Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Selasa, 01 Januari 2019

Surat-Surat Rasulullah Kepada Para Raja dan Pemimpin



SIRAH  RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : SURAT-SURAT RASULULLAH KEPADA PARA RAJA DAN PEMIMPIN
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Pada tahun ke enam Hijriah, tepatnya setelah perjanjian dengan kaum kafir Quraisy, Rasulullah mengirimkan surat-surat yang ditujukan kepada para raja dan penguasa. Beliau menyeru untuk memeluk agama Islam, agama hak yang diturunkan kepada beliau untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik yang hitam maupun putih kulitnya. Dengan agama Islam juga, akhlak dan akal mereka menjadi sempurna. Jasmani dan rohani mereka bahagia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Rasulullah pun mulai menulis suratnya untuk Raja Romawi. Beliau diberi tahu bahwa Raja Romawi itu tidak mau membaca surat yant idak dibubuhi stempel resmi. Oleh karena itu, Nabi saw membuat stempel dari perak, di atasnya terpahat tiga baris kalimat.
“Muhammad, Rasul dan Allah.
Dengan stempel itu, Nabi saw membubuhi semua suratnya yang ditujukan kepada raja-raja. Beliau mengutus bebera utusannya untuk membawa surat-surat berharga tersebut kepada Kisra (Raja Persia), Kaisar Heraklius (Raja Romawi), Raja Najasyi (Raja Habasyah), dan Muqauqis (Raja Mesir). Beliau juuga mengutus Syuja’ bin Wahab untuk membawa suratnya kepada Harits bin Abi Syamar al-Ghassani, mengutus Sulaith bin Amr al-Amiri untuk membawa suratnya kepada Haudzah bin Ali al-Hanafi, dan mengutus ‘Ala’ bin Hadrami kepada Munsdzir bin Sawa’, adik Abdul Qais.
Adapun nama-nama pembawa surat Rasulullah adalah Dahiyyah bin Khalifah al-Kalbi kepada Kaisae Romawi, Hathib bin Abi Balta’ah kepada Muwauqis, Raja Mesir,. Lalu, Abdullah bin Hadzdzafah kepada Kisra Raja Persia. Kemudian, Amr bin Umayyah ad-Dhamiri kepada Najasyi, Raja Habasyah.

CONTOH-CONTOH SURAT RASULULLAH SAW.

1.Surat Rasulullah saw kepada Najasyi, Raja Habasyah

Raja Najasyi bernama lengkap Ashhimah bin al-Abjar. Beliau mengirimnya surat melalui Amr bin Umayyah adh-Dhamiri di akhir tahun keenam Hijriah atau di bulan Muharram ketujuh Hijriah. Isi suratnya adalah :
Bismillahhirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah untuk Najasyi, Raja Besar Habasyah. Keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, Amma ba’du. Aku memuji Allah, tiada tuhan selain Dia, Raja yang Mahasuci. Sumber keselamatan, keimanan, dan Penguasa segalanya. Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam adalah Ruh Allah dan kalimat-Nya yang diberikan kepada Maryam, seorang yang taat beribadah, suci, dan terjaga. Maryam mengandung Isa dari Ruh Allah dan tiupan-Nya, sebagaimana Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. aku menyeru engkau kepada Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya agar terus taat kepada-Nya dan mengikuti serta beriman kepada wahyu yang kubawa. Aku adalah Rasulullah dan aku menyeru engkau dan bala tentaramu kepada Allah. Aku telah menyampaikan dan menasihati, terimalah nasihatku, niscaya keselamatan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk.”
(Stempel Kenabian)
Al-Waqidi dan lainnya menyebutkan bahwa ia telah masuk Islam dan bersaksi dengan syahadat kebenaran. Namun, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Ia tidak seperti yang diaktakan orang-orang. Ashhimah an-Najasyi yang dishalati jenazahnya oleh Rasulullah itu, secara gaib, bukanlah orang yang dikirim beliau surat. Orang kedua ini (Raja Najasyi) tidak diketahui keislamannya. Lain halnya dengan yang pertama, ia meninggal dalam keadaan muslim.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Qatadah, dari Anas r.a. ia berkata, “Rasulullah mengirim surat kepada Kisra, Najasyi, dan setiap raja untuk menyerunya agar masuk Islam. Najasyi yang dikirimi surat itu bukanlah Najasyi yang dishalati Rasulullah saw.
Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Raja Najasyi yang dikirimi surat Rasulullah saw melalui Amr bin Umayyah adh-Dhamiri itu tidak masuk Islam.”

2. Surat Rasulullah saw Kepada Kisra, Raja Persia.

Untuk Kisra, Raja Persia :
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasul Alalh untuk Kisra, Raja Besar Persia. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. aku bersaksi bahwa tiada tuhan, selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. aku juga bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya. aku menyeru engkau dengan seruan Allah, aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan menegakkan kalimat hak atas roang-orang kafir. Peluklah Islam, niscaya engkau akan selamat. Jika engkau menolak maka leuruh dosa orang-orang Majusi engkau yang menanggungnya.”
(Stempel Kenabian)
Rasulullah saw memilih Abdullah bin Hudzdzafah as-Sahmi untuk membawa surat tersebut. kemudian, as-Shahmi menyodorkannya kepada Gubernur Bahrain. Ketika surat itu dibacakan di hadapan Kisra, ia langsung merobeknya. Dengan sombong Kisra berseru, “Budak yang hina dari rakyatku menuliskan namanya di atas namaku.” Ketika hal itu diberitahukan kepada Rasulullah, beliau pun bersabda, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.” Benar saja, doa beliau itu dikabulkan.
Kemudian, Kisra mengirimkan surat keapda Badzan, Gubernur yagn ada di Yaman. Di dalamnya ia memerintahkan, “Kirim dua orang algojo dari tempatmu untuk menangkap orang (Muhammad) yang ada di Hijaz. Tangkap ia dan bawa menghadapku.” Maka Badzan pun mengirimkan dua orangnya untuk membawa surat kepada Rasulullah. Di dalam surat itu Badzan menyuruh Rasulullah ikut dua orang utusannya menghadap kepada Kisra. Ketika keduanya tiba di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah, salah seorang dari mereka berkata, “Syahansyah (Raja Kisra) telah menulis surat kepada Badzan, Gubernur Yaman, yang menyuruhnya agar mengutus orang untuk menemuimu. Badzan pun mengirimku untuk membawamu.” Keduanya mengucapkan kata-kata ancaman kepada beliau. Rasulullah berpesan kepada mereka agar menemuinya keesokan hari,.
Pada waktu itu telah terjadi pemberontakan besar melawan Kisra dan dalam istananya, tepatnya setelah bala tentara Kisra mengalami kekalahan telak melawan pasukan Kaisar Romawi. Di dalam istana, Syiraweih bin Kisra memberontak terhadap ayahnya. Kisra, dan ia berhasil membunuh sang ayah, ia pun berhasil merebut kerajaan. Itu terjadi pada malam Selasa tanggal 10 Jumadil Ula tahun ketujuh Hijriah. Rasulullah mengetahui berita itu melalui wahyu.
Keesokan harinya Rasulullah menyampaikan berita itu keapda dua orang utusan Badzan. Keduanya lantas berseru, “Apa kamu sadar  dengan apa yang kamu ucapkan itu? Kami telah memperlakukanmu dengan yang labih ringan, apakah kami harus menulis berita tentang sikapmu ini dan memberi tahu raja kami?” Nabi saw menjawab, “Ya, beritahu rajamu bahwa berita itu dariku dan katakan kepadanya bahwa agama dan kekuasaanku akan meraih seperti apa yang telah diraih Kisra, membentang ke seluruh pelosok negeri. Katakan juga kepadanya, jika kamu masuk Islam, akan kuberikan kekuasaan yang telah ada di tanganmu itu dan kamu akan tetap kujadikan penguasa atas rakyatmu.”
Akhirnya, keduanya pulang dan segera menemui Badzan. Mereka memberitahu Badzan tentang berita itu. Tidak begitu lama, datanglah surat berisi berita kepada Badzan bahwa Syiraweh telah membunuh bapaknya. Di dalam sura itu Syiraweh berpesan, “Tangguhkan orang yang disuruh bapakku untuk menangkap Muhammad, jangan kamu ganggu ia sampai perintahku datang lagi!”
Hal itulah yang menjadi sebab mengapa Badzan dan orang-orang Persia yagn ada di Yaman memeluk Agama Islam.

3. Surat Rasulullah kepada Kaisar Heraklius, Raja Romawi

Nabi saw mengirimkan suratanya kepada Kaisar Romawi, Heraklius. Beliau mengutus Dahiyyah al-Kalbi untuk membawa surat tersebut.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Abu Sufyan memberitahunya langsung. Abu Sufyan bertutur, “Ketika aku sedang berada di Syam, tiba-tiba datanglah surat Rasulullah saw kepada Heraklius, Raja Romawi. Surat itu dibawa oleh Dahiyyah al-Kalbi.
Abu Sufyan melanjutkan penuturannya, “Heraklius mengundangku dalam pertemuan kerajaan yang diselenggarakan di Baitul Maqdis. Surat itu lalu diserahkan keapda Raja Bushra. Lalu, Raja Bushra menyerahkannya kembali ke Kaisar Heraklius. Heraklius lalu bertanya, “Adakh di sini seseorang yang berasal dari kaum orang yang mengaku nabi ini?” Mereka menjawab, “Ya.” Aku lalu dipanggil bersama beberapa orang Quraisy. Kami pun masuk dan menemui Heraklius. Kami disuruh duduk di hadapannya. Ia bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan orang yang mengaku nabi ini?”
“Aku,” jawabku.
Ia pun segera menyuruhku duduk di hadapannya. Mereka menyuruh para sahabatku duduk di belakangku. Kemudian, Heraklius memanggil penerjemahnya. Ia berkata kepada si penerjemah. “Katakan kepada mereka, aku bertanya tentang orang yang mengaku nabi itu. Jika ia bohong, katakan bahwa ia bohong.” Aku bergumam, “Demi Allah, sekiranya bukan karena takut disebut bohong, niscaya aku akan bohong.” Heraklius berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan padanya bagaimana kedudukannya di antara kalian?” Aku menjawab, “Dia di tengah kami memiliki kedudukan tinggi.” Ia bertanya lagi, “Apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja?” Aku menajwab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah sebelum ia mengaku nabi, kalian pernah menuduhnya suka berbohong?” Aku menjawab, “Tidak pernah.” Ia bertanya lagi, “Siapa saja yang menjadi pengikutnya?” Apakah orang-orang mulia ataukah orang-orang lemah?” Aku menjawab, “Bahkan yang menjadi pengikutnya adalah orang-orang lemah.” Ia bertanya lagi, “Apakah makin berkurang atau makin bertambah?” Aku menjawab, “Makin bertambah.” Ia bertanya lagi, “Apakah ada seorang dari pengikutnya yang kembali ke agamanya semula karena membencinya?” Aku menajwab, “Tidak ada.”
“Apakah kalian memeranginya?” tanya Heraklius lagi.
Aku menjawab, “Ya.”
“Bagaimana peperangan terjadi di antara kalian dengannya?” tanya Heraklius.
Aku menjawab, “Peperangan itu terjadi sesekali. Kadang ia berhasil mengalahkan kami, kadang kami berhasil mengalahkannya.”
“Apakah ia berkhianat?” tanya Heraklius.
Aku menjawab, “Tidak, kami saat ini sedang berada dalam masa perjanjian damai dengannya. Kami tidak tahu apa yang dilakukannya selama ini.”
Abu Sufyan melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak bisa mengucapkan kecuali semua kalimat itu.”
Heraklius bertanya, “Adakah sebelumnmya seseorang yag mengucapkan hal yang sama dengannya?”
Aku menjawab, “Tidak ada.”
Heraklius kemudian berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, aku bertanya kepadamu tentang kedudukan dan nasabnya. Kamu menjawab bahwa ia memiliki kedudukan yang tinggi di tengah kalian, seperti itulah para rasul, mereka diutus dari antara orang-orang yang berkedudukan mulia di tengah kaumnya. Aku juga bertanya keapdamu, apakah di antara nenek moyangnya ada yang menjadi raja, lalu kamu jawab tidak ada. Jadi, aku aku katakan sekiranya di antara moyangnya ada yang menjadi raja, aku akan mengatakan bahwa ia hanyalah seorang yang menuntut kerajaan bapak moyangnya. Aku juga bertanya keapdamu tentang pengikutnya, apakah orang-orang lemah atau para pembesar? Kamu menjawab bahwa pengikutnya adalah orang-orang lemah. Ketahuilah mereka itulah pengikut para nabi. Aku juga bertanya kepadamu tentang  apakah kalian telah menuduhnya pendusta sebelum ia mengaku sebagai nabi? Kamu menjawab tidak; aku tahu bahwa ia tidak akan jujur terhadap manusia, tetapi berdusta atas nama Allah. Aku juga bertanya kepadamu tentang adakah orang yang keluar dari agamanya dan kembali ke agamanya semula karena benci kepadanya? Kamu menjawab tidak, begitulah keimanan jika disertai dengan kerelaan hati. Aku juga bertanya kepadamu apakah pengikutnya bertampau atau berkurang? Kamu menjawab bahwa mereka makin bertambah; seperti itulah keimanan sampai semuanya sempurna. Aku juga bertanya keapdamu, apakah kalian memeranginya? Kamu menjawab bahwa kalian telah memeranginya dan peperangan yang terjadi di antara kalian itu sesekali, kadang ia mengalahkan kalian dan terkadang kalian mengalahkannya; seperti itulah para rasul, mereka terus diuji. Akhir yang baik akan berpihak kepada mereka. Aku juga bertanya kepadamu, apakah ia berkhianat? Kamu menjawab tidak; demikianlah para rasul. Mereka tidak pernah berkhianat. Aku juga bertanya apakah ada seseorang yang mengucapkan hal yang sama sebelumnya? Kamu menjawab tidak; kukatakan sekiranya ada seseorang yang mengucapkan hal itu sebelumnya berarti orang itu hanya meniru-niru ucapan yang pernah ada sebelumnya.”
Kemudian, Heraklius bertanya lagi keapdaku, “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?”
Aku menjawab, “Ia menyuruh kami untuk shalat, zakat, bersilaturahmi, dan menjaga kesucian.”
Ia berkata, “Jika yang diucapkannya itu benar, tidak salah lagi, ia adalah seorang nabi. Aku sudah tahu bahwa ia akan muncul. Namun, aku tidak menyangkanya berasal dari kalian. Sekiranya aku bertemu dengannya, niscaya aku akan suka bertemu dengannya. Jika aku berada di tempatnya maka akan kucuci kedua kakinya. Kerajaannya itu kelak akan sampai ke wilayah yang kupijak ini.”
Kemudian, Heraklius meminta dibawakan surat Rasulullah itu. Ia pun membacanya. Di dalamnya tertulis sebagai berikut :
Bismillahirrahmanirrahim,
Dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Kaisar Heraklius, Penguasa Besar Romawi. Semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islam-lah, niscaya engkau akan selamat, masuk Islam-lah, Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Jika engkau berpaling maka engkau akan menanggung dosa-dosa orang Arsiyyin.
“Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 64).
(Stempel Kenabian)
Setelah Heraklius selesai membaca surat tersebut, orang-orang bersuara gemuruh. Kemudian, kami dipersilahkan untuk keluar. Saat kami keluar, aku berkata kepada teman-temanku, “Sungguh, telah menjadi masalah besar urusan anak Abu Kabsyah (Muhammad) itu sehingga raja bangsa kulit kuning itu pun takut kepadanya.”
Abu Sufyan berkata, “Sejak itu, aku terus yakin bahwa Rasulullah saw kelak akan muncul dan mendapat kemenangan sampai kemudian Allah memasukkanku ke dalam Islam.”

4. Surat Rasulullah saw. Kepada Muqauqis, Raja Mesir dan Alexandria

“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya untuk Muqauqis, Raja Qibthi (koptik). Semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, aku menyeru engkau dengan serua Islam, Peluklah Agama Islam, niscaya engkau akan selamat. Peluklah Islam maka Allah akan memberimu dua kali lipat pahala. Jika engkau berpaling, engkau akan menanggung dosa seluruh orang Qibthi.
Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 64).
(Stempel Kenabian)
Nabi saw memilih Hathib bin Abi Balta’ah untuk membawa surat itu. Ketika Hathib menumui Muqauqis, Hathib berkata kepadanya, “Dahulu sebelum engkau, ada orang yang mengaku-aku bahwa ia adalah Tuhan yang Mahatinggi maka Allah pun mengganjarnya dengan ganjaran dunia dan akhirat. Allah pun telah membalasnya. Ambillah pelajaran dari orang sebelumu itu, orang itu tidak akan mengambil pelajaran darimu.”
Muqauqis berkata, “Kami sudah memiliki agama. Kami tidak akan meninggalkannya, kecuali ada yang lebih baik dari agama kami.”
Hathib berkata, “Kami mengajakmu untuk memeluk agama Islam. Allah akan mencukupkanmu dengan agama itu. Nabi ini menyeru seluruh manusia. Ia menghadapi tekanan terberat dari orang-orang Quraisy, dimusuhi oleh orang-orang yahudi, dan yang lebih dekat kepadanya adalah orang-orang Nasrani. Sumpah, berita Musa tentang kedatangan isa itu seperti berita Isa tentang kedatangan Muhammad. Seruan kami kepadamu agar membaca Al-Qur’an itu sama dengan seruanmu sebagai ahli Taurat agar memabca Injil. Setiap nabi yang bertemu satu kaum maka kaum itu adalah umatnya. Oleh karena itu, mereka harus menaatinya. Engkau adalah orang yang sempat mendengar berita tentang nabi tersebut. kami tidak melarangmu untuk memeluk agama al-Masih, tetapi kami menyuruhmu untuk memeluk agama Islam ini.”
Muqauqis berkata, “Aku telah memperhatikan perkara nabi ini. Kulihat ia tidak menyuruh kepada sesuatu yang bisa ditinggalkan dan tidak melarang sesuatu yagn disukai. Aku juga tidak mendapatinya sebagai seorang penyihir yangs esat, tidak pula dukun yang bohong. Kudapati ia memiliki tanda-tanda kenabian, akan kupertimbangkan.”
Muqauqis kemudian menyimpan surat Rasulullah saw di dalam peti dari gading. Lalu ia menutupnya rapat-rapat dan menyerahkannya ke budak perempuannya. Kemudian, ia memanggil seorang penulis berbahasa Arab. Ia meminta penulis itu menulis surat kepada Rasulullah sebagai berikut :
Bismillahirrahmanirrahim.
Kepada Muhammad bin Abdullah, dari Raja Besar Bangsa Qibthi. Muqauqis. Semoga keselamatan atas kamu. Amma ba’du.
Aku sudah membaca suratmu. Aku telah memahami isinya dan memahami seruanmu. Aku juga sudah tahu bahwa masih ada seorang lagi nabi yang akan muncul. Aku kira akan muncul di daerah Syam. Aku juga telah memuliakan utusanmu. Bersamany aku kirim dua orang budak perempuan untukmu. Kedua budak perempuan itu memiliki kedudukan tinggi di kalangan orang-orang Qibthi, juga kukirim pakaian dan seekor bagal untuk kaukendarai. Semoga keselamatan untukmu.”
Muqauqis tidak menambahkan apa-apa dalam surat itu dan tidak menyatakan keislamannya. Kedua budak perempuan itu sendiri adalah Mariah dan Serin, sedangkan bagalnya bernama Daldul, masih sempat hidup hingga masa Mu’awiyah. Nabi saw lalu menjadikan Mariah sebagai selir beliau. Maria-lah yang kemudian melahirkan Ibrahim untuk Nabi saw. Adapun Serin, beliau serahkan kepada Hassan bin Tsabit al-Anshari.

5. Surat Rasulullah kepada Harits ag-Ghassani, Penguasa Syam.

“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah untuk Harits bin Abi Syamar. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk, beriman keapdanya, dan memmercayainya. Aku menyeru engkau untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan begitu kekuasaanmu akan tetap menjadi milikmu.”
(Stempel Kenabian)
Untuk membawa suratnya itu, Rasulullah saw telah memilih Syuja’ bin Wahab dari Bani Asad bin Khuzaimah. Ketika surat itu sampai ke tangannya, Harits berkata, “Siapa yang berani merampas kerajaanku dariku? Aku akan menyongsongnya.” Harits tidak mau memeluk agama Islam.

6. Surat Rasulullah kepada Haudzah, Penguasa Yamamah

“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah untuk Haudzah bin Ali. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk. Ketahuilah bahwa agamaku akan muncul hingga ke seluruh pelosok negeri. Berislamlah, niscaya engkau akan selamat dan aku akan memberikan apa yang ada di bawah tanganmu.”
(Stempel Kenabian)
Untuk membawa suratnya itu, Rasulullah saw memilih Sulaith bin Amr al-Amiri. Ketika menemui Haudzah, Sulaith disambut dengan hangat. Ia pun membacakan surat  Rasulullah kepada Haudzah. Setelah itu, Haudzah menulis surat balasannya kepada Rasulullah. Di dalamnya ia menulis, “Sungguh baik apa yang engkau serukan itu. Orang-orang Arab menyegani kedudukanku. Beri aku sedikit kekuasaan, niscaya aku akan mengikutimu.” Kemudian Haudzah memberikan hadiah dan pakaian dari kain Hajar kepada Sulaith. Semua hadiah itu dibawa Sulaith kepada Nabi saw. Kemudian, Nabi saw membaca surat balasan haudzah, tetapi beliau tidak menanggapi syarat yang ditetapkan haudzah.
Ketika Nabi saw dalam perjalanan pulang dari Fathu Makkah, Jibril datang kepada beliau memberitahukan bahwa Haudzah sudah wafat. Setelah itu Rasulullah saw bersabda, “Kelak dari Yamamah akan muncul seorang pendusta yang mengaku sebagai nabi, ia akan dibunuh sepeninggalku.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang akan membunuhnya kelak?” Beliau menjawab, “Kamu dan sahabt-sahabatmu.” Prediksi Rasulullah itu benar-benar terjadi.

7. Surat Rasulullah kepada Mundzir bin Sawi, Gubernur Bharain

Rasulullah saw menulis surat kepada Mundzir bin Sawi untuk mengajaknya memeluk Islam. Beliau mengutus al-“Ula bin al-Hadhrami untuk membawa surat itu. Mundzir pun menulis surat balasannya kepada Rasulullah, isinya :
Amma ba;du. Wahai Rasulullah, aku sudah membaca suratmu untuk penduduk Bahrain. Di antara mereka ada yang menyukai Islam dan masuk ke dalamnya. Ada pula yang tidak menyukainya. Di negeriku ini ada orang-orang Majusi dan Yahudi. Mohon berikan saranmu untukku tentang hal ini.
Kemudian, Rasulullah menulis surat lagi untuknya, isinya :
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah untuk Mundzir bin Sawi. Semoga keselamatan tercurah untukmu, akuj memuji Allah yang tiada tuhan selain-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Amma ba’du.
Aku mengingatkanmu akan Allah. Orang yang memberi nasihat sama saja dengan menasihati dirinya, siapa yang menaati para utusanku dan mengikuti perintahnya, ia berarti menaatiku. Siapa yang yang menyampaikan nasihat mereka, berati ia juga menyampaikan nasihatku. Para utusanku telah memujimu dengan kebaikan, aku telah membantumu mengurus kaummu, biarkanlah kaum muslimin selama mereka tetap dala agamanya, aku pun telah memaafkan orang-orang yang berdosa, terimalah mereka. Engkau layak untuk menjadi pemimpin, kami pun tidak akan menyingkirkanmu. Barang siapa yang beragama Yahudi atau Majusi ia harus membayar upeti.”
(Stempel Kenabian)


8. Surat Rasulullah kepada Raja Oman

“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad bin Abdullah untuk Ja’far dan Abbad bin Jalandi. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, aku menyeru kalian untuk memeluk agama Islam. Masuklah Islam, niscaya kalian akan selamat. Aku adalah rasul Allah untuk seluruh manusia, untuk memberi peringatan kepada oarng yang hidup dan menegakkan perkataan yang hak kepada orang-orang kafir. Jika kalian menyatakan keislaman kalian, aku tetap mengangkat kalian sebagai pemimpin. Jika kalian menolak mengakui Islam maka kekuasaan kalian akan binasa, satu pasukan akan memasuki halaman kalian. Kenabianku akan lebih unggul dari kekuasaan kalian.”
(Stempel Kenabian)
Nabi saw memilik Amr bin ‘Ash untuk membawa surat itu. Amr menuturkan, “Aku pun berangkat menuju Oman. Ketika sampai di sana akau segera menemui Abbad al-Jalandi. Ternyata ia adalah seorang yang penyabar dan berakhlak baik. Kukatakan kepadanya bahwa aku adalah utusan Rasulullah kepadamu dan kepada saudaramu. Ia lalu berkata, “Kakakku lebih tua dan lebih berkuasa di sini. Aku akan membawamu kepadanya agar ia membaca suratmu itu.” Kemudian ia bertanya kepadaku, “Memangnya apa yang kamu serukan?” Aku menjawab, “Aku menyeru agar kamu menyembah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, meninggalkan sesembahan selain-Nya dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Ia lalu berkata, “Wahai Amr, kamu adalah putra pembesar kaummu, apa yang dilakukan bapakmu maka ia adalah teladan bagi kami?” Aku menjawab, “Ia sudah meninggal dan tidak sempat beriman kepada Muhammad, aku sebenarnya ingin ia masuk Islam dan membenarkan Muhammad. Awalnya aku juga sama dengannya sampai akhirnya Allah memberiku petunjuk Islam.”
Ia lalu bertanya, “Sejak kapan kamu mengikuti Muhammad?”
Aku menjawab, “Belum lama.”
Ia bertanya lagi, “Di mana kamu masuk Islam?”
Aku menjawab, “Di tempat Najasyi.”
Aku pun memberitahunya bahwa Raja Najasyi telah masuk Islam. Ia lalu bertanya, “Lantas apa yang dilakukan kaumnya terahdap kerajaannya?”
Aku menjawab, “Mereka tetap mengakuinya dan malah mereka mengikutinya.”
Ia lalu bertanya, “Apakah para uskup dan pendeta juga mengikutinya?”
Aku menjawab, “Ya.”
Ia lalu berkata, “Perhatikan apa yang kamu ucapkan itu, wahai Amr. Ia termasuk sifat yang lebih  buruk dari sekedar dusta.”
Aku lalu menjawab, “Aku tidak berbihing, agama kami mengharamkannya.”
Kemudian, ia berkata, “Aku tidak melihat Heraklius mengetahui keislaman Najasyi.”
Aku aktakan, “Ya.”
Ia bertanya, “Dengan apa kamu tahu hal itu?”
Aku menjawab, “Dahulu Najasyi sering membayar upeti kepada Heraklius. Namun, ketika ia masuk Islam dan memmercayai Muhammad, ia berkata, “Tidak, demi Allah, sekiranya mereka memintaku satu dirham pun, niscaya tidak akan aku berikan.”
Ucapannya itu terdengar Heraklius. Kemudian, adik Heraklius berseru kepada kakaknya, “Apakah kamu akan membiarkan budakmu enggan membayar upeti kepadamu dan memeluk agama baru selain agamamu?”
Heraklius menjawab, :Seseorang yang menginginkan sebuah agama dan ia telah memilihnya untuk dirinya sendiri, apa yang harus kulakukan terhadapnya?” Demi Allah, sekiranya bukan karena kerajaanku, niscaya aku akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya.”
Abbad lalu berkata kepadaku, “Beritahukan kepadaku apa yang diperintahkan dan dilarang nabi itu?”
Aku lalu menjawab, “Ia memerintahkan untuk taat kepada Allah dan melarang mendurhakai-Nya. ia juga memerintahkan untuk beruat kebajikan, bersilaturahmi, melarang zalim dan permusuhan, juga melarang zina, khamar, menyenbah bebatuan, berhala, dan salib.”
Ia lalu berkomentar, “Sungguh baik apa yang diserukannya itu. Sekiranya kakakku mengikutinya, niscaya aku pun akan ikut dan beriman kepada Muhammad. Namun, kakakku lebih mempertahankan kerajannya dan tidak mau menjadi pengekor.”
Aku lalu menjawab, “Sekiranya kakakmu masuk Islam, niscaya Rasulullah akan tetap menjadikannya raja dan penguasa atas kaumnya. Ia tetap akan mengambil sedekah daro orang kayanya dan menyalurkannya ke orang miskinnya.”
Abbad lalu berkata, “Sungguh ini adalah akhlak yang baik. Apa gerangan sedekah itu?”
Aku lalu memberitahunya apa yang telah diwajibkan Rasulullah dalam sedekah, yaitu berupa harta-harta yang wajib dikeluarkan sedekahnya sampai ke binatang unta.”
Ia lalu berkata, “Apakah sedekah itu diambil pula dari ternak kita yang biasa memakan pepohonan dan meminum air yang tersedia?”
Aku menjawab, “Ya.”
Ia lalu berkata, “Demi Allah, kupikir kaumku dengan jauhnya rumah mereka dan banyaknya jumlah mereka, tidak akan menaati ini.”
Aku lalu tinggal di tempatnya beberapa hari. Kemudian, ia menyampaikan semua berita tentang kami kepada kakaknya. Suatu hari kakanya memanggilku. Aku pun segera menemuinya. Para pembantunya memegang tanganku.
Ia lalu berseru. “Lepaskan ia!” Alu lalu dilepaskannya. Aku pun segera mendekat untuk duduk. Namun, mereka meralarangku duduk. Aku lalu memandang kepadanya.
Ia lantas bertanya kepadaku, “Katakan, apa keperluanmu!” Aku menyerahkan surat yang tersetenmpel itu kepadanya. Ia lalu membuka tutupnya dan membacanya sampai akhir. Kemudian, ia menyerahkannya kepada adiknya. Sang adik pun membacanya sampai akhir. Kulihat adiknya lebih bersikap lunak.
Ia lalu berkata, “Beritahukan kepadaku, apa yang dilakukan kaum Quraisy?”
Aku lalu menajwab, “Mereka mengikutinya, baik karena mereka menginginkan agama ini maupun memang karena terpaksa dengan pedang.”
Ia lalu bertanya, “Siapa saja yang mengikutinya?”
Aku menajwab, “Orang-orang yang menghendaki Islam dan memilihnya melebihi yang lain. Mereka mengenalnya dengan akal disertai petunjuk dari Allah SWT. Mereka sadar bahwa dahulu mereka berada dalam kesesatan. Aku tidak tahu adakah selain dirimu di kawasan ini yang belum Islam? Jika engkau tidak masuk Islam hari ini dan tidak mengikutinya maka pasukan berkduanya akan menginjak-injakmu dan menghancurkan lahan hijaumu. Oleh karena itu, masuk Islam-lah, niscaya engkau akan selamat. Ia akan tetap mengangkatmu sebagai pemuka kaummu. Kuda dan pasukan tidak akan menyerangmu.”
Ia lalu berkata, “Tinggalkan aku hari ini, datanglah esok hari kepadaku.”
Aku lalu kembali menemui adiknya. Ia berkata kepadaku, “Wahai Amr, aku benar-benar berharap ia masuk Islam jika tidak mempertahankan kerajaannya.” Keesokan harinya aku mendatanginya lagi. Ia menolak mengizinkanku. Aku lalu mendatangi adiknya lagi. Aku memberitahukannya bahwa aku belum bisa bertemu dengan kakaknya. Ia lalu mengantarkanku ke hadapan kakaknya.
Sang kakak berkata, “Aku memikirkan seruan yang kamu sampaikan kepadaku itu. Ternyata kudapati bahwa aku adalah orang Arab yang paling leemah jika kubiarkan seseoarng menguasai semua kekuasaanku, padahal pasukannya belum sampai di sini. Jika pasukannya sampai di sini, berarti aku akan mebuat peperangan yang tidak sama dengan peperangan yang biasa kami temui.”
Aku lalu berkata, “Aku akan pulang esok hari.” Ketika ia yakin bahwa aku akan pulang, ia segera bertatap muka berdua dengan adiknya.
Ia lalu berkata, “Kami ini bukanlah orang yang setiap dikirim utusan akan menyambutnya dengan hangat.” Keesokan harinya, aku dikirimu sirat yang isinya ia menjawab seruan Islam. Akhirnya, ia dan adiknya masuk Islam. Keduanya memercayai Nabi saw dan memperkenankan aku menarik sedekah darinya. Nabi saw pun tetap menjadikan keduanya penguasa di daerahnya. Keduanya menjadi penolongku dalam menghukum orang-orang yang menentangku.

Perang Dzu Qarad atau Perang al-Ghabah

Ini adalah perang pertama setelah Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perang ini kaum kafir menyerang tempat digembalakannya unta-unta perah Rasulullah.

Waktu  Perang

Ibnu Qayyim berkata, “Peperangan ini terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Para ahli sejarah dan sirah mengira bahwa perang ini terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyah. Bukti yang menguatkan kebenaran pendapat kami adalah riwayat Imam Ahmad dan Hasan bin Sufyan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Hisyam bin al-Qasim, dari Ikrimah bin Ahmmar, dari Iyyas bin Salamah,d ari bapaknya, ia berkata, “Akud atang ke Madinah pada masa Perjanjian Hudaibiyah bersama Rasulullah. Aku berangkat bersama Rabah degan kuda milik Thalhah yang diikatkan dengan unta. Ketika sampai di Ghalas, Abdurrahman bin Uyainah menyerang unta-unta Rasulullah. Ia lalu membunuh penggembalanya.” Kemudian, Salamah memaparkan kisahnya yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahih-nya.
Imam Bukhari menyatakan bahwa perang ini terjadi tiga malam sebelum Perang Khaibar, tepatnya  setelah Perjanjian Hudaibiyah. Ia benar-benar memastikan pendapatnya itu. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Fath, Baihaqi dalam al-Dala’il, dan Ibnu Qayyim dalam Zal al-Ma’ad.

Perisitiwa Perang

Kisah tentang peristiwa perang ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara singkat. Muslim juga meriwayatkannya bersamaan dengan kisah Baiat Salamah di Hudaibiyah dan peristiwa Perang Khaibar. Adapun kisahnya secara ringkas adalah sebagai berikut.
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’, melalui jalur Yazid bin Abi Ubaid, ia bertutur, “Aku mendengar Salamah bin al-Akwa’ bertutur/ Aku keluar sebelum shalat Shubuh. Ketika itu, unta-unta perah Rasulullah saw sedang digembalakan did aerah Dzu Qarad.
Tiba-tiba datanglah budak milik Abdurrahman bin Auf seraya berseru, “Unta-unta Rasulullah telah dicuri.”
Aku lalu bertanya, “Siapa yang mencurinya.”
Ia menajwab, “Orang-orang Ghathafan.”: Aki pun berteriak tiga kali untuk memberi peringatan. Aku berteriak kencang agar seluruh penduduk Madinah mendengarnya. Aku segera bangkit dan mengejar mereka sampai berhasil menyusul mereka di Dzu Qarad. Saat itu mereka sedang memberi minum unta-untanya. Aku terus memanahi mereka seraya bersenandung.
Aku adalah putra al-Akwa’
Hari ini adalah hari kebinasaan para penyusup terlaknat.
Mereka panik. Aku berhasil menyelamatka unta-unta Rasulullah. Aku juga berhasil merampas 30 helai burdah mereka. Kemudian, Nabi saw dan orang-orang datang.
Aku lalu berkata, “Wahai Nai Allah, aku sudah mencegah mereka meminum air ini. Mereka sekarang sedang kehausan, kejar mereka segera.”
Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, tindakanmu bagus, wahai Ibnu al-Akwa’.” Setelah itu kami kembali pulang ke Madinah. Rasulullah memboncengku di atas untanya sampai tiba di Madinah.
Adapun riwayat yang panjang tentang kisah ini adalah diriwayatkan dari Iyyas bin Salamah, dari bapaknya, tentang Kisah Hudaibiyah. Perang Dzu Qarad, dan Perang Khaibar. Di sini kami cukupkan dengan permbaahsan hadits tentang Dzu Qarad.
Salamah bertutur, “Kami pulang kembali ke Madinah. Kami singgah di sebuah bukit antara Madinah dan Lihyan. Rasulullah saw lantas memohon ampunan untuk orang yang berhasil menaiki bukit tersebut di malam itu. Malam itu aku berhsil menaiki bukit tersebut sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian, kami pun pulang ke Madinah. Setelah itu, Rasulullah mengirimkan unta tunggangannya bersama Rrabah, budak beliau,d an aku bersamanya. Aku keluar bersamanya dengan kuda milik Thalhah yang kuikatkan dengan unta itu. Di pagi hari, Abdurrahman al-Fazzari menyrang unta-unta Rasulullah. Ia berhasil membawa kabur seluruhnya dan membunuh pengembalanya.
Aku lalu berkata kepada Rabah, “Wahai Rabah, bawalah kuda ini dan sampaikan kepada Thalhah bin Ubaidillah, beri tahukan kepada Rasulullah bahwa kaum musyirik telah menyerang padang gembalaannya.
Aku segera bangkit dan baik ke atas gundukan tanah. Aku menghadap Madinah dan berteriak tiga kali, “Petaka Subuh!” Aku segera mengejar kaum itu dan terus memanahinya. Aku bergetar seraya mengumandangkan syair :
Aku adalah putra al-Akwa’
Hari ini adalah hari kebinasaan para penyusup terlaknat.
Aku lalu mengejar seorang dari mereka. Kubidik ia dengan panahku dan tepat mengenai pundaknya. Aku berseru, “Terimalah ini, aku adalah putra al-Akwa’. Hari ini adalah hari kebinasaan bagi para penyusup terlaknat.
Demi Allah, aku terus memanahi mereka dan membunuhi tunggangannya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda berbalik ke arahku. Aku segera mendekati sebuah pohon dan duduk di akarnya, lalu kupanahi penunggang itu sampa ia tersungkur. Ketika jalan menyempit di antara perbukitan, mereka pun menyusuri jalan sempit itu. Aku naik ke atas bukit, kulempari mereka dari atas dengan batu. Aku terus melakukan itu sampai tidak ada satu pun unta Rasulullah yang tersisa di tangan mereka, kecuali berhasil kukumpulkan di belakangku. Aku terus melempari dan memanahi mereka sampai mereka melepaskan lebih dari tiga puluh burdahnya dan tiga puluh tombak untuk meringankan beban bawaannya. Setiap kali mereka melemparkan sesuatu, aku segera memberinya tanda dengan batu agar diketahui Rasulullah dan para sahabatnya. Sampai mereka menemui jalan sempit dan jalan terjal di bukit, mereka didatangi oleh putra Badar al-Fazzari. Mereka duduk di sana untuk makan siang. Aku juga duduk di atas bukit terpisah dari gunung.
Al-Fazzari bertanya kepada mereka, “Apa yang kulihat ini?” Mereka menjawab, “Kami menemukan kesulitan. Orang itu tidak berhenti mengejar kami sejak dari Ghalas. Ia terus memanahi kami sampai berhasil merebut semua yang ada di tangan kami.”
Al-Fazzari berkata, “Kalau begitu, empat orang dari kalian bangkit dan naik mengejarnya.”
Lalu, naiklah empat orang dari mereka menuju tempatku di atas bukit. Ketika mereka telah sampai di tempat yang memungkinkan mereka dapat bicara denganku, kukatakan kepada mereka, “Tahukah kalian siapa aku?”
Mereka menjawab, “Tidak, memangnya siapa kamu?”
Aku menajwab, “Aku Salamah bin al-Akwa’. Demi Dzat yang memuliakan jiwa Muhammad, aku tidak akan mengejar seorang pun dari kalian, kecuali akan menangkapnya,d an tak seorang pund ari kalian yang mengejarku akan berhasil menangkapku.”
Seorang dari mereka berseru, “Aku yang akan menagkapmu.”
Kemudian, mereka kembali ke tempatnya semula. Aku tetap di tempatku, tiba-tiba kulihat dari kejauhan pasuka  kuda Rasulullah saw sedang menyibak-nyibak pepohonan. Yang pertama kulihat adalah Akhram al-Asadi, di belakangnya ada Abu Qatadah al-Anshari, lalu di belakangnya lagi Miqdad bin Aswad al-Kindi. Aku segera meraih tali kendali kuda al-Akhram. Kukatakan kepadanya, “Waspada Akhram, jangan sampai mereka mencegatmu. Tunggu saja sampai Rasulullah saw dan para sahabatnya tiba di sini!.”
Ia menjawab, “Wahai Salamah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir, kamu yakin bahwa surga adalah hak dan neraka adalah hak, jangan kamu halangi aku dari mati syahid.” Aku pun melepaskannya. Akhram langsung berhadapan dengan Abdurrahman. Mereka berduel di atas kuda. Akhram berhasil membunuh kuda tunggangan Abdurrahman. Namun naas, Abdurrahman berhasil membunuh Akhram. Lalu ia merebut kuda Akhram dan menungganginya. Berikutnya Abu Qatadah-lah yang berhadapan dengan Abdurrahman. Abu Qatadah berhasil menusuk dan membunuhnya.
Salamah Ibn al-Akwa’ melanjutkan, “Demi Dzat yang memuliakan Muhammad, aku terus mengejar mereka sambil berlari sampai tak kulihat lagi di belakangku para sahabat Muhammad atau debu mereka sedikit pun. Mereka tak terlihat sampai menjelang terbenam matahari. Aku kejar mereka hingga sampai di padang gembalaan sebuah oase yang did alamnya terdapat sumber air bernama Dzu Qarad. Mereka tengah kehausan dan ingin minum.
Mereka melihatku yang terus mengejarnya. Aku usir mereka dari sumur itu hingga mereka tak sempat merasakan setetes pun airnya. Mereka terus berlari hingga sampai celah sempit di antara bebukitan. Aku berlari sampai berhasil menangkap seorang dari mereka. Kupanah tepat di pundaknya seraya berseru, “Rasakan ini, aku adalah putra al-Kawa’ dan hari ini adalah hari kebinasaan para penusup yang terlaknat.”
Orang itu berkata, “Celaka, apakah kamu al-Akwa’ yang menjadi hari esok untuk siang ini?”
Aku menjawab, “Ya, wahai musuh diri sendiri. Aku adalah al-Akwa’ esok hari.” Mereka kemudian melepaskan dua ekor kudanya di jalan celah itu. Aku lalu menggiring dua kuda itu kepada Rasulullah. Kemudian Amir menyusulku membawa sebejana susu dan sebejana air. Aku pun berwudhu dan minum dengan air itu. Aku mendatangi Rasulullah yang saat itu sedang berada di sumur Dzu Qarad. Ternyata Rasulullah saw telah berhasil mengambil kembali untapunta itu dan segala hal yang berhsil kurampas dari kaum musyrikin, tombak dan burdahnya. Kulihat Bilal sedangn  menyembelih unta yang berhasil kuselamatkan dari kaum musyrikin. Ia lalu membakar bagian hati dan punuk unta itu untuk Rasulullah saw.
Aku lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mohon engkau mengizinkanku bersama seratus pasukan untuk membunuh semua dari kaum itu!”
Rasulullah pun tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya. Beliau bersabda, “Wahai Salamah, tahukah apa yang telah kau lakukan?”
Aku menjawab, “YA, demi Dzat yang memuliakanmu.”
Beliau melanjutkan, ‘Mereka sekarang telah menghilang di Tanah Ghathafan.”
Keesokan harinya, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik pasukan kuda hari ini adalah Abu Qatadah. Sebaik-baik pasukan pejalan kaki adalah Salamah.” Kemudian Rasulullah saw memberiku dua bagian harta rampasan perang, satu bagian pasukan kuda dan satu bagian pasukan pejalan kaki. Beliau mengumpulkannya untukku. Lalu, beliau memboncengku di atas untanya dan kami pulang ke Madinah.
Betapa gagah dan beraninya apa yang yang dilakukan Ibnu al-Akwa’ ini. Ia mengejar satu pasukan musuh sendirian sampai berhasil merampas semua yang mereka miliki. Padahal ketika itu hanya mengandalkan kedua kakinya, bahkan ia berhasil meraih harta rampasan perang dari mereka. Ia tidak membiarkan mereka sedikit pun beristirahat, bahkan sekedar meminum setetes air di sumur Dzu Qarad.
Sebaliknya, saat ini sekelompok penjahat Yahudi mengusir jutaan orang Arab, merampas segala hak miliknya, dan membuat mereka kelaparan dan kehausan. Mereka juga telah merampas tempat-tempat sucinya yang paling berharga, melakukan pembantaian, merusak, dan mencabik-cabik kehormatannya. Meskipun demikian, kaum muslim semuanya hanya diam dan tertidur. Jika demikian, siapa yang tidak bangun mendengar musibah dan tidak meninggi tekadnya, sebaiknya perpanjang saja tidurnya.

Persaingan Antara Salamah ibn al-Akwa’ dan Laki-Laki dari Kaum Anshar

Salamah bertutur, “Ketika kami berjalan menuju Madinah, ada seorang Anshar yang tidak pernah kalah dalam lomba lari. Orang itu berkata kepadaku, “Maukah kamu berlomba lari denganku menuju Kota Madinah? Adakah yang mau berlomba denganku.?” Ia terus mengucapkan kata-kata itu berkali-kali. Ketika aku mendengar ucapannya itu, aku berkata kepadanya, “Apa kamu tidak memuliakan yang mulia dan menyegani yang terhormat?”
Ia menajwab, “Tidak, kecuali Rasulullah saw,”\
Aku lalu berkata, “Wahai Rasulullah, demi ibu dan bapakku, izinkah aku untuk berloba dengannya.”
Beliau menjawab, “Silahkan jika kamu mau!”
Aku lalu berkata kepada orang itu, “Aku menantangnmu.”
Aku segera melompatkan kakiku dan berlari kencang. Kemudian, kutahan lariku, lalu aku berlari lagi. Kutahan lagi lariku dan kupercepat sampai aku berhasil mengejarnya. Kutepuk punggungnya seraya berakta kepadanya, “Aku berhasil mengejarmu, demi Allah.”
Ia menjawab, “Akulah yang akan menjadi juara,” Akhirnya, aku berhasil mengalahkannya dalam lomba lari itu menuju Madinah.

Kisah Seorang Wanita yagn Dirampas dan Ditawan Bersama Unta-Unta Rasulullah saw.

Diriwayatkan dari Imran bin Hushain r.a. ia berkata, “Tsaqis adalah sekutu Bani Uqail. Orang-orang Tsaqis pun menawan dua orang sahabat Rasulullah saw, sementara para sahabat Rasulullah saw menawan seorang laki-laki dari Bani Tsaqif bersama seekor unta Adhba. Orang itu kemudian, dibawa menghadap Rasulullah dalam keadaan terikat.”
Ia berkata, “Wahai Muhammad.”
Beliau pun mendatanginya dan berakata, “Ada apa denganmu?”
Orang itu bertanya, “Mengapa kau menawanku?”
Rasulullah menjawab, “Aku menawan karena kamu bersekutu dengan Tsaqif.”
Kemudian, beliau meninggalkannya. Namun, ia terus memanggilnya. Ia berseru, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad.”
Kebetulah Rasulullah saw adalah seorang penyayang dan pengasih. Beliau pun kembali mendekatinya seraya bertanya, “Ada ada lagi denganmu?”
Ia berkata, “Aku muslim.”
Beliau menjawab, “Sekiranya kamu mengucapkan ini dalam keadaanmu maka kamu akan beruntung dengan segala keuntungan.”
Kemudian, beliau pun pergi lagi dan ia memanggil beliau lagi, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad!”
Beliau mendatanginya lagi, “Ada apa denganmu?”
Ia berkata, “Aku lapar dan haus, beri aku makanan dan minuman,”
Rasulullah lantas menjawab, “Ini kebutuhanmu.” Setelah itu Rasulullah menebus dua sahabatnya yagn ditawan.
Di lain waktu, seorang perempuan Anshar ditawan bersama unta Adhba, perempuan itu diikat, orang-orang menambatkan hewan untanya di depan rumah-rumah mereka. Suatu malam, perempuan itu berhasil membebaskan diri dan ia segera mendatangi semua unta yang ada, setiap kali ia mendekatinya, unta-unta itu akan mengerang. Akhirnya, ia tinggalkan unta-unta tersebut. kemudian, ia mendatangi unta ‘Adhba. Tatkala didekatinya, unta itu tidak meronta. Ia segera menaikinya dan lari dari tempat itu. Orang-orang mengetahui perempuan itu telah kabur maka mereka segera mengejarnya. Namun, mereka tidak berhasil menangkapnya lagi. Perempuan itu bernazar kepada Allah bahwa jika Allah menyelamatkannya, ia akan menyembelih unta itu.
Ketika perempuan itu datang ke Madinah, orang-orang melihatnya. Mereka berseru, “Itu adalah al-‘Adhba, unta Rasulullah.” Perempuan itu kemudian berkata bahwa ia telah bernazar akan menyembelihnya jika berhasil selamat. Mereka pun mendatangi Rasulullah saw dan menceritakan hal itu kepada beliau.
Beliau bersabda, “Mahasuci Allah, buruk sekali apa yang kamu nazarkan itu. Allah telah menyelamatkanmu dengan unta tersebut, lalu kamu mau menyembelihnya? Ini adalah nazar dalam kemaksiatan kepada Allah. Demikian pula halnya bernazar dengan sesuatu yang tidak kamu miliki. Unta itu adalah salah satu untaku, kembalilah kepada keluargamu atas berkah Allah.”

Sepanjang, Sidoarjo, 04 Januari 2019.