SIRAH RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERANG KHAIBAR
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Khaibar adalah salah satu markas dan pusat konsentrasi kaum Yahudi yang
bergabung untuk memerangi Islam dan kaum muslimin. Khaibar sendiri aalah sebuah
kota besar yang memiliki benteng-benteng dan ladang-ladang yang baik dan
berjarak 60 atau 80 mil di utara Kota Madinah.
Sebab Perang
Setelah Rasulullah merasa aman dari gangguan satud ari tiga partai
gabungan, yaitu kaum Quraisy, berkat Perjanjian Hudaibiyah yang diadakan beliau
dengan mereka, beliau ingin menuntut balas terhadap dua parti sisanya, yaitu
partai Yahudi dan Kabilah-kabilah Najed. Beliau ingin mewujudkan keamanan dan
kedamaian di wilayah Madinah dan sekitarnya. Hal ini beliau tempuh agar kaum
muslimin terbebeas dari peperangan berdarah yang sekian lama berlangsung secara
terus menerus mengiringi perjuangan
dakwah ke jalan Allah. Tatkala Khaibar telah menjadi pusat konspirasi
dan persiapan militer musuh, Rasulullah dan kaum muslimin memandang perlu untuk
menuntaskannya terlebih dahulu.
Kita masih ingat bahwa Perang al-Ahzab (Perang Khandaq) yang pernah terjadi
dalang dan penyulutnya adalah orang-orang Khaibar. Mereka yang mendorong Bani
Quraizhah untuk berkhianat. Kemudian, mereka juga menjalin komunikasi dengan
orang-orang munafik, kaum Ghathafan dan orang-orang Arab Badui, yang membentuk
partai ke tiga dalam Perang al-Ahzab itu. Di saat yang bersamaan, mereka juga
telah siap untuk melancarkan peperangan. Dengan tindakan mereka itu, kaum
mujslimin mendapatkan cobaan dan ujian terus menerus. Bahkan, orang-orang
Khaibar juga pernah berencana ingin melakukan pembunuhan terhadap Nabi saw.
Menanggapi hal tersebut, kaum muslimin terpaksa mengirim beberapa misi ke
tempat mereka untuk menghabisi para pemimpin
pelaku konspirasi tersebut, seperti Salam bin al-Haqiq dan Asir b in
Zaram. Akan tetapi tugas dan kewajiban kaum muslimin untuk melumpuhkan
orang-orang Yahudi itu ternyata lebih besar dan lebih berat. Mereka terhambat
untuk melancarkan rencana tersebut karena
masih ada kekuatan dan musuh lain yang lebih besar dan lebih keras,
yaitu kaum Quraisy yang masih terus merongrong kaum muslimin. Ketika kaum
Quraisy telah masuk ke dalam Perjanjian Hudaibiyah dan pertikaian mereka dengan
kaum mujslimin mereda, situasi dan
kondisi dianggap cukup kondusif untuk kaum muslimin. Hal itu memungkinkan
mereka mengejar para penjahat tersebut. oleh karena itu, makin dekatlah hari
pembalasan yang dinanti-nanti itu.
Waktu Perang
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang waktu terjadinya Perang Khaibar
tersebut. mereka terbagi ke dalam dua pendapat.
Pertama, pendapat Ibnu Ishaq (di
dalam Kitab al-Maghazi) dan Musa bin Uqbah. Keduanya berpadangan bahwa perang
tersebut terjadi pada bulan Muharam tahun ketujuh Hijriah. Ibnu Qayyim berkata,
“Jumhur Ulama berpendapat bahwa Perang Khaibar terjadi pada tahun ketujuh
Hidriah. Pendapat itu juga didukung oleh al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam al-Fath.”
Pendapat itu juga dikuatkan oleh catatan Ibnu Ishaq di dalam al-maghazi. Ia
berkata, “Az-Suhri mengabarkan kepada kami dari Urwah, dari Marwan bin Hakam
dan al-Musawwar bin Makhramah bahwa keduanya bertutur Rasulullah saw pulang
dari Hudaibiyah. Kemudian turunlah surah al-Fath di antara Makkah dan Madinah.
Di dalamnya Allah SWT berjanji akan menyerahkan Khaibar kepada beliau, yaitu
dalam firman-Nya, “Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan perang yang banyak
yang dapat kamu ambil, maka Dia segerakan (harta rampasan perang) ini untukmu
dan Dia menahan tangan manusia dari
(membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya), dan agar menjadi bukti bagi
orang-orang mukmin dan agar Dia menunjukkan kamu ke jalan yang lurus.” (QS
al-Fath (48) : 20). Maksudnya adalah Khaibar.
Rasulullah saw tiba di Madinah pada bulan Dzulhijah. Kemudian, beliau
menetap di sana selama beberapa waktu, baru berangkat lagi ke Khaibar pada
bulan Huharram.
Hal itu didukung oleh hadits riwayat Salamah bin al-Akwa’ bahwa Perang
Khaibar terjadi tiga hari setelah Perang Dzu Qarad, sebagaimana yang tertuang
dalam nash hadits berikut, “...... maka aku pun berhasil mengalahkannya (dalam
lomba lari) ke Madinah. Demi Allah, kami baru menetap (di Madinah) tiga malam,
lalu kami berangkat lagi bersama Rasulullah ke Khaibar.”
Kedua, pendapat Malik yang
menyatakan bahwa Perang Khaibar terjadi pada tahun keenam Hijriah. Pendapatnya
tersebut didukung oleh Ibnu Hazm.
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkatga dalam al-Fath, “Pendapat ini sebenarnya masih
saling berdekatan. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah yang diaktakan
oleh Ibnu Ishaq. Kedua pendapat itu bisa dikombinasikan. Dengan demikian, maka
yang berpendapat bahwa Perang Khaibar terjadi pada tahun keenam Hijriah, karena
didasari keyakinannya bahwa awal tahun Hijriah yang hakiki adalah bulan Rabi’ul
Awal.
Allah Menjanjikan Harta
Rampasan Perang yang Berlimpah
Para Mufassir berkata, “Sebenarnya Khaibar adalah janji yang dikatakan
Allah di dalam firman-Nya, “Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan perang
yang banyak yang dapat akmu ambil, maka Dia segerakan (harta rampasan perang)
ini untukmu.” (QS al-Fath (48) : 20). Allah menyegerakan janji-Nya itu dengan
dibuatnya Perjanjian Hudaibiyah. Sementar harta rampasan perang yang banyak
dimaksudkannya adalah Khaibar.”
Diriwayatkan dari Urwah, dan Marwan bin Hakam dan Musawwar bin Mkahramah.
Keduanya mengabarkan kepada Urwah dengan berkata, “Setelah Perjanjian
Hudaibiyah, Rasulullah saw berangkat pulang ke Madinah. Kemudian turunlah
kepada beliau Surat al-Fath di daerah antara Makkah dan Madinah. Di dalamnya
Allah berjanji akan memberi beliau Khaibar, yaitu dalam firman-Nya, “Allah
menjanjikan kepadamu harta rampasan perang yang banyak yang dapat kamu ambil,
maka Dia segerakan (harta rampasan perang) ini untukmu.” (QS al-Fath (48) :
20), yaitu Khaibar. Rasulullah saw tiba di Madinah pada bulan Dzulhijjah. Lalu,
beliau menetap di sana sampai kemudian, berangkat lagi menuju Khaibar pada
bulan Muharram. Di tengah jalan Rasulullah saw singgiah di daerah Raji’, yaitu
sebuah lembah antara Khaibar dan Ghathafan. Beliau khawatir orang-orang
Ghathafan akan membantu orang-orang Khaibar. Rasulullah pun menetap di sana,
keesokan harinya beliau segera berangkat ke Khaibar.
Ketika Perang Hudaibiyah, orang-orang munafik dan yang lemah imannya enggan
ikut serta bersama Rasulullah. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya
untuk segera mengambil sikap melalui firman-Nya : “Apabila kamu berangkat untuk
mengambil barang rampasan, orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata,
“Biarkanlah kami mengikuti kamu.” Mereka hendak mengubah janji Allah.
Katakanlah, “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami. Demikianlah yang
telah ditetapkan Allah sejak semula.” Maka mereka akan berkata, “Sebenarnya
kamu dengkai kepada kami.” Padahal mereka tidak mengerti melainkan sedikit
sekali. (QS al-Fath (48) : 15).
Ketika Rasulullah saw berangkat ke Khaibar, beliau emngumumkan agar mereka yang ikut hanyalah
yang ingin berjihad. Benar saja, yang ikut berangkat adalah para pengikut
bai’at di bawah pohon (Bai’at Ridwan) yang berjumlah 1.400 orang.
Rasulullah kemudian, mengangkat Suba’ bin Urfuthah al-Ghathafani untuk
menjabat sementara di Madinah. Ketika itu, Abu Hurairah baru tiba di Madinah
untuk memeluk Agama Islam. Ia menemui Suba’ bin Urfuthah pada waktu Shalat
Subuh. Abu Hurairah mendengar Suba’ membaca Kaf
– Ha – Ya – Ain – Shad pada raka’at pertama dan Wailul lil-muthafifin
pada raka’at kedua. Abu Hurairah pun bergumam, “Celakalah si fulan. Ia punya
dua timbangan. Jika meminta ditimbangkan untuknya, ia akan meminta timbangan
yang benar. Sedangkan jika ia menimbang, ia akan menguranginya.”
Selesai shalat, Abu Hurairah mendatangi Suba’ bin Urfuthah. Setelah itu
Suba’ pun membekalinya untuk berangkat menyusul Rasulullah. Akhirnya, Abu
Hurairah sampai ke tempat Rasulullah dan ia berbicara dengan kaum muslim.
Mereka pun kemudian, menyertakan Abu Hurairah dalam pasukan dan memberinya
jatah bagian harta rampasan perang.
Pimpinan Kaum Munafik
Membocorkan Berita Kedatangan Rasulullah saw. Ke Khaibar
Orang-orang munafik selalu bekerja untuk kepentingan
orang-orang Yahudi. Seorang pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay, telah
mengirimkan seorang utusan kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk memberitakan
bahwa Muhammad telah berangkat menuju daerah mereka. Oleh karena itu, penduduk
Yahudi Khaibar diminta waspada. Ia berpesan kepada mereka, “Kalian jangan
takut, jumlah kalian lebih banyak dan perbekalan kalian juga banyak, sedangkan
pengikut Muhammad hanya segolongan kecil, mereka hanya memiliki sedikit persenjataan.”
Ketika penduduk Khaibar mengetahui berita tersebut, mereka langsung
mengutus Kinanah bin Abi al-Haqiq dan haudzah bin Qais ke Ghathafan untuk meminta
bala bantuan. Perlu diketahui bahwa penduduk Ghathafan adalah sekutu Yahudi
Khaibar dan sering mendukung mereka untuk mengalahkan kaum muslimin. Mereka
mengiming-imingi penduduk Ghathafan dengan separuh hasil buah-buahan Khaibar
jika berhasil mengalahkan kaum muslimin.
Strategi yang Diberkahi
Sebelum berangkat, kaum muslimin tak lupa melancarkan siasat untuk
memcah-belah gabungan pasukan Yahudi dan Ghathafan yang akan menyambut mereka.
Kaum muslimin membuat rencana seolah mereka ingin menyerang ghathafan dan
hampir mengepung mereka.
Ibnu Ishaq berkata, “Aku mendengar kabar bahwa kaum Ghathafan ketika
mendengar Rasulullah saw akan menyerang Khaibar, mereka segera menghimpun
kekuatan dan bersiap untuk mendukung kaum Yahudi Khaibar. Tatkala baru
berangkat sampai satu marhalah, mereka mendengar bahwa harta dan keluarga
mereka terancam diserang kaum muslimin.
Mereka segera pulang kembali ke daerahnya dan memilih berdiam menjaga harta dan
keluarganya. Walhasil, mereka membiarkan Rasulullah saw menyerang Khaibar.
Demikianlah, akhirnya strategi tersebut berhasil mengisolasi kaum Yahudi
Khaibar dari sekutu-sekutu musyrik mereka. Kemudian, Rasulullah saw memanggil
dua orang penunjuk jalan. Salah seorang di antara keduanya bernama Husail.
Beliau memintanya mencarikan jalan terbaik untuk memasuki Khaibar dari arah
utara atau dari arah Syam. Dengan begitu, kaum muslimin akan menghalangi
penduduk Khaibar untuk lari ke Syam, juga menghalangai mereka lari ke daerah
Ghathafan.
Salah seorang penunjuk jalan itu berkata, “Wahai Rasulullah, akan
kutunjukkan kepadamu jalan terbaik.” Ia lalu tiba di persimpangan jalan empat
arah. Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, semua jalan ini bisa mencapai
tujuan kita.” Rasulullah pun menyuruhnya untuk menyebutkan nama-nama jalan
tersebut satu persatu. Ia berkata, “Nama salah satunya adalah Hazan.” Nabi saw
menolak menempuh jalur itu.
“Nama yang lainnya adalah Syasyy,” kata penunjuk jalan. Nabi saw juga
menolak menempuh jalan tersebut.
Ia berkata lagi, “Nama yang lain adalah Hathib.” Rasulullah juga menolak
melalui jalur itu. Kemudian Husail berkata, “Tinggal yang tersisa satu jalan
lagi.” Umar bertanya, “Apa nama jalan itu?” Ia menjawab, “Marhab.” Nabi saw pun
memilih menempuh jalan tersebut.
Amir bin al-Akwa’
Memimpin Pasukan Kaum Muslimin
Diriwayatkan dari Salamah al-Akwa’, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw
menuju Khaibar. Kami berjalan di malam hari. Seseorang berkata kepada Amir,
“Wahai Amir, kami ingin mendengar dendang syairmu.” Amir adalah seorang penyair
handal. Ia lalu mendendangkan syairnya dengan berkata,
“Ya Allah, jika
bukan karena Allah, niscaya kami tidak akan mendapat hidayah.
Kami juga tidak
akan membayar sedekah dan tidak shalat.
Ampunilah dosa
kami sebagai tebusan untukMu selama kami bertakwa
Kekukuhan
langkah kami saat kami bertemu dengan musuh.
Ya Allah,
turunkan ketenangan pada kami
Jika kami dihina,
kami akan abaikan
Dengan suara
lantang, kami akan menantang
Hingga musuh
lari tunggang langgang
Rasulullah saw lantas bertanya, “Siapa yang mendengkan syair itu?” Mereka
menjawab, “Amir bin al-Akwa’”. Beliau lalu bersabda, “Semoga Allah
merahmatinya.”
Seseorang berkata, “Tentu, wahai Rasulullah! Katakan bahwa kalimat itu
untuk kami juga, wahai Rasulullah.”alamah bin al-Aka’ ra. Yang diriwayatkn oleh
Imam Muslim dalam Shahih-nya disebutkan :
“,,,, Salamah bertutur, “ .... aku lalu berhasil mengalahkannya (dalam
lomba lari) ke Madinah. Demi Allah, kami baru saja tinggal tiga malam di
Madinah, tetapi kami segera berangkat lagi bersama Rasulullah ke Khaibar.
Kemudian pamanku, Amir, melantunkan syair untuk kaum muslimin :
“Demi Allah,
Jika bukan karena Allah, niscaya kami tidak akan mendapat hidayah.
Kami juga tidak
akan membayar sedekah dan tidak shalat.
Dan kami, amat
membutuhkan karunia-Mu.
Dan kukuhkan
langkah kami saat kami bertemu dengan musuh.
Ya Allah,
turunkan ketenangan kepada kami
Rasulullah saw lantas bertanya, “Siapa itu?” Amir menjawab, “Aku Amir.”
Kemudian beliau bersabda, “Semoga Allah mengampunimu.” Salamah berkata,
“Rasulullah tidak pernah memohonkan ampunan untuk seseorang secara khusus,
kecuali orang itu pasti akan gugur di medan perang. Umar pun berseru, “Ucapkan
kata-kata itu kepada kami, wahai Rasulullah!”
Di dalam hadits Dahral-Aslami dikisahkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw
bersabda dalam perjalanannya ke Khaibar kepada Amir bin al-Akwa’ paman Salamah
bin Amr bin al-Akwa’. Nama asli al-Akwa’ sendiri adalah Sinan. Sabda beliau
kepada Amir, “Turunlah wahai Ibnu al-Akwa’ dendangkan untuk kami syairmu.” Amir
pun turun. Ia lantas mendendangkan syairnya :
Kami juga tidak
akan membayar sedekah dan tidak shalat
Dan kami, jika
ada satu kaum yang bertindak zalim terhadap kami
Atau
menghendaki fitnah, kami tidak akan memedulikannya
Ya Allah,
turunkan ketenangan kepada kami
Dan kukuhkan
langkah kami saat kami bertemu dengan musuh.
Thabari menambahkan dalam riwayatnya, “Rasulullah saw bersabda, “Semoga
Allah merahmatimu.” Lalu, Umar berseru, “Sepatutnya wahai Rasulullah. Katakan
kepada kami kalimat serupa!” Akhirnya, Amir pun gugur sebagai syahid pada
Perang Khaibar itu.
Kalian Berdoa Kepada
Tuhan Yang Maha Mendengar dan Mahadekat
Diriwayatkan dari Bau Musa al-Asy’ari r.a., Ia berkata, “Ketika Rasulullah
saw berangkat menuju Khaibar, orang-orang mulai mendekati sebuah Lembah. Mereka
mengangkat suaranya dengan bertakbir. Lantas, Rasulullahs aw berkata,
“Rendahkan suara kalian. Sesungguhnya kalian tidak ebrdoa kepada Tuhan yang
tuli dan gaib. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dan
Mahadekat. Dia selalu bersama kalian!.” Ketika itu aku berada di belakang
beliau. Beliau mendengarku mengucapkan, “La haula wala quwwata illa billahi.”
Kemudian beliau bersabda kepadaku, “Wahai Abdullah bin Qaisy.”
“Labbaik, wahai Rasulullah,” jawabku.
Beliau lalu bersabda, “Maukah kamu kuberitahu satu kalimat yang merupakan
simpanan surga?” Aku menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau lantas bersabda,
“La haula wala quwwata illa billahi.”
Makanan Kaum Muslimin
dalam Perjalanan ke Khaibar
Dari Suwaid bin Nu’man r.a, ia berangkat bersama Rasulullah pada tahun
peristiwa Khaibar. Ia bertutur, “Ketika kami berada di Shahba,’ yaitu dataran
rendah Khaibar, Rasulullah sase melaksanakan shalat Ashar, lalu meminta
dibawakan perbekalan. Beliau dibawakan sawiq (bubur gandum). Beliau lantas
menyuruh agar mempersiapkannya. Beliau makan, dan kami pun ikut makan. Setelah
itu beliau bersiap melaksanakan shalat Maghrib. Beliau berkumur dan kami
mengikutinya. Kemudian, beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi!.”
Tentara Islam Bergerak
Menuju Benteng-Benteng Khaibar
Kaum muslimin menginap di dekat Khaibar di malam terakhir sebelum pertempuran
dimulai. Pada malam itu, kaum Yahudi tidak mengendus kedatangan kaum muslimin.
Diriwayatkan dari Anas r.a., ia menceritakan bahwa Rasulullah saw
mendatangi Khaibar pada malam hari. Kebiasaan beliau jika mendatangi suatu kaum
di malam hari, beliau akan mendekati mereka di pagi harinya. Keesokan harinya,
ketika pagi menjelang, seperti biasa para penduduk melaksanakan aktivitasnya
sehari-hari di ladang. Ketika mereka melihat Rasulullah dan pasukannya, mereka
kaget bukan kepalang dan berteriak, “Muhammad dan pasukannya! Muhammad dan
pasukannya!” Mereka lari dan masuk ke bentengnya untuk berlindung di sana. Nabi
saw berkata, “Allah Mahabesar, jika kami masuk ke halaman suatu kaum di malam
hari maka pagi harinya mereka akan menjadi buruk!”
Diriwayatkan dari Abu Thalhah r.a. Ia berkata, “Aku dibonceng oleh
Rasulullah. Beliau membiarkan
orang-orang Khaibar sampai menjelang waktu sahur. Para peternak unta
mulai berangkat ke tempat gembalaan mereka. Para pemilik ladang berangkat ke
ladangnya. Saat itu Rasulullah saw menyerang mereka. Beliau berseru, “Jika kami
masuk ke halaman satu kaum di malam hari maka pagi harinya mereka akan menjadi
buruk.”
Kelihatanyya kaum Yahudi yang pertama kali mengira bahwa rombongan kaum muslimin mengarah ke
Ghathafan. Mereka tidak memerdulikannya sama sekali sehingga mereka terus menjalankan aktivitasnya
sehari-hari di ladang-ladang mereka. Ternyata mereka dikejutkan oleh
kedatangan kaum muslimin menuju ke
arahnya. Akibatnya mereka panik dan segera berlari menuju benteng-bentengnya.
Mereka berseru, “Demi hari Kamis, itu Muhammad.”
Selesaikan Urusan di
Antara Mereka dengan Musyawarah
Sebagai pusat komandonya, Nabi saw memilih sebuah tempat. Di tempat itu
beliau didatangi oleh Hubab bin al-Mundzir. Ia berkata kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, apakah tempat yang engkau pilih ini ditentukan oleh Allah
atau sekedar pendapatmu dalam peperangan?” Beliau menjawab, “Ini sekedar
pendapat pribadi.” Hubab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, tempat ini begitu
dengan dengan benteng Naththat dan semua
pasukan tempur Khaibar ada di sana. Mereka bisa melongok keadaan kita,
sedangkan kita tidak bisa mendeteksi keadaan mereka. Panah-panah mereka bisa
menjangkau tempat kita, sedangkan panah-panah kita tidak bisa menjangkau tempat
mereka. Kita juga tidak akan merasa aman di malam harinya. Lagipula tempat ini
adalah tempat yang dipenuhi tumbuhan kurma dan tanah terbuka. Alangkah lebih
baiknya jika engkau memilih lagi tempat yang jauh dari resiko-resiko tersebut
sebagai tempat peristirahatan.” Nabi saw lantas
menjawab, “Pendapatmulah yang kuterima.” Kemudian, Nabi saw
memerintahkan untuk pindah tempat dari tempat itu.
Ketika sudah mendekati Khaibar, Rasulullah saw berseru kepada pasukannya,
“Berhenti.” Pasukan pun berhenti.
Kemudian, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah,
Tuhan langit dan yang dipayunginya. Tuhan bumi dan yang di atasnya. Tuhan para
setan dan kesesatannya. Tuhan angin dan embusannya, kami menghadap dari-Mu
kebaikan negeri ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan yang ada di dalamnya.
Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan negeri ini, keburukan penduduknya, dan
semua yang ada di dalamnya.” Kemudian, beliau berseru, “Majulah dengan
Nama Allah.!”.
Nama-Nama Benteng Khaibar
Khaibar terbagi ke dalam dua wilayah besar. Satu wilayahnya memiliki lima
benteng, yaitu benteng Na’im, Sha’ab bin Mu’adzm, Qal’at, Ubay, dan Nizar. Tiga
benteng pertama terletak di daerah bernama Naththat. Adapun dua benteng
terakhir terletak di wilayah bernama asy-Syaq.
Adapun wilayah kedua Khaibar disebut dengan Kutaibah. Di dalamnya terdapat
tiga benteng, yaitu benteng al-Qumush (bentehng milik Abu al-Haqiq dari Bani
an-Nadhir), benteng al-Wathih, dan benteng as-Salalim.
Selain delapan benteng tersebut, Khaibar masih memiliki banyak benteng
lainnya. Akan tetapi, mayoritas kecil-kecil dan tidak terlalu kuat seperti
kedelapan benteng tersebut.
Pertempuran pahit dan sengit terjadi di wilayah pertamaKhaibar. Adapun
wilayah kedua Khaibar dengan tiga benteng dan pasukannya yang ada di dalamnya
terbebas dari pertempuran.
Pemegang Panji dan
Pembuka Benteng Benteng Khaibar
Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda pada
hari Khaibar, “Besok akan aku serahkan panji ini kepada seorang laki-laki yang
sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai Alalh dan Rasul-Nya. Allah
akan menganugerahi kaum muslimin kemenangan di tangannya.”
Malam itu orang-orang bertanya-tanya siapa gerangan yang akan diserahi
panji tersebut. ketika pagi menjelang, mereka segera berkumpul di dekat Rasulullah. Mereka ebrharap mendapat
kehormatan dapat memegang panji beliau. Rasulullah lalu memanggil Ali. Beliau
bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Para sahabt lainnya memberi tahu beliau
bahwa Ali sedang sakit mata. Kemudian, Rasulullah berkata, “Bawa Ali kemari!”
Ali pun dibawa menghadap Rasulullah. Setelah itu beliau meniup mata Ali dan
mengoleskan sedikit air liurnya di mata itu. Walhasil, sakit mata yang diderita
Ali pun sembuh. Setelah itu Ali diserahi panji Rasulullah.
Kemudian, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerangi mereka
sampai mereka menjadi seperti kita?” Rasulullah saw bersabda, “Laksanakan
dengan hati-hati sampai kamu masuk ke pekarangan mereka. Kemudian, serulah
mereka ke dalam Islam dan beri tahukan kewajiban-kewajiban mereka sebagai hak
Allah atas mereka. Demi Allah, jika kamu berhasil memberi petunjuk kepada
seorang dari mereka, tu lebih baik dari unta merah sekalipun.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. Bersabda pada hari Khaibar, “Besok
akan kau serahkan panji ini kepada seorang laki-laki yang sangat mencintai
Allah dan Rasul-Nya serta dicintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan
menganugerahi kaum muslimin kemenangan di tangannya.”
Umar lantas berkata, “Aku tidak pernah berharap kepemimpinan, kecuali di
hari itu. Maka kau pun berharap cemas ingin dipanggil untuk mendapatkannya.”
Abu Hurairah melanjutkan, “Tetapi Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi
Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya. Beliau bersabda kepadanya,
“Berjalanlah dan jangan menoleh ke belakang sampai Allah memberikan kemenangan
di tanganmu.” Ali kemudian, berjalan sedikit. Tiba-tiba ia berhenti dan tanpa
menoleh ia berseru, “Wahai Rasulullah, untuk tujuan apa aku memerangi manusia?”
Beliau bersabda, “Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah melakukannya, haram bagimu
darah dan harta mereka, kecuali dengan jalan yang benar. Dan pembalasan atas
mereka semuanya ada di tangan Allah.” (HR Muslim dan Ahmad).
Beliau mengucapkan pesan mulianya itu agar orang-orang yagn tidak terlalu
antusias dengan harta rampasan perang langsung yagn dijanjikan Allah. Jika kaum
Yahudi kalah, harta mereka amat berlimpah. Akan tetapi, ganjaran untuk pasukan
muslim jika mereka mendapat hidayah dan masuk Islam itu lebih besar lagi.
Bukhari meriwayatkan dar Salamah bahwa Ali r.a. tidak ahdir di hadapan
Rasulullah pada Perang Khaibar. Ia mengalami sakit mata. Ali bergumam, “Mengapa
aku harus tertinggal?” Ali pun keluar. Ia segera menyongsong Rasulullah saw di
sore hari sebelum kemenangan esoknya. Rasulullah saw bersabda, “Besok, akan aku
serahkan panji ini kepada seorang laki-laki yang sangat mencintai Allah dan
Rasul-Nya serta dicintai Allah dan Rasul-Nya. allah akan menganugerahi kaum
muslimin kemenangan di tangannya.”
Tiba=tiba Ali datang di sekitar kami. Kami tidak mengahrapkannya datang.
Orang-orang berseru, “Ini Ali.” Rasulullah pun menyerahkan panji itu kepadanya
dan Allah pun memberi kaum muslimin kemenangan di tangannya.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw mengambil panji,
lalu beliau mengibarkannya. Kemudian, beliau bersabda, “Siapa yang akan
memegangnya?”
Datanglah seseorang dan berkata, “Aku”. Kemudian, beliau menjawab,
“Menyingkir!” Datang lagi yang lain, ‘Aku.” Rasulullah bersabda kepadanya,
“Menyingkir!” Kemudian, Nabib saw bersabda, “Demi Dzat yagn memuliakan jiwa
Muhammad, aku akan memberikannya kepada seseorang yang tidak akan lari dari
pertempuran. Dan itu adalah kamu, wahai Ali.” Ali segera bangkit sampai Allah
menaklukkan Khaibar dan Fadak. Ali pun pulang membawa kurma Ajwa dan dendeng
dagingnya.
Ali Membunuh Marhab, Raja
Kaum Yahudi
Benteng pertama di antara delapan benteng Khaibar yagn diserang kaum
muslimin adalah Benteng Na’im. Benteng itu merupakan front pertahanan pertama
kaum Yahudi karena letaknya yang strategis. Benteng itu milik Marhab, seorang
jagoan yahudi yagn dianggap laing kuat.
Ali berangkat bersama kaum muslimin menuju benteng nitu. Ia menyeru kaum
Yahudi agar masuk Islam. Akan tetapi, mereka menolaknya, bahkan menantang kaum
muslimin. Di antara mereka ada Marhab. Ketika Marhab keluar ke medan
pertempuran, ia menantang duel kaum muslimin.
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ r.a. Ia berkata, “ .... Ketika kami
tiba di Khaibar, Marhab, raja mereka, keluar membawa pedangnya. Ia melantunkan
syair :
Khaibar tahu
bahwa aku adalah Marhab
Pemegang
senjata dan jagoan yang teruji
Jika eprang
datang, ia akan bergolak.
Kemudian, pamanku, Amir, menantangnyan berduel seraya berseru “
Khaibar tahu
bahwa aku adalah Amir
Pemegang
senjata dan jagoan petualang
Keduanya lantas beradu serangan. Sabetan peadng Marhab mengenai tameng
Amir. Amir pun berusaha menyabetkan pedangnya ke arah Marhab. Namun naas,
pedang itu berbalik arah ke tubuhnya sendiri. Pedang itu akhirnya mengenai
lututnya, ia pun gugur seketika.
Salamah mengatakan bahwa ia keluar dan mendengar beberapa sahabat
Rasulullah saw ada yang berkata, “Amir telah membunuh dirinya sendiri.” Ia
segera mendatangi Nabi saw sambil menangis. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, Amir
telah membunuh dirinya sendiri.” Rasulullah lantas bertanya, “Siapa yang
mengatakan demikian?” Ia menjawab, “Beberapa orang sahabatmu, wahai
Rasulullah.” Beliau menjawab, “Yang mengucapkan demikian bohong! Bahkan Amir
mendapatkan dua ganjaran sekaligus.”
Salamah r.a. juga menuturkan bahwa setelah itu Rasulullah saw mengutusnya
menemui Ali. Ketika itu Ali sedang menderita sakit mata. Rasulullah bersabda,
“Akan kuberikan panji ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya atau
dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Salamah lalu mendatangi Ali. Ia papah Ali menuju
Rasulullah karena saat itu Ali menderita sakit mata. Rasulullah saw pun
melumuri mata ali dengan air liurnya dan seketika mata itu sembuh. Kemudian,
beliau memberi Ali panji tersebut. Setelah itu Marhab keluar dan berseru :
Khaibar tahu bahwa aku
adalah Marhab
Pemegang senjata jagoan
yang teruji
Jika perang tiba dan aku
datang, ia akan bergejolak.
Ali kemudian berseru :
Akulah orang yang
dijuluki inuku sebagai singa
Seperti singa hutan yang
buruk rupa
Akan kuhadapi mereka
dengan geram dan ganas
Kemudian, Ali menyerang kepala Marhab dan ia berhasil membunuhnya.
Kemenangan pun berhasil diraihnya.
Marhab adalah salah seorang jagoan dan pahlawan Yahudi. Di pedangnya tertulis
kalimat, “Ini adalah pedang Marhab, siapa yang merasakan tebasannya niscaya ia
binasa.”
Ali menyerangnya sampai pedangnya menembus gigi gerahamnya. Sebelumnya Ali
telah membunuh saudara Marhab, yaitu al-Harits. Ali juga ebrduel dengan salah
seorang pemimpin Yahudi yang bernama Amir setelah Zubair berduel dengan Yasir.
Ali berhasil membunuhnya di depan benteng. Saat Amir muncul, Rasulullah saw
bersabda tentangnya, “Kalian melihat tingginya lioma hasta.” Amir adalah orang
yang berpostur tubuh tinggi dan besar. Ketika ia menantang kaum muslimin
berduel, ia menghunuskan pedangnya dan menggunakan dua baju besi. Ia juga
bertopengkan besi seraya berseru, “Siapa yang mau maju untuk berduel denganku?.”
Orang-orang enggan berduel dengannya. Ali lalu maju dan segera menyerangnya
beberapa kali tebasan. Namun, tebasan pedang Ali tidak berpengaruh apa-apa pada
tubuhnya. Sampai ketika Ali menebas kedua kakinya, robohlah Amir. Kemudian, Ali
mengunjaknya dan merampas pedangnya.
Allah SWT pun memberikan kemenangan dengan penaklukkan benteng Na’im yang
merupakan benteng terkuat Khaibar tersebut. Sungguh, peristiwa itu merupakan
sejarah cemerlang yang tidak pernah kita lupakan selama hayat dikandung badan.
Penaklukan Benteng Sha’ab
bin Amir
Dari segi pertahanan dan kekuatannya, benteng Sha’ab adalah benteng kedua
Khaibar setelah benteng Na’im. Kaum muslimin menyerang benteng tersebut di
bawah komando Hubab bin al-Mundzir. Mereka mengepung benteng itus elama tiga
hari. Pada hari ketiga, Rasulullah saw pun berdoa secara khusus agar benteng
itu terbuka.
Ketika Nabi saw memerintahkan kaum muslimin untuk menyerang benteng itu
setelah doa beliau. Bani Aslam menjadi keluarga yang berada di barisan pertama
pasukan penyerang. Pertarungan dan duel pun terjadi di depan benteng. Kemudian
pada hari itu juga benteng berhasil dibuka sebelum matahari terbenam. Di dalam
bentehng itu, kaum muslimin menemukan beberapa buah ketapel besar dan kendaraan
tank.
Karena mereka sangat kelaparan, beberapa orang dari pasukan kaum muslimin
terpaksa menyembelih keledai. Mereka lalu menyalakan tungku dan memasang panci
di atasnya. Ketika Rasulullah saw megetahui hal itu, beliau segera melarang
memakan daging keledai ternak (jinak).
Penyerangan terhadap
Benteng Zubair
Setelah penaklukan Benteng Na’im dan Sha’ab, kaum Yahudi berpindah tempat
dari seluruh benteng wilayah Naththat menuju Benteng Zubair. Benteng itu cukup
kuat karena berada di puncak bukit sehingga sulit dijangkau kuda atau pun
manusia. Rasulullah saw pun memutuskan untuk mengepung benteng itu selama tiga
hari.
Suatu ketika seorang Yahudi mendatangi Nabi saw, mereka tidak akan peduli
karena mereka memiliki persediaan air dan sumur yang cukup. Mereka akan keluar
di malam hari dan minum dari sumur itu, kemudian kembali pulang ke bentengnya sehingga
mereka bisa berlindunhg darimu. Sekiranya kamu putus aliran air untuk mereka,
niscaya mereka akan melawanmu.”
Akhirnya, Nabib saw memutus alairan air dari mereka. Merekan pun terpaksa
harus keluar bertempur habis=-habisan. Dalam pertempuran itu, beberapa kaum
muslimin terbunuh, sedangkan sekitar sepuluh orang Yahudi yang terluka.
Akhirnya, Rasulullah saw berhasil membuka benteng tersebut.
Pembukaan Benteng Ubay
Setelah pembukaan Benteng Zubair, kaum Yahudi mengungsi ke Benteng Ubay dan
berlindung di sana. Kaum muslimin pun kembali mengepung benteng tersebut. dua
orang, jagoan yahudi keluar untuk menantang berduel. Keduanya kembali dibunuh
oleh kaum muslimin. Yang berhasil membunuh jagoan kedua yahudi itu adalah
pahlawan terkenal Abu Dujjanah Sammak bin Kharasyah al-Anshari, pemilik tutup
kepala merah. Setelah membunuh orang itu, Abu Dujjanah segera membobol Benteng
Ubay yang diikuti oleh pasukan muslimin. Terjadilah pertempuran hebat selama
satu jam di dalam benteng. Kaum Yahudi pun lari dari benteng itu dan berpindah
ke Benteng an-Nizar, benteng terakhir Yahudi di bagian pertama wilayah Khaibar.
Penaklukan Benteng
an-Nizar
Benteng tersebut merupakan benteng terkuat di wilayah pertama Khaibar. Kaum
Yahudi hampir yakin bahwa kaum muslimin tidak akan bsia membobol pertahanan
benteng tersebut meski mereka mengerahkan segenap tenaganya. Oleh karena itu,
di tempat itulah mereka berlindung membawa serta para wanita dan anak-anaknya.
Kaum muslimin melakukan pengepungan lebih gencar lagi terhadap benteng itu.
Mereka menekan para penghuninya dengan tekanan yang lebih kencang. Benteng itu
terletak di atas puncak bukit yang tinggi sehingga kaum muslimin tidak
menemukan cara untuk membobolnya. Adapun orang-orang Yahudi, tidak berani
keluar dari benteng untuk bertarung melawan pasukan muslimin. Meskipun
demikian, mereka melawan kaum muslimin dengan sengit, yaitu dengan
bermacam-macam serangan panah dan bebatuan dari atas benteng.
Ketika Benteng an-Nizar sulit ditembus, Nabi saw memerintahkan kaum
muslimin untuk memasang ketapel besar. Akhirnya, kaum muslimin melempari
benteng itu dengan batu besar sehingga menyebabkan tembok benteng bobol dan
mereka segera memasukinya. Di dalam benteng terjadilah pertempuran sengit.
Akibatnya, kaum Yahudi mengalami kekalahan telak karena mereka tidak menemukan
jalan kabur secara rahasia. Bahkan, mereka hanya bisa lari meninggalkan seluruh
anak dan istrinya.
Setelah pembukaan benteng yang kuat itu, usailah penaklukan wilayah pertama
Khaibar, yaitu wilayah Naththat dan asy-Syaqiq. Sebenarnya di wilayah tersebut
masih banyak benteng-benteng kecil. Namun, dengan hanyan ditaklukannya benteng
kuat tersebut, merekan pun mengosongkan semua benteng kecil dan memilih untuk
kabur ke daerah lain dari Khaibar.
Penaklukan Wilayah Kedua
Khaibar
Ketika wilayah Naththat dan asy-Syaq sduah takluk, Rasulullah pun beralih
ke penduduk Kutaibah, Wathith, dan Salalim, sebagai Benteng Abi al-Haqiq dari
Bani an-Nadhir. Wilayah itu didatangi oleh orang-orang Yahudi yagn kalah di
Naththat dan asy-Syaq. Di sana mereka berlindung dengan kuat.
Ketika Rasulullah saw mendatangi Kutaibah, beliau langsung mengepungnya
dengan gencar. Pengepungan berlasung selama 14 hari. Sementara itu, kaum Yahudi
tidak mau keluar dari benteng mereka sampai Rasulullah berniat untuk melempari
mereka dengan ketapel besar. Ketika yakin akan binasa, mereka pun akhirnya
mekminta berdamai dengan Rasulullah.
Nabi saw Mengobati
Salamah bin al-Akwa’
Dari Yazid bin Abu Ubaid r.a. ia bertutur, “Aku melihat bekas luka di kaki
al-Akwa’. Aku lalu bertanya keapdanya, “Wahai Abu Muslim, bekas apa itu?” Ia
menjawab, “Ini bekas serangan di hari Khaibar. Ketika itu roang-orang berseru,
“Salamah terluka!” Aku lalu mendatangi Nabi saw kemudian, Nabi saw meniup
lukaku itu tiga kali tiupan. Sampai saat ini, aku tidak pernah mengeluh sedikit
pun akibat luka itu.” (HR Bukhari).
Jika Engkau Membenarkan
Allah, Dia Pasti Membenarkanmu
Diriwiyatkan dari Syiddad bin al-Had r.a. bahwa seorang Arab Badui datang
kepada Nabi saw. Ia lalu beriman dan mengikuti beliau. Kemudian, ia berkata,
“Aku akan berhijrah bersamamu.” Nabi saw, pun berwasiat kepada para sahabatnya
agar memperlakukannya dengan baik. Ketika masa Perang Khaibar dan Hunain, Nabi
saw mendapatkan banyak tawanan wanita. Beliau lalu membagi tawanan perang itu
kepada Arab Badui tersebut. beliau juuga memberi sahabat-sahabatnya yang lain
seperti apa yang didapat orang itu. Ia adalah pengembala unta para sahabat.
Ketika orang itu datang, mereka memberinya unta-unta itu. Ia lalu bertanya,
“Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini adalah bagian yang diberikan Nabi saw
untukmu.” Ia lalu mengambilnya dan membawanya ke hadapan Nabi saw.
Ia lalu bertanya kepada Nabi saw, “Apa ini?” Nabi saw menjawab, “Ini
bagianmu.” Ia lalu berkata, “Aku mengikutimu bgukan karena ini, tetapi aku
mengikutimu agar aku dipanah di bagian ini (ia memberi isyarat ke arah
lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi saw lantas bersabda, “Jika
kamu mempercayai Allah, Dia akan membenarkanmu.”
Beberapa waktu kemudian, kaum muslimin bertempur melawan musuh. Orang itu
dibawa menghadap Nabi saw dalam keadaan terluka di bagian leher yang ia tunjuk
sendiri sebelumnya. Nabi saw lantas bertanya, “Apakah ia orang yang pernah
datang keapdaku?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Nabi saw lantas bersabda, “Ia
telah memercayai Allah dan Dia pun telah membenarkannya.” Kemudian, Nabi saw
mengafani orang itu dengan jubah beliau dan menyalati jenazahnya. Di antara doa
beliau di dalam shalatnya adalah, “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu yang turut
berhijrah di jalan-Mu, ia terbunuh syahid dan aku sebagai saksinya.” (HR
Nasa’i).
Orang Itu Termasuk Ahli
Neraka
Dari Sahal bin Sa’ad r.a. ia bertutur, Rasulullah bertemu dengan kaum
musyrikin sehingga semuanya bertempur. Ketika Rasulullah saw masuk ke dalam
tendanya, orang-orang pun masuk ke dalam
tenda mereka masing-masing. Di tengah sahabt Rasulullah saw ada seorang lelaki
yagn selalu sigap membunuh setiap musuh dan orang asing. Orang-orang lalu
berkomentar, “Hari ini, tidak ada seorang pun dari kita yang mendapat pahala
sebesar yang didapat si fulan.” Rasulullah saw lantas bersabda, “Tahukah
kalian, ia justru termasuk ahli neraka!” Seseorang lalu bertanya, “Kalau
begitu, besok akan kutemani ia untuk melihat apa yang dilakukannya.”
Orang itu lalu pergi bersama si Fulan yagn dimaksud. Setiap ia berhenti,
orang itu ikut berhenti. Jika ia melangkah cepat, mata-mata itu pun melangkah
cepat. Kemudian, si fulan terluka parah. Ia lalu mempercepat kematiannya
sendiri. Diletakkannya gagang pedangnya ke tanah, sedangkan mata pedang itu
diarahkan ke dadanya. Kemudian, ia menjatuhkan diri di atas pedang itu hingga
ia membunuh dirinya sendiri. Orang yang menjadi mata-mata itu pun segera
menemui Nabi saw seraya berseru, “Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar
Rasulullah.”
Beliau lantas bertanya, “Mengapa?” Ia menjawab, “Orang yang engkau sebutkan
sebagai ahli neraka itu benar-benar ahli neraka.” Orang-orang pun ramai
membicarakannya. Aku lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan mencari orang itu
untuk kalian.”
Aku lalu keluar untuk mengikutinya dan kudapati ia terluka parah. Lalu ia
menyegerakan kematiannya sendiri. Ia menaruh gagang pedangnya di atas tanah dan
matanya diarahkan ke dadanya. Setelah itu ia menjatuhkan dirinya di atas pedang
itu hingga tewas.
Rasulullah saw lantas bersabda, “Ada orang yang melakukan pekerjaan ahli
surga di mata manusia, padahal sesungguhnya ia ahli neraka. Sebaliknya, ada
orang yang melakukan pekerjaan ahli neraka di mata orang-orang, padahal
sesungguhnya ia adalah ahli surga.” (HR Bukhari).
Ada juga riwayat dengan makna yang sama dari Abu Hurairah r.a. Di dalamnya
diterangkan bahwa perang yang dimaksudkan adalah Perang Khaibar. Kebetulan
Perang Khaibar adalah perang pertama yang diikuti oleh Abu Hurairah r.a.
bersama Rasulullah saw.
Kisah Abdullah bin
Mugaffal dan Sekantong Lemak
Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abdullah
bin Mugaffal r.a. Ia berkata, “Aku berhasil mendapatkan satu kantong lemak di
hari Khaibar. Aku pun mengambilnya seraya bergumam, “Hari ini tidak akan kuberikan
lemak ini kepada seorang pun.” Aku lalu menoleh ke belakang, tiba-tiba
Rasulullah saw sedang tersenyum kepadaku.”
Di dalam lafal Bukhari dan Muslim disebutkan, “.... kepada kami dilemparkan
sekantong kulit berisi makanan dan lemak di hari Khaibar. Aku lalu melompat
untuk mengambilnya. Setelah itu aku menoleh ke belakang, ternyata di belakangku
ada Rasulullah. Aku malu kepada beliau.”
Sahabat Kalian Ini
Melakukan Ghulul (Mengambil Harta Rampasan sebelum dibagikan) di Jalan Allah
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Jauhani r.a. bahwa seorang laki-laki
sahabat Nabi saw gugur di hari Khaibar. Orang-orang mengabarkannya kepada
Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, “Shalatilah jenazah sahabat kalian itu.”
Tetapi wajah orang-orang berubah seketika mendengar sabda beliau itu. Rasulullah
saw bersabda. “Teman kalian ini telah melakukan ghulul (mengambil harta
rampasan perang sebelum dibagikan) di jalan Allah.” Kami lalu memeriksa
perbekalannya. Benar saja, di dalamnya kami dapati satu perhiasan Yahudi yang
tidak senilai dua dirham.” (HR Abu Dawud).
Berakhirnya Penaklukan
Khaibar
Putra Abu al-Haqiq mengirimi Rasulullah saw sebuah surat yagn isinya “Aku
akan turun dan ingin berbicara denganmu.” Rasulullah saw menjawab, “Baiklah!.”
Putra Abu al-Haqiq pun turun dan berunding dengan Nabib saw. Ia meminta
damai dengan beliau dan tidak menumpahkan darah di benteng-bentengnya serta
membiarkan keluarganya tetap bersama mereka. Mereka menyatakan siap keluar dari
Khaibar dan seluruh tanahnya serta sia membiarkan Rasulullah dan kaum muslimin
mengambil harta dan tanah mereka, baik yang kuning maupun yang hijaunya.
Rasulullah saw lantas bersabda, “Kalau begitu Allah dan Rasul-Nya terbebas dari
kalian jika kalian menyembunyikan sesuatu dariku.” Akhirnya, Rasulullah saw
menerima tawaran damai itu.
Setelah perundaingan damai itu, semua benteng Khaibar diserahkan kepada
kaum muslimin. Khaibar telah ditaklukkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw memerangi penduduk
Khaibar sehingga mendesak mereka masuk ke benteng-bentengnya. Lalu, beliau
berhasil mendapatkan tanahnya, kebun kurma, dan ladang-ladangnya. Orang-orang
Khaibar berdamai dengan Rasulullah dengan syarat mereka meninggalkan tanah,
kebun kurma, dan ladangnya. Sementara mereka tetap mendapatkan apa yang mereka
bawa di atas unta mereka dan harus keluar dari sana.
Rasulullah saw mensyaratkan mereka agar tidak menyembunyikan suatu apa pun
dari beliau. Jika mereka melakukannya, mereka tidak lagi aman dan tidak berhak
mendapat perlindungannya. Namun, mereka telah menyembunyikan sebuah kotak yang
di dalamnya terdapat harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang telah
dibawanya sendiri ke Khaibar ketika ia diusir dari Nadhir. Rasulullah saw
lantas bertanya kepada paman Hayay, Sa’yah, “Apa yang terjadi pada kotak Huyay
bin Akhtab yang dibawanya dari nadhir?” Sa’yah menajwab, “Isinya telah habis
untuk bermacam biaya dan peperangan.” Rasulullah saw bersabda, “Perang baru
saja terjadi, sedangkan harta itu lebih banyak.”
Rasulullah saw lalu menyerahkan Sa’yah kepada Zubair. Tak ayal Zubair
langsung menyiksanya. Sebelumnya Hujay telah menginjakkan kakinya di
puing-puiing reruntuhan. Akhirnya, Sa’yah berkata, “Aku melihat Hujay
berkeliling di antara puing-puing ini.” Orang-orang segera mencari kotak itu di
sana. Mereka mendapati kotak harta di antara reruntuhan dan puing tersebut.
Akhirnya, Rasulullah membunuh kedua putra Abu al-Haqiq itu, yang salah
satunya adalah suami dari Shafiyah binti Hujay bin Akthtab. Kemudian,
Rasulullah saw menawan seluruh istri dan anak-anak mereka, lalu membagikan
seluruh hartanya karena mereka telah melanggar kesepakatan. Rasulullah ingin
mengusir mrereka dari tanah tersebut, tetapi mereka berseru, “Wahai Muhammad,
biarkan kami yang menggarap tanah ini.” Kebertulan Rasulullah saw para
sahabatnya tidak memiliki budak yang cukup untuk menggarapnya dan mereka jgua
tidak bisa mengawasi penggarapannya secara terus-menerus. Akhirnya, Rasulullah
saw tetap memberi penduduk Khaibar sebagian dari setiap aldang kurma dan sawah,
sedangkan separuhnya lagi milik Rasulullah saw.
Setiap tahun Abdullah bin Rawahah mendatangi mereka untuk menaksir
penghasilannya dan memberi mereka sebagiannya. Kemudian, mereka mengadukan
kepada Rasulullah perihakl sikap Abdullah yang begitu ketat dalam menaksir
hasilnya. Mereka punn ingin menyogok Abdullah. Abdullah menjawab, “Wahai
musuh-musuh Allah, apa kalian ingin memberiku makanan yang haram?” Demi Allah,
aku telah datang kepada kalian dari tempat orang yang paling kucintai.
Sedangkan kalian adalah manusia yang paling kubenci dari sebangsa kalian
sendiri dari kera dan babi. Namun, kebencianku kepada kalian dan kecintaanku
kepada Rasulullah tidak membuatku untuk tidak bisa bersikap adil terhadap
kalian.” Mereka pun berseru, “Dengan sikap seperti inilah bumi dan langit
menjadi tegak berdiri.”
Setiap tahun Rasulullah saw memberi setiap istrinya 80 wasaq kurma dan 20
wasaq gandum.
Di amsa kekhilafahan Umar bin Khtahthab r.a. orang-orang Yahudi itu
mencurangi kaum muslimin. Mereka juga pernah melemparkan Ibnu Umar dari atap
rumah sehingga kedua tangannya patah. Umar bin Khaththab berkata, “Siapa yang
memiliki bagian di tanah Khaibar, hendaknya ia hadir agar kami bisa
membagikannya lagi di antar mereka.” Umar pun membagikannya lagi kepada mereka.
Pemimpin mereka berkata, “Jangan kamu usir kami dari sana, biarkan kami tetap
di sana, sebagaimana yagn diakui Rasulullah dan Abu Bakar terhadap kami.”
Umar lantas berkata kepada pemimpinnya itu, “Apakah kamu lihat sabda
Rasulullah yang berbunyi, “Apa yang terjadi padamu jika kendaraanmu menari-nari
denganmu untuk berkeliling di Syam hari demi hari.” Telah hilang dariku?”
Akhirnya, Umar membagikannya kepada orang-orang yagn turut hadir dalam Perang
Khaibar, yaitu mereka yang juga ikut dalam Perjanajian Hudaibiyah. (HR Abu
Dawud).
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata
:
Pada Perang Khaibar, Rasulullah hanya membunuh dua orang putra Abu
al-Haqiqi kaerna mereka melanggar kesepakatan damainya dengan beliau.
Rasulullah saw telah mensyaratkan mereka agar tidak menyembunyikan sesuatu.
Jika mereka melanggar, tanggung jawab Allah dan Rasulul-Nya terbebas dari
mereka. Akan tetapi, mereka melanggarnya dengan menyembunyikan sesuatu dari
beliau. Akhirnya, Rasulullah saw bertanya kepada mereka, “Di mana aharta yang
kalian bawa keluar dari Madinah saat kami usir kalian dahulu?” Sambil bersumpah
mereka menjawab, “Semuanya telah hilang,” Namun kemudian, sepupu Kinanah
mengakui saat Rasulullah menyerahkannya kepada Zubair untuk disiksa. Setelah
itu Rasulullah saw menyerahkankan Kinanah
kepada Muhammad bin Musalamah, iapun membunuhnya. Disebutkan bahwa
Kinanah dahulu pernah membunuh adik Muhammad bin Musalamah, yaitu Mahmud bun
Msualamah.”
Nabi saw. Menikahi
Shafiyah binti Huyay bin Akhtab
Shafiyah bin Huyay termasuk salah
seorang wanita Khaibar yang ditawan. Awalnya ia didapatkan oleh seorang
sahabat, tetapi Rasulullah saw memintanya lagi. Kemudian, beliau
membebaskannya, lalu menikahinya. Mahar yang diberikan beliau kepadanya adalah
kebebasan dari perbudakan.
Anas bin Malik r.a. bertutur. Kami tiba di Khaibar. Setelah Allah membukakan
seluruh bentengnya untuk Rasulullah, kepada beliau diceritakan tentang kecantikan Shafiyah bin Huyay bin Akhtab.
Kebetulan suaminya sduah terbunuh. Rasulullah pun memilihnya sebagai tawanan
untuk dirinya. Beliau lalu menikahinya. Setelah itu beliau berangkat bersamanya
hingga tiba di Shahba’. Di sana beliau mulai berumah tangga dengannya. Setelah
itu beliau membuat makanan sup di dalam panci kecil. Lalu, beliau bersabda
kepadanya, “Panggil semua orang di sekitarmu!” Itulah hidangan walimah beliau dengan
Shafiyah. Kemudian, kami kembali pulang ke Madinah. Kulihat Nabi saw menutupi Shafiyah
dengan jubah di belakang beliau, beliau berdiri di samping untanya dan menekuk
kedua lututnya. Sementara Shafiyah menginjakkan kakinya di atas lutut beliau
untuk naik ke atas unta. (HR Bukhari).
Hadits itu diriwayatkan secara lebih rinci dengan lafal lain yang juga dari
Anas r.a. Isinya :
Anas r.a. bertutur : Semua tawanan perang dikumpulkan di Khaibar. Dahiyah
datang menemui Rasulullah seraya berakta, “Wahai Rasulullah, berikan aku
seorang tawanan wanita, “Rasulullah menjawab, “Ambillah seorang tawanan
wanita.” Ia pun mengambil Shafiyah binti Huyay. Kemudian, seorang lelaki datang
dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi Dahiyah
budak bernama Shafiyah binti Huyay, pemuka suku Quraizhah dan Nadhir. Shaifyah
layak untukmu.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, suruh orang-orang
membawa Shafiyah kemari.”
Shafiyah pun dibawa menghadap beliau. Ketika melihat Shafiyah, Rasulullah
saw bersabda kepada Dahiyah, “Ambillah budak lain selain Shafiyah.” Anas
bertutur, “Akhirnya, Rasulullah membebaskan Shafiyah, lalu menikahinya.”
Shafiyah lebih memilih Rasulullah daripada keluarga dan kaumnya. Lalu, ia
memeluk agama Islam denan baik. Ketika Nabi saw mengambilnya dari Dahiyah
dengan tebusan, beliau langsung menyerahkannya kepada Ummu Sulaim agar
dipersiapkan dan didandani. Walimah beliau dengan Shafiyah dimeriahkan dengan
hidangan berupa Samnah (lemak), aqath (susu kering), dan kurma.
Diriwayatkan dari Anas ra.a., ia berkata, “Kami (aku dan Abu Thalhah) pun
berangkat bersama Rasulullah, sementara Shafiyah dibonceng Rasulullah.
Tiba-tiba unta Rasulullah tersandung dan tersungkur. Abu Thalhah segera
melompat dari untanya. Ia mendekati beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
engkau mengalami sesuatu?” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa. Bantulah wanita
itu!” Abu Thalhah pun melepas bajunya. Ia segera menuju Shafiyah ia segera mengikatkan baju itu ke Shafiyah.
Kemudian, Shafiyah bangkit dan Abu Thalhah segera mengikatnya di unta
Rasulullah. Shafiyah naik kembali ke atas unta dan Rasulullah juga ikut naik.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan pula dari Anas r.a. ia berkata, “Rasulullah saw menetap di
wilayah antara Khaibar dan Madinah selama tiga malam. Selama itu beliau
menikahi Shafiyah. Aku lalu mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Di
dalam walimah itu tidak ada roti maupun daging. Rasulullah menyuruh Bilal agar
membentangkan nampan. Di aatsnya lalu ditaruh kurma, awath, dan lemak.
Kemudian, kaum muslimin berseru, “Apakah Shafiyah akan menjadin salah seorang
Ummu Mukminin atau budak beliau?” Mereka menjawab, “Jika beliau menutupinya,
berati ia menjadi Ummu Mukminin. Sebaliknya, jika beliau tidak menutupinya, ia
hanya akan menjadi budak wanita beliau.” Setelah itu beliau pun berangkat lagi
dan membonceng Shafiyah di belakang beliau sambil menutupinya.” (HR Bukhari).
Mahar Untuk Shafiyah
Diriwayatkan dari Nasa r.a. ia berkata, “Rasulullah saw menawan Shafiyah
lalu beliau membebaskan dan menikahinya.” Tsabit lalu berkata kepada Anas, “Apa
mahar yang diberikan Rasulullah saw kepadanya?” Anas menjawab, “Pembebasannya,
itulah mahar beliau untuknya.” (IHR Bukhari).
Penyayang dan Pengasih
Terhadap Kaum Muslimin
Sungguh indah untuk diamati bersama sifat-sifat mulia kekasih kita, Nabi
Muhammad saw. Beliau sangat penyayang dan rendah hati. Beliau berbicara dengan
orang-orang di sekitarnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Beliau juga
sering memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengungkapkan isi
hatinya, kemudian, beliau akan berbicara dengannya dengan segenap cinta. Hal
itu beliau lakukan untuk menghilangkan kerancuan dan menampakkan kebenaran.
Itulah yang terjadi pada ibunda kita, Shafiyah binti Huyay r.a.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia bertutur. Di mata Shafiyah terdapat
warna kehijauan. Nabi saw lantas menanyakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda,
“Mengapa wajahmu berwarna kehijauan?” Shafiyah menjawab, “Aku bermimpi melihat
bulan menghilang dari tempatnya dan kutemukan bulan itu jatuh di kamarku. Aku
ceritakan mimpiku itu kepada suamiku, Ibnu Abi Hqiq. Ia lantas marah dan
menamparku seraya berkata, “Kamu mengharapkan Raja Madinah itu?”.
Shafiyah menuturkan, “Ketika itu, tidak ada yang lebih kubenci selain
Rasulullah. Beliau telah membuniuh bapakku dan suamiku. Namun, beliau terus
meminta maaf kepadaku seraya bersabda, “Wahai Shafiyahy, bapakmu itu telah
menggerakkan semua orang untuk memusuhiku, ia telah melakukan ini dan itu
sampai semua rasa benci itu hilang dari diriku.”
Komentar atas sikap mulia Rasulullah tersebut, sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini.
“Sungguh telahd atang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (Ia) sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang
beriman.” (QS. at- Taubah (9) : 128).
Di Rumah Kenabian
Shafiyah pulang bersama sang kekasih, Rasulullah saw setelah melangsungkan
pernikahannya di tengah perjalanan menuju Madinah al-Munawwarah. Ia benar-benar
berada di puncak kebahagiaan karena tidak pernah terpikir olehnya akan menjadi
wanita muslimah, apalagi ia sekarang malah menjadi salah seorang dari Ummul
Mukminin, Ibunda kaum mukminin.
Sungguh, hal itu merupakan saat-saat indah yang tidak bisa dilukiskan
dengan akta-kata atau goresan pena.
Seorang pembawa berita datang ke Madinah untuk memberitahukan kedatangan
Rasulullah saw. Oleh karena itu, seluruh penduduk Madinah keluar menyambut
Rasulullah saw sepulang beliau dari peperangan. Wajah kaum lakki-laki tampak
ceria, anak-anak diselimuti kebahagiaan, hati-hati mereka diliputi kebahagiaan.
Adapun orang-orang munafik berada dalam kegamangan dan kerisauan yang
menakutkan. Mereka menampakkan apa yagn tidak ada di dalam hatinya. Tenggorokan
mereka sesak dengan berita kemenangan Rasulullah saw. Allah pun membongkar
kebusukan mereka. Allah jadikan kalimat orang-orang kafir di bawah, sementara
kalimat Allah tetap yang paling atas.
Seorang Wanita Yahudi Menghidangkan
Kambing Beracun untuk Nabi saw.
Setelah Rasulullah merasa aman dan tenang dengan penaklukkan Khaibar,
seorang bernama Zainab binti al-Harits, istri Salam bin Masykam, seorang
yahudi, menghadiahi Rasulullah hidangan kambing yang telah dibubuhinya racun.
Diriwayatkan dari Anas r.a. ia
bertutur : Seorang wanita Yahudi mendatangi Nabisaw dengan membawa hidangan
kambing yang sudah dibubuhi racun. Rasulullah saw pun memakan hidangan itu.
Kemudian, wanita itu dibawa menghadap beliau. Beliau lantas menanyakan
kepadanya. Wanita itu menjawab, “Aku ingin membunuhmu.” Rasulullah saw
menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melakukannya.” Orang-orang berseru, “Apa
engkau tidak membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak.” Anas
bertutur, “Aku masih melihat bekas racun itu ditenggorokan Rasulullah.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, “Ketika Khaibar sudah
ditaklukkan, Rasulullah saw diberi hadiah hidangan kambing yang sudah dibubuhi
racun. Lalu, Rasulullah saw bersabda, “Kumpulkan semua orang yahudi di sini.”
Mereka pun dikumpulkan di hadapan beliau. Rasulullah lantas bersabda kepada
mereka, “Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian bisa jujur
terhadapku?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Abu al-Qasim.” Rasulullah saw lantas
bertanya, “Siapa moyang kalian?” Mereka menjawab, “Moyang kami adalah fulan.”
Rasulullah lantas menjawab, “Kalian dusta, tetapi moyang kalian adalah fulan.”
Mereka berseru, “Engkau benar dan engkau baik!.”
Nabi saw bersabda lagi, “Apakah kalian akan jujur kepadaku jika kutanya
kalian tentang sesautu lagi?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Abu al-Qasim! Sebab,
jika kami berbohong kepadamu, engkau sudah mengetahuinya sebagaimana engkau
mengetahui moyang kami.” Rasulullah bertanya lagi, “Siapa yang akan menjadi
penghuni neraka.” Mereka menjawab, “Kami di sana hanya sebentar saja. kemudian,
kalian yang ada di sana menggantikan kami.”
Rasulullah saw lantas menjawab, “Abadilah kalian di dalamnya! Demi Allah,
selamanya kami tidak akan menggantikan kalian di sana.”
Kemudian Rasulullah bersabda kepada mereka, “Apakah kalian akan jujur jika
kutanya sesuatu?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Apakah kalian
meracuni kambing ini.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Mengapa
kalian melakukan hal itu?” Mereka menjawab, “Kami ingin memastikan apakah
engkau bohong sehingga kami bisa tenang darimu. Namun, jika engkau seorang
Nabi, maka kambing itu tidak akan berbahaya apa-apa terhadapmu.” (HR Bukhari
dan Abu Dawud).
Di dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa yang memberi hadiah hidangan
kambing itu adalah seorang wanita bernama Zainab binti al-Harits, Istri Salam
bin Masykam. Wanita itu pernah bertanya bagian tubuh kambing mana yang paling
disukai Nabi saw. Kemudian, ada yang memberitahunya, yaitu bagian lengan
kambing. Wanita itu pun membubuhi lebih banyak racun di bagian itu. Setelah
itu, ia membubuhi selurh tubuh kambing terebut dan membawanya kepada Nabi saw
dan para sahabatnya. Nabi saw hanya mencicipinnya sedikit dan racun itu tidak
membunuh beliau. Adapun Basyar bin al-Barra’ bin Ma’rur, ia memakannya dan
langsung meninggal dunia. Nabi saw lantas bersabda, “Tulang kambing ini
memberitahuku bahwa ia telah diracuni.” Kemudian, beliau memanggil wanita itu
dan ia pun mengakui perbuatannya.
Apakah Nabi saw. Membunuh Wanita itu?
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Banyak
riwayat yang berbeda tentang hal tersebut. Para ulama juga berbeda pendapat
tentang apakah Nabi saw membunuh wanita itu atau tidak? Di dalam riwayat Muslim
disebutkan : Orang-orang bertanya, “Mengapa kita tidak memebunuhnya?”
Rasulullah saw menjawab, “Tidak.” Demikian pula dalam riwayat Abu Hurairah dan
Jabir r.a.
Diriwayatkan dari Jabir melalui
jalur Abu Salamah r.a. bahwa wanita itu dibunuh. Di dalam riwayat Ibnu Ababs
disebutkan bahwa Rasulullah saw menyerahkan wanita itu kepada wali dan kerabat
Basyir bin al-Barra’ bin Ma’rur yang meninggal karena memakan racunnya.
Akhirnya, kerabat Basyarlah yang membunuhnya secara Qishash.
As-Suhaili berkata, “Disebutkan
bahwa wanita itu diampuni Rasulullah. Al-Qadhi berkata, “Riwayat-riwayat itu
bsia digabungkan dan dikompromikan. Intinya adalah bahwa Rasulullah saw tidak
langsung membunuh wanita itu saat beliau tahu telah diracun. Kepada beliau
dikatakan, “Bunuhlah wanita itu.” Namun, beliau menjawab, “Tidak.” Ketika
Basyar bin al-Barra’ bin Ma’rur meninggal dunia akibat memakan racun itu,
beliau langsung menyerahkan wanita itu kepadea kerabat Basyar. Merekalah yang
membunuhnya secara Qishash. Pendapat yang menytakan bahwa Nabi saw tidak langsung
membunuh wanita itu benar. Pendapat yang menyatakan bahwa wanita itu akhirnya
dibunuh secara qishash juga benar, wallahu a’lam.”
Racun Berpengaruh Besar di Tubuh Nabi saw.
Disebutkan bahwa hidangan
tersebut termsuk salah satu sebab Nabi saw menderita sakit yang mengakibatkan
beliau wafat.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a.
bahwa ia berkata, “Ketika sakit menjelang wafatnya, Rasulullah saw bersabda
kepadaku, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit bekas hidangan racun yang
kumakan di Khaibar, ini saatnya urat aortaku terputus akibat racun itu.” (HR
Bukhari).
Pembagian Harta Rampasan Perang
Imam Ibnu Qayyim berakta,
“Rasulullah saw memecah ahrta rampasan Perang Khaibar ke dalam 36 bagian besar.
Kemudian, setiap bagian itu dipecah lagi menjadi 100 bagian kecil. Dengan
demikian, semuanya menjadi 3.600 bagian. Separuhnya untuk Rasulullah dan kaum
muslimin, yaitu sebanyak 1.800 bagian. Rasulullah mendapatkan satu bagian
seperti kaum muslimin lainnya. Sedangkan sebagian lagi, yaitu 1.800 bagiannya,
diperuntukan bagi dana bencana dan setiap kebutuhan kaum muslimin.” (HR Abu
Dawud).
Al-baihaqi berkata, “Hal itu
karena Khaibar sebagiannya, ditaklukkan dengan paksa dan sebagiannya lagi
dengan damai.”
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Hal
itulah yang menjadikan dasar pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa tanah
yang dibuka secara paksa harus dibagikan, sebagaimana harta rampasan perang
lainnya. Ketika Rasulullah tidak mendapati Khaibar ditaklukkan seluruhnya
secara paksa, beliau membagi Khaibar menjadi dua bagian. Kemudian, beliau
bersabda, “Ini adalah daerah yang dibuka dengan cara damai.”
Orang yang mengamati sejarah dan
peperangan Rasulullah dengan cermat akan mendapati bahwa sebenarnya Khaibar itu
ditaklukkan dengan paksa. Rasulullah saw menguasai tanah Khaibar seluruhnya
dengan pedang. Sekiranya ada tanah Khaibar yang dibuka secara damai, tentu
Rasulullah saw tidak akan mengusir kaum Yahudi dari sana. Sebab, tatkala
Rasulullah ingin mengusir mereka dari sana, mereka berseru, “Kami lebih
mengenal tanah itu daripada kalian, biarkan kami menggarapnya dan untuk kalian
sebagian hasilnya.” Itulah yang membuktikan bahwa Khaibar ditaklukkan secara
paksa.
Pendapat yang benar dan tidak
diragukan adalah bahwa khaibar dibuka secara paksa. Bagi seorang Imam boleh
memilih dalam hal tanah yang dibuka secara paksa ini, apakah ia membagikan
semuanya dan mewakafkan semuanya atau membagikan sebagiannya dan mewakafkan
sebagiannya lagi? Rasulullah saw sendiri telah melakukan tiga macam tindakan
itu. Beliau membagikan tanah Quraizhah dan nadhir. Namun, beliau tidak
membagikan tanah Makkah. Beliau juga membagikan sebagian Khaibar dan mewakafkan
sebagaiannya lagi.
Beliau juga memberikan harta
rampasan perang 3 jatah untuk seorang pasukan penunggang kuda dan 1 jatah untuk
pasukan pejalan kaki. Semuanya berjumlah 1.400 orang. Di antara mereka ada 200
penunggang kuda. Itulah pendapat yang paling benar dan tidak diragukan lagi.
Tata Cara Pembagian Harta Rampasan Perang
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.
ia berkata, “Pada hari Khaibar, Rasulullah saw memberi pasukan penunggang kuda
2 jatah dan bagi pasukan pejalan kaki 1 jatah.” Kemudian, Nafi’ menafsirkannya
dengan berkata, “Jika seseorang memiliki kuda, ia mendapatkan 3 jatah. Jika
tidak memiliki kuda, berarti ia mendapat 1 jatah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Basyir bin Abi Hatsmah r.a.,
ia berkata, “Rasulullah saw membagi Khaibar ke dalam dua bagian, separuhnya
untuk biaya bencana dan kebutuhan kaum muslim, separuhnya lagi untuk kaum
muslim. Beliau membagikan jatah kaum muslim itu ke dalam 18 bagian besar. “ (HR
Abu Dawud).
Bagian untuk Kerabat Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Jabir bin
Muth’im r.a., ia dengan Utsman bin Affan menemuji Nabi saw ingin mempertanyakan
bagian seperlima yang beliau peruntukan untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, engkau memberi bagian kepada saudara-saudara kami,
yakni Bani Muthalib, dan tidak memberi kami apa-apoa. Sedangkan kekerabatan
kami dan kekerabatan mereka denganmu sama.” Nabi saw bersabda, “Bani Hasyim dan
Bani Muthalib itu satu.” Jabir r.a. lantas bertutur, “Nabi saw tidak memberi
bagian kepada Bani Abd Syam dan Bani Naufal dari seperlima itu, sebagaimana
yang beliau berikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib.”
Jabir juga bertutur, “Abu Bakar
membagikan seperlima itu seperti yang dilakukan Rasulullah. Akan tetapi, ia
tidak memberikan kerabat Rasulullah sebagaimana yang pernah diberikan beliau
dahulu. Umar bin Khaththab memberi mereka dari seperlima itu, demikian pula
Utsman yang menjadi Khalifah saudaranya.” (HR Bukhari).
Seorang Budak Hanya Diberi Sedikit Harta Rampasan
Perang dan Tidak Diberi Jatah Khusus
Diriwayatkan dari Umair, bekas
budak Abu al-Lahm, ia berkata, “Aku turut dalam Perang Khaibar bersama para
tuanku. Mereka berbicara kepada Rasulullah saw tentang jatahku. Belau pun menuruhku untuk mengambil
sedikit harta rampasan perang itu. Aku akhirnya mengambil sebilah pedang.
Ketika aku mengambilnya, orang-orang berseru bahwa aku hanyalah seorang budak.
Akhirnya, Rasulullah menyuruhku mengambil perabotan rumah tangga saja.” (HR Abu
Dawud).
Nabi saw. Memberi Kaum Wanita Jatah Harta Rampsan
Perang dan Memberi Jatah Khusus dari Buah-Buahan.
Dari Tsabit al-Harits al-Anshari
r.a. Ia berkata, “Rasulullah saw memberi Sahlah binti Ashim bin Adi jatah harta
rampasan perang pada hari Khaibar, juga kepada putrinya yang beru dilahirkan.”
(HR. Thabrani).
Dari Zainab binti Abi Mu’awiyah
ats-Tsaqfiyah r.a. ia menyatakan bahwa pada hari Khaibar Nabi saw memberinya 50
wasaq kurmadan 20 wasaq gandum di Madinah.” (HR Thabrani).
Kisah Abu Hurairah dengan Ibban bin Sa’id bin Ash
dalam Pembagian Harta Rampsan Perang
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a. ia menceritakan bahwa Rasulullah saw mengutus Ibban dalam sebuah pasukan
dari Madinah menuju Najed. Kemudian, Ibban dan para sahabatnya mendatangi Nabi
saw di Khaibar setelah beliau berhasil menaklukkannya. Ketika itu bungkusan di
atas kuda mereka hanyalah rumput.
Abu Hurairah r.a. melanjutkan :
“Aku lalu berkata, kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, jangan engkau bagikan
kepada mereka.” Ibban langsung berkata, “Dengan tindakanmu itu, wahai orang
nomad, kamu menghindari kepala kambing.” Nabi saw lantas bersabda, “Wahai
Ibban, duduklah.” Nabi saw tidak memberinya bagian.” (HR Bukhari).
Sebuah riwayat Bukhari dari Ibnu
Umar tentang banyaknya harta rampasan Perang Khaibar tersebut. Ibnu Umar
berkata, “Kami tidak pernah merasa kenyang sampai saat kami telah menaklukkan
Khaibar.”
Diriwayatkan juga dari Aisyah
r.a. ia ebrkata, “Ketika Khaibar ditakkulkkan, kami berseru, “Sekarang kita
bisa kenyang memakan kurma.” (HR. Bukhari).
Ketika Rasulullah saw pulang ke
Madinah, kaum Muhajirin mengembalikan semua kebun kurma pemberian kaum Anshar
dahulu. Itu mereka lakukan setela mereka memiliki harta dan kebun kurma di
Khaibar.
Kaum Muhajirin Mengembalikan Pemberian Orang Anshar
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
r.a. Ia berkata, “Ketika kaum Muhajirin berhijrah dari Makkah ke Madinah,
mereka datang tanpa membawa apa-apa, sementara orang-orang Anshar adalah para
pemilik tanah dan rumah. Akhirnya, orang-orang Anshar rela ebrbagi bersama kaum
Muhajirin, dengan syarat mereka memberikan separuh hasil harta mereka setiap
tahun setelah dipotong biaya dan tenaga.”
Ibunda Anas bin Malik atau
dikenal dengan Ummu Sulaim, yang juga ibu dari Abdullah bin Abi Thalhah,
saudara tiri Anas, pernah juga menghadiahkan sebuah pohon kurma kepada Rasulullah.
Beliu pun membalas pemberiannya dengan menghadiahinya salah seorang budak
beliau, yaitu Ummu Aiman, ibunda dari Usamah bin Zaid.
Ibnu Syihab berkata, “Anas bin
Malik memberitahuku bahwa ketika Rasulullah saw selesai menaklukkan Khaibar dan
telah kembali ke Madinah, roang-orang Muhajirin mengembalikan kebun-jebun kurma
kepada kaum Anshar yang dahulu pernah memberikannya kepada mereka. Akhirnya,
Rasulullah pun mengembalikan pohon kurma pemberian Ibu Anas, Ummu Sulaim.
Kemudian Rasulullah memberi ibunya seorang budak bernama Ummu Aiman sebagai
ganti dari kebun kurma itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. Mengangkat Seorang Anshar sebagai
Pejabat di Khaibar
Dari Abu Said dan Abu Hurairah
r.a. keduanya berkata, “Nabi saw mengutus seorang saudara Bani Adi dari
kalangan Anshar menuju Khaibar untuk menjadi Gubernur di sana.” (HR Bukhari).
Kedatangan Ja’far bin Abi Thalib dan Orang-Orang
Asy’ari
Pada perang Khaibar datanglah
sepupu Rasulullah saw yaitu Ja’far bin Abi Thalib dan para sahabatnya dari
Habasyah. Ia ebrsama orang-orang Asy’ari yang terdiri atas Abdullah bin Qais
(Abu Musa) dan para sahabtnya. Di antara yang datang itu terdapat pula Asma’
binti Umais.
Abu Musa r.a. bertutur : “Kami
mendengar berita keberangkatan Rasulullah saw ketika kami berada di Yaman.
Kamis egera berangkat bersama dua orang saudaraku. Salah satunya bernama Abu
Ruham dan yang lain Abu Burdah,s edangkan aku adalah orang yang paling muda di
antara mereka. Kami berangkat bersama sekitar 50 orang. Kami menaiki sebuah perahu
yang membawa kami ke daratan Habasyah, kerajaan Raja Najasyi. Di sana kami
bertemu dengan Ja’far dan para sahabatnya. Ja’far berkata, “Rasulullahs aw
mengutus dan menuruh kami untuk menetap di sini, maka tinggallah kalian bersama
kami.” Kami pun menetap di sana bersama rombongannya sampai kemudian, kami
pulang ke Madinah. Lalu, kami bertemu dengan Rasulullah saw, setelah beliau
menaklukkan Khaibar. Kemudian, beliau memberi kami jatah dari harta rampasan
perangnya. Beliau tidak memberi jatah kepad aorang yang tidak ikut Perang
Khaibar sedikit pun, kecuali untuk anggota kami, Ja’far dn para sahabatnya.
Beliau memberi mereka jatah masing-masing. Namun, orang-orang berseru kepada
kami, “Kami mengungguli kalian dan mendahului kalian dalam berhijrah.”
Kemudian, Asma’ binti Umais
datang menemui Hafshah. Uamr lantas
menemuinya. Umar bertanya kepada Asma;, “Siapa kamu>” Ia menjawab,
“”Asma’.” Umar lalu berkata, “Kami mengungguli kalian dalam berhijrah. Kami
lebih berhak untuk dekat dengan Rasulullah dariapda kalian.” Mendengar ucapan itu Asma’ pun marah. Asma’ berseru.
“Tidak wahai Umar. Demi Allah, kalian memang bersama Rasulullah. Beliau memberi
makan yang lapar di antara kalian dan memberi nasihat yang bodoh di antara
kalian. Sedangkan kami di negeri yang jauh dan tidak kami sukai. Itu semua kami
lakukan di jalan Allah dan Rasul-Nya. demi Allah, kami tidak akan dan minum
sampai aku bertemu dengan Rasulullah! Di Pengasihan kami menderita dan
ketakutan. Aku akan mengadukan ini kepada Rasulullah saw. Demi Allah, aku tidak
bohong, tidak pula menyimpang, dan tidak menambahkan apa-apa.
Ketika Nabi saw datang, Asma’
berkata, ‘Wahai Rasulullah, Umar berkata ini dan itu tentang kami.” Rasulullah
pun bertanya kepada Asma’, “Apa yang kamu katakan kepadanya?” Asma” menjawab,
“Ini dan itu.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Tidak, ia tidak lebih berhak dari
kalian untuk dekat kepadaku. Ia dan teman-temannya hanya mengalami satu kali
Hijrah, sedangkan kalian, para penumpang perahu, kalian menjalani dua kali
hijrah.”
Abu Musa dan para penumpang
perahu itu menemui Asma’ berduyun-duyun untuk meminta hadits dan sabda
Rasulullah saw tersebut. tidak ada di ddunia ini yang lebih membuat mereka
bahagia dan bangga daripada sabda Rasulullah saw tentang mereka.” (HR Bukhari).
Ketika Ja’far mendatangi Nabi
saw, beliau segera menyambutnya dan mencium keningnya. Kemudian, beliau segera
menyambutnya dan mencium keningnya. Kemudian, beliau bersabda, “Demi allah, aku
tidak tahu dengan apa aku bahagia; apakah dengan Penaklukkan Khaibar atukah
dengan kedatangan Ja’far.” (HR Hakim).
Kisah al-Hajjaj bin ‘Allath dengan Penduduk Makkah
Dari anas bin Malik r.a. ia
ebrkata, “Ketika Rasulullah saw telah menaklukkan Khaibar, al-Hajjaj bin
‘Allath berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki harta di Makkah dan di sana
aku punya keluarga. Aku ingin membawa mereka
kemari. Aku mohon izin kepada engkau dan mengizinkanku untuk menguvapkan
apa saja kepada penduduk Makkah.” Rasulullah saw pun mengizinkannya untuk pergi
ke sana dan mengucapkan apa saja kepada penduduk Makkah.
Kemudian, al-Hajjaj mendatangi
istrinya saat tiba di Makkah. Ia ebrkata kepada istrinya, “Kumpulkan semua
hartamu, aku ingin membeli semua harta rampasan perang Muhammad dan sahabatnya.
Mereka telah mengizinkannya. Harta mereka kini telah dirampas.” Berita itu
akhirnya tersiar di Makkah. Kaum muslimin pun kaget, sementara itu kaum
musyrikin amat bahagia. Kemudian, berita itu terdengar di telinga Abbas r.a.,
ia pun shock dan tidak bisa berdiri.”
Mu’ammar berkata, “Utsman
al-Jazari meriwayatkan kepada kami, dari Muqassim, ia berkata, “Abbas lalu
mengambil anaknya yang mirip dengan Rasulullah bernama Qatsman, ia berbaring
dan menaruh anak itu di dadanya seraya bersenandung :
Cintaku Qatsam, cintaku Qatsam
Mirip dengan orang yang berhidung
mancung
Nabi dan Rasul Tuhan Pemilik
kenikmatan
Meski orang-orang membencinya.”
Tsabit meriwayatkan dari Anas
r.a. ia ebrkata, “Kemudian, Abbas mengirimkan seorang budaknya menemui
al-Hajjaj, Abbas berkata kepada la-Hajjaj, Celaka kamu, berita apa yagn kamu
bawa itu? Apa yang kamu katakan? Ketahuilah bahwa apa yang dijanjikan Allah itu
lebih baik dari berita yang kamu bawa itu.”
Kemudian, al-Hajjaj bin ‘Allath
berkata kepada budak Abbas. “Bacakan suratku kepada Abu al-Fadhl dan sampaikan
salamku untuknya. Katakan padanya agar ia menyendiri di salah satu rumahnya.
Akan kudatangi ia dan kusampaikan berita yang membuatnya bahagia.”
Si budak pun mendatangi Abbas.
Ketika tiba di pintu rumahnya, budak itu berseru, “Berita gembira, wahai Abu
al- Fadhl.” Abbas pun melonjak kegirangan sampai ia mencium kening budak itu.
Kemudian, si hudak memberitahukan apa yang disampaikan al-Hajjaj. Setelah itu
budak tersebut dibiarkan pergi.
Kemudian, al-Hajjaj datang, ia
memberitahu Abbas, bahwa Rasulullah saw telah berhasil menaklukkan Khaibar dan
mengambil semua hartanya, pembagian harta sesuai ketetapan Allah pun telah
dilaksanakan. Rasulullah juga telah memiliki Shafiyah binti Huyay untuk dirinya
sendiri dan memberinya pilihan antara
dibebaskan dan menjadi istri beliau atau kembali kepada keluarganya.
Shafiyah memilih dimerdekakan dan menjadi istri beliau. Al-Hajjaj berkata, “Aku
datang ke Makkah ini sebenarnya ingin mengumpulkan semua harta milikku untuk
kubawa. Aku lalu meminta izin kepada
Rasulullah dan beliau pun mengizinkanku untuk mengucapkan apa saja kepada
penduduk Makkah. Oleh karena itu, bantulah aku, rahasiakan hal ini selama tiga
malam. Setelah itu, lakukan apa yang menurutmu baik!:
Akhirnya istri al-Hajjaj
mengumpulkan semua perhaisan dan barang miliknya, lalu menyerahkannya kepada
al-Hajjaj. Kemudian al-Hajjaj pun bersiap untuk berangkat membawanya.
Setelah tiga malam, Abbas
mendatangi istri al-Hajjaj, ia lalu bertanya kepadanya, “Apa yang didlakukan
suamimu?” Wanita itu memberitahuinya bahwa al-Hajjaj telah pergi di hari
tertentu.
Wanita itu lalu berkata, “Allah
tidak akan mengecewakanmu, wahai Abu al-Fadhl. Berita yang kamu dengar itu juga
telah membuat kami kesulitan.” Abbas lalu berkata, “Ya Allah tidak akan
mengecewakanku. Dengan Puji Allah, tidak ada yang terjadi, kecuali apa yang
kami sukai. Allah telah menaklukkan Khaibar untuk Rasulullahd an harta
rampasannya telah dibagi-bagikan sesuai ketetapan Allah. Rasulullah saw telah
memilih Shafiyah binti Huyay untuk dirinya sendiri. Sekarang, jika kamu
membutuhkan suamimu, kejarlah ia!”
Wanita itu lalu berkata, “Kupikir
kamu adalah orang yang tulus, demi Allah.” Abbas berkata, “Aku ini tulus,
sekarang tergantung apa maumu.”
Kemudian, Abbas berangkat dari
situ dan pergi ke tempat berkumpul orang-orang Quraisy. Jika Abbas melewati
mereka, kaum Quarisy selalu berkata, “Semoga yang kamu alami selalu baik, wahai
Abu al-Fadhl.” Abbas berkata kepada mereka, “Aku baik-baik saja, alhamdulillah.
Al-Hajjaj bin ‘Allath telah memberitahuku bahwa Allah telah menaklukkan Khaibar
di tangan Rasulullah, hartanya pun telah dibagikan, dan Rasulullah telah
memilih Shafiyah untuk dirinya sendiri. Al-Hajjaj memintaku untuk
menyembunyikan berita ini selama tiga hari. Ia datang kemari untuk mengambil
hartanya dan semua hak miliknya di sini. Sekarang ia pun sudah berangkat lagi!”
Setelah itu, Allah pun
memindahkan kesedihan yang sebelumnya melanda kaum muslimin kepada kaum
musyrikin. Kaum muslimin yang sebelumnya sedih itu mendatangi Abbas. Kemudian,
Abbas memberi tahu mereka berita itu hingga mereka pun amat bahagia. Akhirnya,
Allah menimpakan kesedihan kepada kaum musyrikin. (HR Ahmad.).
Hukum-Hukum Fiqh dari Peristiwa Perang Khaibar
Imam Ibnu Qayyim mengatakan
tentang “Pasal tentang Hukum-Hukum Fiqh yang terkandung dalam Perang Khaibar.”
Di antara hukum-hukum fiqh yang bisa disarikan dari peristiwa Perang Khaibar
adalah :
1. Boleh memerangi orang-orang
kafir di bulan-bulan Haram. Tak ada perdebatan di antara ulama tentang bolehnya
memerangi musuh di bulan haram, yaitu jika musuh yang terlebih dahulu menyerang
kita. Adapun yang menjadi perdebatan adalah jika kita yang memulai perang.
Ulama Jumhur berpendapat boleh. Mereka beralasan bahwa haramnya perang di
bulan-bulan haram itu telah di-nasakh (dihapus). Ini adalah mazhab empat imam.
2. pembagian harta rampasan
perang terdiri atas : 3 jarah untuk pasukan penunggang kuda dan 1 jatah untuk
pejalan kaki.
3. Dibolehkan bagi seorang
pasukan muslim jika menemukan makanan untuk memakannya langsung tanpa harus
membagikannya menjadi lima bagian. Itu sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin
al-Mugaffal ketika menemukan sekantung lemak pada hari Khaibar. Ia mengambilnya
sendiri dengan sepengetahuan Nabi saw.
4. Jika balabantuan datang
setelah perang usai, pasukan bantuan itu tidak berhak mendapatkan jatah harta
rampasan perang, kecuali jika pasukan inti merelakannya. Nabi saw, berbicara
kepada para sahabatnya tentang para penumpang perahu saat mereka tiba di
Khaibar, yaitu Ja’far dan para sahabatnya agar mereka mendapatkan jatah. Para
sahabat pun merelakannya.
5. Bolehnya praktek muzara’ah,
yaitu berbagi hasil bumi antara penanam dan pemiliknya, sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah saw terhadap para penduduk Khaibar. Itu termasuk bab
musyarakah (korporasi) dan kebaikan dari Mudharabah (Investasi).
6. Rasulullah saw mengembalikan
tanah untuk mereka garap dengan biaya dari mereka sendiri. Beliau tidak memberi
mereka benihnya sama sekali. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah tidak
mensyaratkan bahwa benih harus dari pemilik tanah.
7. Jika ahludzimah (non muslim
yang berdamai) melanggar salah satu syarat yang ditetapkan atas mereka maka
jaminan untuk mereka tidak lagi berlaku, artinya harta dan darah mereka menjadi
halal. Rasulullah saw telah membuat perjanjian damai dengan penduduk Khaibar
dengan syarat agar mereka tidak menyembunyikan sedikit pun hartanya dari
beliau. Jika mereka melanggar maka darah dan harta mereka menjadi halal. Ketika
mereka tidak melaksanakan syarat itu, Rasulullah pun menghalalkan dan hartanya.
8. Binatang yang tidak bisa
dimakan dagingnya tidak bisa disucikan dengan disemeblih, tidak pula kulitnya,
begitu juga dagingnya,d an sembelihannya itu dianggap sama dengan bangkainya.
Penyembeliha n yang syar’i itu hanya berlaku pada binatang yang dagingnya halal
di makan.
9. Seseorang yang mengambil
sedikit dari harta rampasan perang sebelum dibagikan, ia tidak berhak
memilikinya meski harta it sudah menjadi haknya. Ia hanya berhak memiliki harta
rampasan setelah dilakukan pembagian resmi. Oleh karena itu, Rasulullah saw
bersabda tentang pemilik serban yang diambilnya sebelum dibagikan, “Serban itu
akan menjadi api baginya.” Beliau juga bersabda kepada orang yang mengambil
sepasang sanda yang diambilnya dari harta rampsan perang, “Sandal itu terbuat
dari api neraka baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
10. Boleh mengusir ahludzimmah
(non muslim yang beradami) dari negeri Islam jika mereka tidak lagi dibutuhkan.
Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Kami mengakui kalian selama Allah tetap
mengakui kalian.” Sepeninggal Rasulullah saw, Umar pernah mengusir mereka. Itu
adalah pendapat kuat yang perlu dilakukan jika seorang imam ada maslahat dari
pengusiran tersebut.
11. Seseorang boleh membebaskan
budak perempuannya, lalu menikahinya. Pembebasan itu menjadi mahar baginya
tanpa seizinnya tanpa perlu saksid an wali, kecuali dirinya sendiri, serta
tidak memerlukan lafal “nikah” atai ‘dinikahkan’, sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah saw terhadap Shafiyah. Di sini beliau juga tidak menyatakan atau
mengisyaratkan bahwa praktik itu khusus berlaku bagi dirinya. Qiyas yagn benar
menyatakan bahwa hal itu dibolehkan. Sebab, seseorang yang menjadi pemilik
budak berhak menggaulinya dan mendapatkan pelayanannya. Dengan demikian, juga
berhak mengugurkan hak kepemilikiannya terhadpa budaknya itu, tetapi tetap
menjaga haknya dalam menggauli dan mendapatkan manfaat atau pelayanannya.
12. Boleh menerima hadiah dari
seorang kafir.
Al-Jaza ini juga menulis tentang
halt ersebut dengan Judul Nata ij wa ‘ibar (Hikmah dan intisari) :
1. Bolehnya melantunkan syair dan mendendangkan nasyid
yang terbebas dari keburukan dan kekejian.
2. Bukti tentang tanda-tanda
kenabian dan mukjizat Nabi Muhammad saw yaitu saat beliau memprediksi kematian
Amir bin al-Akwa’ sebelum ia terjun ke medan tempur dan gugur sebgai syahid.
3. Keterangan tentang keutamaan
Ali bin Abi Thalib dan kemenangan yang diraihnya berupa kecintaan Allah dan
Rasul-Nya kepadanya.
4. Keterangan tentang janji Allah
tentang harta rampasan Perang Khaibar. Sebab, Allah telah menjanjikan bahwa
kaum muslimin akan segera mendapatkannya. Allah pun mewujudkan janji-Nya itu.
Hanya kepada-Nya segala pujian dan keutamaan.
Muhammad Sa’id Raadhan berkata,
“Di dalam perang itu terdapat dua peristiwa, masing-masing ditetapkan
berdasarkan hadits shahih dan dianggap sebgai peristiwa luar biasa yang
dengannya Allah mengutkan kenabian Muhammad saw.
1. Rasulullah mengusapkan air
liurnya ke mata Ali yang ketika itu mengalami sakit sehingga sakit mata yang
diderita Ali itu seketika sembuh seakan tidak pernah mengalami sakit.
2. Apa yang dibritakan Allah SWT
tentang hidangan kambing yang dibubuhi racun saat Rasulullah saw ingin
memakannya. Juga tentang qadha Allah yang menetapkan bahwa yang harus memakan
kambing itu adalah Basyar bin al-Bara’ sebelum Rasulullah mengungkap bahwa
kambing itu telah dibubuhi racun. Itulah ketetapan qadha Allah untuknya.
Mungkin itu adalah bukti lain tentang kekhususan yang diberikan Allah kepada
Nabi-Nya, berupa penjagaan dan perlindungan-Nya dari tangan-tangan jahat
manusia. Hal itus esuai dengan janji Allah dalam firman-Nya “Wahai Rasul!
Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan
(apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanah-Nya. dan
Allah memelihara engkau dari (ganguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. al-Ma’idah (5) : 67).
Penaklukkan Fadak
Setibanya Rasulullah saw di
Khaibar, beliau mengirim Muhaishah bin Mas-ud ke kaum Yahudi Fadak untuk
mengajak mereka memeluk Islam. Akan tetapi, kaum Yahudi Fadak malah
menangguh-nangguhkan. Setelah Allah menaklukkan Khaibar, ketakutan pun
menghantui mereka. Akhirnya, mereka mengirim surat kepada Rasulullah untuk
berdamai dan mereka rela menyerahkan separoh Fadak kepada beliau, sebagaimana
yang dilakukan penduduk Khaibar dengan Rasulullah. Rasulullah saw pun menerima
tawaran mereka. Fadak pun menjadi milik Rasulullah saw sendiri karena kaum
muslimin tidak ikut serta dalam penaklukannya.
Perjalanan Nabi saw ke Wadil Qura
Dari Khaibar, Rasulullah saw
bergerak terus ke Wadil Qura. Di sana terdapat sekumpulan orang Yahudi. Turut
bergabung pula dengan mereka sekelompok orang Arab Badui. Ketika pasukan beliau
singgah di sana, orang-orang Yahudi segera melempari mereka dengan anak panah.
Ketika itu kaum muslimin tidak dalam kondisi siap siaga. Mid’am, seorang budak
milik Rasulullah, terbunuh. Orang-orang lalu berseru, “Selamat menikmati surga
untuknya.”. lalu, Nabi saw bersabda, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, serban yang didapatnya dari harta rampasan Perang Khaibar telah
diambilnya tanpa proses pembagian yang sah. Serban itu akan menyalakan api yang
membakar dirinya.” Ketika orang-orang mendengar hal itu,d atanglah seseorang
kepada Nabi saw membawa sepasang sandal, Nabi saw bersabda, “Itu adalah sandal
dari api neraka baginya.”
Setelah itu Rasulullah saw
menyiapkan para sahabtnya untuk bertempur. Beliau membuat barisan, lalu
menyerahkan benderanya kepada Sa’ad bin Ubadah. Beliau juga menyerahkan panji
kepada Hubab bin al-Mundzir, satu panji kepada Sahal bin Hunaif, dan satu panji
lagi kepada Ibbad bin Basyar. Kemudian, beliau menyeru kaum Yahudi itu untuk
masuk Islam. Beliau memberi tahu jika mereka sudai masuk Islam, berarti mereka
telah melindungi harta dan darahnya sendiri. Adapun pahala untuk mereka Allah
yang memberikannya.
Akhirnya, seorang dari mereka
menantang untuk berduel. Majulah Zubair bin Awwam untuk melawannya. Ia berhasil
membunuh Yahudi itu. Kemudian maju lagi Yahudi lainnya, kali ini yang
melawannya adalah Ali bin Abi Thalib. Ali pun berhasil membunuhnya.
Walhasil sebelas orang Yahudi
tewas pada waktu itu. Setiap seorang dari mereka terbunuh, Rasulullah kembali
menyeru mereka untuk masuk Islam. Pada hari itu shalat dilaksanakan. Rasulullah
melaksanakan shalat bersama sahabatnya. Beliau bangkit lagi dan menyeru mereka
kembali untuk masuk Islam. Akhirnya beliau pun memerangi mereka hingga petang
hari. Malam terus larut hingga subuh, matahari belum naik setinggi tongkat,
mereka pun meynyerah. Nabi saw berhasil menaklukan Wadil Qurqa dengan paksa.
Allah memberi beliau harta rampasan perang dari daerah itu. Kaum muslimin
berhasil mendapatkan perkakas dan banyak harta benda. Rasulullah menetap di
Wadir Qurqa selama 4 hari. Di sana beliau membagi-bagikan harta rampasan perang
kepada para sahabatnya. Beliau membiarkan tanah dan kebun kurma tetap di tangan
orang-orang Yahudi untuk mereka gaarap dan beliau mempekerjakan mereka.
Yahudi Taima Menyerah
Ketika penduduk Yahudi Taima
mendengar berita Khaibar telah menyerah, disusul Fadak dan Wadur Qurqa, mereka
akhirnya tidak menyatakan perlawananya terhadap kaum muslimin. Bahkan, mereka
mengirim utusannya untuk menawarkan perdamaian dengan Rasulullah. Beliau pun
menerima tawaran mereka dan segera mengurusi harta bendanya. Kemudian, beliau
menulis surat untuk mereka.
Ini adalah surat Muhammad
Rasulullah kepada Bani Adi. Sesungguhnya mereka memiliki dzimmah (jaminan
perlindungan). Mereka wajib membayar upeti dan mereka tidak akan diusir atau
dimusuhi. Malam terlalu panjang dan siang terlalu berat. Khalid bin Sa’id pun
membalas surat beliau.
Laksanakan Shalat Untuk Mengingat Aku
Dari Abu Hurairah r.a. ia
ebrtutur : Saat berangkat dari Khaibar, Rasulullah saw berangkat di malam hari.
Ketika Rasulullah saw terserang kantuk, beliau pun mengiunap di sebuah tempat.
Beliau berpesan kepada Bilal, “Jagalah kami malam ini.” Kemudian Bilal pun
melaksanakan shalat di malam itu, sementara Rasulullah dan para sahabatnya
tertidur pulas. Menjelang fajar, Bilal bersandar di kendaraannya menunggu waktu
subuh. Tiba-tiba ia terserang kantuk hingga tertidur pulas. Akhirnya,
Rasulullah saw pun tidak sempat bangun subuh, demikian pula Bilal, dan tidak
pula seorang pun sahabat beliau yang bangun hingga matahari terbit menyengat
mereka.
Rasulullah saw adalah orang yagn
pertama bangun ketika itu. Saat bangun, beliau terperanjat kaget seraya
berseru, “Wahai Bilal?” Bilal menjawab, “Demi bapak dan ibuku, wahai
Rasulullah, aku terserang kantuk sebagaimana yang engkau alami.” Beliau lalu
berseru, “Singkirkan tunggangan-tunggangan itu.” Mereka lalu menyingkirkan
tunggangan-tunggangannya. Setelah itu Rasulullah saw berwudhu. Beliau lalu
menyuruh Bilal agar mengumandangkan iqamah. Kemudian, beliau mengimami mereka
shalat. Seusai shalat beliau bersabda, “Siapa yang lupa melaksanakan shalat,
hendaknya ia melaksanakannya saat ingat karena Allah SWT berfirman :
“.... laksanakan shalat untuk
mengingat Aku.” (QS Thaha (20) : 14).
Ada sebuah riwayat yang
menyatakan bahwa kisah itut erjadi pada saat mereka pulang dari Hudaibiyah. Ada
pula riwayat yang menyatakan bahwa kisah itu terjadi pada saat mereka pulang
dari Perang Tabuk.
PENGIRIMAN PASUKAN SETELAH PERANG KHAIBAR
Setibanya Rasulullah di Madinah
membawa kemenangan dari Khaibar di akhir bulan Rabi’ul Tsani, beliau menetap di
sana hingga bulan Syawwal. Sepanjang waktu itu, beliau mengirimkan sejumlah
pasukan untuk berdakwah, membasmi kejahatan, dan menghancurkan tangan-tangan
zalim. Adapun pasukan yang dikirim Rasulullah saw adalah sebagai berikut :
Pasukan Abu Bakar ash-Shiddiq
Rasulullah mengutus Abu Bakar dan
pasukannya, di antaranya adalah Salamah bin al-Akwa’ ke Najed, negeri tempat
Bani Fazarah tinggal. Pasukan itu memerangi mereka dan berhasil menawan banyak
musuh. Di antara tawanan itu terdapat seorang budak yagn sangat cantik. Budak
itu diminta Rasulullah dari Salamah untuk menjadi tebusan bagi kaum muslimin
yang ditawan di Makkah.
Diriwayatkan dari Salamah bin
al-Akwa’ r.a. ia berkata, “Kami
memerangi Fazarah yang dipimpin oleh Abu Bakar. Rasulullah saw mengangkatnya
menjadi pemimpin kami. Ketika jarak antara kami dan sumber air tinggal satu
jam, Abu Bakar memerintahkan kami untuk mendirikan tenda dan kami menginap di
sana pada penghujung malam. Kemudian, pertempuran pun dilancarkan. Akbibatnya,
kaum Bai Fazarah banyak yang terbunuh dan tertawan. Aku melihat sekumpulan
manusia, di antara mereka da kaum wanita dan anak-anak. Aku takut mereka
mendahuluiku lari ke atas gunung. Aku pun emnghujani mereka dengan anak panah
untuk menghalangi mereka lari ke pegunungan. Ketika mereka melihat hujan anak
panah, mereka pun berhenti. Aku kemudina datang dan menggiring mereka. Di
antara mereka ada seorang wanita dan bani Fazarah yang ditutupi tidakr dari
kulit. Ia membawa seorang anak perempuan yang cantik jelita. Aku menggiring
mereka hingga menemui Abu Bakar. Abu Bakar lantas meminta anak perempuan itu
dariku. Kami pun tiba di Madinah dan aku tidak membuka sedikit pun pakaian
wanita itu. Rasulullah saw menemuiku di pasar. Kemudian, beliau bersabda, “Wahai
Salamah, berikan keapdaku wanita itu.” Aku lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ia
membuatku tertarik dan aku tidak membuka sedikit pun pakaiannya.” Kemudian,
Rasulullah menemuiku esoknya di pasar. Beliau bersabda lagi, “Wahai Salamah,
berikan keapdaku wanita itu, demi Allah.” Aku lalu berkata, “Sekarang wanita
itu menjadi milikmu, wahai Rasulullah. Aku tidak pernah membuka sedikit pun
bajunya.” Rasulullah lalu mengirimkan wanita itu ke penduduk Makkah. Beliau
menggunakan wanita itu untuk menebus kaum muslimin yang ditawan di Makkah.” (HR
Muslim).
Pasukan Umar bin Khaththab
Rasulullah mengutus Umar bersama
tiga puluh orang laki-laki ke Negeri
Hawazin. Pemandu jalan mereka ketika itu adalah seorang laki-laki dari Bani
Hilal. Mereka berjalan malam hari dan bersembunyi di siang hari. Ketika kabar
kedatangan Umar sampai ke telinga orang-orang Hawazin, mereka pun kabur.
Tatkala pasukan Umar datang ke
Hawazin, mereka tidak menemukan seorang pun di sana. Akhirnya, mereka kembali
ke Madinah.
Pasukan Basyir bin Sa’ad al-Anshari
Rasulullah mengutus Basyir
bersama tiga puluh orang pasukan ke Bani Murrah did arah Fadak. Akan tetapi,
mereka mendapatkan perlawanan yang sengit dari penduduk Fadak. Mayoritas
anggota pasukan Basyir banyak yang terbunuh, hanya tinggal Basyir sendirian
melakukan perlawanan mati-matian hingga malam menyelimuti. Ia tetap bersembunyi
di Fadak, di rumah seorang Yahudi penduduk Fadak. Setelah itu ia berhasil
kembali ke Madinah dengan selamat. Tidak ada daya dan upaya melainkan milik
Allah semata.
Pasukan Ghalib bin Abdullah al-Laitsi ke Huruqat
Suatu hari, Usamah mendapatkan
pelajaran berharga sepanjang hidupnya dari Rasulullah. Pelajaran itulah yang
terus diresapi Usamah hingga saat ia ditinggal Rasulullah saw dan sampai ia
meninggal dunia di masa kekhalifahan Mu’awiyah.
Dua tahun sebelum Rasulullah saw
wafat, beliau mengutusnya menjadi pemimpin sebuah pasukan untuk menyerang kaum
musyrikin yang mengganggu Islam dan kaum muslimin.
Itulah kepemimpinan pertama yang
diemban Usamah dalam hidupnya. Dalam tuganya, Usamah banyak meraih kemenangan
dan kesuksesan. Berita tentang kemenangannya pun didengar Rasulullah saw hingga
beliau senang dan bahagia.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid
bin Haritsah r.a. ia berkata, “Rasulullah saw mengirim kami dalam sebuah
pasukan. Pagi hari kami tiba di Huruqat, daerah Juhainah. Aku berhasil
menangkap seorang laki-laki. Lalu, ia mengucapkan kalimat la ilaha Ilallah.
Namun, aku tetap menusuknya hingga tewas. Peristiwa itu membuatku tidak tenang.
Aku lalu menceritakannya kepada Nabi saw, lalu beliau bersabda, “Apakah orang
itu sudah mengucap la ilaha ilallah dan kamu tetap membunuhnya?” Aku menjawab,
“Ya, wahai Rasulullah. Sebab, ia mengucapkannya karena takut senjata.”
Rasulullah saw lantas bersabda, “Apakah kamu sudah membuka isi hatinya untuk
mengetahui apakah ia tulus mengucapkan atau tidak?” Beliau terus mengucapkan
sabdanya itu, sampai aku merasa andai saat itu aku belum masuk Islam.
Usamah juga bertutur : Sa’ad bin
Abi Waqqash berkomentar tentangku, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan
membunuh seorang muslim sampai ia dibunuh oleh Dzul Bathin (atau orang yang
menganggap dirinya mengetahui isi batin seseorang)” Maksudnya adalah Usamah.
Seseorang lalu berkata, “Bukankah
Allah pernah berfirman, ‘Dan perangilah mereka itu sampai tidaka da lagi fitnah
dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan (QS al-Anfal 8 : 39).’
Sa’ad lalu berkata, “Kami berperang agar tidak
ada lagi fitnah.” Sedangkan kamu dan para sahabatmu berperang agar terjadi
fitnah.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain, Usamah
menceritakan bagaimana ia sampai membunuh orang itu. Ketika itu ia bersama
seorang Anshar. Usamah bertutur, “Rasulullah saw mengirim kami ke Huruqat di
Juhainah. Pagi hari kami tiba di tempat mereka. Kami segera menyerangnya.
Seorang laki-laki dari penduduk Huruqat mencoba kabur. Aku dan seorang Anshar
mengejarnya. Setelah berhasil menangkapnya, orang itu mengucapkan la ilaha
ilallah.
Orang Anshar tidak mau
membunuhnya, tetapi aku justru menusuknya dengan tombak hingga ia tewas
seketika. Ketika kami kembali ke Madinah, berita itu pun telah sampai kepada
Rasulullah saw. Kemudian, beliau berkata kepadaku, “Wahai Usamah, apakah kamu
membunuh orang setelah ia mengucapkan la ilaha ilallah?” Aku menjawab, “Ia
mengucapkannya untuk berlindung agar tidak dibunuh.” Rasulullah mengulangi
sabdanya itu sampai tiga kali hingga aku berharap andai aku belum masuk Islam
sebelum hari itu!
Peristiwa itu bisa dilihat melalui
firman Allah SWT yang berbunyi “Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah (cari keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman” (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah memberikan nikmat-Nya keapdamu, maka telitilah. Sungguh Allah Mahateliti
terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS an-Nisa’ 4 :94).
Ayat tersebut menunjukkan pada
kasus yang sama dengan peristiwa yang dialami Usamah.
Dalam satu riwayat Usamah
berkata, “Demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran, beliau terus
mengulang-ulang sabdanya itu sampai aku merasa bahwa semua hal sesudah
keislaman itu tidak terjadi. Aku berharap andai aku masuk Islam baru saat itu.
Aku juga berharap andai aku tidak membunuhnya. Aku lalu berkata, “Beri aku
waktu wahai Rasulullah. Aku akan berjanji kepada Allah untuk tidak membunuh
seseorang yang sudah mengucapkan la ilaha ilallah selamanya.” Kemudian, beliau
bersabda, “Katakan ‘sesudahku’ wahai Usamah.” Aku lalu berkata, “Ya,
‘sesudahmu’ wahai Rasulullah.”
Pelajaran
tersebut benar-benar diresapi Usamah. Ketika terjadi fitnah antara Ali dan
Mu’awiyah, Usamah pun memilih menghindar dari perseteruan itu. Ia lalu berkata,
“Aku tidak akan membunuh seseorang yang ,mengucapkan la ilaha ilallah.”
Pasukan Ghalib bin Abdullah al-Laitsi ke Daerah Bani al-Muluh di Kadid
Diriwayatkan dari Jundub bin
Mukaits al-Juhani r.a. ia berkata, Rasulullah saw mengutus Ghalib bin Abdullah
al-Laitsi al-Kalbi menuju Bani al-Muluh did aerah Qadid. Beliau menyuruhnya
agar menyerang mereka. Ia pun berangkat dan aku ikut dalam pasukannya itu. Kami
terus berangkat hingga tiba di daerah Qadid. Di sana kami bertemu dengan
al-Harits bin Malik. Ia adalah putra al-Barsha al-Laitsi. Kami lalu
menangkapnya dan ia berkata, “Aku datang ingin memeluk Islam.” Ghalib bin
Abdullah lalu berkata kepadanya, “Jika kamu benar-benar ingin masuk Islam,
ikatan ini tidak akan membahayakanmu dalam sehari semalam. Namun, jika
sebaliknya, kami akan terus mengikatmu dengan keran.” Ghalib pun mengikatnya.
Setelah itu, ia menyuruh seroang laki-laki hitam anggota pasukan kami untuk
menjaganya. Ia berpesan kepada laki-;laki itu, “Tetaplah bersamanya dan jaga ia
sampai kamid atang lagi. Jika ia melawan, penggallah kepalanya.”
Kemudian kami berangkat hingga
tiba di tengah wilayah Qadid. Kami singgah di sana petang hari setelah Ashar.
Aku diutus para sahabatku untuk menjadi mata-mata. Aku lalu menaiki sebuah
dataran tinggi agar bisa mengintai siapa yang datang. Aku bertelungkup di sana.
Ketika itu hari sduah maghrib, seorang dari mereka ada yang keluar. Ia melihat
ke sana ke mari. Ia melihatku sedang tengkurap di dataran tinggi itu. Ia lalu
berkata kepada istrinya. “Demi Allah, kulihat di aats dataran tinggi itu sosok
hitam yang tadi siang aku belum melihatnya. Coba periksa, jangan sampai
anjing-anjing mencuri sebagian bejana susumu!”
Wanita itu pun memeriksanya. Ia
berkata, “Demi Allah, tidak ada satu pun bejanaku yang hilang.” Orang itu lalu
berkata kepada istrinya. “Ambillah busur dan dua anak panahku dari tempatnya.”
Wanita itu lalu menyerahkan busur dan panahnya kepada suaminya. Laki-laki itu
kemudian membidikku dengan panahnya. Anak panahnya hanya mengenai sisi tubuhku.
Aku lalu mencabutnya dan kutaruh anak panah itu. Aku tidak bergerak. Kemudian
ia memanahku lagi, anak panahnya hanya mengenai pundakku. Aku lalu mencabutnya dan
kutaruh anak panah itu dan tak bergerak sedikit pun. Ia lalu berkata kepada
istrinya, “Demi Allah, panahku telah mengenainya. Jika ia seekor binatang,
tentu akan bergerak. Besok pagi carilah anak panahku di sana dan ambillah ia.
Jangan sampai ia terkena anjing.”
Kami pun terus menunggu sampai
mereka menghilang. Setelah mereka selesai memerah susu ternaknya dan semuanya
telah hening serta gelap malam menyelimuti, kami segera menyerang mereka. Kami
membunuh orang-orang dan kami giring semua ternak mereka. Kami pun segera
kembali pulang. Seorang dari kaum itu berteriak minta tolong. Kami segera
berlari hingga kami bertemu dengan
al-Harits bin Barsha dan teman kami yang menjaganya itu. Kami segera
membawanya. Kami mendengar teriakan orang-orang. Mereka terus mengejar kami.
Hingga saat di antara kami dan mereka ada lembah, tiba-tibda datanglah banjir
bandang yag menghalangi kami dari mereka, padahal sebelumnya kami tidak melihat
hujan atau apapun. Masing-masing dari mereka
tidak bisa menjangkau kami. Mereka hanya bisa memandang kami dan tidak bisa
maju. Kami segera terus menggiring ternak mereka hingga kami tambatkan mereka
di sebuah bukit. Kami pun menjaganya sampai mereka tida bisa merampas apa yang
sudah ada di tangan kami.” (HR Ahmad).
Imam Ibnu Qayyim berakta, “Ada
yagn berkata bahwa sebenarnya pasukan itu adalah pasukan yang sama dengan
sebelumnya, wallahu a’lam.”
Pengiriman Pasukan ke Idham dan Kisah Muhallim bin Jatsamah
Dari Abdullah bin Abi Hudrud r.a.
ia berakta, “Rasulullah saw mengirim kami dalam pasukan ke wilayah Idham. Aku
pun berangkat bersama beberapa orang muslim, di antaranya Abu Qatadah al-Harits
bin Rabi’ dan Muhallim bin Jatsamah bin Qais. Kami berangkat hingga sampai di
daerah Idham, tiba-tiba Amir bin al-Adhbat al-Asyja’i berpapasan dengan kami di
atas untanya yang membawa beberapa barangnya dan satu bejana susu. Ia lalu
mengucapkan salam Islam kepada kami, lalu kami tangkap ia. Namun kemudian,
Muhallim bin Jatsamah menariknya dari kami. Ia lalu membunuhnya. Ia merampas
unta dan barang –barangnya. Ketika kami menemuji Rasulullah, kami pun
menceritakannya kepada beliau. Akhiarnya, turun ayat Al-Qur’an tentang
peristiwa yang kami alami itu : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
perfi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, “Kamu
bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari
harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu
jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka
telitilah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS
an-Nisa 4 : 94).
Pasukan Basyir bin Sa’ad al-Anshari
Rasulullah mengutus Bsyir bin
Sa’ad al-Anshari bersama tiga ratus orang pasukan ke Yaman. Negeri Ghathafan.
Pasukan itu diutus karena kaum musyrikin telah berkumpul di sana untuk
menyerang Madinah. Mereka dipimpin oleh Uyainah bin Hashan dan berangkat untuk
menyusul pasukan Basyir pada malam hari dan beristirahat di siang hari.
Ketika kedua pasukan bertemu,
merek alari tunggang-langgang. Walhasil Basyir dan para sahabatnya banyak
mendapat harta rampasan perang dan berhasil menawan dua orang laki-laki dari
mereka. Keduanya dibawa menghadap Rasulullah. Akhirnya, mereka masuk Islam
dengan baik.
Pasukan Abdullah bin Rawahah
Rasulullah mendengar kabar bahwa
Yasir bin Razam, seorang Yahudi, bergabung bersama kaum Ghathafan untuk
memerangi Rasulullah saw. Akhirnya, Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawahah
dengan tiga puluh orang penunggang kuda, di antaranya adalah Abdullah bin Anis.
Mereka mendatangi Yasir di Khaibar dan berkata kepadanya, “Rasulullah mengutus
kami kepadamu, beliau ingin mengangkatmu menjadi pemerintah di Khaibar.” Yasir
pun akhirnya berangkat bersama tiga puluh orang lainnya menuju Khaibar,
masing-masing membonceng seorang mukmin di belakangnya. Ketika mereka sampai di
Qarqarah Niyar, kira-kira enam mil dari Khaibar, Yahudi itu menyesal. Ia
bergegas mencabut peadng dengan tangannya untuk membunuh Abdullah bin Anis.
Akan tetapi, Abdullah sigap, ia menggeser untanya untuk melindunginya.
Kemudian, Abdullah menerobos ke tengah pasukan Yasir. Setelah mendekati Yasir
ia berhasil emnyerang Yasir dan memotong kakinya. Yasir berusaha melawan, ia
juga berhasil memukul wajah Abdullah bin Ruwahah hingga terluka. Kaum muslimin
marah dan mereka akhirnya membunuh Yasir dan orang-orang Yahudi yang
menyertainya. Sementara itu, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang
terbunuh.
Setelah itu, mereka kembali
pulang menghadap Rasulullah. Beliau mengoleskan air liurnya di wajah Abdullah
yang terluka. Luka itu pun sembuh serta sama sekali tidak mengeluarkan nanah
dan tidak menimbulkan rasa sakit sampai Abdullah wafat.
Pasukan Abdullah bin Hudzafah
Rasulullah mengutus Abdullah bin
Hudzafah menjadi pemimpin pasukannya. Beliau memerintahkan seluruh anggota pasukannya
untuk menaati Abdullah dan mendengar ucapannya.
Pasukan itu lalu berangkat. Di
tengah jalan mereka mampir di sebuah rumah. Setiap kali Abdullah meminta
anggota pasukannya satu hal, mereka menolaknya hingga membuat Abdullah marah.
Di sini Abdullah langsung berteriak, “Kumpulkan kayu bakar!” Mereka pun
mengumpulkan kayu bakar. Kemudian, Abdullah berkata lagi, “Bakarlah kayu itu!”
Mereka lantas membakarnya. Setelah itu Abdullah berkata, “Bukankah Rasulullah
menyuruh kalian untuk menaatiku?” Mereka menjawab, “Ya.” Kemudian, Abdullah
berkata lagi, “Masuklah ke dalam api itu!” Mereka saling memandang satu sama
lain seraya berkata, “Kami menemui Rasulullah karena kami takut api neraka!”
Saat itulah, amarah Abdullah
mereka. Api pun akhirnya padam. Ketika mereka kembali menemui Rasulullah,
mereka menceritakan peristiwa itu kepada beliau. Kemudian, beliau bersabda,
“Jika mereka msuk ke api itu, nsicaya mereka tidak akan keluar lagi darinya.
Ketahuilah, bahwa ketaatan itu hanya dalam kebaikan!”.
Itulah sosok Abdullah bin
Hadzafah sebagaimaan disebutkan dalam riwayat ini. Diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a. ia bertutur : Rasulullah saw mengutus Alqamah bin Mujazziz dalam
sebuah pasukan, aku termasuk anggotanya. Ketika tiba di tengah jalan, segolonga
orang memohon izin darinya dan ia pu
mengizinkannya. Rasulullah mengangkat Abdullah bin Hadzafah bin Qais
as-Sahmi sebagai pemimpinnya. Aku juga termasuk ke dalam pasukan itu. Di tengah
jalan Abdullah menyalakan api untuk membuat sesuatu rencana. Menurut Abdullah
itu adalah permainan. Abdullah berseru, “Bukankah kalian harus mendengar dan
menaatiku?” Mereka menjawab, “Ya.” Abdullah lantas berkata, “Jika kalian
kusuruh melakukan sesuatu, siapkah kalian melaksanakannya?” Mereka menjawab,
“Ya.” Abdullah lau berkata, “aku menyuruh kalian untuk melompat ke dalam api
ini.” Orang-orang bangkit untuk melaksanakannya. Ketika Abdullah mengira bahwa
mereka akan menyeruak masuk ke dalam api, ia langsung berseru, “Tahan! Aku
hanya ingin berguarau bersama kalian.” Ketika kami tiba di Madinah, kami
menceritakan hal itu keapda Nabi saw. Beliau pun menjawab, “Siapa pemimpin yang
menyruh kalian untuk beruat maksiat kepada Allah, jangan kalian taati!.” (HR
Ibnu Majah).
Perang Dzaturriqa’
Seusai mematahkan dua sayap kuat
dari gabungan partai yang memerangi Rasulullah, beliau berpikir untuk segera
mematahkan partai yang ketiga yaitu partai yang terdiri atas Arab Abdui yang berkeliaran
di sekitar Najed. Mereka selalu melakukan kejahatan dan merampas harta banyak
orang.
Orang-orang Arab Badui sulit di
tangkap dan ditaklukkan karena mereka hidup nomaden, berpindah-pindah tempat
dan tidak tinggal did alam benteng atau tempat berlindung, bahkan lebih sulit
dari penduduk Makkah atai Khaibar. Oleh karena itu, langkah yang paling tepat
terhadap mereka adalah memberi mereka pelajaran dan menakut-nakutinya.
Akhirnya, kaum muslimin pun melancarkan misi ini terhadap mereka.
Orang-orang Arab Badui lebih
sering berkumpul untuk melakukan serangan-serangan ke tepian Kota Makkah. Oleh
karena itu, Rasulullah saw memutuskan membuat misi pelajaran yang dikenal
dengan Perang Dzaturriqa’. Perang ini adalah perang melawan Bani Muharib dan
Bani Tsa’labah dari Ghatafan. Dalam perang itu pula Rasulullah saw melaksanakan
shalat Khauf.
Inti dari kisah perang ini,
seperti yang diceritakan oleh para ahli sejarah bahwa Rasulullah saw mendengar
Bani Muharib dan Bani Tsa’labah dari Ghatafan telah bergabung bersama dan
sepakat untuk memerangi beliau. Akhirnya, beliau berangkat bersama 400 atau 700
orang pasukan dan mengangkat Abu Bdzar al-Ghifari atau Utsman bin Affan sebagai
pejabat sementara di Madinah. Rombongan beliau bergerak menuju tempat mereka
yang ketika itu tengah berada di Najed. Belkiau mampir di Nakhl, sebuah tempat
yang termasuk daerah Najed di Tanah Ghatafan.
Setelah mereka mendengar
kedatangan Rasulullah saw, mereka berpencar dan lari ke puncak bukit sehingga
peperangan itu tidak sampai terjadi. Meski tidak terjapi perang, Rasulullah saw
mengimami para sahabatnya shalat Khauf. Ketika itu musim panas hingga mereka
tak sanggup menahan panasnya bumi akibat sengatan matahari. Mereka membalut
kaki mereka dengan kain. Oleh karena itu, perang tersebut disebut dengan Perang
Dzaturriqa’.
Kapan Perang Dzaturriqa’ Terjadi?
Imam Bukhari berkata, “Perang
Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar.” Hal itu dikuatkan oleh Ibnu Katsir
dalam Kitab Sirah-nya, Ibnu Hajar dalam al-Fath, dan Ibnu Qayyim dalam Zad al-Ma’ad.
Akan tetapi, Muhammad bin Ishaq
dan beberapa ahli sejarah menaytakan bahwa perang itu terjadi pada bulan
Jumadil Ula, yaitu dua bulan setelah Perang Bani an-Nadhir, tepatnya apda tahun
keempat Hijriah.
Menurut hemat penulis, riwayat
yagn ada dalam hadits shahih itu lebih benar dan lebih utama. Sebab, ada pula
ucapan-ucapan sahabt yang mendukung dan menguatkannya. Seperti ucapan Abu
Hurairah r.a. berikut : “Aku shalat bersama Rasulullah saw shalat Khauf pada
Perang Najed.” Abu Hurairah sendiri menyongsong Nabi saw untuk memeluk Islam
pada saat Perang Khaibar.
Pendapat itu juga didukung oleh
ucapan Ibnu Umar r.a. bahwa ia berkata, “Aku ikut perang bersama Rasulullah saw
sebelum peristiwa Perang Najed.” Ia lalu menyebutkan tentang shalat khauf Nabi
saw baru memberi izin kepada Abdullah bin Umar untuk berperang pada tahun
Perang Khandaq.
Pendapat itu juga didukung oleh
ucapan Abu Musa al-Asy’ari yang telah disebutkan, yakni tentang sebab prang itu
dinamakan dengan Perang Najed. Ia juga memberitahukan bahwa ia telah
mengikutinya. Kebetulah Abu Musa baru tiba bersama Ja’far dari hijrahnyake
Habasyah pada Perang Khaibar.
Diriwayatkan dari Abu Musa
al-Asy’ari r.a. ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw dalam sebuah
peperangan. Ketika itu kami berjumlah sembilan orang. Kami hanya membawa seekor
unta yang kami tunggangi secara bergantian. Telapak kami melempuh dan kedua
kaki juga robek hingga kukunya berjatuhan karena kepanasan. Lalu, kami balut
telapak kaki kami dengan kain. Oleh karena itu, perang tersebut dinamakan
dengan Perang Dzaturriqa’. Kami membaluk kaki kami dengan kain.”
Abu Musa meriwayatkan hadits itu,
tetapi ia tidak suka menceritakannya. Ia lalu berkata, “Aku tidak layak
menyebutkannya.” Sebab ia tidak suka perbuatannya diceritakan. (HR Bukhari).
Aku Datang keapda Kalian dari Tempat Manusia Terbaik
Ada banyak percobaan pembunuhan
terhadap Nabi saw. Namun, Allah selalu menjaga dan melindungi beliau.
Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia
berkata, “Kami datang bersama Rasulullah saw hingga ketika kami tiba di
Dzaturriqa’, kami berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Kami serahkan
tempat itu untuk beliau berteduh. Nabi saw pun beristirahat di bawah pohon itu
dan menggantungkan peadngnya di salah satu cabangnya. Tiba-tiba Ghaurats,
seorang musyrik, datang dengan mengendap-endap dan mendekati beliau. Ia
kemudian mengambil pedang Rasulullah dan menghunusnya seraya berkata, “Siapa
sekarang yang akan melindungimu dari diriku, wahai Muhammad?” Kemudian,
Rasulullah bersabda, “Allah”. Orang itu langsung jatuh lemas dan pedang yagn
ditangannya pun ikut terjatuh. Pedang itu kemudian diambil Rasululklah, lalu
beliau berkata, “Siapa sekarang yang akan melindungimu dari diriku?” Dengan
gemetar Ghaurats menjawab, “Tak seorang pun.” Kemudian, Rasulullah bertanya
kepadanya, “Apakah kamu mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Ia
menjawab, “Tidak, tetapi aku berjanji tidak akan memerangimu lagi dan tidak
akan mendukung kaum yang memerangimu.” Akhirnya, Rasulullah saw melepaskannya.
Setelah itu, ia kembali kepada kaumnya, ia menceritakan peristiwa itu kepada
mereka seraya berseru, “Aku datang kepada kalian dari tempat manusia terbaik.”
Walhasil setelah perisitwa ini, banyak dari kaumnya yang masuk Islam.
Peristiwa yagn Sulit Dilukiskan Kata-Kata
Seorang sahabt ada yang mengalami
suatu peristiwa yagn tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sekiranya seluruh
sastrawan dan para penyair berkumpul, bniscaya mereka akan kesulitan menuliskan
kebesaran sikap yang jarang sekali terjadi di sepanjang sejarah manusia.
Dari Jabir Abdullah al-Anshari
r.a. ia bertutur, Kami berangkat bersama Rasulullah pada Perang Dzaturriqa’
dari arah Nakhal. Seorang wanita, istri seorang musyrik, kami tangkap. Ketika
Rasulullah pulang, suami wanita itu pulang ke rumahnya. Setelah diberitahu
peristiwa penangkapan istrinya, ia bersumpah tidak akan berhenti sampai
menumpahkan darah seluruh sahabat Muhammad. Ia lalu mengikuti jejak Rasulullah
dan menejar beliau. Rasulullah kemudian singgah di satu tempat di jalan antara
dua bukit. Beliau bersabda, “Siapa yang akan menjaga kami malam ini?” Kemudian,
beliau mengangkat seorang Muhajirin bernama Ammar bin Yasir dan seorang Anshar
bernama Ubad bin Basyar sebagai penjaga dan pengawas. Rasulullah menyuruh
keduanya untuk menjaga mulut jalan. Ketika keduanya berangkat ke mulut jalan,
Ubad berkata kepada Ammar, “Pilih siapa yang terlebih dahulu menjaga, aku atau
kamu?” Ammar berakta, “Biarlah kamu terlebih dahulu yang berjaga.” Ubad bin
Basyar mulai melaksanakan tugas tersebut. sambil berjaga, ia shalat dan membaca
Surah al-Kahfi. Tiba-tiba salah seorang mata-mata pasukan musuh datang. Ia lalu
membidik Ubad dengan panahnya hingga mengenai anggota badannya. Ubad lalu
mencabut panah itu sambil terus melanjutkan shalat dan bacaannya. Kemudian,
orang itu kembali memanah Ubad. Lagi-lagi panah itu mengenai tubuhnya. Ubad
lalu mencabutnya dan tetap meneruskan bacaannya. Setelah itu musuh membidiknya untuk
yang ketiga kalinya. Kemudian Ammar bin Yasir yang tengah tidur terbangun, ia
melihat darah mengucur derasdari tubuh Ubaddan memberitahukan hal itu kepada
temannya. Lalu, ia bertanya, “Mengapa kamu tidan membangunkanku?” Ubad
menjawab, “Aku tadi tengah membaca satu surah, aku tidak mau menghentikannya
sebelum selesai. Namun, ia terus memanahku, aku pun rukuk dan membangunkamu.
Demi Allah, jika bukan karena aku harus melaksanakan perintah Rasulullah untuk
berjaga, aku lebih memilih diriku ini tercabik-cabik panah itu sebelum aku
merampungkan bacaanku.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pengaruh dari Perang Dzaturriqa’
Perang Dzaturriqa’ berpengaruh
besar dalam menanamkan rasa takut di hati orang-orang Arab Badui yang keras
itu. Jika kita perhatikan rincian peristiwa-peristiwa pengiriman berbagai
pasukan setelah perang itu, kita dapati bahwa kabilah-kabilah Ghatafan tidak
lagi berani untujk bertindak sombong di hadapan kaum muslimin. Bahkan, mereka
cenderung melemah sedikit demi sedikit, lalu menyerah, masuk Islam. Terlebih
lagi kita lihat beberapa kabilah dari Arab Badui itu ada yang telah turur serta
bersama kaum muslimin dalam Penaklukkan Makkah, mengikuti Perang Hunain, dan
mengambil harta rampasannya. Para ahli sedekah pun tak segan mengirimkan
sedekahnya kepada mereka sepulangnya mereka dari Perang Penaklukkan Makkah.
Dengan demikian, rampunglah upaya melumpuhkan tiga sayap gabungan dalam partai
besar musuh Islam sehingga wilayah diselimuti kedamaian dan keamanan. Sejak
saat itu, kaum muslimin telah mampu menutupi setiap celah dan kelemahan yang
ada di sebagian wilayah beberapa kabilah itu dengan muda. Bahkan, setelah
perang itu, dimulailah langkah-langkah pendahuluan untuk menaklukkan
wilayah-wilayah dan kerajaan-kerajaan besar lainnya karena keadaan di dalam
negeri Islam telah berkembang pesat bagi kepentingan kaum muslimin dan Islam.
Kisah Unta Jabir bin Abdullah r.a.
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah r.a. ia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw dalam sebuah
peperangan. Tiba-tiba untaku melemah dan membuatku agak terlambat dari barisan.
Rasulullah saw lantas mendatangiku. Beliau berkata kepadaku,”Wahai Jabir, ada
apa denganmu?” Aku menjawab, “Untaku telah melemah hingga aku tertinggal
pasukan.” Beliau lalu turun dan memukul unta itu dengan tongkat. Setelah itu
beliau bersabda kepadaku, “Naiklah.” Aku pun naik, seketika unta itu bangkit
dan berjalan dengan cepat, bahkan mendahului unta Rasulullah. Beliau lalu
bersabda kepadaku, “Apakah kamu sudah menikah, wahai Jabir?” Aku menjawab,
“Ya.” Beliau bertanya lagi, “Dengan perawan atau janda?” Aku menjawab, “Dengan
janda.” Nabi saw lantas bersabda, “Mengapa kamu tidak menikahi perawan sehingga
kamu bsia bersendau gurau bersamanya?” Aku lalu menjawab, “Aku memiliki banyak
saudara perempuan. Aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa menghimpun
mereka, menyisir rambut mereka,d an mengurusi semua kebutuhan mereka.”
Rasulullah lantas bertanya
kepadaku, “Apakah kamu mau menjual untamu, wahai Jabir?” Aku menjawab, “Ya.”
Beliau membelinya seharga beberapa awqiayh.
Rasulullah pun tiba di Madinah.
Aku tiba di sana waktu subuh. Aku segera mendatangi masjid dan kulihat beliau
sedang berada di pintu masjid. Beliau
lalu bersabda kepadaku, “Sekarang kamu telah datang.” Aku lalu menjawab, “Ya.”
Beliau lalu bersabda, “Tinggalkan untamu dan masuklah, shalatlah dua raka’at.”
Aku kemudian, masuk dan melaksanakan shalat dua raka’at. Setelah itu, aku
kembali menemui beliau. Rasulullah lantas menyuruh Bilal untuk menakar beberapa
awqiyah. Bilal lalu menimbangya untukku. Ia benar-benar tepat dalam menimbang.
Setelah itu aku mengambil uangnya dan pergi dari situ. Ketika aku pergi Rasulullah
bersabda, “Panggilkan Jabir.” Aku pun dipanggil beliau kembali, kemudian, aku
bergumam, “sekarang beliau akan mengembalikan unta itu keapdaku, padahal tidak
ada yang lebih kubenci dari unta itu.” Beliau bersabda kepadaku, “Ambillah unta
itu, dan ambil pula uang penjualannya.: (HR Bukhari dan Muslim).