Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 18 Maret 2018

Filosof Muslim filsafat Miskawaih

PARA FILOSOF MUSLIM”
“MISKAWAIH”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

MISKAWAIH
Oleh Abdurrahman Badawi, Pk.D
Profesor di Bidang Filsafat Sastra Ein-
Shams University, Cairo
Penerjemah : Ahmad Muslim dan Yustini
DATRA ISI
A. MASA HIDUPNYA
B. KARYA KARYANYA
C, KEPRIBADIANNYA
D. FILSAFATNYA

A. MASA HIDUPNYA

Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’kub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula abu Ali al-Khazin. Belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu putra (ibn) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergstrasser menerima alternatif pertama; sedang lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternatif kedua.
Yaqub berkata bahwa ia mula-mula beragama Majusi, kemudian memeluk Islam. Tetapi, hal ini barangkali benar bagi ayahnya, karena Maskawaih sendiri, sebagaimana tercermin pada namanya, adsalah putra seorang Muslim, yang bernama Muhammad.
Ia belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari, kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350 h/960 M).  Ibn al-Khammar, mufasir  kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji alkimia bersama abu al-Thayyib, al-Razi, seorang ahli alkimia. Dari beberapa pernyataan ibn Sina dan al-Tauhid tampak bahwa mereka berpendapat bahwa ia tak mampu berfilsafat. Iqbal, sebaliknya, menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.
Miskawaih tinggal selama tujuh tahun bersama abu-Fadhl ibn al-‘Amid (360 H/970M), ia mengabdi kepada putranaya abu al-Fath Ali ibn Muhammad  ibn al-‘Amid, dengan nama keluarga Dzu al-Kifayatain. Ia juga mengabdi kepada  Abdul al-Daulah, salah seorang Buwaihiah, dan kemudian kepada beberapa pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.
Miskawaih meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030. Tanggal kelahirannya tak jelas. Menurut Margoliouth tahun 330H/ 941 M, tetapi kami kira tahun 320 H/932 M, bila bukan apada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa bersama al-Muhallabi, yang menjabat sebagai wazir pada 339 H/950 M, dan meninggal pada 352 H/963 M, yang pada masa itu paling tidak ia telah berusia sembilan belas tahun.

 B. KARYA-KARYANYA

Yaqub memberikan daftar13 buah karya Miskawaih :
1. Al-fauz al-Akbar.
2. Al-Fauz al-Asghar.
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang Banjir Besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M).
4. Uns al-farid (Kumpulan anekdot, syair, peribahasa dan kata-kata mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik).
6. Al-Musthafa  (Syair-syair pilihan).
7. Jawidan Khirad  (Kumpulan ungkapan bijak).
8. Al-Jami’
9. Al-Siyar (tentangn aturan hidup).
Mengenai karya-karya di atas, al-Qifti hanya menyebutkan 1,2,3 dan 4, dan menambahkan sebagai berikut :
10. Tentang Pengobatan Sederhana (mengenai kedokteran).
11. Tentang Kompoisisi bajat (mengenai seni memasak).
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahdzib al-Akhlaq (mengenai akhlak).
Nomor-nomor 2,3 dan 13 kini masih ada, dan telah diterbitkan. Juga ada lima daftar lagi yang tak disebut oleh Yaqub dan al-Qifti, yaitu :
14. Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi jauhar al-Nafs (Naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah tersebut di atas, dalam raghib, di Istanbul).
15. Ajwibah fi al-Masa’il al-Tsalats (Naskah di Teheran, Fihrist Maktabat al-Majlis, II, No. 634 (31).
16. Al-Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (Perpustakaan Mashhad di Iran, I, No. 43(137)
18. Thaharat al-Nafs (Naskah di Koprulu, Istanbul No. 767).
Muhammad baqir ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Parsi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M, hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar, dan Tahdzib al-Akhlaq ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.

C. KEPRIBADIANNYA

Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair, Tauhid mencela Maskawaih  karena kekikiran dan kemunafikannya. Ia tertarik alkimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan harta, dan ia sangat mengabdi kepada guru-gurunya. Tetapi Yaqut menyebutkan bahwa pada tahun-tahun terkemudian dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk motal. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang serakah dan kebijakan dalam mengadtur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan poko-pokok petunjuk ini. Dia sendiri berbicara tentang gperubahan moral dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, yang menunjukkan bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang ektika,

D. FILSAFATNYA

FILSAFAT PERTAMA
Bagian terpenting kegiatan filosof Miskawaih ditujukan kepada etika. Ia seorang moralis dalam arti sebenarnya. Tiga bukunya yang penting tentang etika telah sampai kepada kita, yaitu : (1) Tartib al-Sa’adah, (2) Tahdzib al-Akhlaq, dan (3) Jawidan Khirad.
Buku Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah risalah umum yang mempunyai konsepsi yang sama dengan bagian pertama buku al-farabi; Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkenaan dengan pembuktian akan adanya Tuhan; bagian kedua tentang ruh dan ragamnya, dan bagian ketiga tentang kenabian. Mengenai filsafat-filsafatnya ia banyak berutang kepada al-Farabi, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Peralihannya kepada pemikiran-pemikiran sejarah telah memberinya manfaat yang bedar, karena pada umumnya ia dapat mengutip sumber-sumber secara tepat. Misal pada akhir Bab V bagian pertama dari al-Fauz al-Asghar, ia terus terang mengakui berutang kepada Porphyry. Tulisan-tulisannya merupakan penyingkap (hal.553 -55) terbaik pembuktian Plato tentang kekelanan ruh. Ia mengambil manfaat, terutama dai buku-buku  Proclus yang berjudul Kitab Syarch Qaul Flatun fi al-Nafs Ghair Maitah. Bagian pertama  di Fauz al-Asghar  yagn memaparkan kemaujudan Tuhan adalah jelas, ringkas dan padat. Argumennya di sini menyangkut Penggerak Pertama (First Mover) yang sangat populer pada masa itu. Dalam hal ini, ia sepenuhnya pengikut Aristoteles. Sifat-sifat dasar Tuhan ialah : Esa, abadi dan non materi. Miskawaih menggunakan keseluruhan bab VIII untuk membahas definisi Tuhan secara positif atau pun negatif, dia menyimpulkan  bahwa cara negatif adalah cara yagn paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo Platonis yang mencolok pada Bab IX. Ia mengatakan bahwa kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan ialah Integensi Pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna dan tak berubah, karena “pemancaran terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sedang sumber pemacaran itu kekal”. Ia sempurna dibandingkan yang lebih rendah daripadanya dan tidak sempurna dibandingkan Tuhan. Kemudian turunan ruh dari langit ke intelegensi; ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru intelegensi. Tetapin ia sempurna dibandingkan benda-benda alam. Lingkungan mewujuud melalui ruh langit. Dibandingkan ruh, ia tidak sempurna dan oleh karena itu ia memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang. Lingkungan bergerak melingkar menunjukkan kekekalan kemaujudannyayang telah ditentukan oleh Tuhan. Melalui lingkungan dan bagian-bagiannya tubuh-tubuh kita mewujud. Keberadaan kita sangat rapuh karena adanya rantai penjang perantara antara Tuhan dan kita. Dengan alasan ini pula, maka tubuh kita berubah dan fana. Segala kemaujudan mewujud melalui Tuhan, dan pemancaran serta  daya tembus-Nyalah yang memelihara tatanan di dalam kosmos ini. Bila Tuhan tidak memberikan pemancaran-Nya, maka tidak akan ada kemaujudan.
Sebagai pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari ketidak adaan. Ia menyebutkan bahwa Galen mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat ini, tetapi dibantah oleh Alexander dari Aphrodisias dalam uraian khusus. Alasan Miskawaih sebagai berikut : Pertama, bentuk-bentuk saling menggantikan, tetapi dasarnya tetap kosntan. Dalam perubahan ini, dari satu bentuk ke bentuk lain, ke manakah perginya bentuk yang pertama itu? Dan bentuk tidak dapat bersatu, sebab mereka itu berbeda. Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat, karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan tak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hanya ada satu kemungkinan, yaitu bahwa bentuk pertama menjadi tiada. Bila terbukti bahwa bentuk pertama menjadi tiada, maka bentuk kedua mewujud. Demikian bentuk ketiga, keempat dan seterusnya, dari ketiadaan. Karena itu, segala kemaujudan berasal dari ketiadaan.
Aristoteles, memandang alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Hakikat setiap sesuatu merupakan suatu daya yang berproses menjadi aktual yang merupakan hakikat akhirnya. Geraknya menuju akhir bersifat tetap. Suatu teori yang keseluruhannya berbeda terdapat pada Surat kelima puluh Ikhwan al-Shafa, yang di dalamnya ditunjukkan proses evolusi dari mineral sampai manusia di bawah bimbingan jiwa untuk kembali kepada Tuhan.
Ikhwan al-Shafa menggunakan teori ini untuk menentukan status kenabian. Miskawaih beranjak lebih jauh dan menemukan di dalamnya suatu dasar yang kukuh bagi teorinya, tentang moral. Sebagaimana Aristoteles, ia menganggap kebahagiaan (sa’adah) sebagai puncak kenabian manusia, tetapi tidak seperti Aristoteles, ia mencirikan kebahagiaan sebagai akhir pencapaian manusia sebagai khilafah Tuhan di muka bumi, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.
Teori Miskawaih tentang teori evolusi secara mendasar sama dengan teori Ikhwan al-Shafa. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi : Evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan manusia, karang (marjan), kurma dan kera (gird) menunjukkan secara berurutan peralihan dari mineral ke tetumbuhan, dari tetumbuhan ke binatang, dan dari binatang ke manusia. Akhirnya nabi menyempurnakan siklus Kemaujudan dengan mereguk ruh surgawi pada dirinya.
Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistis tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz dan al-Tahdzib al-Akhlaq. Pada karya pertama, ia membahas masalah ini secara lebih menyeluruh. Tetapi beberapa kali ia mengulangi sendiri tentang banyak hal dalam kedua buku itu; dalam kedua buku itu kita mempunyai alasan serupa, contoh-contoh serupa dan hampir kata-kata serupa.
Trhadap kaum materialis, ia membuktikan adanya ruh dengan dasar bahwa pada diri manusia terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan dan bahkan pertentangan bentuk dalam waktu yang bersamaan. Tetapi sesuatu itu tidak dapar berupa materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Ruh mencerap hal-hal sederhana dan kompleks, yang ada dan yang tidak ada, yang terasakan dan yang terpikirkan. Tetapi, apakah ia mencerap semua itu melalui satu atau banyak unsur (faculty)? Ruh tidak mempunyai unsur; unsur-unsur hanya teradpat pada materi. Apakah ruh, meskipun hanya satu dan tak dapat dibagi-bagi, mencerap sesuatu yang berbeda dengan sikap yang berbeda dan cara yang berbeda pula? Dalam menjawab pertanyaan ini, Miskawaih memberikan dua jawaban berlainan : pertama dari Plato, yang mengatakan bahwa yang serupa mencerap yang serupa, dan kedua dari Aristoteles, yang mengatakan bahwa ruh mempunyau satu unsur yang mencerap materi yagn kompleks dan non materi yang sederhana, tetapi dengan cara berlainan. Dalam kaitan ini, Miskawaih menyebutkan Themistius dan bukunya Tentang Ruh.
Mengenai keabadian ruh, Miskawaih memberikan jawaban mula-mula dengan doktrin Aristoteles. Kemudian (pada Bab VI) ia memberikan tiga alasan dari Plato; pertama ia mengutip Plato sendiri, kedua, tulisan Proclus Komenter terhadap Dontrikn Plato tentang keabadian Ruh, dan ketiga, sesuatu yang telah dikatakan oleh Galen mengenai hal ini. Miskawaih mengatakan bahwa doktrin Plato sangat panjang dan memerlukan komentar; karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas mungkin dengan bantuan Komentar Proclus. Di sini dan pada Bab-bab berikutnya ( VII, VIII) dia sepenuhnya Platonis dan menyebutkan secara khusus Hukum dan Timaeus Plato. Plato mengatakan bahwa esensi ruh adalah gerak, sedang gerak adalah  kehidupan ruh. Miskawaih menerangkan dan berkata : Gerak ini terdiri atas dua macam : pertama, gerak ke arah intelegensi, dan kedua gerak  ke arah materi; yang pertama  diterangi, sedang yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini  kekal dan tidak di dalam ruang, dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh  mendekati intelegensi, yang merupakan ciptaan pertama, sedang lewat gerak kedua,  ia keluar dari dirinya. Karena itu, ruh lebih mendekati Tuhan melalui gerak pertama dan menjauh lewat gerak kedua. Yang pertama membawa keselamatan dirinya, sedang yang kedua kebinasaan. Dengan  mengutip Plato, ia mengatakan bahwa fislafat merupakan suatu penerapan berdasarkan kemauan. Ada dua macam kehidupan : Pertama, kehidupan yanbg sesuai dengan intelegensi, yaitu “kehidupan alamiah”, dan kedua, kehidupan menurut materi, yaitu kehidupan berdasarkan kemauan. Demikian pula dengan kematian; karena itu Plato mengatakan : Jika Anda mati berdasarkan kemauan, maka Anda hidup secara alamiah. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”.
Tetapi, Miskawaih sekaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap dunia; hal itu merupakan sikap mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa mansuia secara fitrah beradab dan tidak dapat hidup tanpa yang lain. Mereka, yang mengabaikan masalahdunia, sangat tidak adil, karena mereka menginginkan layanan yang lain tanpa bersedia melayani yang lain, dan inilah ketidak adilan sejati. Beberapa orang menyangka bahwa mereka hanya memerlukan sedikit, tetapi, meskipun hanya sedikit, namun mereka tetap membutuhkan layanan banyak orang. Karena itu, wajib bagi setiap manusia melayani yang lain; bila ia banyak melayani, maka ia dapat menuntut banyak, tetapi bila ia hanya melayani sedikit, maka ia hanya dapat meminta sedikit.
Inilah satu segi penting dari pandangan filosofis Miskawaih dan hal ini menunjukkan perhatiannya yang besar di bidang etika.

FILSAFAT MORAL
Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak. Tahdzib al-Akhlaq, dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Di sini penerapannya kirang filosofis, tetapi sangat terinci.
Masalah peralihan dari psiklologi ke akhlak disajikan pada halaman 18 hingga 21, yang, dengan mengikuti Plato, ia memperssamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. Ruh mempunyai tiga pembawaan : Rasional, keberanaian; dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal itu, kita dapat memperoleh yang keempat, yaitu : keadilan.  Orang-orang Yunani bersifat teoritis dan spekulatif, sehingga Plato tidak dapat beranjak lebih jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Miskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh : ketajaman itelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali; sebelas bagian dalam keberanian, yaitu : kemurah hatian, kebersamaan, kesabaran, kerendahhatian, semangat dan kepengampunan; duabelas dalam kesederhaan, yaitu : malu, ramah, benar, damai, menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan (yang dibagi lagi menjadi enam); dan sembilan belas bagian dalam keadilan, yaitu : persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal ketidakadilan, dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat dan penipuan. Tetapi, kita tidak dapat menentukan secara pasti apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-pembedaan ini hanya dilakukan oleh Miskawaih. Tentu ia banyak memperoleh manfaat bagi dirinya dari para pendahulunya, terutama dari jalur abu sulaiman al-Sajistani al-Mantiqi, yang gema karya-karyanya kita temukan dalam Muqabasat-nya Tauhid.
 Sejauh ini Msikawaih dalah Platonis, tetapi sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama, dan dengan ini pula ia mengakhiri bab pertama.
Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manusia dan asal-usulnya, baik yang lahir dalam keadaan baik maupun jahat. Ia mengutip pendapat orang-orang Yunani terdahulu bahwa fitrah itu tak pernah berubah, tetapi ia menolak pendapat itu. Kemudian ia mengambil pendapat Stoa yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik, tetapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kepada nafsu jahat dan memelihara persekutuan jahat itu. Ada pula pendapat ketiga, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan buruk dan mereka dapat berubah menjadi baik hanya bila dengan pendidikan. Galen menolak dua pendapat terakhir dan mengatakan bahwa manusia terdiri atas tiga macam : ada yang secara fitrah baik, ada yang secara fitrah buruk dan yang ketiga di antara keduanya. Akhirnya, Miskawaih menyatakan pendapat Aritoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa “adanya manusia bergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung kepada kemauan sendiri.”
Kesempurnaan yagn dapat dicapai ada dua macam; pertama kesempurnaan teoritis dan kedua, kesempurnaan praktis. Dengan kesempurnaan pertama, ia akan memperoleh pengetahuan yang sempurna, dan dengan kesempurnaan keuda, ia akan memperoleh kepribadian yang sempurna. Manusia mempunyai tiga pembawaan yang tertinggi, ialah akal, yang ternedah ialah nafsu, dan diantara keduanya terletak keberanian. Manusia pada mulanya adalah manusia. Dengan demikian, kesempurnaan manusia terutama bergantung kepada jiwa rasional. Pada setiap pembawaan terdapat banyak tingkatan, yang oleh Miskawaih dijelaskan secara terinci. Di sini (hal. 67-78) kita dapati suatu bab yang panjang tentang pendidikan anak dan remaja.
Bagian utama etika Miskawaih dimulai dari bab ketiga *(hal 90, dan seterusnya). Petama-tama, ia mengikuti Aristoteles, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung kepada komentar  Porphyry terhadap tulisan Aristoteles Nicomachean Ethics  yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas jilid. Tetapi sayang komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Tapi dapat kita kumpulkan sesuatu dari bentuknya dari Tahdzib al-Akhlaq-nya Miskawaih.
Mengikuti Aritoteles, Miskawaih mengatakan  (hal. 90) bahwa kebaikan terletak apda segala yang menjadi tujuan. Definisi ini diperkirakan mungkin berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 S.M.), yang disajikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih mengatakan bahwa apa yang berguna magi mencapai tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut baik. Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif – bagi pribadi. Itu hanyalah satu macam kebaikan yang  tidak mempunyai hakikat tersendiri dan berdiri sendiri.
Miskawaih, sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan kebahagiaan, tetapi menambahnya secara lebih terperinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry. Pengelompokkan ini terdiri atas, (1) kesehatan, (2) kekayaan, (3) kemasyhuran dan kehormatan, (4) keberhasilan dan (5) pemikiran yang baik.
Setelah memaparkan pendapat-pendapat Hypocrates, Pythagoras, Plato, kaum Stoa dan beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh adalah bagian dari manusia dan bukan alat bagi manusia; karena itu kebahagiaan ruh tidak akan lengkap bila tidak disertai kebahagiaan tubuh.
Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti  menolak ajaran yang mengatakan bahw kebahgiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahw hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Di sini ia menegaskan lagi Anschauung-nya. Tetapi sebagai seorang religius sejati, ia lebih memilih akhirat. Untuk menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel diterjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang berjudul Keutamaan Ruh yang ditulis oleh Aritoteles.  Kita tidakd apat menemukan tulisan Aristoteles ini di tempat lain. Ada dua macam kebahagiaan di akhirat, tetapi tak seorang pun dapat memeproleh kebahagiaan yang kedua tanpa melalui kebahagiaan yang pertama. (Hl. 111), akrena, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, kebahagiaan ukhrawi mekipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia, memerlukan kebahagiaan dunia, jika tidak ia akan tetap tak teraih.
Bab empat, terutama memuat keadilan dan penjelasan secara terinci tentang arti keadilan itu. Di sini ia kembali mengikuti bagian-bagian dalam Nicomachean Ethics-nya Aritoteles.
Pada bab lima, ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada bagian ini ialah tentang dua macam cinta. Hal yang menarik kepada Tuhan, dan (b) cinta murid kepada guru. Cinta macam pertama sangat sulit dicapai oleh makhluk yang fana, dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Sedang untuk cinta macam kedua, Maskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanyadengan cinta murid kepada guruny, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah. Karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati. Guru adalah “bapak ruhani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah, karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi.” (hal.175).
Pershabatan, secara umum, merupakan hal paling suci dan bermanfaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain juga merupakan teman baginya; ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang yang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Miskawaih mengutip pendapat Aritoteles yang mengatakan bahwa manusia itu membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam keadaan buruk. Bahkan seorang raja pun memerlukan teman. Karena ia tidak akan dapat mengetahui kebutuhan rakyatnya kecuali melalui teman-teman dekatnya, sebab mereka itu akan memberikan keterangan dan membantu melaksanakan perintah-perintahnya. Manusia harus bekerja sebaik-baiknya untuk membahagikan teman-temannya dan selalu beruat baik kepada mereka tanpa beruat munafik dan mengambil muka.
Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan (‘adl)bersifat Aristoteles – meskipun baginya – kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari keesaan tuhan, keseimbangan sejati. Pengetahuan tentang cara  atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpedanapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak Ilahiah bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian. Seorang raja, sebagai khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak ilahiah. Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi “orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat.” Sedang bagi ibn Miskawaih, hal itu merupakan keberlihan terhadap keadilan dan dapat menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan efek prasangkanya terbatas pada aorang yang baik itu saja, dan penerima itu sendiri merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu. Dengan demikian, kemurahhatian merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan. Begitu pula cinta, menurutnya, bukanlah perluasan dari cinta diri, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, tetapi suatu batasan dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Ia memandang rasa cinta  (mahabbah)sebagai kapasitas fitrah untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu, dengan mendasarkan pada pertimbangan kuntungan, kesenangan, atau kebaikan sebagaimana dicerap oleh Aristoteles. Cinta (‘Isyq) yang merupakan hasrat berlebihan terhadap  kesenangan  - pertimbangan keuntungan bertentangan dengan cinta -  tak dapat melampaui dua individu. Obyek cinta hewani yakni kesenangan, sedang obyek cinta spiritual yakni kebajikan atau kebaikan. Cinta hewani adalah tercela dan diharamkan, sedang cinta ruhani patut dipuji. Dia menyebutkan secara spesifik cinta manusia kepada Tuhan, cinta murid kepada guru dan cinta anak kepada orang tua secara bertingkat-tingkat sebagaimana ditunjukkan di atas. Ia menyimpulkan bahwa keadilan dapat mewujud melalui rasa takut dan kekuatan, sedang cinta kasih merupakan suatu sumber alami kesatuan, sehingga, keadilan tidak diperlukan bila cinta kasih telah unggul. Dengan demikian, cinta kasih berdaulat, sedangkan keadilan adalah wakilnya.
Sebagaimana dalam al-Fauz al-Asghar, dalam Tahdzib al-Akhlak (Hal.195 – 96) pun, Miskawaih menentang segala bentuk kehidupan kepertapaan, karena kepertapaan “menjauhkan diri dari segala kebajikan moral yang telah disebut di atas. Bagaimana bisa orang ayng memisahkan diri dari orang lain dan hidup menyendiri menjadi bersahaja, adil, murah hati atau berani? Apakah ia itu bukan organik dan tidak mati?” kebahagiaan ilahiah merupakan tujuan akhir dan kebaikan manusia. Kebahagiaan ilahiah dimiliki oleh bagian suci manusia. Ia merupakan kebaikan sejati, sedang akal merupakan kebaikan pertama.

PENGORBANAN RUHANI
Dua bab terakhir dari Tahdzib al-Akhlaq memuat apa yang disebut pengobatan ruhani, sebuah kalimat yang kita  temukan pertama kali dalam buku terkenal Muhammad ibn Zakaria al-Razi Al-Tibb al-Ruhani, Miskawaih menggunakan ungkapan Tibb al-Nufus (hal. 205), tetapi kesamaan dalam perlakuan secara umum terhadap masalah itu mencolok. Hal ini menjukkan bahwa tak diragukan lagi bahwa Miskawaih mengenal tulisan-tiulisan al-Razi meskipun ia tidak menyebut namanya. Keduanya dibuka dengan mengatakan bahwa penguasaan nafsu merupakan dasar hakiki kesehatan ruhani. Keduanya mengutip karya Galen tentang Cacat Diri. (Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Thuma dan diperbaiki oleh Hunain). Sementara al-Razi merasa puas dengan apa yang dikatakan oleh Galen. Miskawaih mengatakan bahwa tak seorang sahabat pun dapat menemukan kekurangan Anda, bila demikian maka seorang musuh lebih baik dan berguna dariapda seorang teman dalam hal ini (Hal. 200). Karena ia lebih peka akan kejelekan-kejelakan Anda dan tidak ragu-ragu mengatakannya kepada Anda. Berkenaan dengan ini, Miskawaih menganjurkan mempelajari tulisan lain Galen, Orang baik Mendapatkan Manfaat dari Musuh-Musuhnya” yang memuat masalah ini yang juga disebut oleh al-Razi. Kemudian ia mengutip al-Kindi yang mengatakan bahwa orang yang mencari kebajikan mesti menyadari bahwa gambaran-gambaran kenalan-kenalan merupakan cermin kejahatan-kejahatan yang timbul dari kepedihan dan hawa nafsu.
Akhirnya, Miskawaih membahas penyembuhan penyakit jiwa. Ia menyebutkan penyakit-penyakit yang paling penting, marah, bangga diri, suka bertengkar, khianat, penakut, sombong, takut dan susah – dan dikaitkan dengan cara-cara penyembuhannya. Beberapa bab yang ditulisnya sesuai dengan beberapa bab yang ditulis oleh al-Razi dan Tibb, terutama yang berkaitan dengan bangga diri, susah dan takut mati. Ia juga menulis kembali beberapa halaman dari uraian al-Kindi, tentang Menolak Kesedihan (hal. 256).
Mengapa Miskawaih tidak menyebut Muhammad ibn Zakaria al-Razi? Hal itu disebabkan oleh kesimpulan-kesimpulan dan metode-metode penyembuhan al-Razi yang sangat berbeda dengannya. Al-Razi, orangnya berani, rasionalis dan sukar dipahami, sedang al-Kindi lunak, taat dan lebih dapat diterima.
Telah kami paparkan segala yang telah mempengaruhi Miskawaih, yaitu roang-orang Yunani, tetapi tidak dapat kita lupakan bahwa kebudayaan Islam juga mempunyai pengaruh penting baginya. Dalam memperkuat pendapat-pendapat yang dikemukakannya, ia sering mengutip ayat-ayat al-Quran, hadis Nabi, ucapan-ucapan ibn Abi Thalib dan al-Hasan al-Bashri, di samping puisi-puisi Arab.

FILSAFAT SEJARAH
 Pada dasarnya Miskawaih adalah seorang ahli sejarah dan moralis. Etika yang disusunnya bersifat genentik (yaitu didasarkan pada tempat dan posisi manusia di dalam evolusi kosmik), agamis dan praktis. Bahka ia merasa perlu memperbaraui moral diri sebelum menulis Tahdzib al-Akhlaq. Mengenai sejarah, pandangan-pandangannya, bersifat filosofis, ilmiah dan kritis. Ia menggariskan fungsi sejarah dan tugas-tugas ahli sejarah sebagai berikut :
Sejarah bukanlah cerita hiburan tentang dir para raja, tetapi suatu pencerminan struktuir politik ekonomi masyarakat pada masa-masa tertentu. Ia merupakan rekaman naik turunnya peradabanm bangsa-bangsa dan negara-negara.
Untuk itu, ahli sejarah harus menjaga diri terhadap kecenderungan umum mencapuradukkan kenyataan dan rekaan atau kejadian-kejadian palsu. Ia bukan saja harus faktual, tetapi juga harus kritis dalam mengumpulkan data.
Terlebih, ia mesti tidak hanya mengisi sejarahnya dengan gambaran-gambaran tentang kenyataan, tetapi juga pandangan- pandangan filosofis, menafsirkannya dalam lingkup kepentingan amanusiawi dan akibat-akibat yang terjadi. Sebagaimana di dalam alam, di dalam sejarah pun tidak ada tempat bagi kebetulan.
Karena itu, sejarah bukanlah kumpulan kenyataan terpisah dan statis, tetapi merupakan proses kreatif dinamis harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi manusia. Ia adalah organisme yang hidup dan tumbuh, yang strukturnya ditentukan oleh cita-cita dasar serta cita-cita kebangsaan dan negara. Ia tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lalu menjadi suatu kesatuan organik, tetapi juga menentukan benetuk sesuatu yang akan datang. Karyanya yang sangat ebrguna dan monumental adalah Tajarib al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa) yang tujuan dan metodenya sangat sugestif, dan menurut Leon Caetani, sangat dekat dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh ahli-ahli sejarah Barat dan ahli-ahli sejarah modern.
*************************************

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar