Motto : Carilah Ilmu untuk mengenal diri sendiri sebagai penghantar untuk mengenal Tuhan.
TERJEMAHAN BEBAS SERAT PAMORING
KAWULA-GUSTI
Oleh : Pujo Prayitno
|
||
Serat Pamoring Kawula-Gusti termasuk Serat Ilmu
batin, yang digubah oleh Raden Ngabei Rangga Warsito, digubah menjelang
beliau akan meninggal dunia kurang enam bulan. Digubah dalam bahasa Jawa
berbentuk Tembang Macapat. Saduran dan terjemahan bebas fersi penulis,
sebagai berikut :
|
||
Tembang
Dandanggula :
|
||
1.
|
RA-rasing tyas sinawung hartati; DEN-irarsa amedar sarkara; NGA-yawara puwarane; BE-rawaning madangkung; I-nukara ri Sukra Kasih; RONG-puluh wulan Rajab; GA-ti kanemipun; WAR-sa Jimakir Sancaya, SI-nengkalan
: “Nembah Muluk Ngesti Aji”; TA-ta
wedaring kata.
|
|
Maksudnya, kurang lebih :
Suatu cita-cita dalam jiwa yang digubah dalam
lagu Dandanggula’ Dengan tujuan akan menggelar ilmu dengan cara serba manis.
Namun hanyalah cerita tanpa makna, Meskipun bayangan maknanya yang tersirat
sangatlah menakutkan. Digubah pada hari Jum’at Kliwon tanggal 20 Bulan Rajab,
Wuku Srigati Mangsa Kanem, Tahun Jimakir dalam Windu Sancaya, dengan tanda
tahun “Nembah (2) Muluk (0) Ngesti (8) Aji (1), Tahun 1802 Tahun Jawa.
Digelar dengan cara yang baik, memakai Nama Sandi : Raden Ngabei
Ranggawarsita.
|
||
2.
|
Heh ta risang Dwijatmaja sami; Parsudinen
dadining parasdya, Pinirih ajwa kongsi kecer; Cangkok lan isinipun; Yen
kecera salah sawiji; Sayekti dadi tuna; Tiwas Anggeguru; Durung wruh ing
pamoriro; Moring semu prasemon Gaibing Widdi; Datan kena madaya;
Maksudnya, kurang lebih :
Wahai para murid semua, Supaya berlatihlah dengan
sungguh-sungguh, Usahakan menjadi tekad; Namun usahakan jangan sampai kurang
sempurna Cangkok dan isinya; Apabila sampai tidak lengkap salah satunya;
Sesungguhnya hanya akan mendapatkan kerugian; Sebab Cuma berguru; Namun
belumlah mengetahui apa yang dimaksud bersatunya ibarat (manunggaling semu)
yang menjadi lambang Gaibnya Tuhan. Ini tidak bisa ditipu (dibuat main-main).
(Yang dimaksud Cangkok yaitu wadah atau raga harus bersih termasuk makanannya
– Tata lahir – laku perbuatan; Isi – yang diwadahi – yang menetapkan tata
kelahiran – Ngelmu atau ilmu yang telah didalami – Persiapkan wadahnya dahulu
barulah ilmu bisa masuk – bertapalah dahulu barulah mendapatkan ilmu).
|
|
3.
|
Supadine ing tyas datan pangling,; Lukitane
ingkang sastra ceta;
Ingkang mangka darsanane; Wong kang berbudi cukup; Anyukupi sapati urip;
Uripe aneng donya; Prapteng janjinipun; Sayekti datan kewran; Denira mrih
prasta pulasta panusti; Estina kena kana.
Maksudnya, kurang lebih :
Usahakan dalam bathin jangan sampai tidak mengenal,
makna indahnya ilmu yang nyata, yang bisa
dijadikan contoh tauladan (adalah), orang yang berbudi cukup, yang
telah cukup (ilmunya) dalam menghadapi hidup dan matinya, hidup dalam dunia
sampai matinya, sungguh tidak bakalan salah jalan atau tersesat dalam
menghadapi kematian, agar selalu bersiap diri dan berbekal dalam menghadapi kematian dan kehidupannya.
Sastra Ceta adalah ilmu yang yang nyata yang
tidak tertulis tapi bisa dibaca (hilangnya papan tanpa tulis). Orang yang
telah memahami Sastra ceta akan pandai tanpa guru yaitu orang yang telah mendapatkan
pencerahan cahaya Tuhan. Dalam memahami bahasa keilmuan jawa harus
menggunakan nalar dan perenungan yang dalam, sebab banyak sekali makna yang
tersirat yaitu seribu makna di balik kata. Untuk bisa memahami sastra ceta
adalah dengan mengusai Sastra jendra hayu ningrat pangruwating diyu, suatu
ilmu untuk menuju keselamatan diri sebagai pelebur angkara murka. Ilmu ini
bisa dicapai tanpa guru dan hanya bisa dicapai oleh orang yang gigih berjuang
dan telah bisa mengalahkan hawa nafsunya sehingga bisa mendapatkan pencerahan
dari Tuhan. Ada juga perkataan : Jangka Jaya Baya Raja ing Kediri, ini selain
bermakna ramalan juga bermakna keilmuan, yaitu Jangka – melangkah, Jaya –
menang, Baya (terhadap) – bahaya, (Apabila bisa menjadi) – Raja, di dalam
dirinya sendiri).
|
|
4.
|
Sakamantyan denira angudi, Widadaning ingkang
saniskara, Karana tan kena mlesed, Surasaning kang ngelmu, Nora kena madayeng
jangji, Karana mung sapisan, Purihen den kumpul, Gusti kalawan kawula,
dumadine dinadak bisa umanjing satu mungging rimbagan.
Maksudnya, kurang lebih :
Usahakan terus-menerus ketika dirimu dalam
pencarian, dan usahakan agar semua bisa selamat sejahtera, sebab makna dan
isi ilmu tidak boleh salah tafsir, makna yang sesungguhnya tidak boleh
diputar balikan, maknanya hanya satu, usahakan untuk bisa menyatu antara
ilmunya Tuhan ke dalam diri, sehingga dengan seketika bisa menyatu dengan
diri pada saat ada keperluan mendadak.
|
|
5.
|
Yen rinasa surasane manis, Temah dadya hardening wardaya,
Saking dahat dennya ngame, Marma den bisa nggilud, Giludane among patitis, Ttitikane
den kena, neme yen ketemu, Nemu sosotya kencana, Hudjwalane sarpakenaka
nelahi, Sumorot sorotira.
Maksudnya, kurang lebih :
(Ilmu) apabila dihayati, maknanya sangatlah
memikat hati, sehingga bisa menyebabkan sangat bernafsu dan terburu-buru, di
sembarang tempat selalu dibuat bahan pembicaraan. Sebaiknya bisa bisalah
menempatkan inti sari ilmu. Apabila telah berhasil menemukan. Bagaikan
menemukan intan berlian yang cahayanya menerangi jiwa, sehingga jiwa akan
bercahaya yang cahayanya sangat menyilaukan.
|
|
6.
|
Anyoroti padanging Hyang Rawi, Isining rat
karatan sedaya, Yekti tan nana petenge, Nanging arang kang nggayuh, Gayuhane
tepa palupi, Pilih-pilih kang nyandak, Sarkaraning made, Dumununganing aninang, Nora adoh nora perak
sedeng ugi, Gepokane tur cekap.
Maksudnya, kurang lebih :
Cahayanya melebihi terangnya matahari. Merata
menyinari seluruh isi jagad raya sehingga tiadalah kegelapan. Namun sangatlah
jarang yang bisa menguasai. Apabila benar-benar berhasil dirinya akan menjadi
manusia panutan. Hanya orang-orang terpilihlah yang berhasil menguasai dan
memahami inti sari manisnya madu (Ilmu sejati), yaitu tempat singgasana
Tuhan. Tidak jauh, tidak dekat, tidak juga sedang. Pengaruhnya sangat
menguasai merata seluruhnya.
aninang, adalah sandi dari Tuhan Yang Maha Wenang; Hanya
bisa dipahami oleh manusia terpilih. Atau dalam keheningan jiwa yang telah
terbuka yaitu Para ahli ilmu tasafuf tingkat tinggi. Aninang dalam salah satu
Serat Syeh Siti Jenar diungkapkan dengan kata Uninong Ananing Unang;
Sedangkan penyusun berpendapat dengan kata Uninang Ananing Anung, yaitu Tuhan
Yang Maha Wenang, Maha Wening dan Maha Agung. Dan kata ini oleh Sunan
Kalijaga diujudkan dengan gending yaitu musik jawa yang sangat sempurna yaitu dari berkumpulnya berbagai macam alat
music; Ada alat music pukul, tiup, gesek yang menimbulkan berbagai macam
bunyi yang bunyinya jika diringkas akan berbunyi Nang, neng, nong, ning, nung
atau ning nong ning gung. Dan untuk mengawali; mengakhiri membuat cepat atau
lambat tempo musiknya dikendalikan oleh suara kendang yang berbunyi tak
ndang-tak ndang – segeralah melangkah untuk menuju ……yang diakhiri oleh suara
gong yang berbunyi Gung ( Maha Agung). Musik jawa dirancang untuk menggugah hati
guna mengagungkan Tuhan. Karena
keindahannya orang barat menyebutnya dengan nama Orkestra Java.
Sunan
Kalijaga mampu mengkristalisasikan music jawa karena tingkat ilmunya
melampaui wali yang lain dikarenakan ketika beliau bertanya kepada Sunan Bonang Mursyid dan Gurunya tentang Ilmu
Ketuhanan; Sang Guru tidak bisa menjawab, sehingga Sunan Kalijaga berkelana
masuk ke dalam Samudra Ma’rifat hingga mendapatkan ilmu Hakekat Ketuhanan
setelah mendapatkan pencerahan dari yang Maha Bercahaya yang dilewatkan Nabi
Khidir, AS. Ini menunjukan bahwa ketika Mursyid tidak mampu menjawab
pertanyaan Sang Murid, dan jika Sang Murid tidak patah semangat dan terus
berusaha berjuang menuju Tuhan, maka Tuhan akan turun langsung mengajari sang
pencari. Murid yang demikian tingkat atau Maqomnya akan melampaui sang
Mursyid, dan kelanjutannya Sang Murid tersebut akan menjadi wali panutan
untuk para Mursyid selanjutnya. Sunan Kalijaga meninggalkan buku berjudu
Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh
Melaya – nama lain Sang Sunan).
|
|
7.
|
Cepakane pepak amepeki, parandene teka nora
gampang, Pambudinea kadang cewet, Weya graitanipun, Saking ulab kalaban
dening, Harda hardening nala, Sruning tyas kayungyun, Kayungyun marang
katresnan, Iku mangka bencana dirgameng pati, Patine tanpa sedya.
Maksudnya, kurang lebih :
Sarana atau perabot yang digunakan untuk
mengetahui guna memahami ilmu telah siap dan lengkap serta siap untuk
digunakan. Akan tetapi sungguh tidaklah mudah. Justru kadang penggunaannya
tidaklah tepat. Dikarenakan laku atau tindakan yang sembrono atau
sembarangan. Itu semua dikarenakan terdorong oleh hati yang sangat bernafsu
sehingga tertutup oleh hawa nafsunya sendiri, yang dikarenakan tidak tidak
sabar, segera ingin berhasil. Yang demikian sangatlah berbahaya yang justru
akan menyesatkan ketika menghadapi ajal, sehingga matinya tidak sempurna atau
bahkan tersesat jalan masuk ke alam jim, setan demit, dll.
|
|
8.
|
Saya harda hardening pambudi, Budidaya madya lan
utama, Utameng rat sesemune, Marma den bisa mbesut, Besutane kang tirta
wening, Wening wenes kalintang, Tanpa sama tuhu, Satuhuning kasunyatan, Kanyatan
kang sami dipun lampahi, Wiwitan lan wekasan.
Maksudnya, kurang lebih :
Semakin bersemangat dalam belajar keilmuan.
Usahanya dari tingkat menengah sampai ke tingkat atas. Namun kesemuanya itu
bagaikan ibarat. Kesemuanya itu harus dengan jalan bisa menghaluskan dan bisa
menyaring. Menyaring dari air yang telah bening. Bening yang benar-benar
suci. Itulah kenyataan yang sebenarnya yang harus dijalani dari mulai awal
sampai dengan akhirnya (Sangkan paraning dumadi yaitu asal dan kembalinya
segala ujud).
|
|
9.
|
Wekasane mung ngantebi pati, Parandene meksa
masih awrat, Kalindih dening panggawe, kira-kiranen kalbu, Sapa baya bisa
amesti, Jer ta pan during ana, Wong milulu layu, Konus konas saking atma, Nadyan
silih sampun wreda kaki-kaki, Maksih sungkan kewala.
Maksudnya, kurang lebih :
Pada akhirnya ilmunya hanya ditujukan untuk bekal
menghadapi mati. Akan tetapi masih merasa berat dalam menghadapi mati.
Dikarenakan masih banyak cita-citanya yang belum tercapai. Sebelum mengadapi
mati tatalah terlebih dahulu hatinya. Barangkali bisa mengetahui kapan ajal
menjemput. Sebab belum ada seorang manusiapun yang bisa mengetahui saat
kematiannya tanpa ada sebab apa-apa. Walaupun telah berumur tuapun dan bahkan
sudah pikun, akan tetapi masih tetap sungkan atau belum mau meninggal dunia.
|
|
10.
|
Yen muhunga awet amanitis, Pan tinitah dumadi
manungsa, Sinung harja bungah kehe, Sapira kadaripun, Aneng donya pan nora
lami, Lire pan nora dawa, Umur sewu tahun, Lamun nora ngawruhana, Angrfawuhi
marang jamaning kapatin, Sayekti dadi tuna.
Maksudnya, kurang lebih :
Apabila berkali-kali Cuma hanya menitis saja.
Hidup dilahirkan kembali menjadi manusia yang selalu mengalami senang dan
susah, apalah gunya hidup. Kehidupan dunia tidak mungkin lama. Tidak bakalan
mungkin hidupnya bisa mencapai umur seribu tahun. Jika tidak mengetahui
betul. Ilmunya mati. Sungguh kerugian yang teramat besar.
|
|
11.
|
Tuna dungkap kaulahing piker, Pan kapiran
jamaning ngakherat, Sakarate yekti suwe, Suwe nuruti perlu, Perlu mati pijer
mendelik, Kelike nora nana, Anane mung kuwur, Baliwur tan wruh hing marga, Marga
beda bedane tanpa pinikir, Mungkir tinggal Agama.
Maksudnya, kurang lebih :
Tertipulah alam pikirnya. Karena tidak memahami
kehidupan akherat. Sekarat-nya pasti lama. Ini diakibatkan masih bayak
keinginannya sehingga belum ikhlas untuk mati. Lepasnya nyawa teramat susah.
Ini dikarenakan ketenangan jiwanya tidak ada. Jiwanya mengalami kebingungan
yang teramat sangat. Dikarenakan tidak mengetahui jalan kematian yang harus
ditempuh. Sebagai akibat tidak mengetahui arah tujuan dikarenakan menjauhi
jalan Agama.
|
|
12.
|
Agamane ingkang luwih suci, Anuceni Dat kalawan
Sifat, Sifat murah salamine, Marma den bisa mikul. Pikulane Ajwa katembing,
Titimbangane ana, Iku paminipun, Nimpuna sandang lan pangan, Nora kena
pinisah salah sawiji, Wajibe babarengan.
Maksudnya, kurang lebih :
Agama yang dianut adalah agama yang suci. Yang
mensucikan Dzat dan Sifat Tuhan. Yaitu sifat maha murah selamanya. Maka
seharusnya biosalah memikul tanggung jawab hidup dengan seimbang. Jangan
sampai berat salah satunya. Itulah ibaratnya. Dalam mencari kebutuhan hidup
yang berupa sandang dan pangan, janganlah dipisah hanya memilih salah satunya
saja. Haruslah bersamaan.
|
|
13.
|
Kena uga kalamun siniring, Maring wong kang
angupaya pangan, Saben dina nyambutgawe, Amrih kencenging waduk, Waduk iku
wadahing urip, uripe saking sedya, Sedyane mrih cukup, Nyukupi njaba njro
amba. Babarane bineber ngeberi budi, Budaya kang sanyata.
Maksudnya, kurang lebih :
Boleh juga memilih salah satu. Bagi orang dalam
mencari makan. Tiap hari kerja keras agar terpuaskan kebutuhan perut.
Kenyangnya hanya sebatas untuk
mempertahankan hidup. Hidupnya untuk mengejar keinginan. Agar mencukupi. Mencukupi luar dalam yaitu
jasmani dan rokhani. Ketika digelar Nampak pada budi pekerti. Yaitu berbudi
luhur.
|
|
14.
|
Kanyatahaning urip puniki, Tan liyan saking
gebyaring busana, Tiba sa-enggon-enggone, Pan Nora Tibeng saru, Surupana
ruruba yekti, Yektine ajwa sulap, Mring Sulapanipun, Budine den kongsi kena,
Nanging ajwa sira udi saben ari, Ajwa pegat tyasira.
Maksudnya, kurang lebih :
Kenyatan hidup yang bisa dilihat. Tidak lain dari
indahnya busana (Busana jiwa adalah ilmu luhur). Di setiap tempat tidaklah
memalukan. Tapi ketahuilah untuk apa sesungguhnya berpakaian itu. Janganlah
sampai tertipu. Carilah makna sesungguhnya.
Tapi jangan dicari tiap hari. Jangan putus kewaspadaan jiwa.
|
|
Tembang
Megatruh :
|
||
1.
|
Sanityasa denira paring wuwuruk, Marsepuh sang maha
yekti, Tinumpa-tumpa tinumpuk, Pinanta-panta pinesti, Saniskaraning
pangawroh.
Maksudnya, kurang lebih :
Haruslah selalu urut ketika engkau menyampaikan
ajaran. Selaku orang tua ketika engkau
telah bisa menjadi guru. Ilmunya ditumpahkan semua. Ditata urut menurut tingkatan masing-masing. Diajarkan
menurut tingkat ajaran masing-masing.
|
|
2.
|
Pan liningga salingga sawanda wujud, Wujude pan
dadi wiji. Mijeni jagad sawegung, Saking kodrating Widdi, Kasamadan Dating
Manon.
Maksudnya, kurang lebih :
Digolong-golongkan dibagi seperti barang yang
berujud. Tiap bagianya akan menjadi benih. Sebagai cikal bakal isi jaga raya.
Yang adanya dari dari ciptaan Tuhan. Yang kesemuanya selalu terjaga oleh Yang
Maha Memelihara.
|
|
3.
|
Amanoni pamulune kadi wungwung, Kukuwunge
mingit-mingit, Piningit tan kena konus, Yen konus ngenesi ati, Mulat
gebyaring pamor.
Maksudnya, kurang lebih :
Memahami kesucian-Nya bagaikan melihat
cahaya-cahaya. Sinarnya sangatlah bercahaya. Agar dirahasiakan jangan sampai
diajarkan. Jika diajarkan akan menggetarkan hati. Bagi siapa saja yang
melihat indahnya cahaya yang Maha Bercahaya.
|
|
4.
|
Dasar pemor pamore andamar murub. Bener ingkang
kekes wingwrin, Rumangsa kasoran ampuh. Pupuhe tuhu patitis, Titi datan
atumpang-suh.
Maksudnya, kurang lebih :
Indahnya Cahaya Tuhan bagaikan andamar murub
(Jenis pamor dalam ilmu perkerisan). Sehingga benarlah bisa menyebabkan rasa
berkecil hati yang teramat sangat. Merasa benar-benar tidak punya daya
kekuatan apapun dikarenakan kalah wibawa. Keampuhannya sangatlah nyata. Jika
diajarkan haruslah dengan cara yang teliti jangan sampai tumpang tindih.
|
|
5.
|
Yen tenanting tintingane tuhu kukuh, Kukuhe nora
ngencengi, Kenceng kinarya pangayun, Tarincing kinanten wuri, Cak-cakane nora
moncol.
Maksudnya, kurang lebih :
Ilmu, jika didalami sangatlah kuat. Kuat
ikatannya tidak menyesakan dada. Kekuatannya jadikanlah sebagai tekad. Agar
ringanlah di belakang hari. Ketika diterapkan pada saat ada keperluan,
tidaklah berlebihan dan tidak menimbulkan masalah baru.
|
|
6.
|
Cakep cukup nyukupi yen ulah rembug. Rembuge tan
katon nggitik, Gitikane urun-urun, Nguruni dadining ngelmi. Karya sukaning
ponang wong.
Maksudnya, kurang lebih :
Indah, tepat, jelas dan menjelaskan dengan jelas
ketika ilmunya digunakan dalam bermusyawarah. Keterangannya tidaklah Nampak
mengkritik ataupun pamer ilmu. Ketika muncul sebuah kritikan hanyalah untuk
mengingatkan saja dengan cara yang halus agar membikin setiap hati orang
menjadi senang.
|
|
7.
|
Wuwuh-wuwuh amuwuhi kawruhipun, Pantese wong
ciptayekti, Tan amrih karya panggunggung, Gunggunge ugungan dadi, Tinitah
pandita kaot.
Maksudnya, kurang lebih :
Lebih-lebih bila b isa menjadikan tambah luasnya
ilmu. Sungguh itu yang menjadi sifat dari orang yang berilmu tinggi. Semua
tindakannya bukan untuk pamer akan tetapi semata-mata hanya untuk
menyenangkan hati orang lain . Sama sekali tidak mengharapkan penghormatan
diri. Sebab tingkatannya sudah mencapai tingkat waskita bagaikan seorang
Bagawan yang berilmu tinggi.
|
|
8.
|
Kaot mencit wasistaning ulah tanduk, dudugane tan
katembing, Tumambirang kaduk purun, Purune nora nyampahi, Marang ngelmu kang
wis manggon.
Maksudnya, kurang lebih :
Dengan orang lain bedanya sangatlah jauh dalam
hal kecedasan dan juga sikap perilakunya. Tindakannya penuh perhitungan dan
keselarasan yang dijadikan pedoman. Keberaniannya bagaikan perjaka, digunakan
tidak untuk mengutuk. Dari ilmu yang telah mengendap.
|
|
9.
|
Panggonane tapa brata pitung wektu, Dene tapa
kang sawidji, Tapaning jasad puniku, Ajwa darbe asak serik, Narima terusing batos.
Maksudnya, kurang lebih :
Jenis bertapa terbagi menjadi tujuh macam. Untuk
tapa yang pertama adalah tapanya jasad. Janganlah mempunyai sifat benci.
Ikhlaslah selalu dalam tata lahir sampai ke dalam relung hati walau
tersakiti.
|
|
10.
|
Kaping kalih ya tapa satuhu, Lah iya tapaning
budi, Amung tapa temenipun, Nyepena nista lan nistip, Ngicalana ati goroh.
Maksudnya, kurang lebih :
Jenis tapa yang kedua adalah. Sesungguhnya
bertapa. Yaitu tapanya budi. Dengan cara bertapa menyelaraskan antara hati,
ucapan dan tindakan. Jauhi perbuatan nista dan sia-sia. Hilangkanlah hati
yang dusta.
|
|
11.
|
Kaping tiga ya tapaning hawa napsu, Nglakokna
sabar lan alim, Ngaksama sasaminipun, Nadyan sira pinisakit, Tuwakupa mring
Hyang Manon.
Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke tiga tapanya hawa nafsu. Dengan cara
menjalankan sabar dan alim. Memafkan kesalahan sesame. Walau dirimu
tersakiti. Percayalah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa.
|
|
12.
|
Ingkang kocap tapa brata kaping catur, Ya
Tapaning rasa sejati, Eneng eningena kalbu, Mesuwa puja semedi, Eneng ening
amesti dados.
Maksudnya, kurang lebih :
Yang disebut tapa brata yang ke empat. Yaitu
tapanya sang rasa sejati (Ilmu rasa). Tenang dan heningnya kalbu. Selalu
memuji dan merenungi (Tafakur) dalam hati tentang Tuhan. Tenang, hening yang
dicitakan pasti terjadi.
|
|
13.
|
KAping lima tapaning suksma puniku, Gelara marta
martini, Lega legawaning kalbu, Ajwa munasikeng janmi, Amomonga atining wong.
Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke lima tapanya Sukma. Ini masalah batin.
Apabila diuraikan dengan kata-kata kurang lebihnya yaitu dengan cara bersikap
rendah hati serta selalu berusaha menyenangkan hati orang lain. Hatinya
selalu dalam keadaan ikhlas. Serta berpantang untuk tidak menyakiti sesame
hidup. Harus bisa mengasuh (momong) hati setiap orang.
|
|
14.
|
Kaping nenem tapaning cahya umancur, Waskita
kalawan eling, Datan samar ing pandulu, Eling panuntun basuki, Kadarman ati
mancorong.
Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke enam tapanya cahaya yang memancar. Hatinya
tiada tertipu didalam segala keadaan serta selalu ingat akan Tuhan sepenuh
hatinya. Selalu paham atas segala kepalsuan dan segala kenyataan. Selalu
ingat pada segala hal sebagai pedoman sehingga selalu dalam keselamatan.
|
|
15.
|
Kaping pitu ya tapaning uripipun, Santosa den
ngati-ati, Akantiya teguh timbul, Ajwa was sumelang galih, Ngandela maring
Hyang Manon.
Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke tujuh yaitu tapanya anugrah hidup dari
Tuhan. Menyadari bahwa daya hidup yang ada pada dirinya bersumber dari Tuhan.
Harus selalu menggunakan kekuatan budi yang terletak pada jiwa yang terlatih,
dan selalu berhati-hati dalam segala tindakannya. Atau selalu berhati-hati
menanggapi cetusan cipta dari hati dan dari penalaran pikiran. Juga harus
disyarati dengan keteguhan iman ketika menghadapi cetusan hasrat yang sangat
cepatnya berganti-ganti. Tiada rasa kuatir di hati dan selalu pasrah atas
segala takdir Tuhan.
|
|
16.
|
Ketokane ketoken bongkot lan pucuk, samono bae
nyukupi, Pan ora mumurung laku, Lakon anglakoni mati, amancat sakratil maut.
Maksudnya, kurang lebih :
Intisari dari semua laku tapa tersebut adalah
terletak pada tapa yang terakhir dan yang pertama. Itu saja sudah cukup.
Sehingga tidak menghalangi jalan. Jalan di saat ajal. Pada saat sakaratul
maut.
|
|
17.
|
Mung sakedep netra pangancase mangsuk. Umanjing
surup ing pati, Patitis jagad kinukut, Kukudan sedya sawiji, Rinasuk manjing
karaton.
Maksudnya, kurang lebih :
Sakaratulmautnya hanya sekejab saja. Sudah masuk
alam kematian. Alam dunia digulung dengan tepat. Dalam menggulung jagad hanya
satu tekad yaitu untuk masuk ke dalam singgasana.
|
|
18.
|
Nanging dudu karaton ingkang kadulu, Yen kadulu
niniwasi, Katiwasan patinipun, Tibeng sasar dadya demit, Manjing watu lan
kakayon.
Maksudnya, kurang lebih :
Namun bukan singgasana yang terlihat mata. Jika
terlihat pasti akan menyesatkan pada saat kematiannya. Dan jika tersesat akan
menjadi demit. Bertempat dan sebagai penunggu batu ataupun pepohonan.
|
|
19.
|
Kayu watu ginelar dadya swarga gung, Sinaskara
amenuhi sarwa endah adiluhung, Dipun enggeni, Awor brekasakan lan jrangkong.
Maksudnya, kurang lebih :
Kayu dan batu dianggap sebagai sorga yang
menyenangkan. Serta mencukupi segala keperluannya. Tapi itu semuanya sungguh
menyesatkan dengan segala keindahannya yang Nampak. Jika bertempat tinggal di
situ akan bergabung dengan alam jin tingkat bawah yaitu alam brekasakan dan
hantu yang berbentuk rangka manusia.
|
|
20.
|
Pindo gawe gagaweyan nora weruh, Weruhe uwus
winalik, Walikaning salang surup, Sumurup salah panampi, Tampane
kajelomprong.
Maksudnya, kurang lebih :
Dalam
kematiannya selalu dua kali kerja dikarenakan tidak mengetahui
kematian yang benar. Bisanya mengerti yang sesungguhnya, setelah semuanya
menjadi terbalik. Ini dikarenakan tidak bisa membedakan mana yang benar dan
mana yang salah di karenakan salah tafsir dalam pemahamannya. Hasilnya adalah
terjerumus dan tersesat.
|
|
21.
|
Marma dipun santosa ateguh timbul, Kanti awas
lawan eling, Ajwa samar ing pandulu, Karaton ingkang sajati, Jatine nora
katongton.
Maksudnya, kurang lebih :
Makanya perteguhlah iman. Dengan jalan selalu
ingat Tuhan dan selalu waspada. Jangan sampai tertipu kepalsuan karena salah
lihat. Pada singgasana yang asli. Singgasana yang sesungguhnya tidak
terlihat.
|
|
22.
|
Tampa terus nerusi lumebeng bumbung, Bumbunganing
setroli, Padange kalangkung-langkung, Langgeng nora owah gingsir, Sire mulih
Dating Manon.
Maksudnya, kurang lebih :
Konsentrasilah pada saat memasuki alam kematian.
Yang terlihat paertama adalah alam yang bercahaya. Cahanya sangatlah terang.
Cahayanya langgeng dan tidak berubah-ubah. Itulah jalan utnuk menyatu dengan
Tuhan.
|
|
23.
|
Meneng langgeng nora obah nora wuwus, Nora mulad
sargadi, Pan nora rumangsa ngeyub, Ngalela lenge don ati. Dadi Nabi – Wali
amor.
Maksudnya, kurang lebih :
Tenang, abadi, tiada gerak, tiada perkataan.
Tiada melihat sorga. Tidak merasa bernaung. Yang ada hanya tenangnya hati.
Akhirnya berkumpul dengan Roh Para Nabi dan Para Wali.
|
|
24.
|
Gambir wungu nora cidra jektinipun, Lamun kang
marsudeng gaib, Liningkab lingkabanipun, Nora was nora kuwatir, Ngandel
caloroting batos.
Maksudnya, kurang lebih :
Alam yang demikian sungguh sangatlah nyata. Bagi
siapa saja yang telah berhasil lulus belajar ilmu kegaiban. Semua penghalang
apapun akan terbuka. Tiada rasa kuatir. Percayalah pada tenangnya batin.
|
|
25.
|
Warsitengsun ring sira wus tamat kulup, Mangkya
ingsun minta pamit, Arsa mulih mring don luhung, Amung kurang limang sasi,
Salameta putraning-ngong.
Maksudnya, kurang lebih :
Wasiatku pada dirimu, telah tamat wahai putraku.
Sekarang aku mesti pamit. Sebab akan pulang ke tempat yang luhur. Hanya
kurang lima bulan saja. Sepeninggalku semoga dirimu selamat anaku.
|
|
26.
|
Ngong pupuji muga Hyang Kang Maha Luhur, Paringa
nugraha jati, Maring sira putraningsun, Dadya mukaning wadyadji. Tumrap
maring siwayengong.
Maksudnya, kurang lebih :
Do’a-ku, semoga Yang Maha Luhur. Selalu memberi
berkah yang sejati. Kepada dirimu putraku. Semoga menjadi pemimpin bangsa
sampai ke anak cucu.
|
|
27.
|
Yektenana sajroning wolung taun. Pulanggana wus
kaeksi, Wartane kang para jamhur, Iku sidaning kadadin, Adining tapa wus
manggon.
Maksudnya, kurang lebih :
Perhatikanlah dalam tempo delapan tahun lagi.
Sasmita telah Nampak. Kabar dari para pertapa. Itu sejatinya kejadian.
|
|
Itulah terjemahan bebas yang mampu kami tulis.
Makna sesungguhnya masih tetap menjadi rahasia Sang Penulis aslinya. Sebab,
bahasanya adalah bahasa puitis yang berbentuk tembang. Pastilah banyak sekali
makna yang tersirat dari pada makna tersurat. Banyak orang memahami setiap
arti kata yang tertulis, tapi belum tentu memahami maksud dari yang
dikehendaki oleh penulis. Jalma limpat seprapat tamat, belajar baru sampai
seperempat bagian telah menguasai seluruh isinya. Itulah harapan penulis
semoga tetap terjaga karya sastra Pujangga Jawa.
Raaaaaa ha yuuuuuuuuuuu. Nuwun.
|
||
TEMBANG
KUSUMAWICITRA (CATUR YOGA)
|
||
1.
|
Manawi dumugi ing jaman Kaliyoga; Mboten wonten
ingkang nglangkungi tiyang sugih, Boten kocap tiyang ingkang guna; ingkang prawira, Utawi Pandhita putus;
Sadaya sami merak anembah dateng tiyang sugih.
|
|
2.
|
Ing jaman ngriku bangsaning Pandhita sirna, Lawan
bangsaning Ratu samimlarat kawelas asih; Anak sami purun dipun pitenah; Para
pandhita sami nglampahaken dados nahkoda.
|
|
3.
|
Bui tansah gonjing, Jagad tansah dahuru; Ratu
kekirangan arta, Tansah pinisungsungan ing tiyang sugih; Sagung ingkang ulah
pedamelan sami nurut ingepahan; Seganten mili dateng lepen.
|
|
4.
|
Tiyang bebet (darah) asor wangsul dados tiyang
luhur; Kamurkanipun tiyang saya anglangkungi; Sang Ratu kalumuhan dateng Sang
Pandhita; Boten wonten ingkang anglampahi panembah.
|
|
5.
|
Kaliyan wedaling kaluhuran saking dipun saranani
arta; Karanten Sang Ratu kawisesa dateng tiyang sugih; Tiyang salah dados
awet ing ndamel; Tiyang leres dados katiwar-tiwar; Awit saking melarat.
|
|
6.
|
Tiyang murka sangsaya andadra dados angsal
panggenan; Tiyang sabar wekasan dados kirang paramarta; Tiyang dursila
durjana sami adamel cilakanipun tiyang sepuhipun.
|
|
7.
|
Sang Ratu sasat suwita dateng Papatih; Sagung
ingkang andum sami amilih; Pratingkahipun sawenang-wenang; Ical berkating
bumi; Sami kasrakat; Kadosta oyod-oyodan; Gegodhongan, woh-wohan sami tanpa
guna.
|
|
8
|
Ingkang saged, ingkang kuwasa, Boten angresepi
ing jagad; Bangsa Pandhita, Satriya, Waisya; Miwah bangsa Sudra, Sami tunggil
padamelan; Karanten sajagad sami angaken saged; Sami ngegung aken dhiri;
Boten wonten ingkang purun kasoran.
|
|
9.
|
Tiyang ulah sastra tuwin puja samadi boten wonten
ingkang anut ing pamardining Pandhita; Tanpa damel; Sagung japa mantra boten
wonten ingkang katarimah; Adil hukum boten anglabeti; Temah dados durgama.
|
|
10.
|
Sami rebah ing sekar cempaka; hangsoka, hangsana,
cendhana, wungu, kenanga, surastri, nagasari, Sadaya wit ipun sirna sami
winadungan; tinegoran, tinutuhan, kaprapalan erining pung secang lawan
pilang.
|
|
11.
|
Sakhatahing peksi: Merak, banyak, dhandhang,
bango, sapanungilanipun, sami lebur pinasangan pikat lajeng sinengkeran;
Ingkang suka bingah namung : segawon, babi, sami ingopenan, pinilala tinuwukan
erah kalihan daging.
|
|
12.
|
Salebeting jaman Kaliyoga, sakathahing tiyang
sami langkung angkaramurka; Tansah tukar arebar kaluhuran; Tiyang sajagad
sami boten uninga ddateng sedherek, Mengsah ingkang sampun kathah cacadipun
rinangkul minangka kanthi.
|
|
13.
|
Wewalering Dewa tinarajang; Sakaathahing candhi
rinisakan; Kabuyutan boten wonten damelipun; Sami samun sagung cariyos
papakem; Kagunan, kasantikan, sami linebur dening tiyang bodho ingkang murka
ing jagad.
|
|
14.
|
Kacariyos ingkang jaman punika saestunipun
sakawan; Ingkang wiwitan nama jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana ingkang
dados witing ngagesang; Punika prenahipun wonten pulunging galih; Saweg
taksih siniwi ing Swarga.
|
|
15.
|
Kaping kalih jaman Tirtayoga; Prenahipun Sang
Hyang Pramana wonten samadyaning paningal; Kaping tiga jaman Dweparayoga;
Prenahipun Sang Hyang Pramana (Sang Hyang Atma) wonten ing daging lawn erah.
|
|
16.
|
Kaping sekawan Jaman Kaliyoga; Sang Hyang Pramana
manggen ing kulit lawan wulu puhun; Dene yen jaman Kretayoga yuswaning Sang
Hyang Pramana sakethi taun.
|
|
17.
|
Ing jaman Tirtayoga punika gesanging Sang Hayng
Pramana dumugi saleksa taun; Ing Jaman Dweparayoga yuswa sewu taun langkung
satus taun kalihan satus wulan.
|
|
18.
|
Yen Jaman Kaliyoga punika yuswanipun
enggal-enggal; Kados upaminipun gebyaring kilat wonten ing mendung; Kala ing
Jaman Kretayoga; Wiwitipun ingkang dados perang putranipun Pandhita nama Dewi
Naruki.
|
|
19.
|
Ing Jaman Tirtayoga; Jalaranipun ingkang dados
perang ageng nama Dewi Sinta (Janaki); Ing Jaman Dweparayoga ingkang dados
wiwitaning perang Dewi Drupadi; Kocap Putri linuwih.
|
|
20.
|
Ing Jaman Kaliyoga kathah ingkang dados sababipun
perang ageng inggih punika; Pawestri, Siti, miwah rajabrana; Mila
kaenget-engeta; Sang sujana sampun pijer olah arta; Amrih dhateng tiyang
estri.
|
|
Pepeling : Kapendhet saking Ilmu
Kantong Bolong (oleh : Sosro Kartono)
Ngawula marang kawulane Gusti, lan
memayu-hayuning urip,
Nulung pepadane, ora nganggo mikir
wayah, waduk, kantong,
Yen ana isi, lumuntur marang sesami
Terimah mawi pasrah,
Suwung Pamrih, tebih ajrih,
Langgeng, tan ana susah, tan ana
bungah,
Anteng, manteng, sugeng, jeneng.
Sakti tanpa aji, Sugih tanpa bandha,
Nglurug tanpa bala, menang tanpa
ngasorake,
Nadyan landhep tan natoni,
Nadyan banter tan ngungkuli,
Nadyan
pinter tan ngguroni,
(Pen
Sanjaya)
|