        = Yang berbicara
22. MUDADAMA : Mohon menyela dahulu Kak! Sifat pada nomor 14 hingga nomor 20 itu, sepertinya hanya mengulang Nomor 7 hingga nomor 13. Apakah ada perbedaannya? Jika sama saja, maka bisa dikatakan bahwa Tuhan itu hanya mempunyai 13 sifat, bukan 20?
22. WREDATAMA : Bagaimanakah kamu ini ? Perbedaan kata “Kuada” dengan “Yang Berkuasa” itu tentunya sudah jelas. “Kuwasa” itu sebutan keadaan yang menempati, seperti halnya putih, bulat, tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan “Yang Berkuasa” itu menyatakan yang ketempatan oleh keadaan Kuasa itu. Bahasa Arab dari Sifat itu artinya pembeda, tidak hanya bermakna keadaan saja, sehingga bisa diumpamakan kepada yang ketempatan keadaan. “Yang berkuasa” berbeda dengan “Kuasa”. Iya apa tidak?
Tentang sifat Tuhan itu, sebenarnya banyak sekali. Akan tetapi ahli Agama di kala itu punya pendapat bahwa jumlah 20 itu, sudah bisa memuat sifat-sifat yang tersebut di dalam Al-Qur’an semua, Contohnya, Sifat Maha Gagah, Maha Bijaksana, Maha Luas, Maha Pemberi Ampunan, dan lain sebagainya, dan juga  seperti yang sudah kerap kamu dengar (dan juga termuat di Al-Qur’an) : Maha Murah, Maha Asih, Maha Mengetahui dan lain sebagainya. Masing-masing itu termasuk sifat dari 20 tersebut, tentunya kamu bisa memikirkan sendiri.
Sifat 20 itu, disebut Sifat Wajib, sedangkan sifat Mokal juga ada 20, yaitu lawan dari Sifat Wajib itu. Kemudian ditambah lagi Sifat Wenang. Sehingga jumlah Sifat Tuhan  itu yang termuat di dalam Ilmu “Aqaid ada 41.
Sedangkan Sifat Wajib 20 tersebut, di dalam ajaran Usuluddin dibagi (diringkas) menjadi 4, yaitu :
a.         Sifat nomor 1 disebut sifat “Nafsiyah” = yang di anggap badan.
b.         Sifat nomor 2 hingga 6 disebut sifat “Salbiyah” = yang menidakan lawan-nya.
c.         Sifat nomor 7 hingga 13 disebut sifat “Ma’ani = Yang menempati di Sifat Nafsiyah.
d.         Sifat nomor 14 hingga 20 disebut sifat “Ma’nawiyah” = yang ketempaan Sifat Ma’ani.
Di dalam buku-buku Wirid, yang pembagiannya, sebagai berikut :
a.         Sifat nomor 1 disebut Sifat “Jalaal, artinya Maha Agung.
b.         Sifat nomor 2,3,4,5 disebut sifat Jamaal, artinya Maha Indah.
c.         Sifat nomor 11,12,13 serta nomor 18,19,20 disebut sifat “Kamal” artinya Maha Sempurna.
d.         Sifat nomor 6,7,8,9,10 serta nomor 14,15,16,17, disebut sifat “Qahar” artinya Yang Maha Berkuasa.
Ada lagi Sifat-sifat Tuhan yang sering terbawa oleh para pencari Hakikat, yaitu : Hidup tanpa roh, Kuasa tanpa alat, Tanpa Awal Tanpa Akhir, yang tidak bisa terbayangkan, Tidak berada di Jaman tidak berada di Maqom, tidak berarah tidak bertempat, Jauh tanpa hingga dekat tanpa mana, Bukan di luar pun bukan di dalam, namun berada di seluruh yang tergelar ini .... dan lains ebagainya.
Walau pun telah di jelaskan sejelas-jelassnya seperti itu, akan tetapi yang menerimanya masih ............. bingung, karena dalam hatinya masih menyamakan atau membayang-bayangkan Sifat Tuhan itu dengan yang ada di kanan kirinya, yaitu benda-benda yang...... baru, ini. Itulah mansuia.
23. MUDADAMA : Memang Nyata Kak!! Memang saya masih bingung, belum bisa menghayati, manakah yang disebut Tuhan itu?
Saya pikir-pikir, memang benar apa kata para ahli Agama, yang masukdnya demikian :
“Di dalam Ilmu Tashawwuf Islam tidak membicarakan hakekat Dzat Tuhan, hanya memberi petunjuk tentang mengolah Hati, sebagai sarana untuk mmencapai Ilmu Ma’rifat. Bila pedoman Tashawwuf itu dijalankan dengan ssungguh-sungguh, bukan tidak mungkin seumpama mendapatkan kemurahan Tuhan, kemudian dibukalah terhadap Ilmu Hakikat, yang bisa menerangi atas Kegaiban Tuhan”.
Seperti itulah petunjuknya. Menurut penilaian Kakak, bagaimana?
23. WREDATAMA : Jika tentang hal benar dan tidak benar, sesungguhnya hanya tergantung kesenangan orang sendiri-sendiri, sulit untuk mengurainya. Jika soal mudahnya, hal itu saya berani tanggung jawab : Memang benarlah demikian. Sebelumnya (Bab I No.9), aku kan sudah menjelaskan. Seseorang menjalankan syari’at Agaama apa saja yang diyakini, jika dengan sungguh-sungguh, jika diijinkan juga bisa memperoleh Ilham. Perbedaannya dengan yang kamu katakan tadi, jika sekarang dengan ditambah menjalankan pedoman Ilmu Tashawwuf, itu lebih baik.
Namun yang kamu katakan itu tadi, itu pendpatnya para Pujangga atau Pandhiata di jamannya, iya kan? Yaitu ketika jama keadaan masyarakat belum seperti sekarang ini kemajuannya, iya kan?
Jadi, bukan merupakan perintah Al-Qur’an! Jika Al-Qur’an, justru menganjurkan supaya seseorang mempergunakan akal dan pikirannya. Menurut pemahamanku, mempergunakan akal dan pikiran itu juga membahas tentang Tuhan juga, dengan sejelas-jelasnya.
Mengapa saya berkata demikian, sebab perintah Tuhan di dalam Al-Qur’an itu selamanya tetap, akan tetapi pendapat seseorang kadang-kadang berubah-ubah, mengikuti arus jaman, seperti halnya : Socrates dihukum mati, dikarenakan pendapatnya di sampaikan di jaman ketika itu. Setelah sampai beberapa abad, orang-orang barulah yakin bahwa pendapat Socrates itu benar. Iya apa tidak?
Para Ahli Agama ketika jaman itu, punya pendapat, bahwa tentang Tuhan itu tidak bisa dikatakan. Memang benar, karena di kala itu belum ada Sekolah Menengah Atas, belum ada Universitas, pikiran orang belum berkembang seperti sekarang ini. Masih sangat patuh atas petunjuk orang tuanya, atas-atasannya, penuntunnya.
Akan tetapi sekarang, mau percaya itu jika sudah benar-benar mengerti, jika akal dan pikirannya sudah bsia menerima.
Dan lagi, walau pun petunjuk Ahli Agama itu benar, yaitu sesuai dengan keadaan masyarakat di jamannya, namun bagaimanakah hasilnya?
a.         Negara sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan pendapat yang seperti itu, menjadi jajahan negara lain tentang Politik atau ekonomi.
b.         Agama sang Pujangga atau Sang Pandhita yang mencetuskan pendapatnya itu tergesa-gesa, Dan ilmu Kebatinan masyarakat umum, tidak semakin maju, justru semakin mundur.
Penyebabnya : Pendapat itu tadi menjadi rem atas berkembangnya nalar serta mendidik kepada penganutnya Sang Pujangga atau Sang Pandhita, menjadi manusia yang pasif dan pesimistis : Akan begini takut, mau seperti itu khawatir, dan sebagainya.
Nah, sekarang saya hanya menyerahkan apa kehendak hatimu. Apakah akan diam saja, apakah akan terus mencari, baranggkali akan mendapatkan Ilham sendiri, atau meneruskan saling berbagi dengan orang lain (aku) barangkali saja semakin bertambah ilmumu?
24. MUDADAMA : Itu Kak, barangkali oleh karena saya ini adalah produk jaman sekarang yang terbiasa mempergunakan akal dan pikiran, segala sesuatu tentu memilih mengerti terlebih dahulu. Oleh karena itu, bila berkenan, mohon agar Kakak meneruskan memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh akal pikiran.
24. WREDATAMA : Terserah, apa kehendakmu, namun akal dan pikiran ketika kamu membandingkan Allah dengan keadaan yang baru itu, singkirkan terlebih dahulu. Bukan karerna kebodohanmu, namun pahamilah, bahwa Allah itu memang bukan sebangsa barang baru, yang bisa kamu bayang-bayangkan dengan mempergunakan akal dan pikiranmu. Jika sudah kau tanggalkan, nantinya tidak akan bingung dan ragu lagi. Silahkan, sekarang kamu akan bertanya soal apa?
25. MUDADAMA : Iya Kak, Sudah saya tanggalkan akal dan pikiranku dalam membayang-bayangkan Hakekat Dzat Tuhan. Sedangkan memikirkan telur dengan ayam lebih ada lebih dahulu yang mana pun, tidak bisa, apalagi memikirkan Allah. Tentunya itu salahku sendiri. Akan tetapi saya minta penjelasan dahulu. Apakah kita ini tidak termasuk golongan Muktajillah, Kak?
25. WREDATAMA : Lo...lo... lo... Kamu sudah pernah mendengar kata “Muktajilah” (mu’tazilah) segala.......!
Bagi orang yang aktif dan optimistis itu insyaf, bahwa nasib dirinya di dunia dan akhirat itu, menjadi tanggungannya sendiri, bukan tanggungan yang lainnya. Shingga yang dijadikan patokan bukan omongannya siap-siapa, yaitu hanya satu : Petunjuk dari Kitab Agama yang terjaga dari perubahannya. Sedangkan di Qur’an jelas menganjurkan berulang kali, agar mempergunakan akal! Dan Pikiran, dan bahkan menerangkan bahwa para Jin dan Manusia yang masuk ke dalam neraka Jahanam yang : Lahum Quluubu lasjafqahuuna bihaa (Al-A’raf 179 = Punya hati namun tidak untuk berfikir).
Tentang termasuk dalam golongan Muktajilah atau pun tidak, itu sesungguhnya mudah dalam menganalisa hatinya sendiri. Memang tidak perlu khawatir. Barangkali saja ketika berjalannya nalar pemikiran itu ada atau mengurangi atas Kebesaran-Nya, seperti halnya golongan Naturalist yang kau sampaikan itu tadi, tetulah itu termasuk golongan .......... Qodariyah, tetap disebut Kafir. Sedangkan Mu’tazilah yang kamu takuti itu, sepertinya belum pasti jika kafir. Sebab sepengetahuanku, penguraiannya hanya untuk dipergunakan untuk membantah atau mengukur ketekadan orang ahli Sunnah, yaitu golongan orang keyakinannya seperti Pujangga atau Pandhita yang baru saja kita bicarakan itu tadi (Bab I No.23). Ahli Sunnah yang sanat kolot. Bukan hanya Qadariyah dan Mu’tazilah saja yang dianggap kafir. Padahal tujuan Filsafat itu untuk mempertebal Iman, supaya Iman-nya tidak karena Taqlid (hanya ikut-ikutan) saja.
Akan tetapi jika kamu selalu kuatir disalahkan dimana-mana, yang kamu kira akan menanggung nasibmu di dunia dan akhirat, yah sudah, “Selamat Tinggal” tetaplah passief dan pesimistis, aku akan berjalan sendiri.
26. MUDADAMA : Tidak akan Kak!! Kekuatiran saya tentang Muktajilah itu tadi, karena aku belum mengerti. Aku sekarang sudah paham garis-garisnya, sehingga akan meneruskan minta penjelasan.
Ada golongan yang berkeyakinan di dalam kepercayaannya bahwa Allah itu, sebenarnya tidak lain adalah INGSUN, Nah tentang itu bagaimanakah penjelasannya? Bila keyakinan itu cocog dengan keyakinan Kakak, saya mohon penjelasannya : Bagimanakah hubungannya dengan bab ketika memerintahkan semua isi alam ini, dan bagaimana hubungannya dengan sifat Tuhan yang sudah dibicarakan sebelumnya itu (Bab I No. 21,22)?
Dan bila tidak ada kecocokan, dengan keyakinan Kakak, bagian yang manakah yang tidak cocok itu?
26. WREDATAMA :  Ooo, adikku, anak dari ayah dan Ibu! Kamu sekarang bertanya tentang “Sastraceta Wadiningrat? Perhatikanlah dengan pikiran yang bening, sekarang kita melalui persimpangan jalan, yang satu menuju surga, yang satunya menuju neraka.
Di dalam Pedalangan diceritakan, siapa yang mengerti tentang Sastra Jendra Hayuningrat itu, jika raksasa, ketika matinya akan berkumpul dengan manusia yang sempurna, jika manusia, ketik matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia. Sehiingga sangat senangi oleh Raja Sumali, termuat di dalam Serat “Lokapala” seperti ini (Sinom) :
Sastrajendra Hayuningrat, pangruwat barang sakalir,
kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih,
wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh,
ditya diyu reksasa, myang sato sining wanadri,
lamun weruh artine kang Sastrajendra.
Artinya :
Sastra (Ilmu) Jendra = Harja Endra =jalan keselamatan, pangruwat (mengubah) segala sesuatu.
Penguasa segala pembicaraan, tentang Ilmu sudah tidak ada lagi.
Sudah termuat ilmu tinggi, puncak segala puncak ilmu.
Segala jenis raksasa, serta seluruh hewan isi lautan.
Jika paham artinya tentang Sastrajendra.
Rinuwat dening Batara, sampurna padinireki,
atmane wor lan manugsa, manugsa kang wis linuwuh,
yen manugsa udani, wor lan dewa patinipun,
jawata kang minulya, mangkana Prabu Sumali,
duk miyarsa tyasira andandang sastra.
Artinya :
Diganti oleh Dewa, sempurna sama dengan.
Atma (roh tertinggi) berkumpul dengan manusia, atas manusia yang mulia.
Jika ada manusisa yang mengetahui, berkumpul dengan dewa ketika matinya.
Bersama Dewa yang mulia, seperti itu Raja Sumali.
Ketika mendengarnya, hatinya menjadi terang.
Bsnjure (dandang-gula) :

Jog tumedak Sang Prabu Sumali, saking palenggahan nawaretna,
angrepepeh neng ngarsane, arsa mangraup suku,
Sang Pandita gupuh nedaki, pan sarwi kipa-kipa,
nyandak astanipun, duh yayi Prabu Ngalengka,
Sampun sampun paduka arsa punapi, anguncapaken asta.
Artinya :
Kemudian turunlah Sang Raja Sumali, dari singgasananya yang indah.
Bersujud di hadapanhya, untuk mencium kaki.
Sang Pandhita segera menghindar, serta menolak dengan tegas.
Menarik tangannya, Wahai Raja Ngalengka
Sudah-sudahlah, apa yang engkau kehendaki, menyembah dengan kedua tangan.
Aturnya lon Sang Prabu Sumali, saking sukane manah kawula,
amiyarsa pituture, ing tyas langkung kapencut,
nugrahanen kakang pun yayi, Sastrajendra juningrat, pangruwating driyu,
pun yayi liwat druhaka, tinitah wil sato padane neng bumi,
pae lawan manungsa.
Artinya :
Perkata dengan pelan Raja Sumali, terbawa oleh gembiranya hati hamba.
Mendengar penjelasannya, sehingga sangat ingin dalam hatinya.
Atas anugerah nasehat Kakak kepada ku, tentang Sastrajendra Yuningrat Pangruwating Diyu.
Adikmu ini penuh kedurhakaan, dicipta bagaikan sama dengan hewan di bumi ini.
Jauh berbeda dengan manusia.
Sampun tanggung nggen paduka asih, ing kaswasih mbenjang Ngariloka,
cangkingen wosing deweke, prasetyamba pukulan,
sampun menggah nini Sukesi, nagari ing Ngalengka,
lan saisinipun, jro pura katur sadya,
nadyan pejah gesang tan ngeraos ndarbeni, langkung karsa paduka.
Artinya :
Jangan setengah-setengah atas kasih sayang paduka, kepada hamba kelak di alam baka.
Ajaklah seperti dirinya, sumpahku wahai sang tapa
Jangan seperti Nini Sukesi, Negara di Ngalengka.
Serta semua isinya di dalam keraton, kuberikan semua.
Bahkan hidup mati pun tidak merasa memiliki, terserah kehandak Paduka.
Sumpah Raja Sumali itu tidak mengherankan, karena sebesar-besarnya harta  manusia hidup itu bukan Kerajaan beserta seluruh isinya, akan adalah Nyawanya. Namun begitu nyawa itu dianggap remeh, jika dibanding dengan Keyakinan. Sehingga Umat Islam sangat berani perang Sabil, Umat Kristen saling berani perang Salib, Orang Jepang saling Jibaku, karena punya keyakinan bahwa akan naik surga.
Sedangkan Sastrajendra itu tadi, walau pun lebih berharga dibanding dengan Nyawanya, namun perlu ditambah lagi jika “tidak salah dalam memahaminya. Dan jika salah dalam memahami, walau pun raksasa, atau pun manusia akan berada di dasar neraka. Nah, tentunya sangat berbahaya, iya kan?
Oleh karena sangta berahayanya, sehingga sejak jaman dahulu, di seluruh tanah jawa dan Agama apa saja, menjadi larangan. Dengan adanya larangan itu dikarenakan sangat sayangnya kepada yang salah dalam memahaminya, itu memang ada benarnya. Namun ada juga dalam melarangnya itu, dikarenakan mengawatirkan kepada yang tidak salah dalam memahaminya. Sebab yang tidak salah dalam memahaminya itu serendah-rendahnya menjadi orang yang tegar, kuat, bukan percaya tanpa bukti, tidak mudah dipengaruhi, karena seolah-olah telah memegang “KUNCI SURGA”. Namun belum masuk ke surga serta belum menikmati buah-buahan surga, tentang (Bab I No.10) jangan dianggap gampang!!!!
27. MUDADAMA : Iya Kak. Bahaya bagi yang salah dalam memahaminya itu, penjelasannya bagaimana?
27. WREDATAMA :  Penjelasanku di muka (Bab I No.11), aku membuat perumpamaan orang yang pergi Haji yang sudah terlanjur naik kereta api atau kapal, akan teteapi tidak tau kendararan itu akan pergi ke mana, dan tidak mengetahui Makkah itu ada di mana. Tentulah akan mengalami kebingungan, bagaikan Capung yang tidak punya mata, benar kan?
Tentunya, tentang Sastrajendra Hayuningrat ini, jika seseorang salah dalam memahaminya, itu bagaikan seseorang yang pergi Haji, yang sudah merasa tidak bingung dan sudah tidak ada penghalangnya, kemudian dengan segera naik mobil ke arah selatan, tidak berbelok-belok, karena beranggapan bahwa Makkah itu ada di Selatan, serta bisa dijangkau menggunakan mobil. Tentulah pada akhirnya masuk dan tenggelam di laut. Seperti itulah tersesatnya dalam kematian, juga sebagai gambaran tersesatnya ketika masih hidupnya ketika menjadi penduduk di alam dunia ini.
Contoh ketika tersesat di dunia : Resi Wisrawa yang mengajarkan Sastrajendra kepada Dyah Sukesi, di kisahkan Dyah Sukesi adalah calon menantunya kemudian di kawin sendiri, yang pada akhirnya menjadi perang besar berebut dengan anaknya sendiri, serta penerima gambaran kesalahannya, sehingga anak-anaknya yang dari Dyah Sukesi berujud Raksasa. Padahal  kelakuan Resi Wisrawa hanya terbawa karena lupa, apalagi bagi yang salam pemahamannya.
Sedangkan salah pemahaman itu, pada umumnya karena bersahabat dengan orang yang ketika belajarnya tidak urut dalam tingkatan menjalankann syariat. Sebab di Tingkat Syari’at itu banyak latihan-latihan jasmani dan rokhani yang sangat diperlukan sebagai dasar pondasinya.
Sedangkan pertanyaanmu tentang orang yang meyakini bahwa “Allah itu sebenarnya tidak lain adalah Ingsun”  aku tidak bisa memberi penilaian bagaimana tentang keyakinannya, entah sama, entah berbeda dengan keyakinanku. Akan tetapi menurutku, Sebutan yang seperti itu saya anggap tidak benar dan sangat mudah menyebabkan “Salah terima”.
Tentang hal itu tidak perlu saya jabarkan, nantinya kamu akan mengerti dengan sendirinya, setelah mendengarkan penjelasanku.
Tidak hanya mengerti ucapan yang satu itu saja, saya pastikan kamu juga akan mengerti  apa yang diharapkan oleh para pengarang Kitab-Kitab Kebatinan yang sudah pernah kamu baca.
Di dalam uraian ini, saya sengaja  tidak akan menggunakan kata-kata yang sudah sering kamu baca atau kamu dengar, seperti halnya :
Ingsun, Aku, Aku wutuh, sebab kadang-kadang dalam pikiran timbul pemikiran menjadi : Aku Suta (Aku diri manusia ), Aku Naya.
Pribadi : bisa ddiartikan Sendiri, sendirian, tidak ada temannya.
Manusia sejati atau Sejatinya Manusia (Haqiqatul Insan) dilam pikiran kadang dipahami sebagai “Orang” yang bergerak-gerak ini.
28. MUDADAMA : Iya Kak, saya ikut saja, barangkali aku bisa mengerti. Seperti apakah, akan saya dengarkan dengan sungguh-sungguh.
26. WREDATAMA :  Kethauilah olehmu, Semua orang itu, tidak memilih laki-laki atau wanita, Tua atau muda, kaya atau miskin, tidak memilih bangsa dan Agamanya ..... tegaknya hidupnya berasal dari : (1) Ditempati oleh Sang Alus, (2) Badan halus beserta perlengkapannya ayang halus (3) badan kasar, yang terlihat mata ini, beserta kelengkapannya yang terlihat nyata.
Sedangkan yang membedakan nampak di tata lahirnya tiap orang itu tadi, tidak lain hanya dikarenakan oleh perbedaan dasar  dan ilmu yang ada di badan halus beserta perlengkapannya dan juga badan kasar berserta kelengkapannya, sama sekali bukan karena kurang adilnya Sang Alus dalam menegakkannya.
Perbedaan “dasar” terhadap “badan” (halus dan kasar) disebabkan tidak sama ukurannya campurannya. Bisa diibaratkan kopi susu, ada yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis, ada yang hambar, ada yang sedang.
Sedangkan perbedaan dari “dasar” terhadap “Alat” (halus dan kasar), diibaratkan peralatan orang berumah tangga, ada yang indah pengerjaannya dan awet digunakannya, ada yang tidak.
Tentang perbedaan “Ajaran” terhadap ‘Badan Kasar” sepertinya sudah jelas, seumpama orang yang tidak mau Olah Raga dan tidak mau menjaga makananya dan temepat tinggalnya, tentu saja kesehatannya berbeda dengan yang ber Olah Raga dan mau menjaga makanannya serta tempat tinggalnya. Dan tentunya walau pun untuk badan halus juga demikian, maksudnya juga ada cara berlatih dan penjagaan kesehatannya.
Sedangkan perbedaan “Ajaran” terhadap “peralatan badan kasar” tentunya sudah jelas ; Seumpama orang yang tidak belajar, tentu sulit untuk bsia membaca dan menulis, seseorang yang tidak biasa berpikir tentunya akan menjadi tumpul pikirannya.
Demikian juga “peralatan badan halus” tentulah seperti itu juga. Seumpama orang yang memiliki motor yang bagus, akan tetapi tidak mengetahui cara merawatnya dan cara menjalankannya, tentu saja tidak akan bsia mempergunakan manfaatnya.
29. MUDADAMA : Mohon maaf Kak!! Kakak mengatakan “Sang Alus” itu saya tidak mengerti sama sekali. Yang sudah sering saya baca dan saya dengar itu hanya “badan halus” dan “badan kasar” itu saja.
Dan lagi, Kakak mengatakan jika “Pikiran” itu peralatan badan kasar, tentunya Pancaindra – menurut Kakak – juga termasuk peralatan badan kasar. Sedangkan menurut pemahamanku, yang saya anggap sebagai peralatan bada kasar itu semua yang berujud jasad jasmani ini, Sedangkan yang bukan raga jasmani itu, saya sebut peralatan badan halus, Hal itu, bagaimanakah penjelasannya?
29. WREDATAMA :  Sebentarlah dahulu!! Kamu sekarang belum mengetahui, itu tidak menjadi apa, Namun asal kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh, nantinya akan mengerti sendiri. Dari perbedaan dalam penyebutannya, jangan kamu pikirkan dulu. Nanti setelah kamu mengerti, tentu akan paham : sama ata pun beda dengan uraian yang sudah pernah kamu baca dan yang pernah kamu dengar itu, Jika ada yang kau temukan sama, perssamaannya ada di bagian mana, sedangkan bila ada yang kau temukan berbeda, perbedaannya ada di bagian mana.”
Marilah, saya teruskan ya..:
Semua peralatan (alat) yang bisa dipergunakan dalam ketika kita sadar dalam tingkat biasa ini, itu saya sebut sebagai alat badan kasar. Ujudnya bukan hanya Pancaindra saja, sebenarnya “asthendriya”. Itu semua teraliri oleh “Rasa” namun juga rasa dari bada kasar juga, yaitu :
1.         Bentuknya bernama hidung, mesinnya bernama penciuman, pekerjaanya bernama mencium.
2.         Bentuknya bernama Telinga, mesinnya bernama pendengar, pekerjaanya bernama mendengarkan.
3.         Bentuknya bernama mata, mesinnya bernama penglihatan, pekerjaanya bernama melihat.
4.         Bentuknya bernama lidah, mesinnya bernama pengecap, pekerjaanya bernama merasakan manis, gurih, dan sebagainya..
5.         Bentuknya bernama kulit daging, mesinnya bernama penyentuh, pekerjaanya bernama merasakan pedih, pegal, panas, dan sebagainya..
6.         Bentuknya bernama Jantung, mesinnya bernama hati, pekerjaanya bernama berangan-angan, mencipta, dan lain-lainnya..
7.         Bentuknya bernama Otak, mesinnya bernama Akal, pekerjaanya bernama mengingat-ingat, berpikir dan lains ebagainya..
8.         Bentuknya bernama Kelamin, mesinnya bernama Nafsu, pekerjaanya bernama Marah, keinginan, dan lain-lainnya..
Kesemuanya itu saya namakan peralatan badan kasar. Sedangkan peralatan badan halus itu hanya satu, yaitu “RASA SADAR” “Atau “Rasa Sejati” yang halus teramat halus, yang ketika bekerja didalam diri kita “tidak biasa” yaitu tidak dengan terjaga seperti saat ini.
Sedangkan yang saya katakan “Sang Alus” itu tidak mempergunakan alat apa pun juga, sebab dirinya itu QADIRUN Bilaa alatin (Kuasa tanpa alat).
30. MUDADAMA : Itu, Kak!! Tentang yang lima (Penciuman, pendengaran, penglihatan, pengecap, dan perasa) itu dianggap sebagai peralatan badan kasar, ya sudah, aku ikut sependapat. Akan tetapi yang 3 lainnya itu tadi, bagaimanakah, karena temepatnya tersembunyi sekali? Sehingga ada yang mengkiaskan, bahwa di situ itu singgasana (Arasy) bersemayamnya Ingsun. Yang tengah disebut rumah terlarang atau Baital Mukharam, yang atas disebut rumah keramaian atau Baitalmakmur, yang bawah disebut Rumah kesucian atau Baitulmukhadas.
30. WREDATAMA :  Hayo.. hayo... tiba-tiba mengeluarkan  Wirid. Tentang “Ingsun” aku tadi telah mengatakan, tidak akan ikut membicarakan! Aku hanya akan menerangkan tentang kata “Singgasana” (Palenggahan) dengan “peralatan” itu saja.
Jika dianggap singgasana, tentu saja selalu berganti-ganti yang mendudukinya. Bisa juga diduduki bersama-sama, karena yang duduk itu bisa berjumlah berajapun saja seperti Candabirawa. Dan jika ketika ketiganya tidak ada yang mendudukinya, itu kemudian duduknya apa dan ada di mana?
Sedangkan jika dianggap alat, itu kan jelas. Karena ada kalanya ketiga alat itu akan mempergunakan alat yang teramat sangat halusnya, yang saya sebut Rasa Sadar atau rasa jati itu tadi. Kadangkala juga, ketiga tidak bekerja karena tidak disengaja, seperti, ketika sedang menderita sakit yang sangat parah.
Sedangkan ketika saya menyebutnya hanya sebagai alat badan kasar itu, oleh karena kita ini bisa mempergunakannya dan merasa menggunakannya di dalam biasa seperti halnya saat ini.
31. MUDADAMA : Iya, iya Kak. Tentang alat, aku sudah bisa menerima. Akan tetapi tentang “Sang Alus” aku tetap masih kebingungan, mengapa tidak disebut saja “Badan Halus”, seperti ajaran di banyak ajaran itu?
31. WREDATAMA :  Wahhhh..! Memerinci hal yang sudah kecil kamu ini! Kan, sudah jelas, bahwa Sang Alus itu bukan badan halus? Sebab :
Semua yang disebut badan (Raga) itu bagaimana pun juga sifatnya --- KASAR, agak halus, halus, halus sekali, halus teramat halus, ---- Pasti terbuat dari bercampurnya campuran bahannya (Elemen, Anasir), dan pasti juga berujud bentuk .
Kita ini bisa membuktikan segala rupa badan kasar, dengan mempergunakan alat-alat kasar : Pembawaanya dan pekerjaanya manusia, Sedangkan badan halus juga bisa dibuktikan dengan mempergunakan alat yang halus “Kerjanya” manusia; sampai hari ini belum ada alat “Buatan” manusia yang bisa dipergunakan membuktikan badan halus itu.
Sedangkan yang saya sebut Sang Alus itu tadi, oleh karena bukan Raga, untuk menyatakannya juga tanpa alat. Apalagi alat raga, mana mungkin bisa, sedangkan alat yang halus teramat halus : Tidak bisa, Karena DIRI-NYA itu --- tidak bisa terbayangkan.
32. MUDADAMA : Iya, iya, Kak, sudah agak jelas pemahamanku tentang perbedaan “Sang Alus” denegan “badan halus” itu, Selanjutnya mohon mohon penjelasan yang lebih jelas, seperti apa konstruksinya (susunannya) “Sang Alus”, “Badan halus” dan badan kasar itu tadi, sehingga berujud manusia hidup seperti kita ini?
32. WREDATAMA :  Oooo... Jika tentang itu, tidak begitu sulit, untuk menerangkannya.
Semua orang yang bisa duduk dan bisa saling berbicara ini, tidak membedakan yang tampan, gagah, lulusan Sekolah Tinggi, banyak bayarannya, rumahnya gedung tinggi, dengan yang kerempeng, buta huruf, kerja meminta-minta, bertempat tinggal di bawah jembatan .... ketika ditinggalkan  oleh “Badan Halus” beserta peralatannya itu, kemudian... terkulai tanpa daya sama sekali. Hidungnya sudah tidak bisa mencium lagi, telinganya, matanya, dan lain lainnya, sudah tidak bisa kerja seperti sebelumnya. Sedangkan raga kasarnya kemudian membusuk, hancur, menjadi jasad yang sangat halus, aku dan kamu menyebutnya ..... Mati.
Sehingga yang bernama “mati” itu, hanya rusaknya badan kasar ini. Sedangkan “Badan Halus” beserta peralatannya, oleh karena masih di tegakkan oleh “Sang Alus” tidak ikut mati. Sedangkan jika “Sang Alus” itu meninggalkannya, sang badan halus beserta peralatannya juga akan sirna, seperti rusaknya badan kasar itut adi. Hanya tinggal “Sang Alus” yang kekal dalam kenyataannya, kembali ke asal muasalnya.........
Jika kau sebut “konstruksi” yaitu seperti itu konstruksinya. Tetapi, jangan kamu kira seperti halnya ayam jago yang berada di kurungannya di dalam sebuah kamar, itu bukan. Paling tidak, ibaratkanlah seperti air samudra, yang terdiri dari Air dan garam. Sedangkan air itu, berasal dari Hydrogenium (H=zat air)  dengan Oxygenium (O=jat pembakar).
Sehingga kepergian badan halus dari raga kasar itu, jika tanpa ilmu itu sangat susah. Samakan dengan air laut yang dipanaskan dengan api, uapnya didinginkan, kemudian akan menjadi garam dan air. Sedangkan keluarnya Sang Alus dari Badan Halus, sangatlah jauh sekali, samakanlah seperti ketika memisahkan Air menjadi Hydrogenium dan Oxygenium itu tadi.
Sekarang “Sang Alus” itu saya sebut dengan kata “IKHEID” atau “Purusha”, dan untuk selanjutnya akan saya sebut seperti itu, janganlah sampai salah paham.
33. MUDADAMA : Penjelasan Kakak itu terang, jelas, terperinci, akan tetapi tetap saya belum .... jelas.
Sesungguhnya, yang disebut mempergunakan kata “Purusha, itu, apakah roh kita ini, apakah hidup kita ini, Kak?
33. WREDATAMA :  Yahhh... bagaimanakah kamu ini? Purusha itu ya Purusha. Seandainya Purusha itu roh kita atau Urip kita, sebelumnya aku kan sudah mengatakan seperti itu, apakah kamu merasa saya biikinbingung?
Roh (ar-ruuhu), itu yang saya sebut dengan kata “badan halus” itu tadi, yaitu sejenis bahan dan dan sejenis yang mengandudng bentuk. Di Yogyakarta di sini banyak saudara kita yang mempunyai kelebihan bisa menyatakan keadaan Roh itu, berjenjang gmenurut derajat kemampuan yang membuktikan sebanding dengan derajat yang dinyatakan. Kan, tadi sudah saya katakan, bahwa Purusha itu bukan si Badan Halus, karena Purusha itu disebut “Hayyun Bilaarauhin (hidup tanpa roh), sehingga bukan Roh.
Sedangkan kata “Hidup” itu tadi, aku tidak paham apa yang kamu maksudkan? Apa “Hidup” yang artinya bisa bergerak-gerak (sebaliknya – mati), apa “Yang Hidup” apa “Sang Hidup”? Akan tetapi ketiganya bukan yang disebut dengan Purusha. “HIDUP” dan “YANG HIDUP” itu hanya sebagian dari sifat-sifat Purusha, sedangkan “SANG HIDUP”  itu hanya salah satu dari sebutan Purusha, saja.
