Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 31 Januari 2016

Surat-Surat Sang Sufi Ibn ‘Abbad


  
SURAT-SURAT SANG SUFI
Muhammad Ibn ‘Abad
Penerbit : Mizan
Cetakan Pertama : Dzulqa’idah 1413/Mei 1993
Penyadur : Pujo Prayitno

RIWAYAT HIDUP IBN ‘ABBAD

Ibn “Abbad lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu di bawah kekuasaan dinasti Mariniyah. Pada usia tujuh tahun, dia menghafal Al-Qur’an dan mulai mempelajari hukum Maliki yang dikodifikasikan oleh Ibn Abi Zayd dari Qayrawan (meninggal 996) dalam Risalah. Pada tahun 1340, Sultan Mariniyah, Abu Al-Hasan, menderita kekalahan di Spanyol dan terpaksa membatasi upaya militernya di sana. Meningkatnya penaklukan kembali oleh orang-orang Kristen, membuat kehadiran Kaum Muslim di Spanyol semakin sulit. Pada 1347, Ibd “Abbad pindah ke Fez, ibukota Maroko.
Sultan Abu Al-Hasan (1331 – 1348) berupaya menajdikan ibukotanya sebagai pusat utama ilmu dan kebudayaan. Dia melindungi seni, membantu kolese-kolese teologi baru, dan mengundang guru-guru ternama. Ayah Ibn “Abbad menjadi Khatib di Masjid Qashbah, sementara Ibn “Abbad melanjutkan kembali studinya di bidang agama. Mentor paling termasyhur Ibn “Abbad, Al-Syarif Al-Tilimsani (meninggal 1369), diakui secara luas sebagai pemimpin kembangkitan kembali Malikisme. Dia amat alim dalam ilmu prinsip-prinsip hukum (ushul) sehingga dianugerahi hak yagn langka, yang berhak melakukan ijtihad. Tilimsani mengajar Ibn “Abbad, pertama di Tlemcen, dan kemudian ketika sang guru datang ke Fez atas undagan Sultan Abu ‘Inan.
Selama masa tinggal pertama di Fez, Ibd “Abbad mungkin tinggal di pondokan pelajar kolese teologi tertua yang masih ada, yaitu madrasah Halfawiyin. Dari Al- Abili (meninggal 1356) dia mempelajari risalah teologi Asy’ariyah, Al-Irsyad, yagn ditulis oleh Al-Juwayni (meninggal 1086), salah seorang guru Al-Ghazali,d an beberapa tulisan Ibn Al-Hajib (meninggal 1248) tenetng hukum. Seperti Tilimsani, Al- Abili mendorong pembaharuan hukum Maliki; dia mengkritik kekakuan mazhab-mazhab yang disponsori negara dan stagnasi yagn dialami mazhab-mazhab itu.
Dengan diawasi Al-Maqqari (meninggal 1337), Ibn “Abbad membaca himpunan hadis Nabi karya Muslim dan juga karya-karya lain yang telah dipelajarinya sebelumnya dari Tilimsani. Dari Al-‘Imrani (meninggal 1286) dia mempelajari himpunan hadis Malik ibn Anas (meninggal 795), Al-Muwaththa’, ‘Imrani adalah seorang faqih kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik kadpa tasawuf. Seperti alim-alim Maliki lainnya, dia menulis beberapa ulasan tentang Al-Mudawwanah karya Sahnun (meninggal 854) – bagimana pun juga karya paling berpengaruh di bidang fiqih Afrika Utara.Ikhtisatr klasik Al-Baradz’i (Qayrawan abad kesepuluh) tentang Mudawwanah merupakan sumber lain bagi pendidikan Ibn ‘Abbad, mungkin ketika dia tinggal di Madrasah Bou ‘Inaniyah yang baru selesai pembangunannya itu. Dalam surat 6 dia memuji Abu Thalib Al-Makki, dengan mengatakan bahwa Qut Al-Qulub karya Abu Thalib itu amat penting bagi kehidupan spiritual, sebagaimana pentingnya Mudawwanah bagi fiqih : sempurna dan tak bisa digantikan oleh yang lain.
Dua alim lain Maliki perlu disebutkan di sini. Ibn “Abbad menulis surat 16 untuk Abu Ishaq Ibrahim Al-Syatibi dari Granada (meninggal 1388) mawafaqat karyanya merupakan sumbangan utamanya pada suasana studi-studi keagamaan yang kiranya telah berkembang secara dramatis meskipun memiliki banyak sekali luka lama yang perlu disembuhkan. Akhirnya Ibn ‘Abbad menyebut-nyebut Ahmad Al-Qabbab (meninggal 1375), juga ldalam Surat 16. Seperti Al-Abili, Al-Qabbab berupaya menyuntikan kehidupan baru ke dalam studi-studi keagamaan yang terhuyung-huyung akibat pukulan keras yang dilancarkan Almuhadiyah terhadap studi-studi itu.
Ibn.Khaldun mengatakan bahwa :kalangan ulama Maliki tidak pernah henti-hentinya menulis komentar, penjelasan dan sinopsis tentang karya-karya utama ini. Pendidikan yang diterima Ibn ‘Abbad di bangku sekolah tentang hukum agama itu luas, namun sangat tradisional dan agak kaku, dalam gaya Maroko. Nwiya menunjukkan tidak adanya secara menyolok-matanama Fakh Al-Din Al-Razi (meninggal 1209) dari sekian nama tokoh yang dibaca Ibn ‘Abbad. Sekitar tahun 1300 ada pemisahan antara gaya studi hukum yang dilakukan di Fez dan di Tunis. Tunis menajdi lebih spekulatif di bawah pengaruh Fakhr Al-Din Al-Razi, yang menurut M. Mahdi. “mempengaruhi persesuaian baru antara pengetauan filsafat rasional dan studi-studi agama. Sementara itu Fez tetap lebih konservatiff di bawah pengaruh Ibn Al-Hajib.
Meskipun dengan latar belakang studi-studi hukum tradisional yang luas, Ibn ‘Abbad menolak, dalam Surat-suratnya, untuk membahas langsung pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dengan mengatakan bahwa dia kurang memiliki keahlian yang diperlukan untuk itu.
Barangkali Abn ‘Abbad mengenal tasawuf salah seorang guru hukumnya, sebab banyak di antara mereka itu adalah sufi. Beberapa gurunya resmi berhubungan dengan tarikat-tarikat yang sudah diakui, tapi mereka mengajar tasawuf secara pribadi, dengan memakai karya-karya klasik Al-Makki, Al Ghazali, dan Surahwardi.
Setelah meninggalnya sultan  Abu ‘Inan, pada tahun 1358, Fez rupanya mengalami suatu periode yang amat kacau. Terdapat tujuhbelas sultan antara 1358 dan 1465, dan enam orang yang berusaha merebut kesultanan antara 1358 dan 1367. Tak lama setelah meninggalnya sultan, Ibn ‘Abbad pergi ke barat, ke Sale, kota di tepi laut Atlantik. Di sana Ibn ‘Asyir (sekitar 1300 -1362) menjadi tokoh poros dalam kebangkitan tasawuf di luar tarikat. Penziarah dari segenap penjuru Maroko datan mengunjungi syaikh ini untuk mendapatkan barakahnya. Ibn ‘Abbad terus menjadi murid terbaik Syaikh ini, dia banyak membaca tasawuf dan berbagai cabang serta gayanya. Setidak-tidaknya dia memutuskan untuk mendukung Syadziliyah. Itulah informasi dari Ibn Al-Sakkak (meninggal 1451), penulis Maghribi pertama yang menulis dengan jelas tentang Syadziliyah. Dia pun mengatakan bahwa, ketika masih anak-anak, dia pernah ebrtemu Ibn ‘Abbad yang usianya lebih tua dan sering makan bersamanya.
. Ibn ‘Abbad pergi ke Sale untuk menghindari kondisi hidup yagn sedang sekarat di Fez, dan untuk mencari keselamatan spiritual. Gurunya memandangnya “dalam kelas tersendiri”. Berkat kemandirian dan keinginannya untuk menempuh jalannya sendiri, sang murid tidak terkuasai oleh intensitas gurunya. Ibn ‘Asyir sangat halus perasaannya, karena terus menerus berpuasa dan makan hanya dua hari sekali. Inilah praktik lama sufi yang disebut “Puasa Daud”, yang dimaksdukan untuk menjaga agar sang zahid tidak terbiasa dengan puasa atau rasa kenyang. Selaras dengan keicntannya kepada tulisan-tulisan Al-Muhasibi, Ibn “Asyir menekankan praktik menguji hati nurani. Dia adalah sufi Shaw yang tegar.
Pada sekitar 1362 atau 1363, setelah meninggalnya . Ibn ‘Asyir, . Ibn ‘Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiers. Di sana dia berguru kepada sufi yang kurang begitu dikenal, Abu Marwan ‘Abd Al-Malik. Setelah tinggal di sana untuk waktu yang tidak diketahui, sang pencari muda ini kembali ke Fez. Selama berada kembali ke Fes, . Ibn ‘Abbad berkenalan kembali dengan Yahya Al-Sarraj (sekitar 1344 sekitar 1400), pendiri cabang Fez dari sebuah keluarga yagn berakar di Ronda, dan penerima beberapa Surat ini. . Ibn ‘Abbad juga menjadi sahabat karib Abu Al-Rabi; Sulayman Al-Anfasi (sekitar 1377). Atas permintaan kedua sahabat inilah dia menulis Tanbih, yagn diselesaikan antara 1370 – 1372.
. Ibn ‘Abbad kembali ke Sale pada tanggal yang tidak jelas, dan tinggal di sana sampai sekitar 1375. Kebanyakan jika tidak semuanya, korespondennya dilakukan sejak sebelum tahun itu. Sekitar 1375 dia diangkat menjadi Imam dan Khatib masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan ilmu tertua dan paling bergengsi di Afrika Utara. Sultan Abu Al-‘Abbas Ahmad (pemerintahan pertama 1373 – 1384) rupanya melakukan pengangkatan itu berdasarkan reputasi . Ibn ‘Abbad akan integritas pribadinya, dan kemsyhuran Tanbih-nya. Prospek pengambilalihan pos khatib ketika khutbah telah turun derajatnya menajdi sedikit lebih dari sekedar menyampaikan sesuatu secara hafalan tanpa pemikiran mendalam bagi banyak khatib, tentunya menimbulkan tantangan. Dengan merenungkan keadaa seni dalam salah satu Surat, terlihat dia mencatat lima jenis khatib yang menurtnya tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sebagian hanya mengulang-ulang khutbah yang sama setiap Jum’at; sebagian mengulangnya dengan sedikit variasi; sebagian berkhutbah tanpa mengaitkan pesan-pesan mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang berubah; sebagian memperhatikan kebutuhan-kebutuhan itu, namun tidak dapat mengaitkan pesan mereka secara efektif dengan kebutuhan-kebutuhan itu; dan sebagian juga kurang taat, dan semata-mata aktor-aktor yang berlagak. Khatib sejati adalah khatib yang memberikan nasihat dan mengajar orang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari mereka yang mendesak, dan mampu memadukan gaya penyampaiannya dengan tema yang telah dipilihnya. . Ibn ‘Abbad lebih menyukai gaya didaktis ketimbang gaya nasihat atau peringatan, karena orang itu memerlukan peringatan, dia selalu menempatkan dirinya sebagai terikat kepada kewajiban yang diwajibkan pada audiennya.
Masih ada seratus dua puluh empat khutbah dalam sebuah manuskrip, yang telah dianalisis oleh Paul Nwiya. Khutbah Jum’at lazimnya terdiri atas dua bagian : Bagian pertama mengembangkan tema yang sesuai dengan keadaan, dan bagian kedua membahas topik baku, yaitu shalawat atas Nabi, para Shahabatnya, para isterinya, para penerusnya, dan umat Islam, dengan menyebutkan nama khalifah atau sultan umat Islam. Hanya satu di antara khutbah-khutbah . Ibn ‘Abbad yagn masih ada yagn mengandung bagian kedua itu. Tapi bagian pembuka dari tiap-tiap bagian itu dimulai dengan doksologi (zikir), doa pendek untuk Nabi, dan Syahadat, yang semuanya diikuti oleh jamaah. Khutbah itu disampaikan sekitar dua puluh menit.
Frasa-frasa yang memaukau, ritmis, pendek dan tepat, dimaksudkan untuk menandingi prosa bersajak kitab suci. Karena doktrin dasar Islam itu sederhana, maka pembicara perlu mengadalkan keahlian bahasa Arab, tanpa sekaligus membawakan sekedar suara yang indah namun tidak mengandung pengaruh personal dan tantangan moral. . Ibn ‘Abbad suka menggugah-langsugn hati nurani jamaahnya, dengan didukung oleh Al-Qur’an dan hadis, dan berupaya menarik perhatian melalui intonasi yang tepat. Dia mengaitkan tema-temanya dengan keadaan. Selama bulan Ramadhan, dia berbicara tentang puasa, dan tentang perlunya terlebih dahulu menyucikan hati agar tindakan fisik ini memiliki makna spiritual. Selama bulan haji, yaitu bulan Dzulhijjah, bulan terakhir dalam tahun Hijriah, dia menyerukan agar memeriska keadaan hati nurani selama tahun-tahun yagn lewat. Bila datang tahun baru, di bulan Muharram, dia menganjurkan agar bersedekah. . Ibn ‘Abbad tidak memandang khutbah umum itu sebagai forum yagn tepat untuk menyampaikan masalah-masalah tasawuf. Dia amembahas masalah tasawuf dalam surat-surat pribadi yang berisi bimbingan spiritual.
Selama seperempat terakhir abad keempat belas, dinasti Mariniyah mengalami kemudnuran. Kota besar Fez mengalami kesulitan politik besar dan lebih dari sekedar sedikit keresahan spiritual. Gambaran sosok . Ibn ‘Abbad yagn tinggal di rumah kecil di dekat masjid, yang menarik sedertan anak kecil berjalan di belakangnya ketika . Ibn ‘Abbad berjalan menuju ke masjid, dan yang memperhatikan kebtuuhan orang sedapat mungkin, merupakan gambaran tentang keyakinan dan harapan pada saat terjadi ketidak-stabilan dan ketidakpastian. Menjelang akhir hayatnya, dia menulis kepada seorang sahabat, Abu Al-‘Abbas Al-Marrakusyi, bahwa dia merasa jenuh deengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya, dan pasrah dengan kesehatannya yang memburuk serta sedang mempersiapkan diri menyongsong datangnya kematian. Nwaiya mengatakan bahwa . Ibn ‘Abbad tetap membujang sampai akhir hayatnya. Sebagian sumber mengatakan dia tidak pernah menikah. Kalau memang dia menikah pada akhir hayatnya, tentu dia melakukannya karena keinginan mengikuti contoh Nabi, bukannya karena dirinya lebih menyukainya. Dia tidak pernah pergi haji ke Makkah.
Pada 17 Juni 1390, . Ibn ‘Abbad dimakamkan di ahdapan sultan dan banyak penduduk Fez. Meskpun lokasi-lokasi makamnya tidak lagi diketahui, toh konon tetap menjadi tujuan penziarah selama bertahun-tahun. Sampai 1936, Serikat Sekerja Pembaut Sepatu mengadakan perayaan untuknya setiap tahun, sebab dia telah menjadi wali pelindung mereka.

DAFTAR   -   ISI

Riwayat Hidup Ibn ‘Abad
Surat Pertama
Surat Kedua
Surat Ketiga
Surat Keempat
Surat Kelima
Surat Keenam
Surat Ketujuh
Surat Kedelapan
Surat Kesembilan
Surat Kesepuluh
Surat Kesebelas
Surat Kedua belas
Surat Ketiga belas
Surat Keempat belas
Surat Kelima belas
Surat keenam belas

SURAT PERTAMA

Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat untuk menjawab sebuah pertanyaan seseorang tentang satu masalah dalam kitab Qut Al-Qulub (Santapan Kalbu), dalam bab “Takut”. Surat ini juga memuat informasi bermanfaat lainnya yang dibutuhkan seorang pencari dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu

1.
Kusampaikan salam hangatku kepadamu. Aku memohon kepada Allah Swt. agar memberi kita keberhasilan sempurna, petunjuk ke arah Jalan Lurus, dan jaminan bahwa harapan kita bakal terpenuhi dan amalan-amalan kita menjadi benar.
Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau mencari penjelasan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadamu oleh kitab karya Abu Thalib, risalah penyembuhan. Seperti yang kau minta, berupaya menjelaskan sepenuhnya kandungan kitab itu berarti harus mengungkapkan rahasia-rahasia dan pengetahuan gaib. Yang demikian itu sungguh riskan dan amat berbahaya. Lagi pula, analisis tajam terhadap sifat-sifat dan hakikat Allah sangatlah menyulitkanku. Orang dapat sampai pada kebenaran-kebenaran seperti itu hanya dengan cahaya keimanan, dan hanya manusia-manusia paling tulus dan ikhlaslah yang beroleh bimbingan  di sepanjang Jalan itu. Siapakah di antara kita yang dapat mengklaim hidup di Jalan itu atau merupakan bagian dari masyarakat seperti itu? Nafsu kita telah membuat ktia buta. Kita tidak tahu lagi bagaimana kita mesti berperilaku; jejak-jejak padang perkemahan menghentikan langkah kita, sampai kita kehabisana bekal dan gagal mencapai tujuan. Dengan pelbagai kelicikan dan bujuk rayunya, musuh dan tingkah laku kita telah membunuh kita. Pandangan kita buta, dan kalbu kita gelap gulita. Sungguh suatu kecongkakan dan kesombongan belaka bila kita menghasaratkan pengalaman menyeluruh tentang apa yang engaku minta agar aku menjelaskannya, menyusuri jalan penyingkapan dan kejelasan pandangan. Yang demikian itu, berarti mengabaikan kepastian kita serta menjerumuskan diri kita ke jurang kebodohan presensi (berpamrih) yang melecehkan dan menghina orang-orang pandai dan membuktikan kejahilan orang-orang bodoh. Kebatilan tidak bakal bisa tegak dengan sarana seperti itu.
2.
Seandainya kita harus memasuki dunia ahli fiqih, kita akan tahu bahwa mereka juga tidak bakal mampu memuaskan dahaga kita atau menunjukki kita jalan pemahaman lewat penggunaan akal dan pandangan-pandangan kaku mereka. Semuanya itu merupakan langkah mundur dan tidak tepat. Salah satu alternatif kita dalam hal ini ialah menyerahkan hal itu kepada emreka yang berwenang dan layak menanganinya. Kita harus puas dengan apa yang ada pada diri kita dan mencari mukasyafah (penyingkapan) dari Tuhan, Yang menurunkan wahyu, Yang Mahabijak. Kita harus mencari bimbingan menuju Jalan Lurus (Qs. 1 : 5) dari orang-orang yang menegaskan treansendensi dan mengingkari antropomorfisme . jalan itu benar-benar aman dari pelbagai kemalangan, dan akan menjaga orang-orang seperti kita dari pelbagai perilaku serta tindakan bodoh. Diperlukan perilaku yang benar, kalau kita berjalan dengan apra wali dan guru spiritual, suatu perilaku yang mengangkat seseorang ke puncak tertinggi kewalian. Seperti dikatakan oleh al-Junayd, “Meyakini apa yang telah kita pelajari : Inilah kewalian.” Sekalipun begitu, aku tetap merasa berkewajiban menjawab pertanyaanmu, karenanya, aku akan berbicara tentang soal ini sejauh pemahamanku. Aku akan membahas apa yang tampaknya tepat dalam keadaan seperti ini, dalam upaya menghilangkan keraguan serta sikap yagn tidak bisa dipertahankan lagi. Aku akan membatasi perhatianku pada hal itu saja. Sekiranya aku nanti sampai pada Kebenaran Mistik, maka hal itu terjadi berkat bantuan Ilahi. Jika aku gagal, penyebabnya adalah kelemahan manusiawi semata. Betapapun juga, hanya Allah Swt. saja yang berhak dipuji.
Ini adalah soal penting yang merupakan bagian dari ilmu mengenal keesaan Allah. Dengan dmeikian, ia berkaitan dengan soal waktu yang penting bagi orang-orang yagn yakin akan keunikan Allah. Ini selaras dengan prinsip-prinsip kaum sufi, melambangkan makna spiritual ketulusan, dan berasal dari orang-orang yang memiliki keyakinan, keimanan, pengalaman dan pandangan yang jelas. Hal itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengan menghayatinya, dan taka da seorang pun bisa membuktikan kebenarannya kecuali dengan memberikan contohnya.
Al-Ghzali setuju dengan padangan Abu Thalib, dan mengungkapkan soal itu dengan cara yang sama. Keduanya berbicara tentang muslihat (Ilahi) dan menguraikannya secara panjang lebar. Dan Allah Swt. telah menisbahkan hati itu pada Diri-Nya dalam berbagai surah di dalam Kitab-Nya, sama seperti dinisbahkannya cobaan, godaan dan kelicikan kepada-Nya. Semua istilah ini mengungkapkan aspek-aspek dari kehendak dan pengetahuan-Nya, dan menunjukkan bahwa kesucian, transendensi dan keagungan-Nya tidak bisa dibandingkan dan sama sekali tak mengandung antropomirfisme.
Baiklah, aku mulai saja di sini dengan pendahuluan. Pencipta Mahaagung telah menciptakan dan membentuk manusia dengan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, semuanya itu amatlah kecil manakala dibandingkan dengan-Nya. Kemudian, Dia membekali manusia dengan kecenderungan untuk mengetahui (Ma’rifah) tentang Diri-Nya dan tentang sifat-sifat serta Nama-nama-Nya. Dengan sarana itu, Dia mengangkat seseorang tinggi-tinggi mengatasi batasan-batasan intelek, sehingga seseorang dapat memahami ilmu-ilmu empiris, serta menuntunnya untuk merenungi berbagai tanda kekuasaan di alam semesta dan dalam diri makhluk. Keagungan dan keajaiban menampakkan diri di depan seseorang yang memperhatikan tanda-tanda kekuasaan ini. Semuanya itu memaksa dirinya mengakui bahwa Pencipta, Penyebab Pertama memiliki sifat-sifat seperti hidup, mengetahui, berkuasan dan berkehendak – bahkan waktu seseorang memperhatikan dirinya sendiri setelah menyelesaikan pekerjaan. Kemudian orang itu juga memperhatikan dirinya sendiri serta melihat di sana sifat-sifat kesempurnaan seperti mendengar, melihat dan berkata-kata, sehingga pengalaman ihwal kekuasaan Ilahi memaksanhya menisbahkan sifat-sifat serupa kepada Pencipta.
3.
Lalu, orang melihat perbedaan sangat besar antara yang baru dan yang azali, makhluk dan Khalik. Hal ini mendorong dia menegaskan transendensi dan mengingkari antropomorfisme. Pada titik ini, orang memahami segala yang bisa dijangkau oleh pemahaman manusia tentang transendensi Penciptanya Yang Maha Tinggi. Dari sana, dia naik ke derajat tertinggi dan tingkatan maksimal kemampuannya untuk menegaskan dan melihat. Inilah proses, yang dengan proses ini, seseorang mengamati dan melakukan refleksi dan terbimbing menuju Sebab lewat akibat-akibat-Nya.dan proses itu akan cukup membimbing setiap orang yagn pandai menuju dasar-dasar pengetahauan mendalam yagn merupakan syarat bagi keselamatan dan kemajuan spiritual. Akan tetapi, orang mungkin masih mengalami keraguan dalam keimanannya dan tidak mengalami pengembangan inti wujudnya serta penyucian kalbu.
Kemudian Allah Swt. memilihi sebagian hamba-Nya. Allah Swt. menampakkan diri-Nya kepada mereka lewat cahaya-Nya, sesuatu yang tampak ssangat jelas bagi mereka. Dengan cahaya itu, mereka pergi menyusuri jalan yang ditunjukkan dengan jelas oleh pengetahuan mendlam mereka tentang-Nya. Mereka merenungkan sifat-sifat menakjubkan dan Nama-nama-Nya dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh golongan pertama. Mereka memahami keagungan kehadiran Ilahi dan cahaya-cahaya suci sedemikian sehingga tak dapat dilakukan oeh orang-orang yang mencari bukti. Kepada orang-orang yang mencari bukti inilah hamba-hamba terpilih itu mengatakan,  “Mengapa engkau mencari informasi tentang apa yang pada dasarnya tidak bisa dipaparkan? Kapan Dia Dia begitu tersembunyi sehingga tidak ada bukti  tentang-Nya? Bagaimana mungkin Dia hilang dari kita sementara banyak jejak yang menuntuk kita menuju kepada-Nya? Bisakah segala sesuatu selin Dia menjadi tampak dengan cara di luar kekuatan alaminya sampai Di menampakkannya? Mana mungkin Dia yang pada diri-Nya segala sifat diketahui bisa diketahui oleh sifat-sifat-Nya? Atau, mana mungkin Dia yagn Wujud-Nya mendahului segala wujud lainnya bisa dibedakan sebagai satu entitas khas? Dan bagaimana mungkin dengan sarana tidak memadai Dia yang “lebih dekat ketimbang urat leher” (banding Qs. 50 : 16) bisa dijangkau? Dan “Tidakkah cukup Tuhanmu, karena sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. 41 : 53).
Melalui pengetahuan mendalam tentang-Nya, mereka sampai hanya pada nama-nama; disebabkan oleh transendensi-Nya, mereka tidak sampai pada batas pujian dan pengagungan paling jauh. Namun mereka merenungkan Wujud itu, dan bila segala sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya hanyalah ketiadaan semata, yang bila keabadian segala sesuatu lainnya ddibandingkan dengan-Nya tidak berarti apa-apa, yang mengalaminya hanyalah kepalsuan, yang melihatnya hanyalah ilusi, yagn mengingatnya hanyalah kelupaan, dan yang bertambahnya hanyalah kekurangan. Demikianlah, mereka melihat dengan pandangan mata keyakinan dan bukti yagn jelas keberanaran orang yang mengatakan, “Allah maujud sebelum segala sesuatu, dan Dia maujud terpisah dari segala sesuatu yagn bergantung kepada-Nya.”
Setelah mereka mencapai peringkat ini, mereka bisa memahami Sang Raja Yang Maha Mengetahui. Dia bebaskan mereka dari perbudakan menuju pengetahuan dan menyebabkan mereka mati terhadapat segala-galanya. Relung kalbu mereka menjadi suci, dan Allah Swt. menampakkan diri kepada mereka melalui Sifat-sifat  dan Nama-nama-Nya yang paling mulia. Dia beri mereka pengetahuan tentang apa yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka berlaku sebagai hamba di hadapan Tuannya. Mereka beristirahat di tempat di maan Zat yang mengetahui setiap pemikiran rahasia mereka mengawasi mereka. Mereka bergabung dalam barisan ibadah bersama-sama orang-orang yang “membentuk shaf serta bertasbih memuji-Nya” (bandingkan Qs. 37: 165-166). Mereka  mencapai tingkatan hamba paling mulia, dan bertasbih dengan lidah keadaan spiritual mereka, seraya berkata, “ Betapa banyak hasrat kalbuku .....” Dan betapa bahagianya mereka dipilih menjadi penghuni tempat orang-orang yang dicintai, dengan “Akhir kehidupan indah.” (Qs. 3 : 14,  13 : 29), seperti diungkapkan dalam Umm Al-Kitab.
4.
Perbedaan antara dua jalan dan metode-metodenya ini bisa dengan gamblang dijelaskan dengan cara begini. Di dalam inti jalan pertama dicarinya bukti oleh akal serta ketidakmampuan akal untuk memahami, kecuali dengan penalaran analogis dan perbandingan. Yang demikian itu berlaku selama dibimbing oleh pengkajian empiris. Akan tetapi, jalan kedua bertumpu pada cahaya keyakinan, yang hanya dengan itu Kebenran Nyata tampak jelas. Itulah sesuatu paling agung yang bisa turun dari langit ke dalam kalbu orang-orang mukmin pilihan, yang dengan begitu memahami Kebenran Mistik Sifat-sifat dan Nama-nama.
Setelah engkau memahami pendahuluan ini, engkau akan memahami bahwa berbagai keberatan yang kau ajukan berkenaan dengan Syaikh Abu Thalib runtuh dengan sendirinya. Masalah ini berkaitan erat dengan cara berpikir yagn tidak ada hubungannya dengan pemahaman analogis atau tatanan rasional. Selanjutnya, keberatan-keberatan itu berkaitan dengan cara berpikir yang lebih luas, sebab pendekatannya terhadap masalah ini tidak melampaui batas-batas akal.
Sekarang tentang pernyataan Abu Thalib, “Muslihat Tuhan tak berkesudahan, sebab kehendak dan ketentuan-Nya juga tak terbatas.” Di sini dia menyebutkan bahwa satu aspek dari pengetahuan, kalam, kehendak dan keputusan Allah Swt. itu, tak dapat dipahami dan dimengerti. Karena itulah Nabi dan Jibril takup kepada tipu daya Tuhan mereka yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sekalipun mereka memiliki keimanan kuat. Takut seperti inilah yang niscaya ada pada diri kita. Hampir tak bisa dibayangkan untuk lepas dari rasa takut seperti ini, sebab hal ini adalah salah satu syarat bagi keimanan dan pengetahuan tentang Sifat-sifat dan Nama-nama hakiki Tuhan. Karena itu, semakin besar pengetahuan kita tetnang Sifat-sifat dan Nama-nama, semakin takut kita jadinya. Seperti dikatakan oleh salah seorang sufi, “Seorang yang meiliki penegtahuan mendalam tentang Allah Swt. tidak akan merasa nyaman, dengan pengetahuan seperti ini menggoncangkan rasa amannya. Hanya orang-orang berandalan saja yang menganggap diri mereka aman dari tipu daya Tuhan.” (Qs 7:79). Dan seorang lainnya mengatakan : “Takutlah keapda Tuhanmu sedemikian sehingga engaku selamat dari segala hal, tapi waspadalah jangan sampai hatimu merasa aman dari Allah Swt dalam hal terntu.” Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk takut kepada sesuatu, akan tetapi, seseorang tak bkal pernah merasa aman dari Allah Swt.
Sesungguhnya makna lahiriah firman Allah “Aku telah menjadikan kamu berdua aman” tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan ketakutan mereka, sebab, makna yang tampak dari dari kata-kata itu tidak menghilangkan kebutuhan batiniah akan sifat takut itu. Seperti telah dikatakan oleh Syaikh Abu Thalib, pernyataan itu berlaku pada sifat khusus bahwa Allah Swt. sudah menetapkan ketentuan dengan pengetahuan-Nya. Ini adalah satu aspek dari transendensi kalam Allah, dan tak ada satu pun yang bertentangan dengannya, sebab metode-metode rasional  tidak bisa menghalangi Allah dari mengatakan hal-hal yang tidak bisa kita pahami. Dalam pembahasan ini, cobaan dan ujian Muhammad dan Jibril bersifat mendidik bagi kita. Hal itu akan bermanfaat buat kita untuk mengamati keadaan mereka dalam memperhatikan hakikat Sifat-sifat Ilahi, untuk mengetahui bagaimana Allah mengubah keadaan hamba pilihan-Nya, seperti dalam ksiah Ibrahim a.s.
Janji pengukuhan dari Allah sungguh masuk akal. Tapi bagaimana melihat nuansa-nuansa itu? Selain itu, dalam pengalaman Muhammad dan Jibril ada sesuatu yang menunjukkan kebergantungan penuh mereka kepada Tuhan meraka yang Mahakuasa dan Mahatinggi. Tingkatan (maqam) ini – Allah mengangkat Nabi-Nya ke tingaktan ini – dalam keadaan sebagian besar keadaannya, adalah tingkatan yang tinggi dan mulia. Dan ini lebih sempurna ketimbang memperlihatkan ketakbergantungan. Kefakiran lebih tepat bagi kondisi penghambaan ketimbang ketakbergantungan, sebab, seperti dilukiskan oleh para pemimpin sufi, ketakbergantungan adalah salah satu hak istimewa Allah. Masalahnya adalah bahwa kedua makhluk terkasih (Muhammad dan jibril) bisa memahami, lewat penyingkapan sifat ketakbergantungan dan pengalaman tentang kebesaran dan keagungan-Nya dalam keadaan ini, bahwa apa yang dikehendaki Allah dari mereka pada saat itu dalam mengakui kefakiran dan menyadari kerendahan dan kelemahan. Itulah sebabnya Dia berurusan dan berbicara dengan mereka seperti yang dilakukan-Nya.
Lebih jauh Abu Thalib mengatakan bahwa “Allah Swt tidaklah dipaksa oleh aturan-aturan apa pun, dan tak ada kecaman-kecaman manusia berlaku atas-Nya. Ini mengacu pada aspek lain dari transendensi esensi Ilahi atas batasan-batasan kemakhlukan. Dia bertindak dan memiliki ekagungan sempurna secara mutlak. Tak ada ketentuan apa pun yang mengikat-Nya, sebab Dia-lah yang mengeluarkan ebrbagai ketentuan. Lalu bagaimana mungkin Dia terikat oleh ketentuan atau terkena batasan,d an dengan demikian tak mampu membuktikan secara penuh kebenaran-Nya dalam kata dan tindakan? Sebab, Dia-lah yang menyatakan setiap orang tulus yang memiliki ketulusan, dan Dia-lah yang memberikan kesadaran penuh tentang Kebenaran kepada setiap orang yang memiliki kebenaran. Setiap perkataan-Nya adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran Mistik yang mengartikulasianya melampaui sekedar ungkapan lahiriah. Karena itu, jika maknya tersembunyi dari kita atau maksudndya tak bisa kita pahami, maka Allah Swt – kalau begitu – pasti bukan Tuha. Ini meruntuhkan kebenaran-kebenaran terhadap apa yang dikatakan Syaikh Abu Thalib. Allah tidak mungkin bisa dilukiskan tidak berwatak benar. Dengan demikian, yang kita dapatkan di sini hanyalah kesulitan dalam memahami gaya ungkapan-Nya.
Abu Thalib selanjutnya mengatakan : “Jika kata-kata berubah, maka Dia sendiri adalah pengganti kata-kata itu.” Dan sebagainya. Ini adalah pernyataan logis dan luar biasa tentang makna keesaan Ilahi yang tak mampu dipahami secara rasional. Allah tidak perlu, seperti dibayangkan sebagian orang, minta izin untuk membatalkan apa yang telah dikatakan-Nya.
Aku tidak yakin akan kesahihan haids yang dikutip Abu Thalib. Aku juga tak tahu ahli-ahli hadis mana yang meriwayatkannya. Akan tetapi, Abu Thalib menguatkannya dengan padangannya bahwa karena hadis mutawatir tidak bertentangan dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka ia bisa dipakai dan sahih, sekalipun ada keraguan tentang rantai periwayatannya. Baik Ahmad ibn Hanbal maupun ‘Abd Al- Rahman ibn Mahdi dan yagn lainnya tidak menyebutkan hadis ini dalam “Bab Ilmu.”
6.
Betapapun juga, aku berpendapat bahwa tak perlu ada bukti penguat guna menjelaskan hadis itus serta menghilangkan keraguan tentangnya. Sungguh mengherankan bahwa ada oran tak mau menerima hadis ini atas dasar karena dia tak memahaminya serta yakin bahwa hadis itu tak masuk akal dan berasal dari rantai periwayatan yagn tak sahih. Sesungguhnya, keimanan dan keyakinan yang dipatrikan Allah Swt. pada Muhammad dan Jibril tidak bisa diragukan lagi. Kedudukan tinggi dan kemuliaan mereka, dan diangkatnya mereka ke tempat yang amat mulia, cukuplah membuktikan hal itu.
Ketakutan mereka akan tipu daya Allah bisa juga dipahami sebagai masalah intelektual. Yang jelas pertanyaana dan jawaban itu merupakan bentuk ucapan, dan itulah yang menjadikan masalah ini bisa dipahami. Jawaban kita tentang hadis ini tak lain adalah jawaban yang selalu diberikan berkenaan dengan kesulitan intelektual ini. Al-Ghazali membahas soal ini dan mengomentari hadis ini dengan mengemukakan hadis lain tentang doa Nabi saw. kepada Tuhannya pada waktu Perang Badar. “Jika Engkau menghancurkan barisan pasukan ini, maka tak bakal ada seorang pun menyembah-Mu.” Beliau berdoa seperti ini dalam kontek janji pertolongan dan kemenangan dari Allah Swt. Maksud hadis ini dalam koleksi ini, dan komentar atasnya, sama dengan apa yagn dikatakan tentang hadis eprtama, kecuali bahwa dalam haids pertama karakteristik kefakiran tampak lebih jelas.
Kisah Musa a.s. dan ketakutannya setelah memiliki keyakinan dan keimanan kuat, adalah variasi lain tentang tema pengetahuan transenden, kalam, kehendak, dan ketentuan Allah Swt. serta tentang kebutuhan nyata Musa akan Tuhannya, dan tentang kemuliaan kedudukannya. Inilah makna pernyatan Syaikh Abu Thalib “Musa tidak merasa aman” sampai kalimat “karena Musa memiliki pengetahuan mendalam tentang tipu daya tersembunyi-Nya dan sifat-sifat terselubung-Nya.” Pengamatan Abu Thalib “dan adapun pengetahuan-Nya tidak tunduk kepada ketentuans ejauh yagn di bawah ketentuan adalah sebentuk paksaan. Allah-lah yagn emnang, namun seandainya Dia tunduk apda ketentuan, maka Dia akan menjadi yagn diadili dan bakal menjadi yang dikalahkan. Tapi Allah jauh di atas hal semisal itu.
7.
Maksud Allah yang kedua tidaklah, seperti engkau bayangkan, memiliki pengertian seperti yagn pertama. Yang kedua jelas meliputi salah satu rahasia Allah Swt. yagn mengakibatkan timbulnya kedamaian, ketenangan, keyakinan, dan tiadanya ketakutan dalam diri Musa. Ini menunjukkan kerahmanan dan kerahiman-Nya dalam menjalankan kehendak-Nya dalam diri Musa a.s. Syaikh Abu Thalib memperhatikan ini ketika berkata : “Kemudian dia percaya pada zat yagn tenagh berbicara kepadanya, sekalipun mula-mula dia tidak bisa diam tenang.” Tidakkan engkau mengetahui sebagai Allah Swt. membawa Musa menuju pemahaman lebih dalam tetang tujuan-Nya guna membuat dia aman, dengan menggunakan sebuah kalimat yagn subyeknya diberi tekanan dan dengan menambahkan kata-sandang tertentu pada predikatnya – dalam bentuk superlatif dan sesudah subyek kata ganti yagn ditegaskan? Begitu banyak perbedaan lahiriah antara kedua pernyataan itu.
Begitu pula, kisah Isa a.s. melukiskan transendensi pengetahuan dan kalam Allah, dan menunjukkan perilaku yang tepat dalam kedudukan itu yang tidak dapat dilukiskan oleh keindahan sastra dan paparan yang runtut teratur. Yang demikian itu diamanatkan kepada guru-guru yang dipilih Allah untuk menggunakannya. Karena itu, aku tidak akan mengulas lebih jauh soal ini; dan aku memohon ampun kepada Allah Swt. atas apa yang tak kulakukan. Sesungguhnya, tak ada seorang pun bisa benar-benar memahami kedudukan yang telah aku uraikan itu, kecuali orang-orang pilihan yang telah mengalaminya secara langsung. Dan aku pun benar-benar tak mampu memahaminya juga, seperti halnya aorang lain.
Engkau menyinggung beberapa pernyataan Abu Bakr Al-Khatib yang tidak sependapat dengan Abu Thalib mengenai pandangan-pandangan kaum sufi tentang Sifat-sifat Ilahi. Pernyataan-pernyataan argumentatif itu muncul sesudah pujian Abu Bakr atas Abu Thalib, dan sulit menjelaskan bagaimana pertentangan dan pujian bisa berjlan seiring. Jika orang yang merasa keberatan memaksudkan kata-katanya yang belakangan sebagai berarti bid’ah Abu Thalib, seolah-olah dia berdebat dengan seseorang yang tidak setuju mengenai dasar sifat-sifat, keabadiannya, hubungan timbal balik menyeluruhnya, atau transendensinya, maka Abu Bakr pastilah tidak menyinggung-nyinggung soal itu. Tak ada sesuatu pun yagn telah dikatakan Abu Thalib membenarkan kesimpulan seperti itu. Lantas, bagaimana perbedaan pendapat Abu Bakr sesuai dengan pujiannya kepada Abu Thalib, jika pada saat yang sama Abu Thalib pantas menerima kecaman pedas atas keadaan spiritual dan kesalahannya, lebih daripada dia layak beroleh pujian dan sanjungan Abu Bakr? Jika, sebaliknya, Abu Bakr sekedar tidak setuju tanpa bermaksud menilai bahwa dia telah berbuat bid’ah, seperti dalam debat damai antara kaum literalis dan spiritualis, maka ahal itu bisa diterima, dan satu pihak pun tidak punya bukti meyakinkan untuk menjatuhkan pihak lain.
Yang aku inginkan darimu adalah berhenti pada soal yagn ada dalam kita Al-Khatib itu. Tulislah lengkap bagian itu, dan kirimkan kepadaku agar aku bisa memepelajarinya. Aku senang engkau menggeluti ilmu-ilmu ini dan mengkajinya, sekalipun engkau jauh dari rumah dan terpisah dari sanak saudara dan lingkunganmu. Kokohkan pikiranmu dalam kajian itu dan tekunilah, dan hasil-hasilnya bakal sangat bermanfaat bagimu.
8.
Engkau memerlukan pengajaran yagn maknanya bisa dipahami sepenuhnya hanya lewat kecerdasan dan pengalaman, dan seseorang bisa dipalingkan dari pengajaran itu hanya oleh kelalaian dan kepura-puraan. Inilah bahaya-bahaya yang bakal engkau jumpai dalam proses belajar ini. Khusunya di antara orang-orang yang memiliki salah satu dari tiga sifa ini : keangkuhan, bid’ah, dan taqlid buta. Keangkuhan adalah laknat yang mencegah seseorang memahami ayat-ayat dan peringatan-peringatan Ilahi. Bid’ah adalah kesalahan. Melalui kesalahan ini keangkuhan menyebabkan seseorang jatuh ke dalam kesulitan-kesulitan serius. Dan taqlid buta adalah belenggu yang mencegah seseorang meraih kejayaan dan mencapai tujuan. Orang yang memiliki salah satu dar sifat-sifat ini tunduk pada penilaian tak berarti dan berada dalam pergulatan dan kekacauan terus menerus. Bagaimana jadinya dengan orang yang dalam dirinya bergabung sifat-sifat itu.
Jangan biarkan dirimu dipengaruhi oleh orang-orang seperti ini. Janganlah pergaulanmu dengan mereka menghalangimu dari proses belajar ini, sehingga kesalahanmu menjadi lemah, dan pintu-pintu petunjuk serta keberhasilan tertutup bagimu. Manakala salah seorang di antara orang-orang ini mengemukakan berbagai argumen tak masuk akal atau mengaku berada dalam keadaan atau maqm (kedudukan) tertentu. Maka akibatnya adalah penalaran sesat, dusta, penipuan, dan angan-angan. Ini menggiurkan orang yang berbicara dan orang yang mendengarkan, sebab mengaku membuat kaya setiap orang yang bodoh dan mudah tertipu. Semuanya itu adalah kesombongan di atas kesombongan. Di dalamnya dijumpai salah satu bukti paling meyakinkan ihwal keunggulan pengetahuan yagn sudah aku bicarakan. Ia membuka pintunya hanya buat hamba yagn suci dan bertakwa kepada Allah, dan menyingkapkan hijabnya hanya buat kalbu yang bertobat dan dibersihkan dari berbagai padangan pertentangan yang dikemukakan oelh bentuk-bentuk lain pengetahuan.
Karenanya, janganlah memandang pendukung hukum lebih mampu ketimbang seseorang yang berasal dari mazhab Pengetahuan ini. Sebab, pengetahuan eksoteris bertentangan sekali dengan Kebenaran Mistik. Ia menutup ke arah perilaku tak benar dan kerusakan jalan hidupnya,d an puncaknya adalah kehampaan membinasakan buat mereka yang terlibat di dalamnya.
Kaum sufi, sebaliknya, merenungkan apa yang tersembunyi dari orang lain, dan menyadari sepenuhnya kebenaran-kebenaran yang tidak dipahami orang lain. Mereka itu seperti orang-orang yang dikatakan oleh penyair :
Malamku telah menjadi fajar cerah karena wajahmu,
Meski petang telah menampak ke angkasa.
Banyak orang tetap berada dalam malam mereka,
Sementara kami berada dalam pesona kecemerlangan wajahmu.
9.
Seperti dikatakan Jibril : “Jangan menganggap dirimu alim, sebab pengetahuan apra ulama hanyalah kecurigaan.” Manakala sebuah eprtanyaan dilontarkan kepadamu, janganlah engkau deakti dengan gaya intelektual semata. Sebaiknya engkau menanganinya dengan tenang, mengesampingkan keberatan-keberatan rasional, sehingga kebenaran sederhananya, yang bisa menenangkan kalbumu dan meluaskan inti wujudmu, bisa tersingkap bagimu. Engkau memerlukan niat suci dan keinginan tulus guna mengejar pengetahuan ini, sebab ia adalah pentetahuan mulia yang membawa sang hamba menuju pengetahuan mendalam ihwal Rahmat-Nya. Melaluinya, sang hamba di bawa menuju puncka pertemuan dengan-Nya bersama orang-orang pilihan dan terkasih-Nya. Al-Junayd berkata : “Sekiranya akau tahu bahwa Allah memiliki pengetahuan lebih mulia  di kolong langit ini ketimbang pengetahuan yang kita uraikan bersama-sama sahabat dan saudara-saudara kita ini, aku baka segera lari mengejarnya.” Semuanya ini ddiasarkan atas mencari perlindungan secara tulus, atas kesadaran akan kebutuhan diri, atas doa terus menerus, dan atas penidadaan diri, di hadapan Sang Raja Yang Mahaagung. Mulai sarana-sarana inilah inti wujud seseorang berkembang dan berbagi rahasia bisa dibongkar. Dan tidak ada pertolongan dan kekuatan kecuali dari Allah Swt.
Siapa saja yang menerima perintah ini dan bertindak sesuai dengan rincian tersurat dan maksud-maksudnya, bakal beroleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti, dan bakal beroleh kegembiraan. Hanya saja, bila seseorang terus menerus menangguhkan dan menghindari peringatan-peringatan berisi petunjuk, maka dia tidak bakal pernah bisa menyamai orang-orang bijak dalm hal kebaikan. Marilah kita beroda kepada Allah, agar Dia menerangi penglihatan kita dan menyucikan kalbu kita, sehingga dengan kemurahan dan karunia-Nya. Dia melimpahkan rahmat kepada kita yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
 Dan, yang awal serta yang terakhir, semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita Muhammad dan keluarganya.
  
SURAT KEDUA

Kepada Muhammad ib Adibah. Surat untuk menjelaskan sebab-sebab dosa dan kemaksiatan yang menjadi ciri seseorang yang memiliki kehidupan spiritual tinggi


10.
Telah kuterima suratmu. Aku memahami betul keadaan spiritual yang menurutmu tengah engkau alami. Saudaraku, aku ingin engkau mengetahui bahwa, dengan keadaanmu saat ini, tak ada sesuatu pun perlu dikhawatirkan atau patut dicela. Seseorang yang berusaha menyucikan kalbunya, dalam keadaan seperti itu, jarang sekali bisa menemukan jalan yang mesti di tempuh untuk mencapai tujuan, kecuali bahwa musuhnya menghadang perjalanannya. Untuk mencapai itu, Musuh mengerahkan tentara-tentara setan seperti dirinya, belum lagi iblis-iblis betina, dan memasang berbagai jebakan dan perangkap. Dengan menggunakan siasat dan tipu muslihat, dia menebari berbagai pesona dunia ini, angan-angan dan janji keselamatan, sehingga mereka yang waspada dan hati-hati tak dapat melihatnya. Seandainya seorang pencari tersandung tidak sadar oleh salah satunya dan tanpa bantuan pengetahuan spiritual, maka Musuh merebut kesempatan ini guna menyebarkan pasukan-pasukannya untuk melawan dia. Dia mengirimkan setan-setannya untuk memperdaya sang pencari dengan segala macam kesombongan dan kepra-puraan yang bisa membutakan pandangan kalbunya. Hal-hal ini menghalangi jalan sang pencari menuju Jalan Tuhannya, sehingga membuatnya bingung dan tanpa petunjuk di sepanjang jalan itu, sebab dia tidak bisa menemukan rambu-rambu. Bagaimana mungkin seseorang bisa menempuh jalan lurus menuju kesucian kalbu dalam kondisi seperti itu, kecuali dengan bantuan dan sebelumnya mendapat perhatian dari Tuhannya yang Mahakuasa dan Mahaagung.
Sebelumnya aku telah menulis surat kepadamu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu ketika engkau berada di sini. Dalam surat itu aku mencantumkan beberapa soal yang bermanfaat bagi sang pencari dalam perjalanannya, dengan menggunakan secara terinci tentang bagaimana ddia mesti bertingkah laku dalam segenap keadaan spiritualnya. Itulah pandanganku yang terbaik dalam soal itu. Tak seorang berakal sehat pun bakal meragukan kelogisan dari apa yang aku katakan, atau was-was mengenai maksud-maksudnya sebagai obat buat segala penyakitnya. Setelah aku mengirim surat itu, aku menerima surat darimu. Karena nadamu dan juga karena engkau tidak membalas suratku, atau tidak berkata bahwa engkau telah menerimanya, atau memberikan reaksi terhadapnya atau tak menunjukkan apakah engkau masih berada dalam keadaan jiwamu sebelumnya atau tidak. Aku pun lalu curiga bahwa suratku tidak sampai kepadamu. Betapapun juga, aku memberikan jawabanku ini terhadap surat-suratmu yang terakhir dengan harapan bahwa Allah Swt. bakal memberi keberhasilan. Aku menulis surat ini mengingat pertanyaanmu, sebagaimana layaknya, dan dengan harapan jawabanku bisa membantumu.
11.
Inti suratmu bisa diringkas dalam tiga pernyataan. Pertama, bahwa engkau diliputi berbagai dosa dan kesalahan; keuda, bahwa engkau tak mampu menghilangkan atau mencegahnya agar tidak terjadi; dan ketiga, bahwa engkau kemudian mengalami rasa malu dan kekcauan mental. Keuda yang terakhir ini sesungguhnya bisa menjadi yang pertama, sebab ketidakmampuan menghindari dosa atau meninggalkannya adalah kesalahan, seperti halnya akibatnya yang berupa kebingungan dan hilangnya sebagian keyakinan. Singkat kata, engkau adalah orang penuh dengan berbagai kesalahan.
Adalah penting bahwa engkau menelaah, dengan pandangan spiritual, kesalahan-kesalahan yang telah engkau katakan ini, baik secara langsung atau secara tersirat. Dengan kata lain, engkau jangan sekedar memandangnya secara dangkal, sebab nanti engkau bakal cenderung melebih-lebihkannya, dan dengan begitu menafsirkan cara hidupmu sebagai perilaku yang jahat dan bodoh. Engkau akan membayangkan kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak ada, dan melihat penyakit di dalam apa yang sesungguhnya adalah obat. Pengetahuan mendalam sang hamba tentang keadaan spiritualnya dalam melihat mana kebaikan dan mana akejahatan, mana yang relatifbaik dan mana yang realtif jahat, merupakan salah satu pengetahuan paling penting dan amat langka. Sekarang ini, pengetahuan seperti itu sedikit sekali dijumpai. Orang-orang yang oleh orang gbanyak dipandang memiliki pengetahuan mendalam seperti ini dalam bentuknya yang paling canggih – sesungguhnya berurusan dengan soal-soal hipotesis dan pengetahuan formal, yang sama sekali tidak berkaitan dengan Kebenaran Mistik. Dalam keadaan seperti itu, sang pencari hanya makin bertambah bingung dan terhina saja ketika dia melihat suasana.
Semuanya itu adalah akibat dari sedikitnya sufi-sufi sejati yang mampu membimbing seseorang mencintai jalan ini. Seseorang hanya bisa menyesali dan berduka atas hilangnya orang-orang seperti ini. Ketiadaan emreka di zaman kita ditegaskan oleh kata-kata salah seorang leluhur kita :
Betapa memilukan tiadanya orang-orang yang menjadi mercusuar dan benteng pertahanan.
Awan hujan, kota-kita, karang-karang menjulang tinggi di lembah.
Betapa memilukan padamnya kedamaian dan ketenangan.
Bagi kita, malam tak bakal berubah jadi siang.
Sampai nasib menapaki jalannya.
Kini kalbu kita hanyalah bara api, mata kita hanyalah
Segenap linangan air mata.
Ada dua cara pendekatan dalam menelaah kesalahan-kesalahan yang engkau jelaskan itu. Yang pertama adalah menganggap kesalahan-kesalahan itu sebagai sifat-sifat yang telah dimaksudkan dan diciptakan Alalh dalam dirimu. Yang kedua adalah memandangnya sebagai dinisbahkan kepadamu oleh Hukum Wahyu. Perkataan seseorang : “Semeuanya tiu dimaksudkan oleh-Nya, tapi tidak harus dinisbahkan kepada-Nya.” Menunjukkan dua pendekatan ini.
Pendekatan pertama tidak menganggap pujian dan celaan berasal dari manusia. Allah Swt. sajalah yang harus dipuji. Engkau harus puas dengan ketentuan-Nya, dan tunduk kepada keputusan dan kehendak-Nya. Singkirkan keresahanmu tentang hal itu sekarang ini, dan arahkan perhatianmu pada apa yang harus engkau telaah.
12.
Menurut sudut pandang kedua, kesalahan memang patut dicela. Engkau harus bertobat atas kesalahan dan merasa sedih serta menyesalinya. Jika engkau berhasil, engkau bakal beroleh ganjaran berlimpah berupa karunia abadi serta beroleh keridhaan Tuhanmu lantaran telah melakukan apa yang Dia perintahkan. Ini tidak berarti bahwa engkau meski khawatir jika sakit atau jika kelelahan menimpamu selama terjadi berbagai peristiwa. Akan tetapi, jika engkau tidak cukup merasa menyesal, dan sifat kemanusisaanmu mengalahkan dirimu, dan nafsumu menguasaimu, maka segeralah mencari perlindungan kepada Tuhanmu. Akui kelemahan dan keffakiranmu, serta mintalah karunia-Nya, denganr endah hati dan penuh penyesalan menghadap keharibaan-Nya sebagai seseorang yang berada dalam kesulitan. Meski begitu, janganlah menghadapi keadaan ini dengan cara seperti yang engkau katakan telah engkau lakukan – seakan-akan engkau mati tenggelam dalam gelombang, atau menjadi mangsa empuk binatang buas, atau menjadi seorang tawanan yang disiksa, atau seseorang yang dihukum mati. Setelah engkau memasuki keadaan tobat ini, bergembiralah, sebab engkau bakal menecapai ekdudukan begitu mulia, yang nilainya hanya diketahui para wali. Seseorang yang mencapai keadaan ini permintaanya berhak dikabulkan dan keinginannya didpenuhi. Janji harus dipenuhi demi keadilan, dan Allah Swt. tidak mengingakari janji-Nya. Seorang alim yang berpandangan seperti inisampai-sampai mengatakan bahwa seseorang yang meiliki keadaan itu tidak usah meminta orang lain agar mendoakannya. Dia mengatakan, “Terkabulnya permintaan terletak pada doanya sendiri, bukan doa orang lain.”
Sebuah kisah menceritakan bagaimana seorang wanita mendatangi Al-Junayd dan berkata : “Berdoalah untukku, sebab anakku hilang.” Dia menjawab : “Pergi dan ebrsabarlah.” Wanita itu pergi, tetapi kemudian kembali dan berkata : “Aku sudah melakukan apa yang engkau perintahkan kepadaku.” Junayd berkata : “Bersabarlah.” Dia menjawab : “Kesabranku sudah habis, dan tak kuat lagi menanggung hal ini lebih lama lagi, karena itu berdoalah untukku.” Al-Junayd berkata :”Jika engkau berkata benar, pergilah, dan anakmu akan kembali.” Lalu wanita itu pun pergi. Tak lama kemudian, dia datang kembali sambil bersyukur kepada Allah. Seseorang bertanya kepada Junayd : “Bagaimana engkau mengetahui hal itu?” Dia menjawab : “Lewat firman Allah Yang Mahatinggi, “Seorang yang membutuhkan, merasa yakin bahwa doanya dikabulkan manakala dia berdoa kepada-Nya” (Qs. 27:62(. Tanda seorang yang mengalami tekanan berat adalah dia tidak percaya pada jiwa rendahnya dan tak ebrgantung kepada sumber daya dan kekuatannya sendiri,d an dia tiba-tiba sadar bahwa tak ada sesuatu dalam pengalamannya – kecuali hanya Allah – yang mempu menyingkapkan atau mencegahnya.
Salah seorang sufi berkata : “Yang engkau sembah adalah pikiran pertama yang datang ke dalam benakmu ketika engkau menderita kecemasan.”  Yang lainnya sambil mengomentari firman Allah Swt. “Seseorang yang membutuhkan merasa yakin bahwa doanya dikabulkan manakala dia berdoa kepada-Nya” (Qs. 27 : 62), berkata : “Orang yang membutuhkan adalah orang yang menghadap keharibaan-Nya dengan tangan terangkat dalam doa tanpa memimpikan karunia khusus dari Allah sedemikian seolah-olah dia punya klaim atasnya, seraya berkata : “Tuanku, berilah aku apa-apa yang Engkau punyai.”  Itulah orang yang membutuhkan, meskipun dia – dalam keadaan ini – mencapai keistimewaan berupa kedekatan kepada Allah dan berupa cinta. Karena seseorang mampu beroleh manfaat dari kefakiran dan kemiskinan, maka kebingungan yang dialaminya pun memudar.
13.
Jika doamu belum dikabulkan dan engkau tidak besabar serta tidak khyusyuk dalam tobat, serta terus berada dalam keadaan yang baru saja aku uraikan, yaitu membutuhkan karunia-karunia Allah serta tidak menggantungkan diri pada sarana-sarana lain, maka satu dari dua hal bakal terjadi. Entah engkau bakal hancur berkeping-keping bersama kecemasan dan mengalami kegoncangan hebat, atau engkau akan bersabar dan pasrah. Dalam kasusmu, tidaka da alasan mengapa engkau mesti hancur karena kegelisahan. Engkau telah aman dan tiba pada Kebenaran Mistik iman, sehingga tidak ada alasan bagimu merasa khawatir bakal sampai pada jalan seperti itu, jalan yang harus engkau pilih di antara dua keadaan. Karena itu, yang mesti dilakukan adalah tabah dan pasrah. Dan dalam keadaan ini, tiadanya jawaban pun merupakan jawaban itu sendiri.
Ibn “Atha berkata : “Jika Allah membukakan pintu pemahaman bagimu dalam bentuk kehilangan, maka kehilangan itu sendiri adalah suatu karunia.” Dia juga mengatakan : “Manakala Tuhan memberi karunia, Dia ingin engkau menyadari kebaikan-Nya; manakala Dia membuatmu kehilangan, Dia ingin menunjukkan kepadamu kekuasaan-Nya yang luar biasa. Dan dalam semuanya itu, Dia membuatmu paham dan menampakkan diri-Nya keapdamu dalam anugerah-Nya.” Dalam keadaan ini engkau bakal mengalami kontemplasi atau perenungan dan tingkat kemajuan di mana engkau akan menemukan peningkatan dan penyegaran. Insysa Allah, keadaan ini akan menjadi sarana untuk mencapai  tujuanmu dan menyembunyikan penyakitmu begitu engkau merenungkan Tuhanmu Swt. yang Sifat-sifat keagungan, kemuliaan, serta kedaulatan penuh dan ketakbergantungan mutlak-Nya, merupakan hak itimewa-Nya. Pdaa saat bersamaan, engkau akan melihat akibat-akibat dari ketentuan dan keputusan-Nya dalam dirimu, dan melihat dirimus ebagai teater Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya. Ketika engkau memasukkan ini ke dalam kalbumu sehingga menjadi perhatian utamamu, maka engkau, Insya Allah, akan melangkah ke dalam keadaan-keadaan lanjutan seperti mengikuti Sunnah Nabi dan dalam kedudukan mulia seperti cinta, ridla, makrifat, dan takwa. Tak diragukan lagi, Sifat-sifat sempurna dan anugerah-anugerah Ilahi ini menuntun orang yang baginya mereka semuanya itu tampak jelas dan yakin bahwa Allah sajalah yang diinginkan. Allah-lah yang mendekatkan, memberi anugerah dengan murah hati, dan yang memberi rasa cinta.
Perenungan ini kemudian membimbing menuju keadaan dan kedudukan lebih lanjut, seperti kedudukan sabar, syukur, harap, malu, dan tobat. Smuanya ini terjadi seketika, sehingga engkau menjadi baru di mana sebelumnya engkau sudah hancur, serta kembali ke Zat yang dulu engkau pernah lari dari_nya. Abu Hurayrah berkata dalam kumpulan hadisnya :”Rasulullah saw. bersabda : “Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sekali pun kamu tidak berbuat dosa, Allah akan mendatangimu dan menjadikanmu seorang yang akan berbuat dosa dan memohon ampunan Allah, sehingga Dia mengampuni orang itu.” Ibrahim ibn Adham berkata : “Suatu malam ketika sedang turun hujan dan guntur bergemuruh, aku melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Lintasan Thawaf sedang kosong. Lalu aku  mendekati pintu Ka’bah dan berdoa : “ya Allah, lindungilah aku dari tidak mematuhi-Mu.” Aku mendengar sebuah suara dari dalam Ka’bah, “Oh, Ibrahim, engkau meminta perlindugnan dari-Ku dan begitu pun semua hamba-Ku. Jika Aku melindungi mereka sepenuhnya, lantas kepada siapa lagi Aku bersifat Pemurah dan Maha Pengampun?”.
Sebaliknya, jika engkau tetap buta dan tertipu, dan tidak dengan ikhtiar mencari perlindungan serta tidak mengakui kefakiranmu, maka engkau bakal terus menghinakan keadaan spiritualmu yang sesungguhnya, disebabkan oleh dorongan yang kuat untuk mengetahui keadaan-keadaan spiritualmu itu. Engkau akan membenci dirimu sendiri, dan bersedih atas kelalaianmu dan sifat borosmu. Jika hal ini terjadi, engkau mesti mengerjakan amal-amal ibadah dalam kalbu dan jasmani. Amalan-amalan ini akan menunjukkan Jalan menuju Tuhanmu, dan penyakit yang engkau derita tidak bakal menghalamgni langkahmu di Jalan itu. Seorang terkenal berkata : “Pergilah menuju Tuhan, sekalipun engkau lemah dan mengalami kehancuran.”
14.
Tetapi masih ada lagi satu Jalan lebh langsung menuju-Nya yang bisa engkau jangkau. Tetaplah engkau dalam kedudukan syukur dengan cara mengetahui segala sesuatu yang menajdi Hak-Nya; dan mintalah lagi. Dengan begitu engkau bisa membawa dalam kalbumu kebesaran dan keagungan Tuhanmu serta sifat-sifat kesempurnaan dan transendensi-Nya. Pada saat bersamaan, engkau akan menyadari tingkat kehinaanmu sendiri, rasa malu dan ketidakberartianmu, serta kehinaan dan kelemahan jiwa rendahmu. Kemudian, lihatlah rahmat yang Allah anugerahkan kepadamu dalam bentuk apa pun/ sertelah engkau mengatamatinya dengan cermat, engkau bakal mulai menyadari anugerah-Nya kepadamu, dan engkan akan mulai mensyukurinya. Pengetahuan mendalam tentang rahmat-Nya itu sendiri merupakan rasa syukur, dan menjadi kunci bagi segala sesuatu yang baik serta sumber berlimpah kelurusan, nasib baik dan ketulusan. Allah Swt. telah berfirman : “Jika engkau bersyukur, pasi Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Qs. 14:7). Dan juga, “Ingatlah nikmat-nikmat Allah agar kamu beroleh kejayaan.” (Qs. 7:69).
Bagi hamba yang hadir di haribaan Tuannya, tak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat, kecuali hal ini; sebab ia adalah “Jalan Lurus” (Qs. 1:5). Setan ebrusaha menyelewengkan dan menyesatkan sang musyafir dari jalan itu. Dalam hubungan ini Allah Swt. berfirman : “Sungguh, aku bakal benar-benar menghalang mereka dari Jalan Lurus-Mu” hingga kalimat “dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur” (Qs. 7 : 16-17). Dan sebuah sabda Nabi saw. berbunyi “Lihatlah orang-orang yang lebih rendah darimu, dan jangan melihat orang-orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian ini akan sangat membantumu untuk tidak meremehkan nikmat yang telah Allah berikan keapdamu.” Tak syak lagi, engkau menyadari anugerah tak ternilai Tuhanmu keapdamu, baik dalam praktik keagamaan maupun dalam berbagai urusan duniamu. Nikmat yang tak seberapa  ini tak membuatmu enggan terhadap kondisi spiritualmu saat ini seperti telah engkau uraikan. Itu adalah salah satu pengaruh keimanan, sesuai dengan sabda Nabi saw. : “Seorang beriman adalah orang yang amal-amal salehnya membuat dirinya senang dan yang amal-amal buruknya membuatnya susah.” Betapa banyak orang yang jauh lebih mengalami kesulitan ketimbang dirimu, namun hati mereka tetap ridha, dan mereka pun merasa senang serta gembira dalam kondisi mereka!.
Seperti kulihat, engkau masih ebrada dalam tahap-tahap awal kekalutan ini. Tuhanmu telah bersikap kasih sayang dan murah hati kepadamu, yaitu dengan membalikkan persoalan sehingga engaku memberikan pujian atas hasil kerja-Nya dan, insya Allah, beroleh manfaat darinya tanpa meminta bantuan dari kemampuan dan kekuatanmu. Engkau harus ridha dengan kemurahan Tuhanmu kepadmu. Biarlah hal itu menyibukkanmu dan membebaskanmu dari mawas diri berlebihan. Dengan begitu, engkau layak beroleh ridla Tuhanmu. Allah Swt berfirman kepada salah seorang nabi-Nya : “Capailah nikmat kearifan (hikmah) dan nikmat tersembunyi, sebab Aku mencintai hal itu.” Nabi itu bertanya : “Ya Tuhan, apakah nikmat hikmah dan nikmat tersembunyi itu?” Allah berkata : “Nikmat hikmah adalah begini : “Jika beban berat membebani pundakmu, ketahuilah bahwa itu Aku yang membebankannya, karenannya, mintalah kepada-Ku untuk mengangkatnya. Dan nikmat tersembunyi itu begini : ‘Jika engau mempunyai tak lebih dari seikat buncis-terimakan ulat, ketahuilah bahwa itu cara-Ku untuk tetap mengingatkanmu, maka bersyukurlah kepadas-Ku atas hal itu.”
15.
Karena itu, ambillah pendekatan positif terhadap kondisi tersebut, yang dengan kondisi tersebut Tuhanmu telah dengan murah hati memberimu pelajaran. Dengan bersyukur kepada Tunamu, sibukkan dirimu dengan ridla atsnya dan dengan menginginkannya lagi. Pandanglah kecemasan, kegelisahan, depresi, dan derita sedih apa pun yang telah engkau alami sebagai rahmat berlimpah dan hikmah yang luas. Arahkan pikiranmu pada pahala yang diberikan kepadamu berkat penilaian Allah Swt. atas dirimu. Sebuah kisah menceritakan bagaimana seorang syaikh melihat anak muda memasuki Makkah setelah musim haji berakhir. Anak muda itu putus asa dan sedih seperti kehilangan segalanya. Lalu syaikh  itu berkata kepadanya : “Demikian sering aku beribadah haji. Karenanya, berikan penderitaan dan kesengsaraan yang kau pikul padaku, dan aku akan memberikan semua ibadah hajiku kepadamu.” Yang demikian itu harus membuatmu yakin bahwa Allah melalui kondisi spiritualmu kini, telah melindungimu dari berbagai marabahaya kesombongan. Yang jgua seperti itu adalah segala sesuatu yang engkau alami, yang mungkin membuat jiwamu gelisah dan hatimu terluka.
Engkau curiga jangan-jangan engkau berada di ambang hukuman, yang merupakan keselamatan dan keuntungan bagimu, menurut pendapat kaum sufi terkemuka. Sebab, jika engkau tidak curiga seperti itu, engkau akan seperti orang sakit yang butuh penyembuhan. Seseorang pernah berkata kepada Hudzayfah, semoga Allah meridhainya : “Aku takut kalau-kalau aku ini munafik.”  Hudzaifah menjawab : “Jika engkau munafik, maka engkau tidak perlu takut kepada kemunafikan.” Yang paling penting dilakukan orang pencari adalah memperhatikan sikap ini, dan bersikap hati-hati kalau-kalau dia memilikinya, yaitu agar dia harus menyucikan amal-amalnya dan berhasil dalam usahanya. Hal itu akan menunjukkan niatnya dan ketulusan keinginannya.
Betapa banyak orang yang berusaha beribadah kepada Allah melalui amal-amal kepatuhan lahiriah sambil tetap memperhatikan keburukan-keburukan seperti keangkuhan, kesombongan, kepongahan, dan – demi usaha itu – terus menyusuri jalan perpisahan dan menjauh dari Allah. Betapa banyak orang yang meninggalkan dan mengingkari dunia ini, sementara orang paling hina dan memalukan pun menikmati kedudukan tinggi bersama Tuhannya, ketimbang golongan orang pertama! Sebab, orang yang mengalami kejauhan dalam kedekatan kepada Allah adalah orang yang diberi kedekatan melalui rasa takutnya, dan dengan demikian naik ke tingkat yang tinggi. Sebaliknya, orang yang melihat kedekatan dalam kejauhan, ditipu oleh rasa amannya, dan dengan demikian pun direndahkan direndahkan kedudukannya. Seperti dikatakan Ibn ‘Atha,’ Mungkin saja Dia akan membukakan untukmu pintu kepatuhan dan tanpa membukakan untukmu pintu penerimaan; atau barangkali Dia akan menetapkan dosa bagimu, sehingga dosa itu menajdi sarana untuk datang kepada-Nya.” Itulah makna ucapan : “Ada banyak dosa yang memberi sang pendosa jalan masuk surga.” Nah, jika jika engkau menambahkan pada hal itu persepsimu tentang kesalahan-kesalahan tersembunyi dan tentang apa yang telah disembunyikan jiwa rendahmu darimu dalam bentuk nafsu yang bisa mengalahkanmu. Maka itulah karunia paling besar. Ia selaras dengan jalan yang ditempuh orang-orang cerdik untuk menggelincirkan musuh-musuh mereka lewat kata-kata mereka sendiri; keadaan ini tak ada bandingannya.
Mungkin engkau akan mengatakan : “Tetapi yang pasti hal itu hanya bisa memperkuat keadaan yang tak sesuai denganmu?”. Dalam segala hal, terserah apda Tuhanmu untuk mengemukakan keberatan kepadamu, apakah engkau mengetahui buktinya atau tidak. Dan beruntung benar bahwa hak istimewa Tuhanmu jugalah yang membebaskan hamba-Nya dari tuduhan! Karena itu, jika engkau bisa menghindar dan menahan diri dari sebagian hal itu, maka yang demikian itu akan merupakan anugerah yang banyak, entah nasibmu berubah atau tidak. Sekalipun ada perubahan, kondisimu yang tercipta oleh perubahan akan selalu lebih ringan, lebih mudah ditanggung ketimbang kondisi yang digantikannya. Karena itu, ambillah keuntungan dari perbedaan antara penilaian Allah tentang dirimu dan penilaianmu sendiri. Mungkin yang demikian itu merupakan langkah menahan diri dari menyalahkan dirimu sendiri. Setelah mempelajari rahasia ini, engkau tidak akan tenang menghadapi berbagai kesengsaraan atau sangat tercekam berbagai kecemasan; seperti telah aku anjurkan, hendaknya engkau memandangnya lebih sebagai anugerah.
16.
“Tetapi”, orang boleh jadi berkeberatan, “ketiadaan perhatian moral atas hal semisal ini akan mengakibatkan berkurangnya kesedihan, yang pada gilirannya bakal menjurus pada pelanggaran atas prinsip yang telah engkau letakkan, yaitu bahwa hal-hal yang mengganggu jiwa dan membuat gelisah dan resah kalbu itu lebih baik. Dengan kata lain, hal itu akan menjurus pada penolakan apa yang lebih baik, seperti telah engkau uraikan. Selanjutnya, ia akan menjurus pada peremehan ketidakpatuhan dan perbuatan dosa serta pada berkurangnya ketakutan dan penyesalan.
Jawaban ata keberatan pertama adalah bahwa berkurangnya kesedihan dalam hal ini patut dipuji. Itu lebih baik ketimbang kondisi yang telah engkau gambarkan, sebab pengurangan ini mempunyai hasil-hasil yang bermanfaat dan kerugian muncul lantaran tak mampu mengurangi kesedihan. Adapun manfaat positifnya, ia menyebabkan didapatnya karunia Allah, dan anugerah-anugerah khusus, serta dilihatnya berlimpahnya kemurahan Allah. Dengan demikian, seseorang pun terangkat ke kedudukan syukur dan ke segala sesuatu yang mendorong ke hal-hal serupa. Tak ada sesuatu pun yangg menyamai hasil sangat menguntungkan ini. Adapun bahaya karena tak mampu mengurangi kesedihan adalah bahwa seseorang menanggung resiko kerugian dalam satu dari dua cara jika dia terus-menerus berada dalam keadaan sedih yang makin memuncak, sehingga kalbu dan jiwanya disibukkan dengannya. Cara pertama adalah, bahwa dia mungkin tergiring menuju keputus-asaan, dan kemurungan – dua macam keburukan paling berat.  Yang kedua adalah bahwa keengganan meliputi dan menyakitkan pikirannya. Adalah penting melindungi dan mempertahankan akal dari serbuan keengganan, sebab akal memberikan dukungan pada sang musafir. Akal yang lemah bukanlah sahabat yang baik.
Dengan adanya jawabanku atas keberatan pertama, maka keberatan kedua – bahwa seseorang tergiring untuk memandang keingkaran dan perbuatan dosa sebagai tak berarti – pun runtuh. Keadaan pikiran yang aku anjurkan sesungguhnya jauh lebih mendorong ke sikap menahan diri dan tobat, ketimbang rasa takut dan penyesalan itu sendiri. Aku menganjurkan suatu kecenderungan di mana perenungan menuntun seseorang menuju kedudukan yang membuatnya bisa lebih cepat menghindarkan diri dari nafsunya. Sikap itu memiliki kesamaan dengan kebahagiaan di hadapan Allah swt. Keagungan adalah kualitas yang dipupuk seorang hamba dengan cara menyadari jarak antara kekuasaan, keagungan serta kedaulatan tertinggi Tuhannya, dengan kehinaan, kerendahan, dan kekuranganmematuhi Tuhannya. Aku tidak ragu barang sedikit pun, bahwa akibat mengagumi Allah Swt ini, seorang hamba bisa menilai sendiri secara lebih akurat  besarnya tingkat pembangkangan ketimbang yang bisa dia capai lewat ketakutannya kepada Tuhan.
Alasannya adalah bahwa dalam keadaan takut, seseorang memusatkan perhatian hanya apada dirinya sendiri, dan pada bagaimana dia akan gagal mencapai tujuannya manakala dia jatuh dalam perbuatan dosa. Dalam keadaan kagum, sebaliknya, sang hamba melihat keagungan dan transendensi Tuhannya, dan kemudian berhati-hati kalau-kalau Tuhan melihat dia melakukan apa yang dibenci-Nya. Ada sebuah ucapan : “Orang yang menghindari perbuatan dosa lantaran berhati-hati agar tak terkena Hukuman-Nya, banyak jumlahnya; tetapi orang yang berbuat demikian karena takut pada ketelitian cermat-Nya, sangat sedikit jumlahnya.” Sikap yang aku anjurkan berpusat pada apa yang dicari. Apa yang telah engkau uraikan merupakan gambaran sang pencari, dan menurut pandangan kaum Sufi, ada perbedaan besar antara keduanya.
17.
Selain itu, yang sedang aku bicarakan ini berkaitan dengan sifat-sifat penghambaan. Ia adalah bagian integral dari kedudukan perenungan (musyahadah) tentang Tuhan, karena ia amengajari seseorang bagaimana mesti memimpin diri sendiri dengan benar di ahdapan Allah Swt. dengan memusatkan perhatian pada-Nya. Seseorang yang memiliki sifat-sifat seorang hamba, merasa semua kebutuhannya dipenuhi, seperti ditunjukkan oleh firman Allah Swt. “Bukanlah Allah cukup bagi hamba-Nya?” (Qs. 39:36). Seseorang yang merasa bahwa Allah cukup baginya, pasti menjadikan Allah sebagai penyembuh dan pemulihnya.
Akhirnya, kekhawatiran orang yang mengajukan keberatan tentang berkurangnya rasa takut, tidaklah beralasan sama sekali. Perasaan takut yang benar muncul karena pengetahuan mendalam sang hamba tentang bujukan jiwa rnedahnya dan perbuatan dosanya. Seseorang yang meiliki pengetahuan mendalam tentang jiwa rendahnya, melihat bahwa jiwa rendahnya adalah musuhnya yang paling jahat, sebab semua bujukannya membuka pintu bagi masuknya akibat-akibat yang membahayakan. Kemudian, orang itu mengundang amarah dan dendam jiwa rendah. Jiwa rendah memperdayakan dirinya dan menyebabkan dia jatuh ke dalam kejahatan yang berkedok kebaikan dan dia pun benar-benar tak menyadarinya. Jiwa rendah tak menjanjikannya batuan, tetapi justru meninggalkannya dalam keadaan sangat memerlukan, sebab jiwa rendah hanya ingin menyakiti dan menghancurkannya. Adakah musuh yang lebih memusuhi ketimbang itu.”
Allah Swt. telah memberitahukan hal itu kepada kita dalam sebuah kalimat yang sangat jelas dan tegas : Sesungguhnya jiwa rendah (nafsu) menyuruh kepada kejahatan.” (Qs. 12:53). Sifat-sifat jahatnya adalah sedemikian tupa, sehingga seseorang tidak bisa membayangkan dirinya dapat terbebas dari sifat-sifat itu kecuali lewat rahmat dan perlindungan Allah Swt. Seperti difirmankan oleh Allah Swt dalam ayat yang sama : “kecuali bila Tuhanku memberikan rahmatn-Nya.” (Qs. 12:53). Mengingat semuanaya ini, mana mungkins seseorang membayangkan bahwa rasa takut bakal berkurang? Tidak ada alasan bagi kepedulian orang yang berkeberatan. Betul-betul bertentangan. Rasa takut sangat mungkin bakal bertambah, disebabkan bertambahnya pengetahuan mendalam tentang Kebenaran Mistik. Itulah salah satu rahmat Allah Swt paling besar kepada hamba-Nya. Rahmat itu sendiri menjadi sarana untuk menemukan Rahmat; terlepas dari hubungan langsung dengan perbuatan sang hamba. Banyak orang melewatkan hal ini begitu saja, dan tidak menikmati manfaat-manfaat yang telah aku uraikan. Dan di luar manfaat-manfaat yang baru saja disebutkan, berbagai anugerah dan karunia pun bertambah dan meningkat, seperti dikatakan oleh kaum sufi :”Kedudukan-kedudukan dalam keyakinan sama sekali tidak membatalkan satu sama lain; justru semuanya itu memperkuat satu sama lain.”
Setelah kekaguman dan takut ini sepenuhny adisadari sang hamba, emlalui keduanya dia menerima warisan mulia, yang dengan warisan itu Allah Swt. memasukkan cahaya ke dalam kalbunya. Keuntungan segera dari cahaya ini adalah bahwa sang hamba dapat menyadari kesalahan dan kelemahan tersembunyinya. Cahaya itu menjadi tolok ukur baginya, dan membantunya mematuhi Tuhannya yang Mahaagung lagi Mahamulia. Ibn “Atha’ berkata : “Cahaya adalah tentara kalbu, persis seperti kegelapan adalah tentara jiwa rendah (nafsu). Karenanya, ketika Allah membantu hamba-Nya, Dia memperkuatnya dengan apsuka  cahaya, dan menyingkirkan darinya kekuatan kegelapan dan segala sesuatu selain Allah.” Ibn ‘Atha; memandang cahaya sebagai pelindung, senantiasa hadir dan mengawasi sang hamba dalam segala situasi; entah ketika sang hamba patuh, bersemangat, memiliki pengetahuan spiritual dan melihat terus menerus, atau ketika tidak patuh, semenetara jiwa rendah tak mampu membebaskan dirinya dari ketakpatuhan itu, karena dikalahkan dan ditawan, dan dengan demikian cenderung kepada ketidak patuhan, atau dalam kasus-kasus yang  lebih lazim atau di mana keinginan menguasai seseorang, sehingga dia tidak dapat menemukan kebahagiaan atau cahaya dalam berbagai anugerah yang diterimanya, tapi lebih mendapati anugerah itu sebagai membangkitkan rasa benci, membebani dan mengganggu.
18.
 Manfaat lainnya dari cahaya itu adaalah pengetahuan mendalam sang hamba tentang kekuatan jiwa rnedahnya. Pengetahuan itu membuang semua perilaku congkak dan sombong, entah dalam hubungannya dengan Tuhan atau dengans esama hamba Tuhan. Dengan demikian, sang hamba mempunyai sifat rendah hati, halus, lemah lembut, patuh dan ridha kepada Allah, dan kasih sayang, tidak sukamenyakiti orang lain, toleransi, saling mengingatkan sesama Muslim dengan tulus, mencintai apa yang baik bagi mereka dan membuat mereka bahagia. Singkat kata, sang hamba memimpin dirinya sendiri dengan benar di hadapan Allah Swt dengan harapan meningkatkan segenap anugerah dari-Nya dan mengurangi kesombongan perilaku dan kebanggan dirinya. Disadarinya bahwa hanya rahmat dan kebaikan Allah sajalah yang bisa membantu dia, dan satu-satunya tempat berlindung bagi dirinya adalah rahmat dan kebaikan-Nya.
Memohon ampunan Allah dan menerima maaf-Nya adalah keinginan paling utama seorang hamaba. Seperti akta seseorang. “Perhatian seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam terpusat hanya pada meminta ampunan.” Tentang orang-orang yang sangat ridha kepada-Nya, Allah Swt berfirman, “Banyak Nabi bersama dengan sejumlah besar orang bertakwa berperang. Mereka tidak menjadi lemah lantaran apa yang menimpa diri mereka di Jalan Allah, tidak lesu dan tidak menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Qs. 3 : 146). Selanjutnya, Dia mengatakan : “Dan yang harus mereka katakan adalah : “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan berbagai tindakan berlebihan kami” (Qs. 3 : 147). Dituturkan sebuah ksiah tentang bagaimana Ibn Al-Mubarak mendatangi beberapa sahabatnya pada suatu hari dan berkata, “Kemarin aku berlaku lancang kepada Allah Swt. Aku meminta surga kepada-Nya.” Begitulah keadaan spiritual yang baik dari orang-orang seperti ini, dan sifat-sifat mulia mereka. Allah menghendaki agar kita beroleh manfaat karena menginginkan keadaan dan sifat serupa.
Karena berkah yang aku uraikan itu adalah milikmu, mengapa engkau tidak mengambil manfaat darinya?. Mengapa engkau menipu dirimu sendiri tentang semuanya itu, membuang-buang waktu berhargamu dengan menduga-duga Tuhan dan meremehkan apa yang Dia inginkan untukmu, hingga akhirnya engkau berada dalam kondisi yang telah engkau uraikan? Ibn. ‘Atha’ berkata : “Orang yang pada saat tertentu menginginkan agar terjadi sesuatu selain dari apa yang telah ditimpakan Allah pada saat itu, berarti berpegang kuat kepada kebodohan.
Karenanya, isilah ingatanmu dengan pikiran-pikiran tentang kekuatan dan kekuasaan Allah. Jadikan caramu memohon ampunan sedemikian rupa, sehingga menghilangkan sisa-sisa kotoran yagn telah merasuk ke dalam jiwamu, sehingga engkau banyak berdoa seperti dilakukan oleh Utusan Allah, Yunus a.s. di dalam kegelapan, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang yagn zalim.” (Qs. 21:87-88). Lalu Allah Swt. berfirman : “Maka Kami kabulkan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang  beriman.” (Qs. 21: 87:88). Salah seorang ulama berkata : “Setiap orang beriman yang berdoa seperti Dzun Nun (Nabi Yunus a.s.), manakala dia dilanda kecemasan atau masalah-masalah serius, akan diselamatkan oleh Allah, seperti halnya Dia menyelamatkan Dzun Nun, sesuai dengan firman-Nya : “demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang beriman.”
19.
Sejauh ini kita telah mengkaji sampai di mana dosa dan keingkaran dalam keadaan spiritualmu. Kini, aku beralih pada kesalahan yang engkau sebutkan, seperti rongrongan hawa nafsu di saat timbul godaan; kegelisahan yang timbul dan beragai serbuan godaan, kesusahan, dan kegagalan serta tiadanya kesabaran. Semuanya itu adalah kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kemanusiaanmu dan berakar kuat di dalam watak alaminya. Itu semua tidak usah disalahkan. Sesungguhnya, dalam keadaan-keadaan tertentu, kelemahan-kelemahan itu memiliki nilai positif, selama sang hamba mengakui berbagai kelemahan, kekurangan, kerendahan, kefakiran, dan kebutuhannya. Seperti dikatakan oleh Ibn “Atha’ “Saat terbaikmu adalah saat ketika engkau melihat dengan jelas hakikat kefakiranmu, dan engkau pun lalu pasrah.” Dia juga mengatakan, “Ketika saat-saat sulit datang, para pencari menikmati hari perayaan.” Sebab mereka mungkin menemukan keberlimpahan di waktu-waktu sulit yang tidak mereka temukan di dalam puasa dan shalat. Itulah cara Allah Swt. menguji beberapa orang pilihan-Nya.
Sebuah kisah bercerita bagaimana – ketika Abu ‘Utsman Al-Hiri bersama dengan gurunya, Abu Hafsh – dia mengulurkan tangan untuk mengambil kismis. Abu Hafs memegang kerongkongannya dan mecoba mengocok kismis itu agar keluar darinya. Ketika Abu Hafs sduah tenang, Abu ‘Utsman berkata : “Wahai Guru, aku tahu bahwa hal-hal duniawi ini tak berarti dalam pandanganmu; karena itu, bagaimana engkau begitu marah kepadaku soal kismis itu?”. Abu Hafsh menjawab : “Engkau bodoh telah meanruh kepercayaan pada kalbu yagn tidak diperintah oleh tuannya.”
Orang lain berkata : “Aku pernah bepergian bersama Al-Khawashsh. Kami berhenti untuk berkemah di bawah sebatang pohon. Kemudian datang seekor singa serta berbaring di situ untuk istirahat. Aku sangat takut. Lalu aku memanjat pohon itu dan berpegangan apda dahan sampai fajar tiba karena takut kepada singa itu. Tetapi Al-Kawashsh tidak memperhatikan binatang buas itu. Malam berikutnya kami berhenti untuk berisitirahat di sebuah masjid. Al-Khawashsh tertidur; tetapi ketika seekor kutu busuk melintasi wajahnya, dia menginjaknya. Aku berkata : “Sungguh aneh! Kemarin seekor singa tidak membuatmu tersentak ketakutan, malam ini engkau malah takut kepada seekor kutu busuk!”. Dia menjawab : “Kemarin aku tidak saadar; malam ini aku kembali sadar. Itulahs ebabnya aku takut.”
Sahl ibn ‘Abd Allah, semoga Allah meridhainya, berkata : “Allah membebani orang-orang pilihan dengan kefakiran. Dia buat mereka merasa membutuhkan makhluk, dan kemudian menaruh dalam hati mereka penangkalnya. Dengan begitu, Dia melarang roang-orang bergantung kepada makhluk, agar mereka kembali kepada-Nya. Ketika orang-orang pilihan ini kembali kepada-Nya dalam keadaan pasrah, Dia memberi mereka rezeki yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Dituturkan bahwa seseorang melihat, di sebuah daerah Kristen, seorang sufi yang mengajarkan pengakuan akan keesaan Allah, sikap tak terpengaruh dan kebergantungan penuh kepada Allah Swt. Dalam keadaan sangat miskin dan memerlukan, dia meminta sesuatu kepada bekas muridnya. Menjawab permintaan itu, sang murid melantunkan bait-bait ini :
Kala kami bertindak sebagai pembimbing
Kami berada di atas segenap tuan dan hamba
Tapi kala kami berasa di bawah
Kehinaan kami melebihi kehinaan kaum Yahudi.
Sebaliknya, yagn patut disalahkan adalah jiwa rendah. Penyebab hal itu adalah tiadanya keyakinan, dan akibatnya adalah hal-hal yang bisa digolongkan sebagai dosa.
Perhatian apa yang aku bicarakan ini. Kemudian ketika sebagian masalah yang engkau keluhkan ini menguasaimu, amalkan sifat penghambaan, kepada Tuhanmu dengan menyeru-Nya : “Wahai Engkau yang Mahakaya, kepada siapa lagi orang miskin pergi, kalau bukan keapda-Mu?” di saat lemah : “Wahai Engkau yang Mahakuat, kepada siapa lagi orang lemah pergi, kalau bukan kepada-Mu?”, di saat kamu berbuat : “Wahai Engkau Yang Mahakuasa melakukan segala sesuatu, kepada siapa lagi orang tak berdaya pergi, kalau bukan kepada-Mu?” Dan di saat dalam kehinaan : “Wahai Engkau yang Mahamulia, kepada siapa lagi orang hina pergi, kalau bukan kepada-Mu?” seorang ahli makrifat berkata : “Orang bersabar dalam hal itu, pasti dikabulkan doanya.” Dan Ibn “Atha’ berkata : “Insyafi sifat-sifatmu sendiri, maka Dia akan menuntunmu untuk mengetahui sifat-sifat-Nya, Insyafi kelemahanmu, maka Dia akan membimbingmu menuju kekuatan-Nya.”
Manfaatkan dorongan keyakinan, dan yakinlah terus, jika kau mau sungguh-sungguh mempelajari ilmu kaum sufi. Jadikan keyakinan itu landasan segala usahamu. Tekunlah dalam belajar, sebagai kewajiban yang harus dijalankan, dan jangan pedulikan orang lain yang bakal menyimpangkanmu darinya atau mencemarkan tasawuf, entah dalam diri atau dalam tulisan, entah secara langsung atau tidak langsung. Adalah memalukan bila seseorang yang cerdas dan memiliki pemahaman diperkenalkan pada satu persoalan dan tidak bisa mengambil manfaat darinya, dan lebih-lebih jika seorang pemfitnah berhasil memalingkan darinya dari hal itu, seperti abrus aja kukemukakan.
Dalam surat sebelumnya, aku menulis tentang tulisan-tulisan sufi yang mesti engkau abca. Aku menyebutkan bahwa  yang terpenting di antaranya adalah kitab karya Syaikh Abu Thalib. Keinginanmu untuk menelaah dan mengkaji kitab ini mestilah sama dengan keinginan untuk mencari apa apa yang bisa mengakhiri kekalutanmu dan mengobati penyakitmu. Di sini aku sebutkan kitab  Qut Al-Qulub (Santapan Kalbu). Kitab itu akan membantumu mencapai setiap tujuan yang engkau cari. Mulailah dengan bergaul bersama seorang yang beriman kuat dan memiliki kematangan spiritual, dan dengan memperhatikan masalah-masalah yang merugikanmu dan yang menguras inti keberadaanmu. Aku belum mengetahui dewasa ini seorang yang sangat ahli seperti guruku, Sulayman, semoga Allah merahmatinya. Karena itum terimalah darinya apa saja yang engkau pandang membantumu dalam memperkaya akalbumu dan memelihara hubunganmu dengan Tuhanmu. Belajarlah mengucapkan shalawat atas Nabi Muhammad saw.; sebab aku tahu beberapa sufi menyebut-nyebut shalawat sebagai sarana memperkuat keyakinan. Karenanya, tingkatkan amal-amalmu dalam hal itu.
21.
Inilah pandanganku tentang cara-cara yang tepat untuk menghilangkan kekalutanmu dan mengobati penyakitmu, asalkan engkau mau mengamalkannya. Tetapi, jika engkau tidak mau mengamalkan hal itu,d an dengan begitu tidak menemukan kepuasan dari nikmat-nikmat Tuhan Yang Maha Rahman ketika engkau menapaki jalanmu kecuali dalam cara-cara lahiriah maka aku yakin bahwa engkau bakal bekerja keraas salam seribu tahun, dan tak bakal pernah memuaskan keinginan-keinginanmu atau menemukan apa yang ttengah engkau cari. Kemajuan yang engkau raih akan tetap merupakan harapan yang jauh. Setelah engkau mengerjakan semua amalan yang aku anjurkan ini, dan kalbumu tak lagi mengalami kebingungan, maka engkau telah siap mendekati rahmat-rahmat Allah yang mengagumkan.
Kemudian, sudah abrang tentu, engkau mesti bersabar dalam amalan-amalan ini selama sisa hidupmu. Segala sesuatu yang aku bicarakan dalam surat ini dimaksudkan mengajarimu secara sederhana cara bergerak maju meraih tujuan yang engkau inginkan, dengan bantuan Allah. Ia adalah suatu metode spiritual. Ia tidak melibatkan amalan-amalan fisik, kecuali seperti yang diperlukan dalam berbagai hal biasa, dan tidak ada kerja yang menguras tenaga secara psikologis. Dalam hal ini hakikat metode itu dapat segera dipahami dan mudah dimengerti. Hanya saja, untuk bisa benar-benar mencapai tujuan itu, kita mesti bergantung sepenuhnya pada Allah Swt. dan memusatkan perhatian penuh kepada-Nya di sepanjang jalan kesabaran. Ini akan memberikan kebahagiaan luar biasa. Dan inilah awal dari apa yang dibicarakan kaum sufi. Orang yang sabar bakal benar-benar bisa mencapainya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah berkata : “Seorang hamba dalam segala keadaan, harus berjalan menuju Tuannya. Tindakan kembalinya, terus menerus kepada-Nya merupakan keadaan spiritual paling baik dalam diri sang hamba. Manakala dia tidak patuh’ dia berkata : “Ya Tuhan, ampunilah aku.” Dan manakala ketakpatuhannya berakhir, dia mengatakan : “Ya Tuhan, berpalinglah kepadaku.” Dan manakala Dia sudah berbuat begitu, sang hamba pun berkata : “Ya Tuhan, terimalah daku.” Mengomntari akta-kata Nabi saw. : “Dia menjadikan segala sesuatu mudah, karenanya jangan mempersulitnya.” Salah seorang sufi berkata : “Maksud ucapan itu ialah :”Bimbinglah mereka kepada Tuhan dan jangan kepada sesuatu selain-Nya; sebab orang yang menuntunmu kepada dunia ini telah menipumu, dan orang yang menuntunmu kepada Tuhan telah melindungimu.”
22.
Hanya orang yang kalbunya hidup dengan keimanan saja yang mampu menempuh Jalan ini. Tandanya yang pasti adalah bahwa orang seperti ini bangkit, bersiap siaga dan peka dalam amalan keagamaannya manakala timbul berbagai perubahan dan rintangan, entah dalam bentuk kesempitan atau keluasaan. Orang yang kalbunya mati, dan yang kebal terhadap hal-hal semisal itus erta asyik beanr mengumbar hawa nafsunya dalam kejahatan, tidak boleh memandang hal ini. Orang semacam itu hanya makin bertambah saja pengetahuannya tentang kejahatan dan kemaksiatan, dan akan mendapati kelakuannya hanyalah kesesatan dalam kerugian. Dia mesti menghindari racun mematikan dan menyibukkan diri dengan berbagai peringatan tentang keingkaran yang telah sampai kepada kita di dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta ucapan-ucapan para ulama. Dan dia mesti pula memperhatikan batas-batas dan sangsi-sangsi hukum di alam jasmani maupun ruhani. Tak ada obat lain buat jenis penyakit ini.
Terlepas dari apa yang telah aku jelaskan dalam uraian singkat dan tak memadai ini, aku tak berbicara lebih dari ini dalam masalah itu. Yakinlah ini dan amalkanlah, sebab ini adalah cara yang mujarab dalam menuju kebaikan dan peningkatan. “Dan Allah berjaya dalam urusan-Nya.” (Qs.12:21). “Jika Allah menolongmu, maka tak bakal ada seorang pun mampu mengalahkanmu; dan jika Allah tidak menolongmu, lantas siapa lagi yagn bsia menolongmu?” (Qs. 3:160). Segala sesuatu kembali kepada-Nya. Karena itu, sembahlah Dia, dan berimanlah kepada-Nya, sebab cukuplah Allah bagi orang yang bertawakal kepadanya.

SURAT KETIGA

Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjelaskan soal taklid buta, bid’ah, serta ketidakjujuran dan kedengkin yagn dikandung keduanya.

23.
Salam. Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah menerima jawabanku sebelumnya. Engkau katakan bahwa surat itu menggerakkan dan memenuhi kebutuhanmu untuk menjelaskan pemikiranmu serta memantapkan keyakinanmu. Engkau juga  meminta, dalam surat itu, agar aku menjelaskan lebih jauh lagi soal “taklid buta” dan “bid’ah” yang aku katakan dalam jawabanku sebelumnya.
Pertama-tama, kedua konsep ini dicela dan dikecam oleh Hukum Wahyu, dan merupakan kelemahan serius dalam diri orang yang menganut salah satunya. Taklid buta sesungguhnya adalah sejenis bid’ah, yang nanti akan aku bahas, dan sama dengan bertindak menyesuikan diri dengan pandangan orang lain tanpa adanya bukti yang menguatkan. Misalnya, kita menganggap seseorang memiliki otoritas, semata-mata berdasarkan kedudukan tinggi orang gitu, atau menganggap segenap masyarakat memiliki otoritas, berdasarkan banyaknya atau usia keberadaannya yang sudah tua. Allah Swt. mencela “taklid buta” ini dalam banyak ayat Al-Qur’an, sebab sikap itu terlihat dalam berbagai golongan orang kafir, “Dan mereka berkata, ‘Kalau saja Al-Qur’an ini diturunkan kepada seorang besar dari kedua kota ini!.” (Qs. 43:31). Di situ, mereka menyebut-nyebut orang-orang besar tertentu dari kedua kota, yaitu Al-Walid ibn Al-Mughirah dari Makkah dan Mas’ud ibn ‘Umar dari Al-Tha’if. Dengan cara begitu mereka mengingkari kebesaran hakiki seruan kenabian Muhammad, dan mengejek serta melecehkannya lantaran beliau adalah anak yaitm Abu Thalib. Dalam kata-kata Allah Swt. “Manakala orang-orang kafir melihatmu, mereka hanya mengejek serta melecehkanmu.” (Qs. 21:36).
24.
Ketika Nabi Muhammad saw. menyeru orang-orang kafir Quraysy kepada agama sejati dan hakiki Islam, mereka menuntut bukti-bukti darinya. Mereka meminta beliau agar menghidupkan kembali bagi mereka salah seorang terkemuka mereka. Qushayy ibn Kilab. Mereka bertanya kepada Nabi saw. apa yang beliau bawa; tetapi mereka mengikuti pandangan Qushayy secara membuta dan kembali kepadanya. Dan ketika Abu Thalib sedang menjelang maut, sejumlah orang Quraysy mendampinginya. Termasuk Abu Jahl. Nabi saw. datang mengunjungi Abu Thalib, dan mengajaknya untuk mengakui keesaan Allah. Lalu orang-orang Quraysy berkata : “Wahai Abu Thalib, akankah engkau meninggalkan jamaah ‘Abd Al-Muththalib?”. Kemudidan Nabi saw. mendesaknya lagi; dan lagi-lagi orang-orang Quraysy berusaha menghalangi Abu Thalib. Akhirnya dia tetap bersama jamaah ‘Abd Al-Muththalib. Lalu diturunkan ayat ini : “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi dan cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. 28:56). Semuanya ini menunjukkan contoh taklid buta berdasarkan prestise. Allah Swt. melukiskan orang-orang yang ebrbuat demikian ketika berfirman : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganur suatu agama.” (Qs. 43:22). Dengan kata lain, mereka percaya sekali kepada nenek moyang mereka lantaran mereka memuja nenek moyang.
Tentang kaum Nabi Shaleh as., Allah Swt. berfirman : “Akankah kita mengikuti seseorang di antara kita?”. (Qs. 54:24). Karena itu, mereka pun menolak mengikuti orang itu. Masalahnya adalah bahwa jika diutus sejumlah besar orang kepada mereka, mereka dengan senang hati mau mengikutinya. Inilah jenis taklid buta berdasarkan kekuatan jumlah.
Tentang Fir’aun dan Kaum Nabi Nuh as., Allah Swt berfirman : “Kami belum pernah mengetahui hal semacam itu pada nenek moyang kami dahulu.” (Qs. : 28:36). Dengan kata lain, jika Nabi Nuh berbicara kepada mereka tentang nenek moyang dan agama nenek moyang mereka dalam misi kenabiannya, maka orang-orang pun akan mau menerima otoritas pendahulu mereka dan mengikuti jejak-jejak mereka. Inilah jenis taklid buta berdasarkan kekunoan.
Allah tidak memaffkan orang-orang hina dari kalangan kaum kafir, entah lantaran taklid buta keapda pemimpin mereka atau lantaran kepemimpinan sesat para pemimpin mereka.s ebaliknya, Allah memandang mereka semua berada dalam  kesesatan, dan memberi mereka peringatan dan hukuman yang setimpal. Disebabkan oleh kebodohan dan kejahilannya yang tak kepalang tanggung. Allah menyamakan orang-orang seperti ini dengan keledai dan binatang ternak (Qs. 7:179, 25 : 44; 47:12) karena emreka tak memiliki pengetahuan dan pemahaman.
Engkau harus mengerti, bahwa sikap taklid buta yang tercela dan tak kritis ini telah memercekkan apinya bahkan di jaman kita ini. Akibat buruknya sudah menyebar luas. Akan engkau ketahui misalnya, bagaimana orang yang tidak memiliki hikmah tapi sekedar mengklaim memiliki pemahaman, menyeringai dan mengertukan dahi manakala dia mendengar sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan mistik sejati atau sesuatu yang diketahui oleh orang banyak yang memberikan kesaksian atas keimanan mereka. Disebabkan kejahilannya yang kelewat batas, orang speerti ini berkata : “Jika hal ini benar, maka orang pasti akan menggunakannya sejak dulu, atau mewariskannya dari generasi ke generasi.” Engkau juga akan melihat orang yang bercita-cita menjadi seorang sufi, tapi tak mengerti sedikit pun tentang masalah ketentuan hukum atau tentang hal-hal yang halal dan haram, dan terasing dari semuanya, serta terkelabui kebohongannya sendiri. Karena kejahilan orang seperti ini hanya untuk orang-orang awam. Guruku si anu tidak bisa membaca atau menulis. Dia tidak menganut mazhab mana pun.”
Engkau juga akan menemui orang-orang berpikiran bebas dan malas, yang terus-menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Mereka melakukan berbagai kekeliruan orang-orang dahulu dan kesalahan-kesalahan para ulama, seraya beranggapan bahwa hal itu merupakan praktik agama yang benar. Dengan begitu, kejahilan pun merajalela di tengah-tengah masyarakat, sampai-sampai masyarakat tidak lagi melihat yang berada di atas pemimpin-pemimpin agama mereka, yang mereka ikuti seperti binatang-binatang pengerat.mereka tidak berpikir barang sedikit pun tentang mengorbankan diri mereka demi praktik dan dukunga legal pemimpin mereka. Orang seperti ini banyak sekali, tapi aku tak perlu menambah jumlah contohnya. Maksudku sederhana saja; agar engkau menyadari  bahwa melakukan hubungan sosial dengan orang-orang seperti ini akan menumpulkan kalbumu, dan mencegahmu emncapai tujuan yang engkau cari. Karena itu, berhati-hatilah dalam soal-soal ini.
25.
Selanjutnya, engkau mesti mengetahui bahwa setiap eprtanyaan memerlukan jawaban yang benar. Karenanya, tidak boleh taklid buta. Harus dicari bukti yang menjadi dasar  dari pertanyaan itu, entah berhubungan dengan msalah-masalah wajib seperti rukun iman, atau masalah-masalah tak wajib yang tidak esensian bagi keimanan. Taklid buta dalam soal-soal ini tercela, entah pengkajiannya berhasil ataut idak. Akan tetapi hal ini, tidak berlaku dalam kasus-kasus di mana orang banyak menerima begitu saja otoritas mereka yang ahli dalam berbagai cabang ilmu hukum. Dalam hal itu, jawaban yang benar hanya dapat diberikan seorang faqih ahli. Karenanya, masyarakat dapat memperoleh jawaban hanya dengan menerima otoritas orang lain. Pun hal ini tidak berlaku dalam hubungannya dengan tafsir Al-Qur’an, studi ahdis, sejarah, tata bahasa, linguistik, kedokteran, dan sebagainya. Sebab, sekalipun seseorang mencari pengetahuan tentang sesuatu. Dia masih harus menerima otoritas orang yang ahli dalam bidang-bidang tersebut. Namun demikian, menerima otoritas begitu saja, pada hakikatnya tercela dan tidak bisa diandalkan, dan menimbulkan akibat-akibat merusak. Tidakkah engkau melihat bagaimana orang bodoh menjadi lebih keras kepala dalam masalah-masalah agama lantaran taklid buta dalam soal-soal agamanya, sementara orang yang akalnya sehat tidak mengalami nasib demikian. Wallahu a’lam.
Akan halnya bid’ah, banyak ayat Al-Qur’an dan hadis memberi kesaksian atas dosa bid’ah. Mislanya, Allah Swt. berfirman :”Bukanlah tanggung jawabmu mengurusi orang-orang yang memecah belah agamanya dan menjadi bergolong-golongan.” (Qs. 6:160). Para mufasir ayat itu mencatat bahwa inilah orang-orang yang cenderung memperturutkan hawa nafsu dan berbuat bid’ah. Allah Swt. berfirman : “Mereka tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka.” (Qs. 42:14). Dengan kata lain, orang-orang itu mengetahui bahwa mereka berbuat keliru dengan menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta membangkitkan permusuhan. Allah Swt. menyebut mereka sebagai “setan-setan dari jenis manusia dan jin, yang menggunakan muslihat guna membuat argumen-argumen mereka meyakinkan.” (Qs. 6:12). Muslihat di sini bermakna retorika yang anggun dan berhiaskan keindahan. Masih banyak lagi ayat lain seperti ini. Manakala Al-Qur’an berbicara tentang dosa memperturutkan hawa nafsu dan dosa bersandar pada argumen-argumen kosong, serta melarang kedua hal ini, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Barangsiapa menambahkan pada agama kami sesuatu yang bukan berasal darinya, maka dia itu durhaka.” Beliau juga bersabda : “Belumlah dikatakan beriman salah seorang di antara kamu, kecuali bila berpegang teguh pada apa yang aku bawa.” Dan lagi, “Mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) adalah jahat, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Dan Nabi Muhammad saw. juga bersabda : “Bani Israil pecah menjadi tuuh puluh dua sekte, dan umatku akan pecah menjadi tujuh puluh tiga. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Orang-orang pun bertanya, “Apakah yagn satu itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Yang mengikutiku dan mengikuti Sahabat-sahabatku.” Versi lain berbunyi : “Tujuh puluh dua masuk neraka dan satu masuk surga. Itulah Jamaah. Sungguh banyak orang bakal memisahkan diri dari Jamaahku setelah ditipu oleh tingkah-laku ini. Mereka tidak akan selamat, kecuali mereka bergabung dengan Jamaahku.”
26.
Seseorang berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Berilah aku nasihat.” Lalu Ibn ‘Abbas menjawab : “Jadilah seorang pemeluk (Islam) yang teguh, dan jangan menjadi ahli bid’ah.” Dan Ibn Mas’ud berkata, “Jika engkau seorang penganut teguh, dan tidak mengada-adakan bid’ah, maka cukuplah sudah engkau berbuat begitu.” Dia juga mengatakan, “Seseorang yang akan mengikuti Sunnah Nabi, mesti bertindak seperti Sahabat-sahabat Muhammad Saw., sebab merekalah umat terbaik, paling tulus hatinya, paling laim, dan paling rendah hati. Allah memilih mereka sebagai Sahabat-sahabat Nabi-Nya dan untuk menyebarkan agama-Nya. Karena itu, tirulah perilaku dan sifat-sifat khusus mereka, sebab mereka beroleh petunjuk yang lurus.”
Syurayh berkata, “Sunnah Nabi lebih utama ketimbang penalaran analogis. Ikutilah Sunnah dan jangan menjadi kaum ahli bid’ah serta jangan menyimpang dari Sunnah yang telah engkau terima. Dan Sya’bil berkata, “Jika engkau mengemukakan keberatan terhadap sikap tentang alam kematian, engkau bakal menghancurkannya.” Seseorang bertanya kepada Malik tentang satu masalah, dan Malik pun menjawab, “Rasulullah saw. berkata begini dan begitu.” Lalu orang itu bertanya, “Apakah pendapatmu juga demikian?”. Malik menjawab, “Hendaknya mereka yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Nabi berhati-hati agar mereka tak berselisih, atau azab neraka menimpa mereka.” Dan Abu Sufyan Al-Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah ketimbang keingkaran terang-terangan. Sebab orang bisa bertobat dari keingkaran, tapi tidak bisa bertobat dari bid’ah.”
Banyak ucapan dan hadis yang menyinggung hal ini. Bid’ah bermakna usaha menambah-nambahkan pada, atau mengemukakan argumen bertentangan dengan, kebenaran yang diajarkan Rasulullah saw., dengan mengklaim bahwa bid’ah adalah jalan lurus dalam bidang fatwa berkenaan dengan benar atau salahnya pengetahuan atau tindakan. Variasinya tak terhingga. Aku telah menyebutkan beberapa saja di antaranya di sini, sebab tak ada gunanya berpanjang-lebar tentang hal-hal itu. Akan tetapi, lewat contoh sejarah kongkret, aku kemukakan berikut ini :
Allah Swt. mengutus Muhammad saw. sebagai Rasul bagi segenap umat manusisa, dan sebagai pembimbing mereka menuju alam kedamaian. Di zaman pra-Islam, hiduplah orang-orang jahil dan orang-orang jahat sesat yang bersilang pendapat, dan bermacam-macam keinginan serta hasrat mereka. Pikiran mereka mendorong pola perilaku mereka yang sembrono. Karena pikiran mereka seperti itu, mereka hanya menyembah batu, matahari dan bulan. Akan tetapi, Allah Swt. berlaku baik kepada mereka. Dan mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka. Rasul itu adalah orang paling utama, paling baik di antara mereka, dan Allah memberinya sifat-sifat kesempurnaan dan akhlak luhur. Allah menganugerahkannya karunia-karunia mulia dan berbagai perintah.
Dalam diri dan sifat-sifat Nabi dijumpai tanda yang cemerlang dan kewibawaan luar biasa, sehingga api kesalahan pun padam manakala cahaya Nabi terbit. Jejak-jejak kejahilan sebelumnya pun terhapus, manakala jejak bekas-bekas jejak kakinya muncul, dan perselisihan pun berhenti. Itulah saat penuh kerukunan dan kedamaian, ketika orang-orang seiman menjadi bersaudara dan bersama-sama dalam mematuhi dan mentaati Tuhan Alama Semesta. Mereka jual jiwa mereka kepada Zat yang memiliki dan membebaskan mereka. Mereka puas hidup tanpa tujuan dan nilai duniawi ini. Mereka bahagia dalam ikrar kesetiaan dan berkata, “Kami telah beroleh nikmat-nikmat tak terkira dan tak terlukiskan nilainya.” Mereka menganggap persahabatand engan Rasul-Nya sebagai kekayaan tak ternilai dan benteng pertahanan paling kuat. Karena kecintaan mereka kepada Rasul-Nya, mereka jaga persahabatan mereka dengan segenap kehidupan mereka. Kalbu mereka tertuju hanya kepadanya sehingga mereka lebih mengutamakannya di atas segala sesuatu lainnya. Orang dewasa dan anak-anak tunduk pasrah pada keridhaannya dan berikrar setia kepadanya, sekalipun harus menanggung derita kematian, serta bersatu memuji dan memuliakan Nabi. “Sungguh, orang-orang yang berikrar setia kepadamu sebenarnya berikrar setia kepada Allah.” (Qs. 48:10). Itulah saat yang mulia, luhur, dan agung; dan aku tak mampu berbicara lebih banyak lagi tentang kemuliaan dan keluhuran amal serta keadaan spiritual mereka.
Semua yang kuktakan sejauh ini, ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mewariskan kepada kita agama orang-orang berakal dan bijaksana. Singkat kata, mereka bersatu-kata dalam beribadah kepada Tuhan mereka, serta bersatu-padu dalam mencari pertolongan dan pembelaan pada kalam Allah Swt. Sebab Allah Swt. mempersatukan mereka dalam keaptuhan pada satu hukum agama, agar mereka saling mengenal satu sama lain melalui ketaatan bersama kepada hukum itu, dan agar mereka menjadi seperti satu diri. Allah Swt. berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.” (Qs. 49:10). Dan juga, “Orang-orang mukmin – laki-laki dan perempuan – adalah pelindung satu sama lain.” (Qs. 9:71). Karena itu, Nabi saw. mewajibkan bersatu padu dan melarang keingkaran. Sebuah hadis sahih mengatakan, “Manakala seseorang menyaksikan pemimpinnya melakukan sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah dia bersabar; sebab barangsiapa memisahkan diri barang sejengkal pun dari jamaah, dan mati dalam keadaan itu, maka ia mati jahiliyah.”
Di akhir sebuah hadis panjang Nabi saw. bersabda :”Aku memerintahkan kepadamu lima hal, yang juga diperintahkan kepadaku oleh Tuhanku : Bersatu, penuh perhatian, berhijrah, serta berjuang di Jalan Allah. Barangsiapa meninggalkan Jamaah walau barang sejengkal pun, maka dia telah melepaskan diri dari Islam, kecuali dia kembali lagi. Dan barangsiapa menganut keyakinan jahiliyah, maka dia termasuk ahli neraka.” Yang dimaksdu Beliau dengan “melepaskan diri dari Islam” adalah memutuskan ikatan Islam, meninggalkan Sunnah Nabi, dan mengikuti bid’ah.
Sya’bi berkata : “Beberapa orang dari kufah pergi ke padang pasir untuk membaktikan diri beribadah kepada Allah. Mereka memutuskan membangun sebuah masjid, dan kemudian mendirikan sebuah bangunan. Ketika Ibn Mas’ud datang mengunjungi mereka, mereka berkata : “Salam atasmu, Wahai ‘Abd Al-Rahman. Kami sangat gembira engkau datang mengunjungi kami.’ Dia menjawab, ‘Aku datang bukan untuk berkunjung. Aku akan pergi setelah masjid di padang pasir ini dirobohkan. Kalian bertindak tidak sesuai dengan petunjuk Sahabat-sahabat Muhammad saw. Tidakkah kalian mengerti bahwa jika orang lain juga melakukan apa yang kalian lakukan ini, maka tak bakal ada seorang pun yang memerangi musuh, menganjurkan kebaikan, dan melarang kejahatan, atau menegakkan hukum? Kembalilah. Belajarlah dari orang-orang yang lebih tahu darimu, dan ajarilah orang-orang yagn lebih tidak tahu darimu.’ Dengan kata-kata ini, begitu dia berhasil meyakinkan mereka, dia baru pergi setelah kami merobohkan bangunan mereka dan membawa kembali orang-orang itu.”
Setelah Allah Swt. mengangkat Nabi-Nya, Muhammad saw. ke haribaan-Nya, sesuai dengan keridhaan-Nya, dan menganugerahinya rahmat dan kebaikan paling utama, Dia megangkat Khulafa’ Al-Rasyidin (Khalifah-khalifah Terbimbing Lurus) sebagai pengganti Nabi saw. untuk mendamaikan dan menunjukkan jalan lurus dan benar. Mereka mengikuti dan mempertahankan agama Nabi dan Sunnahnya, serta menebarkan cahaya-cahayanya yang terang serta tanda-tandanya yang cemerlang. Keadaan ini terus berlangsung selama kehidupan mereka, sampai Allah memanggil mereka ke hadirat-Nya. Akan tetapi, ketika zaman penuh kemuliaan dan keadilan mengalami kemunduruan, dan zaman kebaikan serta kemurnian telah lewat, maka, bersamaan dengan itu, padamlah cahaya-cahaya keyakinan dan keimanan.
28.
Lantas sifat-sifat “jiwa rendah (nafsu) yang sellau menyuruh kepada kejahatan” (Qs. 12:53) makin bertambah kuat dan merajalela. Hawa nafsu dan bid’ah bangkit; persatuan dalam agama tergadaikan; sengketa dan perpecahan pun muncul, sehingga setiap golongan dan daerah memiliki mazhab sendiri. Orang sibuk dengan bid’ah, dan terjerumus di bawah cengkeraman kekafiran dan kesesatan. Mereka tidak lagi menempuh jalan; hubungan pun terputus, orang saling memusuhi satu sama lain dalam kebencian, kedengkian dan dendam. Skandal ini bahkan melewati batas dan menumpahkan darah. Dan hal-hal buruk ini menyebabkan sebagian orang membuang cara berpakaian sopan, dan menampilkan diri dengan cara tidak senonoh. Mereka menukar agama mereka untuk membeli sesuatu yang tak berharga serta mengundang murka Allah, yang kepada-Nya mereka bakal kembali.
Proses ini berlangsung hingga zaman kita, sehingga kita pun mereguk minuman dari cangkir yagn sama. “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada Allah pula kami bakal kembali.” (Qs. 2:156). Nabi kita, Muhammad saw. diriwayatkan mengatakan : “Akulah pelindung bagi Sahabat-sahabatku. Akan tetapi, bila aku tiada, Sahabat-sahabatku akan menunaikan misi mereka dan menajdi pelindung bagi umatku. Karena itu, setelah aku wafat, umatku harus melaksanakan apa yang mereka putuskan.” Beliau juga mengatakan hal-hal seperti itu. Dan inilah saat-saat penuh perselisihan dan perpecahan yagn dilukiskan Nabi Muhammad saw. Beliau memerintahkan agar menarik diri dari masyarakat pada saat-saat seperti itu.
Di sini aku akan mengutip beberapa riwayat tentang perpecahan yagn berkaitan dengan berbagai cobaan dan godaan, dengan menggunakan hadis-hadis Nabi serta dengan mengingat mukjizat yang benar-benar menakjubkan (Al-Qur’an), berikut peringatan-peringatannya tentang segala kejadian yang hingga kini belum terungkapkan. Rasulullah saw. bersabda : “Bagaimanakah keadaan kalian semua pada saat itu ketika orang disaring seperti dalam saringan, sehingga yang tertinggal hanya ampas manusia, yang sumpah serapah dan ikrar setianya campur aduk tak karuan, ketika orang merasa asing satu sama lain dan mengjadi begitu?” – lalu beliau membuhulkan rapat-rapat jari-jemarinya. Mereka bertanya : “Akan bagaimana kami, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Kalian akan berbpegan teguh pada apa yagn kalian setujui, dan mencampakkan apa yang tidak kalian setujui. Kalian akan memperhatikan hanya apa yang berkaitan dengan sebagian kecil dari kalian, dan mengabaikan kepentingan sebagian besar orang.” Dan dalam sebuah hadis dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Nabi saw. bersabda : “Apa yang akan kalian lakukan manakala perpecahan menimpamu, supaya tindakan kalian didukung sebagian kecil orang dan diabaikan sebagian besar orang, dan manakala sebagian Sunnah Nabi dibiarkan tak dijalankan, maka akan dikatakan bahwa seluruhnya telah ditinggalkan?” Mereka bertanya : “Kapan hal itu akan terjadi, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Ketika para pembaca Al-Qur’an di antaramu berjumlah banyak, tapi jumlah ulama di antaramu sedikit; ketika jumlah pemimpinmu banyak, tapi jumlah orang mukmin di antaramu sedikit, dan ketika dunia ini mencari-cari amalan-amalan ukhrawi namun hanya dipenuhi selain Allah.” ‘Abd Allah ibn Mas’ud menambahkan, “Dan kita sudah sampai pada hal itu.”
29.
Mengomentari firman Allah Swt, “Jagalah (engkau bertanggung jawab atas) dirimu” (Qs.5:105), Nabi saw. bersabda : “Perintahkan kebaikan dan laranglah kejahatan; tetapi manakala kalian melihat keserakahan dan hawa nafsu menguasai, dan dunia ini lebih disikuai; serta manakala kalian melihat setiap orang alim kagum dengan pendpatnya sendiri, maka jagalah dirimu, dan tinggalkan orang banyak. Sebab, sesungguhnya hari-hari kesabaran pasti akan datang. Lalu, kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Seseorang yagn bertindak benar pada hari-hari itu akan menerima ganjaran lima puluh orang yagn ebruat seperti dia.” Seseorang berkata : “Ya Rasulullah, ganjaran lima puluh orang di antara mereka?” Beliau menjawab : “Ya, ganjaran lima puluh orang di antara kalian.” Dan beliau juga bersabda : “Berbuatlah kebaikan, sebelum perselisihan datang laksana kepekatan malam gelap, kala orang akan bangun di pagi hari dalam keadaan beriman, dan di sore hari menajdi kafir, atau di sore hari beriman, dan bangun di pagi hari dalam keadaan kafir, karena menukar agamanya dengan dunia ini. Al-Hasan berkata : “Ini berarti bahwa dia mengawali harinya dengan menghormati kehidupan dan harta saudaranya, dan mengakhiri harinya dengan memandangnya sebagai mangsa empuk.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Kalian hidup di suatu zaman, manakala seseorang mengabaikan sepersepuluh kewajibannya, dia bakal binasa; tapi akan datang suatu zaman, manakala seseorang menunaikan sepersepuluh kewajibannya, dia bakal selamat. Sungguh, hari-hari kesabaran akan datang, ketika kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Mengerjakan amal-amal ibadah sederhana pada zaman penuh kehancuran, itu sama bermanfaatnya dengan datang kepadaku sebagai orang-orang yang berhijrah. Ibn Adi berkata : “Kami pergi mengunjungi Anas ibn Malik, dan mengadu kepadanya bahwa kami tak pernah bertemu dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Lalu dia berkata, ‘Di antara orang banyak itu, ada seorang yang lebih jahat ketimbang yang lainnya, sampai engkau datang menemui Tuhanmu. Aku mendengar ini dari Rasulullah saw.
Diaktakan oleh riwayat dari Hudzayfah, “Rasulullah saw. menuturkan dua buah hadis kepada kami. Salah satunya, kulihat, telah terbukti kebenarannya. Dan satunya lagi, sedang kutunggu. Beliau menuturkan keapda kami bagaimana dapat dipercaya sifat amanah turun masuk ke dalam kalbu manusia. Lalu Al-Qur’an diwahyukan, sehingga mereka membaca Al-Qur’an dan bertindak sesuai dengan Sunnah Nabi. Kemudian beliau menuturkan kepada kami bagaimana situasi itu menjadi memburuk. Sifat dapat dipercaya dicabut ketika seseeorang sedang tidur; lalu dia bangun dan mendapati sifat itu telah diambil dari kalbunya. Bekas-bekasnya laksana kudis dan luka melepuh akibat bara api di kakimu. Dilihantya luka bengkak, tapi tak ada sesuatu pun di dalamnya. Sifat itu sudah sangat berkurang, sehingga akan dikatakan bahwa di kalangan suku anu ada seseorang yagn dapat dipercaya. Aku telah meliaht zaman ketika aku tidak ambil peduli pada hal yagn aku berurusan denganmu; sebab jika dia seorang Muslim, maka Islamnya bakal menuntun dia berlaku adil kepadaku, kalau tidak, penguasa akan memaksanya berlaku demikian. Akan tetapi, aku tak membeli sesuatu pun darimu kecuali anu dan anu.”
Versi lain dari sabda ini diriwayatkan demikian : “Seseorang tidur sebentar dan sifat dapat dipercaya akan dihilangkan dari kalbunya, sehingga hanya bekas-bekasnya saja yang tertinggal. Kemudian dia akan tidur lagi, dan lagi-lagi sifat dapat dipercaya bakal diambil dengan meninggalkan tanda seperti luka melepuh akibat bara api mengenai kakimu. Bara api meninggalkan luka melepuh, tapi akan engkau lihat bahwa luka melepuh itu berangsur-angsur bakal hilang sampai tak tersisa sedikit pun. Orang akan bangun di pagi hari dan saling berurusan satu sama lain, tapi nyaris tak ada di antara mereka hidup sesuai dengan kejujuran. Dan orang akan dikatakan betapa cerdas dan pandai dia. Akan tetapi, dalam kalbunya tak ada seberat biji sawi pun kejujuran.
Haids lainnya mengatakan : “Orang biasa bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan; tetapi aku (Hudzayfah) bertanya kepada beliau tentang kejahatan, lantaran aku takut kalau-kalau hal itu menipuku. Karena itu, aku berkata : “Ya Rasulullah, kita pernah hidup di zaman jahiliyah dan kejahatan, lalu Allah memberi kita zaman penuh kebaikan ini. Akankah kejahatan mengikuti kebaikan?” Beliau menjawab : “Ya. Lalu aku bertanya, ‘Apakah akan ada kebaikan setelah kejahatan itu?’ Belaiu menjawab : “Ya, tapi akana da kabut asap di dalamnya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kabut asap itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang akan mengikuti jalan hidup yang bukan jalan hidupku, dan memberi petunjuk yang bukan petunjukku, sehingga kamu akan emngetahui sebagian kebaikan dan sebagian kejahatan di dalamnya.’ Aku bertanya lagi, ‘Dan setelah kebaikan, akankah ada kejahatan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, Orang akan berdiri di gerbang neraka menyeru-nyeru; dan mereka bakal melemparkan ke dalam neraka siapa saja yang menjawab seruannya.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, gambarkan sosok orang itu kepada kami.’ Beliau menjawab, “Mereka itu orang-orang setanah air dengan kita, dan mereka berbicara dengan bahasa kita pula.’ Lalu aku bertanya, ‘Nasihat apa yang bisa engkau berikan kepadaku bila aku sempat hidup mengalami zaman itu?’ Beliau menjawab, “Ikutilah Jamaah kaum Muslim dan pemimpinnya.’ ‘Tapi bagaimana bila mereka tidak memiliki jamaah dan pemimpin?’ Aku bertanya. Belia menjawab. “Kalau memang begitu, hendaknya kamu memisahkan diri dari golongan orang seperti itu, sekalipun untuk itu kamu harus berpegang erat pada akar pohon sampai kamu mati.”
Dari Usamah ibn Zayd, kita dapatkan riwayat ini : “Rasulullah saw. melihat ke bawah dari salah sebuah benteng di Madinah dan bertanya, ‘Apakah engkau melihat apa yang aku lihat?’ Mereka menjawab. ‘Tidak.’ Lalu berliau berkata, ‘Aku melihat pertikaian di antara rumah-rumahmu, seperti hujan deras turun.” Ucapan lainnya berbunyi, “Percayalah kepadaku, bakal ada pertikaian, dan orang yang duduk lebih baik ketimbang orang yang berdiri, dan orang yang berdiri akan lebih baik ketimbang orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik ketimbang orang yang berlari. Orang yagn melihat perselisihan akan terpikat. Karena itu, orang yang bisa mencari temepat perlindungan hendaknya berlindung di dalamnya.” Beliau juga berakta, “Tidak lama lagi milik terbaik seorang Muslim adalah domba yang dia gembalakan ke puncak gunung dan tempat-tempat turun hujan, ketika itu dia akan lari dari perselisihan dan membawa serta agamanya.”
Perhatikan hal ini berikut apa yang telah aku kutip dari Ibn Mas’ud mengenai orang-orang yang memisahkan diri, dan perbedaan antara berbagai zaman pun akan nampak di matamu. Ibn Mas’ud mengatakan bahwa di zamannya “kejelasan telah lenyap dari dunia ini, dan hanya kekaburan dan keburaman saja yang tersisa, sehingga dewasa ini kematian menjadi anugerah bagi setiap Muslim.” Masih ada banyak lagi hadis tentang perpecahan.
Salah satu hadis itu bercerita bagaimana “akan datang suatu zaman ketika orang bakal tersesat dalam agama mereka, tapi mereka tidak menyadarinya. Orang akan bangun pagi sebagai orang religius, dan mengakhiri harinya tanpa mengetahui apa itu agama. Di zaman itu, kecerdasan banyak orang akan diambil. Yang pertama kali diambil adalah kerendahan hati, lalu keimanan,dan kemudian ketakwaan kepada Allah.” Seseorang bertanya kepada Ibn Al-Mubarak apakah keadilan bakal terwujud setelah duaratus tahun. Ibn Al-Mubarak menjawab, “Aku tengah membicarakan hal itu bersama Shamad ibn Sulmah. Dia jadi gelisah serta berkata, “Jika engkau bisa sebelum duaratus tahun itu, lakukanlah! Sebab pada zaman itu bakal muncul pangeran-pangeran lancung, menteri-menteri zalim, orang-orang istana tak setia, dan pembaca-pembaca Al-Qur’an jahat, yang pembicaraan mereka tercela dan yang oleh Allah dipandang sebagai orang-orang berbau busuk.”
Nah, jika semuanya aitu memang begitu di zaman mereka, tidakkah engkau peraya bahwa dewasa ini demikian juga keadaannya? Di zaman-zaman ini, orang pandai mesti minta nasihat pada dirinya sendiri dan menghindari anak-anak suku bangsanya. Dia mesti memenukan sabahat sejati dan teguh yang menempuh jalan kemajuan yang jelas, dan yang meriwayatkan hadis-hadis dengan benarserta mengikuti cara hidup Nabi. Sebab Allah Swt. mewajibkan pada zaman mana pun untuk mempertahankan agama (Islam) dan melawan kaum ahli bid’ah. Allah Swt. membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan akan kebenaran-Nya dan dengan demikian membimbing mereka di sepanjang Jalan-Nya.
31.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Golongan yang meninggalkan jamaahku,  berada dalam kesesatan, dan tak seorang pun yang menetang Jamaahku bakal merugikannya kecuali bila Allah mengizinkannya.” Berbicara tentang pengetahuan dan ulama, ‘Ali – semoga Allah meridhainya – berkata di akhir sebuah hadis  yagn diriwayatkan dari Kumail ibn Ziyad Al-Thawi, “Ya Allah, jangan biarkan bumi ini kosong dari seseorang yang pernuh perhatian pada hujah-Mu di muka bumi, entah hujah itu nampak dan dikenal atau tersembunyi dan tak dikenal, agar hujah dan bukti Allah tidak hilang. Di mana orang-orang seperti ini, dan berapa banyak jumlahnya? Jumlah mereka sedikit, , tetapi kekuatan mereka besar. Allah menjaga hujah-hujah-Nya, sampai orang-orang yang merenungkannya mengenalinya dan mematrikan citranya dalam kalbu-kalbu mereka. Lalu dia menuntun mereka menuju pengetahuan tentang Kebenaran Mistik dalam agama, sehingga mereka mengikuti ruh keyakinan. Merekan memandang ringan apa saja yagn dianggap sukar oleh orang-orang yang hidup dalam kemewahan, dan mereka kenal betul apa yang orang-orang jahil terasing darinya. Di dunia ini, mereka hidup dalam raganya, tapi jiwa mereka asyik dengan alam tertinggi. Inilah khalifah-khalifah Allh di muka bumi, yang menyeru manusia kepada agama-Nya dengan mengatakan ‘Lihat ke sini! Lihat ke sini!’ dengan harapan bahwa mereka akan melihat. Wahai Kumail, aku memohon ampunan Allah untuk kita berdua.” Dan akhirnya ‘Ali berkata, “Dan sekalipun orang-orang seperti ini terus berkurang jumlahnya, sampai hanya tinggal seorang, maka yang seorang itu pun akan merupakan Jamaah,”
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn Al-Mubarak tentang apa yang diperlukan untuk membentuk majelis jamaah. Dia menjawab, “Abu Bakar dan ‘Umar,” orang itu berkata, “Tapi Abu Bakar dan ‘Umar sudah meninggal.” “Kalau begitu, maka si anu dan si anu,” katanya. Orang itu lalu berkata, “Tapi mereka juga sudah meninggal.” Kemudian, dia berkata, “Abu Hamzah Al-Sukri adaah majelis jamaah.” Ketika menjelaskan makna istilah majelis atau jamaah, Sufyan Al-Tsauri berkata, “Jika di atas puncak gunung ada seorang bijak bestari, maka dia adalah jamaah.” Ia membenarkan apa yagn telah aku katakan.
Akan tetapi, aku telah melantur. Karena itu, baiklah aku kembali pada pokok bahasanku. Segala sesuatu yang aku bicarakan dalam surat ini mengacu kepada salah satu jenis bid’ah. Apa pun sebab-sebabnya, bid;ah menimbulkan perselisihan, kontroversi, skisme, dan perpecahan. Hal-hal seperti ini terjadi di kalangan orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan sia-sia yang timbul akibat fanatisme mereka yang bersifat memecah belah. Mereka mengetahui mana yang penipu dan mana orang yang berbicara beanr. Marilah kita analisis masalah ini lebih jauh. Perpecahan, di antara para penipu, timbul karena hasrat destruktif dan bujuk rayu setan. Penyebab perpecahan di kalangan orang-orang beriman adalah ketaatan mereka kepada syarat-syarat keimanan dan perintah-perintah yang mesti diikuti oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, di antara orang-orang beriman, terjadi penggolongan lantaran sebab-sebab yang berbeda, seperti misalnya dalam kasus perselisihan kaum sufi dan para faqih (ahli hukum Islam) atas masalah-masalah hukum dan prinsip-prinsip Hukum Wahyu. Hanya saja, perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang masalah-masalah itu, adalah rahmat; sebab Allah karena rahmat-Nya, tidak ingin memaksa kita dalam praktik keimanan.
Perselisihan jenis terakhir ini terjadi juga di antara kelompok mulia sufi, tapi tidak mengandung rasa permusuhan dan kebencian. Sebab mereka semua mencari kebenaran dan menempuh jaan ketulusan. ‘Awn ibn ‘Abd Allah berkata, ‘Sungguh indah ketika Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. tidak merasa asing satu sama lain, sehingga manakala mereka bersatu kata tentang sesuatu dan seseorang memisahkan diri dari sikap mereka, maka berarti dia telah meninggalkan Sunnah Nabi. Namun jika mereka mengemukakan berbagai pendapat, dan seseorang mengikuti salah satu pendapat mereka, maka orang itu tetap mengikuti Sunnah Nabi.” Rahasia dari hal itu adalah, seperti telah aku katakan, bahwa persoalannya, terletak pada keadaan mengikuti pendapat yang mungkin, bukannya memaksakan kesamaan.
32.
Hal serupa juga bisa dikatakan tentang perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang mengerti masalah-masalah esoteris atau batiniah yang berkaitan dengan kemajuan kalbu dan kedudukan pencinta dan yang dicicntai. Ini sepenuhnya merupakan kontroversi berkenaan dengan hubungan antara Kebenaran Mistik dan variasi keadaan spiritual serta tingkat kepekaan individu. Masing-masing pendapat itu menyuarakan pengalaman mistik yang terjadi dalam konteks kapasitas tertentu seseorang. Kemampuan untuk melihat mana orang yang mengatakan kebenaran dan mana orang yang berkata dusta, sangat sulit dipahami. Orang yang menginginkan hal itu haruslah melipatgandakan usahanya untuk mematuhi aturan-aturan praktik keagamaan dan usahanya meneliti kehidupan dan hadis-hadis Nabi, agar memahami semuanya itu dalam kalbunya dan agar tidak taklid buta, dengan cara mencari keberhasilan dan penegasan dari Tuhannya.
Sebelumnya aku telah memperingatkanmu agar hati-hati terhadap orang-orang yang mengamalkan bid’ah yang bertalian dengan rukun iman, ilmu lahiriah dan batiniah, dan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan Sunnah Nabi. Sesungguhnya, hal itu mencakup semua jenis bid’ah pada akhirnya. Salah seorang ulama mengatakan, “Bersahabat dengan ahli bid’ah pada akhirnya menghilangkan cahaya kalbu dan perbuatan baik, sehingga dibenci oleh Allah dan jauh dari-Nya.” Sahl ibn ‘Abd Allah berkata, “Barangsiapa memperlakukan ahli bid’ah dengan lemah lembut, berarti dia merusak Indahnya Jalan Nabi; dan barangsiapa memberikan senyuman kepada seorang ahli bid’ah, berarti dia kehilangan cahaya iman dalam kalbunya.” Dan salah seorang ulama berkata, “Tobat dari bid’ah tidak membawa keberhasilan; sebab sekalipun seseorang kemudian menemukan sebagian Kebenaran, dia masih belum mengecap Kebenaran Mistik.
Selain bid’ah dalam pengetahuan dan tindakan, yang banyak sekali jumlahnya, yang aku sebutkan dalam uraianku tentang bid’ah, masih ada lagi lainnya. Yang meliputi kebenaran, berlebih-lebihan, pemborosan, kearas kepala – yang kesemuanya itu tercela dan sama sekali bukan bagian dari Sunnah Nabi. Setelah engkau mencerna apa yang telah aku bicarakan, engkau akan mengerti bahwa satu-satunya golongan yagn berhasil mengikuti Sunnah Nabi adalah golongan sufi ini, paling tidak sebelum diperkenalkannya hal-hal baru di kalangan mereka dalam waktu-waktu belakangan ini. Perhatian utama kaum sufi adalah hal-hal yagn tidak ada dalam diri orang-orang yang terombang-ambing dalam kesesatan, yakni berjuang melawan jiwa rendah agar tercegah dari mengikuti hawa nafsu, dan membebaskan diri sepenuhnya dari dunia ini. Tujuan mereka adalah memusatkan kalbu pada Tuhan dan tenggelam dalam pengalaman dan kedekatan dengan-Nya.
Tujuan itu meliputis emua kewajiban agama, peringkat (maqam) orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) dan keyakinan, serta keadaan spiritual mereka vis a vis Sunnah Nabi. Peringkat mulia mereka diperoleh mereka karena mereka memegang teguh perilaku yang ditetapkan Hukum Wahyu. Tak ada seorang adil pun  yang bisa mencurigai bahwa mereka tidak lagi menaati Sunnah Nabi sebagai tujuan paling mulia mereka. Dan meskipun demikian, mereka dihukum lantaran hal itu, padahal sesungguhnya mereka itulah yang disebut-sebut Nabi Muhammad saw. ketika abeliau berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai beberapa orang hamba yang menjadi kurus dan yang oleh Allah Swt. dijadidkan sehat dengan rahmat-Nya serta disejahterakan oleh-Nya. Dan manakala meninggal dunia, Dia memasukan mereka ke dalam surga-Nya. Mereka itulah orang-orang yang berbagai perselisihan menimpa mereka seperti kegelapan malam, namun mereka selamat.
33.
Abu Al-Qasim Al-Junayd, tokoh dan pemimpin kaum sufi, berkata, “Semua jalan tertutup bagi makhluk-makhluk Allah, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah saw. “ Katanya juga, “Seseorang yang tidak hafal Al-Qur’an dan tidak tahu hadis, tidak bisa diikuti, sebab segenap pengetahuan kita termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi.” Selanjutnya dia mengatakan, “Pengetahuan kita ini berdasarkan pada enam hal : Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, makan-makanan halal, menahan diri dari menyakiti roang lain dan menghindari dosa-dosa, tobat dan mengupayakan keadilan.” Abu ‘Utsman Al-Hirri berkata, “Barangsiapa menjadikan Sunnah Nabi sebagai penguasa atas dirinya dalam kata-kata dan perbuatan, maka dia telah berbicara dengan hikmah; barangsiapa membiarkan hawa nafsu menguasai dirinya, maka dia berbicara sebagai ahli bid’ah.” Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu beroleh petunjuk....” (Qs. 24:54). Ibn ‘Atha’ berkata, “Manakala seseorang mengikuti Sunnah Nabi, Allah menerangi kalbunya dengan cahaya makrifat.”
Tak ada kedudukan yang lebih mulia daripada mengikuti Sang Tercinta (Allah Swt), Nabi Muhammad saw. dalam berbagai perintah, tindakan dan kepribadian. Abu Hamzah Al-Baghdadi mengatakan, “Seseorang yang mengetahui Jalan Allah, tidak mendapat kesulitan mengikutinya. Dan satu-satunya pemandu menuju Jalan Allah adalah mengikuti Rasulullah dalam berbagai tindakan, keadaan spiritual dan kata-katanya.” Abu Bakar Al-Thamastani berkata, “Barangsiapa menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi sebagai sahabat-sahabatnya, dan meninggalkan jiwa rendahnya serta dunia makhluk, dengan melakukan Hijrah menuju Allah dalam kalbunya, maka dia adalah orang yang lurus dan adil.” Dan Abu Al-Qasim Al-Nashrabadzi mengatakan, “Prinsip-prinsip dasar tasawuf adalah mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Nabi, meninggalkan bid’ah, menghargai tinggi-tinggi kritik dan kecemasan guru-guru spiritual, melihat berbagai muslihat dunia ini, sabar dalam melaksanakan kebaktian-kebaktian spiritual dan meninggalkan pencarian kemewahan dan berbagai penafsiran sisa-sia.”
Abu Yazid Al-Bisthami berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Mari kita pergi melihat orang ini yang telah mengukir reputasi kewalian. “Orang yang disebut-sebutnya ini terkenal karena kezuhudannya. Dia melanjutkan kisahnya : “Lalu kami pun pergi. Ketika orang itu keluar dari rumahnya, dia masuk masjid dan meludah ke arah mihrab. Abu Yazid memalingkan muka tanpa menguapkan salam pada orang itu, dan berkata, “Ini bukan gambaran perilaku Nabi saw. Bagaimana bisa orang ini menjadi contoh dalam apa yang dia mohonkan?” Abu Yazid juga mengatakan, “Aku bermaksud memohon kepada Tuhanku, Allah Swt. agar menghilangkan keinginanku pada makanan dan pada wanita. Tapi kemudian aku berkata pada diriku sendiri, “Bagaimana mungkin memohon hal ini kepada Allah, seemntara Rasulullah saw. tidak melakukan hal demikian?” karena itu, aku tidak memohonnya. Kemudian aku tidak lagi peduli apakah aku melihat wanita atau tembok!”
Ja’far ibn Nashayr bertanya keada Bakran Al-Dinawari, hamba sahaya Al-Sybli, “Bagaimana pendaptmu tenetang Al-Sybli?” Bakran berkata, “Dia pernah ebrcerita kepadaku, ‘Aku pernah memperoleh satu dirham secara tak jujur, lalu aku menyedekahkannya atas nama pemiliknya; tapi hatiku tak pernah mengalami kebingungan melebihi saat itu.’ Lalu, dia memerintahku untuk melakukan wudlu’ baginya. Aku melakukannya, tapi aku lupa menyisir jenggotnya. Dia tak bisa berbicara, lalu memegang tanganku dan menelusurkan tanganku itu ke jenggotnya. Kemudian dia meninggal.” Ja’far meenangis dan berkata, “Apa katamu tentang seseorang yagn dalam hidupnya tak pernah diingatkan akan perilaku yang ditetapkan oleh Hukum Wahyu?”
34.
Masih banyak lagi kisah lain seperti itu tentang kaum sufi. Aku cukup menyebutkan beberapa di antaranya. Semoga dengan kisah-kisah itu, Allah menjadikan kita bisa mengambil manfaat dan berkahnya, serta mengumpulkan kita dalam barisan mereka, dan menjadikan kita mampu menempuh jalan mereka. Seseorang yang menmpuh jalan mereka, dan lebih menyukai jalan mereka ketimbang jalan para faqih, akan menyusul mereka dan berjalan selaras dengan mereka dalam ajaran dan pemikiran. Wallahu a’lam.
Kemudian, inilah yang ingin aku katakan tentang taklid buta dan bid’ah. Belum kutemukan seorang ulama yang menyebutkan batasannya, tetapi aku telah membuat kesimpulan-kesimpulan dari makna yang dimaksud dan generasi-generasi tersiratnya. Barangkali, apa yang kukatakan ini bisa diterima akal, tapi hanya Allah Swt sajaah yang menganugerahkan keberhasilan melalui kebaikan dan kemurahan-Nya.
Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri surat ini dengan kutipan dari seorang pemimpin agama terkemuka, Al-Hasan ibn Al-Hasan Al-Bashri, semoga Allah meridhainya. Dia mengajak kita untuk memperhatikan cara lama dan terlupakan, yaitu cara memperoleh keberhasilan, yang mesti dipelajari oleh orang yang memiliki niat luhur. Kupikir, dengan cara begini aku bisa meringkaskan apa yang telah aku bicarakan, dan mengakhiri tujuanku.
Mengomentari firman Allah Swt, “Sungguh dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu.” (Qs. 33:21), Hasan, semoga Allah meridhainya, berkata :
Allah memilih Muhammad saw. untuk menerima pengetahuan, dan menurunkan Kitab-Nya kepadanya, serta mengutusnya sebagai Rasul bagi kaumya. Lalu memberikan tempat kepada Nabi di dunia ini agar orang-orang di dunia ini melihatnya. Dia juga memberinya kekuasaan di dunia. Lalu Dia berfirman, “Sungguh, dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu.” Tapi, demi Allah, orang-orang dalam kabilahnya melecehkan teladan itu. Maka Allah pun menjauhkan mereka dari-Nya. Keselamatan, keselematan! Wahyu, Wahyu!. Dengan itulah engkau bakal bangkit! Di dalamnya engkau akan bahagia! Ikatan dunia ini diputuskan darimu, dan pintu-pintunya pun tertutup bagimu. Seolah-olah engkau adalah iring-iringan penunggang kuda yang sedang berhenti – seruan salah seorang darimu itu sendiri adalah jawabannya. Kondisi dunia ini bergantung kepada ikrar Rasulullah saw. tapi engkau menerjunkan diri ke dalam dosa dunia ini, karena itu, demi Allah, segala yang kita ketahui tentang apa yang tersisa, adalah perhitungan akhir.
Ketika Allah Swt mengutus Nabi-Nya, Dia mengatakan, “Inilah seorang Nabi, inilah kesayangan-Ku. Ikutilah teladan dan Jalannya. “Di hadapan Nabi tak ada pintu terkunci; di ahdapan dia, tak seorang penjaga pintu pun yang bangkit berdiri. Nabi tidak makan pagi dengan mangkok, pun tidak tinggal diam. Tapi dia senantiasa pergi ke luar. Siapa saja yang ingin menemui Rasulullah saw. pasti menemuinya. Dia duduk di tanah, dan meletakkan makannya di tanah, serta mengenakan pakaian kasar. Dia menunggang keledai, dan menjilati tangannya. Dan Nabi pun bersabda, “Barangsiapa memandang hina Sunnahku, maka dia bukan golonganku.”
Banyak orang yang menghindari Sunnahnya dan memisahkan diri darinya. Kaum kafir! Kaum pendosa! Makanan mereka adalah riba dan dendam. Tuhanku telah menyatakan mereka sebagai orang-orang bodoh, dan menghinakan mereka. Mereka menyatakan bahwa tak ada sesuatu yagn salah berkenaan dengan cara mereka makan, minum, dan menghias diri. Mereka memaknai firman Allah Swt menurut diri mereka sendiri. “Katakanlah; Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik yang disediakan oleh-Nya?” (Qs. 7 : 32). Akan tetapi, hal-hal seperti ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat setan, dan setan menjadikan hal-hal itu sebagai tempat bermain perutnya dan sistem pencernaannya.
35.
Para sahabat Rasulullah saw. bertindak sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad saw. Mereka mengamalka apa yang mereka dakwahkan, dan mendakwahkan apa yang mereka amalkan. Ketika malam tiba, mereka berdiri dan menutupi wajah mereka. Air mata mengalir di pipi. Mereka menginginkan adanya kebebasan bagi budak-budak mereka. Manakala sebagian kebaikan ini ditawarkan kepada mereka atau disediakan buat mereka, mereka mengambilnya sebanyak yang mereka perlukan dan menyisakan kelebihannya untuk kehidupan mendatang. Mereka bersyukur kepada Tuhan aatas hal itu, dan menjual jiwa mereka demi kebaikan. Dan manakala hal-hal yang baik itu diambil dari mereka, mereka bergembira dan berkata, “Ini adalah sebagian dari keridhaan penuh perhatian Allah Swt.” jika mereka mengerjakan kebaikan, mereka merasa bahagia dan memohon kepada Allah agar menerimanya. Dan manakala mereka beruat maksiat, mereka merasa sangat menyesal dan memohon ampunan Allah. Mereka selalu bertindak dengan cara demikian. Dan,demi Allah, hanya melalui ampunan saja mereka terbebas dari dosa atau dianugerahi Surga.
Orang berhasrata pada agama dan bergegas menuju kepadanya. Orang mukmin mengerjakan amal-amal kebaikan, dan merasa khawatir kalau-kalau tidak diterima. Akan teatpi, setelah mereka, datanglah orang-orang yang berbuat kemungkaran, merasa aman dan tidak khawatir sedikit pun bahwa mereka bisa terjebak dalam perbuatan mereka. Di antara orang-orang dalam Jamaah ini, ada orang-orang yang mungkin hidup lima puluh tahun tanpa memiliki sehelai pakaian pun untuk dilipat, tanpa sesuatu pun untuk diletakkan antara diri mereka dan tanah, dan yang tidak memerintahkan keluarganya untuk menyiapkan makanan apa pun yang menarik bagi mereka. Manakala orang seperti ini memasuki rumahnya, dia masuk dalam keadaan kurus kering dan lemah. Manakala ajakan kepada keimanan ini datang kepada mereka, mereka menerimanya dengan tulus; dan dalam kalbu mereka timbul keyakinan tentang hal itu. Kalbu, badan, serta mata mereka tunduk kepada ajakan itu, seolah-olah mereka melihat apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan, demi Allah, mereka sama sekali bukan kaum yang cenderung pada perselisihan, atau kesombongan, atau kepura-puraan.
Perintah datang pada orang-orang ini dari Allah Swt. dan mereka pun meyakininya, sehingga Allah melukiskan mereka dengan pujian tertinggi dalam Kitab-Nya ketika Dia berfirman, “Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih adalah orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” – kata kerendahan hati dalam bahasa Arab bermakna kelemah-lembutan, ketenangan dan ketulusan – dan selanjutnya Allah berfirman, “Dan manakala orang-orang jahir menyapa mereka, mereka menjawab ‘Salam” (Qs. 25:63). Inilah orang-orang mulia, bertakwa kepada Allah dan sabar. Jika mereka dizalimi, mereka tidak membalas. Jika mereka diperlakukan dengan jahil, mereka membalas dengan kemuliaan, dan mereka sabar hingga Allah memudahkan jalan mereka. Begitulah cara hamba-hamba Allah berurusan dengan orang lain.
Malam hari mereka mengikuti siang hari mereka, dan malam hari mereka lebih baik. Sebab mereka menghabiskan malam hari dengan bersujud di hadapan Tuhan mereka, dan berdiri tegak di hadirat-Nya, dengan menutupi wajah mereka. Air mata mereka mengalir ke pipi disebabkan perpisahan dari Tuhan mereka. Itulah sebabnya, mereka bangun malam di hadapan-Nya, dan itulah sebabnya siang hari mereka terasa kurang penting. “Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan kami dari azab Jahannam, sungguh, azabnya adalah kebinasaan kekal.” (Qs. 25:65). Segala sesuatu bakal musnah, dan juga binasa; tapi selama langit dan bumi masih ada, penderitaan pun tak bisa dihindarkan. Orang-orang ini bersaksi kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Orang-orang beriman bekerja keras, tapi tidak merasa lelah.
Dan engkau – semoga Allah menganugerahimu keimanan ini; sebab Allah tidak memiliki anugerah lebih baik bagi hamba-Nya di dunia ini maupun di akhirat nanti (selain iman ini). Orang-orang beriman bersabar, patuh, bertakwa kepada Allah, dan bersikap hormat. Demi Allah, seorang hamba tidak bisa memahami Tuhannya sedemikian rupa sehingga dia menjadi sombong atau angkuh. Seorang hamba mencari anugerah ini dan dengan berusaha keras mendapatkannya, sambil senantiasa bersaksi kepada Allah baik secara sembunhi maupun terang-terangan, hingga maut menjemputnya. Lalu, Tuhannya mendengar pujian umat-Nya : “Mereka berkata : ‘Tuhan kami ialah Allah, ‘dan kemudian mereka menempuh Jalan Lurus.” (Qs. 41:30). Demi Allah, mereka benar-beanr memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) tentag-Nya, dan mereka pun bergegas mematuhi-Nya : “Malaikat turun kepada mereka, dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan bersedih hati : dengarkanlah kabar gembira tentang surga yang dijanjikan kepadamu.” (Qs. 41: 30). Mereka tinggalkan dunia pada kaumnya, tapi yang demikian itu tidak membuat mereka sedih. Pun tidak pula mereka berlomba-lomba dengan kaumnya mencari kejayaan duniawi ini. Karena mulia, alim, dan bijak, maka mereka adalah lentera-lentera petunjuk yang membawa orang keluar dari segenap perselisihan duniawi yang gelap. Penduduk bumi tidak mengenal mereka, tapi penduduk langit mengetahui mereka.
Di sini, aku tidak akan melanjutkan lagi kutipan dari apa yang dikatakan Hasan. Kata-katanya merupakan mutiara sangat indah dan pemikiran yang agung, seperti kata-kata alim lainnya. Bahkan lidah-lidah paling fasih pun tak mampu mengungkapkan hal-hal seperti itu. Dan seseorang yang merenungkan soal-soal ini, tak bisa lain kecuali amat terpesona dan terkagum-kagum. Dengan itu, kita mengikuti masalah-masalah tersebut dan sampai pada tujuan kita. Beetapa besar jasa kedudukan spiritual Hasan dalam membantu agama dan dalam meluluhlantakkan kemurtadan, dalam membimbing orang yang ingkar menuju Jalan Lurus dan dalam mengajari orang-orang jahil! Semoga Allah memberinya balasan dan gamnjaran besar atas hal ini. Dan semoga pula Allah memberi kita keberhasilan dalam mengikuti jejak langkah Hasan dan tercerahkan oleh cahay-cahayanya.

SURAT KEEMPAT

Kepada Muhammad ibn Adibah. Sebuah bab tentang perilaku mereka yang menekuni ilmu-ilmu hukum (fiqih), tentang bid’ah, serta berbagai kesalahan yagn menjadi tanggung jawab mereka..

Hendaknya engkau memhamai bahwa dewasa ini bid’ah merajalela di kalangan orang-orang seperti ini, dan akibatnya adalah perpecahan dan pengaruh membahayakan. Penyebabnya adalah niat buruk metode penyelidikan mereka dan karena mereka tidak mengetahui kegunaan dan penerapan hukum. Kekeliruan niat mereka selalu menjerumuskan mereka ke jurang ketertipuan. Karena tak mengetahui makna hakiki ilmu, kalbu mereka tak meiliki cahaya. Mereka telah menjadi lambang memudarnya penglihatan dan akan menyadari rasa malu mereka ketika relung kalbu mereka diadili. Engkau hanya perlu mengamati tindakan mereka dan memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan spiritual mereka agar engkau meyakini kelogisan dan ketepatan dari apa yang telah aku katakan tentang mereka. Kabar angin tidaklah bisa menggantikan kesaksian. Tak ada sesuatu pun yang bisa memberikan kejelasan, kecuali melihat dengan mata kepala sendiri.
Singkatnya, seseorang yang menggeluti ilmu-ilmu ini, dengan maksud jahat dan tipu muslihat dalam kalbunya, akan terpedaya sejak permulaan. Biasanya, orang seperti ini mengemukakan beerbagai macam penafsiran yagn tak bisa diterima, dan dalam proses itu sifat-sifat hawa nafsu tercelanya menjadi bertambah kuat. Keadaan ini tak pelak lagi mengakibatkan timbulnya banyak kemaksiatan dan kemunduruan, sementara orang tersebut mengira bahwa Tuhannyalah yang telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan hal itu!
Andaikan salah seorang faqih ini menekuni pekerjaannya dengan hal-hal yang telah dinyatakannya sebagai niat yang suci. Dia yakin bahwa Tuhannya bakal memberi ganjaran atas kegiatan mengkaji dan belajarnya. Dia mengira bahwa dia menghabiskan waktunya sebagaimana mestinya dan bahwa dia terbebas dari motif jahat. Lalu musuh terkukuhnya menjarah dirinya, mengalahkannya dengan segala muslihat dan kebenaran setengah-setengah, membuatnya hanya ingat kepada sifat-sifat mulia orang-orang alim dan status tinggi kaum faqih dan kaum intelktual. Sementara orang yang malang itu tidak menyadari bahwa dirinya telah dikelabui oleh setan. Dia telah terjerumus dalam cengkeraman musuh, menolak hal-hal yang mengikat dirinya dan menjadi tanggung jawabnya.
Seorang faqih lainnya mungkin mengawali tugasnya dengan niat baik. Dia bersungguh-sungguh menghindari dosa-dosa ini, menempatkan beragai masalah pada perspektifnya yang benar, dan terus-menerus mengamati motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan jiwa rendah atau hawa nafsunya. Akan tetapi, orang ini tak bisa menemukan seorang pun yang bisa memberinya petunjuk dalam keadannya yagn sekarang, sehingga dia tetap berada di dalamnya, dan keadaan memaksa dia menjalin persahabatan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Jauh sebelumnya, demam batiniah mulai menjalar dalam dirinya,d an tanda-tanda kemunafikan mulai tampak dalam perilaku lahiriahnya. Kerusakan kalbu telah menggusur ketulusan dan jalan keberhasilan. Kesempurnaan pun menjadi tidak jelas bagi dirinya, “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan amat sedikit jumlah mereka ini.” (Qs. 38:25.)
Dan Guru Umat manusia, Muhammad saw. kita dapatkan hadis ini, “Orang paling munafik di kalangan umatku adalah pembaca Al-Qur’an.” Al-Hasan ibn Abi Al-Hasan mengatakan, “Manakala seseorang berangkat pergi mencari pengetahuan, maka pengetahuan itu akan segera tampak dalam kerendahan hatinya, pakaiannya, pandangannya, ucapannya, gerak-geriknya, shalatnya, petunjuknya, dan kezuhudannya. Jika orang itu mau mencaai pintu gerbang pengetahuan terakhir, dia mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Segala sesuatunya akan menjadi baik buat dirinya di dunia ini, sejauh hal itu memungkinkan; dan jika tidak di sini, maka dia bisa mengharapkan hal itu dalam kehidupan akhirat nanti.” Seterusnya, dia mengatakan, “Allah tidak menerima puasa, shalat, pembebasan budak, ibadah haji atau umrah, jihad, zakat, atau amal kebaikan seorang ahli bid’ah. Sungguh, akan datang masanya ketika orang-orang mencampur-adukkan kebenaran dan kebatilan. Jika hal itu terjadi, maka tak ada sesuatu pun yang berguna, kecuali teriakannya seperti teriakan orang yang tenggelam. Karena itu, bantulah dirimu sendiri untuk meraih pengetahuan; akan tetapi, ingatlah bahwa pengetahuan tidak bakal membuat aman orang-orang yang mempelajarinya.” Al-Hasan,s emoga Allah merahmatinya, mengacu di sini kepada pencarian ilmu, ketiadaan pengetahuan spiritual, yang terlihat jelas di zamannya.
Sufyan Al-Tsawri mengatakan, “Berhati-hatilah terhadap banyak bujukan ulama lancung yang suka menipu! Dan berhati-hatilah terhadap kerendahan hati orang munafik!” Malik berkata, “Aku pergi mengunjuungi ‘Abd A; Rahman ibn Hurmuz. Meski telah melanggar hukum secara sembunyi-sembunyi, dia tetap berbicara tentang hukum-hukum Islam, dan tentang bagaimana dia merasa takut lantaran apa yang telah dia lakukan. Dia banyak sekali menangis.” Malik meneruskan, “Nah, Ibn Hurmuz adalah orang yang hendak aku tandingi. Dia tak banyak berbicara, tak banyak menjelaskan pendapat-pendapat hukum, teguh dalam menjalankan ibadah, sangat berhati-hati dalam berbicara, keras dalam berurusan dengan orang lancung, dan salah seorang ahli debat paling pandai.” Malik melanjutkan, “Aku pergi mengunungi Rabi’ah, dan mendapatinya sedang menangis. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memberimu keberanian, mengapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Wahai malik, orang kafir dan orang terkutuk menjelas-uraian hukum dan berbicara tentang agama kita.” Dan Malik menyimpulkan, “Rabi’ah benar-benar memahami keadaan kita.” Seseorang lainnya mengatakan, “Aku melihat Sufyan Al-Tsawri sedang sedih, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Dia berkata, “Kita telah sampai pada soal berurusan dengan anak-anak dunia ini.’ Maka aku bertanya, ‘Bagaimana bisa dmeikia?”. Dia menjawab, ‘salahs seorang dari mereka tetap bersama kita, hingga dia memiliki hubungan dengan kita. Kemudian dia pergi untuk menjadi pekerja, orang istana, pemungut tpajak. Lalu dia berkata, “Al-Tsawri meriwayatkan hadis ini kepadaku...”
39.
Barang kali engkau akan bertanya, “Bagaimana bisa murid dan guru menjadi orang yang menempuh jalan Sunnah Nabi dan mengikuti apa yang dikehendaki umat beriman ini?” Hubungan timbal balik antara pengajaran seorang guru dan kegiatan belajar seorang murid adalah seperti berikut ini. Sunnah Nabi tentang kegiatan belajar seorang murid mengharuskan bahwa, dalam soal-soal kewajiban hukum tertentu, dia mesti menaruh kepercayaan pada guru, yang paling alim dan yang bertakwa kepada Allah yang bisa dijumpainya. Tentang pengajaran guru, Sunnah Nabi memerintahkan berbuat kebaikan kepada murid, bersikap ramah kepadanya dan guru memberikan pengajaran sejelas mungkin. Malahan dalam soal-soal yang tidak melibatkan syarat-syarat hukum tertnetu, Sunnah Nabi mensyaratkan agar guru dan murid memliki niat yang tulus, dan agar mereka menghindari tindakan-tindakan terlarang dan tercela, serta agar mereka tidak bersikap terlalu bebas dalam memenuhi syarat-syarat lahiriah Hukum Wahyu. Jika mereka bertentangan dengan salah satu syarat itu, dan mengira bahwa mereka telah mengerjalan amal kebaikan, maka mereka termasuk ahli bid’ah, dan pandangan mereka adalah bid’ah juga, sebab hal itu tidak selaras dengan jalan pendahulu kita dalam agama ini. Sebaiknya, jika mereka mengakui dosa-dosa mereka dan ingin selamat darinya, tapi karena semata-mata tak mampu, maka mereka bukanlah ahli bid’ah, melainkan hanya orang-orang membangkang yang mengesampingkan perbuatan yang lebih mulia.
Inilah beberapa pelangaran yang umumnya dilakukan oleh sang murid. Dia mungkin belajar dengan seseorang yang amat suka mempunyai banyak pengikut atau melawan orang yang mempunyai bukti, atau tidak menghapuskan hal-hal tercela dalam kelasnya. Hal-hal tercela ini bisa mencakup fitnah, pertikaian, sok aksi, suka bertengkar, dan berteriak-teriak, baik di dalam masjid atau selama mendengarkan hadis-hadis Nabi saw. Termasuk juga menentang seorang ulama dengan cara yang sengit, menyakiti sesama murid dengan tuduhan palsu, menolak pandangan mayoritas orang, melanggar tatakrama kesusilaan dan hal-hal lain yang sejenisnya. Dalam pengertian umum, ini meliputi juga perilaku kasar, yaitu mengusiknya dengan berbagai pertanyaan, atau mentang apa yang dikatakannya, atau menyakiti, dengan kata dan tindakan, mereka yang dekat dengannya di kelas, atau berburuk sangka kepadanya, dan sebagainya.
Adapun guru, dia bisa saja gagal karena menerima murid-murid yang benaknya jelas-jelas dikaruniai niat kotor atau pikiran buruk. Sungguh, kurangnya memperhatikan masalah inilah, persisnya, yang menyebabkan timbulnya banyak kerusakan di zaman kita sekarang. Guru bisa juga melakukan kesalahan, berupa duduk di tempat yang tinggi di atas sahabat-sahabatnya tanpa alasan yang cukup kuat; atau berupa memperturutkan perilaku yang jelek, entah ditujukan kepada guru atau pada murid; kadang-kadang tak bisa berbicara dengan benar, dan bahkan memerintahkan murid keluar meninggalkan kelas; atau berupa mengutamakan orang kaya dan anak-anak yang tempatnya berdekatan dengannya, serta mengesampingkan orang miskin – suatu tindakan yang sama sekali tidak berkaitan dengan tuntunan agama.
Guru bisa juga berbuat kesalahan, karena tidak memberi nasihat kepada murid di saat yang tepat; atau karena tak bisa menghidupkan kelasnya dengan mengingat Allah (Dzikr), membaca ayat-ayat Kitab-Nya dan hadis-hadis Nabi saw. serta tradisi orang-orang saleh; atau karena tidak mengucapkan shalawat atas Nabi saw, atau tidak memohon amunan dan rahmat Allah serta mencari perlindungan kepada-Nya – sebab kesemuanya ini jelas-jelas diwajibkan atas semua orang. Sesungguhnyalah, guru mesti menjaidkan semuanya ini sebagai fondasi dalam kelas, memperhatikannya dengan seksama, dan memandangnya sebagai manfaat-manfaat terbesar dalam kelas.
40.
Soal=soal seperti ini menunjukkan kewaspadaan kalbu dan kesucian jiwa guru. Jika dia memang memiliki banyak pengetahuan tentang kepastian dan juga memiliki keadaan spiritual kaum sufi dan orang-orang memiliki keberhasilan spiritual, tentu saja dia akan berbicara kepada murid-muridnya tentang pengetahuannya yang sangat berharga ini, sampai mereka bisa memahaminya. Dia tentu akan membiarkan mereka melihat sebagian keadaan spiritualnya yang mulia, agar dengan begitu keadaan mereka bertambah kuat. Dia tentu akan menunjukkan kepada mereka hubungan timbal-balik antara Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik, serta menjelaskan pemahaman tentang berbagai rahasia Jalan yang amat terang, yang ingin mereka ketahui. Dengan perhatian dan cara berbicaranya, guru supaya mencegah murid agar tidak memberikan perhatian pada segala sesuatu yang baru dan berlangsung sekilas, serta supaya membantu mereka menaydari dan mewujudkan makna kata-kata Nabi saw. “Bait paling benar yang pernah dilantunkan penyair adalah : ‘Bukankah segala sesuatu, yang tidak mengandung Tuhan, kosong belaka?”
Demikianlah jalan leluhur kita yagn saleh dalam agama dan nasihat ulama kita yang otoritatif. Siapa saja yang meneladani dan mengikuti mereka, akan beroleh keberhasilan besar dalam kehidupannya dan kesalehan abadi sebagai hasil akhir di hadapan Tuhannya. Siapa saja yang berpaling dan mengikuti perilaku teladan itu, dan memutuskan tali persahabatan dengan leluhur kita, berarti telah menukar akhirat dengan dunia ini (bandingkan dengan Qs. 2 : 86), dan mengundang murka Tuhannya serta akan terkena firman Allah Swt. “Katakanlah : Akankah kami beritahukan kepadamu orang-orang yang paling merugi amal-amalnya? Mereka itulah orang-orang yagn telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. I : 103-104). Semoga Allah melindungi kita dari hal dmeikian itu.
                                        
SURAT KELIMA

Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat untuk menghibur hati seorang sahabat yang dirundung kegelisahan karena keberataan-keberatan seseorang terhadap surat-surat sahabatnya

41.
Segala puji bagi Allah semata.
Kusampaikan salam hangatku keapdamu. Aku memandang perlu menulis surat keapdamu. Karena aku mengetahui kesusahanmu akibat apa yang telah dikatakan Zayd atau ‘Amr tentang isi surat yang aku tulis kepadamu beberapa waktu yang lalu. Kuhimpun segala sesuatu yang sangat memberatkan dan menyusahkanmu.
Aku ingin agar engkau mengetahui bahwa aku berani mengemukakan penjelasan tentang kebenaran dan kesalahan itu. Karena aku menaydari benar bahwa aku membuka diriku bagi cercaan dan kecaman para kritikus. Yang demikian itu sama sekali tidak menghalangiku, sebab aku melakukannya dengan niat tulus, dan surat itu pun sudah mencapai tujuannya. Seseorang yang merasa yakin bahwa dirinya bisa menghindari kecaman dan tantangan orang, sesungguhnya telah terpedaya. Aku sendiri tidak takut pada jenis kritikan yang akan bertolak dengan sendirinya itu. Akan tetapi, aku takut pada orang yang memutar balikan makna yang kumaksud dan yagn tak mampu memahami makna hakikinya. Aku yakin baha apa yang aku tulis tentang soal itu sduah jelas dan benar, tanpa menyatakan berlebih-lebihan, dan bahwa aku menghindari sikap kasar. Sebab yang demikian itu tidak bakal menuntun pada pemahaman.
Al-Syafi’i dengan tepat mengatakan bahwa ketika menasihati salah seorang sahabatnya, “Aku hanya aka berbicara tentang kebenaran keapdamu. Betapa pun juga, tak ada jalan untuk menyelamatkan diri dari masyarakat; karenanya, aku akan mengingat apa yang menjadi perhatian utamamu dan kemudian membebankan hal itu kepadamu sebagai kewajiban.” Dan seorang bijak mengatakan, “Masyarakat umum bisa menjadi siksaan yang jauh lebih hebat ketimbang tujuh dosa atau ular berbisa sekali pun. Orang masih bisa menghindar dari yang terakhir ini, tapi dia tidak bakal bisa sepenuhnya menjauhkan diri dari masyarakat.”
Karena itu, Allah menganugerahkan kepada kita ketenangan yang bisa menyegarkan kalbu dan jiwa, dan kedamaian yang memancarkan kecemerlangan fajar. Dengan kedua anugerah itu, kita tidak usah memperdulikan orang-orang yang melontarkan halilintar dan guntur kepadakita, dan kita tidak begitu masygul dengan siapa yang berdiri atau duduk. Sebalikya, kita jadidkan semuanya itu sebagai sebab untuk merenung, sarana untuk mengingat, dan alasan untuk lebih banyak memuji Allah Swt, yang memang layak dan pantas beroleh pujian. Seorang bijak mengatakan, “Barangsiapa melihat orang dengan matanya sendiri, maka dia bakal terlibat sengketa berkepanjangan dengan mereka; barangsiapa melihat mereka dengan mata Allah, maka dia akan memaafkan mereka.”
42.
Karena itu, kita mesti menelusuri daftar orang-orang yang menempuh jalan sufi yang telah dikecam dan dituduh sesat dan menyimpang, serta memperhatikan perilaku mereka. Mereka adalah orang-orang terpilih di antara para wali, terbiasa dengan cobaan dan kesengsaraan, karena menerima anugerah yang begitu banyak sehingga tidak bisa diukur dan atas anugerah seperti itu rasa terima kasih belumlah memadai. Akan teatpi, anugerah itu tidak mengurangi sedikit pun integritas keadaan spiritual mereka. Tak seorang pun bisa memungkiri mereka, kecuali barangkali dengan menahan air matanya, “Mana bisa kau menjadi seperti itu, mengingat aku adalah aku? Bisakah orang sepertiku mencapai kedudukan yang begitu mulia?”
Meskipun begitu, aku senang bahwa nafsu telah diambil dariku,
Dan aku terbebas darinya; ia tak lagi menguasai diriku.
Di tengah-tengah cobaan spiritual yang membuat kepala tertunduk, janganlah kita jadi bingung karena apa yang terjadi di sekeliling kita, atau cemas apakah itu mudharat atau manfaat.
Inilah yang ingin aku jelaskan kepadamu guna mengobati kalbumu dan menenangkan pikiranmu. Aku lebih suka melakukan hal itu dengan cara begini, ketimbang tidak menyebutkan dalam surat ini apa yang telah aku tulis kepadamu sebelumnya, atau menyarankan agar hal itu dirahasiakan. Jangan biarkan hal-hal itu membuatmu takut atau menyusahkan dirimu. Baiklah, aku percayakan kepadamu nasihat yang telah aku berikan kepadamu dalam suratku sebelumnya dan menegaskan ikrar-dukungan yang dinyatakan secara tidak langsung. Kita memohon kepada Allah Swt, agar Dia memberi keberhasilan melalui keridhaan-Nya. Semoga Dia menghimpun berbagai hasrat dan keinginan kita dalam pengabdian penuh kesalehan di hadapan-Nya, sebab Dia adalah Raja yang Maha Pemurah, Abadi, dan Pengasih.

SURAT KEENAM

Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjawab berbagai pertanyaan, masing-masing judulnya diberikan di pinggir halaman (tetapi di sini disisipkan dalam tanda kurung), karena topik-topik dibahas atas dasar kelompok masalah Pertama, pertanyaan tentang haji dan syarat-syarat hukumnya yang berkaitan dengan individu dan keadaan.


43.
Segenap puji bagi Allah semata.
(Prinsip-prinsip tentang menunaikan ibadah haji).
Sekarang ini, menunaikan haji menjadi semakin diinginkan orang dan sangat dihaasratkan 9oleh mereka). Mereka lebih menyukai kesukaran, kebutuhan dan perpisahan dari rumah, yang merupakan bagian dari ibadah haji, ketimbang bersantai-santai, bersenang-senang, dan tinggal di rumah. Sudah barang tentu, ada sebagian orang yang meninggalkan agama mereka dan tidak mempunyai keinginan menunaikan ibadah haji. Dan ada sebagian orang lainnya yang , setelah melaksanakan berbagai formalitas amal yang diniatkannya, hanya mempunyai satu perhatian dan keinginan, yakni kembali ke negeri mereka dan bergabung kembali bersama keluarga dan sahabat-sahabat mareka. Namun, setelah mereka melakukan itu, mereka mengalami lagi kejemuan tinggal di rumah. Mereka menjadi bosan sehingga mereka merindukan, bahkan lebih dari sebelumnya, untuk berangkat menunaikan ibadah haji lagi. Ini semua adalah kecenderungan mendasar dan alami manusia.
Manakala orang yagn pandai dan memiliki pemahaman spiritual menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, dia mesti mengesampingkan kebutuhan alaminya dan mengkritik secara spiritual kecenderungan manusiawinya. Dia harus meminta nasihat  kepada kalbunya dan bertindak sesuai dengan syarat-syarat praktik keagamaan, sejauh kesemuanya itu terlihat jelas baginya. Kalau tidak, dia mesti meminta nasihat kepada orang yang berkompeten dalam masalah-masalah ini, bukannya mengikuti tingkah laku pribadi. Tanpa pengetahuan dan pertimbangan spiritual, tindakannya bakal sia-sia dan dia akan berusaha dengan sia-sia pula.
Syarat-syarat hukum ibadah haji sudah engkau ketahui. Akrenanya, mari kita lihat persoalan itu dari sudut pandang yagn lebih umum. Aku katakan bahwa ibadah haji itu ada tiga macam : ibadah haji yang sepenuhnya terpuji, ibadah haji yang sepenuhnya berdosa, dan ibadah haji yang sebagian terpuji, dan sebagian tercela.
Ibadah haji yang sepenuhnya terpuji adalah ibadah hajinya seseorang yang berpengetahuan, yakni, dan bebas dari perintah jiwa rendah (hawa nafsu). Orang seperti ini tidak dikuasai oleh kecenderungan manusiawinya. Syarat-syarat praktik keagamaan dan cahaya keyakinan mendorongnya. Ini adalah keadaan mulia, kedudukan sangat mulia yang bisa sepenuhnya dipahami hanya oleh orang yang mengalaminya.
44.
Sebuah kisah menuturkan bagaimana salah seorang ulama bercerita demikian : “Ketika aku sedang melakukan Thawwaf mengelilingi Ka’bah, seorang tua datang menghampiriku dan bertanya tentang negeriku. Aku ceritakan hal itu kepadanya, dan dia bertanya : “Berapa jauh dari sini ke sana?” Aku menjawab : “Sekitar dua bulan.” Lalu dia berkata : “Engkau bisa menunaikan ibadah haji ke Ka’bah inis etiap tahun!” Kemudian aku bertanya kepadanya : “Dan berapa jauh negerimu?” Dia menjawab : “Ketika aku masih muda, aku berangkat meninggalkan negeriku untuk mengadakan perjalanan selama lima tahun.” Aku terheran-heran, lalu dia meneruskan kata-katanya :
Kunjungilah yang kaucintai meski rumahnya
Jauh darimu dan tersembunyi.
Jangan biarkan jarak menghalangimu
Untuk mengunjungi-Nya,
Sebab pecinta selalu mengunjungi yang
Dicintainya.
Kisah lainnya menuturkan bagaimana suatu hari Syaikh Abu Al-Hasan Al-Lakhmi sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya membicarakan aspek-aspek hukum ibadah haji. Mereka berbicara panjang-lebar tentang apakah syarat itu masih berlaku di zaman mereka. Sementara itu, seorang miskin mendengarkan pembicaraan mereka di luar jamaah mereka. Setelah mereka selesai, orang itu menjulurkan kepalanya ke jamaah itu dan berkata kepada Syaikh :
Wahai Guruku,
Jika engkau tak berhasrat sedikit pun
Menumpahkan darahku,
Engkau hampir tak akan terlalu memperhatikannya.
Karakteristik ibadah haji yang sepenuhnya tercela sangat berbeda dari karakterisitik ibadah haji yang dilakukan dengan niat yang bebas dari kemunafikan dan hasrat akan reputasi. Yang pertama didorong semata-mata oleh tingakh laku sia-sia. Tapi keuda tipe pertama ibadah haji ini jarang sekali terjadi, dan implikasi hukumnya pun jelas.
Ibadah hajinya seorang saleh yang mengerjakannya karena keyakinan yang mengandung tujuan pribadi dan hawa nafsu, adalah berdosa sebagian dan terpuji sebagian. Orang seperti ini tidak menyadari muslihat musuh dan tipu daya jiwa rendah yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi. Motif yang baik maupun yang buruk tampaknya sama-sama menonjol. Hanya saja, motivasi dari jenis ibadah haji ini berbeda-beda dalam setiap individu dan berbagai keadaan, dan ini perlu dijelaskan lagi.
Baik orang yagn sudah pernah menunaikan ibadah haji maupun yagn belum pernah menunaikannya, bisa melaksanakan ibadah haji jenis ini. Bagi orang yna gbelum pernah menunaikan ibadah haji, yang mampu memenuhi kewajiban ini, dan yang memiliki cukup bekal dan tak ada halangan, maka pejalanan ibadah hajinya itu hukumnya wajib dan terpuji. Setelah dia menunaikan kewajibannya kepada orang tua, keluarga, dan pemberi pinjaman, menurut aturan-aturan khusus para faqih, maka tak ada sesuatu pun yang mengahlangi ibadah hajinya. Sebaliknya, jika orang takut akan tertimpa kematian, atau tidak cukup memenuhi syarat, atau menghadapi berbagai hambatan, maka kewajiban tiu pun berkurang. Hal serupa berlaku pada masyarakat, yakni umumnya kaum Muslim yang hanya memperhatikan amal-amal lahiriah. Begitu pula, jika seseorang mengabaikan berbagai tindak-keaptuhan dan amal saleh, yang bersifat pribadi ataupun kemasyarakatan, melalaikan waktu-waktu shalat dan amal-amal sunnah serta menolak melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain seperti mengajar, belajar, atau berlaku baik kepada seorang Muslim bahkan ketika berada di rumah, maka kewajiban itu pun berkurang pula. Sebaliknya, jika orang selama melakukan perjalanan mengabaikan kewajiban tertentu atau melakukan sesuatu yang terlarang, yang tidak akan dilakukan seandainya dia tinggal di rumah, maka kewajiban itu pun berkurang. Dalam keadaan seperti itu, menunaikan ibadah haji adalah berdosa. Kekuatan kecenderungan jiwa rendah (nafsu) akan mengakibatkan timbulnya dosa dan hilangnya syarat niat saleh bagi ibadah haji.
Sekali pun orang yang menunaikan ibadah haji dengan penuh perhatian melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dan menghindari apa yagn dilarang, maka perjalanannya masih tercela, baik karena kekuatan kecenderugnan pribadinya maupun akibat tiadanya niat yagn ssaleh tersebut, atau karena dia tidak bisa merasa yakin akan keselamatannya. Sebaliknya, perjalanannya bisa sangat terpuji hingga membantunya menunaikan kewajiban ibadah haji dan menghindari berbuat salah asalkan fisiknya kuat, punya banyak uang, dan bisa pergi lewat jalan yang lazim. Dalam hal itu, dia mesti melaksanakan kewajibannya yagn sudah ditetapkan, dan menghindari dosa-dosa sepnajang perjalanan. Jika masalah-masalah ini tidak ada ketika dia hendak menunaikan ibadah haji, maka persoalannya lebih jelas lagi.
Dalam kaitan ini, ibadah haji akan diterima dengan syarat-syarat berikut : apabila orang itu berasal dari golongan lebih terdidik, atau termasuk di antara orang-orang yang lebih cenderung pada kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan dalam perjuangan melawan hawa nafsu, penyucian kalbu, sikap waspada terhadsap pikiran-pikirannya, menjaga imajinasi sehat, selalu memikirkan dan menyadari hal-hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mulia dan kedudukan-kedudukan tinggi, dan memiliki tekad kuat  dalam penyucian batin dari dosa-dosa besar dalam kalbu yang memberontak. Terakhir, hal-hal berikut ini harus dihilangkan : kesombongan, keangkuhan, iri hati, kedengkian, kepura-puraan, kemunafikan, kebohongan dalam praktik agama, berburuk sangka pada kaum Muslim, sangat cinta dunia, dan jenis-jenis ketololan lainnya. Jika dalam hal ini ada kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan ibadah haji, maka orang harus mempelajari prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengannya, sejauh kemampuannya.
46.
Jika, sebaliknya, orang itu tidak memiliki tekad kuat dalam penyucian dan pembersihan (kalbu) yang aku tenagh bicarakan, atau memandang hal ini tidak penting bagi dirinya, dan jika dia tidak memiliki kesehatan fisik yang baik serta keuangan yang cukup, maka dia berdosa bila menunaikan ibadah haji, disebabkan oleh keterasingannya dan dasar-dasarnya, belum lagi kebaikan-kebaikan dalam keadaan spiritual yang telah aku uraikan sebagai syarat bagi ibadah haji, kecenderungan kuat hawa nafsu adalah halangan lain. Andaikanlah, misalnya, orang mempunyai kekuatan fisik yang baik, bekal yang diperlukan untuk mencegah kelelahan dan untuk memenuhi keinginannya. Andaikan lagi bahwa keinginannya untuk melakukan perjalanan begitu kuat, sehingga selallu menggelora, sekalipun terbuka kemungkinan untuk membebaskan dirinya dari menunaikan ibadah haji dan memperoleh ganjaran yang sama dengan cara menahan diri dari melakukan perjalanan. Dalam hal itu, akan lebih baik baginya tidak jadi pergi, karena dua alasan : kekuatan kecenderugnan alaminya, dan resiko kehilangan manfaat-manfaat yang akan diperolehnya kalau tetap tinggal di rumah, mengingat dia tidak yakin bisa mencapinya dalam perjalanannya, terutama karena tiadanya jalan yang aman.
Akan tetapi, bagaimana kalau orang hampir tak mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan motifnya bepergian semata-mata untuk memenuhi satu syarat? Jika ada kecenderungan dan keinginan untuk menunaikan ibadah haji, maka kepergiannya untuk ibadah haji akan sangat terpuji. Keinginannya memang lemah, tapi kuat harapannya untuk mencapai tujuan, dengan kesehatan fisik dan bekal yang cukup kuat, khususnya jika dia harus bergabung selama perjalanan itu dengan saudara-saudara yang saleh dan sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan jika dia bisa melakukan perjalanan lewat jalan yang lazim.
Semua yang telah aku bicarakan sejauh ini berlaku pada orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji.
Sekarang perhatikan kasus seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji. Jika orang itu awam, yang sikapnya pada amal saleh dan amal ibadah sama dengan sikap yang telah aku paparkan sebelumnya, maka ada beberapa alasan mengapa kepergiannya menunaikan ibadah haji akan tercela. Alasan-alasan itu mencakup kecenderungan hawa nafsunya, resiko tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkannya, dan ketidakpastiannya mengenai kesempurnaan keinginannya dan mengenai keselamatannya dari berbagai bahaya yang mungkin ditemuinya. Seandainya dia tetap di rumah, situasinya akan berbeda dari situasi yang aku uraikan sebelumnya. Maka kepergiannya menunaikan ibadah haji barangkali cenderung lebih tercela, karena kecenderungan hawa nafsunya itu kuat dan dia akan menanggung resiko melemahkan kewajiban agamanya atau terjerumus ke dalam dosa dalam perjalanannya. Akant etapi, mungkin saja perjalanannya patut dipuji, lantaran keinginannya untuk turut serta dalam amal ibadah tertentu, sekalipun kecenderungan ini tidak begitu dihargai. Di sini aku mengandaikan dia terbebas dari berbagai halangan tersebut di atas; tetapi jika dia benar-benar mengetahui tidak terbebas darinya, maka menunaikan ibadah haji pasti akan berdosa, sebab tak ada sesuatu pun yang sama pentingnya dengan keterbebasan itu.
Jika orang yang bersangkutan itu terdidik dalam soal-soal agama, maka ibadah hajinya itu tercela bila mengakibatkan hilangnya keadaan spiritual amat baik yang sudah diperolehnya, dan berkurangnya kata-kata dan amal-amal yang menyertai keadaan itu. Ini semua membutuhkan kehampaan hati, keikhlasan dan kesucian niat, yang gkesemuanya ini akan menurun kadarnya karena aperjalanan panjang ini. Aku menganggap sifat-sifat yang baru saja kusebutkan itu lebih penting ketimbang amalan-amalan sunnah yang dikerjakan dalam ibadah haji, sebab yang pertama merupakan soal-soal dan amalan hakiki yang memperbaiki amal ibadah seseorang. Kesemuanya itu penting bagi orang yang menempuh jalan ketulusan dan mengakui Keesaaan Ilahi (Tawhid), dan menaikkan seseorang ke keududukan  orang-orang terpilih. Tak ada amalan-amalan sunnah dalam ibadah yang bisa menyamai amalan-amalan kelbu ini, dan tak ada amal-amal saleh bisa menggantikannya.
47.
Jika orang seperti ini menunaikan ibadah haji tanpa ketulusan, maka dia lebih layak dicela ketimbang dipuji. Kecenderungan alami terhadap ibadah haji, berikut pemenuhan kehendak hawa nafsu dan tujuan-tujuannya, menunjukkan adanya ketidaktulusan. Dalam hal ini, hawa nafsu ingin memenuhi tujuan-tujuannya melalui amal-amal ibadah yang dikerjakan orang itu dalam perjalannya. Kesemuanya ini anatara meliputi : bertemu dengan ulama dan orang yang terkenal kesalehannya, mengambil manfaat dari pengetahuan mereka, memohon berkah dan doa dari mereka, melayani sahabat dan teman, mendapatkan kebaikan dari upaya seseorang, mengamati suasana kota-kota dan gurun pasir yang dilalui, mengerjakan banyak amal ritual dan dan kewajiban ibadah haji dengan penuh kegembiraan. Niat sejati jenis ibadah haji tetap merupakan keinginan tak tersembunyi untuk melihat negeri-negeri asing, mengalami hal-hal baru seperti bertemu orang-orang alim dan hamba-hamba Allah, terbebas dari kesusahan di rumah, dan terbebas dari kesibukan membosankan urusan duniawi. Tanda yang menunjukkan seseorang terperdaya adalah bahwa dia merasa bisa melakukan banyak amal saleh ini, dan yang juga lebih penting, walau pun tetap tinggal di rumah; tetapi ketika dia berasa di rumah, dia tidak memperhatikannya dan sama sekali tak tertarik lagi kepadanya.
Beginilah keadaan orang yang , ketika dia berpikir untuk menunaikan ibadah haji, bertanya kepada Bisyr ibn Al-Hafi. Abu Nashr Al-Tamar menuturkan bahwa ada seseorang datang mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr Al-Harits, dengan mengatakan, “Aku ingin sekali menunaikan ibadah haji. Karena itu, berilah aku petunjuk.” Bisyr berkata, “Berapa banyak uang yang engkau miliki untuk bekalmu?” Orang itu menjawab, “Seribu dirham.” “Dan apakah yang mendorongmu menunaikan ibadah haji?” Bisyr bertanya. “Apakah itu untuk bersenang-senang, atau rindu kepada Baytullah, atau keinginan beroleh ridha Allah?” “Keinginan beroleh ridha Allah,” jawab irang itu. Bisyr kemudian bertanya, “Dan jika engkau bisa memperoleh ridha Allah Swt. dengan tinggal di rumah dan membelanjakan seribu dirham itu, dan engkau yakin bahwa ini akan mendatangkan ridha Allah, akankah engkau melakukannya?” “Ya,” kata orang itu. “Kalau begitu, bagikan uang itu kepada sepuluh orang,” kata Bisyr. “Maka orang beriman bisa menunaikan praktik aamanya, dan orang miskin bisa berdikari, dan sang ayah bisa membuat keluarganya sejahtera, dan pengasuh anak yatim bisa memberi anak asuhnya kebahagiaan. Karena itu, jika Allah Yang Mahaesa memberi kalbumu kekuatan untuk bersedekah, maka lakukanlah. Sebab, sungguh, tindakanmu memberikan kebahagiaan ke dalam kalbu orang Muslim, tindakanmu menyirami kalbu orang yang mengeluh, dan tindakanmu meringankan penderitaan orang miskin, dan tindakanmu menguatkan kembali keyakinan orang yang lemah, semuanya itu jauh lebih baik ketimbang ribuan hujah Islam. Pergilah dan bagikan uang itu seperti yang telah aku sarankan kepadamu. Kalau tidak, katakan kepadaku apa yang sesungguhnya ada dalam kalbumu.” Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Nashr, perjalanan hajiku ini adalah puncak keinginan dalam kalbuku.” Lalu Bisyr pun tersenyum, mendekatinya seraya berkata, “Kalau uang diperoleh lewat praktik-praktik bisnis yang kotor dan belum jelas halal-haramnya, maka uang itu bahkan mendorong hawa nafsu membayangkan keinginan untuk bersegera menjalankan amal-amal yang secara lahiriah tampak saleh. Tapi, Allah Swt, telah bersumpah bahwa Dia hanya akan menerima amal orang yang bertakwa kepada-Nya.” Ketika Bisyr mengatakan ini, orang itu pun menangis.
Ambillah kasus seseorang yang mapan dalam keadaan-keadaan spiritual yang telah aku sebutkan dan berupaya sepenuhnya memupuknya sambil tetap tinggal di rumah. Andaikan dia ingin menguji kesetiaannya pada keadaan-keadaan itu, dengan cara menanggung perasaan keberpisahan dari hal-hal yang lazim dan diandalkan di negerinya, memutuskan untuk berjuang melawan jiwa rendahnya dengan cara demikian. Ibadah haji yang dilakukannya adalah terpuji. Meski perjuangan itu dilakukan seraya tetap memikirkan hal tersebut. Yang demikian itu tetap menjadi salah satu kebisaan musafir-musafir yang terpisah sendirian. Bahkan, aku memandang kecederungan jiwa rendah kepada penunaian ibadah haji itu sebagai berdosa dalam kebanyak hal. Alasanku adalah adanya prinsip yang mengatakan kecenderungan jiwa rendah pada amal-amal ibadah yang secara fisik sulit dikerjakan, adalah berdosa.
(Jawaban atas pertanyaan kedua : tentang bagaimana jiwa rendah atau hawa nafsu bisa cenderung pada apa yang menimbulkan kesulitan)
Seseorang yang mendengar ini mungkin merasa heran dan bertanya, “Bagaimana mungkin jiwa rendah bisa cenderung kepada apa yang menimbulkan kesulitan bila hal itu bukan perhatian utamanya?” Orang yang mengajukan keberatan itu tidak menyadari, bahwa jiwa rendah kadang-kadang mencari tujuan yang bisa dicapai hanya dengan meninggalkan kesenangannya. Seseorang melihat, misalnya, orang-orang begitu diharu-biru oleh kecintaan akan kemasyhuran serta kekayaan dan begitu tekun memenuhi keinginan mereka akan hal-hal itu, sampai-sampai mereka mau menanggung resiko menentang bahaya, terjun ke dalam laut dan menerjunkan diri ke dalam segala bahaya. Harapan untuk mencapai keinginan itu mendorong mereka merasa senang dan gembira berada dalam kesulitan seperti ini. Biarpun begitu, yagn mereka peroleh bukanlah yang mereka harapkan. Pertanyaan ini memiliki dua segi. Bedanya, tujuan-tujuan yang baru saja kusebutkan sudah lumrah dan diketahui oleh hampir semua orang. Cara-cara mencapai semuanya itu jelas dan tak samar barang sedikit pun. Sebaliknya, orang –orang saleh yang keadaan spiritualnya tinggi melampaui orang-orang Muslim umumnya, mengabdikan diri pada tujuan-tujuan lain yagn telah aku bicarakan. Teapi, lantaran kebodohan sajalah jiwa rendah melaksanakan tugas-tugas sulit untuk mencapai hasil yang kecil, kendatipun seseorang siap berperang, difitnah, dan beradu kekuatan fisik agar setelah dia mati, beroleh pujian atas keberanian dan ketabahannya. Inilah benar-beanr kebodohan, sebab apa guna dan manfaat hal-hal itu bagi jiwa rendah setelah kematian?
Tujuan seperti ini dikejar-kejar tanpa adanya konsep atau maksud dan tanpa kepuasan pada akhirnya, seperti dikatakan ‘Ali ibn Hazm dalam “Kitab Pemerintahan”. Yang lebih bodohd ari mereka ini adalah orang-orang yang pernah aku jumpai, yang tidak tahu mengapa mereka mengorbankan dirinya. Kadang-kadang Zayd menyerang ‘Amr,  kadang-kadang ‘Amr menyerang Zayd, bahkan mungkin pada hari yang sama. Mereka berani menempuh resiko kematian sia-sia. Mereka terbunuh demi neraka atau melarikan diri membawa kehinaan. Rasulullah saw. memberikan peringatan tentang orang-orang seperti ini ketika beliau bersabda : “Akan tiba masanya ketika orang yang membunuh tidak tahu mengapa dia membunuh, pun tidak pula orang yang terbunuh tidak tahu mengapa dia dibunuh.”
49.
Nah, masalah bisa disamakan dengan situasi di mana kecendrungan alami jiwa rendah memaksa sebagian orang menjadi sangat asyik dengan amal ibadah dan memberlakukan praktik-praktik pengingkaran diri dalam kadar yang tinggi atas diri mereka sendiri. Mereka melemparkan jiwa rendah ke dalam situasi berbahaya, dan mendorong jiwa rendah melaksanakan ekwajiban-kewajiban berdasar atas anggapan bahwa hal ini bakal mempercepat kemajuan mereka menuju keadaan spiritual orang-orang besar. Mereka membayangkan bahwa dengan kecenderungan berlebih-lebihan ini, mereka bisa menukar kepicikan mereka dengan pengetahuan tentang kesempuranaan. Mereka tinggalkan tujuan-tujuan duniawi tertentu, sembari berharap mendukung ketulusan maksud-maksud jiwa rendah mereka, dengan mengklaim bahwa mreka mengikuti kewajiban-kewajiban agama. Jauh sebelumnya, mereka mempersembahkan amal dan waktu ibadah ini, membaktikan banyak waktu kepadanya, dan tak dapat mengendalikan tujuan-tujuan mereka, yaitu terperosok ke dalam hal-hal lebih tercela ketimbang yang gmereka tuju dan inginkan sebelumnya. Jika maksud-maksud jiwa rendah telah dianggap benar, maka tindakannya sama sekali bukan suat pelanggaran; dan jiwa rendah akan memahami bahwa hanya ketaatan kepada agama kaum monoteis sejati sajalah yang bisamengakhirinya. Aku bersumpah demi hidupku, bahwa dewasa ini seseorang yang taat kepada agama itu dan mengikuti jalannya, akan anehnya mengalami derita tak terperikan dan mereguk minuman yang mencekik leher seakant ak seorang pun bisa meminumnya. Karena itu, apahala yang diterimanya akan banyak, dan jerih payahnya pun bermanfaat, sebab prinsip logisnya adalah bahwa segala sesuatu yang membebani jiwa rendah, sesungguhnya adalah baik.
(Jawaban atas pertanyaan ketiga : tentang segi positif kesulitan-kesulitan yang menimpa jiwa rendah).
Baiklah kuterangkan. Allah Swt. telah mewajibkan hamba-hambanya untuk beribadah kepada-Nya. Dia telah memberi tahu kita, bahwa Dia menciptakan mereka persis untuk tujuan itu. Dia berfirman : “Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. 51:56). Ibadah adalah salah satu karakterirstik paling luhur dan agung. Dengan ibadah Dia menggambarkan nabi-nabi dan Rasul-Nya. Ibadah adalah salah satu gelar termulia. Yang dengannya Dia menemai mereka, khususnya nabi kita, Muhammad saw.  Itulah sebabnya beliau mencapai kedudukan sangat tinggi dan menduduki posisi termulia dan bakal muncul di alam semesta pada Hati Kiamat bersama semua nabi dan rasul di bawah panji-panji beliau.
Salah satu pernyataan paling ringkas dan paling fasih tentang topik ini adalah ucapan seseorang, “Ibadah adalah visi spiritual tentang Keilahian.” Ungkapan ini meringkaskan makna apenghambaan menurut kaum sufi. Hal itu berhubungan dengan kedudukan mengerjakan amal saleh yang disebutkan dalam haids Jibril a.s. Dikatakan bahwa : “Ibadah berarti menjadi hamba-Nya dalam setiap keadaan, seolah-olah Dia adalah Tuanmu dalam setiap keadaan.” Juga dikatakan : “Ibadah mempunyai empat karakteristik : Memenuhi janji, melaksanakan hukum, merasa senang dengan kondisi aktualnya, dan bersabar di saat kehilangan.” Maksud ungkapan ini dan lainnya yang serua adalah bahwa ibadah merupakan sifat yagn inheren dalam diri sang hamba, yang mendorongnya untuk mematuhi perintah-perintah Ilahi, menghindari apa yang dilarang, dan pasrah kepada Ketentuan-ketentuan Ilahi. Penghambaan dimulai dengan kedudukan kepasrahan, dan diakhiri dengan kedudukan berbuat amal saleh.
Hanya “jiwa rendah yang menyruh pada kejahatan” (Qs. 12:53), sajalah yang bisa menyelewengkan sang hamba dari memenuhi ibadah yang sesuai dengan kedudukannya ini. Karena itu, satu-satunya cara untuk memenuhi ibadah yang sesuai dengan perintah-perintah Ilahi adalah berjuang melawan jiwa rendah di sepanjang jalan sahabat kaum sufi yang terpilih ini. Allah Swt. berfirman : “Dan orang yang berjihad demi Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka Jalan-Jalan Kami.” (Qs. 29:69). Dan juga, “Sungguh, surga adalah tempat tinggal bagi orang yang menahan diri dari hawa anfsunya.” (Qs. 79:40-41). Dan menurut sabda Nabi, “Musuh terbesarmu adalah jiwa rendah (hawa nafsu) yang ada di antara kedua sisimu.” Allah Swt. memerintahkan kepada Dawud a.s. untuk mengatakan : “Jiwa rendahmu adalah musuh; sungguh tak ada lagi di seluruh kerajaan ini yang suka menentangku.”
50.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu malam aku bangun untuk shalat malam, tapi aku tak bisa juga dipejamkan. Kemudian aku duduk, kubuka pintu, lalu pergi keluar. Di sana kulihat seseorang berpakaian wol tengah berbaring di jalan. Ketika dia melihatku, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai Abu Al Qasim, cepatlah kemari!” ‘Baik, Tuan, jawabku. Lalu dia berkata, ‘Aku memohon kepada Sang Pembangkit Kalbu agar membangkitkan kalbumu.’ ‘Dia baru saja melakukannya,’ jawabku. ‘Apa yang engkau perlukan?’ Orang itu lalu bertanya kepadaku, ‘Kapan penyakit jiwa rendah menjadi obat buat dirinya sendiri?’ Aku menjawab, ‘Ketika jiwa rendah bertentangan dengan keinginannya, maka penyakitnya itu sendiri menjadi obatnya.’ Orang itu termenung sesaat, kemudian berkata, ‘Seandainya aku memberikan jawaban itu tujuh kali kepadamu, engkau pasti akan menolaknya. Tapi kini engkau telah mendengarnya dari Al-Junayd, maka engkau pun mendengarkannya.’ Lalu orang itu berpaling dariku, aku tidak mengenalnya.”
Renungkanlah kisah luar biasa ini. Ada kisah-kisah lain tak terhitung jumlahnya yang memiliki maksud serupa. Dalam kaitan dengan berbagai cobaan yang digunakan Allah Swt. untuk menguji beberapa hamba-Nya inilah, manfaat-manfaat pengingkaran diri dan latihan-latihan (Spiritual) seperti itu bisa membuahkan hasil, sebab cobaan itu menyebabkan sang hamba menahan keinginan dan membenci hawa nafsunya. Dia beroleh menfaat dari menanggung cobaan dengan penuh kesabaran, serta memperlihatkan sifat-sifat yang diperjuangkan sang hamba : rendah hati, kepasrahan yang bersifat meniadakan diri dari pengakuan akan kefakirannya. Orang yang mengalami berbagai cobaan, menjadi contoh dan teladan. Karena alasan itulah, para nabi menjadi teladan kita, sesuai dengan firman Allah Swt, “Karena itu bersabar lah, seperti rasul-rasul berhati teguh telah bersabar.” (Qs. 46:35). Sungguh, mereka terbiasa mendapat penderitaan dan kesulitan – Ayub a.s. misalnya. Mereka dipotong dengan gunting dan gergaji menjadi dua, dan semua itu ada tujuh puluh nabi. Lantas, mengatakan bahwa segala sesuatu yang membebani jiwa rendah adalah baik, berarti mengatakan bahwa setiap cobaan adalah karunia.
(Jawaban atas pertanyaan keempat : Uraian tentang soal-soal ringan yang terpuji)
Orang mungkin bertanya, apakah kalau setiap aktivitas yagn kurang bertumpu pada jiwa rendah atau yang menyebabkannya bertindak secara tepat melalui rahmat dan harapan,adalah suatu keburukan dan penyebab kesusahan. Haruskah orang meminta beban dan kesengsaraan dan mencarinya secara aktif, karena semuanya itu sesungguhnya adalah karunia yang baik, ataukah cara seperti ini dianjurkan?
Untuk pertanyaan eprtama, aku menjawab tidak, sebab orang bisa menemukan segala macam amal saleh yang mudah bagi jiwa maupun yang terpuji, dan menemukan berbagai karunia yang menyenangkan, sepenuhnya positif,d an tidak mengandung keburukan. Aku mengacu kepada jenis keringanan yang dialami sebagian orang dalam berbagai tindakan, seperti memutuskan diri dari kesibukan duniawi, beristirahat menenangkan perhatian kalbu, atau bersyukur atas karunia yang melebihi harapan dan yang menyenangkan. Beberapa sumber keringanan, misalnya, adalah membahagiaan orang yang bersedih hati, memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang-orang yang telanajang, memberi minum orang-orang yang gkehausan, melindungi anak-anak yatim, membantah agama lain, dan sebagainya. Karena itu, mengalami keringanan dan kebahagiaan rahmat berkat amal-amal seperti ini, merupakan sarana untuk mematuhi dan menyembah Allah. Inilah berbagai rahmat yang diberikan kepada orang-orang yang memberi makan, minum, pakain, perlindungan, memberi tumpangan, atau menikahkan. Akan tetapi, seperti akan aku jelaskan, adalah patut dipujikan kalau merasa senang dengan amal-amal penuh rahmat ini saja, lantaran semuanya itu merupakan peringatan keras terhadap kecenderungan alami seseorang, dan bukan lantaran semuanya itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan kotor seseorang.
(Jawaban atas pertanyaan kelima : Tentang menahan diri dari menginginkan dan meminta bagian kesulitan).
Selama tidak melanggar larangan agama, diperbolehkan menginginkan dan meminta cobaan; teatapi, tidak diperbolehkan maakala agama melarangnya. Menurut sebuah hadis sahih dari Abu Hurayrah, Rasulullah saw. bersabda : “Janganlah engkau menginginkan bertemu dengan musuh; tetapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah!” dan menurut sebuah hadis dari ‘Abd Allah ibn Abi Awfa, Rasulullah sawb bersabda, “Wahai manusia! Janglah emnginginkan bertemu dengan musuh; mintalah kesejahteraan dan kebaikan dari Allah. Tapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah, dan ketahuilah bahwa surga itu berada di bawah bayangan pedang.” Anas ibn Malik juga meriwayatkan sebuah hadis sahih bahwa Rasulullah saw. mengunjungi seorang Muslim yagn sudah sangat lemah dan rentan sehingga tampak seperti seekor ayam. Rasulullah Saw. bertanya kepadanya : “Sudahkah engkau berdoa untuk sesuatu, atau memohon sesuatu kepada Allah?” Dia menjawab : “ “Ya, Aku telah berdoa, “Ya Allah, jangan Kau hukum aku di akhirat nanti. Sebaliknya, segerakan hukuman-Mu untukku di dunia ini.” Maka Rasulullah saw. berkata, “Mahasuci Allah! Itu di luar kemampuanmu, engkau tak bakal sanggup menanggungnya! Mengapa engkau tidak berdoa, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka?” (Qs. 2 : 201). Anas mengatakan, orang itu lalu berdoa seeprti itu, dan dia pun sembuh.”
Variasi lain dari hadis itu berbunyi : “Kita tidak sanggup menanggung hukuman dari Alalh.” Rasulullah saw. tidak pernah berhenti berdoa meminta rahmat yang banyak dan keterbebasan dari berbagai cobaan. Riwayat-riwayat yang bisa dipercaya menuturkan bahwa salah satu doa yagn paling sering diucapkan Rasulullah saw. adalah, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat nanti dan lindungilah kami dari siksa neraka.” Dan Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. biasa meminta perlindungan dari keputusan merugikan, dari dikuasai oleh penderitaan, dari kegembiraan musuh atas kemalangannya, dan dari kesusahan dalam kesengsaraan. Inilah hanya sebagian kecil doa beliau untuk keselamtan. Di sebuah daerah di mana orang-orang kafir telah menyakiti beliau, Nabi Saw. berkata, “Tetapi aku lebih tertarik kepada kesejahteraan dan kebaikanmu.”
Himah ucapan-ucapan itu adalah begini : Cobaan tidaklah diinginkan pada dirinya sendiri, tapi hanya jika kesemuanya itu mengandung beberapa manfaat yang telah aku sebutkan, dan jika kesemuanya itu meningkatkan pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang sabar dalam menghadapinya. Bahkan tanpa memberikan berbagai cobaan ata membebani orang dengan beberapa kesulitan, Allah Swt. memberikan kebaikan dan lebih banyak lagi kepada siapa yang dipilih-Nya. Rasulullah Saw. diriwayatkan telah bersabda,
“Adalah hak prerrogatif (istimewa) Allah sajalah untuk menahan kemurahan-Nya dari salah seorang di antaramu yagn adalah hamba-hamba-Nya, sampai sang hamba itu meraih dan mendapatkannya.” Rasulullah saw. juga bersabda : “Sesungguhnya Allah menjauhkan penyakit dari sebagian hamba-Nya, di dunia ini. Dia berikan kepada mereka kesehatan dalam kehidupan, kesehatan dalam kematian, dan kesehatan di surga, di mana di surga inilah Dia memasukkan mereka.”
52.
Sag hamba mestilah meminta anugerah dari Tuannya tanpa perantaraan berbagai cobaan dan kesulitan. Selanjutnya dia tidak boleh bermaksud menginginkan untuk dirinya sendiri, atau memerlukan banyak sekali kekuatan dan kesabaran yagn tak boleh diusik barang sedikit pun. Makhluk itu lemah dan, kecuali dengan pertolongan dan bantuan Allah, tak mampu menahan dan menangkis kekuatan sebuah atom  yang bisa menguasainya. Kepercayaan pada diri sendiri dalam hal ini adalah mustahil; bahkan mengharapkannya adalah puncak kesombongan. Namun, seseorang harus merasa khawatir mengendalikan dan mempercayai dirinya sendiri,d an dengan demikian binasa, seperti halnya sebagian orang lainnya.
Ketika Al-Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, sakit kerasa, dia sering berdoa, ‘YA Allah, jika yang demikian itu membuat-Mu ridha, tambahlah penyakit ini. “ Maka Al-Ma’afiri menulis surat kepadanya dari wilayah selatan Mesir. “Wahai Abu ‘Abd Allah, engkau bukan termasuk salah seorang dari kami yang menderita berbagai cobaan dan kemudian memohon agar menajdi puas dengan segala sesuatu sebagaimana mestinya\! Di atas segalanya, kita harus meminta kebaikan dan kesehatan.” Al-Syafi’i membalas, “Aku memohon ampunan Allah dan bertobat di ahdapan-Nya.” Setelah itu, dia biasa berdoa, “Ya Allah, berilah aku rahmat-rahmat yagn aku inginkan.”
Kemudian ktia jumpai pernyataan luar biasan ini :
Aku menginginkan-Mu, tapi aku menginginkan-Mu
Bukan demi pahala;
Tidak, aku menginginkan-Mu demi hukuman abadi.
Telah kucapai setiap keinginanku.
Kecuali kebahagiaan ekstase dalam kesengasaraan.
Dan ucapan Sumnun ini : “Engkaulah satu-satunya keinginanku, karena itu, ujilah aku sekehendak-Mu.” Ketika Mu’adz ibn Jabal akan meninggal dunia, dia berkata, “Tahanlah keinginanku dengan kekuatan-Mu, dan aku akan memberi-Mu isyarat bahwa kalbuku mencintai-Mu.”
 Semua pernyataan ini adalah akibat dari ekadaan spiritual luar biasa di aman Pengausa Ekstase telah menguasai para pembicara tersebut.
53.
Demikianlah, para pecinta dalam maqam cinta dikalahkan oleh Allah, entah melalui kehinaan atau melalui perasaan meluap-luap, sehingga mereka berbicara tentang hal-hal yang mengejutkan begitu pertama kali di dengar telinga. Sebagian dari apa yang mereka katakan tampak seperti kekafiran. Meski begitu, mereka dibenarkan dalams egala sesuatu yang mereka katakan, dan aman dalam kedudukan mulia. Seperti dikatakan Syibli, “Sang pencinta akan binasa jika dia diam; sang sufi akan binasa jika dia tidak diam.” Diriwayatkan bahwa ketika Sumnun mengucapkan bait yagn dikutip di atas, salah seorang sahabatnya berkata kepada yagn lainnya, “Kemarin ketika aku berada di Rastaq, aku mendengar susara Guru kita Sumnun ibn Hamzah tengah menyeruh Allah Swt. memohon keapda-Nya agar disembuhkan.” Orang kedua berkata, “Aku juga mendengar hal itu kemarin ketika aku sedang berada di tempat anu.  Orang ketiga dan keempat mengatakan hal serupa. Ucapan itut erdengar oleh Sumnun. Dia menderita penyakit lemah, tapi da bersabar dan tidak cemas. Makanya, ketika dia mendengar bahwa mereka mengatakan hal-hal ini ketika sesungguhnya dia tidak memohon dan tidak mengatakan hal seperti itu, dia menyadari bahwa mereka berlaku sebagaimana mestinya hamba-hamba dengan cara menyembunyikan keadaan spiritual. Kemudian, dia berjalan-jalan mengelilingi tempat belajar mereka sembari berkata, “Berdoalah untuk pamanmu, sang penipu ini.” Nah, Sumnun ini adalah salah seorang pecinta, dan telah mengalami hal-hal menakjubkan dalam maqam cinta.
Karenanya, sang hamba harus memohon, menginginkan, dan merasa puas dengan kesehatan yang baik. Sikap seperti ini merupakan bagian dari perilaku orang yang benar. Manakala cobaan datang, orang harus bersabar, pasrah, dan ridha dengan keputusan Allah, sambil menydari bahwa dirinya tengah menempuh jalan orang-orang yagn disucikan oleh kesengsaraan.
Dari apa yang telah aku bicarakan hingga kini, jelaslah bahwa penghambaan yang aku sebutkan tidaklah hanya terdiri atas berbagai macam perjuangan dan penderitaan, dan bahwa titik tolaknya berada dalam amal-amal jasmani dan kalbu. Jika sang pencari menemukan seorang pembimbing spiritual yagn menuntunnya menuju jalan ibadah dan melindunginya dari berbagai jebakan dan perangkapnya, seorang pembimbing yang memiliki silsilah-silsilah mulia dan aspirasi tinggi, maka sang pencari itu meski ebrpegang kuat-kuat pada kelim jubahnya, mengikuti jubahnya, mengikuti jejaknya, dan meneladani kata dan tindakannya. Sang pencari mesti menyadari bahwa dirinya telah menemukan belerang merah dan telah memperoleh kebahagiaan abadi lebih besar.
(Jawaban atas pertanyaan keenam : Tentang Kitab-kitab Tasawud mana yang mesti dibaca, dan bagaimana cara mengamalkannya)
Jika seorang pencari tidak menemukan pembimbing seperti ini, atau mengalami kesukaaran dalam melakukan yang demikian itu, maka dia mesti berpedoman pada tulisan-tulisan para tokoh sufi, khususnya kitab Al-Muhasibi, Al-Sulami, Al-Qusyayri, Abu Thalib Al-Makki, Abu Hamid Al-Ghazali, dan ‘Awarif Al-Ma’arif-nya Al-Suhrawardi. Inilah sumber-sumber utama, tempat orang mengambil nasihat dan memperoleh setiap jenis ilmu pengetahuan. Karena alasan inilah, ucapan-ucapan para pemimpin sufi dikutip dalam ebrbagai surat dan analogi, dan telah beredar luas di kalangan ulama. Ucapan-ucapan ini dimaksudkan bagi sang pencar setelah dia memantapkan ketaatannya pada mazhab Sunni dan bersandar pada otoritas mazhab ini dalam menerangkan praktik agamanya. Dari mazhab ini sang pencari mesti memlilih Sunnah Nabi yang terbaik, dengan ketulusan niat dan ketetapan hati kuat unutk mengerjakan amal baik. Kemudian, dia mesti berjuang mewujudkan amal baik sepenuhnya dalam tindakan dan perkataan, dengan memohon pertolongan dari Tuhannya dalam semua keadaan spiritualnya. Setelah memiliki karakteristik ini dan mempelajari tulisan-tulisan ini, dia bisa berharap akan sampai pada tujuan yang dicarinya dan sampai pada pemahaman yang diinginkannya.
Dari karya-karta terkenal yang telah aku sebutkan itu, aku mengetahui tak ada satu pun yang lebih bisa memuaskan dahaga, mengobati penyakit, dan membimbing menuju Jalan kecuali karya Abu Thalib Al-Makki dan Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka menulis dalam kedua kitab itu rahasia pengetahuan dan keajaiban pemahaman yang bakal memberi kebahagiaan dan memudahkan persoalan-persoalan. Misalnya, Al-Ghazali mengkategorikan, menyusun dalam bab-bab, menerangkan, menjelaskan, menyaring dan memperbaiki, dan membuat ikhtisar tentang segala sesuatu yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Dia memberikan contoh, menghilangkan kekaburan, menjelaskan rahasisa-rahasisa pelik, dengan menunjukkan arah menuju jalan perenungan dan pemahaman.
54.
Akan tetapi, kitabnya tidak memuat materi sulit yagn berbeda dengan pandangan para teolog spekulatif. Sang pencari tidak membutuhkan pengetahuan mendalam (makrifat) tentang ini, sebab semuanya itu bukanlah fondasi penting bagid asar-dasar Jalan yang diikutinya. Hampir semua materi itu terdapat dalam bagian “Kebaikan-kebaikan bermanfaat,” dalam bab-bab tentang tobat,s yukur, Keesaan Allah, dan cinta. Uraian yang lebih mudah dipahami tentang soal-soal ini bisa dijumpai dalam bagian-bagian lain kitab itu. Manakala seseorang mempelajari kitab ini menemui salah satu bagian itu, dia cukup hanya beralih ke bagian lain, dan memberi pengarang kitab itu manfaat akan keraguan tentang apa yang tidak diketahui sang pencari. Dia mungkin juga mengetahui hadis-hadis tertentu yang membahas soal-soal serupa, tapi tidak ahrus menerima atau menolaknya. Dengan demikian, sang pencari akan menggabungkan keuntungan-keuntungan membaca kitab itu dengan sikap berbeda terhadap para ulama yang memahami hal-hal ini.
Kitab Abu Thalib dihargai,d an lebih disukai di antara kitab-kitab lainnya, sebab cakupan bahasannya tak ada dalam kitab lainnya. Aku belum mengetahui seorang pun yang mampu menghasilkan kitab-kitab semisal itu. Di dalamnya dia mengemukakan ilmu tasawuf ilmiah yang tidak bsia dijelaskan. Dia mampu menguak tabir rahasia yang tak seorang pun bisa melakukannya. Kitabnya memadukan makna yang dalam dengan keindahan ekspresi dan disuguhkan dengan cara yang menarik pendengaran dan yang terasa manis oleh lidah. Dia menguraikan cabang-cabang dak akar-akar pengetahuan,d an menysunnya menurut pertanyaan dan bab. Dalam hal ini, kitab itu, bagi tasawuf, sama dengan kitab Al-Mudawwanah bagi ilmu hukum (fiqh) : Kitab ini menggantikan kitab-kitab lainnya, dan ak ada satu pun yang mampu menggantikannya.
Karya ini memuat sejumlah pengetahuan rahasia yang tidak bisa dipahami melalui analisis rasional, dan tidak sesuai dengan ilmu hukum tradisional (fiqh), serta juga memuat beberapa hadis yang mengingkari cara berpikir dan cara meraih kemajuan pengarangnya. Manakala pembaca menemui ini, dia mesti siap menangguhkan keputusan tentangnya, seperti aku sebutkan sebelumnya, dan hanya menempuh jalan lurus dengan harapan bahwa Allah, Yang Menurunkan Wahyu, Yang Maha Mengetahui, bakal membukakan ini kepadanya.
Dan tulisan-tulisan yang telah aku sebutkan, keduanya ini memuat banyak manfaat yang harus di dapatkan sang pencari, dan dia tak akan bisa menemukan pengganti lain yang memadai. Dia mesti mencari manfaat-manfaat itu dalam halaman-halamannya, dan mengambilnya dari relung-relung rahasianya, serta meminta bantuan dengan cara berhubungan dan bergaul dengan seseorang yagn mendukung cara berpikir yang sama dan bisa menjadikan sang pencari berpartisipasi dalam meraih tujuannya dan objek keinginannya.
(Jawaban atas pertanyaan ketujuh : Tentang menghindarnya sang pencari dari berhubungan dengan orang yang mungkin cenderung merusak keadaan spiritualnya.)
Sang pencari harus menghindarkan diri dari persahabatan, kesibukan, dan tindakan dua kelompok orang . kelompok mereka mencakup orang-orang yang menggeluti ilmu-ilmu eksoteris, seperti kajian hukum agamadan sebagainya. Pada umumnya, dia tidak akan menemukan kedamaian dalam mempelajari ilmu-ilmu ini, dan mungkin juga terjatuh ke dalam berbagai jenis dosa, baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Keterbebasan dari dosa cukup jarang terjadi dalam keadaan bagaimana pun. Akan tetapi, di tengah-tengah pengkajian tentang spekulasi-spekulasi hukum yang jernih dan kontroversi akademis yang sembarangan, tidak ada yang dapat melindungi agar kalbu tidak lalai. Sang penari akan menghabiskan kehidupannya dalam usaha sia-sia, membuang-buang waktu dalam berbagai usaha tak membawa hasil. Begitu dia membuang-buang waktu di tengah hiruk-pikuk soal baik buruk, maka hasil jerih payahnya bakal segera lenyap tanpa bekas.
55.
Orang terbaik yang sekarang ini menggeluti kajian ini adalah orang yang menggunakan kajian itu sebagai bangunan untuk mendidik siapa saja yang membutuhkan keahlian mereka dalam memutuskan  hukum yang gmenjadi wewenang faqih. Akan tetapi, mereka mempertahankan kedudukan mereka dengan penalaran yang tampaknya bagus. Misalnya, mungkin dikatakan, “Aku mengerjakan kewajiban memberantas kejahilan dan kesesatan. Sejak dulu hingga sekarang orang terus menerus bekerja keras melakukan kewajiban itu, dan sangat menghargai pengkajian dan pencarian yang muhim, seperti halnya Malik dan ulama-ulama lainnya. Aku tempuh jalan yang sama serta mengerjakan pekerjaan mereka. Dengan begitu, bukankah aku ini tempat berlindung dari ketenggelaman dan sumber petunjuk  bagi orang-orang yang gmelakukan kesalahan, dari jalan yang salah kembali ke jalan yang benar?” Begitulah, mereka dengan tabah berusaha membuktikan ketulusan amal mereka; begitulah, mereka mereka memberikan nasihat dan mencoba menjelaskan duduk persoalan mereka. Tetapi, yang demikian itu adalah saran dan bisikan setan untuk menyebarluaskan perselisihan dan kesesatan. Slah satu kesessatan paling besar  yagn dilakukan setan dengan retorika yang halus dan argumentasi yang diputarbalikan ialah, agar orang melupakan jiwa rendahnya dan Tuhannya. Setan mengendaliaknorang itu dengan genggaman hawa nafsunya, sehingga membuatnya tuli dan buta. Dengan membuang rasa takut dan kekhawatirannya, orang itu pun dikuasai kelalaian dan sifat tak berperasaan. Lalu dia bersahabat dengan orang hina, menimbulkan berbagai tindakan kejahatan.
Hambatan-hambatan ini bertambah banyak dalam diri seseorang, sebanding dengan ketenggelamannya dalam kajian hukum, sehingga semakin sulit bagi dirinya untuk bebas dan melepaskan diri darinya. Semakin maju seseorang dalam belajarnya karena motif-motif yagn serakah, maka semakin bertambah kejahilan dan kelemahannya. Dia laksana orang yang membangun sebuah benteng dapi meluluh-lantakkan sebuah kota.  Penilaian tinggi atas jiwa rendah adalah indikatornya, dan juga kekagumannya pada intelegensi dan intuisinya, keangkuhannya, dan penolakannya untuk menerima saran dan nasigat spiritual. Karena kalbunya tidak penuh perhatian, dan telinganya tidak menyimak baik-baik, dia menolak itu dari orang yang mengemukakannya. Dia lecehkan sahabat-sahabat dan rekan-rekannya dalam belajar. Dia jatuh ke dalam dosa paling besar, karena melontarkan fitnahan sewaktu mereka tidak ada. Orang yang telah mengalami cara kerja mereka dan menyaksikan tindakan-tindakan mereka, akan merasa yakin tentang kebenaran dari apa yang telah aku katakan tentang orang-orang ini. Jalan mereka nyata-nyata tidak sama dengan jalan leluhur kita yang saleh dalam agama, yang jalannya adalah persaudaraan, kekeluargaan, dan saling keterbukaan.
Nah, jika orang melarang seperti ini menyadari kelalaian dan kesombongannya, menyadari keburukan amalnya berikut akibatnya, dan menginsafi keinginannya untuk bertobat, perubahan dalam kalbu, serta keadilan yang ditandai oleh nilai-nilai luhur, maka dia juga akan mengetahui bahwa kesengsaraan yang dideritanya berakar kuat dalam kecenderungannya, dan bahwa kegelapannya memadamkan cahaya pengetahuan spiritual. Jika dia adalah sejenis orang yang sebelumnya penuh perhatian dan terbimbing secara benar di jalan kewaspadaan, maka dia akan memperhatikan prospek perjuangannya melawan hawa nafsunya dengan kecemasan luar biasa; tapi dia akan terus mencampakkan sifat-sifatnya yang penuh dosa, sekalipun dalam keadaan sangat sulit tak terperikan. Jika, sebaliknya, orang itu memiliki penilaian yang merugikan sehingga Allah menjadikan pengetahuannya serba-salah, maka kebutaannya bakal semakin bertambah. Dia tetap menjadi budak hawa nafsunya, dan menderita kekalahan dalam urusan-urusan agama dan dunia. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
56.
Seseorang yang kalbunya menderita karena berbagai argumen yang tampaknya baik seperti itu – sedangkan menyerah kepada kesalahan itu adalah musuh paling buruk – cukup hanya membandingkan, dengan pandangan mata kejujuran yang mantap, keadaan spiritual orang-orang yagn telah aku uraikan dengan keadaan spiritual pemimpin agama yang telah aku sebutkan. Kemudian, dia akan melihat sendiri jurang gperbedaan antara kedua kondisi tersebut, dan akan berkata : “Sungguh berbeda!” Itu karena pemimpin agama membangun jalan hidupnya di atas fondasi ketakwaan kepada Allah, kesalehan, ketulusan kalbu, dan keterbukaan. Yang demikian itu pada gilirannya menyebabkan ketajaman pandangan dan kesucian wujud batiniahnya. Pemimpin agama itu meemahami kebenaran-kebenaran, yang tersembunyi maupun yang tampak, dan ilmu-ilmu dunia dan akhirat nanti, dan beroleh pertolongan di saat-saat mereka masih hidup dan di saat mereka berada bersama saudara-saudara mereka, dan bantuan serta persahabatan itu membuat benar segenap persoalan mereka dalam cara-cara yang tidak dialami oleh orang lain. Kita mengetahui kesemuanya ini, tentang keadaan spiritaul para pemimpin itu, berkat pengisahan terus-menerus riwayat-riwayat dari mereka mengenai soal itu.
Kedua, sang pencari harus menghidnari sufi-sufi eksentrik yang tidak mau terikat oleh hukum dan yant idak disiplin dalam segi formal praktik keagamaan. Sang pencari harus menghindari mereka, bahkan sewaktu dia menjauhkan diri dari ahli-ahli hukum *fiqih), dan lebih-lebih, karena orang-orang gitu sangat banya merugikan. Keadaan spiritual mereka sesuai dengan hasrat jiwa rendah, sebab mereka mengklaim telah meraih kedudukan mulia dan terbebas dari kerja fisik. Yang demikian itu bertentangan dengan pandangan kaum sufi sejati, dan berarti meninggalkan kecintaan padan Jalan. Guru Abu Al-Qasim Al-Qusyayri, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Guru-guru spiritual sufi sepakat sepenuhnya, bahwa Hukum Wahyu mesti dijunjung dan dihargai tinggi-tinggi. Mereka secara khusus mengikuti Jalan latihan-latihan spiritual, dan berhati- hati dalam mengikuti Sunnah Nabi tanpa melanggar satu pun kewajiban praktik keagamaan. Mereka sepakat, bahwa seseorang yang tak mampu melakukan latihan-latihan spiritual dan pengingkaran diri, serta tidak membangun kehidupannya di atas fondasi pengabdian dan ketakwaan, berarti tidak memperhatikan Allah Swt. dan terpedaya bahkan ketika dia berdoa kepada-Nya. Orang seperti ini menghancurkan dirinya sendiri, dan menyebabkan kematian orang lain yagn sudah tertipu oleh pembicaraannya yang sia-sia.”
Al-Junayd mengatakan, “Kami tidak belajar tasawuf dari kabar angin, tapi melalui lapar, meninggalkan dunia ini, dan melepaskan diri dari segala yang akrab bagi kami dan menyenangkan kami.” Katanya juga, “Sungguh orang yang bersatu erat dengan Allah bertindak karena Allah dan kembali kepada-Nya lewat tindakan itu. Kalaulah kiranya aku hidup seribu tahaun, amal kebaikanku tak bakal berkurang seberat atom pun, kecuali bila Dia mencegahku dari mengerjakan amal itu.” Seseorang melihat Junayd membawa tasbih dan berkata keapdanya, “Meski engkau terkemuka, engkau masih memainkan tasbih itu?” Dia menjawab, “Aku tak bakal menyimpang dari jalan yang telah menuntun diriku menuju Tuhanku.” Dia biasa ke tokonya setiap hari menurunkan tirai, dan shalat dua ratus rakaat sebelum pulang ke rumah.
Ruwaym berkata, “Tasawuf adalah pengorbanan jiwa, jika engkau bisa menajdi sufi meski harus demikian, maka lakukanlah; jika tidak, maka janganlah ikut-ikutan.” Dia juga mengatakan, “Sekalipun seluruh dunia bersedia menerima formalisme, dan kaum sufi memuaskan perhatian kepada kebenaran-kebenaran abadi, maka tidaklah begitu berbahaya kalau engkau duduk di antara segala macam orang, ketimbang bergaul dengan kaum sufi. Kebanyakan orang menuntut jiwa mereka lewat kebenaran-kebenaran ibadah dan ketulusan. Karena itu, manakala seseorang bergaul dengan kaum sufi dan berdebat dengan mereka tentang sesuatu yang mereka itu miliki pengetahuan lebih tinggi mengenai hal itu, maka Allah akan menghilangkan cahaya keimanan dari kalbu orang itu.
Yusuf ibn Al-Husayn Al-Razi berkata, “Manakala kau melihat seorang pencari bergelimangan dalam kemewahan, aku tidak tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya.” Dia menulis kepada Al-Junayd, “Semoga Allah tidak membuatmu menikmati makanan jiwa rendah, sebab sekali engkau menikmatinya, engkau tidak bakal pernah lagi merasakan  kebaikan.” Ibn Khafif berkata, “Keinginan menimbulkan kesulitan, dan kegelisahan pun tetap ada : Dan yang  lebih membahayakan sang pencari adalah menangguhkan hukuman atas jiwa rendah dengan berbagai dalih.” Al-Hushri berkata, “Orang mengatakan bahwa Al-Hushri tidak menganjurkan amalan-amalan sunnah. Sungguh, aku mewajibakan diriku untuk melakukan shalat sendirian Sunnah) seolah-olah aku mempunyai kekuatan anak muda dan seolah-olah aku akan dihukum apabila tidak melakukan satu sujud pun!.”
Jauhkan dirimu dari menfitnah dan bertengkar. Singkapkanlah hijab Hukum Wahyu. Adapun orang-orang eksentrik, mereka itu telah berbuat keliru, dan menghindari mereka itu sangatlah dianjurkan. Abu Yazid al-Bisthami mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang yang melakukan berbagai keajaiban, sekalipun mampu terbang di udara, janganlah mudah terpesona. Telitilah apakah dia hidup sesuai dengan perintah dan larangan, menghormati hukum, dan berperilaku sesuai dengan Hukum Wahyu.” Dan Abu Al-Husayn Al-Nuri mengatakan, “Jika engkau meliaht seeseorang berdoa di hadapan Allah dalam keadaan yang menjauhkan dirinya dari Hukum Wahyu yang sudah diketahui, janganlah mendekatinya!.” Seseorang berkata kepada Abu ‘Ali Al-Rudzbari tentang orang yang mendengarkan musik, dan berkata, “Bagiku, ini diperbolehkan, sebab aku telah sampai pada tataran di mana tak ada lagi pada diriku jejak keadaan spiritual yang bertentangan.” Abu ‘Ali menjawab, “Sungguh dia benar-benar telahs ampai di neraka.” Seseorang ebrkata keapda Al-Nashrabadzi, “”Bagaimana tentang seseorang yang duduk menemani wanita dan berkata, “Di  mata mereka, aku tak bisa diganggu-gugat?” Dia menjawab, “Selama manusia masih ada, perintah dan larangan masiha da, maka boleh dan tidak bleh pun akan tetap berlaku atas dirinya. Orang yang mengaku tak bisa diganggu-gugat secara hukum berada dalam kesesatan.”
Abu Bakr Al-Zaqqaq mengatakan, “Aku mengembara di padang pasir Israel selama lima belas hari. Ketika aku menemukan sebuah jalan, seorang prajurit menangkapku dan memberiku minum segelas air. Dan kalbuku pun kembali keras selama tiga puluh tahun.” Abu Hafs Al-Haddad mengatakan, “Seseorang yang tidak menimbang amal dan keadaan spiritualnya setiap waktu dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, dan tidak menghitung dosanya, tidaklah bisa digolongkan sebagai manusia.” Seseorang bertanya kepada Isma’il ibn Nujayd tentang tasawuf. Lalu dia berkata, “Tasawuf adalah kesabaran dalam menanggung beban perintah dan larangan.” Dan Abu Al-Abbas Al-Dinawari mengatakan, “Mereka telah meruntuhkan pilar-pilar tasawuf dan menghancurkan Jalannya, serta telah mengubah makna-makna spiritualnya dengan termonologi yang mereka ciptakan sendiri : Mereka menyebut makanan sebagai pertumbuhan, kelakuan tak baik sebagai ketulusan, meninggalkan kebenaran sebagai keeksentrikan, menyukai hal-hal tercela sebagai kebaikan, mengumbar hawa nafsu sebagai godaan, kembali ke dunia ini sebagai kedatangan, akhlak yang buruk sebagai kesewenang-wenangan, kekikiran sebagai ketabahan, bertanya sebagai bekerja, kata-kata kotor sevagai celaan! Akan tetapi, ini bukanlah Jalan kaum Sufi.” Dan masih banyak lagi riwayat serta kisah lain seperti ini tentang kaum tasawuf.
(Jawaban atas pertanyaan kedelapan : Menguraikan moderasi tasawuf dalam mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis)
Jika sang pencari ingin mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu hadis, itu sungguh baik dan mulia, sebab di dalam Al-Qur’an dan hadis terletak kebenaran-kebenaran agama dan kedudukan orang beriman. Mereka temukan dalam kedua sumber itu tempat penyeberangan, tempat merenung, tujuan pencarian, obat penyembuh penyakit, pertahanan terhadap musuh, dan kendali hawa nafsu mereka. Dalam hal ini, kedua sumber ini berbeda dari ilmu hukum (fiqh), sekalipun fiqih berasal dari dan berpijak di atasnya. Aku sudah berbicara tentang godaan-godaan yang menyertai studi fiqih. Seseorang cukup hanya mengambil dari fiqih apa yang dibutuhkannya bagi ibadah dan amal-amal lahiriahnya, dan mengesampingkan sisanya.
(Jawaban atas pertanyaan kesembilan : Uraian tentang keadaan spiritual luhur dan mulia yang harus dicapai oleh sang pencari)
Tidak ada persoalan tentang bagaimana sang pencari mesti berperilaku secara batiniah maupun lahiriah, baik dalam keadan spiritual, yang melalui keadaan ini dia beroleh kemajuan, mauun dalam amal-amal ikhlas yang ada hubungannya dengan kekayaan atau kefakiran, sehat atau sakit, ketaatan atau keingkaran, ingat atau lupanya. Yang aku maksud dengan ingat adalah kesaksian dan kehadiran kalbu, dan lupa adalah keterhijaban dan ketidakhadiran kalbu. Kedua-duanya selalu ada di jalan yang dilaluinya. Dan ketika sampai, sang pencari harus bersikap waspada terhadap ini, sebab kewaspadaan adalah salah satu pilar atau fondasi paling kokoh. Inilah salah satu sifat yang paling mulia dalam diri sang hamba, dan sebagian mencakup pengetahuan yang jelas tentang Keesaan Allah (Tawhid). Melalui ingat lan waspada, sang pencari akan menahan diri dari terburu-buru bertindak berdasarkan harapan dan kegelisahan yang muncul dari dalam dirinya, dan aakn terbebaskan dari perbudakan dosa dan dari keletihan dalam bertindak.
Kekayaan, kesehatan, ketaatan, dan ingat memiliki nilai dan martabat yang sangat tinggi. Perilaku batiniah seseorang dalam kaitannya dengan ini, berupa pengetahuan mendalamnya tentang keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan kemahakuasaan Tuhannya. Pengetahuan mendalam tentang firman Allah Swt. ini akan membuahkan itu : “Mereka tidak mampu mengukur kekuasaan penuh Allah.” (Qs. 6 : 92). Untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang kehinaan, kerendahan, ketercelaan, dan kelemahan jiwa rendah, cukuplah sudah memperoleh pengetahuan mendalam tentang kalam Allah Swt. berikut ini : “Bukankah telah datang atas manusia satu masa ketika dia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Qs. 76 : 1). Setelah menguasai kedua aspek pengetahuan mendalam ini, seseorang memahami dengan pasti bahwa dia sama sekali tidak bisa beroleh manfaat dari karunia-karunia yang telah kusebutkan. Dia menyadari bahwa, kecuali karunia dan kemurahan Allah, semuanya itu amat sedikit; dan, jika Allah menimpakan kepadanya segala macam kesulitan dan cobaan melalui berbagai bencana sangat mengerikan, dan menempatkan dalam keadaan yang menyebabkan dirinya menyimpang dari agamanya dan meninggalkannya karena urusan duniawi, itu karena dia memang patut menerimanya. Dia yakin benar akan semuanya itu. Karenanya, orang harus bergembira dan bersyukur kepada Tuhannya. Dengan cara begitu, dia tak akan berusaha demi apa yang berada lebih rendah yang berada di bawah harkat-martabatnya dan terhidnar dari keadaan spiritual yang dia sebelumnya telah tertipu.
Kekayaan dan kesehatan mengharuskan agar dalam perilaku lahiriahnya, dan memanfaatkan kedua karunia ini untuk memathui Allah Swt. bukan untuk membangkang. Karena itu, ketaatan meliputi ketulusan, peningkatan, dan kecurigaan atas jiwa rendah. Kemudian, orang pun bisa yakin bahwa perilakunya adalah benar, dan berharap hal itu akan diterima. Makna ingat adalah bahwa pengembangan tak akan menuntun ke perilaku tak baik, bahwa kontraksi tidak akan mencegah melakukan amal-amal yang wajib atau yang dipandangnya terpuji, dan bahwa orang itu memperhatikan perilakunya terus-menerus dan tidak membebaskan dirinya dari kewajiban.
Kefakiran dan penderitaan berkaitan dengan kerendahan dan kelemahan. Perilaku batiniah yang berhubungan  dengannya terbentuk karena pengetahuan mendalam bahwa dengan kedua hal ini Allah menuntun orang di jalan para nabi terkasih dan wali-Nya, dan bahwa Allah memandang orang itu pantas mendekati-Nya dan menerima penyucian dari-Nya. Dengan cara begini, Allah mengajari orang itu bahwa salah satu kemungkinan paling besar baginya adalah diuji amal keagamaannya dan kehidupan sehari-harinya. Karenanya, patutlah seorang hamba berbahagia dengan keridhaan-Nya, karena telah menguji dirinya dan menjadikan dirinya salah seorang sahabat dekat-Nya, dan dengan bersyukur kepada Allah yang telah menetapkan atasnya takdir yang begitu menggembirakan sebagai tanda kebaikan dan perhatian Allah kepadanya. Yang demikian itu mencegah agar tidak hanyut dalam penderitaan dan cobaan, serta agar tidak berduka dan mengeluh.
59.
Ada sebuah kisah tentang bagaimana seorang sultan menangkap sahabat seorang wali. Wali itu menulis surat kepada sahabatnya dan berkata, “Bersyukurlah kepada Allah.” Sang sahabat heran, dan membalas surat itu dan berkata, “Aku bersyukur kepada Allah.” Kemudian, seorang penganut agama Magi dibawa masuk. Dia sakit perut dan terbelenggu. Salah satu kaki si penganut agama Magi itu dibelenggu dengan salah satu kaki sang sahabat itu. Nah, sang penganut agama Magi ini bangun beberapa kali semalaman, dan sahabat itu pun mesti bangun juga. Ini terus terjadi sampai sahabat itu kelelahan. Lalu sahabat itu menulis surat kepada sang wali, yang kemudian menjawab. “Bersyukurlah kepada Allah.” Sahabat itu membalas surat itu lagi dan bertanya, “Berapa lama lagi engkau menyuruhku begini?” Kesengsaraan apa lagi yang lebih besar ketimbang ini?” Sang wali menjawab, “Apa yang akan engkau lakukan bila sabuk di pinggangnya diikatkan ke pinggangmu, seperti belenggu di kakinya itu dibelenggukan ke kakimu?”
Seseorang berkata kepada Sahl ibn ‘Abd Allah, “Seorang pencuri membongar lalu masuk ke rumahku, dan mengambil harta milikku!” Sahl menjawab, “Bersyukurlah keapda Allah. Sebab bila pencuri itu masuk ke kalbumu maksudku setan dan mengambil pengakuanmu akan Keesaan Allah (Syahadat), apa yang akan engkau lakukan?”
Seorang guru spiritual sedang berjalan di sebuah jalan. Tiba-tiba seember abu ditumpahkan di atas kepalanya. Dia lalu bersujud syukur kepada Alalh Swt. Seseorang berkomentar tentang hal itu kepadanya. Lalu dia berkata, “Aku mengharapkan api neraka dituangkan ke atas diriku. Beruntung benar bahwa yang ditumpahkan itu hanyalah abu!”
Perilaku lahiriah dalam kefakiran dan penderitaan mestilah berupa kesabaran sempurna, memohon kepada Allah agar menghilangkan penderitaan itu, mencari pertolongan dari apa yagn secara lahiriah dituntut oleh hukum pengobatan medis, serta menjauhkan diri dari sumber penderitaan dan bahaya. Jika pengetahuan mendalam (makrifat) seseorang begitu tinggi, sehingga dia bisa menghilangkannya tanpa bantuan obat ini dalam keadaan tertentu, maka itu pun bisa diterima. Dikatakan bahwa lidah pemula selamanya berteriak meminta pertolongan, sementara lidah orang yang mulia spiritualnya hanya diam saja.
Seseorang bertanya kepada Al-Wasithi apakah dia berseru keras dalam berdoa. Dia menjawab, “Aku takut menyeru Allah, kalau-kalau nanti dikatakan kepadaku, “Jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang telah Aku sediakan bagimu, itu karena engkau meragukan-Ku. Dan jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang Aku tak mau memberikannya, engkau akan makin kecewa dengan-Ku. Tetapi jika engkau benar-benar puas, Aku akan memberimu apa yang telah Aku simpan untukmu dari keabadian.”
Sebuah kisah menuturkan bagaimana ‘Abd Allah ibn Munazil berkata, “Aku tidak meminta sesuatu kepada Allah selama lima puluh tahun, dan aku tak ingin orang lain berdoa untukku.” Dia menyebut doa yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, bukan doa sebenarnya; sebab doa terbaik yang dimaksudkan untuk memberikan bukti tentang penghambaan seseorang kepadas Allah, berikut doa untuk orang lain yang berkeluh kesah, adalah kewajiban-kewajiban agama yagn ditetapkan atas ulama dan juga orang awam. Jenis doa terakhir ini sama sekali tidak bertentangan dengan kedudukan mulia orang-orang yang tinggi spiritualnya. Sesungguhnyalah, bagi mereka doa itu adalah penyebab pertumbuhan spiritual mereka, kecuali bagi orang yang benar-benar tenggelam dalam keadaan spiritual tertentu yang sama sekali tak bisa diuraikan.
Sebaliknya, jika orang merasa begitu yakin, sehingga dia meninggalkan kehidupan biasa dan perawatan medis, yang sangat baik; maka itulah yang dilakukan oleh para pemimpin spiritual. Seseorang berkata, “Sekelompok orang mengunjungi Al-Junayd dan berkata, ‘Kami mencari rezeki.’ Dia menjawab, ‘Jika kalian tahu di mana rezeki itu berada, carilah.’ Lalu mereka berkata, ‘Kami meminta itu keapda Allah.’ Junayd berkata, ‘Jika kalian yakin bahwa Allah telah melupakan kalian, maka ingatlah Dia.’ Maka mereka berkata, “Kalau begitu, kami akan pulang dan bertawakal kepada Allah.’ Junayd menjawab, ‘Godaan adalah keraguan.’ Lantas, apa itu tipu daya?’ mereka bertanya. Dia menjawab, ‘Meninggalkan tipu daya itu sendiri.”/
Abu Hamzah berkata, “Aku merasa malu di ahdapan Allah, karena aku pergi ke padang pasir dalam keadaan puas. Aku menyatakan bahwa aku bertawakal kepada-Nya, tapi sebenarnya dengan membawa bekal malam itu aku pergi keluar dalam keadaan sudah puas!” Seseorang berkata kepada Habib Al’Ajami, “Engkau telah meninggalkan perdaganganmu.” Dia menajwab, “Tapi aku telah menemukan keamanan hakiki.” Ketika Abu Bakr Al-Shiddiq sakit, seseorang bertanya kepadanya, “Maukah kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah memeriksaku dan berkata bahwa aku sendiri yagn menyebabkan apa yagn aku inginkan.” Dan seseorang berkata kepada Abu Al-Darda, “Tidak bolehkan kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah menjadikanku sakit.” Seseorang berkata kepada Sahl, “Kapan keyakinan seseorang itu bisa kuat?” Dia menjawab, “Ketika dia ditimpa penyakit fisik dan ketika berkurangnya harta kekayaan, tapi tidak mengalami kebingungan spiritual, dan terus memperhatikan Allah Swt agar melindungi dirinya.”
60.
Perilaku batiniah yagn berkaitan dengan keingkaran dan kelupaan terbentuk berdasarkan pengetahuan bahwa kedua hal itu ada dalam keputusan dan ketenetuan Allah, dan pengetahuan mendalam bahwa ada rahmat karunia dalam kehampaan diri sang hamba, dalam dosanya, dan dalam keterkuasainya dia oleh bujukan-bujukan kelalaian dan kebingungan. Semuanya ini terjadi karena Allah ingin memberinya pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat mulia-Nya dan pengalaman tentang sifat-sifat suci-Nya, termasuk keagungan-Nya, keadilan-Nya dalam menghilangkan berbagai rintangan, kepemilikan-Nya, karunia ampunan-Nya, dan penerima tobat hamba-Nya. Ini sungguh mengagumkan, tapi tidak mengherankan; sebab, seperti dikatakan sebuah hadis, “Jika kamu tidak berbuat dosa, Allah tidak akan membimbingmu.” Hadis lainnya mengatakan, “Jika kamu tidak pernah berbuat dosa, aku takut kamu terjatuh ke dalam sesuatu yang lebih hebat – keajaiban dari segala keajaiban!”
Ibrahim ibn Adham menuturkan, “Pada suatu malam, di sat turun hujan lebat, aku melakukan Thawaf mengelilingi Ka’bah. Lintasan thawaf  kosong, dan aku pun senang. Ketika telah menyelesaikan kewajiban itu, aku berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dari tidak mematuhi-Mu?” Lalu terdengar suara berkata kepadaku, “Wahai Abu Ibrahim, engkau memohon kepada-Ku agar melindungimu, dan begitu pula halnya semua hamba-Ku. Tapi jika Aku melindungi mereka, lantas kepada siapa lagi Aku bersifat Pemurah dan Pemaaf?”.
Orang menemukan dalam keadaan ingkar dan lalai suatu pertumbuhan yang tidak ditemukan dalam keadaan patuh dan ingat. Itulah yang dimaksud ucapan anonim ini, “Ada banyak dosa yang membukakan bagi sang pendosa jalan ke surga.” Sang pendosa mempunyai pengalaman tentang kebaikan Allah, sekalipun dirinya tercela. Penyesalannya atas kemungkinan hilangnya peruntungan-abadi dan kebahagiaan-langgengnya, mengalihkan perhatiannya dari dosa waktu itu. Salah seorang sufi mengatakan, “Orang yang memiliki pemahaman hakiki tentang Allah Swt adalah orang yang merendahkan kesulitan masa kini dalam berbagai kebaikan yang mengalir kepadanya dari Allah, yang menenggelamkan dosa-dosa jiwa rendahnya dalam kemurahan Allah kepada dirinya.” Karena itu, ingatlah nikmat Allah, agar kamu beroleh kejayaan.” (Qs. 7 : 69).
Hanya orang yang kalbunya hidup dengan keimanan dan keyakinan saja yang bisa mengalami pengukuhan dan pertumbuhan melalui berbagai perilaku batiniah dan pengetahuan spiritual ini. Petunjuk tentang itu adalah bahwa perbuatan lahiriah dan perilaku fisik  seseorang, yang sebentar lagi akan kubciarakan, terbebas dari berbagai kelemahan. Kemajuan yang diraihnya tidak membuatnya hangat-hangat kuku dalam menjalankan kewajiban agamanya. Sebaliknya, dia meliaptgandakan kehatia-hatiannya dalam berbuat dan sangat gembira dengan hasilnya. Karena itu, orang seperti ini beroleh kekuatan melalui kesaksamaan, dan tumbuh karena mengingat kebaikan-kebaikan dan pengetahuan Ilahi ini. Akan tetapi, ada beberapa jenis orang yang bagi mereka memikirkan dan merenungkan masalah-masalah ini bisa sangat berbahaya, dan mereka tidak boleh melakukannya. Mereka mesti membatasi perhatian mereka hanya pada perilaku lahiriah mereka saja, termasuk hal-hal seperti memulai tobat, meretas cengkeraman kemaksiatan; penuh perhatian pada rasa takut, penyesalan, dan air mata; lari menuju kerinduan dan doa; waspada penuh hati-hati terhadap masalah-masalah krusial seperti ingat dan hadirnya relung kalbu.
61.
Dalam semua keadaan spiritual ini, perilaku lahiriah sang pencari didasarkan pada memperehatikan setiap situasi seraya mengingat situasi tersebut, dan dia harus juga menggunakan doa-doa yang tepat. Dengan cara begini, seseorang senantiasa menghidupkan kehadiran dan perhatiannya, sehingga ini menjadi kebiasaan perilakunya. Begitu sang hamba memperhatikan syarat-syrat ini, dan sepenuhnya menguasai pengetahuan paling penting ini, maka dia akan siap menuju kedudukan syukur, dan berhak beroleh ingat yang main kuat yang dijanjikan sebagai bagian dari kedudukan itu. Tak ada pertumbuhan lebih mulia selain mencapai dan beroleh kemajuan dalam keadaan spiritual ini. Sang hamba terhindar dari nasib tak diinginkan, dan memperoleh kekayaan tak ternilai harganya dalam kehidupannya, dengan mencapai tujuannya sewat jalan pintas. Setiap fajar dan dalam setiap waktu shalat sendirian, dia berikan kepada Zat yagn disembahnya apa yang menjadi hak-Nya. Hamba seperti ini beroleh bantuan dalam hak-hak istimewa khusus yang diperuntukkan baginya oleh Sang Pemberi segala karunia.
(Jawaban atas pertanyaan kesepuluh : Menyebutkan bagaimana seseorang mesti bertindak dalam mengkaji spekulasi teologis pada Ulama)
Sang pencari mesti berusaha berperilaku pantas terhadap semua orang terdidik atau saleh. Dia tidak boleh menentang mereka atau mencari-cari kesalahan atas apa yang mereka lakukan, kecuali bila apa yang mereka ajarkan ietu bertentangan dengan Hukum Wahyu. Dia tidak boleh berburuk sangka keapda mereka, kecuali bila dia benar-benar yakin  tentang persoalannya. Manakala dia memperhatikan sesuatu yang dikatakan oleh salah seorang rekan sezamannya atau oleh yang lainnya, atau menyadari sesuatu yagn telah mereka lakukan, dia mesti mendudukannya pada kupasan kritis Kitab Allah dan Sunnah Nabi, pada penafsiran harfiah maupun spiritualnya. Jika tindakan itu sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut, maka hal itu tak jadi masalah. Jika tidak, dia mesti mencari penafsiran yang absah. Jika dia mendapatkannya, maka hal itu amat baik; jika tidak, dia harus menangguhkan keputusan tentang masalah itu. Hanya saja, jika dia kemudian bermaksud mengemukakan pandangan yang bertentangan, dia wajib mengesampingkannya dan tak usah memperhatikannya lagi. Semuanya ini berlaku hanya jika masalah hukum menjadi perhatian langsung dan krusial baginya. Jika masalah itu tidak menjadi perhatiannya, maka dia tidak boleh terlibat dalam pembuktian dan kontra-pembuktian demi menunjukkan kesahihan atau ketidaksahihan masalah itu. Sang pencari harus berperilaku seperti Rasulullah saw. ketika beliau bersabda, “Bagian penting dari Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan menjadi urusannya.”
Hendaknya sang pencari berhati-hati mengenai perilakunya terhadap kaum elit dan masyarakat umum dalam segenap urusannya, sebagaimana telah kujelaskan. Setelah dia menjadi cakap dalam segala yang telah kubicarakan, maka sang pencari akan beroleh, dengan izin Allah, kekuatan batin yang bakal menuntunnya ke latihan-latihan spiritual dan ke kedudukan dan keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dia akan mengenal rahasias-rahasia hukum, ketika cahaya keyakinan terbit dalam kalbunya dan ketika dia beroleh makrifat tentang berbagai tipu daya dan khayalan dalam pengetahuan maupun tindakan. Dia akan dapat membedakan antara kebenaran dan hal-hal yang remeh. Dia hanya akan memikirkan apa yang membuat Tuhannya ridha, dan dia hanya akan menginginkan apa yang diharapkannya bakal membuatnya sejahtera dan mendekatkannya pada Allah. Dia akan merasakan nikmatnya iman dan keyakinan. Dan bertakwa kepada Allah akan sangat mudah baginya. Kenikmatan berada dalam kedudukan ini luar biasa, dan berbeda dari berbagai kenikmatan mengagumkan yang telah aku bicarakan sebelumnya. Inilah salah satu cara Allah Swt menyegarkan sebagian hamaba-Nya, sebagai kebikan dan ungkapan kelembutan kepada mereka.
62.
Akan tetapi, keringanan bukanlah sifat yang inheren dalam kedudukan penghambaan. Sesungguhnya, beban beberapa hamba menjadi berlipat ganda. Kontraksi, menguasai mereka, dan mereka berdiri di hadapan Allah sebagai orang-orang yang telah pasrah menerima beban yang telah Dia pikulkan atas diri mereka. Keadaan spiritual mereka lebih sempurna ketimbang keadaan spiritual orang lain; sebab, dalam sikap dan kewaspadaan yang benar mereka beroleh kemajuan. Mereka aman dari berbagai bahaya yang mengharu-biru orang lain. Al-Wasithi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Waspadalah terhadap rasa senang dengan karunia, sebab orang-orang yang suci mengetahui bahwa hal itu adalah penyembunyian.” Dia juga mengatakan, “Berhati-hatilah : Manisnya amal saleh seringkali menyembunyikan racun yang mematikan.”  Alasan untuk itu adalah, karena hal ini membangkitkan jiwa rendah dan menyebabkan jiwa rendah percaya pada, dan menyesuaikan diri dengan, apa yang tampak jelas baginya. Yang demikian itu hanya menyebabkan kelalaian dalam masalah-masalah terlarang, sebab jiwa rnedah semakin menjadi-jadi, yang ruang lingkupnya tidak bisa dijangkau, dan yang bahaya-bahayanya tidak bisa dipahami. Inilah, sebagaimana diketahui benar oleh Allah Swt, yang disebut-sebut oleh Al-Junayd ketika dia berkata, “Jika seseorang mengabdikan diri kepada Allah selama seribu tahun, dan kemudian tiba-tiba berpaling dari-Nya, maka yang hilang darinya lebih ketimbang apa yang diperolehnya.” Dengan kata lain,  orang itu merasa puas dengan kedudukannya di hadapan Allah, dan terpalingkan dari Tuhannya.
Seorang pembimbing spiritual berkata tentang kepuasan dan keamanan. “Aku takut kalau-kalau manisnya keduanya itu bisa memalingkanku dari Allah Swt.” Dan guru Abu Al-Qasim mengatakan, “Merasa dekat itu menabiri kedekatan, dan barang siapa bersumpah dengan jiwa rendahnya, berarti dia telah ditipu jiwa rendahnya.” Ada juga yang mengatakan dalam hubungan  ini, “Semoga Allah menjauhkanmu dari-Nya,” yakni jauh dari mengalami kedekatan dengan-Nya. Sungguh, usaha-usaha untuk mengetahui kedekatan dengan-Nya mengandung tanda-tanda tipu daya. Sebab Allah Swt berada di luar segala kedekatan. Dan berada dalam kehadiran Kebenaran Mistik hanya menimbulkan kebingungan dan kemusnahan. Berkenaan dengan ini, seseorang mengatakan :
Keterujianku oleh-Mu adalah bahwa aku tidak peduli akan keterujianku itu;
Kedekatan-Mu adalah seperti kejauhan-Mu, lantas kapan aku akan terbebaskan?
Guru Abu ‘Ali Al-Daqqaq melantunkan banyak puisi seperti ini :
Kasih sayang-Mu berupa meninggalkan, dan cintamu berupa kebencian;
Kedekatan-Mu adalah kejauhan, dan kedamaian-Mu adalah perang.
Abu Al-Husayn Al-Nuri berkata ketika bertemu salah seorang sahabat Abu Hamzah, “Engkau adalah salahs eorang sahabat Abu Hamzah, yang banyak berbicara tentang kedekatan. Manakala engkau bertemu dengannya, katakan padanya bahwa Abu Al-Husayn Al-Nuri menyampaikan salam dan mengatakan, ‘Menurut kami, dekatnya kedekatan adalah jauhnya kejahuan.”
Mengembangkan sepenuhnya apa yang telah aku bicarakan, akan memakan waktu lama, dan memerlukan penyingkapan rahasia-rahasia yang kita tidak berwenang menyingkapkannya. Begitu sang pencari sampai pada hal ini, kalbunya dipenuhi oleh cahaya cemerlang dan pengetahuan-pengetahuan menakjubkan, sehingga dia dapat melihat sebagian dari kebesaran dan keagungan Tuhannya yagn tak terlukiskan serta sebagian keajaiban dunia kekuasaan dan hikmah-Nya.
(Jawaban atas pertanyaan kesebelas : Merujuk ke surat lain)
63.
Aku telah mengatakan segala yang harus kukatakan tentang muslihat Tuhan, suatu soal yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Thalib dalam bab Takut. Aku tidak akan menjelaskan lebih jauh lagi, selain apa yang telah kubicarakan tentang hal itu dalam surat pertama. Puaslah dengan hal itu, dan renungkan uraian tentang soal itu. Pelajarilah dengan cermat, sebab ia disusun secara teratur, dikemukakan dengan argumen sangat teliti, dan sangat terpadu. Aku menawarkan surat ini sebagai jalan  bagi sang pencari menuju kedudukan (maqam) Keesaan Tuhan (Tawhid). Telah kusimpulkan soal ini, sehingga bisa diungkap dengan kata-kata, dan telah kuringkaskan semua pengetahuan dan jenis perilaku, yang uraian penuhnya memerlukan ebrjilid-jilid buku. Surat ini memuat jawaban pernuh atas semua pertanyaanmu, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang aku tak berkewajiban menjawabnya. Itulah yang aku maksudkan di sini.
Karena itu, aku memohon kepada Allah Swt, agar memberi kita keberhasilan dalam amal-amal kita sesuai dengan pengetahuan kita. Semoga Dia tidak memandang amal-amal kita sebagai kutukan atau laknat atas diri kita. Berdoalah untukku serta untuk semua sahabat kita yang membaca surat ini. Akhirnya tidak ada kekuatan dan pertolongan kecuali dari Allah, Mahakuasa, Mahaagung. Dia-lah sebaik-baik pelindung kita. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad saw., keluarga, dan para Sahabatnya.

SURAT KETUJUH

Kepada Yahya Al-Sarraj (mungkin). Surat tentang derajat sabar dan pasrah (tawakal) di kalangan orang-orang yang mengalami berbagai cobaan

  
64.
Segala puji bagi Allah semata.
Telah kuterima suratmu. Engkau menerangkan kebingungan tentang masalah sabar dalam emngahadapi berbagai kesengsaraan. Masalah itu sesungguhnya amat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Penderitaan yang lama adalah salah satu kedudukan yakin, dan sebanding dengan kekuatan atau kelemahan yakin, serta kebertambahan atau keberkurangannnya. Sabar mencakup tindakan menahan jiwa rendah 9hawa nafsu) sedemikian sehingga tidak menyetuji berbagai tindakan dan perkataan sengaja yang bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik. Hanya orang yang keyakinannya kuat, dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa rendahnya lemah, sajalah yang bisa mencapai derajat sabar yang diinginkan. Orang yang keyakinannya sangat lemah, dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa renadhnya kuat. Tak mampu bersabar. Dia tidak dapat menjaga diri terhadap berbagai dorongan hawan nafsu. Akibatnya, orang seperti ini seringkali berada di ambang kekafiran. Semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian itu karena menganggap Allah Swt berlaku zalim.
Tingkat yakin orang sangat berbeda-beda. Mereka berada di antara kedua kutuhb sabar ini. Bila keyakinan seseorang sangat kuat, maka dia tidak merasa menderita manakala berbagai cobaan menimpa dirinya. Sesungguhnya, boleh jadi dia merasa bahagia dan gembira berada dalam cobaan-cobaan itu, serta memandangnya sebagai kebaikan. Inilah salah satu kedudukan (maqam) tertinggi cinta dan tawakal. Sebuah ksiah menuturkan seseorang bertanya kepada Sari Al-Saqathi, “Apakah sang pecinta merasa sedih dan menderita?” “Tidak,” jawabnya. “Sekalipun sang pecinta ditebas oleh pedang?” “Sekalipun ditebas dengan pedang tujuh puluh kali,” jawab Al-Saqathi. Baiklah, kujelaskan lebih jauh. Seseorang mungkin saja mengalami derita fisik, tapi merasa bahagia dalam kalbunya, sebab telah dikatakan, “Tawakal berarti kegembiraan kalbu di kala diberlakukan Ketentuan Ilahi.”  Abu Ya’qub Al-Nahrajuri mengatakan, “Manakala sang hamba mendekati perwujudan keyakinan sempurna, dia memandang kesengsaraan sebagai rahmat, dan hambatan serius sebagai kesenangan.” Lebih dari itu, orang seperti ini memandang adanya musibah sama seperti ketiadaannya. Jika keyakinannya mengendur, dia pun surut ke belakang, sehingga inti wujudnya menyempit, karena tiadanya sifat meluas cahaya keyakinan. Kemunduran itu pada gilirannya membuatnya mengeluh dan merasa menderita.
Manakala sang hamba mengalami musibah, maka kata-kata “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah” membantu mencegah menyempitnya inti wujudnya. Bagi orangn yang tengah menempuh perjalanan, kebenaran kata-kata ini tidaklah memberi manfaat, tetapi bagi orang yang memiliki keyakinan, itu adalah positif. Kata-kata itu bahkan mencegah rintihan orang yang sakit tidak sampai terperosok ke dalam keluhan, sebab kata-kata itu mengidentifikasikan sakit sebagai bagian dari apa yang ditetapkan atas diri sang hamba. Bahkan, burung merak pun tidak merintih ketika jatuh sakit. Riwayat menuturkan bahwa Zakariya, a.s. merintih dan mengerang ketika digergaji. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepadanya, “Jika engkau merintih sekali lagi kepada-Ku, akan Aku porak-porandakan langit dan bumi ini.”
65.
Manakala seseorang yang ditimpa musibah menahan jiwa rendahnya dari kata-kata yang bisa menyebabkan seseorang mengeluh, maka dia tengah mengamalkan kesabaran paling indah. Seperti telah difirman Allah Swt. dalam Kitab-Nya berkenaan dengan Nabi-Nya, Ya’qub a.s. : “Sabar itu indah” (Qs. 12 : 18). Allah Swt. menunjukkan bahwa sabar adalah menghindari keluhan dan sok pamer. Nah, jika cobaan-cobaan seperti ini menimpa seseorang, dan dia mampu tidak mengeluh dan tidak menunjukkan ketidak-senangan, dan tidak melampaui batas-batas pengetahuan, serta tidak membuat gaduh karena perasaan tak senang dan negatifnya, maka orang itu telah mencapai kedudukan sabar sekalipun bukan kedudukan orang-orang pilihan. Jika, sebaliknya, dia memberikan tanggapan negatif, maka dia telah meninggalkan kesabaran dan menjadi tidak sabar, yakni gelisah. Manakala seseorang mengakui kemaksiatan tindakannya, dan berlatih mengekang jiwa rendahnya, lalu memaksakan dirinyas ecara berlebihan dalam proses itu, maka dia tengah berusaha bersabar. Hanya saja, yang demikian itu adalah kesabaran yang dibuat-buat. Persis seperti halnya zuhud, bila dipaksakan, maka hanyalah pura-pura zuhud semata. Ia tidak membimbing ke kedudukan yang bernilai untuk disebutkan, atau ke keadaan yang berharga untuk dicapai.
Maksudku ialah bahwa mengalami penderitaan tidaklah mengurangi kesabaran, lantaran sang hamba mengalaminya dengan tidak sengaja. Hanya tindakan sukarela yang membuatnya mengalami penderitaan bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenran Mistik sajalah yang bisa mengurangi sabar. Tindakan-tindakan sejenis itu terjadi sebanding dengan derajat yakin; frekuensi tindakan-tindakan itu pun berbeda-beda, seperti halnya derajat –derajat yakin itu sendiri. Derajat-derajat yakin itu apda dasarnya adalah tiga katagori yang disebutkan dalam Al-Qur’an (102 : 5, 7;56;95) : Pengetahuan tentang yakin, yakin itu sendiri, dan yakin yang tertinggi. Dalam masing-masing katagori itu, ada tingkatan yang banyak sekali jumlahnya. Salah seorang sufi mengatakan, “Sang hamba belumlah mencapai yakin yang sempurna, kecuali bila dia telah memutuskan dari dirinya segala sesuatu di antara bumi dan Tahta Allah yang memisahkan dirinya dari Allah di aats segala-galanya.” Yakin tidak memiliki batas tertinggi. Ketika seseorang mempelajari dan memahami agama, maka yakinnya pun semakin bertambah.
Semoga Allah memperkuat kita dengan kekayaan-Nya yang tak ada habis-habisnya dalam kebaikan dan kemurahan-Nya.

SURAT KEDELAPAN

Kepada Yahya Al-Saraj. Surat tentang amal dan keadaan-keadaan spiritual (hal) yang dibutuha=kan oleh orang yagn ebrtobat jika dia ingin menetap dalam kedudukan tobat. Disertakan juga hal-hal bermanfaat lainnya.

66.
Segala puji bagi Allah semata.
Telah kuterima suratmu, dan telah kubaca surat itu seluruhnya dengan teliti dan cermat. Kecuali untuk soal hamba bertobat yang telah mengalami perubahan dan tengah menempuh jalan orang yang mengabdi kepada Allah. Aku tahu tak ada satu soal pun dalam surat itu yang memerlukan jawaban sangat mendalam. Aku gembira bahwa engkau memusatkan perhatianmu pada soal itu. Sebab kita tahu bahwa seorang hamba seperti ini bakal beroleh ganjaran berlimpah dari Allah Swt. dalam kehidupan akhirat nanti. Semoga Allah Swt. menganugerahkan kemenangan surgawi dan keharuman samawi yang tidak bisa dikukur kecuali oleh orang yang memiliki makrifat (pengetahuan mendalam) tentang-Nya.
Tobat adalah salah satu keharusan utama yang diperintahkan dalam berbagai hadis Nabi yang terkenal. Di antara soal penting, kedudukan iman didasarkan pada tobat : Segalanya bermula, terus mengada, dan berakhir dengan Tobat. Tidak ada seorang pencari pun bisa menghilangkannya dalam kemajuan spiritualnya, pun tidak pula dia bisa menghindarinya hanya berpaling darinya. Jelaslah bahwa sang hamba mesti terus memperhatikan awal, kelanjutan, pertumbuhan, dan peningkatan tobatnya. Dia mesti melindungi  watak hakikinya dengan rajin bekerja, dan memperkuatnya dengan meningkatkan daya tahan. Untuk tawakal dan mengalami tobat sepenuhnya, dia harus sbenar-benar beribadah dan bersikap murah hati. Begitulah cara mensyukuri keadaan yang meningkat yang bertalian dengannya. Dari sudut pandang iman, pengetahuan dan tindakan yan didasarkan atas tobat merupakan kewajiban-kewajiban penting. Segenap kehidupan orang-orang yang bijak dan memiliki pengetahuan spiritual, sibuk dengan tobat dan penyesalan, sebagai salah satu perhatian utama mereka. Setelah engkau memahami hal itu dengan jelas, aku ingin agar engkau mengetahui juga bahwa apa yang sedang aku bahas ini terbagi ke dalam dua kategori, yang umum dan yang khusus.
Segi-segi umum tobat ditunjukkan dan ddijelaskan dalam Kitab Allah, haids-hadis Rasul-Nya, dalam ucapan-ucapan para salaf (pendahulu kita dalam agama), dan dalam berbagai penafsiran atas sumber-sumber tersebut di atas yang disampaikan oleh para pemimpin agama. Seseorang yang berusaha beroleh manfaat dari pengetahuan ini dan menempuh jalan ini mestilah mendengarkan, dengan telinga kalbunya, sanggahan-sanggahan tak bermakna yang dilontarkan oleh orang-orang munafik dan suka membantah tentang soal-soal ini. Dia mesti sanggup mengahdapi berbagai rasionalisasi mereka yang sudah diputarbalikan, hingga suatu saat semuanya itu menampakkan hakikatnya. Dengan demikian, segenap keraguan dalam diri sang pencari pun akan bisa dijelaskan.
67.
 Segi-segi khusus itu meliputi pengetahuan tentang berbagai kedudukan dan keadaan sang hamba, entah dalam keadaan diam atau bergerak, entah di depan umum atau dalam kesendirian, dalam soal-soal yagn sudah ditetapkan baginya atau dalam situasi-situasi di maan dia menjalankan kebebabasan pribadi, di saat musim makmur atau paceklik, dalam kesendirian atau dalam bergaul dengan orang lain, dalam semua tindakan juga perkataannya. Sang hamba tidak boleh beranggapan bahwa dia memiliki kesadaran penuh, kecuali melalui pergaulan dan seseorang yagn berpegang gpada kebenaran, yang sudah terjun ke dalam lautan ini dan yang sudah belajar membedakan antara permatan berharga dan batu karang. Dia harus menerima bantuan yang hanya bisa diberikan seorang guru, ketika guru tersebut memberikan kepada sang pencari apa yang dikehendakinya, memberinya fondasi dalam Kebenaran Mistik dan dalam menghilangkan kepura-puraan. Biarlah sang guru mengajari sang pencari beberapa rahasia yang tampak jelas bagi sang guru, menunjukkan kegagalan dan hambatan sang pencari, serta memberinya ganjaran yang tepat tentang keadaan spiritualnya. Bila sang hamba berhasil menemukan guru yang unik ini, dia mesti beanr-benar mengikutinya dan menempuh jalannya yang terang. Kalau tidak, dia mesti mengikuti kehati-hatian dan kebijaksanaan tanpa ragu-ragu sedikit pun. Dengan demikian, jalan ketabahan dan ketakwaan kepada Allah akan terbuka lebar di hadapannya. Inilah cara paling bermanfaat untuk mencari dan mencapai tujuan.
Aku memutuskan untuk menyebutkan di sini hanya beberapa sifat kedudukan tobat, yang kelihatannya paling cocok dalam konteks ini. Uraian dan paparan yang mendalam tentang sifat-sifat setiap kedudukan tidaklah bisa banyak membuka kunci khazanah rahasia-rahasianya selama hidup kita, dan bakal sia-sia saja dalam hal ini. Engkau mesti memahami bahwa kedudukan tobat itu paling utama dan merupakan fondasi bagi berbagai kedudukan lainnya. Penyesalan berarti menukar perbuatan-perbuatan dosa dengan perilaku terpuji. Ini meliputi gerak-gerik lahir dan batin, keyakinan, kata-kata dan tindakan. Dalam penyesalan dan tobatnya, sang hamba pertama-tama mesti menaruh kepercayaan kuat-kuat pada ketulusan gurunya agar beroleh kepuasan dengannya, tunduk kepada perwaliannya, dan mencari apa yang diinginkan sang guru ketika bergaul dengannya. Kemudian, sang hamba mesti meneliti dan memeriksa perilaku batiniahnya, lalu meninggalkan kelakuan-kelakuan bodoh dan kegemarannya akan kesia-siaan duniawi. Dia juga harus memeriksa dengan cermat perilaku lahiriahnya, agar selaras dengan syarat-syarat hukum, dan menyucikannya deri berbagai pengaruh kebiasaan dan kecenderungan hawa nafsu. Yang demikian itu menyiapkan dirinya untuk memperoleh berbagai rahmat dan manfaat dari perilaku yang baik sewaktu dia bergegas menuju kesalehan, ketakwaan kepada Allah, dan mengutamakan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia ini; dan sewaktu dia perlahan-lahan bergerak maju menetapkan pijakan yang kokoh di bawah bimbingan dan pengawasan yang baik dari sang guru.
Selain itu, sang hamba bakal memetik buah dari kegiatan memanfaatkan waktunya dengan sangat baik; mawas diri, mencela perbuatan dosanya, dan menundukkan kecenderungan-kecenderungan untuk durhaka yang ada dalam dirinya; mewaspadai segala pemikiran dalam jiwa rendahnya; memeriksa ketulusan niatnya; mengutamakan pemikiran kalbunya; segera memperbaiki kezaliman dan menghormati kesepakatan; mengejar berbagai kewajiban dan keharusan yang terlewatkan; menghindari kesombongan; menghindari dosa-dosa; mengurangi kemaksiatan; lemah-lembut; menyelamatkan inti wujudnya dari berbagai bencana dan kemalangan; tekun mengamalkan agama; dan bersikap kasih sayang dan menasehati sesama Muslim sesuai dengan syarat-syarat agama dan perilaku teladan Rasulullah Muhammad saw. Berkat manfaat-manfaat inilah, sang hamba terbebas dari tirani penindasan, dosa-dosa besar, dan kebencian. Kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yang demikian itu.
68.
Kemudian engkau perlu memahami, bahwa dalam tahap-tahap awal, orang yang bertobat terus-menerus dirundung kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Sejenis kemabukan yang disebabkan oleh keadaan spiritualnya menguasai dirinya, mengalahkannya, dan mengancam bakal membuatnya lelah. Dia hanya bisa melihat kondisinya sendiri, dan tidak kuasa mengubahnya. Jiwanya tertundukkan, kemampuan berdoanya pun berkurang, dan watak kemanusiaannya mengalahkan dirinya. Dia terus dalam keadaan demikian, hingga berbagai angan-angan kecemasan yang tak terhindarkan pun menimpa dirinya. Tentara ketakutan dan kekhawatiran, yang sebelumnya dia terbebas darinya, kini berkemah di halaman rumahnya. Maka dia harus percaya pada keimanannya dan tetap teguh dalam komitmennya. Begitulah, dia mesti bersabar dalam keadaan spiritual dan memulai manklukkan tentara hawa nafsu yang tak terkendalikan.
Beranekaragaman orang mendapati diri mereka berada dalam situasi ini. Dan situasi ini menguji keberanian orang-orang jahil dan bodoh maupun orang-orang bijak. Inilah “Perjuangan besar”, yang bila perjuangan melawan orang-orang kafir dibandingkan dengannya nampak tak berarti apa-apa dan lebih rendah derajatnya! Manakala sang hamba keluar sebagai pemenang, berarti dia telah menaklukkan kerajaan jiwa rendah, dan berbahagia dalam taman-taman kesucian. Jika dia kalah, watak kemanusiaannya menguasai dirinya. Dalam hal terakhir ini, dia mesti memperbarui tobatnya, memperhatikan sekali lafi masalah itu, dan kembali kepada kondisi yang lebih tepat. Dan dia harus terus melanjutkan proses ini sepanjang dia masih berada di dunia ini. Dalam menolak mentah-mentah kekuatan dan kemampuannya sendiri, dia harus bisa menemukan dukungan bagi tindakan-tindakan lahiriah dan batiniahnya, sehingga tak ada sesuatu pun bisa mencegah dirinya dari menuju dengan penuh kebebasan ke haribaan Tuhannya untuk selama-lamanya. Itulah dasar persoalan ini, dan merupakan tambatan yang kokoh. Orang yang berpegang erat-erat padanya bakal mampu bertahan secara lebih pasti.
Banyak pendahulu kita yang saleh (salaf) telah beroleh kemajuan dengan cara begini, dan bergegas penuh kepatuhan menuju tujuan ini. Sikap keagamaan dan praktik kebiasaan mereka terbentuk berkat semua seifat iman dan keyakinan yang bertambah, baik yang telah kusebutkan maupun yang tidak aku sebutkan. Bagi mereka, jalan kemajuan itu laksana kedudukan jalan penyegaran bagi pencari kehidupan abadi. Mereka bergembira dan berbahagia dengannya; tak ada usaha dan tak ada musuh yang mencegah mereka. Mereka bertahan dalam tujuan mereka, sebab mereka memiliki tanda-tanda yang jelas dari Tuhan mereka dan keyakinan hakiki sebagai hasil amal mereka.
Orang-orang mendekati persoalan mereka dengan berbagai cara, dan terbagi ke dalam beberapa golongan. Sebagian orang menempuh jalan memeriksa amal-amal raga dan kalbunya, dan menggunakan ini sebagai sarana meraih pengetahuan sempurna tentang kesalahan-kesalahan mereka berikut kewajiban-kewajiban lahiriah mereka. Dengan begitu, mereka sampai pada kesucian jiwa, dan membatasi perhatian mereka pada apa yang berkaitan samata-mata dengan diri mereka sendiri. Jika seseorang menanyakan kepada mereka masalah hukum, mereka menghubungi orang lain, sebab mereka memandang yang demikian itu sebagai cara melindungi diri mereka sendiri. Diriwayatkan juga hal-hal lainnya semisal itu, yaitu tentang orang-orang dalam golongan ini.
69.
Yang lainnya pun sangat penuh perhatian manakaa melihat bid’ah timbul di kalangan masyarakat, atau manakala cinta akan dunia ini mengalahkan hal-hal lainnya. Mereka percaya bahwa mereka berkewajiban memberikan jawaban kepada masyarakat seperti ini, dengan cara membebaskan mereka dari kejahilan keyakinan mereka serta dari berbagai kezaliman perilaku duniawi mereka.
Sebagian orang lagi takut akan bid’ah yang berada di luar batas-batas Islam awal. Mereka menganggap perubahan seperti ini sebgai bencana yang membahayakan diri mereka. Karenanaya, mereka menempuh jalan kehati-hatian, dengan membatasi diri pada pengamalan keimanan tradisional kaku dan menjauhi diskusi-diskusi intelektual. Seandainya ada seseorang  mencoba mempengaruhi mereka ata menentang  pandangan mereka, orang-orang ini serta merta  menolak mereka  dan sepenuhnya  melecehkan mereka serta aal keagamaan mereka. Mereka memandang diskusi dengan orang-orang semisal ini, dan keterlibatan dalam perdebatan, sebagai membuang-buang waktu dan pekerjaan sia-sia. Dalam aktivitas keduniawian, kebanyakan orang ini tidak mencari jabatan dalam pemerinthan, baik dengan senang hati  maupun terpaksa, lantaran sangat takut  dengan bahaya yang terkandung  dalam memegang jabatan itu. Orang-orang yang amal keagamaan dan kepedulian mereka pada kebaikan kaum Muslim membuat mereka memikul tanggung jawab kemasyarakatan, terus-menerus waspada, sebab mereka tidak bisa tenang pada situasi itu.
Kemudian ada orang-orang yang gandrung sekali pada perdebatan dan diskusi, malahan tenggelam di dalamnya. Manakala mereka melihat gemuruh kontroversi datang mendekat dan api kebodohan dinyalakan, mereka menjadi ahli dalam segi tertentu perdebatan itu. Lalu mereka berusaha keras dan tak kenal lelah menyiapkan pembelaan terhadap pandangan lawan. Mereka membuat hukum-hukum yang mengikat orang banyak, dan menjelaskan jalan-jalan petunjuk sehingga orang bisa beroleh petunjuk. Mereka menunggu-nunggu musuh-musuh agama di setiap penyergapan dan pengintaian, dan melindungi benteng-benteng dengan pertahanan paling tangguh. Kemudian, mereka menerima jabatan-jabatan dalam pemerintahan, seperti baru saja telah aku sebutkan. Betapapun juga, mereka tetap frustasi, karena ternyata jabatan-jabatan ini tidak dapat mendatangkan kepatuhan yang dibutuhkan untuk membantu memenuhi hasrat-hasrat serta tujuan-tujuan mereka. Berbagai penderitaan dan cobaan tak terelakkan merundung mereka yang memegang jabatan-jabatan itu, dan mereka benar-benar diuji dengan perjuangan dan kesengssaaan.
70.
Masing-masing golongan yang telah aku uraikan itu menganut pandangan yang bisa diterima,d an sesuai dengan bagian masing-masing yang diberikan oleh Tuhannya. Tetapi, ketika waktu pun berlalu, golongan-golongan ini menjadi makin sedikit jumlahnya dan makin pendek umurnya. Akibatnya, di zaman kita tanda-tanda dan jejak-jejak agama pun terhapus. Pemeluk-pemeluk agama yang bersemangat pun tidak ada lagi. Orang-orang tenggelam dalam golongan dunia ini, kalbu-kalbu pun merana. Segenap rasa malu pun hilang. Orang-orang pandai menyimpang dari ajaran yang benar. Orang banyak pun tersesat di gurun kejahilan dan kerusakan; kaum ulama sudah tidak ada. Orang-orang yang memiliki keyakinan pun sudah lenyap. Bumi menjadi gelap, dengan hilangnya cahaya dan tenggelamnya matahari dan bulan. Sahabt menjadi musuh. Ulama menjadi ulama asal-asalan. Saudara pun menjadi tidak setia dan mulai berkhianat. Para pembaca Al-Qur’an berlaku kurang ajar dan tersuruk-suruk dalam kejahilan. Kebenaran tertutupi oleh kebatilan, sementara para pembual yang lalai dan orang-orang bodoh serta jahil mengklaim memiliki ilmu dan pengetahuan mendalam tentang Kebenaran!
Aku tak bisa berbicara panjang lebar tentang orang-orang seperti ini. Tak banyak orang yang memahaminya. Bagimu, perhatikan betapa amat baik pengetahuan yang nyata itu! Perhatikan, apakah di jaman kita ini masih ada orang yang memiliki pijakan kuat, yang dalam hatinya ada ccahaya, dan yang sikapnya murni dan jelas. Selidikilah, apakah sekarang ini ada orang yang memperhatikan apa yang tidak diwajibkan, dan yang niatnya tetap murni dan suci meski dirundung kemalangan sekali pun.
Disebabkan keadaan-keadaan zaman ini, sang pencari mestilah mengasingkan diri dalam kedukaan, airmata, dan penyesalan. Dia harus mencari nasihat dari setiap orang yang benar-benar berpengetahuan, menyibukkan diri dengan berbagai persoalan sendiri, dan lebih tegar ketimbang sebelumnya dalam menghadapi jiwa rendahnya. Dia mesti lari menghindari orang banyak, sebagaimana dia lari menghindari seekor singa. Dia mesti mengesampingkan penafsiran-penafsiran picik, dan jangan terpengaruh oleh celaan-celaan mereka kecuali dalam hal-hal yang jelas. Dia mesti bersabar dalam amalan perbuatan ini sampai mati. Maka dia bakal selamat, dan akan beroleh ganjaran berlipat ganda yang dijanjikan buat orang-orang yang memulai amal perbuatan ini pada saat terakhir. Tetapi, jika iblis memalingkan sang pencari dari jalan yang jelas ini, lantaran sang pencari tidak memanfaatkan rambu-rambu sepanjang jalan itu, maka Allah Swt tidak peduli, di lembah bumi mana pun dia tentu bakal binasa.
Setiap pencari haruslah mempunyai seorang penasihat spiritual yang akal dan nalurinya sehat, jika menimbang semua yang telah aku katakan tadi dan mengkaji persoalan-persoalan ini dengan pikiran yang bebas dari keberpihakan dan penyimpangan. Dengan begitu, sang pencari bisa sampai pada pemahaman sempurna. Dengan petunuuk dan kemenangan dari Tuhannya, dia akan senantiasa berada di puncak ketinggian Jalan, dia menjalankan agamanya dengan ketulusan dan penuh perhatian. Seorang ulama terkemuka, Syaikh Abu Al-Qasim ‘Abd Al-Rahman ibn Muhammad ‘Abd Allah Al Bakri Al Shaqalli menguraikan berbagai golongan hamba dan berbagai kerusakan yang merajalela di bumi ini, dalam karya Kitab Cahaya-Cahaya. Kupikir ada baiknya aku kutipkan ringkasan sebagian dari apa yang dibicarakan dalam kitab itu,
Al-Shaqalli menulis :
Orang-orang generasi pertama (yakni para sahabat Nabi) sangat tahu tentang Kitab Allah dan dapat menjelaskan pengetahuan mendalam tentang teladan serta perilaku Rasulullah saw. Sebab mereka adalah orang-orang yang sangat berpengetahuan luas. Kemudian datanglah generasi kedua. Mereka adalah orang-orang yang juga berpengetahuan mendalam tentang makna ayat-ayat Kitab Allah, dan meneladani perilaku Muhammad, serta memahami tafsir dan penjelasan-penjelasan para Sahabat. Hanya saja, cinta kasih kepada sesama yang merupakan ciri khas para Sahabat berkurang di kalangan Tabi’in (generasi sesudah Sahabat). Begitu pula dalam hal kezuhudan. Saat itulah kemudian muncul kaum bid’ah, yang menyesatkan orang-orang bodoh dan menundukkan orang-orang awam secara diam-diam.
71.
Kemudian datanglah generasi ketiga. Ulama, yang berpegang teguh kepada ketulusan dan bertindak dalam batas-batas hukum, hampir sudah tidak ada lagi. Pengetahuan para Sahabat dan Tabi’in sudah hilang. Di kalangan orang-orang pada zaman itu, jarang sekali dijumpai ketakutan, harapan, kesabaran, dan rasa syukur. Tetapi lebih sering dijumpai adanya diskusi, perselisihan, kontroversi, dan kemunafikan. Pertikaian merajalela, dan para juru dakwah pun melangkah di jalan-jalan kesesatan. Pengetahuan tentang Kebenaran Mistik jarang sekali dijumpai, kejahilan dan kebodohan merajalela.
Kekacaun tumbuh, seiring dengan datangnya generasi keempat. Tak ada seorang musafir pun yang menempuh jalan petunjuk, dan kemunafikan pun menyebar luas. Berbondong-bondong orang meninggalkan agama, menjual kebenaran dengan kebatilan dan akhirat dengan dunia ini. Dusta dan penipuan menjadi acara keseharian. Kemungkaran beroleh kejayaan. Wali-wali Allah udah tiada. Orang-orang jahat meninggalkan suara mereka. Orang-orang beriman pun pergi bersembunyi. Kesabaran telah hilang, dan nasihat yang baik sudah tidak ada lagi di mana-mana. Keakraban sudah amat jarang. Niat dalam hubungannya dengan Allah berubah menjadi jahat. Orang-orang mulai berani menipu, berbpesta pora, dan menumpahkan darah dengan cara tidak adil dan sewenang-wenang. Hal-hal yang haram menjadi urat nadi kehidupan, dan orang-orang yang tak bermoral beroleh prestise. Hampir semua orang yang memiliki keyakinan atau yang berusaha mengenal Kebenaran Mistik dirundung kesengsaraan dan perselisihan. Tetapi, masih ada beberapa orang yang menyaksikan kekuasaan Allah dan pengetahuannya tentang ketentuan-ketentuan Ilahi.
Dengan datangnya generasi ke lima, kesulitan-kesulitan kaum Muslimin bertambah, sehingga  mereka terpecah-belah menjadi berbagai golongan, yang menguasai dan yang dikuasai. Sebagian golongan bertengkar dengan golongan lainnya. Sebagian lagi menuntut balas-dendam atas yang lainnya. Sebab amalan keagamaan dan perilaku sehari-hari dan keduniawian mereka telah rusak. Mereka yang tetap meyakini Kebenaran Mistik (Hakekat), bisa menemukan kelegaan hanya dengan menjauhkan diri dari orang banyak, dan menyembunyikan diri dari para juru dakwah.
Ketika generasi keenam datang menyusul, orang-orang yang adil pun sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanya orang-orang jahat. Akal telah diambil dari pengetahuan, dan menjadi sekedar bukti rasional. Islam tinggal hanya nama saja. Kajian tentang Al-Qur’an sudah tidak ada, dengan meninggalkan sedikit bekas dan jejak. Kemudian, yang paling luar biasa dari segalanya , generasi ke tujuh, jauh lebih jahat dan suka menentang. Begitulah terus keadaannya sampai Hari Kiamat kelak.
Itulah pandangan Al-Shaqalli. Pemikiran-pemikirannya tentang masalah ini sangat baik dan tak tertandingi ulama man pun. Aku sudah lebih cukup berbicara tentang soal itu.
72.
Aku kuatir sekarang, sebab aku telah melantur dan menyimpang ke topik-topik baru. Yang pasti, orang bisa berbiara lebih dari ini, sebab aku belum membahas banyak persoalan yang memerlukan petunjuk, dan telah meringkaskan uraianku tentang banyak hal yang memerlukan penjelasan lebih jauh. Aku melakukan yang demikian itu demi keringkasan. Aku telah berusaha menjawab butir-butir penting yang engkau tanyakan dalam suratmu, dengan nasihat spiritual, saran, pengajaran, dan anjuran-anjuran yang dapat diterima akal. Karena aku menyadari ketidakmampuanku menjawab sepenuhnya peranyaan-pertanyaanmu dengan uraian mendalam yang pantas engkau peroleh, aku memberimu uraian selektif, dan berharap aku telah menjelaskan hal-hal penting, hubungan-hubungan, dan argumen-argumen yang kelogisannya bisa dipahami setiap orang yang cerdas dan yang manfaatnya jelas nyata bagi setiap pencari yang bertobat.
Aku mengakui kekurangan-kekuranganku dalam amal-amal yang aku uraikan di sini. Kualifikasi-kualifikasiku sendiri bertentangan sekali dengan yang baru saja aku sebutkan dan aku uraikan. Aku tidak dikuasai oleh jalan argumenku sendiri, dan dengan begitu aku berjalan tanpa tujuan.
Kuisyaratkan jalan petunjuk, tapi aku sendiri
Tak beroleh petunjuk;
Meski aku menguraikan obat penyakit, aku sendiri
Terus-menerus menderita penyakit itu.
Aku ingin orang-orang suci dan orang-orang terkasih yang membaca surat ini berdoa untukku, agar aku diberi kemampuan bertobat dan menyesali dosa-dosaku. Semoga harapanku itu bisa terwujud melalui kepatuhan, dan semoga amal-amalku dinilai sebagai kebaikan dan kebajikan. Yang demikian mudah saja bagi Zat yang menciptakan segala sesuatu dan mengajarkan jalan kehidupan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Di sinilah suratku ini kuakhiri. Segala Puji bagi Allah Swt. Tuhan kita, dan Shalawat serta salam atas Rasul-Nya, yang adalah kebanggan kita dan teladan paling baik.
SURAT KESEMBILAN

Kepada Yahya Al-Saraj. Surat berisi nasihat dan saran kepada seseorang yang inti wujudnya dirundung kesedihan, akibat keadaan-keadaan spiritual yang tidak bisa diterimanya, dan ketika dicobanya tidak bisa dia gantikan dengan keadaan-keadaan yang disukainya dan bisa diterimanya.

Segala puji bagi Allah atas keluasan Rahmat-Nya.
Telah kuterima suratmu yang melukiskan keadaan-keadaan spiritualmu saat ini. Engkau katakan dirimu baik-baik saja. Inti pesanmu adalah bahwa engkau mendapati sebagian keadaan yang tengah engau alami itu tercela, sama sekali tidak kausukai, dan bahwa engkau merasa bahwa itus ebagai keadaan yang tidak mendukung untuk mendekatkan diri kepada Tuhanmu. Engkau ingin agar engkau bisa menemukan jalanmu menuju, dan hidup dalam, keadaan-keadaan baru tertentu yang engkau bayangkan dan engaku pandang secara intelektual sbagai layak diinginkan dan bernilai posiritf.
Saudaraku, engkau berlaku terlalu keras pada dirimu sendiri, dan bertindak tidak tepat. Dengan cara sia-sia dan tak bermanfaat, engkau telah melelahkan pikiranmu dengan menghabiskan waktumu seperti itu. Yang lebih buruk lagi, sangat berbahaya bagimu menyibukkan diri dengan persoalan-persoalan semisal itu, sebab hal-hal itu membuatmu tidak mampu mengetahui maksud dkaum sufi saleh dan suci, serta menjauhkanmu dari Tuhan Semesta Alam. Meskipun begitu aku aku bisa memahami situasimu saat ini. Sebab tampaknya engkau pun bernasib seperti orang lain yang tak terhitung jumlahnya, sebelum dan sesudahmu, yang mengalami hal serupa. Engkau menganut pandangan untuk beruat sekehendak mereka, entah dalam keadaan bergerak atau dalam keadaan diam, dan bahwa mereka sama sekali bisa tidak memperdulikan Zat Pertama, Pencipta, Pengautr, Penentu Takdir. Pada gilirannya, pandangan itu mengantar mereka kepada pertanyaan-pertanyaan salah dan jawaban-jawaban lancung, sehingga mereka secara tidak sadar menyimpang dari Jalan Lurus (Qs. 1 : 5).
Orang-orang ini berbeda-beda. Ada yang melakukan amalan0amalan lahiriah, seperti dhalat, puasa, haji, umrah, berdoa, bersedekah, aksi militer, mengajar, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan seorang Muslim, dan amal-amal Ibadah lainnya seperti itu, entah sering atau kadang-kadang saja. Mereka yang menggeluti hal-hal sejenis ini tanpa menemukan kebahagiaan di dalamnya, atau tanpa menyadari manfaat dan kebaikannya dalam pandangan Tuhan, seperti telah engkau uraikan dalam kasusmu sendiri, mendapati diri mereka berada dalam keadaan-keadaan spiritual yang tk bisa diterima, seperti yang engkau alami itu.
Kemudian, ada yang  hanya puas dengan mengerjakan amal-amal lahiriah ini dan tak ingin mengakhirinya. Tetapi, ketika mereka lalai melaksanakannya, dirundung kemalasan atau kebosanan, atau sesuatu di antara keduanya ini, yang lantaran satu dan lain sebab melemahkan keteguhan hati mereka, maka kehidupan mereka menjadi sangat kacau. Dalam suasana kekacauan itu, mereka percaya bahwa mereka telah disingkirkan jauh-jauh dari Allah.
74.
Ada juga yagn tidak memikirkan amal-amal ibadah, dan tidak peduli sedikit pun tentangnya. Mereka membayangkan diri mereka daapt mengatasi situasi apa pun yang mungkin mereka jumpai. Sebagian lagi memberikan waktu dan tempat khusus bagi amal-amal mereka, seolah-olah masalahnya bergantung sepenuhnya pada keduanya itu.  Manakala waktu sudah tiba, atau mereka sampai pada tempat yang ditentukan, mereka menyadari telah melakukan kebiasaan bertindak lalai dan menangguh-nagguhkan. Mereka hanya memenuhi apa yang telah dijanjikan, dan setia kepada kondisi-kondisi yang telah ditetapkan. Tetapi, mereka tidak memenuhi syarat-syarat dan janji-janji mereka. Mereka menundanya hingga waktu lain, dan begitulah seterusnya.
Lalu, ada orang yang mengerjakan amal-amal keagamaan, dan begitu mendengar kisah-kisah tentang para salaf dan kesetiaan mereka pada Teladan Nabi dan amal-amal mereka yang baik memandang diri mereka sangat mampu melakukan hal-hal demikian itu seandainya saja memutuskan untuk melakukannya. Kemudian, mereka pun berkata, “Aku akan melakukan itu begitu aku terbebas dari kesibukan ini dan itu, dan bila aku berada dalam keadaan spiritual yang tepat.” Seperti telah aku kemukakan, mereka menghabiskan segenap kehidupan mereka dengan sikap suka menangguh-nangguhkan.
Sebagian orang yakin bahwa kehidupan mereka kacau berantakan, dan bahwa mereka tak mampu berbuata apa-apa. Yang demikian itu boleh jadi sangat benar yakni, mereka mungkins saja demikian, baik dalam kenyataan maupun secara kiasan; atau barangkali mereka hanya membayangkan bahwa memang begitu keadaannya. Manakala orang-orang ini mendengar tentang leluhur saleh mereka, atau melihat seseorang yang memiliki sifat-sifat leluhur itu. Mereka mengatakan, “Tak ada seorang pun seperti diriku yagn mampu melakukan hal demikian itu, atau memiliki keinginan atau kemampuan menyelesaikan hal-hal seperti itu. Makanya, mereka membiarkannya begitu saja, dan tidak memutuskan untuk menerapkan pada diri mereka sendiri. Aku telah mengamati semua sikap yang salah ini dalam diriku, dan juga melihatnya dalam diri orang lain, karena alasan yang sederhana bahwa mereka bisa menaklukkan kalbu-kalbu kita.
Sebaiknya, kaum sufi dan mereka yang memiliki kehidupan spiritual tinggi, memperhatikan amal-amal batiniah, dan terbebas dari berbagai penalaran yang tampaknya benar seperti itu. Mereka berusaha mengetahui secara sempurna Keesaan Ilahi (Tawhid) sejak awal, sebab mereka membuat perjanjian dan biasa berdoa dengan penuh rendah hati kepada Tuhan mereka, sehingga kalbu-kalbu mereka menyadari kehadiran-Nya kapan pun. Mereka berusaha menjadikan-Nya sebagai sahabat mereka dalam segenap keadaan spiritual mereka, sejauh mereka mampu. Ketika Allah melihat sikap yang demikian itu ada dalam diri mereka, Dia menyayangi mereka, dengan menjadikan mereka tidak lagi memperhatikan kelemahan atau kekuatan mereka sendiri dalam apa saja yang mereka lakukan atau tinggalkan. Lalu Allah menjadi perlindungan dan menjaga mereka. Dia menjamin kesejahteraan dan rezeki mereka, sebab mereka adalah hamba-hamba-Nya, dan mengabdi beribadah kepada-Nya. Allah Swt. berfirman : “Bukankah Aku cukup bagi hamba-hamba-Nya?” (Qs. 39:36). Dia juga berfirman. “Ingatlah, sesungguhnya Perlindunganku adalah Allah, yang menurunkan Kitab dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. 7:196). Dan dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Aku bersama hamba-Ku manakala dia mengingat-Ku.”
75.
Yang sulit menjadi mudah dan yang keras bisa ditanggung hamba-hamba ini. Allah menjadikan setiap waktu mereka berharga dan sangat penting. Dia tetapkan mereka dalam kesenangan dan dalam kerajaan besar. Di dalam diri-Nya saja mereka bergerak atau beristirahat. Kepada-Nya saja mereka bergantung. Kepada-Nya saja mereka mengangkat segenap pikiran dan aspirasi mereka. Itulah sebabnya Umat ini adalah yang terbaik di antara Umat-Umat lain. Dalam salah satu hadis Nabi, Allah Swt. diriwayatkan berfirman kepada Isa a.s. :”Aku akan membangkitkan sebuah Umat sesudahmy. Manakala mereka mencintai apa yang menimpa diri mereka, mereka akan memuji dan bersyukur atasnya. Jika mereka membenci apa yang menimpa diri mereka, mereka senantiasa ingat akan ganjaran atau pahala mereka di akhirat nanti dan menanggungnya dengan sabar, sekalipun mereka tidak memiliki pemahaman atau pengetahuan.” Isa a.s. menjawab : “Ya Allah, bagaimana mungkin akan demikian, jika mereka tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan?” Allah menjawab, “Aku akan memberi mereka pemahaman dan pengetahuan-Ku.”
Karena itu, agama umat Muhammad secara khusus ditandai oleh kebebasan dan kemudahan. Umat tersebut tidak memandang rendah beban-beban yang memberatkan sekalipun, lantaran apa yang mereka inginkan senantiasa ada dan tersedia. Kemudahan dalam setiap situasi ini dimungkinkan hanya melalui penglihatan kontemplatif (musyahadah) yang telah aku bicarakan. Allah Swt. berfirman, “Dia sama sekali tidak menjadikan kesulitan atasmu dalam agama. Ikutilah agama bapakmu, Ibrahim. Dalam Kitab ini dan sebelumnya, Allah menamai kamu sebagai orang-orang Muslim.” (Qs. 22:78). Dan agama Umat itu tak lain adalah Islam dan pengakuan tentang Keesaan Ilahi (Tawhid).
Nabi kita, Muhammad saw., bersabda, “Telah didbangkitkan golongan ahli tauhid yang toleran, dan itu adalah agama Ibrahim a.s.” Seorang sufi mengomentari kata-kata Nabi saw., “Mereka mendapati agama itu mudah dan tidak sulit.” Sabda itu bermakna bahwa mereka hanya dibimbing kepada Allah saja. Karenanya, seseorang yang membimbingmu kepada dunia ini, berarti dia menipumu, dan seseorang yang membimbingmu kepada amal-amal lahiriah, hanya akan membuatmu sangat lelah. Tetapi orang yang membimbingnmu kepada Allah, telah memberimu nasihat yang baik. Maksudku di sini ialah memberitahumu bahwa orang-orang macam begini melakukan beberapa kesalahan seperti yang telah aku sebutkan, yakni, kesalahan yang berkaitan dengan tiadanya pengetahuan tentang diri yang sejati dan penilaian yang akurat atas kemampuan dan kekuatan mereka sendiri. Bila tidak demikian, mereka tidak akan mempunyai keadaan mamupun kedudukan spiritual. Tetapi, karena jarang sekali kekurangan dalam hal ini, mereka terus menerus waspada dan tetap kokoh dalam kedudukan mereka. Mereka menemukan pijakan kuat dalam perhatian Allah kepada mereka. Sebaliknya, orang-orang yang suka berdusta dan angkuh telah memutuskan komunikasi mereka dengan Allah. Engkau bisa memahami dari semuanya ini penyebab berbagai kesalahan orang-orang ini, serta sarana agar orang yang aman tetap merasa aman. Keadaan yang terakhir ini bisa terjadi hanya dalam keadaan mulia, suatu keadaan yang diberikan Allah kepada mereka sehingga mereka menjadi wali-wali Allah.
Karena itu, ketahuilah bahwa fungsi keadaan itu dalam agama adalaha sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Semesta Alam. Hendaknya engkau berkeinginan naik ke kedudukan mulia ini, dan bergabung dengan para musafir yang telah diberi Allah kerajaan besar ini. Setelah engkau melakukan ini, engkau akan memahami kebenaran pernyataanku bahwa satu-satunya bantuanmu menuju kepadanya ada dalam keadaan itu sendiri. Dalam hubungan ini, seseorang telah berkata, “Aku mengetahui Tuhanku melalui Tuhanku.” Dan seandainya bukan karena Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku.” Sebuah kisah menuturkan bahwa seseorang bertanya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, “Apakah engkau mengetahui Allah melalui Muhammad, atau apakah engkau mengetahui Muhammad melalui Allah?” Ali menjawab, “Seandainya aku mengetahui Allah melalui Muhammad, aku tidak akan menyembah Allah, dan Muhammad akan lebih tertancap kuat-kuat dalam jiwaku ketimbang Allah. Allah mengenalkan diriku dengan-Nya lewat Diri-Nya.”
76.
Setelah identitas sarana menuju Allah dan sarana melalui Allah tampak jelas di hadapanmu sekalipun mungkin tetap tidak bisa dipahami dari sudut pandang rasional semata-mata sehingga engkau tidak melihat perbedaan antara keduanya, maka engkau akan mencapai keadaan itu, yang merupakan tujuan para pencari dan kesempurnaan dambaan orang yang merindukannya. Sebab, satu-satunya sarana yang tersedia ialah berada di dalam wujud Zat Yang Satu yang senantiasa Hadir dan Dekat. Karena itu, jika yang engkau cari itu sudah kautemukan dan ada padamu, mengapa engkau melihat di luar diri-Nya, dan mengapa engkau mencari perantara dari selain-Nya? Aku hanya bisa menyamakanmu, dalam hal itu, dengan seseorang yang memegang mutiara berharga yang nilainya tidak dia hargai. Dia menganggap mutiara itu seperti batu biasa saja, dan tidak tahu untuk apa. Dia mengeluh tentang sakit dan kemiskinan, dan meminta-minta kepada orang lain. Tetapi, lihatlah betapa kondisi yang sebenarnya tampak jelas, sekalipun dia tetap berada dalam keadaan itu. Maksudku ialah bahwa dalam keadaan itu, dia jelas tak mampu mencapai tingkat kerajaan, belum lagi ekstase, kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan yang menyertainya. Seperti telah dikatakan, “Hampir tidak mengherankan kalau seorang musafir yang tengah mencari-cari air menemukan seorang Yusuf. Yang mengehrankan ialah bahwa pendosa yang mencari ampunan menemukan Allah.” Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya sendiri, kemudian memohon ampunan kepada Allah, pastilah dia mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyanyang.” (Qs. 4:110).
Kini, pentingnya masalah ini engkau sadari sepenuhnya; “Mudah-mudahan engkau akan memahami.” Sudah barang tentu, terlalu lembut untuk ditangkap kata-kata atau dikandung oleh ibarat. Kekuasaan Allah adalah penyebab utama segala sesuatu. Perkenalanku denganmu, dan kepercayaanmu kepadaku untuk memperoleh petunjuk terbaik ke arah tujuanmu, berikut surat-suratmu kepadaku dan jawaban-jawabanku kepadamu atas pertanyaan-pertanyaan ini, hanyalah sekedar konteks, yang di dalamnya engkau bisa mencapai keinginanmu tanpa bantuan atau kekuatan salah seorang dari kita. Dengan adanya sudut pandangan ini, engkau akan mengetahui bahwa segenap keadaan spiritualmu mengikuti jalan yang sama ini. Allah tidak mau memberi rezeki kepada hamba-Nya yang beriman kecuali dari sumber-sumber yang tidak diketahui oleh sang hamba. Lantas, untuk apa segenap kerja, usaha, kelelahan, dan pencarian ini?” Kamu mengehndaki selain Allah; dan apakah anggapanmu terhadap Tuhan  Semesta Alam?” (Qs. 37: 86-87). Engkau mesti memahami, bahwa Allah lebih dekat sekedar menggantikan segala yang bersifat sementara dan sebentar sifatnya. Sungguh, orang yang menemukan Allah tidaklah menginginkan apa-apa. Tetapi orang yang kehilangan Allah, tidaklah memiliki apa-apa.
Kaum sufi dan orang-orang yang memiliki kehidupan spiritual tinggi berpijak pada fondasi ini. Segala godaan dan kekhawatiran yang menyerangmu dan menghalangi pandanganmu mengenai objek keinginanmu dan pencapaian tujuanmu, bakal mencegahmu dari mewujudkan kebenaran-kebenaran ini. Setalah Allah memberimu pemahaman yang aku bicarakan itu, dan engkau telah tenggelam di dalamnya, maka kewajibanmu adalah terus menerus beribadah dan mendekatkan diri  kepada Allah, sehingga kelelahan, kebosanan, maupun penipuan tidak bisa menjatuhkanmu dari beribadah kepada Allah asalkan engkau hidup dengan pemahaman itu  dalam segenap kedatangan dan kepergianmu. Jika engkau memandang bahwa segala seuatu berwujud dan bersumber dari Allah, maka engkau akan bersyukur kepada-Nya, yang telah menganugerahkan kepadamu kemenangan mudah ini, perniagaan yang menguntungkan dan berkembang ini. Selanjutnya, engkau pun akan beroleh kebahagiaan dan tempat mulia di akhirat nanti (Qs. 3:14; 13 : 29).
Karena itu, saudaraku, terimalah dengan ikhlas apa yang telah kukatakan padamu. Belajarlah lebih mengutamakannya ketimbang pengetahuan rasional dan tradisional. Pahamilah bahwa akal tidak bisa memahaminya, pun tidak pula tradisi bisa mengungkapkannya dengan jelas. Yang demikian itu adalah pengetahuan yang Allah amanatkan pada relung-relung kalbu paling dalam. Dituturkan bahwa salah seorang nabi di kalangan Bani Israil menerima Kitab Wahyu yang mengatakan, “Jangan katakan, “Pengetahuan ada di langit; siapa yang akan membawanya turun?” atau ‘Ia ada di dalam bumi, siapa yang akan membawanya naik ke atas?” atau, ‘Ia di seberang lautan; siapa yang akan menyeberangkannya?” Pengetahuan berada di dalam inti wujudmu dan dalam kalbumu. Sehingga sekarang pun engkau bisa berlaku di ahdapanku sebagai orang yang bersemangat dan mengikuti teladan nabo-nabi suci. Pengetahuan ini akan menyebar dari kalbumu ke lidahmu sampai ia meliputimu dan mengisimu. Satu-satunya tujuanku menulis ini kepadamu tentang keadaan-keadaan spiritualmu ialah agar engkau memiliki prinsip yang kokoh tempat engkau bisa kembali, dan fondasi tempat engkau bisa membangun.
Nah, sekarang tentang apa yang engkau katakan mengenai rangkaian keadaan spiritualmu dalam siang dan malam harimu. Kemajuan itu adalah baik dan merupakan pertolongan yang engkau perlukan dalam bersyukur kepada Allah karena telah membimbingmu kepada-Nya dan karena perhatianmu kepada-Nya. Yang demikian itu mencakup kedekatan kepada Allah Swt, yang tak banyak orang bisa mencapainya. Hanya saja, engkau merasa keberatan dalam urusan-urusan keseharianmu. Jadwal pelaksanaanmu mengganggumu, hingga engkau tidak lagi  merasa senang, seperti engkau alami sebelum kehilangan pandangan konteplatifmu karena kelalaian. Jika engkau berhenti memusatkan perhatian apda dirimu sendiri, dan tak lagi memandang kemampuan dan kekuatanmu sendiri sebagai hal-hak istimewa pribadimu, dan sebagai gantinya memalingkan pandanganmu kepada keesaan Allah Swt. dalam perlindungan-Nya kepadamu, dan meluruskan pikiran-pikiranmu tentang-Nya, maka engkau akan menyadari kebaikan Allah kepadamu dan banyak cara Dia menunjukkan kekuasaan-Nya kepadamu. Maka, tak ada sesuatu pun bisa mengalihkan pencarianmu, dan engkau akan memberikan perhatianmu yang penuh kepada-Nya.
Inilah beberapa rahmat yang terlihat olehku, yang akan membantumu untuk memulai berpikir. Dia mengeluarkanmu dari kegelapan ketiadaan menuju cahaya kebenaran. Kemudian, Dia memeliharamu dengan rahmat-Nya, dan membesarkanmu dengan kasih sayang dan kelembutan-Nya, sampai engkau mampu berpikir dan memahami. Dia lalu menghiasaimu dengan hiasan Islam dan keimanan, dan memberimu pengetahuan mendalam dan bukti yang jelas tentangnya. Dia memberi jalan menuju Kitab-Nya, yang dengan itu Dia menunjukkan firman-Nya yang mulia kepadamu, dengan membuatmu mampu memahami perwujudan sifat-sifat dan Nama-nama-Nya, dan mendapatimu layak menerima perinth-perintah-Nya, dan kesaksian yang bisa dipercaya dari nabi-nabi_nya. Kemudian, Dia membekalimu dengan pengetahuan, dan mengangkatmu ke keluhuran pengajaran.
Rahmat-Nya melampaui semua ini; sebagian besasr tidak bisa kita ketahui. Dan semuanya ini terjadi tanpa perantara atau jasa apa pun darimu; itu semua hanyalah kemurahan dan anugerah-Nya semata-mata. Semua rahmat atau nikmat ini tidak bisa kita hitung, sebab, “Jika kamu menghitung-hitung nikmal Allah, kamu tidak bakal bisa menghinggakannya.” (Qs. 14:34).
Seseorang yang mengalami rahmat-rahmat ini, dan menaydari bahwa dia adalah seorang tamu tak diundang di tengah-tengah berbagai rahmat ini, akan sangat senang dan bersyukur atasnya. Yang demikian itu mencegah seseorang menginginkan apa yang tidak diberikan Allah Swt kepadanya. Seringkali, seseorang meninggal di tengah-tengah berbagai rahmat seperti ini tanpa mengetahuinya. Tak ada sesuatu pun yang lebih berharga bagi Allah Swt ketimbang tindakan sang hamba menghadapi situasi aktualnya. Sebab, yang demikian itu menunjukkan penghambaan seseorang dan merupakan batu ujian bagi perilaku. ‘Amr ibn ‘Utsman Al-Makki, semoga Allah meridhainya, mengatakan, “Tasawuf bermakna bahwa sang hamba bertindak setepat mungkin setiap saat.” Yang dimaksud adalah bahwa sang hamba hadir di hadapan Tuhannya Swt setiap saat, dengan menjalankan kewajiban-kewajiban Hukum Wahyu yang ditetapkan untuk waktu tertentu.
78.
Aku telah berbicara tentang cara sang hamba hadir di hadapan Tuhannya, yang berkaitan dengan amal-amal mereka yang mengakui Keesaan Ilahi. Cara bertindak yang sesuai dengan Hukum Wahyu itu, berasal dari uraian para faqih tentang masalah-masalah hukum. Jika memungkinkan untuk melakukan sebuah amal yang disepakati para faqih, tanpa mengalami ketiadaan kebebasan atau kesedihan dalam inti wujud, maka sang hamba pun mencapai tingkat tertinggi ketakwaan kepada Allah, dan mencapai derajat orang-orang yang saleh dan bertakwa kepada Allah. Jika hal itu tidak mungkin, maka sang hamba mesti berpegang pada pendapat lain, setelah dia tahu kedudukan para ahli. Dalam kasus-kasus seperti itu, perbebdaan pendapat di kalangan para ulama adalah rahmat. Jika tidak demikian, banyak orang akan merugi. Orang yang suka merenung, yang puas dengan sebagian kecil dari kebaikan dunia ini, dan bukan menjadi budak hawa nafsunya, akan memahami masalah ini. Tetapi, yang demikian itu terasa sulit bagi orang yang merasa betah di muka bumi ini dan tenggelam dalam berbagai kepentingan duniawi. Orang seperti ini ditimpa murka Allah Swt, karena kebodohan dan kelalaiannya. Dan manakala pikiran serta hasrat seseorang mengalir ke setiap lembah di dunia ini, maka Allah tidak peduli di lembah mana orang itu bakal binasa.
Tindakanmu mengajar anak-anak, tak pelak lagi, adalah salah satu cara paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi upah yang engkau terima untuk pekerjaan itu, menjadi pokok perselisihan di kalangan para ulama. Sebagian besar mereka hanya memandangnya boleh-boleh saja, atau berpandangan bahwa, karena moralitasnya tidak diketahui, maka hal itu diperbolehkan. Karena itu, yang engkau terima adalah gaji yang halal. Tentu saja, akan lebih baik bila engkau tidak mencari keuntungan materi dari mengajar, dan tidak mengharapkan dari murid-muridmu apa yang tidak mereka miliki, serta memandang mengajar mereka hanya sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah Swt. Orang saleh sebelummu telah bekerja seperti dirimu. Kisah yang telah engkau ceritakan tentang Ibn Al-‘Arif menegsankan persis hal itu. Dalam hal ini, batu ujian bagi ketulusanmu adalah bahwa engkau tidak mengutamakan seorang murid yang memberimu hadiah atas murid yang sedikit memberimu atau tidak memberimu apa-apa, dan bahwa engkau tidak mengutamakan persahabatan seorang murid atas persahabatan murid lainnya.
Inilah tolok-ukur persoalan itu. Cobalaha berpegang kepadanya; sebab engkau tahu bahwa engkau pasti akan menemukan rezeki, dan bahwa keserakahan tidak akan menambah rezekimu, pun tidak pula ketakserakahan akan menguranginya. Yang mesti engkau usahakan dan perjuangkan adalah rezeki kehidupan di akhirat. Janganlah berusaha mencari itu, sebab “rezeki Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. 20 : 131). Maka, engkau akan bisa melakukan pekerjaanmu dengan baik, dan tidak akan melalaikannya. Apa saja yang engkau terima sesuai dengan tolok ukur ini, akan merupakan rahmat begitu rupa bagimu, sehingga satu dirham akan sama nilainya dengan seribu dirham.
Jika engkau mengamalkan apa yang aku bicarakan berkaitan dengan perenungan atas keesaan Allah, maka yang demikian itu sudah cuup bagi tujuan perncarianmu ini. Engkau akan memperoleh pengetahuan dalam mengajar dan mendidik anak-anak, meskipun mereka sangat beragam. Di antara mereka, ada yang pandai dan ada pula yang bodoh; mereka meliputi murid-murid setempat dan asing, berasal dari keturunan mulia atau rendah, yang miskin dan yang kaya; dan dalam banyak hal, mereka juga berbeda-beda. Setiap orang dari mereka berhal beroleh layanan penuh dan terbaik darimu. Engkau bisa memberikan itu kepada mereka selama engkau memiliki empat sifat ini : keimanan yang kuat, pikiran yang tajam; pengetahuan yang kokoh; dan watak yang baik. Jika engkau mempunyai keempat sifat ini, engkau akan mampu memenuhi kebutuhan setiap murid, dan menanganinya dengan cara yang tepat. Jika engkau tidak menempuh jalan kehati-hatian dan keluwesan, maka pemahaman ini bakal tidak mungkin didapatkan. Lebih baik bersikap lemah-lembut ketimbang bersikap keras. Ini adalah pengetahuan praktis, dan tidak ada cara tertentu pun untuk menguasainya.
Engkau juga menulis bahwa engkau benar-benar tidak terhibur manakala membaca Al-Qur’an. Engkau sangat ingin menangi, tapi tak mampu. Sebabnya ialah : menakala membaca Al-Qur’an, engkau tidak mencamkan dan memikirkan kata-kata siapa Al-Qur’an itu, kepada siapa dan dalam keadaan bagaimana ia diturunkan. Bagaimana engkau bisa menangis, jika syarat-syarat utama ini tidak engkau penuhi? Allah Swt. melukiskan orang-orang yang terhibur karena membaa Al-Qur’an sebagai memiliki sifat-sifat mulia, “Orang-orang yang sebelumnya telah diberi pengetahuan, manakala Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, menundukkan wajah-wajah mereka, bersujud dan berkata, “Mahasuci Tuhan Kami! Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi!’ Mereka menundukkan muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Qs. 17:107 – 109). Allah melukiskan mereka, pertama-tama ebagai sebagai menerima pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang Allah Swt, manakala mereka memuliakan dan mengagungkan-Nya dengan kata-kata mereka, “Mahasuci Tuhan Kami.” Kedua, Dia mensifati mereka sebagai telah sampai pada tujuan penghambaan ketika mereka menundukkan wajah-wajah mereka bersujud, sebab mereka yakin adanya alam akhirat, tempat balasan dan hukuman setimpal bagi mereka. Ketiga, Allah melukiskan mereka sebagai menangis dan bersikap khusyuk. Di tempat lain Allah Swt berfirman : “Manakala mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka berlinangan air mata karena mereka mengetahui kebenaran.” (Qs. 5:83), dan hingga akhir teks tersebut. Dengan demikian, Allah melukiskan mereka sebagai memiliki pengetahuan mendalam tentang kebenaran, beriman kepada-Nya, ingin dekat dengan-Nya, serta ingin sempurna dalam berbagai pekerjaannya. Rasulullah saw. menjelaskan istilah “sempurna” atau “menyembah Allah terus menerus” dalam sebuah hadis sahih, “Yang demikian itu berarti menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan sekalipun engkau tidak bisa melihatnya, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.”
Semuanya ini membawa kita kembali pada musyahadah yang telah aku sebutkan sebelumnya. Tetapkan perhatianmu padanya, bangunlah amal-amal kesalehanmu di atasnya; kemudian, seperti telah aku katakan, engkau akan memuji hasil-hasilnya dalam semua yang engkau alami dan miliki. Meluasnya inti wujudmu tidak akan selalu memudahkanmu membaca Al-Qur’an, sebab, itulah anugerah yang besar, dan anugerah semisal ini boleh jadi atau boleh jadi tidak terdapat dalam pembacaan Al-Qur’an itu.
80.
Engkau juga mengatakan, bahwa engkau takut kematian datang kepadamu sebelum engkau siap. Yang demikian itu adalah kekuatan yang baik. Itu adalah salah satu rahmat Allah Swt kepadamu. Engkau mesti bersyukur kepada Allah atas hal itu, dan memohon lagi, sebab yang demikian itu termasuk di antara kedudukan takwa paling berharga, dan hasilnya adalah rasa aman. Allah diriwayatkan berfirman : “Aku tidak menyatukan di dalam diri hamba-Ku dua ketakutan atau dua keamanan. Barangsiapa takut kepada-Ku di dunia ini, Aku akan membuatnya aman di akhirat nanti; dan barangsiapa merasa aman dari-Ku di dunia ini, Aku akan membuatnya takut di akhirat nanti.” Selanjutnya, hal ini adalah ciri orang-orang yang mengetahui Allah dan yang ridha kepada-Nya. Allah Swt. berfirman : “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. 35:28). Dia juga berfirman : “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu hanyalah bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya.” (Qs. 98:8). Jenis ketakutan paling baik adalah ketakutan bahwa engkau akan menemui Tuhanmu dan mendapati bahwa apa yang engkau inginkan tidaklah sama dengan apa yang terbaik yang diinginkan Allah darimu.
Kecemasanmu bahwa ketakutan ini bisa membuatmu putus asa, yang demikian itu adalah angan-angan kosong. Sebab, harapan bisa menghilangkan ketakutan. Ketakutan dan harapan termasuk di antara kedudukan ulama sufi. Tetapi rasa aman adalah bagian dari muslihat Allah, dan putus asa terhadap rahmat Allah adalah tanda orang-orang bodoh dan lalai. Penyebab kebodohan dan kelalaian mereka adalah bahwa mereka memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri, mereka mengukur kebaikan atau kejelekan amal-amal mereka. Sebaliknya, kalau saja mereka mau memperhatikan Tuhan, Zat Yang Esa, mereka akan memandang mereka semua sama. Kemudian, mereka akan mempunyai sifat  takut itu, yang disertai harapan, dan harapan perlu mengiringi ketakutan. Pahamilah ini, dan amalkanlah ini, serta janganlah terpaku pada amal-amalmu sendiri. Yang akan terjadi, terjadilah, dan kita berlindung kepada Allah sematan.
Kesulitan lain yang engkau sebutkan adalah, bahwa manakala engkau melakukan amal-amal ibadah, engkau merasa tidak sabaran. Jika benar apa yang kupahami tentang dirimu, maka engkau malas dan lamban mengerjakannya, dan mendahulukan kegiatan mengajar serta urusan-urusan keluarga. Hilangnya musyahadah yang telah aku bicarakan, adalah penyebab hal itu. Jika engkau beanr-benar ber-musyahadah, maka kebosanan, kemalasan dan urusan-urusan lainnya tidak akan menyusahkanmu. Urusan sehari-hari lainnya tidak bakal menggantikan amal-amal ibadahmu; sebaliknya; engkau malah bia mencurahkan perhatian lebih banyak pada amal-amalmu, tanpa mudah menjadi mangsa empuk penipuan dan khayalan.
Bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana engkau inginkan, maka kemungkinan besar engkau kurang iman. Engkau mesti yakin kepada Tuhanmu, dan meluruskan pikiranmu tentang-Nya, sebab Dia lebih tahu apa yang baik bagimu. Ada sebuah kisah tentng Ibrahim ibn Adham, semoga Allah meridhainya. Ibrahim berkata : “Suatu malam, aku tidak mengerjakan shalat malam. Ketika aku menyadarinya, aku pun bertibat. Tapi, selama tiga hari berikutnya, aku kembali lengah dan melaalaikan kewwajiban-kewajiban agamaku. Ketika aku menyadari hal itu, terdengar olehku sebuah suara mengatakan :
Segalanya diampunkan bagimu, sebab yang demikian itu
Tak banyak berarti bagi Kami;
Apa yang Kami berikan kepadamu bakal hilang, tapi
Apa yang memancar dari Kami akan tetap ada.
Kemudian dikatakan kepadaku, “Wahai Ibrhim, jadilah seorang hamba.’ Maka aku pun menjadi seorang hamba dan beroleh kedamaian.” Karenanya, entah amal-amal ibadahmu itu terasa mudah bagimu atau sangat sedikit jumlahnya, bersyukurlah kepada-Nya atas semuanya ini; sebab engkau tidak merugi dalam pandangan-Nya. Guruku, Abu Al-‘Abbas Al-Mursi, mengatakan, “Amal perbuatan kecil yang disertai pengakuan atas banyaknya rahmat Allah Swt, lebih disukai ketimbang amal-amal besar di saat orang yang bersangkutan terpesona oleh kekikirannya sendiri.”
Tentang kepribadianmu atas berbagai keberatan yang telah menimpamu terus-menerus, engkau mesti paham bahwa ini adalah salah satu cobaan, yang dengan itu Allah menguji sebagian hamba-Nya guna memilih mana yang benar-benar saleh. Sang musuh terus menerus melancarkan keberatan-keberatan ke dalam kalbu orang-orang ini, sampai membuat mereka jatuh ke dalam bid’ah sesat atau kemurtadan atau kekacauan mental. Dalam keadaan itu, masalah paling remeh pun yang menimpa orang seperti ini bisa benar-benar mengganggu kehidupannya dan merampas kedamaiannya. Ini semua adalah bagian dari kemahakuasaan dan ketentuan Ilahi. Oleh sebab itu, marilah kita berlindung kepada Allah, dari keputusan yang merugikan, dari tertimpa kemalangan, dan dari kedengkian musuh.
Jika orang menjadi korban musuh, yang demikian itu karena mereka telah kehilangan musyahadah yang sudah aku bicarakan. Jika mereka memang benar-benar merenung, setan tidak punya jalan untuk menguasai mereka, sebab mereka adalah hamba-hamba sejati Allah. Allah Swt berfirman : “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sungguh, setan mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. 35:6). Allah Swt. juga berkata keapda iblis, “Engkau tidak punya kekuasaan atas hmba-hamba-Ku.” (Qs. 15 : 42). Seandainya setn menyulitkan mereka dengan berbagai keberatan, mereka kembali kepada Tuhan mereka, dan Dia pun memalingkan setan dari mereka. Mereka berlindung kepada-Nya, dan Dia memberi mereka perlindungan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa manakala mereka ditimpa was-was dari setan ingat kepada Allah dan kemudian mereka pun melihat kesalahan-kesalahannya.” (Qs. 7 : 201), dan, “Jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. 41 : 36).
Barangkali engkau akan bertanya, “Bagimana mungkin bisikan bisa berasal dari setan, bila hal itu kelihatannya mendorong adanya keimanan yang lebih kuat, dan bila hal itu pula nampaknya mengakibatkan timbulnya keyakinan? Dan bagaimana seseorang bisa membedakan antara keberatan-keberatan jahat tercela dan penglihatan terpuji, bila keduanya nampak serupa?” Engkau mesti memahami, bahwa apa pun yang berasal dari setan pada dasarnya bisa dipercaya. Hanya saja, hal itu bertentangan dengan pengetahuan keagamaan hakiki, dan bertentangan pula dengan keringanan, kemudahan, dan kebebasan yang menjadi ciri khas agama ini. Dengan demikian, ia sama dengan keberlebihan dan bid’ah. Perbedaan antara bisikan jahat dan penglihatan terpuji adalah bahwa yang terakhir ini mendatangkan keselarasan dengan pengetahuan keagamaan hakiki. Selanjutnya, berbagai keberatan tidak tetap muncul, meski sang hamba telah mengerjakan amal kebaikan dan bertindak sesuai dengan Teladan Nabi. Penglihatan hakiki, sebaliknya, akan berhenti, kala sangan hamba bertindak sesuai dorongan-dorongannya sendiri.
Keberatan adalah penyakit, yang obatnya hanyalah tidak memperhatikannya, berpegang pada syarat-syarat hukum, dan memohon kepada Allah Swt agar menghentikannya. Semuanya ini bertumpu pada fondasi musyahadah yang telah aku bicarakan sejak awal dalam surat ini. Ia adalah obat mujarab yang menyebabkan perubahan radikal. Ia menghalau kegelapan dengan cahaya cemerlang, dan mengatasi kematian dengan kehidupan. Semoga Allah memelihara kita dengan pandangan ini, sebagaimana Dia memelihara Wali-wali-Nya dengan rahmat dan kemurahan-Nya.
82.
Sebuah kisah menuturkan, seorang wali mengetahui bahwa seseorang tengah menderita berbagai keberatan. Jawab ang wali adalah, “Aku berjanji kepada sekelompok sufi yang memperolokkan setan; kini setan memperolokkan mereka.” Guruku Al-‘Abbas Al-Mursi, semoga Allah meridhainya, sangat membenci keberatan yang muncul berkaitan dengan shalat dan wudhu, karena beliau kesulitan mengetahui seseorang yang mempunyai masalah itu. Suatu hari beliau diberitahu, bahwa si anu adalah adalah seorang yang saleh, alim, dan amat was-was. Beliau menjawab, “Wahai si anu, di manakah pengetahuan dan kesalehan itu? Pengetahuan adalah yang menimbulkan kesan pada kalbu, seperti kesan putihnya putih di atas putih dan hitamnya hitam.”
Engkau juga menyebutkan, bahwa engkau menghabiskan waktumu dengan membaca buku-buku pilihan yang sangat banyak, tanpa membeda-bedakan. Yang demikian itu baik, tetapi akan lebih baik kalau engkau memusatkan perhatian kepada karya-karya paling penting. Kitab-kitab penting adalah kitab-kitab yang dapat diamalkan langsung, antara lain seperti kitab karya Ibn :Atha.”
Engkau mengatakan bahwa pada beberapa hari engkau menghabiskan waktumu dengan membaca Al-Qur’an sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Yang demikian itu juga baik, asalkan engkau tidak mudah lalai dan lengah, sebagaimana sering dilakukan orang lain. Mereka terlalu memperhatikan pengucapan yang benar dan artikulasi huruf-huruf yang berlebihan, sehingga sedikit memperhatikan, atau sama sekali tidak memperhatikan, makna dari apa yang mereka baca. Yang demikian itu akan menjadikanmu sasaran olok-olok setan. Akan lebih baik kalau engkau mencari seseorang yang memiliki pengetahuan tentang yakin, bersimpuh di hadapannya, dan memohon bantuan darinya. Yang demikian itu bakal lebih bernilai bagimu.
Engkau mengatakan kepadaku, bahwa saudaraku Muhammad ibn Adibah, semog Allah merahmati dan meridhainya, telah menganjurkan agar engkau membaca kitab Ihya’ karya Abu Hamid Al-Ghazali. Itu adalah saran yagn bagus. Sebab, uraian Al-Ghazali dalam kitab itu sama baik dan bagusnya dengan uraian yang bisa dijumpai di mana saja. Hanya saja, menurutku, engkau sebaiknya membaca hanya bagian-bagian tentang ibadah dan kepatuhan-kepatuhan yang diwajibkan. Jika engkau membaca bagian-bagian tentang pengetahuan batiniah atau bagian-bagian yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindakan, maka perhatianmu tidak akan sepenuhnya tercurahkan. Dan bagian-bagian itu pun tidak memiliki manfaat praktis bagimu. Hampir semuanya itu terkandung dalam bagian terakhir, “Jalan keselamatan”. Dua bagian pertma dalam karya itu membahas ilmu hukum (fiqh), yang tentangnya Al-Ghazali adalah tokoh yang diakui. Bagian ketiga sebagian besar merupakan penyaringan dan seleksi dari apa yang dibicarakan dala  Kitab Al-Ri’ayah, berikut tambahan-tambahannya yang bermanfaat. Itulah penilaianku atas kitab tersebut.
Menakala engkau membaca salah satu dari kitab-kitab itu, maka lakukanlah dengan niat mengangkat pikiran-pikiranmu ke Allah Swt, agar Dia membuatmu bisa mengerti, terlepas dari kebergantunganmu pada intelekmu, bahwa Dia adalah Kebenaran. Dengan cara begitu,engkau akan mengutmakan apa yang terbaik dan yang lebih dekat dengan tanggapan terhadap kebenaran, dan yang beroleh kejayaan dengannya. Al-Suhrawardi sudah menunjukkan, dalam Kitabnya “Awarif Al Ma’arif (Manfaat-manfaat Pengetahuan Mendalam), pentingnya memilih secara bijaksana bahan bacaan.
Nasihatku yang pertama dan terakhir kepadamu adalah : Jangan mengabaikan apa yang telah kukatakan kepadamu secara tersurat atau tersirat tentang berbagai cara merenungkan keesaan Allah dan tentang derajat yakin. Aku telah menegaskan hal-hal ini secara khusus, dan menjawab satu demi satu soal-soal fundamentl, agar tidak terlewatkan satu pun dalam surat ini. Percayalah pada hal-hal ini, bersandarlah kepadanya, dan carilah semuanya itu di berbagai tempat yang paling mungkin, di antara orang-orang yang mengamalkannya. Sebab hal-hal ini, alhamdulillah, merupakan esensi pemahaman dan khazanah berharga yang dinilai tinggi oleh orang-orang yang berpengetahuan. Dunia tempat hidupmu ini bakal tak banyak membantumu memberikan jawaban, akrena dunia ini tidak adil dan kacau, karena puas dengan kemudahan yang membuat orang meninggalkan tanggung jawab, karena yang umumnya didekati adalah kehidupan, dan karena menghamba pada tuan-tuan bumi ini. Menurut hadis yang diriwayatkan berasal dari rasulullah saw., “Keyakinan adalah harta kekayaan yang memadai.”
Tetapi, tuan-tuan bumi ini begitu sibuk dengan dunia, sehingga ketika kekhawatiran dan kesedihan menimpa mereka, mereka mencoba menghibur diri lewat kesenangan. Mereka mencari pertolongan dengan cara bagaimanapun, agar bisa beroleh penyegaran dan kegembiraan. Lihatlah bagaimana mereka kecanduan anggur, hiburan, taman-taman, kompetii-kompetisi musik, mendengarkan kicauan burung dan alat-alat musik, serta berbagai hiburan lainnya. Seperti dikatakan salah seorang penyair :
Usirlah kedukaanmu dengan anggur, segarkan kalbu
Tanpa mengingat-ingatnya.
Katakan pada orang yang mengecam apa yang engkau lakukan,
“Lupakanlah, jangan mencoba mengubahku!”
Dan, tentu saja, ini bukanlah apa yang sesungguhnya dicari orang. Orang semisal ini sangat mungkin beroleh kesusahan dalam urusan duniawi mereka karena berbagai cobaan dan kecemasan yang tk bisa diterima oleh orang berakal tanpa mengatakan sesuatu apa pun tentang akibat-akibat yang menunggu orang-orang itu dalam kehidupan akhirat!
Jika sang pencari ingin beramal menuju kehidupan akhirat guna mengakhiri kesedihan dan kekhawatirannya di dunia ini, maka dia kini mesti membenahi kehidupannya di ini selaku hamba Tuhannya, Allah Swt. orang mesti untuk pertama dan terakhir kalinya senang mengadakan percakapan akarab dengan-Nya. Inilah tepatnya jenis pengetahuan sejati yang teelah aku bicarakan. Sebuah hadis mengatakan, “Segarkanlah kalbumu setiap saat!.” Dan salah seorang sufi mengatakan, “Perbaikilah kehidupanmu, melalui penyesuaian diri  dengan berbagai ketentuan Ilahi, dan janganlah hancur oleh kegelisahan dan kelelahan, manakala semuanya itu telah dikerjakan.” Yang lain mengatakan, “ “Keridhaan adalah pintu paling lebar menuju Allah, surga dunia ini, dan tempat istirahat bagi hamba-hamba Allah.”
Begitulah aku memutuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Aku yakin, bahwa yang demikian ini akan memberimu apa yang tengah engkau cari. Allah Swt. adalah Tuhan Pemberi Kejayaan kita, sesuai dengan keridhaan-Nya. Semoga Allah melimpahkan kedamaian, rahmat, dan berkah atas dirimu dan juga atas semua sahabat kita.().

SURAT KESEPULUH

Kepada Yahya Al-Saraj. Surat untuk menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang yang mengajar anak-anak, berikut beberapa saran yang berguna baginya dalam kegiatan mengajarnya, khususnya bagaimana dia bisa menghindari keberatan-keberatan dalam pekerjaan itu.

Segala puji bagi Allah.
Dan salam hangatku keapdamu. Telah kuterima suratmu, engkau meminta nasihat yang bisa membimbingmu menuju keterbebasan dari kebingungan dan keberatan-keberatan, serta tiadanya hiburan yang tengah engkau alami. Engkau katakan bahwa semuanya itu telah menguasai dirimu. Engkau mesti memahami bahwa keadaan-keadaan yang sebab-sebabnya engkau terangkan itu adalah penyakit-penyakit hati. Yakinlah, bahwa kita bisa mengetahui asal-usulnya dan menemukan jalan untuk mengobatinya.
Pertama-tama, kebingungan yang engkau katakan telah menimpamu, menyangkut anak-anak, dan kurangnya semangatmu untuk pekerjaan itu, karena tidak dapat memperhatikan dan tidak mampu melihat nikmat-nikmat material dan spiritual yang engkau miliki. Kesadaran dan perhatian akan nikmat-nikmat itu adalah obatnya. Secara khusus, pengetahuan mendalam tentang ketiga hal ini akan cukup menempatkan dirimu dalam keadaan ingat terus menerus, dan ini diperlukan. Camkan hal-al ini dalam pikiranmu : Pertama, engkau membutuhkan pengetahuan mendalam tentang rahmat mulia Allah Swt. yang menganugerahimu tugas mengajar dan  membuatmu layak beroleh kemuliaan yang tinggi ini. Mengajar adalah jabatan para Nabi dan ulama! Berusahalah mendapatkan pengetahuan mendalam ini, dengan cara membaca berbagai riwayat kebaikan praktik mengajar, yang tersebar luas dalam kajian-kajian kegamaan tradisional. Pengetahuan mendalam ini akan meningkatkan kerendahan hati dan penghormatanmu di hadapan Tuhanmu, dan akan mendorongmu mencari keridhaan-Nya dalam segenap keadaanmu.
Kedua, engkau mesti mengapresiasi betapa mengajar adalah nikmat yang berlimpah dan mulia, yang membuatmu mampu melawan ha-hal yang bisa menguasai jiwa rendahmu, dan yang membantumu bertindak melawan hasrat-hasrat egoismu. Begitulah persyaratan-persyaratan untuk menenggelamkan dirimu sepenuhnya dalam mengajar, yaitu dengan mengorbankan waktu luang untuk memuaskan hawa nafsu sendiri, siap sedia berhadsapan dengan tantangan-tantangan, mengingatkan mereka, bersabar menghadapi mereka, bersusah payah menasehati mereka, dan membimbing mereka, untuk menyebut hanya hanya beberapa tugas guru. Dalam hal-hal itu, ada manfaat-manfaat luar biasa, hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh sang musafir di jalan menuju kehidupan akhirat, jika dia bermaksud membentuk karakternya dan memperbaiki jiwa rendahnya. Sungguh, Tuhanmu mengirimkan hal-hal ini kepadamu, persis sesuai dengan kebutuhanmu dalam menempuh jalan terpuji. Pengetahuan mendalam seperti itu kemudian akan membawamu ke derajat kesabaran yang tinggi dan ke rasa syukur yang layak.
85.
Faktor ketiga adalah pengetahuan mendalam tentang  nikmat unggul, yang dengan itu Dia melindungimu dari berbagai bujukan dunia. Dia menjagamu dari terlibat dalam petualangan-petualangan tercela, dan melindungimu dari segala jenis pergulatan dan cobaan yang membuat mereka yang mencari dunia ini sibuk dengan berbagai keberhasilan dan pencapaian duniawi mereka. Kesadaran ini bakal bermanfaat, menjadikanmu puas dengan kehidupanmu, dan senang dengan apa yang bisa engkau kerjakan.
Setelah mencapai pengetahuan mendalam tentang ketiga macam nikmat ini dan terus menerus mencamkan dalam pikiran, engkau akan mulai mengalami, dengan izin Allah Swt, kesenangan dan kebahagiaan dalam nikmat Tuhanmu. Dengan begitu, engkau bakal terlindung dari berkembangnya watak negatif, dan dari kesempitan inti wujudmu. Berbahagialah dengan kondisimu saat ini, maka, engkau akan mampu memberikan kebenaran Tuhanmu kepada mereka yang engkau ajar, melalui kebaikan, kasih sayang, perhatian, nasihat, kelemahlembutan, perlakuan baikmu, serta dengan cara-cara lain yang bermanfaat bagi sang guru maupun murid. Allah Swt, adalah Zat Pemberi petunjuk bagimu dan bagi mereka, kini dan untuk selama-lamanya. Engkau mesti yakin bahwa setiap pemikiran guru haruslah diarahkan kepada kerinduan akan Allah Swt, sebagai sumber petunjuk dan keberhasilan. Sang guru harus yakin bahwa, apa yang dikatakan atau dilakukannya selama mengajar murid-murid, Allah akan memberi balasan bagi dirinya dan murid-muridnya. Jika engkau memahami ini dan bertindak sesuai dengannya, engkau bakal menemukan rahmat-Nya, Insya Allah.
Sekarang tentang berbagai keberatan yang senantiasa menimpamu. Kebodohan dan kebingungan adalah penyebabnya. Pengetahuan dan ingat adalah obatnya. Yang kumaksudkan dengan pengetahuan dan ingat adalah pengetahuan dan ingat akan Allah Swt. berusahalah memiliki kedua hal ini, dengan bersikap teguh dan bertakwa kepada Allah, dan dengan mengingat kekuasaan Tuhan Semesta Alam atas kalbu dan lidahmu. Tidak ada obat lain.
Engkau tidak merasa terhibur selama melakukan shalat dan selama membaca Al-Qur’an. Yang demikian itu adalah sejenis kekerasan hati, yang disebabkan oleh satu atau dua hal berikut ini : perbuatan dosa atau keterikatan kepada dunia. Besar atau kecil, kuat atau lemahnya hati, dan tiadanya hiburan, akan sebanding dengan kedua penyebab ini. Obat untuknya adalah tobat yang tulus, memeriksa kesadaran, dan waspada pada pikiran-pikiran sendiri, sehingga setan tidak bakal mampu menguasai kalbu.
Jadikan doamu dalam keadaan seperti ini sebagai permohonan ampunan, baik di waktu fajar maupun di waktu-waktu lain, ketika engkau merasakan keinginan akan rahmat Sang Raja, Sang Pemberi Ampunan. Jenis doa seperti itu menghilangkan dosa-dosa, menghaluskan hati, dan menyenangkan bagi Zat Yang Mahamengetahui Segala Rahasia. Engkau mesti juga menggunakan cara bershalawat kepada Rasulullah saw. dan doa-doa serupa. Yang demikian itu adalah salah satu pertolongan paling baik bagi orang-orang yang mencari pertolongan dalam mencapai keinginan-keinginan mereka.
Allah SWT adalah pemilik Kejayaan dan Petunjuk. Dia-lah tujuan nasib kita, dan puncak harapan kita. Maka, inilah yang ingin kukatakan dalam menjawab pertanyaanmu. Semoga salam, rahmat dan berkah dilimpahkan atasmu.()()().

SURAT KESEBELAS

Kepada Yahya Al-Saraj.  Surat tentang  gaji yang diterima oleh seorang Guru, dan bagaimana dia bisa menghindari keberatan-keberatan yang berkaitan dengan aktivitas mengajar.
86.
Segala puji bagi Allah semata.
Salam. Telah kuterima suratmu tentang ketidaksenanganmu bergaul dengan anak-anak. Pertama engkau menyebutkan bahwa engkau takut dan sedih atas kemungkinan hilangnya keselamatan abadimu, akibat pekerjaanmu. Dan kedua engkau merasa ragu tentang layak tidaknya gaji yang engkau terima dari sebagia murid. Engkau memintaku dalam surat itu untuk menjelaskan persoalan itu menurut pandanganku.
Mengenai situasi pertama, engkau lebih mengetahui, karena saksi mata melihat apa yang tidak dilihat oleh orang yang tak hadir di situ. Karena itu, amatilah situasi itu dengan pandangan spiritual, dan renungkanlah keadaanmu saat ini. Jika engkau yakin akan sebab-sebab di balik itu, dan merasa pasti bahwa engkau tidak sanggup lagi melaksanakan tanggung-jawab pekerjaanmu, maka bertindaklah berdasarkan penilaian itu dan segera tinggalkanlah kegiatan mengajar, asalkan Tuhanmu memberimu kekuatan untuk melakukan yang demikian itu sehingga engkau tak merasa cemas dan menyalahkan diri. Tetapi, jika engkau mampu mengatasinya, yang demikian itu jauh lebih baik; dan ganjaran untuk itu akan banyak. Jika yang engkau alami adalah keberatan-keberatan tak berdasar, maka tolaklah mati-matian semuanya itu, sebelum menguasai dirimu. Keengganan berlarut-larut, dan sibuk berangan-angan, merusak keimanan, akal, dan kehidupan itu sendiri. Ini fakta yang jelas. Singkat kata, keadaanmu saat ini tidaklah sepantasnya membuatmu cemas.
Kedua, kekhaawatiranmu tentang keragu-raguan yang telah mengganggumu, dan upayamu untuk mengatasinya menyebabkan dirimu berkesimpulan bahwa engkau mesti memecahkan masalah itu dengan memisahkan diri dari keluargamu. Aku tidak ragu-ragu barang sedikit pun bahwa ini adalah bisikan jahat, dan sangat mungkin bahwa Musuhmu ingin menjurumuskanmu ke dalam bahaya yang lebih besar lagi. Sebab, kesimpulan itu dan cara bertindak yang engkau kemukakan tidaklah berdasakan teladan manapun dari para salaf kita atau dari para pengikut orang-orang yang berpengetahuan dan yang mengamalkan agama. Tidak adanya contoh atau teladan semisal ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebaikan dalam apa yang engkau kemukakan. Sebalik-nya, tidak bsia dipungkiri algi bahwa manusia0manusia teladan telah mencari nasihat dari Allah Swt. tentang diri mereka dan orang lain, dan telah bertindak sesuai dengan itu, dengan mempertimbangkan hak-hak, kebutuhan dan keinginan mereka sendiri serta orang lain. Mereka penuhi syarat-syarata Hukum Wahyu, dan menempuh jalan kesalehan. Karena itu, jika engkau ingin berusaha menyamai mereka dan mengikuti jejak mereka, terimalah apa yang datang kepadamu sedemikian rupa, sehingga secara umum hal itu disepakati sebagai halal, dan pandanglah sebagai sesuai dengan Hukum Wahyu.
87.
Jika pekerjaanmu sudah cukup bagimu, dan bisa memberimu nafkah yang cukup, maka sadarilah betapa yang demikian itu adalah rahmat bagimu, dan betapa hal itu sepenuhnya layak engkau terima. Sebaiknya, jika engkau menerima jenis nafkah yang secara hukum masih bisa diperdebatkan, maka yang demikian itu tidak akan berlaku bagimu, selama engkau mengikuti jalan kehati-hatian dan kewaspadaan, menghindari kemewahan berlebihan, serta menerima keadaanmu dalam kefakiran. Setelah melakukan hal itu, keragu-raguanmu yang mengharu-biru akan hilang, dan engkau akan terbebas dari tindakan hukum.
Hanya saja, jika jiea rendahmu memberontak memaksamu, sehingga engkau dikalahkan oleh hawa nafsumu atau menjadi mangsa empuk berbagai keraguan, atau tidak disiplin, maka engkau berdosa dan tercela tepi bukan lantaran alasan-alasan yang telah engkau sebutkan. Maksudku, engkau akan dicela, bukan lantaran engkau tak bisa meninggalkan keluargamu, atau lantaran engkau bertindak bertentangan dengan para ulama, tapi lantaran engkau berhenti memerangi naluri rendahmu dan tak mampu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan watak batiniahmu. Yang engkau pahami dari semuanya ini adalah bahwa hanya karen jiwa rendah sajalah seseorang itu mengalami kehancuran. Manakal seseorang diperkuat oleh anugerah pertolongan dari Tuhannya, yang memberinya kekuasaan untuk memerangi jiwa rendah dan menolak ajakannya, maka tindakan dan keadaan orang itu bertambah tulus dan semakin bebas dari kerusakan. Inilah dasar bagi kewaspadaan terhadap jiwa rendah.
Oleh sebab itu, hendaknya pekerjaan itu menjadi lebih penting bagimu, ketimbang keberatan-keberatanmu atas kesulitan emncari sumber penghasilan yang dibolehkan hukum. Keabsahan apa yang engkau peroleh selama kegiatanmu mengajar, bukanlah berada di bawah kekuasaanmu, baik dalam hal-hal umum maupun khusus. Karenanya, engkau tidak punya tanggung jawab untuk terlibat dalam perdebatan tentang berbagai pendapat orang-orang yang berhati-hati. Engkau mempunyai cukup keleluasaan yang melebihi pendapat-pendapat mereka.
Demikianlah pandanganku tentang pertanyaanmu. Allah Swt adalah Pemberi Kemenangan bagi kita, sesuai dengan keridhaan-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Salam atasmu.()().
SURAT KEDUABELAS

Kepada Yahya Al-Saraj.  Surat yang berisi bahasan tentang syarat-syarat membaca dan meriwayatkan hadis, berikut beberapa komentar berharga lainnya.
88.
Segala puji bagi Allah semata.
Salam. Telah kuterima suratmu. Engkau memusatkan perhatianmu pada beberapa pertanyaan tentang membaca dan meriwayatkan Al-Qur’an dan haids, khususnya apakah seseorang seperti yang telah engkau paparkan dibolehkan membaca dan meriwayatkannya.
Saudaraku, engkau mesti memahami bahwa kedua pertanyaan ini berkaitan dengan bidang fiqih. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan lain yang engkau kemukakan kepadaku dalam suratmu itu; yaitu apa kewajiban seseorang yang mengajar anak-anak, bagaimana dia mesti bersikap kepada mereka, mengingat tingkat kecerdasan mereka berbeda-beda, serta pandangan Ibn Al-‘Arif yang engkau sebutkan berkenaan dengan menerima gaji dari kegiatan mengajar ketika pada mulanya tidak diinginkan. Semuanya ini adalah masalah-masalah fiqih yang tidak aku geluri, kecuali bila masalah-masalah semisal itu pernah kubaca dan kukaji. Maka, ketika tidak tumbuh kepedulian dan perhatian di kalangan para ulama, aku pun mempelajari kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu, saat ini aku tidak memiliki kemampuan intelektual yang diperlukan untuk mengkaji masalah-masalah semisal ini dan memahaminya dengan tuntas. Bagaimanapun juga, ada orang-orang di kotamu yang berminat pada dan memiiki pengetahuan tentang hal-hal itu. Sebagian dari masalah-masalah ini tidak ada sangkut pautnya denganmu sedikit pun. Sesungguhnya aku memandang keterlibatan dalam hal-hal itu sebagai tindakan terlarang dan tidak penting. Engkau mesti berhati-hati dalam hal itu.
Tetapi, aku akan banyak mengemukakan masalah memabca. Aku yakin, bahwa orang yang membaca dan orang yang menyimaknya bakal beroleh rahmat, dan jerih payah mereka pun bermanfaat bagi mereka, dan bahwa kewajiban agama mereka akan terpenuhi sebagaimana mestinya, berdasarkan syarat-syarat berikut ini : bahwa keduanya tidak mencari tujuan duniawi, bahwa orang yang menerima riwayat itu bertindak mengatur apa yang dibaca, dan bahwa periwayatan itu ditandai oleh integritas yang diperbincangkan oleh para ahli haids. Maka, mataranti periwayatan akan selaras dengan keimanan, sebagaimana diuraikan oleh para ulama. Kalau salah satu karakteristik ini tidak ada, maka amal sang perawi dan orang yang menerimanya adalah sia-sia, karena kurangnya ketulusan dan kegagalan menempuh jalan integritas (kejujuran). Begitulah yang terjadi pada sebagian besar pembaca Al-Qur’an dewasa ini, kecuali orang-orang yang dilindungi Allah.
89.
Masalah-masalah lainnya yang tidak menyangkut bidang fiqih, yang engkau sebutkan, terbagi menjadi dua kategori. Yang satu berkaitan dengan permintaanmu agar au mendefinisikan kejahatan-kejahatan yang mematikan, seperti kesombongan, kemunafikan, penipuan, kemarahan, dendam, iri hati, dan sebagainya. Yang lain bertalian dengan tindakanmu menjadi seorang mukmin yang lebih sempurna, dan dengan permintaanmu agar aku memberimu nasihat tentang apa yang bisa menyempurnakan keimanannmu dan agar aku mengajarimu tentang masalah-masalah penting keimanan, lahiriah dan batiniah, yang wajib atas sang hamba, maupun tentang amal-amal ibadah sunnah yang sangat terpuji. Para ulama, khususnya Al-Muhasibi, telah menjawab pertanyaan eprtama. Baca dan renungkanlah Al-Muahsibi, maka engkau bakal menjumpai obat di sana.
Untuk yagn kedua, aku hanya bisa membahasnya secara umum. Tetapi, engkau sudah akrab dengan masalah-masalah umu, dan semuanya itu tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhanmu. Jawaban-jawaban yang lebih khusus akan dapat diberikan kalau aku tahu benar segenap keadaan lahiriah dan batiniahmu. Aku bisa tahu benar, hanya jika engkau memberitahuku secara langsung, atau setelah lama bergaul denganmu. Karena aku tak satu pun dari kemungkinan-kemungkinan itu kumiliki, bagaimana mungkin aku bisa memberikan jawaban panjang lebar dan bermanfaat yang secara umum lebih dari tepat? Orang yang mencari nasihat mestilah lebih bertanya tentang apa yang benar-benar diperlukannya, agar bisa selalu menyadari hubungannya dengan Allah Swt dalam hal keimanan dan amal perbuatan. Dia mestilah memeriksa kualitas ibadahnya dalam mendekati Allah Swt. kemudian, dia mesti menjelaskan hal itu dengan jelas, sehingga orang yang memberi nasihat akan mengetahui kondisi sesungguhnya dari orang yang dinasehati, dan denegan demikian memberikan jawaban menyeluruh yang menguntungkan bagi orang yagn dinasihati dan orang yang memberi nasihat. Engkau melakukan sesuatu serupa itu dalam surat pertama yang engkau tulis kepadaku, dan itulah sebabnya suadara kita ibn Adibah, semoga Allah mengasihi dan meridhainya dulu menulis surat kepadaku.
Engkau menanyakan kitab-kitab tasawuf mana yang mesti engkau baca. Aku berpendapat bahwa kitab yang engkau meiliki, karya Ibn “Atha’, Kitab Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir (Kitab Cahaya : Tentang Menghilangkan Sifat Mementingkan Diri), adalah ikhtisar dari semua kitab, yang panjang atau pendek, tentang tasawuf. Dan kitab itu memadukan kelengkapan dan keringkasan. Jalan yang memberikan bimbingan pada sang musafir adalah jalan pengakuan akan Keesaan Allah, sebuah jalan yang tidak menerima orang yang mengingkari Keesaan Allah. Bagi orang yang menempuhnya dengan tulus dan hati terbuka, jalan itu pastilah memberikan sifat-sifat terpuji, dan akan menghilangkan dan menyucikan dirinya dari segala sifat tercela. Setelah engkau mulai bisa memahami hal itu dan bertindak sesuai dengannya, maka semua yang telah aku bicarakan akan menjadi jelas, dan pertanyaan-pertanyaan mengenai agama yang telah engkau kemukakan akan terpadukan dengan masalah-masalah lain yang bermanfaat dan berguna. Selain itu, jika engkau juga mempelajari Kitab Al-Hikam (Kitab Tentang Hikmah), yang sangat terkenal dan dipakai secara luas, serta berusaha berpegang kuat padanya dan memahaminya, maka engkau tidak lagi memerlukan tulisan-tulisan terkenal mana pun selainnya.
Ambillah apa yang ada di hadapanmu, dan tinggalkan
Apa yang hanya engkau dengar;
Manakala matahari sudah terbit, apa perlunya
Engkau memiliki Saturnus?
Itulah semua yang ingin aku katakan kepadamu. Allah Swt. adalah Pemberi Kejayaan bagi kita, berdasarkan keridhaan-Nya. Semoga salam, rahmat, dan berkah dilimpahkan atasmu dan atas semua sahabat kita.()

SURAT KETIGABELAS

Kepada Yahya Al-Saraj.  Surat yang menjelaskan ucapan guruku, Abu Al-Hasan Al-Syadzili, yang menerangkan tentang orang yang membaca “Wirid Besar”nya. Dan Allah lah yang menganugerahi kejayaan.

90
Segala puji bagi Allah.
Telah kuterima suratmu. Engkau berbicara tentang ketetapan hatimu untuk membaca “Wirid Besar”. Lakukan keinginan itu, dan sadarilah bahwa yang demikian itu, bagimu, merupakan peneguhan dari Allah. Janganlah engkau menyimpang karena apa yang telah engkau pahami sebagai makna dari ucapan yang dinisbahkan pada Sang Syaikh, semoga Allah meridhainya, yaitu “Barangsiapa membaca wirid ini, dia memiliki apa yang aku miliki, dan mesti mengamalkan apa yang harus kau amalkan.” Engkau telah salah memahami pernyataan itu. Sesungguhnyalah, Abu Al-Hasan memaksudkan itu sebagai dorongan, suatu cara mengarahkan pikiran kepada amalan wirid yang teguh dan pasti. Akhir ucapan itu mengisyaratkan : “Dan Rasulullah saw. memberikan syafaat yang sungguh-sungguh.” Dengan kata lain, seolah-olah syaikh mengatakan, “Jika seseorang membaca wirid itu dengan niat ikhlas dan harapan tulus, dan senang mengikuti jalan kami sebagaimana terwujud dalam wirid itu, dan berhati-hati dalam berkeinginan mencapai sifat-sifat para wali sebagaimana terseut dalam wirid itu pula, maka orang itu telah mencapai tujuan meraih harapannya. Dia telah mencapai peringkat kewalian yang disediakan bagiku; dia telah memasuki wiridku, dan dengan demikian masuk ke dalam kedudukan kewalianku. Karenanya, orang itu memiliki apa yang aku miliki di jalan kedekatan pada Allah dan kehormatan, dan mesti mengamalkan apa yang harus kuamalkan di jalan kepatuhan dan kepasrahan.
Karena kedudukan dan kewalian yang berasal dari Allah itu mendahului yang berasal dari sang hamba, maka yang mendahului itu adalah penyebab bagi yang mengikuti. Akibat itu mengikuti sebabnya, entah sebagai rahmat atau sebagai kesungguhan. Oleh sebab itu, karena rahmat dan ketulusan yang diperlukan ada lebih dahulu ketimbang inisiatif sang hamba. Itulah makna kata-kata “Dia memiliki apa yang aku miliki.” – maka tindakan-tindakan sang hamba bakal sejalan dengan  maksud dan tujuan Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata, “Dia mesti mengamalkan apa yang harus kuamalkan.” Pernyataan itu dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran, bukannya menimbulkan kecemasan dan konflik dalam diri sang hamba.
Inilah tujuan dan ganjaran tertinggi kepatuhan. Sekiranya tidak demikian halnya, maka hasilkan akan sangat bertentangan. Maksud dari semuanya ini adalah bahwa frasa “Dia memiliki apa yang aku miliki” merupakan cara berbicara mengenai hasil akhir dari kemurahan hati dan kesalehan yaitu petunjuk, ganjaran, pertolongan, dan peneguhan. Semuanya ini, pada gilirannya, merupakan sebab-sebab yang mesti dari segala yang mengikutinya, sesuai dengan kata-kata, “Dia mesti mengamalkan apa yang harus kuamalkan.” Yang demikian itu juga meliputi beramal sesuai dengan apa yang diperintahkan atas diri sang hamba, dan bersatu dengan kemauan Allah Swt, agar lapanglah inti wujudnya serta ringanlah beban yang dipikulnya (Qs. 94:1-2). Saudaraku, tak ada sesuatu pun dalam pernyataan ini yang ahrus menghalangimu atau mencegahmu dari mengerjakan apa yang hendak engkau kerjakan. Sebaliknya, biarkan hal itu mendorongmu untuk melakukannya, jika Allah Swt. menghendaki.
Sekian kata-kataku yagn singkat ini. Semuanya cukup sudah untuk memahami apa yang diriwayatkan sebagai dikatakan oleh Syaikh, semoga Allah meridhainya. Akan halnya interpretasi yang engkau katakan sebagai dikemukakan oleh oleh salah seorang sahabtmu “Dia memiliki apa yang aku miliki di jalan kesucian, dan meski mengamalkan apa yang harus kuamalkan di jalan rahmat atau kasih sayang” yang demikian itu memang merupakan satu cara yang indah dan bagus dalam menjelaskannya, tapi jauh dari makna seperti yang telah kubahas di atas. Interpretasi itu tidak memiliki kedalaman kesadaran spiritual mengenai makna seperti yang telah kujelaskan.
Dan kepada Allah sajalah kita temukan kejayaan.()

SURAT KEEMPATBELAS

Kepada Yahya Al-Saraj.  Jawaban buat pertanyaan dari seseorang yang kecemasannya akan nafkah penghidupannya menghalangi dirinya mencapai tujuan utamanya.

Segala puji bagi Allah.
Telah kuterima suratmu. Engkau melukiskan kegelisahan batinmu yang tengah engkau alami, yang disebabkan oleh sumber nafkah penghidupanmu. Tetapi, engkau tak sanggup meninggalkan sumber nafkah itu. Engkau aktakan bahwa engkau tengah menunggu dan melihat apa yang bakal muncul dari Dunia Gaib, seraya meyakini bahwa engkau kemudian bakal memahami seluruh situasi dan merasa yakin tentangnya.
Apa yang aku kemukakan kepadamu ialah agar engkau mengarahkan pandanganmu pada kehidupan akhirat nanti, dan berpaling dari dunia ini. Lalu, engkau mestilah memilih pekerjaan yang sejalan dengan kerangka itu. Jika engkau kebetulan mendapatkan sumber nafkah penghidupan yang tidak menimbulkan ancaman atas keimananmu, maka nafkahilah dirimu dengan cara begitu; dan jika tidak, jangan biarkan kesulitan itu membuatmu patah semangat. Yakinilah benar bahwa seseorang yang meninggalkan sesuatu demi Tuhannya, bakal lebih dari sekedar beroleh ganti berupa keimanan yang kuat dan ganjaran kepatuhan kepada Tuhan Semesta Alam. Melalui ilustrasi berikut ini dituturkan kisah tentang seseorang yang memiliki sebidang sawah, sejumlah tepung, dan seekor keledai.
Kisah itu menuturkan bagaimana seorang saleh ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau bertobat?” Dia menjawab, “Aku adalah seorang yang kaya dan berkedudukan tinggi. Pada suatu malam, pekerjaanku bertumpuk-tumpuk. Aku harus mengairi sawahku, membawa sejumlah gandum ke penggilingan, dan keledaiku lari serta tersesat. Maka aku berkata dalam hati, “Jika aku menghabiskan waktuku mencari keledai, sawah akan tidak ada airnya. Jika aku mengairi sawah, maka gandum dan keledaiku akan hilang.’ Saat itu malam Jum’at, dan masjid lumayan jauh jaraknya dari desaku. Lalu aku berkata dalam hati, ‘Akan kutinggalkan seluruh persoalan ini dan pergi menghadiri shalat berjamaah di Masjid.’ Dan aku pun pergi menghadiri shalat jamaah. Ketika kembali pulang, aku melewati sawahku, dan sungguhs awah itu telah terairi. Aku bertanya, “Siapa yang mengairi sawah ini?’ Aku diberi tahu, “Tetanggamu ingin mengairi sawahnya; tetapi tanah bendungannya jebol sewaktu dia tidur, dan air pun mengalir masuk ke sawahmu.’ Lalu ketika aku mendatangi pintu rumahku, tiba-tiba saja ada keledai di tempat bak makan, maka aku pun bertanya, ‘Siapa yang membawa kembali keledaiku?’ Terdengar jawaban, ‘Seekor serigala menyerangnya, lalu ia pun lari pulang.’ Dan ketika aku memasuki rumah, kujumpau tepung yang sudah digiling! Aku bertanya, bagaimana hal itu terjadi, dan aku pun diberitahu, ‘Sang tukang giling telah menggiling tepung ini dengan tidak sengaja, dan ketika dia mengetahui bahwa tepung itu milikmu, dia mengembalikannya ke rumahmu.’ Kemudian aku berkata dalam hati, ‘Sungguh benar perkataan. “Barangsiapa memperuntukkan dirinya bagi Allah, maka Allah pun memperuntukkan Diri-Nya bagi orang itu. Allah memperhatikan segala urusan seseorang yang beribadah kepada-Nya.” Maka aku pun mengingkari dunia ini dan bertobat.”
92.
Engkau mesti memahami, bahwa berbagai jenis cobaan, kecemasan dan berbagai kesulitan yang menimpamu di dunia ini, adalah jalan menuju berbagai manfaat berlimpahan dan sarana menuju tujuan-tujuan mulia. Hanya orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi, hati yang bening, dan benar-benar murni sajalah yang mengetahui nilai kesemuanya ini. Karena itu, biarkan kegembiraanmu di tengah-tengah berbagai hal yang engkau becni, melampaui kebahagiaan yang engkau alami karena berbagai hal yang  engkau cintai. Sebuah kisah menuturkan bagaimana ‘Atha’ Al-Sulami tidak mencicipi makanan selama tujuh hari dan sama sekali tidak memiliki kekuatan, tapi kalbunya sangat bahagia. Dia berkata, “Ya Allah, jika Engkau masih membuatku lapar tiga hari lagi, Aku akan bersujud kepada-Mu seribu kali!” juga dikatakan bahwa Fath Al-Muwashili pulang ke rumahnya pada suatu malam serta tidak menjumpai makanan, tidak ada lampu dan tidak ada pula kayu bakar. Lalu dia mulai mejuji Tuhannya, dan merendahkan diri di hadapan-Nya, seraya berkata, “Tuhanku, mungkinkah aku pantas mendapat perlakuan-Mu, seperti Engkau memperlakukan wali-wali-Mu?”
Ada satu pelajaran dalam kisah-ksiah ini bagi orang-orang yang berusaha belajar, dan pesan bagi hamba-hamba Allah. Semoga Allah Swt. membantu kita hidup dengan cara seperti itu.()

SURAT KELIMABELAS

Kepada Yahya Al-Saraj.  Nasihat yang dibutuhkan oleh setiap pencari yang menginginkan tambahan dari Zat Maha Terpuji dan Mahakaya.

93.
Segala puji bagi Allah semata.
Seseorang yang ingin menempuh jalan kebenaran dan selamat dari Musuhnya, terbebas dari bisikan-bisikan jiwa rendah yang sempit, dan ingin melapangkan inti wujudnya, mestilah lurus perilaku lahiriah dan batiniahnya kepada Allah dalam segala keadaan. Singkat kata, yang dibutuhkan guna memperoleh tambahan dari Allah adalah rasa syukur. Pondasi rasa Syukur ada dua : Pertama, mengakui keagungan dan transendensi Tuhannya, dan mengetahui sifat-sifat agung dan Nama-nama-Nya yang mulia; dan Kedua, menyadari kekecilan, kerendahan, kekurangan, serta kelemahannya sendiri. Seseorang yang telah menyadari sepenuhnya kedua dasar ini, akan memikirkan dirinya sendiri, kata-kata serta berbagai tindakan yagn berkat Allah Swt terjadi dalam dirinya, dan juga memikirkan tahap-tahap yang melaluinya Allah telah membawa dirinya. Dari sana dia bergerak maju – berkat kemurahan, rahmat, kemahakuasaan, serta kebaikan berlimpah dari Allah kepadanya – menuju ke tahap yang tak terpahami oleh intelegensi dan pemahaman. Dan dari sana pula, cinta dan kekaguman menggerakkan orang tersebut  untuk bersyukur kepada Allah Swt, lantaran dia sepenuhnya menjadi peka pada nikmat Allah dan pada cara bertindak yang mesti ditempuhnya di hadapan Allah.
Misalnya saja, manakala seseorang melihat dirinya sebagai hamba yang patuh, dia bergembira dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, kendatipun dia tidak memiliki kedudukan penting dan layak menerimanya. Sungguh tak banyak orang yang menerima karunia dan anugerah seperti itu! Kemudian, orang mestilah berkelakuan baik kepada Allah dengan menyempurnakan kepatuhannya serta menghilangkan berbagai kekurangannya, dengan niat suci demi Tuhannya, Allah Swt. Orang yang memandang dirinya dan berperilaku demikian, dan dengan begitu menghabiskan waktunya dengan keaptuhan dan segala macam ibadah.
Situasi serupa akan berlaku jika seseorang melihat dirinya memiliki kesehatan jasmani atau kekayaan amteri, betapapun kecil jumlahnya. Hendaknya dia bergembira dengan itu, dan bersyukur kepada Tuhannya atas hal itu, seraya mengetahui bahwa dia sebenarnya tidak layak menerimanya. Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah memanfaatkan dua berkah itu untuk mematuhi Tuhannya, Allah Swt, bukannya untuk menetang-Nya, betapa banyak orang menderita sakit atau kemiskinan, yang menginginkan anugerah-anugerah semisal itu, tapi tak pernah mendapatkannya!
94.
Begitu pula, manakala seseorang ditimpa kemiskinan atau sakit atau juga sebagian coba dunia ini, hendaknya diabergembira; sebab ia tengah dibimbing oleh sarana itu di sepanjang jalan para wali dan orang-orang adil. Dia mestilah menemukan kegembiraan dalam anugerah Tuhannya, Allah Swt, lantaran dia belumlah beroleh ujian yang lebih berat, sebagaimana yang diterima banyak orang lainnya. Baginya, perilaku yang tepat berupa kesabaran dan kepasrahan, tidak menggerutu dan mengeluh, berdoa kepada Allah Swt. atas berlimpahnya nafkah kehidupan dan tiadanya lagi berbagai bahaya, serta memohon kesejahteraan dalam urusan keagamaan dan dunia serta dalam kehidupan akhirat kelak. Jika orang seperti ini mampu mengambil manfaat dari kekayaan materi dan pengobatan medis bagi sakitnya, dia mestilah melakukan yang demikian itu; sebab, yang demikian itu juga merupakan perilaku yang tepat. Dan dia mesti bersyukur, bahwa Allah Swt. memberikan kesempatan itu kepadanya.
Demikian juga, jika seseorang berdosa, lalai, atau bertindak tidak pantas, dia harus dapat memperhatikan berkah dan rahmat Allah yang tersembunyi dalam kondisi itu. Sebab, yang demikian itu akan mendorong seseorang untuk memperoleh ketakwaan kepada Allah, bertindak melawan perasaan memetingkan dirinya, serta berlindung kepada Tuhannya. Seperti dikatakan hadis qudsi, “Jika engkau tidak pernah berdosa, aku takut kalau-kalau engkau bakal terjerumus ke dalam keadaan yang lebih buruk ketimbang itu; kesombongan.” Betapa banyak orang melakukan dosa besar dan memandangnya   sebagai sumber kesenangan! Dalam hal ini, perilaku yang pantas berupa tekad kuat untuk bertobat, dan ketakwaan terus-menerus kepada Allah, disertai penyesalan yang dalam, doa, dan air mata.
Hal serupa juga berlaku pada kasus seseorang yang berpegang pada hukum seorang ulama yang otoritasnya diterima secara luas, atau yang menjumpai seseorang yang darinya dia bisa menerima pengajaran, yakni, seorang yang benar-benar saleh yang telah menerima pengajaran dari para pembimbing spiritualnya sendiri, dan mereka pun beroleh dari para pembimbing spiritual mereka juga, dan sebagainya, hingga kembali ke otoritas pertama. Orang seperti ini mestilah bergembira, dan bersyukur kepada Allah. Betapa banyak orang secara membuta mengikuti kaum ahli bid’ah, atau menjadikan diri mereka ahli bid’ah, dan dengan demikian mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan dan kehancuran! Perilaku yang tepat di sini berupa menghormati guru dan mengikuti setiap perintahnya. Jika seseorang harus menemukan, dalam pandangan hukum seorang pemimpin lain yang otoritasnya diterima secara luas, aturan yang membolehkan tindakan bijaksana tertentu yang dapat dilakukannya, atau aturan yang membolehkan memenuhi sebagian kebutuhan, dan jika tindakan itu jelas-jelas tidak dilarang oleh madzab pemimpinnya sendiri, maka orang itu boleh mengikuti aturan lain tanpa mengurangi kelayakan perilakunya.
Begitu pula, manakala seseorang berjumpa dengan seorang pembimbing spiritual sufi yang menempuh jalan Teladan Nabi, hendaknya ia bergembira dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang jatuh binasa dalam cengkeraman kaum ahli bid’ah sesat, sehingga mengalami kebinasaan! Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah mematuhi sang pembimbing spiritual dan perintah-perintahnya, menolak sikap menetang, tidak menyembunyikan tahasia batiniah apa pun dari sang pembimbing, serta tidak mengganti satu pembimbing spiritual dengan yang lainnya.
Manakal seseorang mempunyai teman atau saudara – atau istri atau suami – yang dalam persahabatannya kehidupan keagamaannya selamat, dan yang dengannya dia mengalami kenimatan dunia ini, dia mestilah senang dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang dibebani oleh persahabatan yang merusak urusan-urusan keagamaan maupun keduniaannya, dan yang darinya mereka tak mampu melepaskan diri! Dalam hal ini, perilaku yang teapt berupa setia pada sahabat serta melaksanakan kewajiban-kewajiban persaudaraan.
Demikian pula, jika seseorang memiliki sumber nafkah kehidupan yang memberinya penghasilan cukup, hendaknya dia bergembira dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang tak sanggup menafkahi dirinya sendiri dan harus meminta-minta dari orang lain, serta tidak puas dan lama menderita! Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah bersikap jujur pada sesama Muslim, menghindari penipuan dan segala sesuatu yang dilarang oleh hukum, dan sumber nafkah seseorang mungkin mengarahkan perhatiannya ke hukum itu. Manakala seseorang melakukan amal ibadah, seperti mengajar Al-Qur’an dan sebagainya, dia mestilah memikirkan serta memperhatikan ganjaran utamanya, dan bersikap selemah-lembut mungkin dalam dalam kegiatan mengajarnya, tidak pernah memperlakukan murid dengan kasar atau tidak adil! Dia senantiasa harus memusatkan perhatian kepada Tuhannya.
95
Akhirnya, bila seseorang mendengar atau membaca nasehat seperti itu, dia mestilah bersyukur kepada Tuhannya dan merasa gembira dengannya. Betapa banyak orang menjadi budak kelalaian, mereka mencari nasehat tapi tak bisa menemukan orang yang memberi nasehat! Perilaku yang tepat dalam konteks ini adalah memperhatikan nasehat, serta menyampaikannya kepada orang-orang yang layak dan pantas menerimanya.
Fondasi semuanya ini adalah sikap tulus ikhlas seseorang yang membutuhkan Allah dan yang memohon agar Allah memberinya sikap demikian secara sempurna dan membantu dirinya untuk mencapai hal itu. Barangsiapa menerima anugerah dan nikmat ini, dia mesti bergembira dan bersyukur kepada Allah Swt. aats hal itu. Betapa banyak orang tenggelam dalam cinta diri serta kelewat mengandalkan intelegensi dan kepandaiannya sendiri! Di sini, perilaku yang tepat adalah mencurigai jiwa rendah, agar mengetahui kehampaannya, seperti telah aku anjurkan.
Segala sesuatu yang telah aku katakan, dari awal hingga akhir, tersirat dalam sebuah haids sahih dari Nabi saw. : “Perhatikan orang-orang yang lebih rendah darimu, dan jangan memperhatikan orang-orang yang lebih tinggi darimu; dengan begitu engkau tidak memandang kecil karunia dan anugerah Allah kepadamu.” Dan, semoga Allah memberi kejayaan kepada kita. Tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Dia semata.().

SURAT KEENAMBELAS

Kepada Abu Ishaq Al-Syathibi. Jawaban atas pertanyaan apakah seseorang bisa mengikuti jalan sufi hanya dengan bantuan kitab-kitab tasawuf, atau apakah seseorang memerlukan pembimbing spiritual. Jawaban ini juga memuat bahasan tentang jalan yang menuju Allah.


96.
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad Saw, dan Keluarganya. Dari Muhammad ibn ‘Abbad, semoga Allah mengasihinya, kepada saudaraku Ibrahim Al-Syathibi, semoga Allah Swt melindungi dan memberikan kemurahan-Nya keapdamu dalam kehidupan ini dan akhirat nanti. Semoga salam, rahmat, dan berkah Allah terlimpah atas dirimu.
Telah kuterima suratmu. Aku memahami apa yang tenQabbab, dan telah mempelajari kenadungannya. Aku tidak bisa membalas semeua topik yang ada dalam surat-surat itu. Surat-surat itu membahas msalah-masalah yang sangat beragam dan luas sedemikian, sehingga aku sama sekali tidak mampu menjawab surat-surat itu secara keseluruhan, baik secara mendalam maupun secara umum. Sesungguhnya, aku hampir sama sekali tidak bisa berbicara tentang masalah itu, sekalipun aku lebih bkewajiban melakukan yang demikian itu, ketimbang yagn ditimbulkan oleh pertanyaannmu yang berharga dan bermanfaat itu.
Demi keringkasan, aku telah memutuskan untuk membatasi pembicaraanku pada pemahamanku tentang peran pembimbing spiritual, dan pada apa yang bisa kupahami dengan jelas tentang permulaan menempuh Jalan itu. Kemungkinan besar, yang demikian itu secara umum bisa berlaku pada orang-orang yagn dianugerahi oleh Allah awal yang penuh keberhasilan dalam kehidupan spiritual. Jika engkau mendapati apa yang kukemukakan ini sesuai, maka katakanlah begitu; jika tidak, katakan padaku lebih banyak tentang apa yang engkau inginkan, dan maafkanlah uraianku yang singkat kali ini. Allah Swt adalah Pemberi kejayaan bagi kita berdua, sesuai dengan keridhaan-Nya.
Aku berpandangan bahwa secara umum orang hampir tak bisa  mengingkari keharusan adanya pembimbing spiritual dalam menempuh jalan sufi. Ini sungguh menjadi salah satu dari sekian banyak masalah penting dalam praktik nyata. Para pembimbing spiritual ini, yang kepadanya para pengikut jalan itu berlindung, terbagi menjadi dua golongan : mereka yang mengajar dan sekaligus mendidik, dan mereka yang mengajar tanpa mendidik.
Tidak semua musafir membutuhkan pembimbing spiritual yang mendidik. Orang-orang yang berpikiran dangkal dan memiliki nafsu memberontak, sungguh membutuhkan pembimbing seperti itu, tetapi orang-orang yang  berpikiran terbuka dan mempunyai nafsu yang penurut tidaklah membutuhkan pengekangan dari jenis petunjuk pertama. Tetapi, setiap orang yang menempuh jalan itu membutuhkan pembimbing spiritual yang mendidik.
97.
Pembimbing spiritual yang mendidikk, dibutuhkan oleh musafir-musafir yang telah aku sebutkan di atas, sebab jelaslah bahwa nafsu mereka telah diselimuti kekerasan dan kesesatan yang sangat. Hanya pembimbing spiritual yang mendidik sajalah yang bisa menyibak dan menembus tirai ini. Di antara orang-orang semacam ini, banyak yang membutuhkan pembimbing spiritual, karena mereka dapat terseret ke dalam persaingan dan permusuhan. Keadaan mereka sama dengan keadaan orang-orang sakit kronis, yang obat penyembuhnya masih tetap menjadi teka-teki. Tidak ada alternatif lain, kecuali mencari dokter kompeten yang bisa menyembuhkan penyakit mereka dengan obat mujarab.
Orang-orang yang berpikiran luas, dan yang bisa mengendalikan nafsu mereka, tidak begitu membutuhkan pembimbing spiritual yang mendidik, karena intelegensi dan kepatuhan mereka yang tinggi. Pembimbing spiritual yang mendidik memberikan tugas-tugas yang tinggi. Pembimbing spiritual yang mendidik memberikan tugas-tugas yang benar-benar cocok bagi orang-orang seperti ini, tapi tugas-tugas itu tidak akan cocok bagi orang lain. Orang seperti ini tetap sabar dan tabah dengan izin Allah Swt, tidak takut pada bahaya yang mungkin menimpa dirinya di saat menempuh perjalanan di sepanjang jalan itu. Dia tetap bersungguh-sungguh bergerak maju dan mendaki jalan itu dengan cara yang benar, seperti yang akan aku uraikan. Insya Allah. Malahan orang seperti ini, bagaimana pun juga, tidak akan mencapai kesempurnaan yang dicapai orang yang mempercayakan dirinya pada pembimbing spiritual yang mendidik. Sebab, hawa nafsu selalu tertutup dan penuh tipu daya, sehingga ia tetap sajah berubah-ubah. Hawa nafsu tak pernah terbebas dari hambatan-hambatan seperti itu, kecuali lewat kepatuhan pada pembimbing spiritual pertama,d an lewat ketaatan pada keputusan pertama dan perwaliannya. Manakala seseorang mengikatkan diri pada keputusan-keputusan yang ditetapkan pembimbing spiritual yang mendidik, maka dia tidak membutuhkan pembimbing spiritual jenis kedua.
Menyandarkan diri pada pembimbing spiritual yang mendidik, adalah jalan yang ditempuh para pemimpin sufi belakangan; sementara kepatuhan para pembimbing spiritual yang mendidik, adalah jalan yang ditempuh para pemimpin sufi awal. Adalah jelas bahwa hampir semua tulisan awal, seperti karya  Al-Harits Al-Muhasibi, Abu Thalib Al-Makki, dan yang lain sebelum mereka, tidaklah menetapkan upaya meminta bantuan kepada pembimbing spiritual yang mendidik, sebagaimana dilakukan kitab-kitab karya para ulama belakangan. Kendatipun demikian, para penulis awal berbiara tentang dasar-dasar pengetahuan sufi dan cabang-cabang, fondasi serta implikasi-implikasinya. Yang demikian itu benar, khususnsya menyangkut Syaikh Abu Thalib. Ketiak mampaun mereka menyebutkan pembimbing spiritual yang mendidik, karenanya, mengesankan bahwa pembimbing spiritual ini bukanlah syarat untuk mengikuti dan menempuh jalan tasawuf.
Yang kumaksud adalah jalan yang ditempuh olehs sebagian besar musafir. Ia sama dengan jalan hidup leluhur spiritual kita di zaman dahulu, karena meraka diriwayatkan tidak mencari pembimbing spiritual yang mendidik lalu tunduk patuh kepada mereka dengan cara yang diharuskan atas murid-murid pembimbing semisal ini. Sebaliknya, jalan leluhur kita adalah mencari pengetahuan dan memelihara kehidupan batiniah, di atas jalan persahabatan dan persaudaraan. Mereka mencapai ini dengan sering saling berkunjung. Perilaku lahiriah dan batiniah mereka memberi bukti tentang manfaat besar dari pendekatan ini. Mereka menjelajahi segenap penjuru negeri, berusaha menemui para wali, ulama, dan hamba-hamba Allah.
98.
Dengan memperhatikan tulisan-tulsian kaum sufi, kita lembali pada soal pembimbing spiritual yang mendidik. Menggunakan dan mempelajari kitab-kitab ini dianjurkan, hanya jika pengarangnya adalah orang-orang berilmu dan memiliki pengetahuan mendalam, yang perilakunya pantas ditiru. Dan hanya orang yang bersahabt dengan pembimbing spiritual terpercaya yang silsilah spiritualnya murni saja yang bisa menila secara baik tulisan-tulisan ini. Manakala pembaca menemukan dalam tulisan-tulisan itu uraian bermanfaat yang benar-benar selaras dengan tuntunan-tuntunan lahiriah Hukum Wahyu, maka yang demikian tiu sduah cukup baginya. Kalau tidak, dia tak punya pilihan lain kecuali kembali pada pembimbing spiritual yang bisa menjelaskan kitab-kitab itu. Sebab, seperti telah aku sebutkan, pembimbing spiritual sangatlah penting dalam hal itu.
Pembimbing spiritual yang mendidik sulit  dijumpai dewasa ini, dan “lebih berharga ketimbang belerang mereha.” Begitu pula pembimbing spiritual yang mendidik, sebab banyak yang berhubungan dengan jalan ini dan dipuji serta dipercayai, sesungguhnya tidak memberikan uraian yang akurat tentang makna tasawuf, pun tidak pula memperkenalkan orang-orang dengan Kebenaran Mistik, apalagi dengan apa yang ada di luar itu. Aku tidak tahu mana dari dua bencana itu yang lebih besar : Hilangnya pembimbing spiritual yang memiliki pemahaman mendalam, atau tiadanya murid-murid yang tulus. Tetapi kita adalah milik Allah , dan kepada-Nya kita kembali.
Kini muncul pertanyaan, Apa yang harus dilakukan seseorang yang ingin menempuh jalan sufi dalam keadaan-keadaan seperti ini? Apakah dia mesti menyibukkan diri dengan mencari pembimbing spiritual? Atau dia, tidak usah mencari, dan hanya menunggunya?  Dan dalam tiap kasus, apakah dia melakukan aktivivtas-aktivitas musafir ataukah tidak?
Aku katakan tidak perlu mencari pembimbing spiritual, apakah seseorang itu giat mengamalkan tasawuf atau tidak. Pembimbing spiritual adalah anugerah dari Allah Swt. Demikianlah cara Allah membimbing hamba bercita-cita tinggi yang telah mengarahkan perhatiannya secara penuh dengan mengikuti jalan itu, tidak membuang-buang usaha serta mengarahkan segenap kemampuannya, betapa pun kecil atau besar. Dalam hubungan inilah Allah Swt membimbing seseorang ke keududukan yang lebih luhur, selamat dari bid’ah dan kesesatan, sehingga sang pencari aman dari perangkap-perangkap yang menanti setiap orang yang mengandalkan perhatian dan pengawasan spiritual sebagai penahan terhadap berbagai godaan masa lalu dan masa mendatang.
Begitu pulla, tidak ada artinya hanya menunggu-nunggu pembimbing spiritual sambil menunda-nunda praktik aktif  tasawuf. Yang demikian itu hanyalah tindakan tak berguna serta pola perilaku tak tepat. Hanya tinggal pilihan keempat saja : melakukan aktivitas spiritual di saat menunggu-nunggu pembimbing spiritual. Sang pencari bisa mencapai tujuan itu, dengan cara menyucikan niatnya, yaitu menjaga ketulusan hubungannya dengan Allah Swt. Seseorang yang menginginkan kehadiran Allah, membutuhkan kebenaran sempurna, sebab Allah hadir pada orang-orang yang benar. Ketulusan terjadi melalui pendisiplinan hawa nafsu demi kesalehan yang diperlukan dalam tasawuf. Yang demikian itu meliputi doa pribadi, kalau yang bersungguh-sungguh menuju pintu Yang Dipertuan, kerangka pikiran positif, harapan murni serta hadir di hadapan Allah Swt dengan penuh kekaguman, penghormatan, dan kerendahan hati. Begitu seseorang mendisiplinkan diri, dan menyelaraskan jiwa rendah (hawa nafsu) dalam masalah-masalah ini, dia mesti memohon Allah Swt agar memenuhi janji-Nya, dan dia akan sampai pada tujuan yang diinginkannya.
99.
Seseorang yang mencari petunjuk harus memahami bahwa cara hidup sufi adalah anugerah yang Allah SWT berikan karena keridhaan-Nya pada hamba-hamba-Nya itu. Dia bukakan pintu bagi tasawuf, serta menyibakkan hijabnya hanya kepada orang yang benar-benar yakin membutuhkan Allah dan yang berada dalam tahap tawakal kepada Allah. Kaum sufi, karena itu, dipisahkan dari sesama manusisa, dan tidak menginginkan orang lain berbagi kehidupan dan tempat tinggal bersama mereka. Seperti telah dikatakan guru-guru spiritual, “Kaum Sufi berdiam di sebuah rumah dan tak ada seorang pun bergerak di dalamnya bersama mereka.” Yang demikian itu karena ketika Allah menginginkan sebagian makhluk-Nya menjadi milik-Nya, yakni mengada secara esensial dan absolut untuk-Nya, Dia tuangkan iman ke dalam kalbu mereka, serta memahatkan iman itu di sana, dan memperkuat mereka dengan Ruh-Nya. Semuanya itu terjadi tanpa adanya inisiatif dari mereka. Karena itu, ketika Allah memberikan anugerah itu kepada mereka, dan membuat mereka menyadarinya, Dia bukakan bagi mereka pintu perlindungan dan kebutuhan akan Diri-Nya. Kemudian makhluk-makhluk-Nya akan memandang diri mereka tak berdaya, nyaris tak bisa berbuat apa-apa, serta mengada di batas kelemahan dan kefakiran.
Manakala Allah membuka pintu ini bagi mereka, Dia kirimkan kepada mereka anugerah, rahmat, berkah, dan kebaikan, sesuai dengan janji-Nya baha Dia akan cukup bagi hamba-hamba-Nya yang mengabdikan diri mereka kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya. Pada saat itu cahaya-cahaya keimanan bertambah. Allah Swt mengatur keadaan-keadaan spiritual dan tindakan-tindakan mereka sedemikian rupa, sehingga cahaya-cahaya itu nampak oleh mereka. Mereka terus-menerus tinggal di pintu Allah Swt, sampai mereka tiba pada kedudukan menyembah Allah secara terus menerus. Di sana mereka melihat Keesaan Allah,d an memahami sepenuhnya Kunikan-Nya. Pada saat itu, bekas-bekas manusia-jasmani mereka pun terhapuskan; penilaian paling matang mereka pun tampak totoal; dan di kehadiran Eksistensi itu sendiri, segenap tampakan pun hilang. “Katakanlah : Kebenaran telah datang, dan kebatilan pun telah lenyap. Sungguh, kebatilan pasti bakal lenyap.” (Qs. 17:81).
Inilah penyempurnaan yang ingin sekali dialami oleh para musafir. Ibadah mereka kepada Tuhan menjadi sempurna, dan mereka pun tidak lagi harus mewaspadai terus-menerus ketulusan mereka. Itulah satu-satunya keinginan mereka. Pada titik itu, “menempuh jalan” dan “tertarik” bersatu padu. Perbedaannya ialah, Allah menganugerahkan kedudukan ini kepada mereka yang telah “tertarik” dalam waktu lebih singkat, bukan kepada mereka yang “tengah menempuh jalan.” Selain itu, Dia membimbing golongan pertama ke kedudukan ini tanpa mereka mengerahkan usaha. Dalam masing-masing kasus, Allah Swt tidak meninggalkan mereka begitu saja tanpa perlindungan dan penjagaan-Nya dari awal hingga akhir. Mereka terkena tindakan, bukan pelaku tindakan sesuai dengan ucapan, “Kaum Sufi adalah anak-anak dalam pangkuan Tuhan.”
Makanya, engkau bisa melihat bagaimana Allah Swt memilih menjaga oarng yagn telah dipilih-Nya,s ehingga orang tersebut tidak harus mencari-cari dan menempuh jalan seraya hanya mengandalkan dirinya sendiri. Sang musafir mestilah menuju ke arah ini. Misalnya saja, dia harus memandang keadaannya sendiri berdasarkan pemahamannya tentang jalan sufi, meneladani kedudukan mulia seseorang yang dikenal sebagai sufi, yang dengannya dia bisa memahami sepenuhnya jalan itu serta tingkatan-tingkatannya. Tidak diragukan lagi, pengertian dan pemahaman menyeluruh tentang hal itu sangatlah penting. Tanpanya, tak bakal ada seorang pun bisa mencari jalan itu, atau berhati-hati tiba di situ, sebab mencari sesuatu yang benar-benar tak diketahui sama sekali tak bisa dibayangkan.
100.
Nah, pemahaman menyeluruh seseorang tentang hakikat jalan itu tidaklah muncul dalam dirinya dengan serta merta. Hal itu muncul melalui kecenderungan inteleknya. Pengamatan cermat atas situasi ini mengungkapkan, bahwa Allah Swt. memberikan tiga nikmat dalam kaitannya dengan pengertian dan pemahaman ini : kehidupan fakultas intelektual itu sendiri; kecenderungan intelek dalam memahami hal berharga ini; dan tindakan memahaminya itu sendiri. Dan smuanya ini terjadi dalam diri seseorang, terlepas dari pertolongan kekuatan atau nilai abadinya. Sungguh sedikit sekali orang yang dianugerahi bahkan satu dari ketiga nikmat ini, apalagi ketiga-tiganya.
Setelah seseorang memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu yang telah aku bicarakan, Allah Swt. masih mempunyai nikmat keempat yang disediakan baginya, yang lebih baik ketimbang yang lainnya. Merupakan pengetahuan mendalam bahwa dia tidak bisa menyebabkan hal-hal ini lewat perilakunya sendiri. Inilah nikmat keempat. Selama sang hamba menyadari memperhatikannya, serta bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang telah dipahami dalam pikirannya itu, maka yang terlihat paling jelas di matanya adalah ketakberdayaan, kefakiran, ketidakmampuan, serta kejahilannya sendiri. Dia yakin bahwa Tuhannyalah, Allah Swt, yang menguasai hal-hal itu, serta yang mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang tepat di hadapan Allah, menghindari nafsunya lalu menuju kepada-Nya, serta membuatnya keluar sebagai pemenang dalam arena ini. Dalam keadaan-keadaan seperti itu, Allah akan menyediakan semua rezekinya, menyingkirkan segala kesulitannya, serta menghilangkan baginya segala bentuk kesukaran.
Hasil dari mengalami pengetahuan dan perspektif yang diberikan kepadanya ini adalah bahwa sang hamba bebas bergerak sehingga dapat dibawa ke mana pun Allah membawa dirinya, tanpa harus mencari-cari dengan cemas atau tanpa harus memilih ke mana dia akan pergi. Jika tetap dalam kesadaran ini, dia bakal sampai pada kedudukan yang berhubungan dengan semua kedudukan lainnya. Dia akan mencapai tujuan keinginannya, yang segala keinginan lainnya adalah tercela.
Jika, sebaliknya, kesadaran ini tidak datang kepada dirinya, dan dia terdorong untuk mencari hal-hal yang menyebabkan dirinya lalai pada Zat yang menganugrahkan nikmat-nikmat yang telah aku jelaskan ini – kondidsi ini diawali dengan tiadanya pemahaman dan perhatian penuh – maka kemalangannya bakal lebih besar ketimbang kemalangan berupa sekedar tidak mampu mencapai tujuan ini. Selain itu, sang hamba akan menderita kelelahan dalam mencari, dan segenap jerih payahnya bakal membuat sempit inti wujudnya. Maka itu, dia mesti kembali pada kondisi penyembuhan, yang sejak semula dia alami. Inilah perubahan yang mendahului petunjuk. Pencapaian tak pernah bisa mencampakkan prinsip-prinsip pertama. Selama perjalanannya, sang pencari mesti mengambil untuk dirinya sendiri semua amalan hati ini, serta menjadikannya sebagai fondasi seluruh kehidupannya.
101.
Di samping itu,s ang pencari harus menjauhkan diri dari setiap perselisihan dan kemaksiatan, menarik diri dari orang banyak, dan memutuskan hubungan dengan yang mendorong dirinya ke arah dosa dan kejahatan. Yang terakhir ini mencakup segenap situasi yagn penting bagi jabatan politik atau posisi kewenangan dan kepemimpinan, atau bagi pengkajian ilmu, dan ebagainya. Semuanya ini merupakan gangguan utama, dan bertentangan dengan menempuh jalan itu. Sang pencari mesti menghidnari pengkajian spekulatif  yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal, sebab hal itu cenderung menghasut orang-orang, dan  menjadi penghalang besar antara seseorang dan tujuannya yagn sudah ditentukan. Sejumlah kecil orang yang tekun mempelajari hukum, dan yang pandai hukum serta secara ketat mengamalkannya, agaknya juga tersentuh oleh pengetahuan sufi, kecuali orang yang menempuh jalan “tarikat”. Pendekatan faqih adalah sedemikian rupa, sehingga banyak dari mereka membayangkan bahwa ada kesenjangan antara yang lahiriah dan yang batiniah, dan ada pertentangan antara Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik! Kecurigaan mereka menyebabkan mereka melecehkan tasawuf, karena tasawuf dianggap telah menyimpang dari prosedur dan ketentuan ilmu hukum mereka. Mereka telah menimpakan kesengsaraan atas banyak pemimpin spiritual, menuduh mereka sebagai kafir, berpikiran bebas, serta berbagai kesesatan dan bid’ah.
Sangatlah penting kalau sang musafir menghindari orang-orang seperti ini, sebagaimana dia harus menghindari seekor singa. Dia mesti menghindari keterlibatan dalam kajian-kajian mereka, kecuali sepanjang semuanya itu berkaitan dengan ibadah serta praktik ibadahnya.
Di sisi yang lebih positif, sang pencari mesti melakukan berbagai amalan khusus yagn diwajibkan atas musafir. Dia akan sampai pada pengetahuan tentang hal-hal ini, meski hanya dalam bentuk berpaling dari keingkaran, tidak melakukan pelanggaran hukum, menjaga pikirannya agar tidak rancu, atau amal-amal lahirah dan batiniah lainnya sejenis itu. Kini dia mesti mengatasi ketakutannya akan kegagalan, dan tidak lagi memikirkannya, sebab dia pasti mengalami kegagalan lebih dari cukup, khususnya dalam latihan-latihan awalnya. Kemudian mesti mencurahkan waktu luangnya, di luar latihan-latihan spiritualnya, untuk mengkaji perilaku leluhur kita dalam agama, sifat hubungan mereka dengan Allah Swt sebagaimana yang dibuktikan oleh ibadah dan ketulusan keinginan mereka kepada-Nya.
Orang harus tekun membaca  tulisan-tulisan sufi, guna memperoleh pengetahuan menyeluruh dan mendalam tentangnya, dan mencerna pengetahuan mendalam serta memahami maksud-maksudnya. Sang pencari mestilah mengesampingkan keengganan kebanyakan orang mempelajari beberapa tulisan sufi. Seperti telah kukatakan, ini berlaku khususnya pada  orang-orang yang tekun menggeluti kajian-kajian hukum, intelektual, dan doktrinal. Menerima tulisan-tulisan ini bisa terjadi setelah menyukai  jalan tasawuf dan berlindung kepada Allah Swt dengan harapan bahwa Allah akan membukakan pintu pemahaman dalam soal-soal ini. Orang mesti mencari bantuan, dengan cara berhubungan dengan seseorang yang benar-benar mengetahui serta mempunyai kecintaan tulus apda jalan sufi.
Sang pencari mesti menyibukkan diri dengan berbagai hal yagn telah aku uraikan, serta sama sekali tidak boleh terhalang oleh kegagalannya menemukan pembimbing spiritual, yang kepadanya dia bisa kembali pada setiap keadaan dalam perjalanannya. Dia mesti juga menyadari bahwa dia tidak eprlu memandang rendah manfaat-manfaat yang sangat banyak yang diperolehnya, dan menggenggam kuat-kuat hasil-hasil positif itu. Itulah jenis syukur atas nikmat amalannya, yang diperlukan manakala seseorang ingin beroleh lebih banyak.
Setelah sang hamba memulai syarat-syarat ini, mencari pertolongan Allah Swt, percaya kepada-Nya, menunjukkan perasaan takut yang tepat kepada-Nya, serta mematuhi segala perintah-Nya, maka dia telah sampai pada harapan terbesar itu : Bahwa Allah Swt akan mengajari dirinya apa yang perlu dia ketahui guna menempuh perjalanannya, sebagaimana dijanjikan oleh-Nya ketia Dia berfirman, “Bertakwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarimu.” (Qs. 2 :282). Allah Swt, juga berfirman, “Sungguh, Kami akan menunjukkan kepada orang-orang yang berjuang demi Kami, jalan-jalan Kami.” (Qs. 29:69). Dan juga; “Allah akan memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.” (Qs. 65:2). Walhasil, sang pencari akan memeproleh segala macam nikmat berlimpah, dan akan mengalami kemajuan pesat dan langsung dalam perjalanannya.
102.
Allah Swt. akan menganugerahinya petunjuk yang benar, yang menenangkan jiwa rendahnya, serta menyejukkan kalbunya. Sebagai bagian dari proses ini, Allah Swt. akan memandunya menuju ke pembimbing spiritual saleh, yang akan membantunya beroleh kemajuan lebih cepat dalam pemahaman. Lambat laut dia tidak akan lagi memerlukan pembimbing atau roang lain. Sang pencari hanya perlu menyucikan niatnya kepada Allah Swt, seta memperbaiki corak berpikirnya tentang Allah. Dan akan mencapai hal itu. Dapat dikatakan, tak ada pengantar formal baginya dalam hal-hal ini.
Singkat kata, orang yang mulai menempuh jalan itu, beramal lewat amalan-amalan kalbu dan jasmani, seperti yang telah aku uraikan, akan termasuk golongan yang terbimbing di sepanjang jalan itu, kalau memang layak dan pantas untuk itu. Pada umunya, kaum sufi sepakat bahwa seseorang bisa datang kepada Allah hanya dengan pertolongan Allah, dan bahwa hanya jiwa rendah sajalah yang merupakan penghalang hubungan sang hamba dengan Allah. Jiwa rendah yang tidak melawan dirinya sendiri, akan melawan Allah. Jika jiwa rendah melawan Allah, maka tak bisa dibayangkan bisa menempuh jalan itu sambil menolak serta menghalangi perlindungan, perhatian,d an dukungan yang ingin Allah anugerahkan kepada sang pencari menurut cara yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mau memberi rezeki kepada hamba yang saleh, kecuali dengan cara-cara yang tidak diketahui sang hamba. Jiwa rendah yang menabiri antara kegelapan dan cahaya, tidak lenyap begitu saja; hijab itu terangkat dan tersibak sedikit demi sedikit sampai timbulnya keyakinan.
Inilah awal jalan sang musafir menuju berbagai tingkatan keadaan dalam tasawuf. Puncaknya tak lain adalah sepenuhnya menyadari Keesaan Allah, “Itulah karunia Allah yang diberikan oleh-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (Qs. 62 :4). Selama seseorang tetap sibuk dengan (keadaan) “tengah berada dalam perjalanan” dan dengan (keadaan) “Sampai di sana”, maka tujuan itu tak akan bisa dicapai. Sewaktu-waktu dia mesti meninggalkan dirinya sendiri. Hanya dengan begitu, dia akan mengalami kebebasan dan kemuliaan yang sebanding dengan tahap kemajuannya, dan yang demikian itu sama dengan mengalami kegembiraan waktu pulang ke rumah.
Bertentangan dengan spekulasi sebagian orang, tidak ada gurun pasir atau tanah kosong di Jalan Allah Swt. Di mana saja sang musafir berkemah, disediakan baginya rumah atau tempat yang menyenangkan. Setiap situasi adalah mudah baginya; para hamba dan penolong memudahkan kedatangan dan kepergiannya. Tetapi, jika hamba Allah itu berdsandar pada yang sifatnya lazim, pada hal-hal yang dia yakini, maka dia pasti menjumpai gurun pasir dan tanah kosong di dalam kelaparan jiwa rendah serta  di dalam  pengandalan intelek serta  dugaannya. Ketika pada akhirnya hijab itu disingkapkan, maka yang demikian tiu akan benar-benar nampak jelas olehnya. Dan kita brelindung kepada Allah dari penilaian yang merugikan. Setelah sang pencari memahami kebenaran  semua yang telah aku bicarakan, perjalanan di sepanjang jalan ini tidak bakal menimbulkan kengerian baginya, dan dia tidak akan menganggapnya sulit. Dia akan menempuh perjalanannya dengan gembira, dan dengan kelapangan  wujudnyam serta dia tidak bakal membenani jiwanya atau inteleknya dengan telaah berlebih-lebihan yang dibahas pemikir psekulatif. Soal-soal semisal ini hanya membingungkan, menyusahkan, dan menahan langkah seseorang, karena membuatnya segan memulai menempuh jalan ini, dan secara efektif menghalang-halanganinya menempuh perjalanan ini. Meskipun seorang hamba terpaksa memandang otentik hampir semua konsep spekulatiff ini, dan tak mampu memenuhi kewwajiban-kewajibannya, yaitu bertindak sesuai dengan syarat-syarat esensialnya, sesuai dengan Hukum Wahyu dan prosedur-prosedur hukum di kalangan ulama, dia mungkin saja tidak bakal bisa memenuhinya dengan cara begitu. Dan bagaimana mungkin dia bisa? Alhamdulillah, soal itu jauh lebih mudah dicapai ketimbang semuanya ini!
103
Baiklah kujelaskan. Allah Swt. mengutus kepada kita Rasul-Nya, Muhammad Saw. yang membawa  agama yang benar dan toleran. Dia tidak memaksa kita dalam agama. Di atas dan di luar itu, syarat menempuh perjalanan yang tidak sejalan dengan sarana orang, adalah memecah belah, menimbulkan kontroversi, serta menyebabkan tiadanya petunjuk yang benar dan tiadanya satu hal penting yang dituntut dari  sang hamba yakni ketulusan dalam beribadah kepada Allah Swt. satu-satunya yang mungkin  mencegah sang hamba dari bergerak maju meleati berbagai kedudukan penghambaan adalah menyerah kepada hawa nafsunya. Segala macam hawa nafsu terlihat jelas olehnya, sebab kesemuanya itu, tak syak lagi, merupakan bagian dari resam tubuh dan kemakhlukannya. Bagaimana mungkin orang bisa tidak menyadari keadaan batiniahnya, sepanjang dia menuntut tanggung jawab jiwa rendahnya, bertindak dengan keimnanan yang benar menuju Tuhannya, serta berusaha menyucikan kalbu?
Karena itu, sang pencari mestilah melawan jiwa rendahnya dalam menghadapi segala godaan, selama perlawanannya itu tidak merugikan dirinya, secara mental atau jasmani. Dia harus terus menerus menolak apa yang bisa menyebabkan dirinya mengandalkan sarana dan pemahamannya sendiri, dalam kesulitan apa yang dialaminya. Sesungguhnya, kesulitan itu sendiri, sangat bermanfaat bagi dirinya. Hasil bersih dari berbagai kesengsaraan yang menimpa sang pencari, dan yang dia lihat selama  melawan jiwa rendahnya, adalah bahwa kesemuanya itu mengantarkan dirinya pada berbagai macam amal kepatuhan. Hanya saja, sang pencari mungkin tidak menyadari tujuan ini dan menghindari cobaan-cobaan, yang  dengan demikian kehilangan peluang untuk patuh. Hal serupa berlaku atas seseorang yang menolak mengikuti apa yang dipahami pikirannya, manakala kebenaran rasional tertentu menjadi jelas bagi pikirannya itu : Dia mengabaikannya, serta pura-pura tidak mengetahuinya. Teapi, cobaan-cobaan tidaklah membahayakan dirinya. Sebaliknya, semua itu merupakan jalan paling jelas untuk diikuti. Sang hamba adalah orang yang nasibnya berupa kelemahan dan ketidak-cukupan, sekalipun dia sangat berhasil dalam ilmu maupun amal.
Bagi sang pencari, bersandar pada disiplin diri (mujahadah) yang telah aku uraikan ini, akan menjadi satu kesibukan yang akan membuatnya tidak bingung serta tidak menyimpang dari jalan kesadaran spiritual sempurna, dan tidak menghadapi berbagai bahaya serta kerentanan terhadap segala luka. Orang yang memanjakan jiwa rendahnya, baik dengan cara tidak mau berpuasa maupun berpuasa terlalu ketat dan terlalu lama, tanpa beristirahat beberapa hari, sesungguhnya sudah jauh tersesat. Hal serupa berlaku pula atas orang yang suka menyedekahkan semua yang dia miliki tanpa menyimpan sebagian untuk dirinya sendiri; atau orang yang senang mengasingkan diri di relung-relung gunung, atau terus menerus memencilkan diri di gurun-gurun pasir. Kecenderungan-kecenderungan tersembunyi hawa nafsu menyebabkan kesemuanya ini. Pengobatannya sulit, membutuhkan pengujian keagamaan dan keduniaan yang sesuai dengan penyakit itu.
Lebih baik kita tetap berada dalam batas-batas Hukum Wahyu, dan menempuh jalan kesalehan serta ketakwaan kepada Alalh, sebab dalam keduanya itu, tidak ada kecenderungan hawa nafsu. Orang kemudian bisa meningkatkan upayanya menundukkan jiwa rendah serta kecenderungannya untuk lalai dab berlebih-lebihan. Manakala sang hamba tetap tulus dalam segenap keadaannya, Allah Swt. akan menjaga, mendukung, dan melindungi dirinya dari kehancuran. Dia akan membimbingnya, dan mengirimkan kepadanya pembimbing spiritual berpengalaman, serta akan membuatnya bahagia. Tugas sang hamba adalah memulai; tugas Allah Swt. adalah menyempurnakan. Dan dari awal hingga akhir, soal itu ada dalam kekuasaan Allah.
Inilah yang aku tahu, untuk menjawab pertanyaanmu. Aku menaydari sepenuhnya, bahwa dengan terlibat  dalam apa yang bukan urusanku, berati aku melangkahi batas-batasku dan bertindak tidak tepat. Dari Allah Swt. aku memohon ampunan, keridhaan serta maaf; sebab, yang demikian itu adalah wewenang-Nya. Dia cukup banyak memberiku hal-hal itu, dan Dia-lah pelindung terbaik. Marilah kita memohon kepada Allah Swt. agar menunjukkan kepada kita  yang benar sebagai benar, dan memberikan kita kemampuan untuk mengikutinya; menunjukkan kepada kita yang salah sebagai salah, dan memberi kita kekuatan untuk meninggalkannya. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad, dan Keluarganya, serta para Sahabatnya.()
Ooooo00000000000000000oooooooooooo0