Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Rabu, 14 Maret 2018

Filsafat Al-Razi


Peringatan : Jika ilmu agamanya kurang kuat, sangat berbahaya membaca buku ini

PARA FILOSOF MUSLIM”
“MUHAMMAD  IBN  ZAKARIA AL-RAZI”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

DATRA ISI
A. MASA HIDUPNYA
B. KARYA KARYANYA
C. FILSAFATNYA
D. TEOLOGI
E. FILSAFAT  MORAL
F. KESIMPULAN

A. MASA HIDUPNYA

Menurut al-Biruni, abu Bakr Muhammad ibn  Zakaria ibn Yahya al-Razi lahir di Rayy, pada tanggal satu Sya’ban, tahun 251 H/865 M.  Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan (Baihaqi), penukar uang (ibn abi Usaibi’ah), atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi (ibn Juljul, Sa’id, ibn, Khalikan, Usaibi’ah, al-Safadi) yang pertama meninggalkan musik untuk belajar alkimia, dan pada usia tigapuluhan atau (seperti dikatakan  Safadi) setelah umur empat puluhan ia meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat eksperimen yang dilakukannya (al-Biruni), yang menyebabkannya mencari dokter dan obatan-obatan. Itulah sebabnya, sebagaimana kata mereka (al-Birunim Baihaqi dan lain-lainnya), ia mempelajari ilmu kedokteran (obat-obatan). Ia sangat rajin belajar dan bekerja siang dan malam hari. Gurunya, ‘Ali ibn Rabbana al-Thabari (al-Qifti, Usaibi’ah), adalah seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada tahun 192 H/808 M dan meninggal beberapa tahun setelah 240 H/855 M. Ia belajar ilmu kedokteran keapda ibn Rabban al-Thabari,d an kemungkinan juga ilmu fisika. Mungkin minat al-Razi pada fislfat agama disebabkan oleh gurunya, yang ayahnya adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Di kota kelahirannya, al-Razi terkenal sebagai dokter. Karena itu, ia memimpin rumah sakit di Rayy (ibn Juljul, al-Qifti, ib Abi Usaibi’ah) ketika Mansur  ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad menjadi Gubernur Rayuy, darit ahun 290 – 296 H / 902 – 908 M, atas nama kemenakannya Ahmad ibn Ismail ibn Ahmad, sebagai pemerintah Samaniah  kedua. Razi menulis kitab al-Tibb al-Mansur, untuk dipersembahkan kepada Manusr ibn Ishaq ibn Ahmad, sebagaimana dibuktikan oleh naskah kitab ini, sebagai penolakan atas asumsi al-Nadim, yang diulang oleh Qifti dan abi Usaibi’ah, bahwa manusr ini adalah Mansur ibn Isma’il yang meninggal pada tahun 365 H / 975 M.
Al-Razi dari Rayy pergi ke Baghdad pada masa khalifah Muktafi (289 H /901 M – 295 H / 908 M), dan di sana ia memimpin rumah sakit pula.
Setelah al-Muktafi meninggal tahun 295 H / 907 M, al-Razi kembali ke Rayy. Di Rayy ia mempunyai banyak murid. Sebagaimana ditunjukkan oleh al-Nadim dalam Fihrist, bahwa al-Razi kemudian menhjadi syekh dengan kepala besar menyerupai karung; ia bisa dikelilingi oleh banyak murid. Jika seseorang betanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu dilemparkannya kepada lingkaran pertama untuk di jawab; bila tak ada dari mereka yang dapat menjawab, kemudian diserahkan kepada lingkaran kedua, dan seterusnya sehingga sampai kepada al-Razi sendiri biula semua telah gagal menjawsabnya. Dari para murid itu, setidaknya satu di antaranya ada yang kita kenal, yaitu abu Bakr ibn Qarin al-Razi yang menjadi dokter. Al-Razi adalah orang yang muerah hati, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin, karena itu ia memberikan pengobatan sepenuhnya kepada mereka tanpa meminta bayaran sedikit pun, dan ia juga menggunakan perolehan-perolehan itu secara berkala untuk mereka.
Jika tidak bersama murid dan pasiennya, ia selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya ia menjadi buta. Beberapa orang mengatakan bahwa sebab-sebab kebutaannya adalah karena terlalu banyak makan buncis (baqilah). Penyakitnya bermula dengan rabun dan akhirnya menjadi buta sama sekali. Mereka mengatakan bahwa ia menolak diobati dengan mengatakan bahwa ia sudah terlalu banyak melihat dunia, dan telah banyak menikmatinya. Tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan anekdot dariapda kenyataan sejarah. Ketika salah seorang muridnya datang dari Tabaristan untuk mengobatinya, ia menolak, tetapi sebagaimana kata al-Biruni, ia menolak diobati dengan mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia akan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H / 27 Oktober 925 M.
Sebagaimana disebut di atas, alRazi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban al-Thabari. Ibn al-Nadim mengatakan bahwa ia belajar filsafat kepada al-Balkhi. Menurut ibn al-Nadim, al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan perjalanan, mengenai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan bahwa al-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat al-Balkhi. Kita tak tahu lagi tentang al-Balkhi ini, bahwa nama alengkapnya pun kita tak tahu.
Sebaliknya, lawan-lawan al-Razi, dikenal dengan baik, mereka adalah sebagai berikut :
1, Abu al-Qasim al-Balkhi, pemimpin kaum Mu’tazilah di Baghdad (tahun 319 H / 931 M) yang hidup semasa dengan al-Razi, ia banyak menulis penolakan terhadap buku-buku al-Razi, terutama buku ‘Ilm al-Iahi. Ia berbeda dengan al-Razi terutama tentang waktu.
2. Syuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, dengannya al-Razi mempunyai banyak perbedaan, salah satu dari perbedaan tersebut adalah teori tentang kesenangan. Teorinya tentang kesenangan ini diterangkan dalam kitabnya Tafdhil Ladzdzat al-Nafs yang disarikan kembali oleh abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani dalam Siwan al-Hikmah. Al-balkhi meninggal sebelum tahun 319 H/ 940M.
3. Abu Hatim/ 934 M) dan salah seorang ahli da’wah Isma’illiah terbesar. Ia menulis perbedaan-perbedaannya dengan al-Razi dalam buku A’lam al-Nubuwwah. Kita patutu berterima kasih kepada buku ini, karena berkat jasanya, pendapat-pendapat al-Razi tentang kenabian dan agama dapat ikita nikmati.
4. ibn Tammar, menurut Kraus, mungkin adalah abu Bakr Husain al-Tammar, tabib yang mempunyai beberapa perbedaan dengan al-Razi sebagaimana dilaporkan oleh abu Hatim al-Razi dalam A’lam al-Nubuwwah. Ibn al-Tammar menolak tulisan al-Razi al-Tibb al-Ruhani dan al-Razi menjawab sanggahan ini. Sebenarnya, al-Razi menulis dua sanggahan : (a) sanggahan terhadap penolakan al-Tammar atas Misma’i tentang materil (b) Sanggahan terhadap pendapat al-Tammar tentang atmosfir bawah tanah.
5. Mereka yang kita kenal dari judul buku yang ditulis oleh al-Razi : (a) al-Misma’i, seorang mutakallim yang menulis untuk menentang kaum materialis dan terhadap mereka al-Razi menulis sebuah risalah, (b) Jarir, seorang dodkter yang berteori tentang  ‘makan mulberry hitam setelah air labu; (c) al-Hasan ibn Mubarik al-Ummi, kepadanya al-Razi menulis dua buah surat; (d) al-Kayyal, seorang Mutakallim, yang terhadap teorinya tentang Imam, menulis sebuah kitab, (e) Mansur ibn Thalhah, yang menulis buku tentang “Kemaujudan” yang ditolak oleh al-Razi; (f) Muhammad ibn al-Laith al-Rasa’ili yang tulisannya terhadap ahli alkimia dijawab oleh al-Razi.
6. Ahmad ibn al-Thayyib al-Sarakhsi (meninggal tahun 286 H/899 M), senior al-Razi menolaknya atas masalah rasa pahit, Al-Razi juga menolak gurunya, yaitu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindim, yang menulis sanggahan terhadap ahli-ahli alkimia.
7. Akan kita tambahkan lagi mereka yang tak dikenalyang telah ditolak pendapatnya oleh al-Razi trutama dari kalangan Mu’tazikah dan Mutakallim lainnya.

B. KARYA-KARYANYA

Buku-buku al-Razi sangat banyak, dia sendiri mempersiapkan katalog untuk buku-buku yang ditulisnya, dan kemudian diproduksi oleh ibn al-Nadim. Yang kita temukan : 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu maqalah jumlah seluruhnya 148 buah.
Setelah ibn al-Nadim, al-Biruni menulis bibliografi al-Razi. Tulisan ini ditemukan di dalam naskah unik di Leiden, yang disunting  oleh Paul Kraus, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh J. Ruska dalam artikelnya : al-Biruni als Quelle fur das Leben und die Suchriften al-Razi’s. Katalog ini didahului dengan catatan singkat tentang kehidupan al-Razi. Buku-buku tersebut dikelompkkan sebagai  berikut : (a) tentang ilmu kedokteran (buku ke 1 – 56); (b) Ilmu fisika (57 – 89); (c) Logika (90-96); (d) matematika dan astronomi (97-106) (e) Komentar, ringkasan dan ikhtisar (107-113); (f) filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis (114-130); (g) metafisika (131-136); (h) teologi (137-150); (i) alkimia (151-172); (j) tentang ateisme (173-174); (k) campuran (175-184). Di dalam daftar al-Nadim dan al-Biruni terdapat judul-judul yang dikenal dan yang kurang dikenal.
Ibn abi Usaibi’ah (vol.I, Hal. 315-19) menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas pengarangnya.
Judul-judul lain diberikan oleh al-Biruni, al-Qifti, dan ibn abi Usaibi’ah yang dikumpulkan oleh Dr. Mahmud al Najmabadi dalam bukunya : Syarh Muhammad ibn Zakariya, yang diterbitkan pada tahun 1318 H/1900 N. Ia memberikan 250 judul,
Masih terdapat naskah buku al-Razi, Brockelmann (Vol.I, hal 268-71, yang dilengakpi dengan Vo. I, hal. 418-21) memberikan 59 judul lagi.
Tentang buku-buku filsafat , di antaranya :
1. Al-tibb, al-Ruhani (Britis Musium, Add. Or. 25758, Vat. Ar. 182 Kairo 2241 Tas).
2. Al-Shirat al-Falsafiyyah (Brit. Mus. Add. Or. 7473).
3. Amarat Iqbal al-Daulah (Raghib 1463, ff,98.a-99b, Istanbul).
Ketiganya, itu diterbitkan oleh Paul Kraus : “Abi Bakr Muhammadi Filu Zachariae,” Opera Philosophica, fragmentaque quae supersunt, Cellegit et edidit Paulus Kraus. Pers Prio. Cahirae MCMXXXIX. Dalam edisi ini Kraus juga menerbitkan kutipan-kutipan dari buku-buku berikut :
1, Kitab al-Ladzdzah.
2. Kitab al-Ilm al-Ilahi.
3. Maqal.ah fi ma ba’d al-Tabi’ah
Karya terakhir ini adalah palsu, yang secara salah dianggap sebagai naskah al-Razi (Istanbul, Raghib 1463, f. 90a-98b). Kraus juga memberikan kutipan-kutipan dari pengarang lain tentang pendapat al-Razi mengenai : (a) Lima keabadian  (Tuhan, Ruh, Semesta, materi pertama, ruang mutlak, dan waktu mutlak); (b) materi; (c) waktu dan ruang; (d) ruh dan dunia. Pada akhir volume itu ia memberikan ringkasan dari A’lam al-Nubuwwah-nya abu Hatim tentang kenabian, yang diikuti oleh ringkasan dari Aqwal al-Dzahabiyyah-nya ‘Abdullah al-Kirmani tentang hal serupa.
7. Di samping buku ini dan ringkasan-ringkasan yang terkandung di dalam volume pertama (hanya satu yang diterbitkan oleh Kraus), Kraus, dalam Orientalia, menerbitkan pula ringkasan-ringkasan lain yang berkaitan dengan pendapat al-Razi tentang kenabian (Vol; V, Fasc.3/4, Roma, 1936).
8. Al-Syukuk ‘ala Proclus, disiapkan oleh Kraus untuk disunting, dan ditemukan di antara kertas-kertas yang ditinggalkan setela ia bunuh diri.
Tidak ada buku-buku filsafat tersebut yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Seluruh karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin itu adalah kerya-karyanya tentang ilmu kedokteran dan alkimia.

C.  FILSAFATNYA

1.  Metode
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni. Ia mempercayai banyak akal. Do bidang kedokteran, studi klinis yang dilakukannya telah menghasilkan metode yang kuat tentang penemuan yang berpijak pada observasi dan eksperimen. Dalam Kitab al-Faraj  ba’d al-Syiddah-nya al-Tanukhi (meninggal 384 H/994 M), dan Chahar Maqalah-nya Nizami ‘Arudi Samarqandi  yang ditulis sekitara tahun 550 H/1155 M, kita dapati kasus-kasu yang dilakukan oleh al-Razi, di mana ia menunjukkan meteode penemuan klinis yang sangat baik. E.G. Browne, dalam Arabian Medicinetelah menerjemahkan satu halaman yang meungkin diambil dari  Hawi, sebuah naskah yang ditulis oleh al-Razi yang menunjukkan metode ini. Bunyi terjemahannya itu, sebagai berikut :
Pemujaan al-Razi terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertama dari bukunya al-Tibb al-Ruhani. Ia mengatakan : “Tuhan, segala puji bagi-Nya, Yang telah memberi ikita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; ini lah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kitadan yang membuat hidup kita baik – dengan akal kita dapat mengetahui  yang gelap, yang jauh, dan yang sembunyi dari kita . . . . . . dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh ....... Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita harus menurujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala hal masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.”
Bahkan pikiran paling rasionbal pula tak akan memuji sejelas dan setinggi itu. Tiada tempat bagi wahyu atau intuisi mistis. Hanya akal logislah yang merupakan kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku. Tak ada kekuatan irasional dapat dikerahkan. Al-Razi menentang kenabian, wahyu, kecenderungan berfikir irasional.
Manusia lahir dengan kemamuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya melalui pemupukan kemampuan inilah, manusia menjadi berbeda, ada yang menggunakannya untuk spekulasi dan belajar, ada yang mengabaikannya, atau mengarahkannya untuk kehidupan praktis.

2. Metafisika/
Untuk memulai menerangkan metafisika al-Razi, pertama harus memlalui risalah kecil tentang-nya : Maqalah li Abi Bakr Muhammad Ibn Zakariya al-Razi fi ma ba’d al Tabi’ah (Raghib MS. No. 1463, ff. 90a-98b, di Istanbul). Banyak keraguan tentang tulisan ini, karena isinya tidak menyetujui sepenuhnya ajaran al-Razi. Hal ini, sebagaimana dugaan Pines, mungkin dikarenakan mengikuti periode lain perkembangan pemikiran al-Razi, atau ini mungkin hanya berisi kutipan historis yang sistimatis dari gagasan-gagasan orang lain tanpa mengutip pemiliknya, atau barangkali sama sekali bukan tulisan al-Razi.
Betapapun, pokok-pokok karangan  itu ialah :
(1) alam, (2) janin dan (3) kekekalan gerak. Ia menolak mereka yang berpendapat bahwa alam adalah prinsip gerak, terutama Aristoteles dan para pengulasnya : Jihn Porphyry, pertama ia menolak ketidakperluan membuktikan keberadaan alam, karena ia tak terbukti dengan sendirinya. Bila alam itu satu dan sama, maka kenapa ia dapat menimbulkan berbagai akibat pada batu dan manusia? Jika alam menimbulkan tubuh, bukankah ini berarti bahwa dua benda dapat mempunyai satu tempat yang sama? Mengapa pengikut-pengikut pendapat itu mengatakan bahwa alam itu mati, tak dapat dirasakan, lemah, bodoh, terkekang, dan pada saat yang sama mereka menganggap bahwa alam mempunyai nilai yang sama dengan Tuhan? Menolak Porphyry, pengarang mengatakan : Anda setuju bahwa adanya alam karena adanya sesuatu, bukan kebetulan belaka; kemudian mengapa Anda mengatakan bahwa alam itu mati dan bukannya suatu agen hidup.
Tapaknya pengarang ingin menolak semua ajaran yang beranggapan alam adalah prinsip gerak dan penciptaan, dengan menunjukkan kontradiksi-kontadiksi ajaran-ajaran itu. Ia berpendapat bahwa tidak ada tempat bagi mengakui alam sebagai prinsip aksi dan gerak. Tetapi ia tidak menentukan sikapnya; risalah pendek yang disusunnya itu bersifat bersifat negatif dan destruktif.
Mengenai kekekalan gerak dan waktu, pengarang membahas terutama pendapat-pendapat Aristoteles dan Proclus. Ia menunjukkan penolakannya terhadap Proclus. Kita tahu bahwa al-Razi pernah menulis risalah berjudul “Kesangsian terhadap Proclus”, dan Kraus beranggapan bahwa ini merupakan alasan tentang keaslian karangan ini sebagai tulisan al-Razi, tetapi kami berpendapat bahwa ini merupakan alasan yang lemah, karena karya Proclus de aetermitate banyak dibahas oleh pemikir-pemikir Arab setelah diterjemahkan oleh Ishaq ibn Hunain. Menurut pengarang, waktu itu terbatas, dan tidak kekal, dunia juga terbatas hanya ada satu dunia, dan di luar dunia yang satu ini tidak maujud sesuatu pun (kecuali Tuhan). Di sini dia mengambil pendapat-pendapat Metrodorus dan Seleucus dari Placita Philosophorum-nya pseudo Plutarch.
   Kecenderungan umum risalah ini bersifat polemis dan dialektis. Ia tak dapat dirujukkan dengan pendapat-pendapat al-Razi tentang waktu, ruang dan Tuhan. Karena itu, kita berpendapat bahwa tulisan tersebut adalah palsu dan tak dapat dikatakan sebagai tahapan lain perkembangan jiwa al-Razi.
Doktrin sejati al-Razi dapat dicari dalam buku-nya Kitab al-Ilm al-Ilahi. Tetapi sayang, karya itu hilang dan kita hanya memiliki bantahan-bantahan dari beberapa bagian halaman yang dikumpulkan oleh Kraus. Kita bahkan tidak memiliki bagian-bagian naskah karya al-Razi. Dengan sebuah kritik lawan, tak bisa berbuat lain kecuali puas dengan bantahan-bantahan tersebut. Apa yang dapat kita simpulan dari sini adalah bahwa al-Razi menulis dalam buku ini tentang : ruang, kehampaan waktu, materi, perpidnahan jiwa, kenabian, kebahagiaan, dan Manichaeisme.
Filsafata al-Razi terutama diwarnai oleh Doktrinnya tentang Lima Kekekalan. Al-Biruni mengatakan bahwa “Muhammad ibn Zakaria al-Razi telah melaporkan kekekalan lima hal dari Yunani kuno, yaitu : Tuhan, Ruh Universal, materi pertama, ruang mutlak, dan waktu mutlak, kelima hal ini menjadi landasan ajarannya. Tetapai ia membedakan antara waktu dan keberlangsungan dengan mengatakan bahwa angka berlaku bagi satu dan bukan yang lain, karena keterbatasan berkaitan dengan keangkaan, karena itu para filosof mendefinisikan waktu sebagai keberlangsungan yang berawal dan berakhir, sedangkan keberlangssungan (dahr) tidak berawal dan tidak berakhir. Dia juga mengatakan bahwa dalam Kemaujudan lima hal berikut  adalah perlu : kesadaran bahwa materi terbentuk oleh susunan; ia berkaitan dengan ruang, karena itu harus ada ruang (tempat), pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang dahulu dan ada yang berikut, dan karena waktu, maka ada kekunoan dan kebaruan, ada kelebih tuaan dan ke lebuhmudaan; karenanya waktu itu perlu. Dalam Kemaujudan, terdapat kehidupan, karena itu mesti ada ruh? Dan hal ini; mesti ada yang dimengerti dan hukum yang mengaturnya haruslah sepenuhnya sempurna; karena itu, dalam kenyataan ini, harus ada pencipta, yang bijaksana, mahatahu, melakukan segala seuatu sesempurna mungkin, dan memberikan akal sebagai bekal mencari keselamatan.”
Dua dari lima kekekalan itu, hidup dan bergerak : Tuhan dan ruh; yang pasif dan tidak hidup; materi pembentuk setiap wujud; dan dua lagi tidak hidup, tidak bergerakm dan tidak pasif : kehampaan dan keberlangsungan. Kadang kita mendapatkan kehampaan (khala’) di samping ruang (makan), dan keberlangsungan dalam pengertian yang terbatas (muddah).
Ajaran ini di dalam beberapa sumber (al-Fakhr al-Razi, al-Syahrastani, Nasir al-Din al-Tusi)m, dianggap sebagai berasal dari apa yang disebut Harraniyyah. Siapakah Hraniyyah? Kata ini berasal dari Harran, sebuah kota terkenal di Sabian dan merupakan pusat studi menjelang Islam dan empat abad pertama pada masa Islam. Masignon menduga bahwa Harraniyyah adalah orang yang hanya terdapat dalam khayalan, karena apa yang kita peroleh tentang mereka dalam sumber-sumber yang ada hanya sekedar tulisan romantis. Krakaus juga berpendapat serupa, dan ia memberikan alasan-alasan sebagai berikut : (a) sebelum al-Razi tidak kita dapatkan seorang pun menganggap doktrin lima kekekalan itu berasal dari Harraniyyah; (b) dalam bukunbya ‘Ilm al-Ilahi, al-Razi menjelaskan doktrin Harraniyyah dari Sabian itu beserta doktrin lima kekekalan. Tetapi kemudian Kraus memberikan alasan ke tiga  yang sangat bertentangan dengan keuda bukti tersebut, yaitu : al-Biruni, al-Marzuki, al-Katibi, dan al-Tusi mengatakan bahwa al-Razi menulis kembali doktrin ini dari Yunani kuno, yaitu dari filosof-filosof Yunani awal, terutama Pythagoras, Demokritus, dan sebagainya. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa al-Razi mengambil sumber ajarannya itu dari aliran pemikiran khayali Harraniyyah, padahal ia sendiri mengatakan secara jelas dalam ‘Ilm al-Ilahi, bahwa ajaran itu berasal dari filosof-filosof Yunani awal? Ia tidak perlu mencari pembenaran dari Harraniyyah ketika ia mentakan bahwa ajaran itu berasal dari para filosof Yunani awal. Dengan alasan ini maka tidak kita terima pendapat Massignon, atau pun bukti-bukti dari Kraus yang sangat lemah itu. Pendapat yang menyamakan gagasan-gagasan al-Razi dengan suatu sumber lain yang menyutakan gagasan-gagasan itu berasal dari Harrniyyah, tidak dapat diterima, kecuali hal ini dinyatakan dalam sumber itu sendiri.
Berikut ini akan kita bahas Lima Kekekalan.
(i)  Tuhan.
Kebijakan Tuhan itu sempurna. Ketidak sengajaan tidak dapat disifatkan kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari. Ia mempunyai Kepandaian sempurna dan murni. Kehidupan ini mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan segala sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatu pun dapat menolak kehendak-Nya. Tuhan mengetahui sepenuhnya segala sesuatu. Tetapi ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari pengalaman. Tuhan mengetahui bahwa ruh cenderung kepada materi dan membutuhkan kesenangan bendawi, kemudian ruh mengikatkan dirinya pada materi; Tuhan dengan kebijakan-Nya mengatur ikatan tersebut supaya dapat tercapai jalan paling sempurna. Setelah itu Tuhan memberikan kepandaian dan kemampuan pengamatan kepada ruh. Inilah sebanya kenapa ruh mengingat dunia nyatanya, dan mengetahui bahwa selama ia berada di dunia benda, ia tak kan pernah bebas dari rasa sakit, jika ruh mengetahui hal itu, dan juga mengetahui bahwa di dunia nyata ia akan mempunyai kebahagiaan ranpa rasa sakit, maka ia menghasratkan dunia itu, dan begitu ia terpisah dari materi, maka ia akan tinggal di sana untuk selamanya dengan penuh bahagia.
Dengan begitu, seluruh keraguan tentang kekekalan dunia dan maujudnya kejahatan dapat dihilangkan. Bila kita mengakui adanya kebijakan Sang Pencipta, maka kita harus mengakui pula bahwa dunia ini diciptakan. Bila orang bertanya kenapa dunia diciptakan pada saat ini atau itu, kita jawab karena ruh mengikatkan dirinya pada materi pada saat itu. Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan , tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkannya ke jalan yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada; sumber seluruh kejahatan, susunan ruh dan materi ini sepenuhnya tak dapat dimurnikan.

(ii) Ruh
Menurut al-Razi, tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apa pun, tetapi Ia memutuskan untuk menciptakannya setelah pada mulanya tidak berkehendak menciptakannya. Siapakah yang membuat-Nya melakukam yang demikian itu? Harus ada keabadian lain yang membuat Ia melakukan hal ini.
Keabadian lain ini iala ruh yang hidup, tetapi ia bodoh. Materi, juga kekal. Karena kebodohannya, ruh mencintai materi dan membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan bendawi. Tetapi materi menolak; sehingga Tuhan campur-tangan untuk membantu ruh. Bantuan inilah, Tuhan membuat dunia dan menciptakan di dalamnya bentuk-bentuk yang kuat, yang di dalamnya ruh dapat memperoleh kebahagiaan jasmani. Kemudian Tuhan menciptakan manusia dan dari zat ketuhanan-Nya. Ia menciptakan intelegensi manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah dunia sejatinya.
Tetapi manusia tidak dapat mencapai dunia sejati kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia sejatinya dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh tetap berada di dunia ini sampai mereka disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya dan diarahkan kepada dunia sejati.

(iii) Materi
Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume; kalau tidak maka dengan pengumpulan ataom-atom itu, tiada dapat dibentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari kekelan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasa dari ketiadaan.
Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi, apa yang lebih ringan daripada unsur bumi menjadi unsir air, apa yang lebih renggang lagi  menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih jarang menjadi unsur api.
Wujud lingkungan juga terdiri atas partikel-partikel materi, tetapi susunannya berbeda dengan susunan wujud lain. Buktinya gerak lingkungan tidak menuju ke pusat dunia, tetapi ke garis kelilingnya. Wujud ini tidak begitu padat, sebagai mana bumi, tidak begitu renggang sebagaimana api atau air.
Kualitas-kualitas seperti berat, ringan, gelap, terang dapat dijelaskan dengan kelebihan atau kekurang hampaan yang ada dalam materi. Kualitas adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh unsur wujud, dan unsur wujud adalah materi.
Al-Razi memberikan dua bukti untuk memperkuat pandangannya tentang kekekalan materi. Pertama, penciptaan adalah bukti dengan demikian mesti ada Pencipta. Apa yang diciptakan itu ialah materi yang terbentuk. Tetapi, mengapa kita membuktikan bahwa Pencipta ada terlebih dahulu dari yang dicipta? Dan bukannya yang diciptakan itu yang lebih dahulu ada? Bila benar bahwa wujud tercipta (atau lebih tepat; dibuat (masnu) dan sesuatu dengan kekuatan agen, maka kita dapat mengatakan apabila agen ini kekal dan tak dapat diubah dengan kehendak-Nya, maka yang menerima tindak kekuatan ini tentu kekal sebelum ia menerima tindak tersebut. Penerimanya adalah materi. Jadi materi itu kekal.
Bukti kedua berlandaskan ketidakmungkinan penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan, dari ketiadaan. Penciptaan, katakanlah, yang membuat sesuatu dari ketiadaan, lebih muda daripada menyusunnya.  Diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Inilah premis pertama. Pencipta yang bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuan-Nya daripada yang lebih dekat , kecuali apabila Dia tidak mampu melakukan apa yang lebih mnudah dan lebih dekat. Ini adalah premis kedua. Kesimpulan dari premis-premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu pasti disebabkan oleh Pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat penyusunan. Tetapi apa yang kita lihat terbukti sebaliknya. Segala seuatu di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Bila demikian maka, Ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini mewujud melalui susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.
Al-Razi menambahkan bahwa indikasi alam semesta membuktikan hal ini. Bila tiada sesuatu pun mewujud di dunia ini kecuali sessuatu yang lain, maka berarti alam ini dibuat dari sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain ini adalah materi. Karenanya materi itu kekal; pada dasarnya ia bukan tersusun tetapi tersendiri.

(iv) Ruang
Sebagaimana telah dibuktikan bahwa materi itu kekal, dan karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang kekal. Alasan ini hampir serupa dengan alasan al-Iransyahri. Teapi al-Iransyahri mengatakan bahwa ruang merupakan kekuasaan nyata Tuhan. Al-Razi tak mengikuti definisi yang kabur dari gurunya. Bagi dia, ruang adalah tempat keberadaan materi.
Al-Razi membedakan ruang menjadi dua macam : ruang universal atau mutlak, dan ruang tertentu atau relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya.
Kehampaan ada di dalam ruang, dan karenanya, ia berada di dalam materi. Sebagai bukti dari ketidakterbatasan ruang, al-Iransyahri dan al-Razi mengatakan, bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya wujjud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang. Yang berisi keduanya yaitu wujud, atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia harus berada di dalam ruang, bila tiada ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud berarti ruang. Karenanya, ruang itu tidak terbatas. Bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini terbatas, maka ini berarti bahwa batasnya adalah wujud. Karena setiap wujud itu berbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang, maka ruang bagaimana pun tak terbatas. Yang tak terbatas itu adalah kekal, karenanya ruang itu kekal.
Kehampaan mempunyai kekuatan menarik wujud-wujud, karenanya, air tetap berada di dalam botol yang dimasukkan ke dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan terbalik.

(v) Waktu
Menurut al-Razi, waktu itu kekal. Ia merupakan substansi yagn mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menantang mereka (Aristoteles dan pengikut-pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.
Al-Razi membagi waktu menjadi dua macam, yaitu : waktu mutlak dan waktu terbatas (mahsur). Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-Dahr). Ia kekal dan bergerak. Sedangkan waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan bintang-bintang. Bila Anda berpikir tentang gerak keberlangsungan, maka Anda dapat membayangkan waktu mutlak, dan ia itu kekal. Jika Anda membayangkan gerak bola bumi, berarti Anda membayangkan waktu terbatas.

D. TEOLOGI

Al-Razi adalah seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Kita batasi diri kita dengan memberikan ringkasan gagasan-gagasan pokoknya.
Al-Razi membantah kenabian dengan alasan-alasan berikut :
1.     Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Lalu kenapa dibutuhkan nabi?
2.     Tiada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
3.     Para nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, mengapa terdapat pertentangan?
Setelahj menolak kenabian, al-Razi lalu mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradisksi kaum Yahudi, Kristen, Mani dan Majusi. Ia memberikan alasan berikut untuk pengikatan manusia kepada agama :
a.     Meniru dan kebiasaan.
b.     Kekuasaan ulama yang mengabdi negara
c.      Manifestasi lahiriah agama, upacara-upacara dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.
Ia menunjukkan kontradiksi-kontradiksi antar agama secara terinci.
Al-Razi mengkritik secara sistimatik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan Injil. Ia mencoba mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lainnya; misal, ia mengkritik agama Yahudi dengan paham-paham mani. Kristen dengan Islam; dan kemudian ia mengkritik al-Quran dengan Injil.
Ia terutama menolak mu’jizat Al-Quran, baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.
Ia lebih menyukai buku-bku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna daripada Injil dan Al-Quran. Penulis-penulis buku-buku ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi. Ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber; pemikiran, yang didasarkan pada logika; tradisi dari para pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti meyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan naluri yang menuntuk manusia tanpa melalui banyak pemikiran.
Setelah mengkritk; ia mengatakan bahwa tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi, karena mereka melakukan banyak kemudharatan . setiap bangsa percaya hanya kepada para nabinya, dan menolak keras  yang lain, yang mengakibatkan terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa yang memeluk berbagai agama berbeda.
Gagasan-gagasan al-Razi ini sangat berani. Tak seorang pemikir Muslim lain pun seberani dia.

E. FILSAFAT  MORAL

Filsafat moral al-Razi terdapat hanya dalam karyanya : al-Tibb al-Ruhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah. Karya yang kedua ini merupakan pembenar perihidupnya dari sudut pandang filsafat, sebab ia dicela oleh beberapa orang lantaran ia tidak sebagaimana gurunya, Socrates. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat – tidak terlalu menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu. Ada dua batas dalam hidup ini : batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketidakadilan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal. Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat hidup tanpa ketakterlayakan.
Al-Razi menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tak pernah melanggar kedua batas ini. Ia tidak mengabdi suatu kerajaan, sebai menteri atau militer, tetapi sebagai dokter dan penasihat. Ia tidak rakus dan tidak bermusuhan dengan orang lain, sebaliknya ia sangat tenggang rasa terhadap hak-haknya sendiri. Ia tidak pernah minum, makan dan hidup berlebihan. Cintanya kepada ilmu pengetahuan dan belajar, diketahui semua orang. Dari sudut pandang teori, karya-karyanya membuat ia disebut sebagai filosof.
Dalam al-Tibb al-Ruhani, ia membahas, dalam dua puluh bab, masalah-masalah pokok etika. Ia ingin menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya.
Ia membuka dengan memuji akal, sebagaimana telah kita ketahui di atas. Kemudian dalam medius res, ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa : nalar, kebengkangan, dan hasrat; dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Perlulah bagi manusia mengetahui kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian ia dapat meminta seorang kawan yang bernalar untuk mengtakan kekurang-kekurangannya. Ia harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang berpikir tentang dirinya. Di sini al-Razi bertumpu pada tulisan Galen : “Perihal Mengetahui Kekurangan-Kekurangan Diri Sendiri.”, dan “Bagaimana Para Bijak Memperoleh Manfaat Musuh Mereka.”
Inilah isi dari bab-bab permulaan. Pada bab lima, ia menjelaskan teorinya tentang  kesenangan, suatu teori yang ia bahas lagi dalam sebuah surat khusus. Baginya, kebahagiaan tidak lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir oleh kemudharatan, misal : orang yang meninggaikan tempat yang teduh menuju ke tempat yang penuh sinar matahari dan panas, akan senang ketika kembali ke tempat teduh tadi. Dengan alasan ini, kata al-Razi, para filosof alami mendefinisikan kebahagiian sebagai kembali kepada alam.
Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada ahawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan. Orang yang irihati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada tempat bagi keirihatian.
Kemarahan muncul dalam diri binatang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya yang mengancam. Bila berlebihan, hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua : untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai dusta terletak pada niat.
Sifat kikir tidak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hal ini dilakukan sekedar ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk. Oleh karena itu, harus ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini harus diperangi.
Kekhawatiran, bila  berlebihan, maka tidak baik, sebab keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinmya halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.
Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga.
Persetubuhan, bila berlebihan, tidak baik bagi tubuh; ia mempercepat proses ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Sebaliknya hal itu dilakukan sesedikit mungkin, karena bila dilakukan berlebihan menyebabkan lebih banyak akibat yang buruk.
Sifat sembrono, dalam banyak hal  juga mencelakakan. Mencari harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu memburu-buru kekayan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.
Ambisi bisa menyebabkan berbagai keanehan dan bencana. Adalah sangat baik bila kita dapat memperoleh kedudukan lebih tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan; lebih baik meninggalkan atau menghindarinya.
Pada bab terakhir, ia menulis tema yang paling sesuai dala pemikiran Hellenistis dan abad pertengahan awal yaitu tentang takut mati. Di sini, al-Razi mencukupkan dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapap pun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.

F. KESIMPULAN

Al-Razi tiak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam Islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Ia adalah seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tanpa tedeng aling-aling.
Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercauai agama mana pun.
                                          T a m a t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar