Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Selasa, 28 April 2015

Filsafat Gajah Bahanya Kata-kata (Serat Hesthitama) Sastra Filsafat Jawa


 “SERAT  HESTHITAMA
Penerjemah : Pujo Prayitno

Serat Hesthitama adalah menguraikan tentang nilai dari hewan Gajah. Sedangkan sebagai pembuka darinya, terlebih dahulu menguraikan tentang mewajibkan kepada diri sendiri untuk mendengar hal-hal yang baik, yang pada intinya itu ada tiga jenisnya yang disebut dengan “TRISUSILA”, dan uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban mendengarkan seperti itu adalah perlu menghimpun dan menerima atas suara yang keluar dari ucapan para orang tua sesepuh  yang luas pengetahuannya tentang kenyataan tentang perbuatan yang berpedoman kepada kebenaran, kebaikan dan keselamatan. Serta juga menghimpun makan yang sebenarnya dari ucapan pada Pandhita serta para manusia suci, yang telah ahli menggunakan angan-angan yang jernih, yang juga disebut dari para Bijak (Wicaksana = caksu = wicaksu = caksuh = wicaksuh). Sehingga kekuatan dari suara (perkataannya)  yang keluar dari mulutnya tentulah nyata adanya, dan jelas sejelas-jelasnya. Serta juga besar daya kekuatannya bagi yang mendengarkannya yang bisa dan sanggup menerimanya, serta juga tidak pernah sekali pun melepaskan kata-katanya yang tidak ada bukti nyatanya.
2. Pendengaran kita bebas dari kewajiban untuk menutup pintu pendengarannya, ketika sedang mengalami gangguan dari suara yang mengandung hawa panas bagaikan menyalanya bara, itu berarti suara yang keluar dari para yang mempunyai sifat jahat yang bisa mengakibatkan kesengssaraan, kerugian serta penderitaan, yaitu suara yang bsia merusak hal-hal keutamaan, keselamatan serta ketenteraman atau suara rayuan dari para yang berwatak setan. Ibaratnya adalah : Diri kita jangan sampai gosong oleh nyala api, yaitu dari panasnya hati sendiri  yang terbakar oleh perkataan yang mengandung bara yang keluar dari para pemilik budipekerja yang jahat.
3. Juga mempunyai kebebasan tentang kewajiban yang susila, kita harus menutup telinga yang ada suara yang sangat merdu  mendayu, akantetapi mengandung bisa dan racun yang sangat berbahaya, yang bisa tumbuh berkembang menuju kerusakan seperti tersebut di atas. Serta juga tentang terkena suara kamayan (berpengaruh jahat) yang bisa menyebabkan penasaran di dalam perbuatan yang kita lakukan dan kita jadikan keyakinan di dalam cipta diri, yaitu tentang apa saja yang tidak ada kenyataannya, atau yang tidak bisa masuk ke dalam pikiran yang terang. Yang dibahasakan sebagai berikut : Tidak basah direndan air, tidak terbakar oleh nyala api yang membakar.
Sedangkan yang dikehendaki dari kewajiban serta Tatasusila dari mendengarkan seperti tersebut di atas, oleh para yang berbudi bijaksana menetapkan tentang adanya aturan kesusilaan dari mendengarkan itu, yang ternyata atas pengaruh dari Yang Maha Kuasa yang mengarahkan dan menuntuk kepada Tuhan Penguasa seluruh Alam. Yang seperti itulah keadaan yang disebut PENGETAHUAN atau yang bernama KITAB ALLAH. Sebagai bukti dari uraian tersebut digambarkan dengan Telinga Gajah, yang selalu meregang untuk membuka atau menutup lubang telinganya, yang artinya menjaga pintu pendengarannya ketika sedang terkena suara seperti yang disebutkan di nomor 1 di atas. Atau menutup pintu pendengarannya yang berarti tidak bersedia menerima masuknya suara seperti yang diuraikan di Nomor 2 dan 3, di atas.
Yang menyambung dengan uraian tentang Telinga Gajah yang dijadikan sebagai gambaran yang tersirat yang ada di dunia ini seperti sudah disebutkan di atas, maka Para Filosof Bijak kemudian menggambarkannya atau disamakan dengan, bahwa Telinga gajah itu disebut telinga Kipas yang lebar (ilir). Mengapa demikian, karena dinamakan “ILIR” itu karena berupa kipas yang besar dan lebar, sedangkan pasangannya adalah suatu alat yang berenama “IJAN” yang gunanya adalah untuk meratakan nasi yang masih panas yang baru saja diangkat dan ditumpahkan dari alat rebusannya (Kukusan), yang kemudian “Diiliri” (Dikipasi) agar menajdi dingin, yang dalam bahasa jawa disebut di-Angi. Kata dalam bahasa Jawa “Angi” = angin; di angi = di beri angin = di dinginkan.
Pada umumnya, nasi yang diperlakukan seperti itu, jika sudah menjadi dingin maka dibentuk menjadi silinder , besar-kecilnya silinder disesuaikan dengan selera, yang pada umunya ukurannya sebesar buah jeruk dari Wilayah Kabupaten Pacitan – Jawa Timur, yang kemudian diberi nama “Nasi GOLONG”. Apa sebabnya nasi yang dibentuk seilinder itu harus didinginkan terlebih dahulu, karena jika masih panas kemudian dibentuk silinder itu maka akan hancur (Tidak bisa memadat). Sedangkan keadaan nasi yang bentuk menjadi “Golong” itu kuat dan tidak mudah basi hinga beberapa waktu lamanya. Bagi masyasrakat di pegunungan, seuka memberinya nama “Nasi Giling”. (Jika makan nasi giling, jangan sampai asal masih bisa masuk ke dalam perut saja, walau pun besarnya Cuma sebesar genggaman tangan, akan tetapi sudah bisa mengenyangkan perut seorang yang doyan makan. Sebaiknya, jika makan nasi giling itu dicampur dengan sayur yang banyak kuahnya dan dibiarkan dulu sementara, maka nasi itu akan mengembang, jika di rasa sudah cukup mengembangnya, barulah dimakan).
Sebenarnya tentang Nasi Golong itu adalah sebagai ibarat penuh makna tersirat  atau sebagai contoh dari adanya suara atau pengetahuan yang sebaiknya diterima oleh terbuka pendengaran kita. Kata Golong (Golongan) itu mengandung maksud Sendirian = diri = pribadi. Maknanya adalah masuknya suara yang dingin tidak tercampuri suara yang panas. Ketika nasi sedang di iliri (dikapsi dengan kipas besar) itu ditempatkan dalam tempat kusus yang bernama Ijen. Seingga dinamakan “Ijen” itu adalah mengandung maksud adalah yang di “Tampeni” (bermakna diterima) atau yang diijinkan (diperbolehkan). Yaitu dijinkan oleh pendengaran kita untuk dimasuki oleh suara yang mendinginkan hati, yaitu suara yang tidak mengandung panas, yang berarti suara yang tidak mengandung bisa atau kejahatan. Sedangkan “Ilir” yang pertama adalah sebagai lambang dari suara yang harus dialirkan keluar dari dalam telinga. Yang ke dua, yang kemudian ilir itu mengeluarkan angin, itu sebagai ibarat dari pendengaran kita untuk bisa mengetahui baik buruknya suara (mengandung manfaat atau mengandung bisa), yang harus didengarnya atau ditolaknya, walau pun hal itu tidak mudah untuk segera bisa diketahuinya. Mengapa bisa demikian? Karena tidak ada  pengaruh atau tipuan yang ampuh dan kekuatannya bisa melebihi yang terkandung atau termuat di dalam suara (kata-kata – Kalimat).
Sedangkan untuk bisa memahami dan mengetahui dari yang mana suara jelek dan suara baik, menipu dan sungguh-sungguh dan sebenarnya, itu harus menjernihkan wawasan akal budi, yaitu dengan cara membiasakan Samadhi (Tafakur – merenung), dengan cara mengendalikan dan menguasai angin yang berujud pernapasan  (bernafas), diulang tiga kali saja bagi para ahli samadhi, yang tentunya akan bisa menelaah dan mencerna sehingga benar-benar paham . Keluar masuknya pernapasan yang dikendalikan dengan setenang mungkin sebanyak tiga kali tarikan nafas, ada kata-kata di dalam Ilmu milik dalang disebut dengan sebutan “Tri Pandurat” atau Tripadurat, (Tri pandurat tidak berkata apa-apa mencari terbukanya pemahamannya, yaitu ciptanya, yaitu berupa Petunjuk dari Tuhan. Makna dari Tri = Tiga; Pandu = Panjang; rat = dunia = raga ini, maksudnya adalah : Mengulan tigakali tarikan pernapasan kita  yang diarahkan menuju rasa hidup (penerang hidup).
Selain yang sudah diuraikan di muka, tentang mengalirkan dan mengarahkan pernapasan (Samadhi), itu juga bertujuan untuk menanggulangi pengaruh dari suara yang sangat panas yang sampai dan mengani perasaan hati, seperti yang diibaratkan dengan : tidak gosong oleh terbakar api, bermakna dengan sebutan, kita hati merasa semakin panas, yang disebabakan oleh pendengaran kita yang dibuka pintu pendengarannya untuk jalan masuk dari suara yang terdorong kemarahan dan untuk menyalahkan, atau yang tujuan untuk mengarahkan kepada rasa benci, permusuhan, dan sejenisnya, itu semua jika kita musnahkan dengan menggunakan penyapuan sang pembawa mantra, yaitu berupa keluar masuknya pernapasan yang ditarik naik diarahkan hingga mencapai otak (kepala), turun hingga mencapai pusar, sudah pasti pengaruh panas dari suara kata-kata tiba-tiba menghilang tanpa jejak, dan selanjutnya hati kita mampu mengendalikan sehingga bisa menerima “Tetesan air kehidupan” = “Tirta Amretamaosadi.
Di sini kemudian disambung lagi dengan Nasi Golong seperti yang sudah tersebut di atas. Jika kita membuat Nasi Golong, pada umumnya sebagaian digunakan untuk persembahan (Sesaji – selamatan) yang ada disertai syarat-syarat yang lainnya. Sedangkan Nasi Golong yang digunakan untuk persembahan sesaji itu pada umunya ada 9 pasang. Sedangkan yang dinginkan oleh yang membuat sesaji itu, nasi golong itu sebuah ujud penghormatan kepada Dewa yang bernama “Dewa Sasanga”, yang intinya diserta permohonan dan perkenannya untuk keseelamatannya sendiri-sendiri. Sedangkan adanya Dewa Sasanga yang menjadi tujuan dari permintaan permohonan itu, yaitu : 1. Sang Hyang Siwa, sebagai lambang dunia; 2. Sang Hyang Darma lambang angkasa; 3. Sang Hyang Wisnu, lambang air; 4. Sang Hyang Brama atau Brahma, lambang api; 5. Sang Hyang Surya, lambang matahari; 6. Sang Hyang Candra, lambang rembulan; 7. Sang Hyang Narada, lambang Bintang; 8. Sang Hyang Bayu, lambang angin; 9. Sang Hyang Endra, lambang Bumi.
Dengan adanya keterangan tersebut di atas, maka ternyata bahwa Kenduri (Sesaji) dengan menggunakan Nasi Golong, di budaya Jawa ini, adalah menurut tata cara di jaman dahulu, yaitu ketika Bangsa Jawa masih memeluk Agama Dewa. Akhirnya, setelah Bangsa Jawa telah menyatakan diri  dari Agama Dewa berganti  dan memeluk Agama Muhammad yang juga disebut Agama Islam, sebenarnya tentang tatacara sesaji itu harus keluar dan berdasarkan Syariat Islam.  Akan tetapi oleh Bangsa Jawa, Syariat Islam masih diberi kelonggaran  dengan cara yang teramat manis dengan yang berhubungan dengan  sesajai dan juga dengan yang lainnya, sehingga masih tetap diteruskan dan dilestarikan hingga sekarang ini. Hanya saja, saol memberi makan persembahan berupa Nasi golong yang berjumlah 9 pasang itu yang sebelumnya dipersembahkan kepda Dewa Sasanga, kemudian diganti tujuannya kemudian ditujukan kepada para Wali Sanga. Karena, ketika maih hidupnya, mereka suka makan Nasi Golong yang dicampur dengan Sayuran Menir dan Pecel Ayam serta Dhendheng daging yang dipukul-pukul.
Untuk selanjutkan, akan menguraikan lambang yang ada di tubuh Gajah yang disebut juga dengan nama “Esthi = Hesthi”, yang menjadi pokok bahasan di dalam buku ini. Sedangkan yang akan diurakan terlebih dahulu adalah uraian tentang adalah makna yang dilambangkan dengan Telinga Gajah ketika kemudian disamakan sesuatu yang bernama “Ilir” Kipas besar bertangkai, seperti yang sudah diuraikan di atas.
Sedangkan dengan adanya lambang yang dilambangkan dengan tubuh Gajah itu ada delapan macam, hal itu kesemuanya ditujukan dengan maksud untuk dijadikan  tauladan atau ibarat dari perbuatan kita, yang selalu menjalankan kewajiban serta berada pada perbuatan yang berdasarkan Tata Susila. Sedangkan adanya 8 macam lambang itu adalah : 1. Telinga Ilir seperti yang sudah dijelaskan; 2. Belalai lintah; 3. Kaki model bumbung; 4. Mata bagaikan hewan laron 5. Ekor bagaikan sulak (pembersih debu); 6. Mulut, yang bagaikan alat untuk menanak nasi bagi orang Jawa; 7. Punggung, bagaikan alat untuk menumbuk padi; 8. Kepala  Papon (bagaikan tempat apu salah satu perlengkapan makan sirih).
Papon itu adalah tempat kapur yang sudah menjadi adonan, yang besarnya kurang lebih sebesar timba. Sedangkan apu itu untuk persediaan perlengkapan makan siri yang kemudian diberi nama “Enjet”, yang jika diucapkan malam hari berubah nama menjadi “tai manuk” 9Kotoran burung). Jika apu diwadahi atau ditempatkan di atas daun yang hanya di tekuk saja, maka namanya menjadi (Gatheng), dan jika daunnya di gulung maka menjadi bernama “sadak”. Sedangkan “Sadak” itu ada yang bernama “Sadak rawis” dan ada juga yang bernama “Sadak gadhing”. Yang bernama “Sadak rawis” yaitu daun yang dipergunakan untuk membungkus apu itu daun yang masih ada pucuk daunnya yang masih muda, ujung daun muda itu sendiri mempunyai nama, yaitu “Semprit”. Makna dari nama “Rawis” = Gombyok (rangkaian) = Bendera, sehingga sadak itu terlihat bagaikan pusaka tombak yang ada benderanya. Sedangkan yagn bernama “Sadak Gadhing” itua dalah  “Sadak” yang dibuat  dari daun yang agak tua serta tidak disertai, pucuk daun yang masih kuncup, sehingga terlihat lurus, seandainya itu tombak adalah tombak yang tanpa ada benderanaya. “Sadak itu sendiri adalah merupakan sebuah lambang (Lihatlah sadak milik Jakatingkir yang sangat tajam yang bisa membelah dada Ki Dhadhungawuk di Pingit).
Sedangkan tentang adanya lambang yang dilambangkan bagian tubuh gajah 8 macam itu, seperti tersebut did atas adanya sudah sejak jaman dahulu kala. Akantetapi sejak Bangsa Jawa meninggalkan Agama yang lama yaitu Agama Dewa, karena berganti dengan memeluk Agama Islam, tentang Ilmu Pengetahuan ketajaman Budi sejak itu tidak terurus, semakin lama sehingga bisa diibaratkan bagaikan lampu minyak yang semakin berkurang sinarnya, sehingga ketika sampai pada jaman sekarang ini, bisa diibaratkan seandainya itu lampu minyak maka telah keeehabisan minyaknya, sehingga hilang sinar terangnya, berganti menjadi kegelapan yang berlapis hingga sejuta lapisan. Sehingga tentang ibarat serta perlambang yang berada di anggota tubuh Gajah itu maka menjadi sirna tanpa bekas. Akan tetapi masih ada juga yang masih bisa mengingatnya atau menguapkannya tentang makna ibarat tentang tubuh Gajah itu, hanya saja berubah maknanya, karena.. uraian dan isi lambang itu kemudian dutujukan untuk mengejek sang Gajah itu sendiri. Contohnya : Gaja berkepala Papon, bertelinga Ilir, bermulut kukusan, berbelalai lintah; bermata laron, berbuntut sulak, berkaki seperti bumbung bambu, berpunggung lesung. Sedangkan punggung lesung itu , banyak tidak tidak mengetahuinya atau terlupakan. Sedangkan makna ibaratnya juga banyak yang tidak memperhatikannya, dikarenakan dengan adanya ejekan yang seperti tersebut di atas hanya ditujukan  karena dengan adanya ejekan seperti tersebut, itu adalah cocok  dengan keadaan sesuatu benda yang dijadikan pengibaratan, serta memang nyata bahwa ekor gajah itu bagaikan sulak pembersih debu yang sebenarnya, kaki seperti bumbung bambu pun mirip sekali, belalai berbentuk lintas memang benar dikarena bisa menggeliat bagaikan badan hewan lintah, demikian seterusnya.
Oleh karena hal yang demikian itu, sebagai sarana untuk menghidupkan ilmu pengetahuan ketika pada jaman dahulu, jangan sampai hilang dan terkubur, yaitu tentang yang dilambangkan  oleh bagian tubuh gajah yang berjumlah 8 macam yang ternyata berisi ibarat, dan di sini akan diuraikan dengan singkat seperti di bawah ini :
1. Kepala Papon, kata Papon sudah diuraikan di atas, yaitu tempat menampung enjet, kata enjet = apu = apyu = api = brama = hawa panas, artinya : Untuk menyebut otak, yaitu tempat untuk mempertajam budi, disebut juga alat berpikir. Maksudnya : Didalam hidup ini sebaiknya mempergunakan alat berpikirnya, karena semua hasrat diri, itu untuk bisa tercapai, terlaksananya jika selalu dipikirkan, jika tidak meninggalkan syaratnya ilmu pengetahuan dan perbuatannya, tentulah akan lebih mudah bisa tercapainya.
2. Telinga Ilir : sudah dijelaskan di atas, pada intinya dalam kehidupan sebaiknya membuka telinganya, jika mendengar berbagai suara yang baik-baik saja, yang berisi nasihat dan ajaran sebagai tuntunan dalam melangkah dalam kebaikan , keselamatan, ketenteraman dan sejenisnya. Dan sebaliknya, jadikanlahn tuli ketika mendengar suara yang mengajak kepada semua perbuatan yang tidak baik.
3. Mulut Kukusan, Kukusan itu untuk menanak nasi. Nasi itu makanan pokok bagi orang Jawa, sedangkan makanan pokok itu adalah untuk mengibaratkan Ilmu pengetahuan, sehinga ada peribahasa : Makan kata-kata, makan ajaran. Mulut itu tempat untuk mengeluarkan kata-kata, sedangkan keluarnya perkataan walau pun hanya satu kata sekali pun, itu tidak bisa terlepas dari dua macam bahaya, yaitu bahaya yang berasal dari dalam  dan yang berasal dari luar. Jenis rupa bahaya yang berasal dari dalam, itu jika salah mengeluarkan kata-kata, walau pun tidak disengaja sekali pun juga bisa merugikan diri. Sedangkan bahaya yang berasal dari luar itu jika perkataan yang keluar itu tidak cocok atau tidak menyenangkan bagi atau membuat sakit hati lawan bicaranya, atau juga orang lain yang mendengarnya, walau pun yang dikatakannya itu memang benar adanya, itu juga bisa mencelakakan diri karena bisa merenggangkan persahabatan dan persaudaraan, yang jika menjadi besar itu bisa menyebabkan perselisihan . Maka dari itu, tentang masalah berkata-kata, sebelum mengeluarkan perkataan dari mulut, sebaiknya diperhitungkan dengan matang menggunakan pikiran, agar baik dan tepat atas keluarnya perkataan itu, dan juga  keluarnya perkataan itu bisa menjadikan menyenangkan lawan bicaranya. Selain dari itu, juga mempunyai maksud, bahwa semua hasrat diri, sebelum dilaksanakan harus dimusyawarahkan dan dimatangkan terlebih dahulu di dalam pikiran. Dan juga jangan sekali-kali meningggalkan pertimbangan yang matang, jika bisa demikian, akan mendorong dan menyertai hasrat serta diringi oleh keselamatan.
4.  Belalai lintah. Adanya belalai itu, selain berfungsi sebagai tangan oleh Gajah (ibakara, arti Iba = Gajah, kara atau makara = tangan) (tangan seeparoh, tangan satu atau halfhand), juga sebagai tempat bagi hidungnya.
Sedangkan hidung itu berfungsi sebagai indra pencium. Pekerjaan dari lintah itu adalah menghsiap darah, kata rah = rahsa = rasa = Ilmu pengetahuan. Maksudny adalah : Di dalam kehidupan ini sebaiknya selalu menghisap-hisap bebrbagai ilmu pengetahuan, serta jangan sampai merasa ilmu sudah tinggi, karena Ilmu Tuhan, bagaikan banyaknya butiran pasir di pantai. Juga selalu menjalankan menghisap Air kebijaksanaan bagaikan yang selalu dilakukan Hyang Ganesa yaitu Dewa Ilmu (Samadhi).
5.  Mata laron; kata mata = mripat = netra = haksi = tonton = penonton = tingal = paningal = weruh (mengetahui) = pameruh (untuk mengetahui_ = Meruhi (mengetahui). Maksudnya adalah menyebutkan bahwa mata itu ternyata menjadi pemuka pnacaindra, sehingga disebut juga Haksi = Saksi,  maksudnya, mata itu yang menyaksikan tergelarnya dunia ini beserta seluruh isinya yang baik atau pun juga yang buruk. Hewan larun itu termasuk serangga golongan serangga kecil yang beterbangan, dan keluarnya adalah bersamaana datangnya malam, yang menjadi tujuannya adalah mengarah kepada yang terang. Kata Terang itu bermakna benar, baik, pintar, yang baik untuk dilakukan dan sejenisnya. Sedangkankan maksudnya adalah : Di dalam hidup ini sebaiknya selalu mempergunakan matanya, akan tetapi hanya digunakan untuk meliahat yang menyebabkan bermanfaat bagi semua kebaikan, keberuntungan, kemuliaan, keselamatan, ketenteraman dan sejenisnya.
6.  Ekor Sulak, kata kelut = kebut = kebat = sulak = pangresikan, maksudnya, semua kotoran harus di keluti (dibersihkan) hingga benar-benar bersih. Sedangkan maknanya adalah : Hasrat keinginan diri yang buruk yang hanya untuk memenuhi segala kesenangan diri saja, dan juga dorongan angkara murkanya, usil, dnegki, panas hati dan sejenisnya yang masuk ke dalam pusat rasa hati, itu agar dibersihkan semua hingga ke akar-akarnya, agar menjadi bersih dan berkilat.
7.  Kaki bumbung; Bumbung itu adalah bambu (deling) yang dipotong, bentuknya silinder lurus serta tidak bisa ditekuk, dan di dalamnya kosong tidak ada isinya. Sedangkan maksudnya adalah : bentuk lurus silinder itu  adalah bersungguh-sungguh dalam kebenaran, dan suatu bentuk yang tidak bisa dibengkokan itu bermakna jika memilki hasrat itu tidak bsia dibengkokan dan sangat kuatnya. Di dalamnya kosong, maknanya adalah bersih. Sedangkan  iintinya : Pring (bambu) = dipringake yaitu yaitu tidak ikut-ikutan atau tidak memperdulikan. Arti dari deling = dumeling, adalh untuk menyebutkan suara dari bisikan atau sasmita, yaitu suara kejaten (Suara Yang Sejati). Sedangkan yang dimaksudkan adalah : Semua perbuatan apa saja itu sebaiknya dijalakankan dengan berpedoman pada kebenaran, kesungguhan, disertai kekuatan hati.
8.  Punggung Lesung, Lesung itu adalah tempat menumbuk padi, untuk dijadidkan menjadi beras. Ketika sedang ditumbuk itu, walau pun bersuara keras, akan tetapi “Lesung” alat tempat menumbuknya itu tidak bergerak sama sekali. Kata Lesung = les dan sung, arti les, adalah hilangnya rasa, sedangkan arti sung, inti katanya adalah kosong, mengandung maksud menyebutkan hilangnya rasa perasaan hingga masuk kedalam tempat yang kosong, yaitu di dalam penglihatan (Bagaikan dalam tidur tanpa mimpi yan tidak terasa apa-apa dan tidak ingat apa-apa tapi ada).. Sedangkan maksudndya adalah : di dalam kehidupan, dan bertempat di alam dunia ini, untuk bisa bertempat di dalam ketenteraman, sebaiknya selalu menjalankan oleh Samadhi (Tafakur – merenung) mengheningkan cipta terlepasnya penglihatan menyatu Hamba dan Tuhannya (Kawula Gusti). Nuwunnn.....

T A M A T
23 April 2015
Kota sepnajng, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar