Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 24 November 2018

Kisah Perang Badar Kubro dalam Sirah Nabawiyyah

SIRAH  RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab Pertama : PERANG BADAR KUBRA
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Ketika terjadi Perang Badar Kubra, telah kami bahas sebelumnya dalam Ghazwah al-Asyirah bahwa rombongan Quraisy melarikan diri dari kejaran Nabi saw ketika mereka hendak pergi dari Makkah ke Syam. Ketika masa kepulangan mereka darik Syam telah dekat, Rasulullah saw mengutus Thalhah bin Ubaidillah dan Said bin Zaid ke Utara agar mereka mencari tahu tentang hal itu. Ketika mereka sampai di ar-Rauha’, mereka tinggal di sana. Sampai ketika Abu Sufyan melewati mereka berdua dengan rombongan dagangnya. Mereka cepat-cepat kembali ke Madinah dan memberi tahu Rasulullah saw tentang hal itu.
Kafilah itu terdiri atas  harta kekayaan milik penduduk Makkah. Seribu unta dengan muatan harta benda yang tak kurang dari 50.000 Dinar emas, yang hanya dijaga oleh 40 orang laki-laki.
Kesempatan emas untuk pasukan Madinah, serangan militer dan ekonomi yang tentunya telak buat kaum musyrikin jika mereka kehilangan harta benda itu. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengumumkannya kepada kaum muslimin. Beliau berkata, “Ada kafilah Quraisy dengan nharta benda mereka di sana, pergilah kalian ke sana, mudah-mudahan Allah mengaruniakannya kepada kalian.”

Nabi Mengutus Mata-Mata untuk Mencari Tahu tentang Kafilah Itu

Dari Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw mengirim Busaisah sebagai mata-mata untuk melihat apa yang dilakukan kafilah Abu Sufyan, dia datang (kembali dan bertemu Nabi di rumahnya), di mana tak ada seorang pun kecuali diriku sendiri dan Rasulullah (Perawi Muslim) berkata, “Saya tidak ingat apakah Anas mengecualikan dari beberapa istri-istri Rasulullah saw atau tidak). Lalu, mengatakan kepadanya berita tentang kafilah. (Setelah mendengar berita) Rasulullah saw keluar (buru-buru) berbicara kepada orang-orang dan berkata, “Kami membutuhkan bala tentara, siapapun yang memiliki hewan untuk ditunggangi, dia harus pergi dengan kami.” Orang-orang mulai meminta izin untuk mengambil tunggangan mereka yang sedang merumput di perbukitan dekat Madinah. Dia berkata, “Tidak, (saya ingin) hanya mereka yang memiliki tunggangan yang siap (dengan senjata juga).” (HR Muslim).

Hal-Hal yang Terjadi pada Perang Badar

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Pada Ramadhan tahun itu (tahun 2 H) Rasulullah mendengar kabar iring-iringan kafilah dadang milik Quraisy yang datang dari Syam di bawah pimpinan Abu Sufyan. Kafilah ini sebelumnya ingin mereka kejar ketika kafilah itu keluar dari Makkah, kefilah itu terdiri atas 40 orang laki-laki dan membawa banyak harta milik Quraisy. Kemudian Rasulullah saw menyerukan kaum muslimin untuk pergi ke sana agar menghadangnya lagi. Beliau memerintahkan siapa saja yang siap kendaraannya untuk turut. Rasulullah saw tidak menyiapkannya dengan baik karena beliau pergi tergesa-gesa dengan 300 dan beberapa belas irang. Mereka hanya membawa dua ekor kuda, milik az-Zubair bin al-Awwam dan Miqdad bil al-Kindy. Bersama mereka juga ada 70 ekor unta, setiap dua orang laki-laki atau tiga menunggangi satu unta. Rasulullah saw, Ali, dan Martsad bin Abi Martsad al-Ghanwy menunggangi satu unta.
Ketika mencapai dekat Hijaz, Abu Sufyan mencari tahu. Dia bertanya kepada setiap pengendara yang ia temui karena khawatir akans esuatu menimpanya. Ketika itu ada pengendara yang memberitahunya bahwa Muhammad telah pergi bersama para sahabatnya untuk menghadangnya dan kafilahnya agar herus berhati-hati. Lalu Abu Sufyan menyewa Dhamdham bin Amru al-Ghifary dan membawa ornag-orang untuk menyelamatkan harta mereka serta memberi tahu mereka bahwa Muhammad telah siap untuk menghadang mereka bersama para sahabatnya. Dhamdham bin Amru pun pergi melesat ke Makkah. (HR Ibnu Hisyam dari jalur Ibnu Ishaq).

Nabi Bermusyawarah dengan Para Sahabatnya

Dari Anas bahwa ketika sampai berita Abu Sufyan akan datang, Rasulullah saw mengumpulkan para sahabatnya untuk membciarakan hal itu. Anas berkata, “Abu Bakar mengungkapkan pendapatnya, tetapi Rasulullah saw menolaknya. Kemudian Umar mengemukakan pendapatnya, tetapi  Nabi saw juga menolaknya. Kemudian Sa’ad bin Ubadah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, Anda ingin kami berbicara? Demi Dzat yang kau berada di genggamannya, jika engkau memerintahkan kami untuk menenggelamkan kafilah itu ke laut, kami akan melakukannya. Jika engkau memerintahkan kami untuk memcuti kafilah Bark al-Ghimad, kami akan melakukannya.” Kemudian Rasulullah saw menyeru kaum muslim. Lalu, mereka berangkat dan berkemah di badar. Pembawa air Quraisy datang kepada mereka. Di antara mereka ada seorang budak hitam milik Bani al-Hajjaj. Para sahabat Rasulullah saw menangkapnya dan menginterogasinya tentang Abu Sufyan, dan teman-temannya. Dia berkata, “Aku tak tahu apa-apa tentang Abu Sufyan, tetapi Abu Jahal, Utbah, Syaibah, dan Umayyah bin Khalaf ada.” Ketika ia berkta demikian, mereka memukulinya. Lalu, ia berkata, “baiklah, saya akan bercerita tentang Abu Sufyan.” Mereka akan berhenti memukulinya dan kemudian memitna dia berbicara lagi tentang Abu Sufyan. Dia mengatakan lagi, “Aku tidak tahu apa-apa tentang Abu Sufyan, tetapi Abu Jahal, Utbah, Syaibah, dan Umayyah bin Khalaf ada.” Ketika ia berkata demikian, mereka memukulinya juga. Rasulullah saw saat itu sedang melakukan shalat. Ketika beliau selesai dan melihat itu, beliau berkata, “Demi Allah yang menggenggam jiwaku, kalian memukulinya ketika dia mengatakan yang sebenarnya dan membiarkan dia ketika ia berbohong. Ini adalah tempat terbunuhnya Fulan.” Beliau menempatkan tangannya ke tanah (seraya berkata) di sini dan di sini. Tidak seorang pun dari mereka yang meleset tempat meninggalnya, dari tempat-tempat yang terlah ditunjuk oleh Rasulullah saw.” (HR Muslim).

Kekuatan Pasukan dan Pembagian Kepemimpinan

Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Pada peristiwa Badar, setiap tiga orang mengendari satu unta. Abu Lubabah dan Ali bin Abi Thalib menjadi teman satu kendaraan dengan Rasulullah saw. Mereka berdua di belakang Rasulullah saw. Mereka berkata, “Kami berjalan saja. Lalu, Rasulullah saw berkata, “kalian tidak lebih kuat dariku dan aku tidak lebih membutuhkan pahala daripada kalian berdua.” (HR Ahmad).
Adapun jumlah kaum muslimin yang ikut dalam, Perang Badar, dalam banyak hadits shahih disebutkan, di antaranya berikut ini :
1. Dai al-Bara’ r.a. berkata, “Kami para sahabat Muhammad saw megnatakan bahwa jumlah para pejuang badar adalah sama dengan jumlah sahabat Thalut yang menyeberangi sungai (Yordan) dengannya. Dan tidak ada yang menyeberangi senguai dengannya, melainkan kaum mukmin yang berjulah 310 orang lebih sedikit.” (HR Bukhari dan Turmudzi).
2. Dari Abu Musa al-Asy’ary r.a. berkata, “Jumlah pasukan Badar sebanyak sahabat-sahabat Thalut kerika memerangi Jalut, 317 orang.” (HR al-Bazzar).
3. Dari Abdullah bin Amru bin Ahs r.a. berkata, “Rasulullah saw pergi bersama 315 orang dari para sahabatnya ....., lalu ia menyebutkan hadits.” (HR Abu Dawud).
Riwayat ini tidak ebrtentangan dengan yang sebelumnya karena bisa jadi dalam riwayat ini Nabi saw belum dimasukkan, begitu juga seorang laki-laki yang menyusul mereka.
Nabi saw menitipkan Madinah kepada Ibnu Maktum sekaligus untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat.
Beliau memberikan panji utama yang bewarna putih kepada Mus’ab bin Umair al-Qursyi al-Abday. Beliau membagi pasukannya menjadi dua, yaitu pasukan Muhajirin, yang panjinya dibawa oleh Lai bin Abi Thalib dan pasukan Anshar, yang panjinya dibawa oleh Sa’ad bin Mu’adz.
Kepemimpinan dari arah kanan di bawah komando Zubair bin Awwam, sedangkan dari kiri oleh Miqdad bin Amru, hanya mereka berdua yang menunggang kuda dalam pasukan ini. Adapun di bagian tengah dipimpin oleh Qais bin Abi Sha’sha’ah. Adapun komando umum tetap di tangan Nabi saw sebagai panglima tertinggi pasukan.

Nabi saw. Menolak Anak-Anak Kecil

Anak-anak kecil yang belum mencapai Balif, hati mereka merindukan untuk berjihad di jalan Allah, kemenangan dengan mati syahid. Namun, Nabi saw menolak siaoa pun yang belum balig.
Dari al-bara’ bin Azib r.a. berkata, “Aku dianggap masih kecil pada Perang Badar, begitu juga Ibnu Umar. Jumlah kaum Muhajirin 60 orang lebih, sementara Anshar 249 orang lebih,” (HR Bukhari).
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. menyatakan bahwa Nabi melihat Umair bin Abi Waqqash, tetapi beliau menganggapnya masih kecil ketika akan pergi ke Badar, kemudian beliau memperbolehkannya. Sa’ad berkata, “Dikatakan bahwa Umair kena pedangnya.” Menurut Abdullah bin Ja’far, Umair terbunuh pada peristiwa Badar.” (HR al-Bazzar).

Pulanglah, Aku Tidak Akan Meminta Bantuan dari Seorang Musyrik

Dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw berangkat ke Badar. Ketika sampai Harrat al-Wabrah, Rasulullah saw bertemu dengan seseorang yang dikenal karena keberanian dan suka menolong. Para sahabat Rasulullah saw senang melihatnya. Dia berkata, “Aku datang kepadamu karena aku ingin menjadi bagian dari pasukanmu dan mendapatkan bagian dari harta rampasan.” Rasulullah saw berkata keapdanya, “Apakah kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya?” Dia mengatakan, “Tidak.” Rasulullah saw berkata, “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan dari seorang musyrik.” Dia melanjutkan perjalanan sampai mencapai Syajarah, pria itu datang lagi. Dia mengatakan seperti sebelumnya. Rasulullah juga mengatakan yang sama lagi kepada pria itu. Beliau saw berkata, “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan dari seorang musyrik.” Pria itu kembali dan menyalip dia di Badia’? dia meminta hal yang sama, seperti sebelumnya. Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Orang itu berkata, “Ya.” Rasulullah saw berkata keapdanya, “Pergilah bersama kami.” (HR Muslim).

Pasukan Islam Bergerak Menuju Badar

Rasulullah saw pergi dengan pasukan ini tanpa persiapan. Beliau keluar dari wilayah Madinah dan melewati jalan utama ke Makkah, hingga mencapai sumur ar-Raudha’. Ketika melanjutkan perjalanan, beliau tidak belok ke kiri ke arah Makkah. Namun, ke kanan arah ke an-Naziyah (Badar). Beliau berjalan melewatinya hingga tiba di sebuah lembah, yang dinamakan Rahqan, antara an-Naziyah dan jalan semit ash-Shafra’. Beliau melewati jalan sempit itu. Setelah itu beliau membangun kemahnya di sana dekat ash-Shafra’. Di sanalah beliau mengutus Busais bin Umar al-Juhny dan Addy bin Aby az-Zaghba’ al-Juhny ke Badar untuk mencari tahu kabar kafilah itu.

Ketakutan Kaum Kafir untuk Pergi Berperang

Dari Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Mu’ad menceritakan kepadanya bahwa Sa’ad bin Mu’adz adalah teman dekat Umayyah bin Khalaf. Ketika Umayyah melewati Madinah, ia singgah di rumah Sa’ad. Setiap kali Sa’ad pergi ke Makkah, ia singgah di rumah Umayyah. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, Sa’ad pergi untuk melakukan umrah dan tinggal di rumah Umayyah di Makkah. Dia berkata kepada Umayyah, “Beri tahu aku waktu di mana Ka’bah lengang sehingga aku dapat melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.” Lalu, Sa’ad pergi bersama Umayyah sekitar tengah hari. Abu Jahal bertemu mereka dan berkata, “Wahau Abu Shafwan! Siapa orang yang bersamamu ini?” dia berkata, “Dia adalah Sa’ad.” Abu Jahal berkata, “Aku melihatmu berjalan-jalan dengan aman di Makkah meskipun kamu telah memberikan perlindungan bagi orang-orang yang telah mengubah agama mereka (yaitu menjadi muslim) dan kalian telah menyatakan akan membantu mereka dan mendukung mereka. Demi Allah, jika kamu tidak bersama Abu Shafwan, kamu tidak akan pulang kepada keluargamu dengan selamat. “ Sa’ad meninggikan suaranya dan berkata kepadanya, “Demi Allah, jika kamu akan menghentikanku melakukan hal ini (thawaf), aku pasti mencegahmu dari sesuatu yang lebih berharga bagimu, yaitu perjalanan kafilahmu melalui Madinah.” Umayyah pun berkata kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, jangan kamu tinggikan suaramu di depan Abu al-hakam. Dia kepala penduduk lembah ini (Makkah).” Sa’ad berkata, “Wahai Umayyah, hentikan itu. Demi Allah, aku telah mendengar Rasulullah saw mengatakan bahwa kaum muslimin akan membunuhmu.” Umayyah bertanya, “di Makkah?” Sa’ad berkata, “Aku tidak tahu.” Umayyah sangat takut dengan berita itu. Ketika Umayyah pulang ke keluarganya, ia berkata kepada istrinya, “Wahai Ummu Shafwan, apakah kamu tidak tahu apa yang dikatakan Sa’ad kepadaku?” Dia berkata, “Apa yang telah dia katakan?” dia menjawab, “Dia mengatakan bahwa Muhammad telah memberi tahu mereka (sahabat) bahwa mereka akan membunuhku. Aku bertanya kepadanya, “Di Makkah?” dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Lalu. Umayyah menambahkan, “Demi Allah, aku tidak akan pernah eprgi ke luar dari Makkah.”
Ketika genderang Perang badar ditabuh, Abu Jahal menyeru orang-orang untuk pergi berperang. Ia berkata, “Pergilah dan lindungi kafilah kalian.” Namun Umayyah lebih suka untuk tidak pergi keluar (dari Makkah). Abu Jahal datang kepadanya dan berkata, “Wahai Abu Shafwan, jika penduduk Makkah meliahtmu tidak  turut serta, padahal engkau adalah kepala penduduk lembah ini, maka mereka tidak akan ikut juga sepertimu.” Kau telah memaksaku untuk mengubah pikiranku. Demi Allah, aku akan membeli unta terbaik di Makkah. Lalu, Umayyah berkata kepada istrinya, “Wahai Ummu Shafwan, persiapkan apa yang kubutuhkan (untuk perjalanan).” Istrinya berkata, “Wahai Abu Shafwan, apakah kau lupa apa yang dikatakan oleh sahabatmu yang dari yatsrib itu (Sa’ad).” Dia berkata, “Tidak, tapi aku tidak ingin pergi bersama mereka melainkan untuk jarak pendek saja.” Jadi, ketika Umayyah pergi, ia tidak keluar dari kemahnya, kecuali untuk mengikat untanya. Dan ia terus melakukan itu, sampai Allah membunuhnya pada Perang badar.” (HR Bukhari dan Ahmad).

Penduduk Makkah Pergi Berperang

Penduduk Makkah berlomba keluar berperang dan mereka berkata, “Apakah Muhammad dan para sahabatnya mengira bahwa mereka seperti kafilah Ibnu al-hadhramy?” jawab yang lain, “Tentu saja tidak. Demi Allah, Muhammad pasti tahu dia bukan sepertinya.” Mereka ada dua golongan, baik itu yang turut dalam pasukan ini secara langsung maupun mengutus seseorang untuk mewakilinya. Semua pembesar negeri itu pergi mengikuti peperangan ini, kecuali Abu Lahab. Dia mengutus seseorang yang mempunyai utang kepadanya untuk menggantikan dirinya. Mereka juga menyeru para kabilah sekitar Makkah. Hampir seluruh Kabilah turut serta, kecuali Bani Addy, tak satu pun dari mereka yang ikut dalam perang ini.

Kekuatan Pasukan Makkah

Kekuatan pasukan ini meliputi 1.300 tentara di awali perjalanannya, 100 pasukan berkuda, 600 orang berbaju perang, dan unta sangat banyak, yang jumlahnya tidak diketahui dengan betul. Komando umum di bawah Abu Jahal bin Hisyam, dengan 9 orang pembesar Quraisy sebagai pembantunya. Setiap hari mereka menyembelih 9 atau 10 unta.

Setan Memperdaya Kaum Quraisy

Ibnu Ishaq berkata, “Yazid bin Ruman bercerita keapdaku dari Urwah bin az-Zubair, ia berkata, “Ketika Quraisy bersepakat untuk berangkat perang, mereka teringat apa yang pernah terjadi antara mereka dan Bani Bakar, yang hal itu membuat mereka ingin membalasnya. Kemudian Iblis datang dalam bentuk Suraqah bin Malik bin Ja’syam al-Mudhijy, yang merupakan salah satu dari pimpinan Bani Kinanah, ia berkata, “Aku melindungi kalian dari Bani Kinanah yang akan datng dari belakang kalian dengan sesuatu yang kalian benci.” Kemudian mereka berlomba pergi keluar.” (HR Baihaqi).

Kami Penuhi Perjanjian Kami dengan Mereka dan Kami Mohon Bantuan Allah untuk Menghadapi Mereka

Dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a. berkata, “Tidak ada yang mencegahku turut pada Perang Badar, kecuali kejadian ini. Aku keluar dengan Abu Husail (untuk berpartisipasi dalam pertempuran), tetapi kami tertangkap oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka berkata, “Kalian berniat untuk pergi ke Muhammad?” Kami berkata, “Kami tidak berniat pergi ke dia, tapi kami ingin pergi (kembali) ke Madinah.” Lalu, mereka mengambil dari kami perjanjian atas nama Tuhan bahwa kami akan kembali ke Madinah dan tidak akan bertempur di pihak Muhammad saw. Kemudian kami datang menemui Rasulullah saw dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Beliau berkata, “Pulanglah (ke Madinah), kami (kaum) yang memenuhi perjanjian yang dibuat dengan mereka, dan kami memohon pertolongan Allah untuk menghadapi mereka.” (HR Muslim dan Ahmad).
Duhai pelajaran yang agung, Nabi saw mengajar kita untuk menepati janji, bahkan perjanjian yang dibuat dengan musuh.

Ini Tempat Matinya Fulan

Dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Kami bersama-sama Umar antara Makkah dan Madinah. Kami mencari hilal .... --- hingga perkataannya ---- ia kemudian menceritakan pada kami tentang para syuhada’ Perang badar. Ujmar berkata, “Rasulullah saw menunjukkan kita satu hari sebelum (pertempuran yang sebenarnya) tempat kematian dari orang-orang (berpartisipasi) dalam Badar dan beliau bersabada, “Ini akan menjadi tempat kematian si Fulan besok, insya Allah.” Umar berkata, Demi Allah yang mengutus dia dengan kebenaran mereka tidak melewatkan tempat (kematian mereka) yang telah Rasulullah saw tunjukkan.” (HR Muslim).

Sekiranya Kalian Mengadakan Persetujuuan, Pastilah Kalian Berbeda Pendapat

Abu Sufwan telah mendengar bahwa Rasulullah saw telah pergi keluar Madinah dan menginginkannya. Kemudian ia pun menyewa Dhamdham bin Amru al-Ghifary ke Makkah untuk meminta Quraisy mengirim bala bantuan melindungi kafilah dagang mereka dari Muhammad dan para sahabatnya. Kabar itu pun telah sampai ke Penduduk Makkah. Mereka segera berangkat dan menghimpun bala tentara untuk ke sana. Tak seorang pun dari pembesar Quraisy yang absen. Kecuali Abu Lahab. Ia mengutus seseorang yang berutang kepadanya untuk menggantikannya. Mereka juga menghimpun kabilah-kabilah Arab sekitar mereka. Dan tak satu pun dari kabilah-kabilah itu yang tidak turut menjadi pasukannya, kecuali Bani Addy. Dari kabilah ini tak satu pun yang turut.
Mereka semua keluar, sebagaimana yang Allah firmankan, “ ..... Dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (ria) ...” (QS al-Anfal (8) L 47). Mereka pun datang seperti yang Rasulullah saw sabdakan, “Dengan ketajaman pedang mereka dan besi mereka, mereka menentang-Nya dan menetang Rasul-Nya.” Mereka datang dengan tidak menghalang-halangi dan mereka mampu, dalam kekuatan yang melindungi, dan amarah, murka kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya. Sebab, mereka menginginkan kafilah mereka dan membunuh mereka yang ada di dalam kafilah itu. Hal itu telah menimpa Amru bin al-Hadramy kemarin dan kafilah yang bersamanya. Kemudian Allah menghimpun mereka tidak dengan perjanjian waktu. Sebagaimana firman Allah, “..... Sekiranya kamu berbeda pendapat dalam menentukan (hari pertempuran itu), tetapi Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan......” (QS al-Anfal (8) : 42).
Kemudian Rasulullah saw pergi menuju Badar dan Abu Sufwan memilih jalur lain ke tepi dua lautan. Ketika ia tahu ia selamat, begitu juga kafilahnya, ia menulis surat ke Quraisy, “Kembalilah kalian, jika kalian keluar (Makkah) untuk melindungi kafilah dagang kalian.” Kabar ini sampai ke Quraisy, pada saat mereka di al-Juhfah, mereka pun ingin kembali. Kemudian Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kami tidak akan kembali sebelum mencapai Badar dan mendirikan kemah di sana, memberi makan bansga Arab yang ikut bersama kami.” Dan mereka akan segan kepada kami.” Sementara itu,al-Akhnas bin Syuraiq menganjurkan kepada mereka untuk kembali, tetapi mereka enggan.kemudian al-Akhnas dan Bani Zuhra pulang dan mereka tidak menyaksikan peristiwa Badar. Bani Zuhrah (nanti) gembira dengan keputusan al-Akhnas dan ia masih ditaati dan dihormati

Posisi Sulit Pasukan Islam

Badan intelijen untuk pasukan Madinah telah memberi tahu Rasulullah saw ketika beliau masih di perjalanan di Lembah Dzafran, kabar kafilah itu dan bala tentara Makkah. Beliau juga sudah meyakini telah mencerna kabar itu b ahwa tidak ada lagi cara untuk menghindari pertempuran berdarah itu. Beliau harus melanjutkan sebuah upaya yang dibangun atas keberanian dan heroisme. Tak diragukan lagi jika beliau membiarkan pasukan Makkah merajalela di wilayahn itu. Hal itu akan makin menguatkan posisi militer Quraisy, mengukuhkan peta politiknya, dan makin melemahkan posisi kaum musl,imin dan terhina. Bahkan, bisa jadi pergerakan Islam setelah itu akan hanya berupa jasad tanpa roh. Mereka yang berniat buruk, dengki, dan marah pada Islam di wilayah itu, akan makin berani dan menjadi-jadi.
Setelah itu semua adakah seseorang yang bisa menjamin pada kaum muslimin bahwa ia bisa melarang kaum Quraisy meneruskan perjalanannya menuju Madinah agar peperangan dari dalam rumah mereka. Tak akan ada, jika terjadi hal buruk pada pasukan Madinah, tentu saja akan berpengaruh pada kewibawaan dan nama baik kaum muslimin.

Nyatakanlah Pendapat kalian, Wahai Manusia!

Allah SWT telah memuji Nabi saw dan para sahabatnya, “.... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka ....” (QS asy-Syura (42) : 38). Di sini kita melihat komitmen mereka pada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kami paparkan lebih lanjut kehidupan beliau saw, kita akan menemukan komitmen beliau pada prinsip ini di setiap perkara yang tak tersurat dalam firman Allah SWT. Hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan dan politik legal. Oleh karena itu, kaum muslimin berkonsensus bahwa syura (musyawarah) dalam hal yang tak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah azas dalam legalisasi hukum, kapan pun itu tak boleh diabaikan. Adapun sesuatu yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits dari Sunnah yang telah diterangkan secara jelas oleh Rasulullah hukumnya, tak ada celah untuk musyawarah di sana dan tak boleh diputuskan oleh kewenangan apa pun.
Melihat perkembangan yang genting dan mendadak, Rasulullah saw memutuskan untuk menggelar majelis penasihat militer tingkat tinggi. Di sana beliau menjelaskan perkembangan terkini, beliau bertukar pendapat dengan pasukannya secara umum, dan para panglimanya. Ketika itu bergetarlah hati sebagian dari mereka, takut terjadi pertumpahan darah. Mereka itulah yang disebut dalam firman Allah SWT, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu (Muihammad) tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang), seakan-akan mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu).” (QS al-Anfal (8) : 5 – 6).
Pada saat itu Nabi saw ingin mengetahui pendapat para sahabat sebelum memasuki medan pertempuran yang krusial ini. Bahkan, beliau --- secara khusus --- ingin mengetahui pendapat para panglima Anshar. Sebab, merekalah yang merepresentasikan mayoritas pasukan dan beban berat pertempuran akan berputar pada pundak mereka. Padahal, teks perjanjian Aqabah tidak mewajibkan mereka untuk bertempur di luar wilayah mereka.
Ibnu Abbas r.a. berkata, “.... Kabar tentang Quraisy dan bala tentaranya yang akan melindungi kafilah mereka telahs amapi kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau meminta pendapat dari pasukannya dan memberi tahu kabar tentang Quraisy. Abu Bakar berdiri dan menyatakan sesuatu dan pendapatnya bagus. Umar berdiri dan menyatakan pendapatnya. Ia juga bagus. Kemudian al-Miqdadd bin Amru berdiri berkata, “Wahai Rasulullah, teruslah pada apa yang diperintahkan Allah kepadamu, kami bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan seperti Bani Israil berkata kepada Musa, “ ..... Pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (QS al-Maidah (5) : 24). Namun (kami akan mengatakan) pergilah engkau dan tuhamu, sungguh kami ebrperang bersama kalian. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau ebrjalan bersama kami hingga bark al-Ghimad, kami akan berjuang bersamamu ke tempat yang kaucapai selain itu. Rasulullah berkata, “Baiklah.” Beliau mendoakannya.”
Kemudian beliau berkata, “Nyatakanlah pendapat kalian kepadaku, wahai manusia.” Beliau menginginkan kaum Anshar karena mereka mayoritas dan mereka berbaiat kepada beliau di Aqabah, mereka berkata, “Kami tidak menanggungmu sampai engkau tiba di rumah-rumah kami. Jika engkau tiba, engkau dalam jaminan kami, kami melindungimu sebgaimana kami melindungi anak-anak dan istri-istri kami.” Rasulullah saw khawatir, kaum Anshar tidak perlu menolongnya, kecuali jika ada musuhnya yang mengganggunya di Madinah. Mereka tidak perlu berjalan bersama mereka menuju musuh yang berada di negeri musuh.
Ketika Rasulullah saw megnatakan itu, Sa’ad bin Mu’adz berkata, “Demi Allah, sepertinya engkau menginginkan kami, wahai Rasulullah?” Beliau saw menjawab, “Ya.” Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, percaya keapdamu, kami bersaksi bahwa yang ada kepadamu adalah kebenaran. Oleh karena itu, kami berikan kepadamu janji kami untuk senantiasa mendengar dan taat. Teruskanlah, wahai Rasulullah pada apa yang keukehendaki, kami bersamamu. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran jika engkau mencapai laut saat ini bersama kami dan engkau mengarunginya, kami akan mengarunginya bersmamu. Tidak ada satu pun dari kami yang tak turut. Kami juga tidak mempermasalahkan jika besok kami bertemu dengan musuh. Kamia dalah orang-orang yang tangguh dalam perang dan tulus pada saat bertemu. Semoga Allah memperlihatkan kami kepadamu dalam bentuk yang menyejukkan matamu. Teruskanlah berjalan bersama kami dengan berkah Allah.” Rasulullah saw gembira dengan perkataan Sa’ad dan semangatnya itu. Lalu beliau bersabda, “Pergilah dan bergembiralah karena sesungguhnya Allah SWT telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Allah seakan-akan aku merlihat bahwa mereka akan kalah.” (HR Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq, dan Thabrani).
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Aku menyaksikan al-Miqdad bin al-Aswad dalam sebuah adegan, menjadi pelaku adegan itu lebih aku sukai dari apa yang telah ia lakukan. Al-Miqdad datang kepada Nabi saw ketika Nabi saw mendesak umat Islam untuk menghadapi orang-orang musyrik. Al-Miqdad berkata, “Kami tidak akan mengatakan seperti umat Musa berkata, “ ... Pergilah engkau ebrsama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua....” (QS al-Maidah (5) : 24). Namun, kami akan berjuang di kanan, di sebelah kiri, di depan, dan di belakangmu.” Aku melihat wajah Nabi saw cerah dan bahagia .... yakni dengan perkataannya.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Al-hafizh dalam Fath al-Bary berkata, “Dapat dikatakan bahwa Nabi saw meminta pendapat para sahabatnya di Perang Badar dua kali. Pertama, ketika beliau di Madinah mendapat kabar kafilah yang bersama Abu Sufyan sampai kepada beliau. Itu jelas dalam riwayat Imam Mujslim, dengan redaksi kata, “Sesungguhnya Nabi saw meminta pendapat para sahabat ketika Abu Sufyan akan datang,” Kedua, ketika beliau telah keluar dari Makkah.”

Nabi saw. Mengutus Mata-matanya Mencari Tahu Kabar Musuh

Sore itu beliau saw mengutus amta-matanya lagi untuk mengorek keterangan tentang musuh. Operasi ini melibatkan tiga orang panglima Muhajirin, yaitu Ali bin Abi Thalib, az-Zubair bin al-Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash di antara para sahabatnya. Mereka pergi ke mata air Badar. Di sana mereka mendapatkan dua orang budak yang ebrtugas memberi minum pasukan Makkah. Mereka menangkap keduanya dan dan menghadapkannya kepada Rasulullah saw ketika beliau sedang Shalat. Mereka mengorek keterangan dari kedua budak itu. Kedua budak itu berkata, “Kami bertugas memberi minum Quraisy, mereka mengirim kami untuk memberi mereka minum.”
Dari Ali bin Abi Thalib karamullahu wajhah berkata, “Ketika kami datang ke Madinah, buah-buahan yang ada di sana sedang terserang hama dan penyakit. Nabi saw sedang mencari tahu tentang kabar badar. Ketika sampai berita bahwa kaum musyrikin telah berangkat menuju Badar, Rasulullah saw pun menuju ke sana (Badar adalah sumur). Kami tiba di sana lebih dulu daripada kaum musyrik. Di sana kami mendapati dua orang laki-laki, seseorang dari Quraisy dan budak milik Uqbah bin Abu Mu’ith. Orang Quraisy itu melarikan diri, sedangkan budak itu kami tangkap. Kami bertanya kepadanya, “Berapa jumlah mereka.” Dia menjawab, “Demi Allah, mereka sangat banyak dan kekuatan mereka besar.” Jika ia menjawab seperti itu, kaum muslimin memukulnya. Akhirnya, mereka menyerahkannya kepada Rasulullah saw. Beliau bertanya, “Berapa jumlah mereka?” Dia menjawab, “Demi Allah, mereka sangat banyak dan kekuatan mereka besar.” Beliau saw berusaha untuk mengorek lebih dalam, tetapi ia enggan. Kemudian Nabi saw bertanya kembali, “Berapa ekor unta yang mereka semeblih?” ia berkata, “10 ekor setiap hari.” Lalu, Rasulullah saw berkata, “Mereka ada 1.000, setiap sembelihan untuk 100 orang lebih.” (HR Ahmad).

Perpecahan di Barisan Kaum Musyrikin

Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketika kaum musyrikin mulai mendekati tempat kami dan kami berada sejajar dengan mereka, tiba-tiba ada seseorang yang berada di atas unta merah berjalan di antara mereka. Rasulullah saw berkata, “Wahai Ali, panggil Hamzah.” Saat itu Hamzah merupakan orang yang posisinya dekat dengan kaum musyrik, dari penunggang unta merah itu, dan apa yang diaktakannya kepada kaumnya. Rasulullah saw berkata, “Jika ada seseorang yang menyeru pada kebaikan dari mereka, kemungkinan itu adalah penunggang unta merah itu.” Hamzah berkatga, “Dia adalah Uthbah bin Rabi’ah, dia melarang mereka untuk berperang. Uthbah berkata kepada mereka, “Wahai kaumku, sungguh aku melihat mereka adalah kaum yang berani mati (muslim), kalian tidak akan sanggup menghadapi mereka. Pada kalian ada kebaikan. Wahai kaumku, ikatlah leherku, dan katakan Uthbah bin Rabi’ah pengecut,s edangkan kalian tahu aku bukanlah orang pengecut di antara kalian.” Abu jahal mendengar itu, ia berkata, “Engkau mengatakan itu, demi Allah, jika orang selainmu yang mengatakan itu, aku akan potong kelaminnya. Rasa takut telah memenuhi kerongkonganmu.” Lalu, Utbah berkata, “Maksudmu aku, wahai yang berwajah pucat, hari ini aku akan tahu siapa di antara kita yang pengecut.”
Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas, ia berkata, “Ketika kaum muslimin telah berada di Badar dan kaum musyrikin datang, Rasulullah saw melihat Utbah bin Rabi’ah yang sedang berada di atas  unta merah. Lalu, belikau saw berkata, “Jika ada seseorang yang membawa kebaikan kepada kaum itu, kebaikan itu ada pada penunggang unta merah. Jika mereka menaatinya, mereka terbimbing.” Pada saat itu Utbah berkata, “:Wahai kaumku, taatlah kepadaku dalam menghadapi mereka. Sungguh, jika kalian masih tetap mau melakukannya, sedangkan dalam hati kalian masih terdapat keraguan. Hendaknya setiap orang melihat pembunuh saudaranya dan pembunuh bapaknya, aku yang akan membayar haknya (diyat), pulanglah kalian.” Maka Abu Jahal berkata, “Dia masih terpengaruh dengan sihir Muhammad ketika ia melihatnya dan para sahabatnya. Sebenarnya Muhammad dan para sahabatnya hanyalah seperti daging sembelihan ketika kita bertemu mereka nanti.” Lalu, Utbah berkata, “Engkau akan tahu siapa yang penegcut dan perusak kaumnya. Demi Allah, sungguh aku melihat mereka akan memukul mundur kalian, tidakkah kalian lihat kepala mereka bagaikan ular dan wajah mereka bagai pedang.” Lalu, Utbah memanggil saudara dan anaknya. Ia keluar berjalan di antara keduanya dan menantang untuk duel satu lawan satu.” (HR al-Bazzar dan Hakim).

Nabi saw. Shalat dan Berdoa hingga Pagi

Ali r.a. telah menceritakan dalam sebuah riwayat yang shahih, bagaimana kaum muslimin bermalam di malam ke 17 dari Ramadhan di badar dan di depan mereka perkemahan kaum musyrikin. Ali berkata, “Kami telah melihat pada peristiwa Badar, kami semua yang tertidur, kecuali Rasulullah saw. Belkiau Shalat di dekat sebuah pohon dan berdoa hingga pagi menjelang. Malam itu kami kehujanan, kemudian kami pergi berlindung di bawah pohon dan terpal kulit dari hujan. Rasulullah saw tetap berdoa pada malam itu. Ia berkata, “Wahai Allah, jika Engkau binasakan kelompok ini (muslim) maka Engkau tidak akan disembah.” Ketika fajar menyingsing, beliau menyeru, “Shalatlah, wahai hamba-hamba Allah.” Orang-orang berdatangan di bawah pohon dan terpal dan kami shalat bersama Rasulullah saw. Dan beliau membangkitkan semangat kami untuk berperang.” (HR Ahmad).
Dari Ibnu Abbas r.a. “Nabi saw berdoa pada hari Perang Badar, “Wahai Allah, Aku memohon kepada-Mu untuk memenuhi janji-Mu. Wahai Allah, jika Engkau berkehendak (untuk memengkan orang kafir), Engkau tidak akan disembah.” Lalu, Abu Bakar meemgang tangan beliau dan berkata, “Ini sudah cukup bagimu.” Nabi keluar dan berkata, “Mereka akan dibinasakan dan mereka akan lari terbirit-birit.” (HR Bukhari).

Urgensi Tunduk Kepada Allah dan Memohon Pertolongan-Nya

Kita sudah melihat bahwa Nabi saw menenangkan para sahabatnya bahwa kemenangan akan jadi milik mereka. Sampai-sampai beliau menunjukkan tempta-tempat yang berada di mana fulan akan mati. Dan demikianlah apa yang terjadi, tak seorang pun dari kaum musyrikin yang meewati tempat matinya, sebagaimana yang disampaikan Nabi saw dan hadits yang shahih.
Bersama dengan itu pula, kita melihat bahwa beliau mendirikan shalat sepanjang malam Jum’at di tenda yang didirikan untuk beliau. Dan beliau bersimpuh kepada Allah memohon dan tunduk, menengadahkan tangannya ke langit, merayu Allah agar memberinya kemenangan yang dijanjikan-Nya, hingga selendangnya jatuh. Abu Bakar iba dan mendekati beliau, seraya berkata, “Cukup wahai Rasulullah, sungguh Allah akan menepati janji-Nya kepadamu.” Mengapa beliau begitu larut dalam ketertundukannya, padahal beliau sudah dalam kondisi yang sangat tenang, hingga beliau bersabda, “Seakan-akan aku melihat tempat mati mereka.” Dan menentukan tempat-tempat itu di atas tanah.
Jawabnya : ketenangan Nabi saw dan keimanannya akan kemenangan merupakan wujud kepercayaannya dengan janji yang telah disampaikan Allah kepada rasul-Nya. tak diragukan lagi bahwa sungguh Allah tidak akan mengingkari janji. Dan mungkin saja Allah telah mewahyukan kepada beliau berita kemenangan pada peristiwa itu.
Adapun tenggelamnya beliau pada rasa tunduk dan doa serta menengadahkan telapak tangan ke langit itu merupaka  tugas penghambaan yang karena itulah mansuia diciptakan. Hal itu adalah harga kemenangan pada kondisi apa pun. Tidaklah sebuah kemenangan --- meskipun telah memenuhi segala aspek dan sarananya --- melainkan hanya dari sisi Allah dan taufik-Nya. Allah SWT tidak menginginkan dari kita, melainkan agar kita menjadi hamba bagi-Nya dalam kondisi suka maupun terpaksa. Tidaklah seseorang yang mendekat kepada Allah lebih agung daripada dengan sifat penghambaan itu.
Penghambaan ini yang menjadi pemandangan indah dalam panjangnya doa Nabi saw, kuatnya ketertundukan beliau, dan pengharapannya kepada Tuhannya agar memberikan kemenangan adalah harga yang dengannya ia mendapat dukungan Ilahi yang Agung di peperangan tersebut. semua terdiam ketika firman-Nya berkata, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya begimu, “Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS al-Anfal (8) : 9).
Keyakinannya akan penghambaan kepada Allah SWT ini, membuatnya percaya dan tenang bahwa hasil akhir akan berpihak kepada kaum mulsimin. Lalu, bandingkan antara penghambaan yang tampak apda sikap Rasulullah saw dan hasinya dengan apa yang ditampakkan oleh para diktator tersebut. hal itu terlihat pada sikap Abu Jahal ketika ia berkata, “Kita tidaka akn kembali dari Badar sampai kita meyembelih hewan ternak kita, makan-makan, minum khamar, dan memetik dawai. Agar bangsa Arab mendengar berita pasukan kita dan mereka akan tetap segan kepada kita.” Camkan hal yang diakibatkan oleh kesombongan dan keangkuhan ini.
Hasil dari penghambaan dan ketertundukan kepada Allah SWT adalah kekuatn dan kemuliaan tinggi yang pada keduanya dunia dan seisinya tunduk. Adapun akibat dari kesombongan dan keangkuhan adalah kuburan kesia-siaan dan kehinaan telah disiapkan untuk tuhan-tuhan mereka. Sebab, mereka saling memberi minum khamar dan berhura-hura. Itulah sunnatullah di alam ini, setiap kali penghambaan kepada Allah bertemu dengan keangkuhan mereka yang tertipu.urn
. rasulullah saw dan para sahabat segera t
Allah Mengirim Hujan untuk Menyatukan Hati Mereka

Allah SWT berfirman, “(Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketentraman dari-Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).” (QS. al-Anfal (8) : 11).
Menurut Imam Ibnu Qayyim, Allah menurunkan hujan pada malam itu hanya sekali. Bagi kaum musyrikin, hujan itu membuat kesulitan besar bagi mereka dan mereka tidak dapat maju. Bagi kaum muslimin, hujan ini menyucikan mereka dan menghilangkan gangguan-gangguan setan. Rasulullah saw dan para sahabat segera turun di tengah malam dan membuat kolam. Kemudian mereka memperdalam selain itu. Lalu, mereka menuruni kolam itu dan membuat untuk Rasulullah saw singgasana di bukit sehingga beliau bisa memimpin peperangan di sana. Pada saat itulah beliau menunjukkan dengan tangannya, “Ini tempat mati Fulan, ini tempat mati Fulan, ini tempat mati Fulan, Insya Allah. Tak seorang pun dari mereka yang melewati tempat kematian yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw.”

Singgasana Komando Nabi pada Perang Badar

Nabi saw memiliki tenda khusus yang menyerupai singgasana untuk beliau. Di tempat iru beliau mengatur peperangan di hari peristiwa Badar. Beliau juga turut langsung dalam perang ini dan juga turun langsung di medan peperangan.’
 Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw megnatakan sesuatu ketika beliau di tempat tinggi pada peristiwa Badar dan menyebutkan doa Nabi saw. (HR Bukhari).
Dari riwayat Ibnu Ishaq bahwa keteika Rasulullah saw membangkitkan semangat para sahabatnya untuk berperang, melempari kaum musyrikin dengan pasir, dan Allah membinasakan mereka, beliau naik ke kemahnya dan bersama beliau Abu Bakar. Sa’ad bin Mu’adz berdiri di pintu kemah dengan beberapa kaum Anshar karena khawatir kaum musyrikin menreng kembali Nabi saw.

Aku Ingin Akhir Hidupku Bersamamu

Dari Muhammad bin Ali bin al-Husain Abu Ja’far al-Baqir bahwa Nabi saw berjalan menggunakan tongkat. Tongkat beliau mengenai Sawad bin Ghaziyyah al-Anshari. Sawad berkata, “Wahai Rasulullah saw, tongkatmu menyakitiku, sedangkan Allah mengutumu dengan kebenaran dan keadilan, maka berilah hakku.” Lalu, Rasulullah saw membuka perutnya dan berkata, “Lakukanlah.” Al-Husain berkata, “Lalu Sawad memeluk dan mencium perutnya.” Lalu, beliau berkata, “Mengapa kau lakukan itu, wahai Sawad?” Ia berkata, “Saat ini seperti Anda lihat, aku ini masa akhir hidupku kulitku bertemu dengan kulitmu.” Lalu, Rasulullah mendoakan kebaikan untuknya. Sawad berkata, “Padanya kebaikan.” (HR Thabrani).

Nabi Berdoa untuk Para Sahabatnya

Rasulullah saw melihat kegalauan yang melanda para sahabatnya ketika mereka keluar menuju Badar. Kemudian beliau mengungkapkan keadaan mereka dan merasa sedih dengan kondisi mereka, lalu ia memohon kepada Allah untuk menyingkapkan kesedihan itu dari mereka.
Dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a. berkata, “Rasulullah saw pergi menuju Badar dan bersama beliau ada 315 orang dari para sahabatnya. Ketika tiba di sana, beliau berdoa, “Wahai Allah, sesungguhnya mereka lapar maka kenyangkan mereka. Sesungguhnya mereka tidak memiliki apa-apa, bawakan sesuatu untuk mereka, mereka telanjang, beri mereka pakaian.” Kemudian Allah membuka kemenangan untuknya pada Perang badar, keadaan mereka berbalik. Tak seorang pun dari mereka, melainkan ia pulang dengan membawa satu atau dua bawaan, berbaju, dan kenyang.” (HR Abu Dawud).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Nabi saw berdoa pada hari Perang Badar, “Duhai Allah, aku memohonmu untuk menepati janjimu. Wahai Allah, jika Engkau menghendaki (kemenagan mereka), Engkau tidak akan disembah.” Abu Bakar mengambil tangannya dan berkata, “Cukup, wahai Rasulullah.” Lalu, beliau keluar seraya berkata, “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS al-Qamar (54) : 45) (HR. Bukhari).

Allah Tidak Akan Mengazab Mereka

Dari Anas r.a. mengatakan bahwa Abu Jahal berkata, “Wahai Allah, jika betul ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah keapda kami adzab yang pedih.”, lalu, Allah menurunkan ayat-Nya, “Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS al-Anfal (8) : 33). (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Tsa’labah bin Sha’ir berkata, “Pada saat Perang Badar Abu jahal memohon pertolongan Allah, “Wahai Allah, dia sudah memutuskan tali silaturahmi kami, datang dengan sesuatu yang tak dikenal sebelumnya, maka b unuhlah dia esok.” Ketika itu pula, Allah menyemangati kaum muslimin untuk menghadapi musuh mereka. Allah membuat musuh tampak sedikit di mata mereka agar kaum muslimin bersemangat menyerang mereka. Rasulullah di singgasananya tertidur sejenak dan berkata, “Wahai Abu Bakar, bergembiralah, itu Jibril memakai sorban, mengambil tali kekang kudanya, menungganginya, dan dipannya debu beterbangan telahd atang kepadamu kemenangan yang dijanjikan-Nya.” (HR Ahmad dan hakim).

Korban Pertama Perang

Yang pertama kali menjadi korban dalam perang ini adalah al-Aswad bin Abdul Asad al-makhzumy – dia adalah pria yang kasar dan berperilaku buruk – ia keluar dan berkata, “Aku bersumpah keapda Allah, aku akan minum dari kolam mereka, atau aku akan merusaknya, atau aku akan mati di sana.” Ketika Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. datang menghadapinya, mereka bertemu, dan Hamzah memukulnya. Ia menendang kakinya pada bagian tengah betisnya sehingga membuatnya terjungkal dekat kolam. Lalu, ia memukul punggungnya, dari kakinya darah berhamburan mengenai para sahabatnya. Lalu, ia mendekati kolamm itu dan masuk ke sana. Ia ingin menepati sumpahnya. Namun, Hamzah memukulnya lagi hingga ia terjungkal di dalam kolam.

Dua kelompok Berseteru karena Tuhan Mereka

Ibnu Ishaq berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah bercerita keapdaku, “Kemudian Utbah bin Rabi’ah muncul di antara saudarnaya Syaibah bin Rabi’ah dan anaknya, al-Walid bin Utbah. Ketika ia sudah terpisah dari barisan pasukan mereka, ia menantang untuk berduel. Tiga pemuda Anshar keluar menjawab tantangannya. Mereka ada Auf, Mu’awwadz – putra-putra al-Harits dan ibu mereka adala Afra’ --- dan seorang laki-laki lain.” Dalam riwayat dikatakan dia adalah Abdullah bin Rawahah. Utbah berktata, “Kami tidak mempunyai urusan dengan kalian.” Kemudian ia memanggil, “Wahai Muhammad, keluarkan seseorang yang sma seperti kami dan kaum kami.”
Kemudian Rasulullah saw berkata, “bangkitlah, wahai Ubaidah bin al-Harits. Bangkitlah, wahai Hamzah dan juga kau, Ali.” Mereka berdiri dan mendekat keapda mereka. Mereka berkata, “Siapa kalian?” Ubaidah berkata, “Ubaidah.” Hamzah berkata, “Hamzah.” Ali berkata, “Ali.” Mereka berkata, “Ya,” kalian orang-orang mulia yang sederajat dengan kami.”
Ubaidah – yang paling tia di arena duel itu --- melawan Utbah bin Rabi’ah. Hamzah melawan Syaibah bin Rabi’ah,d an Ali melawan al-Walid bin Utbah.
Hamzah tak menunggu lama mampu membunuh Syaibah, sedangkan Ali juga dapat membunuh al-pWalid. Adapun Ubaidah dan Utbah masih saling memukul. Dua-duanya sama-sama kuat. Hamzah dan Ali menghunuskan pedang dan mengarahkannya kepada Utbah dan mereka pun membunuhnya. Mereka membawa sahabat mereka (Ubaidah) dan menyerahkannya kepada sahabat-sahabatnya. (HR Ibnu Hisyam dan Ahmad).
Dikisahkan Ali bin Abi Talib berkata, “(Pada Perang Badar) Utbah bin Rabi’ah maju diikuti oleh anak dan saudaranya. Ia menantang siapa yang ingin duel. Beberapa pemdua dari Anshar menanggapi tantangannya. Dia bertanya, “Siapakah engkau?” Mereka memberitahu keapdanya. Dia ebrkata, “Kami tidak menginginkan kalian, kami hanya menginginkan sepupu-sepupu kami.” Nabi saw bersabda, “Majulah Hamzah, Majulah Ali, Majulah Ubaidah bin al-Harits. Hamzah pergi ke depan untuk Utbah, aku pergi ke depan untuk Syaibah, dan sementara itu Ubaidah dan al-Walid masih saling memukul, dan kedunya terluka parah, jadi, kami berbalik melawan al-Walid dan membunuhnya dan kami membawa Ubaidah pergi.” (HR Abu Dawud).
Riwayat Ali ini bahwa dia membunuh Syaibah, Hamzah membunuh Utbah, kemudian mereka berdua menolong Ubaidah mengalahkan al-Walid, sama dengan riwayat Thabrani dengan sanad Hasan dan Ali. Ali berkata, “Aku dan hamzah membantu Ubaidah dan al-harits mengalahkan al-Walid bin Utbah. Nabi saw tidak mencela atas apa yang kami lakukan.”
Menurut Ibnu hajar (setelah menyebtukan hadits Ali yang diriwauatkan Abu Dawud), “Ini adalah riwayat yang paling shahih mengenai hal ini. Namun, dalam buku-buku Sirah, Ali yang melawan al-Walid. Itulah yang paling populer. Itu juga yangs esuai dengan kedudukannya. Sebab, Ubaidah dan Syaibah sama-sama tua, seperti utbah dan hamzah. Sebaliknya, Ali dan al-Walid adalah orang-orang  muda.”
Alin bin Abi Thalib berkata, “Aku akan menjadi orang pertama yang berlutut di hadapan Allah yang Maha Pemruah untuk menerima penghukuman-Nya pada hari kiamat.”
Qais bin Utbah berkata, “Tentang mereka Allah berfirman, “Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka.....” (QS al-Hajj (24) : 19). Qais mengatakan bahwa mereka melakukan duel pada peristiwa Badar yaitu hamzah, Ali, Ubaidah atau Abu Ubaidah bin al-Harits. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah, dan al-Walid bin Utbah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Mematahkan Serangan Kaum Musyrikin dengan Panah

Kaum kafir tercambuk amarahnya dengan permulaan buruk tersebut. kemudian mereka menghujani kaum muslimin dengan anak panah mereka. Peperangan mulai memanas, pedang-pedang saling menebas, dan kaum muslimin meneriakkan, “Ahad, Ahad (Esa, Esa).” Lalu, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk mematahkan serangan kaum musyrikin. Pada saat yang sama mereka saling berkaitan di posisi-p;osisi mereka.
Dikisahkan ole Usaid as-Sa’idy, “Pada Perang Badar Rasulullah saw berkata kepada kami, “Ketika musuh datang mendekat, temnbak mereka dengan panahmu,d an hendaklah engkau melakukannya terlebih dulu sebelum musuh.” (HR Bukhari).
Dalam riwaat Abu Dawud terdapat tambahan, “Ketika mereka datang mendekat, tombaklah mereka dengan panah, dan jangan kalian tebaskan pedang kepada mereka sampai mereka mendekat.” (HR Abu Dawud).
Dalam peperangan ini Rasulullah terjun langsung di dalamnya. Ali r.a. berkata, “Aku melihat kami berlindung di belakang Rasulullah saw., beliau paling dekat dengan musuh dan beliau paling dahsyat serangannya.” (HR Ahmad).

Tidaklah Kamu Melempar Ketika Kamu Melempar, tetapi Allah yang Melempar

Dari Ibnu Abbas berkata, “Rasululah saw berkata kepada Ali, “Beri aku segenggam kerikil.” Ali pun memberinya,d an Rasulullah saw melemparnya ke muka orang-orang kafir. Tak seorang pun dari mereka melainkan matanya penuh dengan pasir, maka turunlah ayat, “.... Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar ....” (QS al-Anfal (8) 17).” *HR Thabrani, Baihaqi, dan Thabari).
Dari Hakim bin Hamzah r.a. berkata, “Ketika peritiwa Badar, Rasulullah saw memerintahkan untuk mengambil kerikil, llau kami menghadangnya (Hakim pada saat itu di pihak kaum Kafir) dan beliau melemparkannya, dan berkata, “Wajah-wajah buruk” tetapi kami kalah. Kemudian Allah menurunkan, “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melemaprtetapi Allah yang melemar.” (HR Thbarani dan Thabari).

Nabi saw. Menerbangkan Roh Mereka ke Surga Allah

Ketika musuh mendekat dan kaum musyrikin menghadap ke arah mereka, Rasulullah saw berdiri di tengah kaum muslimin. Ia menasihati mereka, mengingatkan mereka dengan sabar, teguh pada kemenangan, keberuntungan yang dekat, dan pahala Allah di masa nanti. Ia juga mengabarkan bahwa Allah sudah mewajibkansurga bagi mereka yang syahid di jalan-Nya.

Allah Mengutkan Pasukan Islam dengan Malaikat

Perang makin memanas dan dahsyat, Rasulullah saw berdoa, memohon kecelakaan musuh, dan mengharap keapda Allah SWT.
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Ketika peristiwa Badar berlangsung, Rasulullah saw meliaht ke arah kaum musyrikin. Mereka berjumlah seribu, sedangkan sahabtnya hanya 319 orang. Lalu, Nabi Allah saw menghadap kiblat, mengulurkan tangannya, dan berbisik kepada Tuhannya, “Duhai Allah, wujudkan janji-Mu kepadaku. Wahai Allah, datangkan kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Wahai Allah, jika Engkau membinasakan golongan muslim, Engkau tak akan disembah di bumi.” Beliau masih saja memanggil Tuhannya, mengulurkan tangannya, menghadap kiblat, hingga jatuh selendangnya dari pundaknya. Abu Bakar mendatanginya dan mengambil selendang itu, lalu meletakkannya kembali di pundak beliau. Abu Bakar duduk di belakangnya dan berkata, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah kau mengharap keapda Tuhanmu, Dia akan memberimu apa yang Dia janjikan kepadamu.” Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada  Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. “Sungguh, Aku aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS al-Anfal (8) : 9). Allah memberinya bala banuan yakni malaikat.
Abu Zumail berkata, “Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadaku bahwa Ia berkata, “Ketika pada hari itu seorang muslim mengejar seorang kafir yang ada di depannya, ia mendengar di atasnya suara pukulan dengan cmabuk dan suara pengendara kdua berkata, “Majulah haizoum (nama kuda) yang ditunggangi seorang raja). Dia melirik musyrik yang ada di depannya, jatuh telentang. Kedia dia melihatnya, ada bekas luka di hidung dan wajahnya robek seolah-olah itu tlah dipukul dengan cambuk,d an telah berubah menjadi hijau dengan racunnya. Seseorang dari kaum Anshar datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan kepada beliau tentang hal ini. Dia berkata, “Engkau benar. Ini adalah bantuan dari Langit ketiga. Hari itu mereka menewaskan tujuh puluh orang dan menangkap tujuhpuluh orang juga.” (HR Muslim).
Rasulullah saw tertidur sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan berkata, “:Wahai Abu Bakar, bergembiralah, pertolongan Allah telah datang kepadamu, Ini Jibril mengambil tali kekang kudanya dan menungganginya dan di depannya debut beterbangan.”
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Sesungguhnya Nabi saw bersabda pada hari (perang) badar, “Ini Jibril memegang kepala kuda dan dilengkapi dengan senjata untuk pertempuran.” (HR Bukhari).
Dari Ali bin Abi Thalib, karramullahu wajha, berkata, “Seseorang dari Anshar bertubuh pendek datang dengan membawa Abbas bin Abdul Muthalib sebagai tawanan. Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, bukan dia yang menawanku. Seorang laki-laki berambut menyamping, termasuk roang yang tampan, menunggangi kdua berbintik. Aku tidak melihatnya di antara pasukan.” Orang Anshar itu berkata, “Aku yang menawannya, wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Diamlah, engkau telah ditolong oleh malaikat yang  mulia.” (HR Abu Dawud).,
Dari Abu Dawud al-Maziny, “Sungguh aku mengikuti seseorang dari kaum musyrikin untuk kupukul, tetapi kepalanya telah jatuh sebelum pedangku sampai ke kepalanya. Kemudian aku tahu dia dibunuh oleh selainku.” (HR Ahmad, Baihaqi, dan Thbari).
Dari al-Barra’ berkata, “Seseorang dari Anshar datang membawa Abbas, yang ia tawan. Abbas berkta, “Wahai Rasulullah, bukan orang ini yang menangkapku. Laki-laki yang menangkapku, ciri-cirinya seperti begini dan begini.” Kemudian Rasulullah saw berkata, “Engkau telah dibantu oleh malaikat yang mulia.” (HR hmad).
Dari Ali bin Abi Thalib, karramallahu wajhah, berkata, “Nabi saw berkata kepadaku dan Abu Bakar pada saat Perang Badar, “Ada Jibril bersama salah satu dari kalian dan Mikail dengan yang lain, sedangkan Malaikat Israfil yang agung menyaksikan pertempuran ini, atau berada di bawah pasukan.” (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Al-Hafidh dalam karyanya, Fath al-Bary, berkata, “Syekh Taqiyuddin as-Sabaky berkata, “Aku ditanya tentang hikmah keikutsertaan para malaikat berperang bersama Nabi saw, padahal Jibril mampu untuk melawan kaum kafir hanya dengan satu bulu dari sayapnya.”
Kemudian kukatakan, “Hal itu terjadi untuk sebuah kehendak agar perbuatan tersebut tampak berasal dari Nabi dan para sahabatnya. Para malaikat menjadi bala bantuan untuk sesuatu yang biasa dilakukan dalam membantu pasukan. Untuk menjaga bentuk sebab dan sunnah-sunnah-Nya yang dijalankan oleh-Nya pada para hamba-Nya. Allah yang melakukan semua itu. Allah telebih mengetahui.”
Pertolongan datang dan Allah menurunkan bala tentara-Nya serta menguatkan Rasul-Nya dan kaum mukminin. Allah menganugerahi mereka pudnak-pundak orang musyrik untuk dibunuh dan ditangkap. Kemudian mereka dapat menewaskan 70 orang dan menangkap 70 orang juga.
Tak ada yang Mengetahui (Jumlah) Tentara Tuhanmu, kecuali Dia
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “ Angin kencang membinasakan mereka pada peristiwa Badar.” (HR al-Bazzar).

Bangkitlah Menuju Surga yang Seluas Langit dan Bumi

Dari Anas r.a. berkata, “Rasulullah saw dan para sahabat mencapai Badar sebelum kaum musyrikin. Ketika mereka tiba, Rasulullah saw bersabda, “Janganlaha da salah satu dari kalian maju ke mana pun sebelum aku berada di dekatnya.” Ketika musyrikin mendekat, Rasulullah saw bersabda, “Sekarang bangkitlah menuju surga yang selebar langit dan bumi.” Umair bin al-Hamam bertanya, “Apakah surga selebar langit dan bumi?” Rasulullah saw mengiyakan. Umair berkata, “”Bakh, bakh (kata yang diungkapkan untuk mengagungkan sesuatu dalam kebaikan).” Rasulullah saw bertanya, “Apa yang telah membuatmu berkata begitu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah. Tapi aku berharap bahwa aku mungkin menjadi salah satu penduduk surga.” Rasulullah saw berkata, “Sungguh engkau akan menjadi penduduk surga.” Umair kemudian mengambil beberapa butir kurma dari tabungannya dan mulai memakannya. Kemudian ia berkata, “Jika aku bertahan sampai aku makan kurmaku, itu berati umur panjang.” Dia membuang kurma yang ada padanya, kemudian bertarung dengan mush sampai ia terbunuh.” (HR Muslim).

Apa yang Membuat Tuhan Tertawa karena Hamba-Nya?

Auf bin al-Harits --- putra Afra’ --- pernah bertanya keapda Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat Tuhan tertawa karena hamba-Nya?” Rasulullah saw menjawab, “Ketika ia (si hamba) menancapkan tangannya ke musuh tanpa perisai.” Ia pun menanggalkan perisainya dan melemparkannya. Kemudian ia mengambil pedangnya dan bertempur sampai ia tewas.” (HR Ibnu al-Atsir dan Ibnu Hisyam).
Renungkanlah bersamaku, wahai saudaraku yang tercinta, bagaimana para sahabat berambisi pada segala sesuatu yang mendekatkan mereka pada keridhaan Allah SWT dan surga-Nya.

Matinya Abu Jahal

Abu Jahal berusaha menghentikan kekalahan yang menghantam kaumnya, kemudian ia berteriak kepada mereka. Kecongkakan dan keangkuhan masih saja bergelayut di matanya, “Demi Latta dan Uzza, kita tidak akan pulang sebelum kita mencerai-beraikan mereka di pegunungan..... hancurkan mereka.”
Apa yang bisa dilakukan oleh sebuah teriakan di tengah fakta yang menyesakkan itu? Namun, Abu Jahal  --- seperti namanya, bodoh --- merupakan patung pembangkangan hingga napas terakhirnya. Kesombongan yang terjalin di matanya merupakan bagian dari entitasnya yang tak terpisahkan selamanya. Oleh karena itu, ia maju berperang dalam amarah dan murka, seraya berkata,
“Perang yang dhsyat sekalipun
Tak kan bisa membalaskan dendamnya kepadaku
Aku memberikan masa mduaku untuk banyak orang
Untuk itulah aku dilahirkan ibuku.”
Meskipun demikian, tak lama kemudian realita menampakkan arogansinya, senetar kemudian barisan pasukan kaum musyrikin beradu di depan gelombang serangan kaum muslimin. Ya, di sekitarnya hanya ada sekelompok orang musyrik, yang mengayunkan kelebatan-kelebtan pedang dan menghujani kaum muslimin degan tombak. Namun, badai serangan kaum muslimin menghancurkan pedang-pedang dan mencukur tombak-tombak itu. Pada saat itu para penindas dilihat oleh kaum mujslimin berkeliling dengan kduanya. Kematian menunggu untuk menghisap darahnya melalui tangan dua putra Anshar.
Dari Abdurrahman bin Auf berkata, “Ketika aku berada di barisan pasukan pada Perang Badar, aku melihat ke kanan dan kiriku ternyata tampak ada dua orang anak dari kaum Anshar yang masih sangat muda dan aku berharap berada di antara tulang rusuk keduanya. Salah seorang darinya mengerdipkan matanya kepadaku seraya berkata, “Wahai Paman, apakah Paman mengenal Abu Jahal?” Aku jawab, “Ya, tetapi apa kepentinganmu dengannya, wahai anak saudaraku?” Dia berkata, “Aku mendapat kabar bahwa dia menghina Rasulullah saw. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya aku melihatnya pasti tidak akan berpisah jasadku dengan jasadnya, sampai siapa di antara kami yang menemui ajalnya lebih dahulu.” Aku menjadi kagum dengan keberaniannya. Lalu, anak yang satunya lagi mengerdipkan matanya kepadaku, lalu berkata kepadaku seperti yang dikatakan saudaranya tadi.
Tidak lama kemudain aku melihat Abu Jahal bolak-balik di tengah-tengah pasukan, lalu kukatakan kepada kedua anak tadi, “Itu dia orang yang tadi kalian tanyakan keapdaku.” Kemudian keduanya bersiap menyerbu dengan menghunus pedang masing-masing. Lalu keduanya menebas Abu jahal hingga tewas. Keduanya mendatangi Rasulullah saw dan mengabarkannya, kemudian belia bertanya, “Siapa di antara kalian berdua yang membunuhnya?” Kemudian masing-masing dari keduanya menjawab, “Akulah yang membunuhnya.” Beliau bertanay lagi, “Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian?” keduanya menjawab, “Belum.” Beliau pun melihat pedang keduanya, lalu berkata, “Kalau begitu, kalian berdua yang telah membunuhnya dan salabnya (harta benda yang melekat pada tubuh musuh saat dibunuh) untuk Mu’adz bin Amru bin al-Jamuh.” Kedua anak itu namanya Mu’adz bin Amru bin al-Jamuh dan Mu’adz bin Afra. (HR Bukhari dan Muslim).

Fir’aun Masa Kini

Dari Anas r.a. berkata, “Ketika Perang Badar, Nabi saw bersabda, “Siapa yang akan pergi dan melihat apa yang terjadi pada Abu Jahal?” Ibnu Mas’ud pergi dan menemukan bahwa kedua anak Afra telah memukulnya hingga sekarat. Abdullah bin Mas’ud berhsil meraih janggutnya dan berkata, “Apakah kau Abu Jahal?” Dia menajwab, “Adakah seorang laki-laki yang lebih unggul, kaumnya sendiri membunuhnya (dalam riwayat lain, “kalian membunuhnya”)?” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Aku melihat Abu Jahal pada peristiwa Badar dalam keadaan mengenaskan, kemudian kukatakan kepadanya, “Wahai musuh Allah, Allah telah menghinamu.”
Dia berkata, “Dengan apa ia menghinaku, seorang laki-laki yang telah kalian bunuh.” Pedang masih ada di tanganku, lalu kuarahkan pedang itu ke Abu Jahal, tetapi dia belum terjatuh. Di tangan Abu Jahal ada pedang yang bagus, kemudian kutebaskan pedang ke tangannya. Pedangnya jatuh dan aku mengambilnya. Lalu, kubuka pelindung kepalanya dan kutebaskan pedang itu ke lehernya. Kemudian aku datang menemui Rasulullah saw dan aku memberi tahu beliau. Beliau berkata, “Allah yang tiada Tuhan selain Dia.” Aku berkata, “Allah yang tiada Tuhan selain Dia.”
Rasulullah saw berkata, “Pergilah dan lihatlah kembali (untuk meyakinkan bahwa Abu Jahal telah mati). Lalu, aku pergi dan mencari (jasadnya) seperti burung, lalu aku datang mencari dan mencari seperti burung. Aku tertawa ketika mendapatkannya, lalu aku memberi tahu Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw berkata, “Pergilah.” Aku bersama beliau dan kuperlihatkan jasad Abu Jahal. Ketika Rasulullah saw berdiri memandang jasad itu, beliau berkata, “Ini adalah Fir’aun zaman ini.” (HR Thabrani).

Kematina Umayyah bin Khalaf

Dulu Umayyah bin Khalaf pernah menyiksa Bilal r.a. di tengah panasnya sahara Makkah, dengan siksaan yang sangat pedih. Hari berganti dan Allah SWT berkehendak. Bilal mendapat kesempatan untuk mengeksekusi Umayyah bin Khalaf. Abdurrahman bin Auf r.a. seorang sahabat yang mulia, menceritakan bagaimana Allah menghukum Umayyah bin Khalaf, melalui tangan Bilal.
Dari Abdurrahman bin Auf r.a. berkata, “Aku menulis pesan kepada Umayyah bin Khalaf agar ia menjaga keluarga dan hartaku di Makkah serta aku mengajga keluarga dan hartanya di Madinah. Ketika aku sebut “ar-Rahman” dia berkata, “Aku tidak tahu ar-Rahman, tulislah dengan namamu pada saat jahiliah, kemudian kutulis (Abdu Amru).”
Pada saat perang Badar, aku keluar menuju gunung untuk melindungi Umayyah ketika orang-orang sedang tidur. Namun, Bilal melihatnya dan ia pun pergi keluar dan berhenti pada majelis orang-orang Anshar. Bilal berkata, “Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat jika Umayyah selamat.” Beberapa orang Anshar pergi bersama Bilal mengikuti jejak kami. Ketika aku takut, mereka akan mendapati kami, aku tinggalkan untuk mereka anak Umayyah agar mereka sibuk dengannya. Namun, akhirnya mereka dapat membunuhnya. Mereka pun tak mau berhenti darus saja mengikuti jejak kami – umayyah adalah laki-laki yang tambun – dan akhirnya mereka mendapati kami. Maka kukatakan kepada Umayyah, “Merunduklah.” Ia pun merunduk dan aku menjadi tameng untuk melindunginya. Namun, mereka dapat mencapai Umayyah dari bawah kakiku dan mereka pun membunuhnya. Pedang salah satu dari mereka mengenai kakiku. Abdurrahman memperlihatkan pada kami bekas luka di punggung kakinya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf dan Umayyah bin Khalaf adalah dua sahabat pada masa jahiliah di Makkah. Pada saat Perang Badar berlangsung, Abdurrahman melihat Umayyah sedang berdiri bersama anaknya, Ali bin Umayyah yang menggenggam tangannya. Di tangan Abdurrahman terdapat baju besi dan harta rampasan yang ia ambil. Ketika Umayyah melihatnya, “Apakah engkau mau menjaminku? Aku memiliki sesuatu yang lebih baik dari baju-baju besi yang ada padamu itu. Aku tak pernah melewati hari seperti ini. Apakah engkau membutuhkan susu (masudnya, siapa yang menawanku, aku akan menggantinya dengan unta yang banyak susunya).” Maka Abdurrahman pun membuang baju besi itu dan menawan mereka berdua. Abdurrahman berkata, “Umayyah berkata keapdaku pada saat itu aku berada di antara dia dan anaknya, “Siapa laki-laki yang didadanya terdapat tanda bulu berung unta?” Aku jawab, “Dia Hamzah bin Abdul Muthalib.” Dialah yang membuat kami jadi seperti ini.” Kata Umayyah. Abdurrahman berkata, “Ketika aku menggiring mereka berdua, demi Allah, Bilal meliaht Umayyah bersamaku. Dan Umayyah-lah yang pernah menyiksa Bilal di Makkah. Bilal berkata, “Pemimpin kaum kafir, Umayyah bin Khalaf, Aku tidak selamat jika Umayyah selamat.” Aku berkata, “Wahai Bilal, ini tawananku.” Bilal berkata, “Aku tidak selamat jika Umayyah selamat.” Aku berkata, “Apakah engkau mendengar, wahai anak perempuan hitam.” B ilal berkata, “Aku tidak selamat jika Umayyah selamat.” Lalu, ia berteriak kencang, “Wahai penolong-penolong Allah, ini pemimpin kaum kafir, Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika Umayyah selamat.” Mereka pun mengelilingi kami, hingga mereka menjadikan kami seperti cengkeraman. Aku keluar dari lingkaran itu. Abdurrahman berkata, “Seseorang menghunuskan pedangnya, dia membunuh anak Umayyah dan dia pun tersungkur. Umayyah berteriak, tak pernah kudengar ia berteriak seperti itu. Lalu, kukatakan, “Selamatkanlah dirimu sendiri dan tak ada keselamatan untukmu. Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongmu.” Abdurrahman berkata, “Lalu, mereka menumpahkan darah Umayyah dengan pedang-pedang mereka hingga mereka menyelesaikan tugas mereka (membunuhnya). Abdurrahman pernah berkata, “Allah mengasihi Bilal, baju-baju besiku hilang dan ia membunuh tawananku.” (HR Ibnu Hisyam dan Bukhari dalam shahihnya).

Kami Menjagamu dari Kejahatan Orang-Orang yang memperolok-olokmu

Allah SWT megnabulkan doa Nabi saw di peperangan ini menghadapi kaum musyrikin Quraisy. Sebgaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu Mas;ud ketika kaum musyrikin meletakkan bangkai binatang sembelihan di punggung Nabi saw ketika beliau sedang shalat di Ka’bah. Nabi saw bersabda, “Ya Allah, orang-orang Quraisy ini kupasrahkana kepada-Mu.” Beliau, mengulanginya sebanyak tiga kali. Lalu, beliau menyebutkan nama-nama, “Wahai Allah, kupasrahkan kepada-Mu Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, dan Uqbah bin Abu Mu’ith.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keenam orang itu terbunuh pada Perang Badar. Allah membuat Nabi-Nya berseri-seri dengan kematian mereka. Terwujudlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT, “Sesungguhnya Kami memelihara  engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokan (engkau).” (QS al-Hijr (15) : 95).
Abu Lahab yang sedang berada di Makkah dan tidak turut dalam Perang Badar, ia terkejut dengan matinya para pemimpin kaum kafir. Tak lama kemudian Allah SWT juga membinasakannya dan membuat pelajaran bagi mereka yang mau mengambil ibrah.
Dari Abu Rafi’ pelayan Rasulullah saw berkata, “Aku adalah budak di keluarga Abbas dan dia menyembunyikan keislamannya karena takut kepada kaumnya. Abu Lahab yangs edang tidak mengikuti Perang Badar dan mengutus al-Ash bin Hisyam untuk menggantikannya karena ia berutang kepadanya. Abu Lahab berkata, “Gantikan aku di peperanga ini dan aku hapuskan utangmu.” Abu Lahab pun berangkat, ketika kabar kekalahan mereka sampai kepadanya. Allah mencelakakan Abu Lahab. Aku seorang laki-laki yang lemah, aku membawa peralatanku ke kamar. Bersamaku ada Ummu al-Fadhl. Tiba-tiba ada Abu Lahab, orang fasik itu datang menarik-narik kedua kakinya, aku melihatnya. Abu Rafi’ berkata, “Lalu, ia duduk di dekat tali kemah. Punggungnya dekat dengan punggungku. Orang-orang berkata, “Itu Abu Sufyan bin al-Harits.” Lalu Abu Sufyan berkata, “Wahai anak saudaraku, bagaimana kabar kaum kita?” Abu Lahab berkata, “Tidak apa-apa. Demi Allah hanya saja ketika kita bertemu mereka, kita berusaha menyerang mereka, mereka membunuh pasukan kita, sebagaimana mereka mau, mereka menawan pasukan kita. Abu Sufyan berakta, “Mengapa?” Abu Lahab “Aku melihat banyak laki-laki putih menunggang kdua bertotol, tidak demi Allah, tak pernah ada yang seperti dia. Dan ia tidak melakukan apa-apa.” Lalu aku angkat tali itu dan aku berkata, “Itu demi Allah, malaikat.” Abu Lahab mengangkat tangannya dan menamparku. Aku berkelahi dengannya, tetapik ia mengalahkanku dan memukulku hingga  aku tersungkur. Ummu al- Fadhl bangkit dan membuka tali kemah, mengambil tiang kemah itu, dan memukulkannya keoada Abu Lahab, di kepalanya ada sesuatu yang menjijikan. Ummu al-Fadhl berkata, “Wahai musuh Allah, kau memukulnya pada saat tuannya sedang tidak ada.” Lalu, Abu Lahab bangkit lemah. Demi Allah, 7 malam kemudian Allah membinasakannya dengan sebuah penyakit (adasah). Kedua anaknya membiarkannya dua atau tiga hari, mereka tidak juga menguburkannya, hingga mayatnya melepuh. Seseorang dari Qurasy berkata kepada dua anaknya.”Tidakkah kalian malu, ayah kalian telah melepuh jasadnya di rumahnya.” Mereka berdua berkata, “Kami takut (tertular) pada lukanya. Saat itu bagi Quraisy adasah seperti halnya tha’un (kusta), mereka amenghindarinya. Maka laki-laki itu berkata, “Pergilah (kuburkan ayah kalian), aku akan membantu kalian.” Abu Rafi’ berkata, Demi Allah, mereka berdua tidak memandikannya, melainkan hanya memercikinya dengan air dari kejauhan. Lalu, mereka membawanya dan melemparkannya dari perbukitan Makkah ke sebuah jurang dan melemparinya dengan bebatuan.” (IHR Thabrani dan al-Bazzar).

Dia Berada di Surga Firdaus

Kaum mujslimin membuka mata mereka pada kegembiraan akan kemenangan untuk mereka, baik yang di bumi maupun di langit.
Keberuntungan yang luar biasa ini mengembalikan mereka dari belenggu yang berat. “Dan sungguh Allah telah menolong kamu dalam Perang badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu menyukuri-Nya.” (QS Ali “imran (3) : 123).
Ada 14 orang yang meninggal sebagai syahid. Rahmat Allah menaungi mereka dan mereka berada di tempat yang tinggi. Dari Anas r.a. mengabarkan bahwa harits bin Suraqah terbunuh pada eprang Badar. Dia ebrada di bagian pengintai dan ia terkena anak panah yang melesat dan membunuhnya. Ummu harits datang menemui Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau tahu kedudukan Harits di lubuk hatiku. Kalaulah dia di surga, aku tidak akan menangisinya, sebaliknya kalaulah tidak, menurut Anda, apa yang harus aku lakukan?” Nabi bersabda, “Apakah engkau beranggapan bahwa surga hanyalah satu tingkatan, sungguh dalam surga terdapat sekian banyak tingkatan, dan Harits berada di surga Firdaus (surga yang paling tinggi).” (HR Bukhari).

Kematian Ubaid bin Sa’id bin al-Ash di Tangan az-Zubair

Dari az-Zubair berkata, “Aku bertemu Ubaid bin Sa’id bin asl-Ash pada hari (Perang) Badar dan ia ditutupi dengan baju besi. Sehingga hanya matanya yang terlihat. Dia dikenal dengan sebutan Abu Dzat al-Karisy. Ia berkata, “Aku Abu Dzat al-karisy. Aku menyerangnya dengan tombak dan menembus matanya dan ia mati. Hisyam berkata, “Diceritakan keapdaku bahwa az-Zubair berkata, “Aku meletakkan kakiku di atas tubuhnya untuk menrik (tombak itu), tetapi kemudian aku harus menggunakan kekuatan besar untuk mengangkatnya keluar karena kedua ujungnya yang bengkok. Urwah berkata, “Kemudain Rasulullah saw meminta tombak itu dari az-Zubair membawanya kembali. Kemudian Umar memintanya dari az-Zubair dan dia memberikannya keapdanya. Ketika Umar meninggal, az-Zubair membawanya kembali. Kemudian Utsman memintanya dar9 az-Zubair dan ia memberikannya kepadanya. Ketika Utsman terbunuh, tombak itu berada di tangan keturunan Ali. Kemudian Abdullah bin az-Zubair mengambilnya kembali, dan tombak itu tetap merada di tangannya hingga ia terbunuh.” (HR Bukhari).

Dahsyatnya Serangan Ali bin Abi Thalib r.a. pada Perang Badar

Dari Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, “Aku berada di sumur. Ketika Perang badar, aku menarik ember untuk kujadikan tameng. Lalu, berembus angin kencang, kemudian berembus lagi. Aku belum pernah melihat angin sekencang itu kecuali sebelumnya. Kemudian berembus lagi. Ternyata embusan pertama Mikail dengan seribu malaikat dari sebelah kanan Nabi saw. Embusan kedua, israfil dengan seribu malaikat di samping kiri Nabi saw. Embusan ketiga, Jibril dengan seribu malaikat bersamanya. Saat Abu Bakar berada di sebelah kanannya dan aku sebelah kirinya. Ketika Allah menghajar kaum kafir, Rasulullah membawaku di belakangnya. Aku berdoa kepada Allah untuk meneguhkan tempatku di atas kuda itu dan begitulah keadaanku. Lalu, aku tembakkan tombakku, hingga darah berhamburan sampai ke ketiakku.” (HR Abu Ya’la).

Sa’ad Berperang dengan berkuda dan Berjalan Kaki

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sa’ad berperang bersama Rasulullah pada peristiwa badar dengan berkuda dan berjalan.” (HR al-Bazzar).
Demikianlah, jelas bagi kita bagaimana para sahabat --- semoga Allah meridhai mereka --- berambisi untuk secepatnya menemui kesyahidan di jalan Allah, surga-Nya, ridha=Nya, seindah-indahnya tempat untuk tinggal, dan keabadian dalam kenikmatan surgawi.

Antara Loyalitas dan Pembangkangan

Pada peristiwa Badar banyak terdapat adegan yang menakjubkan, yang memperlihatkan kekuatan akdiah dan kekiukuhan prinsip. Pada perang ini, bapak melawan anak, saduara melawan saudara, yang berbda keyakinan. Pedanglah yang memisahkan antara keduanya. Bertemulah dia yang pernah dipaksa dengan pemaksanya, yang menyebuhkan amarah di hatinya.
Menurut penulis Fi Zhildi (Sayyid Quthb) --- semoga Allah merahmatinya, “Hubungan darah dan kekerabatan ini putus dengan batas keimanan. Sebenarnya hubungan ini bisa dijaga jika tidak ada perseteruan dan permusuhan antara dua panji : Panji Allah dan Panji setan. Memperlakukan kedua orang tua yang musyrik diperintahkan oleh Allah ketika tidak ada peperangan antara golongan Allah dan golongan setan. Namun, jika terdapat sengketa, permusuhan, dan peperangan, putuslah ikatan-ikatan yang tidak dalam satu tali tersebut. abu Ubaidah telah membunuh bapaknya pada Perang Badar. Abu Bakar as-Shiddiq menginginkan untuk membunuh anaknya, Abdurrahman. Mush’ab bin Umari membunuh saudaranya Ubaid bin Umair. Begitu juga, Umar, Hamzah, Ali, Ubaidah, al-Harits membunuh para kerabat dan keluarganya. Mereka melepaskan ikatan-ikatan darah dan kekerabatan, memakai ikatan agama dan akidah. Sikap ini merupakan sikap termulia dari pemahaman tinggi akan sebuah ikatan dalam timbangan Allah.

Sikap Mulia Mus’ab bin Umair dalam Loyalitas dan Pembangkangan

Ibnu Ishaq, “Nabih bin Wahb,,saudara Bani Abdudar, megnabarkan kepadaku bahwa Rasulullah ketika datang para tawanan, Rasulullah memisahkan antara mereka dan orang-orang yang menangkap mereka (para sahabat) dan beliau berpesan, “Jagalah para tawanan dengan bik.”
Nabih bin Wahb berkata, “Pada saat itu Abu Aziz bin Umair bin Hisyam, saudara Mush’ab se ayah dan se ibu, termasuk yang ditawan. Nabih berkata, “Maka Abu Aziz berkata, “Mush’ab bin Umair lewat di depanku bersama seseorang dari Anshar yang menawanku. Lalu, Mush’ab berkata, “Ikatkan tanganmu dengannya (jaga dia baik-baik) karena ibunya punya banyak perhiasan. Semoga dia membayar tebusannya.” Abu Aziz berkata, “Pada saat itu aku berada di rumah seorang Anshar ketika mereka membawaku dari Badar. Ketika mereka menghidangkan makan siang dan makan malam, mereka secara khusus memberiku roti, dan mereka hanya makan kurma. Sebab, Rasulullah telah berpesan kepada untuk menjaga kami, mereka sdikit pun tidak mengambil roti itu, semua diberikan kepadaku. Abu Aziz berkata, “Aku malu dan aku berikan kepada salah seorang dari mereka, tetapi ia mengembalikannya dan tidak menyentuhnya.”
Ibnu Hisyam berkata, “Abu Aziz pada saat Perang Badar bertugas sebagai pembawa panji kaum musyrik, setelah an-Nadhr bin al-Harits. Ketika saudaranya, yaitu Mush’ab bin Umair berkata apa yang ia katakan kepada Abu al-Yusr, orang yang menangkap Abu Aziz, Abu Aziz berkata, “Wahai saudaraku, beginilah caramu membicarakan tentangku?” Maka Mush’ab berkata kepada Abu a;-Yusr, “Dia adalah saudaraku, selain engkau. Maka aku meminta dari ibunya tebusan yang paling mahal daripada tebusan yang diberi oleh orang Quraisy lainnya.” Dikatakan bahwa ia meminta 4.000 Dirham. Lalu, ibunya mengirim sejumlah 4.000 Dirham untuk menebus anaknya.” (HR Ibnu Hisyam).

Abu Ubaidah r.a. Pelajaran tentang Loyalitas dan Pembangkangan

Ketika Perang Badar, Abu Ubaidah menyerang dengan dahsyat, sampai-sampai kaum musyrikin menjauhi daerah tempat ia berada. Namun, di sana ada seseorang menunggang kuda yang menghadangnya. Namun, Abu Ubaidah menghidnar darinya. Akan tetapi, ketika laki-laki itu terus saja berusaha untuk menyerang Abu Ubaidah, Abu Ubaidah akhirnya menyerangnya bagai singa kelaparan dan ia pun membunuhnya dengan cara mengenaskan.
Apakah kalian tahu siapa yang dibunuhnya itu? Dia adalah ayah Abu Ubaidah sendiri. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengannya dan ayahnya, “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Alalh telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.” (QS al-Mujadillah (58) : 22).
Sa’id Abdul Aziz dan lainnya megnatakan bahwa ayat tersebut tentang Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin al-Jarrah ketika ia membunuh ayahnya pada Perang Badar. Oleh karena itu, ketika Umat bin Khaththab r.a. menginginkan enam sahabat untuk bermusyawarah tentang perkara penggantinya, sepeninggalnya, ia berkata, “Jika Abu Ubaidah hidup, aku akan menjadikannya penggantiku.”

Para Pemimpin Kaum Kafir Dilemparkan ke Sumur

Dari Anas bin Malik r.a., dari Abu Thalhah r.a. bahwa pada saat Perang Badar, Nabi saw memerintahkan untuk mengurus mayat duapuluh empat pemimpin Quraisy. Kemudian jasad mereka dibuang ke dalam salah satu sumur kering kotor Badar. Setiap kali Nabi saw menaklukkan sebuah kaum, beliau akan tinggal di medan tempur itu selama tiga malam. Pada hari ketiga dari Perang Badar, beliau memerintahkan untuk mempersiapkan unta betinanya dan mengikatkan barangnya di atas punggung untanya. Lalu, ia berjalan dan diikuti oleh para sahabatnya. Mereka berkata, “Kami tidak melihatnya pergi, kecuali untuk beberapa keperluan.” Beliau berhenti di tepi sumur, ia memanggil nama-nama orang-orang Quraisy dengan nama mereka dan nama-nama ayah mereka. “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan! Apakah sekarang kalian menikmati sesuatu karena kalian telah menaati Allah dan Rasul-Nya?” kami telah menemukan benar apa yang Tuhan janjikan kepada kami. Apakah kalian juga menemukan benar apa yang Tuhan janjikan kepada kalian? Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkau berbicara keapda badan-badan yang tidak memiliki jiwa.” Rasulullah saw berkata, “Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan dariapda mereka.” Qatadah berkata, “Allah membawa mereka ke kehidupan (lagi) untuk membiarkan mereka mendengarnya, selaan, heniaan, teguran, penyesalan, dan penyesalan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah saw membiarkan mayat orang kafir yang bertempur di badar terbaring selama tiga hari. Lalu, beliau datang ke mereka dan berdiri di depan mereka, memanggil mereka dan berkata, “Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalaf, wahai Uthbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah mendapatkan apa yang Tuhan kalian janjikan kepada kalian benar-benar nyata? Seperti untuk saya telah mendapatkan janji-janji Tuhan saya untuk menjadi benar adanya.” Umar mendengarkan kata-kata Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana merek menengarkan dan menaggapi engkau? Mereka mati dan tubuh mereka membusuk.” Kemudian Nabi barkata, “Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, tidaklah kalian lebih mendengarkan apa yang aku katakan dariapda mereka, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan untuk menjawabnya.” Lalu beliau memerintahkan agar mereka dikubur di dalam sumur Badar. (HR Muslim).

Nabi saw. Mendoakan Abu Hudzaifah

Dari Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk menguburkan mayat-mayat kafir Quraisy dikuburkan di dalam sumur. Lalu, mereka menguburkan mayat-mayat itu, wajah Abu Hudzaifah bin Uthbah tampak cemberut, saat ayahnya dimasukkan ke sumur itu. Maka Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Hudzaifah, tampaknya engkau tidak suka pada apa yang terjadi pada ayahmu?” Abu Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak meragukan Allah dan Rasul-Nya. hanya saja, ayahku adalah seorang yang sabar, selalu tepat dalam berpendapat, aku selalu berharap agar ia tidak mati hingga Allah memberinya petunjuk pada Islam. Namun, ketika aku melihat bahwa masa sduah berlalu dan ia pun sudah terjerumus pada sesuatu yang membuat aku sedih.” Rasulullah pun mendoakan kebaikan untuknya.”

Mereka Terpaksa Turut Berperang

Dari Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda pada saat Perang Badar, “Jika memungkinkan, kalian tawan saja bani Abdul Muthalib karena mereka pergi berperang dengan terpaksa.” (HR Abu Dawud).

Nabi saw. Bermukim di Badar Tiga Hari

Dari Anas bin Malik r.a. – hadits ini ada dalam ash-shahih – mengatakan bahwa Nabi saw. Jika mengalahkan suatu kaum, beliau bermukim di medan perang tiga malam.
Dari Abu Thalhah r.a. berkata, “Rasulullah jika menang atas suatu kaum, beliau tinggal di tempat itu selama tiga malam.” (HR Turmudzi).
Menurut sebagian ahli sejarah, “Sungguh Abbas r.a. telah menyatakan keislamannya sebelum hijrah, tetapi ia menyembunyikannya. Di riwayat lain dikatakan bahwa ia masuk Islam sebelum penaklukkan Makkah. Orang-orang Quraisy sendiri menduga-duga akan keislamannya, tetapi mereka tidak menemukan bukti yang menguatkan dugaan itu. Apalagi ia tampak seperti mereka. Pada saat Perang Badar akan ebrlangsung, mereka ingin memecahkan keraguan itu, yang akhirnya hal itu membuas Abbas pergi berperang bersama mereka. Hal inilah yang menyebabkan Nabi saw melarang untuk membunuh Abbas r.a.
Menurut Ibnu Abbas, Nabi saw berkata kepada para sahabatnya, “Sungguh aku sudah tahu bahwa beberapa orang dari bani hasyim dan yang lainnya, mereka pergi terpaksa. Mereka tidak punya kepentingan untuk membunuh kita. Maka barang siapa yang bertemu Abbas bin Abdul Muthalib, hendaklah ia tidak membunuhnya. Karena ia terpaksa pergi.” Lalu, Hudzaifah bin Utbah berkata, “Apakah kami akan membunuh bapak-bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara kami, dan kerabat kami, tetapi kami membeiarkan Abbas? Demi Allah, jika aku bertemu dengannya, aku akan menebasnya dengan pedangku.” Pernyataan ini sampai kepada Rasulullah saw, lalu beliau berkata pada Umar bin Khaththab, “Wahai Abu Hafsah, apakah wajah paman Rasulullah akan ditebas dengan Pedang?!” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas lehernya dengan pedang. Demi Allah, dia munafik.”
Abu Hudzaifah pernah berkata, “Aku tidak percaya dengan apa yang kukatakan pada saat itu, sampai hari ini aku masih takut (akan kesalahnku itu), kecuali jika mati syahid dapat menghapus kesalahnku.” Kemudian ia pun  terbunuh dan syahid pada persitiwa Yamamah.”

Mereka yang Terbunuh dari Kaum Musyrik, Mereka yang Syahid dari Kaum Muslimin

Dari Ibnu Mas;ud r.a. berkata, “Sungguh delapan beals orang dari sahabat Rasulullah saw yang terbunuh pada Perang Badar, Allah membuat arwah mereka di surga dalam burung hijau yang bebas di sungai. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, ada sesuatu yang melihat mereka, dan berkata, “Wahai hamba-hamba-Ku, apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, apakahada (kenikmatan lain) di atas ini?” Lalu, Dia bertanya lagi, “Wahai hamba-hamba-Ku, apa yang kalian inginkan?” Dan mereka mengatakan pada keempat kalinya, “(Kami ingin) kau mengembalikan roh kami pada jasad kami sehingga kami terbunuh seperti sebelumnya.” (HR Thabrani).
Dari al- Barra’ bin Azib r.a. berkata, “Nabi mengangkat Abdullah bin Jubair sebagai pemimpin pasukan pemanah pada peristiwa Uhud dan 70 orang dari kami menjadi korban. Pada perang Badar, Nabi saw dan para sahabat berhasil mengenai 40 orang dari kaum musyrikin. 70 orang tawanan dan 70 orang yang tewas. Abu Sufyan berkata, “Satu hari (Uhud) sama dengan hari Badar, perang adalah catatan.” (HR Bukhari).,

Terbunuhnya an-Nadhr bin al-Harits

Setelah ebrmukim di Badan tiga hari. Rasulullah saw beserta pasukannya bergerak menuju Madinah. Bersama mereka ada para tawanan dari kaum musyrikin dan harta rampasan yang mereka kumpulkan. Abdullah ditunjuk untuk mengatur harta rampasan itu. Ketika beliau keluar dari jalan sempit ash-shafra, beliau singgah di Katsb, antara Madinah dan Naziyah. Di sanalah harta rampasan dibagi rata kepada kaum muslimin, setelah diambil seperlimanya.
Ketika sampai di ash-Shafra, Rasulullah saw memerintahkan untuk membunuh an-Nadhr bin al-Harits. Ia adalah pemegang panji kaum musyrikin pada perang Badar. Dan ia termasuk pembesar Quraisy yang kejam, yang paling memusuhi Islam, dan menyakiti Rasulullah. Kemudian Ali bin Abi Thalib pun menebas lehernya.

Terbunuhnya Uqbah bin Abi Mu’ith (Dalam Perjalanan Menuju Madinah)

Orang jahat inilah yang pernah menyakiti Rasulullah saw. Ia melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan orang lain. Ia pernah meletakkan kakinya kepada makhluk yang paling suci, yaitu Rasulullah saw. Memotong lehernya adalah balasan yang setimpal.
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah meminta tebusan untuk para tawanan Badar. Dan tebusan untuk tiap orang adalah 4.000 (Dirham). Adapun Uqbah bin Abi Mu’ith, dia dibunuh sebelum ditebus. Ali bin Abi Thalib-lah yang membunuhnya, setelah kesabaran sekian lama “Ali berkata, “Milik siapa orang ini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Neraka.” (HR Thabrani).
Dari Masruq bahwa ia kepada putra Abi Mu’ith, Abdullah bin Mas’ud r.a. mengatakan kepada kami bahwa Rasulullah  saw memerintahkan untuk membunuh bapakmu, kemudian, diperintahkanlah dengannya. Kemudian ia berkata, “Bagaimana anak ini setelah aku (membunuh bapaknya)?” Rasulullah bersabda, “9Untuk mereka neraka) cukuplah bagimu ridha Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud).
Hamad bin salamah berkata, “Dari Atha’ bin as-Sa’ib, dari asy-Sya’by berkata, “Ketika Rasulullah memerintahkan untuk membunuh Uqbah, ia berkata, “Apakah engkau akan membunuhku di antara orang-orang Quraisy ini, wahai Muhammad?” Nabi saw berkata, “Ya, apakah kalian tahu apa yang dilakukan orang ini terhadapku?” Ia datang ketika aku tengah bersujud di belakang Maqam Ibrahim, lalu ia meletakkan kakinya di atas leherku dan menekannya. Ia tidak juga mengangkat kakinya, hingga aku merasa mataku akan keluar. Di lain waktu, dia datng lagi dengan membawa semebelihan kambing, dan meletakkannya di atas kepalaku. Fatimah datang membersihkannya dari kepalaku.” Uqbah pun pergi di sampah sejarah, ia dibunuh sebagai balasan atas kekufuran, pembangkangan, dan dengkinya terhadap Islam da Rasulullah saw.”

Kabar Kemenangan Sampai di Madinah al-Munawaroh

Ketika kemenangan telah berpihak kepada muslimin, Rasulullah saw mengirim dua orang ke penduduk Madinah untuk memberi tahu kabar gembira ini. Beliau mengirim Abdullah bin Rawahah ke penduduk yang di perbukitan dan Zaid bin Haritsah ke penduduk bawah bukit.
Kaum yahudi dan munafik telah menyebarkan berita bohong, sampai-sampai mereka menyebarkan isu bahwa Nabi saw, telah terbunuh. Ketika salah satu dari golongan munafik melihat Zaid bin Haritsah menunggang al-Qushwa’ ---- unta milik Rasulullah saw ----- ia berkata, “Muhammad telah terbunuh, ini dia untanya kami mengenalnya. Zaid datang, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, ia datang memberitakan kekalahan.”
Ketika dua utusan itu telah dikelilingi oleh kaum muslimin, mereka mendengarkan kabar dari mereka berdua, hingga berita kemenangan itu benar-benar sampai ke telinga mereka. Kegembiraan dan kebahagiaan menyeruak, tahlil dan takbir bergema di penjuru Madinah. Para tokoh Muslim --- yang sedang berada di Madinah – pergi menyusul Rasulullah yang sedang dalam perjalanan pulang untuk memberi selamat atas kemenangan nyata itu.
Utsman bin Zaid berkata, “Kabar itu datang ketika kami meratakan tanah untuk Ruqayyah, putri Rasulullah, istri Utsman bin Affan. Rasulullah saw menitipkannya kepadaku bersama Utsman (suami Ruqayyah).”
Dari Usamah bin Zaid r.a. berkata, “Sesungguhnya Nabi saw menitipkan putrinya kepada Utsman dan Usamah bin Zaid. Ketika Zaid bin Harits datang ke Madinah dengan unta Rasulullah dan berita gembira itu, demi Allah aku tidak percaya dengan kabar itu, hingga aku melihat para tawanan. Rasulullah saw memberikan bagian Utsman atas harta rampasa.” (HR Baihaqi dan Hakim).
Dari Abdurrahman bin As’ad bin Zararah r.a. berkata, “Beliau datang dengan para tawanan ketika tiba di Madinah. Dan Saudah bin Zam’ah, istri Rasulullah saw sedang berada di rumah keluarga Afra’. Mereka sedang berduka atas Auf dan Mu’awwadz bin Afra’. Dan hal itu sebelum hijab diberlakukan.”
Saudah berkata, “Demi Allah, aku berada di rumah mereka ketika datang seseorang dan berkata, “Para tawanan telah datang bersama kaum muslimin.” Kemudian aku pulang ke rumahku dan Rasulullah berada di sana. Aku melihat Abu Yazid Suhail bin Amru di sudut kamar, tangannya dikekang ke lehernya dengan tali. Demi Allah, aku tidak dapat menguasai diriku ketika aku melihat Abu Yazid dalam keadaan seperti itu. Aku katakan kepadanya, “Wahai Abu Yazid, mengapa engkau tertawan, tidakkah engkau mati dalam keadaan terhormat?”
Aku tidak sadar, melainkan ketika Rasulullah saw berkata di sudut lain dari  rumah itu, “Wahai Saudah ..... atas Alalh dan Rasul-Nya, kau katakan seperti itu?” Kemudian aku katakan, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak dapat menguasai diri ketika melihat Abu Yazid dikekang tangannya ke lehernya dengan tali, engkau katakan apa yang kaukatakan.” (HR Hakim).
Nabi saw masuk ke Madinah dengan banyak dukungan, keberuntungan, dan kemenangan. Musuh-musuhnya di Madinah dan sekitarnya takut kepadanya. Banyak penduduk Madinah yang memeluk Islam. Ketika itu Abdullah bin Ubay yang munafik dan para sahabatnya memeluk Islam secara lahir.
Begitulah di Makkah hanya ada kufur atau iman, sedangkan di Madinah --- apalagi setelah kemenangan Badar – kaum munafik mulai memeluk agama ini untuk menjaga darah dan harta mereka.

Quraisy Mendengar Kabar Kekalahan

Ibnu Ishaq --- Allah merahmatinya --- berkata, “Orang yang pertama datang ke Makkah dari golongan Quraisy yang menjadi korban perang adalah al-jasiman bin Abdullah al-Khuza’i. Mereka berkata, “Apa yang terjadi?”
Ia berkata, “Telah terbunuh ---- Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu al-Hakam bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, Zam’ah bin al-Aswad, Nabih dan Munabbih dua putra al-Hajjaj, Abu al-Buhtury bin Hisyam ....” Ketika ia menyebutkan nama-nama pemimpin Quraisy yang menjadi korban, Shafwan bin Umayyah berkata, “Demi Allah, jika ia tertangkap, mintalah tebusannya kepadaku.” Mereka berkata, “Apa yang dilakukan Shafwan bin Umayyah?”
Ia berkata, “Itu dia duduk di atas batu, demi Allah, aku melihat bapak dan saudaranya ketika mereka berdua dibunuh.”

Pembagian Harta Rampasan

Dari Utbah bin ash-Shamit r.a berkata, “Kemi pergi keluar bersama Nabi saw dan turut serta dalam Perang Badar. Dua kelompok bertemu dan Allah menghancurkan musuh. Ada kelompok yang mencari jejak-jejak musuh yang masih terisi, sekelompok pasukan yang menghimpun dan mengumpulkan harta rampasan, dan kelompok yang menjaga Rasulullah saw agar tidak diserang oleh musuh (yang masih berkeliaran). Hingga ketika malam tiba, orang-orang itu kembali sebagian atas sebagian yang lain. Mereka yang mengumpulkan harta rampasan berkata, “Kami yang menghimpun dan mengumpulkannya maka tak seorang pun yang mendapat bagian dari harta itu.” Adapun mereka yang keluar mencari musuh berkata, “Kalian tidak lebih berhak dari kami .....” Sementara mereka yang menjaga Rasulullah saw berkata, “Kalian juga tidak lebih berhak dari kami, kami menjaga Rasulullah saw, kami khawatir jika musuh menyerang beliau sehingga kami sibuk dengan beliau.” Kemudian turunlah ayat, “Mereka menanyakan keapdamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik  Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sessamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS al-Anfal (8) : 1). Kemudian Rasulullah saw membagi harta rampasan itu atas kesepakatan antara kaummuslimin.” (HR Ahmad).

Kalau Sekiranya Tidak Ada Ketetapan Terdahulu dari Allah

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Pada saat Perang Badar, orang-orang tergesa-gesa untuk mengambil harta rampasan yang mereka dapatkan. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya harta rampasan tidak halal bagi seorang manusia pun, selain kalian (sebelum zaman Rasulullah).” Dan dulu jika nabi (sebelum Muhammad saw) dan para sahabatnya mendapatkan harta rampasan, mereka mengumpulkannya, lalu api turun memakannya. Kemudian Allah menurunkan ayat, “Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang berat karena (tebusan) yang kamu ambil. Maka makanlah dan sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang, Wahai Nabi (Muhammad)! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik apa yang telah diambil darimu dan Dia akan mengampuni Kamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Nafal (8) : 68 – 70). (HR Turmudzi, Abu Dawud, dan Baihaqi).
Dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya, berkata, “Pada saat Perang Badar aku datang membawa pedang, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyembuhkan sakit hatiku dan apa yang dilakukan kaum musyrik, atau semacam itu, berikanlah kepadaku pedang ini.” Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Ini bukan milikku, bukan juga milikmu.” Lalu, kukatakan, “Bisa saja Rasulullah memberikan pedang ini kepada seseorang yang tidak merasakan apa yang menimpaku.” Lalu, Rasulullah saw datang menemuiku dan berkata, “Sungguh engkau telah meminta pedang ini kepadaku, sedangkan ini bukan milikku. Sekarang pedang ini sudah menjadi milikku, dan kuberikan kepadamu.” Kemudian Sa’ad berkata, “Maka turunlah QS al-Anfal (8) : 68.” (HR Muslim).

 Bertakwalah kepada Allah dan Perbaikilah Hubungan di Antara Sesamamu

Dari Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw berkata, “Barangsiapa yang mendatangi tempat begini dan begitu maka baginya ini dan itu” atau “Barangsiapa yang melakukan begini dan begitu, maka baginya ini dan itu.” Kemudian kaum muda berlomba dan tinggallah orang-orang tua di panji-panji. Ketika Allah memberi kemenangan kepada mereka, orang-orang itu datang kepada Nabi saw dan meminta sesuatu yang dijanjikan olehnya. Orang tua-orang tua berkata kepada mereka, “Janganlah kalian pergi ke sana tanpa kami.” Kemudian Allah menurunkan QS al-Anfal (8) : 1) (HR Abu Dawud dan hakim).

Tidak Patut bagi Seorang Nabi Mempunyai Tawanan sebelum Ia Dapat Melumpuhkan Musuhnya di Muka Bumi

Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Rasulullah berkonsultasi kepada Abu Bakar soal tawanan. Kemudian Abu Bakar berkata, “Kaummu dan kerabatmu, bebaskan mereka.” Kemudian beliau meminta pendapat Umar, Umar berkata, “ Bunuhlah mereka,” Ibnu Umar berkata, “Lalu Rasulullah saw meminta tebusan atas para tawanan. Kemudian turunlah ayat, “Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musunya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena (tebusan) yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Anfal (8) : 67). Ketika Nabi saw bertemu Umar, beliau ebrkata, “Hampir saja kita mendapat bencana karena mengambil pendapat yang berbeda denganmu.” (HR Hakim).
Dan Umar bin Khaththab r.a. ayng diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. darinya. Ia berkata, “Kaum muslimin pada Perang Badar menewaskan 70 orang dan menangkap 70 orang. Abu Zamil mengatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika mereka menangkap para tawanan itu, Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Bakar, Ali, dan Umar, apa pendapat kalian tentang para tawanan ini?” Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, mereka adalah anak-anak paman dan kerabat. Menurutku, sebaiknya engkau mengambil tebusan dari mereka sehingga tebusan itu akan menjadi sumber kekuatan untuk kita terhadap orang-orang kafir. Dan mungkin saja Allah akan memberi mereka petunjuk untuk memeluk Islam.” Kemudian Rasulullah saw bersaba, “Apa pendapatmu wahai Ibnu Khaththab?” Dia berkata, “Tidak. Demi Allah, Wahai Rasulullah, Aku tidak sependapat dengan Abu Bakar. Menurutku, sebaiknya engkau menyerahkan mereka keapda kami, lalu kami tebas kepala mereka. Serahkan Aqil untuk Ali dan Ali akan membunuhnya. Serahkan si Fulan keapdaku dan aku akan membunuhnya. Mereka adalah para pemimpin dari orang-orang kafir dan pembesar-pembesar mereka.”
Rasulullah menyetuji pendapat Abu Bakar dan tidak menyetujui apa yang aku katakan. Keesokan harinya ketika aku datang menemui Rasulullah saw, aku menemukan bahwa dia dan Abu Bakar sedang duduk menangis. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku apa yang membuatmu dan sahabatmu ini menangis?” Jika aku mendapatkan apa yang akan engkau ceritakan membuatku menangis, aku akan menangis. Jika tidak, setidaknya aku akan berpura-pura menangis, pada apa yang ditawarkan oleh sahabt-sahabatmu agar aku mengambil tebusan dari para tawanan. Dan aku diperlihatkan siksaan yang mereka alami, lebih dekat dari pohon ini --- pohon yang terletak dekat Rasulullah saw.” Kemudain Allah menurunkan QS al-Anfal (8)67-69. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan bagi mereka.” (HR Muslim).

Tebusan Para Tawanan

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah menetapkan tebusan bagi para tawanan Perang Badar dan tebusan untuk setiap orang 4.000 Dirham.” (HR Thabrani).
Dari Abdullah bin Zubair r.a. berkata, “Orang-orang Quraisy menangisi mereka yang terbunuh, kemudain mereka menyesal dan berkata, “Janganlah kalian ratapi mereka, jika kabar itu sampai kepada Muhammad dan para sahabatnya, mereka akan mencela kalian.” Di antara para tawanan itu terdapat Abu Wada’ah bin Shabrah as-Sahmy, lalu Rasulullah saw berkata, “Di Makkah dia memiliki seorang anak, pedagang yang berhasil, kaya raya,  sepertinya ia sudah datang pada kalian untuk menebus bapaknya.” Ketika Qurasy membicarakan tentang tebusan, a;-Muthalib berkata, “Kalian benar. Demi Allah, jika kalian benar maka ia akan meninggalkan uang tebusan atas kalian.” Kemudian pergi pada malam hari, datang ke Madinah, dan menebus bapaknya senilai 4.000 Dirham.” (HR Thabrani).

Sebagai Rahmat untuk Alam Semesta

Inilah surga rahmat dan mata air kasih sayang. Muhammad bin Abdullah saw tahu bahwa beberapa orang dari kaum musyrikin tidak memiliki harta untuk membayar tebusan. Rasulullah saw menetapkan bahwa mereka harus mengajari anak-anak Anshar menulis, sebagai tebusan mereka, dan mempermudah cara pembebasan mereka. Demikian juga, agar mereka tahu betapa agungnya agama ini dan pimnpinan Rasulullah saw.
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Ada beberapa orang dari tawanan Perang Badar yang tidak dapat membayar tebusan. Kemudian Rasulullah saw menetapkan mereka harus mengajari anak-anak Anshar menulis.” Ibnu Abbas berkata, “Suatu hari seorang anak datang menangis kepada bapaknya, lalu bapaknya bertanya, “Ada apa denganmu?” Anak itu menjawab, “Guruku memukulku.” Bapaknya berkata, “Orang jelek itu meminta untuk dibunuh di Badar, jangan pernah engkau mendatanginya lagi.” (HR Ahmad).

Zainab, Putri Rasulullah saw., Mengirim Tebusan untuk Suaminya, Abu al-Ash bin ar-Rabi’

Dari Aisyah r.a. “Ketika orang-orang Makkah mengirimkan uang tebusan untuk tawanan mereka, Zainab mengirimkan beberapa hartanya untuk menebus Abu al-Ash bin ar-Rabi’. Di antara harta yang ia kirim adalah sebuah kalung miliknya, yang diberikan oleh Khadijah ketika ia menikah dengan Abu al-Ash’. Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah saw melihatnya, ia merasa iba. Beliau saw berkata, “Jika menurut kalian dapar membebaskan suaminya dan mengembalikan hartanya, lakukanlah (jika itu baik).” Mereka berkata, “Ya.” Wahai Rasulullah.” Mereka pun membebaskannya dan mengembalikan hartanya.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi).
Rasulullah pernah bersepakat dengan Abu al-Ash atau Rasulullah pernah dijanjikan bahwa ia akan melepas Zainab. Dengan kata lain, hal itu menjadi syarat pembebasannya. Namun, hal itu tidak dibicarakan lagi, baik oleh Abu al-Ash maupun Rasulullah agar diketahui. Namun, ketika Abu al-Ash dibebaskan dan hendak pulang ke Makkah, Rasulullah saw mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang pria dari Anshar sebagai wakil dari Rasulullah. Beliau berkata, “Tunggu di lembah Ya’juj sampai Zainab melewati kalian. Kalian harus menemaninya dan membawanya padaku.” Mereka ebrdua pergi. Hal itu terjadi sebulan atau beberapa bulan setelah Badar. Ketika Abu al-Ash tiba di Makkah, ia menyruh Zainab untuk menemui ayahnya. Zainab pun bergegas pergi.” (HR Abu Dawud dan hakim).
Zainab tinggal bersama ayahnya. Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Abu al-Ash tertawan lagi. Ia melarikan diri ke Makkah dan meminta jaminan perlindaungan dari istrinya, Zainab – yang sebenarnya Islam telah memisahkan antara mereka berdua --- Zainab bersedia melindunginya. Kaum muslimin pun setuju dengan hal itu. Abu al-Ash pulang ke Makkah dengan hartanya, lalu dia menyampaikan amanah kepada para pemiliknya. Kemudian ia kembali ke Madinah dan memeluk Islam. Rasulullah mengembalikannya ke pangkuan Zainab, dengan akad dan mahar baru, berdasarkan riwayat yang shahih.

Kisah Tebusan Abbas (Paman Nabi saw.)

Abbas r.a. tidak berperang pada saat Perang Badar berlangsung. Ia terpaksa pergi ke sana dan Nabi saw  sendiri melarang kaum muslimin membunuhnya. Lalu, Abbas tertangkap. Dari Abu al-Yusr berkata, “Aku melihat Abbas apda saat Perang Badar. Ia hanya berdiri seperti patung dan kedua matanya sembab. Lalu, kukatakan kepadanya, “Semoga Allah membalasmu dengan keburukan, wahai yang punya tali rahim. Apakah engkau akan memerangi keponakanmu bersama musuh-musuhnya?” Lalu, dia berkata, “Bagaimana dia? Apakah ia terbunuh?” Aku berkata, “Allah yang akan memuliakannya dan memberinya kemenangan atas musuhnya.” Lalu, dia berkata, “Lalu, apa yang engkau inginkan dariku?” Aku berkata, “Aku mau menangkapmu karena Rasulullah melarang untuk membunuhmu.” Ia berkata, “Ini bukan pertama kali ia menyambung (tali rahimnya). Aku pun menangkapnya, lalu aku bawa dia kepada Rasulullah saw.” (HR Ibnu Sa’ad).
Dari al-Barra’ atau lainnya berkata, “Seseorang dari Anshar datang membawa Abbas, ia telah menangkapnya. Lalu, Abbas berkata, “Bukan dia yang menangkapku.” Lalu, Nabi saw bersabda, “Seorang malaikat mulia telah membantumu (menangkapnya).” (HR Ibnu Sa’ad).
Dari Anas bin Malik r.a. berkata, "Beberapa orang dari Anshar meminta izin kepada Rasulullah saw untuk melihat Abbas, mreka berakta, “Izinkan kami, hendaknya kita tidak mengambil tebusan dari putra saduari kami, Abbas, Nabi saw berkata, “Demi Allah, kalian tidak akan meninggalkan satu dirham pun darinya.” (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas r.a. megnatakan bahwa Abbas berkata, “Tentang akulah sayat ini turun, “Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki hartabenda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS al-Anfal (8) : 67). Lalu, aku kabarkan kepada Nabi saw tentang keislamanku. Aku memintanya untuk mengambil 20 uqiyyah yang kubawa (sebagai tebusan). (Beberapa tahun kemudian) ia memberiku (dengan 20 uqiyyah tadi) 20 budak, yang setiap orang telah berniaga dengan uang di tangannya. Bersama itu aku mengharap ampunan dari Allah SWT.”

Jika Dia Hidup, Aku Akan Membebaskan Mereka karenanya

Dari Jubair bin Muth’im r.a. bahwa Nabi saw berkata kepada para tahanan yang ditangkap di Badar, “Jika Muth’im bin Adi masih hidup, lalu dia memintaku untuk melepaskan orang-orang kotor ini, aku akan melepaskan mereka untuknya.” (HR Abu Dawud dan Bukhari).

Jumlah Orang yang Turut Serta dalam Perang Badar

Imam Ibnul Qayyim --- semoga Allah merahmatinya – berkata, “Jumlah kaum muslimin yang turut dalam perang Badar ada 317; 86 orang dari kaum Muhajirin, dan 61 orang dari kabilah al-Aus, dan 170 dari kabilah al-Khazraj. Jumlah dari al-Aus lebih sedikit daripada al-Khazraj, merskipun mereka telah pandai dalam berperang, lebih kuat, dan lebih pintar bertahan pada saat perang. Hal itu dikarenakan rumah-rumah mereka berada di perbukitan Madinah dan orang-orang al-Aus yang datang pada saat itu adalah yang siap pada saat itu juga. Nabi saw bersabda, “Jangan mengikuti kami, kecuali mereka yang memiliki kendaraan yang siap.” Beberapa orang yang tinggal di daerah bukit di Madinah meminta agar beliau mau menunggu mereka mengambil tunggangan mereka. Namun, beliau saw enggan.” (HR  Muslim dan Ahmad dari Anas bin Malik).
Dengan demikian, bukan karena mereka tidak mau turut berperang, bukan karena tidak mau menyiapkan segala persiapan perang, bukan juga karena mereka tidak mau menyiapkan harta benda. Akan tetapi, Allah  mempertemukan kaum muslimin dan musuh-musuh mereka tanpa adanya kesepakatan waktu.

Keutamaan Mereka yang Syahid pada Perang Badar

Dari Mu’az bin Rifa’ah bin Rafi’ az-Zarqy dari ayahnya --- yang merupakan pejuang badar – berkata, “Jibril datang kepada Nabi saw dan berkata, “Bagaimana engkau memandang para pejuang Badar di antara kalian?” Nabi saw bersabda, “Sebagai yang terbaik dari kaum muslimin’ atau pernyataan serupa. Lalu, Jibril berkata, “Dan begitu juga para malaikat yang berpartisipasi dalam Badar.” (HR Bukhari).
Pada kisah Hatib bin Abi balta’ah ketika Umar berkata kepada Rasulullah saw, “Dia telah menghianati Allah dan kaum mukminin, biarkan aku memotong lehernya.” Nabi saw bersabda, “Bukankah dia bukan salah satu dari prajurit Badar?” Lalu, beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah melihat mereka yang berjuang di badar dan berfirman, “Lakukan apa yang kalian suka karena Aku telah mewajibkan surga atas kalian atau berkata, “Aku tidak mengampuni kalian.” Air mata Umar pun berderai, dan dia berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT melihat mereka yang berjuang di Badar, lalu berfirman, “lakukanlah apa yang kalian kehendaki. Aku telah mengampuni kalian.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Jabir r.a. berkata, “Rasulullah saw bersabda, Tidak akan masuk neraka laki-laki yang berjuang di Badar dan Hudaibiyyah.” (HR Muslim dan Turmudzi).

Duhai, Hari Raya itu

Pada tahun kedua Hijriah diwajibkan puasa Ramadhan dan zakat fitri serta dijelaskan nishab-nishab zakat yang lain. Perintah wajibnya zakat fitri dan penjelasan nishab-nishab zakat lainnya untuk meringankan beban hidup yang diderita kaum Muhajirin ayng sedang mengungsi dan mereka yang fakir yang tak mampu mencari penghidupan di bumi.
Di antara  momen terindah dan kejutan terbaiknya bahwa hari raya pertama yang dirayakan oleh kaum muslimin dalam hidup mereka adalah Idul Fitri yang jatuh pada bulan Syawal tahun 2H, pasca kemenangan nyata yang mereka dapatkan di Perang Badar. Alangkah indahnya hari raya yang bahagia itu, di mana Alalh memberikannya kepada mereka setelah menghadiahi mereka mahkota kemenangan dan kemuliaan. Betapa menakjubkannya shalat yang mereka dirikan itu, di mana mereka keluar rumah, mengumandangkan takbir, tauhid, dan tahmid. Sementara hati-hati mereka penuh harap kepada Allah, merindukan rahmat dan ridha-Nya, setelah kenikmatan-kenikmatan ayng dianugerahkan-Nya, setelah kemenangan yang dikaruniakan-Nya. Alalh mengingatkan mereka pada semua itu, dalam firman-Nya, “Dan ingatlah ketika kamu (Para Muhajirin) masih (berjumlah) sedikit, lagi tertindas di bumi (Makkah), dan kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Dia memberi kamu tempat menetap 9Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki yang baik agar kamu bersyukur.” (QS al-Anfal (8) : 26).

S E T E L A H     -    B A D A R

Bangsa Arab terperangah akan kemenangan telak yang diperoleh kaum muslimin apda Perang Badar. Bahkan penduduk Makkah tidak mempercayainya ketika kabar itu datang kepada mereka untuk pertama kalinya. Mereka mengira itu hanya candaan orang gila. Namun, setelah jelas kebenaran berita itu, beberapa orang dari mereka terperanjat dan mati. Sebagian terguncang ketakutan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebagaimana penduduk Makkah yang ingin menjauhkan diri dari kekalahan itu hingga mereka dihadapkan pada kenyataan hina tersebut. kaum musyrikin di Madinah dan kaum yahudi juga demikian. Mereka ingin menjauhkan telinga mereka dari kabar kemenangan itu. Bahkan, sebgaian dari mereka menuduh kaum muslimin ingin menyebarkan kabar bohong kemenangan. Mereka tetap menganggap itu angin lalu, hingga mereka melihat para tawanan meringkuk dan jelas sudah.
Penduduk Makkah menghibur diri, mengobati luka, serta berusaha mengembalikan kekuatan dan mengembalikan kejayaan mereka. Mereka memproklamirkan bahwa hari untuk balas dendam kian dekat. Kekalahan itu rupanya makin menambah kebencian mereka pada Islam, makin ingin menyakiti Muhammad dan sahabatnya, bahkan makin menindas siapa saja yang masuk ke agama Muhammad.
Adapun di Madinah ketika kaum muslimin makin banyak, kuat, dan unggul, beberapa musuh Islam mengambil cara untuk menginjak-injak, munafik, dan menipu. Beberapa orang musyrik dan yahudi secara lahir menyatakan keislamannya, sementara di hatinya kedengkian dan kekufuran bergolak. Pemimpin mereka adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Sementara kaum Badui yang berdiam di sekitar Madinah dan hidup dengan berkafilah, mereka adalah kaum yang tak peduli. Masalah kafir dan iman bukan fokus perhatian mereka. Mereka berkepentingan pada perolehan logistik dari mana pun dan bagaimana pun caranya meskipun harus menjarah.

Nabi saw. Membina Rumah Tangga dengan Aisyah setelah Perang Badar

Dari Aisyah r.a. berkata, “Nabi saw menikahiku saat aku berusia enam tahun. Lalu, kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani al-Harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku, lalu aku datang, sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku, lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air, lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku. Lalu, dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata did alamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata, “Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan serta mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik.” Lalu, ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut, meleiankan keceriaan Rasulullah saw. Akhirnya, mereka menyerahkan aku kepada beliau, saat itu usiaku sembilan tahun.” (HR Bukhari dan Muslim).
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw menikahiku pada bulan Syawal dan membawaku ke rumahnya sebagai pengantin pada bulan Syawal. Dan siapa di antara istri-istri Rasulullah saw paling ia dambakan daripada aku?” (HR Muslim).

Nabi saw. Menikahi Hafshah, Putri Umar r.a.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ketika Hafshah menjanda, setelah suaminya seorang sahabat Rasululah – Khunais bin Hudzafah as-Sahmy – wafat di Madinah, Umar bin Khaththab berkata, “Aku mendatangi Utsman bin Affan dan menawarkan Hafshah kepadanya, kemudian ia pun berkata, “Aku akan berpikir terlebih dahulu.” Lalu, aku pun menunggu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, “Aku telah mengambil keputusan bahwa aku tidak akan menikah untuk hari-hari ini.” Lalu, aku pun menemui Abu Bakar as-Shiddiq dan berkata kepadanya, “Jika kamu mau, aku akan menikahkanmu dengan Hafshah.” Namun, ia tidak memberi jawaban apa pun kepadaku. Aku kecewa kepadanya lebih dari apa yang aku dapatkan dari Utsman.
Aku menunggu selama beberapa malam, akhirnya ia pun dikhitbah oleh Rasulullah saw, kemudian aku menikahkannya dengan beliau. Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Sepertinya kamu merasa kecewa saat menawarkan Hafshah kepadaku.” Umar berkata, “Ya.” Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali bahwa aku tahu Rasulullah saw telah mengatakan akan melamarnya. Dan aku tidak mau membuka rahasia Rasulullah saw. Sekiranya Rasulullah saw meninggalkannya, niscaya aku akan menerimanya.” (HR Bukhari dan Ahmad).

 Ali Menikahi Fatimah r.a.

Setelah peristiwa Badar, Ali menikah dengan Fatimah r.a. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali.” (HR Thabrani).
Inilah Mahar untuk Fatimah r.a.
Dari Ali bin Abi Thalib – karramullahu wajhah – berkata, “Aku menemui Rasulullah saw untuk mengkhitbah Fatimah. Pelayanku mengatakan, “Apakah engkau tidak tahu bahwa telahd atang seseorang pada Rasulullah untuk mengkhitbah Fatimah?” Aku berkata, “Aku tidak tahu” ia berkata, “Dia telah dikhitbah, lalu apa yang menghalangimu untuk menemui Rasulullah dan menikahkanmu dengannya.” Aku berkata, “Adakah sesuatu yang bisa kubawa untuk menikhaninya>” Ia berkata, “Sungguh jika engkau menemui Rasulullah, beliau akan menikahkanmu.” Ali berkata, “Demi Allah dia (pelayan) terus mendorongku (agar aku menemui Rasulullah), hingga akhirnya aku datang menemui beliau saw. Ketika aku duduk bersama beliau, aku tertegun, demi Allah, aku tak dapat berbicara karena wibawa beliau yang agung.” Lalu, Rasulullah saw berkata, “Apa yang membuatmu datang kemari?” apakah kau membutuhkan sesuatu?” Aku diam. Lalu, berliau berkata, “Tampaknya engkau datang ingin melamar Fatimah?” Lalu, kujawab, “Ya.” Lalu, beliau berkata, “Apakah engkau memiliki sesuatu yang membuat ia halal bagimu (mahar)?” Lalu, kukatakan, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.” Lalu. Beliau berkata, “Bagaimana dengan baju besi, senjata yang aku berikan keapdamu? Demi jiwaku yang ada dalam genggaman-Nya, baju besi itu harganya bukan empat dirham.” Aku berkata, “Ya, ada padaku.” Beliau berkata, “Aku telah menikahkanmu dengannya, pergilah temui dia dnegan membawa maharnya, engkau telah halal baginya.” Itulah mahar untuk Fatimah, putri Rasulullah saw.” (HR Baihaqi).
Persiapan Pernikahan Fatimah r.a. dan Ali r.a.
Dari Ali r.a. berkata, Rasulullah menyiapkan untuk Fatimah sebuah selimut, kendi, dan bantal kulit yang diisi dengan iszkhar (rerumputan yang harum baunya)” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi).
Sungguh inilah Fatimah, putri Rasulullah --- pemimpin semua manusia generasi pertama dan terakhir – mahar untuknya hanyalah sebuah baju besi al-Hutamiyyah. Ketika Fatimah dinikahkan dengan Ali, bersamanya ada selimut dan bantal dari kulit, di dalamnya diisi pelepah. Di samping itu, ada juga tempat mengambil air dari sumur, pengayak tepung, tungku, pemantik api, batu giling dan dua kendi. Ia menikah dengannya dan mereka tak memiliki kasur, kecuali kulit kambing tempat tidur di malam hari dan menjadi alas di atas unta untuk mengambila ri di siang hari. Fatimah tidak memiliki pelayan.
Ibnu Jauzy berkata, “Demi Allah, itu semua tak dikeluhkannya.”
Allah membersihkannya dan rumahnya dari segala yang buruk dan menyucikannya. Nabi saw sangat mencintainya, memuliakannya, dan gembira jika melihatnya. Puja-puji tentangnya sangat banyak. Ia seorang wanita yang sabar, religius, selalu beruat baik, sangat menjaga dirinya, selalu qana’ah, dan banyak bersyukur kepada Allah.

Mempererat Hubungan dengan Empat Rpia

Keputusan Rasulullah untuk berbesan dengan Umar,s etelah berbesan dengan Abu Bakar, lalu beliau menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, juga menikahkan putrinya, Ummu Kultsum dengan Utsman – setelah Ruqayyah wafat – menunjukkan bahwa Nabi saw ingin menguatkan hubungan beleiau dengan keempat sahabat laki-laki tersebut. banyak diekthaui perjuangan dan pengorbanan mereka untuk Islam, pada saat-saat kritis yang telah berlalu dan Allah menghanedaki agar itu semua dilalui dengan damai.

Konspirasi untuk Membunuh Nabi saw.

Dari Urwah bin az-Zubair yang diriwayatkan secara mursal berkata, “Umar bin Wahb al-Jumahy duduk besama Shafwan bin Umayyah di sebuah ruangan, beberapa saat setelah persitiwa Badar. Umair bin Wahb adalah satu di antara setan Quraisy, yang pernah menyakiti Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan membuat onar ketika mereka di Makkah. Anaknya, Wahab bin Umair, ditangkap pada saat Perang Badar. Lalu, ia menyebutkan orang-orang yang menjadi korban pada peperangan tersebut. shafwan berkata, “Demi Allah, setelah mereka pergi, kehidupan (di Makkah) menjadi lebih baik.”
Umair berkata, “kau benar. Demi Alalh, kalau saja  ukan  karena utang yang harus kubayar dan anak-anak yang membutuhkan nafkah, aku akan pergi menuju Muhammad dan kubunuh dia karena aku punya alasan untuk itu. Di tangan mereka anakku tewas.
Urwah berkata, “Shafwan bin Umayyah memanfaatkan kesempatan ini, ia berkata, “Aku akan melunasi utangmu, keluargamu, dan keluargaku. Aku yang akan menanggung, tak satu pun terlewat, tidak akan ada sesuatu pun yang menghalangiku untuk melakukan itu. Umair berkata kepadanya, “Rahasiakanlah hal ini, hanya antara kau dan aku.” Shafwan berkata, “Ya, akan kulakukan.”
Urwah berkata, “Kemudian Umair meminta pedangnya, ia mengasahnya, lalu dibubuhi racun. Lalu, ia pergi menuju Madinah. Pada saat Umair bin Khaththab bercengkerama dengan kaum muslimin tentang peristiwa Badar, mereka membicarakan bagaimana Allah memuliakan mereka, bagaimana Allah memperlihatkan kuasa-Nya kepada musuh mereka. Umair melihat Umair bin Wahb telah emngekang tunggangannya, sambil menetneng pedangnya. Umar berkata, “Anjing ini musuh Allah, Umair bin Wahb. Tidaklah ia datang melainkan untuk sebuah kejahatan, dialah yang telah beruat kasar kepada kami dan melawan kami pada Perang Badar.”
Umar pun masuk menemui Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Nabi Allah, musuh Allah, Umair bin Wahb datang membawa pedangnya.”
Rasulullah berkata, “Bawa dia kepadaku.”
Urwah berkata, “Maka Umar pun mengambil pengikat pedang di leher Umair dan mengikatnya dengan tali itu. Lalu, Umar berkata kepada seseorang dari Anshar yang bersamanya, “Bawa dia kepada Rasulullah dan dudukkan dia di depan beliau. Berhati-hatilah dari si buruk ini, dia tidak aman,”
Lalu, ia membawanya kepada Rasulullah. Ketika Rasulullah melihatnya dan melihat Umar mengikat lehernya, beliau berkata, “Lepaskan dia wahai Umar dan mendekatlah wahai Umair.”
Umair mendekat dan mengucapkan salam jahiliah, “In’amu’shabahan (selamat pagi).” Kemudian Rasulullah menjawab, “Allah telah memuliakan kami dengan pernghormatan yang lebih baik dari caramu, wahai Umair, dengn salam penghormatan untuk penduduk surga.”
Umair berkta, “Demi Allah, wahai Muhammad, jika aku menggunakannya I(berarti) aku percaya dengan apa yang kau katakan.”
Rasulullah berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini, wahai Umair?”
Umair menjawab, “Aku datang untuk anakku yang tertangkap di tangan kalian, perlakukanlah dia dengan baik.”
Rasulullah berkata, “Lalu untuk apa pedang yang kau bawa itu?”
Umair berkata, “Allah mencelakakan pedang-pedang itu, apakah kita tidak membutuhkannya sama sekali?”
“Jujurlah padaku, ada apa engkau datang ke sini?” tanya Rasulullah lagi.
“Hanya untuk itu aku datang.” Kata Umair.
“Bukankah engkau dan Shafwan dududk di sebuah ruangan, lalu kalian bercerita tentang para korban Badar dan kaum Quraisy? Kemudian engkau katakan, “Kalau saja bukan karena utang yang harus aku bayar dan anak-anak yang membutuhkan nafkahku, aku akan pergi membunuh Muhammad.” Lalu, Shawan bin Umayyah berjanji akan melunasi utangmu dan menaggung anak-anakmu dengan syarat kau membunuhku, untuknya. Dan Allah-lah yang menghalangi antara kau dan niatmu itu.”
Umair berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah. Wahai Rasulullah, kami dulu mendustaimu dan apa yang kaubawa dan kabar langit dan wahyu yang turun kepadamu. Perkara itu tidak ada yang mengetahuinya, kecuali aku dan Shafwan. Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa tidak ada yang memberitahumu tentang hal itu, kecuali Allah. Segala puji bagi Allah yang telah membimbingku pada Islam dan mengarahkanku padanya.”
Lalu Umair pun bersyahadat dengan syahadat kebenaran.
Rasulullah pun bersabda, “Pahamkanlah saudara kalian ini agamanya, ajari ia Al-Qur’an dan lepaskanlah anaknya yagn ditawan.” Mereka pun melakukannya.
Kemudian Umair berkata, “Wahai Rasulullah, dulu aku berjuang untuk memadamkan cahaya Allah, selalu menyakiti orang-orang yagn masuk ke agama Allah ini. Aku suka jika engkau mengizinkanku untuk pulang ke Makkah dan akan menyeru mereka kepada Allah, rasul-Nya,d an Islam. Mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk. Jika tidak, aku ingin menyakiti mereka dalam agama mereka. Sebagaimana aku menyakiti sahabt-sahabatmu dalam agama mereka.” Urwah berkata, “Rasulullah mengizinkannya dan ia pun kembali ke Makkah.”
Ketika Umair bin Wahab pergi ke Madinah, Shafwan berkata, “Bergembiralah, akan ada sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari nanti, sesuatu yang dapat melupakan luka di Perang Badar.” Shafwan selalu menyatakan kepada para musafir yang baru datang tentang Umair. Hingga suatu ketika seorang penunggang datang dan memberi tahu Shafwan kabar tentang Umair yang masuk Islam. Sejak itu ia bersumpah tidak akan pernah berbicara dengannya dan tidak akan mau memberi manfaat baginya, selamanya.”

Perang Bani Sulaim di al-Kudr

Sekembalinya orang yang terkasih – Muhammad saw --- dari Perang Badar dan pengusiran yahudi Bani Qainuqa’ karena mereka berkhianat, sampai kabar kepada beliau bahwa Bani Sulaim telah bersepakat untuk memerangi Rasulullah saw di sebuah mata air milik mereka, yang bernama al-Kudr. Kemudian beliau saw pergi menuju tempat mereka, setelah beliau menitipkan Madinah kepada Ibnu Ummi maktum r.a. Bendera Rasulullah saw dibawa oleh Ali bin Abi Thalib r,a. Beliau meneruskan perjalanannya untuk bertemu dengan Bani Sulaim yang bersepakat untuk memeranginya. Namun, ketika beliau justru menemukan binatang ternak. Beliau pun kembali ke Madinah dengan membawa binatang-binatang ternak itu. Jadi, di al-Kudr beliau tidak berperang. Segala puji bagi Allah. 
Peperangan as-Suwaiq

Kaum Muslimin  tidak begitu saja tertipu dengan kemenagan yang mereka peroleh di Badar. Mereka juga tidak terpedaya dengan tidak mengawasi musuh-musuh mereka dan bersiap untuk menghadapi mereka. Mereka sangat mengetahui bahwa Makkah ingin balas dendam dan belum tenang dengan bencana yang menimpa mereka.
Abu Sufyan melihat --- untuk menjaga nama baik kaumnya dan untuk menampakkan kekuatan mereka --- untuk mempercepat sebuah operasi yang membutuhkan sedikit dana, tetapi hasilmnya terlihat. Ia memutuskan untuk memberi kejutan pada Madinah, dengan gerakan cepat, yang dapat mengembalikan sedikit nama baik Quraisy dan kaum Muslimin  mendapat kerugian.
Abu Sufyan bernazar bahwa dia tidak akan menyentuh air setelah jinabah, hingga ia dapat menyerang Muhammad. Oleh karena itu, dia harus menepati sumpah itu.
Ia pun pergi bersama 200 orang yang berkendara, hingga mencapai perkampungan Bani an-nadhir yang terletak di pinggiran Madinah, pada tengah malam. Mereka singgah di rumah Dalam bin Masykam, salah satu pemimpin yahudi. Mereka mengetahui kabar tentang kaum Muslimin  darinya. Mereka mempelajari cara terbaik untuk mencelakakan mereka dan bagaimana melarikan diri setelah itu.
Abu Sufyan akhirnya mendapat ide, yagn dengannya ia adapat menepati sumpahnya dan merealisasikan tujuannya. Bersama orang-orangnya, ia menyerang sebuah tempat, yagn dinamakan al-Aridh. Mereka membakar pohon-pohon kurma yang menjadi pasarnya. Di sana mereka juga  menemukan seseorang dari Anshar dan sekutunya, yang sedang berada di ladang mereka. Mereka pun membunuh keduanya. Dan segera mereka melarikan diri, kembali ke Makkah.
Kaum Muslimin  mengetahui apa yang terjadi. Mereka menyusul di belakang Abu Sufyan dan orang-orangnya. Mereka ingin membalas kelakuan mereka, berkelahi dengan mereka. Kaum musyrikin merasa bahwa mereka diikuti, kemudian sekuat tenaga mereka lari. Kaum Muslimin  mengarungi sahara di belakan kaum musyrikin. Kaum Muslimin  ingin menghadang mereka. Abu Sufyan sadar akan bahaya yang mengintai, ia pun membuang bekal yang diabwanya agar mereka dapat bergerak lebih cepat dan selamat. Kaum Muslimin  menemukan bekal itu, yang sebagian besar adalah tepung gandum terbaik (suwaiq). Mereka menamakan duel kecil ini, ghazwah as-Suwaiq (Perang Tepung). (HR Thabari).

Perang Dzi Amar

Pada perang ini, Rasulullah memimpin sejumlah besar pasukan, sebelum Perang Uhud. Hal itu terjadi pada bulan Muharram tahun 3 H.
Hal ini disebabkan intelijen Madinah menyampaikan kaar kepada Rasulullah saw bahwa sejumlah besar orang dari Bani Tsa’labah dan Muharib sepakat untuk menyerang pinggiran Kota Madinah. Rasulullah dan kaum Muslimin  menyiapkan untuk itu. Beliau pergi bersama 450 pejuang, ada yang berkendara dan ada pula yang berjalan kaki. Rasulullah saw menitipakan kepemimpinan Madinah kepada Utsman bin Afan.
Di tengah perjalanan, mereeka menangkap seseorang yagn bernama Jabbar, dari Bani Tsa’labah. Ia di bawa ke hadapan Rasulullah saw. Beliau mengajaknya untuk memeluk Islam dan ia pun memeluknya. Beliau memasukkannya pada kelompok Bilal. Dan ia menjadi pemandu bagi pasukan kaum Muslimin  ke negeri musuh.
Musuh berlarian ke puncak-puncak gunung ketika mereka mendengar kedatangan tentara madinah. Adapun Nabi saw dan pasukannya sampai di tempat berkumpulnya para kabilah itu, yang bernama Dzi Amar. Beliau bermukim di sana selama bulan Safar penuh, pada tahun 3 H, atau kira-kira berdekatan dengan masa itu. Untuk membuat orang-orang tahu akan kekuatan kaum Muslimin  dan membuat mereka takut dan segan. Setelah itu, mereka pun pulang ke Madinah.

Perang Buhran

Rasulullah saw bermukim di Madinah pada bulan Rabi’ul Awal. Kemudian beliau pergi ingin menghadang Quraisy. Beliau kembali menitipkan kepemimpinan Madinah kepada Ibnu Ummi maktum. Beliau sampai ke Buhran, tempat pertambangan dekat Hijaz dari arah al-Fur’. Tidak terjadi peperangan di sana. Beliau tinggal di sana pada bulan Rabi’ul Akhir dan Jumadil Ula. Kemudian beliau pulang ke Madinah.

Sariyyah Zaid bin haritsah ke al-Qard

Ketika Quraisy  luluh lantak di Perang Badar, mereka tahu bahwa mereka tidak dapat menjaga kafilah-kafilah dagang mereka melalui jalur lama, di mana kafilah melewati tempat dekat Madinah ke Makkah. Mereka mengubah jalur pertama itu untuk menuju Syam dan mereka melewati Irak.
Shafwan bin Umayyah berkata, “Sungguh Muhammad dan sahabatnya menutup perdagangan kita. Kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan kepada sahabat-sahabatnya, sedangkan mereka tidak juga pergi dari pantai itu? Sementara itu, penduduk pantai membiarkan mereka dan besar mereka telah sepakat dengan Muhammad. Kita tidak tahu melalui jalur mana kita harus lewat? Jika kita hanya tinggal di rumah, kita akan makan modal dagang kita dan pasti akan habis. Kehidupan kita di Makkah bergantung pada perdagangan ke Syam di musim panas dan ke Habasyah di musim dingin.” Aswad bin Abdul Muthalib berkata kepadanya, “Kita tinggalkan jalur pantai dan kita ambil jalur melalui Irak.” Lalu, dia mengenalkannya kepada Furat bin Hayyan bin Bakar bin Wa’il untuk menjadi pemandu untuk perjalanan kali ini.
Kafilah Quraisy pergi, yagn dipimpin oleh Shafwan bin Umayyah, mengambil jalur baru. Hanya saja Nu’aim bin Mas’ud datang ke Madinah membawa berita kepergian kafilah ini, dan rencana perjalanannya. Ia berkumpul di sebuah majelis minum --- sebelum khamar diharamkan --- di rumah Sulaith bin an-Nu’man, dan Nu’aim pun mebeberkan rahasia kafilah Quraisy itu. Sulaith pun cepat-cepat menemui Nabi saw dan menceritakan kabar yang didapatnya. Saat itu juga, Nabi saw pun mengutus Zaid bin Haritsah, dengan 100 orang berkendaraan untuk menghadang kafilah itu. Zaid dapat mencapai mereka di sebuah mata air bernama al-Qardah. Ia pun berhasil merampas kafilah itu, yang membawa sejumlah besar perak. Kaum musyrikin lari tunggang langgang. Hanya Furat bin Hayyan yang tertangkap. Ketika ia di bawa ke Madinah, ia pun memeluk Islam. Oleh karena itu, Makakh sangat sedih dengan sesuatu yang baru menimpa mereka itu. Mereka makin bertekad untuk memperoleh kehormatannya lagi. Mereka bersiap untuk menghadapi kaum Muslimin  dengan persiapan penuh. Itu semua menjadi permulaan unjuk kekuatan sebelum Perang Uhud terjadi, pada tahun 3 H.

Mereka Adalah Orang-Orang yahudi

Kaum Muslimin  belum pernah membicarakan pembatan perjanjian dengan kaum Yahudi. Tidak juga pernah berpikir untuk mengusir mereka dari jazirah itu. Namun, sebaliknya kaum Muslimin  berharap agar kaun yahudi membantu mereka memerangi paganisme, yagn penuh dengan ajaran-ajaran yang tak berdasar dan untuk menegakkan akidah tauhid. Kaum Muslimin  tentunya juga berharap kaum yahudi mau beriman kepada Muhammad saw, menyucikan Allah dan mengagungkan-Nya. apalagi mereka memiliki pengetahuan tenang kitab-kitab terdahulu dan kecintaan mereka pada kabar-kabar para Rasul dapat menjadi sarana untuk membuat orang-orang Arab yang buta huruf percaya dengan risalah langit yang benar bahwa beriman kepadanya adalah wajib.
Keinginan-keinginan baik itu sejalan dengan Al-Qur’an yagn sedang dalam proses diturunkan pada saat itu. Al-Qur’an membangun dan menegaskannya.
Dan roang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad) bukanlah seorang Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu al-Kitab .... (QS ar-Ra’d (13) : 43).
Dan roang yang telah kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan apa (ktiab) ayng diturunkan kepadamu (Muhammad), dan ada di antara golongan (yahudi dan Nasrani), yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah. “Aku hanyan diperintah untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS ar-Ra’d (13) : 36).
Meskipun yahudi berada pada prasangka yang paling buruk, interaksi mereka dengan kaum Muslimin  baik-baik saja, sampai ketika mereka menyakiti kaum Muslimin  dan membantu kaum musyrikin.

Pengusiran yahudi Bani Qainuqa’

Ketika kaum mulsimin sedang gembira dengan kemenangan mereka di Badar, kaum yahudi tidak malu untuk mengatakan kepada Rasul saw, “Jangan menipu diri (dengan kemenangan) kalian berhadapan dengan kaum yang tak mengerti cara berperang, kalian mendapat kesempatan. Demi Allah, jika kami memerangimu, kau akan tahu bahwa kamilah sebenar-benarnya manusia (yang ahli perang).”
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Di antara cerita mengenai Bani Qainuqa’ bahwa Rasulullah mengumpulkan mereka di pasar Bani Qainuqa. Kemudian beliau saw bersabda, “Wahai kaum yahudi, berhati-hatilah kepada Allah, bagaimana Dia menurunkan bencana pada kaum Quraisy, masuklah kalian pada Islam. Sungguh kalian tahu bahwa aku adalah Nabi yang diutus. Kalian menemukan kabar itu di kitab kalian dan janji Allah kepada kalian. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, kau tahu bahwa kami adalah kaummu. Jangan tertipu atas kemenanganmu dari kaum yang tidak mengerti tentang perang sehingga engkau mendapat kesempatan untuk menang. Demi Allah, sungguh jika kami memerangimu, kau akan tahu kamilah sebnar-benarnya manusia (yang ahli berperang).”
Ibnu Abbas berkata, “Tentang merekalah ayat ini turun, “katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang kafir. Kamu (pasti) akan dikalahkan dan digiring ke dalam neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadsap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).” (QS Ali ‘’Imarn 12-13).” (HR Abu Dawud).
Sebab turunnya ayat tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, “Bani Qainuqa’ membaut masalah. Seorang perempuan Arab datang membawa jilbabnya dan menjualnya di pasar Bani Qainuqa.’ Perempuan itu duduk dekat seorang yahudi perngrajin perhiasan. Mereka menggodanya dan berusaha untuk membuka wajahnya. Ia enggan, Pengrajin itu sengaja mengikat ujung bajunya ke punggungnya. Ketika perempuan itu berdiri, auratnya terlihat dan mereka tertawa. Seorang Muslimin  datang menyerang si pengrajin dan membunuhnya. Kaum yahudi berang, lalu membunuh orang Muslim itu. Keluarga Muslim itu meminta bantuan kepada kaum Muslimin  lainnya,atas apa yagn dilakukan kaum yahudi itu. Kaum Muslim marah. Lalu, terjadilah perseteruan antara kaum Muslimin  dan yahudi bani Qainuqa’.

Di Mana Para Lelaki?

Teriakan perempuan itu terdengar oleh telinga-telinga dan jantung-jantung yang mengalirkan darah, bergelora dengan semangat dan keberanian. Teriakan yang menggerakkan kaum laki-laki, bukan yang menyerupai laki-laki.
Pertolongan terhadap harga diri terus-menerus berada di jiwa-jiwa kaum Muslimin . Sejak saat itu, perempuan terjaga harga dirinya. Teriakannya didengar jika ia miemeinta pertolongan jutaan kaum Muslimin . Setiap Muslim merasa bahwa ssetiap perempuan Muslimah adalah harga dirinya meskipun di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa, kecuali ikatan akidah. Sampai ketika al-Mu’tashim memegang tempuk kepemimpinan jika terdengar seorang perempuan dianiaya dan direndahkan harga dirinya, ia akan berteriak, “Wahai yang al-Mu’tashim tolong aku ......”
Hatinya bergetar dengan teriakn minta tolong itu, darahnya mendidih. Ia akan menyiapkan segala sesuatu dan menyiapkan pasukan untuk dikirim dari tempat kepemimpinannya ke sudut bumi dari maan teriakan perempuan itu terdengar untuk memberi pelajaran kepada musuh serta mengembalikan kehormatan dan kemuliaannya. Lalu, ia pulang dengan kemenangan atas musuhnya, yang merendahkan harga diri kaum Muslimin .
Sementara hari ini, berapa banyak teriakan menyeruak memekakkan dinding telinga mereka yang terdiam atas sistem yang berlaku. Teriakan saudara-saudara kita di Palestina, yang setiap hari dianiaya kaum yahudi. Teriakan kaum perempuan di barak-barak Lebanon yang ditindas oleh pasukan aliran kebatilan. Teriakan mereka yang di Filipina dan di Bulgaria --- teriakan demi teriakan di setiap tempat, tetapi tidak ada yagn merespons. Para penggagas generasi pertama telah mati, generasi al-Mu’tashim telah wafat, tak ada yang berpegang pada tali Allah. Jadilah teriakan para Muslimah, tak menggema, dan tak menggelorakan semangat atau darah yang bergejolak.

Sikpa Pemimpin Kaum Munafik

Ibnu Ishaq berkata, Rasulullah saw mengepung mereka hingga mereka menyepakati ketetapan beliau. Katika Allah memberi kesempatan Abdullah bin Ubay bin Salut untuk menemui beliau saw, ia berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada teman-temanku (mereka dahulu adalah sekutu Khazraj).” Ibnu Ishaq berkata, “Rasulullah enggan.” Lalu, Abdullah berkata, “Wahai Muhammad, beruat baiklah (jangan mengepung) kepada teman-temanku.” Rasulullah menolaknya. Kemudian Abdullah memasukkan tangannya ke saku perisai Rasulullah saw.
Rasulullah saw berkata kepadanya, “Biarkan aku (lepaskan tanganmu).” Rasulullah saw marah hingga tampak kerut di wajah beliau. Kemudian beliau berkata, “Celaka engkau, lepaskan tanganmu.” Abdullah berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskannya, hingga engkau beruat baik kepada mereka : 400 orang tak berperisai dan 300 orang berperisai,d ari golongan merah dan hitam, mereka melindungiku, engkau akan dapatkan mereka dalam satu hari. Sungguh, demi Alalh, aku adalah orang yang takut dengan pengepungan,.” Kemudian Rasulullah berkata,”Mereka milikmu.” (HR Thabari).
Ibnu Hisyam berkata, “Pada saat Rasulullah mengepung mereka, beliau menitipkan Madinah kepada Bisyir bin Abdul Mundzir. Dan pengepungan itu berlangsung selama 15 hari.”

Pembunuhna Ka’ab bin al-Asyraf

Sebab dibunuhnya Ka’ab bin al-Asyraf dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin Malik r.a. Ia berkata, “Ka’ab bin al-Asyraf adalah orang yahudi, penyair yang kerap menghina Rasulullah saw. Orang-orang kafir Quraisy memanas-manasinya untuk menghinanya dalam syair-syairnya. Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, di sana ada beberapa kelompok. Kaum Muslimin  yang terhimpung dalam dakwah Rasulullahs aw, kaum musyrikin yagn menyembah berhala, serta yahudi pemilik benteng dan puri-puri. Mereka adalah sekutu bagi al-Aus dan al-Khazraj. Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, ingin berhubungan baik dengan mereka semua. Seorang Muslim dapat berayahkan musyrik. Dan seorang Muslim bisa jadi saudaranya musyrik
Ketika Rasulullah saw datang, kaum musyrikin dan yahudi dari penduduk Madinah kerap mengintimidasi beliau dan para sahabatnya. Kemudian Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kaum Muslimin untuk bersabar atas hal itu dan memaafkan mereka. Tentang hal itu, Allah menurunkan firman-Nya, “.... dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik......” (QS. Ali ‘Imran (3) : 186).
Begitu juga ayat Allah, “Banyak di antara ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka,setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya ....” (QS. al-Baqarah (2) : 186).
Namun Ka’ab bin al-Asyraf enggan untuk tidak menghina Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz dan beberapa orang untuk membunuhnya. Sa’ad pun melakukannya. (HR Abu Dawud dan Turmudzi).

Nabi saw. Melepas Kepergian Mereka dan Mendoakan Mereka

Dari Jabir bin Abdullah mengatakan bahwa Rasulullah saw berkata, “Siapa yang bersedia membunuh Ka’ab bin al-Asyraf yang telah menghina Allah dan rasul-Nya?” Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, maukah kau jika aku membunuhnya?” Nabi saw mengatakan, “Ya”. Muhammad bin Maslahamh berkata, “Izinkan aku untuk mengatakan sesuatu (untuk menipu Ka’ab).” Nabi saw berkata, “Katakanlah.” Kemudian Muhammad bin Maslamah menemui Ka’ab dan berkata, “Orang itu (yakni Muhammad saw) menuntut sedekah (yaitu zakat) dari kami, dan dia telah menyulitkan kami, dan aku datang untuk meminjam sesuatu darimu.”
Pada saat itu Ka’ab berkata, “Demi Allah, Anda akan bosan dengannya.” Muhammad bin Maslamah berkata, “Sekarang karena kami sudah mengikutinya, kami tidak mau meninggalkannya, sampai kami melihat bagaimana perkaranya berlanjut. Sekarang kami ingin engkau meminjamkan satu atau dua makanan unta.”
Ka’ab mengatakan, “Ya, (saya akan meminjamkan), tetapi kau harus menggadaikan sesuatu kepada saya.”
Muhammad bin Maslamah dan temannya berkata, “Apa yang kau inginkan.?”
Ka’ab berkata, “Gadaikan istrimu kepadaku.”
Mereka berkata, “Bagaimana kami dapat menggadaikan istri kami kepadamu, sedangkan engkau yang paling tampan di antara orang-orang Arab?”
Ka’ab, “Kalau begitu gadaikan anakmu kepada saya.”
Mereka berkata, “Bagaimana kami dapat menggadaikan anak-anak kami kepadamu?” Salah seorang dari mereka akan menghina kami, lalu dikatakan, “Ia telah digadaikan untuk makanan unta, itu akan membuat kami sangat malu, tetapi kami mau menggadaikan senjata kepadamu.”
Muhammad bin Maslamah dan temannya menjajinkan Ka’ab bahwa ia akan kembali kepadanya. Ia datang ke tempat Ka’ab di malam hari bersama Abu Na’ilah --- saudara sesusuan Ka’ab. Ka’ab mengundang mereka untuk datang ke beteng, lalu ia pergi menemui mereka. Istrinya bertanya, “Hendak ke mana engkau pergi malam-malam begini?” Ka’ab menjawab, “Hanya mau ke tempat Muhammad bin Maslamah dan saudaraku, Abu Na’ilah.
Dalam riwayat lain istrinya berkata, “Aku mendengar suara, sepertinya ia berdarah.” Ka’ab berkata, “Mereka hanya saudaraku. Muhammad bin Maslamah, dan saudara susuanku Abu Na’ilah. Seorang pria murah hati harus menanggapi panggilan di malam hari, bahkan jika diundang untuk melukai (seseorang).”  Jabir berkata, “Muhammad bin Maslamah masuk bersama deua orang. Lalu, dia berkata, “Jika Ka’ab datang, aku akan menyentuh rambutnya dan menciumnya, dan ketika kau melihat aku telah berhasil meraih kepadalnya pukullah dia  ..... lalu aku akan mencium kalian.” Lalu, Ka’ab bin al-Ashraf datang kepada mereka dengan pakaian yang menyebarkan bau harus. Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku belum pernah mencium aroma yang lebih baik dariapda ini!.” Muhammad bin Maslamah berkata kepada Ka’ab, “Apakah kau mengizinkan aku untuk mencium kepalamu?” Ka’ab berkata, “Ya.” Muhammad menciumnya dan membuat teman-temannya mencium baunya juga. Kemudian dia meminta izin Ka’ab lagi, “Apakah kau mengizinkanku lagi?” Ka’ab berkata, “Ya.” Ketika Muhammad dapat menguasai Ka’ab, ia berkata kepada temann-temannya. “Pukul dia!” Lalu, mereka membunuhnya dan setelah itu mereka pergi menghadap Nabi saw dan memberitahunya.” (HR Bukhari).”
Sungguh sebuah sikap yang menunjukkan loyalitas dan pembangkangan yang jelas seperti matahari di siang hari. Ia membunuh kerabatnya diakrenakan ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya saw.
Al-Hafizh dalam al-Fath megnatakan bahwa ketika Muhammad bin Maslamah  berkata, “Izinkan aku untuk berkata sesuatu, Rasulullah berkata, “Katakanlah, seakan-akan ia meminta izin untjuk perbuat sesuatu, dengannya ia memperdaya Ka’ab.” Oleh sebab itu, Bukhari membuat judul untuk bab di mana hadits ini berada, yaitu, “Berbohong dalam Perang.”
Dalam riwayat Ibnu Sa’ad, dikisahkan bahwa mereka minta izin untuk mengadukannya dan menjelk-jelekan pendapatnya. Redaksinya, “Muhammad bin maslamah berkata kepada Ka’ab, “Kedatangan orang ini bencana bagi kami. Bangsa Arab memerangi kami, mencelakakan kami.” Ibnu Ishaq memiliki sebuah riwayat, yang sanadnya hasan. Dari Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw berjalan bersama mereka ke Baqi’ al-Gharqad, kemudian mengarahkan mereka dan berkata, “Pergilah kalian dengan asma Allah, tolonglah mereka.”

 Anggapan Tak Berdasar dan Bagaimana Meluruskannya

Sebagian pemuda yang tergesa-gesa memakai kekerasan bersenjata, memakai dalil peristiwa di atas untuk membenarkan apa yang mereka lakukan,d an mereka tak punya alasan dalam hal ini. Sebab, perisitwa di atas terjadi di Madinah, di mana kaum Muslimin memiliki negara dan kekuatan. Sedangkan, para pemuda itu tidak memiliki negara dan juga kekuatan. Peristiwa di atas terjadi dalam rangka memuliakan agama, menakut-nakuti kaum kafir, yang semuanya itu adalah maslahat, tidak ada mafsadah (upaya yang berakibat kerusakan). Adapun tindakan kekerasan yang terjadi di masa yang rentan seperti ini, dampak yang terjadi justru  keburukan dan kekerasan, juga menghalalkan darah kaum Muslimin, harga diri mereka, dan harta mereka. Seseorang yang mampu melihat akan tahu bahwa upaya tersebut tanpa maslahat yang sebenarnya diharapkan, hanya maslahat semu. Upaya-upaya seperti ini tidak dihalalkan oleh syariat. Orang yang mempunyai kapasitas keilmuan dan pengalaman dengan realitas dakwah, juga tak ada yang memfatwakannya.

 Sepanjang, 25 Nopember 2018