Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Senin, 06 Juni 2016

Nabi Muhammad Dalam Karya Iqbal


 “NABI  MUHAMMAD DALAM KARYA IQBAL”
Bab terakhir dalam Buku “Dan Muhammad Adalah Utusan Allah”
Penerbit : Mizan
Penyadur : Pujo Prayitno

Berbagai segi penghormatan kepada Nabi Muhammad saw. tampaknya bertemu di dalam karya Muhammad Iqbal, penyair filosof Indo-Muslim yang untuk pertama kalinya mengungkapkan gagasan tentang sebuah negara Muslim yang merdeka di barat laut anak Benua India dan yang karena itu dinyatakan sebagai “Bapak spiritual” Pakistan. Bangsa ini lahir sembilant ahun setelah meninggalnya (21 April 1938) pada 14 Agustus 1947.
Karya Iqbal merupakan suatu pintalan berbagai nuansa yang menarik yang berkisar dari fundamentalisme Islam sampai teori-teori ilmiah paling mutakhir dari Barat, dari penerbangan-penerbangan mistikal ke dalam Hadirat Tuhan sampai analisis-analisis rasional tentang fenomena spiritual. Kepelbagai macam ini, nyata sekali di dalam karya prosanya yang berbahasa ingris, The Reconstruktion of Religious Thoughl in Islam (yang hampir pasti diilhami oleh judul karya Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din) dan dalam beberapa artikel berbahasa Ingris; teapi hal itu juga, dan sungguh secara dominan, terungkapkan dalam baris sajak Urdu dan Persianya. Gambaran-gambaran lama, yang sudah dikenal baik oleh pembaca Muslim selama berabad-abad, diambil dalam puisi ini dan diberi kandungan baru. Nabi Islam tampil di dalam karya Iqbal seperti dalam karya-karya beribu-ribu penyair dan pemikir terdahulu sebagai tokoh sentral bagi kehidupan spiritual Muslim, tokoh yang mengungkapkan dirinya dalam bidang-bidang yang senantiasa berubah dan yang penggambarannya oleh Iqbal berpuncak pada pernyataan yang berani di dalam Javidnama ( yang sekaligus juga mengungkapkan tentang “perjalanan ke langit”-nya sang penyair sendiri) :
Tuhan dapat kau ingkari, namu  Nabi tak!
Setelah menyelesaikan studi-studinya dalam filsafat dan hukum di Cambridge, Iqbal menghabiskans ekitar enam bulan di Jerman pada 1907; dan di sana menjadi pengagum Goethe yang bersemangat, yang karyanya baginya, merupakan pengejawantahan tertinggi puisi kratif. Karena itu dapat dimengerti bahwa dia merasa, terutama,  tertarik pada tokoh Faust, orang yang tidak pernah berhenti dalam mencari realisasi diri, dan kepada West-Ostlicher Divan. Pada tahun 1923, dia menyusun “Payam-i Masyriq (Pesan Dari Timur) sebagai jawaban dalam bahasa Persia terhadap West-Ostlicher Divan, dan dia menunjukkan dalam prakatanya bahwa Goethe telah menunjukkan perhatian kepada hal-hal Islam sejak mudanya. Syair Goethe, “Mahomet Gesang”, ditulis ketika penulis muda ini sedang merencanakan sebuah drama tentang Nabi Islam pada 1772, mengilhami Iqbal sedemikian rupa sehingga dia mempersembahkan kepada pembacanya sebuah versi Persia dalam Payam-i Masyriq, yang dia sendiri mengkarakterisasikannya dalam sebuah catatan kaki :
Sebuah terjemahan yang benar-benar bebas ata “Mohamets Gesang”-nya Goethe yang termasyhur. Dalam syair ini, yang ditulis jauh sebelum West-Ostlicher Divan, penyair Jeman ini telah menunjukkan gagasan Islam tentang kehidupan dengan benar-benar indah. Sebenarnya hal itu adalah bagian dari sebuah daram islami yang dimaksudkannya (untuk ditulis) tetapi tidak dapat diselesaikannya. Maksud penerjemahan ini, tak lain adalah menunjukkan pandangan Goethe.
Iqbal memulai terjemahannya dengan baris-baris :
Lihatlah arus air, bagaimana ia mengalir, mabuk,
Seperti sebuah galaksi di tengah-tengah padang rumput!
Dan mengakhiri syair agak panjang itu dengan :
Betapa menakjubakn! Samudra tak berpantai  --- bagaimana ia mengalir, mabuk,
Khas dalam dirinya, asing bagi segala lainnya, ia mengalir!
Gambaran tentang  sungai sebagai metafor untuk aktivitas kenabian sangat dekat dengan pemikiran mistik Islami teologi Syi’ah abad pertengahan, Al-Kulaini, bahkan mengutip sebuah perkataan yagn dinisbatkan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, Imam Pertama Syi’ah : “siapakah sungai besar itu? Rasulullah dan pengetahuan yang telah diberikan kepadanya.” Dan ketika Iqbal, sembilan tahun setelah Payam-i Masyriq, menggambarkan “perjalanan ke langit”-nya sendiri di dalam Javidnama yang diberi nama samawi Zindarud, “Arus Hidup”. Nama ini jelas menunjuk ke hubungannya dengan Nabi, yagn sangat dia upayakan untuk diikuti dalam segala bidang kehidupan, dan yang risalah dinamikanya ingin diperbaruinya di dunia ini.
Pujian Iqbal kepada Nabi sering bersifat tradisional. Dalam sebuah syair Urdu awal, yang tidak diterbitkannya dan yang akrena itu disajikan hanya dalam sebuah himpunan yang diterbitkan jauh setelah meninggalnya, dia bahkan menggunakan gambaran hadis qudsi tradisional “Aku adalah Ahmad tanpa m, Ahad, Esa,” dengan mengklaim bahwa sang pecinta melihat Allah melalui Nabi. Kemudian dengan hati-hati dia menghindari hadis ini sebab tampaknya membawa ke konsekuensi-konsekuensi panteisme, yang dalam usia-usia matangnya tidak disukainya sama sekali.
Bersama beratus-ratus penyair di sepanjang sejarah Islam, Iqbal juga berlantun :
Debu Madinah dan Najaf adalah kolirium bagi mataku!”
 Karena itu, seperti dikatakannya, pesona-pesona menggoda dan gemerlap pengetahuan Eropa tidak dapat mengacaukannya atau mengalihkan matanya dari arah yang benar.
Adalah menarik perhatian betapa jelas kecintaan dan kepercayaan Iqbal kepada Nabi terejawantahkan dalam korespondensi dirinya dengan sahabat-sahabat yang di dalamnya dia pada umumnya menyinggung banyak masalah yang menjadi perhatian pribadi dan ilmu pengetahuan. Sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa dia sering mencucurkan air mata bila nama Nabi disebut-sebut, “(dengan disebutnya) namanya – bergetarlah jiwaku ketika aku berpikir tentang nama mulia itu : -- dengan disebut-sebutnya namanya yang telah membawakan untuk manusia risalah akhir kemerdekaan dan persamaan,” seperti ditulisnya di dalam sebuah artikel pada 1909. Gerakan sirah, yang berupaya memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang biografi Nabi dan pribadi historikal Nabi pada umumya, benar-benar mendapatkan simpatisnya. Selama 1929 dia menerima, yang pada waktu itu, pemimpinnya di rumahnya di Lahore, dan pada tahun yang sama dia menyebutkan dalam salah satu suratnya dengan sangat puas bahwa hari lahir Nabi baru-baru ini telah dirayakan di India selatan, dengan mengatakan bahwa “untuk menghubungkan bangsa-bangsa Muslim India, pribadi paling suci Nabi kita yang mulia dapat membentuk kekuatan yang sangat besar dan sangat efektif.”

Meskipun dia menulis dalam gaya yang benar-benar klasikal, hanya na;t tersebut yang tak diterbitkan, puisi Iqbal mengandung banyak baris sajak yang menghormati Nabi. Salah satu tema yang paling jelas dri baris sajaknya adalah kepercayaan sepenuhnya kepada Nabi, yang mengungkapkan pengungkapannya mewarnai karyanya dari awal hingga akhir.
Bagi yang berbuat maksiat, cintamu lebih besar ..
Dalam mengampuni dosa-dosa, bagai cinta ibu.
Maka dia menulis pada sekitar 1936, untuk mengungkapkan perasaan yang, seperti terlihat jelas, terpusat pada tasawuf. Namun, menarik perhatian bahwa Iqbal berbicara agak jarang tentang peranan Muhammad sebagai syafi’ (perantara pada Hari Kiamat), sebab peran Nabi inilah yang telah ditekankan oleh para penyair klasikal dan, lebih khususnya, rakyat dalam syair-syair doa meraka. Dalam Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia diri), yang dia terbitkan pada 1915 dalam bahasa Persia, dan yang merupakan pengejawantahan pertama filsafat dinamiknya yang baru tentang Diri, dia berkata :
Kami mempercayainya pada Hari Pengadilan,
Di dunia ini pula dia pelindungku.
Namun perhatian ini jarang, jika pernah diulang, barangkali karena konsep Iqbal tentang kematian, kembangkitan kembali, dan Pengadilan Terakhir selama tahun-tahun terkemudian pada dasarnya berbeda dengan eskatologi tradisional para teolog dan khatib populer. Baginya, Nabi jauh lebih merupakan dukungan dalam hidup ini : pada akhir matsanawi keduanya yang berbahaya Persia, Rumuz-i Bekhudi (Misteri-Misteri Ketiadaan Diri), yang disusun pada 1917 untuk menyampaikan gagasan-gagasannya tentang peranan individu-sempurna dalam suatu Negara Islam ideal, dia memohon kepada Nabi, secara tipikal, agar menganugerahinya kekuatan untuk beraktivitas.
Namun, keyakinannya pada kekuatan-kekuatan adialami Nabi tampak sekuat keyakinan berjuta-juta orang beriman sebelum dia. Ketika tinggal di Bhopal pada 1936, dan menderita sakit yang serius, doa melohat dalam mimpi sosok pembaru Sir Sayyid Ahmad Khan, kakek tuan rumahnya, Sir Ross Masood. Sir Sayyid Ahmad Khan, masih menasehati dia agar berpaling kepada Nabi dan memohon kepadanya agar diberi kesembuhan, Iqbal segera menggubah sebuah syair yang agak panjang; di dalamnya dia pertama-tama menggambarkan situasi politik orang-orang Muslim yang menyedihkan dan kemudian memohon pertolongan Nabi untuk menyembuhkan sakitnya. Jelaslah dia terpengaruh oleh Burdah-nya Busiri dan kepercayaan kepada daya penyembuhnya, seperti dia sebutkan syair ini juga dalam hubungan-hubungan yang lain.
Setahun sebelumnya, dia menulis kepada seorang sayyid : “Pengobatan batiniah bagiku adalah hanya dengan membaca shalawat (durud) untuk kakek moyangmu (Nabi).” Namun seperti penyair-penyair abad sebelumnya, dia juga sering merasa bahwa sepertinya tidak patut mengucapkan nama suci Muhammad :
Kubaca Shalawat atas Nabi –
Karena malu, tubuhku jadi bagai air.
Kata cinta : “Duhai yang dipersembahkan kepada yang lain –
Selama  tak kau terima warna dan keharuman dari Muhammad,
Jangan kau nodai namanya dengan Shalawatmu!”
Bagi Iqbal, Muhammad, seperti bagi para teolog dan sufi sebelum dia, adalah segi aktivitas Tuhan yang dapat dilihat. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata manusia, seperti dikatakan oleh Al-Qur’an (surah 7 : 139), tetapi Nabi dapat dilihat dan diraba :
Duhai Rasul Allah, dengan Allah aku berbicara melalui tabir-tabir, denganmu tidak –
Dia yang tersembunyiku, dikau yang nyataku!”.
Karena itu, Iqbal berpaling kepada Nabi, baik untuk memohon agar diberi kesembuhan, maupun untuk memuji-Nya, seperti yang terutama terjelaskan dalam baris-baris sajak terakhirnya, yang diterbirkan sesudah meninggalnya sebagai Armaghan-i Hijaz (Karunia Hijaz).
Orang-orang Muslim tahu bahwa mereka dapat mengalami kehadiran Allah ketika mereka sedang membaca Al-Qur’an, karena firman-firman Allah sendiri menjadi terdengar oleh mereka. Begitu pula, generasi-generasi dari orang-orang Muslim yang saleh merasa bahwa mempelajari tema-tema kehidupan Nabi, atau hadis atau topik-topik juridikal yang didasarkan pada kata-katanya, membuat mereka memperoleh kedekatan tertentu dengan Nabi. Iqbal merasakan hal yang sama ketika menggarap subjek-sumbjek yang berkenaan dengan sejarah Islam dan jurisprudensi Islam, seperti yang terutama dia lakukan menjelang akhir hayatnya :
Pe,beda-pembeda problim-problim juridikal dan argumentasi ahli hukum Islam, yang di dalamnya tersembunyi cinta kepada Penutup Kenabian – studi atas semua hal ini memberiku kegembiraan spiritual yang tiada henti-hentinya!.
Maka dia menulis pada 1936. Dan betapa sedemikian besar kegembiraannya ketika dia melihat sesuatu milik Nabi! Pengalaman mengunjungi Qandahar, yang di sana Jubah Nabi, khirqa-i syiraf, dilestarikan, selama dia berada di Afganistan pada musim gugur pada 1932, membuatnya menggubah sebuah himne berbahasa Persia yang bagus – seperti apda masa-masa sebelumnya sewaktu meliaht sandal atau bahkan gambar sandal Nabi akan memberikan ilham kepada banyak penyair untuk menggubah baris sajak yang indah. Dalam syairnya tentang khirqa-i syarif, Iqbal menyamakan hatinya dengan Jibril, yang telah melihat Nabi ketika masih hidup; dia juga mengatakan bagaimana dia mulai menari, bernyanyi dan membaca puisi di depan relik suci itu :
Jubah “barzakh yagn tak dapat dilanggar keduanya” (surah 55 : 20)
Aku melihatnya melalui hadis “Aku memiliki dua jubah.”
Memandangnya adalah isra’ dan mi’raj kami,
Agamanya dan ritualnya adalah ulasan tentang alam semesta,
Pada dahinya tertulis nasib segala sesuatu.
Penafsiran tentang Muhammad sebagai barzakh, garis batas antara dua alam, telah diterapkan pada Nabi jauh sebelumnya : dalam baris sajak Jami’, dia berdiri di antara dua samudra prakeabadian dan samudra kefanaan; yaitu dia membentuk titik temu antara alam Ilahiah dan alam manusiawi. “Dua Jubah” itu adalah Kemiskinan dan perang suci; hadis bahwa Muhammad melihat “Jubah Kemiskinan” selama peralanannya ke langit berada di latar belakang baris kedua dan ketiga madah Iqbal.
Adalah wajar bahwa Iqbal dengan berkobar-kobar bercita-cita mengunjungi Raudhah Nabi di Madinah, sekaligus menunaikan kewajiban ibadah haji ke Makkah, dan dia menyebut harapan ini berulang-ulang di dalam surat-surat dan syair-syairnya. Pada 1908, dia menulis puji-pujian tentang Yatsib (Madinah), yang di sana “Pangeran Laulaka” beristirahat dan yang karena itu membentuk pusat sejati kehidupan ras manusia. Selama perang Balkan dia bermimpi tentang meninggal di Madinah, harapan bagi banyak jiwa yagn saleh yang rindu untuk dimakamkan di dekat Nabi tercinta. Karena alasan inilah himpunan puisinya yang diterbitkan sepeninggalnya disebut Armaghan-i Hijaz (Karunia Hijaz),s ebab semakin tua sang penyair, semakin rindu dia untuk mengjungi tempat peristirahatan terakhir Nabi. Dia merasa yakin bahwa perjalanan seperti itu akan membawa manfaat-manfaat spiritual yagn ebsar sekali. Apakah dia tidak berbicara di dalam salah satu syair awalnya tentang syifa’ khana-i Hijaz (tempat menyembuhkan di Hijaz), yagn di sana jiwa yang lelah ini akan menemukan harapan baru?
Sekali waktu, ketika kembali dari suatu Konperensi Meja Bundar di London, Iqbal singgah di Yerusalem untuk menghadiri suatu konferensi Muslim. Pada titik ini, dia merenungkan suatu perjalanan ke Madinah, teapi kemudian menganggapnya tidak baik memadukan ibadah haji dengan perjalanan yagn dilakukan untuk alasan-alasan politik. Pada masa-masa itulah dia menggubah himne berbahasa Urdu yang besar untuk Nabi, yang ditutup dengan baris :
Dikaulah Lembaran yang terjaga baik, dan dikaulah Pena!
Dalam himne itu, dia mengambil alih gaya para penyair sufi sebelumnya dan bahkan berupaya melampaui puji-pujian mereka yang menerapkan persamaan-persamaan yang sangat tinggai pada Nabi.
Seperti banyak penulis, khususnya dalam tradisi sufi dan puisi, Iqbal lebih suka menyebut Nabi dengan nama Mushthafa (Yang terpilih). Baginya, Mushthafa merupakan sumber sagala segala yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan manusia, dan seperti para penyair pembaru abad ke 19, dia juga melihat satu sebab siatuasi kaum Muslim saat itu yang menyedihkan dalam fakta memperihatinkan bahwa mereka terasingkan dari “keindahan Nabi”. Mereka harus tahu bahwa jalan ini adalah satu-satunya jalan yang harus dipilih! Pemikiran ini mewarnai kuatrain-kuatrain di dalam karya putikal terakhir Iqbal, tetapi dia sudah mengungkapkan hal itu berdasawarsa-dasawarsa di dalam salah satu syair besarnya yang berbahasa Urdu, Jawab-i Syikwah (Jawaban kepada keluhan). Dalam syair tahun 1912, ini Allah berfirman kepada kaum Muslim, yang terhadap Syikwah (keluhan)-nya memberikan jawaban yang panjang dan tegas yang diakhiri dengan perintah :
Berimanlah kepada Muhammad, maka Kami pun milikmu,
Bukan saja dunia ini, tetapi pun lembaran dan Pena milikmu!
Beberapa tahun setelah menulis baris-baris ini, Iqbal meneruskan pemikiran ini di dalam Asrar-i Khudi-nya. Di sini dia tidak lagi mengajarkan seperti kebanyakan penyair sufi sebelumnya, penenggelaman diri manusia di dalam samudra Zat Ilahi, yang di sana dia akan lenyak bagaikan setetes air hujan, namun penguatan personalitas (atau individualitas) manusia, yang tumbuh semakin dekat dengan Allah, yang akhirnya mencapai suatu pertemuan langsung dengan Allah. Diri Maha Agung. Diri manusia, meskipun demikian, dapat diperkuat hanya oleh cinta, dan cinta ini berkaitan erat sekali dengan Muhammad. Karena itu, Iqbal berpaling gkepada Nabi :
Kekasih tersembunyi di dalam hatiku .....
Di dalam hati Muslim ada rumah Muhammad,
Segenap kemuliaan kami, dari nama Muhammad.
Kekuatan nama Muhammad yang dapat memberikan berkah ini, yang seperti telah terlihat merupakan suatu topik tradisional bagi literatur Islami, telah disebut-sebut di dalam akhir Jawab-i Syikwah, ketika Iqbal mendengar perintah Allah :
Tinggikanlah segala yang rendah dengan kekuatan cinta,
Terangilah dunia dengan nama Muhammad!
Dalam penggambaran yagn ebrgelora tentang Nabi di dalam bab ketiga Asrar-i Khudi, Iqbal bahkan melangkah lebih jauh.
Keabadian kurang dari satu saat dalam masanya,
Keabadian semakin abadi karena zatnya.
Dia tidur di atas selembar tikar dari rumput purun,
Namun mahkita Khosroe di bawah kaki umatnya.
Dalam baris-baris ini, Iqbal mengikuti banyak penyair na’t dan terutama, tampaknya, Naziri, mengajarkan kemiskinan dengan kekuatan, suatu kontras yang melayaninya berkali-kali dalam mengkarakteristikan akhlak komprehensif Nabi. Kami mendapatinya di dalam baris sajak, yang ditulis duapuluh tahun kemudian :
Kemiskinan dan kerajaan adalah ilham-ilham Mushthafa;
Keduanya perwujudan zat Mushthafa.
Ini adalah sebuah gambaran tentang salah satu hadis yang disukai di dalam tradisi sufi : “Kemiskinan adalah kebangganku.” Namun, kemiskinan bukanlah tidak mempunyai apa-apa, atau lebih kurang lagi yang dibutuhkan oleh pengemis; tetapi adalah keadaan seseorang yang benar-beanr bersandar kepada Allah. Yang Mahakaya (Al-Ghaniy), karena itu tidak memerlukan sebab-sebab sekunder lagi. Dalam kualitas lipat dua ini, sebagai “miskin” dan “kuasa”, Nabi menjadi tempat pengejawantahan keindahan (Jamal) dan keagungan (Jalal)-Nya, dua sifat komplementer Allah itu yang pengaruh-mempengaruhinya saja dapat membuat mengalisrnya kehidupan makhluk-makhluk. Dan perpaduan kedua aspek ini membuat Muhammad seorang Nabi yang ideal yang (seperti tersirat dalam penggambaran ini) melampaui baik kelembutan ‘Isa atau pun ketegaran Musa dalam hukum, yang demikian memberikan keteladanan bagi kebanyakan manusia sempurna.
Di medan perang, bisa meleleh di hadapan cahaya pedangnya;
Dalam berdoa, air mata menetes dari matanya bagai tetes-tetes hujan.
Keagungan Nabi ini mengilhami puisi Iqbal di sepanjang hidupnya. Dalam tahun-tahun terakhirnya dia kembali ke amsal mistikal lama untuk mengungkapkan misteri personalitas Nabi ini :
Dialah makna Jibril dan Al-Qur’an.
Dialah penjaga kearifan Allah.
Kearifannya lebih tinggi daripada nalar .......
Pandangan-pandangan Iqval yang lebih praktis tentang profetologi – yang masih membawa aroma mistikal yang kuat – terhampar di hdapan pembaca dengan sangat jelas dalam Rumuz-i Bekhudi, syair yagn di dalamnya dia membahas ideal-ideal sosial dan politiknya. Di sini Muhammad disamakan dengan, dalam metafor klasikal cahaya, “doan di dalam kegelapan makhluk , lampu yang sudah ada ketika Adam masih berada di antara air dan lempung.”
Penafsiran Iqbal yang benar-benar mistikal tentang esensi Nabi telah diungkapkan dengan sangat mengesankan di dalam Javidnama. Di sini penyait ini meletakkan sebuah himne untuk menghormati Nabi di mulut sufi martir Al-Hallaj, yang, lebih seribu tahun sebelumnya telah menggubah penggambaran agung gpertama tentang Nabi yang primordial itu, sumber cahaya dan kearifan. Dalam syair ini Iqbal mengambil lagi gagasan klasik bahwa ‘abduhu (hamba-Nya) adalah derajat tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia, sebab selama mi’raj-nya Nabi diberi nama kehormatan ini (surah 17-1). Lagi pula, surah 53:10, yang seperti terlihat sebelumnya sering ditafsirkan sebagai berkenaan dengan mi’raj, menyatakan bahwa “Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa yagn diwahyukan-Nya.” Di dalam lingkungan Yupiter di dalam Javidnama, Hallaj ditanya tentang misteri-misteri Nabi dan menjawab dalam suatu syair yang panjang :
“Hamba-Nya” lebih tinggi daripada pemahamanmu,
Sebab ia itu manusia, sekaligus zat.
Zatnya bukan Arab, bukan Persia,
Dia manusia sebelum Adam.
“Hamba-Nya” penulis nasib,
Di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan.
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras.
“Hamba-Nya” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya” sesuatu yang lain lagi ---
Kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan.
Hamba-Nya” tak berawal tak berakhir,
“Hamba-Nya” – di mana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahurahasia-rahasia “Hamba-Nya” ---
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah.”
Baris terakhir di sini, sekali lagi, mengambil gagasan bahwa Nabi, sebagai hamba paling sempurna Allah, merupakan pengejawantahan aktivitas Allah, dan satu-satunya jalan untuk mendapatkan rahasia penegetahuan iman : “Tak ada Tuhan kecuali Allah.”
Dalam pemikiran Iqbal, peran Muhammad sebagai “Hamba-Nya” ini memiliki arti khusus, sebab manusia idealnya, mard-i momin, benar-benar berbeda dengan Manusia Supernya Nietzsche, yagn dengannya dia kadang-kadang tercampuradukan. Yang terakhir muncul “ketika Tuhan meninggal”, namun mard-i momin, yang berlomba dengan keteladanan Muhammad, adalah hamba paling sempurna Allah dan dapat mencapai kedekatan sedemikian yang mungkin dengan Allah dengan mengemban peran itu. Ini pada dasarnya adalah konsep tarikat-tarikat sufi “bersahaja” tentang qurb al-fara-id.” Kededakatan dengan Allah yang disebabkan oleh mengikuti dengan sungguh-sungguh keteladanan Nabi” dan melaksanakan keajiban di dunia ini.
Bagi Iqbal, Nabi jauh lebih daripada satu figur mistikal yang bercahaya yang menjadi perantara keimanan sejati kepada “segenggam debu ini” yaitu manusia; dia bahkan lebih daripada “hamba Allah” yang berada di luar ruang dan aktu namun tidak pernah ddidesa-dewakan. Dia juga adalah pemimpin umatnya, “model yang bai” bukan saja begi perilaku pribadi tetapi juga perilaku sosial dan politik, dia “yang membuka pintu dunia ini dengan kunci agama”.
Baris-baris sajak seperti itu harus dibaca – sering terjadi, misalnya, dalam Asrar-i Khudi dan bahkan lagi dalam Rumuz-i Bekhudi – berdasarkan korespondensi yagn dilakukan oleh Iqbal jauh kemudian pada 1938 dengan Sayyid Sulaiman Nadwi. Dia telah bertanya kepada sahabatnya tentang problim ijtihad-i nabawi, yaitu kapasitas dan kekuasaan Nabi untuk memutuskan secara mandiri problim-problim juridikal dan lainnya yagn tidak dibahas di dalam Al-Qur’an. Sayyid Sulaiman Nadwi menjawab bahwa “kecerdasan kenabian lebih tinggi daripada kecerdasan manusisa yang wajar” dan bahwa Nabi dibimbing dalam segala keputusannya tentang jalan yang sungguh-sungguh beanr. Sesungguhnya kapasitas ini sendiri yang membuatnya menjadi pemimpin umat yagn dipandu oleh Allah.
Peran politik dan sosail Nabi ini menajdi sering lebih sentral bagi Iqbal dariapda segi-segi mistikalnya;d an di sini dia menggantikan kaum modernis. Dia berbicara dengan sangat ebrani dalam syairnya, Nubuwwah (Kenabian), yang ditulis belakangan dalam hidupnya, ketika dia menyatakan bahwa meskipun dia tidak dapat membahas zat nubuwwah seperti dilakukan oleh para teolog dan sufi,
Kenabian seperti itu adalah hasis bagi Muslim
Yagn di dalamnya ta ada risalah kekuatan dan energi
Filosof penyait itu tidak pernha jemu-jemunya membandingkan nabi yang bekerja di dunia ini dengan sufi yang seperti dikatakannya di dalam Javidnama, digoda oleh setan untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada suatu kehidupan terpencil asketisme dan mengkliam bahwa hanya dengan berada di dalam alam lain seperti itu dia dapat mencapai tujuannya. Pada permulaan wacana kelima di dalam Reconstruction of Religious Though in Islam-nya, Iqbal menyatakan problem ini dengan jelas sekali ketika menafsikan pengalaman Mi’raj :
“Muhammad dari Arabia naik ke langit tertinggi dan kembali. Demi Allah aku bersumpah bahwa jika aku telah mencapai titik itu, tentu aku takkan pernah kembali.” Ini adalah kata-kata seorang wali Muslim besar, “Abdul Quddus dari Gongah. Dalam seleuruh literatur sufi, barangkali akan sulit untuk mendapatkan kata-kata yang, dalam satu kalimat, mengungkapkan persepsi yang tajam seperti itu tentang perbedaan psikologika antara kesadaran kenabian dan kesadaran kesufian. Sufi tak mau kembali dari “pengalaman menyatu” itu, dan malah bila dia kembali, kembalinya tidak banyak artinya bagi manusia pada umumnya. Kembalinya Nabi adalah kreatif. Dia kembali untuk menempatkan dirinya ke dalam lingkungan waktu dengan tujuan mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah, dan dengan demikian untuk menciptakan suatu dunia ideal yang segar. Bagi sufi, ketenangan “pengalaman bersatu” merupakan sesuatu yang final’ bagi Nabi, itu adalah kebangkitan, di dalam dirinya kekutan-kekutan psikologik yang mengguncangkan dunia, yang diperhitungkan untuk sepenuhnya mengubah dunia manusia. Keinginan untuk menjadikan pengalaman religiuasnya sesuatu kekutan dunia yang hidup sangat besar di dalam diri Nabi. Dengan demikian kembalinya Nabi sama dengan sejenis pengujian pragmatik atas pengalaman religiusnya.
Tentu saja pengalaman menyat seperti itu selama mi’raj dapat dicapai hanya oleh mereka yang memiliki “ambisi yang tinggi” (Himmah). Namun bagi mereka hal itu hanyalah sesaat :
Bagi ambisi tinggi, itu hanyalah satu tahap manuju Tahta
Bagi Iqbal, seperti juga bagi para teolog pembaru Indo-Muslim lainnya, cara penggambaran tentang Nabi Islam di dalam buku-buku Eropa beanr-beanr menjijikan. Di antara biografi-biografi yagn ada padanya yagn dia pilih untuk penyerangan khusus, yaitu biografi Aloys Sprenger, orientalis Austria yang telah bekerja selama bertahun-tahun di India dan, secara keseluruhan, lebih bersimpati terhadap Islam dan khususnya terhadap kebangkitan Islam di India, dibanding dengan kebanyak orang Eropa lainnya. Tetapi Sprenger telah mengklaim bahwa Nabi adalah seorang psikopat, dan kata-kata ini memicu Iqbal untuk memberikan jawaban yang menggigit dalam salah satu esainya di dalam Reconstrution of Religious Thought in Islam :
Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yagn sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah meng-Ilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yagn memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh Nabi Islam, ketegangan spiritual dan perilaku yang muncul darinya tak dapat ddipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungiin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi objektif yang melahirkan antusiaisme-antusiaisme baru tatanan- tatanan batu, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.
Iqbal meliaht bahwa kekhsan sejati risalah kenabian terkandung dalam kemampuan untuk membebaskan manusia dari pelbagai pandangan dunia tradisional, untuk menuntun mereka dari Volksreligion ke Weltreligion, dan “untuk menentang, dengan konsistensi yang bersemangat, ajaran-ajaran dalam filsafat hidup Arab itu” (seperti ditulis oleh Goldziher) yagn ada di dalam struktur-struktur lama keluarga dan klan. Dengan menghancurkan semua itu, Nabi dapat membentuk suatu masyarakat spiritual yagn tak lagi didasarkan apda darah, ras, atau bangsa. Penyair filosof ini mengungkapkan gagasan ini dalam bab yang menarik di dalam Javidnama, yagn di dalamnya dia membuat pembaca mendengarkan keluhan Abu Jahal, salah seorang musuh tersengit Nabi di antara para aristokrat Makkah. Para wakil ideal pra-Islam dalam perilaku ini, mengutuk aktivitas-aktivitas revolusioner Muhammad yang menentang semua yagn sudah diterima oleh masyarakat Badui dan Makkah :
Sungguh sakit sekali hati kami ini oleh Muhammad!
Ajarannya telah memadamkan cahaya-cahaya Ka’bah!
Agamanya menghapus perbedaan-perbedaan ras dan darah –
Padahal dia sendiri dari Quraisy, dia mengingkari superioritas Arab
Dalam agamanya, yang tinggi dan rendah satu,
Dia makan dari piring yagn sama dengan budaknya!
Dan setelah meneguraikan sejumlah “kajahatan” lain Nabi, kepala suku Makkah lama aitu menutup khutbahnya yagn panjang lagi puitikal dengan kutukan terhadap Muhammad. Iqbal tentu saja benar dalam menyoroti segi-segi supernasional Nabi;  tetapi dia sendiri, seperti banyak penyair lain India Muslim, juga menekankan karakter “Arab”-nya Nabi dan akar-akar Arab Islam.
Pada umunya, penggambaran negatif Abu Jahal sesuai benar dengan sikap umum Iqbal. Seperti kebanyakan modernis, dia menekankan ajaran-ajaran Islam yang antiras dan “demokratik”, khususnya ketika mengkontraskannya dengan sistem kasta Hindu. Pada 1910, dia meanfsirkan makna hijrah Muhammad dari Makkah ke Madinah dalam arti baru dan dalam kerangka politik. Kaum sufi seperti Maulana Rumi telah lama menggunakan kejadian yang sama itu sebagai paradigma bagi hajinyamanusia dari dunia ini ke alam-alam spiritual. Tetapi Iqbal mencatat di dalam buku hariannya kata-kata menarik ini :
Islam tampil sebagai rpotes terhadap keberhalaan. Dan apakah patriotisme tak lain adalah bentuk tinggi keberhalaan; pendewaan terhadap objek material? .... Dan apa yagn dihancurkan oleh Islam tak dapat dijadikan prinsip itu sendiri dari strukturnya sebagai suatu masyarakat politik. Kenyataan bahwa Nabi sejahtera dan wafat di suatu tempat yagn bukan tempat kelahirannya barangkali merupakan suatu isyarat sufi ke effek yang sama.
Pemilihan hijrah sebagai permulaan penaggalan Muslim, bagi Iqbal, bernar-benar bermakna : seandainya orang-orang Makkah segera menerima risalah Muhammad, jalannya sejarah tetnu akan berbeda; dengan memutuskan ikatan-ikatan kekeluargaan dan klan, Nabi ingin memberikan contoh kepada generasi-generasi mendatang. Itulah sebabnya Iqbal menulis (pada waktu yang sama dia mencatat pemikiran-pemikiran yagn serupa dalam proses berbahasa Ingris seperti Stray Reflections) sebuah syair Urdu, Wathaniyya (Patriotisme), dia berkata :
Meninggalkan tanah tumpah darah, sunnah kekasih Allah!
Tumbuhnya ketegangan-ketegangan kebangsaan yagn disaksikannya sebagai pelajar di Ingris dan Jerman dari 1905 sampai 1908, dan menjadi faktor membahayakan seperti itu dalam politik Timur Jauh setelah Perang Dunia Pertama, telah memacu Iqbal agak awal untuk mengembangkan sikap yang bertentangan dengan nasionalisme politik yagn sempit :
Tanah tumpah darah (wathan) adalah sesuatu yagn berbeda dalam ajaran-ajaran Nabi yagn lurus,
Tanah tumpah darah adalah sesuatu yagn berlainan dalam kata-kata politikus.
KARENA ITU DIA TIDAK PERNAH BERHENTI MENGULANG-ULANG BAHWA Islam bertentangan dengan rasisme, sungguh, “mukjizat terbesar Nabi adalah membentuk suatu bangsa (yang tersatukan seara spiritual “. Dapat dilihat dalam kata-kata ini sebuah gema pernyataan Sir Sayyid bahwa mukjizat terbesar Islam adalah membentuk suatu umat beriman dari kelompok-kelompok badui  yang suka amenjarah, segenap argumen Rumuz-i Bekehudi didasarkan pada daya Nabi dalam membangun bangsa, dan dua dasawarsa setelah menerbitkan syair didaktik itu, Iqbal masih tergerak untuk mengulang tekanannya :
Nabi dapat melakukan mukjizat memperbaiki dengan katanya Qum. “Bangkitlah”.
Dengan membangkitkan seruan “Allah Mahabesar (daripada apapun)” di dalam hati sebuah bangsa.
Keyakinan ini membuatnya peraya bahwa menusisa dapat memulia suatu hidup yang sepenuhnya baru. Jika dia hanya mau berpaling kembali kepada risalah Nabi yang bersahaja dan praktis. Bepegang pada wahyu-wahyu yagn dibawa oleh seorang Rasul Allah, yang akan menciptakan perasaan solidaritas yang sangat besar dalam sekelompok individu, suatu perasaan yang kemudian akan memacu kelompok itu ke puncak-puncak aktivitas yang tak pernah terbayangkan. Argumen Iqbal di sini mengingatkan akan ajaran-ajaran filosof sejarah Afrika Utara zaman pertengahan, Ibn Khaldun, yang baginya konsep ‘ashabiyyah, “esprit de corp, soldiaritas,” membentuk poros filsafatnya; dia juga percaya bahwa esprit de corps ini sangat kuat dalam suatu kelompok ayng digerakkan oleh semangat religius yang meneyala-nyala.
Menurut Iqbal, Muhammad tidak saja memberikan contoh sebuah jalan yang harus dan dapat dibangun oleh masyarakat beriman yang supernasional seperti itu; tapi pada saat yang sama, dia adalah simbol kesatuan masyarakat itu yang tak tergoyahkan. Di dalam Asrar-i Khudi penyair ini mengatakan, dalam madah agung-nya tentang Nabi :
Kami bagaikan bunga mawar yang banyak daunnya, namun keharumannya satu :
Dialah ruh masyarakat, dan dia satu.
Nabi adalah “jantung dalam segenggam debu,” yang dirinya manusia menujunya. Yaitu, dia adalah kekuatan pemberi kehidupan yang mengubah manusia menjadi suatu oranisasi. Karena itu, segenap manifestasi gerakan-gerakan kebangsaan yagn didasarkan pada politik, bagi Iqbal tidak lain adalah berhala-berhala baru, dan nasionalisme adalah cap baru penyembahan terhadap baal. Bangsa Muslim ideal, dengan demikian, takkan tunduk kepada godaan Baal dan berhala-berhala itu, seperti digambarkan di dalam Javidnama, namun akan tetap hidup oleh jantungnya, yaitu Nabi.
Dari sudut pandang ini Iqbal mengarahkan kritik kerasnya terhadap berbagai gerakan kebangsaan di Timur Tengah, di antaranya Iran di bawah Reza Shah Pahlavi dan Turki di bawah Mustafa Kemal Ataturk (walaupun dia telah memuji Ataturk setelah kemenangannya atas Yunani pada 1922). Pada 1920-an dan awal 1930-an, Afghanistan, baginya, tampaknya merupakan satu-satunya negeri yagn di dalamnya ajaran-ajaran Nabi dijaga secara murni; itulah sebabnya negara ini secara khusus ddisebut dalam “Nasihat Iblis kepada anak-anak Politiknya” di dalam Zarb-i Kalim, sebuah syair yang di dalamnya Iqbal bertanya kepada Ruh Muhammad di mana orang-orang Muslimnya pergi, dan di mana pengendara-penegendara unta, yang memimpin kafilah dengan nyanyiannya, pergi.
Javidnama mengandung di dalam lingkungan Mercusuarius sebuah pembahasan panjang tentang konsep kebangsaan seperti yang dikonespsikan oleh Nabi; dan pada akhir hidupnya, Iqbal menulis, dalam gaya yang lebih prosaik :
Adalah kebesaran khas Nabi Suci sajalah bahwa perbedaan-perbedaan dan kompleks-kompleks superioritas bangsa-bangsa di dunia yang diciptakan oleh diri itu hancur, dan kemudian muncul suatu masyarakat yagn dapat dicoraki ummatan muslimatun laka (“sebagai umat Muslim bagimu”, surah 2:122), dan yang kepada pemikirannya ketentuan Ilahi syuhada ‘ala al-nas (“saksi bagi manusia”, ssurah 22:78) benar-benar berlaku.
Masyarakat yang ideal, millat, yang diimpi-impikan oleh Iqbal  harus menjadi realisasi tauhid yang komprehensif, pengakuan akan Keesaan Allah yang telah disampaikan oleh Nabi dalam masa hidupnya, dan masyarakat ini untuk mengikuti Nabi, yagn telah membentuk dan merealisasikan dengan keteladanannya tentang ideal-ideal persaudaraan, persamaan dan kemerdekaan universal. Karena itu Iqbal berkata di dalam Rumuz-i Bekhudi :
Dari kenabian, fondasi kami di dunia
Dari Kenabian, agama kami punya ritual-ritualnya,
Dari Kenabian, beratus-ratus ribu kita satu,
Bagian dari bagian tak dapat dipisahkan.
Dari Kenabian, kita semua punya melodi yagn sama,
Napas yang sama, tujuan yang sama.
Faktor yang sangat penting yang dapat menyumbang bagi pembentukan ideal-ideal ini adalah cinta yang menyala-nyala kepada Nabi, yang akan memampukan baik individu maupun masyarakat itu untuk hidup dalam keselarasan, menurut keperluan-keperluan cinta kepada Allah. Iqbal mengatakan bahwa cinta yang dinamik, pusat teologi puisinya, adalah “Mushthafa”; akal analitikal dapat disamakan dengan musuh utama Nabi, yaitu Abu Lahab. (Kecenderungan kaum sufi zaman pertengahan untuk mengkontraskan Muhammad, wujud cinta, dengan filosof, segera muncul di dalam benak).
Iqbal juga mengembangkan satu gagasan yang lain yang penting : karena Muhammad adalah pemimpin dan penyempurnaan sedemikian sederetan panjagn rasul-rasul utusan Allah, maka bangsa yang diciptakan olehnya juga tentu pemimpin bangsa-bangsa dan contoh final, dan karenannya paling sempurna, suatu masyarakat yang hanya didasarkan pada Allah.
Dialah Penutup para Nabi, kita penutup para bangsa!.
Dan karena Nabi diutus sebagai rahmatan li al-‘alamin (sebagai rahmat bagi alam semesta), maka orang-orang Muslimnya juga tentulah perwujudan rahmat bagi masyarakat dunia. Iqbal bahkan melangkah lebih jauh lagi dalam menganalogikan antara Nabi dan umatnya. Bahwa Allah menyebut Nabi dengan kata Laulaka yang mengandung arti bahwa setiap orang beriman yang berupaya ameniru keteladanan Nabi juga berpartisipasi di dunia ini. Dunia telah diciptakan demi dia dan dia harus bertindak di dalamnya; dan jika ini berlaku bagi individu Muslim, itu juga berlaku bagi masyarakat beriman yagn ideal, yang, menggantikan Nabi, diharapkan menguasai dunia yagn tinggi itu.
Peranan pemimpin ini niscaya mengandung kekuatan ; di sini juga individu Muslim dan amsyarakat itu harus merealisasikan di dalam diri mereka kekuatan Nabi, sebanyak seperti mereka mengupayakan kemiskinannya, yang bersandar pada kekayaan mutlak Allah. Namun Iqbal tentu saja menyadari bahaya-bahaya yang akan menetang realisasi ideal Kenabian ini, dan tahu persis bahwa impiannya tentang kembali ke Zaman Keemasan empat khalifah pertama tak dapat benar-benar terwujudkan; sebab dia melihat dengan jelas bahwa masyarakat Muslim di masanya juga ingin sekali melupakan “kemiskinan” Nabi dan mengacaukan “kekuatan” dengan keberuntungan-keberuntungan duniawi.
Penafsiran Iqbal tentang Nabi dalam bidang mistikal, religius, dan politik pada umumhya sama dengan penafsiran penyair-penyair mistikal sebelum dia di satu pihak, dan pembaru-pembaru modernis di lain pihak. Tetapi caranya memadukan dua segi utama dari tradisi itu hampir tanpa keliman membuat karyanya menarik. Di samping itu, filosof penyair ini juga memiliki seumbangan-sumbangan spesifik untuk diberikan kepada bidang profetologi, terutama dalam penafsirannya tentang doktrin finalitas kenabian Muhammad. Sebab Al-Qur’an mengatakan (surah 5 : 5) bahwa “Hari ini telah Kami sempurnakan bagimu agamamu,” selalu diterima bahwa wahyu itu bernar-benar berakhir dengan Muhammad, Penutup para Nabi. Iqbal sendiri mengungkapkan keyakinan ini secara puitikal di dalam Rumuz-i Bekhudi :
Kini Allah telah melengkapkan bagi kita hukum Allah ini,
Dan telah melengkapkan kenabian bagi Nabi kita.
Kini jabatan pembawa piala dilimpahkan kepada kita :
Dia beri kita piala terakhir yagn ada pada-Nya.
Tetapi apa arti finalitas kenabian bagi Iqbal? Tidak akankah seorang nabi baru diperlukan untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa zaman kita? Jawaban Iqbal untuk pertanyaan retorikal ini sangat menggelitik pikiran :
Nabi Islam tampaknya berada di antara dunia dulu dan dunia modern. Sejauh menyangkut sumber wahyunya, dia milik dunia djulu; sejauh menyangkut jiwa wahyunya, dia milik dunia  modern. Pada dirinya kehidupan menemukan sumber-sumber lain pengetahuan, yang selaras dengan arah barunya. Kelahiran Islam ..... adalah kelahiran akal induktif. Di dalam Islam, kenabian mencapai kesempurnaannya dalam menemukan kebutuhan untuk menghapus kenabian itu sendiri. Ini melibatkan persepsi yagn tajam bahwa kehidupan tak dapat untuk selamanya dipandang sebagai tak mandiri, yaitu bahwa untuk mencapai kesadaran diri penuh manusia akhirnya harus dikembalikan ke sumber-sumbernya sendiri.
Al-Qur’an telah membuka bagi manusia bidang pengetahuan ilmiah yang tak ada ujungnya dan metode-metode,  sebab ia mengajarkan pentingnya pengamatan seksama ata fenomena alam dan kejiwaan; tegurannya agar mengamati tanda-tanda Allah “di ufuk-ufuk dan di dalam diri mereka sendiri.” (surah 41 : 53), hadir sebagai permulaan penelitian ilmiah sejati, seperti disimpulkannya dari sebuah hadis yang mengatakan tentang perhatian Muhammad untuk mengamati seorang anak laki-laki Yahudi yang menderita kelainan mental. Kehausan akan pengetahuan inilah yang membawa Nabi untuk menggalakkan studi-studi dan penelitian-penelitian. Penafsiran tentang sikap Nabi diberikan pada permulaan dari karyanya, Reconstruction of Religious Thought in Islam :
Pencarian akan fondasi-fondasi rasional di dalam Islam kiranya dipandang sebagai dimulai dengan Nabi sendiri. Dia terus menerus berdoa : “Ya Allah, anugerahilah daku pengetahuan tentang akhlak puncak segala sesuatu!”
Dalam bahasa puitikal Iqbal telah mengungkapkan keyakinan yagn sama ini beberapa tahun sebelumnya dalam syair persembahan Payam-i Masyriq :
Meski dia telah melihat Zat dari Zat tanpa tabir,
Kata-kata “Duhai Tuhan, perbanyaklah pada daku pengetahuan!”
.... senantiasa datang dari bibirnya.
Baris dajak ini ditulis untuk mengobarkan minat Amanullah, waktu itu raja Afghanistan, pada peneltian dan aktivitas-aktivitas ilmiah. Tanggapan Iqbal terhadap problem pendidikan jauh lebih menarik perhatian bila diingat bahwa sikap tradisional banyak mullah di kebanyakan negeri Muslim, yang menetang sekali pengetahuan “duniawi” dan yang tidak melihat apa-apa selain penyusupan-penyusupan setani dalam mengenal metode-metode ilmiah Barat. Namun Iqbal, mengikuti kaum modernis sebelumnya, berupaya membuktikan bahwa ilmu pengetahuan telah dibawa ke Eropa selama Zaman-zaman pertengahan oleh para filosof, dokter, dan ahli astronomi Muslim; di Eropa, ilmu pengetahuan itu dikembangkan hingga sampai ke standarnya yang  sekarang; dan karena ilmu pengetahuan adalah pusaka absah orang-orang Muslim, ia harus dipungut kembali tanpa sungkan-sungkan demi kemanfaatan umat.
Finalitas jabatan kenabian Muhammad, bagi Iqbal, berarti skali pun pembuka jalan-jalan baru dalam penelitian ilmiah dan pandangan-dunia ilmiah. Karena ini, salah seorang penafsir Iqbal yagn lebih radikal, ‘Inayatullah Masyriqi, pendiri faksi militan Islam Khaksar di Tapal Batas Barat Laut, sampai-sampai mengatakan bahwa para ilmuwan modern adalah para pengganti sejati Nabi. Agak kemudian, seorang penafsir lain pemikiran Iqbal, Ghulam Parvez, mengklaim bahwa hanya pintu nubuwwah, segi “personal” karya Muhammad, yang tertutup, sedangkan risalah (Ideologi) terpulang kepada orang-orang Muslim untuk mengamalkan dan mengelaborasinya. Dengan demikian, penafsiran luar biasa Iqbal tentang finalitas Kenabian membawa ke kesimpulan-kesimpulan yang tak terbayangkan di dalam kalangan-kalangan progresif tertnetu. Sebagian kaum kiri di India telah menarik kesimpulan-kesimpulan yang bahkan lebih jauh lagi dari paragraf yang dikutip di atas, yang telah disalahpahami sebagai memaafkan pendekatan yang semata-mata ilmiah terhasdap kehidupan ranpa amemerlukan bimbingan kenabian apa pun --- yang berarti, bagi penulis-penulis seperti itu, memasukkan suatu pandangan dunia ilmiah Marxis. Iqbal tentu saja akan merasa ngeri oleh penafsiran ateistik seperti itu atas kata-katanya,s ebab dia telah mendefinisikan pandangannya berkenaan dengan ffinalitas risalah Muhammad dalam pasase lain dengan sangat jelas.
Tak ada penyerahan spiritual (yang mungkin) terhadap manusia setelah Muhammad, yagn telah membebaskan pengikut-pengikutnya dengan memberi mereka suatu hukum yagn dapat dilaksanakan, yang terbit dari jantung suara hati manusia itu sendiri.s ecara teologik doktrin itu adalah bahwa organisasi sosio politik yagn disebut Islam adalah sempurna dan abadadi. Tak ada wahyu yagn menyangkalnya yang mengakibatkan bid’ah, yang mungkin setelah Muhammad.
Kata-kata ini ditujukan untuk menentang gerakan modernis Qadiani, yagn muncul pada akhir abad ke 19 di Punjab dan yagn pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, telah mengucapkan kata-kata tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai mengklaim sebagai nabi atau, barangkali, mesiah, Iqbal berjuang melawan gerakan ini dengan segenap kekuatannya, sebab dan percaya bahwa menerima finalitas risalah Muhammad.
Adalah beanr-beanr faktor yagn dengan tepat menarik garis batas antara Muslim dan non-Muslim dan memampukan untuk menentukan apakah individu ata kelompok tertentu adalah bagian dari umat ini atau bukan . . . . . Menurut kepercayaan Kami, Islam sebagai suatu agama diwahyukan oleh Allah, namun keberadaan Islam sebagai suatu masyarakat bergantung sepenuhnya pada personalitas Nabi Suci.
Ini barangkali adalah definisi paling kategorikal tentang peran politik Nabi di dalam karya Iqbal. Ketaksukaan Iqbal terhadap orang-orang Qadiani dan Ahmadiyah (sebagaimana kelompok yang lebih liberal itu disebut, yagn pecah pada 1914) juga diungkapkan dalam sebuah syair yang di dalamnya dia menyuarakan kemarahannya tentang mereka yang menolak konsep “perang suci” dan sebagai gantinya membahas problem-problem yang tidak bermanfaat berkenaan dengan Messiah dan Mahdi. Sebab dia benar-benar komited terhadap kepercayaan yang tak perlu dipertanyakan lagi bahwa
Bagi kami, cukup mushthafa!
Harus di tambahkan di sini, demi keadailan, bahwa bab yang berjudul “Muhammad, Teladan Terbaik” di dalam buku Islam oleh Sir Zafrullah Khan, seorang ahli hukum kenamaan dan anggota Ahmadiyah, ditulis dengan pengabdian sepenuh hati sedemikian, sehingga akan sulit untuk melihat kenapa itu tidak dapat diterima oleh Muslim ortodoks.
Bila diakui posisi senetral yagn diduduki oleh Nabi dalam pemikiran dan puisi Iqbal, banyak dari metafor-metafor, imaji-imaji, dan simbol-simbolnya sering berarti cinta kepada Nabi atau cinta yang diilhami olehnya sebab ia adalah perwujudan sejati Cinta Ilahi, seperti dilantunkan oleh Iqbal menyusul Rumi dan sufi-sufi lain : madah besar “Masjid Cordoba”, seperti banyak baris sajak lainnya dalam himpunan syair-syair Urdunya yagn sangat matang, Bal-i Jibril, berulangkali menyamakan “Cinta” dengan “Mushthafa”.
Begitu pula, penggambaran terus-menerus Iqbal tentang Arabia, Najd dan Hijaz, mendapatkan nilai sejatinya melalui penghormatannya yang mendapam terhadap ‘sahabat dari Arabia”, sebagaimana dia senang menyebut Nabi, mengikuti contoh banyak penyair India sebelum dia. Kunci bagi cara berpikir Iqbal dalam konteks ini adalah baris sajak final Tarana-i Milli-nya (Lagu Kebangsaan) yagn digubah pada tahun-tahun awal abad ini :
Pemimpin kafilah itu bagi kami adalah pangeran Hijaz,
Dengan namanya jiwa kami jadi damai!
Baris ini diikuti dengan kata-kata penyingkap :
Lagu Iqbal seakan-akan suara lonceng kafilah itu!
Kata-kata ini, yang memberi buku Urdu pertamanya dengan judul Bang-i  Dara (Panggilan Lonceng Kafilah), khususnya mengungkapkan hubungan dekat san penyair dengan Nabi; bertindak sebagai lonceng pada kaki unta Muhammad, dia mengadu --- dengan suaranya – orang-orang Muslim yagn khilaf kembali ke tampat suci di Makkah, dan menyeru mereka untuk kembali, di bahwah bimbingannya, ke jalan Nabi, mencampakkan jalan-jalan gmeerlap kehidupan Eropa maupun taman-taman bunga mawar nan harum dari impian-impian sufistik Persia.
Karya Iqbal mencakup interpretasi-interpretasi teologikal, mistikal, dan sosiologikal tentang Nabi. Namun menjelang akhir hayatnya, sekali lagi dia berpaling kepada Nabi sebagai sahabat yang setia, penuh kasih sayang dan menyenangkan dan berlantun dengan kata-kata sederhana, hampir seperti salah satu penyair rakyat di tanah tumpah darahnya, Punjab, tentang kerinduannya akan tempat terakhir peristirahatan Nabi :
Bak seekor burung yang, dalam malam gurun.
Membentangkan sayap-sayapnya kala berpikir tentang sarangnya.
Dan dalam sebuah gambaran tak terlupakan, Iqbal mengikhtisarkan apa yang telah dan masih dirasakan oleh berjuta-juta Muslim ssaleh selama berabad-abad tentang Nabi :
Cinta kepada Nabi mengalir bak darah di dalam urat-urat umatnya.

T A M A T
Rabu, 08 Juni 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar