Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Rabu, 19 Desember 2018

Perjanjian Hudaibiyah dalam Sirah Nabawiyyah




SIRAH  RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERJANJIAN HUDAIBIYAH
(Perang Hudaibiyah . Zulqa’dah 5 H/ Maret 628 M
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Tiba masanya kaum muslimin berpikir untuk mengunjungi Masjidil Haram dan melaksanakan umrah sebagai permulaan dari fase dakwah Islam. Namun, mereka tdiak ingin mengumumkan rencana memasuki Kota Makkah itu kepada seluruh Jazirah Arab, padahal Makkah adalah kota kelahiran mereka dahulu dan mereka telah diusir dari sana hingga hijrah ke Madinah. Di sisi lain, peperang pun terus berkecamuk antara kaum mukminin dengan kaum kafir Quraisy, tetapi belum membuahkan hasil apa-apa. Lantas, mengapa dalam kondisi seperti itu kaum mukminin tetap berniat melaksanakan umrah?
Dengan umrah, Rasulullah saw ingin menetapkan hak kaum muslim dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadah mereka serta memahamkan kaum musyrikin bahwa Masjidil Haram bukanlah milik atau monopoli satu kabilah saja. masjidil Haram adalah warisan leluhur mereka, Ibrahim al-Khalil a.s. dan mengunjungi Masjidil Haram itu adalah kewajiban bagi mereka yagn mendengar seruan apak Para Nabi sejak beberapa abad yagn silam.
Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah, ketika ami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apap pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang ruku’ dan sujud. Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yagn jauh.” (QS al-Hajj (22) : 26-27).
Dengan demikian para penduduk Makkah tidak boleh menghalangi kaum muslimin untuk melakukan ritual itu. Walaupun sebelumnmya kaum musyrikin bisa mengalahkan dan menekan kaum mukminin, tetapi setelah menghadapi peperangan yang bertubi-tubi dengan kaum mukminin, mereka tidak lagi akan berani mengulang kesalahan yang sama.

Allah Membuktikan Kebenaran Mimpi Rasul-Nya

Allah SWT berfirman, “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya,s edang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yagn tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.” (QS al-Fath (48) : 27).
Rasulullah bermimpi bahwa beliau memasuki Kota Makkah dan melakukan thawaf di Batullah. Ketika itu Rasulullah berada di Madinah dan menceritakan mimpi beliau itu kepada para sahabat.
Ketika mereka berangkat di tahun itu, seluruh sahabat tidak lagi meragukan bahwa mimpi beliau akan terwujud. Namun, ketika perjanjian Hudaibiyah dibuat yang mengharuskan kaum mukminin kembali pulang ke Madinah dan urung melaksanakan thawaf, beberapa sahabat ada yang merasa gamang. Mereka bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang masalah itu. Seseorang dari mereka berkata kepada Umar, “Bukankah kamu telah memberitahu kami bahwa kita akan berkunjung ke Baitullah dan thawaf di sana tahun ini?” Umar menjawab, “Ya, memang aku telah memberitahumu bahwa kamu akan mendatangi Baitullah tahun ini.” Orang itu berkata lagi, “Namun, nyatanya tidak demikian.” Lantas, Rasulullah saw bersabda, “Sekarang kamu  mendatanginya dan telah melaksanakan thawaf di dalamnya.”
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasulnya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram....” (QS al-Fath (48) : 27).

Waktu Perang Hudaibiyah

Perang Hudaibiyah terjadi pada tahun keenam Hijriah, yakni pada bulan Dzulqa’dah. Itulah pendapat yagn paling benar, yaitu pendapat az-Zuhri, Nafi’ mantan budak Umar, Qatadah, Musa bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq, dan sebagainya. Pendapat itu pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Diriwayatkanb dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, “Rasulullahs aw, telah melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang bersamaan dengan Haji Wada’. Umrah-umrah itu antara lain : umrah Perjanjian Hidaibiyah pada bulan Dzulqa’dah, umrah tahun depannya di bulan Dzulqa’dah, umrah dari daerah Ji’ranah di mana beliau membagikan harta rampasan Perang Hunain pada bulan Dzulqa’dah, dan umrah beliau pada waktu Haji Wada’ (HR Bukhari).

Jumlah Rombongan Kaum Muslimin

Ada tiga riwayat yang mengabarkan tentang jumlah kaum muslim yang turut dalam peristiwa Hudaibiyah itu. Satu riwayat menyatakan bahwa jumlah mereka adalah 1.300 orang. Adapula yang berkata bahwa jumlahnya adalah 1.400 orang dan ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa jumlahnya adalah 1.500 orang. Semua riwayat itu tertuang di dalam kitab hadits sahih. Berikut kami paparkan tiga riwayat ini, lalu kami tulis perbedaan pendapat para ulama di dalamnya dan cara mengombinasikan antara ketiga riwayat yang berbeda itu.
1. Pendapat yang menyatakan bahwa jumlah kaum muslimin adalah 1.300 orang.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa r.a. ia berkata, “Para pengikut peristiwa syajarah (pohon) atau peristiwa Perjanjian Hudaibiyah berjumlah 1.300 orang. Seeprdelapannya adalah kaum Muhajirin.” (HR Muslim).
2. Pendapat mengatakan bahwa jumlah mereka adalah 1.400 orang.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Pada hari Hudaibiyah Rasulullah saw bersabda kepada kami, “Kalian adalah penduduk bumi terbaik.” Ketika itu kami berjumlah 1.400 orang. Sekiranya aku hari ini bisa melihat, niscaya akan kutunjukkan kepada kalian letak pohon tersebut.” (HR Bukhari).
3. Pendapat yang menyatakan bahwa jumlahnya adalah 1.500 orang.
Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata, “Sekiranya jumlah kami 100.000 orang pun, niscaya air sumur itu mencukupi kami. Namun, jumlah kami ketika itu adalah 1.500 orang.” (HR Bukhari).
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Dengan menggabungkan ketiga pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa jumlah pasukan kaum muslimin ketika itu adalah lebih dari 1.400 orang. Pendapat itu didukung oleh riwayat yang ketiga dan al-Barra’ yang berbunyi 1.400 orang lebih.” Penggabungan itulah yagn dijadikan sandaran oleh an-Nawawi.
Adapun Baihaqi lebih memilih untuk men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat. Menurutnya, riwayat yang menyatakan jumlah kaum muslim 1.400 orang adalah pendapat yang paling benar.

Orang-Orang Munafik Enggan Turut dalam Perang Hudaibiyah

Orang-orang Arab Badui tersebar di sekitar yatsrib. Di antara mereka adalah oarng-orang munafik. Mereka mengetahui bahwa penduduk Makkah kelak akan memerangi Muhammad. Menurut mereka, jika Nabi saw memaksakan diri untuk mengunjungi Baitullah, maka orang-orang Quraisy tidak akan membiarkannya sampai beliau binasa. Dalam pandangan mereka, umrah tersebut merupakan umrah yang penuh resiko besar. Oleh karena itu menghindarinya adalah tindakan yagn lebih tepat.
Mereka merencanakan jika Rasulullah sukses menunaikan maksud dan tujuannya itu, meminta maaf kepada beliau karena tidak ikut  adalah tindakan yang mudah. Berkaitan dengan hal itu, Allah SWT berfirman, “Orang-orang  Badui yang tertinggal (tidak turut) ke Hudaibiyah)  akan berkata kepadamu, “Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnmya pa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Alalh jika Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yagn kamu kerjakan,” Bahkan (semula) kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin sekali-kali tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka selama-lamanya dan dijadikan terasa indah yang demikian itu di dalam hatimu, dan kamu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk, karena itu kamu menjadi kaum yagn binasa.” (QS al-Fath (48) : 11-12).
Al-Ghazali dalam Fiqhu as-Sirah menyebutkan bahwa kaum mukminin yang beriman keapda Rasulullah berangkat bersama beliau. Jumlah mereka mendekati 1.400 orang. Iktu terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam Hijriah. Mereka berjalan sambil bertalbiyah, menyusuri jalan menuju Baitullah. Ketika mereka tiba di Asfan, sekitar dua marhalah dari Makkah, datanglah berita kepada kaum muslimin bahwa kaum Quraisy telah berangkat darid aerahnya dan bertekad supaya kaum muslimin tidaka da yang menginjakkan kakinya di Makkah. Tentara mereka telah siap untuk bertempur. Pemimpin kaum Quraisy ketika peristiwa itu adalah Khalid bin Walid.

Nabi saw. Berihram dari Dzulhulaifah

Diriwayatkan dari Miswar bin Mukhramah dan Marwan bin al-Hakam r.a. keduanya berkisah, “Pada waktu Hudaibiyah Rasulullah saw berangkat bersama lebih dari seribu sahabatnya. Ketika mereka tiba di Dzulhulaifah, beliau menyiapkan hewan sembelihannya dan memberinya tanda. Lalu, beliau berihram untuk umrah. Setelah itu belkiau mengirimkan mata-mata dari kaum Khuza’ah (untuk mencari informasi tentang kaum Quraisy).” (HR Bukhari).

Kaum Muslim Bergerak ke Makkah

Mereka bergerak menuju arah Makkah. Setibanya di Dzulhulafah, Rasulullah saw segera menyiapkan hewan sembelihan dan memberinya tanda. Beliau lalu berihram untuk umrah agar orang-orang merasa  tenang dalam perang itu. Beleiau juga mengutus seorang mata-mata dari kaum Khuza’ah untuk mencari informasi tentang kaum Quraish. Ketika beliau mendekati wilayah Asfan, mata-mata itu pun datang seraya berkata, “Aku mendengar bahwa Ka’ab bin Lu’ay telah menghimpun pasukan yang akan menyerangmu dan menahanmu dari Baiktullah.” Kemudian Nabi saw meminta pertimbangan para sahabatnya. Beliau bersabda kepada mereka, “Bagaimana menurut kalian, kita akan mendatangi keluarga-keluarga mereka yang membantu orang-orang Qurasiy dan kita serang mereka? Jika mereka hanya diam maka mereka diam dalam keadaan gelisah dan bersedih hati. Jika mereka selamat maka itu menjadi takdir yagn ditetapkan Allah SWT untuk mereka. Ataukah kalian ingin kita terus melanjutkan perjalanan menuju Baitullah? Siapa yang menghalangi kita maka kita akan bunuh.”
Abu Bakr menjawab, “Alalh dan Rasul-Nya lebih tahu. Kami datang untuk berumrah, bukan untuk memerangi seorang pun. Akan tetapi, siapa yang menghalangi kita maka kita akan memeranginya.” Nabi saw pun bersabda, “Kalau begitu berangkatlah!” Akhirnya orang-orang pun berangkat, sebagaimana yagn diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Nasa’i.

Upaya Kaum Quraisy untuk Mencegah Kaum Muslimin

Setelah mendengar berita kedatangan Nabi saw dan kaum Muslimin ke Makkah, orang-orang Quraisy mengadakan rapat. Di dalam rapat itu diputuskan mereka akan menahan kaum muslimin dari Baitullah sebisa mungkin. Setelah Rasulullah saw mendengar berita tentang kesiapa pasukan Quraisy seorang mata-mata dari Bani Ka’ab pun menyampaikan berita bahwa kaum Quraisy telah sampai di Dzi Thuwa. Ada sekitar 200 orang penunggang kuda dipimpin oleh  Khalid bin Walid sedang bersiaga di Kira’alGhamim, tepatnya di jalur utama menuju Makkah. Khalid ingin menahan kaum muslimin. Ia menantikan pertemeuan dua pasukan. Khalid melihat kaum muslimin tengah melaksanakan shalat Zuhur, mereka sedang ruku’ dan sujud dengan khusyuk, ia berseru, “Mereka sedang lengah. Jika kita serang maka kita akan mengalahkan mereka.” Kemudian, ia memutuskan untuk menyerang kaum muslimin pada saat mereka melaksanakan shalat Ashar. Akan tetapi, Allah menurunkan isyarat shalat Khauf sehingga kesempatan Khalid pun hilang, seperti telah digambarkan dalam ar-Rahiq Al-Makhtum.

