Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Kamis, 18 Oktober 2018

Kisah Perjalanan hidup Manusia Mulia “Sirah Rasulullah”


  SIRAH  RASULULLAH

Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab Pertama : NASAB NABI SAW.
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Imam Bukhari mengatakan bahwa nama Nabi Muhammad adalah Abdul Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Madrakah bin Ilyas bin Mudhir bin Nazzar bin Ma’ad bin Adnan.
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa setelah penyebutan nasab Nabi saw, kepada Adnan semua ulama sepakat. Akan tetapi, yang menjadi perselisihan di kalangan ulama adalah nasab setelah Adnan terus ke atas. Begitu juga, tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwasanya Adnan merupakan keturunan Nabi Ismail a.s.
Imam Zahabi mengatakan dalam kitabnya “as-Sirah an-Nabawiyyah” bahwasanya Adnan  merupakan keturunan Ismail Ibrahim sesuai ijmak (kesepakatan) manusia. Akan tetapi, mereka berselisih tentang nasab antara Adnan terus ke atas sampai Nabi Ismail a.s.
Ibnu Katsir menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi Ibrahim a.s., memiliki dua putra yagn agung, yaitu Ismail dari Ibunda Hajar dan Ishaq dari Ibunda Sarah. Nabi Ishaq sendiri memiliki putra, yaitu Nabi Ya’kub. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS Hud (11) : 71. “.... dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya’qub ....” .... beliau sendiri berkebangsaan Israil  ---- yang cucu-cucu mereka menasabkan diri kepadanya. Para nabi sendiri kebanyakan diturunkan Allah kepada bangsa Israil dan jumlahnya banyak sekali, bahkan tidak ada yang tahu, kecuali yang diutus untuk menjadi nabi dan rasul. Utusan Allah terakhir dari kalangan Israil adalah Nabi Isa bin Maryam a.s.
Adapun Nabi Ismail a.s., bukan keturunan Israil, melainkan keturunan bangsa Arab. Begitu juga, tidak ditemukan para nabi yang berasal dari keturunan Nabi Ismail a.s., selain penutup para nabi dan rasul, kebanggan anak Adam di dunia dan akhirat, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim al-Quraisyi al-Makki al-Madani.
Dengan demikian, tidak ditemukan dari keturunan dan tunas yang mulia, melainkan perhiasan yang termahal dan mutiara yang berkilau. Dialah pemuka yang menjadi kebangaan semuanya dan menjadikan iri para pendahulu dan golongan terakhir pada hari kiamat.

KEDUDUKAN NABI SAW. DI MATA KAUMNYA

Nabi saw., berasal dari suku terbaik dan nasab yang paling mulia. Demikianlah Allah menjadikan para nabi dari nasab yang paling mulia dengan budi pekerti dan fisik paling sempurna.
Jadi, tidak mengherankan jika Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan bin Harb tentang nasab Nabi saw., Heriklius bertanya : “Bagaimana nasabnya dalam golongan kalian?” Abu Sufyan pun menjawsab : “Dia berasal dari keluarga terpandang dan memili nasab yang terpandang di kalangan kami.” Ia lalu berkta kepada Abu Sufyan : “Engkau bilang dia berasal dari keluarga terpandang dan memiliki nasab yang baik, begitulah para rasul diutus dari nasab yang terbaik di kalangan kaumnya.”
Abu Huraiarah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda : “Aku diutus dari sebai-baik zamannya anak Ada, dari abad ke abad sampai abad yang aku berada di dalamnya” (HR. Bukhari).
Watsilah bin Al-Aqsa’ meriwayatkan bahwa sanya Nabi Saw., bersabda : “Sesungguhnya Allah SWt, telah memilih dari keturunan Ibrahim yaitu Ismail. Dia juga telah memilih dari keturuan Ismail, yaitu Kinanah. Dia juga telah memilih dari keturunan Kinanah, yaitu Quraisy. Dia juga telah memilih dari Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Dan Dia memilihku dari Bani Hasyim.” (HR.Muslim).
Ummu Hani juta telah meriwayatkan secara marfu’ (riwayatnya bersambung sampai Rasulullah) tentang keutamaan suku Quraisy bahwasanya Rasulullah bersabda : “Allah telahd memberi keutamaan suku Quraisy dengan tujuh perkara, yaitu Allah memberi keutamaan mereka dengan menyembah-Nya selama duapuluh tahun, padahal tidak ada yang menyembah-Nya selain mereka; Allah memberi keutamaan mereka dengan diberikan-Nya pertolongan pada tahun gajah meskipun pada saat itu  mereka masih musyrik; Allah memberi keutamaan mereka, berupa diturunaknnya sebuah surat dalam Al-Qur’an secara khusus membahas tentang mereka, yaitu QS. Quraisy Ayat 1; serta Allah memberi keutamaan mereka dengan wujudnya kenabian; khilafah; hijabah (pekerjaan menjaga pintu-pintu); dan siqayah (menyediakan air bagi orang-orang yang berhaji).” (HR. Bukhari dan Hakim).
Asy’ab bin Qais meriwayatkan seraya berkata : “Aku mendatangi Rasulullah dalam sebuah rombongan, tidak ada yang melihatku, kecuali orang yang paling utama di antara mereka, lalu aku pun berkata, “Wahai Rasulullah! Bukankah engkau berasal dari golongan kami?” Beliau bersabda : “Kita adalah keturunan Bani ad-Nadhir bin Kinanah, kita tidak mencelanya dan kita tidak mengingkari seorang pun yang berasal dari keturunanya’. Maka As’ab pun berkata : “Tidaklah aku didatangi seorang laki-laki yang mengingkari seseorang keturunan Quraisy dari Bani an-Nadhir bin Kinanah, melainkan pasti aku hukum dengan hukuman cambuk.” (HR. Ibnu Majah, Bukhari, Ahmad).
Abdul Munththalib bin Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Munththalib meriwayarkan bahwasanya sekelompok orang dari kaun Anshar mendatangi Nabi saw, seraya berkata : “Sesungguhnya kami mendengar salah seorang dari kaummu megnatakan bahwa perumpamaan Muhammad adalah bagaikan pohon kurma yang tumbuh di tempat smpah.” Lalu, Rasulullah bersabda : “Wahai para manusia Siapakah aku?” Mereka menjawab : “Engkau utusan Allah.’ Beliau bersabda : “Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib – aku belum pernah mendengar seseorang yang dinisbatkan seperti itu sebelumnya – melainkan Allah menciptakan makhluk-Nya maka Dia menjadikanku sebaik-baik makhluk. Kemudian Dia menjadikan Makhluk-Nya dalam dua golongan, dan aku dijadikan dari sebaik-baik golongan. Kemudian Dia menjadikan suku—suku dan aku dijadikan dari sebaik-baik suku. Kemudian Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan aku dijadikan dari sebaik-baik bangsa. Aku adalah sebaik-baik kalian bika jiwa maupun bangsa.” (HR. Turmudzi dan Ahmad).
Kulaib bin Wail berkata : “Salah seorang pengasuh Nabi saw, Zainab binti Abu Salamah, telah ebrcerita kepadaku. Kulaib berkata : “Apakah engkau mengetahui bahwasanya Nabi saw, dari kabilah Mudhar”? Ia menjawab, ‘tiadalah seseorang berasal dari kabilah Mudhar, kecuali termasuk keturunan Bani an-Nadhir bin Kinanah.” (HR. Bukhari).
Bahkan, sebuah batu pun mengetahui kedudukan Nabi saw, sehingga ia memberi salam kepada beliau. Jabir bin Samurah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Makkah yang pernah memberi salam kepadaku sebelum aku diutus. Sungguh aku mengetahuinya sampai saat ini.” (HR. Muslim).

Penutup  Para Nabi

Abu hraiarah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : “Perumpamaanku dan para nabi terdahulu bagaikan seorang laki-laki yang mendirikan sebuah bangunan, lalu ia pun  memperindah bangunan tersebut, kacuali satu tempat di salah satu sudutnya yang belum terpasang batu batanya. Orang-orang yang mengelilingi bangunan tersebut heran sambil berkata : Alangkah indahnya jikalau bata-bata ini terpasang!” dan akulah batu bata itu dan aku adalah penutup nabi./” (HR. Muslim).

Sifat-Sifat Fisik Nabi saw.

Nabi Muhammad adalah sosok lakik-laki yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Warna kulit cemerlang (putih terang lebih cenderung ke warna merah).
2. Berdahi lebar.
3. Kedua amtanya sangat hitam dan lebar (ada yang berpendapat tidak terlalu hitam).
4. Bulu matanya panjang.
5. Renggang giginya.
6. Lebat jenggotnya.
7. Besar pundaknya.
8. Lebar telapak tangan dan kakinya.
9. Tinggi badannya standar, artinya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.
10. Rambutnya tidak terlalu lurus dan tidak terlalu keriting, panjang rambutnya mencapai kedua pundaknya.
11. Jika berbicara, seolah-olah cahaya keluar dari gigi serinya.
12. Padat kepalanya.
13. Memiliki bulu lembut yang memanjang dari dada sampai pusar.
14. Ketika berjalan, beliau kelihatan kuat seolah melewati tanah yang menurun.
15. Wajahnya memancarkan cahaya bagaikan bulan purnama.
16. Suaranya sangat enak didengar.
17. Rata pipinya.
18. Lebar mulutnya.
19. Rata perut dan dadanya.
20. Sangat masyhur kedua pundak dan tangannya.
21. Tinggi dada sepanjang kedua lengan bawahnya.
22. Luas telapak tangannya.
23. Sedikit daging tumitnya.
24. Penutup kenabian bagaikan cahaya kamar mempelai dan telur burung merpati.
25. Jika beliau berjalan, seolah-olah tanah terdiam, orang-orang pun menguatkan sarung busurnya meskipun beliau tidak pernah menyusahkan.
26. Beliau pernah mengurai rambutnya kemudian membelahnya, beliau juga selalu menyisirnya dan mengurai jenggotnya.
27. Beliau terbiasa untuk memakai celak setiap malam di setiap sisi kedua matanya saat hendak tidur.
Jabir bin Samurah meriwayatkan : “Aku pernah shalat bersama Nabi saw, tatkala beliau menemui keluarganya, kau mengikutinya. Beliau pun disambut dua anak kecil. Maka beliau mengusap kedua pipi salah satu mereka. Ia melanjutkan : “Adapun aku, beliau juga mengusap pipiku.’ Ia melanjutkan : “Aku pun menjumpai hawa dingin dan bau wangi yang seolah keluar dari tangan beliau.” (HR. Muslim).
Anas mweriwayatkan seraya berkata : “Rasulullah memiliki kulit cerah, keringatnya bagai mutiara. Ketika beliau berjalan selalu seimbang, engkau tiada menemui kain sutra yang melebihi lembutnya telapak tangan beliau dan engaku tidak akan mencium minyak wangi yang melebihi wanginya bau yang keluar dari tubuh beliau.” (HR. Muslim).
Rabiah bin Abu Abdirrahman meriwayatkan bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik menyifati Rasulullah seraya berakta : “Rasulullaht idak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, kulitnya cerah, tidak terlalu putih dan tidak terlalu gelap, beliau tidak berambut keriting, rambutnya bagai cucu seseorang yang masih kecil, padahal usia beliau telah mencapai empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah selama sepuluh tahun dan di Madinah selama sepuluh tahun. Ketika beliau wafat, tidak ditemui pada rambut kepala dan jenggotnya, melainkan hanya dua puluh helai uban.” Rabiah melanjutkan : “maka aku melihat salah satu rambutnya berwarna merah, aku pun bertanya tentang hal itu. Dan dikatakan bahwasanya merah rambutnya disebabkan pengaruh minyak wangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Rhufail meriwayatkan seraya berakta : “Aku pernah melihat Rasulullah. Waktu itu tiada yagn meliaht beliau selain aku.’ Al-Jariri berkata kepadanya : “Bagaimana engkau melihat beliau?” Ia menjawab : “Beliau berkulit cerah, elok dipandang,d an bertubuh ideal.” (HR. Muslim).
Barra meriwayatkan seraya berakata : “Aku tidak pernah melihat rambut yang lebih baik dari rambut Rasulullah. Rambutnya memanjang sampai pundak, pundaknya saling berjauhan (dadanya lebar), tidak terlalu tinggi tubuhnya dan tidak terlalu pendek.” (HR. Muslin dan Turmudzi).
Diriwayatkan dari Barra’ juga bahwa sanya Rasulullah memiliki wajah yang terbaik, fisik terbaik, dan tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abuk Ishaq meriwayatkan bahwa sanya Barra’ pernah ditanya : “Apakah wajah Rasulullah bagaikan kiltan pedang?” Ia pun menjawab : “Tidak, bahkan bagai rembulan.” (HR. Bukhari dan Turmudzi).
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwasanya Rasulullah lebih pemlau dibandingkan gadis yang berada dalam pingitannya.” (HR. Mukharai).
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya Rasulullah pernah mengurai rambutnya, sedangkan saat itu kaum musyrikin membelahj rambut mereka, dan Ahli Kitab mengurai rambut mereka. Rasulullah sendiri lebih suka menyerupai Ahli Kitab dalam hal yagn tidak ada perintah di dalamnya. Setelah itu beliau membelah rambutnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin Ka’ab meriwayatkan bahwa ia telah mendengar Ka’ab bin Malik berkata saat tidak ikut dalam Perang Tabuk : “Maka ketika aku memberi salam kepada Rasulullah, beliau tampak bahagia. Ketika beliau bahagia, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Kami semua mengetahi hal itu.” (HR. Bukhari).
Anas bin Malik meriwayatkan bahwasanya Rasulullah mendatangi kami, kemudian beliau bersabda sampai keluar keringatnya. Lalu, ibuku datang membawa panci sehingga keringat beliau bercucuran di dalamnya. Setelah itu, beliau berdiri dan bersabda : “Wahai Ummu Sulaim! Apa yang engkau lakukan?” Ia pun menjawab : “Ini adalah keringatmu yang kami jadikan minyak wangi.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Nabi saw, terkejut, bersabda : “Apa yang engkau lakukan, wahai Ummu Sulaim!”  Ia pun menjawab : “ Wahai Rasulullah! Kami mengharap berkah untuk anak-anak kami.” Beliau pun bersabda : “Engkau benar.” (HR. Muslim).

Budi  Pekerti  Nabi saw. Yang Agung

Budi pekerti Nabi Muhammad saw, yagn agung sangat tampak dalam kesehariannya, seperti :
1. Memilikij keistimewaan berupa lisan yang fasih dan mengena dalam berbicara.
2. Sosok  yang penyantun, penyabar, dan pemaaf.
Sifat-sifat tersebut merupakan didikan langsung dari Allah. Setiap penyantun dikenal kebaikannya dan terjaga dari kesalahan. Rasulullah saw, memiliki kesabaran luar biasa meskipun makin banyak yang menyakitinya. Begitu juga, beliau sellau bersikap santun terhadap perbuatan berlebihan yagn dilakukan orang-orang jahil terhadapnya.
Aisyah berkata : “Rasulullah selalu memilih perkara yang paling mudah ketika dihadapkan pada dua perkara, selama perkara tersebut tidak mengandung dosa. Apabila perkara tersebut mengandung dosa, beliau selalu menjauhinya. Beliau tidak pernah berniat balas dendam atas hal yang menimpa dirinya. Namun, beliau akan membalas ketika yang dianiaya adalah kehormatan Allah. Beliau juga terkenal menahan marah dan cepat merelakan kesalahan orang lain.” (HR. Bukhari).
Bukti dari sifat dermawan beliau adalah selalu memberi tampa ada rasa takut menjadi fakir. Ibnu Abas mengatakan bahwa Nabi saw, adalah orang yang paling dermawan, apalagi di bulan Ramadhan, yaitu saat malaikat Jibril menemuinya. Malaikat Jibril sendiri menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur’an. Rasulullah lebih cepat dalam menghapal kebaikan daripada angin yang berembus. (HR. Bukharai).
Rasulullah adalah sosok pemberani, terutama dalam menyikapi saat-saat sulit. Tak jarang jika par apembesar dan panglima kafir lari dari belkiau. Rasulullah selalu berpegang teguh, pantang mundur, dan tak pernah genta. Tidaklah disebut pemberani melainkan diperhitungkan kekuatannya dan tiada yang menandinginya. Ali mengatakan bahwa ketika ia dan para sahabat diliputi ketakutan dan terancam bahaya, mereka berlindung di belakang Rasulullah sehingga beliaulah yagn paling dekat dengan musuh. (HR. Nasai, Ahmad dan Muslim).
Anas megnatakan bahwa tatkala penduduk Madinah dikagetkan pada suatu malam, mereka mendatangi sumber suara. Rasulullah menjumpai mereka – setelah mendahului mereka dalam mendatangi sumber suara – beliau dalam keadaan menunggang kuda milik Abu Thalhah yagn berkalung pedang di lehernya. Beliau pun bersabda : “Kalian belum terjaga, kalian belum terjaga.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi).
Rasulullah adalah sosok yagn sangat pemalu. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwasanya Rasulullah lebih pemalu dari seorang gadis yagn berada dalam pingitannya. Ketika beliau marah, dapat diketahui dari raut wajahnya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).
Beliau dikenal orang yang paling berlama-lama dalam memandang wajah orang lain, beliau menundukkan pandangannya, serta tidak pernah berbicara yagn menyakitkan orang lain karena rasa malu dan kemuliaan diri beliau. Bahkan, beliau tidak pernah menyebut nama seseorang yagn dilaporkan kepadanya. Beliau hanya berkata : “Apa alasan suatu kaum melakukan hal itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Beliau yang pantas mendapat sanjungan dari seorang penyair :
Dan tundukkan pandangan karena rasa malu.
Dia tidak bicara melainkan disertai dengan senyuman.
Rasulullah adalah sosok manusia yagn paling adil, pemaaf, jujur katanya, dan dapat dipercaya. Hal ini diakui sendiri oleh lawan bicara dan musuh-musuhnya. Jadi, tidak heran jika beliau diberi gelar ‘al-Amin (paling dipercaya).” Sebelum diutus sebagai rasul. Bahkan, beliau menjadi rujukan kaumnya tiap kali ada permasalahn sebelum datangnya Islam.
Beliau dikenal yang paling rendah hati dan jauh dari kesombongan. Beliau melarang berdiri untuk menyambut kedatangannya, sebagaimana raja-raja yagn lain, yang selalu disambut kaumnya dengan bediri. Beliau juga dekat dengan fakir miskin, memenuhi undangan siapapun, dan tidak peduli undangan  dari seorang budak ataupun dari majikan. Beliau tidak pandang bulu dalam bergaul. Ketika berkumpul dengan para sahabat, tak ada beda di antara mereka.  Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah menambal sandalnya, menjahit bajunya, mengerjakan sesuatu dengan tangannya sendiri, sebagai mana kalian mengerjakan sesuatu di rumah kalian. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Rasulullah adalah manusia biasa yang merawat baju, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzik).
Rasulullah adalah sosok yang paling menepati janji, selalu menjalin silaturahmi, paling penyayang kepada sesama, paling baik cara bergaulnya, paling baik akhlaknya, jauh dari perangai yang buruk, tidak pernah beruat keji, tidak pernah melaknat orang lain, tidak pernah di pasar, tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan bahkan memaafkannya. Belaiu juga tidak pernah membiarkan orang lain berjalan di belakangnya dan tidak pernah merasa tinggi derajatnya di depan pelayan-pelayannya, baik dalam ha berpakaian maupun makan. Beliau melayani orang yang melayaninya, tidak pernah membentak para pelayannya, dan tidak pernah mencela pekerjaan mereka. Beliau juga mencintai orang-orang miskin, duduk bersama mereka, mengantar jenazah mereka, dan tidak pernah mencela orang-orang fakir.
Secara global, Rasulullah saw, memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Allah telah mendidiknya sehingga menjadi berbudi pekerti mulia. Allah berfirman kepadanya sebagai pujian : “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam (68) : 4).
Inilah yang menggerakkan jiwa untuk mendekatinya, membuat hati mencintainya, menjadikannya pemimpin yang dicintai, melembutkan tabiat kaumnya setelah mereka membencinya. Dari hal ini sehingga mereka masuk Islam secara berbondong-bondong.

Nama-Nama Nabi saw. Dan Gelarnya

Muhammad bin Jubair bin Muth’im meriwayatkan dari bapaknya bahwasanya Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku memiliki banyak nama, aku adalah Muhammad, Ahmad, Al-Mahi (yang menghapus kekufuran dengan izin Allah), al0Hasyir (yang mengumpulkan manusia di bawah kakiku dengan izin Allah), al-‘aqib (tidak ada seoang pun setelahkuj). Dan Allah telah memberi nama beliau Ra’uf Rahim (HR. Muslim).
Pendapat Imam Nawawi tentang sanda Rasulullah : “Aku adalah al-Mahi (yang menghapus kekufuran dengan izin Allah).”
Para ulama berpendapat bahwasanya yang dimaksud menghapus kekufuran adalah menghilangkan kekufuran dari negeri Makkah, Madinah, dan negeri Arab lainnya, serta menghilangkan segala hal yang mencegah beliau di dunia ini. Beliau juga berjanji akan mewujudkan hak-hak umatnya.
Para ulama berpendapat bahwa penghilangan di sini bersifat umu. Artinya, beliau muncul dengan bukti dan kemenangan – sebagaimana firman Allah : “..... agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama ....” (QS. Al-Fath (48) : 28). Hadits lain juga menjelaskan bahwa kata “penghapus” di sini artinya setiap kejelekan orang-orang yang mengikuti beliau akan dihapus. Jadi, inilah yang dimaksud dengan menghilangkan kekufuran.
Sebagaimana firman Allah : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu .... “ (QS. Al-Nafal (8) : 38) dan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Islam menghancurkan ajaran sesat sebelumnya (HR. Muslim).
Adapun sabda Rasulullah : “Aku adalah pengumpul yang seluruh manusia dikumpulkan atas jejakku.” Maksudnya beliau dikumpulkan dahulu sebelum manusia yang lain. Hal ini sesuai dengan riwayat yang lain : “Manusia akan dikumpulkan di bawah telapak kakiku.”. Kemungkinan juga berarti dikumpulkan pada saat beliau berdiri dengan munculnya tanda-tanda hari berkumpul sebagai isyarat bahwa tidak adan nabi dan syariat setelah beliau.
Adapun kata “al-Aqib” beliau menafsirkan dalam hadits yang berarti tidak ada nabi yang datang setelahnya (Nabu Muhammad, saw.).
Al-Hariz mengatakan bahwa yang tampak dari teks adalah Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku memiliki lima nama yang khusus, tidak ada seorang pun sebelumku yang menyamainya, bahkan para pembesar umat sebelumku.”
‘Iyadh mengatakan bahwa Allah menghapus nama-nama ini yang berarti bahwa Dia tidak memberi nama seorang pun dengan nama tersebut sebelum Nabi saw. Hanya saja, sebagian masyarakat Arab memberi nama anak mereka ‘Muhammad’ mendekati kelahiran Nabi saw. Hal ini dikarenakan mereka mendengar dari para dukun dan rahib bahwa seorang nabi akan diutus di masa ini, yang diberi nama Muhammad. Akbitnya, mereka berharap keturunan merekalah yang diangkat sebagai nabi.
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Rasullah adalah orang yang jujur dan dibenarkan kejujurannya. Dalam Kitab Taurat tertulis : “Sesungguhnya ia adalah bagian dari kaum yang tidak bisa baca tulis dan namanya adalah Mutawakkil. Sebagian namanya adalah Al-Amin, bahkan masyrakat Quraisy sendiri telah memanggil dengan nama itu sebelum kenabiannya. Sebagian namanya juga adalah al-Fatih dan Qatsam. Ali bin Zaid bin Jad’an mengatakan bahwa ingatlah sebaik-baik syair yang telah dilantunkan orang Arab, mereka melantunkan apa yang dilantunkan Abu Thalib untuk Nabi saw.
Telah muncul dari namanya untuk diagungkan
Maka, yang memiliki ‘Arsy adalah Muhammad. Sedang ini adalah Muhammad
Sebagian dari nama beliau juga adalah al-Maqfi, Nabiyyuttaubah, dan Nabiyyurrahmah.
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah memberi nama dirinya seraya bersabda : “Aku adalah Muhammad, Ahmad, Maqfi, Nabiyyuttaubah, dan Nabiyyurrahmah.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud Nabiyyutaubah, Nabiyyurrahmah, dan Nabiyyulmarhama adalah beliau datang dengan membawa ajaran bertobat dan berkasih sayang. Allah berfirman : “ .... tetapi berkasih sayang sesama mereka .... “ (QS. Al-Fath (48) : 29). Dan “ ..... dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad (90) : 17).
Dalam riwayat laindisebutkan : “Nabiyyulmalahim.” Hal ini disebabkan beliau diutus dengan membawa perintah perang. Para ulama mengatakan bahwa pembatasan nama-nama ono ---- meskipun beliau memiliki nama-nama yang lain --- karena nama-nama tersebut terdapat dalam kitab-kitab umat-umat terdahulu.
Sebagian nama beliau ada dalam Al-Qur’an tanpa ada perbedaan pendapat adalah asy-Syahid, al-Mubasysyir, an-Nadzir al-Mubin, ad-Da’i illlah, as-Siraj al-Munir, al-Mudzakkir, ar-Rahmah, an-Ni’mah, al-Hadi, asy-Syahid, al-Amin,  al-Muzzammil, adn al-Muddatstsir.
Dalam hadis Amr bin Ash disebutkan bahwa nama beliau adalah al-Mutawwakil, as-syafi’, al-Musyaffa’, ash-Shidiq, dan al-Mashduq.
Ibnu Dahiyah mengatakan bahwa dalam hal nama Rasulullah sebagian dari ulam mengatakan bahwa nama-nama Nabi itu sejumlah nama-nama Allah, yaitu 99 nama.
Adapun gelar beliau adalah Abu Qasim. Sebab, anak paling besar Nabi saw., bernama Qasim. Yang menjadi perbedaan pendapat adalah apakah anak tersebut meninggal sebelum diutus menjadi nabi atau setelahnya. Anas meriwayatkan bahwa suatu saat Nabi saw., berada di pasar. Kemudian seorang laki-laki berkata : “Wahai Abu Qasim.” Nabi pun menoleh seraya bersabda, “Berilah nama dengan namaku, tetapi jangan bergelar dengan gelarku.” (HR. Bukhari).

Ummahul Mukminin (Para Istri Nabi saw.)

1. Khadijah binti Khuwalid al-Quraisyiah al-Asadiyah
Istri beliau yang pertama dan dinikahi sebelum kenabian. Pada waktu itu umurnya sudah 40 tahun, sedangkan Rasulullah berumur 25 tahun. Rasulullah tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal. Semua keturunan Rasulullah saw., berasal dari Khadijah, kecuali Ibrahim. Khadijah yang menguatkan diri Nabi saw, dalam menerima kenabian, berjuang bersama beliau dan membantu beliau dengan harta dan jiwa. Allah dan Malaikat Jibril mengirim salam kepadanya. Ini adalah kekhususan yang tidak dimiliki wanita lain. Khadijah sendiri meninggal tiga tahun seebelum hijrah.
2. Saudah binti Zam’ah a;-Quraisyiah
Beberapa hari setelah Khadijah meninggal, Rasulullah menikah lagi. Dia adalah salah satu istri Rasulullah yang memberikan jatah gilirannya kepada Aisyah.
3. Ummu Abdillah, Aisyah bin Abu Bakar ash-Shiddiq
Dia adalah wanita terbesar dari tuduhan langsung dari langit ke tujuh. Kekasih Rasulullah adalah Aisyah bin Abu Bakar. Allah sendiri yang menunjukkan Aisyah kepada Nabi saw., untuk dinikahi. Dia berfirman : “ini adalah istrimu.” Rasulullah menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal. Waktu itu usia Aisyah 6 tahun. Kemudian Rasulullah berumah tangga dengan Aisyah saat usianya 9 tahun, yaitu pada bulan Syawal tahun pertama setelah hijrah. Rasulullah tidak pernah menikahi gadis selain Aisyah. Wahyu pun turun saat Rasulullah bersama Aisyah dan ini tidak terjadi pada istri Rasulullah yang lain.
Aisyah yang paling dicintai Rasulullah. Pembebasannya dari tuduhan keji turun langsung dari langit. Seluruh umat Islam pun sepakat bahwa yang menuduh Aisyah berzina berarti telah kafir.
Aisyah adalah istri Rasulullah yang paling berilmu dan paham agama. Bahkan, tidak bisa dipungkiri bahwa Aisyah paling paham agama di antara seluruh wanita umat Islam. Hal ini terbukti bahwa para pembesar sahabat selalu meminta fatwa darinya.
4. Hafshah binti Umar bin Khaththab
Abu Dawud menyebutkan bahwa beliau menceraikannya, kemudian merujuknya.
5, Zainab binti Khuzaimah bin Harits al-Qaisiyah.
Dia adalah keturunan Hilal bin Amir. Ia meninggal di sisi saw, setelah berumahtangga dengan beliau selama dua bulan.
6. Ummu Salamah, Hindun binti Umayyah al-Quraisyiah al-Makhzumiyah.
Nama asli Abu Umayyah sendiri adalah Huzaifah bin Mugirah. Ummu Salamah adalah istri Nabi saw., yang paling terakhir wafatnya.
7. Zainab binti Jahsy.
Dia dari keturunan Bani Asad bin Huzaimah. Zainab sendiri masih kerabat Rasulullah, yaitu putri bibi beliau, Umaimah. Allah pernah menurunkan ayat-Nya yang berkaitan dengan perihal Zainab : “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engan dengan dia (Zainab).” (QS. Al-Ahzab (33) : 37.
Oleh sebab itu, ia merasa bangga di depan istri Nabi saw., yang lain seraya berkata : “Kalian dinikahkan keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan langsung oleh Allah dari atas langit ke tujuh.” (HR. Bukhari).
Itlah keistimewaan Zainab yang dinikahkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.
Zainab sendiri meninggal pada awal kepemimpinan Umar bin Khaththab. Ia juga mantan istri Zaid bin Haritsah, yang merupakan anak angkat Rasulullah. Setelah Zaid menceraikannya, Allah menikahkannya dengan Rasul-Nya untuk menjadi teladan bagi umat beliau dalam hal bolehnya menikah dengan mantan istri anak angkat. Apalagi setelah itu Islam meniadakan istilah anak angkat secara khusus.
8. Juwairiyah binti Harits bin Abi Dhihar al-Musthaliqiyah.
Pada mulanya dia adalah tawanan Perang Bani Mutsaliq. Kemudian ia mendatangi Nabi saw., atas nama 90 tawanan lain yang menjadi budak untuk dimerdekakan. Rasulullah pun memenuhi keinginannya dan menikahinya.
9, Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Shahr bin Harbal al-Quraisyiah al-Umawiyyah.
Ada pendapat lain yang menyhebutkan bahwa namanya adalah Hindun. Rasulullah menikahinya saat ia berada di negeri hijrah, yaitu Habasyah dengan mahar 400 dinar. Ummu Habibag meninggal dalam masa pemerintahan saudaranya, Muawiyah. Inilah pendapat yang mutawatir dalam pandangan ahli sejarah. Pernikahannya di mata ahli sejarah memiliki kedudukan yang sama dengan pernikahan Khadijah di Makkah, Hafshah di Madinah, dan Shafiyah setelah Perang Khaibar.
10. Shafiyah binti Hujay bin Akhtab.
Ia adalah pemuka Bani am-Nadhir dari keturunan Harun bin Imran, saudara Musa. Oleh karena itu, Shafiyah termasuk putri nabi, istri nabi, dan wanita yang paling cantik seluruh alam. Shafiyah pernah menjadi tawanan beliau, kemudian beliau mendekatinya dan menjadikan pemerdekaan tersebut sebagai maharnya.
11. Maimunah binti Harits al-Hilaliyah.
Maimunah adalah wanit terakhir yang dinikahi Nabi saw. Pendapat yang shahih mengatakan bahwa Maimunah dinikahi Rasulullah saw., di Makkah setelah umrah qadha’, yakni setelah beliau tahalul.

Mereka itulah para wanita yang dinikahi Nabi saw. Adapun para wanita yangs empat dipinang beliau tanpa dinikahi dan wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau, tetapi Rasulullah tidak menerimanya ada sekitar 4 atau 5 orang. Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah mereka 30 wanita. Para ilmuwan sendiri kurang mengetahui tentang hal ini, bahkan mereka mengingkarinya. Adapun yang terkenal di kalangan mereka adalah Nabi saw., diutus menemui Juwaniyah untuk menikah dengannya. Tatkala beliau datang meminangnya, ia berlindung dari beliau. Oleh karena itu, beliau tidak jadi menikah dengannya.
Begitu juga, seorang wanita bernama Kalbiyah yang memiliki cacat di kulitnya dan seorang wanita yang menghibahkan dirinya,kemudian dinikahi selain Nabi saw. Inilah yang autentik  tentang kisah mereka. Allahu A’lam.
Tidak ada perbedaan, di kalangan ulama bahwa Rasulullah ketika wafat meninggalkan 9 istri, yaitu Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, Shafiyah, Ummu Habibah, Maimunah, Saudah dan Juwairiyah.
Istri yang paling dahulu menyusul Rasulullah setelah beliau wafat adalah Zainab binti Jahsy, yang bertepatan dengan tahun ke-20 setelah hijrah. Sedangkan, istri beliau yang paling terakhir meninggal adalah Ummu Salamah, bertepatan dengan tahun 62 dalam masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah.
Imam Nawawi mengatakan bahwa istri pertama Rasulullah adalah Khadijah, kemudian Saudah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Maimunah, Juwairiyah, dan Shafiyah. Kesembilan istri setelah Khadijah itulah yang ditinggal Nabi saw, menghadap Allah. Rasulullah saw, sendiri tidak pernah memadu Khadijah. Beliau juga tidak pernah menikahi gadis, selain Aisyah. Beliau juga pernah menceraikan beberapa istri --- sengaja penulis tidak sebutkan di sini disebabkan banyaknya perbedaan pendapat di dalamnya.
Rasululklah memiliki daua selir, yaitu Mariyah dan Raihanah binti Zaid. Dalam pendapat lain disebutkan bahwa namanya adalah Bintu Syam’un, kemudian beliau memerdekakannya. Qatadah meriwayatkan bahwasanya Nabi saw, menikahi 15 wanita, kemudian beliau berumah tangga dengan 13 wanita, menghimpun 11 wanita, dan meninggalkan 9 wanita.

Putra-Putra  Nabi saw.

Imam Nawawi mengatakan bahwa Nabi saw., memiliki tiga putra :
1. Qasim
Namanya digunakan sebagai gelar beliau (Abu Qasim). Ia dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal dalam usia dua tahun.
2. Abdullah yang diberi nama ath-Tahyyib dan ath-Tahir.
Ia dilahirkan setelah kenabian. Pendapat lain mengatakan karena ia bukan Abdullah. Yang benar adalah pendapat pertama.
3. Ibrahim
Ia dilahirkan di Madinah tahun ke-8 dan meninggal di sana tahun ke-10 dalam usia 17 bulan atau 18 bulan.

Nabi Muhammad saw, memiliki empat putri :
1. Zainab
Ia dinikahi Abul Ash bin Rabi’bin Uzza bin Abdu Syams yang merupakan putra bibi, yaitu Halal binti Khuwalid.
2. Fatimah
Ia menjadi isti Ali bin Abi Thalib (sahabat  sekaligus saudara sepupu Rasulullah saw.).
3. Ruqayah.
Dinikahi oleh Utsman bin Affan (istri pertama).
4. Ummu Kulsum
Dinikahi oleh Utsman bin Affan (setelah Ruqayah meninggal).
Ruqayah pada akhirnya menjadi nistri pertama Utsman bin Affan, kemudian ia menikahi Ummu Kultsum setelah Ruqayah meninggal. Keduanya (Ruwayah dan Ummu Kultsum) meninggal di sisi Utsman bin Affan sehingga ia diberi gelar Zun Nurain (pemilik dua cahaya).
Ruqayah meninggal pada hari berlangsungnya Perang Badar, yaitu bulan Ramadhan tahun kedua setelah hijrah. Sedangkan, Ummu Kultsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun kesempbilan setelah hijrah.
Dari uraian di atas, tidak ada perbedaan bahwa jumlah putri Nabi saw., adalah empat dan putra beliau --- menurut pendapat yang shahih --- berjumlah tiga orang. Adapun urut-urutan keturunan beliau dari yang tertua adalah sebagai berikut :
Putra pertama, Qasim.
Putri kedua, Zainab.
Putri ketiga, Ruqayah.
Putri keempat, Ummu Kultsum.
Putri kelima, Fatimah.
Dalam satu pendapat dikatakan bahwasanya Fatimah lebih tua dari Ummu Kultsum. Semua keturunan beliau merupakan karunia dari pernikahannya dengan Khadijah, kecuali Ibrahim, yang merupakan karunia dari pernikahannya dengan Mariyah al-Qibtiyah. Semua keturunan Nabi saw., meninggal sebelum meninggalnya beliau, kecuali Fatimah yang masih hidup sampai enam bulan setelah  Nabi saw., wafat. Inilah pendapat yang shahih.

Sifat Nabi saw, dalam Kitab Taurat dan Kabar Gembira bagi Umat Yahudi

Atha’ bin Yasar meriwayatkan bahwa ia pernah menemui Abdullah bin Amr bin Ash seraya berkata : “Beritahukan kepadaku tentang sifat Rasulullah dalam Kitab taurat.” Ia pun menjawab. “Baik, demi Allah! Beliau disifati dalam Kitab taurat dengan sifat yang termaktub dalam Al-Qur’an, yaitu. ‘Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami emngutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan penjaga kaum yang ummiy (tidak bisa baca dan tulis). Engkau hamba-Ku dan utusan-Ku. Aku memberimu nama al-Mutawakkil. Nabi saw., bukanlah orang yang kasar dan keras, bukan pembawa onar di pasar, bukan yang membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi dengan memberi maaf dan lapang dada. Allah tidak mencabut nyawanya, kecuali setelah meluruskan agama Nabi Ibrahim yang diselewengkan orang Arab, yaitu dengan ucapan La ilaha ilallah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah). Beliau membuka mata yang terpejam dengannya, telinga yang terbumbat, dan hat yang tertutup.” (HR. Bukhari).
Salamah bin Salamah bin Waqasy meriwayatkan bahwa sebagian sahabat yang ikut Perang Badar berkata : “Kami pernah memiliki tetangga Yahudi di daerah Bani Abdul Asyhal. Suatu hari ia keluar dari rumahnya untuk mengunjungi kami. Hal itu terjadi sebelum datangnya kenabian. Ia pun berhenti di majelis Abdul Asyhal.” Salamah melanjutkan, “Saat itu aku berbicara dengan orang yang sebaya umurnya denganku, yang berbaring di atas selendangnya di halanan rumahku. Ia pun berbicara tentang hari berbangkit, hari kiamat, hari perhitungan, timbangan amal, surga, neraka. Ia menjelaskan bahwa hal-hal tersebut untuk orang-orang musyrik, penyembah berhala, yang tidak meyakini bahwa hari berbangkit akan terjadi setelah kematian mereka. Orang-orang pun mencelanya dengan berkata, “Celakalah engkau, bagaimana mungkin manusia akan dibangkitkan setelah kematian mereka, kemudian dimasukkan surga atau neraka untuk diberi balasan atas perbuatan mereka?” Ia pun menjawab, ‘Ya, demi Dzat yang bersumpah dengannya, sungguh Dia lebih suka jika neraka itu lebih dahsyat panasnya menjaganya di dunia.”
Mereka berkata, “Celakalah engkau, lalu apa tanda-tandanya?” Ia menjawab “Nabi yang akan diutus dari negeri ini (sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Makkah dan Yaman)”.
Mereka berkata : “Kapan engkau melihatnya?” Salamah melanjutkan, “maka ia pun melihat ke arahku --- aku sendiri yang paling muda usianya – maka ia menjawab. “Orang yang usianya sebaya dengan pemuda ini akan menjumpainya.”
Salamah melanjutkan : “Demi Allah! Siang dan malam tak henti-hentinya berganti sampai diutusnya Nabi saw., dan beliau hidup di tengah-tengah kami. Kami pun beriman kepadanya, dan rasa dengki dihapus karenanya. Kami pun berkata, “Celakalah engkau, wahai Fulan! Bukankah dirimu termasuk yang engkau sampaikan kepada kami?”  Ia menjawab, “Bukan demikian.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Thabrani).
Ka’ab Akhbar berkata : “Sungguh aku menemui dalam Kitab taurat, ‘Muhammad Rasulullah tidak aksar dan keras, tidak membuat onar di pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi pemaaf dan lapang dada. Umatnya adalah orang-orang yang suka memuji Allah dalam setiap kedudukan, selalu bertakbir membesarkan-Nya atas setiap eprtolongan yang diberikan-Nya, selalu membersihkan diri mereka, merapikan barisan mereka dalam shalat dan peperangan, tempat kelahirannya di Makkah, dan kerajaannya di Syam.” (HR. Darimi).

Kabar Dukun tentang Diutusnya Nabi Muhammad saw.

Abdullah bin Umar r.a., meriwayatkan seraya berkata : “Aku tidak pernah mendengar Umar berkata, ‘Sesungguhnya aku mengira seperti ini; kecuali hal tersebut terjadi seperti yang ia kira. Suatu hari Umar duduk-duduk, tiba-tiba seorang laki-laki tampan melewatinya. Ia pun berkata tentang laki-laki tersebut, “Sungguh perkiraanku yang salah, atau sesungguhnya orang ini atas agamanya di masa jahiliyah, atau ia benar-benar dukun mereka. Maka ia memanggilnya dan mengatakan hal tersebut. Lakik-laki itu berkata kepada Umar. ‘Aku tidak mengira pada hari ini disambut seorang muslim.’ Ia melanjutkan, ‘Aku sungguh menginginkanmu, kecuali engkau memberitahukan sesuatu.’ Ia berkata, ‘Aku dahulu dukun mereka di masa jahiliyah. Ia melanjutkan, ‘Sungguh menakjubkan sesuatu yang dibawa jin perempuan.’ Ia berkata, ‘Suatu hari saat aku berada di pasar, ia mendatangiku dalam  keadaan cemas seraya berkata :
Apakah engkau tidak melihat jin dan kebingungannya
Kegundahannya setelah disa-siakan
Diperas tanpa henti-hentinya
Ia berkata, “Berarti benar ketika aku tidur di sisi sembahan-sembahan mereka, ketika seorang laki-laki datang membawa anak sapi dan menyembelihnya, lalu ia berteriak dengan teriakan yang belum pernah aku dengar sambil berkata, ‘Wahai yang tak bertanduk, perkara telah berhasil.’ Seseorang yang fasih berkata, ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah,’ kemudian kaum pun memusuhinya. Aku berkata, “Aku terus mengamati sampai mengetahui di balik semua ini, kemudian ia memanggil-manggil, ‘Wahai yang tak bertanduk, perkara telah berhasil, seseorang yang fasih mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah.’ Aku lalu berdiri, kemudian tidaklah kami berselisih sampai dikatakan, ‘Ini adalah nabi.”
Jabir juga meriwayatkan seraya berkata, “Sesungguhnya kabar tentang Rasulullah yang pertama kali sampai ke telinga kita adalah bahwa seorang wanita pernah memiliki jin. Ia melanjutkan, “maka jin tersebut mendatanginya dalam bentuk burung, kemudian hinggap di batang pohon. Perempuan itu berkata. “Apakah engkau tidak turun untuk saling bertukar kabar?’ Jin tersebut lantas berkata, ‘Sungguh telah muncul seorang laki-laki di Kota Makkah yang mengharamkan zina dan melarang kita untuk bergaul.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Keadaan Masyarakat Jahiliah sebelum Diutusnya Nabi saw.

Para ahli sejarah secara umum telah sepakat bahwa kehidupan manusia – pada umumnya – dan kehidupan Arab – pada khususnya – mengalami kehidupan dalam kegelapan dan kebodohan, gelapnya kezaliman dan kekerasan, serta kerajaan Persia di Timur dan Romawi di Barat saling berebut kekuasaan. Keadaan ini dikuatkan oleh sabda Nabi Muhammad saw, “Seungguhnya Allah melihat penduduk bumi maka Dia membenci mereka baik orang Arab maupun selain Arab, kecuali golongan ahli kitab.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Keadaan-keadaan tersebut menimpa kehidupan manusia, termasuk keluarga mereka. Apalagi bangsa Arab yang ditimpa kerusakan dalam setiap lini kehidupan, baik secara politis – seperti keadaan ekonomi – dan secara sosial – seperti kerusakan agama.
Pada masa diutusnya Nabi Muhammad saw., Kota Makkah dipenuhi gelombang kerusakan yang bergerak dengan kencang. Misanynya, menyebarnya dosa-dosa tanpa memandang norma agama, penurutan hawa nafsu, kaum lelaki semena-mena untuk memenuhi nafsu mereka,d an merusak pola pikir untuk kepentingan mereka.
Mereka mengingkari Allah dan hari kiamat, mementingkan kehidupan dunia untuk memenuhi hawa nafsu mereka, haus akan jabatan dan kehormatan. Bahkan, fanatisme b uta yang mereka banggakan sehingga peperangan satu sama lain untuk mengejar semua itu, dan taklid buta yang turun-temurun menghantam kesungguhan seseorang dalam berakhlak.
Termasuk sebuah kesalahan ketika ada yang mengira bahwa Kota Makkah saat itu jauh dari peradaban, hanya daerah terpencil dengan padang pasirnya yang tidak produktif, tidak mengenal kemajuan dunia, kecuali hanya hal-hal yang primer dalam kehidupan. Sekali-kali tidak, Kota Makkah bukanlah kota yang kenyang akan kemajuan sampai menjadi kebanggan dan melekatlah kesombongan itu sampai binasa, dan makin banyaknya paham-paham ateis bermunculan. Akibatnya, mereka bingung antara menerima kebenaran dan menentangnya, bahkan mereka meniru gaya fir’aun yagn zalim dan sombong.
Amr bin Hasyim dalam mengomentari perngingkarannya terhadap risalah Muhammad saw., berkata : “Bani Abdi Manaf telah mendesak kami di sebelah timur, sampai kami menjadi kuda gadaian.” Mereka berkata. “Dari golongan kami seorang nanbi menerima wahyu. Demi Allah, kamit idak akan beriman kepadanya sampai datang kepada kami sebuah wahyu seperti yang diwahyukan kepadanya. ‘Mereka mengira bahwa Walid bin Mugirah berkatga kepada Rasulullah saw., “Andaikan kenabian itu hak, tentulah aku lebih berhak darimu karena kau lebih tua dan lebih banyak harta.”
Dalam haditsnya Ummu Salamah tentang hijrah ke Habasyah dan dialog Ja’far dengan Raja Najasyi, Ja’far berkata, “Waai Raja, kami adalah golongan penyembah berhala di masa jahiliyah, kami memakan bangkai, melakukan hal yang keji, memutuskan tali silaturahmi, menyakiti tetangga, semena-mena terhadap yang lemah, sampai Allah mengutus seorang Rasul dari golongan kami. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya,d an sellau menjaga dirinya. Ia pun mengajak ke jalan Allah, untuk menyembah-Nya dan beribadah hanya karena-Nya, kemudian kami melepas diri dari penyemabahn tuhan-tuhan terdahulu yang terbuat dari batu. Ia memerintahkan kejujuran dalam bicara, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, beruat baik kepada tetangga, mencegah pembunuhan, melarang kami berbuat keji, sumpah palsu, memakan bangkai, dan menuduh wanita baik-baik dengan tuduhan zina.” (HR. Ahmad).
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa jika engkau ingin mengetahui kebodohan orang Arab, bacalah  QS. Al-An’am (6) : 140 : “Sungguh rugi, mereka yang membunuh anak-anaknya karena kebodohan tanpa pengetahuan, dan mengharamkan rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka dengan semata-mata membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Sungguh, mereka telat sesat dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am (6) : 140 ).” (HR. Bukhari).
Ketika bumi dipenuhi kerusakan dan kesesatan, bertambahlah keinginan untuk mencari sang pencerah, pembawa perubahan. Ada banyak laki-laki yang mengingkari kebodohan, berbangga diri dengan nasab, dan mereka berharap menjadi orang yang terpilih. Antara lain Umayyah bin Ubai yang menjadikan syairnya membicarakan tentang Allah dan yang wajib dilakukan untuk memuji-Nya. hingga Rasulullah saw., bersabda tentang dirinya : “Umayyah hampir masuk Islam.”
Amr bin Syarid meriwayatkan dari bapaknya. “Aku berjalan di belakang Rasul. Beliau bersabda : “Apakah kamu memilih syair Umayyah bin Abi Ash-Shalat?” Aku pun menjawab : “Ya. Beliau melanjutkan : “Tunjukkan kepadaku.” Aku pun melantunkan satu bait syairnya. Beliau melanjutkan. “Tunjukkan lagi.” Sehingga aku pun melantunkan sampai seratus bait.” (HR. Muslim).
,
Kebiasaan Buruk dalam Masyarakat Jahiliah

1. Qimar
Qimar lebih dikenal dengan perjudian. Ini adalah kebiasaan penduduk kota di kepulauan Arab, seperti Makkah, Thailf, Shan’a, Hajar, Yatsrib, dan Daumatul Jandal. Islam datang untuk  elarangnya,s ebagaimana firman Allah. “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi (berkurban untuk) berhala,d an mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah (5) : 90).
2.  Minum Khamar
Masyarakat Arab di masa jahiliah gemar minum khamar dan berkumpul untuk membanggakan diri karena meminum khamar yang paling mahal. Ini merupakan kebiasaan orang-orang kaya di kota, para pembesar, para sastrawan,d an para penyair. Ketika kebiasaan buruk ini telah mengakar dalam diri mereka, Allah mengharamkannya dengan cara bertahap, sedikit demi sedikit. Inilah tanda kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya.
3.  Nikah Istibdha’
Pengertian nikah istibdha’ adalah seorang istri yang datang haid, kemudian datang masa suci. Setelah itu, sang suami memintanya untuk memilih laki-laki yang paling mulia nasab dan akhlaknya untuk menggaulinya dengan tujuan menghasilkan keturunan yang empurna dari lakki-laki tersebut.
4. Wa’dul Banat
Pengertian wa’dul bnanat adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena takut celaan manusia. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mencela perbuatan  demikian pada hari kiamat. Allah berfirman, “Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apa dia dibunuh?” (QS. At-Takwir (81) : 8 – 9).
5. Membunuh Bayi secara Mutlak
Maksud membunuh bayi secara mutlak di sini adalah membunuh semua bayi, laki-laki maupun perempuan. Hal ini dilakukan karena keadaan fakir dan kelaparan atau sekadar takut menjadi fakir. Ketakutan ini muncul dikarenakan adanya tanda-tanda kefakiran yang telah tampak, yaitu ditandai dengan tanah yang tandus. Paceklik karena terputusnya hujan, atau sedikitnya curah hujan. Oleh karena itu, Islam mengharamkan kebiasaan buruk ini.
Alalh berfirman : “ .... Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.....” (QS. Al-An’am (6) : 151).
Firman-Nya yang lain, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin.” (QS. Al-Isra’ (17) : 31).
Kata al-Imlaq dalam dua ayat tersebut secara sendiri berarti kefakiran yang luar biasa dahsyatnya.
6.  Tabarruj
Tabarruj yang dimaksud adalah keluarnya para wanita dengan menampakkan perhiasan. Mereka berjalan di depan para lelaki yang bukan mahram dengan genit seolah-oleh menawarkan diri mereka menggoda yang lainnya.
7. Menjadikan Wanita Merdeka sebagai Gundik
Caranya adalah di antara mereka saling berhubungan dan saling tukar cinta secara sembunyi-sembunyi, padahal mereka bukan mahramnya. Oleh karena itu, Islam mengharamkan perbuatan bejat ini dengan firman Allah, “ .... Dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya .... “ (QS. An-Nisa’ (4):25), dan  “.... dab bukan untuk menjadikan perempuan-perempuan....” (QS. Al-Maidah (5) :51).
8.  Menyiarkan Budak Perempuan
Hal ini dilakukan dengan cara salah satu dari mereka memasang bendera merah di depan pintu rumahnya supaya diketahui bahwa ia bukan wanita baik-baik. Kemudian para lelaki menggaulinya, lalu ia mengambil upah sebagai ganti pemuas hawa nafsu.
9. Fanatisme Kesukuan
Mereka melakukan berdasarkan kaidah, “Tolonglah saudaramu yang menzalimi atau dizalimi.”. Kemudian Islam datang untuk memerintahkan pemeluknya supaya menolong saudara muslimnya yang jauh dan yang dekat. Hal ini disebabkan persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan sesama muslim. Jadi, untuk menolong saudara yang dizalimi, yaitu dengan cara mencegah kezaliman yang menimpa mereka. Sedangkan, untuk menolong saudara yang menzalimi deilakukan dengan cara mencegahnya beruat zalim. Rasulullah saw. Bersabda : “Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi” Maka beliau ditanya, “Wahai Rasulullah! Aku menolongnya waktu ia dizalimi, bagaimana aku menolongnya ketika ia yang menzalimi?” Beliau pun bersabda. “Engkau mencegahnya dari beruat zalim/” (HR. Bukhari).
10.  Selalu menyalakan api Peperangan untuk Merampas Hak Orang lain
Suku yang kuat menindas yang lemah untuk merampas harta ,mereka. Hal ini disebabkan tidak ada hukum dan undang-undang yang dijadikan pijakan dalam kehidupan mereka.
Di antara perang mereka yang terkenal adalah Perang Dahis dan Fizarah dan Perang Ghabra  --- yang terjadi antara Abbas melawan Dzibyan dan Fizarah – serta Perang Basus. Dikatakan, “Aku, mengalami kesialan dari Perang Basus yang berlangsung selama setahun. Perang ini terjadi antara suku Bakar dan Tughlub. Kemudian Perang Bughats yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj di Madinah mendekati datangnya Islam. Kemudian Perang Fujjar yang terjadi antara Qais melawan Kinanah dan Quraisy. Dinamakan Perang Fujjar karena hal itu terjadi dalam bulan yang diharamkan berperang.
11.  Menganggap Remeh Sifat Sombong dan Kekerasan
Hal ini karena mereka meremehkan para tukang besi, para penenun, para ahli bekam, dan para petani. Mereka menganggap semua profesi tersebut hanya untuk para budak, baik budak laki-laki maupun perempuan.
Adapun di kalangan merdeka, mereka mencukupkan untuk berdagang, menunggang kuda, mengerahkan peperangan, melantunkan syair, dan membanggakan diri dengan keturunan.

Pernikahan di Masa Jahiliah

Aisyah menceritakan bahwasanya pernikahan di masa jahiliah ada empat macam :
1. Pernikahan Hari Ini.
Hal ini dilakukan dengan cara seorang laki-laki mendatangi laki-laki lain untuk meminang putrinya, seketika itu diserahkan maharnya dandinikahinya.
2.  Nikah Istibdha’
Hl ini dilakukan dengan cara seorang suami mengatakan kepada Istrinya setelah suci dari haidnya, “Pergilah kepada si Fulan, lalu mintalah supaya digauli.” Setelah itu sang suami menjauhinya sampai diketahui kehamilan sang istri dari laki-laki yang ditentukan sang suami sebelumnya. Ketika telah jelas kehamilannya, sang suami menggaulinya jika ia menginginkannya. Ini dilakukan hanya untuk kemuliaan sang anak.
3. Pernikahan Tanpa Berumah Tangga
Hal ini dilakukan dengan ungguh kalian telah mengetahui perkara kalian, aku telah melahirkan, ia adalah anakmu wahai Fulan, wanita itu pun menyebut nama orang yang dipilihnya, lalu diserahkanlah anak tadi kepada laki-laki tersebut tanpa penolakan apapun.”
4.  Pernikahan Berkumpulnya banyak Manusia
Hal ini dilakukan dengan cara orang-orang berkumpul, kemudian mereka mendatangi seorang wanita untuk menggaulinya secara bergiliran. Wanita tadi diharuskan dari golongan wanita jalang yang menandai diri merek dengan memasang bendera di depan rumah sebagai tanda. Lalu, siapa saja yang menginginkan mereka, dipersilahkan menggunakannya. Ketika salah satu wanita hamil dan melahirkan, orang-orang yang menggaulinya dikumpulkan, dan dipanggilah laki-laki yang mirip dengan sang anak. Setelah itu, mereka menyerahkan anak tersebut, kemudian dinasabkan kepadanya, dianggap anaknya tanpa ada penolakan. Setelah Rasulullah diutus, pernikahan di masa jahiliah dihancurkan, kecuali pernikahan hari ini. (HR. Bukhari).

Kebiasaan Baik dalam Masyarakat Jahiliah

1. Jujur
Yaitu jujur dalam ucapan. Sifat mulia ini telah dikenal masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Setelah itu, datanglah Islam yang mengukuhkannya.
2. Menjamu Tamu
Mereka memberi makan kepada tamu yang datang. Hal ini termasuk tanda  kedermawanan yang membuat pelakukanya terpuji. Islam pun datang untuk menguatkan,s ebagaimana sabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah memuliakan tamunya.”
3. Menepati janji
Masyarakat Arab membiasakan diri tepat janji dan pantang merusaknya meskipun terkadang harus mengorbankan harta. Ini merupakan akhlak yang mulia. Islam pun mengukuhkan sifat ini dengan firman Allah : “ ... Orang-orang yang menepati janji apabila berjanji ......” (QS. Al-Baqarah (2) : 177).
4. Menghormati Tetangga, Melindungi Orang Yang Meminta Perlindungan darinya. Tidak pernah mengingkarinya dalam Kondisi Apa pun.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Kami telah menolong orang-orang yang engkau tolong wahai Ummu Hani.” Kaum Muslimin telah melindungi Abu al-Ash bin rabi’ – padahal ia termasuk orang musyrik – sampai ia memasuki Kota Madinah untuk mengambil titipan dan hartanya, kemudian kembali ke Makkah. Selang beberapa hari, ia pun masuk Islam.
5. Sabar dan Tahan Uji
Masyarakat Arab terbiasa dengan ujian, hingga mereka pun berkata, “Seorang wanita merdeka sedang lapar. Meskipun demikian, ia tidak memakan kedua payudaranya.” Islam pund atang dan mengukuhkan sifat mulia ini. Allah berfirman : “ ... Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu ... “ (QS. Ali ‘Imran (3) : 200) dan Rasulullah bersabda : “Barang siapa bersabar, ia pasti meraih kesuksesan.”
6. Pemberani, Pantang Mundur, dan Menjaga Harga Diri.
Masyarakat Arab paling tidak suka dihina dan direndahkan. Inilah yang menjadikan mereka istimewa dari yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dibuktikan dalam ksiah dansyair-syair mereka.
7. Menghormati Tempat-tempat dan Bulan-Bulan yang Dimuliakan.
Hal ini mereka lakukan dengan cara tidak berperang dalam waktu dan tempat tersebut, kecuali dalam keadaan terpaksa. Mereka juga selalu menjamin keamanan para pendatang yang mengunjungi tanah haram meskipun mereka memiliki masa lalu yang buruk.
8. Mereka mengharamkan untuk Menikahi Ibu dan Anak Perempuan Sendiri.
9. Mereka membiasakan diri mandi jinabat.
10. Mereka membiasakan berkumur dan Istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya).
11. Bersiwak, Bersuci, Memotong Kuku, dan Mencabut Bulu Ketiak.
12. Berkhitan untuk Anak laki-laki dan Khufadh (mengurangi) untuk anak Perempuan.
13. Memotong Tangan Kanan bagi Pencuri.
14. Haji dan Umrah.

Itulah sejumlah kebiasaan-kebiasaan terpuji yang dikenal masyarakat Arab di masa jahiliah sebelumd atangnya Islam. Meskipun kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak dimiliki semua orang dalam masyarakat Arab, secara umum mereka memilikinya. Andaikata tidak ada keinginan penulis untuk meringkas pasti penulis akan mencantumkan bukti-bukti berupa ucapan mereka secara tersusun rapi. Cukuplah kisa Abu Sufyan yang mewakilinya.
Sesungguhnya Abu Sufyan bin Harb saat menghadapi Heraklius penguasa Romawi di Syam, yang menanayai tentang Nabi saw., Abu Sufyan tidak menyembunyikan sedikit pun hal-hal yang ditanyakan kepadanya. Padahal waktu itu dia masih musyrik dan masih dalam memerangi Islam.

 Para Pencari Kebenaran

Sejarah Islam telah menghimpun, baik masa lalu maupun sekarang, banyak contoh yang luar biasa tentang  orang-orang yang mendapat petunjuk, yaitu orang-orang yang kuat tekadnya dalam mencari agama yang benar. Mereka mengerahkan tenaga menuju ke sana sehingga patutlah mereka jadikan contoh dan bukti untuk Allah atas hamba-Nya. yaitu, barangsiapa yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran didasari keikhlasan, pasti Allah akan menunjukkan jalan dan memberikan nikmat terindah, yaitu nikmat Islam.
Dalam sejarah Islam kita bisa mengenal lebih dekat sosok sahabat yang menempuh gerbang, banyak suku dan negeri-negeri dalam mencari kebenaran. Tekadnya yang kuat menghalanginya dari berputus asa dalam menempuh jalan yang penuh duri meskipun hanya sedetik.
Pada hakikatnya, penulis menghadiahkan kisah tersebut untuk kaum muslimin di zaman sekarang yagn tidak mengetahui betapa berharganya nikmat Islam – kecujali yang dikasihi Allah. Ketika agama dan dunia saling berhadapan, mereka menyingkirkan agama ke samping dan meletakkan dunia di atas kepala – tiada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa Salman al-Farisi berkata : “Aku dahulu berasal dari penduduk Persia. Suku Ashbahan, tinggal di Kampung Jai. Ayahku sebagai pembesar kampung tersebut. Dia sangat mencintaiku melebihi harta dan saudara-saudaraku. Saking cintanya kepadaku, diapu menahanku di rumah, sebagaimana seorang gadis. Aku pun menyembah api, bahkan sempat menjadi penjaga api suapay tidak apdam. Aku melakukannya tanpa berpikir hal itu benar atau salah. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan orang-orang. Sampai-sampai ayahku membuat bangunan khusus untuk api tersebut. Ayahku memiliki ladang yang memerlukan penggarapan. Dia pun memanggilku seraya berkata, “Anakku! Engkau tahu aku sibuk mengurusi bangunan ini sehingga ladangku terbengkelai. Hal ini perlu kmita pikirkan. Ayahku pun berangkat ke ladangnya dan menyuruh orang-orang melakukan ini dan ini. Ia pun berkata kepadaku, “Janganlah engkau jauh dariku karena jika itu terjadi, engkau akan membuatku sibuk memikirkanmu dariapda yang lain.” Aku pun keluar menuju ladang. Di perjalanan aku melewati sebuah gereja umat nasrani, aku mendengar suara-suara mereka di dalamnya, aku bertanya, “Apa ini? Mereka menjawab, “Mereka adalah umat nasrani yang sedang beribadah.” Aku pun masukd an mengamati, aku heran terhadap apa yang mereka lakukan. Demi Allah, aku terus duduk di dalamnya sampai terbenamnya matahari.”
Ayahku pun mengirim semua keperluanku sampai aku mendatanginya di malam hari, dan saat itu aku belum pergi ke ladangnya. Ayahku bertanya, “Kamu dari mana saja? Bukankah aku sudah aktakan kepadamu? Aku pun menjawab, “Wahai ayah! Aku tadi melewati sekumpulan manusia yang disebut sebagai umar nasrani, lalu ibadah mereka membuatkuj heran. Aku pun duduk mengamati bagaimana mereka melakukannya. Ayahku berkata, “Nakku, agamu dan agamaa nenek moyangmu lebih baik daripada agama mereka.” Aku menjawab, “Tiadak, wahai ayah, agama kita tidak lebih baik daripada agama mereka.” Mereka menyembah Allah dan berdoa kepada-Nya. sedangkan kita, hanya menyembah api yang kita nyalakan dengan tangan kita sendiri. Ketika api tersebut kita tinggal, ia pun akan mati.” Setelah itu ayahku, mengancamku dan membelnggu kakiku dengan besi, mengurungku di rumahnya. Setelah itu aku dikirim kepada  orang-orang nasrani, aku pun bertanya kepada mereka. “Dari manakah asal mula agama kalian yang aku lihat? Mereka menjawab. “ Dari Syam. Aku melanjutkan, “Jika datang orang-orang dari sana, tolong beritahu aku. Mereka menjawab, Baik. Setelah itu, datanglah orang-orang dari Syam dalam perdagangan mereka.
Setelah itu, aku diberitahu bahwa rombongan dari Syam telah datang, aku akan dipertemukan dengan mereka setelah mereka selesai berdagang. Aku pun membuang besi yang ada di kakiku dan segera menyusul mereka. Lalu, aku pergi bersama mereka menuju Syam. Setelah sampain di Syam, aku bertanya, “Siapakah yang paling baik agamanya di sini?” Mereka menjawab, “Uskup yang tinggal di gereja.” Aku pun bergegas mendatanginya dan bertanya, “Aku ingin tinggal bersamamu di gereja sehingga aku dapat beribadah kepada Allah dan belajar kebaikan darimu.” Ia pun menjawab, “Baik, tinggalah bersamaku.”
Ia melanjutkan, “Ternyata laki-laki itu berakhlak buruk, ia menyuruh sedekah dan menganjurkannya. Setelah terkumpul, sedekah itu ia timbun dan tidak diberikan kepada fakir miskin. Aku pun marah-marah kepadanya setelah melihat kelakuannya tersebut. Tak lama kemudian ia meninggal. Saat orang-orang datang untuk memakamkannya, aku sampaikan kepada mereka, “Sesungguhnya orang ini telah berbuat jahat kepada kalian, ia menyuruh bersedekah dan menganjurkannya kepada kalian, hingga ketika sedekah terkumpul, ia menimbunnya dan tidak menyerahkannya kepada fakir miskin. Mereka bertanya, “Apa buktinya?” aku pun menjawab, “Aku akan tunjukkan harta yang ia timbun.” Mereka berkata, “Ayo tunjukkan.” Setelah itu aku mengeluarkan harta timbunannya berupa tujuh buah guci yang dipenuhi emas dan perak. Setelah semua orang melihatnya, mereka berkata, “Demi Allah Orang ini jangan sampai dimakamkan. Mereka pun menyalibnya dengan kayu dan melemparinya dengan batu. Setelah itu mereka memilih seseorang untuk menggantikan kedudukannya. Demi Allah, wahai Ibnu Abbas! Aku tidak pernah meliaht seorang laki-laki yang shalat lima waktu, aku melihatnya lebih utama dari yang sebelumnya. Ia lebih sederhana, tidak rakus. Ia tidak membayangkan bahwa aku memiliki simpati kepadanya. Lalu, aku pun selalu menemaninya sampai ia meninggal. Aku berkata, “Wahai Fulan! Telah datang perkara dari Allah yang tidak bisa engkau pungkiri. Dan aku sangat bersimpati kepadamu, apakah yang akan engkau perintahkan kepadaku? Kepada siapakah engkau akan mewasiatkanku?” Ia pun berkata, “Anakku! Demi Allah, Aku tidak mengetahui siapa-siapa kecuali seorang laki-laki di Mosul. Datangilah kepadanya, engkau akan menjumpainya memiliki akhlak sepertiku.”
Setelah Wugaib meninggal, aku pergi ke Mosul, kau datangi penghuninya, aku pun menjumpainya berakhlak seperti yang dikatakan dalam hal kesungguhan dan kesederhanaan di dunia. aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Fulan berwasiat kepadaku untuk menemuimu dan tinggal bersamamu.” Ia menjawab, “Baik.”. tinggalah bersamaku. Setelah itu, aku pun tinggal bersamanya sebagaimana yang diwasiatkan temannya di Syam sampai ajal menjemputnya. Akun pun berkata, “Sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku untuk menemuimu, sekarang ajal menjemputmu, kepada siapakah engkau mewasiatkanku?” ia menjawab, “Demi Allah! Aku tidak mengetahui siapa-siapa kecuali seorang laki-laki di Nashibain, ia berakhlak seperti kita, temuilah ia.” Setelah kami memakamkannya, aku menemui yang lain dan mengatakan, “Wahai Fulan! Sesungguhnya si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemuimu.” Ia menjawab, “Tinggallah bersamaku.” Aku pun tinggal bersamanya sampai ajal menjemputnya. Aku bertanya kepadanya, “Wahai si Fulan! Sekarang ajal menjemputmu, dahulu si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si Fulan, dan Si Fulan telah mewasiatkan kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si Fulan mewasiatkan kepada untuk menemuimu, kepada siapakah engkau mewasiatkanku?” Ia menjawab, “Anakku! Demi Allah, aku tidak mengetahii siapa-siapa  yang akhlaknya seperti kita kecuali seorang laki-laki di Amuriyah, Romawi. Temuilah ia, pasti engkau akan menjumpainya berakhlak sepertiku dan teman-temanku dahulu. Maka, aku tinggal bersamanya. Aku juga bekerja sampai memiliki kambing dan sapi. Beberapa hari kemudian, ajal menjemputnya. Aku bertanya, “Wahai Fulan! Dahulu si Fulan berwasiat kepadaku untuk mendatangi Fulan,d an Fulan berwasiat kepadaku untuk mendatangi Fulan, dan Fulan berwasiat kepadaku untuk mendatangimu. Sekarang ajal menjemputmu maka kepada siapakah engkau akan mewasiatkanku?” Ia menjawab, “Anakku! Demi Allah, aku tidak mengetahui apakah masih ada orang yang berakhlak seperti kita. Namun engkau sekarang berada di zaman seorang nabi yang diutus dari tanah haram. Jaraknya dari sini sekitar perjalanan antara dua gurun pasir sehingga engkau akan menjnumpai pohon kurma di daerah tersebut. Dalam diri nabi tersebut terdapat tanda penutup para nabi, ia berkenan menerima hadiah dan menolak sedekah. Jika engkau mampu pergi ke darah tersebut, lakukanlah karena engkau berada satu masa dengannya saat ini.
Setelah kami memakamkannya, aku berdiri menanti rombongan pedagang Arab dari suku Kala. Saat mereka tiba, aku berkata, “Apakah kalian sudi membawaku bersama kalian ke tanah Arab?” Sebagai imbalannya, akan kuserahkan kambing dan sapiku ini!” Mereka  menjawab, “Baiklah, ikutlah bersama kami.” Aku lalu memberikan kambing dan sapiku. Setelah kami sampai ke sebuah lembah yang dikenal Lembah Qura, mereka menzalimiku, menjualku sebagai budak kepada laki-laki Yahudi di daerah tersebut. Demi Allah! Aku melihat pohon kurma, dan aku berharap daerah tersebut merupakan yang disampaikan temanku sebelum meninggal, dan tempat yang aku nanti-nantikan. Setelah itu, datanglah seorng laki-laki Yahudi dari Bani Quraizhah di lembah tersebut. Lalu, majikanku menjualku kepadanya. Ia pun membawaku ke Madinah. Demi Allah! Ia yang aku lihat dan aku ketahui sifatnya. Aku tinggal bersamanya dalam masa perbudakan. Maka Allah mengutus Nabi saw, tanpa ada yang memberitahuku dalam masa perbukana tersebut sampai beliau mendatangi daerah Quba. Saat itu aku bekerja di keun kurma milik tuanku, aku berada di sana saat anak pamannya datang. Ia lalu berkata, “Wahai Fulan! Allah telah memerangi Bani Qailah. Dan demi Allah, mereka sekarang di Quba, berkumpul dengan seseorang dari Makkah. Mereka mayikininya sebagai nabi.” Demi Allah! Itulah yang aku dengar. Aku pun  gemetar sampai-sampai hampir jatuh ke pangkuan temanku. Aku lalu bertanya. “Kabar apa ini? Apa itu?” Majikanku lantas menamparku sambil berkata. “Apa urusanmu dengan kabar ini, kembalilah bekerja! Aku menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar berita dan hanya ingin mengetahuinya.” Saat malam tiba, aku hanya memiliki sepotong makanan yang akan aku bawa untuk Rasulullah di Quba. Saat bertemu beliau, aku mengatakan, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau adalah orang shalih yang memiliki banyak sahabat dalam keterasingan. Aku memiliki sesuatu untuk disedekahkan dan aku melihat engkau orang yang paling berhak menerimanya did aerah ini.” Lalu, Rasulullah menerimanya seraya berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah! Beliau sendiri tidak memakannya. Aku berguman, “Inilah sifat yang disampaikan oleh sahabtku dahulu.”
Aku pun kembali. Rasulullah sendiri pergi menujuu Madinah. Aku mengumpulkan apa saja yang aku miliki untuk dipersembahkan kepada Rasulullah. Saat aku menemui beliau, aku pun berkata, “Aku melihat engkau tidak makan dari sedekah. Oleh karena itu, ini sebagai hadiah dan tanda kehormatan, bukan sedekah. Rasulullah pun makan dari hadiah tersebut, diikuti para sahabat beliau. Lalu aku berkata, “Inilah dua tabiatnya.!
Aku mendatangi Rasulullah yang saat itu sedang mengirin jenazah. Aku mengenakan dua jubah, sedangkan beliau bersama para sahabat. Aku pun  berbalik ke belakang beliau untuk meliaht tanda di punggungnya. Ketika beliau melihatku demikian, aku pun berbalik badan. Beliau mengetahui bahwa aku ingin membuktikan sesuatu yang disifatkan untukku. Beliau pun membuka baju dan punggungnya, aku pun melihat tanda antara kedua pundak beliau sebagaimana yang diaktakan sahabtku. Seketika itu, aku memeluk punggung beliau dan menciumnya sambil menangis. Beliau saw, bersabda, “Berbaliklah seperti ini, wahai Salman!” Aku berbalik dan duduk di hadapan beliau. Aku lebih merasa senang lagi saat para sahabt, mendengar perkataanku tentang beliau. Aku pun berbicara dengan beliau. “Wahai Ibnu Abbas, sebagaimana kita bicara saat ini?” Setelah aku selesai, Rasulullah bersabda, “Tulislah, wahai Salman!” Kemudian aku menulis 300 kurma yang aku tanam atas nama sahabatku dan 40 uqiyah. Para sahabat membantuku dengan 50 benih kurma. Setiap orang dari mereka memberikan apa yang ia mampu. Rasulullah saw., bersabda, “Galilah untuk pohon-pohon kurma tersebut. Kalau sudah selesai, izinkan aku untuk meletakkannya dengan kedua tanganku.”
Aku pun menggali dibantu para sahabat sampai selesai. Setelah itu, aku mendatangi Rasulullah seraya berakata, “Kami telah selesai menggali, wahai Rasulullah.” Beliau pun pergi bersama kami sampai ke tempat penggalian. Kami membawakan sebuah benih pohon kurma dan beliau meletakkan sambil meratakan tanahnya. Demi Dzat yang mengutus beliau, tidak ada satu pohon pun yang mati.”
Kurma-kurma itu pun dijadikan beberapa dirham, lalu seorang laki-laki mendatangi beliau dengan membawa emas sebesar telur. Rasulullah bersabda, “Di manakah Salman sang penulis?” Aku pun diundang, lalu beliau saw., berkata, “Ambillah ini, wahai Salman dan gunakan untuk membayar utangmu!” Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana ini bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah yang membayarnya untukmu. Maka demi Dzat yang jiwa Salman berada dalam genggaman-Nya, aku sungguh menimbang sebagiannya untuk mereka sebesar 40 Uqiyah. Aku bayarkan kepada mereka.” Salman pun dimerdekakan. Perbudakan telah mengurungku sehingga ku tidak dapat turut dalam Perang Badar dan Uhud. Setelah merdeka, aku bisa ikut Perang Khandaq dan tidak pernah absedn dalam peperangan setelahnya.” (HR. Ahmad Baihaqi, dan Thabrani).

Dia Adalah Zaid bin Amr bin Nufail yang Hanif (Pengikut Nabi Ibrahim)

Ibnu Umar meriwayatkan bahwasanya Zaid bin Amr bin Nufail pergi ke Syam untuk mencari agama yang akan diikutinya. Di sana ia bertemu dengan seorang alim dari kaum Yahudi, lalu ia bertanya, “Barangkali aku bisa memeluk agama kalian.” Orang itu berkata kepadaku, “Kamu tidak diperkenankan memeluk agama kami sampai Allah murka kepadamu.” Zaid melanjutkan, “Aku tidak akan lari, kecualid ari murka Allah, aku tak kuasa menghadapinya, bagaimana aku mampu? Apakah engkau mau menunjukkan atas yang lain kepadaku?” Ia pun menjawab, “Aku tidak mengenalnya, kecuali ia merupakan sosok yang hanif.” Zaid bertanya, “Apakah yang dimaksud hanif?” Ia menjawab, “Agamanya Nabi Ibrahim, bukan Yahudi dan Nasrani. Ia hanya menyembah Allah.”
Zaid pun pergi dan bertemu seorang alim dari kaum Nasrani. Ia pun menanyakan hal yang sama. Orang Nasrani menjawabnya, “Engkau tidak akan diperkenankan memeluk agama kami hingga engkau dilaknat Allah.” Zaid berkata, “Aku tidak akan lari, kecuali dari laknat Allah, aku tak kuasa menahannya, begitu juga murka-Nya, bagaimana aku mampu? Apakah engkau mau menunjukkan yang lain kepadaku?” Ia pun menjawab, “Aku tidak mengenalnya, melainkan ia merupakan sosok yang hanif.” Zaid bertanya, “Apakah yang dimaksud hanif?” IA menjawab, “Agamanya Nabi Ibrahim, bukan Yahudi dan Nasrani. Ia hanya menyembah Allah.”
Zaid memperhatikan ucapan mereka tentang Nabi Ibrahim, lalu pergi. Sat keyakinan sudah muncul di hatinya, ia pun mengangkat tangan sambil berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa diriku berada di atas agama Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Asma’ bin Abu Bakar  meriwayatkan bahwasanya ia melihat Zaid bin Amr bin Nufail berdiri menyandarkan diri ke Ka’bah sambil berkata, “Wahai Kaum Quraisy! Tak seorang pun di antara kalian beragama seperti agama Ibrahim selain aku, ia tidak mengubur hidup-hidup anak perempuan, ia selalu mengatakan kepada seseorang yang akan mengubur hidup-hidup anak perempuannya.” Janganlah engkau membunuhnya, aku akan membantumu memenuhi kebutuhannya, lalu ia mengambilnya.” Ketika sang bayi perempuan telah dewasa, ia pun berkata kepada bapaknya, “Jika engkau mau, aku kembalikan putrimu atau aku cukup membantumu memenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Umar meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bertemu Zaid bin Amr bin Nufail di daerah Baldah (tempat dalam perjalanan menuju Tan’im di Makkah), sebelum wahyu turun. Aku membawakan beliau makanan, tetapi beliau menolak untuk memakannya. Zaid berkata, “Sesungguhnya aku tidak amakn dari yang kalian sembelih karena dipersembahkan untuk berhala. Aku hanya memakan yang disembelih atas nama Allah.”
Sesungguhnya Zaid bin Amr bin Nufail pernah memaki binatang sembelihan orang Quraisy. Ia berkata, “Kambing itu diciptakan Allah. Dia menurunkan air untuk diminumnya, Dia menumbuhkan pepohonan baginya dari tanah. Lalu, kalian menyembelihnya atas nama selain Allah. Ia mengucapkan hal ini untuk mengingkarinya dan mengagungkan nama Allah.” (HR. Bukharai).
Ibnu Ishaq mengatakan bahwasanya anaknya yang bernama Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail dan Umar bin Kahththab – anak pamannya  --- telah berkata kepada Rasulullah, “Apakah kami boleh memintakan ampunan untuk Zaid bin Amr?” Beliau menjawab, “Ya, Sesungguhnya ia akan dibangkitkan sendirian dalam keadaan bahagia.” (HR. Ahmad).

Kisah Penggalian Sumur Zamzam

Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwasanya Abdul Muthalib berkata, “Sesungguhnya aku tidur di atas batu. Tiba-tiba seseorang mendatangiku seraya berkata, “Galilah Tayyibah.” Aku bertanya, “Apa itu Tayibah?” IA berkata, “Galilah Birrah.” Aku bertanya, “Apa itu Birrah?” Ia melanjutkan, “Ia pun pergi meninggalkanku. Keesokan harinya aku mendatangi tempat tidurku sebelumnya. Saat aku tertidur, seseorang mendatangiku seraya berkata, “Galilah Madhnunah.’ Aku bertanya, “Apa itu Madhnunah?” Ia pun pergi. Keesokan harinya aku tidur di tempat yang sama. Dalam mimpiku ai mendatangiku seraya berkata, ‘Galilah Zamzam.’ Aku bertanya, “Apa itu Zamzam?”, Ia menjawab, Ia tidak akan pernah kering dan habis meskipun digunakan untuk memberi minum semuah jamaah haji. Zamzam itu aantara kotoran dan darah, saat seekor gagak mematuk dan di tempat berkumpulnya semut.”
Ia melanjutkan, “Ketika tanda-tandanya sudah jelas, telah ditunjuk tempatnya, dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernar. Keesokan harinya ia membawa kapak ditemani anaknya yang bernama al-Harits bin Abdul Muthalib. Saat itu ia tidak memiliki anak selain al-Harits. Ia pun menggali tanah yang dimakasud. Ketika sumber air telah tampak, ia pun betakbir. Kaum Quraisy tahu bahwa mereka akan terpenuhi keperluannya. Mereka pun mendatangi Abdul Muthalib dan berkata, “Wahai Abdul Muthalib, itu adalah sumur bapak kita Ismail. Kita memiliki hak atasnya. Kita bersama-sama akan menjaganya.’ Ia menjawab, “Aku tidak setuju. Hal ini khusus untukku bukan kalian dan aku diberi sumur ini di antara kalian.’ Mereka pun berkata, “Kami sadar dan kami tidak akan membiarkan engkau sampai kita saling bertikai untuk memperebutkannya.’ Ia pun berkata, “Jadikanlah penengah antara kita jika kalian mau.’  Mereka pun berkata, “Dukun Bani Sa’ad bin Hudzaim.’ Abdul Muthalib berkata, “Ya, setuju.’ Dukun itu adalaah pemuka negeri Syam.
Abdul Muthalib menaiki kendaraannya. Ia pergi bersama rombongan dari Bani Umayyah. Saat itu keadaan jalan sangat sukar untuk dilalui, hingga mereka kehabisan air dalam perjalanan. Mereka pun kehausan dan meminta sebagian orang yang masih membawa air. Namun, mereka menolak memberikannya. Mereka berkata, “Sesungguhnya kita di daerah yang sulit, kami khawatir tertimpa hal yang menimpa kalian.’ Kemudian Abdul Muthalib berkata, “Aku punya pendapat, bagaimana jika tiap orang dari kita menggali sebuah lubang sehingga ketika seseorang meninggal, temannya menguburkannya dalam lubang tersebut. Mumpung kita masih memiliki kekuatan sehingga hanya satu orang yang tersisa. Satu orang lebih mudah daripada menaikkan semuanya.’ Mereka pun menjawab, “Setuuju!”
Kemudian tiap orang pun menggali untuk diri masing-masing dan duduk di dalamnya menunggu maut yang menjemput karena kehausan. Abdul Muthalib berkata kepada temannya. “Demi Allah! Sesungguhnya yang kita lakukan untuk menunggu maut tidak ada tandingannya di bumi. Kita tidak mencari kelemahan diri. Semoga Allah memberi kita air di sebagian daerah. Pergilah kalian!” Mereka pun pergi dan ketika Abdul Muthalib membangunkan untanya, terpancarlan sumber air dari bawah kakinya. Ia pun bertakbir. Teman-temannya pun ikut bertakbir. Ia dan teman-temannya turun untuk meminumnya dan memenuhi kantong air mereka.
Kemudian ia memanggil suku-suku Quraisy  --  mereka melihat semua keadaan yagn dialami – seraya berkata, “Kemarilah!” Mendekatlah ke sumber air. Sungguh Allah telah memberi kita minum.” Mereka pun mendekat ke sumber air dan meminum air tersebut. Mereka juga mengisi kantong airnya. Mereka lalu berkata, “Sungguh Allah telah memutuskan perkara untukmu atas kami. Demi Allah! Kami tidak akan memusuhimu dalam hal Zamzam selamanya. Sesungguhnya Dzat yang memberimu air di tanah tandus ini adalah yang memberimu Zamzam maka kembalilah ke tempat asalmu.” Kemudian ia pun kembali bersama rombongannya meskipun mereka belum sampai ke tempat sang dukun. Mereka juga melupakan permasalahn tentang Zamzam. Ibnu Ishaq mengatakan bahwasanya inilah yang diterimanya dari Ali bin Abi Thalib tentang Zamzam,.” (HR. Ibnu Ishaq dan Baihaqi).

Kisah Nazarnya Abdul Muthalib untuk Menyembelih Salah Satu Anaknya

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Abdul Muthalib bin Hasyim – sebagaimana yang mereka yakini – pernah bernazar ketika bertemu seseorang dari kaum Quraisy. Sebagaimana ia menemuinya saat menggali sumur Zamzam untuk menyembelih salah satu anaknya di sisi Ka’bah jika ia dikaruniai sepuluh anak sampai mereka balig. Ketika jumlah anaknya mencapai angka sepuluh, dia tahu mereka akan mencegahnya. Ia pun mengumpulkan mereka dan menceritakan tentang nazarnya. Kemudian ia mengajak mereka untuk menepati janji kepada Allah. Mereka pun menaatinya, lalu bertanya, “Bagaimana kita melakukannya?” Ia menjawab, “Tiap kalian membuat sebuah gelas dan menulis namanya dalam gelas tersebut. Setelah itu berikan kepadaku. Mereka pun melakukannya dan memberikan kepada Abdul Muthalib. Abdul Muthalib pun masuk bersama mereka ke dalam Ka’bah di tengah-tengah Hubal. Posisi Hubal terletak di atas sumur di tengah-tengah Ka’bah. Sumur tersebut yang digunakan untuk mengumpulkan segala sesuatu yang dipersembahkan untuk Ka’bah.
Abdul Muthalib pun berkata kepada sang pembuat gelas, “Pecahkan atas anak-anakku dengan gelas mereka ini.” Ia pun memberitahukannya tentang nazarnya. Kemudian ia memberikan gelas kepada masing-masing sesuai dengan nama yang tercantum.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwasanya Abdullah adalah putra yang paling dicintai Abdul Muthalib, yang merupakan ayahanda dari Nabi saw. Ketika sang pembuat gelas mengambil gelas untuk dipecahkannya, Abdul Muthalib berdiri di sisi Hubal, memohon kepada Allah. Kemudian saat pembuat gelas memecahkan sebuah gelas, ternyata gelas Abdullah. Abdul Muthalib pun membawanya dan mengambil pisau, kemudian pergi menemui anaknya untuk disemeblih. Orang-orang Quraisy dari kelompoknya menghampirinya seraya berkata, “Apa yang engkau inginkan, wahai Abdul Muthalib?” Ia menjawab, “Aku ingin menyembelihnya.” Mereka berkata, “Janganlah engkau menyembelihnya, maafkan dia, jika engkau melakukan hal ini, orang-orang setgelahmu pasti mengikutimu. Mereka akan menyembelih anak-anak mereka. Siapa yang akan tersisa? Janganlah engkau lakukan! Pergilah ke daerah Hijaz bersamanya. Sesungguhnya di sana ada seorang dukun yang memiliki pengikut. Tanyakanlah kepadanya, setelah itu terserah engkau. Jika ia memerintahkanmu untuk menyembelihnya, sembelihlah. Jika ia memerintahkan dengan sesuatu perkara yang merupakan jalan keluar, terimalah.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk menemui seorang dukun. Setelah menemukannya – sebagaimana yang mereka kira – di Khaibar, mereka bertanya kepadanya. Sang dukun pun mendengarkan cerita tentang Abdul Muthalib, anaknya, dan mazarnya. Lalu, dia berkata, “Kembalilah kalian hingga jin laki-laki milikku datang dan aku menanyakan kepadanya tentang hal ini.” Mereka pun keluar dari rumah sang dukun. Saat keluar, Abdul Muthalib berdiri memohon kepada Allah. Keesokan harinya, mereka kembali menemui sang dukun tersebut, ia pun berkatan kepada mereka, “Aku telah mendapat jawaban, berapakah diyat bagi pembunuh dalam aturan kalian?” Mereka menjawab, “Sepuluh ekor unta.” Ia pun berkata, “Kembalilah ke negeri kalian, kemudian dekatkan teman kalian dan sepuluh ekor unta. Dan setelah itu, buatlah undian untuk keduanya. Jika yang keluar nama teman kalian, tambahlah untanya hingga Tuhan kalian ridha. Sebaliknya, jika yang keluar nama unta, sembelihlah atas nama teman kalian. Dengan demikian, Tuhan kalian menjadi ridha dan teman kalian selamat.”
Mereka kembali ke Makkah. Setelah seluruh persyaratan terkumpul, Abdul Muthalib berdiri memohon kepda Allah, sedangkan mereka mendekatkan Abdullah dan sepuluh ekor unta. Abdul Muthalib terus berdoa di sisi Hubal. Setelah itu, mereka pun memulai undian, yang pertama keluarlah nama Abdullah. Mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sehingga jumlah untanya menjadi dua puluh ekor. Mereka terus melakukan hal yang sama sampai jumlah unta menjadi seratus ekor. Abdul Muthalib masih berdiri berdoa dan dilakukan undian selanjutnya. Pada undian tersebut keluar nama unta sehingga orang-orang Quraisy mengatakan, “Ridha Tuhanmu telah habis, wahail Abdul Muthalib.” Mereka mengira bahwa Abdul Muthalib akan stuju. Namun, Abdul Muthalib berkata, “Tidak, demi Allah hingga aku melakukan undian tiga kali.” Mereka pun melakukan undian atas nama Abdullah dan unta. Undian pertama, yang keluar nama unta. Mereka melakukannya yang kedua kali dan masih nama unta yang keluar. Mereka pun melakukannya yang ketiga kali dan masih nama unta yang keluar. Setelah itu, unta tersebut disembelih, lalu ditinggalkan bagitu saja. Orang-orang tidak dilarang untuk mengambil dagingnya.
Imam Thabari berkata dalam kitab Tarikhnya. Yunus bin Abdul A’la telah bercerita kepadaku dari Ibnu Wahab dan Yunus bin Yazid dan Ibnu Syihab dari Qubaidhah bin Dzu’aib bahwasanya seorang perempuan telah bernazar untuk menyembelih anaknya di sisi Ka’bah jika ia melakukan suatu perbuatan. Setelah itu, ia melakukannya. Ia pun datang ke Madinah untuk meminta fatwa tentang nazarnya. Di sana ia mendatangi Abdullah bin Umar dan menanyakan hal tersebut. Abdullah berkata kepadanya, “Alalh telah melarang engkau untuk membunuh seseorang.” Inilah jawaban Abdullah bin Umar. Kemudian wanita itu mendatangi Abdullah bin Abbas dan menanyakan hal tersebut. Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Allah telah memerintahkan untuk menepati nazar. Nazar adalah utang dan Allah melarang membunuh seseorang. Dahulu, Abdul Muthalib bin Hasyim pernah bernazar jika memiliki sepuluh anak, ia akan menyembelih salah dari anak mereka. Setelah impiannya terpenuhi, ia pun mengundi nama-nama mereka untuk menentukan siapa yang akan disemeblih. Setelah undian dilakukan, yang keluar nama Abdullah bin Abu Muthalib, anak yang paling ia cintai. Abdul Muthalib pun berdoa, “Ya Allah! Anakku atau seratus ekor unta.” Ibnu Abbas berkata, “Aku berpendapat supaya engkau menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti anakmu.” Masalah ini akhirnya sampai kepada Marwan yang menjadi Gubernur di Madinah saat itu. Ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas telah salah dalam berfatwa, sesungguhnya nazar dalam kemaksiatan tidak diperbolehkan, minta ampunlah engkau dan bertobatlah, perbanyak sedekah dan beramal baiklah semampumu. Adapun masalah menyembelih anakmu, Allah telah melarangnya.” Akhirnya, orang-orang merasa gembira dan kagum terhadap pendapat marwan. Mereka melihat pendapat marwan yang tepat dan sejak saat itu mereka selalu berpegang pada pendapat tersebut, yaitu nazar dalam kemaksiatan kepada Allah tidak diperbolehkan.
                         
Kisah  Pasukan  Gajah

Abrahah al-Habsyi adalah wakil Raja Najasyi di Yaman. Ketika ia melihat  orang-orang Arab menunaikan haji ke Ka’bah, ia membangun gereja yang besar di Kota Shan’a. Maksud pembangunan itu, ia ingin memalingkan hajinya orang-orang Arab ke Gereja tersebut. Akhirnya, seorang lelaki dari Bani Kinanah mendengar hal itu. Lelaki itu pun memasuki gereja tersebut pada suatu malam dan meletakkan kotoran di arah kiblat dalam gereja. Saat Abrahah mengetahuinya, ia naik pitam.
Abrahah melanjutkan, “Siapa yang telah melakukan ini?” Dikatakan kepadanya, “Pelakunya seorang lelaki dari Arab dan masih dari kerabat yang mengurusi Ka’bah di Makkah. Ia melakukannya karena marah setelah mendengar bahwa engkau akan memalingkan hajinya orang Arab ke gereja.” Abrahah marah besar dan bersumpah akan melakukan perjalanan ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah pun memerintah orang-orang Habasyah untuk bersiap-siap melakukan perjalanan ke Makkah. Mereka telah siap melakukan perjalanan bersama gajah yang telah mereka siapkan. Setelah mendengar berita itu, orang-orang Arab menganggap sebagai sebuah ancaman besar dan mengerikan. Mereka pun memutuskan untuk berjuang keras melawan mereka saat ingin menghancurkan Ka’bah di Baitullah al-Haram.
Seorang lelaki yang termasuk pemuka penduduk Yaman – yang dikenal dengan nama Dzu Nafar – keluar mengajak kaumnya dan kaum selain Arab yang mendukungnya untuk memerangi Abrahah berjuang membela Baitullah al-Haram dari niat Abrahah untuk menghancurkannya. Orang yang mendukungnya pun bergabung untuk memerangi Abrahah. Dalam peperangan tersebut, Dzu Nafar mengalami kekalahan, ia dijadikan tawanan. Saat ia mau dibunuh, ia berkata, “Wahai Sang Raja! Janganlah engkau membunuhku, barangkali hidupku bersamamu lebih bermanfaat daripada kematianku.” Raja pun membiarkannya hidup dan menahannya dengan dibelenggu. Abrahah sendiri dikenal lembut hatinya.
Abrahah melanjutkan perjalanannya hingga sampai tanah Khats’am. Di sana ia dihadang dua suku (Syahran dan Nahis) yang dipimpin Nufail bin Habib al-Khtas’ami. Abrahah berhasil mengalahkan mereka dan Nufail dijadikan tawanan. Sast Nufail akan dihukum mati, ia berakta, “Wahai Raja! Jangan bunuh aku, aku akan menjadi penunjuk jalanmu ke Arab, dan dua suku Khats’am akan patuh setia kepadamu.” Raja pun membebaskannya.
Nufail pun ikut rombongan menjadi penunjuk jalan. Ketika sampai di daerah Thaif, Mas’ud bin Mu’tab bersama pasukannya yang terkenal cerdik menemui mereka.
Mereka berkata, “Wahai Raja! Kami adalah hambamu yang mendengar dan menaati perintahmu, tidak ada perselisihan di antara kami dan engkau, tempat ibadah kami --- yang dimaksud adalah tempat berhala Latta – bukanlah yang engkau tuju, kami tahu engkau menginginkan Ka’bah di Makkah. Oleh karena itu, kami  kirim bersamamu orang yang emnunjukkan jalan ke sana.” Sang raja pun melewati mereka.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, “Mereka mengutus Abu Raghal yang ditugaskan sebagai penunjuk jalan ke Makkah. Abrahah pun melanjutkan perjalanan bersama Abu Raghal. Saat tiba di daerah Mughimmas, Abu Raghal meninggal. Ia pun dimakamkan di sana. Setelah itu, tanah tersebut dijadikan pemakaman penduduk Mughimmas.”
Saat Abrahah sampai di Mughimmas, ia mengutus seorang dari kaum habasyah – yang bernama Al-Aswad bin Maqshud – untuk pergi ke Makkah dengan berkuda. Akhirnya, harta benda penduduk Tihamah dari suku Quraisy dan lainnya diserahkan kepadanya, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim, yang menjadi pemuka Quraisy. Setelah itu, suku Quraisy, Kinahah Huzail, dan orang-orang di daerah Haram berniat untuk memeranginya. Namun, dikarenakan mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa melawannya, akhirnya mereka membiarkannya.
Abrahah yang mengutus Hinathah al-Himyari ke Makkah sambil berpesan, “Tanyalah tentang pemuda negeri ini, lalu katakanlah kepadanya bahwa Raja berpesan, “Aku datang bukan untuk memerangi kalian, melainkan untuk menghancurkan rumah ini (Ka’bah). Jadi, kalau kalian tidak menghalangi tentu aku tidak perlu membunuh kalian.”
Abrahah adalah raja tangguh yang selalu memang dalam setiap peperangan. Ketika Hinathah memasuki Makkah, ia bertanya tentang pemuka Quraisy, lalu dikatakan kepadanya bahwa nama pemuka Quraisy adalah Abdul Muthalib bin Hasyim bin Manaf bin Qushai. Ia pun mendatanginya dan menyampaikan pesan sang raja. Abdul Muthalib berkata kepadanya, “Demi Allah! Kami tidak berniat memeranginya, kami tidak memiliki kekuatan. Ini adalah Batitullah al-Haram, rumah Ibrahim a.s., atau sebagaimana diaktakan --- jia Dia mencegahnya, itu memang rumah-Nya. sebaliknya, jika Dia membiarkannya, demi Allah kami tak mampu mempertahankannya.” Hinathah pun berkata, “Pergilah bersamaku untuk menemui raja, dia telah memerintahkanku untuk menjemputmu.”
Abdul Muthalib pun ikut bersamanya didamoingi beberapa anaknya hingga menjumpai sekelompok pasukan. Ia bertanya tentang Dzu Nafar yang merupakan sahabatnya hingga ia masuk tahanan untuk menemuinya seraya berkata, “Wahai Dzu nafar! Apakah engkau memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa kita?” Dzu Nafar menjawab, “Apa yang dimiliki seorang lelaki tawanan yang menunggu hukuman mati esok hari atau sorenya? Aku tidak memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa engkau, kecuali seorang pelatih gajah yang menjadi temanku. Aku akan mengutusnya kepada raja dan menyampaikan pesan tentangmu, memberikan hak-hakmu, memintakan izin untuk berbicara kepada raja, dan membantumu di hadapannya jika takdirmu demikian.” Abdul Muthalib berkata, “Hal itu cukup bagiku.”
Setelah itu, Dzu Nafar mengutus Unais sang pelatih gajah seraya berkata, “Sesungguhnya Abdul Muthalib adalah pemuka Quraisy sekaligus pemuka Makkah. Ia selalu menjamu orang-orang dengan mudah, saat binatang liar mengintai dari puncak gunung, 200 untanya telah dirampas. Oleh karena itu, mintakan izin kepada raja untuk menemuinya, bantulah semampumu.” Unais menjawab, “Perintah dilaksanakan.”
Unais pun berbicara dengan Abrahah, “Wahai Raja! Ini adalah pemuka Quraisy memohon izin kepadamu. Ia pemimpin Makkah, gemar memberi makan orang lain saat binatang liar mengintai dari puncak gunung. Jadi, izinkan ia menghadap engkau untuk menyampaikan isi hatinya dan perlakukanlah ia dengan baik.” Abrahah pun mengizinkannya.
Abdul Muthalib adalah sosok manusia paling baik dan paling mulia. Saat Abrahah melihatnya, ia memuliakannya dan mempersilahkan duduk di bawahnya. Abrahah tidak menyukai jika orang-orang habasyah melihatnya duduk bersama di singgasana sehingga ia turun dari singgasana dan duduk di karpet bersama Abdu Muthalib. Ia pun berkata kepada penerjemahnya, “Katakan keapdanya apa keperluannya?” Setelah penerjemah raja menyampaikan hal tersebut, Abdul Muthalib berkata, “Keperluanku adalah aku ingin untaku yang berjumlah 200 ekor dikembalikan.” Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, ‘Aku kagum saat melihatmu, aku perhatikan dirimu saat berbicara, apakah engkau hanya menuntut 200 ekor unta milikmu dan mengabaikan Ka’bah yang merupakan bagian agamamu dan nenek moyangmu, aku datang ke sini untuk menghancurkannya!”
Abdul Muthalib menjawab, “Sesungguhnya aku pemelihara unta. Ka’bah juga memiliki Dzat yang memeliharanya.” Akhirnya, Abrahah mengembalikan unta Abdul Muthalib yang telah dirampasnya.
Setelah mereka berbpisah, Abdul Muthalib kembali ke Quraisy untuk memberitahu penduduk dan menyuruh keluar dari Makkah menuju ke puncak gunung dan bukit-bukit. Hal ini untuk menghindari pasukan  Abrahah yang terkenal dengan kekuatannya. Kemudian Abdul Muthalib mengambil tali pintu Ka’bah dan berdoa kepada Allah bersama kaum Quraisy agar mereka ditolong dari Abrahah dan tentaranya.
Ya Allah! Sungguh, seorang hamba melindungi rumahnya
Lindungilah rumah-Mu.
Pasti kekuatan dan kehebatan mereka kelak
Tidak mampu mengalahkan kekuatan-Mu
Jikalau Engkau membiarkan mereka dan menerima (amalan) kami
Segala urusan tersebut berada dalam kehendakmu.
Abdul Muthalib pun melepas tali pintuk Ka’bah dan pergi bersama orang-orang yang menemaninya ke puncak gunung, bersembunyi di sanan menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah saat memasuki Makkah.
Keesokan harinya, Abrahah bersiap-siap memasuki Makkah. Ia tak lupa menyiapkan gajahnya dan pasukannya. Nama gajahnya waktu itu adalah Mahmud. Abrahah sepakat untuk menghancurkan Ka;bah, lalu kembali ke Yaman. Ketika gajah tersebut mendekati Makkah, Nufail bin Hubaib al-Khats’ami mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Ia llau membisikan ke telinga gajah.” Menderumlah Mahmud, kembalilah ke tempat asalmu, engkau sekarang di negeri Allah Al-Haram.” Ia pun melepaskan telinganya dan gajah pun menderum. Setelah itu, Nufail bergegas mendaki gunung. Sementara itu, para tentara memukuli gajah supaya berdiri, tetapi gajah tidak mau melakukannya. Kemudian mereka memukul kepada gajah dengan kayu, tetapi gajah masih enggan berdiri. Mereka juga melukai gajah tersebut hingga berdarah, tetapi gajah tersebut masih tetap enggan berdiri.
Akhirnya mereka menghadapkan gajah tersebut ke arah Yaman, lalu gajah pun berdiri dan berlari. Mereka menghadapkannya ke arah Syam dan gajah melakukan hal yang sama, dihadapkan ke arah timur, gajah  melakukan hal yang sama. Saat dihadapkan kembali ke arah Ka’bah, gajah kembali menderum. Allah pun mengutus burung-burung yang berwarna hitam dari laut. Masing-masing burung membawa tiga buah batu (satu di paruhnya, dua di kakinya) seukuran kacang yang mematikan setiap orang yang tertimpa batu tersebut. Tidak semua tentara Abrahah tertimpa batu. Mereka kabur berlarian ke tempat asal. Mereka bertanya kepada Nufail bin Hubaib agar menunjukkan jalan ke Yaman. Nufail pun berkata saat melihat turunnya siksa tersebut, “Di manakah tempat berlari?”
Mereka pun berjatuhan dan meninggal di sepanjang jalan. Abrahah sendiri mengalami luka di tunuhnya. Mereka pun membawa Abrahah untuk kembali ke Yaman, tetapi bagian tubuhnya bertambah parah sampai ia muntah darah. Saat mereka sampai di Yaman, keadaan Abrahah seperti anak burung yang sangat hina dan lemah lunglai. Ia tidak mati sampai akhirnya dadanya terbelah dan jantungnya keluar.
Ibnu Ishaq melanjutkan, “Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw, hal itu termasuk karunia Allah yang diberikan kepada kaum Quraisy, termsuk juga perlindungan-Nya dari niat buruk Habasyah sehingga penduduk Quraisy dapat bertahan.”
Allah SWT juga berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebaisaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.” (QS. Quraisy (10^0 : 1 – 4).
Allah SWT berfirman, “Tidaklah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang imakan (ulat).” (QS. Al-Fil (105) : 1 – 5).