Lebih jelasnya bahwa, ketiganya itu bukan Purusha yang sebenarnya. Karena Purusha itu, bersifat menguasai semua yang tergelar ini. Walau pun batu yang tidak bisa bergerak, walau pun badan kasarnya seseorang yang sudah hancur bersatu dengan tanah ..... juga terkuasai oleh Purusha.
Seandainya kamu mempunyai perkiraan : Purusha itu nafsu kita, atau nyawa kita, itu jgua salah. Karena Nafas itu hanya tali hidup, nyawa itu hanya tanda hidup, Salah juga jika kamu punya perkiraan : Yang disebut Purusha itu, Tirta Nirmala (Air Kehdiupan) atau “Ma’ulhayat”, karena itu hanya perlengkapan hidup saja.
Lebih tersesat lagi jika yang kamu anggap Purusha itu adalah angan-angan, rasa sadar, sorot mata, dan lains ebagainya lagi. Singkatnya, jangan kamu cari di luar diri kita atau di dalam diri kita.!!
34. MUDADAMA : Apakah Purusha itu yang mempunyai sifat 20 yang sudah dibicarakan di depan itu (Bab I No.21)? jika demikian, tentulah Purusha itu yang menciptakan Bumi dan Langit beserta segala semua isinya itu?
Jika demikian, itu cocog dengan sebuah ajaran yang mengkiaskan kata “Menciptakan” itu ketika kita “Ingat : Tergelar dengan seketika (Kun Fayakuun), dan ketika kita lupa : Hilang semua, dinamakan Kiyamat.
30. WREDATAMA :  Purusha itu, memang sangat benar yang mempunyai Sifat 20 sifat wajibnya, 20 sifat mokalnya, tadi itu! Coba rasakanlah, sifat mana dari 20 itu, yang bukan sifat dari Tuhan?
Akan tetapi, ketahuilah olehmu, Purusha itu bukan yang menciptakan bumi dan langit beserta segala isinya ini.
Sedangkan yang meniptakan Bumi dan Langit beserta segala isinya ini, jangalah kamu salah paham jika saya sebut namanya dengan nama “Absolute Ik” atau “ISYWARA”.
Isywara itu, selain mempunyai sifat 20 yang wajib, dan 20 sifat mokalnya, juga mempunyai sifat 1 lagi, yaitu sifat Wenang (Jais). Artinya wenang menciptakan semua yang tergelar ini, juga wenang tidak menciptakan.
Sedangkan kiyas dari kata Menciptakan seperti yang kamu sampaikan tadi, terus terang saja, menurut pendapatku ............................. tidak berani!
Rasa-rasanya itu, tidak masuk akal (Bab I No.13).
Sebab, mengatakan hal seperti itu, seharusnya bukan hanya berdasarkan akal dan pikiran (Dalil Aqli) saja, harus berpedoman bunyi Kitab-kitab Agama (Dalil Naqli). Sedangkan di dalam Al-Qur’an menyebutkan : “Allahu Alladzi Chalaqa Assamawati wa’lardla wamaa bainahuma fie sitiati Ayyaami (As-Sajdah 4, Al-Hadid 4 = Allah itu yang menicptakan langit-langit dan bumi beserta yang ada di antaranya di dalam enam hari).
Jika menurut Qudrat Tuhan yang sudah tergelar ini, untuk menjadi keadaan itu pasti berasal dari bahan. Namun ketika asal yang pertamakalinya. Yang dahulu paling terdahulu. Tuhan dalam menciptakan semua yang tergelar ini tanpa bahan, hanya berasa dari SABDA “Kun” itu tadi.
Jika aku tidak salah, yang mempunyai pengias seperti yang kamu katakan  tadi, dari golongan orang yang meyakini bahwa manusia itu berasal dari “Adam (Bukan Nabi Adam). Yang bermakna kosong, ada dengan sendirinya. Sebellum adanya Allah, malaikat, bumi langit dan lain sebagainya. Sebab, semua nma-nama itu semua buatan dari Manusia.
Memanglah benar, bahwa nama-nama itu semua buatan dari Manusia ......... Akan tetapi keyakinan yang seperti itu, menurut keyakinanku, saya anggap perkataan yang tidak masuk akal (Bab I No.13). Aku, sungguh sangat tidak berani.
Sedangkan keyakinanku : Bahwa Manusia itu ditempati oleh Purusha (Ikheid) yang mempunyai sifat 20 dan sifat mokal 20. Sedangkan yang menciptakan langit-langit dan Bumi itu “ISYWARA” (Absolute Ik), yang memiliki sifat wajib 20, sifat mokal 20 dan sifat Wenang 1. DIA itu tegak dengan Pribadi, serta mencipta segala yang tergelar ini, tanpa bahan.
35. MUDADAMA : Wah- wah.... , sekarang saya mengerti, jadi, yang disebut Isywara itu, sebenarnya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang bahasa Arabnya Allah. Sedangkan Purusha itu, bahasa Arabnya apa, dan apa hubungannya dengan Isywara?
Dan juga, Kakak, mempergunakan kata “Ikheid” dan “Absolue Ik”, apakah itu tidak sama artinya dengan kata “Ingsun” yang saya sampaikan tadi (Bab.I No.26,27)?
35. WREDATAMA :  Wah...... Pertanyaanmu sampai seteliti itu. Dan sulit. Yah sudahlah, asal tidak tercampur dengan rasa sentimen!
 Coba pikirkan : Seandainya kata Purusha saya ganti dengan X, serta kata Isywara itu saya ganti huruf Y, tentunya tidak merubah apa-apa, karena kata-kata atau nama-nama  itu semua, hanya bikinan manusia, ta? Jika jelas tidak merubah apa pun, sehingga, Arab atau bukan Arab itu tidak usah jadi soal.
Purusha dan Isywara, bahasa Sanskrit, ketika saya mempergunakannya itu, hanya untuk nama saja, seperti halnya X dan Y itu tadi, agar tidak bingung. Sebab, jika mempergunakan bahasa Arab, barangkali saja akan membuat bingung dalam pemahamanmu, sebab, Isywara itu di dalam Al-Qur’an disebut Allah, sedangkan Purusha itu di dalam Al-Qur’an juga disebut Allah.
Cobalah baca dengan teliti, kemudian rasakan menggunakan pikiran yang jernih, seperti halnya, yang menjelaskan Iblis itu musuh Allah, nah itu kan jelas Allah Purusha, bukan Allah Isywara. Sebab hakekatnya Isywara itu, tidak punya musuh, karena segala sesuatu itu Ciptaan Isywara sendiri, iya apa tidak?
Dan jika Iblis dikatakan musuh dari Purusha itu, memang sangat benar. Karena jika orang mengikuti ajakan Iblis, tidak bisa tidak, tentu tidak akan kenal dan tidak akan tunduk kepada Purusha, iyalah Dzat Yang Maha Suci itu.
Sedangkan Purusha itu tidak lain, adalah ....... bayangan dari Isywara. Janga sekali-kali kamu salah paham, “Bayangan” itu bukanlah pecahan atau bagian.
Pemahaman seperti yang baru saja saya jelaskan itu tadi, di jaman kemarin-kemarin sangat dirahasiakan. Jika di sebarkan menggunakan tulisan, bahasanya dipatar balik, tidak akan di buka semuanya. Dikala disebarkan melalui lisan, harus dipertemukan antara dahi dengan dahi, dan hanya ringkasnya saja, atau dengan menggunakan isyarat saja.
Sebenarnya yang dimaksud dari pemaham itu semua, adalah maksud yang sebenar-benarnya dari Lafal : “Laailaha Illaallah Muhammadur Rasuulullah” (Tidak ada tuhan kecuali Allah, Nabi Muhammad saw. itu utusan Allah), Jika lafa itu ditambahi  “Asyhadu Anna (Saya bersaksi sesungguhnya), disebut kalimah Syahadat (= Ucapan-ucapan kesaksian), itulah Rukun Islam yang “Terdahulu” dan “Terutama”.
Dibuat teramat sangat rahasia itu, seperti yang telah saya katakan (Bab I No.26), karena sangat teramat sangat berbahaya. Sebab, jika sampai salah paham, bia juga kemudian mengaku ........ Allah. Sehingga tidak perduli batal haram, dan menyalahkan aturan Agama. Sebab, mengira bahwa “Dosa” itu tidak ada, jika sudah mati yah sudah “Selesai” pasti kembali kepada asalnya.
Tetapi bagi yang tidak salah dalam memahaminya, pasti tekun berbakti kepada Tuhan, tindakannya menjadi Wari’i (tidak menganggap mudah), cinta kepada sesamanya, merasa bahwa dirinya – itu kamu – Diri yang lain karena itu semua adalah “SATU”. Karena telah yaqin di dalam Iman dan keyakinannya, bahwa Allah itu itu dekat lebih dari yang terdekat, namun tidak bersentuhan, dan yaqin bahwa Allah itu ternyata Maha Mengetahui segala gerak-gerik, cipta rasa dari hamba-Nya.
Sedangkan ketika aku menggunakan kata “Ikheid lan Absolute Ik itu, tujuannya ya hanya untuk membedakan supaya jangan campur itu tadi. Jika kamu punya anggapan maknanya sama dengan Ingsun, itu boleh saja. Namun jangan sampau campur, jika menggunakan kata “Ingsun” harus ditambahi keterangan sebagai berikut :
Karena hanya sebagai makhluk : Ingsun itu maknanya bukan Kamu. Namun Ikheid (Purusha) itu : Iya kamu iya Ingsun iya Diri-Nya. Singkatnya! Ingsun yang bukan di luar bukan di dalam, Yang Maha Suci dari sifat baru ini semua.
Sedangkan Absolute Ik (Isywara) itu Ingsun yang diyakini oleh Manusia. Dia itu yang menciptakan, menguasai dan memelihara tergelarnya alam ini. Yaitu Maha Esa serta mempunyai bayangan yang disebut “Ikheid” (Purusha) itu tadi.
Bagaimana, bisa menjadi jelas, apa justru semakin membingungkan?
36. MUDADAMA : Mohon maaf Kak! Sebera pun besarnya salahku, saya mohon dimaafkan. Engkau berkata, Purusha (Ikheid) itu Allah, yang mempunyai sifat wajib 20, dan mokal 20, sedangkan Isywara (Absolute Ik) itu Allah yang mempunyai sifat wajib 20, dan Mokal 20 dan sifat Wenang 1. Jika demikian, apakah Allah itu lebih dari satu?
36. WREDATAMA :  Bagaimanakah, sehingga kamu mempunyai pemahaman seperti itu? Aku tadi kan sudah bilang, bahwa Purusha itu hanya “Bayangan” Isywara saja, iya kan?
Seumpama di tengah hari, di tengah-tengah alun-alun ada jambangan 1000 yang kesemuanya terisi air, pastilah di dalam masing-masing jambangan ada “Bayangan: dari matahari. Benar kan? Apakah kamu kemudian mengira  bahwa mataharinya itu dua, tiga atau 1000? Seperti itulah perumpamaan Iswara dan Purusha itu.
Nah... sekarang kamu sudah bisa menjawab sendiri pertanyaanmu tentang sama atau tidaknya : Keyakinanku dengan keyakinan orang yang mengatakan “Allah itu sesungguhnya tidak lain adalah Ingsun” itu tadi (Bab I No.26). Dan saya kira kamu tidak akan salah paham terhadap kata-kata yang barangkali sudah pernah kamu dengar, karena memang populer (sering terucap). Lafalnya begini : Waman ‘arafa nafsahu faqod’arafa rabbahum, waman ‘arafa rabbahu faqad jahila nafsahu = Barang siapa mengenal diri pribadi sungguh-sungguh mengetahui Tuhannya, barang siapa tidak mengetahui Tuhannya, benar-benar bodoh terhadap ilmu dirinya itu).
Jika pemahamanmu sudah jelas, terus bagaimana? Yang terpenting dari yang penting itu ............. mengamalkan (bertindak), supaya air yang ada di dalam jambangan iru jernih. Karena, jika iar yang ada di dalam jambangan itu keruh, pastilah bayangan dari matahari tidak nampak. Dan jika jambangan itu pecah, semoga saja bayangan matahari tidak menempel di dalam pecahan jambangan, atau berada di air yang tumpah melebar itu.
37. MUDADAMA : Iya Kak, bahwa tentang Ingsun, sepertinya saya sudah bisa menjawabnya sendiri. Intinya tergatung dari pendefisiannya (keterangan pedoman) apa yang disebut dengan kata Ingsun itu, Apakah Roh, apakah Purusha, apakah yang lainnya.
Walau pun yang disebut Ingsun itu Purusha, itu pun harus mengerti, bahwa Purusha itu bukan Isywara, hanya bayangannya saja.
Sedangkan keterangan-keterangan yang baru saja dikatakan itu tadi, walau pun saya sudah sering mendengar, akan tetapi belum bisa memahami. Mohon dijelaskan sekalian.
35. WREDATAMA :  Saya kira sudah mengerti, hanya saja kamu masih kuatir barangkali saja salah. Untuk jelasnya, sebagai berikut :
Lafal : Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” itu bagi si Jamabangan yang berisi air, ketika bisa melihat Bayangan Matahari, sudah cukup, bagaikan telah melihat Mataharinya. Memang hanya seperti itu  puncak dari Ilmu Ma’rifat. Atau pengibaratan seperti Wayang, ketika bisa bertemu dengan Ki Dalang, sudah cukup, bagaikan telah bertemu dengan Yang menaggap yang minta lakon cerita wayang.
Ayat selanjutnya : Waman ‘arafa Rabbahu faqad jahila nafsahu” itu bagi yang salah anggapannya, si Jambangan yang berisi air tiba-tiba ingin bertemu dengan matahari yang ada di langit, Si Wayang yang tiba-tiba ingin bertemu dengan yang nanggap yang berada di Rumah Belakang. Itu jika bisa benar-benar bertemu .... ... tetap masih salah.
Sedagnkan keyakinan yang mengaku Allah (yang kebanyakan tidak berani terang-terangan) serta yang meyakini mati itu “Selesai” tidak akan ada cerita lagi (Bab I No.35), itu ibaratnya bagaikan jambangan yang berisi air yang meyakini hanya ada bayangan matahari saja, tidak meyakini adanya matahari. Bagaimanakah bayangan itu bisa menjadi ada di dalam air di jambangan, serta abagaimana akhirnya setelah jambangan pecah : tidak menjadi perhatiannya. Atau diibaratkan seperti halnya si Wayang yang hanya meyakini adanya Ki Dalang saja, tidak meyakini adanya yang nanggap. Apakah sebabnya Ki Dalang itu melakonkan wayang, dan bagaimana setelah selesainya pertunjukan : tidak menjadi perhattiannya.
Keyakinan yang seperti itu, keyakinan madzab (golongan) Qadariyah yang sudah saya katakan sebelumnya (Bab I No.25). Bangsa kita yang merasa sebagai Ahli Ma’rifat, banyak yang mempunyai keyakinan Qadariyah itu.
Kamu paham bahwa keyakinanku tidak seperti itu. Seumpama jambangan yang berisi air, aku meyakini adanya bayangan matahari dan Matahari. Seumpama wayang, aku meyakini adanya Ki Dalang dan Yang Nanggap wayang.
Akan tetapi seumpama jambangan yang berisi air, aku tidak meyakini bisa melihat matahari yang berada di langit, seumpama Wayang, saya tidak meyakini bisa bertemu dengan Yang Nanggap wayang yang berada di Rumah bagian belakang. Seperti keyakinan Jabariyah. Bangsa kita yang ahli Syari’at dan ahli Sunnah, banyak yang memiliki keyakinan Jabariyah ini.
Yang menjadi keyakinanku, kesempurnaan Hakikat dan Ma’rifat itu, harus urut melewati tingkatan syari’at dan Tarikat terlebih dahulu. Sebaliknya, jika hanya ahli Syari’at saja, itu belum sempurna. Namun, oleh karena pendapat orang itu berbeda-beda, orang Qadariyah barang kali mengira keyakinan itu tanpa dasar. Sebaliknya, orang Jabariyah atau ahli Sunnah barangkali mengira aku ini.... kafir. Yang seperti itu semua : Terserahlah, hiburankau hanya nembang jawa ura-ura seperti ini *Dhandhang Gula)
Langkung nuwun Kanjeng Sunan Kali.
Atur sembah sarwi ngaras  pada.
nDjeng Sunan Benang sabdane.
Yayi den awas emut
Aja kongsi kawedar lathi.
Iku sabda larangan
Yen kawedar ngrungu
Mring sagunging kang tumitah
Yen mangerti dadi manungsa sejati
Kapir kupur sampurna
Artinya :
Sangat berterima kasih Sunan Kalijaga.
Menghaturkan sembah mencium kaki.
Sunan Benang berkata.
Yayi hati hatilah dan ingatlah
Jangan sampai kamu ajarkan dengan lisan
Itu jaran rahasia
Jika diajarkan dan ada yang mendengar
Kepada siapapun saja
Jika paham akan menjadi manusia sejati
Kafir Kufur sampurna (Bagi tidak paham).
Dan apapun yang bernama keyakinan// Yang terpenting dari yang penting itu .... pelaksanaannya. Tidak cukup hanya mengerti saja. Jangan dianggap mudah. Karena hanya dengan menjalankan itu, yang bisa membuahkan rasa nikmat dan raya mendapatkan keberuntungan, di dalam hidupnya ketika di dunia ini, dan ketika akan meninggal dunia, dan setelah meninggal dunia.
Pesan terakhirku, kepadamu :
Jika kamu tidak (belum) cocok dengan keterangan ini, kamu jangan mempunyai anggapan, jika aku akan membencimu. Sebab cocok atau tidak cocoknya dirimu, tidak akan mengurangi atau menambah apa-apa bagi diriku mengabdi kepada Tuhan.
Dan, jika kamu meras cocok terhadap keteranganku, aku berpesan :
1.         Jika kamu sudah menjalankan syari’at, sungguh, jangan kemudian kamu berubah. Jika belum, lebih baik menjalankannya. Agama apa yang kamu senangi. Syari’at itu menjadi “Pendorong” yagn penting atas segala cita-citamu.
2.         Ajaran ini, jangan kamu jadikan pembicaraan dalam tiap harinya, sebab tidak ada gunanya sama sekali untuk dirimu dan untuk yang mendengarnya. Sedangkan bila ada yang mengawali mengajak musyawarah, tanggapilah, namun jika terjadi perselisihan dalam keyakinan, mengalah sajalah. Jangan suka berbantah Ilmu, tidak ada hasilnya sama sekali, sama-sama tidak bisa membuktikan yang sebenarnya. Dna jika lawan bicaramu terlihat akan meminta penjelasan atas keyakinanmu, namun belum merasa jelas, maka jelaskanlah, jangan suka menyimpan ilmu. Memberi tongkat kepada orang yang melewati jalan yang licin itu termasuk perbuatan utama.
3.         Sudahlah,  sekarang kamu istirahatlah terlebih dahulu.
38. MUDADAMA : Memang saya ingin memohon penjelasan tentang Kalimah Syahadat, serta tentang si Wayang yang ingin bertemu dengan yang menanggap tadi. Kak, memang pada umumnya seperti itu. Namun karena penjelasannya agak panjang, makanya saya bersabar sampai besok sore saja. Sekarang saya hanya ingin memohon dijelaskan tentang perintah Kakak, itu tadi.
I. Otak baiknya dipergunakan dalam pembicaraan tiap harinya itu : hanya karena tidak ada manfaatnya saja, apa sesungguhnya ..... ada Tuah.  Atau Halatnya?
II. Mengapa, bahwa sesuatu yang benar, namun tidak bisa dibuktikan?
III. Apakah kita ini tidak berkewajiban menyebarkan ilmu yang menurut keyakinan kita : sangat besar manfaatnya?
38. WREDATAMA :  Saya menurut saja, penjelasan tentang Kalimat Syahadat dan tentang yang satunya itu tadi, sabarlah sampai besok sore. Namun pahamilah olehmu, tentang keyakinan itu, bukan berdasarkan pendapat umum, tidak harus menang stem. Looo!!
Sedangkan pertanyaan I. II, III, itu semua, pendapatku begini :
Jawaban pertanyaan I : Kata Halat itu ada dua macam yaitu :
a.         “Halat” yang sama dengan kata Jawa “Walat” itu artinya Tulah sarik. Nah   itu tidak ada walatnya sedikit pun. Ilmu Ketuhanan itu tidak ada yang menyebabkan tampa tulah sarik /kuwalat (bsia mendapatkan musibah), bagi yang membicarakannya dan bagi yang mendengarkannya. Walau pun demikian, membicarakan keyakinan dengan terang-terangan seperti ini, tetap kurang baik jika dibicakan dalam pembicaraan sehari-hari, artinya dibicarakan dengan siapa saja. Harus dengan cara dipilih-pilih, dengan siapakah untuk dibicarakan.
b.         “Halat” yang berasal dari Bahasa Arab “Ghalath” itu artinya kekeliruan. Nah, itu memang benar, karena kebodohan dari yang mendengarnya atau yang membicarakannya, bisa menyebabkan adanya kekeliruan, seperti contohnya .......... mengaku ALLAH itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke II : Sesuatu yang benar dan nyata, namun tidak bisa dibuktikan, itu bukan sesuatu yang aneh kan? Apakah kamu bisa membuktikan ketika kamu bermimpi naik pangkat, walau pun benar kamu bermimpi seperti itu? Apakah kamu bisa membuktikan kamu lupa ketika janjian, walaupun benar kamu memang lupa?
Sedangkan kepercayaan (Iman) dan keyakinan (Iktikad) menurut ilmu itu, yang disebut benar : “Jika mempergunakan pedoman dua macam :
a.         Dalil Naqli (nukil=petikan) maksudnya menggunakan dasar kutipan dari Kitab Tuhan. Namun karena ajaran itu banyak yang menggunakan ibarat atau contoh, sehingga untuk memahaminya tidak harus semuanya di terima letterlijk (apa adanya).
b.         Dalil “Aqli (akal pikiran), artinya yang bisa disaksikan oleh akal dan pikiran manusia, yang bebas dari pengaruh. Sedangkan akal dan pikiran itu bermacam-macam warna dasar dan ukurannya, sehingga berbeda-beda pula pendapatnya.
Coba pikirkan : Yang hanya menggunakan pedoman dua macam warna saja, pendapatnya berbeda-beda. Apalagi jika yang satu menggunakan dasar satu warna, dan yang satunya tidak menggunakan dasar sama sekali ..... tentulah tidak akan sama pendapatnya!! Padahal antara yang satu dengan yang satunya, sama-sama tidak bisa membuktikan kebenaran pendapatnya itu tadi, seperti halnya tidak bisa ketika membuktikan kebenaran “mimpi” dan kebenaran “lupa” itu tadi.
Jawaban pertanyaan ke III : Jika berdasar Ilmu Jawa yang dalam bahasa luar “psychologie” Kodrat manusia itu ketempatan watak mencari teman. Sehingga ketika menyebarkan ilmunya yang dikira bermanfaat kepada yang lain, itu tidak lain hanya karena watak untuk mencari  ....... Teman itu tadi. Sedangkan ilmu yang dikira bermanfaat itu, bagi yang gmenyebarkan beranggapan benar, akan tetapi golongan lain bisa juga menganggap tidak benar dan tidak baik.
Seandainya ilmu yang sebarkan itu kepada golongan manusia yang sebagian besar sekali menganggap benar dan baik sungguhan itu, manfaatnya tidak lain hanya ...... kehidupan bersama di alam dunia ini. Sama sekali bukan syarat mutlak dalam mengabdi kepada Tuhan, artinya, Bukan pekerjan wajib. Sedangkan yang ermasuk pekerjaan wajib bagi kita ini : hanya yang diwajibkan di dalam A;-Qur’an : Wamaa chalaqtu aljinna wal insa illa lya’buduuni (Adz-Dzariyat 56 = Tidak menciptakan Ingsun (Allah) jin dan manusia, hanya agar menjalankan ibadah).
Sedangkan bagi yang berniat  menyebarkan ilmunya tentang Ke-Tuhanan, termasuk ibadah itu tadi. Perintah Qur’an begini : Wamaa anta bihaadie al’umyi ‘an dlalaalatihim intusmi’u illa man jun’minu bisyastinaa fahum muslimuuna (An Naml 81 = dan kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada orang buta hatinya karena sesatnya, selain orang yang percaya kapada ayat-ayatingsun (Allah) dan berserah diri kepada Ingsun itu yang mau mendengarkan).
Sehingga : Menyebarkan ilmu itu boleh saja. Namun jika sudah jelas diingini. Bertutur kta dengan siapa saja, untuk meningkatkan ilmu dan menjernihkan pendapat, itu baik, namun berbantahan ‘ berebut benar” JANGAN!!!
Sudah, sekarang istirahatlah, aku juga akan beristirahat. Besok sore dilanjutkan lagi.
Bab.II : URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT (BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L AQIYAAMATI)
1. MUDADAMA : Kak, saya sangat mengharapkan pemberian penjelasan Kakak dalam saya mohon keterangan tentang yang dimaksud dari Lafal : “Laa ilaha ilaallah Muhammadun Rasuulullah: serta tentang se Wayang yang ingin bertemu dengan yang Nanggap (Bab I No.38) kemarin malam itu. Sebaiknya dimulai sekarang saja, senyampang masih sore, longgar waktunya.
1. WREDATAMA : Aku setuju saja, sekehendakmu, dimulai ya silahkan. Tapi saya ingin bertanya terlebih dahulu, apakah kamu sudah benar-benar mengerti penjelasan tentang “Purusha dan Isywara itu?
2. MUDADAMA : Menurut perasaanku sudah benar-benar mengerti, hanya saja agar lebih paham pengertianku, seandainya “Purusha” itu disebut “Tuhannya setiap diri manusia” dan “Isywara”  itu desbut “Allah-nya orang umum, bagaimana?
2. WREDATAMA : Jika kejelasan pemahamanmu harus kamu sebut demikian, juga bisa, akan tetapi tidak umum, Pada umumnya seseorang menyebutnya, serta tertulis dalam A;-Qur’an, ya hanya berbunyi Allah, itu saja, tidak ada tambahan Individueel atau algemeen. Akan tetapi jika mau memperhatikan, sebenarnya di Qur’an ada kalimat yang artinya Allah atau Tuhan, yaitu kata “RABB” *Rabbun), yang terperinci menjadi :
Rabbi                = Tuhanku
Rabbana           = Tuhan kami (Tuhan kita)
Rabbihim          = Tuhan kami (tuhan kita)
Raabika            = Tuhanmu
Rabbikum         = Tuhan kamu  
Rabbahu           = Tuhannya      
Rabbahum        = Tuhan mereka
Sehingga dalam sebetunmu tadi, walau pun tidak umum, akan tetapi tidak salah. Hanya saja harus ingat, bahwa Allah tiap masing-masing orang itu hanya bayangannya Alla-nya manusia pada umumnya itu tadi. An harus memahami, bahwa sang pemilik bayangan itu tidak terbayangkan, sehingga bayangannya juga tidak terbayangkan. Jika masih bisa dibayangkan, jelas salah.
3. MUDADAMA : Iya, iya, Kak. Sekarang pemahamanku semakin terang. Jika demikian, kalimat “Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, waman ‘arofa rabbahu faqad jahila nafsahu”  yang disampaikan di depan (Bab I No.36) itu lebih cocok seumpama di ganti : “Waman ‘arafa Rabbahu faqad ‘arafa Allahu, waman ‘arafa Allahu fadad jahila nafsahu” = Barangsiapa mengetahi tuhannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Alalah, sing sapa mengetahui Allah sungguh bodh dirinya itu.
3. WREDATAMA : Nah, sekaran ini kamu sudah pintar. Kalimat itu sebenarnya petikan dari Hadits, akan tetapi bukan hadits yang syah(shahih atau qudsi) alias hanya ciptaanya seorang sarjana sendiri saja, sehingga boleh saja kamu rubah seperti itu. Justru aku lebih memilih yang kamu rubah itu, sebab, kata “nafsahu” (dirinya) yang depan itu, jika salah pemahamannya, bisa menyebabkan sesat.
Sekarang saya akan bertanya lagi, jika kamu sudah benar-benar mengerti tentang yang kita bicarakan ini, biasanya ada buktinya di dalam hatimu. Yaitu merasa Tegar, Kuat, bukan percaya kepada yang tidak ada buktinya, tidak mudah terpengaruh (Bab I No.26), bertambah baktinya kepada Tuhan, benar tindakannya, cinta kepada sesamanya (Bab I No.35), tenteram, longgar, selalu sabar dan syukur, giat berikhtiar akan tetapi pasrah, dan sifat yang lain-lainnya yang terpuji. Jika diringkas menjadi satu kata, Hidup terkuasai oleh ....... Cinta. Sehingga benarlah kalimat yang berbunyi God is liefd. Nah, apakah kamu sudah ada perasaan kenikmatan yang seperti itu? Walau pun belum 100% atau 50%, tidak mengapa. Kadang juga sudah ada buahnya saja sudah sangat beruntung, berkembangnya akan ditemukan di belakang.
4. MUDADAMA : Ooo, Kakakku! Tentulah Kakak tidak akan salah terka. Menurut perasaanku, perubahan di dalam sanubariku itu sudah ada, namun jika diibaratkan biji baru tumbuh atau baru bersemi, entah baru baru berapa persennya.
Namun, saya terlebih dahulu menyela untuk mohon keterangan terlebih dahulu, tentang “Cinta” yang berkuasa itu tadi. Tentunya akan menjadi orang passief (terserah apa adanya) dan reaksioner (musuh perkembangan) dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan ilmu Hakikat itu, menurut yang Kakak sampaikan : bermanfaat dan menyelamatkan di dunia dan di akhirat (Bab I No.2). Menurut pemahamanku “Dunia” itu juga termasuk masyarakat ini, tidak bisa bila dunia hanya diartikan sebagai sebuah Gua bagi orang yang sedang bertapa, menjauhi kehidupan bermasyarakat.
4. WREDATAMA : Sudah benarlah pemahamanmu tentang kata “Dunia” . Tetapi tentang pemahamanmu bahwa orang yang terkuasai oleh “Cinta” akan menjadi pasif dan reaksioner itu masih salah. Karena “Cinta” itu seharusnya justru .... Revolusioner, bahkan kadang .... ultra revoluisoner. Seperti halnya para Rasul ketika menjadi Senopati Perang, itu dikarenakan terkuasai oleh “Cinta”, bukan ddikarenakan menuruti hawa nafsunya.
Contohnya lagi, Ketika Satria Rama memebantu atas permintaan Sugriwa untuk membunuh Subali. Ketika Subali hampir lepas nyawanya, tiba-tiba mengeluarkan tuntutannya, mengapa Satria Rama ikut campur pertengkaran antar saudara? Jawaban dari Satria Rama : Mengapa saya membunuhmu karena terdorong rasa “Cinta” agarkamu  tidak semakin tersesat dalam kubangan kesalahan.
Hal itu, rasakanlah! Tentunya kamu mengira itu hal yang aneh, mengapa membunuh justru terdorong oleh rasa “Cinta”. Karena pada umumnya membunuh itu karena terdorong karena marah dan kebencian. Akan tetapi bagi para Rasul, bukan hal yang aneh. Jika tidak demikian, justru sangat aneh. Seperti itulah tindakan Satria Rama itu tadi. Oleh karena Satria Rama itu diceritakan sebagai titisan Awatara (Kata Sanskrit “Avatara” juga dimaknai utusan Tuhan – Rasul).
Selanjutnya : Para pencari Hakikat, harus selalu mengoreksi dan mengawasi “Hatinya sendiri” dan berlatih diri agar segala tindakannya berdasarkan “Cinta” Tidak perduli ketika berada di tengah-tengah kehidupan amsyarakat, atau sedang berada di dalam Gua. Sedangkan berada di tempat yang sepi dan kosong pun jika tindakannya belum dilandasi rasa “CINTA”, tidak bakalan bisa untuk bisa mencapai Ilmu Hakikat.
Sedangkan untuk mebjalankan perbuatan yang berlandaskan “Cinta” itu tadi, jika menurut ajaran Sri Kresna kepada Sang Harjuna, yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, dikatakan : “Melakukan yang tidak melakukan” Dalam Bahasa Arab, singkat saja, hanya dua suku kata, yaitu “Ikhlas. Maksudnya, tidak punya pamrih, selain hanya karena Allah, atau karena “Cinta”.
5. MUDADAMA : Itu, Kak!! Walau pun bagiku baru menjadi gambaran saja, namun sudah membuat terangnya pikiranku. Sekarang Kakak agar berkenan memberikan penjelasan tentang Kalimat dua yang saya mohon untuk dijelaskan kemarin itu.
5. WREDATAMA : Untuk makna atau bahasa Indonesia, kamu tentunya sudah mengerti, benar kan?
“Laa ilaha Illaallah = Tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah.”
“Muhammadun Rasuulullah = Muhammad utusan Allah.”
Jika lafat tersebut ditambahi “Asyhadu anna” (Aku bersaksi dengan sebenarnya) barulah disebut “Kalimat Syahadat” (Kalimat persaksian).
Nah, itu di pelajaran “Aqaid, sudah diterangkan dengan jelas tentang Sifat-Sifat Tuhan dan Sifat-sifat Rasul-Nya. Kamu tentunya kan sudah mengetahui ?
Sifat wajib Tuhan itu 20, mokalnya 20, Wenang 1, jumlahnya 41, sudah saya jelaskan di depan (Bab I No.21,22,34)
Sedangkan sifat Rasul itu :
Sifat wajibnya 4, yaitu Sidiq + Jujur, Amanah = bisa dipercaya, tabligh = menyampaikan perintah Tuhan, Fathanah = Bijaksana.
Mokalnya juga 4, yaitu : Kidzib + dusta, Chiyanat = berkhianat, ingkar, Kitman = Mengurangi, menambah atau merubah perintah Tuhan, badalah = bodoh.
Sifat Wenang “’aral bashariyah = terkena musibah yang tidak menyebabkan kecacatan dalam kerusaulannya.
Sehingga jumlah Sifat Tuhan dan Sifat Rasul itu ada 50, sehingga ajaran itu disebut “Aqaid 50. Ada juga yang dikembangkan menjadi “aqaid 62. Ada juga yang diringkas, bahwa sifat Tuhan yang perlu dipahami itu hanya 13 yang wajib, dan 13 yagn mokal, seperti pendapat di depan (Bab I No.22), sedang sifat Wenang milik Tuhan dan milik Rasul, tidak perlu diketahui.
Menurut pendapatku, yang dikembangkan juga baik, yang ringkas padat juga baik. Akan tetapi kamu harus paham, meski jelas bagaimana pun juga, “’Aqaid” tentang sifat Tuhan itu hanya berupa pedoman saja, tidak ditunjuk/disentuh :Muk. Sedangkan ‘Aqaid tentang sifat Rasul itu hanya berupa penjelasan dalam tulisan saja. Tidak memerinci makna dan rasa dari tulisan itu. Lebih jelasnya : Hanya menjelaskan yang tersurat (Leterlijk), tidak mengupas yang tersirat (Symbolisch).
Hal itu bukan karena kekurangan “aqaid, karena hal itu adalah memang ajaran untuk orang banyak (massa). Sedangkan bagi yang ingin memahami yang sebenarnya tentang Tuhan, yang disebutkan dalam kalimat “Laa ilaha Illaallah” serta ingin bisa merasakan kalimat “Muhammadun Rasuu lullaah” harus di cari di luar ilmu “Aqaid. Yaitu yagn saya sebut “Sastracetha Wadining Rat” atau “Sastrajendra Hayuningrat” (Bab I No.26).
Di dalam kisah Pedalangan, diceritakan yang mengerti makna sastra tersebut, jika Raksasa ketika matinya berkumpul bersama manusia yang sempurna, jika manusia, ketika kematiannya berkumpul bersama Dewa yang mulia. Cocog dengan isi sebuah hadits, sabda Rasulullah kepada sahabat Muazimaa min ahadin Asyhaduan laa ilaha illaallahu wa anna muhamadan Rasuulullahi shidqan min qalbihi illa Harramu Allahu ‘ala annari = Barang siapa orang yang mengucapkan kalimat syahadat hingga ke dalam hati, oran itu diharamkan oleh Tuhan saka siksa neraka.
Kalimat, “mengatakan hingga ke dalam hati” itu sama dengan “Paham terhadap maknanya” Hal itu iya apa tidak?
6. MUDADAMA : Ya mpun!!! Sekarang saya paham, apa sebabnya bahwa mengucapkan kalimah syahadat itu menjadi Rukun Islam yang pertama, karena di dalam kalimat itu isi maknanya yang sangat rahasia. Sedangkan Rukun Islam yang lain-lainnya, apakah ada hubungannya dengan cara pengucapan kalimat syahat itu tadi, Kak?
6. WREDATAMA : Yahhh... kamu mengajakku untuk berbelok terlebih dahulu, ta? Rukun Islam yang ke dua hingga yang ke lima, itu memang benar erat hubungannya dengan Rukun Islam yang pertama, beginilah kejelasannya :
Orang yang mengucapkan “Saya bersaksi sesungguhnya .........” itu yang utama juga harus mengerti benar-benar tentang apa yang disaksikan. Di dalam kalimat ini yang disaksikan adalah tentang Allah, dan tentang Kerasullan Nabi Muhammadsaw. Artinya benar-benar mengerti sampai dengan yaqin (kenyataan) di kedalaman rasa. Bukan hanya meniru-niru saja.
Jika hanya mengucapkan saja, walau pun berapakali pun dalam mengucapkannya sepertinya sangat sulit untuk bsia terbukanya sampai dengan ke dalam sanubarinya. Kareena hal itu adalah Rahasia Dunia yang sangat membahayakan. Sebaiknya disarati dengan latihan jiwa dan raga . Barangkali saja bisa sebagai jalan hingga dibuka hatinya oleh Tuhan. Jiwanya di latih patuh dan ingat dengan sadar tentang Tuhan, lima kali di dalam sehari semalam, di dalam waktu yang sudah ditentukan. Ketika beribadah dalam keadaan suci dan menggerakan raga yang sangat bermanfaat terhadap kesehatan. Sebab kebijaksanaan dan kesantausaan jiwa itu, bisa tercapai jika raganya sehat. Ini Rukun Islam yang ke dua, Sembahyang (Shalat) lima waktu.
Namun juga masih sulit untuk bisa terbuka, karena memang sangat gawatnya. Barangkalai kesulitannya itu dikarnekan masih sangat cintanya kepada hartanya, sehingga perli di sarati dengna rasa ikhlas mengeluarkan sebagian dari hartanya yaitu menjalankan Rukun Islam yang ketiga, Membayar zakat.
Pada umumnya juga masih jauh untuk bisa terbuka, karena kewajiban membayar zakat itu tidak berat untuk dijalankan. Alangkah baiknya di beri syarat lagi yang agak beat, yaitu berlatih mengendalikan nafsu, karena nafsu itu memang menjadi penghalang yang menyebabkan gelap. Sedangkan sumber kakutan nafsu itu adalah dari makanan, sehingga untuk bisa mengendalikannya dengan cara berlapar-lapar pada siang hari, selama sebulan dalam satu tahunnya. Itulah Rukun Islam yang ke 4, wajib berpuasa di Bulan Ramadlan.
Sedangkan Rukun Islam yagn kelima Pergi Haji ke Baitullah, itu sesungguhnya sangat penting sekali sebagai ujian yang terakhir. Jika lulus dari ujian itu, barangkali bisa terbuka oleh Tuhan, mengerti tentang rahasia yang tersembunyi itu tadi. Namun karena pergi Haji itu, harus mengeluarkan biaya yagn tidak semua orang bisa. Agama yang bersifat luas, memuat dan meliputi, dalam mewajibkan pergi Haji itu, hanya untuk orang yang mampu saja.
Pergi haji itu sebagai perwujudan ikhlas berkorban harta yang tidak sedikit, ikhla berkorban perasaan, berpisah dengan anak istri, keluarga, kerabat, bangsa dan tanah airnya, karena kesemuanya itu disebut Dunia, yang kadang menjadi penghalang ketika beribadah kepada Tuhan.
Pengobanannya tidak cukup sampai di situ, juka ikhlas mengorbankan jiwa dan raga, seperti, seandainya tiba-tiba sakit sehingga meninggal dunia di tempat yang jauh dari keluarga, itu harus ikhlas. Sehingga yang namanya pergi haji itu ujian menjadalankan Satu Tekad, mengabdi kepada Tuhan, selain Tuhan, semuanya tidak ada harganya.
Jika dalam tekadnya sudah nyata seperti itu, untuk bisa terbukanya ahati, sepertinya hanya setebal kulit bawang, entah disebabkan oleh daya dari menghisap suasana Tanah Suci, karena suasana itu sangat besar daya kekuatannya, entah melalu petunjuk dari sessama makhluk selama melakukan pergaulan di sana.
Untuk penjelasan ini, janganlah kamu salah dalam memahami, seandainya kamu sudah benar-benar paham atas Rahassia yang tersembunyi ini, bahwa orang yang beragama Muhammad, tidak boleh, yang kemudian tidak menjalankan Shalat, Zakat, Puasa, Haji, itu tadi. Apalagi jika hanya baru mengerti sedikit. Karena para Wali serta Rasulullah sendiri, juga tetap menjalankan Rukun Islam tersebut. Tekadkan di dalam hatimu, memberi contoh yang baik kepada semua orang, itu termasuk perbuatan yang utama..
7. MUDADAMA : Iya, iya Kak, aku sudah mengerti penjelasan Kakak yang terperinci itu. Sekarang sduah sampai waktunya, Kakak mengarikan rahasia yang tersembunyi itu, saya sangat ingin mendengarnya.
7. WREDATAMA : Dengarkanlah ya!!! Seseorang yang mengucapkan kalimat yang maknanya “Hamba bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah”itu, jika ketika di dalam bersaksi itu tadi itak hanya meniru-nieru atau hanya ikut-ikutan, tentunya harus benar-benar mengerti, tentang Allah. Jangan gampang menjawab: Jika itu termasuk kepercayaan, Sebab kepercayaan terhadap apa saja  tidak akan pilih-pilih... yang jika diri sendiri belum yakin kebenarannya, itu tidak ada bedanya dengan “Gugon Tuhon” (percaya terhasap sesuatu yang belum ada buktinya). Iya apa tidak?
Untuk Kakakmu ini, dalam saya menyaksikan yang sebenar-benarnya. Bahwa tidak Tuhan selain Allah, tidak ragu-ragu lagi. Seperti yang sudah kita bicarakan bersama di depan.
a.              Aku, orang satu ini, yang saya sebut Allah itu, yaitu bergelar Ikheid = Purusha = Rabbi = Individueele God. Yaitu yang saya gambarkan Ki Dalang bagi si Wayang, dan yang umpamakan Bayang Matahari bagi Si Jambangan yang terisi air.
b.              Aku, jika sedang bersama dengan dirimu, bersama dengan dirinya, bersama dengan semua orang di dunia ini, sama, menyebut Allah, itulah yang dimaksudkan yang bergelar Absolute Ik – Isywara – Rabbana = algemeene God. Yaitu yang saya gambar Sing Nanggap bagi si Wayang, dan saya ibaratkan Matahari bagi di Jambangan yang berisi air.
Aku sudah mengatakan, bahwa puncak Ilmu Ma’rifat itu  : Si Wayang sudah bertemu dengan Ki Dalang (Bab I No.37) atau si Jambangan berisi air sudah melihat bayangan matahari. Namun kata “Bertemu” atau “melihat” itu jangan kamu bayangkan  seperti halnya kamu bertemu denganku, atau seperti kamu melihat kepada diriku, itu bukan. Menurut ilmu Tarikat, seperti pengertianmu terhadap Hari Minggu, kamu bisa percaya karena kantor-kantor tutup semua, serta Hari Jum’at sudah sudah tertinggal satu hari (Bab I No.13). Sedangkan bagi Hakikat dan Ma’rifat, seperti halnya dirimu berada di hari Minggu, bisa terasa karena  ketika pagi : masuk ke hari Senin.
Namun, karena manusia itu bermacam-macam, yang banyak atau pada umumnya, seumpama wayang yang ingin bertemu dengan Yang Nanggap  di Rumah belakang. Yang di patuhi yaitu yang Nanggap itu. Seumpama jambangan berisi air : ingin bertemu dengan matahari di langit, yang di sembah ya Matahari itu (Bab I No.37).
Si Wayang lup, bahwa Petruk itu tidak bisa apa-apa, yang berbicara dan yang menggerakkan adalah Ki Dhalang. Ada saatnya Petruk itu jadi Ratu, karena Ki Dalang melaksanakan perindah dari Yang Nanggap, agar menggelarkan wayang dengan lakon “Petruk dadi ratu”.
Bahwa, tujuan  Hakikat itu tidak lain adalah, supaya jambangan telah pecah, bayang matahari kembali kepada matahari (Innaa lillahi wa innaaa ilaihi radji’uun),  tidak tertinggal di pecahan jambangan atau di airnya yang tumpah (Bab I No.36), Atau setelah menggelar pertunjukan wayang, Ki dalang melaporkan kepada yang nanggap, tidak larut  pada cerita Petruk atau  pergi bertamasya ke mana-mana yang tanpa tujuan. Tentang hl ini, sebaiknya dijelaskan jika telah sampai pada gilirannya membicarakan jalan menuju Ma’rifat kepada Tuhan saja.
8. MUDADAMA : Iya Kak, saya ngikut saja. Selanjutnya sekarang Kakak, agar meneruskan untuk memberikan penjelasan tentangn Kalimat Syahadat itu tadi.
8. WREDATAMA : Baiklah. Dengarkanlah dengan cermat, yang menyebabkan menjadi salah dalam pemahamannya, sehinga bisa tersesat menjadi ...... KLENIK.
Kalimat selanjutnya; Mengucapkan kalimat yang maknanya “ dan hamba bersaksi, sesungguhnya Nabi Muhammad itu utusan Allah.”
Kalimat tersebut, sesungguhnya mengandung makna ganda : Lahir (letterlijk) dan batin (symbolisch).
Menurut makna lahir (letterlijk), yang disebut “Muhammad” pada kalimat tersebut; Sebutan manusia (eigennaam), yaitu Nabi Muhammad putra Sayyid Abdullah, yang lahir di Makkah, dimakamkan di Madinah. Sehingga asmanya kita ucapkan di dalam kalimat Syahadat, karena beliau adalah Ayah pencetus Agama yang kita anut.
Oleh karena kita sudah membuktikan bahwa petunjuk Agama itu, memberi penerangan hati sanubari kita, shingga kita yaqin dan bersaksi : Bila beliaunya itu adalah Utusan Allah, yang membawa amanah men-syiarkan penerang kepada seluruh manusia di dunia. Ujud dari petunjuk dan penerang yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sedangkan, makna rasa batin (symbolisch) yang disebut “Muhammad” dalam kalimat tersebut, kata sebutan yang berasal dari gabungan (afgeleide zelfstanding naamwoord). Yaitu berasal dari kata “Hamid” yang artinya “Pujian sanjungan” Muhammad bermakna : Yang dipuji. Sedangkan yang maksud tidak lain adalah ujud dari diri manusia ini. Baik halusnya juga raganya yang mengucapkan kalimat Syahadat itu tadi, yang ternyata lebih lengkap alatnya dan campuran wujudnya dibanding dengan makhlk yang lainnya.
Untuk lebih jelasnya : Semua Rasul selain Nabi Muhammad itu juga sama-sama mempunyai sifat “Muhammad”. Demikian juga para Nabi, para Wali, para Mukmin ..... dan seluruh manusia biasa yang bagaimana pun juga, itu semua juga bersifat Muhammaad. Serta yang sebenar-benarnya juga menjadi Utusan Allahsendiri, alias individueele God, seperti tersebut di atas. Sebab, jika dirinya sudah tidak menjadi utusan, pastilah raganya tanpa daya, yaitu mati.
9. MUDADAMA : Maaf Kak, Aku pernah mendengar sebuah wirid yang berbunyi “Sesungguhnya Muhammad itu sifat Ingsu, Rasul itu rasa ningsun”. Apakah itu sesuai dengan penjelasan Kakak itu tadi?
9. WREDATAMA : Nah!! Benar kan perkiraanku. Kamu akan tersesat menuju “KLENIK”. Mengolah kata seperti itu, bukan kebiasaanku. Rasul itu kata Arab, Rasa itu kata Sanskrit, jika diolah agar sesuai, tentunya akan dimarahi oleh ahli sastra.
Sedangkan, maksud dari penjelasanku tadi itu, tidak demikian. Yang bersifat “RASUL” (utusan) itu, adalah yang bersifat Muhammad itu tadi. Yaitu lengkap dengan alat dan bahan campuran dari manusia, bukan Cuma salah satu dari alat  manusia yang bernama “RASA” itu.
10. MUDADAMA : Iya, Iya Kak, aku sudah paham, perbedaan uraian penjelasan dirimu dengan rangkain wirid “Rasul” “Rasa” itu tadi. Akan tetapi, apakah Kakak mempunyai anggapan bahwa gerak gerik kita berasal dari perintah Tuhan, karena diri kita ini mempunyai sifat Muhammad dan juga sifat Rasul?
10. WREDATAMA : Bagus!!! Nah, itu pertanyaan yang penting. Ketahuilah olehmu, sebenarnya jika masih bernama manusia, itu tidak ada bedanya tentang kelengkapan alat dan bahan campurannya (Bab I No.28), sehingga jangan suka, mencelakakan diri sendiri.
Di depan sudah saya katakan, yang berbeda itu hanya ukuran dari bahan campurannya, seumpama kopi susu ada yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis, ada yang hambar, ada yang sedang. Perbedaan alat : Ada yang bahan kayunya tua serta halus pengerjaanya, ada yang kayu muda, serta kasar pengerjaannya. Sehingga kemudian menjadi berbeda-beda, karena ada yang gperawatannya alat itu tadi ada yang rajin dan dipelajari kegunaannya dari masing-masing jenisnya, ada yang tidak dirawat sama sekali serta tidak mengerti kegunaannya.
Nah, seperti itulah contohnya. Karena ada orang yang dujuli Nabi, ada yang disebut Wali, ada yang dinamakan Mukmin chas, ada yang dinamakan mukmin “am”, ada yang memiliki sebutan yang bermacam-macam itu.
Golong yang terakhir itu tadi juga berisfat Muhammad, tidak berbeda dengan Nabi – Wali – Mukmin, seharusnya demikian : Juga bersifat Rasul, Sebagai contohnya, berikut ini :
Seumpama aku menjadi pribumi di salah satu Kabupaten, namun belum pernha bertemu dengan Pak Bupati. Kemudian ada orang yang singgah di rumahku, memerintahkan supaya aku datang untuk menyapu halaman Kabupaten. Aku terus bilang kepada kakak perempuanmu, jika diperintah oleh Pak Bupati.
Apakah yang saya omongkan itu benar? Bisa dipastikan, salah! Karena yang memerintahkan aku itu tadi bisa saja hanya Sekretaris Kebupaten saja, bisa saja abdi rendahan saja, bisa juga orang luar yang berniat mempermainkan aku. Sehingga “Serat Wedhatama” mengingatkan (Gambuh) :
Kalamun durung lugu.
Aja pisan wani ngaku-aku
Antuk siku kang mangkono kaki
Kena uga wenang muluk,
Kalamun wus pada melok.
Artinya :
Jika belum paham
Jangan sekali-kali mengaku sudah paham
Akan mendapat hukuman, tindakan yang seperti itu.
Boleh saja memberi pelajaran..
Jika sudah benar-benar paham melihat dengan jelas tanpa penghalang apapun.
Padalah “Melihat dengan jelas” itu sulit sekali. Jangankan melihat dengan jelas menurut Ma’rifat, baru melihat denegan jelas di tingkat Tarikat (mengerti) saja, tidak mudah, karena banyak penghalangnya. Seperti yang diperintahkan di dalam Surat Yasin ayat 9,10 “ wa ja’alnaa min baini aidihim saddan wamin  chalfihim saddan faghsyainahum fahum laayubshiruun ( Dan Ingsung sudah membuat penutup di depan dan di belakang, dan Ingsun tutup penglihatannya hingga tidak bisa melihat segalanya), terusannya : Wasawaaa’un ‘alaihim andzartahum am lam tundzirhum laayu’minuun (Sama saja atas orang –orang itu, kamu beri nasihat  atau tidak, tidak akan beriman). Seperti itulah orang yang tertutup hatinya.
Sehingga : Walau pun sama-sama mempunyai sifat Muhammad, yang nyata. Namun jangan menganggap mudah mengaku sama-sama bersifat utusan Tuhan, walau pun seharusnya benar. Karena kita ini Mukmin “am atau dibawah “am” ini. Yang sering itu menjadi utusan ................ Nafsu, atau menjadi pengikut ...... syaitan (Setan dalam diri atau setan di luar diri).
11. MUDADAMA : Sudah- sudah, Kak (Sambil mata sembab meneteskan air mata), hatika sangat pedih. A’udzu billahi minasysyathanirajim (Semoga saya dijauhkan oleh Allah dari godaan syaothan yang terajam).
 (Setelah saling berdiam diri beberapa menit) : Sekarang saya mohon penjelasan, bahwa si Wayang yang ingin bertemu dengan yang Nanggap. Jika puncak ilmu Ma’rifat, itu hanya sampai tingkat Ma’rifat si Wayang terhadap Ki Dalang (Bab I No.37, Bab.II No.7), itu kan tidak ada bedanya dengan golongan yang meyakini bahwa yang Nanggap itu tidak ada. Hanya Ki Dalang yang tetap abadi atas kudrat iradatnya sendiri.
11. WREDATAMA : Sekilas memang tidak ada bedanaya, tetapi akibatnya, bukan Cuma beda, justru berlawanan yang sangat nyata.
Golongan yang meyakini bahwa yang Nanggap itu tidak ada, kebanyakan mengakibatkan juga meyakini bahwa ketika matinya itu menganggapnya sudah “selesai” tidak ada cerita lagi (Bab I No.35).
Pastilah tidak ada usaha dan perjuangan, “Ilmunya” tanpa amal, karena dalam perkiraannya ketika mati pastilah sempurna, sudah memastikan pasti akan kembali kepada asalnya.
Sedangkan bagi yang meyakini bahwa yang Nanggap itu ada, itu mengakibatkan  memiliki keyakinan bahwa setelah mati itu belum “selessai” masih tetap terus hidup. Yang semula hidup mempergunakan basan kasar (jasmani) berada di alam dunia, kemudian hidup memeprgunakan badan halus (rohani) yang berada di alam gaib. Di tempat itu masih mengalami rasa enak dan rasa tidak enak.
Golongan ini, bermacam-macam caranya berusaha dan berjuang agar terlepas dari segala rasa itu tadi. Ada yang memakai cara giat shalatnya, ada yang membuang kekayaannya, ada yang menghindari keramaian, ada yang tidak menikah, bahkan ada juga menyiksa raganya. Bertindak seperti itu tidak hanya satu hari dua hari saja, namun sampai tanpa batas waktunya. Seumpama orang yang berbuat seperti itu, itu dianggap semuanya bodoh, Aku, Kakamu ini, ikhlas menerima masuk dalam golongan orang bodoh itu tadi. Karena aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa mati itu belum pasti “selesai”.
12. MUDADAMA : Iya Kak, aku sudah mengerti penjelasan tentang perbedaan antar paham iut tadi. Kemudian Kakak mengatakan tidak mesti “selesai” itu menurut  pemahamanku ada bisa “selesai” sungguhan. Sedangkan yang dikatakan “Selesai” itu bagaimana? Dan apakah sebabnya ada yang “selesai” dan ada yang tidak? Bagi golongan yang meyakini mati belum pasti “selesai” itu, apakah bukan “selesai” yang dicarinya?
12. WREDATAMA : Yang saya katakan “selesai” itu yang bisa menjalankan “Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un” – Asal dari Allah, kembali kepada Allah, artinya sudah tidak terbayangkan. Yaitu yang disebut Naik ke dalam Surga yang tertinggi tanpa hisab (Tanpa ditimbang antara amal dan dosanya, karena sudah tidak tersentuh dosa). Sudah tidak merasakan nikmat kubur atau pun siksa kubur, sudah terbebas dari hari kiamat (sewaktu roh-roh dibangkitkan dari alam kubur).
Memang “selesai” itu yang dicari oleh para pencari Hakikat. Akan tetapi pencarian apakah cukup hanya mempergunakan anggapan saja, tanpa syarat-syarat? Karena yang bisa melakukan yang seperti itu hanya para Rasul, para Nabi dan para Wali namun tidak semua, dan para Mukmin yang diijinkan oleh Tuhan.
Maka dari itu, orang yang shalat, setelah membaca tahiyyat akhir kemudian berdoa “A’udzubika min ‘adzaabil qabri” (semoga terjaga di siksa kubur), itu sudah semestinya bagi Mukmin “Am, karena memang siksa kubur itu yagn sangat ditakuti. Jika tidak mengalami siksa kubur, berarti merasakan nikmat kubur, sambil menunggu datangnya hari kiyamat, barangkali setelah dihisab, bisa naik ke surga. Walau pun di surga yang paling bawah sendiri, tentunya merasa nikmat, dibanding masuk ke dalam neraka, neraka yang mana saja.
13. MUDADAMA : Wahhh....... Sekarang sudah sampai membicarakan tentang meninggal dunia, yang menurut penyampaian Kakak, juga perlu dijelaskan, termasuk baku  bagian ke II bagi ilmu hakikat, (Bab I No.7). Akan tetapi saya ingin menyela terlebih dahulu minta dijelaskan terlebih dahulu. Apakah golongan yang meyakini bahwa Yang Nanggap tidak ada itu tanpa dasar? Jika aku tidak keliru, itu kan ilmunya Syeikh Siti Jenar, yagn tidak sedikit pengaruhnya kepada bangsa kita ini, iya kan Kak ?
13. WREDATAMA : Nahhhh.. ini sama saja aku kamu paksa untuk basah semua! Memang demikian, aku hanya ingin mengatakan paham keyakinanku sendiri, yang menjadi keyakinanku sendiri. Yang menimbang dan membandingkan dengan yang lainnya itu kamu sendiri (Bab I No.29).
Ilmu milik Syeikh Siti Jenar yang sebenarnya, itu tidak ada yang tau, karena Syeikh Sitijenar tidak meninggalkan Kitab yang menjelaskan paham keyakinannya. Sedangkan paham yang kamu sebut ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu tadi, tidak lain hanya pendapat para Pengarang Kitab Sitijenar, atau pendapat para guru wirid speeninggal Syeikh Sitijenar, yagn belum tentu cocok dengan ilmunya Syeikh Sitijenar yang sebenarnya.
Sedangkan ilmu dari Syeikh Sitijenar yang sebenarnya itu, perkiraanku berasal dari ilmu Falsafah Tashawwuf Islam yagn berkembang di Negara-negara Islam ketika abad ke 12 dan 13 Masehi. Yaitu yang disebut paham Wahdatul Wujud. Yaitu sebuah paham yang meyakini bahwa makhluk dan yang mencitakanitu “Sajatin” : Satu. Sedangkan ketika menyebut dua itu karena penglihatan dari makhluk itu sendiri. Jika melihatnya dari Pencipta : “Satu utuh” bukan dua. Contohnya bagaikan Samudra dan ombaknya, seperti api dan nyalanya, seperti madu dan rasa manisnya.
Seperti itulah paham Pujangga Sufi Muhammad Bin Ali bin Ahmad bin Abdullah yang bergelar Muhyidin Al-Hatiniy atau Ibnu Arabiy.
Paham itu memisahkan diri dengan paham lainnya sebelum itu, yang pada umumnya meyakini bahwa Makhluk dengan Penciptanya itu dua.
Selanjutnya, dua paham itu masih tetap menjadi perselisihan sampai dengan sekarang belum ada akhirnya. Golongan yang meyakini bawa makhluk dan Pencipta itu dua, mempunyai pendapat bahwa Makhluk an khaliq itu tidak sama Dzat-nya. Sehingga menuduh sangat sesat jika ada yang mempunyai anggapan : Makhluk itu bisa menyatu dengan Khaliq, setinggi-tinggi Cuma bisa  ... mendekat atau bisa bertutur kata saja.
Nahhh. Sehingga tadi aku mengatakan, jika yang kamu sebut Ilmu Syeikh Sitijenar itu, belum tentu cocok dengan ilmunya Syeikh Sitijenar yang sebenarnya ........ karena “Ilmu dari Ibnu ‘Arabiy itu menggunakan “Amal. Akan tetapi yang kamu kira ilmu dari Syeikh Sitijenar itu tadi, pada umumnya hanya berhenti  pada pemahaman saja. Jika telah memahami merasa telah tamat dan sempurna.
14. MUDADAMA : Sedangkan keyakinan Kakak yang sudah di jelaskan kepadaku, itu termasuk golongan yang mana, Kak? Aku malah menjadi bingung, ketika beri tahu keyakinan dua macam itu.
14. WREDATAMA : Bagaimanakah kamu itu! Kamu terus memaksa agar aku terus bertambah basah.
Paham dua macam itu, menurutku : sama benarnya. Menjadi bermasalah, tidak lain karena tidak saling menghayati terlebih dahulu : Manakah yang disebut makhluk di dalam masalah yang dibicarakan itu?
Jika yang disebut makhluk yang ada di dua ajaran itu, sesuatu yang berbentuk – kasar atau halus – maka menjadi benar bagi yang berkeyakinan bahwa makhluk dan Khaliq itu dua, bukan satu dan tidak bisa bersatu, karena Khaliq itu tanpa bentuk, bukan jisim, bukan jirim (Jisim dan Jirim untuk lebih jelasnya di Buku Serat Wulang Reh di blog yang sama), Tidak bisa dibayangkan.
Sedangkan jika yang disebut makhluk dalam keyakinan itu Bayangan Matahari bagi si Jambangan berisi air, tentulah benar yang meyakini bahwa makhluk dan chaliq itu : Satu, iya kan? Tentunya tidak salah jika makhluk bisa menyatu dengan khalik, ta? Bagaimana...... apakah masih kurang jelas keteranganku ini?
15. MUDADAMA : Sudah jelas Kak, dan saya sudah puas. Sekarang saya mau minta penjelasan sedikit, akan tetapi jangan menjadikan Kakak menjadi tidak enak hati.
Setiap Kakak menganjurkan tentang menjalankan Syari’at Agama apa saja yang dianut (Bab I No.11) atau yang disenangi (Bab I No.37). Akan tetapi entah karena apa, penjelasan Kakak kepada saya ini jelasa mengarah kepada Islam dan hanya mengambil dari dalil-dalik Qur’an saja?
15. WREDATAMA : Bukan karena sebab apa-apa, hanya terbawa oleh karena aku  ini orang Islam, Sedangkan jika kamu bertanya “Apa sebabnya Kakak memilih Agama Islam?” Pertanyaan seperti itu sama saja dengan kamu bertanya “Apa sebabnya Kakak membangun rumah memilih model kampung, bukan model limasan saja?” Nah... itu sebenarnya hanya karena senang model saja, tidak ada sebab lain lagi. Menurut pendapatku : Agama itu Internasional, artinya, untuk orang sedunia. Dari tanah mana saja asalnya, jika aku senang, ya itulah yang saya anut.
Oleh karena aku menyenangi, sehingga masuk kepada kata-kata “Orang senang, tidak kurang sanjungannya”. Sebagian dari sanjunganku, yaitu dari kitabnya (Qur’an) yang walau pun sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, akan tetapi dalam bahasa aslinya tidak akan pernah hilang, sehingga bisa dicocokan : Apakah terjemahan itu obyektif (apa adanya), apakah ditambah-tambahi menurut selera yang menterjemahkan (subyektif). Sedangkan Kitab Suci yang lain-lainnya tidak demikian!
Barangkali jika kamu menginginkan yang kadang kala mendengar kutipan yang berasal dari kitab-kitab suci selain Qur’an, aku tidak keberatan. Dan aku juga mempelajari, karena aku juga percaya kepada Rasul selain Nabi Muhammad serta percaya kepada Kitab Suci selain Al-Qur’an.
Kitab Taurat menyebutkan : “Allah kemudian mencitakan manusia menurut ceritanya, dalam menciptakan yang yang dicontoh cerita Allah, pada hakikatnya laki-laki perempuan” (Purwaning dumadi I:27).
Di dalam Injil menyebutkan : Tidak ada orang yang mendekat kepada Rama jika tidak keluar dari aku. Jika kamu mengetahui tentang aku, pastilah mengetahui Romoku” (Jochanan 14:6-7) “Orang yang ttelah melihatku, sehingga sudah melihat Sang Rama. Apakah kamu tidak percaya, bahwa aku ini ada di dalam Sang Rama, dan Sang Rama ada di aku?” (Id. 14 : 9,10).
Cobalah rasakan! Yang dikatakan Manusia mencontoh cerita dari Allah dalam Kitan Taurat itu, tentunya sama dengan yang saya umpamakan  Bayangan dari matahari dengan matahari, iya kan? Sedangkan yagn disebut Sang Putra dengan Sang Rama di dalam Kitab Injil itu tadi, itu kan aku, iya kan?
Sedangkan di dalam Al-Qur’an juga menerangkan : Lam yalid wa lam yuulad (Al-Ikhlas 3 = Tidak beranak dan tidak peranakkan), An da’auli’rrahmani waladan wa maayanbaghie li’rrahmani an yattahidza waladan 9Maryam 91,92 = Mereka mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai anak, Tuhan dikatakan mempunyai anak itu tidak benar), karena ada orang yang meyakini bahwa kata “Putra” itu bermakna Leterlijk, bukan symbolisch yang ibaratnya adalah bayangan.
16. MUDADAMA : Sudah Kak, dalam saya mengajak Kakak untuk membelokan pembicaraan hingga benar-benar basah, sudah cukup. Sekarang, Kakak berkenanlah Kakak untuk menjelaskan tentang SiksaKubur itu bagaimana sehingga bisa diterima oleh akal dan pikiran?
16. WREDATAMA : Kepercayaan terhadap adanya siksa kubur dan tentang menjalankan keutamaan agar tidak mengalami siksa kubur itu, sebenarnya sudah sejak jaman dahulu kala, sebelum adanya Agama yang disyiarkan oleh para Nabi utusan Allah.
Sedangkan tumbuhnya kepercayaan ketika itu, entah karena berasal dari gagasan saja, seperti : (a) Di alam ketika tidur, tiba-tiba menemukan cerita yang disebut bermimpi (b) Memperhatikan segala perbuatan pasti mendapatkan buahnya (c) Dan lain-lainnya, entah karena ada yang dituakan yang mendapat ilham dari Tuhan sehingga bisa melihat atau bisa berkomunikasi dengan roh orang yang sudah meninggal dunia, saya kita tidak perlu dibicarakan panjang lebar.
Ketika memasuki jaman Para Nabi dan para Rasul yang bertugas menyiarkan Agama, mereka semakin menguatkan bahwa keyakinan yang semula masih samar-samar itu, memang benar-benar ada. Tentulah ketika para Rasul menerangkan wasiat itu tadi tidak hanya berasal dari gagasan saja dan tidak hanya untuk menakut-nakuti saja. Artinya memang benar-benar ada dan para Rasul  memang benar-benar mengetahui, karena para Rasul itu bersifat Sidiq, Amanat, Tabligh, Fathanah (Bab II No.5).
Sehinga seharusnsya, kita ini hanya cukup percaya saja terhadap kabar tersebut, karena tentang Jiwa itu memang sulit. Firman Tuhan di dalam Al-Qur’an : Wa yasalumaka ‘ani’rruhi quli’rruuhu min amri rabbi wamaa uutietum minal ‘ilmi illa qallilan (Israa’85 = Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah : Roh itu urusan Tuhanku, kalian tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit saja).
17. MUDADAMA : Kak, Ketika kepercayaan tentang adanya Allah yang berbahaya, yang rahasia seperti itu, Kakak berkenan memberikan penjelasan yang sangat memuaskan perasaan hatiku. Maka dari itu tentang roh dan siksa kubur, saya juga mohon untuk dijelaskan dengan sejelas-jelasnya, jangan dibatasi seperti itu tadi.
Namun, sebelum Kakak berkenan membuka pagar tersebut, saya mohon penjelasan terlebih dahulu : Yang disebut “Kubur” itu apa? Apakah Kuburan atau begraafplaats (tempat untuk memendam mayat) seperti itu Kak?
17. WREDATAMA : Begraafplaats itu dalam bahasa Jawa disebut “Jaratan” atau “Pajaratan” namun kata “Jarat” artinya apa, saya sendiri tidak mengerti. Sedangkan kata Jawa “Kuburan” Ngubur, dikubur, itu sebenarnya adalah salah, karena mengambil dari kata Arab “Qubur” (ism mufrad Qabrun, ism jama Qubuurun), yang artinya ......... akan saya terangkan nanti saja.
“Jaratan” terkadang disebut juga “Makaman” itu juga mengambil dari Bahasa Arab : Makam (Maqam) yagn artinya adalah Tempat, sembarang tempat, bukan hanya tempat mayat. Dan juga kadang disebut “Kramatan” menurut perkiraanku juga mengambil dari Bahasa Aarab (Rahmat), yang artinya kemurahan. Maksudnya : Bahwa Mayat yang dipendam di tempat itu itu terhormat atau mendapatkan kemurahan Tuhan.
Sedangkan di bahasa haluskan dalam bahasa Jawa (Dikramakan) menjadi “Pasareyan” uatau “Setana” (Istana), tentunya kamu sudah mengerti. Maksudnya : Semua mayat yang diteempatkan di tempat itu, bukannya dianggap mati, hanya Tidur saja, dan di anggap bertempat tinggal di Istana yang indah.
Sedangkan Kata Arab “Qubur” itu tadi, di dalam Qur’an juga disebutkan “Barjah”. Pada umumya dianggap sebutan “Alam”, akan tetapi tidak terlihat oleh mata seperti halnya alam dunia ini.
Anggapan “Sebutan” itu tadi, sebenarnya masih salah, sepertihalnya Madinah (Madinatun) yang semula bermakna “Kota” lama-kelamaan berubah menjadi “Nama Kota” (Madinah). Sedangkan kata “Kubur” atau “Barja” itu, berasal dari kata suasana, yang artinya : (a) Peralihan, antra alam dunia dan alam lainnya lagi, (b) Tahanan : Menunggu waktu akan diadili, (c) Hijab, penutup, karena sudah tidak bisa melihat alam dunia, namun belum melihat alam lainnya lagi.
Maka dari itu, janganlah kamu salah dalam memahaminya, Kubur itu, kamu maknai Kuburan atau Jaratan. Jelasnya : Seandainya ada orang yang meninggal dunia karena tenggelam di laut, atau meninggal karna dimakan harimau, atau mati denegan tubuh hancur karena terkena bom atoom, itu rohnya juga mengalami siksa kubur atau nikmat kubur, walau pun mayatnya tidak di tanam di Jaratan.
Sedangkan bagi orang yang meninggal dunia dan mayatnya tidak hancur seperti yang saya katakan itu tadi, roh-nya memang ada yang menunggui bekas raganya, dalam beberapa waktu. Oleh karena itu, sehingga ada pendapat mayat dibalsam agar tidak rusak, agar supaya roh-nya tetap menunggui raganya hingga beratus-ratus tahun. Dan sebailknya ada yang berpendapat : Mayatnya dibakar, agar cepat rusak, supaya roh-nya cepat merdeka, bisa ke sana ke mari, tidak menunggi raganya saja.
Sedangkan tentang yang dialami oleh para ahli kubur itu, tersebut di dalam Hadits, seperti ini :
Sahabat Ibnu Abbas menceritakan : Pada suatu hari, Rasulullah lewat di jalan yang berdekatan dengan makam, mendengar orang sambat kesakitan, karena mengalami siksa kubur. Beliau kemudian mengambil pelepah kurma, setelah dipatahkan menjadi dua, masing-masing kemudian diletakkan di atas makam orang yang mengeluh itu tadi, sambil berkata : “Semoga orang yang sedang mengalami siksaan ini mendapatkan kemurahan selagi pelepah kurma ini belum kering.” (Hadits Shahih Buchari).
Ada lagi : Sahabat Abu Ayub menceritakan : Pada suatu hari Rasulullah keluar setelah matahari terbenam. Beliau mendengar suara, para sahabat yang mengiringkannya juga mendengarnya. Beliau kemudian berkata “Orang Yahudi sedang disiksa di dalam kuburnya” (Hadits Shahih Muslim).
18. MUDADAMA : Cukup tiga itu saja Kak!! Apakah Kakak berkenan memberi penjelasan yang lebih jelas, bukan atas dasar cerita seperti itu? Dan apakah sebabnya, Kakak hanya memetik dari hadits saja? Apakah di dalam Al-Qur’an tidamasalah itu?k ada ayat-ayat yang menjelaskan
15. WREDATAMA : Di dalam Al-Qur’an tidak kurang ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam akhirat, hari kiamat, surga dan neraka, dan lain sebagainya. Dan saya perlu untuk menjelaskan  terlebih dahulu yang sejelas-jelasnya, maka dari itu belum saya petik.
Sepertinya kamu lebih puas, atas keterangan yang berdasarkan Al-Qur’an dibanding keterangan yang berdasarkan Hadits. Itu menandakan bahwa dirimu mempunyai  pertimbangan yang atajam. Alhandulillah. Memang di dalam Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat, untuk bisa pas jika menggunakan dasar Al-Qur’an. Akan tetapi kamu jangan menyalahkan dan menyepelekan Hadits, karena banyak sekali aturan dan Rukun Islam yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, disebutkan di Al-Hadits.
Sehingga : Ajaran yang bersumber dari Hadits itu, sebagian besar memang untuk Syari’at. Sama dengan pendapatnya Abu Hurairah Hafidhatumin Rasuulillahi wi’aaani  faaammmaa ahaduhumaa fabatsatstuhu waamma ilaa charufalan batsatstuhu qufi’a hadazalbul ‘umu (Hadits shahih Buchari = Saya hapal dari Rasulullah Haidts dua karung, yang satu karung sudah saya siarkan sedangkan yang sekarung lainnya, jika saya siarkan, pastilah saya disembelih orang), Maksudndya Hadits yang tidak disiarkan itu memang tidak cocok seumpama disiarkan kepada orang banyak (massa).
Tentang keadaan roh manusia yang sudah terpisah dari badan kasarnya itu, selain tersebut di dlam Hadits yang di antaranya sudah saya katakan itu tadi, juga termuat di dalam Al-Qur’an. Nanti kita bicarakan dengan jelas, Ada lagi keterangan yang berasal dari sumber yang lain.
Ada ilmu yang disebut Spiritisme, yaitu cara memanggil Roh orang yang sudah meninggal dunia, atau cara berhubungan (berdialog) dengan Roh orang yang sudah meninggal dunia. Adanya ilmu itu sudah sejak jaman dahulu kala, yang kemudian tertutup, karena (a) kalah pengaruh oleh ilmu Agama, yang sebagian besar  mengajarkan agar orang percaya begitu saja (Dogmatisch). (b). Kalah pengaruh dengan ilmu Materialisme, yang keyakinannya hanya percaya kepada segala sesuatu yang bisa terlihat mata saja.
Di dalam abad ini, ilmu Spiritualisme itu tadi, tiba-tiba muncul kembali, justru kemunculannnya di wilayahnya orang-orang yang tersebut di hurus (b) itu tadi. Sudah banyak yang mengamalkan (mempraktekkan), serta tercapai apa yang menjadi tujuannya.
Ilmu tersebut justru bisa dipergunakan untuk membuka keruwetan perkara lahir, seperti : Orang mati yang meninggalkan harta benda, akan tetapi ahli warisnya tidak mengetahui di mana menyimpannya; Orang yang meninggal dunia karena dibunuh, tidak ketahuan sipa pembunuhnya, dan lains ebagainya. Juga bisa ditanyai bagaimana keadaanya roh itu enak atau tidak enak, terang ataukah gelap, longgar ataukah sempit lingkungannya, dan sebagainya.
Bagaimana, apakah kamu masih ragu-ragu tentang roh yang tetap hidup yang berada di alam kubur itu? Apakah semua keterangan ini belum bisa membuat puasnya hatimu?
19. MUDADAMA : Soal ragu-ragu, itu tidak, Kak! Penjelasan Kakak sebelum-sebelumnya sudah menjadi kepercayaanku, Jika konstruksi dari manusia itu terbentuk dari !. Purusha (Allahe tiap diri manusia) yang memiliki sifat Hidup. II. Badan halus, juga jiwa atau Roh. III. Badan kasar yaitu raga kita ini, Bab I No.18, 31,32,33).
Untuk orang yang belum sempurna seperti saya ini, jika badan kasar sudah rusak, tinggal badan halus (roh) yang masih memiliki daya Hidup dari Sang Purusha, sehingga roh tersebut masih lestari hidup (Bab I No.32). Contohnya ada yang seperti bayangan dari matahari menempel di air yang tumpah melebar, Dikarenakan Si Jambangan sudah pecah, ada yang seperti bayangan matahari yang melekat di air yang menempel di pecahan jambangan (Bab I No.36). Itulah keadaan roh yang telah bebas  bisa ke sana akemari, dengan roh yang masih menunggui raganya di pemakaman.
Sebenarnya : Daya hidup itu kekal, aku sudah tidak ragu-ragu, akan tetapi terus terang saja, penjelasan Kakak mengenai keadaan para ahli kubur, aku belum puas. Karena Hadits dan Spiritisme itu hanya menceritakan pengalaman orang lain, tidak setiap orang bisa membuktikannya sendiri. Yang ku  harapkan, Kakak bersedia memberikan penjelasan yang seketika aku bisa merasa yakin  nyata, yang selanjutnya menjadi pemahamanku, menjadi ilmuku dan menjadi kepercayaanku, siapakah dan apakah yan menyebabkan kejadian yang dialami oleh para ahli kubur itu?
19. WREDATAMA : Permintaanmu sesungguhnya amat sangat sulit. Namun memang lebih baik berbicara dengan orang yang sepertimu ini, dibanding berbicara dengan orang yang fanatik dan yang percaya tanpa bukti, yang tidak mau mempergunakan akal dan pikirannya.
Jika uraianku ini masih tetap tidak bisa membuat kepuasan hatimu, penyebabnya tidak lain karena kebodohanku, yang tidak bisa memberikan penjelasan, atau dari  (Maaf .. satu baris tidak terbaca).
Seumpama sekarang kamu menerima Telegram dari sbuah Jawatan, dipindah ke tempat yang sangat jauh, menyeberang lauan. Kamu harus sberangkat sekarang juga, tidak boleh membawa teman, bahkan untuk berpamitan kepada anak istrmu saja tidak diperkenankan. Saya pastikan ketika kamu ada di sana, kamu merasa tidak enak, ingat anak istrimu, ingat rumahmu, ingat peliharaanmu burung perkutut, dan lain sebagainya. Padahal ragamu lengkap beserta perlengkapannya “Astendriya” : Sehat semua, tidak ada yang sakit, akan tetapi merasa tidak enak. Karena yang merasakan tidak enak itu rohmu, yang dengan pirlengkapan “Rasa Sadar” atau “Rasa Jati” (Bab I No.29).
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur bagi orang yang lebih cinta kepada dunia dibanding cinta kepada Tuhannya, Sedangkan rasa yang dialami , lebih berat siksa kubur daripada gambaran itu tadi. Sebab dalam penggambaran itu : badan kasar beserta perlengkapannya tidak sakit dan masih lengkap, sehingga masih bisa berfikir dan bisa berusaha  agar meringankan rasa yagn dialaminya, seperti : mencari hiburan di sana. Jika terpaksa tidak mendapatkan hiburan, bisa segera kembali ke tempat asalnya yang lama. Sedangkan di alam kubur tidaklah demikian, karena sudah tidak mempunyai badan kasar beserta kelengkapannya, sehingga sudah tidak bisa berfikir dan tidak bisa berusaha  apa-apa. Juga tidak bisa segera minta pulang kembali ke tempat yang lama.
Masih meneruskan penggambaran itu tadi, Ya! Seumpama yang menerima Telegram untuk pindah itu orang yang sangat taat kepada Negara, pastilah tidak merasakan rasa yang demikian itu, karena lebih cinta kepada Negaranya dibanding kepada anak istrinya dan kepada dirinya sendiri. Dia, justru merasa gembira, karena melaksanakan tugas  dipindah dengan di telegram itu tadi. Dalam hal tidak bisa berpamitan kepada anak istrinya tidak menjadi apa, seumpama pamitan ya hanya saling mencegah sambil menangis. Ini gambaran dari nikmat kubur, bagi para zaahid yaitu orang yang tidak terikat kepada dunia (zuhud).
Gambaran yang lain lagi : Seumpama, aku berada di dalam tahanan, menunggu waktu untuk diadili (Bab II No.17), Pastilah aku merasa menyesal karena dosaku yang sudah saya lakukan, serta jantung berdegup kencang karena merasa khawatir  terhadap hukuman yang akan saya terima. Yang ku harapkan, semoga cepat diadili, menjadikan perasaan ini merasa hari yang sangat panjang, yang semakin menambah perasaan tidak enak dalam diriku.
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur, yang tertulis di dalam Hadits digigit ular berbisa yang banyak dan berkepala tujuh itu. (Maaf tidak terbaca, kertasnya rusak) // Namun lebih berat siksa kubur dibanding dengan orang tahanan itu, karena kesusahan bagi orang yang di tahan ketika tidur sudah tidak terasa, serta lamanya dalam tahanan masih bisa dikira-kira, sedangkan siksa kubur itu tidak ada selanya untuk tidur, dan lamnaya sampai dengan diadili itu hanya tergantung kehendak Tuhan sendiri.
Akan tetapi, seumpama aku tidak merasa melakukan perbuatan yang menjadi larangan Hukum Pidana, pasti aku tidak merasa menyesal seperti itu. Merasa nyaman saja, karena tidak sendirian, karena lagi musimnya para saudara ditangkapi dan ditahan. Justru ada perasaan gembira, karena perawatannya bagus, dan saya bisa beristirahat dari kerepotan urusan rumah. Sehinga cepat atau tidaknya untuk diadili, itu tidak menjadi pengharapan saya, hanya tinggal pasrah sekehendak yang akan mengadili, Demikian juga rasa khawatir terhadap putusan pengadilan, itu tidak akan ada, karena aku percaya bahwa Negara Hukum tidak akan menghukum orang yagn tidak bersalah. Yang pastinya perkaraku akan bebas, terkadan akan disusul dengan tidanakan rehabilitasi dari Negara (dikembalikan kehormatannya) jika beruntung akan mendapatkan ganti kerugian karena ditahan tanpa salah.
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur yang menggunakan contoh seseorang yang berada di dalam tahanan.
Bagaimana? Apakah masih kurang jelas dan belum menjadikan kepuasan di dalam hatimu?
20. MUDADAMA : Hanya sekedar contoh atau perumpamaan, sudah sangat jelas sekali Kak. Akan tetapi kepuasan hatiku masih belum 100%. Perkiraanku Kakak masih mau memberikan penjelasan lagi, yang bisa menyebabkan kepuasanku menjadi 100%.
20. WREDATAMA : Aku setuju adaja!! Sekarang bukan contoh, jelas nyatanya, dan sama-sama kita lakukan tiap harinya, yaitu ................... Tidur.
Keadaan dalam tidur itu sangatlah mirip dengan keadaan mati, Keadaan yang jelas menurut ilmu kedokteran, ilmunya carilah sendiri, jujur saja aku belum pernah membaca bukunya. Menurut pendapatku, entah benar entah salah, secara garis besar sebagai berikut :
Tidur itu, badan kasar beserta perlengkapannya yang bernama Astendriya masih tetap keadaannya, hanya saja peralatan-peralatan itu mesinnya dalam keadaan istirahat, tidak berfungsi, namun daya (Stroom) sebagai penyebab bisa berbuat, yaitu yang bernama “RASA” atau “Tali Rasa” masih tetap keadaannya. Roh-nya yang mempergunakan alat yang bernama “Rasa Sadar” atau “Rasa Jati” belum pisah dari badan kasar. Napas sebgai tali hidup, dan darah yang menjadi sifat hidup, belum rusak dan masih tetap peredarannya.
Dilama alam tidur, peralatan Roh yang bernama rasa sadar atau rasa jati, terkadang ingat terkadang tidak, karena ketika astendriya beristirahat  .... Lesss Tidur ... itu melewati Bengawan yang bernama “Lupa”.
Mati itu, badan kasar beserta perlengkapannya yang bernama astendriya sudah tidak seperti semula. Peralatan-peralatan tersebut dalam tidak bisa kerja lagi, dikarenakan daya yang menjadi sumber untuk bisa bekerja, sudah tidak tersambung. Roh sudah terpisah dengan badan kasar, bersamaan dengan ketika nafas dan darah berjalan untuk yang terakhir kalinya.
Di dalam alam kematian itu. Peralatan Roh yang bernama Rasa sadar atau rasa jati, selalu ingat saja, karena terpisahnya roh dari raga, tidak melewati Bengawan yang bernama “LUPA”.
Seperti itulah pendapatku tentang keadaan Tidur dan dalam alam kematian. Di dalam Qur’an juga dijelaskan dengan singkat padat seperti ini : (Az-Zumar 42) : Allahu yatawaffa alanfusahiena mautihaa (Allah mengambil nyawa badan ketika badan itu mati) wa allatie lam tamut fimanaamihaa ( dan mengambil nyawa badan yang belum mati yaitu ketika tidur) fayumsiku allatie qadla ‘alaihan almauta (DIA, menahan Nyawa badan yang sudah pasti mati) wajursilu aluchraa ilaa ajalin musamman (dan mengembalikan nyawa badan yang tidur itu pada waktu yang sudah ditentukan) inna fiedzalika laayatin liqaumin yatafakkaruuna (Sungguh itu menjadi tanda kebenaran Tuhan bagi orang-orang yang mau berpikir).
Perintah Qur’an itu, bandingkan dengan uraian Serat Suluk yang seperti ini bunyinya (Pangkur) :
Kang aran talining gesang
Swasananta tan kandeg rina wengi
Tanpa pakon lampahipun
Iyeku aran nyawa
Balik sapa iya ingkang ngajak turu
Lawan ingkang ngajak gesang
Tunggale kang ngajak mati.
Artinya :
Yang disebut tali hidup
Suasana-Nya yang tidak pernah terhenti siang dan malam
Tidak ada yang memerintah dalam berjalannya
Itulah yang bernama Nyawa
Sedangkan, siapakah yang mengajak tidur
Serta yang mengajak hidup
Dan juga yang mengajak mati.
21. MUDADAMA : Iya, iya Kak, sudah jelas lebih dari jelas, bahwa ketika tidur itu dekat dengan alam kematian. Nah, kemudian yang berhubungan dengan penjelasan tentang keadaan para ahli kubur itu, bagaimana ?
21. WREDATAMA : Jika kamu sudah mengakui, ketika dalam keadaan tidur itu dekat sekali atau sangat mirip  dengan alam kematian, tentunya kamu juga akan mengakui dan percaya, bahwa pengalaman yang ditemukan di alam tidur itu juga banyak sekali ..... (maaf teks asli tidak terbaca karena kertas rusak)
Nahhh... penjelasan selanjutnya begini :
Di depan (Bab I No.29) sudah saya katakan, dan ini tadi (Bab II No.20) juga baru saja katakan lagi, singkatnya : Bentuk dari Astendriya itu untuk bisa berbuat  karena ada mesinnya, serta mesin itu untuk bisa berfungsinya karena teraliri  oleh Stroom yang bernama Tali Rasa. Itu semua saya sebut sebagai peralatan badan kasar.
Namun ada kalanya, walau pun duduk santai seperti ini, tali rasa itu tadi kadang menyambung sampai ke rasa jati (Peralatan badan halus), itulah yang bisa menyebabkan ketika tidur menemukan cerita yang  bernama mimpi, enak atau tidak enak, terkadan hingga mengigau, tindihen atau kagum-kagum.
Sedangkan mimipi itu berlawanan dengan yang sedang diinginkan. Seperti, jika kamu sedang membenci seseorang, sangat ingin untuk mengalahkannya, menurutku justru kamu akan bermimpi dikejar-kejar oleh orang tadi. Jika ada sesuatu barang yang sangat kamu senangi, dan kamu sangat mengawatirkan kehilangan benda itu, menurutku justru kamu malah bermimpi kehilangan barang tersebut. Demikianlah selanjutnya.
Itulah cerita di alam tidur yang bernama mimpi, itu sebagai gambaran yang banyak kemiripannya dengan cerita di alam kematian yang disebut alam kubur itu tadi. Mimpi gembira dan enak itu sebagai gambaran nikmatnya laam kubur, sedangkan bermimpi ruwet, tidak enak, itu gambaran siksa kubur.
Cobalah rasakan. Di dalam alam mimpi, seumpama kita menghindari  bahaya, kan hanya lari-lari saja, terkadang kembali lagi ke tempat bahaya itu tadi. Tidak punya akal atau cara seperti ketika dalam alam sadar, karena nalar dan pikiran tidak berfungsi. Namun ruwet bagaimana pun, jika sudah terbangun : lepas. Sedangkan siksa kubur, kapan terlepasnya .......? Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Nah.. tentunya sangat menakutkan ta? Begitu pun ada yang tidak takut terhadap siksa kubur, entahlah! Aku termasuk golongan orang yang takut terhadap siksa kubur, takut yang sebenar-benarnya.
22. MUDADAMA : Sudah, Kak, Sekarang aku sudah percaya bahwa siksa kubur itu memang ada, dan aku sudah puas atas pemberian semua penjelasan Kakak. Hanya saja saya mohon tambahan pejelasan, disebabkan oleh apakah di dalam mimpi atau di alam kubur, kita justru menemukan sesuatu yang berlawanan dengan yang kita inginkan? Apakah semua cita-cita seperti itu akibatnya?
22. WREDATAMA : Sebentar dulu! Tentunya kamu kan sudah tau, perbedaan antara keinginan dan cita-cita itu? Seumpama kamu punya keinginan untuk memiliki ranti jam emas 22 karat, namun terhenti hanya pada keinginan saja, tentunya tidak akan bisa terlaksana untuk memilikinya. Sedangkan jika kamu usahakan, dengan jalan mengumpulkan uang untuk membelinya, tentu akan bisa memiliki. Apakah 22 karat sungguhan ataukah kurang, itu tergantung banyaknya uang dalam kamu mengumpulkannya. Jika kamu tidak mengerti perihal emas, terkadang justru mendapatkan emas palsu. Namun, tetap apa yang kamu usahakan itu terlaksana. Wajida Wajidahu (Siapa bersungguh akan terlaksana).
Seperti itulah perbedaaan keinginan dan cita-cita itu. Sedangkan penyebab bahwa keinginan saja (tanpa di usahakan dan tanpa amal) justru membuahkan hasil yang berlawanan, itu seperti ini.
Cipta atau angan-angan orang itu menimbulkan Getaran yang menembus ke dalam suasana, jalan untuk nembus itu bernama ombak (gelombang) persis sama dengan zender radio dalam mengirimkan suara atau telephographie dalam mengirimkan foto, yang di jaman sekarang bukan suatu hal yang aneh.
Namun ketahuilah olehmu, cipta yang suci serta didorong oleh cinta itu, seandainya panah : Tajam, seandainya benda yang dilempar itu mantap, sehingga ketika menembus suasana bisa dengan mudah, karena suci dan cinta itu jadi jalan ridho Tuhan.
Sebaliknya, cipta yang tertuju kepada urusan dunia, terlebih lagi karena terdorong oleh nyala dari hawa nafsu, itu ibarat panah itu tanpa gendewa, untuk sesuatu yagn dilempear itu ringan, sehingga ketika menembus suasana itu dengan susah payah, yang kadang justru akan berbalik kembali kepada asalnya, seperti bola yang dilempar ke tembok. Seandainya ketika dilemparkannya ke timur, arah bola akan berbalik ke barat.,
Ada lagi keterangan yang lebih jelas dan kita sudah berkali-kali mengalami, yaitu ketika kita bepergian dengan tergesa-gesa, ingin segera sampai ke tujuan. Selama kita menunggu keberangkatan kereta api atau Bus satu jam saja, di dalam perasaan seolah-oleh seperti 2 jam. Keinginan kita untuk cepet-cepat, namun rasanya sangat lama.
23. MUDADAMA : Memang benar begitu Kak! Aku sekarang sudah mengerti : Penyebab siksa kubur yagn bersifat berlawanan dengan keinginan. Sederhananya Cuma “siksa” itu hanya menurut rasa dari diri sendiri. Dan jika Kakak berkenan di hati, aku hanya mohon tambahan pengertian : Ahli Kubur itu, tinggalnya sendiri-sendiri, apakah satu nasib : Kumpul?
23. WREDATAMA : Yang kamu katakan bahwa siksa itu hanya menurut rasa diri sendiri itu sudah benar. Namun bukan hanya siksa saja, walau pun nikmat juga menurut rasa diri sendiri. Seandainya kamu mencitakan nikmat kubur, serta syarat-syaratnya kamu cukupi, seperti, teguh beribadah dan memperbanyak amal shaleh, itu juga akan terlaksana. Artinya, seumpama yang kamu anggap nikmat kubur itu menempati rumah yang terbuat dari emas, kamu juga merasa menempati rumah yang terbuat dari emas.
Sedangkan pertanyaanmu itu tadi, sebenarnya tidak perlu dan pakai sangat. Memang, asal kamu sudah percaya yaqin bahwa siksa kubur itu ada, terus melakukan tindakan yang utama agar tidak menemukan siksa, itu sudah cukup, Oleh karena kamu bertanya, iya saya jawab, akan tetapi jangan cepat-cepat kamu percaya.
Jika kamu mempunyai perkiraan, ahli kubur yang mendapat nikmat berkumpul dengan memperoleh nikmat, sedangkan yang mengalami siksa juga berkumpul dengan yagn disiksa, pantasnya kemudian saling membicarakannya --- anggapan yang seperti itu sangat tidak benar. Kamu masih terbawa anggapan jika alam kubur itu merupakan sebuah tempat!
Kamu tadi kan sudah berkata, bahwa yang dialami oleh ahli kubur itu hanya berdasarkan rasa diri yang merasakannya sendiri. Sedangkan tentang saling berbicara, tentulah tidak ada, karena sudah tidak ketempatan akal dan pikiran (Bab II No.21).
Sebagai contoh, jika kamu bermimpi bertemu dengan saya, apakah aku juga bermimpi bertemu dengan kamu? Tidak!!! Karena “Kakakmu” yagn ada di dalam impianmu itu buatanmu sendiri, bukan asli dari badan halusnya kakakmu ini.
Yang saya katakan ini tadi semuanya, ukuran bagi orang “biasa” seperti aku dan dirimu, sedangkan jika ada yang luar biasa, aku tidak bisa menjelaskannya.
24. MUDADAMA : Iya sudah, Kak, dalam saya memohon keterangan tentang yang tidak perlu, hanya itu saja. Sekarang Kakak, mohon dijelaskan sambungan dari yang sudah di sampaikan  yang tadi itu.
Kakak tadi mengatakan : Alam kubur itu bermakna : (a) peralihan antara alam dunia dan alam lainnya lagi, (b) Tahah : menunggu waku untuk diadili, (c) Penutup : karena sduah tidak bisa melihat alam dunia, namun belum melihat alam yang lainnya lagi (Bab II No.17).
Sedagkan “Alam lainnya lagi” itu disebut alam apa? Berapa sih jumlahnya alam itu, dan bagaimanakah penjabarannya? Dan yang dikatakan “Waktu diadili” itu apa dan bagaimanakah penjelasannya?
24. WREDATAMA : Nah, itu pertanyaan yagn sangat penting! Karena rukun Iman itu 6, yaitu Percaya kepada 1. Allah, 2. Malaikat-malaikatnya Allah 3. Kitab-kitabnya Allah 4. Utusan-utusannya Allah, 5. Hari Akhir, 6. Takdir baik dan takdir jelek.
Sehingga jika kamu hanya percaya kepada Alalah saja, dan kepada yang lainnya masih ragu-ragu, itu belum bisa disebut Mukmin (orang yang beriman). Sedangkan jawaban atas pertanyaanmu itu nantinya, akan bermanfaat  terhadap Rukun Iman yang angka 5 dan 6 itu tadi, Hayatilah dengan sungguh-sungguh, karena banyak pecahannya yang membingungkan.
Jumlah alam itu ada beratus-ratus atau beribu-ribu , karena yang memberi nama itu manusia ini, menurut anggapannya sendiri-sendiri dan bahasanya sendiri-sendiri. Bentuk alam ini ada yang bisa dilihat mata ada yang tidak terlihat mata (gaib), ada yang gaib namun bisa dibayangkan, ada yang gaib dan tidak bisa dibayangkan. Sedangkan Allah itu Tuhan seluruh alam *Rabbul ‘alamien).
Segala jenis alam itu tentu ada yang mengalami artinya ada yang membuktikannya, seumpama makanan : pasti ada yang merasakan, seandainya suatu tempat : pasti ada yang menempati. Sedangkan keadaan yang mengalami itu pasti cocok dengan keadaan yang dialami.
Sehingga yang mengalami yang berasa di alam yang terlihat mata itu keadaannya juga terlihat mata.
Yang menglamai di alam gaib, keadaannya juga gaib.
Yang mengalami di alam yang masih bisa dibayangkan, keadaanya juga bisa dibayangkan,
Yang mengalami di alam yang tidak bisa terbayangkan, keadaanya juga tidak akan bisa dibayangkan.
Semua pengalaman itu pasti mempergunakan waktu atau saat atau jaman atau hari, Keadaan waktu pengalaman itu juga cocok dengan keadaan yang mengaalami dan keadaan yagn dialami.
Jika alamnya itu bsia terlihat mata, yang mengalami juga terlihat mata, waktunya juga bisa dihitung menggunakan bilangan yang terlihat mata.
Jika alamnya tidak terlihat mata, yagn mengalami juga tidak terlihat mata, waktunya juga tidak bisa dihitung dengan bilangan yang terlihat mata.
Jika alamnya bisa dibayangkan, yang mengalami juga bisa dibayangkan, waktunya juga masih bisa dibayangkan.
Sedangkan jika alamnya tidak terbayangkan, yang mengalami juga tidak bisa dibayangkan, waktunya juga tidak bisa dibayangkan, yaitu disebut tanpa asal mula dan tanpa akhir.
Cobalah semua itu kamu rasakan terlebih dahulu, jika sudah terang, nanti akan saya lanjutkan.
25. MUDADAMA : Walau pun terlihat mbulet, namun sudah jelas Kak, terus bagaimana, saya sangat ingin mendengarkan terus.
25. WREDATAMA : Iya pantas dirimu mengatakan mbulet itu. Nah, sedangkan alam itu tidak pastilah tidak terpisah dengan jaman (hari), sehingga tempat dari kata alam dan jaman itu kadang kala keliru, terkadang kata alam juga bermakna jaman.
Seperti halnya di dalam hidup kita yang berada di alam dunia ini, kima mengalami alam dua macam, yaitu alam ketika belum teringat dan alam setelah teringat, Sedangkan alam setelah teringat itu, bisa dibagi-bagi lagi, yaitu : alam anak-anak ketika belum merasakan susah. Alam yang sudah bisa merasakan senang dan susah, alam menginjak dewasa, alam pemuda, alam setengah tua ..... dan seterusnya. Alam kecil-kecil itu apda umumnya tidak terpikirkan, yang masuk dalam pemikiran dan selalu disebut-sebut : si JAMAN.
Sedangkan “Hari Akhir” (jaman akhir, waktu akhir, saat akhir) yang saya katakan tadi (Bab II No.24) alamnya itu disebut alam akherat, artinya alam yang akan dialami besok hari, setelah mengalami alam dunia ini.
Yang disebut “Alamu’l Insan (Alam manusia) yaitu alam yang pasti dialami oleh kita para manusia ini ada empat, yatu :
1.         Alam arwah (alam roh), yaitu alam ketika manusia belum lahir ada di alam dunia ini.
2.         Alam dunia, yaitu alam yang kita alami menggunakan badan kasar sekarang ini.
3.         Alam kubur, yaitu alam peraliha, setelah kita meninggalkan alam dunia dan meninggalkan jasad kita ini.
4.         Alam “Akherat, yaitu setelah kita dibangkitkan dari alam kubur, di hari kiamat.
26. MUDADAMA : Hanya empat, Kak? Yang sudah sering saya dengan dan sering saya baca, alam manusia itu ada tujuh, dan mempunyai nama sendiri-sendiri. Hal itu Kakak, berkenan memberi penjelasan sepertlunya, jika kakak mengatakan salah, dimana salahnya yang tujuh itu?
26. WREDATAMA : Yahhhh... kamu itu selalu mempropokasi aku saja. Aku tidak mau menyebutkan salah kepada pendapat siapa saja, malahan pendapatku sendiri : Entah benar-entah salah. Wallahu a’lam.
Aku tadi sudah mengatakan bahwa alam itu banyak sekali, menurut anggapan dan bahasanya yang menyebutkannya (Bab II No.24), sehingga pemahamanmu janganlah tebawa oleh .... “Nama”, sebab semua itu “Bukan nama” Eignaam atau merek, hanya “Tanda” keadaan menurut anggapan yang memberi “tanda”
Alam tujuh yang kamu katakan itu tadi, tidak lain hanya nama dari alam arwah dan alam dunia, ditambahi alam Uluhiyah, asal mula semua makhluk, yaitu alam yang tidak bisa terbayangkan. Di dalam penjelasanku itu tadi, alam uluhiyah tidak saya sebutkan, karena aku hanya menerangkan alam dari manusia saja. Sedangkan yang bernama manusia atau titah setelah bersifat  arwah (roh).
Sedangkan alam kubur dan alam akhirat di dalam penjelasanku tadi, umumnya tidak dikatakan dalam wirid-wirid, karena anggapannya : Yang disebut “Asal” itu berjaannya dari asal semula menuju ke alam dunia, sedangkan yang disebut “tujuan” (mati) atu berjalannya  dari alam dunia kembali pulang  menuju asal kejadiannya. Sehingga alam-alam yang dilewati ketika kembali pulang itu tidak lain adalah alam-alam yang dilewati ketika tercipta, jumlahnya tujuh, sehingga perinciannya disebut “Martabat Tujuh”
Bagaimana? Apakah kamu sudah puas saya jawab demikian?
27. MUDADAMA : Sudah Kak!! Sekarang saya mohon keterangan : Apakah alam kubur itu tidak termasuk hari akhir  atau alam akhirat?
Kakak tadi menyampaikan, bahwa nama “Akhirat” itu bukan merek, hanya tanda saja. Sedangkan alam kubur itu juga akhir, atau terakhir, atau yang akan datang, dibanding alam dunia ini, kan?
27. WREDATAMA : Memang tidak ada yang mempunyai anggapan bahwa siksa kubur itu juga siksa akherat, atau neraka, dan nikmat kubur itu juga nikmat akherat atau surga. Namun yang punya pendapat seperti itu tadi, saya kira hanya karena lupa saja. Sebab jika menurut Al-Qur’an alam akherat itu, akan dialami setelah kita dibangkitkan dari alam kubur di hari kiamat. Ketika itu orang-orang kemudian dddiadili atau dihisab amal dan dosanya, terus ada yang diganjar masuk surga atau disiksa di neraka. Ketika di akherat itu kekal selamanya. Sehinga jelas, bahwa alam kubur itu hanya alam peralihan saja, bukan akherat, karena alam kubur itu tidak kekal selamanya, Dan jelas bahwa siksa kubur itu bukan neraka, serta nikmat kubur itu bukan surga.
28. MUDADAMA : Iya Kak, memang Qur’an menyebutkan demikian, jelas salah pendapatku itu tadi. Nah... sekarang saya mohon keterangan tentang hari kiamat, karena Kakak mengatakan : ketika dibangunkan dari alam kubur, itu bagaimana? Sedangkan yagn sering saya dengar, kiyamat itu berarti rusak, dan ada ... tiga macam, yaitu :
1.         Kiamat Sughra = Kiyamat kecil atau rusaknya jagad kecil, yaitu rusaknya raga masing-masing orang ini.
2.         Kiamat Wustha = Kimat sedang, yaitu rusaknya raga manusia bersama-sama, seperti halnya ketika ada wabah, bencana alam besar, banjir besar, perang dan sebagainya.
3.         Kiamat Kubra = Kiamat besar atau rusaknya jagad raya, yaitu rusaknya seluruh alam dunia ini.

28. WREDATAMA : Di depan kamu juga sudah menggunakan kata kiamat, yang kamu anggap rusak itu (Bab I No.34), namun tidak saya benarkan, karena belum sampai waktunya membiacarakan hari kiamat.
Memang gpada umumnya kata kiamat itu disamakan artinya dengan Fana, yaitu rusak. Terlebih lagi “Kiamat” dalam bahasa Jawa, umumnya dimaknai : Rusak atau gara-gara akan rusak (Wedatama : Lir kiamat saben ari). Namun salah penerapannya, hal seperti itu jangan diterapkan untuk memahami Kitab Suci.
Sepengetahuanku di dalam Qur’an tidak ada kata Kiamat yang bermakna rusak, dan juga tidak ada kiamat tiga macam seperti yang kamu katakan itu. Kata Qiyaaman (fi’il mashdar) = Qaama (Fi’il madli) itu artinya : Berdiri dengan tiba-tiba (njenggelek); Qiyaamu binafsihi = berdiri dengan sendirinya (sifat 20, Bab I No.21).
Sehingga : Yaumil Qiyaamah (Jaumil Qiyaamat) = Hari ketika terbangun. Oleh karena terbangunnya anba atsa minal mauti (bangun dari kematian) sehingga yaumil qiyaamah juga disebut yaumil ba’ats.
Setelah bangun, orang-orang itu kemudian digiring ke padang Mahsyar, makanya yaumil qiyaamah juga disebut yaumil mahsyar. Disebut juga yaumil fashlah (hari putusan) dan lain-lainnya lagi.
Di waktu itulah yang disebut hari terakhir atau jaumil achirah.
29. MUDADAMA : (Maaf sebaris kalimat tidak terbaca) // Jika melihat dari arti kata, penjelasan Kakak itu masuk akal. Namun apa Kakak tidak percaya, bahwa alam yang tergelar ini bisa rusak? Karena Alam ini barang baru, yang ada awalnya, tentu saja ada akhirnya, benar kan? Selain itu, para ahli Kosmologis juga sudah meramalkan, entah berapa juta tahun lagi, bisa terjadi matahari itu kehilangan panasnya, atau bumi ini bertabrakan dengan planet lainnya, atau dari yang lainnya lagi, yang menyebabkan makhluk ini semua : Musnah, tentunya apakah benar?
29. WREDATAMA : Yang kamu katakan itu, benar, dan saya juga percaya seperti itu. Tidak usah menunggu sampai berjuta tahun, Jika Tuhan Berkehendak, barangkali besok lusa bisa saja terjadi alam ini rusak semua. Namun itu lain masalah. Hancurnya dunia besar beserta isinya, yang kamu bahasakan kiyamat Kubra  itu bukan kiyamat yang tercantum di dalam Al-Qur’an.
Pikirkanlah : Memaknai lafal itu, seharusnya apa adanya dari arti kata (obyektif) saja. Setelah yang demikina, baru memaknai maksudnya : Ini letterlijk apakah sumbolisch. Sedangkan jika arti dari “Bangun” kemudian diganti menjadi “Rusak” itu ............. obyektif : tidak, atau Letterelijk : pun tidak, symbolisch juga tidak ada hubungannya, iya apa tidak?
Bergesernya arti akta itu sudah biasa, tidak termasuk sesuatu yang aneh. Akan tetapi bergesernya makna “Bangun” beubah menjadi “rusak” itu menurut perkiraanku hanya ada di negara yang bahanya bukan bahasa Arab, Penyebab bisa berubah menajdi demikian, karena hampir  tiap ayat dari Al-Qur’an yang menceritakan hari kiyamat itu, bersamaan atau bergandengan dengan cerita tentang bencana besar yang sangat menakutkan, yang menumbuhkan kekuatiran rusaknya dunia beserta seluruh isinya.
30. MUDADAMA : Iya Kak, sekarang aku sudang mengerti. Tentang yang salah tapi sudah menjadi pemahaman umum itu tadi sepertinya sudah tidak perlu diperpanjang lagi, kita memilih yang benar saja. Mengenai bangun dati kematian itu saja, Kakak berkenan memberi penjelasan bagaimanakah kejelasannya?
30. WREDATAMA : Kitab Allah yang menjelaskan tentang bangkit dari kematian (kiyamat) itu bukan hanya Qur’an saja. Injil juga seperti itu. Hanya saja, penjabarannya, sekilas ada perbedaannya.
Di dalam Injil, kiyamat itu merupakan “Pangebang” (.....?) karena yang bangkit dari kematian itu hanya umat manusia yang dikehendaki Tuhan saja. Cobalaha rasakan maknanya, sebagai berikut :
“Yang menjadi sebab mengapa orang mati tidak dibangkitkan, menjadi Kristus, dan juga tidak diorangkan. Padahal jika Kristus tidak dibangkitkan, kepercayaanmu itu menjadi tidak berguna, kamu masih tetap dikuasi oleh dosa-dosamu” (1 Korinta 15:16,17).
“Karena Tuhan sendiri akan turun dari surga dengan tanda suaranya Malaekat Pemimpin dan Sangkakala milik Allah, kemudan semua yang mati dan golongannya Kristus akan bangkit terlebih dahulu. Setelah demikian, beberapa dari kita yang masih hidup, akan tertolong bersama-sama dengan yang baru saja bangkit tadi, berada di angkasa, menyambut Tuhan menuju angkasa, demikian selanjutnya kita akan menyatu dengan Tuhan selamanya” I Tessalonika 4:16,17).
Sedangkan di dalam Al-Qur’an, kiyamat itu merupakan anacaman, karena kedatangannya dengan cara tiba-tiba dan sangat menakutkan, dan juga pada waktu itu bagi yang masih berdosa akan mulai menerima siksaan yang kekal selamanya. Akan tetapi umat manusia yang mendapat anugerah Tuhan , bebas dari itu semua. Beginilah dalilnya : “Wanuficha fie’shshuuri fasha’iqa man fie’ssaamawati waman fie’lardli illaa man syaaillahu tsumma nuficha fiehi uchraa faidzaahum qiyaamun yandhuruuna (Az Zumar 68 = Ditiuplah Sangkakala, kemudian semua mati seisi langit dan seisi bumi, kecuali yang mendapat pertolongan Tuhan; ditiup sekali lagi, orang-orang itu kemudian bangkit menunggu keputusan). Artinya : Orang yang mendapat anugerah Tuhan itu tidak ikut meninggal dan juga tidak ikut bangkit.
31. MUDADAMA : Mohon maaf Kak!!! Sama-sama Kitab Allah, yang wajib kita imani (Rukun Iman), (Bab II No.24) akan tetapi maknanya, mengapa bisa berlawanan, hal itu mengapa?
31. WREDATAMA : Itu sama, sama sekali tidak berlawanan! Yang diceritakan itu tentang Roh yang berasda di alam kubur, kan?
Menurut dalil di Injil : Roh yang diterima itu, tidak lama berada di alam kubur, kemudian bangkit (Kiyamat).
Menurut Dalil Qur’an, entah cepat atau lama, semua roh yang berada di alam kubur itu pasti bangkit (Kiyamat), namun roh yang sudah sempurna, sudah tidak berasa di alam kubur, karena sudah berada di surga yang tidak melwetai hisab (Bab II No.12); makanya tidak ikut tidak sadar dan tidak ikut bangkit.
Bahwa roh yang berada di alam kubur pati dibangkitkan, artinya tidak pilih-pilih, itu ada di Surat Al Haji:7 : Wa anna asaa’ata atiyata laa raiba fiehaa wa annaa allaha yab’atsu man fie’lqubuuri = Dan sesungguhnya waktu (kiyamat) itu pasti datang, tidak ada keraguan lagi, Allah akan membangkitkan siapa saja yang ada di alam kubur).
Sedangkan soal cepat atau lamanya sampai di hari kiyamat itu termuat di Surat Al Ahzab 63 : Innamaa ‘ilmuhaa ‘inda allahi wamaa yudrieka al’alla aassa’ata takuunu qarieba = Sesungguhnya yang mengetahui itu hanya Allah sendiri, barangkali bahwa itu sudah dekat.
32. MUDADAMA : Maf, maaf Kak! Saya mohon ijin menyela sedikit. Tadi Kakakf menafsirkan Injil : Roh yagn diterima itu tidak lama berada di alam kubur, cepat Kiyamat atau bangkit dari kematian. Jika demikian, hari kiyamat itu tidak bersamaan, tidak dalam satu waktu! Padahal menurut kepercayaan yang sudah umum, juga menurut dalil Qur’an yang baru saja disampaikan itu tadi, kiyamat itu bersamaan, hanya saja, hanya Tuhan yang mengetahui. Hal itu, bagaimanakah penjelasannya?
32. WREDATAMA : Tenang dulu yah.... Pikir dengan jernih, itu agak bahaya. Dalil Qur’an yang barusan saya katakan itu tadi, tidak menyebutkan “Bangkitnya semua roh bersamaan dalam satu waktu” seperti yang kamu pahami itu. Destun, hanya menyebutkan bahwa semua Roh, akan dibangkitkan, tidak ada keterangan : apakah bersamaan dalam satu waktu, apakah sebagian, ataukah satu persatu.
Di dalam bab, tentang menjelaskan adanya kiyamat itu memang paling banyak disebut di dalam Al-Qur’an, namun sepengetahuanku : Tidak ada yang menyebutkan  “Semua isi alam kubur bangkit bersamaan dalam satu waktu”, . Di dalam Surat An Naba 18 hanya menyebutkan : Yauma yunfachu fie’shshuuri (Hari teriakan Sangkakala) kemudian : Fataa’tuuna afwaajaa (Datang dalam barisan-barisan).
Seumpama “barisan-barisan” itu kamu ganti “Bersama-sama” juga tidak salah. Akan tetapi bersamaan itu bermakna BANYAK dan bersamaan dalam satu waktu, bukan berarti SEMUA bersama-sama dalam satu waktu, seperti pendapatmu itu tadi, kan?
Kepercayaanmu yang kamu samakan dengan kepercayaan umum, yang menganggap bahwa hari kiyamat itu bersamaan dalam satu waktu, serta semua isi alam bangkit bersamaan, itu tidak lain karena kamu menggambarkan kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi selama dunia ini ada.
Di depan, ketika membicarakan alam mimpi dan alam kubur (Bab II No.23), kamu sudah mengakui, bahwa keadaan di dalam alam-alam itu, hanya berdasarkan rasa diri sendiri-sendiri. Dan juga bangkitnya roh dari alam kubur masuk ke dalam akherat di hari kiyamat, tentunya demikian juga, kan? Artinya : atas roh yang mengalami kebangkitan, bisa juga merasa banyak yang bersamanya, bisa juga merasa bersama-sama yang banyak sekali, jangan seperti semua, bisa juga merasa sendirian.
Namun bagi saya, yang sedang berbicara sekarang ini, tidak ingat sudah (belum) pernah bangkit dari alam kubur, aku punya apendapat, bahwa gambaranmu hari kiyamat itu tadi ......... salah. Karena berbeda dengan sifat dari Al-Qur’an!!!
33. MUDADAMA : Wah-wah-wah, saya merasa agak bingung Kak!! Kakak mengatakan berbeda dengan Sifat Qur’an, hal itu bagaimana?
33. WREDATAMA : Qur’an itu, bersifat BANAR, tidak pernah berubah atau berlawanan selamanya, serta Surat atau ayatnya antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dan tidak bertentangan.
Di Qur’an ada banyak ayat yang menceritakan  keadaan para ahli surga dan ahli neraka, kejadian yang sudah dialami. Padahal surga dan neraka itu keemunya setelah kiyamat, setelah para ahli kubur ditimbang besarnya amal dan besarnya dosanya (diperiksa – diadili – dihisab).
Olehkarena itu, jika kiyamat, kamu gambarkan kejadian umum yang luar biasa dan belum pernah kejadian ........... tentunya menjadi berselisih : antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya. Iya apa tidak?
34. MUDADAMA : Iya demikian! Akan tetapi keterangan tentang adanya  hari kiyamat itu jelas waktu yang belum terjadi, kan Kak? Kalimatnya kan “Besok” atau “akan” kan begitu Kak?
34. WREDATAMA : Benar, memang kiyamat itu waktu yang belum terjadi! Dan aku mana mungkin mau mau merubah Nash-nya (redaksinya) Qur’an. Namun, belum terjadi, besok atau akan terjadi itu menurut ..... masing-masign orang yang masih hidup dengan badan kasar , yang masih bisa mempergunakan akal dan pikiran ini. Bukan aturan bagi orang yang mati yang ada di alamm kubur, atau orang hidup yang bagaikan mati karena tidak mau mempergunakan akal dan pikirannya. Fainnaka laatusm’u aimawtaa (Ar-Rum 52 : = Sesungghnya kamu tidak bisa menasehati orang mati).
Sedangkan kiyamatnya para ahli kubur, sudah terjadi berkali-kali, sehingga sudah ada cerita  (bukan kira-kira) tentang ahli Surga dan ahli neraka. Kiyamat itu terjadinya tiap hari, tiap jam, tiap menit, dan akan selalu ada selamanya, tidak selesai-selesai atau tidak ada liburnya, karena Tuhan itu ada tanpa awal dan tanpa akhir.
35. MUDADAMA : Iya-iya kak, aku ikut saja atas pendapat Kakak, tentang kiyamat itu. Sedangkan bentuk kiyamat yagn dialami oleh para ahli kubur itu seperti apa? Apakah kita yang masih hidup bisa menyatakan?
35. WREDATAMA : Nyata bagi pemahaman, itu mudah saja, jika kamu masih mau mempergunakan akal dan pikiranmu. Tetapi lebih dari itu, tentu saja menggunakan ilmu, seumpamanya Spiritisme (Bab II No.18). Aku berani menetapkan : Ahli piritualisme yang sudah sangat tinggi, tentu tidak akan bisa berhubungan atau bertemu dengan roh para Rasul dan sesamanya, atau rohnya siapa saja yang sudah meninggal dunia beribu-ribu tahun. Karena roh para Rasul itu sudah kembali pulang : Tidak bisa terbayangkan. Sedangkan orang yang sudah meninggal dunia beberapa ribu tahun  itu umumnya sudah tidak ditemukan di alam kubur, karena sudah mengalami kiyamat (bangkit dari kematian).
Sedangkan keadaan bangkit dari alam kubur memasuki alam akhirat itu :
a.         Ketika diadili berdasarkan kita ceritanya sendiri-sendiri (Israa 14), serta anggota badannya saling bicara sendiri-sendiri (Ya’sin 65).
b.         Putusan untuk menerima balasan, sesuai dengan perbuatan yagn sudah pernah dilakukannya sendiri-sendiri (Ali ‘Imaraan 25), ada yang menerima balasan surga, ada yagn disiksa di neraka (An Nazi’at 36 – 41 dan lain-lainnya), tidak ada diri yang lain yagn bisa menggantikan atau mengajari merubah putusan (Al-Baqarah 48), sehingga dikatakan dunia itu ladang bagi akherat (Hadits).
c.         Alam akherat itu kekal selamanya (Al Mu’min 39), di saat itu ayah sduah tidak berguna bagi anaknya, ana sudah tidak berguna kepada ayahnya (Luqman 33), seseorng yagn tadinya saling mengasihi menjadi bermusuhan, kecuali orang yang takut kepada Tuhan (Az Zuchruf 67), tidak ada yang saling bertanya tentang keturunan (Al Mu’minun 1010).
Menurut keterangan a, b, c itu tadi, bagi kakakmu ini, sudah tidak ragu-ragu lagi, jika ketika bangkit dari kematian (kiyamat) itu sebenarnya .......... seorang bayi yang lahir dari kandungan seorang Ibu.
Bayi itu sudah membawa ketetapan  (Qadar, takdir) baik atau buruk (Surga – neraka) menurut amal diri masing-masing ketika dahulunya. Sehingga aku juga sangat percaya adanya ketetapan baik dan buruk itu, dan saya sangat yakin bawa Allah itu Maha Adil, sedangkan baik dan buruk  keteapan itu tetap dari buah perbuatan diri.
Sehingga : Alam dunia yang sedang saya alami sekarang ini ; Akheratnya alam duniaku ketika dahulu, juga menjadi ladang akhiratku besok.
36. MUDADAMA : Mohon ijin Kak. Ini masalah yang teramat sangat penting, sehingga ijinkahlah Kak, aku membatahtah, dengan sangat.
Jika seperti penyampaian Kakak itu tadi, kan berarti : Akherat itu tidak kekal selamanya. Dan berarti kita ini mati berkali-kali, yagn sangat tidak diingini bagi para pencari hakikat, terlebih lagi yang menggunakan dasar Agama Islam.
36. WREDATAMA : Dibantah pun aku sangat senang, sebab menjadikan kemurnian pendapatku, yang menggunakan dasar tidak lain , hanya mencari kesentausaan Iman yang sebenar-benarnya Iman, bukan Iman yang hanya berdasarkan percaya saja.
:Kekal: itu bermakna sesuai umur masing-masing dari orang hidup ini, sebab Qur’an yang menerangkan tentang Akherat itu tuntunan bagi manusia hidup ini, bukan tuntunan bagi manusia mati (Bab II No.34) Sehingga surga dan neraka (takdir baik dan takdir buruk) yagn kita jalani sekarang ini langgeng. Sedngkan siapa pun yang bertobat dari dosanya, itu menjadi perkenan Tuhan, serta Tuhan akan memberi ampunan, karena Allah itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih (An Nisa 146, Al-An’am 128, At Taubat 27).
Kamu mengatakan “mati berkali-kali” itu tidak benar, karena Sidin itu meninggalnya hanya ssekali, sedangkan kelahiran bayi dari rahim seorang Ibu, itu juga pada akhirnya akan mengalamai mati juga. Itu bukan ....... Sidin, namanya Siman, terakdang Jacob, atau Liem, bisa juga Alaydrus, atau yang lain-lainnya lagi, Iya apa tidak?
37. MUDADAMA : Iya benar, Kak, aku yang salah, Kita, orang, yang tiap dirinya punya tanda “Nama” ini, kan Cuma badan kasarnya saja, Sedangkan badan kasar itu hidupnya hanya sekali, matinya juga hanya sekali.
Akan tetapi pemahaman Kakak tentang perjalanan roh (hikayatul arwah) yang berganti-ganti raga kasar itu, apakah tidak bertentangan dengan Ajaran Agama yang digelar oleh para Nabi Utusan Allah? Itu kan Ilmu Hindu yang dinamakan “Manjanma, iya kan? Kata yang popler itu : Reinkarnasi, bahasa Jawanya “Penitisan”. Yaitu sebuah paham yang meyakini bahwa roh itu selalu berputar berkali-kali bagaikan Cakra Penggilingn (Perputaran Roda).
Jika saya tidak salah, reinkarnasi itu, bahas Arabnya :Tanasuch, serta paham “Tanasuch” itu ditolak oleh Agama Islam. Sedangkan penjelasan Kakak itu, kan termasuk Falsafah yang berdasarkan Islam, kan?
37. WREDATAMA : Sabar.... tenang...... Perintah di dalam Qur’an “ Allahu wasi’u ‘alim (Allah itu Maha Luas dan Maha Mengetahui), sehingga jika kamu akan mengabdi kepada Tuhan ...... luaskanlah dadamu, jangan sempit-sempit!!!!
Kata Arab “Tanasuch” itu saya tidak begitu paham artinya : Apakah roh manusia lahir menjadi bayi, apakah roh manusi yang bisa lahir menjadi hewan, apakah roh manusia yang menempel kepada sifat hidup yang sudah ketempatan roh. Akan tetapi sepengetahuanku di dalam Al-Qur’an tidak ada yang menerangkan tanasuch itu benar atau sesat. Sehingga yang menolak paham tanasuch itu bukan Agama Islam, hanya pendapatnya Sarjana-Sarjana Islam, yang pemahamannya tidak berdasarkan Al-Qur’an.
Demikian juga kata yang lain-lainnya yang kamu sebutkan itu tadi, mengapa tidak saya bciarakan, itu hanya karena kurang pemahamanku, bukan karena menolak karena berasal dari ilmunya orang di sana-sana. Yang saya bicarakan itu karena aku sudah tidak ragu-ragu lagi, bahwa ketika bangun itulah Lahir menjadi bayi. Sebab, selain berdasarkan keadaan a, b, c itu tadi (Bab II No.35) juga ada dalil yang mengatakan : wa kuntum amwaatan faahyaakum tsummaa yumietukum tsumma yuhyiekum (Al Baqarah 28 = Dan kamu sebelumnya mati, dihidupkan, kemudian mati, kemudian dihidupkan lagi); Laqad ji’ttumuunaa kamaa chalaqnaakum awwala (Al-Kahfi 48 = Sesungguhnya kedatanganmu itu (di hari kiyamat) seperti ketika kamu tercipta ketika awalnya).
Saya yakin masiha da dalil yang lainnya lagi yang menguatkan pendapat ini.
Akan tetapi janganlah kamu salah tafsir, tentang kelahiran menjadi bayi lagi itu bukan tujuan, lhooo!! Sebenarnya karena keterpaksaan yang mengharuskan begitu karena belum bisa menghilangkan keterikatannya kepada dunia, yang bagaikan daya tarikan besi berani terhadap sebuah paku kecil. Keterikatan tersebut jika menurut Agama Buddha disebut SAMSARA yang kemudian menjadi kata bahasa Jawa :Sengsara” yang berarti selalu celaka saja. Jika Agama Kristen menyebutnya menerima dosa warisan dosa dari Nabi Adam
38. MUDADAMA : Iya Kak, akan tetapi aku pernah diberitahu oleh seseorang : Di dalam Surat Al Mu’minuun, ada yang menerangkan tentang Mokalnya roh kembali ke dunia ini. Hal itu bagaimanakah?
38. WREDATAMA : Surat Al Mu’minuun, ayat 99, 100, itu bukan memokalkan, seperti katamu itu tadi. Di ayat tersebut menjelaskan  : Sambatnya orang yang sedang mengalami siksa kubur dan perintah  Firman Allah, Nash-nya seperti ini : Qaala rabbi arji’uuni (Katanya : Wahai Tuhanku kembalikanlah aku  = ke dunia) La’alli a malu shaalihan fiema taraktu (semoga amal shaleh yang ku tinggalkan) kalla innahaa kalimatuun huwa qaailuhaa (tidak bisa! Sesungguhnya itu hanya kaya yang diucapkan saja = tidak berguna) wamin waraihim barzachun ( dan belakangnya ada penghalangnya  barjah yang menghalangi) ilaa yaumi juba’at suuna ( sampai datang hari kembangkitan).
Menurut yang ku pahami, makna ayat itu, sudah sangat jelas. Tidak bisa kembali ke alam dunia lagi itu jika orang yang bernama SIDIN minta kembali untuk menjadi SIDIN. Namun bukan hal yang tidak mungkin kembali ke dunia (dibangkitkan di hari kiyamat) yaitu terlahir menjadi bayi yang bernama SIMAN, atau Yacob, atau Liem atau Alaydrus itu tadi (Bab II No.36).
39. MUDADAMA : Sudah Kak, aku menyerah, ikut pendapat Kakak. Namun Kak, berilah keterangan tentang “Kala Sangka” (Sangkakala) (Terompet) tanda kiyamat yagn disebutkan dalam Al-Qur’an dan Injil, itu sebenarnya apa, dan bencana yang mengerikan itu seperti apakah ceritanya seerta apakah maksudnya? (Bab II No. 28 – 32).
39. WREDATAMA : Yang dibahasakan “Kalasangka” (Sangkakala) itu perintah Allah, yang dalam bahasa dalangnya disebut Genta Keleleng.
Sedangkan bencana yang sangat menakutkan itu sebaiknya kamu baca sendiri. Jika hanya singkatnya saja, yaitu : Datang tiba-tiba, suaranya menggetarkan, bumi pecah, langit membelah, gunung hancur, hujan bintang, mendung berbaris kelam, dan lains ebagainya. Nah... itu sebenarnya ibarat atau simbolisch.
a.         Jika dengan menceritakan ketakutan dan kesakitan yang berdosa, itu ibarat susahnya orang yang akan masuk ke alam kematian (sakaratil maut), terlebih lagi bagi orang yagn tidak mempunyai Iman.
b.         Jika tidak menggunakan cerita yang mengerikan, itu ibarat kesakitannya seorang wanita yagn melahirkan bayinya.
Selain berita rusaknya alam yang symbolisch, dalam Qur’an juga memuat banyak cerita kehancurannya yang melakukan dosa, contohnya : Kaum “Ad, kaum Tsamud, kaum Luth, banjir topan jaman Nabi Nuh, dan lain-lainnya. Itu cerita letterlijk, bukan ibarat, rusak oleh bahaya alam.
Sekarang marilah istirahat dulu, besok sore dilanjutkan lagi.
40. MUDADAMA : Wahhh... tidak terasa ternyata sudah larut malam. Memang saya akan mohon keterangan mengenai Surga Neraka (Bab II No.35) yang lebih terperinci, dan minta diajari, amalan apa yang haru kita jalankan, supaya kita bebas dari Kiyamat (Bab II No.30) atau tidak terpaksa “Samsara” atau tidak menerima warisan dosa asal dari Nabi Adam (Bab II No.37) tadi itu.
40. WREDATAMA : Keterangan tentang Surga Neraka itu sebaiknya dijadikan satu saja bersamaan membicarakan tentang yang gaib lain-lainnya, seperti Maalekat, yang juga wajib kita percaya (Rukun Iman (Bab II No.24). Kamu boleh bertanya tentang yang gaib-gaib apa saja, jika aku bisa, pasti saya terangkan. Gunanya, agar tidak menjadi orang yang gampang heran, jangan mempercayai yang diawur saja dan jangan mencela yang diawur saja.
Sedangkan soal terbebas dai kiyamat, karena sudah kembali ke asal usulnya ..... memang itu yang di perjuangkan oleh para pencari Hakikat. Dalam kita bermusyawarah dua hari initidak lain ya hanya menuju ke situ saja, barangkalai saja diperkenankan oleh-Nya. Syaratnya yang harus ...... menjalankan (“amal), menjalankan Syari’at, mencari Tarekat, menyatakan Hakekat, Menggapai Ma’rifat.
Nah.. itu besok sore saja di bicarakan sampai dengan sejelas-jelasnya. Sekarang, marilah beristirahat dahulu.
Bab.III : URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA TUHAN DAN ADANYA YANG GAIB-GAIB (BABU MA’RIFATULLAH WA GHAIBI’L MAUJUUDI)
1. MUDADAMA : Kak, saya merasa bahwa pemberian penjelasan Kakak yang sudah saya terima itu masih jauhdari mencukupi, namun besok saya terpaksa mohon pamit pulang, karena ada tugas dinas yang harus saya kerjakan di liburan ini.
1. WREDATAMA : Nah... hal itu aku sepakat, dalam kamu mencintai ilmu kebatinan, walau pun sampai bagaimanapun, namun jangan sampai meninggalkan tugas wajib yang sudah menjadi kewajibanmu.
Jika kamu mencari ilmu batin, dengan jalan tidak mementingkan urusan dunia, itu termasuk dalam peribahasa “Luput ing piyangkuh” (salah jalan), tidak merasa bahwa hidupmu itu ada di dunia, masih butuh pakaian, makan dan kebutuhan hidup yang lain selama masih hidup di dunia. Dan jika kamu hanya sendirian, yang tidak mempunyai kewajiban atas anak istri, bisa saja seumpama menjauhi urusan dunia, kemudian pergi ke tempat sunyi, artinya sudah tidak hidup di dalam lingkungan masyarakat pada umumnya.
Hanya saja, dalam kamu mementingkan urusan dunia itu, bagi para penempuh, seharusnya dengan diiringi sadar, bahwa manusia itu penguasa dunia, bukan dikuasai oleh dunia. Dunia itu hanyalah alat, jangan sampai manusianya yang diperalat oleh dunia.
2. MUDADAMA : Iya Kak, semoga saja saya selalu sadar dan ingat atas perintah Kakak. Sesungguhnya saya belum bosan mendengarkan nasehat Kakak itu, Jika tidak terhalang jarak yang jauh, pastilah sering datang ke sini, walau pun ibaratnya “Canthing Jali” digunakan mengambil air pun hanya menghasilkan sedikit saja.
2. WREDATAMA : Ilmu milik Tuhan itu, dikatakan bahwa seumpama semeu daun yang ada di seluruh dunia itu sebagai kertasnya, dan lautan sebagai tintanya (Al-Kahfi : 109), tidak akan cukup. Jika dikatakan tidak akan ada putusnya. Sedangkan musyawarah di dalam pertemuanku dengan dirimu ini kan hanya sebagai “Biji”saja, Untuk tumbuh berkembangnya, buahnya ........ itu tergantung keseuburan tanahnya dan perawatannya.
3. MUDADAMA : Aduh Kakak!! Hal itu, aku masih teramat sngat jauh. Sehingga akan selalu datang gke sini.
3. WREDATAMA : Jangan merasa rendah diri. Saya doakan dirimu itu bisa melebihi aku, sedangkan sekolahnya saja lebih tinggi dirimu. An sebenarnya ilmu kebatinan itu lebih mudah diterima oleh orang yang mengetahui ilmu Kudrat (natuurkunde), ilmu dunia (Scheikunde), dan lain-lainnya. Dan juga memang tidak jarang anak melebihi orang tuanya, saudara muda melebihi saudara tua, murid melebihi guru.
Oleh karena pertemuanku dengan kamu hanya tinggal semalam ini, aku hanya ngikut saja, tentang apa yang masih perlu kamu tanyakan sekarang ini?
4. MUDADAMA : Yang perlu lebih dari perlu, saya mohon penjelasan : Bagaimana jika aku meninggal dunia itu bisa pulang kepada Tuhan, tidak mengalami terlahir lagi menjadi bayi? Ibaratnya “Senteg pisan anigasi” (sekali tebas putus. Jika menggunakan syarat, syaratnya apa, jika menggunakan laku, lakunya bagaimana?
4. WREDATAMA : Wahhhh... jadi yang kamu cita-citakan itu terbebas dari Kiyamat (bebas bangkit dari kematian) atau surga tanpa hisab?
Yah... itu cita-cita yang tinggi lebih dari yang tinggi, Jika hanya teorinya saja bisa di katakan, akan tetapi tindakan dan berhasilnya itu yang sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya disediakan untuk para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita yang terpilih, Mukmin Chas yang terpilih dan...... makhluk yang mendapat anugerah Tuhan saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit, bagaimana? Seperti : Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat juga mau, kadang juga tidak dengan berada di alam kubur. Kemudian diberi kelonggaran lagi : lama di alam kubur juga terima, kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
Karena katahuilah olehmu, yang tersebutkan bahwa manusia yang matinya berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II : 5) itu juga baru bermakna “Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai Tuhan, kembali kepada Tuhan” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersama-sama kita cari, barangkali saja diterima.
5. MUDADAMA : Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang longgar, aku ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak menjelaskan tentang cita-cita yang tinggi itu tadi. Karena jika surga yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi manusia biasa yang mendapat anugerah Tuhan, sehingga jika ada manusia biasa seperti aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
5. WREDATAMA : Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur Alhamdulillah, menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu bisa kamu terima dengan jelas. Aku tidak keberatan menuruti permintaanmu itu, beginilah jelasnya :
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat “Bangkit dari kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau terlahir ke dunia lagi itu, tidak lain hanyalah manusia yang sudah bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi, Dalam Agama Kristen disebut menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II No.37).
Sedangkan yang disebut terkekang oleh dunia itu, tidak lain adalah ...... KEINGINAN. Bukan hanya keinginan yang rendah atau pun yang luhur, dan juga yang luhur dari yang terluhur. Cobalah dipikir, mana ada manusia hidup yang tidak mempunyai keinginan?
Ujud dari keinginan yang agak luhur, contohnya, ingin mengerti tentang semua ilmu. Jika cukup amalnya, ketika pulang kembali ke dunia lagi, bisa juga menjadi ..... Proffesor, atau penemu ilmu baru.
Ada lagi yang lebih luhur dibanding itu, contohnya , keinginan untuk membuat ketenteraman dunia, Jika cukup amalnya, ketika terlahir kembali ke dunia bisa menjadi .... Presiden sebuah Negara Besar yang bisa membawahi wilayahnya.
Sedang yang luhur dari yang terluhur itu keinginan untuk menjadi penuntun umat manusia agar berbakti kepda Tuhan. Tentang yang ini, jika cukup amalnya, ketika terlahir kembali bisa juga menjadi .... Nabi utusan Tuhan, Arab Rasul, Sanskrit Avatar yang menyebarkan Agama.
6. MUDADAMA : Mohon ijin Kak!! Menurut pemahamanku, Kakak mempunyai pendapat, bahwa Utusan Tuhan itu ketika tercipta di dunia juga berasal dari akibat “terkekang”. Apakah pendapat seperti itu itu tidak sesat?
Apa yang berkehendak ignin menjadi penuntun umat manusia agar berbakti kepada Tuhan itu bukan atas Anugerah Tuhan.?
6. WREDATAMA : Sebentar, aku agak kurang paham, mengpa kamu bertanya seperti itu. Cobalah dengarkan dengan tenang.
Menurutku, penduduk dunia, sangat menghormati profesor yang menemukan sebuah ilmu, yang kemudian di sebarkan di dunia ini. Dan lebih menghormati lagi terhadap Kepala Negara besar yang bisa membuat ketenteraman dunia ini. Terlebih lagi menganggap terhormat dan mematuhi kepada Utusan Tuhan  yang mengelar pencerahan di dunia ini. Karena jika tidak demikian tentu saja dunia ini tidak akan ada kemajuan, tidak tenteram, dan tidan terang. Sehingga kata “Terkekang” atau terikat itu tidak berarti meremehkan. Marilah, sekarang kita pikir menggunakan pikiran pada umumnya saja dan merdeka saja (obyektif).
Keinginan atau cita-cita akan berbuat kebaikan di dunia (masyarakatnya orang hidup di dunia) itu baru bsia disebut “berhasil”, Sedangkan jika yang mempunyai keinginan itu kembali ke dunia, tentulah bisa melaksanakan keinginannya, kan? Tentunya akan bisa terlaksananya cita-citu itu, kan, yang pada umumnya dikatakan “mendapat anugerah Tuhan”?
Sehingga : Seumpama yang mempunyai keinginan itu tidak kembali ke dunia, malah bisa kamu sebut  tidak mendapat anugerah Tuhan. Hal itulah yang menyebabkan aku tidak mengerti, mengapa dalam kamu berpikir, menjadi terbalik?
Dan aku agak heran, mengapa kamu masih ragu-ragu atas sifat Tuhan yang Maha Murah. Singkatnya, semua cita-cita (keinginan) baik sang rendah atau pun yang tinggi, asal cukup syarat-syaratnya (amalnya, lakunya) pasti akan mendapat ridho Tuhan, artinya, terlaksana. Dan jika tidak bisa didapat ketika di hidupnya, karena tiba-tiba mati. Tidak ada perbuatan yang hilang sia-sia, dan tidak ada kejadian yagn tanpa sebab.
7. MUDADAMA : Sudah, sudah kak, kau yang keliru, sekarang aku sudah mengerti. Yang ku inginkan Kakak terus memberikan penjelasan tentang untuk bisa tercapainya  cita-cita “Terbebas dari kiyamat” itu.
7. WREDATAMA : Jika masalahnya seperti itu kan sudah jelas lebih dari jelas ta? Oleh karena yang menyebabkan kembali tercipta di dunia lagi itu adalah keinginan tentang urusan dunia, sehingga agar bisa terbebas tercipta lagi, tidak ada lain jika sudah  ...... tidak mempunyai keinginan  tentang urusan dunia itu tadi. Di dalam bahasa Sanskrit disebut “Wairagya”, bahasa Arabnya “Zuhud” orangnya disebut zaahid. Di dalam Filsafat Kristen, dikatakan ; Agar bisa terlepas dari dosa warisan Nabi Adam (memakan buah larangan) itu, jika sudah bisa membawa salib sendiri.
Namun “Wiragya” itu hanya salah satu sifat saja, sempurnanya harus dengan Ilmu dan laku (Amal). Artinya, jiak ada orang yang bisa melenyapkan keinginannya tentang urusan dunia, akan tetapi kurang ilmunya dan amalnya, buahnya kira-kira hanya ..... dikira orang gila.
8.. MUDADAMA : Maaf, menyela sedikit. Sedangkan yang Wairagya serta cukup ilmunya serta amalnya itu, terus bagaimanakah hidupnya di dunia ini? Apakah sudah tidak mencari sandang pangan untuk  kebutuhan raga ini?
8. WREDATAMA : Hlo....., kan baru saja, saya mengatakannya kepadamu, tentang yang kamu tanyakan itu? (Bab III No.1), Jelasnya lagi, begini :
Urusan mencari sandang pangan untuk memenuhi tuntutan raga itu, kita bebas memilih, mana yang kita bisa dan kita senangi., singkatnya : merdeka se merda-merdekanya. Namun, bagi para pencari Hakikat itu, entah sudah mencapai wairagra 100%, apa 50% apa baru 1%  .... harus bertekad di dalam sanubarinya, bahwa dalam segala tindakannya hanya sebatas untuk merawat sebatas kebutuhan raga saja. Walau menjadi pengemis, apa tani, dagang, guru sekolah, polisi, tentara, pengarang, dokter, pamong praja, ..... Perdana Menteri sekali pun, hakikatnya sama saja, agar sebisa-bisa harus bertekad seperti itu.
Oleh karena keyakinan seperti itu, pastilah cara hidupnya hanya sepertlunya saja, tidak berlebihan, Di dalam Agama Hindu Kuna, mewajibkan kepada orang yan gsudah tidak mempunyai tanggungan anak, mengembara hidup mengemis (menjadi bikhsu), namun tidak boleh menerima pemberian yang lebih dari kebutuhan per harinya.
Nah... melakukannya bagaimana? Apakah pasief : Polisi tidak mau menangkap pencuri, tentara tidak mau membunuh musuh? Tidak!!!! Tidak demikian. Seharunya justru jelih aktif dibanding dengan yang bukan pencari hakikat. Karena bagi pencari hakikat itu tidak akan mau menerima balas jasa yang tidak sebanding dengan kerjanya. Namun aktifnya karena menjalankan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya, bukan karena rasa benci kepada pencuri atau kepada musuhnya, tidak mengharap mendapatkan sanjungan dari atasannya, atau bukan mencari ketinggian pangkat dan bayarannya, walau pun tidak menolak seumpama dinaikan pangkatnya.
9. MUDADAMA : Wah..... Jika bertindak dan bekerja yang seperti itu bagiku ............ sangat sulit sekali. Karena bisa disebut perbuatan yang hampa dari segala harapan.
9. WREDATAMA : Nahhh... itu karena kamu bertanya laku bagi yang sudah wairagya! Ya seperti itulah. Yaitu yang dikatakan “Agawe kang tan agawe (berbuat yang tanpa mengharapkan hasilnya). Dalam bahasa Arab didsebut Ikhlas (Bab II No.4) karena hidupnya telah terkuasai oleh CINTA, yang bersumber dari sifat Tuhan Yang Maha Penyayang (Bab II No.3).
Soal aku dan dan kamu masih merasa sangat jauh, tidak mengapa, hanya agar bisa dijadikan pedoman terlebih dahulu. Tidak beda dengan anak sekolah yang masih di sekolah dasar, terus mengerjakan soal anak SMA atau Mahasiswa, tentunya kejauhan.
Oleh karena kejauhan itu tadi, sehingga dalam ajaran Agam Islam bagi para Mu’min “Am ( Mukmin biasa) seperti aku dan dirimu ini “Kumpulkanlah harta seolah tidak akan mati selamanya, namun beribadahlah kepada Tuhan seperti kamu akan mati besok hari”. Nahhh...hal itu tidak sulit untuk dijalankan.
Akan tetapi bagi Mukmin Chas (Mukmin cerdas) dan juga yagn disebut Chawasul chawas (cerdas dan kuat) tentu saja tidak menggunakan ajaran itu tadi, karena sudah yakin se yakin-yakinnya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan secara bersamaan tentang hal yang berlawanan, hingga bisa berhasil keduanya. Pastilah hasilnya hanya di tengah-tengahnya saja, atau memihak salah satunya.
10. MUDADAMA : Memang benarlah demikian Kak. Singkatnya, harus memilih, jika mementingkan kekayaan, dalam pencarian tentang Ketuhanan harus bisa menerima hanya sampai tingkatan Syari’at saja. Sedangkan jika mementingkan Ketuhanan, juga harus hanya menerima dunia seperlunya saja. Jika pun jadi orang kaya yang tidak disengaja, bukan karena giatnya bekerja.
Namun menurut sejarah dari masa lalu, dan yang kita ketahui sendiri sekarang ini, mengapa tidak ada para Arif (ahli ma’rifay) dan para “Ubad (ahli ibadah) itu yang.......... kaya. Justru ceritanya Ki Ageng andanarang dahulu, yang sudah terlanju sangat kaya karena hasil kerja sebelumnya, kemudian meninggalkan kekayaannya itu, karena lebih mementingkan tentang Ketuhanan, yang akhirnya menjadi Wali terkenal dengan nama Sunan di Tembayat. Demikian juga Sidharta Gautama, yang takdir semula sebagai orang kaya karena sebagai Raja Putra calon Raja, tiba-tiba meninggalkan kekayaan dan derajatnya, karena lebih mementingkan urusan Ketuhanan, akhirnya menjadi Buddha Gautama.
Akan tetapi, Kakak, entahlah, akan baagaimanakah akhirnya diriku ini, aku memaksa tetap mohon dijelaskan tentang Ilmu dan Amal, yang sudah akan dibicarakan itu tadi.
10. WREDATAMA : Hal itu aku tidak keberatan, hanya mengikuti kehendakmu saja. Silahkan dengarkan yang sungguh-sungguh, karena ini hal yang sangat rahasia dan berbahaya.... !
Kamu mempunyai keinginan agar supaya saat kematianmu tidak terpaksa terlahir lagi ke dunia. Yairu “Asal dari Tuhan kembali kepada Tuhan”. Untuk cita-cita yang demikian  yang harus dibicarakan tentunya tentang, yaitu :
a.         Yang disebut Tuhan itu apa?
b.         Yang disebut mati “kembali kepada Tuhan” itu bagaimana?
c.         Carakematian “Kembali kepada Tuhan” itu bagaimana?
Penjelasan a,b,c, itu semua disebut “Ngelmu” sedang caranya yang tersebut di c itu dinamakan “Laku” atau Ngamal. Marilah sekarang kita bicarakan :
11. MUDADAMA : Iya Kak, memang demikian. Yang kuminta, Kakak berkenan menjelaskan satu demi satu sampai sejelas-jelasnya.
1. WREDATAMA :
a.         Yang disebut Tuhan itu apa? Di depan kan sudah dibicarakan panjang lebar, menurutku sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Di antara Sifat Tuhan itu, seperti : Yang tidak bisa dibayangkan. Sehingga di dalam keadaan apa pun juga jika masih bisa dibayangkan  jelas bukan Tuhan. Selain itu, Tuhan itu disebut Maha kuasa tanpa alat, iya kan? Dua macam itu saja dahulu, sudah cukup dijadikan sebagai pedoman.
b.         Yang disebut mati “kembali kepada Tuhan” itu bagaimana? Memang seharusnsya demikian, jawabannya mudah saja, dan pasti benarnya : (I). Oleh karena Tuhan itu tidak bisa dibayangkan, sehingga “Kembali kepada Tuhan” itu juga ........ tidak bisa dibayangkan. (II). Oleh karena Tuhan itu berkuasa tanpa mempergunakan alat, sehingga jika kita masih menggunakan alat, walau pun alat yang halus lebih dari yang terhalus, jelas belum kembali kepada Tuhan.
c.         Caranya mati “Kembali kepada tuhan” itu bagaimana? Ini (c) Jawabannya juga tidak sulit, yaitu : dipelajari dengan tekun, ketika masih belum mati, ini.
Sehingga, ketika masih hidup menggunakan jazad kasar ... belajarlah... tentang ,,, yang tidak terbayangkan, atau belajar tanpa alat.
Tentunya hal itu tidak sulit kan? Namun, yang perlu keterangan yang panjang itu adalah caranya belajar. Dan yang sulit dari yang tersulit , itu adalah keberhasilannya dalam belajar.
Jika berhasil dalam belajarnya, hal itu berarti sudah sampai kesejatian Ma’rifat. Barangkali diperkanan oleh Tuhan menjalankan apa yang dikatakan di dalam dalil yang sudah pernah saya sampaikan  di depan, yang artinya : Ketika orang-orang ahli surga itu diberi rizki dari buah-buahan surga, saling berkata : Ini kan sama dengan yang sudah diberikan kepadaku ketika dahulu (Bab I No.10).
Sehingga “Surga” di dalam dalil ini bisa dimaknai “Surga Tanpa Hisab” (Bebas dari Kiyamat) juga bisa dimaknai  “Surga dengan hisab” (Takdir setelah terlahir kembali di dunia). Kesemuanya berdasar dari Ilmu dan amalnya ketika masih hidup menggunakan jasa kasar ini.
12. MUDADAMA : Iya, iya Kak, sudah jelas. Namun masih ada sedikit yang saya belum mengerti, tentang telah berhasil dalam belajar, namun masih dikatakan “Barangkali mendapat perkenan Tuhan”. Itu kejelasannya bagaimana?
12. WREDATAMA : Ketahuilah olehmu, manusia ini bersifat celaka dan berubah-ubah. Maka dari itu, agama yang terpuji, tentang apa saja, memastikan bahwa hal itu termasuk larangan besar. Terlebih lagi tentang hal kematian.
Ketika dalam sakaratil maut, itu sama saja sedang menempuh ............... Ujian. Banyak yang ketika di rumah sudah paham tentang apa yang dipelajarinya, bisa dengan sebenar-benarnya, tiba-tiba ketika mengerjakan ujian ....... tidak bisa. Tentunya tidak lulus ujian.
Pastilah kejadian tersebut tidak terlepas dari sebab, namun yang namanya sebab itu bisa mengembang panjang sekali, hingga sampai tidak diketahui. Contohnya : Penyebab dari tidak bisanya mengerjakan ujian itu karena lupa. Sebabnya lupa karena pikirannya tidak konsentrasi. Penyebab tidak konsentrasinya karena teringat kesusahannya. Penyebab kesusahannya itu karena ayahnya sakit keras. Karena ayahnya sakit keras sehingga mengaikatkan sanagta sedih, karena adiknya masih kecil-kecil ...... begitulah seterusnya. Sehinga bisa disimpulkan : Semuanya itu tergantung kemurahan Tuhan.
Namun dalam menumpuh ujian, jika tidak lulus masih bisa diulangi lagi di tahun yang lain. Sedangkan tentang kematian, tidak demikian, sehingga dikatakan “Senteg pisan anigasi” (Sekali tebas putus).
“Anigasi” itu isitilahnya orang menenun, artinya sudah selesai menjadi tenunan : Di tigas dari alat tenunnya. Jangan kamu kira bermakna telah selesai semua atau sempurna (Bab III No.4), Sedangkan “Seneteg” itu ibarat dari suaranya “Walira dibenturkan” setelah benagnya di pasang.
Berbahayanya tentang masalah mati itu diibartkan “Benturan Walira itu tadi, yaitu hanya dalam hitungan waktu sak................. detik. Sangat sayang sekali, sudah bertahun-tahun belajar dengan tekun “Dog-dog byang anenun garingsing wayang, pakanane mas kumambang” ......... wasana bareng anigasi, dadi jarit tenunan ......... kepyur-kepyur negnteni randa semaya, tur benange lawe bae (Alias Gagal Totoal). Dikarenakan lupa pada waktu satu detik itu tadi. Mati yang demikian itu disebut “Suul chatimah”. Sedangkan bila menjadi “jarit tenunan  garingsing wayang temenan,  (Kain pakaian jawa yang bagus), benangnya juga benang emas sungguhan, mati yang demikian itu dikatakan “Husnul chatimah”
Maka dari itu, didalam kita mengamalkan itlmu itu, baerhasil atau pun tidak hanya...... pasrah (berserah diri), sekehendak  Yang Maha Kuasa yang menguasai segalanya. Berserah diri... hanya... Cuma... itu saja. Tanpa Amal ...... salah, karena jika tidak menenun, atau menenun menggunakan benang lawe, juga tidak akan bisa menjadi tenunan benang emas.
Bagaimana, apakah sudah jelas?
13. MUDADAMA : Sudah Kak, Untuk selanjutnya mohon penjelasan tentang Cara belajar “Tanpa mempergunakan alat” itu tadi, aku sangat ingin mendengarnya.
13. WREDATAMA : Baiklah, dengarkanlah. Agar lebih jelas, kamu haru mengetahui terlebih dahhulu bahwa belajarnya itu bernama “Shalat Ma’rifat. Barangkali kami baru kali ini mendengar kata tersebut. Memang ini kata yang berasal dari bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa. Dalam saya menggunakan kata tersebut, dengan harapan agar tata caranya, jangan sampai salah pengertian.
“Shalat” itu sebutan dari suatu pekerjaan, termasuk kata kerja (Fi’il). Sedangkan pekerjaan “Shalat Ma’rifat” dalam bahasa sanskrit ; Yoga, orang yang mengerjakannya disebut “Yogie”
14. MUDADAMA : Saya memang belum pernah mendengar kata “Shalat Ma’rifat” itu tadi Kak. Yang sering saya dengar itu, Shalat Wajib, Shalat sunnat, shalat Hajat, shalat Witir, Shalat ......... Daim. Terus, bagaimanakah penjelasannya?
14. WREDATAMA : Istilah Shalat itu ada 4 jenis, sedangkan shalat-shalat yang baru saja kamu sebutkan itu, dari masing-masing jenis itu, termasuk salah satu jenis dari 4 macam, yang akan saya jelaskan, yaitu :
1.         Shalat Syari’at = Ibadah raga, bersuci menggunakan air, jika diterima akan medapatkan Ma’rifat Syaria’t, artinya paham tentang Astrendiya yang lima (Panca Indra). Seperti, oleh karena mata melihat dunia yang tergelar ini, menyebabkan percaya bahwa segala sessuatu itu ada yang menciptakannya, yaitu yagn disebut Tuhan. Keyakinan yang seperti ini dinamakan “Wajibul Yaqin”
2.         Shalat Tharikat = Ibadahnya cipta (hati), bersuci dengan cara memerangi hawa nafsu, Jika diterima akan memperoleh Ma’rifat Tharikat, artinya memahamkan kepada pikiran tentang astrendiya yagn tiga (Tri Indriya). Artinya percaya dengan pengertian kepada yang sebenarnya dari yang disebut Tuhan, tidak hanya percaya meniru orang banyak saja. Kepercayaan yang seperti ini dinamakan “Ainul Yaqin”.
3.         Shalat Khakikat + Ibadahnya Jiwa (roh) yang mempergunakan alat yang bernama “Rasa jati” inti rasa, bersuci dengan cara “Eneng Ening Awas Eling” (Kesadaran diri dengan penuh ketenangan dan kesucian serta kewaspaadan dengan kesadaran penuh). Jika diterima akan mendapatkan Ma’rifat Khakekat, artinya mengetahui Rasa Jati. Artinya percayanya tidak hanya berhenti pada pengertian saja. Kepercayaan yang seperti ini dinamakan Haqqul Yaqin. Dalam tingkatan ini , sudah mulai terbukanya bermacam-macam hijab (penutup) yang menghalang-halangi antara makhluk dengan penciptanya. Namun, disinilah tingkatan yang “AMAT SANGAT BERBAHAYA” karena Teramat sangat banyak “GODAANNYA”.
4.         Shalat Ma’rifat = ibadahnya Suksma, yaitu Jiwa yang berkuasa tanpa mempergunakan sarana (Purusha = Ikheid, Bab I No.32, Bab II No.7) bersuci menggunakan Wairagya (Zuhud, Bab III No.7) yaitu membuang segala cita-cita apa saja, selain hanya tertuju kepada TUHAN. Jika diterima akan mendapatkan Ma’rifat dari Ma’rifat atau sebenar-benarnya Ma’rifat (SEJATINING MA”RIFAT). Artinya, percayanya tanpa sarana, serta tidak bisa terbayangkan. Yaitu dalam tingkatan ini disebut “Leburing papan kalawan tulis” “Hilangnya padan dan tulis”. “CEP TAN KENA KINECAP” “Diam tenang tanpa ucap” // Tingkatan ini disebut “Isbatul Yaqin”, yaitu tetapnya kepercayaan. Itulah yagn paling utama, bisalah melakukan hal itu, 5 kali dalam sehari semalam. Paling tidak 1 kali dalam satu minggu. Jika tidak, paling tidak sekali dalam satu bulan. Jika pun tidak, sekali dalam satu tahun. Jika tidak, SEKALI DALAM SE UMUR HIDUP”.
Nyanyian Jawa (Ura-Ura) entah siapa pengarangnya, yang menggabarkan Rindunya seseorang yang baru sekali mencicipi “Tan kena kinaya ngapa “ (Yang tak terbayangkan), seperti ini (Dhadhanggula).
Damar kurung binekta ing kemit;
Tintingana salira priyangga;
Den rumangsa ing sisipe;
Roningkacang puniku;
Angelayung rasaning ati;
Sela penglawed ganda;
Sepisan ketemu;
Kelabang sinandung muncar;
Nora rena kepanggih pisan ping kalih;
Kumudu saben dina.... (Tidak diterjemahkan)

Bagi yang sudah terbaisa seeprti itu (Tan kena kinaya ngapa = Sejatining ma;rifat) sinebut “ARIFIN”. Sehingga yang disebut Arif itu pasti “Yogie”, namun “Yogie” belum tentu sudah sampai di tingkatan “Arif”.
Bagaimana? Apa sujah jelas pemahamanmu?
15. MUDADAMA : Sudah Kak! Aku sekarang paham, sehingga kata “Ma;rifat” itu bermacam-macam dalam memaknainya. Untuk selanjutnya, mohon penjelasan bagaimana caranya menjalankan yang disebut “Shalat Ma’rifat”, aku sangat  ingin mendengarnya. Apakah yagn disebut nutupi babahan hawa sanga, mandeng pucuking grana? (Menutup lobang sembilan dan memandang pucuk hidung). Dan aku pernah mendengar kata “Tafakur” dan juga “Semedi” itu maknanya bagaimana? Apakah yang itu yang sesuai dengan istilah Kakak menyebutnya “Shalat Ma’rifat”?
15. WREDATAMA : Menutup longa sembilan (Tidak mengaktifkan 2 lubang  Kuping, 2 lubang Hidung, 2. Mata, 1 mulut, 1 lubang kelamin, 1 lubang pembuangan, itu termasuk sikap memaksakan diri, yang akan bisa merusak raga kita. Sama saja dengan bunuh diri. Ikap yang demikian itu mungkin dilakukan di Tanah Hindu sebelum Sang Buddha mengajarkan penerang. Bagi Agama Islam, tentang hal apa saja yang menyebakan rusaknya badan itu jadi larangan.
Tentang memusatkan pandangan pada ujung hidung, dengan setengah terpejam (Rem-rem ayam), atau benar-benar terpejam, tidak ada larangan untuk dijalankan, Tujuan dari kata-kata tersebut, Pandangan kedua mata dipusatkan menuju di antara kedua alis mata (Panon = diatas pasu). Ujung hidung di dalam Qur’an disebut Gunung, yang dipandang oleh Nabi Musa as. Atas perintah Tuhan, karena Nabi Musa as. Ingin melihat  Dzat Tuhan (Al A’raf 143). Di serat Dewa Ruci (Ada di Blog ini) disebut “Gunung Reksamuka”, sedangkan di serat-serat lainnya disebut “Gunung Tursina”.
Tentang sikap yang tidak merusak badan kasar itu bagaimana?
Singkatnya saja begini : Tujuan dari sikap demikian tidak lain hanya untuk mengendalikan gar menjadi tenang kerja dari Astrendiya. Seperti yang sudah saya sampaikan di depan, Astendriya bisa berfungsi karena teraliri daya yang bernama  “RASA’ atau “TALI RASA” (Bab I No.29 Bab II No.20, 21). Ketika Astrendiya sudah tenang, yang aktif tinggal daya (Sesuatu yang sangat halus) yang bernama Rasa Sadar (Eling) atau Rasa Jati. Sehingga yang bernama rasa jati itu tidak lain, Rasa yang berfungsinya tidak teraliri si Astenriya.
Dalam tingkatan ini, bisa disebut , menjalankan “anjumenengake Jiwa (Roh) kang urip mawa piranti rasa jati” (Menegakkan Jiwa (roh) yang hidup dengan menggunakan rasa jati).
Oleh karena sudah mengerti tujuannya itu bisa membuat diamnya gerak dari astrendiya, maka sikap dari badan kasar itu tidak perlu dipaksa-paksa. Sebisanya dan sesuai dengan caranya sendiri-sendiri, tenang dengan menopang paha juga boleh. Menata nafas juga bisa, biar menata dengan sendirinya juga boleh. Singkatnya, sesuai dengan pengalaman diri masing-masing, yang apda akhirnya akan menemukan cara yang paling cocok, untuk dirinya sendiri.
16. MUDADAMA : Mohon maaf Kak. Seandainya laku yang disampaikan Kakak itu berhasil, itu kan bukan sejatinya Ma’rifat, karena baru sampai tegaknya jiwa yang masih mempergunakan sarana Rasa jati. Jika kau tidak salah, Kakak mengatakan, bahwa sebenarnya ma’rifat itu di dalam keadaan yang tanpa sarana.
16. WREDATAMA : Memang bukan Ma’rifat yang sebenarnya, Itu jika diperkenankan baru sampai ke tingkat Ma’rifat hakikat (Mengetahui isi rasa jati) yaitu tingkatan yang saya katakan sangat Berbahaya itu (Bab III no.14). Padahal baru sampai ke tingkat itu saja sudah sangat sulit, pilih-pilih yang bisa diterima dalam pencariannya.
Dan juga, apa yang sudah saya katakan, belum selesai. Baru sampai bab sikap dari badan kasar saja dan tentang pengaturan nafas. Sedangkan kelanjutannya, sebagai berikut :
Seseorang yang menjalankan Shalat Ma’rifat (Yoga) itu dalam mengolah ciptanya tujuannya ada dua jenis, yaitu :
a.         Menyatukan (memusatkan, mengheningkan, konsentrasi) cipta, dalam Bahasan Arab disebut Tafakur. Makna apa adanya dari kata tafakur itu memikirkan atau mikir-mikir, akan tetapi dalam tindakan itu bermakna Pikir (Cipta). Memusatkan Cipta itu kata lainnya adalah :Shalat Ma’rifat yang menggunakan (gigitan) = (Lisan, obyek), dalam bahasa sanskrit : samprajnata.
b.         Mengosongkan cipta, bahasa lainnya barangkali meditasi. Jika dalam mengosongkan itu dengan mengucapkan mantra atau kata-kata atau dalam bahasara Arabnya Dzikir. Makna apa adanya dari Dzikir itu mengingat-ingat, namun dalam tindakan itu bermakna mengucapkan kata-kata sebagai sarana untuk menapak dengan tujuan untuk mengosongkan cipta. Sedangkan mengosongkan cipta itu dalam kata yang lain disebut : Shalat Ma’rifat, yang tanpa cakotan, dalam bahasa Sanskrit  : asamprajnata. Jika ketika mengosongkan cipta menggunakan pijakan mengucapkan rangkaian kata, dalam bahasa sanskrit disebut : asamprajnata mantra yoga.
17. MUDADAMA : Sekarang saya sudah mengerti makna kata Tafakur yang saya mohonkan keterangan itu tadi (Bab III No.15),. Ternyata tafakur itu tidak sama artinya dengan Shalat Ma’rifat, hanya salah satu cara dama menjalankan Shalat Ma’rifat saja. Sedangkan yang diberi nama “Semedi” Kakak belum menjelaskannya.
17. WREDATAMA : Shalat Ma’rifat (Yoga) yang bisa berhasil mencapai sejatinya Ma’rifat (Ma’rifat kepada Tuhan = Ma’rifatullah) itu, dalam bahasa Sanskrit : Samadhi, dalam bahasa Arabnya disebut : Khusyuk. Sehingga kata Samadhi dan Khusyuk itu kata kerja, akan tetapi berkembang melebar dalam bahasa Jawa “Samadhi” itu dianggap kata kerja yang artinya sama dengan “Yoga”. Dalam sebuah Hadits : Man shalla rakataini lamyuhits fihima nafsuhu bisyai’in min amri addunya (Barang siapa Shalat dalam dua raka’at bisa bebas dari perkara dunia) Ghufiralahu maa taqaddama min dzanbihi (diampuni oleh Tuhan, atas segala dosa yang telah dilakukan selama hidupnya).
Sedangkan “bebas dari semua perkara dunia itu, yang disebut khusyuk atau samadhi, yang bisa melepaskan manusia dari dosa warisan yang berasal dari Nabi Adam (Dosa selama hidup).
Sedangkan keterangan hadits “Shalatnya khusyuk, diampuni dosanya” itu perintah yang mengandung didikan ke arah aktif dan optimistis (mau mengerjakan dengan tanpa putus asa), padahal sebenarnya ....... siapakah yang tidak berdosa : Shalatnya bisa khusyuk”.
Sedangkan yang dinamakan dosa bagi para penempuh Ma’rifat itu tidak sama dengan dosa bagi ahli Syari’at. Dalam ajaran Syariat, perbuatan jahat yang belum terlahir, itu belum termasuk dosa. Sedangkan batasan perbuatan jahat itu, yang menjadi larangan Agama. Akan tetapi bagi para penempuh Ma’rifat, yang dinamakan dosa itu, semua perbuatan baik dalam tata lahir maupun masih di dalam hati, itu yang menjadi penutup antara Sang penempuh dengan Tuhannya. Jika dosa yang seperti itu sudah bisa dihilangkan, yahhhh itu baru bisa melakukan Shalat Khusyuk (samadhi). Walau pun tidak bisa dua raka’at, iya satu raka’at, apa satu menit, apa satu detik, menurut tebal tipisnya sisa dari dosa yang masih menguasainya.
Yah, jadi melebar!! Urutannya kan baru sampai membahas sikap yoga, tadi itu?
18. MUDADAMA : Iya, sekarang sebaiknya meneruskan menjelaskan tentang Yoga lagi. Yoga yang masih gigitan dan yoha yang tanpa gigitan, itu lebih baik yang mana dan lebih mudah yang mana untuk dilakukan?
18. WREDATAMA : Kesullitannya itu samasaja, akan tetapi tiap-tiap orang tidak sama keadaannya. Orang yang sifatnya pasif, walau pun belajar menggunakan gigitan, kadang-kadang akibatnya menjadi tanpa gigitan. Demikian juga sebaliknya, orang yang sifatnya aktif, walau pun ketika belajar tidak menggunakan gigitan, pada akhirnya mejadi menggunakan gigitan.
Namun kita ini bebas memilih mana yang cocok. Bagi yang baru belajar itu lebih baik yang menggunakan gigitan (menyatukan cipta). Yang menjadi gigitan : apa pun saja boleh, memang yang paling baik itu memusatkan ciptanya kepada Tuhan (isi alam ini semuanya). Karena bagi yang baru belajar tanpa gigitan (mengsongkan cipta) itu, kebanyakan tertipu atau tersesat menjadi ...... Perewangan (medium), yang tidak disengaja.
Perewangan itu, mendesak jiwanya sendiri (roh yagn asli), seluruh badan kasarnya beserta perlengkapan astendriya : tidak mempunyai daya kekuatan untuk membantah perintah dari roh lainnya yang mempengaruhinya. Diperintah berkata-kata ya berkata-kata, diperintah berjalan juga akan berjalan ..... dengan setengah ingat setengah sadar apa yang dilakukannya itu, atau tidak ingat apa-apa.
Hal seperti itu, itulah hal sangat berbahaya dan menakutkan, baik dalam lahir maupun dalam batin. Sebab jika yang mempengaruhi itu roh yang baik, tentu akan diperintah tentang hal yang baik, sebaliknya jika yang mempenagaruhi itu roh yang jahat, pastilah akan memerintah hal kejahatan dan hal yang aneh-aneh. Kemudian orang banyak akan mengira gila atau kesurupan. Lebih baik perewangan yang di harapkan daripada perewangan yang tidak diharapkan. Karena perewanagn yagn diharapkan itu , ruh lain dalam mempengaruhi tidak tetap, hanya ketika diperlukan saja. Sebaliknya, roh yang tidak dinginkan, dalam melakukan pengaruh secara terus menerus. Agak lebih beruntung, jika yang mempengaruhi itu roh yang baik, walau pun orang tersebut dipengaruhi terus menerus “Abnormal” namun orang  awam tidak menuduhnya gila atau kesurupan, terkadang malah .... dihormati, dan di agungkan oleh umum.
19. MUDADAMA : Mohon maaf Kak!! Kakak pernah menyampaikan, yang disebut Pandita putus ing Sunyata (ahli dalam hal sunyata atau hampa), di malam ini kakak menyebutnya “ Yogie yang sudah samapi samadhinya. Jadi, puncak yoga itu kan ...... kosong (hampa). Apakah sebabnya, yang belajar yoga di awali dengan cara mengosongkan cipta banyak yang tersesat menjadi perewangan?
19. WREDATAMA : Apa yang kamu sampaikan itu sangat tepat. Memang puncak yoga itu kosong (hampa). Akan tetapi kosongnya seorang pandita putus dalam kehampaan itu tidak sama dengan kosongnya orang yang baru saja belajar.
Yang baru belajar itu pada umumnya belum bisa melepaskan keterikan dunia (cita-cita). Malah tidak kurang-kurang ketika belajar yoga itu memang dipakai sarana untuk mencapai tetang urusan dunia (derajat, semat, keramat). Yang demikian ketika mengosongkan, sebagai gambarannya bagaikan memasang rumah lebah yang disi gula, barangkali ada lebah yang datang. Atau memasang jebakan yang ada kambingnya berbunyi embek-embek, barangkali saja ada harimau yang mendatanginya.
Kamu kan sudah mengerti, yang menyebabkan seseorang ketika meninggal dunia belum kembali kepada Tuhan, serta terpaksa akan terlahir lagi ke dunia ini? Tidak alain karena belum bisa melepaskan ikatan dengan dunia (Bab II No.37). Itu contoh ibaratnya lebah atau harimau itu tadi.
Roha dari seseorang yang meninggal dunia yang akan mempengaruhi calin perewangan itu, bisa dipastikan kondisinya mengikuti isi dari calon perewangan, dibahasakan mencari yagn sejenis, Isian itu diibaratkan gula atau kambing itu tadi. Sehinga  : isi dari calon perewangan itu menginginkan kekayaan, yang mendatanginya juga roh yang bernafsu tentang urusan harta. Jika isi dari calon perewanagan itu tadi menginginkan untuk menjadi Dukun atau guru ilmu kebatinan, dan sejenisnya, juka akan didatangi roh yang ketika hidupnya mempunyai cita-cita demikian.
Sedangkan kosongnya Pendita putus itu sunyata (kehampaan) yang tidak demikian itu. Karena beliaunya tidak ketempelan urusan dunia, sehingga tidak akan ada roh yang ketrik karena Sang Pandita tidak ada isinya yang sama jenisnya dengan  roh yang berkelana itu tadi.
Pun demikian, ada sebagaian ajaran (namun bukan bersumber dari Qur’an dan hadits) yang dalam menempunya tentang kesempurnaan itu mengharapkan mendapatkan tuntunan dari roh luhur dan suci dengan cara seperti itu. Aku mengatakan hal yang jujur kepada dirimu, bagi kakakmu, Aku, hal seperti, tidak mau.
20. MUDADAMA : Sedangkan tidak mau Kakak itu, sebabnya bagaimana? Dan juga tadi Kakak mengatakan tentang perewangan terus-terusan, itu tandanya seperti apa? Seumpama aku mengoreksi diriku sendiri, gar tidak terjadi demikian, apakah tidak bisa?
20. WREDATAMA : Memang, penolakanku itu tidak sepi dari sebab. Menuru pendapatku, begini :
Luhur bagaimana pun, sesuci apapun, roh yang belum kembali kepada Tuhan itu jelas merupakan roh  yang belum sempurna. Seumpama roh yagn belums empurna mengajarkan ajaran, tentu saja  ....... Tidak sempurna, terkadan justrus menyesatkan. Sedangkan kita yang masih berbadan kasar ini, masih mempunyai kesempatan yagn sangat longgar untuk menggapai yang lebih sempurna. Dan jika di rasakan dari ajaran Agama, ilmu yagn demikian itu bagaikan menyembah berhala atau menyekutukan Tuhan, yagn semestinya harus kita hindari.
Selain itu, luhur yang bagaimana pun, sucu yang seperti apa pun, roh ahli kubur yang menuntun terhadsap orang yang hidup di dunia itu saya anggap ..... sesat. Sejauh-jauhnya. Sedangkan jalan yang benar ; Jika dirinya mempunyai tujuan akan menuntun manusia yang hidup di dunia itu, juga harus bisa hidup di alam dunia terlebih dahulu, yaitu harus terlahir menjadi bayi dahulu, barangkali saja akan tercapai cita-citanya.
Sedangkan tanda dari perewangan yang tetap atau orang yang dalam pencariannya dituntun oleh roh yang lain itu, yang pasi ...... FANATIK, tidak akan mau mempertimbangan pendapat orang lain. Karena akal dan pikirannya memang sudah tanpa daya. Karena akal dan pikirannya sudah tidak bisa mempertimbangkan dan menalar, sehingga kadang-kadang melakukan perbuatan yang aneh-aneh sehingga disebut aneh.
Yang demikian itu, sesungguhnya yang menjalankannya sendiri pun juga bisa mengoreksi dirinya sendiri, jika saja mau. Bagi yang mengoreksi dirinya sendiri selain tanda-tanda itu tadi, ada tandanya lagi yang nyata, yaitu ketika dirinya mulai kehilangan kemerdekaannya, itu sudah pasti ada yang menuntun. Maksudnya akan ke utara menjadi ke arah selatan, akan menyambut tamu justru menutup pintu, dan sebagainya, jika memaksakan diri untuk menuruti keinginannya sendiri, kemudian ................ Sakit, atau mendapatkan siksa yang lainnya.
21. MUDADAMA : Wah.... sungguh sangat gawat, Kak! Nah... sekarang nasihat Kakak : Mana yagn bisa saya lakukan serta jauh dari bahaya? Karena, aku juga tidak mau dituntun oleh roh gentayangan seperti itu.
21. WREDATAMA : “Menyarankan” itu kurang baik, karena hal itu tergantung pilihan kamu sendiri. Aku hanya bisa berkata : Yang tanpa beban itu ........ menjalankan Syari’at! (Bab I No.8). Sedangkan jika kamu akan menyetakan tentagn Hakikat, untuk mencapai Ma’rifat,  jangan lupa matangkan dahulu pencarianmu tentagn Tarikat (Bab II No.40).
Sebab, kejadian bahaya itu tadi, selain karena sikap dalam pencarian, tidak lain karena belum benar-benar jelas tentang membedakan yang “Iya” dan yang “bukan”, alias belum matang  tarekatnya. Jika syarat rukunnya sudah dijalankan, tentu tidak menemukan kehinaan, serta disyarati tekad “Jika hanya berani atas yang mudah saja, dan takut kepada yang sulit, segala sesuatu tidak akan bisa ditemukan” Iya apa tidak?
15. MUDADAMA : Iya betul Kak! Akan tetapi kau tetap memohon untuk diberi penjelasan tentang Yoga itu tadi, supaya aku lebih jelas, barangkali ada bahaya tambahan.
15. WREDATAMA : Aku tidak keberatan, Dengarkanlah!
Belajar Yoga itu, gunakanlah sikap  menyatukan cipta, apa .............. sulitnya. Tidak bisa dibatasi  kapan sampai bisanya dalam berapa bulan atau berapa tahun, seperti ketika mencari ilmu di tata lahir ini. Karena belajar Yoga itu tidak cukup dibekali Rajin dan tekun. Bisa dan belum bisanya itu tergantung lengkap atau belum lengkapnya dalam menenangkan si astendriya.
Awas, yang saya sebut “Bisa” di sini bukan berarti bisa yoga yang sebenarnya yoga, apalagi sampai dengan “Samadhi” hlo! Makanya, tidak menyebutkan tentang Wairagya, Yang saya katakan bisa di sini itu, baru sampai berdirinya Jiwa yang masih beserta perangkatnya yang bernama Rasa Jati (Bab III No.15), sehingga bagu sampai bsai melewati jalannya Yoga saja.
Maka dari itu, awal belajar itu, boleh saya belum wairagya, maksudnya boleh saja menyatukan citanya kepada urusan dunia. Tentang apa saja yagn disenangi itu boleh saja (Bab III No.18), kadan gjuga bisa menjadi syarat memepermudah dikala belajar.
Di sinilah kunci dari segala Aji, seperti : Pengasihan, gendam, kedidayaan, kekuatan, asmaragama dan sebagainya. Sehingga para sesepuh dalam melihat ilmu yang seperti ini, bisa diterima : Agar yang dilihat belajar melewati  jalan Yoga (Shalat Ma’rifat). Sayangnya, banyak yang terhenti di tingkatan itu, malahan yang semula mempunyai cita-cita lebih luhur (Tentagn Tuhan) juga banyak yang tergiur di tingkatan itu.
23. MUDADAMA : Mohon menyela dahulu Kak! Yang belajar mempergunakan sikap menyatukan cipta, bisa menghasilkan kelebihan yang disebut “aji” itu tadi, bisa dikatakan juga : Kelebihan itu terjadinya dari terpusatnya cipta.
Sedangkan yang belajar mempergunakan cara mengosongkan cipta, bisa menghasilkan kelebihan apa?
23. WREDATAMA : Wah, pertanyaan tersebut terkadang, sangat sulit untuk dijawab.
Belajar dengan menggunakan cara mengosongkan cipta itu, buahnya kebanyakan : Mendapatkan sasmita atau wangsit. Namun juga bisa : Tidak sengaja membuahkan salah satu kelebihan seperti yagn menyatukan cipta itu tadi. Keterangan seperti ini : .....................................
Kelebihan yang terjadi dari terpusatnya cipta itu, pasti hanya salah satu kelebihan saja, dari mana yang dipelajarinya. Sedangkan jika ingin mempunyai kelebihan dua atau tiga, dalam memusatkan ketika belajar, juga harus dua tiga kali.
Sedangkan yang belajar menggunakan cara mengosongkan cipta iu, ketika dipengaruhi oleh roh yagn ketika hidupnya mengedepankan kepada salah satu dari kelebihan itu, maka akan mempunyai kelebihan seperti itu, yang tanpa disengaja.
Sehingga : Keleibihan orang yang menyatukan cipta itu dengan jalan disengaja, serta berasal dari kekuatan roh-nya sendiri, akan kelebihan orang yang mengosongkan ciptanya itu, tidak disengaja, serta berasal dari kekuatan roh lain yang mempengaruhinya.
Bagaimana, apakah kamu bisa menerimanya?
24. MUDADAMA : Iya, mengerti Kak! Kemudian bagaimana terusnya? Sepertinya masih panjang  yang perlu di jelaskan kepadaku.
24. WREDATAMA : Akan saya singkat saja, menjadi panjang itu, tergantung pertanyaanmu.
Ketika kita mengawali belajar menangkan astendriya itu, pastilah pada awalnya, kedunya, bahkan sampai berkali-kali hingga berpuluh-puluh atus pengulangan .... juga belum bisa mencapai ketenangan. Apa lagi tenang yang sebenarnya. Jika mempergunakan cara menyatukan cipta, citanya atidak bisa menyatu, jika mempergunakan cara mengosongkan cipta, ciptanya melayang. Sedangkan jika matanya, dipejamkan, yang ada hanya gelap, jika di pejamkan seperti ayam mengantuk jiga tidak melihat apa-apa. Maka dari itu, jika tidak dengan sabar dan tekun, pastilah menjadi bosan, malas, putus asa sehingga menghentikan dalam belajarnya.’
Ketika astendriya mulai bisa tenang sedikit, matanya yang terpejam atau terpejam bagaikan ayam yang mengantuk itu mulai bisa melihat apa-apa : berujud berbagai warna kadang juga suatu ujud, namun hanya sekejap-sekejap, saling bergantian, belum jelas sama sekali.
Ketika itu, yang belajar pada umumnya mulai senang, hilagn bosannya, karena sudah merasakan apa yang disebut “Penglihatan gaib”.
Namun yang demikian itu, sebenarnya masih sangat jauh, seandainya orang berjalan itu, baru melaangkahkan satu langkah kaki.
25. MUDADAMA : Maaf Kak, Aku mohon untuk diterangkan sekalian : Mata yang terpejam tiba-tiba bisa melihat apa-apa, itu nalarnya bagaimana ? Dan yang terlihat itu dari mana salnya dan sejenis apa?
25. WREDATAMA : Di depan sudah saya jelaskan, ketika si astendriya itu tenang, yang bekerja tinggal si rasa jati (Bab III No.15) Sehingga yagn bernama penglihatan Gaib yang bisa dilihat pun penglihatan gaib itu, tidak lain adalah penglihatan rasa jati.
Akan tetapi karena yang sedang kita bicarakan itu tadi si astendriya belum tenang beneran. Sehingga penglihatan rasa jati basih sangat bergetar tidak terlihat jelas.
Sedangkan gambaran gaib yang nampak ketika itu (Warna atau ujud) bukan berasa dari sana sini, tidak lain adalah berasal dari diri sendiri. Yaitu bekas dari kerja astendriya yang tiga (Tri Indriya), Angan-angan, pikiran dan keinginan. Seingga seperti orang yang bercermin : melihat rupa sendiri. Semua itu singkatnya dinamakan Hijab (Warana = penghalang), sehingga tidak perlu diperhatikan, tidak perlu dimaknai atau di otak-atik dikira-kira.
Kadangkala, pengalaman seperti itu  sangat lama. Terlebih lagi bila yang sedang belajar itu merasa mendapatkan kunci gedong gaib, yang bisa ditanyai tentang apa saja, pastilah pengalamannya hanta terhenti hanya di situ saja.
Memang, tiap bertanya pasti mendapat jawaban, karena pertanyaan dan jawaban itu dari satu sumber, seperti bagaikan berkeaca itu tadi.
Sedangkan bagi yang tidak mau memperhatikan atas yang terlihat itu, karena paham bahwa itu penghalang/hijab/penutupyang harus dibuka, kemudian akan memperoleh pengalaman lagi yang ..... sangat berat sekali. Yaitu terasa bergetar di seluruh badan atau seperti ada yang merambat, kadang seperti digigit semut rasa di seluruh badan, kadang juga terdengar suara yang mengagetkan dan lain-sebagainya. Singkatnya, jarang yang mampu bertahan. Keadaan seperti ini dalam kisah pedalangan digambarkan, pasukan “Bajo – Barat” yang menggoda seorang satria yang sedang bertapa. Sedangkan yagn dirasa dan yagn didengar itu semua tidak lain : adaalah si asendriya itu tadi yang akan benar-benar teenang. Pengalaman yang seperti ini berkali-kali terulang lagi.
Jika yang sedang belajar sudah berkali-kali lulus dari pengalaman yagn berat ini, jika diperkenankan, kemudian akan mendapatkan pengalaman lagi yang ...... mengerikan! Yaitu terasa darahnya berjlan diawali dari ujung jempol kaki, naik ke punggung, tengkuk, kepala. Demikian juga yang dari dada juga naik ke kepala. Kemudian terasa melayang seperti akan pingsan. Setelah akan terasa merinding, bulu kuduk berdiri semua, sangat takut. Khawatir  jika terlanjut ....... meninggal dunia, akhirnya kembali jalan.
Di dalam mengalami pengalaman yang seperti itu, seharusnya jangalah takut dan kuatir, kadang juga nafas yang menjadi tali hidup ini... janganlah dirubah sedikit pun.
Dan jika di waktu itu nafasnya di tahan, tentu akan putus, hingga berakhir menjadi kematian, dan tidak bisa diulang lagi atau disambung lagi.
Cara memutus tali hidup  dalam keadaan seperti itu tadi, yang sudah dijalankan oleh Syeikh Siti Jenar dan para muridnya, yang termuat di dalam layangBabad.
26. MUDADAMA : Iya Kak, aku sudah bisa menerima. Kira-kira jika demikian pengalaman yang akan dialami ketika dalam keadaan sakaratil maut. Sehingga yang kelihatakan dalam tata lahirnya ; Bagi sudah pernah belajar sekarat dengan yang belum pernah, memang ada bedanya.
Sedangkan yang tidak kembali seperti penjelasan Kakak, kelanjutannya bagaimana, Kak?
26. WREDATAMA : Jika tidak kembali kepada jalannya, itu berarti bisa membuka penghalang, Yaitu yagn saya sebut bisa diterima pada tingkatan Ma’rifat Hakekat (Bab III No.14) measuk ke dalam alam yang baru, yang bukan alam bagi orang yang melihat dengan mata kepala. Bukan alam bagi orang tidur. Di dalam Serat Wedhatama (ada di Blog ini juga); dikatakan  ..... “Kabuka ing warana”. Tarlen saking liyep layaping aluyut, pinda pisating supena, sumusup ing rasa jati”
Bagi yang belajar dengan cara mengosongkan cipta, pada detik itu awal mula mulai kepengaruh oleh roh lain yang kemudian menjadi penuntunnya. Sedangkan bagi belajar menggunakan cara menyatukan cipta, pada detik itu menyatu dengan yang ada dalam ciptanya.
Namun ketahuilah olehmu, walau pun sudah pernah memasuki pengalaman seperti itu, belum tentu dalam tiap-tiap melakukan hal yang sama ketika menenangkan Astendriya bisa mengalami hal seperti itu lagi. Sehingga banyak yang berpendapat, bahwa ketika itu sudah samapi kepada seejatinya ma’rifat, yagn digambarkan kenikmatannya “Sor langening salulut”, dan ceritakan serta di katakan bahwa yang menyembah itu adalah yang disembah, karena kenyataannnya hanya stu, bukan dua atau tiga. Di dalam Serat Wedhatama itu tadi juga mempunyai anggapan bahwa itu sudah disebut “Mulih mula mulanira” (Kembali kepada asalnya).
Hal itu menurut Kakakmu aku ini, walau pun belum pernah memasuki alam Sejatinya Ma’rifat (Ma’rifatullah), namun punya keyakinan, bahwa sejatinya Ma’rifat tidak hanya seperti yang baru saja dibicarakan itu tadi, karena pengalaman tentang rasa kenikmatan dan rasa dalam penyatuan atau satu rasa itu berarti masih menggunakan “Alat” dan masih bisa digambarkan atau dibayangkan. Sehingga : yang disebut Ma’rifat kepada Tuhan itu seharusnya juga dalam pengalaman yang “Tanpa menggunakan alat” dan “Tidak bisa terbayangkan” (Bab III No.11.b). Iya apa tidak?
27. MUDADAMA : Penyampaian Kakak yang demikian, memang masuk akal dan pikiran. Untuk selanjutnya, mohon perkenan Kakak untuk memeberikan penjelasan : Dari pengalaman Ma’rifat Hakekat sampai dengan Ma’rifatnya Ma’rifat itu cara-caranya bagaimana?
27. WREDATAMA : Sabar dulu, yang baru saja  kita bicarakan itu tadi, saya teruskan lagi :
Seseorang yang mengosongkan ciptanya yang kemudian memasuki pengalaman seperti itu, tentu saja untuk selanjutnya hanya tinggal mengikuti dan mematuhi kepada roh yang mempengaruhinya, karena keadaanya sudah menjadi “Luar biasa” secara terus menerus (Bab III No.18).
Sedangkan bagi orang yang bercita-cita terhadap sesuatu urusan dunia dengan jalan menyatukan ciptanya, jika sudah sampai kepada pengalaman yang demikian itu sudah selesai, artinya hanya berhenti sampai di situ saja. Serta biasanya yang menjadi cita-citanya itu akan terlaksana. Sedangkan jika di lain hari ada yagn di cita-citakan lagi, juga dengan jalan melakukan yang seperti itu lagi, namun belum tentu memperoleh pengalaman seperti yang sudah itu.
Sedangkan bagi seseorang yang bercita-cita untuk Ma’rifat kepada Tuhan, dan ketika menyatukan ciptanya ditujukan atas salah satu urusan dunia hanya untuk pijakan saja, setelah memeperoleh pengalaman seperti itu, harus dilanjutkan lagi usahanya. Boleh saja berganti-ganti yang dijadikan untuk berpijak, yang kemudian melanjutkan menyatukan ciptanya tertuju kepada Tuhan.
Hal itu biasanya, penglihatan rasa jatinya bisa melihat ....... Ujud dirinya sendiri, yang berwarna putih dan tanpa cacat. Di dalam serat-serat Wirid dan Suluk-suluk disebut dengan nama “Mayang Seta” (Bayangan putih). Apakah itu yagn disebut Tuhan? BUKAN!!!!!! Karena Tuha  itu tidak akan bisa terbayangkan, padahal yang itu rupad dari dirinya sendiri, sehingga jelas bukan TUHAN.!!!
Kejelasannya : Itu hanya seperti orang yagn sedang bercermin, yagn sudah saya jelaskan tadi itu (Bab III No.25). Perbedaannya : Yang tadi itu Astendriya sama sekali belum tenang, makanya ketika bercermin : Penglihatan Rasa jati hanya melihat rupa atau perwujudan Symbol (perlambang) bekas dari kerja angan-angan, pikiran, keinginan. Namun sekarang astendriya sudah bisa benar-benar tenng, sehingga ketika bercermin : penglihatan rasa jati bisa melihat jiwa (roh)nya sendiri.
Namun ketahuilah olehmu, Roh yang lain yang yang dituntun oleh perewangan secara terus menerus itu tadi, juga sering memperlihatkan diri kepada yagn dituntun ; Seperti rupa dari yang dituntun itu!! Bahkan orang yang bukan menggunakan perewangan, juga sering DIPALSU oleh roh lain, dengan cara seperti itu. (Hati-hatilah).
28. MUDADAMA : Wahhhh!!! Jika demikian, Sungguh, sangat amat berbahaya sekali, Kak!! Sehigga : aku, yagn tidak mau dintuntun oleh roh gentayangan seperti itu (Bab III No.21) seandainya aku bisa sampai tingkatan itu, jika kurang waspada dan hati-hati, masih bisa di palsu yang kemudian dituntun juga. Sedangkan perbedaan Roh-nya sendiri yang sebenarnya, dengan yang menyerupai roh diri ini, akan tetapi palsu, itu bagaimana Kak?
28. WREDATAMA : Perbedaanya itu sesungguhnya tidak perlu untuk diceritakan. Seperti, ada yang menerangkan, bahwa roh-nya sendiri yang sebenarnya itu, ada tanda Huruf Alif di dahinya, yagn disebut “ALIF mutakalimun wahid.” Ada juga yang menerangkan bahwa rohnya diri sendiri itu dengan tanda duduk di singgasana. Ada juga yang menjelaskan roh-nya sendiri itu warnanya putih, bukan putih susu atau putih kaca, yaitu putih alumunium. Namun tanda-tanda itu semua .... tidak ada gunanya. Sebab jika kamu sudah mengerti terlebih dahulu, tidak lain akan dijadikan penggambaran, yang akhirnya roh lian yang bertekad menyesatkan itu juga akan menyerupai ..... seperti yang yang gambarkan atau kamu bayang-bayangkan itu, Nahhh.. tentunya tak ada gunanya, Kan??
Dan yang pati tidak akan bisa salah itu, tidak laina adalah .........................................JANGAN MAU DITUNTUN. Sehingga tidak akan mempergunakan cara membedakan antara rohnya diri ini dan roh yang lain.
(Catatan Penterjemah : Ada juga yang berbekal ilmu mengusir roh sebelum meraga sukma seperti itu, untuk benteng diri,  ada yang berbekal Ayat Kursi bagi yang Islam dan sejenisnya. Dan bagi orang Jawa ada yang menggunakan Rajah Kalacakra, dan sejenisnya. Untuk membentengi diri dari serangan-serangan ruh yang jahat, yang bisa membahayakan diri ini. Ada juga yang mempergunakan Aji Panggandha (Aji penciuman Gaib) karena Bau tiap diri (Bahasa kasarnya yaitu bau keringat) tiap diri itu tidak ada yang sama.  Maaf bagi yang tidak sependapat – Jika ingin mendalami... sebaiknya atas bimbingan sang ahli dan sebaiknya jangan di cari di dunia maya.. itu semua cukup dijadikan wawasan saja) .
29. MUDADAMA : Sebentar dulu Kak!! Mohon maaf. Yang dibicarakan ini tadi : sikap dari orang yang berusaha mencapai Sejatinya Ma’rifat, dengan cara menempatkan roh nya sendiri (Bab III No.15, 22) yang tidak mau dituntun oleh orang lainnya (Bab III No.19,29), setelh rohnya sendiri sudah datang berdiri, kemudian tunutannya di tolak, hal itu apakah tidak rugi bagi keberhasilan pencarian.?
29. WREDATAMA : Rugi atau pun tidak, itu sebenarnya hanya tergantung dari anggapan dari diri sendiri. Coba saya terangkan rumusnya (formulanya), begini :
1.              Yang dari semula sudah mau (mengharapkan) dituntun oleh roh yang lain, itu berarti sesat dari awal. Karena roh yang dintuntun terdesak (terpengaruh) terus-terusan, sedangkan roh yang menuntunnya itu sebenarnya menurut istilahmu ....... Gentayangan. Ketika sampai saat kematiannya ...... seperti yagn tersebut di surat Al-An’aam 94 : Walaqad ji’tumuunaa furaadaa kamaa chalaqnaakum awwala marrotin wa tarktum maa chwwalnaakum (Sesungginya kamu akan menghadap kepada (KU) sendirian, seperti ketika kamu (AKU) ciptakan awalnya, dan meninggalkan apa pun yang sudah (AKU) berikan kepadamu) Waraa’a dhuhuurikum wamaa naraama’akum sufa’aakumu adzdziena za’amtum annahum fiekum surakawua (dan (AKU) tidak melihat kamu kumpul dengan berhalamu yang bisa menolongmu, yang kamu anggap sekutu Tuhan) Laqad aqaththa’a bainakum wadlalla’ankum maakuntum tas’umuuna (Sesungguhnya sudah pisah antara kamu dan berhalamu, dan sudah hilang darimu apa yang sebelumnya kamu anggap (AKU). // Sehingga roh yang dituntun itu tinggal sendirian, mengalami siksa kubur, terpisah dengan roh yang menuntunnya. Karena pada saat itu (Tersebut di dalam surat lainnya) Berhala atau roh yang menuntunnya itu kemudian mengelak alian meninggalkan dan membiarkannya sendirian.
2.              Yang dituntun oleh roh yang lain yang tidak dari awalnya, hanya karena setelah mendapatkan pengalaman melihat ujud dirinya sendiri, tidak bisa membedakan yang sebenarnya dengan yang palsu, berarti tersesatnya tidak dari awal mulanya. Ketika sampai waktu kematiannya ...... juga ditinggal oleh penuntunnya seperti a. Itu tadi. Hanaya yang membedakannya b. Ini tidak sendirian, hanya gentayangan saja, karena roh yang ditinggalkan oleh penuntunnya itu keadaanya sudah mulai memiliki ilmu, dari hasil usahanya yang tidak sesat sebelumnya.
3.              Yang dituntun oleh rohnya sendiri .. jika tidak salah dalam memilihnya --- itu berarti tidak mengalami kesesatan seperti halnya a. Atau
Cobalah pikirkan : Roh siapa pun juga yang baru sampai pada pengalaman sebegitu itu, keadaannya sama saja. Karena masih menggunakan alat yang bernama rasa jati, yang menyebabkan mengalami perasaan (enak atau tidak enak) ketika berada di alam kubur. Sehingga rohnya sendiri tidak akan mengalami “gentayangan” seperti roh yang lain kamu tolak itu.
Sehingga jika disingkat :
a.         Sendirian, sebab sesat dari awal.
b.         Gentayangan, karena sestanya tidak dari awalnya.
c.         Gentayangan karena dari perbuatannya sendiri, karena tidak mengalami sesat.
Sekarang, coba kamu jawab : Bagi yang sedang berusaha mencapai sejatinya Ma’rifat, jika seperti a. Menolak, seperti b, juga menolak, akan tetapi jika seperti a. Mau, hal itu, apakah keuntungannya? Jika seperti c. Juga menolaknya juga, hal itu apa kerugiannya?
30. MUDADAMA : Alasanku menganggp rugi itu tadi karena aku belum mengerti Kak. Sedangkan sekarang sudah jelas, walau pun seperti c itu tidak sesat, akan tetapi seandainya orang bepergian masih harus melanjutkan perjalanannya, sehingga tidak terlalu lama terhenti di tempat itu, artinya tidak perlu memperhatikan pengalaman yang itu tadi. Kan begitu, Kak?
30. WREDATAMA : Jika yang diusahakan itu sejatinya Ma’rifat (Ma’rifat Ketuhanan), memang benar seperti itu. Bandingkan dengan cerita di dalam Hadits Mi’raj : Ketika Nabi Muhammad diantarkan oleh Malaikat Jibril (Rohul Kudus) untuk menghadap kepada Tuhannya, ketika hampir sampai sampai di Hadapan Tuhan, sang pengiring itu terpaksa ditinggal, karena sang pengiring itu tadi tidak kuat untuk melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi  ketahuilah olehmu, Jika bukan Nabi yang terpilih, atau Wali yang terpilih, atau Mukmin chas yang mendapat perkenan Tuhan, ketika sampai kepada pengalaman melihat “Mayangan Seta” (bayangan putih)) itu pada umumnya akan..... tergiur. Karena kala itu adalah sebagai sumber dari segala Aji kesaktian dan segala kelebihan (Bab III No.22), yang umumnya itu yang menjadi cta-citanya. Sehingga bagi yang ingin mencapai sejatinya Ma’rifat (Marifat Ketuhanan), yang seperti itu disebut Tingkatan yang sangat penuh jebakan yang sangat berbahaya (Bab III No.14).
Siapa saja yang berulangkali mendapatkan pengalaman melihat bayangan putih itu (walau pun yang palsu) kemudian akan mendapatkan kelebihan bermacam-macam, contohnya :
a.         Terbukanya penglihatan gaib, melihat dan bisa berhubungan dengan roh-roh yang berada di alam gaib, bisa minta tolong atau memerintah kepada roh-roh tersebut, bisa mengetahui isi hati orang dan nasib seseorang, dan juga melihat gambaran gaib yang lain-lainnya, yang singkatnya disebut “helderzien”.
b.         Terbukanya pendengaran gaib, perasa gaib, penciuman gaib, yang bagi orang biasa tidak memilikinya.
c.         Bia mempunyai daya gaib yang bisa dipergunakan dalam hal penyembuhan, (magnetiseeren) atau kewibawaan (Hypnotiseeren).
d.         Memiliki kelebihan yang lainnya lagi (kedigdayaan) yang aneh-aneh, dan mendapat pengalaman yang bermacam-macam yang indah-indah.
Sehingga tidak aneh hingga banyak yang tercebur lupa kepada cita-cita semula (Ma’rifat Ketuhanan), serta jika sudah lupa yang demikian itu kemudian menjadi FANATIK, mengandalkan kebenarannya dan pendapatnya sendiri saja, hampa dari pertimbangan dan penalaran.
Sedangkan bagi yagn tidak mengalami lupa dari tujuan semula, pastilah tidak ada kefanatikan, karena selalu ingat dan sadar bahwa manusia ini mempunyai sifat celaka( sakit, lupa, salah), Apalagi hanya kita, selagi Nabi Rasul sendiri (Atas perintah Tuhannya) mengatakan kepada orang-orang kafir : Wa innaa au iyyakum al’ala hudan au fie dlalalin mubienin (Sabaa” 24 + Entah aku entah kamu semua yang benar, atau dalam kesesatan yang nyata).
Oleh karena tidak fanatik, akal dan pikirannya masih bisa didpergunakannya untuk menimbang dan menalar, sebagai berikut :
a.         Kelebihan itu jika dibandingkan dengan kelebihan Tuhan, ibaratnya hanya setetes air dibanding dengan samudra, untuk apa dicintai (ora urub den kurebi).
b.         Kelebihannya itu hanya khusus urusan abstrak (tidak terlihat mata) yang tidak mudah untuk ditetapkan benar salahnya oleh orang lain. Sehingga : kalah dasar dari ilmu nyata, tentang hal yang abstrak, terlebih lagi dengan ilmu lahir tentang hal yang konkrit (terlihat mata), yang bisa didsaksikan kebenaran dan salahnya oleh orang lain.
c.         Kelebihan tentang hal abstrak itu ada batasnya yang tidak merubah kudrat, seperti, tidak bisa digunakan untuk merubah takdir yang dialami oleh orang hidup, termasuk dirinya sendiri. Juga tidak bisa untuk menolong yang dialami roh di alam kuburnya, seperti, dari dari irang yang sangat dicintai.
d.         Pengalamannya yang aneh-aneh tentang hal gaib itu, jika di teliti tidak secara fanatik, kebanyakan hanya tertipu oleh perasaanya sendir, dari akibat gambaran dari angan-angan dan catatan keyakinan ketika pernah mendengar tentang hal gaib. Padahal yang diyakininya itu belum tentu benar.
31. MUDADAMA : Mohon maaf Kak! Jika yang memperoleh keleibihan atau “Mampu” itu terus tergiur, tentu hal itu bisa disebut tertipu. Namun apakah Kakak tidak percaya terhadap adanya Mukjizat dan kramat (Karomah), yaitu kelebihan yang diberikan oleh Tuhan kepada titah yang tidak terkena tipuan.
31. WREDATAMA : Sangat amat yakin dan percaya! Namun yang terpenting yang harus kamu pahami, itu bukan tentang percayaku atau tidak percayaku, yaitu tentang perincian dari kelebihan tersebut.
Kelebihan yang aneh-aneh yang juga bia kamu sebut “Kemampuan” itu dalam garis besarnya ada 4 macam, yaitu : (1) Mukjizatnya Nabi, (2) Karomahnya Wali, (3). Ma’unahnya Mukmin, (4), Istijrat-nya Kafir.
Kelebihan yang empat macam itu, bagi orang lain yang melihatnya tidak ada bedanya, karena terlihat sama keanehannya. Sedangkan membedakan yang ketempatan kelebihan itu tidak mudah. Bisa saja kafir dikira Wali, atau sebalinya.
Sedangkan yang membedakannya itu seharusnya dirinya sendiri, yang kadang tidak terikat oleh sakit yang beranama Fanatik itu tadi, Sedangkan untuk memilahnya, begini :
“Mukjizat dan karomah itu yang ketempatan, tidak akan merasa bahwa dirinya mempunyai kelebihan. Sehingga keluarnya mukjizat atau pun karomah itu  tidak dengan diniyati, serta hanya berhubungan dengan penyiaran Ajaran Agama.
“Ma’unah” itu yang ketempatan, juga tidak merasa bahwa dirinya ketempatan. Sehingga keluarnya Ma’unah itu tidak dengan diniyati, hanya “tiba-tiba” ketika yang ketempatan itu menghadapi bahaya.
Sehingga, jika yang ketempatan kelebihan itu merasa ketempatan, serta keluarnya kelebihan itu karena diniyati, kelebihan itu yang bernama kelebihan tas perintah dari Nafsu. Jika untuk mendapatkan kelebihan itu karena diusahakan itulah perintah Setan. Namun karena Tuhan itu Maha Murah, pun dikabulkan juga. Kelebihan yang demikian itu yang disebut ............................. “Istijrat”.
32. MUDADAMA : Cukup jelas Kak! Sekarang Kaka, mohon berkenan meneruskan memberikan penjelasan : Bagaimana caranya untuk menghilangkan tipuan itu, serta bisa terlaksananya cita-cita itu (Ma’rifat Ketuhanan) itu yang sudah bagaimana?
32. WREDATAMA : Jika hanya menceritakan saja, aku tidak keberatan, walau pun bagi ku dan kamu : tentang hal ini baru ada dalam niyat saja yang masih.... sangat-sangat jauhnya.
Pengalaman yang banyak cobaan dan tipuannya itu pasti dilewati, karena hal itu memang jalannya. Sedangkan kita ini, ada yang bisa  melewati jalan itu ketika hidupnya, ada yang tidak bisa. Namun walau pun bisa atau tidak bisa mengalami ketika masih hidup ini, besok ketika masuk ke pintu kematian *Sakaratil maut) juga mengalami.
Sedangkan caranya untuk menghindari cobaan tipuan itu --- apa mengalami sekarang, atau ketika sakaratil maut--- tidak lain hanya............................. TIDAK MEMPERHATIKANNYA.
Jika kita lulus dari pengalaman itu ketika dalam hidup ini, insya Allah usaha kita dalam menuju Ma’rifat Tullah itu bisa terlaksana. Jika kita lulus dari pengalaman itu ketika sakaratil maut, Insya Allah kita “Asal dari Tuhan kembali kepada-Nya”,
Di kala itu sudah tidak bisa dibicarakan, karena “Tidak bisa terbayangkan” di dalam keadaan ketika “Tanpa alat” *Bab III No.11,b. 26). Paling Pol hanya bisa digambarkan bagikan orang tidur yang tidak bermimpi atau seperti seseorang yang pingsan. Didalam Qur’an diceritakan ketika Nabi Musa memandang Gunung (Bab III No.15) hinga terlaksana Ma’rifat kepada Tuhan, itu begini : Falamma tajalla rabbuhu liljabali ja’alahu dakkan wacharra muusa sha’iqan (Al A’raf 143 = Ketika Ma’rifat kepada Tuhan di gunung itu, kemudian gunung itu hancur, Nabi Musa terjatuh pingsan).
Sudah-sudah, tentang Ma’rifat kepada Tuhan tidak perlu dirembug panjang lebar lagi, hanya perlu saya tambahi keterangan seperti ini : Bisa saja ketika kamu belajar Shalat Ma’rifat (Yoga) tau mengalami satu detik bagaikan tidur tidak bermimpi, atau seperti pingsan, hal itu jangan kau kira jika kamu sudah Ma’rifat kepada Tuhan : Tanpa melewati jalan yang banyak godaannya itu. Hal seperti itu sama  seperti ketika tidur merasa tidak bermimpi, sebenarnya bermimi, namun mempinya sedikit sekali hinga tidak teringat sama sekali.
Singkatnya, jalan yang banyak godaanya itu (Menyusup di rasa jati” Bab III No.26) tidak bisa dihindari, seperti orang yang menghitung dari satu hingga sepuluh, tidak akan bisa menghindari angka sembilan.
Dan jika setelah kepulanganmu dari sini, kemudian kamu belajar Shalat Ma’rifat, aku hanya pesan sedikit :
I.          Perhatikanlah kesehatan badan, karena jika badan kasar sakit-sakitan, bisa dipastikan : Tidak akan bisa tercapai yang dicita-citakan.
II.        Tekun dalam menjalankannya dan telaten, namun jangan dipaksa-paksa : tergesa-gesa ingins egera sampai; karena ma’rifat itu tidak bisa dikerjakan dengan memaksakan diri.
III.      Bisa disertai mengurangi makan, tidur, asmaram namun jangan sampai merugikan kesehatan badan. Boleh juga dengan mendasari seperti itu, beserta juga jangan memuaskan makan, memuaskan tidur, memuaskan asmara.
33. MUDADAMA : Iya Kak, perintah Kakak, akan saya patuhi. Nah sekarang tinggal menjelaskan tentang yang gaib, yang pada umunya percaya atau tidak percayanya seseorang hanya meniru-niru saja. Seperti pada Rukun Iman yang ke enam, Kita harus mempercayai Malaikat-Malaikat-nya  Allah (Bab II No.24) Yang dinamakan Malaikat itu apa, Kak?  Mohon penjelasannya hingga membuat diriku puas.
33. WREDATAMA : Penjelasan yang tidak memuaskan itu berasal dari bodohnya yang memberikan penjelasan, atau juga yang menerima penjelasan, atau kedua-duanya. Akan tetapi akan saya coba, dengankalah!
Makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar ada empat.
1. Roh manusia yang sudah meninggal dunia, yang belum kembali kepada asalnya dan belum dilahrikan  ke dunia lagi (belum kiyamat = belum bangkit dari kematian). Alamnya disebut alam kubur. Roh tersebut ada yang mengalami enak dan tidak enak. Sehingga jika ada yang menerangkan alam kubur itu ada tingkatannya, dan masing-masing jenisnya diberi nama sendiri-sendiri, juga tidak salah. Di tempat itu tidak ada hdiup bertetangga, karena masing-masing roh itu hanya menjalankan keadaan menurut rasa dirinya masing-masing. Seumpama ada yang merasa bermasyarakat, juga menurut rasanya diri mereka itu tadi, seperti halnya orang bermimpi bermasyarakat. Sehingga tidak akan berkembangbiak atau pun berumah tangga. Roh-roh tersebut jika sudah sampai waktunya (berdasarkan ilmu dan amal perbuatannya) kemudian lahir menjadi bayi ke dunia lagi.
2. Bangsa Jin; yaitu mahkluk Tuhan, tidak berbeda dengan hewan dan manusia ini, namun tidak berbadan kasar. Hewan itu tidak terbilang jenisnya, ada yang merambat, merangkak, melata, terbang dan lain sebagainya ..... demikian juga bangsa Jin, juga tanpa bilangan jenisnya, masing-masing jenis ditandai dengan nama sendiri-sendiri oleh manusia. Alam Jin itu dinamakan alam astral (ajsam) dan ditingkatkan sama dengan alam kubur yang terendah. Sehingga siapa yang mata batinnya terbuka bisa berhubungan dengan roh yang ada di alam kubur, juga bisa berhubungan dengan bangsa jin. Banga jin itu hidup di alamnya, bermasyarakat seperti halnya manusia yang hidup di lam dunia ini. Sehingga berkembang biak dan berumah tangga.
Sama-sama bangsa Jin, yang tertinggi tingkatannya itu “JIN” yang sering disebut dalam Al-Qur’an, yaitu yang bentuk badannya banyak sekali yang mirip dengan manusia. Sedangkan kelakuannya juga seperti manusia ini. Ada yang jelek ada yang bagus, juga ada yang berbakti kepada Tuhannya, dan belajar Ilmu Agama.
Sabagian manusia ada yang suka bersahabt dengan Jin, malahan ada yang sukka berumah menikah dengan Jin. Demikian juga Jin itu, ada yang suka bersahabt dan kawin dengan manusia. Itu tidak mengherankan, sama saja dengan orang yang suka kawin dengan orang beda bangsa itu.
Sedangkan jika terjadi hal yang demikian itu, menurut aturan kudrat, mau tidak mau yang satu termasuk golongan (warga negara) satunya. Namun Jin mokal dan tidak mungkin berubah menjadi manusia, karena hanya memiliki badan halus saja, tidak memiliki dan tidak bisa membuat badan kasar. Sedang manusianya, mempunya badan kasar pun juga mempunyai badan halus. Sehingga manusialah yang harus mengubah dirinya untuk bisa masuk pada alam jin, dan ketika raga kasarnya sudah rusak (mati). Seterusnya manusia yang sudah pindah warga negara ke bangsa Jin itu juga mirip seperti Jin : Hidup berumah tangga dan bisa memiliki keturunan di alam ajsam itu.
Makhluk berjenis Jin itu menurut aturan Kudrat Tuhan, tidak bisa tidak, jiawanya juga mengalami kemajuan(Evolusi) hinga sampai sempurna : Kembali kepada Tuhannya. Namun bagaimana perjalanan kemajuan itu, kita manusia tidak mengerti. Yang jelas saja, pasti beda dengan amnusia. Sedangkan manusisa yagn sudah menjad “Warganegara Jin itu, kemajuan jiwanya juga mengikuti cara Jin.
Ada juga manusia yang tidak kawin dengan Jin, namun ketika matinya, rohnya juga terpaksa menjadi warga negara Jin, hingga lama sekali baru bisa menjadi warga negara manusia lagi. Yaitu manusia yang ketika hidupnya berguru atau mengambil tuntunan dan pertolongan Jin, menggunakan perjanjian atau pun tidak. Itu sama dengan orang berpakaian serba putih, menceburkan diri di perapian batu arang, mokal jika pakaiannya tidak terkena hitamnya arang. Sehingga jika akan kembali menjadi putih lagi harus membersihkan hitamnya terlebih dahulu.
Roh yang mempengaruhi manusia hidup yang menjadi perewangan yang kadang-kadang saja atau yagn terus menerus (Bab III No. 18, 19, 20, 27), itu bisa dipastikan roh dari orang mti yang pindah alam ke alam jin, atau memang jin blesteran atau jin murni.
Bangsa Setan (Syaithan), yaitu makhluk Tuhan  yang lebih lembut dibanding Proton (bagian dari atoom), jenisnya juga tidak terbilang, sedangkan tunggal jenisnya yaitu : Iblis atau Idajil. Setan dan Iblis itu sering disebut dalam Al-Qur’an, yaitu yang selama-lamanya menggoda manusia dan menjadi musuh manusia.
Alam setan itu juga termasuk alam Ajsam, artinya jika ingin menyatakan ujudnya ttidak bisa terlihat (dibesarkan) dengan menggunakan mikroskoop, harus dengan penglihatan gaib, seperti halnya seseorang yang menyatakan ujud dari jenis Jin. Sedang Jenis Setan itu, walau pun yang paling tinggi, dikarenakan ujud dan perbuatannya, tingkatannya sama dengan bangsa Jin yagn paling rendah sendiri. Yaitu ujudnya mengerikan, perbuatannya tidak ada yang baik. Masih ada bedanya lagi, yaitu bangsa Jin yagn paling rendah itu tadi, hdiupnya mengalami perubahan-perubahan berevolusi, sedangkan setan tidak, serta senang menang dalam dalam kejahilannya.
Sitan itu hidupnya hanya menjadi benalu di badan kasar manusia. Ketika raga manusia ini ditinggal oleh roh-nya, setan yang menumpang dan tidak terbilang jumlahnya itu ditinggal pula, akhirnya rusak, kembali kepasa asalnya dan “Selesai” tanpa kisah lagi. Sehingga perbuatan setan itu tanpa tanggung jawab sama sekali. Yang bertanggung jawab manusianya yang di tempeli, yang ketika meninggalkan raganya masih ada riwayat lagi.
34. MUDADAMA : Maaf Kak! Jika tentang roh orang yagn meninggal dunia yagn masih kekal hidup di alam kubur, itu sudah jelas penerimaanku. Demikian juga tentang makhluk yang berbadan halus yang disebut “Jin” itu aku juga bisa menerimanya, walau pun aku belum pernah melihatnya. Karena kepercayaan itu tidak harus bisa ddisaksikan oleh astendriya yagn lima (Pancaindra), juga bisa disaksikan menggunakan pengertian. Kepercayaanku tentang adanya Jin, sama saja dengan kepercayaanku, bahwa di dalam laut ditempati hewan buruan air yang jumlah jenis tidak beda dengan hewan buruan darat, walau pun aku belum pernah melihat keadaan di kedalam laut.
Namun, tentagn Setan ...... pemahamanku belum bisa menerimanya. Tiba-tiba ada makhluk yang hidup sebagai “benalu” segala, atu maksuddnya bagaimana dan kejelasannya seperti apa?
Dan juga, mohon maaf sebelumnya, aku tadi kan mohon penjelasan tentang “Malaikat” yang termasuk Tukun Iman, itu kan?
34. WREDATAMA : Jika langsung  aku menerangkan tentang Malaikat, menurutku kamu tidak langsung mengeri. Sehingga sebelum menerangkan tentang malaekt, saya awali menjelaskan tentang Jin dan setan terlebih dahulu, yang juga disebut di dalam l Qur’an.
Tentang badan kasar manusia yang ditempeli kehidupan makhluk lain, itu kan bukan hal yang aneh, ta? Sepertinya : Cacing tambang, kutu rambut, daln lain-lainnya, itu semua kehidupannya benalu bagi raga manusia. Artinya jika badan kasar itu telah rusak, si cacing gdan kutu rambut itu ikut rusak. Hanya saja perbedaanya, demikian : Cacing dan kutu rambut itu benalu yang datang gkemudian, yang menjadi ada karena terbawa dari makanan atau kotoran, dan bisa dihilangkan dari badan manusia. Sedangkan Setan itu “Benalu” asli, dalam menjadi benalu sejak manusia terlahir dari kandungan Ibu, serta tidak bisa dimusnahkan dari raga manusia. Soal itu perlu dijelaskan hingga sejelas-jelasnya.
Ketika manusia hidup menggunakan basan kasar, itu dari kudratnya Tuhan; pasti ketemepatan setan, walau pun para Wali dan para Nabi, juga demikian. Dalam Hadits : Maa minkum min ahadin illa walahu syaithan (Tidak ada satu manusia pun dari kalian semua, kecuali pasti ketempatan setan). Inu bukan hal yang aneh, seperti halnya tiap manusia hidup itu pasti ketempatan nafas, hasrat, nafsu, akal, pikiran, dan kelengkapan yang lain-lainnya lagi. Seandainya kosong salah satunya, pasti tidak hidup atau tidak sempurna hidupnya.
Sedangkan yagn dinamakan setan itu apa? Marilah dengarkan yang jelas. Jangan mudah percaya pun jangan mudah membantah.
Pada abad pertangan sekarang ini, para sarjana Ilmu Kedokteran sudah sepakat pendapatnya, bahwa di dalam badan  kasar manusia  hidup itu ada biji sakit (Baksil, bakteri) bermacam-macam, namun ada daya reaksi yagn cukup kekuatannya untuk menahan kekuatannya (aksine) dari baksil-baksil itu. Itu bagi orang yang sehat.
Sedangkan jika ada kejadian  dari sebab yang berasal dari dalam atau dari luar, yang menyebabkan daya reaksi itu tadi kurang kekuatannya ...... baksil bakteri itu kemudian In Aksi, orangnya dinamakan sakit. Sedangkan ujud dari baksil bakteri yang teramat sangat kecilnya itu sekarang sudah bisa di lihat menggunakan alat, juga buatan para sarjana, yang bernama mikroskoop.
Coba sekarang pikirkan yang obyektif, seumpama bakteri-bakteri itu saya namakan X, atau Y, atau Z, apa ............................... SETAN, kan bisa saja, ta? Kan hanya nama saja!
35. MUDADAMA : Iya, Kak, jika hanya tentang nama saja, dari pengertianku tidak ada keberatannya. Namun yagn bernama “setan” dengan yang bernama “bakteri-bateri” itu apakah sama, Kak?
35. WREDATAMA : Sabar dulu, jika tentang “Nama” kamu sduah tidak keberatan, saya teruskan uraianku.
Sebenarnya yagn disebut Setan di dalam Kitab-Kitab Suci, ketika di jaman kuna itu, yaitu yang dinamakan baksil-baksil oleh Ilmu kedokteran di jaman sekrang ini. Namun baksil-baksil itu termasuk setan pada tingkatan rendah dan kasar (agal), sehingga sekarang sudah bisa dilihat dengan menggunakan alat. Sedangkan di badan manusia itu juga ada setannya yang tingkatannya lebih tinggi dan keadaannya lebih lembut dibanding dengan baksil-baksil itu.
Ketika sarjana ahli Wetenschaschap belum bisa membuat alat yang disebut Mikroskoop, kepercayaan orang biasa kepada bakteri-bakteri cukup hanya merasakan akibat dari perbuatannya saja. Demikian juga sekarang, kepercayaan orang kebanyakan kepada adanya setan (Bakteri-bakteri yagn lebih lembut) itu seharusnya juga cukup dengan mengetahui akibat dari perbuatannya saja. Dan juga bukan hal yang aneh seumpama besok berapa turunan lagi, ada sarjana ahli wetenschap yagn bisa membuat mikroskoop yang lebih canggih, yang bisa dipergunakan untuk melihat setan dengan sejelas-jelasnya, itu adalah apa, dan juga tentang badan halus yang lainnya.
36. MUDADAMA : Nahhh.. sekarang pehamanku sudah terang, Kak. Malah menurut pendapatkku, tentang adanya Lelembut (makhluk lembut) yagn bernama setan itu lebih dekat kepada wetenschap dibanding terhadap mystiek. Untuk selanjut, Kakakberkenanlah menerangkan akibat dari perbuatan setan itu, agar orang kebanyakan  seperti aku ini, bisa percaya – yakin bahwa memang ada sungguhan.
36. WREDATAMA : Itu tidak sulit,  asal saja kamu masih mau menggunakan akal dan pikiran saja.
Sebangsa setan yagn ada di badan kasar manusia itu takdir perbuatan yang pokok menyebabkan sakitnya jiwa bagi manusia. Sedangkan yagn sebut sakitnya jiwa itu, angan-anagn yang menghalangi antara makhluk dengan penciptanya. Tidak membedakan yang memiliki angan-angan itu bodoh atau pinter, kaya atau miskin, raganya sakit atau sehat, Dan juga tidak membedakan apa yang punya angan-angan itu dalam tindakan lahirnya bertindak maksiat atau tidak maksiat.
Sedangkan setan yagn kasar yagn bernama baksil-bakteri yagn ada di badan kasar dari manusia itu, takdir perbuatannya yang poko : menyebabkan sakitnya raga. Sehingga jika orang biasa (mukmin awam) jika mengalami sakit raga itu, menjadikan gelap pikirannya, luntur pengabdiannya kepada Tuhan, dalam berikhtiar tidak dengan cara pasrah, terkadang mau minta tolong kepada badan halus ( menjadi musyrik = menyekutukan Tuhan), kadang juga bisa menyembuhkan. Hal itu bisa menyebabkan manusia berbuat demikian itu takdir dari perbuatan setan.
Dan juga pahamilah olehmu, baksil – bakteri yang sedang “in aksi” di dalam tubuh manusia itu, bisa menular atau dengan sengaja ditularkan kepada manusia lain. Jika yang tertular itu kurang kuat daya reaksinyan juga akan mengalami sakit raga seperti yang ketempatan baksil-bakteri itu tadi. Namun karena baksil – bakteri itu termasuk setan kasar, cara penularannya itu juga dengan cara kasar, yaitu jika dekat atau terlihat mata.
Sedangkan jenis setan , yang tingkatnnya halusnya melebihi baksil – bakteri itu, juga bisa ditulasrkan kepada manusia alainnya, dari jarak jauh. Ketika yagn ditulari itu kurang kuat daya reaksinya, juga kemudian terserang sakit di jiwanya, terkadang terjangkit sakitnya raga dan jiwanya, menurut keinginan yang menularkan.
Jika penjelasanku ini sudah bisa kamu pahami, tentunya kamu tidak akan menyalahkan tentang adaya “ Tenung, teluh, guna-guna pengasihan, santet, jaran goyang, dan lain sebagainya, itu. Tentunya kamu juga mengerti bahwa kelebihna-kelebihan dan berbagi jenis aji kesaktian yang diusahakan itu (Bab III No.22, 30, 31), berarti : Ditolong oleh rohnya orang yang meninggal dunia yagn belum sempurna, atau ditolong oleh golongan Jin, atau ditolong oleh ......... Setan dari dirinya sendiri.
37. MUDADAMA : Iya Kak, sekarang aku sudah mengerti sungguhan. Tentag setan yang sebelumnya aku setengah percaya setengah tidak, sekarang sudah yakin adanya. Dan juga tidak heran bahwa jika setan itu bisa menundukan perbuatannya (menggoda) kepada orang yang sehat raganya, dan juga kepada orang yang kelihatan dalam kelakuannya bertindak “baik”. Yaitu ketika orang-orang itu menyenangi tentang urusan dunia mengalahkan pengabdiannya kepada Tuhan. Sebab yang menghalang-halangi antara makhluk dengan Tuhan itu tidak lain itu hanya tentang keduniaan itu.
Nah... tentang itu aku mohon penjelasan : Apa, kita sebagai manusia ini tidak bisa meneliti sendiri terhadap godaan setan itu : sebelum jadi kurban? Dan juga, jika baksil-baksil yang ada di badan kasarnya manusia disertai daya reaksi, sedangkan setan yagn ada di badan kasarnya manusia, yang lebih besar bahayanya, apakah tidak disertai daya reaksi?
37. WREDATAMA : Nah sekarang soal “Malaekat” yagn kamu tanyakan dari semula. Aku tadi sudah menyampaikan, bahwa makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar ada empat (Bab III No..33) baru saya terangkan yang tiga, masih kurang satu : yaitu dari golongan Malaekat itu.
4. Bangsa Malaekat (malaikat), itu makhluk Tuhan berbadan halus yang luhur derajatnya. Pemimpin setan yang bernama Idajil itu, sebelumnya juga golongan malaekat. Namun kemudian direndahkan derajatnya, dimasukkan ke dalam golongan setan yang alamnya bernama alam ajsam (Bab III No.33).
Sedangkan alam dari golongan Malaekat itu bernama alam Malakut. Jumlah dari golongan malaekat itu juga tidak terbilang, seperti halnya jumlah dari golongan setan. Nama dari para malaekat yang perlu dikaetahui dalam Rukun Iman ada 10, yaitu :
1.         Jibril          = Yang menjadi utusan Tuhan memberikan Wahyu kepada para Nabi dan memberikan Ilham kepada makhluk yang diberi anugerah itu.
2.         Mikail         = Yang membagikan rejeki dan yang mencurahkan hujan.
3.         Israil          = Yang menempatkan Roh.
4.         “Izrail         = Yang mencabut roh.
5.         Raqib         = Yang mencatat pebuatan baik buruk.
6.         “Atid          = Yang mencatat perbuatan baik buruk
7.         Munkar      = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur.
8.         Nakir         = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur
9.         Ridwan      = Penjaga surga.          
10.     Malik         = Penjaga Neraka.
Alam Malakut itu alam yang luhur (halus) sekali, sehingga orang yang belajar Yoga (Shalat Ma’rifat) sangat jarang yagn bisa sampai di tingkatan itu. Seta orang yang terbuka penglihatan gaibnya, jarang yang bisa melihat terhadsap ujud dari  Malaekat itu, walau pun sudah bisa melihat wujud  makhluk yang ada di alam Ajsam dan yang ada di alam kubur. Namun manusia yang sempurna dari yang sempurna : derajatnya melebihi Malaekat. Yaitu seperti yang sudah saya sampaikan  itu, ketika Mihraj-nya Nabi Muhammad hampir sampai di hadapan Tuhan, Malaekat Jibril tidak kuat melajutkan untuk ikut (Bab III No.30).
38. MUDADAMA : Mohon maaf Kak! Aku agak bingung mendangar penyampaian Kakak  tanteng Malaekat itu. Yang dibicarakan yang sudah lalu kan golongan setan yang berada di badan kasarnya manusia alias yagn ada di jagad kecil (mikrokosmos). Aku kemudian mohon penjelasan tentang zelfkorreksi dan tentang daya areaksi yang menanggulangi aksi dari golongan setan itu. Kemudian Kakak, terus membicarakan golongan Malaekat, padahal penerimaanku : Malaekat itu para alat (Apparat) utusan Tuhan yang bertugas mengurus semua manusia yang ada di seluruh dunia alias yagn ada di jaga besar (makrokosmos). Tentang hal itu bagaimana?
38. WREDATAMA : Itu kan pendapatmu sendiri, dari bawaanmu sendiri, bukan pendapat yang karena mendengar  penyampaianku, ta? Aku tidak mengakatan Jagad besar dan sejenisnya, yagn saya katakan semua itu hanya jagad kecil, yaitu badan kasar dari manusia ini.
Memang benar bahwa malakekat itu aparat utusan Tuhan, namun Tuhan yang bermakna  “Individueele God” (Bab II No.2,8), bukan Tuhan yang bermakna, algemenee God” seperti perkiraanmu itu. Sedangkan Algemeene God itu apakah memiliki Aparat yang bernama Malaekat, apa tidak, itu, tidak bisa dibicarakan, sehingga juga tidak perlu dibicarakan. Karena Tinggi-Tingginya Ma’rifatullah itu – walau pun para Nabi sekali pun – tidak lain hanya Ma’rifat kepada  ......... Individueele God = Allah-nya sendiri (Bab I No.37, Bab II No.7).
Sehingga : Nama dari Malaekat serta kewajibannya sekalian, yang saya katakan itu tadi, tidak lain adalah ........................................ Malaekat dari diri orang masing-masing serta kewajibannya kepada diri amsing-masing orang ketika masih berbadan kasar ini.
Jika kamu masih bingung, karena tidak lain dikarenakan nama dari Malaekat dan nama dari Pemimpjn setan itu yang kamu kira eignnaa,  sebagai ibarat ........ Pak Sastrakara. Padahal sebenarnya “Nama” itu sebutan dari tugas pekerjaanya, Gambarannya .............. Pak Carik yang pekerjaan menulis, dan di tiap kelurahan  ada Pak Carik-nya. Jelasnya : Tiap diri manusia itu ada Ijajilnya sendiri-sendiri, juga ada Jibril-nya sendiri-sendiri, Mikail-nya sendiri-sendiri, Israfi-nya sendiri-sendiri ..... dan seterusnya. Yang masing-masing saling mempunyai  kewajiban seperti yang saya katakan itu tadi. Namun, tugas malaekat itu jangan kamu pahami  Letterlijk seperti perkiraanmu semula itu tadi.
Sedangkan Malaekat yang tak terblang jumlahnya itu, hidupnya juga menjadi benalu di badan kasar manusia, yang atas kudrat dari Tuhan, sebagai lawan menandingi dari golongan setan, yaitu dari reaksi atas aksi-nya golongan setan. Ketika badan kasar manusia ini rusak, para Malaekat juga akan “Selesai” kembali kepada asalnya, seperti halnya golongan  setan yagn sudah saya jelaskan itu tadi.
Untuk lebih jelasnya menggunakan rumus (formula), seperti ini :
Aksi dari setan rendahan (baksil, bakteri) yang menyebabkan sakitnya raga, di tanggulangi oleh reaksi dari Malaekat arahan.
Aksi dari setan tingkat yang lebih halus, yang menyebabkan sakitnya jiwa, ditanggulangi ileh reaksi dari Malaekat yang lebih luhur.
Sehigga : Golongan Malaekat itu – makhluk berbadan halus yang ditakdirkan menjadi reaksi terhadap aksi dari golongan setan. Oleh karena Malaekat itu makhluk yagn luhur derajatnya (Sangat halus), sehingga Malaekat  yang Arahan saja, tidak bisa dilihat mempergunakan mikroskoop, apalagi malaekat yang lebih luhur derajatnya. Juga dengan mempergunakan penglihatan gaib sangat jarang yang bisa melihatnya. Namun dengan menggunakan akal dan pikiran, orang bisa percaya atas adanya Malaekat itu, karena melihat dari menyatakan atas perbuatannya.
Sedangkan perbuatan Malaekat Arahan yang membentengi aksi dan bakteri-baksil, wetenschap sudah menyaksikan adanya, Sedangkan yagn dilakukan oleh Malaekat yang menanggulangi perbuatan setan, yang menggoda manusisa agar sangat mencintai urusan dunia hingga mengalahkan penghambaannya kepada Tuhan, bisa dinyatakan menggunakan Zalfkorreksi seperti ini :
Kita ini dalam setiap harinya, tiap jam, tiap menit, tiap detik, pasti mengalami Chaathir (krenteg-osik/Cetusan hati) ketika salah satu indriya yang lima mengalami hal apa saja, terkadang tersa, terkadan tidak terasa, karena sangat eratnya, Cetusan itu garis besarnya pasti hanya dua macam yang selalu berlawanan, Yang satu mengajak lupa (menolak) kepada Tuhan, yang satunya lagi menghamba (manghadap) kepada Tuhan. Cetusan hati yang mengajak menolak itu, tidak lain dari perbuatan golongan setan, sedangkan yang mengajak menghadap Tuhan itu tidak lain berasal dari perbuatan golongan malaekat.
Orang yang kuat raganya, daya reaksi dari malaekat Arahan itu kuat dalam menghadapi aksi dari golongan setan rendahan (baksil bakteri). Semikian juga orang yang kuat jiwanya (rohnya), daya reaksi malaekat yang selalu mengajak menghadap Tuhanitu juga kuat menanggulangi aksi dari golongan setan yagn selalu mengajak menghidar dan menolak terhadsap Tuhan. Sedangkan badan kasar serta si astendriya yang dikendalikan oleh akal pikiran, hanya tinggal menurut saja. Jika roh-nya tunduk kepada setan, tentu akan melakukan sesuai dengan watak dari setan, demikian juga sebaliknya.
Nah... sekarang sudah malam, jika kamu akan pulang besok, sekarang istirahatlah.
39. MUDADAMA : Iya Kak, namun aku memaksa mohon diterangkan dahulu tentang surga dan neraka, walau secara singkat saja. Keinginanku ingin mengerti tentang hal yang gaib lainnya yagn tidak ada hubungannya dengan Iman dan tekad, saya sabarkan dahulu, lain waktu saja jika saya datang ke sini lagi.
Kakak mengatakan, bahwa surga neraka aitu bermakna takdir baik dan takdir buruk (Bab II No.35) itu aku belum jelas benar.
a.         Yang disebut takdir baik dan takdir buruk itu yang baimana ujudnya?
b.         Katanya surga itu lapis tujuh, neraka itu lapis tujuh, sedangkan surga neraka itu merupakan takdir hidup, terus bagaimmana kejelasannya?
39. WREDATAMA : Pertanyaanmu itu sepertinya sudah isi catatan .... bahwa surga aneraka itu  kamu kira tempat. Hal itu keliru, salah yang sebenarnya. Surga Neraka itu kenyataannya persisi seperti “alam-a;am” yang sudah saya jelaskan di depan. Tidak lain hanya menurut rasa dari yang mengalami sendiri-sendiri (Bab II No.23, 24, 25).
Sehingga jika kamu mempunyai anggapan, bahwa yang disebut takdir baik itu orang yang dilahirkan pinter, sugih, terhormat ...... itu salah. Sebab yang mengalami hal demikian belum tentu mempunyai rasa Beruntung. Sedangkan yang dilahirkan sebaliknya itu semua jangan kamu kira itu takdir jelek, karena yang mengalami belum tentu mempunyai rasa celaka.
Singkatnya : Surga = keadaan hati yang berasa beruntung, senang, tenteram dan lain sebagainya, yang  secara garis besarnya dikatakan enak; Neraka = Keadaan hati yang merasa celaka, susah, resah dan lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatan tidak enak.
Coba sekarang dikupas :
Kata “Surga’ dan “Neraka” itu, aku tidak mengerti kejelasannya, apakah kata yagn sudah berubah atau mengambil dan manca, apa asli bahasa Nasional, dan makna yang letterlijk, itu bagaimana aku juga tidak mengerti dengan jelas.
Sedangka jika makna yang mengikuti artinya, sudah jelas Surga = Kenikmatan dan keindahan, Neraka = lawan dari kenikmatan dan keindahan, Jika demikian, kan kata sebutan yang disimpulkan dari kata ‘Keadaan”.  Namun ketika dijadikan kata yang berbunyi “Surga” dan “Neraka” kemudian menimbulkan anggapan baru : Surga neraka itu sebutan tempat, seperti Pantai, gua dan lain-sebagainya.
Di dalam Biybel, dalam menyebut surga itu Hemel artinya atas, untuk menggambarkan keluhurannya, terkadang eden atau Paradiys artinya Pertamanan, untuk menggambarkan kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan dalam menyebut Neraka : Hel, artinya ....... Bawah, untuk menggambarkan keburukannya.
Di dalam Qur’an dalam menyebut surga itu Jannatun (al-jannatu) artinya pertamanan, juga untuk menggambarkan kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan kata “Jannatun” itu kadan ditambahi Firdaus, naim, chudi, adni, illiyin ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, Entah yang lainnya lagi. Kemudian menumbuhkan anggapan bahwa tambahannya itu ........................................ Eignnaame si Jannatun, seperti halnya “Parangtritis” Eignnaame “Pantai” Atau “Langse” eignnaaame Gua. Padahal kenyataannya tambahan itu adalah kata keterangan atas Kenikmatan dan keindahan iut tadi. Seperti :Jannatul Firdaus” bermakna  Pertamanan yang dihiasi Istanabukan Surga yang bernama Firdaus. Sedangkan “Firdaus” itu satu maksud dengan “Paradiys” di Biybel, berasal dari Bahasa Ibrani.
Seharusnya kata sebutan itu tidak berlawanan. Namun kata sebutan Surga dianggap berlawanan  kata sebutan neraka, oleh karena kedunya memang asal dari kata keadaan. Sedangkan di Qur’an tidak demikian. Kata sebutan “Jannatun” yang diartikan ke dalam bahasa Jawa “Surga” tidak mempunyai lawan katanya dan bahasa jawanya Neraka. Di Qur’an hanya menceritakan adanya “Adzaab (Siksa) bermacam-macam, contohnya : wailun, sa’ir, jahim, jahanam, huthammah, haawiyah, saqar, nar .......... entah yang lainnya lagi. Sedangkan kata-kata itu kan jelas adalah kata keterangan yang menerangkan “Adzaab” itutadi, bukan eignnaam, serta kata “Wailun” (dibaca : Wel) itu satu asal dengan “Hel” di Biybel, sama berasal dari bahasa Ibrani.
Menurutkan sekarang sudah jelas lebih dari jelas, bahwa surga Neraka itu bukan tempat, hanya rasanya (Yang dirasakan hati) yang mengalami saja.
Sedangkan surga Neraka itu dikatakan lapis tujuh, atau warna tujuh, itu tidak ada salahnya, Karena rasa yang dialami hati (enak atau tidak enak) itu memang banyak jenisnya, bukan hanya tujuh macam saja. Serta masing-masing warna itu tidak sama ukurannya, juga bukan tujuh ukuran saja.
Yang Terakhir : saya ulangi pesanku ; Jangan suka berbantahan masalah Ilmu (Bab I No.37) ingatlah perintah Qur’an “ Mani ahtadaa fainnamaa yahtaddie linafsihi waman dlalla fainnamaa yahdlilu ‘alaihaa (Isyraa’ 15) = siapa yang mendapakan petunjuk itu untuk dirinya sendiri, yang siapa sesat juga untuk dirinya snediri). Artinya : Masing-masing  orang itu keyakinanan menurut taqdirnya sendiri-sendiri, tidak bisa didpengaruhi.
Sekarang ayo... Istirahat.


TAMAT
Kota Sepanjang, Kab. Sidoarjo, Jawa Tumur, 23 September 2014
Ketika Matahari pada posisi di Tengah Bumi Garis Katulistiwa.

7 komentar:

  1. Pakatau mas pujo, saya apresiasi atas usaha anda untuk mempublikasikan ilmuyang bermanfaat cuma kritik sedikit tolong dicrmati lagi mudatama dan wredatama apa tidak kebalik, karena yang bertanya biasanya yang muda kepada yang tua, maap ya

    BalasHapus
  2. apakah masih ada lanjutnya mas untuk bab 2 dam bab 3

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah, maturnuwun mas/pak Pujo atas jerih payahnya menerjemahkan buku Kuntji Swarga ke bahasa Indonesia. Saya punya buku ini cetakan ke VI dengan ejaan Lama, sudah saya baca dengan segala keruwetan cetakan buku seharga 30 rupiah ini. Sekali lagi maturnuwun, semoga Allah SWT membalas yang lebih baik buat panjenengan semua.

    BalasHapus
  4. Matur suwun ya mas. Saya punya buku cetakan ke 4.tapi halaman terakhirnya hilang. Dan di artikel ini ada sampai hal terakhir.sehinga tahu sampai endingnya. Sekali lagi terimakasih. Rahayu sagung dumadi.

    BalasHapus
  5. Assalamu alaikum wrwb. matur suwun mas pujo, sangat bermanfaat. Permisi, menawi Bpk ibu pembaca mempunyai buku aslinya, bolehkah saya ganti atau saya beli ?. Matursuwun

    BalasHapus
  6. Assalamualaikum Mas Pujo . . Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT dan rasa terimakasih sebanyak-banyaknya buat mas Pujo yg telah memudahkan kami memahami kitab kuntjo Swarga...semoga Allah SWT membalas berlipat ganda atas jerih payahnya mas Pujo menterjemahkan kitab ini...harapan saya mas Pujo Sudi menterjemahkan kitab wirid itmi... matur nuwun sangeet mas.. wassalamu'alaikum

    BalasHapus