“Jadi Hakikat tetap hakikat dan
Segala yang diciptakan tetaplah makhluk;
Oh! Tinggalkan dan lampaui segala kemakhlukan tersebut
Agar engkau menjadi Hakikat itu sendiri.”
(Thasin : 3 : 8).
“Yang Benar tetap Yang Benar, Pencipta sebagai Khaliq, dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah makhluk. Ini akan tetap selalu demikian
(Al-Hallaj, Kebun Ma’rifat : 16)
ANA al-HAQQ
(Akulah Kebenaran)
Menyingkap
Teosofi al-Hallaj
Oleh Gilani
Kamran
Penerbit :
Risalah Gusti, Surabaya – Tahun 2001
Penyadur : Pujo
Prayitno
SEKAPUR SIRIH
Dr. Mulyadhi Kartanegara
Al-Hallaj (w. 922
M.), dieksekusi (hukuman mati) telah kita maklumi bersama. Tetapi apa yang
terjadi di balik peristiwa tragis itu tidak semua orang tahu. Oleh karena itu
dalam sekapur sirih ini, saya ingin mencoba mengungkapkannya terutama dilihat
dari sudut teologis dan politik.
Proses pengadilan
Al-Hallaj berjalan cukup lama, dimulai pada tahun 2992 H./904 M. Dimana untuk
pertama kali al-Hallaj mendapat tuduhan atas pandangan-pandangannya dan
berakhir dengan hukuman matinya di tiang gantungan pada tahun 309 H./922 M. Jadi
proses pengadilan al-Hallaj berlangsung kurang lebih 18 tahun. Tuduhan terhadap
pandangan al-Hallaj dimulai pada tahun 904 M. Segera setelah ia kembali dari
pemukiman dua tahunnya di Makkah. Adalah Qadhi Maliki, Abu Umar bin Yusuf di
Baghdad yang menanyakan perihal Al-Hallaj kepada Ibnu Dawud, putra pendiri
Madzab Zhahiri. Atas pertanyaan tersebut, Ibnu Dawud mengeluarkan fatwa
berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa bisa terjadi hubungan cinta antara,
manusia dengan Tuhan, yang mengatakan bahwa “Kalau yang Allah sampaikan kepada
Rasul-Nya itu benar, maka apa yang Al-Hallaj katakan adalah salah.” Ibnu Dawud
sangat keras dalam pernyataannya dan menyatakan halal untuk menghukum mati
Al-Hallaj.
Qadhi Baghdad Abu
Umar bin Yusuf ini tidak cepat-cepat memutuskan hukuman buat Al-Hallaj, tetapi
berkonsultasi terlebih dahulu dengan fiqih Syafi’iyyah, Ibnu Suraij, yang tidak
seperti Zhahiri, dimana ia memungkinkan penafsiran non literal terhadap
al-Qur’an. Ibnu Suraij mengatakan : “Ia adalah seorang yang keadaan
spiritualnya tersembunyi bagiku. Karena itu, aku tidak akan segera mengatakan
apa-apa tentangnya.” Sikap Ibnu Suraij ini ternyata sangat berarti dalam
menentukan pandangan hukuman tentang tasawuf, karena dengan pernyataan Ibnu
Suraij ini kasus Al-Hallaj untuk sementara waktu ditangguhkan sampai beberapa
tahun. Sampai sejauh ini ternyata tuduhan tersebut adalah berkenaan dengan
pandangan Al-Hallaj, bahwa antara manusia dengan Tuhan bisa terjalin hubungan
cinta, yang bagi penuduhnya itu berarti penyamaan Tuhan dengan manusia. Namun
yang terjadi sejauh ini belum bisa kita sebut sebagai pengadilan yang
sesungguhnya.
Pengadilan
pertama yagn sesungguhnya terjadi tujuh tahun kemudian, ketika empat murid
Al-Hallaj di tangkap di Baghdad dengan tuduhan mengikuti seseorang yang
mengkalim Ketuhanan (Rububiyyah). Sementara Al-Hallaj melakukan persembunyian
di Ahwaz dengan teman-temannya; di sini ia ditemukan oleh agen Pos Kekhalifahan
pada tahun 301 H/913 M. Kali ini Al-Hallaj dituduh oleh Gubernur Rasibi telah
mengaku Tuhan dan menyiarkan ajaran inkarnasi (al-hulul). Gubernur Wasitf,
Hamid menginterogasi Al-Hallaj (mungkin di Wasith atau Ahwaj) dan menyimpulkan
bahwa ia mengklaim sebagai “al-Mahdi”
yang memainkan peran al-Masih. Akhirnya Al-Hallaj di serej diseret ke
Baghdad dengan diikat pada seekor unta. Selanjutnya Al-Hallaj dipenjara, dan
tetap di sana sampai pengadilan terakhirnya yang dimulai tujuh tahun kemudian.
Pada tahun-tahun
berikutnya Al-Hallaj tetap dipenjara, sebagian besar di istana. Kadang-kadang
ia mengenakan belenggu yang berat tetapi kdang-kadang hidup dengan nyaman.
Tuduhan lain yang
bersifat Teologis adalah bahwa Al-Hallaj telah mengklaim ketuhanan di dasarkan
pada kepercayaan bahwa ia telah memiliki “karamah” yang bisa memberikan
kehidupan dan kematian. Pada saat itu Al-Hallaj aktif menulis beberapa tulisan
yang kemudian dihimpun menjadi Thawasin, dan juga semacam tafsir al-Qur’an yang
ia tunjukkan kepada Ibnu Mujahid, ketua himpunan para Qari’. Dari karya tafsir
ini Ibnu Mujahid menemukan ungkapan-ungkapan yang mencurigakan yang menyebut
misalnya, “Tuhan-tahun” (Alihah) dan “Penguasa-penguasa” (Arhab). Ali bin Isa
yang diserahi buku tafsir tersebut oleh Ibnu Mujahid merasa terkejut dengan isi
kitab tersebut dan memerintahkan supaya buku-buku Al-Hallaj disita. Beberapa
muridnya juga di tahan, dan tulisan-tulisan yang lainnya ditemukan, aiantaranya
adalah Sirr al-Ilah (Rahasia Tuhan), yang menurut Ibnu Dhiya’ memuat lebih
banyak pelecehan Agama, korporealisme dan bid’ah daripada yang dapat diuraikan
lidah orang-orang beriman. Barangkali Al-Hallaj dituduh karena “teori
persaksian” yang mengatakan bahwa “manusia tuhan” (divinized human) adalah
saksi ketuhanan yang bersifat materi, yang berbicara dengan suara Tuhan.
Sementara para
investigator (penyelidik) berusaha untuk menemukan beberapa bukti dalam
paper-paper Al-Hallaj yang akan membenarkan hukuman mati. Sahabat Al-Hallaj yang sama-sama sufi, Ibnu ‘Atha’
menyulut orang-orang awam untuk turun ke jalan-jalan sambil berdo’a menghujat
para penganiaya Al-Hallaj. Meski demikian, Sang Wazir Hamid berhasil meminta
Ibnu “Atha’ sebagai saksi terhadap pengadilan Al-Hallaj untuk memberi komentar
terhadap dua bukti yang ditemukan. Salah satunya adalah sebuah surat yang
ditulis oleh Al-Hallaj yang dimulai dengan kalimat. “Dari Yang Maha Pengasih
dan Penyayang kepada si Fulan dan fulan ......” Ketika ditanya, Al-Hallaj
mengakui bahwa surat tersebut adalah suratnya. Dan atas dasar ini penanya mengatakan, “Dahulu engkau mengklaim
menjadi seorang Nabi, tetapi kini engkau mengklaim sebagai Tuhan.” Namun
Al-Hallaj menjawab, “Aku tidak mengklaim Ketuhanan, tetapi dalam istilah kami
ini adalah persatun esensiasl.” “Dapatkah,” Al-Hallaj bertanya, “si Penulis
menjadi selain daripada Allah, sedangkan aku dan tanganku tidak lain hanyalah
alat dalam hal ini?” Yang terakhir dari pernyataan teologis (atau
barangkali lebih tepat religius legal) yang membawa Al-Hallaj ke tiang salib
adalah berkaitan dengan soal penggantian ibadah haji. Hamid yang selama ini
yang mencoba memberi bukti : satu cuplikan ditemukan dimana Al-Hallaj mendukung
mereka yang tidak mempu melaksanakan ibadah haji untuk membangun sebuah ka’bah
tiruan di sebuah ruangan yang khusus, bertawaf pada hari-hari yang tepat serta
mengakhirinya dengan memberi makan dan pakaian kepada anak-anak yatim. Dan ini
akan merupakan pengganti dari ibadah haji. Akibat pernyataan ini Abu Hamid
kemudian meminta dengan sangat sebuah putusan (verdict) tertulis, sehingga ia
menulis bahwa darah Al-Hallaj halal menurut hukum, dan setelah itu menuliskan
siapa-siapa yang hadir pada saat itu.
Hamis sang Wazir
mengirim fatwa tertulis tersebut kepada Khalifah, seraya meminta dengan sangat
konfirmasinya secara langsung sehingga hukuman mati bisa segera dilakukan.
Meski pun demikian, pelaksanaan hukuman ditangguhkan Sang Khalifah untuk
menghalangi pelaksanaan hukuman mati, tetapi sang khalifah akhirnya mengabulkan
permintaan Sang Wazir Hamid, yang berkata kepada Khalifah, “Wahai Amirul
Mukminin, jika tidak dihukum mati, ia akan mengubah hukum agama, dans etiap
orang akan murtad karenanya. Dan ini akan berarti kehancuran bagi negara.
Izinkan aku untuk membunuhnya, dan jika ada akibat jelek apa pun menimpamu,
bunuhlah aku.” Hasilnya telah sama-sama kita ketahui. Hukuman mati dilaksanakan
dua hari kemudian, ketika mereka mendera Al-Hallaj dengan seribu cambukan,
memotong kedua tangan dan kakinya serta menggantungnya, membakar tubuhnya dan
melemparkan debunya ke Sungai Tigris. Ini terjadi pada tahun 922.
Itulah beberapa
tuduhan yang bersifat teologis ( dan legal) yang telah membawa Al-Hallaj pada
kematiannya yang tragis. Kini kita beralih pada faktor kedua yang telah
menymbang pada pembunuhan Al-Hallaj. Politik di latar belakang pembunuhan ini
terlihat di bawah bayang-bayang kepentingan pertentangan politik, terutama
antara pendukung Syi’ah dan Sunni. Situasi politik pada saat itu adalah bahwa
yang berada di puncak kekuasaan adalah Sang Khalifah yang Sunni, sedangkan
banyak para pembesar negara menganut paham Syi’ah, yang pada saat itu sedang
naik daun. Gerakan-gerakan politico religius juga sedang gencar-gencarnya
dilancarkan, seperti Isma’iliyah dan Qarmathiyah di Iraq dan Bahrain.
Yang menjadi
Khalifah pada saat itu adalah al-Muqtadir, sedangkan bendaharawan Ahwaz dan
Wazir adalah Syi’ah Ibnu al-Furat, sementara sekretaris terkemuka di Baghdad
juga seorang penganut Syi’ah. Keluarga-keluarga Syi’ah seperti Bani Naubakht
dan Bani Furat telah masuk secara politik ke dalam pemerintahan, yang
keabsahannya mereka tolak secara rahasia. Jadi pada dasarnya mereka juga tengah
berusaha memperlemah keududukan kekhalifahan.
Tidak heran kalau
kasus Al-Hallaj penuh dengan nuansa politik dan teologis, karena Al-Hallaj
sendiri dipandang berbahaya oleh para pembesar Syi’ah, disebabkan dalam
beberapa hal ia sangat bertentangan dengan kepentingan gerakan bahwah tanah
Syi’ah. Tetapi untuk menimbulkan antipati masyarakat, maka Al-Hallaj justru
dituduh sebagai agen Qarmathiyah, yang ajaran-ajarananya sangat bertentangan
dengan ortodoksi mayoritas Sunni. Itulah sebabnya ketika pada tahun 913 H.
Al-Hallaj diseret ke Baghdad dengan unta, sang penyeret berteriak “Lihatlah
sang utusan Qarmathiyah!”.
Tentu saja
ungkapan di atas bukan tanpa alasan, karena dalam tulisan-tulisannya yang
ditemukan, Al-Hallaj memang kadang menggunakan istilah-istilah yang sering
dipakai oleh kaum Qarmathiyah. Misalnya, ia menggunakan istilah Nur Sya’sya’ani
(cahaya yang cemerlang), yagn merupakan istilah khusus dalam kamus gnostik
Qarmathiyah, dan ia perkenalkan dalam bentuknya yang sudah dimodifikasi ke dalam
tasawuf. Tetapi tentu saja ini tidak cukup untuk menuduhnya sebagai agen
Qarmathiyah. Ia menggunakan istilah ini dalam tulisan-tulisannya semata-mata
sebagai sarana komunikasi, mengingat kebanyakan pekerja pertanian di sekitar
Baghdad dan kepada siapa ia sering menyampaikan ajaran-ajarannya adalah kaum
Qarmathiyah.
Al-Hallaj jelas
bukan Syi’ah, karena Al-Hallaj dan para pengikutnya terkenal dengan
pengabdiannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, r.a. yagn oleh kaum Syi’ah ekstrim
dikutuk telah merampas ekkhalifahan dari Ali, r.a. Dan yang lebih penting lagi,
ajran-ajran Al-Hallaj tentang kontak pribadinya secara langsung dengan Tuhan,
betul-betul bertentangan dengan struktur kewenangan hirarkis kelompok-kelompok
Syi’ah ekstrim. Tetapi mengapa tuduhan agen Qarmathiyah diberikan kepadanya? Di
sinilah unsur politik mucnul dengan cukup jelas. Dukungan Al-Hallaj terhadap
Bani Abbasiyah dan klaim kontak personalnya dengan Tuhan dipandang oleh para
penguasa Syi’ah yang sedang mencari peluang untuk merebut kekusaan dari tangan
Khalifah – yang telah mengalami kemunduran
- tidak menguntungkan, bahkan bisa menjadi rintangan yang cukup penting,
dan oleh karena itu perlu segera disingkirkan. Bagi Bani Naubakht dan Bani
al-Furat, Al-Hallaj dianggap menjijikan baik sebagai seorang perampas politik
maupun berbagai pesaign spiritual yang menurut mereka merupakan hak khusus bagi
para wali turunan Ali.
As-Suli
mengatakan bahwa sementara Bendaharawan negara, Nashr, mencoba menyelamatkan
Al-Hallaj, para sekretaris Syi’ah (Rafidhah) ingin membunuhnya. Karena itu
dapat kita mengerti sekrang bahwa tuduhan Al-Hallaj sebagai agen Qarmathiyah
dirancang untuk menimbulkan prasangka yang merugikan Al-Hallaj dan memudahkan
jalan bagi hukuman matinya. Di samping itu juga ada sebuah faksi kuat yang
secara diam-diam memobilisir dirinya melawan Al-Hallaj sebagai bagian dari
perjuangan kekuasaan istana.
DAFTAR -
ISI
SEKAPUR SIRIH (Dr. Mulyadhi
Kartanegara)
Pengantar (Louis Massignon)
I Biografi Al-Hallaj
II Karya-karya Utama (Yang Telah Diterbitkan).
III Tuduhan-tuduhan Utama
IV Signifikansi Pengalaman Mistik
dan Musyahadah
V Kosa kata dan Istilah Teknis
VI Madzab Sekte-sekte Hallajiyyah
VII Penilaian-Penilaian tentang
Sikap Al-Hallaj
PRAKATA
Meninjau kembali Ana Al-Haqq
KITAB THAWASIN
THASIN I : KITAB TENTANG BENTUK
CAHAYA
THASIN II : KITAB TENTANG PEMAHAMAN
THASIN III : KITAB TENTANG INFORMASI
THASIN IV : KITAB TENTANG LINGKARAN
THASIN V : KITAB TENTANG TITIK
THASIN VI : KITAB TENTANG ADAM A.S.
THASIN VII : KITAB TENTANG KEHENDAK
TUHAN
THASIN VIII : KITAB TENTANG TAUHID
THASIN IX : KITAB TENTANG MISTERI
THASIN X : KITAB TENTANG
TRANSENDENSI
THASIN XI : KITAB TENTANG KEBUN
MA’RIFAT
P E N G A N T A R
Louis Massignon
Al-Hllaj
(Pemintal Benang), Abu al-Mughits al-Husain bin Manshur bin Muhammad
al-Baidhawi (244 -309 H/857 -922 M.), adalah seorang teolog sufi yang berbaha
Arab. Kehidupan, ajaran dan kematiannya memberi pencerahan dalam periode
penting sejarah kebudayaan Islam, dan pengalaman batiniah yang ia gambarkan
dapat dianggap sebagai saat yang menentukan dalam sejarah tasawuf.
I.
BIOGRAFI AL-HALLAJ
Asal-usul.
Al-Hallaj dilahirkan di sekitar tahun 244 H./857-8 M. Di Thur, sebelah Timur
Laut Baidha di Persia. Di Thur, dialek
Persi yang digunakan; Baidha’ adalah kota Arab di mana Sibawaih dilahirkan. Hal
ini perlu dikatakan karena al-Hallaj adalah cucu seorang gabr dan keturunan dari Abu Ayub, sahabat
Nabi saw. Ayahnya, yang mungkin seorang pemintal benang, meninggalkan Thur
menuju wilayah tekstil yang terbantang dari Tustar sampai Wasith ( di atas
Sungai Trigis), suatu kota yang didirikan oleh orang-orang Arab, dengan
dominasi Kaum Sunni-Hanbali (dengan wilayah pinggir yang dihuni minoritas
ekstrimis Syi’ah) dan merupakan pusat madrasah terkenal di kalangan Qura’
(pembaca al-Qur’an). Di Wasith, al-Hallaj kehilangan kemampuan berbicaranya
dalam bahasa Persi. Sebelum berusia 12 tahun, ia belajar menghafalkan al-Qur’an
dan menjadi seorang Hafiz. Ia mula-mula berusaha mencari makna batiniah dari
ajaran-ajaran surat al-Qur’an dan menerjunkan diri ke dalam Tasawuf di madrasah
Sahl at-Tustari.
Di Basrah. Ketika
berusia dua puluh tahun, al-Hallaj meninggalkan Sahl at-Tustar menuju Basrah. Di
sini ia memperoleh tradisi para Sufi dari Amr al-Makki dan menikahi Ummu
al-Husain, putri Abu Ya’qub al-Aqtha’. Sepanjang hidupnya, al-Hallaj hanya
mempunyai seorang istri serta dianugerahi tiga anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Perkawinannya menimbulkan kecemburuan dan perlawanan dari ‘Amr
al-Makki. Ketika ia tidak ada di rumah, al-Hallaj menitipkan keluarganya kepada
saudara iparnya, seorang Karnaba’i. Melalui saudara iparnya ini, al-Hallaj bisa
berhubungan dengan klan yang mendukung para pemberontak Zaidi dari Zanj, yang
telah dicemarkan oleh kalangan ekstrimis Syi’ah, dalam beberapa tingkatan,
mungkin inilah asal mula dari kegigihannya, tetapi reputasinya tetap dikenal
bahwa ia bukanlah seorang dai atau “mubaligh Syi’ah”. Dari periode ini, ia
memelihara beberapa keingintahuhannya dan memperlihatkan ekspresi Syi’ah, tetapi
tetap melanjutkan ke Basrah untuk membina kehidupan zuhud dengans sangat kuat dan
tetap meyakini secara mendalam ajaran
Sunni. Al-Hallaj kemudian pergi ke Baghdad untuk berdiskusi dengan seorang sufi
terkenal, al-Junaid, namun atas saran al-Junaid dan kelelahan akibat konflik
yang terus ebrlangsung antara mertuanya, al-Aqtha’ dengan Amr al-Makki, ia pergi
ke Makkah segera setelah pemberontakan Zanj meletus.
Ibadah Haji
Pertama. Di Makkah al-Hallaj menjalankan hajinya yang pertama, dan berjanji
menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di dalam halaman Masjidil Haram dengan
berpuasa dan berdzikir. Dalam suasana seperti ini al-Hallaj berusaha menurut
caranya sendiri menyatu dengan Allah swt., dan, berlawanan dengan disiplin sirr
(kerahasiaan), mulai menyerukan penyatuannya tersebut. ‘Amr al-Makki kemudian
memutuskan hubungan dengannya, meski al-Hallaj mulai menarik
pengikut-pengkutnya.
Khuzistan,
Khurasan dan Keberangkatan dari Tustar. Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj
mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai “jubah”
(mungkin qaba, yakni baju besar yang baisa dipakai kalangan prajurit) agar berbicara
dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan perwaliannya dimana tujuan utamanya adalah utuk membuat
setiap orang dapat menemukan Allah swt. di dalam jiwanya sendiri, karenanya
al-Hallaj diberi julukan al-Hallaj al-Asrar (“pemintal hati nurani”) yang
membuatnya dicurigai dan dibenci serta dijadikan polemik di antara para Sufi.
Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen awal yang menjadi pejabat negara
di Baghdad, mulai menjadi pengikutnya. Tetapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah
yang menjadi petugas negara, menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya.
Al-Hallaj pergi ke Khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni
Arab di sebelah Timur Iran dan menetap di sana selama lima tahun, berdakwah di
kota-kota dan tinggal beberapa lama di perbatasan bentang-benteng pertahanan
yang menjadi markas para pejuang sukarela saat pecah “Perang Suci”. Al- Hallaj
kembali ke daerah Tustar, dan melalui bantuan Sekretaris negara, Hamid Kunna’i,
ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad.
Ibadah Haji
Keuda, Perjalanan Jauh, Ibadah Haji ke Tiga. Bersama empat ratus pengikutnya,
al-Hallaj kemudian menjalankan ibadah haji keduanya ke Makkah, di mana beberapa
kawan lamanya dari kalngan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir
serta membuat perjanjian dengan para jin. Setelah haji keduanya inilah ia
melakukan perjalanan panjang ke India (Hinduisme) dan Turkistan (Manicheisme
dan Buddhisme) di bawah kekuasaan dar al-Islam. “Au de la de la Communaute
musulmane,c’est a toute I’humanite qu’il pense pour lui communicuer cecurieux
fesir de Dieu, patient at pudique, qui de lors le caracterise ...”
(L-Massignon). Sekitar 290 H,/902 M. al-Hallaj kembali ke Makkah untuk
menjalankan ibadah hajinya yang ketiga sekaligus terakhir. Ia kembali ke sana
dengan mengenakan muraqqa’ah (sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya), dan
futha (sejenis kain celana India) yang melingkar di pinggangnya. Doanya ketika
wuquf di Arafah adalah semoga Allah swt. menguranginya agar menjadi tiada, menjadikan
dirinya direndahkan dan di tolak, sehingga hanya Allah-lah Yang berada di dalam
jiwa dan bibir hamba-Nya.
Seruan terakhir
di Baghdad. Setelah kembali kepada keluarganya di baghdad, al-Hallaj membangun
sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya, dan berdoa di tengah malam di samping
makam, dan apda siang hari ia amengumandangkan jalan atau mabuk cintanya keapda
Allah dan keinginannya “untuk meninggal secara terhina demi kaumnya”. “Wahai
kaum Muslimin, selamatkan aku dari Allah!” ..... “Allah telah membuat darahku
menajdi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku..... !” Seruan ini memunculkan
banyak emosi dan memicu kecemasan di
kalangan terdidik. Seorang Zhahiri, Muhammad bin Dawud marah ketika al-Hallaj
mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah: ia meminta agar al-Hallaj diseret
ke pengadilan, dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi
fuqaha Syafi’i, Ibnu Suraij menyatakan, bahwa inspirasi mistik itu di luar
ketentuan fiqih. Pada periode inilah, menurut pakar nahfu (gramatika) di Bashrah,
ketika di dalam masjid al-Manshur, al-Hallaj menjawab asy-Syibli, dengan
ungkapan Syath (“frase teofanik’)-nya yang terkanal “ “Ana al Haqq (‘Akulah
Kebenran”), yang mengumumkan bahwa ia tidak mempunyai “Aku” lain selain Allah
swt.
Penahanan. Suatu
gerakan massa untuk reformasi moral dan politik bergolak di Baghdad, setelah
memperoleh inspirasi dari dakwah al-Hallaj dan dari mereka yang jujur yang
telah melihat apdanya “Quthb” (Orang yang paling dekat dengan Allah),
tersembunyi di dalam diri al-Hallaj. Ia menyerahkan beberapa buku penting
menggenai tugas-tugas kementerian keapda Ibnu Hamdan dan Ibnu Isa. Tahun 296
H./908 M., beberapa kativis reformasi Sunni ( di bawah pengaruh seorang
Hanbali, Barbahari) telah melakukan usaha yang tak berhasil dalam merebut
kekuasaan dan mengangkat Ibnu al-Mu’taz menjadi khalifah. Mereka ternyata
gagal, dan Khalifah muda al-Muqtadir,
memulihkan kembali pejabat finansialnya yagn Syi’ah, Ibnu Furat. Akibatnya,
al-Hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti
Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, kota dengan
mayoritas pengikut dari kaum Hanbali, walau pun empat orang pengikutnya di
tahan. Tiga tahun kemudian, al-Hallaj sendiri ditahan dan di bawa kembali ke
Baghdad sebagai korban kebencian Hamid seorang pengikut Sunni. Al-Hallaj
dimasukkan penjara selama sembilan tahun.
Pemenjaraan.
Tahun 301 H./913 M. Menteri Ibnu Isa, saudara sepupu dari salah seorang
pengikut al-Hallaj, akhirnya menyudahi pengadilan terhadap al-Hallaj dan
pengikut-pengikutnya yang turut meringkuk dalam penjara dilepaskan. Sayangnya,
karena provokasi rrepresif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan dari
kepala Polisi yang juga menjadi lawan Menteri Ibnu Isa, maka al-Hallaj dihukum
selama tiga hari dengan dipasang plakat bertuliskan “agen Qarmathiyah” di atas
kepalanya. Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat dimana ia sempat memberi
ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Tahun 303 H./915 M. Al-Hallaj
merawat khalifah yang sakit demam, dan 305 H. Ia “menghidupkan kembali pangeran putra mahkota.
Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan “ajaran perdukunan”-nya. Menteri Ibnu Isa
yang mengagumi al-Hallaj, pada tahun 304 – 6 H. Digantikan oleh Ibnu Furat yang
anti Al-Hallaj. Namun pengaruhd ari ibu ratu mencegah menteri baru ini membuka
kembali pengadilan terhadap Al-Hallaj. Tampaknya, bahwa dua karya utama Al-Hallaj
berasal dari periode ini : Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang iblis, “sang
monoteis yang tidak patuh”, dan karya pendeknya yang ebrjudul “Mi’raj Nabi
Muhammad saw., yang berhenti di sidratul muntaha, sejauh dua busur panah dari
Esensi Tuhan.
Perenungan
tersebut mengutuk penolakan iblis dan menyatakan bahwa di bawah pengalaman
Muhammad, maka akan diperoleh suatu kesatuan cinta antara manusia dan Allah
swt. Tampaknya hal ini menjawab ekstrimis Syi’ah, asy-Syalmaghani yang
menganggap bahwa kepercayaan dan ketidakpatuhan, kebaikan dan kejahatan,
pemilihan dan pengutukan, semuanya itu adalah muqabal (“pertentangan terkait”)
sesuai dengan Kehendal Allah. Asy-Syalghani mempunyai pengaruh kuat
dipengadilan Baghdad dan bahkan ketika masa pengadilan terhadap Al-Hallaj.
Penjatuhan
Hukuman. Pengadilan terhadap Al-Hallaj dan kasusnya dibuka kembali
308-9H./921-2 M. Latar belakang pengadilan ini adalah adanya spekulasi keungan
Hamid yang ditentang oleh Ibnu Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibnu Isa,
Hamid membuka kembali pengadilan terhadap Al-Hallaj. Kali ini ia dibantu oleh
Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qura’ sekaligus sahabat dari
Sufi Ibnu Salim dan asy-Syibli, tetapi ia bersikap menentang Al-Hallaj. Kaum
Hanbali, berkat dorongan dari seorang Hanbali sendiri sekaligus pakar tasawuf
Ibnu ‘Atha’, melakukan demontrasi dan doa bersama menentang Hamid, baik protes
menentang kebijakan keuangannya mau pun untuk tujuan menyelamatkan Al-Hallaj.
Mereka bahka melakukan demonstrasi menentang ath-Thabari yang mengutuk
pemberontakan. Kekacauan ini membuat menteri Hamid berpeluang mengajukan Ibnu ‘Atha’
di depan pengadilan. Tetapi Ibnu ‘Atha’ menolak untuk memberikan kesaksian
menentang Al-Hallaj dan bersikukuh bahwa pejabat negara tidak berhak untuk
menghakimi perilaku “orang-orang suci (para wali)”. Ia diperlakukan secara
kasar oleh seorang aparat selama masa pemeriksaan dan wafat akibat
pukulan-pukulan yang ia terima.
Hamid dan seorang
Hakim (Qadhi) Maliki, Abu Umar bin Yusuf, yang selalu mendukung mereka yang
sedang berkuasa pada masa itu, merekayasa proses pengadilan untuk menghukum Al-Hallaj.
Al-Hallaj telah ebrkata, “Hal yang penting
adalah melakukan tujuh kali putaran mengitari Ka’bah dalam kalbu seorang hamba.”
Oleh akrena itu, mereka menuduh Al-Hallaj sebagai Qarmathiyah yang ingin
menghancurkan Ka’bah di Makkah. Tidak ada seorang pengikut Syafi’i pun yang
hadir di pengadilan itu. Seorang Qadhi Hanafi menolak untuk memberikan
keputusan, tetapiasistennya menyetujui untuk mendukung Abu Umar, dan sejumlah
saksi bayaran berhasil dalam mengumpulkan delapan puluh empat tanda tangan.
Duduk dalam persidangan Abu Umar, dengan didorong oleh hamid, menetapkan
keputusan : “Hukum mengharuskan untuk membunuhmu.”
Pelaksanaan Hukuman.
Selama dua hari bendahara utama Nashr dan ibu ratu memohonkan ampunan kepada
Khalifah, yagn pada saat itu terserang demam, agar membatalkan eksekusi. Tetapi
intrik-intrik dari kalangan pejabat negara mengalahkan kebimbangan al-Muqtadir
yang apda saat itu meninggalkan sebuah pesta makan, menandatangani surat
perintah untuk mengeksekusi Al-Hallaj. Pada 23 Dzulqa’idah, bunyi
terompet-terompet mengumumkan akan dilaksanakannya eksekusi tersebut, Al-Hallaj
diserahkan kepada kepala polisi, dan pada sore hari dalam penjara ia meminta
disiksa sampai mati dan meramalkan kebangkitan serta kejayaannya di kemudian
ahri. Mereka yang mendoakan Al-Hallaj, yang mengutuk peristiwa tersebut dan
menurunkannya, mengelompok dalam Akhbar al-Hallaj.
Pada 24 Dzulqa’idah,
di pintu Khurasan “di hadapan ribuan massa”, Al-Hallaj --- dengan sebuah
mahkota di kepalanya – dipukuli, sekarat, dan dipertontonkan, masih hidup, di
tiang salib, sementara itu para perusuh membakar toko-toko, musuh-musuh dan
teman-teman menanyainya saat digantung di tiang salib, dan
keyakinan-keyakinannya (tradisi0tradisinya) menjelaskan bahwa beberapa jawaban
yang diberikannya. Surat perintah khalifah untuk pemenggalan ini belum sampai
hingga matahari terbenam, dan pada kenyataannya eksekusi akhirnya ditunda
sampai hari berikutnya. Selama malam hari tersebar laporan-laporan mengenai
keajaiban-keajaiban dan peristiwa-peristiwa supranatural. Di pagi hari, menurut
at-Tustari, mereka yang telah menandatangani penghukumannya, yang berkerumun di
sekitar Ibnu Mukram, berteriak, “Demi Islam, biarkan darahnya mengalir di
kepala kami!” Kepala Al-Hallaj lepas, tubuhnya disiram minyak dan di bakar; dan
debu-debunya dibuang ke Sunga Tigris dari atas sebuah menara (27 Maret 922 M.).
Para saksi
melaporkan bahwa kata-kata terakhir yang terlontar dari Al-Hallaj selagi
disiksa adalah, “Cukuplah bagi pecinta (Sang Kasyf), membuat Yang Satu itu
Satu, keberadaannya harus disingkirkan dalam cinta (Kesatuan),” yang merangkum
tauhid sejati, yang dititahkan Tuhan dalam hati kekasih-Nya; dan kemudian ia
mengutip ayat al-Qur’an, Q.s. XLII : 18.
II.
KARYA-KARYA UTAMA
(YANG TELAH DITERBITKAN)
(1) Dua puluh
tujuh riwayat, yang dikumpulkan oleh murid-muridndya pada sekitar tahun 290
H./902 M., dalam bentuk Hadits Qudsi, (2) Kitab ath-Thawasin, sebuah seri dari
sebelas karya pendek al-Hallaj (termasuk Thasin al-Azal); (3) Beberapa puisi
yang dikumpulkan dalam Diwan d’al-Hallaj; (4) Beberapa logia dan terutama
novissima verba tentang mi’raj, yang dikumpulkan dalam Akhbar al-Hallaj.
(Untuk
tulisan-tulisan al-Hallaj lain dan pembahasan mengenai keasliannya, lihat L.
Massignon, Kitab ath.Thawasin, pendahuluan i-iv, Passion d’al-Hallaj, hlm,
804-22, Diwan d’al-Hallaj, edisi 1931, hlm. 1-9; dan Opera Minora, Beirut 1963,
ii, hlm. 40-5 dan 191).
III.
TUDUHAN-TUDUHAN UTAMA
Pengadilan
terhadap al-Hallaj terjadi dengan latar belakang intrik-intrik keagamaan dan
politik, dan berkaitan dengan kebijakan finansial yang mengganggu kekuasaan
Baghdad selama masa pendek (pemerintahan) al-Muqtadir. Ini menggambarkan posisi
dinasti Abbasiyah apda awal abad ke-4/10 dan peran yang dimainkan di dalamnya
oleh para pejabat tinggi negara yang dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan
bersama. Dua lawan utama al-Hallaj adalah pejabat Syi’ah, Ibnu al-Furat dan
pejabat Sunni, Hamid. Semua nasihatnya dalam keadaan mabuk cinta di Baghdad ini
menekankan penerapan secara dratis nilai-nilai keyakinan pada kehidupan jiwa
dan pernyataan kesatuan dalam cinta antara jiwa dan tuhan : semua ini dalam
kerangka sebuah ddogma yang menekankan secara ketat ketaatanSunninya. Sayang,
nasihat-nasihatnya itu sampai pada telinga-telinga tuli, tidak hanya di antara
rantai-rantai politik pengadilan, tetapi juga dalam dunia fuqaha (ahli hukum),
yang sebagian besar dari mereka adalah kalangan Maliki dan Hanafi. Cukup mengherankan
bahwa pendukung-pendukung terkuat al-Hallaj direkrut di antara kaum Hanbali,
yang kesalahannya pada saat itu memiliki pengaruh yang besar di kalangan
masyarakat umum. Tuntutan-tuntutan al-Hallaj akan reformasi formal, dan
pengaruhnya apada rakyat mengganggu banyak kalangan penguasa. Mereka
mendasarkan tuduhan mereka pada dua dalih, yakni keagamaan dan politik sebagai
berikut :
(a). Dalih
Keagamaan : Ucapan-ucapan al-Hallaj mempertanyakan kebijaksanaan esoteris dan
disiplin sirr yang telah menjadi peraturan dalam jaringan-jaringan Sufi sejak masa
ketika an-Nuri dan para pengikutnya dipanggil untuk memberikan sebuah
penjelasan di hadapan pengadilan mengenai pengajaran mereka tentang cinta
Tuhan. Salah satu akibatnya adalah bahwa para Sufi seperti ‘Amr al-Makki dan
al-Junaid yang merupakan teman-teman al-Hallaj menyalahkan al-Hallaj karena
telah berbicara di depan umum mengenai pengalaman pribadinya dan
mengekspresikannya dalam “pernyataan-pernyataan teopatis” (syahadat)’ selain
itu, beberapa akecenderungan Sufi yang agak membingungkan,
kecenderungan-kecenderungan mengenai “Cinta Udhari”, merasa bahwa meraka harus
mengutuk pencarian Yang Esa melalui cinta ikhlas dan jalan penderitaan. Ini
mungkin satu-satunya penyebab mengapa seorang Zhahiri, Ibnu Dawud menajdi musuh
al-Hallaj, yang bertekad menghancurkannya. Kemudian al-Hallaj juga ditutuh
melakukan fitnah dan membuat pernyataan-pernyataan pada hulul (kesatuan
substansial dengan Tuhan); dan keinginannya untuk memberikan makna batin
terhadap ibadah-ibadah ritual (“berjalan tujuh kali mengitari Ka’bah dalam
hatimu”) dinyatakan sebagai kehendaknya untuk menghapus ibadah-ibadah tersebut.
(b) Dalih Politik
: Ini mungkin yang paling jelas dan menentukan. Perkawinan al-Hallaj telah
menghubungkannya dengan Zaidi Zenj; perjalanan perjalanan jauhnya membuatnya
nampak seperti seorang dai atau mubaligh Qarmathiyah; serta bahasa yang ia
gunakan, dan bahkan tema-tema meditasinya memang meminjam sejumlah elemen
Syi’ah, meskipun jawaban-jawabannya pada kerumitan mengenai persoalan ini tetap
dipengaruhi oleh inspirasi Sunni yang mendalam. Para penuduhnya, yang takut
atas pengaruh al-Hallaj terhadap rakyat dan para anggota keluarga istana,
kemudian meutuskan untuk mengajukannya sebagai seorang penghasut dan
pemberontak yang mengancam tatanan masyarakat. Sebuah penjelasan literal yang
keliru tentang beberapa perkataannya (lihat di atas) menuduhnya berkeinginan,
seperti kalangan Qarmathiyah, untuk menghacurkan Ka’bah di Makkah. Oleh karena
itu, darahnya sudah dihalalkan “untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.”
Pada
kenyataannya, selama masa-masa terakhir kehidupannya, al-Hallaj tampaknya telah
membawa dirinya ke dalam penyiksaan dan pengutukan – tetapi dengan
alasan-alasan yang sangat berbeda; mengetahui bahwa cara penyatuan dengan Tuhan
melalui cinta dan penderitaan yang harus ia ikuti adalah sesuatu yang melampaui
kerangka yuridis masyarakat, dan menawarkan dirinya sendiri sebagai korban
untuk masyarakat ini dengan cara menyerahkan diri secara sukarela pada
hukum-hukum nya.
IV.
SIGNIFIKASI PENGALAMAN MISTIK DAN
MUSYAHADAH
Dalam sejarah tasawuf, al-Hallaj mempertahankan sebuah posisi penting dalam aliran yang dikenal sebagai Wahdat asy-Shuhud.
Terkadang dinyatakan bahwa frase ini harus diterjemahkan sebagai “kesatuan
visi” atau “kesatuan pandangan” (dengan mengacu pada arti bentuk ketiga dari
akar syahadah); atau lebih tepatnya, “kesatuan wujud”. Tetapi Syuhud
beranr-benar berarti aksi berada pada, menjadi saksi terhadap, dan kita
menganggapnya cukup tepat untuk mempertahankan arti “kesatuan kesaksian” (atau
“monisme testimonial!”). Wahdat asy-Shuhud bukan hanya “penglihatan” atau
“pandangan”, tetapi sebuah keberadaan aktual yang merupakan kesaksian total;
penyaksian Tuhan pada Diri-Nya Sendiri dalam hati pecinta-Nya (abid). Penyatuan
dengan Tuhan ini (jam’) mengarah pada penyatuan (ittihad) yang bukan merupakan
sebuah penyatuan substansi, tetapi (penyatuan yang ) beroperasi melalui aksi
keyakinan dan cinta (‘Isyq, mahabbah), yang hadir dalam Kedirian Sang Tamu
(Tuhan) Pengasih, “Intisari yang Esensi (-Tuhan) adalah Cinta,” sebagaimana
diungkapkan oleh al-Hallaj.
Kemudian pengalaman mistik ini dipahami dengan kritikan
tajam oleh aliran Sufi lain, yaitu Wahdat al-Wujud (‘Kesatuan Wujud” atau
“Monisme Eksistensial”) yang dominan dari abad 6-7/12-3. Sebuah penolakan ganda
dibuat :
(1) Sebuah penolakan pada ide hulul, penyerapan
substansi, “Inkarnasi”, ---- ini merupakan bagian dari salah satu tuduhan di
pengadilan. Al-Hallaj sebenarnya telah menulis : “Jiwa-Mu telah menyatu dengan
jiwaku seperti campuran-campuran bercahaya dengan bahan wewangi yang harum,”
dan yang terutama, “kita adalah dua ruh yang menyatu (halalna) dalam satu
tubuh.” Tetapi seluruh konteks dari puisi dan tulisannya memperjelas bahwa
hulul di sini tidak harus diartikan dalam makna, yang kemudian menjadi
“inkarnasi” atau kesatuan substansi. Dalam pengertian yagn paling jelas hulul
dari konsepsi al-Hallaj harus dipahami sebagai sebuah penaytuan penuh yang
dikehendaki (dalam cinta), dimana kecerdasan dan kehendak subyek – yang
semuanya pada hakikatnya memungkinkannya untuk berkata, “Aku” – dijalankan
menurut Kasih Tuhan. Jadi “Kita adalah dua ruh yang menyatu dalam satu tubuh,”
harus diperbandingkan dengan perkataan mistik Kristen Yohanes mengenai salib :
“Dua alam (Tuhan dan Manusia) dalam satu jiwa dan Cinta Tuhan.”
(2) Dari sini muncul penolakan kedua yang paling kuat
yang ditujukan kepada al-Hallaj oleh Wahdat al-Wujud, yang menyatakan seperti
yang diekspresikan oleh Ibnu “arabi, bahwa ia mempertahankan dalam jam’ dan
ittihad sebuah “dualisme”. Monisme “kesatuan wujud” pada kenyataannya bermaksud
bahwa ittihad harus beroperasi tidak melalui hulul, tetapi melalui sebuah
penggantian total “Aku” empiris oleh “Aku” Tuhan. Untuk menjadi “satu” (ahad)
dengan Tuhan berarti menghidupkan keilahian dimana ruh manusisa terpancar dari
Tuhan. Tuduhan “dualisme” yang ditujukan pada “kesatuan saksi: ini
mengungkapkan perbedaan dalam orientasi di antara dua cara : Penyatuan dalam
dan melalui amalan-amalan batin serta cinta (kesaksian tertinggi), menurut
Wahdat asy-Syuhud; dan penyerapan kembali aksi-aksi keberadaan yang diciptakan
dalam aksi keberadaan pertamanya (di sini dilihat muncul dari keberadaan Tuhan)
menurut Wahdat al-Wujud.
V.
KOSA KATA DAN “ISTILAH TEKNIS”
Tulsian-tulsian
penting al-Hallaj adalah meditasi-meditasi tentang tema-tema yang menyimbolkan
kemajuan seorang Sufi dalam usahanya mencari Tuhan dan ekspresi langsung
(puitis)-nya menganai kemajuan aktual ini. Ia terus menerus membuat kosa
katanya lebih tepat; pengetahuannya yang mendalam tentang ksoa kata teknis
dalam fiqih, ilmu kalam dan filsafat secara bersama-sama menghasilkan sebuah
perlengkapan semantik yang sangat sesuai dengan analisa “keadaan-keadaan
spiritual” 9ahwal). Al-Hallaj adalah seorang dialektisian dan ekstatis yang
berusaha mengajukan dogma sesuai dengan filsafat Yunani yang berdasarkan pada
pengalaman mistik; dalam hal ini ia adalah perintis aliran al-Ghazali.
Dalam bagiant
erakhir dari Kitab at-Ta’rrruf, al-Kalabadzi menggunakan beberapa bab untuk
membahas ishthilahat (“istilah-istilah teknis”) Sufisme. Definisi-definisi dari
istilah-istilah ini secara jelas didasarkan kepada al-Hallaj : yaitu Wujd
(“kegembiraan”), Sukr (“mabuk cinta”), jam’ (“penyatuan”) dan lain-lain, dan
terutama muqabal (“kebalikan-kebalikan yang berhubungan”) yang merupakan tajrid
(“kesendirian tertutup”) dan tafrid (“kesendirian terbuka”). Tajalla
(“penerangan”) dan istitar (“aksi penutupan, membuat rahasisa”), fana’
(“peniadaan”) dan baqa’ (“keberadaan yang terus menerus”) dan lain-lain.
Istilah-istilah ini semestinya memiliki arti yagn sangat tepat dalam aliran
pikiran al-Hallaj, yaitu Wahdat asy-Syuhud; istilah-istilah itu semestinya
menerima arti lain dalam Wahdat al-Wujud masa mendatang; dan dalam setiap kasus
ini harus dipahami dengan mengacu secara langsung pada pengalaman yang sedang
digambarkan dan pada konsep tentang dunia yang mendasasri rumusan
istilah-istilah tersebut. Namun demikian, definisi pertama atas istilah-istilah
tersebut oleh al-Hallaj sangatlah penting dalam perkembangan pengetahuan
tasawuf. Definisi pertama ini sering memunculkan ketidaksepakatan-ketidak
sepakatan, bahkan di antara para pengikut al-Hallaj sendiri : seperti dengan
penggunaan ‘isyq, kebersamaan dengan, dan sering lebih disukai daripada,
mahabbah, untuk cinta Tuhan dan manusia. ‘Isyq adalah bagian dari kosa kata
Sufisme paling awal; tetapi pengertian “kehendak”, yang merupakan salah satu
konotasi umumnya, harus ditolak, karena kekhawatiran mengaitkan kepasifan atau
muyability (kemampuan untuk berubah) dengan Tuhan. Louis Massignon sendiri
telah menunjukkan bahwa para editor teks-teks al-Hallaj, di antara mereka
adalah seorang Syi’ah, al-Baqli, tidak memiliki keraguan untuk mengganti ‘isyq
dengan mahabbah dalam teks-teks tersebut, sehingga menimbulkan atau menurunkan
tesis al-Hallaj bahwa ‘isyq adalah sifat Esensi Tuhan.
VI.
MADZAB DAN SEKTE-SEKTE HALLAJIYYAH
Tampaknya pada
tahun 309 H./922 M. Murid-murid al-Hallaj telah membentuk sebuah thariqat
(tarekat, kelompok persaudaraan keagamaan). Setelah eksekusi terhadap al-Hallaj
dijatuhkan, para pengikutnya bersembunyi dan berpencar, dan bahkan menjadi
terpecah-pecah. Pada kenyataannya penyiksaan secara legal terus ebrlangsung,
pada tahun 311 – 2 H./ 924 – 5 M. Beberapa apengikut al-Hallaj dipenggal
kepalanya di Baghdad,
Sejumlah murid
al-Hallaj lari keri ke Khurasan, di mana beberapa orang di antara mereka ikut
berperan dalam gerakan reformasi Hanafi-Maturidi. Ibnu Bisyr dan terutama Fasir
bin Isa (pendiri Hallajiyyah Hululillah) mendukung dan menyebarkan ajaran
al-Hallaj dalam tarekat-tarekat Sufi Khurasan. Kitab a-Ta’arruf milik
al-Kalabadzi berasal dari tradisi ini. Pada abad ke-5H./11 M. Menurut as-Sulami
dan al-Khathib, masih ada beberapa “ekstrimis” Hallaj di Nisyapur. Di antara
mereka mungkin termasuk Ibnu Abi al-Khair (persoalan yang dikaji Nicholson) dan
Farmadzi, adalah Guru dari al-Ghazali --- oleh karena itu al-Ghazali memiliki
penilaian positif terhadap al-Hallaj.
Murid-murid
al-Hallaj yang lain, seperti Ibnu Khafif (yang lebih merupakan teman al-Hallaj
di akhir hidupnya daripada sebagai muridnya), memperkenalkan beberapa elemen
Salimiyyah ke dalam gerakan reformasi al-Asy’ari.
Di Ahwaz dan
Bashrah, sebuah sekte Hallajiyyah yang berumur pendek (tetapi diketahui hanya
melalui serangan dari para musuhnya; terutama at-Tanukhi) dikatakan telah
mengambil sikap-sikap ekstrim. Wakil utamanya, al-Hasyimi, dikatakan telah
menyatakan dirinya sebagai seorang nabi setelah memperoleh ilham dari Ruh yang,
setelah “tergabung” ke dalam diri al-Hallaj, tinggal dalam diri salah seorang
putranya, tersembunyi dari semua (pengaruh Isma’iliyyah).
Di baghdad,
Hallajiyyah lain yang disebutkan oleh “Aththar, menampilkan diri mereka sendiri
sebagai kaum Sunni (pengikut Sunni), tetapi dalam pengertian bebas, dan melihat
sebuah hubungan antara Ana al-Haqq dari al-Hallaj dengan firman Allah swt. yang
ditujukan kepada Musa a.s. dari Semak Api Terbakar (Qs.20:14). Seorang Hanbali
penting, Ibnu ‘Aqil (yang dikaji oleh George Makdisi), setelah pertama-tama
membela al-Hallaj, dipaksa menarik diri.
Dalam karyanya, al-Farq,
al-Baghdadi menyebtkan Hallajiyyah di antara sekte-sekte yang harus
diperlakukan secara hukum sebagai pelanggar agama. Selama abad ke 5 H./11 M.,
ada argumen polemik yang menghangat. Beberapa inti persoalan tampak sebagai
berikut :
(a) Dalam bidang
Fiqih : Lima “kewajiban personal!” (fara’id) dapat digantikan, bahkan haji
(=isqath al-wasa’ith).
(b) Dalam bidang
kalam : Transendensi Tuhan (tanzih) di luar dimensi-dimensi makhluk (thul,
‘ardh); keberadaan ruh Allah yang tidak tercipta (ruh natiqah) dapat menyatu
dengan ruh seorang zahid yang diciptakan (hululul-lahut fin-nasut); wali
menjadi hidup dan mempunyai penyaksian pribadi akan Allah (huwa huwa), dari
mana muncul ekspresi teopatis Ana al-Haqq.
(c) Dalam bidang
tasawuf : Penyatuan pnuh dengan Kehendak Tuhan (“Ain al-Jam’) melalui
penderitaan yang didterima dan dikehendaki. Dzikr yang dinisbatkan oleh Syekh
as-Sanusi kepada Hallajiyyah adalah bersifat modern.
Dalam
tarekat-tarekat Syi’ah Imamiyyah, reaksi pertama adalah mengutuk dan
mengucilkan Hallajiyyah sebagai ghulat, yakni para ekstrimis murtad. Kemudian
pengikut Ibnu Sina, Nashiruddin ath-Thusi (abad ke 7 H./13 M.) dan Shadruddin
asy-Syirazi (abad ke-11 H./17 M.) menyatakan al-Hallaj sebagai seorang wali,
meskipun penegasan mereka memang benar tetapi merekan menginterpretasikan jalan
yang ditempuh al-Hallaj ke penyatuan (dengan Tuhan) menurut prinsip-prinsip
filosofis mereka sendiri. Dalam hal ini pemujaan kepada al-Hallaj terus
berlangsung dalam tarekat-tarekat tertentu di Iran, tetapi diserang keras oleh
pergerakan-pergerakan lain. Dalam Islam Sunni istilah Hallajiyyah tidak saja
aberarti sebuah kelompok persaudaraan keagamaan, melainkan sebutan bagi
kalangan fuqaha, mutakallim (teolog) atau Sufi apa pun yang berdasarkan
keyakinan pribadi, mempercayai kewalian al-Hallaj. Inilah yang dikutuk oleh
Ibnu Taimiyah. Para pengikut Hallajiyyah terakhir harus bergabung ke dalam
tarekat Qadiriyyah. Sekarang ini tidak ada lagi pengikut Sunni yang secara
terbuka mengakui sebagai pengikut al-Hallaj menurut rumusan fiqih Syafi’i; tetapi
mereka tidak melangkah lebih jauh. Bagaimana pun, al-Hallaj tetap disegani, dan
makamnya dikunjungi oleh para peziarah dari kota-kota jauh.
VII.
PENILAIAN-PENILAIAN TENTANG SIKAP
AL-HALLAJ
Sedikit sekali
Muslim yang telah begitu banyak di bahas seperti al-Hallaj. Meskipun ada ima
dari para hakim yang menghukumnya, al-Hallaj memiliki pengagum-pengagum berat
di antara para ulama dan kebanyakan ummat Islam. Kami di sini memberi sebuah
catatan mengenai pendapat-pendapat mereka, sebuah daftar para ulama yang ikut
andil dalam pembahasan berharga ini. Berbagai pendapat dapat dibagi menjadi
tiga kelompok : (a) Taraddud (mengutuk), yang terbagi lagi menjadi radd
(menolak biasa) dan tafkir (mengafirkan) : dituntukkan dengan tanda rdd; (b)
tarahum (“menyucikan”) atau wilayah (menegaskan kewalian), yagn dibagi lagi
menajdi i’tidzar (membenarkan dengan alasan) dan qabul (menerima secara penuh)
: ditandai w; (c) tawaquf (menghentikan pertimbangan, menahan diri untuk tidak
menentukan sikap atau memberikan pendapat (bersikap abstention) : ditandai t.
(A) Para ahli
hukum (fuwaha) : dari kalangan Zhahiri : Ibnu Dawud dan Ibnu Hazm (rdd);
kalangan Immamiyyah : Ibnu Babuya, Abu Ja’far Thusi dan Hilli (rdd), Syustari,
‘Amili (w); dari kalangan Maliki : Turtusyi, ‘Iyadh, Ibnu Khaldun (rdd),
“Abdari, Dulunjawi (w); dari kalangan Hanbali : Ibnu Taimiyah (rdd), Ibnu “Aqil
(yang menarik diri), Thaufi (w); dari kalangan Hanafi : Ibnu Buhlul (t),
Nabulusi (w); dari kalangan Syafi’i : Ibnu Suraij, Ibnu Hajar, Suyuthi, ‘Udhi
(t), Juwaini, Dzahabi (rdd), Makdisi, Yafi’i, Sya’rawi, Haitsami, Ibnu “Aqilah,
Sayyid Murtadha (w).
(B) Para
mutakallim : dari kalangan Mu’tazilah : Jubba’i, Qazwini (rdd); dari kalangan
Imamiyyah : Mufid (rdd), Nashiruddin ath-Thusi, Maibudzi, Amir Damad (w);
Salmiyyah (w) dalam tanda petik; dari kalangan al-Asy’ariyyah : Baqillani
(rdd), Ibnu Khafif, al-Ghazali, Fakhruddin ar-Razi (w); dari kalangan
Maturudiyyah : Ibnu Kamal Pasya (rdd), Qari (w).
(C) “Para
Filosof” (falasifah dan hukama’) : Ibnu Thufail, Surahwardi (Syekh al-Isyraq),
Shadruddin asy-Syiraz (w).
(D) Para Sufi
(Sufiyyah) : “Amr al-Makki dan sebagian
besar guru awal (rdd), dengan pengecualian Ibnu “Atha’, asy-Syibli, al-Faris,
al-Kalabazi, an-Nashr-abadzi, as-Sulami (w) dan Husri, ad-Daqqaq, al-Qusyairi
(t). Kemudian : Dhaidalani, al-Hujwiri, Ibnu Abi al-Khair, Anshari,
al-Farmadzi, ‘Abdul Qadir al-Jilani, al-Baqli, ‘Aththar, Ibnu “Arabi, Jalauddin
Rumi, dan sebagian besar Sufi-Sufi modern (w). Juga perlu diperhatikan abstention
(t) dari Ahmad Rifa’i dan ‘Abdul Karim al-Jilli. Dapat dikatakan bahwa, meski
pun al-Hallaj menolak esoterisme mereka, para Sufi secara keseluruhan telah
menobatkan al-Hallaj sebaga “syuhada” yang sangat terhormat (per exellence).
“Kelangsungan
hidup al-Hallaj setelah kematiannya” berkembang menjadi sebuah “legenda”,
terkadang bersifat ilmiah (dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Hindustan, Melayu
dan Jawa) dan terkadang bersifat populer.
Di Barat, ada
berbagai pendapat berbeda mengenai al-Hallaj. Pendapat-pendapat dari para
penulis awal cukup dangkal. August Muller dan d’Herbelot meyakini bahwa dia
diam-diam adalah seorang Kristiani; Reiske menuduhnya melakukan fitnah. Tholuck
menganggapnya mengungkap sebuah pemikiran yang paradoks; Kremer menganggapnya
seorang monist, Kazanski menganggapnya seorang berpenyakit syaraf, dan Borwne
menganggapnya “seorang penggugah yang piawai dan berbahaya,” dan sebagainya.
Tetapi penelitian-penelitian penting Louis Massignon menempatkannya sebagai
tokoh yang tak ada bandingannya *the incomparable figure) ini apda kedudukannya
secara benar dalam lingkungannya dan dalam perkembangan pemikiran Muslim. Lagi
pula, hampir tidak ada karya yang membahas budaya negara-negara Islam tanpa
menyebut al-Hallaj; walau pun terus menerus dan penegasan mengenali nilai dan
keotentikan dari pendekatan mistiknya, dan dari kesaksian akan kehidupan dan
kematiannya. Selain karya-karya kalangan ahli, dapat dikatakan bahwa
kemasyhuran al-Hallaj telah menjadi bagian dari budaya secara universal.
P R A K A T A
Ana al-Haqq sekali lagi telah
menjadi sebuah jeritan dalam belantara. Karena cakrawala yang telah berubah,
maka dunia al-Hallaj digantikan oleh ketegangan-ketegangan di masa modern.
Dalam lingkungan yang berubah, ummat Muslim dihadapkan pada sebuah fenomena
aneh; aneh dalam pengertian bahwa fenomena ini tidak memiliki muatan yang
serupa dalam sejarah pemikiran kreatif Islam. Karena itu, menurut saya,
kondisi-kondisi di masa kita sekarang ini memberikan justifikasi (pembenaran)
yang cukup untuk mempertimbangkan kembali apa yang harus dikatakan al-Hallaj
dalam situasi-situasi serupa.
Sebuah pengamatan umum menunjukkan
bahwa dunia Islam pada saat sekarang masih menapaki Era Keyakinan; kepekaannya
tidak terputus, dan respon-respon manusiawinya masih perka terhadap rasa-rasa
fisik dan metafisik. Tetapi hubungannya dengan semangat pengetahuan modern
telah banyak emngubah anangan intelektual dunia Islam. Masalah-masalah dalam
pengetahuan modern telah merembesi Era Keyakinan dengan akibat bahwa pemikiran
Islam telah menghadapi sebuah tantangan dan krisis. Keterasingan (alienation)
manusia dan kondisi fundamentalnya telah tampak di dunia Islam sebagai sebuah
masalah pokok, dan sebenarnya banyak bergantung pada bagaimana masalah ini kita
jawab di amsa mendatang. Dari segi intelektual, dunia Islam tampaknya
ditempatkan dalam sebuah situasi yang tak terselesaikan dan
persoalan-persoalannya terlihat secara perlahan-lahan beralih dari Era
Keyakinan pada kondisi alienasi. Pemikiran kreatif telah menemukan
sumber-sumbernya pada wilayah yang teralienasi, dan apa yang terukir oleh
sejarah dengan cepat menjadi bagian dari legenda. Hal ini tampaknya merupakan
krisis di dunia Islam pada masa sekarang. Kendati demikian, tidaklah masuk akal
untuk menggambarkan semua ini sebagai sebuah gerakan menuju modernisme, karena
apa yang sedang terjadi jarang bersifat horisontal. Apa yang sebenarnya sedang
terjadi adalah transformasi dalam pengertian alienasi. Puisi kontemporer yagn
ditulis di dunia Islam akan memberikan bukti mengenai apa yang saya katakan
ini.
Hal paling menyakitkan dalam situasi
krisis ini adalah hubungan metafisik yang membantuk landasan dan Era Keyakinan.
Karena itu ketakutan akan ketidaktahuan terhadap Tuhan telah mencul melampaui
batas-batas dari dunia fisik, dan dalam ketiadaan akan sebuah hubungan
metafisik yang kuat ini. Wahyu dan Kebenarannya tampaknya tidak memiliki
pertahanan.
Berdasarkan latar belakang inilah
saya berusaha mendekati al-Hallaj dan pemikiran mistiknya, karena saya rasa bahwa
dunia Islam modern sama-sama mengalami situasi seperti yagn dialami al-Hallaj.
Saya berusaha menempatkan al-Hallaj sesuai dengan zamannya dan memberikan
kontekstual dari naskah Thawasin mengenai Ana al-Haqq untuk menemukan dasar
umum antara dunia masa lalu dan sekarang. Al-Haqq (Kebenaran), meskipun
memiliki anjuran-anjuran tradisionalnya, juga telah memperoleh dimensi-dimensi
yang sedikit berubah dalam interprestasi saya. Tetapi sejauh mengarungi ke
dalam dunia al-Hallaj, saya telah menyadari bahwa “al-Hallaj” masihlah hidup
dan relevan dengan fenomena sejarah, di mana kita selaku ummat Muslim, sekarang
terlibat. Saya pikir al-Hallaj dapat menjawab seara memuaskan beberapa
pertanyaan fundamental yang mengganggu kita belakangan ini.
Al-Hallaj tidak pernah kita lupakan.
Ia telah memasuki imajinasi dan hidup selama berabad-abad dalam ingatan
individual mau pun kolektif kita. Meski demikian, untuk kajian-kajian terhadap
al-Hallaj di amsa modern patut kita berikan penghargaan kepada kalangan sarjana
Barat yang telah memperkenalkannya pada pola pemikiran kreatif kita sekarang.
Kecintaan mereka terhadap hal yang terbaik dalam pengalaman manusia-lah,
melalui al-Hallaj dan perhatian mereka pada mistisme Islam, memungkinkan
Kembangkitan Kembali (Renaissance) Islam untuk memasuki fase kreatifnya dalam
dunia modern. Dengan pemikiran-pemikiran demikian saya telah bertukar pendapat
dengan mereka di berbagai kesempatan untk karya saya ini. Saya berharap bahwa
dalam kondisi pemikiran kreatif kita sekarang, al-Hallaj dan pengalamannya akan
membantu kita dalam menyelesaikan ketegangan-ketegangan yang tentu saja, muncul
akibat dari kemajuan sejarah bangsa.
Khirnya, dalam kesempatan ini
izinkanlah saya untuk berterima kasih kepada Maulana Atiqur Rahman dari
Perguruan Tinggi Pemerintah, Rawalpindi, yang menerjemahkan Kitab ath-Thawasin
ke dalam bahasa Urdu untuk saya, dan membantu saya di berbagai hal penting
dalam penafsiran tekstual. Saya juga berterima kasih kepada Prof. Munawar
Ashraf dari M.A.O College yang telah membantu memberikan pemahaman mengenai
naskah tersebut.
Gilani Kamran
MENINJAU KEMBALI ANA AL-HAQQ
“Yang Benar tetap
Yang Benar, Pencipta sebagai Khaliq, dan segala apa yang termasuk diciptakan
tetaplah makhluk. Ini akan tetap selalu demikian
(Al-Hallaj, Kebun
Ma’rifat : 16)
Frase mistik Ana
al-Haqq mempunyai sejarah panjang, baik sebagai pernyataan mau pun pengalaman.
Sebagai pernyataan, ana al-Haqq telah dibahas dari berbagai segi, dan nuansa panteistiknya telah disankgal atau pun
dibenarkanmenurut perubahan sudut pandang. Sebagai pengalaman, kebenaran ana
al-Haqq sering ditentang dan paling keras disangsikan secara serius. Dalam
kerangka yang diberikan oleh pemikiran spekulatif Islam (pengetahuan Kalam),
ungkapan ana al-Haqq telah menduduki tempat penting dalam hubungan antara Tuhan
dan manusia. Namun justru akrena alasan ini frase tersebut telah menimbulkan
kesulitan pada sikap teologi Islam, karena ia menunjukkan saling tumpang-tindih
dari sifat Ilahi dan insani dalam diri manusia. Oleh sebab itu, al-Hallaj telah
ditempatkan di sepanjang kesadaran Muslim dan, mungkin karena ini, ia telah
ebrpengaruh sangat kuat pada dorongan-dorongan kreatif dalam dunia Islam.
Kasyf al-Mahjub
(karya Hujwiri) merupakan salah satu karya paling awal yagn telah menerima dan
mengakomodasi al-Hallaj dalam tradisi pemikiran kreatif Islam. Kasyf al-Mahjub
telah menilai al-Hallaj dari sudut latar belakang spiritualnya dan mengarah
pada penilikan watak pengalamannya yang membentuk landassan frase mistik ana
al-Haqq. Namun Kasyf al-Mahjub membatasi secara jelas wilayah tanggung jawab
antara pengalaman dan ekspresinya. Pengalaman ini pada tingkatnya yang tidak
baku terlihat sangat dapat diterima dan asli, tetapi lingkungan batiniahnya
disepelekan sebagai sesuatu yagn tidak dapat diandalkan. Apa pun sifat
pengalaman itu, kandungan ekspresinya dianggap sebagai diskripsi yang tidak
dikehendaki atas keadaan kasyaf (ecstatic state). “Pribadi
yang dipenuhi luapan kegembiraan yang melimpah tidak (akan) mempunyai kemampuan
untuk mengekspresikan dirinya secara benar.” Demikian Kasyf al-Mahjub.
Bagaimana pun, saat membahas sifat ekspresi dari ana al-Haqq, pendapat mengenai
al-Hallaj lambat laun menjadi simpati dan, tuduhan terhadap kandungan
panteistik dalam ekspresi al-Hallaj dikesampingkan. “Beberapa teolog Muslim
(Mutakallimun) menolaknya (al-Hallaj),” demikian tegas Kasyf al-Mahjub. “Atas dasar bahwa kata-katanya (al-Hallaj) bersifat
panteistik, tetapi kesalahannya hanya terletak pada ungkapannya, bukan pada
makna (yang terkandung).” Dengan Kasyf al-Mahjub berubah penekanan dari
pengalaman yang mendasari pada kualitas ekspresinya, dan ana-al-Haqq
dikeluarkan dari lingkungan kasyaf dan menempatkannya dalam struktur bahasa.
Dalam kerangka nilai pada zamannya,
ungkapan verbal dari keadaan kasyaf yang dialami al-Hallaj dalam totalitasnya,
dan makna dari ungkapan tersebut diletakkan pada kenyataan biografis dan pada
dimensi-dimensi yang terdapat dalam keadaan kasyaf. Mungkin karena alasan ini,
bahwa frase ana al-Haqq tidak memperoleh
makna lain apa pun, kecuali arti yang telah ditetapkan oleh pengetahuan akademi
Tauhid (Divine Unity). Akhirnya al-Haqq semakna dengan Tuhan, dan frase ana
al-Haqq dipahami membawa sugesti ke arah penyatuan (Unification) Tuhan dan
manusia. Dengan demikian, “Akulah Kebenaran.” Berubah emnajdi ungkapan
mengejutkan, “Akulah tuhan”. Kendati demikian, Kasyf al-Mahjub telah ebrusaha
mencari keseimbangan dan menunjukkan, bahwa ungkapan itu dapat dijadikan
masalah pembahasan sastra.
Frase ana al-Haqq
mengajukan hubunga langsung Subyek – Obyek yang terdapat di dalam dimensi
penglihatan-batin (Audio visual), dimana hubungan ini meluruh secara sempurna
dalam hilangnya identitas di pihak Subyek manusia secara total. Maka Obyek
menjadi Subyek, dan kata-kata yang diucapkan (ana al-haqq) dianggap bersasal
dari Subyek (Lain) tersebut, meskipun kata-kata itu disampaikan melalui
perantara identitas Subyek manusiawi yang mewujud dalam waktu tertentu. Dalam
keadaan limpahan kasyaf ini, hubungan Subyek Obyek biasa muncul sebagai katagori
pengetahuan yang terpokok, dan tiba-tiba hubungan tersebut berbalik. Hanya
suara, “Aku adalah Kebenaran” sajalah yang terdengar. Husain bin Manshur
(al-Hallaj) berhenti mewujud!.
Ibnu ‘Arabi
membahas masalah hubungan ini dalam konteks keadaan kasyaf dan menekankan
pemikiran sentral dari “Aku” personal dalam susunan frase tersebut. Maka, Ana
--- “Aku” menjadi lokus pengalaman kasyaf )Estatic experience) dan al-haqq
sebagai Obyek memasuki ranah pemikiran imajinernya. Hal ini menandaskan bahwa
Tuhan menyatakan diri-Nya melalui lima taraf : (1) taraf esensi; (2) taraf
Sifat; (3) Bidang Tindakan; (4) taraf Perumpamaan, dan (5) taraf
Penglihatan-Batin yang terasakan. Masing-masing taraf tersebut dianggap sebagai
turunan dari satu taraf did atasnya, sehingga apa saja yang tampak dalam Dunia
Inderawi merupakan simbol dari hakikat yang gaib. Dalam perspektif ini,
kebenaran (the truth) yang terefleksi dalam frase mistik hanya dapat, dengan
tahap-tahap seara berjenjang, merepresentasikan Esensi Tuhan, dan bahkan dalam
hubungan Subyek-Obyek yang paling intim keadaan penyatuan ini secara formal
dapat mewujud dalam sebuah kondisi representasional yang murni. Kandungan “Aku”
personal dianggap mempunyai dimensi tambahan dari pemikiran imajiner saat dalam
keadaan kasyaf. Daya kasyaf ini dapat menjadi kreatif dan penuh makna ketika
pemikiran imajiner dihidupkan oleh keadaan kasyaf. “Aku” personal dapat
menerima kebenaran dalam bentuk representasionalnya hanya ketika semua
kemampuan Subyek tersebut berkoordinasi dalam satu tindakan tunggal dari
kehendak. Sifat panteistik dalam frase mistik al-Hallaj, dengan demikian,
tindakan meyakinakn berdasarkan dalam skema pengetahuan ini.
Bagaimana pun,
hal ini mengarahkan pada aspek lain dari hubungan Subyek-Obyek dimana Obyek
disamakan dengan Tuhan. Tanpa aspek ini, al-haqq tidak akan menghasilkan makna
teomorfisnya. Medium Kilauan Cahaya di Tursina dimasukan sebagai argumentasi
untuk menerangkan makna teomorfis tersebut. Kilauan Cahay benar-benar tampak
sebagai jawaban atas usaha Musa a.s. untuk mencari apai di hutan belantara.
Maka penarian api oleh Musa menjadi hubungan yang mendasari antara dirinya dan
obyek yang memesonakannya. Pada sisi zhahirinya, hal ini merupakan pencarian
api dalam pengertian fisik, namun secara batiniah pencarian ini juga mengandung
dimensi spiritualnya yang lebih dalam. Karena itu, Kilauan Cahaya di Tursina
menjadi medium bagi penglihatan-batin teofanik (theophanic vision) ketika
didmensi fisik dan spiritual berkoordinasi untuk membentuk hubungan yang intim
antara Tuhan dan Musa. Dan hasil dari hubungan ini, Suara Tuhan didengar oleh
Musa.Aspek hubungan ini melahirkan pertanyaan penting : Apa sifat yang
sebenarnya dari Kilauan Cahaya, dan apa identitasnya berkenaan dengan suara
Tuhan? Kilauan Cahaya dimenegerti sebagai medium dan suara Tuhan dipahami telah
didengar oleh Musa dari langit. Namun, sudut pandangan kalangan Zhahiriyyah
(literalists) tidak membedakan antara medium dan suara tersebut, dan dengan
demikian keduanya dimasukkan dalam pemikiran spekulatif sebagai suatu tindakan
penyatuan (unitive act); medium memberi bentuk bagi suara yang didengarkan Musa
a.s. Dalam perjalanan waktu hal ini mengarahkan pada \asumsi, bahwa suara Tuhan
benar-benar telah berbicara kepada Musa melalui Kilauan Cahaya. Obyek dalam
dimensi spiritualnya telah menerima bentuk fisik untuk memasuki dialog dengan
Subyek dari hubungannya yang intim. Pemikiran sepanjang garis-garis ini biasanya
mengarah pada doktrin tentang Logos, dan sebagai akibatnya frase mistik ana
al-haqq menjadu suatu pernyataan yang menyimpang (bid’ah) bagi ummat Islam.
Namun, dengan
asumsi ini, firman Tuhan telah muncul dalam kerangka hubungan Subyek-Obyek, ana
al-haqq (“Akulah Kebenran”) ditafsirkan demikian agar sesuai dengan tradisi
pemikiran kalam.
Syekh Ahmad
Sirhindi (1563 – 1624) membahas ana al-Haqq dalam norma tradisi teolog dan
menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional dan ungkapan ini
mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik. Syekh Ahmad Sirhindi
menyatakan bahwa an --- “Aku” personal, dan al-haqq sebagai Kebenaran tidaklah
mengacu pada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya
menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Penempatan
dalam keadaan ini, ana hanya mengetahui al-haqq yang menyelimutinya --- dan
secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah
yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting. Syekh Ahmad Sirhindi
menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu apa pun pada penyatuan dengan Esensi
Tuhan atau Sifat-Nya. Dengan demikian, ana al-haqq, sebagai “Akulah Kebenaran”,
secara kategoris dikesampingkan oleh Syekh Ahmad yang menafsirkan frase
tersebut sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurutnya, ana al-haqq tidak
hendak mengabsahkan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanyalah alih-alih
pernyataan bahwa, “Aku tiada, hanya Dia-lah Yang ada satu-satu-Nya”. Tanpa
penyangkalan diri, maka pengukuhann akan Kebenaran Tuhan masih belum
terselesaikan. Al-Hallaj sebenarnya menandaskan keyakinannya melalui
penyangkalan diri dalam ego kontemplatifnya.
Berdasarkan
perspektif yagn diajukan oleh ajaran Syekh Ahmad Sirhindi, betapa pun ego
kontemplatif inilah yang membentuk subyek aktif pada hubungan ana al=haqq yang
tidak mengalami transformasi, sebagaimana yang sering disebut oleh kosa kata
teknis dengan peleburan (dissolution), atau penggabungan (merger) kepada Yang
lain. “Yang Lain” sebagai konsep ontologis tidaklah memungkinkan berasimilasi
dengan ego kontemplatif di dalam ketunggalannya. Obyek tetaplah Obyek,
sementara Subyek dalam perenungannya diharuskan memperhatikan kehadirannya. Ego
kontemplatif hanya dapat berperan dalam pengetahuan tentang kehadiran itu.
Hubungan Subyek-Obyek dalam perluasan horisontal dan vertikalnya ditambah
dengan kerangka nilai dimana ego kontemplatif ditempatkan, berkenaan dengan
pengetahuan mengenai Kehadiran Tuhan. Hubungan dimensional ini terbelah sesuai
kondisi-kondisi spekulatif yang berubah. Hubungan ego dan Kehadiran Tuhan
menjadi hubungan konsentris antara lingkaran dan titik yang berada di poros.
Thasin ad-Da’irah dan Thasin an-Nuqtah gubahan al-Hallaj mendukung pandangan
yang ditegaskan oleh Syekh Ahmad Sirhindi.
Tampaknya cukup
tepat, dalam hal ini, untuk mendudukkan frase ana al-haqq dalam setting
intelektual pada msanya guna menentukan kesesuaian dengan lingkungan aslinya.
Seperti semua ekspresi kreatif lainnya, ana al-haqq tetap mempertahankan
akar-akarnya dalam sejarah intelektual dan muncul sebagai citraan (image) dari
dorongan kreativitas kolektif dalam lingkungannya di masa itu. Bagaimana pun
tidaklah berguna untuk menempatkan frase dalam satu atau lain tradisi
pemikiran, jika ditinjau kembali dari pemikiran yang telah berkembang di
Baghdad pada periode itu. Pada dasarnya situasi dunia intelektual dari pemikiran
secara keseluruhan itulah yang telah memberinya orientasi dalam pernyataan
mistik Hallajiyyah, ana al-haqq.
Kehidupan
intelektual dunia Islam antara Hasan al Bashri (w.728) dan Manshur al-Hallaj
(w.922), meski pun kaya dan terus berlanjut, banyak dihadapkan pada
pertanyaan-pertanyaan teologis dan filosofis. Kepekaan religius yang menggumpal
dan tidak dapat dipilih dalam masa-masa awal di Basrah telah menjadi semakin
cair, dan secara bertahap pendekatan terhadap iman dan kebenarannya, cenderung
mengarah pada perdebatan. Munculnya Mu’tazilah, penelitian-penelitian filosofis
oleh al-Kindi (w.873) dan al-Farabi (w.950), perdebatan dan perselisihan
teologis, serta petanyaan mengejutkan manusia mengenai Khaliqnya, membuat
kebenaran menajdi relatif dan memperlemah kehandalan instrumen pengetahuan yang
ada. Jadilah nalar sebagai instrumen yang efektif dari pikiran manusia,
kehilangan banyak nilai ketika ia mencapai kesimpulan bahwa Tuhan tidak dapat
diketahui. Mu’tazilah menemukan identitas Tuhan melalui penjelasan abstrak
mereka yagn tajam. Tetapi, antara kaun Mu’tazilah dan al-Asy’ari (873 – 941),
iman dan kebenarannya bergerak dari satu bentuk penegasan ke bentuk penegasan
lainnya, yaitu dari konstruksi logis ke positivisme teologis. Tetapi peralihan
ini tidak menjamin elemen personalnya. Kehidupan intelektual semakin lebih kaya
dengan tambahan dimensi-dimensi pemikiran, tetapi kepribadian individu di bawah
pengaruh yang kuat di atas terpecah menjadi nalar, wahyu dan Iman>
Koordinasi antara nalar dan iman untuk memahami wahyu tetap tak terpecahkan.
Dan rangkaian panjang berbagai pertanyaan yagn menyelimuti pemikiran intelktual
berlangsung selama kurun waktu dua ratus tahun.
Dalam lingkungan
ide-ide inilah argumen Aristotelian dimodifikasi untuk memenuhi ketentuan-ketentuan
doktrin Mitsaq dari al-Junaid (w.909) : doktrin ini didasarkan pada perjanjian
ruh manusia pada saat sebelum ia dilahirkan. Serangkaian sebab yang berurutan,
yang membentuk struktur argumen Aristotelian, hanya bekerja dalam dunia
inderawi, dan tentu saja, mengarah pada Penyebab Pertama (the First Couse), tetapi
argumen ini jangkauan terjauhnya melompat dari dunia inderawi ke dunia yang tak
terdefinisikan. Argumen ini bergerak keluar dari dunia inderawi ke wilayah lain
yang terbebas dari geometri keberadaan. Wilayah lain inilah yang muncul dalam
doktrin Mitsaq al-Juniad. Jadi, kombinasi di antara dunia inderawi dan wilayah
yang tak terdefinisikan mempersiapkan kepribadian seseorang untuk memahami
Khaliqnya. Nalar ditinggalkan untuk lebih mengutamakan pengalaman (dalam
hubungan dengan Tuhan).
Walau pund
demikian, merupakan penyederhanaan yang berlebihan untuk mengatakan bahwa nalar
ditinggalkan sebagai sebuah instrumen (perangkat) pengetahuan dan bahwa
pengalaman dianggap sebagai sebuah pedoman yang eksklusif, bahkan untuk
wilayah-wilayah dunia inderawi. Sebenarnya yang terjadi
adalah bahwa Nalar dan Pengalaman terintegrasi untuk menjadi sebuah instrumen
pengetahuan yang lebih baik dan efektif guna mencakup tingkatan-tingkatan
penting dari hakikat secara keseluruhan. Instrumen baru pengetahuan ini menjadi
pengalaman kreatif dari Sufisme.
Pengalaman
kreatif tersebut kemudian memasuki perspektif intelektual apda masa itu untuk
menggantikan nalar dalam hubungannya dengan iman dan wahyu.Dengan perubahan kualitatif
ini “kehendak” dari kepribadian individu diubah menajdi tahapan-tahapan yang
saling terkait dari keadaan kasyaf untuk memuat pandangan yang ada pada
berbagai tingkatan atau tahapan dari hakikat secara kesluruhan. Tetapi jika
ditinjau kembali, pengalaman kreatif inilah yang meletakkan dasar puisi mistik
dalam dunia Islam dan dikenal sebagai prinsip dasar dari ma’rifat (gnosis).
Rasa yang hidup menjadi area dari penegasan penting bagi iman dan kerangka
konstuksi logis yang ada dan positivisme teologis didperluas untuk memberi
justifikasi terhadap iman dari segi data-data yagn disediakan oleh pengalaman
kreatif. Dalam penerapannya pada perilaku praktis, rasa yang hidup tersebut
menembus masuk ke dalam bahasa cinta dan, dengan cara ini, dapat membimbing
jiwa manusia yang mengalami fragmentasi kepada obyek yang mempesonakan.
Ana al-haqq dari
al-Hallaj termasuk dalam perspektif yang telah dijelaskan secara singkat di
atas. Tuntutan historis dari aliran-aliran pemikiran pada masa inilah memang
yang mendorong al-Hallaj untuk membentuk sebuah hubungan langsung antara iman
dan wahyu.
Ana al-haqq,
bagaimana pun, telah memunculkan beberapa pertanyaan susastra dan, dalam
tradisi puisi mistik, sikap yang bertahan dalam ungkapan al-Hallaj telah
memunculkan berbagai reaksi keras mengenai kandungannya, ana al-haqq dianggap
terlalu melebih-lebihkan pengalaman subyektif, dan ana --- “aku_ personal,
menunjukkan kecenderungan-kecenderungan ke arah megalomania dan egotisme. “Aku”
personal inilah yang menutupi (memuramkan) al-Haqq dan mengundang perhatian
penuh pada dirinya sendiri. Sebenarnya “Aku” personal menyerap al-Haqq, dan
mencapai pemujaan yang romantis kepada keagungan egoistis. Dalam konteks ini,
kebenaran cenderung menjadi subyek dan, karena itu, relatif, serta dalam
implikasi sosialnya kondisi ini menunjukkan kemungkinan terjadinya berbagai
pengalihan. Individualisme ekstrim – bertentangan dengan institusionalisme
ekstrim – Juga berpegang pada hubungan dengan ana al-haqq, A.J. Arberry telah
meringkaskan pemikiran ini dengan menyatakan bahwa al-Hallaj berani
mendeklerasikan bahwa kesadaran langsungnya tentang Tuhan, baginya, merupakan
sebuah bukti yang lebih jelasdaripada wahyu maupun nalar.
“Aku” personal
dalam syair-syair al-Hallaj tidak memiliki identitas tersendiri; ia berada
dalam kondisi perubahan yang terus menerus; inilah gerakan antara
kondisi-kondisi pengalaman yang berubah cepat. Identitasnya dibentuk hanya
dalam kaitannya dengan kata ganti orang ketiga; dia, dan bentuk obyektifnya :
nya. Sebenarnya kata ganti ini (dia)nya) menghidupkan “Aku” personal dan
menjadi nasibnya sendiri dalam spektrum pengalaman. Ana berhenti mewujud dengan
sendirinya, dan “kehendak” dari kata ganti lain akan beroperasi pada ana ini
sebagai kehendak yang sangat kuat. Dalam proses inilah “Aku” personal
menyerahkan dirinya sendiri pada daya tarik pengalaman yang menyerap semuanya,
dan hubungan Aku-Engkau tampaknya menggantikan hubungan jauh antara “Dia”
(orang ketiga) dan “Aku” (orang pertama). Pada seluruh tahapan gerakan batin dalam
syair puisi al-Hallaj, “Aku” personal tetap tanpa identitas dan apa pun yang
tampaknya dimiliki diberikan kepadanya oleh hubungan yang muncul. “Dia” dan
“Engkau” menentukan “Aku” personal dan identitasnya bergantung pada penentuan
itu. Berdasarkan kajian tekstual terhadap syair-syair al-Hallaj, (anggapan
adanya) pemujaan kepada kemuliaan egoistis sulit diterima.
Pengalaman intim
yang terkadnugn dalam syair-syair puisi al-Hallaj merupakan sebuah bukti
penting untk menunjukkan bahwa “Aku” personal tidaklah cenderung ke arah
penyatuan hubungan Aku-Engkau atau Dia-Aku, pada saat ketiga entitas ini (Aku,
Engkau, Dia) bergerak pada area-area kenyataan yang berbeda. Karena adanya ana
tanpa identitas, maka individualisasinya ditopang sepanjang hubungan ini. Dan antara
al-haqq dan ana hanyalah sebuah tujuan dan entitas yang secara emosional
(dapat) berubah – direpresentasikan oleh “Dia” dan “Engkau” yang terungkap pada
seluruh lanskap puitis. Hal ini memformulasikan sebuah keseimbangan baru antara
ana, entitas Dia-Engkau dan al-haqq. Jadi ana al-haqq sebagai sebuah pernyataan
tentang pengalaman mempertahankan Dia-Engkau sebagai titik acuan dalam dirinya
sendiri. Sejarah puisi mistik telah sepenuhnya mendukung titik acuan ini dan
pengalihan arti dalam puisi mistik telah dicapai hanya melalui acuan ini.
Ana al-haqq
selama ini telah diperlakukan jauh dari konteks tradisi Sufistik. Ana al-haqq
telah mempertahankan sebuah pemikiran teoritis yang secara simultan didukung
oleh biografi al-Hallaj.
Tetapi bagaimana
pun frase (Ana al-haqq) ini tidak dapat menggambarkan penilaian obyektifnya
dari latar belakang tekstualnya yang tetap bertahan dalam karya terkenal
al-Hallaj : Thawasin. Ana al-haqq telah mengakarkan dirinya begitu dalam di
lingkungan tanpa waktu karena keberadaannya dalam waktu tertntu, sebagai karya
nyata al-Hallaj, hampir dihapuskan oleh kalangan ahli mistisisme Islam. Karena
itu, tampaknya layak untuk menempatkan Ana al-haqq dalam pola pemikiran
Thawasin, dan untuk menentukan signifikansinya dengan mengacu pada teks
Thawasin.
Thawasin
merupakan sebuah kumpulan dari sepuluh buku yang membahas pertanyaan-pertanyaan
yagn diajukan oleh Ilmu Tauhid. “Buku Kesebelas, Kebun Ma’rifat” (The Garden of
Gnosis), yang merupakan buku terakhir dalam Kitab ath-Thawasin, editor Louis
Massignon, merupakan sebuah kritik atas pemikiran filosofis dalam (pengetahuan)
Tauhid. Sikap yang tersebar dalam Thawasin secara intelektual bersifat obyektif
dan dengan pendekatan sangat analitis terhadap segenap pertanyaan. Juga
terdapat tenegara-tenegara pelatihan yang bernada logis. Bahasa yang digunakan
mencerminkan pikiran yang terdidik dalam metodologi yang sesuai dengan Ilmu
Tauhid. Karena itu, bahasanya relatif menarik, meskipun pada tingkat-tingkat
argumen tertentu cenderung berkias (bersifat figuratif). Tetapi bagaimana pun,
dua bidang yang berbeda terlihat jelas dalam bahasa ketika penalaran yang
dipakai diambil dari nash al-Qur’an secara tidak kentara. Karena itu bahasa
yang digunakan secara berulang-ulang diperkuat dan diinterpretasikan oleh nash
al-Qur’an. Dalam hal ini, proses berpikir dikembangkan dan dimatangkan oleh
referensi sakral (al-Qur’an). Secara keseluruhan, bahasa Thawasin terwujud
sebagai hubungan obyektif dari jenis pengalaman yang memberi informasi dan
membentuk biografi penulisnya. Thawasin adalah kisah kehidupan spiritual
al-Hallaj. Dengan demikian, Thawasin dapat banyak membantu membentuk konteks
tekstual dan makna dari Ana al-haqq.
Karena al-haqq
sejak dulu telah ditafsirkan secara teosofis sama dengan Tuhan, maka akan tepat
bagi kita untuk melakukan sebuah pendekatan pada al-haqq berdasar buku
terakhirnya dalam Thawasin, berjudul “Kebun Ma’rifat” yang membahas doktrin
tentang ketauhidan.
“Tak
dapat diketahui Esensi Tuhan,” kata al-Hallaj, “merupakan prinsip dasar dari
seluruh aktivitas manusia, karena Esensi Tuhan berada di luar kategori-kategori
pengetahuan intelektual.” Dunia fana, data inderawi yang terbatas,
konstruksi logis atau pun model relasional dari analogi sulit digunakan untuk
memahami Tuhan yang berada di luar semua pemahaman. Pada kenyataannya, pikiran yang dikembangkan dan
dilatih dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu tidak lah dapat keluar dari dunia
kemakhlukan dan mencapai Esensi Tuhan yang tak dapat diketahui. Melalui
kehadiran atau peniadaan diri, atau melalui situasi-situasi ketidakberdayaan
manusia, atau dengan mengacu pada ide kehidupan dan kematian manusia, pemahaman
manusia tidak dapat mendekati Esensi Tuhan. Pada kenyataannya, manifestasi
Tuhan dalam fenomena-fenomena konstruksi logis untuk membuktikan-Nya, ide
ketidak-terbatasan, atau sekedar kekhilafan murni adalah tirai yang menutupi
Rahasisa Tuhan yang abadi dalam Ke-Esaan-Nya. Tidaklah mungkin menamai-Nya,
karena untuk menamai dan dinamai bertentangan dengan Keesaan yang esensisal
dari Wujud Tuhan. Apa yang setidaknya dapat diketahi oleh pikiran manusia
melalui aktivitasnnya yang terbatas, tindakan kognitif atau data-data
pengalaman adalah keadaan alienasi antara makhluk dan Khaliqnya. Jurang pemisah
terus ada antara yang tak terbatas dan yang terbatas. Pada bagian akhir dari
Kitab (‘Kebun Ma’rifat”) al-Hallaj menyatakan :
“Yang Benar tetap Yang Benar, Pencipta sebagai Khaliq,
dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah makhluk. Ini akan tetap selalu
demikian.....” (Kebun Ma’rifat : 26).
Tetapi, ana
sebagai perluasan dari kondisi manusia, dan sebagai sebuah bagian yang tak
terpisahkan dari kemakhlukan mengemban peran mengukuhkan dalam artian sadar
serta melakukan aliensi-diri, dan juga menyadari bahwa kondisinya diselimuti
oleh Kehadiran Tuhan Yang Abadi. Ana terus menerus hidup dalam lingkungan
al-Haqq. Ini juga terlihat jelas bahwa ana dan al-haqq tidak dapat menyatu;
keduanya senantiasa terpisah dan jurang pemisah i antara ana dan al-haqq tetap
tak terjembatani. Frase mistik ini terbelah memnjadi komponen-komponennya dan
ana ditempatkan dalam setting teosofis dimana alhaqq tidaklah dapat diketahui
dan tak dapat dibuktikan. Thasin 10 memperkuat argumen yang sama dengan cara
mengamati bahwa usaha untuk membuktikan Wujud
Tuhan mengubah Tuhan menjadi tuhan yang diciptakan (Thasin 10:11 dan
13).
;Karenanya,
dengan melihat ana al-haqq secara terpisah, hal yang tampak mungkin bahwa dalam
konteks biografinya, ekspresi ini memiliki relevansi pengucapan, bukan
penulisan. Suara itu beroperasi pada komponen pertama (ana) dan menghidupkannya
dan, kemudian dengan amsa jeda tertentu, beroperasi pada komponen lain
(al-haqq). “Aku” personal menyerukan Kebenaran, Yang Esa; dalam Keesaan-Nya,
Tuhan – seolah-olah dalam belantara ketidaktahuan. Jadi, aktivitas pengujaran
menjadi sebuah peringatan, sebuah pengingat – dan hampir menjadi jeritan jiwa
manusia yang teralienasi dari Sang Khaliq yang tak dapat diketahui. Aktivitas
pengujaran ini telah berhasil menunjang doktrin Penyatuan-Kembali pada puisi
misitik Islam.
Pengalaman
tentang tak dapat-diketahuinya Tuhan tidaklah muncul sebagai sebuah pengalaman
negatif. Sebenarnya pengalaman ini mengukuhkan pemikiran teologis mengenai
Tuhan Yang Gaib dan mempertegas kebenaran keyakinan ini. Tetapi, tak dapat
diketahuinya Wujud Tuhan mengubah alam semesta Yang diciptakan dan skala
waktunya menjadi sebuah keberadaan abadi. Hal ini pada gilirannya mengungkapkan
keajaiban sarwa makhluk dan alam semesta yang tidak berada dalam ukuran skala
waktu manusia, serta menawarkan sebuah kerangka psiko-teologis untuk membuat
gerakan apa pun memungkinkan berhubungan langsung dengan Wujud Tertinggi
(Thasin 5:13-5). Jadi, gerakan dari satu bentuk keagungan ke bentuk keagungan
lain meniadakan kondisi manusisa sampai pada tingkat di mana Yang Maha Tinggi
tampak Nyata dan Benar dengan sendirinya (Thasin 2:3-4; 10:23). Dalam konteks
ini “Aku” personal, ana, memisahkan diri untuk menegaskan Wujud Tuhan Yang
Mahatinggi.
“Aku” personal
yang ditempatkan dalam kehadiran Tuhan, pada dasarnya dikelilingi beberapa
lingkaran dari sifat-sifat Tuhan. Melalui bekerjanya Kehendak Tuhan inilah
“Aku” personal sadar akan Wujud Tuhan. Kehendak ini membuat Tuhan terasa
kehadiran-Nya (Thasin 7 : 1 dan 5). Tuhan mengarah pada Kebijaksanaan,
Kekuasaan dan Pengetahuan Tuhan, dan kemudian pada Keabadian dan
Keterjagaan-Nya. Enam sifat (Tuhan) ini memungkinkan “Aku” personal menyadari
akan Kehadiran Tuhan. Karena itu kesadaran yang dimiliki oleh ana bersifat
atribut. Dengan cara ini Kehadiran Tuhan menajdi sebuah kehadiran yang terasa
dan hidup. “Aku” personal dapat mendekati Tuhan hanya melalui dan dengan
bantuan gagasan tentang Kehadiran Tuhan, yang pada akhirnya menjadi nyata
melalui penyifatan. Ini hanyalah cara pengetahuan manusia dan hanya melalui
demikianlah manusia dapat menerima Tuhan, dan kehidupan perasaannya sendiri
diperkaya oleh Kehadiran Tuhan. Tetapi sifat-sifat dasar itu merupakan
realisasi dari persepsi teosofis, dan Kehadiran Tuhan masih tetap sebuah
pengalaman yang tak terperikan. Al-Hallaj menekankan Kasih Tuhan sebagai sifat
lain yang memungkinkan “Aku” personal, ana untuk memasuki sebuah dialog bisu
dan kontemplatif dengan Tuhan (Thasin 10 : 24). Tak
dapat diketahuinya Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Kasih Tuhan. Jeritan
manusia dalam kesendirian dijawab oleh kasih. Tetapi jalan menuju Kasih Tuhan
dimulai dari ketundukan tanpa syarat dari manusia pada Kehendak Tuhan.
Secara keseluruhan,
Kasih Tuhan telah memasuki sejarah manusia sebagai Wahyu dan Nur Muhammad (saw)
Cahaya menyembul dari Nur Muhammad adalah wahyu yang mengukuhkan Kasih Tuhan,
dan melalui inilah muncul seluruh Sifat dan Kehadiran Tuhan. Secara teosofi,
sebuah hubungan baru terbentuk antara Wahyu, Nur Nabi Suci dan Kehadiran Tuhan
(Thasin 1 : 1 – 16). Wahyu tidak hanya mengabsahkan Kehadiran Tuhan, tetapi
juga telah mempertegas eksistensi Tuhan melalui tekstur bahasa Al-Qur’an. Dalam
Thasin 6, al-Hallaj berkata :
“Dan
tak seorang pun yang mengatakan;
Dia-lah Tuhan Yang Esa,
Kecuali Ahmad, dan
Semoga terlimpahkan rahmat
Atasnya, dan hanya padanya Dia
Tampak dalam Penglihatan-batin
Saat Mi’raj.”
Dalam kerangka
teosofi Hallajian pengukuhan atas eksistensi Tuhan secara langsung berhubungan
dengan Nur Muhammad. Hanya dalam kondisi kenabiannya, Wujud Tuhan telah
memasuki area perenungan dan eksistensi-Nya yang dikabarkan telah menjadi
pengalaman terasakan saat Mi’raj Nabi Suci (Muhammad s.a.w). Fakta yang
terpancar disahkan oleh pengalaman yang terasakan. Dalam konteks ini Wahyu dan
Mi’raj membuktikan Wujud Tuhan dalam segi pengalaman yang terasakan (Thasin 2 :
3-4).
Saat menjabarkan
keadaan kenabian dalam kerangka teosofi, al-Hallaj lebih lanjut berkata (Thasin
1 : 11) :
”Kebenaran besama dengannya : apa yang
terbatas
Dan yang tak terbatas juga bersamanya.
Dalam kejadian dialah yang pertama dan
dialah
Yang terakhir dalam rangkaian kerasulan
Dia-lah makna tersembunyi dari Penciptaan,
Dan makna yang terwujud dari pengetahuan
Tentang Esensin .....”
Jadi kebenaran
terletak dan, dengan demikian, mengada dalam wujud “Nur” Nabi Muhammad saw.
Kebenaran tidak dapat dipisahkan dari ke-“nur”-an misi kenabian. Al-Hallaj
sepenuhnya meyakini pemikiran teosofi ini, yang kian lebih jelas dalam
pernyataan berikut ini (Thasin 1 : 16) :
”Jika engkau meninggalkan dan pergi ke
daerah-daerah yang jauh darinya,
engkau tidak akan menemukan jalan, dan tak
seorang pun akan mendekatimu.
Wahai Jiwa yang sakit!
Engkau tak akan menemukan seorang pun
Yang menyelematkanmu.
Kata Bijak dari Yang Paling Bijak
Di dunia ini laksana pasir di hadapan dia.”
Dalam Thasin 1 :
13. Al-Hallaj lebih lanjut menegaskan :
” Dan kebenaran tidak membuatnya
Untuk menciptakan sesuatu tentang siapa
Dia,
Siapa Dia : dan di mana Dia, dan di mana
Siapa dan apa Dia --- Dia,
Dia, Dia ....”
Kerangka teosofi
ini diorientasikan kepada Nur Nabi Muhammad saw. dan kebenaran secara implisit
dinyatakan sebagai hubungan antara Wahyu dan Tuhan yang termanifestasikan dalam
Wahyu; bentuk Nur tegak sebagai pengukuhan dan transmisi dari Kebenaran. Nur
Muhammad, pada dasarnya, mencakup seluruh latar teosofi dan Thawasin dan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan Ilmu Tauhid dijawab dengan meurujuk
kepada Nur ini. Kebenaran terbukti melalui Nabi Suci. Menjelaskan hal ini
sebagai kebenaran mutlak, al-Hallaj menyatakan (Thasin 1 : 14) :
”Dan tak seorang pun yang mengetahui atau
Yang tahu apa yang dia ketahui
Tidak pernah di luar Mim Muhammad
Tidak ada jalan bagi dia
Demikian juga siapa yang bergerak di dalam
Tidak pernah di luar ha’ Muhammad
Ha’ mengarah pada mim kedua dan
Huruf terakhir dal membawa kembali
Pada mim yang pertama.
Dengan bermaksud
menjelaskan arti dari huruf-huruf di atas, al-Hallaj berkata bahwa huruf
terakhir, dal (ﺩ) dari nama Muhammad menunjukkan pada arti esensi abadi Wahyu
Rasul, mim (ﻢ) menunjukkan pada posisi rerlasional dalam kebenaran, kha’ (ﺡ)
menunjukkan pada kondisi batin, yang memiliki kelanjutan dengan mim (ﻢ) kedua
dari nama Muhammad saw. Dalam konteks kebenaran ini, Wahyu dan Nur Muhammad
tampak sebagai tindakan integratif Tuhan
yang tidak terlihat.
Al-Hallaj telah
memberikan tekanan khusus pada makna epistemologis dari sifat-sifat (Tuhan) di
atas. Sifat-sifat tersebut hanyalah jangkauan yang dapat dicapai pengetahuan
manusia. Dalam Thasin 10 : 18, al-Hallaj telah mengamati bahwa pengetahuan
mengenai Wujud Tuhan tiaklah mungkin dicapai tanpa pengetahuan mengenai
sifat-sifat Tuhan. Hanya sifat-sifat itu saja yang dapat dipahami oleh manusia.
Jadi, tiga dimensi yang terpisah diajukan untuk memahami Tuhan, katakanlah (1) tak dapat diketahuinya Tuhan dan nalar manusia,
(2) pengetahuan tentang sifat-sifat (Tuhan) dalam
totalitasnya serta doktrin mengenai Kehadiran Tuhan, dan (3) Wahyu dan
Ide tentang Bentuk Nur. Dalam Thawasin, (1)
dibuat untuk menegaskan (2) dan dengan demikian pemikiran ini diterima untuk
penegasan dari (3). Kecuali itu (3) tidak ada cara lain untuk mengetahui Tuhan
atau mempunyai gagasan apa pun mengenai eksistensi-Nya. Wahyu mengabsahkan
eksistensi Tuhan, dan cahaya dalam bentuk Nur Muhammad merupakan sarana yang
cukup dan paling dapat diandalkan untuk menemukan kebenaran. Pengetahuan
mengenai eksistensi Tuhan, dan hanya inilah, satu-satunya Kebenaran puncak
al-haqq yang diungkapkan al-Hallaj menunjuk pada Kebenaran tersebut.
Dalam kajian-kajian
mengenai al-Hallaj, banyak perhatian diberikan pada “Aku” personal dan ana
dalam frase mistik an al-haqq yang diinterpretasikan secara beragam. Tetapi
“Aku” personal mungkin telah dipelajari berdasarkan latar belakang Sufi yang
kabur, yang telah memunculkan berbagai perasaan dalam tradisi mistisme Islam.
Sebenarnya “Aku” personal, ana, berada dalam perspektif yang telah dijelaskan
di atas. Dari segi tekstual ana juga tidak memiliki acuan aapa pun tanpa
dimensi-dimensi dan perspektif-perspektif yang termuat dalam Thawasin. Dalam
Thasin 2, ketika mengamati hubungan antara fakta yang diterima dan pengalman
yang terasakan (Thasin 2 : 2-4), al-Hallaj berkata :
“Tetapi dia yang diberi naluri-naluri
Dan kehendak-kehendak, dan yang
Lemah dalam berpikir dan yang dipenuhi dosa
Untuk mengejar kehidupan fana, tidak akan
Mendapatkan keberhasilan, seperti aku.”
“Oh, jika engkau pikir akulah
Orang yang telah mencapai keadaan itu atau
Yang akan mencapai keadaan itu,
Atau telah emncapai kondisi itu di
waktu-waktu
Lampau, Oh! Tidak, tidak, tidak pernah!
Aku sedang berada di jalanku untuk
menemui-Nya,
Dengan caraku yang menuntuk kepada Dia;
Oh!!
Aku milik-Nya,
Dan Dia belum memiliki aku.” (Thasin 2 :
5-6).
Dlam Thasin 6 :
25, jenis perasaan yang sama lebih jelas diucpakan ketika al-Hallaj berkata :
”Jika aku harus dibunuh atau disalib di
tiang gantungan,
Atau tangan dan kakiku harus di potong,
Walau bagaimana pun,
Aku tidak akan pernah
Menarik kembali kata-kataku.”
Dalam kutipan-kutipan
di atas, “Aku” personal memiliki relevansinya dari segi hubungan Dia-Engkau
yagn telah di bahas. Perasaan komitmen dalam jiwalah yang penuh makna dari segi
hubungan tersebut. Tetapi, dalam perspektif yang telah diajukan, hubungan
Dia-Engkau menjadi bermakna hanya ketika hubungan ini diletakkan dalam kerangka
Wahyu dan kebenarannya. Komitmen al-Hallaj tertuju hanya pada kebenaran yang
terwujud dalam Wahyu dan dapat dicapai melalui doktrin Nur Muhammad saw. “Aku”
personal seperti yang terlihat dalam Thawasin, muncul untuk membenarkan
nilai-nilai keyakinan dalam belantara tak-dapat-diketahuinya Tuhan.
Haqq (Kebenaran)
dan Haqiqah 9Hakikat) muncul sebagai
konsep yang berbeda dan saling terpisah dalam Thawasin. Kedua konsep ini
memiliki konotasi-konotasi yang berbeda, dan dalam Thawasin kedua istilah ini
tidak dapat saling dipertukarkan. Kebenaran berada di luar Hakikat, meskipun
dalam hubungan timbal-balik di antara keduanya. Hakikat berada pada tingkat
kognisi yang lebih rendah daripada kebenaran. Dalam Thasin 2, al-Hallaj berkata
:
”Kebenaran berada di luar hakikat ----
sebagai suatu
Yang tak teridentifikasikan dan
Hakikat terpisah dari
Kebenaran ......”
Penggambaran
pemikiran ini melalui kata-kata figurratif (berkias), al-Hallaj menyatakan
(Thasin 2 : 3) :
”Cahaya yang ditebarkan oleh Api adalah
Pengetahuan mengenai Hakikat dan
Kilaunya menjelaskan Sang Nyata Yang
Berada dalam pengetahuan itu;
Tetapi untuk memasuki Kilaunya dan
Untuk mengetahui cahayanya adalah dengan
Kebenaran.”
Dalam Thasin 3 :
8, Hakikat lebih jauh dijelaskan oleh al-Hallaj dalam hubungannya dengan
obyek-obyek yang diciptakan :
“Jadi
Hakikat tetap hakikat dan
Segala
yang diciptakan tetaplah makhluk;
Oh!
Tinggalkan dan lampaui segala kemakhlukan tersebut
Agar
engkau menjadi Hakikat itu sendiri.”
Hakikat juga
merupakan titik kognisi dimana segala sesuatu menjadi entitas-entitas obyektif.
Ini dijelaskan dalam Thasin 5 : 30 :
“Maka, apakah itu Hakikat? Sebuah titik
Dimana ikatan-ikatan dengan Dunia fana
Tidak lagi ada, penderitaan-penderitaan dan
Rasa sakitnya kini juga tidak datang
kembali.”
Jadi, Hakikat
adalah sebuah dimensi dari dunia yang fana dan terbatas. Hakikat adalah
kumpulan data-data inderawi. Tetapi terlepas dari asal-usulnya, Hakikat ini
mewujud sebagai sebuah abtraksi dari batas-batas luar dunia yang fana dan
terbatas. Dalam pengertian ini Hakikat adalah sebuah kosntruksi yagn
didedukasi dari data-data inderawi dunia fana. Hakikat merupakan jangkauan
nalar, dan denegan demikian hakiakt memungkinkan untuk menandai semua
horisontal manusisa *Thasin : 3 : 1). Hakikat hanya memberi
pengukuran-pengukuran pada wujud, Dalam konteks inilah Hakikat muncul di
berbagai kesempatan dalam buku Thawasin.
Nicholson dalam terjemahannya mengenai Sahl at-Tustari pada kitab Kasyf
al-Mahjub, mengartikan hakiqah sebagai Kebenaran, tetapi ia juga
menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris istilah al-haqq-nya la-Hallaj sebagai
Kebenaran. Jadi, Kebenaran dalam pengartian Nicholson memiliki kerancuan,
karena kata ini saling didpertukarkan penggunaannya baik untuk mengartikan
istilah Haqq dan haqiqah. Sebenarnya terdapat perbedaan tajam di antara kedua
istilah tersebut, dan teks Thawasin mendukung sudut pandang ini. Tetapi, jika
berdasar pemikiran Sufistik at-Tustari dalam konsep kebenaran terkandung
dimensi haqiqah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar
dalam pendekatan konseptual at-Tustari dan al-Hallaj mengenai Kebenaran.
Mengomentari apa yang dimaksud dengan Kebenaran (haqiqah), al-Hujwiri
menjelaskan bahwa Kebenaran sebagai haqiqah berhubungan secara erat dengan
Hukum (Syari’ah) : Hukum adalah Kebenaran dan
Kebenaran adalah Hukum. Penolakan terhadap kebenaran, menurutnya,
merupakan kemungkaran dan kesyirikan. Pernyataan terakhir ini memberi suatu
definisi negatif terhadap Kebenaran. Tetapi, bagaimanapun, dalam pengartian
positif, Kebenaran didefinisikan sebagai
keyakinan Iman Islam; bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yakni Kebenaran itu.
Kebenaran pada dasarnya adalah pengetahuan
mengenai Allah swt.
Jadi, haqiqah
sebagai Kebenaran adalah sebuah konsep eksoteris dalam masa khidupan al_hallaj,
meskipun selanjutnya haqiqah diasumsikan dengan makna batiniah dan lebih luas
pada saat penulisan Kasyf al-Mahjub. Pada masa-masa perkembangannya, karir
alHallaj sebagai seorang pemikir teosofi, bahwa pengaruh Sahl at-Tustari, guru
al-Hallaj di tustar tidaklah dapat diabaikan. At-Tustari tidak menyatakan bahwa
Hukum dan Kebenaran sebagai entitas yang terpisah, dan menegaskan bahwa Hukum
sendiri tidak dapat mengintegrasikan kepribadian manusia. Karena itu,
mengkombinasikan Hukum dengan haqiqah (Kebenaran) adalah tuntutan penting dari
pemikir Islam. Penekanan at-Tustari untuk mengintegrasikan keduanya, pada
kenyataannya telah memberi tekanan pada haqiqah dalam skala nilai-nilai
keagamaan. Hal ini membuat Kebenaran, setidak-tidaknya dalam aspek
eksoteriknya, emnjadi persoalan utama di masa itu.
Kebenaran juga
menjadi obyek pencarian bagi kalangan Sufi dalam lingkungan intelektual masa
al-Hallaj. Abu Utsman al-Hiri telah mengamati bahwa pada masa kecilnya ia terus
menerus mencari kebenaran, dan kalangan madzab fiqih Zhahiriyyah (Eksternalis)
menatapnya dengan perasaan kebencian. Ia melihat bahwa Hukum suci
menyembunyikan suatu rahasia di balik bentuk-bentuk luaran (superfisial) yang
umumnya diikuti oleh mayoritas kaum Mukmin. Tetapi pada tahun-tahun berikutnya,
ahl-Hiri bertemu dengan Yahya bin Mu’adz dan menemukan rahasia yang
dikatakannya sebagai obyek pencariannya. Rahasia yang ditemukan al-Hiri kala
bergabung dengan Yahya bin Mu’adz itu adalah gagasan tentang ketaatan kepada
Allah swt. yang didasarkan pada emosi-emosi rasa takut dan harapan; ketaatan
kepada Allah merupakan penyerapan total dalam perenungan mengenai Tuhan.
Rahasia ini memungkinkan manusia untuk memiliki pengetahuan yang langsung dan tanpa
perantara tentang Tuhan. Hal inilah yang memungkinkan manusia -- saat mencari Kebenaran --- untuk bergerak
dari atas ke maknanya, dan dari makna ke informasi sejati tentang-Nya melalui
penglihatan batin seperti yagn diajarkan oleh al-Junaid kepada kelompoknya.
Kebenaran berupa transformasi dari berita yang dikabarkan dan tersebar menjadi
pengalaman yang terasakan.
Cinta dan ekstase (luapan kegembiraan) memasuki garis-garis Kebenaran
bersama al-Khawwas dan Utsman al-Makki, dan perenungan tentang Tuhan dari segi
ketaatan menjadi sebuah keadaan mental yang tak terungkap oleh segala
penjelasan. Titik kesadaran ini memang merupakan obyek pencarian mistik terhadap
Kebenaran. Dengan perkembangan dalam pemikiran kreatif Muslim ini Hakikat
sebagai haqiqah menjadikan Kebenaran sebagai al-Haqq. Haqiqah sebagai kenyataan
eksoteris formal menembus ke kedalaman struktur psikis dan muncul kembali
sebagai al-haqq.
Tetapi secara
kiasan dapat dikatakan bahwa Kebenaran (al-haqq) adalah pemekaran dari Hakikat
(haqiqah) yang dikembangkan oleh pemikiran kreatif Muslim selama periode yang
sezaman dengan al-Hallaj. Tetapi seperti semua pemekaran, pemekaran ini manis
dan mengasyikkan meskipun di luar acuan konkret. Kebenaran memiliki konsep
filosofis tentang Tuhan sebagai subyek pengetahuannya dan semua usaha ke arah
ini menghasilkan kesadaran psiko-teologis yang disertai dengan
perasaan-perasaan kagum kepada Sang Khaliq Penyebab Pertama (First Cause) atau
Wujud Kosmik. Pluralitas menjadi Kesatuan, dan
an-Nuri mengatakan bahwa Kesatuan dengan Tuhan adalah pemisahan dari segala
yang lainnya, dan pemisahan dari segala yang lainnya adalah Penyatuan
dengan-Nya. Pengalaman dikumpulkan dan diinterpretasikan untuk
mengabsahkan pemikiran teologisnya, dengan kata lain, data-data tersebut diambil
dari pencarian Kebenaran yang digunakan untuk memperkaya isi Hukum suci dan
ummat.
Pernyataan
al-Junaid bahwa informasi sejati berasal dari penglihatan (batin), tetapi apa
yang memebentuk prinsip sentral dari pemikiran al-Hallaj dalam Thawasin tidak
sependapat dengan definisi subyektif tentang Kebenaran tersebut. Tuhan tidak
dapat dimuati dalam definisi-definisi subyektif dan Dia juga tidak dapat
didekati instrumen-instrumen pikiran logis. Hal ini memang sebuah krisis yang
akut dalam kehidupan pemikiran masa itu dan banyak bergantung pada bagaimana
krisis harus dipecahkan oleh para pemikir pada masa itu. Tidak dapat
diketahuinya Tuhan melalui istilah-istilah logis yang tersedia membuat Tuhan
tidak dapat diraih, dan akibat wajarnya bahwa dunia dan fenomena menjadi
mekanistik, dan situasi manusia menjadi berada di bawah penentuan takdir yagn
tak acuh dan tak berperasaan. Sejarah temporal masa itu adalah perluasan dari
perkembangan pemikiran sederhana. Di sisi lain, pendekatan subyektif kepada
Tuhan menciptakan sebuah bangunan yang menyerap diri atau pengandalan sederhana
pada psikologi mimpi. Kendati demikian, pendekatan subyektif memiliki kelebihan
penting karena mengisyaratkan pencarian dasar akan Tuhan dan mengharuskan
resolusi terhadap krisis dalam kaitannya dengan identitas Kebenaran.
Kebenaran dalam
Thawasin memperoleh isinya dari fenomena historis wahyu. Dalam Thasin 1,
Kebenaran tampak dalam pandangan ini; kutipan yang diberikan di bawah ini
terdapat dalam paragraf pembuka dari Thawasin :
Ia (al-Hallaj) (rahimahullah) berkata :
“Thasin ......
Kebenaran adalah bentuk cahaya yang
memancar dari
Yang Gaib, dan ia terlihat dan memancar
Dan kembali kepada Yang Gaib, dan kebenaran
itu
Melampaui segala cahaya, dan menjadi
Cahaya di atas cahaya, dan benderangnya
memancar
Ke seluruh bulan. Titiknya yang paling
terang menjulang
Angkasa yang diselimuti oleh rahasia.”
Teosoffi cahaya
ini, yang kemudian diikuti oleh rujukan pada Kebenaran, pada dasarnya
berssandar pada penegasan al-Qur’an bahwa Allah swt. adalah Cahaya di langit
dan di bumi. Tetapi, cahaya ini diarahkan kepada Yang Gaib Yang tak-dapat
diketahui oleh nalar manusia. Cahaya ini memnacar dalam masa tertentu; ia
terlihat; memnacar dan kembali kepada Yang Gaib, tetapi dalam masa ketika
cahaya itu dengan segera memasuki kenyataan fenomenal, cahaya ini menyergap
dimensi-dimens vertikal dari pengetahuan. Jadi di mana? Mengapa? Dan bagaimana?
Terdiam di hadapan rahasianya. Yang Gaib dan manifestasinya dalam cahaya
tetaplah menjadi sebuah rahasia; Thawasin menyibak maknanya menurut latar
belakang dan dalam prspektif ini. Kebenaran dikondisikan dalam perspektif yang
disediakan oleh Yang Gaib dan teosofi cahayanya. Kutipan yang diberikan did
atas dapat dibaca dari kelanjutannya berikut ini :
“Kebenaran (Haqq) menyebut dia Ummi
Untuk menjaminnya, menyebut dia seorang
Dari Rumah Suci untuk melihatnya
Dalam keagungannya; dan menyebutnya
Makki karena sikapnya yang tetap dan tiak
berubah dan
Karena kedekatannya itu
Ia bersama dengan
Kebenaran (Haqq) itu sendiri.”
Kalimat-kalimat
ini menunjukkan bahwa Kebenaran sebagai sebuah konsep berhubungan dengan Yang
Gaib hanya melalui medium cahaya; bukan melalui Yang Gaib atau Yang tak dapat
diketahui. Kebenaran adalah manifestasi cahaya yang diterima oleh Obyek Konfiguratif
(diwakili oleh nama-nama (surat al-Qur’an) Thaha, Yasin dan an-Nur) yang
tidaklain adalah Muhammad, Rasul Allah. Karena itu, Kebenaran adalah cahaya
yang terungkap, fenomena wahyu yagn unik; dan sebenarnya al-Qur’an adalah
misterinya Wahyu.
Ketika Kebenaran
(Haqq) ditempatkan dalam hubungannya dengan kemakhlukan, bagaimanapun maknanya
dapat dirunut dari perintah Tuhan dan keberadaan makhluk. Jadi, Kebenaran
mengacu pada dorongan kreatif transedental; dan bahkan, dakam konteks ini
(Kebenaran) tetap merupakan manifestasi dan penafsir cahaya. Dalam pengertian
ini sarwa makhluk menjadi tanda-tanda dari cahaya yang terungkap dan Kebenaran
menafsirkan tanda-tanda itu dalam bahasa cahaya. Al-Hallaj menganggap Kebenaran
itu sebagai wahyu (Thasin 3 :10) dan wahyu sebagai Cahaya (Thasin 5 : 20), dan
sepenuhnya membuktikan bahwa Kebenaran bersama Rasul Allah (Thasin 1 : 11).
Dalam Thasin 1 : 5 Kebenaran (Haqq) juga digambarkan sebagai prinsip penemuan
kembali terhadap nilai keyakinan. Kebenaran, dalam kerangka ini mengungkapkan
suatu taraf pengetahuan yang berada di luar jangkauan penalran intelektual
(Thasin 1 : 4). Kebenaran adalah tunggal,
unik, tak terbagi dan tidak pernah berubah. (Thasin 8:1,10:6). Kebenarn,
tegas al-Hallaj, mejadi kata berdasarkan suara Nabi Muhammad saw. (Thasin 1 :
9).
Jadi, Kebenaran
dalam metafisika Hallajian terlihat menyimpang dari arti konvensional dan
kesetaraan sinonimnya dengan Tuhan. Cahaya dari Yang Gaib yang memasuki
realitas itulah yang merupakan Kebenaran, dan menemukan ekspresinya dalam Wujud
Kenabian, Nur Muhammad merupakan Wujud Kenabian yang disinari oleh Kebenaran
dan cahayanya. Mi’raj Nabi saw. menegaskan keberadaan Tuhan dan totalitasnya
tampak sebagai Wahyu dan menjadi kebenaran ketika hal yang sama diterima oleh Nabi
(Muhammad saw.). Wahyu mempertegas keyakinan terhadap Yang Gaib
Dalam Thawasin,
al-Hallaj membuat perbedaan yang jelas antara makna Haqq dan al-haqq, dan
dengan demikian menjadi jelas bahwa kedua konsep ini tidak dapat dipertukarkan.
“Kebenaran” (Haqq) sebagai konsep umum dan teosofi menjelaskan wahyu dari segi
Iman, dan dengan demikian konsep ini berada di luar dimensi-dimensi fenomenal.
Tetapi al-haqq secara bersamaan ada pada waktu tertentu dalam sejarah. Dalam
perspektif ini, Haqq (Kebenaran Wahyu) menghubungkan peristiwa kesejahteraan
dengan keabadian, dan keberadaannya sebagai Firman Tuhan merupakan bukti nyata
tentang kehadiran-Nya. Al-Hallaj menggunakan al-Haqq dalam pengertian yang
khusus dan jelas dalam Thasin 9 : 6 sebagai berikut :
“Al-haqq adalah tempt kembali
Bagi Haqq, dan tidak yang lain
Haqq
Itu sendiri
Pembedaan di antara Haqq dan al-haqq menjelaskan sebuah trasaksi abadi,
sebuah gerakan di antara keduanya. Al-haqq adalah titik dalam ruang dan waktu
pada mana Haqq dengan caranya sendiri dan mengikuti rutenya sendiri akan
kembali. Al-haqq menjadi Kebenaran hanya ketika ia dikunjungi oleh Haqq. Dan dalam
ketiadaaan Haqq, al-haqq kehilangan identitasnya; al-haqq berhenti mewujud.
Eksistensi al-haqq bergantung pada kontaknya dengan Kebenarn. Lingkungan apa
pun yang tidak dikunjungi oleh Haqq adalah lingkungan yang mungkar dan fana
dimana ego manusia dihancurkan oleh keberingasan naluriah (Instinctive
anarchy).
Dalam tradisi
Sufisme, konesp al-haqq telah digunakan untuk merepresentasikan aspek-aspek
atributif dari Tuhan, dan secara populer dipahami untuk mengerti Tuhan. Tetapi,
pembakuan atributif ini tampaknya berkembang setelah masa al-Hallaj, sebagai
standarisasi kosa kata Sufi yagn secara keseluruhan belum dicapai pada masa
al-Hallaj. Lagipula terlepas dari kedudukan sifat Tuhan, al-haqq memiliki
cabang-cabang filosofis dan semantiknya sendiri. Al-haqq memiliki tempat
tertentu dalam perkembangan pemikiran, dan juga memiliki pengaruh eksklusif
sebagai putusan akhir dalam situasi-situasi intelektual atau moral yang kaau.
Pembedaan al-Hallaj antara Haqq dan al-haqq akan kehilangan keseriusannya jika
kedua kata itu memiliki satu arti dan konsep yang sama, atau jika al-haqq
diberi status Yang Gaib (Tuhan) atau pun Yang tak dapat diketahui. Bahkan,
al-haqq tidak dapat menjadi Tuhan Yang Esa, dan akibatnya tetap tidak dapat
dimasuki oleh pengetahuan. Betapa pun jika al-haqq diberi nilai Yang tak dapat
diketahui, maka pengetahuan tentagn Kebenaran (al-haqq) selamanya tetap
merupakan sebuah buku tertutup bagi ummat manusia. Hal ini tentu saja
berlawanan dengan semangat penarian yang telah menguat pada masa al-Hallaj.
Tetapi, al-haqq
memperoleh maknanya dari relativitas kebenaran-kebenaran yang merupakan hasil
dari perseteruan teologis dan filosofis. Kebenaran (al-haqq) dapat munul hanya
dalam suatu lingkungan (di mana) kebenaran-kebenaran yang salaing bertentangan.
Secara sendirian, atau berlawanan dengan suatu skema keabadian, al-haqq tidak
dapat memiliki korelasi (pertalian) obyektif karena dalam perspektif ini,
al-haqq cenderung tertuju kepada Tuhan. Paling banter al-haqq ada hanya sebagai
sebuah abstraksi dan ini juga terjadi dalam sekeliling manusia; al-haqq
merupakan sebuah abstraksi yang dipersonifikasikan. Haqq, seperti yang telah
didefinisikan sebelumnya, memperluas prsonifikasi alegoris kepada al-haqq.
Pandangan yang
diebrika di atas menunjukkan penjungkirbalikan perspektif dimana al-haqq yang
secara tradisional ditempatkan sebagi konsep dan obyek. Jadi, melalui
al-Hallaj, sebuah dimensi pemikiran yang berbeda telah muncul dimana “Aku”
personal telah memperoleh posisi senyral, dan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan (pengetahuan) Tauhid harus diperlakukan berdasarkan data-data
yag tersedia pada posisi sentral tersebut. Ini merupakan sebuah fenomena aneh,
hal ini memberikan suatu kerangka manusiawi pada konsep doktrin dan teologi.
Karena itu, dalam konteks inilah Haqq dilihat sebagai manifestasi Cahaya dalam
Wahyu dan gagasan Nur Muhammad, serta al-haqq menjadi personifikasi alegoris (kiasan ) dari Haqq itu sendiri. Perspektif
ini membentuk sebuah hubungan baru yang fundamental antara al-haqq, Nur
Muhammad dan Haqq sebagai manifestasi dari Cahaya dari Yang Gaib. Dalam sejarah
mistik Islam hubungan ini menjadi kandungan yang hakiki dari hubungan Dia-Kau.
Al-haqq sebagai
sebuah tahapan awal dalam perspektif ini, mewujud sebagia sebuah abstraksi yang
memiliki lokasi konkret dalam waktu dan raung hanya melalui meida “Aku”
personal (ana) untuk menjadi abstraksi yang didpersonifikasikan guna memikat
perasaan-perasaan primer manusia menuju Nur Muhammad, dan untuk mengamati
cahaya yang termanifestasikan dalam Wahyu yang selamanya menegaskan totalitas
dan kasih Tuhan Yang Gaib. Penyerapan al-haqq dalams truktur psikologis “Aku”
personal, ana, mempertahankan kebenaran obyektif dari kerasulan dan manifestasi
ontologi dari Yang Gaib dalam Wahyu. Jadi manusia secara keseluruhan, dan
bukannya suatu kemampuan eksklusif tertentu, menjadi saksi universal terhadap
misteri Tuhan. Al-haqq memperlihatkan Yang Gaib hanya melalui utusan peraturan
Nur (Muhammad saw.) dan tanpa perantaraan ini al-haqq, sebagai personifikasi
maupun abstraksi, tidak dapat mengklaim apa pun atas eksistensinya. Al-haqq
mewujud melalui Muhammad dan hanya dalam Muhammad. Dalam metafisika Halajian,
ana, “Aku” personal tetap selamanya mencari al-haqq untuk mengetahui Rasul
Allah dan melalui matanya yang bening menembus misteri yang dibuat secara
eksplisit oleh Wahyu.
Ana al-haqq
sebegai ekspresi tertentu terdapat dalam Thasin 6 : 23 dimana masalah
kebingungan mengenai Skema-abadi mengenai Eksistensi dibahas dalam penyajian
dramaturgis. Thasin 6 itu sendiri diletakkan hampir di tengah Thawasin, dan
dengan demikian ia didukung oleh pola-pola pemikiran dari buku-buku yang
mendahului dan sesudahnya. Karena itu, visi intelektual yang muncul dalam
Thawasin memberikan sebuah konteks yang lebih kaya pada Thasin 6, yang
melanjutkan proses pemikiran dan pada saat yang sama mempertegas isinya.
Penyajian dramaturgis menempatkan iblis, peri dan setan dalam setting tanpa
waktu, dan Fir’aun – Dewa Matahari Lembah Nil pada masa kuno, dalam latar
belakang urutan waktu, serta memberikan sebuah penjelasan mengenai Kehendak
tuhan dalam kerangka yang ditentukan secara jelas berikut ini. Iblis dan
Fir’aun menginterpretasikan dan mendefinisikan posisinya masing-masing pertama
dari segi tindakan yang telah ditentukan sebelumnya, dan kedua dari golongan
kehendak yang telah ditentukan sebelumnya. Iblis dan Fir’aun membenarkan
keadaan mereka, dan dalam pembenaran inilah mereka menemukan prinsip ketundukan
menurut diri mereka sendiri, meskipun dalam hal ini sikap-sikap yang
dipertahnkan oleh iblis dan Fir’aun sangat berbeda satu sama lain. Akhirnya mereka
berdua menyebabkan penjungkir-balikan nilai ketundukan, dan menghasilkan
akrekter-karakter khas yang memperkenalkan kebingungan terhadap skema-abadi
Eksistensi.
Dalam Thasin 6,
iblis sejak awal ditampilkan sebagai figur yang terbatas dalam wujudnya sendiri.
Konsep tentang wujud tampak sebagai nafsu
menggebu dalam pola berpikir iblis. Ia hanya memperhatikan Keesaan Tuhan, dan
gagal menunjukkan kesadaran mengenai sifat-sifat lain Tuhan. Pendekatan
iblis hampir bersifat matematis, dan penalarannya mengenai Keesaan Tuhan tidak
menunjukkan tanda-tanda kepercayaan apa pun pada manifestasi Kehendak Tuhan
dalam fenomena dan khususnya dalam penciptaan manusisa. Bagi Iblis, penciptaan
berhenti menjadi bukti dari sifat-sifat Tuhan. Akibatnya, proses berpikir iblis
berjalan dari abstraksi ke abstraksi tanpa acuan pada pengamatan atau data-data
iderawi yang berasal dari penglihatan. Sikapnya ini memungkinkan iblis untuk
hanya menyembah Sang Khaliq sebagai Abstraksi Murni. Tetapi, di luar kondisi
abstraksi murni iblis hanya dapat mendekati kondisi pemisahan dirinya, dan
ketika sampai di sana iblis hanya dapat muncul sebagai makhluk “yang tidak
dapat diandalkan”. Dalam Thasin 6 pada tahap inilah iblis diperintahkan untuk
bersujud kepada Adam a.s., dan dengan cara ini mempertegas kepatuhan kepada
Kehendak Tuhan. Iblis menolak menjalankan perintah ini dan mengajukan
pembenaran secara persuasif atas tindakannya. Iblis berkata :
“Penolakanku adalah demi Kebesaran-Mu,
Demi Kesucian-mu; dan
Alasanku adalah kegilaanku pada-Mu.
Aku tidak mengenal yang lain selain Engkau,
dan Adam
Adalah lain dari Engkau. Di antara Engkau
dan aku, tidak ada yang lain; jika harus ada; maka yang lain itu adalah aku.”
(Thasin 6 : 10).
Perhatian iblis
kepada Wujud tuhan berubah menjadi perhatian terhadap diri sendiri. Karena
penyimpangan yang dilakukan iblis, Wujud Tuhan tergantikan dengan wujudnya
sendiri. Meneruskan pembenarannya, iblis lebih lanjut berkata :
“Bagiku tidak ada jalan kepada yang lain
Dari Dikau; dan aku memiliki alasan
Untuk ini ..... sejak dulu telah ditentukan
sebelumnya
Tidak ada yang lain, kecuali aku yang
mengetahui Engkau,
Dari waktu ke waktu
Aku datang sebelum yang lainnya karena aku
tinggal abadi
Dalam ketaatan sebelum ciptaan-Mu yang lain
mengenal ketaatan.
Dengan demikian pengetahuan-Mu
Adalah pengetahuanku, engkau bersandar
Kepadaku dan aku bersandar kepada-Mu
Dan kebersamaan
Di antara kita ini jauh lebih tua
Daripada masa kehidupan ini sendiri.
Jadi mengapa aku harus sujud di hadapan
Yang bukan Engkau
Tetapi yang lain dari Engkau. Dan aku
menolak;
Tidak ada pilihan, tidak ada jalan, tidak
ada
Tindakan lain kecuali apa yang telah aku
lakukan,
Api yang memberikan aku
Bentuk menarik daku kembali ke api.
Dan api menurunkan api. Kehendak ini
Adalah milik-Mu; dan apa pun yang kini
Engkau
Tentukan adalah milik-Mu
Dalam pemisahan diri dari Engaku tidak ada
Kejauhan lain
Yang tertinggal untukku; dan Aku menyadari
bahwa jauh
Dan dekat adalah kata-kata bersahaja
Tanpa isi; karena aku telah menjalaninya
selama ini
Dan jauh dari Engkau. Dan Aku telah membuat
Pemisahan dari Engkau
Teman-temanku ... sahabat dalam
kesedihanku.
Dan siapa yang dapat menyebut seperti ini,
Meskipun dengan cinta, dan akan berakhir
Dengan perpisahan dari-Mu.”
(Thasin 6 : 11 – 2).
Dalam konteks di
atas tampak jelas bahwa iblis mewakili suatu kondisi pikir yang didera oleh
nafsu yagn didasarkan pada akal (intellect/al-‘aql). Gagasan iblis tentang
kepatuhan juga ditentukan oleh kondisi pikir seperti itu. Tampaknya tidak ada
dimensi lain yang terdapat dalam struktur pemikirannya. Ia memberi kehormatan
pada dirinya sendiri selaku kahluk pertama di antara makhluk (lain) yang telah
memiliki keberhasilan paling awal yang mengenal Sang Khaliq dan juga dalam
mengindentifikasikan pengetahuan tentang Kebenaran-Nya. Pengetahuan ini,
karenanya menengarai isyarat-isyarat kecerdasan tinggi dan mengembangkan suatu
kepercayaan terhadap keesaan Wujud Tuhan. Kecenderungan bersama antara Sang
Khaliq dengan (figur) protagonis (iblis) menggarisbawahi penegasan-penegasan
al-Kindi (w.783) dan definisinya mengenail Akal
Perantara (‘aql fa’al) yang “berasal dari Tuhan dan, meskipun bekerja pada
kemampuan-kemampuan tubuh, tidak bergantung pada tubuh, karena pengetahuannya
tidak didasarkan pada persepsi-persepsi yang dicapai melalui panca indera.”
Melalui mediasi Akal Perantara (Agent Intellect) ala al-Kindi inilah
“kecenderungan bersama” seperti yagn ditekankan oleh iblis menjadi mungkin
terjadi antara Tuhan dan makhuk-Nya yang tak patuh, iblis.
Dalam penyajian
dramaturgis ini, iblis merupakan sebuah abstraksi yang dipersonifikasikan dan
dengan demikian ia berada di laur tradisi dunia peri dalam perbagai bentuknya.
Pelukisan karakter setan dalam karya Inggris kuno, Fall of yhe Angels yang
hampir sejaman dengan masa al-Hallaj memiliki sifat kemanusiaan yang hampir
tidak terdapat dalam iblis menurut metafisika Hallajian. Iblis tidak memiliki
sifat kemanusiaan di dalam dirinya, karena ia adalh sebuah abstraksi murni, dan
dengan demikian pola pikir yang direpresentasikannya cenderung menjadi sebuah
struktur pemikiran abstrak. Kondisi strukturalnya memisahkannya dari skema
abadi eksistensi dan bertanggung jawab atas pemisahan diri yang dilakukannya
dengan Tuhan. Dalam penyajian dramaturgi ini iblis bukanlah setan dalam
pengertian tradisional seperti diyakini khalayak umum; iblis adalah karakter
khas dimana Pikiran telah menrik diri dari data-data yang disediakan oleh panca
indera. Kondisi batiniah ini membuatnya sama sekali tidak dapat memahami Adam
yang mewakili seluruh kepribadian manusia, dan juga mendorongnya untuk
mempertahankan keunggulan akalnya secara berkelebihan dengan merendahkan
kemampuan-kemampuan jiwa manusia. Karena itu, kesombongan iblis adalah akibat
dari dorongan-dorongan tersembunyi dalams truktur pemikirannya.
Berdasarkana
sal-usul yang dari api, iblis mengungkapkan dan menyamakan aspek penting dari
akrakter khasnya. Api tidaklah mengungkapkan kehadiran cahaya dan bahkan
menjadi tak senonoh akibat kelalaiannya. Metafisika Hallajian pada dasarnya
adalah sebuah teosofi tentang cahaya; dalam bentuk api, panas yang dipancarkan
hanyalah kenyataan yang mengelilinginya dan bukan kebenaran nur dirinya. Karena
itu, berdasarkan asalnya, iblis mendekati kenyataan yang menyelimutinya dan
model pengetahuannya – dengan ketiadaan cahaya --- menjadi kebutaan total yang
secara serampangan dimotivasi oleh gelora nafsu berdasarkan nalarnya. Penekanan
al-Hallaj pada penglihatan dan pengamatan menegaskan ketidaksempurnaan
pengetahuan iblis mengenai Keesaan Tuhan. Kebutaan yang dialami iblis
menyebabkan kebingungan dalam skema abadi eksistensi.
Penegasan iblis
pada “kecenderungan bersama” antara dirinya dan Tuhan, yang juga menegaskan
emanasi Akal Pertama, memunculkan suatu pernyataan metafisika. Bagaimana jika
iblis gagal untuk benar-benar mengenal Kehendak Tuhan yang mendasari perintah
Tuhan dalam situasi-situasi tertentu? Apakah Akal Perantara itu murni sebagai
suatu kemampuan mengenal dan bukannya kemampuan yang (dapat) mebeda-bedakan?
Dan karena Iblis tidak memiliki kemampuan untuk membeda-bedakan itu –
berdasarkan asal-usulnya, dan karenanya, gagal untuk bertindak menurut ahaya
Kebijaksanaan Tuhan. Pada kenyataannya, “akal” yang diperlihatkan oleh iblis
tidak memiliki kemampuan potensial apa pun yang berhubungan dalam dirinya, dan
oleh akrena itu Akal Perantara tidak memunculkan kemampuan potensial apa pun
pada iblis, dan menurut al-Farabi (w.950) timbulnya kemampuan potensial untuk
bertindak memang hanya pada manusisa. Secara teknis, tidak adanya respon
terhadap perintah Tuhan dalam diri iblis kecuali pada penekanan kesadaran akan
Keesaan Tuhan. Dalam diri iblis, akal terisolasi untuk memeriksa dan menguji
reaksi-reaksinya pada Kehendak Tuhan. Thasin 7 memberikan pandangan lebih utuh
mengenai keadaan pikiran iblis dan menjelaskan pemisahan diri secara total yagn
dilakukan iblis dari sifat-sifat utama Tuhan : Kehendak, Kebijaksanaan,
Kekuasaan, Pengetahuan dan Keabadian. Dalam skema abadi eksistensi ini iblis
muncul pada tingkat kemungkinan yang jauh lebih rendah dari manusia (Adam, a.s.).
Penyajian
dramaturgis akhirnya menjelaskan bahwa manusisa lebih unggul dari iblis dari
segi kemungkinan-kemungkinan dalam bingkai sifat-sifat utama Tuhan. Tetapi
manusia (Adam) dalam setting keabadian muncul hanya sebagai kemungkinan murni.
Tetapi, ketika ia muncul dalam waktu historis, kemungkinan ini digoda oleh
karakter khas lain, yakni Fir’aun, Dewa Matahari di Lembah Nil masa kuno. Dalam
Thasin 6 : 22, Fir’aun ditampilkan untuk menggambarkan situasinya sebagai
berikut :
“Dan Fir’aun berkata, ‘Aku tidak mengetahui
bahwa
Engkau mempunyai tuhan selain aku’;
Dan dia belum mengenal seorang pun
Di antara kaumnya yang dapat
membeda-bedakan
Untuk memilih antara kebenaran
Dan ketidak-benaran, antara yang hak
Dan yang sesat.”
Fir’aun jauh lebih
tunduk dibanding iblis terhadap dorongan-dorongan kondisi manusiawinya. Tetapi,
situasinya adalah hasil dari keterasingan (alienasi) pengetahuannya mengenai
Tuhan. Struktur intelektual yang seperti diinformasikan iblis tidak beroperasi
pada karakter Dewa Matahari tersbut. Fir’aun juga tidak memiliki kontak apa pun
dengan kecerdasan yang dapat membedak-bedakan. Alasan inilah yang membuat
Fir’aun gagal memiliki --- secara eksternal – Akal perantara maupun – secara
internal – kecerdasan potensial. Karena itu, pengetahuan Fir;aun memiliki
keterbatasan, dan ia membatasi dirinya sebagai Pencipta. Dalam metafisika
Hallajian, kondisi manusia, yang begitu buruk, sangat membutykan Nabi karena
hanya melalui perantara Nabi, manusia dapat membentuk kembali hubungannya
dengan Cahaya yang terwujud. Tetapi, dalam Thasin 6 : 24, karakter khas
manusisa yang diwakili Fir’aunini memunculkan kembali kemungkinan tersembunyi
(laten)nya ketika ia berhadapan dengan situasi-batas.
Dua karakter khas
tersebut menyajikan keadaan eliensi dalam skema abadi eksistensi; iblis
mewakili akal yang teraliensi; sementara Fir’aun mewakili keadaan teraliensi
dalam kondisi manusia. Pada dasarnya, keadaan aliensi ini telah menemukan
ekspresi-ekspresinya dalam karakter-kareakter yagn diambil dari sumber-sumber
keagamaan. Tetapi satu hal yang perlu disebutkan bahwa karakter iblis pada
hakikatnya adalah sebuah representasi sekular. Iblis tampaknya tidak meiliki
kesamaan apa pun dengan setan dalam Kitab Kejadian (Book of Genesis); ia juga
secara dangkal disamakan dengan Malaikat yang Terjerumus (Fallen Angel) dalam
tradisi keagamaan kaum Muslim. Pendekatan terbaik memahami iblis dalam Thawasin
dapat ditemukan dala karya Milton, Paradise Lost. Cara berpikir tak masuk akal
tentang iblis dalam Thawasin sama dengan cara berpikir tidak nalar tentang
setan dalam karya Milton, Paradise Lost. Hal yang sama juga terjadi dalam
karateristik Fir’aun, ketika mewakili kondisi manusia yang teralienasi,
bermakna situasi-batas dari penderitanaan panjang menghadapi kematian. Melalui
situasi-batas ini, Fir’aun menyelamatkan dirinya dari pandangan dangkalnya atas
penuhanan diri. Di balik karakter-karakter khas ini, terlihat lebih mudah untuk
merasakan suasana dari iklim gagasan pada masa al-Hallaj; akal yang teraliensi
dan kondisi manusia yang teraliensi sama-sama mewakili lingkungan intelektual
dan sosial dari dunia yang dihadapi oleh al-Hallaj.
Sikap pemikiran
Hallajian dengan mengacu pada kareakter-karakter khas (iblis dan Fir’aun)
tersebut memerlukan klarifikasi (penjernih) karena beberapa pakar mengenai
al-Hallaj melihat (secara keliru) bahwa al-Hallaj cenderung bersimpati kepada
iblis dan Fir’aun, dan al-Hallaj menganggap mereka sebagai penasihatnya dan
sangat berlawanan dengan pendapat kegamaan kaum Muslim. Sebagian besar pakar
mengenai al-Hallaj menganggap iblis dan Fir’aun sebagai karakter-karakter
kosmik dan historis, serta menempatkan keduanya pada perspektif negatif dalam
penilaian keagamaan secara umum. Al-Hallaj memang menganggap kater-karakter
tersebut sebagai kekuatan-kekuatan negatif, tetapi dalam Thawasin tidak ada
indikasi bahwa al-Hallaj menyetujui karakter-karakter itu dengan memberi status
yang istimewa. Dalam Thasin 6 : 18-9, pandangan-pandangan al-Hallaj mengenaim
“malaikat yang terjerumus” (iblis) perlu diperhatikan. Al-Hallaj megnungkapkan
demikian.
“Banyak pandangan-pandangan mengenai
Azazil;
Dialah yang memperingatkan di surga dan di
bumi,
Di langit ia meminta para malaikat melihat
segala sesuatu
Yang baik, dan di bumi ia meminta
Manusisa melihat kejahatan,
Dan
kebaikan dikenal melalui kejahatan dan
Kejahatan
dikenal melalui apa yang
Bertentangan
dengannya.
Pakaian sutera halus terbuat dari benang
kasar
Yang diambil dari pakaian yagn kasar dan
kotor,
Dengan cara yang sama, Raja menampakkan
segala sesuatu
Yang baik dan segala sesuatu yang buruk,
Dan mengajukan pilihan..
Dan mereka yang mengikuti kebaikan menjadi
baik,
Dan yang menolak untuk mengetahui kejahatan
Tidak akan pernah mengetahui apa yang
baik.”
Dalam Thasin 6 :
30, Azazil didefinisikan sebagai berikut :
“Dia disebut Azazil karena ia
Memilih menatik diri dan
Disingkirkan dari posisinya yang telah ia
pegang
Di surga, Penarikan dirinya
Bertentangan dengan jati diri aslinya. Dan
Ini dibuat terang dan menyala karena
Ketegasannya untuk menrik diri.”
Dalam Thasin 6
:34, al-Hallaj lebih lanjut berkata :
“Orang bijak di sutu Kabilah menjadi
Bodoh dan bisu mengenai dia; dan
Mereka yang mengenal dan hendak
berkata-kata
Menjadi tidak dapat berbicara
Tentangnya (Azazil) ...”
Dalam
rujukan-rujukan mengenai Azazil (iblis) ini, al-Hallaj lebih tegas mengenai
karakter khas ini, dan hanya secara tidak langsung menempatkan Fir’aun dalam
batas penilaian. Azazil memberikan suatu bentuk negatif dari perilaku, dan
dengan demikian membentuk sebuah contoh penarikan diri. Al-Hallaj tidak
cenderung bersimpati kepada iblis dan tidak meiliki simpati apa pun atas
penarikan diri yang dialkukan iblis ke dalam fungsinya sebagai Azazil. Tetapi,
apa yang menarik dari Azazil ini adalah identifikasinya yang pantang mundur
dengan struktur pemikiran yang tidak mengalami penyerapan secara totalitas.
Dalam hal ini Nalar menjadi pengrusak-diri yang memang merupakan arti
etimologis dari kata : Syaitan (setan).Sebagian besar pakar mengenai al-Hallaj
telah mengabaikan watak alegoris dari akrakter-karakter tersebut, dan karenanya
telah mencapuradukan iblis ala al-Hallaj dengan iblis dalam tradisi umum.
Dalam penyajian
dramaturgis dimana iblis memegang posisi sentral ini, sebenarnya Adam-lah yang
menentukan iblis dalam versi Hallajian. Keunggulan Adam, yang tersirat dalam
perintah Tuhan, mengungkapkan kelemahan muatan pemikiran yang diekspresikan
iblis. Iblis, sebagai karakter khas, mewakili
akal, dan dalam hubungannya dengan Adam menyajikan penyerapan ke dalam
matriks perasaan-perasaan manusiawi. Akal itu
harus tumbuh dalam kedalaman perasaan-perasaan batiniah manusia guna mengenal
Tuhan dalam totalitas-Nya. Jadi, Adam menjadi instrumen utama dari
Pengetahuan tuhan, dan penarikan diri yang dilakukan iblis tetap bersifat
sepihak dan meghancurkan diri sendiri. Dalam penyajian dramaturgis ini Adam-lah
yang memungkinkan untuk memenuhi Kehendak Tuhan. Posisi sentral yang dulu diduduki oleh iblis sekarang diisi
oleh Adam. Thasin 6 sebenarnya adalah “Kitab tentang Adam.” (Book of Adam).
Metafisika Hallajian memilih Adam menjadi saksi hidup terhadap Pengetahuan
Tuhan. Dengan perspektif ini, pandangan dunia al-Hallaj muncul dalam sejarah
Islam, dan meninggalkan gambaran dunia yang dilukiskan dan dikembangkan dengan
sungguh-sungguh oleh pemikiran Mu’tazilah.
Hal penting lain
yang perlu diperhatikan bahwa argumentasi utama Thasin 6, yang dalam hal
Pengetahuan Tuhan ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. yang kehadirnnya
merahmati ketidakberdayaan dari situasi historico-kosmis yang terbatas ( 6
:1-4), melengkapi kandungan konsep Hallajian mengenai Kebenaran. Dan Adam, saat
memegang posisi sentral dalam situasi tersebut, muncul dari kondisi kosmiknya,
dan memasuki sejarah manusia tepat pada titik dimana al-Haqq diwujudkan dalam
wahyu Nabi Muhammad saw. Dalam kerangka pikir yang lebih luas, karakter khas
yang digambarkan secara negatif oleh Fir’aun, dan menemukan kembali dirinya
dala “Aku” personal ( 6 : 23), pada umumnya dianggap berasal dari al-Hallaj
sendiri. Sebenarnya “Aku” personal dalam Thasin 6 : 23 adalah letak yang
dipotong oleh Adam, dan al-Hallaj historis dalam kehadiran al-haqq yang
merupakan Kebenaran Wahyu yang mewujud dalam diri Muhammad. Jadi, Adam selaku
ummat manusia, menggantikan ego Hallajian seperti yang terdapat dalam biografi,
dan menjadi Ego Universal untuk menemukan al-Haqq melalui perantara Nabi
Muhammad saw. Jika tidak demikian, pola dalam Thasin 6 akan kehilangan dasar
argumentasinya.
Penempatan latar
belakang yang ditekankan di atas, ekspresi Hallajian : ana al-haqq terdapat
dalam Thasin 6 : 23, dengan konteks berikut ini (6 : 21 – 3) :
“Dan al-Hallaj berkata, “Aku memasuki
perselisihan
Dengan iblis dan Fir’aun
Tentang ketaatan; dengan keteguhan yang
pasti;
Dan iblis berkata
Bahwa sujud di hadapan Adam adalah
Meruntuhkan ketaatannya, dan ini akan
membuat
Dia terasing dari dirinya sendiri. Dan
Fir’aun
Berkata bahwa mengimani Rasul-Nya
Cukup menjadtuhkan namamnya
Di hdapan kaumnya. Dan kepada mereka
Aku menjawab bahwa jika aku juga kembali
Pada keyakinanku sendiri
Aku kehilangan keberadaanku,
Sikapku.’
Dan kemudian iblis berkata, ‘.... Aku lebih
baik
Dari dia (Adam); dan dia tidak mengenal
yang lain
Kecuali dirinya sendiri; dan Fir’aun
berkata :
“Aku tidak mengetahui --- kalau engkau
Memiliki tuhan selain aku’;
Dan dia tidak tahu seorang pun
Di antara kaumnya yang dapat
membeda-bedakan;
Untuk memilih antara kebenaran dan
Ketidakbenaran; antara yang hak
Dan yang salah
Dan
Aku berkata, ‘Jika engkau tidak mengenal Dia,
Maka
lihat dan kenali
Tanda
abadi-Nya, tanda yang kekal;
Dan
Tanda itu adalah Aku, dan
Akulah
Kebenaran (ana al-Haqq) itu dan dalam
Hakikat
aku selamanya
Bersama
dengan Kebenaran itu’.’
Penyajian
dramaturgis dengan karakter-karakter khas ini bergabung menjadi puisi yang
mempesona dalam situasi dan pengalaman yang diberikan di atas.
Karakter-karakter khas tersebut memperoleh makna intrinsiknya dari “Aku”
personal yang dalam luapan kegembiraan puitis memasuki hubungan yang serius dan
tinggi dengan Kebenaran. Tetapi dalam konteks ini, “Aku” personal adalah
simbolisasi dari “tanda abadi” dan, oleh karenanya, “Aku” personal menentukan
dirinya sendiri sebagai Kebenaran. Khusus mengacu pada iblis dan Fir’aun, Tanda
abadi itu adalah Adam secara historis pada persitiwa tertentu yang diwakili
oleh wujud berpengalaman dan secara eksternal dapat dipahami sebagai a;-Hallaj.
Ini adalah kondisi vertikal dimana “Aku” personal menerima pengalaman menjadi “Aku”
Universal, dan kata-kata yang diberikan kepada Adam membawa Kehendak Tuhan
dalam sejarah manusia.
Keindahan dalam
alur puitis yang amat tinggi, yang membentuk komponen dasar kepekaan Sufistik,
dalam hal ini, merupakan ekspresi struktur pemikiran yang mewarni buku-buku
lebih awal dalam Thawasin. Pemikiran al-Hallaj di sepanjang buku-buku tersebut
secara aktif melibatkan pertanyaan-pertanyaan yang pada dasarnya dimaksudkan
untuk mendapatkan perlakuan khusus. Dan dalam lingkungan yang sedang berkembang
ini, luapan kegembiraan itu laksana sebuah percikan, muncul dari lapisan
kesadaran pikir yang terdalam dan mentransformasikan “Aku” personal serta masuk
ke dalam sebuha hubungan baru dengan konsep (al-haqq) yang menjelaskan fenomena
Wahyu. Luapan kegembiraan ini mempertegas temuan yang dicapai oleh
struktur pemikiran dalam Thawasin.
Tetapi meskipun dalam keadaan kegembiraan ini “Aku” personal menunjukkan sebuah
gerakan batiniah yang mungkin tertutupi oleh eksprei Hallajian dalam
pengalaman tersebut terpusat pada
masalah Pengetahuan Tuhan : Ma’rifatullah (Gnosis of God), dan ini bergerak
dari acuan tersebut pada gagasan tentang Tanda abadi yang dibuat khusus dalam
“Aku” personal. Dan “Aku” personal diidentifikasikan dengan Kebenaran. Tetapi,
identifikasi ini terbagi sebuah dimensi yang berhubungan secara eksternal dan
obyektif dari kebenaran.
Pengalaman kasyaf
ini, yang membentuk klimaks struktur pemikiran Thawasin, menawarkan beberapa
pengalaman penting. Karena iblis dan Fir’aun, dalam kondisi kosmik dan historis
mereka, gagal mengenal Tuhan berdasarkan Wahyu-Nya, penekanan dan acuan
al-Hallaj terhadap “tanda abadi” tidak menyamakan “tanda” tersebut dengan
Konsep Tuhan. Maka pada tahap awal penekanan
ala al-Hallaj ini perlu juga ditanyakan apa sifat yang pasti dari “tanda abadi”
yang mampu mengesahkan Konsep Tuhan itu. Dalam kerangka Thasin 6,
Adam-lah yang merupakan “tanda abadi”, karena ia saling menghubungkan
skema-abadi eksistensi dengan kondisi manusia historis. Dan dengan demikian
Kehendak Tuhan melalui Adam, mengesahkan Konsep Tuhan. Pada saat ini masuknya
“Aku” personal dalam keadaan kasyaf, memberikan sebuah lokasi konkret pada
“tanda abadi” yang tetap tersembunyi dalam kondisi manusia. Sebagai sebuah
argumentasi jawaban yang diberikan oleh pengalaman kasyaf ala al-Hallaj dalam
hal “tanda abadi” haruslah berhenti pada poin ini. Tanda tersebut telah
mengesahkan Konsep Tuhan. Tetapi yang terjadi tidaklah sesuai dengan perkiraan
ini. Sebaliknya “Aku” personal telah muncul pertama-tama untuk menghidupkan Tanda
tersebut dan kemudian mengarahkan proses penegsahan itu kepada Kebenaran “Aku”
personal saling menghubungkan Tanda dengan Kebenaran; “Aku” personal memperluas
dirinya melampaui seluruh fenomena ciptaan (Manusisa) dan Wahyu. Secara
tekstual, “Aku” personal muncul pertama kali sebagai Tanda dan kebudian sebagai
Kebenaran, dan kemudian lenyap ke dalam Hakikat untuk muncul kembali sebagai
sebuah kondisi obyektif dalam mengesahkan Kebenaran. Jadi, Kebenaran-lah yang
pada dasarnya mengesahkan Konsep Tuhan.
Identifikasi
“Aku” personal dalam pengalaman puitis yang serius selalu menajdi masalah
penting dalam pemikiran sastra. Emosi pribadi – melalui pengalaman puitis –
kehilangan acuan personalnya dan ditransformasikan ke dalam emosi puitis yang
kehilangan identitasnya dari segi biografis. Demikian juga, “Aku” personal
berhenti untuk mempertahankan personal dan memiliki karakter impersonal ketika
melewati pengalaman puitis. Bahkan pada tingkat ekspresi puitis tertinggi,
“Aku” personal digantikan oleh “Aku: impersonal, yang akhirnya menggemakan
totalitas media kreatif dan lingkungannya. “Aku” impersonal, pada tingkat
memberikan ekspresi pada lingkungan yang diaktifkan atau dihidupkan kembali.
Mungkin yang demikian ini adalah fenomena yang mendorong pemikiran tradisional
klasik untuk mempertanyakan siapa Pembicara di balik “Aku” personal dalam
pengalaman kasyaf yagn dialami al-Hallaj. Dalam puisi “Aku” personal sering
berubah menjadi “Aku” impersonal yang, ketika bereaksi terhadap
konsepsi-konsepsi yang beragam, memberikan ekspresi pada konsepsi-konsepsi
tersebut melalui dirinya sendiri. Konsepsi-konsepsi tersebut berbicara melalui
“Aku” impersonal. Tetapi, fenomena ini tidak terjadi dengan sendirinya, dan
ekspresi yang terungkap otomatis saja menjadi tulisan.
Karena itu, dalam
konteks tekstual, “Aku” impersonal adalah poin di mana Tanda dan Kebenaran
bertemu serta memberikan kepadanya Kekuatan keyakinan yang dialami kembali.
Sebenarnya Tanda itu sendiri melebur ke dalam Kebenaran, dan “Aku” impersonal
juga menunjukkan tahapan-tahapan tekstualnya; Tanda dan Kebenaran
direpresentasikannya, dan melalui perantara Tanda dan Kebenaran tersebut “Aku”
impersonal --- di saat bergerak antara Penciptaan dan Wahyu. – memberi tekanan
tambahan pada al-haqq. Dan, ketika melakukan kepekaan kreatif di sepanjang
konsepsi-konsepsi ini “Aku” impersonal mempertegas keashihannya dalam
lingkungan langsungnya yang dapat diantisipasi. Pengalaman kasyaf al-Hallaj dan
“Aku” impersonal menegaskan Kebenaran dalam kerangka Islam. Dan Kebenaran, sebagaimana
Wahyu, mengabsahkan Konsep Tuhan.
Dalam panorama dunia ala al-Hallaj, jeritan ana al-haqq muncul dalam sebuah
lingkungan yang dibayangi oleh alienasi pikiran (Akal/iblis) dan kondisi
manusia (Fir’aun). Jalan menuju Tuhan terhalang oleh ketidaktahuan mengenai
Tuhan; dan Kebenaran disamakan dengan konstruksi logis. Dalam
lingkungan ini al-Hallaj mampu menundukkan “Aku” personalnya, dan memperluas
kesadaran untuk memunculkan “Aku” impersonal. Jadi, ia berhasil dalam
mengarahkan keberadaan psiko-fisiknya menuju Kebenaran yang ditandaskan dalam
Islam. Penemuan “Aku” impersonal oleh al-Hallaj pada kenyataannya merupakan
misteri yagn tidak dapat dijelaskan dalam iklim intelektual masa itu. Al-Hallaj
menambahkan sebuah dimensi baru pada gagasan tentang keberadaan manusia, dan
dengan dimensi ini sejarah Islam memasuki sebuah area peradaban yang lebih
berkembang dan maju. Al-Hallaj menyelamatkan dunia Islam dari kejatuhan di
bawah ancaman kosmologi yang hidup untuk segera menerima Wahyu dan mengenal
Tuhan melalui perantara Kebenaran. Selama berabad-abad, al-Hallaj dibicarakan
di kalangan ummat Islam dalam idiom cinta, dan ana al-haqq tetap emnjadi suara
yang menghibur banyak generasi kala dirundung derita kesepian spiritual. Para
nenek dalam cerita-erita rakyat masih membicarakan Manshur (al-Hallaj) di
tempat-tempat yang jauh dari dunia Islam. Orang-orang tua, ketika memandang ke
langit biru, mendengarkan misteri ana al-haqq dan menghela nafasnya dari
tekanan jiwa. Dan dalam keheningan malam-malam tropis suara para penyanyi
Qawwali (Musik keagamaan di Pakistan), terus mengalun tanpa batas waktu. Ana
al-haqq; ana al-haqq; ana al-haqq.......!!
KITAB - THAWASIN
Thawasin adalah kisah kehidupan spiritual al-Hallaj.
Karenanya, dapat banyak membantu membentuk konteks
tekstual dan
Makna dari Ana al-Haqq (itu sendiri)
THASIN I
KITAB TENTANG
BENTUK CAHAYA
Husain bin
Manshur al-Hallaj --- rahimahullah – berkata
(1)
Thasin ....;
Inilah bentuk
cahaya yang bersinar
Dari Yang Tak
Terlihat,
Ia tampak dan
terpancar,
Serta kembali
kepada Yang Tak Terlihat
Dan kebenaran itu
melampaui segala cahaya,
Menjadi cahaya di
atas cahaya,
Dan benderangnya memnacar
ke seluruh bulan.
Titiknya yang
paling terang menjulang angkasa
Diselimuti oleh
misteri.
Kebenaran (Haqq)
menyebut dia Ummi
Dikarenakan
aspirasinya yang mulia,
Menyebut dia
seseorang dari Rumah Suci
Dikarenakan
karunianya yang sangat melimpah;
Dan menyebutnya
Makki karena dia
Tabah dalam
kedekatan dengan-Nya,
Dan karena
kedekatannya itu ia bersama
Dengan kebenaran
(Haqq) itu sendiri.”
(2)
Dadanya
dilapangkan dan kedudukannya
Ditinggikan di
atas,
Kehendaknya
diwujudkan.
Ia kemudian
dilapangkan, dilapangkan dari beban
Yang memberatkan
Dan pada semuanya
ditampakkan bulannya;
Dan bulan itu,
bulannya muncul dari awan-awan
Daratan Yamamah
Dan menjadi
matahari pagi di Tihamah,
Dan lampunya
memberi cahaya,
Dari Hikmah Sang
Mahabesar.
(3)
Apa pun yagn ia
katakan dalam hikmahnya,
Dalam cahayanya,
Dan tentang enam
hal yang ia katakan,
Ia katakan dalam
kebenaran jiwanya.
Ia pertama-tama
membuat dirinya ada,
Serta memiliki
pandangan dan kemudian
Dirinya sendiri
menjadi mata yang melihat,
Dan kemudian ia memperingatkan;
Pertama-tama ia
menunjukkan jalan,
Lantas memberi
batas pada jalan itu.
(4)
Pada hakikatnya
tidak seorang pun telah melihat dia,
Telah
menyelamatkan temannya, Siddiq Kebenaran,
Yang mengenal dia
seperti dia mengenal
Kebenaran itu;
Ia berada di
samping Kebenaran itu,
Mengikuti
jejak-jejak kebenaran itu,
Dan tan seorang
pun berada di sana
Untuk memisahkan
mereka.
(5)
Dan tak seorang
pengembara-spiritual pun
Yang mencari
telah melihat dia, atau mengenalnya;
Dan tak seorang
pun telah mengetahui dia;
Dan kebajikannya
tetap tidak diketahui
Seolah tidak ada
seorang pun untuk
Menciptakan
kebajikannya.
Jadi, kebenaran
berkehendak
Untuk menyingkap
kebenaran,
Dan mereka yang
meninggal memiliki Kitab ini
Dan mereka
mengenal dia
Seperti mereka
mengenal anak-anak mereka;
Dan salams eorang
di antara mereka
Mengakui
kebenaran itu.
(6)
Dari cahayanya
tampak cahaya semua kenabian,
Dan dari pancaran
cahayanya,
Pancaran-pancaran
cahaya baru muncul.
Tidak ada
cahaya-cahaya lain yang lebih cemerlang,
Dan lebih cerah
dan mendahului
Pra-eksistensi
daripada cahayanya.
(7)
Perenungannya
melampaui semua renungan
Dan keberadaannya
melewati ketiadaan,
Dan namanya
mengungguli Pena,
Karena ia
mendahului semua orang,
Dan dunia ini
atau dunia lain atau di dunia
Di sebrang dunia
ini
Tidak ada seorang
pun yang begitu
Penuh dengan daya
pikat, baik dan bijak,
Dan dalam
pikirannya seperti dia;
Ia adalah
pemimpin dari semua makhluk;
Dia adalah Ahmad,
dan segenap puji tertuju padanya,
Tak tertandingi
kemuliannya,
Perkataannya tak lekang
karena ia
Bermurah hati
dalam keberadaannya,
Dan tinggi dalam
kebajikan dan keunikannya,
Dalam pikirannya
ketika sedang berpikir mendalam.
(8)
Ia membuat ia
tertinggi, di atas segala yang ada
Dan mengangkat
posisinya;
Dan menyatakan
dia agung dan dikenal di
Daratan dan
lautan;
Dan membuat ia
berseri-seri, penuh cahaya,
Dan berkuasa
serta dapat melihat dan memahami;
Sebelum suatu
ciptaan diketahui ia telah diketahui;
Dan dari yang
pertama sampai
Yang terakhir
namanya
Tetap tertulis di
sepanjang masa.
Hatinya
menyucikan;
Perkataannya
memperingatkan,
Dan
pengetahuannya meninggikan;
Percakapannya
adalah percakapan berbahasa Arab,
Tetapi suku
bangsanya bukan di timur juga bukan di barat;
Rasnya dan apa
yang menggantikannya
Menyatakan
penghargaan;
Dan dia memiliki
seorang teman
Di rumah suci.
(9)
Ia membuat sebuah
pertanda dan mata-mata
Yang memiliki
pandangan,
Segala sesuatu
yang tidak diketahui,
Yang tersembunyi
dan segala misteri menjadi diketahui,
Segala sesuatu
dikenal.
Kebenaran membuat
ia berbicara,
Akal membuktikan
dia benar,
Dan kemudian
membuat dia bebas.
Ia adalah
kebenaran yang dimanifestasikan,
Dan kebenaran
merupakan
Perwujudan
kebenarannya.
Dadanya
dibersihkan dari kotoran hitam.
Ia datang, tidak
dengan perkataan
Yang ditemukan
atau diperintahkan,
Atau seseorang
yang kehilangan bentuk atau akal
Atau merupakan
hasil kerja
Dari seseorang di
sini atau di sana;
Ia datang dengan
perkataan yang tidak berubah,
Juga tidak
emngikuti perubahan;
Ia ada
bersama-sama dalam kebenaran
Dan mengada melampaui
semua pola pikiran;
Ia telah
menegaskan Penyebab dari segenap sebab
Dan Pengakhir
dari yang akhir.
(10)
Dan di atas dia
menyalah awan,
Awan yang
menyala; dan di bawah kakinya
Kilat menyala dan
kegelapan sirna;
Dan awan itu
menurunkan titik-titik airnya sebagai hujan;
Dan membuat bumi
menumbuhkan buah.
Semua pengetahuan
adalah setetes
Dari samudera
pengetahuannya;
Dan seluruh
hikmah adalah sebuah muara
Dan aliran
sungainya yagn sangat dalam;
Dan seluruh waktu
adalah sejam dari masanya,
Dan keberadaannya
di luar masa,
Dari masa yang
tertulis dalam kehidupannya.
(11)
“Kebenaran
bersama dengannya; apa yang terbatas
Dan yang tak
terbatas juga bersamanya.
Dalam kejadian
dialah yang pertama
Dan dialah yang
terakhir dalam
Rangkaian
kerasulan;
Dia-lah makna
tersembunyi dari Penciptaan,
Dan makna yang
terwujud dari pengetahuan
Tentang Esensi
....”
(12)
Tetapi tidak
seorang pun mencari pengetahuan
Yang telah
mencapai dia,
Dan tidak seorang
pun pemberi keadilan
Telah mencapai
hikmahnya.
(13)
Kebenaran tidak
pernah membawa
Dia ke segala
sesuatu
Yang telah
diciptakan karena dia adalah dia,
Tetapi di mana
dia? Jadi siapa pun dia, tetaplah dia.
(14)
“Dan tak seorang
pun yang mengetahui atau yang tahu
Apa yagn dia
ketahui tidak pernah di luar
Mim Muhammad; tidak
ada jalan keluar demi dia;
Demikian juga
siapa yang bergerak di dalam
Tidak pernah di
luar ha’ Muhammad;
Ha’ mengarah pada
mim kedua
Dan huruf
terakhir da’ membawa kembali
Pada mim yang
pertama.”
(15)
Perkataannya
menyingkapkan;
Peringatannya merupakan
kabar ke semuanya
Dan semuanya
menjadi dungu
Sebelum mendengar
perkataannya.
Dan al-Qur’an
muncul dalam Wahyu,
Dan berbicara
dalam percakapannya dalam
Kefasihan yang
tak tertandingi;
Menerangi hatinya
dan memperkuat fondasinya.
Dan mereka yang
berdiri di samping
Mendapatkan
mahabah;
Dan menunjukkan
perkataannya
Sebagai suatu
yang benar
Dan menyatakan
keagungannya sebagai keagungan.
(16)
“Jika engkau
meninggalkan dan pergi
Ke daerah-daerah
yang jauh darinya,
Engkau tidak
tidak akan menemukan jalan,
Dan tak seorang
pun akan mendekatimu.
Wahai, Jiwa yang
sakit!
Engkau tak akan
menemukan seorang pun
Yang
menyelamatkanmu.
Kata Bijak dari
Yang Paling Bijak
Di dunia ini
laksana pasir di hadapan dia.”
THASIN
II
KITAB
TENTANG PEMAHAMAN
(1)
Manusia hampir
tidak dapat
Mengetahui
Hakikat;
Dan Hakikat tidak
berhubungan dengan pemikiran,
Dan pikiran
mengenai segala
Sesuatu yang
diciptakan.
Apa yang
terlintas dalam hati adalah
Gelombang
pemikiran
Yang berlalu
cepat, tentang ini dan itu,
Dan begitu banyak
gelombang pemikiran
Tidak pernah
dapat mencapai Hakikat.
Sejauh ini memang
demikian,
Sepanjang
pengetahuan,
Jadi bagaimana
mengetahui Hakikat?
“Kebenaran berada di luar Hakikat,
Sebagai sesuatu yang teridentifikasikan,
Dan Hakikat terpisah dari Kebenaran....”
(2)
Laron terbang
mengitari cahaya Lilin,
Sepanjang malam,
Dan dalam
bentuk-bentuk yang berbeda
Kembali dengan
matahari pagi, di pagi hari;
Dan kemudian
menceritakan apa yang terjadi,
Bagaimana ini
terjadi;
Dan dalam apa
yang terjadi terdapat keriangan,
Satu-ssatunya
kebahagiaannya;
Karena dadanya
berisi harapan untuk menemui kesempurnaan.
(3)
“Cahaya yang
ditebarkan oleh Api
Adalah
Pengetahuan
Mengenai Hakikat
dan Kilaunya
Menjelaskan
Hakikat yang berada
Dalam pengetahuan
itu;
Tetapi untuk
memasuki Kilaunya
Dan untuk
mengetahui cahayanya
Adalah dengan
“Kebenaran.”
(4)
Laron tidak
senang dengan cahaya lilin,
Dengan kehangatan
lilin,
Maka ia
menjatuhkan dirinya sendiri
Ke dalam api
lilin; dan bentuk-bentuk yang berbeda
Menunggu
kembalinya laron itu,
Jadi, ia memberi
kabar-kabar, informasi-informasi
Mengenai apa yang
ia lihat atau bagaimana ia hidup
Melalui api itu.
Laron itu hanya lebih suka
Apa yagn
dilihatnya daripada apa yang didengar;
Dan oleh
karenanya menjadi tiada,
Sesuatu yang tidak
berguna, terpecah
Kemudian, dalam
bentuknya yang sekarang ia hidup,
Tanpa nama, tanpa
bentuk atau tubuh,
Tnpa tanda atau
simbol
Anda menanyai aku
mengapa?
Untuk apa ia
memiliki bentuk-bentuk yang berbeda itu?
Dan bagaimana ia
mencapai kondisi itu?
Laron tidak
senang dengan cahaya lilin,
Dengan kehangatan
lilin,
Maka ia
menjatuhkan dirinya sendiri
Ke dalam api
lilin; dan bentuk-bentuk yang berbeda
Menunggu
kembalinya laron itu,
Jadi, ia memberi
kabar-kabar, informasi-informasi
Mengenai apa yang
ia lihat atau bagaimana ia hidup
Melalui api itu.
Laron itu hanya lebih suka
Apa yagn
dilihatnya daripada apa yang didengar;
Dan oleh
karenanya menjadi tiada,
Sesuatu yang
tidak berguna, terpecah
Kemudian, dalam
bentuknya yang sekarang ia hidup,
Tanpa nama, tanpa
bentuk atau tubuh,
Tnpa tanda atau
simbol
Anda menanyai aku
mengapa?
Untuk apa ia
memiliki bentuk-bentuk yang berbeda itu?
Dan bagaimana ia
mencapai kondisi itu?
Untuk apa? Untuk
apa?
Siapa yang
mencapai kondisi melihat,
Menjadi tidak
peduli pada kondisi mendengar,
Tentang
kabar-kabar, tentang cinta yang disebarkan,
Yang menemukan
jalan kepada dia,
Yang sedang
diamati melangkah jauh melewati
Kondisi melihat,
kondisi mengamati.
(5)
“Tetapi dia yang
diberi naluri-naluri
Dan
kehendak-kehendaknya,
Dan yang lemah
dalam berpikir
Dan yang dipenuhi
dosa untuk mengejar
Kehidupan fana,
Tidak akan
mendapatkan keberhasilan, seperti aku.”
(6)
“O, jika kau
pikir akulah orang yang telah mencapai
Keadaan itu atau
yang akan mencapai keadaan itu,
Atau telah
mencapai kondisi itu
Di waktu-waktu
lampau,
O! Tidak, tidak,
tidak pernah!
Aku sedang berada
di jalanku untuk menemui-Nya,
Dengan caraku
yang menuntun kepada Dia :
O! Aku milik-Nya,
Dan Dia belum
memiliki aku.”
(7)
O! Jika Anda
ingin mengetahui
Maka ketahuilah bahwa
apa Yang Nyata
Tidak diketahui
Oleh seorang pun
kecuali Ahmad;
Dan Muhammad
bukanlah bapak dari kerabatmu
Melainkan Nabi
Allah dan Yang Terakhir dari
Nabi-nabi Allah.
Dan ketika ia
pergi keluar dari duni ini dan
Bahwa dunia di
luar dan melewati keluar dari tempat Manusia
Dan jin, dan
tidak ddiketahui oleh Manusia dan jin,
Di sana tidak
tersembunyi lagi,
Segala tanda atai
bercak kesalahan;
Dan kemudian dia
mendekati dan menjadi lebih dekat,
Dan hanya
berjarak dua jengkal atau lebih dekat
Dan ketika ia mencapai
yang Nyata pengetahuannya,
Kondisi
pengetahuan dimana
Apa yang Nyata
diketahui
Dibuat sendiri
mendengrkan kabar-kabarnya,
Dan membuat
berpengharapan tinggi
Ketika mencapai
kebenaran, jauh dari yang nyata,
Dan menempatkan
dirinya di hadapan-Nya
Yag Pengasih
Dan ketika
Kebenaran dibuatnya sendiri
Ia kembali dan
berkata :
Pikiranku tidak
memiliki satu pin kecuali engkau,
Sujud kepada-Mu;
hatiku milikmu
Dan pada saat ia
mencapai Akhir dari
Yang akhir ia
berkata :
Tidak ada
kata-kata untuk membatasi,
Tidak ada bahasa
untuk mendefinisikan engkau;
Dan ketika ia
mencapai Yang Nyata dari yang nyata,
Ia berkata :
Engkau sungguh
seperti yang engkau katakan;
Ia melepaskan
semua yang hidup di dunia fana, dan mencapai kejayaan,
Dan hatinya tidak
akan menipu apa yang ia lihat;
Dan di sidratul
muntaha yang menandai batas-batas pengetahuan,
Tak seorang pun
mampu melewatinya
Pandangannya
tidak pernah membelok dan juga tidak menipu.
THASIN
III
KITAB
TENTANG INFORMASI
(1)
Hakikat adalah
tajam dan bertepi;
Jalan menuju
kepadanya adalah sempit
Dengan
semburan-semburan api yang menyala,
Tinggi dan
rendah, tak terbayangkan;
Dan jauh di luar
sana terdapat sebuah tanah belantara,
Gelap, dan sepi;
Seorang asing itu
melewatinya dan menyelami
Segugus empat
puluh tingkatan (maqamat)
Dan menceritakan
apa yang terjadi di sana.
(2)
Di setiap
tingkatan terdapat mode-mode pemikiran,
Dan ilmu
pengetahuannya masing-masing,
Sebagian di
antaranya mudah untuk dipelajari,
Bahkan jauh lebih
mudah untuk dipahami;
Dan sebagiannya
di luar dan jauh di luar pemahaman.
(3)
Dan, kemudian,
dia --- orang asing itu
Memasuki rumah
belantara dan tinggal di sana,
Lalu pergi
keluar; dia tidak memiliki seorang pun
Dan tidak
mencintai seorang pun;
Jalan tertutup
dalam masa tertentu;
Bukit-bukit, batu-batu,
Puncak-puncak
bukit yang berbahaya,
Juga daratan,
betatapun kasar, betapapun halusnya,
Tidak dapat
membuat dia tetap di jalannya.
(4)
Dan ketika Musa
telah memenuhi ketentuan
Ia meninggalkan
keluarganya dan Hakikat
Adalah
keluarganya; ia puas dengan
Apa yang ia
ketahui, yang telah dengar;
Lebih suka
penyebaran daripada yang diamati;
Karena ini
membuatnya dan orang-orang yang
Terbaik menjadi
dua manusia berbeda;
Dan membedakan
tinggi dan rendah.
Ia kemudian
menjawab;
“Mungkin aku
mendatangimu dengan
Berita-berita
dari sana.”
(5)
Dan ketika orang
yang memimpin setuju untuk menerima laporan
Mendengarkan,
menyebarkan berita-berita,
Maka mereka yang
mengikuti langkah-langkah
Pergi sendiri
untuk mencari pembebasan
Dalam tanda dan
simbol.
(6)
Di Gunung Sinai,
di Pohon itu !
Dan apa yang
didengar dari sana;
Atau seseorang
lain, ditunjukkan di sana.
(7)
Dan oleh karena
itu aku berdiri seperti Pohon;
Dan apa yang aku
katakan bukanlah perkataanku,
Tetapi
perkataannya.
(8)
Maka, apa yang
Nyata adalah nyata
Dan apa yang
termasuk segala
Sesuatu yang
menciptakan
Adalah sesuatu
yang diciptakan
Maka lepaskan segala sesuatu yang diciptakan
Untuk menjadi sebagai dia dan engkau Sebagai dia,
Dan inilah Hakikat.
(9)
Dan aku melihat
tanda,
Tanda itu sendiri
menjelaskan tanda;
Dan, oleh
karenanya, berisi Hakikat
Dalam dirinya
sendiri, jadi siapa dia?
(10)
Dan kebenaran
menjawab;
Maka ketika kau
mengubah pikiran
Dan membuktikan;
Sesuatu yagn
telah terbukti
Tidak pernah
dibuktikan.
Karena Aku
berdiri terbuka untuk bukti.
(11)
Kebenaran membuat
Aku melihat Hakikat
Melalui
penegasan, melalui perjanjian,
Melalui perkataan
lisan;
Dan apa yang aku
ketahui berbicara
Meskipun apa pun
yang aku miliki dalam hatiku
Rahasia yang aku
miliki melampaui Realitas.
(12)
Kebenaran
memberitahu aku mengenai hatiku,
Dan memberiku
pengetahuan dalam lidahku sendiri,
Dan membuatku
dekat;
Urusan-urusanku
yang lain berhenti,
Dan Aku menjadi
kebenaran itu sendiri.
THASIN
IV
KITAB
TENTANG LINGKARAN
(1)
Lingkaran pertama
di dunia penampakan
Adalah dunia yang
menuju ke arah dia,
Lingkaran kedua
adalah yang mencapai dia
Dan terputus; dan
lingkaran ketiga adalah
Yang memasuki
Realitas dan
Kehilangan arah
dalam hutan belantara.
Dan melalui
lingkaran pertama ada
Kemungkinan untuk
mencapai dia;
Tetapi melalui
lingkaran kedua semua
Kehilangan arah;
dan dalam lingkaran
Ketiga hanya
terdapat pepohonan,
Padang-padang
pasir dan hutan belantara yang luas.
(2)
Aduh! Bagi dia
yang memasuki
Lingkaran pertama
dan menemui jalan buntu,
Dan diminta untuk
melacak lagi jejak-jejaknya.
Dalam kondisi ini
ada esensi
Seseorang yang
berdampingan,
Pikiran dan
kebenaran.
(3)
Tidak ada jalan
terbuka dalam lingkaran pertama;
Tetapi lihat
titik dalam hati lingkaran itu ----;
Hakikat adalah
titik dari lingkaran itu.
(4)
Dan apa itu
Hakikat? Hakikat tidak menghapus
Segala sesuatu,
baik yang jelas maupun yang abstrak;
Apakah terlihat
oleh mata atau diketahui oleh jiwa;
Dan kemudian, ini
tidak pernah berubah;
Dan memiliki
bentuk-bentuk baru.
(5)
Jika engkau ingin
mengetahui dan memahami
Apa yang telah
aku katakan, maka ambil
Empat ekor
burung, dan jinakkan mereka
Untuk kembali
padamu;
Karena kebenaran
tidak pernah terbang.
(6)
Urusan lain-lain
dia membuat dia ada
Dalam
ketidakberadaannya, tetapi kekuatan
Dia menghalangi
dan keheranan dia hilang.
(7)
Ini adalah
arti-arti dari Hakikat;
Tetapi arti-arti
yagn lebih halus dan tajam
Didapat ketika
engkau menghentikan penilaianmu
Dan sangat
merindukan arti itu.
(8)
Ia melihat semua
sisi dari lingkaran itu
Tetapi tidak
pernah melihat di luarnya.
(9)
Dan pengetahuan
mengenai Hakikat juga murni
Dan sangat suci
dan lingkaran itu adalah
Lingkaran
kesucian
(10)
Untuk itu, ia
disebut murni dan suci,
Dan ia tidak
pernah keluar dari lingkaran kesucian
(11)
Dan Dia tetap
berada di luar, melewati apa saja;
Jadi, dia
menghela nafas karena tidak dapat mesuk
THASIN
V
KITAB
TENTANG TITIK
(1)
Dan yagn jauh
lebih berbahaya dan mendalam
Adalah
pembicaraan tentang titik;
Ini adalah esensi
yagn tidak tumbuh atau pudar,
Juga tidak
berhenti untuk mengada.
(2)
Siapa yang tidak
percaya, berkata tidak,
Mengingkari Titik
itu,
Termasuk dalam
lingkaran pertama,
Lingkaran
penampakan fisik,
Jadi --- ketika
ia tidak melihatku,
Ia tidak
mempercayai kondisiku
Dan mengatakan
aku adalah
Salah satu yang
menyembah Api,
Dan memiliki
keyakinan dalam dualitas,
Oleh karena itu,
membuat aku sangat benci.
(3)
Tetapi --- yang
berada dalam lingkaran kedua
Melihatku dalam
kondisi dimana
Pendukung itu
mendukung
(4)
Dan yang mencapai
lingkaran ketiga berkata :
Aku dalam genggaman
aspirasi-aspirasi.
(5)
Dan dia, yang
mencapai lingkaran Hakikat,
Yang tidak
mengetahui apa-apa tentang aku,
Dan menghilang di
hadapanku, dalam kegaiban.
(6)
Tidak ada tempat
untuk bersembunyi; tidak ada!
Tidak ada tempat
untuk keselamatan;
Di hadapan
Tuhanmu dimana hari akan menjadi
Tempat istirahat
: hari itu manusia akan
Diberitahu apa yang ia lakukan di masa depan,
Dan semua yang ia lakukan di masa lalu.
(7)
Dan ia
mendapatkan laporan yang dikirimkan,
Dan berita-berita
yang didengar,
Segala sesuatu
yagn didengar, disampaikan
Dari satu ke
lainnya,
Dan mencari
tempat perlindungan serta takut
Akan percikan api
....., diperdayakan,
Telah terjerumus
ke dalam api, dalam bahaya besar.
(8)
Dan aku adalah
salah satu dari dua burung yang
Dipelihara oleh
para Sufi;
Burung itu
memiliki dua sayap;
Dan ketika burung
itu tidak dapat lagi terbang,
Burung itu
mengingkari kondisiku.
(9)
Dan kemudian ia
menanyaiku :
Apa itu Kesucian?
Dan aku jawab :
Potong sayapmu dengan
Pisau tajam
ketiadaan;
Tanpa melakukan
ini engkau
Tidak dapat
mengikutiku,
Tidak dapat
mengetahuiku.
(10)
Dan ia berkata :
aku terbang dengan sayap-sayapku,
Dan aku jawab :
Aduh, Aduh!
Betapa malangnya
engkau!
Karena tak satu
pun yang menyamai Dia,
Di sana tidak ada
kesamaan, dengan dia,
Dan dia tetap
mendengar dan melihat.
Pada hari itu ia
jatuh ke dalam samudera makna,
Ke dalam laut
pemahaman dan tenggelam.
(11)
Dan apa bentuk
makna yang jelas;
Bentuk pemahaman
yang jelas; yaitu lingkaran
Aku melihat
Tuhanku dengan mata, mata hatiku,
Dan bertanya :
Siapa Engkau? Dan ia bertanya :
Engkau! Jadi,
tidak untuk di mana?
Dan di mana tidak
memiliki kebenaran
Tanpa engkau dan
juga tidak ada di mana;
Engkau adalah
Engkau sebagaimana adanya!
Dan tidak ada
penilaian pasti di dunia
Mengenai Engkau :
Di mana engkau
berada?
Dan engkau telah
meluaskan diri-Mu, di mana saja,
Dan di mana telah
kehilangan keberadaannya.
Jadi, di mana
Engkau?
Engkau? Di mana
engkau berada?
(12)
Titik pertama
berada dalam lingkaran pertama
Yang digambarkan
oleh kekuatan penilaian;
Salah seorang di
antara mereka benar,
Dan yang lainnya
salah.
(13)
Dan ia melewati
malam yang membentang
Di sepanjang
hatinya;
Dan ia menjadi
semakin dekat dengan Tuhannya;
Kemudian
menghilang.
Dan ketika ia
melihat aku, ia tidak menghilang;
Dan bagaimana ia
muncul? Ia tidak muncul;
Dan bagaimana
bisa terlihat? Tidak pernah terlihat!
(14)
Ia memasuki area
yang penuh takjub;
Dan merenung, dan
pada saat ia merenung,
Keheranannya
bertambah;
Dan ia sendiri
diamati;
Dan setelah itu
ia berhak mendapat dirinya sendiri;
Ia, pertama-tama,
memiliki penyatuan kembali
Tetapi pemisahan
terjadi sesaat kemudian;
Keinginannya
jatuh dalam lubang yang dalam,
Tetapi dipisahkan
dari hatinya sendiri.
Dan apa pun yang
ia lihat,
Hatinya tidak
mengingkarinya.
(15)
Pertama-tama ia
bersembunyi dan
Kemudian membawa
dia lebih dekat;
Kepuasan
pertama-tama dan kemudian disucikan;
Menyembunyikan
dia pertama-tama dan
Kemudian
mengangkat
Dan dengan
perhatian, dan menyucikan dia;
Dan memberi dia
perasaan menang.
Kemudian membuat
dia
Menderita dan
menyembuhkan dia,
Dan lantas
menjadi pelindungnya dan menjaga dia,
Dan membuat dia
mengendali segenap ruang
Sebagai
pengendali yang hebat.
(16)
Dan ia yang
pertama menjadi yagn terdekat,
Lebih dekat
daripada dua jengkal,
Dan ia kemudian
mengamati,
Dan seuai dengan
aksi dan bentuknya.
Dan ketika ia
dipanggil ia menjawab;
Dan ketika ia
bersemedi, menghilang.
Dia meminum
airnya, dan puas.
Dan, lebih dekat
ia membawa dirinya.
Terkagum ia
jadinya,
Dan ia
meninggalkan tempat tinggalnya,
Teman-temannya,
kawan-kawan,
Para pembantunya
--- semuanya;
Dan melampaui
semua rahasia,
Semua misteri dan
semua simbol.
(17)
Temanmu tidak
tersesat, juga tidak salah jalan.
Tidak jatuh sakit
atau kehilangan harapan;
Matanya tidak
memiliki godaan untuk
Tertuju ke mana?
Dan ketahanannya,
sementara berjarak dua jengkal,
Tidak mengenal
duka cita.
(18)
Temanmu tidak
tersesat, juga tidak salah jalan;
Dan tidak pernah
tersesat dalam kebun ingatan,
Dikala mengamati
kita;
Dan tidak pernah
kehilangan
Jalannya dalam
kecepatan
Semedi secara
mendalam.
(19)
Memiliki setiap
waktu dalam Kebenaran
Dan untuk
kebenaran;
Dalam ingatan,
dan senang terhadap penderitaan-penderitaan dan berkah berkah
(20)
Hanya inspirasi
yang diberikan pada dia;
Dan inspirasi ini
adalah cahaya,
Serangkaian
cahaya dari ujung ke ujung.
(21)
Memberikan makna
pada kata, di luar penilaian,
Dan menghilang;
dan memisahkan
Dirinya sendiri
dari apa pun yang diciptakan,
Dari segala
sesuatu dan orang-orang;
Menjadi cinta
dari cinta dan berkata :
Engkau menjadi
Burung dari
Gunung-gunung
tertinggi
Dan dari gua-gua
terdalam
Di gunung-gunung
tertinggi;
Dan gunung-gunung
tertinggi
Adalah
puncak-puncak makna;
Dan gua-gua
terdalam adalah halaman kedamaian
Dan pelipur,
sehingga engkau dapat melihat apa
Yang engkau
ditakdirkan untuk melihat,
Dan kemudian
menjadi pedang penegasan
Paling tajam yang
ditarik dari rumah suci.
(22)
Dan kemudian ia
datang lebih dekat ke esensi,
Ka Arti; dan
kemudian ia berada pada jarak yang
Terbatas; dan
kemudian melalui kondisi-kondisi dan
Tahap-tahap ia
bergerak dan mendekati dalam
Pencarian yang
gigih;
Datang turun
dengan cepat,
Dan mendatngi
lebih dekat sebagai seseorang yang dipanggil;
Dan turun, dan
mendatangi lebih dekat
Sebagai seseorang
yang menjawab;
Dan turun sebagai
seseorang yang melihat
Dan sebagai
seseorang
Yang menyaksikan;
Ia datang kembali
pada semuanya.
(23)
Jadi, ia menjadi
ide jarak hanya dua jengkal;
Dengan cara
demikian pertanyaan di mana?
Dihancurkan oleh
panah pemisahan;
Dan jarak
kejauhan dipecahkan selamanya.
Semua ini untuk
membenahi Pertanyaan di mana?
Dan menunjukkan
larutnya Hakikat dalam
Esensi Yang
Mahakuasa.
(24)
Dan ini aku
pahami. Hanya dia yang akan
Memahami ini, dan
semua ini,
Yang telah
menarik Busur kedua;
Dia akan hanya
memahami.
Dan busur Kedua
ini adalah selain Tablet.
(25)
Dan Busur kedua
ini memiliki kata-kata lain,
Disamping lidah
Arab.
(26)
Tetapi ada satu
huruf, yang umum untuk semuanya;
Huruf itu adalah
“mim”.
(27)
Dan “mim” adalah
nama Terakhir dari semuanya.
(28)
Dan dia adalah
tali dari Busur Pertama.
(29)
Dan dia berkata
(semoga Allah memberkatinya) :
Keindahan dunia
terletak dalam kedekatannya,
Dalam kedekatan
dengan maknanya :
Jadi, makna
adalah cara lebih baik bagi Hakikat
Untuk mendekati
Kebenaran;
Tetapi kedekatan
ini tidak aman untuk semuanya;
Kedekatan
memunculkan lingkungan batasan.
(30)
“Maka, apakah itu
Hakikat? Sebuah titik
Dimana
ikatan-ikatan dengan Dunia fana
Tidak lagi ada,
penderitaan-penderitaan
Dan rasa sakitnya
Kini juga tidak
datang kembali.”
Hakikat
membimbing dan menjelaskan;
Adalah sebuah
kata untuk keselamatan;
Hakikat mengarah
ke sebuah jalan tertentu,
Dan dapat
disetujui bagi semuanya;
Dan kedekatan
terus membuka makna diketahui
Hanya pada dia
yang mengetahui;
Dan dia adalah
seseorang yang setia
Dan mencoba
bermusafir pada jalan ke Nabi;
Kepada rasulnya.
(31)
Penguasa kota
Yatsrib telah mengatakan
Mengenai dia,
yagn selamat dalam
Kitab
Yang-terpelihara;
Dan hal yang sama
diaktakan dalam Kitab-buku
Yang tertulis,
dan dalam Kitab-buku yang terlihat,
Dan dalam
Kitab-buku yang
Mengartikan
pembicaraan
Burung-burung;
Dan kami telah
mendapatkan dia di sana
Pada jarak dua
jengkal atau lebih dekat,
Sehingga ia
membuat esensi menjadi
Obyek
penglihatannya.
(32)
O Pencari! Jika
engkau ingin mengetahui,
Maka ketahuilah
secara penuh
Bahwa tidak ada
Tuhan yang berkenan
Berbocara padanya
Yang tidak berhak
memperoleh pembicaraannya;
Semua dialog
adalah antara yang berhak dan yang
Memberi hak atau
dengan dia yang berbicara dan
Bercakap tentang
mereka.
(33)
Dia tidak
memilikis eorang guru;
Ia juga tidak
memiliki seorang murid atau pengikut,
Ia juga tidak
memiliki wewenang atau
Melakukan
diskriminasi.
Dia tidak
mengkhianati seorang pun,
Juga tidak
memperingatkan seorang pun;
Dia tidak
ditemani, oleh sesuatu atau seseorang;
Dan sesuatu atau
seseorang tidak menemaninya.
Dan benar bahwa
apa yang ia miliki
Hanyalah
miliknya;
Ia mungkin
memilikinya,
Atau ia mungkin
tidak memilikinya;
Yang dimiliki
selalu ada di sana.
Ia adalah
belantara dalam belantara;
Ia adalah sebuah
Tanda dalam Tanda.
(34)
Dia hanya dapat
menyatakan makna,
Karena makna
memperoleh harapan hanya dari dia.
Tetapi harapan
adalah jauh dan sangat jauh;
Dan jalan menuju
ke sini adalah terjal
Dan penuh bahaya;
Nama dia tertulis
dalam keagungan,
Kesan dia unik
dalam semua hal,
Dan pengakuan dia
adalah dalam
Pengakuan umum
dia,
Dan keumuman dia
adalah Hakikat,
Dengan mana ia
diakui; nilai dia, kekuatan dia,
Janji dia,
perjanjian kami; nama dia, jalan dia tanda dia,
Api dia dan
kehendak akan dia,
Adalah satu-satunya
kebaikan,
Satu-satunya
tanda untuk mengetahui dia,
Untuk mengenal
dia.
(35)
Nama dia adalah
nama semua pujian,
Dan semua
matahari di alam semesta
Adalah cahaya
semestanya, areanya;
Dan semua manusia
dan semua kota kecil
Dan kota besar,
tempat-tempat di mana orang
Laki-laki dan
wanita tinggal
Adalah laksana
satu tumah, satu keluarga,
Kehidupan dan
keberadaan dia tidak tak diketahui,
Kondisinya
terpencar; dan ketika ia menampakkan
Diri ia menjadi
tidak ada.
Oh, kesenangan adalah
kebun bunga-kebun
Bunga mawar,
kebun dia;
Dan jalan-jalan
yang dibuat untuk tempat berjalan,
Adalah
fondasi-fondasinya.
(36)
Mereka yang
membantu dia, dan pergi
Dengan dia
termasuk dalam suku bangsa cinta
Dan dikenal
melalui tanda cint;
Tindakannya
adalah kebaikan.
Semua kehendaknya
dikenal;
Mereka yang
mengikuti dia menemui arah.
Tetapi,
penderitaan dia besar;
Segala sesuatu
tentang dia berjalan dengan lambat,
Diam dan sakit
yang tenang, tidak henti-henti.
(37)
Apa pun yang ia
katakan dikatakan
Selamanya; ini
selalu demikian, selalu ada di sana.
Dan inilah
keagungan, --- inilah yang pasti;
Semua lainnya
menjadi tersesat
Ke dalam
ketidakpedulian,
Ke dalam
belantara,
Tanpa jalan,
tanpa tujuan, dan tanpa arah.
THASIN
VI
KITAB
TENTANG ADAM A.S.
Kemudian Syekh
dan guru Spiritual terbesar al-Hallaj --- rahimahullah --- berkata :
(1)
“Dan tak seroang
pun yang mengatakan,
“Dia-lah Yang
Esa”
Kecuali Ahmad,s
emoga terlimpahkan rahmat
Allah atasnya,
Dan hanya padanya
Dia tampak
Dalam
Penglihatan-batin saat Mi’raj.”
(2)
Iblis
diperintahkan untuk bersujud;
Dan Ahmad (saw.)
diperintahkan untuk mengalihkan
Pandangannya; ke
kanan ataupun ke kiri;
Penglihatannya
tidak pernah berpaling
Dan tidak pula
melampauinya.
(3)
Iblis menyeru
tetapi tidak dapat
Membebaskan diri
Dari apa yang dia
perbuat
Dan dari dirinya
sendiri
(4)
Dan Ahmad (semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya) menyatakan,
Dan melangkah di
luar bidang yang terbatas
Dan melampaui
dirinya sendiri, tiada tara.
(5)
Dengan cara
demikian ia menujukkan,
Dan
mempertahankan perkataan;
Aku bergerak
melalui engkau,
Dan melalui
engkau apa pun tercakup.
Maka, O penggerak
semua hati!
Siapa yang dapat
menceritakan keagungan-Mu
Dan memuji-Mu?
(6)
Dan tidak ada
satu pun penghuni langit,
Yang mengesakan
Tuhan seperti iblis.
(7)
Dan iblis
mengelak dalam keberadaan,
Ia melepaskan
pandangan dan pengamatannya,
Dan meninggalkan
perjalanan
Di sepanjang
keberadaan,
Meninggalkan
untuk mengamati,
Ia menyembah
Tuhan sebagai Tuhan Abstrak,
Sebagai
Abstraksi.
(8)
Dan ketika ia
mencapai tahap penyendirian,
Ia berdiri
tersalahkan;
Dan ketika ia
melewati keluar dan tahap ini dan
Memohonnya, dia
dibawa menuju ke Keberadaan.
(9)
Dia diperintahkan
untuk bersujud;
Lantas ia
menjawab, “Tiada kepada yang lain dari Engkau.”
Dikatakan
kepadanya, “Engkau diperintahkan!”
Dia menjawab,
“Tidak kepada yang
Laind dari
Engkau.”
(10)
“Penolakanku adalah demi Kebesaran-Mu,
Demi Kesucian-Mu:
Alasan penolakanku adalah kegilaanku kepada-Mu.
Aku tidak menegnal siapa pun selain Engkau,
Dan Adam adalah lain dari Engkau.
Di antara Engkau dan Aku, tidak ada yang lain;
Jika harus ada, maka yang lain itu adalah Aku.”
(11)
“Bagiku tidak ada
jalan kepada yang lain dari Dikau;
Dan aku memiliki
alasan untuk ini.
Sejak dulu telah
ditentukan sebelumnya
Tidak ada yang
lain kecuali Aku yang
Mengetahui
Engkau, dari waktu ke waktu.
Aku datang
sebelum yang lain
Karena Aku
tinggal abadi dalam ketaatan
Sebelum
ciptaan-Mu yang lain mana pun
Mengenal
ketaatan.
Dengan demikian,
pengetahuan-Mu
Adalah pengetahuanku,
Engkau bersandar
kepadaku dan aku
Bersandar
kepada-Mu.
Dan kebersamaan
di antara kita ini jauh lebih tua
Daripada masa
kehidupan ini sendiri.
Jadi mengapa Aku
herus bersujud di hadapan yang
Bukan Engkau,
Tetapi yang lain
dari Engkau.
Jelas aku
menolak,
Tidak ada
pilihan,
Tidak ada jalan,
Tidak ada
tindakan lain kecuali
Apa yang telah
Aku lakukan.
Api yang
memberikan aku bentuk
Menrik aku
kembali ke api.
Dan api
menurunkan api.
Kehendak ini
adalah milik-Mu;
Dan apa pun yang
kini Engkau tentukan adalah
Milik Engkau.
(12)
Dalam perpisahan
diri dari Engkau
Tidak ada
kejauhan
Yang tertinggal
padaku; dan Aku menyadari bahwa
Jauh dan dekat adalah kata-kata saja,
Tanpa isi; karena
aku telah menjalaninya selama ini
Dan jauh dari
Engkau.
Aku telah membuat
pemisahan dari Engkau,
Kekasihku,
Sahabat dalam
kesedihanku.
Dan siapa yang
dapat menyebut seperti demikian,
Meskipun dengan
cinta,
Dan akan berakhir
dengan perpisahan dari-Mu.”
(13)
Dan Musa (Ibnu
Imran) bertemu dengan iblis
Di lereng Gunung Tursina.
Musa bertanya,
“Apa yang menghalangimu
Untuk bersujud?”
Iblis menjawab,
“Yang menghalangiku adalah
Kesaksianku bahwa
Dia-lah Yang Esa
dan hanya Dia;
Jika Aku bersujud
kepada Adam
Aku akan berubah
sepertimu;
Engkau sekali
diseru untuk melihat Gunung,
Kau pun
melihatnya.
Sedang Aku diseru
seribu kali pun
Untuk bersujud
kepada Adam,
Tetap aku tak
mau, demi kesaksianku.”
(14)
Musa bertanya
kepada iblis,
‘Berarti Kau
meninggalkan perintah”.
Iblis menjawab,
“Ini adalah suatu ujian,
Bukan perintah.”
Musa berkata,
“Inilah yang mengubah bentukmu.”
Dijawab, “Hai
Musa! Ini semua dimaksudkan
Untuk
menyembunyikan,
Untuk menutupi
dan terus menutupi
Sesuatu yang
patut untuk ditutupi;
Dan sekarang apa
gunanya?
Untuk yang
“Sekarang tetap ada” dan yang berubah.
Dan yang tidak
berubah adalah pengetahuan sejati;
Pengetahuan tetap
pada masa itu,
Dan sama pada
masa kini.
Keberadaan nyata
tidak mengalami perubahan.”
(15)
Dan Musa
bertanya, “Kau masih ingat Dia?”
Dijawab,
“Mengapa? Semua ingatan
Dan perenungan
adalah satu dan sama.
Aku masih sama
dengan yang sedang diingat,
Dan bahkan Dia
sedang diingat.
Jadi mengingat
Dia adalah mengingatku
Dan mengingatku
adalah mengingat Dia;
Dan apakah
keduanya menjadi satu?
Dipersatukan
dalam masa?
Aku sekarang
bersih dalam hari-hari
Pengabdianku,
Dan hari-hariku
adalah hari-hariku sendiri,
Dan Pikiran Dia
dalam pikiranku
Lebih cerah
daripada sebelumnya.
Dulu aku mengabdi
apda Dia untuk kesenanganku
Dan sekarang aku
mengabdi pada
Dia dengan
Keridhaan Dia.”
(16)
“Dan tidak ada
lagi pemikiran tentang balas jasa;
Tentang kerugian
atau keuntungan;
Telah membuatku
tak tergantikan,
Dan dalam kondisi
aku tinggal selamanya;
Dan membuat aku
melihat dan takjub;
Dan kemudian,
menolak bahwa aku mungkin tidak
Ditemukan oleh
mereka yang bebas,
Dilepaskan dan
tanpa Ikatan.
Dan karena
pelanggaranku
Membuatku
terhalang dari lain-lainnya,
Dan memberiku
bentuk berbeda.
Untuk
membingungkan
Aku dalam
Kebingunganku.
Dia
mempertahankan aku
Sebagai milik-Nya
sndiri,
Dan untuk pujian
yang aku miliki,
Dia membiarkan
aku jatuh.
Dia telah
membuatku jauh dari Diri-Nya,
Karena
tindakanku,
Dan mencabut
dariku kekuatan melihat,
Kekuatan
mengamati.
Pada saat aku
lebih dekat ke Dia,
Dia memberiku
kebebasan;
Dan pada saat aku
menjauh;
Dia
mempertahankan aku dalam pandangan-Nya,
Dan mengambil
kembali harapan,
Dan karenanya
membuat aku terabaikan;
Jauh dan sangat
jauh dari semuanya.
(17)
“Dan aku tidak
melakukan kesalahan
Dalam
tindakan-tindakan yang ditentukan,
Atau dalam tindakan-tindakan yang
Tidak ditentukan;
atau bertentangan
Dengan kehendak;
aku juga tidak merasa bangga
Dalam perubahan
Bentukku.
Jika Dia
membuatku terbakar, dari ujung ke ujung,
Aku tidak akan
tunduk; tidak akan pernah,
Tidak pernah
merendahkan diri di hadapan manusia,
Karena aku hanya
tuntuk pada Dia;
Tidak pada
seorang pun, untuk segala
Bentuk atau
wujud, atau manusia;
Aku hanya
mengenal Dia
Aku berdiri
dengan kebenaran, dan dengan cintaku,
Aku adalah salah
satu dari mereka.”
Maka Husain bin Manshur al-Hallaj ----
rahimahullah -- Guru Terbesar sepanjang
zaman ini berkata :
(18)
“Banyak
pandangan-pandangan mengenai Azazil;
Dialah yang
memperingatkan di surga dan di bumi,
Di langit ia
meminta para malaikat melihat
Segala yang baik,
Dan di bumi ia
meminta manusia melihat kejahatan;
Kebaikan dikenal
melalui kejahatan
Dan kejahatan
dikenal melalui
Apa yang
bertentangan dengannya.
(19)
Pakaian sutera
halus terbuat dari benang kasar
Yagn diambil dari
pakaian yang kotor dan rusuh.
Denegan cara yang
sama, Raja menampakkan segala
Sesuatu yang baik
dan segala sesuatu yang buruk,
Serta mengajukan
pilihan.
Mereka yang mengikuti kebaikan menjadi baik,
Dan yang menolak untuk mengetahui kejahatan
Tidak akan pernah mengetahui apa yang baik.”
(20)
Dan
al-Hallaj berkata, “Aku telah
berdebat,
Dengan Iblis dan
Fir’aun tentang ketaatan;
Tentang
keteguhan;
Iblis berkata
bahwa bersujud di hadapan
Adam berarti
meruntuhkan ketaatannya,
Dan ini akan
membuat dia terasing
Dari dirinya
sendiri.
Dan Fir’aun
berkata bahwa beriman kepada Rasul-Nya
Cukup menjatuhkan
namanya.
Dan kepada mereka
Aku menjawab.”
(21)
Jika Aku menarik
kembali keyakinanku sendiri,
Aku kehilangan
keberadaanku,
Kehilangan
maqam-ku.”
(22)
Kemudian iblis
kerbakata ...,
“Aku lebih baik
dari Adam;
Dan Dia tidak
mengenal yang lain kecuali
Dirinya sendiri”;
Dan Fir’aun
berkata, “Aku tidak mengetahui kalau
Kau memiliki
tuhan selain Aku”;
Dan dia tidak
tahu seorang pun di antara kaumnya
Yang dapat
membeda-bedakan;
Untuk memilih
antara
Kebenaran dan
ketidakbenaran;
Antara yang hak
dan yang salah.”
(23)
Dan Aku berkata,
“Jika engkau tidak mengenal Dia,
Maka lihat dan
kenali tanda abadi-Nya, tanda yang
Kekal; dan Tanda
itu adalah Aku,
Dan Aku-lah
Kebenaran itu (ana al-Haqq)
Dan pada
Hakikatnya Aku selamanya bersama
Dengan Kebenaran
itu,”
(24)
Maka, Iblis dan
Fir’aun adalah sahabat dan guruku,
Dan dengan mereka
aku temukan jalanku;
Api bertemu
iblis, tetapi ia tidak
Pernah menyimpang
dari apa yang ia anut,
Dan Fir’aun masuk
ke bawah air, dan tenggelam,
Tetapi pikirannya
tidak pernah luntur.
Tetapi Fir’aun
berkata, “Aku percaya tidak ada Tuhan.”
Kecuali Tuhan
yang dipercaya bani Israil;
Aku adalah satu
dari mereka yang berserah.”
Dan apakah kau
belum melihat tanda Tuhan,
Ketika Jibril
membuat Fir’aun menyentuh pasir di
Kedalama air?
(25)
“Jika aku harus
dibunuh atau di salib
Di tiang
gantungan,
Atau tangan dan
kakiku harus dipotong,
Walau
bagaimanapun,
Aku tidak akan
pernah menarik
Kembali
kata-kataku.”
(26)
Iblis adalah nama
kondisinya;
Namanya berubah
menjadi Azazil.
(27)
Dan dikatakan kepadanya
:
“O, yang telah
jatuh. Apakah kau
Tidak akan
merendah?”
Iblis menjawab,
“Aku adalah salah satu dari mereka yang mencintai,
Dan mereka yang
mencintai dikutuk.
Dan engkau
berkata aku telah terperosok;
Telah jatuh;
Oh, aku yang
telah memperoleh pengetahuan dari buku cahaya,
Duhai Yang
Mahaperkasa!
Bagaimana ini
terjadi? Mengapa ini terjati?
O, bagaimana
menghadapi
Apa yang harus
aku hadapi?
Engkau membuat
aku dari api,
Dan dia dari
tanah liat;
Dan kami berdua
berlawanan;
Apakah yang
berlawanan dapat dipersatukan?
Dalam kepatuhan
dan pengabdian kepada-Mu,
Akulah yang
paling tua, dalam bagian dari cintamu,
Aku adalah yang
paling berpengalaman;
Dalam ma’rifat
aku yang paling bijak;
Dan dalam masa,
aku yang paling abadi.”
(28)
Dan kepadanaya
Yang Mahatinggi menjawab :
“Semua kebebasan
adalah Milikku,
Bukan milikmu.”
Ia menjawab,
Dan hal yang sama
adalah posisiku;
Segala sesuatuku
adalah Milikmu;
Kebebasan,
keleluasan, ----- semuanya.
O Pentiptaku!
Jadi inikah yang
ditakdirkan untukku?
Engkau membuatku
tidak untuk
Lemah oleh
kehendak-Mu,
Dan engkau adalah
Yang Mahakuasa, Mahatinggi,
(29)
Jika aku telah
berbuat salah dalam kata-kataku,
Maka jangan tinggalkan aku;
Karena engkau
Maha Mengetahui;
Maha Mendengar.
Dan tidak seorang
pun lainnya
Di antara para
pengembara
Dan jalan
kebenaran yang lebih mengetahui
Daripada aku;
Aku mengetahui
dan memahami.
Dan, janga tolak
aku,
Karena penolakan
bukanlah balas jasa yang tepat.
O Tuhan, Tuhanku!
Beri imbalan
padaku
Karena aku tak
tergantikan dalam keyakinanku.
Dalam semua
janji, perkataanmu
Adalah yang
paling benar;
Dan tindakanku
adalah yang paling menyedihkan,
Tetapi yang ingin
mengenal dapat mengetahui
Bahwa akulah
saksi yang terbaik.
(30)
O saudaraku!
Jadi inilah
alasannya bagaimana ia memiliki
Nama Azazil;
Ia melepaskan
dirinya sendiri;
Dan kehilangan
tempatnya;
Dan belum
mencapai akhir karena tidak ada awal;
Pada
kenyataannya, tanpa awal ia tetap
Berada di akhir.
(31)
Kemunculan dia
adalah sebuah pembalikan;
Pembalikan dari
esensinya,
Yang terbakar
oleh api dan gelora semangatnya;
Dan dicerahkan
oleh cahaya pelepasannya.
(32)
Oh saudaraku!
Melalui pemahaman
inilah engkau
Dapat
menyelamatkan
Dirimu sendiri,
Atau engkau telah
menemui pelepasan, pemisahan, penderitaan;
Dan kepahitan,
Dan kematian
dalam penyesalan-penyesalan yang mendalam.
(33)
“Orang bijak di
suatu Kabilah
Menjadi bodoh dan
bisu mengenai dia;
Dan mereka yang
mengenal dan hendak berkata-kata
Menjadi tidak
dapat berbicara
Tentangnya
(Azazil)......”
Dia adalah yang
paling setia dalam keyakinan,
Di hadapan
Pencipta-nya.
(34)
Dan mereka
melemahkan dirinya di hadapan Adam;
Mereka patuh.
Iblis menolak,
karena ia
Dibutakan oleh
pengamatannya.
(35)
Dan, pada
akhirnya, ketika ia telah menjadi kosong ;
Harapan=harapannya
berakhir;
Dia berkata, “Aku
lebih baik daripadanya.”
Dan selamanya
tetap dalam kondisi pelepasan,
Tidak bersatu;
tersesat dalam debu,
Dan menghadapi
penderitaan
Dari waktu ke
waktu.
THASIN
VII
KITAB
TENTANG KEHENDAK TUHAN
(1)
Lingkaran pertama
adalah lingkaran Kehendak-Nya;
Lingkaran kedua
adalah lingkaran Hikmah-Nya;
Lingkaran ketiga
adalah lingkaran Kekuasaan-Nya;
Lingkaran keempat
adalah lingkaran
Pengetahuan-Nya
Yang abadi.
(2)
Iblis berkata,
“Jika aku sanggup memasuki
Lingkaran
pertama,
Aku akan diuji
dalan lingkaran kedua;
Dan jika aku
berhasil dalam lingkaran kedua,
Aku akan dicobai
dalam lingkaran ketiga;
Jika aku berhenti
dalam lingkaran ketiga, tetap ada
Kebinasaan, jadi
.........”
(3)
“Tidak, tidak,
tidak, tidak ....
Aku berhenti pada
lingkaran pertama,
Dan dikutuk dari
lingkaran kedua,
Aku dilemparkan
ke lingkaran ketiga;
Dan kehilangan
lingkaran keempat.
Di manakah
lingkaran keempat?
Lingkaran
keempat!”
(4)
“Jika kau tahu
bahwa bersujud
Akan
menyelamatkau,
Akan
membebaskanku,
Maka kau akan
bersujud di hadapan Adam.
Tetapi aku tahu
ada lingkaran-lingkaran lain
Dalam
lingkaran-lingkaran itu ...... tiada akhir.
Jadi, aku berkata
dalam hatiku, kepada diriku sendiri!
Maafkan aku! Maafkan aku!
Jika saja aku
dapat keluar dari sini,
Dari lingkaran
pertama ini.
Tetapi, walaupun
demikian, bagaimana aku dapat
Keluar dari
dengan lingkaran-lingkaran selanjutnya,
Dari
lingkaran-lingkaran lainnya?”
(5)
“Ah! Yang Maha
esa, satu-satunya Yang Esa,
Yang selamanya
demikian
Bagaimana?
Bagaimana? Bagaimana?”
THASIN
VIII
KITAB
TENTANG TAUHID
(1)
Kebenaran (al-Haqq) adalah satu,
unik, tunggal;
Kebenaran adalah Esa yagn tidak
dapat dibago-bagi.
(2)
Keesaan-Nya, dan pengetahuan tentang
keesaan itu,
Adalah milik-Nya, berada dalam
diri-Nya.
(3)
Tidak mungkin, tidak mungkin;
Keesaan ini adalah jauh, asing,
terpisah,
Dia dikenal hanya melaluinya.
(4)
Pengetahuan mengenai Yang Esa adalah
abstraksi;
Tunggal, tak terbagi.
(5)
Mengatakan Dia itu Esa, dan Dia
Tunggal
Adalah untuk menyifatkan;
Tetapi dia, Yang esa, adalah di luar
penyifatan.
(6)
Jika kau berkata, :Aku” ia mengirim
balik “Aku,”
Dalam menjawab “Aku”-ku.
Jadi, “dia” ditujukan untuk Engkau
Dan tidak untukku
(7)
Dan jika aku berkata Kesatuan adalah
Keesaan
Bagi kesendirian-Nya,
Untuk keberadannya yang sendiri,
Berarti aku menempatkan dia dalam
ciptaan;
Di antara sarwa makhluk
(8)
Dan jika aku berkata Yang Satu itu
tunggal
Sebagai jumlah satu; bagaimana ia
dapat
Muncul dalam jumlah?
(9)
Dan jika aku berkata, Dia adalah
Satu
Akibat dari keberadaan yang dianggap
satu,
Yang memang terbukti satu, ----- berarti aku memberi
Batasan pada dia; membatasi-Nya
THASIN
IX
KITAB
TENTANG MISTERI
(1)
Segala misteri
menghasilkan ketakjuban;
Misteri mengarah
kepada Dia,
Karena Dia telah
membuatnya bergerak,
Tahap demi tahap,
dan fase demi fase.
(2)
Rahasia
keesaan-Nya terletak dalam acuan-acuan
Berdasar beberapa
kata ganti;
Dia tertutup
sepenuhnya, tersembunyi;
Bahkan
tersembunyi dalam ketersembunyian.
Dia adalah aku
yang mempribadi;
Dia juga adalah
dia yang tidak menyata;
Kata ganti dari ketidakhadiran.
(3)
Jika engkau
berkata : Ha, semua orang berkata ah! Ah! Ah!
(4)
Seberapa banyak
cara, seberapa banyak bentuk, dan
Seberapa banyak
petunjuk yang menunjukkan Dia;
Dia tetap tidak
diketahui sepenuhnya.
(5)
Laksana sebuah
batu cadas yang kokoh
Dan ini adalah
batasan, dan tetap batasan,
Batasan itu tidak
membuat Dia satu,
Sebagaimana apa
yang dibatasi selalu terbatas;
Dan berbagai
penyifatan mengarah kepada batasan;
Sedangkan Yang
Esa selalu di luar batasan.
(6)
“Al-Haqq adalah
tempat kembali bagi Haqq,
Dan tidak kepada
yang lain
Selain Haqq itu
sendiri.”
(7)
Dan ia telah
berkata : Aku-lah Yang Esa;
Dan bukan apa
yang dikatakan,
Dan apa yang
menjadi sebuah fenomena,
Sebuah persoalan
ciptaan?
Jadi, bagaimana
ini semua menentukan Kebenaran?
(8)
Dan, jika ini
dikatakan bahwa dia
Sendiri yang
berkata Dia adalah satu,
Maka keberadaan
bergantung pada tindakan;
Dan apa yang
diciptakan adalah keberadaan,
Tetapi keberadaan
bukanlah keberadaan.
Meskipun,
memiliki keberadaan;
Tetap saja
keberadaan ini bukanlah keberadaan.
(9)
Dan
menyembunyikan dirinya sendiri ketika
Terlihat paling
jelas.
Tetapi di mana?
Dan di mana tempat dia, tidak pernah ada di mana.
(10)
Apa? Inilah.
Tidak pernah dapat melihat Dia.
(11)
Seperti ini dan
dimana? Adalah ciptaan-ciptaannya.
(12)
Apa yang
merupakan kesatuan menghendaki esensi;
Dan apa yang
bukan tanpa bentuk
Atau tubuh
berbentuk atau berjasad;
Dan apa yang
bukan nirjiwa
Tidak pernah
tanpa jiwa.
(13)
Kami kembali pada
yang mengumpulkan semuanya,
Segala sesuatu
yang ditambahkan, dijumlahkan;
Segala sesuatu
diketahui dan dikenal
Segala sesuatu
dihancurkan
Dipatahkan,
digoncangkan,
Dan dipecahkan;
------ semua!!!!
(14)
Segala sesuatu
yagn pertama adalah
Segala sesuatu
dari tindakan;
Lain-lainnya ada
sebagai titik-titik pada
Lingkaran-lingkaran
Yang menandai
dunia dan semestanya.
(15)
Ketika kita
berbicara mengenai Keesaan Allah
Berarti kita
berbicara mengenai jalan menuju-Nya;
Mengenai
arah-arah ke Dia, dimensi-dimensi-Nya;
Dan ini berbeda,
mandiri,
Dan merupakan
sebuah lingkaran itu sendiri.
THASIN
X
KITAB
TENTANG TRANSENDENSI
(1)
Dan inilah
lingkaran;
Yaitu bentuk,
bentuk lingkaran.
(2)
Dan ini adalah
hal tentang jumlah-jumlah;
Di semua negeri;
yang diikuti oleh orang-orang yang
Memiliki
jalan-jalan berbeda,
Pola-pola pikiran
yang berbeda,
Dan hati yang
berbeda.
(3)
Lingkaran pertama
memberikan
Segala yang
berhubungan dengan fisik;
Lingkarang kedua
memberikan segala yang
Menyentuh sesuatu
yang tidak tampak,
Jiwa dan hati
nurani.
(4)
Dan ini semua adalah
ciptaan-ciptaan :
Yang bergerak,
berputar,menarik dan menawan,
Saling
berhubungan, dibalikkan, dikacaukan,
Dipatahkan dan
dipecah.
(5)
Dan bergerak
dalam orbit,
Dalam cahaya
remang suara hati manusia;
Dengan
kegelisahan, kekaguman,
Didera oleh keheranan,
dan terus berubah.
THASIN
XI
KITAB
KEBUN MA’RIFAT
Akhirnya Husain bin Manshur al-Hallaj ----- rahimahullah
---- berkata :
(1)
Yang Tak
Diketahui merupakan penyifatan,
Sifat dari
pencari, dan apa yang tidak diketahui adalah
Bentuk keadaan
dari pencari,
Jadi, pengetahuan
Dia membentang
Melewati
batas-batas akal,
Melampaui
batas-batas dari rentang logika;
Oleh karena itu,
tidak diketahui dan tidak dipahami.
Bagaimana? Tidak
pernah membantu, dengan berada
Di lembah-lembah
Hakikat
Di mana? Tidak
bertempat.
Untuk memahami
yang tak terbatas
Bukanlah
bentangan,
Atau sifat dari
sesuatu yang terbatas.
(2)
Yang Tak Diketahui tak terjangkau pikiran,
Di luar perenungan, di luar dunia indera,
Di luar akal dan argumen-argumennya.
(3)
Yang Tak Diketahui di luar peniadaan,
Penidadaan diri.
(4)
Yang Tak Diketahui di luar keberadaan yang terbatas,
Di luar diri yang terkandung dalam keberadaan.
(5)
Dan dia yang
berkata telah mengetahui Dia dengan
Cara tidak
mengetahui Dia adalah tidak mengetahui,
Dan tidak mengetahui
adalah kerudung dari tidak kepengetahuan.
(6)
Jika orang mengatakan telah mengetahui-Nya
Melalui Nama-Nya, sebenarnya dia tidak
Mengetahui-Nya, karena, bagaiamana engkau
Dapat membedakan antara Nama dan Yang Dinamai?
(7)
Dan orang mengatakan telah mengetahui-nya
Menurut Dia, sebenarnya dia belum
Mengetahui-Nya, karena bagaimana yang diketahui
Dapat menjadi yang tidak diketahui?
Dan dapatkah keduanya mengada bersama?
(8)
Jika dia mengatakan telah mengetahui-Nya melalui
Karya-karya-Nya,
Sebenarnya dia belum mengetahui-Nya,
Karena dia telah menempatkan karya-karya-Nya
Sebagai pengganti Dia.
(9)
Kemudian, jika
dia mengatakan telah
Mengetahui-Nya
melalui ketidakberdayaan
Manusiawinya,
sebenarnya dia tidak berdaya dalam
Dirinya sendiri,
dan tidak pernah dapat menyatakan
Memiliki jalan
masuk.
(10)
Menurut kesadaran
dan dengan pengetahuan,
Engkau tidak
mencapai ke mana-mana;
Apa pun yang
engkau peoleh hanyalah hasil dari
Pikiranmu.
(11)
Menurut
sifat-sifat? Tidak, tidak pernah,
Karena sifat-sifat
hanyalah tanda-tanda;
Hanya
simbol-simbol;
Sifat-sifat itu
hanya memberi kesan.
(12)
Melalui kehidupan
dan kematian, ------
Keduanya hanyalah
menjelaskan
Gambaran
kehidupan;
Jadi bagaimana
dapat Dia lantas tampak
Dalam gambaran
kehidupan,
Tidakkah, ini dua
hal bertentangan?
(13)
Yang jarang
mengetahui mengapa dan bagaimana
Tentang segala
sesuatu;
Dan yang tidak
pernah mengetahui mengapa
Kerangka besar
Ada dalam masa
muda dan kemudian
Dalam masa tua;
rambut hitam pada masa muda
Segera digantikan
oleh rambut putih;
Bagaimana ia
dapat mengetahui Pencipta,
Pencipta segala
sesuatu, setiap sesuatu?
Dari ini ke itu,
bagaimana mungkin?
(14)
Hati manusia adalah sepotong daging;
Hati ini berdenyut dalam rongga dada manusia,
Sebuah titik dalam ruang.
Bagaimana Dia dapat muncul dalam rongga dada?
(15)
Untuk kuda yagn
sedang berlari cepat,
Yang disebut Akal,
Ada panjang dan
keluasan;
Dan untuk skema
kehidupan,
Batas-batas hukum
yang suci;
Dan seluruh
ciptaan, di langit dan di bumi,
Adalah dalam
kondisi perlingkupan Dia.
(16)
Panjang dan
keluasan tidak pernah dapat mencapai Dia;
Dan Pengenalan
tentang Dia hampir tidak dapat
Tinggal dalam
lingkup bumi dan langit;
Dan segala
sesuatu dari kehidupan luar
Dari dalam
kehdiupan dalam,
Dan Hukum suci
hampir tidak dapat
Mengetahui Dia.
(17)
Jika engkau
menyatakan telah mengetahui Dia
Melalui belajar
melalui hukum-hukum
Dan tanda-tanda,
berarti engkau mengangkat
Dirimu jauh lebih
tinggi;
Jauh lebih tinggi
daripada sesuatu yagn ditemukan.
(18)
Hati-hati,
hati-hati!
O, manusia yang
sedang mencari kebenaran!
Kondisimu
menentukan keadaanmu;
Pengetahuanmu
adalah sejumput pengetahuan;
Pemahamanmu tidak
berhak mendapat pujian;
Jadi, pencari
yang sejati adalah dia yang melihat,
Dan pengetahuan
yang sejati adaalah pengetahuan yang tetap.
(19)
Pengetahuan
didasarkan pada batasan-batasan,
Pada
keberadaan-keberadaan yang terbatas
Dan dibatasi
tetapi menyembunyikan
Dirinya sendiri
dalam keadaan dimana
Yang Mahakuasa
muncul dalam huruf mim;
Dan Dia tetap
bersembunyi,
Jelas tersembunyi,
dan terus tersembunyi;
Datang mendekat,
dan kembali ke belakang.
Tetapi dia, yang
bergerak ke dalam dan ketakutan-ketakutan,
Dan hidup dalam
kegairahan yang besar,
Dalam cinta akan
Dia,
Dalam kondisi
perpisahan, tetap di hadapan Dia.
(20)
Orang yang
berpengatahuan sejati,
Orang yang berpengetahuan sejati adalah sendirian,
Dan dia yang mencintai Dia,
Hidup dalam
penderitaan;
Dan dia yang
hidup untuk Dia,
Kehilangan
segalanya;
Dan dia yang
menutup matanya melihat
Dia dalam
matanya;
Tangan-tangan Dia
memberikan dia
Dukungan dan
tenaga.
(21)
Maka, apa itu pengetahuan sejati?
Pengetahuan sejati adalah seperti adanya.
Dan apa Dia? Dia adalah Dia seperti adanya;
Jadi, pengetahuan sejati adalah Dia adanya;
Dan Dia itulah pengetahuan sejati. Dia adalah Dia;
Dan Dia, selamanya, adalah Dia.
(22)
Apa pun, selain ini, adalah karya
Orang-orang bodoh;
Cerita-cerita yang disampaikan oleh orang-orang
Yang terdorong untuk memberikan cerita-cerita.
Pengetahuan
sejati adalah pencarian oleh sedikit
Orang; semua
orang lain menjalani
Kehidupan yang
susah.
Mereka mengikuti
pandangan-pandangan dan
Memasuki
kebingungan; mereka hidup dalam
Penyerapan diri
dan melepaskan harapan.
Tindakan-tindakan
mereka menjadi biasa saja,
Dan mereka
melewati hari-hari mereka dalam’keadaan tanpa tujuan,
Dalam dunia
kebingungan yang gelap.
(23)
Yang Benar tetaplah Yang Benar, Pencipta sebagai Khaliq,
Dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah makhluk.
Ini akan tetap selalu demikian
oooooOOOOOOOooooooooo
Sepanjang, 14 Januari 2016