Sungguh, banyak sekali hal sebenarnya telah terbetikkan dalam hati umat
manusia, tetapi tidak bisa diungkapkan dalam bentuk penjelasan.
Bismi Allah al-Rahman al-Rahim
Ibn Thufayl
HAYY BIN YAQZAN
(Anak Alam Mencari Tuhan)
Penerjemah : Ahmadie Thaha
Penerbit : Pustaka Firdaus
Jl. Siaga I No.3 Pasar Minggu
Jakarta - 12510
Penyadur : Pujo Prayitno
PENDAHULUAN
Puji bagi Allah. Mahabesar,
Mahakekal, Mahatahu, Mahabijak, Mahakasih, Mahamulia, Mahawelas, yang mengajar
dengan pena – mengajar manusia soal yang ia ketahui(1. QS. Al-‘Alaq : 4-5). Allah mengkaruniai Anda kemuliaan yang besar.(2. QS. Al-Nisa : 113).
Saya pun memuji dan
mensyukuri-Nya, atas nikmat dan karunia-Nya yang beruntun. Saya bersaksi tiada
Tuhan selain Allah – yang Maha Esa tak bersekutu – dan Muhammad adalah Hamba
dan Rasul-Nya, Pemangku ciptaan suci, mukjizat yang memukau, bukti rasional
(burhan) yang teguh, dan pedang yang ampuh.
Salamat dan salam dari Allah,
semoga tercurah bagi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya yang ber-himmah
besar, yang berpikiran luas dan berpandangan ke depan. Juga bagi semua sahabat
dan pengikut Nabi, hingga Hari Akhir. Salam berlimpah bagi mereka.
Anda meminta, saudara yang
mulia, yang sejati tercinta – semoga Allah menganugerahkan kekekalan abadi dan
kebahagiaan yang berkesinambungan kepada Anda – agar saya mengungkap rahasia
Hikmah Ketimuran (Filsafat Iluminatif,( 3. Ibn Thufayl mempergunaka Istilah al-hikmat
al-masyriqiyyah (filsafat ketimuran) yang secara harfiah berart hikmah dari
timur. Ini lain dari Musyriqiyyah (ilmumintaif) seperti pendapat Gauthier.
Ada perbedaan pendapat di kalangan
sarjana seperti Gauthier, Henry Corbin, dan Nallino mengenai masalah ini.
Sebagian mengatakan al-hikmat al-masyriqiyyah berarti hikmah ketimuran
(oriental wisdom), yang berbeda dari hikmat al-isyraq, filsafat
ilmuninatif. Menurut Sami S. Hawi,
seorang sarjana yang telah melakukan studi mendalam terhadap filsafat Ibn
Thufayl perdebatan itu memang dibenarkan. Namun pada analisa terakhir, kedua
istilah itu mengacu pada arti yang sama, yaitu filsafat ilumintaif. Untuk ini,
baca Sami S. Hawi, Islamic Naturalism and Mysticism : A Philosophical Study of
Ibn Thufayl’s Hayy ibn Yaqzan, E.J. Brill, London, 1974, h.11-12
Ajaran filsafat iluminatif itu
diperkenalkan ke dalam pemikiran Islam oleh al-Farabi dan kemudian oleh Ibn
Sina dan Al Surahwardi Maqtul. Beberpa Sarjana menegaskan, ajaran itu hanyan
dikembangkan oleh al-Surahwardi Maqtul, sehingga ia dikenal dengan Syeikh
al-Isyraq. Keterangan luas tentang ini, lihat S.H. Nasr, Three MuslimSages,
Cambridge, Massachussetts, 1964, hh. 54-74. Buku ini telah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh Ahmad Mujahid Lc., dari Edisi Arabnya, Tiga Pemikir Islam
: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Penerbit Risalah Bandung, 1986, hh.
63-105.
Menurut al-Suhrawardi, filsafat
isyraq didasarkan pada prinsip pokok bahwa Tuhan adalah Cahaya bagi
cahaya-cahaya (nur al-anwar). Dari cahaya-Nya keluar cahaya-cahaya lain yang
merupakan dasar alam materi dan spiritual. Filsafat ini di dasarkan atas teori
akal sepuluhal-Farabi dan dicampur dengan unsur-unsur ajaran Mazdak dan Manu.
Untuk keterangan komprehensif, lihat Dr. Ibrahim Madkur, Fi al Flsafat
al-Islamiyyah, Jilid I, dar al-Maarif, Kairo, 1976, hh.55.59.) sebisa
mungkin. Hikmah iltu filsafat yang pernah dikemukakan Syekh Rais Abu ‘Ali ibn
Sina.(4. Ibn
Sina, di kenal di Barat dengan nama Avicenna, dilahirkan pada tahun 370 H. (980
M) di Bukhara dan wafat di Hamadan pada tahun 428 H. (1037 M.). Ia dijuli,
antara lain, sebagai amir al-athibba, syeikh al-rais, dan hujjat al-haqq.)
Saudara, ketahuilah, bila
menghendaki kebenaran yang tak bermula, Anda harus mencari dan mendekatinya
dengan tekun suntuk.
Permintaan Anda telah
mendorong saya untuk melahirkan suatu pemikiran mulia. Dan itu, puji bagi
Allah, mengantarkan saya ke pengalaman yang sama sekali baru. Saya menyaksikan
suatu keadaan (hal) yang tak pernah saya alami sebelumnya. Saya terbawa ke suatu
batas akhir yang begitu menakjubkan yang mustahil diungkap dengan lidah atau
lewat tulisan. Batas itu memang suatu tingkatan dan alam. Namun di isi batas
kata atau tulisan.
Keadaan itu mengandung
kebahagiaan dan sukacita kenikmatan dan sukaria. Karenanya, bila telah
mengalami dan serta tiba di sebagian batasnya, seorang tidak akan berdiam atau
menyembunyikan rahasianya. Sebaliknya, keriangan, semanagat, sukacita dan rasa
lapang dada, yang ia alami mendorong mengungkap intisari rahasianya, walau
secara ringkas.
Tapi, bila ia tidak menguasi
ilmunya, ia akan mengungkap keadaan itu secara kurang meyakinkan. Akibatnya,
terungkap misalnya dengan kata-kata begini : “Keagungan bagiku, betapa besar
aku.”(5.
Perkataan ini berasal dari Abu Yazid al-Bustami, seorang sufi, hidup antara
tahun 1826 H./804 – 875 M.) Atau yang lainnya, “Aku sang kebenaran”
(Ana al Haqq)(6.
Perkataan ini berasal al-Hallaj (.... – 309H/ ....-922 M.), lihat Syaikh
Ibrahim Gazull-llahi, Mengungkap Misteri Besar Mansur al-Hallaj : Ana I-Haqq
(terjemahan Hr. Bandahari dan Joebaar Ajoeb dari The Secret of Ana I-Haqq),
Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986.), dan “Di dalam pakaian, yang ada
hanya Allah.”
Ada pun Syeikh Abu Hamid al
Ghazali (7).
Imam al-Ghazali (450 – 505 H./ 1058 – 111 M.) Ibn Thufayl sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Imam al-Ghazali. Untuk keterangan yang komprehensif, lihat sami
S. Hawi, op. Cit. Hh. 76-84. Beberapa kritik Ibn Thufayl terhadap al-Ghazali
sebagaimana pembaca lihat di bukunya ini, bahwa al-Ghazali tidak konsisten, menggunakan
banyak metode berbeda, dan ajarannya sulit dimengerti – dinilai oleh S. Hawi
kurang mengena. Rahmat Allah untuknya – saat mengalami keadaan itu,
mengungkapkan pengalaman pribadinya dengan bait syair :
Pengalaman, itu tak kuungkap
dengan kata-kata...
Anggap saja baik, tapi jangan
tanya kabarnya
Ia berkata begitu karena
menguasai dan mendalami segala Ilmu.
Perhatikan pula ajaran Abu
Bakr ibn al Shaingh (8) Abu Bakr Muhammad ibn Yahya al-Shigh, dikenal dengan Ibn Bajjah atau
Avempace. Lahir di Saragosa menjelang akhir abad ke 5 H/11 M, dan wafat pada
533 H./1138 M. Ibn Thufayl mengkritiknya, tetapi juga dipengaruhi olehnya.
Tentang hidup dan filsafat Ibn Bajjah, lihat M. M. Syarif M.A. (ed), Para
Filosof Muslim, Penerbit Mizan, Bandung, 1985, h.173. tentang sifat
pencapaian (ittisal) itu katanya. “Jika maksud isi ktabnya itu dimengerti, akan
jelas bahwa obyek ilmu tidaklah sama, pada satu tingkatan di mana ia melihat
dirinya berbeda dari yang lainnya, berikut keyakinan-keyakinan yang tak
bersifat hayla.”
“Tepi tingkatan itu terlalu
rumit dibanding kehidupan biasa. Bagi saya, tingkatan justru menunjukan keadaan
(ahwal) kaum bahagia, yang bebas dari tatanan kehidupan alami. Keadaan itu
tepatnya disebut ahwal ilahiyya, sebagai anugrah Allah kepada hamba yang Ia
kehendaki.”
Tingkatan (Rutbah), yang tadi
disebut Abu Bakr secara tak langsung itu dicapai melalui pengetahuan teoritis
dan analisis emosional. Dan jelas, Abu Bakr sendiri telah mencapai tingkatan
itu, walau tak melampauinya.
Adapun tingkatan yang kami
sebut sebelum “Kekuatan” dalam arti metaforis, karena kami belum mendapatkan
istilah lain, mutakhir atau tehnis, yang paling tepat untuk menunjukan cara
mengalami bentuk penyaksian.
Keadaan (hal) itu, di mana
kami merasakan suatu pengalaman mistik (zawq)
akibat dorongan pertanyaan Anda, yang kami sebutkan tadi, termasuk
sebagian dari keadaan (ahwal) yang pernah dikemukakan oleh Syeikh Abu Ali Ibn
Sina, beserta penjelasannya.
Kemudian, jika dengan kehendak
(iradah) dan latihan ruhani (riyadah) seseorang mencapai batas tertentu, maka
segala kesempatan tercurah baginya, sehingga dengan rasa nyaman ia saksikan
cahaya Kebenaran, seakan kilat yang segera sirna begitu bersinar. Semakin
tenggelam dalam latihan ruhani, semakin ia luluh ke dalam. Kemudian, karena sudah
terbiasa, ia pun luluh tanpa melalui latihan ruhani lagi. Setiap ia menatap
sesuatu, ia langsung mencapai sisi Kekudusan, kemudian ingat keadaanya
sedemikian rupa, sampai dirinya lenyap.
“Yang tampak di segala yang
ada hampir-hampir hanyalah Sang Kebenaran. Latihan rohani (riyadah) itu
mengantarnya ke suatu pengalaman puncak, yang meskipun sibuk ia tetap merasakan
ketenangan bagai bintang terang. Ia telah memperoleh pengetahuan mantap, seakan
terus bersahabat...”
Di sini Ibn Sina menjelaskan
kerangkan susunan tingkatan itu, yang berpuncak pada perubahan rahasia menjadi
“Cermin terang yang menghadap ke Sang Kebenaran.”
“Di saat itu kenikmatan yang
lapang seringkali ia rasakan. IA bahagia karena melihat dalam dirinya ada bekas
Sang Kebenaran. Pada Tingkatan ini ia memandang Sang Kebenaran dan juga dirinya
sendiri. Namun ia masih ragu. Lalu ia lenyap dari dirinya sendiri, dan segera
merasakan sisi Kekudusan belaka, walau tetap menyaksikan dirinya secara khusus.
Di sana pencapaian (wusul) bernar-benar terjadi.
Keadaan-keadaan ( ahwal) yang
tadi diterangkan oleh Syeikh Abu Ali Ibn Sina – Semoga Allah memberi
ridha-Nya... itu hanya dimaksud supaya dia memperoleh suatu pengalaman mistik (
zawq), yang bukan melalui pencerapan teoritis dengan mempergunakan silogisme,
asumsi premis dan penyimpulan logis.
Jika anda memerlukan contoh
untuk meperjelas perbedaan antara pencerapan kelompok ini dengan yang lainnya,
bayangkanlah seorang yang dilahirkan buta, tetapi fitrahnya baik, intuisinya
kuat, daya hafalnya luar biasa, pikirannya jernih. Ia tumbuh di sebuah negeri.
Dikenalnya semua orang di sana, juga beberapa jenis binatang dan benda padat,
jalan-jalan kota, gang-gang, perumahan dan pasarnya, yang seharusnya ia ketahui
melalui pencerapan indra yang lain. Meskipun ia berjalan di kota itu tanpa
petunjuk, tapi ia kenal setiap orang yang berpapasan dengannya, bahkan ia yang
memberi salam pertama kali.
Ia tahu warna dan bisa
menjelaskan nama beserta segala cirinya. Suatu ketika matanya dapat melihat. Ia
kini berjalan dan mengelilingi kota. Tampak bahwa tak ada yang berbeda dari
yang dipercayainya semula. Ia dmelihat warna persis seperti gambaran yang
diyakininya benar. Hanya saja di semua pengalaman itu, ada dua hal yang ia
rasakan, yang satu merupakan konsekuensi dari lainnya, yaitu : Bertambahnya
kejelasan dan kenikmatan yang besar.
Keadaan mereka yang dapat
melihat tepi belum mencapai tingkat wilayat (kewalian) adalah sama keadaannya
dengan si buta tadi, yang mengenal warna dengan sebutan namanya. Inilah yang
menurut Abu Bakr, tepatnya dinisbahkan kepada kehidupan alami,yang dianugrahkan
Allah kepada hamba kesukaan-Nya. Sedangkan keadaan mereka yang dapat melihat
telah mencapai tingkat wilayat dan dianugrahi Allah sesuatu yang kami sebutkan
tadi --- disebut – “Kekuatan” secara metaforik ... inilah keadaan yang kedua.
Dan memang, sangat jarang ditemukan orang yang senantiasa memiliki mata hati
serta pandangan yang tembus dan terbuka, tanpa pemikiran spekulatif.
Yang saya maksud dengan
pencerapan (idrak) di sini --- Semoga Allah memberi Anda kemuliaan dengan
kewalian-Nya--- bukanlah : “pencerapan para filosuf” yang memperolehnya dari
alam fisika, dan bukan pula “pencerapan para sufi” yang memperolehnya dari alam
metafisika. Kedua golongan ini tentu berbeda, namun tidak saling mengacaukan.
Maksud “Pencerapan para
filosuf” adalah apa yang mereka peroleh dari metafiksika, seperti pencerapan
Abu Bakr tadi. Apabila pencerapan mereka benar dan sahih, maka cerapan mereka
dapat dibandingkan dengan cerapan kaum sufi yang memperhatikan hal-hal
metafisika atau yang serupa, tetapi pencerapannya dengan kejelasan dan
kelezatan lebih besar.
Namun Abu Bakr menyembunyikan
tentang kelezatan ini bagi mereka, dan menganggap kelezatan itu berasal dari
daya khayal. Abu Bakr pernah berjanji hendak menjelaskan secara rinci tentang
keadaan yang pasti dirasakan oleh kaum bahagia. Namun, perlu kiranya dikatakan
kepadanya di sini, “Janganlah Anda melangkahi tengkuk kaum siddiqin.”
Dan memang Abu Bakr sendiri
belum melakukan sesuatu dan tidak pula memenuhi janjinya, dengan alasan,
seperti ia kemukakan, karena tidak cukup waktu dan sibuk pergi ke Wahran
(Oran). Atau, katanya, jika keadaan (hal) itu jadi ditulisnya, ia dituntut
menyatakan sesuatu yang memburukkan biografinya dan bertolak belakang dengan
anjurannya untuk banyak-banyak mencari dan mengumpulkan harta, serta
melaksanakan semua cara yang memungkinkan untuk itu.
Pembicaan kami tampaknya sudah
menyimpang dari jawaban yang layak bagi pertanyaan yang diajukan semula. Namun,
dari pembicaraan tadi paling tidak, ada dua hal yang hendak Anda capai :
Satu :
Barangkali anda hendak
menanyakan apa yang dilihat oleh orang yang menjalani persaksian (Mushahadah),
pengalaman mistik (zawq) dan kehadiran di tingkat Wilayat. Inilah persoalan
yang hakekatnya mustahil di kemukakan secata tegas di dalam sebuah kitab; dan
sekali orang mulai mengatakan atau menulisnya, bersama itu pula hilanglah
kebenarannya, dan segera masuk ke dalam disiplin lain yang bersifat spekulatif.
Sebab, jika pengalaman semacam
itu dikemukakan dengan huruf dan kata-kata, dan di dekatkan ke alam nyata,
kandungannya menjadi lenyap dan ungkapannya menjadi berbeda total dari
maksudnya. Akibatnya, banyak orang menyimpang dari Jalan Lurus, dikira orang
lain yang tergelincir, padahal tidak. Sebabnya, karena (hakekat persoalan itu)
tak terbatas pada suatu hadirat Ketuhanan yang begitu luas dimensinya, yang
memang bersayap tetapi tidak bisa disayapi.
Dua :
Di antara dua tujuan dari
pertanyaan Anda, kami katakan, Anda meminta definisi persoalan ini menurut cara
para Filosuf. Ini – Smeoga Allah menganugrahkan Anda kemulian berkat
kewalian-Nya – memang mungkin diungkap di dalam buku dan melalui kata-kata.
Tapi akibatnya lebih berbahaya ketimbang kibrit merah, apalagi di daerah kita
ini ( yaitu Andalusia, Spanyol). Itu adalah pengetahuan langka yang memiliki
segelintir orang tentunya, yang justru
mustahil mengungkapkannya kepada khalayak kecuali melalui simbol-simbol.
Agama Islam Hanif dan Syariat uhammad SAW. Telah mencegah untuk mendalaminya.
------
Jangan Andakira filsafat yang
telah sampai kepada kita di dalam kitab-kitab karya Aristoteles, Abu Nasr al
Farabi dan di dalam Kitab Al-Shifa’ Karya Ibn
Sina akan memenuhi tujuan yang Anda maksudkan. Bahkan tak bakal ada
karya seorang warga kota Andalusia yang bisa mencukupinya. Sebabnya, karena
orang yang tumbuh di Andaluisa dan berfitrah cemerlang, sebelum berkembangnya
logika dan filsafat, telah menghabiskan umurnya untuk menguasai dan mendalami
ilmu-ilmu matematika, tidak lebih dari itu. Memang ada generasi berikutnya yang
sedikit lebih menguasai logika. Mereka mempelajarinya, tetapi itu pun sangat
dangkal dan tidak utuh. Tentang mereka, sebuah syair berbicara :
Sedih saya, sebab manusia
hidup mengetahui dua hal tidak lebih..
“Kebenaran” yang mustahil di
capai... dan..
“Kebatilan” yang bisa dicapai,
tak ada gunanya.
Generasi berikutnya datang
lagi. Lebih cerdas dan lebih mendekati kebenaran. Tapi tidak seorang pun di
antara mereka yang lebih jenius, memiliki pandangan dan pendapat yang lebih
luas dan lebih benar daripada Abu Bakr al Saigh. Tapi karena disibukan oleh
urusan dunia, ia segera dijemput kematian, sebelum khazanah ilmu dan hikmatnya
yang tersembunyi, terungkap. Sebagian karyanya tidak utuh dan tak selesai,
seperti bukunya Fi al-Nafs. (9) Karya Ibn Bajjah. Lihat Dr. Umar Farrukh,
Ibn Bajjah, Bairut.) Tadbir al Mutawahhid,
(10) Karya Ibn Bajjah yang lain.) dan
karyanya yang lain tentang logika dan fisika.
Adapun kitabnya yang utuh
hanya sedikit, berupa risalah-risalah kecil. Ia sendiri telah menjelaskan, yang
ingin ia buktikan di dlam Risalah al-Ittisal, (11).
Yang dimaksud barangkali kitab Ittishal
al-Insan bi al-Aql al Faal. Lihat kitab “Talkhis Kitab al-Nafs, karya Ibn Rusyd
yang diterbitkan oleh Fuad al-Ahwani, Kairo. 1950.). tidak bisa
dimngerti dengan jelas tanpa usaha dan pengulangan yang keras. Bahkan, di
sebagian tempat bahasanya tidak begitu baik, dan jika ada waktu, ia cenderung
akan merubahnya. Itulah ihwal penegtahuan Abu Bakr, meskipun kami belum pernah
bertemu dengannya.
Sedangkan cendekiawan yang semasa
dengannya, belum kami lihat karyanya. Cenedekiawan yang seangkatan dengan kami
memang bertambah, tapi mereka tidak lebih sempurna. Berita sebagian mereka ada
yang belum sampai kepada kami.
Adapun kitan karya Abu Nasr
al-Farabi (12). Abu
Nasr al-Farabi, lahir pada 258 H/870 M. Dan wafat pada 330H/950 M. Ibs Thufayl
juga mengkritiknya, tetapi ia dipengaruhi pula olaehnya. Tentang hidup dan
karya al-Farabi, lihat ibrahim Madkur, al-farabi, di dalam M. M. Syarif M.A.
(ed. Op. cit. H.35.) yang ada
pada kami, kebanyakan tentang logika. Dan filsaat yang ia kemukakan di dalamnya
sangat meragukan. Misalnya, dalam kitab al-Millat al-Fadilah (13). Kitab
al-Millat al-Fadilah, ditahkik oleh Dr. Muhsin Mahdi, diterbitkan oleh Dar
al-Masyriq. Bairut). Ia menegaskan, setelah manusia mati, jiwanya yang
jahat akan kekal dalam siksa tak berbatas. Kemudian dalam Al-Siyasat
al-Madaniyyah (14). Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah, diterbitkan berdasar takik Dr. Fauzi
Matari Najjar, oleh Dar al-Masyriq, Bairut). ia berkata, semua jiwa
akan hancur dan punah, kecuali yang mulia dan sempurna yang tetap kekal.
Lalu, di komentarnya atas
Kitab al-Akhlaq, (15). Ini juga karya al-Farabi. Lihat pengantar Dr. Muhsin Mahdi, bagi
beberapa tahkiknya atas kitab-kitab karya al-Farabi, terbitan Dar al-Masyriq,
Bairut. Juga Dr. Umar Farrukh, al- Farabiyan, Maktabat Maimunah, Bairut 1950.)
ia menjelaskan tentang aspek kebahagiaan manusia. Katanya, itu hanya
diperoleh hidup di dunia. Namun, sesudah itu ia mengatakan lain, yang begini
maksudnya , “Semua yang disebut selain ini adalah mainan dan khurafat yang
lemah.” Akibatnya, manusia dibuatnya putus asa akan rahmat Allah Yang
Mahatinggi. Baginya, orang yang baik dan yang jahat setingkat sama : berakhir
pada ketiadaan (‘adam).
Ini kesalahan besar dan kesesatan
tak terampun. Itu di tambah pula dengan kepercayaan buruk al-Farabi tentang
kenabian (Nubuwwah). Pendapatnya, kenabian itu bersifat khayal, yang
tingkatannya lebih rendah daripada filsafat. Pendapat yang lain tak perlu kami
sebutkan.
Adapun isi kitab Aristotele, (16). Aristotele,
Filosof Yunani, 384 SM. – 348. SM.) coba diungkapkan oleh Syeikh Abu
‘Ali (Ibn Sina). Bahkan cara filsafatnya diikuti oleh Ibn Sina dalam Kitab
Al-Shifa, (17) Kitab
al-Syifa adalah karya utama Ibn Sina dalam filsafat paripatetik.).
Pada pendahuluannya ia menolak anggapan itu. Katanya, ia mengarang kitab tadi
menurut mazhab kamum paripatetik (Mashshaun). Ia menganjurkan, yang
menginginkan kebenaran supaya membaca kitabnya tentang “Filsafat Ketimuran”
(al-Falsafat al-Mashriqiyyah). (18). Yang dimaksud, barangkali, kitab al-Hikmat
al-Masyriqiyyah, yang telah hilang. Masyriqiyyah berasal dari kata Syarq dapat
dilafalkan dengan Masyriqiyaat atau Musyiriqiyyat, yang pertama berarti
ketimuran dan yang kedua berarti iluminatif. Lihat catatan kaki nomor 3.).
Dan apabila serius membanding
Kitab al-Shifa’ dengan buku-buku Aristoteles, kita akan menemukan banyak
kesamaannya. Tetapi, di Kitab al-Shifa’ itu memang ada materi yang kami ketahui
tidak berasal dari Aristoteles. Dan jika karya Aristotele dan Kitab al-Shifa’
itu dibaca secara lahiriah saja tanpa mendalami kandungan rahasia dan
pengertian batinnya, pasti tidak bakal diperoleh kesempurnaan, sebagaimana
ditegaskan oleh Syeikh Abu Ali Ibn Sina sendiri di dalam Kitab al-Shifa’.
Adapun kitab-kitab karya
Syeikh Abu Hamid al-Ghazali, menurut kata pengantarnya bagi khalayak,
mengemukakan sesuatu di tempat tertentu, dan sebaliknya di tempat lain. Bahkan
ia pernah mengkafirkn orang lain karena mengikuti suatu ajaran, tetapi kemudian
ia menarik pendapatnya itu dan menganggapnya tidak kafir lagi. Ia mengkafirkan sejumlah filosuf di
dalam Tahafut (al-Falasifah), (19). Kitab Tahalul al-Falasifah ini telah di
alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmadie Thaha, diterbitkan oleh
Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986.). Karena mereka
mengingkari kebangkitan jasmani, dan mengafirmasi pahala dan siksa bagi jiwa,
khususnya. Kemudian di dalam pendahuluan Mizan al-‘Amal, (20). Yang
dimaksud, barangkali, kitab Mizan al-Amal, lihat catatan kaki no.22). Ia menganggap ajaran itu keyakinan para syekh
sufi belaka. Tapi dalam al-Mungidh min al-Zalal wa al-Mufassil bi al-Ahwal, (21). Buku ini
telah di alih bahasakan beberapa kali ke dalam bahasa Indonesia, termasuk karya
al-Ghazali yang paling terkenal). ia mengakui keyakinannya sama
seperti kaum sufi, yang diperolehnya melalui pencarian panjang.
Pernyataan semacam ini banyak
terdapat dalam bukunya, yang pasti ditemui oleh penyimak dan pemerhati yang
seksama. Di Bagian akhir Mizan al-‘Amal (22). Karya al-Ghazali, berisi petunjuk praktis
sebagai pengimbang dari bukunya Miyar al-Ilm, yang sangat teoritis).
ia meminta maaf atas kesalahannya ini.
Di situ ia membagi 3 pendapat
: (1) Pendpat yang disepakati bersama khalayak umum; (2) Pendpat yang cocok dan
sesuai dengan kadar pembicaraan setiap penanya dan pemohon petunjuk; (3)
Pendapat yang dipegang seseorang bagi dirinya, tetapi ditelaah oleh orang lain
yang berkeyakinan sama dengannya. Setelah itu ia berkata, “Jika dalam
penjelasan ini hanya ada yang meragukan keyakinan warisan Anda, itu pun sudah
cukup bermanfaat bagi Anda. Sebab, siapa yang belum pernah merasa ragu, maka ia
belum berpikir, yang berarti belum melihat, yang berarti tetap berada dalam
kebutaan dan kebingungan.”
Lalu ia menyenandungkan bait
syair berikut ini :
Ambil yang kau lihat dan
Biarkan berlalu yang kau
dengar
Di saat matahari terbit.. kau
tak butuh Saturnus.
Demikian pengajarannya, yang
isinya sebagian besar berbentuk simbol-simbol dan rumus-rumus yang hanya
berguna bagi orang yang, pertama-tama, mengetahuinya dengan pandangan mata
hati, kemudian mendengarkannya. Atau, hanya berguna bagi yang diberi kesiapan
untuk memahaminya, yang dengan fitrahnya yang cemerlang, mengerti melaui
isyarat yang sederhana.
Di Jawahir al Qur’am, (23) Buku ini juga
telah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit CV
Rajawali Pers, Jakarta, 1986). al Ghazali mengaku mempunyia beberapa
buku yang dilarang beredar karena kuatir dibaca orang, meskipun isinya
mengungkap kebenaran yang tegas. Sepengetahuan kami, belum ada buku itu yang
sampai ke Andalusia. Beberapa yang dianggap terlarang itu tadi tidak benar.
Bukunya itu adalah Kitab
al-Ma’arif al-Aqliyyah, (24) Kitab karya al-Ghazali ini masih berbentuk manuskrip, belum beredar di
pasar). Kitab al-Nafi wa al-Taswiyyah, (25).
Kitab ini tidak pernah beredar di pasar,
atau disebutkan di dalam referensi). Masail Majmu’ah, (26) Kitab ini belum pernah dijumpai).
dan lain-lainnya. Meskipun isinya simbol-simbol, tetapi buku-buku itu hanya
mengungkap ulang kandungan buku lainnya yang populer. Ada karyanya berjudul
al-Maqsad al-Asna,( 27). Lengkapnya berjudul, Kitab al-Maqshad al-Asna fi Syarh al-Asma
al-Husna, ditahkik oleh Dr. Fadlu Shahada, Dar al-Masyriq, Bairut). yang
sebagian isinya lebih abstrak daripada isi kitab yang tadi. Tapi, al Ghazali
sendiri menegaskan, al-Maqsad al-Asna itu tidak dilarang. Karenanya, jelas
kitab-kitab yang sampai kepada kita tadi tidak dilarang pula.
Sebagian sarjana saat ini
menuduh al-Ghazali berpendapat sesat di bagian Mishkal al-Anwar, (28) Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan,
Bandung, cetkan pertama 1984). sehingga ia terjerumus ke dalam
jurang tak terselamatkan. Katanya, cahaya (Ilahi) serta para pencapai Tuhan (wasilun),
“mengakui, Sang Mawjud Yang Mahaagung memiliki sifat yang menegasi ke Esaan
mutlak (wahdaniyyat mandah).” Berdasar
itu ada yang berkesimpulan, al-Ghazali mempercayai bahwa esensi (zat) Sang
Kebenaran mengandung pluralitas (sifat banyak). Maha Suci Allah dari pernyataan
kaum sest itu!
Bagi kami jelas, Syeikh Abu
Hamid al-Ghazali termasuk yang memperoleh kebahagiaan puncak dan pencapai
kemuliaan kudus. Sayang, bukunya terlarang yang berikisan ilmu mukasyafat itu
belum pernah sampai kepada kita.
Kebenaran murni dan lingku
pengetahuan, kami peroleh dengan cara menulusuri argumen-argumen yang
dikemukakakan al-Ghazali dan Syeikh Abu AliIbn Sina. Lalu, kami menelitinya
satu sama lain, dan memperbandingkan hasilnya dengan beberapa pendapat saat
ini, yang dikemukakan oleh sekelompok pengagum filsafat. Kebenaran itu lalu
kami peroleh melalui metode pembahasan kritis dan teoritis, untuk selanjutnya
melalui cara persaksian (mushahadat). (29) Berdasarkan pernyataan ini. LeonGauthier
menilai Ibn Thufayl menulis karya utamanya ini dengan meminjam (atau dalam
bahasa Perancisnya emprunte) ide-idenya dari al-Ghazali dan Ibn Sina. Penilaian
Guathier ini tidak benar, seperti dikemukakan oleh Sami S. Hawi. Sebab,
pernyatan Ibn Thufayl tersebut menjelaskan kepada kita bahwa dia telah
menelusuri dan membandingkan argumen-argumen al-Ghazali dan Ibn Sina serta para
sarjana kontemporer sampai dia menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri.
Ternyata. Gauthier memang salah dalam menterjemahkan beberapa istilah kunci
dalam bagian ini : Quil emprute le fond de ses doctrines a El-Ghazali, a Ibn
Sina (Avicenna) et accessirement, a des philosophes recent de moindre
importance. Itulah letak teks yang salah pada terjemahan Gauthier sebagaimana
dikutip oleh Sami S. Hawi, op. Cit. H.10, dari Leon Guthier, Hayy bin Yaqzan,
Beyrouth, 1936, h.14). Di saat itulah kami merasa mampu menyusun
pernyataan pilihan kami sendiri. Dan Anda wahai penanya, kami pilih sebagai
yang diberi kesempatan awal untuk menelaah pemikiran kami ini, berkat
kepercayaan dan ketulusan Anda yang murni.
Tetapi, jika capaian-capaian
itu kami kemukakan kepada Anda, padahal kita belu menetapkan prinsip
kebersamaan, maka bisa jadi, semua itu tidak lebih sebagai taklid belaka! Itu
bisa, asal Anda berbaik sangka kepada kami, berdasar rasa cinta dan kasih.
Bukan dalam arti, pendapat kami berhak untuk diterima. Kami sendiri tidak rela
dan puas apabila Anda hanya memperoleh tingkatan ilmu semacam itu.
Kami menginginkan Anda
memperoleh lebih tinggi lagi, sebab, pengetahuan tingkat itu tidak cukup
menyelamatkan, apalagi menyukseskan Anda berjalan di atas lorong Agama
(masalik), yang kami lalui sebelum ini, dan berenang bersama mengarungi lautan
yang pernah kami lintasi. Atau, sampai Anda mencapai puncak yang pernah kami
capai. Sehingga, berkat itu Anda dapat menyaksikan yang pernah kami saksikan,
membuktikan dengan mata hati sendiri kebenaran semua yang telah kami buktikan,
tanpa perlu mengikat pengetahuan yang kami ketahui.
Ini memerlukan banyak waktu,
meminta kesediaan anda untuk menghindari kesibukan, seraya menghadap disiplin
ilmu ini dengan semangat utuh. Jika benar semangat itu berasal dari Anda, dan
niat Anda pun tulus untuk menyingsing lengan baju di dalam usaha ini., Anda
akan mensyukuri hasil perjalanan malam itu di pagi harinya, menerima barakah
hasil usaha. Anda meridhai Tuhan, dan Tuhan pun Meridhai Anda, yang membuat
Anda berhasil mencapai cita-cita menurut Kehendak-Nya. Dia membaut Anda
merindukan-Nya selalu, lewat hikmah dan keseluruhan diri Anda.
Saya berharap, kita bisa menempuh
jalan Agama (suluk) itu melalui jalur tersingkat, tetapi selamat dari gangguan
petaka. Dan, jika kini saya mulai melihat jalan yang menimbulkan rasa rindu dan
menyeru masuk ke jalan Agama (Tariq) itu, walau sekilas pandang, sudah
selayaknya saya menceritakan kepada Anda kisah “Hay Bin Yaqzan” serta “Asal”
dan “Salaman” --- nama yang pernah disebut-sebut oleh Abu Ali Ibn Sina. (30). Tiga nama
ini memang merupakan tokoh-tokoh sentral utama dari kisah karya Ibn Thufayl,
yang dicomot begitu saja dari dua karya Ibn Sina, masing-masing berjudul Hayy
Bin Yaqzan dan Salaman wa Absal. Kisah Ibn Sina yang pertama, Hayy bin Yaqzan,
menceritakan bagaimana Ibsn Sina, suatu hari, bersama beberapa teman pergi
berkelana di sekitar sebuah kota dan tiba-tiba bertemu seorang lelaki tua, Hayy
bin Yaqzan, dan minta kepadanya agar menemaninya dalam penggembaraan tanpa
akhir. Tapi lelaki tua itu menyahut bahwa mustahil Ibn Sina melakukan itu,
karena teman-temannya tak mungkin ditinggalkannya.
Sedangkan kisah Ibn Sina ke dua, Salaman
wa Absal, menceritakan Absal, adik Salaman, yang ingin maju ke medan perang
demi menghindari hasrat amoral istri kakaknya, tetapi ia ditinggalkan oleh
pasukannya gara-gara ulah iparnya itu dan tubuhnya yang terluka diseret se ekor
binatang semacam rusa ke sebuah tempat yang aman. Keteika pulang ke rumahnya,
dia membentuk pasukan sendiri yang kuat dan merebut kembali kerajaan yang kalah
itu demi Salaman, yang istrinya, karena putus asa meracuni Absal hingga
meninggal.
Salaman yang tenggelam dalam kesedihan,
kehilangan gairah hidup dan menjadi pertapa. Akhirnya, seorang ahli mistik
menceritakan kepadanya bahwa istrinya sendiri yang telah menyebabkan bencana
itu. Maka dibunuhnya perempuan itu dan semua kaki tangannya. Itulah ringkasan
kedua kisah karya Ibn Sina yang nama-nama tokohnya diambil oleh Ibn Thufayl.
Kedua kisah Ibn Sina itu telah
diterjemahkan ke dalam bahsa Perancis, lalu lewat ini ke dalam bahasa Ingris,
oleh Henry Corbin, Avicenna and the Vicionary Recital, trans, by Williard R.
Trask, Routledge & Kegan Paul, London, 1960. Tentang perbedaan nama Absal
(Dalam kisah Ibn Sina) dan Asal (dalam kisah Ibn Thufayl), lihat catatan kaki
No. 50).
Kisah mereka mengandung
pelajaran bagi orang bepengathuan, (31). Al Quran, Surat Yusuf : 111) serta
peringatan bagi orang berakal atau mendengar, yang menyaksikan. 32 Al-Quran,
surat Qaf : 37.
Ibn Thufayl.
1
Generasi kita terdahulu
(33). Salafuna, secara harfiah berarti
orang yang mendahului kita, atau nenek moyang kita, Yang dimaksud Ibn Thufayl
dengan Salafuna di sini adalah orang-orang kuna yng meneruskan kisah ini
kepadanya, baik melalui lisan maupun tulisan. Di sini Ibn Thufayl tidak hanya mengacu kepada Ibn Sina,
tetapi juga kepada banyak sumber lebih kuna lainnya, sebagaimana diungkap oleh
Faruq Said di dalam kata pengantar Hayy Bin Yaqzan edisi Arab terbitan Dar
al-Afaq al-Jadidah, Bairut, 1978. Gauthier sekali lagi memberikan komentar
salah terhadap bagian ini. Ia menganggap ungkapan salafuna dari Inb Thufayl
sebagai satu bentuk mekanisme artistik yang disusun oleh penulisnya untuk
memberikan konssistensi bagi kisahnya. Lihat Sami S. Hawi, op. Cit. H.12,
catatan kaki no.2). yang salih --- Allah meridhai mereka –
menyebutkan, di sebuah pulau di India, pada garis katulistiwa, pernah lahir
manusia tanpa ibu bapak. Di pulau itu ada pohon berbuah wanita. Al Mas’udi
menyebut pulau itu ‘Waqwaq”. (34). Al-Masud menentukan letak pulau itu di
kawasan Zanzibar, ke selatan dari laut Zing. Lihat al-Masud, Muruj al-Dzahab (2
jus, dalam2 jilid), diberi kata pengantar dan ditahkik oleh Yusuf asad Daghir,
Dar al-Andalus, Beirut, tt.). Beberpa sarjana lain juga menyebutkan tentang
pulau Waqwaq ini. Misalnya, Al-Idrisi menyebutkan pulau ini memang berbuah
wanita di kitab Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq, tt. Kemudian di kitab
Mukhtasar al-Ajaib, yang diragukan pengarangnya, diduga Ibrahim Ibn Wasif Shah
atau al-Masud, disebutkan bahwa di pulau Waqwaq itu tinggal sejenis makhluk
seperti wanita ayng bersuara Waqwaq, bila ditangkap langsung mati, dan bahwa di
pulau itu tak ada prianya. Ini dibenarkan oleh Dr. Husain Fauzi di dalam
kitabnya Hadist al-Sindibad al-Qadim, Penerbit Lajnat al-Talif wa al-Tarjamah
wa al-Nasr, Kairo, 1923.
Beberapa sarjana lain juga
menyebutkannya. Misalnya, Mutahhir Ibn Tahir al-Maqdisi, al-Biruni,
al-Qazwayni. Mereka menyebutkan, pulau itu terletak di laut Cina yang
menghubungkan kepualauan Zig di Hindia Timur, dan disebut Waqwaq karena di sana
ada pohon berbentuk wanita dengan rambut terurai darimana terdengar suara
waq-waq. Lihat al-Qazwayni, Athar al-Milad wa Akhbar al-Ubbad, Dar Sadir,
Bairut, 1969, al-Biruni, al-Athar al-Baqiyah an al- Qurun al-Khaliyah, dengan
kata pengantar oleh Dr. Edward Shaw, Lepzeiq, 1923.
Al-Dimsiqi juga menyebutkan bahwa di
pulau Waqwaq terdapat pohon seperti pohon kelapa yang berbentuk manusia.Lihat
al-Dimsiqi,Nukhbat al-Dhar fi Ajaib al-Birr wa al-Bahr Peterbourg, 1966. Umar
Ibn al-Wardi juga menyebutkan demikian, dan bila rambutnya disentuh akan
berbunyi waq-waq hingga berjatuhan, di dalam bukunya Faridat al-Ajaib, perct.
Abdurrazzaq, Kairo, 1316.H.
Masalahnya mengapa Ibn Thufayl
memilih pulau Waqwaqsebagai skena bagi kisahnya? Untuk menjawab ini, kita perlu
meninjau tiga tempat berlangsungnya kisah Hayy bin Yaqzan. Pertama, Pulau
Waqwaq sendiri; kedua, pulau bessar, luas, makmur, dan ketiga, pulau dekat
pulau tempat Hayy hidup, yaitu pulau yang ditempati Asal dan dipimpin oleh
Salaman. Sebagaimana terlihat nanti ketika pembaca menelusuri kisah Hay bin
Yaqzan ini. Ibn Thufayl tidak lagi menyebut-nyebut pulau Waqwaq hanya
dimaksudkan untuk urgansi penjelasan awal tentang kelahiran Hayy secara spontan
tanpa Ibu-Bapak, sekalgus menunjukan bahwa berita semacam itu hanyalah suatu
mitos, atau bisa jadi menyebutkan pulau Waqwaq itu sekedar pembangkit imajinasi
pembaca, yang sekaligus menunjukan kelihaian Ibn Thufayl dala merangkai kisah
Hayy ini. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Faruq Said, op. Cit. H.25-28.). Cuanya paling seimbang di
seluruh permukaan bumi, dan paling bisa menerima terbitnya cahaya tertinggi.
Asumsi ini menyimpang dari
pendapat para filosuf dan dokter terkemuka. Menurut mereka, (bukan Waqwaq) yang
bercuaca paling seimbang, tetapi daerah iklim ke empat. Alasannya, di
katulistiwa tidak ada pusat kehidupan (“imarat), sebab situasi geografis
memustahilkan itu.
Anggapan “Daerah iklim ke
empat itu paling seimbang”, mengandung arti bahwa cuaca daerah katulistiwa
sangat panas. Pendapat mayoritas (filosuf) ini tidak benar. Ada bukti
menunjukan sebaliknya. Menurut Ilmu fisika, panas itu timbul karena gerak atau
bersinggungnya benda panas dengan penyinaran. Disebutkan pula, matahari sendiri
tidak panas dan bagaimananya tidak dipengaruhi oleh sifat persinggungan itu.
Ada bukti jelas bahwa yang
dapat menerima penyinaran secara sempurna hanyalah benda mengkilat tak transparan,
kemudian benda tebal tak mengkilat. Adapun benda transparan yang tak mengandung
ketebalan sedikit pun, tidak bisa menerima cahaya sama sekali. Argumentasi ini
khas dari Syekh Abu ‘Ali (Bin Sina), tak pernah diungkap oleh para
pendahulunya.
Jika premis ini benar,
konsekuensinya matahari tidak memanasi bumi sebagaimana benda panas memanasi
benda lain yang disentuhnya. Alasannya, matahari itu sendiri tidak panas. Dan
Bumi pun tidak menimbulkan panas melalui gerak. Sebabnya, karena bumi itu diam
(tidak bergerak). Keadaannya sama saja, baik matahari terbit maupun saat
terbenam.
Secara inderawi, situasi
pemanasan dan pendinginan ini jelas berbeda pada kedua saat tadi. Dan matahari
tidak memanasi udara lebih dahulu, untuk kemudian memanasi bumi melalui udara
yang panas tadi. Bagaimana itu terjadi? Sebab kita merasakan, bagian bumi yang
terdekat dari udara, walau saat (udara) panas, ternyata jauh lebih panas
daripada atmosfir yang di atasnya.
Jadi jelas, pemanasan matahari
terhadap bumi terjadi hanya melalui cara pencahayaan. Sungguh, panas itu ada
kalau ada cahaya. Bahkan, kalau cahaya itu bertenanga lebih karena memusat
lewat cerrmin cembung, itu akan membakar segala yang menjadi fokusnya.
Menurut ilmu fisika, yang
berdasar argumen pasti, matahari berbentuk bola. Demikian pula bumi. Tapi
matahari jauh lebih besar daripada bumi. Lebih separuh bagian bumi senantiasa
terkena cahaya matahari. Di antara yang ini, adalah bagian tengahnya yang
senantiasa menerima cahaya terkuat. Sebabnya, karena daerah bagian itulah yang
terjauh dari kegelapan dan yang terbesar menerima (cahaya) matahari.
Semakin dekat dengan garis
pinggir lingkaran (bolanya), semakin sedikit daerah itu menerima cahaya. Dan
tepat di garis pinggirnya, daerah itu gelap total karena tidak menerima cahaya.
Di saat matahari berkulminasi
di atas kepala warga daerah tertentu, cahayanya terfokus ke pusat lingkaran
bola bumi, sehingga panasnya terasa sangat keras. Sebaliknya, di bagian bumi
lain yang terjauh dari tempat kulminasi matahari, (udaranya) terasa sangat
dingin.
Menurut ilmu fisika, di daerah
katulistiwa, matahari berkulminasi dua kali setahun, ketika berada di puncak
konstelasi Aries (Ra’s al-haml), dan ketika di puncak konstelasi Libra (ra’as
al-Mizan). Di antara masa setahun, enam bulan (matahari berada) di sebelah
selatan (katulistiwa). Enam bulan berikutnya di sebelah utara. Saat itu, panas
atau dingin tidak terasa keras. Situasi warga penghuni (daerah katulistiwa)
yang disebabkan keadaan tersebut, beragam.
2
Pernyataan ini tidak cukup, perlu keterangan lebih luas. Kami akan
menjelasskannya buat Anda. Sebab, itu termasuk bukti kesahihan asumsi bolehnya
manusia lahir tanpa ibu bapak (33). Yakni kelahiran spontan. Untuk analisa
perbandingan antara teori kelahiran manusia secara spontan Ibn Thufayl dengan
teori-teori kuna dan modern sejak Anaximander, Aristoteles, Darwin, Haecdel
hingga Chardin, lihat Sami S. Hawi, op. Cit. H. 103-124). di daerah
tersebut.
Ada yang percaya dan yakin, Hayy Bin
Yaqzan tercipta di daerah itu tanpa ibu bapak. Tapi ada yang menolak, seraya
mengemukakan kisah (Hayy Bib Yaqzan)versi lain, yang akan kami ceritkan kepada
Anda, berikut ini.
Konon, di dekat (Waqwaq) itu ada sebuah pulau besar, luas, makmur,
berpenghasilan melimpah, berpenduduk ramai, dan dikuasai seorang tiran penuh ambisi. Ia mempunyai
ssaudara, seorang perempuan cantik dan menarik. Tetapi, secara paksa ia
melarang saudaranya kawin sebelum ada (calon suami) yang pantas.
Sang tiran itu mempunyai seorang karib bernama Yaqzan yang secara sembunyi
mengawini (Saudara perempuannya).Menurut ajaran populer saat itu, kawin cara
demikian dibolehkan. Kemudian, wanita tadi hamil, seraya melahirkan seorang
bayi. Kuatir rahasianya diketahui khalayak, ia masukan bayinya ke dalam sebuah
tabu rapat, setelah disusui kenyang. Di awal malam, bersama sejumlah pelayan
dan kepercayaannya, ia keluar membawa tabu itu menuju pantai, dengan hati penuh
kasih dan gundah.
(Si Ibu) melepas (tabu berisi bayi itu ke laut), diiringi doa; “Ya Tuhan,
Engkau menciptakan anak ini padahal tak pernah ia dikenang. Engkau memberinya
rizki berada di dalam kandungan yang gelap, dan dengan itu Kau memeliharanya
sampai ia sempurna dan lengkap.Kini aku menyerahkannya kepada kelembutan-Mu.
Akumemohon kemuliaan-Mu baginya, karena aku menakuti sikap raja tiran itu. Maka
jagalah ia, dan jangan Kau serahkan kepada raja itu, wahai Tuhan Yang Maha
Penyayang!. (36) Yakni kelahiran searaalami, melalui Ibu-Bapak).
Gelombang laut mengehempas (tabut itu). Oleh daya pasang arus air
mendorong, semalaman itu, hingga ia sampai ke pantai sebelah pulau yang
tersebut tadi. Saat air laut pasang sampai pada ketinggian yang setahun sekali,
dengan kekuatannya, air membawa tabut itu masuk ke hutan berpohon lebat,
bertanah tawar, yang tak diterpa angin dan hujan, tetapi ditimpa matahari di
saat terbit dan terbenanm. Dan iar laut pun mulai menyurut.
Laut itu tertinggi di tempat tadi. Akibat hembusan angin, pasir (di pantai)
meninggi dan menggunung, menjadi penyekat masuknya air ke hutan. Air pasang
tidak mencapainya. Paku tabut terlepas, dan papannya hancur terhempas air di
hutan itu.
Bayi (Putera Yaqzan) itu merasakan lapar. Ia menangis, mengerang dan
bergerak. Seekor rusa betina yang kehilangan anaknya (keluar dari sarangnya
ketika mendengar suara yang dikira anaknya).(37). Pernyataan dalam tanda kurung tidak terdapat
pada sebagian cetakan). Ia mencari suara itu, membayangkan anaknya.
Sementara bayi menangis, suaranya melengking dari tabut. Rusa merasa iba
kepadanya.Naluri kelembutannya muncul. Ia pun menyusui bayi itu, terus membesarkan
dan mendidiknya, serta melindunginya dari penyakit.
Demikian asal mula kisahnya, menurut versi penolak kelahiran (tanpa ibu
bapak). Berikut nanti kami kisahkan bagaimana bayi (yang kelak disebut Hayy)
itu terdidik dan berubah besar.
----------------oooOOOOoooo-----------------
Adapun penganggap kelahiran
Hayy dari bumi (Secara spontanitas), itu didasarkan pada pendapat bahwa di
perut bumi pulau (Waqwah), ada tanah yang terolah selama bertahun-tahun,
sehingga (unsurnya) yang panas dan dingin, lembab dan kering, bercampur secara
seimbang.
Tanah terolah ini luas.
Sebagiannya melebihi bagian lain dalam hal keseimbangan sifat dasar dan
kesiapannya untuk menjadi bahan campuran. Adalah bagian tengahnya yang
terseimbangkan dan tersesuaikan dengan sifat dasar manusia. Bagian tanah itu
lalu mengandung proses kelahiran, mengalami semacam gelembung didih karena
kelengketannya sangat kuat.
Tetapi di pusat tanah itu ada
kelengketan dan gelembung kecil yang terbagi dua. Dibatasi oleh selubung batas
tipis, dengan benda lembut berudara seimbang dan cocok. Itu adalah “ruh” yang
berasal dari perintah Allah Yang Maha perkasa dan agung, sebagaimana cahaya
matahari senantiasa melimpah ke alam.
Ada benda, yaitu udara
transparan, tidak dapat bersinar (ketika ditimpa cahaya matahari). Tetapi benda
lain yang tebal tak mengkilat, dapat bersinar sedikit, walau bisa berbeda dalam
menerima cahaya yang tergantung pada warnanya. Sedangkan benda mengkilat,
cermin misalnya, bersinar kuat. Apapbila cermin itu berbentuk cekung, ia akan mengeluarkan
api bila cahayanya sangat kuat.
Ruh, seperti matahari yang
adalah (bagian) dari perintah Allah Mahatinggi, senantiasa beremanasi atas
semua yang ada (mawjudat).Di antara mawjudat itu, ada benda mati tak
berkehidupan. Ruh membekas kepadanya, tetapi tanpa kelihatankarena benda tadi
tidak siap (menerimanya). Ini semisal udara pada contoh matahari tersebut di
atas.
Sedangkan pada spesies
tetumbuhan, mawjudat yang lain, bekas ruh itu kelihatan sesuai kualitas
kesiapannya. Ini semisal benda tebal pada contoh di atas. Dan pada spesies
binatang, sebagai mawjudat lain, bekas ruh itu tampak jelas. Ini semisal benda
mengkilat pada contoh matahari tadi.
Ada benda mengkilat, karena
kuatnya menerima cahaya matahari, disebut-sebut sebentuk dan semisal matahari.
Demikian pula ada binatang yang, karena kuatnya menerima ruh, dikira itulah ruh
sebenarnya, dan mengambil bentuknya, khususnya manusia. Ini disinggung pada
sabda Nabi saw. “Allah menciptakan Adam berdasar bentuk-Nya.
Apabila bentuk ini melengket
padanya, sehingga semua bentuk lain lenyap, tinggal satu bentuk yang tadi saja,
di mana bayang-bayang cahayanya membakar semua benda sentuhannya. Maka saat
itulah ia setingkat cermin penentang diri sendiri, tetapi pembakar benda lain.
Ini hanya ada pada para nabi, salam sejahtera untuk mereka, yang penjelasannya
ada tersendiri. Maka acuhlah keterangan (para folisuf) mengenai keterciptaan
itu.
Mereka berkata : Setelah ruh
berhubungan dan melekat pada tempat khusus tadi, semua daya kekuatannya tunduk
dan patuh kepadanya, atas perintah Allah Mahatinggi. Ke pusat tempat khusus
itu, terjadi suatu tiupan (Naffakhat).
Tiupan ini terbagi tiga ketetapan lain. Masing-masing tabir yang lebut dan
jalan tembus, itu penuh dengan benda berudara. Dengan itulah ketetapan pertama
terjadi. Tetapi ia lebih lembut.
Di ketiga “perut” pecahan dari
satu itu, ada sekumpulan daya kekuatan yang tunduk. Ia membantu menjaga,
mengabdi padanya, dan menghentikan kejadiannya sejak benda terkecil hingga
terbesar, bahkan ruh pertama yang berhubungan dan melekat pada tempat khusus
tadi.
Di tengah tempat khusus itu,
pada sisi yang berhadapan dengan tempat ke dua, terbentuk suatu tiupan ketiga
yang sarat dengan benda jasmani berudara. Tetapi ini lebih keras daripada kedua
lainnya. Di tempat khusus ini ada sekumpulan daya kekuatan yang tunduk tadi,
bertugas menjaga dan memeliharanya. Tempat-tempat khusus pertama, kedua dan
ketiga, itulah awal dari apa yang tercipta dari tanah olahan itunmenurut
susunan (penciptaan) yang telah kami sebutkan.
Mereka saling membutuhkan :
Tempat khusus pertama membutuhkan kedua lainnya, sebagaimana dibutuhkannya
suatu proses tunduk dan patuh. Begitu pula kedua tempat lainnya membutuhkan
tempat pertama, seperti butuhnya orang yang dipimpin kepada pemimpin, orang
yang diatur kepada pengatur. Namun dilihat dari sisi anggota tubuh yang dicipta
sesudahnya, keduanya merupakan pemimpin, bukan yang dipimpin ---- kepemimpinan
tempat ke dua kepada ke tiga.
Ruh bergantung padanya. Dan karenanya, di samping panasnya
membara, maka tempat pertama mebentuk diri sebagai api pineal dan sebagai benda
keras terbungkus menurut bentuknya. Lalu
sebagai daging gempal, berbungkus tebal sebagai pengamannya. Anggota tubuh itu
disebut hati (qalb). Tetapi, karena seperti benda lembab (ratubat) yang berubah
dan hancur akibat panas, anggota tubuh tadi membutuhkan pemelihara, pemberi
makan, dan pengganti bagiannya yang berubah (dan hancur itu). Kalau tidak,
eksistensinya tidak akan lama.
Anggota tubuh itu juga
mebutuhkan cara mencerap sesuatu yang patut diambil, dan menolak sesuatu yang
tidak cocok. Maka setiap anggota tubuh, dengan daya kekuatannya, terpelihara
dan terurusi menurut kebutuhannya sendiri. Begitu pula anggota tubuh lain,
terpelihara dan terurusi menurut kebutuhannya yang lain pula. Pemelihara dan
pengurus indera itulah disebut otak(dimagh), sedang pemelihara dan pengurus
makanan itu disebut ati (kabid). Mereka saling membutuhkan, agar diberi panas
dan daya kekuatan tertentu. Karena itu, diantara mereka terjalin lorong dan
saluran, yang satu lebih luas dari yang lain, sesuai kebutuhan. Itulah urat dan
pembuluh darah.
Kemudian para pakar yang menganggap Hayy lahir
dari bumi itu masih meneruskan uraiannya tetang anatomi, tentang anggota tubuh
seluruhnya. Mereka persis para fisikawan, menguraikan terbentuknya janin di
dalam rahim Ibu. Tanpa kurang sedikitpun, hingga akhir proses terbentuknya
janin yang ketika semua anggota tubuhnya sempurna siap dilahirkan dari perut
ibu.
Untuk menerangkan kesempurnaan
metamorposis itu, mereka meminjam (keterangan tentang) tanah besar yang terolah
dan siap bagi semua kebutuhan penciptaan manusia. Yaitu, ada selaput protektif
(ketuban) yang menutupi semua tubuh bayi, dan lain sebagainya. Setelah (masa
kehamilan dan penciptaan bayi) sempurna, ketuban itu pecah berupa proses
persalinan. Sama seperti tanah yang sudah kering, lalu pecah dan retak.
Bayi itupun menangis kehabisan
bahan makanan. Rasa laparnya kian menjadi-jadi. Ia disambut oleh se ekor rusa
(zabiyyah) yang kehilangan anaknya.
3
Dari (penjelasan) tadi, tampak
kesamaan pendapat para pakar kelompok kedua ( yang berasumsi Hayy lahir dari
ibu bapak), dengan pendapat kelompok pertama (yang berasumsi Hayy lahir dari
bumi). Kesamaannya terletak pada makna pendidikan yang tersirat pada keterangan
mereka. (40) Kedua
kelompok itu pada akhirnya sepakat bahwa, bayi Hayy itu, yang terlahir dari
bumi secara spontan menurut kelompok pertama dan dari Ibu-Bapak menurut
kelompok ke dua, dipelihara dan dididik oleh seekor rusa betina.) Mereka sama berkata :
Rusa yang memelihara (Hayy bin
Yaqzan) itu kemudian menemukan daerah padang rumput sumbur. Maka tubuhnya
menjadi gemuk dan air susunya segar mengguyur. Ia memberi (Hayy) makanan yang
baik. Bayi itu menyukai rusa. Jika rusa terlambat (memberi makan), Hayy
menangis keras sehingga ia datang.
Di Pulau itu tidak ada
binatang buas yang berbahaya. Karena itu, Hayy terdidik dan tumbuh. Ia memakan
susu rusa, sampai berumur dua tahun. Hayy mulai belajar berjalan. Giginya sudah
tumbuh. Ia mengikuti (tingkah laku) rusa yang mencintai, menyayangi dan
membawanya ke tempat-tempat berpohon lebat! Bati itu diberinya makanan
buah-buahan manis dan matang, yang jatuh dari pohonnya. Jika buah itu berkulit
keras, dikupasnya dengan giginya. Dan bila Hayy haus, ia memberinya minum susu
dan air.
Jika Hayy kepanasan terkena
matahari, ia memindahkannya ke tempat teduh. Sebaliknya, kalau kedinginan,
diusahakannya memanaskan tubuhnya. Bila malam tiba, Hayy dibawa ke tempat
semula, seraya didekapkan ke tubuhnya. Atau dimasukan ke dalam tabut yang telah
diisi penuh dengan bulu. Mereka kini tidur beristirahat. Seekor banteng yang
habis merumput, bermalam bersama mereka.
Itulah ihwal bayi (Hayy)
bersama rusa. Ia bersuara menirukan nyanyiannya, sehingga mereka hampir tak
terpisahkan.Ia menirukan pula semua suara binatang yang didengarnya, dan burung
misalnya, dengan penuh perhatian berkat hasratnya yangkuat.
Suara rusa yang ia tiru,
antara lain isyarat minta tolong, belas kasihan, panggilan dan isyarat minta
dijaga. (Hayy pun telah meniru) semua suara yang mengungkap berbagai keadaan
binatang itu. Karena itu, binatang buas menyukainya. Dan sebaliknya, Hayy pun
menyukai mereka. Mereka tidak memusuhinya, dan dia pun tidak memusuhi mereka.
Banyak (kesan) yang sebenarnya
telah lenyap dari penglihatannya, tetapi tetap mantap di jiwanya. Karena itu,
Hayy sekaligus menyukai dan membenci selain dirinya.
4
Sementara itu, ia
memperhatikan semua jenis binatang. Tampak, mereka dipenuhi wol, rambut dan
bulu. Mereka memiliki daya permusuhan, keberanian dan senjata untuk mengelak musuh.
Misalnya tanduk, taring, kuku, dan cakar. Tapi Hayy memperhatikan dirinya
telanjang, tanpa senjata, jadi lemah untuk memusuhi, dan kurang berani –
(padahal, itulah daya) pada binatang buas untuk memakan buah, menundukan dan
menguasai yang lain. Karena itu, hada Hayy timbul perasaan tamk mampu
mempertahankan diri atau mengelak dari musuh.
Hayy melihat pula, anak-anak
rusa sebayanya pun telah ditumbuhi tanduk, padahal sebelumnya tidak. Mereka
kini kuat bermusuhan, padahal dulunya lemah. Hayy lau melihat ke dirinya :
semua itu tidak ada. Hayy mencoba memikirkannya, tapi gagal mengetahui
sebabnya. Ada beberapa makhluk lain yang cacat, tak sama dengan dirinya. Sekali
lagi, ia melihat sumber kelebihan binatang. Tampak jelas, yang terkeras itu
ekor, dan yang terlembut adalah bulu dan sebagainya. Ia bersedih dan murung,
ketika melihat anak-anak rusa tampak lebih lincah ketimbang dirinya.
Lama Hayy merenung semua itu,
hingga menjelang umur tujuh tahun. Tapi Hayy merasa putus asa melengkapi
kelemahannya, yang justru sumber bahaya bagi dirinya. Hingga tiba-tiba muncul
pikiran. Hayy mencoba membuat semacam (penutup tubuh) dari dedaunan lebar, di
belakang dan di muka, diikatlah pada semacam ikat pinggang dari daun kruma dan
pelepah. Tak lama dipakai, daun itupun layu, kering dan luruh. IA membuat lagi
lebih kuat dengan cara menjadikan dedaunan itu, yang dikira akan bertahan lebih
lama. Tapi sama saja, daun itu lekas hancur.
Dari ranting pohon ia membuat
sebuah tongkat, yang ujungnya dirapikan. Ternyata dengan tongkat itu ia dapat
menghalau binatang buas pengganggu. Yang lemah ia dorong, dan yang kuat ia
serang. Tongkat itu memberinya tambahan kekuatan. Hayy berpikir, tangannya
ternyata mempunyai kemampuan lebih dibanding “tangan” binatang. Sebab, dengan
tangan ia bisa menutup bagian tubuhnya, lalu membuat tongkat sebagai alat
mempertahankan diri dari musuh, mengganti (fungsi) ekor dan senjata alami yang
ia butuhkan dan ia damba.
5
Bersama itu, Hayy membesar dan
berkembang ke umur tujuh tahun. Ia merasa cukup lama memperbarui daun penutup
tubuhnya. Muncullah hasrat di jiwanya mengambil ekor binatang mati untuk
dilekatkan pada tubuhnya. Tetapi Hayy melihat binatang yang hidup justru
menjagai bangkai itu. Maka ia tidak berani melaksanakan (hasratnya) itu. Hingga
suatu hari, Hayy menemukan seekor burung nasar mati. Hasratnya serasa pasti
terlaksana.
Kesempatan itu ia manfaatkan,
apalagi tak ada binatang memperhatikan dan mengawasinya. Ia maju. Kedua sayap
dan ekor burung itu ia potong baik-baik, seperti adanya. Bulunya di lepas dan
ia tata. Semua kulit burung itu
dikelupas, lalu dibilah menjadi dua, yang satu diikatkan ke punguung tubuhnya
dan satunya lagi ke bagian tubuh dari pusar ke bawah. Sedangkan ekornya ia
ikatkan ke belakang, dan sayapnya ia ikatkan ke tangan.
Itu menjadi penutup, penghangat tubuh, sekaligus
penimbul rasa takut pada semua binatang, sehingga mereka tidak mengganggu dan
memusuhinya. Bahkan, tak ada binatang yang berani mendekatinya, kecuali rusa
yang menyusui dan mendidiknya.
Rusa dan Hayy tidak saling
meninggalkan. Sampai rusa itu tua dan lemah ketika mengambilkan untuknya
rerumputan segar, buah manis, dan makanan. Rusa itu semakin tua dan lemah,
sehingga dijemput kematian. Gerak dan perbuatannya macet total.
Melihat rusa demikian, Hayy
sedih sekali. Ia mengeluh kasihan. Ia memanggil rusa itu dengan suara yang
biasanya langsung dijawab begitu ia dengar. Ia berteriak sekuat-kuatnya.
Tetapi, pada rusa itu tak tampak ada gerak dan perubahan. Ia melihat kedua
telinga dan mata rusa : cacat, lain dari biasa. Begitu pula sekujur tubuhnya.
Ia ingin sekali menemukan tempat cacat itu, untuk segera dihilangkan. Kemudian
ia mengulang penelitiannya semula. Tetap sama saja.
Yang mendorong Hayy untuk
(menemukan cacat sumber kematian) itu, ialah pengalamanannya : Jika kedua
matanya dipejamkan atau dihalangi sesuatu, ia tak bisa melihat, sampai
penghalang itu dilenyapkan. Begitu pula, jika telunjuknya ia masukan menutup
telinga, maka ia tak bisa mendengar sesuatu, kecuali telunjuknya itu dilepas.
Bila hidungnya ia pijit dengan tangan, ia tak bisa mencium bebauan, sampai
hidungnya dibuka kembali. Karena itu ia percaya, semua pencerapan dan perbuatan
seringkali mempunyai penghalang yang, jika dihilangkan, kembali seperti semula.
IA telah melihat semua anggota
tubuh lahiriah rusa, tapi tak tampak cacatnya. Sementara itu, ia menyaksikan
kemacetan total, bukan hanya di sebagian tubuh tertentu. Maka terpikir di
benaknya, cacat itu pastilah timbul dari bagian tubuh yang tak tampak oleh
mata, berada di tubuh bagian dalam, tetapi gerakannya tidak membutuhkan anggota
tubuh lahiriah. Ketiak cacat menimpa bagian tubuh (tersembunyi) itu, terjadilah
kemacetan total. Hayy ingin sekali menemukan bagian tubuh itu untuk dibersihkan
dari segala cacat, sehingga tenaga mengalir lagi ke sekujur badan, dan
perbuatannya pulih seperti semula.
Dari pengalaman selama ini,
tampak semua tubuh bangkai binatang tidak berongga, kecuali di bagian tengkorak
dan perut. Maka terlintas di benaknya, anggota tubuh ( seperti) tadi mestinya
tengkorak atau perut. Hayy menduga keras, cacat itu pasti di bagian tengah,
(yaitu dada). Sebab, ia yakin bila semua bagian tubuh membutuhkannya, itu
mestinya di tengah. Dan jika dirujuk ke esensinya, Hayy merasakan anggota tubuh
itu ada di dada, karena dada menampak (dan menjadi pusat) semua anggota tubuh
lain seperti tangan, kaki, telinga, hidung dan mata. Dan dadamampu melepas
semuanya.
Hayy yakin, bagian tubuh itu
tidak memerlukan semua anggota tubuh tadi. Kepalanya mampu seperti itu, tanpa
memerlukannya. Jika ia berpikir tentang sesuatu di dalam dada, sekejap ia tak
bisa mengelaknya. Demikian pula sewaktu menyerang binatang buas, yang
dipertahankan adalah dada, karena dirasakan ada barang (berharga) di sana.
Setelah yakin bagian tubuh
yang cacat itu ada di dada rusa, Hayy bertekad mencari, meneliti dan
menguaknya. Ia ingin menemukan dan melihat cacat itu, untuk segera di
hilangkan. Tetapi timbul rasa kuatir pada diri Hayy, jangan-jangan usaha itu
mendatangkan malapetaka besar, berakibat lebih fatal daripada sebelumnya.
Namun Hayy berpikir ulang.
Pernahkah ia melihat binatang yang seperti (rusa), kembali sendiri seperti
semula? Tidak. Ia merasa tak pernah menemukannya! Kesimpulannya, mustahil rusa
itu pulih seperti semula, jika dibiarkan. Yang jelas, rusa itu bakal pulih ke
semula, jika Hayy berhasil menemukan bagian tubuh (tak tampak) itu dan
melenyapkan penyakitnya.
Hayy telah berbulat tekad
untuk membedah dada rusa dan memeriksa isinya. Ia mengambil pecahan batu keras
dan kayu kering, didbentuk serupa pisau. Dengan itu ia membelah daging rusuk
sampai pecah. Pelindung rusuk yang di dalam, tampak kuat. Hayy menduga keras,
pelindung semacam itu hanya diperuntukan anggota tubuh seperti tadi. Hayy
yakin, kalau ia terus membelah, harapannya segera tercapai. Ia berusaha
membelahnya. Tetapi ia kesulitan alat, sebab yang ada hanya batu dan kayu.
Dengan batu lain yang lebih tajam, ia berhasil menemukan paru-paru, Semula
dikira, itulah yang ia cari. Kini ia membolak-baliknya, mencari penyakit itu.
Pertama, Hayy mendapatkan
belahan paru-paru itu, berupa rongga, Tampak, itu miring ke satu arah. Ia
yakin, paru-paru pasti tepat di tengah tubuh, dihitung lebar dan panjangnya.
Namun ia masih meneliti isi dada rusa itu, sampai mendapatkan “hati” (qalb)
yang dibungkus selaput sangat kuat. Sedangkan paru-paru (yang tadi) ada di
sekitar itu, mulai dari tempat yang ia belah semula.
Ia berkata sendiri, “Anggota
tubuh ini, dilihat dari sisi lain, sama seperti keadaannya pada sisinya kini.
Jadi, itu tentunya berada tepat di tengah, dan itulah yang ku cari. Apalagi
tempat yang begitu indah, bentuknya apik, sedikit pecah, dagingnya kokoh, dan
tertutup selaput yang tak pernah ku lihat di tubuh lain.”
Ia terus meneliti sisi lain
dada rusa itu. Ia menemukan rusuk lain yang tak kelihatan mata, lalu paru-paru
di posisi seperti tadi. Ia yakin, bagian itulah yang ia cari. Ia berusaha
merusak dan membelah penarungnya. Dengan paksa ia mampu melakukan itu, setelah
melepas habis segenap dayanya.
Dibersihkannya hati (yag
berada di antara paru-paru) itu. Tampak segala sisinya tertutup. Diperiksa,
adakah cacat yang tampak? Tidak ada! Hati itu dipijitnya dengan tangan, terasa
berongga. “Barangkali yang ku cari ada di dalamnya.” Gumamnya. “ Yang belum ku
temukan sampai kini.”
Hayy membelah hati itu.
Ditemukan ada dua rongga di dalam. Satu di bilik kanan dan satu lagi di bilik
kiri. Rongga kanan penuh darah membeku, sedang rongga kiri kosong, tak berisi
apapun. “Yang ku cari pasti ada di salah satu rongga ini.” Katanya dalam hati.
“Rongga kanan ini ku lihat dipenuhi darah beku. Darah ini membeku, akibatnya
jasad rusa menjadi begini.” Dan Hayy senantiasa menyaksikan darah membeku
setelah mengalir ke luar. Semua darah begitu.
“Namun ku saksikan,” katanya
lagi, “darah seperti ini terjadi di semua tubuh, tidak pada bagian tertentu. Yang
ku cari tidak berciri seperti ini. Jadi, semua penemuanku ini kiranya tidak
terlalu penting. Karena darah yang keluar dari tubuhku saat dilukai binatang,
tidak mengurangi gerakanku. Maka yang ku cari pasti tidak terletak di rongga
kanan ini.”
“Tapi rongga kiri ini ku lihat
kosong sama sekali. Kenapa? Itu tentu ada artinya. Sebab, setiap bagian tubuh
ku lihat mempunyai gerakan khas tersendiri. Adakah rongga yang banyak
kelebihannya itu dibuat untuk sia-sia? Ku pikir, yang ku cari itu pernah ada di
sana, tetapi kini pergi mengosonginya. Akibatnya, jasad (rusa) itu amcet. Tidak
bisa mencerap dan bergerak.”
Hayy yakin, ketika rongga itu
belum rusak, pernah ada sesuatu. Tapi karena rongga itu kini rusak, sesuatu itu
telah pergimeninggalkannya, lalu tak akan kembali ke rongganya semula. Karena
itu, ia sekarang menganggap rongga hati jasad itu tidak penting.
Perhatiannya kini terpusat
kepada “sesuaut” yang katanya pernah ada di (rongga hati sebelah kiri) tadi
beberapa lama, tetapi sekarang telah pergi (entah ke mana). Ia mulai
mempertanyakan “sesuatu” itu, apa sebenarnya? Bagaimana? Apa hubungannya dengan
jasad? K e mana lenyapnya? Dari pintu mana ia melepas jasad? Apakah sebabnya ia
keluar secara paksa? Mengapa ia tak disukai oleh jasad, sehingga meninggalkan secara
sengaja?
Pikirannya menyebar ke semua
itu, sambil berusaha melupakan (soal jasad). Hayy menyadari bahwa soal ibu yang
menyayangi dan menyusuinya itu, tak lain adalah “sesuatu” yang lenyap tadi,
yang darinya --- bukan dari jasad yang telah macet – timbulnya semua perbuatan.
Jasad seluruhnya hanyalah alat yang berfungsi seperti tongkat yang dipergunakan
untuk membunuh binatang. Lewat jasad itulah hubungannya berpindah kepada
“pemilik” dan “penggerak” (muharrik) jasad itu sendiri. Kerinduan Hayy kini tertumpu
kepada “sesuatu” itu saja.
Sementara itu, jasad rusa pun
membusuk, menyebarkan bau tak sedap. Hayy menjauhinya, bahkan menghindarinya.
Tetapi tiba-tiba pandangannya menampak dua ekor burung elang saling berbunuhan.
Lalu seekor mati tersungkur. Lainnya yang masih hidup mencari-cari tanah, dan
menggalinya seraya memendam (rekannya) yang terbunuh itu, dan menimbuninya
dengan tanah. “Betapa indah perlakuan elang ini,” pikirnya. “Ia memendam
bangkai rekannya, padahal telah dijahatinya dengan cara membunuh! Semestinya
aku belajar cara ini untuk memperlakukan (jasad) Ibu!” Lalu ia menggali lubang
jasad “ibunya” ia masukan ke dalam, dan menimbuninya dengan tanah.
Tapi pikirannya semakin
tergoda untuk mengetahui apa sebenarnya “Sesuatu” yang hilang dari jasad itu
tadi. Ia menyaksikan perawakan semua rusa, tampak seperti ibunya dalam hal
bentuk dan posturnya. Ia yakin, setiap rusa digerakan oleh “sesuatu” yang sama
seperti yang dmenggerakan ibunya. Karena kesamaan itu, ia kemudian menyayangi
semua rusa.
Begitulah keadaan Hayy beberpa
lama : Memeriksa segala macam binatang dan tetumbuhan; mengelilingi pelosok
pantai pulau (tempat tinggalnya). Ia dmemeriksa, setia tahu melihat atau
menemukan kesamaan bagi dirinya. Ia memang melihat, setiap binatang dan
tetumbuhan mempunyai banyak kesamaan. Tapi ia tak menemukan kesamaan buat
dirinya. Ia hanya melihat laut melingkungi pulau dari segala sisinya. Hayy
yakin, tak ada negeri selain pulaunya.
6
Suatu kali, tiba-tiba api membakar setumpukan kayu. Hayy menyaksikan suatu
pemandangan menakjubkan, makhluk yang tak pernah ia temukan. Ia berdiri
keheranan. Perlahan ia melangkah mendekatinya. Tampaknya makhluk yang tak
pernah ia temukan itu mempunyai cahaya penembus dan gerak pengunggul. Setiap
yang mendekati pasti hancur dan luluh ditelan olehnya. Itulah api. Ia takjub
karenanya. Berkat rahmat Allah Mahatinggi berupa tabiat keberanian dan
kekuatan, Hayy terdorong mengulurkan tangan kepada api itu. Ia ingin mengambil
sebagian darinya.
Begitu menyentuh, tangannya terbakar hingga ia malah tak bisa memegang.
Lalu ia diberi petunjuk mengambil kayu yang ujungnya termakan api. Ia memegang
kayu yang tak terbakar. Ia kini memilikinya, dan membawa pulang kayu berapi itu
ke rumah tinggalnya yang dari batu.
Api itu ia beri kayu-kayu kering dan ranting-ranting kecil supaya terus
menyala. Ia jaga dan pelihara api itu siang dan malam, sebagai kebaikan dan
rasa takjub kepadanya. Di malam hari, Hayy semakin menyukai api itu, karena
mengganti kedudukan matahari dalam memberi sinar dan kehangatan. Kecintaan Hayy
kepadanya sangat besar. Ia percaya, api itulah miliknya yang paling berharga.
Api itu terlihat senantiasa bergerak ke arah atas dan berusahamencapai
ketinggain. Ia pikir, api itu termasuk sejumlah substansi slestial (jawhar
samawiyyah) yang pernah disaksikannya.
Ia menguji daya api itu, dbanding segala benda, dengan memasukan berbagai
benda itu ke sana. Ia melihat, api itu menguasai dan meluluhkannya, cepat dan
lambat sesuai kuat atau lemahnya kesiapan bakar benda yang disentuhkan.
Di antara benda yang dimasukan sebagai penguji dayanya itu, adalah sejenis
binatang laut yang terdampar ke pantai. Binatang itu matang dan baunya
menyebar. Seleranya bangkit. Ia coba memakan sebagian, ternyata enak. Dari itu
ia kemudian terbiasa memakan daging. Untuk memburu (binatang) darat dan laut,
ia memasang jaring dan umpan, sampai ia mahir.
Ia semakin menyukai api, sebab ternyata itu menjadikan makanan lebih enak
dari sebelumnya. Ia menyukai api, karena itu berpengaruh baik dan dayanya kuat.
Sejak itu timbul pikiran “
Esuatu” yang melenyap dari hati ibunya --- yaitu rusa yang membesarkannya –
adalah substansi Mawjud atau sejenisnya. Anggapan itu diperkuat oleh bukti
bahwa tubuh binatang yang hidup senantiasa panas, seperti dikathui Hayy selama
ini. Tapi, binatang itu menjadi dingin setelah ia mati.
Ini bersifat abadi, tidak lenyap. Dari pengalaman membedah dada rusa,
ketika ia menemukan panas yang kuat, muncul satu pikiran. Ia tertarik mengambil
seekor binatang, untuk membedah hati binatang itu, seraya memeriska rongga yang
ternyata kosong pada rusa yang pernah ia bedah. Terpikir, bila itu dilakukan,
ia pasti bisa membuktikan eksistensi “sesuatu” yang ada di binatang hidup, dan
bisa memastikan apakah “sesuatu” itu termasuk substansi api? Apakah di dalamnya
ada sinar dan api atau tidak?
Ia menangkap se ekor binatang, mengikatnya seraya membedahnya seperti cara
mengoperasi rusa tempo hari. Pertama, ia mengambil bagian rongga kiri, lalu
membedahnya. Ia melihat, rongga kosong itu dipenuhi udara beruap, menyerupai
awan putih. Ia memasukan tangan ke dalam. Terasa panasnya seakan membakar.
Tetapi, binatang itu mati seketika. Ia berpendapat, adalah benar bahwa uap panas itu yang menggerakan
binatang. Hayy lalu memperlakukan kesimpulan ini umum bagi semua binatang lain.
Begitu uap lepas ke luar, binatang itu pun mati.
Kini muncul hasrat untuk membedah semua tubuh bintang itu, serta
(mengetahui) susunan, letak, ukuran dan perhubungannya. Bagaimana itu
bergantung pada uap panas, sehingga bisa melanjutkan hidup? Bagaimana uap itu
ada sepanjangmasa? Darimana itu datang dan mengapa panasnya tak habis? Semua
itu dipraktekan dengan membedah anatomi binatang hidup dan mati. Ia terus
menekuni pemeriksaan dan proses pemikirannya, sampai ia mencapai tingkat
(penelitian) pakar fisika terkemuka.
Karena itu, semakin jelas bahwa tiap sosok binatang terdiri dari ragam
indera dan gerak. Namun, tubuh itu tetaplah satu dan sama, karena ada ruh yang
berasal dari satu tempat. Sosok yang terbesar ke seluruh anggota tubuh
bersumber dari ruh itu. Bagi Hayy jelas, semua bagian tubuh mengabdi pada, atau
timbul akibat, ruh. Dan kedudukan ruh itu dalam gerakan yang utuh, seperti
memburu binatang laut dan darat, yang tiap jenisnya diburu dengan alat
tertentu. Alat itu beragam, untuk mempertahan diri dengan cara mengelak musuh,
dan untuk menghancurkan. Demikian pula alat buru, beragam. Ada yang untuk
binatang laut, dan untuk binatang darat. Alat operasi juga beragam : untuk
membedah, penghancur, pelubang. Padahal, badan (yang dioperasi) itu satu.
Segala sesuatu menggerakan perbuatan sesuai alatnya dan menurut tujuannya.
Demikian, ruh hewan itu satu. Tapi, jika ruh itu berbuat dengan alat mata,
perbuatannya berbentuk penglihatan. Jika itu berbuat dengan alat telingan,
perbuatannya adalah pendengaran. Jika ia berbuat dengan alat hidung,
perbuatannya berbentuk penciuman. Bila itu berbuat dengan alat kulit dan
daging, perbuatannya disebut perabaan. Dan kalau ia berbuat dengan jantung,
perbuatannya berbentuk makanan dan proses pemasakannya.
Setiap (alat) itu mempunyai anggota tubuh pengabdinya, yang membuatnya
terlaksana hanya karena aliran dari ruh itu melalui “jalan-jalan” yang disebut
urat syaraf. Jika itu terputus atau tertutup, maka perbuatan bagian tubuh (yang
dialiri ruh lewat “jalan-jalan” tadi) pasti macet. Urat syaraf itu sebenarnya
memperoleh ruh dari bagian dalam otak, sedangkan otak sendiri memperoleh ruh
dari hati. Di dalam otak terdapat banyak ruh, sebab itu adalah tempat
terpencarnya bagian-bagian anggota (tubuh).
Setiap bagian tubuh yang kehilangan ruh karena satu sebab, perbuatannya
macet dan seperti alat terbuang yang tidak dipergunakan lagi oleh si pelaku.
Jika ruh itu lepas seluruhnya dari jazad atau rusak karena suatu sebab, jasad
itu pasti macet total, menjadi seperti dalam keadaan mati. Demikianlah,
penyelidikan Hayy itu sampai ke batas ini berlangsung selama 3 minggu, saat ia
mencapai umur 21 tahun.
7
Di umur tersebut, Hayy dapat memperbaiki cara hidup. Ia kini menutup tubuh
dengan kulit binatang hasil operasi, bahan yang juga ia bikin sepatu. Benang
(jahitnya) ia bikin dari rambut (bulu dan rami). Untuk itu, ia mengupas pelepah
pohon khatmiya, khubaza dan rami, serta pohon berserta lainnya. Itu didorong
oleh pengalamannya membuat pasak dan paku dari duri atau kayu yang diperuncing
dengan batu.
Pengalaman itu mendorongnya mendirikan bangunan. Maka ia membuat lemari dan
‘rumah’ (penyimpan) sisa makanan. Ia membentinginya dengan pintu dari kayu yang
diikat tali, agar tak digerayangi binatang saat ia keluar rumah memenuhi hajat.
Ia menjinakan burung buas yang membantunya berburu. Ia menangkap burung
jinak yang telur dan anaknya bisa dimakan. Ia mengambil tanduk sapi buas
bergigi, untuk ditata pada kayu kuat dan lidi pohon zan, dan sebagainya. Dalam
(membuat) itu semua, ia memanfaatkan api dan batu tajam sehingga kayu itu
menyerupai tombak. Ia membuat tamingnya dari lapisan kulit. Semua itu (dibuat),
karena ia tak mempunyai senjata alami.
Ia melihat tanggannya cukup (untuk memenuhi segala kebutuhannya). Buktinya,
ia berhasil membuat alat-alat tersebut. Lagi pula, binatang kini tak berani
menaklukkannya. Bahkan, binatang justru lari kencang menjauh, walaupun tak
mampu (disaingi) oleh Hayy. Ia berpikir, tak ada cara lebih efektif daripada
menjunakan binatang paling bandel, agar takluk
padanya, dengan menyediakan makanan pantas. Dengan itu, akhirnya ia
memperoleh kendaraan dan mampu mengusir segala (binatang).
Di Pulau itu ada kuda dan keledai buas. Ia menangkap dan memeliharanya,
untuk memenuhi maksudnya. Untuk itu, ia membuat (pelengkap kendaraan), seperti
kekang dan pelana, dari tali dan kulit. Cita-citanya mengusir binatang liar,
kini tercapai.
Ia menciptakan semua itu di saat melakukan operasi anatomis, ketika ada
hasrat mengetahui ciri khas anggota tubuh binatang, mengapa berbeda. Itu
terjadi selama masa tersebut tadi, (dalam umur) 21 tahun.
8
Setelah itu, Hayy mengamati tempat-tempat lain. Ia menyelidiki semua benda
(jism) yang berada di dalam dunia penciptaan (kawn) dan kehancuran (fasad) :
dari (species) binatang dengan berbagai jenisnya, tumbuh-tumbuhan,barang
tambang, bermacam bebatuan, tanah, air, uap, es, salju, awan, api yang berkobar
dan menyala. Ia melihat, semua itu mempunyai banyak ciri khas dan kelakuan yang
berbeda-beda, gerak yang berkesuaian dan yang paling bertentangan. Maka ia menyaksikan,
semua itu mempunyai sifat yang kadang berkesuaian dan kadang berbeda ssatu sama
lain.
Dari segi sifat keseuaian, ia menyaksikan benda-benda itu satudan sama.
Sedangkan dari segi sifat yang berbeda, (ciri khas) benda tertentu tidak
dimiliki benda lain. Maka (dalam catatannya) ciri khas benda-benda itu sangat
banyak, tak terhitung jumlahnya. Baginya, wujud (benda) menyebar tanpa bisa
dipastikan luas penyebarannya.
Menurut (penelitiannya), yang membanyak (pada benda-benda) itu adalah juga
esensinya (zat). Sebabnya, karena ia melihat, masing-masing bagian tubuh
mempunyai kelakuan dan sifat tersendiri sebagai ciri khasnya. Ia telah
menyaksikan tubuhnya sendiri, yang masing-masing terbagi ke banyak bagian. Ia
berkesimpulan, esensi dirinya sendiri banyak, bagitu pula esensi segala
sesuatu.
Kemudian, dengan cara lain ia mengamati bagian-bagian benda lain. IA
menyaksikan anggota tubuhnya, yang betapapun banyak, tapi semuanya berhubungan
satu sama lain, tidak putus.
Benda-benda itu berada dalam hukum Sang Kesatuan, dan tidak berbeda-beda
kecuali akibat perbedaan perbuatannya. Perbedaan initerjadi karena pengaruh
daya kekuatan ruh hewani, seperti kesimpulan dari pengalamannya semula. Dan
menurut esensinya, ruh itu adalah satu, dan ruh itulah hakekat esensi. Semua
anggota tubuh (hanyalah) alat. Melalui cara ini, menurut pendapatnya, esensinya
amenyatu.
Kemudian Hayy berpindah (meneliti) ke semua species binatang. Ia
menyaksikan, setiap sosoknya adalah satu menurut cara pandang di atas tadi. Ia
menyaksikan species itu. Antara lain : rusa, kuda, keledai, dan segala burung,
jenis demi jenis. Di antara sosok-sosok setiap species ini, ia melihat adanya
kesamaan anggota tubuh, yang tampak dan yang tidak tampak, dan juga kesamaan
persepsi, gerak dan kecenderungannya. Di antaranya, Hayy melihat perbedaan
hanya pada beberapa bagian kecil, ketimbang kesamaannya. Ia berkesimpulan, ruh
yang dimiliki keseluruhan species itu adalah sesuatu yang sama. Ruh itu
sebenarnya tidak berbeda-beda, meskipun ia memang terbagi ke dalam banyak
“hati” sehingga kelihatan berbeda-beda dan banyak.
Jika mungkin emadukan semua (ruh) yang tercerai dalam berbagai “hati” itu
dan dikumpulkan di sebuah tempat khusus, tentulah semuanya merupakan sesuatu
yang tunggal. Sama seperti air yang tunggal, atau minuman yang tunggal,
dibagai-bagi dalam banyak tempat, kemudian di satu padukan setelah itu. Air
dalam dua keadaan – keterbagian dan keterpaduan – adalah satu. Air tampak
banyak dilihat dari satu segi saja. Melalui cara pandang seperti ini, Hayy
melihat semuanya itu adalah satu. Baginya, pluralitas (kathrat) sosok-sosoknya
bagaikan pluralitas anggota-anggota tubuh sebuah sosok, yang berarti bukanlah
pluralitas yang hakiki.
Kini, ia menghadirkan seua species binatang di daya khayalnya. Ia
mengamatinya. Ia melihat, semuanya sama-sama mengindera, makan dan bergerak
secaara sengaja menuju ke satu arah yang dikehendakinya. Ia mengetahui,
perbuatan-perbuatan (mengindera, makan dan bergerak secara sengaja) itu adalah
ciri paling gkahs dari kelakuan ruh hewani. Ia mengetahui, semua benda-benda
yang berbeda setelah adanya kesamaan ini, tampak oleh Hayy bahwa ruh hewani
yang dimiliki semua jenis binatang pada hakekatnya adalah satu, meskipun ada
perbedaan kecil padanya, yang dimiliki secara khas oleh semua species dan tidak
oleh species lainnya.
Bila diumpamakan, ruh itu seperti air tunggal yang dibagi-bagi ke dalam
banyak tempat, yang sebagian lebih dingin dari lainnya. Asalnya, air itu satu.
Semua keadaan – seperti sebuah species tungal yang menjadi kekhasan ruh hewani
itu, meskipun dikenakan pluralitas padanya dengan sessuatu jenis binatang
adalah satu dan tunggal.
Kini Hayy mengacu pada species-species tetumbuhna dengan segala
perbedaannya. Ia melihat, sosok-sosok setiap speciesnya serupa satu sama lain.
Kesamaannya itu terletak pada dahan, daun, bunga dan buah, serta perilakunya.
Ia membandingkan tetumbuhan itu dengan binatang. Dari analogi ini ia melihat,
tetumbuhan itu mempunyai “Sesuatu” yang tunggalyang dimiliki oleh semua
(tetumbuhan). Dalam hal ini, “sesuatu” itu sama kedudukannya seperti ruh hewani
tadi, yang karenanya tetumbuhan (bisa disebut) sesuatu yang tunggal.
Demikianlah, ia melihat kepada jenis tetumbuhan seluruhnya, sehingga akhirnya
ia berkesimpulan, jenis tetumbuhan itu unggal menurut kesamaan kelakuannya,
yaitu bahwa ia makan dan bertumbuh juga (seperti jenis binatang).
Kini ia memadukan dalam pikirannya, jenis binatang dan jenis tetumbuhan. IA
melihat, keduanya sama-sama makan dan bertumbuh. Perbedaannya, dibanding
tetumbuhan, binatang mempunyai kelebihan penginderaan, pencerapan dan daya
gerak. Memang, barangkali ada semacam kesamaannya pada tetumbuhan. Misalnya,
sisi muka bunganya selalu berubah (menghadap) arah matahari dan juga
akar-akarnya selalu bergerak (menuju) arah (temepat) makanan, dan lain
sebagainya.
Dengan pengamatan ini tampak olehnya, baik tumbuhan maupun binatang adalah
tunggal, disebabkan sesuatu yang tunggal yang sama-sama dimiliki oleh keduanya.
“Sesuatu” itu bsia sangat sempurna dan utuh pada salah satu di antara keduanya,
tetapi terkadang “sesuatu” itu kurang sempurna pada yang lainnya. “Sesuatu” itu
sama kedudukannya seperti bagian beku dan yang lainnya cair. Karena itulah,
menurut pendaptnya, tetumbuhan dan binatang (pada hakekatnya) menyatu.
Lalu, ia memeriksa benda-benda yang tidak berindera, tidak makan dan tidak
tumbuh, berupa batu, tanah, air, udara dan kobaran (api). Ia melihat,
benda-benda itu berukuran : Panjang, lebar dan tinggi, serta tidak berbeda-beda
meskipun sebagian berwarna dan sebagian tidak, sebagian panas dan sebagian
dingin serta perubahan-perubahan lain semacamnya. Ia melihat, di antaranya,
yang panas (berubah) menjadi dingin, dan yang dingin menjadi panas. Begitu pula
air, (berubah) menjadi uap, dan sebaliknya. Juga benda-benda yang terbakar
(berubah) menjadi arang, abu, kobaran api, dan awan.
Dan jika kebetulan “sesuatu” yang, menurut pendaptnya, tumbuh-tumbuhan dan
binatang menyatu karenanya. Ia melihat “sesuatu” (yang menyatu) itu adalah
benda seperti tersebut tadi : mempunyai (ukuran) panjang,lebar, dan tinggi,
mungkin panas dan mungkin dingin, seperti benda yang tidak mengindera dan tidak
makan tadi. Bedanya, “sesuatu” itu mempunyai perbuatan-perbuatan yang timbul
melalui alat-alat hewani dan nabati saja, dan barangkali perbuatan-perbuatan
itu tidak bersifap esensial, tetapi merasuk kepada “sesuatu” itu dari sesuatu
yang lain. Sebab, kalau ia merasuk kepada benda-benda lain, maka
(perbuatan-perbuatan) itu tentu sama seperti “sesuatu” tadi.
Mka ia melihat kepada “sesuatu” itu menurut esensinya, terlepas dari
perbuatan yang pada mulanya tampak muncul dari “sesuatu” itu. Maka ia melihat, “sesuatu”
itu tidak lain adalah salah satu di antara benda-benda tadi.
Dari pengamatannya ini ia melihat, semua benda (yang hidup, mati, bergerak
atau bisa) adalah suatu yang tunggal, meskipun sebagian tampak mempunyai
perilaku (yang timbul) melalui alat-alatnya, tanpa ia mengerti apakah perilaku
itu bresifat esensial baginya ataukah merasuk kepadanya dari benda lain.
Dalam keadaan demikian, ia tidak melihat sesuatu selain benda-benda. Maka
dengan cara ini ia melihat wujud seluruhnya adalah suatu yang tunggal, meskipun
awalnya ia melihat wujud itu banyak, tidak terhitung dan tanpa batas. Ia
berkesimulan demikian beberapa lama.
Hayy mengamati semua benda, yang hidup dan yang mati. Dan itulah
benda-benda yang menurut pendapatnya, terkadang tampak sebagai sesuatu yang
tunggal dan terkadang banyak sekali tanpa batas. Ia melihat, masing-msing benda
pasti mengambil satu alternatif : bergerak ke arah atas, seperti uap, kobaran
(api) dan udara jika dimasukan ke dalam air, atau bergerak ke arah sebaliknya,
yaitu e bawah, seperti air, bagian-bagian bumi, binatang, dan tetumbuhan.
Setiap benda pasti memilih satu alternatif dari kedua bentuk gerakan tadi, dan
benda itu hanya diam bila dalm prosesnya terganggu oleh sesuatu sebab.
Misalnya, batu yang jatuh membentur permukaan bumi dengan keras, mustahil
melubanginya, kecuali ada kekhasan yang gmenyimpang dan gerakannya yang tampak.
Karenanya, jika Anda menggangkat batu itu, Anda dapatkan batu itu berat karena
batu memang cenderung mengarah ke bawah, berusaha mencari jatuh. Demikian pula
awan, selalu membumbung naik ke atas, kecuali membentur kubah keras yang
menghalanginya sehingga ia mengelak (untuk mencari jalan) ke samping kanan dan
kiri, dan begitu lepas dari kubah tadi, ia pun menembus udara membumbung ke
atas karena udara tidak bisa menahannya.
Ia melihat, jika sebuah balon kulit ia isi penuh dengan udara, lalu diikat
dan dimasukan ke dalam air, balon itu selalu berusaha menaik (ke permuakaan
air) dan mengelak dari pegangan di bawah air. Balon itu terus berusaha menaik
(dan membebaskan diri dari air) sampai ia berada di permukaan air berudara. Itu
artinya, balon keluar (dan lepas) dari dalam air. Seteelah mencapai permukaan
air, balon itu diam dan tidak bergerak. Tekanan dan kecenderungan untuk
mengarah ke atas yang ditemukan Hayy sebelum itu, kini telah terhenti dan
lenyap.
Ia mengamati, adakah benda yang bebas dari alternatif kedua gerak itu, atau
tidak mempunyai kecenderungan gerak seperti itu di waktu tertentu?
Sepengetahuannya, belum ada benda seperti itu. Ia mencarinya, karena ia memang
ingin menemukannya. Karena itu, ia melihat watak benda dari segi ia benda tanpa
dihubungkan dengan sifat tertentu yang merupakan sumber pluralitas.
Pencariannya ini membuat Hayy payah. Tetapi ia masih juga memeriksa
benda-benda yang paling sedikit mempunyai sifat (yang menunjuk kelakuannya).
Ternyata tidak ada benda yang bebas dari kedua alternatif sifat “berat” dan “ringan”.
Ia mengamati (kedua sifat) “berat” dan “ringan” ini, adakah dimiliki benda dari
segi ia benda (per se)? Ataukah keduanya mengimplikasikan pengertian tambahan
kepada makna kebendaan, sebab kalau kedua sifat itu benar-benar dimiliki benda
dari segi ia benda, pasti semua benda memiliki kedua sifat tersebut.
Padahal kita dapatkan, benda yang berat tidak memiliki sifat “ringan”
demikian pula sebaliknya, benda ringan tidak memiliki seifat “berat”. Pasti
kedua-duanya (yakni “benda berat” dan “benda ringan”) adalah dua benda yang
masing-masing memiliki penegrtian tersendiri, lepas dari makna lain, penambah
pengertian kebendaannya (jasmiyyah). Tanpa pengertian yang menjadi pembeda
masing-masing dari keduanya itu, tentu “benda berat” dan “benda ringan” adalah
sesuatu yang tungggal dari segala seginya.
Jelas baginya, hakekat setiap “benda berat” dan “benda ringan” tersusun
dari dua penegrtian. Pertama, pengertian dimana terbentuk keterpaduan dari
keduanya, yakni pengertian kebendaan (al-jasmiyyah); dan kedua, pengertian yang
membedakan hakekat benda yang satu dari benda lainnya, yaitu berupa “berat”
pada benda yang satu, dan”ringan” pada benda yang lain, tetapi yang keduanya
tetap dihubungkan dengan pengertian kebendaan, yaitu pengertian yang
menggerakan benda yang satu (menaik) ke atas dan benda yang lain (menurun) ke bawah.
9
Hayy meneliti pula semua benda, yang mati dan yang hidup. Ia melihat, hakekat wujud setiap benda terdiri dari pengertian kebendaan (al-jasmiyyat) dan pengertian tambahannya, mungkin satu atau lebih. Tampak, “bentuk-bentuk” berbagai benda dengan segala perbedaannya. Dan itulah yang pertama-tama ia lihat dari alamm ruhani, sebab “bentuk” tidak bisa dicerap dengan indera, tetapi dengan semacam pemikiran rasional. Sejumlah penampakan pun terlihat olehnya.
Yaitu bahwa, ruh hewani yang bertempat di hati (qalb) sebgaimana telah di terangkan di depan, pasti memiliki pengertian tambahan atas kebendaannya sesuai dengan pengertian tambahan atas kebendaannya sesuai dengan pengertian tersebut, supaya dapat melakukan proses-proses menakjubkan yang menjadi ciri khasnya, berupa ragam penginderaan, disiplin pencerapan, dan macam gerakan. Pengertian itulah “bentuk” dan pembeda yang membedakannya dari segala benda. Itulah yang disebut filosuf jiwa hewani (nafs Haywaniyah).
Yaitu bahwa, ruh hewani yang bertempat di hati (qalb) sebgaimana telah di terangkan di depan, pasti memiliki pengertian tambahan atas kebendaannya sesuai dengan pengertian tambahan atas kebendaannya sesuai dengan pengertian tersebut, supaya dapat melakukan proses-proses menakjubkan yang menjadi ciri khasnya, berupa ragam penginderaan, disiplin pencerapan, dan macam gerakan. Pengertian itulah “bentuk” dan pembeda yang membedakannya dari segala benda. Itulah yang disebut filosuf jiwa hewani (nafs Haywaniyah).
“Ssuatu” yang bagi tetumbuhan berfunsi sama sebagai panas instinkif bagi
binatang, juga mempunyai “sesuatu” yang memberinya ciri khas sebagai
“bentuk”nya. “Sesuatu” itulah yang disebut para filosuf jiwa nabati (nafs
nabattiyah). Demikianlah, semua benda mati, yang selain binatang dan
tumbuh-tumbuhan, berada di dalam dunia penciptaan dan kehancuran—juga mempunyai
“sesuatu” yang menjadi khasnya. Masing-masing mempunyai kelakuan yang menjadi
ciri khasnya, seperti bermacam gerakan dan kualitas inderawi. Itulah “bentuk”
masing-masing dari mereka, dan itulah yang disebut para filosuf dengan tabiat
(al-tabi’at).
Hayy telah menyaksikan (dan berkesimpuan) bahwa hakekat ruh hewani, yang
dirindukannya senantiasa, tersusun dari pengertian kebendaan ( al-jasmiyyat)
dan makna tambahan lain; bahwa pengertian kebendaan ini menyeluruh dimiliki
semua benda, dan pengertian lain penghubungnya (atau penyertanaya) menimbulkan
kekhasan tersendiri baginya (yang tidak dimiliki lainnya). Karena itu semua, ia
memandang rendah pengertian kebendaan itu. Ia lalu membuangnya, sehingga kini
pikiranya terpaku pada pengertian kedua yang disebut dengan “jiwa” (nafs). Ia
ingin sekali mengetahuinya, sehingga pikirannya dicurahkan sepenuhnya untuk
itu.
Pengamatanya ini dimulai kepada semua benda, bukan dari segi benda sebagai
benda, tetapi dari segi esensi “bentuk” yang menimbulkan ciri khas yang
membedakan sebagian benda dari yang lain. Ia meruntut (pengamatannya atas
benda-benda) itu dan mengolahnya dalam pikiran. Maka ia melihat, sejumlah benda
sama-sama memiliki sebuah “bentuk” yang darinya timbul sesuatu atau beberapa
perilaku tertentu. Ia pun melihat, di antara sejumlah benda yang sama-ssama
memiliki bentuk itu, ada sekelompok benda mempunyai “bentuk” lain yang darinya
timbul beberapa perilaku tertentu.
Dari kelompok itu pula, yang sama-sama memiliki bentuk pertama dan kedua,
ia melihat sekelompok (benda-benda) disamping (kelompok benda kedua tadi)
memiliki “bentuk” ketiga darimana timbul perilaku yag khas. Misalnya,
benda-benda bumi, seperti tanah, batu, barang tambang, tetumbuhna, hewan serta
berbagai benda berat lainnya –adalah sejumlah (benda) yang sama-sama memiliki
satu “bentuk” (surat) darimana muncul gerak menurun ke atas bawah, asalkan
tidak dihalangi sesuatu. Dan bila secara paksa benda-benda tersebut digerakan ke
atas lalu didlepas, benda-benda itu bergerak ke bawah dengan “bentuk”nya.
Pada sebagian (benda) ini, yakni tumbuh-tumbuhan dan binatang – yang juga
memiliki “bentuk” sama dengan (benda) terdahulu – bertambah suatu – “bentuk”
lain, darimana muncul kelakuan memakan dan bertumbuh. Kelakuan memakan ialah
proses dimana si pemakan mengubah bagian tubuhnya yang rusak untuk diganti
dengan materi yang sama sehingga menyerupai substansinya, yang ditariknya ke
(dalam) ddirinya. Sedangkan kelakuan bertumbuhialah gerakan pada ketiga sisi
panjang, lebar dan tingginya, menurut ukuran yang terpelihara.
Itulah dua kelakuan yang secara umum dimiliki tumbuh-tumbuhan dan binatang,
dan yang tentunya muncul dari suatu “bentuk” yang sama-sama dimiliki oleh
mereka berdua. “Bentuk” itu disebut jiwa nabati (nafs nabattiyat).
Segolongan lain dari kelompok (benda) ini, yakni binatang khususnya, di
samping “bentuk” pertama dan “bentuk kedua” yang juga dimiliki oleh kelompok
(benda) terdahulu, juga memiliki sautu “bentuk” ketiga darimana muncul indera
dan kelakuan, yakni berpindah-pindah dari waktu ke waktu.
Hayy juga melihat, setiap species binatang memiliki ciri khas yang
membedakannya dari species-species yang lain, dan sekali gus merupakan
kelebihannya. Ia mengetahui, itu timbul dari suatu bentuk khasnya sebagai
tambahan di samping “bentuk” yang sama-sama dimiliki olehnya dan oleh semua
binatang lain. Demikian pula tiap species tumbuh-tumbuhan, mempunyai ciri khas
seperti itu.
Karenanya, jelas bagi Hayy bahwa benda-benda indera yang berada di dalam
alam penciptaan dan kehancuran, sebagainya memandatkan hakekatnya dari
pengertian-pengertian yang banyak, tambahan di samping pengertian kebendaan
(al-jasmiyyat), dan sebagainya lagi (memandatkan hakekatnya) dari
pengertian-pengertian yang lebih sedikit. Hayy mengetahui bahwa lebih mudah
mengetahui pengertian-pengertian yang lebih sedikit ketimbang mengetahui yang
lebih banyak. Maka, semula ia berusaha mengetahui hakekat sesuatu (benda) yang
hakekatnya terdiri dari hal-hal paling sedikit.
Ia melihat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, hakekatnya terdiri dari
pengertian-pengertian yang banyak disebabkan beragamnya kelakuan mereka.
Karenanya, ia menunda dulu untuk memikirkan “bentuk-bentuk” mereka. Demikianlah
ia melihat, sebagian bumi lebih sederhana ketimbang bagian lainnya. IA mencoba
memikirkan bagian yang paling sederhana darinya. Demikianlah, ia melihat air
sebagai benda yang sedikit komposisinya disebabkan sedikit kelakuan yang timbul
dari “bentuk” nya. Demikian pula ia melihat api dan udara.
Semula Hayy mengira, salah satu dari keempat benda (tanah, iar, api dan
udara) berubah menjadi yang lain, serta mempunyai “sesuatu” yang tunggal yang
dimiliki secara bersama-sama oleh mereka. “Sesuatu” itu adalah pengertian
kebendaan (al-jasmiyyat), dan “sesuatu” itu mesti bebas dari
pengertian-pengertian lain yang membedakan keempat (benda) tadi, satu dari
lainnya.
Karenanya “sesuatu” itu tidak mungkin bergerak (naik) ke atas atau (turun)
ke bawah, tidak pulla menjadi panas dan dingin, tidak juga amelembab dan
mengering, karena sifat-sifat tersebut tidak dimiliki secara umum oleh semua
benda. Jadi, sifat-sifat tersebut tiak dimiliki benda sebagai benda. Sebab,
apabila mungkin adanya benda yang tidak memiliki “bentuk” tambahan atas
(pengertian) kebendaannya, tentu benda itu tidak akan memiliki salah satu sifat
tersebut. Dan jika ia memilikinya, sifat itu pasti dimiliki pula secara umum
oleh semua benda yang mempunyai bermacam “bentuk”.
Kini Hayy mengamati, adakah satu sifat tunggal yang dimiliki secara umum
oleh semua benda, yang hidup dan yang mati. Ternyata tidak ada, kecuali
pengertian rentangan pada semua benda, yang terdapat di alam tiga sisi-ukur
yang disebut “panjang”, “lebar”, dan “tinggi”. Ia mengetahui, pengertian ini
dimiliki benda dari segi ia benda. Tetapi, tidak ada benda inderawi yang hanya
memiliki satu pengertian ini saja tanpa pengertian tambahan di samping
rentangan tersebut dan bebas sama sekali dari semua “bentuk”.
IA berpikir tentang rentangan ke arah ke tiga sisi-ukur tadi, apakah
merupakan pengertian benda dengan sendirinya dan bukan pengertian lain, ataukah
tidak demikian? Ia melihat, disamping rentangan ini da pengertian lain yang
mengandung (pengertian) rentangan itu. Rentangan itu pun mustahil ada
sendirinya, sebagaimana (benda) yang direntang mustahil ada sendiri tanpa
rentangan.
Itu ia alami melalui beberapa benda inderawi yang memiliki “bentuk”,
seperti tanah. Ia melihat, jika Hayy memprosesnya menjadi sebuah bentuk seperti
bola, misalnya, maka tanah itu memiliki panjang, lebar dan tinggi tertentu. Dan
bola itu sendiri – meskipun Anda mengambilnya dan tampak (diubah) ke bentuk
empat persegi panjang atau bulat dikarenakan perubahannya (ukuran) panjang,
lebar dan tinggi serta berbeda dari ukuran sebelumnya – tetapi tanahnya itu
sendiri tetap satu, tidak berubah.
Dan tanah itu memang harus mempunyai (ukuran) panjang, lebar dan tinggi
tertentu, dan mustahil tanpa itu. Tapi, karena perubahan itu senantiasa terjadi
padanya, tampaknya “bola” itu satu pengertian yang melekat pada perubahan
tanah. Apalagi tanah sama sekali tidak bisa dilepas dari (bentuk bola bumi atau
globe), maka tampak di mata Hayy bahwa (bentuk bola) itulah sebagian
hakekatnya.
Dari pengalaman ini, jelas bagi Hayy bahwa benda sebagaimana ia benda, pada
hakekatnya terdiri dari dua pengertian :
Pertama, pengertian yang dalam contoh di atas, menempati kedudukan tanah
bagi bola. Kedua, pengertian yang menempati kedudukan pangjang, lebar dan
tingginya bola tadi, atau segiempat, atau bentuk apa saja lainnya.
Benda hanya dimengerti tersusun dari kedua pengertian di atas, yang
masing-masing saling berhubungan. Tetapi, (penegrtian) yang dapat berubah-ubah
dan berganti-ganti ke dalam banyak bentuk – yakni, pengertian rentangan –
menyerupai “bentuk” yang dimiliki semua benda yang berbentuk; sedangkan
(pengertian) yang menetap pada satu keadaan – yaitu, pengertian yang, dalam
contoh di atas, menempati posisi tanah – menyerupai pengertian kebendaan (al-jasmiyyat)
yang dimiliki semua benda yang berbentuk. Adapun “sesuatu” yang, dalam contoh
di atas, menempati posisi tanah, itulah yang disebut oleh para filosuf “materi”
(maddat) dan “hoyle” (hayula), yang sama sekali tidak dikenai “bentuk” (surat).
10
Pengamatannya
telah sampai di batas ini, ia telah dapat membeda-bedakan benda (benda)
inderawi sedemikian rupa. Ia telah menyaksikan batas-batas alam
rasional. Kini ia gundah (karena merasa tersasing), dan mulai merindukan
sesuatu yang ditata dari dunia indera. Ia mundur selangkah,
meninggalkan benda (jism) yang total. Sebab, benda itu sesuatu yang tak
tercerap indera, dan Hayy sendiri tidak mampu memperoleh seluruhnya.
Karena itu, Hayy mengambil benda-benda paling sederhana yang
dissaksikannya, yaitu keempat benda (tanah, air, api dan udara) yang
pernah menarik perhatiannya.
Di antaranya, pertama ia melihat air. Hayy mengamati, jika dibiarkan dan tidak ditetapi bentuknya, air mengeluarkan rasa dingin yang terindera, dan berusaha turun (mengalir atau menetes) ke bawah. Tetapi, jika ia mulai mendidih karena api atau panas matahari, air kehilangan rasa dinginnya meskipun tetap berusaha turun ke bawah. Namun setelh air itu sangat mendidih, usahanya turun ke bawah menghilang. Air kini berusaha naik ke atas. Jadi, kedua sifat yang senantiasa muncul dari bentuknya telah lenyap sama sekali. Dan ia mengetahui, yang timbul dari bentuknya, memang hanya kedua perilaku itu.
Di antaranya, pertama ia melihat air. Hayy mengamati, jika dibiarkan dan tidak ditetapi bentuknya, air mengeluarkan rasa dingin yang terindera, dan berusaha turun (mengalir atau menetes) ke bawah. Tetapi, jika ia mulai mendidih karena api atau panas matahari, air kehilangan rasa dinginnya meskipun tetap berusaha turun ke bawah. Namun setelh air itu sangat mendidih, usahanya turun ke bawah menghilang. Air kini berusaha naik ke atas. Jadi, kedua sifat yang senantiasa muncul dari bentuknya telah lenyap sama sekali. Dan ia mengetahui, yang timbul dari bentuknya, memang hanya kedua perilaku itu.
Setelah kedua perilaku itu
lenyap, maka hukum “bentuk” tadi menjadi tidak berlaku. Akibatnya, bentuk
keairan (surat maiyyat) lenyap dari air itu berbarengan dengan munculnya
perilaku-perilaku lain, yang seharusnya muncul dari bentuk-bentuk lain. Air itu
kini memiliki suatu bentuk baru, yang sebelumnya tak pernah ada, dan dari itu
muncul pula perilaku-perilaku baru yang mestinya muncul dari air di bentuk
semula.
Karenanya, secara pasti ia
mengetahui, setiap sesuatu yang baru (ciptaan, hadist) tentu harus mempunyai
pencipta (muhdits). Melalui pengalaman ini tergambar secara global di benaknya,
mengenai adanya pelaku (fa’il) bagi “bentuk” itu.
Kini ia menelusuri “bentuk-bentuk”
yang telah ia perhatikan sebelum ini, bentuk demi bentuk. Ia melihat, semua
bentuk itu adalah hadits, dan mesti mempunyai seorang pelaku (fa’il). Ia lalu
melihat kepada esensi “bentuk-bentuk”, yang tampaknya lebih siap ketimbang benda untuk menimbulkan kelakuan (fi’il).
Air, misalnya, jika sangat mendidih, siap dan cocok untuk bergerak ke arah
atas. Kesiapan itulah “bentuk”nya, sebab yang ada di sini hanyalah sebuah benda
dan hal-hal yang mengindera darinya, yang sebelumnya tak ada. Jadi, kecocokan
benda bagi gerakan tertentu, itulah kesiapan benda itu dengan “bentuk”nya.
Ia melihat itu pada semua “bentuk”.
Maka tampak, kelakuan-kelakuan yang timbul dari “bentuk-bentuk” itu pada
hakekatnya bukanlah milik mereka, tetapi milik seorang pelaku (fa’il) yang
dengan “bentuk-bentuk” tadi melakukan kelakuan-kelakuan yang dihubung-hubungkan
kepada mereka. Bagi Hayy, pengertian inilah (sebenarnya) sabda Rasulullah Saw.,
“Akulah pendengar-Nya yang mendengar dengan-Nya, dan penglihatan-Nya yang
melihat dengan-Nya.” (al-Bukhari). Di dalam Quran disebutkan, “Sebenarnya
bukanlah kamu membunuh mereka, tetapi Allah membunuh mereka. Dan bukanlah kau
(Muhammad) yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah yang melempar.” (QS.
Al-Anfal : 17)
Masalah pelaku (fa’il) itu
telah tampak pada Hayy secara globatl, belum terinci. Kini Hayy mulai merindu
dan ingin sekali mengetahuinya secara rinci. Namun karena Hayy belum bisa
melepaskan diri dari alam penginderaan, ia pun berusaha (mengetahui) pelaku (fa’il)
tadi dari segi obyek-obyek inderawi. Ia memang masih belum mengetahui apakah
pelaku itu seorang atau lebih? Karenanya, kini ia meneliti semua benda yang
dilihatnya, yang senantiasa menjadi pemikirannya.
Ia melihat, semua benda itu
terkadang tercipta dan terkadang menghancur. Dan jika Hayy tidak melihat
kehancuran itu terjadi pada benda keseluruhan, ia pasti melihatnya terjadi pada
sebagian. Misalnya, air dan tanah, ia melihat partikelnya hancur karena
(terbakar) api. Demikian pula udara, ia melihatnya hancur disebabkan dingin
yang keras, sehingga tercipta es yang mengalir air.
Demikianlah, ia melihat semua
benda tidak terbebas dari kebaruan (huduts) dan kebutuhan akan pelaku yang
berkehendak (fa’il mukhtar). Semua itu ia lempar (dan ia lupakan), dan kini
pikirannya beralih kepada benda-benda samawi.
Pengamatan dan pemmikiran
tersebut di atas berakhir pada awal pekan keempat dan sejak Hayy memulainya,
ketika ia berumur duapuluh delapan tahun.
11
Kini ia mengetahui, langit se isinya berupa bintang-bintang adalah benda,
karena semuanya terentang dalam ketiga sisi ukur : panjang, lebar dan tinggi.
Tak ada bagian langit terbebas dari sifat ini. Dan tiap sesuatu yang idak
terbebas dari sifat itu adalah benda. Jadi, langit semuanya adalah benda-benda.
Ia berpikir, apakah langit terentang tanpa batas dan senantiasa berangkat menuju tanpa batas luas, panjang dan tinggi? Ataukah langit itu berbatasan batas-batas yang memotong bagian-bagiannya, dn mustahil di balik langit ada sesuatu rentangan? Hayy agak kebingungan memikirkan itu.
Namun dengan kekuatan fitrah dan kecerdasan pemikirannya, ia berpendapat,
sebuah benda tanpa batas adalah sia-sia, sesuatu yang mustahil, sebuah
pengertian yang tidak rasional. Kesimpulannya ini dikuatkan oleh banyak argumen
rasional yang muncul di lingkungan dan di dalam dirinya sendiri.
Itulah sebabnya ia berkata (sendiri). “Benda samawi itu terbtas dari sisi
dan arah yang dipersepsi inderaku, Aku tidak meragukannya, karena aku
mencerapnya dengan penglihatanku. Adapun sisi di balik sisi (yang langsung ku
persepsi), di mana aku meragukannya, juga mustahil terentang tanpa batas.
“Sebab, aku mengandaikan dua buah garis, yang dimulai dari (sebuah titik
pada) sisi yang terbatas ini, terus melewati bidang-bidang benda menurut
rentangannya tanpa batas. Kemudian ku bayangkan, salah satu garis tadi memotong
sebagian besar sisi ujungnya yang terbatas, sedang sisanya diambil sebagian dan
garis yang terpotong dipadukan dengan garis yang sama sekali belum terpotong.
Demikianlah, pengandaian tadi dipraktekan pada sisi yang dikatakan tidak terbatas.
“(Dari percobaan itu akan timbul dua alternatif) “ barang kali kita akan
mendaptkan kedua garis itu senantiasa merentang tanpa batas. Garis satunya
tidak mengurangi garis yang lain, sehingga garis yang dipotong sebagian akan
menjadi sama dengan garis yang tidak terpotong oleh garis lain. Tetpai ini
mustahil, sebagaimana pluralitas mustahil sama dengan partikularitas. Atau
alternatif kedua : barangkali garis yang berkurang, itu selamanya tak kan
pernah merentang bersamanya, tapi terputus di luar jalannya dan berhenti
merentang sehingga menjadi terbatas.
“Dan apabila ukuran yang dipotong semula telah menjadi terbatas, maka
semuanaya juga menjadi terbatas. Sehingga garis itu tidak lebih pendek dan
tidak lebih panjang dari garis lain yang dipotong, dan akibatnya keduanya
menjadi sama, yaitu terbats. Garis-garis itu juga bisa diandaikan pada setiap
benda, sehingga semua benda menjadi terbatas, Jika kita mengandaikan bahwa
ssuatu benda tidak terbatas, maka kita
telah mengandaikan sesuatu yang sia-sia dan mustahil.
Berdasar fitrahnya yang tinggi yang memunculkan argumentasi rasional
seperti di atas, ia berpendapat, benda di langit itu benar terbatas. Kini ia
ingin mengetahui bagaimanakah bentuknya (shakl) dan bagaimana pula permukaan
benda langit itu terbatasi.
Pertama ia melihat matahari, bulan dan bintang. Tampak mereka semua terbit
dari timur dan tenggelam di barat. Setiap kali ada benda langit melintas di
atas zenitnya, ia melihat benda itu memotong sebuah garis edar besar. Dan
setiapkali ada benda langit menjauhi zenitnya condong ke arah utara atau ke
selatan, ia melihat benda langit itu memotong garis edaryang lebih kecil. Dan
begitulah, semakin benda itu menjauhi zenitnya ke utara atau ke selatan, maka
garis edarnya lebih kecil lagi daripada sebelumnya. Begitu seterusnya. Maka
garis edar planet yang terkecil ada dua. Yaitu tempat beredarnya bintang
Sagitarius (Suhayl) di sekitar kutub selatan, dan tempat beredarnya bintang
Makara (Farqadayn) di sekitar kutub utara.
Sebelum ini telah kita terangkan, Hayy sendiri bertempat tinggal di (sebuah
pulau di) katulistiwa. Karenanya, semua garis edar itu tentu berada di atas
permukaan ufuknya, dan keadannya di selatan dan utara serupa dan sama, serta
kedua kutub tadi secara bersamaan tampak olehnya. Hayy memang menyaksikan, jika
sebuah bintang muncul pada sebuah garis edar besar dan bintang lainnya muncul
di garis edar kecil, keduanaya tampak muncul bersamaan. Begitu pula, ia
melihatnya tenggelam bersamaan.
(Kesimpulan hasil pengamatannya) itu ia ujikan kepada semua bintang dan
setia waktu. Dengan itu tampak di mata Hayy, orbit bintang (falak) berbentuk
bola. Keyakinan itu dikuatkan oleh kenyataan bahwa matahari, bulan dan semua
bintang kembali lagi ke timur, setelah mereka tenggelam di sebelah barat, Juga
oleh kenyataan bahwa di waktu terbit, kulminasi atau tenggelamnya, semua
bintang (atau planet) tampak berukuran sama. Menurut pendapatnya, jika gerakan
planet itu tidak berbentuk bola, maka disaat tertentu planet (atau
bintang-bintang) itu pasti kelihatan lebih besar ketimbang di waktu lain.
Jika benar demikian, ukuran bintang-bintang itu akan tampak berbeda-beda.
Sewaktu dekat, bintang-bintang itu akan kelihatan lebih besar ketimbang yang
dilihatnya di tempat jauh. Ini disebabkan jarak kejauhan bintang-bintang itu
dari titik pusatnya, berbeda dari semula. Karena itu sama sekali tidak terjadi,
jelaslah baginya bahwa (falak) itu berbentuk bola.
Hayy masih terus meneliti gerakan bulan. Tampak, gerakannya berlangsung
dari barat ke timur. Begitu pula gerakan bintang-bintang yang beredar lainnya.
(Dengan pengamatannya itu) ia memperoleh ilmu astronomi dalam jumlah besar.
Tampak pula olehnya, gerakan bintang-bintang itu hanya terjadi dengan adanya
banyak falak, yang kesemuanya tercakup di sebuah falak teratas (diantara
falak-falak lain yang banyak itu). Falak yang stu itulah yang menggerakan semua
(falak lain beserta bintang dan planetnya)dari timur ke barat, siang dan malam.
IA menerangkan proses perpindahannya. Dan pengetahuan tentang itu sangat
luas dan telah diterangkan di berbagai buku. Kami tidak perlu menjelaskannya,
karena yang kami pentingkan hanyalah menjelaskan tentang ukuran seperti
tersebut di atas.
12
Kini Hayy telah memiliki pengetahuan itu. Ia telah mengetahui, seluruh
falak serta isinya bagaikan sesuatu yang tunggal yang bagian-bagiannya
berhubungan satu sama lain. Ia telah mengetahui, benda yang dilihatnya semula
(di falak), misalnya tanah, air, udara, tetumbuhan, binatang dan lain
sebagainya, semuanya termasuk kandungan falak itu dan bukan di luarnya. Semua
itu dapat disamakan seekor binatang : Bintang-gemintang (linnya) yang
gemerlapan berkedudukan sebagai indera-indera bintang itu. Sedangkan berbagai
falaknya yang saling behubungan satu sama lain berkedudukan sebagai anggota
tubuh binatang itu. Dan benda di dalamnya yang mengalami penciptaan dan
kehancuran berkedudukan sebagai aneka sisa makanan dan hijau-hijauan. Di dalam
perut itu juga seringkali tercipta seekor binatang lain, sebagaimana yang
tercipta di alam besar (makrokosmos, ‘alam akbar).
Jelaslah kini bagi Hayy, pada hakekatnya semua itu bagaikan sebuah sosok
yang tunggal. Menurut pendapatnya, bagian-bagian dari benda yang sangat banyak
itu menyatu melalui semacam penanganan. Dengan penanganan itu, benda-benda yang
berada di alam penciptaan dan kehancuran menyatu.
Setelah itu semua, Hayy kini berpikir tentang alam (kosmos) seluruhnya :
apakah itu tercipta dari tiada, yang mewujud setelah sebelumnya tiada? Ataukah
kosmos itu telah ada sejak dahulu tanpa pernah didahului ketiadaan? Ia
ragu-ragu memutuskan, sebab ia belum bisa memastikan yang benar dari kedua
pertanyaan di atas.
Sebabnya, kalau Hayy meilih mempercayai (alam itu) kadim, ternyata banyak
fenomena yang menyatakan kemustahilan adanya sesuatu yang tanpa batas.
Berdasarkan analogi untuk pembuktian mustahilnya benda yang tak berbatas, ia
juga memastikan, benda yang ada (wujud) ini tidak bebas dari kebaruan
(hawadith). Mustahil mendahulukan wujud atas hawadith. Sesuatu yang mustahil
mendahului yang hawadith, maka ia pun dicipta sebagai yang baru (muhdath).
Demikian pula, jika Hayy memilih mempercayai (alam itu) hadits, ternyata
banyak fenomena lain yang memberatkannya. Sebab, menurut pendapatnya, huduth
atau kebaruan benda yang sebelumnya tiada, baru bisa dimengerti bila ada
“waktu” mendahuluinya. Padahal “waktu” termasuk bagian tak terpisah dari alam.
Jadi, kesimpulan bahw alam mesti lebih lambat daripada waktu (zaman) itu tak
dapat diterima.
Demikian pula, menurut Hayy, jika alam itu tidak hadith, tentu ia mempunyai
pencipta (muhdith). Dan muhdith ini, mengapa menciptanya sekarang bukan
kemarin? Apakah karena terjadi sebab lain? Bukankah tak ada yang selain
dirinya? Ataukah karena terjadi perubahan pada esensinya? Jika itu benar, apa
penyebabnya?
Selama beberapa tahun, Hayy terus memikirkan soal tersebut. Telah banyak
argumen rasional bermunculan, tetapi gagal menolak salah satu dari dua
keyakinannya.
Soaltersebut membuat Hayy payah. Tetapi kini ia mencoba berpikir tentang
kemestian yang timbul dari setiap keyakinanya, barangkali pemestinya (al-azim)
adalah tunggal.
Bagi Hayy, jika ia percaya alam itu tidak mewujud dari sebelumnya tiada,
mestinya alam itu tidak mewujud dengan sendirinya, tetpai diwujudkan oleh
seorang pelaku (fa’il). Pelaku itu mustahil dapat dicerap dengan indera, pelaku
itu tentunya sebuah benda. Dan jika benda, pelaku itu tentunya sebagian dari
alam, yang hadits dan memerlukan seorang muhdath. Dan jika muhdath yang kedua
itu juga sebuah benda, tentu muhdath ini pun memerlukan seorang muhdath yang
ketiga, yang keempat, demikian seterusnya beruntun tanpa batas. Dan yang begini
sia-sia.
Jadi, alam itu harus punya pelaku bukan benda. Dan jika pelaku itu bukan
benda, tentu mustahil (kita) mencerapnya dengan salah satu indera. Sebab kelima
indera hanya dapat mencerap benda-benda atau bagian benda. Jika (pelaku)
mustahil dicerap melalui indera, pelaku itu pun tentu tak dapat dibayangkan
melalui khayalan, karena proses menghayal tidak lain adalah proses menghadirkan
“bentuk-bentuk” objek cerapan yang sebelumnya tiada.
Dan jika bukan benda, pelaku itu pun (bebas dari) sifat pokok (benda),
yaitu kerentangan panjang, lebar dan tinggi. Pelaku itu suci dari sifat pokok
tersebut dari semua bagiannya. Jika pelaku itu pelaku bagi alam, tentu ia
berkuasa serta mengetahuinya. (Firman Allah), “Tidakkah ia tahu siapa yang ia
ciptakan, sedang Ialah Yang Mahasantun, Yang Mahatahu?
Hayy juga berpendapat, jika ia yakin alam itu kadim, tidak didahului oleh
ketiadaan (‘adam), dan tetap ada sebagaimana (dulu), maka mestinya gerakan alam
adalah kadim tanpa batas awal, karena ia tidak didahului oleh keadaan diam
sebagai pemulanya. Dan setiap gerakan seharusnya mesti ada penggeraknya. Dan
penggerak itu mungkin berupa suatu daya kekuatan yang mengalir di dalam sebuah
benda – barangkali benda dari si penggerak itu sendiri, aau bnda lain di
luarnya – atau mungkin daya kekuatan itu bukanlah yang mengalir dan menyebar di
benda.
Dan setiap daya kekuatan yang mengalir dan menyebar di sebuah benda, itu
terbagi-bagi menurut pembagian benda itu sendiri serta berlipat ganda menurut
kelipatgandaan benda. Misalnya, daya berat batu yang bergerak ke bawah. Jika
batu itu dibagi menjadi dua potong, atau ditambah dengan batu lain yang serupa
dengannya, sehingga beratnya tanpa batas, maka beratnya pun akan bertambah
berlipat ganda tanpa batas. Dan jika batu itu (ditambah) sebesar tertentu,
beratnya pun akan sebatas itu ssaja.
Padahal terbukti, setiap benda pasti terbatas. Karena itu, setiap daya
kekuatan pada benda, itu pasti terbatas. Daya kekuatan yang kita temukan, itu
tentu bukan pada suatu benda. Dan kita telah mengetahui, falak senantiasa
bergerak tanpa batas, kadim tanpa awal. Konsekuensinya, daya kekuatan yang
bergerak itu tidak pada benda (atau tubuh) falak, dan tidak pula di luarnya.
Jadi, daya kekuatan itu dimiliki sesuatu yang bebas dari benda-benda, dan
tidak dapat diberi sifat yang dimiliki kebendaan (al-jasmiyyah). Dan dari
pengamatan awal terhadap alam penciptaan dan kehancuran, telah tampak oleh Hayy
bahwa hakekat wujud setiap benda tidak lain berasal dari sudut “bentuk” nya
yang merupakan kesiapan benda itu untuk melakukan berbagai macam gerakan. Dan
dampak olehnya, wujud setiap benda dari segi “materi”nya adalah wujud lemah
yang hampir-hampir tak dapat dicerap (oleh indera).
Dan wujud alam seluruhnya tak lain berasal dari kesiapan alam itu untuk
digerakan oleh penggerak, yang bebas dari materi dan dari sifat benda, yang
suci dari pencerapan inderawi atau khayalan. Penggerak itu Mahasuci. Dan jika
(penggerak) itu merupakan seorang pelaku bagi beragam gerakan falak itu, secara
apik, sempurna dan tanpa cacat, maka Penggerak (Sang Pelaku) itu tentu berkuasa
dan mengetahui segala gerakan tersebut.
Dengan cara demikian, pemikiran Hayy sampai pada kesimpulan yang pernah ia
capai melalui cara sebelum ini. Keraguannya mengenai (keyakinannya semula).
Berdasar ke dua sudut (pandang) itu, Hayy dapat membuktikan secara benar adanya
seorang Pelaku (fa’il) yang bukan benda, tidak berhubungan atau terpisah dari
benda, tidak masuk di dalam dan tidak pula di luar benda itu. Sebab
keterhubungan, keterpisaha dan kemasukan, semuanya termasuk sifat-sifat benda.
Pelaku itu bebas dari sifat-sifat (bendawi) ini.
“Materi” tiap benda selalu menuntut adanya “bentuk” sebab “materi” tidak
mungkin ada tanpa adanya “bentuk”. Begitu pula “materi” itu takkan mempunyai
hakekat tanpa mempunyai “bentuk”. Tetapi “bentuk” itu sendiri itu tidak mugnkin
ada tanpa adanya kekuatan dari si Pelaku. Karena itu, jelas bagi Hayy, semua
hal yang diwujudkan (al-mawjudat) menuntut, dalam wujudnya, adanya Pelaku. Tak
satu pun dari mawjudat bisa ada tanpa Pelaku. Jadi Pelaku itu adalah Sebab (‘illat)
magi mawjudat yang merupakan akibatnya, baik mereka hadith adanya karena
didahului ketiadaan (‘adam), atau mereka tidak berpemulaan dari segi waktu
karena tidak didahului ketiadaan sama sekali.
Pada kedua keadaan tersebut, mereka adalah akibat dan memerlukan Pelaku
karena wujud tergantung pada-Nya. Jika pelaku itu tidak kekal, mereka juga
tidak kekal. Jika Pelaku itu tidak ada, mereka juga tidak akan ada. Jika Pelaku
itu tidak kadim, mereka juga tidak kadim. Dan pada esensinya, Pelaku itu tidak
memerlukan mereka dan bebas dari mereka! Bagaimana takkan demikian, padahal
telah terbukti kekuasaan-Nya tidak terbatas, sedangkan semua benda dan sesatu
yang berhubungan atau bergantung pada mereka, meskipun hanya sedikit. Adalah terbatas.
Jadi, alam dengan segala isinya berupa langit, bumi dan bintang serta
segala yang berada di arah depan, atas dan bawah, adalah perbuatan dan
ciptaan-Nya. Dan secara logis, alam itu lebih lambat (mutakhir) dari Tuhan
menurut esensinya (bi-al-Zat), bukan menurut waktu (bi-al-zaman).
Itu dapat dicontohkan sebagai berikut : Jika anda menggenggam sebuah benda
di tangan, lalu Anda menggerakan tangan Anda, tentu benda itu bergerak
mengikuti gerakan tangan Anda, tetapi dengan suatu gerakan lebih lambat
ketimbang gerakan tangan Anda, sebagai keterlambatan menurut esensinya.
Keterlambatan itu bukanlah dari segi waktu, sebab waktu merupakan awal dari
gerakan mereka berdua secara bersama-sama. Demikian pula alam seluruhnya,
merupakan akibat serta ciptaan sang Pelaku, dengan tanpa waktu. (Firman Allah),
“Sungguh, keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah ia.”
13
Hayy telah melihat, semua
mawjudat adalah perbuatan-Nya. Kini ia mengamati kekuasaan san Pelaku,
berdassar pengalaman. Ia takjub melihat keanehan ciptaan-Nya, kelembutan
hikmat-Nya, dan kecermatan pengetahuan-Nya. Tampak, pada benda-benda paling kecil,
apalagi yang besar, ada jejak hikmat dan keindahan ciptaan darimana timbul
segala ketakjuban. Terbukti oleh Hayy, semua itu hanya berasal dari seorang
Pelaku Berkehendak yang Maha Sempurna, di mana “tiada tersembunyi dari-Nya
sebessar zarrah pun di langit dan di bumi, dan tiada sesuatu pun yang lebih
kecil, atau lebih besar dari itu.”
Kini Hayy mengamati semua
binatang, bagaimana “Dia memberikan ciptaan-Nya kepada setiap sesuatu, kemudian
memberikan petunjuk kepadanya.” Agar mempergunakannya. Jika Dia tidak
memberikan petunjuk kepada binatang itu agar mempergunakan anggota badan yang
dicipta supaya dimanfaatkan menurut fungsinya masing-masing, tentu binatang itu
takkan bisa memanfaatkannya, dan anggota tubuh itu pun bakal sia-sia. Dengan
itu Hayy mengetahui, Pelaku itu Mahamulia dan Mahapengasih.
Hayy memang melihat, benda
yang ada senantiasa mempunyai keindahan, daya tarik, atau kesempurnaan,
kekuatan atau sesuatu keutamaan – bagaimanapun bentuknya. Namun Hayy berpikir
dan mengetahui, semua (kelebihan) itu berasal dari emanasi (fayd) Sang Pelaku
Yang Berkehendak itu – Mahabesar Dia – dan dari Kedermawanan-Nya, dari
Perbuatan-Nya. Maka Hayy mengetahui, (kelebihan) yang ada pada esensi-Nya jauh
lebih besar, lebih sempurna, lebih indah, lebih berdaya tarik, lebih cantik,
dan lebih kekal dari semua itu. Tak ada hubungan (nisbat) antara (kelebihan)
mereka dengan (kelebihan)-Nya.
Hayy masih menelusuri dan
meneliti semua sifat kesempurnaan itu. Ia melihat semua itu milik-Nya dan berasal
dari-Nya. Hayy melihat Dia lebih berhak atas semua sifat itu ketimbang setiap
yang diberi sifat-sifat itu selain Dia.
Hayy pun menelusuri dan
meneliti semua sifat ketidaksempurnaan. Ia melihat Dia bebas dan sci dari semua
itu. Bagaimana Dia tidak bebas dar semua sifat ketidaksempurnaan padahal “ketidaksempurnaan”
tidak lain berarti “ketiadaan yang murni” (‘adm mahd), atau merupakan suatu
yang bergantung pada ketiadaan itu? Dan bagaimana “ketiadaan” itu berhubunagn
atau mengenai pada seorang yang merupakan mawjud yang murni (mawjud mahd), yang
Wajib ada menurut esensi-Nya, Pemberi wujud kepada setiap yang mempunyai
wwujud. Maka tidak ada wujud kecuali Dia. Dialah Yam Mampu, dan Yang
Berpengathuan. Dia adalah Dia (Huwa-Huwa). “Tiap sesuatu hancur kecuali
wajah-Nya”.
Pengetahuan Hayy telah sampai
ke batas ini, di awal minggu ke lima dari perkembangannya. Yaitu di saat ia
berumur tiga puluh lima tahun. Masalah pelaku itu telah berkesan mantap dan
meyakinkan di hatinya. Hanya (hakekat) Pelaku itu yang gmenyibukan pikirannya.
Dari pengamatan dan pencariannya terhadap segala ciptaan (mawjudat) ia
merasakan ketakjuban yang aneh terhadap dirinya. Sehingga, setiap kali
penglihatannya terbentur pada suatu benda, yang terlihat olehnya hanyalah jejak
ciptaan. Dan ketika itu juga terlintas dan terbayang dalam pikirannya tentang
Pencipta, menggantikan kesan tentang ciptaan itu. Ia kini sangat
merindukan-Nya. Hatinya sudah sama sekali tidak menghiraukan alam terendah yang
tercerap indera (‘alam adna mahsus), tapi kini sudah terpaut pada alam
tertinggi yang tercerap akal (‘alam arfa’ ma’qul).
14
Hayy telah mencapai pengetahuan tentang Sang Mawjud Mahatinggi yang
wujud-Nya tetap dan tanpa sebab, bahkan Dia-lah Sebab bagi adanya semua alam.
Kini Hayy iangin mengetahui, dengan cara apa ia telah mencapai pengetahuan
tersebut, dan dengan daya kekuatan apa ia telah mencerap Sang Mawjud itu?
Untuk itu, ia mengamati semua inderanya : yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman, pencicipan, dan perabaan. Ia melihat semua hanya mencerap benda,
atau yang ada pada sebuah benda. Indera pendengaran mencerap objek-objek
pendengaran (al-masmu’al), yaitu segala yang terjadi akibat gelombang udara di
saat benda saling berbenturan. Indera penglihatan mencercap warna-warna. Indera
penciuman mencercap bebauan. Indera pencicipan mencercap makanan. Dan indera
perabaan mencercap campuran (benda), keadaan keras dan lembut, halus dan kasar.
Demikian pula daya kekuatan khayal, hanya mencercap benda yang mempunyai
(sifat) panjang. Lebar dan tinggi. Semua pencerapan (mudrikat) itu termasuk
bagian dari sifat benda. Dan indera hanya dapat mencercapnya. Sebabnya, karena
indera adalah daya kekuatan yang menyebar
di benda, yang bila benda itu terbagi-bagi, maka daya kekuatannya pun
terbagi pula. Karena itu, indera hanya dapat mencerap benda yang terbagi, sebab
daya kekuatan itu menyebar di benda yang terbagi. Bila ia mencerap suatu benda,
maka benda itu terbagi menuruti keterbagian daya kekuatannya. Dan daya kekuatan
senantiasa berada di sebuah benda setiap ssaat. Karena itu, ia hanya dapt
mencerap benda atau semacamnya.
Jelas bagi Hayy, Snag Wujud yang Mesti Ada itu, bebas dari sifat benda di
segala seginya. Jadi, satu-satunya jalan untuk mencerap-Nya ialah hanya dengan
sesuatu yang bukan benda, yang bukan daya kekuatan yang ada pada benda, yang
sama sekali tidak berhubungan dengan benda, tidak berada di dalamnya dan tidak
pula di luarnya, tidak berhubungan dengannya dan tidak pula terpisah darinya.
Jelaslah, ia mencerap-Nya dengan esensinya. Pengetahuan tentang itu telah
melekat dan mantap pada dirinya.
Maka jelas bagi Hayy,esensinya dengan mana ia mencerap-Nya adalah bukan
benda. Setiap sesuatu yang ia cerap dari keadaan lahiriah esensinya. Hakekat
esensinya yang benar adalah sesuatu yang dengannya Sang Mawjud Mutlak yang
Wajib Adanya itu mencerap (ciptaan-Nya).
Kini Hayy mengetahui, esensinya bukan kebendaan yang ia cerap dengan
inderanya itu, kebendaan yang melingkungi langit dan buminya. Setelah
mengetahui itu, ia menilai benda tubuhnya sendiri sama sekali tak berharga. Ia
mulai memikirkan tentang esensi (zat) yang mulia itu, yang dengannya ia
mencerap tentang Sang Mawjud Mulia yang Wajib Adanya itu. Ia memeriksa esensi
yang mulia itu pada esensinya sendiri, mungkinkah hancur, rusak dan memudar,
ataukah kekal selalu?
Ternyata, ia melihat kehancuran dan kepudaran itu sebagian sifat benda
untuk berganti “bentuk” dengan “bentuk” lain. Seperti, perubahan air menjadi
udara, dan sebaliknya. Tumbuh-tumbuhanberubah tanah atau abu, dan sebaliknya.
Inilah penegrtian “kehancuran”. Adapun sesuatu yang bukan benda, dan yang
adanya tidak membutuhkan benda, sama sekali bebas dari kebendaan
(al-jasmaniyyah), sehingga mustahil mengalami kehancuran.
15
Hayy telah mengetahui, esensinya yang hakiki mustahil hancur. Karena itu,
ia kini ingin mengetahui, bagaimana jika esensi itu menolak dan meninggalkan
tubuhnya. Padahal jelas sebelum ini, esensi itu tak pernah meninggalkan tubuh
kecuali ada alat tak cocok baginya.
Ia pun meneliti semua daya kekuatan pencerap. Tampak, masing-masing daya
itu terkadang mencerap secara potensial (bi al-quwwat), dan terkadang mencerap
secara aktual (bi al-fi’l). Misalnya mata. Saat dipejamkan aku tidak bisa
melihat, ia mencerap secara potensial – makna “mencerap secara potensial”
ialah, daya itu tiak mencerap saat ini tetapi mendatang. Atau saat mata itu
terbuka dan dapat melihat, itu namanya mencerap secara aktual – makna “mencerap
secara aktual” adalah, daya itu mencerap saat ini.
Masing-masing daya kekuatan itu selalu mencerap, secara potensial atau
aktual. Jika daya kekuatan itu tak pernah mencerap secara aktual, ia pasti
mencerap secara potensial dan tak akan pernah ingin mencerap (di luar) cara
serapnya yang khas itu. Sebab, ia belum pernah mengenalnya. Misalnya, seorang
yang dilahirkan buta.
Tetapi ada orang yang pernah mencerap sesuatu secara aktual (karena ia
tidak buta), kemudian ia hanya dapat mencerap secara potensial (karena kini
buta). Selama ini, ia selalu ingin mencerap secara aktual karena sebelum (buta)
ia telah mengenal, berhubungan, dan menyukai obyek cerapan. Orang yang dulu
melihat dengan mata lalu kini buta itu, tentu merindukan objek-objek
penglihatan (yang pernah dilihatnya dulu sebelum buta).
Semakin objek serapan itu sempurna, berdaya tarik dan indah, semakin berat
kerinduan orang itu kepadanya, dan rasa sakit akibat kehilangan objek cerapan
itu juga semakin besar. Itu sebabnya, rasa ssakit akibat kehilangan penglihatan
yang pernah ada sebelumnya jauh lebih berat ketimbang rasa sakit akibat
kehilangan penciuman, sebab benda yang dapat dicerap melalui penglihatan lebih
sempurna dan lebih indah ketimbang benda yang dicerap melalui penciuman.
Di alam, ada “sesuatu” yang kesempurnaan, keindahan, kecantikan dan daya
tariknya sangat tinggi tak terbatas – bahkan supra sempurna, berdaya tarik
tinggi dan sangat indah. Bahkan semua kesempurnaan, keindahan dan daya tarik serta
keindahan yang ada di alam ini berasal dari sisi “Sesuatu” itu tadi, beremanasi
dari “Nya”. Barangsiapa tidak lagi dapat mencerap “Sesuatu” itu padahal sebelum
itu ia mengenal “Nya”, dan masih dalam kehilangan, pasti ia merasakan sakit tak
terperi. Sebaliknya, barangsiapa senantiasa berada dalam keadaan mencerap”Nya”
selalu, maka ia pasti merasakan suatu kenikmatan tiada tara, suatu keriangan
tak terbatas, suatu suka cita dan keseenangan tak terbatas.
Telah jelas bagi Hayy, Sang Mawjud yang Wajib Ada itu memiliki sifat kesempurnaan
seluruhnya, bebas dan suci dari segala sifat ketidaksempurnaan.
Telah jelas pula bagi Hayy, “Sesuatu” yang mengantarnya sampai ke
pencerapannya, tidak sama dengan benda dan tidak pula hancur akibat kehancuran
benda itu. Tampak oleh Hayy, barangsiapa meiliki Esensi semacam itu, ia bakal
siap menerima pencerapan tersebut. Mungkin dengan cara meninggalkan badan
melalui kematian. Atau dengan cara, selama bertindak melalui badannya, tak
perlu mengenal Sang Mawjud yang Wajib Adanya itu. Tak perlu pernah berhubungan
atau mendengar berita tentang Dia. Dengan demikian, begitu seorang meninggalkan
badan, ia tidak lagi merindukan Sang Mawjud itu dan tidak pula merasakan sakit
akibat kehilangan Dia.
Adapun semua daya kekuatan jasmaniah, melemah bersamaan denga melemahnya
benda (atau tubuh jasmani). Maka daya kekuatan itu pun tidak merindukan
tuntutan objektifnya, dan tidak pula merasakan sakit akibat kehilangan daya
kekuatan itu. Demikian keadaan semua binatang bisu, baik dalam “bentuk” manusia
atau bukan.
Ada sebagian orang yang selama bertindak melalui badannya telah pernah
mengenal Sang Mawjud tersebut. Ia telah mengetahui kesempurnaan, keagungan,
kekuatan, kekuasaan dan keindahan yang dimiliki Sang Mawjud itu. Tapi orang
tersebut mengingkari dan mengikuti haa nafsunya, sampai iang mengalami kematian
sehingga ia tidak sempat “memberikan persaksian”. Ia sebenarnya merindukan Sang
Mawjud itu, (tapi ia mengingkarinya), sehingga ia berada dalam siksa yang
panjang, mengalami rasa sakit itu setelah berusaha sekuat tenaga sehingga dapat
menyaksikan pusat kerinduannya selama ini. Atau ia mengalami rasa sakit itu
selamanya. Itu tergantung apda kesiapannya untuk menerima satu dari kedua
alternatif tersebut di kehidupan jasmaniahnya.
Ada juga orang yang telah mengenal Sang Mawjud yang Wajib Adanya itu
sebelum meninggalkan badannya, dan menyerahkan keseluruhan diri kepada-Nya, dan
senantiasa berpikir tentang keagungan, keindahan dan kecemerlangan-Nya. Ia tak
pernah mengingkari-Nya sampai dijemput kematian. Itu terjadi dalam keadaan
keadaan “menerima” dan “berssaksi” secara aktual. Maka kelak bila orang
tersebut meninggalkan badannya (karena kematian), ia akan tetap berada dalam
kenikmatan tak terbatas, dalam keriangan, suka cita dan kebahagiaan sinambung,
disebabkan keberlangsungan dan kesinambungan persaksian terhadap Sang Mawjud
yang Wajib Ada itu, dan disebabkan kebebasan persaksiannya itu dari dirinya
segala tuntutan objektif daya kekuatan jasmaniah, berupa soal inderawi yang –
dalam hal ini – merupakan penyakit, keburukan dan gangguan.
16
Jelas bagi Hayy, kesempurnaan dan kenikmatan esensinya timbul dengan
menyaksikan Sang Mawjud yang Wajib adanya itu secara sinambung, terus menerus
dan secara aktual. Ia tidak lengah sekejap mata pun. Sehingga bila kematian
menjemputnya ketika sedang bersaksi secara aktual, ia mengalami kenikmatan
sinambung tanpa dihinggapi bayang-bayang kesaksian.
Hayy mulai memikirkan cara mensinambungkan persaksian secara aktual itu, sehingga tidak timbul kelengahan. Maka Hayy pun terus memikirkan tentang Sang Mawjud itu setiap saat. Namun ia sering mengalami, suatu objek inderawi tiba-tiba muncul pada penglihatannya, atau suatu khayalan tiba-tiba mengganggu pikirannya, atau penyekit tiba-tiba menimpa salah satu anggota tubuhnya.
Hayy mulai memikirkan cara mensinambungkan persaksian secara aktual itu, sehingga tidak timbul kelengahan. Maka Hayy pun terus memikirkan tentang Sang Mawjud itu setiap saat. Namun ia sering mengalami, suatu objek inderawi tiba-tiba muncul pada penglihatannya, atau suatu khayalan tiba-tiba mengganggu pikirannya, atau penyekit tiba-tiba menimpa salah satu anggota tubuhnya.
Atau kelaparan, dingin dan panas tiba-tiba menimpa tubuhnya. Atau timbul
dalam dirinya perasaan haus mempertahankan sisa-sisa (makanan). Sehingga
pikirannya “terduduki”, dan lenyaplah apa yang ada di pikirannya itu sebelum
ini. Hayy menemukan kesulitan, kecuali dengan usaha keras, untuk kembali lagi
ke keadaan persaksian yang pernah ada sebelum (pikirannya dikuasai soal dunia).
Ia cemas. Ia kuatir kematian tiba-tiba menjemputnya saat lengah dari
berssaksi, sehingga terlempar ke kesedihan abadi dan kesakitan akibat
penghalang. Keadaan yang ia alami itu membuatnya buruk, sulit mendapatkan
obatnya.
Ia mengamati semua macam binatang, kelakuan dan upaya mereka. Ia berharap,
ada dari mereka yang merasakan adanya Sang Mawjud itu, serta berusaha seperti
dilakukannya. Ia ingin belajar dari mereka cara keselamatannya. Maka ia
melihat, mereka semua berussaha memperoleh makanan dan tuntunan objektif
biologis semata. Yakni bahan makanan, minuman, kawin, mencari tempat bernaung
dan penghangat tubuh. Ia melihat mereka melakukan itu siang malam sampai
dijemput kematian. Ia melihat, tak seekor pun yang menyimpang dari kebiasaan
ini atau berusaha leari ke arah lain di saat tertentu. Dengan itu jelas oleh
Hayy, mereka tidak merasakan, merindukan atau mengenal Sang Mawjud itu sama
sekali. Mereka semua berangkat menuju ketiadaan atau semacam ketiadaan.
Hayy lalu menetapkan, kesimpulannya tentang perilaku binatang itu juga
berlaku bagi tumbuh-tumbuhan, yang hanya mempunyai sebagian pencerapan
binatang. Jika binatang yang pencerapannya agak sempurna tidak bisa mencapai
pengetahuan itu, apalagi tumbuh-tumbuhan, yang pencerapannya lebih rendah
(ketimbang binatang). Tumbuh-tumbuhan tentu lebih tidak bisa mencapainya. Di
samping itu Hayy melihat, semua binatang tidak menolak makanan dan kelahiran.
Kini, Hayy memperhatiikan bintang dan planet. Tampak, gerakan mereka
teratur menurut hukum tertentu. Ia melihat, mereka transparan dan bercahaya,
tidak mudah ditimpa perubahan dan kerusakan. Hayy mengira kuat, mereka
mempunyai esensi selain tubuh material mereka, yang mengetahui Sang Mawjud yagn
Wajib Adanya itu. Esensi yang mengetahui itu bukan benda dan tidak terpatri
pada benda. Sebagaimana esensi Hayy sendiri yang mengetahui Sang Mawjud.
Bintang-bintang dan planet itu memiliki esensi yang bebas dari kejasmanian.
Karena itu mereka selalu memerlukan hal-hal inderawi. Hayy melihat dirinya
termasuk sejumlah benda yang hancur berikut segala kekurangannya, yang mengganggu
esensinya untuk bebas dari benda dan untuk tidak hancur. Karena itu, jelas bagi
Hayy, benda-benda samawi lebih berhak untuk itu.
Ia juga mengetahui, mereka mengetahui dan menyaksikan Sang Mawjud Wajib Ada
itu secara terus menerus dan berkesinambungan aktual. Sebabnya, karena
pengganggu berupa fenomena-fenomena inderawi, yang justru menyulitkan Hayy
untuk menyaksikan Sang Mawjud itu secara berkesinambungan, tidak terdapat pada
benda-benda samawi.
Ia berpikir, mengapa ada binatang yang diberi ciri khas berupa esensi (zat)
sehingga binatang itu serupa benda-benda samawi. Semula, telah jelas bagi Hayy
masalah unsur empat (air, bumi, udara, api) dan perubahan masing-masing. Dan
semua benda yang di muka bumi tidak tetap pada “bentuk”nya. Tapi mengalami
penciptaan dan kehancuran silih berganti. Sebagian besar benda itu tersusun
dari hal-hal yang saling bertentangan. Karena itu, mereka hancur, dan tak ada
yang murni. Jika ada yang mendekati kemurnian tanpa cacat, benda itu sulit
hancur, seperti emas dan batu yakut (korundum). Benda-benda itu murni, sehingga
sulit hancur dan tak kena “bentuk”.
Jelas juga, sebagian benda di alam penciptaan dan kehancuran – yaitu
keempat unsur : air, bumi, udara dan api – hakekatnya berdasarkan satu “bentuk”
(surat) tambahan, di samping pengertian kebendaan (al-jasmiyyah). Benda yang
lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, hakekatnya berdasarkan lebih dari
satu “bentuk”.
Benda yang hakekatnya berdasarkan sedikit “bentuk”, kelakuannya juga
sedikit dan jauh dari kehidupan. Jika “bentuk” nya lenyap, benda itu tak
memiliki kehidupan, sama dengan dalam ketiadaan. Adapun benda yang hekakekatnya
berdasarkan “bentuk” lebih banyak, kelakuannya juga lebih banyak, dan memasuki
kehidupan lebih mantap. Dan jika “bentuk” nya hampir tidak terpisahkan dari
“materi” khasnya, maka kehidupannya tampak jelas, sinambung dan kuat.
Sesuatu yang tak punya “bentuk” adalah “hayuli” dan “materi”. Karena itu ia
tak mengalami kehidupan, sama dengan tiada. Adapun unsur empat (air, bumi,
udara, api) mempunyai “bentuk”. Ia berada di awal susunan wujud yang mengalami
penciptaan dan kehancuran, darimana benda-benda lain yang mempunyai esensi
bentuk yang banyak, tertata berikutnya. Unsur empat itu lemah bisa hidup,
karena gerakannya satu, dan masing-masing mengalami pertentangan dalam tuntutan
objektif tabiatnya, serta berusaha mengubah “bentuk”nya.
Karena itu, setiap unsur empat itu tidak tetap dan kehidupannya lemah. Dibanding
unsur empat, kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang lebih kuat dan jelas.
Sebabnya, karena sebagian benda susun (murakkabat) itu, dikalahkan oleh tabiat
satu unsur. Tabiat itu kuat mengalahkan, sehingga dapat melumpuhkan daya
kekuatan benda susunan. Benda susun (murakkab) itu kini mengikuti sifat unsur
penguasa tadi, sehingga ia hanya mempunyai sedikit kehidupan, persis seperti
usnur, maka unsur-unsur sisanya pun sama dengan unsur yang tadi.
Jafi, satu unsur tidak melumpuhkan daya kekuatan unsur lainnya. Ini berbeda dari unsur yang daya kekuatannya
dapat dilumpuhkan oleh unsur lain. Masing-masing melakukan sama, sehingga
kelakuan sebuah unsur tidak lebih jelas atau menguasai salah satunya. Kesamaan
masing-masing unsur makin rumit, seakan tak mengalami perbedaan bentuk. Karena
ia cocok bagi kehidupan. Semakin ia seimbang – lebih sulit mengalami
pertentangan – kehidupannya semakin sempurna.
Ruh hewani yang bertempat di hati, sangat seimbang. Karena ruh itu lebih
lembut daripada tanah dan air, tapi lebih keras daripada air dan udara. Karena
itu, ruh hewani ada di hukum pertengahan, tidak ditentang tegas oleh sebagian
unsur empat. Konsekuensinya, ruh hewani seiap menerima “bentuk” kebinatangan
(al-hayawaniyyah). Maka menurut Hayy, bagian paling seimbang dari ruh hewani
itu pasti siap menerima kehidupan yang di alam penciptaan dan kehancuran.
Lebih tepat dikatakan, ruh itu tidak bertentangan dengan ‘Bentuk”nya,
serupa benda sasmawi yang juga tidak bertentangan “bentuk”. Ruh hewani itu
seakan pertentangan sebenarnya di antara unsur-unsur yang tak bergerak ke atas
dan ke bawah.Bahkan kalau bisa diletakkan di antara pusat dan puncak api tanpa
hancur, ruh itu tentu bergerak di sana tanpa naik atau turun.
Dan jika ruhn bergerak di tempat, ruh itu pasti bergerak di sekitar
pertengahan (atau titik pusat), seperti bergeraknya benda-benda samawi. Jadi
bergerak di tempat, yang berarti ruh bergerak pada dirinya. Karena itu mestinya
berbentuk bola, mustahil selain itu. Demikian, ruh itu sangat mirip benda
samawi.
Hayy pun telah mengalami segala ihwal binatang, tetapi ia tidak melihat
nyata binatang merassakan (adanya) Sang Mawjud Wajib Ada. Dan Hayy mengetahui,
esensinya sendiri telah merasakan-Nya. Karena itu, ia menyimpulkan, dirinya
adalah “binatang” yang mempunyai ruh seimbang, serupa species yang lain dari
species binatang. Dirinya dicipta untuk tujuan lain, dipersiapkan untuk sesuatu
yang besar, tidak untuk species binatang.
Hayy merasa dirinya cukup mulia, karena bagian terhina dari dirinya –
bersifat kebendaan – justru paling serupa dengan substansi samawi yang bebas
dari penciptaan dan kehancuran, suci dri ketidak sempurnaan, keperubahan dan
perubahan. Adapun bagian paling mulia dari dirinya – yaitu, alat untuk mengetahui
Sang Mawjud Wajib Ada, Yang Mengetahui – adalah suatu rabbani ilahi (‘amr
rabbaniyy ilahiyy), yang tak berubah atau rusak, tak dapat diberi sifat sebutan
benda, atau dicerap dengan indera, atau dikhayalkan, dan yang hanya dapat
diketahui dengan alatnya.
Dia adalah Sang Pengenal (al-‘Arif), Objek pengenalan (al-ma’ruf) dan
Pengenalan itu sendiri (al-ma’rifat). Dia adalah Sang Pengetahu (al-Alim),
Objek Pengetahuan (al-ma’lum) dan Pengetahuan itu sendiri (al-‘ilm). Tak ada
perbedaan pada-Nya. Sebab, perbedaan dan keterpisahan termasuk sifat dan bagian
dari benda-benda. Pada-Nya tidak ada benda, tidak ada sifat, tidak ada benda
atau bagian dari benda itu.
Kini jelas bagi Hayy, sisi yang memberinya ciri khas dan pembeda di antara
semua macam binatang adalah serupa benda-benda samawi itu dan berusaha
menyerupainya sekuat tenaga. Menurut pandangannya, “bagian” termulia dari
dirinya yang dipergunakan mengenal Sang Mawjud Wajib Ada, sama dengan Sang
Mauwjud itu dilihat segi keterbatasannya dari sifat-sifat benda, sebagaimana
Sang Wajib Ada itu terbebsa dari sefat benda.
Karena itu, Hayy merasa harus berusaha sebisa mungkin
mencapai sifat-sifat Sang Wajib Ada itu, bertindak menurut akhlak-Nya dan
menyerahkan segala persoalan kepada-Nya, serta merasa rela secara lahiriah dan
batiniah menurut kata hatinya untuk menerima semua himat-Nya, yaitu dengan
merasa menyukai-Nya meskipun menyakitkan, mambahayakan dan bahkan menghancurkan
tubuhnya sekalipun.
Dan juga, “bagian” dirinya yang hina – yaitu, dirinya yang berada di alam
penciptaan dan kehancuran, yakni badan wadag kasar, yang dituntut berbagai
macam objek penginderaan berupa makanan, minuman dan perkawinan – itu ia lihat
sama dengan semua species binatang. Tetapi ia melihat, badan wadagnya itu tidak
dicipta secara sia-sia dan tanpa arti. Ia merasa wajib menjaga dan mengurus
baik-baik badan wadagnya itu. Tetpai ia sadar, itu memang dapt ia lakukan
dengan cara meniru kelakuan binatang.
Karena itu, menurut pendaptnya, ada tiga tujuan yang harus ia lakukan :
1. Bertinak meniru binatang bisu.
2. Bertindak meniru benda-benda samawi.
3. Bertindak meniru Sang Mawjud Wajib Ada.
Peniruan (ashabbuh) pertama harus ia lakukan karena ia memliki badan wadag
yang beranggota tubuh terbagi (menurut fungsinya masing-masing), dengan daya
kekuatan yang berbeda, dan dengan kecenderungan yang teratur.
Peniruan ke dua ia lakukan karena ia memiliki ruh hewani yang bertempat
tinggal di hati. Ruh itu adalah prinsip pokok bagi seua badan, yang di dalamnya
terkandung daya-daya kekuatan.
Peniruan ketiga ia lakukan karena ia adalah ia, yaitu dari segi ia adalah
esensi (zat) untuk mengenal Sang Mawjud Wajib Ada itu.
Semula, Hayy mengetahui, kebahagiaan dan keberhasilan menundukan
kesengsaraan, dapat dicapai dengan cara berada dalam persaksian (mushahadah)
sinambung terhdap Sang Mawjud Wajib Ada, tanpa lengah sekejap pun.
Lalu, Hayy meneliti penyebab yang bisa mendatangkan kesinambungan itu.
Ternyata ia harus kembali memperhatikan ketiga bentuk peniruan tadi.
Dengan peniruan pertama, ia tak mencapai persaksian itu, bahkan memalingkan
dan mengganggunya, karena selalu terbentur dengan soal-soal objektif inderawi,
sebagai kendala bagi persaksian itu. Ia memang membutuhkan peniruan macam
pertama ini, tapi hanya dalam rangka memanfaatkan ruh hewani untuk mencapai
peniruan kedua, yaitu meniru benda-benda samawi. Kepetingan itu menuntutnya
menempuh cara ini, meskipun tak bebas bahaya.
Dengan peniruan ke dua ia dapat memperoleh persaksian besar sinambung,
meskipun tetap dilumuri noda buruk. Sebabnya, karena orang yang bersaksi
seinambung mellui proses persaksian model ini, juga dibarengi kelakuan mengerti
esensinya sendiri secara rasional. Dan begitu esensinya jelas, ia bakal
berpaling kepada dirinya.
Adapun dengan peniruan ketiga,seorang dapat mencapai persaksian murni,
ketenggelaman utuh, berpaling hanya kepada Sang Mawjud Wajib Ada itu. Orang
yang berssaksi melalui model ini telah kehilangan esensinya sendiri, telah
luruh dan luluh. Demikian pula semua esensi (zawwat) lainnya, baik banyak
maupun sedikit, lenyap dan lululuh, kecuai Esensi Dia Yang Esa Yang Mahabenar
Yang Wajib Ada – Maagung, Mahatinggi dan Mahaperkasa.
17
Kini jelas bagi Hayy, tujuan utamanya adalah (melakukan) “Peniruan model
ketiga”, yang bisa dicapai setelah melakukan latiihan cukup lamadan terbiasa
dengan “peniruan model kedua”. Dan yang terakhir ini pun tercapai dengan
melakukan “peniruan model pertama”. Namun ia tahu, “peniruan pertama” itu
memang penting, tetapi sekaligus penghalang melalui esensinya. “Peniruan
pertama” itu membantu melalui sifat khas, bukan melalui esensi. Jadi tetap
penting. Karena itu, Hayy menegaskan dirinya tak perlu melakukan “peniruan
model Pertama” kecuali sebatas kebutuhan dan kepentingan, secukup kelangsungan
hidup ruh heani.
Ada dua hal penting untuk kelangsungan hidup ruh hewani. Pertama, faktor
dalam berupa makanan, demi persediaan pengganti bagian tubuh yang rusak. Kedua,
faktor luar yang menyelamatkan dan menjaganya dari segala petaka berupa dingin,
panas, hujan, sengatan sinar matahari dan gigitan binatang yang berbahaya, dan
lain sebagainya.
Ia berpikir, jika ia mengambil semua kebutuhan itu sedapatnya tanpa
perhitungan dan ukuran, barangkali ia terjatuh ke sikap mubazir dan mengambil
lebih dari cukup, sehingga melakukan suahanya tanpa disadari, Maka pikirnya, ia
harus berusaha menetapkan batas dan ukuran (minimum) bagi diri sendiri yang tak
boleh dilampaui. Ini menyangkut jenis makanan, macam,takaran,dan serta
waktunya.
Pertama ia memeriksa jenis makanannya. Ternyata ada tiga :
1. Tumbuh-tumbuhan yang belum matang benar dan belum tua. Yaitu segala
macam sayur-sayuran segar yang dapat dimakan.
2. Buah-buahan yang telah amsak dan bisa disemai bijinya untuk ditanam
kembali. Yaitu buah-buahan segar atau kering, dan..
3. Binatang yang dapat dimakan, baik dari darat maupun laut.
Tetapi ia menydari, semua jenis makanan itu termasuk perbuatan Sang Mawjud
Wajib Ada. Semenara kebahagiaannya bergantung kepada kedekatannya pada-Nya,
bergantung pada usahanya menyerupai-Nya. Karena itu, memakan semua jenis
makanan termasuk kelakuan yang menghalanginya dari mencapai kebahagiaan
sempurna serta merintanginya ke tujuan utama dambaan. Kelakuan semacam itu
menentang perbuatan Sang Pelaku, yang bertolak belakang dengan usaha mendekati
dan menyerupai-Nya.
Karena itu, jika bisa ia tak makan. Tapi itu mustahil. Karena jika menolak
makan, tubuhnya akan rusak. Ini pun penentangan lain lebih besar terhadap Sang
Pelaku, dibanding tadi. Sebabnya, karena Hayy lebih mulia daripada benda lain
yang kehancurannya bisa menyebabkan keberlangsungan hidup Hayy sendiri. Ia
memilih alternatif yang bahayanya paling ringan dan pertentangannya paling
kecil.
Bagi Hayy, jika makanannnya habis, ia harus mengambil janis makanan yang
mudah diperoleh, sekedar berikut ini. Jika ketiga jenis makanan itu ada semua,
Hayy merasa harus memilih jenis makanan yang pengambilannya tidak bertentangan
dengan (hasil) perbuatan Sang Pelaku (yakni Tuhan Pencipta). Misalnya, daging
buah-buahanmatang dan bijinya dapat diambil untuk benih baru dengan
memeliharanya secara hati-hati. Biji itu tidak boleh dimakan, dirusak atau
dilemparkan ke tempat tak cocok, seeprti batu, tanah tergenang air atau
bergaram,d an lain sebagainya.
Jika ia tak bisa memperoleh makanan buah-buahan tak berdaging, seperti
apel, per, prem dan sebagainya, ia noleh makan buah cuman bijinya yang bisa
dimakan, seperti kelapa dan ksital, atau sayur-sayuran yang belum matang,
dengansyarat herus memilih yang paling mencerabut akarnya dan tak pula bijinya.
Jika jenis tadi tak ada, ia dapat menangkap binatang atau mengambil telurnya,
dengan syarat, ia amemilih yang paling banyak di dpat dan tak punah. Demikian
pendapatnya tentang jenis makanan.
Adapun takarannya, bagi Hayy, hanya menurut kebutuhan penghilang rasa
lapar, tak lebih dari itu. Sedangkan soal jadwal makan, maka begitu lapar ia
harus makan, sehingga nanti ia merasa lemah dan tak mampu melakukan pekerjaan
untuk proses “menyerupai yang kedua”. Masalah ini akan dijelaskan kemudian.
Mengenai faktor luar yang penting bagi kelangsungan hidup, keterangannya
tidak banyak. Ia sendiri telah memakai baju kulit, juga tempat tinggal yang
menjaganya dari segala (bahaya) yang datang dari luar. Ia memandang itu cukup,
dan tak perlu bersibuk diri dengannya. Ia pun telah makan menurut ketentuan dan
ketetapan sendiri, seperti dijelaskan di depan.
18
Kini Hayy mulai melakukan proses yang kedua, yakni menyerupai benda samawi.
Ia menirunya, menerima sifat-sifatnya, mengamati dan menelusiri
keterangan-keterangannya. Ada tia kesimpulan yang ia peroleh :
Pertama, keterangan tentang benda-benda samawi sehubungan dengan alam
penciptaan dan kehancuran di bawahnya, (yang menjelaskan kepadanya) proses
pemanasan esensial, pendinginan khas, penyinaran, pelembutan dan pelebatan.
Juga semua perilaku lain dengannnya ia siap menerima emanasi bentuk-bentuk
kerohanian Sang Pelaku Wajib Ada.
Kedua, keterangan tentang esensinya, seperti proses menjadi transparan,
murni mengkilat, seci dan bebas dari kotoran, dan proses geraknya secara
sirkular, sebagian pada titik pusat lain.
Ketiga, keterangan tentang benda-benda samawi itu dan hubungannya dengan
Sang Mawjud Wajib Ada. Seperti proses menyaksikan-Nya secara sinambung,
menmapak-Nya, merindukan-Nya, berperilaku menurut hukum-Nya, melaksanakan dan
bergerak menurut kehendak-Nya, serta berada di genggam-Nya.
Ia berusaha sekuat tenaga menyerupai benda samawi itu pada setiap tiga cara
di atas.
Pada cara penyerupaan pertama, ia mengharuskan diri tidak membiarkan
binatang atau tumbuhan yang sedang butuh, cacat atau bahaya. Bila ia mampu
memenuhi kebutuhan dan melenyapkan cacat, ia pasti melakukannya.
Setiap pandangannya terpaut apda tumbuhan yang terhalang di sinari
matahari, atau dihinggapi tumbuhan lain pengganggu, atau kurang air hampir
mati, ia pasti menghilangkan penghalang, atau melepas tumbuhan berbahaya itu,
dengan cara tidak membahayakan tumbuhan lain, dan memberinya siraman sebisa
mungkin.
Dan setiap pandangannya terpaut pada seekor binatang sedang dimangsa
binatangbuas, atau tersangkut dalam jaring, atau mata atau kupingnya ditimpa
penyakit, atau mengalami kehausan atau kelaparan, maka ia berusaha sekuat
tenaga menghilangkan bahaya itu, memberinya makan dan minum.
Dan setiap pandangannya terpaut pada air mengalir ke tempat tumbuhan atau
binatang, tapi alirannya terganggu oleh batu atau tebing yang jatuh ke dalam,
maka ia berusaha menghilangkan semua itu.
Ia kini masih terus melatih diri terbiasa dengan berbagai bentuk
penyerupaan cara ini, hingga mencapai tingkat puncak.
Pada cara penyerupaan kedua, ia berusaha melakukannya dengan keharusan
selalu suci diri. Ia menghilangkan segala kotoran tubuh, Ia mandi air sesering
mungkin. Ia membersihkan kuku, gigi serta bebagai bagian tubuh tersembunyi, Ia
mengharumi (tubuhnya) dengan wangi tumbuhan dan minyak parfum. Ia mencuci dan
mewangikan pakainnya sehingga tampak indah, bersih dan harum berkilau.
Bersama itu, ia membiasakan diri bergerak memutar dengan segala macamnya.
Terkadang ia mengelilingi pulau (tempatnya berada), berputar keliling pantai
dan datang ke pelosoknya. Terkadang ia mengelilingi rumahnya atau bebatuan
tertetu beberapa kali putaran, dengan cara berjalan-jalan atau berlari-lari
anjing. Bahkan terkadang ia berputar-putar pada tubuhnya sendiri sampai
pingsan.
Pada cara penyerupaan ke tiga ia membiasakan diri memikirkan tentang Sang
Mawjud Wajib Ada itu, seraya memutuskan segala hubungan dengan objek-objek
penginderaan, memejamkan mata, menutup telinga, berusaha sekuat tenaga menurut
daya khayalnya, berupaya sekerasnya tidak memikirkan selain Sang Mawjud itu,
untuk tidak menyekutukan-Nya dengan seorangpun jua. Untuk itu, ia memanfaatkan
cara berputar pada tubuh sendiri. Ia mempreaktekannya terus. Dan bila
perputarannya itu semakin keras, ternyata semua objek penginderaan menghilang.
Khayalannya melemah. Dan semua daya kekuatan yang membutuhkan alat jasmani juga
melemah. Sebaliknya, kelakuan esensinya (zat) – yang bebas dari benda –
menguat.
Karena itu, dalam beberapa waktu pikirannya terbebaskan dari beban
gangguan. Ia kini menyaksikan Sang Mawjud Wajib Ada itu. Tetapi kemudian, daya
kekuatan jasmaninya balik dan pulih kembali, sehingga keadaan (hal) tadi
menjadi rusak. Ia kini kembali, ke orang terrendah (asfal al-safilin). Ia
sekalilagi berusaha menggapai capaian sebelumnya. Jika ia mengalami kelemahan
penghalang mencapai tujuan, ia pun mengambil makanan menurut syarat tersebut di
atas. Kemudian ia kembali lagi ke usaha menyerupai benda samawi melalui ketiga
cara tersebut.
Beberapa lama ia membiasakan diri cara begitu. Ia memerangi daya-daya
kekuatan jasmani. Sebaliknya, daya itu melawwannya. Ia melakukan itu setiap
daya kekuatan jasmaninya muncul (memerangi dan melawannya). Ia membebaskan
pikirannya dari segala cacat dan gangguan. Menampak baginya ihwal pelaku
penyerupaancara ketiga.
19
Kini, Hayy mengusahakan penyerupaan cara ketiga. Ia berupaya mencapainya.
Karena itu, ia mempelajari sifat-sifat Sang Mawjud Wajib Ada. Dan di tengah
penelitian ilmiah, sebelum mulai bertindak, jelas sifat-Nya itu dua macam.
Pertama, sifat positif, seperti pengetahuan (‘ilm), kekuatan (Qudrat), dan
kebijaksaan (hikmat); Kedua, sifat negatif, seperti ketersucian-Nya dari
kebendaan (al-jasmaniyyah) dan sifat benda serta yang termasuk di dalamnya,
yang bersangkut dengannya, meskipun jauh.
Penyucian (tanzil) itu syarat yang harus ada di sifat positif afirmatif
tadi, sehingga di sifat itu tak terkandung sifat benda yang berjumlah banyak.
Dengan demikian, melalui sifat-sifat posit afirmatif itu (yang tampaknya
banyak) esensi-Nya tidak menjadi banyak, akan tetapi mereka semua mengacu
kepada satu pengertian tunggal, yakni hakekat esensi-Nya. Maka ia pun mulai
berusaha mengetahui bagaimana menyerupai-Nya di dalam masing-masing kedua cara
itu.
Hayy mengetahui, seua sifat positif itu mengacu kepada hakekat esensi-Nya,
dan sama sekali tak mengandung pluralitas (kathrah), karena pluralitas termasuk
sifat benda. Dan ia mengerti, pengetahuan-Nya tentang esensi-Nya bukanlah
tambahan atas esensi-Nya, dan pengetahuan-Nya tentang esensi-Nya. Karena itu,
jelas bagi Hayy, jika ia dapat pengetahui esensi-Nya, maka pengetahuan untuk
mengetahui esensi-Nya bukan tambahan atas esensi-Nya. Tapi Ia adalah Ia!!!
Menurut Hayy, proses untuk menyerupai-Nya melalui sifat-sifat positif itu
adalah, dengan mengetahui-Nya saja tanpa menyekutukan-Nya dengan salah satu
sifat benda. Ia mempreaktekan sendiri cara penyerupaan ini.
Adapun semua siffat negatif, itu mengacu kepada ketersucian (tanazzul) dari
kebendaan (al-jasmiyyah). Maka ia pun membuang sifat-sifat kebendaan dari
esensi-Nya. Pada proses latihan terdahulu ketika menyerupai benda samawi, ia
telah membuang banyak sifat kebendaan itu. Tapi sisanya memang labih banyak.
Misalnya, gerakan berputar-putar – gerakan itu pun sifat benda paling khas.
Juga perhatiannya terhadap urusan binatang dan tumbuhan. Rasa kasihannya pada
mereka, serta perhatiannya untuk melenyapkan gangguan dari mereka.
Itupun sifat benda. Sebab ia harus melihat dan mengurus mereka dengan daya
kekuatan jasmani. Maka, semua itu ia tanggalkan. Sebab itu tak pantas atau tak
cocok dengan keadaan yang ia kejar sekarang.
Kini ia tetap tinggal saja di “istana” gua, menundukan
kepala, memejamkan mata, melepas semua objek indera dan kekuatan jasmani. Ia
menyatukan damba dan memusatkan pikiran pada Sang Mawjud Wajib Ada sendirian
tanpa sekutu. Jika khayalannnya digerayangi bayangan selain Dia, ia mengusirnya
sekuat tenaga. Ia menyerahkan dan merelakan dirinya untuk itu. Ia membiarkan
diri begitu cukup lama. Hari-harinya berlalu. Ia tak merasa perlu makan dan
bergerak.
Selama mujahadat keras itu,
barangkali segalanya lenyap dari ingatan dan pikirannya, kecuali esensinya
sendiri. Esensi itu tidak lenyap di saat ia tenggelam dalam menyaksikan Sang
Mawjud Pertama Yang Benar dan Wajib Ada. Esensi itu satu keburukan baginya,
cacat dalam persaksian murni, sekutu dalam proses penampakannya. Ia tahu itu.
20
Kini Hayy masih berusaha meluruh dari dirinya. Ia berupaya tulus dalam
menyaksikan Sang Kebenaran, sampai ia benar-benar mencapai-Nya. Langit dan bumi
seisinya, semua “bentuk” rohaniah dan daya kekuatan jasmaniah, semua daya
kekuatan yang membedakan materi dan merupakan esensi yang mengetahui Sang
Mawjud Benar, semua itu lenyap di antara sejumlah esensi tadi. Semuanya luruh
dan meredup, menjadi debu beterbangan. Yang ada tinggalah Sang Esa yang Benar
Mawjud yang Tetap.
Ia menyatakan firman-Nya yang bukan suatu pengertian tambahan pada
esensi-Nya. Milik siapakah kerajaan
(mulk) hari ini? Milik Allah yagn Esa
Maha Mengalahkan! Hayy memahami firman-Nya, mendengar seruan-Nya.
Keadaannya tidak mengetahui perkataan dan keadaannya tidak bisa bekata,
bukanlah penghalang untuk memahami (firman-Nya). Ia tenggelam dalam keadannya
ini. Ia kini menyaksikan sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tak
penah terdengar oleh telinga dan tak pernah terbetik dalam hati manusia.!
Maka janganlah Anda berharap hendak mengungkap sesuatu
yang tak pernah terbetik dalam hati manusia. Sungguh, banyak sekali hal sebenarnya telah
terbetikkan dalam hati umat manusia, tetapi tidak bisa diungkapkan dalam bentuk
penjelasan. Jika demikian, bagaimanakah hal yang sama sekali tidak bisa muncul
dan terbetik termasuk alamnya dan tidak berada dalam tingkatannya?
Yang saya maksud dengan hati (qalb) di sini bukanlah tubuh raga hati (jism
al-qalb), dan bukan pula ruh (al-ruh_ yang berada di biliknya. Tetapi, yang
saya maksud dengannya adalah “bentuk” (shurrah) dari ruh yang beremanasi,
melalui daya-daya kekuatannya, kepada tubuh raga manusia.
Memang, masing-masing ketiga di atas sering disebut “qalb”. Tapi tak ada
alasan untuk mengungkap ketiganya di salah satunya. Sebab masing-masing hanya
bisa diungkap dengan istilahnya sendiri. Siap pin mencoba mengungkap itu,
berarti ia mengusahakan sesuatu yang mustahil (diungkap).
Itu persisi orang yang ingin merasakan warna dari segi ia warna dan
menuntut agar, misalnya, warna hitam menjadi rasa manis atau asam. Namun, itu
bukan alasan bagi kami untuk tidak mengungkap isyarat-isyarat yang menjelaskan
segala kesaksian Hayy berupa keajaiban-keajaiban stasiun (maqam) tersebut.
Kami tentu akan mengungkapnya, tetapi hanya dengan semacam permisalan,
bukan dengan cara mengetuk pintu hakekat. Sebab, jalan untuk mengetahui hakekat
dari sesuatu yang di stasiun itu, hanyalah dengan cara mencapainya langsung.
21
Kini, pasanglah pendengaran hati Anda, dan buka penglihatan akal Anda
lebar-lebar. Dengar dan lihatlah apa yang akan saya tunjukan ini. Semoga, Anda
memperoleh petunjuk yang menuntun Anda menapaki jalan benar! Syaratnya,
hendaknya Anda saat ini tak berharap menerima lebih dari keterangan oral yang
saya tulis di halaman-halaman ini. Kesempatan terbatas, dan memutuskan soal
yang tak pas diungkap melalui kata-kata, itu mengandung bahya.
Saya katakan : Hayy telah luluh dari esensinya dan dari semua esensi
lainnya. Ia tidak melihat sesuatu ada kecuali Sang Maha Esa Si Hidup Yang
Bangun. Ia menyaksikan kesaksiannya itu. Lalu di saat sadar dari keadannya yang
seperti mabuk itu, ia kembali menyaksikan lainnya. Terlintas di benaknya, tak
ada esensi (zat) yang bisa mengubah esensi Sang Kebenaran yang Mahatinggi.
Hakekat esensinya adalah esensi San g Kebenaran itu. Dan yang semula ia kira
esensinya yang dapat mengubah esensi Sang Kebenaran, pda hakekatnya bukanlah
“sesuatu”. Bahkan tak ada sesuatu apapun kecuali esensi Sang Kebenaran.
Ini dapat diandaikan seperti matahari yang menimpa benda-benda lebat.
Kemudian Anda melihat cahayanya tampak pada benda-benda itu. Betapapun cahaya
dinisbatkan kepada benda di mana cahaya itu tampak, pada hakekatnya itu bukan
selain cahaya matahari itu sendiri. Begitu bedanya lenyap, sinarnya pun lenyap
pula. Padahal, sinar matahari itu tetap saja seperti keadaan semula, tak
berkurang akibat kemunculan benda dan tak bertambah karena ketiadaan benda itu.
Dan jika ada benda cocok menerima sinar, ia pasti menerimanya. Dan jika benda
itu tak ada, penerimaan juga menjadi tidak ada dan tak bermakna.
Anggapannya itu semakin kuat setelah jelas, esensi Sang Kebenaran yang
Mahatinggi sama sekali tak membanyak akibat apapun. Dan pengetahuan-Nya tentang
esensi-Nya adalah esensi-Nya itu sendiri (per se). Kareena itu, ia
berkesimpulan, siapa mencapai pengetahuan tentang esensi-Nya, sekaligus tlah
mencapai esensi-Nya. Jadi iaadalah Esensi itu per se. Demikian pula esensi
pembeda bagi materi yang mengetahui Esensi Benar yang pada mulanya ia lihat
banyak. Tapi kemudian, berdasar anggapan tadi, semua esensi pembeda itu tunggal
saja.
Jia ia tidak diberi pencerapan oleh Allah melalui rahmat dan hidayah-Nya,
hampir saja keserupaan(syubhat) ini membekas kuta di (pikirannya). Karena itu,
ia mengetahui, syubhat itu muncul di pikirannya akibat pengaruh sisa kekelaman
benda dan kekotoran objek penginderaan. Sebab, “banyak”, “sedikit”, “satu”,
“kesatuan”, “jamak”, “penjamakan” dan “pembedaan,” semua itu adalah sifat-sifat
benda. Esensi-esensi pembeda yang mengetahui Esensi Sang Kebenaran –
Mahaperkasa dan Mahaagung Dia – karena bebas dari materi, tidak boleh dikatakan
bahwa Esensi itu banyak atau satu. Sebab, sifat kebanyakan (pluralitas,
kathrat) hanyalah pembeda esensi-esensi itu satu sama lain. Sedangkan sifat
kesatuan (wihdat) pun hanya tercapai melalui perhubungan (ittishal). Semua itu
hanya bisa dimengerti di dalam “pengertian-pengertian tersusun yang bergalau
(,a’ani murakkabat mutalabbisah) dengan materi.
Namun, pengungkapan melalui kata-kata terlalu sempit di sini. Sebab, jika
Anda mengungkap tentang esensi-esensi pembeda (zawat mufariqah) itu dalam
bentuk kalimat jamak seperti (tampak) pada bahasa kami ini, maka terbayang
adanya “pluralitas”. Padahal esensi itu tidak mengandung pluralistas. Dan bila
Anda mengungkap tentang esensi-esensi itu dalam bentuk kalimat tunggal, maka
terbayang adanya makna “kesatuan” (ittidah). Padahal ini mustahil dikenakan
pada esensi itu.
Sikap saya di sini, bagaikan seorang yang menghadapi sejumlah burung
kelelawar di siang hari. Yang tak bisa melihat karena matahari. Orang itu
bergerak kegialaan, (heran menyaksikan perilaku kelelawar tadi), seraya berkata
“Aku telah memeras pikiran, menganalisa kelakuanmu, tapi kau tetap menyimpang
dari pola (pikir) kaum berakal. Kamu menyalahi hukum akal.” Di antara hukum
itu, jika benda tidak satu, ia mesti banayak.
Karena itu, orang (yang menghadapi kelelawar) tersebut hendaknya
merendahkan semangat menggebu, menghentikan ocehannya, seraya mengintropeksi
diri. Belajarlah dari alaminderawi sekitar yang tampaknya kurang berharga.
Belajarlah seperti Hayy Bin Yaqzan. Ia telah mengamati alam itu dengan satu
cara pandang sehingga tampak banyak tak terbatas dan tak terhitung. Kemudian ia
mengamatinya lagi dengan cara pandang lain sehingga alam itu tampak satu dan
tunggal. Ia ragu-ragu tanpa bisa memutuskan sikap memilih salah satunya.
Sungguh, alam inderawi itu sumber pluralitas dan ketunggalan. Dan dalam
kerangka ini, hakekatnya bisa dimengerti. Di dalamnya terkandung pemisahan dan
persambungan, pengkodisian dan perubahan, perpaduan dan perbedaan. Perkiraannya
tentang alam ilahi – di mana istilah
“semua” dan “sebagian” tak berlaku, dan masalahnya tidak bisa diungkap dengan
bahasa lisan – hanyalah satu dugaan yang berbeda dari hakekat sebenarnya. Tak
seorang pun mengetahui, kecuali menyaksikan-Nya. Hakekat-Nya tidak bisa
diketahui secara mantap kecuai oleh orang yang telah mencapai-Nya.
Adapun perkataannya, “Kau menyumpang dari pola pikir kaum berakal, dan kau
menyalahi hukum akal,” itu kami serahkan kepadanya. Biarlah ia dengan “akal”
dan “kaum berakal”nya. Sungguh, “akal” yang ia atau mereka maksudkan, tak lain
daya pikir (quwwat natiqah) yang memeriksa sosok semua objek wujud inderawi,
sehingga diperoleh pengertian universal (ma’na kulliy). Sedangkan “kaum
berakal” (‘uqala), maksudnya, mereka yang mengamati melalui cara pemikiran
(rasional) ini. Padahal, model pembicaraan kami jauh di atasnya. Karena itu,
orang yang hanya mengenal objek-objek inderawi dan universalianya, hendaknya
menutup telinga darinya, dan mengembalikan kepada kelompok yang “mengetahui bagian lahiriah dari kehidupan
dunia saja, sedangkan mengenai akhirat mereka lupa”.
22
Apabila anda termasuk orang yang merasa puas dengan bentuk penjelasan dan
keterangan tentang alam ilahi seperti tersebut di atas, dan keterangan kami
tidak mengandung pengertian biasanya, maka kami akan memberi Anda tambahan
(pengetahuan) tentang hasil persaksian Hayy bin Yqzan tentang maqam orang-orang
ahli Kejujuran (uli al-shidq). Maka kami katakan :
Sebagian ketenggelaman murni,
keluhuran (fana’) utuh, dan hakekat pencapaian (wushul), bersasksi akan Falak
Tertinggi yang tak berbenda serta melihat esensi yang bebas dari materi – yaitu
esensi Sang Mahaesa Sang Kebenaran, tetapi bukan dari falak itu sendiri atau
lainnya. Esensi Tertinggi itu bagaikan “bentuk” matahari yang tampak pada
sebuah cermin bening. Esensi Tertinggi itu bukan Matahari atau cermin itu
sendiri, dan bukan pula selain matahari atau cermin itu.
Menurut Hayy, Esensi Pembeda dari falak itu memiliki kesempurnaan,
kecemerlangan dan keindahan yang terlalu agung untuk diungkap dan dijelaskan
dengan kata-kata, terlalu jelimet untuk dikata dengan huruf dan suara. Hayy
melihat Esendi itu berada pada puncak kenikmatan dan sukacita, keriangan dan
kesenangan, berkat menyaksikan Esensi Sang Kebenaran, Mahaagung Dia.
Ia pun menyaksikan, falak berikutnya – yakni falak bintang-bintang yang
tetap – juga memiliki suatu esensi yang bebas dari materi, yang bukan esensi
Sang Mahaesa Sang kebenaran, bukan pula
esensi pembeda dari Falak Tertinggi, bukan pula diri Falak itu sendiri, bahkan bukan
pula yang selain itu. Esensi itu bagaikan “bentuk” matahari yang tampak pada
suatu cermin “Bentuk” itu terpantul kepadanya dari cermin lain yang berhadapan
langsung dengan matahari. Ia melihat, Esensi juga memiliki kecemerlangan,
keindahan dan kenikmatan seperti dimilki oleh Falak Tertinggi itu sendiri.
Ia juga menyaksikan, falak yang berikutnya – yakni falak Saturnus (Zuhal) –
memiliki esensi pembeda bagi materi. Esensi itu tidak berasal dari makhluk
melata atau lainnya yang ia saksikan sebelumnya. Esensi itu bagaikan “bentuk”
matahari yang tampak di sana berdasarkan pantulan dari cermin yang menghadap
matahari langsung. Ia melihat, esensi ini pun memiliki kecemerlangan dan
kenikmatan seperti yang ia lihat sebelumnya.
Dan ia menyaksikan, setiap falak memiliki esensi pembeda tersendiri yang
bebas dari materi dan bukan bagian dari esensi sebelumnya dan bukan pula
lainnya. Esensi itu bagaikan “bentuk” matahari yang terpantul dari cermin ke
cermin lain, tersusun rapi menurut tingkatan falak-falak. Masing-masing esensi
ia saksikan memiliki keindahan, kecemerlangan, kelezatan dan keriangan yang tak
pernah terlihat mata, terdengar telinga atau terdetik dalam kalbu manusia.
Akhurnya Hayy ssampai ke alam penciptaan dan kehancuran (‘alam al-kawn wa
al-fasad), yang semuanya memenuhi falak bulan. Ia melihat, alam itu memiliki
esensi yang bebas dari materi dan bukan sebagaian dari esensi-esensi yang telah
disaksikannya sebelumnya dan bukan pula lainnya. Setiap esensi itu mempunyai
tujuhpuluh ribu wajah, setiap wajah memiliki tujuh puluh ribu mulut, dan setiap
mulut memiliki tujuh puluh ribu lidah, yang dengannya ia menyucikan (yusabbihu)
Esensi Sang Tunggal Sang Kebenaran, menguduskan-Nya dan memuji-Nya tanpa henti.
Ia melihat, Esensi yang seakan mengandung pluralitas ini – padahal tidak –
memiliki kesempurnaan dan kelezatan, sepeti yang dimiliki oleh esensi-esensi
sebelumnya. Esensi bagaikan “bentuk” matahari yang tampak pada air
bergelombang, yang dipantulkan kepadanya dari cermin-cermin lain, yang
pantulannya sampai kepadanya melalui susunan (cermin-cermin) terdahulu dari
sebuah cermin pertama yang menerimatahari secara langsung.
Lalu, ia menyaksikan dirinya juga mempunyai sebuah esensi pembeda. Dan jika
esensi ketujuh puluh ribu wajah itu dibagi, tentu akan kami katakan bahwa
esensinya sendiri itu sebagian darinya. Dan seandainya esensi itu tidak
tercipta dari tiada, pasti telah kami katakan, ya itulah esensi itu!
Dan seandainya dalam keterciptaan esensi itu tidak bercirikan badan
wadagnya sendiri, tentu telah kami katakan bahwa esensi itu tidak tercipta!
Pada tingkatan ini ia menyaksikan esensi-esensi, seperti esensinya sendiri,
dimilki oleh benda-benda yang sebelumnya ada tetapi kini telah meudar. Itupun
dimilki oleh benda-benda yang masih ada. Esensi-esensi itu sangat banyak tanpa
batas, jika bisa disebut begitu, atau esensi-esensi itu Cuma satu dan tunggal,
jika mau disebut begitu.
Ia melihat, esensinya sendiri dan esensi-esensi lain yang berada pada
tingkatannya, memiliki keindahan, kecemerlangan dan kelezatan tak terbatas,
yang tak terlihat mata, tak terdengar telinga, tak terdetik di kalbu manusia,
tak dapat di kelaskan orang dan hanya bisa dipikirkan oleh pencapai dan
pengenal-Nya (al-washilun al’arifun).
Ia menyaksikan, materi juga mempunyai esensi-esensi pembeda yang banyak,
bagaikan cermin-cermin buram yang kotor, namun menjadi pelaksana dan pengganti
cermin-cermin mengkilat lainnya di mana “bentuk” matahari terlukis padanya dari
segala seginya. Ia melihat esensi-esensi ini menampakkan keburukan dan
ketidaksempurnaan yang tak pernah terdetik dalam kalbu. Ia melihat
esensi-esensi itu berada dalam kesaksian-kesaksian tanpa akhir, dalam
kerugian-kerugian tak terhapuskan, dilingkungi karpet-karpet siksa, dibakar api
tabir (hijab) dan dicincang antara kegundahan dan kegilaan.
Di sini ia menyaksikan esensi-esensi selain yang tersiksa tadi, menampak
kemudian menghilang, menegak kemudian runtuh. Ia berusaha mengetahui secara
pasti. Ia sorotkan pandangannya tajam-tajam. Tampak sebuah raksassa, sesuatu
yang agung, mekhluk yang gede, hukum yang kukuh mantap, sebuah hembusan, sebuah
tiupan, sebuah penciptaan, sebuah inkarnasi. Tak seberapa lama ia menyaksikan
itu, tiba-tiba enderanya balik pulih kembali seperti sediakala. Ia kini
menyadari keadaannya yang hampir-hampur menyerupai keadaan pingsan itu. Kakinya
menggekincir dari maqam itu.
Alam inderawi tampak kembali bersama dengan menghilangnya alam ilahi.
Sebab, memang mustahil kedua alam itu distupadukandalam keadaan tunggal. Dunia
dan akhirat itu bagaikan dua alternatif kepentingan, jika Anda merelakan yang
satu, Anda membenci lainnya.
Dari persaksian (musyahadah) yang saya ceritakan ini, tampak bahwa jika
esensi-esensi pembeda itu dimiliki sebuah benda yang wujudnya abadi tidak
rusak, seperti falak, maka esensi itu pun abadi pula wujudnya. Sebaliknya, jika
itu dimiliki benda yang bisa rusak, seperti manusia (hayawan natiq), maka
esensi itu pun rusak, redup dan hancur. Jika anda katakan, itu seumpama cermin
pemantul sinar di mana “bentuk” akan tetap ada selama cermin pemantul sinar di
mana “bentuk” akan tetap ada selama cerman ada. Dan jika Anda katakan cermin
itu rusak, tentu “bentuk” itu pun rudak dan redup pula. Maka saya katakan
kepada Anda : Betapa Anda cepat lupa dan lepas kontrol.
Bukankah saya katakan tadi, pengungkapan melalui kata-kata terlalu sempit
di sini. Pokoknya, kata-kata itu hanya menimbulkan pengertian tak sebenarnya.
Itu Anda alami. Sebab Anda menyamakan begitu saja antara perumpamaan dengan
objek perumpamaan itu.
Seharusnya Anda tidak melakukan itu di pembicaraan biasa. Bagaimana mungkin
esensi-esensi pembeda diumpamakan persis matahari dan cahayanya, bentuk dan
perubahannya, atau seperti cermin seta bentuk yang ditimbulkannya. Sebab, semua
itu tak bisa dibedakan dari benda-benda, dan sebaliknya benda-benda tak
terwujud kecuali dengan dan di dalam mereka. Karena itu, ada dan tiadanya semua
itu tergantung pada benda-benda.
Adapun esensi ilahiah dan ruh rabbaniah, semua itu bebas dari, dan suci
dari, benda dengan segala bagiannya. Esensi
ilahiah dan ruh rabbaniah tidak berhubungan atau berkaitan dengan
benda-benda, baik menyangkut negasi atau afirmasi benda iu, ataupun menyangkut
ada dan tiadanya benda. Keterhubungan dan ketersangkutan benda-benda itu dengan
Esensi Sang Mahaesa Sang Kebenaran Sang Mawjud Wajib Ada (zat al-wahid al-haqq
al-mawjud al-wajib al-wujud) – Yang merupakan Awal, rinsip, Sebab dan Pengada
mereka – hanya dalam arti Dia memberri mereka kesinambungan, kebakaan dan
keabadian.
Esensi ilahiah dan ruh rabbaniah itu tidak membutuhkannya. Jika
esensi-esensi itu tiada, benda-benda itu pasti tiada pula. Sebab, esensi-esensi
itu Prinsip mereka. Sebagaimana, kalau Esensi Sang Mahaesa Sang Kebenaran –
Mahatinggi dan Mahasuci Dia, Tiada Tuhan Selain Dia – bisa tiada, maka esensi
itu semua pasti tiada, dan bersama itu pula semua benda takkan ada lagi
eksistensi (wujud), ebab semua alam ssaling berhubungan erat.
Dan alam indera, meskipun termasuk alam ilahi, menyerupai bayang-bayang
baginya. Alam ilahi tidak membutuhkannya dan bebas darinya. Namun, alam
inderawi mustahil diandaikan tiada, sebab alam inderawi pasti termasuk bagian
alam ilahi, Kehancuran alam inderawi hanyaterjadi dalam bentuk keberubahannya,
bukan dalam ketiadaannya secara total. Karena itu, Kitab Mulia (Quran)
mengungkap pengertian ini dallam bentuk gunung berjalan laksana bulu domba,
menjadikan manusia laksana laron, membuat matahari dan bulan bergulung-gulung,
dan lautan bergolak, pada suatu hari ketika bumi berubah menjadi bukan bumi dan
langit.
Inilah sekedar yang dapat saya kemukakan kepada Anda, mengenai kesaksian
Hayy Bin Yaqzan pada maqam mulia itu. Hendaknya Anda tidak mencari lebih dari
itu, menyangkut kata-kata, sebab usaha itu akan sia-sia.
23
Adapun mengenai kelengkapan berita tentang (Hayy Bin Yaqzan), insya Allah
akan kami ceritkan kepada anda :
Sekembali ke alam inderawi, dari pengembaraan yang jauh, Hayy mulai bosan
dengan beban kehidupan dunia. Kerinduannya kepada kehidupan puncak (hayat
qushwa) semakin besar. Maka ia mencoba kembali ke maqam itu dengan cara tempuh
semula, sehingga ia mencapainya lebih mudah dari usaha awal. Ia pun berada di
sana lagi dalam waktu lebih lama daripada yang pertama. Lalu ia kembli lagi ke
alam inderawi. Tapi segera ia merasa rindu lagi untuk mencapai maqam-nya itu.
Ia pun mencapainya lebih mudah daripada usaha pertama dan kedua, dan merasa
mengalaminya jauh lebih lama. Waktu demi waktu, semakin mudah saja ia mencapai
maqam itu dengan masa mengalami semakin lama, sehingga ia bisa mencapai dan
meninggalkannya setiap saat, kapan saja. Bahkan kini ia tak mau meninggalkan
dan meremehkan maqamnya itu, kecuali harus memenuhi hajat minimum tubuh
wadagnya.
Di semua itu, ia berharap Allah Yang Maha Perkasa Mahaagung melepaskannya
dari seluruh badan sebagai penyebabnya berpsah dari maqam itu, agar ia bebas selamanya
menikmati kelezatan maqamnya, serta lepas dari rasa sakit ketika meninggalkan
maqamnya untuk hajat ragawi.
Ia tetap dalam keadaan itu hingga mencapai tujuh minggu dari awal mula,
ketika ia berumur lima puluh tahun. Saat itu tiba-tiba ia bertemu dengan Asal,
yang kisah mereka bersama insya Allah akan disebutkan berikut ini. (50) Tokoh Absal dalam kisah karya Ibn Sina berubah menjadi Asal di dalam
karya Ibn Thufayl. Perbedaan ini dapat ditafsirkan dua kemungkinan : 1)
perbedaan dalam tulisan Arabnya, yaitu pada titik; ini berarti bahwa Ibn
Thufayl mempergnakan nama sama seperti pada Ibn Sina, tetapi ketika penulis
naskah mengkopi manuskrip asli dari Ibn Thufayl, ia lupa menuliskan sebuah
titik untuk huruf ba; 2). Kedua istilah yang dipergunakan oleh Ibn Sina dan Ibn
Thufayl berasal dari akar kata basalah yang berarti berani, dan ini sesuai
dengan arti yang dimaksud Ibn Sina, sebab tokoh Absal dalam kisahnya adalah
seorang pahlawan pemberani; sedangkan asal berasal dari akar kata asala yang
berarti mempertajam, dan ini sesuai dengan yang dimaksud Ibn Thufayl karena
asal dalam kisahnya adalah tokoh yang berpikir tajam dan senantiasa berusaha
memperoleh kebenaran melalui penafsiran rasional, tas Wahyu).
24
Mereka menyebutkan, di dekat pulau tempat Hayy Bin Yaqzan dilahirkan
menurut satu dari dua pendapat yang berbeda sifat permulaannya, ada sebuah
pulau lain. Di dalamnya telah masuk satu agama (millat) benar yang berasal dari
seorang nabi terdahulu – salawat dari Allah bagi mereka. Agama itu selalu dikisahkan
dan diomongkan ke semua orang melalui alegori yang melahirkan khayalan berita
dengan ilustrasi berkesan mantap di jiwa, sesuai kebiasaan yang berlaku dalam
berkomunikasi dengan khayalan awam. Agama itu terus menyebar, menguat dan
menampak di pulau itu. Sang raja memeluknya dan mewajibkan rakyat menganutnya.
Di pulau itu tumbuh dua pemuda dari kalgan ahli keutamaan yang menyukai
kebajikan. Mereka bernama Asal dan Salaman. Mereka menemui agama itu, dan
menerimanya dengan bai. Mereka melaksanakan syariat agama itu, melakukan
amalannya. Mereka bersahabat dalam itu. Di waktu tertentu, mereka bersepakat
mengenal keterangan syariat tentang sifat Allah – Mahaperkasa,Mahaagung Dia.
Juga tentang malaikat-Nya, sifat akhirat, pahala dan siksa.
Adapun asal, mendalami kebatinan (al-bathin), suka mencari pengertian
kerohanian dan menggandrungi penafsiran rasional (ta’wil). Sedangkan Salaman, rekannya, lebih
memperhatikan soal lahiriah, menghindari penafsiran rasional itu, dan tak suka
pemikiran dan perenungan. Namun, mereka berdua giat melakukan amal lahiriah,
isntropeksi diri (muhasabat al-nafs), serta melawan hawa nafsu.
Di (kandungan) syarita itu terdapat pernyataan yang menyruh pemencilan
(‘uzlah) dan hidup sendirian (infirad). Ditunjukan, kedua (cara hidup) itu (sumber)
keberhasilan dan keselamatan. Di samping itu, ada pernyataan lain yang menyuruh
pergaulan dan hidup cara jamaah.
Asal menempuh cara hidup memencilkan diri. Berita tentang dia ini sesuai
dengan tabiatnya berpikir, mencari pengalaman, menyelami pengertian.
Cita-citanya pun banyak dicapai melalui cara hidup itu.
Sedangkan Salaman menempuh cara hidup berjamaah. Berita tentang dia ini
sesuai dengan tabiatnya tak suka berpikir dan menganalisa. Menurut pendapatnya,
cara hidup berjamaah dapat menghilangkan waswas dan praduga bertentangan, dan
dapat menyelamatkan dari bisikan setan.
Itulah perbedaan pendapat di antara mereka, yang justru merupakan sebab
perpisahan mereka.
25
Asal telah mendengar tentang pulau. Disebutkan, Hayy Bin Yaqzan terbentuk
di sana. Asal punmenegtahui situasi pulau itu; subur, asri dan berudara
seimbang. Uzlah di sna pasti cita-cita apencariannya terlaksana. Maka Asal
bertekad berangkat ke sana, mengucilkan diri dari khalayak, tinggal di sana
menghabiskan sisa umur.
IA kumpulkan harta miliknya. Sebagian ia pergunakan untuk menyewa angkutan
ke pulau itu. Sisanya ia bagikan kepada kaum miskin. Ia meninggalkan sahabatnya
Salaman, pergi melintasi laut. Para nelayan membawanya ke pulau itu, dan
melepaskannya di pantai. Mereka pulang meninggalkannya sendirian.
Asal tiggal di pulau itu, menyembah Allah Yang Mahaperkasa Mahabesar. Ia
mengagungkan dan menguduskan-Nya. IA berpikir tentang Nama-anam Indah (asma
al-Husna) dan Sifat-Nya yang tinggi. Kalbu dan pikirannya tak terputus atau
terkotori.
Jika perlu makan, ia mengambil buah-buahan dan binatang buruan pulau itu,
sekedar penghilang rasa lapar. Ia tinggal dengan cara begitu beberapa lama,
saat ia merasakan suka cita purna dan kasih besar melalui cara bermunajat pada
Tuhannya. Setiap hari ia melihat kasih sayang-Nya, kelebihan Anugerah-Nya dan
pemudah yang Dia berikan kepadanya dalam usaha dan makanannya. Semua itu
memantapkan keyakinan dan menyenangkan matanya.
Pada saat itu Hayy Bin Yaqzan sedang tenggelam dalam munajat-nya yang
mulia. Ia keluar dari gua seminggu sekali, untuk memperoleh makanan yang
diperlukan. Karena itu, semula Asal tidak bertemu dengan Hayy. Ia mengelilingi
dan mendatangi seluruh pelosok pulau itu. Asal tidak melihat seorang pun. Asal
tidak menyaksikan jejak kaki. Karena itu, Asal bertambah senang dan gembira.
Sejak awal ia memang bertekad memencilkan diri.
Tapi di satu waktu Hayy Bin Yaqzan keluar (dari gua) mencari makanan.
Sedangkan Asal telah melihat arah itu. Pandangan mereka tiba-tiba bertemu. Asal
tak enah mengira Hayy seorang hamba yang memutuskan pergaulan, dan sampai ke
pulau itu untuk memencilkan diri dari orang banyak seperti dirinya. Asala
kuatir, jika iaa menyebabkan suasana rusak, menghalangi sampai ke tujuan.
Sedangkan Hayy Bin Yaqzan tidak mengetahui siapa Asal. Hayy memang tidak
melihat Asal dalam bentuk binatang seperti biasanya. Saat itu asal berpakaian
hitam, dibuat dari bulu dan bahan wool, sehingga dikira Hayy pakaian alam. Hayy
keheranan melihatnya. Tetapi Asal justru lari karena kuatir itu akan mengganggu.
Hayy mengejarnya di belakang. Sebab ia memang suka mencari tahu tentang hakekat
segala sesuatu. Hayy melihat Asal semakin keras berlari. Lalu Asal bersembunyi,
sampai bisa salat dan membaca, berdoa dan menangis, merendah diri dan patuh. Ia
tidak ingat lagi segalanya.
Hayy Bin Yaqzan menghampiri tanpa disadari Asal, sampai jarak terdekat
sehingga bisa mendenegar bacaan dan tasbih Asal, Menyaksikan kerendahan dan
tangisnya. Hayy mendengar satu suarua indah dan huruf-huruf teratur harmoni,
tak pernah ia dengar dari jenis binatang. Hayy menyaksikan bentuk dan sosok
tubuh Asal. Tampak seperti bentuknya sendiri. Dan pakaian Asal un jelas bagi
Hayy bukan kulit alam, tetapi bikinan seperti pakaiannya sendiri.
Setelah melihat kekhusyukan, rendah hati dan tangisnya, Hayy bisa
memastikan, Asal itu sebagian esensi yang mengenal Sang Kebebasan. Hayy
merindukannya. Ia ingin sekali apa miliknya, sebabnya menangis dan rendah hati.
Hayy semakin menghampiri, sehingga Asal mengetahui. Asal berusaha menjauh. Tapi
Hayy berhasil mengejarnya – berkat kekuatan, kelapangan ilmu dan tubuh anugerah
Allah – seraya menangkapnya. Asal tak bisa bergerak.
Ia memandang Hayy. Tampak ia berpakaian kulit binatang berbulu, sedangkan
rambutnya panjang terurai. Hayy cepat larinya dan kuat geraknya. Berbeda banyak
dari Asal. Kini, justru Asal yang merendah minta didkasihani. Ia menampakkan
kesukaannya pada Hayy, melalui omongan yang tak dimengerti. Asal justru
kelihatan takut. Karena itu Hayy mengelusnya dengan suara-suara binatang, Ia
menggerakan tangannya di kepala Asal, sambil mendekati, menampakan kesukaan dan
kesenangan padanya, Rasa takut Asal jadinya menghilang. Ia tahu Hayy tidak
bermaksud jahat padanya.
Dan sejak dulu, berkat kecintaannya kepada ilmu penafsiran rasional, Asal
telah memperlajari banyak bahasa hingga mahir. Ia berusaha berbincang dengan
Hayy, menanyakan ihwalnya, dengan semua bahasa yang diketahuinya. Ia
mengupayakan kepahamannya. Tetapi Asal gagal. Hayy hanya bisa mendengar
keheranan, tanpa mengerti maksudnya, Namun, Hayy tetap menampakan kesukaannya.
Karena itu, mereka tak saling memahami dan mengenal ihwal masing-masing.
Asal masih memiliki sisa bekal yang dibawa ke pulau makmur itu. Ia
mengulurkannya kepada Hayy Bin Yaqzan. Tapi Hayy tidak mengenal bekal itu.,
karena memang tak pernah melihatnya. Asal memakannya sebagian dan
mengisyaratkan Hayy supaya turut makan. Tapi Hayy ingat syarat-syarat makanan yang ditetapkan
bagi dirinya. Namun, karena tidak mengetahui jenis makanan yang ditawarkan
Asal, ia rahu, makan atau tidak. Akhirnya Hayy memilih tidak makan.
Asal terus mendesaknya. Kuatir Asal membencinya jika menolak tawarannya,
Hayy akhirnya menerima dan memakan sebagian bekal tadi. Merasa itu enak, Hayy
justru murung karena telah menyalahi
janjinya sendiri mengenai syarat makanan. Ia menyesal dan ingin segera pergi
meninggalkan Asal, kembali ke maqamnya yang mulia. Ternyata, persaksian
(musyahadah) tidak segera ia capai. Menurut Hayy, sebaiknya kini ia tinggal
saja bersama Asal di alam inderawi. Maksudnnya, untuk mengetahui hakekat Asal,
sehingga hasrat untuk mengetahui tidak menjadi beban dirinya, lalu segera bisa
kembali ke maqam-nya tanpa gangguan. Kini Hayy mulai menerima Asal.
Tapi melihat Hayy tak juga berbicara, Asal merasa aman dengan semangat
sintimental pada agamanya. Asal berharap, jika ia dapat mengajari Hayy
berbicara, ilmu dan agama, pasti ia bakal dapat pahala besar dan kebajikan dari
Allah. Kareena itu, segera Asal memulai. Pertama, mengajarinya bicara. Caranya,
dengan menunjuk benda-benda sekitar sambil mengucapkan namanya berulang-ulang.
Ia menyuruh Hayy mengikutinya, sehingga bisa mengucapkan sendiri nama benda itu
diikuti isyarat. Dengan begitu, Adal dapat mengajari Hayy seluruh nama, sedikit
demi sedikit, sampai Hayy bisa berbicara dalam waktu singkat.
Kini Asal mulai menanyai Hayy tentang ihwalnya dan dari mana ia datang ke
pulau itu. Hayy memberitahu, ia sendiri tidak mengetahui asal-usulnya, bapak
atau ibu. Ia memang mengetahui banyak hal, bagaimana pengetahuannya berkembang,
sampai akhirnya mencapai derajat pencapaian (wusul).
Asal mendengar semua keterangan Hayy Bin Yaqzan tentang berbagai hakekat,
esensi pembeda alam inderawi yang mengenal Esensi Sang Kebenaran – Mahaperkasa
Mahaagung Dia. Juga tentang Esensi Sang Kebenaran itu dengan semua sifat-Nya
yang indah. Dan tentang kelezatan kaum pencapai serta sakit kaum penghalang
yang disaksikan saat wusul. Ternyata, syari’at (agama) Asal mengenai Allah,
malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir dengan surga dan nerakanya, itu
sama dengan kesaksian Hayy Bin Yaqzan tadi.
Maka hatinya kini terbuka. Api kalbunya kini mencuat. Jalan-jalan
penafsiran rasional mendekatinya. Problema yang ia temui dalam syari’at kini
menampak jelas. Segala yang tertutup kini terbuka, dan yang abstrak menjadi
gamblang. Ia kini menjadi seorang cendekiawan matang (ulu al-albab). Saat
itulah ia memandang Hayy Bin Yaqzan dengan mata pengagungan dan pemuliaan.
Terbukti, Hayy adalah seorang wali Allah yang tak perlu dikuatirkan dan yang mereka
sendiri tidaklah berduka cita. Asal mulai mengabdi kepadanya, meniru
dan mengikuti petunjuk soal amal syari’at yang ia pelajari di dalam agamanya.
Sebaliknya, Hayy Bin Yaqzan bertanya; pula Asal mengenai ikhwalnya. Asal
mulai menjelaskan keadan pulaunya berikut alam di sana, bagaimana keadaan penduduknya
setelah dan sesudah agama sampai di sana. Dijelaskan pula keteranan syari’at
(agama) itu tentang alam ilahi, surga, neraka, kebangkitan, perhitungan,
penimbangan amal kelak serta jalan akhirat (sirat). Hayy mengerti semua itu,
yang tak berbeda dari hasil persaksiannya di maqam mulia.
Hayy mengetahui, penjelasan dan pembawa semua ajaran itu adalah benar,
merupakan utusan dari sisi Tuhannya. Hayy percaya, membenarkan dan bersaksi
akan kerasulannya. Hayy kini mulai bertanya kepada Asal tentang kewajiban agama
dan ibadah yang dibawa dan ditetapkan oleh Sang Rasul. Karena itu, Asal pun
menjelaskan kepadanya tentang salat, zakat, puasa, haji dan amalan lahiriah
lainnya. Hayy menerima. Ia langsung mempraktekan keterangan Asal itu, sebagai
panutan atas perintah yang diakui kebenaran (Rasul) penyampainya. Tapi, ada dua
hal yang ia herankan dan tak diketahui hikmatnya:
Pertama: mengapa Rasul itu memberikan alegori-alegori (amshal) bagi manusia
di banyak keterangannya soal alam ilahi. Mengapa Rasul memalingkan manusia dari
mukasafat, sehingga mereka terjerumus ke korporealisme (tajsim). Padahal, Rasul
mengharuskan manusia mempercayai bahwa Esensi Sang Kebenaran itu suci dan
bersih dari segala benda? Demikian pula soal pahala dan sika!.
Kedua : Kenapa Rasul membatasi (perintah) Cuma pada soal kewajiban dan
ibadat saja. Menegapa ia membolehkan manusia mencari harta dan makanan,
sehingga sibuk dengan kebatilan dan berpaling dai kebenran?
Menurut Hayy, manusia hendaknya mencari (makanan) secukup kebutuhan minimum
hidupnya. Adapun harta, bagi Hayy, itu tk berarti lagi. Sedangkan soal hukum
harta yang terdapat di syari’at, seperti zakat dengan segala cabangnya, jual
beli, hudud, riba dan hukum lain, semua itu dipandang aneh dan berkelebihan
oleh Hayy.
Ia bergumam, “Jika manusia mengerti hakekat masalahnya, pasti mereka
menghindari semua kebatilan ini, berserah pada kebenaran, dan tak membutuhkan
semua itu, tak bakal ada orang memiliki harta tertentu yang harus diminta
zakatnya, atau tanggannya dipotong karena mencuri, atau jiwanya melayang akibat
merampas.
Hayy berpendpat demikian, karena anggapannya bahwa semua manusia mempunyai
fitrah mulia, kecerdasan matang, jiwa tinggi. Hayy tak mengerti bahwa mereka
pun bodoh, tidak sempurna, buruk pendapat, lemah semangat. Bahwa “mereka itu
bagaikan binatang, bahka lebih sesat jalannya.”
26
Kini, Hayy Bin Yaqzan semakin prohatin pada (nasib) manusia. Ia berharap,
keselamatan mereka berada di tangannya. Karena itu, ia berniat menemui mereka,
menjelaskan kebenaran. Hasrat itu dikemukakan kepada Asal, seraya bertanya,
“Adakah jalan ke sana, menemui mereka?” Asal memberitahu keadaan manusia (di
seberang sana), bahwa mereka memiliki fitrah tidak sempurna serta menjauhkan
diri dari perintah Allah.
Hayy tidak mengerti itu. Tapi cita-citanya tetap menyala. Dan sebenarnya,
Asal pun berharap Allah memberi petunjuk lewat tangan Hayy, kepada sekelompok
orang yang mengenal-Nya, yang menginginkan-Nya dan yang lebih mendekati
keselamatan. Karena itu, Asal mendukung pendapat Hayy itu.
Asal dan Hayy sepakat tetap tinggal di pantai, tak meninggalkannya siang
dan malam. Mereka berharap Allah memudahkan mereka melintasi laut. Mereka kini
tinggal di sana, berdoa semoga Allah memberi petunjuk dalam memecahkan
persoalan mereka. Atas perintah Allah, tiba-tiba sebuah perahu tersesat di
laut, dihempas badai dan dihantam ombak hingga terdampar di pantai. Dekat
dataran, para penumpang perahu itu melihat Asal dan Hayy di pantai. Mereka
mendekat. Asal lantas berbincang, meinta mereka membawa serta. Mereka setuju,
seraya memasukan Asal dan Hayy ke dalam perahu.
Allah mengirim angin nyaman, yang membawa perahu itu seera sampai ke pulau
idaman. Kini mereka menginjakan kaki di sana, memasuki kotanya. Teman-teman
Asal lalu berkumpul, mendengara cerita Asal tentang Hayy Bin Yaqzan. Mereka
suka mendengarnya, dan membesar-besarkan beritanya. Mereka berkumpul,
membesarkan dan mengagungkannya. Asal memberi tahu Hayy bahwa kelompok tadi
lebih mudah memahami dan mengerti, daripada orang lain. Jika Hayy tak mampu
mengajar mereka, tentu akan lebih sulit mengajar orang awam.
Pemimpin dan pemuka pulau itu adalah Salaman, bekas sahabt Asal dulu yang
menggandrungi hidup cara berjamaah dan melarang hidup cara uzlah. Hay Bin
Yaqzan mulai mengajar dan menyebarkan rahasia-rahasia hikmat kepada orang sana.
Tapi begitu Hayy menyimpang dari pengertian lahir dan mulai menerangkan paham
(batin), banyak orang menghindarinya, membenci ajarannya dan tak menyukainya.
Namun, secara lahiriah, mereka menampakan rasa suka, sebagai penghargaan atas keasingannya
di kalangan mereka, dan untuk menjaga hubungan baik dengan sahabat mereka,
Asal!!
Siang dan malam Hayy Bin Yaqzan menyantuni mereka. Ia menjelaskan kepada
mereka kebenaran, secara rahasia dan terang-terangan. Tapi ternyata, itu hanya
membuat mereka tambah membenci dan menjauh, padahal mereka itu pencinta
kebajikan dan kebenaran. Tapi karena ketidaksempurnaan fitrah, mereka tidak mau
menerima kebenaran itu menurut cara dan pola prakteknya, tidak mau mencari
kebenaran itu dari pintunya. Bahkan mereka tak mau mengetahuinya melalui jalan
para pakarnya. Hayy lau putus asa memperbaiki mereka. Harapannya untuk
memperbaiki pupus, karena mereka tidak menerima.
Kini, Hayy mengamati tingkatan kelompok-kelompok manusia. Tampak, masing-masing
kelompok bangga dengan apa yang telah ada pada mereka. Mereka telah
menjadikan hawa sebagai tuhan-tuhan, syahwat sebgai sembahan mereka.
Mereka runtuh-lantak di semua kesia-siaan dunia, terlalaikan oleh sikap
bermegahan dengan harta dan pengikut. Nasihat dan perkataan yang benar tidak
berguna atau efektif bagi mereka. Sedangkan cara dialog hanya menambah mereka
kokok pada pendirian. Begitu pula hikmat, jalannya sudah tertutup untuk mereka.
Tak ada baginya buat mereka. Kebodohan telah menenggelamkan mereka. Apa yang mereka
lakukan telah menguasai hati. Allah menutup mati pendengaran dan penglihatan
mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Tampak, karpet siksa telah terhampar melingkungi mereka. Kekelaman tabir
hijab menutup mereka. Mereka semua, kecuali beberapa orang, tak lagi berpegang
pada agama. Mereka hanya berpegang pada dunia. Amal paling minim, mudah dan
ringan, mereka jauhi. Mereka menjual dengan harga murah. Perdagangan
dan jual-beli membuat mereka lupa pada Tuhan.
Mereka tidak menakuti suatu Hari ketika hati dan penglihatan terjungkal
balik. Karena itu, jelas dan sama sekali benar, menurut Hayy, mustahil
berbicara dengan mereka menurut cara mukashafat. Atau membenai mereka amal di
atas orang gbanyak. Mereka mempraktekan syari’at hanya untuk kehidupan duniawi,
agar penghidupan mereka tak macet. Mereka tidak pernah berusaha melampaui batas
khasnya. Sedikit sekali dari mereka yang bakal berbahagia memperoleh
kebahagiaan akhirat, Yakni orang mukmin yang menginginkan panen di akhirat dan
mengupayaannya.
Maka siapa congkak dan melampaui
batas, dan mengutamakan kehidupan dunia, sungguh api neraka jahim tempat
kediamannya. Usaha apakah yang tak lebih
berat dan susah, ketimbang menimbang-nimbang amal perbuatan sejak bangun tidur
sampai kembali ke rumah. Tetapi dirinya ditemukan Cuma berusaha mencapai tujuan
soal inderawi (bandawi) hina, berupa harta yang dikumpulkan, atau kesenangan
yang diperoleh, atau nafsu syahwat yang diumbar, atau kemarahan yang
menyembuhkan, atau pangkat yang dipertahankan, atau amalam syaria’t yang dipergunakan
untuk memperindah diri atau mempertahankan langkah. Semua itu kesesatan. Masing-masing
berada di tengah lautan luas dan dalam,
tiada seorang pun dari Anda tak turun ke dalam. Itulah keputusan yang harus
dijalankan bagi Tuhanmu.
Hayy kini memahami ihwal manusia. Bahwa, mayoritas mereka berkedudukan
sebagai binatang. Karena itu, semua hikmat, hidayat dan taufik yang
ddibicarakan para Rasul dan disebutkan di dalam syari’at, itu saja yang mungkin
(berlaku). Tak ada (usaha) lebih dari itu. Setiap perbuatan diperuntukan bagi
pelakunya tersendiri. Dan itu dimaksudkan bagi hasil ciptaan. Demikian, sunnah
Allah telah berlaku di masa-masa yang sudah. Dan tiada kau dapatkan perubahan
dalam sunnah Allah.
27
Hayy Bin Yaqzan lalu menemui Salaman dan para sahabatnya. Ia meminta maaf,
dibebaskan dari (kesalahan) yang dikemukakan kepada mereka. Ia memberi tahu, ia
berpendapat dan memeproleh petunjuk sama seperti mereka. Ia berwasiat agar
mereka melaksanakan terus apa yang telah ditetapkan, berupa batas-batas syari’at,
amal-amal lahiriah. Ia berwasiat, agar mereka tak banyak melakukan perbuatan
sia-sia, mempercayai dan menyerah pada mutasyabihat, menghindar dari nafsu
serta mengikuti pra ulama salaf salih, meninggalkan soal-soal tak berarti.
Ia menyuruh mereka menghindari kelakuan para khalayak awam, yang meremehkan
syari’at dan sibuk dengan dunia. Ia sangat menekankan soal ini. Hayy dan Asal
mengetahui kelompok murid yang jumlahnya terbatas ini, bisa selamat hanya
dengan cara menempuh jalannya tadi. Sebab, jika tidak dan menyimpang dari itu,
apa yang mereka miliki bakal rusak, dan mereka pun mustahil mencapai derajat kaum berbahagia
(su’ada’). Akibatnya, mereka menjadi kacau, menyedihkan dan buruk. Sebaliknya,
jika mereka mempertahankan kelakuan, mereka akan berhasil aman, dan masuk ke
golongan kanan (ashab al-yamin). Dan yang unggul (dalam keimanan), mereka yang unggul (di
akhirat).
Hayy dan Asal lalu pamit pergi, meninggalkan mereka, kembali ke pulau.
Allah Yang Mahaperkasa Mahaagung memudahkan mereka melintasi laut, mencapai
pulau itu.
Kini Hayy Bin Yaqzan berusaha kembali menuju mawam mulia, menurut cara
semula, sampai ia kembali ke sana. Asal mengikutinya, sehingga mendekatinya
atau hampir mendekatinya. Di pulau itu ereka menyembah Allah, sampai keyakinan
(yaqin) datang kepada mereka.
28
Semoga Allah memberi kekutan kepada kami dan Anda, dengan ruh dari-Nya.
Inilah berita tentang Hayy Bin Yaqzan, Asal dan Salaman, yang mencakup
beberrapa pernyataan yang tak disebut di kitab atau terdengar di pembicaraan
biasa. Ini ilmu tersembunyi yang hanya dicapai dan dimiliki oleh para pengenal
Allah (ahl al-ma’rifat), dan pasti diketahui kecuali oleh orang yang tergoda
(berpaling) dari Allah.
Kami telah menyimpang jalan ulama salaf salih yang bersikap “bakhil” dalam
masalah ini. Kami menyebarkan rahasia-rahasia ini dan meretas tabirnya dengan
mudah, karena adanya pandangan rusak yang muncul pada zaman kita ini, yang di
dalam dan diserukan lantang oleh para filosuf kontemporer. Pandangan-pandangan
tadi menyebar di dalam negeri dan berbahaya bagi umum.
Kami kuatir, orang lemah yang tak suka meniru para Nabi – Shalawat Allah
atas mereka – tapi lebih suka membeo kaum bodoh, mengira bahwa
pendapat-pendapat itulah rahasia yang sengaja tak diungkapkan kepada orang
bukan ahlinya. Akibatnya, mereka justru tambah mencintai dan menyukai pendapat
salah itu. Kami memandang perlu memberikan penjelasan sekilas pada mereka
tentang sebagian rahasia itu, untuk kami tarik ke kebenaran, kemudian kami
tutup mereka ke jalan itu.
Di samping itu, di lembaran (halaman) sederhana ini, kami pun menjelaskan
tentang suatu tabir (hijab) dan tirai tipis, yang segera (terbuka) bagi
ahlinya, tetapi semakin tebal bagi orang yang tak berhak melampauinya, yang tak
mampu menembus batasnya.
Saya memohon, saudara pembaca buku ini menerima maaf, atas sikap dan cara
saya bergampang-gampang menerangkan dan menegaskannya. Saya lakukan itu hanya
untuk mentransendensi pandangan-pandangan tinggi yang sering menggelincirkan
orang yang memandangnya secara sekilas.
Lagipula, saya ingin mengemukakan itu dengan (bahasa yang) menimbulkan
kegembiraan dan kerinduan untuk memasuki jalan (akhirat). Saya memohon
kelapangan dan ampunan dari Allah. Semoga Dia menganugrahkan kita ketulusan
hati untuk mengetahui-Nya. Sungguh, Dia Mahapemberi nikmat dan Mahamulia.
Kesejahteraan moga-moga terlimpah bagi Anda wahai saudara, yang
mengharapkan pertolongan Allah, rahmat serta barakah-Nya.
KISAH TENTANG KETERASINGAN DI BARAT
Sebagaimana Ibn Thufayl, Syaikh Al-Isyraq “Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi”
pun membuat tulisan tanggapan tentang kisah Hayy Bin Yaqzan, karangan Ibn Sina
(980 -1037), yang termuat dalam Kitb Hikayat-Hikayat Mistis, nya yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, terbitan Mizan – Bandung, yang kisahnya, sebagai berikut :
MUKADIMAH
Puji syukur hanya untuk Allah, Penguasa alam raya, dan Shalawat serta Salam
atas hamba-hamba-Nya yang terpilih, terutama junjungan kami Muhammad saw. Yang
Terpilih dan seluruh keluarga serta sahabatnya.
Ketika aku membaca kisah Hayy ibn Yaqzan, aku dikejutkan oleh kenyataan,
bahwa meskipun mengandung keajaiban-keajaiban kata-kata spiritual dan
ibarat-ibarat bermakna dalam, ia tidak mempunyai kedalaman yang dapat
menunjukan tahap terbesar, yaitu “bencana besar” yang termaktub dalam
kitab-kitab Ilahim terendap dalam lambang-lambang para filosof, dan tersembunyi
dalam cerita Salaman dan Absal, yang digabungkan oleh pengarang Hayy ibn
Yaqzan, yaitu misteri yang menjadi dasar bagi tingkatan-tingkatan para penganut
tasawuf dan kaum apokaliptik. Terungkapkan secara tak langsung dalam Hayy ibn
aqzan pada bagian akhir buku, dimana dikatakan : Kadang-kadang kesendirian
tertentu yang terjadi pada orang berpindah kepada-Nya, dan sebagainya. (Kata-kata selanjutnya adalah : Begitu banyak yang Dia berikan pada mereka untuk
dijadikan pengalaman, sehingga mereka menunduk karena limpahan karunia-Nya. Dia
membuat mereka sadar akan keadaan menyedihkan dari keuntungan-keuntungan iklim
bumimu. Dan ketika mereka akembali dari istana-Nya, mereka kembali dengan membawa
banyak karunia mistik).
Karena itu aku ingin mengemukakan sebagian dari hal-hal ini dalam bentuk
sebuah cerita, untuk sebagian dari saudara-saudara kami yang tercinta, dan aku
menamakannya “Kisah tentang Keterasingan di Barat.” Dan hanya kepada Allah jualah
aku mempercayakan apa yang aku inginkan.
KISAH DIMULAI
Ketika aku berkelana dengan saudaraku Ashim (Ashim (penjaga) adalah fakultas
spekulatif, yang hanya dimiliki oleh jiwa, bukan raga. Ini didasarkan atas
fakta bahwa ‘ashim adalah yang menjaga agar tidak masuk ke tempat yang
berbahaya dan agar tak terjatuh dalam kesalahan) dari Wilayah
Transoxania (Dunia
halus), ke negeri barat (dunia materi
(hayula) yang hubungannya dengan dunia halus adalah suatu penyelubungan
kegelapan), untuk memburu segerombolan burung di pantai Laut Hijau (Laut Hijau
adalah hal alam kasat indera, dimana kita pergi mendapatkan pengetahuan tentang
hal-hal yang kasat indera dan memahami kesempurnaan kita sendiri, serta
melangkah dari sana menuju akal kebiasaan (‘aqli malakat) dan dari akal
kebiasaan menuju akal yang bermanfaat (‘aqli-mustafad), tiba-tiba
kami sampai di sebuah kota “yang penduduknya jahat” (QS.4:75), yaitu kota
Kairouan (Kairouan
adalah dunia ini. Yang dimaksudkannya dengan si jahat adalah orang-orang dunia
ini, dunia pertentangan, karena pertentangan tidak akan timbul tanpa adanya
peperangan, dan peperangan tidak akan timbul tanpa adanya kejahatan).
Ketika oran tau kami tiba-tiba mendatangi mereka, kami sebagai putra-putra
dari orang yang dikenal sebagai Al-Hadi ibn Al-Khayr Al-Yamani (Al-Hadi
(pemandu) adalah asal pertama, dengan Al-khayr (yang baik) adalah
akal universal, sebab keduanya ini merupakan sarana bagi petunjuk dan
kebaikan), mereka mengelilingi kami dan menahan kami dengan belenggu besi (Belenggu
dan ikatan itu dalah tubuh) dan memenjarakan kami di dasar sebuah
lubang yang dalamnya tak terukur (lubang adalah dunia yang gelap ini). Di atas
‘sumur yang tak digunakan’ini,(QS.22.45) yang dibangun karena kedatangan
kami, sebuah ‘istana yang tinggi’ (QS.22.45) yang memiliki banyak menara. (istana yang
tinggi adalah jiwa-jiwa yang diciptakan sebelum benda-benda (angkasa) dan
orbit-orbit. Menara adalah sfera langit).
Selanjutnya kami diberitahu, ‘Kalian boleh naik ke
istana itu pada malam hari, tetapi menjelang pagi kalian harus masuk kembali ke
“dasar lubang” itu. (pada malam hari kita dapat
naik ke dunia Halus melalui mimpi, dan melihat bentuk-bentuk dari hal-hal yang
dapat dimengerti. Karena indera-indera mati pada waktu tidur dan tiak ikut
campur, maka kita menjadi mudah menerima. Tetapi pada siang hari, ketika
terjaga, kita tidak mungkin berpikir akan melakukan hal semacam itu,
dikarenakan campur tanagan indera; maksudnya, dalam keadaan mati, kita dapat
mencapai dunianya hal-hal yang dapat dimengerti, sedangkan tidur adalah
kematian yang kedua, sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran : Allah mencabut jiwa
setiap orang pada sat kematiannya, dan membungkam jiwa orang yang belum mati
pada waktu tidurnya,” (QS. 39:42).
Di dasar lubang itu ada “berlapis-lapis kegelapan. (QS.12:10 :lubang itu adalah tempat Yusuf dibuang oleh
abang-abangnya yang iri). Ketika kami menjulurkan tangan, kami hampir
saja tidak dapat melihatnya. (variasi QS.24:40),
Tetapi, pada malam hari kami naik ke istana itu dan melihat kekosongan, dengan
jalan mengintip lewat sebuah jendela kecil. Kadang-kadang burung-burung merpati
mendatangi kami dari singgasana Yaman yang indah untuk menceritakan kepada kami
tentang keadaan tempat tinggal Sang Tercinta. Kadang-kadang cahaya kilat Yaman
mengunjungi kami, berkedip dari timur, di sisi kanan, (QS.19:52,
20:80) dan memberitahukan tentang jalan-jalan raya di Nejd; dan hembusan
angin yang beraroma arak (Arak adalah sebuah pohon
yang akarnya pahit. Cabang-cabangnya yang wangi digunakan untuk pasta gigi)
membuat kami semakin ekstatis, (Dia mengemukakan
semua ini dengan gaya Arab, sebab mereka menyinggung-nyinggung sang tercita
dengan jejak-jejak lokasi tenda, angind dan harum bunga. Yang dimaksudkannya
adalah bahwa pada wakttu tidur kita dapat melihat hal-hal yang bersifat
spiritual dan bentuk-bentuk yang dapat dimengerti yang ada di dunia ruh, sebab
indera telah mati). Maka kami jadi merana merindukan tanah air kami. (Yaitu, kita pun berasal dari dunia itu).
Demikianlah keadaan kami, naik pada malam hari, dan
turun pada pagi hari, ketika kami melihat burung hoope (Burung
hoope adalah fakultas inspirasi (ilham)), masuk melalui jendela kecil
dan menyampaikan salam pada malam hari di saat bulan purnama. (yang dimaksud malam bulan purnama adalah bahwa kita
terbebas dari kotoran alam (nature) dn asap yang merusak). Di paruhnya
ada sepucuk surat yang dikirmkan dari ‘sisi’ kanan lembah ((Dunia halus disebutnya berada di sebelah kanan lembah.
Di manapun (kata-kata) “kanan” (yamin) dan “kebahagiaan” (Yumn) dikemukakan,
inilah yang mereka maksudka. Dunia yang
lebih rendah disebutnya yang “kiri”) di padang yang diberkahi, dari
pohon. (QS.28”30).
Dia berkata kepada kami, “Aku akan membebaskan
kalian”. Aku datang dari Syeba dengan membawa kabar, (Dari
syeba dengan membawa berita, yaitu dari keraguan ke pengetahuann yang pasti),
dan kabar itu dijelaskan dalam surat ini dari ayah kalian.
Kami membaca surat itu, yang isinya : “Dari Al-Hadi
ayah kalian, dan :Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (QS.27:30, pembukaan surat Raja Sulaiman yang dikirmkan
oleh burung hoope kepada Ratu Syeba), kami telah (berusaha) membuat
kaliam merindukan (kami), tetapi kalian tidak merindu. Kami telah memanggil
kalian, tetapi kalian tidak datang. Kami telah menunjuk jalan pada kalian, tetapi
kalian tidak mengerti.’ Dan dia menunjukku dalam suratnya, ‘Jika kamu ingin
dibebaskan bersama saudaramu, (Saudaramu adalah
akal spekulatif, pemandu (‘ashim)), segeralah pergi. Berpeganglah pada
tali kami, yaitu ekor naga (Ekor naga, (jawzahr)
adalah salah satu dari kedua titik bulan, pada waktu terjadi gerhana)
dari dunia suci yang menguasai wilayah-wilayah gerhana bulan. (Alam gerhana adalah dunia praktik kezuhudan).
Jika kamu sampai di lembah semut (lembah semut
adalah sifat irihati – Lembah semut berasal dari pertemuan Sulaiman dengan ratu
semut, liat QS. 27.186) goyangkan bajumu (yaitu
sibakan rintangan dari bajumu) dan katakan, “Terpujilah Tuhan yang telah
memberikan kehidupan padaku setelah membuatku mati!” dan “di tangan-Nyalah
kebangkitan itu”. (QS.67.15). Selanjutnya
lenyapkanlah keluargamu dan bunuhlah istrimu (istri
adalah nafsu birahi), sebab “ “dia akan menjadi salah seorang yang
tertinggal di belakang” (kata-kata ini mengacu pada
istri Luth QS.29:31) dan 15:60). Pergilah ke mana pun kami diperintahkan,
“sebab sisa terakhir dari orang-orang itu akan ditinggalkan pada pagi hari” (Kata-kata itu mengacu pada umat Luth, para penduduk
Sodom dan Gomorrah QS 15:66). Naiklah ke kapal dan katakan “Bismillah”
ketika ia bergerak maju dan ketika ia berhenti” (Kata-kata
yang diucapkan Nuh ketika melayarkan kapalnya, QS.11:41).
Dia menjelaskan di dalam surat itu segala sesuatu
yang akan terjadi di perjalanan. Kemudian si burung hoope (ilham) pergi. Matahari sudah berada di atas kepala
kami ketika kami mencapai ujung kegelapan (“Matahari
berada di atas kepala kami” berarti
bahwa kehidupan menjadi ciut, dan formanya berubah ketika kita mencapai tepian
bayang-bayang, yaitu materi yang akan dilepaskan dari forma. Sebagai bukti
bahwa yang dimaksudkannya dengan “matahari” dan “bayang-bayan” adalah materi
dan forma, bandingkan dengan (QS.25:45) : Tidakkah engkau perhatikan kekuasaan
Tuhanmu, bagaimana Dia memperpanjang atau memperpendek bayang-bayang yang
ditimbulkan matahari? Jika Dia mau, niscaya dijadikan-Nya bayang-bayang itu
mantap. Kemudian Kami jadikan matahari sebagai bukti, sumber penyebab
bayang-bayang itu. Kemudian kami lenyapkan bayang-bayang itu perlahan-lahan
dengan menampilkan sinar matahari, yaitu jika matahari tidak tampak, jika forma
tidak mewujud, maka bayang-bayang ini, atau materi, tidak akan memiliki
kedudukan mental eksisstensi, yaitu ia akan menjadi benda yang non-eksistensi).
Kami menaiki kapal, dan kapal berlayar ‘di antara gelombang setinggi gunung, ((QS. 11.42), dan kami ingin pergi ke Gunung Sinai
untuk mengunjungi pertapaan ayah kami. Gelombang memishakan aku dari anakku, (Putra adalah jiwa hewani (ruh-i hayawani) yang
tenggelam), dan ‘ anakku menjadi salah seorang yang tenggelam. (QS.11:43) tentang seorang pemuda yang kadang-kadang
ditafsirkan sebagai putra Nuh). Aku menyadari bahwa ‘ ramalan
orang-orangku akan dihukum, akan menjadi nyata di pagi hari. Tidakkah pagi
sudah dekat, ((QS.11:81) lagi-lagi tentang umat
Luth; Pagi-pagi sudah dekat adalah penyatuan dengan jiwa khusus dan universsal).
Aku juga menyadari bahwa ‘kota yang dipenuhi kejahatan-kejahatan kotor (kota adalah mikrokosmos; (QS.21:74, tentang Sodom
dan Gomorrah), itu akan dibuat jungkir balik (QS.11:82)
dan bebatuan dari lempung yang dibakar ((QS.11:82),
akan ditumpahkan ke arahnya. (penyakit, wabah dan
hal-hal yang dibenci dari fakultas-fakultas yang jahat seperti sifat sombong,
tamak dan iri hati).
Ketika kami mencapai tempat di mana
gelombang-gelombang itu beradu dan air bergulung-gulung, aku menarik inang
penyusu yang telah menyusuiku, dan melemparkannya ke laut. (Yiatu ketika kita sampai kesebuah tempat, dimana
gelombang bergolak aku meneggelamkan jiwa bersamaku (ruh i thabi’i) yaitu aku
melampauinya juga).
Karena kami sedang berlayar dengan sebuah kapal
‘yang terdiri atas papan dan paku’, (yaitu kita
masih bersama tubuh kita ; QS.54:13), kami membuka paksa kapal itu (bandingkan
dengan QS.18:71, kisah tentang Khdir dan Musa) karena takut seorang raja
(Sang Raja adalah Malaikat kematian), di
belakang kami akan mengambil setiap kapal dengan kekerasan ((QS.18:79) dari penjelasan Khidir tentang
alasannya mesukap kapal).
Lalu bahtera kami yang penuh muatan itu membawa
kami ke Pulau Gog dan Magog di sebelah kiri Gunung Judi. (yaitu dalam
keadaan ini, pemikiran-pemikiran yang merusak dan kecintaan akan dunia
berkecamuk dalam khayalan; Gunung Judi, Gunung dimana kapal Nuh berlabuh (QS.11.44)
padanan Islami untuk ararat).
Di situ ada bersamaku Jin (Jin adalah fakultas
khayalan-khayalan dan pikiran), yang bekerja untuk ku.dan aku berkuasa
atas sebuah sumur yang berisi kuningan yang meleleh. (kearifan/hikmah). Aku
berkata kepada jin itu, “Tiuplah sampai ia menjadi seperti api (QS.18:96; kata
Dzul Qarnayn kepada jin yang sedang membangun bendungan untuk mencegah masuknya
Gog dan Magog). Kemudian aku membuat sebuah bendungan agar aku terpisah
dri mereka. Dan “perhitungan Tuhan itu benar” (QS.18”98, kata Dzul Qarnayn yang
meramalkan janji Tuhan untuk emnghancurkan bendungan itu menjadi debu).
Aku berkelana di wilayah itu. Di jalan aku melihat
tengkorak Ad dan Tsamud, (tengkorak menggambarkan nila kerendahan dunia ini),
hampir di atas tahta mereka ((QS.22:45).
Aku mengambil “dua tunggangan” (Kedua
tunggangan itu adalah jiwa yang cenderung (pada kejahatan) (QS.12:53) dan jiwa yang
menyalahkan dirinya sendiri (QS.75:2) bersama dengan motivasi dan seleranya.
Keduanya bisa dianggap berasal dari fakultas estimatif (wham) dan imajinasi
retentif (khayal), (Kata tsaqalayn (QS.55:31) biasanya ditafsirkan sebagai umat
manusia dan jin), Bersama dunianya dan menempatkan mereka, bersama
dengan jin, ke dalam botol bulat kecil (botol kecil, adalah otak, sumber jiwa manusia
(ruh-nafsani) yang pertumbuhannya berasal dari ego (man)), yang telah ku
buat yang di atasnya ada garis-garis seperti lingkaran (Garis-garis adalah urat-urat dan
rongga-rongga, yang menyerupai lingkaran).
Aku memotong sungai-sungai (yaitu fakultas gerak, yang berada
di dalam otak (dan bekerja) melalui pembuluh darah, selaput dan otot),
dari hati langit (langit adalah kepala), dan ketika airnya diputuskan dari
penggilingan, bangunannya hancur berkeping-keping dan menghilang di udara yang
tipis (yaitu
aku telah meninggalkan jiwa manusiawi). Lalu aku meleparkan dunianya
dunia ke langit, sampai matahari, bulan, serta bintang-bintang hancur (Yaitu, jiwa
yang cenderung pada kejahatan, jiwa alamiah dan jiwa manusiawi, dibuat seperti
fakultas-fakultas lainnya, yang tinggal hanya fakultas-fakultas tertentu,
seperti fakultas praktis dan spekulatif).
Selanjutnya aku diselamatkan dari empat belas peti
mati dan sepuluh kuburan (14 peti mati adalah 14 fakultas, 10 kuburan adalah indera
eksternal dan internal. Yang 14 itu dapat dikemukakan sebagai berikut :
atraktif, retentif, digetif, ekspulsif, nutritif, generatif, mormatif,
augmentatif, pemberang dan nafsu birahi, dan empat humour (panas, dingin,
kering, basah), dari sini muncul bayangan Tuhan untuk mensucikan aku, “suatu
hal yang mudah” ((QS.25:46), setelah membuat “atahari terbit” ((qs.25:47).
Aku menemukan jalan Tuhan, dan menyadari bahwa “inilah
jalanku” ((QS.6
: 154).
Saudara perempuan (Saudara perempuan adalah materi
benda-benda dunia yang tetap berada di dunia yang gelap, yang dapat dipisahkan
dari forma, yang dianggapnya sebagia penyebab demam dan mimpi buruk, yaitu
jangka waktu ketika tidak dipisahkan. Maksudnya, aku pun telah meninggalkan materi
dunia ini), dan keluargaku mengidap “penderitaan yang sangat berat
sebagai hukuman dari Tuhan” (QS.12.107), di malam hari, dan dia menghabiskan
sebagian malam itu dalam kegelapan; dia mengalami demam dan mimpi buruk,
sehingga dia merasakan sakit kepala yang hebat.
Aku melihat sebuah lampu (Lampu adalah akal aktif, yang
mengelola dunia ini. Ia disebut aktif karena banyak tindakan yang lahir
darinya, tidak seperti akal langit, yang melahirkan hanya satu tindakan),
yang berisi minyak (Minyak yang dihasilkan darinya adalah kekuatan penghidupan
benda-benda jasmaniah, yang merupakan kerajaan). Lampu itu memancarkan
cahaya ke seluruh bagian rummah. Ia menerangi ceruk, dan penghuninya disinari
cahaya matahari (Kosa kata diambil dari QS.24:35).
Aku meletakkan lampu itu di mulut seekor naga (Yaitu aku
melepaskan akal aktiff, yang mengelola dunia ini, atas unsur-unsur dunia ini.
Bukti untuk ini adalah bahwa dia mengatakan “tinggal” : meskipun unsur-unsur
dunia ini berputar, mereka tidak memiliki bentuk melingkar (melainkan
tetap/tidak bergerak), yang berada di dalam menara kincir air (Menera kincir
air adalah langit yang berputar seperti roda; Dalam astronimo kincir air itu
adalah Aquarius), yang di bawahnya terbentang laut Clysma (Laut Clysma
adalah perairan di bawah langit), dan di atasnya ada bintang-bintang,
dan asal usul cahayanya hanya diketahui oleh Sang Pencipta dan mereka “yang
mendalam pengetahuannya” ((QS.3.57). Aku melihat singa (Singa adalah
tanda zodiak Leo), dan banteng (Banteng adalah tanda zodiak Taurus, simbol
kesejahteraan, yang mencerminkan motif artistis Iran tradisional darogir, singa
dan banteng yang terlibat dalam pertempuran), telah lenyap (Meskipun
nama-nama yang terpisah tetap ada, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia telah
mencapai dunia ketunggalan (‘alam-i mufradat), di mana karena segala sessuatu
memiliki satu sifat (nature), maka di situ tidak ada pertikaian, seperti antara
singa dan banteng), dan busur (busur adalah tanda zodiak Sagitarius, si Pemanah),
serta kepiting (Canser), telah terlipat di dalam putaran sfera-sfera (yaitu, tidak
ada kejahatan, keduanya ini adalah ibarat untuk kejahatan). Timbangan (Zodiak Libra)
tetap seimbang ketika bintang Yaman (Bintang Yaman adalah Canopus (suhayl), bintang yang
sangat menonjol dalam adat dan penegetahuan timur (estern lore), muncul (yang dimaksud
adalah
Jiwa Universal) dari balik awan yang bergumpal-gumpal (yaitu akal dan
jiwa dari balik bentuk) yang
terdiri atas apa yang akan dipintal laba-laba di sudut-sudut dunia elemental di
alam kelhairan dan kehancuran.
Kami bersama domba (domba wekali rasa takut ),
domba itu kami tinggalkan di tengah belantara. Mereka dihancurkan oleh gempa
bumi, dan amukan api membakar mereka.
Ketika jarak telah terlewati, dan jalan-jalan telah
dilalui, dan “keran telah di tuangkan” ( QS. 11.40, tanda untuk awal banjir besar),
aku melihat tubuh-tubuh suci. Aku bergabung dengan mereka dan mendengar suara
serta cara-cara mereka, yang aku pelajari untuk ku nyanyikan, tetapi suara itu
tidak enak di telingaku seolah-olah itu adalah rantai yang sedang diseret
melewati batu granit. Anggota tubuhku hampir tercabik berkeping-keping, dan
tulang-tulang sendiku hampir rontok akibat kesenangan yang aku alami. Peristiwa
itu terus berulang-ulang sampai awan-awan bertebaran, dan selaput terkoyak (Yaitu selubung
telah diangkat).
Aku meninggalkan gua dan lubang-lubang besar itu,
dan turun dari kamar-kamar, berjalan menuju mata air kehidupan. Aku melihat
batu besar di puncak bukit yang mirip gunung tinggi. Aku bertanya pada ikan ((yaitu jiwa-jiwa
tertentu yang telah mencapai tempat tinggal mereka), yang berkumpul di dalam
mata air kehidupan dan bersenang-senang di bawah bayangan gunung yag menjulang
tinggi, apakah tanjung itu dan apakah batu besar itu.
Salah seekor ikan itu berenang ke laut (yaitu dalam
pengetahuna (ilm), menggali terowongan ((QS.18:61) suatu rujukan kepada ikan
kering yang menjadi hidup dan berenang ketika dijatuhkan oleh pelayan Musa
(Yusya) pada waktu mereka mencari “Pertemuan dua laut” di mana mereka bertemu
dengan “hamaba Tuhan Yang Saleh” yang ditafsirkan sebagai Khidir di Mata Air
Kehidupan). Ia berkata, “Itulah yang kami cari” (QS. 18:64; kata-kata Musa
kepada Yusya ketika diberitahu tentang hidupnya kembali ikan itu), dan
gunung itu adalah Gunung Sinai (yaitu sfera-sfera). Batu itu adalah sel ayahmu (Sang Ayah
adalah akal universal). Apakah ikan-ikan itu? Aku bertanya. Ia menjawab,
“Makhluk sejenismu : kalian adalah putra-putra dari satu orang ayah. Mereka
diwijudkan sebagaimmana kamu, jadi mereka adalah saudara-saudaramu.”
Ketika aku mendengar dan ssadar, aku memeluk mereka
dan begirang hati karena mereka, dan mereka bergirang hati karena aku. Aku
menaiki gunung itu dan melihat ayah kami, seorang tua (jiwa universal), yang berkat
kecemerlangan cahayanya, langit dan bumi hampir terkuatk. Aku bingung dan
takjub karenanya. Aku berjalan ke arahnya. Dia menyalami ku, lalu aku
menjatuhkan diri di hadapannya, dan hampir lenyap akibat pancaran cahayanya.
Aku meratap sesaat dan mengeluh padanya mengenai
penjara Kairouan. Dia berkata padaku, “itu bagus. Kamu telah bebas. Tetapi kamu
harus kembali ke penjara barat, sebab kamu belum melepaskan ikatan-ikatanmu
seluruhnya” ((Yaitu kamu telah datang demi pemikiran (fikr) dan inspirasi (ilham),
tetapi masih ada sisa-sisa ikatan dalam dirimu ). Ketika aku mendengarnya
mengatakan ini, aku kehilangan akal, menangis dan mengerang bagaikan orang yang
melihat kehancurannya telah hadir di hadapan matanya. Aku memohon padanya,
tetapi ia berkata, “Adalah penting bagimu untuk kembali sekarang, tetapi aku
akan memberimu kabar yang menyenangkan tentang dua hal : Pertama, jika kamu
kembali ke penjara, kamu akan bisa mendatangi kami dan naik ke surga kami
dengan mudah kapan saja kamu kehendaki; Kedua : pada akhirnya kamu akan dibawa
ke hakadapan kami dengan meninggalkan negeri-negeri barat untuk selama-lamanya”.
Aku senang sekali mendengar perkataannya. Lalu dia
berrkata padaku, “Ketahuilah, bahwa ini adalah Gunung Sinai. Di atas ini adalah
Gunung Sinin, di mana ayahku, kakekmu (Yaitu akal universal dan asal usul (emanation). Dia
tidak menikah sebagaimana yang dikatakan orang bodoh, sebab mereka tidak
memiliki hasrat badaniah dan tidak rentan terhadap analisis sintesis),
tinggal. Aku berlaku sebagai penghubungnya, sebagaimana kamu berlaku sebagai
penghubung ku (QS.28:88). Kita memiliki nenek moyang lain, sampai garisnya sampai
apda raja yang menjadi leluhur agung yang tidak mempunyai ayah atau kakek. Kita
semua adalah hamba-hambanya. Kita mengambil cahaya darinya, dan merupakan
tiruannya. Dia adalah kemuliaan yang terbesar, milik-Nya lah kemuliaan yang
tertinggi dan cahaya yang terkuat. Dia berada di atas terejawantahkan dalam
segala sesuatu, dan “segala seuatu musnah kecuali wajah-Nya” ((QS.28:88).
Aku tengah asyik mendengarkan kisah ini ketika
keadaanku berubah, lalu aku jatuh dari udara ke sebuah tempat yang rendah di
antara orang-orang yang tidak percaya. Aku menjadi narapidana di wilayah barat.
Tetapi di dalam diriku tersimpan kesenangan yang tidak dapat aku jelaskan. Aku
mengerang dan merapat penuh penyesalan karena terpisahkan, dan kenyamanan itu
hanyalah impian yang cepat berlalu.
Semoga Tuhan menyelamatkan kami dari cengkeraman
alam (nature)
dan ikatan-ikatan materi. Katakanlah, “Puji syukur hanya kepada Tuhan! Dia akan
menunjukan padamu tanda-tanda-Nya, dan kamu akan mengenali tanda-tanda itu; dan
Tuhanmu tidak lalai akan apa yang kamu lakukan (QS.27:93). Dan katakan “Terpujilah
Tuhan! Tetapi sebagian besar dari mereka tidak mengerti” (QS.31:25). Shalawat
dan salam tertuju kepada Nabi-Nya dan seluruh keluarganya.
Kota Sepanjang, Kabupaten Sidoarjo – Jawa Timur.
September : 09 – 2013
-------------ooooooOOOOOOOOoooooo-------------
assalamualaikum
BalasHapusijin copas dan share mas
dimana saya bisa beli buku ini pak?
BalasHapus