Nikmat  Allah  bagi Kaum Quraisy

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwasanya itulah bagian nikmat yang diberikan Allah atas kaum Quraisy. Allah telah menyelamatkan mereka dari pasukan gajah yang bertekad untuk menghancurkan Ka’bah dan menghilangkannya dari alam nyata. Allah pun membinasakan dan menghancurkan mereka, menggagalkan usaha mereka, menyesatkan mereka, dan mengembalikan mereka pada kondisi terburuk. Mereka itulah orang-orang nasrani, yang agama mereka saat itu hampir sama dengan agama kaum Quraisy, yaitu menyembah berhala.
Meskipun demikian, ini merupakan dasar dan persiapan diutusnya Rasulullah saw. Beliau dilahirkan pada tahun tersebut – menurut pendapat yang masyhur – dikatakan, “Dia tidaklah menolong kalian dari kejahatan kaum Habasyah, wahai kaum Quraisy sebab keutamaan kalian atas mereka, melainkan untuk menjaga Ka’bah yang akan dimuliakan dengan diutusnya nabi yang tidak bisa baca dan tulis, yaitu Muhammad saw., yang menjadi penutup para nabi.”

Pernikahan Abdullah dengan Aminah binti Wahab

Nabi Muhammad saw., dilahirkan dalam keluarga yang suci dan bernasab mulia. Keluarga yagn terkumpul di dalamnya adalah seluruh keutamaan orang Arab dan terbebas dari aib dan cela.
Lingkungan tempat tumbuhnya Nabi Muhammad saw., disiapkan oleh Allah untuk menyampaikan risalah. Masyarakat Arab sendiri pada periode awal memiliki fanatisme tinggi terhadap sukunya masing-masing, fanatisme yang mengabaikan suku-suku lain demi mempertahankan kemuliaan sukunya sendiri.
Abdul Muthalib merupakan pemuka Makkah. Meskipun demikian, kepemimpinan yang ia pegang pada akhirnya rapuh. Hal ini disebabkan dahsyatnya gelombang persaingan dalam kepemimpinan di daerah tersebut. Pada awalnya urusan kepemimpinan dipegang mereka. Setelah berjalan beberapa tahun, jatuh ke tangan keluarga Abdu Syams. Sedang beberapa tahun kemudian, Abu Sufyan memimpin Makkah. Dengan demikian, kepemimpinan berpindah dari Bani Hasyim.
“Tugasmu di dunia telah selesai, jain yang suci ini, Allah sendiri yang menjaga dan mendidiknya dengan cinta kasih-Nya. Dia-lah yang menyiapkannya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang.”
Abdullah merupakan anak terkecil Abdul Muthalib yang paling dicintai dan dimuliakan. Ia menikahkannya dengan Aminah binti Wahab, kemudian meninggalkannya untuk berusaha mandiri dalam menjalani kehidupan. Abdullah pun mengembara di saat masih menyandang status pengantin baru, yakni beberap bulan setelah membina rumah tangga bersama Aminah. Ia mengembara untuk menjemput rezeki. Pada musim panas, Abdullah pergi ke Syam dan tak kembali. Rombongan dagang pun kembali membawa orang-orang yang sakit, tak lama kemudian datanglah  berita kematiannya.
Aminah yang waktu itu menunggu suami tercinta untuk menjalani hidup bersama dan memberi tahu tentang janin yang dikandungnya, hampir tenangdengan kembalinya rombongan dagang. Namun, takdir Allah – tentunya untuk hikmah yang mulia – memupus impian manis tersebut sehingga sang istri menjadi janda.
Abdullah meniggal di Madinah. Ia kembali kepada Allah dengan meninggalkan jiwa yang suci ini seolah-olah takdir mengatakan, “Tugasmu di dunia telah selesai, janin yang suci ini, Allah sendiri yang menjaga dan mendidiknya dengan cinta kasih-Nya. Dia-lah yang menyiapkannya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang.”

Kelahiran Baginda Nabi saw.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir bahwa keduanya berkata, “Rasulullah saw., dilahirkan pada tahun Gajah hari Senin dua belas Rabi’ul Awwl. Pada tanggal yang sama beliau di-Mi’raj-kan ke langit, berhijrah, dan wafat.” Ini adalah pendapat yagn masyhur di kalangan mayoritas ulama. Wallahu A’lam. (HR. Ibn Syaiban dalam musannaf, sanadnya shahih, perawainya adalah perawi hadits shahih. Lihat as-Sirah an-Nabwiyyah ibn Kasir (1/199).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Nabi saw., dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi nabi pada hari Senin, wafat pada hari Senin, keluar berhijrah dari Makkah ke Madinah pada hari Senin, tiba di Madinah pada hari Senin, dan mengangkat Hajar Aswad (untuk diletakkan pada tempatnya) pada hari Senin.” HR. Ahmad (1/277) dan Tabarani dalam Al-Kabir, 12984).
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari r.a., tentang perihal puasa hari Senin. Nabi saw., bersabda, “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan, aku diutus menjadi seorang Rasul, atau diturunkan wahyu pertama kepadaku.” (HR. Muslim, 1162, Kitab Puasa).
Abu Qatadah juga mendapatkan sebuah riwayat yang menyebuytkan bahwa Nabi saw., dilahirkan pada hari peristiwa gajah. Ibnu Abbas r.a., berkata, “Rasulullah saw., dilahirkan pada hari peristiwa gajah.” (Diriwayatkan oleh Sa’ad dalam At-Tabaqat dari jalur Ibn  Ma’in, dari hajjaj, dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dan semua perawi hadits adalah tsiqah).
Prosesi kelahiran beliau terjadi di rumah Abu Thalib di tempat Syi’ib Bani Hasyim. Kemudian tempat inilah yang dinamakan rumah Muhammad bin Yusuf, saudara al-Hajjaj bin Yusuf. Sekarang adalah sebuah perpustakaan umum.
Orang yang membantu prosesi kelahiran Muhammad saw., adalah Ummu Aiman Barakah al-Habasyiyyah, seorang budak perempuan milik ayahnya. Sedangkan, orang yang pertama kali menyusui adalah Tsawaibah, budak perempuan pamannya Abu Lahab.
Diriwayatkan dari Ummu Habibah r.s., dia berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, nikahilah saudaraku, yaitu putri Abu Sufyan.” Beliau menjawab, “Apakah kamu suka aku melakukannya?” Aku pun menjawab, “Ya, aku bukan satu-satunya istrimu dan orang yang paling aku sukai untuk berkongsi dalam kebaikan adalah saudariku.” Kemudian beliau saw., bersabda. “Sesungguhnya hal itu tidak halal bagku.” Aku berkata, “Sesungguhnya kami diberitahu bahwa engkau ingin menikahi putri Abi Salamah.” Beliau bersabda, “Putri Abi Salamah?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau bersabda, “Seandainya dia itu bukan anak tiriku, niscaya dia tetap tidak halal bagiku. Sesungguhnya dia adalah anak saudaraku sesusuan, Tsuwaibah menyusuiku dan Abu Salamah. Jadi, janganlah kalian tawarkan kepadaku putri-putri dan saudari-saudari kalian.” (HR. Bukhari 9/43) Kitab Nikah dan Muslim (10/25-28) Kitab Rada’ (penyusun).
‘Urwah berkata, “Tsuwaibah adalah budak perempuan Bu Lahab. Dia membebaskannya dan menyusui baginda Nabi saw. Ketika dia mati, salah seorang keluarganya melihatnya dalam mimpi dengan keadaan yang sangat buruk. Dia pun betanya kepadanya, “Apa yang kamu dapatkan?” Dia menjawab, “Aku tidak mendapatkan setelah matiku kesenangan, hanya saja aku diberi minum dari ini (yakni ibu jarinya) dikarenakan aku membebaskan Tsuwaibah (yakni ketika mendengar kabar kelahiran baginda Nabi saw.).

Cahaya Keluar Menerangi Istana-Istana Romawi di Syam (Ketika Kelahiran Baginda Nabi saw.)

Telah diriwayatkan bahwa irhashat (tanda-tanda) kenabian terjadi ketika masa kelahiran. Di antaranya adalah jatuhnya empat belas balkon dari Istana Kisra, padamnya api yang disembah oleh orang Majusi, dan hancurnya gereja-gereja di sekitar Danau Sawah setelah sebelumnya danau itu surut.
Adapaun tanda kelahirannya adlaah beliau dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dan terpotong tali pusarnya, wadah tempat beliau diletakkan oleh kaum wanita terbelah menjadi dua, dan lain-lainnya yang telah diriwayatkan tentang tanda-tanda kenabian yagn terjadi ketika kelahiran.
Pada hakikatnya semua ini tidaklah benar dan tidak ada riwayat yang shahih tentang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.
Sebenarnya, posisi Nabi saw., dan derajatnya yang tinggi tidak perlu pada riwayat-riwayat yang tidak sah seperti ini. Nabi saw., adalah makhluk termulia di seluruh jagat raya walaupun seandainya tidak ada tanda-tanda kenabian ataupun mukjizat setelah menjadi seorang anbi. Cukuplah bagi kita untuk membaca riwayat-riwayat yagn shahih saja supaya kita tahu bahwa misi risalah Nabi saw., adalah hal terbesar di seluruh jagat raya.
Yang benar berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih adalah bahwa Ibunda Nabi saw., melihat cahaya keluar darinya dan menyinari istana-istana Romawi di negeri Syam (hal itu terjadi ketika kelahiran baginda Nabi saw.).
Rasulullah saw., bersabda, “Aku adalah doa ayahku Nabi Ibrahim, kabar gembira Nabi Isa, dan Ibuku melihat cahaya keluar darinya menerangi istana-istana di Syam.” (HR. Ahmad dan hakim).
Doa Nabi Ibrahim yang dimaksudkan adalah kalam Allah yang berbunyi, “Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (QS. Al-Baqarah (2) : 129).
Kabar gembira Nabi Isa yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan oleh kalam-Nya yang menceritakan tentang perihal Nabi Isa a.s., “.... dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad), .... “ (QS. As-Shaf (61) : 6).
Ibn Rajab berkata, “Dan keluarnya cahaya ketika kelahiran baginda Nabi saw., adalah sebuah indikasi atas apa yang akan datang bersamanya, yaitu cahaya yang dijadikan petunjuk oleh penduduk bumi dan hilangnya kegelapan syirik dari atas muka bumi.”
Allah berfirman, “Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Al-A’raf (7) : 157).
Allah berfirman, “ ... Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah (5) : 15-16).
Ibnu Kasir berkata, “Penyebutan negeri Syam secara khusus dengan keluarnya cahaya adalah sebuah isyarat akan kekukuhan agamanya dan kekuatannya di negeri Syam. Oleh karena itu, negeri Syam pada akhir zaman akan menjadi benteng pertahanan bagi Islam dan pemeluknya. Di negeri inilah Nabi Isa Putra Maryam a.s., akan turun di Damaskus pada menara bagian Timur berwarna putih. Dan telah datang sebuah riwayat dalam Shahih Bukhari dan Mujslim yang berbunyi, “Senantiasa sekelompok dari umatku yang terus berjuang menampakkan kebenaran tidaklah melemahkan orang-orang yang menelantarkan dan menghianati, hingga datang urusan Allah (yakni hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan demikian (berjuang) di jalan Allah.”. Dalam riwayat Shahih Bukhari, “Dan mereka berada di negeri Syam.”

Kegembiraan Abdul Muthalib atas Kelahiran Cucu yang Penuh Berkah

Ketika Ibunda Nabi saw., melahirkannya, dia mengutus seseorang kepada sang kakek untuk menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran cucunya. Sang kakek pun datang dengan muka ebrseri-seri dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah, lalu berdoa kepada Allah dan memanjatkan rasa syukur kepada-Nya. dia memilihkan baginya nama Muhammad kerena nama itu tidaklah terkenal di kalangan bangsa Arab dan mengkhitannya pada hari ke tujuh, sebagaimana biasa dilakukan oleh orang Arab.
Abdul Muthalib menyambut kelahiran cucunya dengan penuh riang gembira. Bahkan, sepertinya dia melihat kelahiran tersebut sebagai ganti atas putranya yang telah wafat. Dia pun mencurahkan seluruh perasannya atas yang telah pergi untuk jabang bayi yang baru datang ini dengan menjaga dan menyayanginya.
Di antara kebetulan yang menarik adalah Abdul Muthalib mendapat ilham untuk menamai cucunya dengan nama Muhammad. Penamaan ini adalah pertolongan yang diberikan oleh Allah SWT. Bangsa Arab belum terbiasa dengan nama ini sehingga mereka pun bertanya-tanya kepadanya, “Mengapa tidak menamainya dengan salah satu nama nenek moyangnya?” Abdul Muthalib pun menjawabnya, “Aku ingin dia dipuji oleh Allah di langit dan dipuji oleh manusia di bumi.” Seakan-akan keinginan ini adalah penerawangan hal gaib karena tidak ada seorang pun yang berhak atas pemberian rasa syukur serta pujian atas apa yang dilakukan dan diberikan seperti halnya Nabi saw.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.s., dia mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda, “Tidaklah kalian heran bagaimana Allah menampik dariku cercaan suku Quraisy dan sumpah serapah mereka?” Mereka mencaci orang yang hina dan mereka melaknat orang yang hina, sedangkan aku adalah Muhammad (yang berarti terpuji).” (HR. Bukhari).
Realita yang menyakitkan – meskipun di sana terdapat rangkulan sang kakek yang penyayang – tetaplah ada. Sebab. “Muhammad” tetaplah seorang yatim yang lahir ke dunia setelah ayahnya meninggalkan alam fana. Mari kita berandai-andai jika sang ayah ‘Abdullah’ tetap hidup, apa yang akan diperbuat sang ayah terhadap anaknya. Apakah dia akan mendidiknya kemudian memberikannya kenabian? Sama sekali hal tersebut tidak dapat dia lakukan. Sesungguhnya seorang ayah adalah salah satu faktor yang menentukan masa depan seorang anak dan membawa ke mana arah hidupnya. Seandainya kenabian itu dapat dicari, niscaya kehidupan ayah tidak dapat mendekatkan kepadanya walau sejengkal, bagaimanapun juga kenabian adalah pemilihan.
Dahulu Nabi Ya’qub a.s., hidup dan mendapatkan rezeki. Dia merasakan masa tua, mempunyai pengalaman hidup yang lama, bahkan dia memiliki kenabian. Suatu hari dia melihat ke sebelahnya, tetapi tidak mendapatkan Nabi Yusuf a.s. berada di dekatnya. Dia kehilangannya pada masa-masa yang sangat berbahaya, yaitu masa kecil. Lingkungan yang mengelilingi Nabi Yusuf a.s., adalah rusak, tetapi jiwanya telah matang dengan ketakwaan dan kesucian diri, seperti lampu yang menyala di malam yang gelap gulita. Ketika sang anak berjumpa kembali dengan sang ayah setelah masa yang cukup lama, Nabi Ya’qub melihat anaknya telah menjadi seorang nabi.
Abdullah telah pergi dan meninggalkan anaknya seorang yatim. Hanya saja keadaan yatim ini dapat dikatakan sebagai titik mula untuk sebuah hal yang besar, keadaan yang akan menjadikannya sebagai pemimpin orang-orang pilihan dan terbaik. Tidaklahs eorang ayah, kakek, saudara dekat dan jauh, langit ataupun bumi, melainkan hanya sarana yang dimudahkan oleh Allah untuk menyempurnakan ketentuan-Nya, dan, menyampaikan karunia kepada orang yang dipilih oleh-Nya.

Malam ini Bintang Ahmad Telah Tampak

Diriwayatkan dari Hasaan bin Tsabit, dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adlaah seorang anak yang kuat berumur tujuh tahun. Aku menghafal segala yagn aku dengar ketika aku mendengar seorang yahudi berteriak dengan sekeras-kerasnya di atas rumahnya di yatsrib (Nama kota Madinah), “Wahai sekalian orang yahudi!”  Ketika semua sudah berkumpul kepadanya, mereka berkata, “Sialan kamu! Ada denganmu?” Dia menjawab, “Malam ini bintang ketika Ahmad dilahirkan pada waktu itu telah tampak.” (HR. Baihaqi).

Kisah Susuna Baginda Nabi saw.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far r.a., dia berkata, “Ketika Rasulullah saw., dilahirkan, datanglah Halimah binti al-Harits bersama rombongan perempuan dari suku Sa’ad bin Bakar mencari anak-anak menyusui di Kota Makkah.
Halimah mengisahkan, “Aku keluar di depan bersama rombongan para wanita di atas seekor unta betina berwarna pirang milikku. Seseorang yang bersamaku adalah suamiku, al-Harits bin ‘Abdul ‘’Uzza. Dia adalah salah seorang keturunan suku Sa’ad bin Bakar dan keturunan suku Nadirah. Unta kami ini terluka. Yang kami bawa bersama rombongan adalah seekor unta yang sudah tua. Ia tidak meneteskan susu sama sekali karena ini adalah tahun paceklik. Semua orang kelaparan sehingga mereka sangat kesulitan mencari makanan. Anakku pun bersamaku, demi Allah dia tidak dapat tidur semalaman dan aku tidak menjumpai apa pun dalam genggamanku untuk menghiburnya. Hanya saja kami mengharapkan turun hujan. Kami mempunyai seekor kambing dan kami mengharapkan susunya.
Ketika kami tiba di Makkah, tidaklah salah seorang dari kami ditawarkan Rasulullah saw., kecuali dia menolaknya. Kami berkata, “Sesungguhnya dia adalah seorang anak yatim dan yang akan memuliakan sang penyusu dan beruat baik kepadanya hanyalah sang ayah.” Halimah berkata, “Mudah-mduahan ada yang dapat dilakukan oleh ibu, paman, atau kakeknya untuk kita. Semua temanku telah mendapatkan sapihan. Ketika aku tidak mendapatkan selainnya, aku pun kembali dan mengambilnya. Demi Allah, tidaklah aku mengambilnya kecuali karena aku tidak mendapatkan selainnya. Dan aku pun berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku akan mengambil anak yatim dari keturunan Abdul Muthalib ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepada kita, dan aku tidak pulang di antara teman-temanku tanpa membawa apa-apa.’ Dia pun menjawab, “Sungguh benar perkataanmu.
Halimah berkata, “Maka  aku mengambilnya dan membawanya ke dalam rombongan. Demi Allah, tidaklah aku membawanya ke dalam rombongan kecuali payudaraku penuh dengan susu sehingga aku dapat mengenyangkannya dengan susu, begitu juga saduaranya. Sang ayah beranjak menuju unta kami yang sudah tua dan mengelusnya. Tiba-tiba susunya sudah penuh berisi dan dia dapat memerahnya. Dia memberiku minum dan dia pun minum hingga kenyang. Dia berakta, “Wahai Halimah, tahukah kamu --- demi Allah – kita telah mendapatkan seorang jiwa yang diberkahi. Allah telah memberikan kepadanya apa yang tidak kita harap-harapkan.’ Halimah berkata, “Maka kami pun tidur dengan sebaik-baiknya malam, dalam keadaan kenyang, yang sebelumnya kami tidak dapat tidur bersama anak kami.”
Ketika masuk waktu pagi, kami dan teman-teman beranjak pulang ke desa. Aku pun naik untaku yang berwarna pirang dan membawanya bersamaku. Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, aku dapat mengejar rombongan, sampai-sampai para perempuan berkata, “Tunggulah kami, inikah untamu yang kau bawa itu?” Aku pun menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Sesungguhnya dia terluka ketika kami berangkat, apakah yang terjadi dengannya?” Halimah menjawab, “Demi Allah, aku membawa di atasnya seorang anak yang penuh berkah.”
Kami pun berjalan dan Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada kami setiap hari, hingga kami sampai ke desa yang saat itu dalam keadaan paceklik. Para penggembala pergi keluar desa dan kembali membawa gembalaannya. Kambing-kanbing suku Sa’ad kembali dalam keadaan lapar, tetapi kambingku kembali dalam keadaan kenyang, perut berisi makanan dan penuh dengan susu sehingga kami dapat memerah dan meminumnya. Mereka berakata, “Apa gerangan yang menyebabkan kambing al-harits bin Abdul ‘Uzza dan kambing Halimah kembali dalam keadaan kenyang dan penuh berisi susu,s edangkan kambing kalian kembali dalam keadaa lapar?” Sial nasib kalian, gembalakan kambing kalian ke tempat dia menggembala.” Mereka pun menggembala bersama-sama, tetapi tidak kembali kecuali dalam keadaan lapar seperti sebelumnya dan kambingku kembali seperti dulu (dalam keadaan kenyan dan penuh berisi susu).
Halimah bercerita, “Dia (Nabi Muhammad saw.) tumbuh dewasa tidak seperti yang dialami oleh anak-anak seusianya. Dia tumbuh dewasa dalam sehari seperti seorang yang tumbuh dalam sebulan. Dia tumbuh dalam sebulan seperti seorang yang tumbuh dalam setahun. Ketika sudah genap dua tahun, kami membawanya ke Makkah. Kami pun berkata, “Demi Allah, kita tidak akan berpisah darinya selama kita masih mampu.” Ketika kami sampai kepada ibunya, aku berkata, “Wahai ibu, demi Allah kami tidak pernah melihat seorang bayi yang lebih banyak keberkahannya dariapda dia. Sesungguhnya kami khawatir akan penyakit dan wabah yang ada di Makkah atasnya, jadi biarkanlah dia pulang kembali bersama kami sampai wabah tersebut hilang darimu.” Kami pun terus memohon hingga akhirnya dia mengizinkan dan kami pun pulang bersamanya. Kami tinggal bersamanya selama tiga atau empat bulan.

Peristiwa  Pembelahan  Dada

Dalam hadits yang telah lalu disebutkan bahwa Halimah r.a., berkata, “Ketika dia ebrmain di belakang rumah, dia dan saudaranya bersama anak-anak kambing miliknya. Tiba-tiba saudaranya datang dengan bergegas, aku dan suamiku sedang berada di unta. Dia kemudian berkata, “Saudaraku, si anak suku Quraisy, didatangi oleh dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa dan membaringkannya, kemudian membelah dadanya.” Aku dan suamiku pun berlari dengan cepat. Kami mendapatkannya sedang berdiri dengan wajah pucat. Ketika dia melihat kami, dia mencari perlindungan kepada kami dan menangis. Kemudian dan suamiku merangkulnya. Kami bertanya, “Apa yang terjadi denganmu, sumpah demi ayahku?” Dia menjawab, “Dua orang lelaki telah mendatangiku dan membaringkanku, kemudian membelah dadaku dan melakukan sesuatu apdanya, kemudian mengembalikannya seperti sedia kala.” Suamiku berkata, “Demi Allah, aku tidak melihat anakku, kecuali telah terkena gangguan jin. Pergilah kepada keluarganya dan kembalikan dia kepada mereka sebelum terjadi hal yang takutkan.”
Halimah berkata, “Kami membawanya dan mengembalikan kepada ibundanya. Ketika dia melihat kami, dia tampak heran dengan kedatangan kami. Dia berkata, “Apa yang mebuat kalian kembali dengannya sebelum aki memintanya dari kalian, padahal kalian sangat ingin menahannya?” Kami menjawab, “Tidak apa-apa, hanya saja Allah sudah menyempurnakan masa susuan dan membahagiakan kami degan apa yang kami lihat. Kami menjaganya seperti yang kalian suka dan kami juga sangat suka.’ Ibundanya berkata, “Tampaknya ada sesuatu yagn kalian sembunyikan, beritahukan kepadaku apa yang kalian sembunyikan itu. Dia memaksa kami sapai akhirnya kami pun memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata, “Sama sekali tidak, demi Allah, Allah tidak akan berbuat demikian padanya. Sesungguhnya anakku mempunyai hal yang hebat. Apakah mau aku beritahukan kepada kalian ketika aku mengandungnya? Demi Allah, aku tidak mengandungnya dengan kandungan yang lebih ringan dan lebih mudah darinya. Aku melihat ketika mengandungnya cahaya keluar dariku yang menerangi leher-leher unta di Bashra – dalam riwayat lain istana-istana di Busra – kemudian aku melahirkannya. Demi Allah, tidak terjadi padanya seperti yang dialami oleh kebanyakan anak kecil. Dia keluar dari perut dalam keadaan bersandar dengan kedua tangannya di atas bumi sambil mengangkat kepala ke langit. Jadi tinggalkan saja dia di sini.” Sang ibu pun mengambilnya, lalu kami pulang.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, Baihaqi, dan Abu Ya’la).
Diriwayatkan dari ‘Utbah bin ‘Abd as-Sulami r.a. bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Bagaimanakah awal pengasuhmu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda. “Pengasuhku adalah seorang dari suku Sa’ad bin Bakar. Suatu hari aku pergi bersama salah seorang putranya dan ebrmain bersama anak-anak kambing milik kami, tetapi kami tidak membawa bekal. Aku berkata kepada saudaraku, “Wahai saudaraku, pergilah dan bawalah bekal dari ibu kita.”
Dia pun pergi dan aku tinggal bersama anak-anak kambing. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung berwarna putih seperti burung elang. Salah satunya berkata kepada temannya, “Apakah dia orangnya?” Dia menajwab, “Ya.” Mereka pun datang menangkapku dan membawaku. Kemudian membaringkanku dan membelah dadaku. Keduanya mengeluarkan hatiku dan membersihkan darinya dua gumpal darah yang berwarna hitam. Salah seorang dari mereka berkapa kepada temannya, “Bawakan aku air es.” Mereka pun membasuh dalam perutku dengannya. Kemudian salah seorang berkata, “Bawakan aku air dingin.” Mereka pun membasuh hatiku dengannya. Kemudian ia berkata kembali, “Bawakan aku rasa tenang.” Dia pun memendamkannya ke dalam hatiku. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Jahitlah!” Dia pun menjahitnya dan menutupnya dengan tanda penutup kenabian.
Salah satu dari mereka berkata, “Jadikan dia dalam timbangan dan jadikan seribu dari umat di timbangan satunya.” Kemudian aku melihat seribu orang berada di atasku. Aku takut mereka jatuh ke atasku. Salah seorang dari mereka berkata, “Sekiranya umatnya ditimbang dengannya, niscaya dia akan melebihi mereka.” Kemudian mereka pergi dan meninggalkanku.
Aku pun sangat ketakutan, lalu aku menjumpai ibuku dan memberitahukannya apa yang aku alami. Dia pun merasa khawatir terahdapku akan gangguan setan yang mungkin menimpaku. Dia berkata, “Aku minta perlindungan dari Allah untukmu.” Kemudian dia menyiapkan rombongan unta miliknya, menaikkanku di atas rombongan dan dia naik unta di belakangku hingga kami sampai kepada ibuku dan berakta, “Aku sudah menunaikan amanah dan tanggunganku.” Dia menceritakan apa yang aku alami, tetapi ibu mengingkarinya dan ebrakta kepadaku, “Aku melihat cahaya keluar dariku, yang menyinari istana-istana di negeri Syam.” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berakta, “Sesungguhnya Rasulullah saw., didatangi malaikat Jibril kertika sedang bermain bersama anak-anak kacil. Dia pun mengambilnya dan membaringkannya, kemudian membelah dadanya dan mengeluarkan hatinya serta mengeluarkan segumpal darah. Jibril berkata, “Ini adalah bagian setan dalam dirimu.’ Kemudian dia mencucinya dalam ssebuah bejana yang terbuat dari emas dengan air zamzam. Kemudian dia mengumpulkannya dan mengembalikannya pada tempatnya. Anak-anak berlari keapda ibu susuannya dan berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.” Kemudian mereka menjumpai Rasulullah dan beliau dalam keadaan pucat.” Anas berkata, “Sungguh, aku telah meliaht bekas jahitan di dadanya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Peristiwa pembelahan dada juga terjadi sekali lagi ketika perjalanan Isra dan Mi’raj.

Perpisahan yang Menyakitkan

Setelah menyerahkan Nabi Muhammad saw., kepada ibundanya, pergilah Halimah r.a., dengan hatinya yang penuh dengan kesedihan dan duka atas perpisahan dengan sang kekasih – Baginda Muhammad saw.,  --- serta air mata yang berderai di atas pipinya.
Bukanlah yang mengalir dari mata itu airnya,
Melainkan jiwa yang mengalir kemudian menetes.
Meskipun demikian, dia merasa sangat yakin dalam dirinya bahwa Allah SWT akan mengumpulkna dengan sang kekasih dan dia akan melihatnya kembali.

Wafatbnya Sang Bunda

Rasulullahsaw., beserta sang bunda. Aminah binti Wahab, dan sang kakek, Abdul Muthalib, berada dalam perlindungan dan penjagaan Allah. Allah menumbuhkannya dengan perkembangan yang baik karena kehendak untuk memuliakannya. Ketika Rasulullah saw., telah sampai umur enam tahun, wafatlah sang Bunda, Aminah binti Wahab.
Sang Bunda pergi bersamanya ke kota Madinah untuk menziarahi paman-paman ayahnya suku ‘Adiy bin an-Najjar. Ketika dia pulang kambali, ajal menjemputnya di perjalanan. Dia wafat di Abwa’ dan dikuburkan di sana.
Takdir Allah seakan ebrkata, “Anak kecil ini tidak berpengaruh baginya ada tidaknya sang ayah ataupun sang ibu dengan jenis pendidikan apa pun. Sebab, Allah yang langsung mendidik dan mengajarinya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kematian sang bunda, Aminah, ketika beliau berumur 6 tahun, kemudian di asuh oleh Ummu Aiman dan ditanggung oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dia pun sangat menyayanginya dengan kasih sayang yang belum pernah dia berikan itu kepada anak-anaknya.
Rasulullah saw., hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim. Biasanya akan diletakkan untuk Abdul Muthalib sebuah permadani di bawah ruangan Ka’bah dan anak-anaknya akan duduk di samping permadani tersebut hingga ia tiba kepadanya. Tidak ada seorang pun dari anaknya yang duduk di atasnya karena sebagai pernghormatan atasnya.
Suatu hari Rasulullah saw., yang masih kecil datang dan duduk di atasnya, kemudian paman-pamannya mengambilnya dan memundurkannya dari permadani tersebut. Abdul Muthalib berkata ketika melihat apa yang mereka lakukan, “Birakanlah anakku ini. Demi Allah, dia akan mempunyai hal yang hebat.” Kemudian dia pun mendudukkannya di atas permadani, mengusap punggungnya, dan membiarkannya berbuat apa yang dia ingin perbuat.

Nabi saw. Menziarahi makam Sang Bunda

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Nabi saw., menziarahi makam ibundanya, beliau menangis, dan membuat orang di sekitarnya turut menangis. Beliau besabda, “Aku memohon izin kepada tuhanku untuk memintakan ampunan kepadanya, tetapi tidak memberiku izin, dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengizinkanku.” Maka ziarahilah kubur, karena sesungguhnya itu mengingatkan keamtian.” (HR. Muslim).

(Ummu Aiman) Ibunda setelah Ibunda

Dalam situasi yang menyakitkan ini, tampillah sosok Ummu Aiman yang menggantikan posisinya di antara para wanita yang menorehkan jejak yang jelas dalam sejarah. Allah SWT telah menginginkan semua kebaikan tertuju baginya, kembali bersama baginda Nabi saw., dan menjadi pengasuhnya. Begitu juga, dia ditempatkan untuk menjaga, mengurus, dan memberikannya kasih sayang yang berlimpah, seperti yang dilimpahkan oleh sang kakek, Abdul Muthalib, Allah SWT telah emnggantikan kasih sayang kedua orang tua dengan kasih sayang kakek dan Ummu Aiman. Abdul Muthalib sangat tergila-gila kepadanya dan seringkali berpesan kepada pengasuhnya, Ummu Aiman, seraya berkata :
“Wahai Barakah, jangan kamu lengah atas anakku karena sesungguhnya aku mendapatinya bersama anak-anak dekat dengan pohon Sidrah dan orang-prang ahli Kitab. Mereka beranggapan bahwa anakku adalah nabi bagi umat ini.”
Abdul Muthalib bahagia atas apa yang dia lihat dari tanda-tandan kemuliaan yang ada pada cucunya, Muhammad, dan berpesan kepada paman-pamannya dengan berakta, “Biarkanlah anakku, demi Allah, dia mempunyai hal yang luar biasa.”

Posisi Ummu Aiman di Hadapan Rasulullah saw.

Ummu Aiman telah mendapat tempat yang agung di hati Rasulullah saw. Beliau tidak pernah lupa bahwa dia adalah sebagai ibu sepeninggal ibu kandungnya. Ummu Aiman juga lebih mencintainya dariapda dirinya sendiri, bahkan mencurahkan segenap kasih sayangnya untuknya.
Diriwayatkan dari Anas r.a., dia berakta, “Rasulullah pergi menjumpai Ummu Aiman dan aku pergi bersamanya. Kemudian ia memberikannya sebuah bejana berisikan minuman. Aku tidak tahu apakah Ummu Aiman mendapati beliau sedang puasa atau beliau tidak mau. Kemudian dia pun berteriak kepada beliau dan menggerutu kepadanya.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata, “Maksud hadits tersebut adalah Nabi saw., menolak minuman darinya, mungkin dikarenakan puasa atau sebab yang lain sehingga Ummu Aiman marah dan mengingkari perbuatan beliau dengan kemarahan. Dia berbuat demikian karena dialah yang menjaga serta mendidiknya.” Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ummu Aiman adalah ibu setelah ibuku.” (HR. Muslim).

Kematian Sang Kakek, Abdul Muthalib
, “
Beberapa waktu kemudian, wafatlah sang kakek, Abdul Muthalib. Saat itu umur Nabi saw., adalah delapan tahun. Kemudian beliau diasuh oleh saudara kandung ayahnya, yakni pamannya, Abu Thalib. Sang paman pun menyayangi beliau. Keadaan ekonomi sang paman susah sehingga Nabi saw., menggembala kambing sebagai wujud pertolongan dari beliau untuk pamannya.

Nabi saw. Menggembala Kambing

Sejak Nabi Muhammad saw., hidup dalam asuhan paman, beliau bermaksud untuk menolong sang paman. Apalagi Abu Thalib sangat memerlukan bantuan karena kemiskinan dan anaknya yang banyak. Kemudian beliau bekerja mengembala kambing di lembah-lembah Kota Makkah dan jalan-jalan di antara pegunungan. Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih tentang pekerjaan beliau ini. Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw., bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali dia mengembala kambing.” Para sahabat berkata, “Dan Engkau?” Beliau menjawab, “Ya dulu aku menggembalakannya untuk Penduduk Kota Makkah dengan upah sejumlah qirat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, “Suatu hari kami bersama Rasulullah saw., di daerah bernama Marr az-Zahran memetik buah pohon Arak (Pohon yang biasa dibuat siwak) yang sudah matang. Beliau bersabda, “Ambillah yang berwwarna hitam karena itu lebih bagus.’ Kemudian beliau ditanya, “Apakah Engkau dulu menggembala kambing?” Beliau menjawab, “Ya, tidaklah ada seorang nabi, kecuali dia menggembalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian Beliau saw., bekerja dengan berniaga.
Dalam masa menggembalakan kambing tersebut, ada persiapan dari Allah SWT untuk Nabi-Nya dalam menerima risalah kenabian dan mengemban misi dakwah. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam penjelasannya terhadapo hadits ini telah merangkum beberapa pendapat ulama tentang hikmah di balik itu. Dia berkata, “Hikmah di balik pengilhaman para nabi dengan menggembalakan tersebut. Selanjutnya, mereka akan terbiasa atas apa yang akan dibebankan kepada mereka, yaitu urusan umat. Dalam pergulatan dengan penggembalaan kambing itu akan membiasakan mereka bersabar dan sayang. Apabila mereka dapat bersabar ketika menggembala dan mengumpulkan kambing-kambing setelah bercerai-berai kembali ke kandangnya, memindahkan mereka dari satu padang ke padang yang lain, menghalau musuh-musuh, seperti binatang buas dan selainnya, seperti pencuri, jadi, mereka mampu membedakan sifat tercerai-berainya dari musuh binatang buas atau pencuri. Sebab, mereka menjaganya secara instensif. Demikian juga mereka (para nabi) akan terbiasa bersabar atas umatnya, mengetahui perbedaan tabiat-tabiatnya, dan perbedaan akal mereka sehingga mereka dapat menyambung yang patah, sayang kepada yang lemah, dan bersungguh-sungguh dalam perhatian kepada umatnya. Oleh karena itu, kekuatan mereka atas kesulitan menggembala itu menjadi lebih mudah dibanding jika mereka langsung dibebani urusan dakwah sekaligus. Hal ini dikarenakan adanya proses yang berangsur-angsur dengan penggembalaan kambing. Begitu juga, kambing lebih dipilih untuk hal ini karena mereka adalah binatang yang lebih lemah dibanding yang lainnya. Lagipula, cerai-berainya kambing lebih sering terjadi dibandingkan dengan cerai-berai unta dan sapi. Akan tetapi, akan lebih cepat untuk tearatur dibandingkan yang lainnya.

Penjagaan Abu Thalib terhadap Rasulullah saw.

Nabi saw., dirawat oleh kakeknya (Abdul Muthalib) yang sangat menyayanginya. Setelah waktu berlalu, Abdul Muthalib merasa bahwa ajalnya sudah dekat, kemudian dia berpesan kepada anaknya – yakni Abu Thalib – untuk menjaga Nabi saw., dan berpesan kebaikan untuknya. Hal ini disebabkan Abdullah (ayah Nabi saw.), dan Abu Thalib adalah saudara kandung seayah dan seibu. Ibu mereka adalah Fatimah bin ‘Amr bin ‘Aid. Di samping itu, Abdul Muthalib merasa bahwa tidak akan ada yang menjaga Nabi saw., dan memberikan kasih sayang serta cinta, kecuali istri Abu Thalib. Sebab, dia melihat kasih sayang yang terpancar dari hatinya.
Setelah Abdul Muthalib wafat, berpindahlah Nabi saw., ke rumah Abu Thalib. Beliau mendapati dalam rumah tersebut seorang ibu (istri Abu Thalib) yang penuh kasihd ayang sehingga beliau merasa dia adalah ibu setelah ibunya yang telah wafat.
Fatimah binti Asad r.a., menyelimuti beliau dengan perawatan dan kasih sayang, sampai-sampai dia merasa khawatir terhadap Nabi saw., melebihi kekhawatirannya terhadap anak-anaknya.

Keberkahan Mengetahui Jalannya untuk Sampai di Rumah ini

Abu Thalib seorang yang fakri. Istrinya juga merasa bahwa anak-anaknya tidak pernah merasa kenyang dengan makanan. Namun, ketika Nabi saw., hidup di antara mereka, masuklah keberkahan untuk pertama kalinya dalam rumah yang mulia. Khususnya, dalam hal makanan untuk anak-anak mereka ketika Nabi saw., ikut makan bersama mereka.
Bahkan ketika keluarga Abu Thalib makan bersama-sama ataupun sendiri, mereka tidak akan kenyang. Namun, ketika Nabi saw., makan bersama mereka, rasa kenyang akan datang dengan sendirinya. Jadi, apabila Abu Thalib ingin makan siang atau makan malam bersama anak-anaknya, dia akan berkata, “Diamlah dulu, kalian sampai datang anakku.” Kemudian setelah Rasulullah saw., datang, mereka pun makan bersama dan makanan pun bisa tersisa.
Ketika akan minum susu, yang pertama kali minum adalah Rasulullah saw., kemudian beliau memberikan wadah minum tersebut kepada mereka (anak-anak sang paman). Mereka pun minum darinya dan mereka semua bisa kenyang dengan satu wadah itu. Padahal, salah seorang dari mereka akan menghabiskan satu wadah sendirian. Abu Thalib berkata, “Sungguh, engkau seorang yang diberkahi.”
Anak-anak akan bangun  di pagi hari dalam keadaan kumal dan mata yang berkotoran merekat di antara bulu-bulu mata. Sebaliknya, Rasulullah bangun di pagi hari dalam keadaan rambut berminyak dan mata bercelak.

Cinta Pun Bertambah Hari demi Hari

Fatimah binti As’ad r.a., setiap hari melihat keberkahan-keberkahan yang masuk dalam rumahnya untuk pertama kali, bahkan dia hampir tidak percaya pada dirinya sendiri. Kecintaan kepada Rasulullah saw., pun bertambah hari demi hari, sampai-sampai Nabi saw., merasa bahwa Allah telah memberinya seorang ibu yang menggantikan ibundanya yang telah wafat. Dialah yang menjaganya di masa kecil dan mudanya, memberinya perhatian dan pernghormatan khusus, serta menyelimutinya dengan kasih sayang. Hal ini terus berlangsung hingga beliau menikah dengan Khadijah, r.a.
Nabi saw. Tumbuh di antara sumber kasih sayang dan sungai rasa cinta Fatimah binti Asad dan Ummu Aiman r.a.  Kedua orang tersebut menjaganya serta memberikan kasih sayang dan cinta khusus, seakan-akan dia adalah ibu bagi Nabi saw.

Kisah Pendeta bahira

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Abu Thalib dan Nabi saw., pergi ke negeri Syam bersama para pembesar suku Quraisy. Ketika mereka hampair sampai di kediaman sang pendeta, mereka pun turun dari kendaraan dan membongkar barang bawaan mereka. Keluarlah sang pendeta kepada mereka. Padahal, biasanya mereka yang akan mendatanginya dan dia tidak keluar menjumpai mereka, bahkan tidak menoleh. Namun, hari itu ketika mereka sedang membongkar muatan, datanglah sang pendeta masuk ke kelompok yang baru datang ini dan mencari-cari seseorang hingga akhirnya dia bertemu dengan Nabi saw. Dia pun mengambil tangan Rasulullah saw., dan berkata, “Ini adalah pemimpin alam. Ini adalah utusan Tuhan semesta alam. Allah akan mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Kemudian para sesepuh Quraisy pun berkata, “Dari mana kamu tahu itu?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ketika kalian mendekati tanjakan, tidak ada pohon ataupun batu yang menunduk sujud. Mereka tidak sujud, kecuali kepada seorang nabi. Aku mengetahuinya dari tanda kenabian yang berada pada punggungnya yang berbentuk seperti buah apel.”
Kemudian sang pendeta kembali ke gerejanya dan membuatkan mereka makanan. Ketika dia datang membawa makanan kepada mereka dan Nabi saw., menjaga unta-unta mereka, dia berkata, “Bawalah dia kemari.” Nabi saw., pun datang dengan naungan awan di atas kepalanya. Ketika sudah dekat dengan kumpulan orang-orang, Nabi saw., melihat mereka sudah lebih dahulu berada di bawah naungan pohon. Ketika beliau duduk, bayangan pohon tersebut berpindah kepadanya. Pendeta berkata, “Lihatlah, naungan bayangan pohon berpindah kepadanya.”
Tiba-tiba sang pendeta berdiri di antara mereka dan bersumpah supaya mereka tidak membawanya ke negeri Romawi. Sebab, apabila mereka tahu dengan ciri-ciri kenabian Nabi saw., tersebut, mereka akan membunuhnya. Sang pendeta menoleh, ternyata terlihat dari kejauhan tujuh orang dari Romawi dan mereka pun mendatanginya. Pendeta berkata, “Apa yang membuat kalian datang ke sini?” Mereka menjawab, “Kami diberi kabar bahwa nabi keluar pada bulan ini, tidak ada satu jalan pun kecuali diutus sejumlah orang untuk menangkapnya. Kami sudah diberitahu tentang kabarnya, kami pun diutus ke jalanmu ini.” Pendeta kembali berkata, “Apakah di belakang kalian ada seseorang yang lebih mulia dari kalian?”
Mereka menjawab, “Sungguh, kami memilih yang terbaik untukmu menuju jalanmu ini.” Pendeta berkata, “Apa pendapat kalian, suatu perkara yang sudah Allah inginkan untuk terjadi, apakah ada seseorang dari manusia untuk menolaknya terjadi?”  Mereka menjawab, “Tidak.” Mereka pun membaiat setia sang pendeta dan tinggal bersamanya.
Pendeta berkata kepada para sesdepuh Quraisy, “Demi Allah, siapakah penjaga anak ini?” Mereka berkata, “Abu Thalib.” Dia pun terus bersumpah kepada Abu Thalib sehingga Abu Thalib pun memulangkan Nabi saw., lalu mengutus Abu Bakar dan Bilal bersamanya. Sang pendeta membekali beliau dengan ka’ak (sejenis biskuit) dan minyak. (HR. Turmudzi).
Nabi Muhammad saw, pun pulang dari perjalanan untuk kembali memulai kehidupan yang berat dan bukanlah termasuk kebiasaan lelaki untuk duduk diam. Para Rasul sebelumnya juga makan dari hasil jerih payah mereka dan bekerja dengan keahlian yang bermacam-macam untuk membiayai hidup meraka.

Allah SWT Menjaga Nabi saw. Dari Kotoran-Kotoran Kehidupan Jahiliah

Allah SWT. Telah menjaga nabi-Nya saw., dari kotoran-kotoran ajaran jahiliah supaya seluruh kehidupannya kelak putih bersih tidak ada noda sedikit pun. Sebab, dia akan menjadi teladan bagi seluruh alam raya di setiap masa dan tempat.
Beberapa bukti Nabi saw., dijaga Allah :

1. Salah satu bukti Allah SWT menjaga Nabi saw., adalah Nabi saw., tidak tergerak hatinya untuk melakujkan sebuah keburukan yang biasa orang-orang jahiliah lakukan.
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa aku mendengar Rasulullah saw., bersabda , “Aku tidak pernah berkeinginan melakukan suatu hal buruk yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah, kecuali hanya dua kali seumur hidupku. Allah menjagaku dari keduanya. Suatu malam aku berkata kepada pemuda bersamaku di seuku Quraisy di perbukian Makkah ketika menggembala kambing milik keluarganya, “Jagalah kambingku, sementara aku akan begadang malam ini di Makkah seperti para pemuda lakukan.” Dia menjawab, “Y/” Aku pun pergi dan aku tiba di rumah terjauh dari rumah-rumah di Makkah. Aku mendengar nyanyian, suara kendang, dan seruling. Aku bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Fulan menikahi Fulanah, seorang pria dari suku Quraisy menikahi seorang wanita dari suku Quraisy.” Maka aku pun terlena dengan nyanyian dan suara-suara tersebut hingga aku tertidur, tidak ada yang membangunkanku, kecuali panasnya matahari. Aku kembali, kemudian temanku bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Aku pun memberitahukannya.
Kemudian aku berkata kepadanya pada malam yang lain seperti yang pertama, kemudian dia pun melakukannya. Aku pergi dan mendengar hal yang sama, aku diberi tahu seperti yang pertama kali. Aku terlena dengan apa yang aku dengar sampai aku tertidur. Tidak ada yang membangunkanku selain panas matahari. Kemudian aku kembali kepada temanku dan dia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Aku menjawab, “Aku tidak beruat apapun.” Rasulullah saw., bersabda, “Demi Allah, aku tidak berkeinginan beruat buruk yang dilakukan orang-orang jahiliah setelah itu hingga Allah memuliakanku dengan kenabian.”

2. Allah SWT menjaga Nabi saw., dari kesyirikan dan penyembahan berhala.
Nabi saw., dijaga Allah SWT dari kesyirikan jahiliah dan penyembahan berhala. Lalu, siapakah yang lebih utama dengan kemuliaan ini daripada pembawa risalah suci yang ajarannya sangat toleran dalam segi amaliah serta sangat tegas dalam hal kesucian tauhid dan jauh dari kemusyrikan?
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata, “Seorang tetangga Khadijah memberitahuku bahwa dia mendengar baginda Nabi saw., berkata kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, demi Allah aku tidak menyembah Latta dan Uzza.”

3. Allah SWT menjaga Nabi saw., tidak makan dari yang disembelih atas nama berhala.
Hal ini kebetulan sama yang dilakukan oleh Zaid bin ‘Amr bin Nufayl.
Diriwayatkan dalmAbdullah bin ‘Umar bahwa Nabi saw., bertemu Zaid bin ‘Amr bin Nufayl did ataran rendah Baldah sebelum wahyu turun kepada Nabi saw. Kemudian ia menyodorkan makanan kepada Nabi saw., tetapi beliau enggan untuk memakannya. Kemudian Zaid berkata, “Sesungguhnya aku tidak memakan dari apa yang kalian sembelih untuk berhala-berhala kalian dan aku tidak makan, kecuali apa yang disebutkan nama Allah atasnya.” Sesungguhnya Zaid bin ‘Amr mencela suku Quraisy atas sembelihan mereka dan berkata, “Kambing diciptakan oleh Allah, menurunkan air dari langit untuknya, dan menumbuhkan tumbuhan di bumi baginya, kemudian kalian menyembelihnya atas nama selain-Nya!?” Hal itu sebagai pengingkaran dan betapa besar dosanya.

4. Bukti lain bahwa Allah SWT menjaga Nabi sa., adalah taufik (kekuatan dari Allah) bagi Nabi saw.m untuk melakukan wukuf di Arafah. Hal ini sebagai tindakan yang berbeda atas apa yang dilakukan oleh kaumnya.
Nabi saw., juga mendapatkan taufik (kekuatan dari Allah) untuk melakukan wukuf di Arafah, sebagai tindakan yang berbeda atas apa yang dibuat oleh kaumnya, yakni al-Hums (suku Quraisy juga dinamakan dengan al-Hums). Setan telah memperdaya mereka dengan berkata, “Sesungguhnya jika kalian memujliakan hal-hal yang bukan haram (mulia, agung) milik kalian, niscaya orang lain akan meremehkan hal-hal yang haram bagi kalian.” Mereka tidak berwukuf di Arafah pada hari Arafah, padahal semua orang berwukuf di sana. Dan Syariat Muhammad saw., setelah itu adalah berwukuf di Arafah. Sebagaimana kalam Allah yang berbunyi, “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah ......” (QS. Al-Baqarah (2) : 199).
 Diriwayatkan dari Muhammad bin Jubair dari ayahnya (yakni jubair bin Mut’im) berkata, “Aku kehilangan unta milikku, maka aku pergi mencarinya pada hari Arafah. Aku melihat Nabi saw., sedang melakukan wukuf di Arafah, aku berkata, “Demi Allah, ini termasuk dari al-Hums, apa yang dia lakukan di sini?”

5. Bukti lain bahwa Allah SWT menjaga Nabi saw., adalah penjagaan Allah SWT dari terbuka auratnya atau telanjang.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Nabi saw, dan Abbas pergi mengangkut batu. Abbas berkata kepada Nabi saw, “Angkat kainmu di atas leher serta matanya melihat ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata, “Kainku! Kainku! Lalu, kainnya diikatkan kembali kepadanya.”
Dalam lafal Bukhari dan Muslim yang lain dari riwayat Zakariya bin Ishaq dari Amr bin Dinar disebutkan, “Beliau melepas kainnya dan menjadikannya di atas pundak, lalu beliau pingsan. Maka tidaklah Nabi saw, terlihat telanjang setelah itu.”

Demikianlah Nabi saw, tumbuh dewasa dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT dari kotoran-kotoran jahiliah dan cela-celanya. Sebab, Allah SWT ingin memuliakan dan mengutusnya hingga beliau masuk umur balig. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, “Beliau adalah seorang lelaki yang terbaik harga dirinya di kaumnya, terbaik akhlak dan termulia muamalahnya, tetangga yang terbaik, termulia perangainya, terpercaya perkataannya, terbesar kejujurannya, terjauhkan dai kekejian danperangai-perangai yang mengotori sifat kejantanan, serta dia orang yang bersih dan mulia. Nama yang ada di kaumnya tidak lain adalah al-Amin (yang dipercaya) karena Allah telah mengumpulkan dalam dirinya hal-hal yang terbaik.

Perang Al-Fijar

Di antara sekutu Qays adalah ‘Aylan dan Tsaqif. Sedangkan sekutu Quraisy adalah suku al-Ahabisy. Yang menjadi ketua dari suku Bani Hasyim adalaha az-Zubair bin Abdul Muthalib dan yang berada bersamanya adalah saudara-saudaranya, yakni Abu Thalib, Hamzah, dan Abbas. Pada setiap anak suku dari suku-suku Quraisy terdapat seorang ketua. Mereka berperang di hari yang sangat dahsyat. Sebab, kehormatan Makkah telah dinodai yang dulunya suci di kalangan bangsa Arab. Perang itu pun dinamakan Perang al-Fijar (Yaumil Fijar). Hampir saja kekalahan di pihak Qais, sampai-sampai sebagian kabilah mereka kalah. Akan tetapi, dapat diselematkan oleh ajakan orang-orang yang menginginkan gencatan senjata dengan syarat menghitung jumlah korban yang mati dari setiap kelompok. Barangsiapa yang mendapati korbannya lebih banyak, dia akan mengambil denda yang lebih banyak. Dikarenakan Qais mempunyai kelebihan sehingga mereka mengambil denda lebih tersebut dari Quraisy. Harb bin Umayyah berjanji membayarnya dan menggadaikan anaknya, Abu Sufyan, untuk melunasinya. Perang pun usai yang seringkali menyerupai peperangan-peperangan bangsa Arab sebelumnya. Hingga Allah menyatukan hati dan menyingkirkan kesesatan dari mereka dengan terpancarnya cahaya Islam di antara mereka.
Ibu Hisyam berkata, “Rasulullah saw, menyaksikan sebagian peperangan mereka, beliau keluar bersama paman-pamannya. Rasulullah saw., bersabda, “Aku memberikan anak panah kepada paman-pamanku dari anak panah musuh apabila mereka melemparkannya. As-Suhayli berkata, “Hanya saja Rasulullah saw, tidak berperang bersama paman-pamannya. Sebab, itu adalah Perang al-Fijar (menghalalkan kehormatan Haram Makkah) dan mereka semua juga adalah orang-orang kafir.
Allah tidak mengizinkan orang mukmin untuk berperang, kecuali untuk meninggikan agama Allah.

Halfu Fudhul

Halful Fudhul adalah sebuah petunjuk bagaimanapun hitamnya lembaran kehidupan dan pahitnya keburukan, tidak akan kosong dari jiwa-jiwa yang tergugah oleh kecerdasan berpikir dan terdorong pada pertolongan dan kebaikan.
Dalam kehidupan jahiliah yang kosong, bangkitlah sejumlah laki-laki yang beruat kebaikan dan berjanji di antara mereka untuk menegakkan keadilan dan memerangi kezaliman. Mereka juga memperbaraui keutamaan-keutamaan di tanah Haram yang telah punah.
Fadhlullah al-Jailani berkata, “Sembilan ketua anak suku dari Suku Quraisy berkumpul – di antara mereka adalah Bani Hasyim, Bani Zuhrah, dan Bani Taym. Mereka berkumpul di rumah Ibnu Jad’an beberapa masa sebelum tahun Gajah ketika Bani Abd Manaf berusaha untuk mengeluarkan siqayah (tugas memberi minum para haji) dan Liwa (tugas memegang panji perang) dan bani Abdud-Dar. Suku-suku tersebut melakukan sebuah perjanjian untuk menyangkal hal itu. Ummu Hakim (putri Abdul Muthalib) membawakan sebuah wadah berisikan minyak wangi. Mereka pun mencelupkan tangan dan memukulkannya ke Ka’bah. Hal ini dinamakan sumpah Mutayyibin (orang yang memakai wewangian) yang berjalan terus seperti itu, hingga datang seorang dari Zabid ke Makkah membawa barang dagangan. Kemudian al-‘As bin Wail membelinya, tetapi tidak mau membayarnya dan Zabid kalah darinya. Zabid berteriak meminta tolong. Orang-orang pun berkumpul di rumah Abdullah bin Jad’an, yakni Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad bin ‘Abdul-‘Uzza. Zuhrah bin Kilab, dan Taym bin Murrah. Mereka sepakat untuk tdaik menjumpai seorang  pun dari penduduk Makkah dan selain Makkah yang terzalimi yang masuk ke sana. Kecuali, mereka bersamanya dan menjadi musuh bagi yang menzalimi hingga mereka dapat mengembalikan haknya. Ini adalah sumpah yang dibuat oleh orang-orang yang memakai wewangian. Rasulullah saw., tidak menyaksikan mereka pertama kali dan beliau menyaksikan Halful Fudhul. Dinamika Halful Fudhul karena orang-orang yang bersumpah tersebut memiliki nama al-Fadhl, seperti al-Fadhl bin al-Haris, al-Fadhl bin Wada’ah, dan al-Fadhl bin Fudhalah.
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Aku menyaksikan sumpah orang-orang yang memakai wewangian bersama paman-pamanku dan – aku seorang anak muda – aku tidak suka sekiranya memiliki unta yang mahal dan aku melanggar sumpah tersebut.”
Cahaya kegembiraan dengan sumpah ini tampak dari ungkapan kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah saw. Itu adalah kegairahan melawan orang zalim sekalipun sulit dan bersama orang yang dizalimi sekalipun hina. Ini adalah inti dari Islam, amar makruf nahi munkar. Orang yang berdiri dan berhenti tidak melampaui larangan-larangan Allah. Tugas Islam adalah memerangi kezaliman dalam kehidupan politik umat dan dalam urusan shalat individu ssecara bersama.

Pernikahan dengan Khadijah, r.a.

Ibnu Ishaq berkata, “Khadhijah binti Khuwalid adalah seorang saudagar, wanita yang bermartabat tinggi dan kaya raya. Dia mempekerjakan sejumlah laki-laki untuk menjelankan hartanya dan menginvestasikan untuknya dengan upah yang dia berikan kepada mereka. Adapun suku Quraisy adalah, kelompok saudagar.”
Berita perihal Rasulullah saw., tentang kejujuran perkataannya, kebesaran amanahnya, dan kemjuliaan akhlaknya sampai kepada Khadijah. Kemudian Khadijah mengutus utusan dan menawarkan Muhammad untuk pergi membawa hartanya ke negeri Syam sebagai seorang saudagar. Khadijah memberikan Muhammad harta terbaik yang belum pernah dia berikan kepada orang lain, bersama seorang budak miliknya yang bernama Maisarah. Rasulullah saw., pun menerima amanah itu dan pergi bersama budaknya khadijah, Maisarah, hingga tiba ke negeri Syam.
Rasulullah saw, berteduh di naungan sebuah pohon dekat gereja salah seorang rahib. Sang Rahib pun mendatangi Maisarah dan berkata kepadanya, “Siapakah lelaki yang berteduh di bawah pohon ini?” Maisarah menjawab, “Dia seorang lelaki dari suku Quraisy penduduk Haram.” Sang Rahib berkata kepadanya, “Tidaklah berteduh di bawah pohon ini, kecuali dia adalah seorang nabi.”
Kemudian beliau saw, menjual dagangan yang dia bawa dan membeli apa yang ingin dia beli. Nabi saw, pulang kembali ke Makkah bersama Maisarah. Apabila tengah hari tida, dan terik matahari sangat panas, Maisarah – seperti sebagian ulama katakan – melihat dua malaikat menaungi Nabi saw, dari terik matahari dan beliau saat itu sedang naik untanya. Ketika tiba di Makkah dan ke tempat Khadijah dengan membawa apa yang telah dibeli Nabi saw., Khadijah mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda atau hampir dua kali lipat.
Ketika Maisarah bertemu Khadijah pun, Maisarah menceritakan perihal perkataan sang Rahib dan apa yang dia saksikan tentang naungan dua malaikat di atasnya. Khadijah adalah seorang wanita yang tegar, mulia, dan pintar, di samping kemuliaan yang akan Allah berikan kepadanya.
Semua bukti dan petunjuk telah terkumpul dalam diri khadijah bahwa Muhammad adalah penutup bagi para nabi. Dia terus berharap untuk menjadi istri baginya, tetapi bagaimana cara untuk sampai kepadanya?
Dia adalah seorang wanita yang mulia dari garis keturunannya, kaya raya, serta terkenal tegar dan kepintarannya. Sosok seperti  Khadijah menjadi incaran bagi para pemimpin suku Quraisy untuk dijadikan pendamping hidup. Akan tetapi, Khadijah menganggap ada kehinaan dalam diri sejumlah lelaki. Sebab, mereka adalah para pencari harta, bukan pencari jatidiri sehingga pandangan mereka terhadap Khadijah hanya sebatas keinginan untuk menguasai kekayaannya meskipun perkawinan itu adlah tanda akan ketamakan ini.
Pandangan tersebut akan sangat berbeda ketika Khadijah mengetahui Nabi saw. Dia melihat sebagai sosok yang sangat berbeda dari kebanyakan lelaki. Menurutnya, Nabi saw.m adalah seorang lelaki yang tidak terpedaya oleh kebutuhan (cinta duniawi), bahkan lebih baik hidup fakir. Alasannya, Nabi saw, sering mendapati dalam sebuah perniagaan terdapat kekikiran dan penipuan, hal inilah yang membuat beliau tidak melulu memikirkan untuk mencari keuntungan. Sebab, Nabi saw, adalah seorang lelaki yang memiliki kemuliaan yang tinggi, bisa bersikap arif, dan tidak berlebihan. Beliau saw, pun tidak mencari-cari sesuatu hanya demi harta dan kecantikan Khadijah. Nabi saw, telah menunaikan apa yang menjadi tanggungannya dan pergi dengan kepuasan dan keikhlasan hati.

Khadijah Menemukan Hla yang Hilang dalam Hidupnya

Dalam lautan kebingungan dan perasaan tidak menentu itulah, datang teman Khadijah – Nafisah binti Munabbih – duduk bersamanya dan bertukar cerita hingga akhirnya Khadijah menyingkap rahasia terpendam dalam rangkaian ceritanya.
Nafisah menenangkan kekhawatiran Khadijah dan perasaannya. Dia juga mengingatkan bahwa Khadijah adalah seorang dari keturunan orang terpandang bernasab mulia, kaya raya, dan cantik jelita. Nafisah mengatakan seperti itu karena bukti yang tampak nyata bahwa banyak pelamar yang datang dari pemimpin-pemimpin Quraisy.
Tidak lama kemudian setelah mendengar cerita Khadijah, Nafisah pun pergi dari sisi Khadijah. Dia mendatangi Nabi saw, dan berbicara kepadanya untuk menikahi Khadijah yang suci. Dia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang mencegahmu untuk menikah? Nabi saw, bersabda, “Aku tidak memiliki apa pun untuk menikah.”
Nafisah, “Seandainya engkau dicukupi dan dilamar oleh seorang wanita yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kafa’ah, apakah engkau akan menerima?”
Beliau menjawab dengan nada penuh tanda tanya, “Siapa?”
Nafisah langsung menjawab, “Khadijah binti Khuwalid.”
Beliau berkata, “Jika dia setuju, aku menerimanya.”
Nafisah pun pergi untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Khadijah. Kemudian Nabi saw, memberitahukan kepada para pamannya akan keinginanya untuk menikah dengan Khadijah. Akhirnya, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lainnya ke tempat paman Khadijah  --- ‘Amr ibn Asad – dan melamar putri saudaranya untuk Nabi saw. Mereka juga  membawa sejumlah mahar.
Dalam pertemuan tersebut, Abu Thalib berdiri dan membacakan khotbah. Abul Abbas al-Mubarrad menyebutkan bahwa Abu Thalib berkhotbah dengan khotbah penyerahan mahar. Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita dari keturunan Ibrahim, anak cucu Ismail, keturunan Ma’ad dan Mudar, menjadikan kita penjaga rumah-Nya dan mengurus tanah Haram-Nya. membuatkan untuk kita sebuah rumah yang terjaga, tanah haram yang aman, dan menjadikan kita para pemimpin manusia. Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak sama dengan lelaki mana pun. Dia lebih baik karena kebaikan dan keutamaan, kemuliaan dan kepintaran, serta kehormatan dan kecerdasan. Meskikpun dia tidak memiliki banyak harta, ketahuilah sesungguhnya harta itu seperti bayangan yang akan hilang, hal penghalang dan barang titipan yang diminta untuk dikembalikan. Muhammad adalah seorang yang sudah kalian ketahui nasabnya. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwalid dengan memberikan apa yang dia miliki sekarang dan yang akan datang dari hartaku sebanyak dua puluh bakrah (gilungan emas).”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Dan dia telah memberikan mahar untuknya sebanyak dua belas setengah auqiyah emas.”
Kemudian Abu Thalib berkata, “Demi Allah, setelah ini dia mempunyai berita yang besar dan bahaya yang dahsyat, jadi kawinkanlah dia.”
Ketika akad sudah selesai, unta-unta pun disembelih dan dibagikan kepada fakir miskin. Rumah Khadijah pun dibuka untuk sanak saudara.
Dalam riwwayat Ibnu Abbas r.a. Rasulullah saw, menceritakan tentang Khadijah bahwa ayah Khadijah enggan mengawinkan putrinya dengan beliau saw. Kemudian Khadijah membuat makanan dan minuman, lalu mengundang ayahnya dan sejumlah orang dari Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga tak sadarkan diri (mabuk). Khadijah berkata kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah melamarku, maka kawinkan aku dengannya.” Sang ayah pun mengawinkan Khadijah Khadijah dengan beliau saw. Khadijah pun memberikan ayahnya minyak wangi dan memakaikan pakaian indah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan kepada orang tua ketika anak-anaknya menikah. Ketika sang ayah sadarkan diri, dia melihat dirinya sudah berminyak wangi dan memakai pakaian bagus. Dia bertanya, “Ada apa dengan Muhammad bin Abdullah?” Dia berkata, “Aku menikahkan anak yatimnya Abu Thalib? Tidak, demi Allah.” Khadijah berkata, “Apakah kamu tidak malu? Kamu ingin menjelekkan dirimu di hadapan Quraisy dan mengatakan kepada orang-orang bahwa saat itu aku sedang mabuk?” Khadija terus menerus mengingatkan hal tersebut hingga akhirnya sang ayah pun rela.
Khadijah menjadi seorang istri yang setia dalam cintanya serta seorang ibu yang penuh kasih sayang dan kebaikan.
Khadijah yang suci saat itu berumur empat puluh tahun, usia sempurna seorang wanita. Sedangkan Nabi saw., dalam kesempurnaan umur pemuda yakni dua puluh lima tahun.

Poisisi Khadijah r.a.

Beberapa hadits menjelaskan posisi Khadijah r.a. di sisi Allah dan Rasulullah saw. :
1. Diriwayatkan dari Ibu Abbas, dia berkata, “Rasulullah saw, membuat garis di tanah sebanyak empat garis, beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah ini? Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.’ Maka Rasulullah saw, bersabda, “Wanita termulia dari penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Aisyah binti Muzahim istri Fir’aun, dan Masyam binti ‘Imran. Semoga Allah medihai mereka semua.”

2. Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya Nabi saw, bersabda, “Cukuplah kamu ketahui bahwa wanita termulia sealam raya adalah Maryam binti ‘Imran. Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, dan Aisyah istri Fir’aun.”

3. Diriwayatkan dari az-Zuhri, dia berkata, “Rasulullah saw, tidak menikah di atas ikatan pernikahan Khadijah hingga di awafat.”

4. diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Jibril datang kepada Nabi saw, dan di sampingnya ada Khadijah. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan salam untuk Khadijah.” Khadijah berkata, “Sesungguhnya Allah adalah as- Salam (Kesejahteraan), atas Jibril kesejahteraan, dan atasmu kesejahteraan, serta rahmat Allah dan keberkahan-Nya.”
Mari kita bayangkan bagaimana seorang perempuan beriman seperti ibunda kita Khadijah r.a. yang Allah utus Jibril untuk mengirimkan salam baginya. Di sisi lain kita juga mendapati bagaimana kecerdasan dan adab Khadijah ketika dia berkata, “Sesungguhnya Allah adalah kesejahteraan.” Tidak berkata, “Atas Allah kesejahteraan.”. Sungguh derajat tinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan dunia beserta isinya.

5. Diriwayatkan dari Aisyah, r.a. dia berakta, “Aku tidak cemburu kepada istri-istri Nabi saw,m kecuali kepada Khadijah dan aku tidak menemuinya.” Aisyah melanjutkan, “apabila Rasulullah saw., menyembelih kambing, beliau akan berkata, “Kirimkan sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.” Aku pun membuatnya marah dengan berkata, “Khadijah!. Kemudian Rasulullah saw, bersabda, “Sungguh, aku telah diberikan cintanya.”
Alangkah tingginya kata-kata tersebut, yang tersimpan ungkapa-ungkapan yang manis penuh rasa malu, tercermin dari kecantikannya, “Sungguh, aku telah dikarunia cintanya.” Seakan-akan kecintaannya kepada Khadijah r.a. adalah karunia yang Allah berikan kepadanya.

Ada sebuah hadits yang menggambarkan realita yang nyata karena kemuliaan yang Allah SWT berikan kepada Khadijah r.a. di surga. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Dia berkata, “Jibril mendatangi Nabi saw., dan bekata, “Wahai Rasululla, itu adalah Khadijah sedang datang membawa wadah berisi lauk, makanan, atau minuman. Apabila dia mendatangimu, ucapkanlah salam atasnya dari Tuhannya dan dariku, dan berikan dia kabar gembira dengan sebuah rumah di surga dari bambu, tidak ada suara teriakan dan keletihan di dalamnya.”

Nabi saw. Ikut Serta Membangun Ka’bah

Allah SWT berkalam, “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam, “ (QS. Ali ‘Imran (3) : 96).
Diriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw., tentang masjid yang pertama dibangun di atas bumi. Beliau bersabda, “Masjidil Haram.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Masjidil Aqsa.” Aku bertanya kembali, “Berapa jarak waktu pembangunan antara keduanya?” Beliau menjawab, “Empat puluh tahun, kemudian bumi adalah masjid bagimu, kapan pun kalian masuk waktu shalat, shalatlah karena sesungguhnya keutamaan ada di dalamnya.”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang pertama kali membangun Ka’bah. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali membangunnya adalah malaikat. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangunnya adalah Nabi Adam, a.s. Ada juga yang mengatakan bahwa yang pertama kali membangun adalah Nabi Ibrahum dan Ismail a.s.
Adapun pendapat yang rajih (kuat) adalah Ka’bah sudah ada sebelum Nabi Ibrahim dan Ismalil, tetapi hancur dan hanya tersisa fondasi-fondasinya. Kemudian yang meninggikan fondasi-fondasinya tersebut adalah Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. Sebagaimana Allah berkalam, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2) :127).
Ka’bah --- sebelum diutusnya baginda Nabi saw. --- hanpir runtuh. Ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan kebakaran, ada yang mengatakan karena banjir bandang, yang terjadi lima tahun sebelum diutusnya Nabi saw., menurut pendapat yang rajih.
Kemudian kaum Quraisy terpaksa memperbaruinya untuk menjaga eksistensinya. Mereka sepakat untuk tidak memasukkan dalam pembangunannya, kecuali yang baik. Mereka pun tidak memasukkan uang prostitusi, jual beli riba, atau harta hasil menzalimi seseorang. Mereka sangat takut untuk menghancurkannya. Namun, ketika al-Walis bin Mugirah al-Makhzumi melakukan penghancuran dan diikuti oleh orang-orang, ternyata mereka melihat tidak terjadi apa-apa. Akhirnya, mereka terus menghancurkan hingga sampai pada fondasi Nabi Ibrahim
Kaum Quraisi ingin memulai pembangunan dan membagikan setiap kabilah bagian dari Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu masing-masing dan mulai membangunnya. Orang yang menjadi arsitek pembangunan adalah seorang dari Romawi, bernama Baqum. Ketika pembangunan sudah sampai pada bagian Hajar Aswad, mereka berselisih siapa yang mendapatkan keistimewaan dan kemuliaan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya. Perselisihan pun terus terjadi selam empat hingga lima malam dan makin memanas, sampai-sampai hampir berubah menjadi peperangan di tanah haram. Akhirnya, Abu Umayyah bin al-Mugirah al-Makhzumi menawarkan kepada mereka untuk menjadikan hakim di antara mereka adalah orang yang pertama kali masuk dari pintu masjid. Mereka pun rela dengan tawaran ini. Allah pun berkehendak untuk menjadikan orang tersebut adalah Rasulullah saw. Ketika mereka melihatnya, mereka berbisik, “Ini adalah al-Amin, kami rela atasnya, ini adalah Muhammad.”
Ketika Nabi Muhammad saw, sampai kepada mereka, lalu mereka menceritakan kisah mereka. Beliau pun meminta sebuah rida (kain sejenis selendang) dan beliau meletakkan batu di tengahnya. Beliau meminta kepada pembesar-pembesar kabilah yang berselisih memegang ujung-ujung kain tersebut dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya. Ketika mereka telah sampai ke tempatnya, beliau mengambil dengan tangannya dan meletakkan pada tempatnya.
Dirieayatkan dari Ali, dia berkata, “Ketika mereka (orang-orang Quraisy) ingin mengangkat hajar Aswad, mereka berselisih. Mereka berkata, “Yang menghakimi kita adalah orang yang pertama kali keluar dari jalan ini.” Dan Rasulullah saw., adalah orang yang pertama keluar mendatangi mereka. Kemudian mereka meletakkan batu di atas kain dan semua kabilah mengangkatnya. Pada waktu itu Rasulullah  saw., masih muda – yakni sebelum diutus menjadi nabi.”
Dalam riwayat yang lain, Ali berkata, “Ketika mereka melihat Nabi saw., telah masuk, mereka berkata, “Telah databng kepada kita al-Amin.”
Dalam versi yang lain disebutkan bahwa diriwayatkan dari at-Tufail melihat  Nabi saw, dia berkata, “ka’ba di zaman jahiliah dibangun dengan batu dan tingginya sekitar tinggi yang dapat diraih oleh kambing berumur, tidak beratap, dan hanya diletakkan kain di atasnya, lalu diuraikan dari atasnya. Sisi Hajar Aswad diletakkan di atas dindingnya untuk menghormatinya dan Ka’bah itu mempunyai dua pojok sepertki lingkaran.
Sebuah kapal dari negeri Romawi datang. Ketika hampir sampai di Jeddah, kapal tersebut karam. Orang-orang Quraisy keluar untuk mengambil kayu-kayunya. Mereka mendapati seorang Romawi berada di sana. Mereka mengambil kayu yang dia berikan kepada mereka. Kapal tersebut sebenarnya ingin berlabih di Habasyah (Etiopia), orang Romawi yang berada di kapal tersebut adalah seorang tukang kayu. Mereka pun kembali dengan orang Romawi tersebut. Orang-orang Qutaisy berkata, “Kita bangun dengan kayu yang ada di kapal rumah tuhan kita.”
Ketika mereka ingin menghancurkannya, tiba-tiba mereka mendapati seokor ular di atas dinding Ka’bah seperti anak sungai. Punggungnya berwarna hitam dan pertunya berwarna putih. Setiap kali salah seorang mendekati Ka’bah untuk menghancurkannya atau mengambil batunya, ulat tersebut akan mendekatinya dan membuka mulutnya.
Orang-orang Quraisy berkumpul di maqam Ibrahim dan berdoa kepada Allah SWT, “Wahai Tuhan kami, janganlah engkau takut, kami ingin memuliakan rumahmu. Jika engkau ridha dengannya, biarkanlah. Jika tidak, perbuatlah apa yang engkau suka.”
Mereka mendengar pekik dari langit dan keluarlah seekor burung dengan punggung berwarna hitam, perut dan kaki berwarna putih, lebih besar daripada manusia. Ia pun  menancapkan car-cakarnya ke dalam kepala ular hingga akhirnya dia pergi menarik ekornya dengan erat sampai terjatuh. Ia terbang menuju Alyad. Orang-orang Quraisy pun menghancurkannya. Mereka mulai membangun dengan batu dari lembah yang mereka pikul di atas pundak-pundak mereka. Mereka meninggikan Ka’bah sebanyak dua puluh hasta.
Ketika Nabi saw, sedang mengangkat batu dari Alyad dan beliau memakai kain bercorak garis-garis, kain tersebut hampir terlepas darinya. Beliau pun meletakkannya di atas pundak sehingga auratnya terliaht dari sela-sela kain. Beliau dipanggil, “Wahai Muhammad, tutuplah auratmu.” Beliau pun tidak pernah terlihat auratnya lagi setelah itu. Beliau mengira bahwa jarak antara pembangunan Ka’bah dan turunnya wahyu adalah lima tahun, sedangkan antara kelahiran beliau dan pembangunan Ka’bah adalah lima belas tahun.
Diriwayatkan dari Jabir binAbdullah r.a. dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw, memindahkan batu  bersama mereka untuk Ka’bah dan beliau memakai kainnya. Abbas, pamannya berkata kepada beliau, “Wahai keponakanku, sekiranya kamu membuka kainmu dan meletakkannya di atas pundakmu untuk menjaga dari batu.” Beliau pun melepaskannya dan menjadikannya di atas pundak. Namun, beliau pingsan dan tidak pernah terlihat lagi beliau telanjang setelah hari itu.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw, berkata kepadanya, “Tidak kamu lihat bahwa kaummu ketika membangun Ka’bah, mereka mencukupkan sampai fondasi Ibrahim saja. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya pada fondasi Ibrahim?” Beliau bersabda, “Sekiranya tidak ada perbuatan baru yang mereka buat dengan kekufuran, niscaya aku lakukan.”
Abdullah r.a. berkata, “Sekiranya Aisyah mendengar ini dari Rasulullah saw, aku tidak melihat beliau tidak mengangkat tangan pada dua rukun setelah hajar, hanya saja Ka’bah belum sempurna seperti pada fondasi Ibrahim.”

Mentari Kenabian Terbir di Jazirah Arab

Ketika umur Muhammad hampir empat puluh tahun, beliau diberi kecintaan oleh Allah untuk menyendiri. Muhammad meninggalkan Makkah setiap tahun untuk menghabiskan bulan Ramadhan di Gua Hira, gua yang jaraknya beberapa mil dari kampung terjauh dari Makkah. Gua ini berada di puncak sebuah gunung dari gunung-gunung yang menjorok ke Makkah, tidak ada kata-kata kosong manusia dan perbincangan mereka yang batil. Suasana yang sangat sunyi di atas puncaknya gunung yang menjulang tinggi. Muhammad membawa bekal untuk malam-malam yang panjang, kemudian memutus hubungan dengan manusia dan memfokuskan hatinya yang penuh rindu kepada Tuhan semesta alam. Di dalam gua yang menakutkan dan tertutup ini, sesosok jiwa yang besar sedang melihat jauh dari ketinggiannya terhadap segala yang bergolak di dunia, seperti fitnah, kegilaan, kezaliman, dan keterpurukan. Beliau termenung karena perasaan sedih  yang mendalam dan kebingungan, tidak tahu jalan untuk keluar darinya dan tidak tahu solusi baginya.
Di dalam gua yang jauh ini, sepasang mata mengintai sedang berusaha meninjau kembali pusaka para pembawa hidayah terdahulu, yakni para rasul Allah SWT. Dia seperti seorang penambang yang memakai penutup kepala yang tidak dapat mengekspoitasi logam mulia darinya, kecuali setelah usaha keras, terkadang tanah bercampur dengan emas dan tida ada manusia yang dapat memisahkannya.
 Di dalam Gua Hira ini, Muhammad saw., beribadah, memoles hatinya, membersihkan jiwanya, serta mengupayakan dirinya dekat pada kebenaran dan jauh dari kebatilan. Hingga sampai pada derajat kesucian yang tinggi, terpantul darinya cahaya hal-hal gaib pada kehidupannya yang nyata sehingga tidaklah beliau melihat sebuah mimpi, kecuali ia nyata seperti cahaya pagi hari.

Permulaan Wahyu

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata, “Diturunkan wahyu kepada Nabi saw., ketika beliau berumur 40 tahun, di Makkah selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun. Beliau wafat ketika berumur 63 tahunb.
Diriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw., berkata kepada Khadijah r.a., “Sesungguhnya aku melihat cahaya dan mendengar suara, aku takut diriku terkena gila.” Khadijah berkata, “Allah tidak akan berbuat demikian kepadamu, wahai putra Abdullah.” Kemudian Khadijah mendatangi Waraqah bin Naufal dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Waraqah berkata, “Jika memang dia berkata benar, sesungguhnya itu adalah Namus (Malaikat Jibril), seperti Namus yang datang kepada Musa. Jika dia diutus dan aku masih hidup, aku akan memuliakan dan menolongnya seeta beriman kepadanya.”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a., dia berkata, “Pertama kali Rasulullah saw., diberi wahyu adalah mimpi yang nyata di dalam tidur”. Tidaklah beliau melihat sebuah mimpi, kecuali ia datang seperti cahaya terang di pagi hari, kemudian beliau menyendiri dan mengasingkan diri di Hua Hira serta beribadah di sana (bermalam-malam) sebelum kembali ke keluarganya dengan membawa bekal. Beliau pulang kembali kepada Khadijah dan mengambil bekal, hingga wahyu datang kepadanya dan beliau sedang di Gua Hira.
Datanglah malaikat kepadanya dan berkata, “Bacalah!”. Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”. Nabi saw., berkata, “Dia pun meraihd an mendekapku sampai aku sesak, kemudian melepaskanku.” Jibril berkata, “Bacalah!”. Aku (Nabi saw.) menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”. Dia pun meraih dan mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku merasa sesak, kemudian melepaskanku. Dia berkata, “Bcalah!” Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Dia pun meraih dan mendekapku untuk ketiga kalinya, kemudian melepaskanku. Dia berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS. Al-‘Alaq) (96) : 1-3).
Akhirnya pulanglah Rasulullah saw., bersama ayat tersebut dengan hati berdebar-debar. Beliau masuk ke kmar Khadijah binti Khuwalid dan berkata, “Selimuti aku!” Kemudian Khadijah pun menyelimutinya hingga rasa takut tersebut hilang dari diri beliau. Kemudian berkata kepada Khadijah tentang peristiwa yang menimpa diri beliau, “Aku takut atas diriku.”
Kemudian berkatalah Khadijah, “Sekali-kali tidak, demi Allah. Dia tidak akan pernah menghinakanmu karena sesungguhnya engkau menyambung tali silaturahmi, membantu orang-orang lemah, memberi orang yang tidak punya, dan memuliakan tamu. Kamu tidak akan tertimpa hal buruk karena dalam dirimu terdapat akhlak dan perangai mulia.”
Khadijah pun pergi bersama beliau menuju Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza (anak paman Khadijah). Dia adalah seorang Nasrani di masa Jahiliah dan menulis naskah Arab dan Injil dengan bahasa Arab dalam jumlah yang cukup banyak. Dia sudah sangat tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarlah ini dari anak saudaramu!”
Waraqah berkata kepada Nabi saw., “Wahai anak saudaraku, apa yang kamu liha\t?” Rasulullah saw. Pun menceritakan kepadanya apa yang beliau lihat. Waraqah berkata kepada beliau. “Ini adalah Namus (Jibril) yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, seandainya di saat itu (ketika Nabi saw., diutus menjadi Nabi), aku adalah seorang pemuda yang kuat, seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Dia menjawab, “Ya, tidak ada seorang pun yang membawa apa yang engkau bawa, kecuali dia dimusuhi. Seandainya aku mendapatkan hari itu, niscaya aku akan emnolongmu dengan pertolongan sekuat tenagaku.” Tidak alam dari peristiwa ini, Waraqah pun meninggal dunia dan wahyu pun berhenti.

Duka Baginda Nabi saw. Karena Terhentinya Wahyu

Diriwayatkan dari Jundub bin ‘Abdullah al-Bajali r.a. dia berkata, “Rasulullah bergundah gulana sehingga tidak melakukan apa-apa, satu malam, dua malam, hingga tiga malam. Berkatalah seorang perempuan, “Tidaklah aku melihatmu kecuali setanmu telah meninggalkanmu.” Kemudian Allah menurunkan kalam-Nya. “Demi waktu Dhuha (ketika matahari naik sepenggalan), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.” (QS. Adh-Dhuha (93) : 1-3).
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari, dia berkata, “Rasulullah saw., bercerita tentang masa terhentinya wahyu, “Ketika aku sedang berdiri, aku angkat kepalaku ke langit, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangiku di Gua Hira sedang duduk di atas kursinya yang berada antara langit dan bumi.” Rasulullah saw., melanjutkan, “aku pun terkejut ketakutan. Aku pun pulang dan berkata kepadea Keluargaku. “Selimuti aku, selimuti aku, seilmuti aku.” Allah pun menurunkan Kalam-Nya, “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Da agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS. Al-Muddatsir (74) : 1 – 5).

Bagaimanakah Wahyu Datang kepada Rasulullah saw.?

Imam Ibnul Qayyim telah menyebutkan tingkatan-tingkatan wahyu yang turun kepada Nabi saw., dia berkata, “Dan Allah telah menyempurnakan bagi beliau tingkatan-tingkatan wahyu.”
Pertama, Mimpi yang nyata. Ini adalah permulaan wahyu Nabi saw. Beliau tidaklah melihat sebuah mimpi, kecuali ia datang seperti terangnya sinar pagi.
Kedua, bisikan hati yang ditiupkan oleh Malaikat de dalam hati, beliau tanpa melihat wujudnya, sebagaimana sabda Nabi saw., “SesungguhnyaJibril berbisik ke dalam hatiku bahwa sesuatu yang bernyawa tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakqalah kepada Alalh dan baguskanlah dalam meminta. Janganlah keterlambatan rezeki membuat kalian memintanya dengan bermaksiat kepada Allah. Sebab, sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu tidak dapatkan, kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.
Ketiga, malaikat berubah wujud seorang lelaki di hadapan beliau dan berbincang-bincang dengannya sampai beliau hafal semua yang dikatakan kepadanya. Dalam tingkatan semacam ini terkadang para sahabat pun melihatnya.
Keempat, wahyu datang seperti dentang lonceng. Hal seperti ini yang terberat bagi beliau. Wahyu masuk ke dalam hatinya sampai-sampai kening beliau bercucuran keringat walau pun saat itu berada di musim dingin, bahkan sampai-sampai kendaraannya terdududk di atas bumi ketika beliau menaikinya. Wahyu juga penah datang seperti itu. Paha beliau berada di atas paha Zaid bin Tsabit dan menjadi berat di atasnya sehingga hampir menghancurkannya.
Kelima, beliau melihat malaikat dalam wujud aslinya diciptakan malaikat menyampaikan wahyu yang Allah wahyukan kepadanya. Hal ini terjadi kepada beliau dua kali, sebagaimana yang Alalh sebutkan dalam kalam-Nya di QS an-Najm (53) : 7 dan 3).
Keenam, wahyu yang Allah berikan kepada beliau di atas langit pada mala Sira’ Mi’raj, yaitu kewajiban shalat dan lainnya.
Ketujuh, wahyu Allah yang langsung diberikan kepada beliau tanpa perantara, seperti Allah berbicara kepada Musa bin ‘Imran. Tingkatan ini benar-benar terjadi kepada Musa  berdasarkan Al-Qur’an dan kebenarannya bagi Nabi saw., berdasarkan hadits tentang Isra’ Mi’raj.
Kedelapan, Allah berkalam kepada beliau secara tatap muka tanpa ada hijab penghalang. Hal ini menurut pendapat mereka yang mengatakan bahwa Nabi saw., melihat tuhannya. Tahapan ini merupakan sebuah masalah yang diperdebatkan antara ulama salaf dan sekarang.

Nabi saw. Melihat Sebuah Surga (atau Dua Surga) Kepunyaan Waraqah bin Naufal

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. dia berkata, “Rasulullah saw., bersabda, “Jangan kalian caci maki Waraqah karena sesungguhnya aku melihat sebuah atau dua buah surga miliknya.”
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Khadijah bertanya kepada Nabi saw., tentang Waraqah bin Naufal, beliau bersabda, “Aku telah melihatnya dan kau melihatnya memakai pakaian putih. Aku mengira seandainya dia termasuk penghuni neraka maka tidak akan memakai pakaian berwarna putih.”

Fase-Fase Dakwah Islam dalam Kehidupan Nabi saw.

Fase dakwah Islam Nabi Muhammad saw. Sejak awal diutusnya hingga beliau wafat dilalui dengan empat tahapan.

1. Dakwah secara diam-diam, Hal ini berlangsung selama tiga tahun.
2. Dakwah secara terang-terangan dan hanya dengan lisan saja. Hal ini berlangsung hingga Hijrah.
3. Dakwahs ecara terang-terangan disertai peperangan melawan orang-orang yang memulai peperangan atau kejahatan. Hal ini berlangsung hingga Perjanjian Hudaibiyah.
4. Dakwa secara terang-terangan disertai peperangan melawan setiap orang yang menghalangi dakwah atau tidak mau masuk Islam (setelah diajak untuk masuk Islam), yaitu orang-orang Musyrik da ateis. Fase inilah yang akhirnya membuat syariat Islam dapat tegak dan hukum berjihad dapat dilaksanakan dalam Islam.

Fase Dakwah secara Diam-Diam

Slogan Islam mulai tersebar di Makkah dan bereaksi dalam orang-orang yang berhati besar sehingga dengan sifap mereka menghilangkan kejahilan dalam diri mereka dan menggantinya dengan memeluk agama yang baru. Ayat-ayat Al-Qur’an turun pada hati-hati yang memiliki benih-benih iman, seperti hujan yang turun ke atas tanah yang subur.
..... Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah. (QS. Al-Hajj (22) : 5).
Para pemilik keyakinan berkumpul – dengan penuh hati-hati – membahas keyakinan mereka. Mereka berkerumun (penuh rasa cinta dan kagum) di sekitar pemimpin mereka dan menerangkan dengan penuh waspada filosofi nalar mereka.
Iman adalah kekuatan yang menyihir. Apabila sudah mengakar di antara dahan-dahan hati dan masuk ke dalam inti pohonnya, hampir dapat membuat yang mustahil menjadi mungkin.
Kemajuan dakwah secara diam-diam terus berlangsung selama tiga tahun, kemudian turun wahyu yang memerintahkan Rasulullah saw., menghadapi kaumnya dan menentang kebatilan mereka untuk melawan berhala secara terang-terangan.

Hikmah yang Agung

Makkah adalah pusat agama bagi bangsa Arab. Di sana terdapat para penjaga Ka’bah dan pengurus berhala serta patung-patung yang disakralkan oleh seluruh bangsa Arab. Untuk sampai pada tujuan memperbaikinya, akan menjadi makin sulit seadainya tidak mengambil jarak dari hal-hal tersebut. Oleh karena itu, dakwah memerlukan tekad kuat yang tidak dapat digoyahkan oleh cobaan dan marabahaya. Begitu juga, sesuatu hal yang bijaksana bahwa dakwah di permulaannya dilakukan secara diam-diam supaya tidak membuat kaget penduduk Makkah dengan hal yang mencengangkan mereka.

Generasi Pertama

Sangat manusiawi jika Rasulullah menawarkan Islam untuk pertama kali kepada orang-orang terdekat, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Beliau mengajak mereka pada Islam dan mengajak setiap orang yang terdapat dalam dirinya tanda kebaikan, yaitu orang yang beliau kenal atau mereka mengenal beliau. Nabi saw., mengenalkan mereka dengan kecintaan kepada Allah serta perbuatan jujur dan kebaikan. Mereka yang menerima ajakannya adalah orang-orang yang tidak ada sedikit pun keragu-raguan dalam diri mereka akan keagungan, kemuliaan jiwa,d an kebenaran perkataan Rasulullah saw.
Sekelompok orang yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Assbiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam). Yang berada paling depan adalah lingkup keluarga beliau :
1. Istri Nabi saw., Ummul Mukmin Khadijah binti Khuwalid.
2. Budak beliau, Zaid bin Harisah, dan
3. Keponakan beliau, Ali bin Abu Thalib (saat masih kecil dan hidup di bawah penjagaan Rasulullah saw.).
Kemudian Nabi saw., mengajak sahabatnya yang paling terpercaya menjaga rahasianya, yaitu, “...... sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua ......” (QS. At-Taubah (9) : 40).
Dialah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang tidak ragu-ragu lagi masuk Islam. Dialah da’i pertama dalam Islam. Berkat keislaman dan dakwahnya, sejumlah orang masuk Islam dan merekalah orang-orang yang masuk Islam pertama kali. Mereka pula yang paling banyak berkorban dan mendapatkan ujian dalam Islam. Semoga Allah memberikan keridhaan-Nya kepada mereka. Mereka adalah :
1. Utsman bin Affan (Dzun Nurain/pemilik dua cahaya karena menikahi dua putri Nabi saw.).
2. Zubair bin al-‘Awwam, yaitu Hawari (orang dekat).
3. Anak bibi Nabi saw., yaitu Safiyyah binti Abdul Muthalib.
4. Abdur Rahman bin ‘Auf.
5. Sa’ad bin Abi Waqqas, paman Nabi saw., dari garis Ibunda, dan
6. Thalhah bin Ubaidillah
Mereka semua masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar. Mereka termasuk ke dalam kelompok al-“asyrah al-mubasysyarin (sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga).
Ketika orang-orag masuk Islam bertambah hingga berjulah tiga puluh (laki-laki dan perempuan), Rasulullah memilih rumah salam seorang dari mereka untuk tempat berkumpul bersama demi kepentingan pengarahan dan pelajaran, yaitu rumah al-‘Aeqam bin Abil Arwam.
Mereka masuk Islam secara diam-diam dan Rasulullah saw., berkumpul bersama mereka untuk memberikan pengarahan tentang urusan agama secara diam-diam juga. Sebab, saat itu dakwah masih secara individu dan rahasia. Wahyu turun berkesinambungan dan makin hanyat setelah turunnya awal Surah al-Muddatstsir.
Ayat-ayat dan potongan surat yang turun pada masa ini memilki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pendek.
2. Memiliki ritme yang menakjubkan.
3. Irama yang tenang dan “menyihir” yang selaras dengan kondisi yang senyap dan sepi.
4. Terkandung di dalamnya penyucian jiwa dan kejelekan mengotorinya dengan hal-hal duniawi.
5. Menceritakan surga dan neraka seakan-akan ada di depan mata mengalir bersama orang-orang mukmin dalam situasi berbeda yang tidak dialami oleh masyarakat manusia pada saat itu.
Dari sini perlu diketahui bahwa metode dakwah Nabi saw., dalam masa ini termasuk dari siyarah syar’iyyah (politik keagamaan) dengan posisinya sebagai seorang imam (pemimpin), bukan termasuk dari tugas tablig (penyampai) wahyu dari Allah dengan posisinya sebagai seorang nabi.
Atas dasar ini, para da’i Islam di setiap zaman boleh berkonsep fleksibel dalam proses dakwah, yaitu dari diam-diam dan terang-terangan, lemah lembut dan keras, dan dikondisikan menurut situasi dan kondisi zaman yang mereka hidup di dalamnya. Ini adalah fleksibilitas yang digariskan oleh syariat Islam yang berdasarkan realita kehidupan Nabi saw. Termasuk konsep atau fase empat di atas, dengan catatan segalanya melihat pada kemaslahatan muslimin dan dakwah Islam.
Para fuqaha berjimak bersama apabila kaum muslimin berjumlah sedikit atau dalam keadaan lemah sekiranya hampir dipastikan mereka akan dibunuh tanpa ada perlawanan dan melukai musuh sedikit pun sekiranya mereka sepakat untuk berperang, harus didahulukan maslahat menjaga nyawa (hifzhun-nafs). Sebab, maslahat yang berhadapan dengannya adalah maslahat menjaga agama (Hifzhud-din), dan ini masih diragukan, bahkan dinafikan.
‘Izzuddin bin Abdussalam menegaskan bahwa haram hukumnya terjun ke dalam jihad yang semacam ini. Dia berkata, “Apabila tidak mungkin terjadi kemenangan atas musuh, maka wajib mengalah. Sebab, kehilangan nyawa disertai kegirangan musuh-musuh Islam dan pastinya akan melukai hati orang-orang Islam. Dan kepastian ini menjadi sebuah mafsadah (mduarat) yang murni, tidak ada maslahat sedikit pun di dalamnya.
Menurut pendapatnya, mendahulukan maslahat nyawa di sini adalah dari perspektif lahirnya saja. Adapun pada rrealitanya dan tujuannya yang lebih jauh adalah pada hakikatnya untuk menjaga agama. Sebab, maslahat agama mengharuska nyawa orang-orang muslim tetap ada supaya mereka bisa maju dan berjuang di aspek-aspek terbuka lainnya. Jika tidak, kematian mereka dianggap sebagai perusakan bagi agama itu sendiri dan membuka peluang bagi pemimpin orang-orang kafir untjuk mendobrak pintu-pintu masuk di hadapan mereka yang dulunya tertutup.
Dengan demikian, wajib gencatan senjata atau dakwah secara diam-diam apabila dkawah secara terang-terangan atau berperang dapat berakibat mudarat. Sebaliknya, tidak boleh berdakwah secara diam-diam apabila secara tearng-terangan bisa dilakukan dan hal tersebut adalah efektif. Tidak boleh gencatan senjata dengan orang-orang zalim dan musuh-musuh dakwah apabila segala unsur kekuatan dan pertahanan tersedia. Begitu juga, tidak boleh duduk diam atau tidak berjihad memerangi orang-orang kafir di tempat pertahanan mereka apabil asegala sarana dan prasarana untuk itu terpenuhi.

Mereka Adalah Pengikut Para Rasul

Sejarah bercerita kepada kita bahwa mereka yang masuk Islam dalam fase ini mayoritas adalah campuran dari orang-orang miskin, lemah, dan para budak. Apakah hikmah di balik hal itu? Apakah rahasia terbentuknya negara Islam di atas fondasi orang-orang seperti mereka?
Jawabannya adalah sesungguhnya fenomena ini adalah yang dihasilkan secara alami dakwah para nabi di sat-saat pertama dakwah mereka. Tidaklah Anda melihat kaum Nabi Nuh, bagaimana mereka mencelanya dengan mengatakan bahwa para pengikut yang berada di sekelilingnya tidak lain adalha orang-orang terendah di antara mereka dan terhina?
.... Kami tidak melihat engkau melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya ..... (QS. Hud (11) : 27).
Tidakkah Anda melihat Fir’aun dan kelompoknya, bagaimana mereka memandang para pengikut Nabi Musa a.s. bahwa mereka adalah orang-orang hina dan lemah, sampai-sampai Allah SWT berfirman tentang mereka setelah mengisahkan kehancuran Fir’aun dan kelompoknya. “Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. .... “ (QS. Al-A’raf (7) : 137).
Tidaklah Anda melihat kauk Tsamud yang Allah utus kepada Nabi Saleh, bagaimana para pembesar yang congkak berpaling darinya, sedangkan yang beriman kepadanya orang-orang fakir lemah. Bahkan, Allah berkalam tentang hal itu, “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya, ‘Tahukah kamu bahwa Shalih adalah seorang Rasul dari Tuhannya? Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya.’ Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai.” (QS. Al-A’raf (7) : 75 – 76).
Rahasia di balik itu, bahwa hakikat agama yang Allah utus kepada para nabi dan rasul-Nya tidak lain adalah untuk keluar dari kekangan manusia dan hukumnya pada kekuasaan Allah serta hanya berhukum dengan-Nya. ini adalah hakikat yang pertama kali “menggores” ketuhanan orang-orang yang menganggap dirinya sebagai tuhan, kekuasaan orang-orang yang semena-mena, dan kekuatan orang-orang yang menganggap diri mereka penguasa. Namun, sesuai dengan kondisi orang-orang yang lemah dan diperbudak. Jadi, reaksi di hadapan dakwah untuk masuk Islam karena Allah semata-mata adalah pembangkangan dan kesombongan dari orang-orang yang menganggap diri mereka tuhan dan penguasa, kepatuhan dan ketaatan dari orang-orang yang lemah.

Orang-Orang yang Pertama Masuk Islam

Diriwayatkan dari Afif-Kindy r.a. dia berkata, “Aku adalah seorang saudagar, aku pergi haji dan mendatangi Abbas bin Abdul Muthalib untuk melakukan sejumlah transaksi dengannya dan dia adalah seorang saudagar. Demi Allah, aku berada di sampingnya ketika di Mina, tiba-tiba keluar seorang laki-laki dari kemah dekat dengannya. Dia melihat ke matahari dan ketika melihatnya telah tergelincir, dia pun shalat. Kemudian keluarlah seorang perempuan dari kemah tempat lelaki tadi keluar, kemudian dia shalat di belakangnya. Keluar juga seorang anak yang hampir dewasa dari kemah tersebut, kemudian shalat bersamanya.
Afif berkata, “Aku berkata kepada Abbas, “Wahai Abbas, apa ini? Dia menjawab, “Ini adalah Muhammad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib.’ Aku bertanya, ‘Siapakah perempuan itu?’ Abbad menjawab, “dia adalah istrinya, Khadijah binti Khuwalid.’ Aku bertanya, ‘Siapakah pemuda itu?’ Abbas menjawab, ‘Itu adalah Ali bin Abi Thalib, putra pamannya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang dia buat?’ Abbas menjawab, ‘Shalat, dia mengklaim dirinya seorang nabi, tidak ada yang mengklaimnya, kecuali istri dan anak pamannya ini. Dia juga mengklaim bahwa akan dibuka baginya harta-harta Kisra dan Kaisar.”
Perawai berkata, “’Afif adalah anak paman al-Asy’ats bin Qays. Dia masuk Islam dan bagus dalam keislamannya. Dia berkata, “Seandainya Allah memberiku hidayat Islam saat itu, niscaya aku menjadi orang kedua bersama Ali bin Abi Thalib.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata, “Orang yang pertama kali shalat bersama Nabi saw., setelah Khadijah adalah Ali.”
Diriwayatkan dari Salman r.a. dia berkata, “Orang pertama dari umat ini yang menerima nabinya adalah orang yang pertama masuk Islam, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, dia berkata, “Orang yang pertama kali shalat (dalam lafal yang lain, “Orang yang pertama masuk Islam”) bersama Rasulullah adalah Ali.”
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. dia berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Bukankah aku orang yang paling berhak atas khalifah? Bukankah aku orang yang pertama masuk Islam? Bukan aku pemilik ini dan itu?”
Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ r.a. dalam kisah perdebatan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar, Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian, tetapi kalian berkata, “Kau berbohong.” Abu Bakar berkata, “Dia benar. Dia menolongku dengan jiwa dan hartanya, apakah kalian meninggalkan sahabatku karenaku?”
Diriwayatkan dari Amamr r.a. dia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw., dan yang bersamanya hanya lima orang budak, dua wanita dan Abu Bakar.” Dalam hadits ini disebutkan bahwa Abu Bakar adalah lelaki yang pertama kali masuk Islam dari kalangan orang-orang yang merdeka secara mutlak.
Hal ini tidak ada kerancuan dengan hal yang disebutkan di atas, karena Abu Bakar adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan lelaki dewasa. Ali adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Khadijah adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan wanita. Adapun Zaid adalah orang yang pertama masuk Islam dari kalangan budak. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah r.a.
Adapun yang termasuk orang pertama masuk Islam adalah sahabat yang bernama ‘Amr bin ‘Absah r.a.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Absah, dia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah yang bersamamu (dalam hal ini Islam.”) Beliau menjawab, “Orang merdeka dan budak. ‘Amr berkata, “Dan yang bersamanya pada waktu itu adalah Abu Bakar dan Bilal. Kemudian Nabi saw., berkata kepadanya, “Kembalilah kepada kaummu sampai Allah memberikan kekuatan (pengikut yang banyak) bagi Rasul-Nya.’ ‘Amr bin ‘Absah berkata, Aku melihat pada diriku dan aku mendapati bahwa aku adalah seperempat orang Islam.”

Sepanjang, 22 – 10 - 2018 – Sidoarjo – Jatim.