FILSAFAT DAN SILSILAH RINGKAS WAYANG PURWA
Oleh : Pujo Prayitno
Motto : Carilah Ilmu untuk mengenal diri sendiri sebagai penghantar untuk mengenal Tuhan.
BAB I
P E M B U K A
Tulisan
ini adalah merupakan terjemahan bebas dari Pengantar Serat Bagawat Gita
yang termuat dalam Buku Serat Bagawat Gita yang ditulis oleh Drs. Ir.
R.M.S. Suryo Hudoyo, yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Djojo Bojo –
Surabaya, cetakan ke dua Tahun 1990. yang ditulis dalam bahasa jawa.
Tulisan ini juga saya anggap sebagai pengantar sekelumit dari Filsafat
Wayang dan ditulis dalam rangka menyongsong kebangkitan Ilmu Jawa; dan
juga dalam rangka menyongsong Kebangkitan Islam yang akan diawali dari
Tanah Jawa; dan juga dalam rangka menyongsong kambalinya Dahnyang Pulau
Jawa yang telah lama oncat dari Tanah Jawa semenjak dari runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang tidak lain adalah Kyai Semar Bodronoyo yang
sekarang sedang membangun Istananya, posisi tepatnya di pusat semburan
lumpur panas porong yang nantinya tempat tersebut sebagai pusat
pertemuan para Sesepuh, Pinisepuh, para Filosof dan para ahli ilmu pada
era baru di atas era computer, karena lumpur panas porong adalah sebagai
bukti dari kesalahan analisa computer, yang mengakibatkan kebingungan
para ahli dalam menghadapi lumpur porong dimana ilmunya tiada berguna
dalam menghadapi kejadian tersebut, dikarenakan para ahli tidak
mengetahui dan memahami mengapa hal itu terjadi. Dasar Pengalaman
ketika para ahli berusaha menutup semburan Lumpur porong baik dengan
cara tekhnologi ataupun supranatural maka akan semakin parah dan tidak
bakalan berhasil. Hal ini telah saya ingatkan dengan tulisan Hubungan
Lumpur panas Porong dengan sastra jawa pada tahun 2006, termuat di
Tabloid Posmo edisi 390. (Tingkatan era yaitu 1. Era Agrikultur –
Petani; 2. Era Industri – Pekerja pabrik; 3. Era Informasi dengan adanya
Komputer – Pekerja Ilmu; 4. Era Konseptual atau Era Penciptaan atau Era
Pesimpati yang saya sebut juga sebagai era filsafat Iluminasi).
Rupanya,
dari ketiga era yang pada puncaknya pada pekerja Ilmu telah sampai pada
titik jenuh dimana dari hasil ilmu semua cara dan materi telah
tercukupi, maka akan tumbuh cara berfikir baru. Cara berfikir yang lama
baru sampai pada separo dari kemampuan otak manusia yang digunakan.
Hamka mengatakan bahwa Ilmu berkembang sebatas pengalaman, filsafat
berkembang sebatas pemikiran dan Agama berkembang sebatas keyakinan.
Semakin tinggi cara yang digunakan, semakin tinggi dari masing-masing
tingkatan, baik ilmu, filsafat ataupun Agama yang selalu tumbuh
berkembang menyesuaikan dari cara berfikir manusia yang selalu
berkembang dari jaman ke jaman. Ini adalah sifat dasar dari kekekalan
dunia, yaitu perubahan itu sendiri yang semakin lama semakin sempurna
dalam cara berfikir manusia untuk menuju kepada yang Maha Sempurna
yaitu yang mencipta manusia yang barang kali bisa disebut sebagai
manunggaling Kawula Gusti. Yang jelas menurut pendapat penulis untuk
menuju era baru seperti tersebut di atas, perlulah berkaca pada cara
berfikir lama, seperti yang akan kami sampaikan pada Bab. II.
BAB II
ISI TERJEMAHAN
|
Kata
Bagawat bermakna Pangeran atau Tuhan, sedangkan Gita bermakna Gending
atau lagu. Sehingga kata Bagawat Gita bisa dimaknai senandung atau musik
irama Ketuhanan, yaitu senandung yang diturunkan oleh Tuhan kepada
manusia yang teguh imannya dengan irama dan isi ajarannya yang bisa
memberi pencerahan bagi jiwa manusia sempurna dan bisa memberi petunjuk
kepada kesempurnaan hidup , baik lahir maupun batin.
Jalan
tersebut dalam ajaran Agama Islam disebut “ Syiratal Mustaqiemu”
Jalannya manusia sempurna, yaitu bagi manusia yang telah terbuka
jiwanya, sehingga bisa menyaksikan kenyataan Dwi Tunggal yaitu
Manunggaling Kawula Gusti, yang dengan demikian tidak akan pernah
berpisah dengan Tuhannya, Allah yang Maha Kuasa, yang mengendalikan
Jagat alit (Microcosmos) dan Jagat Agung (Macrocosmos).
Serat
Bagawat Gita berisi uraian ajaran-ajaran Sri Bathara Kresna kepada Sang
Harjuna ketika akan terjadi Perang Brata Yuda, dimana Harjuna tidak mau
maju ke medan laga dikarenakan yang akan menjadi lawan dalam perang
tersebut adalah para Saudara, sahabat dan para gurunya sendiri.
Beginilah
keluhan dan tangisan Sang Harjuna : “ Wahai Sang Prabu, ketika hamba
perhatikan di antara pihak Ngastina dan Pihak Pandawa, ada yang kaprenah
Uwa, Paman, Eyang, Nak sanak, Keponakan, dan putu naksanak dari garis
ibu dan dari garis ayah, para mertua, para sahabat dan para kenalan
baik, para guru yang akan berperang dengan mengeluarkan semua kesaktian
yang dimilikinya agar bisa menang di medan laga. Sungguh hati hamba
menjadi gelap, dan bingunglah jalan pikiran hamba. Bahu dan kaki hamba
menjadi lemas tak berdaya. Mulut dan kerongkpngan hamba menjadi kering,
merinding seluruh badan dan rambut hamba berdiri. Gendewa terlepas dari
tangan, panas dan neratap seluruh kulit. Hamba tak mampu berdiri lagi.
Bingung cipta dan ripta hamba”.
Masih
banyaklah ucapan Sang Harjuna kepada Sri Bathara Kresna, yang pada
akhirnya dengan suara yang terbata-bata, karena terlalu berat menanggung
beban tekanan jiwanya sehingga Harjuna mengatakan : “Wahai Sang Prabu,
hamba sungguh tidak akan tega dan hamba tak berdaya untuk berperang
melawan saudara hamba sendiri, dan para sesepuh pinisepuh dan para guru
hamba, lebih baik hamba sendirilah yang hancur lebur”. Pada akhirnya
Harjuna membuang gendewanya serta jatuh tersungkur tak berdaya di dalam
kereta perangnya
Kepada
yang sedang mengalami goncangan jiwa yang maha amat sangat berat, Sri
Kresna memberikan ajaran-ajaran yang sangat banyak. Ajaran tersebut
termuat di dalam Serat Bagawat Gita yang terbagi atas 18 bab, yang
isinya menerangkan langkah-langkah yang berbeda-beda untuk bisa mencapai
ilmu hakikat yang sempurna. Setelah menerima ajaran-ajaran dari Sri
Kresna, Harjuna kemudian bangkit semangatnya, sehingga dengan mantap
melangkah untuk menghadapi perang Brata Yuda.
Para
pembaca, sesungguhnya perang Brata Yuda atau perang saudara adalah
melam-bangkan perang di dalam diri manusia sejati guna untuk
menghacurkan Angkara (egoisme) dan murka (hebzucht) yang ada dalam diri
setiap manusia, agar nantinya dapat menjadi raja di dalam dirinya
sendiri.
Adalah
hal yang tidak aneh, pada umunya manusia tidak mempunyai niat untuk
membunuh hawa nafsu serta angkara dan murkanya sendiri. Sebab,
sesungguhnya manusia itu tidak boleh hanya mengutamakan kesenangan
dirinya sendiri, dan yang seharusnya untuk menjaga keselamatan hidup
bersama, jadi seharusnyalah manusia dalam melangkah dengan tanpa pamrih
untuk dirinya sendiri dan tidak boleh hanya menuruti rasa kepuasan untuk
dirinya sendiri di dalam hidup di dunia ini. Jadi, untuk apakah hidup
di alam dunia ini ?.
Keadaan
yang demikian akan dialami oleh setiap orang di dalam tumbuhnya
(evolusi) jiwanya guna menuju pada kesempurnaan hidup. Pada suatu saat
manusia akan mengalami bahwa semua keadaan di dunia ini serba tidak
menyenangkan, dan tidak memuaskan, sehingga akan menumbuhkan pertanyaan
di dalam bathin, “ Apa sih perlunya hidup di dunia ini? Sesungguhnya
pertanyaan tersebut tidak bakalan akan medapat jawaban yang memuaskan
dari siapapun juga di dunia ini. Manusia yang telah mencapai tingkatan
evolusi jiwanya yang demikian, kemudian merasa gelap di dalam hatinya.
Semakin lama semakin terasa berat beban hidupnya. Hidup di dunia bagi
dirinya terasa sebagai siksaan yang tiada habisnya. Hanya dengan kasih
sayang dari Tuhan-lah, diri yang demikian pada akhirnya akan mendapat
pencerahan langsung dari Sang Guru Jati, yaitu Allah yang Maha Murah,
Maha Asih, Maha Kuasa dan Maha Bijaksana yang menjadi sumber dari segala
yan g ada.
Keadaan
jiwa manusai yang tergambar di atas, di dalam Serta Bagawat Gita
dilambangkan oleh keadaan Harjuna pada saat akan menghadapi perang Brata
Yuda. Dirinya berdiri di atas kereta perang, dikusiri oleh Sri Kresna
di tengah-tengah medan laga Kuru Setra dengan memperhatikan siapa saja
yang akan menjadi lawan tanding dalam perang pupuh nantinya.
Manusia
yang telah mendapatkan pencerahan dari Tuhan, dan kemudian telah juga
mengerti untuk apa sesungguhnya hidup ini, tentu tidak akan menghindar
untuk menjalankan apa saja, baik berat ataupun ringan di dalam hidupnya
di alam dunia ini. Sebab, dirinya telah mengerti bahwa manusia itu
sesungguhnya hanya sebatas menjalankan titahnya Pangeran dan
sesungguhnya Pangeran itu selalu melindungi dirinya.
Demikian
juga Harjuna, setelah menerima penjelasan dari Sri Kresna, lewat
wiridan-wiridan yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, harjuna
kemudian bersedia maju ke medan laga guna untuk melenyapkan para
saudaranya serta para gurunya sendiri yang menjadi lambang ibarat
kesanggupan manusia untuk menghancurkan hawa nafsu serta angkara dan
murkanya sendiri. Sesungguhnya semua kenikmatan hidup di dunia ini tak
berarti apa-apa dibanding dengan kenikmatan hidup Manunggal Menyatu
dengan Pangeran.
|
I. Hubungan Antara Serat Bagawat Gita dengan Serat Maha Barata
Serat
Bagawat Gita adalah merupakan bagian dari Serat Maha Barata bagian yang
ke enam yang menjadi inti sari dari Serat Maha Barata.
Di
depan telah disampaikan bahwa ajaran-ajaran yang termuat di dalam Serat
Bagawat Gita sesungguhnya berisi ilmu pengetahuan yang sangat luhur,
yang merupakan anugerah yang tiada bandingnya dalam masalah
keluhurannya yang diturunkan oleh Pangeran kepada manusia yang telah
mendekati kesempurnaan hidup di dalam evolusi kehidupannya. Oleh karena
ajaran-ajaran di dalam Serat Bagawat Gita serta petunjuk-petunjuk di
dalam Serat Maha Barata menjadi gambaran atau lambang dari perjalanan
evolusi jiwa manusia pada tingkat yang terakhir, sehingga dapat
diartikan bahwa Serat Maha Barata juga berhubungan dengan jalan
evolusinya bagi jiwa manusia.
Pernyataan
demikain tidak meleset. Kata Maha bermakna agung, sedangkan Barata,
pada awalnya bermakna saudara tua laki-laki. Jadi rupa-rupanya maknanya
ada hubungannya dengan maknanya kata Brother dalam baha Ingris, Broder
dalam bahasa Belanda dan Bruder dalam bahasa Jerman. Sehingga Serat Maha
Barata sesungguhnya lambang dari riwayat singkat sejarah dari evolusi
jiwa manusia agung, yaitu manusia yang telah berhasil menyelesaikan
kodrat evolusi jiwanya, manusia yang telah bisa membuktikan dengan cara
menjalankan sendiri panunggaling Kawula Gusti. Manusia seperti itu tidak
lain adalah Para Nabi Agung, Para Maharsi, Para Bodhisatwa dan Para
Budha. Jadi sesungguhnya Serat Maha Barata adalah uraian yang dibuat
sebagai perlambang atau Allegori terhadap satu kalimat yang sangat
berarti di dalam Ajaran Agama Islam yaitu kalimat sebagai berikut :
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, yang bermakna dari Allah asalnya
dan kepada Allah kembalinya. Makna demikian semakin jelas di dalam
cerita wayang atau cerita Padhalangan yang jelas-jelas bersumber dari
cerita Maha Barata.
|
II. Cerita Maha Barata dan Cerita Padhalangan
Cerita
Maha Barata di tanah jawa mengalami perubahan yang sangat mencolok,
setelah digubah menjadi cerita padhalangan dikarenakan :
|
Ø Pengaruh Agama Islam.
Ø
Yang kemudian menimbulkan keyakinan bahwa para Pujangga Jawa atau para
Ahli Filsafat Jawa, lebih dalam pemikirannya mengenai cerita Maha
Barata dibanding dengan para ahli Filsafat dari India (Filsafat India
bisa dipelajari dari buku Indian Philosophy – oleh – Radha Krishnan –
(Pen).
|
Dari
mana timbulnya keyakinan seperti itu ?. Di dalam cerita Maha Barata
yang asli, yang ada pertama kali adalah Sang Hyang Brahman. Di dalam
cerita Padhalangan, yang ada pertama kali adalah Nabi Adam yang keduanya
sama-sama mempunyai anak turun yaitu Para Dewa atau Para Jawata. Malah
menurut Padhalangan Nabi Adam – Manusia – Setelah menurukan Nabi Sis,
Sang Hyang Nur Rasa dan Sang Hyang Nur Cahya, kemudian menurun-kan Sang
Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang yaitu Allah Yang Maha Esa dan Allah
Yang Maha Kuasa!. Apabila hanya diterima apa adanya saja, perubahan di
dalam cerita Padhalangan kelihatannya tidak masuk akal sama sekali.
Secara akal, mana mungkin manusia (Adam) mempunyai anak – Allah yang
bersifat Maha Esa dan Maha Kuasa itu ?.
Tapi ketahuilah, bahwa kata Adam apabila ditulis menggunakan harufu
Arab adalah Ain, Dhal dan Mim yang bermakna Satu atau Esa tanpa awal dan
akhir, tanpa wujud dan tanpa warna. Jadi, sesuatu yang tidak bisa
digambarkan oleh akal budi-nya manusia. Kiranya makna kata Adam yang
demikian ada hubungannya dengan arti kata Belanda yaitu Adem yaitu
pernafasan. Nafas atau hidup dan kata Atma yaitu hidup murni di dalam
Ajaran Agama Hindu. Menurut para ahli sufi ataupun para ahli filsafat
jawa, Adam itu mempunyai sifat-sifat makdum azali dan abadi. Artinya
makdum adalah awal tanpa ada yang mengawali. Azali artinya sumber dari
segala yang ada, dan Abadi yang berarti langgeng tanpa awal dan tanpa
akhir, yaitu Allah sendiri.
|
III. Cerita Padhalangan dapat dibagi menjadi 6 bagian pokok, yaitu :
1.
|
Jaman Kadewan; Berisi cerita-cerita sebagai lambang terciptanya Macrocosmos atau Kabir atau Jagad Besar.
|
2.
|
Cerita
Sang Hyang Winu menitis menjadi Ikan, Kura-kura, Singa, Manusia Cebol,
dan Rama Bargawa – manusia tinggi besar yang selalu membawa senjata
Kampak. Cerita-cerita tersebut menjadi lambang terciptanya semua jenis
hewan dan manusia di bumi, juga bisa dianggap sebagai lambang bayi yang
masih berada di dalam kandungan seorang Ibu.
|
3.
|
Cerita
mengenai anak turunnya Bathara Brama sampai kepada Abiyasa yang menjadi
lambang terciptanya Microcosmos, Alam Saghir atau Jagad Kecil.
|
4.
|
Cerita
mengenai anakturunnya Abiyasa yang menjadi lambang Evolusi jiwa manusia
sampai kepada kedewasaan jiwanya; ketika di dalam jiwa manusia mulai
tumbuh niyat untuk mencapai kesempurnaan hidup.
|
5.
|
Wirid-wirid
atau Ajaran-ajaran yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, adalah
merupakan ajaran-ajaran yang mengajarkan bagaimana cara langkah manusia
untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup dan watak yang bagaimana yang
perlu dipunyai agar cita-cita tersebut bisa terlaksana.
|
6.
|
Cerita
mengenai Perang Brata Yuda, sebagai lambang proses penghancuran sifat
Angkara Murka, serta watak yang tercela, yang menjadi penghalang untuk
bisa menggapai cita-cita manusia pada tingkatan yang terakhir yaitu
Panunggaling Kawula Gusti.
|
IV.
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian I.
|
1.
|
Adam berada di Kaswargan atau sorga.
Pangeran
masih berada di sonyaruri (tempat yang tiada gerak) jagad belum
tercipta, papan dan jaman, terang dan gelap belum ada. Belum ada
apa-apa.
|
2.
|
Adam
mendapatkan pasangan yaitu Babu Kawa. Kata kawa di sini berasal dari
kata Arab, yaitu Hawa yang mempunyai arti suatu keinginan atau karsa.
Pangeran berkehendak untuk menggelar Jagad Raya.
| |
3.
|
Nabi
adam dan Babu Kawa sama-sama memakan buah larangan yaitu buah kebaikan
dan buah kejahatan. Ini menjadi lambang awal dari adanya Dwi Tunggal
yang selalu berpasang-pasangan. Seperti, kebaikan dan kejahatan, atas
dan bawah, jauh dan dekat, panjang dan pendek, positif dan negative, dan
seterusnya-seterusnya; sehingga setelah Nabi Adam menikmati buah
kebaikan dan kejahatan, Adam dan Hawa kemudian diperintah untuk turun
dari Sorga. Ini sebagai tanda telah terciptanya Jagad Raya yaitu dunia
maya ini.
| |
4.
|
Adam dan Hawa berputra Nabis Sis.
Ini
bermakna sebagai perlambang tumbuhnya kesadaran diri di dalam jiwanya
Macrocosmos. (Nabi Sis dalam Agama Islam adalah anak ke 6 yang dalam
Serat Paramayoga karangan Ronggo Warsito, anak turun dari Nabi Sis
adalah Penghuni awal Pulau Jawa, selengkapnya anak turun Nabi Adam dalam
serat tersebut, sebagai berikut :
|
1.
|
Sayid Kabbil alias Kain, dengan Siti Aklimah. (Anak turunya tinggal di Afrika)
|
2.
|
Sayid Abbil dengan Siti Dammimah.
| ||
3.
|
Sayid Israil alias Ngabdullah dengan Siti Sarirah.
| ||
4.
|
Sayid Israwan alias Ngabdurrahman dengan Siti Onnah
| ||
5.
|
Sayid Basradiwan alias Ngabdulkaris dengan Siti Dayunnah (Keturunannya di Afrika)
| ||
6.
|
Sayidina Sis (anak turunnya sebagai penghuni Pulau Jawa)
| ||
7.
|
Sayid Yasis dengan Siti Ngawis
| ||
8.
|
Sayid Sesan dengan Siti Ngais
| ||
9.
|
Sayid Yasmiyan dengan Siti Ramsah
| ||
10.
|
Sayid Yanmiyan dengan Siti Yarusah
| ||
11.
|
Sayid Suryan dengan Siti Sarriyat
| ||
12.
|
Sayid Amman dengan Siti Mahas
| ||
13.
|
Sayid Kayumarat alias Sultan Kayumutu dengan Siti Hindunmaras
| ||
14.
|
Sayid Akjuja dengan Siti Makjuja
| ||
15.
|
Sayid Lata dengan Siti Ngujya (anak turunya tinggal di Cina).
| ||
16.
|
Sayid Harat dengan Siti Haruti
| ||
17.
|
Sayid Danhab alias Kawakil dengan Siti Danhab alias Siti Khawokhiyah
| ||
18.
|
Sayid Bantas alias Asmakil dengan Siti Bintisah alias Asmakiyah
| ||
19.
|
Sayid Sus alias Asmail dengan Siti Susiyah
| ||
20.
|
Sayid Jamrut alias Malkhail dengan Siti Jamrudah alias Siti Malkiyah
| ||
21.
|
Sayid Ajurut alias Tamkali dengan Siti Ajrudah alias Siti Tamkiyah
| ||
22.
|
Sayid Adna alias Yahnail dengan Siti Adinnah alias Siti Yahinnah
| ||
23.
|
Sayid Harna alias Harnail dengan Siti Amiyah
| ||
24.
|
Sayid Samal dengan Siti Samiyah
| ||
25.
|
Sayid Ngawail dengan Siti Ngawiyah
| ||
26.
|
Sayid Astail dengan Siti Astiyah
| ||
27.
|
Sayid Nurail dengan Siti Nuhriyah
| ||
28.
|
Sayid Nyhkail dengan Siti Nuhiyah
| ||
29.
|
Sayid Nukail dengan Siti Sarkiyah
| ||
30.
|
Sayid Sarkail dengan Siti Sarkiyah
| ||
31.
|
Sayid Karail dengan Siti Kariyah
| ||
32.
|
Sayid Dujail dengan Siti Jujiyah
| ||
33.
|
Sayid Katail dengan Siti Katiyah
| ||
34.
|
Sayid Arkail dengan Siti Arkiyah
| ||
35.
|
Sayid Mrihkrail dengan Siti Mirkiyah
| ||
36.
|
Sayid Ardabbil dengan Siti Ardiyah
| ||
37.
|
Sayid Sanail dengan Siti Naniyah
| ||
38.
|
Sayid Sujail dengan Siti Pujiyah
| ||
39.
|
Sayid Salsail dengan Siti Salsiyah
| ||
40.
|
Sayid Sahnail dengan Siti Sahniyah
| ||
41.
|
Siti Hunun
| ||
42.
|
Sayid Sahalnail dengan Siti Sahaniyah
| ||
(Pen.)
|
5.
|
Nabi Sis berputra Sang Hyang Nur Rasa. Bermakna sebagai perlambang telah digelarnya alam Cipta, yaitu alam Perasaan.
| |
6.
|
Sang Hyang Nur Rasa berputra Sang Hyang Nur Cahya, yaitu telah digelarnya alam Ripta yaitu alam pikiran.
| |
7.
|
Sang Hyang Nur Cahya berputra Sang Hyang Tunggal; ini sebagai lambang Allah Yang Maha Esa.
| |
8.
|
Sang Hyang Tunggal berputra Sang Hyang Wenang; ini bermakna bahwa Allah Yang Maha Esa mempunyai sifat Maha Kuasa.
| |
9.
|
Sang
Hyang Wenang berputra; 1. Sang Hyang Ismaya; 2. Sang Hyang Manikmaya.
Ismaya adalah Kyai Semar; Manikmaya adalah Bathara Guru. Ini sebagai
perlambang Gelar dari alam dunia. Maya berarti samar-samar atau tidak
nyata; Sebab selalu mengalami perubahan-perubahan. Ism atau Nama’ ini
bermakna sebagai nama atau dalam bahasa jawa sebagai Jejer. Lahirnya
Ismaya melambangkan telah digelarnya semua yang maya atau samar-samar,
yaitu yang tidak nyata; yang adanya karena mengada yang berasal dari
Panca Indra Kita. Ini tiada lain adalah alam dunia ini yang sesungguhnya
adalah Alam Yang Tidak Nyata.
Manik
Maya bermakna inti sari yang maya tersebut di atas. Yaitu daya kekuatan
atau daya hidup yang menggerakan, yang meliputi dan menguasai semua
yang ada dan mengada di dunia ini.
| |
10.
|
Shang
Hyang Ismaya berputra Bathara Surya (Matahari); Bathara Candra (Bulan);
Batari Mahyati (Bumi); Bathara Yama ( Bintang Hanggara atau Mars);
Bathara Darmanastiti (Bintang Budha atau Merkurius); Bathara Kamajaya
(Bintang Sukra atau Venus); dan seterusnya. Ini sebagai perlambang telah
terciptanya semua bintang dan semua planet. Dalam cerita Padhalangan
yang disebutkan hanyalah bintang dan planet yang berada pada Tata Surya
kita saja.
| |
11.
|
Sang
Hyang Manikmaya berputra Bathara Sambu, Bathara Brama, Bathara Bayu,
Bathara Indra dan Bathara Wisnu. Ini sebagai lambang telah terciptanya
anasir-anasir atau unsure-unsur kimia yang menjadi awal mula atau yang
membentuk semua yang ada di dunia ini. Di dalam Serat Maha Barata atau
cerita Padhalangan, unsur kimia yang disebutkan hanya unsure dasar saja
yaitu yang membentuk atau hanya bisa menyebabkan kehidupan yang ada di
dunia fana ini; yaitu zat-zat organis. Sesungguhnya jumlah unsur kimia
yang ada sangatlah banyak jumlahnya lebih dari 92 jenis, seperti Timbal,
Perak, Emas, Tembaga, Helium, Natrium, Fosfor, Belerang, Radium,
Polonium. Namun unsure-unsur terakhbir ini hanya membentuk benda-benda
yang tidak bernyawa, yaitu segala jenis batu yang bermacam-macam. Walau
sesungguhnya Ekstrak dari semua unsur kimia yang ada adalah jasad
manusia, karena manusia adalah mahluk yang peling sempurna.
|
Mengulang
atas keterangan di atas, yaitu bahwa anak turun Sang Hyang Manikmaya
adalah yang melambangkan unsur-unsur kimia yang pada umumnya membentuk
zat-zat organis. Bathara Sambu melambangkan unsure Carbon (C), Bathara
Brama melambangkan unsure Oksigen (O), Bathara Bayu melambangkan
Nitrogen (N), Sedangkan Bathara Wisnu melambangkan Ether atau energy
yang merupakan daya kekuatan yang berada pada inti atom yang telah
disebut di atas; yang bertugas menjaga kemurnia dari atom tersebut, dan
juga sebagai daya kekuatan yang menyatukan antara Carbon, Oksigen,
Nitrogen dan Hidrogen yang akan membentuk zat-zat organis yang
bermacam-macam. Zat-zat organis kadang-kadang masih juga tercampuri oleh
atom-atom atau unsur-unsur zat kimia yang laim walau hanya sedikit;
Seperti atom unsur belerang atau Sulfur (S).
Sampai
di sini, alam dunia telah digelar lengkap dengan segala
tumbuh-tumbuhan; semak belukar dan juga semua jenis rerumputan dan yang
belum ada adalah jenis sumua hewan dan manusia.
|
IV.
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian II.
Tetang Penitisan-penitan bathara Wisnu.
|
1.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Mina (Ikan).
Ini
menjadi lambang terciptanya semua kehidupan di dalam air. Sehingga
jenis kehidupan hewan air adalah yang pertama ada. Pendapat para
pujangga pada jam dahulu yang seperti itu tidak bertentangan dengan
pendapat dari para ilmuwan modern sekarang ini.
| |
2.
|
Bathara Wisnu Nitis menjadi Kura-kura.
Sebagai lambang dari awal terciptanya hewan yang hidup di antara air dan daratan, yaitu hewan amphibi dan reptile.
| |
3.
|
Batahara Wisnu nitis menjadi Garuda (Burung).
Sebagai lambang terciptanya bangsa burung.
| |
4.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Landak.
Sebagai
lambang awal terciptanya hewan menyusui, jenis herbivore, yaitu
hewan-hewan yang mekanan pokoknya adalah rerumputan atau dedaunan.
| |
5.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Singa Barong (Singa).
Sebagai lambang awal mula terciptanya semua jenis hewan yang makanan pokoknya adalah daging (Carnivora).
Sampai
di sini dunia telah tercipta dan menjadi tempat kehidupan semua jenis
tumbuh-tumbuhan dan semua jenis hewan. Urutan jenis kehidupan seperti
tersebut di atas tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat para ahli
keilmuan moderen.
Bathara
Wisnu kemudian meneruskan penitisannya sebagai lambang awal terciptanya
berbagai jenis bangsa dalam kehidupan manusia, dimulai dari bangsa
paling tertua, sebagai berikut :
|
6.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Jenis Manusia Cebol.
Ini
menjadi lambang terciptanya bangsa Pygmy. Manusia dewasa Bangsa Pygmy
tingginya kurang lebih 130 Cm. Sisa-sisa bangsa Pygmy saat ini yang
masih hidup yaitu di Benua Afrika dan apabila tidak salah mungkin juga
ada di Papua. Menurut cerita Padhalangan, walaupun Manusia Cebol yang
tingginya Cuma 130 Cm, akan tetapi hanya dengan melangkah tiga kali
sudah bisa mencapai langit yang tinggi. Makna yang demikian tidak lain
bahwa manusia sesungguhnya harus melewati tiga tataran sifat evolusi
dalam jiwanya barulah bisa menjadi manusia sempurna, Insan Kamil.
Tataran
yang pertama yaitu tingkatan manusia yang hanya menuruti keinginan dari
raga dan perasaannya saja. Tataran Evolusi jiwa yang demikian lebih
dekat dengan sifat dari hewan dari pada tingkatan sifat dari manusia.
Tataran
yang kedua yaitu tataran manusia yang didalam segala tindakannya lebih
memberatkan dari apa yang diperintahkan oleh akal budinya.
Tataran
yang ketiga adalah tataran manusia binangun, manusia yang dalam segala
tindakannya selalu menuju kepada kesempurnaan kehidupan lahir dan
kehidupan bathin.
|
7.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Rama Bargawa.
Ini
menjadi lambang awal dari manusia yang kedua. Rama Bargawa digambarkan
sebagai orang bertubuh tinggi dengan berkulit hitam dan tidak pernah
berpisah dengan senjatanya yang berupa kampak yang terbuat dari batu.
Rama Bargawa adalah sebagai lambang dari manusia pada jaman batu. Bangsa
yang demikian yang selanjutnya tumbuh menjadi jenis manusia yang
berkulit hitam.
| |
8.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Harjuna Sasrabahu.
Ini
menjadi lambang awal terciptanya manusia yang ke tiga, yaitu manusia
pada Jaman Tembaga. Menurut cerita manusia tersebut jaman dahulu kala
mendiami wilayah Atlantis dan Lamuria yang kini telah tenggelam di dasar
Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik.
| |
9.
|
Bathara
Wisnu nitis menjadi Rama Wijaya, ini menjadi lambang awal terciptanya
manusia yang ke empat, yaitu manusia di Jaman Perunggu, yang menjadi
cikal bakal dari bangsa berkulit kuning, barangkali saat ini adalah
Bangsa Cina, Korea, Jepang dan Mongol.
| |
10.
|
Bathara Wisnu nitis menjadi Sri Kresna.
Ini
menjadi lambang terciptanya manusia yang ke lima, yaitu manusia pada
Jaman Besi atau Kali Yuga, mungkin sebagai awal dari bangsa berkulit
putih.
|
V.
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian III.
Cerita Mengenai Anak Turun Dari Bathara Brama Sampai Dengan Cerita Abiyasa.
|
Sebelum
melanjutkan pada cerita Padhalangan Bagian yang ke tiga, perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa : “Siapakah pengarang yang sesungguhnya
dari Serat Maha Barata ini? Menurut pendapat yang telah umum, bahwa yang
mengarang Serat Maha Barata adalah Seorang Manusia Agung pada jaman
dahulu, yang telah mumpuni dalam Olah Ilmu kehidupan dengan amat sangat
sempurna, yang bernama Viyasa. Menurut pendapat umum, Viyasa
sesungguhnya bukanlah pengarang yang sesungguhnya. Sebab kata Viyasa
berasal dari kata Vi yang berarti telah mumpuni dan kata Yasa yang
berarti yang membuat, yang mengarang, yang mencipta, sehingga Viyasa
bisa diartikan sebagai Pengarang yang mumpuni. Jadi bukanlah nama dari
pengarang yang sesungguhnya.
Lantaran
Bathara Guru dan Bathara Brama, Viyasa (Abiyasa) sebagai keturunan dari
Sang Hyang Wenang. Ini jelas menunjukan bahwa menurut Pengarang Maha
Barata bahwa manusia sesungghnya berasal dari Allah yang bersifat Maha
Kuasa. Ini mengingatkan dalam Ajaran Agama Islam sebagai berikut : Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Pada
Serat Maha Barata dan juga pada cerita Padhalangan, Abiyasa selain
menggambarkan sebagai wujud manusia juga menggambarkan sebagai wujud
dari Jagad Kecil (microcosmos). Jagad Kecil juga sebagai gambaran dari
jagad besar (Macrocosmos). Dan juga sebaliknya.
|
Dalam Jagad Kecil
|
Sebagai perwujudan dari
|
Dalam Jagad Besar
| |
Brama Saddhara
|
Nabi Adam
| ||
Brama Sadtapa / Tritrustha
|
Nabi Sis
| ||
Parikenan
|
Sang Hyang Nur Rasa
| ||
Manumanongsa
|
Sang Hyang Nur Cahya
| ||
Sakutrem
|
Sang Hyang Tunggal
| ||
Sakri
|
Sang Hyang Wenang
| ||
Palasara
|
Bathara Guru
| ||
Abiyasa
|
Bathara Ismaya
|
VI.
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian IV.
Cerita
Kehidupan Keturunan Abiyasa, Sebagai Lambang Evolusi Manusia, sampai
dengan Kedewasaan Jiwanya, Pada Saat Manusia Mempunyai Niat Yang Kuat
Untuk Berjuang Menuju Kesempurnaan Hidup.
|
Setelah
menerangkan asal usul manusia (Microcosmos), yang berasal dari Tuhan,
kemudian Sang Viyasa atau Abiyasa, meneruskan karangannya yaitu Serat
Maha Barata, dengan jalan merenungi keadaan dalam dirinya sendiri
(jiwanya sendiri). Bahwa sesungguhnya di dalam jiwa setiap manusia ada
dua unsur. Unsur yang pertama selalu mengajak pada kebaikan. Sedangkan
unsure yang kedua selalu mengajak pada kejahatan. Manusia juga diberi
kemampuan untuk bisa membedakan antara kebaikan dan kejahatan yang dalam
Ajaran Agama Islam disebut “Al Furqan” dalam Bahasa Jawa disebut “Traju
Panimbang”.
Keadaan jiwa manusia seperti tersebut di atas, dalam Serat Maha Barata
dilambangkan dalam cerita, bahwa Abiyasa mempunyai anak tiga, yaitu :
1. Drestharata, lambang
dari suara batin tiap manusia yang selalu mengajak pada kejahatan,
Drestharata itu buta sehingga tidak bisa mengerti kebaikan.2. Pandhu, lambang dari suara batin tiap manusia yang selalu mengajak pada kebaikan.
3. Yama Widura, lambang dari Traju Panimbang antara Kebaikan dan Kejahatan yang berada dalam suara batin tiap manusia.
|
Anak
tiga tersebut, yang dua yaitu Drestharata dan Pandhu lahir dari Garwa
Padmi. Sedangkan yang ragil yaitu Yama Widura lahir dari Garwa Selir.
Ini mengandung maksud bahwa adanya kebaikan dan kejahatan sesungguhnya
berasal dari atas, sebab telah menjadi kodrat dari kehidupan. Di muka
telah diterangkan bahwa Nabi Adam dan Babu Kawa turun ke dunia
dikarenakan berani makan buah kebaikan dan kejahatan. Sebaliknya Yama
Widura anak dari Garwa Selir. Ini mengandung arti bahwa pertimbangan
antara kebaikan dan kejahatan tumbuh karena pengalaman dalam kehidupan
di alam dunia ini.
Anak-anak
dari Abiyasa semuanya cacat. Yang anak pertama telah diterangkan bahwa
Drestharata buta, yang pada intinya bahwa Drestharata adalah buta
terhadap kebaikan. Seterusnya Pandhu cacat thengeng. Pandhu dalam
setiap tindakan apa saja, selalu berupaya untuk keselarasan antara Cipta
(Perasaan) yang terletak di Jantung dan Ripta (Pikiran) yang terletak
di otak. Garis yang menghubungkan antara otak dan jantung adalah tidak
tegak lurus, kenyataannya adalah miring. Inilah yang dimaksud dengan
keadaan Pandhu yang cacat thengeng. Sedangkan Yama Widura cacatnya
adalah lumpuh. Traju panimbangan antara kejahatan dan kebaikan bisanya
hanya membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Akan tetapi tidak
ikut-ikut dalam menentukan mana yang harus di pilih atau yang mana yang
harus dikerjakan. Sehingga Yama Widura dalam perang Brata Yuda tidak
memihak Pandhawa ataupun Ngastina.
Diceritakan
bahwa Drestharata mempunyai anak sebanyak seratus orang, yang
kebanyakan mempunyai nama awalan Dur, seperti Duryudana, Dursasana,
Durmuka, Durbala, dan seterusnya; Dur mempunyai arti kejahatan.
Drestharata buta mengandung maksud buta terhadap kebaikan, yang bisa
menimbulkan perbuatan jahat jumlahnya amat sangatlah banyak sekali.
Pandhu
putranya hanya lima, tiga anak dari Dewi Kunthi dan dua anak dari Dewi
Madrim. Anak tiga dari Dewi Kunthi sesungguhnya, yang satu yaitu
Yudhistira (Punthadewa) adalah anak dari Bathara Darma. Yang satu lagi,
Bima (Werkudara), sesungguhnya anak dari Bathara Bayu, dan yang satu
lagi, yaitu Harjuna sesungguhnya adalah anak dari Bathara Indra.
Yudhistira
sesungguhnya sebagai lambang dari hidup yang tidak bersentuhan dengan
kematian. Sehingga Yudhistira mempunyai keraton yang bernama Amarta,
yaitu jaman kelanggengan (hidup abadi). Yudhistira adalah Atma-nya
manusia, Jagad kecil, sebagai pembanding dari Nabi Sis pada Jagad besar.
Bima sebagai lambang Budi yang ada dalam jiwa manusia, sebagai
pembanding Sang Hyang Nur Rasa pada jagad besar. Sedangkan Harjuna
adalah sebagai lambang manas atau akal, sebagai pembanding Sang Hyang
Nur Cahya pada jagad besar.
Dua
anak dari Dewi Madrim, Nakula dan Sahadewa, sesungguhnya adalah anak
dari Dewa Kembar yang bernama Aswin. Nakula sebagai lambang dari Raga
manusia. Na bermakna wujud, dan Kula bermakna aku. Sehingga Nakula
bermakna Wujudku, yaitu Ragaku. Nakula sebagai raga dari setiap manusia
(Jagad Alit) sebagai pembanding Ismaya (Semar) pada jagad besar.
Kemudian Sahadewa sebagai lambang Lingga dari badan, yang menyebabkan
rasa yang menguasai kulit, daging, dan seluruh bagian raga yang lainnya,
yang ikut oncat meninggalikan raga ketika manusia meninggal dunia.
Sahadewa sebagai pembanding Manikmaya pada jagad besar.
Pandawa dan Kunti
Madrim sama maknanya dengan Mater (latin), Mutter (Jerman) dan Moeder
(Belanda). Madrim sebagai lambang Ibu Pertiwi, yaitu bumi yang kita
injak ini. Ketika manusia meninggal dunia, raga akan pulang kembali
kepada asal mula kejadianya yaitu Bumi ini.
Sampai
di sini telah lengkaplah para peraga pokok di dalam Serat Maha Barata.
Ketahuilah. Negara Astina dalam Serat Maha Barata atau dalam cerita
Padhalangan, menjadi lambang dari Jagad kecil. Perselisihan yang tiada
habis-habisnya antara Kurawa Ngastina dan Kurawa Pandawa, berebut
kekuasaan dalam Negara Astina, ini menjadi lambang perang antara
kebaikan dan kejahatan untuk bisa menguasai Jagad Kecil.
|
Agar lebih jelas dalam menghayati bahwa begitu dalamnya isi dari Cerita Padhalangan, untuk itu perlu kami jelaskan juga bahwa :
Pada
saat masa kecilnya yaitu masa kanak-kanak, anak dari Drestharata dan
anak-anak dari Pandhu, hidup bersama yang bertempat di Kraton Astina.
Ini menunjukan bahwa pada awalnya manusia belum mengetahui apa bedanya
kebaikan dan kejahatan. Di sini Kraton Astina sebagai lambang dari raga.
Asti yang berarti Gajah, mempunyai watak sepuluh, selaras dengan
kepercayaan Bangsa Hindu bahwa dunia ini dijaga oleh gajah yang
berjumlah sepuluh. Yang rinciannya adalah di sebelah Utara, Timur Laut,
Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Atas (Zanith)
dan Bawah (Nadir). Lengkap sepuluh. Sehingga kata Astina Pura mempunyai
arti sebuah kota yang mempunyai gapura sebanyak sepuluh buah. Ini
sesungguhnya adalah sebagai lambang setiap raga manusia. Pada umumnya
jumlah lobang dalam raga manusia hanya dianggap Sembilan jumlahnya
(nutupi babahan nawa sanga). Sesungguhnya adalah salah hitung, sebab
lobang kelamin manusia sebetulnya adalah dua yaitu jalannya mani dan
jalannya urine, akan tetapi hanya dihitung satu.
Para
anak dari Drestharata dan Pandhu yang sama-sama tinggal di Kraton
Astina pada saat masih berumur kanak-kanak, di didik oleh tiga orang
guru, yaitu :
|
1.
|
Bagawan Krepa;
Ceritanya
adalah, Krepa tercipta dari rumput, yang tumbuh karena dari mani salah
satu Pandhita yang jatuh ke dalam tanah. Oleh karena pohon padi termasuk
jenis rerumputan, sehingga Krepa bisa sebagai lambang dari Pohon Padi,
beras, ataupun makanan. Selain dari itu Ngrepa dalam bahasa jawa bisa
bermakna mencari makanan ke dalam hutan, yang berupa akar-akaran ataupun
dedaunan dan juga buah-buahan. Ini sebagai isyarat bahwa salah satu
tujuan dari pendidikan awal untuk semua makhluk hidup tidak lain adalah
mengajarkan agar bisa mencari makanannya sendiri. Dalam masa sekarang
untuk pendidikan anak, agar anak bisa mengurus keperluannya sendiri atau
menjadi anak yang mandiri.
| |
2.
|
Resi Bisma;
| |
Arti
dari Bisma adalah sesuatu yang menakut-nakuti. Salah satu cara dalam
pendidikan adalah dengan cara menakut-nakuti anak didik. Anak sekolah
harus ditakut-takuti, nanti akan tidak naik kelas, nanti akan dimarahi
oleh orang tuanya, dan seterusnya. Sampai dengan berumur tuapun manusia
masih perlu ditakut-takuti, agar dalam hidupnya selalu mengerjakan
kebaikan saja. Apabila tidak, maka akan bisa kena perkara ataupun di
penjara, atau bahkan nantinya di akherat akan masuk ke dalam neraka
jahanam. Jarang sekali manusia yang mau berbuat kebaikan dikarenakan
atas kesadaran dirinya sendiri saja. Ini juga bisa melambangkan
pendidikan budi pekrti yang luhur.
|
3.
|
Drona
| |
Yang
betul adalah Drona, terbawa dari saat lehirnya yaitu di dalam Jun
(wadah) atau Drona. Nama Kumbayana juga sama maknanya. Kumba yang
berarti Klenthing, Klenting atau Jun sebagai lambang dari ruangan di
dalam kepala sebagai tempat otak manusia. Pandhita Durna sebagai lambang
dari Ripta atau pikiran manusia. Durna adalah anak dari Bagawan
Baratmaja di Negara Atas Angin. Baratmaja atau Barat Atmaja, ini berarti
anaknya angin, sehingga Durna adalah cucu dari angin, halusnya
sangatlah halus. Tumbuhnya akal adalah dari bergeraknya pikiran.
Sehingga Harjuna (Akal) akan digerakan oleh Durna (Pikiiran) sehingga
Harjuna adalah siswa kesayangan Pandhita Durna. Harjuna adalah ahli
memanah (manah dalam bahasa jawa bermakna hati – memanah – menata hati
untuk menuju kebaikan. Orang jawa dalam berfikir mampu mencari makna di
balik kata sampai beberapa tingkat, logika fikiran jawa sangatlah
tinggi. Contoh : Apabila ada huruhara, pikiran pertama akan bertanya
saiapa dalangnya; pikiran tingkat dua, bukan hanya dalangnya saja yang
dipikir, akan tetapi siapakah yang nanggap; Pikiran tingkat tiga, untuk
keperluan apakah nanggap itu; dst, sampai ditemukan inti masalah yang
sesungguhnya; orang jawa bilang alon-alon asal klakon. Pen.).
|
Dari
ketiga cara guru dalam mengajarkan ilmu yang tersebut di atas bisa
dibandingkan dengan Sistem Pendidikan Karakter , yang sedang digalakan
dalam sitem pendidikan awal di Indonesia saat ini. Lebih sempurna lagi
bila di tambah dengan system pendidikan Budhi Pekerti layaknya Harjuna
yang pandai memanah (pandai menata hati).
|
Tokoh
lainnya yang perlu dimengerti maknanya agar lebih mengena dalam
memahami ajaran serat Maha Barata yang tersamar, antara lain :
|
1.
|
Sangkuni, atau nama lainnya Haria Suman. Sangkuni sebagai lambang watak berhati-hati, ragu-ragu dan penakut.
| |
2.
|
Karna, sebagai
lambang Angkara. Asal kata angkara dari ahang = aku dan kara = gawe,
atau yang menyebabkan. Jadi angkara adalah yang menimbulkan rasa egois
(atau rasa kesadaran akan diri sendiri). Dalam cerita, Karna lahir dari
telinga Dewi Kunthi, sebelum Kunthi menikah dengan Pandhu. Manusia bisa
mengerti bahwa dirinya punya nama A atau B yang menyebabkan kesadaran
diri sebagai aku yang membedakan dengan aku-aku yang lain disebabkan
karena mempunyai telinga. Timbulnya amarah bisanya dari suara.
Gathotkaca sebagai lambang suara matinya dibunuh oleh Karna lambang
telinga. Sehingga tepatlah bahwa Karna menjadi lambang dari Nafsu
Angkara.
| |
3.
|
Prabu Salya,
Sebagai lambang pribadi atau Ingsun (kumingsun) atau individualitas.
Terjadinya Angkara adalah dari berkumpulnya Raga, Cipta (perasaan) dan
Ripta (pikiran). Sehingga Karna juga sebagai murid kesayangan guru Drona
yang pandai. Ingsun (kumingsun) yang mempunya raga, cipta dan ripta.
Sesungguhnya Angkara adalah sebagai bayangan dari Ingsun, karena Karna
adalah menantu dari Prabu Salya.
|
4.
|
Sri Kresna, artinya
hitam. Hitam itu gelap, yaitu sesuatu yang gelap atau tidak bisa
dimengerti oleh akal budi manusia. Sehingga Kresna adalah sesuatu yang
Gaib. Sesungguhnya Kresna adalah Pangeran yang bersemayam di dalam pusat
bathin manusia, yaitu di dalam Qolbu atau jantung. Sehingga Kresna
mempunyai keraton yang bernama Dwarawati. Arti dari kata Dwara sama
dengan kata Ingris Door atau kata Belanda Deur, yang bermakna pintu.
Kresna bersemayam di Dwarawati bermakna Pangeran bersemayam dalam Qalbu
atau jantung manusia, yaitu manusia yang telah dibuka pintu hatinya oleh
Tuhan sehingga menjadi manusia binangun, atau manusia pilihan.
Ada
kata-kata dalam serat Wedhatama yang berbunyi : Bathara Gung; ing uger
graning jejantung, jenak Hyang Wisesa sana pasenetan suci, dst. Yang
artinya : Bathara Gung (Gusti Allah Yang Maha Agung) bersemayam di pucuk
jantung. Taman panglipuran yang Maha Wisesa, tempat persembunyian yang
suci, dst. Kenyataan bahwa Pangeran bersemayam di dalam Qolbu manusia,
sesuai dengan Q.S. VIII, ayat 24, diantaranya menyebutkan : Wa a’lamu
anna Allahu yahulu baina al mar, wa qalbihu, yang kurang lebih bermakna
dan ketahuilah bahwa Allah berada dalam diri manusia, yaitu dalam
jantungnya.
Kresna
|
VII
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian V.
Perseteruan Antara Putra Pandhu dan Putra Drestarata
|
Melanjutkan
kisah para anak Drestharata dan Pandhu ketika masih anak-anak. Hidup
bersama di Astina. Di situ perselisihan antara Putra Drestharata dan
Putra Pandhu tidak ada habis-habisnya yang disebabkan oleh fitnah dari
Putra Drestharata, sehingga Putra Pandhu terusir dari Astina Pura.
Kemudian mendirikan Negara sendiri yang bernama Indraprasta. Ini
sebagai lambang manusia yang barusaja bisa membedakan sifat baik dan
sifat jahat. Walaupun telah mengetahui sifat baik dan jahat, manusia
masih harus mengalami berbagai musibah sampai dengan mengalami
kesengsaraan dalam hidupnya. Sehingga, karena selalu mengikuti ajakan
dari para Kurawa Ngastina main dhadhu hingga kalah, kemudian menemui
kesengsaraan hdiup karena hidup dengan cara menyembunyikan diri dalam
hutan buangan.
Main
dhadhu, sebagai lambang Ma-lima. Manusia yang telah ditunggangi
penyakit Ma-lima hidupnya bakal kandas dalam kenistaan, sampai kelihatan
bahwa sudah tidak bisa membedakan kebaikan dari kejahatan. Bagaikan
suara bathinya yang mengajak pada kebaikan telah mati. Demikian tadi
dilambangkan oleh cerita para Putra Pandhu setelah kalah main dhadhu.
Walaupun
telah mengalami kesengsaraan hidup, apabila ada kanugrahan dari
Pangeran, manusia bisa menyadari kesalahannya terdahulu, kemudian sadar
dan mantap untuk menghancurkan yang menjadi penyebab dari kesengsaraan
dalam hidupnya yang berupa Angkara dan Murkanya sendiri. Beja cilaka
gumantung ing angga priyangga. Keselamatan atau Kesengsaraan hidup
berasal dari dirinya sendiri. Kemudian manusia yang telah bisa
menyadari kesalahannya dan mendapat ampunan dari Tuhan akan menjadi
manusia Utama atau manusia pilihan. Contoh kisah yang demikian banyak,
diantaranya Sunan Kalijaga dan Para Sufi yang lain. Cerita melawan hawa
nafsu dan keinginan diri untuk mensucikan Qalbu, dilambangkan dengan
Perang Brata Yuda.
Di
dalam bab inilah banyak cerita yang dilakonkan oleh para Dhalang dalam
pagelaran Wayang Kulit, yang inti ceritanya adalah perseteruan antara
Pandawa dan Kurawa yang dikemas dalam berbagai lakon.
|
VII
|
Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian VI.
Perang Brata Yuda.
|
Perang
Brata Yuda adalah sebagai lambang manusia sejati dalam berjuang untuk
menjadi manusia yang mendapatkan pencerahan dari Tuhan, yaitu
Panunggaling Kawula Gusti, dengan jalan menguasa Jagad Kecil.
Para
senopati Ngastina harus dikalahkan, sebab sebagai penghalang yang
sangat besar dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Senopati yang
harus dikalahkan, ya-itu : 1. Resi Bisma, lambang rasa takut, kuatir,
dsb. 2. Resi Drona, Lambang angan-angan, pikiran, ripta, yang selalu
menutup-nutupi kenyatan. 3. Adipati Karna, lambang angkara. 4. Prabu
Salya, lambang ingsun. 5. Suyudana, lambang murka, rasa harus memiliki
apasaja yang disenangi hanya untuk kesenangan diri.
|
1.
|
Bisma,
Di
depan telah disampaikan bahwa Bisma lambang dari rasa takut, kuatir,
dan sejenisnya. Padahal dengan adanya rasa takut, kuatir, tidak bakalan
ada cita-cita apaun yang akan dapat dicapai dengan sempurna. Sifat takut
dan kuatir sangat sulit untuk dikuasai atau dihilangkan, sebab manusia
hidup molai lahir telah dikuasai oleh rasa takut. Jika saya bertindak
begini, nantinya akan menjadi ………………….! Begitu seterusnya. Yang pada
akhirnya manusia akan selalu kuatir dalam menghadapi kehidupan, yang
barangkali tidak menyenangkan bagi dirinya. Manusia kebanyakan merasa
takut akan tidak mendapatkan rizki, takut pada kegelapan, takut pada
tempat angker, takut pada mayat, takut pada hantu dan seterusnya. Yang
takut pada kehidupan malah bunuh diri. Pada jaman dahulu, usaha untuk
menghilangkan rasa takut dengan jalan latihan dengan melakukan tirakat
di tempat yang sepi ataupun tempat angker, ataupun dalam hutan, di
puncak-puncak gunung, di petilasan-petilasan dan lain-lain.
Manusia
yang telah berhasil menguasai rasa takut yang selanjutnya bisa
menguasai rasa sedih dan susah, hidupnya banyak tentramnya, sebab telah
mendapatkan pengayoman dari Tuhan-nya. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang
menerangkan : Inna aladzina amanu wa amilu sholihatin, ajruhun inda
robbihim laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanuna. (Wong-wong kang padha
gede imane, lan tansah gawe becik, ganjarane kepareng ana ing ngarsane
Pangerane, Mula ora padha kadunungan rasa was-sumelang lan wedi, lan uga
ora kadunungan rasa susah lan sedhih. Manusia yang demikian telah mampu
melampaui rasa takut, kuatir dan juga tidak mempunyai rasa susah dan
sedih, hidupnya telah berada di Sorga, walaupun masih hidup di dunia.
Bisa mengalahkan Bisma telah bisa mengalahkan ciptanya (perasaannya).
| |
2.
|
Drona,
Drona
menjadi lambang ripta yaitu pikiran. Bisa mengalahkan Drona berarti
telah mampu mengendalikan pikiran. Manusia yang mempunyai cita-cita
untuk mencapai kesempurnaan hidup sebagai langkah awal harus bisa
menguasai perasaan dan pikiran yang selalu mengendalikan jiwa manusia,
yang kemudian keluar menjadi tindakan, perbuatan ataupun amal. Padahal
setiap amal menentukan nasib. Manusia hanya mendapatkan buah dari
tindakannya. Bisa menguasai tindakan berarti bisa menguasai nasib diri.
Apabila Drona mendapat jabatan sebagai lambang pikiran atau Ripta, semakin jelas dari cerita berikut :
Pada
suatu hari, ketika masih hidup bersama di Kraton Ngastina, para Kurawa
dan Pandhawa sedang bermain, main sepak bola. Bola itu bulat. Disentuh
sedikit aja akan berubah tempatnya. Sehingga pada cerita ini, bola
sebagai lambang dari segala yang mudah berubah, yaitu keduniaan. Bola
tadi secara tidak sengaja masuk ke dalam sumur yang sangat dalam.
Artinya, apa saja yang menjadi cita-cita tidak gampang mencapainya. Para
Kurawa dan Pandhawa hanya bisa termangu-mangu di pinggir sumur, tidak
tau harus berbuat apa. Keadaan yang demikian, diketahui oleh seorang
Pandhita. Pandhita tersebut sanggup mengeluarkan bola dari dasar sumur,
apabila para Kurawa dan Pandhawa bersedia menyampaikan kepada Prabu
Drestarata, agar Pandhita ini diangkat menjadi guru Para Kurawa dan
Pandhawa. Permintaan Pandhita tersebut disetujui oleh Para Kurawa dan
Pandhawa. Kemudian Sang Pandheta mengeluarkan gendewanya. Bola yang
berada di dasar sumur di panah menggunakan batang rumput. Pucuk dari
batang rumput menancap di bola. Pandhita tadi memanah lagi menggunakan
batang rumput. Pucuk batang rumput kedua menancap pada pangkal batang
rumput pertama. Pucuk batang rumput dibelakangnya menancap pada pangkal
batang rumput yang mendahuluinya. Akhirnya batang rumput yang terakhir
bisa dipegang. Batang rumput yang saling menyambung, kemudian ditarik ke
atas sehingga bola bisa diangkat dari dalam sumur. Itulah awal mula
Pandhita Drona menjadi gurunya pada Kurawa dan Pandhawa.
Dongeng
tersebut di atas jelas sebagai perlambang, bahwa batang rumput yang
saling menyambung, tidak lain adalah urut-urutan tindakan yang harus
dilalui pada saat manusia harus menyelesaikan pekerjaan yang rumit. Ini
menunjukan hasil pekerjaan pikiran atau nalar. Sehingga, sekali lagi
bahwa Drona sebagai lambang pikiran, yang pada akhirnya menjadi nalar.
Sehingga orang hidup di dunia sebaiknya mengutamakan nalar sebagai
gurunya. Jangan sampai hanya mengandalkan perasaan atau emosinya saja.
Atau hanya menuruti kehendak raga-nya saja, tanpa mendengarkan suara
dari pikiran.
| |
3.
|
Karna,
Karna
sebagai lambang angkara. Bisa mengalahkan Karna berarti bisa menguasai
angkaranya. Angkara berujud dari berkumpulnya raga, cipta (perasaan) dan
ripta (pikiran), Tanpa raga, manusia biasa tidak akan bisa mempunyai
kesadaran atau menyadari keadaan dirinya. Demikian juga tanpa cipta
ataupun tanpa ripta. Sesungguhnya angkara hanya sebagai bayangan dari
manusia sejati, yaitu dari diri yang mempunyai raga, cipta dan ripta.
Angkara dan manusia sejati tidak akan bisa bersamaan sebagai penguasa
dalam Jagad Kecil. Sehingga apabila manusia sejati berkehendak menjadi
raja dalam diri yaitu dalam jagad kecil, maka harus bisa menguasai
angkaranya. Harjuna sebagai wakil dari Yudhistira harus bisa mengalahkan
Karna.
| |
4.
|
Salya,
Telah
diterangkan bahwa Salya sebagai lambang dari Ingsun. Walau Ingsun
berada pada alam jiwa, tingkatannya lebih tinggi dari Angkara, sehingga
selama ingsun masih berkuasa, Panunggaling Gusti tidak bakal sempurna.
Gugurnya Salya (Ingsun) dari kekuasaan Yudhistira (Hidup sejati)
melambangkan sempurnanya Panunggaling Kawula Gusti, bagaikan setetes air
yang jatuh ke dalam samudra. Dalam perang tanding antara Karna
(Angkara) melawan Harjuna (wakil Yudhistira, wakil dari manusia sejati),
kereta perang Karna disetir oleh Salya (angkara dilindungi oleh
ingsun), Kereta perang Harjuna (wakil Yudhistira – urip sejati) disetir
oleh Kresna, lambang Pangeran atau Allah.
| |
5.
|
Duryudana,
Masih
ada satu lagi unsur hidup yang harus dihilangkan agar panunggaling
Kawula Gusti bisa sempurna, yaitu Murka (Duryudana) yang sebagai sumber
dari rasa ingin menguasai atau memiliki. Apabila rasa ingin menguasai
segala ujud yang ada di dunia ini belum disirnakan, bisa berakibat
fatal. Sebagai contoh, cerita Bagawan Wisrawa, berobah sifatnya menjadi
Dasamuka setelah menikahi Dewi Sukesi (lambang keadaan dunia). Makna
Sukesi adalah segala yang menyebabkan rasa senang, Suka apabila dilihat
(deneksi), yaitu dunia ini, sebagai tumbuh berkembangnya Angkara Murka.
Keterangan
bab Panunggaling Kawula Gusti tersebut di atas, bisa tercapai, ketika
manusia agung telah meninggal dunia, ataupun pada saat manusia sempurna
telah lulus dalam melaksanakan Samadi. Apabila keterangan-keterangan
tersebut dihubungkan dengan ketika manusia sempurna telah lulus dari
Samadinya’ tentulah para senapati Kurawa Ngastina, tidak harus
disirnakan, namun hanya tidak diberi kesempatan saja. Sebab, selama
manusia masih berada di dunia; raga, cipta, ripta, angkara, ingsun dan
rasa ingin menguasai atau murka, terpaksa masih digunakan sebatas
keperluan sebagai sarat hidup manusia. (fungsi hawa nafsu : Nafsu amarah
berguna untuk mempertahankan nyawa, tanpanya manusia mudah mati, Nafsu
Luwamah berguna untuk mempertahankan raga, tanpanya raga manusia akan
rusak, Nafsu sufiah berguna untuk mempertahankan martabat dan kehormatan
diri, tanpanya manusia tanpa harga diri, Nafsu mutmainah berguna untuk
Manunggaling Kawula Gusti – melebur dalam Tuhan – bagaikan setetes air
masuk ke dalam Samudra – hancur lebur tiada bekas. Jika manusia mampu
menguasai hawa nafsu dan keinginan diri bagikan Harjuna yang mendapat
bimbingan Kresna. Tanpa Bimbingan pengarahan Allah manusia tidak bakalan
bisa menyatu dengan Allah. Bimbingan Allah bisa secara langsung ataupun
dengan cara lewat Wakil atau Mursyid. Yang langsung contohnya Nabi
Khidir. Pen.)
Dibuat : pada tanggal : 08 Agustus 2012
Pujo Prayitno/Pen Sanjaya
HP.085 648 130 196
|