Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 19 Mei 2018

Wasiat-wasiat Ibnu 'Arabi Jilid I




 WASIAT – WASIAT
Ibn ‘Arabi
Diterjemahkan dari Buku aslinya berbahasa Arab :
Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi
Tebitan Mu’asasah al-A’lami li al Mathbu’at
Bairut – Libanon 1993
Penerjemah : Irwan Kurniawan
Penyunting : MS Nasrullah
Cetakan kedua, Ramadhan 1417 H/Januari 1997
Diterbitkan oleh : PUSTAKA HIDAYAH
Jl. Rereng Adumanis 31, Sukaluyu Bandung
Penyadur : Pujo Prayitno

1. WASIAT HIKMAH UNTUK PARA PENEMPUH JALAN SPIRITUAL

Tuhan berwasiat; demikian pula para utusan Tuhan.
Karenanya, meneladani mereka adalah sebaik-baik perbuatan.
Andai tiada wasiat, makhluk berkubang dalam kegelapan.
Dengan wasiat, raja bakal dalam kekuasaan.
Lakukanlah, jalan itu, jangan kau tinggalkan.
Wasiat adalah, Hukum Allah adalam keazalian.
Kuingatkan suatu kaum akan wasiat Tuhan.
Dan, itu bukanlah apa yang pertama kuwasiatkan.
Yang mereka katakan dan tetapkan bukanlah
Jalan-jalan lurus yang mereka tempuh ke depan.
Perilaku Ahmad adalah, agama itu sendiri secara keseluruhan.
Dan agama Musthafa adalah agama paling terang.
Ia tak menyilaukan mata, bahkan memberi kekuatan
Yang miring, Ia tegakkan.
Dari sumbernya, ambillah buatmu yang membahagiakan
Sampai bulan tertinggi, Saturnus, dan puncak ketinggian
Tiba di ketegaran, jangan kau berhenti di pelataran.
Cepatlah naik ke tangga puncak ketinggian.
Lalu, tapakkan kakimu ke kursiy dan ‘arasy terbentang.
Menuju asykal dan mutsul kemuliaan.
Menuju tobat diri dan kesucian akal,
Yang terbelenggu a’radh dan ‘illah dalam ikatan.
 Menuju napas di puncak ketinggian awan.
Tempat yang disifati dengan keazalian
Pandanglah gunung-gunung kukuh tinggi menjulang
Yang senantiasa dan selalu menatapkan pandangan.
Andai tiada ketinggian dalam kerendahan di bawah kerendahan wajah-wajah kita yang riya’ pasti mencari pujian.
Sebab itu, atas diri kita sujud Allah tetapkan.
Kita saksikan kebenaran dalam ketinggian dan kerendahan.
Inilah wasiat kami, jika engkau mau memikirkan.
Sungguh, wasiat ini adalah sebaik-baik kecerdikan.
Dengannya kau lihat setiap bentuk ilmu pengetahuan.
Di atas hakikatnya, bukan di atas penggantinya.
Hingga kau lihat pemandangan di puncak ketinggian,
Yang dihadirkannya hanyalah dirimu seorang yang tak hilang dan senantiasa ada dalam keberadaan.
Jika ia menyerumu pada sesuatu yang menyenangkan,
Janganlah kau penuhi itu seruan, dan hindarilah ia dengan penuh ketakutan.
Kita adalah perempuan bagi apa yang kita lahirkan.
Hendaklah kita memuji Allah, yang tak ada seorang laki-laki pun di semesta alam.
Laki-laki yang kepadanya ditunjukkan kebiasaan
Tak lain hanyalah sekedar seorang perempuan.
Bagiku, mereka adalah tuntutan dan harapan.

2. WASIAT SEORANG BIJAK KEPADA ANAK-ANAKNYA MENJELANG KEMATIANNYA

Allah SWT berfirman dalam wasiat umum : Dia telah mensyariatkan kepadamu agama yang sama seperti yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya ........’ (QS. Asy-Syura, 42 :13). Allah SWT memerintahkan agar kita menegakkan agama, yakni ketentuan waktu dalam setiap zaman dan generasi, dan agar kita bersatu di dalam agama ini serta tidak bercerai berai. Tangan atau kekuasaan Allah ada dalam kebersatuan jamaah, srigala hanya memakan domba yang jauh dan terpisah dari kawanannya. Hikmah yang terkandung di dalamnya ialah bahwa Allah tidak mungkin dipahami sebagai Tuhan kecuali dalam hal nama-nama Indah-Nya (al-asma al-husna), dan bukan selain ini. Karenanya, kita harus mengesakan Zat-Nya dan banyak menyebut Nama-nama-Nya. Dan dalam kumpulan atau jamaah itulah Dia dipahami sebagai Tuhan. Dan dengan demikian, tangan Allah – yakni – kekuasaan-Nya – ada dalam kebersatuan jamaah.
Sorang bijak (hakim) berwasiat kepada anak-anaknya menjelang wafatnya. Mereka adalah satu jamaah. Ia berkata kepada naka-anaknya, “Bawakan kepadaku beberapa buah tongkat!”. Ia kemudian menghimpun tongkat-tongkat itu dan berkata kepada mereka, “Patahkanlah!” Mereka tidak mampu mematahkannya. Kemudian ia memisah-misahkan dan berkata kepada mereka, “Ambillah satu per satu, dan patahkanlah!” Mereka pun sanggup mematahkannya. Ia pun berkata, “Begitulah keadaan kamu sekalian sepeninggalku. Kamu tidak akan mudah dikuasai dan dikalahkan selama kamu bersatu. Akan tetapi, jika kamu bercerai berai, maka musuhmu akan mampu membinasakan kamu.” Demikianlah hukum agama itu. Jika mereka bersatu menegakkan agama dan tidak bercrai berai, maka musuh tidak akan mampu menguasai dan mengalahkan mereka. Seperti itu pulalah keadaan manusia dalam dirinya sendiri. Jika ia bersatu untuk menegakkan agama Allah, maka dengan pertolongan iman, setan dari golongan jin dan manusia tidak akan dapat menguasainya dan mengalahkannya melalui bisikannya. Para malaikat pun akan mengelilingi dan menolongnya.

3. WASIAT IHWAL MENGHINDARI MAKSIAT KEPADA ALLAH

Jika engkau berbuat maksiat kepada Allah di suatu tempat,janganlah beranjak dari tempat itu sampai engkau melakukan ketaatan dan menegakkan ibadah. Sebab, sebagaimana Dia menyaksikan keburukanmu, maka begitu pulalah --- jika diminta untuk memberi kesaksian  --- Dia pun akan menyaksikan kebaikanmu. Namun ketika itu, engkau justru tidak melakukannya. Maka seperti itu pulalah halnya dengan pakaianmu. Jika engkau berbuat maksiat kepada Allah dengan mengenakan baju tertentu, maka beribadahlah kepada Allah dengan baju itu, sebagaimana telah ku katakan kepadamu. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu yang sudah memisahkan diri darimu, seperti mencukur kumis, memotong bulu kemaluan dan kuku, mencukur rambut, serta membersihkan kotoran. Janganlah engkau lakukan semua itu kecuali engkau berada dalam keadaan suci dan berzikir kepada Allah SWT. Sebab, semuanya itu akan ditanyakan kepadamu, bagaimana yang demikian itu meninggalkanmu. Sekurang-kurangnya, ibadah yang bisa engkau lakukan untuk semuai ini ialah hendaknya engkau memohon kepada Allah agar Dia mengampunimu atas perintah-Nya, hingga engkau bisa menunaikan kewajibamu dalam rangka memenuhi perintah Allah SWT. Firman Allah SWT : Dan Tuhanmu bersabda, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan  Kuperkenankan bagimu.’ Dia memerintahkan agar engkau berdoa kepada-Nya. Kemudian di dalam ayat ini pula Dia berfirman : Sesungguhnya engkau yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, yakni orang-orang yang menyombongkan diri di atas kehinaannya. Dan yang dimaksudkan dengan ibadah di sini adalah berdoa. Bedoa dinamakan ibadah, dan ibadah adalah merendahkan diri. Mereka akan masuk neraka jahanam dalam keadaan terhina (QS. Ghafir : 56-60). Jika mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, maka Allah memperkenankan mereka masuk surga sebagai orang-orang yang mulia.
Pada suatu hari di waktu sahur, dengan tergesa-gesa, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di situ ku dapati ada Najm ad-Din Abu al-Ma’ali bin al-Lahib. Ia adalah sahabatku. Dipanggilnya seorang tukang cukur untuk mencukur rambutnya. Maka, aku pun berseru kepadanya, “Wahai Abu al-Ma’ali!” Tiba-tiba ia amenjawab seruanku sebelum aku melanjutkan  ucapanku. Katanya, “Aku sudah bersuci dan mengerti maksudmu.” Aku heran dengan kehadirannya di tempat itu. Ia begitu cepat memahami maksudku mengerti apa yang mesti dilakukan di tempat itu, dan menghubungkan situasi di tempat itu dengan pengtehauannya tentang apa yang kumaksudkan. Lalu, aku berkata kepadanya, “Semoga Allah memberkahimu. Demi Allah, aku memanggilmu hanya untuk memberitahumu agar engkau bersuci dan berzikir ketika memotong dan mencukur rambutmu.” Ia pun mendoakanku, dan kemudian mencukur rambutnya.
Hal semacam ini telah dilupakan manusia. Malahan mereka mengatakan, “Apabila engkau beruat maksiat kepada Allah di suatu tempat, pergi dan menyingkirlah dari situ.” Yang demikian ini disebabkan mereka merasa khawatir kepadamu kalau-kalau tempat itu mengingatkanmu kepada kemaksiatan yang telah engkau lakukan sehingga engkau akan mengenang kambali manisnya kemaksiatan itu. Dengan begitu, dosamu akan makin bertambah . mereka berkata begitu lantaran didorong oleh rasa kasih sayangnya kepada sesama manusia. Namun suatu pengetahuan yang agung telah berlalu dari mereka. Maka taatlah kepada Allah di tempat itu dan di saat engkau pergi dari tempat itu. Gabungkanlah antara apa yang mereka katakan dan apa yang kuwasiatkan kepadamu. Setiap kali engkau mengingat kesalahan yang telah engkau lalukan, maka bertobatlah setelah itu dan mohonlah ampunan kepada Allah.
Berzikirlah kepada Allah setiap kali engkau melakukan perbuatan maksiat. Rasulullah saw. Bersabda, “Iringilah kejelakan itu dengan kebaikan, karena (kebaikan) itu akan menghapus keburukan.” “Sesungguhnya, kebaikan menghilangkan menghilangkan keburukan (Qs. Hud, 11:113). Namun, hendaknya engkau menimbang-nimbang hal itu, agar engkau mengetahui banyaknya keburukan dan kebaikan yang telah engkau lakukan.

4. WASIAL IHWAL PRASANGKA BAIK KEPADA TUHAN

Berbaik sangkalah kepada Tuhanmu dalam setiap keadaan. Dan janganlah berburuk sangka, sebab engkau tidak tahu, apakah engkau berada pada akhir hayatmu dalam setiap tarikan napas yang keluar darimu, dan kemudian engkau meninggal serta menemui Allah dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah, bukan dalam keadaan berburuk sangka kepada-Nya. Engkau tidak tahu bahwa mungkins saja Allah menggenggammu pada suatu tarikan napas yang keluar darimu itu. Tinggalkanlah perkataan orang yang menampakkan prasangka buruk dalam hidupmu dan memperlihatkan prasangka baik kepada Allah di saat kematian menyongsongmu. Yang demikian ini tidak dikenal di kalangan para ulama yang sungguh-sungguh mengenal Allah, karena mereka bersama Allah dalam setiap tarikan napas mereka. Di dalam prasangka baik itu terdapat faedah dan pengetahuan tentang Allah, yakni bahwa engkau telah memenuhi dan menunaikan hak-Nya. Hak Allah atas dirimu ialah bahwa engkau beriman kepada firman-Nya : Dan kami jadikan kamu dalam keadaan tidak mengetahui (QS. Al-Waqi;ah, 56-61). Mungkin saja Allah menjadikanmu dalam suatu tarikan napas yang – menurut hematmu – bisa menyebabkan kematianmu. Engkau pun lantas kembali kepada-Nya, padahal, ketika itu, engkau tengah berprasangka buruk kepada Tuhanmu dan menemui-Nya dalam keadaan demikian. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Tentang apa yang diriwayatkan dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman : “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku  kepada-Ku. Karena itu, berbaik-sangkalah kepada-Ku.” Dan berprasangka baik tidaklah khusus berlaku hanya pada waktu tertentu saja. Jadikanlah prasangkamu kepada Allah sebagai pengetahuan bahwa Dia akan memaafkanmu dan menyerumu kepada prasangka ini sesuai dengan firman-Nya : Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS. Az-Zumar, 39-53). Tidak ada yang mencegahmu dari hal itu, melainkan kamu harus mengakhirinya. Dia telah berfirman dalam Al-Quran. Firman-Nya adalah benar, dan tidak mengalamik penghapusan. Sekiranya firman Allah mengalami penghapusan, maka hal itu adalah dusta belaka, padahal Allah mustahil berdusta. Allah berfirman : Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Ampunan itu tidak dikhususkan pada dosa tertentu saja. Bahkan, Dia menegaskan dengan firman-Nya : Seluruhnya. Kemudian Dia melanjutkan firman-Nya : Sesungguhnya Dia. Di sini disebutkan kata ganti yang kembali kepada-Nya, yakni Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az-Zumar : 53-54). Rahmat-Nya mendahului murka-Nya.  AllDemikian pula Dia berfirman : Orang yang melampaui batas. Dia tidak menyebutkan siapa saja  yang melampaui batas itu, melainkan menggunakan ism naqish, yang mencakup setiap orang yang melampaui batas. Kemudian, al-‘ibid (hamba-hamba) di-idha-fat-kan kepada-Nya, karena mereka adalah hamba-hamba-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya tentang hamba yang saleh, Nabi ‘Isa, as. : Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu (QS. Al-Maidah : 5-118). Dia menisbatkan mereka kepada-Nya. Dan keluhuran penisbatan kepada Allah SWT cukuplah sudah dikatakan sebagai kemuliaan.

5. WASIAT IHWAL ZIKIR KEPADA ALLAH

Hendaknya engkau berzikir kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain. Allah SWT berfirman : Ingatlah kepada-Ku, niscara Aku akan ingat kepadamu (QS. Al-Baqarah, 2 : 152), jawaban atas zikir hamba kepada-Nya adalah zikir Allah kepadanya. Kesengsaraan apakah yang lebih besar diderita seorang hamba selain dosa? Dalam keadaan sempit, beliau berdoa : “Alhamdulillah al-mun’im al-Mufdhil ) Segala Puji bagi Allah yang memberi nikmat dan memberi keutamaan). Jika engkau merasakan hatimu selalu melantunkan zikir kepada Allah dalam segala keadaan, niscaya hatimu akan diterangi dengan cahay zikir. Cahaya itu akan memberikan kepadamu al-hasyf (penyingkapan). Sebab, dengan cahaya itu akan tersingkaplah segala sesuatu. Jika penyingkapan itu tampak, maka nampaklah pula rasa malu yang menyertainya. Buktimu atas hal itu adalah perasaan malumu kepada tetangga dan kepada orang-orang yang engkau lihat memiliki hak dan kemampuan. Tidak pelak lagi, keimanan memberikan kepadamu pengagungan atas hakmu.
Pembicaraan kami hanyalah tentang orang-orang Mukmin, dan wasiat kami hanyalah diperuntukan bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dari sisi-Nya. Allah berfirman dalam hadis yang sahih, “Aku bersamanya – yakni bersama seorang hamba – ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam kesendirian,maka Aku pun mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku pun mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik.”
Allah SWT berfirman : Dan laki-laki dan Perempuan yang banyak mengingat Allah (QS. Al-Ahzab, 33 : 35). Dan zikir yang paling agung adalah mengingat Allah dalam keadaan apapun.

6. WASIAL IHWAL MENGHADIRKAN KEDEKATAN DENGAN SEGENAP KEMAMPUAN

Tetaplah untuk senantiasa  menghadirkan segenap kedekatan (al-qarb) dengan mencurahkan segala kemampuan dalam setiap waktu dan keadaan, atas apa yang disampaikan  Al-Haqq (Allah) kepadamu dalam waktu dan keadaan itu, jika engkau seorang Mukmin, maka kemaksiatan yang dilakukan orang lain tidak akan menyentuhmu sedikit pun, tanpa ada campuran kegiatan. Engkau pun meyakininya bahwa hal itu adalah kemaksiatan. Jika engkau tambahkan permohonan ampunan (istighfar) dan tobat kepada campuran ini (yakni, ketaatan dan kemaksiatan), maka yang demikian itu adalah ketaatan paling baik dan ketaatan paling mulia. Maka, bagian ketaatan yang bercampur kejahatan menjadi kuat. Dalam keimanan adalah kedekatan paling kuat dan paling agung di sisi Allah. Asas yang menjadi landasannya adalah seluruh kedekatan. Termasuk dalam keimanan adalah penilaianmu tentang Allah, berdasakan apa yang diberlakukan-Nya atas diri-Nya sendiri. Dalam sebuah riwayat sahih, Allah SWT berfirman : “Jika ia menghampiri-Ku sejengkal, Aku menghampirinya sehasta. Jika ia menghampiri-Ku sehasta. Aku menghampirinya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari.” Sebab penggandaan ini adalah dari Allah, yang tidak lebih sedikit dan tidak lebih lemah dari apa yang sanggup dilakukan seorang hamba. Dalam melakukan setiap pekerjaan, sang hamba mestilah mengerjakannya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, ia diperintahkan untuk menimbang segenap amal perbuatannya dengan timbangan syariat. Dalam hal itu, ia mesti bersabar. Jika ia tergesa-gesa, maka ketergesa-gesaan itu dilakukannya hanya dalam menimbang-nimbang segenap amal perbuatannya itu, dan bukan dalam perbuatan itu sendiri. Dengan melakukan penimbangan, maka muamalahnya menjadi sah. Kedekatan kepada Allah tidak memerlukan timbangan, kerena timbangan Al-Haqq yang ada di tangan-Nya adalah timbangan yang engkau gunakan untuk menimbang segenap amal perbuatanmu itu. Dengan amal perbuatan itu engkau pun mencari kedekatan kepada Allah. Yang memiliki sifat ini mestilah kedekatan-Nya kepadamu lebih kuat dan lebih banyak daripada kedekatanmu kepada-Nya. Maka Dia menyifati diri-Nya bahwa Dia dekat kepadamu dalam kedekatanmu kepada-Nya, karena kelemahan kedekatanmu kepada-Nya disebabkan engkau berada dalam rupa yang diciptakan. Awal kekhalifahan bagimu adalah kekhalifahanmu atas dirimu. Karenanya, engkau adalah khalifah-Nya  di atas bumi badanmu, dan juga kepemimpinanmu atas anggota-anggota badamu dan kekuatanmu yang tampak dan yang tersembunyi. Kedekatan-Nya kepadamu sama dengan kedekatanmu kepada-Nya, plus tambahan yaitu sebagaimana dikatakan-Nya : hasta, depa dan berlari. Jengkal demi jengkal adalah hasta. Hasta demi hasta adalah depa, dan berjalan, manakala dilipatgandakan, adalah berlari. Awalnya adalah kedekatanmu kepada-Nya dan akhirnya adalah kedekatan-Nya kepadamu. Inilah kedekatan yang saling bersesuaian.
Kedekatan Ilahi kepada seluruh makhluk bukan kedekatan yang demikian. Allah berfirman : ........... Dan Kami lebih dekat kepadamu dari urat lehernya. (QS. Qaf. 50 : 16). Kedekatan di sini bukanlah kedekatan yang disebutkan di atas. Yang dimaksud di sini adalah kedekatan yang merupakan balasan dari kedekatan hamba kepada Allah. Bagi sang hamba, kedekatan kepada Allah setelah keimanan pada Allah, dan keimanan pada siapa saja yang menyampaikan segala sesuatu dari Allah SWT.

7. WASIAT IHWAL MELAZIMKAN DIRI DENGAN PERBUATAN BAIK

Biasakan dirimu berniat melakukan perbuatan baik, walau pun engkau tidak mengerjakannya. Apabila dirimu berniat melakukan kejahatan, maka bersungguh-sungguhlah untuk meninggalkannya karena Allah. Jika tidak, maka qadar yang lalu dan qadha’ yang akan datang bakal menguasaimu. Jika Allah tidak menakdirkanmu melakukan kejahatan yang engkau niatkan, maka Dia menuliskan untukmu satu kebaikan. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw., dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman : “Apabila hamba-Ku berniat melakukan kebaikan, maka Aku tuliskan baginya satu kebaikan jika ia tidak melakukannya.” Ma di sini mengandung makna zhaffiyah, yakni menunjukkan waktu. Maka,untuk setiap waktu yang berlalu atas dirinya dalam berniat melakukan kebaikan ini,  walau pun ia tidak mengerjakannya, Allah selalu menuliskan baginya satu satu kebaikan. Waktu-waktu itu mencapai jumlah tertentu. Karena itu, baginya ada satu kebaikan untuk setiap kali ia berniat, karena Dia ebrfirman : .................. Selama dia tidak mengerjakannya. Selanjutnya Allah SWT berfirman : Jika ia mengerjakannya, maka Aku akan menuliskan baginya sepuluh kali kebaikan itu. Di sini, jika engkau ketahui, kebaikan itu adalah kira-kira sepersepuluh dari air yang tercurah dari langit. Jika kebaikan itu merupakan bagian dari kebaikan-kebaikan yang terus menerus, yang mendapat ganjaran kekal, maka ganjaran itu terus diperbaraui hingga Hari Kiamat sebagai shadaqah jariyah, seperti wakaf, ilmu yang disebarkan kepada masyarakat; perilaku yang baik, dan sebagainya. Kemudian Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, Dia berfirman : Jika ia berniat melakukan kejahatan, maka Aku akan mengampuninya selama ia tidak mengerjakannya. Dan ma di sini mengandung makna zharfiayh, sama seperti dalam hadis mengenai kebaikan di atas. Hukumnya pun sama dengan hukum tentang niat melakukan kebaikan itu, dan balasannya pun sepadan dan setimpal. Selanutnya Allah SWT berfirman : Jika mengerjakan, maka Aku menuliskan baginya satu kejahatan. Dia membuat kesataraan di dalam kejahatan dan kelebihan di dalam kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : Bagi orang-orang yang beruat baik adalah kebaikan dan tambahan (QS. Yunus, 10:26). Yang demikian itu adalah keutamaan, yakni kelebihan dari yang semisal itu.
Kemudian Allah mengabarkan ikhwal para malaikat. Mereka mengemukakan hukum prinsip bagi yang mereka sampaikan berkenaan dengan hak moyang kita. Adam, a.s, lewat ucapan mereka : Mengapa Engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di atasnya danmenumpahkan dara...... (QS. Al-Baqarah, 2:30). Mereka mengemukakan ini hanya lantaran kejahatan kita, dan mereka menentangnya demi kebaikan. Tempat yang tinggi (al-ma’ al-a’la) dikuasai oleh kecemburuan (ghairah) agar tunduk kepada segala sesuatu yang datang dari sisi Allah. Dari kejadian yang elemental (‘’usnhuriyah) ini, mereka tahu bahwa mereka harus berpaling dari Tuhan mereka kepada yang menjadi hak mereka. Itulah perasaan yang ada pada diri mereka, padahal terdapat kejelasan dalam penciptaan mereka. Kalau saja penciptaan para malaikat atas bentuk kejadian kita, yang Allah sebutkan tentang mereka adalah bahwa mereka itu bermusuhan, maka permusuhan itu terjadi hanya lantaran adanya pertentangan. Yang Allah kabarkan mengenai para malaikat : di dalam hak kita ialah bahwa mereka mengatakan, “Itulah hamba-Mu yang ingin berbuat kebaikan.” Kajilah kekuatan prinsip ihwal apa yang diputuskannya bagi orang yang mengkajinya ini.
Dari sini, engkau pun mengetahui keutamaan manusia ketika ia menyebutkan kebaikan pada diri seseorang dan tidak menyebut-nyebut kejahatannya, di mana derajatnya ada bersama derajat kemuliaan para malaikat, seperti yang mereka sebutkan. Akan tetapi, aku ingatkan engkau dengan apa yang mereka ingatkan kepadamu, agar engkau mengetahui kejadian mereka dan apa yang telah mereka jelaskan. Semuanya bekerja atas niatnya, sebagaimana difirmankan Allah SWT.
Dikabarkan pula bahwa para malaikat mengatakan, “Itulah hamba-Mu si fulan hendak berbuat kejahatan.” Maka dia memandangnya dan berkata, “Awasilah! Jika ia melakukan kejahatan, maka tuliskan baginya yang setara dengan kejahatan itu. Tapi jika ia meninggalkannya, tuliskan baginya kebaikan, karena ia meninggalkannya semata-mata karena Aku.”
Para malaikat tersebut adalah mereka yang disebutkan Allah, kepada kita : Sesungguhnya bagi kami ada malaikat-malaikat yang mengawasi pekerjaanmu, yang mulia di sisi Allah dan yang mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu (QS. Al0Infithar, 82:10-11). Martabat dan kekuasaan yang diberikan kepada mereka dimaksudkan agar mereka memperbincangkan apa yang kamu perbincangkan. Bagi mereka ada catatan kebaikan tanpa mengetahui aa yang akan Allah perintahkan kepada mereka dalam hal itu. Mereka memperbincangkan kejahatan atas sesuatu yang mereka ketahui sebagai karunia Allah dan ampunan-Nya. Kalau mereka tidak memperbincangkan hal itu, kita tidak mengetahui apa yang terjadi di sisi Allah. Seperti yang mereka katakan tentang seseorang yang berada di majelis-majelis zikir, yang datang ke tempat itu untuk memenuhi keperluannya, bukan karena Allah, maka Allah tidak mengecualikannya dalam memberikan ampunan kepada semua orang yang hadir di majelis itu. Allah SWT berfirman : “Mereka adalah kaum yang majelisnya tidak sia-sia.” Kalaulah bukan karena pertanyaan mereka dan pengenalan mereka, maka kita tidak akan mengetahui wewewnang yang Allah berikan kepada mereka. Maka, perbincangan mereka adalah pelajaran dan rahmat, sekalipun yang tampak adalah seperti pemahaman yang terbatas menadhului prinsip yang kami engatkan kepadamu.
Allah SWT berfirman ihwal kebaikan dan kejahatan : “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya,; dan Dia menambahkan : .................... Dan barangsiapa membawa perbuatan yang jahat, maka ia tidak diberi pembalsan melainkan seimbang dengan kejahatannya,” (QS. Al-An’am L 6 :160). Dan mengampuni suatu kamu setelah pembalasan, dan mengampuni kaum yang lain sebelum pembalasan. Ampunan-Nya pasti diberikan bagi setiap orang yang melampaui batas dirinya, meski ia tidak bertobat.
Barangsiapa memahami wasiat ini, maka ia mengetahui kejadian manusia dan malaikat. Prinsipnya aalah satu, sebagaimana halnya Tuhan kita pun satu. Bagi-Nya adalah nama-nama (al-asma’) yang saling berlawanan. Karena itu, wujud pun berupa bentuk nama-nama itu.

8. WASIAT IHWAL BERPEGANG KEPADA KALIMAT TAWHID

Tetaplah engkau berpegang pada kalimat Islam, yaitu ucapan La ilaha illa Allah. Kalimat ini adalah zikir yang paling utama lantaran mengandung tambahan ilmu. Rasulullah saw., bersabda : “Seutama-utamanya ucapan dan ucapan para nabi sebelumku adalah kalimat La ilaha illa Allah.” Kalimat itu menggabungkan penafian (al-nafy) dan penetapan (al-itsbat). Pembagiannya pun terbatas. Tidak ada yang mengetahui kandungan kalimat ini kecuali orang yang mengetahui timbangannya dan apa yang engkau timbang, sebagaimana di ungkapkan dalam sebuah hadis yang kami sebutkan dalam menunjukkan hal itu.
Ketahuilah bahwa kalimat itu adalah kalimat tawhid. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai tawhid. Sebab, kalau ada sesuatu  yang menyamainya, maka tawhid bukanlah satu dan pasti dua, dan seterusnya. Yang dapat ditimbang adalah yang sama dan sebanding, dan juga yang sama, meski tidak sebanding. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa syirk – lawan dari tawhid – tidak ada pada diri seorang hamba yang memiliki tawhid. Sebab, ada dua jenis manusia, entah ia seorang Musyrik atau Muwahhid (ahli tawhid). Tawhid hanya bisa menimbang syirk, dan keduanya tidak berkumpul di dalam satu sisi timbangan. Kalimat ini tidak dapat masuk dalam timbangan, sebagaimana diungkapkan di dalam sebuah hadis. Bagi orang yang memahami dan mengujinya, haids ini hadis sahih dan berasal dari Allah. Allah SWT berfirman : “Sekiranya tujuh langit dan tujuh bumi yang diciptakan oleh zat selain diri-Ku diletakkan pada sisi timbangan yang satu dan La ilaha illa Allah diletakkan pada sisi timbangan yang lain, maka  La ilaha illa Allah akan mengalahkannya, yakni lebih berat darinya.” Dan hanya menyebutkan langit dan bumi, karena timbangan tidak memiliki tempat kecuali di bawah lingkup orbit planet-planet yang tetap beredar di sidrah al muntaha, yang menjadi tempat terakhirnya segenap amal perbuatan hamba Allah. Amal-amal perbuatan ini diletakkan dalam timbangan. Timbagan itu tidak melampaui tempat yang tidak mungkin dilewati segenap amal perbuatan itu sendiri. Kemudian Dia berfirman : “Dan yang diciptakan oleh zat selain diri-Ku.” Padahal tidak ada satu zat pun yang menciptakannya selain Allah. Maka, yang dikabarkan itu cukup dilakukan dengan isyarat. Dalam ungkapan umum di kalangan para ulama ar-rasum, zat yang dimaksudkan ialah yang disekutukan dengan yang lain, yang dikukuhkan orang musyrik. Kalau Allah memiliki sekutu dalam penciptaan, niscara La ilaha illa Allah pasti mengalahkannya dalam hal timbangan, karena La ilaha illa Allah lebih kuat dari segala sesuatu. Hal itu disebabkan orang musyrik mengutamakan Allah atas apa yang dijadikan sekutu bagi-Nya. Maka Allah berfirman tentang mereka : “Mereka berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az-Zumar : 39:3). Apabila diangkat timbangan wujud, dan bukan timbangan tawhid, maka La ilaha illa Allah masuk ke dalam timbangannya. Sedikit demi sedikit tawhid orang-orang Musyrik pun masuk ke dalam tawhid keagungan, maka La illaha illa Allah menyucikan dan mengalahkannya. Karena jika penciptanya bukan selain Allah, maka kalimat itu, yakni La ilaha illa Allah, tidak akan dapt mengalahkan timbangannya. Ringkasnya, Dia adalah Allah. Maka, ke mana ia akan cenderung? Ia hanya akan cenderung pada salah satu dari dua sisi timbangan. Adapaun bagi pemilik catatan (sijjil), maka sisi timbangan itu tidak akan miring kecuali dengan kartu catatan  (al-bithaqah), karena yang memegang sisi timbangana itu adalah timbangan itu sendiri disebabkan oleh LA ilaha Illa Allah dilafalkan oleh orang-orang yang mengucapkannya dan malaikat pun menuliskannya. Itulah La ilaha illa Allah yang ditulis dan diciptakan di dalam ucapan (nuthq). Kalau kalimat itu diletakkan pada setiap orang, maka ia tidak masuk neraka karena melafalkannya. Allah hanya menginginkan agar yang menidami tempat pemberhentian (ahl al-muwaqif) mengetahui keutamaannya atas pemilik catatan (shahib al-sijjilat). Tapi ia tidak akan melihat dan mendapatkannya kecuali setelah masuknya orang yang Allah kehendaki dari penganut tawhid ke dalam neraka. Jika seorang penganur tawhid tidak diam di tempat pemberhentian, maka Allah menakdirkannya masuk neraka. Setelah itu ia dikeluarkan dengan syafaat atau pertolongan Ilahi ketika didatangkan pemilik catatan. Tidak diam di tempat pemberhentian itu kecuali orang yang masuk surga dari kalangan orang yang tidak bernasib masuk ke dalam neraka. Ia adalah orang terakhir di antara makhluk yang ditimbang, karena la- ilaha illa Allah memiliki permulaan dan penutup. Kadang-kadang permulaannya menjadi penutup, seperti para pemilik catatan.
Kemudian ketahuilah bahwa Allah tidak meletakkan dalam keumuman kecuali sesuatu yang paling utama, paling umum manfaatnya dan paling berat timbangannya. Hal itu karena ada banyak kontradiksi yang menjadi lawannya. Dalam menempatkan sesuatu di dalam keumuman itu harus ada kekuatan yang melawan setiap kontradiksi. Ini tidak dapat dipahami oleh setiap wali Allah, kecuali para nabi yang menetapkan syariat kepada manusia. Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw., bersabda : “Seutama-utama ucapanku dan ucapan para nabi sebelumku adalah la ilaha illa Allah.” Beliau mengatakan apa yang menunjukkan pada keutamaan orang yang mengharapkan kekhususan dari zikir dari kalimat Allah adalah Allah atau Dia adalah Dia. Dan tidak diragukan lagi bahwa, dari sejumlah ucapan, la ilaha illa Allah adalah yang lebih utama bagi orang-orang yang mengenal Allah.
Engkau, wahai wali Allah, harus melantunkan zikir terus menerus di tengah-tengah orang banyak, sebab zikir yang lebih kuat memiliki cahaya yang sangat terang dan tempat yang sangat dekat. Tidak ada yang bisa merasakan hal itu kecuali orang yang membiasakan diri dan mengamalkannya sehingga menguasainya. Allah meluaskan rahmat-Nya hanya untuk mencakup dan menggapai apa yang di harapkan. Seseorang hanya menuntun keselamatan, kendati ia tidak mengetahui jalannya. Orang yang mengingkari zat-Nya dengan la illa berarti mengukuhkan eksistensinya dengan illa Allah. Engkau mengingkari dirimu sendiri secara hukum, bukan secara ilmu, dan engkau menyebabkan eksistensi Al-Haqq secara hukum dan ilmu. Tuhanlah yang memiliki seluruh nama, dan hanya Zat Mahaesa saja yang disebut Allah. Pencipta langit dan bumi, yang di dalam kekuasan-Nya berada timbangan naik dan turun. Engkau harus membiasakan diri melantunkan zikir ini, yang dengannya Allah menghubungkan kebahagiaan dengan pengetahuan tentang-Nya.

9. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI AGAR TIDAK MEMUSUHI AHLI TAWHID

Berhati-hatilah engkau agar jangan memusuhi ahli  la illaha illa Allah, karena ia memiliki pertolongan yang umum dari Allah. Mereka adalah para wali Allah. Jika mereka melakukan kesalahan dan mendatangkan ke bumi ini kesalahan yang tidak menyebabkan mereka menyekutukan Allah sedikit pun, maka Allah menemui mereka dengan membawa ampunan.  Barangsiapa yang telah ditetapkan pertolongan atas dirinya, maka ia tidak boleh diperangi. Barangsiapa memusuhi Allah, maka Allah pasti mengingat balasannya di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang tidak Allah beritahukan permusuhannya kepada-Nya, janganlah engkau jadikan musuh. Setidaknya jika engkau tidak mengenalinya, maka biarkanlah urusannya. Jika terbukti bahwa ia musuh Allah, yang sudah pasti orang musyrik, maka berlepas dirilah darinya, sebagaimana dilakukan nabi Ibrahim a.s., kepada bapaknya Azar. Allah SWT berfirman : Tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya (QS. At-Tawbah, 9 : 114). Timbanganmu ini adalah firman Allah SWT : Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dari Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak mereka (QS. Al-Mujadilah, 58:22), sebagaimana dilakukan Ibrahim a.s., : Atau anak-anak, saudara-saudara atau keluarga mereka (QS. Al-Mujadilah : 58:22).
Ketika engkau tidak mengetahui hal itu, sebisa mungkin janganlah memusuhi hamba-hamba Allah, dan jangan pula memusuhinya karena apa yang diucapkannya. Engkau hanya boleh membenci perbuatannya, bukan dirinya. Sementara itu, yang dibenci dari musuh Allah adalah dirinya. Bedakanlah antara orang yang engkau benci perbuatannya, yaitu orang Mukmin, atau yang tidak engkau ketahui kesudahan orang non-Muslim pada waktu itu. Berhati-hatilah terhadap firman Allah di dalam hadis sahih : “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka pasti Aku memaklumkan perang kepadanya.” Jika ia tidak mengetahui perihal dirinya dan lantas memusuhinya, maka berarti ia tidak memenuhi hak Allah dalam penciptaannya. Sebab, ia tidak mengetahui ilmu Allah tentang dirinya dan Allah pun tidak menjelaskannya kepadanya, sehingga ia pun berlepas diri darinya serta menjadikannya sebagai musuh. Jika ia mengetahui keadaan lahiriah dirinya, sekalupun ia musuh Allah dan engkau tidak mengetahuinya, maka bersahabatlah dengannya untuk menegakkan hak Allah dan janganlah memusuhinya. Di sisi Allah, Nama Ilahi yang tampak pun membantahmu. Karena itu, janganlah engkau jadikan hujjah Allah atas keburukanmu, sebab engkau akan binasa. Allah memiliki hujjah yang pasti. Pergaulilah hamba-hamba Allah dengan penuh kasih sayang persis sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada orang-orang kafir dan musyrik di antara mereka melalui pengetahuan-Nya ihwal keadaan mereka itu.  Allah SWT tidak memberikan rezeki kepada mereka kecuali karena pengetahuan-Nya, yang mereka berada di dalamnya. Mereka tidak ada di dalamnya karena mereka, melainkan karena diri-Nya, sebagaimana telah kami sebutkan dengan ungkapan yang umum bahwa Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Sementara itu, kekufuran dan kemusyrikan mereka tercipta dalam diri mereka. Dengan ungkapan yang khusus, tidak ada satu hukum pun dalam maujud kecuali dengan apa yang ditetapkan atasnya dalam ketiadaan. Melalui eksistensi itu, Allah pun mengetahuinya. Maka Allah memiliki hujjah yang pasti atas setiap orang manakala terjadi perselisihan dan perdebatan. Serahkanlah segala urusan kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa engkau berada dalam apa yang ditetapkan oleh-Nya. Tebarkanlah kasih sayangmu kepada seluruh hewan dan makhluk. Jangan engkau katakan : “Tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati ini tidak memiliki kebaikan.” Bahkan mereka memiliki banyak kebaikan. Engkaulah yang tidak memiliki kebaikan. Maka biarkanlah yang ada ini apa adanya dan kasihilah dengan kasih sayang pencipta wujudnya jangan engkau pandang apa yang ada padanya pada waktu itu sampai jelas bagimu siapa orang-orang yang benar dan engkau ketahui siapa orang-orang yang berdusta. Maka ketika itu, pastikanlah pada dirimu untuk menjadikan mereka sebagai musuh perintah Allah bagimu, di mana Allah telah mencegahmu dari mengambil musuh-Nya sebagai pemimpin, yang engau cintai jika keyakinan yang lemah memaksamu berhubungan dengan mereka, maka jauhilah mereka tanpa menaruh kecintaan sedikit pun kepada mereka. Tetapi, untuk menolak kejahatan yang berasal darimu secara damai, serahkanlah urusan kepada-Nya dan bergantunglah dalam setiap keadaan kepada-Nya sampai engkau menemuinya.

10. WASIAT IHWAL MEMBIASAKAN DIRI MELAKUKAN SEGALA SESUATU YANG DIWAJIBKAN ALLAH

Hendaklah engkau tetap melakukan apa yang diwajibkan Allah kepadamu dalam bentuk yang Dia perintahkan untuk engkau tegakkan. Jika engkau menyempurnakan kewajibanmu, dan engkau wajib menyempurnakannya, maka – saat itu – luangkanlah di antara kedua kewajiban itu untuk melakukan berbagai ibadah sunnah (al-nawafil). Jangan sekali-kali engkau meremehkan dan meanggap kecil amal perbuatanmu. Sebab Allah tidak meremehkannya ketika Dia menciptakannya. Dia tidak membebankan sesuatu di atas pundakmu tanpa memberikan penjagaan dan pertolongan-Nya hingga Dia membebanimu dengan keberadaanmu dalam tingkatan yang paling agung di sisi-Nya, karena engkau adalah tempat wujud buat apa yang dibebankan kepadamu. Oleh karenanya,pembebanan (taklif) itu hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, yakni mereka yang dikenai kewajiban. Maka, taklif itu pun berkaitan dengan mukallaf dalam hal perbuatannya, dan bukan dalam hal dirinya.
Ketahuilah bahwa jika engkau terus menerus menunaikan berbagai kewajiban, maka engkau pun dekat kepada Allah dengan kedekatan yang lebih dicintai-Nya. Jika engkau memiliki sifat ini, maka engkau pun menjadi telinga dan mata Al-Haqq. Dia mendengar dan melihat hanya dengan dirimu. Maka , tangan Al-Haqq pun menjadi tanganmu : Orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka (QS. Al-Fath, 48 : 10). Tangan mereka, yakni tangan Allah, ada di atas mereka. Itulah tangan-tangan  yang mengucapkan janji setia atau baiat. Pelakunya adalah Allah. Karena itu, tangan mereka adalah tangan Allah. Dengan tangan mereka pula Allah membaiat. Merekalah yang dibaiat. Semua sebab itu adalah tangan Al-Haqq yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan berbagai akibat. Inilah kecintaan paling agung diungkapkan oleh teks (an-Nashsh) mulia, sebagaimana – di dalamnya – diungkapkan juga berbagai ibadah sunnah. Mengerjakan berbagai ibadah sunnah secara terus menerus akan melahirkan kecintaan Illahi yang terpelihara. Sebab, Al-Haqq mendengar dan melihat hamba-Nya, sebagaimana pula keadaan sebaliknya, dalam kecintaan menunaikan berbagai kewajiban (al-fara’idh). Kewajiban adalah ibadah paksaan, dan memang begitu pada prinsipnya. Sementara itu, bagian (al-far) – yaitu, tambahan (an-nafl) – adalah ibadah pilihan. Di dalam berbagai ibadah sunnah, Al-Haqq mendengar dan melihatmu. Ia dinamakan an-nafl karena merupakan tambahan, persisi seperti halnya engkau – pada dasarnya (bi-al-ashalah) – adalah tambahan dalam eksistens, sehingga (pada mulanya) yang ada hanyalah Allah dan engkau tidak ada. Kemudian, engkau menjadi ada. Maka, eksistensi yang baru pun bertambah. Engkau adalah tambahan dalam eksistensi Al-Haqq. Karenanya, engkau harus mengerjakan apa yang disebut an-nafl, sebab itulah asal-usulmu. Dan engkau harus mengerjakan apa yang dinamakan al-farde, sebab itu adalah asal-usul wujud dan berada lama wujud Al-Haqq. Dalam menunaikan al-fard, engkau adalah milik-Nya. Dan dalam mengerjakan al-nafl, engkau adalah milikmu sendiri. Cintanya kepadamu dalam hal bahwa engkau adalah milik-Nya lebih agung dan lebih besar ketimbang cinta-Nya kepadamu dalam hal bahwa engkau  adalah milikmu sendiri. Diungkapkan di dalam hadis sahih dari Alalh SWT : “Tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai ketimbang apa yang telah aku wajibkan kepadanya, dan hambaku masih mendekat kepada-Ku dengan an-nawafil hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar. Aku menjadi matanya yang dengan itu ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengan itu ia bertindak, dan Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya. Dan jika ia mencari perlindungan-Ku, pasti Aku akan melindunginya. Aku tidak pernah merasa ragu-ragu dalam sesuatu yang Akulah sendiri pelakunya. Aku hanya ragu-ragu kepada hamba-Ku yang Mukmin yang membenci kematian, dan Aku membenci kejahatannya.” Lihatlah apa yang dihasilkan dari kecintaan Allah ini. Olehkarenanya, tetaplah engkau menunaikan apa yang dibenarkan oleh eksistensi kecintaan Ilahi ini. Dan ibadah-ibadah sunnah tidak sah dilakukan kecuali setelah berbagai ibadah wajib ditunaikan. Di dalam ibadah-ibadah sunnah itu sendiri terdapat kewajiban dan tambahan. Maka, dengan apa yang di dalamnya terdapat kewajiban, yang wajib itu menjadi sempurna. Disebutkan di dalam hadis sahih bahwa Allah berfirman “ “Perhatikan shalat hamba Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Apabila shalatnya sempurna, maka Aku tuliskan baginya kesempurnaan, walau pun ia menguranginya sedikit.” Dia berfirman : “Perhatikan apakah hamba-Ku mengerjakan tathawu’ (ibadah tambahan)!” Jika mia mengerjakan ibadah tambahan itu, maka Allah berfirman : “Sempurnakan bagi hamba-Ku kewajibannya dengan ibadah tambahannya.” Kemudian perbuatan-perbuatan itu diambil dalam keadaan demikian. An Nawafil itulah yang memiliki asal dalam yang wajib. Dan ada pula an-Nawafil yang tidak memiliki asal dalam  yang fardhu. Ini menjadi ibadah tersendiri, dan para ulama menamainya bid’ah. Allah SWT  berfirman : ....... Mereka mengada-adakan ruhbaniyah (QS. Al-Hadidi, 57:27), dan Rasulullah saw., menyebutnya sunnah hasanah (sunnah yang baik). Orang yang menciptakannya mendapatkan ganjaran dari ibadah sunnah ini dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat, tanpa dikurangi sedikit pun. Ketika di dalam kekuatan ibadah sunnah itu tidak menghentikan tempat ibadah fardhu, maka ia menjadikan di dalam ibadah sunnah itu sendiri kewajiban-kewajiban untuk menyempurnakan ibadah fardhu dengan ibadah fardhu, seperti shalat sunnah dengan hukum asal. Kemudian shalat itu mencakup kewajiban-kewajiban seperti zikir, rukuk dan sujud dengan keberadaan shalat itu pada asalnya adalah sunnah. Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ini (yakni zikir, rukuk, sujud) adalah wajib di dalam salat sunnah itu.

11. WASIAT IHWAL MENJAGA UCAPAN

Hendaknya engkau menjaga ucapanmu sebagaimana engkau menjaga perbuatanmu. Ucapanmu termasuk dalam perbuatanmu. Karena itu, dikatakan : “Barangsiapa menghitung ucapannya sebagai termasuk dalam perbuatannya, maka ia akan mengurangi ucapannya.” Ketahuilah bahwa Allah menjaga ucapan hamba-hamba-Nya, karena Allah hadir pada lisan setiap orang yang berbicara. Allah tidak mencegahmu dari mengucapkannya. Akan tetapi, engkau jangan mengucapkannya jika memang engkau tidak meyakininya, karena Allah akan menanyaimu tentang itu. Diriwayatkan kepada kami bahwa malaikat tidak menuliskan bagi seorang hamba apa yang diperbuatnya hingga ia mengatakannya. Allah berfirman : “Tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (Raqib dan ‘Atid). (QS. Qaf, 50 : 18). Malaikat itulah yang menghitung perkataanmu. Allah berfirman : “Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Infithar, 82:10). Ucapanmu termasuk dalam perbuatanmu. Perhatikan firman-Nya : “Dan janganlah berkata tentang orang-orang yang gugur di jalan Allah, ‘Mereka telah mati’” (QS. Al-Baqarah : 2:153). Maksud ayat ini adalah bahwa orang yang mengucapkan perkataan seperti ini sesungguhnya telah berdusta kepada Allah. Allah berfirman tentang mereka, bahwa mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rezeki. Tidakkah engkau melihat bahwa Allah berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka (QS. Alu ‘Imran, 3:169), dan “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang (QS. An-Nisa’, 4:148). Selanjutnya Dia berfirman : “Tidak adakebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka (QS. An-Nisa’, 4:114), yaitu ucapan. Jika engkau berkata,maka berkatalah dengan timbangan dari apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu untuk engkau katakan.rasulullah saw., pun pernah bergurau dan berkelakar. Hanya saja, beliau mengatakan yang sebenarnya.
Hendaknya engkau mengucapkan perkataan yang benar dan diridhai Allah. Tidak setiap perkataan yang benar yang diucapkan itu diridhai Allah. Umpatan juga benar, dan ghibah (menggunjing atau menceritakan keburukan orang lain – Pen) pun benar pula, teapi keduanya tidak diridhai Allah. Allah  merang kita menggunjing dan mengumpat orang lain. Di antara ucapan yang diperintahkan oleh Allah untuk dijaga adalah yang diungkapkan dalam hadis sahih yang diriwayatkan Muslim dari Allah SWT. Dikatakannya bahwa ketika turun hujan dari langit, Allah berfirman : “Di antara hamba-hamba Ku, ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kufur. Barangsiapa mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena begini dan begitu,’ maka ia telah kufur kepada-Ku dan percaya pada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena Rahmat dan karunia Allah,’ maka itu berarti bahwa ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang-bintang itu. Dia menjaga ucapan orang-orang yang berkata,’ “Ketika turun hujan, Abu Hurayrah mengatakan, “Kami diberi hujan berupa anugerah.” Ia kemudian membaca ayat : “Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, tidak ada seseorang pun yang dapat menahannya (QS. Fathir, 35:2). Kalau engkau meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sebab dan mengangkatnya, serta memberlakukan kebiasaan, sehingga Dia melakukan sesuatu padanya, dan bukan dengan sesuatu itu sendiri, maka – dengan ini semua – janganlah engkau mengatakan bahwa Allah tidak melarangmu untuk mengatakan dan mengucapkannya, persis seperti halnya Dia melarangmu dari mengucapkan segala sesuatu, sekalipun memang benar demikian adanya.
Perhatikan apa yang ditetapkan Allah dalam firman-Nya : “Ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang-bintang.” Bilama ia mengatakan, “Dengan karunia Allah,” maka ia telah menutupi bintang yang tidak disebutkan namanya. Dan barangsiapa mengatakan, “Berkat bintang-bintang,” maka ia telah menutupi Allah. Jika ia meyakini bahwa Dia adalah Pelaku yang menurunkan hujan, namun tidak  mengucapkan namanya, maka Alah SWT mendatangkan kekufuran yang merupakan tabir.berhati-hatilah engkau dari meminta hujan hingga engkau mengatakannya. Yang paling pantas adalah engkau meyakininya. Jika engkau beriman kepada Allah, maka Dia hanya mengangkat keyakinanmu sebagai dalil yang bersifat biasa. Setiap dalil yang bersifat biasa boleh keluar dari kebiasaan. Berhati-hatilah terhadap kebiasaan, dan jangan itu sampai memalingkanmu dari hukum-hukum Allah yang telah Dia tetapkan bagimu. Janganlah memusuhi hukum-hukum Allah, karena Allah tidak menetapkannya sampai Dia menjaganya. Dan yang demikian itu berlaku dalam segala sesuatu. Disebutkan dalam haids sahih : “Seseorang mengucapkan perkataan yang dimurkai Allah, yang dikiranya bakal sampai pada tujuan. Dengan perkataan itu ia dicampakkan ke dalam neraka selama tujuh puluh musim gugur. Seseorang mengucapkan perkataan yang diridhai Allah yang dikiranya akan sampai pada tujuan, maka dengan perkataan itu ia diangkat ke dalam ‘illiyyin.” Janganlah engkau ucapkan kecuali apa yang diridhai Allah, bukan yang dimurkai Allah. Yang demikian itu mustahil engkau lakukan kecuali dengan mengenal apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu dalam ucapanmu. Inilah perkara yang telah dilupakan manusia. Rasulullah saw., bersabda : “Tidaklah Dia mencampakkan manusia ke dalam neraka melainkan disebabkan oleh lisan mereka.” Dan Al-Hakim mengatakan : “Tidak ada sesuatu yang lebih berhak dipenjara ketimbang lidah.” Allah telah menjadikannya di balik dua pintu, yaitu kedua bibir dan gigi. Dengan demikian, ia banyak melakukan fudhul (tindakan mencampuri urusan orang lain. Pen) dan membuka pintu-pintu kejahgatan yang lain.

12. WASIAL IHWAL BERHATI-HATI MELUKIS MAKHLUK BERNYAWA

Hendkalah engkau berhati-hati melukis gambar sesuatu yang memiliki ruh dengan tanganmu. Hal inilah yang diremehkan manusia, padahal di sisi Allah yang demikian itu sangat agung. Para pelukis adalah orang-orang yang paling pedih siksaannya di Hari Kiamat. Akan halnya ciptaan yang hidupatau yang ditiupkan kepadanya ruh, maka bukanlah ia yang meniupkan. Disebutkan di dalam hadis sahih dari Allah SWT bahwa Dia berfirman : “Tidak ada seorang pun yang lebih sesat melebihi orang yang menciptakan sesuatu ciptaan seperti ciptaan-Ku. Ciptakanlah sebuah atom, sebuah biji atau gandum.” Jikaseorang hamba memelihara kemampuan ini dan meninggalkannya karena apa yang telah difirmankan Allah tentangnya, serta tidak menyaingi rubbubiyya-Nya dalam menciptakan sesuatu, baik berupa hewan maupun sesuatu lainnya, maka Dia akan mendatangkan kehidupan kepada setiap gambar di dunia ini sehingga ia melihat semuanya sebagai hewan yang dapat berbicara memuji Allah. Jika engkau dibolehkan menggambar tumbuh-tumbuhan dan sesuatu yang tidak memiliki ruh dalam penglihatan dan pandangan mata biasa, maka selamanya Dia tidak akan mendatangkan penyingkapan seperti ini. Demikian pula, setiap gambar di dunia ini memiliki ruh. Allah mencabut pengnglihatan kita dari melihat kehidupan dalam apa yang dikatakan : “Ini bukan hewan.” Dan di akhirat disingkapkan di depan manusia. Karenanya, tempat itu dinamakan dar al-hayawan. Di dalamnya, engkau akan melihat segala sesuatu hidup dan bisa berbicara, yang berbeda dari keadaanmu di dunia, sebagaimana dirawatkan di dalam sebuah hadis sahih bahwa batu yang ditangan Rasulullah saw., pun bertasbih memuji Allah. Manusia memandang bertasbihnya batu sebagai sesuatu di luar kebiasaan. Jelas mereka salah. Yang namanya di luar kebiasaan itu hanya asing di telinga orang-orang yang mendengar saja. Toh, batu itu tetap saja bertasbih, sebagaimana dituturkan oleh Allah. Hanya saja, ia bertasbih memuji Allah dengan melantunkan tasbih tersendiri atau dengan cara tersendiri pula. Sebelumnya, batu itu tidak bertasbih memuji-Nya, dan tidak pula dengan cara demikian itu. Pada saat itu, keluarbiasaan pun terjadi pada batu, dan bukan pada telinga orang yang mendengarnya. Yang terjadi  adalah bahwa ia hanya mendengar ucapan orang yang ,mendengarnya saja.
:
13. WASIAT IHWAL ANJURAN MENJENGUK ORANG SAKIT

Wahai saudaraku, hendaknya engkau menjenguk orang sakit, karena dalam perbuatan itu ada pelajaran dan peringatan bahwa Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah. Melihat dan menengok orang sakit akan mengingatkanmu kepada asal-usulmu, karena engkau membutuhkan kekuatan dari Allah yang mendukungmu dalam melakukan ketaatan kepada-Nya. Allah berada di sisi hamba-Nya ketika sakit. Tidakkah engkau lihat orang sakit, yang tidak punya tempat meminta  pertolongan selain kepada Allah, dan tidak ada yang diingatnya kecuali Dia saja? Hatinya senantiasa menyebut dan mengucapkan nama Allah serta memohon perlindungan kepada-Nya. Orang sakit selalu bersama Allah dana segala penyakit apa pun yang dideritanya. Kalau engkau pergi ke dokter dan ingin mengetahui sebab-sebab biasa yang bisa menyembuhkanmu, maka dalam hal itu pun ia tidak lupa kepada Allah. Ini karena Allah selalu hadir di sisinya.
Pada hari kiamat kelak, Allah akan berkata : “Wahai manusia! Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Maka, manusia pun menjawab : “Wahai tuhanku! Mana mungkin aku menjenguk-Mu, padahal engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah berfirman : “Tidakkah engkau ketahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit dan engkau tidak menjenguknya. Sebab, jika engkau menjenguknya, engkau pasti mendapati Aku ada di sisinya.” Hadis ini sahih. Firman-Nya : “Engkau pasti mendapati Aku di sisinya.” Ialah orang sakit yang mengingat Tuhannya, secara diam-diam maupun terang-terangan. Demikian pula, jika ada ciptaan Allah yang meminta makan atau minum, berilah ia makan dan minum, kalau engkau mendapati keadaan itu. Sekiranya engkau tidak punya kemuliaan dan kedudukan, maka orang yang minta makan dan minum ini pasti menurunkanmu dari kedudukan Al-Haqq yang memberi makan dan minum kepada hamba-hamba-Nya. Tidak banyak orang mengambil pandangan ini sebagai pelajaran. Perhatikan orang yang meminta. Di saat meminta, ia mengeraskan suaranya. Katanya, “Ya Allah, berilah aku.” Dalam keadaan demikian, Allah membuatnya mengucapkan hanya nama-Nya sana. Ia mengeraskan suaranya agar  engkau mendengarnya, sampai engkau memberinya sesuatu. Ia menyebut-nyebutmu serasa menyebut nama Allah. Ia berlindung kepadamu dengan mengeraskan suaranya sama seperti ketika ia berlindung kepada Allah. Barangsiapa memberimu kedudukan sebagai tuan, janganlah engkau mencegahnya dan bersegeralah memberikan apa yang dimintanya darimu. Inilah hadis yang dikemukakakn tentang sakitnya seorang hamba : “Allah SWT berfirman : “Wahai manusia! Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan! Manusiaa menjawab : “Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam?’ Allah menjawab, ‘tidakkan engkau ketahui bahwa hamba Ku si Fulan minta makan kepadamu, dan engkau tidak memberinya makan? Sekiranya, engkau memberinya makan, niscaya engkau mendapati hal itu ada di sisi Ku. Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi Ku minum. Manusia menjawab : ‘Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi Minum, padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah menjawab : ‘engkau tahu bahwa hamba Ku si Fulan minta minum kepadamu, tatapi engkau tidak memberinya minum. Kalau saja engkau memberinya minum, niscaya engkau mendapati hal itu di sisi Ku.” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad bin Hatim, dari Bahiz, dari Hammad bin Salmah, dari Tsabit, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a., yang mengatakan : “Rasulullah saw., bersabda, “Maka Allah pun menurunkan diri-Nya, dalam hadis ini, pada kedudukan hamba-Nya.” Hamba itu hadir bersama Allah, yang selalu mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun seperti dalam keadaan ini. Ketika ia tahu bahwa Tuhan meminta makan dan minum kepadanya, ia pun lantas bergegas memenuhi permintaan-Nya. Pada Hari Kiamat, ia tidak tahu kalau bakal ditunjukkan kepadanya keadaan orang yang minta makan dan minum itu. Allah menyamakan hal itu melalui  firma-Nya : “Niscaya engkau mendapati hal itu ada di sisi-Ku.” Yakni makanan dan minuman yang Aku anugerahkan kepadamu dan Aku perbanyak hingga engkau datang kepada-Ku pada Hari Kiamat. Aku menginingkan makanan yang lebih baik, lebih bagus, dan lebih banyak darimu. Jika engkau tidak punya keinginan dan hasrat kuat (himmah) untuk mengetahui orang yang minta minum kepadamu ini, maka ia telah menurunkanmu pada kedudukan orang yang memerlukan pemenuhan kebutuhannya, sehingga Allah menjadikanmu wakil-Nya. Setidaknya, engkau memenuhi kebutuhan orang yang meminta ini dengan niat berdagang mencari keuntungan dan memperbanyak kebaikan. Maka, bagaimanakah keadaanmu jika engkau adalah orang yang digambarkan dalam haids ini, padahal engkau tahu bahwa Allah yang meminta kepadamu untuk menjadi pengganti-Nya? Segala sesuatu adalah milik Allah, dan Dia telah memerintahkanmu untuk menginfakkan sebagian dari apa yang diberikan-Nya kepadamu sebagai gantinya. Allah SWT berfirman : “Nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikannya sebagai yang menguasainya (QS. Al-Hadid, 57:7). Engkau akan beroleh ganjaran berlipat ganda.
Jika engkau memberi, janganlah mengusir orang yang meminta itu, hatta dengan kata-kta yang baik sekalipun. Tunjukkanlah kepadanya wajah yang ramah, karena engkau akan menemui Allah. Kalau ada seseorang meminta kepada Al-Husain atau Al-Hasan, a.s., ia segera memberi orang itu seraya mengatakan : “Demi Allah, selamat datang, wahai orang yang akan membawa perbekalanku ke akhirat.” Karena ia tahu bahwa orang yang meminta itu telah membawa perbekalannya, maka ia seperti sedang bepergian. Sebab, pada Hari Kiamat, manusia – manakala telah diberi nikmat oleh Allah dan tidak membebankan kelebihannya kepada orang lain – akan datang menghadap Allah dengan memikul bebannya sendiri sampai ditanyai tentangnya. Itulah sebabnya Al-Husain a.s., mengatakan bahwa peminta adalah orang yang memikul perbekalannya ke akhirat. Maka, dengan demikian, ringanlah beban yang dipikulnya.

14. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI AGAR JANGAN MENZALIMI HAMBA-HAMBA ALLAH

Hendaknya engkau berhati-hati agar jangan sampai menzalimi hamba-hamba Allah. Sebab, kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. Yang dinamakan menzalimi hamba-hamba Allah ialah ketika engkau menahan hak-hak mereka yang Allah wajibkan atasmu untuk memenuhinya. Kadang-kadang yang demikian ini terjadi ketika engkau melihat kesulitan menimpanya, padahal engkau mampu memenuhi kebutuhannya dan menghilangkan kesempitannya. Engkau pun pasti tahu bahwa ia memiliki hak atas hartamu. Allah memperlihatkannya kepadamu hanyalah agar engkau menunaikan haknya itu. Jika tidak, engkau akan dimintai pertanggungjawaban. Kalai engkau tidak mampu memenuhi kebutuhannya, ketahuilah bahwa Allah tidak menampakkan keadaannya itu kepadamu sebagai uluran. Yang diinginkan-Nya darimu ialah agar engkau memberi pertolongan – dengan perkataan yang baik – kepada orang yang engkau ketahui telah memenuhi kebutuhan orang itu. Jika engkau tidak melakukan hal itu, sekurang-kurangnya engkau mendoakan kebaikan baginya. Ini hanya boleh dilakukan setelah engkau mencurahkan segenap kesungguhan dan nyaris berputus asa, sehingga yang tersisa pada dirimu hanyalah doa. Jika engkau lalai dan tidak melakukan hal ini, maka engkau sudah menzalimi orang yang berada dalam keadaan seperti ini, apalagi kalau ia meninggal disebabkan oleh kebutuhannya itu. Akan tetapi, jika ia tidak meninggal lantaran seorang Mukmin lain telah memenuhi kebutuhannya, maka – tanpa engkau sadari – saudaramu itu telah menggugurkan tuntutan itu dari dirimu, karena seorang Mukmin adalah Saudara Mukmin lainnya. Ia tidak menundukkannya dan tidak pula menzaliminya. Jika orang yang memberi itu tidak ebrniat demikian (yakni, berniat menggugurkan tuntutan orang yang berada dalam kesempitan itu darimu, Pen), melainkan semata-mata melakukannya lantaran perasaan kasihan dan iba kepadanya, maka Allah tetap menerima kebaikannya. Jika engkau memberi orang yang berada dalam kesempitan itu, maka niatkanlah hal itu bahwa engkau menggantikan saudaramu sesama Mukmin itu yang telah menghilangkan kesempitannya. Jadikan hal itu sebagai kemuliaan darimu dan karena kasih sayangmu kepadanya dengan kebaikan yang diabadikan demi dirimu hingga engkau mendapatkannya. Dengan niat ini, pemberian orang-orang arif (‘arifin) diperuntukan bagi orang-orang dalam kesempitan yang meminta lantaran  keadaan dan ucapan mereka : Dan orang yang meminta-minta, janganlah engkau hardik (QS. Adh-Dhuha, 93:10), entah itu dalam kekuatan terinderai maupun kekuatan maknawi. Pengetahuan dan manfaat dari pokok bahasan ini ialah bahwa yang sesat  memohon hidayah, yang lapar meminta makanan, yang telanjang meminta pakaian yang dapat melindunginya dari dingin dan panasnya udara serta menutup auratnya, yang beriat dosa dan mengetahui bahwa  engkau mampu menghukumnya memohon ampunan darimu atas kejahatannya. Hilangkanlah kekalutan orng yang sedang kebingungan. Berilah makan orang yang lapar. Berilah minum orang yang kehausan, dan berilah pakaian orang yang telanjang. Ketahuilah bahwa engkau memerlukan segala sesuatu yang engkau butuhkan, sementara Allah tidak memerlukan apapun dari alam semesta. Karena itu, Dia mengabulkan doa mereka, memenuhi kebutuhan mereka, menyuruh mereka agar memohon kepada-Nya guna menolak bahaya dari diri mereka serta memberikan manfaat kepada mereka. Engkau lebih pantas mempergauli hamba-hamba Allah dengan cara seperti ini karena engkau membutuhkan Allah dalam semuanya ini. Imam Muslim meriwayatkan hadis sahih dari ‘Abd Allah bin ‘Abd Ar-Rahman bin Bahram Ad-Darimi, dari Marwan bin Muhammad Ad-Dimasyqi, dari Sa’id  bin Abd Al-‘Aziz, dari Rabi’ah bin Yazid, dari Abu Idris Al- Khulani, dari Abu Dzarr r.a., dari Nabi saw., ihwal apa yang diriwayatkan dari Allah SWT bahwa Dia ebrfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku pun mengharamkannya di antara sesamamu. Karena itu, janganlah engkau saling menzalimi. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua sesat kecuali mereka yang Kutunjukki. Maka, mintalah petunjuk dari-Ku, niscaya Aku memberimu petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua lapar kecuali mereka yang Kuberi makan. Maka, mintalah makan dari Ku, niscaya Aku memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua telanjang kecuali mereka yang Kuberi pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua melakukan kesalahan di waktu siang dan malam hari, dan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka, mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku memberimu ampunan.” Allah memberikan semua ini tanpa engkau minta. Namun, bersamaan dengan ini, Dia memerintahkanmu untuk meminta kepada-Nya hingga Dia memberikan kepadamu jawaban atas permintaanmu itu, karena Dia akan memperlihatkan kepadamu perolongan-Nya sebelum engkau menyampaikan permintaanmu. Ini adalah kedudukan tambahan lain pada apa yang diberikan-Nya kepadamu. Jika engkau bertanya tentang perintahnya, maka Dia tahu bahwa engkau meminta kepada-Nya. Dan yang demikian itu, tidak bisa tidak mesti adanya karena kepentingan asal yang karenanya engkau diciptakan dalam keadaan membutuhkan agar ada yang memenuhi permintaanmu sebagai kewajiban. Engkau akan diberi ganjaran sebanding dengan ganjaran orang yang melaksanakan perintah Allah. Lalu engkau pun diberi tambahan kebaikan atas kebaikan. Dia memerintahmu hanya karena kasih sayang-Nya kepadamu. Dan engkau pun sampai pada kebaikan itu. Dan Dia mengingatkanmu bahwa engkau membutuhkan-Nya, bukan selain-Nya. Karena itu, Dia menciptakanmu hanya untuk beribadah kepada-Nya, yakni tunduk kepada-Nya.
Yang kuwasiatkan kepadamu ini bersumber dari berbagai perintah dan larangan Allah serta pemahaman mengenainya, sampai akhirnya engkau mengetahui apa yang dikehendaki Allah atas dirimu dalam berbagai perintah dan larangan-Nya. Berhati-hatilah agar engkau jangan menjadi orang yang tidak mau memohon kepada Tuhannya, karena orang seperti ini berarti bahwa ia telah menuduh-Nya sebagai bakhil.  Ini terjadi dalam hak kebanyakan orang. Bila engkau berlebih-lebihan dalam apa yang kuwasiatkan ini, janganlah engkau cela kecuali dirimu sendiri, karena engkau tidak tahu, sedangkan aku mengetahuimu. Jika engkau lupa dan lalai, aku telah mengingatkanmu. Juika engkau beriman, maka peringatan ini bermanfaat bagimu. Aku telah melaksanakan perintah Allah dengan mengingatkannya kepadamu. Dengan memanfaatkan peringatan ini engkau telah menjadi saksi atas keimanan. Allah SWT berfirman tentang hakku dan hakmju : “Dan berilah peringatan, sebab peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (QS. Adz-Dzariyah, 51:55); jika peringatan itu tidak bermanfaat  bagimu, maka salahkanlah dirimu dalam mengimaninya, sebab Allah Mahabenar. Dan Dia telah ebrfirman bahwa peringatan itu berguna bagi orang-orang beriman.
Pada akhir kabar ini yang kami telah sebutkan di atas setelah perkataan-Nya : “Aku ampuni kamu,” Dia berfirman : “Wahai hamba-hambaku, engkau tidak akan sampai pada kerugian-Ku sehingga engkau merugikan-Ku, dan engkau tidak akan sampai pada manfaat-Ku sehingga engkau memberikan manfaat kepada-Ku.” Jelaslah bahwa Allah SWT tidak akan mengalami kerugian dan tidak pula memperoleh manfaat apa pun, karena Dia tidak memerlukan alam semesta. Namun, ketika Dia menempatkan diri-Nya pada kedudukan hamba-Nya – seperti telah kusebutkan, yakni meminta makan dan minum – Dia mengingatkan kita akan ketidakmampuan mendatangkan kerugian kepada hamba-hamba-Nya yang telah diberi manfaat. Adalah mustahil melakukan hal itu, sebab Allah SWT telah ebrfirman mengenai hak suatu kaum bahwa mereka mengikuti apa yang membuat Allah suci dari hal yang demikian itu. Begitu pula halnya dengan orang yang melakukan sesuatu dan lantas membuat Allah senang, seperti orang bertobat yang membuat Allah senang dengan tobat hamba-Nya. Karenanya, kabar ini adalah obat bagi penyakit yang diderita orang yang berjiwa lemah dan kerdil dalam mengenal Allah, yang tidak memiliki ilmu sedikit pun ihwal apa yang telah diberikan-Nya. Allah berfirman : “Tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya (QS. Asy-Syura, 42:11).
Kemudian, di akhir kabar ini, Allah berfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya bersemayam dalam hati seorang paling bertakwa kepada-Ku, niscaya yang demikian itu sama sekali tidak menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manuisa dan jin seluruhnya bersemayam dalam hati seorang yang paling berdosa, maka yang demikian itu pun tidak akan mengurangi kekuasan-Ku sedikit pun.  Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya berdiri di atas suatu tempat yang tinggi dan kemudia memohon kepada-Ku, lalu Aku memberi setiap orang apa yang dimintanya, maka yang demikian itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku sedikit pun kecuali seperti berkurangnya jarum ketika masuk ke dalam lautan.” Semua ini adalah obat bagi apa yang telah aku sebutkan ihwal penyakit dalam jiwa-jiwa yang lemah dan kerdil. Karenanya, gunakanlah, wahai waliku, obat-obat ini. Allah berfirman : “Itu semua semata-mata hanyalah perbuatanmu sendiri. Aku menghitung-hitungnya untukmu. Kemudian Aku berikan semuanya kepadamu. Barangsiapa beroleh kebaikan, hendaknya ia memanjatkan pujian kepada Allah. Dan barangsiapa beroleh selain itu, hendaknya ia mencela dirinya sendiri saja.”
Barangsiapa meminta suatu kebutuhan, maka ia telah menghinakan dirinya. Barangsiapa menghinakan dirinya kepada selain Allah, maka ia telah tersesat, menzalimi dirinya dan tidak membawa dirinya melalui jalan yang dapat menunjukinya. Ini adalah wasiatku kepadamu, maka lazimkanlah; dan ini adalah nasihatku, maka pahamilah. Allah senantiasa berwasiat kepada hamba-hamba-Nya di dalam kitab-Nya dan lisan para Rasulnya. Setiap orang yang berwasiat kepadamu tentang apa yang pengalamannya adalah mendatangkan kebahagiaanmu, maka dia adalah utusan Allah kepadamu. Karena itu, bersyukurlah kepadanya di sisi Tuhanmu.

15. WASIAT IHWAL KECINTAAN KEPADA ALLAH

Jika engkau melihat seorang berilmu (‘alim) tidak mengamalkan ilmunya, maka hendaklah engkau mengamalkan ilmunya yang ada padamu dalam adabmu bersamanya hingga engkau memenuhi haknya sebagai seorang berilmu. Jangan engkau tutup hal itu dengan keadaannya yang buruk. Di sisi Allah, ia memiliki derajat ilmunya. Pada Hari Kiamat kelak, manusia akan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Barangsiapa bersopan santun dengan sifat Ilahi, maka pada Hari Kiamat nanti, ia diberi pakaian dengan sifat itu dan dihimpunkan bersamanya. Hendaknya engkau menegakkan setiap  apa yang engkau ketahui. Sesungguh Allah menyukai hal itu pada dirimu. Maka, bersegeralah melakukannya. Jika engkau berhias dengannya dalam menunjukkan kecintaanmu kepada Allah, pasti Dia mencintaimu. Jika Dia mencintaimu, Dia membahagiakanmu dengan pengetahuan tentang diri-Nya, dengan manifestasi-Nya, dan dengan tempat kemuliaan-Nya. Dia akan mencegah kesedihan menimpa dirimu. Banyak hal yang bisa melahirkan kecintaan keapda-Nya. Aku sebutkan sebagian darinya, yang mudah disebutkan dalam bentuk wasiat dan nasihat. Di antaranya ialah memperindah diri semata-mata karena Allah. Yang demikian adalah sebentuk ibadah tersendiri, terutama dalam salat. Engkau diperintahkan untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman : “Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid (QS. Al-A’raf, 7:31), dan Diaberfirman dalam bentuk pengingkaran : “Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah : “Semuanya itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf, 7 :32-33). Sebagian besar dari penjelasan ini, seperti di dalam Al-Quran ini, tidak ada dan tidak membedakan antara perhiasan Allah dan perhiasan kehidupan dunia kecuali dalam maksud dan niat. Yang demikian itu semata-mata adalah perhiasan yang kasar. Apa dan bagaimana bentuk perhiasan itu adalah soal lain. Niat adalah ruh dari segala perkara. Dan setiap orang memperoleh apa yang diniatkannya. Dalam hal ini, hijrah dilakukan menuju pada suatu tujuan. Karena itu, hijrah yang dilakukan haruslah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa melakukan hijrah untuk memperoleh kesenangan dunia atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya adalah demi apa yang ditujunya. Demikian pula diungkapkan di dalam sebuah haids sahih tentang baiat imam pada tiga orag yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat. Dia tidak akan menyucikan diri mereka, dan mereka beroleh siksaan yang pedih, yaitu : “Seseorang membaiat seorang imam. Ia hanya membaiatnya untuk memperoleh kesenangan dunia semata. Jika kesenangan dunia itu diberikan kepadanya, maka ia memenuhi baiatnya. Tetapi jika kesenangan dunia itu tidak diberikan, maka ia tidak akan memenuhinya.” Perbuatan-perbuatan itu  bergantung pada niat. Inilah salah satu tonggak bangunan Islam. Dan disebutkan di dalam hadis sahih Muslim bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw., : “Wahai Rasulullah, aku lebih menyukai sandal dan pakaianku yang bagus.” Maka Rasulullah saw., menjawab : “Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dan beliau bersabda : “Sesungguhnya keindahan lebih patut ditunjukkan kepada Allah.”
Mengenai bab ini ada dua penjelasan. Pertama, Allah tidak mengutus Jibril kepada Rasulullah saw., untuk datang menemuinya kecuali dalam paras indah seorang komandan dupasukan. Sebab, paras itulah yang paling indah pada zamannya. Kesan keindahannya amat berpengaruh pada makhluk-Nya. Ketika ia sampai di Madinah, orang-orang pun mengerumuninya. Seorang wanita yang hamis pasti gugur kandungannya bila memandang parasnya. Seakan-akan Allah berfirman dengan menyampaikan kabar gembira kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., tentang turunnya Jibril kepadanya dalam paras seorang komandan pasukan : “Wahai Muhammad, tidak ada antara-Ku dan dirimu kecuali paras yang indah.” Allah SWT mengabarkan tentang keindahan milik-Nya yang berada dalam Zat-Nya. Barangsiapa tidak peduli  dan tidak mau memperindah  diri (tajammul) karena Allah, maka ia telah mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu dari Allah. Jika ia mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu ini, maka ia telah mengabaikan apa yang dihasilkan dari ilmu, manifestasi (tajalli), dan karamah di negeri kebahagiaan, kedudukan dalam kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) dan kesaksian (Syuhud) maknawi, ilmi, dan ruhi di kampung dunia dalam perjalanan ruhani (suluk) dan tempat-tempat kesaksiannya (musyahid). Namun, sebagaimana telah kami kataan, berniat memperindah diri itu tidaklah dimaksudkan untuk hiasan dan kesombongan dengan perhaisan dunia, tidak pula untuk bermegah-megahan (az-zahw) dan membanggakan diri (al-‘ujub), serta memandang rendah orang lain.
Kedua, kembali kepada Allah ketika mendapat ujian. Allah mencintai orang yang diuji dan banyak bertobat. Demikian pula Rasulullah saw., bersabda, “Allah SWT berfirman : “Dia-lah yang menjadikan kehidupan dan kematian, untuk menguji engkau, siapa yang paling baik amalnya (QS. Al-Mulk, 67:2). Al-bala’ dan al-fitnah adalah satu makna. Yang demikian itu hanyalah sekedar ujian atas apa yang dituntut manusia. Ini hanyalah cobaan dari-Mu (QS. Al-A’raf, 7 : 155), yakni ujian-Mu. Engkau sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau membingungkannya, serta, Dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau menampakkan kepadanya jalan keselamatan dari cobaan itu.
Ujian paling besar adalah wanita, harta, anak dan pangkat. Allya dengan salah satu dari keempat hal ini. Dengan ujian ini, ia bisa menempati kedudukan (maqam) kebenran dalam menjalaninya. dengan ujian ini pula, ia kembali kepada Allah dan tidak diam berpangku tangan. Ia memandangnya sebagai nikmat Ilahi yang Allah berikan kepadanya. Ujian itu mengembalikannya kepada Allah SWT dan menempatkannya dalam kedudukan (maqam) syukur, dan ia berhak menerima kenikmatan dari-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. Dia berfirman kepadanya : “Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan sebenar-benarnya.” Musa bertanya : “Wahai Tuhan, siapakah yang mampu melakukan hal itu? Dia menjawab : “Wahai Musa, bila engkau melihat kenikmatan itu sebagai pemberian dari-Ku, maka itu adalah syukur yang sebenar-benarnya.” Ketika Allah menyatakan ampunan kepada Nabi-Nya Muhammad saw., atas dosa-dosanya yang telah lalu  dan yang akan datang, Allah memberinya kabar gembira dengan firman-Nya : “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang (QS. Al-Fath, 48 : 2). Beliau berdiri menegakkan salat hingga kedua kakinya bengkak untuk bersyukur kepada Allah atas hal itu. Beliau tidak merasa letih dan menginginkan istirahat. Ketika dikatakan kepadanya tentang hal itu dan diminta untuk mempermudah dirinya, beliau menjawab : “Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Demikian pula ketika beliau mendengar Allah berfirman : “Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur. (QS. Az-Zumar, 39:66). Jika beliau tidak bersyukur kepada Pemberi nikmat, maka akan berlalu kecintaan khusus dari Allah ini bersama kedudukan yang tidak ada seorang yang dapat meraihnya dari Allah ini kecuali orang yang bersyukur. Allah berfirman : “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS. Saba, 34:13). Jika itu telah berlalu, maka berlalulah apa yang dimilikinya berupa ilmu tentang Allah, tajali, kenikmatan, dan kedudukannya yang dikhususkan baginya di negeri kemuliaan dan kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) pada hari terjadi kebohongan yang sangat besar. Karena itu, setiap cinta Ilahi dari suatu sifat khusu memiliki ilmu, tajali, kenikmatan dan kedudukan yang niscaya akan membedakan pemilik sifat ini dari yang lainnya.
Adapula ujian berupa wanita : bentuk pengembaliannya kepada Allah dalam kecintaan kepada mereka adalah melihat bahwa mereka semua mencintai dan merindukannya. Ia hanya mencintai dirinya sendiri, karena wanita – pada mulanya – diciptakan dari laki-laki, dari tulang rusuknya yang paling pendek. Maka diturunkan kepadanya bentuk yang menurutnya Allah menciptakan manusia sempurna, yaitu bentuk Allah. Allah menjadikannya sebagai manifestasi bagi-Nya. Apabila sesuatu njadi manifestasi bagi orang yang mengamati, maka ia hanya melihat dirinya sendiri dalam rupa itu. Jika ia melihat  dirinya sendiri pada wanita ini dengan kecintaan sedemikian rupa kepadanya, maka ia melihat bentuki sendiri. Jelaslah bagimu bahwa bentuknya adalah bentuk Allah, yang diciptakan-Nya berdasarkan bentuk itu. Ia hanya melihat Allah dengan gairah cinta, dengan merasakan kelezatan dan hubungan. Maka ia pun fana dan lenyap di dalamnya dengan fana yang sebenarnya karena kecintaan yang tulus. Ia membandingkan dirinya dengan zat-Nya lewat perbandingan yang sepadan. Karena itu, ia pun fana di dalamnya, karena segala sesuatu yang menjadi bagiannya adalah juga bagian dari dirinya. Kecintaan pun mengalir dalam seluruh bagiannya. Maka, seluruhnya berhubungan dengannya, sehingga, fana di dalam hal seperti itu adalah fana menyeluruh (al-fana’ al-kulli). Bertolak belakang dengan kecintaan kepada selain jenisnya, maka ia pun menyatu dengan yang dicintainya, sehingga berkata : “Ana man ahwa, wa man ahwa ana – Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku.”
Pada kedudukan (maqam) ini, orang-orang mengatakan : “Aku adalah Allah.” Jika engkau mencintai seseorang dengan keicntaan seperti ini, maka ia membalasmu dengan kecintaan seperti ini pula. Kesaksianmu dalam hal inilah yang mengembalikanmu kepada Allah, sehingga engkau termasuk orang-orang yang dicintai Allah. Maka jadilah ujian ini yang memberimu petunjuk.
Jalan lainnya ialah : ihwal mencintai wanita, karena mereka adalah tempat kejadian dan penciptaan segenap entitas dan bentuk dalam setiap jenis. Tidak diragukan lagi bahwa Allah hanya mencintai segenap entitas di dunia ini dalam ketiadaan (‘adam)-nya. Lantaran entitas-entitas itu merupakan tempat kejadian. Ketika Dia menaruh keinginan kepadanya, Dia berkata : “Kun (Jadilah).” Maka jadilah entitas-entitas itu. Tampaklah kekuasaan-Nya atas segenap entitas itu di dalam wujud. Segenap entitas itu memberikan haknya kepada Allah dalam uluhiyah-Nya. Karena Dia adalah Tuhan. Maka segenap entitas itu menyembah-Nya dengan seluruh nama (asma) dan keadaan (hal)-Nya, entah engkau mengetahui seluruh nama itu atau tidak. Nama Allah itu kekal dan hamba-Nya hanya mempertahankannya dengan rupa dan kendati ia  tidak mengetahui akhir dari nama itu. Itulah yang dikatakan Rasulullah saw., di dalam doanya dengan menyebut nama-nama Allah : “Engkau menguasainya dalam ilmu kegaiban-Mu, atau engkau menampakkannya kepada salah seorang dari ciptaan-Mu.”  Yaitu di antara nama-nama-Nya. Artinya, ia mengenal diri-Nya”, sehingga – dengan ilmu itu – ia mampu membedakan dirinya dari yang lainnya, karena sebagian besar hal dalam diri manusia itu tampak dalam bentuk dan keadaan. Ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Jika ia mencintai wanita kerana apa yang telah kami sebutkan, maka kecintaan kepada wanita itu dikembalikan kepada Allah. Jadilah itu sebagai ujian paling baik di dalam haknya. Lantas, Allah mencintainya lantaran ia kembali kepada Allah SWT dalam keicntaannya kepada wanita.
Adapun hubungannya dengan wanita tertentu dala hal itu, dan tidak kepada wanita lainnya – jika hakikat-hakikat yang kami sebutkan ini belaku bagi seluruh wanita – maka yang demikian itu terjadi disebabkan hubungan ruhani antara kedua orang ini dalam asal kejaidan dan percampuran alami serta pandangan yang bersifat ruh. Di antaranya ada yang berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan ( ajal musamma). Di antaranya ada pula yang berlangsung hingga tanpa ada batas waktu. Akan tetapi, batas waktunya adalah kematian. Kebergantungan itu tidak hilang, seperti kecintaan Nabi saw., kepada ‘A’isyah. Beliau senantiasa mencintainya melebihi kecintaannya kepada istri-istri yang lain, dan juga kecintaanya kepada Abu Bakar, ayah “A’isyah. Hubungan kedua inilah yang menentukan individu. Sebab pertama telah kami sebutkan. Demikian pula bahwa dengan kecintaan mutlak, pendengaran mutlak, dan penglihatan mutlak yang dimiliki sebagian hamba Allah, serta tidak berlaku khusus pada seorang individu saja di dunia ini. Setiap yang hadir di sisi-Nya memiliki kekasih yang dicintainya dan menyibukkan diri dengannya. Bersamaan dengan ini, mestilah ada kecenderungan khusus kepada sebagian individu, sebab hubungan khusus berikut kemutlakan ini mestilah demikian adanya. Kejadian alam memberikan ini kepada satuan-satuannya, dan meski ada keterbatasan. Yang sempurna ialah yang menggabungkan atara keterbatasan dan kemutlakan. Kemutlakan ialah seperti apa yang diucapkan oleh Nabi saw., : “Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini, yaitu wanita, ..........”. Beliau tidak mengkhususkan wanita tertentu. Dan contoh keterbatasan ialah apa yang diriwayatkan tentang kecintaan beliau kepada “A’isyah melebihi kecintaannya kepada istri-istrinya yang lain. Hal ini disebabkan  oleh hubungan Ilahi dan ruhani  yang membatasi kecintaannya kepada “A’isyah saja dan tidak kepada yang lain, dengan tetap mencintai wanita-wanita lainnya juga. Yang kami sebutkan ini adalah tonggak pertama, yang sudah cukup dimengerti oleh orang yang memahaminya.
Tonggak kedua adalah sumber-sumber ujian, yaitu pangkat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mengenai hal ini, sekelompok orang di antara mereka  yang tidak memiliki ilmu mengatakan : “Hal terakhir  yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Orang-orang arif (al-‘arifin), pendukung ungkapan ini, tidak mengatakan hal itu berdasarkan apa yang dipahami kebanyakan orang dari penempuh jalan ruhani (ahl ath-thariq) di antara mereka. Hanya itulah yang kami jelaskan ihwal maksud kesempurnaan dari kaum ahli Allah, yaitu bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak hal yang Allah sembunyikan --- Dia-lah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi, dan yang mengetahui apa yang engkau sembunyikan dan apa yang engkau tampakkan.” (QS. An-Naml, 27:25). Yang dimaksudkan ialah apa yang tampak dari dirimu dan yang tersembunyi dari segala sesuatu yang tidak engkau ketahui dari dirimu dan dalam dirimu. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri hamba-Nya segala sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya, yang tidak penah diketahuinya. Seperti seseorang yang penyakitnya diperiksa seorang dokter, ia tidak tahu sedikit pun tentang penyakitnya itu, dan tidak merasa ada penyakit di dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan apa yang disembunyikan  Allah di dalam diri makhluk-Nya. Tidakkah engkau perhatikan Nabi saw., bersabda : “Man arafa nafsahu ‘arafa rabbahu – Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.” Tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya, padahal dirinya adalah ia sendiri, dan bukan orang lain. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri manusia apa yang disembunyikan-Nya di dalamnya. Maka, ketika itu,m ia pun menyaksikan dan mengetahui apa yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sekelompok orang mengatakan, “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus  dan benar, adalah kecintaan pada kepemimpinan.” Ketika hal itu muncul ke permukaan, maka mereka pun melihatnya. Mereka mencintai kepemimpinan dengan sebentuk kecintaan yang bukan jenis kecintaan orang banyak kepadanya. Mereka mencintainya karena keberadaan mereka atas apa yang Allah firmankan tentang mereka, bahwa Dia adalah pendengaran dan penglihatan-Nya. Dia menyebutkan seluruh kekuatan dan anggota-anggota tubuh mereka. Ketika mereka berada dalam kumpulan itu, maka mereka mencintai kepemimpjnan hanya dengan kecintaan Allah kepadanya. Kepemimpinan mempunyai kelanjutan, karena hanya dia sajalah yang memiliki kepemimpinan atas alam semesta. Tidak ada yang mencintai kepemimpinan kecuali pemimpin atas alam semesta, karena kesemuanya itu (alam semesta) adalah hamba-hamba-Nya. Tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya yang dipimpin. Kecintaannya kepada yang dipimpin adalah sebesar-besar kecintaan, karena yang dipimpin itulah yang menetapkan  kepemimpinan. Tidak ada yang dicintai oleh seorang raja dalam kerajaannya, karena kerajaannyalah yang menetapkan baginya kerajaan lain. Dan ia tetap saja disebut raja. Bagi mereka, inilah makna dari kalimat  “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Mereka melihat dan menyaksikannya sebagai dzauq (cinta rasa), bukan karena ia keluar dari hati mereka. Mereka tidak mencintai kepemimpinan. Sebab, jika mereka tidak mencintai kepemimpinan, maka mereka tidak bakalan memperoleh ilmu sebagai cita rasa atas bentuk yang di atas, itu Allah menciptakan mereka. Rasulullah saw., bersabda : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Inilah bagian takwil dan kemungkinan dari makna kabar ini. Ketahuilah!
Pangkat adalah pengesahan kalimat. Dan jangan lewatkan satu kalimat dari firman-Nya : ..... Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya : “Jadilah” maka terjadilah ia (QS. Yasin, 36:82). Pangkat paling tinggi adalah pangkat orang yang diperoleh karena Allah, ketika Dia memberikan kekuatan kepada sang hamba ini.  Ia menyaksikan hal ini bersama kebakaan dirinya. Ketika itu, ia pun mengetahui bahwa hal itu adalah permisalan yang tidak ada bandingannya. Ia adalah hamba pengayom. Sementara itu, Allah SWT adalah Tuhan, dan bukan hamba. Sang hamba memiliki persekutuan, dan Allah punya kesendirian.
Tonggak ke tiga, yang merupakan sumber ujian, adalah harta. Harta dinamai dengan al-mal, karena ia dicenderungi  secara alami. Melalui harta, Allah SWT menguji segenap hamba-Nya dengan memudahkan sebagian urusannya dengan wujud-Nya, dan menambatkan kalbu makhluk-Nya pada kecintaan memiliki harta dan mengagung-agungkannya, sekalipun ia kikir. Banyak mata memandangnya dengan pandangan mata sarat pengagungan disebabkan kerancuan jiwa, lantaran mereka tidak memerlukan harta yang ada pada dirinya. Mungkin saja sang pemilik harta adalah orang yang paling memerlukan dan membutuhkannya. Ia tidak merasa cukup dan puas dengan apa yang ada padanya. Ia selalu mencari tambahan buat apa yang berada di tangannya. Ketika makhluk melihat kecenderungan hati pada pemilik harta lantaran ingin memperoleh hartanya, mereka pun mencintai harta. Sementara itu, kaum arif mencari dimensi Ilahi, dan melalui dimensi inilah, mereka mencintai harta, sehingga kecintaannya itu merupakan ujian yang mengandung kesesatan dan petunjuk.
Kaum arif melihat unsur-unsur Ilahi dari harta. Allah SWT berfirman : “ ..... Dan pinjamilah Allah pinjaman yang baik (QS. Al-Muzammil, 73:20). Dia hanya menyeru para pemilik harta. Kaum arif mencintai harta agar mereka termasuk orang yang diajak bicara oleh Allah dalam ayat ini, sehingga mereka senang mendengarkannya dalam keadaan seperti itu. Jika mereka meminjamkan harta itu dan melihat bnahwa sedekah itu berada di tangan Allah, Zat Maha Pengasih, maka – dengan harta dan pemberian-Nya itu – mereka pun diterima oleh Allah. Yang demikian itu adalah simpul penerimaan Allah telah memuliakan Adam dengan firman-Nya : “ .... Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri (QS. Shad, 38 : 75). Barangsiapa memberi-Nya pinjaman atas permintaan-Nya, maka ia adalah orang paling sempurna dalam berbagai kesenangan dengan kemuliaan dari apa yang telah diciptakan melalui kedua tangan-Nya sendiri. Kalaulah bukan karena harta, mereka pasti tidak akan mendengarkan ayat iru dan tidak pantas menjadi orang yang diseru Allah. Dengan pinjaman itu, mereka tidak memperoleh penerimaan rabbani, sebab itulah yang menjalin hubungan dengan Allah. Allah menguji mereka dengan harta. Kemudian Dia menguji mereka lagi dengan meminta harta itu. Allah menempatkan diri-Nya dalam kedudukan peminta dari hamba-hamba-Nya yang memerlukan para pemilik harta dan kekayaan di kalangan mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di dalam hadis sebelumnya  di bab ini : “Wahai hamba-Ku, Aku telah memberimu makan, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan, dan Aku telah memberimu minum, tetapi engkau engkau tidak memberi-Ku minum.” Dengan pandangan ini, kecintaan kepada harta – bagi mereka – adalah ujian yang memberikan perunjuk pada hal semacam ini.
Akan halnya ujian berupa anak, maka anak adalah rahasia ayahnya. Belahan jiwanya, dan sesuatu yang dikaitkan dengannya. Kecintaan ayah kepada anaknya, adalah kecintaan sesuatu kepada dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang telah dicintai oleh sesuatu itu selain dirinya sendiri. Allah menguji dengan dirinya berupa bentuk luar dari dirinya. Dia menamainya dengna anak agar Dia mengetahui apakah perhatian kepada anaknya itu akan emnghalanginya dari menunaikan kewajibannya kepada Allah serta memenuhi segenap hak-Nya. Rasulullah saw., bersabda mengenai hak anak wanitanya. Fathimah. Kedudukan Fathimah dalam kalbu beliau adalah sama-sama dimaklumi. Beliau bersabda : “Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Umar bin Khaththab pernah mencambuk anaknya sampai mati karena berzina. Dengan demikian, jiwanya menjadi baik. Orang yang keras ini dan seorang wanita  merelakan jiwanya dalam menegakkan hukuman atas dirinya yang menyebabkan kematiannya. Mengenai obat kedua orang ini, Rasulullah saw., bersabda : “Sungguh, kalau wanita itu dipisahkan dari umat, cukuplah ia sendiri.” Tobat manalagi yang lebih besar dari tobat kedua orang yang telah merelakan jiwanya itu? Kerelaan untuk menegakkan kebenaran atas anak sendiri – meski tidak disukai – merupakan ujian yang paling besar. Mengenai kematian anak dalam hak orang tuanya, Allah berfirman : “Tidak ada balasan bagi hamba Ku yang mukmin di sisi-Ku selain surga, jika telah Aku genggam kesuciannya dari penghuni dunia ini.” Siapakah yang menetapkan tonggak-tonggak yang merupakan setinggi-tinggi ujian dan sebesar-besar cobaan ini? Dia memberi kesan di sisi Allah dan Dia pun menjaganya. Itulah orang yang paling agung yang tak tertandigni di kalangan manusia.
Termsuk di antara wasiatku kepadamu, ialah hendaknyan engkau berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali setelah menunaikan salat witir. Sebab, Allah menggenggam ruh manusia ketika sedang tidur dalam bentuk Dia melihat diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat. Jika Dia berkehendak, maka Dia menetukan umurnya. Bahkan jika Dia berkehendak menahannya, Dia akan menahannya, meski telah tiba ajalnya. Sebagai sebentuk kehati-hatian, hendaknya manusia yang teguh tidak tidur sebelum menunaikan salat witir. Jika ia tidur setelah menunaikan salat witir, maka ia tidur dalam keadaan dan perbuatan yang disukai Allah. Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih : “Allah itu ganjil (witr) dan menyukai yang ganjil.” Dia emncintai diri-Nya sendiri. Maka, tidak ada pertolongan dan kedekatan yang lebih besar melebihi ketika Dia menempatkanmu pada kedudukan diri-Nya dalam kecintaan perbuatanmu yang memerlukan bilangan dan hitungan. Allah SWT memerintahkanmu melalui lisan Rasulullah saw., “
Lakukanlah salat witir, wahai ahli Quran!” Ahli Quran adalah ahli Allah dan orang-orang-Nya yang khusus/ demikian pula ketika engkau bercelak. Lakukanlah dalam hitungan ganjil pada setiap mata sekali atau tiga kali. Pada esensinya, setiap mata adalah tersendiri. Begitu pula halnya di saat engkau makan, janganlah engkau mengambil suap dengan tanganmu kecuali dalam hitungan ganjil. Juka ketika engkau minum air. Tegukklah dalam hitungan ganjil. Jika engkau’ tersedak, minumlah air tuujuh teguk, maka akan hilanglah sedakmu. Hal itu setelah aku coba pada diriku. Juika engkau bernapas ketika minum, jauhkanlah gelas dari mulutmu dan bernapaslah tiga kali. Demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw. Kepadamu. Sebab, yang demikian itu adalah kebahagiaan.
Jika engkau berbicara, pahamkanlah pembicaraanmu kepada orang yang mendengarkanmu. Jika perlu, ulangi sampai tiga kali dalam hitungan ganjil, sehingga pembicaraanmu bisa dipahami. Begitulah yang dilakukan Rasulullah saw. Maka, aku hanya mewasiatkan kepadamu apa-apa yang berlaku di dalam sunnah Ilahi. Inilah tuntunan yang diperintahkan Allah kepadamu di dalam Al-Quran. Dia berfirman : “Katakanlah, “jika engkau (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu .... “ (QS. Alu ‘Imran, 3 :31). Ini adalah cinta balasan. Sedangkan cinta-Nya yang pertama bukanlah balasan, melainkan cinta yang dengannya Dia memberikan taufik keapdamu untuk diikuti. Maka cintamu, dijadikan oleh Allah berada di antara dua kecintaan Ilahi, yaitu cinta anugerah dan cinta balasan. Jadikan kecintaan  antara dirimu dengan Allah dalam hitungan ganjil, yaitu cinta anugerah yang ditunjukan-Nya kepadamu agar engkau ikuti Cintamu kepada-Nya dan cinta-Nya kepadamu adalah sebagai balasan atas dirimu yang telah emngikuti apa yang disyariatkan-Nya kepadamu. Allah SWT berfirman : “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (QS. Al-Ahzab, 33:21). Ayat ini menetapkan ‘ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalaha, Pen) Rasulullah saw. Sebab, kalau beliau tidak ma’shum, maka tidaklah benar menjadikan beliau sebagau teladan. Kita meneladanji Rasulullah saw., dalam seluruh gerak, sikap diam, perbuatan, ihwal, dan perkataan beliau, selama tidak dilarang berdasarkan ketetapan Al-Quran dan Sunnah, seperti nikah hibah yang membebaskanmu, kewajiban bangun malam, dan salat tahajud atas diri beliau dan bukan atas kaum Muslimin. Bagi Beliau, bangun malam dan menegakkan salat tahajud adalah kewajiban. Sementara itu, kita menegakkannya hanya untuk meneladani beliau dan merupakan ibadah sunnah. Maka kita pun bersama-sama menegakkannya.
Abu Hurairah berkata : “Kekasihku saw, berwasiat kepadaku tiga hal.” Beliau menjadikan hitungan ganjil di dalam wasiatnya. Di antaranya, ialah : “Hendaknya aku tidak tidur kecuali setelah melakukan salat witir.” Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih : “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghitungnya, maka ia akan masuk surga.” Allah itu ganjil dan menyukai hitungan ganjil. Telah disebutkan di dalam buku ini pada bab pertanyaan-pertanyaan At-Tirmidzi kepada Al-Hakim, dalam pasal, Al-Ma’arif fi Hubb Allah Al-Tawwabin wa Al- Mutathahhiriin wa Asy-Syakirin wa As-Shabirin wa Al-Muhsinin wa Ghayrihin (Berbagai makrifat tentang kecintaan Allah kepada orang-orang yang menyucikan diri, bersyukur, bersahabat, beruat kebaikan dan sebagainya), yang mengungkapkan bahwa Allah menyukai kemunculannya, sebagaimana Allah tidak menyukai kemucnulan sesuatu yang lain, yang telah kami sebutkan dalam buku ini. Aku tidak perlu mengulanginya lagi di sini.

16. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI KEPAD ALLAH MENGENAI APA YANG DIAMBIL DARIMU DAN DIBERIKAN KEPADAMU

Hendaklah engkau berhati-hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai apa yang diambil-Nya darimu dan apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah SWT mengambil segala sesuatu darimu agar engkar bersabar dan Dia mencintaimu, karena Dia mencintai orang-orang yang sabar. Jika dalam muamalah pekerjaanmu mencintaimu, maka orang yang mencintaimu pun dicintai juga. Engkau akan memperoleh apa yang engkau inginkan jika kehendakmu menuntut kemaslahatan bagi dirimu. Jika tidak, maka – dengan kecintan-Nya keapdamu – Dia melakukan apa yang dituntut kemaslahatan dalam hakmu untuk dirimu. Jika engkau membenci suatu hal yang dilakukan-Nya untukmu, maka engkau harus memuji-Nya sebagai akibat dari perbuatanmu. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan berbagai kemaslahatan bagi hamba-Nya jika Dia memang mencintainya/ tolok ukur yang mesti engkau gunakan dalam mengukur kecintaan-Nya kepadamu ialah bahwa hendaknya engkau memperhatikan apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia mengurangi harta atau keluargamu, atau yang perpisahannya tidak membuatmu susah. Segala sesuatu yang hilang dari dirimu pasti diberi ganti oleh Allah SWT. Sebagian orang mengatakan :
Sesuatu yang engkau tinggalkan,
Pasti ada penggantinya.
Namun, di sisi Allah, yang demikian itu
Sama sekali tidak ada penggantinya.
Sesungguhnya, tidak ada sesuatu pun setara dengan-Nya. Dmeikian pula halnya, jika Dia menganungerahkan dan memberi nikmat kepadamu. Di antara sejumlah nikmat dan anugerah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ialah kesabaranmu dalam menghadapi apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia memberimu anugerah agar engkau bersyukur, persis sebagaimana Dia mengambil sesuatu darimu agar engkau bersabar, sebab Allah SWT mencintai orang-orang yang bersykur. Jika Dia mencintaimu dengan kecintaan kepada orang-orang yang bersyukur, maka Dia mengampunimu. Rasulullah saw., bersabda tentang seseorang yang melihat ranting berduri di jalan tempat manusia berlalu-lalang lewat di situ. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka, Allah pun berterimakasih kepadanya dand mengampuninya : “Iman itu, memiliki tujuh puluh lima cabang. Yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalanan.” Begitulah apa yang telah aku sebutkan : “Ucapan la ilaha illa Allah, pun mengangkatnya : “Seorang Mukmin yang baik ialah yang mencari canag-cabang iman dan, lali ia mengerjakannya semuanya. Pencarian yang dilakukannya itu sendiri termasuk dalam cabang-cabang iman. Dengan demikian, ia adalah seorang Mukmin yang memperoleh segenap sifat-sifat-Nya, dan ketika tangannya penuh dengan kebaikan. Allah tidak ebrterima kasih kepadamu lantaran engkau mengerjakan apa yang telah disyariatkan-Nya atas dirimu. Yang demikian itu dimaksudkan agar engkau makin memperbanyak amal-amal kebaikanmu. Begitu pula, jika engkau bersykur kepada-Nya atas anugerah nikmat yang diberikan-Nya kepadamu, maka Dia akan menambah nikmat-Nya kepadamu, sesuai dengan firman-Nya : “Jika kamu bersykur, pasti akan Kutambah (anugerah-Ku) kepadamu (QS. Ibrahim, 14: 7). Dia menyifati diri-Nya dengan asy-syakur (Maha Bersyukur) karena Dia berterima kasih kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu, banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya, sebagaimana Dia makin banyak menambah nikmatn-Nya kepadamu, agar Dia berterima kasih kepadamu. Bersamaan dengan itu, yakinilah bahwa segala sesuatu memiliki ukuran di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju tempat yang telah ditentukan di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini, pasti kembali kepada Allah. Jika Dia mengambil sesuatu darimu, maka sesuatu itu, pasti kembali kepada-Nya. Dan jika Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti kembali kepada-Nya. Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti berasal dari-Nya. Jika engkau ketahui bahwa segala sesuatu itu seperti apa yang telah aku beritahukan kepadamu, cukuplah sudah engkau bersama Allah dan menyaksikan segala sesuatu  yang diambil darimu dan yang diberikan  kepadamu, dalam segenap keadaanmu. Maka engkau tidak meluputkan dalam napasmu pengambilan dan pemberian Ilahi. Yang pertama adalah tarikan napasmu yang menghidupimu. Dia mengambil  tarikan napasmu yang keluar melalui apa yang keluar dari dirimu berupa zikir dengan hati dan lisan. Jika itu dalah kebaikan, maka pahalanya dilipat-gandakan bagimu. Jika tidak demikian, maka disebabkan kemuliaan dan ampunan-Nya. Dia mengampunimu. Dia memberikan kepada napasmu yang masuk apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang mendatangkan  waktumu. Jika waktu itu mendatangkan kebaikan, maka yang demikian itu adalah  kenikmatan dari Allah. Terimalah kenikmatan itu dengan penuh rasa syukur. Jika tidak demikian , hal itu tidak termasuk dalam apa yang diridhai Allah. Karena itu, mohonlah ampunan, maaf dan tobat kepada-Nya. Dia menguhukum dosa hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka memohon ampunan (isttighfar)  kepada-Nya. Dia pun mengampuni mereka. Mereka bertobat kepada-Nya, Dia menerima tobat mereka. Diungkapkan dalam sebuah hadis : “Kalau kalian tidak berdosa, niscaya Allah mendatangkan suatu kaum yang beruat dosa dan kemudian ebrtobat. Lalu Allah mengampuni mereka.” Sehingga tidak satu pun hukum Ilahi  yang tidak berlaku di dunia ini.” Juga disebutkan dalam sebuah hadis sahih, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya, milik Allah adalah apa yang diambil-Nya dan Dia memiliki apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu berada dalam batas waktu yang telah ditentukan di sisi-Nya.” Jika, batas waktu itu telah berakhir, maka selesailah sudah sesuatu itu dan datang sesuatu yang lainnya. Rasulullah saw., hanya mengatakan hal ini sebagai pemberitahuan agar  kita berhati-hati atas apa yang merupakan kekuasaan-Nya, dan agar kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya. Maka, kita pun dikaruniai derajat penyerahan diri (taslim) dan pelimpahan ( tafuidh) dengan mengerahkan kesungguhan dalam apa yang disukai-Nya dalam diri kita, agar kita kembali kepada-Nya. Jika kita berada dalam penyimpangan, maka kita mesti kembali kepada-Nya dengan Tobat dan memohon ampunan. Dan jika kita berada dalam keridhaan-Nya, maka kita kembali kepadanya dengan rasa sykur dan permohonan untuk dapat melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kita mendapatkan kemuliaan dalam diri kita dengan pengetahuan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju batas waktu yang telah ditentukan di sisi Allah. Orang-orang yang sebar memiliki pujian khusus, yaitu : “Alhamdulillah ‘ala kulli hal (Segala Puji bagi Allah dalam segala keadaan). Orang-orang yang bersyukur pun memiliki pujian khusus, yaitu : Alhamdulillah Al-Mun’im Al-Mufdhil (Segala Puji bagi Allah yang memberikan kenikmatan dan menganugerahkan keutamaan). Demikianlah Rasulullah saw., memuji Tuhannya, Allah SWT, dalam keadaan lapang maupun sempit. Meneladani Rasulullah saw, dalam hal itu, lebih utama dari menciptakan pujian yang lain. Tidak ada yang lebih tinggi dari apa yang telah dilakukan oleh seorang berilmu paripurna,yang telah disaksikan oleh Allah dengan makrifat kepada-Nya, dan memuliakannya dengan risalah-Nya dan kekhususan yang diberikan-Nya. Dia pun memerintahakn kita untuk meneladani dan mengikuti teladan beliau.
Jangan engkau menciptakan suatu perkara yang engkau tidak mampu melakukannya. Jika engkau membuat suatu sunnah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw, maka yang demikian itu adalah baik. Engkau mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengamalkannya. Jika engkau tidak membuat sunnah itu karena hendak mengikuti Rasulullah saw, maka pahalamu dalam mengikuti jejaknya – yakni, meninggalkan membuat sunnah – lebih besar dari pahala yang engkau peroleh ketika membuat banyak sunnah. Rasulullah saw, tidak suka banyak memberikan beban atas umatnya. Beliau tidak suka jika mereka meminta berbagai hal, lantaran khawatir yang demikian itu akan membenai diri mereka, sedangkan mereka hanya mampu melakukannya dengan bersusah-payah. Orang yang membuat sunnah berarti telah memberikan beban. Nabi saw, jelas lebih utama dalam hal ini. Tetapi beliau tidak melakukannya, semata-mata untuk meringankan beban umatnya. Karena itu, aku katakan : : “Pahala mengikuti beliau dalam hal tidak membuat sunnah lebih besar dari membuat sunnah.” Tunjukanlah perhatianmu pada apa yang aku telah sebutkan kepadamu. Telah sampai kepadaku sebuah riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal, ra. Bahwa ia tidak pernah makan buah semangka. Lantas hal itu ditanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Tidak ada riwayat yang sampai kepadaku ihwal bagaimana Rasulullah saw, memakannya.” Karena tidak ada riwayat yang sampai kepadanya tentang tatacara mekan buah semangka itu, maka ia tidak mau memakannya. Contoh semacam ini telah dikemukakan para ulama umat ini kepada para ulama dari umat-umat yang lain. Imam Ahmad bin Hambal mengetahui makna firman Allah SWT tentang Nabi-Nya saw., : “Ikutilah aku, maka Allah akan mencintamu (QS. Alu ‘Imran : 3:31), dan juga firman-Nya : “Sungguh dalam diri Rasulullah itu ada suri teladan yagn baik bagimu ....... (QS. Al-Ahzab, 33:12). Menyibukkan diri dengan apa yang disunnahkan Rasulullah saw., baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaan diri beliau, lebih banyak dari yang kita kerahui. Maka, mengapa kita haurs membuat sunnah sendiri? Kita tidak boleh membebani umat ini lebih dari apa yang sudah ada.

17. WASIAT IHWAL MENUNAIKAN KEWAJIBAN ATAS HAK ALLAH

Hendaknya engkau menunaikan apa yang paling wajib dari hak Allah, yang engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun dalam bentuk syirik tersembunyi. Syirik tersembunyi adalah menyandarkan suatu kejadian pada sebab-sebabnya. Mempercayainya dengan hati, berarti bahwa hati menaruh kepercayaan kepadanya dan merasa tenang atasnya. Hal itu adalah musibah yang paling berat yang menimpa diri seorng Mukmin. Firman Allah SWT menunjukkan hal ini : Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutuka Allah (QS. Yusuf, 12 : 106), yaitu --- wallahu a’lam bihi – syirik tersembunyi yang menyertai keimanan kepada eksistensi Allah ini, dan pembatalan keimanan kepada keesaan (tauhid) dan perbuatan (af;al) Allah, bukan dalam trensendensi (uluhiyah)-Nya. Yang demikian itu adalah syirik yang jelas, yang membatalkan keimanan kepada keesaan Allah dalam tresedensi, dan bukan dalam keimanan kepada eksistensi Allah. Diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya? Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutuka-Nya dengan sesuatu apa pun.” Disebutkan di sini bahwa kata Syay’ (sesuatu apa pun) di sini berbentuk nakirah (yakni, menunjukkan kata benda tidak tertentu. Pen). Kata itu dapat menunjukkan syirik yang jelas maupun yang tersembunyi. Selanjutnya beliau bersabda : “Tahukah kamu, apakah hak mereka atas Allah, jika mereka beruat demikian? Adalah agar Dia tidak mengazab mereka.” Perhatikan sabda-nya : “ .... Agar Dia tidak mengazab mereka.” Karena jika mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah, sehingga mereka hanya memperhatikan kepada Allah saja. Jika mereka menyekutukan Allah dengan syirik yang bertentangan dengan Islam, atau syirik tersembunyi yang memandang sebab, sebabh kejadian, maka pasti Allah mengazab mereka disebabkan perbuatan mereka yang telah menyandarkan diri kepada hal itu, lantaran sebab-sebab kejadian itu akan hilang. Di dalam hal keyakinan kepada sebab-sebab kejadian itu, mereka akan diazab lantaran mereka tidak tahu apa yang hilang dan apa yang berkurang darinya. Jika mereka kehilangan sebab-sebab  kejadian itu, maka mereka tersiksa dengan kehilangan itu. Bagaimanapun juga, ,mereka tersiksa lantaran hilangnya sebab-sebab kejadian itu. Jika mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun dikarenakan sebab-sebab kejadian itu, maka mereka akan merasa tenang dan tidak peduli dengan hilang atau tetap adanya sebab-sebab kejadian itu. Barangsiapa bergantung kepada Allah, maka Dia mampu mendatangkan segala sesuatu yang tidak mereka duga, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS. Ath-Thalaq, 65 : 2-3). Sebagian ulama mengungkapkan hal itu dalam bentuk nazahm sebagai berikut :
Barangsiapa bertakwa kepada Allah
Dia berikan jalan keluar bagi urusannya.
Seperti tersebut dalam firman-Nya.
Diberi-Nya rezeki dari arah yang tak terduga-duga,
Dan jika ia susah, diberinya ia kelapangan.
Di antara tanda-tanda ketakwaan adalah : orang yang bertakwa kepada Allah diberi rezeki dari arah yang tidak terduga-duga. Jika rezeki itu datang dari tempat yang sudah diduga, maka hal itu tidak menunjukkan ketakwaan, dan tidak menunjukkan kebergantungan kepada Allah. Makna takwa di dalam sebagian aspeknya ialah bahwa engkau menjadikan Allah sebagai pelindung dari pengaruh sebab-sebab kejadian itu lantaran kepercayaanmu kepada-Nya. Manusia lebih mengetahui ihwal dirinya sendiri, orang yang lebih dipercayainya, dan keadaan yang bisa membuat dirinya tenang. Ia tidak mengatakan, “Allah telah memerintahkan kepadaku untuk berusaha mencari nafkah, dan Dia mewajibkan kepadaku untuk memberikan nafkah kepada mereka.” Ia harus bekerja keras menciptakan sebab-sebab yang biasanya menyebabkan Allah memberi rezeki kepada mereka. Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang telah aku kemukakan. Aku hanya mencegahmu agar jangan mempercayainya dalam hatimu, dan kemudian hatimu merasa tenang dengannya. Aku tidak mengatakan kepadamu, “Jangan lakukan hal itu.”
Aku telah tidur dengan mengikat wajahku. Kemudian aku bangun dan sadar serta melantunkan dua bait syair yang tidak ku ketahui sebelumnya :
Jangan percaya kecuali kepada Allah,
Segala sesuatu ada di tangan Allah.
Sebab-sebab adalah tabirnya.
Hendaknya engkau selalu bersama Allah.
Pandanglah dirimu. Jika engkau dapati hatimu merasa tenang dengan sebab-sebab kejadian itu, maka kemimananmu itu salah. Ketahuilah, engkau bukanlah orang yang demikian itu. Jika engkau dapati hatimu tenang bersama Allah, dan tidak berpengaruh bagimu ada dan tidak adanya sebab pertolongan yang lain, maka ketahuilah bahwa engkau adalah orang yang demikian itu, yang merasa tenteram dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Engkau termasuk golongan orang yang sedikit jumlahnya. Dia memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka. Itulah kabar gembira bagimu dari Allah bahwa engkau termasuk orang-orang yang bertakwa.
 Di antara rahasia ayat ini adalah bahwa ketika Allah memberikan rezeki kepadamu dari sebab yang biasanya terjadi, yang ada dalam khazanahmu dengan cara dan tindakmu, maka engkau adalah orang yang bertakwa. Artinya, engkau telah menjadikan Allah sebagai pelindung, karena Dia adalah Pelindung (al-waqi). Engkau diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Rezeki itu datang tidak dari arah yang engkau duga bahwa Allah akan memberikan rezeki kepadamu, melainkan berasal dari kerja tanganmu dan yang engkau peroleh. Dia memberikan rezeki kepadamu hanya dari arah yang tidak engkau duga, kendati engkau makan dan memperoleh rezeki itu dengan ranganmu sendiri. Ketahuilah, hal itu memiliki makna sangat dalam, yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (ahl al-muraqabah al-ilahiyah). Mereka adalah orang yang menjaga batin dan hati mereka. Perlindungan hatinya berasal dari Allah, yang mencegah hamba-Nya agar jangan sampai meyakini sebab-sebab kejadian itu, dengan cara  mempercayainya, selain juga percaya kepada Allah. Inilah makna firman-Nya : “Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.  Jalan keluar ketakwaan dalam ayat ini adalah wasiat Allah dan pemberitahuan tentangnya kepada hamba-Nya.

18. WASIAT IHWAL BERSIKAP RENDAH HATI

Wahai saudaraku, berhati-hatilah agar engkau jangan bersikap sombong atau tinggi hati di muka bumi. Biasakanlah bersikap rendah hati (tawadhu’). Jika Allah mengangkat kata-katamu, maka tidak ada yang paling tinggi selain kebenaran. Jika Dia menganugerahkan kepadamu ketinggain di dalam hati makhluk-Nya, maka hal itu kembali kepada-Nya. Kerendahan hati, kehinaan (dzillah), dan ketidakberdayaan melekat pada dirimu, karena engkau berasal dari tanah. Jangan merasa lebih tinggi dari tanah, karena tanah adalah ibumu. Barangsiapa berlaku sombong pada ibunya, maka ia telah mendurhakainya. Dan mendurhakai kedua orang tuda adalah haram. Kemudian, disebutkan di dalam hadis : “Adalah wajib atas Allah untuk tidak mengangkat sesuatu di dunia ini kecuali sesudah itu meletakkannya kembali.” Engkaulah sesuatu itu. Lihatlah di mana Allah menempatkanmu. Tidak ada yang dikhawatirkan pada diri orang yang memiliki sifat ini kecuali bahwa Allah menempatkannya di neraka. Jika sesuatu itu mengangkat dirinya, dan bukan karena Allah mengangkatnya, maka hal itu tidak kembali kepadanya. Hanya saja, ia harus meletakkan diri kepada Allah atas apa yang diberikan-Nya kepadanya berupa ketinggian di bumi dengan kepemimpinan (wilayah). Ia juga meski berkhidmat kepada-Nya, karena pintunya telah ditutupkan, dan kendaraannya pun diuruskan. Ian selalu memperhatikan kehambaan dan asal-usulnya, karena ia diciptakan dari kelemahan dan dari asal usulnya dengan kehinaan. Ia menyadari bahwa ketinggain itu hanyalah ada lantaran pangkat dan kedudukan saja, dan bukan lantaran dirinya. Jika ia kehilangan ketinggian itu, maka kepentingan yang diangkatnya tidak akan ada lagi pada dirinya serta berpindah pada orang yang ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan ituKetinggian itu disebabkan oleh kedudukannya, bukan oleh dirinya. Barangsiapa menginginkan ketinggain itu di muka bumi ini, maka yang demikian itu berarti bahwa ia menginginkan kepemimpinan. Tentang kempemimpinan, Rasulullah saw., bersabda : “Pada Hari Kiamat, yang demikian itu menimbulkan kerugian dan penyesalan.” Janganlah engkau termasuk  dalam golongan orang-orang jahil dan tidak berpengatahuan.
Yang aku wasiatkan kepadamu ialah hendaknya engkau tidak menginginkan ketinggian di bumi. Jika Allah meninggikanmu, janganlah engkau menuntut dari Allah kecuali bahwa engkau menjadikan dirimu sendiri sebagai pemilik kehinaan, ketenangan, dan kehusyukan. Hendaklah engkau tidak memperoleh hal itu kecuali bahwa Allah menjadi saksi atas dirimu, poros penciptaan dan perkara terbesar itu – tak lain dan tak bukan, adalah kedudukan penyaksian (maqam asy-syuhud) yang telah sampai kepadamu.kedudukan ini adalah wujud yang dicari.

19. WASIAT IHWAL MANDI PADA SETIAP HARI JUMAT

Hendaklah engkau mandi pada setiap hari Jumat. Lakukanlah hal itu sebelum engkau pergi menunaikan salat Jumat. Ketika mandi, niatkanlah bahwa engkau akan menunaikan suatu kewajiban. Yang ini diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih : “Mandi pada hari Jumat adalah kewajiban bagi setiap orang Muslim.” Juga diriwayatkan dari Rasulullah saw. : “Hak atas setiap orang Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari.” Gabungan dari dua hadis itu adalah mandi pada hari Jumat, karena Allah menciptakan tujuh hari. Di antaranya adalah hari Jumat. Jika hari Jumat berlalu dan hari-hari silih berganti, maka yang demikian itu adalah pergantian yang baru. Suatu pergantian tidak berlalu dari dirimu kecuali dari kesucian yang engkau perbaraui. Di dalam hal ini terdapat pemuliaan, penyucian dan pembersihan atas dirimu, seperti halnya bersiwak : “Bersiwak itu menyucikan mulut dan diridhai oleh Tuhan.” Demikian pula, mandi pada satu minggu menyucikan tubuh dan diridhai oleh Tuhan. Artinya, sang hamba melakukan perbuatan yagn diridhai oleh Allah. Karena Allah memerintahkan demikian, maka Dia memberikan balasan setimpal bagi pelaksanaan perintah-Nya.
                                                            
20. WASIAT IHWAL MENINGGALKAN PERDEBATAN DALAM MASLAAH AGAMA

Berhati-hatilah engkau jangan sampai berdebat dalam suatu perkara agama. Sebab, engkau tidak luput dari salah satu dari dua hal : entah engkau benar atau salah, sebagaimana yang dilakukan para ulama-fiqih (fuqaha’) zaman kita kini di majelis-majelis perdebatan mereka. Mereka meniatkan hal itu untuk memperbaiki pendapat-pendapat mereka. Kadang-kadang sang pendebat itu mewajibkan aatas dirinya suatu mazhab yang tidak diyakini dan ucapan yang tidak disukai, yang digunakannnya untuk mendebat pemilik kebenaran yang meyakini bahwa itu adalah benar. Kemudian ia membohongi dirinya dengan mengatakan : “Hal itu kami lakukan untuk memperbaiki pendapat, bukan untuk membela yang salah.” Ia tidak menyadari bahwa Allah berada pada lisan setiap orang yang berbicara. Jika orang awam mendengar perkataannya yang salah dan mengalahkan orang yang benar – dan, dalam pandangannya, ia seorang faqih – maka orang awam yagn mengikutinya  itu, mengamalkan perkataan yang salah, karena ia melihat bahwa perkataan itu dapat mengalahkan orang yang benar, dan orang yang benar tidak mampu melawannya. Maka, dosa senantiasa melekat apda dirinya selama orang yang mendengar itu mengamalkan apa yang didengar darinya. Karena itu, diungkapkan dalam sebuah hadis dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Aku jamin dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walau pun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, walau pun dalam bergurau.” Apalagi perdebatan dalam kesalahan. Rasulullah saw., pernah bergurau, tetapi beliau hanya mengatakan kebenaran saja.

21. WASIAT IHWAL BERAKHLAK BAIK DAN MENCARI KEMULIAANNYA

Hendaklah engkau berakhlak yang baik, mengambil kemuliaannya, dan menjauhi yang buruknya. Rasulullah saw, bersabda : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Beliau telah memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tempat yang paling tinggi di surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya. Ketika akhlak yang baik itu merupakan ungkapan dalam perbuatanmu dalam menjalin hubungan dan pergaulan bersama orang yang beruat dusta, maka engkau tahu bahwa tujuan-tujuan makhluk itu saling bertolak belakang. Jika ia menyukai si anu, maka dia membenci seseorang yang menjadi musuhnya. Tidak bisa tidak, keadaannya pasti demikian. Mustahil engkau bisa menyukai seluruh makhluk dengan akhlak mulia. Ketika kita melihat bahwa permasalahan sampai pada batas ini, maka Allah memasukkan diri-Nya dalam persahabatan bersama hamba-hamba-Nya, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata kepada Tuhannya : “Engkaulah sahabat (ash-shahib) dalam perjalanan dan pengganti ( al-khalifah) bagi keluarga yang ditinggalkan.” Allah SWT berfirman : “Dia bersamamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid, 57:4), dan juga : Ketika ia berkata kepada sahabatnya, :Janganlah kamu berduka cita. Sesungguhnya Allah bersama kita,.” (QS. At-Tawbah, 9 :40). Dia juga berfirman : “Sesungguhnya Aku bersma kamu berdua. Aku mendengar dan melihat (QS. Thaha, 20:47). Kukatakan bahwa janganlah engkau membuat kemuliaan akhlak kecuali dalam persahabatan dengan Allah secara khusus. Karena itu, lakukanlah segala sesuatu yang diridhai Allah, dan jauhilah segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya, entah pergaulan dan akhlak yang bersifat khusus di sisi Allah, atau dalam hubungannya dengan orang lain, maka yang demikian itu diridhai oleh Allah, entah engkau menyukai orang itu ataupun tidak. Sebab, jika dia seorang Mukmin, maka dia senang kepada apa yang diridhai oleh Allah. Akan tetapi, jika ia adalah musuh Allah, maka kita tidak usah memberikan penghargaan kepadanya. Allah berfirman  : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara (QS. Al-Hujarat, 49:10) dan juga : “Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita Muhammad) karena rasa kasih sayang (QS. Al-Mujadilah, 58:1). Akhlak mulia hanya ada pada apa yang diridhai oleh Allah. Janganlah kamu melakukannya kecuali bersama Allah, entah itu ditujukan kepada makhluk maupun segala sesuatu yang bersifat khusus di sisi Allah. Barangsiapa menjaga apa yang ada di sisi Allah, maka seluruh kaum Mukmin dan ahl-adz-dzimmah (orang-orang non Muslim yang di bawah perlindungan pemerintahan Islam. Pen) bakal memperoleh manfaat darinya. Allah memiliki hak atas setiap orang Mukmin dalam pergaulannya dengan setiap makhluk Allah secara mutlak dari setiap kelompok malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan benda-benda mati. Mukmin maupun non Mukmin. Aku telah menyebutkan hal itu dalam Risalah al-Akhlaq, yang kutulis untuk saudara-saudara kita (pada 591 H). Itu merupakan bagian yang menarik dan unik maknanya. Di situ disebutkan pergaulan seluruh makhluk dengan akhlak mulia yang sepatutnya. Akhlak mulia didasarkan pada keadaan orang yang melakukannya, di mana dan dengan siapa. Ini sudah lumrah dan umum sifatnya. Rincian dan penjelasannya engkau jumpai dalam kenyataan. Perhatikanlah, Allah memberikan petunjuk kepada segala sesuatu yang bisa engkau hitung kendati sangat panjang deretannya. Tidak ada Tuhan selain Allah. Demikian pula, hendaklah engkau menjauhi akhlak tercela. Engkau tidak mengetahui mana akhlak mulia dan mana akhlak tercela, kecuali setelah engkau mengetahui kecenderungannya. Jika engkau sudah mengetahui kecenderungannya, maka engkau akan mengetahui mana akhlak mulia dan mana akhlak tercela. Inilah ilmu yang terpendam. Ilmu tentang kecenderungan akhlak ini tidak akan hilang darimu. Hanya saja, ilmu ini akan berubah seiring dengan berubahnya keadan.

22. WASIAT IHWAL HIJRAH DAN TIDAK TINGGAL BERSAMA ORANG-ORANG KAFIR

Hendaklah engkau hijrah, dan jangan tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir. Hal itu akan merusak agama Islam dan meninggalkan kalimat kekufuran di atas kalimat Allah. Allah memerintahkan perang hanya agar kalimat Allah menjadi paling tinggi dan kalimat orang-orang kafir menjadi paling rendah. Barhati-hatilah engkau agar jangan tinggal dan masuk dalam jaminan orang kafir, semampumu. Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir  -- padahal ia mampu keluar dari lingkungan mereka – tidak memiliki keberuntungan dalam Islam. Rasulullah saw., telah berlepas diri dari mereka, padahal beliau tidak berlepas diri dari siapa pun. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda : “Aku berelepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik.” Ia tidak menghargai kalimat Islam. Allah SWT berfirman mengenai orang yang mati, sementara ia berada di tengah-tengah orang-orang musyrik : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malakat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya kepada mereka : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di muka bumi.” Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah luas dan lapang berhijrah di dalamnya?” Maka, orang-orang demikian itu tempatnya adalah neraka Jahanam ---- seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa, 4:97). Karena itu. Di zaman kita ini, aku melarang manusia agar tidak mengunjungi Bayt al-Muqaddas dan tinggal di sekitarnya. Sebab, tempat itu berada di tangan orang-orang kafir. Wilayah itu adalah milik mereka dan yang berhak menguasainya adalah kaum Muslimin. Kaum Muslim yang hidup bersama mereka berada dalam seburuk-buruk keadaan – kita berlindung dari pengusaan hawa nafsu. Para peziarah ke Bayt al-Muqaddas pada saat ini dan di antara kaum Muslim yang tinggal di tempat itu termasuk orang-orang yang disebutkan Allah di dalam firman-Nya : Orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi, 18 : 104). Demikian pula, pembebasannya membuat putus asa setiap makhluk yang tercela menurut syariat. Allah telah menjamin pembebasan itu di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Rasulullah saw.

23. WASIAT IHWAL MENGAMALKAN ILMU DALAM SELURUH GERAK DAN DIAM

Hendaknya engkau mengamalkan ilmu dalam gerak dan diammu. Kedermawanan sempurna adalah kedermawanan orang yang mendermakan ilmu kepada dirinya. Dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah atas dirinya, ia mengetahui, mengamalkan, dan mengajari orang yang belum tahu. Rasulullah saw., memuji orang yang memperoleh ilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya. Beliau mencela orang yang sebaliknya dari itu. Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Perumpamaan dari apa yang karenanya Allah mengutusku berupa petunujuk dan ilmu adalah seperti hujan yang jatuh ke tanah. Di antaranya, ada tanah yang dapat menerima air hujan. Maka tumbuhlah rerumputan yang banyak di atasnya. Ada pula tanah yang keras dan dapat menahan air. Maka Allah pun memberikan manfaat kepada manusia. Dari tempat itu, mereka mengambil air minum, mengairi tanahnya, dan bercocok tanam. Dan sebagian air hujan itu menimpa tanah yang curam, yang tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rerumputan. Seperti itulah orang yang memahami agama Allah. Allah memberinya manfaat dari apa yang karenanya aku diutus. Maka, ia mengetahui, beramal dan mengajar. Dan perumpamaan orang yang tidak melakukan itu adalah seperti tanah yang curam dan tidak mampu menahan air serta tidak dapat menumbuhkan rerumputan.” Wahai Saudaraku, jadilah orang yang berilmu dan beramal. Dan janganlah engkau menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beramal. Sebab, engkau akan menjadi seperti pelita atau lilin. Engkau terangi manusia, sedangkan dirimu sendiri terbakar. Jika engkau berilmu, maka Allah memberimu pemisah antara kebaikan dan keburukan (al-furqan) serta cahaya . pengamalannya akan memberimu ilmu lain yang tidak pernah engkau ketahui berupa ilmu tentang Allah dan memberimu manfaat di sisi Allah pada akhir hayatmu. Maka bersungguh-sungguhlah untuk menjadi ulama yang beramal (al-‘’amilin),dan memberi petunjuk (al-musrsyidin).

24. WASIAT IHWAL MENYEBARKAN SALAM KEPADA HAMBA-HAMBA ALLAH

Hendaklah engkau mencintai hamba-hamba Allah dari kalangan kaum Mukmin dengan menyebarkan salam, menghidangkan makanan, dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Ketahuilah bahwa orang-orang Mukmin itu disatukan oleh satu jasad seperti seorang manusia. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh lainnya merasakan demam. Demikian pula halnya dengan seorang Mukmin. Jika saduaranya sesama Mukmin  mendapat musibah, maka musibah itu seakan menimpa dirinya. Dia merasakan sakit yang diderita saudaranya itu. Jika seorang Mukmin tidak melakukan hal itu pada seorang Mukmin lainnya, maka sama sekali tidak ada persaudaraan dalam keimanan di antara mereka. Allah telah mempersaudarakan kaum Mikmin sebagaimana Dia telah mempersaudarakan anggota-anggota tubuh manusia. Dengan demikian, benarlah perumpamaan dari Nabi saw., dalam sebuah hadis. Beliau bersabda : “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang di antara sesama mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya menderita sakit, maka anggota-anggota tubuh lainnya merasakan demam dan tidak dapat tidur.” Ketahuilah bahwa seorang Mukmin sangat memperhatikan saudaranya. Al-Mu’min adalah salah satu dari nama Allah berikut apa yang ada padanya di antara makhluk-Nya berdasarkan bentuk berlakunya nasab. Seorang Mukmin adalah saudara bagi seorang Mukmin lainnya. Ia tidak menundukkan dan tidak menelantarkannya. Barangsiapa beriman kepada Allah – karena Allah juga adalah Al-Mu’min – maka segenap perbuatan, ucapan dan hal ihwalnya  bisa dipercaya. Inilah ‘ishmah. Karena Allah adalah Al-Mu’min, maka Dia benar dalam hal ini. Allah hanya mempercayai orang-orang orang-orang yang benar.  Mustahil Allah mempercayai seorang pendusta, karena Allah pun mustahil berdusta. Tidak diragukan lagi, mempercayai dusta adalah dusta juga. Barangsiapa mempunyai keimanan yang benar kepada Allah – karena Allah juga  adalah Al-Mu’min – maka tidak diragukan lagi bahwa sang hamba itu termasuk orang-orang yang benar (al-shiddiqin) dalam segala urusannya dengan Allah, karena ia meyakini bahwa Allah juga percaya kepadanya. Perhatikanlah apa yang aku tunjukkkan dan aku wasiatkan tentang keimanan kepada Allah, karena Allah adalah Al-Mu’min. Ambillah manfaat darinya. Tidak kuperlihatkan kepadamu jalan yang akan mengantarkan kepada hal itu. Berpegang teguhlah kepada Allah. Barangsiapa berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan lurus (QS. Alu ‘Imran, 3:101). Sesungguhnya Allah berada di atas jalan yang lurus. Tak lain dan tak bukan, inilah yang telah disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.

25. WASIAT IHWAL TIDAK MERASA SUSAH ATAS MUSIBAH

Janganlah engkau merasa susah mengenai musibah yang Allah timpakan atas hartamu. Barangsiapa di antara keluargamu menyusahkanmu dengan apa yang dalam kehidupan sehari-hari dinamakan musibah, maka ucapkanlah : “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un --. Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali” (QS. Al-Baqarah, 2:156) ketika musibah itu menimpamu. Dan ketika itu katakanlah seperti apa yang diucapkan ‘Umar bin Al-Khaththab r.a “Tidak menimpaku suatu musibah kecuali kau melihat bahwa dalam hal itu Allah memberiku tiga macam kenikmatan. Kenikmatan pertama ialah karena musibah itu terjadi bukan dalam agamaku. Kenikmatan kedua ialah karena yang terjadi bukanlah musibah yang lebih besar dari musibah sebelumnya. Kenikmatan ketiga ialah bahwa dalam hal itu, Allah tidak mengharuskan kepadaku membayar kifarat.” Karena itu, kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan amalan kita. Ketahuilah bahwa seorang Mukmin di dunia ini banyak mendapat musibah, karena Allah senang menyucikannya sehingga ia kembali kepada-Nya dalam keadaan suci dan disucikan dari kotoran kemaksiatan-kemaksiatan yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk menentangnya. Seorang Mukmin senantiasa ditimpa musibah dalam ihwalnya yang biasa. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw., mengungkapkan hal itu : “Perumpamaan seorang Mukmin, adalah seperti tumbuhan al-khamah, yang bergoyang diterpa angin, kadang tegak dan kadang miring.”

26. WASIAT IHWAL MEMBACA DAN MENGKAJI AL-QURAN

Hendeaklah engkau membaca Al-Quran dan mengkajinya. Di saat engkau mengkajinya, perhatikanlah sifat-sifat terpuji yang Allah sifatkan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Hendaklah engkau juga memiliki sifat-sifat seperti itu. Dan perhatikan pula sifat-sifat yang dicela Allah dalam Al-Quran yang dinisbatkan-Nya kepada orang yang dibenci-Nya. Karenanya, jauhilah sifat-sifat itu. Allah menyebutkan sifat-sifat itu kepadamu di dalam kitab-Nya serta mengenalkannya kepadamu hanya agar engkau seperti apa yang terdapat di dalamnya. Berusahalah untuk menghafalnya dengan mengamalkannya sebagaimana engkau menghafalnya melalui pembacaan. Tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Kiamat ketimbang orang yang menghafal satu ayat dari Kitab Allah dan kemudian ia melupakannya. Demikian pula halnya dengan orang yang menghafal satu ayat Al-Quran dan tidak mengamalkannya. Maka, pada Hari Kiamat kelak, ayat itu menjadi saksi atas dirinya dan menjadikannya menyesal. Rasulullah saw/. Mengngkapkan ikhwal orang yang membaca Al-Quran dan orang yang tidak membacanya dari kalangan orang-orang beriman Mukmin dan kaum munafik. Beliau besabda : “Perumpamaan seorang Mukmin yang membaca Al-Quran adalah seperti jeruk sitrun berbau harum.” Yang dimaksudkan di sini adalah tilawah dan qira’ah, dan itu adalah napas-napas yang keluar. Hal itu diibaratkan dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh napas “ ..... Dan lezatnya.” Yang dimaksudkan adalah keimanan. Karena ini, beliau bersabda : “Orang yang ridha bahwa Allah adalah Tuhannya, Islam adalah agamanya, dan Muhammad saw., adalah Nabinya merasakan lezatnya keimanan.” Maka, kelezatan dinisbahkan pada keimanan. Kemudian beliau bersabda : “Perumpamaan seorang Mukminyang tidak membaca Al-Quran adalah seperti kurma yang lezat rasanya.” Karena seorang Mukmin memiliki keimanan,” .... tetapi tidak berbau harum.” Karena ia bukan pembaca dalam keadaan seperti orang yang membaca, walaupun ia termasuk dalam golongan orang-orang yang menghafal Al-Quran. Selanjutnya beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafikk yang membaca Al-Quran adalah seperti kasturi berbau harum.” Sebab Al-quran itu harum, yang tak lain dan tak bukan adalah napas yang keluar ketika seseorang mambaca  Al-Quran.” .... tetapi pahit rasanya.” Karena kemunafikan adalah kekufuran tersembunyi, padahal manisnya keimanan ialah dengan merasakan kelezatan keimanan itu. Kemudian beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah labu yang pahit rasanya dan tidak memiliki bau yang harum.” Karena memang ia bukan pembaca Al-Quran. Dari sisi ini, di dalam setiap perkataan yang baik terdapat ridha Allah. Keridhaan seorang Mukmin dan seorang munafik berbentuk Al-Quran di dalam perumpamaan ini, meskipun kedudukan Al-Quran tidak tersembunyi. Tidak ada satu ucapan pun yang mendekati Allah bisa menyerupai kalam Allah. Karena itu, orang yang melantunkan zikir, ketika berzikir kepada Allah, hendaknya menyertakan zikir-zikir yang termuat di dalam Al-Quran. Dengan zikir itu, ia menyebut Nama Allah. Yang demikian ini dimaksudkan agar ia membaca Al-Quran di dalam zikirnya. Apabila ia membaca Al-Quran, maka ia menjadi peniru zikir yang dengannya Allah menyebut Zat-Nya. Jika demikian halnya, maka ia telah menyetarakan dirinya dalam kedudukan Tuhannya. Allah SWT berfirman : “Maka lindungilah ia sehingga dapat mendengar firman Allah (QS. At-Taubah, 9:6). Juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah berfirman melalui lisan hamba-Nya, Sami’allahu li man hamidahu --- Allah mendengar orang yang memuji-Nya.” Dan dikatakan kepada pembaca Al-Quran pada Hari Kiamat : “Bacalah dan naiklah.” Kenaikannya di dunia pada hari-hari taklif (ayyam at taklif) dalam bacaannya berarti ia naik dari bacaannya menuju bacaan-Nya, karena Allah lah yang membaca melalui lisan hamba-Nya – persis sebagaimana Dia menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya  ia melihat, menjadi kedua tangannya yagn dengannya ia bertindak, dan menjadi kedua kakinya yang dengannya ia berjalan dan berlari. Begitu pula, Dia adalah lisannya yang dengannya ia berbicara. Ia tidak memuji Allah, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya dengan apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sebab Al-Quran memang dijadikan untuk itu. Dia naik dari bacaannya sendiri menuju menuju bacaan Tuhannya. Maka, Allah lah yang membaca Kitab-Nya. Pada Hari Kiamat, ia naik pada ayat Al-Quran yang terakhir dibacanya, dan ia berdiri di situ hingga sampai pada derajat yang sesuai dengan ayat itu, yang dibaca oleh Allah melalui lisan hamba-Nya ini dengan kehadiran hamba-Nya yang membacanya. Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah yang khusus dan dikenal.

27. WASIAT IHWAL DUDUK BERSAMA ORANG YANG MENGAMBIL MANFAAT DARI PERCAKAPANNYA DALAM MASALAH AGAMA

Hendaklah engkau duduk bersama orang yang majelisnya bermanfaat dalam agamamu berupa ilmu, amal dan akhlak mulia yang engkau peroleh manfaatnya. Jika manusia duduk bersama orang yang majelisnya mengingatkan dirinya akan hari akhirat, maka ia mesti meraskan manisnya dalam kadar yang Allah berikan kedadamu. Jika teman  duduknya adalah ini, maka ia menjadikan Allah sebagai teman duduknya untuk berzikir. Zikir dengan Al-Quran adalah sebaik-baik zikir. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan adz-dzikr (QS. Al-Hijr, 15:9). Adz-Dzikr adalah Al-Quran. Dan firman-Nya : “Aku adalah teman duduk bagi orang-orang yang berzikir kepada-Ku.” Rasulullah saw., bersabda : “Mereka – ahli Al-Quran – adalah pengikut Allah dan kepercayaan-Nya.” Dan para malaikat pilihan adalah teman duduknya dalam sebagian besar keadaannya. Allah memiliki akhlak, yaitu al-asma’ al-husna al-ilahiyah” (Nama-nama Indah Allah). Barangsiapa menjadikan Allah  sebagai teman duduknya, maka ia menjadi kekasih Allah. Ia pasti memperoleh kemuliaan akhlaknya selama dalam majelisnya itu. Barangsiapa duduk pada suatu kaum yang berzikir kepada Allah, maka Allah menjadikannya bersama mereka dalam memperoleh rahmat-Nya. Mereka adalah orang-orang yang teman duduknya tidak menyebabkan diri mereka celaka. Mana mungkin orang yang menjadikan Allah sebagai teman duduknya bisa celaka? Disebutkan di dalam sebuah hadis : “Teman duduk yang saleh adalah seperti pemilik minyak wangi. Kendati engkau tidak mendapatkan minyaknya, tak urung engkau mendapatkan wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jahat adalah seperti pemilik perapian. Kendati engkau tidak mendapat percikan api, tak urung engkau mendapat asapnya.” Karena itu, orang yang bergaul dengan orang-orang yang ragu-ragu akan menjadi ragu-ragu juga, lantaran kebanyakan manusia  berburuk sangka kepada orang lain ihwal kejelekan batin mereka. Di sini ada faedah yang aku ingatkan kepadamu, yang telah dilalaikan manusia – yaitu, jika engkau melihat orang yang bergaul dengan orang-orang jahat dan ia bersikap baik kepadamu, janganlah engkau berburuk sangka  kepadanya disebabkan persahabatannya dengan orang-orang jhat itu. Bahkan hendaknya engkau berbaik sangka kepada orang-orang yang jahat itu disebabkan oleh persahabatannya dengan orang baik itu. Hubungkanlah mereka itu dengan kebaikan, dan jangan hubungkan dengan kejahatan, sebab – pada Hari Kiamat kelak – Allah tidak menanyai seseorang ihwal prasangka baiknya kepada makhluk. Dia hanya akan menanyainya ihwal prasangka buruknya kepada makhluk. Cukuplah sduah nasihat dan wasiat ini bagimu jika engkau memang mau menerima dan mengetahuinya. Hati orang yang berzikir kepada Tuhannya selalu bertautan dengan kematian dan tidak pernah terputus. Ia tetap hidup – meskipun sudah mati – dengan kehidupan yang baik dan lebih sempurna ketimbang kehidupan seorang yang gugur di jalan Allah. Akan tetapi, orang yang gugur di jalan Allah berada di antara golongan orang-orang yagn syahid dan kehdiupan orang yang senantiasa berzikir kepada Allah. Orang yang senantiasa berzikir kepada Allah tetap hidup, meskipun ia sudah mati. Sebaliknya, orang yang tidak berzikir kepada Allah sesungguhnya sudah mati, kendati di dunia ini ia masih hidup, sebab ia hidup dengan kehidupan hewani.  Seluruh isi alam ini hidup dengan kehidupan zikir. Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan yang tidak berzikir kepada-Nya adalah seperti orang hidup dan orang mati. Demikian Rasulullah saw., memberikan perumpamaan. Yang kumaksudkan dalam wasiatku kepadamu tentang zikir ini ialah bahwa seorang yang berzikir kepada Allah lebih utama ketimbang seorang syahid yang tidak berzikir kepada-Nya. Ketika diriwayatkan sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw., yang berbunyi : “Maukah aku katakan kepadamu ...?” Atau seperti sabdanya : “Mana yang lebih baik bagimu bila engkau bertemu dengan musuh-musuhmu --- mereka memukul kudukmu atau engkau memukul kuduk mereka? (yang lebih baik) adalah zikir kepada Allah.” Beliau menyebutkan pemukulan kuduk sebagai syahadah (keyakinan). Zikir seorang hamba kepada Tuhannya lebih utama ketimbang gugurnya seorang syahid. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang berzikir kepada Allah sesungguhnya tetap hidup. Dari riwayat itu dipahami bahwa kehidupan seorang yang berzikir kepada Allah lebih baik ketimbang kehidupan seorang syahid yang tidak berzikir kedapa-Nya.

28. WASIAT IHWAL MENEGAKKAN HUKUM ALLAH ATAS DIRI SENDIRI

Hendaklah engkau menegakkan hukum (hudud) Allah atas dirimu sendiri dan atas orang-orang yang berada di bawah kekuasaanmu, karena engkau akan diminta pertanggunganjawab oleh Allah tentang hal itu. Jika engkau memiliki kekuasaan, pastikan engkau dapat menegakkan hukum Allah atas orang yang Allah kuasakan kepadamu. Kullukum ra’in wa mas’ulun ‘an ra’iyatihi – kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai petanggunjawaban atas kepemimpinannya. Yang demikian itu, tak lain dan tak bukan, berarti menegakkan hukum Allah kepada diri mereka. Sekurang-kurangnya, kepemimpinan itu adalah kepemimpinanmu atas dirimu sendiri dan segenap anggota tubuhmu. Tegakkan hukum Allah atas dirimu hingga atas kekuasaan yang paling besar. Engkau adalah wakil Allah atas segala hal dalam dirimu dan bahkan lebih besar dari itu. Sebuah hadis meriwayatkan ihwal seorang yang menegakkan hukum Allah dan yang menentangnya. Rasulullah saw., memberikan perumpamaan mengenai keduanya : “Sekelompok orang menaiki sebuah bahtera. Sebagian menempati bagian atas dan sebagian lainnya menempati bagian bawah. Orang-orang yang berada di bawah, jika ingin minum, harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas. Lau, mereka mengatakan, ‘Kita buat saja lubang pada tempat kita agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas kita. Jika engkau membiarkan mereka melakukan apa yang mereka kehendaki; pasti binasalah mereka semua.
Wahai kekasihku, jika seorang pemberi peringatan mengingatkan dan memerintahkanmu untuk berbuat kebaikan, maka yang demikian itu adalah langkah malaikat. Kemudian, sesudah itu, datanglah pemberi peringatan yang lain. Ia mencegahmu berbuat kebaikan, maka yang demikian itu adalah langkah setan. Engkau bisa mengetahui kebaikan dan kejahatan hanya dengan mengetahui syariat. Jika seorang pemberi peringatan memperingatkanmu dan ia memerintahkanmu untuk berbuat kejahatan, maka yang demikian itu adalah langkah setan. Jika kemudian datang pemberi peringatan dan ia mencegahmu beruat kejahatan, maka yang demikian itu adalah langkah malaikat. Engkau ibarat bahtera. Jika bahtera itu dilubangi, maka binasalah seluruh yang ada pada dirimu. Hendaklah engkau mengetahui syariat. Engkau tidak akan mengetahui hukum-hukum Allah kecuali sesudah menegakkannya, dan tidak mengenali orang yang menentangnya di antara orang-orang yang menegakkannya kecuali setelah mereka mengetahui syariat. Pastikan dirimu menuntuk ilmu syariat agar bisa menegakkan hukum-hukum Allah.

29. WASIAT IHWAL SEDEKAH DAN ORANG-ORANG YANG BERSEDEKAH

Hendaklah engkau bersedekah, karena Allah telah menyebutkan orang-orang yang bersedekah, baik laki-laki atau perempuan. Ada sedekah wajib dan sedekah sunat. Termasuk sedekah wajib adalah zakat, dan sedekah sunat adalah sedekah yang dikeluarkan secara sukarela.  Sedekah wajib menghilangkan sifat bakhil dari dirimu, dan sedekah sunat mengantarkanmu pada derajat paling tinggi. Dengan sedekah, engkau dibalur dengan sifat-sifat kemuliaan dan kedermawanan. Waspadalah dan berhat-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan.
Kemudian, di dalam hartamu, terdapat kewajiban tambahan selain zakat yang diwajibkan. Jika engkau melihat saudaramu dalam kesusahan dan engkau tidak memberikan kelebihan dari hartamu kepadanya, maka ia dan keluarganya akan binasa, sekiranya ia memiliki keluarga atau memang sendirian. Pastikan engkau menolongnya dengan memberikan sebagian dari hartamu, entah dalam bentuk hibah atau berupa pinjaman. Engkau harus memberinya. Pemberian itu adalah sedekah. Aku pernah mendengar sebagian ulama kita di Sevilla (sebuah kota di Andalusia atau Spanyol Muslim. Pen) menuturkan sebuah hadis : “Apakah ada yang lainnya?”
 -- yaitu selain zakat yang dwajibkan. “Rasulullah saw., menjawab (Tidak ada) kecujali (yang engkau keluarkan) secara sukarela.”  Ahli fiqih itu berkata kepadaku, “Maka, yang demikian itu wajib  atas dirimu.” Aku membenarkannya. Allah menamai manusia sebagai mutashaddiq (yang memberi sedekah) dan menamai pemberian itu sebagai shidqah(sedekah), yang wajib maupun yang sunah, lantaran ia memberikannya kesengsaraan  atas dirinya. Pada mulanya dan asal-usul kejadiannya, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan berkeluh kesah. Jika mendapatkan kesengsaraan, ia gelisah, dan jika  memperoleh kebaikan, ia kikir lantaran berwatak bakhil. Mengani orang ini Allah SWT berfiman : “Dan manakala mendapat kebaikan, ia amat kikir (QS. Al-Ma’arij, 70:21). Tentang keutamaan sedekah dan waktu mengeluarkannya, Rasulullah saw., bersabda : “Hendaklah engkau bersedekah di saat engkau dalam keadaan bakhil lantaran takut mendapati kefakiran dan mengangankan kehidupan serta kekayaan.” Allah Swt berfirman : “Dan barangssiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr, 59:9) dan QS At-Taghabun, 64:16), yaitu, mereka yang selamat. Sebab, jika manusia memiliki kekayaan dan mengangankan kehidupan, maka ia akan takut menghadapi kefakiran dan kehilangan harta yang digenggamnya karena pengaruh waktu dan angan-angannya sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya bersikap bakhil atas harta yang dimilikinya, tidak mau bersedekah, dan tidak memberikan kebaikan yang telah Allah neugerahkan kepadanya atas orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Karena itu, ia menimbun hartanya, tidak menginfakkannya, dan tidak pula menunaikan zakatnya yang – disebabkan oleh harta itu pula – perut, dahi dan punggungnya bakal disetrika, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah tentang mereka. Pada hari emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam. Lalu disetrika dengannya dahi-dahi mereka, perut, dan punggung mereka, dan (kemudian dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dan) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Tawbah, 9:35). Ketika ia menahan hak yang wajib darinya berupa zakat dan pinjaman, maka – disebabkan pentingnya – pemberian ini pun dinamakan sedekah. Bahkan dikatakan, rumhshidq, yaitu tulang punggung. Rasulullah saw., membuat perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah : “Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah itu ibarat dua orang yang memiliki jubah dari besi yang merusakkan kedua tangan hingga lehernya.” Setiap kali orang yang suka bersedekah memberikan sedekah, jubahnya pun mengembang hingga menutup jari-jarinya dan menghapus bekasnya. Dan setiap kali orang yang bakhil itu terpaksa memberikan sedekah, maka setiap lingkaran pun mengerut dan mengambil tempatnya.
Berhati-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan, karena kebakhilan itu menjatuhkanmu dan menyeretmu ke lembah kebinasaan di dunia dan di akhirat. Kebakhilan itu tidak membuatmu mulia dan dipercaya kecuali dengan menggunakan ilmu. Jika engkau mengetahui bahwa rezekimu tidak dimakan  dan tidak dapat menghidupi orang lain, kendati penghuni langit dan bumi berkumpul untuk menghalangi  antara engkau dan rezekimu, niscaya mereka tidak akan mampu. Jika engkau mengetahui bahwa rezeki orang lain berada dalam kekuasaanmu, hendaklah engkau menyerahkan kepadanya sehingga ia bisa makan dan dapat hidup dengannya. Jika penghuni langit dan bumi berkumpul untuk menghalangi orang itu dari rezeki yang ada dalam penguasaanmu, maka mereka tidak akan mampu. Serahkanlah hartanya kepadanya, jika pemberi peringatan mengingatkanmu untuk bersedekah. Dengan begitu, engkau memiliki sifat kemuliaan dan pujian yang baik. Engkau hanya memberikan kepadanya apa yang menjadi miliknya berupa hak di sisi Allah, dan engkau pun terpuji. Jika engkau mengetahui hal ini, maka mudah bagimu untuk mengeluarkan apa yang engkau miliki. Dengan berbuat demikian, engkau menjadi orang mulia dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang suka bersedekah. Jika engkau mengeluarkannya dengan keraguan dan dengan susah payah, dan dirimu mengikutinya, maka dengan itu engkau melihat bahwa engkau memiliki keutamaan atas orang yang engkau beri ketenangan. Berhati-hatilah engkau agar jangan bersikap masa bodoh dalam menghadapi seseorang, sebagaimana engkau suka agar orang lain pun tidak bersikap masa bodoh kepadamu. Di dalam ta’awudz-nya, Rasulullah saw., bersabda : “Dan aku berlindung kepada-Mu dari tidak mengetahui dan tidak diketahui.” Barangsiapa bertindak kepadamu dengan ilmu, maka ia telah berlaku adil kepadamu.

30. WASIAT IHWAL JIHAD AKBAR

Hendaklah engkau melakukan jihad paling besar (al-jihad al-akbar), yaitu jihad melawan hawa nafsumu sendiri, karena hawa nafsu adalah musuhmu yang paling besar dan paling dekat  mengelilingimu. Ia ada di dalam dirimu. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitarmu (QS. At-Tawbah, 9:123). Tidak ada yang paling keras kekufurannya kepada dirimu selain hawa nafsumu. Ia ada dalam setiap tarikan nafas yang keluar, dan mengingkari nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau berjihad melawan dirimu sendiri dengan jihad yang dapat membebaskanmu ini, maka inilah jihad terakhir melawan musuh-musuhmu. Jika engkau terbunuh dalam jihad ini, maka engkau termasuk di antara para syuhada’ yang hidup dan memperoleh rezeki di sisi Tuhan mereka. Mereka senang dengan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa karunia-Nya, dan mereka memperoleh kabar gembira tentang orang-orang yang akan menyusul mereka di belakang mereka. Engkau telah mengetahui keutamaan mujahid ( orang yang berjihad) di jalan Allah, yang berjihad hingga kembali kepada keluarganya dengan membawa apa yang diperoleh berupa ganjaran atau ghanimah (harta rampasan perang. Pen). Ia seperti orang yang berpuasa, menegakkan salat malam, dan berqunut dengan ayat-ayat Allah, yang tidak pernah berhenti dari salatnya dan tidak pula berhenti dari puasanya hingga sang mujahid itu kembali. Engkau mengetahui di dalam hadis sahih bahwa puasa itu tidak ada bandignannya. Jihad telah menempati kedudukan puasa dan salat itu. Hal ini telah diriwayatkan dari Rasulullah swa. Inilah jihad wajib yang ditentukan, dan – tidak lain tidak – manusia berbuat kemaksiatan dengan meninggalkannya.
Seorang hamba berilmu dan berpengetahuan (al-‘alim) yang tulus tidak bakal membiarkan dirinya menjadi orang yang surut dari melakukan jihad dalam agamanya untuk selama-lamanya, karena hal itu merupakan puncak penyimpangan yang diserukan oleh Allah SWT. Pada dasarnya. Pada dasarnya, orang seperti ini mengikuti hawa nafsunya sendiri yang mendudukan dirinya pada kedudukan kehendak dalam hal Allah. Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya,s edangkan kita semua adalah hamba-hamba-Nya, dan untuk itu tidak ada larangan bagi-Nya. Manusia pun ingin melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya. Akan tetapi, untuk itu ada larangan baginya, dan yang demikian itu bukanlah kehendak mutlak. Inilah sebab yang mengantarkan dirinya senantiasa menjadi sorang mujahid. Karena itu, orang-orang yang memiliki semangat (ashhab al-himam) menggapai derajat golongan orang-orang yang sangat mengenal dan mengetahui Allah (al-‘arifin billah) hingga kehendak merekapun adalah kehendak Allah juga. Mereka menghendakis egala sesuatu yang dikehendaki Allah, yaitu menjadi makhluk-Nya. Mereka menghendakinya karena Allah berkehendak menciptakannya, dan mereka membenci sesuatu sama seperti halnya Allah membencinya. Dia menyifati diri-Nya bahwa Dia tidak menyukai hal itu. Dia menghendakinya tetapi tidak menyukainya. Dan dalam kehendaknya itu juga, ia menghendaki dan membencinya jika ia hendak menjadi seorang Mukmin. Jika tidak, maka ia terlepas dari keimanan – na’udzu billah min dzalik. Sebab, yang demikian itu adalah haram. Inilahd kebenaran yang sangat dibenci, seperti yang engkau katakan dalam menggunjing (ghibah) : “Menggunjing (ghibbah) adalah kebenaran yang dilarang.”

31. WaSIAT IHWAL MENYEMPURNAKAN WUDHU

Hendaklah engkau menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak engkau sukai, yaitu ketika udara yang terasa sangat dingin. Berhati-hatilah engkau agar jangan merasa nyaman dengan menggunakan air di saat udara panas, sehingga engkau menyempurnakan wudhumu lantaran engkau merasa nyaman dengan menggunakan air di saat udara panas. Engkau mengira bahwa engkau termasuk di antara  orang-orang yang menyempurnakan wudhu demi ibadah, padahal engkau menyempurnakan wudhumu hanya lantaran merasa nyaman disebabkan keadaan dan udara yang sangat panas. Jika engkau menyempurnakan wudhumu di saat udara sangat dingin, maka yang demikian itu adalah ibadah bagimu. Rasulullah saw., bersabda : “Kebaikan itu adalah yang biasa dilakukan.” Milikilah niat itu di saat udara sangat panas. Jika hawa nafsumu menguasai dirimu untuk menyempurnakan wudhumu lantaran dengan itu engkau merasa nyaman, maka ketahuilah bahwa perasaan nyaman di sini hanyalah sekedar untuk menolak dan menghilangkan rasa panas saja. Niatkanlah hal itu untuk menolak rasa panas dari dirimu. Dalam menolak bahaya dari dirimu, engkau diberi pahala. Tidaklah engkau memperhatikan bagaimana Allah mengharamkan surga bagi orang yang bunuh diri? Hak diri atas pemilknya lebih besar ketimbang  hak orang lain atas dirinya. Demikianlah pula, orang yang menolak rasa sakit dari dirinya sendiri pun diberi pahala. Dengan menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak disukai, Allah mengangkat derajat hamba-Nya, dan menghapus segala kesalahannya. Rasulullah saw;, bersabda : “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus segala kesalahan dan mengangkat derajat? Yaitu menyempurnakan wudhu di sat yang tidak disukai.” Inilah penghapus kesalahan. Inilah pembersih dan penyucian. Selanjutnya beliau bersabda : “Dan memperbanyak langkah ke masjid.” Ini adalah pengangkat derajat. Ia adalah jalan mendaki dan di saat berjalan kaki. Kemudian di akhir hadis itu, beliau bersabda : “Dan menunggu salat setelah salat. Inilah ar-ribath. Itulah ar-ribath. Itulah ar-ribath.” Ar-ribath adalah ketetapan yang mengikat sesuatu. Dengan penantian itu, ia telah menetapkan dirinya. Karena itu, ia mengikat salat itu dengan salat yagn dinanti dengan cara mendekati datangnya waktu agar ia menunaikan salat pada waktunya. Adakah ketetapan yang lebih agung dari ini? Sebab, satu hari terbagi ke dalam lima waktu salat. Dia selesai menunaikan satu saalt karena ia telah menetapkan dirinya untuk mendekati datangnya waktu  yang lain sehingga berakhir satu hari itu dan kemudian datang hari lain. Ini terjadi terus menerus demikian sehingga – dalam suatu masa – tidak ada yang menghalangi waktu menunaikan salat. Karena itu, Rasulullah saw., menegaskannya dengan mengucapkan kalimat itu tiga kali.
Perhatikanlah pengetahuan Rasulullah saw., ihwal berbagai hal, sehingga beliau menurunkan setiap amal di dunia dalam kedudukannya di akhirat serta menetapkan hukumnya dan memberikan haknya. Beliau menyebutkan wudhu, perjalanan dan penantian. Dan beliau menyebutkan penghapusan, pengangkatan derajat, dan pengikatan sebanyak tiga kali. Ini menunjukkan kesaksiannya atas tempat-tempat yang mengandung hikmah. Dari sini dan yang serupa dengannya, beliau bersabda ihwal dirinya sendiri : “Karena aku dianugerahi perkataan-perkataan yang lengkap.”

32. WASIAT IHWAL MENJAGA HAK SETIAP ORANG MUSLIM

Hendaklah engkau memperlakukan setiap orang Muslim sebagai Muslim. Perlakukanlah mereka secara sama sebagaimana Islam memandang sama dalam wujud mereka. Jangan engkau katakan : “Orang ini memiliki kekuasaan, pangkat, harta, dan besar. Sementara itu, orang ini kecil, fakir dan hina. Jangan engkau menghianati janji orang kecil, dan juga janji orang besar. Jadikanlah Islam sebagai satu tubuh, dan kaum Muslim sebagai organ-organ tubuh itu. Ini menunjukkan bahwa Islam hanya memiliki wujud dengan adanya kaum Muslim, persis sebagaimana halnya manusia tidak memiliki wujud kecuali dengan adanya anggota-anggota tubuhnya dan sekumpulan kekuatan yang tampak dan yang tersembunyi. Yang kami sebutkan in ilah yang diperhatikan Rasulullah saw., di dalam sabdanya : “Darah kaum Muslim adalah sama. Sebagaimana dari mereka melindungi orang yang lemah di antara mereka. Mereka ibarat satu tangan bagi orang selain diri mereka.” Dan beliau juga bersabda : “Kaum Muslim seperti satu tubuh. Jika matanya terasa sakit, maka seluruh anggota tubuhnya pun terasa sakit. Dan jika kepalanya terasa sakit, maka seluruh anggota tubuhnya  terasa sakit juga.” Dengan perumpamaan ini, maka tempatkanlah segala sesuatu pada tempat semestinya, sebagaimana engkau memperlakukan setiap anggota tubuhmu secara layah dan sesuai dengan penciptaannya. Maka terpejam penglihatanmu dari perkara yang tidak diberikan pendengaran, dan engkau gerakkan tanganmu dalam hal yang tidak dilakukan kakimu. Demikianlah seluruh kekuatanmu. Engkau menempatkan setiap anggota tubuhmu pada tempat yang sesuai dengan penciptaannya.
Jika orang-orang Muslim berkumpul di dalam Islam, maka perlakukanlah mereka secara sama. Berikanlah hak orang berilmu, yakni penghormatan dan perhatian pada ucapannya. Berikanlah hak orang tak berilmu, yakni peringatan dan perhatianmu kepadanya untuk menuntut ilmu dan kebahagiaan. Berikanlah hak orang yang lalai agar ia sadar dari kelalaiannya dengan mengingatkan apa yang dilalaikannya, yang diketahuinya tetapi ia tidak menggunakan ilmunya itu. Demikian pula halnya kepada orang yang taat dan yang menyimpang. Berikanlah hak seorang pemimpin dengan mendengar dan menaati apa yang boleh engkau lakukan dan tinggalkan. Engkau wajib mendengarkan dan menaati perintah dan larangannya. Kembalilah engkau kepada perintah dan larangan seorang pemimpin. Apa yang sebelumnya boleh dilakukan lantas menjadi wajib atau terlarang dengan hukum yang disyaratkan Allah di dalam firman-Nya : .....  Dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu (QS. An.Nisa, 4:59). Berikanlah hak orang kecil, yakni keramahan, kasih sayang dan belas kasihan kepadanya. Berikanlah hak orang besar, yakni kemuliaan dan penghormata. Termasuk dalam sunah Nabi ialah menyayangi yang kecil dan menghormati yang besar, serta mengenal kemuliaannya. Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di antara kami dan tidak mengenal kemuliaan yang besar di antara kami.” Dan dalam hadis lain disebutkan : “ ..... Dan menghormari yang besar di antara kami.”
Hendaklah engkau menyayangi seluruh makhluk dan melindungi mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah dan ciptaan-Nya, kendati mereka berbuat maksiat. Sebagian dari mereka memiliki kelebihan atas sebagian lainnya. Jika engkau beruat demikian, maka engkau akan diberi pahala. Karena Rasulullah saw., bersabda : “Bagi setiap orang yang memiliki maksud yang baik terdapat pahala.” Tidakkah engkau pernah memperhatikan sebuah hadis yang mengungkapkan ihwal seorang wanita pelacur. Ada seorang wanita pelacur dari kalangan Bai Israil melewati seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya karena kehausan dan depan sebuah sumur. Ia memberi minum anjing itu. Maka Allah mensyukuri peruatannya, dan karena anjing itu Dia mengampuni dosanya.
Al-Hasan Al-Wajib, seorang pengajar masalah kriminalitas dan berasal dari Persia, mengabarkan kepadaku tentang pemimpin Bukhara : “Ia seorang yang zalim dan mengabaikan dirinya.” Maka, pada suatu hari yang sangat dingin, ia melihat seekor anjing yang pucat wajahnya. Anjing itu menggigil karena kedinginan. Lalu ia memerintahkan sebagian pekerjanya membawa anjing itu ke rumahnya. Ia menempatkannya di tempat yang hangat, memberi makan, minum dan menhyelimutinya. Pada suatu malam, ia bermimpi di dalam tidurnya atau mendengar suara bisikan (hatif) – aku lupa – yang mengatakan kepadanya : “Wahai Fulan, semula engkau adalah seekor anjing, maka kami berikan engkau kepada anjing.” Setelah itu, ia sempat hidup selama beberapa hari saja dan akhirnya meninggal. Ia mendapat tempat kesyahidan yang agung karena belas kasihannya kepada seekor anjing. Bagaimanakah sikap seorang Muslim kepada seekor anjing? Berbuatlah kebaikan dan jangan peduli kepada siapa engkau beruat kebaikan itu. Jadilah engkau penyejuk baginya. Tampakkan sifat-sifat terpuji yang merupakan akhlak mulia sebagai perhiasanmu. Jadilah engkau tempat bersemayamnya sifat-sifat terpuji itu karena kemuliaannya di sisi Allah dan pujian Allah atasnya. Carilah keutamaan dan jauhi  ketercelaan. Jadikanlah manusia mengikuti apa yang engkau tidak hidup bersama celaan dan tidak pula bersama pujian mereka, melainkan engkau mendapatkan keutamaan paling luhur jika engkau ingin bersama orang-orang bijak dan arif (hukuma) yang berperilaku dengan adab-adab Allah, yang disyariatkan-Nya kepada kaum Mukmin melalui lisan para Nabi-Nya.
Ketahuilah bahwa seorang Mukmin dengan seorang Mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan kokoh, yang satu sama lain saling  menguatkan. Segala sesuatu di alam ini pasti bersujud kepada Allah, kecuali sebagian dari sekelompok jin dan manusia. Di antara manusia, ada banyak orang yang bertasbih dan bersujud kepada Allah. Dan di antara mereka, ada pula yang tidak mau bersujud kepada Allah. Mereka pantas beroleh azab dan siksaan. Perhatikanlah firman Allah SWT : “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu sekalian, .... (QS. An-Nisa’, 4:136). Mereka disebut kaum Mukmin dan diperintahkan untuk beriman.
Yang pertama adalah keimanan dalam pengertian umum. Allah berfirman tentang hak suatu kaum : Dan orang-orang yang beriman kepada yang batil, ..... (QS. Al-Ankabut, 29:52).
Yang kedua, adalah keimanan dalam pengertian khusus, yakni yang diperintahkan. Yang pertama adalah pengakuan mereka yang tidak berhubungan dengan kewajiban (taklif), tetapi bersangkut-paut dengan ilmu. Ia memudahkan keimanan anak-anak Adam ketika Dia mengambil kesaksian atas diri mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka, ..... (QS. Al-A’raf, 7:172), yakni kesaksian atas diri mereka dengan keimanan di alam perjanjian (dar al-mitsaq). Dia berbicara kepada mereka. Kemudian Dia memerintahkan mereka agar berima dalam keadaan lain ini serta yang mengantarkan menuju tawhid mutlak sebagai rasa kasih sayang kepada mereka. Allah SWT berfirman : “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (QS. Yusuf, 12:106). Syirik dalam ayat itu adalah  syirik tersembunyi, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena itu, Dia berkata kepada mereka : “Berimanlah kamu kepada Allah.” Dia tidak mengatakan agar mereka beriman kepada keesaan Alah (tawhid). Barangsiapa beriman kepada wujud Allah, maka telah beriman. Dan barangsiapa mengimani tawhid-Nya, maka ia tidak mempersekutukan-Nya. Keimanan adalah penegasan (itsbat), dan keesaan Allah (tawhid) ialah menafikan persekutuan.
Di antara nama-nama Allah adalah Al-Mu’min. Dia menolong makhluk yang beriman. Rasulullah saw, bersabda : “Allah merahmati saudara, Luth. Dia berlindung kepada suadara yang kokok.” Itulah nama Al-Mu’min menolong orang Mukmin. Pahamilah itu!!!

33. WASIAT IHWAL BERGAUL DENGAN BAIK KEPADA SESAMA MANUSIA

Beruatlah engkau seperti apa yang dilakukan ‘Umar. ‘Umar bin Al-Khththab berkata : “Barangsiapa menipu kami di jalan Allah, maka kami telah terperdaya olehnya.” Berhati-hatilah wahai ssaudaraku, jika engkau melihat seseorang menipumu di jalan Allah, sedang engkau tahu bahwa tipuannya itu ditujukan kepadamu. Termasuk di antara akhlak mulia ialah bahwa engkau tertipu olehnya, sedangkan ia tidak memberitahukan bahwa engkau mengetahui tipuannya. Ia berpura-pura bodoh sehingga mengalahkan prasangkanya bahwa tipuannya telah berpengaruh kepadamu. Ia tidak menyadari bahwa engkau mengetahui hal itu. Sebab, jika engkau melakukan sifat seperti itu, maka engkau telah memenuhi perkara yang menjadi haknya. Engkau hanya mempengaruhi sifat yang tampak olehmu saja. Seseorang harus bergaul dengan manusia karena sifat-sifat mereka, dan bukan karena keberadaan mereka. Tidaklah engkau perhatikan bahwa jia ia jujur dan tidak menipu, maka engkau wajib mempergaulinya dengan apa yang tampak olehmu pada dirinya? Dan ia akan berbahagia dengan kejujurannya, sebagaimana ia akan menderita karena tipuan dan kemunafikannya. Penipu itu, adalah seorang munafik. Engkau tidak usah mengungkap kejelekannya dalam tipuannya dan bersikap masa bodoh. Ia ingin agar engkau tercelup oleh warna yang juga telah mencelup dirinya. Berdoalah untuknya dan kasihanilah dia. Mudah-mudahan Allah menjadikan dirimu memberikan manfaat kepadanya dan mengabulkan doamu yang baik untuknya. Jika engkau melakukan hal ini, engkau telah menjadi seorang Mukmin sejati. Seorang Mukmin itu, agung dan mulia, karena akhlak keimanan melahirkan pergaulan yang tampak. Seorang munafika adalah penipu dan hina, yang menghinakan dirinya lantaran ia tidak melewati jalan keselamatan dan kebahagiannya.
Jadilah penutup dan pakaian bagi saudaramu sesama Mukmin. Jagalah ia di belakangnya. Jagalah diri, kehormatan, keluarga dan anak-anaknya. Engkau adalah saudaranya berdasarkan nashsh Al-Quran yang agung. Jadikan ia cermin tempat melihat dirimu. Sebagaimana setiap luka di wajahmu dipantulkan dan ditampakkan oleh cermin kepadamu, maka begitu pulalah halnya dengan setiap derita yang ditanggungnya dalam dirinya. Sebab, wajah dan hakikatnya adalah sama saja.

34. WASIAT IHWAL MENJAGA HAK TETANGGA

Jagalah hak tetangga dan dahulukan yang paling dekat. Bagilah kepada para tetanggamu apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, karena engkau akan ditanya tentang mereka. Tolaklah bagi mereka apa yang membahayakan diri mereka. Engkau disebut tetangga (al-jar) hanya lantaran kecenderunganmu kepadanya dalam bentuk perbuatan baik dan menolak bahaya yang mengancam jiwa mereka. Kata tetangga (al-jar) adalah derivasi dari bentuk verbal jara yang berarti mala (cenderung). Karena al-jawr berarti al-mayl (kecenderungan). Barangsiapa mengambil makna kata al-jawr yang berati kecenderungan pada kebatilan dan kezaliman dalam pengertian umum, maka ia seperti seseorang yang menamai al-ladigh (orang yang disengat) dengan al-salim (orang yang selamat) dalam bentuk kebalikan. Dan dalam hal ini, sebagian besar hak kedekatan adalah tetangga. Ia seolah-olah mengatakan, “Jika tetangga (al-jar) berasal dari ahl-al-jawr, yakni orang yang cenderung pada kebatilan dengan syirik dan kekufuran, maka engkau harus tetap memelihara dan menjaga haknya.” Bagaimanakah halnya dengan orang Mukmin? Hak tetangga hanyalah atas tetangga saja. Aku takjub pada apa yang kuriwayatkan mengenai hal itu dari sebagian guruku. Ia menyebutkan sebagian perangai orang-orang Arab badui bahwa seekor belalang hinggap di halaman rumahnya. Lalu, orang-orang Arab keluar menuju temat itu dengan membawa alat untuk membunuh dan memakannya. Pemilik rumah tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Lantas ia keluar dari tendanya, menghampiri mereka, dan kemudian bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian cari?” mereka menjawab, “Kami hendak membunuh tetanggamu (yakni, seekor belalang itu)”. Ia berkata kepada mereka, “Setelah engkau menemaninya tetanggaku, maka – demi Allah – aku sama sekali tidak akan memberi kalian jalan untuk menangkapnya.” Ia menghunus pedang untuk membelanya karena menjaga hak tetangganya. Ini juga seperti apa yang ditanyakan kepada Malik bin Anas ihwal memakan babi laut. Ia menjawab “haram”. Lalu dikatakan kepadanya, “Ia adalah ikan dan termasuk binatang laut yang dihalalkan Allah untuk kita makan.” Malik berkata lagi kepada mereka, “Kalian telah menamainya babi. Kalian tidak menanyakan, “bagaimana pendapatmu tentang ikan laut?”. Tinggalkanlah apa yang dilarang Allah atas dirimu. Allah juga melarangmu agar jangan menyakiti tetangga. Janganlah menyakitinya dan tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik, niscaya orang yang ada permusuhan antara engaku dan dirinya menjadi seolah teman dan keluarga yang sangat dekat. Dan tiada orang akan dikaruniai 9sifat-sifat demikian) kecuali orang yang sabar. Dan tiada orang akan dianugerahi (sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sangat beruntung (QS. Fushshilat, 41:34-35). Dan dalam hadis-hadis yang kami riwayatkan mengenai sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ada seorang Arab badui dari kalangan orang-orang musyrik yang fasih berbicara datang kepada Rasulullah saw. Ia mendengar bahwa Allah telah menurunkan Al-Quran kepada Rasul-Nya, di mana orang-orang Arab yang fasih sekali pun tidak mampu menandinginya. Ia berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasaul Allah, apakah yang Tuhanmu turunkan kepadamu seperti yang aku aktakan?” Rasulullah  balik bertanya, “Apa yang engkau aktakan?” Maka orang Arab itu berkata :
Kaum berhati dengki menawan akal mereka.
Penghormatanmu pada kerabat dekat menolak bencana.
Jika mereka terang-terangan mengatakannya, maafkanlah dena  kemuliaanmu.
Jika mereka menutup celaan atas dirimu, engkau tak memperhatikannya.
Sungguh, orang yang pendengarannya mengganggumu,
Dan sungguh apa yang dikatakannya di belakangmu tidak dikatakan.
Maka Allah SWT pun menurunkan ayat : “Dan tiadalah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik, niscaya orang yang ada permusuhan antara engkau dan dirinya menjadi seolah teman dan keluarga yang dekat. Dan tiada orang akan dikaruniai (sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sabar. Dan tiada orang akan akan dianugerahi (sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sangat beruntung (QS. Fushshilat, 41:34-35). Lantas, roang Arab itu pun mengatakan, “Demi Allah, ini adalah sihir yang halal. Demi Allah, aku tidak pernah membayangkan dan tidak pernah ada dalam pengetahuanku. Sungguh, ia telah dibekali atau diberi yang lebih baik dari apa yang aku aktakan. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah. Demi Allah, yang demikian ini pastilah datang dari sang pemilik rububiyah (yakni Allah SWT – Pen).” Begitulah keadaan orang-orang yang mengetahui mukjizat Al-Quran.
Apakah engkau mengra, wahai waliku, bahwa orang Arab itu menyifati dirinya sebagai lebih mulia ketimbang Allah di antara makhluk yang menanggung penderitaan, menampakkan kesenangan, membebaskan hukuman, memaafkan padahal mampu membalas, menolak apa yang tidak baik bagi dirinya, dan mengabaikan orang yang ingin menutup aib ketika tampak jelas? Tidak, demi Allah, Allah lebih mulia darinya. Allah lebih pengampun, lebih pemaaf, lebih lembut, dan paling benar ucapan-Nya. Ucapan orang Arab ini, jika itu memang baik, tidaklah diketahui apakah memang ia yang mengatakannya. Sementara itu, Allah adalah zat yang benar ucapan-Nya berdasarkan dalil aqli. Dia memerintahkan kemuliaan lantaran itu adalah sifat-Nya. Dengan sifat ini Dia mempergauli hamba-hamba-Nya. Dia melarang sifat-sifat nista dan tercela kecuali mereka terhindar darinya. La- ilaha illa huwa al-‘aziz al ghafur ar-rahim – Tiada Tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana, Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.

35. WASIAT IHWAL MENOLONG SAUDARA YANG ZALIM DAN YANG TERZALIMI

Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang terzalimi. Pertolonganmu kepada yang zalim disebabkan ia juga terzalimi. Setan telah menzaliminya dengan membisiki dirinya untuk menzalimi orang lain. Pertolongamu kepadanya ialah dengan membantu menolak apa yang dibisikkan setan kepadanya untuk menganggap baik perbuatan zalim kepada orang lain sehingga ia disebut orang zalim. Engkau mesti menolongnya karena ia juga dizalimi oleh setan yang membisiki dirinya dan oleh keadaan antara dirinya dan petunjuk (al-huda) yang memiliki kekuasaan. Lalu setan mengiringinya dengan kesesatan. Ia pun kemudian menukar petunjuk dengan  kesesatan. Itulah sebabnya ia disebut sebagai orang zalim. Jika engkau mencelanya, celalah dirinya dengan nasihat dan penjelasanmu kepadanya bahwa jual beli seperti ini sungguh batil, dilarang oleh syariat, dan tidak sah serta behwa akad jual-belinya sangat merugikan dan perdagangannya pun gagal total. Jika engkau ebruat demikian, maka engkau telah menolongnya meski ia seorang yang zalim. Kemudian ia berhenti dari kezalimannya itu dan bertobat.. yang demikian itu merupakan pembatalan atas jual-belinya yang telah dilakukannya. Tentang orang-orang seperti mereka, Allah SWT berfirman : “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah, 2 : 16).
Bhati-hatilah engkau agar tidak memberikan pertolongan pada orang yang meminta pertolongan kepadamu. Meskipun tidak memerlukan pertolonganmu, Allah SWT berfirman demikian : “ ..... Jika kamu menolong (Agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu, ..... (QS. Muhammad, 47:7). Permintaan-Nya kepadamu agar engkau menolong-Nya tak lain dan tak bukan bermakna dalam pengertian demikian ini. Janganlah engkau menzaliminya, karena kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. Barangsiapa berjalan pada kegelapan, maka ia tidak akan tahu  bahwa di hadapannya ada jurang dan binatang buas yang akan menerkamnya di jalan yang dilaluinya.  Aku berwasiat kepadamu agar tidak menghinakan seorang pun di antara makhluk Allah, karena Allah tdiak menghinakannya saat menciptakannya.
Jangan sekali-kali kau hinakan hamba-hamba Allah.
Sungguh, mereka memiliki ketentuan, meskipun
Berkumpul bagimu segenap perkataan.
Allah tidak akan menampakkan pertolongan dengan menciptakan orang yang diciptakan-Nya dari ketiadaan dan kemudian engkau menghinakannya. Kami berlindung kepada Allah agar tidak menjadi orang-orang jahil dan bodoh. Inilah dosa paling besar. Semuanya itu adalah anugerah dan karunia Allah yang dinikmati oleh segenap hamba-Nya. Kepada kaum wanita, Rasulullah saw, bersabda : “Jangan sekali-kali engkau menghinakan salah seorang di antaramu lantaran apa yang  dihadiahkannya kepada budak perempuannya, hatta seujung kuku kambing sekali pun.” Penghinaan adalah kejahilan dan kebodohan yang nyata. Janganlah engkau menjadi orang yang banyak melaknat, suka membenci, dan bersuara keras, karena melaknat seorang Mukmin sama saja dengan membunuhnya. Nabi Isa as., pernah bertemu dengan seekor babi. Beliau kepada babi itu, “Pergilah dengan selamat,” Lalu hal itu dinyatakan kepada beliau, Rasulullah saw., bersabda : “Aku tidak ingin membiasakan lisanku kecuali dengan perkataan yang baik.” Bicaralah kebaikan. Mengenai hal itu kukatakan :
Semua manusia pun berbicara,
Jadilah engkau pembicara terbaik yang didengar,
Jika mereka mengadu kepadamu,
 Jadilah engkau perisai kuat yang menahan,
Jika sikapmu tidak demikian kepada mereka,
Engkau, demi Allah, pastilah pemimpin bermanfaat.
Lilin hanya menghancurkan dirinya,
 Tapi bagi yang melihat, ia adalah cahaya bersinar.
Kehinaan yang engkau ketahui tak lain hanyalah
Kenikmatan di tangan orang yang mencegah.