Ibn ‘Arabi
Diterjemahkan dari Buku aslinya berbahasa Arab :
Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi
Tebitan Mu’asasah al-A’lami li al Mathbu’at
Bairut – Libanon 1993
Penerjemah : Irwan Kurniawan
Penyunting : MS Nasrullah
Cetakan kedua, Ramadhan 1417 H/Januari 1997
Diterbitkan oleh : PUSTAKA HIDAYAH
Jl. Rereng Adumanis 31, Sukaluyu Bandung
Penyadur : Pujo Prayitno
1.
WASIAT HIKMAH UNTUK PARA PENEMPUH JALAN SPIRITUAL
Tuhan berwasiat; demikian pula
para utusan Tuhan.
Karenanya, meneladani mereka
adalah sebaik-baik perbuatan.
Andai tiada wasiat, makhluk
berkubang dalam kegelapan.
Dengan wasiat, raja bakal
dalam kekuasaan.
Lakukanlah, jalan itu, jangan
kau tinggalkan.
Wasiat adalah, Hukum Allah
adalam keazalian.
Kuingatkan suatu kaum akan
wasiat Tuhan.
Dan, itu bukanlah apa yang
pertama kuwasiatkan.
Yang mereka katakan dan
tetapkan bukanlah
Jalan-jalan lurus yang mereka
tempuh ke depan.
Perilaku Ahmad adalah, agama
itu sendiri secara keseluruhan.
Dan agama Musthafa adalah
agama paling terang.
Ia tak menyilaukan mata,
bahkan memberi kekuatan
Yang miring, Ia tegakkan.
Dari sumbernya, ambillah
buatmu yang membahagiakan
Sampai bulan tertinggi,
Saturnus, dan puncak ketinggian
Tiba di ketegaran, jangan kau
berhenti di pelataran.
Cepatlah naik ke tangga puncak
ketinggian.
Lalu, tapakkan kakimu ke
kursiy dan ‘arasy terbentang.
Menuju asykal dan mutsul
kemuliaan.
Menuju tobat diri dan kesucian
akal,
Yang terbelenggu a’radh dan
‘illah dalam ikatan.
Menuju napas di puncak ketinggian awan.
Tempat yang disifati dengan keazalian
Pandanglah gunung-gunung kukuh
tinggi menjulang
Yang senantiasa dan selalu
menatapkan pandangan.
Andai
tiada ketinggian dalam kerendahan di bawah kerendahan wajah-wajah kita yang
riya’ pasti mencari pujian.
Sebab itu, atas diri kita
sujud Allah tetapkan.
Kita saksikan kebenaran dalam
ketinggian dan kerendahan.
Inilah wasiat kami, jika
engkau mau memikirkan.
Sungguh, wasiat ini adalah
sebaik-baik kecerdikan.
Dengannya kau lihat setiap
bentuk ilmu pengetahuan.
Di atas hakikatnya, bukan di
atas penggantinya.
Hingga kau lihat pemandangan
di puncak ketinggian,
Yang
dihadirkannya hanyalah dirimu seorang yang tak hilang dan senantiasa ada dalam
keberadaan.
Jika ia menyerumu pada sesuatu
yang menyenangkan,
Janganlah kau penuhi itu
seruan, dan hindarilah ia dengan penuh ketakutan.
Kita adalah perempuan bagi apa
yang kita lahirkan.
Hendaklah kita memuji Allah,
yang tak ada seorang laki-laki pun di semesta alam.
Laki-laki yang kepadanya
ditunjukkan kebiasaan
Tak lain hanyalah sekedar
seorang perempuan.
Bagiku, mereka adalah tuntutan
dan harapan.
2. WASIAT SEORANG BIJAK KEPADA
ANAK-ANAKNYA MENJELANG KEMATIANNYA
Allah SWT berfirman dalam
wasiat umum : Dia telah mensyariatkan kepadamu agama yang sama seperti yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah
berpecah belah di dalamnya ........’ (QS. Asy-Syura, 42 :13). Allah SWT
memerintahkan agar kita menegakkan agama, yakni ketentuan waktu dalam setiap
zaman dan generasi, dan agar kita bersatu di dalam agama ini serta tidak
bercerai berai. Tangan atau kekuasaan Allah ada dalam kebersatuan jamaah, srigala
hanya memakan domba yang jauh dan terpisah dari kawanannya. Hikmah yang
terkandung di dalamnya ialah bahwa Allah tidak mungkin dipahami sebagai Tuhan
kecuali dalam hal nama-nama Indah-Nya (al-asma al-husna), dan bukan selain ini.
Karenanya, kita harus mengesakan Zat-Nya dan banyak menyebut Nama-nama-Nya. Dan
dalam kumpulan atau jamaah itulah Dia dipahami sebagai Tuhan. Dan dengan
demikian, tangan Allah – yakni – kekuasaan-Nya – ada dalam kebersatuan jamaah.
Sorang
bijak (hakim) berwasiat kepada anak-anaknya menjelang wafatnya. Mereka adalah
satu jamaah. Ia berkata kepada naka-anaknya, “Bawakan kepadaku beberapa buah
tongkat!”. Ia kemudian menghimpun tongkat-tongkat itu dan berkata kepada
mereka, “Patahkanlah!” Mereka tidak mampu mematahkannya. Kemudian ia
memisah-misahkan dan berkata kepada mereka, “Ambillah satu per satu, dan
patahkanlah!” Mereka pun sanggup mematahkannya. Ia pun berkata, “Begitulah
keadaan kamu sekalian sepeninggalku. Kamu tidak akan mudah dikuasai dan
dikalahkan selama kamu bersatu. Akan tetapi, jika kamu bercerai berai, maka
musuhmu akan mampu membinasakan kamu.” Demikianlah hukum agama itu. Jika mereka
bersatu menegakkan agama dan tidak bercrai berai, maka musuh tidak akan mampu menguasai
dan mengalahkan mereka. Seperti itu pulalah keadaan manusia dalam dirinya
sendiri. Jika ia bersatu untuk menegakkan agama Allah, maka dengan pertolongan
iman, setan dari golongan jin dan manusia tidak akan dapat menguasainya dan
mengalahkannya melalui bisikannya. Para malaikat pun akan mengelilingi dan menolongnya.
3. WASIAT IHWAL MENGHINDARI
MAKSIAT KEPADA ALLAH
Jika engkau berbuat maksiat
kepada Allah di suatu tempat,janganlah beranjak dari tempat itu sampai engkau
melakukan ketaatan dan menegakkan ibadah. Sebab, sebagaimana Dia menyaksikan
keburukanmu, maka begitu pulalah --- jika diminta untuk memberi kesaksian --- Dia pun akan menyaksikan kebaikanmu.
Namun ketika itu, engkau justru tidak melakukannya. Maka seperti itu pulalah
halnya dengan pakaianmu. Jika engkau berbuat maksiat kepada Allah dengan
mengenakan baju tertentu, maka beribadahlah kepada Allah dengan baju itu, sebagaimana
telah ku katakan kepadamu. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu yang
sudah memisahkan diri darimu, seperti mencukur kumis, memotong bulu kemaluan
dan kuku, mencukur rambut, serta membersihkan kotoran. Janganlah engkau lakukan
semua itu kecuali engkau berada dalam keadaan suci dan berzikir kepada Allah
SWT. Sebab, semuanya itu akan ditanyakan kepadamu, bagaimana yang demikian itu
meninggalkanmu. Sekurang-kurangnya, ibadah yang bisa engkau lakukan untuk
semuai ini ialah hendaknya engkau memohon kepada Allah agar Dia mengampunimu
atas perintah-Nya, hingga engkau bisa menunaikan kewajibamu dalam rangka
memenuhi perintah Allah SWT.
Firman Allah SWT : Dan Tuhanmu bersabda, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya
akan Kuperkenankan bagimu.’ Dia memerintahkan
agar engkau berdoa kepada-Nya. Kemudian di dalam ayat ini pula Dia berfirman :
Sesungguhnya engkau yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, yakni
orang-orang yang menyombongkan diri di atas kehinaannya. Dan yang dimaksudkan
dengan ibadah di sini adalah berdoa. Bedoa dinamakan ibadah, dan ibadah adalah
merendahkan diri. Mereka akan masuk neraka jahanam dalam keadaan terhina (QS.
Ghafir : 56-60). Jika mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, maka Allah
memperkenankan mereka masuk surga sebagai orang-orang yang mulia.
Pada suatu hari di waktu
sahur, dengan tergesa-gesa, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di situ ku dapati ada Najm ad-Din Abu al-Ma’ali bin al-Lahib. Ia adalah
sahabatku. Dipanggilnya seorang tukang cukur untuk mencukur rambutnya. Maka,
aku pun berseru kepadanya, “Wahai Abu al-Ma’ali!” Tiba-tiba ia amenjawab
seruanku sebelum aku melanjutkan
ucapanku. Katanya, “Aku sudah bersuci dan mengerti maksudmu.” Aku heran
dengan kehadirannya di tempat itu. Ia begitu cepat memahami maksudku mengerti
apa yang mesti dilakukan di tempat itu, dan menghubungkan situasi di tempat itu
dengan pengtehauannya tentang apa yang kumaksudkan. Lalu, aku berkata
kepadanya, “Semoga Allah memberkahimu. Demi Allah, aku memanggilmu hanya untuk
memberitahumu agar engkau bersuci dan berzikir ketika memotong dan mencukur
rambutmu.” Ia pun mendoakanku, dan kemudian mencukur rambutnya.
Hal semacam ini telah
dilupakan manusia. Malahan mereka mengatakan, “Apabila engkau beruat maksiat
kepada Allah di suatu tempat, pergi dan menyingkirlah dari situ.” Yang demikian
ini disebabkan mereka merasa khawatir kepadamu kalau-kalau tempat itu
mengingatkanmu kepada kemaksiatan yang telah engkau lakukan sehingga engkau
akan mengenang kambali manisnya kemaksiatan itu. Dengan begitu, dosamu akan
makin bertambah . mereka berkata begitu lantaran didorong oleh rasa kasih
sayangnya kepada sesama manusia. Namun suatu pengetahuan yang agung telah
berlalu dari mereka. Maka taatlah kepada Allah di tempat itu dan di saat engkau
pergi dari tempat itu. Gabungkanlah antara apa yang mereka katakan dan apa yang
kuwasiatkan kepadamu. Setiap kali engkau mengingat kesalahan yang telah engkau
lalukan, maka bertobatlah setelah itu dan mohonlah ampunan kepada Allah.
Berzikirlah kepada Allah
setiap kali engkau melakukan perbuatan maksiat. Rasulullah saw. Bersabda,
“Iringilah kejelakan itu dengan kebaikan, karena (kebaikan) itu akan menghapus
keburukan.” “Sesungguhnya, kebaikan menghilangkan menghilangkan keburukan (Qs.
Hud, 11:113). Namun, hendaknya engkau menimbang-nimbang hal itu, agar engkau
mengetahui banyaknya keburukan dan kebaikan yang telah engkau lakukan.
4. WASIAL IHWAL PRASANGKA BAIK
KEPADA TUHAN
Berbaik sangkalah kepada
Tuhanmu dalam setiap keadaan. Dan janganlah berburuk sangka, sebab engkau tidak
tahu, apakah engkau berada pada akhir hayatmu dalam setiap tarikan napas yang
keluar darimu, dan kemudian engkau meninggal serta menemui Allah dalam keadaan
berbaik sangka kepada Allah, bukan dalam keadaan berburuk sangka kepada-Nya.
Engkau tidak tahu bahwa mungkins saja Allah menggenggammu pada suatu tarikan
napas yang keluar darimu itu. Tinggalkanlah perkataan orang yang menampakkan
prasangka buruk dalam hidupmu dan memperlihatkan prasangka baik kepada Allah di
saat kematian menyongsongmu. Yang demikian ini tidak dikenal di kalangan para
ulama yang sungguh-sungguh mengenal Allah, karena mereka bersama Allah dalam
setiap tarikan napas mereka. Di dalam prasangka baik itu terdapat faedah dan
pengetahuan tentang Allah, yakni bahwa engkau telah memenuhi dan menunaikan
hak-Nya. Hak Allah atas dirimu ialah bahwa engkau beriman kepada firman-Nya :
Dan kami jadikan kamu dalam keadaan tidak mengetahui (QS. Al-Waqi;ah, 56-61).
Mungkin saja Allah menjadikanmu dalam suatu tarikan napas yang – menurut
hematmu – bisa menyebabkan kematianmu. Engkau pun lantas kembali kepada-Nya,
padahal, ketika itu, engkau tengah berprasangka buruk kepada Tuhanmu dan
menemui-Nya dalam keadaan demikian. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Tentang
apa yang diriwayatkan dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman : “Aku sesuai dengan
prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Karena
itu, berbaik-sangkalah kepada-Ku.” Dan berprasangka baik tidaklah khusus
berlaku hanya pada waktu tertentu saja. Jadikanlah prasangkamu kepada Allah
sebagai pengetahuan bahwa Dia akan memaafkanmu dan menyerumu kepada prasangka
ini sesuai dengan firman-Nya : Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS.
Az-Zumar, 39-53). Tidak ada yang mencegahmu dari hal itu, melainkan kamu harus
mengakhirinya. Dia telah berfirman dalam Al-Quran. Firman-Nya adalah benar, dan
tidak mengalamik penghapusan. Sekiranya firman Allah mengalami penghapusan,
maka hal itu adalah dusta belaka, padahal Allah mustahil berdusta. Allah
berfirman : Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Ampunan itu tidak
dikhususkan pada dosa tertentu saja. Bahkan, Dia menegaskan dengan firman-Nya :
Seluruhnya. Kemudian Dia melanjutkan firman-Nya : Sesungguhnya Dia. Di sini
disebutkan kata ganti yang kembali kepada-Nya, yakni Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (QS. Az-Zumar : 53-54). Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. AllDemikian pula Dia berfirman : Orang yang
melampaui batas. Dia tidak menyebutkan siapa saja yang melampaui batas itu, melainkan
menggunakan ism naqish, yang mencakup setiap orang yang melampaui batas.
Kemudian, al-‘ibid (hamba-hamba) di-idha-fat-kan kepada-Nya, karena mereka
adalah hamba-hamba-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya tentang hamba
yang saleh, Nabi ‘Isa, as. : Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba-Mu (QS. Al-Maidah : 5-118). Dia menisbatkan mereka
kepada-Nya. Dan keluhuran penisbatan kepada Allah SWT cukuplah sudah dikatakan
sebagai kemuliaan.
5. WASIAT IHWAL ZIKIR KEPADA
ALLAH
Hendaknya engkau berzikir
kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, dalam keadaan
sendiri maupun bersama orang lain. Allah SWT berfirman : Ingatlah kepada-Ku,
niscara Aku akan ingat kepadamu (QS. Al-Baqarah, 2 : 152), jawaban atas zikir
hamba kepada-Nya adalah zikir Allah kepadanya. Kesengsaraan apakah yang lebih
besar diderita seorang hamba selain dosa? Dalam keadaan sempit, beliau berdoa :
“Alhamdulillah al-mun’im al-Mufdhil ) Segala Puji bagi Allah yang memberi
nikmat dan memberi keutamaan). Jika engkau merasakan hatimu selalu melantunkan
zikir kepada Allah dalam segala keadaan, niscaya hatimu akan diterangi dengan
cahay zikir. Cahaya itu akan memberikan kepadamu al-hasyf (penyingkapan).
Sebab, dengan cahaya itu akan tersingkaplah segala sesuatu. Jika penyingkapan
itu tampak, maka nampaklah pula rasa malu yang menyertainya. Buktimu atas hal
itu adalah perasaan malumu kepada tetangga dan kepada orang-orang yang engkau
lihat memiliki hak dan kemampuan. Tidak pelak lagi, keimanan memberikan
kepadamu pengagungan atas hakmu.
Pembicaraan kami hanyalah
tentang orang-orang Mukmin, dan wasiat kami hanyalah diperuntukan bagi setiap
Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dari
sisi-Nya. Allah berfirman dalam hadis yang sahih, “Aku bersamanya – yakni
bersama seorang hamba – ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam
kesendirian,maka Aku pun mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Dan jika ia
mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku pun mengingatnya dalam keramaian yang
lebih baik.”
Allah SWT berfirman : Dan
laki-laki dan Perempuan yang banyak mengingat Allah (QS. Al-Ahzab, 33 : 35).
Dan zikir yang paling agung adalah mengingat Allah dalam keadaan apapun.
6. WASIAL IHWAL MENGHADIRKAN
KEDEKATAN DENGAN SEGENAP KEMAMPUAN
Tetaplah untuk senantiasa menghadirkan segenap kedekatan (al-qarb)
dengan mencurahkan segala kemampuan dalam setiap waktu dan keadaan, atas apa
yang disampaikan Al-Haqq (Allah)
kepadamu dalam waktu dan keadaan itu, jika engkau seorang Mukmin, maka
kemaksiatan yang dilakukan orang lain tidak akan menyentuhmu sedikit pun, tanpa
ada campuran kegiatan. Engkau pun meyakininya bahwa hal itu adalah kemaksiatan.
Jika engkau tambahkan permohonan ampunan (istighfar) dan tobat kepada campuran
ini (yakni, ketaatan dan kemaksiatan), maka yang demikian itu adalah ketaatan
paling baik dan ketaatan paling mulia. Maka, bagian ketaatan yang bercampur
kejahatan menjadi kuat. Dalam keimanan adalah kedekatan paling kuat dan paling
agung di sisi Allah. Asas yang menjadi landasannya adalah seluruh kedekatan.
Termasuk dalam keimanan adalah penilaianmu tentang Allah, berdasakan apa yang
diberlakukan-Nya atas diri-Nya sendiri. Dalam sebuah riwayat sahih, Allah SWT
berfirman : “Jika ia menghampiri-Ku sejengkal, Aku menghampirinya sehasta. Jika
ia menghampiri-Ku sehasta. Aku menghampirinya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku
dengan berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari.” Sebab penggandaan ini
adalah dari Allah, yang tidak lebih sedikit dan tidak lebih lemah dari apa yang
sanggup dilakukan seorang hamba. Dalam melakukan setiap pekerjaan, sang hamba
mestilah mengerjakannya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, ia
diperintahkan untuk menimbang segenap amal perbuatannya dengan timbangan
syariat. Dalam hal itu, ia mesti bersabar. Jika ia tergesa-gesa, maka
ketergesa-gesaan itu dilakukannya hanya dalam menimbang-nimbang segenap amal
perbuatannya itu, dan bukan dalam perbuatan itu sendiri. Dengan melakukan
penimbangan, maka muamalahnya menjadi sah. Kedekatan kepada Allah tidak
memerlukan timbangan, kerena timbangan Al-Haqq yang ada di tangan-Nya adalah
timbangan yang engkau gunakan untuk menimbang segenap amal perbuatanmu itu.
Dengan amal perbuatan itu engkau pun mencari kedekatan kepada Allah. Yang
memiliki sifat ini mestilah kedekatan-Nya kepadamu lebih kuat dan lebih banyak
daripada kedekatanmu kepada-Nya. Maka Dia menyifati diri-Nya bahwa Dia dekat
kepadamu dalam kedekatanmu kepada-Nya, karena kelemahan kedekatanmu kepada-Nya
disebabkan engkau berada dalam rupa yang diciptakan. Awal kekhalifahan bagimu
adalah kekhalifahanmu atas dirimu. Karenanya, engkau adalah khalifah-Nya di atas bumi badanmu, dan juga kepemimpinanmu
atas anggota-anggota badamu dan kekuatanmu yang tampak dan yang tersembunyi.
Kedekatan-Nya kepadamu sama dengan kedekatanmu kepada-Nya, plus tambahan yaitu
sebagaimana dikatakan-Nya : hasta, depa dan berlari. Jengkal demi jengkal
adalah hasta. Hasta demi hasta adalah depa, dan berjalan, manakala
dilipatgandakan, adalah berlari. Awalnya adalah kedekatanmu kepada-Nya dan
akhirnya adalah kedekatan-Nya kepadamu. Inilah kedekatan yang saling
bersesuaian.
Kedekatan Ilahi kepada seluruh
makhluk bukan kedekatan yang demikian. Allah berfirman : ........... Dan Kami
lebih dekat kepadamu dari urat lehernya. (QS. Qaf. 50 : 16). Kedekatan di sini
bukanlah kedekatan yang disebutkan di atas. Yang dimaksud di sini adalah
kedekatan yang merupakan balasan dari kedekatan hamba kepada Allah. Bagi sang
hamba, kedekatan kepada Allah setelah keimanan pada Allah, dan keimanan pada
siapa saja yang menyampaikan segala sesuatu dari Allah SWT.
7. WASIAT IHWAL MELAZIMKAN
DIRI DENGAN PERBUATAN BAIK
Biasakan dirimu berniat
melakukan perbuatan baik, walau pun engkau tidak mengerjakannya. Apabila dirimu
berniat melakukan kejahatan, maka bersungguh-sungguhlah untuk meninggalkannya
karena Allah. Jika tidak, maka qadar yang lalu dan qadha’ yang akan datang
bakal menguasaimu. Jika Allah tidak menakdirkanmu melakukan kejahatan yang
engkau niatkan, maka Dia menuliskan untukmu satu kebaikan. Hal ini ditegaskan
Rasulullah saw., dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman : “Apabila hamba-Ku berniat
melakukan kebaikan, maka Aku tuliskan baginya satu kebaikan jika ia tidak
melakukannya.” Ma di sini mengandung makna zhaffiyah, yakni menunjukkan waktu.
Maka,untuk setiap waktu yang berlalu atas dirinya dalam berniat melakukan
kebaikan ini, walau pun ia tidak
mengerjakannya, Allah selalu menuliskan baginya satu satu kebaikan. Waktu-waktu
itu mencapai jumlah tertentu. Karena itu, baginya ada satu kebaikan untuk
setiap kali ia berniat, karena Dia ebrfirman : .................. Selama dia
tidak mengerjakannya. Selanjutnya Allah SWT berfirman : Jika ia mengerjakannya,
maka Aku akan menuliskan baginya sepuluh kali kebaikan itu. Di sini, jika
engkau ketahui, kebaikan itu adalah kira-kira sepersepuluh dari air yang
tercurah dari langit. Jika kebaikan itu merupakan bagian dari kebaikan-kebaikan
yang terus menerus, yang mendapat ganjaran kekal, maka ganjaran itu terus
diperbaraui hingga Hari Kiamat sebagai shadaqah jariyah, seperti wakaf, ilmu
yang disebarkan kepada masyarakat; perilaku yang baik, dan sebagainya. Kemudian
Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, Dia berfirman : Jika
ia berniat melakukan kejahatan, maka Aku akan mengampuninya selama ia tidak
mengerjakannya. Dan ma di sini mengandung makna zharfiayh, sama seperti dalam
hadis mengenai kebaikan di atas. Hukumnya pun sama dengan hukum tentang niat
melakukan kebaikan itu, dan balasannya pun sepadan dan setimpal. Selanutnya
Allah SWT berfirman : Jika mengerjakan, maka Aku menuliskan baginya satu
kejahatan. Dia membuat kesataraan di dalam kejahatan dan kelebihan di dalam
kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : Bagi orang-orang yang
beruat baik adalah kebaikan dan tambahan (QS. Yunus, 10:26). Yang demikian itu
adalah keutamaan, yakni kelebihan dari yang semisal itu.
Kemudian Allah mengabarkan
ikhwal para malaikat. Mereka mengemukakan hukum prinsip bagi yang mereka
sampaikan berkenaan dengan hak moyang kita. Adam, a.s, lewat ucapan mereka :
Mengapa Engkau menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan di atasnya danmenumpahkan dara...... (QS. Al-Baqarah, 2:30). Mereka
mengemukakan ini hanya lantaran kejahatan kita, dan mereka menentangnya demi
kebaikan. Tempat yang tinggi (al-ma’ al-a’la) dikuasai oleh kecemburuan
(ghairah) agar tunduk kepada segala sesuatu yang datang dari sisi Allah. Dari
kejadian yang elemental (‘’usnhuriyah) ini, mereka tahu bahwa mereka harus
berpaling dari Tuhan mereka kepada yang menjadi hak mereka. Itulah perasaan yang
ada pada diri mereka, padahal terdapat kejelasan dalam penciptaan mereka. Kalau
saja penciptaan para malaikat atas bentuk kejadian kita, yang Allah sebutkan
tentang mereka adalah bahwa mereka itu bermusuhan, maka permusuhan itu terjadi
hanya lantaran adanya pertentangan. Yang Allah kabarkan mengenai para malaikat
: di dalam hak kita ialah bahwa mereka mengatakan, “Itulah hamba-Mu yang ingin
berbuat kebaikan.” Kajilah kekuatan prinsip ihwal apa yang diputuskannya bagi
orang yang mengkajinya ini.
Dari sini, engkau pun
mengetahui keutamaan manusia ketika ia menyebutkan kebaikan pada diri seseorang
dan tidak menyebut-nyebut kejahatannya, di mana derajatnya ada bersama derajat
kemuliaan para malaikat, seperti yang mereka sebutkan. Akan tetapi, aku
ingatkan engkau dengan apa yang mereka ingatkan kepadamu, agar engkau
mengetahui kejadian mereka dan apa yang telah mereka jelaskan. Semuanya bekerja
atas niatnya, sebagaimana difirmankan Allah SWT.
Dikabarkan pula bahwa para
malaikat mengatakan, “Itulah hamba-Mu si fulan hendak berbuat kejahatan.” Maka
dia memandangnya dan berkata, “Awasilah! Jika ia melakukan kejahatan, maka
tuliskan baginya yang setara dengan kejahatan itu. Tapi jika ia
meninggalkannya, tuliskan baginya kebaikan, karena ia meninggalkannya semata-mata
karena Aku.”
Para malaikat tersebut adalah
mereka yang disebutkan Allah, kepada kita : Sesungguhnya bagi kami ada
malaikat-malaikat yang mengawasi pekerjaanmu, yang mulia di sisi Allah dan yang
mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu (QS. Al0Infithar, 82:10-11). Martabat dan
kekuasaan yang diberikan kepada mereka dimaksudkan agar mereka memperbincangkan
apa yang kamu perbincangkan. Bagi mereka ada catatan kebaikan tanpa mengetahui
aa yang akan Allah perintahkan kepada mereka dalam hal itu. Mereka memperbincangkan
kejahatan atas sesuatu yang mereka ketahui sebagai karunia Allah dan
ampunan-Nya. Kalau mereka tidak memperbincangkan hal itu, kita tidak mengetahui
apa yang terjadi di sisi Allah. Seperti yang mereka katakan tentang seseorang
yang berada di majelis-majelis zikir, yang datang ke tempat itu untuk memenuhi
keperluannya, bukan karena Allah, maka Allah tidak mengecualikannya dalam
memberikan ampunan kepada semua orang yang hadir di majelis itu. Allah SWT
berfirman : “Mereka adalah kaum yang majelisnya tidak sia-sia.” Kalaulah bukan
karena pertanyaan mereka dan pengenalan mereka, maka kita tidak akan mengetahui
wewewnang yang Allah berikan kepada mereka. Maka, perbincangan mereka adalah
pelajaran dan rahmat, sekalipun yang tampak adalah seperti pemahaman yang
terbatas menadhului prinsip yang kami engatkan kepadamu.
Allah SWT berfirman ihwal
kebaikan dan kejahatan : “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya,; dan Dia menambahkan :
.................... Dan barangsiapa membawa perbuatan yang jahat, maka ia
tidak diberi pembalsan melainkan seimbang dengan kejahatannya,” (QS. Al-An’am L
6 :160). Dan mengampuni suatu kamu setelah pembalasan, dan mengampuni kaum yang
lain sebelum pembalasan. Ampunan-Nya pasti diberikan bagi setiap orang yang
melampaui batas dirinya, meski ia tidak bertobat.
Barangsiapa memahami wasiat
ini, maka ia mengetahui kejadian manusia dan malaikat. Prinsipnya aalah satu,
sebagaimana halnya Tuhan kita pun satu. Bagi-Nya adalah nama-nama (al-asma’)
yang saling berlawanan. Karena itu, wujud pun berupa bentuk nama-nama itu.
8. WASIAT IHWAL BERPEGANG
KEPADA KALIMAT TAWHID
Tetaplah engkau berpegang pada
kalimat Islam, yaitu ucapan La ilaha illa Allah. Kalimat ini adalah zikir yang
paling utama lantaran mengandung tambahan ilmu. Rasulullah saw., bersabda :
“Seutama-utamanya ucapan dan ucapan para nabi sebelumku adalah kalimat La ilaha
illa Allah.” Kalimat itu menggabungkan penafian (al-nafy) dan penetapan
(al-itsbat). Pembagiannya pun terbatas. Tidak ada yang mengetahui kandungan
kalimat ini kecuali orang yang mengetahui timbangannya dan apa yang engkau
timbang, sebagaimana di ungkapkan dalam sebuah hadis yang kami sebutkan dalam
menunjukkan hal itu.
Ketahuilah bahwa kalimat itu
adalah kalimat tawhid. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai tawhid. Sebab, kalau
ada sesuatu yang menyamainya, maka
tawhid bukanlah satu dan pasti dua, dan seterusnya. Yang dapat ditimbang adalah
yang sama dan sebanding, dan juga yang sama, meski tidak sebanding. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa syirk – lawan dari tawhid – tidak ada pada diri seorang
hamba yang memiliki tawhid. Sebab, ada dua jenis manusia, entah ia seorang
Musyrik atau Muwahhid (ahli tawhid). Tawhid hanya bisa menimbang syirk, dan
keduanya tidak berkumpul di dalam satu sisi timbangan. Kalimat ini tidak dapat
masuk dalam timbangan, sebagaimana diungkapkan di dalam sebuah hadis. Bagi
orang yang memahami dan mengujinya, haids ini hadis sahih dan berasal dari
Allah. Allah SWT berfirman : “Sekiranya tujuh langit dan tujuh bumi yang
diciptakan oleh zat selain diri-Ku diletakkan pada sisi timbangan yang satu dan
La ilaha illa Allah diletakkan pada sisi timbangan yang lain, maka La ilaha illa Allah akan mengalahkannya,
yakni lebih berat darinya.” Dan hanya menyebutkan langit dan bumi, karena
timbangan tidak memiliki tempat kecuali di bawah lingkup orbit planet-planet
yang tetap beredar di sidrah al muntaha, yang menjadi tempat terakhirnya
segenap amal perbuatan hamba Allah. Amal-amal perbuatan ini diletakkan dalam
timbangan. Timbagan itu tidak melampaui tempat yang tidak mungkin dilewati
segenap amal perbuatan itu sendiri. Kemudian Dia berfirman : “Dan yang
diciptakan oleh zat selain diri-Ku.” Padahal tidak ada satu zat pun yang
menciptakannya selain Allah. Maka, yang dikabarkan itu cukup dilakukan dengan
isyarat. Dalam ungkapan umum di kalangan para ulama ar-rasum, zat yang
dimaksudkan ialah yang disekutukan dengan yang lain, yang dikukuhkan orang
musyrik. Kalau Allah memiliki sekutu dalam penciptaan, niscara La ilaha illa Allah
pasti mengalahkannya dalam hal timbangan, karena La ilaha illa Allah lebih kuat
dari segala sesuatu. Hal itu disebabkan orang musyrik mengutamakan Allah atas
apa yang dijadikan sekutu bagi-Nya. Maka Allah berfirman tentang mereka :
“Mereka berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan
kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az-Zumar : 39:3). Apabila diangkat
timbangan wujud, dan bukan timbangan tawhid, maka La ilaha illa Allah masuk ke
dalam timbangannya. Sedikit demi sedikit tawhid orang-orang Musyrik pun masuk
ke dalam tawhid keagungan, maka La illaha illa Allah menyucikan dan
mengalahkannya. Karena jika penciptanya bukan selain Allah, maka kalimat itu,
yakni La ilaha illa Allah, tidak akan dapt mengalahkan timbangannya. Ringkasnya,
Dia adalah Allah. Maka, ke mana ia akan cenderung? Ia hanya akan cenderung pada
salah satu dari dua sisi timbangan. Adapaun bagi pemilik catatan (sijjil), maka
sisi timbangan itu tidak akan miring kecuali dengan kartu catatan (al-bithaqah), karena yang memegang sisi
timbangana itu adalah timbangan itu sendiri disebabkan oleh LA ilaha Illa Allah
dilafalkan oleh orang-orang yang mengucapkannya dan malaikat pun menuliskannya.
Itulah La ilaha illa Allah yang ditulis dan diciptakan di dalam ucapan (nuthq).
Kalau kalimat itu diletakkan pada setiap orang, maka ia tidak masuk neraka
karena melafalkannya. Allah hanya menginginkan agar yang menidami tempat
pemberhentian (ahl al-muwaqif) mengetahui keutamaannya atas pemilik catatan
(shahib al-sijjilat). Tapi ia tidak akan melihat dan mendapatkannya kecuali
setelah masuknya orang yang Allah kehendaki dari penganut tawhid ke dalam
neraka. Jika seorang penganur tawhid tidak diam di tempat pemberhentian, maka
Allah menakdirkannya masuk neraka. Setelah itu ia dikeluarkan dengan syafaat
atau pertolongan Ilahi ketika didatangkan pemilik catatan. Tidak diam di tempat
pemberhentian itu kecuali orang yang masuk surga dari kalangan orang yang tidak
bernasib masuk ke dalam neraka. Ia adalah orang terakhir di antara makhluk yang
ditimbang, karena la- ilaha illa Allah memiliki permulaan dan penutup.
Kadang-kadang permulaannya menjadi penutup, seperti para pemilik catatan.
Kemudian ketahuilah bahwa
Allah tidak meletakkan dalam keumuman kecuali sesuatu yang paling utama, paling
umum manfaatnya dan paling berat timbangannya. Hal itu karena ada banyak
kontradiksi yang menjadi lawannya. Dalam menempatkan sesuatu di dalam keumuman
itu harus ada kekuatan yang melawan setiap kontradiksi. Ini tidak dapat
dipahami oleh setiap wali Allah, kecuali para nabi yang menetapkan syariat
kepada manusia. Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw., bersabda :
“Seutama-utama ucapanku dan ucapan para nabi sebelumku adalah la ilaha illa
Allah.” Beliau mengatakan apa yang menunjukkan pada keutamaan orang yang
mengharapkan kekhususan dari zikir dari kalimat Allah adalah Allah atau Dia
adalah Dia. Dan tidak diragukan lagi bahwa, dari sejumlah ucapan, la ilaha illa
Allah adalah yang lebih utama bagi orang-orang yang mengenal Allah.
Engkau,
wahai wali Allah, harus melantunkan zikir terus menerus di tengah-tengah orang
banyak, sebab zikir yang lebih kuat memiliki cahaya yang sangat terang dan
tempat yang sangat dekat. Tidak ada yang bisa merasakan hal itu kecuali orang
yang membiasakan diri dan mengamalkannya sehingga menguasainya. Allah meluaskan
rahmat-Nya hanya untuk mencakup dan menggapai apa yang di harapkan. Seseorang
hanya menuntun keselamatan, kendati ia tidak mengetahui jalannya. Orang yang
mengingkari zat-Nya dengan la illa berarti mengukuhkan eksistensinya dengan
illa Allah. Engkau mengingkari dirimu sendiri secara hukum, bukan secara ilmu,
dan engkau menyebabkan eksistensi Al-Haqq secara hukum dan ilmu. Tuhanlah yang
memiliki seluruh nama, dan hanya Zat Mahaesa saja yang disebut Allah. Pencipta
langit dan bumi, yang di dalam kekuasan-Nya berada timbangan naik dan turun.
Engkau harus membiasakan diri melantunkan zikir ini, yang dengannya Allah
menghubungkan kebahagiaan dengan pengetahuan tentang-Nya.
9. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI
AGAR TIDAK MEMUSUHI AHLI TAWHID
Berhati-hatilah engkau agar
jangan memusuhi ahli la illaha illa
Allah, karena ia memiliki pertolongan yang umum dari Allah. Mereka adalah para
wali Allah. Jika mereka melakukan kesalahan dan mendatangkan ke bumi ini
kesalahan yang tidak menyebabkan mereka menyekutukan Allah sedikit pun, maka
Allah menemui mereka dengan membawa ampunan.
Barangsiapa yang telah ditetapkan pertolongan atas dirinya, maka ia
tidak boleh diperangi. Barangsiapa memusuhi Allah, maka Allah pasti mengingat
balasannya di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang tidak Allah beritahukan
permusuhannya kepada-Nya, janganlah engkau jadikan musuh. Setidaknya jika
engkau tidak mengenalinya, maka biarkanlah urusannya. Jika terbukti bahwa ia musuh Allah, yang sudah pasti orang musyrik,
maka berlepas dirilah darinya, sebagaimana dilakukan nabi Ibrahim a.s., kepada
bapaknya Azar. Allah SWT berfirman : Tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya
adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya (QS. At-Tawbah, 9 : 114).
Timbanganmu ini adalah firman Allah SWT : Kamu tidak akan mendapati suatu kaum
yang beriman kepada Allah dari Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
adalah bapak-bapak mereka (QS. Al-Mujadilah, 58:22), sebagaimana dilakukan
Ibrahim a.s., : Atau anak-anak, saudara-saudara atau keluarga mereka (QS.
Al-Mujadilah : 58:22).
Ketika
engkau tidak mengetahui hal itu, sebisa mungkin janganlah memusuhi hamba-hamba
Allah, dan jangan pula memusuhinya karena apa yang diucapkannya. Engkau hanya
boleh membenci perbuatannya, bukan dirinya. Sementara itu, yang dibenci dari
musuh Allah adalah dirinya. Bedakanlah antara orang yang engkau benci
perbuatannya, yaitu orang Mukmin, atau yang tidak engkau ketahui kesudahan
orang non-Muslim pada waktu itu. Berhati-hatilah terhadap firman Allah di dalam
hadis sahih : “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka pasti Aku memaklumkan perang
kepadanya.” Jika ia tidak mengetahui
perihal dirinya dan lantas memusuhinya, maka berarti ia tidak memenuhi hak
Allah dalam penciptaannya. Sebab, ia tidak mengetahui ilmu Allah tentang
dirinya dan Allah pun tidak menjelaskannya kepadanya, sehingga ia pun berlepas
diri darinya serta menjadikannya sebagai musuh. Jika ia mengetahui keadaan
lahiriah dirinya, sekalupun ia musuh Allah dan engkau tidak mengetahuinya, maka
bersahabatlah dengannya untuk menegakkan hak Allah dan janganlah memusuhinya.
Di sisi Allah, Nama Ilahi yang tampak pun membantahmu. Karena itu, janganlah
engkau jadikan hujjah Allah atas keburukanmu, sebab engkau akan binasa. Allah
memiliki hujjah yang pasti. Pergaulilah hamba-hamba Allah dengan penuh kasih
sayang persis sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada orang-orang kafir dan
musyrik di antara mereka melalui pengetahuan-Nya ihwal keadaan mereka itu. Allah SWT tidak memberikan rezeki kepada
mereka kecuali karena pengetahuan-Nya, yang mereka berada di dalamnya. Mereka
tidak ada di dalamnya karena mereka, melainkan karena diri-Nya, sebagaimana
telah kami sebutkan dengan ungkapan yang umum bahwa Allah SWT adalah Pencipta
segala sesuatu. Sementara itu, kekufuran dan kemusyrikan mereka tercipta dalam
diri mereka. Dengan ungkapan yang khusus, tidak ada satu hukum pun dalam maujud
kecuali dengan apa yang ditetapkan atasnya dalam ketiadaan. Melalui eksistensi
itu, Allah pun mengetahuinya. Maka Allah
memiliki hujjah yang pasti atas setiap orang manakala terjadi perselisihan dan perdebatan. Serahkanlah segala
urusan kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa engkau berada dalam apa yang ditetapkan
oleh-Nya. Tebarkanlah kasih sayangmu kepada seluruh hewan dan makhluk. Jangan
engkau katakan : “Tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati ini tidak memiliki
kebaikan.” Bahkan mereka memiliki
banyak kebaikan. Engkaulah yang tidak memiliki kebaikan. Maka biarkanlah
yang ada ini apa adanya dan kasihilah dengan kasih sayang pencipta wujudnya jangan
engkau pandang apa yang ada padanya pada waktu itu sampai jelas bagimu siapa
orang-orang yang benar dan engkau ketahui siapa orang-orang yang berdusta. Maka
ketika itu, pastikanlah pada dirimu untuk menjadikan mereka sebagai musuh
perintah Allah bagimu, di mana Allah telah mencegahmu dari mengambil musuh-Nya
sebagai pemimpin, yang engau cintai jika keyakinan yang lemah memaksamu
berhubungan dengan mereka, maka jauhilah mereka tanpa menaruh kecintaan sedikit
pun kepada mereka. Tetapi, untuk menolak kejahatan yang berasal darimu secara
damai, serahkanlah urusan kepada-Nya dan bergantunglah dalam setiap keadaan
kepada-Nya sampai engkau menemuinya.
10. WASIAT IHWAL MEMBIASAKAN
DIRI MELAKUKAN SEGALA SESUATU YANG DIWAJIBKAN ALLAH
Hendaklah engkau tetap
melakukan apa yang diwajibkan Allah kepadamu dalam bentuk yang Dia perintahkan
untuk engkau tegakkan. Jika engkau menyempurnakan kewajibanmu, dan engkau wajib
menyempurnakannya, maka – saat itu – luangkanlah di antara kedua kewajiban itu
untuk melakukan berbagai ibadah sunnah (al-nawafil). Jangan sekali-kali engkau
meremehkan dan meanggap kecil amal perbuatanmu. Sebab Allah tidak meremehkannya
ketika Dia menciptakannya. Dia tidak membebankan sesuatu di atas pundakmu tanpa
memberikan penjagaan dan pertolongan-Nya hingga Dia membebanimu dengan
keberadaanmu dalam tingkatan yang paling agung di sisi-Nya, karena engkau
adalah tempat wujud buat apa yang dibebankan kepadamu. Oleh karenanya,pembebanan
(taklif) itu hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, yakni mereka
yang dikenai kewajiban. Maka, taklif itu pun berkaitan dengan mukallaf dalam hal
perbuatannya, dan bukan dalam hal dirinya.
Ketahuilah bahwa jika engkau
terus menerus menunaikan berbagai kewajiban, maka engkau pun dekat kepada Allah
dengan kedekatan yang lebih dicintai-Nya. Jika engkau memiliki sifat ini, maka
engkau pun menjadi telinga dan mata Al-Haqq. Dia mendengar dan melihat hanya
dengan dirimu. Maka , tangan Al-Haqq pun menjadi tanganmu : Orang yang berjanji
setia kepadamu sesungguhnya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka (QS. Al-Fath, 48 : 10). Tangan mereka, yakni tangan Allah, ada di
atas mereka. Itulah tangan-tangan yang
mengucapkan janji setia atau baiat. Pelakunya adalah Allah. Karena itu, tangan
mereka adalah tangan Allah. Dengan tangan mereka pula Allah membaiat. Merekalah
yang dibaiat. Semua sebab itu adalah tangan Al-Haqq yang memiliki kekuasaan
untuk menciptakan berbagai akibat. Inilah kecintaan paling agung diungkapkan
oleh teks (an-Nashsh) mulia, sebagaimana – di dalamnya – diungkapkan juga
berbagai ibadah sunnah. Mengerjakan berbagai ibadah sunnah secara terus menerus
akan melahirkan kecintaan Illahi yang terpelihara. Sebab, Al-Haqq mendengar dan
melihat hamba-Nya, sebagaimana pula keadaan sebaliknya, dalam kecintaan
menunaikan berbagai kewajiban (al-fara’idh). Kewajiban adalah ibadah paksaan,
dan memang begitu pada prinsipnya. Sementara itu, bagian (al-far) – yaitu,
tambahan (an-nafl) – adalah ibadah pilihan. Di dalam berbagai ibadah sunnah, Al-Haqq
mendengar dan melihatmu. Ia dinamakan an-nafl karena merupakan tambahan,
persisi seperti halnya engkau – pada dasarnya (bi-al-ashalah) – adalah tambahan
dalam eksistens, sehingga (pada mulanya) yang ada hanyalah Allah dan engkau
tidak ada. Kemudian, engkau menjadi ada. Maka, eksistensi yang baru pun
bertambah. Engkau adalah tambahan dalam eksistensi Al-Haqq. Karenanya, engkau
harus mengerjakan apa yang disebut an-nafl, sebab itulah asal-usulmu. Dan
engkau harus mengerjakan apa yang dinamakan al-farde, sebab itu adalah
asal-usul wujud dan berada lama wujud Al-Haqq. Dalam menunaikan al-fard, engkau
adalah milik-Nya. Dan dalam mengerjakan al-nafl, engkau adalah milikmu sendiri.
Cintanya kepadamu dalam hal bahwa engkau adalah milik-Nya lebih agung dan lebih
besar ketimbang cinta-Nya kepadamu dalam hal bahwa engkau adalah milikmu sendiri. Diungkapkan di dalam
hadis sahih dari Alalh SWT : “Tidak
henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
ketimbang apa yang telah aku wajibkan kepadanya, dan hambaku masih mendekat
kepada-Ku dengan an-nawafil hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku
akan menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar. Aku menjadi matanya yang
dengan itu ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengan itu ia bertindak, dan
Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku,
pasti Aku akan mengabulkannya. Dan jika ia mencari perlindungan-Ku, pasti Aku
akan melindunginya. Aku tidak pernah merasa ragu-ragu dalam sesuatu yang Akulah
sendiri pelakunya. Aku hanya ragu-ragu kepada hamba-Ku yang Mukmin yang
membenci kematian, dan Aku membenci kejahatannya.” Lihatlah apa yang
dihasilkan dari kecintaan Allah ini. Olehkarenanya, tetaplah engkau menunaikan
apa yang dibenarkan oleh eksistensi kecintaan Ilahi ini. Dan ibadah-ibadah
sunnah tidak sah dilakukan kecuali setelah berbagai ibadah wajib ditunaikan. Di
dalam ibadah-ibadah sunnah itu sendiri terdapat kewajiban dan tambahan. Maka,
dengan apa yang di dalamnya terdapat kewajiban, yang wajib itu menjadi
sempurna. Disebutkan di dalam hadis sahih bahwa Allah berfirman “ “Perhatikan
shalat hamba Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Apabila
shalatnya sempurna, maka Aku tuliskan baginya kesempurnaan, walau pun ia
menguranginya sedikit.” Dia berfirman : “Perhatikan apakah hamba-Ku mengerjakan
tathawu’ (ibadah tambahan)!” Jika mia mengerjakan ibadah tambahan itu, maka
Allah berfirman : “Sempurnakan bagi hamba-Ku kewajibannya dengan ibadah
tambahannya.” Kemudian perbuatan-perbuatan itu diambil dalam keadaan demikian.
An Nawafil itulah yang memiliki asal dalam yang wajib. Dan ada pula an-Nawafil
yang tidak memiliki asal dalam yang
fardhu. Ini menjadi ibadah tersendiri, dan para ulama menamainya bid’ah. Allah
SWT berfirman : ....... Mereka
mengada-adakan ruhbaniyah (QS. Al-Hadidi, 57:27), dan Rasulullah saw.,
menyebutnya sunnah hasanah (sunnah yang baik). Orang yang menciptakannya mendapatkan
ganjaran dari ibadah sunnah ini dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga
Hari Kiamat, tanpa dikurangi sedikit pun. Ketika di dalam kekuatan ibadah
sunnah itu tidak menghentikan tempat ibadah fardhu, maka ia menjadikan di dalam
ibadah sunnah itu sendiri kewajiban-kewajiban untuk menyempurnakan ibadah
fardhu dengan ibadah fardhu, seperti shalat sunnah dengan hukum asal. Kemudian
shalat itu mencakup kewajiban-kewajiban seperti zikir, rukuk dan sujud dengan
keberadaan shalat itu pada asalnya adalah sunnah. Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
ini (yakni zikir, rukuk, sujud) adalah wajib di dalam salat sunnah itu.
11. WASIAT IHWAL MENJAGA
UCAPAN
Hendaknya
engkau menjaga ucapanmu sebagaimana engkau menjaga perbuatanmu. Ucapanmu
termasuk dalam perbuatanmu. Karena itu, dikatakan : “Barangsiapa menghitung
ucapannya sebagai termasuk dalam perbuatannya, maka ia akan mengurangi
ucapannya.” Ketahuilah bahwa Allah menjaga ucapan hamba-hamba-Nya, karena Allah
hadir pada lisan setiap orang yang berbicara. Allah tidak mencegahmu dari mengucapkannya.
Akan tetapi, engkau jangan mengucapkannya jika memang engkau tidak meyakininya,
karena Allah akan menanyaimu tentang itu. Diriwayatkan kepada kami bahwa
malaikat tidak menuliskan bagi seorang hamba apa yang diperbuatnya hingga ia
mengatakannya. Allah berfirman : “Tiada suatu ucapan yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (Raqib dan
‘Atid). (QS. Qaf, 50 : 18). Malaikat itulah yang menghitung perkataanmu. Allah
berfirman : “Sesungguhnya bagi kamu ada
(malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia dan yang mencatat
(pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS.
Al-Infithar, 82:10). Ucapanmu termasuk dalam
perbuatanmu. Perhatikan firman-Nya : “Dan janganlah berkata tentang
orang-orang yang gugur di jalan Allah, ‘Mereka telah mati’” (QS. Al-Baqarah :
2:153). Maksud ayat ini adalah bahwa orang yang mengucapkan perkataan seperti
ini sesungguhnya telah berdusta kepada Allah. Allah berfirman tentang mereka,
bahwa mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rezeki. Tidakkah engkau
melihat bahwa Allah berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan
mereka (QS. Alu ‘Imran, 3:169), dan “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang
diucapkan) dengan terus terang (QS. An-Nisa’, 4:148). Selanjutnya Dia berfirman
: “Tidak adakebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka (QS. An-Nisa’,
4:114), yaitu ucapan. Jika engkau berkata,maka berkatalah dengan timbangan dari
apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu untuk engkau katakan.rasulullah saw.,
pun pernah bergurau dan berkelakar. Hanya saja, beliau mengatakan yang
sebenarnya.
Hendaknya engkau mengucapkan
perkataan yang benar dan diridhai Allah. Tidak
setiap perkataan yang benar yang diucapkan itu diridhai Allah. Umpatan juga
benar, dan ghibah (menggunjing atau menceritakan keburukan orang lain – Pen)
pun benar pula, teapi keduanya tidak diridhai Allah. Allah merang kita menggunjing dan mengumpat orang
lain. Di antara ucapan yang diperintahkan oleh Allah untuk dijaga adalah yang
diungkapkan dalam hadis sahih yang diriwayatkan Muslim dari Allah SWT.
Dikatakannya bahwa ketika turun hujan dari langit, Allah berfirman : “Di antara
hamba-hamba Ku, ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kufur. Barangsiapa
mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena begini dan begitu,’ maka ia
telah kufur kepada-Ku dan percaya pada bintang-bintang. Adapun orang yang
mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena Rahmat dan karunia Allah,’ maka itu
berarti bahwa ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang-bintang itu.
Dia menjaga ucapan orang-orang yang berkata,’ “Ketika turun hujan, Abu Hurayrah
mengatakan, “Kami diberi hujan berupa anugerah.” Ia kemudian membaca ayat :
“Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, tidak ada seseorang
pun yang dapat menahannya (QS. Fathir, 35:2). Kalau
engkau meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sebab dan
mengangkatnya, serta memberlakukan kebiasaan, sehingga Dia melakukan sesuatu
padanya, dan bukan dengan sesuatu itu sendiri, maka – dengan ini semua –
janganlah engkau mengatakan bahwa Allah tidak melarangmu untuk mengatakan dan
mengucapkannya, persis seperti halnya Dia melarangmu dari mengucapkan segala
sesuatu, sekalipun memang benar demikian adanya.
Perhatikan apa yang ditetapkan
Allah dalam firman-Nya : “Ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada
bintang-bintang.” Bilama ia mengatakan, “Dengan karunia Allah,” maka ia telah
menutupi bintang yang tidak disebutkan namanya. Dan barangsiapa mengatakan,
“Berkat bintang-bintang,” maka ia telah menutupi Allah. Jika ia meyakini bahwa
Dia adalah Pelaku yang menurunkan hujan, namun tidak mengucapkan namanya, maka Alah SWT
mendatangkan kekufuran yang merupakan tabir.berhati-hatilah engkau dari meminta
hujan hingga engkau mengatakannya. Yang paling pantas adalah engkau meyakininya.
Jika engkau beriman kepada Allah, maka Dia hanya mengangkat keyakinanmu sebagai
dalil yang bersifat biasa. Setiap dalil yang bersifat biasa boleh keluar dari
kebiasaan. Berhati-hatilah terhadap kebiasaan, dan jangan itu sampai
memalingkanmu dari hukum-hukum Allah yang telah Dia tetapkan bagimu. Janganlah
memusuhi hukum-hukum Allah, karena Allah tidak menetapkannya sampai Dia
menjaganya. Dan yang demikian itu berlaku dalam segala sesuatu. Disebutkan
dalam haids sahih : “Seseorang mengucapkan perkataan yang dimurkai Allah, yang
dikiranya bakal sampai pada tujuan. Dengan perkataan itu ia dicampakkan ke
dalam neraka selama tujuh puluh musim gugur. Seseorang mengucapkan perkataan
yang diridhai Allah yang dikiranya akan sampai pada tujuan, maka dengan perkataan
itu ia diangkat ke dalam ‘illiyyin.” Janganlah engkau ucapkan kecuali apa yang
diridhai Allah, bukan yang dimurkai Allah. Yang demikian itu mustahil engkau
lakukan kecuali dengan mengenal apa yang telah Allah tetapkan atas dirimu dalam
ucapanmu. Inilah perkara yang telah dilupakan manusia. Rasulullah saw.,
bersabda : “Tidaklah Dia mencampakkan manusia ke dalam neraka melainkan
disebabkan oleh lisan mereka.” Dan Al-Hakim
mengatakan : “Tidak ada sesuatu yang lebih berhak dipenjara ketimbang lidah.”
Allah telah menjadikannya di balik dua pintu, yaitu kedua bibir dan gigi.
Dengan demikian, ia banyak melakukan fudhul (tindakan mencampuri urusan orang
lain. Pen) dan membuka pintu-pintu kejahgatan yang lain.
12. WASIAL IHWAL BERHATI-HATI
MELUKIS MAKHLUK BERNYAWA
Hendkalah engkau berhati-hati
melukis gambar sesuatu yang memiliki ruh dengan tanganmu. Hal inilah yang
diremehkan manusia, padahal di sisi Allah yang demikian itu sangat agung. Para
pelukis adalah orang-orang yang paling pedih siksaannya di Hari Kiamat. Akan
halnya ciptaan yang hidupatau yang ditiupkan kepadanya ruh, maka bukanlah ia
yang meniupkan. Disebutkan di dalam hadis sahih dari Allah SWT bahwa
Dia berfirman : “Tidak ada seorang pun yang lebih sesat melebihi orang yang
menciptakan sesuatu ciptaan seperti ciptaan-Ku. Ciptakanlah sebuah atom, sebuah
biji atau gandum.” Jikaseorang hamba memelihara kemampuan ini dan
meninggalkannya karena apa yang telah difirmankan Allah tentangnya, serta tidak
menyaingi rubbubiyya-Nya dalam menciptakan sesuatu, baik berupa hewan maupun
sesuatu lainnya, maka Dia akan mendatangkan kehidupan kepada setiap gambar di
dunia ini sehingga ia melihat semuanya sebagai hewan yang dapat berbicara
memuji Allah. Jika engkau dibolehkan menggambar tumbuh-tumbuhan dan sesuatu yang
tidak memiliki ruh dalam penglihatan dan pandangan mata biasa, maka selamanya
Dia tidak akan mendatangkan penyingkapan seperti ini. Demikian
pula, setiap gambar di dunia ini memiliki ruh. Allah mencabut pengnglihatan
kita dari melihat kehidupan dalam apa yang dikatakan : “Ini bukan hewan.” Dan
di akhirat disingkapkan di depan manusia. Karenanya, tempat itu dinamakan dar
al-hayawan. Di dalamnya, engkau akan melihat segala sesuatu hidup dan bisa
berbicara, yang berbeda dari keadaanmu di dunia, sebagaimana dirawatkan di
dalam sebuah hadis sahih bahwa batu yang ditangan Rasulullah saw., pun
bertasbih memuji Allah. Manusia memandang bertasbihnya batu sebagai sesuatu di
luar kebiasaan. Jelas mereka salah. Yang namanya di luar kebiasaan itu hanya
asing di telinga orang-orang yang mendengar saja. Toh, batu itu tetap saja
bertasbih, sebagaimana dituturkan oleh Allah. Hanya saja, ia bertasbih memuji
Allah dengan melantunkan tasbih tersendiri atau dengan cara tersendiri pula.
Sebelumnya, batu itu tidak bertasbih memuji-Nya, dan tidak pula dengan cara
demikian itu. Pada saat itu, keluarbiasaan pun terjadi pada batu, dan bukan
pada telinga orang yang mendengarnya. Yang terjadi adalah bahwa ia hanya mendengar ucapan orang
yang ,mendengarnya saja.
:
13. WASIAT IHWAL ANJURAN
MENJENGUK ORANG SAKIT
Wahai saudaraku, hendaknya
engkau menjenguk orang sakit, karena dalam perbuatan itu ada pelajaran dan
peringatan bahwa Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah. Melihat dan
menengok orang sakit akan mengingatkanmu kepada asal-usulmu, karena engkau
membutuhkan kekuatan dari Allah yang mendukungmu dalam melakukan ketaatan
kepada-Nya. Allah berada di sisi hamba-Nya ketika sakit.
Tidakkah engkau lihat orang sakit, yang tidak punya tempat meminta pertolongan selain kepada Allah, dan tidak
ada yang diingatnya kecuali Dia saja? Hatinya senantiasa
menyebut dan mengucapkan nama Allah serta memohon perlindungan kepada-Nya.
Orang sakit selalu bersama Allah dana segala penyakit apa pun yang dideritanya.
Kalau engkau pergi ke dokter dan ingin mengetahui sebab-sebab biasa yang bisa
menyembuhkanmu, maka dalam hal itu pun ia tidak lupa kepada Allah. Ini karena
Allah selalu hadir di sisinya.
Pada hari kiamat kelak, Allah
akan berkata : “Wahai manusia! Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.”
Maka, manusia pun menjawab : “Wahai tuhanku! Mana mungkin aku menjenguk-Mu,
padahal engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah berfirman : “Tidakkah engkau
ketahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit dan engkau tidak menjenguknya. Sebab,
jika engkau menjenguknya, engkau pasti mendapati Aku ada di sisinya.” Hadis ini
sahih. Firman-Nya : “Engkau pasti mendapati Aku di sisinya.” Ialah orang sakit
yang mengingat Tuhannya, secara diam-diam maupun terang-terangan. Demikian pula, jika ada ciptaan Allah yang meminta
makan atau minum, berilah ia makan dan minum, kalau engkau mendapati keadaan
itu. Sekiranya engkau tidak punya kemuliaan dan kedudukan, maka orang yang
minta makan dan minum ini pasti menurunkanmu dari kedudukan Al-Haqq yang
memberi makan dan minum kepada hamba-hamba-Nya. Tidak banyak orang
mengambil pandangan ini sebagai pelajaran. Perhatikan orang yang meminta. Di
saat meminta, ia mengeraskan suaranya. Katanya, “Ya Allah, berilah aku.” Dalam
keadaan demikian, Allah membuatnya mengucapkan hanya nama-Nya sana. Ia
mengeraskan suaranya agar engkau
mendengarnya, sampai engkau memberinya sesuatu. Ia menyebut-nyebutmu serasa
menyebut nama Allah. Ia berlindung kepadamu dengan mengeraskan suaranya sama
seperti ketika ia berlindung kepada Allah. Barangsiapa memberimu kedudukan
sebagai tuan, janganlah engkau mencegahnya dan bersegeralah memberikan apa yang
dimintanya darimu. Inilah hadis yang dikemukakakn tentang sakitnya seorang
hamba : “Allah SWT berfirman : “Wahai manusia!
Aku minta makan kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan! Manusiaa
menjawab : “Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi-Mu makan, padahal Engkau
adalah Tuhan semesta alam?’ Allah menjawab, ‘tidakkan engkau ketahui bahwa
hamba Ku si Fulan minta makan kepadamu, dan engkau tidak memberinya makan?
Sekiranya, engkau memberinya makan, niscaya engkau mendapati hal itu ada di
sisi Ku. Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi
Ku minum. Manusia menjawab : ‘Wahai Tuhanku! Mana mungkin aku memberi Minum,
padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah menjawab : ‘engkau tahu bahwa
hamba Ku si Fulan minta minum kepadamu, tatapi engkau tidak memberinya minum.
Kalau saja engkau memberinya minum, niscaya engkau mendapati hal itu di sisi
Ku.” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad bin Hatim, dari Bahiz,
dari Hammad bin Salmah, dari Tsabit, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a.,
yang mengatakan : “Rasulullah saw., bersabda, “Maka Allah pun menurunkan
diri-Nya, dalam hadis ini, pada kedudukan hamba-Nya.” Hamba itu hadir bersama
Allah, yang selalu mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun seperti dalam
keadaan ini. Ketika ia tahu bahwa Tuhan meminta makan dan minum kepadanya, ia
pun lantas bergegas memenuhi permintaan-Nya. Pada Hari Kiamat, ia tidak tahu
kalau bakal ditunjukkan kepadanya keadaan orang yang minta makan dan minum itu.
Allah menyamakan hal itu melalui firma-Nya : “Niscaya engkau mendapati hal itu
ada di sisi-Ku.” Yakni makanan dan minuman yang Aku anugerahkan kepadamu dan
Aku perbanyak hingga engkau datang kepada-Ku pada Hari Kiamat. Aku menginingkan
makanan yang lebih baik, lebih bagus, dan lebih banyak darimu. Jika engkau
tidak punya keinginan dan hasrat kuat (himmah) untuk mengetahui orang yang
minta minum kepadamu ini, maka ia telah menurunkanmu pada kedudukan orang yang
memerlukan pemenuhan kebutuhannya, sehingga Allah menjadikanmu wakil-Nya.
Setidaknya, engkau memenuhi kebutuhan orang yang meminta ini dengan niat
berdagang mencari keuntungan dan memperbanyak kebaikan. Maka, bagaimanakah
keadaanmu jika engkau adalah orang yang digambarkan dalam haids ini, padahal
engkau tahu bahwa Allah yang meminta kepadamu untuk menjadi pengganti-Nya?
Segala sesuatu adalah milik Allah, dan Dia telah memerintahkanmu untuk
menginfakkan sebagian dari apa yang diberikan-Nya kepadamu sebagai gantinya.
Allah SWT berfirman : “Nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikannya sebagai yang menguasainya (QS. Al-Hadid, 57:7). Engkau akan
beroleh ganjaran berlipat ganda.
Jika engkau memberi, janganlah
mengusir orang yang meminta itu, hatta dengan kata-kta yang baik sekalipun.
Tunjukkanlah kepadanya wajah yang ramah, karena engkau akan menemui Allah.
Kalau ada seseorang meminta kepada Al-Husain atau Al-Hasan, a.s., ia segera
memberi orang itu seraya mengatakan : “Demi Allah, selamat datang, wahai orang
yang akan membawa perbekalanku ke akhirat.” Karena ia tahu bahwa orang yang
meminta itu telah membawa perbekalannya, maka ia seperti sedang bepergian.
Sebab, pada Hari Kiamat, manusia – manakala telah diberi nikmat oleh Allah dan
tidak membebankan kelebihannya kepada orang lain – akan datang menghadap Allah
dengan memikul bebannya sendiri sampai ditanyai tentangnya. Itulah sebabnya
Al-Husain a.s., mengatakan bahwa peminta adalah orang yang memikul
perbekalannya ke akhirat. Maka, dengan demikian, ringanlah beban yang
dipikulnya.
14. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI
AGAR JANGAN MENZALIMI HAMBA-HAMBA ALLAH
Hendaknya engkau berhati-hati
agar jangan sampai menzalimi hamba-hamba Allah. Sebab, kezaliman adalah
kegelapan pada Hari Kiamat. Yang dinamakan menzalimi hamba-hamba Allah ialah
ketika engkau menahan hak-hak mereka yang Allah wajibkan atasmu untuk memenuhinya.
Kadang-kadang yang demikian ini terjadi ketika engkau melihat kesulitan
menimpanya, padahal engkau mampu memenuhi kebutuhannya dan menghilangkan
kesempitannya. Engkau pun pasti tahu bahwa ia memiliki hak atas hartamu. Allah
memperlihatkannya kepadamu hanyalah agar engkau menunaikan haknya itu. Jika
tidak, engkau akan dimintai pertanggungjawaban. Kalai engkau tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, ketahuilah bahwa Allah tidak menampakkan keadaannya itu
kepadamu sebagai uluran. Yang diinginkan-Nya darimu ialah agar engkau memberi
pertolongan – dengan perkataan yang baik – kepada orang yang engkau ketahui telah
memenuhi kebutuhan orang itu. Jika engkau tidak melakukan hal itu,
sekurang-kurangnya engkau mendoakan kebaikan baginya. Ini hanya boleh dilakukan
setelah engkau mencurahkan segenap kesungguhan dan nyaris berputus asa,
sehingga yang tersisa pada dirimu hanyalah doa. Jika engkau lalai dan tidak
melakukan hal ini, maka engkau sudah menzalimi orang yang berada dalam keadaan
seperti ini, apalagi kalau ia meninggal disebabkan oleh kebutuhannya itu. Akan
tetapi, jika ia tidak meninggal lantaran seorang Mukmin lain telah memenuhi
kebutuhannya, maka – tanpa engkau sadari – saudaramu itu telah menggugurkan
tuntutan itu dari dirimu, karena seorang Mukmin adalah Saudara Mukmin lainnya.
Ia tidak menundukkannya dan tidak pula menzaliminya. Jika orang yang memberi
itu tidak ebrniat demikian (yakni, berniat menggugurkan tuntutan orang yang
berada dalam kesempitan itu darimu, Pen), melainkan semata-mata melakukannya lantaran
perasaan kasihan dan iba kepadanya, maka Allah tetap menerima kebaikannya. Jika
engkau memberi orang yang berada dalam kesempitan itu, maka niatkanlah hal itu
bahwa engkau menggantikan saudaramu sesama Mukmin itu yang telah menghilangkan
kesempitannya. Jadikan hal itu sebagai kemuliaan darimu dan karena kasih
sayangmu kepadanya dengan kebaikan yang diabadikan demi dirimu hingga engkau
mendapatkannya. Dengan niat ini, pemberian orang-orang arif (‘arifin)
diperuntukan bagi orang-orang dalam kesempitan yang meminta lantaran keadaan dan ucapan mereka : Dan orang yang
meminta-minta, janganlah engkau hardik (QS. Adh-Dhuha, 93:10), entah itu dalam
kekuatan terinderai maupun kekuatan maknawi. Pengetahuan dan manfaat dari pokok
bahasan ini ialah bahwa yang sesat
memohon hidayah, yang lapar meminta makanan, yang telanjang meminta
pakaian yang dapat melindunginya dari dingin dan panasnya udara serta menutup
auratnya, yang beriat dosa dan mengetahui bahwa
engkau mampu menghukumnya memohon ampunan darimu atas kejahatannya.
Hilangkanlah kekalutan orng yang sedang kebingungan. Berilah makan orang yang
lapar. Berilah minum orang yang kehausan, dan berilah pakaian orang yang
telanjang. Ketahuilah bahwa engkau memerlukan segala sesuatu yang engkau
butuhkan, sementara Allah tidak memerlukan apapun dari alam semesta. Karena
itu, Dia mengabulkan doa mereka, memenuhi kebutuhan mereka, menyuruh mereka
agar memohon kepada-Nya guna menolak bahaya dari diri mereka serta memberikan
manfaat kepada mereka. Engkau lebih pantas mempergauli hamba-hamba Allah dengan
cara seperti ini karena engkau membutuhkan Allah dalam semuanya ini. Imam
Muslim meriwayatkan hadis sahih dari ‘Abd Allah bin ‘Abd Ar-Rahman bin Bahram
Ad-Darimi, dari Marwan bin Muhammad Ad-Dimasyqi, dari Sa’id bin Abd Al-‘Aziz, dari Rabi’ah bin Yazid,
dari Abu Idris Al- Khulani, dari Abu Dzarr r.a., dari Nabi saw., ihwal apa yang
diriwayatkan dari Allah SWT bahwa Dia ebrfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku
mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku pun mengharamkannya di antara
sesamamu. Karena itu, janganlah engkau saling menzalimi. Wahai hamba-hamba-Ku,
engkau semua sesat kecuali mereka yang Kutunjukki. Maka, mintalah petunjuk
dari-Ku, niscaya Aku memberimu petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua
lapar kecuali mereka yang Kuberi makan. Maka, mintalah makan dari Ku, niscaya
Aku memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua telanjang kecuali
mereka yang Kuberi pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, engkau semua melakukan
kesalahan di waktu siang dan malam hari, dan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka,
mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku memberimu ampunan.” Allah memberikan
semua ini tanpa engkau minta. Namun, bersamaan dengan ini, Dia memerintahkanmu
untuk meminta kepada-Nya hingga Dia memberikan kepadamu jawaban atas permintaanmu
itu, karena Dia akan memperlihatkan kepadamu perolongan-Nya sebelum engkau
menyampaikan permintaanmu. Ini adalah kedudukan tambahan lain pada apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Jika engkau bertanya tentang perintahnya, maka Dia tahu bahwa engkau meminta
kepada-Nya. Dan yang demikian itu, tidak bisa tidak mesti adanya karena
kepentingan asal yang karenanya engkau diciptakan dalam keadaan membutuhkan
agar ada yang memenuhi permintaanmu sebagai kewajiban. Engkau akan diberi
ganjaran sebanding dengan ganjaran orang yang melaksanakan perintah Allah. Lalu
engkau pun diberi tambahan kebaikan atas kebaikan. Dia memerintahmu hanya
karena kasih sayang-Nya kepadamu. Dan engkau pun sampai pada kebaikan itu. Dan
Dia mengingatkanmu bahwa engkau membutuhkan-Nya, bukan selain-Nya. Karena itu, Dia menciptakanmu hanya untuk beribadah kepada-Nya,
yakni tunduk kepada-Nya.
Yang kuwasiatkan kepadamu ini
bersumber dari berbagai perintah dan larangan Allah serta pemahaman
mengenainya, sampai akhirnya engkau mengetahui apa yang dikehendaki Allah atas
dirimu dalam berbagai perintah dan larangan-Nya. Berhati-hatilah agar engkau jangan
menjadi orang yang tidak mau memohon kepada Tuhannya, karena orang seperti ini
berarti bahwa ia telah menuduh-Nya sebagai bakhil. Ini terjadi dalam hak kebanyakan orang. Bila
engkau berlebih-lebihan dalam apa yang kuwasiatkan ini, janganlah engkau cela
kecuali dirimu sendiri, karena engkau tidak tahu, sedangkan aku mengetahuimu.
Jika engkau lupa dan lalai, aku telah mengingatkanmu. Juika engkau beriman,
maka peringatan ini bermanfaat bagimu. Aku telah melaksanakan perintah Allah
dengan mengingatkannya kepadamu. Dengan memanfaatkan peringatan ini engkau
telah menjadi saksi atas keimanan. Allah SWT berfirman tentang hakku dan hakmju
: “Dan berilah peringatan, sebab peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman (QS. Adz-Dzariyah, 51:55); jika peringatan itu tidak
bermanfaat bagimu, maka salahkanlah
dirimu dalam mengimaninya, sebab Allah Mahabenar. Dan Dia telah ebrfirman bahwa
peringatan itu berguna bagi orang-orang beriman.
Pada akhir kabar ini yang kami
telah sebutkan di atas setelah perkataan-Nya : “Aku ampuni kamu,” Dia berfirman
: “Wahai hamba-hambaku, engkau tidak akan sampai pada kerugian-Ku sehingga
engkau merugikan-Ku, dan engkau tidak akan sampai pada manfaat-Ku sehingga
engkau memberikan manfaat kepada-Ku.” Jelaslah bahwa Allah SWT tidak akan
mengalami kerugian dan tidak pula memperoleh manfaat apa pun, karena Dia tidak
memerlukan alam semesta. Namun, ketika Dia menempatkan diri-Nya pada kedudukan
hamba-Nya – seperti telah kusebutkan, yakni meminta makan dan minum – Dia
mengingatkan kita akan ketidakmampuan mendatangkan kerugian kepada
hamba-hamba-Nya yang telah diberi manfaat. Adalah mustahil melakukan hal itu,
sebab Allah SWT telah ebrfirman mengenai hak suatu kaum bahwa mereka mengikuti
apa yang membuat Allah suci dari hal yang demikian itu. Begitu pula halnya
dengan orang yang melakukan sesuatu dan lantas membuat Allah senang, seperti
orang bertobat yang membuat Allah senang dengan tobat hamba-Nya. Karenanya,
kabar ini adalah obat bagi penyakit yang diderita orang yang berjiwa lemah dan
kerdil dalam mengenal Allah, yang tidak memiliki ilmu sedikit pun ihwal apa
yang telah diberikan-Nya. Allah berfirman : “Tidak sesuatu pun yang
menyerupai-Nya (QS. Asy-Syura, 42:11).
Kemudian, di akhir kabar ini,
Allah berfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling
akhir di antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya bersemayam dalam hati
seorang paling bertakwa kepada-Ku, niscaya yang demikian itu sama sekali tidak
menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling
awal dan paling akhir di antara engkau, serta manuisa dan jin seluruhnya
bersemayam dalam hati seorang yang paling berdosa, maka yang demikian itu pun
tidak akan mengurangi kekuasan-Ku sedikit pun.
Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang paling awal dan paling akhir di
antara engkau, serta manusia dan jin seluruhnya berdiri di atas suatu tempat
yang tinggi dan kemudia memohon kepada-Ku, lalu Aku memberi setiap orang apa
yang dimintanya, maka yang demikian itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku
sedikit pun kecuali seperti berkurangnya jarum ketika masuk ke dalam lautan.”
Semua ini adalah obat bagi apa yang telah aku sebutkan ihwal penyakit dalam
jiwa-jiwa yang lemah dan kerdil. Karenanya, gunakanlah, wahai waliku, obat-obat
ini. Allah berfirman : “Itu semua semata-mata hanyalah perbuatanmu sendiri. Aku
menghitung-hitungnya untukmu. Kemudian Aku berikan semuanya kepadamu.
Barangsiapa beroleh kebaikan, hendaknya ia memanjatkan pujian kepada Allah. Dan
barangsiapa beroleh selain itu, hendaknya ia mencela dirinya sendiri saja.”
Barangsiapa
meminta suatu kebutuhan, maka ia telah menghinakan dirinya. Barangsiapa
menghinakan dirinya kepada selain Allah, maka ia telah tersesat, menzalimi
dirinya dan tidak membawa dirinya melalui jalan yang dapat menunjukinya. Ini adalah wasiatku kepadamu, maka lazimkanlah; dan ini
adalah nasihatku, maka pahamilah. Allah senantiasa berwasiat kepada
hamba-hamba-Nya di dalam kitab-Nya dan lisan para Rasulnya. Setiap orang yang
berwasiat kepadamu tentang apa yang pengalamannya adalah mendatangkan
kebahagiaanmu, maka dia adalah utusan Allah kepadamu. Karena itu, bersyukurlah
kepadanya di sisi Tuhanmu.
15. WASIAT IHWAL KECINTAAN
KEPADA ALLAH
Jika engkau melihat seorang
berilmu (‘alim) tidak mengamalkan ilmunya, maka hendaklah engkau mengamalkan
ilmunya yang ada padamu dalam adabmu bersamanya hingga engkau memenuhi haknya
sebagai seorang berilmu. Jangan engkau tutup hal itu dengan keadaannya yang
buruk. Di sisi Allah, ia memiliki derajat ilmunya. Pada Hari Kiamat kelak,
manusia akan berkumpul bersama orang yang dicintainya. Barangsiapa bersopan
santun dengan sifat Ilahi, maka pada Hari Kiamat nanti, ia diberi pakaian
dengan sifat itu dan dihimpunkan bersamanya. Hendaknya engkau menegakkan
setiap apa yang engkau ketahui.
Sesungguh Allah menyukai hal itu pada dirimu. Maka, bersegeralah melakukannya.
Jika engkau berhias dengannya dalam menunjukkan kecintaanmu kepada Allah, pasti
Dia mencintaimu. Jika Dia mencintaimu, Dia membahagiakanmu dengan pengetahuan
tentang diri-Nya, dengan manifestasi-Nya, dan dengan tempat kemuliaan-Nya. Dia
akan mencegah kesedihan menimpa dirimu. Banyak hal yang bisa melahirkan
kecintaan keapda-Nya. Aku sebutkan sebagian darinya, yang mudah disebutkan
dalam bentuk wasiat dan nasihat. Di antaranya ialah memperindah diri
semata-mata karena Allah. Yang demikian adalah sebentuk ibadah tersendiri,
terutama dalam salat. Engkau diperintahkan untuk melakukan itu. Allah SWT
berfirman : “Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid (QS.
Al-A’raf, 7:31), dan Diaberfirman dalam bentuk pengingkaran : “Katakanlah,
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?”
Katakanlah : “Semuanya itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada Hari Kiamat.” Demikianlah
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS.
Al-A’raf, 7 :32-33). Sebagian besar dari penjelasan ini, seperti di dalam
Al-Quran ini, tidak ada dan tidak membedakan antara perhiasan Allah dan
perhiasan kehidupan dunia kecuali dalam maksud dan niat. Yang demikian itu
semata-mata adalah perhiasan yang kasar. Apa dan bagaimana bentuk perhiasan itu
adalah soal lain. Niat adalah ruh dari segala perkara. Dan setiap orang
memperoleh apa yang diniatkannya. Dalam hal ini, hijrah dilakukan menuju pada
suatu tujuan. Karena itu, hijrah yang dilakukan haruslah menuju kepada Allah
dan Rasul-Nya. Barangsiapa melakukan hijrah untuk memperoleh kesenangan dunia
atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya adalah demi apa yang ditujunya.
Demikian pula diungkapkan di dalam sebuah haids sahih tentang baiat imam pada tiga
orag yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat. Dia tidak
akan menyucikan diri mereka, dan mereka beroleh siksaan yang pedih, yaitu :
“Seseorang membaiat seorang imam. Ia hanya membaiatnya untuk memperoleh
kesenangan dunia semata. Jika kesenangan dunia itu diberikan kepadanya, maka ia
memenuhi baiatnya. Tetapi jika kesenangan dunia itu tidak diberikan, maka ia
tidak akan memenuhinya.” Perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat. Inilah salah satu
tonggak bangunan Islam. Dan disebutkan di dalam hadis sahih Muslim bahwa
seseorang berkata kepada Rasulullah saw., : “Wahai Rasulullah, aku lebih
menyukai sandal dan pakaianku yang bagus.” Maka Rasulullah saw., menjawab :
“Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dan beliau bersabda : “Sesungguhnya
keindahan lebih patut ditunjukkan kepada Allah.”
Mengenai bab ini ada dua
penjelasan. Pertama, Allah tidak mengutus Jibril kepada Rasulullah saw., untuk
datang menemuinya kecuali dalam paras indah seorang komandan dupasukan. Sebab,
paras itulah yang paling indah pada zamannya. Kesan keindahannya amat
berpengaruh pada makhluk-Nya. Ketika ia sampai di Madinah, orang-orang pun
mengerumuninya. Seorang wanita yang hamis pasti gugur kandungannya bila
memandang parasnya. Seakan-akan Allah berfirman dengan menyampaikan kabar
gembira kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., tentang turunnya Jibril kepadanya dalam
paras seorang komandan pasukan : “Wahai Muhammad, tidak ada antara-Ku dan
dirimu kecuali paras yang indah.” Allah SWT mengabarkan tentang keindahan milik-Nya
yang berada dalam Zat-Nya. Barangsiapa tidak peduli dan tidak mau memperindah diri (tajammul) karena Allah, maka ia telah
mengabaikan kecintaan khusus dan tertentu dari Allah. Jika ia mengabaikan
kecintaan khusus dan tertentu ini, maka ia telah mengabaikan apa yang
dihasilkan dari ilmu, manifestasi (tajalli), dan karamah di negeri kebahagiaan,
kedudukan dalam kedekatan penglihatan (katsib ar-ru’yah) dan kesaksian (Syuhud)
maknawi, ilmi, dan ruhi di kampung dunia dalam perjalanan ruhani (suluk) dan tempat-tempat
kesaksiannya (musyahid). Namun, sebagaimana telah kami kataan, berniat
memperindah diri itu tidaklah dimaksudkan untuk hiasan dan kesombongan dengan
perhaisan dunia, tidak pula untuk bermegah-megahan (az-zahw) dan membanggakan
diri (al-‘ujub), serta memandang rendah orang lain.
Kedua, kembali kepada Allah
ketika mendapat ujian. Allah mencintai orang yang diuji dan banyak bertobat.
Demikian pula Rasulullah saw., bersabda, “Allah SWT berfirman : “Dia-lah yang
menjadikan kehidupan dan kematian, untuk menguji engkau, siapa yang paling baik
amalnya (QS. Al-Mulk, 67:2). Al-bala’ dan al-fitnah adalah satu makna. Yang
demikian itu hanyalah sekedar ujian atas apa yang dituntut manusia. Ini
hanyalah cobaan dari-Mu (QS. Al-A’raf, 7 : 155), yakni ujian-Mu. Engkau
sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau membingungkannya,
serta, Dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki, yakni Engkau
menampakkan kepadanya jalan keselamatan dari cobaan itu.
Ujian paling
besar adalah wanita, harta, anak dan pangkat. Allya dengan salah satu dari keempat hal ini. Dengan
ujian ini, ia bisa menempati kedudukan (maqam) kebenran dalam menjalaninya.
dengan ujian ini pula, ia kembali kepada Allah dan tidak diam berpangku tangan.
Ia memandangnya sebagai nikmat Ilahi yang Allah berikan kepadanya. Ujian itu
mengembalikannya kepada Allah SWT dan menempatkannya dalam kedudukan (maqam)
syukur, dan ia berhak menerima kenikmatan dari-Nya, sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari Rasulullah
saw., bahwa beliau bersabda : “Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. Dia
berfirman kepadanya : “Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan
sebenar-benarnya.” Musa bertanya : “Wahai Tuhan, siapakah yang mampu melakukan
hal itu? Dia menjawab : “Wahai Musa, bila engkau melihat kenikmatan itu sebagai
pemberian dari-Ku, maka itu adalah syukur yang sebenar-benarnya.” Ketika
Allah menyatakan ampunan kepada Nabi-Nya Muhammad saw., atas dosa-dosanya yang
telah lalu dan yang akan datang, Allah
memberinya kabar gembira dengan firman-Nya : “Supaya Allah memberi ampunan
kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan yang akan datang (QS. Al-Fath, 48 :
2). Beliau berdiri menegakkan salat hingga kedua kakinya bengkak untuk
bersyukur kepada Allah atas hal itu. Beliau tidak merasa letih dan menginginkan
istirahat. Ketika dikatakan kepadanya tentang hal itu dan diminta untuk
mempermudah dirinya, beliau menjawab : “Tidakkah aku menjadi hamba yang
bersyukur?” Demikian pula ketika beliau mendengar Allah berfirman : “Karena
itu, maka hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk
orang-orang yang bersyukur. (QS. Az-Zumar, 39:66). Jika beliau tidak bersyukur
kepada Pemberi nikmat, maka akan berlalu kecintaan khusus dari Allah ini
bersama kedudukan yang tidak ada seorang yang dapat meraihnya dari Allah ini
kecuali orang yang bersyukur. Allah berfirman : “Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS. Saba, 34:13). Jika itu telah berlalu, maka
berlalulah apa yang dimilikinya berupa ilmu tentang Allah, tajali, kenikmatan,
dan kedudukannya yang dikhususkan baginya di negeri kemuliaan dan kedekatan
penglihatan (katsib ar-ru’yah) pada hari terjadi kebohongan yang sangat besar.
Karena itu, setiap cinta Ilahi dari suatu sifat khusu memiliki ilmu, tajali,
kenikmatan dan kedudukan yang niscaya akan membedakan pemilik sifat ini dari
yang lainnya.
Adapula ujian
berupa wanita : bentuk pengembaliannya kepada Allah
dalam kecintaan kepada mereka adalah melihat bahwa mereka semua mencintai dan
merindukannya. Ia hanya mencintai dirinya sendiri, karena wanita – pada mulanya
– diciptakan dari laki-laki, dari tulang rusuknya yang paling pendek. Maka
diturunkan kepadanya bentuk yang menurutnya Allah menciptakan manusia sempurna,
yaitu bentuk Allah. Allah menjadikannya sebagai manifestasi bagi-Nya. Apabila sesuatu
njadi manifestasi bagi orang yang mengamati, maka ia hanya melihat dirinya
sendiri dalam rupa itu. Jika ia melihat
dirinya sendiri pada wanita ini dengan kecintaan sedemikian rupa kepadanya,
maka ia melihat bentuki sendiri. Jelaslah bagimu bahwa bentuknya adalah bentuk
Allah, yang diciptakan-Nya berdasarkan bentuk itu. Ia hanya melihat Allah
dengan gairah cinta, dengan merasakan kelezatan dan hubungan. Maka ia pun fana
dan lenyap di dalamnya dengan fana yang sebenarnya karena kecintaan yang tulus.
Ia membandingkan dirinya dengan zat-Nya lewat perbandingan yang sepadan. Karena
itu, ia pun fana di dalamnya, karena segala sesuatu yang menjadi bagiannya
adalah juga bagian dari dirinya. Kecintaan pun mengalir dalam seluruh bagiannya.
Maka, seluruhnya berhubungan dengannya, sehingga, fana di dalam hal seperti itu
adalah fana menyeluruh (al-fana’ al-kulli). Bertolak belakang dengan kecintaan
kepada selain jenisnya, maka ia pun menyatu dengan yang dicintainya, sehingga
berkata : “Ana man ahwa, wa man ahwa ana – Aku adalah Dia yang
kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku.”
Pada kedudukan
(maqam) ini, orang-orang mengatakan : “Aku adalah Allah.” Jika engkau mencintai
seseorang dengan keicntaan seperti ini, maka ia membalasmu dengan kecintaan
seperti ini pula. Kesaksianmu dalam hal inilah yang mengembalikanmu kepada
Allah, sehingga engkau termasuk orang-orang yang dicintai Allah. Maka jadilah
ujian ini yang memberimu petunjuk.
Jalan lainnya ialah : ihwal
mencintai wanita, karena mereka adalah tempat kejadian dan penciptaan segenap entitas dan bentuk dalam setiap jenis. Tidak diragukan lagi bahwa
Allah hanya mencintai segenap entitas di dunia ini dalam ketiadaan (‘adam)-nya.
Lantaran entitas-entitas itu merupakan tempat kejadian. Ketika Dia menaruh
keinginan kepadanya, Dia berkata : “Kun (Jadilah).” Maka jadilah
entitas-entitas itu. Tampaklah kekuasaan-Nya atas segenap entitas itu di dalam
wujud. Segenap entitas itu memberikan haknya kepada Allah dalam uluhiyah-Nya.
Karena Dia adalah Tuhan. Maka segenap entitas itu menyembah-Nya dengan seluruh
nama (asma) dan keadaan (hal)-Nya, entah engkau mengetahui seluruh nama itu
atau tidak. Nama Allah itu kekal dan hamba-Nya hanya mempertahankannya dengan
rupa dan kendati ia tidak mengetahui
akhir dari nama itu. Itulah yang dikatakan Rasulullah saw., di dalam doanya
dengan menyebut nama-nama Allah : “Engkau menguasainya dalam ilmu kegaiban-Mu,
atau engkau menampakkannya kepada salah seorang dari ciptaan-Mu.” Yaitu di antara nama-nama-Nya. Artinya, ia
mengenal diri-Nya”, sehingga – dengan ilmu itu – ia mampu membedakan dirinya
dari yang lainnya, karena sebagian besar hal dalam diri manusia itu tampak
dalam bentuk dan keadaan. Ia tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.
Jika ia mencintai wanita kerana apa yang telah kami sebutkan, maka kecintaan
kepada wanita itu dikembalikan kepada Allah. Jadilah itu sebagai ujian paling
baik di dalam haknya. Lantas, Allah mencintainya lantaran ia kembali kepada
Allah SWT dalam keicntaannya kepada wanita.
Adapun hubungannya dengan
wanita tertentu dala hal itu, dan tidak kepada wanita lainnya – jika
hakikat-hakikat yang kami sebutkan ini belaku bagi seluruh wanita – maka yang
demikian itu terjadi disebabkan hubungan ruhani antara kedua orang ini dalam
asal kejaidan dan percampuran alami serta pandangan yang bersifat ruh. Di
antaranya ada yang berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan ( ajal
musamma). Di antaranya ada pula yang berlangsung hingga tanpa ada batas waktu.
Akan tetapi, batas waktunya adalah kematian. Kebergantungan itu tidak hilang,
seperti kecintaan Nabi saw., kepada ‘A’isyah. Beliau senantiasa mencintainya
melebihi kecintaannya kepada istri-istri yang lain, dan juga kecintaanya kepada
Abu Bakar, ayah “A’isyah. Hubungan kedua inilah yang menentukan individu. Sebab
pertama telah kami sebutkan. Demikian pula bahwa dengan kecintaan mutlak,
pendengaran mutlak, dan penglihatan mutlak yang dimiliki sebagian hamba Allah,
serta tidak berlaku khusus pada seorang individu saja di dunia ini. Setiap yang
hadir di sisi-Nya memiliki kekasih yang dicintainya dan menyibukkan diri
dengannya. Bersamaan dengan ini, mestilah ada kecenderungan khusus kepada
sebagian individu, sebab hubungan khusus berikut kemutlakan ini mestilah
demikian adanya. Kejadian alam memberikan ini kepada satuan-satuannya, dan
meski ada keterbatasan. Yang sempurna ialah yang menggabungkan atara
keterbatasan dan kemutlakan. Kemutlakan ialah seperti apa yang diucapkan oleh
Nabi saw., : “Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini, yaitu wanita,
..........”. Beliau tidak mengkhususkan wanita tertentu. Dan contoh
keterbatasan ialah apa yang diriwayatkan tentang kecintaan beliau kepada
“A’isyah melebihi kecintaannya kepada istri-istrinya yang lain. Hal ini
disebabkan oleh hubungan Ilahi dan ruhani yang membatasi kecintaannya kepada “A’isyah
saja dan tidak kepada yang lain, dengan tetap mencintai wanita-wanita lainnya
juga. Yang kami sebutkan ini adalah tonggak pertama, yang sudah cukup dimengerti
oleh orang yang memahaminya.
Tonggak
kedua adalah sumber-sumber ujian,
yaitu pangkat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mengenai hal ini, sekelompok
orang di antara mereka yang tidak
memiliki ilmu mengatakan : “Hal terakhir
yang keluar dari hati orang-orang tulus dan benar (shiddiqin) adalah
kecintaan kepada kepemimpinan.” Orang-orang arif (al-‘arifin), pendukung
ungkapan ini, tidak mengatakan hal itu berdasarkan apa yang dipahami kebanyakan
orang dari penempuh jalan ruhani (ahl ath-thariq) di antara mereka. Hanya
itulah yang kami jelaskan ihwal maksud kesempurnaan dari kaum ahli Allah, yaitu
bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak hal yang Allah sembunyikan ---
Dia-lah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi, dan yang
mengetahui apa yang engkau sembunyikan dan apa yang engkau tampakkan.” (QS.
An-Naml, 27:25). Yang dimaksudkan ialah apa yang tampak dari dirimu dan yang
tersembunyi dari segala sesuatu yang tidak engkau ketahui dari dirimu dan dalam
dirimu. Allah senantiasa mengeluarkan dari diri hamba-Nya segala sesuatu yang
tersembunyi di dalam dirinya, yang tidak penah diketahuinya. Seperti seseorang
yang penyakitnya diperiksa seorang dokter, ia tidak tahu sedikit pun tentang
penyakitnya itu, dan tidak merasa ada penyakit di dalam dirinya. Demikian pula
halnya dengan apa yang disembunyikan
Allah di dalam diri makhluk-Nya. Tidakkah engkau perhatikan Nabi saw.,
bersabda : “Man arafa nafsahu ‘arafa rabbahu – Barangsiapa mengenal dirinya, ia
mengenal Tuhannya.” Tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya, padahal
dirinya adalah ia sendiri, dan bukan orang lain. Allah senantiasa mengeluarkan
dari diri manusia apa yang disembunyikan-Nya di dalamnya. Maka, ketika itu,m ia
pun menyaksikan dan mengetahui apa yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sekelompok orang mengatakan, “Hal terakhir yang
keluar dari hati orang-orang tulus dan
benar, adalah kecintaan pada kepemimpinan.” Ketika hal itu muncul ke permukaan,
maka mereka pun melihatnya. Mereka mencintai kepemimpinan dengan sebentuk
kecintaan yang bukan jenis kecintaan orang banyak kepadanya. Mereka
mencintainya karena keberadaan mereka atas apa yang Allah firmankan tentang
mereka, bahwa Dia adalah pendengaran dan penglihatan-Nya. Dia menyebutkan
seluruh kekuatan dan anggota-anggota tubuh mereka. Ketika mereka berada
dalam kumpulan itu, maka mereka mencintai kepemimpjnan hanya dengan kecintaan
Allah kepadanya. Kepemimpinan mempunyai kelanjutan, karena hanya dia sajalah
yang memiliki kepemimpinan atas alam semesta. Tidak ada yang mencintai
kepemimpinan kecuali pemimpin atas alam semesta, karena kesemuanya itu (alam
semesta) adalah hamba-hamba-Nya. Tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya yang
dipimpin. Kecintaannya kepada yang dipimpin adalah sebesar-besar kecintaan,
karena yang dipimpin itulah yang menetapkan
kepemimpinan. Tidak ada yang dicintai oleh seorang raja dalam
kerajaannya, karena kerajaannyalah yang menetapkan baginya kerajaan lain. Dan
ia tetap saja disebut raja. Bagi mereka, inilah makna dari kalimat “Hal terakhir yang keluar dari hati orang-orang
tulus dan benar (shiddiqin) adalah kecintaan kepada kepemimpinan.” Mereka melihat
dan menyaksikannya sebagai dzauq (cinta rasa), bukan karena ia keluar dari hati
mereka. Mereka tidak mencintai kepemimpinan. Sebab, jika mereka tidak mencintai
kepemimpinan, maka mereka tidak bakalan memperoleh ilmu sebagai cita rasa atas
bentuk yang di atas, itu Allah menciptakan mereka. Rasulullah saw., bersabda : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
menurut bentuk-Nya.” Inilah bagian takwil dan kemungkinan dari makna
kabar ini. Ketahuilah!
Pangkat adalah pengesahan
kalimat. Dan jangan lewatkan satu kalimat dari firman-Nya : ..... Apabila Dia
menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya : “Jadilah” maka terjadilah ia
(QS. Yasin, 36:82). Pangkat paling tinggi adalah pangkat orang yang diperoleh
karena Allah, ketika Dia memberikan kekuatan kepada sang hamba ini. Ia menyaksikan hal ini bersama kebakaan
dirinya. Ketika itu, ia pun mengetahui bahwa hal itu adalah permisalan yang
tidak ada bandingannya. Ia adalah hamba pengayom. Sementara itu, Allah SWT
adalah Tuhan, dan bukan hamba. Sang hamba memiliki persekutuan, dan Allah punya
kesendirian.
Tonggak ke tiga, yang merupakan
sumber ujian, adalah harta. Harta dinamai dengan al-mal, karena ia
dicenderungi secara alami. Melalui
harta, Allah SWT menguji segenap hamba-Nya dengan memudahkan sebagian urusannya
dengan wujud-Nya, dan menambatkan kalbu makhluk-Nya pada kecintaan memiliki
harta dan mengagung-agungkannya, sekalipun ia kikir. Banyak mata memandangnya
dengan pandangan mata sarat pengagungan disebabkan kerancuan jiwa, lantaran
mereka tidak memerlukan harta yang ada pada dirinya. Mungkin saja sang pemilik
harta adalah orang yang paling memerlukan dan membutuhkannya. Ia tidak merasa
cukup dan puas dengan apa yang ada padanya. Ia selalu mencari tambahan buat apa
yang berada di tangannya. Ketika makhluk melihat kecenderungan hati pada
pemilik harta lantaran ingin memperoleh hartanya, mereka pun mencintai harta.
Sementara itu, kaum arif mencari dimensi Ilahi, dan melalui dimensi inilah,
mereka mencintai harta, sehingga kecintaannya itu merupakan ujian yang
mengandung kesesatan dan petunjuk.
Kaum arif melihat unsur-unsur
Ilahi dari harta. Allah SWT berfirman : “ ..... Dan pinjamilah Allah pinjaman
yang baik (QS. Al-Muzammil, 73:20). Dia hanya menyeru para pemilik harta. Kaum
arif mencintai harta agar mereka termasuk orang yang diajak bicara oleh Allah
dalam ayat ini, sehingga mereka senang mendengarkannya dalam keadaan seperti
itu. Jika mereka meminjamkan harta itu dan melihat bnahwa sedekah itu berada di
tangan Allah, Zat Maha Pengasih, maka – dengan harta dan pemberian-Nya itu –
mereka pun diterima oleh Allah. Yang demikian itu adalah simpul penerimaan
Allah telah memuliakan Adam dengan firman-Nya : “ .... Kepada apa yang telah
Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri (QS. Shad, 38 : 75). Barangsiapa memberi-Nya
pinjaman atas permintaan-Nya, maka ia adalah orang paling sempurna dalam
berbagai kesenangan dengan kemuliaan dari apa yang telah diciptakan melalui kedua
tangan-Nya sendiri. Kalaulah bukan karena harta, mereka pasti tidak akan
mendengarkan ayat iru dan tidak pantas menjadi orang yang diseru Allah. Dengan
pinjaman itu, mereka tidak memperoleh penerimaan rabbani, sebab itulah yang
menjalin hubungan dengan Allah. Allah menguji mereka dengan harta. Kemudian Dia
menguji mereka lagi dengan meminta harta itu. Allah menempatkan diri-Nya dalam
kedudukan peminta dari hamba-hamba-Nya yang memerlukan para pemilik harta dan
kekayaan di kalangan mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di dalam
hadis sebelumnya di bab ini : “Wahai
hamba-Ku, Aku telah memberimu makan, tetapi engkau tidak memberi-Ku makan, dan
Aku telah memberimu minum, tetapi engkau engkau tidak memberi-Ku minum.” Dengan
pandangan ini, kecintaan kepada harta – bagi mereka – adalah ujian yang
memberikan perunjuk pada hal semacam ini.
Akan halnya
ujian berupa anak, maka anak adalah rahasia
ayahnya. Belahan jiwanya, dan sesuatu yang dikaitkan dengannya. Kecintaan ayah
kepada anaknya, adalah kecintaan sesuatu kepada dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang telah dicintai oleh
sesuatu itu selain dirinya sendiri. Allah menguji dengan
dirinya berupa bentuk luar dari dirinya. Dia menamainya dengna anak agar Dia
mengetahui apakah perhatian kepada anaknya itu akan emnghalanginya dari
menunaikan kewajibannya kepada Allah serta memenuhi segenap hak-Nya.
Rasulullah saw., bersabda mengenai hak anak wanitanya. Fathimah. Kedudukan
Fathimah dalam kalbu beliau adalah sama-sama dimaklumi. Beliau bersabda :
“Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Umar
bin Khaththab pernah mencambuk anaknya sampai mati karena berzina. Dengan
demikian, jiwanya menjadi baik. Orang yang keras ini dan seorang wanita merelakan jiwanya dalam menegakkan hukuman
atas dirinya yang menyebabkan kematiannya. Mengenai obat kedua orang ini,
Rasulullah saw., bersabda : “Sungguh, kalau wanita itu dipisahkan dari umat,
cukuplah ia sendiri.” Tobat manalagi yang lebih besar dari tobat kedua orang
yang telah merelakan jiwanya itu? Kerelaan untuk menegakkan kebenaran atas anak
sendiri – meski tidak disukai – merupakan ujian yang paling besar. Mengenai
kematian anak dalam hak orang tuanya, Allah berfirman : “Tidak ada balasan bagi
hamba Ku yang mukmin di sisi-Ku selain surga, jika telah Aku genggam
kesuciannya dari penghuni dunia ini.” Siapakah yang menetapkan tonggak-tonggak
yang merupakan setinggi-tinggi ujian dan sebesar-besar cobaan ini? Dia memberi
kesan di sisi Allah dan Dia pun menjaganya. Itulah orang yang paling agung yang
tak tertandigni di kalangan manusia.
Termsuk di antara wasiatku
kepadamu, ialah hendaknyan engkau berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali
setelah menunaikan salat witir. Sebab, Allah menggenggam ruh manusia ketika
sedang tidur dalam bentuk Dia melihat diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat.
Jika Dia berkehendak, maka Dia menetukan umurnya. Bahkan jika Dia berkehendak
menahannya, Dia akan menahannya, meski telah tiba ajalnya. Sebagai sebentuk
kehati-hatian, hendaknya manusia yang teguh tidak tidur sebelum menunaikan
salat witir. Jika ia tidur setelah menunaikan salat witir, maka ia tidur dalam keadaan
dan perbuatan yang disukai Allah. Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih : “Allah itu ganjil (witr) dan menyukai yang ganjil.” Dia emncintai
diri-Nya sendiri. Maka, tidak ada pertolongan dan kedekatan yang lebih besar
melebihi ketika Dia menempatkanmu pada kedudukan diri-Nya dalam kecintaan
perbuatanmu yang memerlukan bilangan dan hitungan. Allah SWT memerintahkanmu
melalui lisan Rasulullah saw., “
Lakukanlah salat witir, wahai ahli Quran!” Ahli Quran adalah ahli Allah dan orang-orang-Nya yang khusus/ demikian pula ketika engkau bercelak. Lakukanlah dalam hitungan ganjil pada setiap mata sekali atau tiga kali. Pada esensinya, setiap mata adalah tersendiri. Begitu pula halnya di saat engkau makan, janganlah engkau mengambil suap dengan tanganmu kecuali dalam hitungan ganjil. Juka ketika engkau minum air. Tegukklah dalam hitungan ganjil. Jika engkau’ tersedak, minumlah air tuujuh teguk, maka akan hilanglah sedakmu. Hal itu setelah aku coba pada diriku. Juika engkau bernapas ketika minum, jauhkanlah gelas dari mulutmu dan bernapaslah tiga kali. Demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw. Kepadamu. Sebab, yang demikian itu adalah kebahagiaan.
Lakukanlah salat witir, wahai ahli Quran!” Ahli Quran adalah ahli Allah dan orang-orang-Nya yang khusus/ demikian pula ketika engkau bercelak. Lakukanlah dalam hitungan ganjil pada setiap mata sekali atau tiga kali. Pada esensinya, setiap mata adalah tersendiri. Begitu pula halnya di saat engkau makan, janganlah engkau mengambil suap dengan tanganmu kecuali dalam hitungan ganjil. Juka ketika engkau minum air. Tegukklah dalam hitungan ganjil. Jika engkau’ tersedak, minumlah air tuujuh teguk, maka akan hilanglah sedakmu. Hal itu setelah aku coba pada diriku. Juika engkau bernapas ketika minum, jauhkanlah gelas dari mulutmu dan bernapaslah tiga kali. Demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw. Kepadamu. Sebab, yang demikian itu adalah kebahagiaan.
Jika engkau
berbicara, pahamkanlah pembicaraanmu kepada orang yang mendengarkanmu. Jika
perlu, ulangi sampai tiga kali dalam hitungan ganjil, sehingga pembicaraanmu
bisa dipahami. Begitulah yang dilakukan Rasulullah saw. Maka, aku hanya
mewasiatkan kepadamu apa-apa yang berlaku di dalam sunnah Ilahi. Inilah
tuntunan yang diperintahkan Allah kepadamu di dalam Al-Quran. Dia berfirman :
“Katakanlah, “jika engkau (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihimu .... “ (QS. Alu ‘Imran, 3 :31). Ini adalah cinta balasan.
Sedangkan cinta-Nya yang pertama bukanlah balasan, melainkan cinta yang dengannya
Dia memberikan taufik keapdamu untuk diikuti. Maka cintamu, dijadikan oleh
Allah berada di antara dua kecintaan Ilahi, yaitu cinta anugerah dan cinta
balasan. Jadikan kecintaan antara dirimu
dengan Allah dalam hitungan ganjil, yaitu cinta anugerah yang ditunjukan-Nya
kepadamu agar engkau ikuti Cintamu kepada-Nya dan cinta-Nya kepadamu adalah
sebagai balasan atas dirimu yang telah emngikuti apa yang disyariatkan-Nya
kepadamu. Allah SWT berfirman : “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
suri tauladan yang baik bagimu (QS. Al-Ahzab, 33:21). Ayat ini menetapkan
‘ishmah (keterpeliharaan dari dosa dan kesalaha, Pen) Rasulullah saw. Sebab,
kalau beliau tidak ma’shum, maka tidaklah benar menjadikan beliau sebagau
teladan. Kita meneladanji Rasulullah saw., dalam seluruh gerak, sikap diam,
perbuatan, ihwal, dan perkataan beliau, selama tidak dilarang berdasarkan
ketetapan Al-Quran dan Sunnah, seperti nikah hibah yang membebaskanmu,
kewajiban bangun malam, dan salat tahajud atas diri beliau dan bukan atas kaum
Muslimin. Bagi Beliau, bangun malam dan menegakkan salat tahajud adalah
kewajiban. Sementara itu, kita menegakkannya hanya untuk meneladani beliau dan
merupakan ibadah sunnah. Maka kita pun bersama-sama menegakkannya.
Abu Hurairah berkata :
“Kekasihku saw, berwasiat kepadaku tiga hal.” Beliau menjadikan hitungan ganjil
di dalam wasiatnya. Di antaranya, ialah : “Hendaknya aku tidak tidur kecuali
setelah melakukan salat witir.” Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih : “Allah
memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghitungnya, maka ia akan
masuk surga.” Allah itu ganjil dan menyukai hitungan ganjil. Telah disebutkan
di dalam buku ini pada bab pertanyaan-pertanyaan At-Tirmidzi kepada Al-Hakim,
dalam pasal, Al-Ma’arif fi Hubb Allah Al-Tawwabin wa Al- Mutathahhiriin wa
Asy-Syakirin wa As-Shabirin wa Al-Muhsinin wa Ghayrihin (Berbagai makrifat
tentang kecintaan Allah kepada orang-orang yang menyucikan diri, bersyukur,
bersahabat, beruat kebaikan dan sebagainya), yang mengungkapkan bahwa Allah menyukai
kemunculannya, sebagaimana Allah tidak menyukai kemucnulan sesuatu yang lain,
yang telah kami sebutkan dalam buku ini. Aku tidak perlu mengulanginya lagi di
sini.
16. WASIAT IHWAL BERHATI-HATI
KEPAD ALLAH MENGENAI APA YANG DIAMBIL DARIMU DAN DIBERIKAN KEPADAMU
Hendaklah
engkau berhati-hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai apa yang diambil-Nya
darimu dan apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah SWT mengambil segala sesuatu
darimu agar engkar bersabar dan Dia mencintaimu, karena Dia mencintai orang-orang
yang sabar. Jika dalam muamalah
pekerjaanmu mencintaimu, maka orang yang mencintaimu pun dicintai juga. Engkau
akan memperoleh apa yang engkau inginkan jika kehendakmu menuntut kemaslahatan
bagi dirimu. Jika tidak, maka – dengan kecintan-Nya keapdamu – Dia melakukan
apa yang dituntut kemaslahatan dalam hakmu untuk dirimu. Jika engkau membenci
suatu hal yang dilakukan-Nya untukmu, maka engkau harus memuji-Nya sebagai
akibat dari perbuatanmu. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan berbagai kemaslahatan
bagi hamba-Nya jika Dia memang mencintainya/ tolok ukur yang mesti engkau
gunakan dalam mengukur kecintaan-Nya kepadamu ialah bahwa hendaknya engkau
memperhatikan apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia mengurangi harta atau
keluargamu, atau yang perpisahannya tidak membuatmu susah. Segala sesuatu yang
hilang dari dirimu pasti diberi ganti oleh Allah SWT. Sebagian orang mengatakan
:
Sesuatu yang engkau
tinggalkan,
Pasti ada penggantinya.
Namun, di sisi Allah, yang
demikian itu
Sama sekali tidak ada
penggantinya.
Sesungguhnya, tidak ada
sesuatu pun setara dengan-Nya. Dmeikian pula halnya, jika Dia menganungerahkan
dan memberi nikmat kepadamu. Di antara sejumlah
nikmat dan anugerah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ialah kesabaranmu dalam
menghadapi apa yang telah diambil-Nya darimu. Dia memberimu anugerah agar engkau bersyukur, persis sebagaimana Dia
mengambil sesuatu darimu agar engkau bersabar, sebab Allah SWT mencintai
orang-orang yang bersykur. Jika Dia mencintaimu dengan kecintaan kepada
orang-orang yang bersyukur, maka Dia mengampunimu. Rasulullah saw., bersabda
tentang seseorang yang melihat ranting berduri di jalan tempat manusia
berlalu-lalang lewat di situ. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka, Allah pun
berterimakasih kepadanya dand mengampuninya : “Iman itu, memiliki tujuh puluh
lima cabang. Yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalanan.”
Begitulah apa yang telah aku sebutkan : “Ucapan la ilaha illa Allah, pun
mengangkatnya : “Seorang Mukmin yang baik ialah yang mencari canag-cabang iman
dan, lali ia mengerjakannya semuanya. Pencarian yang dilakukannya itu sendiri
termasuk dalam cabang-cabang iman. Dengan demikian, ia adalah seorang Mukmin
yang memperoleh segenap sifat-sifat-Nya, dan ketika tangannya penuh dengan
kebaikan. Allah tidak ebrterima kasih kepadamu lantaran engkau mengerjakan apa
yang telah disyariatkan-Nya atas dirimu. Yang demikian itu dimaksudkan agar
engkau makin memperbanyak amal-amal kebaikanmu. Begitu pula, jika engkau
bersykur kepada-Nya atas anugerah nikmat yang diberikan-Nya kepadamu, maka Dia
akan menambah nikmat-Nya kepadamu, sesuai dengan firman-Nya : “Jika kamu bersykur, pasti akan Kutambah
(anugerah-Ku) kepadamu (QS. Ibrahim, 14: 7). Dia menyifati diri-Nya
dengan asy-syakur (Maha Bersyukur) karena Dia berterima kasih kepada
hamba-hamba-Nya. Karena itu, banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya, sebagaimana
Dia makin banyak menambah nikmatn-Nya kepadamu, agar Dia berterima kasih
kepadamu. Bersamaan dengan itu, yakinilah bahwa segala sesuatu memiliki ukuran
di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini
berjalan menuju tempat yang telah ditentukan di sisi Allah. Segala sesuatu di
dunia ini, pasti kembali kepada Allah. Jika Dia mengambil sesuatu darimu, maka
sesuatu itu, pasti kembali kepada-Nya. Dan jika Dia memberi sesuatu kepadamu,
maka sesuatu itu pun pasti kembali kepada-Nya. Dia memberi
sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti berasal dari-Nya. Jika engkau
ketahui bahwa segala sesuatu itu seperti apa yang telah aku beritahukan
kepadamu, cukuplah sudah engkau bersama Allah dan menyaksikan segala
sesuatu yang diambil darimu dan yang
diberikan kepadamu, dalam segenap
keadaanmu. Maka engkau tidak meluputkan dalam napasmu pengambilan dan pemberian
Ilahi. Yang pertama adalah tarikan napasmu yang menghidupimu. Dia mengambil tarikan napasmu yang keluar melalui apa yang
keluar dari dirimu berupa zikir dengan hati dan lisan. Jika itu dalah
kebaikan, maka pahalanya dilipat-gandakan bagimu. Jika tidak demikian, maka
disebabkan kemuliaan dan ampunan-Nya. Dia mengampunimu. Dia memberikan kepada
napasmu yang masuk apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang mendatangkan waktumu. Jika waktu itu mendatangkan
kebaikan, maka yang demikian itu adalah
kenikmatan dari Allah. Terimalah kenikmatan itu dengan penuh rasa
syukur. Jika tidak demikian , hal itu tidak termasuk dalam apa yang diridhai
Allah. Karena itu, mohonlah ampunan, maaf dan tobat kepada-Nya. Dia menguhukum dosa hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka memohon ampunan
(isttighfar) kepada-Nya. Dia pun
mengampuni mereka. Mereka bertobat kepada-Nya, Dia menerima tobat mereka.
Diungkapkan dalam sebuah hadis : “Kalau kalian tidak berdosa, niscaya Allah
mendatangkan suatu kaum yang beruat dosa dan kemudian ebrtobat. Lalu Allah
mengampuni mereka.” Sehingga tidak satu pun hukum Ilahi yang tidak berlaku di dunia ini.” Juga
disebutkan dalam sebuah hadis sahih, dari Rasulullah saw, bahwa
beliau bersabda : “Sesungguhnya, milik Allah adalah apa yang diambil-Nya dan
Dia memiliki apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu berada dalam batas waktu yang
telah ditentukan di sisi-Nya.” Jika, batas waktu itu telah berakhir,
maka selesailah sudah sesuatu itu dan datang sesuatu yang lainnya. Rasulullah
saw., hanya mengatakan hal ini sebagai pemberitahuan agar kita berhati-hati atas apa yang merupakan
kekuasaan-Nya, dan agar kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya. Maka, kita pun
dikaruniai derajat penyerahan diri (taslim) dan pelimpahan ( tafuidh) dengan
mengerahkan kesungguhan dalam apa yang disukai-Nya dalam diri kita, agar kita
kembali kepada-Nya. Jika kita berada dalam penyimpangan, maka kita mesti
kembali kepada-Nya dengan Tobat dan memohon ampunan. Dan jika kita berada dalam
keridhaan-Nya, maka kita kembali kepadanya dengan rasa sykur dan permohonan
untuk dapat melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kita mendapatkan
kemuliaan dalam diri kita dengan pengetahuan kita bahwa segala sesuatu di dunia
ini berjalan menuju batas waktu yang telah ditentukan di sisi Allah.
Orang-orang yang sebar memiliki pujian khusus, yaitu : “Alhamdulillah ‘ala
kulli hal (Segala Puji bagi Allah dalam segala keadaan). Orang-orang yang
bersyukur pun memiliki pujian khusus, yaitu : Alhamdulillah Al-Mun’im
Al-Mufdhil (Segala Puji bagi Allah yang memberikan kenikmatan dan
menganugerahkan keutamaan). Demikianlah Rasulullah saw., memuji Tuhannya, Allah
SWT, dalam keadaan lapang maupun sempit. Meneladani Rasulullah saw, dalam hal
itu, lebih utama dari menciptakan pujian yang lain. Tidak ada yang lebih tinggi
dari apa yang telah dilakukan oleh seorang berilmu paripurna,yang telah
disaksikan oleh Allah dengan makrifat kepada-Nya, dan memuliakannya dengan
risalah-Nya dan kekhususan yang diberikan-Nya. Dia pun memerintahakn kita untuk
meneladani dan mengikuti teladan beliau.
Jangan engkau menciptakan
suatu perkara yang engkau tidak mampu melakukannya. Jika engkau membuat suatu
sunnah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw, maka yang demikian itu
adalah baik. Engkau mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang
mengamalkannya. Jika engkau tidak membuat sunnah itu karena hendak mengikuti
Rasulullah saw, maka pahalamu dalam mengikuti jejaknya – yakni, meninggalkan
membuat sunnah – lebih besar dari pahala yang engkau peroleh ketika membuat
banyak sunnah. Rasulullah saw, tidak suka banyak memberikan beban atas umatnya.
Beliau tidak suka jika mereka meminta berbagai hal, lantaran khawatir yang
demikian itu akan membenai diri mereka, sedangkan mereka hanya mampu
melakukannya dengan bersusah-payah. Orang yang membuat sunnah berarti telah
memberikan beban. Nabi saw, jelas lebih utama dalam hal ini. Tetapi beliau
tidak melakukannya, semata-mata untuk meringankan beban umatnya. Karena itu,
aku katakan : : “Pahala mengikuti beliau dalam hal tidak membuat sunnah lebih
besar dari membuat sunnah.” Tunjukanlah perhatianmu pada apa yang aku telah
sebutkan kepadamu. Telah sampai kepadaku sebuah riwayat tentang Imam Ahmad bin
Hanbal, ra. Bahwa ia tidak pernah makan buah semangka. Lantas hal itu
ditanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Tidak ada riwayat yang sampai kepadaku
ihwal bagaimana Rasulullah saw, memakannya.” Karena tidak ada riwayat yang
sampai kepadanya tentang tatacara mekan buah semangka itu, maka ia tidak mau
memakannya. Contoh semacam ini telah dikemukakan para ulama umat ini kepada
para ulama dari umat-umat yang lain. Imam Ahmad bin Hambal mengetahui makna
firman Allah SWT tentang Nabi-Nya saw., : “Ikutilah aku, maka Allah akan
mencintamu (QS. Alu ‘Imran : 3:31), dan juga firman-Nya : “Sungguh dalam diri
Rasulullah itu ada suri teladan yagn baik bagimu ....... (QS. Al-Ahzab, 33:12).
Menyibukkan diri dengan apa yang disunnahkan Rasulullah saw., baik berupa
ucapan, perbuatan dan keadaan diri beliau, lebih banyak dari yang kita kerahui.
Maka, mengapa kita haurs membuat sunnah sendiri? Kita tidak boleh membebani
umat ini lebih dari apa yang sudah ada.
17. WASIAT IHWAL MENUNAIKAN
KEWAJIBAN ATAS HAK ALLAH
Hendaknya engkau menunaikan
apa yang paling wajib dari hak Allah, yang engkau tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatu apa pun dalam bentuk syirik tersembunyi. Syirik
tersembunyi adalah menyandarkan suatu kejadian pada sebab-sebabnya. Mempercayainya
dengan hati, berarti bahwa hati menaruh kepercayaan kepadanya dan merasa tenang
atasnya. Hal itu adalah musibah yang paling berat yang menimpa diri seorng Mukmin.
Firman Allah SWT menunjukkan hal ini : Dan sebagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutuka Allah (QS. Yusuf,
12 : 106), yaitu --- wallahu a’lam bihi – syirik tersembunyi
yang menyertai keimanan kepada eksistensi Allah ini, dan pembatalan keimanan
kepada keesaan (tauhid) dan perbuatan (af;al) Allah, bukan dalam trensendensi
(uluhiyah)-Nya. Yang demikian itu adalah syirik yang jelas, yang membatalkan
keimanan kepada keesaan Allah dalam tresedensi, dan bukan dalam keimanan kepada
eksistensi Allah. Diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih dari
Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Tahukah kamu, apakah hak Allah atas
hamba-hamba-Nya? Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka
menyembah-Nya dan tidak menyekutuka-Nya dengan sesuatu apa pun.”
Disebutkan di sini bahwa kata Syay’ (sesuatu apa pun) di sini berbentuk nakirah
(yakni, menunjukkan kata benda tidak tertentu. Pen). Kata itu dapat menunjukkan
syirik yang jelas maupun yang tersembunyi. Selanjutnya beliau bersabda :
“Tahukah kamu, apakah hak mereka atas Allah, jika mereka beruat demikian?
Adalah agar Dia tidak mengazab mereka.” Perhatikan sabda-nya : “ .... Agar Dia
tidak mengazab mereka.” Karena jika mereka tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apa pun, maka perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah, sehingga
mereka hanya memperhatikan kepada Allah saja. Jika mereka menyekutukan Allah
dengan syirik yang bertentangan dengan Islam, atau syirik tersembunyi yang
memandang sebab, sebabh kejadian, maka pasti Allah mengazab mereka disebabkan
perbuatan mereka yang telah menyandarkan diri kepada hal itu, lantaran
sebab-sebab kejadian itu akan hilang. Di dalam
hal keyakinan kepada sebab-sebab kejadian itu, mereka akan diazab lantaran
mereka tidak tahu apa yang hilang dan apa yang berkurang darinya. Jika mereka
kehilangan sebab-sebab kejadian itu,
maka mereka tersiksa dengan kehilangan itu. Bagaimanapun juga, ,mereka tersiksa
lantaran hilangnya sebab-sebab kejadian itu. Jika mereka tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apa pun dikarenakan sebab-sebab kejadian itu, maka mereka
akan merasa tenang dan tidak peduli dengan hilang atau tetap adanya sebab-sebab
kejadian itu. Barangsiapa bergantung kepada Allah, maka Dia mampu
mendatangkan segala sesuatu yang tidak mereka duga, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya : “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan jalan keluar baginya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka (QS. Ath-Thalaq, 65 : 2-3). Sebagian ulama mengungkapkan hal
itu dalam bentuk nazahm sebagai berikut :
Barangsiapa bertakwa kepada
Allah
Dia berikan jalan keluar bagi
urusannya.
Seperti tersebut dalam
firman-Nya.
Diberi-Nya rezeki dari arah
yang tak terduga-duga,
Dan jika ia susah, diberinya
ia kelapangan.
Di antara
tanda-tanda ketakwaan adalah : orang yang bertakwa kepada Allah diberi rezeki
dari arah yang tidak terduga-duga. Jika rezeki itu datang dari tempat yang
sudah diduga, maka hal itu tidak menunjukkan ketakwaan, dan tidak menunjukkan
kebergantungan kepada Allah. Makna takwa di dalam sebagian aspeknya ialah bahwa
engkau menjadikan Allah sebagai pelindung dari pengaruh sebab-sebab kejadian
itu lantaran kepercayaanmu kepada-Nya. Manusia lebih mengetahui ihwal dirinya sendiri, orang
yang lebih dipercayainya, dan keadaan yang bisa membuat dirinya tenang. Ia
tidak mengatakan, “Allah telah memerintahkan kepadaku untuk berusaha mencari
nafkah, dan Dia mewajibkan kepadaku untuk memberikan nafkah
kepada mereka.” Ia harus bekerja keras menciptakan sebab-sebab yang biasanya
menyebabkan Allah memberi rezeki kepada mereka. Hal ini tidak bertentangan
dengan apa yang telah aku kemukakan. Aku hanya mencegahmu agar jangan
mempercayainya dalam hatimu, dan kemudian hatimu merasa tenang dengannya. Aku
tidak mengatakan kepadamu, “Jangan lakukan hal itu.”
Aku telah tidur dengan
mengikat wajahku. Kemudian aku bangun dan sadar serta melantunkan dua bait
syair yang tidak ku ketahui sebelumnya :
Jangan percaya kecuali kepada
Allah,
Segala sesuatu ada di tangan
Allah.
Sebab-sebab adalah tabirnya.
Hendaknya engkau selalu
bersama Allah.
Pandanglah dirimu. Jika engkau
dapati hatimu merasa tenang dengan sebab-sebab kejadian itu, maka kemimananmu
itu salah. Ketahuilah, engkau bukanlah orang yang demikian itu. Jika engkau
dapati hatimu tenang bersama Allah, dan tidak berpengaruh bagimu ada dan tidak
adanya sebab pertolongan yang lain, maka ketahuilah bahwa engkau adalah orang
yang demikian itu, yang merasa tenteram dan tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apa pun. Engkau termasuk golongan orang yang sedikit jumlahnya. Dia
memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka. Itulah kabar
gembira bagimu dari Allah bahwa engkau termasuk orang-orang yang bertakwa.
Di antara rahasia ayat ini adalah bahwa ketika
Allah memberikan rezeki kepadamu dari sebab yang biasanya terjadi, yang ada
dalam khazanahmu dengan cara dan tindakmu, maka engkau adalah orang yang
bertakwa. Artinya, engkau telah menjadikan Allah sebagai pelindung, karena Dia
adalah Pelindung (al-waqi). Engkau diberi rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Rezeki itu datang tidak dari arah yang engkau duga bahwa Allah
akan memberikan rezeki kepadamu, melainkan berasal dari kerja tanganmu dan yang
engkau peroleh. Dia memberikan rezeki kepadamu hanya dari arah yang
tidak engkau duga, kendati engkau makan dan memperoleh rezeki itu dengan
ranganmu sendiri. Ketahuilah, hal itu memiliki makna sangat
dalam, yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah
(ahl al-muraqabah al-ilahiyah). Mereka adalah orang yang menjaga batin dan hati
mereka. Perlindungan hatinya berasal dari Allah, yang mencegah hamba-Nya agar
jangan sampai meyakini sebab-sebab kejadian itu, dengan cara mempercayainya, selain juga percaya kepada
Allah. Inilah makna firman-Nya : “Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Jalan keluar ketakwaan dalam ayat ini adalah
wasiat Allah dan pemberitahuan tentangnya kepada hamba-Nya.
18. WASIAT IHWAL BERSIKAP
RENDAH HATI
Wahai saudaraku,
berhati-hatilah agar engkau jangan bersikap sombong atau tinggi hati di muka
bumi. Biasakanlah bersikap rendah hati (tawadhu’). Jika Allah mengangkat
kata-katamu, maka tidak ada yang paling tinggi selain kebenaran. Jika Dia
menganugerahkan kepadamu ketinggain di dalam hati makhluk-Nya, maka hal itu kembali
kepada-Nya. Kerendahan hati, kehinaan (dzillah), dan
ketidakberdayaan melekat pada dirimu, karena engkau berasal dari tanah. Jangan
merasa lebih tinggi dari tanah, karena tanah adalah ibumu. Barangsiapa
berlaku sombong pada ibunya, maka ia telah mendurhakainya. Dan mendurhakai
kedua orang tuda adalah haram. Kemudian, disebutkan di dalam hadis : “Adalah
wajib atas Allah untuk tidak mengangkat sesuatu di dunia ini kecuali sesudah
itu meletakkannya kembali.” Engkaulah sesuatu itu. Lihatlah di mana Allah
menempatkanmu. Tidak ada yang dikhawatirkan pada diri orang yang memiliki sifat
ini kecuali bahwa Allah menempatkannya di neraka. Jika sesuatu itu mengangkat
dirinya, dan bukan karena Allah mengangkatnya, maka hal itu tidak kembali
kepadanya. Hanya saja, ia harus meletakkan diri kepada Allah atas apa yang
diberikan-Nya kepadanya berupa ketinggian di bumi dengan kepemimpinan
(wilayah). Ia juga meski berkhidmat kepada-Nya, karena pintunya telah
ditutupkan, dan kendaraannya pun diuruskan. Ian selalu memperhatikan kehambaan
dan asal-usulnya, karena ia diciptakan dari kelemahan dan dari asal usulnya
dengan kehinaan. Ia menyadari bahwa ketinggain itu hanyalah ada
lantaran pangkat dan kedudukan saja, dan bukan lantaran dirinya. Jika ia
kehilangan ketinggian itu, maka kepentingan yang diangkatnya tidak akan ada
lagi pada dirinya serta berpindah pada orang yang ditempatkan oleh Allah dalam
kedudukan itu. Ketinggian itu disebabkan oleh kedudukannya, bukan oleh dirinya.
Barangsiapa menginginkan ketinggain itu di muka bumi ini, maka yang demikian
itu berarti bahwa ia menginginkan kepemimpinan. Tentang kempemimpinan,
Rasulullah saw., bersabda : “Pada Hari Kiamat, yang demikian itu menimbulkan
kerugian dan penyesalan.” Janganlah engkau termasuk dalam golongan orang-orang jahil dan tidak
berpengatahuan.
Yang aku wasiatkan kepadamu
ialah hendaknya engkau tidak menginginkan ketinggian di bumi. Jika Allah
meninggikanmu, janganlah engkau menuntut dari Allah kecuali bahwa engkau menjadikan
dirimu sendiri sebagai pemilik kehinaan, ketenangan, dan kehusyukan. Hendaklah
engkau tidak memperoleh hal itu kecuali bahwa Allah menjadi saksi atas dirimu,
poros penciptaan dan perkara terbesar itu – tak lain dan tak bukan, adalah
kedudukan penyaksian (maqam asy-syuhud) yang telah sampai kepadamu.kedudukan
ini adalah wujud yang dicari.
19. WASIAT IHWAL MANDI PADA
SETIAP HARI JUMAT
Hendaklah engkau mandi pada
setiap hari Jumat. Lakukanlah hal itu sebelum engkau pergi menunaikan salat
Jumat. Ketika mandi, niatkanlah bahwa engkau akan menunaikan suatu kewajiban.
Yang ini diungkapkan di dalam sebuah hadis sahih : “Mandi pada hari Jumat adalah
kewajiban bagi setiap orang Muslim.” Juga diriwayatkan dari Rasulullah saw. :
“Hak atas setiap orang Muslim adalah mandi pada setiap tujuh hari.” Gabungan
dari dua hadis itu adalah mandi pada hari Jumat, karena Allah menciptakan tujuh
hari. Di antaranya adalah hari Jumat. Jika hari Jumat berlalu dan hari-hari
silih berganti, maka yang demikian itu adalah pergantian yang baru. Suatu
pergantian tidak berlalu dari dirimu kecuali dari kesucian yang engkau
perbaraui. Di dalam hal ini terdapat pemuliaan, penyucian dan pembersihan atas
dirimu, seperti halnya bersiwak : “Bersiwak itu menyucikan mulut dan diridhai
oleh Tuhan.” Demikian pula, mandi pada satu minggu menyucikan tubuh dan
diridhai oleh Tuhan. Artinya, sang hamba melakukan perbuatan yagn diridhai oleh
Allah. Karena Allah memerintahkan demikian, maka Dia memberikan balasan
setimpal bagi pelaksanaan perintah-Nya.
20. WASIAT IHWAL MENINGGALKAN
PERDEBATAN DALAM MASLAAH AGAMA
Berhati-hatilah engkau jangan
sampai berdebat dalam suatu perkara agama. Sebab, engkau tidak luput dari salah
satu dari dua hal : entah engkau benar atau salah, sebagaimana yang dilakukan
para ulama-fiqih (fuqaha’) zaman kita kini di majelis-majelis perdebatan
mereka. Mereka meniatkan hal itu untuk memperbaiki pendapat-pendapat mereka.
Kadang-kadang sang pendebat itu mewajibkan aatas dirinya suatu mazhab yang
tidak diyakini dan ucapan yang tidak disukai, yang digunakannnya untuk mendebat
pemilik kebenaran yang meyakini bahwa itu adalah benar. Kemudian ia membohongi
dirinya dengan mengatakan : “Hal itu kami lakukan untuk memperbaiki pendapat,
bukan untuk membela yang salah.” Ia tidak menyadari bahwa Allah berada pada
lisan setiap orang yang berbicara. Jika orang awam mendengar perkataannya yang
salah dan mengalahkan orang yang benar – dan, dalam pandangannya, ia seorang
faqih – maka orang awam yagn mengikutinya
itu, mengamalkan perkataan yang salah, karena ia melihat bahwa perkataan
itu dapat mengalahkan orang yang benar, dan orang yang benar tidak mampu
melawannya. Maka, dosa senantiasa melekat apda dirinya selama orang yang
mendengar itu mengamalkan apa yang didengar darinya. Karena itu, diungkapkan
dalam sebuah hadis dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Aku jamin
dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan
perdebatan, walau pun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi
orang yang meninggalkan dusta, walau pun dalam bergurau.” Apalagi perdebatan
dalam kesalahan. Rasulullah saw., pernah bergurau, tetapi beliau hanya
mengatakan kebenaran saja.
21. WASIAT IHWAL BERAKHLAK
BAIK DAN MENCARI KEMULIAANNYA
Hendaklah engkau berakhlak
yang baik, mengambil kemuliaannya, dan menjauhi yang buruknya. Rasulullah saw, bersabda : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Beliau telah memberikan jaminan dengan
sebuah rumah di tempat yang paling tinggi di surga bagi orang yang membaguskan
akhlaknya. Ketika akhlak yang baik itu merupakan ungkapan dalam perbuatanmu
dalam menjalin hubungan dan pergaulan bersama orang yang beruat dusta, maka
engkau tahu bahwa tujuan-tujuan makhluk itu saling bertolak belakang. Jika ia
menyukai si anu, maka dia membenci seseorang yang menjadi musuhnya. Tidak bisa
tidak, keadaannya pasti demikian. Mustahil engkau bisa menyukai seluruh makhluk
dengan akhlak mulia. Ketika kita melihat bahwa permasalahan sampai pada batas
ini, maka Allah memasukkan diri-Nya dalam persahabatan bersama hamba-hamba-Nya,
sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata kepada
Tuhannya : “Engkaulah sahabat (ash-shahib) dalam perjalanan dan pengganti (
al-khalifah) bagi keluarga yang ditinggalkan.” Allah SWT berfirman : “Dia
bersamamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid, 57:4), dan juga : Ketika ia
berkata kepada sahabatnya, :Janganlah kamu berduka cita. Sesungguhnya Allah
bersama kita,.” (QS. At-Tawbah, 9 :40). Dia juga berfirman : “Sesungguhnya Aku
bersma kamu berdua. Aku mendengar dan melihat (QS. Thaha, 20:47). Kukatakan
bahwa janganlah engkau membuat kemuliaan akhlak kecuali dalam persahabatan
dengan Allah secara khusus. Karena itu, lakukanlah segala sesuatu yang diridhai
Allah, dan jauhilah segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya, entah pergaulan dan
akhlak yang bersifat khusus di sisi Allah, atau dalam hubungannya dengan orang
lain, maka yang demikian itu diridhai oleh Allah, entah engkau menyukai orang
itu ataupun tidak. Sebab, jika dia seorang Mukmin, maka dia senang kepada apa
yang diridhai oleh Allah. Akan tetapi, jika ia adalah musuh Allah, maka kita
tidak usah memberikan penghargaan kepadanya. Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu
bersaudara (QS. Al-Hujarat, 49:10) dan juga : “Janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita
Muhammad) karena rasa kasih sayang (QS. Al-Mujadilah, 58:1). Akhlak mulia hanya
ada pada apa yang diridhai oleh Allah. Janganlah kamu melakukannya kecuali
bersama Allah, entah itu ditujukan kepada makhluk maupun segala sesuatu yang
bersifat khusus di sisi Allah. Barangsiapa menjaga apa yang ada di sisi Allah,
maka seluruh kaum Mukmin dan ahl-adz-dzimmah (orang-orang non Muslim yang di
bawah perlindungan pemerintahan Islam. Pen) bakal memperoleh manfaat darinya.
Allah memiliki hak atas setiap orang Mukmin dalam pergaulannya dengan setiap
makhluk Allah secara mutlak dari setiap kelompok malaikat, jin, manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan benda-benda mati. Mukmin maupun
non Mukmin. Aku telah menyebutkan hal itu dalam Risalah al-Akhlaq, yang kutulis
untuk saudara-saudara kita (pada 591 H). Itu merupakan bagian yang menarik dan
unik maknanya. Di situ disebutkan pergaulan seluruh makhluk dengan akhlak mulia
yang sepatutnya. Akhlak mulia didasarkan pada keadaan orang yang melakukannya,
di mana dan dengan siapa. Ini sudah lumrah dan umum sifatnya. Rincian dan
penjelasannya engkau jumpai dalam kenyataan. Perhatikanlah, Allah memberikan
petunjuk kepada segala sesuatu yang bisa engkau hitung kendati sangat panjang
deretannya. Tidak ada Tuhan selain Allah. Demikian pula, hendaklah engkau
menjauhi akhlak tercela. Engkau tidak mengetahui mana akhlak mulia dan
mana akhlak tercela, kecuali setelah engkau mengetahui kecenderungannya. Jika
engkau sudah mengetahui kecenderungannya, maka engkau akan mengetahui mana
akhlak mulia dan mana akhlak tercela. Inilah ilmu yang terpendam. Ilmu tentang
kecenderungan akhlak ini tidak akan hilang darimu. Hanya saja, ilmu ini akan
berubah seiring dengan berubahnya keadan.
22. WASIAT IHWAL HIJRAH DAN
TIDAK TINGGAL BERSAMA ORANG-ORANG KAFIR
Hendaklah engkau hijrah, dan
jangan tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir. Hal itu akan merusak agama
Islam dan meninggalkan kalimat kekufuran di atas kalimat Allah. Allah
memerintahkan perang hanya agar kalimat Allah menjadi paling tinggi dan kalimat
orang-orang kafir menjadi paling rendah. Barhati-hatilah engkau agar jangan
tinggal dan masuk dalam jaminan orang kafir, semampumu. Ketahuilah bahwa orang
yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir
-- padahal ia mampu keluar dari lingkungan mereka – tidak memiliki
keberuntungan dalam Islam. Rasulullah saw., telah berlepas diri dari mereka,
padahal beliau tidak berlepas diri dari siapa pun. Diriwayatkan bahwa beliau
bersabda : “Aku berelepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di
tengah-tengah orang-orang musyrik.” Ia tidak menghargai kalimat Islam. Allah
SWT berfirman mengenai orang yang mati, sementara ia berada di tengah-tengah
orang-orang musyrik : “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malakat dalam
keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya kepada mereka : “Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang
tertindas di muka bumi.” Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah luas dan
lapang berhijrah di dalamnya?” Maka, orang-orang demikian itu tempatnya adalah
neraka Jahanam ---- seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa, 4:97). Karena
itu. Di zaman kita ini, aku melarang manusia agar tidak mengunjungi Bayt
al-Muqaddas dan tinggal di sekitarnya. Sebab, tempat itu berada di tangan
orang-orang kafir. Wilayah itu adalah milik mereka dan yang berhak menguasainya
adalah kaum Muslimin. Kaum Muslim yang hidup bersama mereka berada dalam
seburuk-buruk keadaan – kita berlindung dari pengusaan hawa nafsu. Para
peziarah ke Bayt al-Muqaddas pada saat ini dan di antara kaum Muslim yang
tinggal di tempat itu termasuk orang-orang yang disebutkan Allah di dalam
firman-Nya : Orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi,
18 : 104). Demikian pula, pembebasannya membuat putus asa setiap makhluk yang
tercela menurut syariat. Allah telah menjamin pembebasan itu di dalam Kitab-Nya
atau melalui lisan Rasulullah saw.
23. WASIAT IHWAL MENGAMALKAN
ILMU DALAM SELURUH GERAK DAN DIAM
Hendaknya engkau mengamalkan
ilmu dalam gerak dan diammu. Kedermawanan sempurna adalah kedermawanan orang
yang mendermakan ilmu kepada dirinya. Dengan hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah atas dirinya, ia mengetahui, mengamalkan, dan mengajari orang yang belum
tahu. Rasulullah saw., memuji orang yang memperoleh ilmu, mengamalkan, dan
mengajarkannya. Beliau mencela orang yang sebaliknya dari itu. Diriwayatkan
dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda : “Perumpamaan dari apa yang
karenanya Allah mengutusku berupa petunujuk dan ilmu adalah seperti hujan yang
jatuh ke tanah. Di antaranya, ada tanah yang dapat menerima air hujan. Maka
tumbuhlah rerumputan yang banyak di atasnya. Ada pula tanah yang keras dan
dapat menahan air. Maka Allah pun memberikan manfaat kepada manusia. Dari
tempat itu, mereka mengambil air minum, mengairi tanahnya, dan bercocok tanam.
Dan sebagian air hujan itu menimpa tanah yang curam, yang tidak dapat menahan
air dan tidak dapat menumbuhkan rerumputan. Seperti itulah orang yang memahami
agama Allah. Allah memberinya manfaat dari apa yang karenanya aku diutus. Maka,
ia mengetahui, beramal dan mengajar. Dan perumpamaan orang yang tidak melakukan
itu adalah seperti tanah yang curam dan tidak mampu menahan air serta tidak
dapat menumbuhkan rerumputan.” Wahai Saudaraku, jadilah orang yang berilmu dan
beramal. Dan janganlah engkau menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beramal.
Sebab, engkau akan menjadi seperti pelita atau lilin. Engkau terangi manusia,
sedangkan dirimu sendiri terbakar. Jika engkau berilmu, maka Allah memberimu
pemisah antara kebaikan dan keburukan (al-furqan) serta cahaya . pengamalannya
akan memberimu ilmu lain yang tidak pernah engkau ketahui berupa ilmu tentang
Allah dan memberimu manfaat di sisi Allah pada akhir hayatmu. Maka
bersungguh-sungguhlah untuk menjadi ulama yang beramal (al-‘’amilin),dan
memberi petunjuk (al-musrsyidin).
24. WASIAT IHWAL MENYEBARKAN
SALAM KEPADA HAMBA-HAMBA ALLAH
Hendaklah engkau mencintai
hamba-hamba Allah dari kalangan kaum Mukmin dengan menyebarkan salam,
menghidangkan makanan, dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Ketahuilah bahwa orang-orang Mukmin itu disatukan oleh satu jasad seperti
seorang manusia. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh lainnya
merasakan demam. Demikian pula halnya dengan seorang Mukmin. Jika saduaranya
sesama Mukmin mendapat musibah, maka
musibah itu seakan menimpa dirinya. Dia merasakan sakit yang diderita
saudaranya itu. Jika seorang Mukmin tidak melakukan hal itu pada seorang Mukmin
lainnya, maka sama sekali tidak ada persaudaraan dalam keimanan di antara
mereka. Allah telah mempersaudarakan kaum Mikmin sebagaimana Dia telah
mempersaudarakan anggota-anggota tubuh manusia. Dengan demikian, benarlah
perumpamaan dari Nabi saw., dalam sebuah hadis. Beliau bersabda : “Perumpamaan
orang-orang Mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang di antara sesama mereka
adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya menderita sakit, maka
anggota-anggota tubuh lainnya merasakan demam dan tidak dapat tidur.”
Ketahuilah bahwa seorang Mukmin sangat memperhatikan saudaranya. Al-Mu’min
adalah salah satu dari nama Allah berikut apa yang ada padanya di antara
makhluk-Nya berdasarkan bentuk berlakunya nasab. Seorang Mukmin adalah saudara
bagi seorang Mukmin lainnya. Ia tidak menundukkan dan tidak menelantarkannya.
Barangsiapa beriman kepada Allah – karena Allah juga adalah Al-Mu’min – maka
segenap perbuatan, ucapan dan hal ihwalnya
bisa dipercaya. Inilah ‘ishmah. Karena Allah adalah Al-Mu’min, maka Dia
benar dalam hal ini. Allah hanya mempercayai orang-orang orang-orang yang
benar. Mustahil Allah mempercayai
seorang pendusta, karena Allah pun mustahil berdusta. Tidak diragukan lagi, mempercayai dusta adalah dusta juga. Barangsiapa mempunyai keimanan
yang benar kepada Allah – karena Allah juga
adalah Al-Mu’min – maka tidak diragukan lagi bahwa sang hamba itu
termasuk orang-orang yang benar (al-shiddiqin) dalam segala urusannya dengan
Allah, karena ia meyakini bahwa Allah juga percaya kepadanya. Perhatikanlah apa
yang aku tunjukkkan dan aku wasiatkan tentang keimanan kepada Allah, karena
Allah adalah Al-Mu’min. Ambillah manfaat darinya. Tidak kuperlihatkan kepadamu
jalan yang akan mengantarkan kepada hal itu. Berpegang teguhlah kepada Allah. Barangsiapa
berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada
jalan lurus (QS. Alu ‘Imran, 3:101). Sesungguhnya Allah
berada di atas jalan yang lurus. Tak lain dan tak bukan, inilah yang telah
disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.
25. WASIAT IHWAL TIDAK MERASA
SUSAH ATAS MUSIBAH
Janganlah engkau merasa susah
mengenai musibah yang Allah timpakan atas hartamu. Barangsiapa di antara
keluargamu menyusahkanmu dengan apa yang dalam kehidupan sehari-hari dinamakan
musibah, maka ucapkanlah : “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un --.
Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali” (QS.
Al-Baqarah, 2:156) ketika musibah itu menimpamu. Dan ketika itu katakanlah
seperti apa yang diucapkan ‘Umar bin Al-Khaththab r.a “Tidak menimpaku suatu
musibah kecuali kau melihat bahwa dalam hal itu Allah memberiku tiga macam
kenikmatan. Kenikmatan pertama ialah karena musibah itu terjadi bukan dalam
agamaku. Kenikmatan kedua ialah karena yang terjadi bukanlah musibah yang lebih
besar dari musibah sebelumnya. Kenikmatan ketiga ialah bahwa dalam hal itu,
Allah tidak mengharuskan kepadaku membayar kifarat.” Karena itu, kita
berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan amalan kita. Ketahuilah bahwa
seorang Mukmin di dunia ini banyak mendapat musibah, karena Allah senang
menyucikannya sehingga ia kembali kepada-Nya dalam keadaan suci dan disucikan
dari kotoran kemaksiatan-kemaksiatan yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk
menentangnya. Seorang Mukmin senantiasa ditimpa musibah dalam ihwalnya yang biasa.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw., mengungkapkan hal itu : “Perumpamaan
seorang Mukmin, adalah seperti tumbuhan al-khamah, yang bergoyang diterpa
angin, kadang tegak dan kadang miring.”
26. WASIAT IHWAL MEMBACA DAN
MENGKAJI AL-QURAN
Hendeaklah engkau membaca
Al-Quran dan mengkajinya. Di saat engkau mengkajinya, perhatikanlah sifat-sifat
terpuji yang Allah sifatkan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Hendaklah
engkau juga memiliki sifat-sifat seperti itu. Dan perhatikan pula sifat-sifat
yang dicela Allah dalam Al-Quran yang dinisbatkan-Nya kepada orang yang
dibenci-Nya. Karenanya, jauhilah sifat-sifat itu. Allah menyebutkan sifat-sifat
itu kepadamu di dalam kitab-Nya serta mengenalkannya kepadamu hanya agar engkau
seperti apa yang terdapat di dalamnya. Berusahalah untuk menghafalnya dengan
mengamalkannya sebagaimana engkau menghafalnya melalui pembacaan. Tidak ada
orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Kiamat ketimbang orang yang
menghafal satu ayat dari Kitab Allah dan kemudian ia melupakannya. Demikian
pula halnya dengan orang yang menghafal satu ayat Al-Quran dan tidak
mengamalkannya. Maka, pada Hari Kiamat kelak, ayat itu menjadi saksi atas
dirinya dan menjadikannya menyesal. Rasulullah saw/. Mengngkapkan ikhwal orang
yang membaca Al-Quran dan orang yang tidak membacanya dari kalangan orang-orang
beriman Mukmin dan kaum munafik. Beliau besabda : “Perumpamaan seorang Mukmin
yang membaca Al-Quran adalah seperti jeruk sitrun berbau harum.” Yang
dimaksudkan di sini adalah tilawah dan qira’ah, dan itu adalah napas-napas yang
keluar. Hal itu diibaratkan dengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh napas “
..... Dan lezatnya.” Yang dimaksudkan adalah keimanan. Karena ini, beliau
bersabda : “Orang yang ridha bahwa Allah adalah Tuhannya, Islam adalah
agamanya, dan Muhammad saw., adalah Nabinya merasakan lezatnya keimanan.” Maka,
kelezatan dinisbahkan pada keimanan. Kemudian beliau bersabda : “Perumpamaan
seorang Mukminyang tidak membaca Al-Quran adalah seperti kurma yang lezat
rasanya.” Karena seorang Mukmin memiliki keimanan,” .... tetapi tidak berbau
harum.” Karena ia bukan pembaca dalam keadaan seperti orang yang membaca,
walaupun ia termasuk dalam golongan orang-orang yang menghafal Al-Quran.
Selanjutnya beliau bersabda : “Perumpamaan orang munafikk yang membaca Al-Quran
adalah seperti kasturi berbau harum.” Sebab Al-quran itu harum, yang tak lain
dan tak bukan adalah napas yang keluar ketika seseorang mambaca Al-Quran.” .... tetapi pahit rasanya.” Karena
kemunafikan adalah kekufuran tersembunyi, padahal manisnya keimanan ialah
dengan merasakan kelezatan keimanan itu. Kemudian beliau bersabda :
“Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah labu
yang pahit rasanya dan tidak memiliki bau yang harum.” Karena memang ia bukan
pembaca Al-Quran. Dari sisi ini, di dalam setiap perkataan yang baik terdapat
ridha Allah. Keridhaan seorang Mukmin dan seorang munafik berbentuk Al-Quran di
dalam perumpamaan ini, meskipun kedudukan Al-Quran tidak tersembunyi. Tidak ada
satu ucapan pun yang mendekati Allah bisa menyerupai kalam Allah. Karena itu, orang yang melantunkan zikir, ketika
berzikir kepada Allah, hendaknya menyertakan zikir-zikir yang termuat di dalam
Al-Quran. Dengan zikir itu, ia menyebut Nama Allah. Yang demikian ini
dimaksudkan agar ia membaca Al-Quran di dalam zikirnya. Apabila ia membaca
Al-Quran, maka ia menjadi peniru zikir yang dengannya Allah menyebut Zat-Nya.
Jika demikian halnya, maka ia telah menyetarakan dirinya dalam kedudukan Tuhannya.
Allah SWT berfirman : “Maka lindungilah ia sehingga dapat mendengar firman
Allah (QS. At-Taubah, 9:6). Juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah berfirman
melalui lisan hamba-Nya, Sami’allahu li man hamidahu --- Allah mendengar orang
yang memuji-Nya.” Dan dikatakan kepada pembaca Al-Quran pada Hari Kiamat :
“Bacalah dan naiklah.” Kenaikannya di dunia pada hari-hari taklif (ayyam at
taklif) dalam bacaannya berarti ia naik dari bacaannya menuju bacaan-Nya,
karena Allah lah yang membaca melalui lisan hamba-Nya – persis sebagaimana Dia
menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang
dengannya ia melihat, menjadi kedua
tangannya yagn dengannya ia bertindak, dan menjadi kedua kakinya yang dengannya
ia berjalan dan berlari. Begitu pula, Dia adalah lisannya yang dengannya ia
berbicara. Ia tidak memuji Allah, bertasbih dan bertahlil kepada-Nya dengan apa
yang terdapat di dalam Al-Quran, sebab Al-Quran memang dijadikan untuk itu. Dia
naik dari bacaannya sendiri menuju menuju bacaan Tuhannya. Maka, Allah lah yang
membaca Kitab-Nya. Pada Hari Kiamat, ia naik pada ayat Al-Quran yang terakhir
dibacanya, dan ia berdiri di situ hingga sampai pada derajat yang sesuai dengan
ayat itu, yang dibaca oleh Allah melalui lisan hamba-Nya ini dengan kehadiran
hamba-Nya yang membacanya. Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah yang khusus
dan dikenal.
27. WASIAT IHWAL DUDUK BERSAMA
ORANG YANG MENGAMBIL MANFAAT DARI PERCAKAPANNYA DALAM MASALAH AGAMA
Hendaklah engkau duduk bersama
orang yang majelisnya bermanfaat dalam agamamu berupa ilmu, amal dan akhlak
mulia yang engkau peroleh manfaatnya. Jika manusia duduk bersama orang yang
majelisnya mengingatkan dirinya akan hari akhirat, maka ia mesti meraskan
manisnya dalam kadar yang Allah berikan kedadamu. Jika teman duduknya adalah ini, maka ia menjadikan Allah
sebagai teman duduknya untuk berzikir. Zikir dengan Al-Quran adalah sebaik-baik
zikir. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan adz-dzikr
(QS. Al-Hijr, 15:9). Adz-Dzikr adalah Al-Quran. Dan firman-Nya : “Aku adalah
teman duduk bagi orang-orang yang berzikir kepada-Ku.” Rasulullah saw.,
bersabda : “Mereka – ahli Al-Quran – adalah pengikut Allah dan
kepercayaan-Nya.” Dan para malaikat pilihan adalah teman duduknya dalam
sebagian besar keadaannya. Allah memiliki akhlak, yaitu al-asma’ al-husna
al-ilahiyah” (Nama-nama Indah Allah). Barangsiapa menjadikan Allah sebagai teman duduknya, maka ia menjadi
kekasih Allah. Ia pasti memperoleh kemuliaan akhlaknya selama dalam majelisnya
itu. Barangsiapa duduk pada suatu kaum yang berzikir kepada Allah, maka Allah
menjadikannya bersama mereka dalam memperoleh rahmat-Nya. Mereka adalah
orang-orang yang teman duduknya tidak menyebabkan diri mereka celaka. Mana
mungkin orang yang menjadikan Allah sebagai teman duduknya bisa celaka?
Disebutkan di dalam sebuah hadis : “Teman duduk yang saleh adalah seperti
pemilik minyak wangi. Kendati engkau tidak mendapatkan minyaknya, tak urung
engkau mendapatkan wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jahat adalah
seperti pemilik perapian. Kendati engkau tidak mendapat percikan api, tak urung
engkau mendapat asapnya.” Karena itu, orang yang bergaul dengan
orang-orang yang ragu-ragu akan menjadi ragu-ragu juga, lantaran kebanyakan
manusia berburuk sangka kepada orang
lain ihwal kejelekan batin mereka. Di sini ada faedah yang aku ingatkan
kepadamu, yang telah dilalaikan manusia – yaitu, jika engkau melihat orang yang
bergaul dengan orang-orang jahat dan ia bersikap baik kepadamu, janganlah
engkau berburuk sangka kepadanya
disebabkan persahabatannya dengan orang-orang jhat itu. Bahkan hendaknya engkau
berbaik sangka kepada orang-orang yang jahat itu disebabkan oleh
persahabatannya dengan orang baik itu. Hubungkanlah mereka itu dengan kebaikan,
dan jangan hubungkan dengan kejahatan, sebab – pada Hari Kiamat kelak – Allah
tidak menanyai seseorang ihwal prasangka baiknya kepada makhluk. Dia hanya akan
menanyainya ihwal prasangka buruknya kepada makhluk. Cukuplah sduah nasihat dan
wasiat ini bagimu jika engkau memang mau menerima dan mengetahuinya. Hati orang
yang berzikir kepada Tuhannya selalu bertautan dengan kematian dan tidak pernah
terputus. Ia tetap hidup – meskipun sudah mati – dengan kehidupan yang baik dan
lebih sempurna ketimbang kehidupan seorang yang gugur di jalan Allah. Akan
tetapi, orang yang gugur di jalan Allah berada di antara golongan orang-orang
yagn syahid dan kehdiupan orang yang senantiasa berzikir kepada Allah. Orang yang senantiasa berzikir kepada Allah tetap hidup, meskipun ia sudah
mati. Sebaliknya, orang yang tidak berzikir kepada Allah sesungguhnya sudah
mati, kendati di dunia ini ia masih hidup, sebab ia hidup dengan kehidupan
hewani. Seluruh isi alam ini
hidup dengan kehidupan zikir. Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya
dan yang tidak berzikir kepada-Nya adalah seperti orang hidup dan orang mati.
Demikian Rasulullah saw., memberikan perumpamaan. Yang kumaksudkan dalam
wasiatku kepadamu tentang zikir ini ialah bahwa seorang yang berzikir kepada
Allah lebih utama ketimbang seorang syahid yang tidak berzikir kepada-Nya.
Ketika diriwayatkan sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw., yang berbunyi : “Maukah
aku katakan kepadamu ...?” Atau seperti sabdanya : “Mana yang lebih baik bagimu
bila engkau bertemu dengan musuh-musuhmu --- mereka memukul kudukmu atau engkau
memukul kuduk mereka? (yang lebih baik) adalah zikir kepada Allah.” Beliau
menyebutkan pemukulan kuduk sebagai syahadah (keyakinan). Zikir seorang hamba
kepada Tuhannya lebih utama ketimbang gugurnya seorang syahid. Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa orang yang berzikir kepada Allah sesungguhnya tetap
hidup. Dari riwayat itu dipahami bahwa kehidupan seorang yang berzikir kepada
Allah lebih baik ketimbang kehidupan seorang syahid yang tidak berzikir
kedapa-Nya.
28. WASIAT IHWAL MENEGAKKAN
HUKUM ALLAH ATAS DIRI SENDIRI
Hendaklah engkau menegakkan
hukum (hudud) Allah atas dirimu sendiri dan atas orang-orang yang berada di
bawah kekuasaanmu, karena engkau akan diminta pertanggunganjawab oleh Allah
tentang hal itu. Jika engkau memiliki kekuasaan, pastikan engkau dapat menegakkan
hukum Allah atas orang yang Allah kuasakan kepadamu. Kullukum ra’in wa mas’ulun
‘an ra’iyatihi – kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai
petanggunjawaban atas kepemimpinannya. Yang demikian itu, tak lain dan tak
bukan, berarti menegakkan hukum Allah kepada diri mereka. Sekurang-kurangnya,
kepemimpinan itu adalah kepemimpinanmu atas dirimu sendiri dan segenap anggota
tubuhmu. Tegakkan hukum Allah atas dirimu hingga atas kekuasaan yang paling
besar. Engkau adalah wakil Allah atas segala hal dalam dirimu dan bahkan lebih
besar dari itu. Sebuah hadis meriwayatkan ihwal seorang yang menegakkan hukum
Allah dan yang menentangnya. Rasulullah saw., memberikan perumpamaan mengenai
keduanya : “Sekelompok orang menaiki sebuah bahtera. Sebagian menempati bagian
atas dan sebagian lainnya menempati bagian bawah. Orang-orang yang berada di
bawah, jika ingin minum, harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas.
Lau, mereka mengatakan, ‘Kita buat saja lubang pada tempat kita agar tidak
mengganggu orang-orang yang berada di atas kita. Jika engkau membiarkan mereka
melakukan apa yang mereka kehendaki; pasti binasalah mereka semua.
Wahai kekasihku, jika seorang
pemberi peringatan mengingatkan dan memerintahkanmu untuk berbuat kebaikan,
maka yang demikian itu adalah langkah malaikat. Kemudian, sesudah itu,
datanglah pemberi peringatan yang lain. Ia mencegahmu berbuat kebaikan, maka
yang demikian itu adalah langkah setan. Engkau bisa mengetahui kebaikan dan
kejahatan hanya dengan mengetahui syariat. Jika seorang pemberi peringatan
memperingatkanmu dan ia memerintahkanmu untuk berbuat kejahatan, maka yang
demikian itu adalah langkah setan. Jika kemudian datang pemberi peringatan dan
ia mencegahmu beruat kejahatan, maka yang demikian itu adalah langkah malaikat.
Engkau ibarat bahtera. Jika bahtera itu dilubangi, maka binasalah seluruh yang
ada pada dirimu. Hendaklah engkau mengetahui syariat. Engkau tidak akan
mengetahui hukum-hukum Allah kecuali sesudah menegakkannya, dan tidak mengenali
orang yang menentangnya di antara orang-orang yang menegakkannya kecuali
setelah mereka mengetahui syariat. Pastikan dirimu menuntuk ilmu syariat agar
bisa menegakkan hukum-hukum Allah.
29. WASIAT IHWAL SEDEKAH DAN
ORANG-ORANG YANG BERSEDEKAH
Hendaklah engkau bersedekah,
karena Allah telah menyebutkan orang-orang yang bersedekah, baik laki-laki atau
perempuan. Ada sedekah wajib dan sedekah sunat. Termasuk sedekah wajib adalah
zakat, dan sedekah sunat adalah sedekah yang dikeluarkan secara sukarela. Sedekah wajib menghilangkan sifat bakhil dari
dirimu, dan sedekah sunat mengantarkanmu pada derajat paling tinggi. Dengan
sedekah, engkau dibalur dengan sifat-sifat kemuliaan dan kedermawanan.
Waspadalah dan berhat-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan.
Kemudian, di dalam hartamu,
terdapat kewajiban tambahan selain zakat yang diwajibkan. Jika engkau melihat
saudaramu dalam kesusahan dan engkau tidak memberikan kelebihan dari hartamu
kepadanya, maka ia dan keluarganya akan binasa, sekiranya ia memiliki keluarga
atau memang sendirian. Pastikan engkau menolongnya dengan memberikan sebagian
dari hartamu, entah dalam bentuk hibah atau berupa pinjaman. Engkau harus
memberinya. Pemberian itu adalah sedekah. Aku pernah mendengar sebagian ulama
kita di Sevilla (sebuah kota di Andalusia atau Spanyol Muslim. Pen) menuturkan
sebuah hadis : “Apakah ada yang lainnya?”
-- yaitu selain zakat yang dwajibkan. “Rasulullah saw., menjawab (Tidak ada) kecujali (yang engkau keluarkan) secara sukarela.” Ahli fiqih itu berkata kepadaku, “Maka, yang demikian itu wajib atas dirimu.” Aku membenarkannya. Allah menamai manusia sebagai mutashaddiq (yang memberi sedekah) dan menamai pemberian itu sebagai shidqah(sedekah), yang wajib maupun yang sunah, lantaran ia memberikannya kesengsaraan atas dirinya. Pada mulanya dan asal-usul kejadiannya, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan berkeluh kesah. Jika mendapatkan kesengsaraan, ia gelisah, dan jika memperoleh kebaikan, ia kikir lantaran berwatak bakhil. Mengani orang ini Allah SWT berfiman : “Dan manakala mendapat kebaikan, ia amat kikir (QS. Al-Ma’arij, 70:21). Tentang keutamaan sedekah dan waktu mengeluarkannya, Rasulullah saw., bersabda : “Hendaklah engkau bersedekah di saat engkau dalam keadaan bakhil lantaran takut mendapati kefakiran dan mengangankan kehidupan serta kekayaan.” Allah Swt berfirman : “Dan barangssiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr, 59:9) dan QS At-Taghabun, 64:16), yaitu, mereka yang selamat. Sebab, jika manusia memiliki kekayaan dan mengangankan kehidupan, maka ia akan takut menghadapi kefakiran dan kehilangan harta yang digenggamnya karena pengaruh waktu dan angan-angannya sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya bersikap bakhil atas harta yang dimilikinya, tidak mau bersedekah, dan tidak memberikan kebaikan yang telah Allah neugerahkan kepadanya atas orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Karena itu, ia menimbun hartanya, tidak menginfakkannya, dan tidak pula menunaikan zakatnya yang – disebabkan oleh harta itu pula – perut, dahi dan punggungnya bakal disetrika, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah tentang mereka. Pada hari emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam. Lalu disetrika dengannya dahi-dahi mereka, perut, dan punggung mereka, dan (kemudian dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dan) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Tawbah, 9:35). Ketika ia menahan hak yang wajib darinya berupa zakat dan pinjaman, maka – disebabkan pentingnya – pemberian ini pun dinamakan sedekah. Bahkan dikatakan, rumhshidq, yaitu tulang punggung. Rasulullah saw., membuat perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah : “Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah itu ibarat dua orang yang memiliki jubah dari besi yang merusakkan kedua tangan hingga lehernya.” Setiap kali orang yang suka bersedekah memberikan sedekah, jubahnya pun mengembang hingga menutup jari-jarinya dan menghapus bekasnya. Dan setiap kali orang yang bakhil itu terpaksa memberikan sedekah, maka setiap lingkaran pun mengerut dan mengambil tempatnya.
-- yaitu selain zakat yang dwajibkan. “Rasulullah saw., menjawab (Tidak ada) kecujali (yang engkau keluarkan) secara sukarela.” Ahli fiqih itu berkata kepadaku, “Maka, yang demikian itu wajib atas dirimu.” Aku membenarkannya. Allah menamai manusia sebagai mutashaddiq (yang memberi sedekah) dan menamai pemberian itu sebagai shidqah(sedekah), yang wajib maupun yang sunah, lantaran ia memberikannya kesengsaraan atas dirinya. Pada mulanya dan asal-usul kejadiannya, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan berkeluh kesah. Jika mendapatkan kesengsaraan, ia gelisah, dan jika memperoleh kebaikan, ia kikir lantaran berwatak bakhil. Mengani orang ini Allah SWT berfiman : “Dan manakala mendapat kebaikan, ia amat kikir (QS. Al-Ma’arij, 70:21). Tentang keutamaan sedekah dan waktu mengeluarkannya, Rasulullah saw., bersabda : “Hendaklah engkau bersedekah di saat engkau dalam keadaan bakhil lantaran takut mendapati kefakiran dan mengangankan kehidupan serta kekayaan.” Allah Swt berfirman : “Dan barangssiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr, 59:9) dan QS At-Taghabun, 64:16), yaitu, mereka yang selamat. Sebab, jika manusia memiliki kekayaan dan mengangankan kehidupan, maka ia akan takut menghadapi kefakiran dan kehilangan harta yang digenggamnya karena pengaruh waktu dan angan-angannya sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya bersikap bakhil atas harta yang dimilikinya, tidak mau bersedekah, dan tidak memberikan kebaikan yang telah Allah neugerahkan kepadanya atas orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Karena itu, ia menimbun hartanya, tidak menginfakkannya, dan tidak pula menunaikan zakatnya yang – disebabkan oleh harta itu pula – perut, dahi dan punggungnya bakal disetrika, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah tentang mereka. Pada hari emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam. Lalu disetrika dengannya dahi-dahi mereka, perut, dan punggung mereka, dan (kemudian dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dan) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Tawbah, 9:35). Ketika ia menahan hak yang wajib darinya berupa zakat dan pinjaman, maka – disebabkan pentingnya – pemberian ini pun dinamakan sedekah. Bahkan dikatakan, rumhshidq, yaitu tulang punggung. Rasulullah saw., membuat perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah : “Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka bersedekah itu ibarat dua orang yang memiliki jubah dari besi yang merusakkan kedua tangan hingga lehernya.” Setiap kali orang yang suka bersedekah memberikan sedekah, jubahnya pun mengembang hingga menutup jari-jarinya dan menghapus bekasnya. Dan setiap kali orang yang bakhil itu terpaksa memberikan sedekah, maka setiap lingkaran pun mengerut dan mengambil tempatnya.
Berhati-hatilah engkau dalam
menghadapi kebakhilan, karena kebakhilan itu menjatuhkanmu dan menyeretmu ke
lembah kebinasaan di dunia dan di akhirat. Kebakhilan itu tidak membuatmu mulia
dan dipercaya kecuali dengan menggunakan ilmu. Jika engkau mengetahui bahwa
rezekimu tidak dimakan dan tidak dapat
menghidupi orang lain, kendati penghuni langit dan bumi berkumpul untuk
menghalangi antara engkau dan rezekimu,
niscaya mereka tidak akan mampu. Jika engkau mengetahui bahwa rezeki orang lain
berada dalam kekuasaanmu, hendaklah engkau menyerahkan kepadanya sehingga ia
bisa makan dan dapat hidup dengannya. Jika penghuni langit dan bumi berkumpul
untuk menghalangi orang itu dari rezeki yang ada dalam penguasaanmu, maka
mereka tidak akan mampu. Serahkanlah hartanya kepadanya, jika pemberi
peringatan mengingatkanmu untuk bersedekah. Dengan begitu, engkau memiliki
sifat kemuliaan dan pujian yang baik. Engkau hanya memberikan kepadanya apa
yang menjadi miliknya berupa hak di sisi Allah, dan engkau pun terpuji. Jika
engkau mengetahui hal ini, maka mudah bagimu untuk mengeluarkan apa yang engkau
miliki. Dengan berbuat demikian, engkau menjadi orang mulia dan dimasukkan ke dalam
golongan orang-orang yang suka bersedekah. Jika engkau mengeluarkannya dengan
keraguan dan dengan susah payah, dan dirimu mengikutinya, maka dengan itu
engkau melihat bahwa engkau memiliki keutamaan atas orang yang engkau beri
ketenangan. Berhati-hatilah engkau agar jangan bersikap masa bodoh dalam
menghadapi seseorang, sebagaimana engkau suka agar orang lain pun tidak
bersikap masa bodoh kepadamu. Di dalam ta’awudz-nya, Rasulullah saw., bersabda
: “Dan aku berlindung kepada-Mu dari tidak mengetahui dan tidak diketahui.”
Barangsiapa bertindak kepadamu dengan ilmu, maka ia telah berlaku adil
kepadamu.
30. WASIAT IHWAL JIHAD AKBAR
Hendaklah engkau melakukan
jihad paling besar (al-jihad al-akbar), yaitu jihad melawan hawa nafsumu
sendiri, karena hawa nafsu adalah musuhmu yang paling besar dan paling
dekat mengelilingimu. Ia ada di dalam
dirimu. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir yang ada di sekitarmu (QS. At-Tawbah, 9:123). Tidak ada yang paling keras
kekufurannya kepada dirimu selain hawa nafsumu. Ia ada dalam setiap tarikan
nafas yang keluar, dan mengingkari nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau berjihad melawan dirimu sendiri dengan
jihad yang dapat membebaskanmu ini, maka inilah jihad terakhir melawan
musuh-musuhmu. Jika engkau terbunuh dalam jihad ini, maka engkau
termasuk di antara para syuhada’ yang hidup dan memperoleh rezeki di sisi Tuhan
mereka. Mereka senang dengan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa
karunia-Nya, dan mereka memperoleh kabar gembira tentang orang-orang yang akan
menyusul mereka di belakang mereka. Engkau telah mengetahui keutamaan mujahid (
orang yang berjihad) di jalan Allah, yang berjihad hingga kembali kepada
keluarganya dengan membawa apa yang diperoleh berupa ganjaran atau ghanimah (harta
rampasan perang. Pen). Ia seperti orang yang berpuasa, menegakkan salat malam,
dan berqunut dengan ayat-ayat Allah, yang tidak pernah berhenti dari salatnya
dan tidak pula berhenti dari puasanya hingga sang mujahid itu kembali. Engkau
mengetahui di dalam hadis sahih bahwa puasa itu tidak ada bandignannya. Jihad
telah menempati kedudukan puasa dan salat itu. Hal ini telah diriwayatkan dari
Rasulullah swa. Inilah jihad wajib yang ditentukan, dan – tidak lain tidak –
manusia berbuat kemaksiatan dengan meninggalkannya.
Seorang hamba berilmu dan
berpengetahuan (al-‘alim) yang tulus tidak bakal membiarkan dirinya menjadi
orang yang surut dari melakukan jihad dalam agamanya untuk selama-lamanya,
karena hal itu merupakan puncak penyimpangan yang diserukan oleh Allah SWT.
Pada dasarnya. Pada dasarnya, orang seperti ini mengikuti hawa nafsunya sendiri
yang mendudukan dirinya pada kedudukan kehendak dalam hal Allah. Allah
melakukan apa yang dikehendaki-Nya,s edangkan kita semua adalah
hamba-hamba-Nya, dan untuk itu tidak ada larangan bagi-Nya. Manusia pun ingin
melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya. Akan tetapi, untuk itu ada
larangan baginya, dan yang demikian itu bukanlah kehendak mutlak. Inilah sebab
yang mengantarkan dirinya senantiasa menjadi sorang mujahid. Karena itu,
orang-orang yang memiliki semangat (ashhab al-himam) menggapai derajat golongan
orang-orang yang sangat mengenal dan mengetahui Allah (al-‘arifin billah)
hingga kehendak merekapun adalah kehendak Allah juga. Mereka menghendakis egala
sesuatu yang dikehendaki Allah, yaitu menjadi makhluk-Nya. Mereka
menghendakinya karena Allah berkehendak menciptakannya, dan mereka membenci sesuatu
sama seperti halnya Allah membencinya. Dia menyifati diri-Nya bahwa Dia tidak
menyukai hal itu. Dia menghendakinya tetapi tidak menyukainya. Dan dalam
kehendaknya itu juga, ia menghendaki dan membencinya jika ia hendak menjadi
seorang Mukmin. Jika tidak, maka ia terlepas dari keimanan – na’udzu billah min
dzalik. Sebab, yang demikian itu adalah haram. Inilahd kebenaran yang sangat
dibenci, seperti yang engkau katakan dalam menggunjing (ghibah) : “Menggunjing
(ghibbah) adalah kebenaran yang dilarang.”
31. WaSIAT IHWAL
MENYEMPURNAKAN WUDHU
Hendaklah engkau
menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak engkau sukai, yaitu ketika udara
yang terasa sangat dingin. Berhati-hatilah engkau agar jangan merasa nyaman
dengan menggunakan air di saat udara panas, sehingga engkau menyempurnakan
wudhumu lantaran engkau merasa nyaman dengan menggunakan air di saat udara
panas. Engkau mengira bahwa engkau termasuk di antara orang-orang yang menyempurnakan wudhu demi
ibadah, padahal engkau menyempurnakan wudhumu hanya lantaran merasa nyaman
disebabkan keadaan dan udara yang sangat panas. Jika engkau menyempurnakan
wudhumu di saat udara sangat dingin, maka yang demikian itu adalah ibadah
bagimu. Rasulullah saw., bersabda : “Kebaikan itu adalah yang biasa dilakukan.”
Milikilah niat itu di saat udara sangat panas. Jika hawa nafsumu menguasai
dirimu untuk menyempurnakan wudhumu lantaran dengan itu engkau merasa nyaman,
maka ketahuilah bahwa perasaan nyaman di sini hanyalah sekedar untuk menolak
dan menghilangkan rasa panas saja. Niatkanlah hal itu untuk menolak rasa panas
dari dirimu. Dalam menolak bahaya dari dirimu, engkau diberi pahala. Tidaklah engkau memperhatikan bagaimana Allah
mengharamkan surga bagi orang yang bunuh diri? Hak diri atas pemilknya lebih
besar ketimbang hak orang lain atas
dirinya. Demikianlah pula, orang yang menolak rasa sakit dari dirinya sendiri
pun diberi pahala. Dengan menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak
disukai, Allah mengangkat derajat hamba-Nya, dan menghapus segala kesalahannya.
Rasulullah saw;, bersabda : “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang
dengannya Allah menghapus segala kesalahan dan mengangkat derajat? Yaitu
menyempurnakan wudhu di sat yang tidak disukai.” Inilah penghapus kesalahan.
Inilah pembersih dan penyucian. Selanjutnya beliau bersabda : “Dan memperbanyak
langkah ke masjid.” Ini adalah pengangkat derajat. Ia adalah jalan mendaki dan
di saat berjalan kaki. Kemudian di akhir hadis itu, beliau bersabda : “Dan
menunggu salat setelah salat. Inilah ar-ribath. Itulah ar-ribath. Itulah
ar-ribath.” Ar-ribath adalah ketetapan yang mengikat sesuatu. Dengan penantian
itu, ia telah menetapkan dirinya. Karena itu, ia mengikat salat itu dengan
salat yagn dinanti dengan cara mendekati datangnya waktu agar ia menunaikan
salat pada waktunya. Adakah ketetapan yang lebih agung dari ini? Sebab, satu
hari terbagi ke dalam lima waktu salat. Dia selesai menunaikan satu saalt
karena ia telah menetapkan dirinya untuk mendekati datangnya waktu yang lain sehingga berakhir satu hari itu dan
kemudian datang hari lain. Ini terjadi terus menerus demikian sehingga – dalam
suatu masa – tidak ada yang menghalangi waktu menunaikan salat. Karena itu,
Rasulullah saw., menegaskannya dengan mengucapkan kalimat itu tiga kali.
Perhatikanlah pengetahuan Rasulullah
saw., ihwal berbagai hal, sehingga beliau menurunkan setiap amal di dunia dalam
kedudukannya di akhirat serta menetapkan hukumnya dan memberikan haknya. Beliau
menyebutkan wudhu, perjalanan dan penantian. Dan beliau menyebutkan
penghapusan, pengangkatan derajat, dan pengikatan sebanyak tiga kali. Ini
menunjukkan kesaksiannya atas tempat-tempat yang mengandung hikmah. Dari sini
dan yang serupa dengannya, beliau bersabda ihwal dirinya sendiri : “Karena aku
dianugerahi perkataan-perkataan yang lengkap.”
32. WASIAT IHWAL MENJAGA HAK
SETIAP ORANG MUSLIM
Hendaklah engkau memperlakukan
setiap orang Muslim sebagai Muslim. Perlakukanlah mereka secara sama
sebagaimana Islam memandang sama dalam wujud mereka. Jangan engkau katakan :
“Orang ini memiliki kekuasaan, pangkat, harta, dan besar. Sementara itu, orang
ini kecil, fakir dan hina. Jangan engkau menghianati janji orang kecil, dan
juga janji orang besar. Jadikanlah Islam sebagai satu tubuh, dan kaum Muslim
sebagai organ-organ tubuh itu. Ini menunjukkan bahwa Islam hanya memiliki wujud
dengan adanya kaum Muslim, persis sebagaimana halnya manusia tidak memiliki
wujud kecuali dengan adanya anggota-anggota tubuhnya dan sekumpulan kekuatan
yang tampak dan yang tersembunyi. Yang kami sebutkan in ilah yang diperhatikan
Rasulullah saw., di dalam sabdanya : “Darah kaum Muslim adalah sama.
Sebagaimana dari mereka melindungi orang yang lemah di antara mereka. Mereka
ibarat satu tangan bagi orang selain diri mereka.” Dan beliau juga bersabda :
“Kaum Muslim seperti satu tubuh. Jika matanya terasa sakit, maka seluruh
anggota tubuhnya pun terasa sakit. Dan jika kepalanya terasa sakit, maka
seluruh anggota tubuhnya terasa sakit
juga.” Dengan perumpamaan ini, maka tempatkanlah segala sesuatu pada tempat
semestinya, sebagaimana engkau memperlakukan setiap anggota tubuhmu secara
layah dan sesuai dengan penciptaannya. Maka terpejam penglihatanmu dari perkara
yang tidak diberikan pendengaran, dan engkau gerakkan tanganmu dalam hal yang
tidak dilakukan kakimu. Demikianlah seluruh kekuatanmu. Engkau menempatkan
setiap anggota tubuhmu pada tempat yang sesuai dengan penciptaannya.
Jika orang-orang Muslim
berkumpul di dalam Islam, maka perlakukanlah mereka secara sama. Berikanlah hak orang berilmu, yakni penghormatan dan perhatian pada
ucapannya. Berikanlah hak orang tak berilmu, yakni peringatan dan perhatianmu
kepadanya untuk menuntut ilmu dan kebahagiaan. Berikanlah hak orang yang lalai
agar ia sadar dari kelalaiannya dengan mengingatkan apa yang dilalaikannya,
yang diketahuinya tetapi ia tidak menggunakan ilmunya itu. Demikian pula halnya
kepada orang yang taat dan yang menyimpang. Berikanlah hak seorang pemimpin
dengan mendengar dan menaati apa yang boleh engkau lakukan dan tinggalkan.
Engkau wajib mendengarkan dan menaati perintah dan larangannya. Kembalilah
engkau kepada perintah dan larangan seorang pemimpin. Apa yang sebelumnya boleh
dilakukan lantas menjadi wajib atau terlarang dengan hukum yang disyaratkan
Allah di dalam firman-Nya : ..... Dan
orang-orang yang berkuasa di antara kamu (QS. An.Nisa, 4:59). Berikanlah hak
orang kecil, yakni keramahan, kasih sayang dan belas kasihan kepadanya.
Berikanlah hak orang besar, yakni kemuliaan dan penghormata. Termasuk dalam
sunah Nabi ialah menyayangi yang kecil dan menghormati yang besar, serta
mengenal kemuliaannya. Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda
: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil di
antara kami dan tidak mengenal kemuliaan yang besar di antara kami.” Dan dalam
hadis lain disebutkan : “ ..... Dan menghormari yang besar di antara kami.”
Hendaklah engkau menyayangi
seluruh makhluk dan melindungi mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah dan
ciptaan-Nya, kendati mereka berbuat maksiat. Sebagian dari mereka memiliki
kelebihan atas sebagian lainnya. Jika engkau beruat demikian, maka engkau akan
diberi pahala. Karena Rasulullah saw., bersabda : “Bagi setiap orang yang
memiliki maksud yang baik terdapat pahala.” Tidakkah engkau pernah
memperhatikan sebuah hadis yang mengungkapkan ihwal seorang wanita pelacur. Ada
seorang wanita pelacur dari kalangan Bai Israil melewati seekor anjing yang
sedang menjulurkan lidahnya karena kehausan dan depan sebuah sumur. Ia memberi
minum anjing itu. Maka Allah mensyukuri peruatannya, dan karena anjing itu Dia
mengampuni dosanya.
Al-Hasan Al-Wajib, seorang
pengajar masalah kriminalitas dan berasal dari Persia, mengabarkan kepadaku
tentang pemimpin Bukhara : “Ia seorang yang zalim dan mengabaikan dirinya.”
Maka, pada suatu hari yang sangat dingin, ia melihat seekor anjing yang pucat
wajahnya. Anjing itu menggigil karena kedinginan. Lalu ia memerintahkan
sebagian pekerjanya membawa anjing itu ke rumahnya. Ia menempatkannya di tempat
yang hangat, memberi makan, minum dan menhyelimutinya. Pada suatu malam, ia
bermimpi di dalam tidurnya atau mendengar suara bisikan (hatif) – aku lupa –
yang mengatakan kepadanya : “Wahai Fulan, semula engkau adalah seekor anjing,
maka kami berikan engkau kepada anjing.” Setelah itu, ia sempat hidup selama
beberapa hari saja dan akhirnya meninggal. Ia mendapat tempat kesyahidan yang
agung karena belas kasihannya kepada seekor anjing. Bagaimanakah sikap
seorang Muslim kepada seekor anjing? Berbuatlah kebaikan dan jangan peduli
kepada siapa engkau beruat kebaikan itu. Jadilah engkau penyejuk baginya.
Tampakkan sifat-sifat terpuji yang merupakan akhlak mulia sebagai perhiasanmu.
Jadilah engkau tempat bersemayamnya sifat-sifat terpuji itu karena kemuliaannya
di sisi Allah dan pujian Allah atasnya. Carilah keutamaan dan jauhi ketercelaan. Jadikanlah manusia mengikuti apa
yang engkau tidak hidup bersama celaan dan tidak pula bersama pujian mereka,
melainkan engkau mendapatkan keutamaan paling luhur jika engkau ingin bersama
orang-orang bijak dan arif (hukuma) yang berperilaku dengan adab-adab Allah,
yang disyariatkan-Nya kepada kaum Mukmin melalui lisan para Nabi-Nya.
Ketahuilah bahwa seorang
Mukmin dengan seorang Mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan kokoh, yang satu
sama lain saling menguatkan. Segala
sesuatu di alam ini pasti bersujud kepada Allah, kecuali sebagian dari
sekelompok jin dan manusia. Di antara manusia, ada banyak orang yang bertasbih
dan bersujud kepada Allah. Dan di antara mereka, ada pula yang tidak mau
bersujud kepada Allah. Mereka pantas beroleh azab dan siksaan. Perhatikanlah
firman Allah SWT : “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu sekalian,
.... (QS. An-Nisa’, 4:136). Mereka disebut kaum Mukmin dan diperintahkan untuk
beriman.
Yang pertama adalah keimanan
dalam pengertian umum. Allah berfirman tentang hak suatu kaum : Dan orang-orang
yang beriman kepada yang batil, ..... (QS. Al-Ankabut, 29:52).
Yang kedua, adalah keimanan
dalam pengertian khusus, yakni yang diperintahkan. Yang pertama adalah
pengakuan mereka yang tidak berhubungan dengan kewajiban (taklif), tetapi
bersangkut-paut dengan ilmu. Ia memudahkan keimanan anak-anak Adam ketika Dia
mengambil kesaksian atas diri mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka, ..... (QS. Al-A’raf,
7:172), yakni kesaksian atas diri mereka dengan keimanan di alam perjanjian
(dar al-mitsaq). Dia berbicara kepada mereka. Kemudian Dia memerintahkan mereka
agar berima dalam keadaan lain ini serta yang mengantarkan menuju tawhid mutlak
sebagai rasa kasih sayang kepada mereka. Allah SWT berfirman :
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (QS. Yusuf, 12:106). Syirik dalam ayat itu
adalah syirik tersembunyi, sebagaimana
yang telah kami sebutkan. Karena itu, Dia berkata kepada mereka : “Berimanlah
kamu kepada Allah.” Dia tidak mengatakan agar mereka beriman kepada keesaan
Alah (tawhid). Barangsiapa beriman kepada wujud Allah, maka telah beriman. Dan
barangsiapa mengimani tawhid-Nya, maka ia tidak mempersekutukan-Nya. Keimanan
adalah penegasan (itsbat), dan keesaan Allah (tawhid) ialah menafikan
persekutuan.
Di antara nama-nama Allah
adalah Al-Mu’min. Dia menolong makhluk yang beriman. Rasulullah saw, bersabda :
“Allah merahmati saudara, Luth. Dia berlindung kepada suadara yang kokok.”
Itulah nama Al-Mu’min menolong orang Mukmin. Pahamilah itu!!!
33. WASIAT IHWAL BERGAUL
DENGAN BAIK KEPADA SESAMA MANUSIA
Beruatlah engkau seperti apa
yang dilakukan ‘Umar. ‘Umar bin Al-Khththab berkata : “Barangsiapa menipu kami
di jalan Allah, maka kami telah terperdaya olehnya.” Berhati-hatilah wahai
ssaudaraku, jika engkau melihat seseorang menipumu di jalan Allah, sedang
engkau tahu bahwa tipuannya itu ditujukan kepadamu. Termasuk di antara akhlak
mulia ialah bahwa engkau tertipu olehnya, sedangkan ia tidak memberitahukan
bahwa engkau mengetahui tipuannya. Ia berpura-pura bodoh sehingga mengalahkan
prasangkanya bahwa tipuannya telah berpengaruh kepadamu. Ia tidak menyadari
bahwa engkau mengetahui hal itu. Sebab, jika engkau melakukan sifat seperti
itu, maka engkau telah memenuhi perkara yang menjadi haknya. Engkau hanya
mempengaruhi sifat yang tampak olehmu saja. Seseorang harus bergaul dengan
manusia karena sifat-sifat mereka, dan bukan karena keberadaan mereka. Tidaklah
engkau perhatikan bahwa jia ia jujur dan tidak menipu, maka engkau wajib
mempergaulinya dengan apa yang tampak olehmu pada dirinya? Dan ia akan berbahagia
dengan kejujurannya, sebagaimana ia akan menderita karena tipuan dan
kemunafikannya. Penipu itu, adalah seorang
munafik. Engkau tidak usah mengungkap kejelekannya dalam tipuannya dan bersikap
masa bodoh. Ia ingin agar engkau tercelup oleh warna yang juga telah mencelup
dirinya. Berdoalah untuknya dan kasihanilah dia. Mudah-mudahan Allah menjadikan
dirimu memberikan manfaat kepadanya dan mengabulkan doamu yang baik untuknya.
Jika engkau melakukan hal ini, engkau telah menjadi seorang Mukmin sejati.
Seorang Mukmin itu, agung dan mulia, karena akhlak keimanan melahirkan
pergaulan yang tampak. Seorang munafika adalah penipu dan hina, yang
menghinakan dirinya lantaran ia tidak melewati jalan keselamatan dan
kebahagiannya.
Jadilah penutup dan pakaian
bagi saudaramu sesama Mukmin. Jagalah ia di belakangnya. Jagalah diri,
kehormatan, keluarga dan anak-anaknya. Engkau adalah saudaranya berdasarkan
nashsh Al-Quran yang agung. Jadikan ia cermin tempat melihat dirimu.
Sebagaimana setiap luka di wajahmu dipantulkan dan ditampakkan oleh cermin
kepadamu, maka begitu pulalah halnya dengan setiap derita yang ditanggungnya
dalam dirinya. Sebab, wajah dan hakikatnya adalah sama saja.
34. WASIAT IHWAL MENJAGA HAK
TETANGGA
Jagalah hak tetangga dan
dahulukan yang paling dekat. Bagilah kepada para tetanggamu apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, karena engkau akan ditanya tentang mereka.
Tolaklah bagi mereka apa yang membahayakan diri mereka. Engkau disebut tetangga
(al-jar) hanya lantaran kecenderunganmu kepadanya dalam bentuk perbuatan baik
dan menolak bahaya yang mengancam jiwa mereka. Kata tetangga (al-jar) adalah
derivasi dari bentuk verbal jara yang berarti mala (cenderung). Karena al-jawr
berarti al-mayl (kecenderungan). Barangsiapa mengambil makna kata al-jawr yang
berati kecenderungan pada kebatilan dan kezaliman dalam pengertian umum, maka
ia seperti seseorang yang menamai al-ladigh (orang yang disengat) dengan
al-salim (orang yang selamat) dalam bentuk kebalikan. Dan dalam hal ini,
sebagian besar hak kedekatan adalah tetangga. Ia seolah-olah mengatakan, “Jika
tetangga (al-jar) berasal dari ahl-al-jawr, yakni orang yang cenderung pada
kebatilan dengan syirik dan kekufuran, maka engkau harus tetap memelihara dan menjaga
haknya.” Bagaimanakah halnya dengan orang Mukmin? Hak tetangga hanyalah atas
tetangga saja. Aku takjub pada apa yang kuriwayatkan mengenai hal itu dari
sebagian guruku. Ia menyebutkan sebagian perangai orang-orang Arab badui bahwa
seekor belalang hinggap di halaman rumahnya. Lalu, orang-orang Arab keluar
menuju temat itu dengan membawa alat untuk membunuh dan memakannya. Pemilik
rumah tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Lantas ia keluar dari tendanya,
menghampiri mereka, dan kemudian bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian
cari?” mereka menjawab, “Kami hendak membunuh tetanggamu (yakni, seekor
belalang itu)”. Ia berkata kepada mereka, “Setelah engkau menemaninya tetanggaku,
maka – demi Allah – aku sama sekali tidak akan memberi kalian jalan untuk
menangkapnya.” Ia menghunus pedang untuk membelanya karena menjaga hak
tetangganya. Ini juga seperti apa yang ditanyakan kepada Malik bin Anas ihwal
memakan babi laut. Ia menjawab “haram”. Lalu dikatakan kepadanya, “Ia adalah
ikan dan termasuk binatang laut yang dihalalkan Allah untuk kita makan.” Malik
berkata lagi kepada mereka, “Kalian telah menamainya babi. Kalian tidak
menanyakan, “bagaimana pendapatmu tentang ikan laut?”. Tinggalkanlah apa yang
dilarang Allah atas dirimu. Allah juga melarangmu agar jangan menyakiti
tetangga. Janganlah menyakitinya dan tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih
baik, niscaya orang yang ada permusuhan antara engaku dan dirinya menjadi
seolah teman dan keluarga yang sangat dekat. Dan tiada orang akan dikaruniai
9sifat-sifat demikian) kecuali orang yang sabar. Dan tiada orang akan
dianugerahi (sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sangat beruntung
(QS. Fushshilat, 41:34-35). Dan dalam hadis-hadis yang kami riwayatkan mengenai
sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ada seorang Arab badui dari kalangan
orang-orang musyrik yang fasih berbicara datang kepada Rasulullah saw. Ia
mendengar bahwa Allah telah menurunkan Al-Quran kepada Rasul-Nya, di mana
orang-orang Arab yang fasih sekali pun tidak mampu menandinginya. Ia berkata
kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasaul Allah, apakah yang Tuhanmu turunkan
kepadamu seperti yang aku aktakan?” Rasulullah
balik bertanya, “Apa yang engkau aktakan?” Maka orang Arab itu berkata :
Kaum berhati dengki menawan
akal mereka.
Penghormatanmu pada kerabat
dekat menolak bencana.
Jika mereka terang-terangan
mengatakannya, maafkanlah dena
kemuliaanmu.
Jika mereka menutup celaan
atas dirimu, engkau tak memperhatikannya.
Sungguh, orang yang
pendengarannya mengganggumu,
Dan sungguh apa yang
dikatakannya di belakangmu tidak dikatakan.
Maka Allah SWT pun menurunkan
ayat : “Dan tiadalah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan
yang lebih baik, niscaya orang yang ada permusuhan antara engkau dan dirinya
menjadi seolah teman dan keluarga yang dekat. Dan tiada orang akan dikaruniai
(sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sabar. Dan tiada orang akan
akan dianugerahi (sifat-sifat demikian) kecuali orang-orang yang sangat
beruntung (QS. Fushshilat, 41:34-35). Lantas, roang Arab itu pun mengatakan,
“Demi Allah, ini adalah sihir yang halal. Demi Allah, aku tidak pernah
membayangkan dan tidak pernah ada dalam pengetahuanku. Sungguh, ia telah
dibekali atau diberi yang lebih baik dari apa yang aku aktakan. Aku bersaksi
bahwa engkau adalah Rasul Allah. Demi Allah, yang demikian ini pastilah datang
dari sang pemilik rububiyah (yakni Allah SWT – Pen).” Begitulah keadaan
orang-orang yang mengetahui mukjizat Al-Quran.
Apakah engkau mengra, wahai
waliku, bahwa orang Arab itu menyifati dirinya sebagai lebih mulia ketimbang
Allah di antara makhluk yang menanggung penderitaan, menampakkan kesenangan,
membebaskan hukuman, memaafkan padahal mampu membalas, menolak apa yang tidak
baik bagi dirinya, dan mengabaikan orang yang ingin menutup aib ketika tampak jelas?
Tidak, demi Allah, Allah lebih mulia darinya. Allah lebih pengampun, lebih
pemaaf, lebih lembut, dan paling benar ucapan-Nya. Ucapan orang Arab ini, jika
itu memang baik, tidaklah diketahui apakah memang ia yang mengatakannya.
Sementara itu, Allah adalah zat yang benar ucapan-Nya berdasarkan dalil aqli.
Dia memerintahkan kemuliaan lantaran itu adalah sifat-Nya. Dengan sifat ini Dia
mempergauli hamba-hamba-Nya. Dia melarang sifat-sifat nista dan tercela kecuali
mereka terhindar darinya. La- ilaha illa huwa al-‘aziz al ghafur ar-rahim –
Tiada Tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana, Maha Pengampun, dan
Maha Penyayang.
35. WASIAT IHWAL MENOLONG
SAUDARA YANG ZALIM DAN YANG TERZALIMI
Tolonglah saudaramu yang zalim
dan yang terzalimi. Pertolonganmu kepada yang zalim disebabkan ia juga
terzalimi. Setan telah menzaliminya dengan membisiki dirinya untuk menzalimi
orang lain. Pertolongamu kepadanya ialah dengan membantu menolak apa yang dibisikkan
setan kepadanya untuk menganggap baik perbuatan zalim kepada orang lain
sehingga ia disebut orang zalim.
Engkau mesti menolongnya karena ia juga dizalimi oleh setan yang membisiki
dirinya dan oleh keadaan antara dirinya dan petunjuk (al-huda) yang memiliki
kekuasaan. Lalu setan
mengiringinya dengan kesesatan. Ia pun kemudian menukar petunjuk dengan kesesatan. Itulah sebabnya ia disebut sebagai
orang zalim. Jika engkau mencelanya, celalah dirinya dengan nasihat dan
penjelasanmu kepadanya bahwa jual beli seperti ini sungguh batil, dilarang oleh
syariat, dan tidak sah serta behwa akad jual-belinya sangat merugikan dan
perdagangannya pun gagal total. Jika engkau ebruat demikian, maka engkau telah
menolongnya meski ia seorang yang zalim. Kemudian ia berhenti dari kezalimannya
itu dan bertobat.. yang demikian itu merupakan pembatalan atas jual-belinya
yang telah dilakukannya. Tentang orang-orang seperti mereka, Allah SWT
berfirman : “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka
tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk (QS.
Al-Baqarah, 2 : 16).
Bhati-hatilah
engkau agar tidak memberikan pertolongan pada orang yang meminta pertolongan
kepadamu. Meskipun tidak memerlukan pertolonganmu, Allah SWT berfirman demikian
: “ ..... Jika kamu menolong (Agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu, .....
(QS. Muhammad, 47:7). Permintaan-Nya kepadamu agar engkau menolong-Nya tak lain
dan tak bukan bermakna dalam pengertian demikian ini. Janganlah engkau
menzaliminya, karena kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. Barangsiapa berjalan
pada kegelapan, maka ia tidak akan tahu
bahwa di hadapannya ada jurang dan binatang buas yang akan menerkamnya
di jalan yang dilaluinya. Aku berwasiat
kepadamu agar tidak menghinakan seorang pun di antara makhluk Allah, karena
Allah tdiak menghinakannya saat menciptakannya.
Jangan sekali-kali
kau hinakan hamba-hamba Allah.
Sungguh,
mereka memiliki ketentuan, meskipun
Berkumpul bagimu
segenap perkataan.
Allah tidak
akan menampakkan pertolongan dengan menciptakan orang yang diciptakan-Nya dari
ketiadaan dan kemudian engkau menghinakannya. Kami berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi orang-orang jahil dan bodoh. Inilah dosa paling besar. Semuanya itu
adalah anugerah dan karunia Allah yang dinikmati oleh segenap hamba-Nya. Kepada
kaum wanita, Rasulullah saw, bersabda : “Jangan sekali-kali engkau menghinakan
salah seorang di antaramu lantaran apa yang
dihadiahkannya kepada budak perempuannya, hatta seujung kuku kambing
sekali pun.” Penghinaan adalah kejahilan dan kebodohan yang nyata. Janganlah engkau
menjadi orang yang banyak melaknat, suka membenci, dan bersuara keras, karena
melaknat seorang Mukmin sama saja dengan membunuhnya. Nabi Isa as., pernah
bertemu dengan seekor babi. Beliau kepada babi itu, “Pergilah dengan selamat,”
Lalu hal itu dinyatakan kepada beliau, Rasulullah saw., bersabda : “Aku tidak
ingin membiasakan lisanku kecuali dengan perkataan yang baik.” Bicaralah
kebaikan. Mengenai hal itu kukatakan :
Semua manusia
pun berbicara,
Jadilah engkau
pembicara terbaik yang didengar,
Jika mereka
mengadu kepadamu,
Jadilah engkau perisai kuat yang menahan,
Jika sikapmu
tidak demikian kepada mereka,
Engkau,
demi Allah, pastilah pemimpin bermanfaat.
Lilin hanya
menghancurkan dirinya,
Tapi bagi yang melihat, ia adalah cahaya
bersinar.
Kehinaan yang
engkau ketahui tak lain hanyalah
Kenikmatan di
tangan orang yang mencegah.