Unta Rasulullah Ditahan oleh Sang Penahan Gajah

Di antarahadits riwayat Marwan dan Miswar yang telah disebutkan adalah, “.... Kaum muslimin pun berangkat. Di tengah jalan Bai saw bersabda, “Khalid bin Walid sudah berada di al-Ghamim. Ia menunggang kuda sebagai pasukan pembuka jalan bagi kaum Quraisy maka ambillah jalur ke kanan! Demi Allah Khalid tidak mengetahui kedatangan kaum muslimin itu sampai ia merasakan debu-debu beterbangan karena derap langkah kaum muslimin.” Akhirnya, Khalid lari dan segera memberi tahu kaum Quraisy. Rasulullah pun melanjutkan perjalanannya. Ketika beliau tiba di Tsanyah, yaitu di jalur yang melewati Hubaibiyah, tiba-tiba unta beliau menelungkup. Orang-orang berseru, “Unta Rasulullah telah membangkang.” Orang-orang lalu menggebah unta itu agar bangkit. Namu, unta itu menolak berdiri. Nabi saw kemuddian bersabda, “Ia tidak membangkang dan bukan kebiasaannya melakukan ini, tetapi ia telah ditahan oleh Sang Penahan gajah (Allah SWT).” HR Bukhari).

Mengagungkan Kesucian Allah SWT

Lanjutan hadits Miswar dan Marwan itu adalah sebagai berikut, “ .... Nabi saw bersabda, “Ia tidak membangkang dan bukan kebiasaannya melakukan ini, tetapi ia telah ditahan oleh Sang Penahan Gajah.” Kemudian beliau bersabda, “Demi Dzat yagn jiwaku berada di tangan-Nya, kaum Quraisy tidak meminta suatu rencana untuk mengagungkan kesucian Allah, kecuali aku pun pasti akan menurutinya.” Kemudian, Rasulullah saw menggebah untanya dan ia pun bangkit lagi. Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hudaibiyah, di sebuah seumur yang airnya sedikit.”

Tak Seorang pun dari Kalian yang Melewati Celah ini, kecuali Dia akan Diampuni Dosanya

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khusri r.a., ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah. Ketika kami tiba di Asfan, Rasulullah saw bersabda kepada kami, “Mata-mata kaum musyrik sekarang sedang berada di Dhajnan. Siapa di antara kalian yang tahu jalan menuju Handhal?” di sore hari, Rasulullah saw bersabda. “Adakah seseorang yang turun dan mencari jalan di hadapan para penunggang kuda?” Seseorang berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Orang itu bergegas turun, bebatuan dan pepohonan berduri mengenai tubuhnya. Lalu, Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Naiklah!” Kemudian yang lain mencoba turun. Namun, ia tak luput dari bebatuan dan pepohonan yagn menyangkut di bajunya. “Naiklah.” Sabda Rasulullahs aw kepadanya.
Tibalah kami di sebuah jalan celah di antara perbukitan bernama handhal. Rasulullah lantas bersabda, “Celah tak ubahnya seperti pintu masuknya Bani Israil. Dahulu kepada mereka dikatakan, “MASUKILAH PINTU GERBANGNYA SAMBIL BERSUJUD DAN KATAKANLAH, “BEBASKANLAH KAMI DARI DOSA, NISCAYA KAMI AMPUNI KESALAHAN-KESALAHANMU MAKA TIDAKLAH SEORANG DARI KALIAN YANG MELEWATI CELAH INI, DI MALAM INI, KECUALI DOSANYA AKAN DIAMPUNI.”
Mendengar hal ini, orang-orang berhamburan dan bersegera melewai celah itu. Orang yang terakhir melewatinya adalah Qatadah bin Nu’man. Orang-orang saling berebut, hingga satu sama lain saling menginjak. Rasulullah saw lalu turun, kami pun ikut turun.” (HR al-Bazzar).

Mukjizat Nabi saw. Pada Perisitiwa Hudaibiyah

Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib r.a. ia berkata, “Kalian sedang mempersiapkan hari kemenangan, yaitu hari Penaklukkan Makkah karena Penaklukkan Makkah benar-benar merupakan kemenangan. Sementara kami puns edang mempersiapkan kemenangan yang lain, yaitu Baiat Ridwan pada hari Hudaibiyah. Ketika itu kami bersama Nabi saw dan jumlah kami sekitar 1.400 orang. Hudaibiyah adalah sebuah sumur maka kami minum airnya sehingga tak tersisa setetspun di dalamnya. Keadaan itu didengar oleh Nabi saw, maka beliau pun mendatangi sumur tersebut dan duduk di tepiannya. Kemudian, belkiau meminta dibawakan satu bejana air. Beliau berwudhu dan berkumur-kumur dengan air itu, lalu berdoa dan menuangkan air tersebut ke dalam sumur. Beliau pun meninggalkan sumur itu tak begitu jauh. Tiba-tiba sumur itu memancarkan air yang mencukupi kami dan hewan tunggangan kami.” (HR Bukhari).
Dalam satu riwayat, “ ..... kamudian Rasulullah mengambil jalur lain untu masuk ke Makkah. Beliau mengambil jalur yang melewati Hudaibiyah, lalu, singgah di pinggiran Hudaibiyah, di dekat sumur yang airnya sedikit. Orang-orang segera meminumnya hingga airnya habis. Mereka lalu melaporkan kondisi kehausan yang melanda rombongan kepada Rasulullah. maka Rasulullah saw mencabut anak panahnya, lalu menyuruh orang-orang untuk memasukkan anak panah itu ke dalam sumur. Demi Allah, air itu terus memancar sehingga mencukupi kebutuhan minum mereka. Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkan sumur itu.”
Diriwayatkan dari Jabir r.a. Ia berkata, “Orang-orang merasa kehausan pada hari Hudaibiyah. Di hadapan Rasulullah terdapat sebuah bejana berisi air. Beliau berwudhu dengan air itu. Orang-orang segera  berhamburan mendekati beliau. Rasulullah saw lantas bersabda kepada mereka, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak memiliki air untuk berwudhu dan kami juga tidak bisa minum, kecuali dari air yang ada di dalam bejanamu. Maka Nabi saw pun memasukkan tangannya ke dalam bejana. Tiba-tiba air memnacar dari antara jemari beliau seperti mata air. Kami pun minum dan berwudhu dengan air itu.” (HR Bukhari).
Dari Salamah bin al-Akwa’ r.a. ia bertutur, “Kami bersama Rasulullah saw dalam sebuah peperangan. Kami mengalami kesulitan perbekalan. Akhirnya kami pun berniat menyembelih beberapa ekor unta kami. Lalu, Nabi saw memerintahkan kami untuk mengumpulkan sisa perbekalan yang ada. Kemudian, kami bentangkan alas di atas tanah. Kami kumpulkan sisa perbekalan itu di atas alas tersebut. aku mencoba menaksir seberapa banyak perbekalan itu jadinya. Kupikir tumpukan berbekalan itu menjadi sebesar unta yang sedang menelengkup. Ketika itu kami berjumlah 1.400 orang. Maka kami pun makan dari perbekalan itu sampai kenyang , lalu kami isi kantong-kantong bekal kami dengan sisanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Badil bin Warga’ Menjadi Mediator Antara Nabi saw. Dan Kaum Quraisy

Diriwayatkan dari Marwan dan Miswar r.a. keduanya bertutur, “ ..... Ketika Nabi saw telah kembali ke penginapannya, beliau didatangi oleh delegasi dari Khusza’ah di bawah pimpinan Badil bin Warqa’ al-Khuza’i. Badil adalah sosok orang yang dipercaya oleh Rasulullah. Mereka bertanya kepada beliau tentang sebab kedatangannya ke Makkah. Rasulullah kemudian memberi tahu mereka bahwa kedatangannya tidak bermaksud perang, tetapi beliau hanya ingin mengunjungi Batullah. Kemudian, Rasulullah juga mengatakan kepada mereka seperti yang beliau katakan kepada Basyar bin Sufyan. Utusan itu kembali pulang ke tempat kaum Quraisy sebagai mediator. Badil berkata kepada kaum Quraisy, “Wahai kaum Quraisy, kalian terlalu cepat berprasangka terhadap Muhammad. Muhammad tidak datang untuk berperang, ia hanya ingin mengunjungi Baitullah.”
Akan tetapi, kaum Quraisy menuduh Badil macam-macam. Mereka berkata, “Jika ia datang tidak untuk berperang, demi Allah, ia tidak boleh masuk ke Makkah dengan paksa selamanya dan orang-orang Arab tidak boleh membicarakan kami karena hal tersebut.”

Duta Kaum Quraisy

Kaum Quraisy lantas mengirimkan dutanya yang bernama Makraz bin hafsh bin Akhif. Ketika utusan itu datang, Nabi saw melihatnya tengah menuju ke tempatnya hingga Rasulullah berkata, “Ini adalah seorang penghianat.” Setelah Makraz berbicara dengan Rasulullah, beliau berkata kepadanya seperti yang beliau katakan kepada Badil dan Waqa’ dan para sahabatnya. Duta Quraisy itu pun kembali pulang ke kaumnya dan menyampaikan apa yang ia dengar dari Rasulullah.
Setelah itu kaum Quraisy mengutus duta lainnya yagn bernama Hulais bin Alqamah, pemuka Bani Ahabisy. Ketika Hulais tiba dan Rasulullah melihatnya beliau berkata, “Ini berasal dari kaum yagn taat beribadah, bawalah hewan semeblihan ke hadapannya supaya ia melihat!” Ketika ia melihat hewan-hewan itu dihamparkan di lembah, ia pun langsung kembali kepada kaum Quraisy. Hulais sampai lupa untuk menemui Rasulullah karena takjubnya ia melihat hewan sembelihan itu. Ia pun menceritakan apa yagn dilihatnya kepada kaum Quraisy. Kaum Quraisy pun berkata, “Duduklah, kamu ini orang Baduy yang tidak berpengathuan.”
Ketika kaum Quraisy menghina Hulais dengan kata-kata kasar bahwa ia bodoh, dengan marah haluis berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah, aku bersekutu dan bersatu dengan kalian tidak untuk ini, apakah layak orang yang ingin mengagungkan Baitullah ditahan? Demi Dzat yagn jiwa Hulais berada di tangan-Nya, kalian mengizinkan Muhammad atau aku akan pergi bersama kaum Ahabisy?”
Ketika kaum Quraisy melihat keseriusan Hulais dan kemarahannya, mereka berkata, “Diam, caukuplah wahai Hulais! Perkenankan kami melakukan satu hal yang kami inginkan.” Mereka ingin mewujudkan beberapa tujuan atau mensyaratkan beberapa hal agar bisa mencegah kepergian Bani Ahabisy sebagaimana dijelaskan Hisyam dalam as-Sirah.

Urwah bin Mas’ud Berunding dengan Nabi saw.

