Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Jumat, 31 Januari 2014

Membuka Rahasia Dimensi ke Empat dalam Serat Jatimurti

Dimensi ke empat dalam Ilmu Hakikat Jawa : Ilmu tahap awal untuk bisa memahami ilmu batin orang jawa / Dasar-dasar Ilmu Rasa
Yang berhak berkata Aku, Ingsun, Pribadi, Dhewek.. Itu Hanya Dia (Dia-lah Allah Yang Tiada Tuhan Selain Dia ) . manusia sebatas dipinjami.



TERJEMAHAN  BEBAS & NASKAH ASLI SERAT  -  JATIMURTI
Penerbit : Yayasan UP. DJOJOBOJO - Surabaya
Penerjemah : Pujo Prayitno


1.  TERJEMAHAN BEBAS
2. NASKAH ASLI (Dibawah terjemahan).

PESAN
Penerjemah : Pujo Prayitno
1.     Setiap setelah selesai dibaca, simpanlah, jangan ditaruh sembarangan.
2.     Jangan dibaca oleh sembarang orang, hanya untuk yang benar-benar pencari ilmu tentang batin.
3.     Bagi yang sudah mebacanya, walaupun paham dan senang, jangan untuk bahan perbincangan dengan dengan sembarang orang.
oooOOOooo
.Siapapun yang mau menjalankan pesan pesan tersebut di atas, termasuk disebut mejaga atau menghormati dirinya sendiri.
Penerjemah : Pujo Prayitno
SARAN DARI YANG MEMBUAT buku INI
Penerjemah : Pujo Prayitno
1.     Pertamanya bacalah sekedarnya sampai tamat.
2.     Ulangi dari awal dengan pelan dan tenang.
3.     Jika sudah tamat ke dua kalinya. Simpanlah. Dalam membaca yang ketiga dan seterusnya : tidak harus urut.
oooOOOooo

Pada awalnya tidak terang isinya
Namun jika sering disimpan dan dibaca dengan teliti dan terus-menerus belajar
Semakin lama, semakin meningkat kejelasannya
Ditandai Sandi Tahun : Kawruh Raras Basuking Tyas
Penerjemah : Pujo Prayitno
ISI   BUKU
1.     Pesan
2.     Saran dari yang membuat buku ini
3.     Jatimurti Alam Garis
4.     Alam Bidang
5.     Alam Jirim
6.     Alam Kajaten/Yang Nyata Adanya
7.     Pramana
8.     Pangesti, adalah Kerja Batin mengikuti Keyakinan
9.     Penjelasan Ukuran Yang Keempat.
10.  27 uraian pedoman.
11.  Ringkasan Ilmu : 1 s.d 7.
12.  Pertanyaan dan Jawaban yang dimaksud Serat Jatimurti.
Penerjemah : Pujo Prayitno

JATIMURTI
1.     Penerjemah : Pujo Prayitno
KEADAAN NYATA, oleh karena ada keadaan yang nyata, berarti juga ada keadaan yang TIDAK NYATA.
Segala sesuatu yang ada, sesungguhnya berasal dari yang ada. Yang tidak ada, sesungguhnya berasal dari tidak ada. Contohnya : Anak yang bernama Dipa, atau kambing, kacang, jambu, asap, api, awan, adanya semua itu hanya sementara, kemudian kembali tidak ada lagi. Bagaimana bisa disebut ada, karena adanya hanya seperti gerak gelombang, bergelombang kemudian hilang, kemudian ada gelombang lainnya lagi, kemudian hilang juga, begitulah seterusnya. Jelas di sini, bahwa gelombang itu sebenarnya tidak ada. Yang tetap disebut ada itu adalah airnya yang bergerak menjadi gelombang, bukan gelombangnya. Gerakan air yang seperti itu, disebut dengan nama : Ombak. Ombak itu bukan yang ada, hanya menjadi saja, .Jelas bahwa menjadi itu bukan yang jadi.
Demikian juga isi seluruh alam ini, seperti : Gunung; bumi, matahari, bulan, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, jika dipikir, sebelumnya memang tidak ada, maka kesemuanya itu sesungguhnya memang tidak ada, hanya : kejadian saja. Tidak benar-benar ada, atau : keadaan bohongan.

->>>>> Ora ana apa-apa, Mung Allah kang ANA, Yaiku kang ana sa-bener-benere. Kasebut : KAHANAN JATI, tegese : Kang Temen Anane. <<<< ----
->>>> Tidak ada apa-apa, Hanya Allah yang tetap ada, itu disebut : KEADAAN NYATA, yang benar adanya. <<<<-------

Cinta dunia itu bagaikan menabrak bayangan saja, tidak akan bisa terpegang, apanya yang bisa dipegang, karena adanya tidak benar-benar ada. Sangat menginginkan dunia itu bagaikan sangat menyenangi ilusi, akhirnya akan hilang tiada bekas.
===>> Alam dunia itu jalan, ya harus dilwati sesuai yang seharusnya, namun itu tidak nyata walaupun telah dikuasainya  <<====
===>> Siapapun yang melewati jalan, harus paham, bahwa apapun yang ada di depannya, walaupun harus didatanginya, namun hanya akan dilewati saja. <<====

oooOOOooo

Bedanya tentang dunia dan tentang yang nyata :

Alam dunia, jika dibanding dengan kedudukanTuhan, bisa digambarkan seperti gambar film di tv, dibanding dengan : orang, rumah, pepohonan dan sebagainya, pemeran film tersebut.
Pemeran film itu berujud “Jisim” yang bertempat di “jirim” sehingga bisa bertempat di luar TV.  Sedangkan film nya sendiri, hanyalah berupa bayangan, yang tidak mempunyai ketebalan, yang hanya bisa berada pada layar kaca saja. Sedangkan adanya pun, hanya tergantung pada adanya layar kaca TV.
Jika ingin memahami : Apakah bedanya alam dunia dan Alam Nyata, cukup jika bisa memahami : bagaimanakah beda antara GARIS dengan BIDANG. Beda antara garis jika dibanding dengan BIDANG, sama saja dengan : BIDANG jika dibanding dengan RUANG. Sedangkan beda antara “JIRIM” sangatlah jauh, saman saja beda antara ALAM jika dibandingkan dengan ALAM NYATA (keadaan yang sesungguhnya).
oooOOOooo

Bagaimanakah bedanya ?

Bedanya sangatlah jauh, bukan hanya sekedar beda, namun bukan yang bisa dibandingkan, artinya : PERBANDINGAN YANG TIDAK SEMESTINYA.
Antara besarnya kuman dan besarnya bumi, walaupaun sangat tidak sebanding jika diperbandingkan, namun masih bisa diperbandingkan, sebab kedunya termasuk jenis “ Sedangkan ALAM NYATA dengan ALAM DUNIA, sangat jauh beda jenisnya, jadi sama sekali tidak bisa diperbandingkan. Apakah mungkin 3 liter bisa dibandingkan dengan 3 Hektar? Apakah bisa jika dibanding dengan daun?.
oooOOOooo

Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini, akan diterangkan terlebih dahulu , tentang beda antara : GARIS, BIDANG dan RUANG. (Jirim).
Jika seseorang menginginkan untuk bisa memahami dengan tepat tentang kedudukan alam terhadap alam nyata (kahanan kajaten). Pahamilah terlebih dahulu; bagaiman kedudukan garis terhadap suatu bidang, dan juga ; juga bagaimana kedudukan bidang terhadap ruangan (jirim); serta bagaimana : kedudukan bidang terhadap alam nyata (kahanan jati). Hal tersebut seperti juga kedudukan bidang terhadap ruang, serta bagaimana kedudukan garis terhadap bidang.
Hal tersebut bisa dinalar, sebagai berikut : Apakah garis itu dan bagaimana kedudukan garis terhadap bidang ó Bidang itu apa dan bagaimana bidang itu terhadap Jirim (alam) --- dua masalah tersbut untuk menggambarkan : Jirim (alam) itu apa dan bagaimana hubungannya dengan yang nyata (kahanan jati). (Catatan : Ada contoh seperti ini : Garam dimasukan ke dalam laut, garam hilang dan menyatu dengan laut. Itu sebagai gambaran menyatunya hamba dengan Tuhan, itu juga benar. Namun perbandingan antara Alam Maya (alam dunia) dengan Alam Nyata (kahanan jati) tidak bisa digambarkan dengan contoh Garam dan Laut. Apakah sebabnya ? : Garam dan laut, dua-duanya adalah dari jenis “Jirim” dan juga masih bisa dipisah. Buku ini menjelaskan kedudukan Jirim terhadap alam nyata (kahaanan jati) itu sepeti sebeuah warna yang menempati suatu bidang).
Sekarang akan dijelaskan terlebih dahulu tentang garis, bidang dan jirim : bagimana hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab akan digunakan sebagai contoh yang teepat tentang masalah kedudukan Jirim (alam) terhadap Alam yang sesungguhnya (Kahanan Jati.)
Langkah selanjutnya akan di praktekan dengan penjelasan sebagai berikut :

a.     Apakah garis itu dan bagaimana kddudukan garis terhadap bidang-hamparan.

Garis itu, berapapun jumlahnya, jika di jajarkan dan dirapatkan bagaimana pun juga, tidak akan bisa membentuk menjadi bidang, (permukaan), karena garis itu, tidak mempunyai ketebalan. Oleh karena garis itu tidak mempunyai ketebalan, maka walaupun dikumpulkan tetap tidak akan bisa membentuk bidang atau suatu permukaan.
Bidang atau suatu permukaan itu bukan garis, akan tetapi mempunyai watak : mengandung garis tanpa batas jumlahnya. (Cataten : Di dalam suatu bidang, bisa diisi dengan garis seberapa pun banyaknya tetap akan muat).

b.      Bidang itu apa dan bagaimana kedudukannya terhadap jirim.

Bidang, berapa banyak pun jumlahnya, tidak akan bisa membentuk kibik (jirim). Karena yang namanya bidang itu tidak mempunyai ketebalan. Dan karena bidang itu tidak mempunyai ketebalan, walaupun dikumpulkan tidak akan bisa membentuk Jisim. Sehingga Jisim itu, bukan bidang, namun mempunyai sifat : mengandung bidang yang tidak terbatas jumlahnya. (Catatan : Sebuah jisim bisa di isi beribu-ribu bidang tanpa merassa sesak).
Sehingga, yang tidak mengerti, akan mengira bahwa jirim itu terbentuk dari berkumpulnya banyak bidang. Hal demikian, itu salah. Demikian juga sebaliknya : Jika bidang dianggap sebagai bagian kecil dari jirim, itu juga tidak benar.
c.     Jisim itu apa dan bagaimana kedudukannya terhadap Yang Nyata.

Jisim, seberapapun besarnya, atau seberapapun banyaknya, tetap tidak bisa menjadi Yang Nyata (Kajaten). Karena jisim itu bukan nyata. Sebab hanya berupa jirim. Karena bukan yang nyata, walaupun menyatu dan dikumpukan semuanya tetap bukan Yang nyata adanya. Sehingga : Yang benar-benar nyata adanya bukan jisim ataupun jirim.—namun yang benar adanya itu : Menguasai jirim seberapapun besarnya serta juga jisim seberapa pun banyak dan warnanya. (Catatan : Di dalam nyata adanya, itu bisa memuat jisim yang sangat banyak dan tanpa batas besarnya. Semua alam yang saling masuk memasuki antara alam yang satu dengan alam lainnya, semuanya berada di yang nyata adanya. Bisa digambrkan seperti halaman buku yang berada di sebuah buku. Seluruh isi alam ibarat tulisan yang berada pada tiap halaman buku).
Sehingga bagi yang tidak paham akan mengira bahwa yang nyata adanya itu berasal dari berkumpulnya jirim atau seluruh alam beserta isinya, yang tanpa batas besarnya dan tanpa bilangan jumlahnya. Hal seperti adalah salah. Dan juga sebaliknya. Jika jirim diangap sebagai bagian kecil dari yang nyata adanya.
( (Catatan : artinya adalah : jsim kasar dan jisim latif (ruh) dianggap bagian dari : Dzat), Jelas hal itu sangat tidak benar.
Uraian di atas, adalah sebagai pedoman dalam hal berfikir bagi manusia tentang  yang nyata adanya. Jangan sampai mengaap Dzat Tuhan disamakan dengan jirim yang bertemepat. Atau dikira atom atau pun molekul sebgai pembentuk alam dan isinya, itu sangatlah sesat. Walaupun digunakan pada alam halus, itu tetap sesat.
Juga sesat jika dianggap sebagai ruh, karena ruh adalah sebuah jirim yang bertempat , dan mempunyai watak yang berubah-ubah.
oooOOOooo
Dengan dasar pengertian tersebut di atas, tidak akan membingungkan jalan pikiran manusia untuk memahaminya, dan juga bisa memahami maksud dari gambaran, pedoamn atau dalil yang akan mengarahkan budi manusia kepada yang nyata adanya. Seperti umpamanya :
1.     Apa sebabnya yang nyata adanya tidak bisa dibayangkan. Atau apa sebabnya keadaan semua alam tidak bisa dipergunakan untuk menggambarkan yang nyata adanya.
2.     Bagaimana sesungghnya bahwa yang nyata adanya tidak bisa dipahami dan dibayangkan oleh manusia.
3.     Bagaimanakah pengertiannya : Yang Nyata Adanya berada pada batin setiap yang ada dan tidak berada di luar atau pun di dalam, juga : “Semua yang ada sudah bersama yang nyata danya, dan juga : Sesunggyhnya semua tidak ada hanya Dzat-lah yang ada.
4.     Bagaimanakah penejelasannya : Dzat itu adalah tunggal (murni) tanpa ada pembagian, semua alam (dunia dan semua alam halus) bukan bagian dari Dzat. Jadi : bukan berasal dari menyatunya semua alam, dan lain-lainya : Tentang yang disampaikan oleh Rasul.
Itu semua bisa jelas, setelah digambarkan terlebih dahulu  tentang penempatan garis terhadap bidang, serta : bidang terhadap jirim, karena itu sebgai penggambaran ; Pengetrapan jirim terhadap yang nyata adanya.
Ketika jisim bertempat tinggal dalam jirim, bagaikan warna (merah, hijau) yang ada di sebuah bidang.
Semua jirim yang bergantung terhadap yang nyata adanya, bagaikan bidang yang bergantung pada jirim yang punya bidang tersebut.
Jadi : Yang nyata adanya ketika berada di batin setiap sesuatu, bagaikan jisim yang terlihat di dalam bidang atau rupanya.
Begitu juga, disebut tidak di luar dan tidak didalam, bagaikan sebuah buku yang terlihat dari sisi-sisi halamannya.
Sehingga ada kalimat “Tidak ada sesuatu pun, hanya Dzat yang benar adanya  itu seperti buku yang tidak bisa dibandingkan dengan tiap halamannya, atau tulisannya atau gambar-gambar di dalamnya; karena : Rupa, tulisan atau pun gambar-gambar yang ada di dalamnya, walaupun ada namun tidak dianggap ada oleh jumlah lembaran kertas (jirim) (Warna itu bukan wujud bagi jirim yang punya warna).
oooOOOooo

Sekarang akan menjelaskan tentang luas gerak dari martabat garis di dalam martabat bidang, dan luas gerak martabat bidang  dengan martaba jirim, kemudian, martabat jirim dengan martabab yang benar adanya.
Untuk menggambarka  hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

I.        ALAM  GARIS
Edit  : Pujo Prayitno
Garis, bidang, jirim, yang nyata adanya, semuanya adalah alam, yang dimaksud alam di sini adalah : suatu martabat yang ditempati).
Alam garis sangatlah sempit, yang menempati alam garis adalah “titik”. Titik hanya bisa bergerak di alam garis sebatas panjang dari garis tersebut. Artinya hanya bisa bergerak maju dan mundur, tidak bisa bergerak ke arah kanan dan ke kiri, hanya ke depan dan belakang saja.
Titik tida punya cara untuk menyimpang. Sehingga jika sebuah titik dihalangi geraknya di depan di belakangnya, tidak ada tempat untuk bergerak, kecuali memasuki alam sebuah bidang. Sedangkan untuk bisa memasuki alam sebuah bidang, jika berganti ujud seperti cara dari bidang, artinya : membentuk bidang kecil atau bulatan kecil, sehingga sudah tidak berbentuk titik dari garis yang tidak mempunyai ketebalan (tidak menganggap dirinya di alam garis, tapi menganggap dirinya berada di alam sebuah bidang atau hamaparan). (Catatan : Yang menganggap adalah yang sedang membaca buku ini, bukan si Titik. Mundur, maksudnya di sini adalah : Ke arah belakang dari yag sedang membaca buku ini; Maju, juga ke arah yang sedang membaca buku ini. Tidak lain : Rasa dan anggapan yang membaca buku ini, yang sedang mencari ilmu tentang kesempurnaan).

II.     ALAM  BIDANG
Edit  : Pujo Prayitno
 (Catatan kaki : Tanah itu bidang yang rata seperti juga permukaan air yang tenang).
Alam sebuah bidang lebih lebar dibanding alam garis. Sebab di alam sebuah bidang tidak hanya arah depan dan belakang saja, juga ada kiblat/arah kiri dan kanan. Sehingga dengan ditambah arah kiri dan kanan, jumlah jenis gerakannya sangatlah banyak, ke muka, belakang, kanan, kiri, dan menyerong dengan sudut yang terkecil, sehingga bisa bergera ke banyak arah. Sehingga jika sebuah bulatan kecil dihalangi geraknya dari muka dan belakang, serta kanan dan kiri, maka masih bisa bergerak menyerong yang sangat banyak.
Namun, jika bulatan itu di kurung oleh garis yang berupa lingkaran, maka tidak akan mendapat tempat lagi. Sebab di alam sebuah bidang tidak ada kiblat/arah bawah dan atas. Bulatan tersebut tidak mempunyai cara untuk keluar dari bidang. Gerakannya hanya mengikuti alam bidang, bagaikan gamabar film di layar kaca TV. Akan selalu berada di dalam kaca TV,tidak bisa keluar dari layar kaca untuk masuk ke alam Jirim. Sedangkan yang bertampat di alam jirim adalah jisim. Seperti : Batu, kayu, air, manusia, hewan dan sebagainya. Sehingga untuk bisa masuk ke alam jirim, apabila berubah sifat mengikuti cara yang digunakan di alam jirim. Artinya : Berbentuk jirim, sudah tidak berujud bulatan. Tidak beranggapan sedang di alam sebuah bidang, akan tetapi menganggap sedang berada di alam jirim.
 (Catatan : Jisim itu bahasa Arab, yang dimaksud jisim adalah : Batu, kayu, manusia, angin, air, kertas, matahari, bumi dan sebagainya. Orang Jawa menyebutnya dengan “wujud” sedangkan api, cahaya, bayangan, pelangi, suara itu semua bukan jisim).
Jirim juga bahasa Arab, artinya : Ruangan yang ditempati jisim, seperti : kubus sebuah dadu. Itu selalu menempati jirim yang bentuknya dadu serta besarnya sebesar dadu. Namun jika jirim hanya dimaknai ruangan saja : kurang pas, yang benar, jisimnya masuk dalam kata jisim. Untuk lebih mudahnya : Tiap jisim itu jirim, namun tidak semua jirim itu jisim, sebab alam hampa itu jirim, namun bukan jisim. Sedangkan batu itu, jirim yag keras. Jirim yang keras itu disebut jisim.


III.  ALAM   JIRIM
Edit  : Pujo Prayitno
Alam jirim lebih luas dibanding alam sebuah bidang, sebab tidak hanya mempunyai kiblat depan, belakang, kiri, kanan saja. Akan tetapi juga mempunyai kiblat atas dan bawah. Sehingga jika jisim dibatasi lingkaran, masih punya tempat yang luas untuk bergerak, sebab bisa : Naik dan uturn, ke kiri dan kanan, maju mundur, serong kanan kiri, menyamping ke atas dan bawah, sekehendaknya bagaikan lalat terbang atau ikan yang berenang.
Namun, jik ajirim dibungkus dengan barang yang lebar atau kotak, tidak akan mendpat tempat lagi, sebab di alam jirim, yang ada di dalamnya pastilah jisim, yang membutuhkan jirim untuk bertempat tinggal, kecuali bisa masuk ke alam yang nyata adanya (kejaten). Sedangkan untuk bisa memasuki alam Nyata, jika berubaha sifat mengikuti cara alam yang nyata adanya. Artinya : Tidak mengaku berujud jisim, tapi merasa sebagai Alam yang nyata adanya (kejaten). Dn tidak merasa bertempat di alam jirim, justru menguasi atas jirimnya.
 (Catatan : Sedangkan yang beranggapan seperti itu adalah kajaten (alam yang nyata adanya) bukan orang kejaten. Yaitu rasa jati dari yang sedang membaca buku ini, bukan anggapan yang ada di angan-angan).
.
IV.  ALAM   KAJATEN/YANG NYATA ADANYA
Edit  : Pujo Prayitno
Alam yang nyata adanya sangatlah luas (membingungkan), tidak bisa dibayangkan luasnya, walaupun dilihat dengan budi, tidak akan bisa ketemu jika dibandingkan dengan jirim, sebab di alam yang nyata adanya ada kiblat lagi yang disebut kbilat lahir dan kiblat batin. Semua jirim menempati di alam lahir kajaten. Sedangkan alam lahir dan alam batin , adalah kiblat yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia.
Oleh karena kajaten berada di sisi batin dari jirim atau badan yang menguasai jirim, sehingga kajaten tidak membutuhkan jirim untuk bertempat tinggal, justru malah menguasai seluruh tempat. Seperti penguasaan jisim terhadap alam bidang. Atau seperti penguasaan alam bidang terhadap alam garis. Sehingga jika kajaten bungkus dengan gedung baja yang kuat yang berbentuk seperti kulit buah kemiri, tetap masih luas gerakannya, dan tidak berakibat apa-apa. Seperti seekor kuda yang dikurung oleh lingkaran dari pensil yang dibuat di permukaan kulit di tubuh kuda tersebut. 
Alam yang nyata adanya (kejaten) tidak bisa dipengaruhi oleh apapaun karena bukan jirim, dan selalu benar, dan sebagai sumber dari segala kebenaran.
Yang menguasai alam yang nyata adanya (kajaten), adalah : INGSUN, artinya : Pribadi = Aku, berdiri sendiri menguasai seluruh ciptaan, dan telah diakui oleh seluruh isi alam atau yang mengaku dari isi seluruh alam.
Sedangkan alam yang bukan jirim, tidak bisa dibayangkan dengan menggunakan alam jirim, sebab bukan ukurannya. Jika dipaksakan akan menjadi seperti membandingkan antara batu dengan warna yang ada dipermukaan batu., atau seperti satu meter persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan manusia hanya memperkirakan saja keadaan di alam jirim, karena alat yang digunakan manusia (perasaaan manusia)  bukan menggunakan rasa yang sebenarnya. Jika persaan manusia dibandingkan dengan rasa yang sebenarnya (rasa jati), seperti membandingkan antara warna dipermukaan benda dibang dengan isi benda yang berwarna tersebut. Bisa juga digambarkan seperti wayang yang sedang di mainkan oleh dalang dibandingkan dengan isi pikiran dalang yang sedang memainkannya. Bagi sang dalang pikiran wayang itu yang sedang dimainkan itu tidak ada, hanya pikiran dalang yang ada. INTINYA YANG BISA DILAKUKAN MANUSIA HANYALAH DIAM. (Tuhanlah dhalangnya).
Diamnya, bisa digambarkan : Ketika wayang sedang tidak digunakan, sudah tidak diberi pikiran oleh dhalang, pikirannya akan kembali kepada dhalang. Sehingga wayang akan menjadi “Diam  Begitulah seharusnya sikap manusia ketika memasuki alam yang nyata adanya (kajaten). Sebab untuk bisa memasuki alam yang nyata adanya (kajaten) menggunakan Nirmala. Maksudnya : Hilang sifat manusianya oleh kekuatan keyakinan dengan tekad bahwa ujud dari Yang Nyata adanya bukan Jirim. Setelah bisa menghilangkan sifat manusianya, maka akan terganti masuk ke alam yang nyata adanya (kajaten), tidak jauh beda dengan garis yang masuk ke alam bidang, atau warna yang masuk ke alam jirim. Sehingga kata yang tepat, tidak ada kata memasuki, jelasnya : Berganti anggapan, berganti rasa, dari gerak kepada diam, dari ciptaan kepada pencipta, dari kejadian menuju ke yang jadi, dari tipuan menuju kenyataan, atau dari kebohongan menuju alam yang nyata adanya (kajaten).
Sehingga tidak boleh dianggap memasuki, karena alam yang nyata adanya (kajaten) tidak bisa dumasuki (tercampuri), karena alam suci murni dan langgeng, seperti halnya alam bidang yang tidak kecampuran kecampuran alam garis, atau seperti jisim di kulit hewan Bunglon yang tidak berkurang dan tidak tercampuri oleh beragnti-ganti warna kulitnya.
Oleh karena alam yang nyata adanya (kajaten) itu bukan jirim, sehinga tidak ada bentuk dan sifat. Bentuk itu artinya : Besar kecil, lebar sempit, sebentar lama, banyak sedikinya, dan lainnya. Sedangkan sifat itu, adalah pemisahan, contohnya, Ini badan , ini penglihatan, ini penciuman, ini pendengaran, ini hidup, semuanya telah menyatu : Ya badan, ya penglihatan, ya penciuman, ya pendengaran, ya hidup selanjutnya. (Catatan : Keadan menyatu dalam bahasa Aarab dikatakan dengan : “HU”.  Maksudnya dalah Alam nyata, dan juga “Hu” rasa sejati, dan juga “Hu” hidup sejati, dan juga “Hu” penglihatan sejati, dan sebagainya. Kesemuanya itu mengandung maksud konsentrasi kepada yang satu, tidak membanding-bandingkan).. tidak memilih : ini, itu, dahulu, sekarang, besok, di sini, di situ, di sana, aku, dia, atas, tengah, bawah. (Catatan : Sedangkan yang ada di alam yang nyata adanya (kajaten).adalah : Ini, sekarang, di sini, aku, namun rasanya tidak sama seperti rasa di alam jirim).
Karena bukan jirim sehingga tidak ada arah utara, selatan, bawah, atas, timur, barat, depan, belakang, atau pun juga kiri dan kanan. Kiblat (aah) alam yang nyata adanya (kajaten) hanya lahir dan batin. Pribadi yang telah menguasai alam yang nyata adanya (kajaten) berada pada inti batin, artinya : ada di inti kiblat yang arahnya dari lahir menuju batin (inti batin). Dari arah pribadi semua kiblat menuju arah lahir. (maaslah ini bisa digambarkan : Dari arah pusat utara semua kiblat arahnya ke selatan, tanpa ada timur dan barat). Catatan : Yang telah tersebut di atas, sebagai pedomannya adalah : Rasa, dan rasa tidak bisa diurai kata-kata. Yang bisa menyaksikan hanyanya yang sama rasanya (Tunggal rasa).
Kiblat dari Jirim (Utara, selatan, timur, barat, bawah, atas, kiri, kanan, depan, belakang), semuanya ada di sisi lahir dari pribadi, seperti timur barat yang berada di sebebelah selatan pul utara.. Catatan : Pul utara – Kutub Utara). Sebab yang disebut alam jirim, sebenarnya adalah wajah dari alam yang nyata adanya (kajaten).

Karena bukan jirim, tidak bisa rusak, karena tanpa alat, sehingga tidak pernah salah, lupa, bingun dan sejenisnya. Karena tanpa nafsu, sehingga lepsa dari gembira, sedih, senang, benci, bosan dan sejenisnya. Karena tanpa pembagian, sehingga tan bagian dan tanpa hitungan. Kata tanpa bilangan itu artinya : Tidak ada jumlahnya.  Artinya : Walau pun salah jika disebut banyak, namun tidak perlu disebut dengan kata : satu, sebab satu juga adalah bilangan, satu dan banyak. Keduanya akan menjadi aneh jika membicarakan alam yang nyata adanya (kajaten), Sebab dari kata satu akan minta pembanding, yaitu dua, tiga dan seterusnya. (adanya satu karena ada dua, tiga). Memang benar sering disebut satu. Namun kata satu dalam ilmu alam yang nyata adanya (kajaten),  tidak sama maksudnya dengan kata : Satu kuda, satu buah jeruk. Untuk lebih jelasnya ada kata-kata Jawa “ Ora ana apa-apa kejaba mung pribdai” //”Tidak ada apa-apa kecuali hanya pribadi yang ada
Isi kandungannya memang seperti itu adanya. Sedangkan makna dari kalimat : : Tidak ada apa-apa kecuali hanya ...Kalimat iut di alam jirim bukanlah kata yang aneh, akan tetapi jika berbicara alam yang nyata adanya (kajaten), itu termasuk aneh. Bentuk anehnya dalah mengapa harus ada kata-kata : “Tidak ada apa-apa kecuali hanya ..... Apakah sebabnya? Itu maknanya hampir sama dengan ketika orang mengatakan “Air itu tidak ada yang bukan air” ataupun Dunia dan seluruh dunia adalah dunia. (Catatan : alam yang nyata adanya (kajaten), kadang juga dikatakan pasti salah, karena kata itu menunjukan kesalahan ingatan atau juga tertipunya rasa yang sedang berkata, kemudian akan dibantah sendiri dengan kalimat tersebut .. namun yang tidak mengaakan apa-apan belum tentu tidak salah, pada umumnya justru banyak salahnya dibanding dengan yang mengatakannya).
 Karena tidak ada pembagian dan hitungan, sehingga Kata Tuhan dan hamba ketika berada di alam yang nyata adanya (kajaten), itu akan menjadi aneh, menjadi anehnya disebebkan karena ada perbandingan., antara hamba dibandingkan dengan Tuhan. Samam saja seperti kuda dibandingkan dengan warna kuda, atau gelang emas dibandingkan dengan emas yang menjadi bahan dari gelang tersebut. Warna kuda tidak seharusnya dibandingkan dengan yang mempunyai warna , sebab warna itu permukaan alam jirim, bukan wujud. Gelang emas itu berasal dari emas, berasal itu yang menjadi, bukan wujud. (Catatan : Wujud itu bahasa Arab, artinya ada, bukan wujud yang bermakna tidak ada jisimnya).
Rasa perasaan manusia di alam jirim (alam yang tidak nyata) untuk bisa memasuki alam nyata, apabila bisa melupakan (tidak menganggap wujud) atas jirim, jisim, dan segala yang aneh menurut Alam Yang Nyata adanya (kajaten). : Di dalam keheningan, disebut : Cengeng.
Hilanglah rasa perasaan sebagai manusia dan masuk ke dalam rasa Alam Yang Nyata adanya (kajaten), seperti hilangnya wajah tertutup oleh jisim dari yang menguaasai wajah tersebut. Bagaikan hilangnya gelang tertutup oleh emas bahan membuat gelang tersebut, bagaikanhilangnya huruf tertutup oleh tinta yang untuk menulis. Atau juga seperti hilangnya daya hidup wayang ketika sedang dimainkan oleh dhalang, tetutup oleh cipta pikiran dhalang yang sedang memainkan wayang tersebut, atau pun juga seperti model gambar yang sedang dibuat, hilang masuk ke dalam pikiran orang yang sedang melukisnya.
oooOOOooo

Hubungan antara garis dengan bidang, bidang dengan jisim, jisim dengan Alam Yang Nyata adanya (kajaten), agar lebih jelasnya akan dijelaskan sikap seperti di bawah ini.

A = b = c :dari 1 sampai dengan 8.
(Catatan : Maksud dari kalimat yang ada dibagian (a) sama dengan kalimat di bagian b dan c. Jika paham terhadap isi di kalimat a dan b serta pada penerapan katanya, tentu akan bisa memahami kalimat yang berada di c).

1.
a. Tidak ada alam garis yang bisa berdiri sendiri, pasti bergantung pada alam bidang.
b. Tidak ada bdiang bidang yang bisa berdiri sendiri, pasti bergantung pada alam jirim.
c. Tidak alam jirim yang bisa berdiri sendiri, pasti bergantung pada Alam Yang Nyata adanya (kajaten).
2.
a. Tidak ada alam garis yang tidak bertempat di alam bidang, dan tidak ada alam bidang yang meninggalkan alam garis, keduanya saling menetapkan.
b. Tidak ada alam bidang yang tidak bertempat di alam jirim, dan tidak alam jirim yang meninggalkan alam bidang, keduanya saling menetapkan.
c. Tidak alam jirim yang tidak berada di Alam Yang Nyata adanya (kajaten), dan tidak Alam Yang Nyata adanya (kajaten) yang meninggalkan alam jirim, keduanya saling menetapkan.
3.
a. Garis itu bukan bidang, akan tetapi garis yang membentuk sifat dari bidang, seperti : Persegi, bundar, dan oval.
b.Bidang itu bukan jirim, akan tetapi bidang yang membentuk sifat dari jirim, seperti : merah putih, bulat, kolom.
c. Jirim itu bukan Alam Yang Nyata adanya (kajaten), akan tetapi jirim yang membentuk sifat dari Alam Yang Nyata adanya (kajaten), seperti : Matahari, manusia, pepohonan, sir, pikiran, nur.
4.
a. Tidak usah menanyakan sifat dari bidang, kadang kala akan diketahui garisnya, sebab sifat bidang sudah terlihat dari garisnya.
b. Tidak usah menanyakan sifat dari jirim, kadang kala akan dikatahui bidangnya, sebab sifat dari jirim terlihata dari bidangnya.
c. Tidak usah menanyakan sifat dari Alam Yang Nyata adanya (kajaten), kadang kala akan diketahui sifat dari Alam Yang Nyata adanya (kajaten) ada di jirimnya.
5.
a. Garis itu yang menyebabkan bidang mempunyai sifat segi empat, segi tiga, ataupun bulat. Demikian juga bidang itu bukan garisnya, bukan segi empatnya, bukan segitiganya dan bukan bulatnya. Jadi yang manakah yang disebut bidang? Untuk bisa menunjukan itu, tidak bisa hanya ditunjuk dengan ujung pena, harus diraba menggugnakan telapak tangan, sebab ujung pena hanya bisa menunjukan garis bukan bidang.
b. Bidang itu yang menyebabkan jirim mempunyai sifat bulat penuh, kolom, merah, hijau, atau putih. Demikian juga jirim itu bukan bidang. Bukan bulat penuhnya, bukan kolomnya, bukan merahnya, hijaunya atau putihnya. Terus, yang manakah yang disebut jirim? Untuk bisa menunjukan hal tersbut tidak cukup hanya diraba menggunakan telapak tangan saja, harus juga dirasakan denegan pikiran, sebab, telapak tangan hanya bisa meraba bidangnya saja tidak bisa msuk ke dalamnya.
c. Jirim itu yang menyebabkan Alam Yang Nyata adanya (kajaten) mempunyai sifat hidup, mobah, mosik, sifat kayu, sifat batu, sifat manusia, sifat matahari. Demikian juga Alam Yang Nyata adanya (kajaten) itu bukan jirim, bukan hidupnya, bukan gerak-geriknya, bukan kayunya, bukan manusianya atau mataharinya. Dan yang manakah yang yang disebut Alam Yang Nyata adanya (kajaten) ? Untuk bisa memahami hal tersebut tidak hanya menggunakan pikiran saja, akan tetapi rasa sejati, sebab pikiran hanya bisa sampai di alam jirim saja. Tidak akan bisa memasuki tentang Tuhan.
6.
a. Bulatan itu bertempat di bidang, bukan di garis, justru garislah yang berada di bulatan.
b. Jisim itu bertempat di Jirim, bukan di bidang, justru bidanglah yang bertempat di bidang.
c. Pribadi itu bertempat Alam Yang Nyata adanya (kajaten), bukan di jirim, justru jirim yang bertempat di pribadi.
7.
a. Bidang itu bersifat : Segi empat, segi tiga dan sebagainya, terlihat dari garisnya, naman sifatnya adah bentuknya.
b. Jirim itu bersifat : Merah, hitam, hijau dan sebagainya, terlihat dari  bidangnya, nama sifatnya adalah warna.
c. Alam Yang Nyata adanya (kajaten) itu, Kayu, batu, manusia, jin, angin, matahari, cipta dan sebagainya, terlihat dari jirimnya, nama sifatnya adalah jisim.
8.
a. Bentuk itu bukan wujud dari bidang, hanya sifat bidang saja.
b. Warna itu bukan wujud dari jirim, hanya sifat jirim saja.
c. Jirim itu bukan wujud dari Alam Yang Nyata adanya (kajaten), hanya sifat Alam Yang Nyata adanya (kajaten).
9.
a. Bentuk garis (bulat, segitiga) yang menjadikan sifat bidang, artinya, bidang yang berbentuk bulat, segitu dll,
b. Bentuk bidang (merah, hijau) yang menjadi sifat jirim, jirim yang berwana merah, berwarna hijau dll.
c. Bentuk jirim (kayu, batu, manusia, bulan), yang menjadikan sifat Alam Yang Nyata adanya (kajaten), artinya yang sedang menjadi kayu, yang sedang menjadi batu, yang sedang menjadi manusia, dan yang sedang menjadi bulan itu Yang Nyata adanya (kajaten). (Catatan : Kayunya, batunya, manusianya, bulannya, dan sebagainya dlam Bahasa Arab disebut sifat Wujudiyah. Sedang ketika sedang menjadi kayu, batu, manusia, bulan dan sebagainya  disebut sifat Maknawiyah. Sifat maknawiyah yang menjadikan sifat wujudiyah, seperti : Kahunuhumuridan (adanya Tuhan berkehendak), menciptakan sifat yang disebut iradat (kehendak) disebut iradat yaitu, bergerak dan berfikirnya makhluk, yang disebut makhluk itulah jirim, yaitu jisim atau sifat Yang Nyata adanya (kajaten) (sifat baru).
10.
a. Bulat, segitiga, itu sifat bidang, terlihat apda garisnya.
b. Merah, hijau, itu sifat jirim, terlihat pada kulitnya.
c. Manusia, bulan, pancaindra, nur, budi, itu sifat Yang Nyata adanya (kajaten), itu sifat Yang Nyata adanya (kajaten), terlihat pada jirimnya (Catatan : Jirm yang tidak terbatas besarnya, yang memuat semua jisim adalah yang kosong, yang disebut Gunung : Cakrawala, itulaha wajah Yang Nyata adanya (kajaten), tergantung  pada Alam Yang Nyata adanya (kajaten), saling menguatkan, segala jenis jisim yang berada di jirim, adalah sebagai  warna yang ada di segala rupa.
11.
a. Sifat  dari bidang terlihat  dari bentuk garis (ketika sedang berbentuk, lingkaran atau sudut ), namun itu bukan wujud dari bidang, Bukan beloknya, bukan lingkarannya, atau bentuk tidak beraturan, sebab yang disebut bidang itu adalah : bentuk seutuhnya dari yang nampak pada garisnya, artinya : Yang berbelok, yang melingkar, yang tidak beraturan, sehingga hanya “yang” nya saja.
b. Saifat dari jirim, yaitu : keadaan bidang  ( yang berwarna merah, hitam, atau putih) namun wujud dari jisim itu, bukan merahnya, hitamnya atau putihnya; sebab yang disebut bidang itu adalah : bentuk seutuhnya dari yang nampak pada sebuah bidang, artinya : Yang merah, yang hitam, yang putih, sehingga hanya “yang” nya saja.
c. Saifat dari Yang Nyata adanya (kajaten), yaitu : keadaan jirim  ( yang sedang mendai batu, kayu, manusia, bumi) ) namun wujud dari Yang Nyata adanya (kajaten) itu, bukan batunya, kayunya, atau buminya; sebab yang disebut Yang Nyata adanya (kajaten) itu adalah : bentuk seutuhnya dari yang nampak dari jirim, artinya : Yang sedang menjadi batu, manusia atau bumi, sehingga hanya “yang” nya saja.

SEHINGGA :
a. Bulatnya, segi empatnya, berada pada badannya, yaitu si Bidang.
b. Merah-merah, hiaju-hijau, berada pada badannya, yaitu si jirim.
c. Batunya, manusia, ada berada pada badanya, yaitu Yang Nyata adanya (kajaten).
LEBIH JELASNYA :
13.
a. Bulatnya, segiempatnya, dialam bidang : tidak ada. Yang ada hanya bidang (sisi dari jirim),
b. Merah-merah, hijauhijau, di alam jisim : tidak ada. Yang ada hanya jisim (bentuk seutuhnya) yang ada di jirim.
c. Kayu, manusia, bumi,  di alam Yang Nyata adanya (kajaten) : Tidak ada. Yang ada hanya Yang Nyata (Akhadiyah) yang sedang menjadi batu, manusia, bumi dsb.
oooOOOooo

V.     PRAMANA
Edit  : Pujo Prayitno
Rasa dan perasaan tiap manusia, yaitu : pikiran, nafsu, senang, susah, sakit, cinta,  benci, takut, malu, gatal .... dan lain sebagainya. Itu bukan rasa yang sesungguhnya, kesemuanya itu adalah rasa yang baru, karena hanya datang dan pergi di dalam rasa yang Sejati.
Segala rasa dari pancaindra, bisa digambarkan sebagai bayangan dari rasa yang sejati.
Sedangkan bayangan tersebut terlihat pada sifat yang langgeng, yang sangat jernih dan jelas. Yang bisa dianggap sebagai Cermin dari Yang Nyata Adanya (Kajaten). Yaitu sumber dari semua rasa baru atau pohon dari cipta dan rahsa.
Cermin Yang Nyata Adanya (Kajaten), disebut : Pramana.
Pramana adalah Cermin Sejati, yang dipergunakan untuk melihat bayangan Rasa Jati.
Pramana dipergunakan di alam Yang Nyata Adanya (Kajaten), dipergunakan untuk menyatakan semua rasa dari makhluk (maya) atau rasa baru yang selalu berubah-ubah.
Yang Nyata Adanya (Kajaten) itu adalah Dzat yang besifat Pramana itu tadi.
oooOOOooo

VI.  PANGESTI, Adalah :
KERJA BATIN MENGIKUTI KEYAKINAN
Edit  : Pujo Prayitno
Manusia bisa sampai pada tingkat Pramana atau kembali pada jaman Pramana, adalah dengan jalan menghilangkan atau melupakan rasa baru sedikit demi sedikit secara rutin. Dalam setiap harinya diusahakan mengurangi berkembangnya tuntuan rasa, sampai dengan benar-benar bisa menegndalikan  barulah bisa pulang ke Pramana.
Oleh karena telah jelas bahwa degala bentuk keadaan yang baru atau segala cerita dunia dan segala rasa yang hadir pada  adalah ujud dari getaran atau atau gerakan, sehingga untuk menghilangkannya hanya dengan satu cara yaitu “DIAM”
Segala rasa yang hadir sebagai tamu terhadap diri manusia termuat di dalam Pramana, bagaikan segala bentuk dan segala warna termuat di dalam Kaca Benggala.
Pramana berada pada Pribadi, bagaikan menyalanya cahaya pada sebuah kawat yang bersinar. Atau bagaikan terapungnya caha di dalam kaca, dan sifat kaca, yang ada di dalam kaca.
Pribadi (jati) adalah ujud seutuhnya, sebagai tempat bagi Pramana.
Menyatunya pramana, dari sepinya cipta dan rasa.
Munculnya pribadi, dari sepi dan hilangya Pramana.
Sepi atau hilang.. tergantung dari Eneng (ketenangan jiwa).
Merasa tergantung. Dari kekuatan Anggapan disertai tekad.
Ada, tergantung dari. Konsentrasi melihat.
Sirna tergantung dari : LUPA.

Dibawah inilah sebagai gambarannya : A ----- B ---- C.

CONTOH A : Sebuah bidang mengandung garis. Jika yang dilihat hanya sebatas garisnya saja, dan lupa pada bidangnya, sehingga bidang tersebut di dalam pikiran hanya terlihat sebagai garis saja. Dan sebaliknya jika yang diingat dalam pikiran adalah bidangnya, dan tidak memikirkan garis nya, maka yang terlihat jelas adalah bidangnya yang terlihat di dalam citanya. Jika : bidang yang berbentuk sgi lima, jika yang dilihat hanya garis di sisi bidang, maka yang terlihat di dalam cipta hanya : Ada garis berjumlah 5 saling bertemu, entah bagaimana bentuk bidangnya (walaupun garis itu ada di dalam bidang), Dan sebaliknya, jika jika dilihat bidangnya, dan tidak memikirkan garisnya, maka garis akan hilang dari perhatian, sedang yang masuk ke dalam pikiran : adalah bidang yang berbentuk segilima (Sehingga : Oleh karena dengan adanya bidang yang berbentuk segi lima tersbut, maka akan diketahui bahwa bidang tersebut mengandung garis berjumlah5 buah, hanya saja 5 garis tersebut tidak dianggap adanya, karena ternyata garis iu hanyalah sisi dari sebuah bidang).

CONTOH B : Jirim mengandung bidang, jika hanya sebuah bidang hanya dilihat warnanya saja, maka jisim tidak akan terlihat, hanya merah hijaunya saja yang masuk ke dalam pikiran. Jika yang dipikir itu Jirim, dan tidak memikirkan warnanya, maka warna tidak akan masuk ke dalam pikiran, yang ada dalam pikiran adalah Jisim. Contoh : Dadu yang berwarna belang, merah, hitam putih (Catatan : Dadu mempunyai eenam sisi, tiap sisi beda warna), itu jika yang dipikir hanya warnanya saja, dan tidak memikirkan kayunya, maka yang masuk ke dalam pikiran hanya : bidang segi empat berwana merah, gadeng dengan bidang segi empat hitam, kemudian bersambung dengan bidang segi empat warna putih, dan seterusnya, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, entah bagaimana bentuk kayunya karena tidak terpikir ( Walau bidang itu bergantung kepada kayu).
Dan sebaliknya, jika yang dipikir adalah kayunya, dan tidak memandang warnanya, maka yang ada dalam pikiran adalah : Ada sebuah kayu yang berwarna belang merah hitam putih. (dan dengan sendiri akan diketahui kayu itu mempunyai bidang enam buah, dan mempunyai 12 garis, hanya saja bidang dan garis tersebut tidak dianggap adanya).

CONTOH C : Jati menguasai jisim, jika hanya jisim yang diperhatikan, dan tidak memperhatikan kajaten / yang nyata (Pribadi), maka kajaten tidak dianggap adanya (tidak merasa bahwa bergantung kepada pribadi yang tunggal), hanya jirimnya saja yang dirasa dan dipikirkannya. Dan jika yang diperhatikan adalah Pribadinya, dan tidak menganggap adanya jisim, maka jisim akan hilang dari dalam cipta (disebut LUPA), yang ada tingggal Jatinya /yang nyata adanya (Pribadi), yang berada di dalam rasa tunggal. Umpamanya : Jati itu merengkuh cakrawala dan semua jisim, akan tetapi jika yang diperhatikan hanya jsim-nya saja, pasti yang di rasa hanya : ada ruangan yang sangat luas (dunia) yang berisi bermacam-macam jisim, berupa kayu, batu, matahari, manusia, hewan dan sebagainya, yang saling  terpisah, tidak mengira bahwa  itu semua bergantung kepada yang satu yang kekal,  (walaupun adanya jirim bergantung kepada adanya kajaten). Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya bahwa it hanya sebatas bayangan saja (jadi-jadian), dan hanya sekejap saja adanya kemudian akan hilang. Berjuta tidak merasa bahwa segala yang nampak di dunia dengan segala peristiwanya sesungghnya hanya bayang-bayang saja yang berada di Cermin Pribadi. Sehingga hanya tertipu oleh bayang-bayang di dalam cermin (Pramana) lupa pada cerminnya, terlebih lagi terhadap yang sedang berkaca. (Walaupun bayangan tergantung adanya cermin, dan adanya cermin bergantung kepada pribadi yang bercermin) Sebaliknya : Jika yang diperhatikan Pribadi-nya, yaitu Jati-nya, sehingga lupa kepada yang namanya jisim, maka yang ada tinggal Pramana, menuju kepada cermin, yang disebut Asarira Pramana (berbadan Pramana), (dan kemudian akan diketahui mengandung bayan-bayang yang tergelar, hanya saja tidak dianggap wujud, sebab ternyata yang nampak di gelar  adalah cipta pribadi).
oooOOOooo

Keterangan di atas, untuk lebih jelasnya lagi, seperti berikut :

RASA hamba atau maya, adalah :
1. Mata hanya melihat rupa.
2. Telinga hanya mendengar semua bunyi.
3. Hidung hanya mencium bau.
4. Kulit hanya merasakan semua benda.
5. Lidah hanya merasakan makanan.
6. Pikir hanya memahami segala kejadian.
7.Hati hanya merasakan senang, susah, sakit, nyaman dan sebagainya.
8. Dan sebagainya yang sangat banyak jenisnya.

Inti dari kesemuanya itu disebut RASA yang ada di dalam perasaan manusia, yaitu : Gambar atau bayang-bayang  (lebih mudahnya itu hanya tamu yang datang dan pergi. Penerjemah)  dari RASA YANG SEJATI.
Munculnya bayang-bayang ---- karena ada cermin.
Ada manusia yang perasaannya tertipu oleh bayang-bayang --- ada yang yang yakin kepada cermin sebagai tempat semua bayang-bayang.
Oleh karena telingan memahami suara tercampur rasa kulit oleh benda-benda dan tercampur lagi seperti yang telah tersebut – disebabkan oleh hal itu, maka kamudian manusia punya anggapan (keyakinan) bahwa “ DUNIA itu ADA”.

DUNIA MENJADI ADA karena, AKU menganggapnya ADA.
 Adanya dunia tergantung adanya kita (yang sedang membaca ini), lebih jelasnya : Alam menjadi ada tergantung adanya kita ( yang sedang membaca ini). Lebih jelasnya lagi : Adanya Alam tergantung dari rasa dan perasaan yang sekarang sedang membaca uraian ini (COBA – hayati DAN  rasakan... Pen).
Sedangkan adanya rasa yang sedang membaca ini bergantung kepada adanya “RASA JATI – yaitu PRIBADI yang TUNGGAL.
Sebenar-benarnya rasa adalah rasa dan perasaan yang sedang membaca buku ini dan juga adanya dunia – itu sebagai tanda bahwa “ Pangeran ana, iya INGSUN PRIBADI kang ANA”
Jadi yang ditandai adanya atau yang disaksikan adanya itu sesungguhnya bukan kita (orang yang sedang membaca buku ini), bukan dunia sebenarnya “ Adanya Pangeran Yang Maha Sempurna, Dzat Yang Kekal Adanya, yaitu : Jatinya yang membaca buku ini. Sedangkan dunia hanya sebagai saksi saja.
Namun--- yang benar adalah yang seperti itu --- jika kita hanya percaya atau sangat mengakui adanya diri sendiri dan dunia saja, maka tidak akan ada alam yang sejati, karena terbawa oleh anggapan kita sendiri, sehingga hanya ada rasa dalam diri sendiri saja, persis seperti tidak adanya jirim, sebab yang diingat-ingat ahanya wananya saja.
Dan sebaliknya. Jika kita sangat mengagungkan atau sangat yakin kepada INGSUN, sampai dengan kekuatan keyakinan dan tekad bisa mengalahkan kekuatan rasa aku – hamba maya) serta merasa rendah dan tidak suci diri, maka kita akan merasa bahwa sesungguhnya kita aalah manusia yang berbadan Bathara atau Pramana.
Kemudian, Sang Diri Pramana masih bisa mengapai kesempurnaan, jika konsentrasi terhadap Kajaten bisa menghilangkan cermin, dan tinggal kejaten yang ada, yaitu PRIBADI yang bercermin, yang telah menguasai semua jirim dan menganggap Pramana. Dengan Sifat Sajaata itu, tidak akan ragu-ragu tentang Cermin dan semua bayangan yang ada.
oooOOOooo

Keterangan yang yang telah dijelaskan di atas janganlah sampai salah terima lagi : Menganggap bahwa manusia bisa membuktikan kajaten. Anggapan seperti itulah yang menyebabkan berhenti hanya di alam jirjm, karena mengadakan keadaan yang tida sejati,
Tidak satu pun manusia yang bisa menyatakan kajaten. Sesungguhnya yang menyatakan kejaten adalah kejaten itu sendiri.  Hanya pengaruhnya saja yang memperngaruhi Budidaya manusia (Catatan : Yang disebut ikhtiar (usaha – budidaya) itu sejatinya adalah takdir, sebab, adanya ikhtiar bergantung pada takdir, sehingga berjalannya adalah menuju takdir. Yang demikian itu, jika yang dilihat ikhtiarnya, maka takdirnya akan menjadi tidak ada, jika yang dilihat takdirnya, maka ikhtiarnya tidak ada. Manusia harus berikhtiar, namun anggaplah : Takdir itulah yang ada. Atau anggaplah bahwa takdir itu ada, akan tetapi jangan sampai tidak ikhtiar. Orang yang menganggap takdir itu ada, akan tetapi tidak ber-ikhtiar, atau berikhtiar, namun tidak menganggap takdir itu tidak ada, kedua-duanya sama-sama keliru/salah.
Yang disebut manusia itu sebetulnya tidak ada. Yang mempunyai nama si Suta, si Naya, itu pun hanya nama saja. Oleh karena tidak ada, apakah akan bisa bergerak dan berpikir? Sudah pasti yang menyebabkan  gerak dan berpikir adalah yang benar-benar adanya, bukan yang sebenarnya tidak ada.
Untuk bisa memahami Rasa Jati tika telah hilang anggapan bahwa dirinya itu ada, sampai dengan hubungan batin menyatu tanpa di niati.

VII.         PENJELASAN UKURAN YANG KE EMPAT
Edit  : Pujo Prayitno
Di depan telah dijelaskan, Jika Kajaten dibandingkan dengan jiri, sama saja : Jirim dibandingkan dengan bidang, atau bidang dibandingkan dengan garis.
Juga dijelaskan, bahwa Kajaten bisa di isi dengan Jirim yang tak terbilang julahnya, yang saling memasuki bersilangan dalam satu tempat, serta tidak menyebabkan Kajaten menjadi penuh ataupun berdesakan. Tidak berdesakannya hal tersebut seperti tidak berdesakannya Jirim jika diisi oleh bidang yang tak terbilang banyaknya, (Coba diingat : Buku tebal : Itu jirim yang berisi bidang yang sangatlah banyak. Bentuk dari bidang adalah halaman-halamannya. Buku setebal 2 cm, halamannya tidak kurang dari 200 lembar, padah lembarannya masih mempunyai ketebalan, Seandainya ada orang yang bisa membagi-bagi lagi dari lembaran halaman tersebut, sampai dengan setipis mungkin, pasti halaman lembaran buku tersebut tidak akan terhitung.. Itu belum enghitung banyaknya bidang atau  lembaran yang ada di dalam buku yang tegak, yang datar dan juga yang mmenyilang )
Itu semua menggambarka, tentang bab tidak berdesakannya Kahanan Jati ketika di isi jirim yang tidak terbilang jumlahnya, yang saling masuk memasuki dalam satu tempat. Seperti umpamanya jirim dari manusia ketika dirasa menggunakan pikiran, bagaikan hanya berujud badan kasar saja, sebab isi di dalamnya tidak terlihat. Namun sebenarnya ada jisim latif (halus) yang menyatu dalam jisim kasar  tersebut, namun tidak saling bersentuhan. Yang kasar tidak membuat repot yang halus. Yang halus pun tidak membuat t repot yang kasar. Jisim Latif tidak hanya satu, jumlahnya sangatlah banyak, sebab ada yang agak halus, ada yang halus, ada yang sangat halus, ada yang sangat-sangat halus, Selian itu juga yang sama halusnya justru lebih banyak, akan tetapi tidak saling bersentuhan, oleh perbedaan dayanya.
Yang berada di dalam angan-angan, Nafsu, budi, sir, rahsa dan sebagainya. : Itu semua daya dari jisim latif (Manusia hanya mersakan pengaruhnya saja, yaitu dengan cara bisa berfikir, merasa senang susah, nafsu, kasihan, takut, sakit,  punya keinginan, meraba dan sebagainya, namun tidak mengetahui ujud ari jisim atif, jika belum berbadan Bathara).
Itu semua penyebab dari adanya rasa dan perasaan di dalam diri manusia jumlahnya menjadi  tidak terbilang banyaknya. Itu tidak lain pengaruh dari daya jisim-jisim latif yang yang sangat banyak pengaruh dayanya.
Masing-masing jisim mempunyai alam sendiri-sendiri, dan juga masing-masing alamnya tidak saling bersentuhan (Catatan : Alam dunia itu berujud Jirim yang tidak terukur besarnya, yang disebut Awang-uwung atau Cakrawala, Selain alam dunia, ada alam halus yang sangat banyak, satu dan dalinnya berujud jirim yag tanpa batas besarnya, berisi awang-uwung). Alam-alam tersebut antara ssatu dengan lainnya tidak saling bersentuhan, sebab masing-masing alam  berada di Kajaten, bagikan lembaran-lembaran buku menempati di dalam buku, sehingga  bukan alam yang menempati alam. Sedangkan huruf yang berada di tiap halaman buku, itu sebagai ibarat isi dari seluruh alam).
Tidak bersentuhannya jisim-jisim tersebut, seperti halnya tidak bersentuhannya halaman bidang yang berada di jirim. Lebih jelasnya : Jirim-jirim tersebut tidak begandengan, semua hidup sendiri-sendiri di dalam Kajaten, sebab semua mengambangn berada pada tempatnya  sendiri-sendiri di dalam Kajaten, Seperi halnya tiap halaman buku bertempat sendiri-sendiri di dalam sebuah buku, jadi, bukan halaman buku  bertempat di halaman buku.
oooOOOooo

Oleh karena uraian yang telah dijelaskan di atas sangat tinggi, sehingga tidak bisa dirasakan jika hanya menggunakan pkiran saja. Dan tidak bisa hanya diangan-angan atau di kira-kira. Karen bukan yang sebenarnya jika di rasa menggunakan rasa yang bukan rasa jati, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karenan Yang Nyata adanya (Jati) adalah tempat dari berbagai jirim yang tidak terhitung jumlahnya, yang saling tampat menempati dalam satu tempat, dan setiap jirim bisa diukur menggunakan ukuram M3 (meter kubik). Dan ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur luas dari Yang Nyata adanya (kajaten) itu bukan meter kubik (M3). Sebutan ukurannya  : Ukuran yang ke empat (Dimensi ke empat).
Untuk kejelasan ukuran yang ke empat (Dimensi ke empat), sebagai berikut :
1. Meter (M) disebut ukuran panjang, digunakan untuk mengukur panjang garis, disebut satu dimensi.
2. Meter persegi (M2), disebut ukuran lebar, digunakan untuk mengukur lebar dari bidang, disebut dua dimensi.
3. Meter kubik (M3) liter dan sebagainya, digunakan untuk mengukur ukuran isi, disebut 3 dimensi.
Sedangkan Yang Nyata) adanya (kajaten), tidak bisa diukur menggunakan tiga jenis ukuran tersebut, sebab bukan jirim/benda, justru sebagai tempat dari kesemuanya itu. Sehingga yang digunakan untuk mengukur adalah ukuran yang ke empat atau Dimensi keempat. Yaitu ukuran yang digunakan untuk mengukur luar atau pengaruh dari Yang Nyata adanya (Kajaten). Ukuran yang keempat, atau dimensi keempat, jika bisa disamakan maka akan di tulis (M4), Keterangan tambahan :
1. Ukuran di antara depan dan belakang dari yang sedang membaca buku ini disebut : Ukuran garis, disebut Dimensi satu : M1.
2. Ukuran garis dari depan ke belakang di kalikan dengan garis dari samping kiri dan kanan, akan menjadi ukuran bidang, disebut Dimensi dua : M2.
3. Ukuran bidang tersebut dikalikan dengan garis antara atas dan bawah, akan ketemu ukuran jirim, akan ketemu ukuran jirim, Disebut Dimensi tiga : M3.
4. Ukuran jirim tersebut, dikalikan lagi dengan ukuran antara lahir dan batin dari yang sedang membaca buku ini. Akan ketemu ukuran : Maha besar yang nyata adanya (kajaten) dari yang sedang membaca buku ini, Disebut Dimensi ke empat : M4.

ADANYA  ALAM-ALAM DAN MAKHLUK YANG BERMACAM-MACAM

Segala jenis Jirim, baik yang kasar dan yang halus, semuanya adalah CIPTA Tuhan.
Kalimat tersebut, maksudnya : Jika Yang Nyata adanya (kahanan jati) tidak mecipta bumi, langit, bintang, bulan, jin, peri dan sebagainya, semuanya itu tidak akan ada. Jika masih di cipta, maka “masih ada”. Jika sudah tidak dicipta lagi, maka “Tidak ada”. Ruh atau nyawa manusia itu sangat banyak jenisnya, yang menyebabkan adanya rasa dan perasaan, sangat beragam macamnya, kesemuanya hanyalah ciptaan, yang mengambang di atas “Rasa Yang Nyata adanya” (Rasa Jati). Bagaikan mengambangnya warna dari sisi luar jisim, atau seperti gambar yang ada dalam angan-angan, adanya hanya mengambang saja di dalam angan-angan.
TUHAN itu adalah PRIBADINYA ( Adanya = ujudnya = seutuhnya = badannya – Akhadiyah-nya), Keadaan yang berujud ciptaan, itu semua adalah yang mengambang, menurut ukuran TUHAN, kesemuanya itu bukan wujud. Jika semua ciptaan itu di hapus oleh Tuhan, semuanya akan sirna. Menghapusnya, bisa digambarkan : mengadakan gambar dalam angan-angan (Jika seseorang mengingat-ingat suatu benda , umpamanya : bunga, maka di dalam angannya seperti ada gambar bunga, itu yang disebut : gambar dari angan-angan)., atau bagaikan bunglon (Iguana pohon), menghilangkan warna kuning yang ada di jisimnya (badannya) diganti dengan warna hijau atau warna merah.
Oleh karena di dalam diri manusia itu ada banyak ALAM jisim latif yang mempunyai daya kekuatan  dan menempati alam yang berbeda-beda di dalam diri manusia, maka manusia itu bisa masuk ke dalam alam yang bermacam-macam jenisnya. Alam jisim yang paling besar dayanya itu yang lebih berpengaruh, artinya : mempunyai kekuasaan untuk mengajak roh-roh lainnya masuk ke dalam alamnya. (padahal hanya menutupi saja). Yang kecil dayanya itu yang tertutupi atau tidak dianggap adanya. (karena tertutupi). Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut : Jika seseorang yang besar daya kekuatan dalam dirinya adalah nafsu amarahnya, maka akan mudah masuk ke dalam alam nafsu amarah, kemudian akan saling pengaruh mempengaruhi (saling bisa melihat), antar makhluk yang di bawah kekuasaan nafsu amarah. Nafsu atau roh lainnya juga dirasakan daya kekuatannya, namun tidak dianggap jisimnya itu ada. Hanya jisim nafsu amarah yang dianggap ada. Jika manusia yang besar daya kekuatannya adalah pikirannya, maka akan mudah masuk ke dalam alam pikiran, kemudian saling pengaruh mempengaruhi dengan sesama makhluk yang menggunakan daya alam pikiran, sedangkan roh lainnya dirasakan dayanya, namun tidak danggap ada. Hanya alam jisim pikir yang dianggap ada. Jika yang besar daya kekuatannya  adalah alam Budi, itu akan mudah masuk ke alam budi, dan seterusnya.
Oleh karena demikian, maka watak dari makhluk mempunyai anggapan : Hanya satu alam saja yang ada, yaitu alam di badan yang paling besar daya kekuatannya. Sedangkan badan lainnya yang kalah kekuatannya : Tertutup, artinya : Setiap badan yang tidak jelas terleihat dalam setiap harinya tidak dianggap ada wujud dan alamnya (Bagaikan sebuah computer yang di install berbagai macam program, namun program yang sering digunakan adalah hanya program yang di sukai saja oleh pemakainya, sehingga program lainnya seolah tidak ada karena tidak pernah dipakai. Pen,).
Dengan demikian, watak dari makhluk mempunyai anggapan : Hanya satu alam saja yang ada, yaitu alam badan yang paling besar daya kekuatannya. Sedangkan badan lainnya, yang kalah kekuatannya : tetutupi, maksunya adalah : Badan yang tidak terlihat dengan jelas dalam setiap harinya tidak dianggap bahwa tidakada alam dan wujudnya.
Hanya rasanya saja yang dirasakan, namun ujud dari rasa tidak dianggap sebagai tanda bahwa ada jirim-nya. Bagi manusia yang hidup di alam dunia, yang dianggap ada hanya badan wadag saja. Demikian juga tentang keberadaan alam, hanya alam dunia saja yang dianggap ada. Banyak orang yang tidak percaya, jika ada badan halus dan alam halus. Dan juga banyak orang yang salah pemahamannya, dikira bahwa rasa dan perasaan beraneka ragam dan selalu berubah-ubah setiap harinya, itu berasal dari badan kasar, sehingga tidak di rasa bahwa di dalam dirinya ada jisim latif yang bermacam-macam daya pengaruhnya.
Agar mudah diterima penjelasa tentang hal ini : Ibaratkan rasa dari biskuit Roti mari, tidak dianggap bahwa rasa asinnya berasal dari garam, manisnya dari gula, gurihnya dari susu, dan sebagainya, kemudian : Kesemua rasa itu dianggap berasal dari : Biskuit rati mari saja. (Rasa yang ada di dalam biskuit roti mari adalah rasa baru yang berasal dari berbagai macam rasa yang telah menyatu menjadi satu rasa – itu sebagai gambaran dari rasa diri manusia yaitu rasa pancaindra-nya. Sehingga : Rasa diri itu adalah RASA BARU atau hanya jadi-jadian, yang semula tidak ada kemudian menjadi ada, serta akan menjadi tidak ada lagi).
Bahwa sebenarnya tiap- tiap jisim latif hanya mempunyai satu jenis rasa dan daya pengaruhnya, dan tidak akan pernah berubah. Umpamanya : Jisim yang berwatak belas kasih, selamanya akan mengajak pada perbuatan belas kasih. Jisim yang berwatak iri dan dengki, selamanya akan selalu mengajak pada perbuatan iri dan dengki. Jisim yang berwatak jubriyah dan sombong, selamanya akan selalu mengajak pada perbuatan jubriyah dan sombong. Jisim yang berwatak benar dan terang, selamanya akan mengajak pada perbuatan benar dan terang, Jisim yang berwatak cinta dan berbakti kepada Tuhan, selamanya akan berbuat mengajak cinta dan berbakti kepada Tuhan. Jisim mempunyai daya gelap, bodoh, selamanya juga akan mengajak pada perbuatan kegelapan dan kebodohan, selamanya.
Sehingga berubah-ubahnya rasa dan perasaan manusia dalam setiap harinya  adalah disebabkan dari timbul dan tenggelamnya jisim yang bermacam-macam tersebut, karena pengarah daya kekuatan alam dan daya kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Berubah-ubahnya watak manusia juga karena pengaruh dari daya kekuatan jisim yang bermacam-macam tersebut.
Berkurangnya kekuatan jisim yang berwatak rendah akan menjadikan munculnya kekuatan jisim yang berwatak luhur, sehingga akan menghilangkan kesusahan hidup. Atau jika kekuatan jisim yang luhur telah muncuk, maka akan mengurangi daya kekuatan jisim yang berwata rendah, karena terdesak dan akan bergantikan, kemudian akan dinilai : Orangnya semakin baik wataknya.
Jisim yang sering muncul dan sering dipergunakan kekuatannya, semakin lama semakin kuat dan semakin besar dayanya, semakin besar daya kekuatannya semakin bisa menggeser yang lainnya. Sebaliknya : Jisim yang jarang muncul dan jarang dipergunakan daya kekuatannya, semakin lama semakin berkurang kekuatannya. Jika sama sekali tidak pernah dipergunakan, lama-kelamaan akan hilang musnah.
oooOOOooo
Yang telah dijelaskan diatas, adalah keterangan tentang adanya makhluk yang berbeda-beda badannya, berbeda-beda alamnya, serta bertingkat-tingkat martabatanya. Ada yang disebut : Hyang Latawalhujwa, Hyang Nurcahya, Hyang Nur-rasa, Bathara Guru, Bathara Endra, jin, peri, manusia, hewan, gandarwo, brekasakan dan lain sebagainya.
(Saran : Adanya makhluk yang bermacam-macam tersebut, sebaiknya dilupakan saja, jangan dianggap ada, karena bisa menyebabkan salah pengertian, sehingga bisa berakibat salah dalam memahaminya. Dan juga, bagi Kajaten (Yang nyata adanya) itu semua bukan wujud, hanya jadi-jadian saja dan bukan yang sebenarnya ada. Manusia yang baik jalan pikirannya, tidak akan percaya tentang yang tidak nyata )
Sekarang jelaslah : Yang disebut Yang nyata adanya (kahanan jati), adalah adanya diri sendiri yang sebenar-benarnya.
oooOOOooo

Manusia, sebelum mencari kesempurnaan, wajib mencari kebijaksanaan dan kesucian. Caranya : Menghidupkan daya kekuatan budi, serta mematikan daya kekuatan nafsu jahat. ( Ingat : Hidup itu sering dipergunakan, lemah itu jarang dipergugnakan, mati itu tidak pernah dipergunakan dayanya), Setiap ada kehendak yang muncul, harus diperhatikan dengan cara dirasakan : Apa berasal dari kekuatan budi, apa dari kekuatan nafsu. Jika berasal dari kekuatan nafsu, bantahlah sendiri. Jika berasal dari kekuatan budi, walaupun badan lainnya malas, harus dipaksa. Jika bisa demikian, Budi-lah yang besar daya kekuatannya.
Di dalam angan untuk dibiasakan mengikuti petunjuk Budi agar bisa mengerem nafsu, jangan sampai kalah oleh nafsu.


27 uraian pedoman
1.     Penerjemah : Pujo Prayitno

1.
Tidak ada apa-apa kecuali hanya “dhewek” (Pribadi) beserta “Rasa” (Rasa itu.. tanpa batas jumlah dan jenisnya, sedangkan (Dhewek” : Hanya “Yang Satu” Kekal). Itu maksud dari lafal “ La ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah”.
2.
Jika orang yang bernama Dhadhap di sentuh, maka hanya Dhadhap sendiri merasakan, Si Waru dan si Suta tidak akan ikut merasakan. Namun hal demikian jangan dianggap ada pribadi dua atau tiga. Sebagai gambaran : Ada seseorang yang disentuh jari kakinya, maka hanya jari kakainya saja yang terasa, sedangkan bagian badan lainnya tidak ikut merasakan. Jika yang di sentuh itu matanya, maka hanya matanya yang terasa, dan seterusnya.  Oleh karena si Dhadhap mempunyai rasa yang banyak yang ada di dalam dirinya, apakah kemudian di sebut bahwa si Dhadhap itu banyak. Kan tidak. Yang seperti itu jadikan contoh makna dari pedoman No.1 di atas.
3.
Si Suta bukan si Naya, Si Naya bukan si Krama. Rasa si Suta bukan rasanya si Naya, Rasanya si Naya bukan Rasanya si Krama. Ringkasnya : Sendiri-sendiri, karena rasa satu dengan satunya pisah sendiri-sendiri. Namun : Walau rasa itu terpisah-pisah, semuanya adalah rasanya sendiri (Pribadi – aku). Dasar pribadi itu menurut rasanya Suta, menurut rasanya Naya, menurut rasanya Krama. Ibaratnya : Orang satu mempunyai rasa di kepala, rasa di tangan, rasa di lidah dan seterusnya. (Rasakan yang teliti).
4.
Manusia itu menyatu dengan Yang nyata adanya (kahanan jati), di Pribadinya sendiri. Hanya rasa dan perasaannya saja yang saling terpisah. Sehingga : menyatu dengan yang menguasai, namun yang dikuasai saling terpisah-pisah. Oleh karena yang dikuasai sebenarnya tidak ada, sehingga jika yang di perhatikan hanya yang menguasai, maka diri akan hilang. Hanya yang menguasai yang ada. Jika yang diperhatikan adalah dirinya, maka yang menguasai akan hilang, sehingga jelaslah bahwa, itulah yang disebut tipuan.
5.
Yang disebut dengan kata (Dalam Bahasa Jawa)  Ingsun, Pribadi, Dhewek atau AKU, adalah yang menguasai semua rasa dan perasaan, itulah yang disebut Dzat Wajibul Wujud, yaitu yang tidak ber-arah dan tidak ber-tempat, adalah Yang Lembut tidak bisa diambil, namun Kebesarannya memenuhi dunia. Adalah yang tidak bisa dibayangkan, adalah Yang Kekal Yang Awal dan Yang Akhir. Adalah Yang Kebesarannya tidak terukur, huruf hanya mampu mengatakan dengan Ukuran Yang Ke empat (hanya untuk menggambarkan saja), adalah yang disebut “Yang Nyata adanya” (KAHANAN JATI); adalah Yang Tanpa Warna, Tanpa Rupa namun semua warna dan rupa berasal darinya, adalah yang paling di cintai oleh semua makhluk, adalah yang Yang Tidak Ada banding-Nya, tidak ada Yang Menyekutukannya, adalah yang dibahasakan dalam bahasa Jawa “Kombang Mangajabing Tawang Sepi, adalah Yang Menjaga Jiwa, adalah yang disebut Jati Ning Rat, Adalah Yang bersinggasana pada Inti Kalbu, Yang Menguasai batin semua makhluk, adalah Tuhan Seluruh Alam, Adalah Pusat Kiblat, adalah Yang tidak berada di luar atau pun di dalam, adalah Yang memiliki sifat dua puluh, Adalah pemberi Daya Hidup setiap Ruh yang ada di badan.
Oleh karena itu, jangan dianggap remeh dan menyepelekan apa yang disebut dengan kata Ingsun, Aku, Dhewek. Jangan sampai salah menyebut “Pribadi”  disamakan dengan menyebut “Diri”.
6.
Jika ada pertanyaan : Pribadi itu berujud atau tidak. Jawablah begini : “Semuanya tidak ada wujud” Hanya “Pribadi” yang wujud.
7.
Bagi yang belum paham, akan mengira bahwa yang disebut dengan kata “Aku” adalah berujud Jirim (manusia), dan se dunia hanya ada satu, yaitu orang yang mengira seperti itu (Seperti yang sedang membaca buku ini). Sedangkan orang lain, walaupun mereka menyebut dirinya dengan kata “Aku”, dan mereka masing-masing mempunyai rasa dan perasaan sendiri-sendiri, namun semuanya tidak dianggap sebagai Pribadi (Aku). Bahkan menganggap bahwa Tuhan Allah di anggap bukan pribadi.

Bagi yang belum paham juga akan mengira bahwa bahwa Yang Nyata adanya (Kahanan Jati), adalah Bumi, langit, matahari, bulan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya yang ada di dunia ini. Soal Mati, lebur atau berubah : Hanya dianggap sudah semestinya hal itu terjadi, tidak akan tumbuh kesadaran bahwa segala yang ada di dunia ini adalah bukan Yang Nyata Adanya (Kahanan jati). Walaupun dijelaskan bahwa Tuhan itu yang tetap Kekal serta yang menciptakan segalanya termasuk dunia seisinya, akan tetapi yang dipahaminya tetap menganggap bahwa Tuhan itu adalah Jirim yang berteempat, serta ujudnya nyata seperti manusia, hanya saja di dunia ini tidak ada yang menyamai  ke Maha Sucian-Nya. ANGGAPAN YANG SEPERTI ITU lebih baik diganti.!!!!!.
8.
Siapapun yang menginginkan derajat Waskita atau kelebihan, akan tetapi di dalam batinnya merasa bangga atas kelebihan dirinya, karena mempunyai kemampuan lebih / waskita, walaupun itu benar adanya, itu tetap masih berada pada keleibihan “Diri”, karena telah kehilangan “Dirinya”, yang disebabkan masih terbawa oleh perasaan “Diri’nya. Hal demikian karena hanya terpusat memperhatikan dirinya sendiri, bukan terpusat pada adanya “PRIBADI”. Ketika sudah bisa memahami ke-Mahakuasa-an “Pribadi”, tidak akan menganggap diri, sebab Pribadi sesungguhnya adalah yang menguasai semu Diri, dan tidak pilih kasih, karena tanpa pertimbangan, yang menguasai semua diri. Jika sudah tidak mengaku sebagai siapa-siapa,  atau tidak bisa menguasai semua diri karena merasa bukan siapa-siapa, sudah pasti akan hilang  rasa bangga diri atau kesadaran adanya diri dengan sendirinya. (Pribadi Yang Tetap ada ).
9.
Semua makhluk sebenarnya dalam rasa dan perasaannya meng-Agung-kan “Pribadi”. Dan Pribadilah yang paling dicintainya, paling disayanginya, dan yang paling di bela. Akan tetapi karena makhluk ada yang tidak memahami tentang Pribadi, akhirnya salah dalam anngapannya, yaitu : “Diri” dikira “Pribadi” (Yang dianggap sebagai Pribadi adalah dirinya sendiri). Terjadi hal demikian karena untuk membedakan “Diri” dan “Pribadi” itu memang teramat sangat sulit.
10,
Aku ada  di dalam badanku; itu salah, yang benar : Badanku ada di dalam Aku.
Aku berada di surga atau neraka; itu salah, yang benar : Surga dan Neraka ada di dalam Aku.
Aku berada di dunia yang berlapir tujuh, itu salah, yang benar : Dunia lapis tujuh ada di Aku.
11.
Yang disebut “Aku” itu bukan badan, bukan rasa, bukan angan-angan, bukan budi,bukan nyawa. Badan, Rasa, angan-angan, budi, nyawa itu semua adalah “Jirim”, Yang dikuasai oleh “Aku”. Sedang “Aku” adalah bingkainya.
Oleh karena rasa dan perasaan manusia tidak bisa untuk membuktikan bingkai tersebut, maka kewajiban dari semua nyawa adalah hanya Tunduk, menyatu uuntuk menuju inti Kalbu. Semua rasa dan perasaan harus bersatu di Pusat Batin, hanya itulah kewajiban Nyawa.
Ketika nyawa sedang berjalan dari lahir menuju batin, tidak lain : Rasa yang menyebar semakin hilang, semakin sentausa, semakin berkurang. Maksudnya : Semakin menjauhi Tata lahir dan semakin mendekati batin. Untuk bisa menjadi kuat, tidak lain jika sering di terapkan kekuatannya, diarahkan dari lahir menuju batin (Samadhi, Tafakur – khalwat).
Berjalannya nyawa dari lahir menuju batin, jika dilakukan dengan tekun, semakin lama akan semakin mudah,  tidak sulit, sebab tertolong oleh kekuatan dari Yang Nyata adanya (Kajatan), (Didorong oleh Pribadi), Pada akhirnya : Nyawa ama sekali  tidak mempergunakan dayanya, hanya daya Yang Nyata adanya (kajaten) yang bergerak. Itu yang disebut : “CENGENG”
12.
Ketika rasa dan perasaan belum bening, maka dan dan perasaan lah yang dikira “Pribadi” oleh rasa dan perasaan diri. Artinya : Si rasa perasaan akan mengaku sebagai yang ada agar diangap sebagai : “AKU. Dan ternyata memang, rasa dan perasaan manusia tidak bisa dipergunakan untuk bisa mengetahui  yang menguasainya. Ketika digunakan untuk merasakan justru akan menghalangi dan menutupi. Oleh karena seperti adanya, agar manusia bisa mengetahui yang Maha Kuasa, tidak ada lagi jika sudah bisa tidak merasa, yaitu : Rasa dan perasaannya kembali kepada yang menciptakan rasa (Pribadi) atau Rasa Yang Nyata adanya / Rasa kang sejati. Jika daya kekuatan rasa dan perasaan sudah tidak ada yang menutupi, maka hanya Pribadi yang ada, di situlah batu bisa mengetahui dan mengerati tentang (Dheweke –Aku – Ingsun – Pribadi), adalah yang mempunyai rasa perasaan, bukan rasa dan perasaan yang dimiliki.
13.
Si Suta sedang menuju pada inti batinya sendiri, itu sesungguhnya: Si Suta sedang menuju kepada Inti batin dari seluruh manusia se dunia, sebab Inti batin si Suta adalah juga Inti Batin semua makhluk. Akan tetapi setelah sampai di dinti batin, si Suta sudah tidak ada lagi, tergantikan oleh Pribadi, yang ketika sedang menguasai batin semua makhluk. ( Kata : “Sedang”  dalam bahasa Kajaten (Yang Sejati), Tidak awal dan tidak ada akhir).
14.
Tidak ada nyawa yang berdiri sendiri. Pasti bergantung kepada Kajaten (Yang Nyata Adanya). Kajaten tanpa nyawa juga tidak bisa, kedua-duanya saling menetapkan.
Barang yang adanya tergantung pada yang lain, disebut Negatif, Seperti : Hijau adalah negatif dari daun, Daun negatifnya Hijau, Kuning atau merah. Demikian juga : Kajaten itu negatifnya nyawa, Nyawa negatifnya kajaten, Si Suta negatifnya kajaten. Kajaten negatifnya si Suta.
Si Suta butuh Kajaten, sebab adanya si Suta berasal dari Kajaten. Sedangkan Kajaten, walaupun tidak membutuhkan si Suta, akan tetapi membutuhkan nyawa dari selain si Suta, sebagai negatifnya. Menguasai pasti membutuhkan yang dikuasai, seperti halnya daun yang membutuhkan salah satu dari : Warna Hijau, merah, kuning, atau pun pith.
Oleh karena Kajaten adalah yang menguasai seluruh nyawa, maka manusia tidak usah mengingat-ungat untuk bisa menguasai alam, Menurutlah apa kehendak dari Pribadi saja. Kadang juga perjalanan nyawa sampai kepada inti batin, jika demikian maka sudah pasti bisa menguasai seluruh nyawa, karena negatif.
15.
Penyebab si Suta tidak bisa mengetahui Kajjaten sebab, si Suta terhalang oleh penglihatan sendiri, Si Suta  tidak bisa menghayati dan merasakan, disebabkan juga karena terhalang oleh angan-angannya sendiri. Dan si Suta terhalang oleh rasanya sendiri juga terhalang oleh perasaaannya sendiri atau juga terhalang oleh Pancaindranya sendiri. Itulah penyebabnya, walau pun si Suta itu ada tapi tidak bisa mengetahuinya. (Yang tidak mengetahui itu rasa orangnya). Untuk bisa mengetahui adalah dengan jalan apabila rasa di dalam si Suta sudah tidak ada. : Sampai dengan tidak ada bekasnya rasa. Dan yang bisa mengetahui adalah bukan si Suta, akan tetapi : “Jatinya”.
Walau pun bukan si Suta atau pun tetangganya, namun tetap Dheweke (Pribadi). Hanya saja  bedanya adalah yang tadinya “Menjadi Suta” kemudian tidak lagi menjadi Suta. (Berhenti menjadi Suta). Terjadi hal yang demikian, sebab yang bernama si Suta ternyata memang tidak ada,yang sebenarnya ada hanyalah “Dheweke/Pribadi, Ingsun”. Dialah yang Tunggal , ujud segala rasa, Juga sebagai segala keadaan yang ada  di dunia.
16.
 Pada saat angan-anganmu sedang sedang tenang, dan nafsumu sedang tenang juga, dun juga pkiranmu sedang tidak memikirkan banyak hal, hanya sedang tertuju pada yang satu yang paling mulia, itulah pikiran yang sedang menuju ke arah kajaten, sampai di situ kumu sudah dekat untuk sampai ke Budimu, dan jika telah sampai di tingkat itu, maka angan-anganmu akan terang dan bening.
17.
Beda antara dunia dan akhirat adalah : bukan sekarang dengan yang akan datang, akan tetapi hanya lahir dan batin. Dalam tata lahir ada di alam dunia, dalam tata batin ada di alam akherat. Sehingga : Sekarang juga aku ada di Akhirat, sedangkan yang sedang berada di alam dunia adalah rasa dan perasaan yang dikuasai oleh “AKU”. Ujud dari rasa yang terkuasai, seperti : Pikiran, senang dan susahnya hati, terang gelapnya penglihatan, Bisa melihatnya mata terhadap segala yang ada di dunia, terdengarnya suara oleh telinga, Manis pahitnya rasa di lidah, halus dan kasarnya rasa di telapak tangan, Sehat dan sakitnya badan, dan sebagainya. Itu semua bukan Rasa Jati. Hanya bayangan dari Rasa yang sejati.
18.
Untuk bisa sampai ke Yang Nyata adanya (Kasunyatan), tidak bisa dengan mengandalkan Guru ilmu batin atau pun Kitab. Yang paling penting adalah “Menyiksa diri”, Mengetrap kan anggapan, dan sucinya hati. Namun, tanpa guru, tidak akan bisa.
19.
Semakin tipisnya hawa nafsu disertai dengan ketebalan kepercayaan terhadap tidak adanya apa-apa kecuali hanya Tuhanlah Yang Ada, itu : Akan menjauhkan dari segala bencana, dan mendekatkan pada keselamatan, untuk saat sekarang atau pun di masa yang akan datang.
20.
Surga itu adalah buatan hati, Neraka pun buatan hati. Oleh karena itu yang terpenting dari segala yang terpenting adalah mennyucikan hati.
21.
1.  Tidak ada kejadian apapun yang bukan kehendak Tuhan. Meskipun tidak ada satupun kejadian yang tanpa sebab. Karena sesungguhnya sebab dan akibat dari sebab : Ke dua-duanya adalah kehendak Tuhan.
2. Tidak ada kejadian pun yang tanpa sebab. Walaupun sebab tersebut sebetulnya tidak memberi bekas apapun. Karena sesunggunya ketika Tuhan menciptakan segala kejadian adanya akan selalu di dampingi oleh sebab. (Tuhan itu ucapan manusia untuk menyebut Sejatinya. Itu kata Kajaten yang diucapkan menggunakan mulut manusia).
22.
Tidak perlu terlalu berat mencintai ciptaan (Dunia), cintailah Sang Pencipta. Namun jangan benci kepada ciptaan, sebab di situ : Ada Sang Pencipta.
23.
Allah sangatlah dekat. Dan segala sesuatu yang paling dekat pun masih kalah dekat. Dibanding nyawapun masih kalah dekat. Akan tetapi banyak manusia yang mengira jauh. : Hal demikian pun tidak salah. Sebab, yang disebut jauh dan dekat hanya ada dalam perkiraan. Jelasnya, sebagai berikut :
Jauh dan dekat, keduanya saya ibaratkan benda. Benda itu pasti bertempat. Bertempat di perkiraan. Perkiraan pun bertempat.  Bertempat di yang mempunyai perkiraan. Tidak ada lagi yang menguasai segala perkiraan, hanyalah Allah semata.
24.
1. Si Suta sekarang ada, dulu tidak ada, Walaupun demikian, Adanya si Suta dari tidak ada. Kalimat demikian juga benar, namun maksud dari kalimat adanya dari tidak ada : Tidak mudah. Adalah hal yang aneh, jika sesuatu bergantung kepada yang hampa. Hampa itu hanya bisa sepi, tanpa rasa. Dan tidak akan bisa Suta keluar dari dalam sepi.
2. Si Suta sekarang ada, dahulu juga sudah ada, namun belum lahir ke dunia. Sehingga  adanya si Suta adalah dari ada. Kalimat demikian juga benar, namun maksud dari kalimat Adanya dari Ada, tidak mudah, sebab kalaimat belum ada sudah ada, itu tanpa makna (Sesuatu yang timbal balik tidak bisa bersatu). Lain dari hal itu, bahwa yang mempunyai nama si Suta adalah setelah dia lahir. Sebelum lahirnya si Suta, tidak ada yang ditetapkan dengan nama si Suta. Dan juga bahwa si Suta adala ciptaan yang berubah-ubah, mirip dengan sebuah ombak atau pun awan. Oleh karena adanya si Suta tidak selalu tetap. Sedangkan sebelum dia lahir diberi nama si Suta, itu seperti si Suta ketika berumur berapa tahun, apa seperti Sita ketika masih anak-anak, apa seperti Suta ketika bayi, apa seperti Suta ketika sudah tua.
Hal demikian agar lebih jelasnya, sebagai berikut :
Sebelum si Suta ada, Yang ada adalah “Jati”-Nya atau “Pribadi’-nya, sama halnya Jati dari SI Dadap, ringkasnya : Jati dari semua ciptaan.
Walau pun Pribadi tersebut tidak di jelas-jelaskan : Sesuatu yang satu, tunggal atau utuh, jika dirasakan dengan teliti, akan nampaklah jika : Hanya Yang Satu atau Tunggal. Dan jika di rasakan : Tidak harus disebut Satu. Kata “Satu” itu adalah kata seseorang yang dibantah sendiri karena pikirannya sedang bingung. Sama halnya ketika seseorang menyatakan bahwa malam itu tidak bersamaan dengan siang.
Maksud dari kata “Pribadi” juga sudah mengandung makna “Yang Hanya Satu”, sehingga di sebut Pribadi, sebab tanpa ada perbandingan. Seandainya masih ada yang untuk perbandingan, tidak akan disebut Pribadi, sebab tidak pribadi.
25.
Jika di rasa menggunakan rasa yang sesungguhnya, Asal muasal dari segala kesalahan, dan juga segala pintu yang mengarah kepada penasaran, sesungguhnya dan tidak lain karena disebabkan oleh manusia-nya yang tidak bisa merasakan beda antara “DHIRI” Dengan “PRIBADI”, sehingga “Dhiri” dianggap sebagai “Pribadi”. Dan juga sebaliknya, bahwa asal muasal dari Yang Utama atau pintu yang mengarah kepada yang Terang, adalah disebabkan manusia yang telah bisa merasakan perbedaan antara “Diri” dan “Pribadi”.
Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut : Semula berasal dari Pedoman Kodrat ; Bahwa, segala sesuatu yang hidup, sangat mencintai Pribadinya, besar cintanya tidak ada bandingannya, tidak ada Cinta yang besarnya bisa melebihi cinta ke pada Pribadinya. Jika dilihat dengan dasar Kodrat, hal demikian itu memang benar, sebab sesungguhnya “Tidak ada apa-apa” hanya Pribadi Yang Ada.
Namun .... .. karena yang dianggap “Pribadi” adalah “Diri”, yaitu Jirim (kasar dan halus), akhirnya Cinta yang besarnya tidak terukur tersebut jatuh kepada “Diri”. Sehingga dirilah yang sangat di agung-agungkan.
Dan sikap  Cintanya atau mengagung diri tersebut, seperti berikut :
Diumpamakan seseorang yang tidak mau mengalah satu kata pendapat, satu langkah tindakan, atau dibela sampai mati kesalahan diri yang sudah jelas, sampai dengan dibela sekuat budi dan membolak-balik nalar, agar dirinya tidak terlihat buruk atau kesalahannya. Itu jika ditelusuri  rahasianya, bahwa yang demikian kemudian akan ditemukan, bahwa pangkal dari besarnya cinta yang demikian adalah Cinta Kepada “Pribadi”. Terjad hal yang demikian hanya disebabkan karena kesalahan saja. Yaitu : Diri dirasa sebagai Pribadi, atau Jirim dianggap Yang Nyata Adanya (Kahanan Jahti).
Jika saja bisa memisah antara Diri dan Pribadi, pasti akan terjadi yang sebaliknya. Artinya, justru akan menghukum dan membantah nafsu dirinya yang mengajak kepada hal seperti tersebut. Sebab tindakana yang demikian sama saja membuat kegelapan dirinya sehingga berakibat semakin tertutup untuk bisa mengenal “Pribadinya”.
Yang menyebabkan manusia ketempatan watak Ego, jahil, dengki, Sombong, mengaku pinter dan sebagainya : Semua itu tumbuh dari rasa hati yang mengajak kepada Mengagungkan diri. Dirinya agar terlihat lebih segalanya dibanding diri lainnya. Tidak saja pemikiran orang lain yang di suruh berpikir seperti itu, bahkan pikirannya sendiri di ajak oleh hawa nafsunya supaya menganggap paling baik , luhur dan benar tentang dirinya. Pikirannya sendiri pun menurut, sehinga tidak sadar bahwa sikap yang demikian itu adalah salah atau jelek, dan juga bisa berakibat tidak percaya bahwa sebagai penyebab kegelapan diri yang disebabkan oleh sikap yang demikian.
Manusia yang mengalami hal demikian disebabkan karena : Sangat mencintai dirinya sendiri. Penyebab cinta diri seperti itu awal mulanya berasal ari Cinta kepada Pribadi. Akhirnya beralih cinta kepada diri disebabkan  karena salah anggapan. Penyebab salah anggapan seperti, karena membedakan diri dengan Pribadi amatlah sulit dan tidak bisa dijelaskan dengan rangkaian huruf yang berupa kata-kata.
Orang yang Jubriya, kibir, bid’ah, sombong, dan sebagainya : semuanya tumbuh dari : Angan-angan yang mengajak untuk meluhurkan diri. Pemikiran ayng demikian disebut Percaya atau menganggap, bahwa dirinya itu : Kuasa, Baik, luhur dan benar.
Oleh karena semakin cintanya kepada diri, maka semakin hilang Pribadinya (Bagaikan hilangnya jirim karena bidang), sehingga Syari’at Agama sangat melarang orang yang Jubriya, kibir, bid’ah, sombong, dan sejenisnya. Adanya larangan tersebut dikarenakan Sayang Tuhan dan penjagaan Tuhan terhadap manusia, jangan sampai manusisa salah anggapan, sehingga tidak mengetahui Pribadinya. Itu bukan karena Guru yang tidak menyukai watak yang demikian, dan bukan karena kesiku (hukuman Tuhan di dunia). Kata kesiku (hukuman Tuhan di dunia) arti sebenarnya ; Terjerat atau tersesat dikarenakan tindakannya sendiri.
Kata : Jubriyah dan sebagainya, Bahasa jawanya : Kumingsun (punya anggapan dirinya seperti Tuhan), Karena bukan Ingsun, sehingga di Ingsun-ingsun-kan, sehingga menghilangkan Ingsun yang asli, dan mengadakan jirim, Yang bnar : Menghilangkan Jirim, hanya Ingsun yang ada.
Watak yang tumbuh karena sangat cinta diri, itulah yang melupakan Pribadi, Jika di gelar banyak sekali gambarannya. Seperti : Manusia yang gila hormat, Sombong, itu karena menganggap diri satu.
Yang lainnya ada manusia yang mempunyai watak malas berbuat kebajikan, itu awalnya karena salah anggapan, Dirinya dianggap sebagai Pribadinya.
Yang lainnya ada manusia yang mempunyai watak Iri, dengki, panas hati, itu tidak lain disebabkan sangat membela kepentingan diri.
Ada orang yang suka menyalahkan orang yang sedang salah serta suka menyanjung orang yang sedang beruntung, itu juga berasal dari rasa hati yang mengajak untuk menonjolan diri.
Ada orang yang malas mendapat pertolongan atau nasihat dari orang lain, dan suka mengaku telah memberikan bantuan atau nasihat kepada orang lain. Itu juga disebabkan oleh nafsu yag mengajak kepada mengagungkan dirinya.
Ada orang yang sangat bernafsu tentang segala hal : Itu juga karena sangat membela dirinya.
Ada orang yang malas mengakui kebaikan yang ada pada diri orang lain, serta sukanya mengaku dirinya yang terbaik, itu juga disebabkan karena sangat cinta diri, dan karena tidak mengetahui “Pribadi”. Dan lain-lainnya. Semua watak jelek, tidak lain disebabkan karena  “Tidak mengetahui Pribadinya”.
Semakin manusia itu bisa memilah-milah antara diri dan Pribadi, akan semakin berkurang watak yang mengajak untuk meluhurkan dirinya sendiri, karena yang di akui adalah Sejatinya dari semua diri yang ada. Anggapan bahwa Pribadi yang ada, sangatlah besar dayanya, karena mampu menghapus watak yang jelek, dan akan tergantikan oleh watak sabar, cinta kasih, ikhlas, tenteram yang pada akhirnya akan menjadikan Budi menjadi bersih. Sebelum berbadan Bathara sudah bisa merasakan Rakhmat, merasakan rasa yang mulia, nikmat dan manfaat melebihi orang yang kaya dan yang luhur.
Manusia, pada saat bekerja atau istirahat dari kerja, pada waktu siang dan malam, jangan sampai terputus “Eling” ingat bahwa Pribadi yang ada. Dhiri yang bersifat Pribadi.
Itulah mana dari Lafal : “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah”
26.
Menerangkan, waktunya menggunakan dan membuang alat. ( A sampai F).

CONTOH A : Orang yang pandai menggunakan Egrang  atau bersepeda, itu bukan hanya orang yang kuat. Walaupun orang yang kurus dan lemah, jika sudah ahli, kepandainya melebihi orang gemuk dan kuat.
Demikian juga, pada saat sedang belajar keahlian, awalnya juga membutuhkan kekuatan. Kekuatan berguna untuk menolong cnggungnya. Jika telah hilang rasa canggungnya, kekuatan tidak dipergunakan lagi. Yang dipakai hanyalah : Keahliannya.
Maksudnya : Kekuatan adalah alat yang harus diupayakan dan dipergunakan ketika seseorang sedang belajar menggunakan egrang (naik tongkat), ketika belum ahli. Setelah mendapatkan keahlian (hasil dari rasa karena selalu memperhatikan), kemudian akan mengurangi penggunaan kekuatannya, karena sudah berganti alat yang bernama keahlian. Pada akhirnya kekuatan bagaikan tidak berguna lagi, karena telah tergantikan oleh keahlian.
Dari hasil pengalaman yang demikian, akhirnya kita mempunyai patokan : Alat itu harus diupayakan ketika belum punya, dan dipergunakan ketika masih diperlukan, akan tetai harus ditinggal ketika kita sudah tidak membutuhkannya lagi. Sehingga salah jika kita malas mencari sebelum mempunyai, atau malas mempergunakan ketika masih memerlukan, Namun sangatlah keliru ketika terus-terusan mempergunakan alat saja.

CONTOH B : Anak kecil yang belum mengetahui dan belum merasakan manfaat mandi dan manfaat belajar, tentunya tidak akan mau mandi atau pun belajar. Bagi anak yang demikian perlu di sanjung atau diberi hadiah ketika mau mandi dan belajar, terkadang juga perlu diberi hukuman atau dimarahi ketika tidak mau mandi dan belajar. Pengaruh sanjungan dan hadiah menumbuhkan keinginan dan kehendak untuk mandi dan belajar. Pengaruh hukuman dan dimarahi akan menumbuhkan rasa takut dan malu.
Rasa ingin, rasa takut, rasa malu, adalah alat yang menumbuhkan kehendak dan menolak rasa malas. Dari kehendak akhirnya akan menjalankan. Dari seringnya menjalankan secara rutin akan menghasilan keahlian dan menghasilkan rasa manfaat dari mandi dan belajar. Setelah paham dan telah bisa merasakan sendiri manfaatnya sehingga sudah tidak diperlukan lagi alat yang berupa sanjungan, hadiah, hukuman dan dimarahi, karena sudah berganti dengan rasa dan pemahaman.

CONTOH C : Orang baik itu, bukan hanya orang yang suka terhadap perbuatan baik dan benci terhadap perbuatan jahat. Walaupun tidak melakukan perbuatan baik serta tidak membenci perbuatan jahat, jika dasar wataknya baik, itu akan lebih baik dibanding dengan yang suka perbuatan baik dan benci perbuatan jahat. Demikian juga ketika sedang berusaha berkelakuan baik (karena belum baik), juga harus senang kepada perbuatan baik, juga harus membenci perbuatan jahat. Manfaat dari rasa suka dan benci terhadap perbuatan baik dan buruk  adalah untuk menjauhkan diri dari perbuatan jahat dan mendekatkan kepada perbuatan baik, jika sudah mendapatkan yang baik, maka sudah tidak membutuhkan lagi alat yang berupa rasa suka dan rasa benci, sebab yang bermanfaat  adalah : Baiknya, bukan rasa suka dan bencinya, justru rasa suka dan benci : sebagai pengganggu, karena yang namanya rasa benci dan suka adalah berasal dari dorongan nafsu.
(Mempergunakan alat ketika masih diperlukan, itu bisa diibaratkan : Menaiki kendaraan ketikan belum sampai ke tempat tujuan. Begitu juga sebaliknya: meninggalkan kendaraannya di tempat parkir ketika sudah tidak dipergunakan lagi, karena telah samapi di tujuan).

CONTOH D : Manusia utama itu bukan yang malu ketika diriinya diremehkan dan senang ketika di puja. Walau pun jika manusia itu tidak suka di puja dan tidak malu ketika diremehkan, jika dasar dirinya sudah mengerti dan Eling (sadar) (Sudah sadar kepada Sejatinya, dan sudah tidak menganggap kepada dirinya) itu manfaatnya melebihi yang senang di agungkan dan malu jika diremehkan. Itu semua usaha Budi agar bisa sampai kepada Terang dan ingat : Pada awalnya menginginkan untuk di sanjung dan malu jika di cela. Kegunaan dari alar tersebut adalah untuk membangkitkan nafsu yang mengajak kepada keutamaan, serta menghlangi nafsu yang mengajak kepada kenistaan, dan jika sudah sampai kepada keutamaan, dan meninggalkan perbuatan nista, karena sudah terang budinya, maka tidak akan mengharapkan lagi sanjungan dan tidak malu jika di cela oleh siapapun juga. (Ini yang bernama mengundurkan diri, menghadap kepada Pribadi / telah hilang sifat ego diri). Karena nafsu yang mengajak kepada perbuatan nista telah musnah, tergantikan oleh Rasa Tunggal, yaitu menyatunya Budi dengan kesadaran diri (Eling). Setelah menghilangkan nafsu yang mengajak kepada perbuatan nista kemudian berusaha untuk menghilangka nafsu yang mengharapkan sanjungan dan nafsu malu jika di cela. Sebab itu juga penghalang kabgi Kajaten.
(Tidak mau mempergunakan alat selagi masih memerlukannya, itu salah; dan juga masih salah jika sudah seharusnya meninggalkan alat tapi masih mempertahan alat tersebut dan terus dipergunakan karena merasa diri yang memiliki alat tersebut).
Shingga mengharapkan sanjungan dan malu jika di cela, harus dihilangkan, sebab itu juga termasuk nafsu yang akan menyesatkan angan-angan. Jelasnya : Cara menyesatkan yang dilakukan nafsu tersebut : Angan-angan yang mengajak mengaku sebagai diri yang sejati (rasa ego diri).
Siapapun yang mempertahan ego diri, akan kehilangan Pribadinya, dan lupa bahwa sesungguhnya Jati yang ada. Oleh sebab itu, yang harus diikuti : “Budi, sebab itu sebagai petunjuk jalan : mengarahkan kepada kebenaran, seperti. Menunjukan jalan bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa, hanya Pribadi yang Tunggal yang ada. Dan juga yang memberi tahu bahwa yang di sanjung dan di cela itu hanya bayang-bayang saja di dalam Pramana (Cirmin diri), yang sebentar lagi akan sirna. Sedangkan yang sanjungan atau pun celaan itu adalah rasa yang tidak sejati (maya) yang mengambang di dalam Pribadi Yang Tunggal. Ringkasnya : Yang menyanjung dan yang disanjung keduanya adalah tipuan, sebenarnya tanpa makna.
Sekarang jelaslah bahwa rasa hati yang senang kepada sanjungan dan malu ketika di cela, itu hanya alat yang dipergunakan dalam waktu singkat saja. Ketika akan masuk ke Kajaten, alat tersebut harus dibuang (Naik kendaraan, jika telah sampai tujuan harus turun dari kendaraan).

CONTOH E : Ketengan Samadi, Tapa, Tafakur; itu tidak harus berapa di tempat yang sunyi sepi, walaupun berada di tempat yang ramai jika sudah ahli memusatkan pikiran, akan bisa melebihi dari yang berada di tempat yang sepi. Namun juga dalam menempuhnya, harus berada di tempat yang sepi. Manfaat tempat yang sepi untuk melancarkan agar tidak mudah terperanjat dan pikiran yang bukan-bukan. Jika telah terlatih, temapt kesepian sudah tidak diperlukan, yang diperlukan adalah : Ahlinya.

CONTOH F : Manusia sempurna itu bukan hanya orang memilih perbuatan baik, menolak perbuatan maksiat, walaupun menjalankan perbuatan maksiat dan berkumpul dengan orang yang berbuat jahat, jika hatinya benar-benar suci; maka sucinya melebihi orang yang semuci suci. Begitupun, ketika sedang mencari kesucian, harus memilih perbuatan baik, yang bergaul dengan orang jahat, juga harus tidak mengerjakan perbuatan jahat. Manfaat dari memiih yang baik, dan menjauhi perbuatan tercela adalah untuk melancarkan atau menghilangkan Gelapnya Budi karena belum suci, belum berpisah dengan sifat jahat (agar tidak mudah terpelseset). Jika sudah terang budi hawanya serta telah berpisah dengan kejahatan, sudah tidak perlu menolak dan memilih, yang terpenting : Usahanya dan berpisahnya dengan sifat jahat.

27.
Pennyebab kesalahan angapan, yaitu :
Ada yang berada pada diri; dan ada yang berada pada Pribadi :
Jika berada dalam diri, akan menyatu dengan angan-anan, menimbulkan sifat mengagungkan diri (Kumingsun). Jika ada pada Pribadi, menyatu dengan Rasa Tunggal, menjadikan “TEKAD”.
oooOOOooo
Manusia yang sedang mencari Yang Nyata Adanya (Kajaten), wajib, agar selamat : Harus percaya atas kekuasaan yang berada pada dirinya. Ketika sedang belajar jangan dibantah sendiri agar bisa berhasil, artinya : Jangan menyalahkan diri sendiri. Dan juga harus diketahui sebab  tidak bolehnya menyalahkan diri sendiri.
Mengapa dirinya sendiri tidak boleh disalahkan, karena gerak dan berpikirnya manusia atau gerak hati manusia untuk mencapai kesempurnaan, sesungguhnya adalah Af’al (Gerak) Tuhan. Sehingga jika manusia tidak percaya diri, sama saja tidak percaya kepada af’al-nya Tuhan. Atau tidak percaya atas Kekuatan Tuhan. Jika tidak percaya atas Kekuasaan Tuhan yang ada pada Dirinya, jalan keselamatan akan tertutup oleh karena menyalahkan diri sendiri, yang pada akhirnya diri akan menjadi celaka sungguhan karena anggapan pribadinya.
Namun jangan sampai punya anggapan : “Dirinya bisa dan kuasa”. Hati-hatilah atas kesalahan dari  anggapan. Walaupun anggapan itu berada di dalam batin, itu akan terlihat di dalam sikap.
Tuntunan Agama : Jika mengaku Allah disebut Kadariyah; Jika tidak mengaku disebut Jabariyah. Dan keduanya tidak benar.
Jika mengaku disebut kufur; jika menolak disebut Kafir, namun jika tidak mengaku dan tidak menolak disebut Kopar.
Bagaimanakah benarnya? Bisa mengetahui yang benar  jika telah bisa membedakan antara “DIRI” dan “PRIBADI”, sebab arti ibarat, tidak lain agar Memahami “JATINYA” serta “Meninggalkan Dirinya”.

===è>>.TAMAT ISI SERAT JATIMURTI <<<<ç===

RINGKASAN ILMU : i SAMPAI DENGAN VII

I.
Rasa adalah tanda dari nyawa, artinya :
Bisa merasakan, karena hidup,
Tanda hidup : Bisa merasa.
Nyawa itu berujud Jirim, yaitu sifat dari Yang Nyata adanya (Kajaten).
II.
Rasa diri manusia ada tiga macam :
1. Rasa badan /Jazad
2. Rasa hati;
3. Rasa kesadaran diri.

Sehingga manusia itu, mempunyai tiga daya hidup :
1. Nyawa dari badan : Biasa disebut : Rasa.
2. Nyawa Hati : Biasa disebut ; Hati.
3. Nyawa kesadaran/ingatan : Biasa disebut : Budi.
Ringkasnya :
Manusia seutuhnya itu adalah bersatunya tiga rasa : Budi, Hati dan Rasa.
“Rasa” yang berada terdepan  dikala hidup di dunia.
III.
Budi; Hati; Rasa : Hidup di alamnya sendiri-sendiri.
Alam Budi disebut          : Guruloka (Baitalmakmur).
Alam Hati disebut           : Endraloka (Baitalmukharam )
Alam rasa disebut          : Janaloka (Baitalmukhadas)
Budi dasarnya adalah Kepala : Berpusat di Otak.
Ati dasarnya adalah Dada : Berpusat di inti jantung.
Rasa dasarnya di seluruh badan : Berpusat di Kemaluan.
Keterangan :
Hidup manusia di dunia, sebenarnya yang berada di dunia adalah badan kasarnya (Jazad), yaitu hidupnya rasa badan kasarnya (jazadnya). Sedangkan hatinya tidak ikut berada di dunia, dan selalu hidup di Baitalmukharam, sedangkan Budi-nya : hidup di Baitalmakmur. Hidup ketiganya menjadi satu, namun antara yang satu dengan lainya tidak bersentuhan.
IV.
Yang harus diperjuangkan oleh manusia :
Yang pertama adalah beningnya Budi, yang disebut : Kebijaksanaan.
Kemudian : Yang Nyata adanya (Kajaten) : Kesempurnaan (Kasampurnan).
V.
Bagaimakan caranya untuk bisa menjernihkan Budi atau Kebijaksanaan ?
Sesungguhnya di diperjuangkan oleh para pencari kebenran (Ngelmu) itu tidak lain berpusat pada :
1. Mengikuti Budi, (Budi akan selalu benar).
2. Mengekang hidunya hati ( Mengekang hawa nafsu).
3. Mengekang hidupnya rasa (Nafsu Syahfat dan makanan).
Hidup maksudnya sering dipergunakan daya kekuatannya.
Mengekang : artinya semakin dikurangi daya kekuatannya.
Keterangan :
1. Hidupnya rasa hati, jika dikekang, daya hidupnya tidak hilang, hanya saja beralih yang kemudian akan menghidupi Budi, sehingga Budi akan menjadi semakin besar dayanya, disebut bijaksana; artinya : Terang; Ketenagan rasa dan hati disebut : Tenteram, Tenang, Bahagia sejati.
2.  Yang mana saja yang besar nyalanya ; itu yang kuat dayanya, yang akan menjadi pemimpin hidup; artinya : Menguasai; Jika yang besar daya hidupnya Rasa, maka manusia akan dikuasai rasa, sehingga merasa ada di alam Janaloka.
Jika yang besar hidupnya hati, manusia akan dikuasai hati, kemudian akan merasa hidup di alam Endraloka.
Jika yang besar hidupnya Budi, maka manusia akan dikuasai Budi, akan masuk di alam Budi, akan merasa hidup  di alam Guruloka, disebut berbadan Bathara. Jika masuk di alam Guruloka barulah disebut Bijaksana atau Pramana, itulah jalan yang menuju ke kesempurnaan.
VI.
Yang dirasa -------- “Rasanya” ------- “Yang Merasakan”.
Yang disebut alam adalah “Yang di Rasa”; Bukan “Rasanya” dan bukan “Yang Merasakan.”
Yang disebut “Nyawa” itu adalah “Yang dipergunakan untuk merasakan”, artinya “Rasa”; bukan “Yang di Rasa” dan bukan “Yang merasakan”
Yang disebut Kajaten itu bukan “Yang dirasa”; dan bukan yang dipergunakan untuk merasakan; Yang benar adalah : “Yang Merasakan”.
Yang dirasa disebut “Alam Kabir”
Yang dipergunakan untuk merasakan disebut alam “Sahir”
Yang merasakan disebut “Kajaten”
Yang dirasa sebetulnya itu “tidak ada”, sebab adanya tergantung kepada adanya Rasa. Sedangkan Rasa tergantung kepada adanya Yang Merasakan.
Sehingga  sesungguhnya tida ada apa-apa, hanya “Yang Merasakan” Yang ada.
# “Lupa” artinya : Tertipu oleh yang di rasa. Tidak ingat pada rasanya, apalagi terhadap “Yang Merasakan”.
# Eling (Ingat/Sadar), Paham terhadap rasanya, tidak tertipu oleh Rasa.
# Sempurna artinya : Paham terhadap “Yang Merasakan” tidak tertipu oleh rasanya; apalagi oleh “Yang dirasa”.

VII.
Penjelasan kata “Yang Merasakan”
Yang Merasakan berasal dari kata : “Yang” dan “Merasakan”
Yang itu intinya; Merasakan itu pekerjaannya.
Yang Merasakan; disaat merasakan menggunakan “Rasanya”, bukan mempergunakan “Yang” nya. Sehingga : “Yang “ itu, hanya menguasai, tetal kekal tidak pernah berubah. Sebab pekerjaan merasakan sudah di awali oleh Nyawa alat untuk merasakan.
(Semua yang berujud Jirim, bagi Kajaten hanya sebatas gerak-gerakan saja – ciptaan – tidak bisa dibayangkan tentang ujud dari gerakan.. sebab ada kiblat lahir dan ada kiblat batin).
oooOOOooo

PERTANYAAN DAN JAWABAN  YANG DIMAKSUD SERAT JATIMURTI

Apa yang dimaksud dari buku ini ?
Ialah : Mencari sikap tekad dan juga anggapan yang benar tentang Yang Nyata Adatanya (Kahanan Sejati), yang tumbuh dari nalar yang terang dan kusus.
Sikap Tekad serta anggapan yang benar tersebut harus ditata dengan Terangnya Nalar. Sedangkan Terangnya Nalar didapat dati Terangnya : Apakah sebenarnya Alam Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati) serta apa artinya orang mencari ilmu. Terangnya tidak lain harus diteliti dengan benar dan dipilah-pilah.
Jika manusia tidak salah dalam pengertiannya dan tidak salah dalam keyakinannya (Anggapannya) tentu tidak akan salah  dalam tekad, sehingga jika tidak salah dalam tekadnya, sehingga tidak salah dalam sikap, yaitu sikap dari tekad (Konsentrasinya), juga sikap hati (watak), juga sikat raga (tingkah laku).

Apa artinya sikap dari tekad ?
Sikap dari tekad  maksudnya : Ketika menata batin, bagaimana seharusnya dan kemana arahnya. Namun, bagaimanakah cara menyebutkannya dan menguraikannya, karena hal itu berujud Rasa. Apakah ada orang yang bisa menjelaskan “RASA”. Contohnya : Rasa Asin itu, bagaimana cara menerangkannya. Sebab kata Asin kan hanya untuk menyebutkan saja, tidak akan bisa menjelaskan rasa. (Manusia akan bisa menjelaskan rasa asin jika seseorang bisa meminjamkan lidahnya).
Penjelasan dari kata Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati) dan juga keterangan ilmu ukur yang ke empet : Juga hanya berujud uraian yang menjelaskan ilmu (pengertian). Ilmu itu bukan tekad, dan juga bila diarasakan denegan sungguh-sungguh, ilmu tersebut sebagai suatu cata pemahaman yang bisa menumbuhkan : Rasa Rumangsa, Keyakinan hingga sampai ke dalam tekad.
Kita akan mengaku bahwa keyakinan dan tekad yang benar akan diperoleh oleh seseorang yang mengkonsentrasikan pikirannya dan merasakan ilmunya. Sebab jika seseorang belum mengerti apa-apa, maka belum mempunyai tekeyakinan dan tekad yang bagaimana-bagaimana.

Apa perlunya seseorang harus mempunyai tekad dan keyakinan yang benar ?

Sangatlah besar daya kekuatan tekad yang benar atau keyakinan yang epat bagi Yang Nyata adanya (Kahanan Jati), Sebab, tekad atau keyakinan itu akan menghasilkan sikap (Sikap Rasa dan sikap Budi kelakuan), seperti berikut :
1.
Menghilangkan anggapan sebagai Ingsun, merasa besar diri, merasa pintar dan sebagainya. Manusia yang benar keyakinanya kepada Yang Nyata adanya (Kahanan Jati), itu tiap langkah dan tiap ucapannya akan terlihat dari sikap, jika jauh dari megharapkan sesuatu, artinya tidak bermaksud menonjolkan diri. Apakah sebabnya ? : Karena merasa bahwa dirinya yang sesungguhnya bukan yagn sedang terlihat sebagai jirim tersebut., kesemuanya bukan Yang Nyata Adanya (yang Sejati) dan dalam waktu singkat akan sirna.
2.
Menghilangkan watak banyak keinginan, banyak yang ingin dimiliki, banyak kesenangan dan sebagainya. Apakah sebabnya : adalah karena rasa dan perasaannya bahwa dunia sangatalah tidak berarti dan sangat sebentar. Kaerna bukan Yang Nyata Adanya. Dheweke (Pribadi) Yang Nyata adanya : Kekal berada dalam kesucian dan tidak membutuhkan apa-apa.
3.
Menghilangkan watak membenci, panas hati, mudah marah dan sebagainya, karena merasa bahwa dirinya sama dengan orang lain. Semua yang berujud Jirim : Sipatnya sendiri, Semua rasa : Rasanya sendiri; dan kesemuanya itu bukan bukan Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati).
4.
Menghilangkan watak mudah goyah, gampang heran, gampang mengeluh, kawatir dan sebagainya, karena tebal kepercayaannya bahwa Dia yang sejati Yang Nyata Adanya tidak memilih yang ini yang itu. Semua yang ada berasal dari Dia, dengan menggunakan Hukum keadilan karena sifatnya. Selain dari itu tidak ada sesuatu yang kekal (Senang susah dan sebagainya) kecualia hanya Dia yang sejati.
5.
Menghilangkan watak suka bohong, karena merasa bahwa bohong itu sama saja menipu hatinya sendiri, dan tumbuhnya berasa dari harapan yang sangat tidak berarti.
6.
Menumbuhkan watak sopan santun, kasih sayang, tenteram, menerima, ikhlas, suka menolong, sabar dans ebagainya, sebab telah paham bahwa orang lain sama dengan dirinya, semua orang : sama dengan sifatnya sendiri, semua rasanya sendiri, apa lagi yang namanya dirinya, itu bukan Dia yang sesungguhnya.

Pada angka 1 s/d 6 tersebut di atas, kegunaannya untuk menjernihkan Budi. Jernihnya Budi akan menjadikan terang jalan yang menuju Ke Ketajam jiwa. Ketajaman jiwa yang mengarahkan pada Kesempurnaan, sehingga :
1. Menusia yang ingin mencapai terangnya Budi, harus membuang kotoran hati. Cara untuk membuang kotoran hati : harus menggunakan terangnya Budi. Keduanya harus berjalan beriringan.
2. Merncari terang  dengan jalan membuagn kotoran hati tersebut : harus benar penerapannya keyakinannya kepada Kajaten, sedangkan untuk bisa benar keyakinannya kepada Kajaten, dengan jalan harus menghilangkan kotoran hati dengan jalan menjernihkan Budi. Keduanya saling dukung mendukung dengan jalan bersama beriringan.
Dalam berjaan bersamaan dengan jalan sedikit demi sedikit. Mencari ilmu untuk menjernihkan Budi serta memperbagus watak, bisa diibaratkan : Menjalankan kereta dengan jalan menarik relnya, sedangkan mencari ilmu dengan jalan menghilangkan kotoran hati, bisa diibaratkan : menjalankan kereta dengan cara memutar rodanya. Terangnya adalah : Ketika saling tarik-menarik antara laju kereta dengan berputarnya roda sperti saling tarik menariknya upaya mencari jalan terang dengan jalan menghllangkan kotoran hati. Berjalannya kereta : mempunyai pengaruh terhadap berputarnya roda. Berputarnya roda berpengaruh terhadap lajunya kereta. Demikian juga kejernihan hati dan laku utama ; dayanya juga menghilangkan kotoran hati, bisa digambarkan : Orang yang membuang kotoran akan menemukan terang.


Lebih baiknya dirasakan dalam hati :
Orang menarik kereta, awalnya berat, namun lama-lama akan berkurang beratnya, sebab tertolong oleh daya dorong (enegrgi). Pada akhirnya akan hilang daya beratnya, karena kereta akan berjalan dengan sendirinya tanpa ditarik lagi dan tanpa di putar lagi rodanya. Justru malah bergantian : yang menari kereta malah naik di atas kereta yang udah berjalan tadi. Itu jadikanlah sebagai contoh berjalannya jiwa menuju batin. Segala urusan pada mulanya memang sulit, apalagi masalah mencari ilmu kesempurnaan. Namun, walaupun sulit bagaimanapun, semakin lama akan semakin berkurang kesulitannya, dan pada akhirnya : Hilang kesulitannya, sebab daya dari nyawa tertolong oleh daya Kajaten, kemudian akan bergantian : Nyawa tidak ikut mengeluarkan daya apa pun, hanya daya Kajaten yang ada. Ingsung, yang berada pada pusat batin, selalu menarik nyawa yang berjalan menuju kajaten. Semakin dekat kepada pusat batin, samakin mendapat daya dari Kajaten.

Dzat itu apa, bagaimana dan seperti apa?

Apakah ada manusia yang bisa membuktikan ?
Orang yang menyebut : Hanya dapatkan sebutan. Orang yang merasakan : hanya akan mendapat : Rasa. Orang yang memahami sifat : akan mendapatkan sifat.
Sebutan, Rasa dan Sifat, itu bukan : Dzat (Kajaten). Sehinga : Dzat tidak bisa disebutkan, tidak bisa dirasakan, tidak bisa disifati. Ringkasnya : Cep tan kena kinecap (Diam tak bisa dikatakan). Tidak bisa di kira-kira, tidak bisa dibayangkan. Hanya bisa dinyatakan menggunakan Kajaten, artinya : Menggunakan : Rasa yang Gaib.
Oleh karena RASA bergantung kepada pusat perhatian, SIRNA bergantung kepada “LUPA”, dan juga manusia harus mempunyai keyakinan bahwa tidak adanya apa-apa selain Dzat, sehingga DZAT tidak bisa dibayangkan, atau digambarkan, sehingga bagaimana sikap memusatkan perhatian kepada adanya “KAJATEN” dan menghilangkan segala yang digelar ????
Seperti ini  : 
Yang pertama harus memahami arti dari orang mencari ilmu, yaitu apakah sesungguhnya ilmu untuk mengetahui Kahanan Jati, dan mana yang bukan, bagaimana keterangannya dan sebagainya. Setelah manusia mendapatkan pemahaman yang benar dan terang tentang yang sangat halus, disitulah keyakanan akan ada dengan sendirinya, tidak dengan dibuat, dan juga tekad akan tumbuh dengan sendirinya, tidak dengan jalan dicari. Sedangkan jika sudah ketempatan keyakinan dan tekad, maka SIKAP juga ada dengan sendirinya, yaitu sikap dari tekad, juga sikap hati, juga sikap dari tingkah laku.
Sudah pastilah pada aalnya tidak bgitu jelas karena belum tetap tempatnya, dan belum begitu benar penempatannya, namun semakin lama semakin terang, semakin menempati dan semakin tepat tempatnya. Pada akhirnya akan selalu ada selamanya, walaupun dengan berjalan, dengan bekerja dan dengan tidur : Keyakinan dan tekad tersebut akan selalu menetap dan menempati tempat. Sewaktu-waktu Samadi – tafakur, keyakinan dan tekad selalu siap dan mendorong jalannya rasa.
Arti sebenarnya dari keyakinan dan kepercayaan, adalah : Sikap untuk mengadakan. Namun bukan hasil pemikiran, gambaran atau membayang-bayangkan, jadi hanya arah hati yang menuju pusat batin. Apakaharti sesungguhnya “Arah”? Seumpama : Orang menghadap ke utara, itu harus melihat segala rupa yang berada di utara, karena menghadap yang seperti itu : hanya sikap. Seperti itu juga tentang manusia menghadap kepada batin, jangan melihat apa-apa, artinya : Melupakan (tidak memperdulikan) segala yang nampak dan segala rasa ketika sedang malakukan Samadi/Tafakur.
Hilangnya dunia karena : Lua, makna lupa : Hilang rasa dan perasaan hamba karena terbawa daya keyakinan dengan niat yang disertai tekad. Walau pun yakin dan niat  yang disertai tekad pada awalnya berasal dari : Kehendak sang hamba, namun besarnya daya mampu menarik daya dari hamba, sampai dengan daya hamba musnah terbawa daya niat dengan tekad, yang menyatu dengan daya Kajaten.
Sekali lagi : Keyakinan dengan niat yang disertai tekad tumbuh sendiri dan menempatkan diri sendiri, dayanya sangat hebat, dan pada akhirnya  berubah menjadi daya Kajaten.
oooOOOooo

Keterangan Ringkasan Terakhir
Pertama kita mencari pemahaman, disebut : Ilmu yang dijalankan (Ngelmu), alatnya : Pikiran dan rasa. Dari ilmu yang dijalankan akan tumbuh keyakinan disertai niat dan tekad. Setelah mendapatkan keyakinan beserta niat dan tekad, ilmu yang dijalankan mulai tidak berguna. Pikiran diperlambat. Yaitu harus membuang pikiran dan meringkas kehendak yang beraneka rupa (Diam). Disatukan menjadi stu, menyatu dengan Tekad.
Tekad adalah : Leng (Konsentrasi) menuju pada inti batin (Pribadi).
Leng (Konsentrasi) : itu akan berubah menjadi daya Kajaten, yang bisa menghilangkan daya baru yang lain semuanya.
Berjalan rasa dan perasaan gar tidak berbelok-belok, dengan jalan merayap pada tali hidup, yang menggandeng semua kehidupan dan hidup yang kekal (panas), itu yang menjadi pedoman dan sebagai arah tujuan. (Sempurnanya masalh ini haru punya guru). Jika dilakukan dengan terus menerus dan kuat  melaksanakannya (Tidak ada pikiran yang menyelanya dan tidak ketiduran) Hilanglah bayang-bayang di dalam cermin, yang tinggal hanyalah cerminnya. Pada akhirnya : Hilanglah cerminnya : Tinggalah yang “Bercermin”.

Pribadi yang ada di pusat batin itu yang mana?
Pusat batin itu yang mana ?
Memusatkan Hati menuju pusat batin itu bagaimana ?
Pertanyaan seperti itulah yang menyebabkan manusia  membuat Serat Jatimurti; Tasawuf, Hidayatjati dan sebagainya, agar : Yang bertanya merasakan ilmu. Kemudian tumbuhlah pikirannya dan keyakinannya yang semakin lama semakin mapan, sebagai bagaimanakah orang harus menunjukan RASA dengan Kata-kata atau dengan rangkaian huruf ? Sebab... Kata-kata hanya bisa menyebutkan saja, tidak bisa menjelaskan RASA, dari RASA yang disebutkan.

HANYA SAMPAI DI ISI DAYA KEKUATAN KATA-KATA

T A M A T

Sepanjang, Sidoarjo, 31 Januari 2014.


SERAT  -  JATIMURTI
Penerbit : Yayasan UP. DJOJOBOJO - Surabaya
Penyadur : Pujo Prayitno


PENGET

4.     Saben nembe kawaos . kasinggahna, sampun kaselehaken sa-enggen-enggen.
5.     Sampun kawaos dening sok tiyange. Ngemungna ingkang remen saestu ngudi kawruh kabatosan.
6.     Ingakng sampun maos, sanajan mangertosa sarta remene, sampun ka-angge ngendikan kaliyan sadhengah tiyang.

ooooOOOOOOOooooo

Sinten kingkang karsa netepi pepenget inginggil punika , kalebet nama mundhi utawi ngluhuraken  kabatosanipun piyambak.


PAMRAYOGANE KANG GAWE LAYANG IKI

4.     Dhisike diwaca grambyangan satamate
5.     Di baleni saka wiwitan kanthi alon lan sareh.
6.     Yen wis tamat kapindhone. Disinggahke. Pamacane kang kaping telune lan sabanjure : oran perlu urut.
7.     Sanajan wis tamat ping telu ping pat, disinggahna, kanggo simpenan..

ooooOOOOOOOooooo

Wiwitan ora terang swasanane
Nanging yen kerep disinggahake lan diwaca titi sarta letari pamarsudine,
Sangsaya lawas, sangsaya mundhak terange
Sinengkelan  : Kawruh Raras Basuking Tyas


ISI   BUKU
13.  Penget
14.  Pamrayogane kang gawe layang iki
15.  Jatimurti
16.  Bab : I  bab Alam Garis
17.  Bab : II bab Alam Lumah
18.  Bab : III bab Alam Jirim
19.  Bab  : IV bab Alam Kajaten
20.  Bab : V bab Alam Pramana
21.  Bab : VI bab Pangesthi, Yaitu gaweyan ing batin manut panganggep
22.  Bab : VII bab Nerangke ukuran kang kaping pat
23.  Ananing Alam-alam lan Makhluk maneka warni
24.  Ancer-ancer 27 warna 1 s/d 27
25.  Ringkesin kawruh I nganti VII
26.  Pitakon lan wangsulan maksude Layang Jatimurti
27.  Keterangan ringkesan (pungkasan).


JATIMURTI
Edit  : Pujo Prayitno
KAHANAN JATI, Rehning ana kahanan jati, iya ana kahanan kang ora sejati.
Barang kang ana iku temene maune mula ana, Sing ora ana, maune ya ora ana. Umpamane : Bocah sing aran Dipa, apa wedhus, kacang jambu, kukus, geni, mega, kabeh mau anane mung sawatara wektu, banjur bali ora ana maneh. Kepriye anggone di arani ana, wong anane kaya pendhukule ombak, mendhukul, nuli ilang,  njur ana pendhukul liya maneh, ning ya njur ilang maneh, mangkono sabanjure. Cetha ing kene, yen si-pendhukul iku temene ora ana. Sing tetep jeneng ana iku : banyune, kang mendhak – mendhukul, dudu si pendhukule. Tingkahe banyu mengkono mau, katelah aran : Ombak. Wose : Ombak iku dudu sing ana, mung : Kadadeyan. Cetha yen kadadeyan iku dudu sing dadi.
Mangkono uga, isen-isenign ALAM sak-kutu-kutu walang atagane, kaya : gunung, bumi, srengenge, rembulan, manungsa, kewan, tetuwuhan, rehne tinemune nalar maune ora ana, dadi kabeh mau satemene ya ora ana, mung : Kadadeyan. Ora temen ana, utawa : Kahanan gorohan.

->>>>> Ora ana apa-apa, Mung Allah kang ANA, Yaiku kang ana sa-bener-benere. Kasebut : KAHANAN JATI, tegese : Kang Temen Anane. <<<< ----

Tresna marang kahanan ndonya iku padane nubruk ayang-ayangan, mangsa kenoa dicekel, jer anane ora temenan. Kapencut marang kahanan ndonya iku kayadene mbungahi kepati-kapati, jebul ilang tanpa lari.
===>> Donya iku dalan, iya kudu di ambah apa methine, nanging dudu benere yen dirungkebana  <<====
===>> Sing sapa ngambah dalan, kudu sumurup, yen kang ana ing sangarepe, sanajan diparanana, mung bakal diliwati bae. <<====
oooOOOooo

Bedane kahanan ndonya lan kahanan jati :

Kahanan ndonya yen katimbang lan anane Pangeran, kena kaumpamakake gambar sorot (bioskop) kang ana ing geber, katadhing lan kahanane : wong, omah, wit-witan, lsp, kang digambar mau.
Kang digambar mau wujud “Jisim” dumunung ing “Jirim”, bisa manggon ana ing sajabaning geber. Balik gambar mau, mung wujud ayang-ayangan, tanpa kandel, mung dumunung ing raening geber. Denen anane ya gumantung marang ananing geber.
Yen arep sumurup : Kepriye bedane kahanan ndonya karo kahanan jati, cukup anggere sumurup : kepriye bedane garis karo lumah (raen). Bedane garis katanding lan raen mau, padha bae lan bedane : raen manawa katanding lan kibik (brang/jirim). Denen bedane raen karo “Jirim”, nyamleng padha lan bedane ALAM yang katanding karo KAHANAN JATI.
oooOOOooo

Kapriye Ta Bedane ?

Bedane luwih denig gedhe, ora  mung basa  beda, malah dudu timbangane, tegese : DUDU MESTINE KATANDHINGAKE.
Gedhene tengu lan gekdhene Bumi, sanajan banget anggone ora timbang, ewadene meksa kena ditimbang, marga karo-karone padha bangsane jirim. Nanging, yen kahanan jati karo kahanan ndonya, dudu bangsane, dadi ora kena ditandhing babapisan. Apa ukuran 3 liter kena ditandhing karo 3 hektar? Apa iyo kena ditanding karo godhong?
oooOOOooo

Mungguh tetelane prakara iku manawa katerangake dhisik ing bab beda-bedaning  : “GARIS, RAEN, sarta JIRIM.
Yen wong sumedya mangerti kalawan pratitis ing bab etrape alam mungguhing kahanan jati, kang sayoga mangertiya dhisik : Kepriye etrape garis mungguhing raen, apadene : kepriye etrape raen mungguhing jirim, dene nalare : etraping jirim mungguhing kahanan jati iku, kayadene etrping raen mungguhin jirim lan uga kaya etraping garis mungguhing raen.
Panganggone nalar iku mangkene : Garis iku apa lan kepriye tumraping raen ó raen iku apa lan kepriye lan kepriye tumraping jirim (alam)  ==== rong prakara iku nuli kanggoa pepindhan : Jirim (alam) iku apa lan kepriye tumraping kahanan Jati. (Catetan Kaki : Ana pepindan mengkene : uyah kacemplungake ing segara, sienaning uyah awor dadi siji lan segara, iku dadi pepindhan woring kawula Gusti, iya bener. Nanging tetandhingan KAHANAN (kahanan kang ora sejati karo kahanan jati), ora kena diumpamakake UYAH karo SEGARA. Apa sebabe  : Uyah lan segara karo-karone padha bangsaning jirim, sarta isih bisa pisah. Layang iki nyurupe yen etrape jirim marang kahanan jati iku kaya raening  jirim marang jirim kang mawa raen iku. Anadene jisim kang nganggo jirim iku tumraping kahanan jati mung kayadene wawernan kang ngenggoni raen.)
Ing saiki kang kapretalakeka dhisik bab garis, raen sarta jirim : Kapriye kahanane lan kapriye etrape siji lan sijine, awit bakal kanggo pepindhan kang pratitis ing bab etrape jirim (alam) marang kahanan jati.
Dene prayogane kudu kapretalakake sarana patrap mangkene :

d.     Garis iku apa lan kepriye mungguhing raen.

Garis iku sanajan sapira-pira kehe, kajejer-jejer pipit meksa ora bisa mujudake lumah (raen) awit sarupaning garis pancen padha tanpa raen. Sarehning siji-sijine tanpa raen babarpisan, kalumpukake kabeh iya ora bisa mudujake lumah utawa raen.
Dadi : lumah mengkono dudu garis, nanging duwe watak : mengku garis kang tanpa wates cacahe. (Catetan kaki : Sa-jeroning raen kena di iseni garis maeu-ewu, ora bakal sesak. )

e.     Raen iku apa lan kapriye mungguhing jirim.

Raen sanajan sapira-pira kehe, katumpuk-tumpuk, meksa ora bisa mujudake kubik (jirim) awit sarupaning raen padha tanpa kandel. Yen siji-sijine tanpa kandhel babarpisan kalumpukkake kabeh iya ora dadi jisim. Dadi jisim mangkono  dudu raen, nanging duwe watak : Mengku raen kang tanpa wates cacahe. (Catetan kaki : Sa-jeroning jisim kena di iseni raen maeu-ewu, ora bakal sesak. )
Kongsi kang ora sumurup banujur ngira yen jirim iku kadadeyan saka pakumpulaning raen akeh. Kang mangkono iku luput. Mangkono uga kosokbaline : Yen raen dianggep perangan cilik saka jirim, iya ora bener.

f.       Jisim iku apa lan kapriye mungguhing kahanan jati.

Jisim sanajan dikayangapa gedhene, utawa sanajan sapira-pira kehe, panjing-pinanjing, meksa ora dadi kajaten, awit sarupaning jisim pancen dudu jatine, sebab mung arupa jirim. Sarehning siji-sijine dudu jatine, sanajan paning-pinanjingan, kalumpuke kabeh iya dudu kajaten. Dadi : Kajaten mangkono dudu jisim utawa jirim --- naging kabeh kagungan watak : Mengku marang jirim kang tanpa wates gedhene lan jisim kang tanpa wilangan cacahe lan warnane, (Catetan kaki : Ing kajaten kena di-iseni jisim pira-pira kang tanpa wilangan cacahe utawi tanpa wates gedhene, ora bakal sesak (Alam pira-pira kang siji-sijine wujud awung-awung kang tanpa wate gedhene : padha panjing-pinanjing. Siji-sijine dumunung ing kajaten, etrape kaya kaca-kacaning buku dumunung ing buku. Isining alam upama tulisan kang ana ing kaca-kaca mau). Kongsi kang ora sumurup banjur ngira, kahanan jati iku kadadeyan saka pakumpulaning jirim utawa alam saisine, kang tanpa wates gedhene lan tanpa wilangan cacahe. Kang mangkono iku luput, mangono uga kosokbaline : yen jirim di-anggep perangan cilik saka kahanan jati (Catetan kaki : Lire yaiku : jisim kasar lan jisim latip (ruh) dianggep perangan cilik saka : Dzat), iya ora bener.
Kang kapretalakake ing dhuwur  iku nalar kang prayoga ke-enggo watoning pamikir lan panganggeping manungsa ing bab kahanan kang sajati, aja kongsi keliru : Dzat sajati ka-anggep kaya bangsane jirim kang manggon, utawa disengguh atom utawa molekul kang mujudake alam sa-isine kabeh, iku sakethi luput, najan katumrapna alam ka-alusan, iya ora bener.
Uga durung bener, manawa ka-anggep bangsaning roh, jer roh utawa nyawa iku iya jirim kang manggon, iku sipat kang kanggonan watak owah gingsir.
oooOOOooo
Sarana dhadhasar pangerti kang kaprelakake ing dhuwur mau, pikiring manungsa ora bakal bingung utawa kewran panyekele, sarta banjur bisa mangerti terang marang kareping pepindhan, ancer-ancer utawa dalil kang nuntun budining manungsa marang kahanan kang sajati. Kaya umpamane :

5.     Kepriye sebabe kahanan jati ora kena kinaya ngapa, utawa sebabe sarwananing kahanan ing alam kabeh ora kena dianggo ngumpamakake kahanan jati.
6.     Kapriye nalare dene kahanan jati ora kena kinira kira utawa cinakrabawa ing manungsa.
7.     Kapriye pangretine ; kahanan jati dumunung ing batinne sakehing kahanan tur ora kajaba ora kajero, sarta : “Sakehing kahanan wis karo jatine apadene : Sajatine ora ana apa-apa mung Dzat Kang Ana.
8.     Kapriye keterangane : Dzat iku kahanan tunggal (murni) kang tanpa perangan, sakehing alam (donya lan sakehing alam kaalusan) dudu perangan saka Dzat, dadi : Dudu kadadeyan saka kalumpuking sakehe alam, lan liya-liyane : prakara kang kamot ing kawruh Rasul.

Iku kabeh bisane terang, tetela saka anggunem dhisik etraping garis mungguhing raen, sarta : Raen mungguhing jirim, awit iku bakal kanggo pipindan : etraping jirim marang kahanan jati.
Sawarnaning jisim enggone dumunung ing jirim, kaya warna (abang, ijo), anggone dumunung ing raen. (bidang).
Sakehing jirim (awung-awung utara enggoning jisim) olehe gumantung marang kahanan jati : kaya raen olehe gumantung marang ananing jirim kang duwe raen iku.
Dadi : Kahanan jati anggone dumunung ing batine sakehing kahanan, kaya jisim enggone kaprenah sajroning raen.
Mengkono uga, enggone ora kejaba ora kejero, iku kaya buku anggone kaprenah ing tembing endine kaca-kacane.
Mangkono maneh enggone katembungake “Ora ana apa-apa, mung Dzat kang ana. Iya kaya dene si buku enggone ora tanding anane karo ananing kaca-kacane utawa tulisane utawa gambar-gambare buku iku : awit : Raen, tulisan utawa gambar-gambar mau, sanajan ana-a, ora kaanggep wujud tumraping jirim (deluwang). (Warna iku dudu wujud tumrape jirim kang duwe warna, ..).
oooOOOooo

Ing saiki kari mratelakake tatandhinganing jembare (kobete utawa tebane) kahananing martabat garis karo martabating raen, nuli kahananing martabat raen karo martabating jirim, banjur : kahananing martabat jirim karo martabat kajaten.
Enggone mratelakake prakara iku sarana patrap mangkene : ( I ngati tumeka IV).

VIII.      ALAM  GARIS
Edit  : Pujo Prayitno
(Garis, lumah, jirim, kajaten, iku kabeh alam, alam iku tegese : martabat kang linungguhan ).
Alam garis iku banget anggone rupek, kang lungguh ing alam garis, yaiku : “Cecek”, si cecek kang ana ing alame mau mung nurut enggon sa-uruting garis. Lire mung maju karo mundur, ora ana kiblat kiwa lan tengen, mung ngarep lan mburi..
Dadi cecek mau ora duwe cara nyimpang. Mulane upama di cecek dicegat ing ngarp lan ing mburine, ora oleh panggonan maneh, kajaba yen banjur manjing alam lumah. Dene bisane manjing ing alam lumah manawa salin wujud kang manut caraning lumah, tegese : arupa lumah ciut utawa bunderan lembut, dadi wis ora wujud ceceking garis (ora ka-anggep manggon ing garis, nanging manggon ing lumah) (Catetan kaki : Kang nganggep kudu kang maca, dudu si cecek. Mundur, karepe ing kene : menyang mburine kang maca layang iki. Maju, menyang ngarepe kang maca layang iki. Ora liya : rasa lan panganggepe kang maca layang iki, kang ngudi kawruh kasampurnan.).


IX. ALAM  LUMAH
Edit  : Pujo Prayitno
(Catetan kaki : Lemah iku raen kang rata kaya jrambah utawa banyu kang meneng).
Alam lumah, luwih jembar tinimbang alam garis. Sebab, ing alam lumah ora mung ana ngarep karo mburi bae, uga ana keblat kiwa serta tengen, ananging kiwa lan tengen andadekake luwih dening kober, sebab antarane ngarep lan kiwa, kiwa lan mburi, mburi lan tengen, apadene tengen lan ngarep : Apa ener kang tanpa wates cacahe, mulane umpama bunderan cilik dicegat ngarep mburi utawa kiwa lan tengen, isih oleh panggonan kang kobet.
Nanging, umpama bunderan mau kinubeng ing garis atemu gelang, ora oleh panggonan liyane, marga ing alam lumah ora ana keblat ngisor lan dhuwur. Bundheran mau ora duwe cara metu saka sa-jabane raen, bola-bali mung nurut raen, kaya gambar sorot, kang ana ing geber, tansah dumung ing raene geber, ora bisa metu saka sa-njabaning geber banjur manggon ing jirim. Dene kang lungguh ing alam jirim, yaitu jisim, kayata : Watu, Kayu, banyu, manusa, kewan lan sapanungalane. Mulane bisane manjing ing alam jirim, manawa salin wujud kang manut caraning alam jirim. Tegese : awujud jirim, dadi wis ora wujud bunderan, ora ka-anggep maggon ing raen. Ka-anggep manggon ing jirim. (Catatan kaki : Jisim iku tembung Arab, kang diarani Jisim iku : Watu, kayu, manusa, angin, benyu, daluwang, srengenge, bumi sapanunggalane. Wong Jawa anggone ngarani wujud, dene geni, sorot, ayang-ayangan, keluwung, swara iku kabeh dudu jisim..
Jirim, iya tembung Arab, tegese : klowongan kang di enggoni ing jisim, kaya umpamane dhadhon, iku tansah ngenggoni jirim kang wangune dhadhon sarta gedhene sadhadhone, Ananging yen jirime mung ditegesi klowongan bae : kurang patisis, benere, jisime kudu katut marang tembung jisim, gampange mangkene : saben jisim wis mesthi jirim, nanging ora angger jirim mesthi jisim, awit awang-uwung iku jirim, nanging dudu jisim. Dene watu, iku jirim kang atos, jirim kang atos mau banjur ka-aranan jisim.).


X.    ALAM   JIRIM
Edit  : Pujo Prayitno
Alam jirim luwih jembar tebane katimbang alam lumah, awit ora mung duwe keblat ngarep, mburi, lan kiwa, tengen bae, uga duwe keblat ngisor lan dhuwur, mulane yen jisim kinubengan iang garis temu gelang, isih oleh panggonan kang jembar, awit bisa : munggah mudhun, mengiwa menengen, maju mundur, ngawe mengiwa lan menengen, ngewas mendhuwur lan mengisor : sakarep-karep kayadene aburing laler utawa nglangining iwak.
Ananging, yen jirim iku kabungkus ing barang kang amba lendhuk kaya beruk, utawa kaya pethi, ora oleh panggonan maneh, sebab ing alam jirim iku, sarupane kang lungguh mesthi jisim, dadi kabeh butuh jirim di-enggo manggon, ora ana carane kahanan kang ora manggon utawa ora butuh jirim, kajaba yen bisa manjing ing kajaten. Dene bisane manjing ing kajaten manawa salin kahanan manut caraning kajaten. Tegese,: Ora ngaku wujud jisim, rumasa ngaku kajaten, dadi ora rumangsa manggon ing jirim, malah mengku marang jirime. (Cathetan kaki : Dadi kang nganggep mangkono iku : kajaten, dudu wong Kajaten, iya rasa jatine kang maca layang iki, dudu panganggep kang katindakkake ing angen-angen).
.
XI. ALAM   KAJATEN
Edit  : Pujo Prayitno
Kajaten iku banget anggone kobet, (membingungkan), ora kena kinira jembaring tebane, kongsi ora kena ginayuh ing budi, ora temu tinemu yen katimbang ing jirim, marga ing kajaten ana keblat maneh sinebut lahir dan batin. Sakehing jirim dumunung ing sisih lahiring kajaten, dene antarane lahir lan batin, iku keblat kang ora kena kinaya ngapa dening manungsa.
Sarehning kajaten iku jumeneng  batining jirim utawa awak kang mengku marang jirim, mulane kajaten ora butuh jirim kanggo manggon, malah mengku marang sakehing enggon, kaya pamengkune jisim marang raene, utawa kaya pamengkuning raen marang garise. Dadi umpama kahanan jati digedhong wesi kang rapet kaya cangkok kemiri, isih kobet banget sarta ora dadi sabab apa-apa. Ora dadine sabab mau kayadene jaran kinubengan ing tapaking potelot atemu gelang, sarta tapaking potelot mau ana ing kulite si jaran. (Al-Hallaj).
Kajaten ora nandang (katanggapan) apa-apa, sebab dudu jisim sarta tansah pernah, mala andhoking sakeh pernah.
Kang lungguh ing kajaten, yaiku : ingsun, tegese : pribadi = dhewek = aku, jumeneng jejer sakehe kadadiyan, yaiku kang diakoni dening makhluk se-isining alam kabeh utawa kang andhaku marang sa-isining alam kabeh. Terange yen kasebut ing basa Walanda nganggo tembung : Ikhied = hoolf eigen = hooger Zalf.
Mungguh kahanan kang dudu jirim iku ora pisan-pisan kena kinira-kira dening kahanan kang arupa jirim, awit dudu timbangane, yen meksa kackrabawa kadadeyane banjur kaya watu katandhing karo warna ing raining watu, utawa kaya semeter persegi katadhing karo semeter. Anjaba saka mangkono, kabisaning manungsa iku nganggit ngira nuju marang kahanan kang wujud jirim, sebab rasa pangrasaning manungssa (piranti kang di-enggo nyakrabawa) dudu rasa kang sejati. Yen rahsaning manungsa katandhing lan rasa jati, kadadeyane iya kaya warna ing raen katandhing lan barang gembleng, kang mengku raen mau. Utawa kena kasanepakake ciptaning wayang kang lagi dilakokake ing dhalang; katanding  lan ciptaning dhalang kang lagi nglakokake wayang iku. Tumraping dhalang; cipta wayang iku ora ana, mung ciptaning dhalang kang ana : tanpa timbangan. Cekake, bagiyaning manungsa : “Meneng.
Enenge, kena kaumpamakake : salah sawijining  cipta wayang leren, ora kacipta maneh dening dhalang, mulih marang ciptane dhalang. Dadi iya mung “meneng”, Iya iku thok patrape manungssa manjing ing kajaten, sebab manjinge marang kajaten sarana nirmala,. Tegese : Sirna kamanungsane dening kekuwataning pangangep kanthi iktikad yen wujude kang satemene dudu jirim. Sasirnaning kamanungsane banjur kagentenan  ing ananing kajaten, ora beda garis manjing ing raen utawa warna manjing ing jirim, mulane patitising tembung, ora ana manjing, cethane : Salin panganggep, salin rasa : saka obah menyang meneng, saka ciptan marang kang nyipta, saka kadadeyan marang kang dadi, saka sulapan marang kasunyatan, utawa saka gorohan marang katajen.
Mulane ora kena ka-anggep manjing, sebab kahanan jati ora kepanjingan (kawoworan), ananging sukci murni tetep langgeng, kaya raen enggone ora kawoworan garis utawa kaya jisim-ing  bunglon anggone ora kalong ora wuwuh dening molah malihing aluse.
Sarehning kahanan jati iku dudu jirim, mulane tanpa wewejangan dan wiwijangan. Wewejangan iku tegese : Gedhe cilike, amba ciyute, sedhela lawase, akeh sethithike, sapapadhane. Dene wiwijangan iku panyilah-nyilah, kayata, iki wan, iki pandulu , iki panganda, iki pangrungu, iki urip, kabeh wis jumbuh : iya awak iya pandulu, iya pangganda, iya pangrungu, iya urip sabanjure. (Catetan : Kahana kang jumbuh iku ing basa Arab kasebut nganggo tembung : “Hu”. Karepe iya iku kahanan jati, iya “Hu” rasa jati, iya “Hu” urip sejati, iya “Hu” pandulu kang sejti, sapiturute. Kang mangkono mau maksude : ngesti sawiji ora nganggo nyilah-nyilah). Lan uga ora ana panyilah-nyilah mangkene : iki, iku, ika. Biyen, saiki, besuk, kene, kono, kana. Kowe, aku, dheweke. Dhuwur, tengah, ngisor. (Catetan : Kang tumrap ing kajaten mung : iki, saiki, kene, aku, tengah, nanging rasane ora padha karo kang tumrap ing alam jirim).
Sarehne dudu jirim mulane tanpa lor kodul, ngisor dhuwur , wetan kulon, ngarep mburi apadene  kiwa tengen. Keblating  katajen mung lahir lan batin. Pribadi kang nglungguhi kajaten jumeneng poking batin, tegese : ing pungkas-pungkasaning keblat kang enere saka lahir marang batin (puling batin). Saka ing pribadi kabeh keblat enere marang lahir. (Prakara iki kena kaumpamakake : saka ing pul lor kabeh keblat enere mengidul, tanpa wetan kulon) (Catetan : Kabeh kang kasebut iku panjupuking pathokan mung saka : rasa, ora kena diterangake. Saksine mung kang tunggal rasa).
Keblating jirim (lor, kidul, wetan, kulon, ngisor, dhuwur, kiwa, tengen, ngarep, mburi), kabeh dumunung ing sisih lahiring pribadi, kaya wetan kulon anggone dumunung ing sisih kiduling pul lor. Catetan : Pul lor : Kutub Utara (takokna marang kang sumurup kawruh falak).  Awit, kang aran jirim iku sajatine mung raening kajaten.
Sarehning dudu jisim, luput ing rusak, sarehning tanpa prabot, mulane luput ing sayah, lali, bingung, sapapadhane. Sarehning tanpa nafsu, mulane luput ing bungah susah, dhemen, gething, bosen sapanunggalane. Sarehning tanpa wiwijangan, dadi tanpa perangan lan tanpa wilangan. Tembung tanpa wilangan iku tegese : Ora ana cacahe. Lire mangkene : Sanajan luput banget umpama diarani akeh, ewadene ora perlu diarani naganggo tembung : siji, awit siji iku uga wilangan, siji lan akeh, karopisan dadi aneh tumrap ing kahanan jati, awit rasaning tembung siji iku anjaluk tatandingan, yaiku loro, telu sabanjure. (Anane siji marga ana loro telu). Iya bener sok disebut siji, nanging tembung siji kang tumrap ing kahanan jati ora nunggal surasa karo kang tumrap ing tetembungan : jaran siji, jeruk siji. Murih terange, anggone nembungake mangkene : “Ora ana apa-apa kajaba mung : Pribadi.”
Bobote wis kasebut mangkono, surasaning tetembunngan : “Ora ana apa-apa kajaba mung “ – senajan tumraping alam jirim ora aneh, ewadene tumrape ing kahanan jati : iya aneh. Anehe dene andadak dibicara nganggo “ ora ana apa-apa kajaba mung ....” sebabe apa? Iku larase kaya wong celathu : banyu iku ora ana kang dudu banyu, utawa : jagad sa jaga kabeh iya jagad. (Catetan : Kajaten sok uga digunem, mesthi lupute, awit gunem iku sajatine nuduhake katliwaning engetan utawa kalimputing rasane kang anggunem, kang banjur dipadoni dhewe nganggo guneme iku – nanging kang ora anggunem, durung mesthi yen ora kalimput, malah kang akeh luwih kalimput katimbang kang anggunem).
Sarehning ora ana wiwijangan lan wilangan, surasaning tembung Gusti lan kawula tumiba ing kahanan jati uga dadi aneh. Anehe dene ana titimbangan, yaiku kawula ditimbang karo Gusti, temahan kaya jaran ditimbang karo pancal, utawa gelang katanding karo emas kang dadi gelang iku. Pancal iku ulesing jaran, dudu mesthine katandhingake karo kang duwe ules, sebab ules iku ing atasing jirim : dudu wujud. Gelang iku kadadiyaning emas, kadadiyan iku ing atase sing dadi : dudu wujud. (Catetan : Wujud, iku tembung Arab, tegese ana. Dudu wujud, tegese ora ana jisime.)
Rasa rasaning manungsa ing alam jirim (kahanan kang ora temen) bisane luluh ing rasa kang sejati (rasaning kahanan kang temen ) manawa nglalekake ( ora nganggep wujud) marang jirim, jisim lan sarupane kang aneh tumraping kajaten : ing sajroning eneng, arane : cengeng.
Luluhing rasa kamanungsan marang rasa kang sejati kaya sirnaning raen kaling-kalingan jisim kang mengku raen iku, kaya sirnaning gelang kaling-kalingan emas kang  dadi gelang iku, kaya sirnaning tulis kaling-kalingan mangsi kang mujudake tulisan iku, utawa kaya sirnaning ciptane wayang kang lagi linakokake ing dhalang : kaling-kalingan ciptaning dhalang kang lagi nglakokake wayang iku, utawa maneh kaya dhapuring gambar kang lagi diwangun, sirna marang ciptaning wong kang lagi mangun dhapur ing gambar iku.
oooOOOooo

Tatadhinganing garis karo raen, raen karo jisim, apadene jisim karo kajaten, murih terange kapratelakake nganggo patrap kaya ing angka ngisor iki :

a = b = c  1 nganti tumeka 8
(Catetean : Larasing ukara a padha lan ing ukara b tuwinc. Yen mangerti mrang surasaning  ukara a lan b sarta eling marang etraping tembungane, tartampu bisa anggapi surasaning ukara c.)

1.
a. Ora ana garis madeg dhewek mesthi gumantung marang ananing raen.
b. Ora ana ren madeg dhewem mesthi gumantung marang ananing jirim
c. Ora ana jirim  madeg dhewem mesthi gumantung marang ananing kajaten.
2.
a. Ora ana garis kang ora dumunung ing raen, lan ora ana raen atinggal garis, karone tetep tinetepan.
b. Ora ana raen kang ora dumunung ing jirim, lan ora ana jirim atinggal raen, karone tetp tinetepan.
c. Ora ana jirim kang ora dumunung ing kajaten lan ora ana kajaten atinggal jirim, karone tetep tinetepan.
3.
a. Garis iku dudu raen, nanging garis mujudake sisipataning raen, kayata : persegi, bunder, lonjong.
b. Raen iku dudu jirim, nanging raen mujudake sisipataning jirim, kayata : abang, putih, bunder memet, gilig.
c. Jirim iku dudu kajaten, nanging jirim mujudake sisipataning kajaten, kayata : Srengenge, manungsa, wit, sir, pikir, nur.
4.
a. Ora pelu nakokake sisipataning raen sok uga kawruhan garise, awit sisipataning raen wis ana ing garise.
b. Ora perlu nakokake sisipataning  jirim, sok uga kawruhan raene, awit sisipataning jirim wis ana ing raene.
c. Ora perlu nakokake sisipataning kajaten, sok uga kawruhan jirime , awit sisipataning  kajaten ana ing jirime.
5.
a. Garis iku marakake raen duwe sipat pesagi, maju telu utawa bunder. Samono uga raen iku dudu garise, dudu pesagine, dudu maju telune lan dudu bundere. Lah kang endi ta kang jeneng raen? Patrape mratelakake ora kena mung dituding nganggo pucuking pen, kudu digrayang nganggo epek-epek, awit pucuking pen mung bisa nuduhake garis.
b. raen iku marakake jirim duwe sipat  bunder memet, giling, abang, ijo utawa putih. Samonouga jirim iku dudu raene, dudu bunder memete, dudu gilige, lan dudu abang ijone, lah kang endi ta kang jeneng jirim? Patrape mratelakake ora kena mung digrayangi nganggo epek-epek, kudu dirasa nganggo pikiran, awit epek-epek iku mung bisa nuduhake raen.
c, Jirim iku marakake kajaten kagungan sipat urip, mobah mosik, ngayu, matu, anjanma, nyrengenge. Semono uga kajaten iku dudu jirime, dudu uripe, dudu mobah mosike, dudu kayune, watune, jalmane utawa srengengene. Lah kang endi ta kang jeneng kajaten ? Patrape nyatakake ora kena mung nganggo pikiran, kudu nganggo rasa kang sejati, awit pikiran iku mung bisa nyatakake jirim.
6.
a. Dununge bunderan iku ing raen, ora ing garis, malah si garis kang dumunung ing bunderan.
b. Dununge jisim iku ing jirim, ora ing raen, malah si raen kang dumunung  ing jisim.
c. Dununge pribadi iku ing kajaten, ora ing jirim, malah jirim kang dumunung ing pribadi.
7.
a. Sipating raen, yaiiku : pesagi, bunder, maju telu sapanunggalane, kapasrahake ing garise. Arane sipat mau : wangun.
b. Sipating jirim, yaiku : abang, ireng, ijo sapanunggalane, kapasrahake ing raene. Arane sipat mau : warna.
c. Sipating kajaten, yaiku : Kayu, watu, manungssa, jim, angin, srengenge, cipta sapanunggalane, kapasrahake ing jirime. Araning sipat mau : jisim.
8.
a. Wangun : iku dudu wujud tumraping raen, mung sipating raen bae.
b. Warna : iku dudu wujud tmraping jirim, mung sipating jirim.
c. Jirim iku dudu wujud tumraping kajaten, mung sipating kajaten.
9.
a. Kahananing garis (bunder, maju telu) ndadekake sipating raen, tegese : sing bunder utawa maju telu itu raene.
b. Kahananing raen (abang, ijo) ndadekake sipating jirim, tegese : sing abang- sing ijo iku jirime.
c. Kahananing jirim (kayu, watu, janma, rembulan) ndadekake sipating kejaten. Tegese : sing ngayu, sing matu, sing njalma lan ngrembulan iku jatine. Catetan : Kayune, watune, janmane, rembulane, sapanunggalane ing basa Arab diarani sipat wujudiyah. Dene pangayune, pamatune, panjanmane, pengrembulane sapanunggalane karanan sipat maknawiyah. Sipat maknawiyah mujudake sipat wujudiyah kayata : kahunuhumuridan (ananing Allah karsa) nganakake sipat kang aran iradat (karsa) ka-aranan iradat yaiku mobah mosiking makhluk, kang aran makhluk iya kahananing jirim, yaiku jisim utawa sipating kajaten (sipat anyar).
10.
a. Bunder, maju telu, iku sipating raen, katon ana ing garise.
b. Abang, ijo, iku sipating jirim, katon ana ing raene
c. Manungsa, rembulan, pancadriya, nur, budi, iku sipating kajaten, katon ana ing jirime. (Catetan : Jirim kang tanpa wates gedhene, kang ngamot sakehing jisim adalah kang kothong, sok kasebut gunung : Cakrawala . Iku minangka raening kajaten, gumantung ing kajaten, tetep tinetepan, sawernaning jisim ana ing jirim mau minangka wawarnan kang ana ing raen,
11.
a. Sisipataning raen ya iku : kahananing garis (anggone manggon, mubeng utawa nekuk)  nanging wujuding raen  dudu : enggoke, dudu ubenge utawa nekuke, awit kang jeneng raen mono : blegere utawa jengrenge kahananing garis, tegese yaiku kang menggok, mubeng utawa nekuk, dadi : “kang” bae.
b. Sisipataning jirim, yaiku : kahaning raen (enggone abang, ireng utawa putih), nanging wujuding jisim dudu : abange, irenge, utawa putihe, , awit kang jeneng jisim mangkono : glegere utawa jenggrenge kahananing raen, tegese yaiku : kang abang, ireng, utawa putih. Dadi kang-e bae.
c. Sisipataning kajaten, yaiku : kahananing jirim (enggone matu, ngayu, njanma. Mbumi) nanging wujuding kajaten dudu : watune, kayune, utawa bumine. Awit kang jeneng kajaten mangkono : glegere, utawa jengrenge kahananing jirim, tegese yaiku – kang : matu, njanma, utawa mbumi. Dadi “kang: e bae.

D A D I :
12
a. Bundere, pesegine, kawengku ing awake, yaiku : si raen.
b. Abang-abang, ijo-ijo, kawengku ing awake, yaiku : si jirim.
c. Kawaton, kamanungsan, kawengku ing awake, yaiku : Sejati.
TERANGE :
13
a. Bundere, pesagen, ing atasing raen : ora ana. Kang ana mung raen (sisihing jisim) kang ana ing kiwa, tengen, ngarep, mburi, ngisor, dhuwur apadene ing tengahe.
b. Abang-abang, ijo-ijjo, ing atasing jisim : ora ana. Kang ana mung jisim (gemblenge) kang ana ing jirim.
c. Kayu, manungsa, bumi, ing atasing kajaten : Ora ana. Kang ana mung jati (Akhadiyate) kang ngayu, njanma lan mbumi.
oooOOOooo

XII.        PRAMANA
Edit  : Pujo Prayitno
Rasa-pangrasane wong utawa pancandriya, yaiku : pikiran, nafsu, bunga, susah, lara, kepenak, dhemen, gething, wedi,  isin, gatel ........ lan liya-liyane. Iku kabeh rasa kang dudu sajati, kang anyar anane, kang lunga teka sajroning Rasa kang sajati.
Rasaning pancandriya kena kaumpamakake ayang-ayanganing Rasa kang sajati.
Anadene ayang-ayangan mau katon ana ing sipat kang langgeng, kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kaanggep pangiloning kajaten, yaiku asale sakehing rasa anyar utawa uwiting cipta lan rahsa.
Pangilon kajaten mau karanan : Pramana.
Dadi Praman iku pangilon sajati, kang ka-anggo nonton ayang-ayanganing Rasa Jati.
Pramana ka-anggo ing kahanan jati ginawe nyatakake rasa-rasaning makhluk (maya) utawa rasa anyar kang molah malih.
Kahanan jati iku Dat kang asipat Pramana mau.
oooOOOooo
         
XIII.      PANGESTI, Yaiku :
GAWEYAN ING BATIN MANUT PANGANGGEP
Edit  : Pujo Prayitno
Lakuning manungsa nyatakake Pramana utawa mulih marang jamaning Pramana, ora liya nyirnakake (nglalekake) rasa anyar saka sethithik kanthi surti. Ing saben dina ka-anggkah sudaning tumangkare, kongsi ing wusanane bisa mulih marang Pramana.
Sarehning wus tetela yen sarupaning kahanan anyar iku wujud geter utawa obah-obahan, dadi sirnane ora ana maneh mung saka “meneng” (mari obah).
Rasa pangrasane manungsa kamot ing Pramana, kaya rurupan lan wawernan kamot ing kaca benggala.
Pramana kumambang ing Pribadi, kaya kumambanging cahya ing kawat kang mencorong, utawa kaya kumambanging cahya lan rasaning kaca : ana ing kacane (gedhahe).
Pribadi (jati) iku gleger utawa gemblenge, enggon kahananing Pramana.
Maligining Pramana, saka lenyeping cipta lan rasa.
Nyataning Pribadi, saka lenyeping Pramana.
Lenyep, gumantung ing : Eneng.
Rumasa, gumantung ing : Kuwating panganggep kanthi iktikad.
Ana, gumantung ing : Pengesthi.
Sirna, gumantung ing : Lali
Ing ngisor iki umpamane :   A ---- B   ----- C.

UMPAMA A : Raen mengku garis, yen kang kaesthi garise bae, lali marang raene, iku si raen sajroning cipta, kari garise katon ngegla ana ing cipta. Kosokbaline yen kang di-eling-eling raene, ora mikir marang garise, kari raene njenggereng ana ing cipta. Umpama : Raen maju lima, yen kang kaesthi garise , iku sing katon  ana ing ciptane mung : ana garis lilima padha gathuk atemu gelang, embuh kapriye raene (sanajan ananing garis gumantung marang ananing raen). Kosokbaline : yen kang di-eling-eling raene, ora mikir marang garise, iku si garis sirna sajroning cipta, dene kang ana ing cipta : Raen kang wangun maju lima. (Sabanjure : awit saka ananing raen maju lima mau, banjur kasumurupan uga yen mengku garis lima, mung bae garis lima ora ka-anggep ana wujude, awit tetela yang garis iku mung sisihing raen bae).

UMPAMA B : Jisim mengku raen, yen kang kacipta mung WARNA kang ana ing raen, iku si jisim sirna ora rinasa, mung abang ijone kang maujud ana ing cipta. Dene yen kang kacipta : JIRIME, ora mikir marang warnane, warna mau ora mujud ana ing cipta. Jisime kang maujud. Umpama : Dhadhon kang belang-belang abang-ireng putih (Catetan : Raene nenem, umpamakna : saben raen beda warnane), iku yen kang pinikir mung warnane bae, ora mikir marang kayune, tartamtu kang katon ing pikir mung : Ana raen abang wangune pesagi, gandheng lan raen ireng uga pesagi, nuli gathuk lan raen putih uga pesagi, sapiturute, siji-sijine dumunung ing panggonane dhewe-dhewe, embuh kepriye wanguning kayune (Sanajan ananing raen gumantung marng ananing kayu).
Kosokbaine yen kang rinasa kayune, ora ngesti marang raene, ing kono kang mungal ana ing cipta : ana kayu siji kang belang belang abang ireng putih (sabanjure : Uga kasumurupan yen mawa raen nenem sarta garis rolas, mung bae raen ora –kaanggep wujud),

UMPAMA C : Jati mengku jisim, yen kang kagatekake jisime bae, ora nglewa marang kajatene (Pribadi) iku kajatene ora ka-anggep ana (ora rumasa yen kumambang utawa gumantung ing Pribadi kang tunggal) mung jirime bae kang mungal ing rasa pangrasa. Dene yen kang ka-estokake PRIBADINE, ora nganggep wujud marang jisim, temahan si jisim lenyep ora karasa ing dalem cipta (lali) kari jatine, (Pribadine) kang nyata ing Rasa Tunggal. Umpama : Jati iku mengku cakrawala sajisime kabeh, bisa ngayu, matu, nyrengenge, nyuta, ngrama, ngwan sapanunggalane sarana jirime, ewasemana yen kang kaesthi jirime bae, amenthi kang rinasa mung : ana awang-uwung isi jisim warna-warna, arupa kayu, watu srengenge, suta, krama, kewan, sapanunggalane, kang padha pisah-pisah, ora nyana yen gumantung marang kahanan sawiji kang langgeng. (Sanajan ananing jirim gumantung marang , ananing kajaten). Sewu ora nyana yen iku mung kadadiyan (daden-daden) kang sawetara mangsa engkas malih utawa ilang. Sayuta ora rumangsa yen kang katon gumelar mau sejatine mung ayang-ayangan sajroning pangilone Pribadi, dadi dhapur korup marang ayang-ayangan sajroning pangilon (Pramana) lali marang pangilone, luwih maneh marang kang ngilo. (Sanajan ananing ayang-ayangan  gumantung marang ananing pangilon, sarta ananing pangilon gumantung marang anane Pribadi kang ngilo). Kosokbaline : Yen kang kaesthi Pribadine, yaiku jatine, ing kono salaline, marang wujuding jisim, kari Pramana, yaiku marang pangilon, aran asarira Pramana (Uga banjur kasumurupan yen mengku ayang-ayangan katon gumelar, mung bae ora kaanggep) wujud, awit tetela yen kang katon gumelar ciptaning Pribadi.
oooOOOooo

Nalar ing dhuwur iku murih mundhak terange maneh, kapratelakake mangkene :
Rasa-rasaning kawula utawa maya, yaiku :
1. Weruhing mripat marang rerupan.
2. Krunguning kuping marang skehing swara.
3. Krasaning grana marang sakehing gegandan.
4. Krasaning kulit  marang sakehing barang.
5. Krasaning ilat marang sakehing pepanganan.
6. Pangertining pikir marang sakehing kadadiyan.
7. Rasa-rasaning ati marang bungah, susah, lara kapenak, sapanunggalane.
8. Lan liya-liyane kabeh. Wana-warna, akeh.
Wose kabeh mau ka-aranan rasaning wong, yaiku : gambar utawa ayang-ayanganing Rasa kang sejati.
Mulane ana –ayang-ayangan, awit ana pangilon.
Ana manungsa kang rasane korup ing ayang-ayangan, ana kang yakin marang pangilon, dununging sakehing ayang-ayangan.
Jalaran saka weruhing kuping marang swara kaworan krasaning kulit marang  barang-barang  kaworan maneh kang kasebut mau kabeh --- ing kono manungsa bajur duwe panganggep (Pangandel) yen : “Donya iku ana.
Anane donya sebab aku nganggep ana.
Anane donya gumantung marang anane kita (kang maca layang ini). Terange : Ananing Alam, gumantung  marang anane kita (kang maca layang iki). Terange : Ananing Alam gumantung marang rasa-rasane kang maca layang iki (muga den raksakna).
Denen ananing rasa kang maca layang iki gumantung marang ananing “Rasa Jati iya Pribadi kang Tunggal.”
Dadi sajatine : Ananing alam donya iku ora kanggo pratandha yen donya iku ana. Mangkono maneh : Ananing rasane kang maca layang iki, iya ora kanggo tandha yen kang maca layang iki ana, Sebab :
Bener-benere : Ananing rasa-rasane kang maca layang iki dalah ananing donya – iku kanggo tandha yen : “Pangeran ana iya Ingsun Pribadi kang Ana.”
Dadi kang diprandani anane utawa kang disekseni ing anane iku sejatine dudu kita (wong kang maca layang iki) lan dudu donya sabenere : “Ananing Pangeran Kang Sampurna, Dzat kang langgeng  anane yaiku : Jatine kang maca iki. Dadi jagad iku mung saksi bae.
Ananging – sanajan benere mangkono – yen kita mung tansah ngandel utawa kabanjur-banjur ngengkoki marang ananing dhiri lan donya bae, mesthi dadi ora ana kahanan kang sajati, katarik anggep kita dhewe, temah mung rasa-rasaning dhiri kang ana, jibles kaya ora ananing jirim sebab mung di-elingi warnane bae.
Kosokbaline : Manawa kita ngegungake panganggep utawa pangandel marang INGSUN, kongsi kukuwataning panganggep lan iktikad ngalahake dayaning rahsaning kawula (maya) sarta rumasa marang  asor lan gorohing wonge, iku kita banjur rumasa yen sajatine manungsa kang sarira Bathara utawa Pramana.
Wasana Sang sarira Pramana isih wenang nggayuh kasampurnan. Manawa pangesthine marang kajaten nyirnakake pangilon, kari kajaten kang ana, yaiku pribadi kang ngilo, kang mengku marang sakehing jirim lan nganggep marang Pramana : Sipat kang sajati. Ing kono ora samar marang pangilon dalah ayang-ayangane kabeh.
oooOOOooo

Prakara ing dhuwur iku aja keliru tampa maneh : Ka-anggep wong bisa nyatakake kajaten. Iya panganggep mangkono iku kang marakake kandeg ana ing jirim, jer nganakake kahanan kang ora sejati.
Ora ana manungsa bisa nyatakake kajaten, yektine kang nyatakake kajaten iya kajaten. Mung prabawane bae kang mahanai BUDIDAYANING manungsa. (Catetan : Kang aran ihtiar (budidaya) iku sejatine uga takdir, sebab ananing ikhtiar gumantung ing takdir, dadi lakune marani takdir. Kang mangkono iku yen kang kaesthi ikhtiare, takdir iku ora ana, yen kang kaesthi takdire, ikhtiar iku ora ana. Manungsa kudu ikhtiar, nanging nganggepa : takdir kang ana. Utawa nganggepa ananing takdir, nanging aja banjur ora ikhtiar. Wong nganggep ananing takdir kang banjur ora  ikhtiar, utawa ikhtiar kang banjur ora nganggep ananing takdir, karo-karone padha kelirune.)
Kang aran wong iku sanyatane ora ana. Kang apeparab si Suta si Naya : iya mung pangaran-aran bae. Sarehning ora ana, apabisa mobah mosik. Wis mesthi sing nganakake obah sarta osik mau : sing temen anane, dudu : sing sejatine ora ana.
Sumuruping rasa jati saka sirna panganggepe marang ananing dhirine, kongsi karekating batin nunggal tanpa sinedya.


XIV.    BAB NERANGAKE UKURAN KANG KAPING PAT
Edit  : Pujo Prayitno
Ing ngarep kapretalakake, yen kajaten katandhing lan jirim papadhane : jirim katandhing lan rae, utawa : raen katandhing  lan garis.
Uga kapretelakake, yen kajaten kena di-iseni jirim kang tanpa wilangan kehe kang padha panjing pinanjing dadi sa-enggon-enggon sarta ora agawe sesaking  kajaten. Olehe ora sesak iku kaya dene ora sesake si jirim manawa kaisenan raen tanpa wilangan. (mara elinga : buku kang kandel, iku jirim kang isi raen tanpa wilangan. Wujuding raen yaiku kaca-kacane. Buku kang kandele 2 cm, kacane ora kurang saka 200, mangka deluwange isih duwew kandel. Umpama wong bisa nyigar-nyigar deluwange kongsi satipis-tipise, tartamtu kahing raene ora kena diitung. Iku durung ngetung maneh kahing raen kang nurut kandeling buku, kang malang, kang mujur, kang ngadeg, apadene kang mayat).
Iku mau dadi pepindhan ing bab ora sesake kahanan jati kaisenan jirim tanpa wilangan kang padha panjing pinanjing dadi sa-enggon. Kaya umpamane jiriming manungsa, kalane lagi dirasa nganggo pikiran, kaya-kaya mung wujud barang wadhag thok, sebab ing njerone buntet. Ananging sabenere ana jisim latif kang awor lan jisim wadhag iku, nanging ora gepokan. Kang kasar ora ngewuh-ewuhi kang alus. Kang alus ora ngewuh-ewuhi kang kasar. Jisim latif mau ora mung siji, kehe tanpa wilangan, awit ana kang rada alus, ana kang alus, ana kang alus banget, ana kang luwih saka alus banget. Kajaba iku, malah akeh kang padha aluse, ewadene meksa ora gepokan, dening seje-seje dayane.
Kang ana angen-angen, nafsu, budi, sir, rahsa sapanunggalane : kabeh dayaning  jisim latif. (Manungsa mung ngrasakake dayane bae, yaiku anggone bisa mikir, ngrasa bungah susah, nepsu, welas, giris, lara, kepenak, duwe karep, anggraita sapanunggalane, ananging ora weruh marang wujude jisim latif, manawa durung sarira bathara).
Mulane rasa pangrasane manungsa tanpa wilangan cacahe. Ora liya iya saka dayaning jisim-jisim latif kang warna-warna dayane.
Siji-sijine jisim padha duwe alam dhewe-dhewe, sarta siji-sijining alame ora gepokan. (Catetan : Alam donya iki wujud jirim kang tanpa wates gedhene, ka-aranan awang-uwung utawa cakrawala. Kajaba alam donya, ana alam ke-alusan pirang-pirang, siji-sijining alam awujud jirim kang tanpa wates gedhene (awang uwung isine). Alam-alam mau siji lan sijine ora gepokan, sebab siji-sijining alam padha kumambang ing kajaten, kaya dene kaca-kacaning buku manggon ing buku, dadi ora alam manggon ing alam. Anadene tulisan kang ana ing kaca-kacaning buku, iku dadi pipindhan isining alam).
Olehe ora gepokan jisim-jisim mau, kaya dene ora gepokane raen-raen kang dumunung ing jirim. Terange : jirim-jirim mau ora gegandhengan, padha urip dhewe-dhewe ana ing kajaten, awit padha kumambang dhewe-dhewe ana ing kajaten, kayadene kaca-kacaning buku padha manggon dhewe-dhewe ana ing buku, dadi ora kaca manggon ana ing kaca.
oooOOOooo

Awit saka dhuwure nalar kang kapretalakake iku, ora kena yen mung rinasa nganggo pikiran. Dadi ora cukup yen mung gnagas-gagas utawa kinira-kira, jer dudu benere dirasa nganggo rasa kang ora sejati (maya), kaya kang wus kapratelakake ing ngarep. Sarehning kahanan jati iku awak kang mengku marang ananing jirim kang tanpa wilangan cacahe, kang panjing pinanjing dadi saenggon-enggon, mangka siji-sijining jirim kena ka-ukur nganggo ukuran M3. Dadi ukuran kang kanggo ngukur kobeting  kajaten iku dudu M3 Kena ka-aranan : ukuran kang kaping pat.
Tetelane tembung  ukuran kang kaping pat, mangkene :
1. Meter (M), elo sabangsane, arane ukuran lajuran, gunane kanggo ngukur dawane garis, kasebut ukuran kang kapisan.
2. Meter pesegi (M2), Hektar sabangsane, arane ukuran jembar, gunane kanggo ngukur jembaring raen, kasebut ukuran kang kapindho.
3. Meter Kubik (M3), liter sabangssane, arane ukuran isi, gunane kanggo ngukur gedhe cilikign jirim, kasebut ukuran kang kaping telu.
Dene kajaten, ora kena ka-ukur nanggo ukuran telung warna iku, awit dudu jirim, amalh kang didunungi ing jirim, dadi kang di enggo ngukur yaiku ukuran ukuran kang kaping pat (vieder dimentie). Yaiku ukuran kang di-enggo ngukur kobete utawa tebane kajaten.
Ukuran kang kaping pat iku. Umpama lumrahe, panulise nganggo aksana M4. Keterangane maneh :
1. Ukuran antaraning ngarep lan mburine kang maca layang iki arane : ukuran garis, kasebut ukuran sapisan, yaiku : M1.
2. Ukuraning garis saka ngarep menyang mburi mau katangkarake karo : ukuraning garis antaraning kiwa lan tengen, ketemu ukuran raen, kasebut ukuran kapindho, yaiku M2.
3. Ukuraning raen mau katangkarake maneh karu ukuran antaraning ngisor lan dhuwur, banjur katemu ukuraning jirim, kasebut ukuran kaping telu, yaiku M3.
4. Ukuran Jirim iku mau katangkarake maneh karo ukuran antaraning lahir lan batine kang maca layang iki. Katemune ukuran kobeting kajaten kang maca layang iki, kasebut ukuran kang kaping pat, yaiku : M4.

ANANING ALAM-ALAM LAM KAHLUK MANEKA WARNA
Sarupaning jirim, kang kasar lan kang alus, kabeh ciptaning Pangeran.
Ujar iku tegese : Yen kahanan jati ora nyipta dadi marang bumi, langit, lintang, rembulan, jim, peri, sapanunggalane, mangsa anoa mau kabeh. Yen isih kacipta, isih dadi. Mari kacipta, mari ana. Roh utawa nyawaning manungsa pirang-pirang jinis, akg mahanani rasa pangrasa warna-warna, kabeh iku ciptan, kang kumambang ing rasa kang sajati, kaya kumambange warna ana ing raening jisim, utawa kaya gambar ing pangangen-angen kumambang ing angen-angen.
Pangeran iku pribadine (anane = glegere = gemblenge = jejere = awake == akhadiyate) kahanan kang wujud ciptan, kang kumambang mau kabeh.
Tumraping Pangeran, kabeh mau dudu wujud. Manawa ciptan mau kasirep ing Pangeran, kabeh sirna. Panyirepe kena kaumpamakake : ngedhepake gambar  ing pangangen-angen (Yen wong kelingan rupane barang, umpama : kembang, ing pangangen-angene kaya ana gambar kembang, iku den arani : gambar pangangen-angen) utawa kaya bunglon ngilangi warna kuning kang ana ing jisime (badane), kasalinan warna ijo utawa warna abang.
Sarehne adege manungsa (dhiri) iku mengku jisim latif pirang-pirang warna, kang padha duwe daya dhewe-dhewe sarta padha nglungguhi alam dhewe-dhwe, mulane manungsa bisa manjing ing alam rupa-rupa. (Jisim kang nunggal daya : nunggal alam, Dadi alam iku sejatine daya tunggal) Kang endi kang gedhe dayane : iku kang ngorupi, tegese : kuwasa ngajak roh-roh iiyane marang alame. (Sajatine ngaling alingi bae). Kang endi akng sathithik dayane, korup, yaiku ora dianggep ana (kaling-kalingan). Terange mangkene : Sawijining manungsa manwa kang gedhe dayaning nafsu amarah, iku gampang bisane kalebu ing alaming anfsu amarah, banjur daya-dinayan (weruh wineruhan) karo sarupaning makhluk kang pada korup ing nafsu amarah. Roh liyane uga dirasakake dayane, nanging ora disengguh ana jisime, mung jisiming nafsu amarah kang dianggep ana. Manawa manungsa kang gedhe dayaning pikirane, gampang bisane manjing ing alam pikiran, banjur daya-dinayan karo makhluk kang nganggo badan pikiran. Roh liya-liyane isih karasakake dayane, nanging ora ka-anggep maujud. Mung jisiming pikir kang di anggep maujud. Yen kang gedhe dayaning budine, enggal bisane menyang alam budi, sapiturute.
Sarehning mangkono, wataking makhluk duwe penganggep : “Mung alam siji kang ana” yaiku alaming badan kang gedhe dhewe dayane. Badan liya-liyane kang kalah daya : kelimput, lire  yaiku : Badan kang ora dinulu cetha ing saben dina ora disengguh ana wujude lan ana alame.
Mungrasane bae, kang dirasakake, nanging ananing rasane ora di-anggep pratanda yen ana jirime. Tumrape manungsa kang urip ing alam donya, mung badan wadhag kang dianggep ana, mangkono uga bab alam, iya mung alam donya thok kang di-anggep ana. Akeh abe wong kang ora percaya yen ana badan alus alam alus. Kajaba iku akeh wong keliru surup : disengguh rasa pangrasane warna-warna kang molah-malih saben dina iku tuwuh saka badan kasar, dadi ora dirasa yen adeging dhirine kadadeyan saka jisim latif kang warna-warna dayane.
Murih gampange nalar iki : Umpamakna raaning kuwih mari, ora disengguh asine saka uyah, legine saka gula, gurihe saka puhan, sabanjure : Kabeh mung dianggep saka . Marine bae (Kang aran rasaning mari (rasa anyar kadeyan saka woring rasa warna-warna kang wus gulet dadi siji, iku pipindhan rasaning dhiri (wong) yaiku rasaning pancandriya. Dadi : rasa dhiri iku RASA ANYAR uawa RASA DADEN-DADEN, kang maune ora ana dadi ana, sarta bakale ora ana maneh).
Mangka sabenere siji-sijine jisim latif mung saprakara daya rasane, lan panggah ora owah-owah, unpama : jisim kang watak welas asih, salawas-lawase iya tansah ngajak welas asih. Jisim kang ngajak marang kadrengken lan pasaten iya panggah enggone drengki lan panasten. Jisim kang nuwuhake jubriyah lan adigung, salawase tansah ngajak jubriyah lan adigung. Jisim kang ngajak padhang lan bener : salawase iya ngajak padhang lan bener. Jisim kang watak tresna bekti ing Gusti, salawase iya ngajak tresna lan bekti ing Gusti. Jisim kang dayane peteng, bodho lan weya : salawase iya ngajak peteng, bodho lan weya. Jisim kang ngajak marang turu, sahwat lan kesed, salawase ngjak mangkono.
Dadi molah-malihing rasa pangrasaning wong ing saben dina iku jalaran saka timbul keleming jisim kang warna-warna mau, katarik saka dayaning  alam lan saka dayane dhewe. Molah-malihing watake manungsa iya saka suda wuwuhing dayane jisim kang warna-warna mau.
Sudane dayaning jisim kang asor ndadekake wuwuhing dayane jisim kang luhur dening tanpa rubeda, utawa wuwuhing dayane jisim kang luhur nyunyuda dayaning jisim kang asor dening kendhih utawa kesuk, banjur diarani : wonge mundhak becik watake.
Jisim kang kerep timbul, sarta kerep ka-empakake dayane, lawas-lawas dadi kuwat utawa gedhe dayane, sangsaya gedhe dayane sangsaya kuwasa ngilmputi liya-liyane. Kosokbaline : kang arang timbul utawa arang di-empakake dayane, saya lawas saya seuda dayane. Yen ora tau babarpisan ka-empakake, lawas-laws mati (sirna).
oooOOOooo

Kang kasebut ing dhuwur mau dadi katerangan bab ananing makhluk kang beda-beda badane, dhewe-dhewe alame sarta tnddha-tundha martabate. Ana kang sinebut : Hyang Latawalhujwa, Hyang Nurcahya, Hyang Nur-rasa, Bathara Guru, Bathara Endra, Jin, Peri, Manungsa, Kewan, Gandarwo, brekasakan, lan lya-liyane.
(Pamrayoga : ananing makhluk rpa-rupa mau becik dilalekake bae, aja dianggep ana, awit adhakane keliru surup, luput ing panyakrabawane. Kajaba iku,  kabeh mau tumraping kajaten dudu wujud, mung wujudan utawa kadadiyan. Pikiring manungsa becik kang ora pracaya marang kahanan kang ora sajati, murih aja kongsi dadi gagasan).
Saiki tetela : Kang aran kahanan jati iku kahanane dhewe kang sabener-benere.
oooOOOooo

Manungsa sadurunge nggayuh kasampurnan, wajibe anggayuh kawicaksanan lan kasukcen, patrape : Ngurip-urip dayaning budi sarta marang dayaning nafsu kang ala (Elinge : Urip iku saka kereping empan, lemper utawa kendho saka kuranging empan, matine : saka ora tau di-empakake dayane). Saben ana kakarepan kang tuwuh, kudu weweka sarana karasakake : Apa saka dayaning budi apa saka dayaning nafsu. Yen saka dayaning nafsu , kabataha dhewe. Yen tuwuh saka ing budi, sanadyan badan liyane lumuh, kudu dipeksa. Yen bisa mangkono, budi kang gedhe dayane.
Angen-angen kang mengkoni karem, manuta pituduh ing budi enggone ngereh nafsu. Aja kalah karo nafsu.

ANCER-ANCER 27 WARNA 1 NGANTI TUMEKA 27
Edit  : Pujo Prayitno
1.
Ora ana apa-apa kajaba mung dhewek kanthi rasa. (rasa iku tanpa wates wilangan lan wiwijangan, dene dhewek : sawiji tetep langgeng). Ing dhuwur iku maksuding lapal : La ila ha illa Allah, Muhammad al-Rasulullah.
2.
Yen si Dhadhap di-duuk, mung si Dhadhap dhewe kang krasa, si Waru si Suta ora melu krasa, sapiturute. Nanging kang mangkono mau aja ndadekake panganggep marang ananing pribadi loro telu. Umpamakna : yen sawijining wong didumuk drijine, iya mung drijine kang krasa, peranganing badan liyane ora melu krasa. Yen kang kadumuk mripat, iya mung mripat kang krasa, sapiturute. Wasana sarehning si Dhadhap mengku rasa akeh sarta wijang-wijang, apa banjur ka-aranan si Dhadhap mengku rasa akeh. Rak ora. Kang mangkono mau dadiya pipindhan surasaning ancer-ancer (1) mau.
3.
Si Suta dudu si Naya, Si Naya dudu si Krama. Rasaning si Suta dudu rasane si Naya. Rasane Naya dudu rasane Krama. Ringkese : dhewe-dhewe, marga rasa siji lan sijine padha pisah-pisah. Nanging : sanajan rasa mau pisah-pisah, kabeh rasane  dhewe (pribadi – aku). Dhasar pribadi iku apengrasa Suta sarta apengrasa Naya tuwin apengrasa Krama. Sanepane : wong siji apngerasa sirah, apngerasa tangan, apnegrasa ilat sapiturute. Rasakna kang memet.
4.
Manungsa iku padha nunggal kahanan jati kang jumeneng pribadi, mung rasa pangrasane kang padha pisah-pisah. Dadi : nunggal kang mengku, nanging kang kawengku padha pisah-pisah. Sarehning kang kawengku mau sajatine ora ana, dadi yen kang  kasthi mung sing mengku, dhirine sirna. Mung kang mengku kang ana. Dene yen kang kaesti dhirine, kelangan kang mengku, nanging sejatine tetela, yaiku kang aran sulap.
5.
Kang kasebut nganggo tembung ingsun, pribadi, dhewek utawa aku, yaiku kang mengku marang sakehing rasa prangrasa, yaiku kang aran Dat Wajibul Wujud, yaiku kang ora arah ora enggon, saben enggon ka-enggonan, iya ingkang lembut ora KENA JINUMPUT, NANGING gedhene ngebaki jagad. Yaiku kang ora kena kinayangapa. Yaiku kang langgeng ora wiwitan ora wekasan. Yaiku kang bobote kaukur nganggo ukuran kang kaping pat. Ya iku kang aran kahanan jati. Ya iku kang tanpa warna tanpa rupa, nanging sakehing warna rupa-rupa iku rupane. Ya iku kang ditresnani dhewe dening sarupaning makhluk. Ya iku kang tanpa timbangan ora ana kang nyekuthoni. Ya iku kang binasakake kombang mangajabing tawang sepi. Ya iku kang among jiwa. Ya iku kang aran jatiningrat. Ya iku kang dumunung ing poking batin, mengku marang batine makhluk kabeh. Ya iku kang mangerani ing alam kabeh. Ya iku kang ora kajaba ora kajero. Ya iku tengahing arah. Ya iku kang sipat rong puluh. Ya iku kang nguripi siji-sijining nyawa kang ana ing badan.

Awit saka iku, aja pepeka lan gumampang marang kang kok arani nganggo tembung aku utawa dhewek. Yen kliru, kok arani pribadi ---- iku diri.
6.
Yen ana pitakon : Pribadi iku wujud apa ora. Wangsulane mangkene : Kabeh-kabeh ora wujud, mung pribadi kang wujud.
7.
Panyana kang durun sumurp, kang sok disebut nganggo tembung aku iku awujud jirim (uwong) sarta sajagad mung ana siji, yaiku wong kang nyana mau. (Catetan : kaya kang gmaca layang iki) Dene wong liyane, senajan yen ngarani awake nganggo tembung aku, sarta kabeh padha duwe rasa pangrasa, nanging kabeh ora di-anggep pribadi (aku). Senajan Gusti Allah uga ka-anggep dudu pribadi. (Dadi Allah iku di-anggep ewoning tangga).

Kag kinira kahanan jati dening kang durung sumurup; ya iku bumi, langit srengenge, rembulan, manungssa, tetuwuhan liya-liyane kang gumelar kabeh. Prakara mati, lebur utawa malih : Mung di-anggep wis mesthina mangkono, ora marakake tuwuh panggraitane yen kang gumelar iku dudu kahanan jati. Senajan disemurupake yen Pangeran iku tetep langgeng sarta kang anitahake kahanan kabeh, ewadene panampaning atine meksa ka-anggep bangsane jirim kang manggon, sarta miji anane kaya dene manungsa, mung kaceke ing donya kee oara ana kang mirib ig kaluhura-Ne. Panganggep kang mangkono becik di owahi.
8.
Sing sapa nggayuh kawakithan utaa kaluwihan, mangka ing batin dhemen marang papandhingan diri, dening enggone waskitha utawa duwe kaluwihan, sanajan tetese, iya isih dadi titimbanganing dhiri, marga ke-elingan pribadine, dening korup ing dhirine. Kang mangkono mau awit mung angesti marang adeging dhiri, ora ngesti kang jumeneng pribadi. Samangsa ngesti jumenenging pribadi, mangsa gelema ngengkoki marang sawijining dhiri, awit pribadi iku jatine sakehing dhiri, ora nganggo pilih kasih, marga tanpa timbangan, dadi lupute ora ngengkoki sapa-sapa, iya ngengkoki sakehing diri. Dene yen ora ngengkoki sapa-sapa, utawa ngengkoki sakehing dhiri, wis mesthi banjur sirna watake ing bab papandhingan dhiri, kang kalawan ora sinedya.
9.
Sarupaning makhluk iku satemene padha ngluhurake pribadi kang mengku marang rasa pangrasane. Iya pribadi iku kang disenengi dhewe dening sarupaning makhluk, ditresnani dhewe lan dilabuhi dhewe. Ananging ssarehning makhluk iku ora awas marang pribadine, wekasan keliru ing panganggep, yaiku : dhiri disengguh pribadi (kang dianggep pribadi mau dhirine). Mulane kaya mangkono, awit mbedakake dhiri karo pribadi iku pancen angel.
10.
Aku ana ing sanjeroning badanku, iku keliru, benere : badanku ana ing aku.
Aku ana ing swarga utawa naraka, iku keliru, benere : swarga utawa naraka ana ing aku.
Aku manggon ing jagad pepitu, iku keliru, benere : jagad pepitu ana ing aku.
11.

Kang aran aku iku dudu badan dudu rasa, dudu angen-angen, dudu budi, dudu nyawa. Badan, rasa, angen-angen, budi, nyawa, iku kabeh jirim, kang kawengku ing aku, dene aku iku wengkune.

Sarehning rasa-rasane manungsa ora kena kanggo nyatakake wengku mau, mula wajibing nyawa-nyawa mung sumungkem, gumulung tumuju marang oking batin. Sakehing rasa pangrasa kudu ssa-iyeg, gumeleng nunu marang batin, mung mangkono wajibing nyawa.
Kalane nyawa lagi lumaku saka lair marang batin, ora kena ora : rasa kang sumebar sangsaya kukud, sangsaya santosa, sangsaya akeh kang kukud. Lire : sangsaya ngedohi keblat lair, nyedhaki batin. Bisane santosa (kuwat) ora liya saka kerep ka-empakake dayane ginawe lumaku saka lair marang batin (samadi – tafakkur).

Lakuning nyawa saka lair marang batin mau manawa lestari, saya suwe saya mayar, ora rekasa, awit kapitulungan ing dayaning kajaten (jinurung ing pribadi). Wekas-wekasane : nyaa ora migunakake dayane babarpisan, mung maligi dayaning kajaten, yaiku kang diarani : Cengeng.
12.
Nalika rasa pangrasa durung nirmala, iya rasa pangrasa iku kang disengguh pribadi dening si rasa pangrasa. Tegese si rasa-pangrasa ngaku-aku supaya di-anggepa : aku. Dadi rasa-pangrasane manungsa iku tetela pancen ora bisa weruh marang kang mengku. Enggone ngrasa tumibane malah ngaling-alingi. Rehning kaya mangkono, bisane manungsa weruh marang kang mengku : ora ana maneh kajaba yen ora ngrasa, yaiku : rasa pangrasa bali marang kang mengku (pribadi – rasa kang sajati). Yen wis ora kaling-kalignan dayaning rasa pangrasa, mung pribadi kang ana. Ing kono lagi weruh marang dheweke, yaiku sing darbe rasa pangrasa, dudu rasa pangrasa kang kadarbe.
13.
Si Suta nuju poking batine dhewe, iku satemene : Si Suta mau ngener marang poking batine manungsa sa-jagad, awit poking batine si Suta iku iya poking batine makhluk kabeh. Ananging satekane ing poking batin, si Suta wis ora ana, kagentenan ing pribadi, kang nalika iku lagi mengku marang batine sakehing makhluk, (tembung : lagi tumrape kajaten ora wiwitan ora wekasan).
14.
Ora ana nyawa maded dhewe, mesti gumantung ing kajaten. Kajaten atinggal nyawa iya ora bisa, karo-karone tetep-tinetepan.

Barang kang madege katetepake ing liyane, ing basa manca karanan : Negatief. Kayata : ijo iku negatife godhong. Godhong negatife ijo, kuning utawa abang.mangkono uga : kajaten iku : negatfie nyawa, nyawa negatife kajaten. Si Suta negatife kajaten, kajaten negatife si suta.

Si suta butuh kajaten, awit adege si Suta saka ing kajaten. Dene kajaten, senajan ora butuh si Suta, nanging butuh nyawa saliyane si Suta, awit sajak negatif. Wengku mesthi butuh kang winegku, kaya godong anggone butuh marang salah siji saka : ijo, abang, kuning utawa putih.
Sarehning kajaten iku wengkuning nyawa kabeh, manungsa ora susah ngeling-eling bisane mengku marang alam, sumungkema pribadine bae. Sok uga lakuning nyawa tumeka ing poking batine, wis mesthi mengkune marang sakehing nyawa, awit negatif.
15.
Si Suta mulane ora bisa nyipati marang kajaten, awit kaling-kalingan dening pandulune si Suta. Mulane ora bisa nyakra bawa, sebab kaling-kalingan ing angen-angen si Suta. Mulane ora bisa ngrasakake marang jatine, awit kaling-kalingan dening  raane si Suta. Cekake : mulane si Suta ora bisa nyatakake jatine, sebab kaling-kalingan dening  rasane si suta (Pancadriyane). Anggere si suta isih ana, iya aora bisa weruh . (Sing ora weruh mau rasaning uwnge). Weruhe yen rasa Sutane wis ora ana : tanpa tilas, dadi kang werh mau dudu si Suta, yektine : Jatine.

Ewadene sanajan duduwa si Suta, iya dudu tanggane si Suta, isih ajeg dhewe, mung kacek maune “nyuta” banjur ora. (mari Nyuta). Mulane mangkono, awit kang jeneng si Suta iku pancen ora ana, kang ana mung : Dhewek. Dhewek mangkono kahanan tunggal jumeneng jejere sakehing rasa, uga jumeneg awake sakehe kadadeyan kang gumelar iki kabeh. Rehning mangkono, yaiku malihane si Suta, dhasar iku kang maune dadi si Suta.
16.
Ing swijining mangsa, manawa angen-angenmu panuju meneb, dening nafsumu panuju lerem, sarta ora tuwuh osikmu kang mangro mratelu, negmungna osik sawiji mulya, ya iku osik kang lerege, mung nuju marang kajaten, ing kono kowe wus andungkap tumeka ing budimu. Angen-angenmu karasa padhang awening.
17.
Bedane donya karo akherat iku dudu : saiki kro besuk, mung lair rkaro batin. Lair ana ing alam donya, batine ana ing akherat. Dadi : saiki uga  aku ana ing akherat, dene kang ana ngalam donya iku rasa pangrasa kang kawengku ing aku. Rasa kang kawengku iku wujude kayata : pikiran, bungah susahing ati, padhang petenging mripat, weruhing mripat marang kahanan kang gumelar, krunguning kuping marang swasra, legi paiting rasa ilat, grejel kasaping angan, lara kepenaking badan. Lan liya-liyane. Iku kabeh dudu rasa kang sajati. Mung ayang-ayanganing rasa kang sajati.
18,
Nggayuh kasunyatan ora kena ngendel-endelake guru ngelmu utawa layang. Kang perlu mulasara dhiri, etraping panganggep lan sucining ati. Nanging tanpa guru : ora dadi.
19.
Tipising hawa nafsu kinanthenan kandel kumandeling kaparcayan ora ananing apa-apa saliyene Pangeran, iku : ngedohake coba rencana, nyepakake karahayon, sanajan tumrap saiki utawa besuk.
20.
Swarga iku yasaning ati, Naraka iya yasaning ati. Awit saka iku perluning perlu ora kaya wong mbenerake lakuning atine.
21.
1. Ora ana kadadeyan kang dudu karsane Pangeran, sanajan ora anaa kedadeyan kang tanpa sebab. Pancen sabab dalah kang disababi : karo-karoning karsaning Pangeran.
2. Ora ana kadadeyan kang tanpa sebab, sanajan sebab mau sejatine ora nglabeti. Pancen Pangeran anggone nganakake kadadeyan mau karsane dikantheni sabab. (Pangeran iku tembunging manungsa kanggo ngarani marang jatine, Pribadi, iku tembunging kajaten kang kaucapake nganggo lesaning manungsa).
22.
Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden, tresnaa marang : sing dadi. Nanging aja gething marang daden-daden, sabab ing kono : ana sing dadi.
23.
Allah banget cedhake, malah sarupane kang padha cedhak-cedhak iku kabeh kalah cedhak, sanajan nyawa isih kalah cedhak. Ewadene wong sok nyana adoh : iya bener : awit kang aran adoh iku dununge mung ana ing panyana. Terange mangkene :
Adoh karo cedhak iku, karo pisan dak umpamakake barang. Barang iku mesthi manggon, amnggone ing panyana. Panyana iku manggon, yaiku ana ing kang mengku panyana. Ora ana maneh kang mengku panyana kajaba Allah. (Allah iku pribadi dalah rasa. Kabeh Pangeran : Pribadi Rasul rasane).
24.
1,
Si Suta saiki ana, biyen ora ana. Rehne mangkono, si Suta iku anane saka ora. Tembung mangkono iya bener, nanging karepa tembung anane saka ora : ora gampang. Nglengkara manawa kahanan gumandhul marang suwung. Suwung iku bisane mung sepi, tanpa rasa, ora bisa metu sutane.
2.
Si Suta saiki ana, biyen iya wis ana, nanging durung lair ing alam donya. Dadi si Suta iku anane saka ana. Tembung mangkono iku uga bener, nanging karepe tembung ana saka ana ora gampang, awit temung durung ana wis ana, iku tanpa teges (prakara kang akosokbali ora bisa kumpul). Kajaba saka iku, kang katetepan jeneng si Suta iku janjine rak sawise lahir. Sadurunge lair si Suta, ora ana kang katetepan jeneng si Suta. Lan maneh si Suta iku daden-daden kang molah malih, jebles ombak utaw mega. Sarehne kahanane si Suta ora ajeg, mangka sadurunge lair dijenengake si Suta, lah nalika durung lair mau kaya Suta nalika umur pirang taun, apa kaya nalika Suta nalika umur bocah, apa kaya Suta nalika bayi, apa kaya Suta tuwa.
Iku mung mungguh patitise mangkene :
Sadurunge si Suta ana, kang ana jatine utawa pribadine si Suta. Sebabe durung ana awit jati mau durung  Nyuta. Bareng jati mau Nyuta, pa=Nyutane mujudake daden-daden kang diparabi si Suta. Lawase enggone ana ks Sutan mau sajroning wektu kalane jati isih Nyuta. Yen jati lerem anggone Nyuta, daden-daden kang diparabi Suta mari ana. (Pa-Nyutane (anggone Nyuta) jati iku nganggo jirime. Jati ora owah gingsir sebab mengkana-mengkene pasrah marang jirime. Ancer-ancer 7.c.).
Anadene kang aran jatine si Suta iya uga jatine si Naya, uga jatine si Dadap, ringkese : jatining daden-daden kabeh.
Sanajan pribadi iku ra-a dicethak-cethakake : Sawise tunggal utawa wungkul, sok uga dirasakake kang memet, mesthi banjur tetela yen : Ora kena ora mesthi mung sawiji utawa tunggal, malah yen dirasa : Ora perlu diarani siji. Tembung siji iku tembung wong kang madoni pikire dhewe kang lagi bingung. Padha bae karo wong kang nyethak-nyethakake yen bengi iku ora bareng karo awan.
Rasaning tembung pribadi uga wus ngemu rasa ssawiji. Mulane diarani pribadi, awit tanpa timbangan. Umpama ana timbangane, ora diarani pribadi, awit ora pribadi.
25.
Yen rinasa kang temenan, wijining sakehe kaluputan, apadene lawang kang marang panasaran, sejatine ora liya saka manungsa enggone ora bisa ngrasakake bedaning “dhiri” kari “Pribadi”, jongsi dhiri dianggep Pribadi. Mangkono uga kosok baline, wijining kautaman utawa lawang kang marang papadhang iya saka bisane manungsa ngrasakake bedaning dhiri lan Pribadi.
Terange mangkene : Sakawit saka ugering kodrat : sarupane kang urip tresna bangat marang pribadine, gedhening sih tresna tanpa timbangan, ora ana katresnan kang gedhene ngungkuli  katresnan marang Pribadine. Mungguh ugering kodrat mangkono iku wis benere, jer sejatine ora ana apa-apa, mung pribadi kang ana.
Ananging ---- sarehnig kang di-anggep pribadi mau dhiri, yaiku jirim (kasar lan alus) wekasan katresnan kang gedhene tanpa wates mau tumibane marang dhiri kang kudu diluhur-luhurake.
Patrpa anggone tresna utawa ngluhurake dhiri mau mangkene :
Kaya umpamane wong lumuh ngalah ujar sakarepe, laku satindak, utawa kepati-pati ngalingi kaluputane kang wis tetela, kongsi dilabuhi ngetog budi lan ngingar-inger nalar, murih awake ora katon ala utawa luput. Iku yen diurus mungguh suwadine, ing kono banjur ketemu, yen uwite saka bangeting tresna marang pribadi. Enggone nemahi kaya mangkono mung marga saka kelirune bae, yaiku L dhirine dirasa Pribadine utawa jirim disengguh kahanan jati.
Kang saumpama bisa misah dhiri lan pribadi, mesthi dadi kosokbalene, liremalah ngukum lan mbantah nafsune kang ajak kaya mengkono, awit mengkono iku agawe pepeteng, sangsaya banget anggone sulap marang pribadine.
Kang marakake manungsa kedunungan watak kegedhen melik, jahil, drengki, dahwen, gumedhe, kumingsun, kuminter, ewan lan sapanunggalane  : kabeh tuwuh saka rasa ati kang ajak ngluhurake dhiri.
Dhirine katon luwih lan oleha kang luwih katimbang liyane. Ora mung pikire wong liya kang dipurih mangkono, dalah pikire dhewe uga di ajak dening nafsune supaya nganggepa becik, luhur lan bener marang dhirine mau. Pikire dhewe uga manut, kongsi ora percaya yen patrape mau luput utawa ala, uga ora percaya yen peteng marga saka patrape.
Wong nemahi kaya mangkono sebab saka : tresna marang dhiri. Sebabe tresna marang dhiri sakawit saka : tresna marang pribadi. Mulane dadi tresna marang dhiri mung saka keliru penganggep. Sebabe keliru penganggep. Awit mbedakake dhiri karo pribadi iku, luwih dening ewuh sarta oran kena diterangake naggo tembung.
Wong jubriyahm kibir bidngah, sombong sapanunggalane : kabeh tuwuh saka : angen-angen kang ngajak ngluhurake dhiri. Pikir kang mangkono iku arane pracaya utawa nganggep, yen dhirine iku kawasa, becik, luhur sarta bener.
Sarehning saya tresna marang dhiri, saya kelangan pribadine (kaya ilanging jirim karo raen), mulane saraking Agama nglarangi banget marang wong jubriya, kibir bidngah, sombong sapanunggalane. Larangan mau sejatine saka pangeman lan rumeksane marang manungsa, aja kongsi kleru pangangep, ora weruh  marang pribadine, dadi jalaran ora saka guru kang ora dhemen marang watak kang mangkono, lan ora jalaran saka disikokake ing Pangeran. Tembug kesiku iku tegese kang sejati K kasrimped utawa kesasar dening pratrap dhewe.
Tembung : Jubriya sapanunggalane, tembunge Jawa : Kumingsun (duwe panganggep kaya ingsun), sarehning dudu ingsun, maka di-ingsun-ingsunake, temah nyirnakake ingsun, nganakake jirim. Benere : nyirnakake jirim, nganakake ingsun.
Wewatekan kang tuwuh saka bangeting tresna marang dhiri, kang nglalekake marang pribadi, yen kabeber akeh warnane. Kayata : Saweneh manungsa karem marang kahurmatan, angkuh utawa sikon, iku uwite saka ngengkoki dhiri siji.
Sarehning manungsa duwe watak epeh, lumuh gawe kabecikan, iku sakawit saka keliru penganggep, dhirine disengguh pribadine. Saweneh manungsa duwe watak meren, murinan, panasten, iku ora liya jalaran iya anggone mbaukapine karo salah sawijining dhiri.
Ana wong kang dhemen nutuh wong kaluputan sarta dhemen ngalem wong kang lagi kabeneran, iku iya saka rasa ati kang ngajak ngatonake dhirine.
Ana wong lumuh rumasa oleh pitulung utawa pitutur ssaka liyan, dhemen ngaku aweh pitulung utawa pitutur marang liyan : iku jalaran iya saka nafsu kang ngluhurake dhirine.
Ana wong watak buterapn ing bab prakara-prakara rupa-rupa : iku iya saka bangete olehe ngiloni dhiri siji.
Ana wong watake lumuh medharake kabecikan dhirine, iku sebabe iya saka tresna marang dhiri. Ora sumurup marang pribadi.Lan liya-liyane. Sakehing wawatekan kang aa : sebab ora liya saka ora sumurpe marang pribadine.
Manungsa saya bisa nyilah-nyilah dhiri lan pribadine, saya sauda watake kang kumudu-kudu ngluhurake dhiri, marga kang di-engkoki jatine sakehing dhiri. Dadi : lupute  oran ngengkoki sawiji-wiji, iya ngnegkoki sakehing dhiri. Panganggaep kang mangkono, gedhe banget dayane, kawasa nyirnakake wawatekan kang ala, kang kasebut mau kabeh. Banjur nganakake watak sabar, welas asih, sumeleh, rila, lega, legawa, ayem, tentrem, narima, wasana ndadekake weninging budi (). Sadurunge sarira Bathara wis ngicipi rakhmat, ngenyami rasa kang mulya, nikmat lan munpangate ngungkuli wong sugih lan luhur.
Manungsa, sajroning nyaburgawe utawa leren saka nyabut gawe, ing wayahrina lan wengi, aja peagr elinge yen ---- pribadi kang ana. Dhiri sipate pribadi.
Yaiku maksuding lapal  : Lailaha-illallah, Muhammad Rasulullah.
oooOOOooo
26.
Mratelakake mangsane wong nganggo lan mbuwang piranti, (Umapa A nganti F).
UMPAMA A : Wong kang pinter nunggal egrang utawa sepedah iku ora dupeh wong kang rosa, Sanajan kuru lan ringkih, yen wis prigel, wasise ngungkulu kang lemu lan rosa.
Semono uga, kalane lagi sinau marang kaprgelan, kudu nganggo karosan uga. Gunaning karosan kanggo mitulungi ing kidhunge. Yen wis mari kidhung, karosan ora di-enggo. Kang di-enggo mung : prigele.
Lire ing dhuwur iku :
Karosan iku piranti kang kudu di-upaya landi-engg ing wong sinau nunggang egrang kalane durung prigel. Saise oleh kaprigelan (oleh-olehane rasane kang tansah niniteni)ing kono wis wiwit nyuda panganggoning karosan, dening wis salin piranti : kaprigelan. Ing wusanane karosaning awak prasasat ora kanggo. Di salini kaprigelan.
Saka nalar kang mangkono iku, kita nemu wawaton : piranti iku di-upaya kalane durung ana lan kudu di-enggo kalane isih perlu nganggo. Dadi luput manawa kita lumuh nupaya nalika durung duwe utawa lumuh nanggo kalane isih perlu nganggo, nanging : iya keliru manawa kebanjur (karem) ana ing piranti bae.
UMPAMA B  : Bocah kang durung sumurup lan ngrasa marang paedahe adus lan sinua, tartampu ora gelem nglakoni adus lan sinau. Tumrap bocah kang mangkono perlu di-alembana utawa diganjar manawa gelem adus lan sinau, terkadang iya perlu diwenehi paukuman utawa disrengeni manawa ora gelem adus lan sinau. Dayane pangalembana lan ganjaran nuwuhake kapenginan lan karep marang adus lan sinau, dayaning ukuman lan pengrang-erang nuwuhake wedi lan isin.
Mungguh kepengin, wedi apadene isi, kabeh iku dadi piranti kang nuwuhake karep lan nulak marang kesed, utawa lumuhe. Awit dening karep dadi nglakoni. Awit saka nglakoni marambah-rambah, tuwuh pangreten lan rasane marang paedahing adus lan sinau. Sawuse cukup pangretene lan bisa ngrasakake dhewe, ing kono wis ora nganggo piranti kang arupa kepengin marang pangalembana lan wedi marang paukuman, marga wis disalini ing pangreten lan rasa.
UMPAMA C :  Wong becik iku ora dupeh kang dhemen marang panggawe becik sarta gething marang panggawe ala. Senajan ora dhemen marang panggawe becik sarta ora gething marang panggawe alan, yen dhasare watake wong mau becik, iya luwih becik katimbang kang dhemen panggawe becik lan gething marang panggawe ala. Samono mau kalane lagi nggegulang kalakuwan kang becik : (rehning durung becik) iya kudu kang dhemen marang panggawe becik, sarta kudu gething marang panggawe ala. Mungguh gunane dhemen karo gething mau supaya ngedohna si ala, nyedhakake marang si becik, yen wis oleh dhasar becik, wis ora susah nganggo piranti dhemen utawa gething marang sabarang prakara, awit kang  mumpangati : becike, dudu si dhemen karo si gething, malah dhemen lan gethinge : ngrubedani, awit kang aran gething karo dhemen iku dayaning nafsu.
(Nganggo piranti nalikane isih perlu nganggo, iku kena kaumpamakake : nunggang tunggangan nalikane durung tekan ing panggonan kang dituju. Mangkono uga kosokbaline : ninggal piranti samangsane wis ora perlu nganggo, iku kayadene wong kudu mudhun sakan tunggangan samangsane wis tekan ing enggon).
UMPAMA D : Manungsa kang utama iku satemene ora dupeh kang isin marang panacad lan seneng marang pangalembana. Sanajan manungsa iku ora dhemen misuwur lan ora isin kacacad ing wong, manawa yektine dhasar mangerti lan eling (jalaran mengkoki jatine, ora nganggep marang dhirine) iku mumpangate ngungkuli kang dhemen misuwur lan isin dicacad.Semnono mau pamardining budi murih bisa tumeka ing papadhang le eling : sakawit kudu melik ka-alembana lan isin kacacad (miturut ugering reh kaprawiran). Gunaning ppiranti iku kanggo ngajokake nafsu kang marang ka-utaman, serta menggak nafsu kang marang kanistahn, dene yen wus kaleksanan tumeka ing kautaman, lumuh marang kanistahn, dening wis awas budine – ing kono wis mangsane ora susah melik ing pangalembana lan aja isin di cacad sapa bae, (Iki kang aran ngungkurake dhiri, madhep marang pribadi), awit nafsu kang marang kanisthan wis nirmala waluya, kagentenan ananing rasa tunggal, woring budi eling. Sasirnaning nafsu kang marang kanisthan, kari nyirnakake nafsu kang melik ing pangalembana lan isin dicacat, awit iku rereged tumraping kajaten.
(Lumuh nganggo piranti kalane isih perlu nganggo : iku keliru. Nanging iya uga luput manawa benere wis atinggal piranti teka kabanjur nganggo piranti bae dening piranti mau rinasa utawa disengguh sing duwe piranti).
Mulane melik ing pangalembana lan isin kacacad kudu kasirnakake, awit iku uga nafsu kang nasarake angen-angen. Lire si nafsu enggone nasarake yaiku : angen-angen di-ajak ngengkoki dhiri siji.
Mangka yen ngengkoki dhiri, kelangan pribadine, lali yen jati kang ana. Awit saka iku, kang wajib diturut : Budi, awit iku tuduh marga : nymurupake marang bener, kayata nyumurupake marang ora anane apa-apa mung pribadi kang tunggal, dadi iya nuduhake yang kang di-alembana lan di cacad iku mung ayang-ayangan sajroning pramana (pangilone pribadi), kang sawatara mangsa engkas bakal sirna. Dene kang ngalembana utawa nacad iku rasa kang ora sejati (maya) kang kumambang ing Pribadi kang tunggal ringkese : kang ngalembana lan kang di-alembana : karo pisan padha gorohe, sajatine tanpa tanja.
Awit saka iku tetela yen rasaning ati kang seneng marang pangaembana lan isin kacacad, iku mung dadi piranti kang dianggo ing sawatara mangsa bae. Manawa arep manjing jaten, piranti iku kudu dibuwang (wong nununggang, yen wis tekan ing panggonan, kudu mudhun saka tunggangane).
UMPAMA E. : Antenging samadi, iku ora dupeh ana ing panggonan kang sepi nyenyet, sanajan dumununga ing papan kan akeh swara, yen wis prigel ngempakake pangesthi, bisa tetep ngungkuli kang dumunung ing pasepen. Samono uga pamardining kabisan, kudu dumunung ing papan kang sepi. Gunaning sepi kanggo nglumohi ing kagetan. Lan nyut-nyutane. Yen wis lantih sepining panggonan wis ora perlu, kang perlu : Kaprigelane.
UMPAMANE F :  Manungsa kang sampurna iku ora dupeh wong kang milih panggawe becik, nampik marang panggawe maksiat, sanajan nglakonana panggawe maksiyat sarta ngumpulana wong kang dhemen marang panggawe ala, yen atine dhasar suci (kalis karo ala) sukcine ngungkuli wong kang padha sumuci-suci. Semono mau, kalane lagi ngudi marang kasukcen, iya kudu milih panggawe becik, aja awor wong ala, sarta kudu lumuh nglakoni panggawe kang bisa nggandeng nafsu kang ala. Gunane milih kang becik, ngedohi panggawe ala mau kanggo nglumohi ing petenging budine lan enggone durung sukci, durung gkalis karo ala (gampang keplesete).Yen wis padhang budine sarta kalis karo ala, ing kono wis ora perlu nampik milih, kang perlu : wewekane lan kalise karo ala.
27.
Kelira-kleiruning panganggep, yaiku :
Ana kang tumiba marang dhiri, ana kang tumiba marang Pribadi,
Yen tumiba marang dhiri, nunggal karo angen-angen nganakake ambek kumingsun.
Yen tumiba marang Pribadi, nunggal karo Rasa Tunggal, nganakake tekad.
oooOOOooo
Manungsa nggayuh marang kajaten iku wajibe. Bisa widhadha : Kudu nganti pracaya marang pangawasa kang dumunung ing dhirine. Enggone nggayuh aja dipaido bisane kaleksanan, tegese : aja ngapesake marang dhirine. Samono mau iya kudu sumurup sebabe dhirine ora kena di-apesake.
Mulane dhirine ora kena di apesake, awit mobah mosiking manungsa utawa krenteg krekate manungsa anggone nggayuh kasampurnan, sajatining apngaling Pangeran, dadi yang manungsa ora percaya marang dhirine, prasasat ora percaya marang apngaling Pangeran, utawa ora ngandel marang kawasaning Pangeran. Yen ora percaya marang kawasaning Pangeran kang dumunung ing dhirine, dalaning widada kapepetan ing pamaidone dhewe, wekasan dhirine bisa uga dadi apes temenan marga saka anggepe pribadine.
Ananging aja banjur duwe panganggep : dhirine bisa utawa kuwasa. Awit saka iku di-awas marang keliara keliruning panganggep. Sanajan keliruning panganggep iku dumunung sa-jroning batin, ewadene bisa atara lan kerasa, awit katon ana ing patrap.
Wulanging Agama: Manawa ngaku Allah arane tekad kadariyah. Yen ora ngaku arane tekad Jabariyah. Karopisan ora bener.
Yen ngaku disebut kufur, yen mungkir diarani : kafir, nanging yen ora ngaku ora mungkir ka-aranan : kopar.
Kapriye benere ? Bisane sumurup bener manawa bisa ngrasakake bedaning dhiri lan Pribadi, awit maksuding kiyas, ora liya mung murih ngengkokana jatine sarta ngungkurna dhirine.
=è>TAMAT ------ SURASANING SERAT JATIMURTI <ç==


RINGKESING KAWRUH I NGANTI TUMEKA VII

I.     
Kang diarani nyawa iku uriping rasa
Kang diarani rasa iku pratandhaning nyawa. Tegese
Mulane bisa ngrasa, awit urip.
Tandhaning urip : bisa ngrasa.
Nyawa iku wujud jirim, yaiku sipating kajaten.
II.
Rasa-rasaning  manungsa ana telung golongan :
1. Rasaning badan wadhag
2. Rassaning ati
3. Rasaning engetan.
Dadi manungsa mengku urip telu :
1. Nyawa badan lumrahe mung diarani : rasa.
2. Nyawaning ati : lumrahe mung diarani : ati.
3. Nyawaning engetan, lumrahe mung diarani : Budi.
CEKAKE :
Adeging manungsa iku woring rasa tetelu : budi; ati; rasa.
Rasa, kang dadi pangareping urip ngalam donya.
III
Budi --- ati --- rasa : padha urip ing ngalame dhewe-dhewe.
Alaming bumi diarani          : Guruloka (Betalmakmur)
Alaming ati diaranai                        : Endraloka (Betalmukharam)
Alaming rasa diarani           : Janaloka (Betalmukadas)
Budi lamabrane sirah, telenge ing uteg.
Ati lambarane dhadha, telenge ing jantung.
Rasa lambarane badan sakojur, telenge ing farji.
Keterangan :
Manungsa urip ing alam donya, iku sejatine kang dumunung ing alam donya mung badane wadhag, yaiku uriping rasa badan kang wadhag.
Denen, atine ora melu ana ing ngalam donya, tansah urip ana ing betalmukharam, dene budine : urip ing betalmakmur. Kauripan tetelu dadi siji, nanging siji-sijine ora gepok senggol.
IV
Kang di udi dening manungsa :
Dhisike          : Weninging budi disebut : kawicaksanan.
Banjur                        : Kajaten, disebut : Kasampurnan.
V
 Kapriye patrape nggayuh weninging budi utawa kawicaksanan?
Satemene kang di gugulang dening para ulah ngelmu iku lerege ora liya mung :
1. Manut budine, (awit Budi iku mesthi bener).
2. Meper : uriping ati (Nafsu)
3. Meper : uriping rasa.
Urip, dening kerep ka-empakake dayane
Peper : dening disudani empane.

Keterangan :
1. Uriping raa lan ati, manawa peper, dayaning uripe ora ilang, mung ngalih banjur nguripi budi, ing kono budi dadi gedhe dayane, diarani wicaksana, tegese : padhang. Lempering rasa lan ati di-arani : tentrem, lerem utawa ayem.
2.  Kng endi kang gedhe urube : iku kang kuwat dayane, dadi pangareping urip, tegese : ngorupi. Yen kang gedhe uriping rasa manungsa karup ing rasa, banjur rumangsa ana ing Janaloka (sareH), Yen kang gedhe uriping ati, manungsa korup ing ati, banjur rumangsa ing Endraloka. Yen kang gedhe uriping Budi, manungsa kurop ing Guruloka, aran sarira Bathara. Ngambah Guruloka lagi jeneng wicaksana utawa pramana, ing kono dalan kang marang kasampurnan.
VI
Kang dirasa --- rasane – kang ngrasa.
Kang di arani alam iku kang dirasa, dudu rasane lan dudu kang ngrasa.
Kang diarani nyawa iku kang di enggo ngrasa, tegese : rasa, dudu kang di rasa lan dudu : kang ngrasa.
Kang di-rasa diarani : ngalan Kabir.
Kang di enggo ngrasa diarani : ngalam sahir
Kang ngrasa diarani : kajaten.
Kang dirasa iku sejtine ora ana, awit anane gumantung marang anane rasa. Ananging rasa gumantung marang anane kang ngrasa.
Dadi sejatine ora ana apa-apa, mung kang ngrasa kang ana.
Tembung lali, tegese : korup marang kang di rasa, ora ngelingi rasane, luwih-luwih marang kang ngrasa.
Eling, tegese : Awas marang rasane, ora korup marang kang di rasa.
Sampurna, tegese : awas marang kang ngrasa, ora korup marang rasane, luwih-luwih marang kang di-rasa.
VII
Keterangane tembung kang ngrasa.
Kang ngrasa saka : Kang lan ngrasa.
Kang : iku enenge, ngrasa : iku panggawene.
Kang ngrasa enggone ngrasa nganggo rasane, ora nganggo kange, Dadi : kang, iku mung mengku, tetep langgeng ora owah gingsir, sebab pagaweyan ngrasa wis diwakili ing nyawa piranti ngrasa. (Sarupane kang wujud jirim, tumrape kajaten mung obah-obahan – dadiyan – ora kena kinaya ngapa bab patraping obah, awit ana keblat lahir dan batin).
oooOOOooo

Pitakon lan wangsulan maksude layang Jatimurti

Apa maksude layang iki ?
Yaiku : marsudi patraping tekad apadene panganggep kang bener mungguh ing kahanan kang sajati, tuwuh saka nalar kang terang lan kusus.
Patraping tekad sarta panganggep kang bener mau kudu dinata kanthi padhanging nalar. Dene padhanging nlar tinemune saka terang marang : apa lire kahanan jati sarta apa tegese wong ngudi kawruh. Terange ora njaba kudu kajereng kang genah asilah.
Yen manungsa ora luput ing pangerti lan ora keliru ing panganggo (pangadel) tartamtu ora keliru ing tekad, dene yang ora keliru ing tekad, iay ora keliru ing patrap, iya patraping tekad (lenge), iya patraping ati (watak), iya patraping raga (solah bawah).

Apa tegese patraping tekad ?

Patraping tekad, tegese : anggon nata lakuning batin, kapriye lenge utawa elote.
Ananging kapriye ta enggone ngarani utawa nembungake, rehning mangkono mau awujud rasa. Apa ana wong  bissa nuduhake : rasa. Umpamane : rasa kang sok di-arani nganggo tembung asin, iku kepriye enggone mratelakake. Awit tembung : asin rak mung di enggo ngarani bae, ora bisa nuduhake rasa (Wong bisa nuduhake rasa asin manwa ana wong bis nyilihi ilat),
Jerenge tembung kahanan jati apadene keterangan kawruh ukuran kang kaping pat : iya mung wujud unen-unen kang mratelakake kawruh (pangreten). Kawruh iku dudu tekad, semono uga manawa di rasakake kang temenan, kawruh mau dadi srananing panggraita kang banjur nuwuhake : rasa rumasa, panganggep kongsi tumeka ing tekad.
Kita bakal ngaku yang panganggep lan tekad kang bener iku tenimu sajroning wong ngempakake pikir lan ngrasak-ngrasakake kawruh. Awit yen wong durung ngerti apa-apa, iya durung duwe tekad apa-apa, jalaran durung duwe penganggep kapriye-kapriye.

Apa perlune wong duwe tekad lan panganggep kang bener ?

Gedhe banget dayaning tekad kang bener utawa pangangep kang pratitis mungguh ing kahanan jati. Awit tekad  utawa penganggep iku mahanani patrap (patraping rasa lan budi kelakuwan) kaya : 1 ngangti 6.
1.
Nyrinakak anggep kumingsun, gumedhe, kuminte, sapanunggalane. Manungsa kang bener mungguh  ing panganggepe maring kahanan kang sajati, iku lakune satindak lan ujare sakecap tansah katitik ana pasemon, yen sepi ing pamrih, tegese sepi saka ing anggep mitontonake dhiri. Apa ta sebabe : iya saka rumangsa yen dheweke satemene dudu kang katon jirim iku, kabeh-kabeh dudu kahanan kang sajati sarta sawatara mangsa engkas bakal sirna.
2.
Nyirnakake watk melikan, penginan, sugih pakareman sapanunggalane : Apa sebabe : iya saka rasa lan rumasa yen donya iku luwih dening sepele sarta mung sedhela, jer dudu kahanan jati. Dhewekang sajati. Langgeng ana ing kasukcen ra butuh apa-apa.
3.
Nyirnakake watak gethingan, panasten, murinan, sugih duka sapanunggalane, awit rumasa yen dhirine padha lon wong liya. Kabeh kang wujud jirim : sipatendhewe. Kabeh rasa : rasane dhewe, sarta kabeh-kabeh dudu kahanan kang sejati.
4.
Nirnakake watak kagetan, gumunan, gimiran, ngresulan, uwas, sumelang spanunggalane, awit saka kandel piyandele yen dheweke kang sajati ora ika iki. Kabeh panggawe saka dheweke kang enggone nindakake kukum ngadil marang sipate, Kajaba iku ora ana prakara kang langgeng (bungah susah sapanunggalane) kajaba mung dhewe kang sajati.
5.
Nyirnakake watak demen goroh, dening rumasa yen goroh iku gawe gorohing atine dhewe, sarta tuwuhe mung saka pamrih kang banget enggone sepele.
6.
Nganakake watak lembah manah, welas asih, ayeman, tentrem, narima, sumeleh, dhemen tetulung, rilan, tawayuh, sapanunggalane, awit sumurup yen wong liya padha lan badane, kebh uwong : sipate dhewe, kabeh rasa : rasane dhewe, apamaneh  dhirine iku dudu dhewe kang bener.

Ing angka 1 nganti 6 mau, dayane ambeningake budi. Bening budi ndadekake awas marang dalan kang marang kawicaksanan : Kawicaksanan dadi dalan marang kasampurnan, dadi :
1). Manungsa nggayuh marang padhanging budi, kudu mbuwang reregeding ati. Patrape mbuwang reregeding ati : kudu kanthi padhanging budi. Karone kudu tumindak bareng.
2). Marsudi padhang kanti mbuwang reregeding ati mau : kudu bener panganggepe mungguh ing kajaten, dene bisane bener panganggepe mungguh ing kajaten, aranane iya kudu mbuwang reregeding ati kanthi madhangake budi. Karone tetp tinetepan, kudu tumindak bareng.
3). Enggone tumindak bareng mau saka sethithik. Ngudi kawruh sarana madhangake budi sarta mbeciki watak, kena ka-umpamakake : Ngajokake kereta sarana ka-ubengake rodhane. Lire yaiku : enggone tarik tinarik ajuning kereta karo ubenging roda kaya tarik tinariking panggayuh papadhang ilanging rereged. Ajuning kerata : dayane ngubengake rodha, ubenging rodha dayane ngajokake kereta. Mangkono uga papdhang lan cipta utama : dayane nyirnakake rereged, titimbangan : wong mbuwang rereged nemu pepadhang.

Prayoga ka-anggit sajroning ati.
Wongnggeret kereta wiwitane rekasa, nanging suwe-suwe suda rekasane, awit kapitulungan ing daya laku (energie). Wekasane sirna rekasane, awit kereta banjur lumaku dhewe tanpa digeret lan di-ubengake rodhane, malahan genten : kang nggered nunggang ing kereta kang wus lumaku dhewe mau. Iku dadiya pipindhan lakuning jiwa menyang batin. Sabarang prakara wiwitane panecn angel, apamaneh prakara ngudi kawruh kasampurnan. Naging angele di-kayangapa, lawas-lawas suda angele, wekasane : sirna angele, awit dayaning nyawa kapitulungan ing dayaning  kajaten. Banjur genten : nyawa ora melu namakake daya apa-apa, mligi dayaning kajaten. Ingsun ing telenging batin, tansah narik nyawa kang lumaku menyang kajaten. Sangsaya cedhak lan pusering batin, sangsasya oleh dayaning kajaten (jinurung ing pribadine).

Dzat iku apa, kapriye, kaya apa ?

Apa ana wong bisa mratelakake ?
Wong ngarani : mung oleh : aran. Wong ngrasakake, mung oleh : rasa. Wong nypati, mung oleh : sipat.
Aran, rasa apadene sipat, iku dudu : Dzat (kajaten). Dadi Dzat ora kena diarani, ora kena dirasakake, ora kena disipati. Cekake : Cep tan kena kinucap. Tan kena cinakrabawa, tan kena kinayangapa. Kenane mung dinyatakake nganggo kajaten, tegese nganggo gaibing rasa.
Rehning ana gumanthung ing pangesti, sirna gumantung ing lali, sarta manungsa kudu duwe panganggep marang ora ananing apa-apa kajaba mung Dzat, mangka Dzat ora kena cinakrabawa, utawa kinayangapa, lan kepriye patrape ngesti marang ananing kajaten lan nyirnakake kang gumelar ??
Mangkene : Dhisike kudu terang marang tegese wong ngudi kawruh, yaiku nalar-nalaring pangudi kawruh apa ka-aran kahanan jati, endi kang dudu, kepreye keterangane lan liya-liyane. Sawuse uwong kadunungan ing pangerti kang benre lan terang mungguh ing ka-alusan, ing kono panganggep mau banur mapan dhewe, ora kalawan digawa, sarta tekad iya banjur thukul dhewe, ora klawann digoleki. Dene yen wus kadunungan ing panganggep lan tekad, ing kono patrap iya dadi karepe dhewe, iya patraping tekad, iya patraping ati, iya patraping solah bawa.
Iya tartamtu bae ta wiwitane durung patiya terang durung tetep ing pamanggone, lan durung patiya bener ing pamapane, nanging saya lawas saya terang, saya manggon lan saya mapan. Wasana tansah kasandhang salawase, sanajan karo lumaku, karo nyambutgawe lan karo turu : panganggep lan tekad mau tansah manggon lan mapan. Samangsa-mangsa semadi, panganggep lan tekad cumawis njurung lakuning rasa.
Lire panganggep utawa pangandel, yaiku : Patrap enggone nganakake. Naging dudu pangira-iraning pikir, panggambar utawa pagentha-etha, dadi mung adeping ati marang pusering batin. Apa ta lire andhep? Umapamkna : wong madhep mengalor, iku kudu : ndeleng rurupan kang dumunung ing elor, awit adhep mangkono mung : patrap. Uga mangkono bab wong madhep marang batin, aja ndulu apa-apa; tegese : Nglalekna (ora merduli) sarupane kang katon lan karasa sa-jeroning semadhi.
Sirnaning jagad saka : Lali. Liring lali : Sirna rasa pangrasaning kawula dening katut dayaning  panganggep kanthi iktikad. Senajan panganggep kanthi iktikad mau skawit saka : panggawening kawruh, nanging gedhening dayane kawawa narik dayaning kawula, kongsi dayaning kawula sirna katut dayaning iktikad, kang awor dayaning kajaten.
Sepisan engkas : Panganggep kanthi iktikad thukul dhewe sarta mapan dhewe, dayane ngebat-ebati, sarta ing wekasan malih dadi dayaning kajaten.

Katerangan Ringkesan (pungkasan)
Sakawit, kita mbudi marang pangerti, diarani : ngelmu. Pirantine : pikiran lan rasa. Saka ngelmu tuwuh panganggep kanthi iktikad. Sawise kadunungan panganggep kanthi iktikad, ngelmu wiwit ora kanggo, pikiran karindhikake. Dadi kudu mbuwang pikiran kang akeh-akeh, sarta ngringkes karep kang rupa-rupa (meneng) kagelengake dadi sisi, awor lan tekad.
Lakune rasa pangrasa murih ora menggak-menggok, sarana rambatan talining urip, kang nggandeng uriping dumadi lan urip kang langgeng (panas) iku kang minagka pandom lan rambatan. (Sampurnaning prakara iki kudu ka-gurokake). Manawa lestari lan kukuh enggone gandhulan (ora keselanan gagasan lan ora katuron) sirna ayang-ayangan sajeroning pangilon, kari pangilone. Wekas-wekasane : Sirna pangilone, Kari kang ngilo.

Pribadi ing Telenging batin iku sing endi?
Teleng batin iku endi?
Ngadepake ati marang telenging batin iku kapriye ta?
Iya pitakon mangkono iku sebabe uwong nganggit layang Jatimurti, Tasawuf, hidayatjati sapapadhane, supaya : kang takon ngrasakna kawruh. Banjur tuwuh panggraita lan panganggepe kang saya lawas saya mapan, awit kapriya ta wong nudhuhake Rasa nganggo Tembung? Mau mula tembung iku mung kanggo ngarani, ora bisa nuduhake Rasa, kang diarani.
Mung tekan semene dayaning Tembung.

Oooo==== T A M A T ====ooO
SEPANJANG, 26 Januari 2014
Minggu Kliwon, 24 Mulud 1947 H.