Semua berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing
Wali (tempatnya Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan
Wali Songo sekarang, barang kali karena ditelan masa dari kalimat Walisana
berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan Jumlahnya yang sembilan disesuaikan
dengan keadaan, yaitu di jawa timur ada 5, jawa tengah ada 3 dan jawa barat
ada 1, dimana angka ini dan angka 9 sangat erat hubungannya dalam syarat laku
dalam ilmu jawa,. Pen.)
TERJEMAHAN BEBAS SULUK WALI SANA
YANG MENCERITAKAN ASAL MULA WALI DI TANAH JAWA
Sumber
penulisan ini adalah menyadur bebas dari Suluk Walisana karangan Kangjeng
Susuhunan Giri ke II, yang dikarang pada tahun Suryasangkala 1414 atau tahun
Candra Sangkala 1450, berbentuk Tembang Macapat berbahasa Jawa Kuna, Naskah
Aslinya menggunakan huruf jawa, dan sadurannya diterbitkan oleh Penerbit Tan Khoen Swie –
Kediri pada tahun 1938.
Asalmula
Wali di tanah jawa berasal dari pengembaraan seorang Ulama Besar dari Tanah
arab yang bernama Syech Maulana Ibrahim masih keturunan Nabi Muhammad SAW.
Beliau mengadakan pengembaraan sampai ke Kerajaan Kijan di Cempa yang pada
akhirnya dia menjadi menantu Raja Kijan kawin dengan Dyah Siti Asmara dan
mempunyai 2 anak yang bernama Raden Santri dan Raden Rahmat. Pada saat yang
sama Permaisuri Raja Kijan juga melahirkan anak yang diberi nama Ngalim Abuhurerah.
Ketiganya yaitu Raden Santri, Raden Rahmat dan Ngalim Abu Hurerah ingin pergi
ke Pulau Jawa menengok Bibi-nya yang menjadi Istri Prabu Brawijaya V yang
berjuluk Putri Cempa. (Mengenai Silsilah para wali didalam kisah
ini dan selanjutnya dalam terjemahan ini sangat jauh berbeda dengan silsilah
kisah Wali Songo yang lain. Ini bisa dibandingkan dengan Buku Jejak Kanjeng
Sunan Perjuangan Wali Songo yang dibuat oleh Yayasan Festifal Wali songo
dimana buku ini adalah yang paling
banyak menngunakan Daftar Pustaka dibanding dengan buku tentang kisah Wali
Songo yang lain. Pen).
Dalam
perjalanan ke Pulau jawa ketiganya
menumpang kapal milik seorang Saudagar dan setelah kapal sampai di Kamboja
kapal pecah dan terdampar yang pada akhirnya dittolomg oleh Saudagar yang
lain sehingga sampailah di Palembang untuk menemui dan mengislamkan Arya
Damar, dimana Arya Damar adalah Ayah dari Raden Patah yang juga mempunyai
saudara lain yaitu Raden Kasan dan Yusup. Selanjutnya ketiganya melanjutkan
perjalanan ke Majapahit dan bertemu dengan Patih Gajah Mada di Kepatihan.
Ketiganya kemudian diantar untuk menemui Brabu Brawijaya V. Dalam
pertemuannya dengan Raja, ketiganya berusaha untuk mengislamkan Raja dimana
Raja tetap tidak mau masuk Islam. Akhirnya Raden Santri, Raden Rahmat dan
Ngalim Abu Hurerah tidak senang tinggal di Majapahit dan ingin pulang ke
negri Cempa walaupun Raja Brawijaya V menginginkan agar ketiganya tetap
tinggal di Majapahit. Pada saat itu kebetulan ada Saudagar dari Cempa yang
mengabarkan bahwa Kerajaan Kijan di negri Cempa sudah hancur yang diakibatkan
oleh perang, sehingga ketiganya tidak jadi kembali ke negri Cempa dan tetap tinggal
di Majapahit. Pada akhirnya oleh Prabu
Prawijaya V ketiganya dikawinkan dengan anak dari Aryo Tejo seorang Adipati di Tuban.
Raden
Santri mendapatkan Retno Maninjong, Raden Rahmat dengan Siti Manila sedangkan
Ngalim abuhurerah dengan Retno Sadasar. Kemudian Ketiganya pindah ke
Suraswati atau Surabaya wilayah Aryo Lembusuro. Raden Santri bertempat
tinggal di Gresik dan berjuluk Ngalimurtala. Sedangkan Raden Rahmat ke
Suraprinngo dan berjuluk Sunan Ngampel Dento. Sedangkan Ngalim Abuhurerah bertempattinggal di Majagung (sekarang
bernama Mojoagung di Mojokerto) dan kawin lagi dengan Rara Siti Kantum anak
dari Aryo Baribin madura.
Lanjut
cerita, Sayid Nges dengan Sayid Jakoeb pergi ke tanah Jawa, Sajid Nges menuju
Majalengka, sayid Jakoeb menuju Balambangan. Sajid Nges oleh Prabu
Brawijaya,diberi gelar Soetamaharadja kemudian pergi ke Ngampel Dento, dan
menjadi Imam di Demak. Sajid Jakoeb kemudian dijadikan menantu oleh Prabu
Blambangan kawin dengan Dewi Sabodi, dan diberi nama Pangeran Lanang. Pangeran
Lanang kemudian diusir oleh Prabu Blambangan disebabkan kerena menyiarkan
Agama Islam. Selanjutnya Pangeran Lanang pergi ke Ngampeldento dan menjadi
imam di Tukangan.
Alkisah
Dewi Sabodi pada saat ditinggal oleh Pangeran Lanang sedang mengandung, dan melahirkan
bayi laki-laki yang selanjutnya dilarung oleh Prabu Blambangan yang kebetulan
pada saat itu di Blambangan terjadi Pageblug atau wabah penyakit dan dikiranya
penyebabnya adalah bayi tersebut. Kendaga yang berisi bayi pada
akhirnya ditemukan oleh Juragan Kamboja yang tidak disebutkan namanya di
Gesik dan dirawat, karena usianya yang sudah lanjut akhirnya juragan tersebut
meninggal dunia sedangkan bayinya
dipelihara oleh Nyai Juragan yang kemudian diberi nama Raden Satmata.
Lanjutnya
cerita, Janda Juragan Kamboja di
Gresik meninggal dunia. Semua hartanya menjadi milik Raden Satmata , akan
tetapi berhubung Raden Satmata belum dewasa sehingga hartanya dititipkan
kepada Saudara dari Janda Juragan Kamboja tadi. Pada suatu hari Raden Satmata
sedang bermain di pinggir laut, dan kebetulan pada saat itu ada Juragan Layar
yang lewat karena tertarik pada Raden Satmata kemudian mendatangi Raden Satmata dan menawarkan
kepada Raden Satmata agar mau untuk menjadi anaknya. Raden Satmata tidak keberatan,
selanjutnya Raden Satmata di ajak ke rumah Juragan tersebut yang berada di Benang. Pada akhirnya karena
usianya yang sudah lanjut, Juragan tersebut meninggal dunia dan semua harta
warisannya menjadi hak milik Raden Satmata. Raden Satmata kemudian menjadi
Saudagar layar dan berlayar menuju ke pulau Bali dengan membawa barang dagangan
berupa Penjalin dan bermacam-macam kayu. Keuntungannya dalam berdagang sangat
banyak akan tetapi karena di Bali banyak orang miskin dan pengemis, maka
semua uang keuntungan dari hasil berdagang dibagi-bagikan semuanya sambil
berdakwah sampai habis tanpa tersisa.
Oleh
sebab semua uangnya habis untuk beramal, tukang perahu dalam rombongan yang
bernama Baroes Samsoe menuntut Raden Satmata soal habisnya uang. Raden
Satmata menjelaskan kepada tukang prahu, bahwa semua orang yang mau menolong
kepada sesama tentu akan mendapatkan pahala dari Tuhan, kemudian Raden
Satmata memuja suatu benda sehingga berubah menjadi emas dan intan sehingga
tukang perahu percaya pada mangunah yang dimiliki Raden Satmata. Raden
Satmata kemudian memerintahkan agar kapal yang berjumlah tiga buah diisi
dengan batu padas, kerikil, pasir dan daun pisang kering untuk dibawa pulang.
Setelah sampai, Raden satmata berdo’a pada Tuhan, sehingga pasir berubah
menjadi beras dan kopi, batu padas jadi emas dan kerikil berubah menjadi
inten dan sesampainya di Benang semua barang tersebut dibagi-bagikankan, sedangkan Tukang
Prahu mendapat bagian paling banyak yang kemudian dijadikan modal berdagang.
Raden Satmata pergi menggembara lagi.
Lanjut
cerita, Raden Satmata di Benang ingin pergi ke Mekah dan mampir dulu di
Malaka untuk menemui Maulana Iskak untuk berguru. Setelah Maulana Iskak
bertanya ternyata Raden Satmata adalah cucunya sendiri anak dari Wali Lanang.
Raden Satmata kemudian minta diajari tentang ilmu sejatinya Pangeran, ilmu
sejatinya Allah Muhammad, nama tujuh dan perbuatannya sampai tamat. (Karena
Sulit diterjemahkan inti ajaran tidak diuraikan, demikian pula untuk inti
ajaran selanjutnya hanya pokok-pokoknya saja)
Setelah
merasa cukup berguru, Raden Satmata tidak jadi pergi ke Mekah, tetapi kembali
ke Benang. Tidak lama kemudian pindah ke Jipang terus ke Tandes dengan
menumpang kapal milik Ki Panangsang, untuk menemui Pangeran di Nitih. Setelah
bertemu akhirnya Raden Satmata
diangkat anak serta dijadikan Imam Agama bergelar Pangeran Kalifah.
Tidak lama kemudian pindah ke Girigajah untuk bertafakur. Selanjutnya pergi
ke Ngampel dan bertemu dengan Sunan Ngampel untuk berguru. Sunan Ngampel
mengajarkan manunggalnya makhluk dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo Gusti).
Kemudian Raden Satmata yang telah berjuluk Pangeran Kalipah diambil manantu
oleh Sunan Ngampel kemudian pulang ke Tandes untuk menjadi Raja Pandita dan
menjadi Imam Agama dan akhirnya menetap di Girigajah.
Syech
Walijoelislam (nak sanak Sunan Ngampel) pergi ke tanah jawa menuju Ngampel.
Terus menetap di Pasuruan dan diambil menantu oleh Dipati Pasuruan kawin
dengan Rara Satari. Kemudian pindah menjadi Imam Agama di Pandanaran –
Semarang dan dijadikan adipati oleh Prabu Brawijaya.
Syech
Maulana Iskak, Kakek Sunan Ngampel (Anak Syech Yunus) pergi ke Jawa bersama
dengan anaknya yang bernama Kalipah Kusen dengan tujuan ke Ngampel. Setelah
sampai di Ngampel kemudian meneruskan perjalanan ke Madura. Di Madura diambil
menantu ipe oleh Prabu Lembupeteng kawin dengan anak dari Aya Baribin.Setelah
agak lama mengajarkan Agama Islam di Madura, akan tetapi Sang Parabu tetap
tidak mau masuk Islam yang pada akhirnya keduanya diusir dan Maulana Iskak
kembali ke Malaka sedangkan Kalipah Koesen kembali ke Ngampel.
Sepeninggal
kedua Maulana tersebut, Prabu Leboepeteng terus menyusul ke Ngampel dengan
tujuan akan menyulik Sunan Ngampel. Akan tetapi tidak bisa dikarenakan
Mangunahnya Sunan Ngampel. Akhirnya Lemboepeteng masuk Islam dan kembali ke
Madura bersama Kalipah Koesen. Kalipan Koesen terus pergi ke Sumenep menemui
Sri Djaran Panolih, kemudian pergi ke Baliga untuk mengislamkan keduanya dan
akhirnya kembali ke wilayah Lemboepeteng.
Maulana
Machribi dan Maulana Gaibbi saudara muda dari Maulana Koesen pergi ke Jawa
menuju ke Ngampel Dento. Maulana Machribi kawin dengan Retna Marakis anak
dari Arja Tedja di Tuban. Maulana Gaibbi kawin dengan Niken Soedara anak dari
Gadjah Maodara. Kemudian keduanya menetap di Banten, akan tetapi Maulana
Machribi kembali ke Ngegri Cempa dikarenakan di Banten tidak kerasan.
Sajid
Djen juga ke Jawa, menuju ke Ngampel terus menetap di Cirebon dan terkenal
dengan nama Soenan Goenoengdjati.
Alkisah,
Sang Syech Walijoel Islam di Semarang sudah mempunyai tiga orang anak
masing-masing bernama Syech Kalkoem bertempat di Pekalongan, Syech Ngabdullah
bertempat di Kendal, Ngabdoelrachman bertempat di Kaliwungu.
Syech
Djamhoerngali (Nak sanak dari Maulana Machribi) juga pergi ke Jawa menuju ke
Ngampel, kawin dengan anak dari Dipati Padjarakan yang bernama Rara
Sampoersari dan menjadi Imam di Padjarakan, juga kawin lagi dengan Putri
Kebontjandi.
Syech
Samsoetabarit, adalah Paman Misanan dari Sunan Ngampel pergi ke Jawa, dan
menjadi Imam di Panaraga.
Alkisah
Prabu Dajaningrat dari Pengging menyerbu Semarang sehinga terjadi perang
besar. Syech Wali’oelislam gugur dalam perang. Syech Soetamaharadja mengungsi
ke Demak dan meninggal dunia. Syech Kaklkoem mengungsi ke Benggala. Syech
Djatiswara mengungsi ke Gunung Merbabu. Syech Abdoerrachman kembali ke
Atasangin.
Siti
Oemikasoem, anak dari Syech Wali’oelislam dengan anak dari Syech
Soetamaharadja yang bernama Siti Djenab mengungsi ke Cirebon berlindung
kepada Soenan Goenoengdjati.
Cerita
selanjunta Arja Damar di Palembang mempunyai 2 orang anak, yang pertama
bernama Raden Patah dan Raden Koesen putra Majapahit dari seorang ibu yang
bernama Dewi Soebantji. Keinginan Arja Damar agar Raden Patah mau untuk
menjadi Ratu, akan tetapi Raden Patah tidak
berkenan, sehingga Arja Damar memberikan nasihat syarat laku seorang
ratu (tidak diterjemahkan)
Raden
Patah tetap pada pendiriannya dan tidak mau untuk menjadi raja, dan akhirnya
melarikan diri bersama Raden Koesen. Dalam perjalanan, keduanya berjumpa
dengan Syech Sabil untuk bersama-sama meneruskan perjalanan menuju ke Pulau
Jawa. Dalam perjalanan madapatkankan rintangan dirampok, akan tetapi
ketiganya selamat dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Rasamuko. Pada
akhirnya ketiganya ditolong oleh Juragan Layar sehingga sampai ke Pulau Jawa.
Raden Patah berguru kepada Soenan Ngampel, Raden Koesen dan Syech Sabil
mengabdi kepada Prabu Brawijaya. Raden Koesen diangkat menjadi Dipati
Teroeng. Syech Sabil diutus ke Ngampel, di situ diperintahkan ke Ngudung,
sehingga Syech Sabil terkenal dengan nama
Sunan Ngudung.
Oleh
Sunan Ngampel Raden Patah diambil menantu dan dikawinkan dengan Ratoe
Panggoeng. Anak Sunan Ngampel yag bernama Makdoem Ibrahim diutus ke Wilayah
Benang sehingga terkenal dengan sebutan Sunan
Benang.
Alkisah
Tumenggung Wilatikta di Jepara mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama
Raden Sahit yang sangat nakal, pekerjaannya judi dan merapok. Pada suatu hari
kebetulan yang dirampok adalah Sunan Benang. Di situ Sunan Benang menunjukan
kelebihannya memasang tanda arah Utara, Timur, Selatan dan Barat, sehingga
Raden Sahit terbalik penglihatannya dan sama sekali tidak bisa bergerak.
Akhirnya memohon maaf kepada Sunan Benang dan berjanji tidak akan mengulangi
lagi segala perbuatannya. Sunan Benang
memberikan petuah dan menancapkan tongkatnya yang kemudian menyuruh Raden
Sahid untuk menunggunya sampai beliau kembali. Sunan Benang meneruskan
langkah menuju ke Cirebon.
Pada
saat yang lain, Raden Patah meminta tempat tinggal kepada Sunan Ngampel, dan
akhirnya diperintah untuk menetap di Bintara yang ada tumbuhannya bernama
Glagah Wangi
Anak
Sunan Ngampel (Saudara Sunan Benang) yang bernama Masakehmahmoet,
diperintahkan bertempat tinggal di Gunung Moerja untuk menjadi Imam Agama dan
bergelar Sunan Daradjat, sehingga
di situ menjadi ramai.
Sunan
Girigadjah bertafakur sampai ke Tingkat Insan Kamil. Setelah bertapa terus
pulang ke rumah dan kebetulan pada saat itu ada anak kecil yang sedang
menangis. Sunan Girigadjah merayunya agar tidak menangis, kebetulan beliau
posisinya dekat dengan sebongkah batu yang agak besar. Agar anak itu berhenti
menangis, batu tadi dibilang seperti gajah, ajaibnya batu tersebut
benar-benar berubah menjadi gajah. Akhirnya gajah tersebut diruwat kembali
oleh Sunan Girigadjah sambil memohon ampun pada Tuhan, sehingga kembali pada
bentuknya semula.
Soenan
Benang kembali menemui Raden Sahid di hutan Jatisari yang sedang menunggu
tongkat.(Pada
kisah yang lain makna tongkat adalah kayu yang mengandung arti pohon
kehidupan atau Pohon Tuba atau Sajartul Qoyum, dimana Raden sahit disuruh
mengamalkan kalimat Ya kayumu yakuyuku atau Ya Hayyu Ya Qoyum. Tambahan
Penerjemah).
Di situ setelah Raden Sahid terbukti setia, terus diwisik atau diajari ilmu
rahasia oleh Sunan Benang. Setelah sempurna akhirnya Sunan Benang pulang. Raden Sahid terus merenung tentang
Kebesaran Tuhan yang berada pada diri manusia.
Alkisah,
Sang Prabu Brawijaya mendengar kabar bahwa di Bintara ada seseorang yang akan
memberontak, sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan untuk menyerang lebih
dahulu sebelum menjadi besar. Sebelum terlaksana Dipati Petjatanda
memberitahukan bahwa yang berada di Bintoro adalah Saudaranya lain ayah, dari
putri Cina. Prabu Brawijaya ingat bahwa Putri Cina yang dianugerahkan kepada
Arja Damar dahulu sudah dalam keadaan mengandung (Sebetulnya adalah
anak dari Prabu Brawijaya). Pada akhirnya Prabu Brawijaya
memanggil Raden Patah. Yang diutus Dipati Patjatanda dan apabila tidak mau
dipanggil Dipati Patjatanda diperintahkan untuk membunuhnya. Singkat cerita,
atas dasar keterangan dan diplomasi yang sangat baik sehingga Raden Patah mau
menghadap Prabu Brawijaya. Disitu akhirnya Raden Patah diangkat menjadi
Dipati di Bintoro dengan dibekali Prajurit sebanyak 10.000. Dipati bintoro
terus kembali ke Bintoro.
Cerita
selanjutnya, Raden Sahid, setelah bertapa Ngluwat dan bertapa mengikuti arus
air sungai, terus meneruskan perjalanan untuk menghadap Sunan Gunungjati,
yang akhirnya Raden Sahid dijadikan menantu, dan dikawinkan dengan Dewi Siti
Djenab. Raden Sahid diberi gelar Syech
Melaya dan disuruh menempati suatu daerah yang diberi nama Kalijaga.
Syech Melaya, Raden Sahid atau lebih dikelanl Sunan Kalijaga juga
meminta ilmu kepada Sunan Gunungjati mengenai kenyataan ilmu. Sunan Gunung
Jati mengejarakan ilmu dengan menukil ajaran ‘Ulama besar dari tanah Arab
seperti dari Syech Ibrahim, Syech Sabit, Syech Muchyidina Putra dari Syech
Arabi, Syech Abujajid Bestami, Syech Rudadi, Syech Samamu Ngasarani. (tidak
diterjemahkan) Setelah Sunan Gunungjati sampai mengajarkan
pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dimana Nabi Musa mengaku pandai tanpa
guru, hanya berpedoman pada tulisan dan mengira sudah menguasa segala ilmu
akan tetapi ternyata masih sangat-sangat jauh, sehingga Nabi musa mendapat
teguran dari Allah agar berguru kepada Nabi Khidir. Sunan Kalijaga juga
diajari cara memilih guru yang sejati dan diberitahu juga contoh guru palsu
sangat banyak. Guru yang sejati adalah bukan guru yang hanya mengajar ngaji,
bukan guru yang mengajarkan ngidung atau nembang jawa, bukan guru yang mengajarkan
tulis, bukan guru yang mengajarkan kesaktian, bukan guru yang mengajarkan
dzikir. (bagi
orang jawa kesemuanya itu disebut guru
yang hanya mengajarkan Ilmu (hanya sebatas teori dimana yang mengajarkan
belum tentu mampu menjalankan) atau disebut juga Paguron bukan guru yang
mengajarkan Ngelmu) Sedangkan guru yang sejati adalah
guru yang mengajarkan ilmu sejati. Nabi Musa menguasai Syari’at agung dan
juga menjadi Raja, sedangkan Nabi Khidir tidak menguasai Ilmu Syari’at atau
telah meninggalkan syariat dan tidak dikenal banyak orang. Nabi Khidir hanya
menggunakan ketenangan batin atau dalam bahasa jawa “mung mungkul sareh ing
lakon”. Akan tetapi Nabi Khidir lebih tinggi derajatnya di Hadapan Allah,
dimana orang awam menganggap Nabi Musa lebih tinggi derajatnya. Sebab Ilmu
itu tidak tentu berada pada orang yang luhur, tidak tentu pada orang biasa,
tidak tentu pada orang tua ataupun orang muda. Sebab apabila telah mendapat
Ridho Allah, walaupun belum masanya, tentu akan mendapat ilmu yang sangat
tinggi dibanding ulama besar yang bagaimanapun. Setelah jelas, Sunan Kalijaga menanyakan
dimana tempat Nabi Khidir.Sunan Gunungjati memberitahu bahwa tempat Nabi
Khidir adalah di Boeral Akbar bertempat di Lutmat Goib. Setelah mendengar
itu, Sunan Kalijaga mohon ijin untuk
berangkat mencari Nabi Khidir. Sunan Gunungjati termangu-mangu melihat tekad
dari Sunan Kalijaga.
Sunan
Kalijaga berjalan ke arah Utara sehingga sampai di tepi laut. Sunan Kalijaga
menemui kebingungan yang sangat dalam karena tidak bisa menyebarangi lautan,
sehingga Sunan Kalijaga bertafakur. Pada akhirnya Nabi Khidir datang menemui
Sunan Kalijaga dan mengajarkan Ilmu yang sangat banyak. (tidak diterjemahkan) Untuk
cerita tersebut bisa dibandingkan dengan kisah Dewa Rutji yang dibuat oleh Kapunjanggan Surakarta pada abad 19 M. Dan
juga hampir sama dengan Suluk Linglung Sunan Kalijaga/Syech Malaya, karangan
Imam Anom pada tahun 1086 Caka/1884 Masehi. Atau dalam Wayang ceritanya mirip
dengan Lakon Bima Suci (Tambahan Pen).
Setelah
Sunan Kalijaga ditinggal oleh Nabi Khidir, Sunan Kalijaga termangu di tepi
laut. Setelah agak lama Sunan Kalijaga Pulang dan semenjak itu Sunan Kalijaga
terkenal dengan nama Sunan Kalijaga.
Pada
saat yang lain Sajid Ngalimurkid saudara Sunan Ngampel lain Ibu pergi ke Tanah
Jawa menuju ke Ngampel. Oleh Sunan Ngampel disuruh menetap di Mejagung
sehingga terkenal dengan nama Pangeran Mejagung (berbeda dengan Sunan Mejagung),
akan tetapi beliau tidak termasuk golongan Wali, hanya termasuk Wali Nukba
yang artinya Wali tututan atau sambungan Wali, atau disebut juga Wali Anakan.
Sedangkan yang termasuk Wali di Tanah Jawa adalah yang disebut Sinuwun dalam
arti sebagai panutan, yaitu :
|
||||
1. Sunan
Ngampel (Raden Rahmat)
2. Sunan
Gunungjati ( Sayid Zen)
3. Sunan
Ngudung (Seh Sabil)
4. Sunan
Giri (Raden Santri Ngali bergelar Ngalimurtala)
5. Sunan
Benang (Makdum Ibrahim)
6. Sunan
Ngalim Abu Hurerah di Majagung
7. Sunan
Drajat di Murya (Seh Masakeh Mahmut)
8. Sunan
Kali / Raden Sahit berjuluk Seh Malaya (Wali Pamungkas).
Kesemuanya
berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing
Wali (tempatnya Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan
Wali Songo sekarang, barang kali karena ditelan masa dari kalimat Walisana
berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan Jumlahnya yang sembilan disesuaikan
dengan keadaan, yaitu di jawa timur ada 5, jawa tengah ada 3 dan jawa barat
ada 1, dimana angka ini dan angka 9 sangat erat hubungannya dalam syarat laku
dalam ilmu jawa,. Pen.)
Yang
termasuk Wali Nukba atau Wali Tututan di Tanah Jawa adalah, sebagai berikut :
|
||||
1.
Sunan Tembayat
2.
Sunan Giri Parapen
3.
Sunan Kudus
4.
Sultan Sah Ngalam Akbar
5.
Pangran Wijil di Kadilangu
6.
Pangran Ngewongga
7.
Ke Gede Kenanga Pengging
8.
Pangeran Konang
9.
Pangeran Cirebon
10.
Pangeran Karanggayam
11.
Ki Ageng Sela
12.
Pangeran Panggung
13.
Pangeran di Surapringga
14.
Kyai Juru Martani di Giring
15.
Kyai Ageng Pamanahan
16.
Buyut Ngerang
17.
Ki Gede Wanasaba
18.
Panembahan Palembang
19.
Ki Buyut di Banyubiru
20.
Ki Ageng Majasta
21.
Ki Ageng Gribig
22.
Ki Ageng di Karotangan
23.
Ki Ageng Toyajene
24.
Ki Ageng Toyareka
25.
Pamungkas Wali Raja Soeltan Agung.
|
||||
Lanjut
cerita, Sunan di Girigajah mempunyai murid dari daerah Sitijenar yang
bernama Kasan Ngali Ansar (Pada buku-buku Kisah Wali Songo dan di
semua Serat Siti Jenar tidak ada yang menyebutkan nama aslinya)
yang lebih dikenal dengan nama Sitijenar
atau Syech Lemahbang, Juga disebut
Lemah Kuning, sangat ingin diajari
ilmu rahasia. Akan tetapi Sunan Giri belum mau mengajarkan ilmu itu karena
belum saatnya, sehingga menyebabkan Syeh Lemahbang sangat kecewa dan marasa
tidak ada artinya pergi ke Tanah Jawa. Syech Lemahbang sudah mengetahui
tempat dimana Sunan Giri biasa mengajarkan Ilmu Rahasia kepada
murid-muridnya. Syech Lemahbang ingin mencuri dengar ajaran tersebut dengan
cara merobah dirinya menjadi Bangau putih, lalu mendekat ke arah dimana Sunan
Giri akan mengajarkan Ilmu. Akan tetapi Sunan Giri dengan mangunahnya sudah
mengetahui, sehingga pada waktu itu tidak jadi menurunkan ilmunya kepada
murid-muridnya dan ditunda pada malam jum’at yang lain.
Pada
hari jum’at yang telah ditentukan, jadilah Sunan Giri akan mengajarkan Ilmu
Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang segera merobah dirinya menjadi
cacing kalung dan menyusup di bawah perahu yang digunakan oleh Sunan Giri
untuk mengajarkan Ilmu Rahasia. Sunan Giri sebetulnya sudah tau bahwa ada
penyusup, akan tetapi tetap dibiarkan, sehingga Syech Lemahbang bisa
mendengar semua ajaran Ilmu Rahasia-nya Sunan Giri. Setelah dikuasinya semua
Ilmu Rahasia, Syech Lemahbang pergi dari Giri dan mendirikan Padepokan
sendiri serta menjadi Guru Besar dalam oleh Ilmu bathin sehingga terkenal
dengan sebutan Pangeran Sitijenar.
Ajaran
Sitijenar hanya mengutamakan oleh rasa dan sudah meninggalkan sembahyang.
Karena kepandaian cara mengajar para murid. Perguruan Sitijenar sangatlah
terkenal. Murid Sitijenar antara lain dari Keturunan Majalengka dan Pengging
banyak yang menjadi muridnya, seperti Ki Ageng Tingkir, Pangeran Panggung, Buyut
Ngerang serta Ki Ageng Pengging.(Dari
Keturunan Ki Ageng Tingkir bersama dengan keturunan Ki Ageng Pengging
bergabung dan Kerajaan Demak yang didukung Wali Dihancurkan diganti menjadi
kerajaan Pajang dengan Jaka Tingkir sebagai rajanya dimana Organisasi Islam
terbesar di Indonesia pendirinya adalah keturunan dari Jaka Tingkir. Dan
mulai saat itu terjadilah pergumulan Islam di Pulau Jawa dimana nama wali
tetap diagungkan tetapi sebagian ajarannya dan sejarahnya dihapus, sehingga
kacaulah Sejarah Wali. Sebagai bukti orang Islam awam akan suka Ziarah ke
Sunan Bonang, tetapi tidak akan mau
menabuh Bonang atau gong, justru akan dikatakan apabila membunyikan kuduanya
akan terjadilah larang udan (hujan akan menjadi jarang) dimana pada saat itu penghidupan masyarakat
banyak yang mengandalkan pertanian, sehingga kebanyakan wilayah yang dominant
dihuni orang beragama Iskam tidak akan pernah menanggap wayang, dimana
penyempurna wayang adalah Para Wali. Ada juga yang berpendapat bahwa sejarah
kerajaan di Indonesia banyak yang sudah dirobah oleh Penjajah, dengan tujuan
agar rakyat menilai jelek terhadap Raja, sehingga tidak memberontak, salah
satunya Kitab Pararaton adalah kisahnya Ken Arok yang sudah dirobah uleh
pujangga anthek Belanda dengan kisah Kerisnya Empu Gandring dan semua
intriknya dimana dalam kisahnya juga didukung atau disesuaikan dengan
prasasti yang ada, sehingga bagi yang kurang teliti akan percaya karena
didukung oleh bukti yang kuat, dan dalam penyusunan sejarah di Indonesia
adalah lebih banyak bersumber dari Kitab Pararaton tersebut. Ini juga terjadi
pada kisah Para Wali agar Islam tidak berkembang di Indonesia. Dan Buku-buku
yang dbuat oleh Pujangga yang baik hampir semuanya dibawa ke Negaranya dan
yang terbanyak adalah pada saat Penjajahan Inggris dengan Tokohnya Rafles
yang terbanyak menghabiskan Buku Ilmu jawa ditambah Penjajah Belanda sehingga
Kitab Benang (Buatan Sunan Bonang ditemukan di Negeri Belanda. Pen.)
Ketenaran padepokan Sitijenar mengalahkan ketenaran wali delapan. Ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya para penduduk kota dan desa serta para Ulama
banyak yang menjadi santrinya. Lama kelamaan Sunan Giri mendengar ketenaran
Sitijenar dan berniat memanggil Sitijenar atau dengan nama lain Lemahbang.
Sunan Giri mengutus dua ulama yang tidak disebutkan namanya dan singkat
cerita dua ulama telah sampai di padepokan Lemahbang.
Dua
ulama menyampaikan pesan Sunan Giri bahwa Lemahbang dipanggil oleh Sunan Giri
untuk bermusyawarah masalah Ilmu Ketuhanan. Setelah pesan disampaikan,
Lemahbang menjawab bahwa di sini tidak ada Lemahbang, yang ada adalah
Pangeran Sejati. Setelah mendengar ucapan Lemahbang seperti tersebut di atas,
dua ulama tadi pulang meninggalkan padepokan Lemahbang tanpa pamit.
Sesampainya di Giri dua ulama utusan, menyampaikan kepada Sunan Giri apa yang
telah diucapkan oleh Lemahbang. Setelah mendengar laporan dua ulama tadi,
Sunan Giri sangatlah marah, akan tetapi setelah dinasehati oleh Para Wali,
Sunan Giri akhirnya sadar. Sunan Giri kemudian menyuruh kepada dua ulama
utusan untuk kembali memanggil Lemahbang dengan menuruti apasaja kemauan
Lemahbang atau pengakuan nama Pangeran Sejati.
Setelah
sampai di Padepokan Lemahbang, dua ulama utusan menyampaikan pesan Sunan Giri
bahwa Pangeran Sejati dipanggil menghadap Sunan Giri. Pangeran Lemahbang
menjawab bahwa Pangeran Sejati tidak ada yang ada dipadepokan adalah
Lemahbang, sedangkan Lemahbang adalah Wajah dari Pangeran Sejati dan apabila
Pangeran Sejati tidak mengijinkan Lemahbang untuk berangkat, maka tidak
mungkin Lemahbang akan berangkat. Akhirnya dua ulama utusan mengatakan bahwa
Pangeran Sejati dan Lemahbang dipanggil menghadap Sunan Giri. Setelah itu
barulah Lemahbang mau menghadap Sunan Giri.
Singkat
cerita, sampailah dua ulama utusan dan Lemahbang di Giri. Lemahbang dan
Delapan Wali akhirnya bermusyawarah mengenai Ma’rifat kepada Allah, dan
masing-masing wali mengemukakan pendapatnya masing-masing (tidak
diterjemahkan). Setelah ke delapan Wali menguraikan
pendapatnya, Syeh Lemahbang membantah dan mengatakan jangan banyak ibarat
sesungguhnya Akulah Allah. Sudah
nyata bahwa Ingsun kang sejati, bergelar Prabu Satmata dan tidak ada yang
lain. Dan masih banyak uraian yang disampaikan oleh Lemahbang. Ke delapan
wali hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Lemahbang. Setelah Lemahbang
pulang, ke delapan wali menyimpulkan bahwa ajaran Lemahbang sesat, akan
tetapi karena belum waktunya, maka para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
akan mengadili Lemahbang setelah Kerajaan Demak berdiri.
Pengakuan Sitijenar tentang Akulah Allah,
bisa dibandingkan dengan Buku Ana Al Haqq Kitab Thowasin karangan Al Halaj
terjemahan terbitan Risalah Gusti, dimana akulah kebenaran tercantum dalam
Thasin bab VI Kitab tentang Adam, AS. Pada Nomor 23 yang berisi “ Dan Aku
berkata, jika engkau tidak mengenal Dia, maka lihat tanda abadi-Nya. Tanda
yang kekal; dan tanda itu adalah aku dan Akulah
Kebenaran itu (Ana Al Haqq) dan pada hakikatnya aku selamanya bersama
dengan kebenaran itu”. Pernyataan Al Halaj ini juga menjadi polemik para
Ulama, walaupun Al Halaj menyatakan pada akhir Kitab Thowasin pada Thasin XI,
Kitab Kebun Ma’rifat, nomor 16 menyatakan sebagai berikut, “Yang benar tetaplah yang benar. Pencipta
sebagai Kholiq, dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah mahluk. Ini
akan tetap selalu demikian”. Sedangkan kisah Sitijenar yang dikenal masyarakat sekarang ini kebanyakan
bersumber pada Serat Siti Djenar karangan R.P. Natarata (1810 -1890 M)
seorang Panji di Distrik Ngijon Jogjakarta yang lebih dikenal dengan ajaran
Wahdatul Wujudiyah atau ajaran Nataratanan dimana jasadnya digantai dengan bangkai
anjing berpenyakit kudis).(Tambahan Penerjemah)
Kedelapan
wali kemudian mengadakan perundingan, merencanakan menghancurkan Majalengka
atau majapahit. Yang dijagokan adalah Raden Patah, Lembu Peteng Madura dan
keluarganya yang sudah masuk Islam. Sunan
Ngampel berusaha menghalangi dengan alasan Raja Brawijaya memberi kemerdekaan
para wali dalam menyebarkan agama Islam. Akan tetapi Raden Patah memberi
alasan bahwa Raja Brawijaya belum masuk islam dan mengharapkan jangan sampai
di Jawa ada percampuran agama dan mengharapkan di jawa hanya ada satu agama
yaitu Agama Islam.
Lanjut
cerita Sunan Ngampel meninggal dunia
dan dimakamkan di sebelah utara masjid Ngampel. Sedangkan yang menggantikan
menjadi Imam adalah Sunan Ratugiri dan Sunan Benang. Sunan Ratu Giri
mengangkat dirinya menjadi Raja di Giri dan bergelar Sunan Ratu dan sangat dihormati oleh rakyatnya. Yang menjadi
patih adalah anaknya Adipati Terung yang berada di Tandes, bergelar Pangeran
Palembang.
Sunan
Benang setelah mendengar bahwa Sunan Giri mengangkat dirinya menjadi Raja,
Sunan Benang tidak setuju. Sunan Benang selanjutnya pergi ke Tandes untuk
menemui pamannya yang menjadi patih dan menuntut sang paman mengapa tidak mau
mengingatkan. Kedudukan Ratu Giri adalah sebagai Ulama atau Wali, mengapa mau
menjadi Raja.
Jawaban
Patih bahwa sudah tidak kurang-kurang mengingatkan, akan tetapi karenan Sunan
Giri Gajah dalam keadaan sedang mendapat wahyu dan besar mengunahnya,
sehingga mengakibatkan peringatan Sang Patih tidak dihiraukan. Oleh Sang Patih,
Sunan Benang dimohon untuk menghadap
Sunan Giri sendiri dan Sunan
Benang Sudah bertemu langsung dengan
Sunan Giri.
Sunan
Benang menanyakan kepada kakaknya yaitu Sunan Giri tetang bagaimana jalan
ceritanya sehingga Sunan Giri mengangkat dirinya menjadi Raja di Giri. Sunan
Giri menjawab bahwa dirinya menjadi raja adalah sudah Kehendak Tuhan. Sunan
Benang tidak percaya, dan meminta saksi. Sunan Giri menyanggupinya. Sunan
Benang akhirnya diajak oleh Sunan Giri untuk pergi ke Mekah guna meminta
saksi kepada Yang Maha Suci, dengan jalan Tafakur di Rumah Allah. Sunan
Benang mengikuti saja kehendak Sunan Giri.
Dalam
perjalanan keduanya singgah di Malaka untuk menghadap Kakeknya yang bernama
Syech Maulana Iskak. Setelah sampai, Sunan Giri ditanya oleh Maulana Iskak
tentang apa keperluanya. Sunan Giri menjawab apa adanya. Pada akhirnya
Maulana Iskak memerintahkan kepada keduanya kembali saja ke tanah jawa, dan
tidak usah mengambil saksi ke Mekah. Cukup hanya Maulana Iskak saja yang
menjadi saksi, dengan penjelasan bahwa mengapa sunan Giri mengangkat dirinya
menjadi Raja, adalah sekedar sebagai syarat agar selamat siapa saja yang akan
mengganti raja di belakang hari. Artinya yang akan menjadi raja pengganti
nantinya jangan sampai langsung menggantikan seorang raja yang bukan dari
raja yang beragama Islam. Sunan Giri dan Sunan Benang sangat puas atas
keterangan Maulana Iskak. Pada saat itu pula Sunan Benang meminta ijin untuk
menjadi raja menyamai Sunan Giri. Syech Maulana Iskak juga menyetujui. Sunan
Giri diperintahkan menjadi raja Para Ulama. Sunan Benang diperintahkan
menjadi raja dalam soal agama dan ilmu. Keduanya akhirnya kembali ke Jawa.
Sunan Benang Menjadi raja di Ngampel, bergelar Prabu Nyakra Kusuma, juga mempunyai nama lain sebagai julukan
yaitu Ratu Wahdat.
Lain
cerita, bahwa pada saat itu di Majapahit sedang terjadi wabah yang
mengakibatkan banyak para penduduk yang meninggal dunia. Prabu Brawijaya
memerintahkan kepada Kyai Bubak dan Djenal Ngabidin, meminta syarat kepada
Sunan Giri, akan tetapi Sunan Giri tidak berkenan. Sunan Giri menyatakan
bahwa apabila Prabu Brawijaya mau menghadap langsung kepada Sunan Giri, serta
menyerahkan kerajaan kepada Sunan Giri, maka barulah Sunan Giri berkenan
memberi syarat. Sebab sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kerajaan
sudah waktunya dipindahkan ke Giri.
Kyai
Bubak setelah mendengar ucapan sunan Giri segera menyampaikan kepada Prabu
Brawijaya tentang apa yang telah diucapkan oleh Sunan Giri. Sedangkan Djenal
Ngabidin masih tetap tinggal di Giri. Singkat cerita Prabu Brawijaya sangat
marah dan memerintahkan untuk menyerang Giri. Dalam penyerangan tersebut
Pasukan Majapahit dipimpin oleh Arya Lekan. Awalnya Arya Lekan menang perang.
Akhirnya Sunan Giri menyipta kalam dijadikan sebuah keris untuk digunakan melawan
Arya Leka sendiri. Keris tersebut diberi nama Keris Kalamunyeng. Dalam perang
tanding antara Arya Leka dengan Sunan Giri, Arya Leka kalah dan kembali
pulang ke Majapahit, melapor kepada Prabu Brawijaya. Keris Kalamunyeng
kemudian dicipta kembali menjadi kalam lagi oleh Sunan Giri.
Lanjut
cerita, Prabu Anom di Palembang yaitu anak dari Adipati Pecatonda yang dahulu
diangkat menjadi patih oleh Sunan Giri, pada saat itu sedang berada di Tandes
dengan membawa prajurit. Setelah Sunan Giri mendengar kabar tersebut, maka
Sunan Giri menyuruh untuk memanggil Prabu Anom. Akan tetapi Prabu Anom tidak
berkenan, bahkan jawabannya mau menghadap Sunan Giri dengan syarat
diperbolehkan duduk sama tinggi dengan Sunan Giri. Sunan Giri marah, akan
tetapi ditutupi kemarahannya itu. Akhirnya Prabu anom diperkenankan duduk
sama tinggi dengan Sunan Giri.
Singkat
cerita Prabu Anom sudah menghadap dan duduk sama tinggi dengan Sunan Giri.
Pada saat itu Sunan Giri menunjukan kemarahannya. Prabu Anom dimarahi oleh
Sunan Giri sehingga Prabu Anom sangat ketakutan dan tidak bisa berkata
apa-apa, malahan badannya lemas dan turun dari tempat duduk sambil menyembah
kepada Sunan Giri. Akhirnya Prabu Anom dimaafkan dan diambil anak angkat oleh
Sunan Giri. Sunan Giri sangat menyayangi Prabu Anom, bahkan Prabu anom
dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan dianggap sebagai anak yang
paling tua dan diberi gelar Prabu Anom Suradiraja. Prabu Anom menyatakan kepada ayah angkat
sanggup menyerang orang yang bukan Islam, akan tetapi Sunan Giri tidak
menyetujuinya yang disebabkan Prabu Anom kedudukanya bukan sebagai ahli
waris. Sunan Giri takut pada kutukan Tuhan Yang Maha Esa. Prabu Anom mohon
ijin pulang ke Palembang. Sunan Giri menyetujuinya dan memberi pendaping
seorang yang bernama Pecantanda seorang sesepuh di Surabaya. Pecantanda di
Palembang diberi penghargaan tanah di Maospura dan di Balitung. Pada saat itu
Adipati Terung ayah dari Prabu Anom mendengar kabar tentang keadaan putranya
sehingga Adipati Terung sangat bahagia.
Lain
cerita, di tanah Pati ada seseoang yang mengajarkan ajaran menyimpang dari
aturan syariat Agama Islam. Sunan Giri mengutus Ki Panangsang untuk meredam.
Akan tetapi Ki Panangsang kalah perang dan kembali ke Giri. Sunan Giri
memerintahkan agar yang membikin onar di Pati dibiarkan dahulu, sebab pada
saat itu belum tiba pada hari naasnya, yang bisa mengakibatkan tanpa hasil.
Pada
saat yang lain, Adipati Tuban dan Daha menyimpang juga dari ajaran syariat
Islam. Ki Panagsang mendapat tugas dari Sunan Giri untuk menyerbu ke Tuban
dan Daha. Pasukan Tuban karena merasa kalah kuat tidak mau melawan, bahkan
Adipati Tuban mengutus utusan menyatakan menyerah kepada Sunan Giri. Sunan
Giri sangat bahagia dan mengutus Ki Panagsang menggagalkan penyerangan dan
diperintahkan kembali ke Giri. Atas jasa Ki Pangsang maka Sunan Giri
mengangkat Ki Panangsang menjadi Ariya, sehingga namanya menjadi Ariya Panangsang.
Lanjut
cerita, Sunan Giri meninggal dunia dan dimakamkan di Giri. Atas kehendak
Sunan Benang, sepeninggal Sunan Giri, yang diangkat menjadi raja adalah anak
yang tertua yang bernama Pangeran Dalem, kemudian bergelar Sunan Giri ke II.
Prabu
Brawijaya mendengar bahwa Sunan Giri telah meninggal dunia, sedangkan yang
menggantikannya adalah anaknya. Prabu Brawijaya marah, karena merasa tidak
dianggap oleh Sunan Giri. Sebagai tandanya adalah pengangkatan raja tidak
sepengetahuan dirinya, sehingga dianggap bahwa Giri akan memberontak. Sebelum
menjadi besar Prabu Brawijaya memerintahkan menyerang lebih dahulu. Yang
diutus adalah arya Gajahpramada. Singkat cerita Giri kalah dan Sunan Giri II
melarikan diri ke pinggir laut bersama dengan kerabatnya, juga bersama
sahabat yang bernama Wanapala dan melajutkan pelarian ke hutan Krendawaha
guna mendirikan desa.
Setelah
Giri dalam keadaan kosong, semua rumah dibakar oleh pasukan Gajah Pramada,
bahkan makam Sunan Giri I dibongkar, akan tetapi tidak ada yang bisa, sebab
semuanya pingsan. Di dekat makam ada dua orang Giri dan masing-masing
mempunyai ciri, yang satu buta dan yang satu pincang. Kedua orang tersebut
oleh Patih Gaja Pramada dipaksa membongkar makam Sunan Giri I. Karena kedua
orang tersebut takut akan dibunuh sehingga mau. Dalam penggalian tidak ada
halangan. Akan tetapi setelah papan penutup makam sudah nampak, keluarlah
banyak lebah dari dalam makam dan menyengat pasukan Majapahit. Semua pasukan
melarikan diri ke Majapahit. Akan tetapi lebah terus mengejar sampai ke pusat
kerajaan Majapahit. Bahkan Prabu Brawijaya beserta kerabatnya dikejar terus
oleh lebah. Singkat cerita Prabu Brawijaya mengungsi ke Wirasaba. Kerajaan
dikosongkan.
Setelah
Majapahit kosong, Sunan Giri II kembali ke Giri. Akan tetapi karena
rumah-rumah di Giri telah habis terbakar, maka Sunan Giri II memerintahkan
untuk mengambil rumah-rumah yang kosong di Majapahit untuk dibawa ke Giri.
Singkat cerita Giri sudah kembali seperti sedia kala.
Setelah
lebah sudah hilang, Prabu Bwawijaya juga kembali ke Majapahit. Semua rumah
yang sudah dibawa ke Giri diganti, sehingga di Majapahit sudah kembali
seperti sediakala.
Pawa
Wali beserta Putra Mapajapit, Prabu Jaran Panolih dari Sumenep, Sri
Lembupeteng dari Madura, Dewa Ketut dari Bali, Batara Katong dari Panaraga,
berkumpul di Bintara bermusyawarah akan menghancurkan Majapahit. Yang
dijadikan Senopati adalah Sunan Benang. Dipati Bintara hanya dipersiapkan
sebagai Raja. Dipati Bintara memerintahkan duta dengan mambawa surat yag
ditujukan kepada Dipati Terung. Duta sudah berangkat. Sepeninggal pembawa
surat, para wali berniat membuat sebuah Masjid. Dalam pembuatan masjid para
Wali berbagi tugas. Sunan Kali ditugasi membuat satu tiang, akan tetapi belum
siap yag akhirnya Sunan Kali mengumpulkan Tatal dan disabda menjadi tiang.
Singkat cerita Masjid sudah selesai dibangun. Akan tetapi Para Wali ragu dan
kuatir barangkali arah kiblat tidak sesuai. Sunan Kali kemudian membentangkan
tangannya, tangan yang satu memegang Ka’bah, dan tangan yang satunya lagi
memegang pengimaman masjid. Kemudian dibetulkan arah kiblatnya. Setelah
sempurna barulah Para Wali Sholat. Setelah pagi di dalam masjid ada sebuah
benda tergantung tanpa gantungan yang kemudian diambil oleh Para Wali.
Setelah dibuka benda tadi adalah sebuah pakaian taqwa yang ada tandanya,
bahwa pakaian tersebut adalah untuk Sunan Kalijaga. Selanjutnya pakaian
tersebut oleh Para Wali diserahkan kepada Sunan Kalijaga, sehingga sangat
bersyukurlah beliau kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sunan Benang mengatakan bahwa
baju tersebut adalah bekas dipakai sholat oleh Kanjeng Nabi Muhammad, SAW.
dan baju tersebut bernama antakusuma. Sedangkan yang pantas memiliki dan
memakainya adalah yang akan menjadi
Ratu di Tanah Jawa.
Dalam
rencana mengahncurkan Majapahit, Sunan Ngudung yang diperintahkan untuk
menyerang lebih dahulu. Pasukan Sunan Ngudung berkumpul di Surabaya. Akan
tetapi Sunan Ngudung mendapat pesan dari Sunan Benang apabila berperang
dengan Dipati Terung agar sekedarnya saja. Singkat cerita Sunan Ngudung
beserta pasukan berangkat dengan membawa pusaka Kjai Antakusuma (Kjai
Gondil). Prabu Brawijaya mendengar bahwa Majapahit akan diserang, sehingga
Prabu Brawijaya memerintahkan kepada Patih Gajahmada untuk menghadapinya.
Lanjut
cerita, Dipati Terung sudah mendapat surat dari kakaknya yang berisi rencana
penyerangan ke Majapahit. Dipati Terung juga menyetujui, akan tetapi dalam
memberangkatkan pasukan dengan cara menyamar agar tidak diketahui. Rencana
Dipati Terung sangat menggembirakan Sunan Benang, sehingga Sunan Benang
memberangkatkan pasukannya dari Demak.
Dipati
Terung mendapat perintah Prabu Brawijaya supaya menghadapi penyerang, dengan
didampingi oleh anak sulung dari Prabu Brawijaya yang bernama Prabu Anom
Atmawijaya. Singkat cerita Sunan Ngudung sudah perang tanding melawan Dipati
Terung. Sunan Ngudung kalah dan meninggal serta dimakamkan di sebelah barat
Masjid Demak. Dan yang menggantikan pimpinan perang adalah Sunan Kudus.
Dipati
Bintara beserta kerabatnya pergi ke Surabaya untuk menyiapkan diri guna
menyerang Majapahit. Dipati Bintara mendapat tugas menjaga pantai utara.
Sunan Benang beserta para Auliya bertugas menjaga di sebelah barat. Batara
Katong dari Panaraga beserta Raja Dewaketut dari Bali menjaga di sebelah
selatan. Sri Lembupeteng dari Madura beserta Prabu Jaran Panolih dari Madura
mendapat tugas di sebelah Timur.
Pabu
Brawijaya memerintahkan para senopati perangnya untuk menyerang. Singkat
cerita terjadilah perang besar. Dipati Bintara menggelar Sorban dari Sunan
Gunungjati. Dari dalam Sorban keluar tikus yang sangat banyak. Pasukan
Majapahit lari tunggang langgang. Hari berikutnya Dipati Bintara mengeluarkan
keris Kalamunyeng wasiat dari Giri. Dari situ keluar lebah yang sangat banyak
mengejar dan menyengat pasukan Majapahit. Dipati Bintara kemudian juga
mengeluarkan peti dari Palembang. Dari dalam peti mengeluarkan suara yang
sangat keras bagaikan petir yang mengakibatkan bumi bergetar, yang kemudian
mengeluarkan mahluk halus langsung menyerang atau lebih jelasnya menyantet
pasukan Majapahit. Sunan Benang mengeluarkan tongkat saktinya dari tongkat
keluar keris yang sangat banyak yang bisa bergerak sendiri menyerang pasukan Majapahit.
Pasukan Majapahit kalah dan lari tunggang langgang. Prabu Brawijaya melarikan
diri ke Panaraga. Di Panaraga Prabu Brawijaya mengumpulkan sisa pasukan serta
para penduduk yang masih setia yang bersedia membantu. Dipati Bintara
bermusyawarah dengan para wali serta mengirim surat kepada ayahnya yaitu
Prabu Brawijaya yang isinya agar Prabu Brawijaya berkenan kembali ke Majaphit
dan akan dijadikan sesepuh dengan syarat Prabu Brawijaya bersedia masuk
Islam, dan apabila tidak berkenan, maka terserah Prabu Brawijaya. Setelah
surat dibaca, Prabu Brawijaya sangat marah. Singkat cerita terjadi perang
kembali. Pasukan Majaphit kalah perang. Prabu Brawijaya melarikan diri dan
terpisah dengan Istri dan kerabatnya yang berlari tanpa arah mencari hidup
sendiri-sendiri.
Sedangkan
runtuhnya Kerajaan Majapahit menurut fersi Serat Darmagandul dalam bentuk
tembang Macapat Dandanggula sebagai pembanding adalah sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Mula tjrita
Madjapahit, nora timbang sahambaning pradja, ja ambane djadjahane, tjinekak tjaritanipun,
sabab buka wadining Hadji, putra prang lawan bapa, sakalangkung saru, ing
nganggit para pudjangga, anjemoni bedahe ing Madjapahit, pinatjak lajang
babat.
|
|||
2.
|
Marga saking
kramating pra wali, kerisira Sunan Giripura, tinarik metu tawone, ngentup
wong Madjalangu, Sunan Tjerbon badonge midjil, tikus jutan awendran, mangsa
sakeh sangu, miwah bekakas turangga, bubar giris wong Madjalengka sru miris,
tikus jutan awendran.
|
|||
3.
|
Peti saking Palembang
nagari, dipun bukak madyanign paprangan, djumedul metu demite, neluh wong
Madjalangu, bubar giris tineluh demit, Sang Prabu Brawidjaja, mekrat
sedanipun, iku pasemon sadaja bedahira, ing Madjapahit sajekti kadya kang
kotjap ngarsa.
|
|||
4.
|
Madjalengka iku
wudjud nagri, nora kaja sindjang kena rusak, rusak dikrikiti bahe, lan malih
lumrahipun, tawon bubar den manusa djanmi, wana kerkeh demitnya, rusake
ginempur, mring wadya kang mamrih bangga, among lagja bedahe ing Madjapait,
pradja gung bedahira.
|
|||
5.
|
Marga saking tawon
tikus demit, iku kanda ing tjaritanira, pralambang pasemon bae, sapa pertjaja
iku, tanda djalma uteke isi, tletong babi lan sona, jen djalma satuhu, kang
simpen utek mardika, tan pratjaja nalare aneh kapati, tan tepung lawan nalar.
|
|||
6.
|
Nora tjotjok lahir
lawan batin, iku tandane tjarita dora,
pralambang pasemon kabeh, jen tinulisa tuhu, tjaritane ing Madjapahit, ambuka
wadi nata, pudjanggane takut, mila pasemon kewala, pasemone pralambangira
asami, mangkene tegesira.
|
|||
7.
|
Tikus iku watek
krikit-krikit, lama-lama jen den umbar ngrebda, pangane angentekake, Para
Ngulama Ngarbun, praptanira ing tanah djawi, among badan sapata, sowan mring
Sang Prabu, pada njuwun panguripan, diparingi bareng wus lemu kang paring,
urip nulja dirusak.
|
|||
8.
|
Tawon iku gawa raga
manis, gegamane aneng silitira, tala gowok paturone, puniku semonipun, pan
sanjata wong Islam iku, mung manis rembug ngarsa, ngentup saking pungkur,
akolu angrusak pradja, Madjalengka Ratu ingkang ngurip-urip, weh gawok kang
miharsa.
|
|||
9.
|
Dene demit den wadahi
pethi, gja binukak neng madyeng ranangga, djumeglug metu demite, tegese
pralambang niku, nglimbang galih ganti agami, pethi punika wadah, simpenan
kang brukut, demit niku makna samar, tukang teluh bedah nagri Madjapahit, den
teluh primpen samar.
|
|||
10.
|
Nora ana tjritane
kawidjil, samudana seba ngestupada, lakune kimagetake, mulane pra nung-anung,
Madjalengka tan wikan masih, durung nganti sadija. Kaprabon prang pupuh,
Dipati Terung nagara, wus bijantu mring demak dipati, ambedah Madjalengka.
|
|||
11.
|
Ambijantu ngrajah
djroning puri, buku-buku betuwak karadjan, sarak buda pikukuhe, dipun obong
sadarum, dimen sirna agama budi, supaja mituhuwa, marang sarak rasul, iku
tjritane kang njata, ing bedahe ija nagri Madjapahit, timbang kalawan nalar.
|
|||
12.
|
Nora ana tjrita
dingin-dingin, nagri agung kaja Madjalengka, bedahe den tupi tawon, lan den
krikiti tikus, bubar sarta den teluh demit, bedahe Madjalengka, apan
amisuwur, djumeglug swara lir gelap, suwarane warata satanah indi, wong Islam
watakira.
|
|||
13.
|
Kaja tawon, tikus
lawan demit, nora weruh betjikanign Radja, asikara tanpa wite, awit weruh
puniku para sunan sinebut wali, wali iku walikan, kekarepanipun, mawas ngulon
nolih ngetan, jamulane den betjiki angalani, mring Ratu Madjalengka.
|
|||
14.
|
Wali wolu sanga kang
tinari, den mumule mring sagung wong djawa, udjar puniku tegese, tegese wali
wolu sunan wolu mbalela mbalik, sangane Raden Patah, tinari ing kewuh, ing
ngangkat djumeneng Nata, sarta ngrusak karaton ing Madjapait, mungsuh bapa
tur radja.
|
|||
15.
|
Dst. (Pen)
|
|||
Cerita
selanjutnya, Dipati Bintara terus mencari dan mengejar ayahnya. Dalam saat
pengejaran kebetulan berjumpa dengan Istri Prabu Brawijaya yang bernama Putri Dwarawati, memohon
hidup. Sang Putri kemudian dibawa ke Benang. Prabu Brawijaya tinggal
sendirian, sehingga putus asa. Kemudian mengasingkan diri di Gunung Sawar. Di
situ kemudian meninggal dunia dan dari jasadnya mengeluarkan cahaya yang
sangat terang. Caha yang memancar dari Gunung sawar kemudian didatangi oleh
Dipati Bintara. Setelah tau bahwa ayahnya sudah meninggal dunia, dipati
Bintara memeluk sambil menyesal. Kemudian ketahuan Sunan Benang. Sang Dipati
Bintara dirayu agar hatinya tenang. Kemudian Jasad Prabu Brawijaya dimakamkan
di Demak. Yang mengangkat jasadnya, dipati Bintara dan Sunan Benang Sendiri.
(Berbeda dengan yang
diceritakan di Buku darma Gandul dimana Prabu Brawijaya melarikan diri ke
Timur, berniat mengumpulkan kekuatan Majapahit dari Bali, Kalimatan, Sumatra
dan yang lain. Baru sampai di Banyuwangi disusul oleh Sunan Kalijaga yang
mengemban tugas dari dipati Bintara untuk mengislamkan Prabu Brawijaya dan
setelah berhasil diislamkan dua abdi yang bernama Sabda Palon dan Naya
Genggong atau sebutan lain adalah Kyai Semar tidak mau masuk Islam
kemudian muksa dan akan menagih janji
dalam kurun waktu kurang lebih 500 tahun. Menurut kisah di sini setelah
meninggal dunia Prabu Brawijaya di Makamkan di Trowulan dan diberi nama Makam
Putri Cempa, dan tempatnya diberi nama Trowulan yang berarti Sastra Wulan
atau Ilmu Wanita (yang bermakna bahwa Prabu Brawijaya menggunakan rasa
seperti wanita atau rasa kasihan atau tidak tega untuk menghacurkan pasukan
demak karena yang dihadapi adalah putranya sendiri sehingga pasukan Majapahit
diperintahkan menyerang sekedarnya saja) dan Taralaya yang berasal dari
Sastra Laya atau matinya ilmu, yang dimaksud adalah matinya ilmu jawa dan
akan bangkit setelah Sabda Palon Naya Genggong nagih janji.( Pen.).
Setelah
pemakaman kemudian para Wali bermusyawarah. Dipati Bintara diangkat menjadi
Raja di Demak dan bergelar Ngawantipura. Akan tetapi dengan syarat, Sunan Giri
II dinobatkan menjadi Raja terlebih dahulu selama 40 hari. Tujuannya adalah
untuk memberi jarak bahwa dalam pengangkatan Dipati Bintara menjadi raja
bukan menggantikan seorang raja yang bukan beragama Islam. Setelah genap 40
hari Sunan Giri II meletakan jabatannya sebagai raja dan digantikan oleh
Dipati Bintara. Dipati Bintara bergelar Sultan Syah Ngalam Akbar Brawijaya
Sir’ullah Kalipati Rosulillah Waha Amiril Mukminin Tajuddin Ngabdul Kamitchan.
Sedangkan yang diangkat menjadi patih adalah putra dari Ki Ageng Wanapala
yang bernama Patih Mangkurat. Sedangkan yang menjadi Penghulu adalah Sunan
Benang. Untuk Wali yang lain diangkat menjadi Pujangga. Ki Ageng Wanapala
diangkat menjadi Jaksa.
Cerita
selanjutnya, Istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Erawati, karena tidak
kuat menahan kesedihan, akhirnya meninggal dunia. Oleh para Wali, dimakamkan
di Dusun Karangkajenar.
Selanjutnya,
Prabu Anom Atmawijaya Putra Prabu Brawijaya, berniat mengadakan pemberontakan
bergabung dengan Dipati Terung. Dalam pemberontakan ini yang menghadapi
adalah Sunan Kudus. Prabu Anom Atmawijaya kalah perang dan melarikan diri ke
Gunung Lawu bergelar Ki Ageng Gugur. Sedangkan Dipati Pecatanda di Terung
menyerahkan diri dengan dikawal oleh Sunan Kudus menghadap ke Bintara,
kemudain diangkat menjadi Dipati di Terung, juga ikut menyiarkan agama Islam.
Anak Dipati Terung yang bernama Ayulinuwih diambil oleh Sultan, kemudian
diberikan kepda Sunan Kudus.
Cerita
selanjutnya Ki Ageng di Sela yang lebih dikenal dengan Nama Ki Ageng Sela, adalah
anak dari Syech Ngabdullah di Getaspandawa, Ki Getaspandawa anak dari
Lembupeteng di Tarub. Sedangkan Lembupeteng anak dari Prabu Brawijaya dengan
Pandan Kuning, sehingga Ki Ageng Sela baru turun ke 4 dari Prabu Brawijaya.
Ki Ageng Sela mempunyai saudara kandung sebanyak 12 orang, masing-masing
bernama :
1.
Ki Ageng Ngabdullah di Terub;
2.
Ki Ageng Sela (Panenggak).
3.
Nyai Ageng Amadanom di Purna;
4.
Laki-laki meninggal dunia saat muda
(lain Ibu yaitu dari Sukowati dan nomor selanjutnya)
5.
Nyai Ageng Djayapanatas di Kare .
6.
Nyai Ageng Wiradi
7.
Nyai Ageng Sampudin di Bongkang;
8.
Nyai Ageng Wangsaprana di Bali;
9.
Nyai Nirawangsa di Bongkang;
10. Meninggal
dunia saat bayi;
11. Nyi
Ageng Mukmin di Ngadibaya.
(Yang
disebutkan hanya 11 Saudara)
Saudara
sebanyak tersebut di atas semua ikut Ki Ageng Sela, dimana Ki Ageng Sela
penghasilannya hanyalah bertani.
Pada
suatu hari Ki Ageng Sela menangkap pencuri di sawahnya. Pencuri tersebut
seorang nenek-nenek. Setelah diadili oleh Sultan Demak, kemudian dipenjara.
Tidak lama dalam penjara kemudian ada seorang nenek-nenek mendatangi
nenek-nenek yang ada di dalam penjara sambil membawa air. Tidak berapa
lama terdengar suara ledakan yang
sangat keras. Bersamaan dengan itu musnahlah kedua nenek-nenek tersebut.
Sejak saat itu Ki Ageng Sela terkenal bisa memegang kilat atau halilintar.
Cerita
selanjutnya, ada seseorang dalang dari Demak yang bernama Kyai Becak.
Mempunyai seorang istri yang sangat cantik, datang ke Tarub untuk mengadakan
pertunjukan wayang. Istri dalang yang cantik sangat diinginkan Ki Ageng Sela.
Dalang tersebut oleh Ki Ageng Sela dibunuh, sehingga semua peralatan wayang
dan istri Ki Dhalang menjadi milik Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela sangat
menyukai alat musik wayang yang bernama Kempul Saking senangnya terhadap
kempul tadi, Ki Ageng Sela sampai lupa terhadap istri Ki Dhalang. Kempul
tersebut kemudian diberi nama Kyai Becak, yang oleh Sunan Kalijaga diberi
syarat sehingga kempul tersebut
mempunyai kekuatan magis bisa sebagai pertanda perang. Apabila kempul atau
bende tersebut dibunyikan dan suaranya nyaring menandakan akan menang perang.
Dan siapapun yang memilikinya, di belakang hari akan menurunkan raja-raja di
tanah jawa.
Anak
Ki Ageng Sela ada sebanyak 14 oarng, masing-masing bernama :
1.
Nyai Ageng Lurungtengah di Wanasaba;
2.
Nyai Ageng Sungeb di Wanasaba,
kemudian pindah ke Pakeringan sehingga terkenal dengan nama Nyi Ageng
Pakeringan;
3.
Nyai Ageng Mondalika di Bangsri;
4.
Nyai Nur Muhammad di Jati, terkenal
dengan nama Nyai Ageng Jati;
5.
Nyai Ageng Suleman di Patanen,
terkenal dengan nama Nyi Ageng Patanen;
(Nomor
1 s/d 5 dari istri sepuh asli Wanasaba).
6.
Laki-laki meninggal saat muda;
7.
Nyai Ageng Jakariya di Pakisdadu;
8.
Nyi Amatkahar di Pakiskidul;
9.
Nyi Ageng Mukibat di Pakisaji;
10. Bagus
Anis
(Nomor
6 s/d 10 dari istri nomor 2).
11. Perempuan
meninggal saat muda;
12. Meninggal
saat muda;
13. Meninggal
saat muda;
14. Bagus
Baji, lebih terkenal dengan nama Kyai Ageng Pasuson.
(
Nomor 11 s/d 14 dari istri nomor 3).
Ganti yang
diceritakan, ada salah seorang wali yang sangat ahli dalam ilmu ma’rifat.
Syariat sudah ditinggalkan. Dia bernama Pangeran Panggung saudara nomor dua
dengan Sunan Ngudung. Sedangkan Sunan Ngudung adalah anak dari Kalifah Kusen
pada jaman dahulu. Pangeran Panggung mendirikan perguruan yang hanya
mengajarkan ilmu batin yang sudah meninggalkan Sholat. Para murid hanya
diajari Sholat Daim, yaitu sholat hanya di dalam batin. Pangeran panggung
mempunyai binatang piaraan berupa 2 ekor anjing yang masing-masing diberi
nama Iman dan Tauchid. Kuduanya dapat berbicara layaknya manusia. Ketenaran ajaran
Pangeran Panggung terdengar sampai ke Demak sehingga Pangeran Panggung
dipanggil menghadap sultan. Singkat cerita Pangeran Panggung sudah menghadap
Sultan Demak dan ditanya oleh Sultan Bintara tentang kebenaran bahwa Pangeran
Panggung hanya mengajarkan Sholat daim, yang berakibat merusak Rukun Islam
dan Syari’at Nabi. Sambil menyembah Pangeran Panggung menjawab bahwa hal
tersebut benar adanya. Sebab apabila
hanya berbicara soal syariat pasti terjadi perbedaan pendapat yang pada
akhirnya akan terjadi pertentangan Padahal Tuhan itu Maha Benar yang tidak
mungkin untuk dipertentangkan. (Timbulnya
banyak Madzab dalam Islam dikarenakan
terjadi perbedaan dalam menafsirkan). Sebuah teori, bahwa
yang namanya yakin adalah tidak perlu tau,tidak perlu penafsiran, tidak perlu
mengerti, tidak perlu ada Tanya tidak perlu pemikiran ataupun teori. Sebagai
contoh dalam Wudlu jika kentut maka batal dan setelah wudlu lagi maka kembali
suci padahal yang untuk kentut tidak dibasuh sama sekali, jika dipikir malah
menjadi bingung tapi jika yakin malah menjadi tenang. Akal dan pikiran hanya
bisa menyelesaikan urusan dunia, sedangkan keyakinan hanya bisa diselesaikan
oleh hati tanpa akal dan pikiran. – Pen.).
Setelah
mendengar jawaban Pangeran Panggung seperti tersebut di atas, Sultan Bintara
meminta keterangan mengenai rasa dari ilmu sejati yang terkandung dalam Al
Qur’an, agar dijelaskan yang sejelas-jelasnya. Pangeran Panggung menjawab
dengan sopan bahwa masalah tersebut adalah mudah dan sukar. Mudah bagi yang
sudah terbuka dan sukar bagi yang belum terbuka. Ilmu yang paling sempurna
adalah ilmu yang bisa mengenal dirinya sendiri yang menghantarkan untuk
mengenal Tuhan-nya. Pertama mengetahui kematian diri dengan tujuan kepada
keselamatan. Yang kedua mengetahui diri berasal dari mana. Adanya
berasal dari tiada atau mengada karena dicipta oleh Sang Pencipta. Setiap diri adalah kosong belaka yang
bernilai angka 0. Sedangkan Tuhan yang bersifat Esa bernilai angka 1(isi)
sehingga apabila digabung pada mungkin ajaran manunggaling kawula gusti akan
menjadi angka 10 (kosong tapi isi, isi tapi kosong Sun Go Kong) yang berarti
sempurna. Adanya setiap diri karena ada yang menciptakan. Setiap orang yang
berada di dunia hanya satu permasalahannya yaitu tidak berhak mempunyai
kehendak. Hanya Allah sajalah yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Dan
setiap diri yang berada di dunia tidak mungkin ada dengan sendirinya. Raga
beserta sukma, badan beserta nyawa semuanya adalah sebagai tandanya dari yang maha sempurna. Yang tidak mengetahui hal tersebut
akan tersesat hidup didunia. Roh berasal dari Tuhan sebagai daya hidup yang
menghidupi Nyawa. Roh itu urusan tuhan. Sedangkan nyawa adalah benih hidup
yang mengandung daya hidup dari roh. Roh bergabung dengan nyawa menjadi sukma
yang masih bersifat pasif. Sedangkan sukma bergabung dengan hawa nafsu dan
keinginan diri akan menjadi jiwa yang bersifat aktif. (tambahan
penerjemah dinukil dari Buku Sangkan Paraning Dumadi).
Setelah mendengar penuturan Pangeran
Panggung, Sultan Bintara agak kesulitan memahaminya. Dengan suara pelan
Sultan Bintara minta dijelaskan mengenai simbul Sholat yang berada dalam
tubuh manusia yang ada hubungannya dengan ilmu chak
Pangeran
panggung pelan menjawab tentang hubungan sholat dengan badan manusia, sebagai
berikut :
1.
Sholat Dhuhur 4 roka’at, disebabkan
karena manusia mendapat anugrah 2 tangan dan 2 kakki.
2.
Sholat Asar 4 roka’at, karena
manusia mendapat anugrah sepasanga telaga kalkautsar dan punggung kanan kiri.
3.
Sholat Maghrib 3 roka’at, karena
manusia mendapat anugrah 2 lobang hidung dan satu buah mulut.
4.
Sholat “Isya 4 roka’at, karena
manusai mendapat anugrah dua telinga dan dua mata.
5.
Sholat Shubuh 2 roka’at, karena
manusia mendapat anugrah Roh dan Jasad.
6.
Sedangkan Sholat Witir adalah
sebagai perlambang dari dua buah alis manusia.
Sedangkan
perbedaan waktu sholat karena disebabkan oleh beberapa kisah, sebagai berikut
:
1.
Sholat Subuh yang mempunyai kisah
adalah Nabi Adam pada saat diturunkan dari Sorga berpisah dengan Siti Hawa,
sehingga Nabi Adam sangat menderita karena tidak ada temannya. Nabi Adam
bertobat, dan atas kemurahan Sang Maha Pencipta, Malaikat Jibril mengemban
tugas dari Tuhan memerintahkan Nabi Adam untuk menjalankan Sholat dua
roka’at. Nabi Adam menjalankan sholat dua roka’at bersamaan dengan waktu
fajar. Ketika uluk salam kanan dan kiri, Siti Hawa sudah berada di sampingnya
dan menjawab salam Nabi Adam.
2.
Sholat Dhuhur yang mempunyai kisah
adalah Nabi Ibrahim pada saat dibakar. Nabi Ibrahim bertobat sehingga
diperintah Tuhan agar menjalankan Sholat 4 roka’at. Nabi Ibrahim Sholat
sehingga mengakibatkan api padam.
3.
Sholat Ashar yang mempunyai kisah
adalah Nabi Yunus pada waktu berada di di dalam perut ikan paus. Setelah
bertobat, Nabi Yunus mendapat perintah Tuhan agar menjalankan sholat 4
roka’at. Setelah Nabi Yunus menjalankan sholat, ikan paus tidak kuat dan
hancurlah tubuhnya sehingga Nabi Yunus bisa keluar dari dalam perut ikan paus
tersebut.
4.
Sholat Maghrib yang mempunyai kisah
adalah Nabi Nuh ketika dilanda banjir dan topan yang sangat besar. Nabi Nuh merasa salah dan bertobat,
sehinnga Nabi Nuh diperintahkan menjalankan Sholat tiga roka’at sehingga air
menjadi surut dan badai sirna.
5.
Sholat Isha yang mempunyai kisah
adalah Nabi Musa ketika kalah perang dengan Raja Arkiya. Setelah Nabi Musa
Sholat Khajat. Nabi Musa mendapat perintah menjalankan Sholat empat roka’at
sehingga Nabi Musa menang perang.
Setelah
Pangeran Panggung menjelaskan panjang lebar seperti tersebut di atas, Sultan
Bintara meminta keterangan lagi masalah anasir. Pangeran Panggung mengatakan
atas dasar petunjuk guru pada jaman dahulu bahwa anasir berjumlah 4, baik
anasir lahir maupun anasir batin. Setelah mendengar jawaban Pangeran
Panggung, Sultan bintara memohon untuk diterangkan maknanya. Pangeran
Panggung mengatakan dengan sopan kepada Sunan Bintara, bahwa anasir yang
berjumlah 4, yang pertama adalah Anasir Allah terdiri dari Zat, Sifat, Asma
dan Afngal. Zat adalah Wujud dari Allah sendiri. Dari segala sesuatu yang
mengada adalah wujud dari Allah. Yang besar maupun yang kecil dari suatu wujud
semuanya adalah milik Allah. Semua diri tidak mempunyai daya hidup. Hanya
Allah-lah yang Maha Hidup. Sedangkan semua mahluk yang mempunyai daya hidup
semuanya berasal dari Allah.
Yang
ke dua adalah Sifat, yaitu segala bentuk yang nampak. Bentuk yang besar
maupun yang kecil. Segala bentuk isi bumu dan langit hakekatnya tidak
memiliki bentuk. Hanya Allah yang memiliki segala bentuk.
Sedangkan
Asma adalah nama segala sesuatu. Isi bumi dan langit berbeda namanya akan
tetapi hanya Allah-lah yang mempunyai nama yang sempurna.
Arti
dari Afngal adalah perbuatan yang nampak. Semua isi bumi dan langit berbeda
pekerjaannya. Semuanya tanpa gerak. Hanya Allah-lah yang kuasa atas segala
gerak.
Telah
habis anasirnya Allah, ganti yang dibicarakan yaitu mengenai anasir Roh yang
juga berjumlah 4, masing-masing yaitu Wujud, Ilmu, Nur dan Suhud. Wujud
adalah hidup yaitu hidup yang sejati. Sedangkan Ilmu adalah penegrtian atau
pemahaman batin. Nur adalah Roh Illapi yaitu cahaya yang sangat terang.
Sedangkan Suhud itu adalah cita-citanya batin.
Sedangkan
anasir Kawula juga berjumlah 4, terdiri dari Bumi, Api, Angin dan air. Bumi menjadi Jasad. Api
menjadi cahaya yang memancar. Angin menjadi napas. Sedangkan air menjadi
darah dan cairan tubuh.
Setelah
mendengar semua keterangan Pangeran Panggung, Sultan Bintara sangat senang
hatinya. Akan tetapi agar supaya Pangeran Panggung tidak membuka semua
rahasia Tuhan, Sultan Bintara meminta tekad Pangeran Panggung. Akhirnya
Pangeran Panggung meminta kepada Sultan Bintara agar membuat api unggun yang
besar guna membakar dirinya. Sementara itu Pangeran Panggung masih terus
membuka Ilmu Rahasia. Setelah api menyala, segera 2 ekor anjing milik
Pangeran Panggung yang bernama Iman
dan Tachid lebih dahulu masuk ke
dalam api, akan tetapi tidak terbakar. Setelah mengetahui bahwa kedua
anjingnya tidak terbakar, Pangeran Panggung masuk ke dalam api. Setelah
berada di dalam api Pangeran Panggung juga tidak terbakar, malah Pangeran
Panggung mengarang Suluk Malangsumirang. Setelah suluk malangsumirang jadi,
Pangeran Panggung keluar dari api. Kemudain Suluk Malangsumirang diserahkan
kepada Sultan Bintara dengan disaksikan oleh semua para wali yang
terheran-heran melihat segala tingkah laku Pangeran Panggung, sehingga
seluruh para wali tidak sadar bahwa Pangeran Panggung bersama kedua anjingnya
pergi meninggalkan negeri Demak.
Sepeninggal
Pangeran Panggung, Para Wali mempelajari isi dari Suluk Malangsumirang yang
dipadukan dengan bermacam-macam ilmu, dan ternyata isi ajaran yang terkandung
di dalam Suluk Malangsumirang benar adanya. Kemudian Sultan Bintara
memerintahkan para prajuritnya untuk mencari Pangeran Panggung sampai ketemu
agar diajak kembali ke keraton Demak. Setelah
Pangeran Panggung bisa ditemukan dan mau diajak ke Demak, kemudian
Pangeran Panggung mendapat julukan Sunan Geseng dikarenakan ketika Pangeran
Panggung dibakar, dirinya tidak terbakar.
Cerita
selanjutnya, Sultan Bintara memerintahkan para Wali agar membuat Kidung
Kakawin dan menghimpun cerita jaman dahulu. Yang pertama kali membuat kidung
adalah Sunan Giri yaitu membuat tembang Asmaradana. Kemudian Sultan Bintara
memerintahkan agar tembang Asmaradana disebarluaskan kepada masyarakat banyak
untuk dijadikan tetembangan. Dan semua hasil karya para Wali diberi nama
Suluk Walisana atau Serat Walisana.
Sedangkan
hitungan wuku pada jaman kuna masih tetap dilestarikan. Untuk penanggalan,
nama hari dan pasaran, wuku dan dewanya, pandangon, paringkelan, widadari,
petung paarasan, semuanya dirobah. Termasuk juga sengkala nabi pitu yang
diberi nama panaasan. Kesemuanya bertujuan menyamai hitungan jaman dahulu.
Termasuk juga hitungan pasangaran, pasangatan lima mengikuti saat waktu
setiap hari. Sedangkan Dewa ari panca dicocokan dengan kitab nujum ramal,
walaupun beda akan tetapi sama-sama mempunyai tanda baik ataupun buruknya
hari yang berguna dalam ilmu filasat dan piyafat.
Sedangkan
hitungan bayi lahir, wuku dan dewanya, termasuk kayu dan hitungan burung,
candra perlambang serta pangapesan dan tulak paliyasan dirobah menjadi do’a
agar lebih bermanfaat dalam keselamatan hidup sang bayi, termasuk tulak
condong dan puji hari.
Kemudian
Sultan bintara juga memerintahkan untuk merobah nama tahun agar dirobah
menjadi nama arab sehingga menjadi Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be,
Wawu, Jimakir. Untuk hitungan windu yang pada jaman dahulu berjumlah 10 dan
tiap windu berumur 10 tahun, dirobah menjadi 4 windu dan setiap windu berumur
8 tahun. Perobahan 10 menjadi empat dengan dasar mencocokan anasir yaitu
anasir Api, Angin, Air dan Bumi, sehingga nama windu menjadi Windu Adi,
Kuntara, Sangara, Sancaya.
Masing-masing
windu mempunyai watak sendiri-sendiri, yaitu Windu Adi yang berwatak api
shingga dalam kurun waktu windu adi sering terjadi kecelakaan. Yang kedua
windu Kuntara berwatak Angin, sehingga dalam kurun waktu ini banyak
menimbulkan badai dan angin kencang. Yang ketiga Windu Sangara yang bersifat
air, sehingga dalam kurun waktu windu ini sangat murah air. Yang ke empat
windu Sancaya yang bersifat tanah, sehingga bisa menyebabkan banyak gempa karena
bumi sering bergetar.
Sedangkan
nama bulan juga dirobah dengan mengambil dari bahasa arab menjadi Mucharam,
Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Sakban,
Ramadhan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah, yang kesemuanya dicocokan dengan
hari, wuku dan pasaran, pada setiap awal windu untuk mengetahui kejadian
dalam kurun waktu satu windu.
Sedangkan untuk nama hari yang membuat
adalah Sunan Ngampel mengambil dari bahasa arab, berawal dari Akhad
(Minggu/Sun/Matahari), sebagai patokan awal hari, kemudain Sabtu, Jumungah,
Kemis, Rebu, Salasa, dan Senen. Sunan
Giri juga membuat hitungan dalam mencari rejeki, panjang dan pendeknya
umur, Pal Nabi, Sri Sedana yang bergilir setiap 4 tahun sekali. Kemudain juga
menghitung akibat dari terjadinya Gerhana Bulan dan Matahari, banjir, gempa
dan peredaran komet. Setelah sempurna kemudian disebar kepada masyarakat
untuk digunakan sebagai patokan.
Sebagai
pembanding : Nama Wuku; 1. Shinta 2. Landhep 3. Wukir 4. Kuranthil 5. Tolu 6.
Gumbreg 7. Warigalit 8. Warigagung 9. Julungwangi 10. Sungsang 11. Dangulan
12. Kuningan 13. Langkir 14. Mandhasia 15. Julungpujud 16. Pahang 17.
Kuruwelut 18. Merakih 19. Tambir 20. Madangkungan 21. Maktal 22. Wuye 23.
Prangbakat 24. Menail 25. Bala 26. Wugu 27. Wayang 28. Kulawu 29. Dhukut 30.
Watugunung.
Sedangkan
nama hari sebelum dirubah wali adalah : Aditya (ahad) Soma (Senin) Anggara
(Selasa) Buddha (Rebo) Brehaspati (Kemis) Cukra (Jumungah) Sanaiccara
(Sabtu).
Sedangkan
nama bulan sebelum wali, menggunakan nama : Crawana, Bhadra, Asuji, Kartika,
Magacira, Pocya, Magha, Phalguna, Cetra, Wecaka, Jestha dan Asadha. Setelah
jaman Wali Nama Bulan pernah juga memakai Pranata Mangsa.
Sedangkan
nama yang berhubungan dengan hitungan penanggalan yang dihapus oleh para wali
adalah sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Tithi : menurut
hitungan kuna, satu bulan dibagi menjadi 2 yaitu tanggal 1 s/d 15 dinamakan
Cuklapaksa, tanggal 16 s/d 30 Kresnapaksa. Tanggal 16 menurut hitungan kita
sekarang ini jaman dahulu disebut tanggal 1 kresnapaksa, sedangkan tanggal 1
jaman sekarang , pada jama dahulu tetap tanggal 1 akan tetapi ditambahi
dengan kata cuklapaksa. Hitungan tersebut dinamakan Tithi.
|
|||
2.
|
Sadwara hari,
banyaknya 6 yaitu : Tunglai, Uwas, Mawulu, Paningron, Aryang dan Warukung.
|
|||
3.
|
Triwara hari :
banyaknya 3 yaitu : Dora, Wahya dan Byantara.
|
|||
4.
|
Dwiwara hari,
banyaknya 2 yaitu : Menga dan Pepet.
|
|||
5.
|
Sangawara hari,
banyaknya 9 yaitu : Dangu, Jangur, Gigis, Nohan, Wogan, Erangan, Urungan,
Tulus dan dadi.
|
|||
Kesemuanya
menunjukan bahwa ilmu Astronomi jawa pada jaman dahulu sudah sangat tinggi,
sehingga para Astronom Barat dahulu menyebut bahwa di jawa sistim penanggalan
sudah menggunakan system galaksi sedangkan syatem penanggalan yang ada
didunia selain di jawa menggunakan system Bintang, atau menurut perederan
matahri dan bulan berdasarkan kedudukan poros bumi kutub urata dan selatan
yang miring sebesar 23 deraja, yang oleh para wali menjadi dasar perhitungan
Pasaran, jumlah hari dalam satu tahun, dll yang berdasar pada peredaran bulan
mengelilingi bumi. Dalam membuat hitungan hari dan Weton, para wali juga
memakai dasar menggabungkan jumlah huruf arab ditambah satu huruf alif
rahasia dan jumlah huruf jawa ditambah huruf ho rahasia dimana huruf arab
berjumlah 30 ditambah 1 dan huruf jawa 20 ditambah 1 sehingga jumlahnya
menjadi 52, dimana 5 hitungan weton dan nada dalam nada jawa, 2 adalah mahluk
dan Tuhan, 5 ditambah 2 menjadi 7 menjadi jumlah hari dan seterusnya (Pen).
|
||||
Kemudian
para wali mengarang tembang untuk dijadikan nyanyian dan ajaran kepada masyarakat
banyak, masing-masing sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Sunan Giri
Mengarang
tembang Asmarandana, mengandung maksud asmara kepada Nama-Nya Tuhan, Dana
berarti memberi sehingga bermakna Sembah puji yang tiada henti kepada Tuhan.
|
|||
2.
|
Sunan Giri
juga Mengarang tembang Sinom, mengandung maksud Nur Cahyaning urip yaitu
sinar cahayanya hidup yang tidak pernah tua atau selamanya muda.
|
|||
3.
|
Sunan
Majagung
Mengarang
tembang Maskumambang, mengandung maksud sebagai lambangnya ilmu yang
mengarahkan tekad dan kemantapan manusia kepada akhir tujuan hidupnya atau
ilmu yang membuka gelap menjadi terang.
|
|||
4.
|
Sunan Kalijaga
Mengarang
tembang Dandanggula, mengandung maksud
yang bersifat menyenangkan sebagai lambang Pancaindra yaitu : mata
yang pramana mengadakan kebijaksanaan dalam perbuatan, Telinga menjadikan
kebebasan, hidung menjadikan kekuatan, Bibir menjadikan tercapainya kehidupan
yang sempurna, yang terakhir (Bodya paliwaraning karsa) yang menjadikan
manunggalnya Kawula dengan Gusti.
Sunan
Kalijaga juga mengarang Suluk Kidung Pujian sebagai pralambang ilmu sejati,
juga mengarang cerita jaman Majapahit, dengan tokoh Ki Sutakara sebagai
simbul dusun Jombang. Juga mengarang Jaka Sumantri Pengging, Yang terakhir
mengarang hitungan hubungan antara hari dengan siapa yagn mencuri bila ada
orang kehilangan barang.
|
|||
5.
|
Sunan
Benang mengarang tembang Durma yang
bermakna macan/harimau. Yaitu sebagai lambang dari hawa nafsu manusia yang
berjumlah 4. Yang pertama nafsu amarah berwarna merah. Yang kedua nafsu
Luwamah yang berwana hitam. Yang ketiga nafsu Supiyah yang berwana kuning dan
nafsu Mutmainah yang berwarna putih.
Sunan Benang
juga mengarang cerita jaman majapahit dengan tokoh Damarwulan kawin dengan
Ratuayu sehingga bisa muksa.
|
|||
6.
|
Sunan
Muryapada
Mengarang
tembang Pangkur yang berarti ekor, melambangkan ilmu yang berguna untuk
membersihkan batin yang bersifat jelek atau nafsu amarah.
|
|||
7.
|
Sunan Giri
Parapen dan Sunan Giri Kadaton
Mengarang
tembang Megatruh, mengandung maksud ilmu tentang kematian yang sempurna.
|
|||
8.
|
Senan Gunungjati
Mengarang
tembang Pucung, mengandung maksud panunggaling Kawula dengan Gusti.
Sunan
Gunungjati juga mengarang silsilah keraton dari Keraton Pajajaran dengan
rajanya Sri Maesa Tandreman sampai berdirinya Majapahit.
|
|||
9.
|
Sunan Geseng
Mengarang
tembang Mijil, mengandung maksud tajali dengan gusti.
Sunan Geseng
juga mengarang cerita tentang Majapahit mulai Jaka Sujanma sampai dengan
Brawijaya Katong yang bertempat di Dusun Dadapan.
|
|||
Kesemuanya
itu desebut tembang Macapat yang berasal dari tembang kawi yang pertama Sekar
Ageng, kedua Slisir, ketiga Tengahan, ini yang asli dan yang terakhir murni
karangan wali adalah macapat.. Macapat yang dimaksud adalah Mancarpat,
dalam arti Manca adalah lima arpat
Sumaos sehingga menghasilkan 5 nada dalam nada jawa, dimana tangga
nada ini adalah penyempurnaan dari nada melayu yang digabung dengan nada
Arab.
Sebelum masuk pada Ajaran peninggalan Wali, mohon di pahami hal, sebagai berikut : Yang disebut dengan kata (Dalam Bahasa Jawa) Ingsun, Pribadi, Dhewek atau AKU, adalah yang menguasai semua rasa dan perasaan, itulah yang disebut Dzat Wajibul Wujud, yaitu yang tidak ber-arah dan tidak ber-tempat, adalah Yang Lembut tidak bisa diambil, namun Kebesarannya memenuhi dunia. Adalah yang tidak bisa dibayangkan, adalah Yang Kekal Yang Awal dan Yang Akhir. Adalah Yang Kebesarannya tidak terukur, huruf hanya mampu mengatakan dengan Ukuran Yang Ke empat (hanya untuk menggambarkan saja), adalah yang disebut “Yang Nyata adanya” (KAHANAN JATI); adalah Yang Tanpa Warna, Tanpa Rupa namun semua warna dan rupa berasal darinya, adalah yang paling di cintai oleh semua makhluk, adalah yang Yang Tidak Ada banding-Nya, tidak ada Yang Menyekutukannya, adalah yang dibahasakan dalam bahasa Jawa “Kombang Mangajabing Tawang Sepi, adalah Yang Menjaga Jiwa, adalah yang disebut Jati Ning Rat, Adalah Yang bersinggasana pada Inti Kalbu, Yang Menguasai batin semua makhluk, adalah Tuhan Seluruh Alam, Adalah Pusat Kiblat, adalah Yang tidak berada di luar atau pun di dalam, adalah Yang memiliki sifat dua puluh, Adalah pemberi Daya Hidup setiap Ruh yang ada di badan. |
||||
Sedang
wali yang meninggalkan ajaran, sebagai berikut :
|
||||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Sunan Giri
Kedaton ajarannya adalah Wisikan
Ananing Dzat.
Sunan di
Tandes ajarannya adalah Wedaran
Wahananing Dzat.
Sunan
Majagung ajarannya adalah Gelaran
Kahananing Dzat.
Sunan Benang
ajarannya adalah Pambukaning
Tatamaghliga di dalam Bait al Makmur.
Sunan
Muryapada ajarannya adalah Pambukaning
Tata Maghliga di dalam Bait al Muaharram.
Sunan di
Kalinyamat ajarannya adalah Pambukaning
Tata Maghliga di dalam Bait al Mukadas.
Sunan
Gunungjati ajarannya adalah Santosaning
Iman.
Sunan di
Kajenar ajarannya adalah Sasahidan.
|
|||
Kesemuanya yang
tersebut di atas pada awal berdirinya Kerajaan Demak atau ajaran yang
pertama. Sedangkan pada akhir kerajaan Demak para wali juga ada delapan yang
meninggalkan ajaran. Yang termuat di dalam Wirid Hidayat Jati karangan Ronggo
Warsito pada Bab Warahing Hidayat Jati, Perinciannya sebagai berikut :
(Sebagai Pembanding)
|
||||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Sunan Giri Perapen
ajarannya adalah Wisikan Ananing Dzat.
Yang berbunyi :
“Sejatine
ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana
dingin iku ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Sejatining Dzat Kang Amaha
Suci anglimputi ing sifat ingsun, anartani ing ananingsun, amrantandani ing
Af’alingsun”.
Sunan Darajat
ajarannya adalah Wedaran Wahaning Dzat,
yang berbunyi :
“Sejati
Ingsun Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahake sawiji-wiji dadi pada
sanalika sampurna saka ing kudratingsun, ing kana wus kanyatahan pratandaning
af’alingsun minangka bebukaning iradatingsun, kang dingin ingsun anitahake
kayu, aran Sajaratu’lyakin, tumuwuh ing sajroning ‘alam ‘Adam makdum azali; nuli cahya, aran Nur Muhammad, nuli
kaca, aran Miratu’lkayai; nuli nyawa, aran Roh Idlofi, nuli diyan aran
kandil; nuli sesotya, aran darah, nuli dingdin jalal aran kijab, kang
minangka warananing khadratingsun”.
Sunan Atasangin ajarannya
adalah Gelaran Kahaning Dzat, yang
berbunyi :
“Sejatine
manusa iku rahsaningsun, lan ingsun iki rahsaning manusa Karana ingsun
anitahake Adam, asal saking anasir patang prakara, 1. Bumi, 2. Geni, 3.
Angin, 4. Banyu, iku dadi kawujudaning sifatingsun ing kono ingsun panjingi
mudah limang prakara, 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku
minangka warananing Wajahingsun Kang Maha Suci”.
Sunan Kalijaga
ajarannya adalah Pambukaning Tata
Maghliga di dalam Bait al Makmur, Juga menggelar semua yang menjadi
perabot dalam pengetrapan tentang Dzat semua akan tetapi belum urut dalam
pengetrapan secara terperinci, yang berbunyi :
“Sejatine Ingsun anata maghliga ana sajroning Bait al Makmur, iku omah
enggoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana ing sajroning
sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana ing antaraning utek iku manik,
sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning nafsu iku
sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana
Pangeran, Anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.
Sunan Tembayat
ajarannya adalah Pambukaning Tata
Maghliga di dalam Bait al Muharram, atas ijin gurunya yaitu Sunan Kalijaga, yang
berbunyi :
“Sejatine
Ingsun anata maghliga ana sajroning Bait al Muharram, iku omah enggoning
lelaranganingsun, jumeneng ing dadaning Adam, kang ana ing sajroning dada iku
budi, sajronign budi iku jinem, iya iku angen angen, sajroning angen-angen
iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana
Pangeran anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan Jati”.
Sunan Padusan
ajarnnya adalah Tata Maghliga di dalam Bait al Mukaddas, yang berbunyi :
“Sejatine
Ingsun anata maghliga ana sajroning Bait al Mukaddas iku, omah enggoning
pasuceningsun, jumeneng ana ing Kontoling Adam, kang ana ing sajroning kontol
iku pringsilan, kang ana ing antaraning pringsilan iku nutfah, iya iku mani,
sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem,
sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, Ora Ana Pangeran,
anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati, jumeneng nukat gaib
tumurun dadi johar awal, ing kono wahaning ‘alam achadiyat, ‘alam wahdat,
‘alam wachidiyat, ‘alam warwah, ‘alam missal, ‘alam ajsam, ‘alam insane
kamil, dadining manusa kang sampurna, iya iku sajatining sifatingsun”,
Sunan Kudus ajarannya
adalah Panetep Santosaning Iman, yang
berbunyi :
“Ingsun
anakseni, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anekseni Ingsun,
satuhune Muhammad iku utusaningsun”.
Sunan Geseng ajarannya
adalah Sasahidan, yang berbunyi :
“Ingsun
anakseni ing Dzat Ingsun Dewe, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan
anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sejatine kang aran
Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya
ingsun kang urip ora kena ing pati, iya ingsun kang eling ora kena ing lali,
iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun
kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya ingsun kang amurba amisesa kang
kawasa wicaksana ora kekurangan ing pangerti, byar sampurna padang
tarawangan, ora karasa apa-apa, ora kena katon apa-apa, mung Ingsun kang
anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun”.
(Tamabahan penerjemah, dinukil dari Kitab Wirid Hidayat Jati karangan
Ronggo Warsito).
|
|||
Semua
ajaran yang tersebut di atas makna yang hakiki adalah sama, sebab kesemuanya
berasal dari Sunan Ngampel. Dan kesemuanya hanya untuk mempermudah dalam
perinciannya berdasarkan Dalil, Khadis, Kiyas dan Ijmak. Kesemuanya disebabkan
karena apabila menguraikan Dzat-Nya Tuhan, tidak ada kalimat yang bisa
menguraikannya, sebab baik huruf, kata maupun kalimat adalah ciptaan-Nya sebagai Hijab bagi Tuhan Yang Maha Esa, termasuk
juga semua nama adalah sebagai hijab bagi yang dinamai. Sebab Tuhan Sangat-sangat rahasia, tanpa warna tanpa
bentuk, tidak laki-laki, tidak perempuan, dan tidak pula banci, serta tidak
dibatasi oleh ruang, waktu ataupun masa, tidak bertempat, hanya ada di dalam
cipta dan sasmita pada diri manusia yang waskita. Atau juga ajaran tersebut
di atas bisa dipahami apabila, paling tidak sudah mengenal ilmu ma’rifat.
Lebih mudah lagi apabila sudah mengenal ilmu di atas ilmu ma’rifat dimana
ilmu ini dalam teori bisa dipelajari dari buku yang dikarang oleh Imam An
Nafri yang berjudul Al Mawaqif Wa Muqothobat yang isinya sudah melampaui
tingkat ilmu ma’rifat. Sebab dalam Islam orang ahli ilmu disebut Ulama, orang
ahli ma’rifat disebut Arifin, sedangkan orang yang ahli melampau ilmu
ma’rifat disebut Waqif. Buku-buku teori yang mengajarkan ilmu tingkat
ma’rifat bisa dipelajari dari Buku peninggalan Ulama besar seperti; Syech
Abdul Qadir Jilani, (Fat Al Rabbani, Fat Al Ghoib), Al Qusyairiyah dengan
Risalahnya, Ibnu Abad dengan
Surat-suratnya, Abnu Atha Illah dengan Kitab Al Hikamnya, Surahwardi Maqtul
dengan empat Kitabnya, Al Halaj, Al Kalabazi dengan Risalahnya, Abu Tholib
Maqi, dengan Qut Al Qulubnya, Fariduddin Al Atar dengan kisah para Sufinya,
Jalaladin Rumi, Al Muhasysyibi dll, yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan dalam ilmu jawa ajaran tersebut bisa dipahami bagi orang
yang paling tidak telah mengenal Teori Ilmu Rasa atau Ilmu Sejati. Sebagian
teorinya bisa dipelajari di Serat Jatimurti, Kaca Wiranggi, Madurasa dll..
Atau juga bisa dipahami bagi yang telah mengenal Teori Aqidah diatas Aqidah
Tingkat Pertama. Tingkatan Aqidah dasar adalah Laaillaahaillallh. Tingkatan
kedua adalah Laaillahaillahuwa (QS. Al Hasyir : 22-24, dll). Tingkatan ke
tiga adalah Laaillahailla Anta (Qs. Al Ambiya : 87). Tingkatan ke empat
adalah Rahasia. Tingkatan ke lima adalah Rahasia di atas Rahasia.
Kedelapan
ajaran Wali di atas akan menimbulkan
pertentangan dan permasalahan besar apabila diajarkan pada orang yang masih
dalam tingkat ilmu Syari’at. (Tambahan
penerjemah sendiri).
|
||||
Para
Wali juga membuka Layang Ambiya, yang sebagian isinya menjelaskan bahwa ada
delapan Nabi yang meninggalkan Kitab sebagai pedoman umatnya, yaitu Nabi Adam
meninggalkan kitan 10 buah, Nabi Esis meninggalkan kitab 50 buah, Nabi Idris
meninggalkan kitab 30 buah, Nabi Ibrahim meninggalkan kitab 10 buah, Nabi
Musa meninggalkan kitab 1 buah yang benama Taurat, Nabi Dawud meninggalkan
kitab 1 buah yang bernama Kitab Jabur, Nabi Isya meninggalkan kitab 1 buah
yang bernama Injil, yang terakhir Nabi Muhammad meninggalkan kitab 1 buah
yang bernama Al Qur’an.
Sedangkan
Nabi yang meninggalkan ajaran syariat adalah sebagai berikut, yaitu Nabi Adam
syairatnya menghalalkan menikahi saudara kandung, Nabi Nuh syariatnya
menghalalkan memakan daging anjing, Nabi Ibrahim syariatnya menghalalkan
minuman keras, Nabi Musa syariatnya membunuh harus dibunuh, Nabi Isya
syariatnya dihukum mati tidak mati, Nabi Muhammad syariatnya laki-laki
diperbolehkan menikahi wanita sampai berjumlah empat.
Nabi
yang ajarannya menjadi agama berjumlah 6 yaitu, Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isya dan Nabi Muhammad, SAW.
Nabi
Muhammad meninggalkan Kitab Al Qur’a, yang trdiri dari 30 jus, 114 ayat,
Hatinya Al Qur’an 112, jumlah ayatnya 6.217 ayat, jumlah kalimatnya sebanyak
3.006.217.
Syurat
yang bernama Al Fatihah mempunyai kepala yang terletak di Bismillah,
sedangkan Kepalanya Bismillah ada di huruf Alif. Huruf Alif adalah sebagai
sumber dari semua huruf yang berada di dalam Al Qur’an, yang bisa disebut
juga sebagai Nur Muhammad.
Alif
yang termuat di dalam Kitab Taurat disebut Alif Tamsur yang dalam Kitab
Qur’an menjadi Jabar yang menunjukan Muhammadiyati. Di dalam Kitab Injil
bernama Alif Istibah yang di dalam Qur’an menjadi Jer yang menunjukan Johar
Muhammad, Di dalam Kitab Jabur bernama Mutakalimunwakit yang di dalam Qur’an
menjadi Epes yang menunjukan penegasan Nabi Muhammad, di dalam Kitab Ambiya
bernama Alif Kurupul yang di Qur’an menjadi Tanwin yang menunjukan Muhammadan Adan Sarpin. Kepalanya huruf Alif tempatnya ada di Iman,
sebagai huruf gaib Sirullah.
Sedangkan
Tatakrama aturan membaca Al Qur’an terbagi menjadi 1. Kiro’at, 2. Jais, 3.
Matlajim, 4. Emat, 5. Jaka, 6. Hatartil, 7. Matmupasil, 8. Matmutamsil, 9.
Billaghonah, 10. Mangaghonah, 11. Ilham, 12. Ilhar, 13. Ikhar, 14. Iklab, 15.
Ilpa, 16. Ikpa, 17. Itikla, 18. Kalkalah. Kesemuanya itu disebut ilmu tata
suara.
Kemudian
huruf arab jika dihubungkan dengan badan manusia adalah sebagai berikut
:
|
||||
ﺍ
|
Terletak
pada lekukan antara hidung dan mulut. Hanya manusia yang mempunyai lekukan
tersebut, lainya tidak. Sehingga Imam yang tertinggi terletak pada manusia.
Sedangkan makna huruf alif adalah bisa bermakna menguasai lahir dan batin
|
|||
ﺐ
|
Bibir
bawah awal mula pembicaraan
|
|||
ﺖ
|
Lidah
sampai sentil sehingga bertitik 2 sebagai sarana masuknya makanan dan
minuman.
|
|||
ﺚ
|
Simbul
dari Triloka yaitu Baital Makmur, Baital Mukharam dan Baital Mukadas.
|
|||
ﺝ
|
Jantung
awal mula keinginan tempatnya budi
|
|||
ﺡ
|
Hidup
(urip) cahaya yang menghidupi budi
juga berarti atma..
|
|||
ﺥ
|
Geraknya
hidup yang menggerakan raga tempat panca indra yang disebabkan oleh keinginan
hati.
|
|||
ﺪ
|
Dada
sebelah kiri
|
|||
ﺫ
|
Dada
sebelah kanan
|
|||
ﺮ
|
Punggung Kiri
|
|||
ﺯ
|
Punggung Kanan
|
|||
ﺱ
|
Nafas
yang suci
|
|||
ﺶ
|
Rasa
yang sejati
|
|||
ﺺ
|
Penglihatan
inti mata (Pramana ening)
|
|||
ﺽ
|
Penglihatan
mata hati
|
|||
ﻁ
|
Hati
yang terbuka
|
|||
ﻆ
|
Dambaan
atau harapan suci (angen-angen jatining eling)
|
|||
ﻉ
|
Lambung
kiri
|
|||
ﻍ
|
Lambung
tengen
|
|||
ﻑ
|
Hati
putih
|
|||
ﻕ
|
Mutmainah
yang asli
|
|||
ﻙ
|
Dada
yang terang
|
|||
ﻞ
|
-
(Sawelah rehing kapti)
|
|||
ﻢ
|
Kakinya
sukma
|
|||
ﻦ
|
Tidak
sirik
|
|||
ﻭ
|
Pemberi
rejeki
|
|||
ﻫ
|
Hidup
yang tenang (Mungkul ing ngurip)
|
|||
ﻻ
|
Tonggaknya
badan
|
|||
ﻪ
|
Roh
|
|||
ﻱ
|
Djasad
yang sejati.
|
|||
Ganti
yang diceritakan, adalah Syech Sitijenar pada jaman dahulu, yang sekarang
ajarannya tambah melenceng dan berbeda jauh dengan ajaran Para Wali, sehingga
akhirnya Sunan Giri melaporkan kepada Sultan Bintara bahwa segala gerak gerik
Syech Sitijenar dan para muridnya sudah merusak syariat yang mengakibatkan
Masjid menjadi kosong. Apabila tetap dibiarkan akan sia-sia perjuangan Para
Wali, karena tidak ada orang yang mau Sholat dan rusak pula tata aturan
negara. Dan berdasarkan adat hukum
syariat pada jaman dahulu, apabila mengajarkan Ilmu Agama keluar dari aturan
syariat harus dihukum mati. (Contoh : Al Halaj, Surahwardi Maktul,
dll. Pen).
Setelah
mendengar penuturan Sunan Giri, akhirnya Sultan Bintara bermusyawarah dengan
para wali dan menghasilkan kesepakatan agar mengundang Syech Sitijenar ke
Bintara. Singkat cerita Syech Sitijenar sudah menghadap Sultan Bintara dengan
diikuti oleh tujuh muridnya. Setelah ditanya oleh Para Wali, Syech Sitijenar
tetap bertekad mengajarkan ilmu ajarannya.
Akhirnya Sunan Kalijaga mendapat sasmita dari Sunan Giri. Sunan
Kalijaga kemudian mencabut pedang dan dihantamkan ke leher Syech Sitijenar
hingga putus, sehingga darah berceceran. Akan tetapi darah Syech Sitijenar
tetap merah sehingga Sunan Kalijaga tersenyum dan mengatakan bahwa Syech
SitiJenar masih sebagai manusia biasa dikarenakan darahnya masih tetap merah
dan jasadnya masih tetap kelihatan. (Berbeda
dengan salah satu fersi Serat Sitijenar, sebab Serat Sitijenar banyak
fersinya, yang menyebutkan bahwa sebagai duta wali adalah Sunan Kudus dan
Syech Sitijenar meninggal dengan cara menutup air kehidupan yang berada ditengkuknya
sendiri dan inti ajarannya adalah Ananing Unaning Anung atau Ananing Unaning
Unang, Pen.).
Setelah
agak lama kemudian darah Syech Sitijenar yang semula merah, berubah menjadi
berwarna putih. Sedangkan jasadnya dirawat oleh Para Wali dengan penuh rasa
heran. Setelah malam tiba, jasad Syech Sitijenar mengeluarkan cahaya yang
sangat terang, kemudian membentuk empat warna yaitu merah, hitam, kuning dan
putih. Warna tersebut kemudian berobah lagi menjadi warna ungu, biru, hijau
dadu dan jingga, kemudian berubah lagi menjadi satu warna sangat terang dan
akhirnya menghilang. Sedangkan darah Syech Sitijenar yang berwarna putih
kemudian membentuk tulisan, yang oleh para wali dibaca berbunyi lafal
Laailaahaillallah. Setelah terbaca kemudian darah dan jasad Syech Sitijenar
musnah, sehingga Sunan Kalijaga berkata keras bahwa matinya Syech Sitijenar
seperti matinya setan dikarenakan jasadnya hilang tanpa bekas.
Tidak
lama kemudian terdengar wasiat Syech Sitijenar bahwa mati patitis adalah dari
kesentausaan hati bukan karena menjalankan syariat. Karena syariat menurut
Syech Sitijenar adalah menjadi penghalang, sebab syariat hanya bisa digunakan
menyelesaikan urusan duniawi. Sedangkan apabila digunakan untuk urusan mati
adalah sangat mengecewakan. Sebab sebenar-benarnya ilmu tempatnya pada cipta
pribadi yaitu pada keadaan eneng dan ening.
Setelah
tidak terdengar lagi suara, Sunan Giri pelan berkata bahwa apabila
direnungkan adalah benar matinya Syech Sitijenar sebagai mati yang patitis.
Kemudian Para Wali yang dipandegani Sunan Giri mengambil pohon pisang untuk
digunakan sebagai pengganti jasad Syech Sitijenar yang musnah, kemudian
dibungkus dibentuk bagaikan bungkusan mayat. Setelah sempurna barulah ketujuh
murid pengiring Syech Sitijenar dipanggil menghadap para wali. Para wali
mengatakan bahwa apabila murid benar-benar berbakti pada guru pasti akan
membela guru. Setelah tau bahwa Syech Sitijenar sebagai gurunya telah
meninggal dunia ke tujuh murid Syech sitijenar tanpa dikomando ikut belapati
dengan jalan bunuh diri menggunakan keris miliknya masing-masing.
Semua
Wali terheran-heran melihat kejadian tersebut. Tidak lama kemudian datang
lagi seorang murid dari Syech Sitijenar juga ingin ikut bela pati. Akhirnya
Sunan Giri memberi nasihat akan kesalahan gurunya. Pada akhirnya murid Syech
Sitijenar tidak jadi ikut bela pati bahkan menjadi murid para wali.
Sedangkan
dalam Serat Darma Gandul Syech Sitijenar dihukum bukan karena ajarannya, akan
tetapi karena menentang Para Wali yang akan menghancurkan Majapahit, (sebagai
pembanding) cukplikan tembang jawanya,
sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Para Sunan lan para
Dipati, Sabijantu djumurung ing karsa, Sunan Benang Timbalane, sadaya tyasnya
limut, kaja age tempuking djurit, angrusak Madjalengka (nama lain Majapahit),
Anggempur karatun, Jata Pangeran Siti Djenar, Duk mijarsa mitjoreng
sadjroning galih, Lah iki Tutur apa.
|
|||
2.
|
Siti Djenar sumdul
turnya ris, Kados pundi ing karsa paduka, dene asalah karsane, Sri Madjapahit
pundjul, sih kawula para marta sih, ambeg ngumala retna, adil mring wadya
gung, teka arsa pinrih tjidra, napa mboten angsal benduning Hjang Widdi,
inggih Allah Ta ngala.
|
|||
3.
|
Duk kalane praptane
Para Wali, binetjikan pinaringan papan, ingudja ing sakarepe, tan ana aru
biru, teka dadak pinrih tan betjik, kawula datan rembag ing karsa pukulun,
punapa Djeng Rasulullah, kang sinebut arane Nabi sinelir, ngadjani budi
tjidra.
|
|||
4.
|
Teka anak angglanggar
ing djurit, marang Bapa kapindone Radja, ping telu angsung kamukten, napa tan
panggih bendu, marang Gusti Kang Maha Suktji, kapindo Rasulululah, ing
pangraos hulun, Djeng Nabi Najakaningrat, dene mboten kinen ngukum tijang
betjik, mring Wali lan Ngulama.
|
|||
5.
|
Jen makaten ing
pandugi mami, ing karsane pra Wali sadaja, among pamrih ing risake, bapa
kalawan sunu, mburu katah isine kendil, bingah jen angsal brekat, jen akeh
wong lampus, mila darbe mbeg tan ardja, wong weh betjik wekasan binalang tai,
kados karsa paduka.
|
|||
6.
|
Duk mijarsa sagunging
pra mukmin, ing wuwuse Pangran Siti Djenar, sakalangkung ing lingseme, Sunan
Benang duk ngrungu, dukanira jajah sinipi, heh apa djadjil laknat, ingkang
sira wuwus, Wali Tjilik kurang adjar, nganggo wani njajampahi karsa mami, pan
sira bosen gesang.
|
|||
7.
|
Pilih endi mati karo
urip, lamun ora miturut kaseng wang, amesthi mati rinampok, Siti Djenar asendu,
dudu Siti Djenar sajekti, lamun wedi palastra, gja rinebut pupuh, Siti Djenar
pinedjahan, Sunan Giri kang kinen nglawe nelasi, tumuli ana swara.
|
|||
8.
|
Eling-eling ngulama
ing Giri, sira nora sun wales neng kerat, sun wales neng donja bae,den enget
sira besuk, lamun ana Narendra djawi, kanthi wong Bangsa tuwa, sun lawe
gulumu, Sunan Giri duk mijarsa, besuk wani ija ing samengko wani, ingsun masa
mukira.
|
|||
Sedangkan wasiat
Gajahmada setelah meninggal dikeroyok
Prajurit Demak dimana jasadnya musnah, di dalam Serat Darma Gandul adalah
sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Heh eling-eling wong
Islam, den betjiki satemah angalani, ngrebat pradja mamrih lampus, sun wales
sira bendjang, ingsun adjar weruh nalar bener luput, sun damoni gitokira,
rambutmu sun tjukur bersih.
|
|||
Sedangkan wasiat
Prabu Brawidjaja kepada Sultan Demak di makam Putri Cempa, di dalam serat
Darmagandul, sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Dene gadjah ginetak
lir kutjing, nadyan mati tata kalahiran, lah eling-eling tembe, jen wus agama
kawruh nalar, bener lawan luput, pranatane mengku pradja, mangan babi kadya
djaman Madjapahit, Sultan Demak miharsa.
|
|||
Sedangkan wasiat
Sabdo Palon Naya Genggong, dalam Serat Darmagandul, sebagai berikut :
|
||||
1.
|
Prapteng samanten
kewala, gen kawula momong paduka adji, pan wus dadya tekat ulun, ngleluri
luhur djawa, kula pamit kesah ing sapurug-purug, Sri Naredra ris ngandika,
sira lunga menyang ngendi.
|
|||
2.
|
Sabdapalon aturira,
datan kesah tan manggen wonten ngriki, mung netepi nama ulun, nama Ki Lurah
Semar, kula nglimput saliring samar kang wudjud, anglela kalingan padang, den
enget Sang Nata bendjing.
|
|||
3.
|
Jen wonten manusa
djawa, djawa djawi mangerti netra sidji, nama sepuh gama kawruh, niku
momongan kula, arsa ngrangkul weruhken bener luput, sigra tedak Sri Narendra,
arsa ngrangkul den inggati. (Yang dimaksud adalah ramalan Sabdo Palon Naya
Genggong Nagih Janji fersi Islam, yaitu kebangkitan Islam dalam ilmu Tasafuf.
Sebab ramalan ini selain digunakan dalam aliran kejawen juga digunakan oleh
Aliran Islam yang mengikuti Ajaran Nabi Khidir, Ajaran Siti Jenar dan Juga
dari Ajaran Tasafuf yang akan bangkit di awali dari Pulau Jawa atau
kebangkitan Islam berawal dari Pulau Jawa. Sebab Kasultanan Islam yang
berkembang ke arah Barat dari Mekah yaitu ke Spanyol dan yang terakhir berada di Puluai Silcilia
(dekat Italia) semuanya hancur. Sedangkan yang berkembang ke arah Timur yang
berdasar garis bujur, terakhir Kasultanan Islam berada di Indonesia yaitu
Jogjakarta. Walapun di Indonesia Kasultanan Islam belum menjadi Sumber dari
panutan dalam ilmu syariat, sebab di Indonesia umat Islam lebih patuh pada
Kyai dari pada kepada Sultan. Dan sekarang banyak sekali tumbuh dan
berkembang aliran Thoriqot di Indonesia, sehingga dunia barat sangat
ketakutan). Penerjemah.
|
|||
Sedangkan alasan
Sunan Kalijaga memakai pakaian warna wulung berbeda dengan pakaian para wali,
adalah sebagai berikut :
|
||||
1.
2.
|
Mula adil adat Ratu
Djawi, awit Demak Padjang lan Mataram, ing Kartasura watese, tan nganggo
ngowel umur, adil tjina kang dipun irib, krana patokanira, kitab ingkang
ngatur, Sultan Demak iku tjina, awit Demak sapangandap durung salin, patokan
kitab Demak.
Sunan Kali waskitha
ing gaib, jen sinemon dinukan dening Hjang, nalangsa kaluputane, gja ngagem
sarwa wulung, beda lawan sanesing wali, mangangge sarwa seta, tan rumangsa luput,
mung ngrasa sutji kewala, among Sunan Kali pribadi kang ngerti, sasmita
dukaning Hjang.
|
|||
3.
|
Hanelangsa tobat
mring Hjang Widdi, ing ngapura kaluputanira, orong-orong pasemone, ing githok
prapteng punuk, sineselan tataling djati, punukmu panakena, sedjatining
ngelmu, tan susah guru wong Arab, ngelmunira aneng githokmu pribadi, pudji
thok wudjudira. Dst.
|
|||
Kesemuanya yang
tersebut di atas disadur dari Serat Darma Gandul.
|
||||
Setelah
beberapa hari berlalu dari pemakaman Syech Sitijenar, Istri Syech Sitijenar
mendengar kabar bahwa suaminya di Giri telah meninggal dunia. Dan sebab
kematian suaminya adalah dihukum oleh para wali yang sebenarnya tanpa dosa.
Akhirnya Istri Syech Sitijenar mempersiapkan diri berangkat ke Giripura untuk
menggugat para wali atas kematian suaminya yang tanpa dosa.
Setelah
sampai di Giri Istri Syech Sitijenar menggugat wali. Dijawab oleh Sunan Giri
bahwa para wali hanya mengemban tugas raja, dikarenakan Syech Lemahbang
ajarannya telah merusak syariat dan melanggar aturan negara. Akan tetapi
Istri Syech Sitijenar tetap tidak bisa menerima penjelasan Sunan Giri.
Akhirnya Sunan Giri dengan terpaksa menunjukan ilmu mangunahnya dan
memerintahkan Istri Syech Sitijenar supaya melihat ke langit. Seketika itu
langit terbuka dan nampak sorga dengan jelas
dan nampak pula Syech Sitijenar sedang duduk pada ruangan yang dihias
sangat indah dengan didampingi oleh Para Nabi. Akhirnya Istri Syech Sitijenar
baru bisa menerima dan meminta kepada para wali untuk didoakan agar apabila
dirinya meninggal dunia, dirinya bisa berkumpul dengan suaminya di alam
akherat.
Setelah
semua urusan selesai, sunan Giri menyampaikan laporan kepada Sultan Bintara
bahwa yang bisa membunuh Syech Sitijenar adalah Sunan Kalijaga. Kemudain
Sunan Kalijaga oleh Sultan Bintara mendapat anugrah dari Sultan Bintara
berupa tanah perdikan dan Sunan Kalijaga disuruh memilih sendiri tempat yang
disenanginya. Akhirnya Sunan Kalijaga memilih tanah Kadilangu yang kemudian
Sunan Kalijaga pindah ke Kadilangu.
Ganti
yang diceritakan, Butyut Paningrat menantu dari Prabu Brawijaya, semenjak
hancurnya Majapahit dia melarikan diri bersama anak perempuannya yagn bernama
Dyah Nawarwulan menuju ke Gunung Eduk dan bertapa di situ. Buyut Paningrat
adalah anak dari Ajar Parida keturunan Parija. Gunung Eduk setelah terkenal kemudian diganti nama
menjadi Dukuh Kadilangu, terletak di tepi Sungai Bagawanta.
Buyut
Paningrat ketika masih bernama Buyut Tandreman diterima Prabu Brawijaya
karena menolong Sang Raja ketika Raja akan dibunuh di hutan. Buyut Tandreman
kemudian diangkat menjadi Panongsong dan diberi gelar Buyut Paningrat.
Kebetulan Putri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Retna Marsandi sakit keras
dan yang dapat menyembuhkan adalah setelah diobati oleh Buyut Paningrat.
Setelah sembuh Sang Putri kemudian dikawinkan dengan Buyut Paningrat dan baru
mendapatkan satu momongan yang diberi
nama Dyah Nawarwulan, Sang Putri meninggal dunia.
Pada
suatu saat, Retna Nawarwulan mandi di sungai Bagawanta. Kepregok dengan buaya
putih yang sebenarnya adalah ratu buaya yang bernama Jalasengara. Jalasengara
ketia masih menjadi manusia bernama Butaijo, anak dari Prabu Tunjungseta di
Pengging. Raden Butaijo mencintai bibinya dan bibinya disingitkan di sungai.
Ketia ketahuan sang ayah, sang ayah sangat marah. Raden Butaijo disupata
menjadi buaya putih yang akhirnya menjadi ratu buaya dan menguasai sungai
serat lautan. Sedangkan Sang Bibi dibunuh dan dilarung.
Setelah
melihat Retna Nawarwulan mandi di sungai, Jalasengara kebetulan lewat dan
setelah melihat sang putri, Jalasengara jatuh hati pada Sang Putri. Akhirnya
ketia Retna Nawarwulan sedang mandi, Sang dewi disaut dibawa masuk ke dalam
sungai. Sang Putri tidak merasa dibawa masuk sungai oleh buaya, akan tetapi
merasa digendong oleh pemuda tampan. Singkat cerita keduanya bermain asmara.
Setelah selesai keduanya ke tepi sungai. Setelah di tepi sungai barulah Sang
Putri sadar. Sang Putri sangat sedih, kemudian pulang ke rumah. Lama kelamaan sang ayah mengetahu bahwa
Sang Putri hamil. Akan tetapi ketika ditanya siapa yang menghamili, Retna
Nawarwulan tidak mau menjawab. Setelah masa kandungan sudah cukup akhirnya
Retna Nawarwulan melahirkan bayi laki-laki. Karena menanggung malu akhirnya
sang ayah bunuh diri. Dan Retna Nawarwulan akhirnya hidup berdua dengan
anaknya dan mendapat bantuan dari para tetangganya.
Cerita
sekanjutnya, Prabu Jalasengara mengajak temannya berjumlah 4 orang menyamar
menyerupai manusia dengan tujuan menjenguk Sang Dewi, juga menyamar sebagai
petinggi desa. Akan tetapi dalam berjalan agak mencurigakan. Ditambah lagi
semua warga desa yang membesuk Sang Dewi sudah pulang semua, akan tetapi
kelima orang tersebut tidak mau pulang. Sang Dewi masih tetap ingat bahwa
salah satu dari kelima orang tersebut adalah Jalasengara. Sehingga
Jalasengara yang menyamar sangat diperhatikan oleh SangDewi. Bahkan akhirnya
Sang Dewi sudah dianggap sebagai istrinya. Tanpa sengaja kelima orang
tersebut berdiri di bawah bakul, sehingga terbuka kedoknya karena kelima
orang tadi berubah menjadi buaya lagi, sehingga dikejar-kejar oleh warga desa
yang akhirnya musnah sambil meninggalkan wasiat kepada Sang Dewi untuk
memberi nama anaknya dengan nama Jalasengara. Sang Putri mematuhinya dan
menyerahkan segalanya kepada takdir.
Ketika
Jalasengara menginjak usia dewasa, kepada ibunya bertanya mengenai siapa ayah
yang sebenarnya. Sang Dewi menjawab bahwa ayahnya hilang musnah di dekat
sungai Bagawanta. Akhirnya Jalasengara bertapa di tepi sungai tersebut,
dengan niat ingin berjumpa dengan ayahnya. Tidak terlalu lama Jalasengara
mendapat wisik dari Sang Ayah, apabila Jalasengara ingin mendapat kemuliaan
hidup agar mengabdi ke Negeri Demak.
Kemudian
Jalasengara pulang dan menceritakan kepada ibunya tentang pesan ayahnya agar
dirinya mengabdi ke Demak. Sang Dewi berusaha menghalangi, akan tetapi
Jalasengara tetap memaksa untuk berangkat ke Demak dengan jalan pergi tanpa
pamit. Sang Dewi menyusul keberangkatan Jalasengara, akan tetapi tidak
bertemu. Akhirnya Sang Dewi sakit di perjalanan dan meninggal dunia.
Jalasengara
sesampainya di Demak mendapat banyak halangan dikarenakan tidak ada orang
yang bersedia ditempati dirinya dikarenakan tidak ada yang kuat dan semuanya
sakit. Akhirnya Jalasengara berjemur di terik matahari tepat di tengah-tengah
Alun-alun Keraton Demak. Pada akhirnya Sultan Bintara mengetahui dan menyuruh
Jalasengara untuk menghadap. Setelah menghadap Jalasengara diterima
pengabdiannya di Keraton Demak. Karena kepatuhan Jalasengara dalam mengabdi
akhirnya Jalasengara mendapat Pangkat Mantri dan diberi nama Ermaya.
Cerita
selanjutnya, Tumenggung Mataun mbalela kepada Sultan Bintara. Yang diutus
untuk menyelsaikan adalah Ermaya dengan mendapat amanat Sultan apabila
Tumenggung Mataun tidak mau diingatkan, Ermaya diberi wewenang untuk
membunuhnya. Singkat cerita Ermaya perang tanding melawan Tumenggung Mataun.
Akhirnya Tumenggung kalah perang dan kepalanya dipancung untuk dipersembahkan
kepada SultanBintara sebagai tanda bukti. Sultan sangat berkenan, sehingga
Ermaya diangkat menjadi Tumenggung di Mataun dan diberi gelar menjadi Tumenggung
Jayasengara dan mendapat putri dari Kudus.
Cerita
selanjutnya, Kyai Ageng Kebokenanga sepeninggal ayahnya yaitu Prabu
Jayaningrat tidak bisa menggantikan sebagai Tumenggung. Kyai Ageng
Kebokenanga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Kebo Kanigoro.
Kebokanigoro tetap beragama Budha, dan bertempat di Gunung Merapi. Sedangkan
Kyai Kebo Kanigoro beragama Islam berguru kepada Pangeran Sitijenar. Kyai
Kebokenongo atau yang berjuluk Kyai Ageng Pengging sangat kuat dalam olah
tapa, sehingga sangatlah besar karomahnya serta berniat tidak akan menikah.
Pada
suatu hari ada seseorang dari Daerah Kedu yang bernama Pak Kadim, menghadap
kepada Kyai Ageng Pengging dengan tujuan meminta obat untuk anaknya yang
menderita sakit bisu sejak kecil. Setelah diobati oleh Kyai Ageng Pengging
anak Pak Kadim bisa sembuh, sehingga Pak Kadim sangat gembira. Dan
selanjutnya Pak KAdim berserta anaknya mengabdi kepada Kyai Ageng Pengging.
Cerita
selanjutnya, Kyai Ageng Pengging menghadap kakaknya yang bernama Kyai Ageng
Ngerang di Padepokan Gunung Purwa. Di tempat tersebut kebetulan malam hari.
Kyai Ageng Pengging mendapatkan petunjuk agar menikah dengan Rara Alit di
Gugur, dimana Rara Alit mempunyai niat yang sama denganKyai Ageng Pengging
untuk tidak akan menikah seumur hidup. Sedangkan isi dari petunjuk gaib bahwa
apabila Kyai Ageng Pengging dan Rara Alit menikah akan menurunkan anak yang
akan menjadi Raja di Tanah Jawa. Setelah mendapat sasmita tersebut, Kyai
Ageng Pengging bersama dengan Kyai Ageng Tingkir pergi ke Gugur, untuk
mencari Rara Alit. Seperti yang disebutkan dalam wangsit. Dalam perjalanan
mampir di Butuh, yang kebetulan Kyai Ageng Butuh sedang mendapat tamu yang
bernama Kyai Ageng Ngerang. Kyai Ageng Pengging sudah paham maksud dari Kyai
Ageng Ngerang yang akhirnya keempatnya bersama-sama pergi ke Gugur.
Ketika
perjalanan melewati hutan Jatisari, mereka bertemu dengan rombongan yang juga
sedang melakukan perjalanan, yaitu Kyai Ageng Gugur bersama dengan Putri
Wadat (Putri yang bercita-cita tidak menikah) bersama dengan dua orang
pengikutnya. Kyai Ageng Butuh menanyakan kepada rombongan Kyai ageng Gugur
akan pergi kemana. Kyai ageng Gugur mengatakan bahwa dirinya sedang mengikuti
Petunjuk Tuhan yang diterimanya bahwa Rara Alit harus dikawinkan dengan seseorang
yang bernama Kyai Ageng Pengging yang nantinya akan menurunkan Ratu di Tanah
Jawa. Setelah mendengar pernyataan Kyai Ageng Gugur. Kyai Ageng Butuh sangatlah senang hatinya, karena
wangsit yang diterimanya sama dan terbukti. Akhirnya kedua rombongan pergi ke
Gugur. Singkat cerita, Kyai Ageng Pengging sudah menikah dengan Rara Alit.
Kyai Butuh dan Kyai Ageng Ngerang kemudian pulang. Sedangkan Kyai Ageng
Pengging dan Kyai Ageng Tingkir pulang bersama-sama dan singgah di Pengging
sebentar.
|
||||
Sedangkan
kisah penutup dalam Serat Walisana adalah menceritakan tentang Kyai Ageng
Kebo Kenanga memberi ajaran kepada Pak Kadim atas permintaan Pak Kadim, dan
di sini sengaja disadur sesuai dengan aslinya dikarenakan penerjemah belum
mampu menerjemahkan ajaran tingkat tinggi, teksnya adalah, sebagai berikut :
|
||||
Dandang Gula
|
||||
1.
|
Doeh bendara
kang asih ing dasih, kamipoeroen matoer sarasehan, noewoen oeninga doenoenge,
pralampitaning kawroeh, isbat-napi, amba tan ngreti, paran ing widjangira,
oeloen nyoewoen makmoem, Ki Ageng Pengging ngandika, eh rengenta nalikanira
Djeng Nabi, Rosoel Najakningrat.
|
|||
2.
|
Wektoe
Soeboeh nijat satengahing, Takbir Ekram moeng tekaboelira, pinareng lan
noegrahane, rinilan medar ngelmoe, bangsa tekad tekaboelngelmi, ing napi
lawan isbat, binabar sing kalboe, jwa kongsi tan mo ring karsa, rehning
toenggal karja toenggal warna toewin, amoeng beda artinja.
|
|||
3.
|
Kabeh
kalaboe obahing boedi, beda-beda panoenggalira, rerasan rasa roengoene,
pamawasaning kawroeh, wroeh ing doedoe doedoenga dadi, widagdaning kasidan,
sidik ing pandoeloe, pandoeloe delenge ilang, langlangana meleng denira
angliling, weninge ing panoenggal.
|
|||
4.
|
Ing nalika
Djoemoengah Djeng Nabi, lawan para sakabat sakawan, neng bet’oellah
sabakdane, salat djoemoengah ladjoe, arsa medar kawroehing gaib, wiwit bangsa
tekad, tjatoer antepipoen, Djeng Nabi aris ngandika, eh ta ngoemar, Aboebakar
Ngoesman Ngali, pajo pada rerasan.
|
|||
5.
|
Kang Soen
rasa soerasaning ngelmi, Ingkang Maha Soetji kang anitah, Napi Isbat
prabedane, myang pisah-koempoelipoen, djroning rasa kawan prakawis, sawidji
adepira, eklas kalihipoen, tri antep teteping tekad, kaping pate
sampoernanira kang pasti, wroeha bedaning toenggal.
|
|||
6.
|
Ngawroehana
bedane kang napi, ngawroehana bedane kang isbat, paran ta moenggoeh doenoenge,
e sakabat ngong tjatoer, sapakoleh pikiren sami, salah-sidji kang tampa,
Ilhaming Hjang Agoeng, soekoer bage kabeh tampa, begdjanira jwa kongsi
angendong pikir, pra sekabat toer sembah.
|
|||
7.
|
Raosing tyas
pan dereng amanggih, pan soemangga ing Goesti panoetan, abdinta njoewoen
djarwane, Djeng Nabi ngandika roem, bangsa tekad samya pinikir, jen bener
pirang bara, ing panemoenipoen, ing mengko pan ingsoen djarwa, prabedane
napi-isbat ing Hjang Widi, antepe djroning rasa.
|
|||
8.
|
Waspadakna
ananireng Widi, panoenggale ing rasa poenika, sa obahe lan osike, kalawan
wening ipoen, jen woes wening anane jekti, jektine datan lijan, moenggoeh ing
Hjang Agoeng, pamomore karsanira, ambawani solah bawanira iki, anglimpoeti
tjasira.
|
|||
9.
|
Doemoenoenge
ana kang nganani, toeroe loenggoeh atangi loemakja, ikoe ta noegraha lire,
oepama damar moeroeb, oeroebira pada madangi, kang padang ikoe njawa, ija
kang anglimpoet, ing sadjroning roepa panas, jekoe mangka ibarat ingkang woes
jekti, isbate ananira.
|
|||
10.
|
Padanging
tjas tetep isbat jekti, napekena napi kang kisenan, ingawa pamoring gawe,
koewat toemibeng ewoeh, djroning amrih antareng pati, pati patitisena, kang
wening doemoenoeng, isbatna kaananing Dat, rasanira napi tingaling Hjang
Widdi, pangening tjipta maja.
|
|||
11.
|
Pantjadrija
drijane kang wening, nirna mala mamalani drija, ideken ing boedi sareh, ririh
satiti roeroeh, peteng renteng roeten neng kapti, tratap kesaring nala, jekoe
mangka sikoe, pamoeroengireng kasidan, jen tan awas eling lawan sipat napi,
sipate awasena.
|
|||
12.
|
Prabedane
lan sawidji-widji, Dat wadjiboel woedjoed mbok Manawa, ing kene pinaringake,
tjipta ingkang toewadjoeh, djinatenan djatining-djati, djatining antepira,
dera kang Maha Goeng, jekoe margane kasidan, widagdaning ngandel koemandel
ing Widdi, pinandeng kang waspada.
|
|||
13.
|
Kaanane
sedjanen ing boedi, ilapate ing Dat kang sanjata, Pinta-pinta panggonane,
bangsaning isbat ikoe, napi-nira pan napi djinis, jekoe mangka panoenggal,
ing ananirekoe, napi nira isbatena, ing tegese moertja toetoenggale dadi,
pratanda neng sihira.
|
|||
14.
|
Netjanta
kang warna kaananing, Dat sampoerna Noer moring kang warna, awenes wening
bedane, Dat salikin roemoehoen, tjahja saking ing drija kaki, lintang pandjer
rahina, eram aroem-aroem, Dat moetlak kadi poernama, Dat ngalimoen ing sapanoenggale
kadi, sawarna lawan sipat.
|
|||
15.
|
Ilaning Dat
asma pan wahjaning, Dat soebekti lir soerja warnanya, moeksaning Dat
soebektine, ing tjahjaning Dat Soehoet, angebeki boewana kadi, tjahja tan ana
mada, ing salaminipoen, beda lan padanging soerja, mjang padanging remboelan
datan amirib, ikoe padanging padang.
|
|||
16.
|
Kang
Moenggeng djroning padang kang pasti, ananing Dat jekti ananira, ananira
sadjatine, ja anane Hjang Agoeng, solah tingkah woes datan kalih, ikoe Isbat
kang njata, napi woes kapoengkoer, ikoe anteping tjasira,mantep ikoe papadang
amor ing Gaib, wong anom den waspada.
|
|||
S I N O M
|
||||
1.
|
Paran ta ing
sabatingwang, Aboebakar Ngoesman Ngali, Ngoemar mara kabeh samja, rasakena
rasa iki, toekoel wekeling kapti, pinareng lawan panoedjoe, noegrahaning
Hjang Soeksma, jen moenggoeh panemoe mami, soen soemende ing aran rehning
kawoela.
|
|||
2.
|
Ing kono
Manawa ana, panemoe salah sawidji, roedjoek lan panedjaning wang, soekoer
bisa amoewoehi, waspadakena malih, lalakon wentehanipoen, sira pada oeroena,
kawroeh wadjib lawan napi, dadi bisa sampoerna kaananira.
|
|||
3.
|
Woewoeh
Kendal koemandelnja, sakabat soedjoed ing siti, satangining soedjoet noelja,
donga soekoer ing Hjang Widdi, samja oematoer aris, doeh goesti doeteng Hjang
Agoeng, kang mangka najakengrat, kang saestoe panoetan mami, donja kerat
aparing swarga minoelja.
|
|||
4.
|
Langkoeng
genging kang noegraha, moempangat toewan nrambahi, marma oemate sedaja,
tangeh safeda mangsoeli, malah miloe ta saking, doetaning Hjang sabdanipoen,
Djeng Nabi angandika, soekoer jen pada njadangi, jen woes njata sineksi pada
kadrija.
|
|||
5.
|
Ing koena
pan doeroeng ana, seksi masallah ing tepsir, sirik sikoening djoebrija,
rehning boborongan boedi, wit datan pinarsoedi, kawaspadan toena loepoet,
tjatjad marang weweka, sambekala anasabi, kabegdjane agawe salah panarka.
|
|||
6.
|
Dandananing
tjipta maja, sadaja adi jon angling, nglimpoeti lebeting ardja, djoemeneng
manah kang wening, menek Manawa dadi, dalan ardjaning toemoewoeh, ewoehe wong
angoelah, kawaspadan maring gaib, bedanira asring kakenan noegraha.
|
|||
7.
|
Rarasen ing
pamadyanja, kewala lair lan batin, antepira kang santosa, barang parentah
Hjang Widdi, kang dadi lawan tepsir, adja goemingsir ing kalboe, saobah
osikira, pasrahna karsaning Widdi, dadi sidik kasidanira widada.
|
|||
8.
|
Ratjoeten ing
panarima, jekoe tatalining eling, lire kabeka ning drija, woes tan
anaanglabeti, ing mengko soen djarwani, lekoene eklas ing kalboe, napi patang
prakara, lawan Isbat ingkang tapsir, woedjoed ngelmoe noer soehoel napi
isbatnya.
|
|||
9.
|
Dene
woedjoed tegesira, ja ana ananing Widdi, Noer Tjahja kang sadjati, ija
tjahjaning Hjang Agoeng, soehoet moklis tegesnja, ja moklisira Hjang Widdi,
jekoe isbat babate kaanan toenggal.
|
|||
10.
|
Toenggale
kaananing Hjang, ija ananira iki, kawroehing Hjang kawroehira, tjahjaning Hjang
maha sutji, ija tjahja nireki, moeklising Hjang kang ngaloehoer, tan ana
prabedanja, wroeha bedaning ngatoenggil, dadi tetep ananing Goesti kawoela.
|
|||
11.
|
Mangkono
prabedanira, ija ananira iki, winengkoe kodratireng Hjang, sinandi kadoeman
takdir, sajekti neng Hjang Widdi, aneng kodrating Hjang Agoeng, pan kodrating
kawoela, koemandel marang ing takdir, eklasena jen woes takdire toemeka.
|
|||
12.
|
Aworing
Goesti kawoela, djiwanta lawan Hjang Widdi, jen moenkir ing takdirira,
moenkir titahing Hjang Widdi, poenikoe kapir moesrik, lire karem anjakoetoe,
titinen kang sanjata, dadi anteng toer pratitis, titisena soehoet wroehing
kodrat ‘Oellah.
|
|||
13.
|
Djaba djro
roroning toenggal, jekoe isbat lawan napi, ana dene kawroehe lirnja,
kawroehing Hjang kang linoewih, jekoe datan kalempit, waskita ing ngoewis
doeroeng, tan kilap tan asamar, maring woedjoed kang sajekti, dadi toenggal
pamoring Goesti kawoela.
|
|||
14.
|
Pan ing kono
patrapira, sedjene kang ngawroeireki, sinandang Iradating Hjang, sineroeng
aralireki, tegese angadangi, ing drijanira kang wanoeh, lan pantjadrijanira,
weh pantog petenging ati, anoenoelak marang kawaspadanira.
|
|||
15.
|
Sarehna tyas
kang santosa, rehning ngaral kang ngawroehi, adja ngemeng panarima, trimanen
gandjaran Widdi, daoepna mjang kedaping, iradatira kang agoeng, ing kono jen
woes njata, tetepe atoenggal kapti, jekoe mangka loro-loroning atoenggal.
|
|||
16.
|
Lorone
ngaral kawoela, widji ing oedjar sawidji, obag-osik ing kawoela, meneng moeni
kang awening, jen nembah lan amoedji, tan ana djoedjoeg djinoedjoeg, poedjine
moeng rahardja, rahardjane wong saboemi, barang polah tingkah ikoe krana
Allah.
|
|||
17.
|
Solah bawa
wekas arsa, jen ta eklas lair batin, dene tegese kang tjahja, tjahjaning
Hjang Maha Soetji, kawawa amadangi, djagad tjilik djagad agoeng, Hjang kang
Moerbawisesa, warna lintang lawan sasi, kabeh ingkang soemorot tjahja kang
moerba.
|
|||
18.
|
Mada tjahja
nora kena, pinada pan anglimpoeti, ing alam sahir kabirnja, kang sestoe
tjahjaning, Widdi, Soemanding amadangi, djagad goeng akeh kamlimpoet,
mamoring tjahja nira, prabadane sadjroning kapti, anrambahi prabawa
andiwangkara.
|
|||
19.
|
Pira-pira
prabawanta, tangi toeroe malkoe linggih, ja tjipta koewasanira, Pribadi
ingkang mastoeti, tamtoe Noering Hjang Loewih, den waspada ing pangangkoeh,
koekoehen oetamanja, toeman toememen ing Widdi, stoehoene sirekoe sarasaning
Dat.
|
|||
20.
|
Polah
tingkah saking Allah, ngawroehi bedane toenggil, rehning apes doewekira,
ngrogoh alamoen antoek sih, sengsemana kang jekti, Wiradat ingkang sestoe,
teka neng aklasira, ikoe mbokmenawa keni, padang ikoe pratanda antoek sihira.
|
|||
21.
|
Ing
lohkilmakpoet Manawa, agoeng pamoring tateki, ija tegese anoeksma, sinoeksma
moenggoeh Hjang Widdi, dene kang ngati-ati, mring badan temen njateng moet,
laire kawroehana, kawisajaning ngaoerip, oeripira ananira sangkan paran.
|
|||
22.
|
Mangkana
bangsaning tjahja, dene tjahja bangsa napi, sajektine isbat oegi, napine pan
napi djinis, pamoring bangsa gaib, warnane tjahja wowoloe, dene kang tjatoer
warna, pratandanira Hjang Widdi, angobahaken amosikkaken ing kawoela.
|
|||
23.
|
Koemalebat
ingkang tjahja, pratanda sira antoek sih, ing Hjang kang amoerbeng Alam,
tanapi antoek prihatin, toena kalawan bati, ing kono pan woes tinemoe, tan
kena tinampika, miwah tan kena pinilih, tampanana ing nikmat lawan manpangat.
|
|||
24.
|
Warna kang
tjatoer namanja, abang ireng koening poetih, ikoe kodrating kanjatan, maweh
senengning ngaoerip, obahing boemi langit, Sir’Oellah ing wastanipoen, ikoe
sira den awas, marwasa ilapat djati, ana maneh tjahja kang dadi pratanda.
|
|||
25.
|
Gogolongan
dening tjahja, tri warna wenes awening, sadjoega djenar pratanda, lara
kapenaking diri, miwah rahardjeng diri, dene poetihing warnekoe, meh singgal
ing kadoenjan, dene ingkang warna abrit, pratandane elingan sabarang karja.
|
|||
26.
|
Mrabani
tjahja kang njata, jekoe isbat napi djinis, poenikoe rentjananing tyas, sring
napi djamaning pati, sapisan anempeli, ingkang awas eklas emote, wawasen den
waspada, angoedi sampoerneng pati, sedyanira dadi kantining Hjang Soeksma.
|
|||
K I N A N T I
|
||||
1.
|
Dene lakoene
ing soehoet, soehoet tegese woes moeklis, moeklis woestan karem doenja, tan
ana rarasan malih, nora lara lan nora sak, tan soeka datan prihatin.
|
|||
2.
|
Kaananing
Kang Maha Goeng, poerbawasesaning moeklis, Hjang Soeksma dadekken Alam, mjang
akarja boemi langit, isen-isenning bawana, manoesa tinitah loewih.
|
|||
3.
|
Tan na oeni
tanpa woedjoed, kang awoedjoed tanpa oeni, tan aroepa tanpa ganda, ana ganda
tanpa nami, kang woedjoed datanpa njawa, kang njawa datanpa osik.
|
|||
4.
|
Ana wening
tanpa ndoeloe, Allah ikoe tanpa warni, kang moedjoed datanpa njawa, ana
woewoes tanpa warni, kang woedjoed datanpa njawa, kang njawa datanpa moeni.
|
|||
5.
|
Kang loengan
tan nedya mantoek, kang moelih gan loenga ngoeni, warna-warna titahing Hjang,
sinandang titahing Widdi, sami sinoeng kanikmatan, moenpangat moerahing
Widdi.
|
|||
6.
|
Kabeh roesak
jektinipoen, tan ana langgeng sawidji, moeng manoesa kang kinarja, tinitah
loehoer pribadi, ana roesak ana ora, oerip langgeng pribadi.
|
|||
7.
|
Djati-djatine
pan ikoe, kang moerba wiseseng dasih, toenggal lawan moeklisira, tan ana sipat
kakalih, wroeha bedaning atoenggal, toenggalena nala ening.
|
|||
8.
|
Djangdjine
prabedanipoen, moeklis tinariman ing sih, Sih ing Hjang marang ing sira,
tegese panrimaneki, adepira ing Hjang Soeksma, ikoe sadjatine moeklis.
|
|||
9.
|
Ing kono
prabedanipoen, barang rehira woes toenggil, jawa sira darbe pantjipta,
koewasa wasis pribadi, den soekoer lawan narima, jen pinareng Sihing Widdi.
|
|||
10.
|
Dadine datan
kalawoen, kajoenira kang lestari, lestari pamoring Soeksma, sinoeksmanan kang
patitis, moerwakala poerbaning karsa, karjanta tansah den sihi.
|
|||
11.
|
Idepna
adepirekoe, doenoenging Hjang Maha Loewih, den poesti ana ing sira, djiwanta
sadjati wening, anglimpoeti kalimpoetan, dadi eneng kang sajekti.
|
DAFTAR -
PUSTAKA
|
|
1.
|
R.
Tanoyo, Wirid Hidayat Jati, Ronggo Warsito, Penerbit Trimurti,
Surabaya Tahun 1954.
|
2.
|
Drs.
M. Khafid Kasri, dkk; Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syech
Melaya), Penerbit Balai Pustaka Tahun 1993.
|
3.
|
Jejak
Kanjeng Sunan, Perjuangan Walisongo, Yayasan
Festifal Walisongo bekerjasama dengan Penerbit SIC Surabaya, Tahun 1999;
|
4.
|
Abdul
Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa, Yayasan Bentang
Budaya, Sambilegi Baru No.35 RT.01 RW.53, Jogjakarta, Tahun 1999;
|
5.
|
Gilani
Kamran, Ana Al Haqq (Akulah Kebenaran), Terjemahan, Risalah Gusti,
Surabaya, Tahun 2001;
|
6.
|
Tanpa
Aran, Sangkan Paraning Dumadi, Yayasan Djoyo Boyo, Bekerja sama
dengan Paguyuban Sosrokartanan Surabaya, Tahun 1988;
|
7.
|
R.
Tanoyo, Serat Dewaruci Kidung, Terjemahan, Karangan Imam Anom Th.
1806 Caka/1884 Masehi di Surakarta, Gubahan Kapujanggan Surakarta ing Madya
Awal Abad 19 M, Tahun 1962.
|
8.
|
Katiti
dening Redaksi Penerbit : Keluarga Soebarno, Serat Darmagandul, Toko
Buku Sadu Budi Solo, tanpa tahun.
|
artikel yang bagus sobat.
BalasHapusnice share and keep spirit for posting.
salam kenal sobat^_^ jangan lupa berkunjung digubug saya
http://salamun-salamun.blogspot.com
Makasih coment-nya tuk Salamun Alfarisy....
BalasHapusSubhanalloh, terima kasih setinggi-tinggi nya atas pencerahannya
BalasHapusAmazing....
BalasHapusTerus semangat sharing.
Menakjubkan, maturnuwun
BalasHapusYang diserang Demak adalah majapahitnya girindrawardhana org yang telah mengkudeta org tua raden patah brawijaya v), peperangan terus berlanjut sampai jaman sultan trenggono sedang ibu kota majapahit dipindah ke kediri/ Daha), sultan trenggono syahid di pasuruan, sementara raja majapahit melarikan diri sampai dipantai ngobaran dan bertapa dilawu dan kemudian kerajaan majapahit ditinggalkan rakyatnya dan musnah dengan sendirinya..
BalasHapusYang diserang Demak adalah majapahitnya girindrawardhana org yang telah mengkudeta org tua raden patah brawijaya v), peperangan terus berlanjut sampai jaman sultan trenggono sedang ibu kota majapahit dipindah ke kediri/ Daha), sultan trenggono syahid di pasuruan, sementara raja majapahit melarikan diri sampai dipantai ngobaran dan bertapa dilawu dan kemudian kerajaan majapahit ditinggalkan rakyatnya dan musnah dengan sendirinya..
BalasHapus