Quraisiy kemudian mengutus Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqfi. Sebelum ia mendatangi Rasulullah, ia berkata kepada kaum Quraisy, “Aku telah melihat apa yang dialami oleh utusan yang kalian kirim ke Muhammad, mereka mendapatkan perlakuan kasar dan kata-kata buruk. Kalian juga tahu bahwa kalian adalah ayah dan aku adalah anak. Aku juga mendengar siapa yang menjadi pemimpin kalian. Aku pun mengumpulkan orang-orang yang menaatiku dari kaumku, kemudian aku datang kepada kalian untuk memberi perlindungan.” Mereka menjawab, “Kamu benar, kamu tidak meragukan bagi kami.”
Urwah lantas berangkat menemui Rasulullah. Ia langsung duduk di hadapan beliau. Kemudian, ia angkat bicara, “Wahai Muhammad, kamu telah mengumpulkan orang-orang untuk masuk ke Makkah dengan cara paksa, kaum Quraisy pun keluar membawa unta-unta mereka dan mengenakan kulit macan. Mereka bersumpah agar kamu tidak memasuki Makkah dengan cara paksa selamanya. Demi Allah, aku akan meminta mereka membiarkanmu masuk sendiri besok.”
Abu Bakar yang ketika itu duduk di belakang Rasulullah marah dan berkata, “Hisaplah puting Latta, apakah kamu harus membiarkan Muhammad pergi sendiri?”
Urwah lantas bertanya kepada Rasulullah, “Siapa ini, wahai Muhammad?” Beliau menjawab, “Ini adalah putra Abu Qahafah, Abu Bakar.” Ia berkata lagi. “Demi Allah, jika bukan karena kebaikanmu terhadapku yang belum kubalas, niscaya kamu akan kuladeni.” Urwah memegang janggut Rasulullah sambil terus merayu beliau.

Loyalitas dan Kesetiaan Hanya untuk Allah dan Rasul-Nya

Perhatikan bagaimana akesetiaan yagn ditunjukan oleh seorang sahabat mulia, al-Mugirah bin Syu’bah di hadapan pamannya. Urwah bin Mas’ud. Al- Mugirah ingin mengajari pamannya bahwa kekeluargaan bisa terputus jika akidah mereka berbeda karena hanya keimnanlah yang menghimpun seluruh hati sebuah anggota keluarga.
Ketika Urwah terus berbicara dengan Nabi saw dan setiap kali berbicara satu kalimat, tangannya menyentuh janggut Rasulullah. Oleh karena itu, al-Mugirah bin Syu’bah yagn ketika itu berada di dekat Rasulullah langsung menepis tangan Urwah dengan gagang pedangnya seraya berkata, “Jauhkan tanganmu dari wajah Rasulullah sebelum tanganku ini mendarat di wajahmu!” Urwah lantas berkata, “Aduhai, betapa kasarnya ucapanmu!”
Rasulullah tersenyum. Kemudian Urwah bertanya kepada beliau, “Siapa ini, wahai Muhammad?” Beliau menajwab, “Ini adalah kemenakanmu, al-Mugirah bin Syu’bah.” Urwah lantas berkata, “Seorang penghianat, kamu baru mencucui keburukanmu kemarin!” Setelah itu Rasulullah menyampaikan hal yang sama dengan yang beliau sampaikan kepada utusan Quraisy lainnya, yaitu penegasan bahwa beliau tidak ingin berperang tetapi hanya ingin melaksanakan umrah.
Di masa jahiliah, al-Mugirah pernah ebteman dengan satu kaum, tetapi ia malah membunuh mereka dan merampas hartanya. Urwah, sang pamanlah yang menaggung pembayaran diyatnya terhadap para kroban. Kemudian al-Mugirah memeluk Agama Islam. Ketika itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Islam,  aku akan menerimanya. Sementara harta, aku tidak bertanggung jawab apa-apa atasnya.” Di saat yang sama, Urwah memperhatikan betapa, para sahabat Nabi saw amat mengagungkan beliau.
Urwah bin Mas’ud ats=Syaqfi pun kembali pulang setelah meliaht dengan amta kepala sendiri bagaimana sikap hormat para sahabat Rasulullah kepada beliau. Ia melihat, setiap kali Rasulullah berwudhu, para sahabtnya bergegeas mengambil air bekas wudhu beliau. Jika belkiau membuang ludah, mereka pun bergegeas mengambil ludah beliau. Setiap helai rambut yagn jatuh dari kepala beliau, langsung diambil oleh para sahabatnya.

Sesuatu di Luar Dugaan Kaum Musyrikin

Urwah pun kembali ke tempat orang-orang Quraisy. Ia berseru keapda mereka, “Wahai kaum Quraisy, aku telah mendatangi Kisra di istananya. Kaisar Romawi di istananya, begitu juga Raja Najasyi di istananya. Demi Allah, aku tidak pernah melihat raja satu kaum seperti Muhammad di amta para sahabatnya. Aku juga telah melihat bagaimana satu kaum tidak sudi menyerahkan pemimpinnya sama sekali, selanjutnya terserah kalian! Demi Allah, setiap kali Muhammad berwudhu, para sahabatnya bergegas mengambil air bekas wudhunya. Jika ia membuang ludah, mereka pun bergegas mengambil lduahnya. Jika ia memerintah, mereka segera melaksanakan perintahnya. Jika berbicara di ahdapannya, mereka merendahkan suaranya. Mereka tidak pernah menajamkan pandangannya kepadanya karena memuliakannya. Ia telah menawarkan satu penawran yagn matang untuk kalian maka terimalah.”
Orang-orang yang menjadi delegasi Quraisy untuk berunding dengan Nabi saw tidak memiliki argumentasi dan alasan yang kuat di hadapan beliau. Bahkan, mereka kembali ke para pembesar Makkah dan lebih cenderung mengizinkan kaum muslimin melaksanakan ibadahnya. Sebagian dari mereka tidak mau menyatakannya secara terbuka karena kesombongan dan gengsi yang ada di hatinya sebagai orang Quraisy, begitu juga karena mereka menyimpang dari kebenaran.

Delegasi Nabi sw.

Setelah delegasi kaum Quraisy tidak berhasil mendapatkan apa-apa, Rasulullah mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menemui mereka di Makkah. Beliau mengirimnya dengan mengendarai untanya yagn ebrnama Tsa’lab. Khurasy ingin menyampaikan pesan Rasulullah kepada para pemuka Quraisy. Akan tetapi, mereka justru menggorok unta Rasulullah dan inginmembunuh Khurasy. Rencana mereka itu dilarang oleh kaum Ahabisy. Akhirnya, Khurasy pun dilepaskan hingga ia kembali ke pangkuan Rasulullah dengan selamat.

Kejahatan Dibalas dengan Kebaikan

Ketika beberapa pemuda Quraisy melihat para pemukanya ingin berdamai dengan Rasulullah, mereka akhirnya membuat sebuah rencana untuk meninggalkan perdamaian itu. Mereka memutuskan untuk membuat satu langkah yang dapat menyalakan api peperangan. Benar saja, sekitar 70 atau 80 orang dari kaum Quraisy berangkat di tengah malam. Mereka turun dari bukit Tan’im dan mencoba mengintai perkemahan kaum muslimin. Akan tetapi, semuanya berhasil ditangkap hidup-hidup oleh pasukan kaum muslimin dan dibawa ke hadapan Rasulullah.
Beliau pun akhirnya memaffkan mereka dan melepaskannya kembali karena beliau benar-benar ingin membuat perdamaian dengan kaum Quraisy. Dengan demikian, sifat Rasulullah yagn termaktub dalam Taurat telah terbukti bahwa beliau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau  adalah orang yang suka memaafkan dan toleran. Peristiwa itu diabadikan Allah dalam firman-Nya, “Dan Dia-lah yagn menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah (kota) Makkah setelah Allah memenangkan kamu aas mereka. Dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Fath (48) : 24).
Semoga shalawat Allah terlimpah atas beliau. Begitulah kebaikan dan kemurahan hati Muhammad dan seperti itulah sikap buruk kaum musyrikin.

Nabi saw, mengirim Utsman bin Affan kepada Kaum Quraisy

Rasulullah tidak putus asa dan bosan untuk mewujudkan perdamaian dan memadamkan api peperangan yagn dinyalakan oleh kaum musyrikin. Beliau memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus sebagai duta beliau kepada kaum Quraisy untuk yang kedua kalinya. Namun, Umar memohon maaf karena ia tidak sanggup mengemban tugas itu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengkhawatirkan kaum Quraisy atas diriku karena di Makkah tidaka da lagi anggota Bani Adi bin Ka’ab yang dapat membelaku. Kaum Quraisy jgua tahu permusuhanku dengan mereka dan kebencianku terhadap mereka!” Kemudian Umar mengusulkan kepada Rasulullah untuk mengutus Utsman bin Affan. Umar berkata, “Aku tunjukkan engkau kepada seseorang yagn lebih kuat dan lebih mulia dariku, yaitu Utsman bin Affan.”
Rasulullah lantas menanggapi Ytsman bin Affan. Beliau pun mengutusnya untuk mendatangi Abu Sufyan dan para pemuka Quraisy agar memberitahukan mereka bahwa beliau datang ke Makkah bukan untuk perang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya.
Utsman pun berangkat ke Makkah sebagai utusan Rasulullah. Sesampai di sana, ia bertemu dengan Ibban bin Sa’id bin al-‘Ash. Ibban pun menuntun Utsman sebagai pernghormatan kepadanya karena ia masih kerabat dan tetangganya.
Keduanya menuju Abu Sufyan dan para pemuka Quraisy. Utsman lantas menyampaikan maksud tujuannya. Setelah itu kaum Quraisy mengizinkannya untuk thawaf sendiri sebagai penghormatan mereka terhadapnya. Namun, Utsman menolak, lalu ia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah berthawaf di Baitullah.”
Perhatikan bagaimana akhlak yagn mulia dan kecintaan yang besar dari Utsman bin Affan terhadap Rasulullah saw.
Hal yagn perlu dicatat di sini adalah bahwa sebenarnya di kota Makkah masih ada orang-orang mukmin, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita. Hati mereka sangat terikat dengan kaum mukminin lain yang tertahan di luar Kota Makkah.
Islam telah menyebar secara diam-diam di banyak rumah penduduk Makkah. Mereka amat merindukan hari saat mereka bisa menyatakan imannya secara terbuka dan membebaskan diri dari belenggu kekafiran yang mengikatnya.
Tampaknya Utsman melakukan kontak dengan beberapa mukmin yang masih berada di Kota Makkah. Ia ingin memberi berita gembira kepada mereka akand ekatnya hari kemenangan dan Penaklukkan Makkah. Kaum Quraisy memandang bahwa Utsman telah melampaui wewenang yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, mereka segera memerintahkan agar menahan Utsman hingga tersebarlah isu di tengah kaum muslimin bahwa Utsman terbunuh.

Kabar Pembunuhan Utsman dan Baiat Ridwan

Kaum Quraisy tetap menahan Utsman di tempat mereka. Mungkin mereka ingin bermusyawarah terlebih dahulu membicarakan kondisi terbaru. Kemudian mereka menetapkan keputusan dan mengembalikan Utsman dengan pesan yang mereka berikan. Akan tetapi penahanan berlangsung agak lama hingga tersiar kabar de tengah kaum muslimin bahwa Utsman dibunuh.
Ketika mendnegar isu bahwa Utsman terbunuh, Rasulullah saw berdiri di depan para sahabatnya sambil menyatakan tekadnya untuk memerangi kaum musyrikin. Namun, beliau b erkata, “Kita tidak bisa bergerak sebelum kita mengajak kaum musyrikin berdamai.” Kemudian beliau memanggil orang-orang untuk melaksanakan baiat (sumpah setia). Mereka pun berbaiat di bawah pohon untuk tidak lari saat melihat musuh. Sebagian orang bahkan ada yang berbaiat untuk siap mati.
Baiat itu disebut dengan Baiat Ridwan. Tentang peristiwa itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya :
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS al-Fath (48) : 18).
Seorang pun tidak ada yagn tertinggal dalam baiat itu, kecuali Jadd bin Qais, saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah berkata tentagnya, “Seakan aku melihatnya tengah menyembunyikan diri di bawah ketiak untanya dari pandanga orang-orang.”
Orang yang pertama melaksanakan baiat itu adalah Abu Sinan al-Asadi, saudara Ukasyah bin Mushan. Rasulullah kemudian membaiat Utsman  secara simbolis. Beliau memukulkan satu tangannya ke atas tangannya yang lain dan berkata, “Ini untuk Utsman.”
Setelah beberapa lama berselang, nyatalah bahwa Utsman belum terbunuh dan isu-isu itu ternyata salah dan bohong karena tidak lama setelah baiat, Utsman tiba-tiba datang. Alhamdulillah.

Ma’qil bin Yassar Menahan Dahan Pohon agar Tidak Mengenai Rasulullah saw.

Diriwayatkan dari Ma’qill bin Yassar, ia bertutur, “Aku berada di bawah pohon pada hari baiat di bawah pohon (Baiat Ridwan). Sementara itu, Nabi saw membaiat seluruh kaum mukminin. Aku terus mengangkat dahan pohon agar tidak mengenai kepala beliau. Jumlah kami ketika itu 1.400 orang. Kami tidak berbaiat kepada beliau untuk siap mati, melainkan kami berbaiat untuk tidak lari dari peperangan, “ (HR Muslim).

Orang yang Pertama Berbaiat kepada Nabi saw.

Diriwayatkan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Aku didatangi dua orang, satu orang dari Bani Amir dan satu lagi dari Bani Asad. Masing-masing dari mereka saling membanggakan dirinya di hadapanku. Kukatakan kepadanya bahwa Bani Asad itu memiliki enam sifat yagn tidak dimiliki oleh kaum Arab manapun. Salah satunya adalah bahwa orang yagn pertama berbaiat Ridwan adalah Abu Sinan Abdullah bin Wahab al-Asadi. Ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, bentangkan tanganmu! Aku akan ebrbaiat kepadamu.” Rasulullah bertanya kepadanya, “Berbaiat untuk apa?” Ia menjawab, “Aku berbaiat untuk meraih kemenangan atau mati syahid.” Jawab Rasulullah, “Baiklah.” Ia pun mengucapkan baiatnya. Orang-orang pun mengikuti baiat itu sesuai yang diucapkan oleh Abu Sinan.”

Orang yang Tidak Mau Ikut Baiat

Abu Zubair menuturkan bahwa ia pernah mendengar Jabir ditanya tentang berapa orang yang turut serta di Hudaibiyah. Ia menjawab, “Kami ketika itu berjumlah 1.400 orang. Kami pun berbaiat kepada Rasulullah, sementara Umar memegang tangan beliau di abwah sebatang pohon. Pohon itu bernama pohon “SAMURAH”. Kami berbaiat kepada beliau, kecuali Jadd bin Qais, seorang Anshar. Ia bersembunyi di bawah perut untanya.” (HR Muslim).
Seperti itulah sikap orang-orang munafik, mereka selalu merongrong agama Allah di setiap waktu dan tempat.

Salamah bin al-Akwa’ berbaiat Tiga Kali

Di lain pihak, lihatlah seorang sahabat mulia, Salamah bin al-Akwa’ yagn berbaiat kepada Rasulullah saw sampai tiga kali.
Diriwayatkan dari Salamah ibn  al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw memanggil kami untuk berbaiat di bawah pohon. Maka orang yagn pertama datang untuk berbaiat kepada beliau, kemudian berikutnya dan seterusnya hingga saat sampai kepada orang yang pertengahan, beliau bersabda kepadaku, “Berbaiatlah kepadaku, wahai Salamah.” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku sudah berbaiat kepadamu bersama orang yang pertama.” Beliau lalu bersabda lagi, “Baiat lagi!” Kemudian, Rasulullah saw melihatku tidak memiliki senjata. Beliau lalu memberiku sebuah tameng (baju besi)  Beliau terus melanjutkan proses baiat. Sampai giliran orang yang terakhir, beliau bersabda kepadaku, “Apa kamu tidak mau berbaiat, wahai salamah?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku sudah berbaiat dengan orang yang pertama dan yang pertengahan.” Beliau lalu bersabda, “Baiat lagi!”  Aku lalu berbaiat kepada beliau untuk yang ketiga kalinya.” Kemudian, beliau bertanya kepadaku, “Wahai Salamah, mana tameng yagn kuberikan kepadamu?” Aku lalu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku lihat Amr juga tidak bersenjata, kuberikan tameng itu kepadanya.” Rasulullah pun tertawa mendengarnya. Kemudian, beliau bersabda, “Engkau seperti orang sebelumnu. Ya Allah, berikan untukku kekasih yang lebih kucintai dari diriku sendiri.”

Nabin saw. Membaiat Dirinya Sendiri sebagai Perwakilan dari Utsman

Rasulullah mengambil tangannya sendiri seraya bersabda, “Baiat ini atas nama Utsman.” Setelah Baiat Ridwan selesai, Utsman pun muncul. Utsman pun akhirnya berbaiat kepada Rasulullah.
Rasulullah telah memilih tempat baiat itu di bawah pohon. Umar yang memegang tangan beliau, sementara Ma’qil bin Yasar yang memegang dahan pohon agar tidak mengenai Rasulullah. Itulah Baiat Ridwan yagn tentangnya Allah SWT berfirman :
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia keapdamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahiui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yagn dekat.” (QS al-Fath (48) : 18).

Untuk Apakah Para Sahabat Berbaiat kepada Rasulullah pada Hari Hudaibiyah?

Dalam baiat itu, para sahabat berbeda-beda ucapannya. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama menyatakan, “Kami berbaiat untuk siap mati.” Itu sesuai dengan riwayat Salamah bin al-Akwa’ dan Abdullah bin Zaid bin Ashim.
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Yazid bin Abi Ubaid r.a. berkata, “Aku bertanya kepada Salamah bin al-Akwa’, “Untuk perkara apa kalian dahulu berbaiat kepada Rasuilullah pada hari Hudaibiyah itu?” Ia menjawab, “Kami berbaiat untuk siap mati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kelompok Kedua, sahabat berbaiat untuk tidak lari dari peperangan. Itu sesuai dengan riwayat Jabir bin Abdullah dan Ma’qil bin Yasar.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Kami bersama Rasulullah pada hari Hudaibiyah, ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Kami pun berbaiat kepada beleiau, sementara itu Umar meemgang tangan beliau dan baah pohon, yaitu pohon Samurah. Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk tidak lari dari peperangan, kami tidak berbaiat untuk rela mati.”
Kelompok ketiga, sahabat berbaiat kepada Rasulullah untuk bersabar. Hal itu sesuai dengan penuturan Abdllah bin Umar.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. ia berkata, “Di tahun berikutnya, kami pun kembali lagi (ke Makkah). Ketika itu dua orang anggota rombongan kami berkumpul di bawah pohon tempat kami dahulu ebrbaiat. Kami lalu bertanya kepada Nabi, “Untuk hal apa mereka dahulu berbaiat kepada Rasulullah? Apakah untuk siap mati? Nabi menjawab, “Tidak, kami berbaiat untuk bersabar.” (HR Bukhari).

Hujan Turun kepada Kaum Muslimin di Hari Hudaibiyah

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Anshari r.a. ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw pada tahun Perjanjian Hudaibiyah. Suatu malam kami diguyur hujan. Kemudian, Rasulullah saw mengimami shalat Subuh kami. Beliau lalu menghadap ke arah kami seraya bersabada, “Tahukah kalian apa yang  dikatakan Tuhan kalian? Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah saw melanjutkan, “Allah berfirman, “Hamba-hamba-Ku, baik yang mukmin maupun yang kafir telah menyambut pagi hari. Adapun orang yang berkata, “Kami diguyur hujan dengan rahmat dan rezeki Allah serta karunia-Nya,” berarti ia telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintag-bintang. Sedangkan orang yagn berkata ‘kami diguyur hujan oleh bintang ini dan itu, maka berarti ia telah beriman kepada bintang-bintang itu dan kafir terhadap-Ku.” (HR Bukhari).

Perkara Kalian Telah Menjadi Mudah

Itulah ungkapan populer yagn diucapkan Nabi saw pada hari Hudaibiyah, tatkala beliau melihat Suhail bin ‘Amr yang diutus Quraisy untuk berunding dengan Nabi sw.
Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa, ketika datang Suhail bin ‘Amr, Nabi saw berseru, “Perkara kalian telah menjadi mudah.”
Suhail bin “Amr pun datang. Ia berkata, “Segera tuliskan naskah perjanjian damai antara kami dan kalian.”
Nabi saw pun memanggil seorang penulis yaitu Ali bin Abi Thalib. Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan naskah perjanjian damai tersebut. beliau berkata kepada Ali, “Tulislah Bismillahirrahmanirrahim.” Kemudian, Suhail, delegasi kaum Quraisy berkata, “Adapun kata ar-rahman, aku tidak mengenalnya, tetapi tulislah bismika Allahumma.” Kaum muslimin berseru, “Demi Allah, kami tidak akan menujlisnya, kecuali dengan kalimat ‘Bismillahirahmanirrahim.” Namun, Rasulullah berkata kepada Ali, “Kalau begitu, tulislah bismika Allahumma.”, Ali pun menulisnya. Setelah itu Rasulullah berkata, “Tulislah : Ini adalah hasil perdamaian Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin ‘Amr.” Suhail lalu berkata, “Demi Allah, sekiranya kami tahu bahwa kamu adalah rasul Allah, tentu kami tidak akan melarangmu untuk menziarahi Baitullah dan kami tidak akan memerangimu. Akan tetapi, tulislah Muhammad bin Abdullah. Kemudian Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku tetap seorang Rasul Allah meski kalian mendustakanku. Baiklah kalau begitu, tulislah Muhammad bin Abdullah.”
Az-Zuhri berkata, “Sikap mengalah yang ditunjukkan Rasulullah saw itu karena beliau sebelumnya pernah bersabda, ‘Demi Allah, mereka tidak akan meminta satu rencana dariku untuk mengagungkan kesucian Allah, kecuali aku pun akan menurutinya.”
Mabi saw lantas bersabda kepada Ali, “Tulislah, ‘Agar kalian membiarkan kami melaksanakan thawaf di Baitullah.” Suhail lalu berkata, “Demi Allah, orang-orang Arab jangan sampai menceritakan bahwa kami telah menekan kalian. Kami ingin pelaksanaan thawaf itu dilakukan tahun depan.” Lalu Ali pun menuliskannya.
Suhail lalu berkata, “Tulislah. Siapa yang datang kepada Muhammad dari orang-orang Quraisy tanpa izin walinya meski dia telah memeluk agamanya, maka Muhammad harus memulangkan mereka.”muslim berseru, “Subhanallah, bagaimana kami mengembalikan orang yang datang dalam keadaan Islam kepada kaum Musyrik?”
Juru tulis yang mencatat naskah perjanjian itu adalah Ali bin Abi Thalib r.a. Perjanjian itu sendiri ditandatangani oleh beberapa orang dari kedua belah pihak, kaum muslimin dan kaum musyrikin. Sejak saat itukah perjanjian telah diberlakukan.

Ali bin Abi Thalib Memohon Maaf karena Telah Menghapus Lafal “Muhammad Rasulullah”

Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib r.a. ia berkata, “Ali bin Abi Thalib menulis naskah perjanjian antara Nabi saw dan kaum musyrikin pada hari Hudaibiyah. Di dalamnya ia mencatat : Inilah perjanjian antara Muhammad Rasu Allah. Namun, kaum musyrik berseru, “Jangan kalian tulis Muhammad Rasul Allah, sebab jika kami tahu bahwa kamu adalah rasul Allah, niscaya kami tidak akan menghalangimu dari Baitullah dan tidak akan memerangimu.” Nabi saw lalu bersabda kepada Ali, “Hapuslah kata-kata itu!” Namun, Ali berkata, “Aku tidak rela menghapusnya.” Rasulullah pun menghapus kata-kata itu dengan tangannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Syarat dan Isi Perjanjian Hudaibiyah

Tentang syarat dan isi perjanjian udaibiyah itu, penulis mendapatkan dalam banyak hadits yang berbda dan diriwayatkan melalui banyak jalur sahabat. Akan tetapi, keberadaan isi perjanjian itu di dalam hadits Miswar bin makhramah dan Marwan bin Hakam secara utuh membuat penulis tertarik untuk memaparkan riwayat tersebut.
Di dalam hadits Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam disebutkan :
Ini adalah hasil perdamaian Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Keduanya sepakat untuk tidak saling berperang selama sepuluh tahun hingga  roang-orang merasa aman dan tidak saling menyerang. Barang siapa yang datang keapda Muhammad dari orang-orang Quraisy tanpa izin walinya maka Muhammad harus memulangkan mereka. Barang siapa yagn datang kepada Quraisy dari pengikut Muhammad, kaum Quraisy tidak perlu mengembalikannya. Di antara kami tersimpan tekad untuk tidak saling memusuhi, tidak saling menutup-nutupi dan tidak saling merugikan. Barang siapa yang ingin menjadi bagian dari perjanjian Muhammad 9bergabung dengan Muhammad), ia bisa. Barang siapa yang ingin menjadi bagian perjanjian dan akad kaum Quraisy (bergabung dengan Quraisy) maka ia boleh nmasuk ke dalamnya. Engkau (Muhammad) harus pulang tahun ini, engkau tidak diperkenankan untuk masuk ke Makkah. Tahun yang akan datang, engkau diperkenankan untuk masuk Makkah bersama para sahabatmu dan menetap di sana selama tiga hari. Engkau boleh membawa persenjataan berupa pedang dan tidak boleh membawa senajta lainnya.

Abu Jandal dan Keteguhan Prinsipnya dalam Kebenaran

Tinta naskah perjanjian itu belum lagi kering, tiba-tiba datanglah Abu Jandal, putra utusan Quraisy. Suhail bin Amr. Ia kabur dari kaum Musyrikin dan segera menyeruak ke barisan kaum muslimin.
Kemudian, ayahnya langsung menampar wajahnya. Ia berkata, “Wahi Muhammad, inilah orang yagn pertama kali kutntut darimu. Aku ingin kamu mengembalikannya kepada kami.”
Nabis aw lantas menjawab, “Kita belum menandatangni naskah perjanjian itu.”
Suhail lantas berkata, “Demi Allah, jika demikian, kami tidak akan berunding denganmu, selamanya.” Nabi saw bersabda, “Berikan Abu Jandal kepadaku.” Suhail menjawab, “Aku tidak akan menyerahkannya kepadamu.” Nabi saw bersikukuh seraya bersabda, “Lakukanlah!” Suhail menjawab, “Tidak akan.”
Makraz ikut angkat bicara, ia berkata, “Sekarang kami telah menyerahkannya keapdamu.” Suhail menarik paksa anaknya untuk membawanya kembali ke kaum Quraisy. Kemudian, Abu Jandal berteriak keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrikin dan mereka akan mersak agamaku? Tidaklah kalian melihat apa yagn kualami dari mereka?” Abu Jandal sebenarnya sduah disiksa secara sadis karena mempertahankan akidahnya.
Mendengar hal itu, kaum muslimin pun bersedih hati dan berduka. Kemudian, Rasulullah bersabda, “Wahai Abu jandal, bersabarlah dan pertahanlah, Allah akan mendatangkan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah lainyya. Kami telah mengadakan kesepakatan dengan mereka, kami pun telah memberikan kepada mereka janji Allah dan mereka juga telah memberikannya kepada kami, kami bukanlah orang-orang yagn suka berkhianat.”
Di dalam  jalur periwayatan lain dari Ahmad dan Ibnu Ishaq terdapat tambahan yagn baik, yang juga diriwayatkan melalui miswar dan makhramah dan Marwan bin Hakam. Ia berkata, “Ketika Rasulullah saw menuliskan naskah perjanjian itu, tiba-tiba datanglah Abu Jandal bin Suhail bin Amr dengan belenggu ditubuhnya. Ia ebrusaha melepaskan diri dan menyeruak masuk ke barisan Rasulullah. Ketika itu para sahabat Rasulullah turut brangkat karena mereka tidak lagi meragukan kemenangan yang diimpikan Rasulullahsaw dalam tidurnya. Ketika melihat perundingan itu, mereka memandang perlu berdamai dan perlu kembali lagi ke Madinah. Rasulullah saw tidak sanggup menahan beban sendirian. Akibat perjanjian damai itu, orang-orang pun mengalami masalah besar dan hampir saja mereka binasa. Ketika Suhail melihat Abu Jandal. Ia langusng menyongsongnya dan menampar wajahnya. Kemudian, ia berkata, “Wahai Muhammad masalah antara aku dan kamu inisebenarnya telah usai sebelum orang ini datang. Rasulullah menjawab, “Ya, benar.” Akhirnya, Suhail menarik paksa baju Abu Jandal!.”
Kemudian Abu Jandal berteriak keras. “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrikin dan mereka merusak agamaku?” Mendengar hal itu, kaum muslimin pun bersedih hati dan berduka. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu jandal, bersabarlah dan bertahanlah, Allah akan mendatangkan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah lainnya. Kami telah mengadakan kesepakatan dengan mereka, kami pun telah memberikan kepada mereka janji Allah dan mereka juga telah memberikannya kepada kami, kami bukanlah orang-orang yang suka berkhianat.”
Umar lantas melompat ke samping Abu Jandal. Ia berkata kepadanya, “Bersabarlah, wahai Abu Jandal! Mereka hanyalah kaum musyrik, darah setiap orang dari mereka adalah darah anjing. Abu Jandal lantas mendekati orang yang memegang pedang. (Perawi berkata). “Aku sebenarnya berharap ia mengambil pedangnya untuk menyerang bapaknya.” Abu Jandal pun dijauhkan dari bapaknya dan perjanjian dituntaskan.
Naskah perjanjian itu selesai ditulis. Ketika perjanjian itu diberlakukan, kaum Khuza’ah pun masuk ke dalam akad dan perjanjian Muhammad saw. Dahulu, sejak jaman Abdul Mutalib, kaum Kuza’ah adalah sekutu bagi Bani Hasyim. Bergabungnya mereka ke dalam barisan Muhammad itu adalah sebagai penegasan dan pengakuan akan persekutuan lama. Sementara itu Bani Bakar masuk ke dalam akad dan perjanjian kaum Quraisy.

Keberatan Umar terhadap Isi Perjanjian

Kaum muslimin mengalami kesedihan yang  luar biasa karena dua sebab, yaitu,
Pertama, Nabi saw sebelumnya telah memberi tahu bahwa mereka pasti akan melaksanakan thawaf di Baitullah.
Kedua,  Nabi saw. Menerima tekanan dari kaum Quraisy dengan dibuatnya Perjanjian Hudaibiyah itu.
Dua hal itulah yang memunculkan keraguan dan bisikan setan serta praduga di hati kaum muslimin. Dengan perjanjian tersebut, perasaan kaum muslimin tergores. Mereka sedih karena memikirkan akibat dan buah dari perjanjian itu. Mungkin yang paling bersedih adalah Umar bin Khaththab. Ia datang menemui Nabi saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?” Nabi Menjawab, “Ya.” Umar lalu bertanya lagi, “Bukankah kita benar dan musuh kita batil?” Nabi Allah menjawab, “Ya.”
Umar lalu berkata, “Atas dasar apa kita menyerahkan agama kita kepada orang-orang yang hina itu?” Rasulullah menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya, aku tidak akan menetang perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”
Umar bertanya lagi, “Bukankah engkau telah berkata bahwa kita akan mengunjungi Baitullah dan berthawaf di dalamnya?” Beliau menjawab, “Ya.” Tetapi apakah aku memberitahumu bahwa kita akan mendatangi Baitullah tahun ini?” Umar menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Sekarang kamu telah mendatanginya dan telah berthawaf di dalamnya.”
Umar lalu mendatangi Abu Bakar, bukankah yang melakukan perundingan itu Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Kemudian Umar bertanya lagi, “Bukankah kita kaum muslimin?” akar menjawab, “Ya.” Setelah itu Umar kembali bertanya, “Bukankah mereka kaum musyrikin?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Umar kemudian berkata, “Atas dasar apa kita menyerahkan agama kita kepada orang-orang yang hina itu?” Abu Bakar berkata, “Taatilah perintah beliau, aku bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah.” Namun, Umar berkata lagi, “Ya, aku juga bersaksi bahwa abeliau adalah utusan Allah.”
Umar lalu berkata, “Bukankah beliau telah memberi  tahu kita bahwa kita akan mengunjungi Baitullah dan berthawaf di dalamnya?” Abu Bakar menajwab, “Ya, tetapi apakah beliau memberitahumu bahwa kita akan melakukannya tahun ini?” Umar menjawab, “Tidak.” Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kamu telah melaksanakannya tahun ini, kamu telah mengunjungi Baitullah dan berthawaf di dalamnya.”
Umar bertutur, “Sejak itu aku berusaha melakukan amalan-amalan baik untuk menebus dosaku karena telah membantah Nabi saw.”
Sebenarnya, respons sebagian sahabat hampir sama dengan respons Umar. Akan tetapi mereka tidak berani mengungkapkannya seperti yang dilakukan Umar, sebagaimana yang kita temukan dari riwayat Sahal bin Hanif berikut :
Diriwayatkan dari Sahal bin hanif r.a. berkata di Shiffin, “Wahai manusia, tegaskan pendapat kalian. Demi Allah, aku turut  menyaksikan hari peristiwa Abu Jandal dahulu. Sekiranya aku bisa membantah keputusan Rasulullah, niscaya akan kulakukan. Namun, demi Allah, kami tidak pernah meletakkan pedng kami di atas pundak-pundak kami karena satu perkara pun, kecuali beliau memudahkan untuk kami perkara-perkara yang kami ketahui dan beliau hanya akan memerintahkan kalian untuk itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ummu Salamah Pemilik Ide yang Cemerlang

Penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah itu pun dilakukan. Salah satu isinya Rasulullah harus pulang ke Madinah bersama para sahabatnya dan baru bisa melaksanakan umrah tahun depan. Atas dasar itu, Rasulullah langusng memerintahkan para sahabat untuk bertahalul dari ihramnya dan bersiaop-siap untuk kembali ke Madinah. Beliau bersabda, “Bangkit dan sembelihlah sembelihan kalian.” Akan tetapi hal itu terasa berat bagi kaum muslimin, mereka pun enggan melaksanakan perintah tersebut. sampai-sampai beliau mengucapkan perintahnya itu tiga kali. Ketika tidak seorang pun yang melaksanakan perintah itu, Rasulullah masuk ke tempat Ummu Salamah. Beliau menceritakan apa yagn dilakukan mereka, kepada Ummu Salamah. Ummu Salamah menyarankan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar orang-orang melaksanakan perintahmu?” Keluar dan jangan berbicara kepada siapa pun. Potonglah hewan semebelihanmu dan lakukan tahalul, panggilah tukang cukurmu agar mencukur rambutmu, niscaya mereka akan ikut melaksanakan apa yang engkau lakukan!.”
Apa yang dikatakan Ummu Salamah benar, Nabi saw melakukan apa yang diusulkan Ummu Salamah, yaitu menyembelih hewannya, mencukur rambutnya, dan bertahalul dari ihramnya. Ketika para sahabat melihat beliau melakukan hal tersebut, mereka pun lengsung mengikujtinya. Di antara mereka ada yang mencukur rambutnya, ada pula yang sekedar memotongnya. Rasulullah bersabda, “Alalh akan mengasihi orang-orang yang mencukur rambutnya.” Para sahabat bertanya, “Dan orang-orang yang memotong rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Allah akan mengasihi orang-orang yang mencukur rambutnya.” Para sahabat merasa penasaran dan kembali bertanya, “Dan orang-orang yagn memotong rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau kembali menekankan, “Allah mengasihi orang-orang yang mencukur rambutnya!” zBaru kemudian yang keempat kalinya beliau bersabda, “Dan orang-orang yang memotong rambutnya.” Mereka bertanya keapda Rasulullah mengapa beliau mengutamakan orang-orang yang mencukur rambutnya atas orang yang memotong rambutnya. Beliau menjawab, “Karena mereka adalah orang yang tidak ragu.”
Para sahabat menyembelih seekor unta dan sapi masing-masing untuk tujuh orang. Rasulullah saw sendiri menyembelih unta yang dahulu pernah menjadi milik Abu Jahal. Di hidung unta itu terdapat tindik dari perak. Beliau melakukan hal itu untuk memanas-manasi kaum musyrikin. Rasulullah mendoakan ampunan tiga kali untuk orang-orang yang mencukur rambutnya dan satu kali untuk orang yang memotong rambutnya saja. dalam perjalanan itu, Allah SWT menurunkan ayat tentang keharusan membayar fidyah dengan puasa atau sedekah bagi orang yang tidak bisa mencukur rambutnya karena ada sakit atau halangan.

Perjanjian Hudaibiyah Adalah Kemenangan Besar

Kaum muslim telah benar-benar melihat buah dari sikap toleransi yang tinggi yang ditunjukkan Nabi saw. Mereka benar-benar mendapatkan berkahnya. Oleh karena itu, lisan mereka pun melantunkan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.”
Sejak perjanjian itu dibuat, kekuatan kaum Quraisy mulai melemah dan persatuan mereka mulai rapuh di seluruh jazirah Arab.
Ketika berita perundingan damai Quraisy dengan kaum muslimin menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab, fitnah kaum munafik yang bekerja untuk kepentingan kaum Quraisy pun padam. Kabilah-kabilah penyembah berhala di seluruh pelosok Jazirah mulai bercerai berai. Terutama karena mereka berkeyakinan bahwa dalam perjanjian dengan kaum muslimin itu, kaum Quraisy hanya memperhatikan kepentingan kelompoknya, khususnya kepentingan dagang mereka. Kaum Quraisy dianggap telah mempertimbangkan maslahat persekutuan mereka dengan kabilah-kabilah lain. Pada waktu yang sama, kegiatan kaum muslimin di bidang pengetahuan politik, dan militer makin meluas. Mereka makin berhasil dalam mempersatukan kabilah-kabilah kecil dan memasukannya ke dalam naungan Islam.
Banyak sejarawan yagn menganggap Perjanjian Hudaibiyah itu, sebagai kemenangan. Bahkan az-Zuhri berkata tentangnya, “Tak pernah ada satu kemenangan did alam Islam yang lebih besar dan agung dari Perjanjian Hudaibiyah ini. Karena, bagaimana pun, peperangan itu terjadi hanya ketika manusia bertemu. Ketika terjadi perundingan damai dan perang dihentikan, maka orang-orang merasakan kedamaian satu sama lain. Mereka menjadi leluasa dalan berkomunikasi sesama mereka, saling berdebat, dan berdiskusi. Ketika itu, tidak seorang pun yang berakal lalu berbicara Islam, kecuali ia akan masuk Islam. Sejak peristiwa Hudaibiyah itu, di tahun-tahun berikutnya, telah masuk Islam sejumlah orang yang setara dengan muslim sebelumnya, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.”
Ibnu Hisyam berkata, “Dalil dan bukti kebenaran ucapan az-Zaid itu, adalah apa yang terjadi dengan Rasulullah saw yang berangkat ke Hudaibiyah bersama 1.400 orang muslim. Kemudian dua tahun berikutnya, yaitu tahun Penaklukkan Makkah 9Fathu Makkah), beliau berangkat bersama 10.000 orang muslim.

Kisah Keislaman Ummu Kultsum binti “Uqbah bin Abi Mu’ith

Ketika Suhail bin Amr melakukan perundingan damai dengan Rasulullah saw, di antara isi dan syarat perjanjian yang ditetapkan Suhail kepada Rasulullah itu adalah jika ada seorang lelaki dari Quraisy yang telah memeluk agama Islam maka Muhammad harus mengembalikannya kepada Quraisy. Syarat itu membuat kaum muslimin tidak suka. Merka enggan melakukannya. Akan tetapi, Suhail menolak membuat syarat itu dalam perjanjiannya. Akhirnya, Nabi saw pun bersedia menerimanya. Hal itu juga, Rasulullah mengembalikan Abu Janda ke pangkuan bapaknya, Suhail bin Amr. Tidak seorang pun laki-laki yang datang kepada Nabi saw kecuali saat itu juga akan dikembalikan oleh Nabi saw, walau pun ia seorang muslim.
Giliran berikutnya kaum perempuan mukminah yang berhijrah. Di antara mereka ada Ummu Kultsum binti Abi Mu’ith yang menyongsong Rasulullah pasca Perjanjian Hudaibiyah itu. Ketika itu, ia lari dari keluarganya. Maka keluarganya mecnarinya dan meminta Rasulullah agar mengembalikannya kepada mereka. Akan tetapi, Rasulullah tidak mau mengembalikannya.
Hal itu beliau lakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan  mjukmin datang berhijrah ekpadamu maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah (60) : 10).

Nabi saw. Membaiat Kaum Wanita

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata, “Kaum perempuan mukminah, jika mereka bergabung dengan Rasulullah maka mereka akan diuji dengan firman Allah SWT, “Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at (janji setia_, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan suatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan beruat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Mumtahanah (60) : 12).
Aisyah berkata, “Mukminah yang menyetujui semua hal ini, berarti ia telah siap mendapatkan ujian. Jika Rasulullah saw telah mendengar persetujuan mereka itu, beliau tidak akan bersabda kepada mereka, “Pergilah, aku telah membaiat kalian!” Demi Allah, Rasulullah saw tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun. Beliau hanya membuat membaiat mereka dengan ucapan.”
Aisyah menuturkan, “Demi Allah, Rasulullah tidak pernah membaiat perempuan. Kecuali sesuai yang diperintahkan Allah SWT kepadanya. Beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun. Jika beliau membaiat mereka, beliau akan bersabda, “Aku sudah membaiat kalian dengan ucapan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kisah Abu Bushair r.a.

Di dalam hadits yagn diriwayatkan oleh Bukhari dan Marwan bin Hakam dan Miswar bin Makhramah disebutkan, “.... Nabi saw pun pulang ke Madinah. Kemudian, beliau didatangi oleh Abu Bushair,s eroang Quraisy yagn sudah masuk Islam.” (Yahya meriwayatkan dan Ibnu Mbarak bahwa Abu Bushair bin Usaid ats-Tsaqfi datang kepada Nabi sw dalam keadaan hijrah dan muslim). Abu Bushair lari dari Makkah menuju Madinah. Al-Akhnas Syuraiq pun menyewa seroang kafir dari Bani Amir bin Lu’ay dan seorang budaknya untuk mengejar Abu Bushair. Keduanya meminta Rasulullah untuk mengembalikannya. Kemudian beliau pun menyerahkannya sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah. Beliau bersabda kepada Abu Bushair, “Wahai Abu Bushair, kami telah memberikan mereka janji seperti yang kamu ketahui. Dalam agama kami, kami tidak boleh berkhianat. Allah akan memberikan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah sepertimu, pulanglah kepada kaummu!” Kemudian, Abu Bushair berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan memulangkanku kepada kaum musyrikin sehingga mereka merusak agamaku?”
Rasulullah menenangkan Abu Bushair dengan mengulangi ucapannya dengan lembut, “Wahai Abu Bushair, pulanglah ke kaummu! Allah akan memberikan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah sepertimu!”
Akhirnya, Abu Bushair pun pulang bersama dua orang yang menyusulnya. Mereka kemudian mampir di Dzulhulaifah dan beristirahat. Satt istirahat, Abu Bushair melihat pedang yang dimiliki oleh salah seorang musyrik tersebut. ia kemudian berkata kepadanya, “Bolehkah aku melihat-lihat pedangmu ini?” Ia menjawab, “Ya.” Abu Bushair lantas mengambil pedang itu dan menariknya dari sarungnya. Setelah itu ia menebaskan pedangnya ke orang musyrik tersebut hingga ia mati. Sementara itu temannya lari. Ia mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadiannya. Rasulullah saw bersabda tentangnya, “Orang ini amat ketakutan.”
Selang beberapa lama Abu Bushair datang sambil menghunus pedang yang telah berlumuran darah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tanggung jawabmu telah engkau tunaikan dan Allah telah menunaikannya untukmu. Engkau menyerahkanku kepada mereka dan Allah telah melaksanakannya untukmu. Namun, aku tetap menolak agamaku dirusak oleh mereka.” Kemudian, Rasulullah berkata, “Celaka, dia (Abu Bushair) bisa melancarkan peperangan jika memiliki pasukan!”
Sejak sat itu, Abu Bushair lari hingga sampai ke Aish di pesiksir pantai, jalur yang biasa ditempuh kaum Quraisy menuju Syam. Orang-orang muslim lainnya yagn ada di Makkah turut mendeengar peristiwa itu. Mereka bergegas menyusulnya. Sesampainya di sana, mereka membentuk satu pasukan muslim. Di tempat itu mereka sering mengganggu kafilah-kafilah dagang kaum Quraisy. Mereka merampas harta dan membunuh kafilah-kafilah tersebut. akhirnya kaum Quraisy mengirim surat kepada Rasulullah memohon beliau agar berbelas kasihan kepada mereka. Rasulullah pun mengirim surat kepada Abu Bushair dan pasukannya agar menghentikannya serangan-serangannya.
Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya itu, “Dan Dialah yang mencegah tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (mencegah) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah (kota) Makkah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Merekalah orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk) Masjidil Haram dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. dan kalau bukanlah karena ada beberapa orang beriman laki-laki dan perempuan yang tidak kamu ketahui, tentulah kamu akan membunuh mereka yagn menyebabkan kamu ditimpa kesulitan tanpa kamu sdari. Karena Allah hendak memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. sekiranya mereka terpisah, tentu Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azab yagn pedih. Ketika orang-orang yagn kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin; dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa dan mereka lebih berhak dengan itu dan patuh memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Fath (48) : 24 – 26).
Kesombongan mereka adalah dengan tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi Allah, tidak mengakui kalimat bismillahirrahmanirrahim, dan menghalangi kaum mukminin untuk mengunjungi Baitullah.
Kisah Abu Jandal dan Abu Bushair tersebut merupakan bukti nyata yang menakjubkan. Ia mencerminkah kisah perjuangan dalam membela akidah antara harus menghadapi celaan musuh dan merindukan para sahabat. Hal itu membuktikan bahwa iman kepada Allah telah merasuk ke dalam hati mereka dan menjaga kemurniannya. Mereka telah kehilangan dukungan moril berupa persahabatannya dengan Rasulullah saw dan kerinduan untuk mendengar saran dan nasihat beliau. Namun, hubungan mereka dengan beliau diganti dengan cara berkirim surat kepada beliau. Melalui surat itulah mereka bisa meneladani akhlak  beliau. Jalur kebenaran yang mereka tempuh dan kebatilan yang mereka jauhi serta petualangan yang mereka jalani merupakan contoh dan teladan baik bagi Islam dalam hal perjuangan dan pengorbanan.
Abu Bushair tidak sempat kembali ke pangkuan Rasulullah karena izinnya untuk pulang ke Madinah baru tiba saat ia tengah saakratulmaut. Surat Rasulullah datang kepada Abu Bushair agar ia meninggalkan tempatnya dan pulang ke tempat yang ia suka, tetapi sayangnya saat itu Abu Bushair tengah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abu Bushair pun meninggal dunia, sementara surat  Rasululah ia peluk di dadanya. Kemudian jenazahnya dikuburkan oleh Abu Jandal, sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam Fiqh Sirah.

Kisah Keislaman Abu al-‘Ash bin Rabi’

Musa bin Uqbah meriwayatkan bahwa anggota pasukan Abu Bushair menawan satu kafilah dagang yagn did alamnya ada Abu al’Azh bin Rabi’, menantu Rasulullah saw. Ketika itu Abu al-‘Ash belum memeluk agama Islam.
Sebelum penaklukan Makkah Abu al-‘Ash bin Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah, berangkat untuk berdagang ke Syam. Ia asalah sosok orang yang bisa dipercaya dan bisa membawakan harta dagangan orang-orang untuk diperdagangkannya. Dalam perjalanan pulan dari Syam, ia dihadang oleh pasukan Abu Bushair. Pasukan itu mengambil sejmua harta yagn ada padanya. Ia sendiri kabur dan membuat mereka tak berdaya mengejarnya. Ia lari ke Madinah, masuk ke tempat Zainab dan meminta perlindungan dan hak pertetanggannya kepadanya. Zainab pun melindunginya. Abu al-‘Ash bin Rabi’ datang ke Madinah untuk menuntut hartanya yagn dirampas.
Ketika Rasulullah sedang menunaikan Shalat Subuh bersama para sahabat, Zainab berseru dari arah barisan kaum wanita, “Wahai orang-orang, aku telah bertetangga dengan Abu al-‘Ash bin Rabi’ dan telah melindunginya.” Setelah salam, Rasulullah bersabda, “Wahai orang-orang apakah kalian mendengar apa yagn aku dengar?” Mereka menjawab, “Ya.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yagn jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak mengetahui hal ini sampai aku mendengarnya sendiri seperti yang kalian dengar, dia (Abu al-‘Ash) telah meminta perlindungan dari kaum muslimin?”
Setelah itu Rasulullah pergi ke tempat Zainab dan menemuinya. Beliau berkata keapdanya, “Wahai putriku, muliakanlah tempatnya, jagnan sampai ia mendekatimu karena sudah tidak halal lagi baginya!.”
Kemudian, Rasulullah mengirim surat kepada basukan Abu Bushair dan berpesan, “Orang itu telah menjadi salah seeorang anggota kami, seperti yagn kalian ketahui. Kalian telah mendapatkan hartanya, jika kalian bersedia untuk mengembalikan harta itu kepadanya, maka itulah yang kami inginkan. Namun, jika kalian menolak maka harta itu menjadi harta rampasan Allah yang diberikan-Nya kepada kalian, kalian lebih berhak mendapatkannya.”
Mereka pun akhirnya mengembalikan semua harta yagn diambilnya dari Abu al-‘Ash bin Rabi’, bahkan ada seseorang yang mengembalikan sekeping kayu kecil yang telah diambilnya. Abu al-‘Ash bin Rabi’ pun kemudian membawa seluruh hartanya itu pulang ke Makkah dan membagikannya kepada para pemiliknya. Ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, masih adakah yang belum mendapatkan hartanya?” Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami mendapatimu sebagai orang yagn jujur dan bisa dipercaya!.” Ia menjawab, “Aku sendiri telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Demi Allah, tidak ada yagn menghambatku masuk Islam ketika aku di Madinah, kecuali karena aku takut memakan harta  kalian ini. Ketika Allah menunaikan harta itu kepada kalian, aku pun masuk Islam.” Ia kemudian berangkat lagi ke Madinah untuk menghadap Rasulullah. Akhirnya, ia kembali bersatu dengan Zainab setelah sekian lama berpisah.

Teladan dari Abu al-“Ash

Ketika Abu al-‘Ash bin Rabi’ pulang dari Syam dengan membawa harta dagangannya dan ia dihadang oleh pasukan muslinmin, beberapa orang pasukan itu berkata kepadanya, “Maukah kamu masuk Islam dan mengambil harta ini untujkmu karena ini adalah harta kaum musyrikin?” Ia menjawab, “Seburuk-buruknya aku memulai Islamku adalah dengan menghianati amanahku.” Ia lantas menolak usulan itu dan terjadilah kisah seperti yagn telah penulis seb utkan sebelumnya. Ia kemudian sampai di Makkah dan membagikan harta itu kepada para pemiliknya. Harta itu adalah amanah yang ia pegang untuk diperdagangkan. Setelah itu barulah ia mengikrarkan keislamannya. Itu adalah teladan yagn sangat tinggi dalam hal menjaga amanah dari seorang menantu Rasulullah bernama Abu al-‘Ash bin Rabi’. Semoga Allah menjadikan surga tempatnya dan tempat kita, amin.
Miswar bin Makhramah mengatakan bahwa Nabi saw memuji menantunya Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan baik. Beliau bersabda, “Jika dia ebrbicara kepadaku, ia berbicara dengan jujur. Jika ia berjanji kepadaku, ia selalu menepatinya.” (HR Bukhari).
Seperti itulah amanah, seperti itu pula komitmen terhadap janji. Itulah sikap muraqabah terhadap Allah SWT. Abu al-‘Ash bin Rabi’ telah menjadi contoh tertinggi dalam hal amanah dan sikap berpegang pada janji.

Apa yang Terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah?

Begitulah kronologis Perjanjian Hudaibiyah. Jika ditinjau dari isi dan latar belakangnya, tidak diragukan lagi bahwa ia adalah kemenangan yang besar bagin kaum muslimin. Sebelumnya kaum Quraisy tidak pernah mengakui eksistensi kaum muslimin, bahkan mereka selalu berusaha mempersempit ruang geraknya. Kaum Quraisy seslalu menunggu saat kehancuran kaum muslimin. Dengan segenap upayanya, kaum Quraisy selalu menghalangi dakwah Islam karena mereka mersasa sebagai pemimpin keagamaan dan keduniaan di seluruh jazirah Arab. Dengan hanya masuk ke perundingan itu, mereka dinilai telah mengakui eksistensi dan kekuatan kaum muslimin serta membuktikan bahwa kaum Quraisy tidak sanggup melawannya.
Isi Poin ketiga Perjanjian Hudaibiyah itu sendirin membuktikan bahwa kaum Quraisy telah melupakan kedudukan duniawi dan kepemimpinannya di bidang keagamaan. Yang dipedulikan kaum Quraisy saat itu tidak lain hanyalah kepentingan dirinya sendiri. Adapun orang lain dan seluruh kabilah di jazirah Arab lainnya, sekiranya mereka masuk Islam semua pun, itu tidak penting bagi Quraisy. Mereka tidak akan lagi mengintervensinya. Bahkan itu kegagalan yang telak bagi kaum Quraisy dan kemenangan yang nyata bagi kaum muslimin?
Peperangan berdarah yang terjadi antara kaum muslimin dan musuh-musuhnya bukanlah untuk merampas harta musuh atau membunuh dan memusnahkan manusia atau memaksa musuh agar memeluk Islam. Akan tetapi, tujuan satu-satunya bagi kaum muslimin melalui perang itu adalah meraih kebebasan yang sempurna bagi manusia dalam menjalankan agama dan akidahnya. Allah SWT berfirman, “..... maka barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir ...” (QS al-Kahfi (18) : 29).
Oleh karena itu, tidak ada lagi kekuatan yang menghalangi kaum muslimin melakukan apa yang mereka inginkan. Tujuan itu telah terwujud dengan segala prasyaratnya, bahkan dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam banyak peperangan yang disertai dengan kemenangan yang nyata. Untuk mendapatkan kebebasan itu, kaum m uslimin meraih kesuksesan besar di bidang dakwah. Sebelum perjanjian Hudaibiyah, jumlah kaum muslimin tidak lebih dari 3.000 orang, tetapi setelah dua tahun sejak perjanjian itu, yaitu tepatnya saat Penaklukan Makkah, pasukan muslimin berjumlah 10.000 orang.
Adapun poin kedua perjanjian itu merupakan bagia kedua dari kemenangan nyata tersebut. di dalamnya membuktikan bahwa kaum muslimin bukan kaum pertama yang memulai peperangan, kaum Quraisy-lah yang memulainya. Allah SWT berfirman, “.... Dan mereka yang pertama kali memerangi kamu” (QS at-Taubah (9) : 13). Kaum muslimin menyiapkan pasukannya hanyalah untuk menyadarkan kaum Quraisy atas tindakan semena-mena mereka dan sikapnya yang menghalangi dakwah ke jalan Allah. Kaum muslimin juga ingin memperlakukan mereka dengan tindakan yang setimpal. Masing-masing pihak melakukan perbuatan sesuai kehendak mereka. Akad perjanjian damai untuk tidak berperang selama sepuluh tahun merupakan langkah besar dalam menghentikan kesombongan itu dan bukti kegagalan pihak yang memulai peperangan terlebih dahulu, kelemahan, dan keruntuhannya.
Adapun poin pertama isi eprjanjian Hudaibiyah itu menjadi batas yang menghentikan  tindakan kaum Quraisy yang melarang kaum muslimin mengunjungi Masjidil Haram. Ini juga bukti kegagalan Quraisy yang lainnya. Sebenarnya, di dalam isi perjanjian itu tak hal yang menyenangkan kaumasjidil Haram untuk tahun itu saja.
Kaum Quraisy memberikan ketiga poin tersebut untuk kepentingan kaum muslimin. Sedangkan mereka sendiri hanya mendapatkan keuntungan dari poin yang keempat, padahal poin itu hanya secuil dan tidak bernilai sama sekali. Tidak ada isi poin itu yang melemahkan kaum muslimin. Seperti diketahui, seorang muslim, selama ia masih muslim, ia tidak akan pernah jauh dari Allah dan Rasul-Nya, juga dari kota lahirnya Islam. Ia tidak akan jauh, kecuali jika ia telah murtad secara zahir dan batin. Jika ia telah menjadi murtad maka kaum muslimin tidak lagi membutuhkannya dan perpisahannya dengan masyarakat muslim lebih baik daripada ia harus tinggal bersama mereka. Itulah yang diisyaratkan Rasulullah saw dengan sabdanya, “Orang yang pergi dari kita menuju mereka maka Allah akan menjauhkannya.” (HR Muslim).
Adapun penduduk Makkah yang masuk Islam meskipun ia tidak menemukan jalan untuk menju Kota Madinah, tetapi tanah Allah itu luas. Bukankah negeri Habasyah dirasa begitu luas bagi kaum muslimin di saat penuduk Madinah belum mengenal Islam sama sekali? Itulah yang diisyaratkan Nabi saw dalam sabdanya, “Siapa dari mereka yang mendatangi kita maka Allah akan memberinya kelapangan dan jalan keluar.” I(HR Muslim).
Sikap protektif seperti itu walau pun menjadi sumber kebanggan bagi kaum Quraisy, tetapi hakikatnya menyatakan kepanikan dan ketakutan kaum Quraisy yang begitu besar dan kekhawatiran mereka akan  status keagamaannya sebagai penyembah berhala. Seolah mereka merasa bahwa struktur masyarakatnya saat itu sudah di ambang kehancuran. Oleh karena itu, tampaknya mereka harus mengambil tindakan tersebut. sementara itu, Rasulullah saw tidak pernah meminta lagi orang muslim yang lain menuju orang Quraisy. Hal itu tidak lain adalah bukti bahwa beliau bersandar pada kukuhnya struktur beliau dan kekuatannya secara total. Beliau tidak lagi mengkhawatirkan syarat-syarat perjanjian seperti itu sama sekali.

Kedudukan Para Pengikut Perjanjian Hudaibiyah

Dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Di Hari Hudaibiyah, jumlah kami adalah 1.400 orang. Nabi saw bersabda kepada kami, “Kalian adalah penghuni bumi terbaik.” Jabir r.a. bertutur, “Sekiranya saat ini aku bisa melihat, akan kutunjukkan kepada kalian letak pohon (tempat baiat) tersebut.” (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Jabir r.a., ia jgua bertutur, “Seorang budak milik Hathib datang menemui Rasulullah saw. Ia mengadukan perihal sikat Hathib terhadapnya. Ia ebrkata, “Wahai Rasulullah, semoga Hathib masuk neraka.” Lalu, Rasulullah saw bersabda, “Kamu bohong, ia tidak akan masuk neraka. Karena ia telah menjadi saksi Perang Badar dan perisitiwa Perjanjian Hudaibiyah.” (HR Muslim dan Ibnu Majah).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ummu Mubasysyir memberitahuku bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda di tempat hafshah, “Tidak akan masuk neraka, insya Allah, para sahabat pengikut baiat di bawah pohon yang berbaiat di abwahnya.” Ummu Mubasysyir berkata, “Betulkah, wahai Rasulullah?” Nabi saw lalu menghardiknya. Kemudian hafshah membaca firman Allah SWT, “Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.” (QS Maryam (19) : 71).
Nabi saw lantas bersabda, “Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yagn zalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”m (QS Maryam (19) : 72).

Beberapa Faedah Fiqh yang Dipetik dari Kisah Hudaibiyah

Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa beberapa faedah fiqh yang bisa dipetik dari kisah Hudaibiyah ini.
1. Nabi Muhammad saw melakukan umrah di bulan-bulan haji, yaitu beliau berangkat ke Makkah pada Bulan Dzulqa’dah.

2. Berihram untuk umrah sejak dari miqat itu lebih afdal, sebagaimana berihram untuk haji.

3. Menyembelih hewan sembelihan disunahkan pula dalam melaksanakan umrah, sebagaimana disunnahkan dalam pelaksanaan haji qiran.

4. Menampakkan hewan sembelihanitu juga disunnahkan, bukan merupakan tindakan melecehkan hewan yang sudah disembelih.

5. Anjuran untuk memprovokasi dan memanas-manasi musuh Allah. Nabi saw sendiri telah menyembelih hewan unta yang dahulu pernah menjadi milik Abu Jahal, yang dihidungnya terdapat tanda dari perak.. hal itu beliau lakukan untuk memprovokasi kaum musyrikin. Allah SWT telah berfirman tentang sifat-sifat Nabi saw dan para sahabatnya itu, “... dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti beih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)...” (QS al-Fath) (48) : 29).
Di dalam ayat lain, “....Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka suatu amal kebajikan. Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beruat baik.” (QS at-taubah (9) : 120).

6. Pemimpin pasukan harus mengirimkan mata-matanya terlebih dahulu untuk menyelidiki keadaan musuh.

7. Menggunakan tenaga seorang musyrik yang dipercaya dalam jihad dibolehkan saat diperlukan. Sebab, Uyainah, mata-mata Rasulullah yang berasal dari dari suku Khuza’ah, ketika itu masih kafir. Hal itu beliau lakukan dengan pertimbangan bahwa Uyainah lebih banyak bergaul dengan orang-orang musyrik dan musuh sehingga ia bisa lebih mudah menyelidiki keadaan mereka.

8. dianjurkan agar seorang pemimpin mengajak musyawarah rakyat atau pasukannya. Hal itu untuk menyaring pendapat-pendapat mereka, menyenangkan hatinya, membuat mereka percaya diri, dan mencegah celaan mereka, serta untuk mengetahui maslahat yang terkadang hanya diketahui oleh sebagian orang tanpa sebagian lainnya. Hal itu juga sebagai aplikasi dari perintah Allah SWT.” ..... dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (QS Ali ‘Imran (3) : 159). Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang suka bermusyasarah dengan firman-Nya, “..... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ...” (QS asy-Syura (42) : 38).

9. Bolehnya menawan perempuan-perempuan dan anak-anak musyrik jika mereka terpisah dari kaum lelakinya sebelum memeranginya.

10. Perlunya menjawab ucapan yang batil walaupun berasal dari seorang yang bukan mukallaf. Nabi saw menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa unta al-Quswa telah membangkang. Beliau bersabda, “Al-Quswa tidak membangkang, itu bukan kebiasaannya.”

11. Disunnahkan memberi nama kendaraan atau tunggangan.

12. Jika kaum musyrik atau ahli bid’ah dan maksiat meminta perkara yang bertujuan menjaga kesucian-kesucian Allah maka permintaannya itu harus dipenuhi, diberikan, dan dibantu.

13. Barang siapa yang singgah dekat dengan Kota Makkah, ia harus singgah dalam keadaan tahalul dan shalat di Masjidil Haram.

14. Seorang Imam boleh meminta perundingan damai dengan musuh jika mengandung maslahat untuk kaum muslimin.

15. Sombong adan angkuh dalam peperangan tidak tercela karena bukan kebiasaan al-Mugirah bin Syu’bah untuk bersifat angkuh dan sombong di hadapan Nabi saw.

16. Sabda Nabi saw kepada al-Mugirah, “Adapun Islam maka aku terima. Adapun harta, aku tidak membutuhkannya sedikit pun.” Itu adalah bukti bahwa harta seorang musyrik yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin adalah terlindungi. Rasulullah tidak ingin mengambil harta itu, bahkan beliau akan mengembalikannya. Adapun al-Mugirah, ia dahulu telah bersahabat dengan mereka untuk menjaga amanah, tetapi ia berkhianat.

17. Perlunya memaklumi kekurangsopanan utusan kaum kafir, ketidaktahuannya dan kekeraskepalanya. Sikap itu tidak perlu dibalas, karena sikap memaklumi seperti itu mengandung maslahat umum.

18. Sucinya nukhamah air liur manusia, baik yang berasal dari kepala maupun dari dadanya.

19. Sucinya air yang Musta’mal (sudah dipakai).

20. Anjuran untuk selalu bersikap optimis karena ia bukan termasuk tindakan thirah (berserah pada nasib) yang dibenci. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah, “Perkara kalian telah menjadi mudah.” Ketika Suhail tiba di tempat beliau.

21. Barang siapa yang berjanji melakukan sesuatu dan ia tidak menentukan waktunya, berarti pelaksanannya pun dilakukan secara bertahap dan tidak langsung.

22. Orang yang terhalangi dari Baitullah, ia harus smenyembelih sembelihan, baik saat bertahalul maupun sedang berihram. Firman Allah SWT, “Merekalah orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk) Masjidil Haram dan menghambat hewan-hewan kurban sampai ke tempat ([penyembelihannya ...” (QS al-Fath (48) : 25), menunjukkan bahwa tempat di mana Rasulullah menyembelih semebelihannya adalah di tanah halal, bukan di tanah haram.

23. Orang yang terhalangi dari umrah tidak wajib mengqadanya, Nabi saw tidak memerintahkan untuk mengqada umrah tersebut.

24. Perintah yang diucapkan secara mutlak harus ditunaikan secara langsung. Jika tidak, Nabi saw tidak akan marah ketika para sahabatnya terlambat melaksanakannya.

25. Kaidah asal menyatakan bahwa umat Rasulullah juga turut serta dalam menetapkan hukum, kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Oleh sebab itu, Ummu Salamah memberi saran kepada Rasulullah. “Keluarlah engkau, wahai Rasulullah, jangan berbicara dengan siapa pun! Cukur rambutmu dan sembelihlah sembelihanmu!” Ummu Salamah tahu bahwa orang-orang akan mengkikuti langkah beliau.

Beberapa Hikmah yang Terkandung dalam Perjanjian Hudaibiyah

Di antara hikmah yang terkandung dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah langkah pendahuluan menuju penaklukkan lebih besar yagn dijanjikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, yakni Penaklukkan Makkah. Kelak dalam penaklukkan itu, manusia akan berbondobg-bondong masuk agama Allah. Perjanjian Hudaibiyah itu merupakan pintu masuk dan kunci menuju penaklukan tersebut serta seruan ke arah sana.
Hikmah lainnya adalah dinyatakan bahwa Perjanjian Hudaibiyah itu juga termasuk penaklukan terbesar karena sejak saat itu semua manusia merasa aman dan damai. Kaum muslimin mulai berinteraksi secara aman dengan kaum kafir. Mereka bisa melancarkan dakwahnya dengan tenang, memperdengarkan Al-Qur’an tanpa da yang mengusik, dan menyeru manusia agar masuk Islam secara terang-terangan. Sejak saat itu pula orang-orang yang dahulu menyembunyikan keislamannya sduah mulai muncul ke permukaan. Selain itu, banyak juga pihak-pihak yang ikutn bergabung ke dalam perjanjian itu sesuai kehendak Allah. Oleh karena itu, Allah menyebutnya dengan fath mubin (kemenangan yang nyata).
Hikmah lainnya adalah bahwa Perjanjian Hudaibiyah itu makin menambah keimanan dan ketaatan kaum muslimin pada apa yang mereka sukai dan benci. Bahkan, mereka makin ridha dengan ketetapan dan keputusan Allah. Perjanjian Hudaibiyah yang ditetapkan Allah untuk Rasul-Nya dan kaum mukminin itu menjadi sebab diampuninya dosa Rasulullah, baik yang telah lampau maupun yang akan datang. Perjanjian itu juga sebagai penyempurnaan nikmat Allah atas beliau, petunjuk ke jalan yang lurus, dan penolong untuk meraih kemenangan yang mulia.
Allah SWT mengisahkan tentang orang-orang Arab Badui yang tidak mau ikut serta dalam perjanjian itu. Mereka mengira dengan seburuk-buruknya dugaan bahwa dengan tindakannya itu akan mengecewakan Allah, Rasul-nYa, dan pasukannya bahkan menguntungkan musuh-musuhnya. Namun, mereka telah salah besar. Mereka tidak tahu, asma’ dan sifat-sifat-Nya, tidak mengenal Rasulullah bahwa beliau adalah orang yang tidak layak diabaikan oleh Tuhannya.
Kemudian, Allah SWT juga memberitahukan keridhaan-Nya terhadap kaum muslimin karena mereka telah sudi berbaiat kepada Rasulullah saw. Allah SWT mengetahui kejujuran dan ketulusan mereka di dalam hati, ketaatan mereka dan sikapnya yang lebih mengutamakan Allah dan Rasul-Nya di atas yang lain. Oleh karena itu, Allah menanamkan ketenangan, kedamaian, dan keridhaan di hati mereka. Allah memberi mereka pahala atas keridhaannya terhadap hukum dan putusan Allah serta bersabar menerima perintah-Nya untuk meraih kemenangan yang sudah dekat dan harta rampasan perang yang melimpah. Benar saja, penaklukan pertama dengan harta rampasan yang berlimpah sejak Perjanjian Hudaibiyah itu adalah Penaklukan Khaibar, berikutnya penaklukan demi penaklukan terus terjadi hingga akhir masa.
Allah telah menjanjikan mereka harta rampasan perang yang berlimpah dan memberi tahu mereka bahwa Allah menyegerakan harta itu. Tentang hakikat harta itu ada dua pendapat.
1. Pendapat yang menyatakan bahwa hakikat dari harta itu sebenarnya adalah perjanjian damai antara kaum muslimin dan musuh-musuhnya.
2. Pendapat yang menhyatakan bahwa harta itu adalah Penaklukan Khaibar berikut harta rampasan perang yang didapat dari sana.

Sepanjang,Sidoarjo  29 Desember 2018,