Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Selasa, 27 Maret 2018

Para Filosof Muslim Filsafat Ibnu Sina

PARA FILOSOF MUSLIM”
“IBNU  SINA”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

DATRA ISI
IBNU  SINA
A. DOKTRIN TENTANG WUJUD
B. HUBUNGAN JIWA RAGA
C, TEORI PENGETAHUAN
D. AJARAN TENTANG KENABIAN
E. TUHAN DAN DUNIA
F. PENGARUHNYA DI TIMUR DAN BARAT

A. MASA HIDUPNYA

Dalam sejarah pemikiran fislafat Abad Pertengahan, sosok Ibnu Sina  (370/980 – 428/1037), dalam banyak hal unik sedang di antara para filosof Muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci – suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat Muslim selama beberapa abad, meskipun ada serangan-serangan dari al-Ghazali, Fakh al-Din al-Razi dan sebagainya. Pengaruh ini terwujud, bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keaslian, yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Istilah yang tepat tentang perumusan kembali dan kaitannya dengan Islam segera akan kami bahas pada bab ini, sebagai catatan di awal pembahasan ini, dapatlah dikemukakan bahwa keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad Pertengahan, karena di sana terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung,d an terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibnu Sina.
Karena pada bab ini, secara khusus kami membahas penafisran Ibn Sina tentang doktrin filsfat Yunani, maka kami tak perlu memberikan sumber-sumber yang ia pakai dari para filosof Yunani atau Muslim. Dari sekarang dapat dipastikan elemen-elemen doktrin Ibn Sina adalah Yunani, dan beberapa perumusan  kembali terhadap doktrin-doktrin Yunani dapat ditemukan pada al_farabi (yaitu seseorang yang mempunyai jasa tak terhitung besarnya kepada Ibn Sina) dengan berbagai ragam tingkat pengembangan, tetapi tugas kami di sini adalah menerangkan, menganalisa dan menghayati ajaran-ajaran Ibn Sina. Sesungguhnya sistem Ibn Sina secara keseluruhan, adalah memiliki dan berisi kesan ketidak salahan pribadinya. Hal ini terbukti dengan adanya kenyataan bahwa ia menerangkan doktrin-doktrinnya yang penting secara berulang-ulang di dalam berbagai karyanya, dan sering memberikan catatan-catatan kutipan, yang tak salah lagi menandai adanya sistatika berpikir, dan bukan peminjaman sumber-sumber yang berbeda secara acak.
Karakteristik paling dasar dari pemikiran Ibn Sina adalah pencapaian definisi dengan metode pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secara tergas dan keras. Hak ini memberikan kehalusan yang luas biasa terhadap pemikiran-pemikirannya. Tatanan itu sering memberikan kompleksitas skolastik yang kuat dan susunan yang sulit dalam penalaran filsafatnya, sehingga mengusik tempera,men modern, tetapi dapat dipastikan, bahwa tatacara ini jugalah yang diproleh dalam hampir seluruh doktrin asli para filosof kita. Tata cara ini memungkinkannya untuk merumuskan kembali prinsip-prinsipnya yang sangat umum dan mendasar., bahwa pada setiap konsep yang jelas dan berbeda, harus terdapat kesesuaian distinctio in re, suatu prinsip yang pada akhirnya Decrates juga menggunakannya, sebagai dasar bagi tesisnya tentang dualisme akal tubuh. Keberhasilan dan pentingnya prinsip analisis ini di dalam sistem Ibn Sina, sangat menarik perhatian  : ia mengumakakan secara berulang-ulang dan pasa setiap kesempatan, dalam pembuktian-pembuktiannya tentang dualisme tubuh dan akal, doktrin universal, teorinya tentang esensi dan ekstensi dan sebagainya. Beberapa contoh prinsip ini adalah “bahwa apa yang disahkan dan diizinkan berbeda dengan apa yang tidak disahkan dan diizinkan,” dan “suatu konsep tunggal secara keseluruhan tak dapat diketahui dan tidak diketahui secara bersamaan, kecuali terhadap aspek-aspek yang berbeda.”

A. DOKTRIN TENTANG  WUJUD

Doktrin Ibn Sina tentangn  Wujud, sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, misalnya al-Farabi, bersifap emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud.tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu : (1) intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi adanya aktualitas, (2) lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof Muslim disebut Malaikat Jibril. Namun ini diberikan, karena ia memberikan bentuk atau “memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Karena itu, ia juga disebut “Pemberi Bentuk: (dator formarum menurut sarjana-sarjana Barat abad pertengahan). Kami akan kembali kepada intelegensi-intelegensi lingkungan-lingkungan ini untuk meneliti lebih mendalam sifat-sifat alamiah dan cara kerjanya, sementara itu kami harus beralih kepada sifat wujud.
Perarakan intelegensi imaterial dari Wujud Tertinggi dengan cara pemcaran dimaksudkan untuk menambah sesuai dengan pendapat, yang diilhami oeh Teori Pemancaran Neo-Platonik – pendapat yang lemah dan tak dapat dipertahankan tentang Tuhan dari Aristoteles yang mengatakan bahwa tidak ada terusan dari Tuhan Yang Esa, kepada dunia, yang banyak. Menurut para filosof Muslim, meskipun Tuhan tinggal  di dalam diri-Nya Sendiri dan jauh tinggi di atas dunia yang diciptakan, tetapi terdapat hubungan perantara antara kekekalan dan keniscarayaan yang mutlak dari Tuhan dan dunia yang penuh dengan ketidaktentuan. Di samping itu, teori ini sangat dekat bagi orang Islam atas keyakinannya kepada para Malaikat. Inilah kesempatan pertama untuk menandai bagaimana para filosof Muslim, dengan cara mengolah kembali tradisi filsafat Yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional, tetapi juga sistem rasional yang berupaya mengintegrasikan tradisi Islam. Tetapi bagaimana teori pemancaran itu sendiri? Apakah hal itu tidak akan merusak garis pemisah yang perlu dan penting antara pencipta dan yang diciptakan, dan mengarahkan kepada pandangan dunia yang Panteistik – tat tvam Asi – yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana semua agama yang lebih tinggi selalu menentangnya demikiian keras? Tak diragukan lagi, bentuk-bentuk Panteisme menjadi lebih dinamis, berbeda dengan paham para absolutis dan bentuk-bentuk panteisme statis; bahkan ia dapat mengarahkan kepada antropomorphisme, atau proses kenaikan  kembali, untuk penyerapan kembali dari kemakhlukan ke arah ke-Tuhan-an. Sekarang tanggungan untuk melawan bahaya seperti itu terletak pada doktrin Ibnu Sina tentang esensi dan eksisteni. Hal ini melahirkan teori lagi yang dirancang untuk memenuhi kedua kebutuhan rasional dan agama, dan satu lagi untuk kelengkapan bagi Aristotele.
Pada awal bagian ini, kami mengatakan bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya. Karena tidak ada kejadian lain, misalnya seorang Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah sati keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya. Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun tidak akan ada. Argumentasi kosmologis yang didasarkan pada doktrin Airtoteles tentang Sebab Pertama, akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak memilih untuk membangun argumen otologis. Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan kita lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah Aguinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia, yaitu pemberian tuhan-lah, apa yang dapat kita mengerti tentang adanya dunia. Di sini, sebab-akibat mempunyai premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan yang serupa. Di samping ke belakang, yaitu juga ke depan, yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan lagi kepada suatu kesimpulan. Sesungguhnya menuru Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keeprluan yang rasional. Dengan dasar keperluan yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan. Dunia, secara keseluruhan, ada bnukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi secara singkat, sekarang kami menganalisanya menurut bahan-bahan yang komplek, yang telah diwariskan oleh Ibnu Sina kepada kita. Hal ini melibatkan beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang metafisik, teori ini berupaya melengkapi analisis Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan, yaitu bentuk dan materi. Menurut Aristoteles, bentuk sesuatu adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk definisinyal materi pada setiap sesuatu memeiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi individu. Tetapi terdapat dua kesulitan besar dalam kondep ini dari sudut pandang eksistensi sesuatu yang sebenar-benarnya. Pertama, bentuk adalah universal, karena itu, tidak ada. Demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni, menjadi tidak ada, karena hal itu mewujud hanya melalui bentuk. Kemudian, bagaimana sesuatu itu menjadi ada dengan tidak adanya bentukd an materi? Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa, meskipun Aristoteles secara umum berpendapat bahwa definisi atau esensi dari sesuatu adalah bentuknya, tetapi ia pada bagian-bagian penting lainyya (yaitu, De Anima, Vol. I, bab I, 403a.27 ff) bahwa materi juga termasuk dalam esensi sesuatu tersebut, dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kita hanya memiliki definisi sebagian daripadanya. Kemudian bil akaita menganggap bentuk dan materi sebgai penyusun definisi, maka kita tidak akan mencapai eksistensi sesuatu secara nyata. Ini adalah batu ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles yang membahas tentang wujud yang terancam oleh kehancuran.
Karena itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata., tetapi hanya kualitas-kualitas esensi kebeulan. Ia telah emnganalisa dala kesempatan yang panjang hubungan antara bentuk dan materi dalam al-Syifa (“Met” II, 4 dan “Met” VI, 1) di mana ia menyimpulkan bahwa bentuk dan amteri itu bergantung kepada Tuhan (atau akal aktif), dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, tetapi harus terdapat “sesuatu yang lain”. Akhirnya di dalam “Met” VIII, 5, ia menjelaskan kepada kita bahwa “Segala sesuatu kecuali yang Esa, yang esensi-Nya adalah Tunggal dam maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain ..... Di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketidakadaan yang mutlak. Sekarang, ia bukan amteri sendiri tanpa bentuknya, atau bentuks endiri tanpa materinya yang layak mendapatkan ketidakadaan itu, tetapi adalah semuanya (bentuk dan materi). Inilah sebabnya kenapa Ibnu Sina menggunakan tiga acuan untuk menganalisa adanya obyek materi, di samping keuda rumusan tradisioanl Yunani itu. Harus dicatat bahwa apa yang dikembangkan di sini adalah doktrin Aristoteles. Banyak sarjana yang berkeyakinan bahwa Ibnu Sina di sini, mengikuti pendapat Aristoteles dan Neo-Platonik, tetapi dari segi lain, ternyata doktrin Noe-Platinik itu adalah sama dengan Aristoteles, yaitu dua bagian yang terdiri atas materi dan bentuk, kecuali itu, menurut Plotinus yang terpengaruh oleh Plato, bentuk-bentuk itu mempunyai status ontologis yang lebih tinggi dan ada dalam kesadaran Tuhan, dan kemudian  Ia-lah yang melanjutkan sehingga bentuk ada sebagai sebagai materi. Oleh karena itu, dapatlah dibayangkan bahwa eksistensi sesungguhnya bukanlah bentukan benda, tetapi ia lebih merupakan hubungan dengan Tuhan : Bila Anda memandang benda dalam kaitannya dengan adanya perantara Tuhan yang mengadakan, maka benda itu ada, dan benda itu ada karena keniscayaan, kemudian, eksistensinya itu dapat dipahami, tetapi bila keluar dari hubungannya dengan Tuhan, maka adanya sesuatu itu hilanglah pengertian dan maknanya. Inilah aspek hubungan yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dengan istilah “kejadian” dan mengatakan bahwa eksistensi itu adalah suatu kejadian.
Sejak Ibnu Rusyd mengkritik, yang dalam beberapa hal, menyalahkan Ibnu Sina yahng menolak definisi tentang substansi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya; Aquinas yang walau pun menerima pembedaan antara esensi dan eksistensi yang secara langsung di bawah pengaruh Ibnus Sina yang juga mengkritik sesuai dengan Ibu Rusyd, meskipun ia sendiri mengambil pendapat Ibnu Sina tentang perbedaan dasar  dan adanya sesuatu, mengakibatkan para ahli sejarah pada abad pertengahan di Barat berpendapat sama dengan Ibnu Sina, yaitu bahwa eksistensi sesuatu adalah semata-mata suatu kejadian di antara kejadian-kejadian yang lain. Kami telah mengatakan bahwa Ibnu Sina membicarakan eksistensi sebagai suatu kejadian yang berhubungan dengan obyek (jika dibedakan dan esensinya), ia semata-mata mengartikannya sebagai hubungan dengan Tuhan; karena itu, jika eksistensi adalah suatu kejadian (yang biasa), maka seseorang dapat memikirkannya dengan cara demikian dan tetap melanjutkan terus berbicara tentang obyeknya persis sebagaimana ia dapat melakukan untuk kejadian-kejadian lain dan, sungguh, dalam hal ini Ibnu Sina terpaksa (jika ia menerima bahwa eksistensi sebagai suatu  kejadian) pendapat Moinongian yang juga  diyakini oleh para Mutakallim Muslim bahwa ketidakadaan juga mesti “ada”. Tetapi ini adalah doktrin yang mengandung tawa bagi Ibnu Sina. Pembahasan masalah ini secara keseluruhan dapat ditemukan di dalam artikel yang dikutip dalam catatan no.5 di dalam bab ini. Di sini kami hanya memberikan satu bagian, di mana filosof kita mengkritik  pendapat orang-orang yang meyakini bahwa “benda” yang tidak ada, meskipun demikian, harus “ada” sehingga kita dapat membicarakannya. Ia mengatakan (“met”, I,5), “Orang-orang yang puas dengan pendapat ini percaya bahwa di antara benda-benda yang dapat kita ketahui (misalnya, dengan mengenalnya) dan dapat kita bicarakan, adalah benda-benda yang berada dalam dunia ketidakberadaan, di mana sifat non-eksistensi merupakan suatu atribut, siapa ingin mengetahui lebih jauh tentang hal ini, ia herus memikirkan lebih jauh lagi tentang gketidakadaan yang telah mereka bicarakan dan yang tidak bermanfaat  untuk dipertimbangkan.” Sesungguhnya, menurut Ibnu Sina, ide-ide tentang eksistensi dan kesatuan adalah ide-ide utama yang harus menjadi awal pembicaraan kita. Konsep-konsep yang tidak dapat diturunkan ini adalah dasar-dasar bagi kita untuk memberi kategori dan atribut lain kepada benda-benda dan karena itu, mereka menolak definisi, karena definisi harus menggunakan istilah-istilah dan konsep-konsep  lain turunan. (ibid. I,5).
Sekarang akan tampak bahwa masalah itu bukanlah masalah metafisik, tetapi masalah logika. Ibnu Sina telah ebrusaha menjawab pertanyaan. Bagaimana mungkin kita dapat membicarakan sesuatu yang tidak ada, dan kemudian apakah artinya? Jawabannya adalah kita dapat berbuat demikian, karena kita mengadakan obyek-obyek ini dalam pikiran kita. Tetapi, tak daat diragukan lagi, bahwa imajinasi-imajinasi kita masing-masing tak dapat membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena adanya alasan yang jelas bahwa, ketika membicarakan sesuatu, misalnya, kapal ruang angkasa, maka ia harus memberikan arti yang obyektif. Meskipun demikian, benarlah bahwa Ibnu Sina telah melihat kualitas mendasar dari  logika kemaujudan. Dan logika modern kita itu sendiri, yang memiliki teknik-teknik unfful dan corak-corak yang berati, tampak tak menyelesaikan masalah. Ia telah berusaha keras untuk menyanggah bahwa kapan pun saya berbicara tentang kapal ruang angkasa, meskipun kapal itu sendiri tidak ada, saya tidak sadar membicarakan “sesuatu” itu, tegapi tentang obyek secara umum atau suatu kumpulan sifat. Tetapi apakah hal ini benar-benar begitu? Apakah musykil untuk mengatakan bahwa :kapal ruang angkasa yang sedang saya bicarakan itu memiliki sifat-sifat ini?” di samping itu, pokok masalahnya ialah kata-kata “kumpulan sifat” milik siapakah sifat-sifat itu, dan yang mana yang sedang saya bicarakan?
 Di sampibng arti “kejaidna” ini sebagai hubungan yagn khas dan unik dari suatu maujud dengan Tuhan, istilah “kejadian” menurut Ibnu Sina memiliki pengertian  filosofis lain yang tidak ortodok. Ia menyangkut hubungan suatu kemaujudan nyata dengan esensi atau bentuk-bentuknya, yang juga Ibnu Sina menyebutnya kejadian. Penggunaan istilah “kejadian” adalah sangat menyeluruh dalam filsafat Ibnu Sina, karena itu, tanpa mengetahui artinya secara benar, orang akan salah tafsir terhadap doktrin-doktrin dasarnya. Sekarang, bila dua konsep dapat dibedakan secara jelas, maka keduanya itu harus menunjukkan dua ontologis yang berbeda, sebagai yang telah kita katakan di atas, dan selanjutnya, bila dua konesp semacam itu bersama-sama mewujud dalam sesuatu, Ibnu Sina menggambarkan hubungan timbal-balik keduanya itu sebgai kejadian, yaitu, mereka menjadi bersama, meskipun masing-masing mewujud secara terpisah. Ini adalah hal, sebagai contoh, antara esensi dan kemaujudan, antara universal dan esensi.
Menurut Ibnu Sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan ( dan dalam pikiran-pikiran intelegensi-intelegensi) sebelum hal-hal yang ada itu maujud di dalam dunia lahiriah, dan mereka juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Tetapi dua tingkat keberadaan esensi ini  sangat berbeda. Dan perbedaan itu tidak hanya karena adanya pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif, sedang lainnya bersifat imitatif. Tetapi sesungguhnya, esensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi ia hanyalah esensi. Kemudian ia menyatakan (al-Syifa, “Pengantar menuju Logika, “kairo. 1952, hal. 65 – 69; juga, ibid, “Met V, 1) bahwa kekhasan dan universalitas adalah “kejadian” yang terjadi pada esensi. Universalitas terjadi padanya hanya di dlam pikiran-pikiran kita, dan Ibnu Sina mengambil pandangan fungsional secara keras tentang yang universal : pkiran kita mengabstraksi yang universal atau konsep-konsepm umum, di manahal itu dapat merangkum keragaman yang tak terbatas dari dunia ini secara ilmiah, yaitu dengan menghubungkan bangunan mental yang identik dengan sejumlah obyek. Di dunia lahiriah, esensi tidak maujud, kecuali dalam pengertian yang methaporik, artinya dalam pengertian bahwa obyek-obyek itu membiarkan dirinya untuk dianggap identik. Kemaujudan-kemaujudan dalam dunia lahiriah adalah obyek-obyek nyata, tidak ada yang benar-benar sama. Ia berkata, “adalah tidak mungkin bahwa esensi yang tunggal sama mewujud dalam banyak hal” (“Met” V,2), demikian pula, “Kemanusiaan yang mutlak bukanlah kemanusiaan ‘Amr ia berbeda dengannya, lantaran keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-keadaan tertentu itu mempunyai peranan pada diri pribai Zaid ... demikian pula peranan apda ‘manusia’ atau ‘kemanusiaan sejauh keduanya itu berhubunbgan dengannya (“Met”, V, 2). Jelaslah terutama dari pernyataan terakhir, bahwa ‘esensi’ berubah pada setiap individu. Karena itulah kenapa kita harus mengatakan bahwa bila menganggap esensi sebagai universal, maka keradaan tertentu yang nyata merupakan suatu yang melampaui dan di atas esensi; ia adalah sesuatu yang ditambahkan pada esensi, atau suatu “kejadian” dari esensi tersebut.
Ada dua hal yang harus dicatat secara khusus di sini. Pertama, bahwa keberadaan adalah suatu yang ditambahkan, bukan pada obyek-obyek yang ada – hal ini akan musykil – tetapi pada esensi. Hal ini karena segala suatu apakah ia ada atau tidak, pada kenyataannya setiap konsep adalah “sesuatu” yang darinya pernyataan dapat dibuat, baik positif atau pun negatif. Bahkan ketidak adaan pun adalah “sesuatu: sebab seseorang dapat membicarakannya. Tetapi keberadaan individu yang positif adalah lebih dari sekadar “sesuatu”. (Perbedaan antara “sesuatu” dan suatu kemaujudan, ditulis Ibnu Sina (“Met” I, 5), yang dengan cara yang membingungkan telah kembali dalam logika ekarang ini berasal daro Stooc (lihat, misalnya, Stoicorum Veterum Fragmentsa, Vol.II, hal. 117). Karena Ibnu Sina mengatakan bahwa bila keberadaan dihubungkan dengan esensi, maka keberadaan ini sama dengan “adalah sesuatu” dan, karena itu, pernyataan-pernyataan semacam itu tidak menguntungkan.” Tetapi pernyataan-pernyataan tentang hal-hal yang ada adalah informatif dan menguntungkan, karena hal-hal itu menambah pada esensi seuatu yang baru. Kedua, harus kita catat bahwa meskipun Ibnu Sina membicarakan materi itu pada beberapa tempat sebagai prinsip kemajemukan bentuk atau esensi, tetapi ia tidak pernah mengatakan bahwa materi itu adalah prinsip dari suatu yang maujud. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada adalah Tuhan. --- Penyebab kemaujudan materi adalah penyebab okasional kemaujudan, yang mensuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.
Kami telah memberikan sejumlah kutipan penting dari Ibnu Sina tentang masalah ini, bukan hanya karena hal itu penting bagi filsafat Ibnu Sina, tetapi juga karena terdapatnya banyak kebingungan yang mendasar did alam tulisan tradisional yang membahas istilah “keberadaan”,  “Kejadian” dalam hubungan ini, dan “esensi”, adalah mutlak perlu.

B. HUBUNGAN  JIWA  RAGA

Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga; tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu padangan dua substansi, yang oleh Ibnu Sina diyakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu berseuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda. Ibnu Sina tentu tidak menggunakan dualisme untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Meskipun demikian, keterangannya adalah menarikd an mendalam. Pertama, kita nyatakan alasan-alasan Ibnu Sina atas pandangan dua substansi dan kemudian membahas kesaling hubungan mereka. Untuk membuktikan bahwa jiwa manusia adalah suatu substansi yang dapat mewujud secara terpisah dari tubuh, filosof kita menggunakan dua alasan yang berbeda. Pertama, berupaya mengarahkan kesadaran diri, sedang lainnya berupaya membuktikan kebukanbendaan akal. Kami dapat menagguhkan doktrinnya tentang akal, sampai kami bahas teorinya tentang pengetahuan; di sini akan kami nyatakan dan bahas alasan pertama yang dikemukakannya. Sungguh, menurut dia, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang substansialitas non-badan jiwa yang berlaku bukan sebagai argumen tetapi sebagai pembuka mata, (al-Shyfa, “Psychology”,V,7).
Alasan itu dikemukakan oleh Ibn Sina di dalam bab pertama buku psikologi K. al-Syfa, diulang dan di bahas lagi di dalam bab akhir dari buku yang asama. Marilah kita pikirkan, seperti apa yang dikatakannya, bahwa manusia diciptakan dalam keadaan dewasa, tetapi dalam kondisi semacam itu ia dilahirkan dalam keadaan lemah di mana tubuhnya tak dapat menyentuh apa-apa dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita perhatikan ;pula bahwa ia tak dapat melihat tubuhnya sendiri dan bahwa anggota-anggota badannya tercegah dari kesaling-sentuhan, sehingga ia tak memiliki persepsi rasa apapun. Orang semacam itu takkan mengetahui dunia, bahkan keberadaan dirinya sebagai wujud spiritual yang murni. Nah, apa yang diketahuinya tentu tidak sama dengan apa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa merupakan suatu substansi yang bebas dari tubuhnya. Di sini, filosof kita menjelaskan bahwa suatu hal yang imaginatif tidak mungkin direalisasi, tetapi pokok sesungguhnya seperti Descrates, adalah bahwa kita dapat memikirkan tubuh kita, dan demikian meragukan kemaujudannya, tetapi kita tidak dapat memikirkan jiwa kita.
Afinitas alasan Ibn Sina dengan Cagitio ergo sum-nya Descrates telah ditunjukkan oleh para ahli sejarah fislafat. Sesungguhnya, semua kecenderungan pemikiran ini diilhami oleh pemikiran Plotinus tentang keterpisah jiwa dari tubuh. Tetapi tereapat perbedaan penting anta apa yang  telah dirumuskan Ibnu Sina dengan Decartes Menegenai Descartes, pertanyaan dapat diajukan. Apakah keberadaan esensi itu merupakan suatu masalah kesimpulan atau suatu data yang mendekati tentang kesadaran? Apapun jawaban terhadap pertanyaan ini tak ada keraguan lagi bahwa kesadaran atau “saya pikir” termasuk dalam  “Saya”.  Descartes.  Begitulah. “saya pikir” dan “saya adalah” mempunyai kesamaan makna pada Descartes. Maka jelaslah bahwa dalam hal ini kesadaran diri dan keberadaannya secara logis tak dapat saling di pisahkan. Tapi, menurut Ibnu Sina, unsur kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan keberadaannya sendiri, hal itu betapapun ada hanya sebagai cara untuk menempatkan diri, ia adalah kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis. Sebenarnya, Ibnu Sina berada di antara Descarete dan Plotinus; karena, menurut Plotinus, kesadaran, yang sebagai suatu hubungan, ke-lain-an; dalam identoitas diri yang penuh, kesadaran harus berhenti.
Argumen ini, yang berusaha membangun dualisme dengan meragukan atau menyangkal keberadaan tubuh, bisa disebut arugemen  yang diperoleh dari pengabstraksiannya, terhadap semua fungsi fisik organisme. Kelemahannya yang mendasar secara jelas yaitu bahwa argumen ini menekankan bahwa dengan memikirkan tubuh, maka tubuh menghentikan peranannya dalam kesadaran penuh orang.
Jika masalah ini bisa dipecahkan dengan penelaahan sekadarnya atas diri dengan cara begini, maka tidak ada yang akan menjadi lebih mudah. Ibnu Sina tampaknya menyadari bahwa sikap seperti ini menimbulkan keberatan. Ia mengataka (“Psycholog”, V.7) : (Bila diri saya identik dengan apa yang saja dari anggota tubuh saya)” katakanlah, jantung atau otak atau sekumpulan anggota-anggota tubuh lainnya, dan bila masing-masing anggota tubuh secara keseluruhan yang saya sadari adalah diri saya, maka kesadaran saya tentang diri saya, pasti akan menjadi kesadaran saya pula tentang anggota-anggota tubuh tersebut, karena tidaklah mungkin bahwa sesuatu yang sama dikenal dan tidak dikenal pula. Kemudian mengatakan “sebenarnya saya tidak mengetahui dengan melalui kesadaran diri bahwa saya mempunyai jantung dan otak saya mengetahuinya dengan persepsi-persepsi indrawi  (pengalaman) atau berdasarkan wewenang.” “ Yang saya maksud dengan  yang saya ketahui sebagai diri saya adalah yang saya maksud dengan perkataan “ “Saya merasa, saya berfikir, saya berbuat,’ dan semua atribut ini adalah milik saya.” Akan tetapi, Ibnu Sina berhenti sejenak untuk mempertimbangkan sanggahan yang mungkin : Jika Anda tidak menyadari ddiri Anda sebagai anggota tubuh, maka Anda takkan segera menyadari bahwa itulah jiwa ataukah pikiran Anda.
Jawaban Ibnu Sina terhadap sanggahan ini adalah : Setiap kali saya memberikan atribut-atribut tubuh kepada sesuatu ini yang merupakan sumber dari fungsi-gunsi mental saya, saya mendapati bahwa hal itu tidak dapat menerima atribut-atribut ini,” dan dengan demikian wujud nonbendawqi ini tentunya adalah jiwa.” Di sini kita melihat dengan jelas bahwa argumentasi ini telah memasuki tahap baru dan fenomena kesadaran langsung sedang dilengkapi dengan pertimbangan selanjutnya terhadap efek di mana ketidak samaan antara kualitas-kualitas mental dan fisik sedemikian rupa sehingga keduanya tak dapat dimiliki oleh satu substansi. Dan inilah argumentasi yang abadi atas dua seubstansi, yaitu bahwa atribut-atribut mental dan fisik merupakan genre yang secara kualitas berbeda.
Dengan di terimanya pandangan tersebut secara tutologi (dengan kalimat-kalimat klise), bahwa pikiran merupakan suatu substansi, maka mucullak kesimpulan bahwa pikrian merupakan suatu kesatuan dan Ibnu Sina sangat menekankannya. Sungguh, sekali lagi, kedua doktrin ini, yaitu realitas kemampuan/indera (faculty) dan sifat kesatuan jiwa, dan dinyatakannya dengan penekanan yang sama, realita indeta mental dikemukakan oleh Aristoteles tetapi kemudian diikuti oleh pengulasnya, terutama Alexander dari Aphrodisias. Ibnu Sina telah emngahbiskan satu bab khusus untuk masalah ini (:Psychologi,” I, 4) di mana ia mendasarkan keserbaragaman indera pada perbedaan-perbedaan kualitatif yang terdapat di antara kerja mental. Walau demikian, ia berulang-ulang menekankan perlunya ikatan terpadu (ribat) bagi kerja yang beraneka-ragam itu. Sungguh, ia menyatakan bahwa fungsi-fungsi vegetatif dan perseptual pada manusia pun misalnya, secara spesifik berbeda dari fungsi-fungsi tersebut pada tumbuh-tumbuhan dan hewan, dikarenakan rasionalitas yang ada pada manusia yang melingkupi dan mengubah karakter semua fungsinya. Asas terpadu inilah pikiran itu sendiri.
Jiwa dalam keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan suatu substansi yang independen dan adalah diri kita  yang transendental. Kita akan kembali kepada transendensinya apabila kita membahas seori Ibnu Sina tentang pengetahuan pada bab berikutnya.  Di sini kita hanya akan mencatat bahwa argimentasi-argumentasi Ibnu Sina tentang keabadian jiwa itu didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada bentuk itu, jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu keduanya. Di dalam jiwa yang muncul dari substansi terpisah intelegensi aktif  bersama dengan munculnya suatu tubuh dengan temperamen tertentu terdapat suatu kecenderungan tertentu untuk mengaitkan dirinya dengan tubuh ini, merawatnya, dan mengarahkannya sedemikian rupa sehingga saling menguntungkan. Selanjutnya jiwa, sebagai non badani, merupakan suatu substansi yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak.
Namun jika pada taraf transendental, jiwa itu merupakan suatu wujud ruhaniah murni dan tubuh belum ada bahkan sebagai suatu konsep rasional sekalipun, pada taraf fenomenal tubuh mesti sudah dapat ditentukan wujudnya sebagaimana sebuah bangunan ditentukan wujudnya oleh seorang pembangun gedung. Itulah sebabnya Ibnu Sina berkata bahwa studi tentang aspek fenomenal jiwa manusia termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan alam, sedangkan wujud transendentalnya termasuk dalam studi metafisika. Nah, karena pada taraf fenomenal di antara jiwa dan tubuh terdapat suatu mystique ini atau tidak – maka perpindahan jiwa adalah mustahil. (Perpindahan ditolak oleh Aristoteles yang tidak menyatakan pandangan dua-substansi). Sesungguhnya , mystique ini merupakan suatu sebab dan akibat dari individualitas diri. Oleh karena itu, Ibn Sina menolak sepenuhnya gagasan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlebur dengan ego Ilahi, dan ia menekankan bahwa kesinambungan hidupnya mestilah ebrsifat individual. Merupakan suatu fakta utama pengalaman bahwa setiap individu menyadari identeitas dirinya yang tak dapat digoyahkan oleh argumentasi apa pun. Sungguh filosof kita ini sedemikian mengukuhkan individualitas kepribadian di mana ia berkata (“Psychologi,” V, 3) bahwa bahkan sifat kualitatif kerja akal pada individu-individu yang berlainan pun bisa berbeda – suatu pertanyaan yang akan mengguncangkan bukan hanya kaum Platonis dan Neo-Platonis, melainkan juga mungkin Aristoteles, karena, menurut doktrin Yunani yang universal, akal paling tidak melambangkan identtitas kualitatif manusia, suatu doktrin yang kemudian dilogikakan sedemikian rupa oleh Ibnu Rusyd.
Maka, hubungan antara jiwa dan tubuh demnikian erat sehingga hal ini bisa pula mempengaruhi akal. Sudah barang tentu semua perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan psiko – fisik lainnya memiliki kedua aspek tersebut --- yaitu mental dan fisik. Aristoteles sendiri menekankan hal ini. Namun doktrin Aristoteles meski sama sekali tidak bersifat materialistik palsu, bersifat sok materialistik dan menekankan aspek ganda dari setiap keadaan atau keraj, atau cenderung sekali untuk menunjukkan pengaruh tubuh atas fenomena mental, benar-benar bertolak belakang denga doktrin Ibnu Sina, sungguh, penekannya yang terus menerus pada pengatuh pikiran atau tibuh itu luar biasa dan merupakan salah satu dari wajah paling asli filsafatnya. Pada filsafat Aristoteles, hidup dan pikiiran memberikan suatu dimensi baru kepada organisme materi,s edang pada filsfat Ibnu Sina, diilhami oleh pemikiran Neo-Platonis dan dipengaruhi oleh kegemran spiritual metafisikanya sendiri, dimensi baru ini tidak lagi semata-mata sebuah dimensi. Segi materi dari alam terliputi oleh segi mental dan spiritual, walau pun, sebagai seorang medis, ia gemar mempertahankan pentingnya keadaan fisik, terutama yang berkenaan dengan karakter emosi dan kata hati. Sungguh, seperti akan kita lihat, seni medisnya membantu dirinya untuk menjajaki sejauh mana pengaruh mental atas keadaan-keadaan tubuh.
Pada taraf yang paling lazim, pengaruh pikiran atas tubuh tampak tak dipaksakan : kapan pun pikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan menaatinya. Dalam uraiannya yang terperinci tentang gerak hewan, Ibnu Sina telah menghitung adanya empat tingkatan, sedang Aristoteles hanya tiga tingkatan. Tiga tingkatan menurut Aristoteles adalah : (1) imajinasi atau penalaran, (2) keinginan, dan (3) gerak otot. Ibnu Sina telah membagi tingkatan yang kedua menjadi  (1) keinginan, dan (2) kata hati (ijma’), karena katanya, tidak setiap keinginan bisa menimbulkan perbuatan kecuali kalau keinginan itu didorong oleh kata hati, entah secara sadar atau tidak sadar. Yang kedua, perbedaan yang lebih penting antara Ibnu Sina dan pandangan tradisional adalah bahwa menurut pandangan tradisional, pendorong gerakan tubuh  mesti senantiasa adalah keadaan sadar, apakah itu imajinasi  atau penalran. Ibnu Sina berkata bahwa, dalam hampir semua hal tindakan kognitif merupakan awal dari tindakan-tindakan afektif dan konatif, ini tidak selalu benar dalam segala hal. Kita baca (“Psychologi, “ IV, 4) : “semua hasrat dan dorongan juga mengikuti imajinasi. Tetapi kadang-kadang, yaitu dalam hal kepedihan fisik, dorongan hati alamiah kita mencoba menghilangkan sebab kepedihan   tersebut dan dengan demikian menimbulkan  proses  penggeloraan imajinasi. Dalam hal ini, hasrat dan dorongan  inilah yang mmenggerakkan imajinasi ke arah yang dikehendaki oleh hasrta dan dorongan itu, tak ubahnya seperti, dalam kebanyaka hal, imajinasilah yang mendorong hasrat dan dorongan ke arah obyek imajinasi.” Dengan demikian, menurut Ibnu Sina, pendorong gerak hwan ialah kesan dan ke-tahu-an. Secara psikologis, hal ini mengandung makna yang besar dan menandai keunggulan atas tinjauan-tinjauan intelektual murni dan menandai keunggulan atas tinjauan-tinjauan intelektual murni dan satu sisi dari fislafat tradisional.
Di sini kita melangkah kepada taraf  kedua dari pengaruh pikiran terhadap tubuh, yaitu pengaruh emosi dan kemauan. Ibnu Sina mengatakan berdasarkan pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang skit, hanya dengan kekuatan kemauanyalah, dapat menjadi sembuh dan, begitu pula, orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, katanya, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas jalan setapak orang dapat berjalan di atasnya dengan baik, tetapi jika kayu tersebut di letakkan sebagai jembatan dan di bawahnya adalah jurang yang dalam, orang hampir tak dapat melintas di atasnya tanpa benar-benar jatuh”. Ini karena ia menggambarkan kepada dirinya tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa sehingga kekuatan alamiah tubuhnya seperti yang digambarkannya itu.” (“Psychologi,” IV, 4).  Sungguh, emosi yang kuat, seperti rasa takut dapat benar-benar merusak temperamen organisme dan menyebabkan kematian, dengan mempengaruhi fungsi-fungsi vegetatif : “Ini terjadi apabila suatu penilaian bersemayam di dalam jiwa; penilaian, sebagai suatu kepercayaan murni, tidak mempengaruhi tubuh, tetapi berpengaruh apabila kepercayaan ini diikuti rasa gembira atau rasa sedih” (“Psychology,” I,3). Gembira dan sedih juga merupakan keadaan-keadaan mental, lanjut Ibnu Sina, tetapi keduanya mempengaruhi fungsi-fungsi vegetatif. Lagi, “Kami tidak menganggapnya sebagai mustahil bahwa sesuatu terjadi pada jiwa, sepanjang sesuatu itu terjelma, dan kemudian diikuti oleh keadaan-keadaan tertentu pada tubuh itu sendiri. Imajinasi, selama diketahui, bukanlah merupakan suatu pengaruh fisik, tetapi bisa terjadi, sebagai akibat, organ-organ tubuh tertentu, organ seksual, misalnya, mengembang ...... Sungguh, bila suatu gagasan tertanam kuat dalam imajinasi, maka gagasan tersebut mengharuskan adanya perubahan temperamen .... “ (Ibid, IV, 4). Persis sebagaimana gagasan-gagasan kesehatan yang ada  pada benak dokter menghasilkan penyembuhan melalui sarana, tetapi jiwa melakukan hal itu tanpa sarana apa pun.
Sebenarnya kalau jiwa cukup kuat, jiwa dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa sarana apa pun. Dani sini Ibnu Sina menunjukkan bukti dari fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al-‘amil). Ia mempergunakan pertimbangan-pertimbangan ini untuk menunjukkan kemungkinan keajaiban-keajaiban yang merupakan bagian dari pembahasan tentang masalah kenabian. Berikut ini kami akan mengungkap kembali apa yang pernah kami katakan sebelumnya bahwa, menurut Ibnu Sina, jiwa secara eksklusif menyatu dengan tubuh. Pertimbangan kita yang lebih baru menunjukkan bahwa jiwa dapat melampaui tubuhnya sendiri untuk mempengaruhi yang lain. Hal ini menjadi mungkin hanya apabila jiwa menjadi sama dengan keseluruhan jiwa, seandainya hal itu bsia terjadi.
Berdasarkan alasan-alasan inilah Ibnu Sina memandang realitas gejala seperti ini sebagai “titik jahat” dan sihi secara umum. Bisa kita catat bahwa pengaruh emosi terhadap tubuh telah dikenal dan diperbincangkan dalam Hellenisme terkemudian. Terutama sejak konsepsi Stoic tentang  prinsip “Simpati” alamiah dan penjelasan Plotinus tentang prinsip ini, interaksi jiwa-raga dijelaskan berdasar berdasarkan jalur-jalur ini. Yang secara ilmiah baru pada
Ibnu Sina adalah bahwa ia pun menjelaskan gejala-gejala seperti sihir, sugesti dan hipnotis, serta secara umum, pengaruh pikiran terhadap tubuh  dan pikiran lain berdasarkan jalur-jalur ini, yaitu dengan mengacaukannya kepada sifat-sifat pikiran yang mempengaruhi itu. Dalam Hellenisme, gejala ini diterima, tetapi dianggap sebagai benar-benar gaib. Dan dalam takhayul pembawa misteri dari Hellenisme terkemudian, “Simpati”, dipandang sebagai gaib. Sifat-sifat gaib dinisbahkan kepada obyek-obyek seperti logam, hewan, dans ebagainya, yang dengam melaluinya ahli sihir atau ahli hipnotis beraksi atau pura-pura beraksi berdasarkan tuhan-tuhan atau ruh-ruh untuk ikut campur dalam alam untuk memberikan pengaruh-pengaruh gaib. Namun satu-satunya prinsip yang dapat diterima oleh Ibnu Sina dalah merujukkan kemanjuran kepada keadaan khusus dari pikiran itu sendiri. Ini berlandaskan anggapan dasar bahwa memang sudah kodratnya pikiran mempengaruhi  materi dan materi menaati pikiran, dan Ibnu Sina takkan mempunyai magis adialami. “Ini dikarenakan jiwa  (berasal dari) prinsip-prinsip tertentu (yang lebih tinggi) yang membungkus materi dengan bentuk-bentuk yang terkandung di dalamnya, sehingga bentuk-bentuk ini benar-benar merupakan materi ...... Jika prinsip-prinsip ini dapat memberi materi bentuk-bentuk yang merupakan spesies-spesies alam  ..... maka tidaklah mustahil bila prinsip-prinsip ini dapat pula memberi kualitas-kualitas, tanpa perlu ada kontak fisik, tindakanm atau pun pengaruh ...... Bentuk yang ada pada jiwa adalah sebab dari apa yang terjadi pada materi.” (Psycholgi,” IV, 4). Alasan terjadinya perubahan besar ini adalah bahwa dalam Hellenisme terkemudian, jiwa manusia telah kehilangan martabatnya dan orang semakin lama semakin bertumpu, untuk menerangkan gejala “paranatural”, pada campur tangan tuhan-tuhan.

C. TEORI  PENGETAHUAN

Sesuai dengan tradisi Yunani yang universal, Ibnu Sina memberikan seluruh pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui. Penekanan utamanya, yang sangat mungkin diuraikan olehnya sendiri, adalah pada tingkat-tingkat daya abstraksi ini dalam pemahaman yang berbeda-beda. Dengan demikian, persepsi indrawi memerlukan sekali kehadiran materi untuk bisa memahami; imajinasi adalah bebas dari kehadiran materi yang nyata, tetapi tak dapat memahami tanpa pelekatn-pelekatan dan kejadian-kejadian amteri yang memberikan kekhususannya kepada imajinasi, sedangkan dalam akal sendiri, bentuk murni dimngerti secara universal. Juga mungkin sekali Ibnu Sina menjelaskan teori “tentang tingkatan-tingkatan abstraksi” ini untuk menghidnari keberatan-keberatan itu, yang terhadap keberatan doktrin Aristoteles tentang  pengertian (yang menurut doktrin ini seluruh pengertian merupakan abstraksi bentuk” tanpa materinya) bertanggung jawab, yaitu jika persepsi adalah pengetahuan tentang bentuk semaa-mata, maka bagaimana kita tahu bahwa bentuk ini mewujud pada materi? Atau, sungguh, bagaimana kita tahu bahwa materi sama sekali ada?
Kedudukan Ibn Sina pada persepsi secara umum adalah kedudukan realisme yang naif, seperti kedudukan Aristoteles dan para pengulasnya yang memandang persepsi secara representasi. Namun setelah mendapat kritik dari skeptisisme dan relatifisme yang menunjukkan relatifitas kualitas yang terserap, padangan secara reprentasi ini menjadi sungguh-sungguh termodifikasi dan Ibnu Sina akhirnya menerima pandangan kausal-semua atau lebih tepat, rasional tentang kualitas-kualitas persepsi yaitu obyek-obyek, yang memiliki kualitas-kualitas nyata, tampak sebagai anu pada keadaan anu dan dari kedudukan anu. Hal ini bertanggung jawab atas beberapa pernyataan  subyektif Ibnu Sina, yang membeda-bedakan antara persepsi “primer” dan persepsi “sekunder” : persepsi “primer” bersifat subyektif atau merupakan keadaan pikiran orang yang mencerapm sedangkan persepsi “sekunder” merupakan keadaan dunia lahiriah. Ibnu Sina tidak benar-benar melihat, sebagaimana kita orang-orang modern, kesulitan-kesulitan mendasar pada keududkna ini. Namun konsepsinya muncul kembali dalam filsafat Barat abad pertengahan sebagai pembeda  antara obyek psikologis atau “intensional” dan obyek yang nyata, suatu pembedaan yang lama kemudian dikembangkan oleh Locke menjadi pembedaan kualitas-kualitas persepsi primer dan sekunder.
Tetapi kunci utama doktrin Ibnu Sina tentang persepsi ialah pembedaan antara persepsi internal dan eksternal. Persepsi eksternal ialah kerja panca indera eksternal. Ibnu Sina pun membagi-bagi persepsi internal secara formal menjadi lima unsur, kendatipun ia menunjukkan keraguan yang amat sangat terhadap subyek ini (lihat “Psychology,” IV, I). Tujuan utama Ibnu Sina adakah memisah-misahkan fungsi atau kerja yang berbeda secara kualitatif, dan tentu saja, kita ingat lagi tentang prinsipnmya bahwa pada setiap gagasan yang jelas pasti terdapat perbedaan dalam realitasnya. Sungguh doktrinnya tentang indera-indera internal ini tidak berpreseden dalam sejarah filsafat. Indera internal yang pertama adalah sensus communis yang merupakan tempat semua indera. Indera ini menjadikan data indera sebagai persepsi-persepsi indera yang umum pasti internal, karena tak ada di antara kelima indera eksternal yang sanggup menjalankan fungsi seperti ini. Indera internal kedua adalah indera imajinatif sepanjang indera ini melestarikan imajinasi-imajinasi perseptual. Indera yang ketika gadalah juga imajinasi sepanjang indera ini bertindak atas dasar inaji-imaji ini, dengan penggabungan dan pemisahan. Pada diri manusia indera ini dikuasai oleh nalar sehingga imaji-imaji manusia dapat bekerja dengan cermat dan oleh karena itu, menjadi tempat akal praktis. Indera keempat dan indera internal terpenting tersebut wahm yang di Barat menjadi vis estimativa; ia mencerap gerak-gerak non bendawi seperti kegunaan dan ketakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek materi, dan sesungguhnya merupakan dasar karakter kita, entah dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh nalar. Indera internal kelima menyimpan dalam ingatan gagasan-gagasan yang oleh Ibnu Sina disebut “niat” (ma’ani).
 Doktrin wahm merupakan unsur yang paling asli dalam ajaran psikologi Ibnu Sina dan sangat dekat dengan apa yang oleh para psikolog moden digambarkan sebagai “Respon saraf” subyek terhadap obyek tertentu. Dalam ajaran Aristoteles, fungsi ini dijalankan oleh imajinasi atau persepsi itu sendiri, tetapi Ibnu Sina berpendapat bahwa imajinasi dan persepsi hanya menyatakan kepada kita tentang kualitas-kualitas perseptual  dari sesuatu, ukurannya, warnanya, bentuknya, dan sebagainya, keduanya tidak menyatakan kepada kita tentang sifatnya atau “maknanya” bagi kita, yang mesti di baca atau dikenal oleh suatu indera internal organisme. Dalam ajaran akum Stoic pun, kita telah mengenal teori perseptual moral dari oikeiosis atau “persesuaian”, yang menurut teori ini apa pun yang terserap oleh indera-indera eksternal ditafsirkan secara internal oleh jiwa sebagai pembawa nilai-nilai tertentu. Namun kaum Stoic, dalam doktrin ini, terutama memperhatikan pengembangan personalitas moral manusia. Doktrin wahm Ibnu Sina, sebaliknya, walau pun memiliki arti moral, pada dasarnya merupakan doktrin psikologis murni, yang menjelaskan respon instingtif dan emosional kita terhadap lingkungan.
“Respons syaraf” ini bekerja pada taraf yang berbeda-beda. Pada taraf pertama, respon ini bersifat instingtif murni seperti apabila seekor domba mengenali seekor serigala untuk pertama kali dan lari menghindarinya, atau seperti seorang ibu yang secara naluriah merasa cinta dan sayang kepada bayinya. Hal ini terjadi tanpa pengalaman sebelumnmya dan dengan demikian melalui semacam “ilham alamiah” mendarah daging dalam jasad organismenya. Yang kedua, respon ini pun bekerja pada taraf “empiris semu” (Psychology, IV, 3). Respon ini terjadi melalui penghubungan gagasan atau imaji yang ada dalam ingatan. Anjing yang merasakan kepedihan pada masa lalu karena dipukul dengan tongkat atau ditimpuk dengan batu, menghubungkan imaji tentang obyek dengan kepedihan dan, begitu anjing itu melihat lagi obyek tadi, dengan serta merta ia lari menghindar. Gejala penghubungan langsung ini dapat pula menjadi tidak langsung dan tidak rasional. Hal ini terjadi pada hewan dan juga pada manusia yang tidak rasional. Beberapa orang yang secara irasional mengasosiasikan warna kuning madu dengan warda dan rasa pahit empedu, tidak mau minum madu dan sebenarnya hal itu  menunjukkan gejala-gejala rasa seperti empedu. Prinsip asosiasi ini kemudian muncul dalam ajaran Laibniz (Monadology, diterjemahkan R. Latta, h. 232); dan prisnsipm asosiasi irasional atau otomatis muncul dengan lebih terperinci dalam psikologi eksperimental mutakhir dengan nama “refleks bersyarat”. Karena wahm ini melakukan peramalan-peramalan perseptual berdasarkan asosiasi gagasan, yang menurut Ibnu Sina tak terhingga penyebabnya (hubungan persamaan, dan sebagainya), maka penilaian perseptualnya terkadan bisa keliru. Aristoteles telah mengamati kekhilafan persepsi ini, tetapi tak dapat menjelaskannya karena ia tidak melihat pengaruh pengalaman masa lalu atas penilaian-penilaian perseptual kini.
Kini kita beranjak pada doktrin tentang akal yang telah di ulas secara sangat terperinci oleh Ibnu Sina. Ia telah mengambil alih dalam doktrinnya itu, teori perkembangan akal manusia yang dikumandangkan oleh Aristoteles secara amat singkat dan agak kabur dan kemudian diperjelas oleh Alexander dari Aphrodisias dan kemudian oleh al-Farabi. Namun Ibnu Sina telah menambahkan penafsiran-penafsirannya sendiri yang teramat baru dan asli. Doktrin ini, secara singkat, membedakan antara akal potensial pada manusia dan akal aktif di luar manusia, yang karena pengaruh serta petunjuknya akal potensial berkembang dan menjadi matang. Pada dasarnya, yang menjadi masalah adalah asal kesadaran manusia dan hal ini dijelaskan berdasarkan anggapan tentang akal transenden supra-manusiawi yang, bila akal manusiawi siap menerimanya, menganugerahkan pengetahuan pada akal manusia.
Berlawanan dengan Alexander, al-Farabi, dan mungkin juga Aristoteles, Ibnu Sina beranggapan bahwa akal potensial pada manusia adalah unsur yang tak dapat dibagi-bagi, tidak bersifat materi, dan tak dapat dirusak sekalipun akal ini dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi bagi setiap individu. Hal ini mengandung konsekuensi-konsekuensi keagamaan, karena, kalau menurut al-Farabi hanya orang-orang yang berakal maju-lah yang dapat bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk selama-lamanya. Ibnu sina malah mempertahankan kekekalan jiwa manusia. (Menurut Alexander  dari Aphrodisias, akal yang ternyatakan pun dapat sirna sehingga tak ada jiwa yang kekal). Ketidak materialan akal dibuktikan oleh Ibn Sina dengan sikap yang belum pernah terjadi sebelumnya, gamblang, dan skolastik, gagasan dasarnya yang adalah bahwa gagasan-gagasan atau ‘bentuk-bentuk’, karena tak dapat dibagi-bagi, tak dapat ditempatkan pada organ material apa pun.
Akan tetapi aspek paling asli dari ajaran Ibn Sina tentang akal terletak pada pandangannya tentang cara kerja akal dan cara menguasai pengetahuan. Sementara, menurut doktrin pengikut filsafat Aristoteles yang diterima oleh al-Farabi, yang universal, sebagai obyek dari tindakan keakalan, diabstraksikan dari kekhasan-kekahasan pengalaman inderawi, bagi Ibnu Sina pengalaman inderawi itu secara langsung muncul dari akal aktif. Kelaziman pengikut filsfat Aristoteles telah memberikan tinjauan berikut tentang timbulnya pengalaman yang universal dari yang perseptual berikut ini : Pertama, kita mempersepsi bberapa individu yang sama : ini semua disimpan di memori dan setelah kerja yang tetap ini dilaksanakan, maka cahaya akal yang aktif “menyinari” individu-individu tersebut sehingga sifat dasar yagn lazim pada pengalaman inderawi yang khusus itu timbul dari individu-individu tersebut. Teori ini tidaklah bersigfat nominalistik ataupun realistik : dikatakannya bahwa pengalaman yang universal lebih dari sekedar  yang diberikan oleh contoh-contoh pengalaman kepada pikiran, tetapi menurut teori ini pengalaman yang universal sedikit banyak terletak pada contoh-contoh tersebut. Menurut Ibnu Sina, yang universal itu tak dapat timbul dari imaji-imaji inderawi karena letaknya bukan di sana.s elanjutnya, seperti telah kita saksikan,esensinya, menurut Ibnu Sina, tiadklah benar-benar berupa pengalaman yang universal : esensi itu hanyalah bersikap demikian apabila berada di dalam pikiran kita. Di samping itu, tak ada contoh-contoh khusus yang jumlahnya benar-benar cukujp untuk menghasilkan esensi universal yang dapat diterapkan pada contoh-contoh yang tak terbatas. Oleh karena itu, dikatakannya bahwa tugas pikiran kita adalah “menimbang” dan merefleksikan kepada pengalaman-pengalamanan inderawi yang khusus itu. Aktifitas ini memperisapkan pikiran untuk menerima esensi (yang universal) dan akal aktiv melalui suatu tindakan intuisi langsung. Jadi, persepsi terhadap bentuk universal ini merupakan suatu gerakan yang unik dari jiwa yang intelektif, yang tak dapat disederhanakan menjadi penanggapan kita terhadap bentuk-bentuk khusus, baik satu per satu maupun secara keseluruhan dan penemuan kita tentang esensi yang lazim terdapat di antara bentuk-bentuk khusus itu, karena jika demikian maka persepsi ini akan berupa jenis palsu dari yang universal belaka.
Selain itu, masih ada lagi suatu pertimbangan penting yang mengarah keapda pandangan tersebut. Seandainya persepsi terhadap contoh-contoh itu serta pencatatan mengenai kemiripannya (yang kemiripannya itu sendiri sesungguhnya mensyaratkan pemilikan esensi yang universal oleh pikiran) cukup untuk menghasilkan yang universal, maka penguasaan atas pengetahuan akan menjadi bersifat mekanik dan mekanisme ini niscaya akan bekerja.
Kendatipun demikian, dalam kenyataannya tidaklah benar bahwa pengertian dapat dihasilkan secara demikian mekanik dan deterministik. Asal-muasal pengetahuan itu besifat misterius dan melibatkan intuisi pada tiap tahapannya, tidaklah sedemikian benar untuk mengatakan “Saya mengetahuinya” sebagai pengakuan “menurut pendapat saya”. Segala penguasaan atas pengetahuan, menurut Ibnu Sina (bahkan juga timbulnya kesimpulan dan premis-premis), memiliki kualitas menyerupai doa ini :diperlukan upaya dari manusianya; responnya merupakan tindakan Tuhan atau akal aktif. Sesungguhnya, kita sering tak sadar apa yang ingin kita ketahui, apalagi “mengetahuinya”. Sebuah teori tentang pengetahuan yang tak dapat memperhatikan kebenaran yang mendasar ini bukan saja salah melainkan juga menghina Tuhan.
Maka dari itu, semua gagasan atau bentuk berasal dari luar. Pengertian yang tepat tentang “luar” ini akan kami bahas pada bagian berikutnya. Namun sementara ini kami akan mengamati sifat-sifat penting tertentu lainnya dari pengetahuan kita. Yang pertama adalah bahwa pengetahuan kita ini diperoleh sedikit demi sedikit dan sambung menyambung, tidak sekali gus seluruhnya; pengetahuan pun pada umumnya “siap menerima” dalam arti seperti telah disebutkan di atas. Dalam kesadaran normal kita tidak sepenuhnya sadar akan dari mana dan ke mananya arah pemahaman kita. Memang benar, ada orang-orang yang siap menerima dalam arti biasa, yaitu dalam arti bahwa mereka tidak menemukan sesuatu apa pun, terlebih sesuatu yang  baru dan asli; mereka hanya mempelajari garis-garis besarnya; sedangkan yang lain ada yang menemukan hal-hal yang baru. Namun demikian yang lain itu pun hanay “mau menerima” dalam arti bahwa, karena tidak sepenuhnya menyadari darimana dan ke mana arah pengetahuan mereka – tak sadar akan konteks realitas keseluruhannya – mereka tidak mengetahui makna keseluruhan dari penemuan-penemuan mereka. Hal ini karena, di kalangan para pemikir pada umumnya gagasan-gagasan datang dan pergi secara bergantian dan, oleh karenanya, penguasaan mereka tentang realitas tidaklah  menyeluruh. Itulah sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Ynani dan terutama  yang baru tentang identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena, menurut pendapatnya, dalam hal kesadaran yang normal, yang di dalamnya terdapat kesilih-bergantian gagasan, jika pikiran menjadi identik dengan seluruh obyek, maka bagaimana mungkin pikiran itu dapat menjadi identik dengan obyek lainnya? Dalam hubungan ini ia mengecam Phorphyry atas “pernyataan-pernyataan mistis dan puitisnya”. Sebab-musababnya ia mengkhususkan murid Plotinus, tidaklah begitu jelas, karena doktrinnya itu bersifat Peripatetis dan juga Neo-Platonis, walau pun, mesti diakui, ada wakil-wakil yang moderat seperti Alexader dari Aphrodias selain pula kampiun-kampiun ekstremis darin doktrin tersebut seperti kebanyakan kaum Neo-Platonis.
Gagasan-gagasan dalam bentuk pengetahuan yang terperinci, khas dan sambung menyambung ini, seperti telah kami katakan, masuk ke dalam dan keluar dari pikiran. Ibnu Sina bersikeras bahwa suatu gagasan tidak benar-benar digunakan dalam pengakalan, tidak selalu berada  di dalam pikiran, atau dengan aperkataan lain sebenarnya tak ada ingatan akal seperti ingatan tentang imajinasi-imajinasi perasaan. Tiada apa pun di dalam pikiran yang dapat melestarikan pengertian seperti pelestarian perasaan di dalam jiwa, karena kemaujudan suatu kenyataan bahwa pengertian itu sesungguhnya sedang dipikirkan. Memang benar, perlu dicatat bahwa kata ingatan, bila diterapkan pada obyek-obyek perasaan dan ingatan tentang yang universal dan proposisi-proposisi universal, karena pada hal yang pertama ada kaitan dengan masa silam. Aristoteles sendiri telah menyuatakan doktrin ini dalam karyanya De Memoria et Reminiscentia, di sana ia mengatakan bahwa yang universal hanya diingat per accidens. Pikiran manusia yang berpikir secara umum, kata Ibnu Sina, ibarat sebuah cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang direflesikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa suatu kebenaran yang pernah dicapai, karena sudah ke luar pikiran, “harus dipelajari kembali secara keseluruhan apabila hal itu diingat. Dengan pencapaian kita yang terdahulu, kita memperoleh suatu keahlian untuk menghubungi akal aktif dan, untuk mengingat, kita hanya tinggal menggunakan keahlian atau kemampuan itu. Dengan mengambil analogi cermin tersebut, Ibu Sina mengatakan bahwa sebelum menguasai pengetahuan, cermin tersebut berkarat; apabila kita berpikir kembali, cermin itu menjadi mengkilat, dan senantiasa menghadap ke arah matahari yaitu akal yang sehingga senantiasa merefleksikan cahaya.
Begitu pula kesadaran filosofis (atau mistis) biasa; kesadaran ini pada umumnya bersifat persial (dalam sebagai tahapannya) walau hal itu asli dan kreatif (juga dalam berbagai tahapannya) dan oleh karenanya, kesadaran ini tidak berhubungan  secara menyeluruh dengan realitas, atau, seperti dikatakan Ibnu Sina, “bukan merupakan kesadaran yang berakal aktif”. Akan tetapi dalam proses-prosespengertian kita yang biasa pun,  ada petunjuk-petunjuk ke arah kemaujudan suatu jenis kesadaran dimana persialitas dan rangkaiannya ini bisa diatasi dan yang bisa sepenuhnya bersifat kreatif, disertai pula realitas penuh dalam penguasaannya. Prtunjuk-petunjuk ini digambarkan oleh Ibnu Sina dengan sebuah contoh berupa seseorang, yang tiba-tiba berhadapan dengan seorang penanya yang menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dia sendiri belum pernah menanyakan sebelumnmya dan oleh karena itu, ia tak dapat memberikan jawaban terperinci secara langsung. Namun demikian, dia yakin bahwa dia dapat menjawab pertanyaan itu karena jawabannya baru saja terlintas “di dalam benaknya dan ada di dalam dirinya”. Kemudian dia menlanjuutkan perinciannya dan merumuskan jawabannya. “Anehnya, “kata Ibnu Sina, “tatkala orang ini mulai mengajari si penanya dengan jawaban atas pertanyaan, pada saat yang sama dia pun mengajari dirinya sendiri” bentuk pengetahuan yang terperinci dan terurai, sekali pun dia sebelumnya telah memiliki pengetahuan ini secara sederhana. Wawasan sederhana dan menyeluruh ini menciptakan pengetahuan terperinci dan berkesinambungan yang terjadi. Jadi, wawasan sederhana dan menyeluruh ini (Scientist simplex dari skolastik Latin abad pertengahan berasal dari Ibnu Sina) merupakan penalaran kreatif  (atau intelek aktif); bentuk yang telah terumuskan dan teruraikan itu adalah pengetahuan “fisik” bukan benar-benar pemahaman akal. Orang yang memiliki alat kreatif yang sederhana ini, kalau memang ada orang yang demikian, patut dikatakan sebagai orang yang berakal aktif; dan karena dia benar-benar yakin akan dari mana dan ke mana arah pengetahuan itu (Ibnu Sina sangat menekankan keyakinan diri ini); ia sendiri sadar akan konteks keseluruhan dari kebenaran dan, oleh karenanya, ia sendiri memiliki kesadaran penuhn akan makna setiap istilah dalam proses realitas, dan dengan demikian, akhirnya hanya orang seperti itulah yang dapat masuk (dan mestim masuk) secara paling berarti ke dalam sejarah duniawi, mempolakannya dan memberi makna baru kepadanya. Inilah dia sang Nabi, namun bagaimana caranya mematikan keberadaannya itu?

D. AJARAN  TENTANG  KENABIAN

Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan  suatu yang oleh Inbu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosiopolitik. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak, dan arah pemikiran keagamaan. Memang, dari gambaran dan penafsiran sepihak kami  tentang proposisi filosofis sentralnya sejauh ini, jiwa keagamaan yang dalam telah muncul dengan jelasnya. Teorinya tentang “Ada”  telah membawa kepada kebergantungan setiap makhluk tertentu kepada Tuhan; dan ajaran-ajrannya tentang hubungan jiwa raga serta asal kejadian dan sifat pengetahuan bermuara pada konsepsi keagamaan tentang keajaiban-keajaiban di satu pihak, dan tentang pengetahuan kewahyuan di lain pihak. Dan ada sedikit kesan bahwa nafas keagamaan merupakan sesuatu yang sengaja diselipkan ke dalam pemikiran rasionalnya yang murni; tetapi sebaliknya, nafas keagamaan itu secara organik telah menumbuhkan suatu proses rasiosinasi yang tepat, lalu menghujam ke dalam inti dasar pemikirannya.
Bisa dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah warga dunia intelektual-spiritual. Hellenis dan Islami. Dalam pikirannya ia pada hakikatnya telah menyatakan tentang kedua dunia tersebut sedemikian rupa sehingga keduanya menjadi identik; dengan demikian masalah tentang ketidaksetiaan kepada salah satu dari keduanya sama sekali tidak timbul pada dirinya. Dalam keadaan demikian baik Islam tradisonal maupun warsian budaya Hellenisme tak pelak lagi ditafsirkan  dan dimodivikasi sampai pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Hal ini tampak pada keseluruhan falsafahnya yang secara tehnis memasuki bidang agama, tetapi, yang paling gamblang tampak pada doktrinnya tentang kenabian. Dalam doktrinnya ini, Ibnu Sina secara drastis memodifikasi teologi dogmatis Muslim dengan menyatakan bahwa wahyu di dalam Quran pada umumnya, jika tidak seluruhnya, merupakan kebenaran simbolis, bukan kebenaran harfiah, tetapi wahyu itu harus tetap sebagai kebenaran harfiah bagi orang awam (ini tidak berarti Quran itu bukan Firman Ruhan; sebenarnya, seperti akan kita lihat nanti,  dalam arti harfiah memang Quran adalah Firman Tuhan). Selanjutnya, bahwa Hukum, walau pun mesti diamati oleh setiap orang, juga sebagai bersifat simbolis dan sebagian lagi bersifat pedagogik dan, maka dari itu, pada hakikatnya merupakan disiplin  yang lebih rendah daripada pencarian-pencarian filosofis, (Ini pun tidak berarti bahwa kita dapat melepaskan diri dari Hukum pada setiap tingkat perkembangan hakikat manuisa). Penafsiran dan modifikasi Hellenisme dalam ajaran ini sungguh jelas; walu pun pada umumnya unsur-unsur ajaran filosofis Muslim tentang kenabian ada di dalam Hellenisme, tetapi unsur-unsur ini ada dalam bentuk samar dan terkadang kasar; selain itu juga terpencar-pencar. Memang, bangsa Yunani tidak meiliki konsepsi tentang kenabian dan wahyu kenabian sebagaimana dikelanl oleh umat Islam. Sebenarnya konsepsi Muslim tentang kenabian ini baru dan unik dalam sejarah agama. Menurut para filosof Muslim (Terutama Ibnu Sina, karena walau pun al-Farabi telah mempelopori jalnnya, kita tidak menemukan semua unsur ini padanya, terutama unsur-unsur tersamar, kasar, dan terpencar-pencar ini menjadi suatu teori terurai, menyeluruh, dan halus untuk menafsirkan kepribadian Muhammad, tak lain dan tak bukan merupakan penampilan seorang jenius.
Pada tingkat intelektual, perlunya wahyu kenabian dibuktikan dengan suatu pendapat yang diuraikan berdasarkan uacapan Aristoteles ( Anal Psst, I, Bab. 34) bahwa sebagian orang dapat menemukan jalan tengah tanpa membentuk suatu silogisme di dalam pikiran mereka. Ibnu Sina membangun seluruh teori tentang pengalaman intuitif total berdasarkan pernyataan singkat ini. Sebab, katanya, manusia sangat berbeda-beda berdasarkan kekuatan-kekuatan intuitif mereka dalam kualitas maupun dapam kuantitasnya, dan sementara sebagian orang hampir sama sekali tak memiliki pengalaman nintuitif itu, yang lain memilikinya dalam kadar tinggi, sehingga orang yang dikaruniai keluarbiasaan memiliki hubungan menyeluruh dengan realitas. Orang ini, tanpa banyak mendapatkan perintah dari luar, dengan sifat dasar yang dimilikinya sendiri, dapat menjadi gudang kebenaran, berlawanan dengan para pemikir pada umumnya yang mungkin memiliki pengalaman intuitif berdasarkan suatu pertanyaan atau beberapa pertanyaan tertentu tetapi sentuhan intuitifnya terahadap realitas selalu bersifat sepihak, tak pernah menyeluruh. Wawasan yang menyeluruh ini kemudian mewujud dalam tesis-teisi tentang sifat dasar realitas dan tentangn sejarah masa depan; dan wawasan ini pun bersifat itelektual dan moral-spiritual, sehingga pengalaman kenabian itu tentu memenuhi kriteria filosofis atau pun moral. Berdasarkan wawasan kreatif inilah nabi sejati menciptakan nilai-nilai moral baru dan mempengaruhi sejarah masa mendatang. Komitmen psikologis-moral dari wawasan ini pun merupakan keyakinan diri  yang mendalam dan tak tergoyahkan dan merupakan keimanan nabi serta kecakapannya dalam pengetahuan yang benar dan dalam penilaian moral yang tepat; nabi tentu percaya kepada diri sendiri sehingga ia mampu membuat orang lain percaya kepada dirinya dan dengan demikian ia berhasil dalam missinya ke seluruh dunia.
Wawasan kreatif tentangn pengetahuan dan nilai-nilai ini, diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan akal aktif dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu. Jadi, nabi yang qua nabi itu identik dengan akal aktif; dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘aql mustafad (akal yang telah dicapai). Namun nabi qua manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu hal internal dengan nabi, dalam hal ini, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu itua dalah manusia, eksternal dengannya.  Maka dari itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa nabi, dalam hal sebagai manusia, secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidenta;” ini. Lihat bagian pertama bab ini). Tuhan dapat berakhir, memang ini dapat dipahami manusia sehingga manusia dapat berkembang dan amju, tetapi makna tuhan sampai pada tingkat apa pun sama sekali tak dapat sirna pada diri manusia.
Namun kendatipun wawasan intelektual-spiritual ini merupakan karunia tertinggi yang dimiliki nabi, ia tak dapat bertindak kreatif dalam sejarah semata-mata berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan yang dijabatnya menghendaki agar ia seyogyanya menghadap umat manusia berbekal risalah, mempengaruhi mereka, dan benar-benar berhasil dalam misinya. Kriteria ini menyebabkan para filosof, walau pun mereka mengakui keilahian para pemikir Yunani terdahulu dan para pembarunya, memusatkan pikiran mereka pada Musa, Isa, dan, yang terpenting Muhammad yang tak pelak lagi memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi hingga tingkat tertinggi. Syarat-syarat yang dibutuhkan itu adalah bahwa nabi harus memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahwa kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain melainkan juga seluruh materi pada umumnya, dan bahwa ia harus mampu melontarkan suatu sistem, sosial politik.
Dengan kualitas imajinasi yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi, melalui keniscayaan prikologi yang mendorong mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina, namun oleh Ibnu Sina hal itu lebih diperinci lagi. Merupakan sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan keterbatasan-keterbatasan psikologis kita. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tenang makanan dan minuman. Bahkan tatkala kita benar-benar tidak sedang bergairah seks tetapi kondisi fisik kita siap menerimanya, imajinasi bisa berperan dan dengan mambngkitkan imaji-imaji yang hidup dan sesuai, bisa benar-benar mengembangkan gairah seks melalui sugesti beaka. Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apa pun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya, itulah sebabnya ia “melihat” Malaikat dan “mendengar” suaranya. Itulah pula sebabnya ia eprlu berbicara tentang surga dan neraka yang melambangkan keadaan-keadaan spiritual murni dari kebahagiaan dan kesengsaraan. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam Kitab-kitab Suci Keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual.
Iadji, wahyu dalam pengertian teknis inilah yangm mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik. Maka tak ada agama yang hanya mendasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataan wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sampai sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosail politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang Pembuat Hukum dan seorang negarawan tertinggi  --  memang hanya nabilah Pembuat Hukum dan negarawan yang sebenarnya. Ketentuan praktis ini menjadikan Muhammad gambaran yang semakin nyata terpatri pada pikiran filosof ini. Hukum (syariah) ini mesti sedemikian rupa sehingga harus berhasilguna dalam membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan Tuhan pada setiap langkah, dan harus pula menjadikannya sebagai tolok ukur pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadap apa yang ada di balik bentuk lahiriahnya, sehingga mereka bisa memahami tujuan-tujuan spiritual sejati dari Sang Pembuat Hukum. Hukum tidak dapat dibatalkan pada tingkat apa pun bagi setiap orang, tetapi hanya wawasan filosofis tentang kebenaranlah yang memberi makna sebenarnya dari Hukum tersebut; dan apabila telah dipahami, maka Hukum itu tampak bagaikan sebuah tangga yang telah didaki seseorang tetapi masih tetap tak arif untuk dibuang. Bagi jiwa-jiwa yang relatif tak beruntung yang tak mampu melihat kebenaran filosofis di dalam Hukum itu, wahyu teknis dan isi kandungan Hukum itu tentunya tetap saja sebaga kebenaran harfiah.

E.  TUHAN  DAN  DUNIA

Pada bagian pertama telah kita pelajari bahwa Tuhan itu unik dalam arti bahwa Dia adalah Kemaujudan yang Mesti; sesgala suatu selain Dia bergantung kadap dirinya sendiri dan keberadaannya bergantung kepada Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu jumlahnya harus satu. Nyatanya, walau pun di dalam Kemaujudan tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keradaan-Nya yang Mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan. Namun jika Dia tak beresensi dan tak berartribut, bagaimana caranya agar Dia dapat dikaitkan dengan dunia? Menurut Aristoteles, yang mganut konsepsi Ketuhanan ini, dunia ini menunjukkan dirinya sebagai suatu yang lain --- bukan obyek ciptaan Tuhan, bukan obyek yang dilindungi-Nya, bahkan bukan pula obyek pengetahuan-Nya. Tuhannya Aristoteles memberkati kehidupan bahagia berupa renungan diri yang abadi dan dunia menata dirinya menjadi sebuah kosmos berlandaskan cinta-kasih dan pemujaan terhadap-Nya, untuk menjadi seperti Dia.
Tradisi falsafah Muslim menemukan jalan keluar karena mendapat pengaruh dari contoh Neo-Platonis yang menggabungkan antara kesederhanaan mutlak Tuhan dan gagasan bahwa, dalam mengetahui diri-Nya, Tuhan pun mengetahui esensi segala suatu secara tersitrat dan sederhana. Sistem ini dirancang dan disusun  oleh Ibnu Sina, yang berdaya upaya menggali, atribut-atribut Tuhan tentang pengetahuan, penciptaan, kekuasaan, kehendak, dan sebagainya, dari ada-Nya yang sederhana dan tak berubah-ubah, atau lebih tepat  untuk membuktikan bahwa atribut-atribut ini tak lain adalah kenyatyaan akan keberadaan-Nya. Hal ini dilakukan dalam upaya membuktikan bahwa semua atribut itu tidak rasional atau pun negatif; jadi, atribut-atribut itu identik dengan adanya Tuhan dan dengan satu sama lain. Maka dari itu, Tuhan adalah mutlak sederhana. Bahwasanaya Tuhan itu Maha Mengetahui dibutkikan dengan  kenyataan bahwa Dia murni dari materi dan merupakan jiwa yang murni. Dia adalah akal murni di mana subyek dan obyek identik.
Akan tetapi pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipsofacto tentang segala esuatu di luar diri-Nya pula, karena, dengan mengetahui diri-Nya, Dia pun tak pelak lagi mengetahui kemaujudan-kemaujudan lainnya yang berasal dari-Nya. Dalam hal ini, Ibnu Sina menggoreskan sebuah catatan orisinil. Menurut tradisi falsafah Hellenisme, Tuhan Maha Tahu hanya terdapat esensi-esensi (atau universal-universal) dan bukan maujud-maujud khusus, karena yang khusus ini hanya dapat diketahui melalui persepsi inderawi dan, oleh karenanya, hanya sesaat; tetapi Tuhan, yang supra temporal, tak berubah, dan tak badaniah, tak mungkin dapat berpengetahuan perseptual. Ajaran para filosof ini terutama menjijikan bagi Islam, karena ajaran ini bukan hanya menjadikan pengetahuan tak berguna bagi mereka yang hendak mempertuhankan-Nya. Ibnu Sina mencanangkan sebuah argumentasi untuk membuktikan bahwa kendati Tuhan tak dapat memiliki penbgetahuan perseptual, Dia mengetahui segala sesuatu yang khusus “secara universal”, sehingga pengetahuan perseptual itu emrupakan kelebihan dari diri-Nya. Karena Tuhan adalah sebab asal kejadian segala maujud, maka Dia mengetahui baik maujud-maujud tersebut maupun hubungan yang terdapat di antara mereka. Misal, Tuhan mengetahui bahwa setelah sekian rangkaian peristiwa tertentu  akan terjadi gerhana matahari, dan mengetahui semua anteseden maupun konsekuensi gerhana ini. Dia mengetahui secara pasti kualitas-kualitas serta sifat-sifatnya; dengan demikian dia mengetahui gerhana tertentu apa yang akan terjadi,d an dapat membedakannya secara lengkap dari semua peristiwa lain bahkan dari peristiwa-peristiwa sejenis, yaitu gerhana pada umumnya. Namun apabila gerhana khusus ini benar-benar terjadi pada suatu saat, Tuhan, karena bukan merupakan subyek dari perubahan temporal, tidak dapat mengetahuinya. Tapi Tuhan pun tidak perlu mengetahui peristiwa itu secara demikian, karena Dia telah mengetahui sebelumnya (lihat K al-Najat, Kairo, 1938, hal. 247 -249). betapapun amat jeniusnya teori ini dan, kami kira, berhasil dalam membuktikan bahwa persepsi inderawi bukan merupakan satu-satunya cara untuk membuktikan yang khusus itu, sudah barang tentu teori ini tak dapat menghindari dikenalkannya faktor waktu, dan dengan demikian, berubah sepengetahuan Tuhan. Kritik al-Ghazali terhadap teori ini dalam pembahasan ketigabelas dari bukunya Thahafut al-falasifah tentu ditujukan kepada masalah ini, kendati pandangannya bahwa menurut Ibnu Sina Tuhan tak dapat mengetahui manusia secara individu melainkan hanya secara umum tentunya tidak benar, karena kalau Tuhan dapat mengetahui manusia, dengan cara demikian, secara individu? Sesungguhnya Ibnu Sina menyatakan di dalam bahasa Quran-nya(op. Cit. Hal. 247) bahwa “tak ada  sesuatu sekecil apa pun yang tersembunyi dari pandangan Tuhan atau di langit atau di bumi.”
Adapun mengenai atribut-atribut kehendak dan penciptaan Tuhan, pembahasan emosional Ibnu Sina menganggapnya tak jadi masalah apa yang telah dibuktikan oleh al-Ghazali. Dalam pembahasan intelektualis-emanasionis yang seksama tentang  Ketuhanan, pembuktian al-Ghazali itu tak ada artinya sama sekali. Menurut Ibnu Sina, kehendak Tuhan berarti hanyalah prosesi yang mesti atas dunia dari di-Nya dan kepuasan Diri-Nya melalui prosesi ini. Memang ia mendefinisikan ini dengan istilah-istilah yang benar-benar negatip, yaitu bahwa Tuhan tidak berkehendak sehingga dunia berprosesi dari-Nya; ini amat berbeda dengan atribut-atribut positip dari pilihan dan penentuan pilihan tersebut.
Demikian pula aktifitas kreatif Tuhan, menurut Ibnu Sina berarti pemancaran atau prosesi-prosesi dunia, dan karena pemancaran ini pada akhirnya berlandaskan sifat intelektual Tuhan, maka pemancaran bersifat mesti dan rasional. Bahkan sekali pun kritikan al-Ghazali yang mengasimilasikan aktivitas Ilahi dari Ibnu Sina itu dengan prosesi otomatis cahaya dari amtahari, sehingga berati menolak istilah “tindakan” bagi tingkah laku Tuhan, tidak benar sama sekali (karena menurut Ibnu Sina, Tuhan tidak hanya menyadari prosesi dunia dari diri-Nya itu, tetapi juga merasa puas dan “menghendaki-Nya)” istilah “penciptaan” itu walaupun demikian digunakan hanya dalam pengertian Pickwick )khusus) dan istilah “tindakan” (dalam arti tindakan sengaja, juga sungguh-sungguh telah dimodifikasi karena, seperti telah kami katakan, tak ada masalah dengan pilihan yang nyata. Setelah ditetapkan secara rasional, aktivitas ini tentunya dapat dipersaingkan dengan kehendak dan jgua dapat dikatakan dilakukan dengan pilihan, tetapi pilihan ini harus dimasukkan sebagai unsur tambahan baik secara inisial maupun final. Sebab, mungkin orang memilih-milih untuk berpikir tentang suatu amsalah tertentu. Jadi, pilihan awal (inisial) adalah pilihannya sendiri untuk berpikir tentang lebih baiknya persoalan ini daripada persoalan itu dan kemudian pada suatu saat ia pun dapat memilih atau berkehendak untuk mengakhiri proses berpikir ini. Apa yang terjadi berikutnya antara awal dan akhir ini akan merupakan suatu proses pemikiran yang ditentukan secara rasional, dan bukan merupakan suatu rangkaian pilihan, walau pun secara keseluruhan proses itu juga dipilih dan disengaja. Namun dalam pembahasan filosofis tentang Tuhan, tak ada tempat bagi faktor tambahan ini atau di akhir atai di awal.
Maka dari itu, dunia ini ada secara abadi bersama Tuhan, karena baik materi maupun bentuk mengalir abadi dari Dia. Tetapi walau pun konsep ini menjijikan bagi Islam Ortodoks, tujuan Ibnu Sina memperkenalkannya adalah dalam rangka berupaya untuk berlaku adil bagik terhadap tuntutan-tuntutan agama maupun terhadap penalaran dan untuk menghindari materialisme ateistis. Menurut kaum materialistis, dunia ini telah ada dan abagi tanpa Tuhan. Menurut Ibnu Sina pun abadi adanya, tetapi karena dunia ini tak berdiri sendiri maka secara keseluruhan membutuhkan Tuhan dan bergantung kepada-Nya secara abadi. Dan di sini kita melihat adanya tujuan ganda dari ajaran esensi dan keberadaan ini. Tidak seperti halnya ateisme, ajaran ini menghendaki Tuhan agar berada di atas segala maujud; dalam rangka menghindari panteisme, selanjutnya ajaran ini menghendaki agar Tuhan itu dibedakan secara mendasar dari adanya dunia.
Pokok permasalah utama dari keabadian dunia, yang telah ditekankan oleh kaum penentang ajaran tersebut sepanjang sejarah pemikiran, adalah bahwa ajarn ini melibatkan serangkaian masa lalu yang benar-benar tak pasti. Sebagai jawabnnya, dikatakan sejak jaman Kant bahwa sama sekali tidaklah mustahil membayangkan masa lalu yang tak pasti, sama tidak musthilnya dengan membayangkan masa yang akan datang, yaitu tak ada kemustahilan di dalam memulai dari suatu masa tertentu dan melintasi masa lalu kemudian pada suatu titik yang tak pasti kembali ke awa masa lalu lagi. Kekeliruan berpikiir pada jawaban ini adalah dalam mengasimilasikan masa lalu dengan masa yang akan datang, karena masa lalu adalah sesuatu yang pasti, dalam arti bahwa itu telah terjadi dan oleh karenanya kini sudah dapat dipastikan. Tetapi kekeliruan yang sama, kami pikir, tersirat di dalam tujuannya itu sendiri, dan tampaknya penerapanm istilah  “tak tentu” ini kurang pada tempatnya digunakan untuk masa silamn : istilah “tak tentu” ini digunakan untuk suatu rangkaian tanpa akhir atau tanpa awal dan sekali gus tanpa akhir. Menurut proposisi tersebut, rangkaian itu tak berawal pada masa lalu, dan tak ebrakhir pada masa yang akan datang, sedangkan tujuannya adalah berupaya menepatkan suatu akhir pada rangkaian itu pada suatu tempo tertentu dan kemudian mempertahankan pendapat ketertentuan pada masa lalu. Juga, apabila awal merupakan suatu konsep temporal, ketanpa-akhiran adalah penyangkalan dan tak memerlukan konsep temporal, tetapi tujuannya jelas menyiratkan “ketak-tentuan masa lalu” sebagai konsep temporal.

F.  PENGARUH  DI TIMUR DAN  BARAT

Besar sekali pengaruh pemikiran Ibnu Sina. Di Timur, sesungguhnya sistem Ibnu Sina telah mendominasi tradisi Falsafah Muslim sampai zaman modern ketika ia disejajarkan dengan beberapa orang pemikir Barat oleh mereka yang terdidik di universitas-universitas modern. Di madrasah-madrasah yang dikelola secara tradisional, Ibnu Sina masih dipelajari sebagai filosof Islam terbesar. Ini karena tak adanya filosof penggantinya dengan orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang menghasilkan sistem yang mengikuti jejaknya. Ibnu Rusyd, nama filosof besar terakhir dalam tradisi flsafah Muslim abad pertengahan, tidak merumuskan pemikirannya secara sistematik, tetapi memilih untuk menulis ulsan-ulasan tentang karya-karya Aristoteles. Ulasan-ulasannya ini, karena keilmiahan dan ketajaman yang begitu hebat, dampaknya hebat sekali terhadap Barat abad pertengahan (yang menerima Aristoteles melalui dia dahulu) tetapi bukan hanya tak berpengaruh terhadap Timur yang Muslim, tetapi sebagian besar  dari ulasan-ulasan itu bahkan tak ada lagi aslinya dalam bahasa Arab. Kelangkaan pengaruh bandingan itu, tentunya disebabkan terutama oleh pemusnahan karya-karyanya (seusai Perang Salib, Pnej.). selebihnya, aktifitas filosofis berikutnya terbatas pada penulisan uslan-ulasan filosofis tentang Ibnu Sina atau polemik-polemik terhadapnya. Kekecualian-kekecualian yang langka, seperti Sadr al-Din al-Syirazi, yang menulis karya-karya mereka tentang falsafah sistematiks, menjadi kurang filosofis dan lebih bersifat mistis dalam penalaran mereka, jika tak dapat dikatakan spiritual. Namun demikian, ulasan-uilasan dan polemik-polemik terhadap Ibnu Sina ini serta sistem-sistem berikutnya masih belum dipelajari sampai pada tingkat yang lumayan tingginya oleh para mahasiswa.
Oleh karena itu, marilah kita tetapkan secara lebih pasti pengaruh Ibnu Sina di dalam tradisi Islam. Mengatakan bahwa ia lebih mendominasi tradisi falsafah Islam tentunya tidak berarti mengatakan bahwa ia telah mendominasi tradisi Islam itu sendiri. Tetapi sebaliknya, pengaruh Ibnu Sina  --  yang sepadan dengan pengaruh falsafahnya  -- di dalam Islam dengan tiba-tiba dan dengan tajam mengecil setelah polemik-polemik terhadap al-Ghazali dan berikutnya terhadap al-Razi dan kemudian menurun dan akhirnya nyis lenyap. Ia masih terus dibaca di madrasah-madrasah hanya sebagai latihan dasar intelektual para siswa teologi, bukan untuk memfalsafahkannya kembali melainkan untuk menyangkal atau menolak Faktor-faktor penunjang dari situasi ini adalah kekakuan fomal dari teologi yang dogmatis dan kenyataan bahwa akal manusia itu sendiri menjadi dicurigai karena adanya ketidaksesuaian ajaran-ajaran tertentu Ibnu Sina dengan teologi ini (di samping tentunya adal alasan-alasan sosail, politik, pendidikan, dan ekonomi). Konsep-konsep Ibnu Sina tentang keabadian dunia tidak hanya menghina ortodoksi, tetapi juga menghina doktrin-doktrinnya  sendiri yang dikembangkan dengan perhatian istimewa kepada Islam, seperti misalnya doktrin tentang  kenabian. Namun barangkali tujuan teologisnya yang terbesar adalah penolakannya terhadap kebangkitan-kebangkitan tubuh. Dalam masalah ini, walaupun ia menegaskan di dalam K. Al-Najat (dan juga Syifa) bahwa kembangkitan kembali daging manusia, walau pun tak dapat dibuktikan dengan akal, harus diyakini dengan iman, di dalam karyanya yang disebut Risalah al-Adawiyyah yang terbatas peredarannya, ia menolaknya secara totoal dan dengan semangat menyala-nyala.
Karya-karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Spanyol pada pertengahan abad ke 6 H/ke-12 M. Pengaruh pemikirbahas teori-teori Ibnu Sina tentang individu, telah berulang-kali menyinggung masalah pengaruh-pengaruh tentang yang jelas dimilikinya. Tetapi karena tak mungkiin berlaku adil terhadap aspek ini sepenuhnya dalam kesempatan yang kini tersedia bagi kami, maka kami harus puas dengan pernyataan-pernyataan umum tertentu saja. Pengaruh Ibnu Sina di Barat mulai merembes secara nyata sejak masa Albert Yang Agung, Santo dan guru termasyhur St. Thomas Aquinas. Metafisika (dan teologi) Aquinas sendiri tak dapat dimengerti tanpa pemahaman tentang jasa yang ia terima dari Ibnu Sina. Semua orang dapat melihat pengaruh Ibnu Sina bahkan  juga dalam karya-karya Aquinas mutakhir dan terbesar seperti Summa Theologica dan Summa contra Gentiles. Namun pengaruh filsafat Muslim ini pada awal masa pertumbuhan Santo Nasrani ini amat besar; bahkan mana filosof tersebut disebut-sebutnya pula, misalnya hampir pada setiap halaman dari karya De Ente et Essentia yang sesungguhnya merupakan dasar metafisika Aquinas. Tak pelak lagi, Ibnu Sina pun kerap kali dikritik oleh Aquinas dan yagn lain-lainnya, tetapi banyaknya kritikan itu sendiri bahkan menunjukkan sampai sejauh mana ia dianut di Barat.
Namun pengaruh Ibnu Sina tidak terbatas pada Aquinas saja, atau sebenarnya pada Orde Dominikan atau bahkan juga pada para teolog Barat resmi. Penerjemah karyanya De Anima, Gundisalvus, menulis De Anima yang sebagian besar merupakan pengambilan besar-besaran dari doktrin-doktrin Ibnu Sina. Demikian juga dengan pafa filosof dan ilmuwan abad pertengahan, Robert Grossereste dan Roger Bacon. Duns Scotus dan Count, pengulas-pengulas Aristoteles paling jempolan pada abag pertengahan, juga memberi kesaksian tentang pengaruh Ibnu Sina yang abadi itu. Dr. S. Van Bergh dalam karyanya Averroes ‘Thafut al-Tahafut, London 1954 (Vol II, Passim) telah melacak pengaruh ide-ide tertentu dari Syaikh al-Rais hingga zaman modern.
Namun sia-sia belaka bila terus menerus memberikan sekadar katalog pengarah tersebut. Sesungguhnya pengaruh bersejarah dari pribadi yang kaya ini merupakan gejala yang kini sedang disadari di Barat dan Profesor Etienne Gilson telah mengawalinya dengan terutama melalui artikel-artikelnya : (1) “Avicenne et le Point de depart de Duns Scot” dan (2) “Les Sources grevo arabes de I’angustinisme avicennisant”. Sejak itu upaya-upa persial namun tak begitu terbatas telah dilakukan dalam subyek itu, tetapi masih belum ada perlakuan yang menyeluruh. Juga masih kurang memuaskan perlakuan terhadap pengaruh bersejrah dari pemikiran ilmiah Ibnu sina, walaupun sudah dilakukan lagi usaha-usaha awal, terutama oleh Profesor Sarton dan Dr. Crombie dalam karya tulis mereka (lihat juga Avicenna, Scientist & Philosopher, disunting oleh G.M. Wickens, London, 1952, Bab 4, 5, 6).
Selain masalah tentang pengaruhnya terhadap Barat dan Timur secara terpisah, telah disunting pula sebagian kecil dari karya-karya aslinya (dari bahasa Arab, Pen). Tahun 1951 Pemerintah Mesri dan Liga Arab membentuks ebuah Panitia di Kairo untuk menyunting ensiklopedia, Kitab al-Syifa. Sebagian dari ensiklopedia tersebut telah diterbitkan.
*********************************************** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar