NASIHAT KRESNA
KEPADA HARJUNA DALAM SERAT BHAGAVAD GITA
“NYANYIAN – SUKMA”
Oleh : IMAM
SUPARDI
Penerbit : Penyebar Semangat Surabaya
Tahun : 1961
Naskah asli dalam Bahasa Jawa
Edit Penerjemah : Pujo Prayitno
DAFTAR -
ISI
1. Gambaran Betapa Beratnya Hendak
Meninggalkan Kesenangan
2. Sukma dan Roh itu Kekal
3. Jalan Menuju ke Ketenteraman
4. Dua jalan untuk menggapai
Keselamatan
5. Hampa Pengharapan Penuh Ibadah
6. Penyatuan dengan cara menjalankan
Kewajiban
7. Siapakah Sebenarnya Ingsun itu?
8. Ibadah yang hanya berdasar
Pengabdian
9. Isi Ibarat dari tiga Kuda Penarik
Kereta
10. Penyatuan dengan jalan Merdeka
karena Ikhlas
11. Ringkasan Isi Ajaran Sri Kresna
12. Pendapat yang Berdasar Telaah dan
Penalaran
1.
GAMBARAN
BETAPA BERATNYA HENDAK MENINGGALKAN KESENANGAN
Seperti sudah banyak diketahui, bahwa isi dari Bhagavad
Gita atau Nyanyian Sukma itu adalah mengisahkan ketika Harjuna akan berperang dalam
perang Baratayuda. Ketika Harjuna sudah sampai di tengah-tengah barisan antara
barisan Pasukan Pandawa dan Kurawa, begitu melihat bahwa yang ada di barisan
musuhnya adalah saudaranya sendiri, para kerabat, kakek, dan gurunya, maka
Harjuna kemudian jatuh tersungkur hilang kekuatannya. Sri Kresna yang bertindak
sebagai Kusir pengendali Kereta Perang, kemudian memberikan Nasihat Ajaran agar
supaya Harjuna sadar akan kewajibannya sebagai Satria, sehingga muncul kekuatan
serta tumbuh semangatnya. Nasihat dan ajaran inilah yang disebut Nyanyian
Sukma.
Apakah cerita yang demikian itu pernah terjadi sungguhan,
bahwa ketika berada di tengah-tengah barisan pasukan perang, udah saling
berhadap-hadapan dengan musuh yang sudah mempersiapkan diri untuk saling
menyerang, tiba-tiba Sri Kresna masih sempat memberikan nasihat ajaran kepada
Harjuna tentang ilmu kesempurnaan, yang nasihatnya itu sangat panjang ? Apakah
hal itu tidak tiba-tiba diserang musuh? Apakah nasihat ajarannya itu akan bisa
urut, tertata, dan apakah yang diberi nasihat ajaran akan bisa menerima dengan
tenang?
Sebenarnya, kejadian terebut hanya sebuah ibarat saja,
sebuah ajaran luhur yang dirangkai dengan halus, diselipkan ke dalam cerita
yang juga mengandung sejarah. Agar supaya Ilmu Tinggi tersebut bisa meresap dan
lebih menarik hati, sehingga bisa kekal menjadi cerita dan menjadi pembahasan
selama-lamanya. Menjadi bahan telaah dalam waktu selama-lamanya, yang tidak
membosankan, yang bisa menumbuhkan semangat dan cinta untuk memahami dan
mengerti isi dari nasihat ajaran yang sejati.
Menurut para ahli sejarah, Perang Baratayuda Jaya
Binangun itu memang pernah terjadi sungguhan, namun tidak peris sama seperti
isi kisah dalam “Mahabarata”, seutuhnya. Sejarah India menjelaskan, bahwa di
jaman dahulu memang pernah ada
pertempuran antara Kerajaan Pancala dengan Kerajaan Kuru, yang disebut Negara
Bagian Barat dan Bagian Timur, atau juga yang disebut Negara Madyadesa, yang
berada di antara Bengawan Gangga dan Bengawan Jumna.
Dalam kejadian tersebut, pertempuran antara Kerajaan Kuru
dan Pancala, yang dipergunakan sebagai media oleh Pujangga India “Wiyasa
Kresnadipayana untuk menyebarkan ilmu batin Hindu, denegan cara diselipkan di
antara cerita-cerita. Atau bisa juga sebaliknya, yaitu Pujangga tersebut
mengarang Buku Babad India yang diselipkan Ilmu luhur, sebagai inti cerita,
agar supaya bisa lebih bermanfaat terhadap kehidupan.
Disebutkan di dalam “Bhagavad Gita”, ketika Harjuna
menaiki kereta yang ditarik oleh tiga kuda yang dikusiri oleh Sri Kresna,
bergerak maju ke medan perang guna memeriksa keadaan musuhnya. Ketika melihat
bahwa para musuhnya itu terdapat para saudaranya sendiri, para sahabatnya, dan
juga bekas gurunya – Maka Harjuna kehilangan daya kekuatannya hingga jatuh
tersungkur, karena ragu-ragu apakah akan meneruskan perang atau kah tidak.
Namun sebenarnya, kejadian yang telah diuraikan di atas
tersebut, adalah gambaran ibarat. Perang antara Harjuna melawan Kurawa adalah
sebagai ibarat perang di dalam diri manusia ketika akan memerangi hawa nafunya
atau kesenangannya yang sudah akrab dan lengket bagaikan saudara atau seseorang
yang dicintainya. Hawa nafsu dan kesenangan yang diagungkan seperti halnya
gurunya. Ketika akan memusnahkan hawwa nafsunya itu tadi, di situlah harjuna
menjadi ragu-ragu, kebingungan dalam memulai peperangan. Ragu-ragu atas
keinginannya untuk mengalahkan keinginan jiwa rendahnya.
Oleh Bagawan Wiyasa, keragu-raguan harjuna tersebut
diuraikan berupa nyanyian sukma yang
sangat Indah, seperti yang termuat di dalam Bab I bait 37 hingga bait 46, yang
isinya sebagai berikut :
1.
Sirnanipun para Kurawa Ngastina mboten
badhe nambah haruming nama kita. Punapa para Kurawa Ngastina punika sanes
kadang kita piyambak? Lan sok sinteno ingkang sampun mejahi kadangipun
piyambak, kados pundi tiyang punika wau saged manggih kamulyan?. ARTINYA :
Hancurnya Kurawa Ngastina, tidak akan menambah harum nama kita. Apakah para
Kurawa Ngastina itu bukan kerabat kita sendiri? Dan barangsiapa yang telah
membunuh kerabatnya sendiri, bagaimanakah bisa orang tersebut akan bisa
mendapatkan kemuliaan?
2. Sanadyan
lawan kita mboten ngrumaosi dosa, mijahi mitra, sanak lan kadang, margi kasurung dening angkara lan
murka, punapa tumrap kita mboten langkung wicaksana, menawi kita nyingkiri
pandamel ingkang nistha punika?. ARTINYA : Walau pun lawan kita tidak merasa berdosa, membunuh
sahabat, kerabat dan saudara, karena terdorong angkara dan murka, apakah bagi
kita tidak lebih bijaksana, apabila kita menghindari perbuatan tercela ini?
3. Dhuh
Dhuh kaka prabu! Kasangsaran punapa kemawon ingkang badhe timbul margi saking
wontenipun pepejah ingkang tanpa wicalan punika?. ARTINYA : Wahai
Sang raja!! Kesengsaraan apa saja yang akan muncul karena adanya pembunuhan
besar-besaran ini?
4. Manawi
kautaman ingkang dados ugering kasatriyan brastasirna, tatasusila ingkang
sampun dados naluri suci temtu badhe sirna, masyarakat lajeng tanpa tatanan. ARTINYA :Apabila
keutamaan kebaikan yang menjadi pedoman sifat kasatria itu sirna, tata susila
yang sudah menjadi naluri suci tentu akan musnah, tentunya di masyarakat tidak
ada lagi tatanan aturan.
5. Manawi
masyarakat pinuka ical tatananipun, para wanita ugi ical kasusilanipun. Manawi
para wanita sampun ical kasusilanipun, masyarakat tamtu bobrok risak, tangeh
sagedipun pulih dados sae malih. Sebab manawi para wanita sampun mboten ngertos
kasusuilan, temtu makaten wau badhe anjalari campuripun kasta. ARTINYA : Apabila masyarkat sudah kehilangan tata
aturannya, wanita juga akan kehilangan tata susilanya. Apabila wanita sudah
kehilangan susilanya, tentulah masyarakat akan menjadi rusak, dan akan
kesulitan untuk kembali menjadi baik. Karena, apabila para wanita sudah tidak
mengetahui kesusilaan, hal itu tentulah akan menyebabkan bercampurnya kasta.
6. Jalaran
saking campuripun kasta, bangsa lan ingkang damel risakipun bangsa sami-sami
tumuju dhateng naraka. Arwahipun para leluhur ingkang mboten binantu dening
puja-bratanipun turun-turunipun, saestu badhe nemahi sangsara lan mboten kuwaos
malih tumut paring pangayoman dhateng turun-turunipun iangkang taksih gesang
ing donya. ARTINYA : Oleh karena bercampurnya
kasta, bangsa dan yang membuat kerusakan bangsa, keduanya akan bersama-sama
menuju ke neraka. Arwah para leluhur yang tidak dibantu oleh do’a dari
keturunannya, tentu akan menemui kesengsaraan dan tidak mempunyai kuasa untuk
memberi berkah kepada keturunannya yang masih hidup di dunia.
7. Jalaran
saking kasalahanipun tiyang-tiyang ingkang sami ambrastha para sinatriya agung,
tatanan masyarakat dados risak. Menawi keluarga sampun ical cepenganipun bab
kautamaning agesang, sirna ugi kaluhuraning budi pakerti. ARTINYA : Disebabkan karena kesalahan orang-orang yang
melakukan pembunuhan para Satria Agung, maka tatanan kehidupan masyarakat
menjadi rusak. Apabila keluarga sudah kehilangan keyakinannya tentang keutamaan
hidup, maka musnah pula keluhuran budi pekerti.
8. Manawi
hukum-hukuming kautaman lan kasatriyan sampun sirna ing jagading manungsa, kita
prasasat gesang ing salebeting naraka. Makaten piwucalipun para pinisepuh. Bila Hukum-hukum keutamaan dan sifat kasatria telah
musnah didalam dunia manusia, kita ini seolah hidup di dalam neraka. Seperti
itulah ajaran para sesepuh.
9.
Dhuh, dhuh kaka Prabu Pangruwating manungsa
(Kresna)! Yekti kesalahan ingkang ageng
sanget ingkang badhe kita lampahi, manawi jalaran saking kepengin nikmati
kaluhuraning kaprabun, kita tega mejahi sanak lan kadang!. ARTINYA : Wahai sang raja penghapus kejahatan manusia!
Tentulah kesalahan sangat besar yang akan kita lakukan, apabila hanya karena
menginginkan keluhuran menjadi raja, kita tega membunuh sanak saudara!.
10. Dhuh,
dhuh Sri Kresna! Mugi-mugi para Kurawa Ngastina mangke, manawi kula majeng ing
palagan tanpa mbekta dedamel lan tanpa sedya anglawan, sami purun mejahi kula. ARTINYA : Wahai sang raja! Semoga saja para Kurawa
Ngastina nantinya, apabila saya maju perang di arena peperangan tidak akan
membawa hasil dan saya tidak ingin melawan, serta mereka mau membunuh saya.
Ternyata
kandungan nyanyian di atas, mengapa Harjuna menyampaikan alasan
keragu-raguannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai Satria itu, menggunakan
dasar Peri Kemanusiaan, yaitu : Tidak sampai hati untuk membunuh saudaranya
sendiri hanya dengan alasan menginginkan kemuliaan.
Baru
sampai hal seperti itu saja, sudah terasa betapa luhurnya intisari dari
“Bhagavad Gita”, yang sebenarnya akan menguraikan sebuah Ilmu untuk menuju
kepada kesempurnaan, yang digubah dan diselipi Pengetahuan Agama, dan diuraikan
dalam bentuk cerita dongeng yang indah yang digabung dengan Sejarah. Sehingga menjadi
Indah berbentuk bagaikan Three dimension, berupa sebuah kisah atau pertunjukan.
Yang Pertama : Berupa ibarat keragu-raguan seseorang yang akan menempuh
kemuliaan yang hendak memerangi hawa naffsunya sendiri; Yang Kedua : Berupa
ajaran batin menurut Agama Hindu; Yang ketiga : Berupa cerita Babad yang indah.
Tiga keindahan tersebut, terdapat dalam satu kesatuan dalam “Nyanyian Sukma”
ini.
Di dalam nyanyian sukma, bait ke 9 ada sebutan Kresna
sebagai Pangruwating manungsa. Agar supaya tidak membingungkan, bisa dijelaskan
bahwa Kresna itu memang mempunyai sebutan yang bermacam-macam. Dan yang
terdapat di dalam Bhagavad Gita ini saja, selain dua sebutan di atas, sebutan
Kresna yang lainnya adalah : Risang Kesawa, Sang Mengreh Karsa, Pangoning
Lembu, Pangrurahing Madu, Basudewaputra, Nrendra kang tanpa sisihan, Risang
Asuta, Sri Ari, Arimurti, dan lain-lainnya lagi yang akan terdapat di dalam
nyanyian berikutnya.
Keraguan Harjuna
belum tuntas. Ketika akan membunuh para sahabat, kerabat dan juga gurunya
beserta saudara-saudaranya, terasa sangat lah berat. Hal itu termuat dalam
Nyanyian Sukma di bagian ke II, bait ke 7 hingga ke 10, sebagaimana berikut :
7.
Kula langkung remen nedha saking angsalipun
papariman, tinimbang nyirnakaken para guru agung wau, lajeng pesta handrawina
nikmati tetedhan eca ingkang sampun karegedan dening wutahipun darah para guru
agung. ARTINYA : Hamba lebih memilih makan dari
hasil minta-minta, daripada harus membunuh para Guru Besar yang kemudian
berpesta pora menikmati hidangan yang telah terkotori oleh tumpahan darah para
Guru Besar.
8. Kados
pundi sagedipun kita nyumerepi punapa ingkang ing wusanannipun langkung sae
tumrap kita? Pundi ingkang langkung prayogi, kita ingkang unggul juritipun
utawi Kurawa Ngastina ingkang unggul juritipun? Satuhunipun gesang kita mboten
badhe wonten paedhahipun babarpisan, manawi para Drestharata putra sampun sirna
sedaya? (Catatan : Punapa perlunipun
gesang manawi sadaya pepenginan sampun ical?). ARTINYA
: Bagaimanakah caranya diri ini bisa mengetahui bahwa apda akhirnya itu lebih
baik bagi diri ini? Manakah yang lebih utama, Kita yang unggul perangnya atau
Kurawa Ngastina yang unggul perangnya? Sesungguhnya, hidup ini tidak ada
manfaat dan gunanya, apabila Keturunan Drestharata sudah hilang semua? (Catatan
: Apakah gunanya hidup bila seluruh keinginan diri telah tiada?).
9. Heh
Sri Kresna, tiyang ingkang was sumelang, miris manahipun, margi kataman dening
raos welas ingkang damel bimbanging manahipun, tiyang ingkang saweg goncang
imanipun, sesambat dhumateng paduka. Punapa ta saleresipun ingkang dados
kuwajiban, punapa ta ingkang kedah dipun lampahi ingkang prayogi piyambak? Dhuh
Sri Kresna! Kersa-a paring pitedah dhumateng siswa Paduka, ingkang tansah
memundhi Paduka. ARTINYA : Wahai Sri Kresna,
seseorang yang merasa khawatir, kecil hatinya, karena terkuasai rasa hati yang
penuh cinta kasih yang menyebabkan keraguan dalam hatinya, seseorang yang
sedang mengalami goncangan Iman, memohon kepada paduka. Apakah sebenarnya
kewajiban itu, bagaimanakah yang seharusnya melakukan yang terbaik? Wahai Sri
Kresna! Semoga berkenan memberi petunuuk kepada siswa paduka, yang selalu
mematuhi paduka.
10. Tuhu
kula mboten sumerep punapa ingkang saged mbengkas raos sungkawa ingkang
nglumpuhaken indriya kawula. Raos-raos kula tetep mopo majeng ing palagan,
sanadyan ta kula kaparingan pangawaos ingkang tanpa wangenan ing bumi punika
utawi kadadosaken ratunipun para Dewa”. ARTINYA :
Sungguh, saya tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan rasa sedih hingga
melumpuhkan jiwa hamba. Seluruh perasaan tetap membantah untuk maju ke medan
laga, walau pun saya akan diperi kekuasaan tanpa batas di atas bumi ini atau
pun akan dijadikan Raja para Dewa.”
Seperti itulah alasan yang disampaikan
oleh Harjuna, sebagai penyebab sehingga tidak tega untuk membunuh saudaranya di
medan laga dikarenakan rasa kasihan. Sehingga kemudian mohon petunjuk apakah
yang harus di lakukannya.
Namun sebenarnya --- seperti yang
sudah disampaikan – Adegan yang pertama itu mengandung ibarat, bahwa betapa
beratnya seseorang yang akan meninggalkan kesenangannya. Berat hatinya Harjuna
untuk berperang melawan Kurawa, sebenarnya adalah gambaran betapa beratnya
seseorang yang bercita-cita untuk kesempurnaan, harus menghilangkan kesenangan
hidupnya, keinginan diri dan hawa nafsunya. Karena terlalu kuatnya pengaruh
kesenangan itu tadi, digambarkan bagaikan saudaranya sendiri, bagaikan rasa
cinta, bagaikan gurunya yang harus dijaga dan dihormati serta dipelihara,
Seletah Sri Kresna mendengar apa yang
disampaikan oleh Harjuna seperti tersebut di atas, kemudian berkata untuk
mengajarkan ilmu kesempurnaan berdasar Filsafat Agama Hindu ketika waktu itu.
Ajaran Sri Kresna ini termuat di Nyanyian Sukma bagian ke II, bait ke 13 dan
seterusnya.
2.
SUKMA
DAN ROH ITU KEKAL
Nasihat yang pertama, Sri Kresna menjelaskan kepada
Harjuna, bahwa yang disebut kematian itu sebenarnya hanya raganya saja yang
meninggal dunia. Akan tetapi, jiwanya tidak ikut mati. Oleh karena itu, tentang
akan meninggalnya para kerabat Kurawa di dalam peperangan, tidak perlu
disedihkan, tidak usah khawatirkan. Di sinilah Sri Kresna kemudian menggelar
Filsafat Hindu untuk meyakinkan adanya
lahir kembali atau menitis, yang dalam hal ini bisa untuk menjadi bahan
pertimbangan bagi para pencari ilmu kesempurnaan atau ilmu hakikat.
Seperti ini, awal jawaban Sri Kresna :
14. Sira
iku nangisi papesthene para prajurit kang bakal padha gugur ing medhan laga.
Nadyan kabeh ingkang sira aturaken mau wis bener, nanging mangkono iku ora
perlu gawe sungkawane ati nira. Barang ingkang kanggonan utawa koncatan napas
ingkang tansah manjing mijil, iku ora gawe sungkawane para sadu. ARTINYA : Dirimu itu menangisi Takdir para prajurit yang
akan gugur di medan laga. Walau pun yang dirimu sampaikan itu sudah benar,
namun hal itu tidak perlu membuat hatimu bersedih. Sesuatu yang ketempatan atau
ditinggalkan oleh nafas yang selalu keluar masuk, itu tidak membuat sedih para
pencari hakikat.
15. Durung
tau Ingsun iku ora ana, mangkono uga sira, lan para nataning bawana kabeh. Lan
ing mbesuk uga ora bakal ana kalamngsane, kita kabeh leren anggone ana. ARTINYA : Belum pernah diriku itu tidak ada, demikian
juga dirimu, dan semua para raja di dunia ini. Dan besok hari juga tidak akan
ada lagi ketika tiba waktunya diri ini berhenti dari adanya.
16. Yen
ingkang manggon ing sajroning badan iki wis ngalami mangsa bocah, mangsa taruna
lan mangsa wredha, dheweke mbanjur ngalami salin raga maneh. Jalaran saka iku
tumrap Sang Sadu urip lan mati iku ora ndadekake sedhihe ati. ARTINYA : Jika yang bertempat tinggal di dalam raga ini
sudah mengalami masa kanak-kanak, masa muda, masa tua, dia kemudian mengalami
berganti raga. Oleh karena itu, bagi para pencari hakekat hidup dan mati itu
tidak menjadikannya bersedih hati.
17. Heh,
ajmajaning Kunthi! Gepok senggole Jagad Cilik lan Jagad Gedhe bisa nuwuhake
rasa panas, adhem, seneng lan susah. Ana kalamangsane teka, ana kalamngsane
lunga. Anane mung kari dilakoni kanthi sabar. ARTINYA
: Wahai Putra Kunthi!. Saling bersinggungan antara dunia kecil (Raga) dan Dunia
besar (alam dunia) itu bisa menimbulkan hawa panas, dingin, senang, susah. Ada
waktunya datang, ada waktunya pergi. Adanya hal itu harus di jalani dengan
penuh kesabaran.
18. Kang
ora bisa kataman dening wolak walike kahanan, lega, rila, nrima sajroning suka
lan sungkawa, heh bebenthenging jalma, iku temen bisa manjing ing Kalanggengan.
ARTINYA : Yang tidak terpengaruh oleh
berganti-gatinya keadaan, merasa puas, ikhlas, bisa menerima senang dan susah
(menganggak senang dan susah itu sama saja), wahai benteng manusia, itulah yang
bisa masuk ke dalam alam kekekalan.
Sri Kresna menyebut Harjuna, di bait 17 dan 18, dengan
sebutan :Atmajaning Kunthi (Putra Kunthi) dan Bebanthenging jalma (Benteng
gmanusia). Sebutan yang lainnya lagi masih banyak sebutan lainnya yang terdapat di dalam Serat
Bhagavad Gita yaitu : Pandhutanaya, Pritaputra, Tedhaking Barata, Pandusuta,
Bebanthenging Jagad, Pangrurahing Satru, Atmajaning Prita, dan lain-lainnya
lagi, itu semua juga termasuk sebutan Harjuna.
Seperti yang tersebut di bait ke 15, diterangkan bahwa :
Ingsun ( di sini bermakna : Aku yaitu makhluk yang bernama Kresna), dan “Sira”
(Harjuna), dan juga semua para raja, tidak ada yang belum pernah mati, dan
tidak ada yang dibelakang hari tidak dilahirkan kembali. Hal seperti itu
menjelaskan bahwa keyakinan di dalam Agama Hindu bahwa manusia setelah
meninggal dunia masih akan mengalami lahir berkali-kali kembali ke alam dunia.
Tentang kata “Ingsun” yang termuat di dalam bait di atas,
perlu didjelaskan, bahwa maknanya sama saja dengan kata biasa “Aku”\ Namun di
dalam penjelasan selanjutnya akan ditemukan kata “Ingsun” yang dipergunakan
dengan makna yang lain, yang maknanaya tidak sama dengan kata “Aku”.
Kemudian Sri Kresna memberikan Ajaran tentang keadaan
“Sukma” yang kekal yang terdapat di bait ke 19 hingga 22, sebagai berikut :
19.
Kang
ora anak iku ora bisa dadi ana. Lan kang Ana iku ora bisa tumeka ing Ora Ana.
Bedane Ana karo Ora Ana iku kang bisa meruhi mung kang wus bisa waspada marang
Kahanan Jati. ARTINYA : Yang tidak ada itu tidak
bisa menjadi ada. Dan yang ada itu tidak bisa menjadi tidak ada. Perbedaan
antara yang ada dan yang tidak ada, yang bisa mengetahui itu hanya yang sudah
bisa memandang keadaan batin yaitu keadaan yang sebenarnya.
20.
Kawruhana
yen Sukma, Roh utawi Zat kang dadi mula
bukane kabeh kang gumelar iki, iku tan kena ing rusak, anane tanpa nganggo
watesan. Mula majua ing palagan!. ARTINYA : Ketahuilah
bahwa Sukma, Roh atau Zat yang menjadi awal mula semua yang tergelar ini, itu
tidak terkena oleh kerusakan, adanya tanpa ada batasan. Maka, majulah ke medan
laga,
21.
Kawruhana
yen dheweke ingkang dadi mulabukane kabeh ingkang gumelar iki, iku tan kena
rinusak. Sapa kang bisa nyirnaake Dheweke kang sipat langgeng? ARTINYA : Ketahuilah bahwa DIA yang menjadi awal mula
yang tergelar ini, itu tidak terkena rusak. Siapa yang bisa menghilangka DIA
yang bersifat Kekal?.
22.
Kang
ngarani yen dheweke iku gawene mateni, utawa bola-bali dipateni, karone kleru
kabeh. Dheweke ora mateni lan ora bisa dipateni. ARTINYA
: Yang mengira bahwa DIA pembunuhnya, atau berkali-kali di bunuh, keduanaya
sama-sama salah. DIA itu tidak membunuh dan tidak bisa di bunuh.
Sukma, Roh atau Dzat itu tidak akan sirna, walau pun
manusianya telah meninggal dunia. Artinya, walau pun dalam pertempuran,
seseorang yang telah membunuh musuhnya, namun sebenarnya, orang tersebut tidak
membunuh roh dari musuhnya, karena roh atau sukma itu kekal, tidak bisa
dimusnahkan tidak bisa dibunuh. Yang dibunuh itu hanyalah raga sebagai tempat
tinggalnya sukma. Sedangkan keadaan raga memang selalu mengalami perubahan dan
ada batasnya, oleh karena itu tidak ada gunanya menjadikan dirimu bersedih, dan
justru sebaliknya hal itu mestilah di alami oleh makhluk yang telah terlahir ke
dunia ini.
Seperti itulah dukungan dorongan semangat Sri Kresna
kepada Harjuna dengan cara memberikan ajaran Ke-sukma-an, tentang kekekalan
Sukma dan berubah-ubahnya raga dan dunia. Barangsiapa yang sudah kuat
keyakinannya kepada kekelan – yang bersungguh-sungguh dalam mencari sejatinya
kasukman, harus tega menghapus kesenangan keduniaan, harus ikhlas membuang
kesenangan keduniaan yang menyebabkan keterikatan dengan dunia dan raga ini.
Siapa saja, yang ingin berbakti kepada Cahaya Terang yang sejati, harus berani
membuang kesenangan diri dan hawa nafsunya yang itu semua adalah keadaan yang
tidak kekal dan tidak lestari dalam memberikan kebahagian dan keuntungan untuk
selamanya.
Akan tetapi Harjuna sepertinya belum benar-benar paham
tentang kekelan Sukma tersebut, sehingga Sri Kresna melanjutkan memberikan
ajaran, sebagai berikut :
23.
Dheweke
iku ora nganggo lair, mula ya ora nganggo mati. Ing sarehne ora nganggo Dumadi,
Anane ora nganggo uwis. Tanpa nganggo dilairake, Dheweke iku kuna-makuna padha
wae. Dheweke ora melu mati, yen badan iki tumeka ing lebur. ARTINYA : Dat, Sukma itu tidak dilahirkan, sehingga tidak
mengalami kematian. Oleh karena tidak melalui kelahiran, Adanya itu tidak ada
akhirnya. Tidak dengana cara dilahirkan. Dat Sukma itu sejak dari dahulunya itu
sama saja. Dia tidak ikut mati, ketika raga ini mengalami kehancuran.
24.
Sapa
kang wus ngerti yen Dheweke iku sipat-sipate kaya mangkono, kepriye anggone bisangarani,
yen Dheweke iku tau mateni utawa tau dipateni? ARTINYA
: Barangsiapa yang sudah memahami bahwa Dat Sukma mempunyai sifat seperti itu,
bagaimanakah bisa menyebutkan, bahwa Dat Sukma itu pernah membunuh atau pernah
dibunuh?Yen sandhangan iku wus lawas lungsed banjur ora dianggo maneh.
Minangka gantine uwong banjur nganggo sandhangan anyar. Mangkono uga tumrap
badan wadhag iki. Yen wadhag iki wis lebur, sing maune menggon ing kono, banjur
golek lan manggon ing wadhag anyar. ARTINYA : Jika
pakaian sudah rusak maka tidak dipakai lagi. Sebagai gantinya maka seseorang
akan memakai baju yang baru. Seperti itulah raga ini. Jika raga ini sduah
rusak, yang sebelumnya bertempat di situ, kemudian mencari dan menemati raga
yang baru.
25.
Ora
ana geggaman sing bisa natoni Dheweke, ora ana geni sing bisa mbrongot
Dhewewke, Ora ana banyu kang bisa nelesi, ora ana angin kang bisa nggaringake
Dheweke. ARTINYA : Tidak ada senejata yang bisa membunuh
Sukma, tidak ada api yang bisa membakar sukma, tidak air yang bisa
membasahinya, tidak ada angin yang bisa mengeringkan dirinya.Ora bisa
dipecel, ora bisa diobong, ora bisa ditelesi, ora bisa digaringake, ana ing
salawas-lawase sarta ing saenggon-enggon. Sanadyan mangkono panggah ora tau
owah. ARTINYA : Tidak bisa dilukai, tidak bsia
dibakar, tidak bsia dibasahi, tidak bisa dikeringkan, tetap ada selamanya serta
di semua tempat. Meski begitu, tetap tidak pernah berubah.
26.
Tan
kena kinayangapa, ora kena dijamah dening indriya, ora kena ing owah gingsir.
Kang wus nyadari yen Dheweke iku kaya mangkono sipat-sipate, sayekti wis ora
pelu nandhang singkawa. ARTINYA : Tidak bisa
dibayangkan, tidak bsia diindra menggunakan Pancaindra, tidak terkena
perubahan. Yang telah memahami bahwa Sukma
itu memiliki sifat yang demikian, tentulah tidak usah bersedih hati.
Isi dari ajaran inim Sri Kresna masih berusaha meyakinkan
kepada Harjuna tentang sifat Sukma yang kekal, sehingga tidak pernah mati,
tidak bisa di bunuh, tidak bisa dibakar, tidak bisa dilukai oleh senjata, tidak
kering oleh angin, tidak basah oleh air dan sebagainya.
Juga menjelaskan tentang raga yang bisa diganti bagaikan
pakaian, berganti-ganti, seperti halnya baju seseorang yang telah rusak
kemudian diganti dengan baju baru. Jika pakain baru itu, di belakang hari rusak
lagi, kemudian diganti lagi dengan baju yang masih utuh.
Tentang perubahan-perubahan dari yang dipakai, tidak usah
disedihkan, tentang ruskanya pakain atau raga itu tidak ada gunanya disedihkan,
karena hal seperti itu, sudah ditetapkanm sudah digariskan harus seperti itu
keadaannya, tidak kekal, akan tetapi selalu berubah-ubah dan juga ada
batasannyam ada akhirnya, seperti tersebut di bawah ini :
27.
Manawa
sira darbe panemu, yen Dheweke iku bola-bai lair lan bola-bali mati, mangkono
iku, heh pahlawan kang gagah prakosa, uga ora perlu njalari sungkawanira. ARTINYA : Jika dirimu berendapat, jika sukma itu
berkali-kali terlahir, dan berkali-kali meninggal dunia itu, wahai Pahlawan yang
gagah perkasa, juga tidak usah menjadikan dirimu bersedih.
28.
Apa
sing nganggo dilairake, wis mesthi bakal nemahi pati, kang mati urip maneh.
Kahanan lir-gumanti kan wus ora kena disingkiri iku, ora kena njalari tuwuhe
sungkawa. ARTINYA : Apa pun yang dilahirkan, pasti
akan mengalami mati, yang mati hidup lagi. Keadaan yang terus berganti dan
tidak bisa dihindari, hal itu tidak boleh untuk disedihkan.
Jika orang berpendapat, bahwa hidup itu hanyalah urusan
lahir saja, maka tidak akan
memperhatikan tentang kematian. Akan tetapi, Harjuna yang belum bisa memahami
tentang kesejatian hidup, masih memperhatikan tentang kematian para kerabatnya,
hal demikian itu karena terdorong oleh perasaan cinta dan kasih sayang,
terbelenggu oleh perasaan kasihan.
Inti dari isi ajaran adalah : Didalam peperangan itu
mengandung ajaran, oleh karena sudah jelas bahwa Sukma itu tidak akan mati, dan
roh itu kekal, sehingga ketika masih hidup di dunia rame ini, giatlah dalam
kebajikan dan menanam kebaikan, senyampang masih memiliki sarana yang bisa
digunakan berupa raga ini, giatlah dalam membangun kesempurnaan dengan cara
mengendalikan Pancaindranya, mengekang keinginan diri dan hawa nafsu rendahnya.
3.
JALAN
MENUJU KETENTERAMAN
Uraian berikut ini akan menjelaskan
tentang Sri Kresna memulai memberikan ajaran tentang betapa berbahayanya,
pengaruh godaan Pancaindra dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Agung.
Keinginan diri serta hasrat yang menyenangi atas keadaan yang tidak kekal, jika
itu sudah bisa dimusnahkan – itu yang disebut sudak mantap pikirannya, sudah
sentausa dan bijaksana.
Penjelasannya ada di dalam Nyanyian
sukma bagian ke II, di bait nomor 56 hingga 60, sebagai berikut :
56.
Sri
Kresna ngandika : “He Harjuna! Kang wus bisa nyingkirake sakeh pepenginan, lan
bisa ngeningake riptane, kang pribadine kanthi jenak bisa tumanem ing Dheweke,
lan wis marem dalem Dat akarana Dat, iku manungsa kang teguh Budine. ARTINYA : Sri Kresna berkata : Wahai Harjuna! Yang sudah
bisa membuang semua keinginannya, dan sudah bisa menenangkan pikirannya, dan
sudah yakin kepada Tuhan karena Tuhan, yang pribadinya penuh ketenangan selalu
mengingat Tuhan, itulah manusia yang Kuat Budinya.
57.
Kang
ciptane wus ora bisa ketaman dening bungah lan susah marga wus ora sesenggolan
lan magepokan maneh karo kang dadi jalarane, kang wus sirna hawa nafsune, ora
kanggonan was sumelang, nesu, bendu, jengkel, mangkel lsp. Iku sing diarani
muni kang teguh Budine. ARTINYA : Yang ciptanya
sudah tidak terpengaruh oleh senang dan susah, karena sudah tidak bersentuhan
dan bersinggungan dengan yang menjadi penyebabnya, yang telah hilang hawa
nafsunya, tidak mempunyai rasa kuatir, marah, dendam, jengkel, dan sebagainya,
itu yang disebut ahli Budi.
58.
Kang
wus bisa medhot panancanging Karma, ora mbedakake menang lan kalah, mujur lan
malang, untung lan rugi, sepi ing rasa benci, sengit, mangkel, ndongkol, lan
jengkel, iku manungsa kang jiwane wus teguh, wus seimbangane. ARTINYA : Yang sudah bisa memutuskan ikatan karma, tidak
membedakan menag dan kalah, untung dan rugi, sudah hampa dari rasa benci, tidak
senang, mendongkol dan jengkel, itulah manusia yang teguh jiwanya dan sudah
seimbang.
59.
Sapa
kang kadya bulus kang bisa mingslepake sikil-sikile lan sirahe ing sangisore
thothoke, bisa ngracut pancadriyane lan malik arahe, tumanduk marang asalmulane
pribadine, iku manungsa kang jiwane wus teguh seimbangane. ARTINYA : Siapa saja yang bagaikan kura-kura hingga bisa
memasukan kakinya dan kepalanya ke dalam tempurungnya, bisa mengendalikan
pancaindranya dan merobah arahnya, tertuju kepada awal mula dari pribadinya,
itulah manusia yang sudah teguh jiwanya dan sudah seimbang.
60.
Daya
panarike samubarang kang gumelar marang pancadriya, iku bakal sirna, yen manungsa
tansah cecegah. Naging sir tetep ana. Sir uga bisa ilang yen manungsa teguh
adhepe marang ingkang Maha Luhur. ARTINYA :
Kekuatan daya pikat atas semua yang tergelar terhadap Pancaindra, itu akan
musnah, jika manusia selalu menahannya. Namun Sir tetap ada. Sir juga bisa
hilang jika manusia sudah kuat keyakinannya kepada Yang Maha Lubur.
Disampaikan di bait ke 56, bahwa siapa yang sudah yakin
kepada Tuhan karena Tuhan, yang masudnya telah melakukan ibadah karena Tuhan
semata, yaitu sudah tidak mengharapkan hasil dari perbuatannya, yang bahasa
umunya adalah beribadah hanya karena Allah semata, manusia yang sduah seperti
itu, termasuk sudah kuat imannya dan sudah bisa mencapai yang disebut mempunyai
“Jiwa yang tenang”,
Ajaran ini sesuai
dengan Ilmu kesempurnaan yang terdapat dalam Agama lain – memang dalam
beribadah kepada Tuhan itu seharusnya sudah tidak mengharapkan untuk memenuhi
keinginan tuntutan raganya, yang sesungguhnya ibadah itu dengan dasar ikhlas
disertai kesucian hati.
Memang sesiapa yang masih memiliki keinginan diri, walau
pun bukan untuk keperluan hidup ketika masih hidup di dunia .. akan tetapi
keinginan tersbut juga masih termasuk mengharapkan pamrih, yaitu yang bertujuan
untuk kesenangan raganya sendiri. Yang seperti itu, bukan beribadah karena
ibadah, belum disebut mempunyai jiwa yang tenang di dalam Tuhan, karena masih
memiliki keinginan diri mengharapkan hasil dari ibadahnya demi untuk memenuhi
keinginan diri dan jiwa raganya.
Menurut ajaran Sri Kresna, seseorang yang sudah tenang pikirannya
dan sudah mengendap ciptanya, ketika melakukan kebaikan, harus dengan cara
tidak mengharapkan hasil dari tindakannya demi untuk memenuhi keinginan
dirinya! Karena, jika masih mengharapkan hasil dari perbuatannya, itu belum
disebut “Karena Allah”, belum ikhlas, belum rela dan ikhlas yang sebenarnya
ikhlas.
Sedangkan penyebab manusia beum bisa tenteram di dalam
hatinya dan kuat dalam pikirannya, karena masih terdorong oleh Pancaindranya.
Masing sering terkalahkan oleh keinginan diri, masih sering terbawa oleh
hasratnya yang tidak kekal.
61. Heh
Kunthisiwi! Nadyan ta tumrap sang Sadu, kang temen-temen ngudi marang kang
utama lan luhur, indriyane yen nganti bangkit, bisa mbandangake manase utawa
pangriptane. ARTINYA : Wahai Putra Kunthi! Meskipun
bagi yang sudah ahli, yang benar-benar pencari kebenaran dan keluhuran, jika
indranya sampai bangkit, bisa menyesatkan keinginan diri dan pikirannya.
62. Nanging yen indriyane
iku tansah dikendhaleni, lan jiwane mung madhep marang Manira, yen dheweke
bener-bener bisa nguwasani indriyane, iku jiwane wus teguh seimbangane. ARTINYA : Namun jika indranya selalu bisa dikendalikan,
dan jiwanya hanya ingat kepada Tuhan saja, dan jika dirinya benar-benar bisa
mengendalikan indranya, itu jiwanya sudah jiwa yang tenang dan seimbang.
Panca indra yang liar itu,
menjadikan penghalang atas niat yang mengarah kepada keselamatan. Yang
diinginkan dari nafsu Pancaindra itu adalah semeua keinginan diri yang tertuju
kepada kesenangan raga sehingga menutup dan melupakan kepada yang sebenarnya
yang sejati. Oleh karenanya, banyak makan, minum, bermain asmara, mabuk dan
ganja, dan mencuri itu sudah menjadi larang para orang tua, kesemuanya itu agar
dihindarinya.
Keinginan diri yang orang Jawa
bilang Ma-lima itu termasuk kerja dari Pancaindra yang bisa menjadi penghalang
niat dalam mencari kebijaksanaan. Demikian juga halnya, kebiasaan-kebiasaan
yang bisa menyebabkan kekotoran hati dan budi rendah, seperti halnya : Iri,
usil, marah, senang menfitnah orang lain, murka, serakah dan sebagainya yang kesemuanya
itu juga termasuk gerak dari nafsu Pancaindra.
Tidak mungkin seseorang mempunyai
ketenteraman hati, jika masih ketempatan sifat iri, usil, mudah patah semangat,
suka menfitnah dan sebagainya yang sesungguhnya jalan menuju kepada kebahagiaan
itu bila hati bisa tenteram untuk bisa mendekat kepada Cahaya Tuhan pemelihara
segala yang ada, itu jika sudah memiliki ketenteraman jiwa dan raga dalam
ketenangan jiwa. Jarang teramat jarang, jika seseorang yang selalu tergoda oleh
kesenangan diri, berjudi, minum, ganja, untuk bisa memiliki ketenteraman hati
untuk menuju kepada Sifat Tuhan. Karenanya, hanya jiwa yang tenteram dan tenang
saja yang bisa menggapai kesempurnaan niat keinginan.
63. Manungsa
kan indriyane tansah lelumban ing jagade sakeh barang kang bisa nenangi
pepenginane, pepenginane mau mesthi banjur thukul lan dadi kuwat. Iku kang
dadi mula bukane tuwuhe angkara. Angkara
nuwuhake kamurkan. ARTINYA : Manusia yang indranya
selalu berenang dalam dunia kesenangan yang bisa menyenangkan hasrat dan keinginannya,
maka hasrat dan keinginannya akan tumbuh menjadi kuat. Itu, yang menjadi
penyebab terbukanya angkara murka. Angkara tumbuh menjadi murka.
64.
Kamurkan
nuwuhake salah gawe kang banjur bisa ngrusak kawaspadan bab bedane ala lan
becik. Wong kang wus kaya mangkono iku Budine mesthi ngoncati. Wong kang wus
koncatan budine mesthi tumeka ing bilai. Nanging manungsa kang urip ing
jagading indriya, wondene sepi ing rasa seneng lan sengit, kang Pribadine
tansah bisa ngedhaleni angkarane, iku kang bakal nggayuh kamuyan kang linuhur. ARTINYA : Murka itu menumbuhkan salah dalam tindakan yang
kemudian akan merusak kewaspadaan dalam membedakan baik dan buruk. Seseorang
yang sudah seperti itu, pasti kehilangan Budi. Sesorang yang telah ditingkalkan
oleh Budinya, pasti akan sampai pada celaka. Akan tetapi, seseorang yang masih
hidup di dunia Indra, namun sudah tidak memiliki rasa senang dan benci, yang
pribadinya sudah bisa menguasai Angkaranya, itu yang akan sampai kepada
kemuliaan yang luhur.
Sudah jelas ajaran Sri Kresna di atas, siapa
saja yang selalu menuruti ajakan pancainddranya, lama-kelamaan menumbuhkan
hobby, menumbuhkan ketagihan, menumbuhkan terpikat. Dari sangat cintanya,
sangat mudah menumbuhkan rasa ingin memiliki, rasa penuh pamrih, demi untuk
keuntungan dirinya sendiri. Dikarenakan rasa ingin memiliki dan pamrih
tersebut, kemudian akan menumbuhkan nafsu, yaitu hasrat yang sesat, yang sering
menerjang aturan atau menerjang aturan hukum yang ada.
Sudah banyak terbukti di dalam kehidupan
bermasyarakat, orang yang tterkuasai nafsunya, maka akan lupa kepada nalar
kebenaran, melupakan larangan keutamaan. Jika sudah tumbih hasrat dan keinginan
yang jahat, hilang kewaspadaannya, hilang kehati-hatiannya, sehingga merani
melakukan tindakan yang sesat. Siapa saja yang bertindak sesat, yang berani
melawan hukum, walau pun sekali duakali bisa lolos dari hukuman, pada akhirnya
akan terjatuh dalam celaka.
Hal seperti itu, baru hukuman di dunia,
selagi masih hidup dalam bermasyarakat. Itu belum, keteka berada di alam rokhani
dan alam selanjutnya, tentulah sangat tidak mungkin untuk bisa menggapai untuk
menyatu dengan Tuhan yang kekal adanya.
Nyanyian Sukma tersebut di atas, bait 63 dan
64, tergolong inti dari Ajaran Sri Kresna yang luhur, yang baik untuk
diperhatikan oleh siapa saja, tua muda, yang walau pun belum menyenangi di
tingkat Ilmu Kasukman, namun sangatlah utama jika memperhatikan ajaran
tersebut, untuk dijadikan bekal hidup di dunia ini.
Memang Pancaindra itu adalah alat sebagai
sarana untuk hidup di alam dunia ini. Namun, pemiliknya harus bisa
mengendalikannya, jangan sampai justru dikendalikannya. Seperti halnya harta
kekayaan, jika seseorang bisa mengendalikan hartanya, akan mulia hidupnya, bisa
mengangkat derajatnya dan bisa menjalankan kebaikan dengan cara menyebar
keutamaan kepada masyarakatnya. Namun jika menjadi budak harta, tentunya akan
sengsara, akan menderita karenanya.
Pancaindra, jika bisa kita kuasai yang
kemudian bagaikan Sri Kresna ketika mengendalikan tiga ekor kuda yang menarik
kereta menuju ke tengah-tengah medan laga di Tegal Kurusetra – tentulah
pancaindranya justru akan bisa mendatangkan kemuliaan ketika di dunia hingga
pada akhirnya.
Sehingga, yang pertama-tama untuk menggapai
hidup dalam ketenteraman, syarat pertamanya harus bisa mengendalikan
pancaindranya, harus bisa menghilangkan daya pengaruh dan tuntutan
pancaindranya yang bersifat rendah. Hal seperti itu, harus dilakukan oleh para
pencari, yang berhasrat menyerap ketenteraman, oleh karena, ketenteraman itulah
sebagai syarat untuk mencapai kesempurnaan.
Sri Kresna kemudian melanjutkan menyampaikan
ajarannya tentang pentingnya mengendalikan hasrat, termuat dalam bait ke 65
hingga bait 68, sebagai berikut :
65 Jroning
kamulyan ingkang mangkono iku ilang sakehe susah-sungkawa, Kang pangriptane
terus heneng hening. Budine banjur bisa anteng lerem. ARTINYA
: Di dalam kemuliaan yang seperti itu, terhapuslah semua kesusahan dan
kesedihan. Yang cipta dalam diri telah Tenang dan Hening. Maka Budi di dalam
dir diam dan tenang.
65. Budining
manungsa iku ora bakal tangi, yen dheweke ora nggayuh marang panunggal. Dheweke
ora ngerti apa olah samadi iku. Kang ora oleh samadi ora bakal entuk
katentreman. Tanpa katentreman ora ana kamulyan. ARTINYA
: Budi di dalam diri manusia itu akan bangkit, jika manusianya sendiri tidak
berusaha untuk mencapai Penyatuan dengan DIA. Dia itu tidak mengenal perenungan, Tafakur,
Samadhi, menyatukan rasa dengan rasa Tuhannya. Yang tidak lulus dari Samadhi,
Tafakur, perenungan itu tidak akan bisa menggapai ketenteraman. Dan tan mendapakatkan
ketentaraman tidak mungkin untuk bisa mencapai kemuliaan.
67. Jroning
kamulyan ingkang mangkono iku ilang sakehe susah-sungkawa, Kang pangriptane
terus heneng hening. Budine banjur bisa anteng lerem. ARTINYA
: Berada di dalam kemuliaan yang seperti itu, akan hilang semua kesusahan dan
kesedihan. Yang ciptanya selalu tenang dan hening. Maka Budi miliknya kan bisa
tenang dan tenteram.
68.
Apa
wae ing jagad lelumbane indriya, kang nenangi pepenginane manungsa, sauwise
dirujuki dening pangriptane, mesthi banjur mikut lan mbandangake dheweke, kaya
dene angin prahara kang nyamber lan mbandhang prahu kang lagi lelayaran ana ing
samudra agung. Apapun adanya di dunia tempat
bermainnya Indra, yang selalu memenuhi hasrat manusia dalam kesenangannya,
setelah mendapat persetuan oleh nalarnya, pastilah akan menangkapnya dan
menyeretnya ke dalam kesessatan, bagaikan badai laut yang menyambar dan membawa
pergi perahu yang sedang berlayar di luasnya samudra.
Seperti itulah pentingnya memadamkan nyala api pancaindra
yang menjadi musuh para pencari ketenteraman, yang perlu dijalankan oleh siapa
saja yang menginginkan keselamatan dalam hidupnya.
Yang dimaksud dari hasrat yang menyebar di dalam uraian
di atas, yaitu segala bentuk hasrat yang mendorong tindakan sesat serta hasrat
yang mengarah bukan kepada yang bersifat kekal. Hasrat rendah yang ditodak bisa
menghaluskan dan mengangkat derajat budi, yiatu : Serakah terahdap harta benda,
ingin memiliki hanya derajat lahir, menginginkan untuk dihormati i hargai,
mengharapka pujian dan sebagainya, itu
juga termasuk hasrat yang melenceng. Senang menyalahkan, senang membicarakan
kejelekan orang lain, senang kepada pujian, itu semua sebaiknya dijauhi oleh
siapa saja yang menginginkan memiliki hati yang tenang dan selamat.
Perahu yang mengapung di air, diterjang badai, dalam
berjalannya tentulah tidak akan mempunyai tujuan yang tepat. Jika angin badai
mengarah ke utara, maka perahu akan berjalan ke utara, jika badai telah pergi,
maka perahu hanya terbawa arus di tengah samudra. Seperti itulah ibarat dari
hasrat yang tidak mempunyai pedoman atau pegangan yang kaut. Tidak memiliki
kemudi yang bisa mengarahkan arah menurut rencana semula. Hanya mengapung
mengiktui aliran air dan berjalannya hembusan angin saja.
Mengendalikan ahsrat, agar tidak menyebar.. perlu di
usahakan oleh para pencari hakikat.
Kemudian Sri Kressna mengingatkan Harjuna, seperti
berikut ini :
69.
Jalaran
saka iku, kawruhana, heh Harjuna! Ngemungake wong kang bisa nguwasani lan
misahake indriyane saka jagad palumbane, kang kena diarani wong kang jiwane
teguh lan seimbang jumenenge. ARTINYA : Oleh akrena
itu, ketahuilah Wahai Harjuna!!!! Hanya untuk manusisa yang bisa menguasai dan
bisa memilah-milah indranya dari wilayah tempat bermainnya, yang bisa disebut
orang yang berjiwa teguh dan seimbang dalam hidupnya.
70.
Alam
kang padhang jumingglang tumrape wong kang wus tinarbuka, kang tansah waspada
marang mobah-mosike cipta lan ripta, iku peteng lelimengan tumrape si cubluk.
Sabalike alam lelumbane sakeh pepenginan, kang dadi alam padange si cubluk iku
peteng tumrape sang sadu. ARTINYA : Alam yang
terang, bagi seseorang yang sudah terbuka hatinya, yang selalu waspada terhadap
gerak cipta dan hasrat hatinya, itu teramat sangat gelap bagi orang bodoh. Dan
sebaliknya, alam tempat bermainnya semua keinginan diri, yang merupakan alam yang
terang bagi kebodohan, itu gelap bagi orang
suci.
71.
Heh
Harjuna! Sesuwene sira urip ing ndonya iki, ya iku jagad lelumbane indriya,
bisaa sira iku kaya samodra, kang telenge ora obah lan mosik, sanadyan kajogan
banyu saka sakeh kali kang gedhe, lan sanadyan nduwure mawujud ombak-ombak kang
gedhe, kang gegulungan marga sinabet-sabet ing maruta. ARTINYA
: Wahai Harjuna! Selagi dirimu hidup di dunia ini, yaitu tempat bermainnya
Pancaindra, agar bisalah dirimu bagaikan samudra, yang palungnya tidak tergerak
dan selalu dalam keadaan tenang, walau
pun selalu terisi air dari banyak sungai besar, dan walau pun di atasnya berupa
ombak yang besar, yang bergulug-gulung karena tertampar oleh Badai dan angin
besar.
72.
Kang
wus bia nyingkirake sakeh pepenginan, marga pepenginan-pepenginan mau wus ilang
daya panarike, sepi ing pamrih lan angkara, sayekti, wong kang mangkono iku,
bisa entuk katentreman, sanadyan isih urip ing donya rame iki. ARTINYA : Yang
sidah menghindarkan diri dari semua keinginan dan hasrat diri, itu telah hilang
kekuatan daya tariknya, hampa dari pengharapan dan hampa dari angkara, tentulah
orang yang seperti itu, akan mendapatkan kenteraman, walau pun masih hidup di
keramian dunia ini.
Inti sari ajaran : Manusia yang hidup di dunia ini, untuk
bisa mencapai ketenteraman itu, jika bisa mengendalikan hasrat diri dan hawa
nafsunya, yang tidak menjadi budak harta dan kesenangan dunia. Dan sudah bisa
merdeka dari pengaruh pancaindranya. Seseorang untuk bisa mencapai ke tingkat
ketenangan dan ketenteraman yang kekal, jika dalam pencarian untuk menyatu
dengan Tuhan, sudah tidak memiliki rasa kemilikan, hanya ikhlas mengabdi dan
beribadah kepada yang Maha Kekal adanya.
4.
DUA
JALAN UNTUK MENGGAPAI KESELAMATAN
Telah disampaikan di dalam Nyanyian
sukma bagiak ke 2 pada bagian akhir, bahwa untuk mencapai ketenteraman, yang
pertama itu harus bisa mengalahkan kebebasan gerak pancaindra, Apa yang disebut
kebebabasan gerak pancaindra juga telah dijelaskan, yaitu yang berasal dari
hasrat dan keinginan diri, yaitu berupa keadaan yang tidak kekal, sejenis
tindakan buruk orang jawa bilang Ma lima atau Ma Saptabaya, Judi, mabuk, main
perempuan, mencuri, mencela dan menghisap ganja. Namun juga yang mengandung
watak rendah yang menghalangi perbuatan utama, yaitu sifat : iri, dengki, usil,
fitnah, marah, murka, senang memarahi dan sebagainya.
Namun, selain yang sudah dijelaskan
di depan, menahan atau menghalangi gerak pancaindra itu juga bermakna
menenangkan dan mengheningkan kehendak diri. Kehendak diri yang terlalu banyak
di kendalikan, agar menjadi tenang, terarah, sedangkan untuk bisa terlaksana
hal seperti itu, menurut para ahli ilmu rasa tentang “Naynyian Sukma” tidak
lain hanyalah dengan cara tafakur, meditasi, yoga, mengheningkan cipta atau
disebut juga samadi menyatukan rasa, menutup gerak 9 lobang yang ada di diri
manusia.
Menenangkan cipta itu memang salah
jalan untuk mengendalikan gerak pancaindra, karena daya cipta yang tenangakan memunculkan
gambaran-gambaran tindakan yang telah dilakukan, ada yang sesat ada yang benar.
Dengan cara meneliti perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan itu tadi, akan
menumbuhkan kesadaran, mawas diri, sehingga bisa mengendalikan gerak
pancaindra, dimulai dari sedikit demi sedikit, sehingga jika sudah tenang dalam
melakukan konsentrasi samadi, semakin mempunyai kekuatan untuk mengendalikan
gerak pancaindra.
Jika seseorang menginginkan untuk
mengambil intisari “Nyanyian Sukma” dengan tujuan agar bsianya mendapatkan
keberuntungan yang sejati, sebaiknya jika menginginkan untuk mengendalikan
pancaindranya, dengan menggunakan dua cara yaitu :
PERTAMA : Berusahalah untuk bisa
menekan nyalanya pancaindra yang berupa kesenangan dan kebiasaan berupa hobby
yang tidak kekal adanya. Berusahalah untuk bisa mengalahkan musuh yang selalu
mendami hidup selama ini, yaotu yang berupa watak dan sifat rendah : Marah,
iridengki, memfitnah, usil dan sebagainya.
KEDUA : melakukan Samadi, Tafakur,
mengendalikan dan mengheningkan cipta, membersihkan keinginan-keinginan yang
tidak karuan, melakukan kosentrasi pikiran, Memusatkan pandangan mata pada
ujung hidung, berusaha mengendalikan tidak terpengaruh lobang 9 dibadan atau
sekalian melakukan Dzikir.
Didalam bagia ke III Nyanyian Kidung
Sukma, bait ke 3 hingga 5, Sri Kresna memberikan ajaran :
3. Sri Kresna
ngandika : “Ing ngarep wus Manira terangake, heh Harjuna, yen dalan
tumuju marang kamulyan jati iku ana loro cacahe. Panunggal lummantar Ilmu Sangkya lan
Panunggal lumantar amal saleh kang winastan Karma Yoga. ARTINYA
: Sri Kresna berka : “Di depan sudah ingsun terangkan, wahai Harjuna, bahwa
jalan menuju kemuliaan yang sejati itu, ada dua jenisnya. Yaitu Menyatu dengan
cara melewati Ilmu kesedihan dan kebingungan (Sangkya) dan menyatu dengan cara
melakukan amal shaleh amal kebaikan, yang disebut Karma Yoga atau melakukan
tindakan.
4. Ora bisa manungsa iku medhot panancanging panggawe
mung sarana thenguk-thenguk, ora gelem nglakoni panggawe apa wae. Luhur-luhuring gegayuhan uga ora bisa kacekel mung
sarana ngungkurake jagad rame lan tapa ana ing gunung. ARTINYA
: Manusai itu tidak akan bisa memutus ikatan perbuatan hanya dengan cara diam
saja, tidak mau melakukan tindakan apa pun. Setinggi-tingginya cita-cita juga
tidak akan tercapai jika hanya meninggalkan keramian dunia dan melakukan tapa
di gunung.
5. Sajatine, nadyan mung
sakedheping netra wae, manungsa iku ora bisa tanpa tumandhang, sabab wus
dadi kodrat Triguna wong urip iku kudu tansah obah lan mosik, kudu tumandang. ARTINYA
: Sebenarnya, walau pun hanya secepat kedipan mata, manusia itu tidak bisa jika
tidak bergerak, karena sudah menjadi kodrat kehendak TriGuna – Tuntutan
kehidupan, manusisa itu harus tetap bergerak dan bersikap, harus melakukan
tindakan.
Diterangkan di dalam nynyian
tersebut di atas, bahwa cara seseorang mengapai keselamatan itu dengan dua
cara, yaitu menyatu dengan cara Ilmu dan menyatu dengan cara melakukan
pekerjaan. Di dalam bab ini, banyak para penafsir yang berbeda pendapat dalam
menterjemahkannya, namun yang sudah jelas apa yang dikehendaki oleh Sri Kresna,
yaitu dua jalan keselamatan itu tadi. “Panggawe kang tan agawe” Perbuatan yang
tidak berbuat, sedangkan yang ke dua : Tidak akan bisa mencapai kesempurnaan
bagi orang yang malas melakukan apa pun atau malas bekerja mengerjakan sesuatu.
Menyatu dengan menggunakan Ilmu,
yaitu menyatu dengan cara berusaha melihat yang sejati, yang bersifat kekal,
tidak pernah berubah. Tidak berhenti hanya sampai melihat saja (ma’rifat) dan
tidak berhenti hanya pada kuatnya keyakinan saja, namun juga harus meyakini dan
memahami semua sifat-Nya dan meyakini
dan memahami Dzat-nya (tingkatan di atas Ma’rifat yaitu Waqif). Untuk
memudahkan bahasa awamnya itu adalah Ketebalan Iman, artinya : Meyakini tentang
adanya Dzat Yang Maha Suci, hingga menembus hati tentang adanya Penguasa yang Kekal, yang
tidak pernah mati, dan keyakinannya itu tidak hanya berhenti di ucapan saja,
namun hingga menembus hati sanubari, hati nurani yang dikarenakan ilmunya sudah
benar-benar paham, sudah Ma’rifat bahkan sudah bisa melampaui ma’rifat (Waqif).
Sedangkan dalam beribadah, hanya dengan niat beribadah tanpa mengharapkan
apa-apa, yaitu dengan Ikhlas semata-mata karena Aallah, bukan karena Surga
neraka dan pengharapan pada pahala serta yang lainnya, itu dengan jalan
mensucikan niyat, tanpa menginginkan, ingin untuk keselamatan diri.
Di bait ke 6, Sri Kresna berkata “
6. Wong kang lungguh, kanthi nyegah obahe tangan, sikil,
lan saranduning badan liyan-liyane, nanging
pikirane ngalamun, lelumban ing jagade pancadriya lan pepenginan, iku amale
lamis utawa munafik. ARTINYA : Orang yang duduk, dengan mencegah
gerak tangan dan kaki dan juga seluruh badan yang lainnya, namun pikirannya
melamun, memikirkan tentang keinginan pancaindranya, itu adalah manusia suci
yang palsu dan munafik.
Sudah jelas apa
yang telah disampaikan oleh Sri Kresna, bahwa barang siapa yang nampak dalam
tata lahirnya sudah bisa mengendalika pancaindranya, bukan pemabuk, tidak
berjudi, tidak menghisap ganja, namun jika di dalam pikirannya masih mengejar
yang salah, juga belum disebut bertindak tanpa mengharapkan hasilnya. Barang
siapa yang sudah bisa mengendalikan watak-wataknya yang bersifat rendah, sudah
tidak punya rasa irihati, dan mudah terpengaruh, namun jika belum murni hanya
mengharap kepada Dzat yang sejati, juga belum disebut beribadah untuk
keselamatan.
Barangsiapa yang
kelihatannya melakukan samadi tiap malah harinya, namun jika pikirannya masih
menerawang atau belum tenang yang sebenarnya, juga belum didsebut beribadah
berdasarkan ilmu. Juga barangsiapa yang sudah menjalankan sembahyang, namun
masih memiliki rasa kemilikan, demi untuk keselamatan dirinya sendiri, belum
bisa disebut sembahyang yang hanya karena Allah.
Bahkan justru,
menurut Sri Kresna, orang yang sudah bisa memisahkan pancaindranya, namun
pikirannya masih menerawang jauh itu bisa disebut manusia suci palsu. Jika
menurut kata penganut Agama, orang yang hanya berpura-pura suci, hanya nampak
di luarnya saja yang patuh, namun di kedalam hatinya masih banyak keinginannya,
orang yang seperti itu termasuk jenis manusia munafik.
Sihingga yang
dimaksudkan dari sebutan menyatu yang tidak melakukan, yaitu orang yang
menjalankan ibadah, namun yang tidak mempunyai keinginan untuk kepentingannya
sendiri, yang sepi dari pengharapan. Cara yang digunakan oleh orang yang menjalankan
kewajiban Agama menurut keyakinannya masing-masing, yaitu orang yang sembahyang
yang hanya berniat menjalan perintah sembahyang, artinya hanya bertujuan
menyembah Tuhan, hanya karena patuh menjalankan perintah Allah, hanya karena
Allah, ikhlas tanpa mengharapkan hasilnya.
Sedangkan
beribadah yang mengarah kepada keselamatan, menurut cara yang ke dua adalah,
beribadah dengan cara menjalan kewajiban pekerjaan yang harus dilakukannya.
Untuk lebih jelasnya, termuat dalam nyanyian sukma bait 7 hingga 9, seperti
berikut ini :
7. Nanging manungsa kang tansah ngendhaleni indriyane,
lan raga, cipta lan riptane tumandang minangka ibadahe, utawa tandha bektine,
tumuju marang kang Maha Tunggal, satuhune jalaran nindakake Karma Yoga, wus
lepas saka panancange Karma. Iku manungsa kang tuhu pinunjul!. ARTINYA
: Namun manusia yang selalu mengendalikan pancaindranya, raganya, maka cipta
dan pikirannya bekerja sebagai ibadahnya, atau sebagai baktinya, tertuju
kempada Yang Maha Tunggal, sesungguhnya dikarenakan menjalankan yang menjadi
kewajiban hidupnya, itulah yang sduah terlepas dari ikatan karma. Itulah
manusisa yang benar-benar berilmu tinggi.
8. Tandangana panggaweyan kang wus dadi kuwajibanira.
Wong kang tumandang iku luwih becik tinimbang wong kang mung meneng wae. Wong
kang mung meneng wae iku uripe saka asil karyane wong liya. ARTINYA
: Kerjakanlah kewajiban pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya. Orang yang
mengerjakan kewajibannya itu lebih baik dibanding orang yang hanya diam saja.
Orang yang ghanya diam saja itu, hidupnya adalah dari hasil kerja orang lain.
9. Yen kabeh panggawe iku sira dadekake pangurbanan utawa
tandha bekti sajrone sira nindakake ibadah tumuju marang kang murba misesa urip
ira, sayekti panggawe-panggawe mau ora bakal dadi belenggu tumrap
kamardikanira. Mula kabeh panggawe iku dadekna ibadah, yaiku panggawe kang sira
lakoni tanpa pamrih, tanpa ngarep-arep uwohe utawa upahe. ARTINYA : Jika semua pekerjaan yang menjadi kewajibannya
kamu jadikan korban atau sebagai bukti kepatuhan menjalankan ibadah yang hanya
ditujukan kepada Sang Penguasa Hidup mu, sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu
tidak akan menjadikan belenggu bagi kemerdekaan. Maka dari itu, semua kerjamu
jadikanlah ibadah, yaitu kewajiban pekerjaan yang kamu lakukan tanpa
mengharapkan pamrih, tanpa mengharp-harapkan hasilnya atau upah penghargaannya.
Disebut menyatu
dengan jalan mengerjakan kewajiban kerjanya, karena yang menjalankannya tidak
terikat kepada apekerjaannya, maksudnya atas hasil dari hasil kerjanya, karena
sudah bisa mengalahkan tuntutan pancaindranya yang penuh dengan pamrih dan
pengharapan. Sehingga bekerja itu juga merupakan ibadahm jika apa yang
diperbuat dan dikerjakannya termasuk tindakan yang utama serta tidak terkotori
oleh rasa kemilikan, ibaratnya adalah orang yang melakukan kurban yang sudah
tidak mengharap-harapkan atas pahalanya.
Sedangkan bentuk
dari pekerjaannya, sudah dijelaskan oleh Sri Kresna, bahwa dunia ini, adalah
terikat oleh pekerjaan, terggelar di mana-mana dan bermacam-macam bentuknya,
bermacam-macam warnanya. Penuh dengan kelonggaran dan kesempatan bagi siapa
saja yang memang berniat menjalankan ibadah, menjalankan untuk menolong
Agamanya, amar ma’ruf, dengan cara meningkatkan perbuatan baik, amal shlaeh,
menyempurnakan perbuatan utama.
Menurut nasihat
para sesepuh, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat yang licin,
berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah minum kepada orang yang
kehausan, berilah penutup kepala kepada orang yang gkepanasan, berilah makan
kepada orang yang kelaparan. Perbuatan baik itu tergelar di mana-mana, hanya
tinggal menunggu yang mau mengerjakannya saja. Merawat anak yatim piatu,
mengasihi anak yatim, merawat orang jompo, memberikan perawatan kepada orang
sakit, seperti itulah dan sebagainya tidak akan kekurangan untuk berbuat yang
memberikan manfaat kebaikan kepada masyarakat. Itu semua bila dikerjakan dengan
tanpa pamrih, disebut termasuk sebuah Ibadah.
Di dalam ajaran
Agama apa saja, juga sudah ada perintah dan larangan, dan juga tuntunan agar
para pemeluknya agar selalu menjalankan dan berbuat amal sebagai ujud ibadah
tanpa mengharapkan terkenalnya nama, tanpa amengharapkan balasan.
Akan tetapi, jika
seseorang menjalankan suatu pekerjaan, hanya untuk menjalankan kewajibannya,
karena sudah mendapatkan ongkos untuk melakukannya - itu tidak termasuk ibadah, hanya sekedar
menjalankan kewajibannya di lingkungan pekerjaannya saja, bukan wajib atas
perintah Agama, atau wajib atas perintah dari Tuhan.
Hanya berupa
sebutan ibadah, jika orang yang menjalankannya kewajiban pekerjaanya itu,
disertai dengan tekad yang tulus ikhlas akan menambah keutamaan pekerjaanya,
mengalikan wajibnya, demi untuk memberikan bantuan dengan kesucian hati.
Seberapa besarnya
rasa keindahan, ketika seseorang menjalankan menyembah beribadah seperti di
atas, dikatakan oleh Sri Kresna dalam bait 39 hingga 42, sebagai berikut :
39. Mangkono uga kawicaksananing manungsa iku tansah
binuntel dening musuhe para sadu, yaiku kamarupa utawa angkara murka, kang
tansah murub mobyar-mobyar tanpa duwe marem.
ARTINYA : Demikian juga, bahwa sifat
bijaksana manusia itu selalu terbungkus oleh musuh para suci, yaitu penipu rupa
atau angkara murka, yang selalu menyala berkobar yang tidak pernah merasa puas.
40. Kamarupa rajas tamas mau nyrambahi lan jumenengg ana ing indriya, akal,
pangripta lan ciptaning manungsa, lan banjur amblinger manusa samangsa wus bisa
nutupi kawaspadane. ARTINYA : Rajas Tamas Penipu rupa berupa
angkara murka itu menguasai dan berada di dalam indra, akal, nalar dan cipta
dari manusia, yang kemudian membelokkan menusia ketika sudah menutupi
kewaspadaannya.
41. Indriya iku gedhe banget gunane. Parasaan gunane
luwih gedhe, luwih gedhe maneh gunane akal. Budi gunane luwih gedhe tinimbang
akal. Kang gehde dewe gunane yaitu Dheweke. ARTINYA
: Panca indara itu sangat besar kegunaanya, Perasaan itu lebih besar
kegunaanya, lebih besar lagi gunanya itu akal, Budi itu lebih besar gunanya
dibanding akal, yang terbesar gunanya itu DIA.
42. Sawuse sira ngreti yen Dheweke iku luwih luhur
tinimbang karo budi, kanthi pribadinira teguh lan antheng jalaran saka Dheweke,
yen sira prajurit sejati, sirnakna kamarupa iku, mungsuh kang julig banget,
kang ora kena dicedhaki. ARTINYA : Setelah dirimu memahami bahwa
Tuhan itu lebih luhur dibandingkan Budi, dengan ketenangan diri yang teguh dan
kuat dikarenakan DIA, jika dirimu itu prajurit sejati, hilangkanlah penipu rupa
angkara itu, Musuh yang sangat pintar, yang tidak boleh untuk didekati.
Rasa kemilikan
itu sangat kuat sekali pengaruhnya. Dimana-mana seseorang yang berniat
meeeeeelakukan tindak utama akan selalu digoda oleh rasa kemilikan itu. Di
dalam waktu apa saja, ketika seseorang orang sedang manjalankan ibadah, rasa
milik selalu terlihat dan selalu menggodanya. Rasa kemilikan itu seolah kekal
adanya, selalu tumbuh dan selalu bersemi ketika seseorang sedang giat berusaha
tuk mencapai keselamatan kedamaian, karena pada umunya bahwa hidup manusia itu
kesulitan untuk mencapai kepuasan. Padahal, dimana pun muncul rasa tidak puas,
disitulah akan tumbuh rasa kemilikan.
Didalam bait ke
40 disebutkan, bahwa indra, cipta dan budi itu tempat rajas dan tamas. Apa yang
disebut dengan istilah rajas dan tamas masih akan di ajarkan oleh Sri kresna
dalam Nyanyian Sukma bagian ke XIV. Dan sebenarnya ajaran yang diuraikan di
dalam Nyanyian Sukma itu, tidak urut susunannya, kadang meloncat-loncat, dan
membingungkan. Shingga dua istilah tersebut akan diterangkan di bagian lain,
agar bisa urut dalam kita menelaah intisari ajaran yang luhur ini. Seperti juga
istilah “Dheweke” yang terdapat pada bait
ke 42, akan diterangkan jika sudah menguraikan kata “Ingsun” agar lebih jelas
dan mudah dalam menguraikannya.
Intisari Ajaran
di atas : Berudaha mencapai ketenteraman yang kekal, ada dua jalan. Dengan cara
menyatu memusatkan cipta hanya kepada Dzat yang kekal adanya, menghilangkan
keinginan-keinginan tentang keduniaan; dan yang kedua : Menyatu dengan cara
menjalankan kewajiban kerja yang mulia tanpa mengharapkan apa-apa dan hasilnya.
5..
HAMPA
PENGHARAPAN PENUH IBADAH
Pada bagian ke IV dalam Nyanyian
Sukma, Sri Kresna akan akan menyampaikan Ajaran tentang ibadah menurut ajaran
kuna, yang sebenarnya juga bisa ditemukan di dalam ajaran Agama-Agama yang
diyakini di jaman sekarang ini, hanya saja cara mengajarkannya yang berbeda,
menggunakan kalimat dan ibarat yang tidak mudah dipahami dengan cara biasa.
Penyampaian Sri Kresna sebagai
pembukanya :
3. Piwulang Yoga ingkang saiki Manira wedharake marang
sira, iku padha wae karo piwulang ingkang Manira wedharake ing sakawit. Sira
iku mitra Manira, kang tansah ngetokake bektinira. Mula piwulang ingkang
adiluhur iki Manira wedharake marang sira. Ajaran
Yoga yang sekarang Ingsun ajarkan kepada dirimu, itu sama dengan ajaran yang
Ingsun ajarkan pada awalnya. Dirimu itu sahabat Ingsun, yang selalu menjalankan
kebaktian. Maka dari itu ajaran yang sangat luhur ini ingsun ajarkan kepada
dirimu.
Sedangkan ajaran tentang ibadah menurut ajaran masa lalu
itu, masih menjelaskan tentang cara
beribadah berupa dua macam, yaitu dengan cara tindakan dan dengan cara tidak
melakukan tindakan. Dengan cara bertindak merampungkan pekerjaan dan dengan
cara tidak bertindak melaksanakan sebuah perbuatan, dijelaskan pada bait 16
hingga 20, sebagai berikut :
16. Mara terangna marang Manira apa kang diarani tumandang
lan apa kang diarani ora tumandang. Para winasis wae padha bingung anggone arep
nerangake. Coba saiki Manira terangake marang Sira. Yen sira wis bisa mangerti,
sira ora bakal
nglakoni dosa maneh. ARTINYA
: Coba terangkan kepada Ingsun apa yang disebut bertindak dan apa yang disebut
tidak bertindak. Para ahli ilmu saja kebingungan untuk menerangkannya. Coba
sekarang akan ingsun terangkan kepada dirimu, jika dirimu sudah bisa memahami,
dirimu tidak akan melakukan dosa lagi.
17.
Manungsa kudu weruh kang diarani tumandhang, uga tumandhang sing salah lan uga
maknane meneng, jero banget maknane lakune tumandang. ARTINYA
: Manusia harus bisa memhamai apa yang disebut melakukan pekerjaan, juga
bertindak yang salah, dan juga makna dari diam, sangatlah dalam makna dari
melakukan tindakan.
18.
Manungsa kang bisa nyipati Kang Meneng sajroning tumandang lan kang Tumandhang
sajroning Meneng, iku manungsa kang pinunjul kawicaksanane. Dheweke nindakake
Yoga sinambi nglakoni sakeh panggawe (mati sajroning Urip lan Urip sajroning
Mati). ARTINYA : Manusia yang bisa melihat yang
diam di dalam bertindak dan yang bertindak di dalam diam, itu adalah manusia
yang unggul dalam kebijaksanaannya. Dia melakukan yoga sambil menjalankan semua
pekerjaannya.
19.
Manungsa kang saguh ngrampungake kuwajiban-kuwajibane, ora marga kepengin
ngundhuh uwohe, saha nucekake panggawene sarana urubing Pangawikan, iku kang
diarani Pandhita kang sejati. ARTINYA : Manusia yang sanggup
menyelesaikan semua kewajiban-kewajibannya. Tidak karena menginginkan
mendapatkan hasilnya, serta mensucikan pekerjaan dengan cara menyalakan
Ilmunya, itulah yang disebut Manusia suci yang sejati.
20.
Wong sing ngeklasake uwohe panggawene, tansah nrima, ayem, ora gawe repote
liyan, uwong kang mangkono iku, ora nuwuhake karma maneh, nadyan dheweke
nglakoni paggawene apa bae. ARTINYA : Seseorang yang sudah
mengikhlaskan hasil kerjanya, selalu ikhlas, tenang, tidak membuat kerepotan
orang lain, manusia yang seperti itu, tidak menumbuhkan karma lagi, walau pun
dia melakukan pekerjaan apa saja.
Terbukti dari isi Nyanyian sukma tersebut di atas, jika
tidak benar-benar dalam kita menelaah untuk bisa memahami, sangat sulit untuk
bisa menemukan intisari dari ajaran yang sejati.
Isi ajaran yang sebenarnya, jika dimaknai menggunakan
bahasa biasa, intinya adalah : Beribadah menurut Ilmu di jaman kuna yang
diajarkan oleh Sri Kresna itu, ada dua
jenis, yang pertama terlihat seperti tidak berbuat, namun sebenarnya melakukan
ibadah, yang satunya lagi terlihat seolah-olah melakukan iabdah, namun
kenyataanya tidak menjalankan ibadah.
Contoh ibarat bagi orang yang diam, kelihatannya memang
tidak bergerak, tidak bekerja, namun kenyataan jiwanya hanya satu yang
dipikirnnya, melakukan ibadah kepada Tuhannya. Orang yang telah mampu melakukan
seperti itu, disebut melakukan gerakan tanpa bergerak, beribadah dengan cara
tidak menggunakan raga, yang melakukannya hanyalah badan halusnya.
Dan sebaliknya, yang kelihatannya amelakukan ibadah
dengan cara melakukan kurban, melakukan persembahan ketika ada acara upacara
ibadah – akan tetapi jika hatinya tidak ikut beribadah, dan hanya memikirkan
yang lainnya – yang seperti itu bisa disebut melakukan pekerjaan tanpa
menghasilkan apa-apa. Melakukan ibadah namun sama saja tidak beribadah, karena
masih tertutup oleh keinginan diri kepada yang lain-lainnya, yang beraneka
macam jenisnya.
Contoh yang lain lagi, seseorang yang sedang melakukan
samadi, menenangkan ciptanya, terlihat seolah-olah benar-benar beribadah kepaga
Tuhan, namun jika tujuan pikirannya tidak hanya untuk beribadah, hanya berniat
memohon meminta sesuatu untuk keperluan dirinya, orang yang melakan hal seperti
itu tidak bisa disebut seebagai orang yang melakukan tindakan ibadah yang tidak
melakukan ibadah. Karena masih memiliki rasa kemilikan dan keinginan, masih
memiliki pengharapan dan permintaan.
Contoh yang lainnya lagi : Seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jika ketika bekerja itu hanya
untuk kebaikan sebagai sarana ibadah kepada Tuhan, dengan kesucian hati,
sebagai amal jariyah .. orang yang seperti ini, walau pun tidak melakukan
samadi, tidak memberikan kurban .. namun sudah termasuk jenis ribuan ibadah,
beribadah yang tidak melakukan ibadah.
Sehingga sebenarnya, jika seseorang yang melakukan tapa
di dalam gua, jauh dari keramaina kehidupan. Belum tentu benar-benar melakukan
ibadah, karena bisa saja ketika melakukan tapa , karena mempunyai tujuan iingin
agar mendapatkan derajat tinggi, inging mendapatkan kewibawaan, ingin terkenal
namanya, atau hanya untuk pertunjukan saja, dan sebagainya lagi menurut
keinginan tenetang keduniaan.
Direngkan juga oleh Sri Kresna, bentuk ibadah yang
benar-benar ibadah, dalam nyanyian sukma bait ke 21 hingga 23, berikut ini :
21.
Tanpa duwe pepenginan, tansah nguwasani pribadhine, lan bener-bener wus sepi
ing kamurkan, kang tumandang iku mung ragane lan jalaran saka iku dheweke ora
kadunungan dosa. ARTINYA : Tanpa memiliki keinginan, selalu
bisa mengendalikan pribadinya, dan benar-benar sudah terhindar dari kemurkaan,
yang bergerak itu hanya raganya, dan oleh akrena itu, maka dia tidak ketempatan
dosa.
22.
Nrima apa kang dadi pandhume, kalis saka wolak-walike kahanan, ora duwe sengit,
padha wae sajroning suka lan sungkawa, ora ana karma kang nancang maneh, sanadyan dheweke nglakoni panggawe
apa wae. ARTINYA : Menerima apa yang menjadi
ketepan-Nya, terbebas atas pengaruh berbagai perubahan, tidak memiliki rasa
benci, senang dan susah dianggapnya sama saja, maka tidak ada karma yang bisa
mengikatnya, walau pun dia melakukan perbuatan apa saja. (Contoh : Yang
dilakukan Nabi Khidir pada jaman Nabi Musa).
23.
Kang wus sepi saka sakehe
pepenginan, jiwane tansah tumanem ing kawicaksanan, lan ngrampungake sakeh
panggawene mung minangka kurban, yaiku tandha bektine kang kunjuk marang kang
murba-misesa uripe, iku manungsa kang wus lebur panancanging karmane. ARTINYA
: Yang telah sepi dari semua keinginan diri, jiwanya selalu tertanam dalam
kebijaksanaan, dan menyelesaikan segala kewajiban kerjanya hanya untuk sebagai
kurban, yaitu sebgai tanda bukti baktinya yang ditujukan kepada Penguasa
Hidupnya, itulah manusia yang sudah bisa menghapus ikatan karma (Sebab akibat).
Pada intinya : Hanya sebutan Ibadah, jika sepi dari
pengharapan, penuh ikhlas hanya ibadah. Telah sepi dari permohonan hanya untuk
kepentingan diri pribadi, namun hanya bertujuan kepada kebenaran ibadah hanya
untuk Tuhan. Sepi dari keinginan untuk memenuhi tuntutan keinginan diri atau
keluarganya, namun benar-benar hanya karena Allah, karena Tuhan, Beribadah
hanya untuk ibadah tanpa pamrih, tanpa kemilikan, khusus hanya menjalankan
kewajiban menghadap Tuhan yang wajib disembah.
Pada baik ke 23 (yang terakhir) tersebut di atas, itu
telah dijelaskan, Yang telah sepi dari semua keinginan diri, itulah jiwanya
telah bebas merdeka. Merdeka itu artinya tidak terjajah oleh keinginan diri
atas tuntutan Pancaindra, tidak dipaksa oleh watak jiwa rendah, dan juga bukan
menjadi budak dari hasrat dan pikiran yang bermacam-macam, yang hanya mencari
kesenangan diri yang tidak kekal adanya.
Seseorang yang sudah berhasil melawan Kurawa yang ada di
dalam dirinya, yang berada di dalam raganya, yang berupa gerak dari pancaindra
dan nyala dari hawa nafsunya – itulah yang diinginkan oleh merdeka. Siapa saja
yang sudah bisa mengalahkan musuh yang bernama Kurawa dalam diri, yang
dianggapnya sebagai saudara dirinya, disayangi bagaikan orang yang dicintai ...
yang berupa kesenangan diri dan kesenangan keduniaan – orang yang bisa sebagai
pemenangnya itu, disebut telah merdeka.
Merdeka, karena sudah tidak terjerat oleh tuntunan
keinginan pancaindra, tidak diikat oleh hawa nafsunya, tidak terikat oleh
keinginan ego diri dan hasrat yang menyesastkan.
Kemudian Sri Kresna melanjutkan ajarannya tentang kurban
yang dilakukan oleh orang yang melakukan upacara-upacara peribadatan, yang
sebenarnya belum tentu akan ada manfaatnya bagi yang melakukannya. Berkurban
atau mengorbankan yang berujud apa saja, sebenarnya yang terpenting itu bukan
ujud dari yang dikurbankan, kan tetapi dari niatnya yang berasal dari hati bagi
yang melakukannya, termuat dalam bait ke 32 hingga 39, sebagai berikut :
32.
Sanadyanta wujuding kurban kang kunjuk marang Hyang Brahma iku mawarna-warna,
nanging kabeh kurban iku kelakone sarana tumandhang. Yen sira wis bisa nampa
surasane piwulang iki, mesthi uripira bakal mentas. ARTINYA : Walau pun ujud kurban yang ditujukan kepada
Hyang Brahma itu bermacam-macam, namun semua kurban itu akan bisa terlaksana
dengan cara dilakukannya. Jika dirimu sudah bisa menerima makna dari ajaran
ini, pasti hidupmu akan bebas.
33.
Luwih utama tinimbang sesaji kurban kang wujud barang utawa bandha, yaiku
tapabrata nggayuh panunggaling Kawula Gusti. Tujuane sakeh panggawe iku ora
liya mung pepadhang lan pangawikan. Lebih utama
dibandingkan dengan sajian kurban yang berupa barang atau harta itu adalah
bertapa tafakur berusaha menyatukan rasa hamba dengan Tuhannya. Tujuand ari
semua tindakan itu tidak lain adalah Terang dan Ilmu.
34.
Goleka pangawikan sarana tetakon, lan sarana mbangun turut jroning puruhita
marang sang Wiku utawa sang Guru Jati. Mesthi bakal binuka kawicaksananira
dening para Mahaguru, kang wus wikan ing gaibing Urip. ARTINYA
: Carilah ilmu dengan cara bertanya, dan dengan cara patuh ketika belajar
kepada Ulama atau Guru Sejati. Itu pasti akan terbukalah kecerdasan kebijaksaan
dirimu oleh para Mahaguru, yang telah memahami rahasia hidup.
35.
Yen kabeh iki wus rumesep bener-bener ing rasa-pangrasanira, wus ora ana apa
wae kang bisa gawe rupeke atinira marga saka salah tampa. Hyang Atma nglimputi
sagung kang gumelar iki. Dadi sakeh alam kang gumelar lan kang gaib iku
dumununge ana ing Ingsun. ARTINYA : Jika semua itu sudah meresap di
dalam rasa perasaanmu, sudah tidak akan ada lagi yang bisa membuat keruwetan di
dalam hatimu yang dikarenakan salah dalam mehaminya. Hyang Atma (Hidup yang
tidak pernah mati) menguasai semua yang tergelar ini. Dan semua alam yang
tergelar ini dan alam yang gaib itu berada di Ingsun.
36.
Sanadyan sira iku wus nglakoni
kejahatan ngluwihi para bebenggole penjahat, kanthi lelayaran ing prahu pangawikan,
mesthi sira bisa ngliwati samodraning sakeh dosa. ARTINYA
: Meskipun dirimu telah melakukan kejahatan melebihi pemimpin para penjahat,
dengan berlayar menggunakan perahu ilmu, tentulah dirimu akan bisa melewati
luasnya samudra yang berisi dosa.
37.
Yen bahan bakar iku sirna dadi awu marga saka urubing geni pangurbanan, mula
genine pagawikan bisa mbesmi panancanging Karma nganti dadi awu uga. ARTINYA
: Jika bahan bakar sudah musnah menjadi abu karena terbakar api pengorbanan.
Maka, api ilmu pun bisa membakar habis ikatan karma hingga
menjadi abu.
38.
Pangawikan utawa ilmu iku sesuci ingkang ampuh dhewe ing donya iki. Wong kang
wus sampurna anggone olah Yoga, wusanane nemu yen Pangawikan iku dumunung ing
Salira Pribadi. ARTINYA : Pengetahuan atau ilmu itu, adalah
alat untuk bersuci yang paling ampuh di dunia ini. Seseorang yang telah
sempurna dalam tafakurnya dengan olah yoga, pada akhirnya akan menemukan bahwa
Ilmu itu sebenarnya berada di dalam dirinya sendiri
39.
Sapa kang mantep imane bakal tampa Pangawikan, uga wong kang tansah ngendhaleni
indriyane. La, yen wong iku wus ndarbeni Pangawikan, mesthi dheweke tumeka ing
luhuring aluhur, katentreman lan kamulyan. ARTINYA : Siapa saja yang kuat imannya, akan mendapatkan Ilmu, dan
juga seseorang yang selalu mengendalikan pancaindranya. Dan bila seseorang itu
telah memiliki Ilmu pemahaman, pastilah dirinya akan sampai pada derajat luhur,
ketenteraman dan kemuliaan.
Kurban atau persembahan itu ibadah lahir kepada Tuhan.
Bentuknya, bermacam-macam, sesuai keyakinan yang dianutnya masing-masing.
Persembahan lahir dalam upacara penghormatan yang harus disertai juga
persembahan batin yang terpancar dari hati yang suci. Jika kurban itu hanya
dilakukan bagaikan persembahan pada umunya seperti yang ditujukan kepada sesama
manusia yang dihormatinya, sebenarnya perbuatan tersebut tidak memiliki makna
penghormatan.
Kurban yang berupa benda, seharusnya hanya sebagai tanda
bukti atas ibadah hati, ibadah dari keyakinannya yang tumbuh dari niat yang
suci, murni hanya menyembah Tuhannya, tanpa pengharapan kemilikandan pamrih.
Menurut Sri Kresna, di antara kurban-kurban yang luhur,
tidak ada lain, selain kurban kebijaksanaan. Artinya, persembahan yang berupa
perbuatanyang benar-benra sepi dari pengharapan, persembahan yang berupa
benar-benar ibadah hanya untuk karena Tuhan, tanpa terselip atas pengharapan
kemilikan sedikit pun.
Jika sudah seperti itu, sudah benar-benar sepi dari
pengharapan untuk kepentingan dirinya, namun penuh ikhlas hanya ibadah.
Seseorang yang sudah demikian itu, jika meninggal dunia, maka akan sampai pada
aketenteraman yang luhur. Kata lainnya, akan bisa menyatu dengan Dzat-Nya,
yaitu bisa bertempat tingga dalam satu tempat, berkumpul dengan Dzat, yang di
dalam Agama Islam dikatakan : Kembali kepada Rakhmat Allah, jika di Agama
Kristen dikatakan : Kembali menghadap ke pangkuan Tuhan.
Menurut Filsafat Hindu yang diajarkan oleh Sri Kresna
ini, kalimat bersama di dalam Dzat itu, maknanya adalah tidak akan dilahirkan
lagi ke dunia ini, dunia yang dianggkap sebagai tempat kesengsaraan karena
harus merasakan senang dan susah dan mengalami kejadian apa saja yang tidak
kekal adanya.
6.
PENYATUAN
DENGAN CARA MELAKUKAN PERBUATAN
Belum tuntas, Sri Kresna
menyampaikan ajarannya tentang ibadah, yang bisa sampai kepada penjelasan yang
sempurna, sehingga dalam Nyanyian Sukma ke V, masih masih melanjutkan
menjelaskan tentang ujud ibadah yang sebenarnya.
Pada bagian ini, Sri Kresna
menggunakan istilah baru tentang Pribadi Luhur atau tentang Arah tujuan segala
yang ada, yaitu dengan sebutan Brahma. Hal ini terdapat dalam kata-kata :
Melihat Brahma, Berada di dalam Brahma, menjadi satu dengan Brahma, Nirwananya
Brahma, dan sebagainya.
Istilah Brahma itu, terdapat dan
dijelaskan di dalam Bait ke 18 dan 19, sebagai berikut :
18.
Brahmana kang sadu budi lan andhap-asor, sapi, gajah, malah asu lan wong kang
mangan asu, iku kabeh padha wae ajine tumrap sang Pandhita, kang tuhu wus
manunggal karo Dheweke. ARTINYA : Brahmana yang ahli budi dan sopan
santun, sapi, gajah, bahkan anjing dan orang yang makan anjing sekli pun, itu
semua sama saja nilainya dimata sang Pandhita.
19.
Sapa kang pangriptane tansah tata-tentrem (seimbang) bisa nelukake bumi iki.
Suci kaya Hyang Brahma dhewe, dheweke mengko mesthi manunggal karo Hyang Brahma. Sesiapa
yang hasrat dan pikirannya selalu dalam ketenangan (Seimbang) maka akan bisa
menguasai bumi ini. Suci bagaikan Hyang Brahma itu sendiri, orang seperti itu
pastilah akan menyatu dengan Hyang Brahma.
Walau pun bergitu, Sri Kresna masih
melanjutkan memberikan ajaran tentang ibadah, karena Harjuna masih kebingunan
dalam membedakan antara beribadah tan berbuat ibadah dan dengan yang melakukan
ibadah. Sri Kresna memberikan intisari ajarannya, sebagai berikut :
20.
Ora suka riya yen nemu kabegjan, lan ora giris yen katekan bebaya, kang santosa
ing budi, tetep tanpa was sumelang, manjing ing Hyang Brahma. ARTINYA
: Tidak merasa bahagia dan pamer ketika mendapatkan keberuntungan, dan tidak
takut ketika menghadapi bahaya, yang sudah kuat budinya, teguh tanpa ada rasa
kuatir, itulah yang bisa masuk kepada Hyang Brahma.
Untuk lebih jelasnya, sesiapa yang
menjalankan ibadah tanpa melakukan ibadah, artinya ketika menjalankan penyatuan
dengan cara menenangkan semua pancaindra dan keinginan dirinya, ikhlas menuju
kepada yang Satu, Dengan kata lain, seseorang yang sudah berda pada derajat
bijaksana, yang tidak ada celanya dan tidak ada bandingnya, yaitu yang seperti
tersebut di atas yang diharapkan dari istilah Brahma. Namun seseorang yang
sudah bisa melihat Brahma, diberi amanah agar jangan sampai senang jika
mendapatkan keberuntungan, dan jangan sedih jika mendapatkan kesusahan.
Ajaran selanjutnya yang desbut Ilmu
Sangkya yaitu menyatu dengan cara tidak melakukan tindakan raga, akan
direangkan pada bait 21 hingga 24, berikut ini :
21.
Kang Atmane wis ora kena pengaruhe obah-mosike indriyane, wis seneng lan lega
jalaran sesrawungan karo Ingsun, kang pribadine wus manunggal karo Ingsun
lumantar olah Karma Yoga, bakal ngrasakake kamulyan kang ora ana wusanane. ARTINYA
: Yang Atmanya (Daya hidup yang tidak pernah mati), sudah tidak terpengaruh
oleh gerak indranya, sudah merasa senang dan puas karena sudah bisa bertutur
kata dengan Ingsun, yang pribadinya sudah menyatu dengan Ingsun, melalui Karma
Yoga, akan mendapatkan kemuliaan yang tidak ada batas akhirnya.
22.
Kasenengan lan kanikmatan kang timbul saka gepok-senggole Jagad Cilik lan Jagad
Gede, sejatine mesthi mbabarake kasusahan. Kanikmatan kang mangkono iku, lagi
wae bisa dirasakake wus banjur musna. Sang sadu ora butuh srawung karo
kanikmatan kang kaya mangkono iku. ARTINYA : Kesenangan
dan kenikmatan yang disebabkan karena bersentuhannya dunia nyata dan dunia
batin, dunia besar dan dunia kaecil, itu sebenarnya benyebab timbulnya segala
kesusahan. Kenimatan yang seperti itu, baru sebentar saja bisa dinimati
tiba-tiba musnah. Manusia Suci itu tidak butuh bergaul dengan kenikmatan yang
seperti itu.
23.
Manungsa kang isih urip sajroning raga iki, lan tanpa keguh bisa nanggulangi
panggendenge hawa nafsu lan kamurkan, iku manungsa kang tuhu pinunjul. ARTINYA
: Manusia yang masih hidup di dalam raga ini, dan tanpa keluhan serta bisa
menanggulangi gerak hawa nafsunya dan kemurkaannya, itulah manusia yang
benar-benar mulia.
24
kang wus ngalami yen kamulyan iku dumunung ana ing Salira Pribadi, seneng. Sapa
sesrawungan karo Dheweke, adus ing papadhang marga saka Dheweke mesti bakal
manjing ing Nirwana Hyang Brahma, jalaran wus manunggal karo Hyang Brahma. ARTINYA
: Yang sudah bisa merasakan bahwa kebahagian itu berada di daiam dirinya
sendiri dan juga yang beranama kesenangan. Sesiapa yang bergaul dengan Dia, itu
bagaikan mandi cahaya, karena hanya karena DIA, pasti akan masuk ke dalam
Nirwana Hyang Brahma, karena sudah menyatu dengan Hyang Brahma.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, yang merupakan
seseorang yang menjalankan Ibadah dengan cara sudah meletakkan ibadahnya,
artinya itu, sudah tidak memikirkan keduniawian bagaikan orang suci yang
melakukan tapa di dalam keheningan hutan atau laku para pandhita yang telah
bisa menghindari pengaruh keduniawian.
Jika benar-benar bisa mengikhlaskan perbuatannya, artinya perbuatan kerja yang bersifat
keduniaan, hanya ikhlas beribadah menyembah kepada Tuhannya, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, bagaikan telah menyatu menjadi satu, akan mendapatkan ketenangan di
dalam Dzat. Akan tetapi, ketika menghindar dan tidak melakukan ibadah itu tadi,
masih belum bisa melepaskan semua godaan keduniaan, itu tidak akan bisa sampai
ke Nirwana Hyang Brahma.
Kemudian Sri Kresna melanjutkan
Ajaranannya, pada bait ke 25 hingga 29, sebagai berikut :
25. Kabeh resi kang wus resik saka sakeh dosa, lan wus ora kataman
wolak-waliking kahanan, tansah nguwasani pribadhine, lan merakati tumrap sapa
wae, mesthi bakal manjing ing Nirwanane Hyang Brahma. ARTINYA
: Semua orang suci yang sudah bersih dari segala dosa, dan yang sudah tidak
bisa dipengaruhi oleh gerak perubahan keduniaan, selalu bisa mengendalikan
dirinya, dan bisa memberikan manffat kepada siapa saja, pastilah akan masuk ke
dalam Nirwananya Hyang Brahma.
26.
Sepi saka sakeh pepenginan, ora tau nesu, ora tau muring-muring, pangriptane tatatentrem,
kang wus tepung karo Salira Pribadine, sayekti wus nyedhaki Nirwanane Hyang
Brahma. Sudah tidak terpengaruh atas segala
akeinginan diri, tidak pernah marah, tidak pernah memarahai orang lain, tenang
pikirannya, yang sudah bisa mengenal dirinya sendiri, itulah yang sudah dekat
dengan Nirwananya Hyang Brahma.
27. Sawuse anutupi babahan hawa
sanga, lan pandhulune meleng ndeleng tumuju marang antaraning alis karu pisan,
sawise madangake lebu metuning napas, kang mobah ing kepinging grana karo
pisan. ARTINYA : Setelah menutup lobang sembilan
yang ada di raga, dan mata hatinya terpusat memandang di antara kedua alisnya,
setelah menenangkan pernafasannya, yang keluar masuk melalui kedua lobang
hidungnya.
28. Lan ngleremake
pancadriyane, pikire lan budine, lan panggayuhe pamudaran wus ilang
pangarep-arepe. Apa dene mirise lan murkane wus sirna babar pisan. Sujanma
sukci kang mangkono mau, sayekti bisa maradika. // Sang Muni, kang murih bisa muksa
nglelatih nututake budine, pangriptane, ciptane, lan indriyane, kang wus sepi
ing pamrih, was-sumelang lan kamurkan, mesthi bakal mentas, Muksha. ARTINYA
: Dan nenenangkan Pancindaranya, pikirannya dan budinya, dan hasratnya, pengharapan
sudah hilang harapan-harapannya. Dan
juga rasa takutnya dan sifat murkanya sudah hilang semua. Manusia suci yang
seperti itulah yang mencapai kesempurnaan dan merdeka // Manusia suci, agar
bisa moksa dengan jalan berlatih menyelaraskan budinya, nalarnya, ciptanya dan
indranya, yang sudah tidak mempunyai pamrih, rasa kuatir dan murka. Itulah yang
pasti bisa moksa.
29. Kang wus ngerti yen
Ingsun ingkang ngrasakake kanikmatane pangurbanan tapabrata jroning nglakoni
Karma Yoga, wus mangerti yen Ingsun ingkang jumeneng Pangeran ing kabeh Alam,
welas asih marang kabeh titah, marga wus ngerti marang Ingsun, bakal oleh
katentreman lan kamulyan kang linuhur. ARTINYA : Yang sudah
bisa memahami bahwa Ingsun yang merasakan kenikmatan kurban berupa tapa dalam
melakukan Karma Yoga, sudah paham bahwa Ingsun adalah Tuhan di seluruh Alam,
yang bersifat memberikan kasih sayang kepada semua makhluk, dan yang karena
sudah memahami tentang Ingsun, itulah manusia akan mendapatkan ketenteraman dan
kemuliaan yang tinggi.
Seperti itulah ajaran Sri Kresna
yang disampaikan kepada Harjuna tentang Ibadah dengan cara meletakkan
ibadahnya, mana yang harus di pilih, mana yang lebih penting dibanding menyatu
dengan cara melakukan ibadah.
Sebenarnya, menyatu dengan cara
tidak melakukan ibadah raga, jika dilakukan dengan benar, bisa terlaksana
dengan tepat, dan akan bisa menghapus segala dosa, namun di dalam hidup
bermasayarakat di dunia rame ini, sangat sedikit manfaatnya. Karena tidak ikut
melakukan kerja yang berupa andil dalam kehidudpan bermasayarakat, yang
menunggu kepada yang akan menjalankannya.
Seorang ahli tapa yang sudah
meninggal urusan dunia yang tinggal di sebuah gua yang dekat dengan pedesaan,
lebih bermanfaat dalam masyarakat di pedesaan tersebut jika dalam melakukan ibadah
itu disertai dengan berkiprah dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan yang tidak
hanya bsia mengendalikan gerak pancaindra dan hawa nafsunya sendiri, namun juga
bisa menghilangkan semua perbuatan yang mengarah kepada keselamatan dalam
kehidupan bermasyarakat di sekitarnya. Mengajarkan ilmu luhur, memberikan
pertolongan yang sedang mengalami kesusahan, memberi penerang kepada yang
kegelapan, membantu terlaksananya niat baik agar bisa berhasil itu menjadi
bangunan yang bermanfaat untuk kepentingan umum, dan sebagainya.
Sri Kresna telah menyampaikan di
dalam bait ke 2 yang maksudnya : Tidak melakukan perbuatan dan melakukan
perbuatan untuk menyatu dengan Tuhan, keduanya itu bisa mengantarkan kepada
keselamatan yang luhur, namun telah meninggalkan pekerjaan itu masih kalah oleh
menyatu dengan cara mengerjakan pekerjaan.
Pada bagian ke VI, dalam Nyanyian
Sukma, Sri Kresna masih melanjutkan memberikan Ajaran tentang penyatuan yang
tidak dengan cara melakukan pekerjaan, sebagai tambahan apa yang sudah
disampaikan di dalam bab V. Oleh karena kata-katanya sangat indah, maka tidak
ada jeleknya akan dijelaskan sekedarnya yaitu terdapat di bait 15 hingga 26,
sebagai berikut :
15.
Mangkono tan pegat anggone ngudi manunggal karo Ingsun sarana tansah nguwasani
pangriptane, sang yogi nuli manjing ing katentremaning Nirwana kang luhur,
jumbuh karo Ingsun. ARTINYA : Demikian yang tidak pernah
terputus dalam melakukan penyatuan dengan Ingsun, dengan cara selalu
mengendalikan dan menguasai kesadarannya, Sang yogi (yang melakukan yoga)
kemudian akan masuk ke alam ketenteraman Nirwana yang luhur, dan menyatu dengan
Ingsun.
16.
Yoga iku ora kanggo uwong ingkang nggedhekake mangan, lan uga ora kanggo uwong
ingkang tansah pasa, ora kanggo uwong ingkang karem turu, lan ugo ora kanggo
uwong ingkang tansah melek. ARTINYA : Melakukan Yoga itu, bukan hanya
orang yang selalu puasa, bukan hanya untuk orang yang senang tidur, dan bukan
juga untuk orang yang selalu terjaga.
17.Kanthi
duga prayoga bab mangan lan kasenengan, ajeg anggone nglatih olah yoga, turu
yen mangsane turu, lan tangi yen mangsane tangi, yoga sayekti bakal nyirnakake
sakeh kasusahan. ARTINYA : Dengan cara penuh perhitungan
tentang makan dan kesenangan, istiqamah dan rutin dalam berlatih mengolah rasa,
tidur, jika waktunya tidur, dan bangun ketika waktunya bangun, yoga dengan cara
demikian itu, tentulah akan bisa menghapus segala kesusahan.
18.
Yen obah-mosike cipta lan riptane tansah di awasi lan dikuwasani, lan jiwane
manungsa terus tumanem ing atma, sarta dheweke wus ora kepengin andarbeni apa
kang nenangi pepenginan,, manungsa kang mangkono iku wus kena diarani manunggal
karu Ingsun. ARTINYA : Jika gerak cipta hati dan gerak
pikiran selalu dikendalikan dan dikuasai, dan jiwa manusianya selalu tertanam
di dalam Atmanya, serta dia itu sudah tidak menginginkan apa yang mendorong
kepada kesenangan diri, manusia yang sudah bisa mencapai yang seperti itu, itu
sudah bisa disebut menyatu dengan Ingsun.
19.
Lampu kang ing panggonan kang sepi ing angin ora keder urupe, iku kang kuna
makuna dadi gegambarane sang yogi, kang lumantar olah yoga murih manunggal karo
Hyang Atma, wus jumenengake panguwasaning Ingsun. ARTINYA
: Lampu dari nyala api, ketika berada di tempat yang sepi tidak ada angin, akan
tenang nyala apinya. Itu yang sejak dahulu dijadikan ibarat seorang Yogi, yang
dengan melalu olah yoga untuk bisa menyatu dengan Hyang Atma, itu sudah berada
di dalam kekuasaan Ingsun.
20.
Yen jroning nglelatih olah Yoga, cipta lan riptane wus lerem, dheweke bakal
bisa nyipati
jumenenge Hyang Atma, lan jalaran saka iku nemu kamulyan lan kamareman, ARTINYA
: Dan ketika berlatih yoga, cipta dan ripta pikirannya sudah tenang, maka dia
akan bisa melihat ujud dari Hyang Atma, dan oleh karena itu, maka akan
menemukan kemuliaan dan kepuasan.
21.
Kang nuwuhake rasa mukti-mulya kang linuhur, kang ora bisa diresepi dening
indriya, lan mung bisa dirasakake dening budi jroning manjing ing Kasunyatan
Jati. ARTINYA : Yang bisa menumbuhkan rasa
kebahagiaan luhur, yang tidak bisa terbayangkan oleh Indra, dan hanya bisa
dirasakan saja oleh budi, kebahagiaan itulah ketika telah masuk dalam Alam Yang
Nyata yang sebenarnya.
22.
Ora ana gegayuhan lan kanugrahan kang luwih luhur, sebab ing kono ora ana
was-sumelang, susah sungkawa kang bisa namani maneh. ARTINYA
: Tidak ada cita-cita da anugerah yang lebih luhur, karena di tempat yang
demikian itu sudah tidak ada rasa kuatir lagi, rasa susa sedih yang bisa
mempengaruhinya lagi.
23.
Sayekti kang diarani Panunggal, yaiku udhare panlikunge rasa was-sumelang lan sedih
susah. Kahanan kang mangkono iku kang prayoga digayuh kanthi weninging jiwa. ARTINYA
: Yang disebut menyatu yang sebenarnya, yaitu terlepasnya ikatan permainan rasa
kuatir, sedih dan susah, Suasana yag seperti itu, yang seharusnya ddiusahakan
dengan kebeningan jiwa.
24.
Ngungkurake sakeh reroncenaning batin kag bisa nuwuhake pepenginan, kabeh
indriya wus sinrimpung dening kawaspadaning prangripta. Meninggalkan
semua cetusan batin yang akan bisa menumbuhkan keinginan diri, dan semua
indranya sudah terikat oleh kesadaran pikiran.
25.
Manungsa bisa anggayuh eneng-ening, ayem tentrem, yen indriyane lan ciptane wus
winengku dening panguwasaning budi, lan pangriptane wus meneng antheng, marga
riptane wus tumanem ing Atma. ARTINYA : Manusia bisa berusaha untuk
mencapai ketenangan dan keheningan, tenang tenteram, itu jika Indra dan
ciptanya sudah dikalahkan oleh kekuatan budinya, dan pikirannya sudah diam dan
tenang, karena pikirannya telah masuk ke dalam Atma.
26.
Saben-saben pangriptane ambradat metu salewengan, tinarik sinendhal bali murih
winengku lan kinuwasan maneh dening Atma. ARTINYA
: Setiap pikirannya memberontak keluar dan liar, kemudian ditarik dengan paksa
untuk kembali lagi agar bisa dikuasai kembali oleh Sang Atma.
Seperti itulah Sri Kresna dalam menggambarkan
keadaan orang yang sudah berhasil menguasai hasrat hati keinginan dirinya,
yaitu sudah bisa memaksa dirinya, sudah merdeka dari penjajahan hawanafsunya
dan keinginannya sendiri, serta dari hasrat hatinya tidak kekal sifatnya.
7.
SIAPAKAH SEBENARNYA
INGSUN ITU ?
Mencari kesempurnaan itu, memang
tidak mudah, karena sangat banyak tantangannya. Tingkatan yang pertama :
Memerangi keinginan diri dan Jiwa rendahnya, itu sudah di lambangkan oleh
keragu-raguan Harjuna ketika akan menghancurkan Kurawa. Sangat berat untuk
dilakukan, karena sudah terlanjur meressap, sudah terlanjur menjadi hobby dalam
kesenangan. Sehingga sangat banyak para pencari kesempurnaan yang mengalami
kegagalan, dan terhenti di tengah jalan. Tentang hal ini, Sri Kresna telah mengajarkannya
di dalam Nyanyian Sukma bab VII bait ke 3,s ebagai berikut :
3.
Sapa ta kang ora kepengin Kamardikan utawa Kamandhirian kang sampurna? Ing
antarane ma ewu-eweu mbok manawa mungsiji! Lan ing antarane ma ewu-ewu uwong
kang padha kepengin mandhiri kanthi sampurna, mbok manawa mung siji kang bisa
ngresepi jatine Kasunyatan Manira. ARTINYA : Siapakah
yang tidak menginginkan kemerdekaan atau kemandirian yang sempurna? Di antara
beribu-ribu mungkin hanya satu. Dan di antara beribu-ribu manusia yang
menginginkan untuk bisa mandiri dengan sepmurna, barangkali saja hanya satu
yang bisa mencapai kepada kenyataan yang sejati tentang Ingsun.
Betapa beratnya mencari
kesempurnaan, di antara seribu itu, mungkin hanya satu yang tetap mencari. Di
natara seribu sang pencari, hanya satu yang bisa berhasil, dikarenakan sulit
termat sulitnya dikarenakan penuh dengan kesulitan dan penggoda serta
bahayanya.
Akan tetapi kita tidak boleh putus asa, harus tetap melanjutkan dalam
pencariannya, meskipun sudah berkali-kali mengalami kegagalan dan pencariannya.
Menurut nasihat para seput itu “Sapa temen tinemenan” Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti berhasil, demikian juga dalam kita selalu berusaha berlatih
untuk menyatu dengan cara mempelajari Filsafat dan Ajaran yang digelar oleh Sri
Kresna.
Sebelum melanjutkan ajaran, ada
baiknya mempelajari dulu apa makna dari kata “Ingsun”, yang sudah pernah kita
temuai di dalam Ajaran Sri Kresna sebelumnya, dan masih akan kita temukan lagi
di dalam ajaran selanjutnya.
Dengan cara memperhatikan Nyanyian
Sukma di bawah ini, kita bisa menelaah apa maksud dari Sri Kresna dalam
menyebut kata “Ingsun” yang termuat di dalam bait ke 6 hingga 11, sebagai
berikut :
6.Kawruhana
yen prakriti Manira iku ora pisah
saka Manira, Ingkang dadi guagarbane sakeh kang dumadi. Jagad Gedhe iki Manira
ingkang nglahirake, lan lebure bali maneh marang Manira. ARTINYA
: Ketahuilah bahwa semua yang wujud itu tidak terpisah dengan Ingsun, yang
menjadi awal-mula dari segala yang ada. Dunia luas ini, Ingsun yang
melahirkannya, dan kehancurannya, akan kembali lagi kepada Ingsun.
7.Ora
ana barang kang luwih luhur tinimbang Manira. Salwiring kang dumadi iki
kasambrahan dening Manira, ibarat mutiara-mutiara kang rinonce ing benag sutra. ARTINYA
: Tidak ada seseuatu pun yang lebih luhur dibanding Ingsun. Segala yang ada ini
semua dalam pengaruh Ingsun, bagaikan mutiara-mutira yang di rangkai
menggunakan benang sutra.
8.
Ingsun sarining banyu, pepadhanging srengenge lan rembulan. Aum, sabda sucine
kitab-kitab Wedha, getering swasana (ether) lan kekuataning manungsa. ARTINYA
: Ingsun inti air, penerang matahari dan bulan, Aum, sabda suci di dalam
Kitab-Kitab Wedha, Getarnya suasana (Ether) dan kekuatan manusisa.
9.
Gandaning bumi kang seger lan arum, sumunare geni kang murub, Urip kang nguripi
sakeh titah, kateguhan kang padha nglakoni tapabrata. ARTINYA
: Buu bumi yang segar dan harum, Cahaya api yang menyala, Hidup yang menghidupi
semua makhluk, Keteguhan bagi yang melakukan tapa.
10.
Kawruhana, Ingsun wijine kabeh titah kang tan kena ing rusak, heh Parta! Ingsun
uga budine kang mlaku nalare lan prabawane
sakeh kang sumorot. ARTINYA : Ketahuilah, Ingsun asalmula semua
makhluk yang tidak terkena kerusakan, Wahai Parta (Nama lain Harjuna), Ingsun
ini juga Budi milik para yang telah terbuka penalarannya dan cahaya segala hal
yang bersinar.
11.
Kasektene para kang sinekti, kang wus sepi ing hawa napsu lan pangarep-arep.
Banjur Ingsun uga pepenginan kang ora ngrusak angger-anggering Sih Katresnan. ARTINYA
: Kesaktian para sakti, yang telah hampa dari hawa nafsu dan pengharapan.
Kemudian Ingsun ini juga keinginan diri yang tidak merusak aturan dari kasih
sayang dan Cinta.
Terbukti, bahwa di dalam Nyanyian
Sukma di atas, bahwa Ingsun itu tidak sama dengan kata “Aku”, akan tetapi
digunakan untuk menyebutkan Dzat Tuhan yang berada di dalam badan manusia. Ada
yang memaknai0. Nur Illahi, ada yang memaknai Pribadi Luhur, Ada lagi yang
menebutnya “Sukma Sejati- Roh Suci”. Itulah yang bersifat halus dan kekal,
tidak akan ikut membusuk jika raga telah
meninggal dunia dan telah dikubur, dan juga tidak ikut terbakar ketika raga
dibakar api.
24.
Uwong kang budine durung tinarbuka padha darbe panemu yen Ingsun, kang tanpa
awitan lan wekasan, tan kena sinipatan, wus tau manjalma dadi manungsa. Anane
panganggep mangkono iku, marga wong mau durung ngerti Dat Ingsun kang Sejati,
langgeng tan ana ingkang madhani. ARTINYA : Seseorang
yang belum terbuka Budi-nya, berpendapat bahwa Ingsun, yang tanpa awal dan ta
pa akhir, tidak bisa dilihat menggunakan mata biasa, itu pernah menjelma
menjadi manusia. Adanya anggapan yang seperti itu, karena seseorang itu belum
tentang Dzat Ingsun yang sejati, kekal dan tidak ada sesuatu pun yang
menyamainya.
25.
Arang banget kang meruhi Ingsun, jalaran tinutupan dening daya pemblingere
Maya. Si pengung ora weruh marang Ingsun, marga Ingsun iku langgeng. Ana tanpa
nganggo dilahirake. ARTINYA : Sangat jarang yang bisa melihat
Ingsun, karena tertutup oleh tipian Maya. Orang yang bodoh dan dungu, tidak
akan mengetahui Ingsun, karena Ingsun itu kekal, adanya tanpa dilahirkan.
26.
Ingsun ngreti anane sakeh titah ing jaman kang wus kapungkur ing jaman saiki,
lan ing jaman kang bakal teka. Naging sakeh titah mau heh Harjuna, ora ana kang
padha weruh marang Ingsun. ARTINYA : Ingsun mengetahui semua makhluk
pada jaman dahulu, pada jaman sekarang, dan pada jaman di masa yang akan
datang. Namun semua makhluk wahai Harjuna, tidak ada yang bisa melihat Ingsun.
Tiga Bait Nyanyian Sukma (24,25,26)
di atas, menerangkan kelanjutan tentang Sifat Ingsun, yang diambil intinya yang
terpenting saja, sudah memuat isi jika dicantumkan semuanya. Karena ajarannya,
terkadang hanya mengulangi saja uraian yang diurakan sebelumnya.
Pada bagian ke VIII dalam Nyanyian
Sukma, juga masih menerangkan tentang sifat Ingsun dengan lebih jelas lagi.
Namun diselingi terlebih dahulu oleh pertanyaan Harjuna, sebagai berikut :
1.Harjuna
nyuwun priksa : “Dhuh Sri Kresna ; Punapa ta Brahma lan punapa ta Adiyatma punika
? Saha punapa ingkang dipun wastani Karma, Adibuta lan malihipun Adidaiwa ? ARTINYA
: Harjuna bertanya “ “Wahai Sri Kresna!, Sipakah Brahma dan siapakah Adiyatma
itu?”. Serta apakah yang disebut Karma, Adibuta dan juga Adidaiwa?.
2.
Lan punapa maksudipun Adiyaksa tumrapipun jalma
iangkang maksih ngrasuk raga, lan kados pundi caranipun manungsa saged
nyumerepi Paduka, nalika piyambakipun ngancik wancining ajal. Dan
apakah yang dimaksud Adiyaksa bagi makhluk manusia yang masih hidup dengan
raganya, dan bagaimanakah caranya agar manusia bisa menegetahui Engkau, ketika
manusia itu telah sampai waktu kematiannya?!.
3.
Kang Maha Mulya ngandika : “Brahma iku luhuring aluhur, kang tan kena ing
rusak. Adiyatma iku jumeneng Manira ing sanubarining manungsa. Dene Karma iku
tumandange Dayapurbane Hyang Brahma ingkang anjalari gumelare sakeh alam iki. ARTINYA
: Yang Maha mulia, menjelaskan :”Brahma itu luhur di atas yang luhur, yang
tidak terkena kerusakan, Adiyatma itu keberadaan Ingsun di dalam sanubari manusia. Sedangkan Karma
itu, daya gerak kekuasaan Hyang Brahma yang menumbuhkan tergelarnya semua alam
ini.
4.
Adibuta iku samubarang ingkang kena ing rusak lan tansah ngalami owah gingsir
lan Adidaiwa iku padha wae karo Purusa, yaiku tetimbangane Prakriti. Kang
diarani Adiyaksa iku panjalma Manira ing donya iki. ARTINYA
: Adibuta itu segala sesuatu yang terkan rusak dan selalu mengalami perubahan
dan Adidaiwa itu, sama saja dengan Purusa, yaitu penyeimbang dari Prakitri.
Yang disebut Adiyaksa itu, penjelmaan Ingsun did dunia ini.
Bisa kita pahami dari Nyanyian
Sukama di atas, bahwa “Ingsun” itu tidak sama
dengan “Brahma”, disitu telah
dijelaskan bahwa Brahma itu lebih luhur dibanding Ingsun, akan tetapi yang
demikian itu, tidak lebih penting atas kedudukannya, karena menurut Sri Kresna,
sesiapa yang akan terputus nyawanya, dan hanya ingat kepada Ingsun, akan sampai
kepada Ingsun. Cobalah telaah penyampaiannya pada bait ke 5 hingga 8, berikut
ini :
5.Lan
manungsa ingkang nalika wanci ngancik ajale, nggelengake cipta lan riptane
marang Manira lan banjur ninggalake ragane, iku bakal manunggal karo Manira.
Iku wus kena dipethekake!. ARTINYA : Dan ketika manusia telah sampai
pada ajalnya, kemudian memusatkan cipta dan pikirannya kepada Ingsun, dan
kemudian meninggal dunia, itu akan menyatu dengan Ingsun. Itu sudah bisa
ddipatikan.
6.Apa
kang dadi kawigatening manungsa ing saat ajale, sauwise dheweke ninggal ragane,
dheweke parane mesthi mrono, jalaran kagawa dening kodrat iradate (karepe). ARTINYA : Apa yang menjadi perhatian manusia pada saat
ajalnya, setelah jiwa manusia itu meninggalkan raganya, maka arahnya adalah
kepada yang menjadi perhatiannya, ke situlah arahnya, karena terbawa oleh
kehendak keinginan dirinya sendiri, yaitu hasrat hatinya sendiri.
7.Mula
sasuwene pancakara ing medhan laga mengko, sawijekna ciptanira lan riptanira
tumuju marang Manira, mesthi sira bakal tumeka ing Ngarsa Manira. Aja sumelang
maneh, iku mesthi bakal kelakon!. ARTINYA : Maka dari
itu, selama melakukan pertempuran, pusatkanlah cipta dan pikiranmu hanya kepada
Ingsun, pastilah dirimu akan sampai kepada Ingsun. Janganla ada rasa kuatir
lagi, hal itu pasti akan terjadi.
Cathetan
: Punika mboten beda kaliyan
ajaranipun Islam ingkang mucal, supados ing saat ajalipun, manungsa nyebut asmaning
Pangeran. Allah, Allah, Allah. CATATAN
: Hal ini tidak berbeda denegan Ajaran Islam yang mengajarkan agar saat tiba
ajalnya, manusia diminta untuk menyebut Asma Tuhan, Allah!! Allah!! Allah...
8.
Mula kulinakna olah semedi. Aja nganti riptanira selewengan. Sarana teguh lan
panggah anggonira olah yoga lan ngulinakake semedi sira mesthi bisa anggayuh
kaluhuraning Purusa. ARTINYA : Maka, biasakanlah melakukan
Tafakur olah Samadi. Sangan sampai pikiranmu terpecah. Dengan cara yang kuat
dan rutin dalam dirimu melakukan Yoga dan membiasakan diri bersamadi, tafakur,
kamu pasti akan bisa mencapai Keluhuran Purusa.
Kemudian, dalam Nyanyisan Sukma
bagiak ke IX, Sri Kresna masih menjelaskan kedudukan Ingsun serta pengibaratan
betapa pentingnya Ingsun untuk menggapai kesempurnaan. Oleh karena ajaran itu
panjang dan isinya banyak yang mirip, maka hanya dipethik baik ke 16 hingga 18,
yang berisi intinya saja, sebagai berikut :
16.
Upacara kang dadi ajarane Ilmu Sarengat, lan sakatahing tatacara kang
diprayogakake dening kitab-kitab suci, kawruhana iku pratanda jumeneng Manira.
Manira lakuning kurban lan Manira uga kurban kang diladekake marang arwahe para
leluhur, japamantrane, lengane, genine lan menyane.
17.
Manira Bapa-Babune sagung bawana, dhedhasare lan mula bukane sagung kang
dumadi, kang tansah memamyu hayuning bawana. Manira sabda suci AUM, pathi
piwulange Rig Wedha. Sama Wheda lan Yajur Wedha.
18.
Manira pepunthoning tarekat kang aweh Kamulyan Jati, Manira Gusti lan Pangerane
sagung kang dumadi. Saksi tumrap sakathahe panggawe, kang Asih ya kang
Sinisihan, Pangayomaning Jagad. Manira Pamurba, Panguripan lan Pangleburing
Jagad, Pagedonganing Kasugihan, Wiji kang tan kena rusak.
Demikian gambaran ibarat wujud dari
Ingsun, yang dijelaskan menggunakan pengibaratan yang bermacam-macam jenisnya.
Dalam bab kewibawaannya, ,asih diterangkan lagi tersebut di bawah ini, yaitu
siapa saja yang tidak memikirkan yang lainnya, selain Ingsun, akan mendapatkan
kemuliaan. Meskipun begitu, Ingsun di sini
bersifat tidak seperti Nur Illahi atau Manusia Sejati, namun bagaikan
ajaran yang telah didsampaikan oleh Yang Maha Suci. Seperti inilah dua bait
itu, yaitu bait 22 dan 23.
22.
Naging sapa kang pikirane tansah tumuju marang Ingsun, lan tansah memundhi
Ingsun, wong-wong kang tansah ngudi kaseimanganing jiwa (katentreman), Ingsun
paringi Pangayoman Ingsun. Namun, bagi yang pikirannya dalam keadaan
selalu mengingat Ingsun, dan selalu memuji Ingsun, dan orang-orang yang selalu
berusaha dalam keadaan keseimbangan jiwa (ketentramannya), makan akan
mendapatkan penjagaan dari Ingsun.
23.
Sanadyan ta manungsa iku ngantepake imane marang sesembahan-sesembahan kang
diwenehi jejuluk kang maneka warna, janji panembahe mau bener-bener kanthi
eklas lan sumarah, sajatine kang disembah iku ola liya ya mung Ingsun, sanadyan
panembahe mau ora miturut tatananing agama kang wus kaprah. ARTINYA
: Walau pun manusia itu meyakini dan beriman kepada Tuhan-Tuhan yang diberi
nama bermacam-macam, asalkan dalam beribadah dilandasi dengan ikhlas yang sebenar-benarnya
ikhlas dan berserah diri hanya kepada Tuhan yang diyakininya, sebenarnya yang
disembah itu tidak lain hanyalah Ingsun, walau pun cara ibadahnya itu tidak
mengikuti aturan Agama pada umumnya.
Di dalam Nyanyian Sukma berikutnya,
(bait ke 29 dan seterusnya) masih menjelaskan tenetang sifat Ingsun, serta
memberi gambaran atas betapa besarnya kewibawaannya. Sri Kfresna dalam
menyampaikan ajarannya, hingga benera-benar sangat jelas, oleh karena Harjuna
masih merasa belum puas atas apa yang disebut ingsun yang sebenarnya, dan
seperti apa kenyataannya, dan ujud serta kewibawaanya, sebagai berikut :
29.
Marang sawiji-wiji titah iku Ingsun ora pilih asih. Ora ana kang Manira
istimewakake, ora ana ingkang Manira gethingi. Manira ora emban cendhe emban siladan.
Sapa wae kang memundhi marang Manira, iku nyedhaki Manira, lan Manira uga
nyedaki dheweke. ARTINYA : Terhadap semua makhluk, Ingsun
ini tidak pilih kasih, tidak ada yang Ingsun istimewakan, tidak ada yang Ingsun
benci, Ingsun tidak membeda-bedakan. Siapa saja yang memuji hanya kepada
Ingsun, itulah yang mendekat kepada Ingsun, dan Ingsun juga akan mendeketinya.
30.
Nadyan ta dheweke iku maune durjana ingkang gedhe banget, janji dheweke iku
kanthi jujur luwih ngabotake marang Manira tinimbang marang apa wae, dheweke
iku kena diarani wong suci, marga pilihane iku wus bener. ARTINYA,
Walau pun mereka itu, sebelumnya adalah durjana penjahat besar, asalkan mereka
itu dengan ketulusan lebih memberikan Ingsun dibandingkan dengan apa saja,
merka itu bisa disebut sebagai orang suci, karena yang mereka pilih itu sudah
benar.
31.
Ora suwe wewatekan bakal dadi alus, lan dheweke banjur bisa manjing ing
katentreman langgeng. Kawruhana, heh Kunthisiw! Manungsa kang bekti marang
Manira, ora bakal nemahi rusak utawa lebur. ARTINYA
: Tidak akan lama maka wataknya akan menjadi halus, dan mereka itu akan bisa
masuk ke dalam ketenteraman yang kekal. Ketahuilah Wahai Kunthisiwi (Nama lain
dari Harjuna sebagai anak dari Dewi Kunthi), Menusia yang berbakti keada
Ingsun, tidak akan mengalami rusak atau hancur.
32.
Sapa wae kang ngayom ing Manira, sanadyan ta dheweke iku wong kang ora karuwan,
kang nurunake, wong wadon, waisya utawa sudra pisan, mesthi dheweke bakal
ngliwati Palawangan Swarga kang luhur dhewe. ARTINYA
: Siapa saja yang berlindung kepada Ingsun, walau pun mereka itu manusia yang
tidak karuan, yang menurunkan wanita Waisya atau Sudra sekali pun, pastilah
mereka akan masuk ke dalam Surga yang paling luhur.
33.
Luwih-luwih yen kang ngayom marang Manira iku para brahmana kang suci utawa
para raja sinatriya kang ambeg bekti lan sumungkem. Mula heh Harjuna,
memundhiya marang Manira, sesuwene sira urip ana ing donya, kang kebak
kasangsaran iki lan winisesa dening wolak-walike kahanan!. ARTINYA
: Apalagi jika yang berlindung kepada Ingsun itu, para Brahmana yang ssuci atau
para Rarja dan satria yang sangat berbakti dan patuh. Maka dari itu, wahai
Harjuna, berlindunglah kepada Ingsun, selama dirimu hidup di dunia ini, dunia
yang penuh dengan kesengsaraan ini dan dikuasai oleh berganti-gantinya keadaan.
34.
Kanthi Manas tumanem ing Manira lan asung bekti marang Manira, pasrahna
kahananira marang Manira! Mesthi sira bakal tumeka ing ayunan Manira, yen
Manira iku bener-bener gegayuhan kang tansah cumanthel ing cipta lan pangriptanira. ARTINYA
: Dengan Hati Nurani yang selalu mengingat Ingsun dan berbakti kepada Ingsun,
serahkanlah segala sesuatu kepada Ingsun! Pastilah dirimu akan sampai ke dalam
ayunan Ingsun, jika saja dirimu itu, selalu dalam pencarian dan cipta serta
pikiranmu itu hanya mengingat Ingsun.
Memang, bagi manusia yang belum
berani memerangi hasrat rendahnya, bagaikan yang didlambang keadaan Harjuna
yang belum bisa mengalahkan Kurawa yang bersinggasana di dalam dirinya ...
Untuk bisa lebih mudah dalam memahami tentang Ingsun yang berada di dalam diri
sendiri.
Tidak mudah bagi seseorang yang
masih dikuasi oleh Hawanafsunya dan keinginan dirinya, yang masih belum bisa
mengalahkan Kurawa yang bersinggasana di dalam dirinya .. Menjadi mudah untuk
mengerti terhadap apa yang disebut Nur Illahi atau Sukma Sejati yang berada di
dalam diri.
Maka dari itu, Sri Kresna tidak terhenti dalam mengajarkan dan
menjelaskan tentang Ingsun dengan menggunakan pengibaratan yang bermacam-macam,
yang kadang-kadang diulang-ulang untuk lebih memperjelas dan kadang juga
membingungkan bagi yang belum bisa memhaminya.
Intisari dari uraian di atas adalah
: Manusia yang dicipta dan terlahir ke dunia, selain memiliki badan kasar, juga
memiliki badan halus yang tidak bisa dilihat dan juga dikuasai oleh Roh dan
Sukma yang kekal hidupnya. Yaitu yang sering disebut dengan menggunakan istilah
Ingsun oleh Sri Kresna. Sedangkan yang menciptakan semua makhluk yang sangat
banyaknya di dunia ini, adalah sebuah penguasa yang tidak bisa dibayangkan
yaitu yang disembah oleh manusia yang meyakini kepada adanya Tuhan Yang Maha
Esa, yang hubungannya dengansemua Roh yang kekal itu, bagaikan Matahari dan
cahayanya, sehingga Ingsun itu terkadang
disebut Nur Illahi.
8.
BERIBADAH YANG BENAR-BENAR IBADAH
Oleh karena sangat pentingnya, untuk
menjelaskan tentang Ingsun hingga memerlukan pengibaratan yang
bermacam-macam—di Dalam Kidung Sukma bagina ke X, Sri Kresna masih melanjutkan
memberikan penjelasan tentang yang penting itu. Oleh karena isi keterangannya
banyak yang hampir sama dengan apa yang sudah diterangkan di bagina ke IX,
sehingga di sini akan diterangkan intinya saja.
25.
Antarane para Maharsi, Manira iku Sang Bregu. Manira sabdasucine sakeh kang
bisa celathu, japamantrane sakeh upacara sesaji kurban. Antarane gunung-gunung,
Manira gunung Himalaya. ARTINYA : Di antara Para Maha Resi, Ingsun
intu Ketuanya (Bregu). Ingsun itu, ucapan suci semua yang bisa berkata-kata,
Semua mantra dalam semua Upacara kurban, di antara gunung-gunung, Ingsun itu
Gunung Himalaya.
Gambaran untuk lebih memantapkan
keyakinan kepada Harjuna, seperti yang termuat di bait ke 25 di atas itu,
menjelaskan semua keadaan yang serba hebat, yang paling unggul. Contohnya lagi,
seperti berikut ini :
26.
Yen tumrap wit-witan, Manira iku wit Aswata (witing urip, sajaratu al hayyi)
tumrape para Dewarsi, Manira Bathara Narada, Manira Citraratane para gandarwa,
lan Kapilane para kang sampurna ing Ilmu. ARTINYA
: Jika menurut pepohonan, Ingsun itu Pohon Aswata (Pohon Kehidupan, Sajaratul
al Hayyi) bagi para Dewaresi, Ingsun itu Bathara Narada. Ingsun itu Citaratane
para gandarwa, dan Kapila di antara para ahli Ilmu.
Dibahasakan ketika orang mengatakan
wujud dari yang disdebut Ingsun itu adalah : Maknanya. Namun masih kurang
jelas, Seseorang yang berkata baik atau pun buruk, apakah hanya sekedar berkata
saja, di situ juga terkandung maksud yang bermakna Ingsun? Yang membingungkan
lagi bagi Harjuna, keterangan yang termuat di bait berikut ini :
27.
Ing antarane para turangga, Manira Ucahisrawa, kuda ingkang dumadi nalika para
jawata padha ngebur samodra nggoleki Banyuning Urip, ing antarane depangga,
Manira Gajah Ajwarata lan Maharaja tumrape manungsa. ARTINYA
: Di antara kuda, Ingsun itu Ucahisrawa, kuda ketika para Dewa sedang mengocak
samudra untuk mencari Air Kehidupan, Di antara gajah, Ingsun itu Gajah Ajwarata
dan Maharaja, dan di antara Para Raja bagi manusia.
28.
Tumrap sakeh gegaman, Manira iku bledeg, Yen rajakaya, Manira iku Kamadanu
(sapi kang susune bisa mujudake sakeh panuwuning manungssa), Kandharpa tumrap
sakeh kang turun-tumangkar, Wasuki ing antarane ratune para sarpa. Bagi
semua senjata, Ingsun itu Petir. Bagi hewan ternak, Ingsun itu Kamandanu (sapi
yang susunnya bisa memenuhi segala permintaan manusia), Kandharpa bagi yang
berkembang biak. Wasuki bagi rajanya ular.
29.
Tumrap para naga, Manira iku Ananta, tumrap sakeh kang padha urip ing samodra,
Manira Baruna. Yen tumrap para leluhure manungsa, Manira Aryama, tumrap kang
darbe panguwasa Manira Pati. Bagi para Naga, Ingsun itu Ananta. Bagi
semua yang hidup di samudra, Ingsun itu Baruna. Jika ddi antara para luhurnya
manusia, Ingsun itu Aryama. Untuk yang mempunguasa, Ingsun itu Kematian.
30.
Manira Prahladane para ditya, Kala tumrap keh petungan waktu, singa tumrap
kewan-alas, lan Garuda tumrap kang darbe suwiwi. Tumrap sakeh kang bisa gawe
resik, Manira angin. Ingsun itu pemimpinnya para raksasa. Kala,
itulah Ingsun di anarar hitungan waktu. Singa bagi hewan hutan. Garuda bagi
yang mempunyai sayap. Bagi semua yang bisa membersihkan, Ingsun itu angin.
31.
Antarane para raja-sinatriya kang darbe sanjata kang ampuh, Manira Rama,
antarane para mina, Manira Makara, Bangawan Silu Gangga antarane sakeh kali lan
ilen-ilen. Di antara para raja dan para satria yang
memiliki pusaka ampuh, Ingsun itu Rama. Di antara ikan, Ingsun itu Makara.
Bagawan Silu Gangga di antara semua sungai dan aliran air.
32.
Manira Awal lan Akhire kabeh kang gumelar, lan uga madyane, heh Harjuna! Yen
pangawikan, Manira iku Pangawikaning Pribadi (Zelfkennis), lan nalare para kang
pinter micara. Ingsun itu, awal dan akhir dari semua yang
tergelar. Dan juga di tengah-tengahnya, wahai Harjuna! Jika Ilmu, Ingsun itu
adalah ilmunya diri pribadi (Zelkennis), dan nalar para yang ahli dan pintar
bicara.
33.
Tumrap hanacaraka, Manira aksara Ha, daya penarik antarane kang padha
sih-sihan. Manira Jaman kang tanpa awitan lan pungkasan lan ingkang
murba-misesa sagung alam bawana iki. Kang meruhi obah mosike sakeh kang dumadi,
Manira uga. Bagi Hanacaraka (Abjad Jawa), Ingsun itu
Ha. Yaitu daya penarik di antara yang sedang saling cinta. Ingsun itu jaman
yang tanpa awal dan tanpa akhir dan yang menguasai semua alam ini. Yang
mengetahui semua gerak dari semua yang ada, Itu Ingsun juga.
34.
Manira Siwah, Jawata Panglebur kabeh kang ginelar, Manira uga Pamurbane sakeh
barang kang anyar. Kamsyhuran, kemakmuran, kasantosan, kasarjanan, ingatan,
pamicara lan pangapura Manira uga. ARTINYA : Ingsun itu
Siwah, Dewa penghancur semua yang tergelar. Ingsun juga penguasa dari semua
barang yang baru. Kemashuran, kemakmuran, kesenatusaan, kesarjanaan, ingatan,
perkataan dan pengampunan itu pun Ingsun juga.
35.
Ing antarane tembang-tembang jroning Kitab Wedha, Manira tembang gedhe. Yen
Guru lagu, Manira iku gayatri. Tumrap mangsa papat, Manira Margasirsa, mangsa
semi. Di antara nyanyian-nyanyian Kitab Weha,
Ingsun itu Tembang Gedhe (Lagu besar). Jika Guru lagu, Ingsun itu Gayatri. Bagi
empat musim, Ingsun itu Margasirsa yaitu Musim Semi.
36.
Tumrap para kang padha dhemen ngabotohan, Manira iku pangutut (pangareparep
bakal menang). Manira sorote sakeh kang sumunar utawa mawa cahya, Jaya
kawijayan, kateguhaning karep kang tan weruh ing mingset, kasunyatane kang wus
padha tinarbuka. Bagi yang suka berjudi, Ingsun itu Harapan
bahwa pasti menang. Ingsun itu cahaya atas semua yang bersinar atau yang
bercahaya. Kesaktian, kekuatan hasrat yang tidak terkena perubahan, kenyataan
dan yang Nyata Adanaya, itu bagi yang telah terbuka hatinya.
37.
Wasudewa tumrap trah Wresni lan Dananjaya tumrap para Pandhawa. Yen kanggone para
muni, Manira iku Wiyasa. Ing antarane para pujangga gedhe, Manira Usiyana. ARTINYA
: Wasudewa bagi keturunan Wresni dan Dananjaya (Harjuna) bagi para Pandhawa.
Jika bagi para Muni, Ingsun itu Wiyasa. Bagi para Pujangga besar, Ingsun itu
Usiyana.
38.
Pangwasane kang padha ndarbeni panguwasa. Manira laku kanegarane politik para
kang mbudi kaunggulane bangsan, Manira wadi jroning batine kang padha mbisu,
lan pangawikan para sarjana. ARTINYA : Kekuasaan para pemilik kekuasaan.
Ingsun itu berjalannnya ketatanegaraan dan Politik bagi para pejuang untuk
keunggulan bangsanya. Ingsun itu rahasia di dalam batin semua yang membisu, dan
ilmu para sarjana.
39.
Wijine kabeh kang Ana, iku Manira, heh Parta! Ora ana barang apa wae kang ana
iki bisa dumadi tanpa Manira, heh Harjuna!. ARTINYA
: Biji dari segala yang ada, itulan Ingsun, Wahai Parta (Nama laind ari
Harjuna)!. Tidak ada sesuatu pun yang ada, akan menjadi ada tanpa Ingsun, wahai
Harjuna!
40.
Satuhune ora ana enteke kawujudan kang dadi pangejawantah Manira, Manira mung
nyebutake sawatara kawujudan wae, minangka
nggambarake Kamulyan Manira. Sebenarnya, tidak akan ada habisnya rupa
dalam menggambarkan Ingsun, Ingsun hanya menyebutkan sebagian saja di antara
wujud yang ada, sebagai penggambaran saja.
41.
Apa wae ingkang utama, becik,
mawa cahya, mawa wibawa lan kuwasa, dumadine mesthi saka Dat Manira, mesthi
cuwilan saka Kamulyan Manira. ARTINYA : Apap pun yang utama, baik,
mengandung cahaya, mengandung kewibawaan dan kekuasaan, adanya pastilah berasal
dari Dzat Ingsun, pastilah bagian dari kemuliaan Ingsun.
42.
Nanging apa tegese kabeh mau tumrap sira, heh Harjuna? Sabab sabenere, kabeh
iku, sira wus mangerti. Manira kang nguripi jagad kang gumelar iki, kanthi
cuwilan Manira. Wondene Manira iki tetep wutuh!. Namun,
apakahkah artinya bagi dirimu, wahai Harjuna? Karena sesungguhnya, semua itu,
dirimu sudah memahami. Ingsun itu yang memberi hidup dunia yang tergelar ini,
menggunakan bagian dari daya hidup Ingsun. Namun Ingsun itu, tetap utuh!.
Sehingga tidak hanya terdapat di
dalam keadaan yang serba hebat, serba indah seperti yang telah diuraikan di
depan, namun Ingsun itu juga berupa yang suka berjudi. Sehingga karena masih
dalam kebingungannya, terhadap uraian tentang Ingsun, yang juga disebut Roh
atau Sukma Sejati, atau Nur Illahi – Kemudian Harjuna mendesak Sri Kresna,
ingin untuk iijikan melihat ujud Ingsun yang sebenarnya, wujud yang bisa
dilihat mata. Kemudian Sri Kresna memperlihatkan ke Maha Besar-Nya dengan cara
memperlihatkan wujud berbagai jenis yang terus berganti-ganti, yang merupakan
bentuk yang sangat hebat, serba membuat merinding bulu kuduk, namun juga kadang
berupa wujud yang sangat mengagumkan.
Disebutkan di dalam Nyanyian Sukma
bagian ke XI bait ke 10 dan 11, sebagai berikut :
10.
Kanthi lesan lan netra ingkang tanpa wicalan lan sesawangan ingkang
ajaib-ajaib, rinengga ing busana ingkang adiluhur, sarta ngasta sanjata-sanjata
ingkang maneka warna saha maha ampuh. ARTINYA : Dengan mulut
dan mata yang tidak terhitung jumlahnya dan
bentuk gambaran yang sangat ajaib dan sangat banyak, dihias busana
kebesaran, serta memegang pusaka-pusaka bermacam bentuk dan semuanya sangatlah
ampuhnya.
11.
Ngagem jamang, sumping sekar rinonce, saha entran-entran sesekaran
sanes-sanesipun, linulur
ing wewangi, boreh lan sapanunggalanipun saking kaswargan, pindha jawata
ingkang tuhu ngeramaken, wewujudan ingkang boten wonten awitan lan
pungkasanipun, pandulunipun tumuju dhateng pundi-pundi kemawon. Menggunakan
Mahkota, Hiasan telinga dari bunga-bunga yang dironce, serta hiasan-hiasan yang
lain-lainnya, dilulur dan dibalur keharuman, dan lain sebagainya yang berasal
dari surga, bagaikan Dewa yang sangat mengagumkan, suatu wujud yang tidak ada
awal dan akhirnya, penglihatannya mengarah ke segala arah.
Berganti-gantinya wujud yang
terlihat oleh Harjuna, yaitu wujud dari yang disebut Ingsun, terkadang berupa
bentuk yang sangat menyeramkan, terkadan berupa wujud yang sangat menyedihkan,
terkadang berujud Penguasa yang sangat hebat, dan juga dalam bentuk yang penuh
keindahan yang tiba-tiba berubah menjadi wujud yang sangat menakutkan, dan
sebagainya.
“Sekarang, lihatlah penyatuan Ingsun
yang serba mempunyai kelebihan”. – demikian yang dikatakan Sri Kresna bersamaan
dengan memperlihatkan bentuk yang serba menyeramkan, dan sebagainya.
Stelah puas ketika Harjuna melihat
perwujudan yang maha hebat, serta maha lebih, kemudian Harjuna berkata :
42.
Manawi salebeting
lawan sabda nalika kasukan utawi nalika kembul dhahar bojana, nalika sesarengan
ngaso, utawi nalika piyambakan kaliyan Paduka, utawi sesarengan kaliyan
tiyang-tiyang sanes, kawula kirang ngaosi dhumateng Paduka, dhuh Pangeran
kersaa Paduka paring pangapunten dhumateng kawula. ARTINYA
: Ketika sedang bersama dalam pembicaraan, di kala suka atau ketika sedang
makan bersama, ketika bersama-sama berisitirahat, atau ketika sedang sendirian
bedua dengan Paduka, Wahai Pengeran, mohon Paduka memberikan ampunan kepada
hamba.
43.
Dhuh Gusti, Mulabukaning sagung bawana, Bapa-babune sagung kang tan mosik lan
sagung kang obah, kang langkung pantes kapundhi-pundhi dening saben titah
tinimbang Hyang Guru; dhuh Gusti kang tan ana pepadhane! Sinten ta ingkang
nglangkungi Paduka? Saestu, salebeting tribawana boten wonten panguwaos ingkang
nyameni panguwaos Paduka. Wahai Gusti, awal dari segala dunia, Sumber
dari segala yang tidak bergerak dan dari semua yang bergerak, yang harus
diagung-agungkan oleh semua makhluk dibanding Hyang Guru; Wahai Gusti yang
tidak ada yang menyaminya! Siapakah yang bisa melebihi Paduka? Sungguh!! Di
dalam tiga dunia, tidak ada penguasa yang menyamai kekuasaan paduka.
44.
Pramila sarana sumungkem ing
ngarsa Pada Paduka, kawula nyuwun sih pangapunten Paduka, dhuh Gusti pepundhen
ingkang linuhur! Pindha bapa ingkang suka pangapunten dhumateng sutanipun,
utawi mitra dhumateng mitra, pindha ingkang kebeken sih pangapunten dhumateng
ingkang sanget ngajeng-ajeng sih pangapunten, kersaa Paduka ngluberaken samodra
pangaksama dhumateng kawula. ARTINYA : Dengan bersujud di hadapan
Paduka, hamba mohon pengampunan Paduka, Wahai Gusti Yang Maha Terpuji yang Maha
Luhur!! Bagaikan seorang ayah yang senang memberikan ampunan kepada putranya,
atau sahabt kepada sahabatnya, bagaikan yang penuh rasa pengampunan kepada yang
sangat mengharapkan ampunan, Hamba mohon selus samudra pengampunan kepada
hamba.
Seperti apakah makna perkataan Sri Kresna, hingga Ingsun
itu bisa terlihat oleh manusia, serta memperlihatkan bentuk dengan berbagai
warna dan rupa, yang menyeramkan, menakutkan, penuh kewibawaan, mengagumkan –
padahal jika Ingsun itu Nur Ilahi, tidak mungkin untuk bisa dilihat; Apalagi
jika Ingsun itu Tuhan Yang Maha Agung, justru semakin tidak mungkin untuk bisa
dilihat, karena tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak bisa dibayangkan. Maka,
sebenarnya dalam Nyanyian Sukma tersebut di atas, ternyata bisa digambarkan
bahwa sifat Tuhan itu terdapat di mana saja dan diwaktu apa saja, tidak ada
makhluk yang ada di dunia ini yang tidak mendapatkan pengaruh dari saifat dan
kekuasasan Tuhan.
Selain dari itu, pada bagian ini, Sri Kresna akan
menjabarkan keadaan seseorang yang melakukan sembah yang benar-benar sudah
samadi atau yang benar benar menyatu, yang sudah putus dalam perhatiannya yang
sudah hampir mencapai tingkatan teratas, itu sebenarnya memang akan melihat
sesuatu bentuk yang amat sangat menakutkan, yang membuat bergetarnya rasa hati,
dan jika sampai terlanjur ketakutan itu, akan bisa putus nyawanya. Sehingga
hanya diberi ibarat saja dengan adanya bentuk rupa yang menakutkan yang membuat
tergetarnya hati, dan jika diabartkan orang yang sedang berjalan itu, yang
melewati jembatan yang mudah sekali begoncang. Dan jika ketika itu, seseorang
yang sedang melakukan ibadah itu, benar-benar berani tanpa ada keraguan,
pastilah dalam samadhinya akan berhasil. Namun dalam kenyataannya, Harjuna yang
sudah mengalami melihat bentuk yang beraneka bentuk yang sangat aneh serta sangat menakutkan itu,
tahan dan dan tenang dan terus melanjutkan dalam menyembah-Nya, sehingga Sri
Kresna kemudian terus melanjutkan ajarannya, pada bait ke 53, 54, 55, sebagai
berikut :
53.
Ora ana kawruh kang sinengker ing kitab-kitab Wedha, ora ana lakuning
tapabrata, ora ana caos sesaji kurban, ora ana nindakake dedana, kang bisa
anjalari manungsa kaparingan kanugrahan, bisa ngalami kahanan, kaya kang nembe
wae sira sekseni iku. ARTINYA : Itak ada ilmu yang terkandung di
dalam Kitab-kitab Wedha, Tidak ada jenis tapa, tidak ada jenis kurban, tidak
ada yang menjalankan sodakoh, yang bisa menyebabkan menusia mendapat
Anugerah-Nya, seperti apa yang baru saja kamu lihat itu.
54.
Mung, sarana bakti ingkang kandhas ing Telenging batin, heh Parantapa,
mbokmenawa manungsa bisa meruhi Dat Manira lan banjur manunggal karo Manira. ARTINYA
: Hanya, dengan cara mengabdi dengan ikhlas hingga ke dasar batin, wahai
Parantapa (Ahli Tapa, nama lain Harjuna), itu pun barangkali saja manusia bisa
melihat Dzat Ingsun yang kemudian bisa menyatu dengan Ingsun.
55.
Sarana nglakoni amal, sumarah marang Karsa Manira lan memundhi-mundhi Manira
minangka pepuntoning gegayuhan, sarana bakti marang Manira, tanpa luwih
ngebotake apa wae ing donya iki, sarana welas asih tumrap sakeh titah Manira,
manungsa bisa manunggal karo Manira. ARTINYA : Dengan cara
menlankan amal, berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Ingsun dan
mengagung-agungkan Ingsun sebagai akhir tujuan dari pencarian, dengan cara
berbakti hanya kepada Ingsun, tanpa memberatkan kepada apa pun juga atas yang
ada di dunia ini, dengan cara mencintai semua makhluk ciptaan Ingsun, barulah
manusia itu bisa menyatu dengan Ingsun.
Ajaran tentang bisa melihat Roh Suci
atau melihat Ingsun itu yang diibaratkan dengan cara melihat keadaan beraneka
rupa yang semuanya serba lebih, sebenarnya hanya pengibaratan saja. Seperti
juga uraian yang bermacam-macam, yang banyak mengandung ibarat, demikian juga
ketika Harjuna bisa melihat ujud dari Manusia Sejati, itu pun hanya sebuah
ibarat saja.
Yang sebenarnya adalah, untuk
menggambarkan tentang keadaan manusia yang benar-benar telah yakin kepada
adanya dan ke-Maha-Kuasa-Nya, dan sudah meyakini dengan sebenarnya cara
beibadah kepada Yang Hanya Satu Adanya. Karena, seperti apa yang telah
diuraikan dalam Nyanyian Sukma di atas, untuk biisanya Harjuna melihat rupa
Ingsun, Tidak menggunakan Ilmu yang ada di Kitab, tidak menggunakan Wedha,
tidak dengan cara kurban, namun hanya dengan cara ikhlas menjalankan laku
ibadah. Beribadah yang hanya khusus
menjalankan perintah dari Yang Disembah, Keyakinan dirinya yang tidak
mendua dan tidak menyeleweng ke kanan dan kekiri karena terpengaruh keadaan
dunia.
Dari ajaran ini, bisa ditemukan jug
terdapat di dalam Ajaran Agama lain,
selain Agama Hindu. Yaidu di kalangan ahli ibadah, dan ada yang menyebutnya
telah masuk ke dalam tingkatan Ma’rifat atau yang lebih tinggi lagi pada
tingkatan Waqif (Bertutur kata dengan Tuhan), artinya, dalam melakukan ibadah
dengan ilmu yang telah merasuk dan sangat diyakininya, dengan cara benear-benar
memahami tata cara beribadah yang benar dan memahami siapa yang disembahnya.
Sehingga “Melihat” Tuhan, bagaikan yang telah dilihat oleh Harjuna atas wujud asli Sri Kresna dalam bentuk apa
saja, dan sebenarnya itu adalah hanya ingin menjabarkan keadaan manusia dan
menjalankan Ibadah dengan cara sudah benar-benar yakin yang sebanarnya, sudah
mencapai tingkat Ma’rifat, tanpa adanya keraguan sedikit pun, dan juga sudah
tidak mengharapkan apa-apa, hanya sebatas menjalankan kewajiban untuk ibdah
saja, dan tidak memperdulikan hasilnya, sehingga ketika melakukan ibadah maka
jiwanya bisa berdahadapan langsung dengan Tuhan-nya.
Kemudian, bentuk ibadah yang
telah mencapai tingkatan Ma’rifat itu,
oleh Sri Kresna dilanjutkan lagi dalam Nyanyian Sukma bagian ke XII, bait ke2,
sebagai berikut :
2. Ingkang memayu ayuning jagad ngandika : “Sapa kang
pangriptane wus manjing ing Manira, sarta suwita marang Manira kanthi masrahake
kabeh uwohe pakartine uripe marang Manira minangka tandha gedhene bektine
marang Manira, sinartan iman ingkang linuhur, yogane wong ingkang mangkono iku terang becik dhewe. ARTINYA
: Yang menjaga Ketenteraman dunia berkata : “Barangsiapa yang pikirannya hanya
tertuju kepada Ingsun, serta mengabdi kepada Ingsun dengan memasrahkan segala
buah pekerjaanya kepada Ingsun sebagai tanda bukti atas kebesaran pengabdiannya
kepada Ingsun, yang diserta Iman yang tinggi, yoga dari orang yang seperti itu
adalah yang paling baik.
Dan yang tercantum di bait yang
lainnya, yaitu bait ke 5 dan ke 6 di dalam Nyanyian Sukma bagian ke XII,
terdapat nyanyian, sebagai berikut :
5.Naging
ora gampang tansah eling
marang kang Sifat Gaib
iku, sebab dalan ingkang tumuju mrono, iku angel ambah-ambahane tumrap uwong
kang isih ngrasuk badan wadhag ing donya iki. ARTINYA : Namun, tidak mudah untuk selalu
bisa mengingat atas yang bersifat Gaib itu, sebab jalan yang menuju ke situ,
itu sulit teramat sulit untuk ditempuhnya bagi orang yang masih berada di
tingkatan syariat di kehidupan di dunia ini.
6.Nanging
sapa ingkang masrahake uwohe sakeh pakartine marang Manira, kang nganggep yen
Manira iku pepuntone gegayuhaning urip, sajroning olah yoga tansah ngudi manunggal
karo Manira, kang tansah eling marang Manira, sinartan kawaspadaning batin. ARTINYA
: Namun, siapa yang menyerahkan semua buah dari semua pekerjaanya kepada
Ingsun, yang menganggap Ingsun itu sebagai puncak tujuan cita-cita hidupnya, di
dalam melakukan olah yoga yang selalu mencari penyatuan dengan Ingsun, yang
selalu mengingat Ingsun, yang disertai kewaspadaan batin.
Sudah sangat jelas, untuk bisa
melakukan ibadah hingga sampai bisa diterima oleh Yang Maha Agung, itu apabila
di dalam melakukannya murni hanya untuk ibadah, tanpa pamrih, jika dalam bahasa
biasa di jaman sekarang itu : Sembahyang dengan ikhlas semata-mata hanya karena
Allah semata.
Pedoman yang seperti itu, bisa
ditemukan di dalam ajaran Sri Kresna, pada bait ke 8, hingga 16, berikut ini :
8.
Mula gandhengna pangriptanira karo Manira, supaya budinira bisa manjing ing
Manira. Yen mangkono uripira ora bakal pisah saka Manira nganti tumekane akhir
jaman. ARTINYA : Maka satukanlah rasa diri dengan
rasa Ingsun, agar budimu bisa masuk ke dalam Ingsun, jika sudah demikian,
hidupmu tidak akan terpisah dengan Ingsun, hingga sampai akhir jaman.
9.
Nanging yen kirane, jiwanira ora bakal bisa tansah tumanem ing Manira, mula
mbudidayaa nggayuh Manira sarana nglatih olah Yoga. ARTINYA
: Namun sebenarnya, jiwa dan perasaanmu tidak akan bsia selalu selalu satu rasa
dengan Ingsun, maka dari itu, berusahalah untuk bisa menddekat kepada Ingsun
dengan cara rutin melakukan Yoga.
10.
Yen sira ora keduga nglatih olah yoga, mula lakonana wae sakeh kwajibanira kang
suci, kaya dene nglakoni dhawuh Manira. Yen kabeh pakartinira sira tindakake
minangka tandha bektinira marang Manira, sajroning pasuwitanira marang Manira,
sira mesthi bisa tumeka ing kasampurnan. ARTINYA
: Jika dirimu tidak punya kemampuan untuk selalu melakukan yoga, maka
lakukanlah saja semua yang menjadi kewajibanmu yang suci, yaitu menjalankan
perintah Ingsun. Jika semua kewajibanmu kamu kerjakan sebagai kepatuhanmu
kepada Ingsun, untuk sebagai sarana pengabdianmu kepada Ingsun, kamu pastilah
akan sampai pada kesempurnaan.
11.
Yen sira uga ora keduga nglakoni kang mangkono iku, mula sajroning olah yoga,
ngayoma wae marang Manira. Yen sira masrahake uwohe sakeh pakartinira marang
Manira, tindakna pakartinira iku kanthi wening lan waspada. ARTINYA
: Dan jika dirimu tidak mampu melakukan yang seperti itu, maka ketika melakukan
yoga, berlindunglah saja kepada Ingsun. Jika dirimu menyerahkan buah atas
segala ibdahmu kepada Ingsun, maka lakukanlah pengabdianmu itu dengan
kebeningan hati dan penuh kewaspadaan.
12.
Pangawikan iku luwih dhuwur tinimbang laku, nanging semedi luwih dhuwur
tinimbang pangawikan. Luwih dhuwur tinimbang olah semedi, yaiku ngurbanake
uwahing pakarti. ARTINYA : Ilmu itu lebih tinggi derajatnya
dibanding tindakan, namun samadi yoga tapa tafakur itu lebih tinggi derajatnya
dibandingkan dengan ilmu. Dan yang lebih tinggi dari Samadi, Yoga, Tapa,
Tafakur yaitu mengikhlaskan dan mengorbank semua buah pekerjaanya.
13.
Manunga kang ora darbe sengit marang sawenehing titah, kang tansah nedya gawe
bungahe liyan lan kebekan ing welas asih, ora kanggonan murka lan angkara,
tetep jenjem jroning ngalami bungah lan susah. ARTINYA
: Manusia yang tidak mempunyai rasa benci kepada semua makhluk, yang selalu
berusaha untuk menyenangkan orang lain dengan penuh rasa cinta, tidak mempunyai
murka, angkara, dan selalu dalam keadaan ketenangan diri ketika mengalami
kesenangan dan kesedihan.
14.
Manungsa kang mangkono iku, kang tansah gembira atine, kang tansah nguwasani
pribadine lan tetep teguh pambudine jroning ngudi manunggal karo Manira, kang
jroning batine tansah gegandhengan karo Manira, manungsa mangkono iku yogi lan
bakti ingkang sejati. Yogi lan bakti kang mangkono iku tuhu kekasih Manira. ARTINYA
: Manusia yang sudah mencapai yang demikian itu, yang selalu bahagia dalam
hatinya, yang selalu bisa mengendalikan pribadinya dan tetap teguh dalm
pencariannya untuk menyatu dengan Ingsun, yang keadaan batinnya selalu
tersambung dengan Ingsun, manusia yang sudah seperti itu adalah Yogi yang
benar-benar berbakti. Yogi dan bakti yang demikian itu, itulah sebnar-benarnya
kekasih Ingsun.
15.
Manungsa kang ora gawe gendraning jagad, wus ora mobah jalaran saka owah
gingsire kahanan, yekti wus ora magepokan maneh karo rasa was-was, kuwatir. Manungsa kang mangkono iku
tuhu kekasih Manira. ARTINYA : Manusia yang tidak membuat
kerusakan dunia, yang sudah tidak terpengaruh oleh ramainya cerita dudnia, itulah yang tidak bisa tersentuh oleh rasa
kuatir, rasa tidak adanya ketenangan diri. Manusia yang sudah perti itu, itulah
Kekasih Ingsun.
16.
Kang wus ora kepengin apa-apa, suci, mumpuni, ora keguh ing kahanan, sepi ing
reribeting batin, kang wus ora darbe gegayuhan maneh, manungsa kang mangkono
iku, tuhu kekasih Manira. ARTINYA : Yang sudah tidak mempunyai
keinginan diri, suci, menguasai, tidak terpengaruh gerak dunia, telah bisa
mengendalikan keruwetan batin, yang sudah tidak menghendaki hasrat lagi,
manusia yang seperti itu, itulah kekasih Ingsun.
9.
ISI IBARAT
DARI TIGA KUDA PENARIK KERETA
Di dalam Nyanyian Sukma bagian ke
XIII, Sri Kresna mengibaratkan raga ini bagaikan ladang, sedangkan Sukma Sejati
bagaikan pemiliknya dan yang melihatnya. Nyanyian yang termuat di bagian ini
sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan ajaran-ajaran yang sudah
diterangkan sebelumnya. Hanya sekedar untuk memantapkan saja tentang pentingnya
Roh yang ada di dalam raga manusisa, sedangkan ladang hanya sebatas menjadi
tempat bercocok tanam saja, yang harus diolah dengan baik.
Pada bagian ini, Sri Kresna dalam
memperhatikan cara beribadah kepada Ingsun, hingga mengeluarkan ibarat, bahwa
jika seseorang yang diterima ibadahnya itu, selain seseorang yang telah
melupakan terhadap sifat-sifat rendahnya, namun harus bersusila, tidak memiliki
cita-cita untuk kesenangan diri, tidak memliki dosa, bisa memberikan
ketenangan, adil, berbakti pada guru, suci, kuat, serta mengendalikan
pribadinya. Hanya dalam nyanyian di bait yang ke 10 dan 11, terdapat ajaran
yang sangat berat, yaitu :
10.
Ora darbe kuwajiban maneh
mikirake kaluwarga lan balegriya, bojo lan anak-anak, merdika nuruti karepe
pribadi ingkang suci, tansah tentrem batine, nadyan nemu kamujuran utawa
alangan. ARTINYA : Sudah tidak memiliki kewawjiab
terhadap keluarga dan rumah tangganya, istri/suami dan anak-anaknya, merdeka
mengikuti hasrat pribadinya yang suci, hatinya selalu tenang, walaupun dalam
kesenangan atau dalam kesusahan.
11.
Jroning olah yoga mung Manira ingkang tansah pinundhi pundhi lan ora ana liyane
kang dadi tujuane uripe, wus ora tuwuh sengseme tumrap apa bae kang edi peni;
uga ora rumangsa seneng sesrawungan karo wong-wong liya. ARTINYA
: Ketika amenjalankan Yoga, hanya Ingsun yang dipuja-pujanya dan tidak ada yang
lainnya yang menjadi tujuan hidupnya, sudah tidak tertarik kepada apa saja yang
indah dan berharga, juga tidak merasa senang bergaul dengan orang lain.
Jika seseorang sudah dalam keadaan demikian, barulah bisa
menyatu dan berada di dalam Sukma Sejati. Ajaran yang seperti itu, sangat mudah
disalah artikan bahwa itu sudah sangat melewati batas, karena seseorang yang
berniat untuk mencapai kesempurnaan, harus dengan jalan tidak memikirkan urusan
keluarganya, dan harus meninggalkan anak istri dan musuhnya. Jika yang demikian
itu, akan menumbuhkan pertanyaan “Apakah kewajiban sebagai manusia hidup di
dunia ini karena sudah seharusnya hidup berumah tangga? Mengapa juga, harus
membangun rumah tangga dan menjalankan kewajibannya untuk merawat keturunannya
?
Apakah yang dimaksud atas ajaran Sri Kresna yang demikian
itu, apakah hanya untuk menguji kemantapan bahwa orang yang beribadah itu harus
mengheningkan cipta yang sebenar-benarnya hingga di dalam melaksanakan ibadah
tersebut tidak memikirkan anak istri? Jika hanya demikian itu, baru bisa
disebut beribadah yang selaras dengan
kewajiban makhluk di dunia ini.
Namun Nyanyian Sukma dua bait di atas sebenarnya adalah
hanya ibarat saja bagi siapa saja yang sudah bsia berhasil dalam menjalankan
ibdahnya, yang sudah berniat benar-benar untuk meninggalkan keinginan dirinya
dan pengaruh keduniaan. Itu juga ibarat bagi siapa yang merasa sudah dekat
untuk menghadap kepada Yang Maha Kuasa,
ketika akan melepaskan raganya, seharusnya memang harus seperti apa yang sudah
dijabarkan di dalam Nyanyian Sukma dua bait tersebut di atas. Yaitu : Harus
sudah tidak menyenangi sesuatu, tidak berat meninggalkan anak istri, rumah dan
sebagainya, hanya memusatkan diri memuji dan mencintai Tuhan-nya saja.
Dan dalam Nyanyian Sukma selanjutnya, pada bagian ke XIV,
menerangkan Rajas, Tamas dan Satwa, sebagaimana tercantum pada bait 7 – 10,
berikut ini :
7.Dene
Rajas, kawruhana yen iku dadi dhasar-dhasare sakeh pepenginan. Jalaran saka
Rajas mau, manungsa tansah kumudu kudu ngarasakake obah mingsete urip kadonyan.
Rajas nancang manungsa ing donya iki, marga dheweke ora bisa meneng, tansah
kudu tumandang. ARTINYA : Sedangkan Rajas, ketahuilah bahwa
itu yang menumbuhkan meunculnya semua keinginan diri. Karena dari Rajas
tersebut, manusia selalu berhsrat untuk bisa merasakan kesenangan gerak
kehidupan. Rajas itu mengikut manusia kepada urusan keduniaan, karena Rajas itu
tidak bisa diam, dan selalu harus bergerak.
8.Dene
Tamas, iku nuwuhake kabodhohan, kacublukan, kapengungan, lan gawe bingunge kang
dumunung jroning raga iki. Tamas nancang lumantar rasa sungkan, keset, aras arasen,
heh Parta!. ARTINYA : Sedangkan Tamas, itulah yang
memunculkan kebodohan, ketololan, kepengungan dan yang membuat pikiran menjadi
bingung yang berada di dalam raga ini. Tamas mengikat jiwa manusia dengan rasa
sungkan, malas, tidak ada gairah, wahai Parta (Nama lain Harjuna).
9.
Satwa iku uletane karo kamukten, Rajas karo panggawe, heh Harjuna! Namung
Tamas, kang ngaling-ngalingi kawicaksanan, kawruhana, uletane karo kacublukan,
rasa sungkan, keset ala sapanunggalane. ARTINYA
: Satwam itu berhubungan dengan derajat mulia, Rajas itu berhubungan dengan
perbuatan, Wahai Harjuna! Namun, Tamas itu yang menutup kebijaksaan, keilmuan,
selalu bersahat dengan kebodohan, rasa sungkan, malas, sifat buruk dan lain
sebagainya.
10.
Yen Rajas lana Tamas lagi lerem, Satwa kang ngobahake uriping manungsa,
Kerep-kerepe Rajas kang kuwat dhewe. Ing kono banjur Rajas kang nglakokake
uriping manungsa. Ana kalane Tamas kang nguwasani uriping manungsa. ARTINYA
: Jika Rajas dan Tamas sedang diam, Satwa lah yang menjadi penggerak hidup
manusia. Namun ketika Rajas bergerak paling kuat, maka Rajaslah yang
menggerakan hidup manusia. Ada kalanya Tamas yang menjadi penguasa atas hidup
manusia.
Pada kisah saat Sri Kresna menjalankan kereta menuju
medan laga Tegal Kurusetra, keretanya di tarik oleh tiga kuda. Bukan dua atau
empat seperti halnya kereta kuda pada umumnya, akan tetapi “tiga”. Apakah
sebabnya? Karena kuda yang berjumlah tiga itu,
dijadikan ibarat oleh “Sri Kresnadwipayana” sang pengarang “Bagavad Gita” yang digunakan sebagai pengibaratan tentang
adanya tiga sifat, yaitu : Rajas, Tamas dan Satwam.
Sri Kresna telah berhasil dalam mengusiri (menjalankan)
kereta dan berhasil mengendalikan laju 3 kuda tersebut, hal itu mengandung
maksud bahwa Sri Kresna sudah berhasil menundukkan tiga nafsu : Rajas, Tamas
dan Satwa.
Penjelasan mengenai tiga sifat tersebut, ditelaah lagi di
dalam Nyanyian Suka bagian ke XVIII. Agar bisa urut, ada baiknya bagian
tersebut kita muat agar berkumpul di sini saja, sebagai menambah keterangan
tersebut di atas, sebagai berikut :
23.
Sapa kang tumandhang miturut prentahe darmane, lan ora ngarep-ngarep uwohe
panggawene, kelakuane jalma ingkang mangkono iku dhasare Satwa. ARTINYA
: Siapa yang melakukan perbuatan menuruti perintah dari kewajiban yang harus
dilakukannya sesuadi darmanya, dan tidak berharap atas hasil buah karyanya,
manusia yang melakukan tindakan yang seperti itu, itu berdasar Satwa.
24.
Nanging kang tumandhange saka ajakane pepenginan-pepenginan, kang nindhakake
panggawene jalaran kasurung dening angkarane, lan terus-terusan nyambut gawe,
ngliwati ingkang salumrah, ngaya, kawruhana kelakuaning jalma kang mangkono iku
dhasare Rajas. Akan tetapi yang melakukan perbuatan yang
berasal dari ajakan yang muncul dari keinginan diri, yang dalam melakukan
perbuatannya terdorong oleh angkaranya dan terus-menerus smelakukannya, hingga
melweti perbuatan pada umumnya, ketahuilah, kelakuan manusia yang seperti itu,
itu didasari Rajas.
25.
Kang ora merduli akibat-akibate pakartine, temahan gawe rugine utawa natoni
atine wong liya, nindhakake panggawene nganggo sakarep-karepe dhewe, kawruhana
yen kelakuane wong iku dhedhasar Tamas. ARTINYA
: Yang tidak memperdulikan akibat perbuatannya, yang hasilnya membuat kerugian
atau menyakiti orang lain, dan dalam berbuat hanya semaunya sendiri, ketahuilah
bahwa kelakuan orang tersebut berdasar Tamas.
26.
Kang ora tansah ngungasake angkarane, sepi ing rasa seneng marem, tansah teguh
lan linimputan ing Iman kang kandel, ora keguh jroning malang utawa mujur, wong
kang mangkono iku diarani pelaku Satwaka. ARTINYA
: Yang tidak mengumbar hawa nafsu angkaranya, tilah kosong dari rasa kesenangan
diri dan kepuasan diri, selalu kuat dan berada di perlindungan ketebalan Iman,
tidak terpengaruh oleh kemalangan atau pun keberuntungan, orang yang seperti
itu disebut pelaku Sarwaka.
27.
Ngancah, kang diajab mung entuka
kauntungan, srakah, daksiya ing budi, tansah ginonjang-ganjing dening bungah
lan susah, wong ingkang mangkono iku diarani pelaku Rajas. ARTINYA
: Selalu berharap, yang menjadi tujuannya hanya mendapatkan keuntungan,
serakah, suka menyianyiakan budi, selalu menjadi permainan rasa senang dan
susah, orang yang seperti itu dikatakan sebagai pelaku Rajas.
28.
Wong ingkang tumindak sakarep-karep, ora kena dijagakake
tindak-tanduke, kasar, bodho, julig, dhemen mblenjani, keset, sungkan, ngleler,
wong iku diarani pelaku Tamasah. ARTINYA : Orang yang
berbuat semaunya sendiri, tidak bisa diharapkan hasil perbuatannya, kasar,
bodoh, pandai berbohong untuk menipu, suka mengingkari, malas, sungkan, lambat,
orang itu disebut sebagai pelaku Tamasah.
29.
Nalar lan karsa iku uga ana telung prakara, heh Barata! Prayoga siji lan sijine
Manira terangakae marang sira, heh Dananjaya!. ARTINYA
: Nalar dan kehendak diri itu juga ada tiga macamnya, wahai Barata (Nama lain
Harjuna)!, ada baiknya Ingsun jelaskan kepada dirimu, wahai Dananjaya (Nama
lain Harjuna)!.
30.
Nalar kang wus bisa milahake anane kawigaten kang jumendhul, banjur metu tumuju
marang jagadhing karameyna lan kawigaten kang jumedhul banjur mlebu tumuju
marang jagading kasunyian, lan jalaran saka iku ngreti apa kang kudu dilakoni ana apa kang
kudu disingkiri, bisa mbedakake apa kang bisa nekakake katentreman; apa kang
bisa nyupeketake lan apa kang bisa nuwuhake cecongkrahan, kawruhahana nalar
kang mangkono iku dhedhasari
Satwa. ARTINYA
: Nalar yang sudah bisa memilah-milah hasrat yang muncul dari dalam diri, yang
kemudian keluar ke dalam keramaian dunia, dan hasrat yang muncul kemudian masuk
ke dalam dunia kesunyian, dan oleh karena hal itu, kemudian paham hasrat yang
mana yang akan dilakukan dan yang akan dihindari, bisa membedakan mana yang
bisa mendatangkan ketenteraman, mana yang bisa menjadikan masalah, dan mana
yang bisa menyebabkan pertengkaran, ketahuilah bahwa penalaran seperti itu
didasari oleh Satwa.
Seperti itulah uran dan perbedaan di antara Rajas, Tamas
dan Satwa, yang juga pernah termuat pada ajaran-ajaran di depan.
Dikisahkan, bahwa ketika Sri Kresna yang menyetir ke tiga
kuda tersebut, maka ketiganya selalu patuh kepada segala perintah dan kehendak
dari yang mengendalikannya. Akan tetapi, jika yang mengendalikan itu belum
mempunyai keahlian yang cukup, ketiga kuda tersebut tidak bakalan menurut atas
perintah sang kusir, bisa saja kuda yang satu akan melepaskan diri dari ikatan,
dan yang satunya mogok tadak mau berjalan. Maka dari itu, walau pun ketiga kuda
tersebut mempunyai watak yang berbeda-beda, namun jika yang mengendalikan sudah
benar-benar ahli, maka ketiga kuda tersebut akan bisa dikuasainya, dan akan
patuh menarik kereta mengikuti kehendak kusirnya, hingga bisa sampai ke
tengah-tengah medan peperangan Tegal Kurusetra.
Kemudian Sri Kresna masih melanjutkan ajarannya, termuat
di dalam bait ke 31 – 34, memperjelas keterangan tentang ketiga nafsu tersebut,
sebagai berikut :
31.
Nalar kang ora bisa mbedakake ala lan becik, apa kang kudu dilakoni lan apa
kang kudu disingkiri, kawruhanan, heh Parta, yen nalar kang mangkono iku
dhedhasar Tamas. Nalar yagn tidak bsia membedakan baik dan
buruk, dan apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus dihindarinya,
ketahuilah wahai Parta (nama lain harjuna), bahwa nalar yang seperti itu
berdasar Tamas.
32.
Kang pandulu batine linimputan dening pepeteng, nganti tumrape dheweke ala dai
becik, kabeh dadi sungsang buwana balik, nalare wong kang mangkono iku dhedhasar
Tamas. Yang mata hatinya tertutup kegelapan,
hingga bagi dirinya baik dan buruk, semua itu menjadi terbalik-balik, nalar
dari orang tersebut itu berdasar Tamas.
33.
Karsa kang tetep teguh, kena kinarya ngawasi obahe pangripta, mlebu metune
napas, lan obah mosike indriya, jroning olah panunggal, kang tan kena
dislewengake, kawruhana yen karsa mau dhedhasar Rajas. Hasrat
yang kuat, bisa untuk mengawasi gerak pikirannya, masuk dan keluarnya nafas,
dan gerak dari pancaindranya, dalam melakukan penyatuan, yang sudah tidak bisa
digoda, ketahuilah bahwa hasrta itu berasal dari Rajas.
34.
Dene sapa kang ing donya iki mung nuruti karepe napsune, tansah ngoyak kacekele
semat, derajat lan keramat saking senenge utawa marga pangarep-arep bakal entuk
manfaat, kawruhana yen wong kang mangkono iku kaepe dhedhasar Rajas. Sedangkan
bagi orang yang ketika di dunia hanya menuruti hasrat nafsunya, yang selalu
mengejar harta, pangkat ddan ketenaran karena sangat cintanya atau karena
mengira bahwa hal itu akan mendatangkan manfaat, ketahuilah bahwa orang yang
seperti itu, hasrtanya adalah berdasar Rajas.
Di dalam Nyanyian Sukma di bab ini, pada bait-bati
terakhir (35 -37), tentang Rajas, tamas, Satwa yang termuat di sini menguraikan
bahwa ketiga sifat tersebut walau pun berbeda, namun jika yang menggunakannya
adalah orang yang bijaksana, maka hasilnya pun baik, juga bisa menghasilkan
yang bermanfaat.
35.
Dene uwong kang dhemene mung turu kanggo ngoncati rasa was-sumelang lan
pikiran-pikiran kang gawe petenging ati, ora duwe pengarep-arep apa-apa,
dhemene minum, madat, main lan sapanunggalane, kawruhana, heh Harjuna, yen wong
iku karsane dhedhasar Tamas. ARTINYA : Sedangkan
bagi orang yang kesenangannya hanya tidur untuk menghindari rasa kuatir dan
pikiran-pikiran yang membaut gelapnya hati, tidak mempunyai pengharapan apapun,
kesukaannya minup, menghisap ganja, judi dan sebagainya, ketahuilah wahai
Harjuna, bahwa orang tersebut hasrat dirinya di dasari Tamas.
36,
Saiki he trah Barata kang pinunjul, bab anane kanikmatan telung rupa, kang dadi
kasenengane manungsa, marga padha duwe panemu, yen kanikmatan-kanikmatan mau
bakal mungkasi kasusahan kang lagi disandhang. ARTINYA
: Sekarang wahai Keturunan Barata yang terpilih, tentang adanya tiga bentuk
kenikmatan, yang menjadi kesenangan manusia, karena mereka mempunyai anggapan,
bahwa semua akenikmatan-kenikmatan itu akan bisa menyelesaikan segala masalah yang
dialaminya.
37.
Apa ingkang sakawit rasane pahit, getir kaya upas, jebul wekasane rasane kaya
banyu puruitasari, kawruhana yen kanikmatan kang mangkono iku dhasare Satwa,
kang tuwuh saka pangaruhe budi lan atma. ARTINYA
: Apa yang pada awalnya terasa pahit, tidak enak bagaikan racun, namun pada
akhirnrya rasanya bagaikan air kehidupan, ketahuilah bahwa kenikmatan yang
seperti itu, adalah berdasar Satwa, yang tumbuh atas pengaruh Budi dan Atma.
Tidak hanya terdapat di dalam “Bhagavad Gita” saja,
tentang adanya godaan yang menghalangi keutamaan dan keselamatan – walau pun di
daam ajaran Agama yang lain, sudah banyak yang mengerti tentang adanya penggoda
yang bernama Amarah, Luwamah dan Sufiah, yang juga mempunyai tingaktan makna yang serupa dengan
Rajasm Tamas dan Satwa, seperti yang
sudah dijelaskan di atas.
Daya kekuatan
penggoda itu bisa bermanfaat, jika yang menggunakannya sudah bisa mengendalikan
dan memaksanya menurut kehendaknya. Diibaratkan dengan ujud tiga kuda yang
mempunyai watak berbeda-beda, namun jika kusir sebagai yang mengendalikan itu
sudah ahli, maka ketiga nafsu itu tetap bisa dipaksa untuk mematuhi keinginan
dari yang mengendalikannya.
10.
PENYATUAN
DENGAN JALAN MERDEKA KARENA IKHLAS
Nyanyian Sukma bab ke XV, mesih
menguraikan tentang Ingsun, namun dengan cara menggunakan istilah baru, yaitu
Purusa. Oleh karena penting untuk menambah keyakinan dan kemantapan, maka kita
muat juga, yang tercantum di dalam bait ke 16 -20, berikut ini :
16.
Donya iki weruh ana Purusa loro. Sing siji kena ing pati, sijine ora kena ing
pati. Purusan kang kena ing pati iku jumeneng ing sajroning manungsa. Purusane
Pangeran iku tan kena ing pati lan tan kena ing owah gingsir. ARTINYA
: Di dunia ini ada dua Purusa, yang satu bisa mati, yang satunya tidak pernah
mati. Purusa yang bisa mati itu berada di dalam diri manusia. Purusa Tuhan itu
tidak pernah mati, dan tidak pernah berubah.
17.
Purusa kang luhur iku kang diarani Para Atma. Yaiku Dheweke kang murba misesa
jagad iki kabeh, sarana jumenege dadi Hyang Brahma, Hyang Wisnu lan Hyang
Siwah, utawa Pamurba, Pangayom lan Panglebure Jagad. ARTINYA
: Purusa tingkat tinggi itu yang disebut Para Atma. Yaitu Ingsun yang menguasai
dunia, ketika berkedudukan sebagai Hyang Brahma, Hyang Wisnu dan Hyang Siwah,
atau penyebab utama, pemelihara dan pengahncur segala dunia.
18.
Ing sarehne Manira ora gepok senggol karo karusakan, dadi isih luwih luhur
tinimbang karo kang Tan Kena Ing Rusak, mula manunggal lan kitab-kitab Wedha
ngarani yen Manira iku Purusa Utama. Oleh karena Ingsun
tidak tersentuh kerusakan, sehinggga lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan
yang tidak terkena kerusakan, sehingga yang menyatu dengan sarana Kitab-Kitab
Wedha menyebut bahwa Ingsun itu Purusa Utama.
19.
Sapa kang bisa ngreteni, tanpa nganggo kliru panampa, yen Manira iku Purusa Utama, iku
prasasat mahawikan, heh Barata! Manunga kang mangkono iku memundhi Manira
Lumantar kawutuhaning uripe. Siapa yang bisa mengenal, tanpa terkotori
oleh pemahaman yang salah, bahwa sesungguhnya Ingsun itu Purusan Utama, itu
seolah Maha Mengetahui, Wahai Barata!! Manusia yang sudah mencapai tingkat
demikian itu , mengagungkan Ingsun dengan cara keutuhan hidupnya.
20.
Kawruhana, iki piwulang Manira ingkang winadi banget, kang wus Manira wedharake
marang sira. He Anaga! Yen sira wus ngreteni wejangan Manira iki, sira tuhu
wicaksana. Lan yen kabeh mau wus sira rapung kuwajibaning Uripe. ARTINYA
: Ketahuilah, inilah Ajaran Ingsun yang sangat rahasias, yang sudah Ingsun
berikan kepada dirimu, He Anaga (Nama lain Harjuna)!, Jika dirimu bisa memahami
ajaran Ingsun ini, dirimu benar-benar cerdas. Itu bisa kau capai jika sudah
kamu selesaikan kewajiban hidupmu.
Itulah inti sari dari Ajaran cara
beribadah atau menyatu dengan menggugnakan Purusan Utama.
Oleh karena di dalam Nyanyian Sukma
bagian ke XV dan XVI, hanya berbentuk menambahi ajaran yang sudah-sudah dengan
nyanyian yang beda kalimatnya saja, maka tidak perlu untuk diulang lagi, agar
tidak malah membingungkan ajaran yang sudah jelas. Dalam Nyanyian Sukma
tersebut, hanya menerangkan perbedaan dari Sura dan Asura, yaitu yang bersifat
Dewa dan yang tidak bersifat Dewa, sedangkan Nyanyian Sukma bagian ke XVII,
hanya menguraikan tentang kurban, eperti yang sudah di uraikan di depan.
Pada Nyanyian Sukma bagian ke XVIII,
inilah intisari dari Ajaran, yang termuat di bait ke 51 -53, sebagai berikut :
51.Kang
wus bisa manunggal jalaran saka sucine budine, lan kanthi teguhing karsa
nguwasani pribadine, sarta ora keguh maneh dening sakeh kahananing urip, ora
dhemen ora gething. ARTINYA : Yang sudah bisa menyatu dengan
cara kesucian Budi, dan dengan keteguhan kehendak dalam menguasai pribadinya,
serta sudah tidak terpengaruh oleh keadaan kehidupan, tidak menyenangi dan
tidak membenci.
52.
Dhemen dumunung ing sepi, sinartan pangan kang prasaja lan pininta, nguwasani
obahing raga, mlebu metune napas, wijiling pangandika lan osiking jiwane, ora
kendhat mbudi panunggal minangka
tandha bektine marang kang kang ngayomi uripe. ARTINYA
: Menyenangi kesunyian, dengan makan seadanya dan sedikit, mengendalikan gerak
raga, mengendalikan keluar rmasuknya nafas, mengendalikan perkataannya dan
gerak keinginan diri di dalam jiwanya, tidak pernah henti menyatu sebagai tanda
baktinya kepada Sang Pemelihara hidupnya.
53.
Kang wus bisa nyingkirake angkarane, watek dakmenang, dhemen muring-muring,
takabur, kamurkan lan pepenginan-pepenginan, sarta tansah ana sajroning
katentreman, lan narima ing pandum, manungsa kang mangkono iku wus siyaga
manjing ing jatining Brahma. ARTINYA : Yang sudah membunuh angkaranya,
watak ingin menang sendiri, suka marah, sombong, murka dan dan segala keinginan
diri, serta selalu dalam ketenangan jiwa, dan menerima apa kehendak Tuhan
terhadap dirinya, manusia yang seperti itu, itulah yang sudah siap untuk
menyatu dengan kesejatian Brahma.
Eperti itulah jika seseorang berniat menyatu dengan Dzat
Yang Maha Suci, menurut ajaran Sri Kresna harus berani meninggalkan semuanya.
Meninggalkan yang serba tidak kekal, bahkan harus menginggalkan tempat
keramaian sesuai makna kewwajaran, yang kemudian berpindah ke tempat kesunyian.
Hal demikian itu seolah berbeda dengan apa yang di
uraikan tentang macam cara beribadah, yaitu dengan cara melakukan ibadah yang
tanpa melakukan ibadah, serta beribadah dengan cara melakukan ibadah. Yang
sesungguhnya, ajaran ini sangat jelas bahwa yang dikehendaki oleh Sri Kresna
yaitu seseorang yang menyatu yang benar-benar ingin menyatu dengan Yang Maha
Tunggal itu harus meninggalkan semua yang serba tidak kekal. Untuk bisa
tercapai, jika juga meninggalkan tempat keramian, agar lebih mudah
mengendalikan pribadinya.
Akan tetapi oleh karena hal mengendalikan diri itu tadi,
atas perkembangan kemajuan bisa didlakukan juga di tempat keramaian, Sehingga
sebenarnya ujud penyatuan itu sebenarnya juga bisa dilakukan di mana pun saja,
untuk mengendalikan hasratnya dan sudah kuat tekadnya.
Kemudian disusul adanya ajaran tentang kemantapan hati
hanya pribadi. Untuk para pecari, akan bisa menemukan keberuntungan, jika
selalu berlindung kepada Sri Kresna, walau pun sebelum-sebelumnya melakukan tindakan.
Namun sebaliknya, jika sebelumnya sudah ingat dan sadar kemudian pada akhirnya
melupakannya dan tidak mau mematuhi ajaran Sri Kresna sebagai tercantum dalam
bait 56 – 58, maka akan menemui celaka. Sajarannya adalah sebagai berikut :
55.Lan
jalaran saka bektine kang tansah tumuju marang Manira, dheweke bisa jumbuh karo
Manira, lan uga bisa njajagi Dat Manira. Lan sapa kang bisa meruhi dat Manira,
mesthine uga bisa manjing ing Dat. ARTINYA : Dan oleh
akrena kepatuhannya yang selalu tertuju hanya kepada Ingsun, maka dia akan bisa
menyatu dengan Ingsun. Dan juga bisa memahami Dzat Ingsun. Dan siapa saja yang
bisa melihat Dzat Ingsun, pastilah bisa masuk ke dalam Dzat.
56.Sapa
kang tansah nglakoni lan ngrampungake kabeh panggawe kang dadi kuwajibane,
kanthi tansah ngayom marang Manira, karana sih Manira, dheweke ing wekasan bisa
manjing ing Swiji kang
tan kena ing rusak. ARTINYA : Siapa saja yang selalu
menjalankan dan menyelesaikan semua tanggung-jawab yang menjadi kewajibannya,
dengan selalu berlindung kepada Ingsun, karena kasih sayang Ingsun, dia pada
akhirnya akan bisa menyatu masuk kepada yang tidak terkena kerusakan.
57.Pramula
panggawe apa wae kang kudu
sira lakoni, lakonana ing sajroning pangriptanira minangka tandha bektinira
marang Manira. Aja mingset anggonira ngudi panunggal lumantar bangkite
budinira, sarana jiwanira tansah tumanem ing Manira. ARTINYA
: Maka dari itu, kewwajiban yang harus kamu lakukan dalam bentuk apa pun harus
kamu lakukan, lakukanlah dan di dalam pikiranmu tanamkanlah hanya untuk
berbakti kepada Ingsun. Jangan sekali pun berubah dalam dirimu mencari
penyatuan dengan cara membangkitkan budimu, dengan cara jiwamu selalu tertanam
kepada Ingsun.
58.
Yen sakeh pangriptanira tansah tumuju marang Manira, mesthi sira tansah Manira
ayomi. Nanging yen karana angkaranira sing tansah mbudeg, ora gelem ngrungokake
marang pitutur kang becik, akhire sira bakal nemahi kaleburan. ARTINYA
: Jika yang ada di dalam pikiranmu selalu tertuju kepada Ingsun, pastilah
dirimu akan Ingsun lindungi. Namun jika karena angakaramu yang selalu tertutup dan tidak mau mendengarkan nasihat
yang baik, pada akhirnya dirimu akan menemui kehancuran.
Pada bagian selanjutnya di bait ke
61-62, diteruskan menerangkan tentang Tuhan dan balasan Tuhan kepada pencari
yang bercita-cita mendapatkan ketenteraman dengan cara abenar-benar mensucikan
pencariannya, sebagai berikut :
61.Allah
iku jumeneng ing ati sanubarining saben titah, lan ngobahake kabeh titah
miturut laku jantrane dhewe-dhewe. ARTINYA : Allah itu bersinggasana
di dalam hatinurati semua makhluk, dan menggerakan semua makhluk sesuai dengan
ukurannya sendiri-sendiri.
62.Mula
nyuwun pitulungane utawa pangayomane Pangeranira, kanthi sumarah ing
Panjenengane, heh Barata, Karana palimarmane, sira bakal oleh kamulyan, ing
katentreman kang langgeng. ARTINYA : Maka dari itu, mohonlah
pertolongan atau mohon perlindungan hanya kepada Tuhan-mu, dengan berserah diri
hanya Kepada Tuhan saja, wahai Barata. Karena ata ijin-Nya, dirimu akan
mendapatkan kemuliaan dan ketenangan yang kekal.
Sedangkan sebagai puncak dari
Nyanyian Sukma, sebagai penutupnya, yang juga amenjadi inti sarinya, tercantum
di bait ke 64 hingga 67 di bawah ini, dan Sri Kresna berpesan kepada Harjuna
untuk memperhatikannya hingga benar-benar paham.
64.
Lan saiki rungokna wadi Manira kang linuhur, kang nedya Manira wedharake marang
sira. Kawruhana sira iku kekasih Manira. Mula apa kang Manira gelarake iki, muga-muga neguhake
karahayinira. ARTINYA : Dan sekarang dengarkanlah sebuah
rahasia Ingsun yang paling rahasia, yang akan Ingsun sampaikan kepada dirimu.
Ketahuilah bahwa dirimu itu kekasih Ingsun, maka dari itu apa yang Ingsun
jelaskan ini, menjadikan keteguhan keyakinanmu.
65.
Kanthi pangritanira tansah tumanem ing Manira, asunga bekti marang Manira,
kurbana marang Manira. Manira ora bakal mblenjani janji Maniraiki, heh mitra
Manira. Dengan jalan pemehamanmu yang selalu
mengingat Ingsun, dan memberikan darma bakti kepada Ingsun, berkurbanlah kepada
Ingsun. Ingsunn tidak akan mengingakari janji Ingsun sendiri, Wahai kekasih
Ingsun!!
66.
Sajrone nglakoni darmanira, pasrahna pepesthenira marang Manira, sarana
nyumanggakake karahayoning uripira marang Manira. Mesthi Manira bakal ngluwari
sira saka sakeh dosa. Mula singkirana sungkawanira. ARTINYA
: Dalam melakukan darma kewajibanmu, serahkanlah takdirmu hanya kepada Ingsun,
dengan cara menyerahkan keselamatan hidupmu hanya kepada Ingsun. Pasti Ingsun
akan mensucikan dirimu dari segala dosa. Maka, hilangkanlah segala kesedihanmu.
67.Dingati-ati,
aja nganti sira ngandhakake apa kang Manira wecakake iki marang sapa wae, kang
ora gelem sumarah marang Manira lan ora gelem nglakoni prihatin, utawa marang
sapa kang ora mbutuhake, utawa kang ora darbe Iman marang Manira. ARTINYA
: Berhati-hatilah, janganlah kamu ceritakan apa yagn Ingsun katakan ini kepada
siapa pun saja, yang tidak meu berserah diri kepada Ingsun dan tidak mau
menjalankan keprihatinan, atau kepada siapa saja yang tidak membutuhkannya,
atau kepada yang tidak memiliki Iman kepada Ingsun.
Demikianlah isi penutup ajaran yang
sangat tinggi yang terdapat di dalam “Nyanyian Sukma” ketika Sri Kresna
memberikan ajaran kepada Harjuna. Inti perintahnya adalah : ‘Patuhilan Ingsun,
berbaktilah hanya kepada Ingsun, berlindunglah hanya kepada Ingsun, berkurbanlah
hanya untuk Ingsun, Jika hal demikian dilakukan dengan ikhlas maka akan menjadi
kekasih Ingsun.
Jika di dalam ajaran Agama lain, ada
petunjuk agar melakukan sembahyang hanya karena Allah, berbakti hanya dengan
cara Lillahi ta’Allah – akan tetapi di dalam ajaran Sri Kresna diarahkan dan
ditujukan hanya kepada Ingsun.
Di dalam ajaran Agama yang lainnya
lagi, isi petunjuknya juga hanya ditujukan kepada Tuhannya, agar bersujud dan
berbakti hanya kepada tuhan, pastilah akan mendapatkan kemurahan, akan mendapatkan
penghapusan dosa, dan mendapatkan anugerah yang kekal.
.Sedangkan cara untuk bisa menyatu
yang terdapat di dalam “Nyanyain Sukma” itu adalah seperti yang sudah berulang
kali diajarkan oleh Sri Kresna, yaitu patuh dan bakti yang sudah tidak mengingat
yang lainnya lagi kecuali hanya kepada yang disembahnya. Jangankan untuk ingat
kepada kesenangan diri yang ada di dunia, bahkan cinta kepada anak istri itu
pun sudah harus ditinggalkan sepenuhnya, sudah diikhlaskannya, direlakannya,
hanya terpusat ditujukan kepada “Yang Satu”
- jika bisa demikian barulah bisa mencapai kekekalan dan bisa mencapai
penyatuan. Menyatu dengan Yang Sejati, iabartnya abagaikan yang ditemukan di
dalam ajaran Agama lain : “Dari Tuhan adanya dan kepada Tuhan kembalinya”
(Innalillahi wa inna ilaihi Raji’un).
Syarat untuk mencapai hal yang
demikian, sudah sangat jelas di uraikan dalam Nyanyian Sukma tersebut di atas,
yaitu yang berisi rahasia dari semua isi ajaran, intisari ajaran yang sangat
luhur, dan jika dikatakan mengunakan kalimat lainnya, yaitu dengan punuh rasa
takut, penuh cinta, chof dan rozak kepada Tuhan serta dengan cara melakukan
ibadah hingga menembus hati sanubari, tanpa tercapuri oleh keinginan diri yang
lainnya, dan juga dengan berserah diri dengan penuh rasa ikhlas hingga ke dalam
hati.
Dan juga, disampaikan pesan oleh Sri
Kresna, bahwa siapa yang menyebarkan ilmu rahasia yang luhur ini, akan
mendapatkan balasan berupa : Akan sampai ke pada Ingsun. Tidak ada bedanya
dengan ajaran Agama lain yang menyebutkan siapa yang giat menyebarkan intisari
ajaran Agama, tentulah akan mendapatkan anugerah surga. Seperti inilah ajaran
Sri Kresna yang terakhir yang termuat di dalam bait ke 68 – 70, sebagai berikut
:
68.
Sapa kang nerang-nerangake wadi Manira kang adiluhur iki marang wong-wong kang
padha asung bekti marang Manira, iku mesthi ora suwe banjur manunggal karo
Manira. ARTINYA : Barang sipa yang mengajarkan
Rahasia Ingsun yang luhur ini kepada orang-orang yang berbakti hanya kepada
Ingsun, tidak akan lama pasti akan menyatu dengan Ingsun.
69.Sebab
ing antarane para
manungsa ora ana kang panggawene luwih becik, miturut panemu Manira, tinimbang karo
wong iku. Mula ing salumahing bumi ora ana titah kang luwih Manira tresnani
tinimbang karo dheweke. ARTINYA : Karena, di antara manusia itu
tidak ada yang perbuatannya lebih baik dari berbuat yang demikian, itulah
pendapat Ingsun, dibanding dengan orang tersebut. Maka dari itu, di atas bumi
tidak ada makhluk yang lebih Ingsun Cintai dibandingkan dengan mereka.
70.
Sapa kang tansah budidaya bisane netepi piwulang kang winaca ing lawan sabda
kita iki, iku prasasat asung kurban kang rupa kawicaksanan marang Manira,
kurban iku kurban kang becik dhewe. ARTINYA : Siapa saja
yang selalu berusaha untuk bisa menjalankan ajaran yang bisa di baca dalam
tutur kata ini, itu bagaikan berkurban berupa kebijaksanaan hanya kepada
Ingsun, kurban yang demikian itu kurban yang paling baik.
Setelah tamat isi ajaran tenetang ilmu penyatuan, Sri
Kresna kemudian bertanya kepada Harjuna, apakah telah merasa puas atas semua
ajaran yang sudah ddijelaskan dan apakah sudah hilang semua keragu-raguannya?
72.
Heh Parta! Apa sira wus ngrukokake lan bisa nampa kanthi mathenging jiwanira
apa kang Manira wedharake iki? Apa saiki pepeteng kang ngalang-alangi panggrahitanira
wus sirna, Heh Dananjaya? ARTINYA : Wahai Parta! Apakah dirimu sudah
bisa memahami dan bisa menerima dengan kemantapan jiwamu terhadap apa yang
Ingsun ajarkan ini? Apakah sekarang, kegelapan yang menutupi penalaran dan
pemikiranmu sudah hilang, Wahai Dananjaya?
Harjuna yang pada awalnya ragu-ragu
serta merasa kesulitan dalam memahaminya tentang ajaran cara Beribadah dan cara
menyembah serta tentang penyatuan, kemudian berkata :
73.Harjuna
matur : “Sampun sirna babarpisan Pangrahita kawula sampun bagkit margi saking
palimara Paduka, dhuh Atiyuta! Sapunika sampun mantep manah kawula, sarta
kawula badhe tumindak miturut dhwuh Paduka”. ARTINYA
: Harjuna berkata : “Telah hilang semua, penalaran hamba telah tumbuh karena
atas Ajaran yang disampaikan Paduka, Wahai Atiyuda! Sekarang telah mantaplah
hatiku, serta hamba akan selalu melakukan tindakan sesuai perintah Paduka”.
Setelah terpuaskan atas Ajaran Sri
Kresna, serta sudah hilang rasa keragu-raguannya, kemudian mempersiapkan diri
untuk berperang, telah siap berperang untuk memusnahkan Kurawa, menjalankan
kewajiban hidupnya yang ditakdirkan menjadi Satria serta sudah ditetapkan
diangkat menjadi Senopati Perang oleh Pandhawa di dalam perang Baratayuda Jaya
Binangun.
11.
RINGKASAN ISI
AJARAN SRI KRESNA
Ajaran Luhur yagn telah diuraikan
oleh Sri Kresna kepada Harjuna, yang termuat di dalam Serat “Bhagavad Gita”
seperti yagn sudah disampaikan semua di depan, jika diperinci dan dijabarkan,
kurang-lebihnya sebagai berikut ini :
PERTAMA : Menjelaskan tentang
keragu-raguan dan rasa keberatan hati bagi orang yang akan menggapai
kesempurnaan, karena masih tidak tega untuk meninggalkan kesenangan diri dan
kesenangan dunia, merasa sayang untuk meninggalkan hobby serta masih merasa berat untuk menghindari perwatakan dari jiwa
rendahnya.
Bahwa sebenarnya, kesenangan diri
dan kesenangan dunia, dan kepuasannya itu hanyalah sementara saja, tidak kekal
selamanya, itu semua ujudnya adalah : Hartabenda, Pangkat, Derajat kewibawaan,
kepandaian dan kesaktian, keluhuran diri, ketenaran, kewibawaan pengaruh. Itu
semua jika di dalam mencarinya melewati batas serta terikat karenanya, maka
akan mengikat rasa diri – itulah yang menyebabkan seseorang tidak bisa berhasil
dalam mencari ketenteraman.
Kesenangan yang menjauhkan diri dari
rasa tenteram, contohnya adalah : Suka berjudi, senang minum, senang
berfoya-foya, senaang makan enak, suka mengambil hak orang lain, termasuk juga
selingkuh dan korupsi, senang menyalahkan dan membantah pendapat orang lain –
itu semua adalah merupakan suatu kebaisaan yang pada umumnya sangat sulit untuk
ditinggalkan bagi yang sudah kecanduan. Demikian juga yang berupa watak dan
sifat jiwa rendah : Usil, irihati, sering marah, suka menfitnah, itu pun
termasuk musuh yang harus diperangi atas orang yang bercita-cita untuk
menggapai ketenteraman hidup didunia dan di akhirnya.
Itulah perasaan yang berat untuk
meninggalkan kesenangan, serta perasaan berat untuk meninggalkan kesenangan
itu, yang digambarkan berupa keragu-raguan harjuna untuk mengawali berperang.
KEDUA : Menguraikan tentang mati, bahwa sebenarnya
ketika manusia meninggal dunia itu, yang rusak hanyalah raganya, badan kasarnya
saja, akan tetapi ruh tetap kekal adanya, tidak ikut mati. Diri ini, selain
memiliki badan kasar serta Indra kasar – Juga masih mempunyai raga lagi, yaitu
badan halus dan indra halus yang tidak
bisa terlihat mata, selian itu juga memiliki Sukma yang juga bersifat kekal,
yang tidak terkena kematian, Ruh atau sukma inilah yang kadang memberikan
pertimbangan dengan mengingatkan kepada manusia akan hal perbuatan baik dan perbuatan buruk, akrena
sebenarnya sukma itu jika tentang Yang Maha Kuasa itu bagaikan Cahaya dan
mataharinya, bagaikan ombak dan samudranya, bagakan rasa manis dan madunya.
KETIGA : Menerangkan
tentang kembali terlahir atau menitis. Menurut ajaran yang disampaikan oleh Sri
Kresna, bahwa manusia yang meninggal dunia itu, setelah raga ditinglkan oleh
ruh, jika tiba waktunya ruh itu akan bisa terlahir lagi ke dunia dengan cara
menitis ke raga seorang bayi, untuk memberi kesempatan untuk menaikan
derajatnya menuju menjadi manusia sempurna, akan jiwanya semakin maju, semakin
maju lagi, yang pada akhirnya, setelah berkali-kali lahir dan mati, kemudian
barulah bisa masuk ke dalam alam kekekalan, bisa bersama Tuhan-nya.
Yang menjadi sebab seseorang masih
ditarik untuk lahir kembali, karena masih terikat oleh kesenangan dunia, karena
belum bisa melepas seluruhnya atas hawa nafsunya dan urusan keduanian-nya.
Sehingga masih harus mengalami dilahirkan lagi hingga berkali-kali, agar supaya
mendapatkan pengalaman dan kesempatan untuk berusaha memajukan rokhaninya serta
derat jiwanya.
KEEMPAT : Manusia agar
bisa semakin maju atas derajat jiwanya, harus menjalankan ibadah, yang jenisnya
ada dua amcam, yaitu beribadah dengan jalan heningnya jiwa, hanya memusatkan
padangannya ke pada yang Satu, yang ke dua : Beribadah dengan cara melakukan
tindakan yang utama yang hampa dari hasil buah kerjanya.
Beribadah dengan cara meditasi
menenangkan jiwa itu, tujuan ciptanya hanya ditukukan kepada Sukma Sejati,
kepada Ingsun sebagai Pribadinya diri sendiri, tidak bertujuan dan mengingat
kepada kesenangan serta kebutuhan hidup dan keperluan yang lain-lainnya, hanya
khusus ditujukan kepada yang disembah, yang bahasa pada umunya dikatakan “ Hanya
Karena Allah”. Artinya tidak mendua, tidak berbelok kepada Tuhan-tuhan lainnya
bagaikan seorang musyrik.
Beribadah dengan cara melakukan
perbuatan berupa semua perbuatan amal yang bermanfaat bagi sesamanya, yang
banyak tergelar di dunia ini. Namun dalam melakukan ibdahnya, tidak diselipi
karena pengharapan, rasa kemilikan dan ketenaran diri, tidak mengharapkan
keuntungan dunia dan kuntungan yang lainnya, singkatnya giat melakukan ibadah
sepi dari pengharapan.
KELIMA : Menguraikan
ajaran : Untuk bisa menyati dengan Yang Maha Tunggal, itu hanya bisa jika
terlaksananya melakukan ibadah. Beribadah yang rutin dilakukan sambil
bermasayarakat dengan sesamanya dalam tiap harinya. Serta menyatu dengan sebuah
ajaran untuk bisa menghantarkan atas kekekalan ruh, agar tidak dipaksa untuk
dilahirkan kembali. Karena terlahir kembali ke alam dunia itu dianggap sebagai
sebuah kesengsaraan, karena selalu mengalamai gembira dan susah, senang dan
sedih, harus mengalami kejadian yang tidak kekal, sehingga daripada itu,
semulia-mulianya pencarian, itu, Jika sudah bisa amenyatu - sedangkan syaratnya adalah dengan cara
melakukan penyatuan.
Sedangkan cara melakukan penyatuan
itu, selain di kala menjalani hidup sehari-hari harus selalu melakukan ibadah
atau melakukan sembah bagaikan yang sudah diuraikan pada bagian ke IV di atas –
di sewaktu akan menghadapi kematiannya atau jika seseorang sudah menyenangi
keamtiannya, harus menyarahkan jiwa raganya kepada Ingsun, harus berbakti
kepada Ingsun, dan hanya berlindung kepada Ingsun – yang di sini bahwa “INGSUN”
itu bukan pribadi dari Sri Kresna, bukan hanya yang bermakna Nur Ilahi, namun
yang menjadi ibarat bagi Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Allah. Tuhan Yang
Maha Esa.
Sudah dijelaskan bahwa dalam
menjalankan penyatuan itu, karena sangat bersungguh-sungguhnya dan dengan
ketekunan hanya berlindung kepada Tuhan, berbakti dan menyembah Tuhan, dengan
cara harus melupakan semua hal yang menyebabkan terikat kepada keduniaan –
menghilangkan rasa cinta kepada anak istri, menghilangkan rasa kemilikan
terhadap apa saja, selain hanya patuh kepada Tuhan-nya dan untuk kata yang
lebih mudahnya itu : Harus berserah diri, menyerahkan diri dengan ikhlas, rela
sebebas-bebasnya.
Lebih kurangnya, demikianlah isi
ringkasan ajaran di dalam “Bhagavat Gita” sesuai pemahaman penghimpun yang
belum tentu benar dan salahnya, serta ketepatan makna yang sebenarnya dari yang
dimaksudkan oleh pengarang aslinya. Namun dengan menelaah isi yang sebenarnya
dari “Nyanyian Sukma” sebenarnya tidak cukup jika hanya memahami isi
ringkasannya saja, atau synopsisnya saja, karena di dalam tiap bait di dalam
Nyanyian tersebut isi kandungan makna dan rasanya adalah sendiri-sendiri.
Sehingga jika ingin mendalami dengan
sungguh-sungguh makna dari “Bhagavad Gita”
itu harus meneliti dan menelaah tiap bagian-bagiannya dari yang terkecil
dengan sedail-detailnya – agar bisa mengambil manfaatnya yang tidak akan
mengecewakan.
Sedangkan cara agar bisa menyelami
isinya hingga ke dasar terdalamnya, tidak ada lain, selain membaca berulang-
kali dengan tanpa mengenal bosan.
Seorang Pengarang Buku, H.E.
Sampson, menulis di dalam bukunya “Bhagavad Gita Interpreted” yang
diterjemahkan dengan judul “Handaran Bhagavad Gita” sebagai berikut : “Tidak
ada satu pun jalan, selain harus berulang kali membacanya, jika inging
benar-benar mengerti isi kandungan “Bhagavad Gita” hinga merasap ke dalam
ingatan, agar tidak lupa lagi terhadap uraoan-uraiannya. Dan jangan tergesa
–gesa ingins egera bisa menguasainya, dengan cara menelaah seberapa kedalaman
isinya serta kenyataan isinya yang tersimpan di dalam buku tersebut. Para
pencari memusatkan pikirannya, khusu hanya mendalami uraian-uraiannya, dengan
cara meresapi isi tiap-tiap katanya, hingga benar-benar bisa meresap kedalam inti
kalbunya, akan tetapi harus tidak dengan cara mengaku pandai, dan jangan merasa
bahwa sudah bisa memahami isi kandungannya. Dengan cara yang demikian itu, dari
sedikit—demi sedikit “Bhagavad Gita” dapat mendapakan jalan, sebagai jawaban
dari jiwa kepada pemahamannya, yang kemudian diterima oleh ciptanya atau oleh
pemikirannya, menyatu dengan pribadinya, yang pada akhirnya, tidak hanya
sekedar memahami saja atas maskudnya, akan tetapi isi dari “Bhagavad Gita” bisa
merobah ata membangun wataknya. Oleh karena itu, dari yang sedikit, dirinya
bisa menyelaraskan badannya selaras dengan isi ajaran yang ada, bagi cipta dan
perbuatannya.
Sarjana Aldous Huxley, di dalam
bukunya yang berjudul “The Song of God” mengatakan bahwa “Bhagavad Gita” itu
bisa juga sebagai pernyataan skripsi dari Falsafah Pirenia yang tertata,
Sisitimatis, sendiri. Namun, walau pun begitu, kita ikut mendukung anjuran dari
H.E. Sampson di atas, yaitu siapa yang berniat untuk memahami dengan
sungguh-sungguh atas intisari dari “Bhagavad Gita” jangan lah bosan untuk
berkali-kali membacanya, terlebih ladi diwaktu yang dalam suasana tenang.
Dikisahkan, setelah Sanjaya selesai
melaporkan nyanyian sukma dari Sri Kresna dengan Harjuna dari Tegal Kurusetra,
kemudian menyampaikannya kepada Drestarasta, seperti tersebut di dalam nyanyain
bagian terakhir sebagai berikut :
74.Sanjaya
matur : “Kawula saged mirengaken pangandika ingkang mijil saking tutukipun Sang
Wasudewa tumuju dhateng Sang Parta ingkang tuhu luhur bebudenipun, pangandika
ingkang sanget ngeram-eramaken saha damel njegraging rikma. ARTINYA : Sanjata berkata : “Hamba bisa
mendangarkan pembicaraan yang keluar daru mulut Sang Wasudewa (Nama lain
Kresna) yang ditujukan ke Sang Parta yang sangat berbudi luhur, Kata-katanya
sangat mengagumkan serta membuat bulu kuduk berdiri.
75.Saking
palimarmanipun Sang Wiyasa, pangandika kang medharaken wadining-wadi ingkang
adiluhur. Inggih punika latihan-latihan minangka nggayuh sampurnaning gesang,
saged kula tampi saking Pangeran ingkang misesa gesang piyambak. ARTINYA
: Atas ijin dari Sang Wiyasa, ucapan yang menguraikan rahasia di atas rahasia
yang sangat luhur, yaitu yang berupa latihan-latihan untuk menggapai
kesempurnaan hidup, bisa hamba terima langsung dari Tuhan yang menguasai
hidupnya sendiri.
76.Dhuh
Sang Prabu! Saben-saben kula kemutan lawan sabdanipun Sang Kesyawa lan Sang
Harjuna, kapranan, trenyuh sanget manah kawula, margi katuwuhan marem lan
bingah ingkang tanpa upami. ARTINYA : Wahai sang raja! Setiap saya
teringat pembicaraan Sang Kesyawa dan Sang Harjuna, sangat senang hatiku,
sangat menyentuh perasaan hati hamba, karena tumbuh rasa puas hati dan
kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan kata-kata.
77.Saben-saben
manawi kula manah-manah kawujudan Sang Harimurti, ingkang tuhu Agung lan ngedep-edhapaken wau, kapranan
malih manah kawula lan kawula lajeng saged ngraosaken malih kanikmatan ingkang
boten wonten pindhanipun. ARTINYA : Setiap saya memikirkan wujud Sang
Harimurti, yang sungguh sangat Agung dan sangat berwibawa, merasa kasmaranlah
hati hamba dan kemudian hamba bisa merasakan kembali rasa nikmat yang tidak
bisa digambarkan.
78.
Ing pundi jumenengipun Sang Kresna, Gusti ning Yoga lan Sang Parta ingkang
mboten nate pisah kaliyan gandhewanipun, ing riku tuhu dumununganipun Jaya
Kawijayan, Kamulyan lan Karahayon. Punika sampun mboten wonten tidha-tidhanipun
malih” ARTINYA : Dimanakan tempatnya Sang Kresna,
Pemimpin para Yogi dan Sang Parta yang tidak pernah terpisah dengan
gendhewanya, di situlah sungguh! Tempatnya segala kesaktian, kemuliaan dan
keselamatan. Hal itu sudah tidak ada keraguan lagi. <><><>
Seperti itulah penutup kata Sanjaya
kepada Sang Raja Drestarasta yang berarti telah Tamat isi kandungan “Nyanayian
Sukma” “Bhagavad Gita” yang berisi ajaran rahasia, yang bernama kebijaksaanBrahma
yaitu Sastra Penyatuan.
12.
PENDAPAT
YANG BERDASARKAN TELAAH DAN PENALARAN
Walau pun sudah disebutkan bahwa
“Bhagavad Gita” itu adalah ajaran yang sangat Indah, Ajaran rahasia
kebijaksanaan Brahma, namun karena hidup kita diberi pikiran dan penalaran,
maka dalam kita menelaah isi dari serat
“Bhagavad Gita” juga tidak bisa jika hanya menerima apa adanya saja, tanpa penalaran
dan tanpa ditelaah, tidak baik jika kita terima tidak dengan penalaran dan di
telaah isinya.
Para Sarjana banyak yang
meninggalkan adanya ilmu yang dogmatik, banyak yang menolak untuk menerima
ajaran yang hanya berisi perintah untuk percaya saja, serta menyebutnya atas
sifat yang seperti itu sebagai penyebab mendidik orang menjadi tidak suka
mengunakan penalaran dan penelahan.
Seharunya sikap kita dalam menggali
isi dari “Bhagavad Gita” juga dengan cara demikian, juga harus menggunakan cara
penalaran dan menelaah isinya, yang diselaraskan dengan nalar serta selaras
dengan pikiran agar bisa mengikuti perkmbangan jaman yang sedang kita jalani
ini. Karena ketika jaman Viyasa mencipta ajaran yang indah di dalam “Bhagavad
Gita” itu sudah banyak sekali perubahannya dibanding jaman sekarang. Sehingga,
jika kita ingin mengambil manfaatnya dari ajaran rahasia yang sangat terkenal
ini, seharusnya juga harus bisa menyelaraskan terlebih dahulu dengan suasana
dan jaman yang selalu berjalan tan ada berhentinya ini, berjalan menuju kepada
evolusi dari kemajuan jaman.
Yang kadang-kadang bsia menumbuhkan
pendapat atau penafsiran yang membingungkan bagi yang ingin mendalami isi dari
“Bhagavad Gita” yaitu dengan adanya istilah-istilah yang dalam satu kata naman
maknanya bisa berubahubah karena terlalu seringnya diulang-ulang dari isi
ajaran yang diuraikannya. Tentang istilah “Ingsun” sebagai contohnya, di bagian
depan itu hanya bermakna “Aku” – namun di dalam bagian yang lainnya bermakna
“Nur Ilahi” atau “Sukma Sejati”, yairu ruh yang kekal yang bersinggasana di
badan ini, yang bisa juga dimaknai sebagai Cahaya Ketuhanan atau bayangan dari
Yang Maha Kuasa. Pada bagian yang lainnya setelah menjelaskan tentang penyatuan
yang sebenarnya, istilah “Ingsun” kemudian dimaknai “Tuhan” karena di dalam
nyanyian itu terdapat kalimat, sebagai berikut :
18.
Ing sarehne Manira ora gepok senggol karo karusakan, dadi isih luwih luhur
tinimbang karo kang Tan Kena Ing Rusak, mula manunggal lan kitab-kitab Wedha
ngarani yen Manira iku Purusa Utama. Oleh karena Ingsun
tidak tersentuh kerusakan, sehinggga lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan
yang tidak terkena kerusakan, sehingga yang menyatu dengan sarana Kitab-Kitab
Wedha menyebut bahwa Ingsun itu Purusa Utama.
Pada bagian lain, bisa ditemukan
kalimat tentang ibdah,s ebagai berikut :
65.
Kanthi pangritanira tansah tumanem ing Manira, asunga bekti marang Manira,
kurbana marang Manira. Manira ora bakal mblenjani janji Maniraiki, heh mitra Manira. Dengan
jalan pemehamanmu yang selalu mengingat Ingsun, dan memberikan darma bakti
kepada Ingsun, berkurbanlah kepada Ingsun. Ingsunn tidak akan mengingakari
janji Ingsun sendiri, Wahai kekasih Ingsun!!
Jelaslah bahwa dalam kalimat ini, Ingsun itu tidak
bermakna sebagai Pribadi dari Sri Kresna dan juga bukan bermakna Ruh atau Jiwa
yang bersinggasana di dalam raga. Akan tetapi bermakna Tuhan Yang Maha Kuasa,
yaitu Allah, Tuhan yang wajib disembah
dan Yang Maha Esa.
Di dalam bab yang menguarikan cara beribadah,
sudah diuraikan dengan jelas bahwa penyatuan itu, akan bsia dicapai dengan cara
mengheningkan ciptanya dan memusatkan ciptanya, yaitu dengan cara melakukan
Sangkya Yoga. Akan tetapi bagi yang sudah memeluk Agama yang lain, apakah
haruss meninggalkan cara ibadahnya sesuai syariat agamanya sendii-sendiri,
kemudian melakukan Sangkya Yoga, yang dalam bahasa sehari-harinya disebut
melakukan meditasi atau konsentrasi?
Jika dinalar, jika hanya merobah
caranya saja, belum tentu bisa berhsil. Karena tidak semua orang yang melakukan
Sangkya Yoga bisa sampai kepada tingkat samadi yang sebenar-benarnya,
tergantung dari kekuatan niat dan ketahanan tekad yang menjalankannya.
Sesungguhnya yang terpenting itu, bukan caranya, namun tekad, Iman, kemanapan
hati dan sucinya niat.
Walau pun seseorang yang menjalankan
perintah Agama dengan menjalankan sembahyang, menguti aturan syariat Agamanya
sendiri-sendiri, jika itu dijalankan dengan cara sepi dari pengharapan, khusus
hanya karena Allah, hanya berlindung kepada Tuhan, dan dalam
konsentrasinya dalam cinptanya
benar-benar hanya murni kepada Tuhan, dan sedikit saja tidak menduakan niat,
yang sudah hilang keinginan diri atas sesuatu yang serba tidak kekal, sudah
Zuhud - paling tidak pada akhirnya juga
akan sampai kepada tujuannya dengan menjalankan sembahyang.
Hal demikian itu, bukan berarti
sebuah larangan atas orang yang sudah menjalankan syariat Agamanya
sendiri-sendiri, jika diwaktu senggang atau waktu yang ditentukan juga
manjalankan meditasi atau konsentrasi yang menuju kepada tujuan yang luhur.
Contoh bahwa semua ajaran yang indah
yang ada di “Bhagavad Gita” itu tidak mesti cocok dengan keadaan jaman
sekarang, terlebih lagi bagi negara dan bangsa ini, masih ada ajaran yang
membeda-bedakan kasta : Brahma, Satria, Waisya dan Sudra – yang atas
perkembangan jaman kemajuan, kasta-kasta tersebut semakin lama semakin tipis,
sedangkan di negara ini sudah banyak yang hilang kecuali, yang masih
menjalankan Agama Hindu. Dengan dengana danya ibarat tentang kurban, di dalam
“Nyanyai Sukma” bagika III, bait ke 14, sebagai berikut :
14. Kang nguripi wadhag kita iki pangan, kang paring
pangan iku Hyang Indra, dewaning udan. Hyang Indra jumenenge marga saka anane
sesaji. Tanpa tumandang ora ana sesaji pangurbanan. ARTINYA
: Yang menghidupi raga ini makanan, makanan itu berasal dari hujan (Hyang
Indra), Hujan (Indra) itu ada karena adanya kurban, Jika tidak ada yang
melakukan kerja maka tidak ada kurban (Kurban itu penyebab kerja).
Jika kaita tidak mempunyai wawasan
luas untuk mengambil isi dari ajaran yang luhur dengan seutuhnya – maka lebih
mudah untuk memahami bahwa hujan itu terjadi karedisebabkan oleh kurban.
Meskipun demikian, apakah benar bahwa di negara Mesir yang jarang ada hujan itu
berarti bahwa orang-orang di sana jarang gberkurban, menurut agamanya?
Hal yang demikian, jika kita ingin
mengambil hikmahnya dari isi ajaran dari kitab-kitab lama yang sudah berumur
ribuan tahun – harus bisa menelaah, harus bisa memilah-milah dan menganalisa
disesuaikan dengan jaman ketika kita hidup ini, karena jaman itu seperti sifat
alam, tidak statis, akan tetap selalu bergarak dan berubah, menuju kepada
kemajuan.
Menelaah isi dari “Bhagavad Gita”
seharusnya tidak bisa dipisah dengan pribadi dari Sri Kresna dan Pandhawa, yang
dalam cerita munculnya ajaran ini di Tegal Kurusetra itu, Pandhawa diwakili
oleh Harjuna – akan tetapi yang sebenarnya itu, bahwa sifat Pandhawa sebenarnya
adalah berada pada Yudhistira, yaitu yang sulung di anatar pandhawa lima.
Sehingga ada baiknya jika kita
uraikan sedikit tentang cerita yang berhubungan dengan yaitu antara pribadinya
Sri Kresna dan Yudhistira.
Dikisahkan, Dari kepatuhan dan
kejujuran piikiran Yudhistira, namun demikian bisa kena tipu oleh Kurawa,
hingga Pandhawa menjalani hukuman yang berupa : Harus meninggalkan kerajaan,
dan bertempat tinggal di hutan selama 12 tahun, dan hingga tahun terakhir
ketika ada di hutan tidak boleh ketahuan tempatnya oleh para Kurawa. Singkat
cerita, para Pandhawa hidup dalam kesengsaraan dan penuh derita, penuh kesulitan,
jauh dari keramaian, jauh dari kesenangan, jauh dari kewibawaan. Pertemuan
antara Pandhawa dan Sri Kresna itu juga ketika Pandhawa sedang dalam
penderitaan, yang akhirnya mereka menjadid sahabat yang sangat karibnya. Bahkan
Sri Kresna dianggap sebagai pelepas dan tempat penghapus segala kesulitan dan
keruwetan hidup.
Cerita ini sebenarnya mengandung
maksud, mengandung ibarat, bahwa seseorang baru bisa bertemu dengan Sri Kresna
itu, harus melewati kesusahan dan penderitaan serta harus mengalami kejadian-kejadian
yang beraneka rupa terlebih dahulu. Maksudnya adalah, Siapa saja yang ingin
mencari guru seperti Sri Kresna, terlebih dahulu harus melewati pedih perih,
harus terpencil jauh dari kerameian dan kesenangan, harus penuh permohonan
kepada Yang Maha Kuasa agar bisa terlepas dari segala coba dan derita.
Tanda berhasilnya adalah, setelah
bertemu sahabat dan guru Sejati, yang diwakili oleh pribadi Sri Kresna, yang
akhirnya perjuangan Pandhawa bisa berhasil selamat, bisa menggapai
cita-citanya, dan ketika berperang melawan Kurawa di dalam Perang Bharata
Yudha, itu juga masih mendapatkan tuntunan dan arahan Sri Kresna – hingga bisa
menang dalam perangnya.
Cerita lainnya lagi yang
menggambarkan sifat dari para Pandhawa, yaitu ketika lima bersaudara sedang
menderita di tengah hutan belantara, jauh dari tempat yang ada buah-buahannya
untuk bisa dimakan, dan jauh dari sumber air yang airnya bisa untuk diminum, ke
lima bersaudara beserta ibundanya “ Dhewi Kunthi, semuanya kelaparan dan
kehausan.
Nakula, saudara termuda, diberi
tugas mencari air, yang kemudian berangkat menembus hutan tebal, yang akhirnya
bisa menemukan telaga yang airnya jernih bersinar bagaikan pantulan kaca.
Karena sudah sangat kehausan, kemudian Nakula mereebahkan diri di pinggir telaga
ingin meminum airnya. Namun sebelum terlaksana, Nakula mendengar suara yang
melarangnya : “Jangalah tergesa-gesa wahai putraku, jawablah terlebih dahulu
pertanyaanku. Jika kamu bisa menjawab pertanyaanku, barulah kamu boleh
meminumnya dan boleh mengambil air telaga ini.
Nakula, tidak memperdulikan suara
itu. Dia terus saja meminum air telaga, dan setelah berhasil, kemudian Nakula
tersungkur dan seketika itu meninggal dunia.
Oleh karena di tunggu lama, nakula
tidak kemebali, maka yang mendapat tugas mencari aiar adalah Sadhewa. Kemudian
Sdhewa berangkat menyusul Nakula, yang kemudian bisa bertemu dengan dengan
telaga dengan air yang sangat jernih. Belum punya keinginan untuk meminumnya,
Sadhewa juga mendengar suara yang melarangnya seperti yang didengar oleh Nakula,
dan Sadhewa juga tidak menghiraukannya atas larangan dari suara tersebut, terus
saja meminum airnya, dan juga menemui kematian seperti adiknya.
Demikian selanjutnya, berganti
dengan Harjuna dan Bratasena, yang juga mengalami kejadian seperti Nakula dan
Sadhewa.
Yudhistira kemudian menysulnya, dan
ketika melihat ke empat adiknya tewas, maka sangatlah sedih hatinya, yang tidak
lama kemudidan mendengar suara bagaikan terngiang di telinga : “Anakku!!
Terlebih dahulu, jawablah pertanyaanku, jika kamu bisa menjawabnya dengan
tepat, maka bisa mendapatkan air dan akan hilang semua penderitaanmu”.
Yudhistira menoleh, dan terlihatlah burung bangau di dekatnya.
“Apakah sebabnya atau jalan manakah
yang menuju surga?” Pertanyaan dari burung bangau.
“Kepercayaan”, jawab Ydhistira.
“Bagaimanakah caranaya agar manusia
mendapatkan kebruntungan?
“Dengan tuntunan yang benar”.
“Siapakah yang bertindak, jika
bertemu dengan keadaan agar bisa terlepas dari kesengsaraan?”
“Pkirannya”
“kapankah seseorang dicintai?”
“Jika hampa dari hasrat dan
keinginan diri, maka akan dipuji dan disanjung.”
“Di dalam semua keanehan di dunia
ini, apakah yang paling aneh?
“Jika tidak ada manusia – Walau pun
dia sudah pernah mengetahui yang lain-lainnya meati semua – namun dia itu tidak
mau mempercayai jika dirinya sendiri itu juga akan mati.”
“ Bagaimana agar manusia itu bisa menjalankan
Agamanya denan benar?”
“Bukan dengan nyanyian, bukan karena
Kitab-kitab yang tersusun dari tulisan, atau bukan dari ajaran-ajarannya, itu
semua tidak akan bisa membantunya. Jalan untuk menjalankan Agama yang benar
itu, hanya dengan cara kesucian hati.”
Setelah mendengar jawa dari
Yudhidtira yang demikian itu, Dewa Dharma merasa puas, kemudian memperlihatkan
dirinya, yang kemudian menghidupkan ke
empat saudara Yudhistira, serta juga memeberikan air yang jernih.
Aa satu cerita lagi yang
menggambarkan kesucian hati Pandhawa. Diceritakan setelah perang Bharata Yudha
sudah terlewat, ketika lima saudara akan
meninggalkan urusan keduniaan, kemudian berangkat meninggalkan kerajaanya
menuju Gunung Himalaya, kahyangan para Dewa.
Kempat saudara Yudhistira, Nakuka,
Sadhewa, Harjunadan Bratasena, satu demi satu meninggal dunia, karena dianggap
tidak cukup suci untuk memasuki surga beserta raganya. Hanya Yudhistira yang
ketika berjalan sambil menuntun anjingnya yang sangat disayanginya, dianggap
cukup kesuciannyahingga bisa menghadap di hadapan Dewa Indra.
“Namun dirimu jangan kecewa, karena
anjingmu tidak bisa dibawa masuk ke dalam kerajaan Surga”, Kata Dewa Indra.
“hamba tidak bisa terpisah dengan
yang selalu setia dan menyayangi hamba” Jawab yudhistira.
“Akan tetapi anjingmu itu tidak
cukup kesuciannya untuk bisa masuk ke dalam Surga.”
“Jika demikian, saya bersedia berada
di luar pintu surga jika harus berpisah dengan saya anggap setia serta kesucian
hatinya melebihi hati hamba.”
“Walau pun demikian, akan tetapi
Ulun terpaksa tidak mengijinkan jika anjingmu ikut masuk ke dalam Surga.”
“Hamba lebih baik tetap berkumpul di
luar Surga dengan anjing hamba, karena hamba telah bersumpah untuk
melindunginya.”
Setelah agak lama saling
berbantahan, pada akhirnya Yudhistira diperkenankan masuk ke dalam surga sambil
menuntun anjingnya, dan ketika itu langsung berubah ujud menjadi Dewa Dharma, karena
sebenarnya Yudhistira sedang diuji tentang kesungguhannya kepada sifat setia.
Setelah berada di dalam Surga,
Kemudian Yudhistira mencari saudara-saudaranya yang telah berjalan terlebih
dahulu, namun satu pun tidak diketemukannya, yang ada justru : Semua musuhnya,
yaitu para Kurawa, yang telah meninggal dunia ketika perang Bharata Yudha.
“Dimanakah tempatnya saudara-saudara
hamba?” Tanya Yudhistira kepada Dewa Indra.
“Berada di tempat lain. Silahkan
jika dirimu ingin melihatnya, akan saya tunjukan.” Jawab Desa Indra, yang
kemudian pergi ke tempat tempat yang gelap dan seram. Di tempat itulah
Yudhistira melihat nasib dari ke empat saudaranya, yang tersangkut di dalam
Neraka.
“Itulah keempat saudaramu.”
‘Jika demikian, hamba mohon untuk
dikumpulkan menjadi satu tempat berkumpul dengan saudara-saudaraku.” Permohonan
Yudhistira.
“Mengapa mesti begitu, seharusnya
dirimu itu berada di tempat yang baik di dalam surga itu tadi.”
“Bagi hamba, di tempat ini,
berkumpul dengan saudara-saudara hamba, itu bagaikan berada di surga, justru
hamba akan merasa menderita jika harus berpisah dangan saudara-saudara hamba.”
Setelah mendengar jawaban yang
demikian, seketika itu juga, apa yang sebelumnya terlihat gelap dan berisi
kesengsaraan, kemudian berubah menjadi terang dan penuh kemuliaan – dan
sebaliknya, yang sebelumnya terlihat
terang dan penuh kemuliaan, yang ditempti oleh para musuh-musuh Pandhawa
– seketika itu juga berubah menjadi Neraka.
Yang demikian itu, adalah juga
merupakan ujian yang harus dilewati bahwa betapa pentingnya difat Suci dan
tindakan kesucian. Juga menunjukan bahwa Sifat Pandhawa yang sudah berhasil memerangi dan bisa
mengalahkan Kurwa, yang berarti juga sebguah ibarat keadaan seseorang yang
sudah menyatu dengan Tuhan karena sudah benar-benar suci, karena sudah bisa
mengalahkan hawa nafsunya, bisa menghilangkan kesenangan diri pada dunia,
memusnahkan hasrat-hasratnya yang bermacam-macam – beralik hanya khusus
berbakti dan berserah kepada Tuhan.
Di dalam ajaran yang intisarinya
seperti tersebut di atas, sebagai tujuan dari Sri Kresna dalam menggelar Ilmu
Luhur, yang dengan cara Harjuna yang dijadikan alat berbicara menggunakan
mulutnya, sebagai tempat wadah dari Ilmu Kesempurnaan.
Sebagai penutup, Pengarang akan
mengulangi Ucapan Sri Kresna bahwa bagi siapa saja yang mau menyebarkan dan
menerangkan isi dari “Bhagavad Gita”, adalah sebagai berikut :
68.
Sapa kang nerang-nerangake wadi Manira kang adiluhur iki marang wong-wong kang
padha asung bekti marang Manira, iku mesthi ora suwe banjur manunggal karo
Manira. ARTINYA : Barang sipa yang mengajarkan
Rahasia Ingsun yang luhur ini kepada orang-orang yang berbakti hanya kepada
Ingsun, tidak akan lama pasti akan menyatu dengan Ingsun.
Akan teapi bagi pengarang sendiri,
walau pun sudah menjelaskan isi dari Buku Rahasia ini kepada para pembaca yang
selalu berbakti kepada Tuhan – pengarang juga masih merasa ragu-ragu dan juga
merasa masih jauh teramat jauh dengan Tuhan Yang Maha Agung. Hal demikian itu,
barangkali karena kurang bisa menjelaskan maknanya dan karena kurang tepat
dalam menjabarkannya.
Maka dari itu, harapan dan
permohonan – semoga para pembaca mendapatkan anugerah untuk bisa memahaminya
dan bisa mendekat kepada-Nya. Semoga Allah mengabulkannya.
Sepanjang – Sidoarjo, 01 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar