Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Jumat, 20 Februari 2015

Nasihat Kresna Kepada Harjuna Dalam Serat Bhagavad Gita “Nyanyian Sukma”


NASIHAT KRESNA KEPADA HARJUNA DALAM SERAT BHAGAVAD GITA
“NYANYIAN – SUKMA”
Oleh : IMAM  SUPARDI
Penerbit : Penyebar Semangat Surabaya
Tahun : 1961
Naskah asli dalam Bahasa Jawa
Edit Penerjemah : Pujo Prayitno

DAFTAR   -   ISI
1. Gambaran Betapa Beratnya Hendak Meninggalkan Kesenangan
2. Sukma dan Roh itu Kekal
3. Jalan Menuju ke Ketenteraman
4. Dua jalan untuk menggapai Keselamatan
5. Hampa Pengharapan Penuh Ibadah
6. Penyatuan dengan cara menjalankan Kewajiban
7. Siapakah Sebenarnya Ingsun itu?
8. Ibadah yang hanya berdasar Pengabdian
9. Isi Ibarat dari tiga Kuda Penarik Kereta
10. Penyatuan dengan jalan Merdeka karena Ikhlas
11. Ringkasan Isi Ajaran Sri Kresna
12. Pendapat yang Berdasar Telaah dan Penalaran

1.
GAMBARAN BETAPA BERATNYA HENDAK MENINGGALKAN KESENANGAN

Seperti sudah banyak diketahui, bahwa isi dari Bhagavad Gita atau Nyanyian Sukma itu adalah mengisahkan ketika Harjuna akan berperang dalam perang Baratayuda. Ketika Harjuna sudah sampai di tengah-tengah barisan antara barisan Pasukan Pandawa dan Kurawa, begitu melihat bahwa yang ada di barisan musuhnya adalah saudaranya sendiri, para kerabat, kakek, dan gurunya, maka Harjuna kemudian jatuh tersungkur hilang kekuatannya. Sri Kresna yang bertindak sebagai Kusir pengendali Kereta Perang, kemudian memberikan Nasihat Ajaran agar supaya Harjuna sadar akan kewajibannya sebagai Satria, sehingga muncul kekuatan serta tumbuh semangatnya. Nasihat dan ajaran inilah yang disebut Nyanyian Sukma.
Apakah cerita yang demikian itu pernah terjadi sungguhan, bahwa ketika berada di tengah-tengah barisan pasukan perang, udah saling berhadap-hadapan dengan musuh yang sudah mempersiapkan diri untuk saling menyerang, tiba-tiba Sri Kresna masih sempat memberikan nasihat ajaran kepada Harjuna tentang ilmu kesempurnaan, yang nasihatnya itu sangat panjang ? Apakah hal itu tidak tiba-tiba diserang musuh? Apakah nasihat ajarannya itu akan bisa urut, tertata, dan apakah yang diberi nasihat ajaran akan bisa menerima dengan tenang?
Sebenarnya, kejadian terebut hanya sebuah ibarat saja, sebuah ajaran luhur yang dirangkai dengan halus, diselipkan ke dalam cerita yang juga mengandung sejarah. Agar supaya Ilmu Tinggi tersebut bisa meresap dan lebih menarik hati, sehingga bisa kekal menjadi cerita dan menjadi pembahasan selama-lamanya. Menjadi bahan telaah dalam waktu selama-lamanya, yang tidak membosankan, yang bisa menumbuhkan semangat dan cinta untuk memahami dan mengerti isi dari nasihat ajaran yang sejati.
Menurut para ahli sejarah, Perang Baratayuda Jaya Binangun itu memang pernah terjadi sungguhan, namun tidak peris sama seperti isi kisah dalam “Mahabarata”, seutuhnya. Sejarah India menjelaskan, bahwa di jaman dahulu memang  pernah ada pertempuran antara Kerajaan Pancala dengan Kerajaan Kuru, yang disebut Negara Bagian Barat dan Bagian Timur, atau juga yang disebut Negara Madyadesa, yang berada di antara Bengawan Gangga dan Bengawan Jumna.
Dalam kejadian tersebut, pertempuran antara Kerajaan Kuru dan Pancala, yang dipergunakan sebagai media oleh Pujangga India “Wiyasa Kresnadipayana untuk menyebarkan ilmu batin Hindu, denegan cara diselipkan di antara cerita-cerita. Atau bisa juga sebaliknya, yaitu Pujangga tersebut mengarang Buku Babad India yang diselipkan Ilmu luhur, sebagai inti cerita, agar supaya bisa lebih bermanfaat terhadap kehidupan.
Disebutkan di dalam “Bhagavad Gita”, ketika Harjuna menaiki kereta yang ditarik oleh tiga kuda yang dikusiri oleh Sri Kresna, bergerak maju ke medan perang guna memeriksa keadaan musuhnya. Ketika melihat bahwa para musuhnya itu terdapat para saudaranya sendiri, para sahabatnya, dan juga bekas gurunya – Maka Harjuna kehilangan daya kekuatannya hingga jatuh tersungkur, karena ragu-ragu apakah akan meneruskan perang atau kah tidak.
Namun sebenarnya, kejadian yang telah diuraikan di atas tersebut, adalah gambaran ibarat. Perang antara Harjuna melawan Kurawa adalah sebagai ibarat perang di dalam diri manusia ketika akan memerangi hawa nafunya atau kesenangannya yang sudah akrab dan lengket bagaikan saudara atau seseorang yang dicintainya. Hawa nafsu dan kesenangan yang diagungkan seperti halnya gurunya. Ketika akan memusnahkan hawwa nafsunya itu tadi, di situlah harjuna menjadi ragu-ragu, kebingungan dalam memulai peperangan. Ragu-ragu atas keinginannya untuk mengalahkan keinginan jiwa rendahnya.
Oleh Bagawan Wiyasa, keragu-raguan harjuna tersebut diuraikan  berupa nyanyian sukma yang sangat Indah, seperti yang termuat di dalam Bab I bait 37 hingga bait 46, yang isinya sebagai berikut :
1.     Sirnanipun para Kurawa Ngastina mboten badhe nambah haruming nama kita. Punapa para Kurawa Ngastina punika sanes kadang kita piyambak? Lan sok sinteno ingkang sampun mejahi kadangipun piyambak, kados pundi tiyang punika wau saged manggih kamulyan?. ARTINYA : Hancurnya Kurawa Ngastina, tidak akan menambah harum nama kita. Apakah para Kurawa Ngastina itu bukan kerabat kita sendiri? Dan barangsiapa yang telah membunuh kerabatnya sendiri, bagaimanakah bisa orang tersebut akan bisa mendapatkan kemuliaan?  
2.     Sanadyan lawan kita mboten ngrumaosi dosa, mijahi mitra, sanak  lan kadang, margi kasurung dening angkara lan murka, punapa tumrap kita mboten langkung wicaksana, menawi kita nyingkiri pandamel ingkang nistha punika?. ARTINYA : Walau pun lawan kita tidak merasa berdosa, membunuh sahabat, kerabat dan saudara, karena terdorong angkara dan murka, apakah bagi kita tidak lebih bijaksana, apabila kita menghindari perbuatan tercela ini?
3.     Dhuh Dhuh kaka prabu! Kasangsaran punapa kemawon ingkang badhe timbul margi saking wontenipun pepejah ingkang tanpa wicalan punika?.  ARTINYA : Wahai Sang raja!! Kesengsaraan apa saja yang akan muncul karena adanya pembunuhan besar-besaran ini?
4.     Manawi kautaman ingkang dados ugering kasatriyan brastasirna, tatasusila ingkang sampun dados naluri suci temtu badhe sirna, masyarakat lajeng tanpa tatanan.  ARTINYA :Apabila keutamaan kebaikan yang menjadi pedoman sifat kasatria itu sirna, tata susila yang sudah menjadi naluri suci tentu akan musnah, tentunya di masyarakat tidak ada lagi tatanan aturan.
5.     Manawi masyarakat pinuka ical tatananipun, para wanita ugi ical kasusilanipun. Manawi para wanita sampun ical kasusilanipun, masyarakat tamtu bobrok risak, tangeh sagedipun pulih dados sae malih. Sebab manawi para wanita sampun mboten ngertos kasusuilan, temtu makaten wau badhe anjalari campuripun kasta. ARTINYA : Apabila masyarkat sudah kehilangan tata aturannya, wanita juga akan kehilangan tata susilanya. Apabila wanita sudah kehilangan susilanya, tentulah masyarakat akan menjadi rusak, dan akan kesulitan untuk kembali menjadi baik. Karena, apabila para wanita sudah tidak mengetahui kesusilaan, hal itu tentulah akan menyebabkan bercampurnya kasta.
6.     Jalaran saking campuripun kasta, bangsa lan ingkang damel risakipun bangsa sami-sami tumuju dhateng naraka. Arwahipun para leluhur ingkang mboten binantu dening puja-bratanipun turun-turunipun, saestu badhe nemahi sangsara lan mboten kuwaos malih tumut paring pangayoman dhateng turun-turunipun iangkang taksih gesang ing donya. ARTINYA : Oleh karena bercampurnya kasta, bangsa dan yang membuat kerusakan bangsa, keduanya akan bersama-sama menuju ke neraka. Arwah para leluhur yang tidak dibantu oleh do’a dari keturunannya, tentu akan menemui kesengsaraan dan tidak mempunyai kuasa untuk memberi berkah kepada keturunannya yang masih hidup di dunia.
7.     Jalaran saking kasalahanipun tiyang-tiyang ingkang sami ambrastha para sinatriya agung, tatanan masyarakat dados risak. Menawi keluarga sampun ical cepenganipun bab kautamaning agesang, sirna ugi kaluhuraning budi pakerti. ARTINYA : Disebabkan karena kesalahan orang-orang yang melakukan pembunuhan para Satria Agung, maka tatanan kehidupan masyarakat menjadi rusak. Apabila keluarga sudah kehilangan keyakinannya tentang keutamaan hidup, maka musnah pula keluhuran budi pekerti.
8.     Manawi hukum-hukuming kautaman lan kasatriyan sampun sirna ing jagading manungsa, kita prasasat gesang ing salebeting naraka. Makaten piwucalipun para pinisepuh. Bila Hukum-hukum keutamaan dan sifat kasatria telah musnah didalam dunia manusia, kita ini seolah hidup di dalam neraka. Seperti itulah ajaran para sesepuh.
9.      Dhuh, dhuh kaka Prabu Pangruwating manungsa (Kresna)!  Yekti kesalahan ingkang ageng sanget ingkang badhe kita lampahi, manawi jalaran saking kepengin nikmati kaluhuraning kaprabun, kita tega mejahi sanak lan kadang!. ARTINYA : Wahai sang raja penghapus kejahatan manusia! Tentulah kesalahan sangat besar yang akan kita lakukan, apabila hanya karena menginginkan keluhuran menjadi raja, kita tega membunuh sanak saudara!.
10.   Dhuh, dhuh Sri Kresna! Mugi-mugi para Kurawa Ngastina mangke, manawi kula majeng ing palagan tanpa mbekta dedamel lan tanpa sedya anglawan, sami purun mejahi kula. ARTINYA : Wahai sang raja! Semoga saja para Kurawa Ngastina nantinya, apabila saya maju perang di arena peperangan tidak akan membawa hasil dan saya tidak ingin melawan, serta mereka mau membunuh saya.
Ternyata kandungan nyanyian di atas, mengapa Harjuna menyampaikan alasan keragu-raguannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai Satria itu, menggunakan dasar Peri Kemanusiaan, yaitu : Tidak sampai hati untuk membunuh saudaranya sendiri hanya dengan alasan menginginkan kemuliaan.
Baru sampai hal seperti itu saja, sudah terasa betapa luhurnya intisari dari “Bhagavad Gita”, yang sebenarnya akan menguraikan sebuah Ilmu untuk menuju kepada kesempurnaan, yang digubah dan diselipi Pengetahuan Agama, dan diuraikan dalam bentuk cerita dongeng yang indah yang digabung dengan Sejarah. Sehingga menjadi Indah berbentuk bagaikan Three dimension, berupa sebuah kisah atau pertunjukan. Yang Pertama : Berupa ibarat keragu-raguan seseorang yang akan menempuh kemuliaan yang hendak memerangi hawa naffsunya sendiri; Yang Kedua : Berupa ajaran batin menurut Agama Hindu; Yang ketiga : Berupa cerita Babad yang indah. Tiga keindahan tersebut, terdapat dalam satu kesatuan dalam “Nyanyian Sukma” ini.
Di dalam nyanyian sukma, bait ke 9 ada sebutan Kresna sebagai Pangruwating manungsa. Agar supaya tidak membingungkan, bisa dijelaskan bahwa Kresna itu memang mempunyai sebutan yang bermacam-macam. Dan yang terdapat di dalam Bhagavad Gita ini saja, selain dua sebutan di atas, sebutan Kresna yang lainnya adalah : Risang Kesawa, Sang Mengreh Karsa, Pangoning Lembu, Pangrurahing Madu, Basudewaputra, Nrendra kang tanpa sisihan, Risang Asuta, Sri Ari, Arimurti, dan lain-lainnya lagi yang akan terdapat di dalam nyanyian berikutnya.
Keraguan Harjuna belum tuntas. Ketika akan membunuh para sahabat, kerabat dan juga gurunya beserta saudara-saudaranya, terasa sangat lah berat. Hal itu termuat dalam Nyanyian Sukma di bagian ke II, bait ke 7 hingga ke 10, sebagaimana berikut :

7.        Kula langkung remen nedha saking angsalipun papariman, tinimbang nyirnakaken para guru agung wau, lajeng pesta handrawina nikmati tetedhan eca ingkang sampun karegedan dening wutahipun darah para guru agung. ARTINYA : Hamba lebih memilih makan dari hasil minta-minta, daripada harus membunuh para Guru Besar yang kemudian berpesta pora menikmati hidangan yang telah terkotori oleh tumpahan darah para Guru Besar.
8.     Kados pundi sagedipun kita nyumerepi punapa ingkang ing wusanannipun langkung sae tumrap kita? Pundi ingkang langkung prayogi, kita ingkang unggul juritipun utawi Kurawa Ngastina ingkang unggul juritipun? Satuhunipun gesang kita mboten badhe wonten paedhahipun babarpisan, manawi para Drestharata putra sampun sirna sedaya?  (Catatan : Punapa perlunipun gesang manawi sadaya pepenginan sampun ical?). ARTINYA : Bagaimanakah caranya diri ini bisa mengetahui bahwa apda akhirnya itu lebih baik bagi diri ini? Manakah yang lebih utama, Kita yang unggul perangnya atau Kurawa Ngastina yang unggul perangnya? Sesungguhnya, hidup ini tidak ada manfaat dan gunanya, apabila Keturunan Drestharata sudah hilang semua? (Catatan : Apakah gunanya hidup bila seluruh keinginan diri telah tiada?).
9.     Heh Sri Kresna, tiyang ingkang was sumelang, miris manahipun, margi kataman dening raos welas ingkang damel bimbanging manahipun, tiyang ingkang saweg goncang imanipun, sesambat dhumateng paduka. Punapa ta saleresipun ingkang dados kuwajiban, punapa ta ingkang kedah dipun lampahi ingkang prayogi piyambak? Dhuh Sri Kresna! Kersa-a paring pitedah dhumateng siswa Paduka, ingkang tansah memundhi Paduka. ARTINYA : Wahai Sri Kresna, seseorang yang merasa khawatir, kecil hatinya, karena terkuasai rasa hati yang penuh cinta kasih yang menyebabkan keraguan dalam hatinya, seseorang yang sedang mengalami goncangan Iman, memohon kepada paduka. Apakah sebenarnya kewajiban itu, bagaimanakah yang seharusnya melakukan yang terbaik? Wahai Sri Kresna! Semoga berkenan memberi petunuuk kepada siswa paduka, yang selalu mematuhi paduka.
10.  Tuhu kula mboten sumerep punapa ingkang saged mbengkas raos sungkawa ingkang nglumpuhaken indriya kawula. Raos-raos kula tetep mopo majeng ing palagan, sanadyan ta kula kaparingan pangawaos ingkang tanpa wangenan ing bumi punika utawi kadadosaken ratunipun para Dewa”. ARTINYA : Sungguh, saya tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan rasa sedih hingga melumpuhkan jiwa hamba. Seluruh perasaan tetap membantah untuk maju ke medan laga, walau pun saya akan diperi kekuasaan tanpa batas di atas bumi ini atau pun akan dijadikan Raja para Dewa.”
Seperti itulah alasan yang disampaikan oleh Harjuna, sebagai penyebab sehingga tidak tega untuk membunuh saudaranya di medan laga dikarenakan rasa kasihan. Sehingga kemudian mohon petunjuk apakah yang harus di lakukannya.
Namun sebenarnya --- seperti yang sudah disampaikan – Adegan yang pertama itu mengandung ibarat, bahwa betapa beratnya seseorang yang akan meninggalkan kesenangannya. Berat hatinya Harjuna untuk berperang melawan Kurawa, sebenarnya adalah gambaran betapa beratnya seseorang yang bercita-cita untuk kesempurnaan, harus menghilangkan kesenangan hidupnya, keinginan diri dan hawa nafsunya. Karena terlalu kuatnya pengaruh kesenangan itu tadi, digambarkan bagaikan saudaranya sendiri, bagaikan rasa cinta, bagaikan gurunya yang harus dijaga dan dihormati serta dipelihara,
Seletah Sri Kresna mendengar apa yang disampaikan oleh Harjuna seperti tersebut di atas, kemudian berkata untuk mengajarkan ilmu kesempurnaan berdasar Filsafat Agama Hindu ketika waktu itu. Ajaran Sri Kresna ini termuat di Nyanyian Sukma bagian ke II, bait ke 13 dan seterusnya.

2.
SUKMA DAN ROH ITU KEKAL

Nasihat yang pertama, Sri Kresna menjelaskan kepada Harjuna, bahwa yang disebut kematian itu sebenarnya hanya raganya saja yang meninggal dunia. Akan tetapi, jiwanya tidak ikut mati. Oleh karena itu, tentang akan meninggalnya para kerabat Kurawa di dalam peperangan, tidak perlu disedihkan, tidak usah khawatirkan. Di sinilah Sri Kresna kemudian menggelar Filsafat Hindu untuk meyakinkan  adanya lahir kembali atau menitis, yang dalam hal ini bisa untuk menjadi bahan pertimbangan bagi para pencari ilmu kesempurnaan atau ilmu hakikat.
Seperti ini, awal jawaban Sri Kresna :
14.  Sira iku nangisi papesthene para prajurit kang bakal padha gugur ing medhan laga. Nadyan kabeh ingkang sira aturaken mau wis bener, nanging mangkono iku ora perlu gawe sungkawane ati nira. Barang ingkang kanggonan utawa koncatan napas ingkang tansah manjing mijil, iku ora gawe sungkawane para sadu. ARTINYA : Dirimu itu menangisi Takdir para prajurit yang akan gugur di medan laga. Walau pun yang dirimu sampaikan itu sudah benar, namun hal itu tidak perlu membuat hatimu bersedih. Sesuatu yang ketempatan atau ditinggalkan oleh nafas yang selalu keluar masuk, itu tidak membuat sedih para pencari hakikat.
15.  Durung tau Ingsun iku ora ana, mangkono uga sira, lan para nataning bawana kabeh. Lan ing mbesuk uga ora bakal ana kalamngsane, kita kabeh leren anggone ana. ARTINYA : Belum pernah diriku itu tidak ada, demikian juga dirimu, dan semua para raja di dunia ini. Dan besok hari juga tidak akan ada lagi ketika tiba waktunya diri ini berhenti dari adanya.
16.  Yen ingkang manggon ing sajroning badan iki wis ngalami mangsa bocah, mangsa taruna lan mangsa wredha, dheweke mbanjur ngalami salin raga maneh. Jalaran saka iku tumrap Sang Sadu urip lan mati iku ora ndadekake sedhihe ati. ARTINYA : Jika yang bertempat tinggal di dalam raga ini sudah mengalami masa kanak-kanak, masa muda, masa tua, dia kemudian mengalami berganti raga. Oleh karena itu, bagi para pencari hakekat hidup dan mati itu tidak menjadikannya bersedih hati.
17.  Heh, ajmajaning Kunthi! Gepok senggole Jagad Cilik lan Jagad Gedhe bisa nuwuhake rasa panas, adhem, seneng lan susah. Ana kalamangsane teka, ana kalamngsane lunga. Anane mung kari dilakoni kanthi sabar. ARTINYA : Wahai Putra Kunthi!. Saling bersinggungan antara dunia kecil (Raga) dan Dunia besar (alam dunia) itu bisa menimbulkan hawa panas, dingin, senang, susah. Ada waktunya datang, ada waktunya pergi. Adanya hal itu harus di jalani dengan penuh kesabaran.
18.  Kang ora bisa kataman dening wolak walike kahanan, lega, rila, nrima sajroning suka lan sungkawa, heh bebenthenging jalma, iku temen bisa manjing ing Kalanggengan. ARTINYA : Yang tidak terpengaruh oleh berganti-gatinya keadaan, merasa puas, ikhlas, bisa menerima senang dan susah (menganggak senang dan susah itu sama saja), wahai benteng manusia, itulah yang bisa masuk ke dalam alam kekekalan.
Sri Kresna menyebut Harjuna, di bait 17 dan 18, dengan sebutan :Atmajaning Kunthi (Putra Kunthi) dan Bebanthenging jalma (Benteng gmanusia). Sebutan yang lainnya lagi masih banyak  sebutan lainnya yang terdapat di dalam Serat Bhagavad Gita yaitu : Pandhutanaya, Pritaputra, Tedhaking Barata, Pandusuta, Bebanthenging Jagad, Pangrurahing Satru, Atmajaning Prita, dan lain-lainnya lagi, itu semua juga termasuk sebutan Harjuna.
Seperti yang tersebut di bait ke 15, diterangkan bahwa : Ingsun ( di sini bermakna : Aku yaitu makhluk yang bernama Kresna), dan “Sira” (Harjuna), dan juga semua para raja, tidak ada yang belum pernah mati, dan tidak ada yang dibelakang hari tidak dilahirkan kembali. Hal seperti itu menjelaskan bahwa keyakinan di dalam Agama Hindu bahwa manusia setelah meninggal dunia masih akan mengalami lahir berkali-kali kembali ke alam dunia.
Tentang kata “Ingsun” yang termuat di dalam bait di atas, perlu didjelaskan, bahwa maknanya sama saja dengan kata biasa “Aku”\ Namun di dalam penjelasan selanjutnya akan ditemukan kata “Ingsun” yang dipergunakan dengan makna yang lain, yang maknanaya tidak sama dengan kata “Aku”.
Kemudian Sri Kresna memberikan Ajaran tentang keadaan “Sukma” yang kekal yang terdapat di bait ke 19 hingga 22, sebagai berikut :

19.  Kang ora anak iku ora bisa dadi ana. Lan kang Ana iku ora bisa tumeka ing Ora Ana. Bedane Ana karo Ora Ana iku kang bisa meruhi mung kang wus bisa waspada marang Kahanan Jati. ARTINYA : Yang tidak ada itu tidak bisa menjadi ada. Dan yang ada itu tidak bisa menjadi tidak ada. Perbedaan antara yang ada dan yang tidak ada, yang bisa mengetahui itu hanya yang sudah bisa memandang keadaan batin yaitu keadaan yang sebenarnya.
20.  Kawruhana yen Sukma, Roh utawi Zat  kang dadi mula bukane kabeh kang gumelar iki, iku tan kena ing rusak, anane tanpa nganggo watesan. Mula majua ing palagan!. ARTINYA : Ketahuilah bahwa Sukma, Roh atau Zat yang menjadi awal mula semua yang tergelar ini, itu tidak terkena oleh kerusakan, adanya tanpa ada batasan. Maka, majulah ke medan laga,
21.  Kawruhana yen dheweke ingkang dadi mulabukane kabeh ingkang gumelar iki, iku tan kena rinusak. Sapa kang bisa nyirnaake Dheweke kang sipat langgeng? ARTINYA : Ketahuilah bahwa DIA yang menjadi awal mula yang tergelar ini, itu tidak terkena rusak. Siapa yang bisa menghilangka DIA yang bersifat Kekal?.
22.   Kang ngarani yen dheweke iku gawene mateni, utawa bola-bali dipateni, karone kleru kabeh. Dheweke ora mateni lan ora bisa dipateni. ARTINYA : Yang mengira bahwa DIA pembunuhnya, atau berkali-kali di bunuh, keduanaya sama-sama salah. DIA itu tidak membunuh dan tidak bisa di bunuh.
Sukma, Roh atau Dzat itu tidak akan sirna, walau pun manusianya telah meninggal dunia. Artinya, walau pun dalam pertempuran, seseorang yang telah membunuh musuhnya, namun sebenarnya, orang tersebut tidak membunuh roh dari musuhnya, karena roh atau sukma itu kekal, tidak bisa dimusnahkan tidak bisa dibunuh. Yang dibunuh itu hanyalah raga sebagai tempat tinggalnya sukma. Sedangkan keadaan raga memang selalu mengalami perubahan dan ada batasnya, oleh karena itu tidak ada gunanya menjadikan dirimu bersedih, dan justru sebaliknya hal itu mestilah di alami oleh makhluk yang telah terlahir ke dunia ini.
Seperti itulah dukungan dorongan semangat Sri Kresna kepada Harjuna dengan cara memberikan ajaran Ke-sukma-an, tentang kekekalan Sukma dan berubah-ubahnya raga dan dunia. Barangsiapa yang sudah kuat keyakinannya kepada kekelan – yang bersungguh-sungguh dalam mencari sejatinya kasukman, harus tega menghapus kesenangan keduniaan, harus ikhlas membuang kesenangan keduniaan yang menyebabkan keterikatan dengan dunia dan raga ini. Siapa saja, yang ingin berbakti kepada Cahaya Terang yang sejati, harus berani membuang kesenangan diri dan hawa nafsunya yang itu semua adalah keadaan yang tidak kekal dan tidak lestari dalam memberikan kebahagian dan keuntungan untuk selamanya.
Akan tetapi Harjuna sepertinya belum benar-benar paham tentang kekelan Sukma tersebut, sehingga Sri Kresna melanjutkan memberikan ajaran, sebagai berikut :
23.  Dheweke iku ora nganggo lair, mula ya ora nganggo mati. Ing sarehne ora nganggo Dumadi, Anane ora nganggo uwis. Tanpa nganggo dilairake, Dheweke iku kuna-makuna padha wae. Dheweke ora melu mati, yen badan iki tumeka ing lebur. ARTINYA : Dat, Sukma itu tidak dilahirkan, sehingga tidak mengalami kematian. Oleh karena tidak melalui kelahiran, Adanya itu tidak ada akhirnya. Tidak dengana cara dilahirkan. Dat Sukma itu sejak dari dahulunya itu sama saja. Dia tidak ikut mati, ketika raga ini mengalami kehancuran.
24.  Sapa kang wus ngerti yen Dheweke iku sipat-sipate kaya mangkono, kepriye anggone bisangarani, yen Dheweke iku tau mateni utawa tau dipateni? ARTINYA : Barangsiapa yang sudah memahami bahwa Dat Sukma mempunyai sifat seperti itu, bagaimanakah bisa menyebutkan, bahwa Dat Sukma itu pernah membunuh atau pernah dibunuh?Yen sandhangan iku wus lawas lungsed banjur ora dianggo maneh. Minangka gantine uwong banjur nganggo sandhangan anyar. Mangkono uga tumrap badan wadhag iki. Yen wadhag iki wis lebur, sing maune menggon ing kono, banjur golek lan manggon ing wadhag anyar. ARTINYA : Jika pakaian sudah rusak maka tidak dipakai lagi. Sebagai gantinya maka seseorang akan memakai baju yang baru. Seperti itulah raga ini. Jika raga ini sduah rusak, yang sebelumnya bertempat di situ, kemudian mencari dan menemati raga yang baru.
25.  Ora ana geggaman sing bisa natoni Dheweke, ora ana geni sing bisa mbrongot Dhewewke, Ora ana banyu kang bisa nelesi, ora ana angin kang bisa nggaringake Dheweke. ARTINYA : Tidak ada senejata yang bisa membunuh Sukma, tidak ada api yang bisa membakar sukma, tidak air yang bisa membasahinya, tidak ada angin yang bisa mengeringkan dirinya.Ora bisa dipecel, ora bisa diobong, ora bisa ditelesi, ora bisa digaringake, ana ing salawas-lawase sarta ing saenggon-enggon. Sanadyan mangkono panggah ora tau owah. ARTINYA : Tidak bisa dilukai, tidak bsia dibakar, tidak bsia dibasahi, tidak bisa dikeringkan, tetap ada selamanya serta di semua tempat. Meski begitu, tetap tidak pernah berubah.
26.  Tan kena kinayangapa, ora kena dijamah dening indriya, ora kena ing owah gingsir. Kang wus nyadari yen Dheweke iku kaya mangkono sipat-sipate, sayekti wis ora pelu nandhang singkawa. ARTINYA : Tidak bisa dibayangkan, tidak bsia diindra menggunakan Pancaindra, tidak terkena perubahan. Yang telah memahami bahwa Sukma  itu memiliki sifat yang demikian, tentulah tidak usah bersedih hati.
Isi dari ajaran inim Sri Kresna masih berusaha meyakinkan kepada Harjuna tentang sifat Sukma yang kekal, sehingga tidak pernah mati, tidak bisa di bunuh, tidak bisa dibakar, tidak bisa dilukai oleh senjata, tidak kering oleh angin, tidak basah oleh air dan sebagainya.
Juga menjelaskan tentang raga yang bisa diganti bagaikan pakaian, berganti-ganti, seperti halnya baju seseorang yang telah rusak kemudian diganti dengan baju baru. Jika pakain baru itu, di belakang hari rusak lagi, kemudian diganti lagi dengan baju yang masih utuh.
Tentang perubahan-perubahan dari yang dipakai, tidak usah disedihkan, tentang ruskanya pakain atau raga itu tidak ada gunanya disedihkan, karena hal seperti itu, sudah ditetapkanm sudah digariskan harus seperti itu keadaannya, tidak kekal, akan tetapi selalu berubah-ubah dan juga ada batasannyam ada akhirnya, seperti tersebut di bawah ini :
27.  Manawa sira darbe panemu, yen Dheweke iku bola-bai lair lan bola-bali mati, mangkono iku, heh pahlawan kang gagah prakosa, uga ora perlu njalari sungkawanira. ARTINYA : Jika dirimu berendapat, jika sukma itu berkali-kali terlahir, dan berkali-kali meninggal dunia itu, wahai Pahlawan yang gagah perkasa, juga tidak usah menjadikan dirimu bersedih.
28.  Apa sing nganggo dilairake, wis mesthi bakal nemahi pati, kang mati urip maneh. Kahanan lir-gumanti kan wus ora kena disingkiri iku, ora kena njalari tuwuhe sungkawa. ARTINYA : Apa pun yang dilahirkan, pasti akan mengalami mati, yang mati hidup lagi. Keadaan yang terus berganti dan tidak bisa dihindari, hal itu tidak boleh untuk disedihkan.
Jika orang berpendapat, bahwa hidup itu hanyalah urusan lahir saja,  maka tidak akan memperhatikan tentang kematian. Akan tetapi, Harjuna yang belum bisa memahami tentang kesejatian hidup, masih memperhatikan tentang kematian para kerabatnya, hal demikian itu karena terdorong oleh perasaan cinta dan kasih sayang, terbelenggu oleh perasaan kasihan.
Inti dari isi ajaran adalah : Didalam peperangan itu mengandung ajaran, oleh karena sudah jelas bahwa Sukma itu tidak akan mati, dan roh itu kekal, sehingga ketika masih hidup di dunia rame ini, giatlah dalam kebajikan dan menanam kebaikan, senyampang masih memiliki sarana yang bisa digunakan berupa raga ini, giatlah dalam membangun kesempurnaan dengan cara mengendalikan Pancaindranya, mengekang keinginan diri dan hawa nafsu rendahnya.

3.
JALAN MENUJU KETENTERAMAN

Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang Sri Kresna memulai memberikan ajaran tentang betapa berbahayanya, pengaruh godaan Pancaindra dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Agung. Keinginan diri serta hasrat yang menyenangi atas keadaan yang tidak kekal, jika itu sudah bisa dimusnahkan – itu yang disebut sudak mantap pikirannya, sudah sentausa dan bijaksana.
Penjelasannya ada di dalam Nyanyian sukma bagian ke II, di bait nomor 56 hingga 60, sebagai berikut :




56.  Sri Kresna ngandika : “He Harjuna! Kang wus bisa nyingkirake sakeh pepenginan, lan bisa ngeningake riptane, kang pribadine kanthi jenak bisa tumanem ing Dheweke, lan wis marem dalem Dat akarana Dat, iku manungsa kang teguh Budine. ARTINYA : Sri Kresna berkata : Wahai Harjuna! Yang sudah bisa membuang semua keinginannya, dan sudah bisa menenangkan pikirannya, dan sudah yakin kepada Tuhan karena Tuhan, yang pribadinya penuh ketenangan selalu mengingat Tuhan, itulah manusia yang Kuat Budinya.
57.  Kang ciptane wus ora bisa ketaman dening bungah lan susah marga wus ora sesenggolan lan magepokan maneh karo kang dadi jalarane, kang wus sirna hawa nafsune, ora kanggonan was sumelang, nesu, bendu, jengkel, mangkel lsp. Iku sing diarani muni kang teguh Budine. ARTINYA : Yang ciptanya sudah tidak terpengaruh oleh senang dan susah, karena sudah tidak bersentuhan dan bersinggungan dengan yang menjadi penyebabnya, yang telah hilang hawa nafsunya, tidak mempunyai rasa kuatir, marah, dendam, jengkel, dan sebagainya, itu yang disebut ahli Budi.
58.  Kang wus bisa medhot panancanging Karma, ora mbedakake menang lan kalah, mujur lan malang, untung lan rugi, sepi ing rasa benci, sengit, mangkel, ndongkol, lan jengkel, iku manungsa kang jiwane wus teguh, wus seimbangane. ARTINYA : Yang sudah bisa memutuskan ikatan karma, tidak membedakan menag dan kalah, untung dan rugi, sudah hampa dari rasa benci, tidak senang, mendongkol dan jengkel, itulah manusia yang teguh jiwanya dan sudah seimbang.
59.  Sapa kang kadya bulus kang bisa mingslepake sikil-sikile lan sirahe ing sangisore thothoke, bisa ngracut pancadriyane lan malik arahe, tumanduk marang asalmulane pribadine, iku manungsa kang jiwane wus teguh seimbangane. ARTINYA : Siapa saja yang bagaikan kura-kura hingga bisa memasukan kakinya dan kepalanya ke dalam tempurungnya, bisa mengendalikan pancaindranya dan merobah arahnya, tertuju kepada awal mula dari pribadinya, itulah manusia yang sudah teguh jiwanya dan sudah seimbang.
60.  Daya panarike samubarang kang gumelar marang pancadriya, iku bakal sirna, yen manungsa tansah cecegah. Naging sir tetep ana. Sir uga bisa ilang yen manungsa teguh adhepe marang ingkang Maha Luhur. ARTINYA : Kekuatan daya pikat atas semua yang tergelar terhadap Pancaindra, itu akan musnah, jika manusia selalu menahannya. Namun Sir tetap ada. Sir juga bisa hilang jika manusia sudah kuat keyakinannya kepada Yang Maha Lubur.
Disampaikan di bait ke 56, bahwa siapa yang sudah yakin kepada Tuhan karena Tuhan, yang masudnya telah melakukan ibadah karena Tuhan semata, yaitu sudah tidak mengharapkan hasil dari perbuatannya, yang bahasa umunya adalah beribadah hanya karena Allah semata, manusia yang sduah seperti itu, termasuk sudah kuat imannya dan sudah bisa mencapai yang disebut mempunyai “Jiwa yang tenang”,
 Ajaran ini sesuai dengan Ilmu kesempurnaan yang terdapat dalam Agama lain – memang dalam beribadah kepada Tuhan itu seharusnya sudah tidak mengharapkan untuk memenuhi keinginan tuntutan raganya, yang sesungguhnya ibadah itu dengan dasar ikhlas disertai kesucian hati.
Memang sesiapa yang masih memiliki keinginan diri, walau pun bukan untuk keperluan hidup ketika masih hidup di dunia .. akan tetapi keinginan tersbut juga masih termasuk mengharapkan pamrih, yaitu yang bertujuan untuk kesenangan raganya sendiri. Yang seperti itu, bukan beribadah karena ibadah, belum disebut mempunyai jiwa yang tenang di dalam Tuhan, karena masih memiliki keinginan diri mengharapkan hasil dari ibadahnya demi untuk memenuhi keinginan diri dan jiwa raganya.
Menurut ajaran Sri Kresna, seseorang yang sudah tenang pikirannya dan sudah mengendap ciptanya, ketika melakukan kebaikan, harus dengan cara tidak mengharapkan hasil dari tindakannya demi untuk memenuhi keinginan dirinya! Karena, jika masih mengharapkan hasil dari perbuatannya, itu belum disebut “Karena Allah”, belum ikhlas, belum rela dan ikhlas yang sebenarnya ikhlas.
Sedangkan penyebab manusia beum bisa tenteram di dalam hatinya dan kuat dalam pikirannya, karena masih terdorong oleh Pancaindranya. Masing sering terkalahkan oleh keinginan diri, masih sering terbawa oleh hasratnya yang tidak kekal.
61.  Heh Kunthisiwi! Nadyan ta tumrap sang Sadu, kang temen-temen ngudi marang kang utama lan luhur, indriyane yen nganti bangkit, bisa mbandangake manase utawa pangriptane. ARTINYA : Wahai Putra Kunthi! Meskipun bagi yang sudah ahli, yang benar-benar pencari kebenaran dan keluhuran, jika indranya sampai bangkit, bisa menyesatkan keinginan diri dan pikirannya.
62.  Nanging yen indriyane iku tansah dikendhaleni, lan jiwane mung madhep marang Manira, yen dheweke bener-bener bisa nguwasani indriyane, iku jiwane wus teguh seimbangane. ARTINYA : Namun jika indranya selalu bisa dikendalikan, dan jiwanya hanya ingat kepada Tuhan saja, dan jika dirinya benar-benar bisa mengendalikan indranya, itu jiwanya sudah jiwa yang tenang dan seimbang.
Panca indra yang liar itu, menjadikan penghalang atas niat yang mengarah kepada keselamatan. Yang diinginkan dari nafsu Pancaindra itu adalah semeua keinginan diri yang tertuju kepada kesenangan raga sehingga menutup dan melupakan kepada yang sebenarnya yang sejati. Oleh karenanya, banyak makan, minum, bermain asmara, mabuk dan ganja, dan mencuri itu sudah menjadi larang para orang tua, kesemuanya itu agar dihindarinya.
Keinginan diri yang orang Jawa bilang Ma-lima itu termasuk kerja dari Pancaindra yang bisa menjadi penghalang niat dalam mencari kebijaksanaan. Demikian juga halnya, kebiasaan-kebiasaan yang bisa menyebabkan kekotoran hati dan budi rendah, seperti halnya : Iri, usil, marah, senang menfitnah orang lain, murka, serakah dan sebagainya yang kesemuanya itu juga termasuk gerak dari nafsu Pancaindra.
Tidak mungkin seseorang mempunyai ketenteraman hati, jika masih ketempatan sifat iri, usil, mudah patah semangat, suka menfitnah dan sebagainya yang sesungguhnya jalan menuju kepada kebahagiaan itu bila hati bisa tenteram untuk bisa mendekat kepada Cahaya Tuhan pemelihara segala yang ada, itu jika sudah memiliki ketenteraman jiwa dan raga dalam ketenangan jiwa. Jarang teramat jarang, jika seseorang yang selalu tergoda oleh kesenangan diri, berjudi, minum, ganja, untuk bisa memiliki ketenteraman hati untuk menuju kepada Sifat Tuhan. Karenanya, hanya jiwa yang tenteram dan tenang saja yang bisa menggapai kesempurnaan niat keinginan.
63.  Manungsa kan indriyane tansah lelumban ing jagade sakeh barang kang bisa nenangi pepenginane, pepenginane mau mesthi banjur thukul lan dadi kuwat. Iku kang dadi  mula bukane tuwuhe angkara. Angkara nuwuhake kamurkan. ARTINYA : Manusia yang indranya selalu berenang dalam dunia kesenangan yang bisa menyenangkan hasrat dan keinginannya, maka hasrat dan keinginannya akan tumbuh menjadi kuat. Itu, yang menjadi penyebab terbukanya angkara murka. Angkara tumbuh menjadi murka.
64.  Kamurkan nuwuhake salah gawe kang banjur bisa ngrusak kawaspadan bab bedane ala lan becik. Wong kang wus kaya mangkono iku Budine mesthi ngoncati. Wong kang wus koncatan budine mesthi tumeka ing bilai. Nanging manungsa kang urip ing jagading indriya, wondene sepi ing rasa seneng lan sengit, kang Pribadine tansah bisa ngedhaleni angkarane, iku kang bakal nggayuh kamuyan kang linuhur. ARTINYA : Murka itu menumbuhkan salah dalam tindakan yang kemudian akan merusak kewaspadaan dalam membedakan baik dan buruk. Seseorang yang sudah seperti itu, pasti kehilangan Budi. Sesorang yang telah ditingkalkan oleh Budinya, pasti akan sampai pada celaka. Akan tetapi, seseorang yang masih hidup di dunia Indra, namun sudah tidak memiliki rasa senang dan benci, yang pribadinya sudah bisa menguasai Angkaranya, itu yang akan sampai kepada kemuliaan yang luhur.
Sudah jelas ajaran Sri Kresna di atas, siapa saja yang selalu menuruti ajakan pancainddranya, lama-kelamaan menumbuhkan hobby, menumbuhkan ketagihan, menumbuhkan terpikat. Dari sangat cintanya, sangat mudah menumbuhkan rasa ingin memiliki, rasa penuh pamrih, demi untuk keuntungan dirinya sendiri. Dikarenakan rasa ingin memiliki dan pamrih tersebut, kemudian akan menumbuhkan nafsu, yaitu hasrat yang sesat, yang sering menerjang aturan atau menerjang aturan hukum yang ada.
Sudah banyak terbukti di dalam kehidupan bermasyarakat, orang yang tterkuasai nafsunya, maka akan lupa kepada nalar kebenaran, melupakan larangan keutamaan. Jika sudah tumbih hasrat dan keinginan yang jahat, hilang kewaspadaannya, hilang kehati-hatiannya, sehingga merani melakukan tindakan yang sesat. Siapa saja yang bertindak sesat, yang berani melawan hukum, walau pun sekali duakali bisa lolos dari hukuman, pada akhirnya akan terjatuh dalam celaka.
Hal seperti itu, baru hukuman di dunia, selagi masih hidup dalam bermasyarakat. Itu belum, keteka berada di alam rokhani dan alam selanjutnya, tentulah sangat tidak mungkin untuk bisa menggapai untuk menyatu dengan Tuhan yang kekal adanya.
Nyanyian Sukma tersebut di atas, bait 63 dan 64, tergolong inti dari Ajaran Sri Kresna yang luhur, yang baik untuk diperhatikan oleh siapa saja, tua muda, yang walau pun belum menyenangi di tingkat Ilmu Kasukman, namun sangatlah utama jika memperhatikan ajaran tersebut, untuk dijadikan bekal hidup di dunia ini.
Memang Pancaindra itu adalah alat sebagai sarana untuk hidup di alam dunia ini. Namun, pemiliknya harus bisa mengendalikannya, jangan sampai justru dikendalikannya. Seperti halnya harta kekayaan, jika seseorang bisa mengendalikan hartanya, akan mulia hidupnya, bisa mengangkat derajatnya dan bisa menjalankan kebaikan dengan cara menyebar keutamaan kepada masyarakatnya. Namun jika menjadi budak harta, tentunya akan sengsara, akan menderita karenanya.
Pancaindra, jika bisa kita kuasai yang kemudian bagaikan Sri Kresna ketika mengendalikan tiga ekor kuda yang menarik kereta menuju ke tengah-tengah medan laga di Tegal Kurusetra – tentulah pancaindranya justru akan bisa mendatangkan kemuliaan ketika di dunia hingga pada akhirnya.
Sehingga, yang pertama-tama untuk menggapai hidup dalam ketenteraman, syarat pertamanya harus bisa mengendalikan pancaindranya, harus bisa menghilangkan daya pengaruh dan tuntutan pancaindranya yang bersifat rendah. Hal seperti itu, harus dilakukan oleh para pencari, yang berhasrat menyerap ketenteraman, oleh karena, ketenteraman itulah sebagai syarat untuk mencapai kesempurnaan.
Sri Kresna kemudian melanjutkan menyampaikan ajarannya tentang pentingnya mengendalikan hasrat, termuat dalam bait ke 65 hingga bait 68, sebagai berikut :
65    Jroning kamulyan ingkang mangkono iku ilang sakehe susah-sungkawa, Kang pangriptane terus heneng hening. Budine banjur bisa anteng lerem. ARTINYA : Di dalam kemuliaan yang seperti itu, terhapuslah semua kesusahan dan kesedihan. Yang cipta dalam diri telah Tenang dan Hening. Maka Budi di dalam dir diam dan tenang.
65.  Budining manungsa iku ora bakal tangi, yen dheweke ora nggayuh marang panunggal. Dheweke ora ngerti apa olah samadi iku. Kang ora oleh samadi ora bakal entuk katentreman. Tanpa katentreman ora ana kamulyan. ARTINYA : Budi di dalam diri manusia itu akan bangkit, jika manusianya sendiri tidak berusaha untuk mencapai Penyatuan dengan DIA. Dia  itu tidak mengenal perenungan, Tafakur, Samadhi, menyatukan rasa dengan rasa Tuhannya. Yang tidak lulus dari Samadhi, Tafakur, perenungan itu tidak akan bisa menggapai ketenteraman. Dan tan mendapakatkan ketentaraman tidak mungkin untuk bisa mencapai kemuliaan.
67.  Jroning kamulyan ingkang mangkono iku ilang sakehe susah-sungkawa, Kang pangriptane terus heneng hening. Budine banjur bisa anteng lerem. ARTINYA : Berada di dalam kemuliaan yang seperti itu, akan hilang semua kesusahan dan kesedihan. Yang ciptanya selalu tenang dan hening. Maka Budi miliknya kan bisa tenang dan tenteram.
68.  Apa wae ing jagad lelumbane indriya, kang nenangi pepenginane manungsa, sauwise dirujuki dening pangriptane, mesthi banjur mikut lan mbandangake dheweke, kaya dene angin prahara kang nyamber lan mbandhang prahu kang lagi lelayaran ana ing samudra agung. Apapun adanya di dunia tempat bermainnya Indra, yang selalu memenuhi hasrat manusia dalam kesenangannya, setelah mendapat persetuan oleh nalarnya, pastilah akan menangkapnya dan menyeretnya ke dalam kesessatan, bagaikan badai laut yang menyambar dan membawa pergi perahu yang sedang berlayar di luasnya samudra.
Seperti itulah pentingnya memadamkan nyala api pancaindra yang menjadi musuh para pencari ketenteraman, yang perlu dijalankan oleh siapa saja yang menginginkan keselamatan dalam hidupnya.
Yang dimaksud dari hasrat yang menyebar di dalam uraian di atas, yaitu segala bentuk hasrat yang mendorong tindakan sesat serta hasrat yang mengarah bukan kepada yang bersifat kekal. Hasrat rendah yang ditodak bisa menghaluskan dan mengangkat derajat budi, yiatu : Serakah terahdap harta benda, ingin memiliki hanya derajat lahir, menginginkan untuk dihormati i hargai, mengharapka  pujian dan sebagainya, itu juga termasuk hasrat yang melenceng. Senang menyalahkan, senang membicarakan kejelekan orang lain, senang kepada pujian, itu semua sebaiknya dijauhi oleh siapa saja yang menginginkan memiliki hati yang tenang dan selamat.
Perahu yang mengapung di air, diterjang badai, dalam berjalannya tentulah tidak akan mempunyai tujuan yang tepat. Jika angin badai mengarah ke utara, maka perahu akan berjalan ke utara, jika badai telah pergi, maka perahu hanya terbawa arus di tengah samudra. Seperti itulah ibarat dari hasrat yang tidak mempunyai pedoman atau pegangan yang kaut. Tidak memiliki kemudi yang bisa mengarahkan arah menurut rencana semula. Hanya mengapung mengiktui aliran air dan berjalannya hembusan angin saja.
Mengendalikan ahsrat, agar tidak menyebar.. perlu di usahakan oleh para pencari hakikat.
Kemudian Sri Kressna mengingatkan Harjuna, seperti berikut ini :
69.  Jalaran saka iku, kawruhana, heh Harjuna! Ngemungake wong kang bisa nguwasani lan misahake indriyane saka jagad palumbane, kang kena diarani wong kang jiwane teguh lan seimbang jumenenge. ARTINYA : Oleh akrena itu, ketahuilah Wahai Harjuna!!!! Hanya untuk manusisa yang bisa menguasai dan bisa memilah-milah indranya dari wilayah tempat bermainnya, yang bisa disebut orang yang berjiwa teguh dan seimbang dalam hidupnya.
70.  Alam kang padhang jumingglang tumrape wong kang wus tinarbuka, kang tansah waspada marang mobah-mosike cipta lan ripta, iku peteng lelimengan tumrape si cubluk. Sabalike alam lelumbane sakeh pepenginan, kang dadi alam padange si cubluk iku peteng tumrape sang sadu. ARTINYA : Alam yang terang, bagi seseorang yang sudah terbuka hatinya, yang selalu waspada terhadap gerak cipta dan hasrat hatinya, itu teramat sangat gelap bagi orang bodoh. Dan sebaliknya, alam tempat bermainnya semua keinginan diri, yang merupakan alam yang terang bagi kebodohan, itu gelap bagi orang  suci.
71.  Heh Harjuna! Sesuwene sira urip ing ndonya iki, ya iku jagad lelumbane indriya, bisaa sira iku kaya samodra, kang telenge ora obah lan mosik, sanadyan kajogan banyu saka sakeh kali kang gedhe, lan sanadyan nduwure mawujud ombak-ombak kang gedhe, kang gegulungan marga sinabet-sabet ing maruta. ARTINYA : Wahai Harjuna! Selagi dirimu hidup di dunia ini, yaitu tempat bermainnya Pancaindra, agar bisalah dirimu bagaikan samudra, yang palungnya tidak tergerak dan  selalu dalam keadaan tenang, walau pun selalu terisi air dari banyak sungai besar, dan walau pun di atasnya berupa ombak yang besar, yang bergulug-gulung karena tertampar oleh Badai dan angin besar.
72.  Kang wus bia nyingkirake sakeh pepenginan, marga pepenginan-pepenginan mau wus ilang daya panarike, sepi ing pamrih lan angkara, sayekti, wong kang mangkono iku, bisa entuk katentreman, sanadyan isih urip ing donya rame iki.  ARTINYA : Yang sidah menghindarkan diri dari semua keinginan dan hasrat diri, itu telah hilang kekuatan daya tariknya, hampa dari pengharapan dan hampa dari angkara, tentulah orang yang seperti itu, akan mendapatkan kenteraman, walau pun masih hidup di keramian dunia ini.
Inti sari ajaran : Manusia yang hidup di dunia ini, untuk bisa mencapai ketenteraman itu, jika bisa mengendalikan hasrat diri dan hawa nafsunya, yang tidak menjadi budak harta dan kesenangan dunia. Dan sudah bisa merdeka dari pengaruh pancaindranya. Seseorang untuk bisa mencapai ke tingkat ketenangan dan ketenteraman yang kekal, jika dalam pencarian untuk menyatu dengan Tuhan, sudah tidak memiliki rasa kemilikan, hanya ikhlas mengabdi dan beribadah kepada yang Maha Kekal adanya.

4.
DUA JALAN UNTUK MENGGAPAI KESELAMATAN

Telah disampaikan di dalam Nyanyian sukma bagiak ke 2 pada bagian akhir, bahwa untuk mencapai ketenteraman, yang pertama itu harus bisa mengalahkan kebebasan gerak pancaindra, Apa yang disebut kebebabasan gerak pancaindra juga telah dijelaskan, yaitu yang berasal dari hasrat dan keinginan diri, yaitu berupa keadaan yang tidak kekal, sejenis tindakan buruk orang jawa bilang Ma lima atau Ma Saptabaya, Judi, mabuk, main perempuan, mencuri, mencela dan menghisap ganja. Namun juga yang mengandung watak rendah yang menghalangi perbuatan utama, yaitu sifat : iri, dengki, usil, fitnah, marah, murka, senang memarahi dan sebagainya.
Namun, selain yang sudah dijelaskan di depan, menahan atau menghalangi gerak pancaindra itu juga bermakna menenangkan dan mengheningkan kehendak diri. Kehendak diri yang terlalu banyak di kendalikan, agar menjadi tenang, terarah, sedangkan untuk bisa terlaksana hal seperti itu, menurut para ahli ilmu rasa tentang “Naynyian Sukma” tidak lain hanyalah dengan cara tafakur, meditasi, yoga, mengheningkan cipta atau disebut juga samadi menyatukan rasa, menutup gerak 9 lobang yang ada di diri manusia.
Menenangkan cipta itu memang salah jalan untuk mengendalikan gerak pancaindra, karena daya cipta yang tenangakan memunculkan gambaran-gambaran tindakan yang telah dilakukan, ada yang sesat ada yang benar. Dengan cara meneliti perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan itu tadi, akan menumbuhkan kesadaran, mawas diri, sehingga bisa mengendalikan gerak pancaindra, dimulai dari sedikit demi sedikit, sehingga jika sudah tenang dalam melakukan konsentrasi samadi, semakin mempunyai kekuatan untuk mengendalikan gerak pancaindra.
Jika seseorang menginginkan untuk mengambil intisari “Nyanyian Sukma” dengan tujuan agar bsianya mendapatkan keberuntungan yang sejati, sebaiknya jika menginginkan untuk mengendalikan pancaindranya, dengan menggunakan dua cara yaitu :
PERTAMA : Berusahalah untuk bisa menekan nyalanya pancaindra yang berupa kesenangan dan kebiasaan berupa hobby yang tidak kekal adanya. Berusahalah untuk bisa mengalahkan musuh yang selalu mendami hidup selama ini, yaotu yang berupa watak dan sifat rendah : Marah, iridengki, memfitnah, usil dan sebagainya.
KEDUA : melakukan Samadi, Tafakur, mengendalikan dan mengheningkan cipta, membersihkan keinginan-keinginan yang tidak karuan, melakukan kosentrasi pikiran, Memusatkan pandangan mata pada ujung hidung, berusaha mengendalikan tidak terpengaruh lobang 9 dibadan atau sekalian melakukan Dzikir.
Didalam bagia ke III Nyanyian Kidung Sukma, bait ke 3 hingga 5, Sri Kresna memberikan ajaran :
3. Sri Kresna  ngandika : “Ing ngarep wus Manira terangake, heh Harjuna, yen dalan tumuju marang kamulyan jati iku ana loro cacahe. Panunggal lummantar Ilmu Sangkya lan Panunggal lumantar amal saleh kang winastan Karma Yoga. ARTINYA : Sri Kresna berka : “Di depan sudah ingsun terangkan, wahai Harjuna, bahwa jalan menuju kemuliaan yang sejati itu, ada dua jenisnya. Yaitu Menyatu dengan cara melewati Ilmu kesedihan dan kebingungan (Sangkya) dan menyatu dengan cara melakukan amal shaleh amal kebaikan, yang disebut Karma Yoga atau melakukan tindakan.
4. Ora bisa manungsa iku medhot panancanging panggawe mung sarana thenguk-thenguk, ora gelem nglakoni panggawe apa wae. Luhur-luhuring gegayuhan uga ora bisa kacekel mung sarana ngungkurake jagad rame lan tapa ana ing gunung. ARTINYA : Manusai itu tidak akan bisa memutus ikatan perbuatan hanya dengan cara diam saja, tidak mau melakukan tindakan apa pun. Setinggi-tingginya cita-cita juga tidak akan tercapai jika hanya meninggalkan keramian dunia dan melakukan tapa di gunung.
5. Sajatine, nadyan mung  sakedheping netra wae, manungsa iku ora bisa tanpa tumandhang, sabab wus dadi kodrat Triguna wong urip iku kudu tansah obah lan mosik, kudu tumandang. ARTINYA : Sebenarnya, walau pun hanya secepat kedipan mata, manusia itu tidak bisa jika tidak bergerak, karena sudah menjadi kodrat kehendak TriGuna – Tuntutan kehidupan, manusisa itu harus tetap bergerak dan bersikap, harus melakukan tindakan.
Diterangkan di dalam nynyian tersebut di atas, bahwa cara seseorang mengapai keselamatan itu dengan dua cara, yaitu menyatu dengan cara Ilmu dan menyatu dengan cara melakukan pekerjaan. Di dalam bab ini, banyak para penafsir yang berbeda pendapat dalam menterjemahkannya, namun yang sudah jelas apa yang dikehendaki oleh Sri Kresna, yaitu dua jalan keselamatan itu tadi. “Panggawe kang tan agawe” Perbuatan yang tidak berbuat, sedangkan yang ke dua : Tidak akan bisa mencapai kesempurnaan bagi orang yang malas melakukan apa pun atau malas bekerja mengerjakan sesuatu.
Menyatu dengan menggunakan Ilmu, yaitu menyatu dengan cara berusaha melihat yang sejati, yang bersifat kekal, tidak pernah berubah. Tidak berhenti hanya sampai melihat saja (ma’rifat) dan tidak berhenti hanya pada kuatnya keyakinan saja, namun juga harus meyakini dan memahami semua sifat-Nya  dan meyakini dan memahami Dzat-nya (tingkatan di atas Ma’rifat yaitu Waqif). Untuk memudahkan bahasa awamnya itu adalah Ketebalan Iman, artinya : Meyakini tentang adanya Dzat Yang Maha Suci, hingga menembus hati  tentang adanya Penguasa yang Kekal, yang tidak pernah mati, dan keyakinannya itu tidak hanya berhenti di ucapan saja, namun hingga menembus hati sanubari, hati nurani yang dikarenakan ilmunya sudah benar-benar paham, sudah Ma’rifat bahkan sudah bisa melampaui ma’rifat (Waqif). Sedangkan dalam beribadah, hanya dengan niat beribadah tanpa mengharapkan apa-apa, yaitu dengan Ikhlas semata-mata karena Aallah, bukan karena Surga neraka dan pengharapan pada pahala serta yang lainnya, itu dengan jalan mensucikan niyat, tanpa menginginkan, ingin untuk keselamatan diri.
Di bait ke 6, Sri Kresna berkata “
6. Wong kang lungguh, kanthi nyegah obahe tangan, sikil, lan saranduning badan liyan-liyane, nanging pikirane ngalamun, lelumban ing jagade pancadriya lan pepenginan, iku amale lamis utawa munafik. ARTINYA : Orang yang duduk, dengan mencegah gerak tangan dan kaki dan juga seluruh badan yang lainnya, namun pikirannya melamun, memikirkan tentang keinginan pancaindranya, itu adalah manusia suci yang palsu dan munafik.
Sudah jelas apa yang telah disampaikan oleh Sri Kresna, bahwa barang siapa yang nampak dalam tata lahirnya sudah bisa mengendalika pancaindranya, bukan pemabuk, tidak berjudi, tidak menghisap ganja, namun jika di dalam pikirannya masih mengejar yang salah, juga belum disebut bertindak tanpa mengharapkan hasilnya. Barang siapa yang sudah bisa mengendalikan watak-wataknya yang bersifat rendah, sudah tidak punya rasa irihati, dan mudah terpengaruh, namun jika belum murni hanya mengharap kepada Dzat yang sejati, juga belum disebut beribadah untuk keselamatan.
Barangsiapa yang kelihatannya melakukan samadi tiap malah harinya, namun jika pikirannya masih menerawang atau belum tenang yang sebenarnya, juga belum didsebut beribadah berdasarkan ilmu. Juga barangsiapa yang sudah menjalankan sembahyang, namun masih memiliki rasa kemilikan, demi untuk keselamatan dirinya sendiri, belum bisa disebut sembahyang yang hanya karena Allah.
Bahkan justru, menurut Sri Kresna, orang yang sudah bisa memisahkan pancaindranya, namun pikirannya masih menerawang jauh itu bisa disebut manusia suci palsu. Jika menurut kata penganut Agama, orang yang hanya berpura-pura suci, hanya nampak di luarnya saja yang patuh, namun di kedalam hatinya masih banyak keinginannya, orang yang seperti itu termasuk jenis manusia munafik.
Sihingga yang dimaksudkan dari sebutan menyatu yang tidak melakukan, yaitu orang yang menjalankan ibadah, namun yang tidak mempunyai keinginan untuk kepentingannya sendiri, yang sepi dari pengharapan. Cara yang digunakan oleh orang yang menjalankan kewajiban Agama menurut keyakinannya masing-masing, yaitu orang yang sembahyang yang hanya berniat menjalan perintah sembahyang, artinya hanya bertujuan menyembah Tuhan, hanya karena patuh menjalankan perintah Allah, hanya karena Allah, ikhlas tanpa mengharapkan hasilnya.
Sedangkan beribadah yang mengarah kepada keselamatan, menurut cara yang ke dua adalah, beribadah dengan cara menjalan kewajiban pekerjaan yang harus dilakukannya. Untuk lebih jelasnya, termuat dalam nyanyian sukma bait 7 hingga 9, seperti berikut ini :
7. Nanging manungsa kang tansah ngendhaleni indriyane, lan raga, cipta lan riptane tumandang minangka ibadahe, utawa tandha bektine, tumuju marang kang Maha Tunggal, satuhune jalaran nindakake Karma Yoga, wus lepas saka panancange Karma. Iku manungsa kang tuhu pinunjul!. ARTINYA : Namun manusia yang selalu mengendalikan pancaindranya, raganya, maka cipta dan pikirannya bekerja sebagai ibadahnya, atau sebagai baktinya, tertuju kempada Yang Maha Tunggal, sesungguhnya dikarenakan menjalankan yang menjadi kewajiban hidupnya, itulah yang sduah terlepas dari ikatan karma. Itulah manusisa yang benar-benar berilmu tinggi.
8. Tandangana panggaweyan kang wus dadi kuwajibanira. Wong kang tumandang iku luwih becik tinimbang wong kang mung meneng wae. Wong kang mung meneng wae iku uripe saka asil karyane wong liya. ARTINYA : Kerjakanlah kewajiban pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya. Orang yang mengerjakan kewajibannya itu lebih baik dibanding orang yang hanya diam saja. Orang yang ghanya diam saja itu, hidupnya adalah dari hasil kerja orang lain.
9. Yen kabeh panggawe iku sira dadekake pangurbanan utawa tandha bekti sajrone sira nindakake ibadah tumuju marang kang murba misesa urip ira, sayekti panggawe-panggawe mau ora bakal dadi belenggu tumrap kamardikanira. Mula kabeh panggawe iku dadekna ibadah, yaiku panggawe kang sira lakoni tanpa pamrih, tanpa ngarep-arep uwohe utawa upahe. ARTINYA : Jika semua pekerjaan yang menjadi kewajibannya kamu jadikan korban atau sebagai bukti kepatuhan menjalankan ibadah yang hanya ditujukan kepada Sang Penguasa Hidup mu, sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan menjadikan belenggu bagi kemerdekaan. Maka dari itu, semua kerjamu jadikanlah ibadah, yaitu kewajiban pekerjaan yang kamu lakukan tanpa mengharapkan pamrih, tanpa mengharp-harapkan hasilnya atau upah penghargaannya.
Disebut menyatu dengan jalan mengerjakan kewajiban kerjanya, karena yang menjalankannya tidak terikat kepada apekerjaannya, maksudnya atas hasil dari hasil kerjanya, karena sudah bisa mengalahkan tuntutan pancaindranya yang penuh dengan pamrih dan pengharapan. Sehingga bekerja itu juga merupakan ibadahm jika apa yang diperbuat dan dikerjakannya termasuk tindakan yang utama serta tidak terkotori oleh rasa kemilikan, ibaratnya adalah orang yang melakukan kurban yang sudah tidak mengharap-harapkan atas pahalanya.
Sedangkan bentuk dari pekerjaannya, sudah dijelaskan oleh Sri Kresna, bahwa dunia ini, adalah terikat oleh pekerjaan, terggelar di mana-mana dan bermacam-macam bentuknya, bermacam-macam warnanya. Penuh dengan kelonggaran dan kesempatan bagi siapa saja yang memang berniat menjalankan ibadah, menjalankan untuk menolong Agamanya, amar ma’ruf, dengan cara meningkatkan perbuatan baik, amal shlaeh, menyempurnakan perbuatan utama.
Menurut nasihat para sesepuh, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat yang licin, berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah minum kepada orang yang kehausan, berilah penutup kepala kepada orang yang gkepanasan, berilah makan kepada orang yang kelaparan. Perbuatan baik itu tergelar di mana-mana, hanya tinggal menunggu yang mau mengerjakannya saja. Merawat anak yatim piatu, mengasihi anak yatim, merawat orang jompo, memberikan perawatan kepada orang sakit, seperti itulah dan sebagainya tidak akan kekurangan untuk berbuat yang memberikan manfaat kebaikan kepada masyarakat. Itu semua bila dikerjakan dengan tanpa pamrih, disebut termasuk sebuah Ibadah.
Di dalam ajaran Agama apa saja, juga sudah ada perintah dan larangan, dan juga tuntunan agar para pemeluknya agar selalu menjalankan dan berbuat amal sebagai ujud ibadah tanpa mengharapkan terkenalnya nama, tanpa amengharapkan balasan.
Akan tetapi, jika seseorang menjalankan suatu pekerjaan, hanya untuk menjalankan kewajibannya, karena sudah mendapatkan ongkos untuk melakukannya -  itu tidak termasuk ibadah, hanya sekedar menjalankan kewajibannya di lingkungan pekerjaannya saja, bukan wajib atas perintah Agama, atau wajib atas perintah dari Tuhan.
Hanya berupa sebutan ibadah, jika orang yang menjalankannya kewajiban pekerjaanya itu, disertai dengan tekad yang tulus ikhlas akan menambah keutamaan pekerjaanya, mengalikan wajibnya, demi untuk memberikan bantuan dengan kesucian hati.
Seberapa besarnya rasa keindahan, ketika seseorang menjalankan menyembah beribadah seperti di atas, dikatakan oleh Sri Kresna dalam bait 39 hingga 42, sebagai berikut :
39. Mangkono uga kawicaksananing manungsa iku tansah binuntel dening musuhe para sadu, yaiku kamarupa utawa angkara murka, kang tansah murub mobyar-mobyar tanpa duwe marem.  ARTINYA : Demikian juga, bahwa sifat bijaksana manusia itu selalu terbungkus oleh musuh para suci, yaitu penipu rupa atau angkara murka, yang selalu menyala berkobar yang tidak pernah merasa puas.
40. Kamarupa rajas tamas mau nyrambahi lan jumenengg ana ing indriya, akal, pangripta lan ciptaning manungsa, lan banjur amblinger manusa samangsa wus bisa nutupi kawaspadane. ARTINYA : Rajas Tamas Penipu rupa berupa angkara murka itu menguasai dan berada di dalam indra, akal, nalar dan cipta dari manusia, yang kemudian membelokkan menusia ketika sudah menutupi kewaspadaannya.
41. Indriya iku gedhe banget gunane. Parasaan gunane luwih gedhe, luwih gedhe maneh gunane akal. Budi gunane luwih gedhe tinimbang akal. Kang gehde dewe gunane yaitu Dheweke. ARTINYA : Panca indara itu sangat besar kegunaanya, Perasaan itu lebih besar kegunaanya, lebih besar lagi gunanya itu akal, Budi itu lebih besar gunanya dibanding akal, yang terbesar gunanya itu DIA.
42. Sawuse sira ngreti yen Dheweke iku luwih luhur tinimbang karo budi, kanthi pribadinira teguh lan antheng jalaran saka Dheweke, yen sira prajurit sejati, sirnakna kamarupa iku, mungsuh kang julig banget, kang ora kena dicedhaki. ARTINYA : Setelah dirimu memahami bahwa Tuhan itu lebih luhur dibandingkan Budi, dengan ketenangan diri yang teguh dan kuat dikarenakan DIA, jika dirimu itu prajurit sejati, hilangkanlah penipu rupa angkara itu, Musuh yang sangat pintar, yang tidak boleh untuk didekati.
Rasa kemilikan itu sangat kuat sekali pengaruhnya. Dimana-mana seseorang yang berniat meeeeeelakukan tindak utama akan selalu digoda oleh rasa kemilikan itu. Di dalam waktu apa saja, ketika seseorang orang sedang manjalankan ibadah, rasa milik selalu terlihat dan selalu menggodanya. Rasa kemilikan itu seolah kekal adanya, selalu tumbuh dan selalu bersemi ketika seseorang sedang giat berusaha tuk mencapai keselamatan kedamaian, karena pada umunya bahwa hidup manusia itu kesulitan untuk mencapai kepuasan. Padahal, dimana pun muncul rasa tidak puas, disitulah akan tumbuh rasa kemilikan.
Didalam bait ke 40 disebutkan, bahwa indra, cipta dan budi itu tempat rajas dan tamas. Apa yang disebut dengan istilah rajas dan tamas masih akan di ajarkan oleh Sri kresna dalam Nyanyian Sukma bagian ke XIV. Dan sebenarnya ajaran yang diuraikan di dalam Nyanyian Sukma itu, tidak urut susunannya, kadang meloncat-loncat, dan membingungkan. Shingga dua istilah tersebut akan diterangkan di bagian lain, agar bisa urut dalam kita menelaah intisari ajaran yang luhur ini. Seperti juga istilah  “Dheweke” yang terdapat pada bait ke 42, akan diterangkan jika sudah menguraikan kata “Ingsun” agar lebih jelas dan mudah dalam menguraikannya.
Intisari Ajaran di atas : Berudaha mencapai ketenteraman yang kekal, ada dua jalan. Dengan cara menyatu memusatkan cipta hanya kepada Dzat yang kekal adanya, menghilangkan keinginan-keinginan tentang keduniaan; dan yang kedua : Menyatu dengan cara menjalankan kewajiban kerja yang mulia tanpa mengharapkan apa-apa dan hasilnya.

5..
HAMPA PENGHARAPAN PENUH IBADAH

Pada bagian ke IV dalam Nyanyian Sukma, Sri Kresna akan akan menyampaikan Ajaran tentang ibadah menurut ajaran kuna, yang sebenarnya juga bisa ditemukan di dalam ajaran Agama-Agama yang diyakini di jaman sekarang ini, hanya saja cara mengajarkannya yang berbeda, menggunakan kalimat dan ibarat yang tidak mudah dipahami dengan cara biasa.
Penyampaian Sri Kresna sebagai pembukanya :
3. Piwulang Yoga ingkang saiki Manira wedharake marang sira, iku padha wae karo piwulang ingkang Manira wedharake ing sakawit. Sira iku mitra Manira, kang tansah ngetokake bektinira. Mula piwulang ingkang adiluhur iki Manira wedharake marang sira. Ajaran Yoga yang sekarang Ingsun ajarkan kepada dirimu, itu sama dengan ajaran yang Ingsun ajarkan pada awalnya. Dirimu itu sahabat Ingsun, yang selalu menjalankan kebaktian. Maka dari itu ajaran yang sangat luhur ini ingsun ajarkan kepada dirimu.
Sedangkan ajaran tentang ibadah menurut ajaran masa lalu itu, masih menjelaskan  tentang cara beribadah berupa dua macam, yaitu dengan cara tindakan dan dengan cara tidak melakukan tindakan. Dengan cara bertindak merampungkan pekerjaan dan dengan cara tidak bertindak melaksanakan sebuah perbuatan, dijelaskan pada bait 16 hingga 20, sebagai berikut :
16. Mara terangna marang Manira apa kang diarani tumandang lan apa kang diarani ora tumandang. Para winasis wae padha bingung anggone arep nerangake. Coba saiki Manira terangake marang Sira. Yen sira wis bisa mangerti, sira ora bakal nglakoni dosa maneh. ARTINYA : Coba terangkan kepada Ingsun apa yang disebut bertindak dan apa yang disebut tidak bertindak. Para ahli ilmu saja kebingungan untuk menerangkannya. Coba sekarang akan ingsun terangkan kepada dirimu, jika dirimu sudah bisa memahami, dirimu tidak akan melakukan dosa lagi.
17. Manungsa kudu weruh kang diarani tumandhang, uga tumandhang sing salah lan uga maknane meneng, jero banget maknane lakune tumandang. ARTINYA : Manusia harus bisa memhamai apa yang disebut melakukan pekerjaan, juga bertindak yang salah, dan juga makna dari diam, sangatlah dalam makna dari melakukan tindakan.
18. Manungsa kang bisa nyipati Kang Meneng sajroning tumandang lan kang Tumandhang sajroning Meneng, iku manungsa kang pinunjul kawicaksanane. Dheweke nindakake Yoga sinambi nglakoni sakeh panggawe (mati sajroning Urip lan Urip sajroning Mati). ARTINYA : Manusia yang bisa melihat yang diam di dalam bertindak dan yang bertindak di dalam diam, itu adalah manusia yang unggul dalam kebijaksanaannya. Dia melakukan yoga sambil menjalankan semua pekerjaannya.
19. Manungsa kang saguh ngrampungake kuwajiban-kuwajibane, ora marga kepengin ngundhuh uwohe, saha nucekake panggawene sarana urubing Pangawikan, iku kang diarani Pandhita kang sejati. ARTINYA : Manusia yang sanggup menyelesaikan semua kewajiban-kewajibannya. Tidak karena menginginkan mendapatkan hasilnya, serta mensucikan pekerjaan dengan cara menyalakan Ilmunya, itulah yang disebut Manusia suci yang sejati.
20. Wong sing ngeklasake uwohe panggawene, tansah nrima, ayem, ora gawe repote liyan, uwong kang mangkono iku, ora nuwuhake karma maneh, nadyan dheweke nglakoni paggawene apa bae. ARTINYA : Seseorang yang sudah mengikhlaskan hasil kerjanya, selalu ikhlas, tenang, tidak membuat kerepotan orang lain, manusia yang seperti itu, tidak menumbuhkan karma lagi, walau pun dia melakukan pekerjaan apa saja.
Terbukti dari isi Nyanyian sukma tersebut di atas, jika tidak benar-benar dalam kita menelaah untuk bisa memahami, sangat sulit untuk bisa menemukan intisari dari ajaran yang sejati.
Isi ajaran yang sebenarnya, jika dimaknai menggunakan bahasa biasa, intinya adalah : Beribadah menurut Ilmu di jaman kuna yang diajarkan oleh Sri Kresna itu,  ada dua jenis, yang pertama terlihat seperti tidak berbuat, namun sebenarnya melakukan ibadah, yang satunya lagi terlihat seolah-olah melakukan iabdah, namun kenyataanya tidak menjalankan ibadah.
Contoh ibarat bagi orang yang diam, kelihatannya memang tidak bergerak, tidak bekerja, namun kenyataan jiwanya hanya satu yang dipikirnnya, melakukan ibadah kepada Tuhannya. Orang yang telah mampu melakukan seperti itu, disebut melakukan gerakan tanpa bergerak, beribadah dengan cara tidak menggunakan raga, yang melakukannya hanyalah badan halusnya.
Dan sebaliknya, yang kelihatannya amelakukan ibadah dengan cara melakukan kurban, melakukan persembahan ketika ada acara upacara ibadah – akan tetapi jika hatinya tidak ikut beribadah, dan hanya memikirkan yang lainnya – yang seperti itu bisa disebut melakukan pekerjaan tanpa menghasilkan apa-apa. Melakukan ibadah namun sama saja tidak beribadah, karena masih tertutup oleh keinginan diri kepada yang lain-lainnya, yang beraneka macam jenisnya.
Contoh yang lain lagi, seseorang yang sedang melakukan samadi, menenangkan ciptanya, terlihat seolah-olah benar-benar beribadah kepaga Tuhan, namun jika tujuan pikirannya tidak hanya untuk beribadah, hanya berniat memohon meminta sesuatu untuk keperluan dirinya, orang yang melakan hal seperti itu tidak bisa disebut seebagai orang yang melakukan tindakan ibadah yang tidak melakukan ibadah. Karena masih memiliki rasa kemilikan dan keinginan, masih memiliki pengharapan dan permintaan.
Contoh yang lainnya lagi : Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jika ketika bekerja itu hanya untuk kebaikan sebagai sarana ibadah kepada Tuhan, dengan kesucian hati, sebagai amal jariyah .. orang yang seperti ini, walau pun tidak melakukan samadi, tidak memberikan kurban .. namun sudah termasuk jenis ribuan ibadah, beribadah yang tidak melakukan ibadah.
Sehingga sebenarnya, jika seseorang yang melakukan tapa di dalam gua, jauh dari keramaina kehidupan. Belum tentu benar-benar melakukan ibadah, karena bisa saja ketika melakukan tapa , karena mempunyai tujuan iingin agar mendapatkan derajat tinggi, inging mendapatkan kewibawaan, ingin terkenal namanya, atau hanya untuk pertunjukan saja, dan sebagainya lagi menurut keinginan tenetang keduniaan.
Direngkan juga oleh Sri Kresna, bentuk ibadah yang benar-benar ibadah, dalam nyanyian sukma bait ke 21 hingga 23, berikut ini :
21. Tanpa duwe pepenginan, tansah nguwasani pribadhine, lan bener-bener wus sepi ing kamurkan, kang tumandang iku mung ragane lan jalaran saka iku dheweke ora kadunungan dosa. ARTINYA : Tanpa memiliki keinginan, selalu bisa mengendalikan pribadinya, dan benar-benar sudah terhindar dari kemurkaan, yang bergerak itu hanya raganya, dan oleh akrena itu, maka dia tidak ketempatan dosa.
22. Nrima apa kang dadi pandhume, kalis saka wolak-walike kahanan, ora duwe sengit, padha wae sajroning suka lan sungkawa, ora ana karma kang nancang maneh, sanadyan dheweke nglakoni panggawe apa wae. ARTINYA : Menerima apa yang menjadi ketepan-Nya, terbebas atas pengaruh berbagai perubahan, tidak memiliki rasa benci, senang dan susah dianggapnya sama saja, maka tidak ada karma yang bisa mengikatnya, walau pun dia melakukan perbuatan apa saja. (Contoh : Yang dilakukan Nabi Khidir pada jaman Nabi Musa).
23. Kang wus sepi saka sakehe pepenginan, jiwane tansah tumanem ing kawicaksanan, lan ngrampungake sakeh panggawene mung minangka kurban, yaiku tandha bektine kang kunjuk marang kang murba-misesa uripe, iku manungsa kang wus lebur panancanging karmane. ARTINYA : Yang telah sepi dari semua keinginan diri, jiwanya selalu tertanam dalam kebijaksanaan, dan menyelesaikan segala kewajiban kerjanya hanya untuk sebagai kurban, yaitu sebgai tanda bukti baktinya yang ditujukan kepada Penguasa Hidupnya, itulah manusia yang sudah bisa menghapus ikatan karma (Sebab akibat).
Pada intinya : Hanya sebutan Ibadah, jika sepi dari pengharapan, penuh ikhlas hanya ibadah. Telah sepi dari permohonan hanya untuk kepentingan diri pribadi, namun hanya bertujuan kepada kebenaran ibadah hanya untuk Tuhan. Sepi dari keinginan untuk memenuhi tuntutan keinginan diri atau keluarganya, namun benar-benar hanya karena Allah, karena Tuhan, Beribadah hanya untuk ibadah tanpa pamrih, tanpa kemilikan, khusus hanya menjalankan kewajiban menghadap Tuhan yang wajib disembah.
Pada baik ke 23 (yang terakhir) tersebut di atas, itu telah dijelaskan, Yang telah sepi dari semua keinginan diri, itulah jiwanya telah bebas merdeka. Merdeka itu artinya tidak terjajah oleh keinginan diri atas tuntutan Pancaindra, tidak dipaksa oleh watak jiwa rendah, dan juga bukan menjadi budak dari hasrat dan pikiran yang bermacam-macam, yang hanya mencari kesenangan diri yang tidak kekal adanya.
Seseorang yang sudah berhasil melawan Kurawa yang ada di dalam dirinya, yang berada di dalam raganya, yang berupa gerak dari pancaindra dan nyala dari hawa nafsunya – itulah yang diinginkan oleh merdeka. Siapa saja yang sudah bisa mengalahkan musuh yang bernama Kurawa dalam diri, yang dianggapnya sebagai saudara dirinya, disayangi bagaikan orang yang dicintai ... yang berupa kesenangan diri dan kesenangan keduniaan – orang yang bisa sebagai pemenangnya itu, disebut telah merdeka.
Merdeka, karena sudah tidak terjerat oleh tuntunan keinginan pancaindra, tidak diikat oleh hawa nafsunya, tidak terikat oleh keinginan ego diri dan hasrat yang menyesastkan.
Kemudian Sri Kresna melanjutkan ajarannya tentang kurban yang dilakukan oleh orang yang melakukan upacara-upacara peribadatan, yang sebenarnya belum tentu akan ada manfaatnya bagi yang melakukannya. Berkurban atau mengorbankan yang berujud apa saja, sebenarnya yang terpenting itu bukan ujud dari yang dikurbankan, kan tetapi dari niatnya yang berasal dari hati bagi yang melakukannya, termuat dalam bait ke 32 hingga 39, sebagai berikut :
32. Sanadyanta wujuding kurban kang kunjuk marang Hyang Brahma iku mawarna-warna, nanging kabeh kurban iku kelakone sarana tumandhang. Yen sira wis bisa nampa surasane piwulang iki, mesthi uripira bakal mentas. ARTINYA : Walau pun ujud kurban yang ditujukan kepada Hyang Brahma itu bermacam-macam, namun semua kurban itu akan bisa terlaksana dengan cara dilakukannya. Jika dirimu sudah bisa menerima makna dari ajaran ini, pasti hidupmu akan bebas.
33. Luwih utama tinimbang sesaji kurban kang wujud barang utawa bandha, yaiku tapabrata nggayuh panunggaling Kawula Gusti. Tujuane sakeh panggawe iku ora liya mung pepadhang lan pangawikan. Lebih utama dibandingkan dengan sajian kurban yang berupa barang atau harta itu adalah bertapa tafakur berusaha menyatukan rasa hamba dengan Tuhannya. Tujuand ari semua tindakan itu tidak lain adalah Terang dan Ilmu.
34. Goleka pangawikan sarana tetakon, lan sarana mbangun turut jroning puruhita marang sang Wiku utawa sang Guru Jati. Mesthi bakal binuka kawicaksananira dening para Mahaguru, kang wus wikan ing gaibing Urip. ARTINYA : Carilah ilmu dengan cara bertanya, dan dengan cara patuh ketika belajar kepada Ulama atau Guru Sejati. Itu pasti akan terbukalah kecerdasan kebijaksaan dirimu oleh para Mahaguru, yang telah memahami rahasia hidup.
35. Yen kabeh iki wus rumesep bener-bener ing rasa-pangrasanira, wus ora ana apa wae kang bisa gawe rupeke atinira marga saka salah tampa. Hyang Atma nglimputi sagung kang gumelar iki. Dadi sakeh alam kang gumelar lan kang gaib iku dumununge ana ing Ingsun. ARTINYA : Jika semua itu sudah meresap di dalam rasa perasaanmu, sudah tidak akan ada lagi yang bisa membuat keruwetan di dalam hatimu yang dikarenakan salah dalam mehaminya. Hyang Atma (Hidup yang tidak pernah mati) menguasai semua yang tergelar ini. Dan semua alam yang tergelar ini dan alam yang gaib itu berada di Ingsun.
36. Sanadyan sira iku wus nglakoni kejahatan ngluwihi para bebenggole penjahat, kanthi lelayaran ing prahu pangawikan, mesthi sira bisa ngliwati samodraning sakeh dosa. ARTINYA : Meskipun dirimu telah melakukan kejahatan melebihi pemimpin para penjahat, dengan berlayar menggunakan perahu ilmu, tentulah dirimu akan bisa melewati luasnya samudra yang berisi dosa.
37. Yen bahan bakar iku sirna dadi awu marga saka urubing geni pangurbanan, mula genine pagawikan bisa mbesmi panancanging Karma nganti dadi awu uga. ARTINYA : Jika bahan bakar sudah musnah menjadi abu karena terbakar api pengorbanan. Maka,  api ilmu  pun bisa membakar habis ikatan karma hingga menjadi abu.
38. Pangawikan utawa ilmu iku sesuci ingkang ampuh dhewe ing donya iki. Wong kang wus sampurna anggone olah Yoga, wusanane nemu yen Pangawikan iku dumunung ing Salira Pribadi. ARTINYA : Pengetahuan atau ilmu itu, adalah alat untuk bersuci yang paling ampuh di dunia ini. Seseorang yang telah sempurna dalam tafakurnya dengan olah yoga, pada akhirnya akan menemukan bahwa Ilmu itu sebenarnya berada di dalam dirinya sendiri
39. Sapa kang mantep imane bakal tampa Pangawikan, uga wong kang tansah ngendhaleni indriyane. La, yen wong iku wus ndarbeni Pangawikan, mesthi dheweke tumeka ing luhuring aluhur, katentreman lan kamulyan.  ARTINYA : Siapa saja yang kuat imannya, akan mendapatkan Ilmu, dan juga seseorang yang selalu mengendalikan pancaindranya. Dan bila seseorang itu telah memiliki Ilmu pemahaman, pastilah dirinya akan sampai pada derajat luhur, ketenteraman dan kemuliaan.
Kurban atau persembahan itu ibadah lahir kepada Tuhan. Bentuknya, bermacam-macam, sesuai keyakinan yang dianutnya masing-masing. Persembahan lahir dalam upacara penghormatan yang harus disertai juga persembahan batin yang terpancar dari hati yang suci. Jika kurban itu hanya dilakukan bagaikan persembahan pada umunya seperti yang ditujukan kepada sesama manusia yang dihormatinya, sebenarnya perbuatan tersebut tidak memiliki makna penghormatan.
Kurban yang berupa benda, seharusnya hanya sebagai tanda bukti atas ibadah hati, ibadah dari keyakinannya yang tumbuh dari niat yang suci, murni hanya menyembah Tuhannya, tanpa pengharapan kemilikandan pamrih.
Menurut Sri Kresna, di antara kurban-kurban yang luhur, tidak ada lain, selain kurban kebijaksanaan. Artinya, persembahan yang berupa perbuatanyang benar-benra sepi dari pengharapan, persembahan yang berupa benar-benar ibadah hanya untuk karena Tuhan, tanpa terselip atas pengharapan kemilikan sedikit pun.
Jika sudah seperti itu, sudah benar-benar sepi dari pengharapan untuk kepentingan dirinya, namun penuh ikhlas hanya ibadah. Seseorang yang sudah demikian itu, jika meninggal dunia, maka akan sampai pada aketenteraman yang luhur. Kata lainnya, akan bisa menyatu dengan Dzat-Nya, yaitu bisa bertempat tingga dalam satu tempat, berkumpul dengan Dzat, yang di dalam Agama Islam dikatakan : Kembali kepada Rakhmat Allah, jika di Agama Kristen dikatakan : Kembali menghadap ke pangkuan Tuhan.
Menurut Filsafat Hindu yang diajarkan oleh Sri Kresna ini, kalimat bersama di dalam Dzat itu, maknanya adalah tidak akan dilahirkan lagi ke dunia ini, dunia yang dianggkap sebagai tempat kesengsaraan karena harus merasakan senang dan susah dan mengalami kejadian apa saja yang tidak kekal adanya.
6.
PENYATUAN DENGAN CARA MELAKUKAN PERBUATAN

Belum tuntas, Sri Kresna menyampaikan ajarannya tentang ibadah, yang bisa sampai kepada penjelasan yang sempurna, sehingga dalam Nyanyian Sukma ke V, masih masih melanjutkan menjelaskan tentang ujud ibadah yang sebenarnya.
Pada bagian ini, Sri Kresna menggunakan istilah baru tentang Pribadi Luhur atau tentang Arah tujuan segala yang ada, yaitu dengan sebutan Brahma. Hal ini terdapat dalam kata-kata : Melihat Brahma, Berada di dalam Brahma, menjadi satu dengan Brahma, Nirwananya Brahma, dan sebagainya.
Istilah Brahma itu, terdapat dan dijelaskan di dalam Bait ke 18 dan 19, sebagai berikut :
18. Brahmana kang sadu budi lan andhap-asor, sapi, gajah, malah asu lan wong kang mangan asu, iku kabeh padha wae ajine tumrap sang Pandhita, kang tuhu wus manunggal karo Dheweke. ARTINYA : Brahmana yang ahli budi dan sopan santun, sapi, gajah, bahkan anjing dan orang yang makan anjing sekli pun, itu semua sama saja nilainya dimata sang Pandhita.
19. Sapa kang pangriptane tansah tata-tentrem (seimbang) bisa nelukake bumi iki. Suci kaya Hyang Brahma dhewe, dheweke mengko mesthi manunggal karo Hyang Brahma. Sesiapa yang hasrat dan pikirannya selalu dalam ketenangan (Seimbang) maka akan bisa menguasai bumi ini. Suci bagaikan Hyang Brahma itu sendiri, orang seperti itu pastilah akan menyatu dengan Hyang Brahma.
Walau pun bergitu, Sri Kresna masih melanjutkan memberikan ajaran tentang ibadah, karena Harjuna masih kebingunan dalam membedakan antara beribadah tan berbuat ibadah dan dengan yang melakukan ibadah. Sri Kresna memberikan intisari ajarannya, sebagai berikut :
20. Ora suka riya yen nemu kabegjan, lan ora giris yen katekan bebaya, kang santosa ing budi, tetep tanpa was sumelang, manjing ing Hyang Brahma. ARTINYA : Tidak merasa bahagia dan pamer ketika mendapatkan keberuntungan, dan tidak takut ketika menghadapi bahaya, yang sudah kuat budinya, teguh tanpa ada rasa kuatir, itulah yang bisa masuk kepada Hyang Brahma.
Untuk lebih jelasnya, sesiapa yang menjalankan ibadah tanpa melakukan ibadah, artinya ketika menjalankan penyatuan dengan cara menenangkan semua pancaindra dan keinginan dirinya, ikhlas menuju kepada yang Satu, Dengan kata lain, seseorang yang sudah berda pada derajat bijaksana, yang tidak ada celanya dan tidak ada bandingnya, yaitu yang seperti tersebut di atas yang diharapkan dari istilah Brahma. Namun seseorang yang sudah bisa melihat Brahma, diberi amanah agar jangan sampai senang jika mendapatkan keberuntungan, dan jangan sedih jika mendapatkan kesusahan.
Ajaran selanjutnya yang desbut Ilmu Sangkya yaitu menyatu dengan cara tidak melakukan tindakan raga, akan direangkan pada bait 21 hingga 24, berikut ini :
21. Kang Atmane wis ora kena pengaruhe obah-mosike indriyane, wis seneng lan lega jalaran sesrawungan karo Ingsun, kang pribadine wus manunggal karo Ingsun lumantar olah Karma Yoga, bakal ngrasakake kamulyan kang ora ana wusanane. ARTINYA : Yang Atmanya (Daya hidup yang tidak pernah mati), sudah tidak terpengaruh oleh gerak indranya, sudah merasa senang dan puas karena sudah bisa bertutur kata dengan Ingsun, yang pribadinya sudah menyatu dengan Ingsun, melalui Karma Yoga, akan mendapatkan kemuliaan yang tidak ada batas akhirnya.
22. Kasenengan lan kanikmatan kang timbul saka gepok-senggole Jagad Cilik lan Jagad Gede, sejatine mesthi mbabarake kasusahan. Kanikmatan kang mangkono iku, lagi wae bisa dirasakake wus banjur musna. Sang sadu ora butuh srawung karo kanikmatan kang kaya mangkono iku. ARTINYA : Kesenangan dan kenikmatan yang disebabkan karena bersentuhannya dunia nyata dan dunia batin, dunia besar dan dunia kaecil, itu sebenarnya benyebab timbulnya segala kesusahan. Kenimatan yang seperti itu, baru sebentar saja bisa dinimati tiba-tiba musnah. Manusia Suci itu tidak butuh bergaul dengan kenikmatan yang seperti itu.
23. Manungsa kang isih urip sajroning raga iki, lan tanpa keguh bisa nanggulangi panggendenge hawa nafsu lan kamurkan, iku manungsa kang tuhu pinunjul. ARTINYA : Manusia yang masih hidup di dalam raga ini, dan tanpa keluhan serta bisa menanggulangi gerak hawa nafsunya dan kemurkaannya, itulah manusia yang benar-benar mulia.
24 kang wus ngalami yen kamulyan iku dumunung ana ing Salira Pribadi, seneng. Sapa sesrawungan karo Dheweke, adus ing papadhang marga saka Dheweke mesti bakal manjing ing Nirwana Hyang Brahma, jalaran wus manunggal karo Hyang Brahma. ARTINYA : Yang sudah bisa merasakan bahwa kebahagian itu berada di daiam dirinya sendiri dan juga yang beranama kesenangan. Sesiapa yang bergaul dengan Dia, itu bagaikan mandi cahaya, karena hanya karena DIA, pasti akan masuk ke dalam Nirwana Hyang Brahma, karena sudah menyatu dengan Hyang Brahma.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, yang merupakan seseorang yang menjalankan Ibadah dengan cara sudah meletakkan ibadahnya, artinya itu, sudah tidak memikirkan keduniawian bagaikan orang suci yang melakukan tapa di dalam keheningan hutan atau laku para pandhita yang telah bisa menghindari pengaruh keduniawian.
Jika benar-benar bisa mengikhlaskan perbuatannya,  artinya perbuatan kerja yang bersifat keduniaan, hanya ikhlas beribadah menyembah kepada Tuhannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, bagaikan telah menyatu menjadi satu, akan mendapatkan ketenangan di dalam Dzat. Akan tetapi, ketika menghindar dan tidak melakukan ibadah itu tadi, masih belum bisa melepaskan semua godaan keduniaan, itu tidak akan bisa sampai ke Nirwana Hyang Brahma.
Kemudian Sri Kresna melanjutkan Ajaranannya, pada bait ke 25 hingga 29, sebagai berikut :
25. Kabeh resi kang wus resik saka sakeh dosa, lan wus ora kataman wolak-waliking kahanan, tansah nguwasani pribadhine, lan merakati tumrap sapa wae, mesthi bakal manjing ing Nirwanane Hyang Brahma. ARTINYA : Semua orang suci yang sudah bersih dari segala dosa, dan yang sudah tidak bisa dipengaruhi oleh gerak perubahan keduniaan, selalu bisa mengendalikan dirinya, dan bisa memberikan manffat kepada siapa saja, pastilah akan masuk ke dalam Nirwananya Hyang Brahma.
26. Sepi saka sakeh pepenginan, ora tau nesu, ora tau muring-muring, pangriptane tatatentrem, kang wus tepung karo Salira Pribadine, sayekti wus nyedhaki Nirwanane Hyang Brahma. Sudah tidak terpengaruh atas segala akeinginan diri, tidak pernah marah, tidak pernah memarahai orang lain, tenang pikirannya, yang sudah bisa mengenal dirinya sendiri, itulah yang sudah dekat dengan Nirwananya Hyang Brahma.
27. Sawuse anutupi babahan hawa sanga, lan pandhulune meleng ndeleng tumuju marang antaraning alis karu pisan, sawise madangake lebu metuning napas, kang mobah ing kepinging grana karo pisan. ARTINYA : Setelah menutup lobang sembilan yang ada di raga, dan mata hatinya terpusat memandang di antara kedua alisnya, setelah menenangkan pernafasannya, yang keluar masuk melalui kedua lobang hidungnya.
28. Lan ngleremake pancadriyane, pikire lan budine, lan panggayuhe pamudaran wus ilang pangarep-arepe. Apa dene mirise lan murkane wus sirna babar pisan. Sujanma sukci kang mangkono mau, sayekti bisa maradika. // Sang Muni, kang murih bisa muksa nglelatih nututake budine, pangriptane, ciptane, lan indriyane, kang wus sepi ing pamrih, was-sumelang lan kamurkan, mesthi bakal mentas, Muksha. ARTINYA : Dan nenenangkan Pancindaranya, pikirannya dan budinya, dan hasratnya, pengharapan sudah hilang  harapan-harapannya. Dan juga rasa takutnya dan sifat murkanya sudah hilang semua. Manusia suci yang seperti itulah yang mencapai kesempurnaan dan merdeka // Manusia suci, agar bisa moksa dengan jalan berlatih menyelaraskan budinya, nalarnya, ciptanya dan indranya, yang sudah tidak mempunyai pamrih, rasa kuatir dan murka. Itulah yang pasti bisa moksa.
29. Kang wus ngerti yen Ingsun ingkang ngrasakake kanikmatane pangurbanan tapabrata jroning nglakoni Karma Yoga, wus mangerti yen Ingsun ingkang jumeneng Pangeran ing kabeh Alam, welas asih marang kabeh titah, marga wus ngerti marang Ingsun, bakal oleh katentreman lan kamulyan kang linuhur. ARTINYA : Yang sudah bisa memahami bahwa Ingsun yang merasakan kenikmatan kurban berupa tapa dalam melakukan Karma Yoga, sudah paham bahwa Ingsun adalah Tuhan di seluruh Alam, yang bersifat memberikan kasih sayang kepada semua makhluk, dan yang karena sudah memahami tentang Ingsun, itulah manusia akan mendapatkan ketenteraman dan kemuliaan yang tinggi.
Seperti itulah ajaran Sri Kresna yang disampaikan kepada Harjuna tentang Ibadah dengan cara meletakkan ibadahnya, mana yang harus di pilih, mana yang lebih penting dibanding menyatu dengan cara melakukan ibadah.
Sebenarnya, menyatu dengan cara tidak melakukan ibadah raga, jika dilakukan dengan benar, bisa terlaksana dengan tepat, dan akan bisa menghapus segala dosa, namun di dalam hidup bermasayarakat di dunia rame ini, sangat sedikit manfaatnya. Karena tidak ikut melakukan kerja yang berupa andil dalam kehidudpan bermasayarakat, yang menunggu kepada yang akan menjalankannya.
Seorang ahli tapa yang sudah meninggal urusan dunia yang tinggal di sebuah gua yang dekat dengan pedesaan, lebih bermanfaat dalam masyarakat di pedesaan tersebut jika dalam melakukan ibadah itu disertai dengan berkiprah dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan yang tidak hanya bsia mengendalikan gerak pancaindra dan hawa nafsunya sendiri, namun juga bisa menghilangkan semua perbuatan yang mengarah kepada keselamatan dalam kehidupan bermasyarakat di sekitarnya. Mengajarkan ilmu luhur, memberikan pertolongan yang sedang mengalami kesusahan, memberi penerang kepada yang kegelapan, membantu terlaksananya niat baik agar bisa berhasil itu menjadi bangunan yang bermanfaat untuk kepentingan umum, dan sebagainya.
Sri Kresna telah menyampaikan di dalam bait ke 2 yang maksudnya : Tidak melakukan perbuatan dan melakukan perbuatan untuk menyatu dengan Tuhan, keduanya itu bisa mengantarkan kepada keselamatan yang luhur, namun telah meninggalkan pekerjaan itu masih kalah oleh menyatu dengan cara mengerjakan pekerjaan.
Pada bagian ke VI, dalam Nyanyian Sukma, Sri Kresna masih melanjutkan memberikan Ajaran tentang penyatuan yang tidak dengan cara melakukan pekerjaan, sebagai tambahan apa yang sudah disampaikan di dalam bab V. Oleh karena kata-katanya sangat indah, maka tidak ada jeleknya akan dijelaskan sekedarnya yaitu terdapat di bait 15 hingga 26, sebagai berikut :
15. Mangkono tan pegat anggone ngudi manunggal karo Ingsun sarana tansah nguwasani pangriptane, sang yogi nuli manjing ing katentremaning Nirwana kang luhur, jumbuh karo Ingsun. ARTINYA : Demikian yang tidak pernah terputus dalam melakukan penyatuan dengan Ingsun, dengan cara selalu mengendalikan dan menguasai kesadarannya, Sang yogi (yang melakukan yoga) kemudian akan masuk ke alam ketenteraman Nirwana yang luhur, dan menyatu dengan Ingsun.
16. Yoga iku ora kanggo uwong ingkang nggedhekake mangan, lan uga ora kanggo uwong ingkang tansah pasa, ora kanggo uwong ingkang karem turu, lan ugo ora kanggo uwong ingkang tansah melek. ARTINYA : Melakukan Yoga itu, bukan hanya orang yang selalu puasa, bukan hanya untuk orang yang senang tidur, dan bukan juga untuk orang yang selalu terjaga.
17.Kanthi duga prayoga bab mangan lan kasenengan, ajeg anggone nglatih olah yoga, turu yen mangsane turu, lan tangi yen mangsane tangi, yoga sayekti bakal nyirnakake sakeh kasusahan. ARTINYA : Dengan cara penuh perhitungan tentang makan dan kesenangan, istiqamah dan rutin dalam berlatih mengolah rasa, tidur, jika waktunya tidur, dan bangun ketika waktunya bangun, yoga dengan cara demikian itu, tentulah akan bisa menghapus segala kesusahan.
18. Yen obah-mosike cipta lan riptane tansah di awasi lan dikuwasani, lan jiwane manungsa terus tumanem ing atma, sarta dheweke wus ora kepengin andarbeni apa kang nenangi pepenginan,, manungsa kang mangkono iku wus kena diarani manunggal karu Ingsun. ARTINYA : Jika gerak cipta hati dan gerak pikiran selalu dikendalikan dan dikuasai, dan jiwa manusianya selalu tertanam di dalam Atmanya, serta dia itu sudah tidak menginginkan apa yang mendorong kepada kesenangan diri, manusia yang sudah bisa mencapai yang seperti itu, itu sudah bisa disebut menyatu dengan Ingsun.
19. Lampu kang ing panggonan kang sepi ing angin ora keder urupe, iku kang kuna makuna dadi gegambarane sang yogi, kang lumantar olah yoga murih manunggal karo Hyang Atma, wus jumenengake panguwasaning Ingsun. ARTINYA : Lampu dari nyala api, ketika berada di tempat yang sepi tidak ada angin, akan tenang nyala apinya. Itu yang sejak dahulu dijadikan ibarat seorang Yogi, yang dengan melalu olah yoga untuk bisa menyatu dengan Hyang Atma, itu sudah berada di dalam kekuasaan Ingsun.
20. Yen jroning nglelatih olah Yoga, cipta lan riptane wus lerem, dheweke bakal bisa nyipati jumenenge Hyang Atma, lan jalaran saka iku nemu kamulyan lan kamareman, ARTINYA : Dan ketika berlatih yoga, cipta dan ripta pikirannya sudah tenang, maka dia akan bisa melihat ujud dari Hyang Atma, dan oleh karena itu, maka akan menemukan kemuliaan dan kepuasan.
21. Kang nuwuhake rasa mukti-mulya kang linuhur, kang ora bisa diresepi dening indriya, lan mung bisa dirasakake dening budi jroning manjing ing Kasunyatan Jati. ARTINYA : Yang bisa menumbuhkan rasa kebahagiaan luhur, yang tidak bisa terbayangkan oleh Indra, dan hanya bisa dirasakan saja oleh budi, kebahagiaan itulah ketika telah masuk dalam Alam Yang Nyata yang sebenarnya.
22. Ora ana gegayuhan lan kanugrahan kang luwih luhur, sebab ing kono ora ana was-sumelang, susah sungkawa kang bisa namani maneh. ARTINYA : Tidak ada cita-cita da anugerah yang lebih luhur, karena di tempat yang demikian itu sudah tidak ada rasa kuatir lagi, rasa susa sedih yang bisa mempengaruhinya lagi.
23. Sayekti kang diarani Panunggal, yaiku udhare panlikunge rasa was-sumelang lan sedih susah. Kahanan kang mangkono iku kang prayoga digayuh kanthi weninging jiwa. ARTINYA : Yang disebut menyatu yang sebenarnya, yaitu terlepasnya ikatan permainan rasa kuatir, sedih dan susah, Suasana yag seperti itu, yang seharusnya ddiusahakan dengan kebeningan jiwa.
24. Ngungkurake sakeh reroncenaning batin kag bisa nuwuhake pepenginan, kabeh indriya wus sinrimpung dening kawaspadaning prangripta. Meninggalkan semua cetusan batin yang akan bisa menumbuhkan keinginan diri, dan semua indranya sudah terikat oleh kesadaran pikiran.
25. Manungsa bisa anggayuh eneng-ening, ayem tentrem, yen indriyane lan ciptane wus winengku dening panguwasaning budi, lan pangriptane wus meneng antheng, marga riptane wus tumanem ing Atma. ARTINYA : Manusia bisa berusaha untuk mencapai ketenangan dan keheningan, tenang tenteram, itu jika Indra dan ciptanya sudah dikalahkan oleh kekuatan budinya, dan pikirannya sudah diam dan tenang, karena pikirannya telah masuk ke dalam Atma.
26. Saben-saben pangriptane ambradat metu salewengan, tinarik sinendhal bali murih winengku lan kinuwasan maneh dening Atma. ARTINYA : Setiap pikirannya memberontak keluar dan liar, kemudian ditarik dengan paksa untuk kembali lagi agar bisa dikuasai kembali oleh Sang Atma.
Seperti itulah Sri Kresna dalam menggambarkan keadaan orang yang sudah berhasil menguasai hasrat hati keinginan dirinya, yaitu sudah bisa memaksa dirinya, sudah merdeka dari penjajahan hawanafsunya dan keinginannya sendiri, serta dari hasrat hatinya tidak kekal sifatnya.

7.
SIAPAKAH  SEBENARNYA  INGSUN ITU ?

Mencari kesempurnaan itu, memang tidak mudah, karena sangat banyak tantangannya. Tingkatan yang pertama : Memerangi keinginan diri dan Jiwa rendahnya, itu sudah di lambangkan oleh keragu-raguan Harjuna ketika akan menghancurkan Kurawa. Sangat berat untuk dilakukan, karena sudah terlanjur meressap, sudah terlanjur menjadi hobby dalam kesenangan. Sehingga sangat banyak para pencari kesempurnaan yang mengalami kegagalan, dan terhenti di tengah jalan. Tentang hal ini, Sri Kresna telah mengajarkannya di dalam Nyanyian Sukma bab VII bait ke 3,s ebagai berikut :
3. Sapa ta kang ora kepengin Kamardikan utawa Kamandhirian kang sampurna? Ing antarane ma ewu-eweu mbok manawa mungsiji! Lan ing antarane ma ewu-ewu uwong kang padha kepengin mandhiri kanthi sampurna, mbok manawa mung siji kang bisa ngresepi jatine Kasunyatan Manira. ARTINYA : Siapakah yang tidak menginginkan kemerdekaan atau kemandirian yang sempurna? Di antara beribu-ribu mungkin hanya satu. Dan di antara beribu-ribu manusia yang menginginkan untuk bisa mandiri dengan sepmurna, barangkali saja hanya satu yang bisa mencapai kepada kenyataan yang sejati tentang Ingsun.
Betapa beratnya mencari kesempurnaan, di antara seribu itu, mungkin hanya satu yang tetap mencari. Di natara seribu sang pencari, hanya satu yang bisa berhasil, dikarenakan sulit termat sulitnya dikarenakan penuh dengan kesulitan dan penggoda serta bahayanya.
Akan tetapi kita tidak boleh  putus asa, harus tetap melanjutkan dalam pencariannya, meskipun sudah berkali-kali mengalami kegagalan dan pencariannya. Menurut nasihat para seput itu “Sapa temen tinemenan” Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil, demikian juga dalam kita selalu berusaha berlatih untuk menyatu dengan cara mempelajari Filsafat dan Ajaran yang digelar oleh Sri Kresna.
Sebelum melanjutkan ajaran, ada baiknya mempelajari dulu apa makna dari kata “Ingsun”, yang sudah pernah kita temuai di dalam Ajaran Sri Kresna sebelumnya, dan masih akan kita temukan lagi di dalam ajaran selanjutnya.
Dengan cara memperhatikan Nyanyian Sukma di bawah ini, kita bisa menelaah apa maksud dari Sri Kresna dalam menyebut kata “Ingsun” yang termuat di dalam bait ke 6 hingga 11, sebagai berikut :
6.Kawruhana yen prakriti Manira iku ora pisah saka Manira, Ingkang dadi guagarbane sakeh kang dumadi. Jagad Gedhe iki Manira ingkang nglahirake, lan lebure bali maneh marang Manira. ARTINYA : Ketahuilah bahwa semua yang wujud itu tidak terpisah dengan Ingsun, yang menjadi awal-mula dari segala yang ada. Dunia luas ini, Ingsun yang melahirkannya, dan kehancurannya, akan kembali lagi kepada Ingsun.
7.Ora ana barang kang luwih luhur tinimbang Manira. Salwiring kang dumadi iki kasambrahan dening Manira, ibarat mutiara-mutiara kang rinonce ing benag sutra. ARTINYA : Tidak ada seseuatu pun yang lebih luhur dibanding Ingsun. Segala yang ada ini semua dalam pengaruh Ingsun, bagaikan mutiara-mutira yang di rangkai menggunakan benang sutra.
8. Ingsun sarining banyu, pepadhanging srengenge lan rembulan. Aum, sabda sucine kitab-kitab Wedha, getering swasana (ether) lan kekuataning manungsa. ARTINYA : Ingsun inti air, penerang matahari dan bulan, Aum, sabda suci di dalam Kitab-Kitab Wedha, Getarnya suasana (Ether) dan kekuatan manusisa.
9. Gandaning bumi kang seger lan arum, sumunare geni kang murub, Urip kang nguripi sakeh titah, kateguhan kang padha nglakoni tapabrata. ARTINYA : Buu bumi yang segar dan harum, Cahaya api yang menyala, Hidup yang menghidupi semua makhluk, Keteguhan bagi yang melakukan tapa.
10. Kawruhana, Ingsun wijine kabeh titah kang tan kena ing rusak, heh Parta! Ingsun uga budine kang mlaku nalare lan prabawane sakeh kang sumorot. ARTINYA : Ketahuilah, Ingsun asalmula semua makhluk yang tidak terkena kerusakan, Wahai Parta (Nama lain Harjuna), Ingsun ini juga Budi milik para yang telah terbuka penalarannya dan cahaya segala hal yang bersinar.
11. Kasektene para kang sinekti, kang wus sepi ing hawa napsu lan pangarep-arep. Banjur Ingsun uga pepenginan kang ora ngrusak angger-anggering Sih Katresnan. ARTINYA : Kesaktian para sakti, yang telah hampa dari hawa nafsu dan pengharapan. Kemudian Ingsun ini juga keinginan diri yang tidak merusak aturan dari kasih sayang dan Cinta.
Terbukti, bahwa di dalam Nyanyian Sukma di atas, bahwa Ingsun itu tidak sama dengan kata “Aku”, akan tetapi digunakan untuk menyebutkan Dzat Tuhan yang berada di dalam badan manusia. Ada yang memaknai0. Nur Illahi, ada yang memaknai Pribadi Luhur, Ada lagi yang menebutnya “Sukma Sejati- Roh Suci”. Itulah yang bersifat halus dan kekal, tidak akan ikut  membusuk jika raga telah meninggal dunia dan telah dikubur, dan juga tidak ikut terbakar ketika raga dibakar api.
24. Uwong kang budine durung tinarbuka padha darbe panemu yen Ingsun, kang tanpa awitan lan wekasan, tan kena sinipatan, wus tau manjalma dadi manungsa. Anane panganggep mangkono iku, marga wong mau durung ngerti Dat Ingsun kang Sejati, langgeng tan ana ingkang madhani. ARTINYA : Seseorang yang belum terbuka Budi-nya, berpendapat bahwa Ingsun, yang tanpa awal dan ta pa akhir, tidak bisa dilihat menggunakan mata biasa, itu pernah menjelma menjadi manusia. Adanya anggapan yang seperti itu, karena seseorang itu belum tentang Dzat Ingsun yang sejati, kekal dan tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.
25. Arang banget kang meruhi Ingsun, jalaran tinutupan dening daya pemblingere Maya. Si pengung ora weruh marang Ingsun, marga Ingsun iku langgeng. Ana tanpa nganggo dilahirake. ARTINYA : Sangat jarang yang bisa melihat Ingsun, karena tertutup oleh tipian Maya. Orang yang bodoh dan dungu, tidak akan mengetahui Ingsun, karena Ingsun itu kekal, adanya tanpa dilahirkan.
26. Ingsun ngreti anane sakeh titah ing jaman kang wus kapungkur ing jaman saiki, lan ing jaman kang bakal teka. Naging sakeh titah mau heh Harjuna, ora ana kang padha weruh marang Ingsun. ARTINYA : Ingsun mengetahui semua makhluk pada jaman dahulu, pada jaman sekarang, dan pada jaman di masa yang akan datang. Namun semua makhluk wahai Harjuna, tidak ada yang bisa melihat Ingsun.
Tiga Bait Nyanyian Sukma (24,25,26) di atas, menerangkan kelanjutan tentang Sifat Ingsun, yang diambil intinya yang terpenting saja, sudah memuat isi jika dicantumkan semuanya. Karena ajarannya, terkadang hanya mengulangi saja uraian yang diurakan sebelumnya.
Pada bagian ke VIII dalam Nyanyian Sukma, juga masih menerangkan tentang sifat Ingsun dengan lebih jelas lagi. Namun diselingi terlebih dahulu oleh pertanyaan Harjuna, sebagai berikut :
1.Harjuna nyuwun priksa : “Dhuh Sri Kresna ; Punapa ta Brahma lan punapa ta Adiyatma punika ? Saha punapa ingkang dipun wastani Karma, Adibuta lan malihipun Adidaiwa ? ARTINYA : Harjuna bertanya “ “Wahai Sri Kresna!, Sipakah Brahma dan siapakah Adiyatma itu?”. Serta apakah yang disebut Karma, Adibuta dan juga Adidaiwa?.
2. Lan punapa maksudipun Adiyaksa tumrapipun jalma iangkang maksih ngrasuk raga, lan kados pundi caranipun manungsa saged nyumerepi Paduka, nalika piyambakipun ngancik wancining ajal. Dan apakah yang dimaksud Adiyaksa bagi makhluk manusia yang masih hidup dengan raganya, dan bagaimanakah caranya agar manusia bisa menegetahui Engkau, ketika manusia itu telah sampai waktu kematiannya?!.
3. Kang Maha Mulya ngandika : “Brahma iku luhuring aluhur, kang tan kena ing rusak. Adiyatma iku jumeneng Manira ing sanubarining manungsa. Dene Karma iku tumandange Dayapurbane Hyang Brahma ingkang anjalari gumelare sakeh alam iki. ARTINYA : Yang Maha mulia, menjelaskan :”Brahma itu luhur di atas yang luhur, yang tidak terkena kerusakan, Adiyatma itu keberadaan Ingsun  di dalam sanubari manusia. Sedangkan Karma itu, daya gerak kekuasaan Hyang Brahma yang menumbuhkan tergelarnya semua alam ini.
4. Adibuta iku samubarang ingkang kena ing rusak lan tansah ngalami owah gingsir lan Adidaiwa iku padha wae karo Purusa, yaiku tetimbangane Prakriti. Kang diarani Adiyaksa iku panjalma Manira ing donya iki. ARTINYA : Adibuta itu segala sesuatu yang terkan rusak dan selalu mengalami perubahan dan Adidaiwa itu, sama saja dengan Purusa, yaitu penyeimbang dari Prakitri. Yang disebut Adiyaksa itu, penjelmaan Ingsun did dunia ini.
Bisa kita pahami dari Nyanyian Sukama di atas, bahwa “Ingsun” itu tidak sama dengan “Brahma”,  disitu telah dijelaskan bahwa Brahma itu lebih luhur dibanding Ingsun, akan tetapi yang demikian itu, tidak lebih penting atas kedudukannya, karena menurut Sri Kresna, sesiapa yang akan terputus nyawanya, dan hanya ingat kepada Ingsun, akan sampai kepada Ingsun. Cobalah telaah penyampaiannya pada bait ke 5 hingga 8, berikut ini :
5.Lan manungsa ingkang nalika wanci ngancik ajale, nggelengake cipta lan riptane marang Manira lan banjur ninggalake ragane, iku bakal manunggal karo Manira. Iku wus kena dipethekake!. ARTINYA : Dan ketika manusia telah sampai pada ajalnya, kemudian memusatkan cipta dan pikirannya kepada Ingsun, dan kemudian meninggal dunia, itu akan menyatu dengan Ingsun. Itu sudah bisa ddipatikan.
6.Apa kang dadi kawigatening manungsa ing saat ajale, sauwise dheweke ninggal ragane, dheweke parane mesthi mrono, jalaran kagawa dening kodrat iradate (karepe). ARTINYA : Apa yang menjadi perhatian manusia pada saat ajalnya, setelah jiwa manusia itu meninggalkan raganya, maka arahnya adalah kepada yang menjadi perhatiannya, ke situlah arahnya, karena terbawa oleh kehendak keinginan dirinya sendiri, yaitu hasrat hatinya sendiri.
7.Mula sasuwene pancakara ing medhan laga mengko, sawijekna ciptanira lan riptanira tumuju marang Manira, mesthi sira bakal tumeka ing Ngarsa Manira. Aja sumelang maneh, iku mesthi bakal kelakon!. ARTINYA : Maka dari itu, selama melakukan pertempuran, pusatkanlah cipta dan pikiranmu hanya kepada Ingsun, pastilah dirimu akan sampai kepada Ingsun. Janganla ada rasa kuatir lagi, hal itu pasti akan terjadi.
Cathetan : Punika mboten beda kaliyan ajaranipun Islam ingkang mucal, supados ing saat ajalipun, manungsa nyebut asmaning Pangeran. Allah,  Allah,  Allah. CATATAN : Hal ini tidak berbeda denegan Ajaran Islam yang mengajarkan agar saat tiba ajalnya, manusia diminta untuk menyebut Asma Tuhan, Allah!! Allah!! Allah...
8. Mula kulinakna olah semedi. Aja nganti riptanira selewengan. Sarana teguh lan panggah anggonira olah yoga lan ngulinakake semedi sira mesthi bisa anggayuh kaluhuraning Purusa. ARTINYA : Maka, biasakanlah melakukan Tafakur olah Samadi. Sangan sampai pikiranmu terpecah. Dengan cara yang kuat dan rutin dalam dirimu melakukan Yoga dan membiasakan diri bersamadi, tafakur, kamu pasti akan bisa mencapai Keluhuran Purusa.
Kemudian, dalam Nyanyisan Sukma bagiak ke IX, Sri Kresna masih menjelaskan kedudukan Ingsun serta pengibaratan betapa pentingnya Ingsun untuk menggapai kesempurnaan. Oleh karena ajaran itu panjang dan isinya banyak yang mirip, maka hanya dipethik baik ke 16 hingga 18, yang berisi intinya saja, sebagai berikut :
16. Upacara kang dadi ajarane Ilmu Sarengat, lan sakatahing tatacara kang diprayogakake dening kitab-kitab suci, kawruhana iku pratanda jumeneng Manira. Manira lakuning kurban lan Manira uga kurban kang diladekake marang arwahe para leluhur, japamantrane, lengane, genine lan menyane.
17. Manira Bapa-Babune sagung bawana, dhedhasare lan mula bukane sagung kang dumadi, kang tansah memamyu hayuning bawana. Manira sabda suci AUM, pathi piwulange Rig Wedha. Sama Wheda lan Yajur Wedha.
18. Manira pepunthoning tarekat kang aweh Kamulyan Jati, Manira Gusti lan Pangerane sagung kang dumadi. Saksi tumrap sakathahe panggawe, kang Asih ya kang Sinisihan, Pangayomaning Jagad. Manira Pamurba, Panguripan lan Pangleburing Jagad, Pagedonganing Kasugihan, Wiji kang tan kena rusak.
Demikian gambaran ibarat wujud dari Ingsun, yang dijelaskan menggunakan pengibaratan yang bermacam-macam jenisnya. Dalam bab kewibawaannya, ,asih diterangkan lagi tersebut di bawah ini, yaitu siapa saja yang tidak memikirkan yang lainnya, selain Ingsun, akan mendapatkan kemuliaan. Meskipun begitu, Ingsun di sini bersifat tidak seperti Nur Illahi atau Manusia Sejati, namun bagaikan ajaran yang telah didsampaikan oleh Yang Maha Suci. Seperti inilah dua bait itu, yaitu bait 22 dan 23.
22. Naging sapa kang pikirane tansah tumuju marang Ingsun, lan tansah memundhi Ingsun, wong-wong kang tansah ngudi kaseimanganing jiwa (katentreman), Ingsun paringi Pangayoman Ingsun. Namun, bagi yang pikirannya dalam keadaan selalu mengingat Ingsun, dan selalu memuji Ingsun, dan orang-orang yang selalu berusaha dalam keadaan keseimbangan jiwa (ketentramannya), makan akan mendapatkan penjagaan dari Ingsun.
23. Sanadyan ta manungsa iku ngantepake imane marang sesembahan-sesembahan kang diwenehi jejuluk kang maneka warna, janji panembahe mau bener-bener kanthi eklas lan sumarah, sajatine kang disembah iku ola liya ya mung Ingsun, sanadyan panembahe mau ora miturut tatananing agama kang wus kaprah. ARTINYA : Walau pun manusia itu meyakini dan beriman kepada Tuhan-Tuhan yang diberi nama bermacam-macam, asalkan dalam beribadah dilandasi dengan ikhlas yang sebenar-benarnya ikhlas dan berserah diri hanya kepada Tuhan yang diyakininya, sebenarnya yang disembah itu tidak lain hanyalah Ingsun, walau pun cara ibadahnya itu tidak mengikuti aturan Agama pada umumnya.
Di dalam Nyanyian Sukma berikutnya, (bait ke 29 dan seterusnya) masih menjelaskan tenetang sifat Ingsun, serta memberi gambaran atas betapa besarnya kewibawaannya. Sri Kfresna dalam menyampaikan ajarannya, hingga benera-benar sangat jelas, oleh karena Harjuna masih merasa belum puas atas apa yang disebut ingsun yang sebenarnya, dan seperti apa kenyataannya, dan ujud serta kewibawaanya, sebagai berikut :
29. Marang sawiji-wiji titah iku Ingsun ora pilih asih. Ora ana kang Manira istimewakake, ora ana ingkang Manira gethingi. Manira ora emban cendhe emban siladan. Sapa wae kang memundhi marang Manira, iku nyedhaki Manira, lan Manira uga nyedaki dheweke. ARTINYA : Terhadap semua makhluk, Ingsun ini tidak pilih kasih, tidak ada yang Ingsun istimewakan, tidak ada yang Ingsun benci, Ingsun tidak membeda-bedakan. Siapa saja yang memuji hanya kepada Ingsun, itulah yang mendekat kepada Ingsun, dan Ingsun juga akan mendeketinya.
30. Nadyan ta dheweke iku maune durjana ingkang gedhe banget, janji dheweke iku kanthi jujur luwih ngabotake marang Manira tinimbang marang apa wae, dheweke iku kena diarani wong suci, marga pilihane iku wus bener. ARTINYA, Walau pun mereka itu, sebelumnya adalah durjana penjahat besar, asalkan mereka itu dengan ketulusan lebih memberikan Ingsun dibandingkan dengan apa saja, merka itu bisa disebut sebagai orang suci, karena yang mereka pilih itu sudah benar.
31. Ora suwe wewatekan bakal dadi alus, lan dheweke banjur bisa manjing ing katentreman langgeng. Kawruhana, heh Kunthisiw! Manungsa kang bekti marang Manira, ora bakal nemahi rusak utawa lebur. ARTINYA : Tidak akan lama maka wataknya akan menjadi halus, dan mereka itu akan bisa masuk ke dalam ketenteraman yang kekal. Ketahuilah Wahai Kunthisiwi (Nama lain dari Harjuna sebagai anak dari Dewi Kunthi), Menusia yang berbakti keada Ingsun, tidak akan mengalami rusak atau hancur.
32. Sapa wae kang ngayom ing Manira, sanadyan ta dheweke iku wong kang ora karuwan, kang nurunake, wong wadon, waisya utawa sudra pisan, mesthi dheweke bakal ngliwati Palawangan Swarga kang luhur dhewe. ARTINYA : Siapa saja yang berlindung kepada Ingsun, walau pun mereka itu manusia yang tidak karuan, yang menurunkan wanita Waisya atau Sudra sekali pun, pastilah mereka akan masuk ke dalam Surga yang paling luhur.
33. Luwih-luwih yen kang ngayom marang Manira iku para brahmana kang suci utawa para raja sinatriya kang ambeg bekti lan sumungkem. Mula heh Harjuna, memundhiya marang Manira, sesuwene sira urip ana ing donya, kang kebak kasangsaran iki lan winisesa dening wolak-walike kahanan!. ARTINYA : Apalagi jika yang berlindung kepada Ingsun itu, para Brahmana yang ssuci atau para Rarja dan satria yang sangat berbakti dan patuh. Maka dari itu, wahai Harjuna, berlindunglah kepada Ingsun, selama dirimu hidup di dunia ini, dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini dan dikuasai oleh berganti-gantinya keadaan.
34. Kanthi Manas tumanem ing Manira lan asung bekti marang Manira, pasrahna kahananira marang Manira! Mesthi sira bakal tumeka ing ayunan Manira, yen Manira iku bener-bener gegayuhan kang tansah cumanthel ing cipta lan pangriptanira. ARTINYA : Dengan Hati Nurani yang selalu mengingat Ingsun dan berbakti kepada Ingsun, serahkanlah segala sesuatu kepada Ingsun! Pastilah dirimu akan sampai ke dalam ayunan Ingsun, jika saja dirimu itu, selalu dalam pencarian dan cipta serta pikiranmu itu hanya mengingat Ingsun.
Memang, bagi manusia yang belum berani memerangi hasrat rendahnya, bagaikan yang didlambang keadaan Harjuna yang belum bisa mengalahkan Kurawa yang bersinggasana di dalam dirinya ... Untuk bisa lebih mudah dalam memahami tentang Ingsun yang berada di dalam diri sendiri.
Tidak mudah bagi seseorang yang masih dikuasi oleh Hawanafsunya dan keinginan dirinya, yang masih belum bisa mengalahkan Kurawa yang bersinggasana di dalam dirinya .. Menjadi mudah untuk mengerti terhadap apa yang disebut Nur Illahi atau Sukma Sejati yang berada di dalam diri.
Maka dari itu, Sri  Kresna tidak terhenti dalam mengajarkan dan menjelaskan tentang Ingsun dengan menggunakan pengibaratan yang bermacam-macam, yang kadang-kadang diulang-ulang untuk lebih memperjelas dan kadang juga membingungkan bagi yang belum bisa memhaminya.
Intisari dari uraian di atas adalah : Manusia yang dicipta dan terlahir ke dunia, selain memiliki badan kasar, juga memiliki badan halus yang tidak bisa dilihat dan juga dikuasai oleh Roh dan Sukma yang kekal hidupnya. Yaitu yang sering disebut dengan menggunakan istilah Ingsun oleh Sri Kresna. Sedangkan yang menciptakan semua makhluk yang sangat banyaknya di dunia ini, adalah sebuah penguasa yang tidak bisa dibayangkan yaitu yang disembah oleh manusia yang meyakini kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang hubungannya dengansemua Roh yang kekal itu, bagaikan Matahari dan cahayanya, sehingga Ingsun itu terkadang disebut Nur Illahi.

8.
BERIBADAH  YANG BENAR-BENAR IBADAH


Oleh karena sangat pentingnya, untuk menjelaskan tentang Ingsun hingga memerlukan pengibaratan yang bermacam-macam—di Dalam Kidung Sukma bagina ke X, Sri Kresna masih melanjutkan memberikan penjelasan tentang yang penting itu. Oleh karena isi keterangannya banyak yang hampir sama dengan apa yang sudah diterangkan di bagina ke IX, sehingga di sini akan diterangkan intinya saja.
25. Antarane para Maharsi, Manira iku Sang Bregu. Manira sabdasucine sakeh kang bisa celathu, japamantrane sakeh upacara sesaji kurban. Antarane gunung-gunung, Manira gunung Himalaya. ARTINYA : Di antara Para Maha Resi, Ingsun intu Ketuanya (Bregu). Ingsun itu, ucapan suci semua yang bisa berkata-kata, Semua mantra dalam semua Upacara kurban, di antara gunung-gunung, Ingsun itu Gunung Himalaya.
Gambaran untuk lebih memantapkan keyakinan kepada Harjuna, seperti yang termuat di bait ke 25 di atas itu, menjelaskan semua keadaan yang serba hebat, yang paling unggul. Contohnya lagi, seperti berikut ini :
26. Yen tumrap wit-witan, Manira iku wit Aswata (witing urip, sajaratu al hayyi) tumrape para Dewarsi, Manira Bathara Narada, Manira Citraratane para gandarwa, lan Kapilane para kang sampurna ing Ilmu. ARTINYA : Jika menurut pepohonan, Ingsun itu Pohon Aswata (Pohon Kehidupan, Sajaratul al Hayyi) bagi para Dewaresi, Ingsun itu Bathara Narada. Ingsun itu Citaratane para gandarwa, dan Kapila di antara para ahli Ilmu.
Dibahasakan ketika orang mengatakan wujud dari yang disdebut Ingsun itu adalah : Maknanya. Namun masih kurang jelas, Seseorang yang berkata baik atau pun buruk, apakah hanya sekedar berkata saja, di situ juga terkandung maksud yang bermakna Ingsun? Yang membingungkan lagi bagi Harjuna, keterangan yang termuat di bait  berikut ini :
27. Ing antarane para turangga, Manira Ucahisrawa, kuda ingkang dumadi nalika para jawata padha ngebur samodra nggoleki Banyuning Urip, ing antarane depangga, Manira Gajah Ajwarata lan Maharaja tumrape manungsa. ARTINYA : Di antara kuda, Ingsun itu Ucahisrawa, kuda ketika para Dewa sedang mengocak samudra untuk mencari Air Kehidupan, Di antara gajah, Ingsun itu Gajah Ajwarata dan Maharaja, dan di antara Para Raja bagi manusia.
28. Tumrap sakeh gegaman, Manira iku bledeg, Yen rajakaya, Manira iku Kamadanu (sapi kang susune bisa mujudake sakeh panuwuning manungssa), Kandharpa tumrap sakeh kang turun-tumangkar, Wasuki ing antarane ratune para sarpa. Bagi semua senjata, Ingsun itu Petir. Bagi hewan ternak, Ingsun itu Kamandanu (sapi yang susunnya bisa memenuhi segala permintaan manusia), Kandharpa bagi yang berkembang biak. Wasuki bagi rajanya ular.
29. Tumrap para naga, Manira iku Ananta, tumrap sakeh kang padha urip ing samodra, Manira Baruna. Yen tumrap para leluhure manungsa, Manira Aryama, tumrap kang darbe panguwasa Manira Pati. Bagi para Naga, Ingsun itu Ananta. Bagi semua yang hidup di samudra, Ingsun itu Baruna. Jika ddi antara para luhurnya manusia, Ingsun itu Aryama. Untuk yang mempunguasa, Ingsun itu Kematian.
30. Manira Prahladane para ditya, Kala tumrap keh petungan waktu, singa tumrap kewan-alas, lan Garuda tumrap kang darbe suwiwi. Tumrap sakeh kang bisa gawe resik, Manira angin. Ingsun itu pemimpinnya para raksasa. Kala, itulah Ingsun di anarar hitungan waktu. Singa bagi hewan hutan. Garuda bagi yang mempunyai sayap. Bagi semua yang bisa membersihkan, Ingsun itu angin.
31. Antarane para raja-sinatriya kang darbe sanjata kang ampuh, Manira Rama, antarane para mina, Manira Makara, Bangawan Silu Gangga antarane sakeh kali lan ilen-ilen. Di antara para raja dan para satria yang memiliki pusaka ampuh, Ingsun itu Rama. Di antara ikan, Ingsun itu Makara. Bagawan Silu Gangga di antara semua sungai dan aliran air.
32. Manira Awal lan Akhire kabeh kang gumelar, lan uga madyane, heh Harjuna! Yen pangawikan, Manira iku Pangawikaning Pribadi (Zelfkennis), lan nalare para kang pinter micara. Ingsun itu, awal dan akhir dari semua yang tergelar. Dan juga di tengah-tengahnya, wahai Harjuna! Jika Ilmu, Ingsun itu adalah ilmunya diri pribadi (Zelkennis), dan nalar para yang ahli dan pintar bicara.
33. Tumrap hanacaraka, Manira aksara Ha, daya penarik antarane kang padha sih-sihan. Manira Jaman kang tanpa awitan lan pungkasan lan ingkang murba-misesa sagung alam bawana iki. Kang meruhi obah mosike sakeh kang dumadi, Manira uga. Bagi Hanacaraka (Abjad Jawa), Ingsun itu Ha. Yaitu daya penarik di antara yang sedang saling cinta. Ingsun itu jaman yang tanpa awal dan tanpa akhir dan yang menguasai semua alam ini. Yang mengetahui semua gerak dari semua yang ada, Itu Ingsun juga.
34. Manira Siwah, Jawata Panglebur kabeh kang ginelar, Manira uga Pamurbane sakeh barang kang anyar. Kamsyhuran, kemakmuran, kasantosan, kasarjanan, ingatan, pamicara lan pangapura Manira uga. ARTINYA : Ingsun itu Siwah, Dewa penghancur semua yang tergelar. Ingsun juga penguasa dari semua barang yang baru. Kemashuran, kemakmuran, kesenatusaan, kesarjanaan, ingatan, perkataan dan pengampunan itu pun Ingsun juga.
35. Ing antarane tembang-tembang jroning Kitab Wedha, Manira tembang gedhe. Yen Guru lagu, Manira iku gayatri. Tumrap mangsa papat, Manira Margasirsa, mangsa semi. Di antara nyanyian-nyanyian Kitab Weha, Ingsun itu Tembang Gedhe (Lagu besar). Jika Guru lagu, Ingsun itu Gayatri. Bagi empat musim, Ingsun itu Margasirsa yaitu Musim Semi.
36. Tumrap para kang padha dhemen ngabotohan, Manira iku pangutut (pangareparep bakal menang). Manira sorote sakeh kang sumunar utawa mawa cahya, Jaya kawijayan, kateguhaning karep kang tan weruh ing mingset, kasunyatane kang wus padha tinarbuka. Bagi yang suka berjudi, Ingsun itu Harapan bahwa pasti menang. Ingsun itu cahaya atas semua yang bersinar atau yang bercahaya. Kesaktian, kekuatan hasrat yang tidak terkena perubahan, kenyataan dan yang Nyata Adanaya, itu bagi yang telah terbuka hatinya.
37. Wasudewa tumrap trah Wresni lan Dananjaya tumrap para Pandhawa. Yen kanggone para muni, Manira iku Wiyasa. Ing antarane para pujangga gedhe, Manira Usiyana. ARTINYA : Wasudewa bagi keturunan Wresni dan Dananjaya (Harjuna) bagi para Pandhawa. Jika bagi para Muni, Ingsun itu Wiyasa. Bagi para Pujangga besar, Ingsun itu Usiyana.
38. Pangwasane kang padha ndarbeni panguwasa. Manira laku kanegarane politik para kang mbudi kaunggulane bangsan, Manira wadi jroning batine kang padha mbisu, lan pangawikan para sarjana. ARTINYA : Kekuasaan para pemilik kekuasaan. Ingsun itu berjalannnya ketatanegaraan dan Politik bagi para pejuang untuk keunggulan bangsanya. Ingsun itu rahasia di dalam batin semua yang membisu, dan ilmu para sarjana.
39. Wijine kabeh kang Ana, iku Manira, heh Parta! Ora ana barang apa wae kang ana iki bisa dumadi tanpa Manira, heh Harjuna!. ARTINYA : Biji dari segala yang ada, itulan Ingsun, Wahai Parta (Nama laind ari Harjuna)!. Tidak ada sesuatu pun yang ada, akan menjadi ada tanpa Ingsun, wahai Harjuna!
40. Satuhune ora ana enteke kawujudan kang dadi pangejawantah Manira, Manira mung nyebutake sawatara kawujudan wae, minangka nggambarake Kamulyan Manira. Sebenarnya, tidak akan ada habisnya rupa dalam menggambarkan Ingsun, Ingsun hanya menyebutkan sebagian saja di antara wujud yang ada, sebagai penggambaran saja.
41. Apa wae ingkang utama, becik, mawa cahya, mawa wibawa lan kuwasa, dumadine mesthi saka Dat Manira, mesthi cuwilan saka Kamulyan Manira. ARTINYA : Apap pun yang utama, baik, mengandung cahaya, mengandung kewibawaan dan kekuasaan, adanya pastilah berasal dari Dzat Ingsun, pastilah bagian dari kemuliaan Ingsun.
42. Nanging apa tegese kabeh mau tumrap sira, heh Harjuna? Sabab sabenere, kabeh iku, sira wus mangerti. Manira kang nguripi jagad kang gumelar iki, kanthi cuwilan Manira. Wondene Manira iki tetep wutuh!. Namun, apakahkah artinya bagi dirimu, wahai Harjuna? Karena sesungguhnya, semua itu, dirimu sudah memahami. Ingsun itu yang memberi hidup dunia yang tergelar ini, menggunakan bagian dari daya hidup Ingsun. Namun Ingsun itu, tetap utuh!.
Sehingga tidak hanya terdapat di dalam keadaan yang serba hebat, serba indah seperti yang telah diuraikan di depan, namun Ingsun itu juga berupa yang suka berjudi. Sehingga karena masih dalam kebingungannya, terhadap uraian tentang Ingsun, yang juga disebut Roh atau Sukma Sejati, atau Nur Illahi – Kemudian Harjuna mendesak Sri Kresna, ingin untuk iijikan melihat ujud Ingsun yang sebenarnya, wujud yang bisa dilihat mata. Kemudian Sri Kresna memperlihatkan ke Maha Besar-Nya dengan cara memperlihatkan wujud berbagai jenis yang terus berganti-ganti, yang merupakan bentuk yang sangat hebat, serba membuat merinding bulu kuduk, namun juga kadang berupa wujud yang sangat mengagumkan.
Disebutkan di dalam Nyanyian Sukma bagian ke XI bait ke 10 dan 11, sebagai berikut :
10. Kanthi lesan lan netra ingkang tanpa wicalan lan sesawangan ingkang ajaib-ajaib, rinengga ing busana ingkang adiluhur, sarta ngasta sanjata-sanjata ingkang maneka warna saha maha ampuh. ARTINYA : Dengan mulut dan mata yang tidak terhitung jumlahnya dan  bentuk gambaran yang sangat ajaib dan sangat banyak, dihias busana kebesaran, serta memegang pusaka-pusaka bermacam bentuk dan semuanya sangatlah ampuhnya.
11. Ngagem jamang, sumping sekar rinonce, saha entran-entran sesekaran sanes-sanesipun, linulur ing wewangi, boreh lan sapanunggalanipun saking kaswargan, pindha jawata ingkang tuhu ngeramaken, wewujudan ingkang boten wonten awitan lan pungkasanipun, pandulunipun tumuju dhateng pundi-pundi kemawon. Menggunakan Mahkota, Hiasan telinga dari bunga-bunga yang dironce, serta hiasan-hiasan yang lain-lainnya, dilulur dan dibalur keharuman, dan lain sebagainya yang berasal dari surga, bagaikan Dewa yang sangat mengagumkan, suatu wujud yang tidak ada awal dan akhirnya, penglihatannya mengarah ke segala arah.
Berganti-gantinya wujud yang terlihat oleh Harjuna, yaitu wujud dari yang disebut Ingsun, terkadang berupa bentuk yang sangat menyeramkan, terkadan berupa wujud yang sangat menyedihkan, terkadang berujud Penguasa yang sangat hebat, dan juga dalam bentuk yang penuh keindahan yang tiba-tiba berubah menjadi wujud yang sangat menakutkan, dan sebagainya.
“Sekarang, lihatlah penyatuan Ingsun yang serba mempunyai kelebihan”. – demikian yang dikatakan Sri Kresna bersamaan dengan memperlihatkan bentuk yang serba menyeramkan, dan sebagainya.
Stelah puas ketika Harjuna melihat perwujudan yang maha hebat, serta maha lebih, kemudian Harjuna berkata :
42. Manawi salebeting lawan sabda nalika kasukan utawi nalika kembul dhahar bojana, nalika sesarengan ngaso, utawi nalika piyambakan kaliyan Paduka, utawi sesarengan kaliyan tiyang-tiyang sanes, kawula kirang ngaosi dhumateng Paduka, dhuh Pangeran kersaa Paduka paring pangapunten dhumateng kawula. ARTINYA : Ketika sedang bersama dalam pembicaraan, di kala suka atau ketika sedang makan bersama, ketika bersama-sama berisitirahat, atau ketika sedang sendirian bedua dengan Paduka, Wahai Pengeran, mohon Paduka memberikan ampunan kepada hamba.
43. Dhuh Gusti, Mulabukaning sagung bawana, Bapa-babune sagung kang tan mosik lan sagung kang obah, kang langkung pantes kapundhi-pundhi dening saben titah tinimbang Hyang Guru; dhuh Gusti kang tan ana pepadhane! Sinten ta ingkang nglangkungi Paduka? Saestu, salebeting tribawana boten wonten panguwaos ingkang nyameni panguwaos Paduka. Wahai Gusti, awal dari segala dunia, Sumber dari segala yang tidak bergerak dan dari semua yang bergerak, yang harus diagung-agungkan oleh semua makhluk dibanding Hyang Guru; Wahai Gusti yang tidak ada yang menyaminya! Siapakah yang bisa melebihi Paduka? Sungguh!! Di dalam tiga dunia, tidak ada penguasa yang menyamai kekuasaan paduka.
44. Pramila sarana sumungkem ing ngarsa Pada Paduka, kawula nyuwun sih pangapunten Paduka, dhuh Gusti pepundhen ingkang linuhur! Pindha bapa ingkang suka pangapunten dhumateng sutanipun, utawi mitra dhumateng mitra, pindha ingkang kebeken sih pangapunten dhumateng ingkang sanget ngajeng-ajeng sih pangapunten, kersaa Paduka ngluberaken samodra pangaksama dhumateng kawula. ARTINYA : Dengan bersujud di hadapan Paduka, hamba mohon pengampunan Paduka, Wahai Gusti Yang Maha Terpuji yang Maha Luhur!! Bagaikan seorang ayah yang senang memberikan ampunan kepada putranya, atau sahabt kepada sahabatnya, bagaikan yang penuh rasa pengampunan kepada yang sangat mengharapkan ampunan, Hamba mohon selus samudra pengampunan kepada hamba.
 Seperti apakah makna perkataan Sri Kresna, hingga Ingsun itu bisa terlihat oleh manusia, serta memperlihatkan bentuk dengan berbagai warna dan rupa, yang menyeramkan, menakutkan, penuh kewibawaan, mengagumkan – padahal jika Ingsun itu Nur Ilahi, tidak mungkin untuk bisa dilihat; Apalagi jika Ingsun itu Tuhan Yang Maha Agung, justru semakin tidak mungkin untuk bisa dilihat, karena tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak bisa dibayangkan. Maka, sebenarnya dalam Nyanyian Sukma tersebut di atas, ternyata bisa digambarkan bahwa sifat Tuhan itu terdapat di mana saja dan diwaktu apa saja, tidak ada makhluk yang ada di dunia ini yang tidak mendapatkan pengaruh dari saifat dan kekuasasan Tuhan.
Selain dari itu, pada bagian ini, Sri Kresna akan menjabarkan keadaan seseorang yang melakukan sembah yang benar-benar sudah samadi atau yang benar benar menyatu, yang sudah putus dalam perhatiannya yang sudah hampir mencapai tingkatan teratas, itu sebenarnya memang akan melihat sesuatu bentuk yang amat sangat menakutkan, yang membuat bergetarnya rasa hati, dan jika sampai terlanjur ketakutan itu, akan bisa putus nyawanya. Sehingga hanya diberi ibarat saja dengan adanya bentuk rupa yang menakutkan yang membuat tergetarnya hati, dan jika diabartkan orang yang sedang berjalan itu, yang melewati jembatan yang mudah sekali begoncang. Dan jika ketika itu, seseorang yang sedang melakukan ibadah itu, benar-benar berani tanpa ada keraguan, pastilah dalam samadhinya akan berhasil. Namun dalam kenyataannya, Harjuna yang sudah mengalami melihat bentuk yang beraneka bentuk  yang sangat aneh serta sangat menakutkan itu, tahan dan dan tenang dan terus melanjutkan dalam menyembah-Nya, sehingga Sri Kresna kemudian terus melanjutkan ajarannya, pada bait ke 53, 54, 55, sebagai berikut :
53. Ora ana kawruh kang sinengker ing kitab-kitab Wedha, ora ana lakuning tapabrata, ora ana caos sesaji kurban, ora ana nindakake dedana, kang bisa anjalari manungsa kaparingan kanugrahan, bisa ngalami kahanan, kaya kang nembe wae sira sekseni iku. ARTINYA : Itak ada ilmu yang terkandung di dalam Kitab-kitab Wedha, Tidak ada jenis tapa, tidak ada jenis kurban, tidak ada yang menjalankan sodakoh, yang bisa menyebabkan menusia mendapat Anugerah-Nya, seperti apa yang baru saja kamu lihat itu.
54. Mung, sarana bakti ingkang kandhas ing Telenging batin, heh Parantapa, mbokmenawa manungsa bisa meruhi Dat Manira lan banjur manunggal karo Manira. ARTINYA : Hanya, dengan cara mengabdi dengan ikhlas hingga ke dasar batin, wahai Parantapa (Ahli Tapa, nama lain Harjuna), itu pun barangkali saja manusia bisa melihat Dzat Ingsun yang kemudian bisa menyatu dengan Ingsun.
55. Sarana nglakoni amal, sumarah marang Karsa Manira lan memundhi-mundhi Manira minangka pepuntoning gegayuhan, sarana bakti marang Manira, tanpa luwih ngebotake apa wae ing donya iki, sarana welas asih tumrap sakeh titah Manira, manungsa bisa manunggal karo Manira. ARTINYA : Dengan cara menlankan amal, berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Ingsun dan mengagung-agungkan Ingsun sebagai akhir tujuan dari pencarian, dengan cara berbakti hanya kepada Ingsun, tanpa memberatkan kepada apa pun juga atas yang ada di dunia ini, dengan cara mencintai semua makhluk ciptaan Ingsun, barulah manusia itu bisa menyatu dengan Ingsun.
Ajaran tentang bisa melihat Roh Suci atau melihat Ingsun itu yang diibaratkan dengan cara melihat keadaan beraneka rupa yang semuanya serba lebih, sebenarnya hanya pengibaratan saja. Seperti juga uraian yang bermacam-macam, yang banyak mengandung ibarat, demikian juga ketika Harjuna bisa melihat ujud dari Manusia Sejati, itu pun hanya sebuah ibarat saja.
Yang sebenarnya adalah, untuk menggambarkan tentang keadaan manusia yang benar-benar telah yakin kepada adanya dan ke-Maha-Kuasa-Nya, dan sudah meyakini dengan sebenarnya cara beibadah kepada Yang Hanya Satu Adanya. Karena, seperti apa yang telah diuraikan dalam Nyanyian Sukma di atas, untuk biisanya Harjuna melihat rupa Ingsun, Tidak menggunakan Ilmu yang ada di Kitab, tidak menggunakan Wedha, tidak dengan cara kurban, namun hanya dengan cara ikhlas menjalankan laku ibadah. Beribadah yang hanya khusus  menjalankan perintah dari Yang Disembah, Keyakinan dirinya yang tidak mendua dan tidak menyeleweng ke kanan dan kekiri karena terpengaruh keadaan dunia.
Dari ajaran ini, bisa ditemukan jug terdapat  di dalam Ajaran Agama lain, selain Agama Hindu. Yaidu di kalangan ahli ibadah, dan ada yang menyebutnya telah masuk ke dalam tingkatan Ma’rifat atau yang lebih tinggi lagi pada tingkatan Waqif (Bertutur kata dengan Tuhan), artinya, dalam melakukan ibadah dengan ilmu yang telah merasuk dan sangat diyakininya, dengan cara benear-benar memahami tata cara beribadah yang benar dan memahami siapa yang disembahnya. Sehingga “Melihat” Tuhan, bagaikan yang telah dilihat oleh Harjuna  atas wujud asli Sri Kresna dalam bentuk apa saja, dan sebenarnya itu adalah hanya ingin menjabarkan keadaan manusia dan menjalankan Ibadah dengan cara sudah benar-benar yakin yang sebanarnya, sudah mencapai tingkat Ma’rifat, tanpa adanya keraguan sedikit pun, dan juga sudah tidak mengharapkan apa-apa, hanya sebatas menjalankan kewajiban untuk ibdah saja, dan tidak memperdulikan hasilnya, sehingga ketika melakukan ibadah maka jiwanya bisa berdahadapan langsung dengan Tuhan-nya.
Kemudian, bentuk ibadah yang telah  mencapai tingkatan Ma’rifat itu, oleh Sri Kresna dilanjutkan lagi dalam Nyanyian Sukma bagian ke XII, bait ke2, sebagai berikut :
2. Ingkang memayu ayuning jagad ngandika : “Sapa kang pangriptane wus manjing ing Manira, sarta suwita marang Manira kanthi masrahake kabeh uwohe pakartine uripe marang Manira minangka tandha gedhene bektine marang Manira, sinartan iman ingkang linuhur, yogane wong ingkang mangkono iku terang becik dhewe. ARTINYA : Yang menjaga Ketenteraman dunia berkata : “Barangsiapa yang pikirannya hanya tertuju kepada Ingsun, serta mengabdi kepada Ingsun dengan memasrahkan segala buah pekerjaanya kepada Ingsun sebagai tanda bukti atas kebesaran pengabdiannya kepada Ingsun, yang diserta Iman yang tinggi, yoga dari orang yang seperti itu adalah yang paling baik.
Dan yang tercantum di bait yang lainnya, yaitu bait ke 5 dan ke 6 di dalam Nyanyian Sukma bagian ke XII, terdapat nyanyian, sebagai berikut :
5.Naging ora gampang tansah eling marang kang Sifat Gaib iku, sebab dalan ingkang tumuju mrono, iku angel ambah-ambahane tumrap uwong kang isih ngrasuk badan wadhag ing donya iki.  ARTINYA : Namun, tidak mudah untuk selalu bisa mengingat atas yang bersifat Gaib itu, sebab jalan yang menuju ke situ, itu sulit teramat sulit untuk ditempuhnya bagi orang yang masih berada di tingkatan syariat di kehidupan di dunia ini.
6.Nanging sapa ingkang masrahake uwohe sakeh pakartine marang Manira, kang nganggep yen Manira iku pepuntone gegayuhaning urip, sajroning olah yoga tansah ngudi manunggal karo Manira, kang tansah eling marang Manira, sinartan kawaspadaning batin. ARTINYA : Namun, siapa yang menyerahkan semua buah dari semua pekerjaanya kepada Ingsun, yang menganggap Ingsun itu sebagai puncak tujuan cita-cita hidupnya, di dalam melakukan olah yoga yang selalu mencari penyatuan dengan Ingsun, yang selalu mengingat Ingsun, yang disertai kewaspadaan batin.
Sudah sangat jelas, untuk bisa melakukan ibadah hingga sampai bisa diterima oleh Yang Maha Agung, itu apabila di dalam melakukannya murni hanya untuk ibadah, tanpa pamrih, jika dalam bahasa biasa di jaman sekarang itu : Sembahyang dengan ikhlas semata-mata hanya karena Allah semata.
Pedoman yang seperti itu, bisa ditemukan di dalam ajaran Sri Kresna, pada bait ke 8, hingga 16, berikut ini :
8. Mula gandhengna pangriptanira karo Manira, supaya budinira bisa manjing ing Manira. Yen mangkono uripira ora bakal pisah saka Manira nganti tumekane akhir jaman. ARTINYA : Maka satukanlah rasa diri dengan rasa Ingsun, agar budimu bisa masuk ke dalam Ingsun, jika sudah demikian, hidupmu tidak akan terpisah dengan Ingsun, hingga sampai akhir jaman.
9. Nanging yen kirane, jiwanira ora bakal bisa tansah tumanem ing Manira, mula mbudidayaa nggayuh Manira sarana nglatih olah Yoga. ARTINYA : Namun sebenarnya, jiwa dan perasaanmu tidak akan bsia selalu selalu satu rasa dengan Ingsun, maka dari itu, berusahalah untuk bisa menddekat kepada Ingsun dengan cara rutin melakukan Yoga.
10. Yen sira ora keduga nglatih olah yoga, mula lakonana wae sakeh kwajibanira kang suci, kaya dene nglakoni dhawuh Manira. Yen kabeh pakartinira sira tindakake minangka tandha bektinira marang Manira, sajroning pasuwitanira marang Manira, sira mesthi bisa tumeka ing kasampurnan. ARTINYA : Jika dirimu tidak punya kemampuan untuk selalu melakukan yoga, maka lakukanlah saja semua yang menjadi kewajibanmu yang suci, yaitu menjalankan perintah Ingsun. Jika semua kewajibanmu kamu kerjakan sebagai kepatuhanmu kepada Ingsun, untuk sebagai sarana pengabdianmu kepada Ingsun, kamu pastilah akan sampai pada kesempurnaan.
11. Yen sira uga ora keduga nglakoni kang mangkono iku, mula sajroning olah yoga, ngayoma wae marang Manira. Yen sira masrahake uwohe sakeh pakartinira marang Manira, tindakna pakartinira iku kanthi wening lan waspada. ARTINYA : Dan jika dirimu tidak mampu melakukan yang seperti itu, maka ketika melakukan yoga, berlindunglah saja kepada Ingsun. Jika dirimu menyerahkan buah atas segala ibdahmu kepada Ingsun, maka lakukanlah pengabdianmu itu dengan kebeningan hati dan penuh kewaspadaan.
12. Pangawikan iku luwih dhuwur tinimbang laku, nanging semedi luwih dhuwur tinimbang pangawikan. Luwih dhuwur tinimbang olah semedi, yaiku ngurbanake uwahing pakarti. ARTINYA : Ilmu itu lebih tinggi derajatnya dibanding tindakan, namun samadi yoga tapa tafakur itu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ilmu. Dan yang lebih tinggi dari Samadi, Yoga, Tapa, Tafakur yaitu mengikhlaskan dan mengorbank semua buah pekerjaanya.
13. Manunga kang ora darbe sengit marang sawenehing titah, kang tansah nedya gawe bungahe liyan lan kebekan ing welas asih, ora kanggonan murka lan angkara, tetep jenjem jroning ngalami bungah lan susah. ARTINYA : Manusia yang tidak mempunyai rasa benci kepada semua makhluk, yang selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain dengan penuh rasa cinta, tidak mempunyai murka, angkara, dan selalu dalam keadaan ketenangan diri ketika mengalami kesenangan dan kesedihan.
14. Manungsa kang mangkono iku, kang tansah gembira atine, kang tansah nguwasani pribadine lan tetep teguh pambudine jroning ngudi manunggal karo Manira, kang jroning batine tansah gegandhengan karo Manira, manungsa mangkono iku yogi lan bakti ingkang sejati. Yogi lan bakti kang mangkono iku tuhu kekasih Manira. ARTINYA : Manusia yang sudah mencapai yang demikian itu, yang selalu bahagia dalam hatinya, yang selalu bisa mengendalikan pribadinya dan tetap teguh dalm pencariannya untuk menyatu dengan Ingsun, yang keadaan batinnya selalu tersambung dengan Ingsun, manusia yang sudah seperti itu adalah Yogi yang benar-benar berbakti. Yogi dan bakti yang demikian itu, itulah sebnar-benarnya kekasih Ingsun.
15. Manungsa kang ora gawe gendraning jagad, wus ora mobah jalaran saka owah gingsire kahanan, yekti wus ora magepokan maneh karo rasa was-was, kuwatir. Manungsa kang mangkono iku tuhu kekasih Manira. ARTINYA : Manusia yang tidak membuat kerusakan dunia, yang sudah tidak terpengaruh oleh ramainya cerita dudnia,  itulah yang tidak bisa tersentuh oleh rasa kuatir, rasa tidak adanya ketenangan diri. Manusia yang sudah perti itu, itulah Kekasih Ingsun.
16. Kang wus ora kepengin apa-apa, suci, mumpuni, ora keguh ing kahanan, sepi ing reribeting batin, kang wus ora darbe gegayuhan maneh, manungsa kang mangkono iku, tuhu kekasih Manira. ARTINYA : Yang sudah tidak mempunyai keinginan diri, suci, menguasai, tidak terpengaruh gerak dunia, telah bisa mengendalikan keruwetan batin, yang sudah tidak menghendaki hasrat lagi, manusia yang seperti itu, itulah kekasih Ingsun.
9.
ISI  IBARAT  DARI TIGA KUDA PENARIK KERETA

Di dalam Nyanyian Sukma bagian ke XIII, Sri Kresna mengibaratkan raga ini bagaikan ladang, sedangkan Sukma Sejati bagaikan pemiliknya dan yang melihatnya. Nyanyian yang termuat di bagian ini sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan ajaran-ajaran yang sudah diterangkan sebelumnya. Hanya sekedar untuk memantapkan saja tentang pentingnya Roh yang ada di dalam raga manusisa, sedangkan ladang hanya sebatas menjadi tempat bercocok tanam saja, yang harus diolah dengan baik.
Pada bagian ini, Sri Kresna dalam memperhatikan cara beribadah kepada Ingsun, hingga mengeluarkan ibarat, bahwa jika seseorang yang diterima ibadahnya itu, selain seseorang yang telah melupakan terhadap sifat-sifat rendahnya, namun harus bersusila, tidak memiliki cita-cita untuk kesenangan diri, tidak memliki dosa, bisa memberikan ketenangan, adil, berbakti pada guru, suci, kuat, serta mengendalikan pribadinya. Hanya dalam nyanyian di bait yang ke 10 dan 11, terdapat ajaran yang sangat berat, yaitu :
10. Ora darbe kuwajiban maneh mikirake kaluwarga lan balegriya, bojo lan anak-anak, merdika nuruti karepe pribadi ingkang suci, tansah tentrem batine, nadyan nemu kamujuran utawa alangan. ARTINYA : Sudah tidak memiliki kewawjiab terhadap keluarga dan rumah tangganya, istri/suami dan anak-anaknya, merdeka mengikuti hasrat pribadinya yang suci, hatinya selalu tenang, walaupun dalam kesenangan atau dalam kesusahan.
11. Jroning olah yoga mung Manira ingkang tansah pinundhi pundhi lan ora ana liyane kang dadi tujuane uripe, wus ora tuwuh sengseme tumrap apa bae kang edi peni; uga ora rumangsa seneng sesrawungan karo wong-wong liya. ARTINYA : Ketika amenjalankan Yoga, hanya Ingsun yang dipuja-pujanya dan tidak ada yang lainnya yang menjadi tujuan hidupnya, sudah tidak tertarik kepada apa saja yang indah dan berharga, juga tidak merasa senang bergaul dengan orang lain.
Jika seseorang sudah dalam keadaan demikian, barulah bisa menyatu dan berada di dalam Sukma Sejati. Ajaran yang seperti itu, sangat mudah disalah artikan bahwa itu sudah sangat melewati batas, karena seseorang yang berniat untuk mencapai kesempurnaan, harus dengan jalan tidak memikirkan urusan keluarganya, dan harus meninggalkan anak istri dan musuhnya. Jika yang demikian itu, akan menumbuhkan pertanyaan “Apakah kewajiban sebagai manusia hidup di dunia ini karena sudah seharusnya hidup berumah tangga? Mengapa juga, harus membangun rumah tangga dan menjalankan kewajibannya untuk merawat keturunannya ?
Apakah yang dimaksud atas ajaran Sri Kresna yang demikian itu, apakah hanya untuk menguji kemantapan bahwa orang yang beribadah itu harus mengheningkan cipta yang sebenar-benarnya hingga di dalam melaksanakan ibadah tersebut tidak memikirkan anak istri? Jika hanya demikian itu, baru bisa disebut beribadah yang selaras  dengan kewajiban makhluk di dunia ini.
Namun Nyanyian Sukma dua bait di atas sebenarnya adalah hanya ibarat saja bagi siapa saja yang sudah bsia berhasil dalam menjalankan ibdahnya, yang sudah berniat benar-benar untuk meninggalkan keinginan dirinya dan pengaruh keduniaan. Itu juga ibarat bagi siapa yang merasa sudah dekat untuk  menghadap kepada Yang Maha Kuasa, ketika akan melepaskan raganya, seharusnya memang harus seperti apa yang sudah dijabarkan di dalam Nyanyian Sukma dua bait tersebut di atas. Yaitu : Harus sudah tidak menyenangi sesuatu, tidak berat meninggalkan anak istri, rumah dan sebagainya, hanya memusatkan diri memuji dan mencintai Tuhan-nya saja.
Dan dalam Nyanyian Sukma selanjutnya, pada bagian ke XIV, menerangkan Rajas, Tamas dan Satwa, sebagaimana tercantum pada bait 7 – 10, berikut ini :
7.Dene Rajas, kawruhana yen iku dadi dhasar-dhasare sakeh pepenginan. Jalaran saka Rajas mau, manungsa tansah kumudu kudu ngarasakake obah mingsete urip kadonyan. Rajas nancang manungsa ing donya iki, marga dheweke ora bisa meneng, tansah kudu tumandang. ARTINYA : Sedangkan Rajas, ketahuilah bahwa itu yang menumbuhkan meunculnya semua keinginan diri. Karena dari Rajas tersebut, manusia selalu berhsrat untuk bisa merasakan kesenangan gerak kehidupan. Rajas itu mengikut manusia kepada urusan keduniaan, karena Rajas itu tidak bisa diam, dan selalu harus bergerak.
8.Dene Tamas, iku nuwuhake kabodhohan, kacublukan, kapengungan, lan gawe bingunge kang dumunung jroning raga iki. Tamas nancang lumantar rasa sungkan, keset, aras arasen, heh Parta!. ARTINYA : Sedangkan Tamas, itulah yang memunculkan kebodohan, ketololan, kepengungan dan yang membuat pikiran menjadi bingung yang berada di dalam raga ini. Tamas mengikat jiwa manusia dengan rasa sungkan, malas, tidak ada gairah, wahai Parta (Nama lain Harjuna).
9. Satwa iku uletane karo kamukten, Rajas karo panggawe, heh Harjuna! Namung Tamas, kang ngaling-ngalingi kawicaksanan, kawruhana, uletane karo kacublukan, rasa sungkan, keset ala sapanunggalane. ARTINYA : Satwam itu berhubungan dengan derajat mulia, Rajas itu berhubungan dengan perbuatan, Wahai Harjuna! Namun, Tamas itu yang menutup kebijaksaan, keilmuan, selalu bersahat dengan kebodohan, rasa sungkan, malas, sifat buruk dan lain sebagainya.
10. Yen Rajas lana Tamas lagi lerem, Satwa kang ngobahake uriping manungsa, Kerep-kerepe Rajas kang kuwat dhewe. Ing kono banjur Rajas kang nglakokake uriping manungsa. Ana kalane Tamas kang nguwasani uriping manungsa. ARTINYA : Jika Rajas dan Tamas sedang diam, Satwa lah yang menjadi penggerak hidup manusia. Namun ketika Rajas bergerak paling kuat, maka Rajaslah yang menggerakan hidup manusia. Ada kalanya Tamas yang menjadi penguasa atas hidup manusia.
Pada kisah saat Sri Kresna menjalankan kereta menuju medan laga Tegal Kurusetra, keretanya di tarik oleh tiga kuda. Bukan dua atau empat seperti halnya kereta kuda pada umumnya, akan tetapi “tiga”. Apakah sebabnya? Karena kuda yang berjumlah tiga itu, dijadikan ibarat oleh “Sri Kresnadwipayana” sang pengarang “Bagavad Gita”  yang digunakan sebagai pengibaratan tentang adanya tiga sifat, yaitu : Rajas, Tamas dan Satwam.
Sri Kresna telah berhasil dalam mengusiri (menjalankan) kereta dan berhasil mengendalikan laju 3 kuda tersebut, hal itu mengandung maksud bahwa Sri Kresna sudah berhasil menundukkan tiga nafsu : Rajas, Tamas dan Satwa.
Penjelasan mengenai tiga sifat tersebut, ditelaah lagi di dalam Nyanyian Suka bagian ke XVIII. Agar bisa urut, ada baiknya bagian tersebut kita muat agar berkumpul di sini saja, sebagai menambah keterangan tersebut di atas, sebagai berikut :
23. Sapa kang tumandhang miturut prentahe darmane, lan ora ngarep-ngarep uwohe panggawene, kelakuane jalma ingkang mangkono iku dhasare Satwa. ARTINYA : Siapa yang melakukan perbuatan menuruti perintah dari kewajiban yang harus dilakukannya sesuadi darmanya, dan tidak berharap atas hasil buah karyanya, manusia yang melakukan tindakan yang seperti itu, itu berdasar Satwa.
24. Nanging kang tumandhange saka ajakane pepenginan-pepenginan, kang nindhakake panggawene jalaran kasurung dening angkarane, lan terus-terusan nyambut gawe, ngliwati ingkang salumrah, ngaya, kawruhana kelakuaning jalma kang mangkono iku dhasare Rajas. Akan tetapi yang melakukan perbuatan yang berasal dari ajakan yang muncul dari keinginan diri, yang dalam melakukan perbuatannya terdorong oleh angkaranya dan terus-menerus smelakukannya, hingga melweti perbuatan pada umumnya, ketahuilah, kelakuan manusia yang seperti itu, itu didasari Rajas.
25. Kang ora merduli akibat-akibate pakartine, temahan gawe rugine utawa natoni atine wong liya, nindhakake panggawene nganggo sakarep-karepe dhewe, kawruhana yen kelakuane wong iku dhedhasar Tamas. ARTINYA : Yang tidak memperdulikan akibat perbuatannya, yang hasilnya membuat kerugian atau menyakiti orang lain, dan dalam berbuat hanya semaunya sendiri, ketahuilah bahwa kelakuan orang tersebut berdasar Tamas.
26. Kang ora tansah ngungasake angkarane, sepi ing rasa seneng marem, tansah teguh lan linimputan ing Iman kang kandel, ora keguh jroning malang utawa mujur, wong kang mangkono iku diarani pelaku Satwaka. ARTINYA : Yang tidak mengumbar hawa nafsu angkaranya, tilah kosong dari rasa kesenangan diri dan kepuasan diri, selalu kuat dan berada di perlindungan ketebalan Iman, tidak terpengaruh oleh kemalangan atau pun keberuntungan, orang yang seperti itu disebut pelaku Sarwaka.
27. Ngancah, kang diajab mung entuka kauntungan, srakah, daksiya ing budi, tansah ginonjang-ganjing dening bungah lan susah, wong ingkang mangkono iku diarani pelaku Rajas. ARTINYA : Selalu berharap, yang menjadi tujuannya hanya mendapatkan keuntungan, serakah, suka menyianyiakan budi, selalu menjadi permainan rasa senang dan susah, orang yang seperti itu dikatakan sebagai pelaku Rajas.
28. Wong ingkang tumindak sakarep-karep, ora kena dijagakake tindak-tanduke, kasar, bodho, julig, dhemen mblenjani, keset, sungkan, ngleler, wong iku diarani pelaku Tamasah. ARTINYA : Orang yang berbuat semaunya sendiri, tidak bisa diharapkan hasil perbuatannya, kasar, bodoh, pandai berbohong untuk menipu, suka mengingkari, malas, sungkan, lambat, orang itu disebut sebagai pelaku Tamasah.
29. Nalar lan karsa iku uga ana telung prakara, heh Barata! Prayoga siji lan sijine Manira terangakae marang sira, heh Dananjaya!. ARTINYA : Nalar dan kehendak diri itu juga ada tiga macamnya, wahai Barata (Nama lain Harjuna)!, ada baiknya Ingsun jelaskan kepada dirimu, wahai Dananjaya (Nama lain Harjuna)!.
30. Nalar kang wus bisa milahake anane kawigaten kang jumendhul, banjur metu tumuju marang jagadhing karameyna lan kawigaten kang jumedhul banjur mlebu tumuju marang jagading kasunyian, lan jalaran saka iku ngreti apa kang kudu dilakoni ana apa kang kudu disingkiri, bisa mbedakake apa kang bisa nekakake katentreman; apa kang bisa nyupeketake lan apa kang bisa nuwuhake cecongkrahan, kawruhahana nalar kang mangkono iku dhedhasari Satwa.  ARTINYA : Nalar yang sudah bisa memilah-milah hasrat yang muncul dari dalam diri, yang kemudian keluar ke dalam keramaian dunia, dan hasrat yang muncul kemudian masuk ke dalam dunia kesunyian, dan oleh karena hal itu, kemudian paham hasrat yang mana yang akan dilakukan dan yang akan dihindari, bisa membedakan mana yang bisa mendatangkan ketenteraman, mana yang bisa menjadikan masalah, dan mana yang bisa menyebabkan pertengkaran, ketahuilah bahwa penalaran seperti itu didasari oleh Satwa.
Seperti itulah uran dan perbedaan di antara Rajas, Tamas dan Satwa, yang juga pernah termuat pada ajaran-ajaran di depan.
Dikisahkan, bahwa ketika Sri Kresna yang menyetir ke tiga kuda tersebut, maka ketiganya selalu patuh kepada segala perintah dan kehendak dari yang mengendalikannya. Akan tetapi, jika yang mengendalikan itu belum mempunyai keahlian yang cukup, ketiga kuda tersebut tidak bakalan menurut atas perintah sang kusir, bisa saja kuda yang satu akan melepaskan diri dari ikatan, dan yang satunya mogok tadak mau berjalan. Maka dari itu, walau pun ketiga kuda tersebut mempunyai watak yang berbeda-beda, namun jika yang mengendalikan sudah benar-benar ahli, maka ketiga kuda tersebut akan bisa dikuasainya, dan akan patuh menarik kereta mengikuti kehendak kusirnya, hingga bisa sampai ke tengah-tengah medan peperangan Tegal Kurusetra.
Kemudian Sri Kresna masih melanjutkan ajarannya, termuat di dalam bait ke 31 – 34, memperjelas keterangan tentang ketiga nafsu tersebut, sebagai berikut :
31. Nalar kang ora bisa mbedakake ala lan becik, apa kang kudu dilakoni lan apa kang kudu disingkiri, kawruhanan, heh Parta, yen nalar kang mangkono iku dhedhasar Tamas. Nalar yagn tidak bsia membedakan baik dan buruk, dan apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus dihindarinya, ketahuilah wahai Parta (nama lain harjuna), bahwa nalar yang seperti itu berdasar Tamas.
32. Kang pandulu batine linimputan dening pepeteng, nganti tumrape dheweke ala dai becik, kabeh dadi sungsang buwana balik, nalare wong kang mangkono iku dhedhasar Tamas. Yang mata hatinya tertutup kegelapan, hingga bagi dirinya baik dan buruk, semua itu menjadi terbalik-balik, nalar dari orang tersebut itu berdasar Tamas.
33. Karsa kang tetep teguh, kena kinarya ngawasi obahe pangripta, mlebu metune napas, lan obah mosike indriya, jroning olah panunggal, kang tan kena dislewengake, kawruhana yen karsa mau dhedhasar Rajas. Hasrat yang kuat, bisa untuk mengawasi gerak pikirannya, masuk dan keluarnya nafas, dan gerak dari pancaindranya, dalam melakukan penyatuan, yang sudah tidak bisa digoda, ketahuilah bahwa hasrta itu berasal dari Rajas.
34. Dene sapa kang ing donya iki mung nuruti karepe napsune, tansah ngoyak kacekele semat, derajat lan keramat saking senenge utawa marga pangarep-arep bakal entuk manfaat, kawruhana yen wong kang mangkono iku kaepe dhedhasar Rajas. Sedangkan bagi orang yang ketika di dunia hanya menuruti hasrat nafsunya, yang selalu mengejar harta, pangkat ddan ketenaran karena sangat cintanya atau karena mengira bahwa hal itu akan mendatangkan manfaat, ketahuilah bahwa orang yang seperti itu, hasrtanya adalah berdasar Rajas.
Di dalam Nyanyian Sukma di bab ini, pada bait-bati terakhir (35 -37), tentang Rajas, tamas, Satwa yang termuat di sini menguraikan bahwa ketiga sifat tersebut walau pun berbeda, namun jika yang menggunakannya adalah orang yang bijaksana, maka hasilnya pun baik, juga bisa menghasilkan yang bermanfaat.
35. Dene uwong kang dhemene mung turu kanggo ngoncati rasa was-sumelang lan pikiran-pikiran kang gawe petenging ati, ora duwe pengarep-arep apa-apa, dhemene minum, madat, main lan sapanunggalane, kawruhana, heh Harjuna, yen wong iku karsane dhedhasar Tamas. ARTINYA : Sedangkan bagi orang yang kesenangannya hanya tidur untuk menghindari rasa kuatir dan pikiran-pikiran yang membaut gelapnya hati, tidak mempunyai pengharapan apapun, kesukaannya minup, menghisap ganja, judi dan sebagainya, ketahuilah wahai Harjuna, bahwa orang tersebut hasrat dirinya di dasari Tamas.
36, Saiki he trah Barata kang pinunjul, bab anane kanikmatan telung rupa, kang dadi kasenengane manungsa, marga padha duwe panemu, yen kanikmatan-kanikmatan mau bakal mungkasi kasusahan kang lagi disandhang. ARTINYA : Sekarang wahai Keturunan Barata yang terpilih, tentang adanya tiga bentuk kenikmatan, yang menjadi kesenangan manusia, karena mereka mempunyai anggapan, bahwa semua akenikmatan-kenikmatan itu akan bisa menyelesaikan segala masalah yang dialaminya.
37. Apa ingkang sakawit rasane pahit, getir kaya upas, jebul wekasane rasane kaya banyu puruitasari, kawruhana yen kanikmatan kang mangkono iku dhasare Satwa, kang tuwuh saka pangaruhe budi lan atma. ARTINYA : Apa yang pada awalnya terasa pahit, tidak enak bagaikan racun, namun pada akhirnrya rasanya bagaikan air kehidupan, ketahuilah bahwa kenikmatan yang seperti itu, adalah berdasar Satwa, yang tumbuh atas pengaruh Budi dan Atma.
Tidak hanya terdapat di dalam “Bhagavad Gita” saja, tentang adanya godaan yang menghalangi keutamaan dan keselamatan – walau pun di daam ajaran Agama yang lain, sudah banyak yang mengerti tentang adanya penggoda yang bernama Amarah, Luwamah dan Sufiah, yang juga  mempunyai tingaktan makna yang serupa dengan Rajasm Tamas dan Satwa, seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Daya kekuatan penggoda itu bisa bermanfaat, jika yang menggunakannya sudah bisa mengendalikan dan memaksanya menurut kehendaknya. Diibaratkan dengan ujud tiga kuda yang mempunyai watak berbeda-beda, namun jika kusir sebagai yang mengendalikan itu sudah ahli, maka ketiga nafsu itu tetap bisa dipaksa untuk mematuhi keinginan dari yang mengendalikannya.
10.
PENYATUAN DENGAN JALAN MERDEKA KARENA IKHLAS

Nyanyian Sukma bab ke XV, mesih menguraikan tentang Ingsun, namun dengan cara menggunakan istilah baru, yaitu Purusa. Oleh karena penting untuk menambah keyakinan dan kemantapan, maka kita muat juga, yang tercantum di dalam bait ke 16 -20, berikut ini :
16. Donya iki weruh ana Purusa loro. Sing siji kena ing pati, sijine ora kena ing pati. Purusan kang kena ing pati iku jumeneng ing sajroning manungsa. Purusane Pangeran iku tan kena ing pati lan tan kena ing owah gingsir. ARTINYA : Di dunia ini ada dua Purusa, yang satu bisa mati, yang satunya tidak pernah mati. Purusa yang bisa mati itu berada di dalam diri manusia. Purusa Tuhan itu tidak pernah mati, dan tidak pernah berubah.
17. Purusa kang luhur iku kang diarani Para Atma. Yaiku Dheweke kang murba misesa jagad iki kabeh, sarana jumenege dadi Hyang Brahma, Hyang Wisnu lan Hyang Siwah, utawa Pamurba, Pangayom lan Panglebure Jagad. ARTINYA : Purusa tingkat tinggi itu yang disebut Para Atma. Yaitu Ingsun yang menguasai dunia, ketika berkedudukan sebagai Hyang Brahma, Hyang Wisnu dan Hyang Siwah, atau penyebab utama, pemelihara dan pengahncur segala dunia.
18. Ing sarehne Manira ora gepok senggol karo karusakan, dadi isih luwih luhur tinimbang karo kang Tan Kena Ing Rusak, mula manunggal lan kitab-kitab Wedha ngarani yen Manira iku Purusa Utama. Oleh karena Ingsun tidak tersentuh kerusakan, sehinggga lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan yang tidak terkena kerusakan, sehingga yang menyatu dengan sarana Kitab-Kitab Wedha menyebut bahwa Ingsun itu Purusa Utama.
19. Sapa kang bisa ngreteni, tanpa nganggo kliru panampa, yen Manira iku Purusa Utama, iku prasasat mahawikan, heh Barata! Manunga kang mangkono iku memundhi Manira Lumantar kawutuhaning uripe. Siapa yang bisa mengenal, tanpa terkotori oleh pemahaman yang salah, bahwa sesungguhnya Ingsun itu Purusan Utama, itu seolah Maha Mengetahui, Wahai Barata!! Manusia yang sudah mencapai tingkat demikian itu , mengagungkan Ingsun dengan cara keutuhan hidupnya.
20. Kawruhana, iki piwulang Manira ingkang winadi banget, kang wus Manira wedharake marang sira. He Anaga! Yen sira wus ngreteni wejangan Manira iki, sira tuhu wicaksana. Lan yen kabeh mau wus sira rapung kuwajibaning Uripe. ARTINYA : Ketahuilah, inilah Ajaran Ingsun yang sangat rahasias, yang sudah Ingsun berikan kepada dirimu, He Anaga (Nama lain Harjuna)!, Jika dirimu bisa memahami ajaran Ingsun ini, dirimu benar-benar cerdas. Itu bisa kau capai jika sudah kamu selesaikan kewajiban hidupmu.
Itulah inti sari dari Ajaran cara beribadah atau menyatu dengan menggugnakan Purusan Utama.
Oleh karena di dalam Nyanyian Sukma bagian ke XV dan XVI, hanya berbentuk menambahi ajaran yang sudah-sudah dengan nyanyian yang beda kalimatnya saja, maka tidak perlu untuk diulang lagi, agar tidak malah membingungkan ajaran yang sudah jelas. Dalam Nyanyian Sukma tersebut, hanya menerangkan perbedaan dari Sura dan Asura, yaitu yang bersifat Dewa dan yang tidak bersifat Dewa, sedangkan Nyanyian Sukma bagian ke XVII, hanya menguraikan tentang kurban, eperti yang sudah di uraikan di depan.
Pada Nyanyian Sukma bagian ke XVIII, inilah intisari dari Ajaran, yang termuat di bait ke 51 -53, sebagai berikut :
51.Kang wus bisa manunggal jalaran saka sucine budine, lan kanthi teguhing karsa nguwasani pribadine, sarta ora keguh maneh dening sakeh kahananing urip, ora dhemen ora gething. ARTINYA : Yang sudah bisa menyatu dengan cara kesucian Budi, dan dengan keteguhan kehendak dalam menguasai pribadinya, serta sudah tidak terpengaruh oleh keadaan kehidupan, tidak menyenangi dan tidak membenci.
52. Dhemen dumunung ing sepi, sinartan pangan kang prasaja lan pininta, nguwasani obahing raga, mlebu metune napas, wijiling pangandika lan osiking jiwane, ora kendhat mbudi panunggal minangka tandha bektine marang kang kang ngayomi uripe. ARTINYA : Menyenangi kesunyian, dengan makan seadanya dan sedikit, mengendalikan gerak raga, mengendalikan keluar rmasuknya nafas, mengendalikan perkataannya dan gerak keinginan diri di dalam jiwanya, tidak pernah henti menyatu sebagai tanda baktinya kepada Sang Pemelihara hidupnya.
53. Kang wus bisa nyingkirake angkarane, watek dakmenang, dhemen muring-muring, takabur, kamurkan lan pepenginan-pepenginan, sarta tansah ana sajroning katentreman, lan narima ing pandum, manungsa kang mangkono iku wus siyaga manjing ing jatining Brahma. ARTINYA : Yang sudah membunuh angkaranya, watak ingin menang sendiri, suka marah, sombong, murka dan dan segala keinginan diri, serta selalu dalam ketenangan jiwa, dan menerima apa kehendak Tuhan terhadap dirinya, manusia yang seperti itu, itulah yang sudah siap untuk menyatu dengan kesejatian Brahma.
Eperti itulah jika seseorang berniat menyatu dengan Dzat Yang Maha Suci, menurut ajaran Sri Kresna harus berani meninggalkan semuanya. Meninggalkan yang serba tidak kekal, bahkan harus menginggalkan tempat keramaian sesuai makna kewwajaran, yang kemudian berpindah ke tempat kesunyian.
Hal demikian itu seolah berbeda dengan apa yang di uraikan tentang macam cara beribadah, yaitu dengan cara melakukan ibadah yang tanpa melakukan ibadah, serta beribadah dengan cara melakukan ibadah. Yang sesungguhnya, ajaran ini sangat jelas bahwa yang dikehendaki oleh Sri Kresna yaitu seseorang yang menyatu yang benar-benar ingin menyatu dengan Yang Maha Tunggal itu harus meninggalkan semua yang serba tidak kekal. Untuk bisa tercapai, jika juga meninggalkan tempat keramian, agar lebih mudah mengendalikan pribadinya.
Akan tetapi oleh karena hal mengendalikan diri itu tadi, atas perkembangan kemajuan bisa didlakukan juga di tempat keramaian, Sehingga sebenarnya ujud penyatuan itu sebenarnya juga bisa dilakukan di mana pun saja, untuk mengendalikan hasratnya dan sudah kuat tekadnya.
Kemudian disusul adanya ajaran tentang kemantapan hati hanya pribadi. Untuk para pecari, akan bisa menemukan keberuntungan, jika selalu berlindung kepada Sri Kresna, walau pun sebelum-sebelumnya melakukan tindakan. Namun sebaliknya, jika sebelumnya sudah ingat dan sadar kemudian pada akhirnya melupakannya dan tidak mau mematuhi ajaran Sri Kresna sebagai tercantum dalam bait 56 – 58, maka akan menemui celaka. Sajarannya adalah sebagai berikut :
55.Lan jalaran saka bektine kang tansah tumuju marang Manira, dheweke bisa jumbuh karo Manira, lan uga bisa njajagi Dat Manira. Lan sapa kang bisa meruhi dat Manira, mesthine uga bisa manjing ing Dat. ARTINYA : Dan oleh akrena kepatuhannya yang selalu tertuju hanya kepada Ingsun, maka dia akan bisa menyatu dengan Ingsun. Dan juga bisa memahami Dzat Ingsun. Dan siapa saja yang bisa melihat Dzat Ingsun, pastilah bisa masuk ke dalam Dzat.
56.Sapa kang tansah nglakoni lan ngrampungake kabeh panggawe kang dadi kuwajibane, kanthi tansah ngayom marang Manira, karana sih Manira, dheweke ing wekasan bisa manjing ing Swiji kang tan kena ing rusak. ARTINYA : Siapa saja yang selalu menjalankan dan menyelesaikan semua tanggung-jawab yang menjadi kewajibannya, dengan selalu berlindung kepada Ingsun, karena kasih sayang Ingsun, dia pada akhirnya akan bisa menyatu masuk kepada yang tidak terkena kerusakan.
57.Pramula panggawe apa wae kang kudu sira lakoni, lakonana ing sajroning pangriptanira minangka tandha bektinira marang Manira. Aja mingset anggonira ngudi panunggal lumantar bangkite budinira, sarana jiwanira tansah tumanem ing Manira. ARTINYA : Maka dari itu, kewwajiban yang harus kamu lakukan dalam bentuk apa pun harus kamu lakukan, lakukanlah dan di dalam pikiranmu tanamkanlah hanya untuk berbakti kepada Ingsun. Jangan sekali pun berubah dalam dirimu mencari penyatuan dengan cara membangkitkan budimu, dengan cara jiwamu selalu tertanam kepada Ingsun.
58. Yen sakeh pangriptanira tansah tumuju marang Manira, mesthi sira tansah Manira ayomi. Nanging yen karana angkaranira sing tansah mbudeg, ora gelem ngrungokake marang pitutur kang becik, akhire sira bakal nemahi kaleburan. ARTINYA : Jika yang ada di dalam pikiranmu selalu tertuju kepada Ingsun, pastilah dirimu akan Ingsun lindungi. Namun jika karena angakaramu yang selalu  tertutup dan tidak mau mendengarkan nasihat yang baik, pada akhirnya dirimu akan menemui kehancuran.
Pada bagian selanjutnya di bait ke 61-62, diteruskan menerangkan tentang Tuhan dan balasan Tuhan kepada pencari yang bercita-cita mendapatkan ketenteraman dengan cara abenar-benar mensucikan pencariannya, sebagai berikut :
61.Allah iku jumeneng ing ati sanubarining saben titah, lan ngobahake kabeh titah miturut laku jantrane dhewe-dhewe. ARTINYA : Allah itu bersinggasana di dalam hatinurati semua makhluk, dan menggerakan semua makhluk sesuai dengan ukurannya sendiri-sendiri.
62.Mula nyuwun pitulungane utawa pangayomane Pangeranira, kanthi sumarah ing Panjenengane, heh Barata, Karana palimarmane, sira bakal oleh kamulyan, ing katentreman kang langgeng. ARTINYA : Maka dari itu, mohonlah pertolongan atau mohon perlindungan hanya kepada Tuhan-mu, dengan berserah diri hanya Kepada Tuhan saja, wahai Barata. Karena ata ijin-Nya, dirimu akan mendapatkan kemuliaan dan ketenangan yang kekal.
Sedangkan sebagai puncak dari Nyanyian Sukma, sebagai penutupnya, yang juga amenjadi inti sarinya, tercantum di bait ke 64 hingga 67 di bawah ini, dan Sri Kresna berpesan kepada Harjuna untuk memperhatikannya hingga benar-benar paham.
64. Lan saiki rungokna wadi Manira kang linuhur, kang nedya Manira wedharake marang sira. Kawruhana sira iku kekasih Manira. Mula apa kang Manira gelarake iki, muga-muga neguhake karahayinira. ARTINYA : Dan sekarang dengarkanlah sebuah rahasia Ingsun yang paling rahasia, yang akan Ingsun sampaikan kepada dirimu. Ketahuilah bahwa dirimu itu kekasih Ingsun, maka dari itu apa yang Ingsun jelaskan ini, menjadikan keteguhan keyakinanmu.
65. Kanthi pangritanira tansah tumanem ing Manira, asunga bekti marang Manira, kurbana marang Manira. Manira ora bakal mblenjani janji Maniraiki, heh mitra Manira. Dengan jalan pemehamanmu yang selalu mengingat Ingsun, dan memberikan darma bakti kepada Ingsun, berkurbanlah kepada Ingsun. Ingsunn tidak akan mengingakari janji Ingsun sendiri, Wahai kekasih Ingsun!!
66. Sajrone nglakoni darmanira, pasrahna pepesthenira marang Manira, sarana nyumanggakake karahayoning uripira marang Manira. Mesthi Manira bakal ngluwari sira saka sakeh dosa. Mula singkirana sungkawanira. ARTINYA : Dalam melakukan darma kewajibanmu, serahkanlah takdirmu hanya kepada Ingsun, dengan cara menyerahkan keselamatan hidupmu hanya kepada Ingsun. Pasti Ingsun akan mensucikan dirimu dari segala dosa. Maka, hilangkanlah segala kesedihanmu.
67.Dingati-ati, aja nganti sira ngandhakake apa kang Manira wecakake iki marang sapa wae, kang ora gelem sumarah marang Manira lan ora gelem nglakoni prihatin, utawa marang sapa kang ora mbutuhake, utawa kang ora darbe Iman marang Manira. ARTINYA : Berhati-hatilah, janganlah kamu ceritakan apa yagn Ingsun katakan ini kepada siapa pun saja, yang tidak meu berserah diri kepada Ingsun dan tidak mau menjalankan keprihatinan, atau kepada siapa saja yang tidak membutuhkannya, atau kepada yang tidak memiliki Iman kepada Ingsun.
Demikianlah isi penutup ajaran yang sangat tinggi yang terdapat di dalam “Nyanyian Sukma” ketika Sri Kresna memberikan ajaran kepada Harjuna. Inti perintahnya adalah : ‘Patuhilan Ingsun, berbaktilah hanya kepada Ingsun, berlindunglah hanya kepada Ingsun, berkurbanlah hanya untuk Ingsun, Jika hal demikian dilakukan dengan ikhlas maka akan menjadi kekasih Ingsun.
Jika di dalam ajaran Agama lain, ada petunjuk agar melakukan sembahyang hanya karena Allah, berbakti hanya dengan cara Lillahi ta’Allah – akan tetapi di dalam ajaran Sri Kresna diarahkan dan ditujukan hanya kepada Ingsun.
Di dalam ajaran Agama yang lainnya lagi, isi petunjuknya juga hanya ditujukan kepada Tuhannya, agar bersujud dan berbakti hanya kepada tuhan, pastilah akan mendapatkan kemurahan, akan mendapatkan penghapusan dosa, dan mendapatkan anugerah yang kekal.
.Sedangkan cara untuk bisa menyatu yang terdapat di dalam “Nyanyain Sukma” itu adalah seperti yang sudah berulang kali diajarkan oleh Sri Kresna, yaitu patuh dan bakti yang sudah tidak mengingat yang lainnya lagi kecuali hanya kepada yang disembahnya. Jangankan untuk ingat kepada kesenangan diri yang ada di dunia, bahkan cinta kepada anak istri itu pun sudah harus ditinggalkan sepenuhnya, sudah diikhlaskannya, direlakannya, hanya terpusat ditujukan kepada “Yang Satu”  - jika bisa demikian barulah bisa mencapai kekekalan dan bisa mencapai penyatuan. Menyatu dengan Yang Sejati, iabartnya abagaikan yang ditemukan di dalam ajaran Agama lain : “Dari Tuhan adanya dan kepada Tuhan kembalinya” (Innalillahi wa inna ilaihi Raji’un).
Syarat untuk mencapai hal yang demikian, sudah sangat jelas di uraikan dalam Nyanyian Sukma tersebut di atas, yaitu yang berisi rahasia dari semua isi ajaran, intisari ajaran yang sangat luhur, dan jika dikatakan mengunakan kalimat lainnya, yaitu dengan punuh rasa takut, penuh cinta, chof dan rozak kepada Tuhan serta dengan cara melakukan ibadah hingga menembus hati sanubari, tanpa tercapuri oleh keinginan diri yang lainnya, dan juga dengan berserah diri dengan penuh rasa ikhlas hingga ke dalam hati.
Dan juga, disampaikan pesan oleh Sri Kresna, bahwa siapa yang menyebarkan ilmu rahasia yang luhur ini, akan mendapatkan balasan berupa : Akan sampai ke pada Ingsun. Tidak ada bedanya dengan ajaran Agama lain yang menyebutkan siapa yang giat menyebarkan intisari ajaran Agama, tentulah akan mendapatkan anugerah surga. Seperti inilah ajaran Sri Kresna yang terakhir yang termuat di dalam bait ke 68 – 70, sebagai berikut :
68. Sapa kang nerang-nerangake wadi Manira kang adiluhur iki marang wong-wong kang padha asung bekti marang Manira, iku mesthi ora suwe banjur manunggal karo Manira. ARTINYA : Barang sipa yang mengajarkan Rahasia Ingsun yang luhur ini kepada orang-orang yang berbakti hanya kepada Ingsun, tidak akan lama pasti akan menyatu dengan Ingsun.
69.Sebab ing antarane para manungsa ora ana kang panggawene luwih becik, miturut panemu Manira, tinimbang karo wong iku. Mula ing salumahing bumi ora ana titah kang luwih Manira tresnani tinimbang karo dheweke. ARTINYA : Karena, di antara manusia itu tidak ada yang perbuatannya lebih baik dari berbuat yang demikian, itulah pendapat Ingsun, dibanding dengan orang tersebut. Maka dari itu, di atas bumi tidak ada makhluk yang lebih Ingsun Cintai dibandingkan dengan mereka.
70. Sapa kang tansah budidaya bisane netepi piwulang kang winaca ing lawan sabda kita iki, iku prasasat asung kurban kang rupa kawicaksanan marang Manira, kurban iku kurban kang becik dhewe. ARTINYA : Siapa saja yang selalu berusaha untuk bisa menjalankan ajaran yang bisa di baca dalam tutur kata ini, itu bagaikan berkurban berupa kebijaksanaan hanya kepada Ingsun, kurban yang demikian itu kurban yang paling baik.
Setelah tamat isi ajaran tenetang ilmu penyatuan, Sri Kresna kemudian bertanya kepada Harjuna, apakah telah merasa puas atas semua ajaran yang sudah ddijelaskan dan apakah sudah hilang semua keragu-raguannya?
72. Heh Parta! Apa sira wus ngrukokake lan bisa nampa kanthi mathenging jiwanira apa kang Manira wedharake iki? Apa saiki pepeteng kang ngalang-alangi panggrahitanira wus sirna, Heh Dananjaya? ARTINYA : Wahai Parta! Apakah dirimu sudah bisa memahami dan bisa menerima dengan kemantapan jiwamu terhadap apa yang Ingsun ajarkan ini? Apakah sekarang, kegelapan yang menutupi penalaran dan pemikiranmu sudah hilang, Wahai Dananjaya?
Harjuna yang pada awalnya ragu-ragu serta merasa kesulitan dalam memahaminya tentang ajaran cara Beribadah dan cara menyembah serta tentang penyatuan, kemudian berkata :
73.Harjuna matur : “Sampun sirna babarpisan Pangrahita kawula sampun bagkit margi saking palimara Paduka, dhuh Atiyuta! Sapunika sampun mantep manah kawula, sarta kawula badhe tumindak miturut dhwuh Paduka”. ARTINYA : Harjuna berkata : “Telah hilang semua, penalaran hamba telah tumbuh karena atas Ajaran yang disampaikan Paduka, Wahai Atiyuda! Sekarang telah mantaplah hatiku, serta hamba akan selalu melakukan tindakan sesuai perintah Paduka”.
Setelah terpuaskan atas Ajaran Sri Kresna, serta sudah hilang rasa keragu-raguannya, kemudian mempersiapkan diri untuk berperang, telah siap berperang untuk memusnahkan Kurawa, menjalankan kewajiban hidupnya yang ditakdirkan menjadi Satria serta sudah ditetapkan diangkat menjadi Senopati Perang oleh Pandhawa di dalam perang Baratayuda Jaya Binangun.

11.
RINGKASAN  ISI  AJARAN SRI  KRESNA

Ajaran Luhur yagn telah diuraikan oleh Sri Kresna kepada Harjuna, yang termuat di dalam Serat “Bhagavad Gita” seperti yagn sudah disampaikan semua di depan, jika diperinci dan dijabarkan, kurang-lebihnya sebagai berikut ini :
PERTAMA : Menjelaskan tentang keragu-raguan dan rasa keberatan hati bagi orang yang akan menggapai kesempurnaan, karena masih tidak tega untuk meninggalkan kesenangan diri dan kesenangan dunia, merasa sayang untuk meninggalkan hobby serta masih merasa  berat untuk menghindari perwatakan dari jiwa rendahnya.
Bahwa sebenarnya, kesenangan diri dan kesenangan dunia, dan kepuasannya itu hanyalah sementara saja, tidak kekal selamanya, itu semua ujudnya adalah : Hartabenda, Pangkat, Derajat kewibawaan, kepandaian dan kesaktian, keluhuran diri, ketenaran, kewibawaan pengaruh. Itu semua jika di dalam mencarinya melewati batas serta terikat karenanya, maka akan mengikat rasa diri – itulah yang menyebabkan seseorang tidak bisa berhasil dalam mencari ketenteraman.
Kesenangan yang menjauhkan diri dari rasa tenteram, contohnya adalah : Suka berjudi, senang minum, senang berfoya-foya, senaang makan enak, suka mengambil hak orang lain, termasuk juga selingkuh dan korupsi, senang menyalahkan dan membantah pendapat orang lain – itu semua adalah merupakan suatu kebaisaan yang pada umumnya sangat sulit untuk ditinggalkan bagi yang sudah kecanduan. Demikian juga yang berupa watak dan sifat jiwa rendah : Usil, irihati, sering marah, suka menfitnah, itu pun termasuk musuh yang harus diperangi atas orang yang bercita-cita untuk menggapai ketenteraman hidup didunia dan di akhirnya.
Itulah perasaan yang berat untuk meninggalkan kesenangan, serta perasaan berat untuk meninggalkan kesenangan itu, yang digambarkan berupa keragu-raguan harjuna untuk mengawali berperang.
KEDUA :  Menguraikan tentang mati, bahwa sebenarnya ketika manusia meninggal dunia itu, yang rusak hanyalah raganya, badan kasarnya saja, akan tetapi ruh tetap kekal adanya, tidak ikut mati. Diri ini, selain memiliki badan kasar serta Indra kasar – Juga masih mempunyai raga lagi, yaitu badan halus  dan indra halus yang tidak bisa terlihat mata, selian itu juga memiliki Sukma yang juga bersifat kekal, yang tidak terkena kematian, Ruh atau sukma inilah yang kadang memberikan pertimbangan dengan mengingatkan kepada manusia akan hal  perbuatan baik dan perbuatan buruk, akrena sebenarnya sukma itu jika tentang Yang Maha Kuasa itu bagaikan Cahaya dan mataharinya, bagaikan ombak dan samudranya, bagakan rasa manis dan madunya.
KETIGA : Menerangkan tentang kembali terlahir atau menitis. Menurut ajaran yang disampaikan oleh Sri Kresna, bahwa manusia yang meninggal dunia itu, setelah raga ditinglkan oleh ruh, jika tiba waktunya ruh itu akan bisa terlahir lagi ke dunia dengan cara menitis ke raga seorang bayi, untuk memberi kesempatan untuk menaikan derajatnya menuju menjadi manusia sempurna, akan jiwanya semakin maju, semakin maju lagi, yang pada akhirnya, setelah berkali-kali lahir dan mati, kemudian barulah bisa masuk ke dalam alam kekekalan, bisa bersama Tuhan-nya.
Yang menjadi sebab seseorang masih ditarik untuk lahir kembali, karena masih terikat oleh kesenangan dunia, karena belum bisa melepas seluruhnya atas hawa nafsunya dan urusan keduanian-nya. Sehingga masih harus mengalami dilahirkan lagi hingga berkali-kali, agar supaya mendapatkan pengalaman dan kesempatan untuk berusaha memajukan rokhaninya serta derat jiwanya.
KEEMPAT : Manusia agar bisa semakin maju atas derajat jiwanya, harus menjalankan ibadah, yang jenisnya ada dua amcam, yaitu beribadah dengan jalan heningnya jiwa, hanya memusatkan padangannya ke pada yang Satu, yang ke dua : Beribadah dengan cara melakukan tindakan yang utama yang hampa dari hasil buah kerjanya.
Beribadah dengan cara meditasi menenangkan jiwa itu, tujuan ciptanya hanya ditukukan kepada Sukma Sejati, kepada Ingsun sebagai Pribadinya diri sendiri, tidak bertujuan dan mengingat kepada kesenangan serta kebutuhan hidup dan keperluan yang lain-lainnya, hanya khusus ditujukan kepada yang disembah, yang bahasa pada umunya dikatakan “ Hanya Karena Allah”. Artinya tidak mendua, tidak berbelok kepada Tuhan-tuhan lainnya bagaikan seorang musyrik.
Beribadah dengan cara melakukan perbuatan berupa semua perbuatan amal yang bermanfaat bagi sesamanya, yang banyak tergelar di dunia ini. Namun dalam melakukan ibdahnya, tidak diselipi karena pengharapan, rasa kemilikan dan ketenaran diri, tidak mengharapkan keuntungan dunia dan kuntungan yang lainnya, singkatnya giat melakukan ibadah sepi dari pengharapan.
KELIMA : Menguraikan ajaran : Untuk bisa menyati dengan Yang Maha Tunggal, itu hanya bisa jika terlaksananya melakukan ibadah. Beribadah yang rutin dilakukan sambil bermasayarakat dengan sesamanya dalam tiap harinya. Serta menyatu dengan sebuah ajaran untuk bisa menghantarkan atas kekekalan ruh, agar tidak dipaksa untuk dilahirkan kembali. Karena terlahir kembali ke alam dunia itu dianggap sebagai sebuah kesengsaraan, karena selalu mengalamai gembira dan susah, senang dan sedih, harus mengalami kejadian yang tidak kekal, sehingga daripada itu, semulia-mulianya pencarian, itu, Jika sudah bisa amenyatu  - sedangkan syaratnya adalah dengan cara melakukan penyatuan.
Sedangkan cara melakukan penyatuan itu, selain di kala menjalani hidup sehari-hari harus selalu melakukan ibadah atau melakukan sembah bagaikan yang sudah diuraikan pada bagian ke IV di atas – di sewaktu akan menghadapi kematiannya atau jika seseorang sudah menyenangi keamtiannya, harus menyarahkan jiwa raganya kepada Ingsun, harus berbakti kepada Ingsun, dan hanya berlindung kepada Ingsun – yang di sini bahwa “INGSUN” itu bukan pribadi dari Sri Kresna, bukan hanya yang bermakna Nur Ilahi, namun yang menjadi ibarat bagi Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Allah. Tuhan Yang Maha Esa.
Sudah dijelaskan bahwa dalam menjalankan penyatuan itu, karena sangat bersungguh-sungguhnya dan dengan ketekunan hanya berlindung kepada Tuhan, berbakti dan menyembah Tuhan, dengan cara harus melupakan semua hal yang menyebabkan terikat kepada keduniaan – menghilangkan rasa cinta kepada anak istri, menghilangkan rasa kemilikan terhadap apa saja, selain hanya patuh kepada Tuhan-nya dan untuk kata yang lebih mudahnya itu : Harus berserah diri, menyerahkan diri dengan ikhlas, rela sebebas-bebasnya.
Lebih kurangnya, demikianlah isi ringkasan ajaran di dalam “Bhagavat Gita” sesuai pemahaman penghimpun yang belum tentu benar dan salahnya, serta ketepatan makna yang sebenarnya dari yang dimaksudkan oleh pengarang aslinya. Namun dengan menelaah isi yang sebenarnya dari “Nyanyian Sukma” sebenarnya tidak cukup jika hanya memahami isi ringkasannya saja, atau synopsisnya saja, karena di dalam tiap bait di dalam Nyanyian tersebut isi kandungan makna dan rasanya adalah sendiri-sendiri. Sehingga jika ingin  mendalami dengan sungguh-sungguh makna dari “Bhagavad Gita”  itu harus meneliti dan menelaah tiap bagian-bagiannya dari yang terkecil dengan sedail-detailnya – agar bisa mengambil manfaatnya yang tidak akan mengecewakan.
Sedangkan cara agar bisa menyelami isinya hingga ke dasar terdalamnya, tidak ada lain, selain membaca berulang- kali dengan tanpa mengenal bosan.
Seorang Pengarang Buku, H.E. Sampson, menulis di dalam bukunya “Bhagavad Gita Interpreted” yang diterjemahkan dengan judul “Handaran Bhagavad Gita” sebagai berikut : “Tidak ada satu pun jalan, selain harus berulang kali membacanya, jika inging benar-benar mengerti isi kandungan “Bhagavad Gita” hinga merasap ke dalam ingatan, agar tidak lupa lagi terhadap uraoan-uraiannya. Dan jangan tergesa –gesa ingins egera bisa menguasainya, dengan cara menelaah seberapa kedalaman isinya serta kenyataan isinya yang tersimpan di dalam buku tersebut. Para pencari memusatkan pikirannya, khusu hanya mendalami uraian-uraiannya, dengan cara meresapi isi tiap-tiap katanya, hingga benar-benar bisa meresap kedalam inti kalbunya, akan tetapi harus tidak dengan cara mengaku pandai, dan jangan merasa bahwa sudah bisa memahami isi kandungannya. Dengan cara yang demikian itu, dari sedikit—demi sedikit “Bhagavad Gita” dapat mendapakan jalan, sebagai jawaban dari jiwa kepada pemahamannya, yang kemudian diterima oleh ciptanya atau oleh pemikirannya, menyatu dengan pribadinya, yang pada akhirnya, tidak hanya sekedar memahami saja atas maskudnya, akan tetapi isi dari “Bhagavad Gita” bisa merobah ata membangun wataknya. Oleh karena itu, dari yang sedikit, dirinya bisa menyelaraskan badannya selaras dengan isi ajaran yang ada, bagi cipta dan perbuatannya.
Sarjana Aldous Huxley, di dalam bukunya yang berjudul “The Song of God” mengatakan bahwa “Bhagavad Gita” itu bisa juga sebagai pernyataan skripsi dari Falsafah Pirenia yang tertata, Sisitimatis, sendiri. Namun, walau pun begitu, kita ikut mendukung anjuran dari H.E. Sampson di atas, yaitu siapa yang berniat untuk memahami dengan sungguh-sungguh atas intisari dari “Bhagavad Gita” jangan lah bosan untuk berkali-kali membacanya, terlebih ladi diwaktu yang dalam suasana tenang.
Dikisahkan, setelah Sanjaya selesai melaporkan nyanyian sukma dari Sri Kresna dengan Harjuna dari Tegal Kurusetra, kemudian menyampaikannya kepada Drestarasta, seperti tersebut di dalam nyanyain bagian terakhir sebagai berikut :
74.Sanjaya matur : “Kawula saged mirengaken pangandika ingkang mijil saking tutukipun Sang Wasudewa tumuju dhateng Sang Parta ingkang tuhu luhur bebudenipun, pangandika ingkang sanget ngeram-eramaken saha damel njegraging rikma.  ARTINYA : Sanjata berkata : “Hamba bisa mendangarkan pembicaraan yang keluar daru mulut Sang Wasudewa (Nama lain Kresna) yang ditujukan ke Sang Parta yang sangat berbudi luhur, Kata-katanya sangat mengagumkan serta membuat bulu kuduk berdiri.
75.Saking palimarmanipun Sang Wiyasa, pangandika kang medharaken wadining-wadi ingkang adiluhur. Inggih punika latihan-latihan minangka nggayuh sampurnaning gesang, saged kula tampi saking Pangeran ingkang misesa gesang piyambak. ARTINYA : Atas ijin dari Sang Wiyasa, ucapan yang menguraikan rahasia di atas rahasia yang sangat luhur, yaitu yang berupa latihan-latihan untuk menggapai kesempurnaan hidup, bisa hamba terima langsung dari Tuhan yang menguasai hidupnya sendiri.
76.Dhuh Sang Prabu! Saben-saben kula kemutan lawan sabdanipun Sang Kesyawa lan Sang Harjuna, kapranan, trenyuh sanget manah kawula, margi katuwuhan marem lan bingah ingkang tanpa upami. ARTINYA : Wahai sang raja! Setiap saya teringat pembicaraan Sang Kesyawa dan Sang Harjuna, sangat senang hatiku, sangat menyentuh perasaan hati hamba, karena tumbuh rasa puas hati dan kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan kata-kata.
77.Saben-saben manawi kula manah-manah kawujudan Sang Harimurti, ingkang tuhu Agung lan ngedep-edhapaken wau, kapranan malih manah kawula lan kawula lajeng saged ngraosaken malih kanikmatan ingkang boten wonten pindhanipun. ARTINYA : Setiap saya memikirkan wujud Sang Harimurti, yang sungguh sangat Agung dan sangat berwibawa, merasa kasmaranlah hati hamba dan kemudian hamba bisa merasakan kembali rasa nikmat yang tidak bisa digambarkan.
78. Ing pundi jumenengipun Sang Kresna, Gusti ning Yoga lan Sang Parta ingkang mboten nate pisah kaliyan gandhewanipun, ing riku tuhu dumununganipun Jaya Kawijayan, Kamulyan lan Karahayon. Punika sampun mboten wonten tidha-tidhanipun malih” ARTINYA : Dimanakan tempatnya Sang Kresna, Pemimpin para Yogi dan Sang Parta yang tidak pernah terpisah dengan gendhewanya, di situlah sungguh! Tempatnya segala kesaktian, kemuliaan dan keselamatan. Hal itu sudah tidak ada keraguan lagi. <><><>
Seperti itulah penutup kata Sanjaya kepada Sang Raja Drestarasta yang berarti telah Tamat isi kandungan “Nyanayian Sukma” “Bhagavad Gita” yang berisi ajaran rahasia, yang bernama kebijaksaanBrahma yaitu Sastra Penyatuan.

12.
PENDAPAT YANG BERDASARKAN TELAAH DAN PENALARAN

Walau pun sudah disebutkan bahwa “Bhagavad Gita” itu adalah ajaran yang sangat Indah, Ajaran rahasia kebijaksanaan Brahma, namun karena hidup kita diberi pikiran dan penalaran, maka dalam kita  menelaah isi dari serat “Bhagavad Gita” juga tidak bisa jika hanya menerima apa adanya saja, tanpa penalaran dan tanpa ditelaah, tidak baik jika kita terima tidak dengan penalaran dan di telaah isinya.
Para Sarjana banyak yang meninggalkan adanya ilmu yang dogmatik, banyak yang menolak untuk menerima ajaran yang hanya berisi perintah untuk percaya saja, serta menyebutnya atas sifat yang seperti itu sebagai penyebab mendidik orang menjadi tidak suka mengunakan penalaran dan penelahan.
Seharunya sikap kita dalam menggali isi dari “Bhagavad Gita” juga dengan cara demikian, juga harus menggunakan cara penalaran dan menelaah isinya, yang diselaraskan dengan nalar serta selaras dengan pikiran agar bisa mengikuti perkmbangan jaman yang sedang kita jalani ini. Karena ketika jaman Viyasa mencipta ajaran yang indah di dalam “Bhagavad Gita” itu sudah banyak sekali perubahannya dibanding jaman sekarang. Sehingga, jika kita ingin mengambil manfaatnya dari ajaran rahasia yang sangat terkenal ini, seharusnya juga harus bisa menyelaraskan terlebih dahulu dengan suasana dan jaman yang selalu berjalan tan ada berhentinya ini, berjalan menuju kepada evolusi dari kemajuan jaman.
Yang kadang-kadang bsia menumbuhkan pendapat atau penafsiran yang membingungkan bagi yang ingin mendalami isi dari “Bhagavad Gita” yaitu dengan adanya istilah-istilah yang dalam satu kata naman maknanya bisa berubahubah karena terlalu seringnya diulang-ulang dari isi ajaran yang diuraikannya. Tentang istilah “Ingsun” sebagai contohnya, di bagian depan itu hanya bermakna “Aku” – namun di dalam bagian yang lainnya bermakna “Nur Ilahi” atau “Sukma Sejati”, yairu ruh yang kekal yang bersinggasana di badan ini, yang bisa juga dimaknai sebagai Cahaya Ketuhanan atau bayangan dari Yang Maha Kuasa. Pada bagian yang lainnya setelah menjelaskan tentang penyatuan yang sebenarnya, istilah “Ingsun” kemudian dimaknai “Tuhan” karena di dalam nyanyian itu terdapat kalimat, sebagai berikut :
18. Ing sarehne Manira ora gepok senggol karo karusakan, dadi isih luwih luhur tinimbang karo kang Tan Kena Ing Rusak, mula manunggal lan kitab-kitab Wedha ngarani yen Manira iku Purusa Utama. Oleh karena Ingsun tidak tersentuh kerusakan, sehinggga lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan yang tidak terkena kerusakan, sehingga yang menyatu dengan sarana Kitab-Kitab Wedha menyebut bahwa Ingsun itu Purusa Utama.
Pada bagian lain, bisa ditemukan kalimat tentang ibdah,s ebagai berikut :
65. Kanthi pangritanira tansah tumanem ing Manira, asunga bekti marang Manira, kurbana marang Manira. Manira ora bakal mblenjani janji Maniraiki, heh mitra Manira. Dengan jalan pemehamanmu yang selalu mengingat Ingsun, dan memberikan darma bakti kepada Ingsun, berkurbanlah kepada Ingsun. Ingsunn tidak akan mengingakari janji Ingsun sendiri, Wahai kekasih Ingsun!!
Jelaslah  bahwa dalam kalimat ini, Ingsun itu tidak bermakna sebagai Pribadi dari Sri Kresna dan juga bukan bermakna Ruh atau Jiwa yang bersinggasana di dalam raga. Akan tetapi bermakna Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu Allah, Tuhan yang wajib disembah  dan Yang Maha Esa.
Di dalam bab yang menguarikan cara beribadah, sudah diuraikan dengan jelas bahwa penyatuan itu, akan bsia dicapai dengan cara mengheningkan ciptanya dan memusatkan ciptanya, yaitu dengan cara melakukan Sangkya Yoga. Akan tetapi bagi yang sudah memeluk Agama yang lain, apakah haruss meninggalkan cara ibadahnya sesuai syariat agamanya sendii-sendiri, kemudian melakukan Sangkya Yoga, yang dalam bahasa sehari-harinya disebut melakukan meditasi atau konsentrasi?
Jika dinalar, jika hanya merobah caranya saja, belum tentu bisa berhsil. Karena tidak semua orang yang melakukan Sangkya Yoga bisa sampai kepada tingkat samadi yang sebenar-benarnya, tergantung dari kekuatan niat dan ketahanan tekad yang menjalankannya. Sesungguhnya yang terpenting itu, bukan caranya, namun tekad, Iman, kemanapan hati dan sucinya niat.
Walau pun seseorang yang menjalankan perintah Agama dengan menjalankan sembahyang, menguti aturan syariat Agamanya sendiri-sendiri, jika itu dijalankan dengan cara sepi dari pengharapan, khusus hanya karena Allah, hanya berlindung kepada Tuhan, dan dalam konsentrasinya  dalam cinptanya benar-benar hanya murni kepada Tuhan, dan sedikit saja tidak menduakan niat, yang sudah hilang keinginan diri atas sesuatu yang serba tidak kekal, sudah Zuhud  - paling tidak pada akhirnya juga akan sampai kepada tujuannya dengan menjalankan sembahyang.
Hal demikian itu, bukan berarti sebuah larangan atas orang yang sudah menjalankan syariat Agamanya sendiri-sendiri, jika diwaktu senggang atau waktu yang ditentukan juga manjalankan meditasi atau konsentrasi yang menuju kepada tujuan yang luhur.
Contoh bahwa semua ajaran yang indah yang ada di “Bhagavad Gita” itu tidak mesti cocok dengan keadaan jaman sekarang, terlebih lagi bagi negara dan bangsa ini, masih ada ajaran yang membeda-bedakan kasta : Brahma, Satria, Waisya dan Sudra – yang atas perkembangan jaman kemajuan, kasta-kasta tersebut semakin lama semakin tipis, sedangkan di negara ini sudah banyak yang hilang kecuali, yang masih menjalankan Agama Hindu. Dengan dengana danya ibarat tentang kurban, di dalam “Nyanyai Sukma” bagika III, bait ke 14, sebagai berikut :
14. Kang nguripi wadhag kita iki pangan, kang paring pangan iku Hyang Indra, dewaning udan. Hyang Indra jumenenge marga saka anane sesaji. Tanpa tumandang ora ana sesaji pangurbanan. ARTINYA : Yang menghidupi raga ini makanan, makanan itu berasal dari hujan (Hyang Indra), Hujan (Indra) itu ada karena adanya kurban, Jika tidak ada yang melakukan kerja maka tidak ada kurban (Kurban itu penyebab kerja).
Jika kaita tidak mempunyai wawasan luas untuk mengambil isi dari ajaran yang luhur dengan seutuhnya – maka lebih mudah untuk memahami bahwa hujan itu terjadi karedisebabkan oleh kurban. Meskipun demikian, apakah benar bahwa di negara Mesir yang jarang ada hujan itu berarti bahwa orang-orang di sana jarang gberkurban, menurut agamanya?
Hal yang demikian, jika kita ingin mengambil hikmahnya dari isi ajaran dari kitab-kitab lama yang sudah berumur ribuan tahun – harus bisa menelaah, harus bisa memilah-milah dan menganalisa disesuaikan dengan jaman ketika kita hidup ini, karena jaman itu seperti sifat alam, tidak statis, akan tetap selalu bergarak dan berubah, menuju kepada kemajuan.
Menelaah isi dari “Bhagavad Gita” seharusnya tidak bisa dipisah dengan pribadi dari Sri Kresna dan Pandhawa, yang dalam cerita munculnya ajaran ini di Tegal Kurusetra itu, Pandhawa diwakili oleh Harjuna – akan tetapi yang sebenarnya itu, bahwa sifat Pandhawa sebenarnya adalah berada pada Yudhistira, yaitu yang sulung di anatar pandhawa lima.
Sehingga ada baiknya jika kita uraikan sedikit tentang cerita yang berhubungan dengan yaitu antara pribadinya Sri Kresna dan Yudhistira.
Dikisahkan, Dari kepatuhan dan kejujuran piikiran Yudhistira, namun demikian bisa kena tipu oleh Kurawa, hingga Pandhawa menjalani hukuman yang berupa : Harus meninggalkan kerajaan, dan bertempat tinggal di hutan selama 12 tahun, dan hingga tahun terakhir ketika ada di hutan tidak boleh ketahuan tempatnya oleh para Kurawa. Singkat cerita, para Pandhawa hidup dalam kesengsaraan dan penuh derita, penuh kesulitan, jauh dari keramaian, jauh dari kesenangan, jauh dari kewibawaan. Pertemuan antara Pandhawa dan Sri Kresna itu juga ketika Pandhawa sedang dalam penderitaan, yang akhirnya mereka menjadid sahabat yang sangat karibnya. Bahkan Sri Kresna dianggap sebagai pelepas dan tempat penghapus segala kesulitan dan keruwetan hidup.
Cerita ini sebenarnya mengandung maksud, mengandung ibarat, bahwa seseorang baru bisa bertemu dengan Sri Kresna itu, harus melewati kesusahan dan penderitaan serta harus mengalami kejadian-kejadian yang beraneka rupa terlebih dahulu. Maksudnya adalah, Siapa saja yang ingin mencari guru seperti Sri Kresna, terlebih dahulu harus melewati pedih perih, harus terpencil jauh dari kerameian dan kesenangan, harus penuh permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar bisa terlepas dari segala coba dan derita.
Tanda berhasilnya adalah, setelah bertemu sahabat dan guru Sejati, yang diwakili oleh pribadi Sri Kresna, yang akhirnya perjuangan Pandhawa bisa berhasil selamat, bisa menggapai cita-citanya, dan ketika berperang melawan Kurawa di dalam Perang Bharata Yudha, itu juga masih mendapatkan tuntunan dan arahan Sri Kresna – hingga bisa menang dalam perangnya.
Cerita lainnya lagi yang menggambarkan sifat dari para Pandhawa, yaitu ketika lima bersaudara sedang menderita di tengah hutan belantara, jauh dari tempat yang ada buah-buahannya untuk bisa dimakan, dan jauh dari sumber air yang airnya bisa untuk diminum, ke lima bersaudara beserta ibundanya “ Dhewi Kunthi, semuanya kelaparan dan kehausan.
Nakula, saudara termuda, diberi tugas mencari air, yang kemudian berangkat menembus hutan tebal, yang akhirnya bisa menemukan telaga yang airnya jernih bersinar bagaikan pantulan kaca. Karena sudah sangat kehausan, kemudian Nakula mereebahkan diri di pinggir telaga ingin meminum airnya. Namun sebelum terlaksana, Nakula mendengar suara yang melarangnya : “Jangalah tergesa-gesa wahai putraku, jawablah terlebih dahulu pertanyaanku. Jika kamu bisa menjawab pertanyaanku, barulah kamu boleh meminumnya dan boleh mengambil air telaga ini.
Nakula, tidak memperdulikan suara itu. Dia terus saja meminum air telaga, dan setelah berhasil, kemudian Nakula tersungkur dan seketika itu meninggal dunia.
Oleh karena di tunggu lama, nakula tidak kemebali, maka yang mendapat tugas mencari aiar adalah Sadhewa. Kemudian Sdhewa berangkat menyusul Nakula, yang kemudian bisa bertemu dengan dengan telaga dengan air yang sangat jernih. Belum punya keinginan untuk meminumnya, Sadhewa juga mendengar suara yang melarangnya seperti yang didengar oleh Nakula, dan Sadhewa juga tidak menghiraukannya atas larangan dari suara tersebut, terus saja meminum airnya, dan juga menemui kematian seperti adiknya.
Demikian selanjutnya, berganti dengan Harjuna dan Bratasena, yang juga mengalami kejadian seperti Nakula dan Sadhewa.
Yudhistira kemudian menysulnya, dan ketika melihat ke empat adiknya tewas, maka sangatlah sedih hatinya, yang tidak lama kemudidan mendengar suara bagaikan terngiang di telinga : “Anakku!! Terlebih dahulu, jawablah pertanyaanku, jika kamu bisa menjawabnya dengan tepat, maka bisa mendapatkan air dan akan hilang semua penderitaanmu”. Yudhistira menoleh, dan terlihatlah burung bangau di dekatnya.
“Apakah sebabnya atau jalan manakah yang menuju surga?” Pertanyaan dari burung bangau.
“Kepercayaan”, jawab Ydhistira.
“Bagaimanakah caranaya agar manusia mendapatkan kebruntungan?
“Dengan tuntunan yang benar”.
“Siapakah yang bertindak, jika bertemu dengan keadaan agar bisa terlepas dari kesengsaraan?”
“Pkirannya”
“kapankah seseorang dicintai?”
“Jika hampa dari hasrat dan keinginan diri, maka akan dipuji dan disanjung.”
“Di dalam semua keanehan di dunia ini, apakah yang paling aneh?
“Jika tidak ada manusia – Walau pun dia sudah pernah mengetahui yang lain-lainnya meati semua – namun dia itu tidak mau mempercayai jika dirinya sendiri itu juga akan mati.”
 “ Bagaimana agar manusia itu bisa menjalankan Agamanya denan benar?”
“Bukan dengan nyanyian, bukan karena Kitab-kitab yang tersusun dari tulisan, atau bukan dari ajaran-ajarannya, itu semua tidak akan bisa membantunya. Jalan untuk menjalankan Agama yang benar itu, hanya dengan cara kesucian hati.”
Setelah mendengar jawa dari Yudhidtira yang demikian itu, Dewa Dharma merasa puas, kemudian memperlihatkan dirinya, yang kemudian menghidupkan  ke empat saudara Yudhistira, serta juga memeberikan air yang jernih.
Aa satu cerita lagi yang menggambarkan kesucian hati Pandhawa. Diceritakan setelah perang Bharata Yudha sudah terlewat,  ketika lima saudara akan meninggalkan urusan keduniaan, kemudian berangkat meninggalkan kerajaanya menuju Gunung Himalaya, kahyangan para Dewa.
Kempat saudara Yudhistira, Nakuka, Sadhewa, Harjunadan Bratasena, satu demi satu meninggal dunia, karena dianggap tidak cukup suci untuk memasuki surga beserta raganya. Hanya Yudhistira yang ketika berjalan sambil menuntun anjingnya yang sangat disayanginya, dianggap cukup kesuciannyahingga bisa menghadap di hadapan Dewa Indra.
“Namun dirimu jangan kecewa, karena anjingmu tidak bisa dibawa masuk ke dalam kerajaan Surga”, Kata Dewa Indra.
“hamba tidak bisa terpisah dengan yang selalu setia dan menyayangi hamba” Jawab yudhistira.
“Akan tetapi anjingmu itu tidak cukup kesuciannya untuk bisa masuk ke dalam Surga.”
“Jika demikian, saya bersedia berada di luar pintu surga jika harus berpisah dengan saya anggap setia serta kesucian hatinya melebihi hati hamba.”
“Walau pun demikian, akan tetapi Ulun terpaksa tidak mengijinkan jika anjingmu ikut masuk ke dalam Surga.”
“Hamba lebih baik tetap berkumpul di luar Surga dengan anjing hamba, karena hamba telah bersumpah untuk melindunginya.”
Setelah agak lama saling berbantahan, pada akhirnya Yudhistira diperkenankan masuk ke dalam surga sambil menuntun anjingnya, dan ketika itu langsung berubah ujud menjadi Dewa Dharma, karena sebenarnya Yudhistira sedang diuji tentang kesungguhannya kepada sifat setia.
Setelah berada di dalam Surga, Kemudian Yudhistira mencari saudara-saudaranya yang telah berjalan terlebih dahulu, namun satu pun tidak diketemukannya, yang ada justru : Semua musuhnya, yaitu para Kurawa, yang telah meninggal dunia ketika perang Bharata Yudha.
“Dimanakah tempatnya saudara-saudara hamba?” Tanya Yudhistira kepada Dewa Indra.
“Berada di tempat lain. Silahkan jika dirimu ingin melihatnya, akan saya tunjukan.” Jawab Desa Indra, yang kemudian pergi ke tempat tempat yang gelap dan seram. Di tempat itulah Yudhistira melihat nasib dari ke empat saudaranya, yang tersangkut di dalam Neraka.
“Itulah keempat saudaramu.”
‘Jika demikian, hamba mohon untuk dikumpulkan menjadi satu tempat berkumpul dengan saudara-saudaraku.” Permohonan Yudhistira.
“Mengapa mesti begitu, seharusnya dirimu itu berada di tempat yang baik di dalam surga itu tadi.”
“Bagi hamba, di tempat ini, berkumpul dengan saudara-saudara hamba, itu bagaikan berada di surga, justru hamba akan merasa menderita jika harus berpisah dangan saudara-saudara hamba.”
Setelah mendengar jawaban yang demikian, seketika itu juga, apa yang sebelumnya terlihat gelap dan berisi kesengsaraan, kemudian berubah menjadi terang dan penuh kemuliaan – dan sebaliknya, yang sebelumnya terlihat  terang dan penuh kemuliaan, yang ditempti oleh para musuh-musuh Pandhawa – seketika itu juga berubah menjadi Neraka.
Yang demikian itu, adalah juga merupakan ujian yang harus dilewati bahwa betapa pentingnya difat Suci dan tindakan kesucian. Juga menunjukan bahwa Sifat Pandhawa  yang sudah berhasil memerangi dan bisa mengalahkan Kurwa, yang berarti juga sebguah ibarat keadaan seseorang yang sudah menyatu dengan Tuhan karena sudah benar-benar suci, karena sudah bisa mengalahkan hawa nafsunya, bisa menghilangkan kesenangan diri pada dunia, memusnahkan hasrat-hasratnya yang bermacam-macam – beralik hanya khusus berbakti dan berserah kepada Tuhan.
Di dalam ajaran yang intisarinya seperti tersebut di atas, sebagai tujuan dari Sri Kresna dalam menggelar Ilmu Luhur, yang dengan cara Harjuna yang dijadikan alat berbicara menggunakan mulutnya, sebagai tempat wadah dari Ilmu Kesempurnaan.
Sebagai penutup, Pengarang akan mengulangi Ucapan Sri Kresna bahwa bagi siapa saja yang mau menyebarkan dan menerangkan isi dari “Bhagavad Gita”, adalah sebagai berikut :
68. Sapa kang nerang-nerangake wadi Manira kang adiluhur iki marang wong-wong kang padha asung bekti marang Manira, iku mesthi ora suwe banjur manunggal karo Manira. ARTINYA : Barang sipa yang mengajarkan Rahasia Ingsun yang luhur ini kepada orang-orang yang berbakti hanya kepada Ingsun, tidak akan lama pasti akan menyatu dengan Ingsun.
Akan teapi bagi pengarang sendiri, walau pun sudah menjelaskan isi dari Buku Rahasia ini kepada para pembaca yang selalu berbakti kepada Tuhan – pengarang juga masih merasa ragu-ragu dan juga merasa masih jauh teramat jauh dengan Tuhan Yang Maha Agung. Hal demikian itu, barangkali karena kurang bisa menjelaskan maknanya dan karena kurang tepat dalam menjabarkannya.
Maka dari itu, harapan dan permohonan – semoga para pembaca mendapatkan anugerah untuk bisa memahaminya dan bisa mendekat kepada-Nya. Semoga Allah mengabulkannya.

Sepanjang – Sidoarjo, 01 Maret 2015.