Rahasia kisah cerita "SUFI"
Sebuah kisah... ada banyak makna di balik kata; Yang namanya salah menafsirkan, justru kesesatan yang sesungguhnya. Orang bijak .. selalu membungkus kebenaran di balik cerita. (Hati-hatilah).
Pesan langsung Tuhan Kepada Nabi Muhammad saw. pada kisah perjalanan malam : "Wahai kekasih-Ku, Wahai Muhammad, untuk makhluk ini harus ada suatu RAHASIA yang tidak boleh dipublikasikan, dan ada ZAMAN yang tidak boleh disiarkan" (Itu adalah suatu rahasia dari suatu rahasia yang ada dalam rahasia)
Pesan langsung Tuhan Kepada Nabi Muhammad saw. pada kisah perjalanan malam : "Wahai kekasih-Ku, Wahai Muhammad, untuk makhluk ini harus ada suatu RAHASIA yang tidak boleh dipublikasikan, dan ada ZAMAN yang tidak boleh disiarkan" (Itu adalah suatu rahasia dari suatu rahasia yang ada dalam rahasia)
FARIDUDDIN AL-ATAR
WARISAN
PARA AWLIYA
Penerjemah : Anas Mahyuddin
Penyunting : Ammar Haryono
Penerbit : PUSTAKA -Bandung
Penyunting : Ammar Haryono
Penerbit : PUSTAKA -Bandung
Tahun :1983
Diterjemahkan dari "Muslim Saints and Mystics, (Episodes From the Tadzjirat al-Auliya - Memorial of the Saints - karangan Fariduddin al Attar
Susunan A.J. Arberry, Routledge & Kegan Paul, London : 1979.
Diterjemahkan dari "Muslim Saints and Mystics, (Episodes From the Tadzjirat al-Auliya - Memorial of the Saints - karangan Fariduddin al Attar
Susunan A.J. Arberry, Routledge & Kegan Paul, London : 1979.
Penyadur : Pujo Prayitno
DAFTAR NAMA SUFI DI BUKU INI
1.
Hasan dari Bashrah
2. Malik bin Dinar
3. Habib al-‘Ajami
4. Rabi’ah
al-Adawiyah
5. Al-Fuzail bin
Iyaz
6. Ibrahim bin
Ad-ham
7. Bisyr bin Harits
8. Dzun Nun
al-Mishri
9. Abu Yazid
al-Busthami
10.
‘Abdullah bin Mubarak
11.
Sofyan ats-Tsauri
12.
Syaqiq al-Balkh
13.
Daud ath-Tha’i
14.
Al Muhasibi
15.
Ahmad bin Harb
16.
Hatim al-Ashamm
17.
Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari
18.
Ma’ruf al-Karkhi
19.
Sari as-Saqathi
20.
Ahmad bin Khazruya
21.
Yahya bin Mu’adz
22.
Syah bin Syuja’
23.
Yusuf bin al-Husain
24.
Abu Hafshin al-Haddad
25.
Abul Qasim al-Junaid
26.
“amr bin ‘Utsman
27.
Abu Sa’id al-Kharraz
28.
Abul Husain an-Nuri
29.
Abu ‘Utsman al-Hiri
30.
Ibnu Atha’
31.
Sumnun
32.
At-Tirmidzi
33.
Khair an-Nassaj
34.
Abu Bakar al-Kattani
35.
Ibnu Khafif
36.
Al-Khallaj
37.
Ibrahim al-Khauwah
38.
Asy-Syibli
1. Hasan dari bashrah
JILID II ada di : http://bukuj.blogspot.com/2013/10/rahasia-cerita-sufi-warisan-para-awliya.html?utm_source=BP_recent
Hasan bin Abil Hasan al-Bashri lahir di kota Madinah pada
tahun 21 H/642. Ia adalah putera dari seorang budak yang ditangkap di Maisan,
kemudian menjadi klien dari skretaris Nabi Muhammad, Zaid bin Tsabit. Karena
dibesarkan di Bashrah ia bsia bertemu dengan banyak sahabat Nabi, antara lain
--- seperti yang dikatakan orang --- dengan tujuh puluh sahabat yang turut
dalam Perang Badar. Hasan tumbuh menjadi seorang tokoh di antara tokoh yang
paling terkemuka pada zamannya. Dan ia termasyhur karena kesalehannya yang
teguh, dan secara blak-blakan membenci sikap kalangan atas yang berfoya-foya.
Sementara teolog-teolog dari kalangan Mu’tazilah memandang Hasan sebagai pendiri
gerakan mereka (“Amr bin ‘Ubaid dan Wasil bin Atha” terhitung sebagai muridnya),
ddidalam higografi sufi, ia dimuliakan sebagai salah seorang di antara
tokoh-tokoh suci yang terbesar pada masa awal sejarah Islam. Hasan meninggal di
kota Bashrah pada tahun 110H/728 M. Banyak pidato-pidatonya --- memang ia
adalah seorang yang cemerlang – dan ucap-ucapannya dikutip oleh penulis-penulis bangsa Arab dan
tidak sedikit di antara surat-suratnya yang masih dapat kita saksikan hingga
sekarang.
HASAN
DARI BASHRAH BERTAUBAT
Pada mulanya Hasan dari Bashrah adalah seorang pedagang
batu permata, karena itu ia dijuluki Hasan si pedagang mutiara. Hasan mempunyai
hubungan dagang dengan Bizantium, karena itu ia berkepentingan denga para
Jenderal dan Menteri Kaisar, dalam
sebuah peristiwa ketika bepergian ke Bizantium, hasan mengunjungi Perdana
Menteri dan mereka berbincang-bincang beberapa saat.
“Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat”, si
menteri mengajak Hasan.
“Terserah kepadamu,” jawab Hasan, “Ke mana pun aku
menurut.”
Si menteri memerintahkan agar disediakan seekor kuda
untuk Hasan. Si menteri naik ke punggung kudanya, Hasan pun melakukan hal yang
serupa, setelah itu berangkatlah mereka menuju pdang pasir. Sesampainya di
tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium,
diikat dengan tali sutra dan di pancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan
berdiri di jejauhan.
Tak berapa lama kemudian muncul lah sepasukan tentara
perkasa dengan perlengkapan perang yng sempurna. Mereka lalu mengelilingi tenda
itu, neggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi. Setelah itu muncul para
filosof dan cerdik pandai yang hampir empat ratus orang jumlahnya. Mereka
mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberpa patah kata kemudian berlalu dari
tempat itu. Datang lagi tigaratus orang-rang tua yang arif bijak sana dan
berjanggut putih, mereka menghampiri dan mengelilingi tenda itu, lalu
menggumamkan beberapa patah kata, kemudian berlalu, Akhirnya datang pula lebih
dari dua ratus perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas,
perak dan batu permata, mereka mengelilingi tenda itu dan menggumamkan beberapa
patah kata kemudian pergi meniggalkannya. Hasan mengissahkan betapa ia sangat
heran menyaksikan kejadian-kejadian itu dan bertanya kepada dirinya sendiri.
Apakah artinya semuanya itu?
“Ketika kami meninggalkan tempat itu”, Hasan meneruskan
kisahnya, “Aku bertanya kepada si perdana menteri, Si perdana menteri menjawab bahwa
dahulu Kaisar mempunyai seorang putera yang tampan, menguasai berbagai cabang
ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan di dalam arena kegagah perkasaan. Kaisra
sangat sayang kepada puteranya itu. Tanpa terduga-duga, si pemuda jatuh sakit.
Semua tabib paling ahli sekalipun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya.
Akhirnya si pemuda putera mahkota itu meninggal dan dikuburkan di bawah naungan
tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang datang berziarah ke kuburannya”.
Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda
tersebut berkata : “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa
dirimu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga
kami untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimmpamu ini datang dari
Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami tantang”. Stelah berucap
seperti itu merekapun berlalu dari tempat itu.
Kemudian tiba lah giliran para filosof dan cerdik pandai.
Mereka berkata : Malapetaka yag menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak
dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan tipu muslihat. Karena
semua filosof di atas bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik
pandai hanya orang-orang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami
telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak dapat di pantah oleh
siapa pun di alam semesta ini:. Setelah berucap demikian para filosof dan
cerdik pandapi itu pun berlalu dari tempat tersebut.
Selanjutnya orang-orang tua yang mulia tampil seraya
berkata : “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini
dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah
mencegahnya dengan do’a do’a kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak
akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang
ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang
sedikit pun tak dapat dicegah oleh campurtangan manusia-manusia yang
lemah”. Setelah kata-kata ini mereka ucapkan merekapun berlalu.
Kemudian dara-dara cantik dengan nampan-nampan berisi
emas dan batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata :
“Wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa
ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelekan diri dan harta
kekayaan kami yang banyak ini untuk menebusmmu dan tidak kami tinggalkan engkau
di tempat ini. Namun mala petaka ini
ditimpakan oleh Dia yang tak dapat dipengaruhi oleh harta kekayaan dan
kecantikan.” Setelah berkata-kata ini mereka ucapkan, merekapun meninggalkan
tempat itu.
Terakhir sekali Kaisar beserta perdana menteri tampil,
masuk ke dalam tenda dan berkata : “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda!
Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang dapat dilakukan oleh ayahanda ini? Ayah
handa telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan
cerdik pandai, para pawang dan penasehat, dan dara-dara cantik yang jelita,
harta benda dan segala macam barang-barang berharga. Dan ayahanda sendiri pun
telah datang. Jika semua ini ada faedahnya, maka ayahanda pasti melakukan
segala sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tetapi malapetaka ini telah
ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta
segala aparat, pasukan, pengawall, harta
benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan,
selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kata-kata ini diucapkan sang
Kaisar kemudian ia berlalalu dari tempat itu.
Pengisahan si menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia
tidak dapat melawan dorongan hatinya. Dengan segera ia bersiap-siap untuk kembali
ke negerinya. Sesampainya di kota Bashrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi
di atas dunia ini sebelum mengetahui
dengan pasti bagaimana nasib yang akan dihadapinya nanti. Ia melakukan segalam
macam kebaktian dan disiplin diri yang tak dapat ditandingi oleh siapa pun pada
masa hidupnya.
HASAN DARI BASHRAH DAN ABU’AMR
Pada suatu hari,
ketikaAbu ‘Amr, seorang ahli tafsir terkemuka sedang mengajarkan Al-Quran, tak
disangka-sangka datanglah seorang pemuda tampan ikut mendengarkan pembahasanya.
Abu ‘Amr terpesona memandang sang pemuda dan secara mendadak lupalah ia akan
setiap kata dan huruf dalam Al Quran. Ia
sangat menyesal dan gelisah karena perbuatannya itu. Dalam keadaan seperti ini
pegilah ia mengunjungi Hasan dari Bashrah untuk mengadukan kemasygulan hatinya
itu.
“Guru.” Abu ‘Amr berkata sambil menangis dengan sedih,
“Begitulah kejadiannya. Setiap kata dan huruf Al-Quran telah hilang dari
ingatanku.”
Hasan begitu terharu mendengar keadaan Abu ‘Amr.
“Sekarang ini adalah musim haji.” Hasan berkata kepadanya.
“Pergilah ke Tanah Suci dan tunaikan ibadah haji. Sesudah ituu pegilah ke Masjid Khaif. Di sana engkau akan bertemu
denga seorang tua. Jangan engkau langsung menegusnya tetapi tunggulah sampai
keasyikannya beribadah selesai. Setelah itu berulah engkau mohonkan agar ia mau
berdoa untukmu.”
Abu ‘Amr menuruti petuah Hasan. Di pojok ruangan masjid
Khaif, Abu ‘Amr melihat seorang tua yang patutu dimuliakan dan beberapa orang
yang duduk mengelilingi dirinya. Beberapa saat kemudian masuklah seorang lelaki
yang berpakaian putih bersih. Orang-orang itu memberi jalan kepadanya.
Mengucapkan salam dan setelah itu mereka pun berbincang-bincang dengan dia.
Ketika waktu shalat telah tiba, lelaki tersebut minta diri untuk meninggalkan
tempat itu. Tidak berapa lama kemudian yang lain-lainnya pun pergi ula,
sehingga yang tinggal di tempat itu hanyalah si orang tua tadi.
Abu ‘Amr menghampirinya dan mengucapkan salam.
“Dengan Nama Allah, tolonglah diriku ini,” Abu ‘Amr
berkata sambil menangis. Kemudian menerangkan dukacita yang menimpa dirinya. Si
orang tua sangat prihatin mendengar penuturan Abu ‘Amr tersebut, lalu
menegadahkan kepala dan berdoa. “Belum lagi ia merendahkan kepalanya,” Abu ‘Amr
mengisahkan, “Semua kata dan huruf Al Quran telah dapat ku ingat kembali. Aku
bersujud di depannya karena begitu syukurnya.”
Siapa yang telah menyuruhmu untuk menghadap kepada ku?”
Kata orang tua itu bertanya kepada Abu ‘Amr.
“Hasan dari Bashrah,” Jawab Abu ‘Amar.
“Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan.”
Lelaki tua tersebut berkomentar,’ mengapa ia memerlukan imam yang lain? Tapi
baiklah, Hasan telah menunjukan siapa diriku ini dan kini akan ku tunjukan
siapakah dia sebenarnya. Ia telah membuka selubung diriku dan kini ku buka pula
selubung dirinya,” Kemudian orang tua itu meneruskan, “Lelaki yang berjubah
putih tadi, yang datang ke sini setelh waktu shalat ‘Ashar, dan yang terlebih
dahulu meninggalkan tempat ini serta dihormati orang-orang lain tadi, ia adalah
Hasan. Setiap hari setelah melakukan Shalat
‘Ashar di Bashrah ia berkunjung ke sini, berbincang-bincang bersamaku,
dan kembali lagi ke Bashrah untuk shalat Maghrib di sana. Jika seseorang telah
mempunyai imam seperti Hasan, mengapa ia masih merasa perlu memohonkan doa dari
diriku ini?”
HASAN DARI BASHRAH DAN PENYEMBAH API
Hasan mempunyai tetangga yang bernama Simeon, seorang
penyembah api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba.
Sahabat-sahabat meminta agar Hasan sudi mengunjunginya,. Akhirnya Hasan pun
pergi mendapatkan Simeon yang terbaring di atas tempat tidur dan badannya telah
kelam karena api dan asap.
“Takutlah kepada Allah,” Hasan menaseharkan, “Engkau
telah menyia-nyiakan seluruh usiamu di tengah-tengah api dan asap.”
“Ada tiga hal yang telah mencegahku untuk menjadi seorang
Muslim,” jawab Simeon penyembah api. “Yang pertama adalah kenyataan bahwa
walaupun kalian membenci keduniawian, tapi siang dan malam kalian mengejar
harta kekayaan. Yang kedua, kalian mengatakan bahwa mati adalah suatu kenyataan
yang harus dihadapi, namun kalina tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Yang
ketiga, kalian mengatakan bahwa wajah Allah akan terlihat, namun hingga saat
ini kalian melakukan segala sesuatu yang tidak di ridhai-Nya.”
Inilah ucapan dari manusia-manusia yang sungguh-sungguh
mengetahui,” jawab Hasan. “Jika orang-orang Muslimberbuat seperti yang engkau
katakan, apa pulakah yang hendak engkau katakan? Mereka mmengakui keesaan Allah
sedang engaku menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku tak pernah
berbuat seperti itu. Jika kita sama-sama terseret ke dalam neraka, api neraka
akan membakar dirimu dan diriku, tetapi jika diizinkan Allah, api tidak akan
berani menghanguskan sehelai rambut pun pada tubuhku. Hal ini adalah karena api
diciptakan Allah dan segala ciptaan-Nya tunduk kepada perintah-Nya. Walau pun
engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, marilah kita bersama-sama
menaruh tangan kita ke dalam api agar engkau dapat menyaksikan sendiri betapa
api itu sesunggunya tak berdaya da betapa Allah itu Maha Kuasa.”
Setelah berrkata demikian Hasan memasukan tangannya ke
dalam api. Namun sedikitpun ia tidak cedera atau terbakar. Menyaksikan hal ini
Simeon terheran-heran. Fajar pengetahuan terlihat olehnya.
“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,”
mengeluh Simeon, “kini hanya dengan satu atau dua helaan nafas ssaja yang
tersisa, apakah yang harus ku lakukan?”
“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan.
“Jika engkau memberiku sebuah jaminan tertulis bahwa
Allah tidak akan menghukum diriku,” kata Simeon, “Barulah aku menjadi Muslim.
Tanpa jaminan itu aku tidak sudi memeluk agama Islam.”
Hasan segera membuat surat jaminan.
“Kini susullah orang-orang yang jujur di kota Bashrah
untuk memberikan kesaksian mereka di atas surat jaminan tersebut. Simeon
mencucurkan air mata dan menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Kepada
Hasan ia sampaikan wasiatnya yang terakhir, “Setelah aku mati, mandikanlah aku
dengan tanganmu sendiri, kuburkanlah aku dan selipkan surat jaminan ini di
tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku adalah seorang Muslim.”
Setelah berwasiat demikian ia mengucap dua kalimah
syahadat dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mereka memandikan mayat
Simeon, mendhalatkannya dan menguburkannya dengan sebuah surat jaminan di
tangannya. Malam harinya Hasan pergi tidur sambil merenungi apa yang telah
dilakukannya itu. “Bagaimana aku dapat menolong seseorang yang sedang tenggelam
sedang aku sendiri dalam keadaan yang serupa. Aku sendiri tidak dapat
menentukan nasibku, tetapi mengapa aku berani mematikan apa yang akan dilakukan
oleh Allah?”
Dengan pikiran-pikiran seperti ini Hasan terlena. Ia
bermimpi bertemu dengan Simeon, wajah Simeon cerah dan bercahaya seperti sebuah
pelita; di kepalanya terlihat sebuah mahkota. Ia mengenakan sebuah jubah yang
indah dan sedang berjalan-jalan di taman surga.
“Bagaimana keadaanmu Simeon?” tanya Hasan kepadanya.
“Mengapakah engkau bertanya padahal engkau menyaksikan
sendiri?” jawab Simeon. “Allah Yang Maha Besar dengan segala kemurahan-Nya
telah menghampirkan diriku kepada-Nya dan telah memperlihatkan wajah-Nya
kepadaku. Karunia yag dilimpahkan-Nya kepdaku melebihi segala kata-kata. Engkau
telah memberiku sebuah surat jaminan, terimalah kembali surat jaminan ini
karena aku tidak membutuhkannya lagi.”
Ketika Hasan terbangun, ia mendapatkan surat jaminan itu
telah berada di tangannya. “Ya Allah,” Hasan berseru, “aku menyadari bahwa
segala sesuatu yng Engkau lakukan adalah tanpa sebab kecuali karena
kemurahan-Mu semata. Siapa yang akan tersesat di pintu-Mu? Engkau telah
mengizinkan seseorang yang telh menyembah api tujuh puluh tahun lamanya untuk
menghmapiri-Mu, semata-mata karena sebuah ucapan. Betapakah Engkau akkan
menolak seseorang yang telah beriman selama tujuh puluh tahun?”
2. MALIK BiN DINAR
Malik bin Dinar al-Sami’ Putera seorang budak berbangssa
Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri. Ia terhitung
sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayan di
masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin.
Malik bin Dinar adalah seorang Kaligrafi al-Qur’an yang
terkenal. Ia minggal sekitar tahun 130 H/748 M.
MENGAPA
IA DINAMAKAN MALIK BIN DINAR DAN BAGAIMANA IA SAMPAI BERTAUBAT
Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak
tetapi Malik adalah seorang yang erdeka. Orang-orang mengishkan bahwa pada
suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah
lautan, awak-awak perahu meminta : “Bayar lah ongkos perjalananmu!.”
“Aku tak mempunyai uang.” Jawab Malik.
Awak-awak perahu memukulnya hingga ia pingsan. Ketika
Malik siuman, mereka meminta lagi :
”Bayarlah ongkos perjalananmu!.”
“Aku tiak mempunyai uang,” jaab Malik sekali lagi, dan
untuk kedua kalinya mereka memukulnya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya
mereka mendesak.
“Bayarlah ongkos perjalananmu!.”
“Aku tidak mempunyai uang.”
“Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia
ke laut,” pelaut-pelaut tersebut berseru.
Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala
meraka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di
mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar
dn uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu, Melihat kejadian ini
pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik
kemudian meninggalkan perahu tersbut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan
Malik bin Dinar.
Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah
sebagai berikut. Ia adalah seorang lelaki yang sangat tampan, gemar
bersenang-senang dan memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Malik
tinggal di Damaskus di mana golongan Mu’amiyah telah membangun sebuha masjid
yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid
tersebut. Maka pergilah ia ke masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu
dibentangkannya sajadahnya dan di situlah ia selama setahun terus menerus
melakukan ibadah sambil berharap agar setiap orang akan melihatnya sedang
melakukan shalat.
“alangkah munafiknya engkau ini,” ia selalu berkata kepda
dirinya sendiri.
Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam. Malik
keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang.
Pada suatu malam ketika ia asedang menikmati musik di
kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang
dimainkannya terdengar sebuah suara : “Malik, mengapakah engkau belum juga
bertaubat?” Mendengar kata-kata yang ssangat menggetarkan hati ini, Malik
segeralmelemparkan kecapinya dan berlari ke masjid.
“Selama setahun penuh akau telah menyembah Allah secara
munafiq,” ia berkata kepada dirinya sendiri. “Bukankah lebih baik jika aku
menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yag harus ku lakukan?
Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak
akan mau menerimanya.” Ia bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam
itulah uantuk pertama kalinya shalat dengan sepenuh keikhlasan.
Keesokan harinya, seperti biasa, orang-orang berkumpul di
depan masjid.
“Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak,” mereka
berseru. “Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini.”
Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawa masjid itu
adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat.
Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalat-nya.
“Kami datang untuk memintamu agar sudi menerimma
pengangkatan kami ini,” mereka berkata.
“Ya Allah,” seru Malik, “Setahun penuh aku menyembah-Mu
seara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan
jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas
diriku, Engaku menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas
tersebu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas
diriku ini.”
Malik berlari meninggalkan masjid itu, kemudian
menyibukkan diri beribadah kepada Allah, dan menjalani hidup prihatin serta
penuh ddisiplin. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang
hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri yang
cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan.
“Aku ingin menjadi istri Malik,” katanya, “sehingga ia
dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah.”
Keinginan dari dara ini disampaikan Tsabit kepada Malik.
“Aku telah menjatuhkan thalaq kepada dunia,” jawab Malik.
“Wanita itu adalah milik dunia yang telah ku thalaq,
karena itu aku tidak adapt menikahinya.”
MALIK DAN TETANGGANYA YANG UGAL-UGALAN
Ada seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat
berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku
si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang
tampil untuk menegur si pemuda tersebut. Tetapi orang-orang menghadap Malik
dengan keluhan-keluhan mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik
mendatangi pemuda itu dan meminta agar ia merubah tingkah lakunya.
Dengan bandel dan seenaknya sei pemuda menjawab : “Aku
adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku
untuk berbuat sekehendak hatiku.”
“Aku akan mengadu kepada sultan,” Malik mengancam.
“Sultan tidak akan mencela diriku,” jawab di pemuda. “Apa
pun yang ku lakukan, sultan akan menyukainya.”
“Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa,” Malik
meneruskan ancamannya, “aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih,” sambil
menunjuk ke atas.
“Allah?”, jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk
menghukum diri ku ini.”
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan
apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda
benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegus si
pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya
:
“Jangan engkau sentuh sahabt-Ku itu!.”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai
si pemuda.
Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak : “Apa
pulakah yang telah terjadi sehingga engkau datan ke sini untuk ke dua kalinya?”
Malik menjawab : “Kali ini aku datang bukan untuk mencela
tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku
teah mendengar seruan yang mengatakan .....”
Si pemuda berseru : “Wahi! Kalau begitu halnya, maka
gedung ku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku
tidak perduli lagi dengan semua harta kekayaan ku ini.”
Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan
segala sesuatu yang dimilikinya dan memulai pengembaraan di atas dunia ini.
Malik mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota
Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang
akhir hayatnya.
“Ia adalah sahabatku” si pemuda berkata dengan
terengah-engah. “Aku akan menemui sahabtku.” Setelah berrkata demikian ia lalu menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
MALIK DAN HIDUP BERPANTANGNYA
Telah bertahun-tahun bibir malik tidak dilewati makanan
yang manis maupun yang asam. Setiap malam ia pergi ke tukang roti dan membeli
dua potong roti untuk membuka puasanya. Kadan-kadang roti yang dibelinya itu
masih terasa hangat; dan ini menghibur hatinya dan dianggapnya sebagai
perangssang selera.
Pada suatu hari Malik jatuh sakit dan ia sangat ingin
memakan daging. Sepuluh hari lamanya keinginan itu dapat ditndasnya. Swaktu ia
tidak dapat bertahan lebih lama lagi, maka pergilah ia ke toko makanan untuk
membeli dua tiga potong kaki domba dan menyembunyikan kaki domba tersebut di
lengan bajunya.
Si pemilik toko menyuruh seorang pelayannya membuntuti
Malik untuk menyelidiki apa yang hendak dilakukannya. Tidak berapa lama
kemudian si pelayan kembali dengan air mata berrlinang. Si pelayan memberikan
laporannya : “Dari sini ia pergi ke
sebua tepat yang sepi. Di tempat itu dikeluarkannya kaki-kai domba itu,
diciumnya dan ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lebih dari pada ini bukanlah
hakmu.” Kemudian diberikannya roti dan kaki-kai domba terebut kepada seorang
pengemis. Kemudian ia berkata pula kepada dirinya sendiri : “Wahai jasmani yang
lemah, jangan kau sangka bahwa aku menyakitimu karena benci kepadamu. Hal ini
ku lakukan agar pada hari Berbangkit nanti, engkau tidak dibakar di dlam api
neraka. Bersabarlah beberapa hari lagi, karena pada saat itu godaan ini mungkin
terlah berhenti dan engka akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi.”
Pada suatu ketika Malik bin Dinar berkata :
“Aku tidak mengerti apakah maksudnya ucapan : “bila seseorang tidak memakan
daging selama empat puluh hari maka
kecerdasan akalnya akan berkurang! Aku sendiri tidak pernah makan daging selama
dua puluh tahun, tetapi kian lama kecerdasan akalku makin bertambah juga.”
Selama empat puluh tahun Malik tinggal di kota Bashrah
dan selama itu pula ia tidak pernah memakan buah korma yang segar. Apabila
musim korma tiba, ia berkata : Wahai penduduk kota Bashrah, saksikanlah betapa perutku tidak menjadi
kempis karena tidak memakan buah korma dan betapa perut kalian tidak gembung
karena setiap hari memakan buah korma.”
Namun setelah empat puluh tahun lamanya, batinnya
diserang kegelisahan. Betapapun usahanya namun keinginannya untuk memakan buah
korma segar tidak dapat ditindasnya lagi. Akhirnya setelah beberapa hari
berlalu, keinginan tersebut kian menjadi-jadi walaupun tak pernah di
kabulkannya, dan Malik akhirnya tak berdaya untuk menolak desakan nafsu itu.
“aku tidak mau memakan buah korma,” ia menyangkal
keinginannya sendiri.” Lebih baik aku di bunuh atau mati.”
Malam itu terdengarlah suara yang berrkata : “Engkau
harus memakan buah korma. Bebaskan jasmanimu dari kungkungan,”
Mendengar suara ini jasmaninya yang merasa memperoleh kesempatan
itu mulai menjerit-jerit.
“Jika engkau menginginkan buah kurma,” Malik menyentak,
“Berpuasalah terus menerus selama satu minggu dan shlat-lah sepanjang malam,
setelah itu barulah akan kuberikan buah kurma kepada mu.”
Ucapan ini membuat jasmaninya senang. Dan seminggu penuh
ia shalat sepanjang malam dan berpuasa setiap hari. Setelah itu ia pergi ke
pasar, membeli beberapa buah korma, kemudian pergi ke masjid untuk memakan buah
korma tersebut di atas.
Tetapi dari loteng sebuah rumah, seorang bocah berseru :
“Ayah! Seorang Yahudi membeli korma dan hendak memakannya di dalam masjid.”
“Apa pula ayng hendak dilakukan Yahudi itu di dalam
masjid?” si ayah menggerutu dan begegas untuk melihat siapakah Yahudi yang
dimaksud anaknya itu. Tetapi begitu melihat Malik, ia lantas berlutut.
‘Apakah artinya kata-kata yang diucapkan anak itu?” Malik
mendesak.
“Maafkan lah ia guru,” si ayah memohon, “Ia masih
anak-anak dan tidak mengerti. Di sekitar ini banyak orang-orang Yahudi. Kami
selalu berpuasa dan anak-anak kami menyaksikan beberapa orang-orang Yahudi
makan di siang hari. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa setiap orang yang
makan di siang hari adalah seorang Yahudi. Apa-apa yang telah diucapkannya,
adalah karena kebodohannya. Maafkan lah dia.”
Mendengar penjelasan tersebut Malik sangat mmenyesal. Ia
menyadari bahwa anak itu telah di dorong Allah untuk mengucapkan kata-kata itu.
“Ya Allah,” seru Malik, “sebuah korma pun belum sempat ku
makan dan Engkau menyebutku Yahudi melalui lidah seorrang anak yang tak berdosa.
Seandainya korma-korma ini sempat termakan oleh ku niscaya Engkau akan
menyatakan diriku sebagai seorang kafir. Demi kebesaran-Mu aku bersumpah tidak
akan memakan buah korma untuk selama-lamanya.
3. HABIB AL’AJAMI
KISAH HABIB SI ORANG PARSI
Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka
membanggakan uang. Ia tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota
untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari
langganannya, maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya
yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya
hidupnya sehari-hari.
Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang
berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah. Maka
Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut.
“Suamiku tak ada di rumah,” isteri orang yang berhutang
itu berkata kepadanya, “aku tak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu
tetapi kami ada menyembelih seekor domba dan lehernya masih tersisa, jika
engkau suka akan kuberikan kepada mu.”
“Bolehlah!” si lintah dara menjawab. Ia berpikir bahwa
setidaknya ia dapat mengambil leher domba tersebut dan membawanya pulang.
“Masaklah!.”
“Aku tak mempunyai roti dan minyak,” si wanita menjawab.
“Baiklah,” si lintah darat menjawab, “aku akan mengambil
minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.”
Lalu ia pun pergi untuk mengambil minyak dan roti.
Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga.
Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang
mengetuk pintu.
“Jika yang kammi miliki kami berikan kepadamu,” Habib
mendamprat si pengemis, “engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri
akan menjadi miskin.”
Si pengemis yang kecewa memohon kepda si wanita agar ia
sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup
belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini,
wajhnya menjadi pusat pasi. Segera ia mendapatkan Habib dan menarik lengannya
untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya.
“Saksikanlah apa yang telah meimpa diri kita karena
ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!.” Si wanita menangis.
“Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat
nanti.”
Melhat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api
penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah mereda seumur hidupnya.
Wahai wanita! Aku menyesalkan segala perbuatan yang telah
ku lakukan.
Keesokan harinnya Habib berangkat pula untuk menemui
orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari
jum’at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka
berteriak-teriak : “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita
lari, kalau tidak niscaya debu-edbu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan
kita akan terkutuk pula seperti dia!”
Seruan-seruan ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia
pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu
bagaikan menusuk-nusuk jantunggnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.
Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang
telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Hasan
al-Bashri daDi waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindar dariku, tetapi
sejak ssaat ini akulah yang harus menghindar darimu.”
Habib eneruskan perjalanannya, anak-anak masih juga
bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak “Lihat Haib yang
telah bertaubat sedang menuju ke mari. Ayolah kita lari! Jika tidak, niscaya
debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedangkan kita adalah
orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”
“Ya Allah ya Tuhan ku!,” seru Habib. “Baru saja aku
membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderang-genderang di
dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam
keharuman.”
Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi :
“Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda milik Habib, datanglah dan
ambillah!.”
Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memberikan
segala harta kekayaannya kepda mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun
juga. Namun masih ada seseorrang yang datang untuk meminta, kepada orang ini
Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan
kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya
terbuka. Dan ia lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai
Euphrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang
malam ia belajar di bawah bimbingan
Hasan namun betapa pun juga ia tidak dapat menghapal al-Quran, dan karena
itulah ia dijuluki ‘ajami si orang Barbar.
Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan
papa, tetapi isterinya masih tetap mennuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka
pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan
kebaktiannya kepada Allah dan apabila mala tiba barulah ia pulang.
“Ddi mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada
sesuatu pun yang engkau bawa pulang? “Isterinya mendesak.
“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab
Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu
kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti
ia akan memberi, karena seperti apa katanya sendiri : “Sepuluh hari sekali aku
akan mambayar upahmu,”.
Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk
beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur di hari yang ke sepuluh,
sebuah pikiran mengusik batinnya. “Apakah yang akan ku bawa pulang malam nanti?
Apakah yang harus ku katakan kepada isteriku?”
Lama ia termenung di dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha
Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang
membawakan gandum se pemikil keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah
dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak madu, rempah-rempah da bumbu-bumbu.
Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah
kantong berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk
pintu.
:apakah maksud kalian datang ke mari?” tanya iseri Habib
setelah membukakan pintu.
“Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan
barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab, “sampaikanlah kepada Habib :
“Bila engkau melipat gandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu,”.
Setelah berkata demikian mereka berlalu.
Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang, ia
merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau
roti dan msakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, menghapus
keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah
dilakukannya di waktu yang sudah-sudah.
“Wahai suamiku,” si iteri berkata, “majikanmu adalah
seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah sgala sesuatu yang telah
dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu
berpesan :”Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan
jerihpayahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”
Habib terheran-heran.
“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja,
sudah sedmikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulalah yang
akan dilimpahkan-Nya nanti?”
Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala
urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata.
KEAJAIBAN-KEAJAIBAN
HABIB
Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib,
merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati.
:Aku mempunyai seorang
putera yang telah lama pergi meninggalkan ku. Aku tidak sanggup lebih
lama lagi terpisah dariapdanya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib.
“Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepada ku.”
“adakah engkau memiliki uang?” tanya Habib kepada wanita
tua itu.
“Aku mempunyai dua dirham,” jawabnya.
“Berikanlah uang tersebut kepada orang-orang miskin!.”
Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada
wanita itu : “Pulanglah, puteramu telah kembali.”
Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang
putera telah ada dan sedang menantikannya.
“Wahai! Anak ku telah kembali!” wanita itu berseru.
Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.
“Apakah yang telah engkau alami?” tanya Habib kepada
putera wanita itu.
“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli
daging. Ketika daging itu teah ku beli dan aku hendak pulang ke guruku,
tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar oleh
ku sebuah suara yang berkata : “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang
telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya
sendiri.
ooooOOOOoooo
Pada yanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah
dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Di waktu yang lain, bencana
kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli
banyak bahan-bahan pangan dan menbagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.
Setiap hari Habib menggulung kantong uangnya dan menaruhnya di bawah lantai.
Apabila para pedagang datang untuk menagih hutang, barulah kantong itu
dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantong
itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya
semua hutang-hutangnya.
ooooOOOOoooo
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota
Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim
panas maupun di musim dingin. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci,
mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian Hasan al-Bashri lewat di
tempat itu. Melihat mantel Habib yang tergeletak di atas jalan, ia bergumam :
“Dasar Habib seorang Barbar, tak peduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel
yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang
nanti.”
Hasan berdiri di tempat itu,” untuk menjaga mantel
tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai, imam kaum Muslimin,” Habib menegus Hasan setelah
memberi salam kepadanya, “Mengapakah engkau berdiri di sini?”
“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh
ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan, kepada siapakah
engkau menitikan mantel ini?”
“Ku titipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya
kepada mu,” jawab Habib.
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib.
Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan
sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis
datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran lalu berkata : “Habib, engkau memang
seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit
pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung
tamu lalu memberikan semuanya kepada seoang pengemis. Seharusnya engkau
memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamu mu.”
Habib tidak memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil
menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang,
panganan yang manis-manis dan uang limaratus dirham perak. Si budak menyerahkan
nampan tersebut ke hdapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut
kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu, Habib berkata
kepadanya : “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah
baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan.
Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.
oooOOOOooo
Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj
mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” tanya
mereka kepada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya,” jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para perwira tersebut memasuki pertapaan Habib dan
mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Hasan.
“Tujuh kai tubuhku tersentuh oleh mereka.” Hasan
mengisahkan,” namun mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela
Habib “ “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru.
Engkau telah menunjukan tempat persembunyianku.”
“Guru, karena aku berterusterang itulah engkau dapat
selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.”
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga
mereka tidak melihat diriku?”, tanya Hasan.
“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman
sepuluh kali, dan Katakanlah Allah itu Esa, sepuluh kali. Setelah itu aku
berkata : “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh arena itu
jagalah dia.”
ooooOOOOoooo
Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu
menyusuri tebing-tebing sungai Tigris sambil merenung-renung. Tiba-tiba Habib
muncul di tempat itu.
“Imam, mengapa engkau berada di sisi?”, habib bertanya.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga
tiba,” jawab Hasan.
“Guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku
telah memperlajari segala hal yang ku ketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam
dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa
penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa
segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan
berjalanlah di atas air.”
Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke
permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan measa
pusing dan jatuh pingsn. Ketia ia siuman orang-orang bertanya kepadanya :
“Wahai imam kaum Muslim, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”
“Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah itu ia
berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan : “Laluilah jalan yang
berada di atas api yang menyala-nyala’ sedang hatiku masih lemah seperti
sekarang ini, apakah dayaku?”
Di kemudian hari Hasan bertanya kepda Habib : “Habib,
bagaimana engkau mendapatkan kesaktian-kesaktian itu?”
Habib menjawab :”Dengan
memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan berkata : “ Pengetahuan ku tidak memberi manfaat
kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain.
4. Rabiah al-adawiyah
RABI’AH, LAHIR DAN MASA KANAK-KANAK-NYA
Jika seorang bertanya :”Mengapaa
engkau mensejajajrkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah bahwa
Nabi sendiri pernah berkata : “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kamu”
dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang dikatakan
Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai
dengan niat di dalam hati mereka.” Selanjutnya, apabila kita boleh
menerima dua pertiga ajaran agama dari “Aisyah”, maka sudah tentu kita boleh
pula menerima petunjuk-petunjuk agama dari pelayan pribadinya itu. Apabila
seorang perempuan berubah menjadi “seorang laki-laki” pada jalan Allah, maka ia
adalah sejajar dengan kaum laki-laki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang
perempuan lagi.
Pada mala Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada
sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya,
karena ayahnya adalah seorang yang sangat
miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk
pemoles pusar puerinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidakmempunyai
kain untuk menyelimuti Rabi’ah, Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan
Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan
Rabi’ah.
“Pergilah kepada tetangga kita si
anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya
berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah
bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah
ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu
kembali lagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu,”
ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis
sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat
menekurkan kepada ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi
melihat Nabi.
Nabi membujunya : “janganlah engkau
bersedih, karena bayi perempuan yang beru dilahirkan itu adalah ratu kaum
wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaum ku.” Kemudian nabi meneruskan
: “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa as-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas
sehelai kertas, tuliskan kata berikut ini : “Setiap malam engkau mengirimkan shalawat
seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah
malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu
berikanlah kepda orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara
halal.”
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah
Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah
dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada Gubernur melalui pengurus
rumah tangga istana.
”Berikanlah dua ribu dinar kepada
orag-orang miskin,” Gubernur memberikan perintah setelah membaca surat
tersebut, “Sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian
berikan empat ratus dinar kepada si Syaikh dan katakan kepadanya : “Aku harap
engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun, tidaklah
pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang
menghadap ku. Lebih baik seandainya aku lah yang datang dan menyeka
pintu rumahmu dengan janggut ku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku
bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepdaku.”
Ayah Rabi’ah menerimma uang emas
tersebut dan membeli sesuatu yagn di rasa perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar,
sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota
Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika
Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera
menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli
dirinya menuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Pada suatu hari ketika ia
bejalan-jalan seseorang yang tak dikenal datang menhampirinya. Rabi’ah
melarikan diri, tiba-tiba ia terjatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.
Rabi’ah menangis sambil
mengantuk-atukan kepalanya ke tanah : “Ya Allah, aku adalah seorang asing di
negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya,
sedang tangan ku cedera. Namun semua itu tidak membuat ku bersedih hati.
Satu-satunya yang ku hrapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui
apakah Engkau berkenan atau tidak.”
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka,”
sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga
malaikat –malaikat iri kepada mu.”
Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di
siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedangkan di malam hari
ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam.
Pada suatu malam tuannya terjaga
dari tidur, dan lewat jendela telihat olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan
berdoa kepada Allah.
“YA Allah, Engkau tahu bahwa hasrat
hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku
dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang
sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke
bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah
di dalam doanya itu.
Dengan mata kepalanya sendiri si
majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas
kepada Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa
ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung
hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersikap
lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
“Izinkanlah aku pergi,” Rabi’ah
berkata.
Tuannya memberikan ijin. Rabi’ah
lalu meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan
menuju sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama lmembaktikan diri kepada
Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah Haji. Maka berangkatlah ia
menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas
punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir, keledai
itu mati.
“Biarlah kami yang membawa
barang-barangmu,” lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.
“Tidak! Teruskanlah berjalan
kalian,” jawab Rabi’ah. “Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian.”
Rombongan itu meneruskan perjalanan
dan meninggalkan Rabi’ah seorang diri.
“Ya Allah,” Rabi’ah berseru sambil
menengadahkan kepala. “Demikiankah caranya raja-raja memperlakukan seorang
wanita yang tak berdaya di temepat yang masih asing lbaginya? Engkau telah
memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku
dan meninggalkan ku sebatanggkara di tengah-tengah padang pasi ini.
Beum lagi Rabi’ah selesai dengan
kata-katanya ini, tanpa diduga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakkan
barang-barangnya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya.
(Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah
peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang dijual orang di pasar).
Beberapa hari lamanya Rabi’ah
meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru
kepada Allah : YA Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus ku tuju?
Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah Mu terbuat dari batu. Ya Allah,
aku bermohon kepadamu, tunjukanlah diri-Mu.
Alalh berkata ke dalam hati sanubari
Rabi’ah : Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas
ribu dunia. Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat
wajah-Ku dan gunung-gunug terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu
merasa cukuplah engkau dengan nama Ku saja!.”
ANEKDOT-ANEKDOT
MENGENAI DIRI RABI’AH
Pada suatu malam ketika Rabi’ah
sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh
tertidur. Sedemikian nyanyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk
alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke
dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari
tempat itu didapatinya bahwa jalan keluar telah tertutup, Dilepaskannya cadar
itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan ke luar telah terbuka
kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali.
Sekali lagi dilepaskanya cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu
diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan
itu.
“Hai manusia, tida gunanya engkau
mencoba-coba. “Sduah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepda Kami. Syaithan
sendiri tidak berani datang menghampirinya. Etapi betapakah seorang maling
memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia
jahanam! Tiada gunanegkau mencoba-coba lagi. Jika seorang sahabt sedang
tertidur, maka sang Sahabat bangun dan berjaga-jaga.”
ooooOOOOoooo
Dua orang pemuka agama datang
mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. “Mudah-mudahan Rabi’ah akan
menyuguhkan makanan kepada kita.” Mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan
Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal.”
Ketika mereka duduk, di depan mereka
telh terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini
mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah
memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat
kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah
seorangpelayan wanita membawakan beberpa buah roti yang masih panas.
“Majikan ku teleh menyuruhku untuk
mengantarkan roti-roti ini kepadamu,” si pelayan menjelaskan.
Rabi’ah menghitung roti-roti
tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah.
“Mungin sekali roti-roti ini bukan
untuk ku,” Rabi’ah berkata.
Sipelayan berusaha meyakinkan
Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali.
Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayanan itu telah mengmbil dua
potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya ia meminta dua potong
roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah,
ternyta semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah iamenerimanya.
“Roti-roti ini memang telah
dikirmkan majikanmu untuk ku?” kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan
roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam
keadaan terheran-heran.
“Apakah rahasia di balik emua ini?”
mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi
engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada
si pelayan tadi bahwa ke delapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untuk mu.
Tetapi kemudian keetika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau
menerimanya.”
Rabi’ahmenjawab : “Sewaktu kalian
datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri,
betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang
terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera
memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha
Besar, “Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran
sepuluh kali lipat dan janji-Mu itu ku pegang teguh. Kini telah ku sedehkankan
dua potong roti utuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk
memberikan dua puluh potong sebagai imbalannya. Ketika ke delapan belas roti
itu di antarkan kepdaku, tahulah aku bahwa sebagian darinya telah dicuri atau
roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepada ku.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari pelayan wanita
Rabi’ah hendak memasak sop bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak
memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan berkata
kepada Rabi’ah : “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah.”
“Tetapi Rabi’ah mencegah : Telah
empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun
kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu.”
Segera setelah Rabi’ah berkata
demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah
terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah
berkata : “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat.”
Rabi’ah tidak mau menyentuh sup
bawang tersebut. Hanya roti saja ah yang dimakannya.
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke
atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks
(sebangs kabing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar.
Binatang-binatang itu menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya. Tanpa
disangka-sangka Hasan al-Basri datang pula ke tempat itu. Begitu melihat
Rabi’ah segera ia datang menghampirinya. Tapi setelah melihatkedatangan Hasan,
binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat
Hasan kecewa.
“Mengapakah binatang-binatang itu
menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada
Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada
hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang.”
“Engkau telah memakan lemak
binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu.
ooooOOOOoooo
Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat
di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis
dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-mula Rabi’ah
mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat Hasan,
sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah pertanda dari
kelesuan spiritual,” ia berkata kepada Hasan. “Tahanlah air matamu. Jika tidak,
di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari
dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa.”
Teguran itu tidak enak di dengar
Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah
di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata
kepada Rabi’ah,
“Rabi’ah, marilah kita melakukan
shalat sunnat dua raka’at di atas air!.”
Rabi’ah menjawab :
“Hasan, jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktian mu di tempat ramai ini,
maka kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain.”
Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan
sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan :
“Naiklah ke mari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita.”
Hasan yang belum mencapai kepandaian
seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian
Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata : “Hasan, yang engkau lakukan tadi
dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang ku lakukan tadi dapat pula
dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting
bukanlah keahlian-keahlian seperti itu. Kita harus mengabdikan diri kepada
Hal-hal Yang Terpenting itu.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu malam Hasan beserta dua
tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap,
tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu. Maka
Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang
malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang
bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya.
Jika ada seseorang yang bertanya :
“bagaimana hal seperti itu bisa terjadai?”, maka jawabanku adalah :
“Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa.” Jika ia kemudian menyangkal : ‘Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku :
“Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian,
seperti yang penah dikatakan Nabi Muhammad saw. Sendiri, “ Barang siapa yang
menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu
sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian.” Nabi Muhammad saw.
Juga pernah berkata : “Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari
kenabian.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu ketika Rabi’ah
mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan,
dengan pesan :
“Hendaklah engkau
seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri
terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun
tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu
seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini.”
“apakah engkau mengkau menghendaki
agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.
“Tali pernikahan hanyalah untuk
orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telah menjadi
tiada ddan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah
naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepda-Nya, bukan langsung kepada
diriku sendiri.”
“Bagaimanakah engkau telah menemukan
rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan.
“Aku lepaskan segala sesuatu yang
telah ku peroleh kepada-Nya.” jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat
mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih
suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati,” jawab Rabi’ah.
oooo0000oooo
Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan
seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?”,
tanya Rabi’ah.
“Karena aku merassa pusing,” jawab
lelaki itu.
“Berapakah umurmu?”, Rabi’ah
bertanya lagi.
“Tiga puluh tahun.” Jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita
sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau
menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran,
tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah mengenakan
selubung keluh kesah,” kata Rabi’ah.
ooooOOOOoooo
Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan
uang empat dirham kepada seorang lelaki.
“Belikanlah kepadaku sebuah selimut,”
kata Rabi’ah,” karena aku tidak mempunyai pakaian lagi.”
Lelaku itu pun pergi, tetapi tidak
lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah : “Selimut berwarna apakah
yang harus ku beli?”
“apa perduliku dengan warna?”
Rabi’ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali.”
Diambilnya keempat buah dirham perak
itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.
ooooOOOOoooo
Suatu hari di musim semi Rabi’ah
memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru
:
“Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa
yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta.”
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke
mari,” Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku
sedemikian asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku lagi terhadap
ciptaan-ciptaan-Nya?”
ooooOOOOoooo
Beberpa orang datang mengunjungi
Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan
giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau
untuk memotong daging itu?” mereka bertanya.
“Aku tak pernah menyimpan pisau di
dalam rumah ini karena takut terluka,” jawab Rabi’ah.
ooooOOOOoooo
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh.
Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekin
melaksanakan Shalat dan beroda. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan
lagi. Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah
menerima makanan itu. Kemudian ia pergi mengambil lampu. Ketika ia kembali
ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.
“Akan ku ambilkan kendi air dan aku
akan berbuka puasa,” Rabi’ah berkata.
Ketika ia kembali dengan sekendi air
ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan,
tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ah
meratap dan megeluh sedemikian menyayat hati seolah-olah sebagian rumahnya
telah dimakan api.
Rabi’ah menangis : “Ya Allah, apakah
yang telah Engkau perbuat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah
Rabi’ah,” sebuah seruan terdengar di telinganya, “Janganlah engkau sampai
mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu
sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian
kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu
hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang Aku menginginkan hal yang
lain. Hasrat Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam sati hati.”
Setelah mendengar celaan ono,
Rabi’ah mengissahkan, “ku lepaskan hatiku dari dunia dan ku buang segala hasrat
dari dalam hatiku, sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila
melakukan shalat, maka aku menanggap sebagishalat ku yang terakhir.”
ooooOOOOoooo
Beberpa orang mengunjungi Rabi’ah
untukmengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang
tidak dipikirkan nya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah
dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki,” mereka berkata. “Mahkota kenabian
telah ditaruh di kepala kau lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di
pinggang kau lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah
menjadi Nabi.”
“Semua itu memang benar,” jawab
Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan “Nukankah aku Tuhanmu
Yang Maha Tinggi?” tidak pernah membersit di dalam dada perempuan. Dan tak ada
seorang perempuan pun yang banci. Semua ini adalah bagian kamu lelaku.”
ooooOOOOoooo
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang
gawat. Kepadanya ditanyakan apakah penyebab penyakitnya itu.
“Aku telah menatap surga,” jawab
Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku.”
Kemudian Hasn al Bashri datang untuk
mengunjungi Rabi’ah.
“Aku mendapatkan salah seorang di
antara pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak
memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis,” Hasan mengishkan.
“Aku bertanya kepadanya : “Mengapakah engkau menangis?” “Aku menangis karena
wanita suci zaman ini,” jawabnya. “Karena jika berkah kehadirannya tidak ada
lagi, celakah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya
perawatannya,” ia melanjutkan, “tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak mau
menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerrima uang ini.”
Maka masuklah Hasan ke dalam
pertapaan Rabi’ah dan membujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap
Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-Nya. Apakah
Dia tidak akan menafkahi orang –orang yang mencitai-Nya? Sejak aku
mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia cptaan-Nya. Aku tidak tahu
apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat
menerimma pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi
lampu dunia. Beberpa saat hatiku lengah tetapi akhirnya aku pun sadar. Pakaian
itu ku robek kembali pada bagian-bagian yang telah ku jahit itu dan hatiku
menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuat hatiku lengah lagi.”
ooooOOOOoooo
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa
ia bersama Shofyan ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena
me nyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah.
“Engkaulah yang berkata,” kataku
kepada Shofyan.
“Jika engkau berdoa,” Shofyan
berkata kepada Rabi’ah, “Niscaya penderitaanmu ini akan hlang.”
Rabi’ah menjawab : “Tidak tahukah
engkau siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”
“ya”, Shofyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau mengetahui
hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya?
Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan
Rabi’ah?”, Shofyan bertanya pula.
Shofyan... engkau adalah serang yang
terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya,” Apakah yang engkau inginkan? Demi
kebessaran Allah,” Rabi’ah berkata tandas,” telah dua belas tahun lamanya aku
menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma
sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku
ini hanyalah hamba-Nya, maka kafirlah aku. Engkau
harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau
dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jika
Tuhan sendiri memberikannya.”
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata
kepada Rabi’ah : “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka
engkaulah yang berbicara mengenai diriku.”
“Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal :
Engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits.” Yang
terakhir inni dikatakan Rabi’ah dengan masud bahwa mebacakan hadits-hadits
tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya
berseru : “Ya Allah, kasihilah aku.”
Tetapi Rabi’ah mencela : “Tidak
malukan engkau mengharapkan kash Allah sedangka engkau sendiri tidak
mengasihi-Nya?”
ooooOOOOoooo
Malik bin Dinar berkisah sebagai
berikut : Aku mengunjungi Rabi’ah. Ku saksikan dia menggunakan gayung pecah untuk
minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang
dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku mendjadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang
kaya,” aku berkata kepada Rabi’ah. “Jika engkau menghendaki sesuatu akan ku
mintakan kepda mereka.”
“Malik, engkau telah melakukan
kesalahan yang besar,” jawab Rabi’ah. “Bukankah yang menafkahi aku dan yang
menafkahi mereka adalah satu?”
“Ya,” jawabku.
“Apakah yang menafkahi orang-orang
miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah
Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah.
“Tidak,” jawabku.
“Jadi, Rabi’ah meneruskan, “Karena
Dia mengetahui keadaan ku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Baginilah
yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-Nya.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari, Hasan al Bashri,
Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring
dalam keadaan sakit.
“Seorang manusia tidak dapat
dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menanggung cambukan Allah,” kata
Hasan memulai pembicaraan.
“Kata-katamu itu berbau egoisme,”
Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq untuk
mencoba : “Seorang wanita tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak
bersyukur karena cambukan Allah.”
“Ada yang lebih baik daripada itu,”
jawab Rabi’ah.
Malik bin Dinar maju : “Seorang
manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak merasa bahagia keetika
menerima cambukan Allah.”
“Masih ada yang lebih baik daripada
itu,” Rabi’ah mengulangi jawabannya.
“Jika demikian, katakanlah kepada
kami,” mereka mendesak Rabi’ah.
Maka berkatalah Rabi’ah : “Seorang
manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika, ia tidak lupa kepada cambukan
Allah, ketika ia merenungkan-Nya.”
ooooOOOOoooo
Seorang cendekia terkemuka di kota
Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi
tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia.
Rabi’ah berkata kepadanya : “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. Jika
engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali
seperti ini. Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang
hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini,
tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk-burukannya. Engkau
menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, “barangsiapa menincai
sesuatu hal, maka ia sering menyebut-nyebutnya.”
ooooOOOOoooo
Ketika tiba saatnya Rabi’ah herus
meninggalkan dunia fana ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan
kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar
suara yang berkata : “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
berbahagia.”
Beberpa saat kemudian tak ada lagi
suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu
dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada
yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan.
“Bagaimana engkau menghadapi Munkar
dan Nakir?”
Rabi’ah menjawab : “Kedua malaikat
itu datang kepadaku dan bertanya : “Siapakah Tuhanmu? Aku menjawab : Pergilah
kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya : Dia antara beribu-ribu makhluk yang
ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya
memiliki engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi
mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan “siapa Tuhanmu” kepada ku?”
DOA-DOA RABI’AH
“Ya Allah, apa pun yang Engkau
karuniakan kepada ku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa
pun yang akan Engkau karuniakan kepada ku di akhirat nanti, berikanlah kepada
sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagi- ku.”
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharapkan Surga, campakkanlah aku dari dalam Surga; tetapi jika aku
menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan
keindahan wajah-Mu yang abadi kepada ku.”
“Ya Allah, semua jerih dan semua
hasrat ku di antara kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat
Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, aalah untuk
berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah ku
katakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki.
5. al-FUZAIL BIN IYAZ
FUZAIL PEMBEGAL DAN KISAH PETAUBATANNYA
Sewaktu masih remaja, Fuzail mendirikan kemah di
tengah-tengah padang pasir, yaitu di antara Merv dan Bawrd. Jubahnya terbuat
dari bahan kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan di lehernya senantiasa
tergantung sebuah tasbih. Fuzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri
dari para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan
membawa hasil rampasan mereka kepada Fuzail karen ia adalah kepala mereka. Fuzail
mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan lebihan harta
rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu
dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang
sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fuzail akan mengeluarkannya dari
kelompok mereka.
Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah
mereka Fuzail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah
tersebut. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar
desas-desus mengenai para perampok itu.
Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir,
bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas yang di milikinya.
“Kantong emas itu akan ku sembunyikan,” ia berkata di
dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku
masih mempunyai modal untik di andalkan.”
Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu
ada seorang yang wajah dan pakaiannya tampak sebagai seorang pertapa. Maka
kantong emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu yang sebenarnya adalah
Fuzail sendiri.
“Taruhlah kantong mu itu di pojok kemah ku,” Fuzail
berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti apa yang dikatakan Fuzail. Kemudian
ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan
Fuzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka
diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah
mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari
tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fuzail untuk mengambil
kantong emasnya. Ia melihat Fuzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok
dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka.
“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku
kepada seorang maling,” lelaki itu mengeluh.
Tetapi Fuzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya
dan ia pun datang menghampiri.
“Apakah yang engkau kehendaki,” lelaki itu bertanya
kepada Fuzail.
“Ambilallah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu
tinggalkanlah tempat ini.”
Lelaki itu segera berlari ke kemah Fuzail, mengambil
kantong emas dan meninggalkan mereka itu.
Dengan keheran-heranan teman-teman Fuzail berkata : “Dari
seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun didalam bentuk
tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh tibu dirham itu kepadanya?”
Fuzail menjawab : “Ia telah mempercayaiku seperti aku
mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu
agar Allah menghargai kepercayaanku pula.”
Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan
merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fuzail sedang makan, seorang
anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya : “Siapakah pemimpin
kalian?”
Kawanan perampok itu menjawab : “Ia tidak ada di sini. Ia
sedang Shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu.”
“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat,” lelaki
itu berkata.
“Ia sedang melakukan shalat sunnat,” salah seorang di
antara pembegal-pebegal itu menjelaskan.
“Dan ia tidak makan bersama-ssama dengan kalian?” lelaki
itu melanjutkan.
“Ia sedang berpuasa,” jawab salah seorang.
“Tetapi sekarang ini bukan bulan Rmadhan?”
“Ia sedang llberpuasa sunnat.”
Dengan sangat heran lelaki tadimenghampiri Fuzail yang
sedang khusyuk di dallam shalatnya. Setelah selesai berkatalah ia kepada
Fuzail.
“Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, Hal-hal yang
bertentangan tidak dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseoarng berpuasa,
merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”
“Apakah engkau memahami al-Quran?”, Fuzail bertanya
kepadanya.
“Ya”, jawab lelaki itu.
“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata : Orang-orang lain
telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukan perbuatan-perbuatan yang
baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?”
Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa.
Orang-rang mengatakan bahwa pada dasarnya Fuzail adalah
seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah
terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya.
Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fuzail. Untuk
setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta bendanya yang
dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fuzail tertuju kepada perbuatan yang
baik.
Pada awal petualangannya Fuzail tergila-gila kepada
seorang wanita. Fuzail selalu menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita
kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fuzail sering memanjat dinding rumah si
wanita tanpa perdulikan keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara
berbuat demikian, ia selalu menangis.
Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya
itu, lewatlah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang membacakan
ayat-ayat al-Quran. Terdengarlah oleh Fuzail ayat yang berbunyi : “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yang percaya
merendah untuk mengingat Allah?”
Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fuzail
seolah sebuah tantangan yang berseru kepadanya : “Wahai Fuzail, berapa lama
lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan
membegalmu!.”
Fuzail terjatuh dan berseru : “Memang telah tiba saatnya,
bahkan hampir terlambat!.”
Fuzail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah
puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata :
“Marilah kita melanjutkan perjalanan,” tetapi salah seorang di antara mereka
mencegah : “Tidak mungkin, Fuzail sedang menanti dan akan menghadang kita.”
Mendengar pembicaraan mereka itu Fuzail berseru : “Berita
gembira! Fuzail telah bertaubat!.”
Setelah berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia
berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang
membenci dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fuzail
meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa
seorang Yahudi di Baward. Fuzail meminta agar janji setia di antara mreka
berdua dihapuskan. Namun si Yahudi tidak mau dibujuk.
“Sekarang kita dapat meperolok-olokan pengikut
Muhammad,”, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambil tergelak-gelak.
“Jika engkau menginginkan aku untuk menghapuskan janji
setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu,” si Yahudi
berkata kepada Fuzail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit itu
tidak mungkin dapat dipindahkan oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang
sangat lama. Fuzail yang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi
sedikit, tetapi bagaimanakah tugas tersebut dapat Di selesaikan? Pada suatu pagi,
ketika Fuzail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang
meniup bukit pasir tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu
telah menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub
Itu, berkata kepada Di selesaikan? Pada suatu pagi,
ketika Fuzail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang
meniup bukit pasir tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu
telah menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub itu, berkata kepada
Fuzail :
“Sesungguhnya aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan
menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. Oleh
karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak
di bawah permadani dan berikan kepadaku. Demikian sumpaku akan terpenuhi dan
janji setia di antara kita dapat dihapuskan.”
Fuzail masuk ke dalam rumah si orang Yahudi, sesungguhnya
si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah ke bawah permadai itu. Tetapi
ketika Fuzail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar,
ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas
itu diserahkannya kepada si orang Yahudi.
“Islamkanlah aku!,” si Yahudi berseru kepada Fuzail.
Fuzail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim.
Kemudian si Yahudi berkata kepada Fuzail :”Tahukah engkau
mengapa aku menjadi seorang Muslim? Hinggga sesaat yang lalu aku masih ragu,
yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca
di dalam Taurat : “Jika seseorang benar-benar bertaubat, kemudian menaruh tangannya
ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas.” Sesungguhnya
ke bawah permadai tadi telah ku taruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan
ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu, tahulah
aku bahwa engkau benar-benar bertaubat
dan bahwa agamamu adalah agama yang benar.”
ooooOOOOoooo
Fuzail memohon kepada seseorang : “Demi Allah, ikatlah
kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadiliku
karena berbagai kejahatan yang pernah ku lakukan.”
Orang itu memenuhi permohonan Fuzail. Ketika sultan
melihat Fuzail, terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya.
“Aku tidak dapat mengadilinya.” Sultan berkata. Kemudian
ia memerintahkan agar Fuzail diantarkan pulang dengan segala hormat. Ketika
sampai di rumahnya Fuzail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras.
“Dengarlah Fuzail yang sedang berteriak-teriak itu!
Mungkin ia sedang disiksa, orang-orang berkata.
“Memang benar, aku sedangdisiksa!.” Fuzail menjawab.
Apamukah yang dipukuli?” mereka bertanya.
“Batinku!,” jawab Fuzail.
Kemudian Fuzail
menjumpai isterinnya. “Iisteriku.” Katanya, “Aku akan pergi ke rumah Allah.
Jika engkau suka, engkau akan ku bebaskan.”
Tetapi Isterinya menjawab : “Aku tidak mau berpisah dari
sisimu. Ke manapun engkau pergi, aku akan menyertaimu.”
Maka berangkatlah mereka ke Mekkah. Allah Yang Maha Kuasa
telah menggampangkan perjalanan mereka. Di Kota Makkah mereka tinggal di dekat
Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang-orang suci. Untuk beberpa lama Fuzail
bergaul rapat dengan Imam Abu Hanifh. Dan mengenai kekerasan disiplin diri
Fuzail telah benyak kisah-kisah yang ditulis orang. Di kota mekkah ini
terbukalah kesempaan bagi Fuzail untuk berkhotbah dan penduduk kota senantiasa
berbondong-bondong untk mendengarkan kata-katanya. Nama Fuzail segera menjadi
buah bibir di seluruh pelosok dunia,
sehingga sanak keluarganya meninggalkan Bavard menuju Mekkah untuk meneuinya.
Mereka engetuk pintu rumah Fuzail, namun Fuzail tidak menjawab. Mereka tidak
mau meninggalkan tempat itu, maka naiklah Fuzail ke atap ruahnya dan dari sana
ia berseru kepada mereka. :
“Wahai penganggur-penganggur, semoga Allah meberikan
pekerjaan kepada kalian!.”
Beberapa kali Fuzail mengucapkan kata-kata pedas seperti
itu, sehingga sanak keluarganya menangis dan lupa diri. Akhirnya karena putus
asa untuk dapat bercengkerama dengan
Fuzail mereka pun meninggalkan tempat itu. Fuzail masih tetap di atas atap dan
tidak mau membukakan pintu rumahnya.
FUZAIL DAN
KHALIFFAH HARUN AR-RASYID
Pada suatu malam, Haun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid,
salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid
berkata kepada Fazl.
“Malam ini bawlah aku kepada seseorang yang menunjukkan
kepada ku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran
dan kebanggaan.”
Fazl membawa Harun Ar-ra-Rasyid ke rmah Shofyan
al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut :
“Siapakah itu?”
Pemimpin kaum Muslimin,” jawab Fazl.
Shofyan berkata : “Mengapakah Sultan sudi menyusahkan
diri ? Mengapa tidak dikabarkan saja kepada ku sehingga aku datang sendiri
untuk menghadapa?”
Mendengar ucapan tersebut, Harun ar-Rasyid berkata : “Ia
bukan orang yang ku cari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya.”
Mendengar kata-kata Sultan tersebut, Shofyan berkata :
“Jika demikian, Fuzail bin “Iyaz adalah orang yang engkau
cari . Pergilah kepada nya.” Kemudian Shofyan membacakan ayat : “ Apakah
orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka
dengan orang-orang yang menerima serta melakukan perbuatan-perbuatan yang sah?”
Harun Ar-Rasyid menimpali : “Seandainya aku menginginkan
nasehat-nasehat yang baimk niscaya ayat itu telah mencukupi.”
Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dala
Fuzail bertanya : “Siapakah itu?”
“Pemimpin kaun Muslimin,” jawab Fazl.
“Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang
kekuasaan?” sela Fazl.
“Jangan kalian mengganggu ku,” seru Fuzail.
“Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan,” jawab
Fuzail.
“Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu
apa yang enggkau lakukan.”
Harun ar-Rasyid melangkah masuk. Begitu Harun
menghampirinya, Fuzail meniup lampu hingga padam agar ia tidak dapat melihat
wajah sultan. Harun ar-Rasyid dmengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan
Fuzail yang kemudian berkata :
“Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini
terhindar dari api neraka!.”
Setelah berkata demikian Fuzail berdiri dan berdoa. Harun
ar.Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya.
“Katakan sesuatu kepadaku,” Harun bermohon kepda Fuzail.
Fuzail mengucapkan salam kepdanya dan berkata :
“Leluhurmu, pamanda Nabi
Muhammad, pernah meminta kepada beliau : “Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian
ummat manusia.” Nabi menjawab : Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu
menjadi pemimpin dirimu sendiri.” Dengan jawaban ini yang dimaksudkan Nabi
adalah : Sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi
oleh ummat manusia. Kemudian Nabi menambahkan : “Kepemimpinan akan
menjadikan sumber penyesalan pada hari Berbangkit nanti.”
“Lanjutkan,” Harun ar-Rasyid meminta.
“Ketika diangkat menjadi Khalifah, “Umar bin ‘Abdul Aziz
memanggil Sultan bin ‘Abdullah, Raja, bin Hayat, dan Muhamad bin Ka’ab. “Umar
berkata kepada mereka : “Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang
harus ku lakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan
walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia.” Salah seorang
di antara ketiga sahabat ‘Umar itu berkata : “Jika
engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia
sebagai ayah mu sendiri, setiap muslim yang remaja sebagai Saudara mu sendiri,
setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai puteramu sendiri, dan perlakukan
mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan
puteranya.”
“lanjutkanlah!,” Harun ar-Rasyid meminta lagi.
“Anggaplah negeri Islam sebagai
rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai
keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah
kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus
di dalam neraka. Takutlah Allah dn taatilah perintah-perintah-Nya.
Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari berbangkit nanti
Allah akan meminta pertanggungjawabanmu sehubungan dengan setiap muslim dan Dia
akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada
seorang wanita ‘uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Berbangkit nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan
memberi kesaksian yang memberatkan dirimu.
Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehigga
tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasri Fazl menyentak Fuzail :
“Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!.”
“Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti
engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku
yang membunuhnya. Apakah yang ku lalukan ini suatu pembunuhan?”
Mendengar kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyid
semakin menjadi-jadi. “Ia menyebutmu Haman,” kata Harun ar-Rasyid sambil
memandang Fazl, “ Karena ia mempersamakan diriku dengan Fir’aun.”
Kemudian Harun bertanya kepada Fuzail : “Apakah engkau
mempunyai hutang yang belum dilunaskan?/”
“Ya”, jawab Fuzail, “hutang kepatuhan kepada Allah.
Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi
hutang ini celakalah aku!.”
“Yang ku maksudkan adalah hutang kepada manusia, Fuzail,”
Harun menegaskan.
“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan
kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh kesah yang harus ku
sapaikan kepada hamba-hamba-Nya.”
Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong yang
berisi seribu dinar di hadapan Fuzail sambil berkata : “Ini adalah uang halal
yang diwariskan ibuku.”
Tetapi Fuzail mencela : “Wahai pemimpin Kaum Muslimin,
nasehat-nasehat yang ku sampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau
bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezhaliman.”
“Perbuatan salah apakah yang telah ku lakukan?” , tanya
Harun ar-Rasyid.
“Aku menyeru mu ke jalan keselamatan, tetapi negkau
menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu merupakan suatu kesalahan?
Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada
pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak pantas
menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata.”
Setelah berrkata demikian, Fuzail berdiri dan melemparkan
uang-uang emas itu ke luar.
“Benar-benar seorang manusia hebat!” Harun ar-Rasyid
berkata ketika ia meninggalkan rumah Fuzail. “Sesungguhnya Fuzail adalah
seorang raja bagi ummat manusia. Ia sagat blak-blakan dan dunia ini terlampaui
kecil dalam pandangannya.”
ANEKDOR-ANEKDOT MENGENAI DIRI FUZAIL.
Suatu hari Fuzail memangku anak yang berumur empat tahun.
Tanpa disegaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering
dilakukan seorang ayah kepada anaknya.
“Apakah ayah cinta kepadaku?” si anak bertanya kepada
Fuzail.
“ya”, jawab Fuzail.
“Apakah ayah cinta kepada Allah?”
“Ya”.
“Berapa banyak hati yang ayah miliki?”
“Satu”, jawab Fuzail.
“Dapatkah ayah mencintai
dua hal dengan satu hati?” si anak meneruskan pertanyaannya.
Fuzail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah
anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi.
Karena takut dimurkai Allah, Fuzail memukul-mukulkan kepalanya sendiri dan
memohon ampunan kepadan-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian
dicurahkannya kepada Allah semata-mata.
oooOOOooo
Pada suatu hari Fuzail sedang berada di Padang Arafah.
Semua jama’ah yag berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri da
memohonkan ampun dengan segala kerendahan hati.
“Maha Besar Allah!”, seru Fuzail. “Jika manusia sebanyak
ini secara serentak menghadap kepada seseorang dan mereka semua meminta
sekeping uang perak kepadanya, apakah yang akan dilakukannya? Apakah orang itu akan mengecewakan
manusia-manusia yang banyak ini?”
“Tidak!, orang ramai menjawab.
“Jadi”, Fuzail melanjutkan, “sudah tentu bagi Allah Yang
Maha Besar untuk mengampunkan kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang
tadi untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di antara
yang kaya, dan karena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia akan mengampunkan
kita semua.”
oooOOOooo
Putera Fuzail
mendarita susah buang air kecil. Fuzail berlutut di dekat anaknya dan
mengangkat kedua tangannya sambil berdoa : “Ya Allah, semi cintaku kepada Mu,
sembuhkanlah ia dari penyakit ini.”
Belum sempat Fuzail bangkit dari duduknya, si anak telah
segar bugas kembali.
oooOOOooo
Di dalam doanya Fuzail serign mengucapkan : “Ya Allah,
ampunilah aku karena Engkau menghukumku karena Engkau Maha Berkuasa atas
diriku.” Kemudian ia melanjutkan : “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan
telah membuat anak-anaku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah
membuat anak-anaku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepada ku
apabila hari telha gelap. Semua itu telah engkau lakukan terhadap
sahabt-sahabat-Mu. Karena keluhuran spiritual, apakah Fuzail telah menerima
kehormmatan-Mu ini?”
oooOOOooo
Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat
Fuzail tersenyum kecuali ketika puteranya meninggal dunia. Pada waktu itulah
orang-orang melihat Fuzail tersenyum. Sesorang menegurnya “
“Guru, mengapakah engkau justru tersenyum di saat-saat
seperti ini?”
“Aku menaydari bahwa Allah menghendaki agar anaku mati.
Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana,” jawab Fuzail.
oooOOOooo
Fuzail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang
Akhir hayatnya Fuzail menyampaikan wasiat terakhir kepada isterinya :
“Apabila aku mati, bawalah anak-anak kita ke gunung Abu
Qabais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah “ “Ya Allah,
Fuzail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu : Ketika aku
hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah ku lindungi sebaik-baiknya.
Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, mereka ku serahkan kepada-Mu
kebali!”
Setelah Fuzail dikebumikan, isterinya melakukan seperti
yang dipesankan kepdanya. Ia pergi ke puncak gunung Abu Qabais membawa kedua
anak perempuannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sambil menangis dan meratap.
Kebetulan pada saat itu pangeran dari Negeri Yaman beserta kedua puteranya
melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu, sang
pangeran bertanya :
“Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?”.
Isteri Fuzail menerangkan keadaan mereka. Kemudian
si pangeran berkata :
“Jika kedua puterimu ku ambil untuk kedua puteraku ini dan
untuk masing-masing di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas
kawinnya, apakah engkau merasa cukup puas?”.
“Ya”, jawab si Ibu.
Segeralah sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu
permadani-permadani dan brokat-brokat kemudian membawa si Ibu beserta kedua
puterinya ke negeri Yaman.
6. IBRAHAIM BIN AD-HAM
LEGENDA MENGENAI DIRI IBRAHAMIM BIN AD-HAM
Ibrahim bin Ad-ham adalah raja Balkh yang sangat luas
daerah kekuasaannya. Ke mana pun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan
empat puluh buah tongkat kebesaran emas di usung di depan dan di belakangnya.
Pada suatu malam ketika ia tertidur di kamar istananya, langit-langit kamar
berderik-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap.
Ibrahim terjaga dan berseru “Siapakah itu?!”
“Seorang sahabat”, terdengar sebuah sebutan. “untaku
hilang dan aku sedang mencarinnya di atas atap ini.”
“Goblok, engkau hendak mencari unta di atas atap?” seru
Ibrahim.
“Wahai manusia yang lalai.” Suara itu menjawwab. “Apakah
engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas ranjang
emas?”.
Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Ia sangat
gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya. Ketika hari telah siang. Ibrahim
kebali ke ruang pertemuan dan duduk di atas singgasananya ssambil
berpikir-pikir, bingung dan sangat gundah. Para menteri telah berdiri di tempat
masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka.
Kemudian dimulailah pertemuan terbuka.
Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke
dalam ruangan pertemuan itu. Wajahnya sedemikian menyeramkan sehigga tak
seorang pun di antara anggota-anggota maupun hamba-hamba istana yang berani
menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki tersebut
melangkah ke depan singgasana.
“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja sampai di persinggahan ini”, jawab lelaki
itu.
“Ini bukan sebuah persinggahan para kafilah. Ini adalah
istana ku. Engkau sudah gila,” Ibrahim menghardik.
“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” tanya
lelaki itu.
“Ayah ku”, jawab Ibrahim.
“Dan sebelum ayah mu?”
“Ayah dari kakek ku!”
“Dan sebelum dia?”
“Kakek dari kakek ku!”.
“Ke manakah mereka sekarang ini?”, tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah mati,” jawab Ibrahim.
“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang
dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”.
Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sesungguhnya
ia adalah Khidir as. Kegelisahan, dan kegundahan hati Ibrahim semakin
menjadi-jadi. Ia dihantui bayang-bayangan di sing hari dan mendengar
suara-suara di malam hari; keduanya sama-sama membingungkan. Akhirnya, karena
tidak tahan lagi, pada suatu hari berserulah Ibrahim :
“Persiapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tak
tahu apa yang telah terjadi terhadap diriku belakangan ini. Ya Allah , kapan
semua ini akan berakhir?”.
Kudanya telah dipersiapkan lalu berangkatlah ia berburu.
Kuda itu dipacunya menembus padang pasir, seolah-olah ia tak sadar akan segala
perbuatannya. Dalam kebingungan itu ia terpisah dari rombongannya. Tiba-tiba
terdengar olehnya sebuah seruan : “Bangunlah.”
Ibrahim pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk
kedua kalinya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tak
memperdulikannya. Ketika suara itu untuk ke tiga kalinya berseru kepadanya,
Ibrahim semakin memacu kudanya. Akhirnya untuk yang ke empat kali, suara itu
berseru : “Bangunlah, sebelum engkau ku cambuk!”
Ibrahim tidak dapat mengendalikan dirinya. Saat itu
terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu, tetapi binatang
itu berkata kepadanya : “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat
menangkap ku. Untuk inikah engkau diciptakan atau inikaha yang diperintahkan
kepadamu?”
“Wahai, apakah yang menghadang diriku ini?” seru Ibrahim.
Ia memalingkan wajahnya dari rusa tersebut. Tetapi dari pegangan di pelana
kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa. Ibrahim panik
dan ketakutan. Seruan itu semakin jelas karena Allah Yang Maha Kuasa hendak
menyempurnakan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru pula dari
mantelnya. Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu surga terbuka bagi
Ibrahim. Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. Ibrahim turun
dari tunggangannya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air
matanya. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.
Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat
seseorang gembala yang mengenakan pakaian dan topi terbuat dari bulu domba.
Sang pengembala sedang menggembalakan sekawanan ternak. Setelah diamatinya
ternyata si gembala itu adalah sahayanya yang sedang menggembalakan domba-domba
miliknya pula. Kepada si gembala itu, Ibrahim menyerahkan mantelnya yang
bersulam emas, topinya yang bertahtahkan batu-batu permata beserta doma-domba
tersebut, sedang dari si gembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi bulu
domba yang sedang dipakainya. Ibrahim lalu mengenakan pakaian dan topi bulu
milik si gembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan
penuh kekaguman.
“Betapa megah kerjaan yang diterima putera Adam ini,”
malaikat-malaikat itu berkata, “ia telah mencampakan pakaian keduniawian yang
kotor lalu menggantinya dengan jubah kepapaan yang megah.”
Dengan erjalan kaki, Ibrahim mengelana melalui
gunung-gunung, dan padang pasir yang luas sambil meratapi dosa-dosa yang pernah
dilakukannya. Akhirnya sampailah iadi Merv. Di sini Ibrahim melihat seorang
lelaki terjatuh dari sebuah jembatan. Pastilah ia akan binasa dihanyutkan oleh
air sungai.
Dari kejauhan Ibrahim berseru : “Ya Allah, selamatkanlah
dia!.”
Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di udara
sehingga para penolong tiba dan menariknya ke atas. Dan dengan terheran-heran
mereka memandang kepada Ibrahim. “Manusia apakah ia itu.” Seru mereka.
Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai
ke Nishapur. Di kota Nishapur Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil dimana ia
dapat tekun mengabdi kepada Allah. Akhirnya ditemuinyalah sebuah gua yang
dikemudian hari menjadi amat termasyhur. Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri
selama sembilan tahun, tiga tahun pada masing-masing ruang yang terdapat di
dalamnya. Tak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang
maupun malam di dalam gua itu, karena hanya seorang manusia luar biasa
perkasanya yang sanggup menyendiri di dalam gua itu pada malam hari.
Setiap hari kami, Ibrahim memanjat keluar dari gua
tersebut untuk mengumpulkan kayu bakar, Keesokan paginya pergilah ia ke
Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. Setelah melakukan shalat Jum’at ia pergi
membeli roti dengan uang yang diperolehnya. Roti itu separuhnya diberikannya
kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk pembuka puasanya. Demikianlah yang dilakukannya setiap pekan.
Pada suatu malam di musim salju, Ibrahim sedang berada
dalam ruang pertapaannya, Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci
Ibrahim harus memecahkan es. Sepanjang malam badannya menggigil, namun ia tetap
melakukan shalat dan berdoa hingga fajar menyingsing. Ia hampir mati
kedinginan. Tiba-tiba ia teringat pada api. Di atas tanah dilihatnya ada sebuah
kain bulu. Dengan kain bulu itu sebagai selimut ia pun tertidur. Setelah hari
terang benderang barulah ia terjaga dan badannya terasa hangat. Tetapi
segeralah ia sadar bahwa yang disangkanya sebagai kain bulu itu adalah seekor
naga dengan biji mata berwarna merah darah. Ibrahim panik ketakutan dan berseru
:
“YA Allah, Engkau telah mengirimkan makhluk ini dalam
bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihatlah bentuk sebenarnya yang sangat
mengerikan. Aku tak kuat menyaksikannya.”
Naga itu segera bergerak dan meninggalkan tempat itu
setelah dua atau tiga kali berseujud di depan Ibrahim.
IBRAHIM BIN AD-HAM PERI KE MEKKAH.
Ketika kemasyhuran perbuatan-perbuatannya tersebar luas,
Ibrahim meninggalkan gua tersebut dan pergi ke Mekkah. Di tengah padang pasir,
Ibrahim berjumpa dengan seorang tokoh besar agama yang mengajarkan kepadanya
Nama Yang Teragung dari Allah dan setelah itu pergi meninggalkannya. Dengan
Nama Yang Teragung itu Ibrahim menyeru Allah dan sesaat kemudian tepaklah
olehnya Khidir as.
“Ibrahim”, kata Khididr kepadanya, “saudaraku Daud-lah
yang mengajarkan kepadamu Nama Yang Teragungitu.”
Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai berbagai
masalah. Dengan seizin Allah, Khidir adalah manusia pertama yang telah
menyelamatkan Ibrahim.
Mengenai kelanjutan-kelanjutan menuju Mekkah Ibrahim mengisahkan, sebagai berikut :
“Setibanya di Dzatul Irq, ku dapati tujuh puluh orang yang berjubah kain perca
tergeletak mati dan darah mengalir dari lubang telinga mereka. Aku berjalan
mengitari mayat-mayat tersebut, ternyata salah seorang di antaranya masih
hidup.
“Anak muda, apakah yang telah terrjadi?” aku bertanya
kepada nya.
“Wahai anak Adam,” jawabnya padaku, “berada lah di dekat
air dan tempat shalat, janganlah menjauh agar engkau tidak dihukum, tetapi
jangan pula terlalu dekat agar engkau tidak celaka. Tidak seorang manusia pun
boleh bersikap terlampau berani di depan Sultan. Takutilah ssahabat yang
membantai dan memerangi para peziarah ke tanah suci se akan-akan mereka itu
orang-orang kafir Yunnani. Kami ini adalah rombongan sufi yang menembus padang
pasir dengan berbpasrah kepada Allah dan berjanji tidak akan mengucapkan
sepatah kata pun di dalam perjalanan, tidak akan memikirkan apa pun kecuali
Allah, senantiasa membayangkan Allah ketika berjalan maupun istirahat, dan
tidak perduli kepadsa segala sesuatu kecuali kepada-Nya.
Setelah kami mengarungi padang pasir dan sampai ke tempat
di mana para peziarah harus mengenakan jubah putih, Khidir as. Datang
menghampiri kai. Kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam
kami. Kami sangat gembira dan berkata “Alhamdulillah, sesungguhnya perjalanan
kita telah diridhai Allah, dan ang mencari telah mendapatkan yang dicari,
karena bukankah manusia suci sendiri telah datang untuk menyambut kita’. Tapi,
saat itu juga berserulah sebuah suara di dalam diri kami : “Kalian pendusta dan
berpura-pura! Demikianlah kata-kata dan janji kalian dahulu? Kalian lupa pada
Ku dan memuliakan yang lain. Binasalah kalian! Aku tidak akan membuat
perdamaian dengan kalian sebelum nyawa kalian ku cabut sebagai pembalasan dan
sebelum darah kalian ku tumpahkan dengan pedang kemurkaan!” Manusia-manusia
yang engkau ssaksikan tekapar di sini, semuanya adalah korban dari pembalasan
itu. Wahali Ibrahim, berhati-hatilah engkau! Engkau pun mempunyai ambisi yang
sama. Berhati-hatilah atau menyingkirlah jauh-jauh!.”
Aku sangat gemar mendengar kisah itu. Aku bertanya kepada
nya :”Tetapi mengapakah engkau tidak turut di binasakan?”
“Kepadaku dikatakan : Sahabat-sahabtmu telah matang
sedang engkau masih mentah. Biarlah engkau hidup beberapa saat lagi dan segera
akan menjadi matang. Setelah matang engkau pun akan menysul mereka.”.
Setelah berkata demikian ia pun menghmebuskan nafasnya
yag terakhir.
oooOOOooo
Empatbelas tahun lamanya Ibrahim mengarungi padang pasir,
dan selama itu pula ia selalu berdoa dan merendahkan diri kepada Allah. Ketika,
hampir sampai ke kota Mekkah, para
sesepuh kota hendak menyambutnya, Ibrahim mendahului rombongan agar ridak
seorang pun dapat mengenali dirinya. Hamba-hamba yang mendahului para sesepuh
tanah suci melihat Ibrahim, tetapi karena belum pernah dengannya, mereka tak
mengenalnya. Setelah Ibrahim begitu dekat, para sesepuh itu berseru : “Ibrahim
bin Ad-ham hampir sampai. Para sesepuh tanah suci telah datang menyambutnya.”
“Apakah yang kalian inginkan dari si bid’ah itu?” tanya
Ibrahim kepada mereka. Mereka langsung meringkus Ibrahim dan memukulinya.
“Para sesepuh tanah suci sendiri datang menyambut Ibrahim
tetapi engkau menyambutnya bid’ah?” hardik mereka.
“ya, aku katakan bahwa dia adalah seorang bid’ah?”,
Ibrahim mengulangi ucapannya.
Ketika mereka meninggalkandirinya, Ibrahim berkata pada
dirinya sendiri : “Engkau pernah menginginkan agar para sesepuh itu datang
menyambut kedatanganmu, bukankah telah engkau peroleh beberapa pukulan dari
mereka? Alhamdulillah, telah kusaksikan betapa engkau telah memperoleh apa yang
engkau inginkan!>”
Ibrahim menetap di Mekkah. Ia selalu dikelilingi oleh
beberapa orang sahabat dan ia memperoleh nafkah dengan memeras keringat sebgai
tukan kayu.
IBRAHIM DIKUNJUNGI OLEH PUTERANYA
Ketika berangkat dari Balkh, Ibrahim bin Ad-ham
meninggalkan seorang putera yang msih menyusui. Suatu hari, setelah si putera
telah dewasa, ia menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya.
“Ayahmu telah hilang!”. Si ibu menjelaskan.
Setelah mendapat penjelasanini, si putera membuat sebuah
maklumat bahwa barang siapa yang bermaksud menunaikan ibadah haji, diminta
supaya berkumpul. Empat ribu orang datang memenuhi panggilan ini. Kemudian ia
lalu memberikan biaya makan dan unta selama dalam perjalanan kepada mereka itu.
Ia sendiri memimpin rombongan itu menuju kota Mekkah. Dalam hati ia berharap
semoga Allah mempertemukan dia dengan ayahnya. Sesampainya di Mekkah, di dekat
pintu Masjidil Haram, mereka bertemu dengan serombongan sufi yang mengenakan
jubah kain perca.
“Apakah kalian mengenal Ibrahim bin Ad-ham?” si pemuda
bertanya kepada mereka.
“Ibrahim bin Ad-ham adalah sahabat kami. Ia sedang
mencari makanan untuk menjamu kami.”
Pemuda itu meminta agar mereka sudi mengantarkannya ke
tempat Ibrahim saat itu. Mereka membawanya ke bagian kota Mekkahyang dihuni
oleh orang-orang miskin. Di sana dilihatnya betapa ayahnya bertelanjang kaki
dan tanpa menutup kepala sedang memikul kayu bakar. Air matanya berlinang tapi
ia masih dapat mengendalikan diri. Ia lalu membuntuti ayahnya sampai ke pasar.
Sesampainya di pasar si ayah mulai berteriak-teriak : “Siapakah yangsuka
membeli barang yang halal dengan barang yang halal?!”
Seorang tukang roti menyahuti dan menerima kayu api
tersebut dan memberikan roti kepada Ibrahim. Roti itu dibawanya pulang lalu
disuguhkannya kepada sahabat-sahabatnya.
Si putera berpikir-pikir dengan penuh kekuatiran : “Jika
ku katakan kepadanya siapa aku, niscaya ia akan melarikan diri.” Oleh karena
itu ia pun puang meminta nasihat dari ibunya, bagaimana cara yang terbaik untuk
mengajak ayahnya pulang. Si Ibu menasehatkan agar ia bersabar hingga tiba saat
melakukan ibadah ;haji.
Setelah tiba saat menunaikan ibadah haji, sang anak pun
pergi ke Mekkah. Ibrahim sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya.
“ Hari ini di antara jama’ah haji banyak terdapat
perempuan dan anak-anak muda.” Ibrahim menasehati mereka. “Jagalah mata
kalian.”
Semuanya menerima nasehat Ibrahim itu. Para jama’ah
memasuki kota Mekkah dan melakukan
thawaf mengelilingi Ka’bah, Ibrahim beserta para sahabatnya melakukan hal yang
serupa. Seorang pemuda yang tampan menghampirinya dan Ibrahim terkesima
memandanginya. Sahabat-sahabat Ibrahim yang menyaksikan kejadian ini merasa
heran namun menahan diri sampai selessai thawaf.
“Semoga Allah mengampuniu,” mereka menegur Ibrahim.
“Engkau telah menasehati kami agar menjaga mata dari setiap perempuan atau
kanak-kanak, tetapi engkau sendiri telah terpesona memandang seorng pemuda
tampan.”
“Jadi kalian telah menyaksikan perbuatanku itu?.”
“Ya, kami telah menyaksikannya,” jawab mereka.
“Ketika perdi dari Balkh,” Ibrahim mulai memberi
penjelasan, “aku meninggalkan seorang anakku yang masih menyusui. Aku yakin
pemuda tadi adalah anakku sendiri.”
Keesokan harinya tanpa sepengetahuan Ibrahim, salah
seorang sahabtnya pergi mengunjungi perkemahan jama’ah dari Balkh. Di antara
semua kemah-kemah itu ada sebuah yang terbuat dari kain brokat. Di dalamnya
berdiri sebuah mahligai dan di atas mahligai itu si pemuda sedang duduk membaca
al-Qur’an sambil menangis. Sahabat Ibrahim tersebut meminta izin untuk masuk.
“Dari manakah engkau datang?”, tanyanya kepada si pemuda.
“Dari Balkh,” jawab si pemuda.
“Putera siapakah engkau?”.
Si pemuda menutup wajahnya lalu menangis. “ Sampai
kemarin aku belum pernah menatap wajah ayahku.” Katanya sambil memindahkan
a;-Qur’an yang sedang dibacanya tadi. “Walaupun demikian, aku belum merasa
pasti apakah ia ayahku atau bukan. Aku kuatir jika ku katakan kepadanya siapa
aku sebenarnya, ia akan menghindarkan diri kembali dari kami. Ayahku adalah
Ibrahim bin Ad-ham, raja dari Balkh.”
Sahabat Ibrahim lalu membawa si pemuda bertemu dengan
ayahnya. Ibunya pun turut menyertai mereka. Ketika mereka sampai ke tempat
Ibrahim, Ibrahim sedang duduk bersama sahabt-sahabatnya di depan pojok Yamani.
Dari kejauhan Ibrahim telah melihat sahabatnya datang beserta si pemuda dan
ibunya. Begitu melihat Ibrahim, wanita itu menjerit dan tidak dapat
megendalikan dirinya lagi.
“Inilah ayahmu!.”
Semuanya gempar. Semua orang yang berada di tempat itu
serta sahabat-sahabat Ibrahim menitikkan air mata. Begitu si pemuda dapat
menguasai diri, ia segera mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab
salam anaknya kemudian merangkulnya.
“Agama apakah yang engkau anut?”, tanya Ibrahim kepada
anaknya.
“Agma Islam.”
“Alhamdulillah,” ucap Ibrahim. “dapatkah engkau membaca
al-Qur’an?,”
“Ya”, jawab anaknya.
“Alhamdulillah. Apakah engkau sudah mendalami agama
ini?”.
“Sudah”.
Setelah itu Ibrahim hendak pergi tetapi anaknya tidak mau
melepaskannya. Ibunya meraung keras-keras. Ibrahim menengadahkan kepalanya dan
berseru :
“Ya Allah, selamatkanlah diriku ini.”
Seketika itu juga anakanya yang sedang berada dalam
rangkulannya menemui ajal.
“Apakah yang terjadi Ibrahim?”, sahabat-sahabatnya
bertanya..
“Ketika aku merangkulnya,” Ibrahim menerangkan, “timbullah
rasa cintaku kepada anakku, dan sebuah suara berseru kepadaku : “Engkau
mengatakan bahwa engkau mencintai Aku, tetapi nyatanya engkau mencintai seorang
lain di samping Aku. Engkau telah menasehati sahabt-sahabatmu agar mereka tidak
meandang wanita dan perempuan, tetapi hatimu sendiri lebih tertarik kepda
wanita dan pemuda itu!”. Mendengar kata-kata itu akupun berdoa : “Ya Allah Yang
Maha Besar, selamatkanlah diriku ini! Anak ini akan merenggut seluruh
perhatianku sehingga aku tidak dapat mencintai-Mu lagi. Cabutlah nyawa anakku
atau cabutlah nyawaku sendiri.”
Dan kematian anakku tersebut merupakan jawaban terhadap
doaku.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI IBRAHIM BIN AD-HAM
Seseorang bertanya kepda Ibrahim bin Ad-ham : “Apaah yang
telah terjadi terhadap dirimu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?”.
“Pada suatu hari aku sedang duduk di atas tahta dan
sebuah cermin dipegangkan di hdapanku. Aku memandang cermin itu, tiba-tiba yang
terlihat olehku adalah sebuah kuburan sedang di dalamnya tak ada teman-teman yang
ku kenal. Sebuah perjalanan yang jauh terbentang di depanku sdang aku tak punya
bekal. Ku lihat seorang hakim yang adil sedang aku tidak mempunyai seorang pun
yang membela diriku. Setelah kejadian itu aku benci melihat kerajaanku.”
“Mengapa pula engkau meninggalkan Khurasan?”,
sahabt-sahabtnya beranya.
“Di Khurasan banyak kudengarkan kata-kata mengani Sahabt
Sejati,” jawab Ibrahim.
“Mengapa engau tidak merisreri lagi?”.
“Maukah seorang wanita mengambil seorang suami yang akan membuatnya lapar dan tak berpakaian?”,
Ibrahim balik bertanya.
:Tidak!”, jawab mereka.
“Itulah sebabnya aku tidak mau menikah lagi>” Ibrahim
menjelaskan. “Setiap wanita yang kunikahi akan lapar dan berteanjang seumur
hidupnya. Bahkan seandainya sanggup, aku inginmenceraikan diriku sendiri.
Bagaimanakah aku dapat membawa seseorang yang lain di atas pelana kudaku?”.
Kemudian ia berpaling kepada seorang pengemis yang turut
mendengarkan kata-katanya itu dan bertanya kepada pengemis itu :
“Apakah engkau mempunyai seorang isteri?.”
“Tidak,” jawab si pengemis.
“Itulah sebabnya aku tidak mau menikah lagi,” Ibrahim
menjelaskan. “Setiap wanita yang kunikahi akan lapar dan bertelanjang seumur
hidupnya. Bahkan seandainya sanggup, aku ingin menceraikan diriku sendiri.
Bagaimanakah aku dapat membawa seseorang yang lain di atas pelana kudaku?.”
Kemudia ia berpaling kepada seorang pengemis yang turut
mendengarkan kata-katanya itu dan bertanya kepada pengemis itu :
“Apakah engkau mempunyai seorang isteri?”
“Tidak” jawab si pengemis.
“Apakah engkau mempunyai seorang anak?”
“Tidak”
“Baik sekali! Baik sekali!” seru Ibrahim.
“Mengapa engkau berkata demikian?”, si pengemis bertanya.
“Seorang pengemis yang menikah adalah seperti seorang
yang menumpang sebuah perahu. Apabila anak-anaknya lahir, tenggelamlah ia.”
Suatu hari Ibrahim menyaksikan seorang pengemis sedang
meratapi nasibnya.
“Aku menduga bahwa engkau membeli pekerjaan ini dengan
gratis”, kata Ibrahim kepadanya.
“Apakah pekerjaan mengemis diperjualbelikan”, si pengemis
bertanya heran.
“Sudah tentu!” jawab Ibrahim. “Aku sendiri telah
membelinya dengan kerajaan Balkh. Dan aku merasa sangat beruntung!.”
oooOOOooo
Seseoang datang hendak memberi uang seribu dinar kepada
Ibrahim. “Terimalah uang ini”, ketanya kepada Ibrahim.
“Aku tak mau menerima sesuatu pun dari para
pengemis.”Jawab Ibrahim.
“Tetapi aku adalah seorang yang kaya,” balas orang itu.
“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih
besar dari yang telah engkau miliki sekarang ini?, tanya Ibrahim.
“Ya”, jawabnya.
“Bawalah kembali uang ini!. Engkau adalah ketua para
pengemis. Engkau bahkan bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat
papa dan terlunta-lunta.”.
Kepada Ibrahim dikabarkan mengenai seorang pertapa remaja
yang telah memperoleh pengalaman-pengalaman menakjubkan dan telah melakukan
disiplin yang sangat keras.
“Antarkanlah aku kepadanya karena aku ingin sekali
bertemu dengannya,” kata Ibrahim.
Mereka mengantarkan Ibrahim ke tempat si pemuda bertapa.
“Jadilah tamuku selama tiga hari,” si pemuda mengundang
Ibrahim. Ibrahim menerrima undangannya dan selama itu pula Ibrahim
memperhatikan tingkah lakunya. Ternyata yang disaksikan Ibrahim lebih
menakjubkan daripada yang telah didengarnya dari sahabat-sahabatnya. Sepanjang
malam si pemuda tidak pernah tertidur atau terlena. Menyaksikan semua ini
Ibrahim merasa iri.
“Aku sedemikian lemah, tidak seperti pemuda ini yang tak
pernahtidur dan beristirahat sepanjang malam. Aku akan mengamati dirinya lebih
seksama,” Ibrahim berkata dalam hati. “Akan ku selidiki apakah syaithan telah
masuk ke dalam tubuhnya atau apakah semua ini wajar sebagaimana yang
semestinya. Aku harus meneliti sedalam-dalamnya. Yang menjadi inti persoalan
adalah apa yang dimakan oleh seseorang.”
Maka diselidikinyalah makanan si pemuda. Ternyata si
pemuda memperoleh makanan dari sumber yang tidak halal.
“Maha Besar Allah, ternyata semua ini adalah perbuatan
syaithan,” Ibrahim berkata dalam hati.
“Aku telah menjadi tamumu selama tiga hari,” kata
Ibrahim. “Kini engkaulah yang menjadi tamuku selama empat puluh hari!”.
Si pemuda setuju.
Ibrahim membawa si pemuda ke rumahnya dan menjamunya dengan makanan yang
telah diperolehnya dengan memeras keringatnya sendiri. Seketika itu juga
kegembiraan si pemuda hilang. Semua semangat dan kegesitannya buyar. Ia tidak
dapat lagi hidup tanpa beristirahat dan tidur. Ia lalu menangis.
“Apakah yang telah engkau perbuat terhaaspku?,” tanya si
pemuda kepada Ibrahim.
“Makananmu engku peroleh dari sumber yang tak halal.
Setiap saat syaithan merasuk ke dala tubuhmu. Tetapi begitu engkau menelan makanan
yang halal, ketahuanlah bahwa semua hal-hal menakjubkan yang dapat engkau
lakukan selama ini adalah pekerjaan syaithan.”
oooOOOooo
Sahl bin Ibrahim berkisah : Ketika melakukan perjalanan
denan Ibrahim bin Ad-ham aku jatuh sakit. Ibrahim menjual segala sesuatu yang
dimilikinya dan mempergunakan uang yang diperolehnya itu untuk merawat diriku.
Kemudian aku memohonkan sesuatu dari Ibrahim dan ia menjual keledainya dan
hasil penjualan itu diperuntukkannya padaku. Setelah sembuh aku bertanya kepda
Ibrahim.
“Dimanakah keledaimu.”
“Telah ku jual!,” jawab Ibrahim.
“Apakah tungganganku?”, tanyaku.
“Saudaraku,” jawab Ibrahim, “naiklah ke atas punggung ku
ini.”
Kemudian ia mengangkat tubuhku ke atas punggungnya dan
menggendongku sampai ke persinggahan yang ketiga dari tempat itu.
oooOOOooo
Setiap hari Ibrahim pergi ke luar rumah untuk menjual
tenaganya, bekerja hingga malam, dan seluruh pendapatannya digunakan untuk
kepentingan sahabt-sahabatnya. Suatu hari, ia baru membeli makanan setelah
selessai shalat ‘Isa dan kembali kepada sahabt-sahabatnya ketika hari telah
larut malam.
Sahabat-sahabatnya berkata sesama mereka : “Ibrahim
terlambat datang, marilah kita makan roti kemudian tidur. Hal ini akan menjadi
peringatan kepada Ibrahim, agar lain kali agar ia pulang lebih cepat dan tidak
membiarkan kita lama menunggu-nunggu.
Niat itu mereka laksanakan. Sewaktu Ibrahim pulang,
dilihatnya sahabat-sahabatnya sudah tertidur. Mengira bahwa mereka belum makan
dan tidur dengan perut kosong, Ibrahim lalu menyalakan api. Ia membawa sedikit
gandum. Maka dibuatnyalah panganan untuk santapan sahabt-sahabatnya itu apabila
mereka terbangun nanti, dengan demikian mereka dapat berpuasa esok hari.
Sahabat-sahabatnya terbangun, melihat Ibrahim sedang meniup api, janggutnya
menyentuh lantai dan air matanya melelh karena asap yag mengpul-ngepul di
sekelilngnya.
“Apakah yang sedang engkau lakukan?” tanya mereka.
“Ku lihat kalian sedang tidur,” jawab Ibrahim. “ Ku kira
kalian belu memperoleh makanan dan tertidur dalam keadaan lapar, karena itu ku
buatkan panganan untuk makanan kalian setelah bangun.
“Betapa ia memikirkan diri kita dan betapa kita berpikir
yang bukan-bukan mengenai dirinya”, mereka saling berkata.
oooOOOooo
“Sejak engkau menempuh kehidupan yang seperti ini, apakah
engkau mengalami kebahagiaan?”, seseorang bertanya kepada Ibrahim.
“Sudah, berapa kali”, jawab Ibrahim. “Pada suatu ketika
aku sedang berada di atas sebuah kapal dan nahkoda tak mengenal diriku. Aku
mengenakan pakaian yang lusuh dan rambutku belum dicukur. Aku sedang berada
dalam suatu ekstase spiritual namun tak seorang pun di atas kapal itu yang
mengetahuinnya. Mereka menertawai dan memperolok-olok ku. Di atas kapal itu ada
seorang pembadut. Setiap kali menghampiriku ia menjambak rambutku dan menampar
tengkukku. Pada saat itu aku erasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku
merasa sangat bahagia karena dihinakan sedemikian rupa.”
“Tanpa terduga-duga, datanglah gelombang raksasa. Semua
yang berada di atas kapal kuatir kalau-kalau mereka akan tenggelam. “Salah
seorang dari penumpang harus dilemparkan ke laut agar muatan jadi ringan!.”
Teriak juru mudi. Mereka segera meringkusku untuk dilemparkan kelaut. Tetapi
untunglah seketika itu juga gelombang mereda dan perahu itu tenang kembali.
Pada saat mereka menarik telingaku untuk dilemparkan ke laut itulah aku
merasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku merasa sangat berbahagia.”
Dalam peristiwa yang lain, aku pergi ke suabh masjid
untuk tidur di sana. Tetapi orang-orang tidak mengijinkan aku tidur di dala
masjid itu sedangkan aku sedemikian lemah dan letih sehingga tak sanggup
berdiri untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang menarik kakiku dan
menyeretku ke luar. Masjid itu mempunyai tiga buah anak tangga. Setiap kali
membentur anak tangga itu, kepalaku
mengeluarkan darah. Pada saat itu aku merasa bahwa keinginanku telah tercapai.
Sewaktu mereka melemparkan diriku ke anak tangga yang berada di bawah, misteri
alam semesta terbuka kepadaku dan aku berkata di dalam hati : “Mengapa masjid
ini tidak mempunyai lebih banyak anak tangga sehingga semakin bertambah pula
kebahagianku!.”
“Dalam peristiwa lain, aku sedang asyik dalam ekstase.
Seorang pembadut datang dan mengencingiku. Pada saat itu aku pun merasa
bahagia.”
“Dalam sebuah peristiwa, aku mengenakan sebuah mantel
bulu. Manel itu penuh dengan tuma yang tanpa ampun lagi mengganyang tubuhku.
Tba-tiba aku teringat akan pakaian bagus yang tersimpan di dalam gudang, tetapi
hatiku berseru : “Mengapa?’ Apakah semua itu menyakitkan?” Pada saat itu au
merasa bahwa keinginanku telah tercapai!.”
oooOOOooo
Ibrahim berkisah : Pada suatu hari keteika aku sedang
mengarungi padang pasir dan aku berpasrah diri kepada Allah. Telah beberapa
hari lamanya aku tidak makan. Aku teringat kepada seorang sahabt tetapi aku
segera berkata kepada diriku sendiri, “Jika aku pergi ke temepat sahabtku,
apakah gunanya kepasarahanku kepada Allah” Kemudian aku memasuki sebuah masjid
sambil bibirku bergerak-gerak menggumamkan : “Aku telah mempercayakan diriku
kepada Dia Yang Hidup dan tak pernah mati. Tidak ada Tuhan selain-Nya.” Sebuah
suara berseru dari langit : “Maha besar Allah yang telah menggosongkan bumi
bagi orang-orang yag berpasrah diri kepada-Nya.” Aku bertanya : “Mengapakah
demikian?” Suara itu menjawab : “Betapakah seseorang benar-benar berpasrah diri
kepada Allah, melakukan perjalanan jauh demi sesuap makanan yang dapat
diberikan sembarang sahabtnya, kemudian menyatakan :Aku telah memasrahkan
diriku kepada Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati?” Engkau telah memberikan
ucapan berpasrah kepada Allahkepada seseoarng pendusta.”.
oooOOOooo
Ibrahim berkisah : Pada suatu ketika aku membeli seorang
hamba. “Siapakah namamu?”, tanyaku padanya.
“Panggilanmu terhadapku”, jawabnya.
“apakah yang engkau makan?”
“Makanan yang kau berikan untuk ku makan.”
“Pakaian apakah yang engkau pakai.”
“Pakaian yang engkau berikan untuk ku kenakan.”
“Apakah yang engkau kerjakan?”
“Pekerjakan yang engkau perrintahkan kepadaku.”
“Apakah yang engkau inginkan?”
“Apakah hak seorang hamba untuk menginginkan?” jawabnya.
“Celakalah engkau.” Kataku kepada diriku sendiri. “Seumur hidup engkau adalah
hambaAllah. Kini ketahulah bagaimana seharusnya menjadi seorang hamba.”
Sedemikian lamana aku menangis sehingga aku tidak
ssadarkan diri.
oooOOOooo
Tak seorang pun pernah menyaksikan Ibrahim duduk bersila.
“Menapa engkau tak pernah duduk bersila?” tanya seseorang
kepadanya.
Ibrahim menjawab : “Pada suatu hari ketika aku duduk
bersila terdengar olehku suara yang berkata kepadaku : “Wahai anak Adam, apakah
hamba-hamba duduk seperti itu di hadapan tuan mereka ?”
Segeralah aku duduk tegak dan memohon ampunan.”
oooOOOooo
Ibrahim berkata: Pada suatu keetika aku berjalan menempuh
padang pasir sambil memasrahkan diri kepada Allah. Sudah tiga hari lamanya aku
tidak makan. Kemudian syaithan datang kepadaku dan menggoda : “Apakah engau
meninggalkan kerajaanmu beserta kemegahan-kemegahan yang sedemikian banyak
hanya untuk pergi ke tanah suci dalam keadaan lapar seperti ini? Sesungguhnya
engkau dapat melakukan hal yang serupa tanpa penderitaan ini.”
Setelah mendengar kata-kata syaithan itu aku tengadahkan
kepalaku dan berseru kepada Allah : “Ya Allah, apakah Engkau lebih suka
menganggkat musuh-Mu daripada sahabt-Mu untuk menyiksa diriku? Kuatkanlah
diriku karena aku tak sanggup meneberangi padang pasir ini tanpa pertolongan
Mu.”
Maka terdengarlah olehku sebuah seruan :
“Ibrahim, campakanlah yang di dalam sakumu itu sehingga
Kami boleh mendatangkan karunia Kami dari alam ghaib.”
Aku rogoh sakuku, kudapatkan empat buah mata uang perak
yang tanpa sengaja terbawa olehku. Begitu aku melemparkan uang itu, si ysaithan
lari meninggalkan diriku dan secara ghaib di depanku telah terhidang makanan.
oooOOOooo
Aku pernah bekerja menjaga sebuah kebun buah-buahan. Pada
suatu hari pemilik kebun itu datang kepadaku dan berkata : “Ambilkanlah padaku
beberpa buah delia yang manis rasanya.” Maka ku ambilkan beberapa buah tetapi
ternyata rasanya asam.
“Bawakanlah buah-buahan yang manis.” Si pemilik kebun
mengulangi perintahnya. Maka Ku bawakan delima sepinggan penuh, namun buah-buahan
itu asam pula rasanya.
Si pemilik kebun berseru : Masya Allah, telah sedemikian
lama engkau bekerja di kebun ini namun engkau tidak mengenal buah delia yang
telah masak.”
“Aku menjaga kebunmu namun aku tak tahu bagaimana rasanya
buah delima karena aku tak pernah mencicipinya.” Jawabku.
Maka berkatalah si
pemilik kebun : “Dengan keteguhan yang seperti ini, aku mempunyai persangkaan
bahwa engkau adalah Ibrahim bin Ad-Ham.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut segeralah aku
meninggalkan tempat iru.
oooOOOooo
Ibrahim mengisahkan : Pada suatu malam, dala sebuah mimpi
kulihat Jibril turun ke bumi membawa seglung kertas di tangannya.
Aku bertanya kepadanya : “Apakah yang hendak engkau
lakukan?”
“aku hendak mnecatat nama sahabt-sahabat Allah.” Jawab
Jibril .
“Catatlah namaku,” aku bermohon kepadanya.
“engkau bukan salah seorang sahabt-sahabat Allah” jawab
Jibril.
“Tetapi aku adalah seorang sahabt dari
sahabt-sahabat Allah itu,” aku bermohon hampir putus asa.
Beberapa saat Jibril terdiam. Kemudian ia berkata : “Telah kuterima sebuah perintah : “Tulislah nama Ibrahim
di tempat paling atas karena di dalam jalan ini harapan tercipta dari keputus
asaan.”
oooOOOooo
Suatu hari ketika Ibrahim sedang berada di sebuah
padangpasir, seorang tentara menegusnya :
“Siapakah engkau?”
“Seorang hamba”, jawab Ibrahim.
“Manakah jalan ke perkampungan?” tanya tentara itu itu.
Ibrahim lalu menunjuk ke sebuah pemakaman.
“Engkau memperolok-olok aku,” hardik si tentara, kemudian
memukul kepala Ibrahim hingga luka dan berdarah. Setelah itu ia mengalungkan
tali ke leher Ibrahim dan menyertenya. Beberapa orang dari kota yang terletak
di tempat kejadian itu kebetulan lewat. Menyaksikan hal ini mereka berhenti dan
berseru :
“Hai orang bodoh, orang ini adalah Ibrahim bin Ad-ham,
sahabat Allah!...
Si serdadu cepat-cepat berlutut di depan Ibrahim bin
Ad-ham, bermohon agar ia dimafkan.
“Engkau mengatakan bahwa engkau adalah seorang hamba.” Si
serdadu mencoba membela diri.
“Siapakah orang yang bukan hamba?” tanya Ibrahim.
“Aku telah melukai kepalamu tetapi engkau malah mendoakan
keselamatanku.”
“Aku mendoakan agar engkau memperoleh berkah karena
perlakuanmu terhadap diriku,” jawab Ibrahim. “Imbalan terhadap diriku karena
perlakuanmu itu adalah surga dan aku tidak tega jika imbalan untukmu adalah
neraka.”
“Mengapakah engkau menunjukan pemakaman ketika aku
menanyakan jalan ke perkampungan?” tanya si serdadu.
Ibrahim mejawab : “Karena
semakin lama, pemakaman semakin penuh sedangkan kota semakin kosong.
oooOOOooo
Suatu hari Ibrahim bertemu dengan seorang yang sedang
mabuk. Mulutnya berbau busuk. Segera Ibrahim mengambil air dan dibasuhnya mulut
si pemabuk itu sambil berkata kepada dirinya sendiri :
“Apakah akan kubiarkan mulut yang pernah mengucapkan nama
Allah di dalam keadaan kotor. Itu namanya tidak memuliakan Allah.”
Ketika si pemabuk siuman, orang-orang berkta kepadanya :
“Pertapa dari Khurasan telah membasuh mulutmu.”
Si pemabuk menjawab : “Sejak saat ini aku bertaubat!.”
Setelah bertaubat demikian, Ibrahim di dalam mimpinya
mendengar sebuah seruan kepadanya :
“Engkau telah membasuh sebuah mulut demi Allah dan Aku
telah membasuh hatiu.”
oooOOOooo
Rajah berkisah : Ketika aku dan Ibrahim sedang menumpang
sebuah perahu, tiba-tiba angin topan datang menerpa dan bumi menjadi kelam. Aku
berteriak : “Perahu kita akan tenggelam!.”
“Tetapi dari langit ku dengar suara “
“Jangan kuatirkan perahu akan tenggelam karena Ibrahim
bin Ad-ham ada beserta kalian.”
Segera setelah itu angin mereda dan bumi yang kelam
menjadi terang kembali.
oooOOOooo
Ibrahim menumpang perahu tetapi iatidak mempunyai uang.
Kemudian terdengar sebuah pengumuman : “Setiap orang harus membayar satu
dinar.”
Ibrahim segera shalat sunnat dua raka’at dan berdoa :
“Ya Allah, mereka meminta ongkos, tetapi aku tak
mempunyai uang.”
Mendafdak lautan luas berubah menjadi emas. Ibrahim
mangambil segenggam dan memberikannya kepada mereka.
oooOOOooo
Suatu hari Ibrahim duduk di tepi sugai Tigris menjahit
jubah tua-nya. Jarumnya terjatuh ke dalam sungai. Seseorang bertanya kepadanya
:
“Engkau telah meninggalkan sebuah kerajaan yang jaya,
tetapi apakah yang telah engkau peroleh sebagai imbalan?”
Sambil menunjuk ke sungai Ibrahim berseru :
“Kembalikanlah jarum ku!.”
Seribu ekor ikan mendongakkan kepala ke permukaan air,
masing-masing dengan sebuah jarum emas di mulutnya. Kepada ikan-ikan itu
Ibrahim berkata :
“Yang aku inginkan adalah jarumku sendiri.”
Seekor ikan yang kecil dan lemah datang mengantarkan
jarum kepunyaan Ibrahim di mulutnya.
“Jarum ii adalah salah satu di antara imbalan-imbalan
yang ku peroleh karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedang yang lain-lainnya
belum engkau ketahui.
oooOOOooo
Suatu hari Ibrahim pergi ke sebuah sumur. Timba
diturunkannya dan ketika diangkat ternyata timba itu penuh dengan kepingn emas.
Emas-emas itu ditumpahkannya kembali ke dalam sumur. Kemudian timba diturunkan
dan ketika diangkat ternyata penuh pula dengan butiran-butiran mutiara. Denan
jenaka mutiara-mutiara itu ditumpahkannya pula. Kemudian Ibrahim beroda kepada
Allah :
“Ya Allah, Engkau menganugerahi ku dengan harta karun.
Aku tahu bahwa Engkau Maha Kuasa,tetapi Engkau pun tahu bahwa aku tak ingin
terpesona oleh harta benda. Berilah aku air agar aku dapat bersuci.”
oooOOOooo
Ketika Ibrahim menyertai sebuah rombongan yang hendak
berziarah ke tanah suci. Mereka berkata : “ Tak seorang pun di antara kita yang
mempunyai untamaupun perbekalan.”
“Percayalah bahwa Allah akan menolong kita,” kata
Ibrahim. Setelah diam sebentar, ia menambahkan : “Pandanglah pohon-pohon di
sana. Jika emas yang kalian inginkan, maka pohon-pohon itu niscaya akan berubah
menjadi emas.”
Dan seketika itu juga pohon-pohon akasia itu, dengan
kekuasaan Allah Yang Maha Besar, berubah menjadi emas.
oooOOOooo
Ibrahim sedang berjalan dengan sebuah rombongan, mereka
tiba di sebuah benteng. Di Depan benteng itu banyak terdapat semak belukar.
“Baiklah kita bermalam di sini karena di tempat ini
banyak semak belukar sehigga kita dapat membuat api unggun.” Kata mereka.
Mereka punmenghidupkan api dan duduk di sekelilingnya.
Semuanya memakan roti kering ketika Ibrahim sedang berdiri dalam shalatnya.
Salah seorang di antara mereka berkata :
“Seandainya kita mempunyai daging yang halal untuk kita
panggang di atas api ini!.”
Setelah selesai shalat, Ibrahim berkata kepada mereka :
“Sudah pasti Allah dapat memberikan daging yang halal kepada kamusekalian.”
Setelah selesi berkata demikian Ibrahim bangkit dan
shalat kembali. Tiba-tiba terdengarlah auman seekor singa yang menyeret keledai
liar. Singa itu menghampiri mereka. Keledai itu mereka ambil, mereka panggang
untuk kemudian mereka makan sementara si singa duduk memperhatikan segala
tingkah mereka.
7. BISYR BIN HARITS
PERTAUBATAN BISYR SI MANUSIA BERKAKI TELANJANG
Bisyr si manusia berkaki telanjang, lahir di Merv dan
menetap di Baghdad. Sewaktu muda, ia adalah seorang berandal. Suatu hari dalam
keadaan mabuk, ia berjalan terhuyung-huyung. Tiba-tiba ia temukan secarik kerta
bertuliskan : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Bisyr
lalu membeli minyak mawar untuk memercii kertas tersebut kemudian menyimpannya dengan
hati-hati di rumahnya.
Malam harinya seorang manusia suci bermimpi. Dalam mimpi
itu ia diperintah Allah untuk mengatakan kepada Bisyr: “Engkau telah
mengharumkan nama-Ku, maka Aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah
memuliakan nama-Ku, maka Aku pun telah memuliakan namamu. Engkau telah
mensucikan nama-Ku, maka Aku pun telah mensucikan dirimu. Demi kebesaran Ku,
niscaya Ku harumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat nanti.”
Bisyr adalah seorng pemuda berandal,” si manusia suci itu
berpikir. “Mungkin aku telah bermimpi ssalah.”
Oleh kkarena itu ia pun segera bersuci, shalat kemudian
tidur kembali, namun tetap saja mendatangkan mimpi yang sama. Ia ulangi
perbuatan itu untuk ketiga kalinya, ternyata tetap mengalami mimpi yang
demikian juuga. Keesokan harinya pergilah ia mencari Bisyr. Dari seseorang yang
ditanyanya, ia mendapat jawaban : “Bisyr sedang mengunjungi pesta buah anggur.”
Maka, pergilah ia ke rumah orang yang sedang berpesta
itu. Sesampainya di sana, ia bertanya : “Apakah Bisyr berada di tempat.”
“ada, tetapi ia dalam keadaan mabuk dan lemah tak
berdaya.”
“Katakan kepada bahwa ada pessan yang hendak ku sampaikan
kepadanya,” ,manusia suci itu berkata.
“Pesan dari
siapa?” tanya Bisyr.
“Dari Allah!.” Jawab di manusia suci.
“Aduhai!” Bisyr berseru dengan air mata berlinang.
“Apakah pesan untuk mencela atau untuk menghukum diriku? Tetapi tunggulah
sebentar, aku akan pamit kepada sahabt-sahabatku terlebih dahulu.”
“Sahabat-sahabat>” ia berkata kepada teman-teman
minumnya. “Aku dipanggil, oleh karena itu aku harus meninggalkan tempat ini.
Selamat tinggal! Kalian tidak akan pernah melihat diriku lagi dalam keadaan
yang seperti ini!.”
Sejak saat itu tingkah laku Bisyr berubah sedemikian
salehnya sehingga tidak seorang pun yang mendengar namanya tanpa Kedamaian
Ilahi menyentuh hatinya. Bisyr telah memilih jalan penyangkalan diri.
Sedemikian asyiknya ia menghadap Allah bahkan mulai saat itu ia tak pernah lagi
memakai alas kaki. Inilah sebabnya mengapa Bisyr dijuluki si manusia berkaki
telanjang.
Apabila ditanya : “Bisyr,
apakah sebabnya engkau tak pernah memakai alas kaki?” Jawabnya adalah : “Ketika
aku berdamai dengan Allah, aku sedang berkaki telanjang. Sejak saat itu aku
malu mengenakan alas kaki. Apalagi bukankah Allah Yang Maha Besar telah berkata
: “Telah Ku ciptakan bumi sebagai permadani untuk mu.” Dan bukankah tidak
pantas apabila berjalan memakai sepatu di atas permadai Raja?”.
Ahmad bin Hambal sangat sering
mengunjungi Bisyr, Ia begitu mempercayai
kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada zaman ini tidak ada orang yang dapat
menandingi mu di bidang Hadits, hukum, teologi dan setiap cabang ilmu
pengetahuan, tetapi setiap saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah
perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian
sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr, jawab Ahmad bin Hambal. “Tetapi mengenai Allah
ia lebih ahli daripada ku.”.
Ahmad bin Hambal sering memohon kepada Bisyr :
“Ceritakanlah kepadaku perihal Tuhan-ku.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI BISYR
“Nanti malam Bisyr akan datang ke mari.” Pikiran ini
membersit dalam hati saudara perempuan Bisyr.
Maka segeralah ia menyapu ddan mengepel laintai rumhanya. Kemudian
dengan penuh harap menanti kedatangan saudaranya itu. Tiba-tiba Bisyr muncul
seperti soerang yang sedang kebingungan.
“Aku akan naik ke atas loteng.” Bisyr berkata kepada
saudara perempuannya dan bergegas menuju tangga. Tetapi baru beberapa anak
tangga yang dilaluinya, dia berhenti lalu sepanjang malam itu ia tetap berdiri
terpaku di tempat itu. Setelah Shubuh barulah ia turun dan pergi ke masjid
untuk shalat.
“Mengapa sepanjang malam tadi engkau berdiri terus di
atas tangga?”, saudara perempuannya bertanya kepada Bisyr ketika ia kembali
dari masjid.
“Sebuah pikiran terbetik di dalam benakku, jawab Bisyr,
Ada yang Yahudi, Kristen dan ada yang Majusi. Aku sendiri bernama Bisyr dan
sebagai seorang Muslim aku telah mencapai kebahagiaan yang sangat bear. Aku
bertanya-tanya kepada diriku sendiri, apakah yang telah ku lakukan sehingg aku
memperoleh kebahagiaan itu dan apakah yang telah mereka lakukan sehingga mereka
tidak memperolehnya? Karena bingung dibuat pikiran itulah aku berdiri terpaku
seperti itu.”
oooOOOooo
Bisyr memiliki buku-buku Hadits sebanyak tujuh lemari. Buku-buku
itu dikuburkannya ke dalam tanah dan tidak diajarkannya kepada siapa pun juga.
Mengeenai sikapnya ini Bisyr menjelaskan :
“Aku tidak mau mengajarkan haidts-hadits itu karena aku
merasa bahwa di dalam diriku ada hasrat untuk melakukan hal itu. Tetapi seandainya
aku mempunyai hasra bediam diri, niscaya hadits-hadits itu akan kuajarkan.”
oooOOOooo
Selama empat puluh tahun Bisyr sangat menginginkan daging
panggang tetapi ia tak mempunyai uang untuk membelinya.Bertahun-tahun ia
menginginkan makan kacang buncis tetapi tak sedikit pun ada yang dimakannya. Ia
tak pernah meminu air dari saluran yang ada pemiliknya.
oooOOOooo
Salah seorang di antara tokoh-tokoh suci berkisah
mengenai Bisyr : Suatu hari aku bersama Bisyr. Cuaca terasa dingin sekali,
tetapi kulihat Bisyr tidak memakai pakaian dan tubuhnya menggil kedinginan.
“Abu Nashr”, tegurku, ‘dalam cuaca dingin seperti ini
orang-orang melapisi pakaian mereka, tetapi engkau malah melepaskannya.”
“Aku teringat kepada orang-orang miskin”, jawab Bisyr. “Aku
tidak mempunyai uang untuk menolong mereka, oleh karena itulah aku ingin turut
merasakan penderitaan mereka.”
oooOOOooo
Ahmad bin Ibrahim menuturka : Bisyr berkata kepadaku “Sampaikan kepada Ma’ruf bahwa aku akan
mengunjunginya setelah aku selessai shalat.”
Pesan itu ku ssampaikan kepada Ma’ruf. Kemudian aku dan
Ma’ruf menantikan dia. Tetapi setelah kami selesai melakukan shalat Zhuhur, Bisyr
belum juga datang. Ketika kami melakukan shalat ‘Ashar, ia belum juga
kelihatan. Begitu pula halnya setelah kami salat ‘Isha.
“Maha Besar Allah,” Aku berkata dalam hati, “apakah
soerang manusia seperti Bisyr masih suka mengingkari janji? Sungguh keterlaluan.”
Aku masih mengharap-harap kedatangan Bisyr, waktu itu
kami sedang berada di pintu masjid. Tidak lama kemudian tampaklah Bisyr dengan
mengepit sebuah sajadah berjalan ke arah kami. Begitu sampai disunngai Tigris, Bisyr
langsung menyeberanginya dengan berjalan di atas air. Ia lalu menghampiri kami.
Bisyr dan Ma’ruf berbincang-bincang sepanjang malam. Setelah Shubuh barulah Bisyr
meninggalkan tempat itu dan seperti ketika ia datang, sungai itu disebranginya
dengan berjalan di atas permukaannya. Aku meloncat dari loteng, bergegas
menyusulnya, dan setelah ku cium tangana dan kakinya, aku bermohon kepadanya : “Berdoalah
untuk diriku!.”
Bisyr mendoakan diriku. Setelah itu ia berkata : “Jangan
katakan segala sesuatu yang telah engkau saksikan kepada siapapun!.”
Selama Bisyr masih hidup, kejadian itu tak pernah ku
ceritakan kepada siapa pun juga.
oooOOOooo
Orang-orang berkumpul, mendengarkan Bisyr memberikan
ceramah mengenai Rasa Puas. Salah seorang di antara pendengar menyela :
“Abu Nashr, engkau tidak mau menerima pemberian orang
karena ingin dimuliakan. Jika engkau benar-benar melakukan penyangkalan diri
dan memalingkan wajahmu dari dunia ini, maka terimalah sumbangan-sumbangan yang
diberikan kepadamu agar engkau tidak lagi dipandang sebagai orang yang mulia.
Kemudian secara sembunyi berikanlah
semua itu kepada orang-orang miskin. Setelah itu jangan engkau goyah dalam
kepasrahan kepada Allah, dan terimalah nafkahmu dari alam ghaib.”
Murid-murid Bisyr sangat terkesan mendengar kata-kata ini.
“Camkan oleh kalian!.” Jawab Bisyr. “Orang-orang miskin
terbagi atas tiga golongan. Golongan pertama adalah orang-orang miskin yang tak
pernah meminta-minta dan apabila kepada mereka diberikan sesuatu mereka
menolaknya. Orang-orang seperti ini adalah para spiritualis. Seandainya
orang-orang seperti ini meminta kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan
segala permintaan mereka. Golongan ke dua adalah orang-orang miskin yang tak
pernah meminta-minta, tetapi apabila kepada mereka diberikan sesuatu, mereka
masih mau mnerimanya. Mereka itu berada di tengah-tengah. Mereka adalah
manusia-manusia yang teguh di dalam kepasrahan kepada Allah dan mereka inilah
yang akan dijamu Allah di dalam surga. Golongan ke tiga adalah orang-orang
miskin yang duduk dengan sabar menanti pemberian orang sesuai dengan
kesanggupan, tetapi mereka menolak godaan-godaan hawa nafsu.”
“Aku puas dengan keteranganmu ini.” Orang yang menyela
tadi berkata. “Semoga Allah puas pula denganmu.”
oooOOOooo
Beberpa orang mengunjungi Bisyr dan berkata : “Kami
datang dari syria hendak pergi menunaikan ibadah Haji. Sudikah engkau menyertai
kami?.”
“Dengan tiga syarat,” jawab Bisyr. “Yang pertama, kita
tidak akan membawa perbekalan, kedua, kita tidak meminta belaskasihan orang di
dalam perjalanan; dan ketiga, jika orang-orang memberikan sesuatu, kita tidak
boleh menerrimanya.”
“Pergi tanpa perbekalan dan tidak meminta-minta di dlam
perjalanan dapat kami terima.” Jawab mereka. Tetapi apabila orang-orang lain
memberikan sesuatu mengapa kita tidak boleh menerimanya?.
“Sebenarnya kalian tidak memarahkan diri kepada Allah,
tetapi kepada pebekalan yang kalian bawa,” cela Bisyr kepada mereka.
oooOOOooo
Seorang lelaki meminta nasehat kepada Bisyr : “Aku
mempunyai dua ribu dirham yang ku peroleh secara halal. Aku ingin pergi
menunaikan ibadah Haji.”
“Apakah engkau hendak pergi bersenang-senang?” tanya Bisyr.
“Jika engkau benar-benar berniat untuk menyenangkan Allah, maka lunasilah
hutang seseorang atau berikan uang itu kepada anak yatim atau kepada seseorang
yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa orang Musli lebih
disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”
“Walau demikian, aku lebih suka jika uang ini ku
ppergunakan untuk menunaikan ibadah haji,” lelaki itu menjawab.
“Ya, karena engkau telah memeprolehnya dengan cara-cara
yang tidak halal,” jawab Bisyr, “maka engkau tidak akan merasa tenang sebelum
menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar.”
oooOOOooo
Bisyr berkisah : Pada suatu ketika, di dalam mimpi aku
berjumpa dengan Nabi. Beliau berkata kepadaku : “Bisyr, tahukah engkau mengapa
Allah telah memilihmu di antara manusia-manusia yang semasa denganmu? Dan
tahukah engkau mengapa Allah memuliakanmu?”
“Aku tidak tahu ya Rasulullah,” jawab ku.
“Karena engkau telah mengikuti Sunnahku, memuliakan
orang-orang yang ssaleh, memberi nasehat-nasehat yang baik kepada
saudara-saudramau, dan mencintai aku dan keluargaku,” Nabi menjelaskan. “Karena
alasan-alasan itulah Allah telah mengangkatmu ke dalam golongan orang-orang
yang saleh.”
oooOOOooo
Bisyr berkisah pula sebagai berikut :
Suatu malam aku bermimpi bertemu dengan ‘Ali. Aku berkata
kepadanya : “Berikan aku sebuah petuah.”
“Alangkah baik belas kasih yang
diperlihatkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, semata-mata untuk mendapatkan
pahala dari Yang Maha Pengasih. Tetapi yang lebih baik adalah keengganan
orang-orang miskin untuk menerima pemberian orang-orang kaya karena percaya
kemurahan Sang Pencipta alam semesta,” jawab “Ali.
oooOOOooo
Bisyr sedang terbaring menantikan ajalnya. Seseorang
datang dan mengeluh tentang nasibnya yang malang. Bisyr melepaskan dan
memberikan pakaiannya kepada lelaki itu, kemudian menggunakan sebuah pakaian
yang dipinjamnya dari seorang sahabat. Dengan menggunakan pakaian pinjaman
itulah ia berpindah ke alam baqa.
oooOOOooo
Diriwiyatkan bahwa selama Bisyr masih hidup, tidak ada
keledai yang membuang kotorannya di jalan-jalan kota Baghdad, karena
menghormati Bisyr berjalan dengan kaki telanjang. Pada suatu malam seorang
lelaki melihat keledai yang dibawanya membuang kotoran di atas jalan. Maka
berserulah ia :
“Wahai, Bisyr telah tiada!.”
Mendengar seruan itu, orang-orang pun pergi menyelidiki.
Ternyata kata-katanya itu terbukti kebenarannya. Lalu kepadanya ditanyakan
bagaimana ia bisa tahu bahwa Bisyr telah meninggal dunia.
“Karena selama Bisyr masih hidup, tak pernah ada kotoran
keledai terlihat di jalan-jalan kota Baghdad. Tadi aku melihat bahwa kenyataan
itu tilah berubah, maka tahulah aku bahwa Bisyr telah tiada.”
8. DZUN nUN AL-MISHRI
DZUN NUN SI ORANG
MESIR DAN KISAH PERTAUBATANNYA
Mengenai pertaubatan Dzun Nun si orang Mesir
dikisahkannya sebagai berikut :
Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam
seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertpaan itu. Sesampainya di sana kudapai
si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya
sendiri :
“Wahai tubuh, bantulah aku dalam mentaati perintah Allah.
Kalau tidak, akan ku biarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati
kelaparan.”
Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga
tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanyalah ia :
Siapakah itu yang telah menaruh belaskasihan kepada
diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?.”
Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya.
Kemudian aku bertanya : “mengapakah engkau berbuat seperti ini?”
“Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati
perintah Allah,” jawabnya. Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan
manusia-manusia lain.”
Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang
Muslim atau melakukan dossa besar semacam itu.
Si pertapa melanjutkan : “Tidakkah engkau menyadari bahwa
begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat
terjadi?”
“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!.” Kataku
kepadanya.
“Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih dari
padaku?” tanyanya kepadaku.
“Ya”, jawabku.
“Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Di situlah
engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan.
Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukannya. Di sana
ku jumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah
kakinya telah terkutung putus dan dilemparkan ke luar, cacing –cacing sedang
menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian ku
tanyakan perihal dirinya.
Si Pertapa berkisah kepadaku : “Suatu hari ketika aku
sedang dduduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat
ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar
mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruangan
pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan : “Setelah mengabdi dan
mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk
mengikuti syathan dan mengejar seorang wanita lacur? Karena menyesal ku
potonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang
akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk
menemui orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang
hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini.”.
Puncak gunung itu terlapau tinggi untuk ku daki. Oleh
karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.
Seseorang mengisahkan kepadaku : “Memang ada seorang
lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di
puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan
berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus
mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si Pertapa kemudian bersumpah tidak
akan memakan makanan yang telah diussahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak
makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang
melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya.”
Segalasesuatu yang telah ku saksikan dan segala kisah
yang telah ku dengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barang
siapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah kan memeliharanya dan tidak
akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di alam perjalanan menuruni gunung itu aku
melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan
setelah ku amati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati : “Dari
manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”.
Seketika itu juga si burung melompat turn. Dengan
mematuk-matukan paruhnya, diacungkannya tanah dan tidak berapa lama kemudian
terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari eas dan penuh biji gandum,
sedang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya,
burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang
kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran menyaksikan keanehan tersebut.
Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa raganya dan benar-benar bertaubat
kepada Allah.
Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para
sahabatnya sampai di seuah padang pasir. Di sana mereka menemukan sebuah guci
berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat
sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas
dan permata-permata tersebut di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya
meminta : “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!.”
Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat
papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu
malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya :
“Seua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda
itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga
daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu
pengetahuan dan kebijaksanaan!.”
Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut
pula, sebagai berikut ini.
Suatu hari aku berjalan-jalan ssampai ke tepian sebuah
sungai., di situ ku lihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah
selesai, tanpa senegaja aku memandang loteng villa itu. Di atas balkon sedang
bediri seorang dara jelita. Karen ingin mempertegasnya aku pun bertanya :
“Upik, siapakah engkau ini?”.
Si dara menjawab : “Dzun Nun, dari kejauhan ku kira
engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan
ketika sudah dekat ku kira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku
bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang
mistikus.”
Aku bertanya : “Mengapa engkau berkata demikian?.”
Si dara menjawab : “Seandainya engkau gila, niscaya
engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak
memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikus
pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain Allah.”
Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah
aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia telah diutus Allah untuk
memberi peringatan kepda diriku. Api sesal membakar hati ku. Maka aku teruskan
pengemabaraanku ke arah pantai.
Sesampainya di pantai aku melihat orang-orang sedang naik
ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu,
seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu
persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa
permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksaku dan memperlakuan
diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan
lagi lalu berseru :
“Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya engkaulah Yang Maha
Tahu!.” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas
permukaan air dan mesing-masing membawa sebuah permata di mulutnya.
Aku mengambilna sebuah dan me,berikannya kepada si
saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal
berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzun
Nun (“Manusia Ikan).
DZUN NUN DITANGKAP DAN DIBAWA KE KOTA BAGHDAD
Dzun Nun telah mencapai tingkat keluhuran yang tinggi
tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di Negeri Mesir bahkan
sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala perbuatannya kepada
Khalifah al-Mutawwakkil. Mutawwakil segera mengirim para perwiranya untuk
membaw Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana khalifah, Dzun Nun
berkata : “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari seorang wanita tua
dan sikap saria tulen dari seorang kuli pemikul air.”
“Bagaimana?,” tanya mereka kepadanya.
Dzun Nun menjawab : “Sesampainya di istana khalifah dan
menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan pelayan yang hlir mudik
di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baiknya seandainya terjadi sedikit
perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita tua dengan sebuah tongkat
di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan tajam ia berkata kepadaku
:Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau hadapi, karena mereka dan
engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar. Kecuali apabila
dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadapmu.”
“Di tengah perjalanan tadi aku bertemu dengan seorang
pemikul air. Aku diberinya seteguk air yag menyegarkan. Kepada seorang teman
yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan sekeping uang dinar
kepadanya. Tapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima uang itu dan berkata
kepadaku : “Engkau adalah seorang yang terpenjara dan terbelenggu. Bukanlah
suatu keksatriaan yang sejati apabila menerima sessuatu dari seseorang yang
terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang terbelenggu.”
Setelah itu diperintahkansupaya Dzun Nun dijebloskan ke
dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya ia mendekam dalamm
kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya mengantarkan sekerat roti yang
telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan memintal benang. Ketika Dzun Nun
dibebaskan, ditemukan empat puluh potong roti di kamar kurungannya dan tak
satupun di antara roti-roti itu yang telah disentuhnya. Katika saudara
perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi sangat sedih.
“Engkau tahu bahwa roti-roti itu adalah halal dan tidak
ku peroleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau tidak mau memakan
roti-roti pemberianku itu.?”
“Karena pingganya tidak bersih,” jawab Dzun Nun. Yang
dimaksudkannya adalah bahwa pinggn tersebut telah terpegang oleh penjaga
penjara.
Ketika keluar dari penjara itu, Dzun Nun tergelincir dan
dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak mengeluarkan darah
tetapi tak setetespun yag mengotori muka, rambut maupun pakaiannya. Setiap
tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap dengan izin Allah.
Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap khalifah. Ia diharuskan
menjawwab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka dijelaskannya
doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawwakil menangis tersedu-sedu,
sedang menteri-menetrinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun. Khalifah
menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.
DZUN NUN DAN SEORANG MURID YANG SALEH
Dzun Nun mempunyai seorang murid yang telah bertapa
selama empat puluuh kali, masing-masing selama empat puluh hari. Empat puluh
kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh tahun ia teah
mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang menghadap Dzun Nun dan
berkata :
“Semua itu telah ku lakukan. Tetapi untuk semua jerih
payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dan tidak pernah
memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau memperlihatkan
keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu ku katakan bukan untuk memuji diriku
sendiri, aku semata-mata menyatakan hal yang sebenarnya. Aku telah melakukan
segala sesuatu yang dapat dilakukan oeh diriku yang malang ini. Aku tidak
mengeluh kepada Allah. Aku haya menyatakan hal yang sebenarnya bahwa aku telah
mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya meneyampaikan
kisah sedih dari nasibku yang malang ini. Kisah ketidakberuntungan diriku ini. Semua
itu ku kemukakan bukan karena hatiku telah jemu utnuk mematuhi Allah. Aku
kuatir jika masa-masa mendatang aku mengalami hal yang sama. Seumur hidup aku
telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban. Sangat berat bagiku
untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib bagi orang-orang
yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang suci, sembuhkanlah
duka citaku ini.”
“Malam ini makanlah dengan sepuas-puasnya.” Kata Dzun Nun
menasehati, “Tinggalkanlah shalat ‘Isa dan tidurlah dengan nyenyak sepanjang
malam. Dengan demikian jika Sag Sahabat selama ini tidak memperlihatkan
diri-Nya dengan kebajikan, maka setidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan
diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu. Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu
dengan kasih sayang, mala Dia akam memandangmu dengan kemurkaan.”
Si murid pun pergi dan pada malam itu ia makan dengan
sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat “Isha hatinya tidak mengijinkan.
Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun tidur. Malam itu di dalam
mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya :
“Sahabatmu mengucapkan ssalam kepadamu. Dia berkata :
“Hanya seorang malang yang lemah serrta bukan manusia sejatilah yang datang ke
hadiratKu dan cepat merasa puas. Inti permasalahan adalah hidup lurus tanpa
keluhan.” Alllah yang Maha Besar menyatakan “Telah ku berikan empat puluh tahun
keinginan kapada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau akan memperoleh segala
sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala keinginanmu itu. Tetapi ssampaikan
pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia bajingan dan berpura-pura itu,
Katakanlah kepadanya, wahai manusia pendussta yang suska berpura-pura, Jka
tidak Aku bukakan malumu kepada seluruh penduduk kota, maka Aku bukanlah
Tuhanmu. Awas, janganlah engkau sesatkan kekasih-kekasih-Ku yang malang dan
jangan lah engkau jauhkan mereka dari hadirat-Ku.”
Si murid terjaga dari tidurnya lalu menangis. Kemudian ia
pergi kepada Dzun Nun dan mengissahkan segala sesuatu yang disaksikan dan
didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata “Tuhan
mengirim salam dan menyaakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang suka
berpura-pura,” ia pun berguing-guling kegirangan dan menangis penuh
kebahagiiaan.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI DZUN NUN
Dzun Nun mengisahkan : Ketika aku sedang berjalan-jalan
di gnung, terlihat olehku sekumpulan orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada
mereka : “Apakah yang telah terjadi terhadap kalian.?”
Mereka menjawab : “Di dalam pertapaan yang terletak di
tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun sekali ia keluar dari
pertapaannya, meniup orang-orang ini. Lalu semuanya sembuh. Setelah itu ia pun
kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian berulah ia keluar lagi.”
Dengan sabar aku menantikan si pertapa itu keluar dari
dalam pertapannya. Ternyata yang ku saksikan adalah seorang lelaki berwajah
pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku gemetar karena kagum
memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa memandangi orang banyak itu,
kemudian menengadahkan pandangannya ke atas. Setelah itu semua orang-orang yang
mendertia sakit itu ditiupnya beberapa kali. Dan semuanya sembuh dari
penyakitnya.
Ketika si pertapa hendak kembali ke dalam pertapannya,
aku segera meraih pakaiannya dan berseru :
“Demi kasih Allah engau telah menyembuhkan
penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit di dalam
batinku ini.”
Sambil memandang diriku si pertapa berkata :
“Dzun Nun lepaskanlah tanganmu dariku. Sang Sahabat
sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika Dia lihat betapa
engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti Dia akan
meninggalkan dirimu bersama orang itu, maka celakalah engkau di tangan orang
itu.”
Setelah berkata demikian ia pun kembali ke dalam
pertapannya.
oooOOOooo
Suatu hari ssahabt-sahabatnya mendapati Dzun Nun sedang
menangis.
“Mengapa engkau menangis?” tanya mereka.
“Kemarin malam ketika bersujud di dalam
shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat oleh ku Allah dan Dia
berkata kepadaku : “Wahai Abu Faiz, Aku telah menciptakan semua makhluk terbagi
dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka Aku berikan harta kekayaan dunia.
Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini
terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan surga.
Semuanya berpaling kepada surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini
terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tunjukan neraka. Semua
lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh
harta kekayaan dunia, tidak mendambakan surga dan tak takut pada neraka. Apakah
sebenarnya yang kalian kehendaki?” Semuanya menengadahkan kepalanya sambil
berseru :
Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa
yang kami kehendaki.!”.
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang anak lelaki menghampiri Dzun Nun
lalu berkata : “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin menyumbangkan uang
ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku ini dpat digunakan
oleh murid-muridmu dan para guru sufi.”
“Apakah engkau sudah cukup umur?” tanya Dzun Nun.
“Belum”, jawab anak itu.
“Jika demikian engkau belum berhak untuk mengeluarkan
uang tersebut. Berssabarlah hingga engkau cukup dewasa.” Dzun Nun menjelaskan.
Setelah dewasa, anak itu kembali menemui Dzun Nun. Dengan
pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan semua uang dinar emas itu
diberikannya untuk para sufi, sahabat-sahabat Dzun Nun.
Suatu ketika para sufi itu mengalami kesulitan sedang
mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis dipergunakan.
Anak lelaki yang telah menyumbangkan uangya itu berkata :
“Sayang sekali, aku tak mempunyai yang seratus ribu dinar lagi untuk membantu
manusia-manusia berbudi ini.”
Kata-kata ii terdengar oleh Dzun Nun, maka sadarlah ia
bahwa anak tersebut belum menyelami kebenaran sejati dri kehidupan mistik
karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak itu dipanggil Dzun
Nun dan berkata kepadanya :
“Pergilah ke tabib anu, katakan kepadanya bahwa aku
menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu dirham kepadamu.”
Si pemuda segera pergi ke tabib dan tak lama kemudian ia
telah kembali lagi.
“Masukanlah obat-oat itu kedalam lumpang dan tumbuklah
sampai lumat,” Dzun Nun menyruh si pemuda. “Kemudian tuangkanlah sedikit minyak
sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian kepal-kepallah ramuan itu
menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum lobangilah ketiga-tiganya.
Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaki.”
Si pemuda melaksanakan seperti yang diperintahkan
kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada Dzun Nun.
Butiiran-butiran tersebut diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian ditiupnya.
Tiba-tiba bitur-butir itu berubah menjadi tiga buah batu mirah delimma dari
jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata kepada si
pemuda :
“Bawalah permata-permata ii ke pasar dan tanyakanlah
harganya, sampai tetapi jangan engkau jual.”
Si pemuda membawa batu-batu itu permata itu ke pasar.
Ternyata setiap butiranya berharga seribu dinar. Si pemuda kembali untuk
mengabarkan hal ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata : “Sekarang masukanlah
permata-permata itu ke dala lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah itu
lemparkanlah ke dala air.”
Si pemuda melakukan seperti yn disuruhkan, melemparkan
tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun berkata kepadanya
: “Anakku, para guru sufi itu bukan
lapar karena kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri.”.
Si pemuda bertaubat lalu jiwanya terjaga. Dunia ini tak
berharga lagi dalam pandangannya.
oooOOOooo
Dzun Nun berkisah sebagai berikut :
Selama tiga puluh tahun aku mengajak manusia untuk
bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah dengan segala
kepatuhan. Baginilah peristiwanya :
Pada suatu hari sewaktu aku berada di pintu sebuah
masjid, seorang pangeran beserta para pengiringnya lewat di depaku. Ku ucapkan
kata-kata : “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat melawan
si kuat.”
Si pangeran bertanya kepadaku : “Apakah makna kata-katamu
itu?.”
“Manusia adalah makhluk yang lemah, tetapi ia bergulat
melawan Allah Yang aha Kuat,” jawab ku.
Wajah si pangeran remaja itu berubah pucat. Ia bangkit
lalu meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya iakembali menemuiku dan
bertanaya : “Manakah jalan menuju Allah?”
“Ada jalan yang kecil dan ada jalan yang
besar, yang manakah yang engkau sukai?” Jika engkau menghendaki jalan yang
kecil, tinggalkanlah dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa
lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu
keccuali Allah lalu kosongkanlah hatimu.”
“Demi Allah akan ku pilih jalan yang besar,” jawab si
pangeran.
Esoknya ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba
dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi seorang manusia suci.
oooOOOooo
Kisah berikut ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far yang
bermata satu.
Aku bersama Dzun Nun dengan sekelompok murid-muridnya
berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan bahwa sesungguhnya manusia
dapat memerintah benda-benda mati.
“Inilah sebuah contoh,” kata Dzun Nun, “bahwa benda-benda
mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci. Jika kukatakan kepada
sofa itu menarilah mengelilingi rumah ini, maka ia pun menari.”
“Belum lagi Dzun Nun selesai dengan kata-katanya, sofa
itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik ke tempatnya
semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat menahan
ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka
memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.
oooOOOooo
Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Dzun Nun
dan berkata :
“Aku mempunyai hutang tetapi aku tidak mempunyai uang
untuk melunasinya.”
Dzun Nun memungut sebuah batu. Betu itu berubah menjadi
zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia membawa nya ke pasar dan
menjualnya dengan harga empat ratus dirham kemudian ia melunasi hutangnya.
oooOOOooo
Ada seorang pemuda yang seringkali mencemoohkan kaun
sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya kemudian memberikan
cincin itu kepada si pemuda ssambil berkata :
“Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah dengan harga
satu dinar.”
Si pemuda membawa cincin itu ke pasar tetapi tak seorang
pun mau menerimanya dengan harga di atas
satu dirham. Si Pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.
“Sekarang bawalah cincin ini kepada pedagang permata dan
tanyakan harganya.” Dzun Nun berkata kepada si pemuda.
Ternyata pedagang-pedagang permata menaksir harga cincin
itu saribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun berkata kepadanya :
“Engkau hanya mengetahui kaum sufi seperti
pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini.”
Si pemuda bertaubat dan ia tak mau lagi mencemooh para
sufi.
oooOOOooo
Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun ingin memakan
Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya. Kebetulan esok hari
adalah hari raya dan batinnya berkata : “Bagaimana jika esok engkau memberi
kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”
“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau kehendaki, maka
biarkanlah aku membaca seluruh ayat al-Qur’an di dalam shalat sunnat dua
raka’at malam nanti.”
Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya Dzun Nun
mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu
tidak disentuhnya; ia segera melakukan shalat.
“Apakah yang telah terjadi?”, seseorang yang menyaksikan
hal itu bertanya kepada Dzun Nun.
“Barusan, hatiku berkata kepadaku,” jawab Dzun Nun.
“Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku.!”
Tetapi segera ku jawab “ “Demi Allah, keinginanmu tidak
akan tercapai.”
Yang meriwayatkan kisah ini menyatakan bahwa begitu Dzun
Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang yang membawakan semangkuk
sekbaj ke hadapannya dan berkata :
“Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri,
tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk persoalannya kepadamu. Aku
mencari nafkah sebagai seorang kuli padahal aku mempunyai beberpa orang anak.
Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan untuk itu aku telah menabung
uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku
bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata
kepadaku : “Jika engkau ingin melihatku di hari berbangkit nanti, bawalah
sekbaj itukepada Dzun Nun dan katakan kepadanya bahwa Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muththalib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara
dapat berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekedar nya.”
“Aku taati,” sahut Dzun Nun sambil menangis.
oooOOOooo
Ketika Dzun Nun terbaring menunggu ajalnya, sahabat-sahabatnya
bertnya :
“Apakah yang engkau inginkan saat ini?”
Dzun Nun menjawab : “Keinginanku adalah walau untuk
sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya,” Kemudian Dzun Nun bersyair :
Takut telah meletihkan diriku;
Hasyrat telah memebakar diriku;
Cinta telah memperdayakanku.
Tetapi Allah telah menghidupkan aku kembali.
Pada suatu hari ketika Dzun Nun tidak sadarkan diri. Pada
malam kematiannya, tujuh puluh orang telah bertemu dengan Nabi Muhammad di
dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkan bahwa di dalam mimpi itu Nabi berkata
: “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut kedatangannya.”
Ketika Dzun Nun meninggal dunia, orang-orang menyaksikan
tulisan berwarna hijau di dahinya : “Inilah sahabat Allah. Ia mati di dalam
kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah dengan pedang-Nya.”
Ketika orang-orang mengusung mayatnya ke pemakaman,
matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Burung-burung turun dari
angkasa dan dengan sayapsayap mereka meneduhi peti mati Dzun Nun sejak dari
rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu seorang muadzin
menyerukan adzan. Sewaktu si Muadzin mengucapkan kata-kata Syahadah, dari balik
kafan terlihat jari tangan Dzun Nun menggcung ke atas.
“Ia masih hidup!.”
Orang-orang berseru kaget.
Mereka menurukan usungan itu. Memang jari tangan Dzun Nun
mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka mencoba namun mereka
tak dapat membenarkan jarinya yang mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar
hal ini, mereka semua merasa malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang
telah mereka lakukan terhadap Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan di atas
kuburan Dzun Nun telah mereka lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan
dengan kata-kata.
9. ABU YAZID AL-BUSTHAMI
ABU YAZID
AL-BUSTHAMI : LAHIR DAN MASA REMAJANYA
Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganaut
agama Zoroaster. Ayahnya adalah seorang di antara orang-orang terkemuka
Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam
kandungan ibunya.
“Setiap kali akau menyuap makanan yang ku ragukan
kehalalannya,” ibunya sering berkata kepada Abu Yazid. “engkau yang masih beraa
di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu ku
muntahkan kembali.”
Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia
di atas jalan ini.”
“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,” jawab Abu
Yazid.
“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.”
“Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam.”
“”Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?”
“Hati yang mengetahui.”
“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?”
“Mata yang melihat.”
“Jika tidak memiliki mata yang melihat?”
“Kematian yang segera.”
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke
sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan
arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi : “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada
kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu
Yazid melerakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya : “Izinkan aku
pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.”
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke
rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata :
“Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau
mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat
di mmana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak
dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan. Ayat ini sangat
menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi
milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat
hidup untuk Dia semata-mata.”
“Anakku”, jawab ibunya. “aku serhkan engkau kepada Allah
dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku. Pergilah engau dan
jadilah sorang hamba Allah.”
Di kemudian hari Abu Yazid berkata :
“Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban
yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban
yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam
berbakti kepada ibuku itulah ku peroleh segala sesuatu yang ku cari, yakni
segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan
pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam,
ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam
tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong.
Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan iar.
Ketika aku pulang, ternyta ibuku sudah tertidur.”
“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam
rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian
memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat
tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”, ibu bertanya,
“Aku takut ibu terjaga sedag aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu
berkata kepadaku : “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.”
“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap
dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku.
Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan
berkali-kali.”
Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu
Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama
tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di
siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan
seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap
pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang
bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq
berkata kepadanya.
“Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”
“Jendela? Jendela mana?” tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak
pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan
jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak
datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.”
“Jika demikian,” kata si guru, “kembalilah ke Bustham.
Pelajaranmu telah selesai.”
oooOOOooo
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada
seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah
dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah
kota Mekkah, karena itu segera ia memutar langkahnya.
“Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari
jalan Allah,” Abu Yazid berkata mengenai guru tadi. “Niscaya ia tidak akan
melanggar hukum seperti yang telah dilakukannya.”
Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat
puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan
menghormati masjid tersebut.
oooOOOooo
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan waktu dua
belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang
pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu. Abu Yazid
segera membentangkan sajadahnya dan melakukan shalat sunnat dua raka’at.
Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka’bah, bukanlah seperti serambi istana
raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.”
Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah tetapi ia tak pergi ke
Madinah pada tahun itu juga.
“Tidaklah pantas perkunjungan ke Madinah hanya sebaai
pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan. “Saya akan mengenakan pakaian haji yang
berbeda untuk mengunjungi Madinah.”
Tahun berikutnya, sekali lagi ia menunaikan ibadah haji.
Ia mengenakan pakain yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai
menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu
rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci,
banyak orang yang mengikutinya.
“Siapakah orang-orang ini?” ia bertanya sambil melihat ke
belakang.
“Mereka ingin berjalan bersamamu,” terdengar sebuah
jawaban.
“Ya Allah!.” Abu Yazid bermohon, “Jaganlah Engkau tutup
penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.”
Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak
menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan shalat Shubuh,
Abu Yazid berseru kepada mereka : “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan
selain Aku dan karena itu sembahlah Aku.”
: Abu Yazid sudah gila!.” Seru mereka kemudian
meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di teengah perjalanan
ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertulisakan : Tuli, bisu,
buta....... mereka tidak memahami.
Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu
menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi.” Gumamnya. “yang
menjadi lebur di dalam Allah.... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk
mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan
abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tidak lagi
mempunyai akal walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan Allah yang sejati.
Tulisan ini adalah mengenai dirinya.”
Suatu hari Abu Yazid melakukan perjalanan. Ia membawa seekor
unta sebagai tungggangan dan pemikul perbekalannya.
“Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau
tanggung. Sungguh kejam!.” Seseorang berseru.
Setelah mendengar suara ini berulang kali, akhirnya Abu
Yazid menjawab.
“Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul
beban.”
Kemudia si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar
berada di ats punggung unta tersebut, barulah ia percaya setelah melihat beban
itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun
tidak memikul beban tersebut.
“Maha Besar Allah, benar-benar menkajubkan!”, seru si
pemuda.
“Jika ku sembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku,
engkau akan melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi
jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat
memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?!”
oooOOOooo
Setelah Abu Yazid mengunjungi kota Madinah, datang sebuah
perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan
oarang, ia pun berangkat menuju Bustham. Berita kedatangan Abu Yazid tersebar
di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyongsongnya. Pasti Abu
Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuat ia akan terhalang untuk
menyegerakan perintah Allah itu. Oleh karena itu ketika penduduk kota telah
hampur sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat
itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti
tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu
berpaling darinya.
“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada
sahabat-sahabatnya. “betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi
semua orang berpaling dariku.”
Dengan sabar Abu Yazid menunggu samapai malam tiba.
Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah
ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci
lalu shalat.
“Ya Allah, periharalah dia yang terbuang.” Terdengar doa
ibunya,”cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk
kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis. Kemudian ia
mengetuk pintu.
“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam.
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata
penglihatan ibunya sudah kabur.
“Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah
engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian
banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah
bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”
MI’RAJ ABU YAZID
Abu Yazid mengisahkan : Dengan tatapan yang pasti aku
memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya,
menerangi diriku dengan cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya
dan menunjukan kebesaran-Nya kepadaku.
Setelah menatap Allah kau pun memandang diriku sendiri
dan merenungi rahasia serta hahekat diriku ini. Cahaya diriku adalah kegelapan
jika dibanding dengan cahaya-Nya: Kebessaran diriku sangat kecil jika dibanding
dengan kebesaran-Nya; kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika
dibandingkan dengan kemulian-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam ddiriku
segalanya kotor dan cemar.
Bila ku renungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup
karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan ddiriku bersumber dari kemuliaan
dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah ku lakukan, hanyalah karena
kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya
melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala
kebaktianku bersumber dari Allah., bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini
aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.
Aku bertanya : “Ya Allah, apakah ini?”
Dia menjawab : “Semuanya adalah Aku, tidak da sesuatu pun
juga kecuali Aku.”
Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat
melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya
sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan
diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikit pun tidak
tergoyahkan oleh karena adaku. Demikian lah Allah, kebenaran Yang Tunggal
menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di
dalam realitas-Nya.
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat
lamanya. Ku tutup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta, ku
telan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Ku campakkan pengetahuan yang telah ku
tuntut dan ku bungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan
aniaya. Di sana aku berdiam dengan teenang. Dengan karunia Allah aku membuang
kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belah kasihan kepadaku. Ia memberkahiku
dengan pengeteahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokan
ku. Untuk ku diciptakan-Nya sebuah amta dari cahaya-Nya, semua makhluk ku lihat
melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu, aku berkata-kata kepada Allah dengan
pengetahuan Allah ku peroleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku
menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepada ku : Wahai engkau yang tak memiliki sesutau pun jua
namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah
mempunyai kekayaan!.”
“Ya Allah,”, jawabku. “Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu.
Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah
lebih baik jika Engkau menjadi milik ku tanpa aku, daripada aku menjadi milik
ku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepda-Mu melalui
Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau.”
Allah berkata : “Oleh karena itu, perhatikanlah Hukum-Ku
dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar kami berterima
kasih akan segala jerih payahmu.”
“Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku
benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih
kepada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau
mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya.”
“Dari siapakah engkau belajar?” tanya Allah.
“Ia yang Bertanya lebih tahu dari iai yang ditanya,” jawabku. “karena Ia
adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghassratkan, Yang Dijawab dan Yang
Menjawab.”
Setelah ia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku
mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya.
Dia menerangi diriku, menyelamatkanku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran
jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia-lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah
aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
“Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau
kehendaki!”, kata Allah.
“Engkaulah yang ku inginkan,” jawabku,” karena Engkau
lebih dari kelimpahan, lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan
kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan
kelimpahan dan kemurahan. Jangan Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah
Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau.”
Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil
meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia :
“Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitas yang
engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran.”
“Jika aku telah melihat,” kataku pula, “melalui Engkaulah
aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar.
Setelah Engkau, barulah aku mendengar.”
Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepda-Nya. Karena itu
Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehinngga aku dapat melayang-layang
memandangi alam kebesaran-Nya, dan hal-hal menakjubkan dari ciptaan-Nya. Karena
mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku
dengan kekuatan-Nya sendiri dan mendandani diriku dengan perhiasan-perhiasan-Nya
sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan
membuka pintu istana keleburan untukku. Setelah Ia melihat betapa sipat-sipatku
lebur ke dalam sipat-sipat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku dalam wujud-Nya
sendiri. Maka terciptalah keleburan dan punahlah perpisahan.
“Kepusan Kami adalah kepuasanmu.” Katan-Nya, “dan
kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan
tak seorang pun akan menghukummu karena ke aku-anmu.”
Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa
cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian
itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya :
“Siapakah yang memiliki kerajaan ini?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kekuasaan?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kehendak?”
“Engkau,” jawwabku.
Karena jawaban-jwabanku itu persisi seperti yang
didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukan-Nya kepadaku betapa jika
bukan karena belaskasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika
bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah di binasakan oleh
kemahaperkasaan-Nya. Dia memandang ku dengan mata Yang Maha Melihat melalui
medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak
terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah ku terjuni. Kulumatkan tubuhku ke
dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Ku pacu kuda pemburuan di dalam hutan
belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapan
dan tidak ada yang lebih baik daripada ketidakberdayaan. Tiada pelita yang
lebih terang daripada keheningandan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada
kebisuan. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan,
sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia amelihat bertapa
jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya
pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah
keselamatan dan ketauhidan.
Kini telah ku miliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah
hati yang memancarkan nur Ilahi, dan mata yang telah ditempa oleh tangan-Nya
sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya-lah aku
memegang. Karena melalui Dia aku hidup, maka aku tidak akan pernah mati. Karena
telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku
berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh
keselamatan. Aku tidak berbicara melalui diriku sendiri sebagi seorang pemberi
peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya sedangkan
aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini
adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku, Dia berkata : “Hamba-haba Ku
ingin bertemu denganmu.”
“Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka.” Jawabku.
“Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka,
maka aku tidak akan menetang kehendak-Mu. Hiasilah diriku dengan ke Esaan-Mu,
sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah
ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku
ini.”
Keinginanku ini dikabulkanNya. Ditaruh-Nya mahkota
kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata : “Temuilah hamba-hamba-Ku itu.”
Aku pun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya, Tetapi
pada langkah yang ke dua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah olehku seruan :
“Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapt hidup
tanpa Aku dan tidak ada satu jalan pun yang diketahuinya keculi jalan yang
menuju Aku.”
Setelah aku mencapai taraf peleburan ke dalam keesaan ... itulah saat
pertama aku menatap Yang Esa --- bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam
lembah yang berada di kaki bukit pemahaman : Kisah Abu Yazid. Akhirnya aku
menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari keesaan dan dengan sayap
keabaddian. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun
berkata : “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta.”
Kemudian ku tengadahkan kepala ku dari lembah kemuliaan.
Dahagaku ku puaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang jaman.
Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam keleburan-Nya yang
luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan-Nya dan selama tiga puluh ribu
tahun di dalam keesaan-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun
terlihatlah olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku
sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika
sampai ke akhir penjelajahan itu terlihatlah olehku bahwa aku masih berada pada
tahap awal kenabian. Maka ku lanjutkan pula pengebaraan yang tak berkwsudahan
itu untuk beberapa lama, aku katakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang
pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah ku capai ini.
Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.”
Tetapi ketika ku tajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak
kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai
oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian.
Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat ku bayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan
Allah. Surga dan neraka ditunjukan kepada ruhku itu tetapi ia tidak perduli.
Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya perduli? Semua sukma yang bukan
Nabi yang ditemuinya tidak diperdulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia
kesayangan Allah, Nabi Muhammad saw. Terlihatlah olehku seratus ribu lautan api
yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kucercahkan kaki ke
dalam yang pertama di antara lautan-alutan api itu, niscaya aku hangus binasa.
Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku jadi sirna. Tetapi betapa pun
besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad,
Rasulullah. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani
berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata : “Ya Allah, segala sesuatu
yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju
kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus ke akuan ini.
Apakah yang harus ku lakukan.\?”
Maka terdengarlah perintah : “Untuk melepaskan ke akuan itu, ikutilah
kekasih Kami, Muhammad si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan
ikutilah jejaknya.”
ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU’ADZ
Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid : “Apakah
katamu mengenai seseornag yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk
tiada henti-hentinya?”
“aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang ku ketahui
hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi ssamudra
luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga,”
“Yahya bin Mu’adz menyurati lagi : “Ada sebuah rahasia
yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam
surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu
kepadamu.”
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan
pesan : “Syeikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air
zamzam.”
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia
yang hendak disampaikan Yahya bin Mu’adz itu : “Mengenai tempat pertemuan yang
engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat
menikmati surga dan pohon Tuba. Tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak
dapat kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan,
tetpi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.”
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid.
Ia datang pada waktu shalat ‘Isa. Yahya bin Mu’adz berkisah sebagai berikut :
Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun
tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang
pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti yang dikatakan
orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang
Shalat “Isa. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan
harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu
Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di dalam doanya :
“Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima
kehormatan-kehormatan ini.”
Setelah sadar , Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid
dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab :
“Labih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun
yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan
mata.”
“Guru mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik,
karena bukankah Dia Raja di antara sekalian raja dan pernah berkata : “mintalah
kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?” Yahya bertanya.
“Diamlah,” sela Abu Yazid. “Aku cemburu kepada diriku
sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia
yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya apakah peduliku. Sesungguhnya
seperti itulah kehendak-Nya. Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan
mengenal diri-Nya.”
“Demi keagungan Allah,” Yahya bermohon, “berikanlah
kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam
tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, ksucian
Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan “Isa,
dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan
mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu.” Jawab Abu Yazid. “Tetaplah
merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila
engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal; maka hal itu yang akan
membutakan matamu.”
ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal
di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri
senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan
tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat
beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid : “Pada
hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan doa
sepanjag malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau
sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada
pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.”
“Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus
tahun, sedikit pun dari ceramah-ceramah ku ini tidak akan dapat engkau hayati.”
“Mengapakah demikian?” tanya si murid.
“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri,” jawab Abu
Yazid.
“Apakah yang harus ku lakukan?, tanya si murid pula.
“Jika ku katakan, pasti negkau tidak mau menerimanya.”
“Akan ku terima! Katakanlah kepadaku agar ku lakukan
seperti yang engkau petuahkan.”
“Baiklah!, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga cukurlah
janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan
gantilah dengan cawat ayng terbuat dari bulu domba Gantungkan sebungkus kacang
di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak
mungkin dan katakan kepada mereka : “Akan ku berikan sebutir kacang kepada
setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah
berkeliling kota, terutama sekali ke tempat-tempat di mana orang-orang sudah
mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.”
“Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah,” cetus si
murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia
menjadi seorang Muslim,” kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata
yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Mengapa begitu?”, tanya si murid.
“Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk
berbuat seperti yang telah ku katakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan
kata-kata tadi untuk menunjukan bahwa engkau adalah seorang penting, bukan
untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan
Allah.”
“saran-saran mu tadi tidak dapat ku laksanakan.
Berikanlah saran-saran yang lain.” Si murid berkeberatan.
“Hanya itulah yang dapat ku sarankan,” Abu Yazid
menegaskan.
“Aku tak sanggup melaksanakannya,” si murid mengulangi
kata-katanya.
“Bukankah telah kau katakan bahwa engkau tidak akan
sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku?, kata
Abu Yazid.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI ABU YAZID
Abu Yazid berkata : Dua belas tahun lamanyngkau selalu a
aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Ku lemparkan diriku sendiri ke dalam
tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras.
Kemudian ku taruh diriku keatas alas penyesalan. Lalu ku pukul denagn martil
pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah ku tempa sembuah cermin
diriku sendiri dan cermin itu senantiasa ku poles dengan segala macam kebaktian
dan kepatuhan kepada Allah. Setelah itu setahun lamanya aku menatapi bayanganku
sendiri di dalam cermin itu dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit
sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh
orang-orang kafir. Hal itu adalah karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku
itu dan memuji perbuatan-perbuatanku tersebut. Lima thaun lamanya aku bersussah
payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang
Muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa
mereka semua mati. Empat kali kuucapkan Allahu Akbar di atas jasad-jasad
mereka, dan setelah dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa
menyeret=nyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.”
oooOOOooo
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan masjid, sesaat
lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
“Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya seseorang
kepdanya.
“Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang
haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid,” jawabnya.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan ke Hijaz,
tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi.
“Diwaktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan
niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”, seseorang bertanya kepada
Abu Yazid.
“Baru saja aku palingkan wajhku ke jalan”, jawab Abu
Yazid, “terlihatlah olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus
dan berkata : “Jika engkau kembali, selamat dan sejahtera lah engkau. Jika
tidak, akan ku tebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk
pergi ke rumahnya.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Di tengah jalan, aku bertemu
dengan seorang lelaki. Ia bertanya kepadaku :
“Hendak kemanakah engkau?”
“Ke Tanah Suci” jawabku.
“Berapa banyakkah uang yang engkau bawa?”
“Dua ratus dirham.”
“Berikanlah uang itu kepadaku,” lelaki itu mendesak. “Aku
adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah diriku sebanyak tujuh kali,
maka selesasilah ibadah hajimmu itu.”
Aku menuruti kata-katanya kemudian kembali ke rumah.
oooOOOooo
Pir ‘Umar meriwaayatkan bahwa apabila Abu Yazid ingin
menyendiri, baik untuk beribadah maupun utuk menerungi Allah, maka ia masuk ke
dalam kamarnya dan dengan cermat menutupi setiap celah dan lobang di dinding
kamar itu. Mengenai tingkah lakunya ini Abu Yazid menjelaskan :
“Aku kuatir kalau ada suara atau kebisingan yang akan
mengganggu.”
Sudah pasti yang dikatakannya itu hanya sebuah dalih
semata-mata.
oooOOOooo
Isa al Busthami meriwayatkan : Selama tiga belas tahun
bergaul dengan Syaikh Abu Yazid, tak pernah terdengar olehku ia mengucapkan
sepatah kata pun. Demikianlah kebiasaannya, senantiasa menekurkan kepala ke
atas kedua lututnya, kadang menengadahkan, mengeluh dan kembali ke dala
perenungannya.
Mengenai hal ini Sahlagi mengomentari, memang demikianlah
tingkah aku Abu Yazid apabila berada dalam keadaan “gundah” tetapi apabila
berada dalam keadaan “lapang” setiap orang akan mendapatkan manfaat dari
ceramah-ceramahnya.
“Pada suatu ketika,” Sahlagi bercerita : “Ketika Abu Yazid sedang
berkhalwat, terdengarlah ia mengucapkan kata-kata : “Maha besar aku, Betapa
mulia diriku ini.” Ketika ia sadar, murid-muridnya menyampaikan kata-kata
yang diucapkan lidahnya tadi kepadanya. Maka, Abu Yazid menjawab : “Memusuhi Allah
adalah sama dengan memusuhi Abu Yazid. Jika aku mengucapkan kata-kata seperti
itu sekali lagi, cincanglah tubuhku ini.”
“Kemudian kepada setiap muridnya diberikannya sebuah
pisau dengan pesan : “Jika kata-kata tadi kuucapkan lagi, bunuhlah aku dengan
pisau ini.”
“Tetapi apa nyana, untuk keduakalinya Abu Yazid
mengucapkan kata-kata yang sama. Murid-muridnya hendak membunuhnya. Tetapi
seketika itu juga tubuh Abu Yazid menggelembung dan memenuhi seluruh ruangan.
Para sahabat melepaskan bata-bata dari dinding ruangan itu sambil menghujamkan
pisau ke tubuh Abu Yazid. Tetapi pisau-pisau itu bagai menikam air dan
pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak berakibat apa-apa. Beberapa saat
kemudian tubuh yang menggelembung tadi menciut kembali dan terlihatlah Abu
Yazid yang bertubuh kecil seperti seekor burung pipit sedang duduk di sajadah.
Sahabat-sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang telah terjadi. Abu
Yazid berkata :
“Yang kalian saksikan sekarang inilah Abu Yazid, yang
tadi bukan Abu Yazid.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid memegang sebuah apel merah di
tangannya dan memandanginya.
“Satu buah apel yang indah,” kata Abu Yazid. Di saat itu
juga sebuah suara lberkata di dalam batinnya :
“Abu Yazid, tidakkah engkau mempunyai malu untuk
memberikan nama-Ku kepada sebuah apel!?”
Maka, empat puluh hari lamanya lupalah Abu Yazid akan
segala sesuatu kecuali nama Allah.
“Aku telah bersumpah,” Syeikh Abu Yazid menyatakan,
“bahwa aku tidak akan memakan buah-buahan dari Bustham selama hidupku.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang
duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah syeikh
dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera
sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke
Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan
meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan
diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu.
Pada hari yang keempat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang
seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati
ddirinya dengan seksasma, terlihatlah olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di
dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera
menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki beremata sastu itu memandangiku.
“Sejauh ini engkau memanggilku,” katanya, hanya untuk
membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk
menenggelamkan penduduk Bustham berssama Abu Yazid?.”
Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu
: “Dari manakah engkau datang?.”
“Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang ku
tempuh,” kemudian ia menambahkan,” Berhati-hatilah Abu Yazid! Jagalah hatimu!.”
Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan
meninggalkan tempat itu.
oooOOOooo
Dzun Nun mengirimkan sebuah sajadah kepada Abu Yazid.
Tetapi Abu Yazid mengembalikannya kepada Dzun Nun sambil berpesan : “Apakah
perluku dengan sebuah sajadah?” Kirimkanlah sebuah bantal sebgai tempatku
bersandar!.” Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan bahwa ia telah
berhasil mencapai tujuan.
Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah bantal yang empuk.
Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid karena pada saat itu ia telah
bertaubat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Mengenai perbuatannya ini
Abu Yazid mengatakan : “Manusia yang berbantalkan karunia dan kasih Allah tidak
membutuhkan bantal dari salah seorang di antara hamba-Nya.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkisah : Suatu ketika aku bermalam di padang
pasir. Ku tutupi kepalaku dengan pakaian dan aku pun tertidur. Tanpa
disangka-sangka aku mengalami sesuatu (yang dimaksudkan adalah mimpi berahi)
sehingga aku harus mandi. Tetapi malam itu terlampau dingin, dan ketika terjaga
aku merasa enggan sekali untuk bersuci dengan air dingin. “Tunggulah sampai
matahari tinggi!.” Batinku berkata.
Setelah menyadari betapa diriku enggan dan tidak
memperdulikan kewajiban-kewajiban agama itu, aku segera bangkit, kulumerkan
salju dengan jubahku lalu aku mandi. Jubah yang basah itu kukenaan kembali
sehingga aku jatuh pingsan kedinginan. Beberapa saat kemudian aku siuman,
ternyata jubahku telah kering.
oooOOOooo
Abu Yazid sering berjalan-jalan dalam sebuah pekuburan.
Pada suatu malam ketika ia pulang dari pekuburan itu ia berpapasan dengan
seorang pemuda bangsawan yang memainkan sebuah kecapi. “Semoga Allah melindungi
kita!.” Seru Abu Yazid.
Mendengar seruan itu si pemuda menyerang Abu Yazid dan
memukulkan kecapi itu ke kepala Abu Yazid sehingga kepalanya berdarah dan
kecapi itu sendiri pecah. Ternyata si pemuda dalam keadaan mabuk dan tidak
menyadari siapakah yang diserangnya itu.
Abu Yazid terus pulang dan ketika hari telah siang,
dipanggilnyalah salah seorang di antara murid-muridnya.
“Berapakah harga sebuah kecapi?”, tanya Abu Yazid
kepadanya.
Si murid memberitahu harganya. Dengan secarik kain
dibungkusnya uang seharga kecapi ditambah dengan makanan yang manis-manis, lalu
dikirimkannya kepada si pemuda.
“Sampaikan kepada si pemuda itu bahwa Abu Yazid meminta
maaf kepadanya. Katakan kepadanya bahwa tadi malam ia menyerang Abu Yazid
dengan kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai gantinya terimalah uang ini
dan belilah kecapi yang baru. Sedngkan makanan-makanan yang manis ini adalah
untuk menawarkan kedukaan hatimu karena kecapi milikmu itu telah pecah.”
Ketika si pemuda bangsawan itu menyadari perbuatan yang
telah dilakukannya, ia pun mendatangi Abu Yazid untuk memohon maaf. Ia
bertaubat. Begitu pula banyak pemuda-pemuda lain yang menyertainya.
oooOOOooo
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang
muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan
datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke inggir untuk memberi jalan
kepada binatang itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid
ini dan berkata : “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas
segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah raja di antara kaum mistik,”
tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih
memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”
Abu Yazid menjawab : “Anak muda, anjing tadi secara
diam-diam telah berkata kepadaku : “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal
kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah
kehormatan sebagai raja di antara para mistik?”
Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena
itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Abu Yazid sedang menyusuri sebuah jalan
ketika seekor anjing berlari-lari di sampingnya. Melihal hal ini Abu Yazid
segera mengangkat jubahnya, tetapi anjing berkata :
“Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan
apa-apa. Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang
bercampur tanah tujuh kali, selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila
engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi, dirimu tidak akan menajdi
bersih walau engkau membasuhnya dalam tujuh samudera.”
Abu Yazid menjawab : “Engkau kotor secara lahiriah tetapi
aku kotor secara batiniah. Marilah kita bersama-sama berusaha agar kita berdua
menjadi bersih.”
Tetapi si anjing menyahut : “Engkau tidak pantas untuk
berjalan bersama-sama dengan diriku dan menjadi sahabatku, karena semua orang
menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku
akan melempariku dengan batu tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan
menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan
sepotong tulang tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari.
Abu Yazid berkata : “Aku tidak pantas berjalan bersama
seekor anjing! Bagaimana aku dapat berjalan bersama Dia Yang Abadi dan Kekal?”
Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara
makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuanya!.”
Kemudian Abu Yazid meneruskan kisahnya :
“Aku sangat berduka, bagaimana aku dapat menjadi hamba
Allah yang patuh? Aku berkata pada diriku sendiri : “Aku akan pergi kepasar
untuk membeli ikat pinggang (yang dikenakan oleh orang-orang bukan Muslim), dan
ikat pinggang itu akan kupakai sehingga namaku menjadi hina di dalam pandangan
orang! Maka pergilah kau ke pasar hendak membeli sebuah ikat pinggan . Di dalam
sebuah toko terlihat olehku ikat pinggang yang sedang terpajang. “Harganya
paling-paling satu dirham.” Kataku dalam hati. Kemudian aku bertanya kepada
pelayan toko itu : “berapa harga ikat pinggang ini?. “Seribu dinar,” jawabnya.
Aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Pada saat
itu terdengar olehku sebuah seruan dari atas langit : “Tidak tahukah engkau
bahwa dengan harga di bawah seribu dinar orang-orang tidak akan menjual sebuah
sabuk untuk diikatkan ke pinggang seorang manusia seperti engkau? Mendengar
seruan itu hatiku bersorak girang karena tahulah aku bahwa Allah masih
memperhatikan hamba-Nya ini.”
oooOOOooo
Suatu malam Abu Yazid bermimpi malaikat-malaikat dari
langit pertama turun ke bumi. Kepada Abu Yazid mereka berseru : “Bangkitlah dan
marilah berzikir kepada Allah!.”
Abu Yazid menjawab : “Aku tidak mempunyai lidah untuk
berzikir kepada-Nya.”
Malaikat-malaikat dari langit yang kedua turun pula ke
bumi. Mereka menyerukan kata-kata yang sama dan Abu Yazid memberikan jawaban
yang sama, Begitulah seterusnya sehingga malaikat –malaikat dari langit yang ke
tujuh turun. Namun kepada mereka ini pun Abu Yazid memberikan jawaban yang
itu-itu juga. Maka malaikat-malaikat itu bertanya kepada Abu Yazid :
“Kapankah engkau akan memiliki lidah untuk berzikir
kepada Allah?”
“Apabila penduduk nneraka telah tetap di neraka dan
penduduk surga telah tetap di dalam surga dan hari Berbangkit telah lewat, mka
Abu Yazid akan mengelilingi tahta Allah sambil
berseru : “Allah, Allah!.”
oooOOOooo
Di dekat rumah Abu Yazid tinggal seorang penganut agama
Zoroaster. Ia mempunyai seorang anak yang selalu menangis karena rumah mereka
gelap tidak berlampu. Abu Yazid sendiri telah membawakan sebuah pelita untuk
mereka. Si anak segera reda dari tangisnya. Mereka berrkata :
“Karena cahaya Abu Yazid telah memasuki rumah ini, maka
sangat disayangkan apabila kita tetap berada di dalam kegelapan.”
Mereka segera memeluk agama Islam.
oooOOOooo
Pada suatu malam Abu Yazid tiak memeproleh kekhusyukan
dalam shalatnya. Maka berkatalah ia kepada muridnya :
“Carilah jika ada barang berharga di dalam rumah ini.”
Murid-muridnya mencari-cari lalu menemukan setengah
tandan anggur. Kemudian Abu Yazid memerintahkan :
“Bawalah anggur-anggur itu dan
berikan kepada orang-orang lain. Rumahku ini bukan toko buah-buahan.”
Setelah itu Abu Yazid dapat
melakukan shalat dengan khusyuk.
oooOOOooo
Pada suatu hari seseorang berkata
kepada Abu Yazid : “Sewaktu ada orang yang meninggal dunia di Tabaristan,
kulihat engkau di sana bersama Khidir as. Dia merangkulkan tangannya ke lehermu
sedang engkau menaruh tanganmu ke punggungnya. Ketika para pengantar pulang
dari pemakaman, kulihat engkau terbang ke angkasa.”
“Ya, segala yang engkau katakan itu
benar-benar terjadi,” jawab Abu Yazid.
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki yang
tidak mempercayai Abu Yazid datang berkunjung untuk mengujinya.
“Katakanlah kepadaku jawaban sesuatu
masalah,” katanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid melihat betapa lelaki itu
tidak mempercayainya di dalam hati. Maka berkatalah Abu Yazid : “Di atas sebuah
gunung ada sebuah gua dan di dalam gua itu ada seorang sahabtku. Mintalah
padanya untuk menjelskan masalah itu kepadamu.”
Lelaki itu segera pergi ke gua yang
dikatakan Abu Yazid. Tetapi yang dijumpainya di sana adalah seekor naga yang
besar dan sangat menakutkan. Menyaksikan hal ini ia pun jatuh pingsan dan
pakaiannya menjadi kotor. Begitu kembali siuman cepat-cepat ia meninggalkan
tempat itu, tetapi sepatunya tertinggal. Ia lalu kembali kepada Abu Yazid :
Sambil bersujud di kaki Abu Yazid ia bertaubat, lalu Abu Yazid berkata kepaanya
:
“Maha Besar Allah! Engkau tidak
berani mengambil sepatumu hanya karena takut kepada makhluk-Nya. Apabila engkau
takut kepada Allah, bagaimanakah engkau berani mengambil “Rahasia” yang engkau
cari di dalam keingkaranmu?”
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki
datang dan menanyai Abu Yazid tentang hal rasa malu. Abu Yazid memberikan
jawaban dan seketika itu juga orang tersebut berubah menjadi air. Saat kemudian
masuk pula seorang lelaki, setelah melihat genangan air itu ia bertanya kepada
Abu Yazid : “Guru, apakah itu?”
Abu Yazid menjawab : “Seorang lelaki
masuk lalu bertanya tentang rasa malu. Aku memberikan jawaban. Mendengar
penjelasanku itu ia tidak dapat menahan dirinya dan karena sngat malu tubuhnya
berubah menjadi air.”
oooOOOooo
Hatim Tuli berkata kepada murid-muridnya
:
“Barang siapa di antara kamu yang
tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari Berbangkit nanti, ia bukan
muridku,”
Perkataan Hatim ini disampaikan
orang kepada Abu Yazid. Kemudian Abu Yazid menambahkan :
“Barang siapa yang berdiri di tebing
neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian
mengantarkannya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, maka
ia adalah muridku.”
oooOOOooo
Suatu ketika pasukan kaum Muslimin
berperang melawan Bizantium. Mereka hampir dapat dikalahkan musuh. Tiba-tiba
mereka mendengar sebuah seruan : “Abu Yazid, tolonglah!.”
Seketika itu juga api menyembur dari
arah Khurasan sehingga pasukan orang-orang kafir mati ketakutan dan pasukan
kaum Muslimin dapat memenangkan pertempuran.
oooOOOooo
Abu Yazid ditanya orang : “Bagaimana
engkau daapt mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?”
“Pada suatu malam ketika aku masih
kecil,” jawab Abu Yazid, “Aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang
dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba ku lihat suatu kehadiran. Di sisinya ada
delan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku
bergetar kencang lalu hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku
berseru : “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikan
kosong. Hasil karya yang sedemikian agung, tapi bagitu sepi?! Lalu terdengar
olehku sebuah jawaban dari langit : “Isatana ini kosong bukan akrena tak
seorang pun memasukinya tetapi karena Kami tidak memperkenankan setiap orang
untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka pun yang pantas
menghuni istana ini.”
“Maka aku lalu bertekad untuk
mendoakan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk
menjadi penengah manusia adalah Muhammad saw. Oleh karena itu aku hanya
memperhatikan tingkah lakunya sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang
menyeruku : “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingka laku baik, maka
Aku muliakan namamu ssampai hari Berbangkit nanti dan ummat manusia akan
menyebutmu raja para mistik.”
oooOOOooo
Abu Yazid menyatakan : Sewaktu
pertama kali memasuki Rumah Suci, yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu.
Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah
Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk yang ketiga kalinya memasuki Rumah
Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku.
Yang dimaksudkan Abu Yazid adalah :
“Aku hilang di dalam Allah sehingga tak sesuatu pun yang terlihat olehku
tentulah Allah.”
Kebenran penafsiran yang seperti ini
terbukti di dalam anekdot yang berikut ini.
Pada suatu malam seorang lelaki
datang ke rumah Abu Yazid dan memanggilnya.
“Siapakah yang engkau cari?” tanya
Abu Yazid.
“Abu Yazid,” jawab lelaki itu.
“Orang malang! Aku sendiri telah
mencari Abu Yazid selama tiga puluh tahun tetapi tiada jejak atau tanda-tanda
mengenai dirinya yang dapat kutemui,” sahut Abu Yazid.
Ketika pernyataan Abu Yazid itu
disampaikan kepada Dzun Nun, ia berkata :
“Ya Allah, limpahkanlah kasih-Mu
kepada saudaraku Abu Yazid! Ia telah hilang beserta orang-orang yang telah
hilang di dalam Allah.”
oooOOOooo
Sedemikian sempurna kekusyukan Abu
Yazid berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegus oleh muridnya
yang senantiasa menyertainya selama dua puluh tahun, ia akan bertanya : “Anakku,
siapakah namamu?”
Suatu hari si murid berkata kepada
Abu Yazid : “Guru, engkau mengolok-olokanku. Telah dua puluh tahun aku mengabdi
kepadamu tetapi setiap hari engkau menanyakan namaku!.”
“Anakku,” Abu Yazid menjawab, “aku
tidak memperolok-olokanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah
menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang
lain, segeralah nama itu terlupakan oleh ku.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Allah Yang Maha
Besar telah berkenan menerimaku di dalam dua ribu tingkatan, di dalam setiap
tingkatan itu Dia menawarkan sebuah kerajaan kepadaku tetapi ku tolak. Allah
berkata kepadaku : “Abu Yazid, apakah yang engkau inginkan?”. Aku menjawab “Aku ingin tidak menginginkan.”
oooOOOooo
“Engkau dapat berjalan di atas
air!”. Orang-orang berkata kepada Abu Yazid.
“Sepotong kayu pun dapat melakukan
hal itu,” jawab Abu Yazid.
“Engakau dapat terbang di angkasa!.”
“Seekor burung pun dapat melakukan
itu.”
“Engkau dapat pergi ke Ka’Bah dalam
satu malam!.”
“Setiap orang sakti dapat melakukan
perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian apakah yang harus
dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid menjawab : “Seorang manusia
sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada Allah.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Dunia telah ku
talak tiga. Kemudian seorang diri aku berjalan menuju Yang Sendiri. Aku berdiri
di hadapan hadirat-Nya dan berseru : “Ya Allah, kecuali Engkau tidak sesuatu pn
yang ku inginkan. Apabila Engkau telah kuperoleh, maka semuanya telah ku peroleh.
“Setelah Allah mengetahu ketulusan
hatiku itu, maka karunia pertama yang diberikan-Nya kepadaku adalam membukakan
selubung keakuan dari depan mataku.”
oooOOOooo
“Apa yang dimaksud dengan Tahta
Allah?” seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Tahta itu adalah aku,” jawab Abu
Yazid.
“Apakah yang dimaksud dengan
ganjalan kaki Allah?”
“Ganjalan kaki itu adalah aku.”
“apakah yang dimaksud dengan luh
(tanda peringatan) dan pena Allah?”
“Luh dan pena itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti
Ibrahim, Musa dan Isa.”
“Mereka itu adalah Aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti
Jibril, Mikail dan Israfil.
“Mereka itu adalah aku.”
Lelaki yang bertanya itu terdiam. Kemudian Abu Yazid berkata : “Barang
siapa yang telah lebur di dalam Allah dan telah mengetahui realitas mengenai
segala sesuatu yang ada, maka segala sesuatu baginya adalah Allah.”
oooOOOooo
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah
tujuh puluh kali diterima Allah ke Hadirat-Nya. Setiap kali kembali dari
perjumpaan dengan Allah itu Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang
lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid
memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya
yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia
berkata kepada Allah :
“Ya Allah, aku tidak membanggakan
disiplin dari yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan
shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang
telah kulakukan selam hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku
menamatkan Al-Qur’an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual
yang telah kualami, doa-doa yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan
antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala
sesuatu yang telah ku lakukan itu. Semua yang ku katakan ini bukanlah untuk
membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini ku katakan kepada Mu karena
aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu
sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah
tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh
tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan. Dari padang pasir
aku datang sambil berseru-seru : “Tangri, Tangri! Baru sekarang inilah aku
dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam
lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakan lidah untuk
mengucapkan Syahadah. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab.
Engkau tidak menerima ummat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak
akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang ku
lakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu
limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku
pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.”
10.
ABDULLAH BIN AL MUBARAK
PERTAUBATAN
‘ABDULLAH BIN LA-MUBARAK
“Abdullah bin Mubarak sedemikian tergila-gila kepada
seorang gadis dan membuat ia terus menerus dalam kegundahan. Suatu malam di
musim dingin ia berdiri di bawah jendela kamar kekasihnya sampai pagi hari
hanya karena ingin melihat kekasihnya itu walau untuk sekilas saja. Salju turun
sepanjang malam itu. Ketika adzan shubuh terdengar, ia masih mengira bahwa itu
adalah adzan untuk shalat ‘Isa. Sewaktu fajar menyingsing, barulah ia sadar
betapa ia sedemikian terlena dalam merindukan kekasihnya itu.
“Wahai putera Mubarak yang tak tahu malu!,” katanya
kepada dirinya sendiri. “Di malam yang indah seperti ini engkau dapat tegak
terpaku sampai pagi hari karena hasrat pribadimu, tetapi apabila seorang imam
shalat membaca surah yang panjang engkau menjadi sangat gelisah.”
Sejak saat itu hatinya sangat gundah. Kemudian ia
bertaubat dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah. Sedemikian
sempurna kebaktiannya kepada Allah sehingga pada suatu hari ketika ibunya
memasuki taman, ia lihat anaknya tertidur di bawah rumpun mawar sementara
seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak
mengusiknya.
Setelah bertaubat itu ‘Abdullah bin Mubarak meninggalkan kota Merv untuk beberapa lama
menetap di Baghdad ia pergi ke Mekkah kemudian ke Merv. Penduduk Merv menyambut
kedatangannya dengan hangat. Mereka kemudian mengoragnisir kelas-kelas dan
kelompok-kelompok studi. Pada masa itu seebagian penduduk beraliran Sunnah
sedang sebagiannya lagi beraliran Fiqh. Itulah sebabnya mengapa ‘Abdullah bin
Mubarak disebut sebagai tokoh yang
dapat diterima oleh kedua aliran itu. Ia mempunyai hubungan baik dengan kedua
aliran tersebut dan masing-masing aliran itu mengakuinya sebagai anggota
sendiri. Di kota Merv, ‘Abdullah bin Mubarak
mendirikan dua buah sekolah tinggi, yang satu untuk golongan Sunnah dan
satu lagi untuk golongan Fiqh. Kemudian ia berangkat ke Hijaz dan untuk kedua kalinya menetap di
Mekkah.
Di kota ini ia
mengisi tahun-tahun kehidupannya secara berselang-selang. Tahun pertama
ia menunaikan ibadah haji dan pada tahun kedua ia pergi berperang, tahun ketiga
ia berdagang. Keuntungan dari perdagangannya itu dibagikannya kepada para
pengikutnya. Ia biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin kemudian
menghitung biji buah kurma yang mereka makan, dan memberikan hadiah satu dirham
untuk setiap biji kepada siapa di antara mereka yang paling banyak memakannya.
‘Abdullah bin Mubarak
sangat teliti dalam kesalehannya. Suatu ketika ia mampir di sebuah
warung kemudian pergi shalat. Sementara itu kudanya yang berharga mahal
menerobos ke dalam sebuah ladang gandum. Kuda itu lalu ditinggalkannya dan
meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Mengenai hal ini ‘Abdullah bin
Mubarak berkata : “Kudaku itu telah
mengganyang gandum-gandum yang ada pemiliknya.” Pada peristiwa lain, ‘Abdullah
bin Mubarak melakukan perjalanan dari
Merv ke Damaskus untuk mengembalikan sebuah pena yang dipinjamnya dan lupa
mengembalikannya.
Suatu hari ‘Abdullah bin Mubarak melalui suatu tempat. Orang-orang mengatakan
kepada seorang buta yang ada di situ bahwa ‘Abdullah bin Mubarak sedang melewati tempat itu. “Mintalah
kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan!.”
“‘Abdullah, berhentilah!.” Orang buta itu berseru.
‘Abdullah bin Mubarak lalu berhenti.
“Doakanlah kepada Allah untuk mengembalikan penglihatanku
ini,” ia memohon kepada ‘Abdullah bin Mubarak
.
“‘Abdullah bin Mubarak
menundukan kepala lalu berdoa. Seketika itu juga orang buta itu dapat
melihat kembali.
‘ABDULLAH BIN MUBARAK DAN ‘ALI BIN AL-MUWAFFAQ
Di masa ‘Abdullah bin Mubarak tinggal di kota Mekkah, setelah ia selessai
menyempurnakan ibadah haji, ia tertidur. Di dalam tidurnya itu ia bermimpi
melihat dua malaikat turun dari langit. Seorang di antara keduanya bertanya :
“Berapa orangkah yang telah datang pada tahun ini?”.
“Enam ratus ribu orang,” jawab temannya.
“Berapa orang di antara semuanya yang diterima ibadah
hajinya?
“Tidak seorang pun.”
“Setelah mendengar kata-kata itu,” ‘Abdullah bin Mubarak
berkisah, “ tubuhku gemetar. Aku berseru : “Apa? Mereka telah datang dari
pelosok-pelosok yang jauh dan dari setiap lembah yang dalam dengan susah payah
mereka melintasi padang pasir yang luas, tetapi semuanya itu sia-sia?”. Salah
seorang di antara malaikat itu menjawab : “Ada seorang tukang sepatu di kota
Damaskus yang bernama “Ali bin Muwaffaq. Ia tidak datang kemari tetapi ibadah
hajinya telah diterima dan segala dosanya telah diampuni Allah.”
“Setelah mendengar hal ini,” Abdullah bin Mubarak
meneruskan, “Aku terjaga dan berkata : “Aku harus pergi ke Damaskus untuk
menemui “Ali bin Muwaffaq”. Mka berangkatlah aku ke kota Damaskus dan mencari
tempat tinggalnya. Sesampainya di kota Damaskus aku segera menyeru-nyerukan
nama “Ali bin Muwaffaq lalu seseorang menyahut. “Siapakah namamu?”, tanyaku. “Ali
bin Muwaffaq,” jawabnya. “Aku ingin berbicara denganmu,” kataku. “Berbicaralah!.”
Jawabnya. Apakah pekerjaanmu?. “Membuat sepatu”. Kemudian ku kisahkan kepadanya
perihal mimpiku itu. Setelah itu “Ali bin Muwaffaq bertanya kepadaku : “Siapakah
namamu?”. Abdullah bin Mubarak,” jawabku. Ia menjerit lalu jatuh pingsan.
Ketika ia siuman kembali aku mendesaknya. “Ceritakanlah perihal dirimu sendiri kepadaku.” Maka berceritalah ia
padaku.
“Telah tiga puluh tahun lamanya aku bercita-cita hendak
menunaikan ibadah haji. Dari pekerjaan membuat sepatu ini aku telah berhasil
menabung uang sebanyak tiga ratus lima puluh dirham. Aku telah bertekad akan
pergi ke Mekkah pada tahun ini juga. Ketika itu isteriku sedang mengidam dan
terciumlah olehnya bau makanan dari rumah sebelah. “Mintakalah untukku makanan
itu sedikit!.”, isteriku memohon kepadaku. Aku pun pergi lalu mengetuk pintu si
tetangga dan menerangkan hal yang sebenarnya. Tetapi si tetangga itu tiba-tiba
menangis kemudian berkata : “Tiga hari lamanya anak-anaku tidak makan. Tadi
siang kulihat ada seekor keledai yang tergeletak, maka aku pun menyayat
dagingnya sekerat lalu memasaknya. Makanan ini tidak halal untuk mu.” Aku sangat
sedih mendengar perihalnya itu. Maka kuambillah tabunganku yang berjumlah tiga
ratus lima puluh dirham itu dan kuserahkan semuanya kepadanya. Gunakanlah uang
ini untuk anak-anakmu,” pesanku, Inilah ibadah hajiku.”
“Malaikat-malaikat itu telah berbicara dengan sebenarnya
di dalam mimpiku,” Abdullah bin Mubarak menyatakan,” dan Penguasa kerajaan
surga benar-benar adil di dalam pertimbangan-Nya.”
‘ABDULLAH BIN MUBARAK DAN HAMBANYA
Abdullah bin Mubarak mempunyai seorang hamba. Seseorang
memberitahu Abdullah bin Mubarak.
“Hambamu itu setiap hari membongkar kuburan dan
memberikan hasilnya kepadamu.”
Pengaduan ini sangat meggelisahkan Abdullah bin Mubarak.
Suatu malam dibuntutinyalah hambanya itu. Si hamba pergi ke sebuah pekuburan
lalu membuka sebuah kuburan. Ternyata di dalamnya ada tempat untuk shalat. Abdullah
bin Mubarak yang menyaksikan semua ini dari kejauhan, merangkak menghampiri.
Terlihatlah olehnya si hamba yang mengenakan pakaian dari karung dan tali
pengikat leher. Kemudian si hamba mencium tanah sambil meratap. Menyaksikan
kejadian ini Abdullah bin Mubarak menangis dan dengan diam-diam meninggalkan temepat
itu dan duduk di suatu pojok yang terpisah jauh dari situ.
Hambanya tetap berada di dalam kuburan itu dan ketika
fajar tiba barulah ia keluar, menutup kuburan itu kembali lalu pergi ke masjid
untuk melakukan shalat Shubuh.
Setelah selesai shalat, si hamba berseru dalam doanya : “Tuhanku,
hari telah siang pula. Tuanku di atas dunia ini akan meminta uang dariku.
Engkau adalah sumber kekayaan bagi orang-orang miskin. Berikanlah uang kepadaku
dari sumber yang hanya Engkaulah yang tahu.”
Sesaat itu juga sebuah sinar membersit dari langit dan
sekeping dirham perak jatuh ke tangan si hamba. Abdullah bin Mubarak tidak
dapat menahan dirinya lagi. Ia pun bangkit, dirangkulnya kepala hambanya itu ke
dadanya lalu diciumnya.
“Dengan seribu jiwa berulah aku mau melepaskan seorang
hamba yang seperti engkau ini. Sesungguhnya engkaulah yang menjadi tuan, bukan
aku.”
Setelah menyadari apa yang terjadi, si hamba berseru : “Ya
Allah, kini setelah penutup diriku diketahui orang, tiadalah ketenangan bagiku
di atas dunia ini. Demi kebesaran dan keagungan-Mu ku mohon kepada-Mu,
janganlah engkau biarkan aku tergelincir kerana diriku sendiri. Oleh karena itu
cabutlah nyawaku sekarang ini juga.”
Kepalanya masih di dalam dekapan Abdullah bin Mubarak
ketika ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abdullah bin Mubarak
membaringkan tubuhnya, mengkafaninya. Kemudian mayat hambanya yang memakai
pakaian karung itu dimakamkannya di kuburan itu pula.
Malam itu di dalam mimpinya Abdullah bin Mubarak melihat
Penguasa alam semesta, dan sahabt-Nya Ibrahim yang menyertai-Nya, masing-masing
mengendarai kuda yang gagah perkasa. Keduanya bertanya :
“Abdullah bin Mubarak, mengapakah engkau menguburkan
sahabat Kami dalam pakaian Karung.?”
11.
SOFYAN ATS-TSAURI
SOFYAN ATS-TSAURI
DAN PARA KHALIFAH
Kesalehan Sofyan Ats-Tsauri nampak sejak ia masih berada
di dalam kandungan ibunya. Suatu hari ibunya sedang berada di atas loteng
rumah. Si ibu mengambil beberapa asinan yang sedang dijemur tetangganya di atas
atap dan memakannya. Tiba-tiba Sofyan Ats-Tsauri yang masih berada di dalam
rahim ibunya itu menyepak sedemikian kerasnya sehingga si ibu mengira bahwa ia
keguguran.
Diriwayatkan bahwa yang menjadi khalifah pada masa itu
ketika shalat di depan Sofyan Ats-Tsauri memutar-mutar kumisnya. Setelah selesai
shalat, Sofyan Ats-Tsauri berseru kepadanya :
“Engkau tidak pantas melakukan shalat seperti itu. Di
Padang Mahsyar nanti shalatmu itu akan dilemparkan ke mukamu sebagai sehelai
kain lap yang kotor.”
“Berbicaralah yang sopan,” tegur si khalifah.
“Jika aku enggan melakukan tanggung jawabku ini,” jawab
Sofyan Ats-Tsauri,” semoga kencingku berubah menjadi darah.”
Khalifah sangat marah mmendengar kata-kata Sofyan
Ats-Tsauri i. “ni lalu memerintahkan agar ia dipenjarakan dan dihukum gantung.
“Agar tidak ada orang-orang lain yang seberani itu lagi terhadapku.” Jelas si
khalifah.
Suatu hari tiang gantungan dipersiapkan, Sofyan
Ats-Tsauri masih tertidur lelap dengan kepala berada dalam dekapan seorang
manusia suci dan kakinya di pangkuan Sofyan bin Uyaina. Kedua manusia suci
tersebut yang mengetahui bahwa tiang gantungan sedang dipersiapkan, bersepakat
: “Janganlah ia sampai mengetahui hal ini.” Tetapi ketika itu juga Sofyan
Ats-Tsauri terjaga. “Apakah yang sedang terjadi?,” tanyanya.
Kedua manusia suci itu terpaksa menjelaskan walau dengan
sedih sekali.
“Aku tidak sedemikian mencintai kehidupan ini,” kata
Sofyan Ats-Tsauri. “Tetapi seorang manusia harus harus melakukan kewajibannya
selama ia berada di atas dunia ini.”
Dengan mata berlinag-linang Sofyan Ats-Tsauri, berdoa :
“Ya Allah, sergaplah mereka seketika ini juga!.”
Pada saat itu sang khalifah sedang duduk di atas tahta
dikelilingi oleh menteri-menterinya. Tiba-tiba petir menyambar istana dan
khalifah beserta menteri-menterinya itu ditelah bumi,
“Benar-benar sebuah doa yang diterima dan dikabulkan
dengan seketika!.” Kedua manusia suci yang mulia itu beseru.
Seorang khalifah yang lain naik pula ke atas tahta. Ia
percaya kepada kesalehan Sofyan Ats-Tsauri, Si khalifah mempunyai seorang tabib
yang beragama Kristen. Ia adalah seorang guru besar dan sangat ahli. Khalifah
mengirim ini untuk mengobati penyakit Sofyan Ats-Tsauri. Ketika tabib memeriksa
air kecing Sofyan Ats-Tsauri, ia berkata di dalam hati. “Inilah seorang manusia
yang hatinya telah berubah menjadi darah karen takut kepada Allah. Darah keluar
sedikit demi sedikit melalui kantong kemihnya.” Kemudian ia menyimpulkan.
“Agama yang dianut oleh seorang manusia seperti ini tidak mungkin salah.”
Si tabib segera beralih kepada agama Islam. Mengenai
peristiwa ini khalifah berkata : “Ku sangka aku mengirimkan seorang tabib untuk
merawat seorang sakit, kiranya aku mengirim seorang sakit untuk dirawat seorang
tabib yang besar.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SOFYAN ATS TSAURI
Suatu hari Sofyan Ats-Tsauri bersama seorang sahabtnya
lewat di depan rumah seorang terkemuka. Sahabatnya terpesona memandang serambi
rumah itu. Sofyan Ats-Tsauri mencela perbuatan temannya itu.
“Jika engkau beserta orang-orang yang seperti engkau ini
tidak terpesona dengan istana-istana mereka, niscaya mereka tidak
bermegah-megah seperti ini. Dengan terpesona seperti itu engkau ikut berdosa di
dalam sikap bermegah-megah mereka.”
oooOOOooo
Seorang tetangga Sofyan Ats-Tsauri meninggal dunia,
Sofyan Ats-Tsauri pun pergi untuk membacakan doa pada penguburannya. Setelah
selesai, terdengar olehnya orang-orang berkata : “Alamrhum adalah seorang yang
baik.”
“Seandainya kau ketahui bahwa orang-orang lain menyukai
almarhum,” kata Sofyan Ats-Tsauri, “Niscaya aku tidak turut di dalam penguburan
ini. Jika seseorang bukan munafik, maka orang-orang lain tidak akan
menyukainya!.”
oooOOOooo
Suatu hari Sofyan Ats-Tsauri salah mengenakan pakiannya.
Ketika hal ini dikatakan kepadanya, ia segera hendak memperbaiki pakaiannya
tetapi cepat-cepat dibatalkannya pula niatnya itu, dan berkata, “Aku mengenakan
pakaian ini karena Allah dan aku tak ingin mengubahnya hanya karena manusia.”
Seorang pemuda mengeluh karena tidak sempat menunaikan
ibadah haji. Sofyan Ats-Tsauri menegurnya : “Telah mepat puluh kali aku
menunaikan ibadah haji. Semuanya akan ku berikan kepadamu asalkan engkau mau
memberikan keluhanmu itu kepadaku.”
“Baiklah,” si pemuda menjawab.
Malam harinya dalam mimpinya Sofyan Ats-Tsauri mendengar
sebuah suara yang berkata kepadanya : “Engkau mendapat keuntungan yang
sedemikian besarnya sehingga apabila dibagi-bagikan kepada semua jama’ah di
adang Arafah, niscaya setiap orang di antara mereka menjadi kaya raya.”
oooOOOooo
Suatu hari ketika Sofyan Ats-Tsauri sedan memakan
sepotong roti lewatlah seekor anjing. Anjing itu siberinya roti secabik demi
secabik. Seseorang bertanya kepada Sofyan Ats-Tsauri :
“Mengapa roti-roti itu tidak engkau makan beserta anak
isterimu?”
“Jika anjing ini kuberi roti,” jawab Sofyan Ats-Tsauri,
“niscaya ia akan menjagaku sepanjang malam sehingga aku dapat beribadah dengan
tenang. Jika roti ini kuberikan kepada anak isteriku niscaya mereka akan
menghalangi diriku untuk beribadah kepada Allah.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika Sofyan Ats-Tsauri melakukan perjalanan
ke Mekkah, ia diusung di atas sebuah tandu, Selama di dalam perjalanan, Sofyan
Ats-Tsauri menangis terus menerus. Seorang sahabat yang menyertainya bertanya.
“Apakah engkau menangis karena takut akan dosa-dosamu?”.
Sofyan Ats-Tsauri mengulurkan tangannya dan mencabut
beberapa helai jerami.
“Dosa-dosaku memang banyak, tetapi semuanya tidaklah
lebih berarti daripada pegangan jerami imanku benar-benar iman atau bukan.”
oooOOOooo
Betapa cintanya Sofyan Ats-Tsauri terhdap semua makhluk
Allah. Suatu hari ketika berada di pasar, ia melihat seekor burung di dalam
sangkar. Si burung mengepak-ngepakan sayap dan mencicit-cicit dengan sedihnya.
Sofyan Ats-Tsauri membeli burung itu lalu melepaskannya. Setiap malam burung
itu datang ke rumah Sofyan Ats-Tsauri, menunggui Sofyan Ats-Tsauri apabila ia
sedang shalat dan sekali-sekali hinggap di tubuhnya.
Ketika Sofyan Ats-Tsauri meninggal dunia dan mayatnya
diusung ke pemakaman, si burung ikut pula mengantarkannya dan seperti
pengantar-pengantar yang lain ia pun mencicit-cicit sedih. Ketika mayat Sofyan
Ats-Tsauri diturunkan ke dalam tanah, si burung menyerbu masuk ke dalam kuburan
itu. Kemudian terdengarlah suara dari dalam kuburan itu :
“Allah Yang Maha Besar telah memberi ampunan kepada
Sofyan Ats-Tsauri karena telah menunjukan belas kasih kepada makhluk-makhlik-Nya.”
Si burung mati pula menyertai Sofyan Ats-Tsauri.
12.
SYAQIQ AL-BALKH
KEHIDUPAN SYAQIQ
AL-BALKH
Syaqiq al-Balkh adalah seorang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang
telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Ad-ham,
dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim Si Orang Tuli. Syaqiq al-Balkh
mengkui bahwa ia telah belajar dari 1700 orang guru dan memiliki buku sebanyak
beberapa pemikulan unta.
Kisah pertaubatan Syaqiq al-Balkh dimulai dari sewaktu
Syaqiq al-Balkh mengadakan suatu ekspedisi dagang ke Turkistan, Di dalam
perjalanan itu ia berhenti untuk melihat-lihat sebuah kuil. Di dalamnya ia
lihat ada seorang yang sedang menyembah berhala dengan penuh khusyuk. Syaqiq
al-Balkh menegus si penyembah berhala itu : “Sesungguhnya yang menciptakan
engkau adalah Yang Maha Hidup, Maha Kuasa serta Maha Tahu, sembahlah Dia.
Hendaklah engkau malu dan jangan menyembah sebuah berhala yang tak dapat
mendatangkan kebajikan maupun aniaya kepadamu.”
“Jika benar kata-katamu itu,” jawab si penyembah berhala,
“mengapakah Dia tidak sanggup memberikan nafkahmu sehari-hari di kota
kediamanmu sendiri? Masih perlukah engkau melakukan perjalanan sejauh ini?”.
Kata-kata ini membuka hati Syaqiq al-Balkh. Ia lalu oroester
yang kebetulan menuju kota yang sama. Ia bertanya kepada Syaqiq al-Balkh :
“Apakah usahamu?.”
“Berdagang,” jwab Syaqiq al-Balkh.
“Jika engkau mencari rezeki yang belum ditakdirkan untukmu, sampai kiamat
sekalipun engkau tidak memperrolehnya. Tetapi jika engkau hendak mencari rezeki
yang telah ditakdirkan untuk mu, engkau tidak perlu pergi ke mana-mana, karena
rezeki itu akan datang sendiri.”
Ucapan ini semakin menyadarkan Syaqiq al-Balkh dan
kecintaannya terhadap kekayaan dunia semakin pudar. Akhirnya sampailah Syaqiq
al-Balkh ke kota Balkh. Sahabat-sahabatnya menyambut kedatangannya dengan
hangat karena ia terkenal dengan kemurahan hatinya. Pada masa itu yang menjadi
pangeran di kota Balkh adalah ‘Ali bin ‘Isa bin Haman, yang memelihara beberapa
ekor anjing pemburu. Kebetulan pada saat itu seekor anjingnya hilang.
“Anjing itu ada di rumah tetangga Syaqiq al-Balkh,”
orang-orang melaporkannya kepada si pangeran.
Maka ditangkaplah tetangga Syaqiq al-Balkh itu dengan
tuduhan telah mencuri seekor anjing. Ia dipukuli. Akhirnya meminta perlindungan
kepada Syaqiq al-Balkh. Maka pergilah Syaqiq al-Balkh menghadap sang pangeran
lelu bermohon : “Berikanlah kepadaku waktu tiga hari untuk mengembalikan
anjingmu itu. Tetapi bebaskanlah sahabatku itu.”
Si pangeran membebaskan tetangga Syaqiq al-Balkh. Tiga
hari kemudian secara kebetulan seseorang menemukan seekor anjing. Orang itu
berkata di dalam hatinya : “Anjing ini akan kuberikan kepada Syaqiq al-Balkh.
Syaqiq al-Balkh adalah seorang yang pemurah, tentu ia akan memberikan imbalan
kepadaku.”
Anjing itu dibawanya kepada Syaqiq al-Balkh. Kemudian
Syaqiq al-Balkh menyerahkan binatang itu kepada si pangeran dan terpenuhilah
janjinya. Setelah peristiwa itu Syaqiq al-Balkh bertekad untuk benar-benar
berpaling dari urusan duniawi.
Di kemudian hari, terjadi bencana kelaparan di kota
Balkh, sampai begitu parah sehingga manusia mengganyang sesamanya. Di sebuah
pasar Syaqiq al-Balkh melihat seorang hamba yang tertawa-tawa dengan gembira.
Syaqiq al-Balkh bertanya kepadanya : “Apakah yang membuatmu segembira ini?
Tidak kau lihatlah betapa semua orang menanggung kelaparan?.”
“Apa perduliku?!”, jawab si hamba. “Tuanku memiliki
sebuah desa dan mempunyai banyak persediaan gandum. Ia tidak akan membiarkan
aku kelaparan.”
Mendengar jawaban si hamba ini, Syaqiq al-Balkh tidak
dapat menahan dirinya, maka berserulah ia kepada Allah : “Ya Allah, budak ini
sangat gembira karena tuannya mempunya gandum. Engkau adalah Raja di antara
sekian raja, dan telah berjanji akan memberikan makanan kami sehari-hari. Jika
demikian, mengapakah kami harus gelisah.?”
Setelah peristiwa itu ditinggalkanya segala urusan
duniawi lalu bertaubat dengan sepenuh hatinya. Ia melangkah di atas jalan Allah
dan memasrahkan diri kepada-Nya. Syaqiq al-Balkh sering berkata : “aku aalah
murid dari seorang hamba.”
Hatim Tuli mengisahkan : Aku dan Syaqiq al-Balkh ikut
berperang. Suatu hari terjaid pertempuran yang begitu seru. Kedua pasukan
saling berbentur rapat dan yang kelihatan hanya ujung-ujung tombak saja, sedang
anak panah meluncur bagaikan hujan. Syaqiq al-Balkh berseru kepada ku : “Hatim!
Bagaimanakah engkau menikmati pertempuran ini? Apa seperti malam terakhir
ketika engkau bergaul bersama isterimu?.”
“sama sekali tidak,” jawabku.
“Dengan nama Allah, mengapa tidak?, Syaqiq al-Balkh
berseru. “Begitulah yang kurasakan saat ini. Aku merasa seperti yang engkau
rasakan malam itu di tempat tidurmu.”
Ketika malam tiba, Syaqiq al-Balkh membaringkan tubuhnya
dan dengan berselimutkan jubahnya ia pun tertidur. Sedemikian sempurna
kepasrahannya kepada Allah, sehingga walau terkurung oleh pasukan musuh yang
sangat banyak itu, ia masih dapat tertidur pulas.
Suatu hari ketika Syaqiq al-Balkh sedang memberikan
ceramah, terdengarlah berita bahwa pasukan kafir telah berada di gerbang kota.
Syaqiq al-Balkh segera menyerbu ke luar, mengobrak-abrik pasukan musuh dan
kembali ke tempat semula. Salah seorang muridnya menaruh seikat bunga di
sajadahnya. Syaqiq al-Balkh memungut kembang-kembang itu lalu menciuminya.
Melihat perbuatan Syaqiq al-Balkh ini, seorang yang tak tahu kejadian tadi
berseru : “Pasukan musuh sudah berada di gerbang kota tetapi imam kaum Muslimin
masih mencium-cium bunga!”
“Si manafik hanya melihat bunga-bunga yang diciumi tetapi
tak melihat betapa orang-orang kafir telah dikucar-kacirkan,” balas Syaqiq
al-Balkh.
SYAQIQ AL-BALKH DI DEPAN HARUN AR-RASYID
Syaqiq al-Balkh mengdakan perjalanan ke Mekkah, untuk
menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di kota baghdad, harun ar-Rasyid
memanggilnya untuk menghadap.
Setelah menghadap, bertanyalah Harun ra-Rasyid kepada Syaqiq
al-Balkh : “Engkahkah Syaqiq al-Balkh pertapa?”
“Aku dalah Syaqiq al-Balkh, tetapi aku bukan seorang
pertapa,” jawab Syaqiq al-Balkh.
“Berilah petuah kepadaku!.” Perintah Harun.
“Jika demikian, denganrkanlah !:, Syaqiq al-Balkh
memulai. “Allah
yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu bakar yang setia dan Dia
menghendaki kesetiaan yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan “Umar
yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, Dia menghendaki engkau dapat
pula membedakan kebenaran dari kepalsuan. Allah telah memberimu kedudukan
Utsman yang memperoleh cahaya kesedarhaan dan kemuliaan, dan Dia menghendaki
agar engkau juga bersikap sederhana dan Mulia. Allah telah memberikan kepadamu
kedudukan ‘Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, Dia
menghendaki agar engkau bersikap bijaksana dan adil pula.”
“Lanjutkanlah!”, pinta Harun.
“Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka,” Syaqiq
al-Balkh meneruskan. “Dia telah mengangkatmu menjadi penjaga pintu neraka dan
mempersenjatai dirimu dengan tiga hal; kekayaan, pedang dan cemeti. Allah
memerintahkan : “Dengan kekayaan, pedang dan cemeti inni usirlah ummat manusia
dari neraka. Jika ada orang yang datang mengharapkan pertolonganmu, janganlah
engkau bersikap kikir. Jika ada orang yang menntang perintah Allah, perbaikilah
dirinya dengan cemeti ini. Jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah
pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika engkau tidak melaksanakan perintah
Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang masuk ke dalam
neraka itu.”
“Lanjutkanlah!.” Desak Harun lagi.
“Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya.
Apabila telaga itu airnya bening, niscaya ia tidak akan cemar karena kekeruhan
anak-anak sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, betapakah mungkin
anak-anak sungai tersebut akan bening?.”
“Lanjutkanlah!.”
“Seandainya engkau
hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang
menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk
mendapatkan air itu?.”
“Berapapun yang dimintanya,”
jawab Harun.
“Seandainya ia baru menjual air
itu seharga setengah kerajaanmu?.”
“Aku akan menerima tawarannya
itu,” jawab Harun.
“Kemudian andaikan air yang
telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari dalam tubuhmu sehingga engkau
terancam binasa,” Syaqiq al-Balkh melanjutkan, “Sesudah itu datang pula
seseorang menawarkan bantuannya kepadamu : “Akan ku sembuhkan engkau tetapi
serahkanlah setengah dari kerajaanmu kepadaku,” Apakah jawabanmu?”
“Akan kuterima tawarannya itu,”
jawab Harun.
“Oleh karena itu, mengapa engkau
membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang
engkau minum lantas engkau keluarkan kembali.?”
Harun menangis dan melepas Syaqiq al-Balkh dengan penuh
kehormatan.
13. DAUD
ATH-THA’I
KEPAPAAN DAUD
ATH-THAI
Sejak kecil batinnya di cekam duka sehingga ia sering
menghindarkan diri dari pergaulan. Yang menyebabkan pertaubatannya adalah
seorang wanita yang sedang berkabung, yang membacakan :
Pipimu yang manakah yang mulai kendur?
Dan matamu yang manakah yang mulai kabur?
Kesedihan mencekan batinnya dan kegelisahan tak dapat
diatasinya. Dalam keadaan seperti inilah ia belajar di bawah bimbingan Abu
Hanifah.
“apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”, tanya Abu
Hanifah kepadanya.
Daud Ath-Tha’i pun mengisahkan pengalamannya,. Kemudian
dia menambahkan : “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu telah terjadi di dalam ddiriku, sesuatu yang
tak dapat kumengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku atau pun
keterangan-keterangan para ahli yang ku temukan.”
“Hindarkanlah manusia-manusia lain,” Abu Hanifah
menyarankan.
Maka Daud Ath-Tha’i berpaling dari manusia-manusia lain
dan mengucilkan diri di dalam rumahnya. Setelah lama berselang barulah Abu
Hanifah datang mengunjunginya. “Wah, caranya bukan dengan bersembunyi di dalam
rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Yang harus engkaulakukan adalah
duduk di kaki para imam dan mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka
kemukakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata jua pun engkau harus mencamkan segala
sesuatu yang mereka kemukakan itu. Dengan berbuat demikian engkau akan lebih
memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu daripada mereka
sendiri.”
Setelah menyadari maksud dari kata-kata Abu Hanifah itu,
Daud Ath-Tha’i kembali mengikuti pelajaran-pelajarannya. Setahun lamanya ia
duduk di kaki para imam, tanpa mengucapkan sepatah kata, menerima
keterangan-keterangan mereka dengan tekun, dan cukup dengan mendengarkan saja
tanpa memberi atau mengajukan tanggapan. Setelah berakhir masa setahun itu Daud
berkata :
“Ketekunaku dalam setahun itu adalah sama dengan tiga
puluh tahun bekerja keras.”
Kemudian ia bertemu dengan Habib ar-Ra’i yang membawanya
ke jalan para mistik. Jalan ini ditempuhna dengan tawakal, buku-buku yang
dimilikinya dilemparkannya ke dalam sungai, kemudian ia mengasingkan diri dan
membuang segala harapan dari manusia manusia lain.
Daud menerima uang sebanyak dua puluh dinar sebagai
warisan. Jumlah ini dihabiskannya dalam waktu dua puluh tahun. Beberapa aorang
syeikh mencela perbuatannya itu.
“Di atas jalan ini kita harus memberi, bukan menabung
untuk diri sendiri,” kata mereka.
Dengan uang sebanyak ini aku dapat menenangkan diri
diriku. Uang sebanyak ini cukup bagi diriku hingga mati nanti,” jelas Daud
Ath-Tha’i.
Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian
prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air,
kemudian mereguk air itu, sambil berdalih :
“Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima
puluh ayat al-Quran. Mengapa harus ku sia-siakan hidupku ini?”
Abu Bakr bin ‘Iyasy meriwayatkan : “Pada suatu ketika aku
masuk ke dalam kamar Daud Ath-Tha’i. Ku lihat ia sedang memegang sepotong roti
kering dan menangis. “Apakah yang telah terjadi Daud Ath-Tha’i? Tanyaku. Daud
menjawab : “Aku hendak memakan roti ini tetapi aku tidak tahu apakah roti ini
halal atau tidak.”
Yang lain meriwayatkan : “Aku pergi ke rumah Daud
Ath-Tha’i dan ku lihat satu kendi air sedang terjemur di terik matahari. Aku
bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau tidak menaruh kendi air itu di tempat
yang teduh? Daud Ath-Tha’i menjawab : “Ketika tadi ku taruh di situ tempat itu
masih teduh. Tetapi sekarang untuk memindahkannya aku merasa malu untuk
melakukan kesibukan di depan Allah.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI DAUD
Diriwayatkan, bahwa Daud Ath-Tha’i pernah mempunyai
sebuah rumah gedung besar dengan kamar-kamar yang banyak jumlahnya. Ia
menempati salah satu di antara kamar-kamar itu, dan apabila kamar itu hancur
dimakan usia, barulah ia pindah ke kamar yang lain.
“mengapakah engkau tidak memperbaiki kamar itu?”
seseorang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i.
“aku telah berjanji kepada Allah tidak akan memperbaiki
dunia ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“atap kamarmu telah lapuk,” seorang tamu berkata
kepadanya,” tidak lama lagi pasti ambruk.
Lambat laun seluruh bangunan itu runtuh, tidak sesuatu
pun yang masih utuh kecuali serambinya. Pada malam kematian Daud Ath-Tha’i,
barulah serambi itu runtuh.
“Sudah dua puluh tahun lamanya aku tidak pernah
memperhatikan atap kamarku ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
oooOOOooo
“Mengapakah engkau tidak menikah?” beberpa orang bertanya
kepada Daud Ath-Tha’i.
“Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.”
“Mengapa demikian.?”
“Andaikanlah aku melamar seorang wanita, hal itu berarti
bahwa aku sanggup untuk menafkahinya. Tetapi karena pada waktu yang berssamaan
aku tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban agama dan dunia, bukankah hal itu
berarti bahwa aku telah mendustianya?/”
“Baiklah, tetapi setidak-tidaknya engkau perlu menyisir
janggutmu,” kata mereka.
“Hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai,” jawab Daud
Ath-Tha’i.
oooOOOooo
Pada suatu mala di bulan pernama, Daud Ath-Tha’i naik ke
atas loteng rumahnya, lalu menatap langit. Ia terlena menyaksikan keindahan
kerajaan Allah, sehingga menangis sampai tidak sadarkan diri, dan terjatuh ke
loteng rumah tetangga. Si tetangga yang mengira ada maling di atas atap, datang
memburu dengan sebilah pedang. Tetapi begitu yang dijumpainya adalah Daud
Ath-Tha’i segeralah ia meraih Daud Ath-Tha’i untuk berdiri.
“Siapaah yang telah menjerumuskanmu?,” tanyanya.
“Entahlah,” jawab Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak sadar. Aku
sendiri pun tidak habis pikir.”
oooOOOooo
Pada suatu saat ketika orang-orang menyaksikan Daud Ath-Tha’i
bergegas-gegas hendak melakukan shalat.
“Mengapa engkau tergesa-gesa seperti ini?,” tanya mereka
kepada Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan yang berada di gerbang kota sedang menantikan
kedatanganku,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan siapa?,” tanya mereka.
“Penghuni –penghuni kubur,” jawab Daud Ath-Tha’i.
oooOOOooo
Harun ar-Rasyid
meminta Abu Yusuf supaya mengantarkan ke rumah Daud Ath-Tha’i. Maka pergilah
mereka ke rumah Daud Ath-Tha’i, tetapi tidak diperkenankan masuk. Abu Yusuf
memohon agar Ibu Daud Ath-Tha’i mau membujuk anaknya.
“Terimalah mereka,” Ibunya membujuk Daud Ath-Tha’i.
“Apakah urusanku dengan penduduk dunia dan orang-orang
berdosa?” jawab Daud Ath-Tha’i tidak mau mengalah.
“Demi hakku yang telah menyusuimu, aku minta kepadamu,
izinkalah mereka masuk!.” Desak ibunya.
Maka berserulah Daud Ath-Tha’i : “Ya Allah, Engkau telah
berkata : “Patuhilah ibumu, karena keridhaan-Ku adalah keridhaannya,”. Jika
tidak demikian, apakah peduliku kepada mereka itu.?”
Akhirnya Daud Ath-Tha’i bersedia menerima mereka. Harun
dan Yusuf masuk dan duduk. Daud Ath-Tha’i memberikan pengajaran dan Harun
menangis tersedu-sedu. Ketika hendak kembali ke istana. Harun meletakkan
sekeping mata uang emas sambil berkata :
“Uang ini halal.”
“Ambillah uang itu kembali.” Cegah Daud Ath-Tha’i. “Aku
tidak memerlukan uang itu. Aku telah menjual rumah yang kuterima sebagai
warisan yang halal dan hidup dengan uang penjualan itu. Aku telah bermohon
kepada Allah, jika uang itu telah habis, agar Dia mencabut nyawaku, sehingga
aku tidak akan membutuhkan bantuan dari seorang manusia pun. Aku berkeyakinan
bahwa Allah telah mengabulkan permohonanku itu.”
Harun ar-Rasyid dan Abu yusuf kembali ke istana. Kemudian
Abu Yusuf mendatangi orang yang diamanahkan uang itu oleh Daud Ath-Tha’i dan
bertanya :
“Masih berapakah uang Daud Ath-Tha’i yang tersisa?.”
“dua dirhamm,” jawab orang itu. “Setiap hari Daud
Ath-Tha’i membelanjakan satu sen uang perak.”
Abu Yusuf membuat perhitungan. Beberapa hari kemudian di
dalam masjid di depan semua jama’ah ia mengumumkan :
“Hari ini Daud Ath-Tha’i meninggal dunia.”
Setelah diselidiki ternyata bahwa kata-kata Abu Yusuf itu
benar.
“Bagaimanakah engkau mengetahui kematian Daud Ath-Tha’i?”
orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf.
“Aku telah memperhitungkan bahwa pada hari ini Daud
Ath-Tha’i tidak mempunyai uang lagi. Aku tahu bahwa doa Daud Ath-Tha’i pasti
dikabulkan Allah.
14. AL-MUHASIBI
Sangatlah mengherankan apabila pengisahan Attar mengenai
al-Muhasibi, salah seorang di antara tokoh-tokoh terbesar dalam sejarah
mistisme Islam, kurang lengkap dan sempurna. Abu ‘Abdullah al-Harits bin Asad
al-Bashri al-Muhasibi lahir di Bashrah pada tahun 165 H/171 M. Sewaktu kecil ia
pindah ke Baghdad di mana ia kemudian belajar hadits dan teologi, bergul rapat
dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan pertistiwa-peristiwa penting pada
masa itu. Ia meninggal dunia pada tahun 243H/857 M. Ajaran-ajran dan
tulisan-tulisannya memberikan pengaruh yag kuat dan luas kepada ahli-ahli teori
mistik sesudahnya khususnya kepada Abu Hamid al-Ghazali. Banyak di antara
buku-buku dan brosur-brosur yang ditulisnya dapat kita temui hingga kini: yang
terpenting di antaranya adalah Kitab a-Ri’ayah. (di blog ini ada terjemahan buku
peninggalannya yang berrjudul “ AL-MUHASIBI “AN –NASHA’IH” )
CATATAN MENGENAI
ANEKDOT-ANEKDOT
Hartits al-Muhasibi menerima warisan sebesar tiga puluh
ribu dinar dari ayahnya.
“Serahkan uang itu kepada negara,” kata Muhasibi.
“Mengapa?,” orang-orang bertanya.
“Menurut sebuah hadits yang shahih,” jawab Muhasibi.
“Nabi pernah berkata bahwa orang-orang Qadariah adalah orang-orang Majusi di
dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Qadaiah. Nabi pun pernah berkata
bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang Majusi. Bukankah ayahku seorang Majusi dan
seorang Muslim?.”
Perlindungan Allah sabgar besar kepadanya. Apabila
Muhasibi hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang
jari-jari tangganya akan mengejang dan jari-jarinya tidak dapat digerakkan
seperti yang dikehendakinya. Apabila hal seperti ini terjadi, tahulah ia bahwa
makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Junaid meriwayatkan : “Pada suatu hari, Harits
mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. “Akan ku ambilkan makanan untuk
paman,” kataku. “Baik sekali,: jawab Hartits al-Muhasibi. Aku pun pergi ke
gudang mencari makanan. Ku dapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada
kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan
kusuguhkan kepada Hartits al-Muhasibi. Tetapi ketika Hartits al-Muhasibi hendak
mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkannya. Sempat ia memasukan
sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimana
pun ia paksakan. Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian
ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang.
Di kemudian hari aku tanyakan kepada Hartits al-Muhasibi,
apakah sebenarnya yang tellah terjadi, Hartits al-Muhasibi menjawab : “Waktu
itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi
isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak
dapat ku telan sedang jari-jariku tidak mau menyentuhnya. Aku telah berusaha
sedapat-dapatnya menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau
memperoleh makanan itu?. Dari seorang kerabat, jawab ku.”
“Kemudian aku berkata kepda Hartits al-Muhasibi : “Tetapi
sekarang ini maukah engkau datang ke rumahku?”. “Baiklah”, jawab Hartits
al-Muhasibi. Aku pun peulang bersama Hartits al-Muhasibi. Di rumah ku keluarkan
sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Hartits al-Muhasibi
kemudian berkata : “Makana yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada
para guru sufi.”
LANJUTAN-NYA DI JILID : 2