Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 07 September 2014

Sejarah Singkat Filsafat Tiongkok – Fung Yu Lan

Orang harus berbicara dahulu yang banyak sekali, sebelum ia tinggal tenang dan diam
SEJARAH SINGKAT FILSAFAT TIONGKOK (CINA)
(A Short History of Chinese Philosophy by Fung Yu Lan)
Edit : Pujo Prayitno

P E N D A H U L U A N

Buku ini adalah terjemahan bebas dari A Short History of Chinese Philosophy, buah karya Dr. FUNG YU LAN, bab ke-I; ke-II, ke-III, ke XXVII, dan ke-XXVIII).
Bab.I               : Jiwa dari Filsafat Tiongkok
a.         Tempat yang diduduki oleh Filsafat di dalam Kebudayaan Tiongkok
b.        Peroalan dan Jiwa Filsafat Tiongkok
c. Tentang bagaimana caranya para ahli filsfat Tiongkok menyatakan Isi Hatinya
d.         Bahasa Asing Sebagai Rintangan
Bab.II              : Latar Belakang dari Filsafat  Tiongkok
e.         Latar Belakang Geografis Dari Rakyat Tiongkok
f.          Latar Belakang Ekonomis Dari Rakyat Tiongkok
g.        Keadaan yang Membalik adalah Gerak Tao
h.        Pujaan Terhadap Keadaan Alam Yang Asli
i.          System Kekeluargaan
j.          Yang Mengenai dunia ini dan dunia lain
k.         Kesenian dan Puisi Tiongkok
l.          Methodologi Filsfat Tiongkok
m.      Negeri Laut dan Negeri Daratan
n.        Hal-hal yang Permanen (tetap) dan hal yang dapat berubah didalam Filsfat Tiongk
Bab.IIII            : Asal Mula dari Aliran-aliran di Tiongkok
o.         Ssu T’an dan Enam Aliran
p.          Liu Hsin dan Teorinya tentang Asa-Mula dari Aliran-aliran di Tiongkok
q.        Meninjau Kembali Teori Liu Hsin
Bab.XXVII      : Perkenalan dengan Filsafat Barat
e.         Reaksi Terhasap Neo-Confucianisme
f.          Pergerakan yang menuju ke arah Agama Confucius
g.        Berkenalan dengan Alam Pikiran Barat
h.        Perkenalan dengan Filsafat Barat
Bab.XXVIII     : Filsfat Tiongkok di dalam Dunia Moderen
i.          Perkenalan dengan Filsafat Barat
j.          Hasil-Hasil di Dalam Lapangan Filsafat pada Waktu Perang
k.         Corak  Filsafat
l.          Lapangan Kehidupan
m.      Methodologi Di Dalam Metaphysica
 BAB : I
JIWA  DARI FILSAFAT  TIONGKOK
Tempat yang diduduki oleh Filsafat di dalam kebudayaan Tiongkok dapat disamakan dalam kebudayaan Tiongkok dapat disamakan dengan tempat yang diduduki  oleh Agama di dalam kebudayaan negri-negri lain. Di Tiongkok, setiap orang yang pernah mendapat pendidikan, merasa dirinya bersangkut-paut dengan Filsafat. Bilaman pada jaman dahulu seseorang mendapat pendidikan, maka pelajaran pertama yang diberikan kepadanya adalah pelajaran Filsafat. Kalau seorang anak mulai masuk sekolah, maka pertama-tama yang diajarkan kepadanya, adalah membaca “Empat Buah Buku”, yaitu terdiri dari :
1.         Analecta Confucius,
2.         Buku Mencius,
3.         Ilmu “Tinggi” (the Great Learning), dan
4.         Ajaran  tentang Jalan Tengah (Doctrine og the Mean).
Ke empat buku ini merupakan naskah-naskah yang terpentign dari kefilsafatan Neo Confucianisme. Kadang-kadang, bilamana pada permulaan anak-anak sedang mempelajari huruf-hurufnya/tanda tandanya, mereka diberi semacam “Tiga Huruf Klasik”. Dinamakan demikian oleh karena tiap-tiap kalimat di dalam buku itu terdiri atas tiga huruf  yang disusun sedemikian rupa hingga kalau dibaca, pembacanya akan memperdengarkan suara-suara yang rhythmis (yang sama iramanya). Hal ini memudahkan cara menghafalkannya. Pada hakekatnya, buku “Tiga huruf klasik” ini adalah buku untuk tingkat permulaan, dan yang pertama-tama dinyatakan di situ adalah bahwa : “Manusia itu pada aslinya bersifat baik” Ini merupakan salah satu dari ide-ide pokok filsfat Mencius.
A.       Tempat yang diduduki oleh Filsafat di dalam Kebudayaan Tiongkok
Orang Barat yang melihat bahwa di dalam hidup orang Tiongkok itu terjalin, ajaran-ajaran Confucianisme, medapat kesan bahwa Confucianisme ini seakan-akan merupakan Agama. Tetapi apakah Confucianisme itu merupakan agama atau tidak, hal itu sebetulnya tidak jauh berbeda  denga n misalnya Platonisme atau Aristotelisnisme. Benar juga bahwa “empat buah buku” tersebut telah dijadikan Kitab Suci dari rakyat Tiongkok, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di situ tidak dimuat sesuatu cerita tentang penciptaan-penciptaan, dan juga tidak disebut tentang sorga atau pun neraka.
Memang benar bahwa baik istilah “Filsfat: maupun istilah “Agama” itu kedua-duanya mendua arti. Artinya, bagi orang yang satu dapat berlainan sekali dengan bagi orang lain. Kalau kita berbicara  tentang Filsafat  atau pun tentang Agama, di dalam pikiran kita dapatlah melintas gambaran-gambaran yang beraneka warna mengenai hal itu. Bagi saya, yang saya sebut Flsafat adalah : “Pikiran yang systimatis dan reflectif tentang hidup.” Setiap orang yang belum mati, itu masih hidup. Tetapi sekali pun masih hidup, tidak ada banyak orang yang berpikir secara reflectif tentang hidup. Dan lebih sedikit lagi jumlah orang yang berpikir secara reflectif dan systimatis. Seorang ahli filsfat harus beriflsafat; artinya ia harus berpikir secara reflectif tentang hidup, dan kemudian ia harus menyatakan pikirannya aitu secara systimatis.
Cara berpikir yang saya maksud ini danamakan “Reflectif”  oleh karena yang menjadi obyek  dalah hidup. Teori tentang hidup, teori tentang alam semesta, dan teori tentang pengetahuan, semuanya itu timbul dari pikiran yang reflectif. Teori tentang alam semesta itu timbul, karena alam semesta merupakan latar belakang drama hidup. Teori tentang pengetahuan timbul karena “Berpikir” itu merupakan  pengetahuan. Beberapa ahli filsafat Barat mengatakan bahwa sebelum kita berpikir, kita lebih dahulu harus menemukan apa yang dapat dipikirkan. Artinya, sebelum kita mulai berpikir tentang hidup, kita lebih dahulu harus berpikir tentang pikiran kita.
Teori-teori demikian ini semuanya adalah hasil dari cara berpikir yang reflectif. Konsep tentang hidup, konsep tentang alam semesta, dan konsep tentang pengetahuan, juga merupakan hasil dari cara berpikir yang reflectif. Meskipun kita berpikir tentang hidup, atau meskipun kita berbicara tentang itu, kita selalu toh berada di dalam “hidup” itu. Dan meskipun kita berpikir atau pun berbicara tentang alam semesta, namun kita semuanya merupakan bagian dari alam semesta itu, yang disebut “Alam semesta” oleh para ahili filsafat adalah “ Keseluruhan dari segala sesuatu yang ada.” Jadi senilai dengan apa yang oleh ahli Filsafat Tiongkok Kuno Hui Shih disebut “Yang Besar”, dimana di dalam perumusannya dinyatakan bahwa “tidak terdapat sesuatu pun di luar Yang Besar itu”. Dengan demikian maka setiap orang dan segala sesuatu saja harus dianggap sebagai bagian dari alam semesta. Jadi kalau seseorang berpikir tentang alam semest ( dimana ia tidak “menghadapi” melainkan “berada di dalam” alam semesta), maka ian sedang berpikir secara reflectif.
Bilamana kita berpikir tentang pengetahuan atau berbicara tentang pengetahuan, pikiran dan pembicaraan kita itu sendiri sudah merupakan pengetahuan. Kalau kita mempergunakan istilah Aristoteles, hal itu merupakan “Pikiran tentang Pikiran”; dan pikiran yang demikian ini adalah pikiran yang reflectif. Di sini para ahli filsafat berputar-putar saja di dalam lingkaran, tanpa ada titik berhenti (vicious circle), sebab mereka amenghendaki bahwa sebelum kita berpikir, kita hendaknya berpikir lebih dahulu tentang pikiran kita dulu. Seolah-olah kita mempunyai kekuatan/kemampuan lain yang memungkinkan kita untuk berpikir tentang pikiran. Sudah menjadi kenyataan bahwa, kekuatan/kemampuan yang memungkinkan kita untuk berpikir tentang pikiran, itu adalah juga kekuatan/kemampuan yang memungkinkah kita untuk berpikir (jadi di sini kita berhadapan dengan satu kekuatan/kemampuan saja; bukan dua kekuatan/kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya). Apabila kita ragu-ragu tentang kemampuan pikiran kita untuk “meneropong” hidup dan alam semesta, maka kita harus jura ragu-ragu tentang kemampuan pikiran kita untuk “meneropong” pikiran kita.
Agama pun mempunyai sangkut paut dengan hidup. Di dalam “jantung” *Heart) dari tiap-tiap Agama yang luhur, terdapat Filsafat. Sebetulnya : “Setiap Agama yang luhur berup sesuatu kefilsafatan yang mempunyai “bangunan atas” (boven bouw, superstructure), yaitu suatu bangunan yang terdiri atas sejumlah takhayul =-takhayaul, dogam-dogma, upaya-upaya dan lambang-lambang.
Agama yang dmeikian inilah yang saya maksudkan, kalau saja mempergunakan istilah “Agama” Kalau orang sudah memahami istilah Agama seperti yang saya uraikan tadi (yang tidak jauh berbeda dengan arti yang lazim), maka ia akan mengerti bahwa Confucianisme tidak dapat dipandang sebagai Agama. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa di Tiongkok dikatakan ada tiga Agama, yaitu :
1.         Confucianisme,
2.         Taoisme, dan
3.         Budhhisme.
Tetapi seperti sudah kita lihat di atas, confucianisme bukanlah Agama.
Mengenai Taoisme, dapatlah dibedakan antara Taoisme sebagai kefilsafatan, yaitu yang disebut “Tao Chia” (Artinya : Madzhab/aliran Tao) dan Taoisme sebagai Agama, yaitu yang disebut “Tao chiao”. Ajaran-ajarannya tidak saja berlainan, melainkan dapat dikatakan bertentangan. Taoisme sebagai kefilsafatan mengajarkan supaya : “Orang menuruti alam kodrat”. Misalnya menurut Lao Tze dan Chuang Tzu, adalah sesuatu proses alam kodrat bahwa hidup itu disusul dengan mati. Maka dari itu hendaknya orang menuruti saja proses yang wajar ini dengan tenang.
Sebailnya Taoisme sebagai Agama, mengajarkan supaya : “Orang justru menentang alam kodrat”. Maka yang menjadi ajaran pokok dari Agama Tao ialah Azas dan Teknik tentang bagaimana caranya menjauhi maut, jadi nyata-nyata menentang alam kodrat. Agama Tao berjiwa ilmiah, dan berusaha menaklukkan alam kodrat. Bagi mereka yang merasa tertarik akan Sarjana Ilmu PengetahuanTiongkok, buah –buah karangan dari pengikut-pengikut Agama Tao dapat memberikan banyak keterangan-keterangan yang dibutuhkan.
Juga mengenai Buddhisme dapat dibedakan antara Buddhisme sebagai Filsafat, yaitu yang dinamakan “Fo Hsueh” (artinya) : Ajaran Kaum Buddha”) dan Buddhisme sebagai Agama, yaitu yang dinamakan “Fo Chiao”.  Bagi pelajar-pelajar Tionghoa, kefislafatan kaum Buddha lebih menarik daripada Agama Buddha.
Sudah menjadi hal yang biasa sekali, uddha maupun rahib-rahib Tao bersama-sama bantu membantu pada upacara-upcara pemakaman jenazah di Tiongkok. Dapat dikatakan bahwa : “Orang Tiongkok itu memandang Agama dari sudut Filsfat” Pada waktu sekarang, banyak orang Barat mengetahui bahwa orang Tionghoa itu sudah tidak banyak lagi mempunyai sangkut paut dengan Agama, jadi tidak seperti bangsa-bangsa lain. Prof. Derk Bodde misalnya menulis di dalam “Dominant Ideas in the Formation of Chinese Culture. (Journal of American Society, jilid 62, No.4, hal.293 -9).
“Di dalam hidup orang Tionghoa, ide-ide  dan kegiatan-kegiatan di dalam lapangan keagamaan tidaklah menjadi faktor yang maha penting, dan tidaklah mengalahkan segala sesuatu lainnya ....................... Yang memberi dasar kejiwaan pada kebudyaan Tiongkok adalah Ethica (terutama Ethica ajaran Confucius), dan bukan Agama (artinya bukan Agama yang formil, yang diorganisir) ................................... Sehingga dengan demikian nampak perbedaan yang pokok antara Tiongkok dan kebanyakan dari kebudayaan-kebudayaan lainnya, dimana gereja dan ke-paderian pernah memegang peranan yang utama”.
Yahhh, hal itu memang ada benarnya. Tetapi orang masih dapat bertanya :
1.         Mengapakah demikian halnya?
2.         Kalau keinginan akan hal-hal pada sisi laind ari dunia kita ini tidak merpkana sesuatu hasrata dari hati manusia, mengapa (menurut kenyataan) bagi kebanyakan orang ide-ide dan kegiatan-kegiatan di lapangan keagamaan itu menjadi faktor yang maha penting dan mengalahkan segala sesuatu lainnya? Daripada nilai-nilai.
3.         Bila keinginan tersebut merupakan salah atu hasrat pokok dari manusia, mengapa di dalam hal  ini orang Tionghoa menjadi perkecualian?
4.         Bilaman orang berkata bahwa yang memberi dsar kejiwaan pada kebudyaan Tingkok itu adalah Ethica, dan bukan Agama, apakah itu mengandung arti bahwa orang Tionghoa tidak sadar akan adanya nilai-nilai moral/kesusilaan?
Nilai-nilai yang lebih tinggi/moral dapat disebt nilai-nilai “Supermoral”  Cinta akan sesama manusia mempunyai nilai moral, sedang cinta akan Tuhan mempunyai nilai yang supermoral. Beberapa orang mungkin condong untuk menamakan nilai jenis ini : “nilai keagamaan”. Tetapi menurut pendapat saya, nilai ini tidak terbatas pada Agama saja, apabila “Agama” diartikan lain dariapda biasanya, yaitu diartikan seperti yang diterangkan di muka tadi. Misalnya, cinta akan Tuhan di dalam Agama Nasrani,  mempunyai nilai keagamaan, sedang cinta akan Tuhan di dalam kefilsafatan Spinoza tidak demikian halnya, sebab apa yang oleh Spinoza dinamakan “Tuhan” itu tidak lain daripada “Alam semesata”. Kalau kita mau berbicara menurut batas-batas yang “Saksama” maka cinta akan Tuhan di dalam agama Nasrani itu tidaklah bernilai Supermoral yang sungguh-sungguh. Sebabnya ialah karena di dalam Agama Nasrani, Tuhan itu adalah suatu diri (personality). Maka dengan demikian, cinta akan Tuhan yan dicurahkan oleh manusia itu dapat disamakan dengan cinta Anak akan Ayahnya, jadi merupaka cinta yang bernilai moral. Oleh karenanya, kalau cinta akan Tuhan (di dalam Agama Nasrani) itu dikatakan  mempunyai nilai yagn supermoral, maka hal itu akan tetap terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Nilai tersebut tidak lain hanya mirip (Quasi) saja dengan nilai Supermoral, sedang cinta akan Tuhan di dalam filsafat Spinoza mempunyai nilai supermoral yang sungguh-sungguh.
Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan di atas tadi, saya kemukakan di sini bahwa keinginan akan hal-hal pada “sisi lain” dalam dunia kita ini, merupakan salah satu hasrat yang terbawa oleh hati setiap orang saja, dan didalam hal ini orang Tionghoa pun tidak boleh dikecualikan. Orang Tionghoa tidak mempunyai  banyak sangkut paut dengan Agama, oleh karena mereka mempunyai banyak sangkut paut dengan Filsfat, mereka tidak religius, oleh karena mereka itu Filosofis, Dan di dalam Filsafat, dapatlah terpenuhi keinginan orang Tionghoa untuk mengenal hal-hal yang beraa pada sisi laind ari dunia kira sekarang ini. Lain daripada itu, di dalam filsafat Tiongkok, nilai-nilai supermoral itu dicetuskan dan mendapat sambutan yang baik, sedang nilai-nilai supermoral ini dipraktekkan di dalam kehidupan yang sesuai dengan Filsafat.
Menurut tradisi Filsafat Tiongkok, maka yang menjadi fungsi Filsfat Tiongkok bukanlah menambah pengetahuan yang positif (yang saya maksud dengan pengetahuan positif ini adalah keterangan=keterangan mengenai fakta-fakta yang nyata), melainkan mempertinggi tingkat pikiran. Artinya, supaya pikiran manusia itu dapat menjulang tinggi untuk meraih hal-hal yang ada pada “sisi lain” dari dunia yang nampak ini, dan juga untuk meraih nilai-nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai moral. Di dalam Lao tzu tertulis “ Menyelidiki/menyelami Ilmu adalah untuk menambah hari dengan hari. Menyelidiki/menyelami Tao (artinya jalan atau kebenaran) adalah untuk mengurangi hari dengan hari.”
Saya tidak akan ikut-ikut campur tangan dalam membeda-bedakan antara “menambah” dan “mengurangi”, sebagaimana dikatakan oleh Lao Tzu (Catatan penulis : “Lao Tzu” adalah bukunya dan “Lao Tzu” adalah orangnya) di atas. Pun saya tidak setuju 100% dengan apa yang dikatakan olehnya. Tetapi kalimat itu saya kutip untuk sekedar menunjukkan bahwa di dalam tradisi Filsafat Tiongkok terdaapt perbedaan antara “menyelidiki/menyelami ilmu” dan “menyelidiki/menyelami Tao”. Maksud dari penyelidikan/penyelaman Ilmu adalah apa yang saya sebut “menambah pengetahuan yang positif” sedang maksud dari penyelidikan/penyelaman Tao adalah mempertinggi tingkat pikiran. Filsfat dianggap termasuk penyelidikan/penyelaman Tao.
Pandangan bahwa fungsi Filsafat terutama metaphysica, bukanlah untuk menmabha pengetahuan psitif, telah diajarkan oleh madzhab Wina (Viennese school) di dalam Filsafar Barat pada waktu yang bersamaan, akan tetapi berbedalah sudut tinjaun serta maksud tujuannya. Saya tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh madzhab ini mengenai fungsi Filsafat dan mengenai corak Metaphysica, yaitu dikatakan bahwa : “Fungsi Filsafat hanyalah semata-mata menjernihkan ide-ide, sedang corak dari Metaphysica adalah seperti air di dalam coraknya. Metaphysica menyerupai syair-syair yagn terdiri dari konsep-konsep.
Tetapi bagaimana pun juga, kalau kita sudah membaca alasan-alasan yang dianjurkan oleh madzab tersebut, memang menjadi jelas sekali, mengapa filsafat, terutama Metaphysica akan menjadi tertawaan orang bilamana mencoba untuk memberi keterangan-ketarangan mengenai fakta-fakta yang nyata.
Memang betul bahwa Agama memberikan keterangan-keterangan mengenai fakta-fakta yang nyata. Tetapi keterangan yang diberikan oleh Agama tidaklah selaras dengan keterangan yang diberikan oleh ilmu Pengetahuan. Maka di Barat telah terjadi bentrokan antara pihak Agama dan Pihak Ilmu Pengetahuan. DI mana Ilmu Pengetahuan Maju, agama mundur, sedang kewibawaan Agama berkurang demi kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka yang berpegang teguh pada tradisi lama, menyesali kejadian ini, dan merasa sayagn terhadap orang-orang yang meninggalkan agamanya. Orang-orang ini dianggapnya sedang mengalami suatu degenerasi (kemunduran). Memang hal itu pantas disayangkan, yaitu bilamana bagi orang-orang itu, selain Agama tidak ada pintu lain yang memberi jalan ke tercapainya nilai-nilai yang lebih tinggi. Memang kalau orang sudah melepaskan dirinya dari Agama, sedang ia tidak mempunyai pegangan lain sebagai penggantinya (sebagai pengganti Agama), ia juga kehilangan nilai-nilai yang “lebih tinggi” itu. Ia lalu harus membatasi diri pada hal-hal keduniawian saja, dan ini tidak lagi berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kejiwaan.
Tetapi untung sekali baha di samping Agama masih  ada Filsafat, yang memberi jalan kepada manusia untuk menuju ke nilai-nilai yang lebih tinggi. Di sini jalannya (yang menuju ke nilai-nilai tersebut) dapat dikatakan “lebih langsung” daripada jalan yang ddiberikan oleh agama, oleh akrena di dalam Filsfat jalan yang menuju ke nilai-nilai yang lebih tinggi itu berbelok-belok dan berliku-liku seperti yang telah di gali oleh para pemuda dan para pengacara keagamaan. Nilai-nilai yang “lebih  tinggi”, yang didkenal oleh manusia dengan jalan Filsafat itu malahan dapat dikatakan dengan jalan Agama, sebab tidak dicampur dengan waham-waham (imagination) dan tachayul-tachayul. Di masa depan manusia akan menempatkan Filsafat pada takhta yagn diduduki oleh Agama. Hal ini sesuai dengan tradisi di Tiongkok. Sebab di sana tidak usah orang itu religius, tetapi adalah perlu sekali bahwa ia berpandangan filosofis.  Dan kalau seseorang sduahd apat diaktakan filosofis, maka ia mendapat berkat dan doa restu dari pihak Agama.
B. Persoalan dan Jiwa Filsafat Tiongkok
Keterangan saya di atas tadi adalah suatu diskusi yang umum mengenai corak serta fungsi dari Filsafat. Di dalam uraian-uraian saya selanjutnya, saya akan membicarakan secara lebih khusus tentang Filsafat Tiongkok. Ada suatu arus pokok di dalam sejarah Filsafat Tiongkok, yaitu yang dapat disebut “Jiwa Filsafat Tiongkok” (the Spirit of Chinese Philosophy). Unutk membahami jiwa ini, kita sebelumnya harus mempunyai pengertian yang terang lebih dahulu mengenai persoalan yang oleh kebanyakan diantara para ahli Filsfat Tiongkok setelah dicarikan pemecahannya.
Manusia itu dapat berada di dalam bermacam-macam keadaan, bermacam-macam lapangan. Di dalam masing-masing keadaan atau lapangan, tentu ada titik/tingkat tertinggi yang dapat dicapainya. Misalnya bagi mereka yang bekerja di dalam lapangan politik, tingkat tertinggi yang dpat dicapai  adalah kedudukan sebagai ahli pemerintahan yang ulung. Demikian juga di dalam lapangan seni, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh kedudukan sebagai seniman yang kenamaan. Tetapi meskipun ada bermacam-macam lapisan/golongan manusia, namun mereka semuanya  adalah Manusia. Dan apakah sekarang titik/tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh Manusia? Menurut para ahli fisafat  Tiongkok, tingkat tertinggi yang dapat dicapai itu dalah kedudukan sebagai orang yang Arif Bijaksana. Sedang tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh para arif bijaksana adalah : “Suatu tungkat dimana dirinya pribadi sudah sama dengan alam semesta (identification of the individual with the universe).
Persoalannya sekarang ialah : Bilamana orang hendak mencapai kesamaan ini, perlukah bahwa ia meninggalkan masyarakat, dan perlukah bahwa ia menyingkirkan hidup?
Oleh beberapa ahli filsfat, hal itu dikatakan perlu. Buddha sendiri  telah mengatakan bahwa hidup itu merupakan  akar dan sumber dari kesengsaraan. Dengan kata-kata yang hampir serupa dengan itu, Plato mengatakan bahwa raga adalah pengajar dari jiwa. Dan beberapa diantara pengikut-pengikit Tao berpendpat bahwa hidup itu adalah suatu hal yang serupa “keleibhan yang tidak berguna” Yahhhh, hidup itu merupakan bengkak, sedangkan mati itu harus dianggap sebagai pecahnya bengkak tadi.
Semua pendapat-pendapat tadi menggambarkan suatu sudut pandangan yang menganjurkan agar supaya orang menjauhi jaring-jaring keduniawian yang penuh dengan kerupsi. Maka dari itu, bilama si arif bijaksana hendak melaksanakan (bagi dirinya) tercpainya tingkat tertinggi, ia harus meninggalkan hidupnya. Hanya dengan jalan demikian “pembebasan terakhir” dapat dicapai. Filsafat jenis demikian ini pada umumnya terkenal dengan nama : “Kefilsafatan mengenai dunia lain” other wordly philosophy.
Ada juga kefilsafatan jenis lain, yang menitik beratkan pada hal-hal yang terdapat di dalam amsyarakat, seperti misalnya hubungan antara manusia dan hal ikhwal kemanusiaan. Filsafat jenis ini hanya membicarakan tentang nilai-nilai moral, dan tidak dapat (atau memang tidak mau) membicarakan tentang nilai-nilai supermoral, Filsafat jenis demikian pada umuny disebut : “Kefilsafatan mengenai dunia ini” (this wordly philosophy).
Kalau ditinjau dari sudut “kefilsafatan mengenai dunia ini”, maka “filsafat mengenai dunia lain” adalah terlalu idealis, tidak ada faedahnya yang praktis dan bersifat negatif. Sebaliknya kalau ditinjau dari sudut “kefilsfatan mengenai dunia ini” adalah terlalu realistis, dan :kurang dalam” sifatnya. Mungkin filsafat mengenai dunia ini bersifat positif, tetapi itu dapat disamakan dengan orang yang berjalan cepat-cepat, tetapi yang mengambil jalan yang keliru. Makin cepat ia berjalan, makin jauh ia tersesat.
Ada banyak orang yang mengatakan bahwa Filsafat Tiongkok itu tergolong “Filsafat mengenai dunia ini”. Adalah sukar sekali untuk menyatakan, apakah orang yang berpendapat demikian itu 100% benar atau 100% salah. Secara sepintas  lalu dapat dikatakan bahwa mereka yang berpandangan demikian itu tidaklah mempunyai pendapat yang keliru. Sebab, menurut anggapan mereka (tanpa memandang aliran-aliran pikiran yang berbeda-beda) Filsfat Tiongkok itu secara  langsung atau tidak langsung selalu berhubungan dengan pemerintahan dan dengan Ethica. Maka dari itu, sepintas-lalu dapat dikatakan, bahwa Filsafat Tiongkok itu pada pokonya membicarakan tentang masyarakat, dan tidak tentang alam semesta. Filsfat Tiongkok membciarakan tentang tugas manusia sehari-hari dalam melaksanakan hubungannya dengan lain-lain pihak, dan tidak membicarakan tentang sorga atau pun neraka. Filsfat Tiongkok membicarakan tentang hidup manusia pada waktu “sekarang” dan tidak membicarakan tentang hidup di dunia akhirat. Pernah Confucius ditanya oleh seorang muridnya mengenai arti “mati” tetapi ia menjawab : “Bagaimana engkau hendak memahami arti mati, kalau arti hidup saja belum kau fahami?
Dan mencius telah berkata : “Kearif-bijaksanaan adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia dalam melaskanakan hubugannya dengan lain-lain pihak” Kalau diartikan secara patuh/lurus (letterlijk) maka kalimat Mencius berisikan bahwa : “Didalam suatu masyarakat, “manusia susila” itu mencapai kesempurnaannya didalam bentuk “orang yang arif bijaksana”.
Kalau manusia yang diidam-idamkan itu adalah seorang makhluk dari “dunia ini”, maka sepintas lalu agaknya dapat dikatakan bahwa yang disebut “si arif bijaksana” itu adalah seorang manusia yang berlainan “jenisnya” dengan Buddha, dan juga berlainan “jenisnya” dengan para Kudus/Suci (Saints) dari Agama Nasrani. Dn sepinta lalu, agaknya memang demikian halnya dengan manusia arif bijaksana menurut consep Confucius. Itulah sebabnya, mengapa dahulu Confucius dan pengikut-pengikutnya ditertawakan habis-habisan oleh kaum Tao.
Akan tetapi, hal di atas tadi hanyalah suatu pandangan yang sepintas lalu saja. Filsafat Tiongkok tidak dapat dimengerti dengan mempelajarinya secara sepintas lalu. Bilamana kita memahaminya benar-benar, maka azas pokok yang diajarkan menurut tradisi berkisar seluruhnya pada “dunia ini” dan tentunya tidak dapat pula dikatakan berkisar seluruhnya pada “dunia lain”. Itu berkisar pada kedua-duanya, yaitu pada dunia ini, dan pada dunia lain.
Waktu sedang membicarakan tentang Neo Confucianisme dari Dynasti Sung, berkatalah sorang ahli filsafat : “Neo Confucianisme tidak dapat dipisah dari usaha-usaha yang baisa kita lakukans ehari-harinya. Sekali pun demikian, itu langsung menuju ke hal-hal yang merintis jalan surga.”
Inilah yang dicita-citakan oleh Filsfat Tiongkok.  Dan justru karena memiliki “Jiwa” yang dmeikian ini, maka Filsfat Tiongkok itu dapat dikatakan baik bersifat idealistis secara berlebih-lebihan; dan di samping itu juta bercorak praktis. Hanya saja perkataan “praktis” di sini diambil di dalam arti yang agak dalam.
Dua corak dari Filsfat Tiongkok itu, yakni coraknya sebagai filsafat yang mengajarkan tentang “dunia ini” dan coraknya sebagai Filsafat yang mengajarkan tentang “dunia lain” adalah saling berlawanan, seperti juga halnya dengan perlawanan antara realisme dan idealisme. Filsfat Tiongkok ditugaskan untuk : “Menemukan suatu systhesis dari antithesis itu.”
Ini tidak berarti bahwa kedua corak itu yang berlawanan itu lalu harus ditiadakan. Corak-corak itu tetap masih ada, tetapi telah diusahakan supaya itu merupakan suatu keseluruhan yang synthesis. Bagaimanakah caranya? Inilah persoalan yang diusahakan pemecahannya oleh Filsfat Tiongkok.
Menurut Filsfat Tiongkok, maka orang yang berhasil mendapatkan synthesis tersebut (tidak hanya berhasil didalam teori tetapi juga di dalam perbuatan-perbuatannya), berupa seorang manusia yang arif bijaksana. Ia memenuhi kedua hal, yaitu :
1.         Mempunyai sikap yang sesuai dengan “kefilsafatan dunia ini”, dan
2.         Juga mempunyai sikap yang sesuai dengan kefislafatan dunia lain.
Tingkat kejiwaan yang dicapai oleh si Arif Bijaksana menurut konsep-konsep Filsfat Tiongkok adalah sesuai dengan apa yang dicapai oleh para Kudus/suci di dalam Buddhisme dan juga di dalam Agama Barat. Akan tetapi si Arif Bijaksana menurut konsep Filsfat Tiongkok itu bukanlah seseorang yang  tidak mau campur tangan dengan urusan-urusan keduniawian. Wataknya digambarkan sebagai berikut : “Dari dalam arif bijaksana, dari luar kerajaan-kerajaan.” Artinya, dengan sifat-sifat dalamnya yang arif bijaksana itu ia menyelami perkembangan jiwanya, dan dengan sifat luarnya yang kerajaan-kerajaan itu ia amemainkan tugasnya  di dalam masyarakat. Si Arif Bijaksana tidak usah mengepalai pemerintahan di dalam masyarakat. Ditinjau dari sudut praktek politik memang si Arif Bijaksana itu kebanyakan tidak akan mendapat kesepakatan untuk dipilih menjadi Kepala Negara. Ungkapan yang menyatakan : “Dari dalam Arif Bijaksana dan dari luar kerajaan-kerajaan” itu hanya mengandung arti bahwa seseorang yang jiwanya luhur sekali dan mulia sekali, itu menurut teori seharusnya menjadi raja. Tetapi apakah ia apda hakekatnya mempunyai kesempatan untuk menjadi raja atau tidak, itu adalah sesuatu hal yang ada di luar pembicaraan.
Oleh karena menurut tradisi Tiongkok, watak si Arif Bijaksana itu adalah kebijaksanaan dari dalam dan kerajaan-kerajaan dari luar, maka yang menjadi tugas dari Filsafat adalah : “memungkinkan manusia untuk memperoleh watak yang demikian itu.”
Maka dari itu, yang didiskusikan oleh Filsfat Tiongkok adalah apa yang (oleh para ahli Filsfat Tiongkok) digambarkan sebagai “TAO” (Jalan atau prinsip-prinsip umum) yang menuju ke tercapainya “Kearif-bijaksana-an dari dalam dan kerajaan-kerajaan dari luar.”
Teori ini bunyinya hampir sama dengan teori Plato mengenai Raja ahli Filsafat. Menurut Plato, di dalam suatu negara idam-idaman, si ahli filsafat seharusnya menduduki mahkota, atau yang menjadi raja itu seharusnya adalah seorang ahli filsafat. Dan agar supaya dapat menjadi ahli filsafat, seseorng itu ahrus mengalami latihan-latihan filsfat sepanjagn waktu yang lama, sebelum jiwanya dipindahkan dari “Dunia perubahan” ke “dunia ide-ide yang abadi”. Maka dengan demikian, baik menurut Plato mau pun menurut para ahli filsafat Tiongkok, kewajiban filsafat itu adalah memungkinkan manusia untuk memperoleh watak yang digambarkan sebagai “dari dalam arif bijaksana dan dari luar kerajaan-kerajaan”. Akan tetapi menurut Plato bilamana seorang ahli filsafat menjadi Raja, maka jabatan Raja yang dipangkunya itu tidak sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dengan perkataan lain, jabatan Raja itu adalah sesuatu yang dipaksakan kepadanya dan mengakibatkan bahwa ia menderita suatu pengorbanan. Kaum Tao yang kun-kuno juga berpenddirian demikian. Ada suatu cerita tentang : “Seorang yang arif bijaksana, yang lari dan bersembunyi di dalam gua sebuah gunung, oleh karena rakyat dari sesuatu negara elah minta kepadanya untuk menjadi Raja. Ia diketemukan, dan asap dimasukkan ke dalam guanya, sehingga akhirnya terpaksalah ia memenuhi kewajiban yang berat itu. (Lushih Chu’un-ch’iu, I, 2.”
Jadi ada persamaan antara ajaran Plato dan ajaran kaum Tao kuno, sedang uraian di atas itu juga  menunjukkan adanya corak yang “mengenai dunia lain” pada kefilsafatan Tao. Tetapi kemudian hal ini ditinjau kembali dan di “perbaiki” oleh Kuo Hsiang (abad ke-3) yang tergolong kaum Tao Baru (Neo Taoist).
Menurut Confucianisme, kewajiban sehari-hari untuk mengerjakan urusan-urusan sosial di dalam hubungan antra manusia, itu bukan hal yang asing bagi si arif bijaksana. Sebab yang menjadi hakekat di dalam perkembangan menuju ke kesempurnaan kepribadiannya itu justru adalah meneruskan kewajiban tersebut. Ia melakukan kewajibabn itu justru adalah meneruskan kewajiban tersebut. Ia melakukan kewajiban itu tidak saja sebagai warga masyarakat, tetapi juga  sebagai “warga alam semesta” atau “t’ion min”, sebagaimana dikatakan oleh Mencius. Ia harus menyadari kedudukannya sebagai warga alam semesta. Kalau tidak, maka perbuatan-perbuatannya akan kehilangan nilainya yang supermoral. Andai kata ia mempunyai kesempatan untuk menjadi raja, maka ia sudah tentu dengan senang hati akan mengabdikan dirinya pada rakyat. Sehingga dengan demikian ia melakukan kewajibannya baik sebagai warga masyarakat maupun sebgai warga alam semesta.
Oleh kaarena yagn dibicarakan di dalam Filsafat itu adalah TAO yang menuju ketercapainya “ke-arif-bijaksanaan dari dalam dan kerajaan-kerajaan dari luar”, maka itu berarti bahwa : “Filsafat tidak boleh dan tidak dapat dipishkan dari pikiran-pikiran politik”. Dengan tidak memandang perbedaan-perbedaan antara bermacam-macam aliran kefilsafatan di Tiongkok, dapatlah dikatakan bahwa kefilsafatan masing-masing aliran itu di samping memberikan ajaran-ajarannya, sekali gus juga mengemukakan sudut pandangnya di dalam alam politik. Ini tidak berarti bahwa di dalam aliran-aliran itu lalu tidak ada metaphysica, tidak ada Ethica, tidak ada logika! Itu hanya berarti bahwa faktor-faktor tersebut semuanya ada hubungannya dengan pikiran-pikiran politik, jadi seperti halnya dengan buah karangan Plato yang berjudul “Republic” dimana dimuat selain kefilsafatan Plato seluruhnya, juga pikiran-pikiran Plato yang bersifat politis.
Aliran/madzhab Nama-nama (the Scool of Names) misalnya, terkenal karena menyatakan hal-hal seperti : “Kuda putih itu bukan kuda”. Dan agaknya pernyataan-pernyataan semacam itu memang sedikit sekali hubungannya dengan politik. Tetapi pemimpin dari aliran tersebut, yaitu Kung Sun Lung, kemudian menghendaki peruasan pernyataan-pernyataan seperti itu, untuk memperbaiki hubungan antara nama-nama dan fakta-fakta, dengan maksud untuk mengubah bentuk duni. Kita melihat di dalam dunia kita sekarang, bahwa menurut para ahli pemerintahan, negara masing-masing semata-mata menghendaki perdamaian. Tetapi pada hakekatnya, bilamana mereka berbicara tentang perdamaian, maka pada saat itu juga  negara mereka acap kali sedang bersiap-siap untuk berperang. Maka lalu terdapat hubungan yang “keliru” antara nama-nama dan fakta-fakta. Menurut Kung Sun Lung, jenis hubungan yang “keliru”  ini seharusnya diperbaiki. Ini benar-benar merupakan suatu langkah maju ke arah perubahan dunia.
Oleh karena yang menjadi pokok pembicaraan di dalam Filsfat  itu adalah “Tao menuju ketecapainya kearif-bijaksanaan dari dalam dan keraja-rajaan dari luar”, maka mempelajari filsafat itu tidaklah hanya berupa suatu usaha untuk memperoleh pengetahuan mengenai situ saja, tetapi (selain itu) juga berupa usaha usaha untuk memupuk watak yang demikian itu. Filsafat bukanlah sesuatu untuk diketahui semta-mata, tetapi juga untuk dialami. Filsafat bukanlah semata-mata sejenis permainan bagi kaum intelek, melainkan suatu hal yang sifatnya alebih mendalam. Sebagaimana dikemukakan oleh teman sejawat saja, Profesor Y.L. Chin, di dalam sebuah tulisan yang tidak pernah diterbitkan : “Masing-masing ahli filsafat Tiongkok itu adalah Socrates dengan tingkat-tingkat yang berlainan. Sebabnya ialah karena Ethica, Politik, berfikir secara reflectif, dan pengetahuan itu semuanya bersatu di dalam diri para ahli filsafat. Pada meraka, Pengetahuan dan Tabiat Saleh.Kebajikan itu adalah Satu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Kefilsafatan mereka menghendaki bahwa mereka hidup menurut kefislafatan itu. Mereka menjadi kendaraan dari kefilsafatan mereka. Hidup menurut keyakinan-keyakinan filosofis, merupakan bagian dari  kefilsfatan mereka. Secara terus menerus dan dengan ketetapan hati, mereka melatih diri  di dalam suatu keadaan yang murni. Artinya suatu keadaan dimana pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang egoistis dan egicentris sduah teratasi, sehingga dengan demikian mereka akan bersatu dengan alam semesta. Sudah terang bahwa proses latihan-latihan ini tidak dapat dihentikan, sebab kalau berhenti, itu akan berati bahwa egonya menampakkan diri, dan bahwa mereka akan kehilangan alam semesta. Maka mencarilah mereka terus menerus dengan tidak hentinya, dan bersikap lah mereka untuk bersikap terus menerus sesuai dengan apa yang dikatakan tadi. Dan oleh karena egonya tidak dapat dipisahkan dari alam semesta, maka pada diri mereka terdapat suatu synthesis, yaitu synthesis di dalam bentuk “ahli filsafat” menurut artinya yang asli. Sepert juga halnya dengan Socrates, mereka tidak mengadakan “jam kerja” untuk kefilsafatan mereka. Pun mereka bukan ahli pikir yang mengisolasikan  dirinya di dalam studi, dengan duduk “berlumutan” di kursinya untuk merenungkan tentang hal ikhwal hidup. Karena jasa-jasa mereka, hampir-hampir tidak pernahlah Filsafat itu hanya berupa ide-ide belaka yang dipamerkan sebagai tauladan untuk dipahami oleh manusia; melainkan filsafat itu merupakan suatu system ajaran-ajaran dan anjuran-anjuran yang menjadi intisari dari tingkah  laku para ahli filsafat. Malahan di dalam keadaan yang extrem, dapat dikatakan bahwa kefilsfatan seorang ahli filsafat itu merupakan biografinya.
c. Tentang Bagaimana Caranya Para Ahli Filsfat Tiongkok Menyatakan Isi hatinya
Seorang pelajar di negeri Barat yang mulai mempelajari Filsafat Tiongkok, segera akan terbentur pada dua rintangan :
1.         Rintangan pertama, audah tentu adalah kesulitan untuk memahami bahasa asing, dan
2.         Rintangan lain adalah caranya para ahli Filsafat Tiongkok menyatakan isi hatinya.
Rintangan yang ke 2 akan saya bicarakan lebih dahulu. Bilamana seseorang mulai mempelajari buah-buah karangan Tiongkok yang coraknya filosofis, maka barangkali kesan pertama yang dipelajarinya adalah bahwa ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan  dari penulisnya adalah pendek dan tidak berhubungan satu dengan lainnya. Bukanlah misalnya Analecta, buah karangan Confucius, dan pembaca akan meliha bahwa tiap-tiap alinea hanya aterdiri dari beberapa buah perkataan saja, sedang antara alinea yagn satu dengan alinea selanjutnya hampir-hampir tidak ada hubungannya. Bukalah buku yang memuat kefilsafatan Lao Tzu dan pembaca akan melihat bahwa buku itu seluruhnya terdiri dari kira-kira lima ribu perkataan; jadi tidak lebih panjang daripada artikel sesuatu majalah. Meskipun demikian, di dalam lima ribu kata itu, orang akan dapat menemukan seluruh kefilsafatannya. Seorang pelajar yang sudah biasa berpikir panjang, dan sudah biasa memperhitungkan hal-hal yang kecil-kecil, di sini akan tersesat-sesat karena sulit sekali untuk mengerti apa yang sebenarnya telah dikatakan oleh para ahli Filsafat Tiongkok itu. Ia lalu mungkin condong untuk beranggapan bahwa pikiran-pikiran para ahli filsfat itu memang tidak ada hubungnnya satu dengan lainnya. Tetapi andaikata pikiran-pikiran itu benar-benar tidak berhubungan satu dengan lainnya, niscaya tidak akan ada filsafat yang disebut “Filsafat Tiongkok”.
Bahwa ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan para ahli Filsafat Tiongkok itu nampak seperti tidak berhubungan satu dengan lainnya, hal itu disebabkan karena ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan tersebut tidaklah merupakan buah karangan filosofis yang formil. Menurut traddisi Tiongkok, mempelajari filsafat iti bukanlah suatu pekerjaan atau pun jabatan yang tersendiri. Di sana, setiap orang saja seharusnya mempelajari filsfat, seperti juga setiap orang Barat seharusnya pergi ke gereja. Maksud dan tujuan mempelajari Filsafat itu adalah : Agar supaya orang dimungkinkah berkembang menjadi “manusia”l jadi supaya ia tidak hanya menjadi “manusia macam tertentu’ saja.
Pelajaran-pelajaran lain yang bukan filsafat, memungkinkan orang untuk berkembang menjadi  “manusia jenis tertentu” (some special kind of man).  Maka tidak adalah orang Tiongkok yang menurut jabatannya/pekerjaannya bergelar “ahli filsfat”. Dan oleh karena mereka bukan “penjabat ahli filsafat” maka lalu juga tidak ada  keharusan bagi mereka untuk menciptakan tulisan-tulisan yang resmi/formal. Di Tiongkok, ahli-ahli filsafat yang membuat tulisan-tulisan secara tidak resmi/tidak formil itu lebuh banyak jumlahnya, daripada yang membuat tulisan-tulsian resmi/formil. Ilaman orang ingin mempelajari kefilsfatan mereka, ia harus mempelajari peninggalan-peninggalan yang mendokumentasikan ucapan-ucapan mereka, atau pun mempelajari surat-surat mereka yang ditujukan kepada murid-murid atau teman-teman. Tetapi surat-surat ini telah ditulis di dalam periode yagn berabad-abad sewaktu penulisnya masih hidup, sedang domkumentasi-dokumentasi tersebut tidak dibaut oleh satu orang saja. Maka sudah tentu akan ada hal-hal yang tidak berhubungan, malahan juga ada hal-hal yang bertentangan atau pun yang tidak konsekwen/
Uraian di muka tadi dapatlah kiranya memberi keterangan tentang apa sebabnya ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan dari beberapa ahli filsafat itu tidak berhubungan satu dengan lainnya. Tetapi uraian tadi belum memberi penjelasan mengapa tulisan-tulisan/ucapan-ucapan tersebut dinayatakan secara pendek.
Di dalam beberapa buah pena kefilsafatan, seperti misalnya yang telah ditulis oleh Mencius dan Hsun Tzu, orang benar-benar dapat menentukan cara verfikir/keputusan-keputusan akal (reasoning) serta alasan-alasan pembukti (arguments) yagn sistimatis. Tetapi kalau dibandingkan dengan buah-buah karya barat, maka tulisan-tulisan Mencius dan Hsun Tzu tadi masih kurang tegas. Hal yang demikian ini tidak lain disebabkan karena para  ahli filsfat Tiongok sudah biasa menyatakan isi hatinya di dalam bentuk “Semboyan Pendek” (aphorism, apophthegn), atau pun didalam bentuk sindiran/perumpamaan (allusion) dan illustrasi. Seluruh buku Lao Tzu terdiri dari semboyan-semboyan pendek, dan kebanyakan dari bab-bab di dalam “Chuang Tzu) penuh berisi sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi. Di dalam buku-buku yang tersebut terakhir ini somboyan-semboyan pendeknya, sindiran-sindirannya/perumpamaan-perumpamaannya dan illustrasi-illustrasinya benar-benar nampak dengan jelas. Tetapi juga di dalam buah-buah karangan Mencius dan Hsun Tzu sebagaimana sudah disebut di atas tadi, masih terdapat terlalu banyak semboyan-semboyan pendek, sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi, kalau dibandingkan dengan buku-buku kefilsafatan Barat. Semboyan-semboyan pendek itu sifatnya memang harus pendek, sedang sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi itu seharusnya memang tidak berhubungan satu dengan lainnya.
Dengan demikian maka semboyan-semboyan yang pendek, sindiran-sindira/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi itu memang sifatnya kurang tegas. Akan tetapi, kekuarangan di dalam hal “ketegasan” itu diganti dengan lain hal, yaitu diganti dengan saran-saran sebagaimana terkandung di dalam tulisan-tulisan itu. Sifat tegas dan sifat mengandung saran itu memang adalah dua hal yang tidak dapat disatukan. Suatu pernyataan itu makin tegas, makin sedikit mengandung saran-saran. Ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan para ahli Filsafat Tiongkok itu sedemikian kurangnya di dalam hal “ketegasan” hindda saran-saran yang dikandung itu tidak dapat terkirakan banyaknya.
Yang dicita-citakan oleh kesenian-kesenian macam apa saja di Tiongkok, adalah tercampurnya “Sifat mengandung saran” (Sugestiveness), dan bukanlah ketegasan. Hal ini berlaku baik terhadap Puisi, seni lukis, mau pun terhadap kesenian apa saja. Di dalam Puisi, kerap kali yang ingin dicapai oleh Pujangganya bukanlah hal yang tertulis di dalam syairnya, melainkan justru sesuatu yagn tidak ditulis di situ. Menurut tradisi kesusastraan di Tiongkok, di dalam Puisi yang baik, maka : “Jumlah kata-katanya adalah terbatas, tetapi ide-ide yang disarankan oleh kata-kata itu tidak terkira banyaknya. Maka dengan demikian, seorang pembaca Puisi yang pandai, dapat melihat hal-hal yagn tidak tertulis didalam syair yang dibacanya itu; dan seorang pembaca buku yang pandai dapat melihat hal-hal yang tersembunyi diantara baris-barisnya. Itulah yang dicita-citakan oleh kesenian Tiongkok, dan cita-cita ini tercerminkan di dalam cara yang dipergunakan oleh para ahli filsfat Tiongkok untuk menyatakan isi hatinya.
Ditinjau dari sudut filsafat Tiongkok, maka cita-cita kesenian Tiongkok yang demikian itu mempunyai latar belakangnya. Di dlam Chuang Tzu bab ke-26 dikatakan :
“Keranjang-perangkap itu dimaksudkan guna menangkap ikan, Tetapi setelah orang meangkap ikannya, tidak perlulah ia masih memikirkan lagi tentang keranjangnya. Penjebak kaki kelinci itu dimasudkan guna menangkap kelinci. Tetapi setelah orang menangkap kelinci, tidak perlulah ia masih memikirkan lagi tentang penjebaknya. Yang dinamakan “kata-kata” itu dimaksdukan untuk memperoleh ide. Tetapi setelah orang mencapai dienya, tidak perlulah ia masih memikirkan lagi tentang kata-katanya. Ah, andaikata aku dapat menemukan seseorang yang sudah berhenti memikirkan tentang kata-kata, dan andaikata aku dapat bercakap-cakap dengan dia!”
Bercakap-cakap dengan seseorang yang sudah berhenti memikirkan tentang kata-kata, itu bukanlah suatu percakapan yang dilakukan dengan kata-kata. Di dalam Chuang Tzu dikatakan, dua orang yang arif bijaksana saling bertemu tanpa mengeluarkan satu perkataan pun, oleh karena “sewaktu mata mereka saling bertemu, Tao ada di situ:.
Menurut Taoisme, Tao (jalan) itu tidak dapat dikatakan, hanya dapat disarankan. Bilamana ada penggunaan kata-kata, maka : :Yang menunjukkan Tao itu bukanlah petunjuk-petunjuk/arti-arti tambahan yang dinyatakan oleh kata-kata itu, melainkan saran-saran yang diberikan oleh kata-kata tersebut.”
“Kata” adalah sesuatu yagn harus dilupakan bilamana maksud yang dituju oleh kata itu sudah tercapai. Mengapa kita masih harus pusing-pusing memikirkan tentang kata-kata, lebih lama daripada seperlunya? Ini berlaku terhadap kata-kata dan sajak-sajak di dalam Puisi, juga terhadap garis-garis dan warna-warna di dalam seni lukis.
Selama abad ke-3 dan ke-4 (setelah Masehi) kefilsafatan yang paling berpengaruh adalah yagn diajarkan oleh aliran/madzhab Tao Baru (Neo Taoist Scool) yagn di dalam sejarah Tiongkok terkenal sebagai “Hsuan Hsueh” (ilmu gelap atau mystik). Pada waktu itu ada sebuah buku yang berjudul : “Shih Shuo Hsin Yu” yaitu yang mencatat ucapan-ucapan  yang gemilang serta kegiatan-kegiatan yagn telah dilakukan oleh tokoh-tokoh termsyhur pada jaman itu. Ucapan-ucapan itu kebanyakan sangat pendek, sedang beberapa di antaranya hanya terdiri atas  perkataan-perkataan yagn sedikit saja jumlahnya. Di dlam buku tersebut diceritakan ( di dalam bab ke 4) bahwa :
“Seorang Pegawai Tinggi bertanya kepada seorang ahli filsafat (Pegawai Tingginya sendiri juga ahli Filsafat) : “Apakah perbedaan dan persamaan ntara Lao Chuang (artinya Lao Tzu dan Chuang Tzu) dan Confucius?” Jawabnya : “Apakah mereka itu tidak sama?” Pegawai Tinggi tersebut gembira sekali dengan jawaban itu, dan dengan segera ia mengangkat ahli filsafat tadi menjadi Sekretarisnya.
Oleh karena jawabab di atas tadi ( di dalam bahasa Tionghoa) hanyaterdiri atas tiga perkataan, maka ahli filsfat tersebut menjadid terkenal sebagai “sekretaris tiga kata”. Ia tidak dapat menegatakan bahwa Lao Chuang dan Confucius tidak mempunyai persamaan, dan demikian juga ia tidak dapat mengatakan bahwa mereka 100% sama. Maka jawabannya lalu diberikan di dalam bentuk pertanyaan, dan ini benar-benar adalah suatu jawaban yang baik.
Ucapan-uapan pendek di dalam Analecta Cinfucius dan di dalam  kefilsafatan Lai Tzu tidak semata-mata   berupa konklusi-konklusi dari premisse-premisse yang kabur atau telah hilang. Ucapan-ucapan itu adalah semboyan-semboyan pendek yang penuh berisikan saran-saran. Yang menarik di sini adalah justru coraknya memberi saran itu. Kalau ide-ide yang dapat diketemukan di dalam Lao Tzu itu dikumpulkan, lalu itu dikutip di dalam bentuk buku baru dengan misalnya mempergunakan lima puluh ribu  atau limaratus  ribu perkataan, maka bagaimana pun juga usahanya, buku baru ini akan benar-benar merupakan “bku baru”. Dan buku baru ini lalu dapat dibaca bersama-sama dengan bukunya yang asli, dan dapat memberi pertolongan banyak dalam kita hendak mengerti tulisannya yagn asli, tetapi buku baru itu mustahil dapat menjadi pengganti dari bukunya yang asli.
Kuo Hsiang, yagn sudah pernah disinggung di muka, adalah salah seorang komentator ulung yang telah memberikan komentarnya atas buah ciptaan Chuang Tzu. Komentarnya sendiri merupakan hasil karya klasik di anttara literatur yang telah diciptakan  oleh kaum Stoa. Oleh Kuo Hsiang, sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan kisasan-kiasan Chuang Tzu telah diubah bentuk susunannya sedemikian rupa hingga bersandar atas keputusan-keputusan akal (reasoning) dan alasan-alasan yang rapih, sedang syair-syair Chuang Tzu diubah menjadi proses  ciptaannya sendiri. Tulisannya jauh lebih tegas daripada tulisan Chuang Tzu. Tetapi kalau kedua-duanya dibandingkan, yaitu yang satu (yang asli) penuh dengan saran-saran dan yang lain (komentar Kuo Hsiang) penuh ketegasan, maka orang mungkin masih akan bertanya : “Mana yang lebih baik?”. Pernah dikatakan oleh seorang rahib dari madzhab “Ch’an” atau “Zen” pada periode di kemudian hari :
“Setiap orang mengatakan bahwa Kuo Hsiang telah mengomentari Chuang Tzu; tetapi saya sendiri lebih suka mengatakan bahwa Chuang Tzu mengomentari Kuo Hsiang.”
d. Bahasa Asing Sebagai Rintangan
Memang benar bahwa dalam memabca semua buah pena saja yang mengenai kefilsfatan, sebainya orang membaca naskahnya yang asli. Sebab kalau tidak, akan sulitlah untuk memperoleh pengertian yang lengkap dan untuk menghargainya sebagaimana mestinya. Tetapi untuk membaca naskahnya yang asli, ada rintangannya, yaitu kesulitan untuk mengerti bahasanya. Dan oleh karena buah-buah pena kefilsafatan Tiongkok (seperti telah dikatakan) sifatnya “mengandung/memberi saran-saran”, maka kesulitan bahasa ini makin menghebat. Sifat mengandung/memberi saran-saran dari ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan para ahli filsafat Tiongkok itu adalah suatu hal yang boleh dikatakan. Bilamana orang membaca dari suatu terjemahan, maka ia atidka dapat membaca/melihat sifatnya yang mengandung /memberi saran-saran itu. Dan ini berarti bahwa sipembaca kehilangan banyak.
Bagaimana juga, terjemahan itu hanyalah suatu intepretasi saja. Bilamana orang menterjemahkan suatu kalimat dari Lao Tzu misalnya, ia memberikan interpretasinya sendiri mengenai arti dari kalimat itu. Mungkin terjemahannya ini hanya menyampaikan kepada kita satu gelintir ide saja, padahal kalimatnya yagn asli mungkin pada hakekatnya mengandung banyak ide-ide lainnya di samping ide yang satu tadi. Yang asli memberi/mengandung saran-saran, sedang terjemahannya tidak, dan memang mustahil bahwa terjemahannya juga ikut mengandung saran-saran. Dengan demikian maka terjemahannya itu kehilangan banyak dari “kekayaan” yang terdapat pada aslinya.
Orang telah banyak menterjemahkan Lao Tzu dan juga Analecta Confucius. Dan setiap penterjemah menganggap terjemahan-terjemahan lainyya sebagai kurang gmemuaskan. Tetapi bagaimana pun juga pandainya orang dalam mengerjakan sesuatu terjemahan, terjemahan ini selalu akan lebih “miskin” daripada aslinya. Untuk memperlihatkan “kekayaan” Lao Tzu dan “kekayaan” Analecta Confucius did alam bentuknya yang asli, diperlukan adanya kombinasi antara semua terjemahan-terjemahan yagn sudah dibuat dengan terjemahan-terjemahan lain yang belum dibuat.
Telah dikatakan oleh Kumarajiva (Abad ke-5), Seorang Penterjemah terkemuka dari anskah-naskah Buddha ke dalam bahasa Tionghoa, bahwa :
“Pekerjaan seorang penterjemah itu adalah serupa dengan mengunyah makanan yang akan ditelan oleh orang lain. Bilamana seseorang tidak dapat mengunyah makanannya sendiri, maka terpaksalah ia menerima saja makanan yang sudah dikunyah lebih dahulu oleh orang lain. Tetapi ingatlah bahwa setelah dikunyah, makanan itu akan kurang enaknya dan kurang harumnya daripada makanan yang masih asli.”
 BAB : II
LATAR  BELAKANG  DARI  FILSFAT TIONGKOK
Di dalam Bab.I, telah saya katakan bahwa Filsafat itu adalah cara berpikir/pikiran yang systematis dan Feflectif tentang hidup. Dalam memikirkan sesuatu, orang yang berpikir itu baisanya terpengaruh oleh keadaan yang mengelilingi hidupnya. Dan oleh karena ia dikelilingi oleh suatu keadaan tertentu, maka ia lalu merasakan hidupnya dengan suatu cara yang tertentu pula; maka di dalam kefilsafatannya lalu terdapat hal-hal yang ditonjol-tonjolkan atau dijadikan titik berat, dan sebaliknya ada juga hal-hal yang dihindari. Ini lah yang membuat kefilsafatannya menjadi sesuatu yang “karakteristik” (artinya ada hal-hal yang khusus menjadi tanda dari kefilsafatan itu).
Apa yang saya katakan ini tidak berlaku bagi individu, dan juga berlaku bagi keseluruhan yang dinamakan rakyat/bangsa. Di dalam bab ini saya akan berusaha memberikan sekedar uraian mengenai latar belakang geografis dan ekonomis dari rakyat Tiongkok, untuk memperlihatkan mengapa kebudayaan Tiongkok pada umumnya, dan Filsafat Tiongkok pada khususnya, mempunyai corak dan tanda-tanda seperti yang dapat disaksikan oleh umat manusisa ini.
e. Latar Belakang Geografis dari Rakyat Tiongkok
Di dalam Analecta Confusius dikatakan : “Orang gyang arif bijaksana menikmati adanya air; Orang yang baik menikmati adanya gunung-gunung. Yang Arif bijaksana bergerak; yang baik tinddal diam dan tenang. Mereka yang arif bijaksana merasa bahagia; mereka yang baik menderita dan bertahan. Dalam membaca kalimat-kalimat ini, saya merasa bahwa ucapan Confucius itu menyarankan adanya perbedaan antara rakyat Tiongkok Kuno dan rakyat Yunani Kuno.
Tiongkok adalah suatu negeri dartan (Continental) yang luas. Bagi orang-orang Tiongkok Kuno, yang menjadi “Dunia” adalah negeri mereka sendiri. Ada dua ungkapan di dalam bahasa Tiongkok yang kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “dunia” yaitu :
1.         Seluruhnya di bawah langit, dan
2.         Seluruhnya di antara empat lautan.
Bagi rakyat dari sesuatu negeri yang dikelilingi oleh lautan (maritim) seperti Yunani, tidak akan masuk akal bahwa kedua ungkapan di atas itu dapat mengandung arti yang sama. Tetapi hal itu benar-benar kita dapati di dalam bahasa Tionghoa, dan memang ada sebab-sebabnya.
Sejak Jaman Confucius sampai akhir abad ke 19, tidak ada ahli fikir Tiongkok yang pernah mengarungi lautan. Confucius dan Mencius itu hidupnya tidak jauh dari lautan (perkataan “ tak jauh ini saya ambil di dalam artinya menurut jaman moderen). Meskipun demikian, di dalam Analectanya, Confucius hanya sekali saja menyebut perkataan “lautan”. Ia berkata : “ Bilamana perjalanan tidak membawa pengaruh, aku akan berakit mengarungi lautan. Yang akan ikut dengan aku adalah *Chung) Yu”.
Chung Yu adalah murid Confucius yang terkenal karena keberaniannya dan keperwiraannya. Di dalam Analecta ditulis bahwa sewaktu Chung Yu mendengar pernyataan terssebut, ia menjadi gembira sekali. Akan tetapi Confucius tidaklah begitu senang melihat kegembiraan Chung Yu yang meluap-luap itu dan berkatalah ia :
“Yu lebih berani daripada aku sendiri. Sampai aku tak tahu, apa yang harus kuperbuat dengan dia.”
Juga uncapan Mencius juga menyinggung “Lautan” hanya pendek saja. Berakatalah ia :
“Bagi orang yang telah melihat lautan, adalah sukar untuk memikirkan tentang perairan lain; dan bagi orang yang telah mengembara ke pintu gerbang si Arif Bijaksana adalah sukar untuk memikirkan kata-kata orang lain (lain daripada si Arif Bijaksana).
Jadi tidak dapat dikatakan bahwa Mencius telah melebihi Confucius dalam membicarakan tentang “lautan”. Berbeda sekali dengan sorang, Plato dan Aristoteles yang mengembara dai Pulau ke pulau, karena hidup di dalam negeri yang di “kerumuni” oleh lautan.
f. Latar Belakang Ekonomis dari Rakyat Tiongkok
Mengenai kehidupan para ahli pikir Tiongkok Kuno dan Yunani Kuno dapat diaktakan, bahwa tidak saja keadaan geografis mereka berbeda, tetapi juga keadaan ekonominya. Oleh karena Tiongkok adalah negeri daratan, maka yang menjadi sumber hidup rakyat Tiongkok itu aalah pertanian. Pun pada dewasa ini dapat ddikatakan bahwa rakyat Tiongkok yang menyelenggarakan pertanian ada kira-kira 75 sampai 80%. Di dalam suatu negeri pertanian, yang menjadi dasar utama dari kesejahteraan rakyat adalah tanah. Maka dari itu sepanjang Sejarah Tiongkok : “Pikiran-pikiran di dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik itu telah terpusatkan pada penggunaan dan distribusi tanah.”
Di dalam keekonomian yang demikian, maka pertanian pada waktu damai samalah pentingnya dengan pertanian pada waktu perang. Pada waktu peperangan tahun 480 – 222 sebelum Masehi, yaitu suatu periode yang menunjukkan banyak persamaan dengan jaman sekarang “ini” (buku Fung Yu Lan ini ditulis pada tahun 1947. Pen). Sewaktu Tiongkok masih terbagi-bagi atas banyak kerajaan-kerajaan feodal, maka masing-masing kerajaan itu mencurahkan makin banyak perhatian pada apa yang pada waktu itu dinamakan “Seni tari dan seni perang”. Akhirnya negara Ch’in-lah (yaitu salah satu di antara tujuh kerajaan yang terbukti paling terkemuka pada aktu itu) yang terbukti paling unggul baik di dalam hal pertanian maupun di dalam hal perang, sehingga akhirnya berhasil memenangkan kerajaan-kerajaan lainnya dan dengan demikian berhasil pula mempersatukan seluruh Tiongkok untuk pertama kalinya  di dalam sejarah.
Bilaman para ahli pikir Tiongkok melayangkan pikiran mereka ke arah lapangan sosial dan ekonomi, maka : Mereka membeda-bedakan antara apa yang dinamakan “Akar” dan “Cabang”. Yang dimaksud dengan “akar” adalah pertanian, sedangkan yang dimaksud dengan “cabang” adalah perdagangan.
Alasannya jalan bahwa pertanian itu berkisar pada produksi,s edang perdagangan itu hanya berkisar pada penukaran saja. Sebelum orang dapat melakukan penukaran, ia harus menjalankan lebih dahulu. Di dalam negeri yang agraris, pertanian merupapan “alat produksi” yang terutama. Maka dari itu, sepanjang seluruh Sejarah Tiongkok orang telah mengusahakan supaya : “Teori-teori sosial, ekonomi dan politik itu semuanya di titik beratkan pada soal akar, dengan membelakangkan/mengabaikan soal cabang.”
Maka mereka yang berurusan dengan cabang, yaitu para pedagang, dipandang rendah. Ada empat lapisan masyarakat yang tradisional, yaitu :
1.         Golongan pelajar,
2.         Golongan petani,
3.         Golongan tukang (yang melakukan pekerjaan tangan),
4.         Golongan pedagang.
Di antara empat golongan ini, yang tingkatannya paling bawah dan paling akhir adalah golongan pedagang. Golongan pelajar itu biasanya terdiri dari para Tuan Tanah, sedang golongan petani adalah yang mengerjakan tanahnya. Pekerjaan yang paling dihormati di Tiongkok adalah : “Pelajar dan mengerajakan tanah.”
Jikalau suatu keluarga secara turun-temurun mempunyai tradisi “belajar dan mengerjakan tanah” maka keluarga itu boleh membanggakan tradisi yang demikian baik. Meskipun tanahnya tidak dikerjakan oleh golongan pelajar sendiri, namun oleh karena mereka itu biasanya menjadi tuan-tuan tanah, maka harta kekayaan mereka lalu berhubungan erat dengan baik buruknya hasil pertanian. Baik buruknya penunaian menentukan baik buruknya nasib mereka, maka dari itu : Rekasi sikap mereka terhadap tata alam semesta, pada pokoknya adalah seperti sikap orang tani, dan demikian pula pandangan hidup mereka pada pokoknya adalah seperti pandangan hidup orang tani.”
Di samping itu, pendidikan mereka memungkinkan mereka untuk menyatakan apa yang sebetulnya dirasakan tetapi tidak dapat diaktakan oleh orang tani. Pernyataan ini dilakukan di dalam bentuk Filsafat, Kesusastraan dan Kesenian Tiongkok.
Nilai Pertanian :
Di dalam sebuah buku pedoman kecil yang disebut Lu Shih Ch’un-ch’iu (ditulis pada abad ke 3 sebelum Maehi dan dijadikan pegangan bagi berbagai aliran kefilsafatan), ada bab yang berjudul “Nilai Pertanian”, Di dalam bab ini diperlawankan cara hidup dari mereka yang menduduki jabatan “akar” (yaitu para petani) terhadap cara hidup dari mereka yang menjabat “cabang” (yaitu para pedagang). Petani-petani itu sifatnya primitif dan sederhana, dan oleh karena itu mereka selalu bersedia untuk menerima (dan mematuhi) perintah-perintah. Mereka adalah ibarat kanak-kaanak, dan sikap mereka adalah seperti sikap orang yang tidak tahu tentang adanya keburukan, Maka dari itu mereka tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Harta milik mereka yang berupa kebendaan, mempunyai bentuk yang komplex (berbelit-belit dan bersusun-susun) dan sukar untuk dipindah-pindah. Maka dari itu mereka tidak suka meninggalkan negerinya, juga apabila negerinya sedang di dalam keadaan bahaya.
Sebaliknya para pedagang, itu sifatnya korup, dan oleh akrena itu mereka juga tidak patuh. Mereka suka berkhianat, maka selalu mereka mementingkan dirinya sendiri. Harta milik mereka hanya sederhana saja, yang mudah di bawa ke sana-kemari, Maka dari itu bilamana negerinya sedang di dalam keadaan bahaya, mereka meninggalkannya dengan sikap masa bodoh.
Oleh karena itu, di dalam bab tersebut dinyatakan bahwa tidak saja pertanian itu dari sudut ekonomi lebih penting dari pada perdagangan, tetapi juga bahwa cara hidup para petani itu lebih tinggi tingkatnya daripada cara hidup para pedagang. Maka di sinilah letaknya nila pertanian.
Menurut penulis dari bab tersebut, cara hidup rakyat itu sesuai dan tertentukan oleh latar belakang ekonominya. Dan kalau kita sekarang beralih meninjau penulisannya sendiri, maka penilaiannya yang setinggi itu terhadap pertanian, menandakan pula bahwa penulis itu pun mempunyai padangan yang sesuai dan tertentunya oleh latar belakang ekonomis pada waktu itu.
Di dalam tinjauan Lu shih Ch’un-ch’iu ini kita dapat akar dan sumber dari dua aliran pokok di dalam alam pikiran orang Tiongkok, yaitu :
1.         Toisme dan
2.         Confucanisme.
Kedua aliran ini merupakan dua “Ujung”yang sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lain; tetapi meskipun demikian, kedua ujung itu mempunyai alas satu. Kedua-duanya menyatakan (dengan cara yang entah bagaimana pun juga) cita-cita dan inspirasi-inspirasi yang terdapat pada diri seorang petani.
g. Keadaan yang Membalik adalah Ferak Tao
Sebelum meninjau perbedaannya antara kedua aliran madzhab itu, marilah kita meninjau dahulu suatu teori yang oleh kedu-duanya tetap dipertahankan. Yaitu teori yang menyatakan bahwa :
“Baik di lingkungan alam kodrat maupun di dalam lingkungan yang dikuasai oleh manusia, perkembangan (dari apa saja) yang secara extrem (secara berlebih-lebihan) menuju kesuatu arah tertentu, itu pasti disusul oleh perkembangan lain yang menuju ke arah yang sebailknya.”
Atau kalau kita meminjam kata-kata Hegel :
“Segala sesuatu itu tentu mengandung hal/hal-hal yang (akan) menidadakan/menghapus dirinya sendiri.”
Inilah salah satu thesis (dalil) pokok dari kefilsfatan Lao Tzu dan juga salah satu thesis pokok dari “Buku Perubahan-perubahan” (Book of Changes), sebagaimana ditafsirkan oleh pengikut-pengikut Confucianisme.
Yang mengilhami sampai terwujudnya dalil ini adalah gerakan matahari dan bulan serta susulmenyusulnya empat musim, yang harus diperhatikan benar-benar oleh para petani dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Dikatakan di dalam Appendix (lampiran tambahan) dari “Buku Perubahan-Perubahan” tersbut :
“Bilamana dingin pergi, datanglah panas, dan bilamana panas pergi datangnlah dingin.”
Dan Juga :
“Bilamana matahari telah mencapai puncaknya, maka turunlah ia; dan bilamana bulan sudah purnama, mengecillah ia”.
Gerakan-gerakan yang demikian inilah yang dimaksudkan, apabila di dalam Appendix dipergunakan istilah “Kembali/membalik”. Dikatakan misalnya di dalam Appendix I :
“Budi dari Bumi dan Langit nampak di dalam keadaan yang membalik”.
Di dalam Lao Tzu kita juga dapat membaca kata-kata serupa dengan ini :
“Keadaan yang membalik adalah gerakan Tao.”
Teori ini telah memberi pengaruh besar kepda rakyat Tiongkok dan telah ikut “berjasa” menolong mereka dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang banyak timbul sepanjang sejarah. Oleh karena rakyat Tiongkok mempunyai keyakinan akan kebenaran teori tersebut, maka mereka tetap waspada, juga kalau mereka sedang hidup di dalam kesejahteraan. Sebaliknya mereka juga tidak pernah berputus harapan di dalam waktu-waktu yang penuh dengan bahaya. Di dalam peperangan yang terakhir, konsep ini telah memberikan kepada rakyat Tiongkok semacam senjata psychologis, sehingga juga di dalam waktu yang sedang sesuram-suramnya, kebanyakan masih tetap berpegangan pada suatu harapan yang dinyatakan di dalam kalimat : “Fajar akan segera menyingsing”, Hasrat untuk mau percaya inilah yang telah menolong rakyat Tiongkok dalam bertahan sampai perang selesai.
Teori ini juga menjadi pegangan pokok di dalam ajaran tentang “Jalan Tengah yang maha baik” (the Golden Mean), yaitu sebuah ajaran yang disukai sekali baik oleh Confucianisme maupun oleh Taoisme. Dalil utama dari kedua aliran ini adalah :
“Jangan sekali-kali berlebih-lebihna” (Never too Much).
Menurut mereka, lebih baik orang itu bersalah karena kebagian terlalu sedikit daripada bersalah karena mendapat bagian terlalu banyak; dan lebih baik orang itu bersalah karena tidak mengerjakan sesuatu daripada bersalah karena terlalu banyak mengerjakan sesuatu. Sebab, kalau orang mendapat bagian terlalu banyak atau mengerjakan sesuatu terlalu banyak. Itu selalu ada resikonya. Dan resikonya ini tidak lain adalah bahwa orang mungkin memperoleh akibat yang justru sebaliknya dari yang dikehendakinya.
h. Pujaan Terhadap Keadaan Alam Yang Asli
Taoisme dan Confucianisme itu berbeda karena masing-masing merasionalisasikan ata menyatakan secara teoritis aspek yang berbeda-beda dari cara hidup orang tani. Petani itu sederhana cara hidupnya, dan tidak pernahlah pikirannya menyerong ke arah kejahatan. Oleh karena segala sesuatu diteropong dari sudut tinjauannya sendiri, maka “Taoisme” memuja-muja kesederhanaan dari masyarakat yang primitif, dan mencela peradaban. Demikian juga mereka memuja-muja sikap tak berdosa (innocence) dari kanak-kanak dan membenci pengetahuan. Di dalam Lao Tzu dikatakan :
“Marilah memiliki Negeri yang kecil saja, dengan penduduk yang tak seberapa jumlahnya ,,,,,,,,,,, Suruhlah rakyat kembali mempergunakan simpul-simpul tali (sebagai alat menghitung). Hendaknya rakyat mendapat makanan yang enak, pakaian yang bagus, perumahan yang nyaman, dan kewajiban-kewajiban ke pertanian yang menyenangkan. Mungkin negara-negara etangga  adalah sedemikian dekatnya hingga berkokoknya ayam dan menggonggongnya anjing di sana dapat terdengar. Tetapi rakyat akan menjadi tua dan kemudian mati tanpa dapat melawat ke sana.”
Bukankah ini suatu gambaran negeri petani yang menarik karena kesederhanaannya dan ke asliannya?
Para petani itu selalu behubungan dengan alam kodrat. Maka mereka juga memuji-muji  dan mencinta akan alam sekelilingnya. Oleh Taoisme, pujian dan Cinta ini dikembangkan sebesar-besarnya. Diadakan perbedaan yang tegas  antara hal-hal yang bersal dari  alam kodrat dan hal-hal yang berasal dari manusia, antara hal-hal yang asli dan hal-hal yang dibuat-buat. Menurut mereka, hal-hal yang berasal dari alam kodrat merupakan akar dari  segala macam penderitaan. Oleh Hsun Tzu, seorang pengikut Confucianisme, dikatakan bahwa : “Taoisme itu silau dan buta karena terlalu lama menatap Alam Kodrat, dan tidak mempunyai pengetahuan tentang manusia.”
Sebagai puncak/alhir perkembangan di dalam aliran pikiran yang demikian itu, oleh kaum Taoisme diaktakan bahwa tingkat tertinggi yang dapat dicapai di dalam perkembangan jiwa seorang yang arif bijaksana itu adalah : “Suatu titik/tingkat di mana dirinya pribadi sudahlah sama dengan alam semesta.”
i.          System Kekeluargaan
Kaum tani harus tetap tinggal di tanahnya yang tidak dapat dipindah-pindahkan; dan demikian juga halnya dengan para tuan tanah yang termasuk golongan pelajar. Mereka tinggal di tempat di mana dahulu ayah dan kakek menetap dan di mana akan berlindung anak-anak dan cucu-cucu sampai di hari-hari kemudian. Kecuali bilamana seseorang di antara mereka mempunyai bakat istimewa atau memperoleh keuntungan yang luar biasa. Keluarga ( di dalam arti luas) harus hidup bersama, karena terdorong oleh alasan-alasan economis. Maka dengan demikian berkembanglah ysytem kekeluargaan di Tiongkok, yang merupakan suatu system yang paling complex dan yang paling taratur di seluruh dunia. Sebgian besar dari ajaran-ajaran Confucianisme ditujukan untuk membenarkan secara rational (berdasarkan akal) ata pun untu menyatakan secara teoritis system kemasyarakatan ini.
Yang dijadikan system kemasyarakatan/sosial di Tiongkok adalah system kekeluragaan. Ada lima hubungan kemasyarakatan/sosial yang tradisionil, yaitu hubungan antara :
1.         Raja dan hamba,
2.         Ayah dan anak;
3.         Kakak dan Adik,
4.         Suami dan istri
5.         Teman dan teman.
Hubungan yang ke-2, ke-3 dan ke-4 adalah yang disebut “hubungan keluarga”. Dan meskipun yang kedua lainnya itu bukan “hubungan kleuarga”, namun itu dapat dianggap/dipahami sebagai demikian. Maka hubungan antara seorang raja dan hambanya dapat dianggap/dipahami sebagai hubungan antara ayah dan anak, sedang antara teman dan teman dapat dianggap/dipahami sebagai hubungan antara kakak dan adik. Dan cara anggapan yang demikian itu memang sudah lazim. Tetapi ini tadi hanyalah hubungan-hubungan keluarga yang pokok saja; lain-lainnya masih ada banyak lagi. Di dalam “erh Ya”, yaitu kamus tertua bahasa Tionghoa, yang ditulis pada jaman sebelumm Masehi, dimuat lebih dari 100 macam hubungan keluarga yang kebanyakan tidak ada synonimnya (persamaannya) di dalam bahasa Ingris.
Berdasarkan atas alasan-alasan yang sama, maka terdapatlah di sana dan berkembanglah suatu : “Pemujaan Terhadap Leluhur”.
Pada keluarga ayang ditinggal di sesuatu tempat yang agak menyendiri, maka pemudajaan demikian itu biasanya ditujukan pada anggauta keluarga yang dahulu sebagai orang pertama telah menetap di tanah itu untuk menegakkan hidupnya. Dengan demikian orang itu menjadi symbol (lambang) persatuan keluarga, dan symbol yang demikian itu memang sangat dibutuhkan oleh suatu oragnisasi yang luas serta complex. Sebagian besar dari ajaran-ajaran Ci=onfuianisme ditujukan : “Untuk dengan dasar ratio membenarkan system kemasyarakatan ini, dan hal itu dinyatakan secara teoritis. Keadaan economis di tiongkok dijadikan dasar dari pernyataan itu, sedang artinya yang ethis ditegaskan oleh Confucianisme.
Oleh karena system kemasarakatan ini adalah pembawaaan dari keadaan-keadaan economis ini pun adalah pembawaan dari situasi geografis, maka bagi oeng tiongkok baik sistim maupun pernyataan teoritisnya itu sudah merupakan hal yang biasa sekali. Maka dari itu, Confucianisme dengan sendirinya tetap berpengaruh sebagai Filsafat yang orthodox, sampai datangnya suatu periode dimana industrialisasi yang berasal dari Amerika dan Eropah modern menyerbu dan mengubah dasar economis dari kehidupan orang tiongkok.
j. Yang Mengenai Dunia ini dan Dunia Lain (this wordliness and Other worldliness).
Seperti juga halnya dengan “Filsafat hidup sehari-hari”, maka Confucianisme pun adalah keilsafatan mengenai organaisasi sosial. Confucianisme menitik beratkan pada pertanggungan jawab ssosial amnusia. Sedang Taoisme menitik beratkan pada hal-hal yang secara naturalijk sduah dengan sendirinya terdapat pada diri manusia. Di dalam Chuang Tzu dikatakan bahwa Confucianisme “Menggembara di dalam lingkungan masyarakat”, Seedang Taoisme melampauinya dan menggembara di luar lingkungan itu”. Pada abad ke 3 dan ke-4 sewaktu Taoisme berpengaruh lagi, orang biasa mengatakan bahwa :
Confucius menghargai “Ming Chiao” (ajaran tentang nama-nama yang menunjukkan hubungan-hubungan sosial), sedang Tao Tzu dan Chuang Tzu menghargai “Tzu yan” (Sifat-sifat yang secara naturalisk sduah dengan sendirinya terdapat pada diri manusia).
Dua aliran kefilsafatan Tiongkok ini di dalam garis besarnya agak menyerupai tradisi-tradisi classicisme dan romanticisme di dalam alam pikiran Barat. Bacalah sajak-sajak yang digubah oleh Tu Fu dan Li Po, dan anda akan melihat di situ pebedaan antara Confucianisme dan Taoisme. Kedua penyair ulung tersebut hidup pada abad yang sama (abad ke 8), dan di dalam sajak-sajaknya mereka secara kerja sama mengemukakan tentang kedua atradisi pokok di dalam alam pikiran orang Tiongkhoa.
Oleh karena Confucius “mengembara di dalam lingkungan masyarakat”, maka ini nampaknya lalu mempunyai corak yang menuju ke “Dunia ini” (kalau dibandingkan dengan Taoisme). Sebaliknya, oleh akrena Taoisme itu “mengembara di luar lingkungan masyarakat, maka ini nampaknya lalu mempunyai, corak yang lebih menuju ke “Dunia lain” (kalau dibandingkang dengan Confucianisme).
Kedua lairan pikiran ini saling berkonkurensi, tetapi selain itu juga saling lengkap-melengkapi. Kedua-duanya saling memancarkan semacam “imbangan kekuatan” (balance of power). Dengan demikian maka di dalam sanubari rakyat Tiongkok lebih meresaplah “rasa keseimbangan” dalam menghadapi hal-hal yang mengenai dunia ini dan Dunia lain.
Ada pengikut-pengikut Taoisme yang pada abad ke-3 dan ke-4 berusaha mendekatkan Taoisme pada Confucianisme, dan ada pula pengikut-pengikut Confucianisme  yang pada abad ke 11 dan ke-12 berusaha mendekatkan  Confucianisme pada Toaisme. Pengikut-pengikut Toisme yang demikian itu tadi kita sebut para penganut Neo-Taoisme, dan pengikut-pengikut Confucianisme yang demikian tadi kita sebut para penganut Neo Confucianisme. Pergerakan-pergerakan inilah yang menyebabkan bahwa Filsafat Tiongkok mempunyai corak yang menuju baik ke Dunia ini maupun ke Dunia lain, sebagaimana telah saya uraikan di dalam bab ke-I.
k. Kesenian dan Puisi Tiongkok
Confucianisme menganggap kesenian sebagai alat untuk pendidikan moral. Taoisme tidak pernah secara resmi memberi uraian tentang kesenian, tetapi pujian mereka terhadap gerak bebas dari jiwa serta pujann mereka terhadap keadaan alam yang asli, telah memberi inspirasi besar  kepada seniman-seniman Tiongkok. Dengan demikian maka tidak usah diherankan lagi bahwa kebanyakan di antara seniman-seniman terkemuka di Tiongkok memusatkan perhatiannya pada keadaan alam yang asli (nature). Kebanyakan di antara Lukisan-luksian Tiongkok yang tergolong “kelas utama” menggambarkan pemandangan-pemandangan (landscapes), binatang-binatang serta bunga-bunga, pohon-pohon serta bambu. Dalam melukiskan pemandangan-pemandangan, biasanya digambar seorang yang sedang duduk pada kaki gunung atau di tepi sungai, yang tengah menikmati keindahan alam serta merenungkan Tao atau jalan yang “melebihi” alam dan “melebihi” manusia.
Juga di dalam puisi Tiongkok, kita menjumpai sajak-sajak yang memberi gambaran serupa itu. Sebagai contoh dapat kita baca sajak yang digubah oleh Tao Ch’ien (th. 372 – 427) :
“Gubugku kudirikan di daerah yang didiami oleh manusia,
Meskipun demikian, tidak terdengar suara-suara kuda atau pun kereta di sampingku,
Tahukan anda bagaimana itu mungkin?
Ada hutan belukar di sekitarnya,
Yang diciptakan oleh hati yang jauh.
Aku memeik bunga chrysant di bawah pagar sebelah timur,
Lalu kurenung lama bukit-bukit yang mengebur jauh, di musim panas.
Segeralah hawa pegunungan pada waktu senja;
Burung-burung yang terbang, datang kembali dua berdua;
Akan tetapi kalau kita hendak mengatakannya,
Kita tiba-tiba kehilangan kata-kata.”
Di sini Taoisme nampak sebaik-baiknya.
l. Methodologi Filsafat Tiongkok
Pandangan hidup pak tani tidak saja menentukan isi dari Filsafat Tiongkok (seperti misalnya : “Keadaan yang membalik adalah gerakan Tao”), tetapi ---- yang lebih penting daripada itu ---- hal tersebut juga menentukan methodologinya. Prof. Northrop (Filmer S.C. Northrop, “The Complementary Emphasis of Eastern Institution Philosophy and Western Scientific Philosophy”) mengatakan bahwa pada pokoknya ada dua macam konsep, yaitu :
1.         Konsep yang dicapai dengan jalan intuisi (seakan-akan seperti ilham), dan
2.         Konsep yang dicapai dengan jalan hypothesis (dimana orang beranggapan bahwa sesuatu peristiwa itu keterangannya adalah demikian-demikian, tanpa ada bukti-bukti yang nyata).
Konsep yang dicapai dengan jalan intuisi, demikian katanya, adalah suatu konsep yang menunjuk pada sesuatu yang kita “tangkap” secara langsung, sedang artinya yang jelas diterangkan oleh apa yang kita tangpkap secara langsung itu. Misalnya “biru” sebagai warna yang kita tangkap secara langsung, adalah konsep macam pertama (konsep yang dicapai dengan jalan intuisi).
Mengenai kosep macam ke-dua, dikatakan bahwa artinya yang jelas diterangkan oleh hypotesisi dari teori (yang dicapai dengan jalan deduksi), yang mempergunakan hypothesis itu. Misalnya “biru” sebagai ukuran panjang gelombang di dalam teori elektro-magnitis, merupakan konsep yang dicapai dengan jalan hypothesis.
Northrop juga mengatakan bahwa ada tiga macam kosnep yang dicapai dengan jalan intuisi, yaitu :
1.         Konsep tentang Continuum aes thesis yang di-differensialkan.
2.         Konsep tentang Continuum aesthesis yang tidak tertentukan atau tidak di differensiasikan.
3.         Konsep tentang differensiasi.
Berkatalh Northrop bahwa Confucianisema itu, dapar di deginisikan sebagai kedaan jiwa di mana konsep macam b. Di atas berpindah- temepat ke latar beakang dari alam pikiran, dan di mana differensiasi-differensiasi yang konkrit yang sebentar datang dan sebentar pergi secara relativistis dan humanistis, menjadi isi dari Filsafat. Akan tetapi pada Taoisme, demikian katanya  selanjutnya, yang menjadi isi dari Filsafat adalah justru konsep macam b. Yaitu konsep tentang continuum aesthesis yang tidak tertentukan atau tidak didifferensiasikan.
Saya tidak setuju 100% dengan apa yang dikatakan oleh Northrop itu, tetapi saya aberpendapat bahwa di sini Northrop terlalu erat berpeegangan pada perbedaan pokok antara Filsafat Tiongkok dan Filsafat Barat. Bilamana seseorang yang sudah mempelajari Filsafat Tiongkok, kemudian mulia mempelajari Filsafat Barat, maka senangnlah ia jika ia melihat perbedaan yang dibuat oleh para ahli Filsafat Yunani antara ada dan tidak ada, antara yang terbatas dan yang tidak terbatas. Teapi ia akan merasa agak heran, bahwa para ahli Filsfat Yunani menganggap yang tidak ada dan yang tidak terbatas mempunyai tingkat lebih rendah daripada yang ada dan yang terbatas. Di dalam Filsafat Tiongkok, hanya aadalah justru sebaliknya. Adanya perbedaan ini disebabkan karena yang ada dan yang terbatas dianggap jelas, sedangkan yang tidak ada dan yang tidak terbatas dianggap kabur dan tidak jelas. Para ahli Filsafat yang mulai penyelidikikannya dengan mempergunakan konsep-konsep yang dicapai dengan jalan hypothessis menyukai hal-hal yang tegas, sedang mereka yang mulai dengan konsep-konsep yang dicapai dengan jalan intuisi menghargai hal-hal yang tidak tegas.
Jikalau apa yang dikemukakan oleh Northrop itu kita hubungkan dengan apa yang saya sebut pada permulaan bab ini, maka kita melihat bahwa konsep tentang Continuum aesthesis yang dibeda-bedakan ( di differensiasikan) yaitu yang menelorkan baik konsep tentang Continuum aesthesis yang tidak di deifferensiasikan maupun konsep tentang differensiasi (seperti dikatakan oleh Northrop) – pada pokoknya konsep para petani. Hal-hal yang menjadi urusan para petani, seperti misalnya peladangan dan penunaian, itu semuanya adalah hal-hal yang ditangkap oleh mereka secara langsung. Dan oleh karena mereka primitif dan masih bersikap seperti kanak-kanak, maka mereka menghargai apa yang mereka tangkap secara langsung. Maka juga tidak mengherankan, bahwa dengan demikian ahli-ahli filsafatnya mepergunakan “penangkapan secara langsung” sebagai titik permulaan dari Filsafat mereka.
Hal di atas itu juga memberi penjelasan mengapa epistemologi (yaitu ilmu tentang pengetahuan; memeriksa asal-asal, azas-azas dan syarat-syarat pengetahuan dan menentukan batas-batas, alat dan cara yang sebaiknya dipakai oleh ilmu pengetahuan) tidak pernah berkembang di dalam Filsafat Tiongkok. Apakah meja yang kulihat di mukaku itu nyata atau khayalan, dan apakah meja itu hanya suatu ide saja di dalam alam pikiran atau benar-benar mengambil tempat di dalam ruang, hal-hal yang demikian itu tidak pernah dipikirkan masak-masak oleh para ahli Filsafat Tiongkok. Soalsoal epistemologis semacam itu tidak terdapat di dalam Filsafat Tiongkok (kecuali did alam Buddhisme yang datang dari India), oleh karena soal-soal epistemologis hanya timbul apabila orang menitik beratkan pada emarkasi (garis perbatasan) antara subyek dan obyek. Dan di dalam continumm aesthetis “yang mengenal” dan “yang dikenal” merupakan satu keseluruhan.
Hal tersebut juga memberi penjelaan mengapa bahasa yang dipergunakan oleh Filsafat Tiongkok bersifat suggestif (mengandung atau memberi saran-saran) dan tidak tegas. Bahasanya tidak tegas, oleh karena tidak menyatakan sesuatu konsep dengan kupasan yang deductif. Ahli Filsafatnya hanya menceriterakan kepada kita apa yang dilihat olehnya. Maka dari itu, apa yang diceritakan itu isinya banyak, sekali pun kata-katanya pendek. Inilah sebabnya mengapa kata-katanya kurang seksama, tetapi suggestif.
m. Negeri Lautan dan Negeri Daratan
Orang-orang Yunani hidup di dalam negeri yang banyak dikelilingi oleh lautan, dan mereka memelihara kesejahteraan mereka dengan jalan perdagangan. Mereka terutama adalah pedagang. Dan yang menjadi urusan para pedagang tidak lain, yaitu :
1.         Peratama-tama angka-angka abstrak yang dipergunakan dalam memperhitungkan perdagangan mereka,
2.         Kemudian baru hal-hal yang konkrit, yaitu yang mungkin di tankgap secara langsung dengan mempergunakan angka-angka abstrak itu.
Angka-angka demikian itulah yang oleh Northrop disebut “konsep-konsep yang dicapai dengan jalan Hypothesis itu oleh para ahli Filsfat Yunani lalu juga dipergunakan sebagai titik permulaan. Mereka mengembangkan Mathematika (Ilmu pasti) dan cara berpikir yang mathematis, Inilah sebabnya mengapa pada mereka timbul persoalan-persoalan yang epistemologis dan mengapa bahasa mereka adalah demikian tegasnya.
Akan tetapi, para pedagang itu juga orang-orang kota. Untuk melaksanakan usaha-bersama di dalam kota. Maka dari itu, mereka mempunyai organisasi sosial yang tidak begitu didasarkan atas “kepentingan bersama dari keluarga”, melainkan lebih didasarkan atas kepentingan kota. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yunai menyusun masyarakat mereka di sekitar negara kota (city state). Jadi ini berlawanan dengan : “System sosial di Tiongkok yang dapat disebut system negra keluarga (family state), karen dengan system itu negaranya dapat digambarkan sebagai keluarga.” Organisasi sosial di dalam sebuah negara kota tidaklah autokratis, sebab di situ tidak ada alasan moral mengapa di antara orang-orang kota yang tergolong satu kelas yang sama, yang satu harus dipandang glebih penting atau lebih tinggi daripada yang lain. Tetapi di dalam suatu negara keluarga, organisasi sosilnya adalah autokratis dan hierarchis, sebab di dalam suatu keluarga, kekuasaan ayah itu sudah barang tentu lebih besar daripada kekuasaan anaknya.
Kenyataan bahwa orang-orang Tionghoa adalah orang-orang tani, juga menjelaskan mengapa Tiongkok tidak berhasil mengadakan revolusi industri, yaitu suatu alat untuk melangkah ke dunia modern. Di dalam Lieh Tzu ada dongengan bahwa Pangeran dari Kerajaan Sung pada suatu hari minta kepada seorang tukng yang pandai, untuk mengukit jade (batu giok) di dalam bentuk daun. Tukang itu dapat menyelesaikannya di dalam waktu tiga tahun, dan sewaktu daun buatan itu dipasang pada pohon asli, tidak ada seorang pun yang dapat membedakannya dari daun-daunnya yang asli, sebab cara mengukirnya memang benar-benar mengagumkan. Maka sangat giranglah ang Pangeran. Akan tetapi ketika Liah Tzu mendengar tentang itu, ia berkata : “Andaikata alam raya membutuhkan 3 tahun untuk membuat satu tangkai daun, maka akan ada sedikit pohon saja yang berdaun!.”
Demikianlah pandangan seseorang yang mengagumi keadaan alam dan membenci hal-hal yang dibuat oleh manusisa. Dan memang jalan yang harus ditempuh oleh para petani dalam menyelenggarakan hidupnya itu boleh dikatakan tidak dalapat lain daripada menuruti dan menyesuaikan dirinya dengan keadaan alam. Petani-petani ini mengagumi keadaan alam dan membenci hal-hal yang dibuat-buat; dan oleh karena mereka masih primitif dan menyerupai kanak-kanak, maka mudah puaslah mereka. Mereka tidak menginginkan adanya perubahan, dan mereka juga tidak dapat menggambarkan sesuatu perubahan. Di Tiongkok telah ditemukan pendapatan-pendapatan baru yang tidak sedikit jumlahnya, dan pendapatan-pendapatan itu telah banyak dikagumi oleh umat manusia. Tetapi acapkali kita melihat bahwa  pendapatan-pendapatn itu malahan banyak disambut dengan rasa kecewa daripada diberi hati.
Berlainanlah keadaan para pedagang di suatu negeri yang banyak dikelilingi lautan. Mereka mendapat lebih banyak kesempatan untuk  melihat bermacam-macam orang denegan ada kebiasaan dan dengan bahasa yang rupa-rupa. Dengan demikian mereka sudah biasa menghadapai perubahan-perubahan dan tidak takut menghadapi hal-hal yang beru. Malahan untuk dapat menjual barang-barangnya dengan harga yang baik, mereka harus menganjur-anjurkan pembaharuan di dalam pembikinan barang-barang yang akan dijual. Bukan suatu hal yang kebetulan bahwa revolusi industri di Barat itu pada permulaannya timbul di Inggris. Yaitu sebuah negeri lautan pula yang memelihara kesejahteraannya dengan jalan perdagangan.
Ada yang kita kutip di muka (di dalam bab ini) dari Lu Shih Ch’un-Ch’iu mengenai para pedagang, itu dapat pula dikatakan terhadap rakyat dari negeri-negeri lautan, asal saja kita ganti beberapa perkataan. Yaitu kita tidak lagi berkata bahwa mereka “Korup dan suka berkhianat”, melainkab bahwa mereka “cerdik licin (refined) dan pandai”’ Kita juga dapat meminjam ucapan Confucius, untuk dikatakan dengan kata-kata kita sendiri, yaitu bahwa yang pandai  adalah rakyat dari negeri-negeri lautan, sedang yang baik adalah rakyat dari negeri-negeri daratan. Maka dengan demikian kita mengulangi apa yang dikatakan oleh Confucius :
“Aorang yang arif bijaksana menikmati adanya air; orang yang baik menikmati adanya gunung-gunung. Yang arif bijaksana bergerak; yang baik tinggal diam dan tenang. Mereka yang arif bijaksana merasa bahagia; mereka yang baik menderita dan bertahan.”
Tidaklah termasuk bab ini untuk mengemukakan bahan-bahan bukti yang dapat memperlihatkan adanya hubungan antara keadaan geografis serta economis dari Yunani dan Ingris pada satu pihak, dan berkembangnya alam pikiran ilmiah Barat serta lembaga-lembaga demokrasi pada lain pihak. Tetapi kenyataan bahwa keadaan geografis serta economis dari baik Yunani mau pun Ingris itu berlainan sekali dengan keadaan geografis serta economis dari Tiongkok, hal itu sudah cukup untuk dijadikan bukti yang negatif bagi thesis saya mengenai Sejarah Tiongkok sebagaimana telah saya utarakan di dalam bab ini.
n. Hal-hal Yang Permanen (tetap) dan hal-hal yang dapat berubah di dalam Filsfat Tiongkok.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah mengalahkan geografi (ilmu bumi) sedemikian rupa, hingga Tiongkok tidak lagi berada di dalam keadaan terpencil seperti dahulu kala. Tiongkok pun sekarang sedang mengalami industrialisasi, dan meskipun datangnya indutrialisasi ini sangat lambat kalau dibandingkan dengan di Barat (Buku ini dibuat sudah lama .. bukan keadaan sekarang ini. Pen). Namun kedatangan yang lambat itu selalu masih lebih baik daripada tidak pernah datang sama sekali.  Tidaklah benar untuk mengatakan bahwa Timur telah diserbu oleh Barat. Di dalam hal ini lebih baik untuk mengatakan bahwa jaman abad perteengahan telah diserbu oleh jaman moderen. Dan untuk ikut hidup di dalam dunia yang modern, maka Tiongkok haruslah modern pula.
Ada satu hal yang masih tetap menjadi pertanyaan, yaitu bilamana Filsafat Tiongkok itu demikian erat hubungannya dengan keadaan economis dari rakyat Tiongkok, apakah hal-hal yang telah didnyatakan di dalam Filsafat Tiongkok itu lalu hanya berlaku bagi rakyat yang hidup di dalam keadaan yang demikian saja?
Jawabannya adalah “Ya: dan “Tidak”. Di dalam kefilsfatan dari rakyat mana pun juga atau pada jaman apapun juga, selalu ada bagian yang hanya berlaku kalau ada hubungannya dengan keadaan economis dari rakyat itu atau pada jaman itu, tetapi selain itu tentu ada pula bagian lain yang tetap berlaku, juga kalau tidak ada hubungannya dengan hal tersebut tadi. Sesuatu yang tidak relatif, mempunyai nilai yang tahan lama. Saya ragu-ragu untuk mengatakan bahwa sesuatu yang tidak relatif itu merupakan kebenaran yang absolut (mutlak). Sebab, untuk memutuskan apakah yang dinamakan kebenaran yang absolut, itu adalah pekerjaan yang terlalu muluk-muluk bagi manusia; pekerjaan itu hanya daapt dilakukan oleh Tuhan (Kalau apa yang dinamakan “kebenaran yang absolut” itu benar-benar ada!!!).
Marilah kita mengambil contoh di dalam filsfat Yunani. Aristoteles telah membenarkan sysytem perbudakan dengan mempergunakan alasan yang didasarkan atas ratio (akal). Pernyataan Aristoteles itu harus dianggap sebagai suatu teori yang terikat (jadi relatif) pada keadaan ekonomi dari kehidupan di Yunani. Tetapi ini tidak berarti bahwa di dalam lapangan sosial, kefilafatan Aristoteles lalu tidak mengandung sesuatu un yang tidak relatif. Ini sama halnya dengan alam pikiran orang Tionghoa. Bilamana Tiongkok sudah di industrialisasikan, maka :
“System kelurga yang lama harus lah lenyap, dan bersama dengan itu akan lenyap pula pengaruh dari pernyataan rational Confucianisme yang dimaksudkan untuk membenarkan keadaan lama.”
Tetapi ini tidak berarti bahwa di dalam lapangan sosial. Kefilsfatan Confucianisme itu lalu tidak mengandung sesuatu pun yang tidak relatif.
Sebaliknya ialah karena masyarakat Yunani Kuno dan masyarakat Tiongkok Kuno itu meskipun saling berbeda, toh keduanya tergolong satu catagoriumum, yaitu yang kita sebut “masyarakat”. Teori-teori yang merupakan pernyataan-pernytaan teoritis dari masyarakat Yunani atau masyarakat Tiongkok, dengan demikian juga merupakan sebagian dari pernyataan-pernyataan masyarakat pada umumnya. Meskipun di dalam teori-teori itu ada hal-hal yang khusus terikat pada masyarakat Yunani atau pun masyarakat Tiongkok, namun di dalamnya tentu terdapat pula hal-hal yang sifatnya lebih universal, yaitu hal-hal yang berlaku bagi masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang saya sebut terakhir ini sifatnya tidak relatif. Dan mempunyai nilai yang tahan lama.
Demikian juga halnya dengan Taoisme. Teori Taoisme yang mengatakan bahwa : “Negara idam-idaman manusia adalah negara yang sudah silam pada jaman dahulu, sewaktu  masih merajalela sifat-sifat primitif.” Sudah terang adalah keliru. Dengan berpegang pada ide kemajuan, kita sebagai orang modern beranggapan bahwa negara yang dicita-citakan oleh manusia adalah sesuatu yang masih harus diciptakan di mana depan, dan bukanlah sesuatu yang sudah silam di masa lampau. Tetapi ada juga orang-orang modern yang menganggap suatu negara dimana merajalela hal-hal seperti anarchisme, sebagai negara yang dicita-citakan oleh manusia. Anggapan atau pikiran yang demikian ini tidak banyak berbeda dengan pikiran pengikut-pengikut Taoisme.
Fislfat juga memberikan kepada kita suatu cita-cita tentang cara hidup. Sebagian dari cita-cita itu sebagaimana diberikan  oleh filsfat dari orang-orang /rakyat tertentu atau Filsfat dari jaman/waktu tertentu, hanya terikat pada sejenis kehidupan yang menjadi pembawaan dari keadaan-keadaan sosial dari orang-orang /rakyat itu atau keadaan-keadaan sosial pada jaman atau waktu itu. Tetapi cita-cita tentu juga mengandung bagian yang berlaku bagi cara hidup pada umumnya, sehingga sifatnya lalu tidak relatif, melainkan mempunyai nilai yang tahan lama. Hal ini agaknya seudah digambarkan di dalam teori Confucianisme mengenai cara hidup yang dicita-citakan. Menurut teori ini, carah hdiup yang dicita-citakan adalah :
“Suatu cara hidup dimana alam semesta dipahami secara mendalam sekali, dan meskipun demikian (meskipun alam semesta dipahami secara mendalam sekali) cara hidup itu tetap deselenggarakan di dalam batas-batas lima hubungan pokok antara manusia dengan manusia, Corak dari hubungan-hubungan ini (antara manusia dengan manusia) dapat berubah-ubah menurut kedaan. Tetapi cita-citanya tidak berubah. Maka salah-lah untuk mengatakan bahwa : “Karena beberapa di antara lima hubungan itu harus hapus, maka harus hapus pula cita-cita Confucianisme tentang cara hidup”. Dan juga salah untuk mengatakan bahwa : :Karena cita-cita akan cara hidup ini diinginkan, maka kelima hubungan pokok itu semuanya harus dipertahankan.”
Orang harus membuat analisa yang logis dalam hendak membeda-bedakan mana yang permanen dan mana yang dapat berubah di dalam Sejarah Filsafat, masing-masing kefislafatan mempunyai hal-hal yang permanen, dan semua kefilsfatan mempunyai hal-hal yang bersamaan. Inilah sebabnya mengapa semua kefislfatan itu meskipun berbeda-beda, satu dengan lainnya, toh dapat dibanding-bandingkan di cocok-cocokkan satu dengan lainnya, sedang yang satu juda dapat diterjemahkan dengan istilah-istilah dari yang lain.
Apakah methodologi dari Filsfat Tiongkok akan berubah? Artinya, apakah Filsfat baru dari Tiongkok tidak lagi akan membatasi diri pada “konsep yang dicapai dengan jalan intuisi?” Sudah tentu tidak akan lagi membatasai ddiri. Dan memang tidak ada alasan mengapa harus tetap membatasi diri pada konsep yang demikian itu. Pada kenyataannya, methodologinya sekadarang sudah mulai dan sedang berubah. Mengenai perubahan ini, saja terpaksa menceritakan lebih banyak di dalam bab terakhir dari buku ini.

BAB : III
ASAL MULA DARI ALIRAN-ALIRAN DI TIONGKOK
Di dalam bab ke II telah saya katakan bahwa Confucianisme dan Taoisme merupakan dua aliran poko di dalam alam pikiran Tiongkok. Tetapi meningkatnya dari keadaan dahulu sampai menjadi aliran pokok ini telah membutuhkan evolusi yang alma, dan sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-3 sebelum Masehi, kedua lairan itu mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan lain-lain alairan pikiran yang pada waktu itu saling berkonkurensi. Pada periode tersebut jumlah aliran-aliran itu sedemikian banyaknya hingga orang Tiongok menyebutnya dangan nama “Seratus Aliran”.
o. Ssu-ma T’an dan Enam Aliran
Penulis-penulis sejarah di kemudian hari telah berusaha untuk menggolong-golongkan “seratus aliran” itu. Tokoh pertama yang berbuat demikian adalah Ssu-ma T’an (yang meninggal pada tahun 110 sebelum Masehi) yaitu ayah dari Ssu-ma Ch’ien (tahun 146 sampai kira-kira tahun 86 sebelum Masehi). Yang terakhir ini telah menulis buku sejarah mengenai dynasti besar yang pertama di Tiongkok, dengan Judul :Shih Chi” atau “Dokumen-dokumen Historis”. Di dalam bab terakhir dari buku tersebut, Ssu-ma Ch’ien mengutip suaut artikel yang telah ditulis oleh ayahnya, yaitu yang berjudul : “Mengenai ide-ide Pokok dari Enam Aliran”, Di sini Ssu-ma T’an menggolong-golongkan para ahli filsafat yang hidup di dalam beberapa abad sebelumnya, ke dalam enam aliran/madzab poko, yaitu :
1.         Yin-Yang Chia atau aliran/madzab Yin Yang.
2.         Ju Chia atau aliran/mahdzab para Sarjana ( di dalam arti : “Mereka yang ber’ilmu”(.
3.         Mo Chia atau aliran/mahdzab para Moshist.
4.         Ming Chia atau aliran/madzab Nama-nama.
5.         Fa Chia atau aliran/mahdzab para Legalist.
6.         Tao-Te Chia atau aliran/madzab Jalan dan Kekuasaan dari Jalan itu.
Aliran Yin Yang : dianut oleh para cosmologist (ilmu mengenai alam semessta) Dalam alam pikiran Tiongkok prinsip Yin dan Yang dianggap sebagai dua prinsip pokok didalam cosmologi. Yin adalah prinsip betina, sedangkan Yang adalah prinsip Jantan. Kalau keduanya saling dikombinasikan, dan saling memberi pengaruhnya yang timbal balik, maka hal ini menurut orang Tiongkok lalu menimbulkan seluruh peristiwa-peristiwa alam kodrat.
Aliran Ju Chia, atau aliran dari Mereka yang berilmu, terkenal di dalam kesusastraan Barat sebagai “Confucianist School”. Tetapi perkataan “Ju” itu sewajarnya berarti “Pelajar”. Dengan demikian maka namanya di dalam kesusasteraan Barat agak menyeatkan, sebab dari nama yang diberikan atau tidak nampak bahwa masing-masing pengikutnya adalah baik pelajar mau pun ahli pikir. Mereka ini (lebih daripada lain-lainnya) adalah guru-guru yang memberi pelajaran mengenai buah-buah karya dari jaman klasik, dan dengan demikian mereka itu adalah ahli-ahli waris dari kebudayaan yang diwariskan oleh jaman kuno. Memang confucius memimpin madzab ini. Dan boleh dianggap sebagai pendirinya. Tetapi bagaimana pun juga, istilah “Ju” itu tidak hanya berarti “dari Confucius” atau “Confucianisme” tetapi juga mempunyai arti yang lebih luas.
Mo Chia atau madzab para Mohist,  mempnuyai oraganisasi yang terjalin erat dan mempunyai disciplin yang keras. Pemimpinnya adalah Mo Tzu. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya kaum Mohist. Dengan demikian maka nama dari madzab ini bukanlah angitan/karangan dari Ssu-ma T’an, seperti halnya dengan beberapa di antara nama-nama lainnya.
Aliran yang ke-4 adalah aliran Ming Chia atau madzab Nama-nama. Penganut-penganut aliran ini tertarik akan perbedaan serta hubungan antara apa yang mereka namakan “nama-nama” (names) dan “fakta-fakta yang nyata” (actualities).
Yang ke-5, adalah aliran Fa Chia atau madzab para Legalist, Perkataan Tionghoa berarti pola atau hukum. Madzab ini mula-mula berasal dari serombongan ahli-ahli pemerintahan yang berpendapat bahwa pemerintahan yang baik itu harus didasarkan pada Kitab Undang-Undang yang tetap. Jadi Tidak didasarkan atas lembaga-lembaga moral seperti yang didasarkan oleh “mereka yang berilmu”
Penganut-penganut dari aliran Tao Techia (madzab jalan dan kekuasaan dari Jalan itu) memusatkan metaphysicanya dan fislafat sosilnya di sekitar suatu konsep tentang ke-Tidak-Adaan (Non being), yaitu yang dinamakan Tao atau jalan. Mereka menitik beratkan pada individu serta kepribadian sebagai kebanyakan pembawaaan dari seorang manusia. Yaitu yang dinamakan Te. “Te” ini diterkjemahkan dengan kebajikan/tabiat saleh (vertue), tetapi lebih tepat untuk menggambarkannya sebagai kekuatan  yang berhubungan erat dengan (dan tidak dapat dipisahkan dari) segala sesuatu yang individual” Golongan ini , yaitu yang oleh Ssu-ma T’an dinamakan aliran Tao Te, di kemudian hari terkenal sebagai “Tao Chia” Begitu saja, dan di dalam kesusastraan Barat disebut  “Taoist School”, Sebagaimana telah saya uraikan di dalam bab ke-I, ini harus dipisahkan dengan hati-hati dari Agama Tao.
p.        Liu Hsin dan Teorinya tentang Asa-Mula dari Aliran-aliran di Tiongkok
Penulis Sejarah kedua yang telah berusaha menggolong-golongkan “aliran yang seratus macam” itu adalah liu Hsin (kira-kira tahun 46 sebelum Masehi sampai tahun 23 sesudah Masehi). Dia termasuk “sarjana-sarjana yang aling terkemuka” pada jamannya. Bersama-sama dengan ayahnya, yaitu Liu Hsiang, ia telah membanding-bandingkan buku—buku di dalam “Perpustakaan Kerajaan”. Hasilnya berupa suatu catalogus yang penuh denga  petunju-petunjuk, terkenal dengan nama “Tujuh Buah ikhtisar”. Catalogus dari perpustakaaan Kerajaan ini (yaitu yang dinamakan oleh Pan Ku (tahun 32 – 92 sesudah Masehi) sebagai dasar dari sebuah bab yang dimuat di dalam buku tentagn Sejarah Dynasti, yaitu tentang Sejarah Dynasti Han yang dulu-dulu. Adapun bab itu diberi judul “Yi Wen Chih” atau “Risalah mengenai Kesusateraan”. Di dalam Risalah ini Liu Hsian membagi-bagi “Aliran yang seratus” itu ke dalam sepuluh golongan Pokok. Di antara yang sepuluh ini, ada enam yang sama dengan yang dikemukakan oleh Ssu-Ma T’an. Yang empat lainnya adalah :
7.         Tsung Heng Chia atau aliran/madzab Para Diplomat.
8.         Tsa Chia atau aliran/madzab para Eclectici.
9.         Nung Chia atau aliran/madzab para ahli Agraria.
10.     Hsiao Shuo Chia atau aliran/madzab para ahli dongeng.
Sebagai akhir kata Liu Hsin, menulis :
“Para Ahli Filsafat dapat digolongkan dalam 10 aliran, tetapi hanya 9 saja yang perlu mendapat perhatian.”
Dengan pernyataan ini ia hendak mengatakan bahwa madzab para ahli Dongeng tidaklah sepenting aliran-aliran lainnya.
Dalam mengadakan penggolongan ini, Liu Hsin lebih jauh melangkah ke muka kalau dibandingkan dengan Ssu-ma T’an, tetapi juga tidak dapat dikatakan “sangat lebih jauh”. Sekalipun demikian, di sini ada hal yang baru, yaitu :
“Untuk pertama kalinya di dalam Sejarah Tiongkok telah diadakan usaha (oleh Liu Shin) untuk menyelidiki secara systematis asal mula dari berbagai aliran, ditinjau dari sudut historis.”
Teori Liu Shin telah banyak dirsehi), yaitu sebelum retaknya lembaga-lembaga sosial pada waktu itu : “Tidak ada pemisahan antara pegawai dan Guru.”
Dengan perkataan lain, pegawai dari suatu Bagian Pemerintahan, sekali gus juga bertugas sebagai “pemncar” (trransmitter) dari cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Bagiannya. Pegawai-pegawai ini memperoleh jabatannya dengan jalan warisan. Jadi seperti halnya dengan para tuan tanah feodal pada waktu itu. Maka pada hari-hari itu hanya ada : “Pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh para pegawai”, dan tidak ada “pengajaran privat.”
Artinya, tidak ada seorang pun yang mengajar sesuatu cabang ilmu pengetahuan sebagai individu dan di dalam suasana prive. Semua pengajaran hanya dilakukan oleh para pegawai di dalam jabatannya sebagai anggota dari sesuatu Bagian Pemerintahan.
Tetapi menurut teori ini, sewaktu dynasti Chou yang mula-mula bertahta itu kehilangan kekuasaan, maka pada abad-abad kemudian para pegawai dari Bagian-Bagian Pemerintahan juga kehilangan jabatannya, dan tersebarlah mereka di seluruh negeri. Kemudian mereka memberi pelajaran lagi dalam cabang-cabang pengetahuannya maisng-masing, tetapi sifatnya adalah privat. Dengan demikian, mereka bukan lagi “pegawai” melainkan “Guru Privat”. Dengan adanya pemisahan antara guru dan pegawai ini, maka timbullah berbagai aliran.
Marilah kita sekarang membaca seluruhnya dari analysa Liu Hsin, itu :
“Anggota-anggota dari madzab “Ju” bersal mula dari Kementerian Pengajaran. Madzab ini suka sekali mempelajari Liu Yi, yaitu Enam Hal ke-Kuno-an atau Enam Kesenian Bebas (Liberal Arts, Vrije kunsten) dari banyak menaruh perhatinnya pada hal-hal yang berhubungan dengan perikemanusiaan dan keadilan. Mereka menganggap “Yao” dan “Shun” (dua Kaisar bijaksana dari jama Kuno, yang diduga telah hidup pada abad ke-24 dan ke-23 sebelum Masehi), sebagai leluhur dari madzab-mereka, dan menganggap Raja Wen (1120? – 1108? Sebelum Masehi) dari dynasti Chou dan Raja Wu (putera dari Raja Wen) sebagai tokoh-tokoh yang istimewa. Untuk memperoleh “kewibawaan” (Authority) bagi ajarn-ajrannya, mereka menghormati Chung ni (confucius) sebagai guru yang “menjulang tinggi”. Ajaran mereka dianggap sebagai kebenaran yang tertinggi. Dikatakan bahwa hal-hal yang dikagumi itu masih harus di test/diuji. Kemudian Chou dan ha-hal yang telah tercapai oleh Chung ni adalah hasil-hasil yang diketemukan setelah diadakan test/ujian terhadap ajaran-ajarannya.
Yang gmenjadi anggota-anggota aliran Tao, pada mulanya adalah penulis-penulis sejarah yang diakui secara resmi. Karena mereka mempelajari contoh-contoh di dalam sejarah yang menggambarkan baik sukses maupun kegagalan, baik pemeliharaan maupun pengrusakan, baik ke-malapetaka-an mau pun kemakmuran, dari jman kuno sampai jama sekarang, maka dengan demikian mereka memperoleh pelajaran tentang bagaimana caranya amempertahankan hal-hal yang  hakiki (esensial) dan mengandung hal-hal yang pokok (fundamental). Mereka mempertahankan pada  dirinya sifat-sifat kemurnian dan ke-obyektif-an; di mana-mana mereka selalu berendah hati dan tidak pernah bersikap menentang.......
“ Di sinilah letaknya kekuatan madzab tersebutt.
Yang menjadi anggota-anggota madzab Yin-Yang pada adalah mereka yagn bekerja pada kementerian kehakiman. Mereka amenitik beratkan pada keteliatian dan keseksamaan dalam memberikan baik hadiah/pujian maupun hukuman, agar supaya  mulanya adalah ahli-ahli ilmu falak yan diakui secara resmi. Dengan penuh rasa hormat mereka mempelajari angkasa raya yang cemerlang, perjalanan yang berturut-turut dari mtahari dan bulan, bintang-bintang dan letak-letaknya bintang yang satu terhadap yang lain. Dan juga pembagian waktu dan musim. Di sinilah letaknya kekuatan madzab ini.
Yang menjadi anggota-anggota dari aliran para Legalist pada mulanya dengan demikian dapat ditegakkan suatu system menggenai tingkah laku yang benar. Di sinilah letaknya kekuatan aliran ini.
Yang menjadi anggota-anggota madzab Nama-nama, pada mulanya adalah mereka yang bekerja pada Kementerian Peng-Upacaraan (Ministry or Ceremonies). Upaara yang diperuntukan bagi mereka yang hidup pada waktu dahulu adalah berbeda-beda, oleh karena gelar dan kedudukannya berbeda-beda pula. Kata Confucius : “Bilamana nama-nama tidak benar, maka pembicaraan-pembicaraan tidak akan berjalan menurut proses yang sewajarnya. Bilamana pembicaraan-pembicaraan tidak berjalan menurut proses yang sewajarnya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat terselenggara. Di sinilah letaknya kekuatan aliran ini.
Mereka yang menjadi anggota-anggota dari aliran para Wohist, pada mulanya adalah mereka yang menjadi penjaga-penjaga Candi/Kuil (Temple), Yang dinamakan Candi/Kuil ini mempunyai balok-balok melintang yang rata dan yagn erbuat dari kayu,s edang atapatapnya terbuat dari jerami; maka dari itu ajaran-ajran mereka dititik beratkan apda kesederhaan. Ini adalah tempat di mana Tiga Orang Laki-laki Tertua dan Lima Orang laki-laki Berpengalaman dihormati; maka dari itu ajaran-ajaran mereka dititik beratkan pada kasih sayang terhadap siapa saja (Universal Love). Upacara pemilihan pegawai-pegawai sipil dan upacara pada Latihan-latihan Militer juga diadakan di dalam Kuil tersebut; maka dari itu yagn ditekankan oleh ajaran-ajaran mereka adalah mempertinggi kebajikan dan kecakapan. Kuil tersebut adalah tempat unutk memuliakan para ayah; maka dari itu diajarkan untuk menghormati roh-roh. Mereka menerima ajaran tradisional untuk “mengikuti jalannya empat musim” di dalam tingkah laku seseorang; maka dari itu ajaran-ajaran mereka menentang fatalisme. Mereka menerima ajaran tradisional  untuk menunjukkan kepada seluruh dunia tabiat saleh seperti yang terdapat pada anak kecil; maka dari itu mereka mengajarkan supaya orang-orang menyetujui apa yang dikehendaki oleh atasannya. Di sinilah letaknya kekuatan aliran ini.
Yang menjadi anggota-anggota  dari madzab para Diplomat pada mulanya adalah mereka yang bekerja pada Kementerin Perdutaan (ministry of Embassies) .............................................................. Mereka mengajarkan bagaimana caranya menaati perintah-perintah umum secara diplomatis, jadi supaya jangan menaatinya secara letterlijk (tanpa kebebasan sedikit pun). Di sinilah kekuatan ajaran mereka.
Yang menjadi anggota-anggota dari lairan para Eclectici pada mulanya adalah para anggota Majelis. Mereka mengoper sementara ajaran Confucianisme dan juga sebagai ajaran para Mohist; dan mereka menyelaraskan baik ajaran-ajaran madzab Nama-nama meupun ajaran-ajaran para Legalist. Mereka mengetahui bahwa bangsa mereka membutuhkan masing-masing aliran itu, dan mereka mengerti bahwa pemerintahan kerajaan tidak boleh gagal dalam mempersatukan semua aliran-aliran itu. Di sinlah letak kekuatan madzab ini.
Yang menjadi anggota-anggota dari aliran para Ahli Agraria pada mulanya adalah mereka yang bekerja pada Kementerian Tanah dan Gandum, Mereka mengajarkan bagaimana caranya menaburkan bermacam-macam bibit gandum dan mendesakkan supaya orang membajak tanah dan menanam pohon-pohon murbai  (mulberry; di Tiongkok pohon-pohon ini ditanam untuk mendatangkan ulat-ulat yang menghasilkan sutra) sedemikian rupa hingga rakyat tidak kekeurangan pakaian dan makanan ............................. Di sinilh letaknya kekuatan aliran ini.
Yang menjadi anggota-anggota dari madzab para ahli Dongeng pada mulanya adalah mereka yang  bekerja pada Kantor-Kantor Kecil. Madzab ini di dirikan oleh orang-orang yagn mendengarkan perakapan-percakapan di jalan-jalan, untuk kemudian diceritakan lagi kepada orang-orang glain yang mereka jumpai di mana saja ......................................... Juga andai kata di dalam ajaran-ajaran mereka hanya ada satu perkataan saja yang berguna bagi kita, itu pun sudah dapat dianggap sebagai sesuatu “iuran”.
-----------------------------------------
Demikianlah “Risalah mengenai kesusasteraan” sebagaimana terdapat di dalam buku “Sejarah Dynasti Han yagn dulu-dulu”, dan itulah tadi apa yagn diuraikan oleh Liu Hsin perihal asal mula dari aliran-aliran yang berjumlah sepuluh. Tafsiran mengenai arti dari 10 aliran tadi tidak dapat dikatakan lengkap, dan pernyataannya bahwa ada aliran-aliran yagn berasal mula pada Kementerian ini atau itu, Di dalam beberapa hal boleh dikatakan “Semua maunya sendiri saja”, Misalnya, dalam emnggambarkan ajaran madzab tao, ia hanya menyebut sedikit saja tentang ide-ide Lao Tzu dan samasekali tidak menyinggung-nyinggung ide-ide Chuang Tzu. Lain daripada itu sduah ternyata bahwa tidak ada persamaan antara ajaran-ajaran madzab Nama-nama dengan funksi dari Kementerian peng-Upacaraan, kecuali bahwa kedua-duanya menitik beratkan supaya orang mengadakan pembedaan-pembedaan.
q.        Meninjau Kembali Teori Liu Hsin
Meskipun detil-detil dari teori Liu Hsin mungkin keliru, namun usahanya untuk menyelidiki asal mula dari aliran-aliran itu kearah situasi politik dan situasi sosial tertentu, sudah abrang tentu merupakan suatu sudut pandang yang benar. Di atas tadi, tulisannya telah saya kutip dengan panjang lebar, oleh karena caranya menggambarkan aliran-aliran itu saja sudah merupakan buah pena klassik di dalam historiografi Tiongkok.
Di dalam waktu-waktu belakangan ini, studi mengenai Sejarah Tiongkok telah mendapat kemajuan besar, terutama selama beberapa tahun sebelum penyerbuan Jepang pada tahun 1937. Maka dengan peneropongan yagn saya lakukan melalui penyelidikan-penyelidikan pada waktu-waktu belakangan ini, saya telah membuat teori saya sendiri mengenai asal-mula dari aliran-aliran kefilsafatan itu. Teori ini adalah sejiwa dengan teori Liu Hsin, hanya saja, cara menyatakannya adalah berlawanan. Artinya, segala sesuatu harus ditinjau dari sesuatu sudut baru.
Marilah kita membayang-bayangkan, bagaimana keadaan politis dan sosial dari negeri Tiongkok, pada misalnya di atas sendiri di dalam susunan politis dan sosial adalah Raja dari Dynasti Chou, yaitu yang menjadi “satu-satunya Tuan” dari semua negara-negara (bagian). Ia membawahi ratusan negara-negara (bagian), yang masing-masing dimiliki dan diperintahkan oleh seorang Pangeran. Beberapa di antara negara-negara (bagian) ini telh di “diri”kan oleh pendiri-pendiri dari dynasti Chou. Yaitu kalau mereka memperoleh wilayah/daerah baru dengan jalan penaklukkan, maka mereka memberikannya sebagai pinjaman modal feodal kepada anggota-anggota keluarganya. Negara-negara lainnya diperintah oleh Pangeran-pangeran yang dahulu bersaing (dalam kekuasaan) dengan dynasti Chou, tetapi kemudian semuanya mengakui Raja dari Dynasti Chou sebagai “Tuan mereka bersama.”
Di dalam tiap-tiap negara (bagian) di bawah sang Pangeran, tanah dibagi lagi dalam banyak “tanah-tanah pinjaman”, masing-masing dengan tuan feodalnya sendiri-sendiri, yagn semuanya ini adalah keluarga dari Pangeran tersebut. Pada waktu itu, kekuasaan politik adalah sama dengan kekuasaan ekonomi. Mereka yang mempunyai tanah, juga menjadi tuan dari tanah itu, baik tuan politis maupun tuan ekonomis; dan selain itu mereka juga menjadi tuan dari orang-orang yang bertempat tinggal di atas tanah itu. Mereka adalah para :Chun tau”, suatu istilah yang arti sewajarnya adalah “putera-putera Pangeran”, tetapi yagn dipergunakan untuk menunjuk pada kelas dimana tergolong tuan-tuan feodal,
Golonga sosial lainnya adalah golongan “hsiao jen” yang berati “orang-orang kecil” atau golonga”shu min” yagn berarti rakayat biasa atau massa (khalayak ramai).Golongan inilah yang menjadi hamba (serf) dari para tuan feodal; mereka mengerjakan tanahnya untuk kepentingan para “chun tzu” pada waktu damai, dan menjadi prajurit perang yagn mempertahankan kepentingan para “chun tzu” pada waktu perang.
Dengan demikian maka para bangsawan, yaitu para “chun tzu” tidak saja menjadi penguasa politis dan tuan tanah, tetapi juga merupakan satu-satunya golongan yang berkesempatan untuk memperoleh pendidikan/pengajaran. Maka keluarga para tuan tanah tidak saja merupakan pusat kekuasaan politis dan ekonomis, tetapi juga menjadi pusat keilmuan. Diantara yang berpendidikan ini ada yang menjadi pegawai dan bekerja untuk kepentingan golongan bangsawan tersebut. Pegawai ini mempunyai pengetahuan khusus mengenai berbagai hal.Sebaliknya rakyat biasa tidak berkesempatan untuk mendapat pendidikan/pengajaran, sehingga diantara mereka tidak terdapat orang-orang yang berilmu. Inilah suatu kenyataan yang bersembunyi di belakang teori Liu Hsin, yaitu yang gmenyatakan bahwa di bawah dynasti Chou yagn dulu-dulu :tidak ada pemisahan antara pegawai dan guru”.
Dahulu system feodal ini ditiadakan oleh Kaisar pertama dari Dynasti Ch’in pada tahun 221 sebelum Masehi. Ratusan tahun sebelumnya, system tersebut sudah mulai retak, tetapi ribuan tahun sesudahnya sisa-sisa feodalisme di dalam lapangan ekonomi masih tetap ada di dalam bentuk kekuasaan tuan-tuan tanah.
Penulis-penulis sejarah dari waktu moderen masih belum bersepakat mengenai hal-hal yang menyebabkan retaknya system feodal itu. Dan juga tidak termasuk rangka bab ini untuk membicarakan sebab-sebabnya. Untuk keperluan kita sekarang, cukuplah sudah untuk mengatakan bahwa di dalam Sejarah Tiongkok, periode anara abad ke-7 dan ke-3 sebelum Masehi, itu mengalami perubahan-perubahan sosial dan politis yang besar sekali.
Kita tidak mempunyai kepastian tentang kapan persisnya system feodal itu mulai retak. Sudah sejak abad ke-7 (sebelum Masehi) ada orang-orang bangsawan yang karena peperangan atau karena sebab lain, kehilangan tanah dan gelarnya, sehingga dengan demikian mereka jatuh sampai pada tingkat rakyat biasa. Tetapi ada juga  oran-orang dari rakyat biasa yang karena kecakapannya atau karena mendapat keanugerahan, dapat menjadi pegawai-pegawai tinggi di dalam negaranya. Ini menggambarkan arti yang sebenarnya dari keretakan dynasti Chou. Sebab, hal itu tidak hanya berarti retaknya kekuasaan politis dari sesuatu keluarga kerajaan saja, melainkan dan ini lebih penting – juga retaknya keseluruhan dari sesuatu system sosial. Dengana danya keretakan ini, maka mereka yang dahulu mewakili secara resmi berbagai cabang keilmuan, kemudian menjadi tersebar di antara rakyat baisa. Dahulunya, mereka ini adalah bangsawan sungguh-sungguh atau pun para ahli yang memangku sesuatu jabatan atas dasar warisan sewaktu mengabdi apda keluarga bangsawan yang sedang berkuasa. Ini dapat menjelaskan arti dari ucapan Conficius yang dikutip oleh Liu Hsin, yaitu sebagaimana dapat dibaca di dalam Risalahnya mengenai Kesusasteraan (dan sebagian dari Risalah ini telah saya muat di muka) : “Bilamana upacara-upcara menjadi hilang (didalam istana), maka orang perlu mencarinya di dalam daerah-daerah diluar kota.”
Setelah para bekas bangsawan atau bekas pegawai menyebar ke seluruh jurusan, mereka mencari penghidupan dengan mendasarkan atas kekuatannya sendiri. Yaitu atas kecakapannya atau keahliannya masing-masing. Mereka yang menyampaikan ide-idenya kepada individu-individu lain (yang juga tidak ada hubungannya dengan kepentingan sesuatu keluarga bangsawan yang berkaua) menjadi “guru”, dan dengana danya pekerjaan guru sebagai “mata pencaharian” ini, timbullah pemisahan antara guru dan pegawai.
Perkataan “aliran” atau madzab” di dalam bab ini saya pakai sebagai penterjemahan untuk perkataan Tionghoa “Chia”, yang selain itu juga berarti “keluarga” atau “rumah”. Maka dari itu, “Chia” itu menunjukkan adanya sesuatu yagn sifatnya prive atau sesuatu yang pribadi (persoonlijk). Tidak mungkin ada Chia-pikiran (aliran pikiran) sebeluma da orang-orang (guru-guru) yang mengjarkan eide-idenya sendiri secara prive/privat.
Maka juga ada bermacam-macam Chia, oleh karena guru-gurunya mempunyai keahliannya sendiri-sendiri, yaitu keahlian di dalam beberapa cabang keilmuan dan kesenian. Ada beberapa dianaranya yagn hali dalam memberi pelajaran tentang buah-buah karya dari jaman klasik, tentang cara melakukan upacara-upacara dan tentang musik. Mereka ini terkenal sebagai para “Ju” atau “mereka yang berilmu”. Ada yang ahli di dalam seni perang. Mereka ini adalah para “hsieh” atau para “ksatria” (knights). Ada yang ahli di dalam seni bicara, yang terkenal sebagai para “pieh che” atau para “pendebat”. Ada yagn ahli dalam hal-hal yang berhubungan dengan ekkuatan gaib (magic), penujuman, astrologi dan numerologi, yaitu yang terkenal sebagai para “Fang Shih” atau “mereka yang mempraktekan kesenian-kesenian occultisme”. Ada juga yang ahli dalam mempraktekan hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan. Mereka ini dapat bekerja sebagai penasehat-penasehat pribadi dari penguasa-penguasa feodal, dan terkenal sebagai “Fang shu chih shih” atau “mereka yang mengetahui tentang methode-methode”. Dan akhrinya, ada beberapa orang yang memiliki ilmu dan bakat, tetapi yagn menaruh dendam pada kekacauan politik pada waktu itu, sehingga memutuskan segala hubungannya dengan orang-orang lain, dan menyendiri di dalam “alam liar”. Mereka ini terkenal sebagai para “Yin che”, atau orang-orang pertapa.
Menurut teori saya, enam aliran pikiran sebagaimana dimuat di dalam daftar Ssuman T’an, itu berasal dari “enam macam manusia” yang saya sebut di atas. Maka, apa yang telah dikatakan oleh Liu Hsin akan saya ulangi dengan kata-kata saya sendiri :
1.         Anggota-anggota aliran Ju berasal dari “mereka yang ber-ilmu”.
2.         Anggota-anggota aliran para Mohist berasal dari dari para “ksatria”,
3.         Anggota-anggota aliran Tao berasal dari “orang-orang pertapa”
4.         Anggota-anggota aliran Nama-nma berasal dari para “pendebat”.
5.         Anggota-anggota Yin Yang berasal dari “mereka yang mempraktekan kesenian-kesenian occultisme”;
6.         Anggota-anggota dari aliran para Legalist berasal dari “mereka yang mengetahui tentang methode-methode.”.
Apa yang saya nyatakan ini akan saya jelaskan di dalam bab-bab yang berikut.
BAB. XXVII
PERKENALAN  DENGAN  FILSAFAT  BARAT
Setiap system kefilsfatan itu mudah di salah fahami dan di salah gunakan. Demikian juga halnya dengan kedua aliran Neo Confucianisme. Menurut Chu Hsi, adalah suatu prinsip bahwa orang harus mulai dengan menyelidiki sedala sesuatu, agar supaya dapat mengerti “Li) yang abadi” atau Hukum-hukum; tetapi Chu Hsi sendiri tidak memenuhi prinsip ini dengan saksama. Di dalam dokumentasi dimana dimuat pernyataan-pernyataan Chu Hsi, kita dapat melihat bahwa betul ia telah mengawasi peristiwa-peristiwa alam kodrat dan peristiwa-peristiwa sosial, tetapi kebanyakan dari waktunya telah dipergunakan untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan jaman klassik dan untuk mengomentari hal-hal ke-kuno-an itu. Ia tidak saja peraya bawa “Li yang abadi” itu ada, tetapi juga bahwa “Li yang abadi” itu berupa pernyataan-pernyataan yang telah diucapkan oleh para Bijaksana dari jaman Kuno. Dengan demikian maka di dalam systemnya terdapat unsur-unsru :
1.         Autoritarianisme (paksaan/kekuasaan), dan
2.         Conservatisme.
Yang makin lama makin nampak dengan mejalarnya tradisi dari aliran Ch’eng Can. Aliran ini kemudian diakui dan diajarkan secara resmi oleh negara, dan hal ini menjadi salah satu sebab mengapa unsur-unsur tersebut makin terasa kuat.
Catatan Penulis :
Sebagai bahan perbandingan, kami muat di sini apa yang ditulis di dalam E.N.S.I.E (Eerste Nederlandse Systematisoh Ingerichte Encyclopaedie) mengenai “LI”. Li adalah cara atau bentuk dari “i”. Biasanya “i” diterjemahkan dengan  “keadilan”, tetapi terjemahan ini tidak memuaskan untuk tulisan-tulisan yang kuno. Arti yang sebenarnya adalah : pengertian baik yang seharusnya ada  antara raja dan hambanya, ayah dan anaknya. Lalu dari situ timbul arti : Keinsyafan akan perbandingan yang seharusnya antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Juga dapat diganti dengan “Keinsyafan akan kewajiban” “Ilmu mengenai kewajiban”, “Keadilan”, Kalau Confucius mengatakan tentang “membenarkan nama-nama”, maka itu berarti bahwa hendaknya ada persesuaian antara kedudukan dan sikap seseorang. Kalau sikap tiap-tiap orang itu sesuai dengan statusnya, jadi kalau menurut Confucius “tiap-tiap nama itu sesuai dengan kenyataannya” maka lalu terjaminlah “perbandingan yang seharusnya” antra atas dan bawah, lalu seudah tentu ada pemerintahan yang baik. “Perbandingan yang seharusnya” ini dinamakan “i”.
r.          Reaksi Terhasap Neo-Confucianisme
Aliran Lu Wang, berupa suatu revolusi terhadap Conservatisme tersebut, dan pada jaman Wang Shou Jen, pergerakan revolusioner itu mencapai puncaknya. Pengetahuan intuitif (pengetahuan yang tidak diperoleh dengan jalan belajar/mendengar/membaca) yang ada pada setiap manusia, dengan mudah tertarik oleh pergerakan itu; dan tidak boleh dilupakan bahwa pengetahuan intuitif dari seseorang itu merupakan “cahaya dalam” dari “jiwa asli”nya. Meskipun tidak pernah diakui oleh pemerintah (jadi tidak seperti aliran Ch’eng-Chu yang mendapat pengakuan), pengaruh aliran Lu-Wang menjadi sama kuatnya dengan pengaruh aliran Ch’eng Chu.
Tetapi juga kefilsafatan Wang Shou Jen telah disalahfahami dan disalahgunakan. Menurut Wang : “Yang diketahui secara langsung di dalam pengetahuan Intuitif itu adalah segi ethis dari kehendak atau pun pikiran kita. Pengetahuan intuitif itu hanya dapat mengatakan kepada kita apa yang harus kita lakukan, tetapi tidak dapat mengatakan bagaimana kita harus melakukannya.” Jadi, di dalam pengetahuan yang intuitif itu tidak terdapat apa yang oleh orang Amerika dinamakan “Know how”.  Agar supaya orang dapat mengetahui bagaimana caranya melakukan hal yang seharusnya kita perbuat di dalam keadaan tertentu, Wang mengatakan bahwa : “Kita harus mempelajari methode-methode (cara-cara) bertindak yang berhubungan dengan keadaan yang kita hadapi.”
Tetapi di kemudian hari, pengikut-pengikutnya agaknya menjadi percaya bahwa : “Pengetahuan intuitif itu sendiri dapat mengatakan segala sesuatu kepada kita, termasuk apa yang dinamakan “know how”.
Kita boleh berkata : “Wah, gila ini!!!!”, dan para pengikut aliran Lu Wang benar-benar telah menderita karena akibat-akibat dari “kegilaan” ini.
Pada akhir bab XXVI (yang tidak dimuat di dalam buku terjemahan ini. Pen) kita telah meliaht bahwa “methode pembuktian” dari Ch’an dipergunakan oleh Wang Shou Jen untuk mengkritik Buddhisme. Dan ini memang sejenis pembuktian yang mudah sekali disalah gunakan. Menurut suatu cerita ejekan (satiric story) :
“Sewaktu pada suatu hari seorang pelajar mengunjungi sebuah Candi Buddha, ia tidak banyak diperhatikan oleh rahib yang mengepalai di situ. Tetapi tidak lama kemudian, pelajar itu melihat bahwa ada pegawai tinggi yang juga datang mengunjungi Candi tersebut. Dan Pegawai Tinggi ini didsambut dengan segala maam pernghormatan oleh rahib. Setelah pegawai tinggi tadi pergi, bertanyalah pelajar itu, mengapa ia tidak mendapat penghormatan seperti pegawai tinggi tadi. Jawabannya : “menghormati itu tidaklah untuk menghormati, dan tidak menghormati itu adalah untuk menghormati!” Dengan segera pelajar itu memukul sang rahib pada mukanya. Yang dipukul memprotes dengan marahnya : “Mengapa kau memukul aku?” Pelajar itu menjawab : “Memukul itu tidaklah untuk memukul, dan tidak memukul itu adalah untuk memukul”.
Cerita ini terdengar di mana-mana sesudah jaman Wang Shou Jen, dan sudah barang tentu maksudnya adalah untuk mengkritik Wang Shou Jen dan pengikut-pengikut Ch’an.
Wan Shou Jen hidup dan berpengaruh sewaktu dynasti Ming (th 1368 -1643) bertahta. Dynasti Ming  ini adalah suatu dynasti yang berkelahiran di Tiongkok dan yang menggantikan dynasti Yuan atau dynasti Mongol (th.1280 – 1367). Dynasti Ming ini kemudian diturunkan dari tahta sebagai akibat dari pemberontakan di dalam negerinya, yang terjadi bersama-sama dengan penyerbuan dari luar, sehingga digantikan oleh dynasti Ch’ing (tahun 1644 – 1911). Dan di bawah dynasti ini, seluruh Tiongkok dikuasai untuk kedua kalinya oleh orang-orang asing, kali ini oleh orang-orang dari Mansyuria. Tetapi orang-orang ini jauh lebih simpatik terhadap kebudayaan Tiongkok dariapda orang-orang Mongol dahulu. Sejak permulaan sampai dua pertiga dari waktu orang-orang mansyuria  berkuasa di situ, Tiongkok terus menerus mengalami di dalam negerinya jaman damai dan jaman makmur, Dan selama waktu itu  dapat dikatakan bahwa Tiongkok di dalam berbagai segi  telah mencatat kemajuan-kemajuan penting, meskipun di dalam segi-segi lian juga makin tebal conservatismenya di dalam lapangan kebudayaan dan lapangan sosial. Secara resmi, aliran Ch’eng Chu malahan mendapat perlindungan  yang lebih kuat daripada  di waktu-waktu sebelumnya. Tetapi secara tidak resmi, dynasti Ch’ing menyaksikan suatu reaksi penting terhadap aliran Ch’eng-Chu dan terhadap aliran Lu-Wang. Para pemimpin dari pihak yang melancarkan reaksi, mendakwa kedua aliran  tersebut, bahwa di bawah pengaruh  Ch’anisme dan Taoisme, mereka telah memberi tafsiran  yang salah tentang  ide-ide Confucius, sehingga dengan demikian mereka didakwa telah kehilangan “aspek yang praktis dari ajaran-ajaran asli Confuciuanisme”. Setelah seorang di antara para penyerang mengatakan : “Chu Hsi adalah seorang rahib yang beraliran Tao, dan Lu Chiu Yuan adalah seorang rahib Buddha.” Dakwaan ini tidak salah 100%, seperti telah kita lihat di dalam bab ke XXV dan ke XXVI (tidak dimuat di sini. Pen).
Tetapi ditinjau dari sudut Filsafat, hal ini sama sekali tidak mempunyai arti. Sebagaimana diuraikan di dalam bab ke XXIII (juga tidak ada di dalam buku ini. Pen), maka :
“Neo-Confucianisme berupa suatu systhesis antara Confucianisme, Buddhisme, Taoisme yang filosofis (melalui Ch’ anisme), dan Taoisme yang religius).
Ditinjau dari sudut Sejarah Filsfat Tiongkok, sysnthesis yang demikian itu berarti suatu perkembangan; jadi dari sudut Sejarah, itu dipandang sebagai hal yang baik, dan tidak sebagai cacat.
Di bawah dynasti Ch’ing, yaitu waktu kedudukan Confucianisme yang orthodox sedang sekuat-kuatnya  (lebih kuat dariapda di waktu-waktu sebelumnya), maka kalau orang menyatakan bahwa neo Confucianisme itu tidak sama dengan Confucianisme yang murni, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Neo Confucianisme  adalah palsu dan keliru. Menurut pihak lawan akibat-akibat dari  Neo Confucianisme itu memang lebih buruk dan lebih merugikan dariapda akibat-akibat Buddhisme dan Taoisme. Sebab, seolah-olah nampak ada persesuaian antara Neo Confucianisme dan Confucianisme murni, dan persesuaian yang  sebetulnya tidak ada  ini dengan mudah dapat memperdaya orang dan menyesatkan.
Dengan alasan ini, para pelajar dari dynasti Ch’ing memulai suatu pergerakan baru, yaitu yang berupa suatu ajakan untuk “kembali ke Han”, artinya kembali pada komentar-komentar yang telah ditulis oleh kaum pelajar dari dynasti Han atas buah-buah karya dari jaman klasik. Mereka percaya bahwaa karena para pelajar dari dynasti Han ini hidup pada waktu yang lebih berdekatan dengan jaman Confucius, dan juga hidup pada waktu sebelum Buddhisme masuk ke dalam Tiongkok, maka tafsiran-tafsiran mereka mengenai buah-buah karya klasik, tentunya harus lebih murni dan lebih mendekati ide-ide tulen dari Confucius. Sehubungan dengan itu, mereka mempelajari buah-buah pena dari pelajar-pelajar dari dynasti Han (yaitu tulisan-tulisan yang dikesampingkan oleh Neo Confucianisme), dan pelajaran ini disebut “ Han Hsueh” atau “Ilmu dari dynasti Han”. Lawannya adalah “Sung Hsueh” atau “Ilmu dari dynasti Sung”, dan yang dimaksudkan adalah jaran-ajarn Neo Confucianisme, oleh karena aliran-aliran yang terpenting dari Neo Confucianisme telah mengalami masa-semaraknya di abwah dynasti Sung.
Sepanjang abad ke-18 sampai awal abad sekarang, pertengkaran antara  pengikut-pengikut Ch’ing yang memihak Han Hsueh,  merupakaan suatu pertengkaran yang tergolong dalam yang terhebat di dalam Sejarah Alam Pikiran Tiongkok. Ditinjau dari sudut kita sekarang, pertengkaran itu benar-benar serupa dengan pertengkaran antara  tafsiran filosofis dan tafsiran ilmiah mengenai naskah-naskah kuno.
Mereka yang memberi tafsiran ilmiah menitik beratkan pada arti yang sesungguhnya menurut kepercayaan mereka, sedang mereka  yang memberi tafsiran filosofis menitik beratkan pada apa yang dahulu sebetulnya telah dimaksudkan sebagai artinya.
Oleh karena para “pelajar Han Hsueh” meletakkan titik berat pada tafsiran ilmiah mengenai naskah-naskah kuno, maka mereka mencatat kemajuan dan perkembangan di dalam pelancaran kritik berdasar naskah (textual critism), pelancaran kritik pada tingkat yang lebih tinggi  (higher criticism), ilmu bahasa (philology), dan lain-lain lapangan yang sejenis. Dan memang studi mereka di dalam lapangan sejarah, ilmu bahasa, dan lain-lainnya itu adalah suatu hal yang merupakan satu-satunya kemajuan besar dari dynasti Ch’ing di dalam lapangan kebudayaan.
Ditinjau dari sudut filsafat, apa yang dicapai oleh “para pelajar Han Hsueh” itu kurang penting, tetapi ditinjau dari sudut kebudayaan, mereka telah banyak berusaha “membuka jiwa-jiwa pada jaman itu” untuk mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih besar di dalam lapangan kesusasteraan Tiongkok. Pada masa dynasti Ming, kebanyakan di antara para pelajar memusatkan segala perhatiannya pada “empat buah buku” (yaitu analecta Confucius, Buku Mencius, Ilmu Tinggi, dan Ajarn tentang Jalan Tengah). Ini terjadi di bawah pengaruh Noe Confucianisme, dan untuk dapat lulus dalam menempuh ujian-ujian (yang diadakan oleh negara), orang harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai “Empat Buah Buku” itu. Sebagai akibat mereka hanya mengetahui sedikit saja tentang literatur lain. Tetapi setelah para pelajar dynasti Ch’ing merasa tertarik akan “penilaian kembali  secara ilmiah” dari naskah-naskah kuni, mereka tidak lagi dapat membatasi diri pada studi mengenai  buah-buah karya  klassik dari Confucius saja. Betul, buah-buah kerja Confucius ini mendapat perhatian sebagai hal yang neomor satu, tetapai setelah pekerjaan di dalam lapangan ini selesai, mereka lalu tidak hanya mempelajari naskah-naskah klasik dari Confucianisme yang ortodox saja, tetapi juga mempelajari naskah-naskah kuno lainnya, termasuk buah-buah pena seperti Mo Tzu, Hun Tzu dan Han fei tzu, yang sudah sejak lama tidak diperhatikan sama sekali. Mereka bekerja keras untuk mengoreksi kepalsuan-kepalsuan yang terselip di dalam naskah-naskah itu, dan berusaha menerangkan cara pemakaian lama dari kata-kata  dan kalimat-kalimat. Berkat pekerjaan mereka, naskah-naskah ini jauh lebih mudah dapat dibaca  oleh sesama kita pada jaman sekarang daripada misalnya di kala jaman dynasti Ming. Pekerjaan mereka telah banyak memberi pertolongan dalam menghidupkan kembali perhatian orang akan studi filosofis mengenai ahli-ahli filsafat itu. Perhatian ini “menyala” kembali sejak puluhan tahun yang belakangan, dengan mendapat dorongan dari Filsafat Barat yang mulai di kenal. Dengan ini kita sampai pada suatu pokok pembicaraan yang segera akan kita kupas.
s.         Pergerakan yang menuju ke arah Agama Confucius
Di sini kita tidak perlu menyelidiki secara seksama bagaimana mula-mula orang Tiongkok sampai berkenalan dengan kebudayaan Barat. Cukuplah sudah untuk mengatakan bahwa : “Kira-kira pada bagian akhir dari jaman dynasti Ming, yaitu bagian akhir dari abad ke-16 dan bagian awal dari abad ke-17, banyak pelajar-pelajar Tiongkok mengagumi mathematica dan astronomi yang pada waktu itu  dimasukkan oleh anggota-anggota missi Jesuit ke dalam Tiongkok.”
Oleh Eropah Tiongkok dan daerah sekitarnya dinamanakan “Timur Jauh”, sedang sebaliknya pda waktu terselenggaranya hubngan yang pertama-tama antara Tiongkok dan eropah, benua Eropah oleh orang Tiongkok disebut “Barat Jauh” atau “T’ai Hasi”. Pada abad yang dulu-dulu, yang dinamakan “Negeri Barat” adalah India; maka dari negeri-negeri yang letaknya lebih barat daripada India hanya dapat disebut dengan perkataan “Barat Jauh”. Ekarang istilah ini sudah tidak dipakai lagi, tetapi sampai akhir abad yang lalu, istilah itu masih dipakai oleh umum (di Tiongkok).
Di dalam bab ke XVI (tidak kami muat di sini, Pen.) telah saya katakan bahwa : “Perbedaan yang secara tradisional selalu diadakan oleh orang Tionghoa, yaitu dalam membedakan dirinya dari orang asing (semua orang asing oleh mereka disebut “kaum Barbar”), itu lebih didasarkan atas kebudayaannya daripada atas kebangsaannya.”
Rasa “Nasionalisme” mereka, lebih mengalami perkembangan ke arah kebudayaan daripada kearah politik. Sebagai ahli-ahli waris dari suatu kebudayaan kuno, yaitu suatu kebudayaan yang letak geografisnya jauh terpencil dari kebudayaan-kebudayaan lain yang agak sama pentingnya, sangatlah sukar bagi mereka untuk menggambarkan bagaimana mungkinnya ada bangsa lain yang berkebudayaan pula dan yang cara hidupnya berlainan dengan mereka sendiri. Maka bilamana mereka menjumpai kebudayan asing, sebelum apa-apa mereka seakan-akan sudah mau menghinanya dan melawannya; tidak karena menghadapi sesuatu yang asing semata-mata, tetapi hanya karena menurut anggapan mereka, setiap kebudayaan lain adalah salah atau tidak setinggi kebudayaan mereka sendiri. Sebagaimana telah kita lihat di dalam bab XVIII (juga tidak dimuat di sini. Pen). : “masuknya Buddhisme telah mendorong terbentuknya agama Tao, sebagai semacam reaksi yang nasionalistis terhadap kepercayaan oran asing.”
Demikian juga halnya sewaktu kebudayaan Barat masuk, dimana para anggota Missi Nasrani memegang peranan penting; sebab di sini juga timbul reaksi yang hampir serupa.
Pada abad ke-18 dan ke-17 sebagaimana sudah saya katakan di atas, -- pelajar-pelajar yang menjadi anggota-anggota missi, dikagumi oleh orang-orang Tiongkok. Dan sebab dari timbulnya rasa kagum itu bukanlah karena agama yang mereka bawa, melainkan karena hasil-hasil yang telah mereka capai di dalam lapangan mathematika dan astronomi. Tetapi kemudian terutama selama abad ke-19, dengan makin meningkatnya keunggulan eropah dalam lapangan militer, industri dan perdagangan, bersamaan dengan merosotnya kekuatan politik Tiongkok di bawah orang-orang Mansyu, maka makin terasalah daya pendesak agama Nasrani terhadap orang-orang Tiongkok. Setelah terjadi berbagai sengketa yang menghebat antara anggota-anggota missi dan orang-orang Tiongkok, maka timbul pergerakan untuk memiliki suatu  Agama Confucius yang “berkelahiran di dalam negeri”, dengan maksud untuk menandingi desakan dari Barat. Gerakan ini dimulai pada akhir abad ke-19, oleh seorang yang terkenal sebagai ahli pemerintahan dan sebagai pembaharu di dalam lapangan politik yaitu K’ang Yu-wei (tahun 1858 – 1927). Kejadian ini bukannya suatu hal yang kebetulan semata-mata – juga kalau ditinjau dari sudut perkembangan sebelah dalam dari alam pikiran orang Tiongkok, sebab kaum pelajar Han Hsueh sudah lebihn dahulu menggalang jalannya.
Dalam bab ke XVII dan bab ke XVIII telah dikemukakan bahwa pada dynasti Han ada dua aliran Confucianisme yang paling berpengaruh, yaitu : 
-            Aliran naskah lama, dan
-            Aliran Naskah Baru.
Dengan hidupnya akembali studi dan perhatian akan buah-buah karya dari pelajar-pelajar Han, maka hidup kembali pula pertikaian lama antara kedua aliran  itu, Dahulu kita telah melihat juga, bahwa :
“Aliran Naskah Baru, di bawah pimpinan Tung Chung Shu, dengan penuh kepercayaan menganggap Confucius sebagai pendiri dari suatu dynasti baru yang ideal. Kemudian mereka melangkah lebih jauh lagi, dan menganggap Confucius sebagai makhluk yang hikmat dan sakti, yang tingkatannya lebih tinggi daripada manusia biasa (supernatural being), yang diutus ke bumi untuk menjalankan sesuatu kewajiban. Yhaaah.. ia benar-benar dianggap sebagai Tuhan di antara manusia-manusia di bumi ini.
Di antara mereka yang meimpin pengikut-pengikut Ch’ing dari Aliran Naskah Baru dalam mempelajari Han Hsueh adalah K’ang Yu-wei. K’ang Yu-wei melihat bahwa di dalam aliran ini ada banyak bahan untuk membuat Confucianisme menjadi agama yang diorganisir.
Waktu mempelajari Tung Chung shu, kita telah membaca teori Tung yang fantastis (yang menyerupai khayalan belaka) itu mengenai Confucius. Teori K’ang Yu-wei malahan lebih fantastis lagi. Sebagaimana telah kita lihat di dalam “Ch’un Ch’iu” atau “Musim semi” di dalam “Buku-buku Tahunan Musim Rontok” atau lebih jelas di dalam teori-teori para Komentator Han atas tulisan-tulisan itu. Dan juga di dalam “Li Chi” atau “Buku Rite (uapcara keagamaan)”, maka ada konsep bahwa : “Dunia itu berkembang melewati tiga zaman atau tiga fase (tingkat) kemajuan.”
Teori ini dihidupan kembali oleh K’ang Yu-wei, sekarang dengan penafsiran bahwa jaman Confuius adalah “jaman pertama” yang masih berasa pada tingkat kemunduran dan kekacauan. Pada jaman kita, demikian katanya, hubungan-hubungan yang makin erat antara Timur dan Barat, dan pembaharuan-pembaharuan di dalam lapangan politik dan sosial di Eropah dan Amerika menunjukkan bahwa manusia sedang mengalami kemajuan dari tingkat kekacauan ke tingkat ke dua yang lebih tinggi, yaitu tingkat mendekati perdamaian. Dan kemudian ini akan disusun pula dengan bersatunya seluruh dunia, yang akan berarti terlaksananya tingkat terakhir dari kemajuan umat manusia, yaitu tingkat “perdamaian yang merata”. Pada tahun1902 ia menulis :
“Segala sesuatu ini sebelumnya sudah diketahui oleh Confucius” (Lun Yu atau Komentar ata Analecta, chuan.2).”
Pada tahun 1898, di dalam lapangan Politik terjadi pembaharuan-pembaharuan yang mencolok mata. Pemimpin dari pergerakn ini adalah K’ang Yu-wei. Tetapi ini adalah suatu pergerakan yang hanya berlangsung beberapa bulan saja. Akibatnya ialah bahwa :
1.         K’ang Yu-wei terpaksa lari kem luar negeri.
2.         Sejumlah pengikut-pengikutnya dipidana mati, dan
3.         Pemerintahan Mansyu memperbaharui dan memperkuat politiknya.
Menurut pendapat K’ang Yu-wei sendiri, yang dibela olehnya bukanlah pengoperan kebudayaan Barat (yang merupakan kebudayaan baru bagi Tiongkok), melainkan pelaksanaan dari ilmu-ilmu yang kuno dan tulen sebagaimana diajarkan oleh Confucius. Ia telah menulis banyak komentar atas buah-buah karya klassik yang berasal dari confucius, dan ini ditafsirkan menurut ide-ide baru. Lain daripada itu, pada tahun 1884, ia telah menulis sebuah buku yang berjudul : “Ta T’ung Shu” atau “Buku mengenai persatu-paduan tingkat atas”. Di dalam buku ini ia secara konkrit menggambarkan suatu utopia (negara idam-idaman) yang akan terlaksana di dalam phase ke tiga dari kemajuan umat manusia, menurut bagan (schema) dari Cpnfucius. Buku ini adalah sedemikian berani dan revolusionernya, hingga pasti akan juga mengejutkan penulis-penulis yang tergolong paling utopis (yang cita-citanya terlalu tinggi hingga mustahil dapat tercapai). K’ang Yu-Wei sendiri samasekali tidak dapat dikatakan utopis. Ia menerangkan bahwa rancangannya hanya dapat dipraktekkan pada Fase/tingkat yang tertinggi dan yang terakhir dari kebudayaan umat manusia. Tetapi selain itu, ia mempunyai program politik yang apda saat itu juga dapat dipraktekkan, yaitu ia hanya mendesakkan terbentuknya suatu monarchi (kerajaan) yang berdasarkan konstitusi. Maka dengan demikian ia untuk seluruh hidupnya menjadi dibenci, pertama-tama oleh kaum kolot oleh karena ia terlalu radikal, dan kemudian juga dibenci oleh kaun radikal karena ia dipandang terlalu kolot.
Tetapi abad ke 20 tidak dapat disebut “abad keagamaan”, dan masuknya agama Nasrani ke dalam Tiongkok sekarang ditambah lagi dengan masuknya ilmu pengethuan moderen, yaitu lawannya Agama. Maka dengan sendirinya pengaruh agama Nasrani di tiongkok menjadi terbatas, sedang pergerakn yang menginginkan suatu agama Confucius menjadi kandas di tengah jalan. Meskipun demikian, dengan jatuhnya dynasti Ch’ing dan dengan digantinya dynasti tersebut oleh suatu Republik pada tahun 1912, datanglah suatu permintaan yang diajukan oleh pengikut-pengikut K’ang Yu wei. Ini terjadi pada tahun 1915, sewaktu orang sedang merencanakan Konstitusi Republik, dan permintaanya ialah : “Supaya Republik yang beru itu menerima dan mengakui Confucianisme sebagai Agama kenegaraan.”
Terjadilah suatu pertengkaran yan hebar mengenai hal itu, sampai akhirnya tercapai kompromi (persetujuan) bahwa : “ Konstitusi akan memaksa Republik Tiongkok untuk menerima Confucianisme, tidak sebagai agama kenegaraan, melainkan sebagai prinsip yang berdasarkan Ethica.”
Di dalam prakteknya, rencana konstitusi ini tidak pernah terlaksana, dan sejak itu tidak pernah kedengaran lagi tentang Confucianisme sebagai Agama didalam arti seperti yang dimaksud oleh K’ang Yu-wei.
Hendaknya dicatata, bahwa sampai pada tahun 1898 K’ang Yu-wei, dan teman-temannya hanya mengetahui sedikit saja (atau barangkali juga tidak mengetahui apa-apa) tentang Filsafat Barat. Seorang temannya, yaitu T’an Ssu T’ung (tahun 1865 -1898) yang mati disiksa ketika pergerakan pembaharuan politik gagal, adalah seorang tokoh yang pikirannya lebih halus daripada K’ang sendiri. Ia menulis buku yang berjudul “Jen Hsueh” atau “Ilmu pengetahuan mengenai Jen (hati sanubari manusia)”. Ia mengambil beberapa ide dari ilmu kimia dan physsica moderen, dan di dalam bukunya ide-ide ini dimasukkan ke dalam ajaran-ajaran Neo Confucianisme. Pada permulaan buku itu, ia menyebut sejumlah buku-buku yang dianjurkan supaya dibaca dahulu sebelum orang mempelajari “Ilmu Pengetahuan Mengenai Jan”. Di antara buku-buku yang disebut itu, yang mengenai alam pikiran Barat hanyalah :
1.         “Wasiat Baru” )New Testament), dan
2.         “Beberapa Risalah mengenai Mathematica, Physica, Kimia dan Sosiologi.”
Sudah jelas bahwa orang pada waktu itu hanya mengetahui sedikit saja tentang Filsafat Barat, dan dikira bahwa selain mesin-mesin dan kapal-kapal perang, kebudayaan Barat itu terutama hanya berkisar pada ilmu pengetahuan dan agama nasrani saja.
t. Berkenalan dengan Alam Pikiran Barat
Tokoh terbesar  pada awal abad kita sekarang ini, di dalam pengetahuan tentang alan pikiran Barat adalah Yen Fu Tahun 1853 – 1920). Mula-mula ia dikirim oleh pemerintahnya ke Ingris untuk mempelajari ilmu perkapalan. Sewaktu ia ada di sana, ia membaca beberapa buah karangan mengenai humaniora (ilmu-ilmu yang menyelidiki kehidupan rohani dan ciptaan-ciptaannya, jadi berlawanan dengan ilmu-ilmu alam kodrat) yang sedang digemari pada waktu itu. Seteelah ia kembali di Tiongkok, ia menterjemahkan berbagai buku ke dalam bahasa Tiongkok. Buku-buku itu adalah :
1.         Thomas Huxley : “Evolution and Ethica”,
2.         Adam Smith : “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Wettions.”
3.         Herbert Spencer : “The Study of Sociology”.
4.         John Stuart Mill : “On Liberty”, dan juga separoh dari “A System of Logic”
5.         E. Jenks : “A History of Politica.”
6.         Montesquieu : “Esprit des Lois”
7.         Suatu terjemahan dari Jevons : “Lessons ini Logic.”
Yen Fu mulai menterjemahkan buku-buku itu sesudah perang antara Tiongkok dan Jepang (Tahun 1894 – 1895) dihentikan. Sesudah itu ia menjadi sangat kenamaan dan terjemahan-terjemahannya dibaca di dalam kalangan yang luas. Kenamaanya itu disebabkan oleh tiga hal :
1.         Pertama, kekalahan tiongkok di dalam peperangan Tiongkok – Jepang (yang didahului oleh penghinaan-penghinaan dari pihak Barat) mengurangi kepercayaan bangs Tiongkok akan keunggulan kebudayaan kuno mereka sendiri. Hal ini menimbulkan keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang alam pikiran Barat. Sebelumnya itu, mereka menduga bahwa orang Barat itu hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, dalam hal mesin, senjata dan kapal perang, tetapi tidak disangka dapat memberikan sesuatu yang bersifat kerohanian/kejiwaan pula.
2.         Sebab yag kedua ialah, bahwa Yen Fu telah menulis komentar-komentar atas banyak bagian bagian di dalam terjemahannya, dimana ia membanding-bandingkan ide-ide dari penulisnya  dengan ide-ide di dalam filsafat Tiongkok, dengan maksud untuk memberikan pengertian yang lebih jelas kepada pembaca-pembacanya. Apa yang dilakukan oleh Yen Fu ini kira-kira adalah seperti “ko yi” atau “penafsiran dengan jalan analogi”, yang sudah saya sebut di dalam bab ke XX, yaitu berhubungan dengan penterjemahan naskah-naskah Buddha.
3.         Sebab yang ketiga jalan bahwa bahasa Ingris moderen seperti yang dipergunakan oleh Spencer. Mill, dan lain-lainnya di dalam bukunya itu, telah diterjemahkan oleh Yen Fu ke dalam bahasaTionghoa dengan langgam yang benar-benar klasik. Kalau seseorang membaca terjemahan ini, ia seolah-olah membaca buah-buah karangan Tiongkok Kuno seperti misalnya Mo Tzu atau Hsun tzu. Oleh karena orang-orang Tionghoa itu secara tradisional mempunyai rasa hormat terhadap hasil kesusasteraan, maka juga pada jama Yen Fu ini mereka mempunyai takhayul bahwa setiap pikiran saja dapat dinyatakan dengan langgam yang klasik, itu sebenarnya adalah senilai dengan buah-buah karangan Tiongkok klasik yang asli.
Tetapi adanya buku-buku terjemahan yang tidak seberapa jumlahnya itu menunjukkan bahwa Filsafat  Barat yang diperkenalkan oleh Yen Fu kepada orang-orang Tiongkok itu hanya sedikit sekali. Di antara buku-buku itu, yang benar-benar mengenai kefilsafatan alah “Lessons in Logic” buku karangan Jevons, dan “System of Logic” buah karangan Mill. Buah karanagan jevons ini hanya berupa sebuah ringkasan yang pendek, sedang buah karangan Mill tersebut masih di dalam keadaan tidak selesai. Yen Fu sendiri menganjurkan supaya orang menganggap Spencer sebagai ahli Filsafat Barat yang terbesar; jadi itu menunjukkan bahwa Yen Fu tidak mengetahui banyak tentang kefilsafatan Barat.
Ada pelajar lain yang juga hidup pada jaman Yen Fu. Ini lebih banyak pengertiannya dan lebih luas pandangannya daripada Yen Fu, tetapi umum baru mengenalnya setelah ia berhenti mempelajari Filsafat. Namanya adalah Wang Kuo wei ( tahun 1877 0 1927), seorang tokoh yang ternama, dan tergolong penulis sejarah,ahli prbakala, dan ahli sastra yang terkemuka di dalam waktu-waktu belakangan ini. Sebelum ia berumur 30 tahun, ia sudah mempelajari hasil-hasil karya Sebopenhauer dan Kant; jadi di dalam hal ini ia berbeda dengan Yen Fu yang hanya mempelajari buah-buah karangan dari orang-orang Ingris melulu. Tetapi setelah mencapai usia 30 tahun, Wang Kuo wei berhenti mempelajari Filsafat, dengan alsasan sebagaimana ditulis olehnya di dalam buku : “Laporan pribadi: pada usia 30 tahun”.
Ia mengatakan : “Aku bosan akan filsafat. Di antara teori-teori kefilsafatan ada patokan umum, bahwa hal-hal yan dapat disayangi.dicintai itu tidak dapat didpercaya, dan hal-hal yang dapat dipercaya itu tidak dapat disayangi/dicintai. Aku tahu akan kebenaran, tetapi toh aku mempunyai cinta yang buata tetapi luhur akan metaphysica, Ethica yang ulia, dan estetica yang murni. Inilah yang paling ku mengerti. Tetapi dalam mencari hal-hal yang dapat dipercaya, saya cenderung untuk percaya akan teori positivistis tentang kebenaran, teori hedonistis tentang ethica dan teori empiristis tentang Aesthetica. Aku tahu, bahwa teori-teori ini dapat dipercaya, tetapi aku tidak dapat mencintainya. Dan aku merasa bahwa teori-teori lainnya mungkin kusayangi, tetapi aku tidak dapat mempercayainya. Ini adalah suatu gangguan besar yang telah kualami selama dua atau tiga tahun yang akhir-akhir ini. Waktu-waktu belakangan ini perhatianku secara lambat laun beralih sendiri dari Filsafat  ke Kesusasteraan, di mana aku ingin mencari hiburan untuk menghilangi kepedihanku.” (Ching an Wen chi atau kumpulan hasil-hasil Kesusasteraan dari Wang Kuo Wei).
Berkatalah ia lagi, bahwa orang-orang seperti  Spencer di Inggris dan undt di Jerman itu hanyalah ahli-ahli filsafat yang tingakt rendahan saja, sebab kefislafatannya hanya berupa suatu “syncretisme” (campuran) saja dari ilmu pengetahuan atau dari system-system yang duku-dulu. Lain-lain ahli Fisafat yang dikenal olehnya pada waktu itu hanyalah berbagai Penulis Sejarah Filsafat. Ia mengatakan bahwa ia sendiri juga dapat menjadi Penulis Sejarah Filsafat yang cakap. Andaikata ia meneruskan studinya di dalam lapangan Filsafat. “Tetapi” katanya, “aku lalu tidak dapat menjadi seorang ahli Filsafat yang murni, dan lagi, aku tidak suka menjadi seorang penulis Sejarah Filasafat. Inilah suatu sebab lain, mengapa aku menjadi bosan akan Filsafat.”
Buah karangan Wang Kuo wei tadi telah saya kutip panjang lebar, sebab setelah saya mempertimbang-timbangkan apa yang ditulisnya itu, saya berpendapat bahwa ia mempunyai pandangan yang agak mendalam mengenai Filsafat Barat. Kalau memakai pepatah Tiongkok, maka dapat dikatakan bahwa Wang Kuo wei “mengetahui” apa yang manis dan apa yang pahit di dalamnya”. Sebab kalau melihat kedaan seluruhnya, maka hanya ada sedikit saja orang Tionghoa yang apda awal abad sekarang gmengetahui sesuatu tentang Filsafat Barat. Waktu saya sendiri masih bersekolah di Syanghai, ada mata pelajaran mengenai logica Elementer. Tetapi pada waktu itu tidak ada seorang pun di Shanghai yang cakap untuk mengajar di dalam mata pelajaran itu. Akhirnya ditemukan juga seorang guru yang minta kepada kami untuk membeli buku “Lessons in Logic” buku karangan Jevons, untuk dipergunakan sebagai buku pelajaran. Kami diminta untuk membacanya dengan cara sebagaimana diharapkan oleh seorang guru bahasa Inggris dari murid-muridnya yang sedang membaca buku bacaan Inggris. Waktu kami sampai pada pelajaran mengenai “judment”, ia minta kepada saya untuk mengejanya, sebab ia ingin tahu apakah saya tidak menambah “e” antara “g” dan “m” dari perkataan “judgment” itu.
Tidak lama akemudian kami mempunyai guru lain yang denegan penuh kesadaran berusha untuk benar-benar memberi kuliah mengenai Logica sebagaimana mestinya. Pada halaman-halaman penghabisan dari buku Jevons ada berbagai pelajaran yang dimaksudkan sebagai bahan latihan, dan yang tidak usah kami pelajari. Namun demikian, saya teap mempelajarinya, terdorong oleh keinginan ku sendiri. Kebetulan ada satu di antaranya, yang tidak dapat saya pahami maksudndya, sehingga sang guru saya minta untuk menerangkannya, setelah kuliahnya selesai. Berlangsunglah suatu diskusi selama setengah jam, tanpa tercapai suatu pemecahan. Akhirnya ia berkata : “Coba, hal itu nanti akan kupikirkan di rumah, dan pda jam pelajaran yang akan datang aku akan memberi penjelasannya”. Tetapi sayang, tidak pernah ia datang lagi mengajar, padahal saya sama sekali tidak bermaksud  membuat dia malu.
Pada jaman itu, Universitas Peking adalah satu-satunya Universitas nasional di Tiongkok yang menurut maksudnya, harus mempunyai tiga bagian/jurusan untuk Filsfat : Filsafat Tiongkok, Filsfat Barat dan Filsfat Inda. Tetapi sewaktu Universitas itu di dirikan, hanya ada satu bagian/jurusan saja, yaitu Filsafat Tiongkok. Pada tahun 1915 dikatakan bahwa bagian/jurusan Filsafat Barat segera akan dibuka, sebab sudah terdapat seorang profrsor yang dahulu telah belajar Filsfat di Jerman, sehingga dapat diharapkan bahwa ia cakap memberi kuliah di dalam mata pelajaran itu. Maka pada tahun itu juga, saya pergi ke Peking, dan saya diterima sebgai mahasiswa becchalaureat (undergraduste). Tetapi betapa kecewa saya, waktu saya mendengar bahwa profesor tersebut baru saja meninggal dunia, sehingga saya terpaksa belajar untuk jurusan Filsafat Tiongkok.
Di dalam bagian/jurusan ini ada bermacam-macam profesor; ada yang beraliran Naskah lama, ada yang beraliran Naskah Baru, ada yang beraliran Ch’eng Chu dan ada yang beraliran Lu Wang. Salah seorang di antaranya, yaitu yang menganut liran Lu Wang, memberi kuliah dalam Sejarah Filsafat Tiongkok. Tiap-tiap minggu ia memberi kuliah empat jam, dan ini berlangsung selama dua tahun berturut-turut. Ia mulai kuliahnya seperti biasa, yaitu dengan menceritakan tentang Raja-raja Bijaksana Yao dan Shun, dan pada awal semester (setengah tahun) yang pertama, ia hanya sampai pada Pangeran (Duke) Chou, jadi hanya sampai kira-kira lima abad sebelum Confucius. Maka bertanyalah kami, berapa lama lagi kuliahnya dapat selesai kalau dilanjutkan secara demikian. Jawabnya : “Dalam mempelajari Filsafat tidak ada selesai” atau “tidak selesai”. Jikalau kamu menghendaki selesainya kuliah ini, aku dapat menyelesaikannya dengan satu perkataan saja; dan jikalau kamu tidak mau selesai, dapat pula kuliah kita dibuat sampai tidak pernah selesai.
u. Perkenalan dengan Filsfat Barat
Pada tahun 1919 John Dewey dan Bertrand Russell diundang untuk memberi kuliah pada Universitas Peking dan ditempat-tempat lain. Dengan demikian mereka adalah ahli-ahli Filsfat Barat yang pertama datang di tiongkok, dan dari mereka ini orang-orang Tiongkok, untuk pertama kalinya mendapat laporan asli mengenai Filsfat Barat. Tetapi yang dikuliahkan kebanyakan adalah kefilsfatan mereka sendiri. Mereka memberi kesan kepada pendengarnya bahwa system-system kefilsafatan yang tradisonal itu seakan-akan sudah diganti semuanya dan sudah dikesampingkan. Oleh karena pendengar-pendengarnya mengetahui sedikit tentang Sejarah Filsafat Barat, maka kebanyakan tidak dapat mengerti akan arti-arti teori-teori mereka. Tidak dapatlah seseorang memahami sesuatu kefilsafatan, kalau ia tidak memahami tradisi yang dulu-dulu, yang disetujui atau pun di tolk oleh kefilsfatan itu. Maka dari itu, meskipun kuliah-kuliah dari kedua ahli Filsafat itu diterima dengan baik oleh banyak orang, namun di antara orang yang sebanyak itu hanya ada beberapa saja yang sungguh-sungguh dapat memahaminya. Bagaimana pun juga, kunjungan mereka ke Tiongkok memberi pandangan-pandangan intelektual baru kepada banyak mahasiswa pada waktu itu. Di tinjau dari sudut ini, kedatangan mereka mempunyai nilai cultural dan nila pendidikan yang tinggi.
Saya katakan di dalam bab ke XXI (tidak termuat di buku ini. Pen) bahwa : “Diperbedakan antara Buddhisme Tiongkok dan udhissme di Tiongkok.
Dan juga telah saya katakan bahwa : “Filsafat Tiongkok menerima sesuatu ide dari Buddhisme, yaitu ide tentang Jiwa-Jiwa universal.
Sewaktu Filsafat Barat masuk, maka terjadi pula hal-hal semacam itu. Setelah Dewey dan Russel kembali ke negaranya misalnya, di Tiongkok terdapat system-system kefilsafatan yang banyak jumlahnya (yang laind aripada yang dulu-dulu), yang masing-masing pernah menajdi populer di Tiongkok. Tetapi sampai sekarang, hampir semua system-system itu semata-mata mewakili Fislafat Barat di Tiongkok. Tidak ada satu pun di antaranya yang menjadi bagian integral (bagian yang tidak dapat dipisahkan) dari perkembangan jiwa orang Tionghoa, jadi tidak ada yang seperti misalnya Buddhisme Ch’an.
Sejauh penglihatan saya, hal yang permanen yang disumbangkan oleh Filsafat Barat kepada Filsafat  Tiongkok adalah methode di dalam analysa yang berdasarkan logika. Di dalam bab XXI, saya amengemukakan bahwa : “Baik Buddhisme maupun Taoisme mempergunakan methode negatif.”
Methode yang analystis adalah justru sebaliknya dati itu; maka boleh disebut methode positif. Methode yang negatif berusaha untuk menyebutkan hal-hal yang bukan sifat dari obyeknya. Sedang methode pisitif berusaha mengadakan pembedaan-pembedaan dan berusaha menyatakan apa obyeknya itu. Adalah penting sekali bagi orang Tionghoa, bahwa mereka telah diperkenalkan dengan methode negatif  dari Buddhisme. Sebab, methode negatif ini mula-mula sduah ada di dalam Taoisme mereka, Dan kemudian itu diperkuat karena jasa Buddhisme. Tetapi masuknya methode pisitif adalah jauh lebih penting lagi, yaah, ini benar-benar suatu hal yang bukan main pentingnya. Sebab methode itu memberikan kepada orang Tionghoa suatu cara berpikir baru, yang menimbulkan perubahan di dalam seluruh cara berpikir mereka. Tetapi sebagaimana akan kita lihat di dalam bab berikutnya, methode ini tidak akan mengganti methode yang lama, melainkan hanya menjadi supplemennya (pelengkapnya) semata-mata.
Yang penting adalah methodenya, jadi bukan konklusi-konklusi yang sudah disiapkan oleh Filsafat Barat. Menurut suatu cerita Tiongkok :
“Pada suatu hari, ada seorang gyang berjumpa denga makhluk yang hidup abadi (mmortal). Makhluk ini bertanya kepadanya apa yang diinginkan olehnya. Orang itu mengatakan bahwa ia ngin emas. Makhluk yang hidup abadi tadi menyentuh sejumlah batu-batu dengan jarinya, dan segera batu-batu itu berubah  menjadi emas. “Ambillah emas itu!” katanya. Tetapi orangnya menolak. Maka ia lalu ditanya, apalagi yang dikehendakinya. Dan orang itu menjawab : “Aku menghendaki jarimu.” ....................... Methode analystis adalah jari dari para ahli filsafat Barat, sedang orang Tionghoa menghendaki jari itu.”
Inilah sebabnya mengapa di antara banyak cabang-cabang  dari studi filosofis di Barat, Logica-lah yang pertama-tama menarik harthatian orang Tionghoa. Pun sebelumnya Yen Fu menterjemahkan “System of logic” buah karangan J.S. Mill, Li Chih tsao (meninggal pada tahun 1630) bersama-sama dengan pendeta-pendeta Jesuit, mudah menterjemahkan sebuah buku pelajaran dari abad pertengahan, yaitu logica Aristoteles. Terjemahannya berjudul :Min Li T’an” atau “Penyelidikan mengenai  Ming li”. Ming Li berarti “Meng-analysa prinsip dengan jalan meng-analysa nama”. Yen Fu menterjemahkan “Logica” dengan istilah “Ming Hsueh”, atau “Ilmu pengetahuan mengenai Nama-nama”. Seperi telah kita lihat  di dalam bab VIII yang menjadi hakekat dari kefilsafatan aliran Nama-nama (sebagaimana diwakili oleh Kung Sun Lung) adalah justru “analysa dari prinsip-prinsip dengan jalan meng-analisa nama-nama”, Kefilsafatan tersebut tidaklah 100% sama dengan Logica. Tetapi ada persamaannya. Dan ketika orang-orang  Tionghoa mulai mendengar tentang logica Barat, maka dengan segera mereka melihat persamaannya, sehingga ini dihubungkan dengan aliran mereka sendiri, yaitu aliran Nama-nama.”
Sampai hari-hari belakangan ini, hasil yang paling dapaat dirasakan  dari masuknya Filsafat Barat adalah hidupnya kembali studi akan Filsafat Tiongkok, termsuk Buddhisme. Pernyataan saya ini tidak mengandung “paradox” (hal yang bertentangan). Sebab, kalau seseorang menjumpai ide-ide baru yang asing baginya, maka sudah sewajarnya bahwa ia kembali meninjau ide-ide lama yang sudah dikenalnya, dengan maksud agar supaya ia dapat menggambarkannya, membanding-bandingkannya, dan memperkuat kedua-duanya (baik yang lama maupun yang baru). Dan bilamana ia meninjau kembali ide-ide yang lama itu dengan bersenjata methode analytis, maka memang sudah sewajarnya bahwa ia membuat analysa dari ide-ide  itu. Kita telah melihat di muka, bahwa pelajar-pelajar Han Hsueh telah menggalang jalan bagi studi mengenai aliran-aliran pikiran kuno yang bukan aliran Confucianisme. Tafsiran naskah-naskah kuno yang dibuat oleh pelajar-pelajar tersebut,  sifatnya terutama adalah “Lurus menurut kata-katany” (lettelijk, textual) dan philologi (didasarkan atas sifat-sifat bahasanya), jadi tidak semata-mata filosofis. Tetapi ini adalah justru yang diperlukan, sebelum seseorang melakukan methode analytis untuk meng-analysa ide-ide filosofis dari berbagai aliran pikiran Tiongkok kuno.
Oleh karena logica  merupakan aspek/segi pertama dari Filsafat Barat yang menarik perhatian orang Tionghoa, maka sudah sewajarnya bahwa di antara aliran-aliran Tiongkok Kuno, aliran Nama-nama-lah  yang juga pertama-tama dipentingkan di dalam studi yang diselenggarakan dengan cermat pada tahun-tahun belakangan ini. Di dalam studi ini, buku Dr. Hu Shih. “Pekembangan Methode Logica di Tiongkok Kuno” menjadi bahwa penting sejak penerbitan yang pertama kalinya pada tahun 1922. Pelajar-pelajar sebagai Liang Ch’i Ch’ao (tahun 1873 – 1930) telah menyokong banyak di dalams tudi yang ditujukan untuk mempelajari aliran Nama-nama dan aliran-aliran lain.
Penafisaran dan pembikinan analysa dari ide-ide lama yang kedua-duanya didasarkan atas methode analysa, memberi corak kepada “Jiwa” dari abad yang berakhir dengan pecahnya aperang Tiongkok – Jepang pada tahun 1937. Malahan juga para anggota-anggota missi Nasrani tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh jiwa ini. Mungkin inilah sebabnya mengapa banyak anggota-anggota missi di Tiongkok telah menterjemahkan buah-buah karangan filosofis Tiongkok dan menulis buku-buku tentang Filsafat Tiongkok di dalam bahasa Barat, sedang sebaliknya hanya ada beberapa  saja yang telah menterjemahkan buah-buah karangan Filsafat Barat dan menulis buku-buku mengenai Filsafat Barat di dlam Bahasa Tionghoa. Dengan demikian mereka di dalam lapangan Filsafat agaknya telah melakukan pekerjaan yang bentuknya justru sebaliknya dari pekerjaanya sebagai anggota missi. Dan memang, dapat juga orang melakukan pekerjaan missi itu di dalam bentuk yang sebaliknya dari yang direncanakan semula, seperti juga halnya dalam orang mengadakan kontrak pinjam-meminjam.
BAB. XXVIII
FILSAFAT TIONGKOK DI DALAM DUNIA MODEREN
Setelah membaca uraian saya mengenai evolusi dan perkembangan Filsafat Tiongkok, maka pembaca boleh jadi akan menanyakan hal-hal seperti misalnya :
1.         Bagaimana bentuknya Filsafat Tiongkok pada masa sekarang, terutama pada waktu perang?
2.         Apakah yang akan disumbangkan oleh Filsfat Tiongkok kepada Filsafat dari Dunia Masa Depan?
Menurut kenyataannya, memang sudah berulang-ulang saya ditanya mengenai hal itu, dan kadang-kadang saya menjadi agak malu, oleh karena memang sukar untuk menerangkan sesuatu kefilsafatan kepada seseorang yang belum kenal akan tradisi-tradisi baik yang dijadikan pegangan mau pun yang diingkari oleh kefilsafatan itu. Tetapi oleh karena pembaca sekarang seudah mengetahui sedikit tentang tradisi-tradisi Filsafat Tiongkok, maka saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertannyaan itu dengan melanjutkan ceritera saya di dalam bab yang terakhir ini.
v. Ahli Filsafat dan Penulis Sejarah Filsafat
Dengan melanjutkan cerita saya ini, saya bermaksud untuk memberikan uraian mengenai hal-hal yang mungkin menjadi pertanyaan tadi, di dalam batas-batas  ceritera saya sendiri. Tidak karena saya berpendapat bahwa cerita saya ini adalah satu-satunya ceritera yang patut  didengarkan, melainkan karena ini adalah ceritera yang paling banyak saya ketahui. Dan mungkin ceritera saya ini dapat dipergunakan sebagai semacam ilustrsi. Hal ini saya pandang lebih baik daripada  hanya memberikan daftar nama-nama dan daftar :isme0isme” saja, tanpa menceriterakan lebih lanjut tentang masing-masing nama atau isme  itu; sebab proses yang demikian ini samasekali tidak akan berhasil memberikan kepada pembacanya sesuatu illustrasi (gambaran) yang bagaimana pun juga. Dengan hanya mengatakan bahwa ahli-ahli filsfat ini atau itu beraliran “isme” tertentu, tanpa ditambah apa-apa lagi, biasanya itu malahan mengakibatkan tercapainya kesalah fahaman, dan bukan pemahaman.
Saya telah menulis buku lain tentang Sejarah Filsafat Tiongko, yang lebih tebal dan lebih luas daripada buku ini. Jilid yang ke dua dan terakhir  dari buku tersebut diterbitkan pada tahun 1934, jadi tiga tahun sebelum pecahnya  perang Tiongkok – Jepang. Jilid yang ke satu dditerjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dr. Bodde dan diterbitkan di Peiping pada tahun 1937, tiga bulan setelah peperangan dimulai. Buku itu menggambarkan “Jiwa” (Spirit) dari abad yang saya sebut apda akhir bab ke XXVII. Dalam menulis buku itu saya mempergunakan sebaik-baiknya hasil-hasil studi yang telah dicapai oleh pelajar-pelajar Han-Hsueh mengenai naskah-naskah para ahli filsafat kuno, dan sekaligus saya mempergunakan methode analytis untuk menjelaskan ide-ide dari ahli filsafat ini. Kalau ditinjau dari sudut pandangan seorang Penulis Sejarah, maka pemakaian methode ini ada batas-batasnya, oleh karena ide-ide dari ahli-ahli filsafat kuno itu mungkin di dalam  bentuknya yang asli tidaklah sejelas seperti yang diperlihatkan oleh juru penerang dari jaman moderen ini. Fungsi dari suatu Sejarah Filsafat adalah menceriterakan kepada kita, apakah artinya kata-kata yang telah dikeluarkan oleh ahli-ahli filsafat pada jaman lampau itu bagi mereka sendiri, jadi bukanlah menceriterakan bagaimana seharusnya arti kata-kata itu menurut pendapat kita. Di dalam buku Sejarah yang saya tulis itu, saya telah berusaha sekeras-kerasnya untuk mempergunakan methode  analytis di dalam batas-batas sebagaimana mestinya.
Tetapi kalau ditinjau dari sudut pandangan seorang ahli filsafat yang murni, maka lebih menarik dan lebih penting untuk menjelaskan ide-ide dari ahli-ahli filsafat pada jaman yang lampau, dan untuk menarik konklusi-konklusi yang logis dari teori-teori mereka, dengan maksud untuk memperlihatkan kesaksiannya ataupun kejelekannya. Ini sudah barang tentu lebih menarik dan lebih penting daripada hanya menceriterakan dan menyelidiki saja abagaimana pendapatnya para ahli Filsafat itu sendiri mengenai ide-ide dan teori-tori tersebut. Dengan berbuat dmeikian, lalu ada proses perkembangan dari keadaan lama ke keadaan yang baru, dan ini merupakan phase lain di dalam perkembangan jiwa dari abad yang saya katakan di muka. Tetapi pekerjaan yang demikian itu tidak lagi merupakan pekerjaan seorang pelajar atau pekerjaan seorang Penulis Sejarah, melainkan merupakan pekerjaan yang kreatif dari seorang ahli filsafat. Apa yang saya rasakan di dalam hal ini adalah seperti apa yang dirasakan oleh Wang Kuo wei, yaitu sejak tidak suka melulu menjadi seorang Penulis Sejarah semata-mata. Maka dari itu, setelah saya selesi menulis buku Sejarah saya, dengan segera saya siap-siap akan melakukan pekerjaan baru. Tetapi pada waktu saya sedang bersiap-siap itu, pecahlah perang pada musim panas tahun 1937.
w. Hasil-Hasil di Dalam Lapangan Filsafat pada Waktu Perang
Sebelum pecahnya perang, maka bagian-bagian Filsfat dari Universitas Peking (di mana saya emncapai derajat kesarjanaan saya) dan dari Universitas Tsing Hua (di mana sekarang saya mengajat), dianggap sebagai yang berdiri  paling kuat di Tiongkok, masing-masing dengan tradisinya dan “titik berat” nya sendiri-sendiri. Yang menjadi tradisi dari titik berat dari Universitas Peking adalah suatu studi yang ditujukan pada Sejarah dan Keilmuan, dengan kecenderungan filosofis yang idealistis, yaitu (kalau memepergunakan istilah Filsafat Barat), suatu kecenderungan ke arah Kant atau Hegel, dan (kalau mempergunakan istilah Filsfat Tiongko) ke arah Lu Wang. Sebaliknya yang menjadi tradisi dan titik berat dari Universitas Tsing Hua, adalah penggunaan analysa yang berdasarkan  logic bagi studi mengenai soal-soal filosofis, dengan kecenderungan filosofis yang realistis, yaitu (kalau mempergunakan istilah Filsafat Barat)suatu kecenderungan ke arah Plato ( di dalam arti bahwa kefilsfatan Neo Realisme disesuaikan dengan ajaran-ajaran Plato) dan (kalau mempergunakan istilah Filsafat Tiongkok) ke arah Ch’ang Chu.
Kedua  Universitas itu terletak di Peiping (dahulu terkenal sebagai Peking), dan pada pecahnya perang, kedua-duanya dipindahka ke Brat daya dan dikombinasikan dengan Universitas lain lagi, yaitu Universitas Nankai dari Tientsin. Dengan adanya penggabungan tersebut, maka ketiga Universitas itu merupakan “Persatuan Universitas Barat Daya” selama berlangsungnya peperangan. Dengan demikian bagian-bagian Filsafat yang didgabungkan itu merupakan suatu kombinasi yang jarang terdapat dan yang benar-benar menakjubkan. Sebab di situ terdapat 9 orang profesor dari berbagai aliran-aliran penting, baik aliran Tiongkok mamupun lairan Barat. Mula-mula, Persatuan Universitas Barat Daya itu, sebagai keseluruhan terletak di Changsha di Propinsi Hunan, tetapi bagian Filsfat kami, itu bersama-sama dengan bagian-bagian lain yang mengenai humaniora (ilmu-ilmu yang menyelidiki kehidupan rohani dan ciptaan-ciptaannya, jadi berlawanan dengan ilmu-ilmu alam kodrat) terletak tersendiri di Hengshan, yaitu darah yang terkenal sebagai “Gunung Selatan yang Suci”.
Di sini kami hanya tinggal selama 4 bulan dan sesudah itu kami pindah lagi ke Kunming, yang letaknya lebih barat daya lagi. Ini terjadi pada musim semi tahun 1938. Tetapi 4 bulan di sana itu telah “menggerakkan” jiwa kami. Pada waktu itu kami sedang di tengah-tengah krisis  nasional yang terbessar di dalam  sejarah kami. Kami berada di tempat di mana Huai yang berusaha mengasah batu bata menjadi cermin (tersebut di dalam bab ke XXII yang tidak dimuat di sini.Pen) dan dimana Chu Hsi juga pernah bertempat tinggal. Kami tertimpa penderitaan seperti yang juga dialami oleh dynasti Sung bagian Selatan, yaitu sewaktu mereka diusir ke selatan oleh tentara asing. Meskipun demikian, ada suatu hal yang menggembirakan, yaitu kami hidup bersama dengan ahli-ahli filsafat, pujangga-pujanga dan pelajar-pelajar yang semuanya bertempat tinggal  di dalam satu gedung. Kombinasi inilah, yaitu kombinasi antara saat historis, letak geografis dan kumpulan manusia, yang pada khususnya telah menggerakan jiwa kami dan telah mendatangkan ilham-ilham yang tidak ternilai harganya.
Selama 4 bulan itu, saya dan teman-teman sejawat saya, yaitu Prof. T’ang Yung t’ung dan Prof. Y.L. Chin masing-masing berhasil menyelesaikan buah karangan yang kami kerjakan apda waktu itu. Yang diselesaikan oleh Prof. T’ang adalah bagian pertama dari bukunya yang berjudul : “Sejarah Buddhisme Tiongkok”. Prof. Chin menjelaskan bukunya yang berjudul : “Mengenal Tao” sedang saya sendiri berhasil menyelesaikan “Hsin Li Hsueh” atau “Li hsueh Baru”. Prof. Chin dan saya mempunyai banyak ide-ide yang menunjukkan persamaan, tetapi buah pena saya menceritakan tentang perkembangan aliran Ch’eng Chu (seperti yang  dapat dilihat dari judulnya), sedang buah karangan Prof Chin barupa hasil  dari studinya sendiri mengenai soal-soal metaphysis. Di hari-hari kemudian, saya menulis di Kunming sejunlah buku-buku lagi, yaitu “Hsin Shih lun” yang juga berjudul “Jalan Tiongkok ke arah Kemerdekaan”; Hsin Yuan jen” atau “Risalah Baru mengenai sifat-sifat manusia”; ‘Hsin Yuan Tao” yang juga berjudul  “Jiwa Filsafat Tiongkok” dan yang diterjemahkan oleh E.R. Hughes dari Universitas  Oxford dan diterbitkan di London; dan juga “Hsin Chih jen” arau “Risalah Baru mengenai Methodologi di dalam Metaphyisica”
Di dalam uraian saya di bawah ini, saya akan berusaha untuk member ringkasan dari berbagai hal yang saya kupas di dalam buku-buku tersebut, untuk menggambarkan kecenderungan yang terdpat di dalam Filsafat Tiongkok sekarang. Mudah-mudahan dengan cara yang demikian ini, pembaca dapat memperoleh sekedar pandangan mengenai apa yang mungkin dapat disumbangkan oleh Filsafat Tiongkok kepada Filsafat masa Depan.
Cara berpikir yang filosofis (atau lebih  baik : cara berpikir yang metaphysis), itu dimulai dengan pengalaman bahwa sesuatu itu ada. “Sesuatu” itu mungkin berupa sensasi, emosi (getaran jiwa) atau apa saja. Dari pernyataan bahwa “Sesuatu itu ada” saya dengan dalan deduksi telah menyimpulkan semua ide-ide atau konsep-konsep yang metaphysis, tidak saja ide-ide ?konsep-konsep dari aliran Ch’eng Chu, tetapi juga dari aliran Tao. Ini saya tulis di dlam buku saya “Hsin Li Hsueh”. Di situ ide-ide/konsep-konsep tersebut saya pandang sedemikian rupa hingga dapat dianggap semata-mata sebagai akibat yang logis dari pernyataan di atas itu, yaitu bahwa “sesuatu itu ada”. Tidaklah sukar untuk melihat bagaimana ide-ide dari Li dan Chi dapat disimpulkan (dengan jalan deduksi) dari pernyataan itu, dan demikian juga halnya dengan ide-ide  lainnya. Misalnya ide tentang Gerakan, itu tidak saya anggap sebgai ide cosmologis tentang apa sesungguhnya yang mula-mula menyebabkan gerakan ddunia, melainkan sebagai suatu ide metaphysisis tentang sifat ada/ ke-berada-an (Existence). “Berada” atau ‘”bersifat ada” merupakan suatu kegiatan (activity), suatu gerakan. Bilamana kita berpikir tentang dudnia di dalam aspeknya (seginya) yang statis, kita akan menyetujui apa yang dikatakan oleh pengikut-pengikut aliran Tao, yaitu bahwa sebelum sessuatu itu menjadi “ada” maka beradanya Sifat Ada itu harus ada lebih dahulu ( There must first be the being of being). Dan bilama kita berpikir tentang dunia di dalam aspeknya dikatakan oleh pengikut-pengikut Confucianisme, yaitu bahwa sebelum sesuatu itu menjadi ada, maka lebih dahulu  harus ada gerakan. Ini pun adalah suatu pernyataan tentang Kegiatan Sidat Ada; hanya saja, di sini cara berpikir yang bentuknya/sifatnya saya namakan “Illustratif” (Pictorial; menggambar-gambarkan), yaitu yang sesungguhnya berupa paham/persangkaan (imagination), orang membayang-bayangkan Sifat Ada atau Gerakan itu seperti Tuhan yang menjadi Ayah dari segala sesuatu. Di dalam Pikiran yang berupa paham/persangkaan semacam ini, orang menghadapi Agama Agama atau Cosmologi, bukan Filsafat atau Metaphysica.
Dengan alasan yang di dalam garis besarnya sama dengan itu, saya telah berhasil untuk menyimpulkan di dalam “Hsin Li Hsueh” semua ide-ide metaphysica dari Filsfat Tiongkok, dan untuk mencakupnya di dalam suatu kkeseluruhan yang jelas dan systimatis. Buku tersebut mendapat sambutan baik, oleh karena dirasakan bahwa pengupasan yang saya lakukan di situ mengenai struktur (susunan) dari Filsfat Tiongkok adalah lebih jelas daripada yang sudah-sudah. Buku itu dianggap sebagai tanda dari hidupnya kembali Filsfat Tiongkok, dan ini dianggap sebagai lambang dari hidupnya kembali bangsa Tiongkok.
Sebagaimana telah saya uraikan di dalam bab ke XXVII, di dalam aliran Ch’ang Chu ada unsur sutoritarianisme dan conservatisme. Hal ini tidak saya muat di dalam “Hsin Li Hsueh”. Menurut pendapat saya metaphysica hanya dapat mengetahui bahwa ada berbagai “Li”, tetapi tidak dapat mengetahui isi dari masing-masing Li. Adalah termasuk lapangan kerja Ilmu Pengetahuan, untuk menyelidiki serta mengetahui isi dari Li yang individual (yang bersifat perseorangan), dengan mempergunakan methode ilmiah atau pun methode pragmatis (methode yang didasarkan atas kemanfaatan bagi umum). “Li” nya sendiri bersifat  mutlak dan abadi, tetapi “Li” (Makna Li ada di bab sebelumnya). Yang kita kenal, artinya/kita dapati di dalam aturan-aturan, hukum dan di dalam teori-teori ilmiah, sifatnya adalah relatif dan dapat berubah.
Pelaksanaan dari “Li” membutuhkan dasar yang meteriil. Berbagai “Li” yang mengenai struktur sosial itu terlaksana di dalam bentuk masyarakat  yang rupa-rupa typenya;s edang dasar meteriil yang economis dari sesuatu type masyarakat tertentu. Dari itu, bilamana kita berpikir di dalam alam sejarah, maka saya mempunyai  kepercayaan akan bernilainya tafisaran (secara) economis, dan di dalam buku saya : “Jalan Tiongkok ke arah Kemerdekaan”, tafsiran yang demikian ini saya lakukan terhadap peradaban/kebudayaan dan sejarah Tiongkok, seperti yang juga saya lakukan di dalam bab II buku ini.
Saya berpendapat bahwa kesukaran-kesukaran yang menimpa diri Wang Kuo wei itu disebabkan karena ia tidak dapat menginsyafi bahwa setiap cabang pengetahuan itu mempunyai lapangannya sendiri-sendiri. Memang orang tidak perlu percaya akan sesuatu teori metaphysica, apabila teori itu tidak banyak membenarkan fakta-fakta yang nyata. Tetapi sebaliknya, andaikata metaphysica itu yang dibutuhkan oleh masing-masing “Li” untuk pelaksanaanya itu adalah fundamen sudah berkembang sedemikian jauhnya hingga dapat menjelaskan semua fakta-fakta saja, maka metaphysica yang demikian itu adalah metaphysica yang buruk, jadi sama seperti orang mengatakan : “Ilmu Penegetahuan yang buruk!” (bad sience). Ini tidak berarti bahwa suatu teori metaphysica yang baik itu lalu tidak dapat dipercaya, melainkan bahwa sudah sedemikian jelasnya hingga orang tidak perlu lagi mengatakan apakah ia percaya apa tidak kepadanya, seperti juga orang tidak usah mengatakan bahwa ia percaya akan Ilmu Pasti. Perbedaan antara Metaphysica dan mathematica serta Logica yaitu, bahwa di dalam baik mathematica maupun logica tidak usah dimulai dengan pernyataan bahwa “Sesuatu ada”. Sebab pernyataan bahwa “sesuatu ada” itu adalah suatu pernyataan yang menyangkut kenyataan fakta-fakta , dan pernyataan yang demikian ini adalah satu-satunya pernyataan yang perlu diucapkan oleh metaphysica (dan tidak perlu diucapkan oleh baik Metaphysica maupun Logica).
x. Corak  Filsafat
Methode yang saya pergunakan di dalam “Hsin Li hsueh” seluruhnya adalah analytis. Tetapi setelah buku itu selelsai ditulis, saya mulai insyaf akan pentingnya methode negatif seperti yang saya sebut di dalam bab ke XXI (tidak ada di sini. Pen). Bilamana sekarang seseorang bertanya kepada saya tentang definisi dari Filsafat, maka saya akan memberi jawaban yang mengandung paradox, yaitu bahwa Filsafat, terutama metaphysica, adalah suatu cabang pengetahuan yang setelah mengalami perkembangan, akhirnya akan menjadi “pengetahuan yang bukan pengetahuan”. Dan kalau memang demikian halnya, maka perlu dipergunakan methode negatif. Filsaft, terutama metaphysica, tidak dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan kita mengenai fakta-fakta, tetapi sebaliknya Filsafat itu tidak dapat dikesampingkan dalam kita hendak mempertinggi jiwa kita. Yang saya katakan ini bukanlah pendapat saya sendiri semata-mata, melainkan seperti sudah kita lihat di muka, itu merupakan aspek-aspek tertentu dari tradisi filsafat Tiongkok. Aspek-aspek inilah yang menurut pendapat saya dapat menyokong/menyumbang sesuatu kepada Filsaafat dari Dunia Masa Depan. Aya akan berusaha untuk mengupas hal ini lebih lanjut.
Filsafat itu seperti juga lain-lain cabang pengetahuan, harus dimulai dengan pengalaman. Tetapi Filsafat, terutama Metaphysica, berbeda dengan lain-lain cabang pengetahuan, oleh karena perkembangannya pada akhirnya akan menuju ke-“sesuatu” yang melampaui batas-pengalaman. Di dalam “sesuatu” ini ada hal/hal-hal yang idak dapat secara logis ditangkap dengan panca indera, melainkan hanya dapat dipikirkan saja. Misalnya orang dapat menangkap/melihat meja yang persegi, tetapi ia tidak dapat menangkap kepersegiannya. Ini tidak disebabkan karena panca indera kita masih belum sempurna, melainkan karena ke-persegi-an itu berupa suatu “li”, yang hanya dapat dipikirkan secara logis, tetapi tidak dapat di tangkap dengan panca indera.
Di dalam “sesuatu” itu ada hal/hal-hal yang selain tidak dapat ditangkap dengan panca indera, juga tidak dapat dipikirkan (perkataan “dipikirkan” ini diambil di dalam artinya yang “lurus”; stricly speaking). Di dalam bab ke-I telah saya katakan bahwa Filsfat adalah suatu cara berpikir/pikiran yang reflectif dan systimatis mengenai hidup. Oleh karena sifatnya reflectif, maka akhirnya orang harus pula memikirkan tentang “Sesuatu” yang secara logis tidak dapat menjadi obyek pikiran. Alam semesta misalnya, oleh karena ini adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang ada, maka secara logis tidak dapat menjadi obyek pikiran. Seperti kita lihat di dalam bab ke XIX (tidak ada di buku ini. Pen) Perkataan Tionghoa “Tien” atau “Langit” itu kadang-kadang dipakai di dalam arti “keseluruhan” ini. Seperti yang dikatakan oleh Kuo Hsiang : “Langit adalah nama bagi segala sesuatu”.
Oleh karena alam semesta itu merupakan keseleuruhan dari segala sesuatu yang ada, maka bilamana orang memikirkan tentang “alam semesta”, ia berpikir secara refelctif, oleh karena baik pikiran maupun pemikirannya termasuk pula di dalam “alam semesta” itu. Bilama seseorang memikirkan tentang  “Keseluruhan”-nya, maka gambaran dari keseluruhan yang masuk” di dalam pikiran kita, tidaklah “mengandung” pikiran kita (jadi pikiran kita ada di “luar” keseluruhan itu). Sebab “keseluruhan” yang kita pikirkan itu lalu menjadi obyek dari pikiran kita, jadi dengan demikian obyeknya (sebagai pihak pertama) berhadapaan dengan pikiran kita (sebagai pihak ke dua). Maka dari itu, keseluruhan yang dipikirkan oleh seseorang itu sebenarnya bukan merupakan keseluruhan dari segala sesuatu yang ada. Sekali pun demikian, orang harus berpikir lebih dahulu mengenai “keseluruhan”, sebelum menginsyafi bahwa “ keseluruhan” itu tidak dapat terpikirkan. Orang memerlukan pikiran, agar supaya dapat insyaf akan hal/hal-hal yang tidak dapat dipikirkan. Jadi seperti juga orang kadang-kadang memerlukan suara, agar supaya dapat menginsyafi arti ketenangan. Orang memang harus berpikir tentang hal-hal yang tidak dapat terpikirkan; dengan setelah ia berusaha memikirkan itu, maka yang tidak dapat terpikirkan itu dengan sendirinya “merucut” (lepas) dari pegangannya, tetapi juga yang paling menyusahkan di dalam Filsafat.
Hal/hal-hal yang secara logis tidak dapat di tangkap dengan panca indera, melewati batas-batas pengalaman; ha;/hal-hal yang selain tidak dapat ditangkap juga tidak dapat terpikirkan, melewati batas-batas intelek (akal). Tetapi mengenai apa yang melebihi/ melewati batas-batas pengalaman dan batas-batas intelek, tentang hal itu tidak dapat dikatakan banyak. Maka dari itu Filsafat, atau paling sedikit Metaphysica, harus sederhana coraknya. Sebab kalau tidak, itu semata-mata akan merupakan Ilmu Pengetahuan yang buruk. Dan ide-ide yang sederhana itu saja, sudah cukup bagi Filsafat untuk memenuhi fungsinya.
y. Lapangan  Kehidupan
Apa yang menjadi fungsi Filsafat? Di dalam bab ke I, saya telah menyarankan bahwa sesuai dengan tradisi Filsafat Tiongko, Fungsinya itu bukanlah menambah pengetahuan yang positif mengenai fakta-fakta, melainkan mempertinggi tingkat Jiwa. Saya kira ada baiknya untuk menguraikan lebih lanjut tentang apa yang saya maksud dengan itu.
Di dalam buku saya “Risalah Baru mengenai Sifat-sifat Manusia”, saya menulis bahwa manusia itu berbeda dengan binatang. Bedanya begini : Kalau manusia berbuat sesuatu, maka ia mengerti/memahami apa yang diperbuatnya, dan ia menyadai bahwa ia sedang berbuat.
Pengertian/memahami dan kesadaran diri inilah  yang baginya memberi arti kepada apa yang diperbuatnya itu. Dengan demikian maka pada perbuatan-perbuatan seseorang yang beraneka warna macamnya itu, terlekat berbagai arti, dan keseluruhan dari arti-arti ini merupakan apa yang saya sebut “Lapangan Kehidupan” (sphere of living). Mungkin ada bnyak orang yang melakukan hal-hal yang sama, tetapi menurut tingkat pemahaman dan kesadaran masing-masing, hal-hal itu mungkin mempunyai arti yang berbeda-beda. Tiap-tiap individu mempunyai lapangan kehidupan sendiri yang tidak seluruhnya sama dengan lapangan kehidupan individu lain. Tetapi meskipun ada perbedaan-perbedaan yang individal, namun kita dapat menggolong-golongkan lapangan-lapangan kehidupan yang  bermacam-macam itu di dalam empat tingkat yang umum, yaitu (mullai dengan tingkat  yang terendah) :
1.         Lapangan kehidupan dimana belum diketahui ada keburukan-keburukan (innocent sphere),
2.         Lapangan kehidupan yang didasarkan ata faktor kemanfaatan (utilitarian sphere),
3.         Lapangan kehidupan yang didasarkan atas mpral (moral sphere).
4.         Lapangan kehidupan yang mengatasi/melebihi lan-lainnya (transcendent sphere).

1.1.  Orang dapat semata-mata menurut instingnya atau berbuat menurut kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat. Seperti juga halnya dengan kanak-kanak dan orang-orang yang primitif, ia melakukan hal-hal yang tidak disadarinya atau pun tanpa banyak pengertian/pemahaman tentang apa yang diperbuatnya itu. Maka baginya, apa yang diperbuatnya itu hanya mempunyai arti yang sedikit (atau pun tidak mempunyai arti sama sekali). Lapangan kehidupannya masih ada pada tingkat nomor satu.
1.2. Dapat pula seseorang sadar akan dirinya, dan berbuat segala-galanya untuk dirinya senddiri ssaja. Ini belum berarti ia lalu pasti orang yang tidak bermoral. Mungkin ia berbuat sesuatu yang memberikan keuntungan bagi orang lain, tetapi dorongan yang menyebabkan ia berbuat itu adalah keuntungan diri sendiri. Dengan demikian maka segala sesuatu yang dilakukannya mempunyai arti kemnafaatan bagi dirinya sendiri. Lapangan kehidupan yang demikian ini saya golongkan pada tingkat nomor dua.
1.3. Atau dapat pula seseorang menjadi mengerti akan adanya sesuatu masyarakat, dimana ia adalah salah seorang anggotanya. Masyarakat ini merupakan suatu keseluruhan dan anggota-anggotanya adalah bagian dari keseluruhan itu. Dengan pengertian ini, ia berbuat segala sesuatu untuk kepentingan/keuntungan masyarakatnya, atau sebagaimana diaktakan oleh aliran Confucianisme : “Ia berbuat segala sesuatu demi keadilan, dan tidakdemi keuntungan diri sendiri.” Ia benar-benar adalah orang yang bermoral, dan segala sesuatu yang dilakukannya berupa perbuatan-perbuaan yang ber-“Moral” (menurut arti katanya yang lurus). Ini saja golongan di dalam lapangan kehidupan tingkat ketiga.
1.4. Akhirnya, orang dapat menjadi mengerti bahwa di luar dan di atas masyarakat sebagai keseluruhan, masih ada suatu keseluruhan yang lebih besar, yaitu alam semesta. Ia tidak saja menjadi anggota masyarakat, tetapi sekaligus juga anggota alam semesta. Ia adalah warga dari organisasi sosial, tetapi sekaligus ia juga menjadi warga Langit (sebagaimana dikatakan oleh Mencius). Dengan pengertian/pemahaman ini, ia berbuat segala sesuatu untuk kepentingan/keuntungan alam semesta. Ia memahami arti dari hal-hal yang dilakukan olehnya, dan ia menyadari perbuatan-perbuatannya. Pemahaman dan kesadaran diri ini baginya merupakan lapangan kehidupan yang lebih tinggi, yang saya golongkan ke dalam lapangan kehidupan tingkat tertinggi.
Di antara empat macam lapangan kehidupan ini, yang nomor satu dan nomor dua adalah hasil-hasil manusia sebagaimana adanya (products of man as he is). Sedang yang nomor tiga dan nomor empat adalah hasil-hasil manusia sebagaiaman seharusnya ( as he ought to be). Yang dua lainnya adalah ciptaan jiwa. Lapangan kehidupan yang saya sebut nomor satu, mempunyai  tingkat yang terendah, yang nomor dua tingkatnya lebih tinggi. Kemudian yang nomor tiga lebih tinggi lagi, dan akhirnya nomor empat adalah yang tertinggi. Memanglah demikian lah halnya, oleh karena tingkat pertama hampir-hampir tidak membutuhkan baik pemahaman mau pun kesadaran diri, tingkat kedua dan ketiga membutuhkan pemahaman dan kesadaran diri yang lebih daripada nomor satu, dan kemudian tingkat nomor empat membutuhkan yang paling banyak. Lapangan kehidupan tingkat ke tiga adalah lapangan dari nilai-nilai moral, sedangkan lapangan kehidupan tingkat keempat adalah lapangan kehdidupan tingkat  ke empet adalah lapangan dari nilai-nilai super moral.
Menurut tradisi Filsafat Tiongkok, fungsi Filsafat adalah menolong manusia untuk mencapai lapangan kehidupan tingkat ke tiga dan keempat, terutama yang ke-empat. Lapangan kehidupan tingkat ke-empat dapat juga disebut lapangan Filsafat, oleh karena tingkat itu hanya dapat dicapai bilama orang dengan jalan Filsafat mendapat sekedar pengertian/pemahaman alam semesta. Tetapi pun lapangan kehidupan yang ketiga, yaitu lapangan moral, adalah hasil dari Filsafat. Perbuatan-perbuatan moral itu bukanlah semata-mata perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan moral, dan manusai yang bermoral itu juga bukan manusia yang semata-mata mempelajari dan mempraktekkan kebiasaan-kebiasaan moral tertentu. Orang yang bermoral harus berbuat dan hidup dengan penegertian/pemahaman akan prinsip-prinsip moral yang bersangkutan. Adalah termasuk urusan Filsafat untuk memberikan pengertian/pemahaman ini kepada umat manusia.
Hidup di dalam lapangan kehidupan tingkat ketiga berarti menjadi seorang “Hsien”  atau seorang manusia yang sempurna moralnya. Dan hidup di dalam lapangan  kehidupan tingkat keempat berarti menjadi seorang “Sheng” atau seorang yang arif bijaksana (Sage). Filsafat mengajarkan bagaimana caranya menjadi orang yang arif bijaksana. Sebagaimana telah saya utarakan di dalam bab ke-I maka menjadi orang yang arif bijaksana itu berarti : “Sebagai manusia mencapai kesempurnaan yang tertinggi”. Inilah fungsi yang mulia dari filsafat.
Di dalam buah karangan yang berjudul “Republic”, Plato mengatakan bahwa seorang ahli Filsfat harus meninggalkan “dunia pancaindra” dan naik ke “Dunia intelek” (dunia akal). Kalau seorang hali Filsafat berada di dalam dunia intelek, maka ia juga berada di dalam lapangan kehidupan tingkat keempat. Sekali pun demikian, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh mereka yang hidup di dalam lapangan kehidupan nomor empat itu adalah : “Kesamaan dari dirinya dengan alam semesta, dan di dalam kesamaan ini ia juga mengatasi/melebihi intelek.”
Di dalam bab-bab yang di muka, saya sudah membentangkan bahwa Filsafat Tiongkok senantiasa hendak menekankan bahwa untuk menjadi orang yang arif bijaksana, itu tidak diperlukan hal-hal yang luar biasa. Si Arif bijaksana tidak dapat melakukan hal-hal yang ajaib, dan ia juga tidak usah berusaha ke arah itu. Ia tidak berbuat sesuatu pun yang melebihi perbuatan kebanayakan orang lain, tetapi oleh karena ia mempunyai pemahaman yang dalam, maka apa yang diperbuatnya itu mempunyai arti yang berlainan baginya. Dengan perkataan lain, perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam “keadaan yang cemerlang” (enlightenment), sedang perbuatan-perbuatan orang –orang lain itu dilakukan di dalam “keadaan tidak mengetahui” (Ignorance). Sebagaimana dikatakan oleh rahib-rahib Ch’an :
“Pemahaman --- satu perkataan ini adalah sumber dari segala macam rahasia-rahasia terpendam (Mysteries)”.
Dengan jalan “pemahaman” ini, segala sessuatu seakan-akan mempunyai arti yang “lain”. Dan arti yang dicapai dengan jalan “pemahaman” ini merupakan lapangan kehidupan tingkat tertinggi.
Dengan demikian maka orang yang arif bijaksana menurut pandangan orang tiongkok itu termasuk baik di dunia ini maupun di dunia lain, dan Filsafat Tiongkok itu baik ditujukan kepada dunia ini maupun kepada dunia lain. Dengan adanya kemajuan-kemajuan ilmiah pada masa depan, saya percaya bahwa Agama dengan dogma-dogma dan tachayul-takhayulnya akan memberi jalan kepada Ilmu Pengetahuan; sedang keinginan manusia untuk mengenal hal-hal dari “Dunia Lain” akan dipenuhi oleh Filsfat Masa Depan, yaitu suatu Filsafat yang (karena dimaksud untuk memenuhi keinginan itu) mungkin sekali akan tertuju pada baik dunia ini maupun dunia lain. Dalam hal ini mungkin di dalam Filsafat Tiongkok ada hal/hal-hal  yang dapat diberikan sebagai sumbangan.
z. Methodologi Di Dalam Metaphysica
Di dalam buah karangan saya : “Risalah baru mengenai Methodologi di dalam Metaphysica”, saya mempertahankan supaya tetap ada dua methode, yaitu :
1.         Methode Positif, dan
2.         Methode Negatif.
Yang menjai pokok di dalam methode positif adalah membeicarkan tentang obyek metaphysica yag diseleidiki. Sedang yang menjadi pokok di dalam methode negatif adalah justru tidak membicarakan tentang itu. Dengan berbuat demikian, maka methode  negatif akan menerangkan aspek-aspek tertentu dari  sifat-sifat yang dimiliki oleh obyeknya, yaitu aspek-aspek yang tidak dapat digambarkan dan tidak dapat di analysa secara positif.
Di dalam bab II saya telah memperlihatkan bahwa saya setuju dengan pendapat Prof. Northrop, yaitu pendapat bahwa Fislafat Barat itu dimulai dengan apa yang dinamakan olehnya “konsep yang dicapai dengan jalan hypithesis” dan bahwa Filsafat Tiongkok dimulai dengan “konsep yang dicapai dengan jalan intuisi”. Akibatnya ialah bahwa Filsafat Barat dengan sendirinya di “kuasai” oleh methode yang positif, sedang Filsafat Tiongkok di “kuasai” oleh methode yang negatif. Hal ini benar-benar terdapat pada  Taoisme, yang memulai dan berakhir dengan keseluruhan yang tidak dapat didefinisikan. Dari apa yang tertulis di dalam Lao tzu dan Chung tzu, orang tidak dapat mengetahui “apakah Tao itu sebenarnya”, melainkan hanya mengetahui “bukan apakah Tao itu”. Tetapi bilamana orang sudah tahhu, bahwa Tao itu bukan ini, ini, ini, maka ia lalu memperoleh sedikit ide tentang apakah Tao itu.
Sudah dikatakan di muka, bahwa methode negatif dari Taoisme ini telah diperkuat oleh Buddhisme. Ch’anisme adalah kombinasi dari Toisme dengan Budhhisme, dan Ch’anisme ini sebaiknya saya namakan “Filsafat tentang ketenangan (silence)”. Bilaman orang memahami dan menginsyafi arti dari ketanangan, maka ia lalu boleh dikata sudah mengetahui “sesutu” tentang obyek metaphysica.
Di Barat daapt diaktakan bahwa Kant telah mempergunakan methode negatif di dalam metapgysica. Di dalam bukunya : “Kritik terhadap Akal yang Murni” Kant telah menemukan “hal yang tidak dapat dikenal/diketahui”. Bagi Kant dan bagi ahli-ahli filsafat Barat lain,, orang tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Numenon” itu, oleh karena “Noumenon” tidak dapat dikenal/diketahui. Maka dari itu dianggap lebih baik untuk meninggalkan metaphysica sama sekali, dan berhenti pada epistemologi (Ilmu tentang pengetahuan; memeriksa asal-asal; azas-azas dan syarat-syarat pengetahuan; menetukan batas-batas, alat dan cara yang sebaiknya dipergunakan oleh Ilmu Pengetahuan). Tetapi bagi mereka yang sudah biasa mempergunakan methode negatif, dianggap sebagai suatu keharusan bahwa orang tidak mengatakan  apa-apa tentang noumenon, oleh karena noumenon itu tidak dapat didkenal/diketahui. Metaphysica tidak dimaksudkan untuk mengetahui sesuatu mengenai “yang tidak dapat dikenal/diketahui” melainkan untuk mengatakan sesuatu mengenai kenyataan bahwa “Yang tidak dapat dikenal/diketahui” itu benar-benar tidak dapaat dikenal atau diketahui. Bilamana orang sudah mengetahui bahwa “yang tidak dapat dienal/diketahui itu benar-benar tidak dapat didkenal ata diketahui, maka bagaimana pun juga, ia lalu sudah mengetahui “sesuatu” tentang itu, yaitu bahwa “ yang tidak dapat dikenal/diketahui” memang tidak dapat dikenal atau di ketahui. Di dalam hal ini, Kant telah memberikan jasa-jasanya yang tidak sedikit.
System-system metaphysis yang besar-besar di dalam semua kefilsafatan saja, yang methodologinya entah negatif entah positif, telah menunjuk ke mysticisme. Pada hakekatnya, methode negatif itu adalah methode mysticisme. Tetapi juga pada Plato, Aristoteles dan Spinoza, yang ketiga-tiganya telah mempergunakan methode positif dengan cara yang sebaik-baiknya, kita dapat menyaksikan bahwa system-system mereka akhirnya mempunyai corak yang mystis. Bilaman ahli Filsafat yang mengarang buku “Republic” sudah mengawasi dan menyamakan dirinya dengan Ide Kebaikan, atau bilamana ahli Filsafat yang menulis “Metaphysica” sudah menyamakan dirinya dengan Tuhan” dengan jalan berpikir tentang Pikiran”, atau bilamana ahli Filsafat yang gmenulssi “Ethica” sudah menempatkan diri di dalam keadaan : “melihat segala sesuatu dari sudut keabadian” dan menikmati “cinta intelektual akan Tuhan”, lalu apalagi yang dpat didlakukan selain tinggal tenang dan diam???Apakah di dalam keadaan mereka ini, tidak lebih baik untuk mempergunakan istilah negatif seperti : “Tidak satu”, “Tidak banyak”, “Tidak-tidak satu”, “Tidak-tidak-banyak”??
Dengan demikian maka kedua methode itu tidak saling bertentangan/berlawanan melainkan akan saling lengkap-melengkapi. Suatu system metaphysis yang sempurna, seharusnya mulai dengan methode positif, dan berakhir dengan methode negatif. Bilamana tidak berakhir dengan methode negatif, maka system itu tidak akan berhasil mencapai puncak (climax) dari Filsafat. Dan sebalinya kalua tidak mulai dengan methode positif maka system itu akan kekurangan pemikiran yang jelas, yang diperlukan sekali di dalam Filsafat. Mysticisme bukanlah lawan dari pikiran yang jelas, dan tingkatnya juga tidak dibawahnya. Lebih baik orang gmengatakan bahwa tingkatnya ada di atasnya. Mystisme itu sifatnya tidak anti rationil, melainkan super rationil.
Di dalam sejarah Tiongkok, methode positif itu tidak pernah dikembangkan sampai luas. Menurut kenyataannya, methode itu tidak banyak dihiraukan, Maka dari itu; Filsafat Tiongkok itu kekurangan pemikiran yang jelas, dan ini adalah salah satu sebab mengapa Filsfat Tiongkok mempunyai ciri “kesederhanaan”. Dan justru karena kekurangan pemikiran yang jelas, maka kesederhanaannya itu sangat “naief” (seakan-akan memberi kesan yang “bodoh”). Kesederhanaan yang demikian itu boleh dipuji, tetapi sifat “naief”-nya harus dihapus dengan mempergunakan pikiran yang jelas dan tegas. Pemikiran yang jelas/tegas itu bukanlah titik akhir dari Filsfat, tetapi itu merupakan suatu discipline yang tidak dapat diabaikan, dan yang perlu dimiliki oleh tiap-tiap ahli Filsafat. Dan sudah barang tentu ahli-ahli Filsafat Tiongkok pun tidak boleh  ketinggalan. Sebaliknya, Sejarah Filsafat Barat belum pernah menyaksikan adanya perkembangan yang seluas-luasnya dari methode negatif. Maka kombinasi dari kedua-duanya itulah yang akan menghasilkan Filsafat Masa Depan.
Ada Cerita Ch’an yang menguraikan :
“suatu kebiasaan dari seorang guru. Yaitu ia selalu memperlihatkan ibu jarinya kalau diminta untuk menerangkan tentang Tao di dalam Buddhisme. Ia tetap tenang dan diam; hanya Ibu Jarinya yang diperlihatkan. Anak laki-laki yang menjadi pengawalnya, melihat itu dan menirunya. Pada suatu hari, guru tadi melihat pengawalnya sedang menirunya lagi, dan secepat kilat Ibujari pengawalnya dipotong olehnya. Maka larilah anak itu dengan berteriak-teriak karena kesakitan. Guru memanggilnya kembali, dan pada waktu anak yang sedang lari itu menoleh, sang guru memperlihatkan lagi Ibu-jarinya. Pada saat ini anak tadi menerima “Kecemerlangan yang Mendadak” (Sudden Enlightenment).
Entah apakah cerita ini benar atau tidak, tetapi bagaimana pun juga, itu menyarankan supaya sebelum seorang ahli Filsfat atau seorang siswa yagn mempelajari Filsafat mempergunakan methode negatif, hendaknya ia lebih dahulu menjelajahi methode positif. Dan sebelum sampai pada tingkat kesederhanaan di dalam Filsafat, hendaknya ia lebih dahulu menjelajahi strukturnya yang bersusun-susun.
Yahhhh...., orang harus berbicara dahulu yang banyak sekali, sebelum ia tinggal tenang dan diam.
oooOOOooo
T A M A T
Kota Sepanjang, Kab. Sidoarjo, Jatim
Jum’at, 12 September 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar