1.
|
Edit : Pujo Prayitno
KISAH AL-HALLAJ
Saduran : Fariduddin Al-Attar
Warisan Para Awliya
Penerbit : PUSTAKA - Bandung - 1994
Pengembaraan Al Hallaj.
|
|
Husain
al-Manshur, yang dijuluki al Hallaj (pemangkas bulu domba), mula-mula pergi
ke Tustar, dan mengabdi kepada Sahl bin Abdullah selama dua tahun. Setelah
itu ia pindah ke Baghdad.
Ia memulai pengembaraannya ketika ia berusia delapan belas tahun.
Setelah
itu ia pergi ke Bashrah dan mengikuti “Amr bin “Utsman selama delapan belas
bulan. Ya’qub bin Aqtha menikahkan putrinya kepada Hallaj, dan setelah
pernikahan itulah “Amr bin ‘Utsman tidak senang kepadanya. Maka Hallaj meninggalkan
kota Bashrah
dan pergi ke Baghdad
mengunjungi Junaid. Junaid menyuruh Hallaj berdiam diri dan menyendiri.
Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di
Kota Mekkah selama setahun, kemudian kembali ke Baghdad. Bersama sekelompuk sufi, ia
mendengarkan ceramah-ceramah Junaid dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh
Junaid.
“Akan
tetapi tiba saatnya kelak, engkau akan membasahi sepotong kayu dengan
darahmu”, kata Junaid kepada Hallaj.
“Sewaktu
akau membasahi sepotong kayu itu engkau akan mengenakan pakaian golongan
formalis”, balas Hallaj.
Kata-kata
mereka terbukti kebenarannya. Sewaktu para cerdik pandai yang terkemuka
mengambil kesepakatan bahwa Al HAllaj harus dihukum, Junaid sedang mengenakan
jubah sufi dank karena itu ia tidak mau memberi tanda tangannya. Khalifah
menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Maka pergilah
Junaid untuk mengenakan sorban dan jubah kaum ilmuwan. Kemudian ia kembali ke
madrasah dan menandatangani surat
keputusan itu. Junaid menuliskan :
“Kami
memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat. Mengenai kebenaran yang
terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu”.
Ketika
Junaid tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan, Hallaj menjadi jengkel dan pergi
menuju Tustar tanpa pamit. Di sini ia tinggal selama setahun dan mendapatkan
sambutan luas. Karena Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada
masa itu, para theology sangat benci kepadanya. Sementara ‘Amr bin ‘Utsman
menyurati orang-orang Khuziatan dan memburuk-burukan nama Hallaj. Tetapi
Hallaj sendiri sebenarnya sudah bosan di tempat itu. Pakaian sufi
dilepaskannya dan ia mencebur ke dalam pergaulan orang-orang yang
mementingkan duniawi. Tetapi pergaulan ini tidak mempengaruhi dirinya. Lima tahun kemudian ia
menghilang. Sebagian waktunya dilewatinya di Khurasan dan Transoxiana, dan
sebagian lagi di Sistan.
Kemudian Hallaj kembali ke Ahwaz,
khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun rakyat banyak. Di
dalam khotbah-khotbahnya itu ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia, sehingga
ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. Setelah itu ia
mengenakan jubah guru sufi yang lusuh dan pergi ke Tanah Suci bersama-sama
dengan orang-orang yang berpakaian seperti dia. Ketika ia sampai ke Kota
Mekkah, Ya’qub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Oleh karena itu
Hallaj kembali ke Bashrah dan setelah itu ke Ahwaz.
“Kini
telah tiba saatnya aku harus pergi ke negeri-negeri yang penduduknya
ber-Tuhan banyak untuk menyeru mereka ke jalan Allah”, kata Hallaj.
Maka
berangkatlah ia ke India,
Transoxiana dan Cina untuk menyeru mereka ke jalan Allah dan memberikan
pelajaran-pelajaran kepada mereka. Setelah ia meninggalkan negeri-negeri
tersebut banyaklah oarng-orang dari sana
yang berkirim surat
kepadanya. Orang-orang India menyebut Hallaj sebagai Abul Mughits,
orang-orang Cina menyebutnya Abul Mu’in, dan orang-orang Khurasan menyebutnya
Abul Muhr, orang-orang Fars menyebutnya Abu ‘Abdullah, dan orang-orang
Khuzistan menyebutnya Hallaj yang Mengetahui Rahasia-rahasia. Di kota Baghdad ia dijuluki sebagai Mustaslim dan
di kota
Bashrah sebagai Mukhabar.
|
||
2.
|
Semangat Hallaj
|
|
Setelah
itu banyak cerita-cerita orang mengenai Hallaj. Maka berangkatlah ia ke
Mekkah dan menetap ia di sana
selama dua tahun. Ketika kembali, Hallaj telah mengalami banyak perubahan dan
menyerukan kebenaran dengan kata-kata yang membingungkan siapapun jua.
Orang-orang mengatakan bahwa Hallaj pernah diusir dari lebih lima puluh kota.
Mengenai
diri Hallaj, orang-orang terpecah dua, orang-orang yang menentang dan
mendukung Hallaj sama banyaknya. Dan mereka telah menyaksikan
keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Hallaj. Tetapi lidah fitnah
menyerangnya dan ucapannya-ucapannya disampaikan orang kepada Khalifah.
Akhirnya semua pihak sependapat bahwa Hallaj harus dihukum mati karena
menyatakan Akulah Yang Haq (Ana al Haq – termuat dalam Kitab Tawasin –
karangan Al Hallaj. Sebagai pembanding Muhammad Iqbal sufi muda yang pernah
menjadi Perdana Menteri India
dan juga pernah sebagai saksi perjanjian Renfil antara Indonesia dan
India,
menyatakan : Ana Ahmad bila Mim – saya Ahmad tanpa Mim – Ahad - Allah, karena
tidak ada fitnah, maka tidak ada masalah. Pen.)
“Katakan,
hanya Dia-lah yang Haq”, mereka berseru kepada Hallaj.
“Ya,
Dia-lah Segalanya”, jawab Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia telah hilang.
Sebaliknya, Husain-lah yang telah hilang. Samudera tidak akan hilang atau
menysut airnya”.
“Kata-kata
yang diucapkan Hallaj ini mengandung makna-makna esoteric”, kata mereka
kepada Junaid.
“Bunuhlah
Hallaj”, jawab Junaid, “Pada zaman ini kita tidak memerlukan makna-makna
esoteric”.
Kemudian
kelompok theology yang menentang Hallaj menyampaikan ucap-ucapannya yang
diputarbalikan kepada Mu’tashim. Mereka berhasil membuat wazir ‘Ali bin Isa
menentang Hallaj. Khalifah memberikan perintah agar Hallaj dijebloskan ke
dalam penjara. Setahun lamanya Hallaj mendekam di dalam penjara, tetapi orang
tetap mengunjungi dan meminta nasihat sehubungan dengan masalah-masalah yang
mereka hadapi. Kemudian dikeluarkanlah larangan untuk mengunjungi Hallaj di
dalam penjara. Selama lima
bulan tidak ada yang datang kepadanya
kecuali Ibnu Atha dan Ibnu Khafif, masing-masing sekali. Pada suatu
kali Ibnu Atha’ menyurati Hallaj:
“Guru,
mohonkanlah ampunan karena kata-kata yang telah engkau ucapkan, sehingga
engkau dapat dibebaskan”.
“Katakanlah
kepada Ibnu Atha’, jwab Hallaj, “siapakah yang menyuruhku untuk minta maaf”.
Mendengar
jawaban ini, Ibnu Atha’ tidak dapat menahan tangisannya. Kemudian ia berkata
:
“Dibanding
dengan Hallaj kita lebih hina daripada debu”.
Orang-orang
mengatakan, bahwa pada malam pertama Hallaj dipenjarakan, para penjaga
mendatangi kamar tahanannya, tetapi mereka tidak menemukan dirinya. Seluruh
penjara mereka geledah, namun sia-sia saja. Pada malam ke dua, betatapun
mereka mencari, mereka tidak menemukan Halaj dan kamar tahanannya. Pada malam
ke tiga barulah mereka dapat menemukan Hallaj di dalam kamarnya.
Para penjaga bertanya
kepada Hallaj.
“Di
manakah engkau pada malam pertama, dan dimanakah engkau beserta kamar
tahananmu pada malam yang ke dua? Tetapi kini engkau dan kamar tahananmu
telah ada pula di sini, mengapakah bisa demikian?”
Pada
malam pertama”. Kata Hallaj, “Aku pergi ke Hadirat Allah, oleh karena itu aku
tidak ada di tempat ini. Pada malam kedua Allah berada di tempat ini oleh
karena itu aku dan kamr tahananku ini mejadi sirna. Pada malam yang ketiga
aku disuruh kembali ke tempat ini agar hokum-Nya dapat dilaksanakan. Kini
laksanakanlah kewajiban kalian”.
Ketika
Hallaj dijebloskan ke dalam penjara, ada tigaratus orang yang dikurung di
tempat itu. Malam itu Hallaj berkata kepada mereka :
“Maukah
kalian jika aku membebaskan kalian ?”
“Mengapa
engkau tidak membebaskan dirimu sendiri?”, jawab mereka.
“Aku
adalah tawanan Allah. Aku adalah penjaga pintu keselamatan”, jawab Hallaj.
“Jika ku kehendaki, dengan sebuah gerak isyarat saja semua belenggu yang
mengikat kalian dapat kuputuskan.
Kemudian
Hallaj membuat gerakan dengan jarinya dan putuslah semua belenggu mereka.
Tawanan-tawanan itu bertanya pula,
“Kemanakah
kami harus pergi, pintu-pintu penjara masih terkunci”.
Kembali
Hallaj membuat sebuah gerakan dan seketika itu juga terlihatlah sebuah celah
di tembok penjara.
“Sekarang
pergilah kalian”, seru Hallaj.
“Apakah
sengkau tidak turut beserta kami?”, mereka bertanya.
“Tidak”,
jawab Hallaj. “Aku mempunyai sebuah rahasia dengan Dia, yang tidak dapat
disampaikan kecuali di atas tiang gantungan”.
Esok
harinya para penjaga bertanya kepada Hallaj.
“Kemanakah
semua tahanan di sini?”
“Aku
telah membebaskan mereka”, jawab Hallaj.
“Engkau
sendiri, mengapa tidak meninggalkan tempat ini?”. Tanya mereka.
“Dengan
berbuat demikian, Allah akan mencela diriku. Oleh karena itu aku tidak
melarikan diri”.
Kejadian
ini disampaikan kepada Khalifah. Khalifah berseru,
“Pasti
akan timbul kerusuhan. Bunuhlah Hallaj atau pukulilah dia dengan kayu
sehingga ia menarik ucap-ucapannya kembali”.
Tiga
ratus kali Hallaj dipukuli dengan kayu. Setiap kali tubuhnya dipukul
terdengar sebuah suara lantang yang berseru :
“Janganlah
takut wahai putera Manshur”.
Kemudian
ia digiring ke panggung penghukuman. Dengan menyeret tigabelas rantai yang
membelenggu dirinya, Hallaj berjalan dengan mengacung-acungkan ke dua
tangannya.
“Mengapa
engkau melangkah sedemikian angkuhnya?, mereka bertanya.
“Karena
aku sedang menuju ke tempat penjagalan”, jawabnya.
Ketika
mereka sampai ke panggung penghukuman di Bab at Taq, Hallaj mencium panggung
itu sebelum naik ke atasnya.
“Bagaimanakah
perasanmu pada saat ini?, mereka menggoda Hallaj.
“Kenaikan
bagi manusia-manusia sejati adalah di puncak tiang gantungan”, jawa Hallaj.
Ketika
itu Hallaj mengenakan sebuah celana dan sebuah mantel. Ia menghadap ke arah kota Mekkah, mengangkat
kedua tangannya dan berdoa kepada Allah.
“Yang
diketahui-nya tidak diketahui oleh siapapun juga”, Halaj berkata dan naik ke
atas.
Sekelompok
murid-muridnya bertanya : “Apakah yang dapat engkau katakana mengenai kami
murid-muridmu ini dan orang-orang yang mengutukmu dan hendak merajammu itu?”
“Mereka
akan memperoleh dua buah ganjaran tetapi kalian hanya sebuah”, jawab Hallaj.
“Kalian hanya berpihak kepadaku, tetapi mereka terdorong oleh Iman yang teguh
kepada Allah Yang Esa untuk mempertahankan kewibawaan hukum-Nya”.
Syibli
dating dan berdiri di depan Hallaj.
“Bukankah
Kami telah melarang engkau ………………….? “Kemudian ia bertanya ke Al Hallaj
“Apakah Sufisme itu ?.
“Bagian
yang terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini”, jawab
Hallaj.
“Dan
bagian yang lebih tinggi?, Tanya Syibli.
“Bagian
itu takkan terjangkau olehmu”, jawab Hallaj.
Kemudian
semua penonton mulai melempari Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan
perbuatan orang ramai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan Hallaj mengeluh.
“Engkau
tidak mengeluh ketika tubuhmu dilempari batu”, orang-orang bertanya kepadanya.
“Tetapi mengeluh karena Sekepal tanah?”
“Karena
orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka.
Mereka dapat dimaafkan. Tetapi tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh
menyakitkan karena ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukan hal itu”.
Kemudian
kedua tangan Hallaj dipotong tetapi ia tertawa.
“Mengapa
engkau tertawa?”, orang-orang bertanya kepadanya.
“Memotong
tangan seseorang yang terbelenggu adalah gampang”, jawab Hallaj. “Seorang
manusia sejati adalah seorang yang memotong tangan yang memindahkan mahkota
aspirasi dari atas tahta”.
Kemudian
kedua kakinya dipotong. Al Hallaj tersenyum.
“Dengan
kedua kaki ini aku berjalan di atas bumi”, ia berkata. “Aku masih mempunyai
dua buah kaki yang lain, dua buah kaki yang pada saat ini sedang berjalan
menuju surga. Jika kalian sanggup, putuskanlah kedua kakiku itu!”.
Kemudian
kedua tangannya yang bunting itu diusapkannya ke mukanya, sehingga muka dan
lengannya basah oleh darah.
“Mengapa
engkau berbuat demikian?” orang-orang bertanya. Hallaj dmenjawab :
Telah
banyak darahku yang tertumpah. Aku menyadari tentulah wajahku telah berubah
pucat dan kalian akan menyangka bahwa kepucatan itu karena aku takut. Maka
kusapukan darah ke wajahku agar tampak segar di mata kalian. Pupur para
pahlawan adaalah darah mereka sendiri”.
“Tetapi
mengapakah engkau membasahai lenganmu dengan darah pula?”
“Aku
bersuci”.
“Bersuci
untuk sholat apa?”
“Jika
seseorang hendak sholat sunnat dua ropka’at karena cinta kepada Allah”, jawab
Hallaj. “Bersucinya tidak cukup sempurna jika tidak menggunakan darah”.
Kemudian
kedua biji matanya dicungkil. Orang ramai gempar. Sebagian menangis dan
sebagiannya lagi terus melemparinya dengan batu. Ketika lidahnya hendak
dipotong, barulah Hallaj bermohon :
“Bersabarlah
sebentar, berilah aku kesempatan untuk mengucapkan sepatah dua patah kata”.
Kemudian dengan wajah menengadah ke atas. Hallaj berseru : “Ya Allah,
janganlah engkau usir mereka (di akhirat nanti) karena meraka telah
menganiaya aku demi engkau juga, dan janganlah Engkau cegah mereka untuk
menikmati kebahagian ini. Segala Puji bagi Allah, karena mereka telah
memotong kedua kakiku yang sedang berjalan di atas jalan-Mu. Dan apabila
mereka memenggal kepalaku, berarti mereka telah mengangkatkan kepalaku ke
atas tiang gantungan untuk merenungi keagungan-Mu”.
Kemudian
telinga dan hidungnya dipotong. Pada saat itu muncullah seorang wanita tua
yang sedang membawa kendi. Melihat keadaan Hallaj itu, si wanita berseru :
“Mampuslah
dia. Apakah hak si pencuci bulu domba ini untuk berbicara mengenai Allah ?”
Kata-kata
terakhir yang diucapkan Hallaj adalah :
“Cinta
kepada yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang Esa”. (Manunggaling Kawula
Gusti. Pen.)
Kemudian
disenandungkannya ayat berikut :
“
Orang-orang yang tidak mempercayai-Nya ingin segera mendapatkan-Nya, tetapi
orang yang mempercayai-Nya takut kepada-Nya sedang mereka mengetahui
kebenaran-Nya”.
Itulah
ucapan yang terakhir. Kemudian mereka memotong lidahnya. Ketika tiba saatnya
Sholat, barulah mereka memenggal kepadala Al Hallaj. Ketika dipenggal itu
Hallaj masih tampak tersenyum. Sesaat kemudian ia pun mati.
Orang
ramai menjadi gempar. Hallaj telah membawa bola takdir ke padang kepasrahan. Dan dari setiap anggota
tubuhnya terdengar kata-kata : “Akulah yang Haq”.
Keesokan
harinya mereka berkata :
“Fitnah
itu akan menjadi lebih besar daripada ketika ia masih hidup”. Maka mayat al
Hallaj dibakarlah oleh mereka. Dari abu pembakaran mayatnya, terdengar seruan
: “Akulah yang Haq”. Bahkan ketika bagian-bagian tubuhnya dipotong, setiap
tetets darahnya membentuk perkataan Allah. Mereka menjadi bingung dan
membuang abu itu ke sungai Tigris. Ketika
abu-abunya mengambang di permukaan air, dari abu-abu itu terdengar ucapan :
“Akulah yang Haq”.
Ketika
ia masih hidup, Hallaj pernah berkata :
“Apabila
mereka membuang abu pembakaran mayatku ke sunga Tigris,
kota Baghdad akan terancam
air bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai agar Baghdad tidak binasa”.
Seorang
hamba, setelah menyaksikan betapa air sungai mulai menggelora, segera
mengambil jubah tuannya dan menaruh jubah itu di pinggir sunga Tigris. Air sungai mereda kembali dan abu-abu itu tidak
bersuara lagi. Kemudian orang-orang mengumpulkan abu-abu nya dan
menguburkannya.
|
||
Dalam
akhir Buku Ana al Haqq, Al Hallaj telah menulis : “Yang benar tetap Yang
benar; Pencipta sebagai Khaliq; dan segala apa yang termasuk diciptakan
tetaplah makhluk. Ini akan tetap selalu demikian …….” (Al-Hallaj, Kebun
Ma’rifat : 16).
Dari
sikap hidup Al Hallaj tersebut di atas, para pengagum dan penentangnya sama
banyak. Ada juga yang abstain. Daftar para pengagumnya yang termuat di dalam
Buku Ana al-Haqq terbitan Risalah Gusti Tahun 2001, sebagai berikut :
|
||
a.
|
Para
ahli hukum (Fuqaha) yaitu :
Syustari;
‘Amilli; ‘Abdari; Dulunjawi; Thaufil; Nabulusi; ‘Aqilah; Sayyid Murtadha;
Ibnu ‘aqil.
|
|
b.
|
Para
Mutakallim :
Nashiruddin
ath-Thusi; Maibudzi; Amir Damad;Ibnu Khafif; al-Ghazali; Fakhruddin ar-Razi;
Qori.
|
|
c.
|
Para
Filosof :
Ibnu
Thufail; Suhrawardi maktul; Shadruddin asy-Syirazi.
|
|
d.
|
Para
Sufi :
Ibnu
‘Atha; asy Syibli; al Faris; al Kalabadzi; an Nashrabadzi; as
Sulami;Shaidalani; al Hujwiri; Ibnu Abi al Khair; Anshari; al Farmidzi;
‘Abdul Qadir al Jilani; al Baqli; Aththar; Ibnu ‘Arabi; Jalaluddin Rumi; dan
sebagian besar sufi-sufi modern.
|
BAB. IV
JALAN
MISTIS DALAM MANUNGGALING KAWULA GUSTI FERSI FILOSOF MUSLIM
|
|
Ini
merupakan cuplikan dari Buku Para Filosof Muslim terbitan Mizan, Tahun 1994.
Sedangkan yang kami sadur adalah pendapat dari Khwajah Nasir al-Din Abu
Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan, seorang sarjana yang mahir, ahli
matematika, astronomi dan politisi Syi’ah pada masa penyerangan bangsa Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu dan dia merupakan teman dan sebagai penasihat
terpercaya Hulagu setelah ditaklukannya Bagdad pada tahun 657 H/1258 M. Lahir
di Tus pada tahun 597 H/1201 M, sehingga lebih dikenal dengan nama Tusi
(Nasir Al-Din Tusi). Dia seorang filosof bukan seorang sufi. Tulisan ini
bersumber dari tulisan Bakhtiar Husain Siddiq, M.A.,LL.B. Dosen di Bidang
Filsafat, Government College, Lahore (Pakistan), yang diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti. Dia berpendapat bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan oleh
para sufi untuk menuju Tuhan, sebagai berikut :
|
|
1.
|
Tahap
pertama, yaitu tahap persiapan untuk perjalanan mistis (Suluk),
yang mensyaratkan keyakinan kepada Tuhan (Iman),
senantiasa dalam keyakinan itu (Tsabat),
keteguhan kemauan (Niyyat),
kejujuran (Shidq), perenungan akan Tuhan (Anabat), dan ketulusan hati (Khulush).
|
2.
|
Tahap
kedua terdiri atas penolakan terhadap hubungan-hubungan duniawi yang
menghalang-halangi jalan mistis itu. Ada enam pokok penting dalam tahap ini,
yaitu menyelasi dosa (Taubat),
menghindar dari kehendak (Zuhd), tidak
bernafsu terhadap harta (Faqr), keras
terhadap hasrat tak rasional (Riyadhat),
menghitung-hitung kebaikan dan kejahatan (Muharabat), keselarasan antara tindakan dan niat (Muraqabat), dan kesalehan (Taqwa).
|
3.
|
Tahap
ketiga perjalanan mistis ini ditandai dengan penyendirian (Khalwat bahasa jawanya tapa), perenungan (Tafakur), ketakutan dan kesedihan (Khauf dan Huzn), ketabahan (Shabar) dan bersyukur kepada Tuhan (Syukr).
|
4.
|
Tahap
keempat mencakup pengalaman sang pejalan (Salik)
sebelum dia mencapai tujuannya, yaitu bakti kepada Tuhan ((Iradat), ke-amat-inginan untuk berbakti (Syauq),
pengetahuan akan Tuhan (Ma’rifat),
keimanan yang tak tergoyahkan kepada Tuhan (Yakin)
dan ketenangan jiwa (Sukun).
|
5.
|
Tahap
kelima terdiri atas kepasrah-dirian kepada Tuhan (Tawakkal), kepatuhan (Ridha),
ketundukan kepada kehendak Tuhan (Taslim), yakin
akan ke-Esaan Tuhan (Tauhid), upaya
untuk bermanunggal dengan Tuhan (Wahdat), dan
peleburan diri ke dalam Tuhan (Ittihad).
|
6.
|
Pada
tahap keenam, proses peleburan diri ke dalam Tuhan mencapai puncak dan sang
pejalan (Salik) akhirnya hanyut (Fana)
dalam ke-Esaan Tuhan, (yang oleh
Sufi jawa disebut manunggaling kawula Gusti. Pen.).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar