“TAOISME”
Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang–Tzu,
Serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn
‘Arabi
Buku Kedua dari
SUFISME dan TAOISME
TOSHIHIKO
IZUTSU
Diterjemahkan dari Sufism and Taoism; A
Comparative Study of Key Philosophical Conseps (Parts 2 & 3) by Thoshihiki
Izutsu
@ 1983, 1993, Toshihiko Izutsu
Penerjemah : Musa Kazhim & Arif Mulyadi
Penyunting : Hardiansyah Suteja
Perancang Isi : Dzul Yamin
ISBN : 978-979-433-914-5
Cetakan I, November 2015
Diterbitkan Oleh Penerbit Mizan (PT Mizan
Publika) Anggota IKAPI
Gedung Ratu Prabu I, Lt.6
Jl. TB Simatupang Kav 20 Jakarta 12430,
Indonesia
Laman : http”//www.mizan.com
Surel : mizan,scholar@yahoo.com
Penyadur : Pujo Prayitno
ISI BUKU
8.
Jalan Keluar dari Selaksa Keajaiban
9.
Determinisme dan Kebebasan
10.
Pembalikan Mutlak terhadap Nilai-Nilai
11.
Manusia Sempurna
12.
Homo Politicus
BAGIAN KEDUA
Refleksi Komparatif
13.
Sejumlah Pendahuluan Metodologis
14.
Transformasi Batin Manusia
15.
Struktur Realitas yang Berderajat
16.
Esensi dan Eksistensi
17.
Perkembangan Diri Eksistensi
8.
JALAN KELUAR
DARI SELAKSA KEAJAIBAN
Telah kita pelajari pada bab
sebelumnya bahwa sebutan “Jalan”, bagaimanapun juga, hanya merupakan pengganti
sementara, suatu ekspresi terpaksa untuk apa yang sebenarnya tidak seharusnya
diberi nama. Kata “Jalan” adalah symbol yang dengan nyaman dipilih untuk
menunjukkanSesuatu yang secara ketat, bahkan berada di luar aba-aba simbolik.
Dengan pemahaman mendasar ini, kitab oleh menggunakan – seperti juga Lou-tzu –
istilah itu dalam melukiskan pandangan dunia metafisik Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Jelas bahwa dari tiga aspek utama
Sang Mutlak yang dibedakan oleh Lou-tzu : Misteri (hsuan), Non-Wujud (wu), dan
Wujud (yu), hanya aspek pertamalah yang secara tepat dan secara langsung bisa
diterapkan pada kata “Jalan”. Selebihnya, yaitu, Non-Wujud, Wujud, dan bahkan
“sepuluh ribu hal )ciptaan)” yang bersumber dari Wujud, semuanya tanpa kecuali,
merupakan Jalan, namun bukan yang terutama. Semua itu merupakan jalan dalam
pengertian bahwa mereka merepresentasikan berbagai tahap Misteri dari segala
Misteri sementara ia terus mendeterminasikan dirinya. Dengan kata lain,
masing-masingnya merupakan Jalan dalam pemaknaan sekunder, ikutan, dan terbatas,
walaupun dalam kasus Non-Wujud, yang tidak lain merupakan Negativitas murni,
“limitasi” atau “determinasi” begitu lemah dan remeh sehingga hamper sama
dengan “nonlimitasi”.
Namun, benar bahwa bahkan tahap
Non-Wujud sendiri bukan merupakan tahap terakhir dan mutlak dari Jalan, selama
konsep “Non-Wujud” dipahami bertentangan dengan, dan berbeda dari, konsep
“Wujud”. Untuk mencapai tahap terakhir dan mutlak dari Jalan pada arah ini,
kita harus meniadakan, sebagaimana dilakukan Chuang-tzu, konsep Non-Wujud itu
sendiri dan perbedaan antara Non-Wujud dan Wujud, serta secara konseptual
mempradugakan Tidak Ada (Non-Wujud), lebih tepatnya, Tidak Ada – (Tidak Ada Non
Wujud). Hal ini telah kita pelajari pada bagian pertama bab sebelumnya.
Pada bab ini kita tidak lagi melulu
membahas aspek mutlak Jalan ini, tetapi lebih banyak mendedah aspeknya yang
berpaling pada alam empiris atau fenomenal. Perhatian utama kami akan terfokus
pada masalah aktivitas kreatif Jalan. Dengan begitu, uraian kami di sini akan
berawal dengan membahas tahap yang
berkedudukan sedikit lebihn rendah,
katakanlah begitu, ketimbang tahap Misteri dari segala Misteri.
Saya baru saja menggunakan
ungkapan kalimat : “tahap yang berkedudukan sedikit lebih rendah ketimbang
tahap Misteri dari segala Misteri”. Meskipun begitu, itulah tahap terakhir dan
puncak yang bisa kita capai jika kita – bermula dari alam benda-benda fenomenal
– merambah naik setahap demi setahap dalam mencari Sang Mutlak. Karena,
sebagaimana telah kita lihat di atas, Misteri per se tidak berurusan dengan
alam fenomenal. Kita akan segera paham maksud kata-kata Lou-tzu berikut ini :
Jalan merupakan lumbung sepuluh ribu hal (ciptaan),
Kata Jalan yang dia rujuk adalah
“tahap yang sedikit lebih rendah” disbanding dengan Misteri dari segala
Misteri. Persisnya di tahap inilah Jalan dianggap sebagai Lumbung dari sepuluh
ribu hal. Pada tahap inilah ia mulai memanifestasikan kreativitasnya. Kata
“lumbung” secara jelas memberikan citra tentang Sang Mutlak sebagai sumber
ontologis segala sesuatu dalam arti bahwa segala sesuatu berada di sana dalam
keadaan potensial. Lou-tzu memaknai aspek Sang Mutlak ini sebagai “Non-Wujud
yang abadi (atau mutlak)” atau sebagai “Tanpa Nama”. Perlu diperhatikan bahwa
“Tanpa Nama” dikatakan sebagai “Asal Mula Langit dan Bumi”. Sang Mutlak pada
tahap “Tanpa Nama” atau “Non-Wujud” sebenarnya belum merupakan Langit dan Bumi.
Tetapi, ia diputuskan untuk menjadi Langit dan Bumi. Maksudnya, secara
potensial ia merupakan Langit dan Bumi. Dan ungkapan “Langit dan Bumi” di sini
jelas-jelas semakna dengan istilah yang lebih filosofis, “Wujud”.
Pada titik singgung ini, Lou-tzu
memasukkan sebuah istilah penting lain ke dalam sistemnya, yaitu
“Satu/Tunggal/Esa” (One). Pada bagian pertama kajian ini kita melihat bagaimana
konsep “satu” dalam bentuk ahadiyah danwahdiyyah memainkan peran menentukan
dalam pemikiran Ibn ‘Arabi sehubungan dengan semua “manifestasi-diri”
(tajalliyat) Sang Mutlak. Begitu juga dalam pemikiran Lou-tzu, konsep “satu”
tidak kalah penting perannya.
Bagi Lou-tzu, Satu merupakan
sesautu yang paling dekat dengan Jalan; Satu hamper mirip dengan Jalan dalam
artian Misteri dari segala Misteri. Tetapi, ia bukanlah sama dengan Jalan
sebagai Misteri. Lebih tepatnya, ia adalah satu aspek darinya. Ia menyantirkan
tahapan dari Jalan yang mulai bergerak secara positif menuju Wujud.
Penjelasan sangat menarik atas
seluruh situasi itu ditemukan pada suatu pasase dari Chuang-tzu, pada bab yang
berjudul “Di atas Langit dan Bumi”. Bab tersebut merupakan salah satu bab dari
“Bab-bab Eksterior” (wai p’ien), dan mungkin bukan tulisan Chuang-tzu sendiri.
Namun, hal ini tidak mengurangi pentingnya gagasan yang diungkapkan pada pasase itu sendiri. Bunyinya sebagai
berikut :
Sebelum penciptaan alam, yang ada hanyalah Tidak ada
–(Non-Wujud).
(Kemudian) muncul Tanpa Nama. Tanpa Nama adalah
darinya Sang Esa muncul.
Kini Sang Esa telah ada, tetapi belum lagi ada bentuk
(yakni, tidak ada lagi bentuk-bentuk eksistensi yang mewujud pada tahap ini).
Masing-masing (dari sepuluh ribu hal) mewujud dengan memperolehnya (yakni, Sang
Esa, melalui partisipasi). Dalam tinjauan khusus ini, Sang Esa dinamakan
Kebajikan. Jadi (Sang Esa pada tahapan sebagai diri sendiri) tidak
memanifestasikan bentuk apap pun. Tetapi, ia telah mengandung (potensial) yang
terbagi-bagi (menjadi sepuluh ribu hal).
Meskipun begitu, (mengingat ia belum secara actual
terbagi-bagi) ia tidak memiliki pecahan. (Potensialitas dapat dibagi-bagi dan
didiversifikasi menjadi ribuan ciptaan) ini dinamakan dengan Perintah.
Pada pasase ini secara pasti memperjelas bahwa Sang Esa tidak persis sama
dengan Jalan sebagai Misteri. Karena, pada Sang Esa tampak semacam
potensialitas eksistensial, sedangkan Jalan itu sendiri memustahilkan potensialitas,
bahkan tidak ada bayang-bayang kemungkinan. Inilah Sang Mutlak yang mutlak.
Pada tahap Sang Esa, bagaimana pun juga, Jalan diketahui telah
“terdeterminasikan”, walaupun belum sepenuhnya “terdeterminasikan” atau
“terbatasi”. Sesuai dengan penjelasan yang disampaikan Chuang-tzu, ia merupakan
tahap metafisik setelah Tanpa Nama (atau Non-Wujud) yang, sekali lagi, setelah
(tahap) Tidak Ada [Non-Wujud] yang asli. Dengan demikian, ia merupakan tahap
separo jalan antara Non-Wujud murni dan Wujud murni. Ia berada di ujung
Non-Wujud dan di titik awal Wujud.
Karena itu, Sang Esa belum merupakan Wujud secara aktual, namun secara
potensial ia adalah Wujud. Secara metafisik, ia merupakan jenjang tunggal
homogen yang belum terartikulasikan secara eksternal; ia merupakan kesatuan
yang segera akan mendiversifikasikan diri, dan yang di dalamnya aktivitas
kreatif Jalan akan sepenuhnya termanifestasikan.
Seluruh proses yang melaluinya aktivitas kreatif Jalan ini
termanifestasikan dalam penciptaan alam dan sepuluh ribu hal dijabarkan oleh
Lou-tzu dengan cara berikut ini.
Jalan menghasilkan “satu”; “satu” menghasilkan “dua”;
“dua” menghasilkan “tiga”; dan “tiga” menghasilkan sepuluh ribu hal (ciptaan).
Sepuluh ribu hal memikul di atas punggung mereka energi
Yin dan mendekap dengan tangan mereka energi Yang. Kedua energi itu (yaitu, Yin
dan Yang) tersimpan dalam kesatuan harmonis melalui energi (ketiga) yang muncul
dari )campuran dan interaksi) kesemuanya.
Berasal dari Jalan sebagai Sang Mutlak metafisik – atau lebih tepat lagi,d
ari Sang Mutlak metafisik pada tahap Non-Wujud – muncul Yang Esa. Sebagaimana
baru saja kita pahami, Yang Esa adalah Kesatuan metafisik segala sesuatu,
Kesatuan primordial yang di dalamnya segla sesuatu tersembunyi dalam keadaan
chaos sebelumterakumulasikan sebagai seupuluh ribu hal.
Dari kesatuan ini muncul “dua”, yaitu, kegandaan kosmik berupa Langit dan
Bumi. Langit melambangkan prinsip Yang, sedangkan Bumi melukiskan prinsip Yin.
Pada tahap ini, Jalan memanisfestasikan diri sebagai Wujud dan Yang Dinamai.s
ebagaimana telah kita pelajari dari pasase yang dikutip sebelumnya, Yang
Dinamai adalah Ibu sepuluh ribu hal. Namun, sebelum “dua” dapat mulai bekerja
sebagai “Ibu seupuluh ribu hal, mereka harus menghasilkan prinsip ketiga,
kekuatan vital dari keharmonisan” yang terbentuk melalui interaksi dan
perpaduan energi Yin dan Yang. Ungkapan “dua menghasilkan tiga” merujuk pada
fase ini dari penciptaan alam.
Kombinasi ketiga prinsip ini mengakibatkan munculnya sepuluh ribu hal. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang mewujud, tanpa
kecuali, memiliki tiga unsur pokok : (1) Unsur Yin, yang ia “pikul di atas
punggungnya sendiri” – sebuah ungkapan simbolik bagi Yin negatif, pasif,
“buram”, dan “gelap – (2) Unsur Yang, yang ia “dekap dengan tangannya” – sebuah
ungkapan simbolik bagi Yang positif, cerah dan “terang” – dan (3) Kekuatan
vital yang menyelaraskan dua unsur ini menjadi kesatuan eksistensial.
Perlu dinyatakan, Langit dan Bumi, yakni, Jalan pada tahap Wujud, atau Yang
Dinamai, dianggap sebagai “Ibu sepuluh ribu hal”. Ada ikatan alamiah yang kuat
antara “Ibu” dan “anak-anaknya”. Hal ini tampaknya menjelaskan bahwa “sepuluh
ribu hal” sangat terkait erat dengan Langit dan Bumi. Langit sebagai
“anak-anak” Bumi memberikan gambaran yang sangat tepat tentang Jalan sebagai
Yang Dinamai.
Segala sesuatu yang berada di bawah Langit memiliki
Asal-mula, yang harus dianggap sebagai Ibu segala sesuatu.
Jika seseorang mengenal “Ibu”, maka dia mengenal “anak”.
Dan jika, setelah mengenal “anak”, seseorang kembali ke “ibu” dan berpegang
pada sang Ibu, maka dia tidak akan pernah melakukan kesalahan hingga akhir
kehidupannya.
Kata-kata ini melukiskan secara simbolik hubungan ontoligis yang erat
antara Jalan pada tahap Yang Dinamai, atau Wujud, dan alam fenomenal. Hal-hal
yang bersifat fenomenal harus dianggap sebagai “anak-anak” dari Yang Dinamai.
Maksudnya, mereka tidak boleh dianggap sebagai produk-produk obejktif belaka
dari Yang Dinamai; mereka merupakan daging dan darahnya sendiri. Terdapat
hubungan kekerabatan atau darah di antara mereka.
Mengingat Yang Dinamai, atau “Langit dan Bumi”, tidak lain daripada suatu
tahap perkembangan Jalan itu sendiri, maka hubungan yang sama harus tetap
berlangsung di antara Jalan dan hal-hal yang bersifat fenomenal. Betapapun,
hal-hal fenomenal itu sendiri juga merupakan sebuah tahap perkembangan-diri
Jalan.
Saya baru saja menggunakan ungkapan : “Perkembangan-diri Jalan”. Namun,
kita hanya mengetahui bahwa gerakan apa pun di pihak Jalan menuju alam
fenomenal berawal pada tahap Sang Esa. Sang Esa melukiskan titik awal
perkembangan-diri Jalan. Segala sesuatu di alam fenomenal mengambil bagian dari
Sang Esa. Dengan ikut andil melalui cara ini, Sang Esa membentuk inti ontologis
segala sesuatu. Jalan per se, yakni qua Misteri, berada di balik tahapan itu.
Maka itu, Lou-tzu sering menyebut Sang Esa ketika dia berbicara tentang hal-hal
fenomenal yang mengambil bagian dari Jalan. Dalam pemaknaan lebih longgar, kata
“Jalan” juga dapat digunakan dalam artian itu, dan Lou-tzu menerapkannya
berkenaan dengan aspek khusus dari Jalan tersebut. namun, pada pemakaian yang
paling ketat, “Sang Esa” merupakan istilah yang sangat cocok untuk konteks
sejenis ini.
Dengan menggapai Sang Esa, Langit menjadi terang.
Dengan mengggapai Sang Esa, Bumi menjadi kukuh.
Dengan menggapai Sang Esa, Ruh mampu menggunakan
daya-daya misterius.
Dengan menggapai Sang Esa, lembah-lembah menjadi penuh.
Dengan menggapai Sang Esa, sepuluh ribu hal menjadi
hidup.
Dengan menggapai Sang Esa, para penguasa dan raja menjadi
panji dunia.
“Sang Esa”-lah yang membuat segala sesuatu menjadi
sebagaimana adanya.
Jika Langit tidak terang dengan Sang Esa, maka ia pecah
berkeping-keping.
Jika Bumi tidak kukuh dengan Sang Esa, maka ia akan
runtuh.
Jika Ruh-ruh tidak menggunakan daya-daya misterius dengan
Sang Esa, maka mereka tidak akan aktif.
Jika lembah-lembah tidak penuh dengan Sang Esa, maka
mereka akan menjadi gersang.
Jika sepuluh ribu hal tidak hidup dengan Sang Esa, maka
mereka akan punah.
Jika para penguasa dan raja tidak bersifat mulia dan
agung dengan Sang Esa, maka mereka akan tergulingkan.
Paruh pertama pasase di atas mengungkapkan gagasan bahwa segala sesuatu di
alam sebagaimana adanya berkat apa yang ia “gapai” yakni yang ia peroleh dari
Sang Esa. Ditilik dari sisi benda-benda fenomenal, apa yang sesungguhnya
terjadi adalah “perolehan” dari Sang Esa. Sementara dari sisi Jalan, semua itu
adalah aktivitas kreatif Jalan sebagai Sang esa.
Paruh keuda pasase itu mengembangkan gagasan ini dan menitikberatkan
kehadiran aktual Jalan dalam bentuk Sang Esa pada setiap hal yang eksis di
alam, bergerak dari yang tertinggi sampai yang terendah. Sang Esa itu hadir
dalam segala sesuatu sebagai energi ontologisnya. Ia mengembangkan aktivitasnya
dalam segala sesuatu sesuai dengan struktur ontologis tertentu yang
dimilikinya; karenanya, langit itu terang dan cerah, bumi itu terbangun kukuh,
lembah itu penuh air, dan sebagainya. Jika bukan karena aktivitas Sang Esa ini,
maka tidak ada apa pun di alam yang bisa eksis sebagaimana mestinya.
Jalan dalam pengertian ini merupakan asas tempat segala sesuatu bersemayam.
Ia mencakup seluruh alam fenomenal dan aktivitas ontologisnya berimbas pada
segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang berada di luar imanensi universal Jalan
ini.
Jaring Langit memiliki lubang-lubang luas. Meskipun
lubang-lubang itu luas, tetapi tidak ada yang mampu lolos dari lubang-lubang
itu.
“Imanensi” Jalan di alam fenomenal semestinya tidak dimaknai sebagai
sesuatu yang benar-benar asing menyusup dari luar ke alam fenomenal dan
mendiami berbagai hal. Dengan cara berbeda dapat dikatakan, bahwa hal-hak
fenomenal tidaklah digerakkan oleh kekuatan dari sesuatu yang bukan berasal
dari hal-hal itu sendiri. Sebaliknya, Jalan itu “imanensi” dalam pengertian
bahwa semua benda alam fenomenal merupakan sekian ragam bentuk yang dikenakan
oleh Jalan itu sendiri. Hal ini pasti merupakan apa yang benar-benar dimaksud
Lou-tzu ketika dia mengatakan bahwa Jalan merupakan “Ibu sepuluh ribu hal”.
Dalam hal ini, tidak ada diskrepansi ontologis antara Jalan dan hal-hal yang
eksis di alam.
Alhasil, pernyataan bahwa hal-hal fenomenal sebagaimana adanya adalah
berkat aktivitas Jalan sama saja dengan mengatakan bahwa keberadaan mereka
seperti itu berkat sifat-sifat dasar (fitrah) mereka sendiri. Begitulah maksud
Lou-tzu saat berbicara ihwal “sifat-sifat dasar – atau Sifat Dasar – sepuluh
ribu hal. Adalah signifikan bahwa kata tzu jan, yang di sini diterjemahkan
sebagai “sifat dasar”, secara harfiah bermakna “begitulah apa-adanya”
(of-itself it-is-so). Tidak ada yang dipaksakan oleh apa pun untuk menjadi
sesuatu. Segalanya adalah “begitulah apa-adanya”. Dan hal ini, seperti telah
saya katakan, hanya mungkin bila tidak ada diskrepansi ontologis antara Jalan
Imanen dan hal-hal yang menjadikannya sebagai asas kehidupan. Kekuatan
penggerak yang dengannya sesuatu terlahir, tumbuh, berkembang,d an selanjutnya
kembali ke asalnya sendiri – kekuatan eksistensial yang dimiliki segala sesuatu
sebagai “sifat dasarnya” sendiri ini – pada hakikatnya tidak lain daripasa
Jalan yang sedang mengaktualisasikan dirinya secara terbatas dalam segala
sesuatu.
Dengan
bergerak seperti ini, Jalan tidaklah memaksanakn sesuatu apapun. Inilah
landasan utama prinsip Taois yang terkenal tentang “Tidak-beruat” (Non-Doing,
wu wei). Dan karena tidak memaksakan apapun, maka masing-masing dari sepuluh
ribu hal merupakan “begitulah apa-adanya”. Karena itu, “mansuai suci” yang,
sebagaimana akan segera kita lihat, merupakan gambaran paling sempurna dari Jalan,
tidaklah memaksakan sesuatu apa pun.
Maka itu, “manusia suci” …
hanyalah membantu menjadikan “begitulah-apa-ada-nya)” dari sepuluh ribu hal.
Manusia suci itu mencegah dirinya untuk mencampuri sesuatu melalui tindakannya
sendiri.
Menjadi tenang dan hening –
itulah hal “alamiah” (atau, “begitulajh-apa-ada-nya”). Inilah sebabnya mengapa
angina topan tidak berlangsung sepanjang pagi, dan hujan badai tidak
berlangsung sepanjang hari. Siapakah yang menyebabkan angina dan hujan? Langit
dan Bumi. Jadi, bila Langit dan Bumi tidak dapat mengekalkan (keadaan-keadaan
yang berlebihan), apalah yang bisa manusia (harapkan untuk berhisil
mempertahankan kondisi yang “tidak alamiah”).
Gagasan
tentang “sidat datar” atau “begitulah-adanya” dari semua maujud segera membawa
kita menuju konsep utama lainnya; Kebajikan (te). Faktanya, te tidak lain
adalah “sifat dasar yang dilihat sebagai sesuatu yang telah ia peroleh. Te
adalah Jalan yang “secara alami” bertindak pada sesuatu dalam bentuk inti
ontologisnya yang imanen. Dengan demikian, suatu Kebajikan sama persis dengan
Sifat Dasar. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam hal
konsep Kebajikan. Jalan ditinjau sebagai “perolehan” sesuatu itu,s edangkan
dalam hal Sifat Dasar, Jalan ditinjau dalam kerangka keberadaannya sebagai
kekuatan vital yang membuat sesuatu itu menjadi “begitulah-adanya”.
Seperti
kita lihat di atas, segala sesuatu memperoleh bagian dari Jalan (pada tahap
Sang Esa). Dengan memperoleh bagian Jalan itu, berarti ia “memperoleh” inti
eksistensialnya sendiri. Sebagaimana kata Wang Pi : “Jalan merupakan sumber
terbesar segala sesuatu, sedangkan Kebajikan adalah apa yang didapat oleh
segala sesuatu (dari Jalan). Dan apa pun sesuatu itu, apa pun jadinya sesuatu
itu, disebabkan oleh aktivitas “alamiah” Kebajikannya.
Ciri khas
system metafisika Lou-tzu adalah bahwa apa yang di sini dianggap sebagai
aktivitas “alamiah” atau Kebajikan sesuatu tidak lain adalah aktivitas Jalan
itu sendiri. Jalan menggunakan aktivitas kreatifnya pada sesuatu dalam
kapasitas sebagai prinsip eksistensial sesuatu itu sendiri, sehingga aktivitas
Jalan sebenarnya juga merupakan aktivitas sesuatu itu sendiri. Kita menemukan
hal yang dapat dibandingkan dengan konsep Ibnu ‘Arabi tentang “Hembusan Napas
Sang Maha Pengasih” (al-nafas al-rahmani), yang berasal dari kedalaman tak
terhingga Sang Mutlak, menyebabkan dirinya pada keseluruhan maujud yang mungkin
– mewujud dan membawa segala benda fenomenal alam menuju eksistensi actual.
Menarik untuk diperhatikan dalam hubungan ini bahwa dalam Buku Kuantzu – yang
secara keliru diatributkan kepada Kuang Chung, negarawan terkenal abad ke-7
sebelum Masehi – kita menemukan pernyataan penting ini : “Kebajikan (te) adalah
perbuatan Jalan memberi Cuma-Cuma”, yaitu Kebajikan merupakan perbuatan Rahmat
yang dimanifestasikan Jalan terhadap segala sesuatu. Dan perbuatan Rahmat ini
dapat dilihat secara konkret, sebagaimana Kuo Mo Jo katakana, dalam bentuk
“pengasuhan”, atau “pemeliharaan” sepuluh ribu hal.
Konsep ini
benar-benar cocok dengan apa yang Lou-tzu katakana tentang aktivitas Kebajikan
dalam pasase berikut :
Jalan melahirkan (sepuluh ribu
hal), Kebajikan memelihara mereka, berbagai hal melengkapi mereke dengan
bentuk-bentuk tertentu, dan momentum alami menyempurnakan perkembangan mereka.
Inilah mengapa tidak ada dari
sepuluh ribu hal itu yang tidak memuliakan Jalan dan menghormati Kebajikan.
Jalan dimuliakan dan Kebajikannya dihormati bukan karena hal ini diperintah
seseorang namun karena mereka tentu saja (secara alamiah) memang demikian.
Dengan demikian, Jalan
melahirkan mereka. Kebajikan memelihara mereka, menjadikan mereka tumbuh,
memberi mereka makan, menyempurnakan mereka, mengukuhkan mereka, memantapkan
mereka, membesarkan mereka dan melindungi mereka.
Dalam hal ini, Jalan melahirkan
(sepuluh ribu hal), namun tidak menyatakan memiliki mereka. Jalan melakukan
hal-hal besar, namun tidak menyombongkannya.
Jalan menjadikan (berbagai hal)
tumbuh, namun tidak sewenang-wenang atas mereka. Inilah apa yang mungkin saya
sebut sebagai Kebajikan Misterius.
Sebelum
ini kita lihat bagaimana Lou-tzu “untuk sementara waktu” dan “secara terpaksa”
memberikan “nama” pada Jalan, yaitu, memerikannya melalui berbagai atribut.
Dengan cara sama, dia membuat perbedaan dalam beberapa atribut atau kualitas Kebajikan.
Maka itu, dia memaknai Kebajikan dengan “nama-nama” yang berbeda, seolah-olah
dia mengakui adanya berbagai jenis Kebajikan. “Kebajikan Misterius” (husan te)
yang baru saja kita temukan adalah salah satu darinya. “Nama-nama” lainnya
ditemukan dalam pasase berikut.
Kebajikan “tinggi” (shang te)
tampak seperti lembah, terlalu putih (sehingga) tampak rusak.
Kebajikan “luas” (kuang te)
tampak tidak cukup.
Kebajikan “kukuh” (chien te)
tampak rapuh.
Kebajikan “sederhana” (chih te)
tampak buruk.
Bagaimanapun,
semua “nama” ini tidak menandakan “jenis-jenis” Kebajikan, kecuali memang
“nama-nama” yang berbeda dari Jalan itu mengisyaratkan adanya berbagai jenis
Jalan. Nama-nama itu semata-mata menunjukkan “aspek-aspek” berbeda yang “secara
terpaksa” kita dapat membedakan pada apa yang pada dirinya sendiri sebetulnya
tidak dapat dideterminasikan. Dalam pengertian ini, dan hanya dalam pengertian
ini, Kebajikan itu bersifat “tinggi”, “luas”, “benar-benar kukuh”, “sederhana”,
dan sebagainya.
Namun, ada
satu masalah yang pantas disebutkan secara khusus, yaitu perbedaan yang dibuat
dalam Tao Te Ching antara Kebajikan “tinggi” dan
Kebajikan “rendah”. Perbedaan itu muncul dari fakta bahwa Kebajikan, yang
mewakili bentuk-bentuk konkret yang dikenakan oleh Jalan (tao) saat ia
mengaktualisasikan dirinya di alam fenomenal, mungkin dipengaruhi aktivitas
“tidak alamiah”, yakni aktivitas yang disengaja oleh benda-benda fenomenal.
Ironis sekali, Manusia yang secara fitri diciptakan agar mampu menjadi
perwujudan paling sempurna dari Kebajikan – dan juga Jalan – adalah
satu-satunya makhluk yang mampu menghalangi aktivitas utuh dari Kebajikan.
Pasalnya, tidak ada selain manusia yang bertindak “dengan sengaja”. Segala
sesuatu lain bertindak apa adanya, dan masing-masing bekerja sesua dengan
“sifat dasarnya” sendiri. Apa pun yang mereka kerjakan dilakukan tanpa sedikit
pun unsur kesengajaan untuk melakukannya. Sebaliknya, Manusia dapat
“merendahkan” Kebajikannya yang diperoleh secara alami melalui kesengajaannya
menjadi pengejawantahan sempurna Jalan dan membuat Kebajikannya menjadi
“tinggi”.
Seorang manusia yang memiliki
Kebajikan “tinggi” menyadari Kebajikannya.
Itulah mengapa dia memiliki
Kebajikan.
Seorang manusia yang memiliki
Kebajikan “rendah” berusaha keras untuk tidak kehilangan Kebajikannya.
Itulah mengapa dia tidak
memiliki Kebajikan.
Kebajikan
tinggi meliputi Kebajikan yang secara utuh dan sempurna diaktualisasikan pada
diri manusia saat manusia itu bahkan tidak menyadari Kebajikannya. Kesadaran
menghalangi aktualitas alamiah Jalan. Dalam hal seperti itu, Kebajikan, yang
tidak lain dari aktualisasi konkret Jalan, menjadi tidak sempurna dan “rendah”.
Karena, ketika seorang manusia menyadari Kebajikannya, maka dia tentu saja
berjuang keras untuk “tidak pernah meninggalkannya”. Dan usaha yang memiliki
kesadaran ini menghalangi manifestasi diri Jalan secara bebas dalam bentuk
Kebajikan.
Dalam
kasus seperti itu, Kebajikan dianggap “rendah”, yakni, merosot dan tidak
sempurna,s ebab, alih-alihn benar-benar menyatu dengan Jalan sebagaimana
mestinya, kebajikan itu malah terjauhkan dari Jalan, sehingga tampak bentuk
ketidakharmonisan antara keduanya.
Seorang manusia yang memiliki
Kebajikan Besar dalam perilakunya semata-mata mengikuti (Perintah dari ) Jalan.
Kebajikan
“rendah”, sebagai menjalankan perintah kehendak manusia dan Perintah Jalan, dan
tidak secara khusus Perintah Jalan, bukan lagi Kebajikan sebagai aktualitas
paling langsung dari Jalan.
Pembahasan
sebelumnya tentu saja menuntun kita menuju persoalan tentang Non-Tindakan (wu
wei).
Jalan itu
aktif selama-lamanya. Aktivitasnya meliputi penciptaan sepuluh ribu hal dan
selanjutnya – dalam bentuk particular Kebajikan – memelihara dan membesarkan
mereka hingga batas akhir kemampuan terdalam mereka. Aktivitas kreatif Jalan
ini sungguh-sungguh agung. Namun, Jalan tidak mencapai kerja besar ini dengan
“sengaja”.
Langit berlangsung lama dan
Buni terus bertahan. Alas an mengapa Langit berlangsung lama dan Bumi terus
bertahan adalah karena mereka tidak berjuang untuk terus hidup. Oleh karenanya,
mereka mampu untuk terus abadi,
Dalam
pasase ini, Jalan dimaknai sebagai “Langit dan Bumi”, yakni, Jalan pada tahap
Langit dan Bumi. Kita sudah mengetahui implikasi metafisik ungkapan tersebut.
Ungkapan itu di sini berada pada tempat yang cocok karena justru pada tahap
inilah aktivitas kreatif Jalan termanifestasikan. Pada pasase selanjutnya,
Lou-tzu merujukkan kembali “Langit dan Bumi” pada sumber utama metafisisnya.
Ruh-Lembah adalah abadi. Ia
disebut dengan Betina Misterius (the Mysterious Female). Gerbang Betina
Misterius disebut dengan Akar Langit dan Bumi. (Jalan dalam berbagai bentuk
ini) hamper tidak tampak, tetapi tidak pernah berhenti mewujud. Tanpa henti ia
bekerja, tetapi tidak pernah letih.
Lou-tzu
mengatakan bahwa Betina Misterius terus menerus mencipta, tetapi ia tidak
pernah letih sebab ia “tidak melakukan apapun”, yakni melakukan secara sadar
atau sengaja. Ketika kita berusaha keras melakukan sesuatu dengan tujuan
tertentu untuk melakukannya, maka kitab oleh jadi mencapai tujuan yang kita
harapkan, tetapi tidak lebih dari itu. Medan perbuatan manusia, akrena itu,
selalu terbatasi dan terikat dalam berbagai tingkatannya oleh suatu kesadaran
dan tujuan. Aktivitas Jalan merupakan sifat dasar yang sangat berbeda dengan
perbuatan manusia. Karena Jalan bertindak hanya melalui “tidak bertindak”.
Jalan senantiasa tidak aktif, tetapi ia
melakukan segala sesuatu.
Lantaran
Jalan tidak menyadari aktivitas kreatifnya sendiri, ia juga tidak menyadari
hasil-hasil aktivitasnya. Konsep Betina Misterius, yan dirujuk dalam halaman
sebelumnya, didasarkna pada gagasan ini. Jalan< pada asepk khusus ini,
sangat luwe terhadap segala sesuatu. Aktivitasnya sangat bermanfaat bagi
mereka. Namun, Jalan tidak menghitung manfaat dan keuntungan yang tidak pernah
berhenti ia berikan kepada hal-hal itu. Segala sesuatu dilakukan dengan begitu
“alamiah” – yakni, tanpa tujuan apa pun yang dimiliki Jalan dalam berbuat
kebaikan kepada mereka – sehingga apa yang diterima oleh hal-hal itu berupa
semua manfaat dan keuntungan bagaimana pun juga bukanlah, dari sudut pandang
Jalan itu sendiri, manfaat dan keuntungan.
(Jalan) melahirkan (sepuluh ribu hal) dan membesarkan
mereka.
Ia melahirkan mereka, tetapi ia tidak mengakui mereka
sebagai miliknya sendiri.
Ia bekerja, tetapi tidak menyombong. Ia menjadikan
(benda-benda) tumbuh, tetapi ia tidak sewenang-wenang atas mereka. Inilah apa
yang mungkin saya sebut sebagai Betina Misterius.
Prinsip Tanpa Perbuatan – prinsip membiarkan segala sesuatu sesuai dengan
“fitrahnya”, dan tidak melakukan sesuatu secara sadar dan sengaja – memiliki
makna khusus dalam pandangan dunia Lou-tzu sehubungan dengan persoalan jalan
hidup ideal di dunia ini. Kita akan kembali kepada konsep ini pada bab
berikutnya. Di sini saya mencukupkan diri dengan mengutip satu pasase lagi dari Tao Te Ching. Di sini Lou-tzu
berbicara tentang Non-Perbuatan terkait dengan Jalan dan “manusia suci” secara
bersamaan. Pada pasase ini “manusia suci” dilukiskan sebagai orang yang telah
menjadikan dirinya sangat identik dengan Jalan sehingga apa pun yang berlaku
untuk si manusia suci itu berlaku juga untuk Jalan.
Oleh karenanya, “manusia suci” berpegang pada prinsip
Tanpa Perbuatan dan mempraktikkan ajaran Tanpa Perkataan.
Sepuluh ribu hal muncul (melalui aktivitas Jalan, atau
aktivitas “manusia suci”), tetapi keduanya tidak membicarakannya dengan
sombong. Keduanya memberikan kehidupan (kepada berbagai benda itu), tetapi
keduanya tidak menyatakan bahwa benda-benda itu adalah miliknya.
Jalan dan manusia suci bekerja, tetapi keduanya tidak
membanggakan pekerjaannya. Keduanya menyempurnakan tugasnya, tetapi tidak
menonjolkan jasa keduanya sendri. Keduanya tidak menonjolkan jasanya sendiri;
karenanya benda itu tidak pernah meninggalkan keduanya.
Demikianlah, Jalan tidak pernah menyombongkan aktivitasnya sendiri. Apa pun
tindakannya, ia melakukannya “secara fitri”, tanpa sedikit pun tujuan untuk
“melakukannya”. Seseorang boleh saja mengekspresikan gagasan serupa dengan
mengatakan bahwa Jalan benar-benar bersikap acuh terhadap aktivitas kreatifnya
dan akibat-akibat konkret yang ia hasilkan. Jalan tidak peduli dengan dunia
yang telah ia ciptakan. Dalam satu pengertian, ini dapat dipahami bahwa Jalan
memberikan kebebasan penuh kepada segala hal. Namun, dalam pengertian lain,
kita juga dapat mengatakan bahwa Jalan tidak mengasihi makhluk-makhluk
ciptaannya sendiri. Mereka sepenuhnya dibiarkan dalam keadaan tidak dipedulikan
dan terabaikan.
Dengan sindiran sedikit tajam Lou-tzu berbicara tentang Jalan yang tidak
memiliki “kemurahan hati” (atau “kemanusaiaan”, jen), Jen, sebagaimana telah
saya tunjukkan sebelumnya, menurut Konfusius dan para muridnya merupakan nilai
etika yang tertinggi.
Langit dan Bumi
tidak memiliki “kemurahan hati”. Keduanya memperlakukan sepuluh ribu hal bak
anjing-anjing jerami (strow dogs).
Demikian juga, “manusia suci” tidak memiliki “kemurahan
hati”. Ia ia memperlakukan manusia bak anjing-anjing jerami.
Apa yang Lou-tzu ingin tegaskan melalui ungkapan paradoks ini adalah bahwa
Jalan Agung, karena ia agung, tidak mengambil jalan utama jen dalam
aktivitasnya sebagaimana yang dilakukan para penganut Konfusius. Karena jen,
dalam pandangannya, mengimplikasikan upaya dibuat-buat dan “tidak alamiah” di
sisi pelakunya. Jalan tidak mencampuri alur alamiah pelbagai hal. Ia juga tidak
perlu mencampurinya, sebab cara alamiah merupakan aktivitas Jalan itu sendiri.
Lou-tzu sepertinya ingin mengemukakan bahwa jen Konfusius bukanlah jen sejati;
dan bahwa jen sejati agaknya ada pada pelaku yang terlihat kasar dan tidak
memiliki jen. Ada hal penting yang Lou-tzu sangat tekankan dalam melukiskan
aktivitas kreatif Jalan. Yaitu “kekosongan” atau “kehampaan” Jalan.
Kita telah sering memaknai konsepsi tentang Jalan seabgai “Tiada”. “Tiada”
bermakna transendensi mutlak dari Jalan. Jalan dianggap “Tiada” karena ia
berada di atas pemahaman manusia. Sebagaimana cahaya itu sedemikian terang bagi
mata manusia sehingga menjadi gelap atau kruang cahaya, semikian pula Jalan itu
“Tiada” atau “Non-Wujud” justru karena ia penuh dengan Wujud. Konsep “Tiada”
yangs edang diperbincangkan dalam konteks ini memiliki sifat yang berbeda. Ia
menyangkut kreativitas “tak terhingga” dari Jalan. Lou tzu mengatakan bahwa
Jalan dapat merupakan kreativitas tanpa batas dan tiada henti karena ia tidak
mengandung substansi apa pun dalam dirinya. Ia dapat menghasilkan segala
sesuatu karena ia tidak memiliki sesuatu yang definite dan tertentu di
dalamnya. Dengan gambalang Kuan-tzu merefleksikan gagasan ini ketika mengatakan
: “Hampa dan tak berbentuk – itulah apa yang dinamakan dengan jalan”, dan
“Jalan Surgawi yang hampa dan tak berbentuk.
Untuk gagasan ini Lou-tzu menemukan beberapa simbol menarik dalam
pengalaman sehari-hari manusia. Sebuah bejana yang kosong contohnya :
Jalan adalah sebuah bejana kosong. Tidak jadi masalah
betapa sering kau mengisinya, kau tidak akan pernah bisa memenuhinya.
Ia adalah semacam bejana ajaib yang, karena senantiasa kosong tidak pernah
dapat diisi penuh. Oleh karena itu, ia dapat menampung segala sesuatu secara
tak terbilang. Dilihat dari sisi yang berlawanan, hal ini mungkin bermakna
bahwa “bejana itu” penuh secara tak berhingga sebab ia tampak kosong. Jadi,
kita kembali pada situasi sama yang kita temukan di atas menyangkut makna
pertama daru dua makna “Tiada” pada sifat dasar Jalan. Jalan itu adalah Tiada
karena terlalu penuh dengan Wujud – alih-alih, ia adalah Wujud itu sendiri –
dan karena ia sepenuhnya berada di luar jangkauan kognisi manusia. Di sini pula
kita mengetahui tentang adanya sesuatu yang tampak “hampa” karena ia terlalu
penuh. Dengan kata lain, Jalan adalah “hampa”; tetapi bukan hampa dalam
pengertian biasa berupa sesuatu yang secara negatif dan pasif benar-benar
hampa. Ia merupakan kehampaan metafisik yang secara positif berlimpah ruah.
Kepenuhan agung terlihat hampa. Tetapi (pada hakikatnya,
wujudnya sangat penuh, berdasarkan fakta bahwa ) apabila digunakan dengan
benar, maka ia tidak akan pernah habis.
Pada sisi partikular ini, Jalan juga diumpamakan dengan sebuah puput (pipa
untuk meniup udara). Jalan adalah sebuah Puput Kosmik besar yang aktivitas
produktifnya tidak pernah surut.
Ruang di antara Langit dan Bumi sungguh ibarat sebuah
puput. Ia hampa, namun tidak berhingga. Semakin bekerja, semakin banyak
hasilnya.
Lou-tzu pada pasase berikut ini menggunakan ilustrasi-ilustrasi yang lebih
konkret dan bersahaja untuk menunjukkan produktivitas puncak dari “kehampaan”.
(Ambillah sebagai contoh susunan sebuah roda). Tiga puluh
ruji memiliki pusat sama (maksudnya, tiga puluh ruji bergabung bersama
mengelilingi poros roda). Namun justru pada ruang hampa itulah (dalam lubang
as-nya) kegunaan roda itu berada.
Orang meremas lempung untuk membuat bejana. Namun, justru
pada ruang hampa di dalamnya terdapat kegunaan bejana itu.
Orang membuat pintu dan jendela untuk mengisi ruangan.
Namun, justru pada ruang kosong di dalamnya terdapat kegunaan rumah itu. Dengan
demikian, jelaslah bahwa jika Wujud memberi manfaat kepada kita, itu disebabkan
kerja dari Non-Wujud.
Saya kira, untuk alasan inilah simbol “lembah” memerankan bagian begitu
menonjol dalam Tao Te Ching. Lembah pada dasarnya berlubang dan hampa. Dan
justru karena lembah itu berlubang dan hampa, maka ia dapat penuh. Di samping
itu, lembah senantiasa menempati tempat “rendah” – ciri penting lainnya dari
apa pun yang benar-benar tinggi, manusia ataupun bukan manusia. Karena itu,
lembah merupakan simbol tepat untuk Jalan yang dipahami sebagai prinsip mutlak
kekreatifan abadi, yang penuh dengan Wujud karena ia “hampa”, atau “Ketiadaan”
abadi.
Kita telah mengutip dua pasase yang di dalamnya Lou-tzu menggunakan simbol
ini ketika membicarakan aktivitas kreatif Jalan yang tidak habis-habisnya.
Ruh-Lembah adalah abadi.
Kebaikan “tinggi” tampak seperti sebuah lembah.
Gagasan utama itu dibuat secara lebih gamblang di tempat lain manakala
Lou-tzu membahas masalah apa pun yang dapat menjadi sangat sempurna karena
(tampilannya) tidak sempurna.
Apa yang berlubang itulah yang (benar-benar) penuh.
“Berlubang” dan “rendah” menunjukkan gagasan tentang “betina”. Gagasan ini
juga telah ditemukan pada halaman-halaman terdahulu. Sesungguhnya, tekanan pada
unsur feminin dalam aspek kreatif Jalan dapat ditunjukkan sebagai salah satu
ciri khas Lou-tzu. Sudah tentu, selain gagasan tentang “kehampaan” dan
“kerendahan”, maka “betina” merupakan simbol produktivitas yang sangat tepat.
Sebagai contoh, Jalan adalah Ibu dari sepuluh ribu hal.
Tanpa Nama merupakan permulaan Langit dan Bumi. Yang
Dinamai merupakan Ibu dari sepuluh ribu hal.
Segala hal di bahwa langit memiliki suatu Asal-mula yang
harus dianggap sebagai Ibu alam semesta.
Jika seseorang mengenal “Ibu”, dia pasti mengenal
“anaknya”. Jika, setelah mengenal “anak”, dia bertumpu pada “ibunya”, maka ia
akan lolos dari kesalahan, bahkan hingga akhir kehidupannya.
Implikasi metafisik dari Jalan sebagai Ibu segala sesuatu dan segala
sesuatu itu adalah “anak-anaknya” telah dijelaskan sebelumnya dalam bab ini.
Kita juga telah mengutip pasase pada bab ini sekaitan dengan prsoalan lain
yang menyinggung “Betina Misterius”.
Ruh-Lembah adalah abadi. Ia dinamakan Betina Misterius.
Gerbang Betina Misterius dinamakan Akar Langit dan Bumi.
Pada ungkapan : Betina Misterius (hsuan p’in), kita temukan lagi kata hsuan
yang, sebagaimana kita lihat di atas, digunakan Lou-tzu berkenaan dengan Jalan
sebagai Sang Mutlak metafisik yang tak diketahui-tak terketahui, yakni, Jalan
sebagai hal yang bahkan berada di luar Wujud dan Non-Wujud.
Msiteri dari segala Misteri sungguh nyata! Dan ia
merupakan Gerbang ribuan Keajaiban.
Labih lanjut, menarik bahwa pada kedua pasase krativitas Jalan yang
terus-menerus dan tiada henti itu dilambangkan sebagai “gerbang” (men). Hal ini
jelas mengisyaratkan bahwa “gerbang Betina Misterius” justru merupakan sesuatu
yang sama persis dengan “gerbang ribuan Keajabiban”. Sang Mutlak dalam aspek
akhirnya digambarkan secara simbolik sebagai memiliki “gerbang”, atau lubagn
keluar, yang melaluinya sepuluh ribu hal dikirim ke alam Wujud. Citra hewan
“betina” menjadikan simbol itu makin cocok untuk gagasan ini lantaran adanya
kesan alamiah berupa kesuburan dan keibuan.
Sebagaimana telah saya tunjukkan sebellumnya, citra “betina” dalam
pandangan dunia Lou-tzu, lebih jauh, bersifat menyuratkan kelemahan,
kerendahan, penurut, tenang, dan sebagainya. Namun, melalui cara berpikir
paradoksikal yang khas Lou-tzu ini, dengan menyatakan bahwa “betina” itu lemah,
penurut, rendah, dan sebagainya justru merupakan cara lain untuk mengatakan
bahwa betina itu sangat kuat, bertenaga dan unggul.
Betna selalu mengungguli jantan dengan ketenangannya.
Dengan sikap tenang, betina (selalu) mengambil posisi lebih rendah. (Dan dengan
mengambil posisi lebih rendah, ia berakhir dengan memperoleh posisi lebih
tinggi).
Jelas sekali dari kata-kata di atas, kelemahan “betina” yang dibicarakan di
sini bukanlah kelemahan yang benar-benar negatif pada sesuatu yang lunglai. Ia
merupakan sejenis kelemahan khas yang diperoleh hanya melalui kekuatan yang
mendominasi. Suatu kelemahan yang dalam dirinya terkandung daya dan kekuatan
tak terhingga. Masalah ini akan menjadi fokus perhatian kita seiring dengan apa
yang Lou-tzu katakan pada pasase berikut ini, ketika dia berbicara tentang
sikap dasar “manusai suci”. Karena, “manusia suci” menurut Lou-tzu ialah
personifikasi semepurna dari Jalan itu sendiri; apa yang dikatakan tentang
manusia suci juga seluruhnya ebrlaku pada Jalan. Harus diperhatikan bahwa di
sini sekali lagi citra “betina” secara langsung berkaitan erat dengan citra
“lembah”.
Orang yang mengenali “jantan”, tetapi tetap memainkan
peran “betina”, akan menjadi “lembah” bagi seluruh dunia.
Begitu ia menjadi “lembah” bagi seluruh dunia, Kebajikan
abadi tidak akan pernah meninggalkannya.
Jelas bahwa dalam pemaknaan itulah pernyataan berikut harus dipahami :
“Menjadi lemah” menunjukkan bagaimana Jalan bekerja.
Sejauh ini kita mencoba mendedahkan proses ontologis – seperti yang
dipahami Lou-tzu – keluarnya sepuluh ribu hal dari “gerbang” Sang Mutlak”.
“Jalan menimbulkan Satu; Satu menimbulkan dua; Dua menimbulkan Tiga, dan Tiga
menimbulkan sepuluh ribu hal”. Sepuluh ribu hal itu, yaitu, alam dan segala
sesuatu yang eksis did alamnya, menjabarkan batas tertinggi evolusi ontologis
Jalan. Benda-benda fenomenal, dengan kata lain, tampil pada tahap terakhir
Turunnya Jalan. Dari sudut pandang benda-benda fenomenal itu, kemunculan mereka
merupakan kesempurnaan sifat-sifat dasar masing-masing mereka. Lantaran di sini
Jalan memanifestasikan dirinya – dalam arti asal kata Yunani Phainesthai
(fenomena) – dalam bentuk-bentuk paling konkret.
Namun, ini bukanlah akhir proses ontologis Wujud. Sebagaimana dalam
pandangan-dunia Ibn ‘Arabi, Turun itu diikuti dengan pembalikan gerakan
kreatif, yaitu, Naik. Sepuluh ribu hal, ketika mencapai tahap terakhir alur
turun, berkembang sebentar dalam gebyar warna-warni dan aneka-rupa, kemudian
mulai mengambil jalan naik kembali menuju ke bentuk pra-fenomenal asalnya,
yaitu, Bentuk Sang Esa yang tidak berebntuk, lantas menuju “Tiada”,d an
akhirnya hilang dalam kegelapan Misteri dari segala Misteri. Lou-tzu
mengungkapkan gagasan ini melalui istilah utama fu atau Kembali.
Sepuluh ribu hal semuanya bangun bersma-sama. Tetapi,
saat saya perhatikan, mereka “kembali” lagi (ke Asalnya).
Segala sesuatu “tumbuh meriah, tetapi (ketika waktunya
tiba) masing-masing akan “kembali” ke “akarnya”.
Kembali ke Akar adalah apa yang disebut dengan
Keheningan. Ini bermakna kembali ke Perintah (Langit) (atau jatah ontologis
semula dari tiap-tiap sesuatu itu).
Kembali ke Perintah Langit adalah apa yang disebut
Keadaan Tak Berubah-ubah.
Dan mengetahui Keadaan Tidak Berubah-ubah adalah apa yang
disebut Pencerahan.
Tanaman-tanaman tumbuh pada musim semi dan musim panas dalam keadaan paling
subur dan berlimpah. Ini disebabkan fakta bahwa energi vital yang terletak
secara potensial pada akarnya teraktivasikan, bergerak ke atas melalui uap air,
dan pada tahap kesepurnaan menjadi benar-benar teraktualisasikan dalam bentuk
daun, bunga, dan buah. Tetapi, dengan datangnya musimm dingin, energi vital
yang sama bergerak turun menuju akar-akar dan berakhir dengan menyembunyikan
dirinya dalam sumber asalnya.
Lou-tzu menamakan kondisi terakhir inis ebagai Keheningan atau
Ketenteraman. Kita telah perhatikan di atas bahwa “keheningan” merupakan salah
satu konsep kesukaannya. Mudah untuk
melihat bahwa konsep ini dalam strukturnya sesuai dengan pola pemikiran umum
yang khas Lou-tzu. Karena “keheningan” sebagaimana dipahami berkenaan dengan
konteks pembahasan ini bukanlah keheningan kematian atau kematian total. Energi vital yang tersembunyi dalam kegelapan akar
sesungguhnya tidak bergerak, tetapi akar sama sekali tidaklah mati. Bahkan, ia
emrupakan suatu keheningan yang penuh dengan vitalitas tak berhingga. Secara
eksternal, tak ada gerakan yang tampak, tetapi secara internal gerakan tiada
henti dari Kehidupan abadi terjadi dalam persiapan menghadapi musim semi yang
akan datang.
Dengan demikian, aktivitas kreatif Jalan membentuk proses berputar. Dan
karena adanya proses berputar itu, maka ia tidak memiliki akhir. Ia merupakan
suatu aktivitas abadi yang tidak memiliki titik awal dan juga titik akhir.
Dalam memahami gagasan ini, kita juga harus mengingat pola khas pemikiran
Lou-tzu lain yang telah kita temukan beberapa kali. Saya merujuk pada fakta
bahwa Lou-tzu sering memerikan kebenaran metafisik dalam bentuk temporal.
Yakni, pemeriannya ikhwal kebenaran metafisik dalam kerangka waktu (dan ruang)
tidak mesti mengisyaratkan bahwa, dalam pandangannya, hal itu merupakan sebuah
proses temporal.
Emanasi sepuluh ribu hal dari rahim Jalan dan Kembalinya mereka ke sumber
aslinya telah diperika Tao Te Ching dalam bentuk temporal. Dan apa yang telah
diperikan itu sesungguhnya adalah sebuah proses temporal.
Kembali adalah bagaimana Jalan bergerak.
Lemah adalah bagaimana Jalan bekerja.
Sepuluh ribu hal di bawah Langit lahir dari Wujud. Dan
Wujud lahir dari Non-Wujud.
Namun demikian, dala menguraikan proses itu dalam bentuk tersebut, Lou-tzu
mencoba memerikan pada saat bersamaan sebuah fakta abadi dan supratemporal yang
berada di atas dan melampaui proses temporal. Ditinjau dari sudut pandang kedua
ini, Kembalinya benda-benda fenomenal ke asalnya bukanlah sesuatu yang terjadi
dalam ruang dan waktu. Lao-tzu sedang membuat sesuatu pernyataan metafisik,
semata-mata untuk menunjukkan “imanensi” Jalan. Segenap benda fenomenal, dari
sudut pandang ini, tidak lain adalah sekian bentuk yang dipakai Jalan yang sedang memanisfestasikan dirinya secara konkret –
phainesthai. Benda-benda ini secara harfiah adalah phainomena. Dan akrena Jalan
sendiri yang “menyingkapkan dirinya” atau “menampakkan dirinya” pada
benda-benda ini, maka ia “tetap ada” pada setiap benda itu sebagai landasan
metafisiknya. Dan setiap benda itu mengandung dalam dirinya sumber hakiki
eksistensinya masing-masing. Inilah makna metafisik dari Kembali. Sebagaimana
telah kita amati di atas, Jalan dalam bentuk khusus ini dinamakan Lou-tzu
sebagai te atau Kebajikan.[][][][][][][][][][][][][][][][][]
9.
DETERMINISME DAN KEBEBASAN
Pada
bab terdahulu, kita telah menemukan konsep Perintah
Langit (t’ien ming). Secara filosofis, konsep itu sangatlah penting
karena langsung menukik pada ide determinismme yang, dalam pemikiran Barat,
dikenal sebagai problem “predestinasi”, dan dalam
tradisi Intelektual Islam dikenal sebagai qadha dan qadar.
Bagian
paling menarik dari keseluruhan masalah itu pastinya adalah implikasi dahsyat
teologisnya dalam konteks agama-agama monoteistik, seperti Kristen dan Islam.
Sebagai maslaah yang terlampau teologis, selintas, ia terlihat asing bagi
pandangan dunia Lou-tzu dan Chuang-tzu. Lantaran kenyataannya tidak seperti
itu, maka cukup kiranya orang mengingat bahwa Taoisme juga memiliki aspek
teologisnya sendiri.
Pada
bab-bab berikut, Jalan dan Sang Mutlak akan ditelaah secara ekslusif dari sudut
pandang metafisika. Dengan kata lain, kita sedang berusaha menganalisa aspek
metafisik dari Jalan. Sebab, di atas segala sesuatu, hal itu merupakan tema
paling fundamental, lantaran seluruh sistem filsafat Taois dibangun di atasnya.
Tetapi,
para filosof Teois bukan semata-mata dan secara ekslusif memahami Jalan sebagai
Summber metafisik segala sesuatu. Dia juga adalah Tuhan – Sang Pencipta (secara
harfiah, Pembuat segala-sesuatu, tao wu che), Langit (t’ien), atau Sang
Penguasa Langit (t’ien ti) sebagaimana lazimnya. Dia disebut dalam bahasa Cina.
Citra “personal” Sang Mutlak pada Cina Kuno memiliki sejarah panjang sebelum
kemmunculan cabang filsafat Taoisme, yang kita bahas dalam buku ini. Citra
“personal” Sang Mutlak itu merupakan tradisi kuat yang hidup dan berpengaruh
besar terhadap sejarah pembentukan budaya dan metalitas Cina. Salah fatal jika
kita membayangkan bahwa Jalan yang dikonsepsikan – atau “dijumpai”, agaknya
kita mesti menyebut demikian – para cendekiawan Taois melulu sebagai Sang
Mutlak yang metafisik. Bagi mereka, Jalan adalah Sang Mutlak yang metafisik
sekaligus Tuhan yang personal. Citra Sang Pencipta segala-sesuatu tidak mesti
dipandang sebagai ekspresi metaforis atau figuratif bagi Prinsip yang
metafisik. Chuang-tzu memiliki bab yang ebrjudul “Penguasa Yang Mahaagung”.
Tema aitu menjelaskan aspek pribadi dari Jalan tadi.
Jika
kita hendak menganalisis konsep “personal” Sang Mutlak ini dalam kerangka
struktur metafisika Jalan, kita mungkin harus mengatakan bahwa hal itu
berhubungan dengan tingkatan “Wujud”, yang di dalamnya, aktivitas kreatif Jalan
termanifestasikan secara penuh. Sebab, pada tingkatan Misteri, atau bahkan pada
tingkatan Tiada, Jalan seutuhnya berada di luar kognisi manusia pada umumnya.
Seperti dalam pandangan-dunia Ibn ‘Arabi, kata “Majikan/Gusti” (rabb/lord)
merujuk kepada tingkatan ontologis ketika Sang Mutlak mewujudkan diri-Nya
melalui beberapa Nama tertentu – Pencipta, misalnya – dan tidak merujuk kepada
Esensi mutlak yang melampaui semua determinasi dan relasi. Jadi, konsep Tao
tentang “Pembuat segala sesuatu” pantasnya diambil sebagai santiran aspek
manifestasi diri, atau kreatif, dari Jalan, dan bukan merujuk kepada aspek
penyembunyian-diri-Nya. bagaimanapun, semua itu tidak lain merupakan implikasi
teoritis dontrin metafisika Lou-tzu dan Chuang-tzu. Mereka sendiri tidak
mengulasnya dalam bentuk partikular ini. Lagipula konsep Sang Mutlak sebagai
Penguasa Langit yang Mahatinggi termasuk dalam ranah pengalaman keagamaan
tertentu, suatu watak yang benar-benar berbeda dengan intuisi ekstatik tentang
Sang Mutlak sebagai Yang Esa, lalu sebagai “Tiada”, lalu sebagai “Misteri” dari
segala “Misteri”. Betapapun, memang benar bahwa kedua jenis pengalaman
keragamaan itu tampak begitu saling memengaruhi dalam proses sejarah
pembentukan filsafat Taoisme sedemikian rupa sehingga konsep Taois tentang Sang
Mutlak, sebagaimana adanya, bisa dikatakan terdiri dari dua aspek yang berbeda
: Metafisik dan personal.
Walhasil,
paparan Chuang-tzu ihwal aktivitas Gusti Penguasa Yang Mahaagung dalam
pengaturan urusan alam ciptaan, sama persis dengan apa yang dia dan Lou-tzu
katakan tentang kerja Alam atau Dsang Mutlak. Berikut ini adalah salah satu
dari sejumlah pasase yang dapat dikutip sebagai bukti untuk mendukung
pernyataan di atas.
O, Tuanku, Tuanku (yang tunggal) – Dia memilah sepuluh ribu hal
menjadi bagian-bagian cacil. Begitupun, Dia tidak memiliki kesadaran untuk
berlaku “adil”. Karunia-Nya meliputi sepuluh ribu generasi. Begitupun, Dia
tidak memiliki kesadaran melakukan tindak “kasih-sayang” tertentu. Dia lebih
tua daripada masa paling tua (sejarah). Namun, dia tidak memiliki kesadaran
bertambah usai. Dia menaungi Langit (yang menutup segala sesuatu) dan
memelihara Bumi (yang memelihara segala sesuatu). Dia mengukir dan merancang
segala jenis bentuk. Namun, Dia tidak memiliki kesadaran menjadi terampil.
Hal
yang saya sampaikan itu akan menjadi jelas jika seseorang membanding pasase di
atas dengan kata-kata Lou-tzu tentang aktivitas Jalan dalam bentuk Kebajikan,
yang telah dikutip pada bab terdahulu.
Jalan melahirkan (sepuluh ribu hal), tetapi tidak mengklaim
kepemilikan. Dia melakukan hal-hal besar, tetapi tidak menyombongkannya. Dia
membuat segala sesuatu tumbuh, tetapi tidak sewenang-wenang atas mereka. Inilah
yang saya akan sebut dengan Kebajikan Misterius.
Dengan
demikian latarbelakang teologis umum kita, kita bisa mendekati problem surat
takdir atau “presdestinasi” dalam Taoisme secara benar. Ketika membahas ide
ini, kita terutama akan bergantung pada Chuang-tzu, mengingat tampaknya dialah
yang secara khusus tertarik dengan problem Takdir dan Kebebasan manusia dalam
koanteks filsafat Taois.
Sebelumnya,
tidak telah menjukkan dalam bukunini hal terpenting yang harus diperhatikan
menyangkut konsep Chaos dalam sistem filosofis Chuang-tzu. Kita telah
memerhatikan bahwa, menurut Chuang-tzu, Eksistensi yang melingkupi kita dari
segala isi, dan yang di dalamnya kita hidup sebagai bagian darinya,
menyingkapkan dirinya sebagai sebuah chaos ketika kita merasakan realitasnya
secara intuitif di dalam pengalaman “duduk-dalam-perikelupaan) “terkacaukan”
(chaotified). Tiada yang tetap dan ajek. Kita menyaksikan pemandangan
mencengangkan dari segala sesuatu yang secara bebas dan tanpa hambatan
bertransmutasi menjadi yang lain.
Citra
Wujud ini mestinya tidak membuta kita tersesat pikir bahwa Realitas itu
semata-mata bersifat kacau (cahotic) dan tiada lain kecuali yang bersifat
kacau. Chaos memang realitas metafisik. Tetapi, ia hanya menyantirkan
(represent) satu aspek dari Realitas. Di tengah-tengah apa yang tampak sebagai
ketakberaturan dan kerambangan ini, terdapat tatanan dahsyat yang mengatur
segala benda dan peristiwa alam fenomenal. Terlepas dari ketakberaturan
totalnya, segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi di dunia maujud dan
berlangsung mengikuti artikulasi-artikulasi alamiah Realitas. Dalam pemaknaan
ini, dunia tempat kita hidup adalah dunia yang dideterminasikan Keniscayaan
yang sedemikian teliti. Dan bagaimana tidak? Sepuluh ribu hal itu tidak lain
adalah bentuk-bentuk yang melaluinya Sang Mutlak muncul karena Ia terus-menerus
mendeterminasikan diri; semua itu adalah sekian bentuk penyingkapan-diri Tuhan.
Konsep
Keniscayaan ontologis ini diungkapkan Chuang-tzu melalui keragaman istilah,
seperti t’ien (Langit), t’ien li (alur alamiah semua yang dideterminasikan
Langit), ming (Perintah), dan pu te’i (yang takterelakkan).
Chuang-tzu
memandang “hidups esuai dengan t’ien li” sebagai cara hidup idela di dunia ini
bagi seorang manusia “sejati”. Ungkapan ini berarti “menerima apa pun yang
dipersembahkan alam dan tidak berupaya utnuk menentangnya”. Hal ini menunjukkan
bahwa, bagi setiap amnusia dan benda, terdapat alur alamiah untuk dilaluinya,
yang telah ditetapkan sejak awal oleh Langit. Alam Wujud, dalam pandangan ini,
adalah sesuatu yang telah diartikulasikan secara alamiah, dan tidak ada yang terjadi
bertentangan atau di luar alur yang telah ditetapkan. Segala sesuatu, baik yang
tak bernyawa maupun yang hidup, rupanya mewujud dan hidup dalam kepatuhan tulus
pada ketetapannya sendiri-sendiri. Mereka terlihat bahagia dan pua mewujud
dalam kesesuaian mutlak dengan Hukum Alam yang tak terelakkan. Dalam pengertian
ini, mereka secara alamiah hidup sesuai dengan t’ien li.
Dari
semua maujud, hanya manusia yang dapat menentang t’ien li. Hal itu karena
kesadaran-dirinya. Begitu sulit baginya untuk menyerah kepada takdirnya. Dia
akan berupaya keras untuk menghindari atau mengubahnya. Akhirnya, dia
menyebabkan perselisihan dalam harmoni universal Wujud. Namun, tentu saja,
semua penentangannya itu bakal gagal dan sia-sia karena segala sesuatu telah
ditetapkan untuk selamanya. Justru di sinilah terletak penyebab utama tragedi
eksistensi manusia.
Apakah,
dengan begitu, mutlak tidak ada kebebasan bagi manusia? Mestilah dia tunduk
tanpa gerundel terhadap situasi alamiah yang telah ditetapkan untuknya
betapapun menyedihkannya? Apakah Chuang-tzu meyakini atas ketakpedulian negatif
atai nihilisme? Sama sekali tidaklah demikian. Lantas, bagaimanakah dia mampu
mendamaikan konsep Keniscayaan dengan kebebasan manusia? Inilah pertanyaan yang
akan menyita perhatian kita pada halaman-halaman selanjutnya.
Langkah
pertama yang harus seseorang ambil dalam upaya menjawab pertanyaan itu terletak
pada penghayatannnya yang jernih dan mendalam bahwa apa pun yang terjadi di
dunia ini melalui aktivitas Langit. Langit di sini dipahami dalam makna
“personal”. Chuang-tzu memberikan sejumlah contoh dalam bentuk anekdot. Berikut
ini adalah salah satunya.
Si
fulan melihat seseorang yang satu kakinya
diamputasi sebagai hukuman atas kejahatan tertentu yang dilakukannya.
Terhenyak melihat cacat yang diderita fulan itu, dia
berteriak, “Bagaimana manusia ini! Bagaimana sampai kakinya bisa terpotong?
Apakah ini urusan Langit? Ataukah karena manusia?”
Fulan itu menjawab, “Ini karena Langit, bukan karena
manusia.s ejak awal Langit memberiku kehidupan. Dia telah menakdirkan untuk
menjadi pincang. (Normalnay) bentuk manusia selalu dilengkapi dengan pasangan,
(yakni, manusia normal dilahirkan dengan dua kaki). Dari sini saya tahu bahwa
kepincanganku ini adalah akrena Langit. Ini tidak dapat ditimpakan pada
manusia.”
Bukan hanya kasus-kasus
individual penderitaan dan nasib buruk – dan juga kebahagiaan serta nasib baik
– melainkan juga awal dan akhir eksistensi manusia, KEhidupan dan Kematian,
adalah juga akibat Ketetapan Langit. Pada Bab 3, kita membahas pendirian dasar
Chuang-tzu terhaedap masalah Hidup dan Mati, tetapi dari sebuah tinjauan yang
sama sekali berbeda. Di sini kita membahasnya dalam kerangka konsep
Transmutasi, masalah serupa muncul pada konteks ini dalam kaitannya dengan
persoalan takdir atau Langit.
Ketika Lou-tzu wafat, (seorang sahabat dekatnya) Ch’in
Shih dating ke acara belasungkawa atas kematiannya. (Dengan acuh tak acuh) dia
meratapi yang mati itu tiga kali, lalu keluar dari ruangan. Pada saat itu, para
murid (Lou-tzu) mengecam perilakunya dengan berkata, “Bukankah kau sahabat Guru
kami?”
“Ya, memang,” dia menjawab.
“Jika demikian, apakah layak kau meratapi yang mati
dengan cara (acuh tak acuh) semacam itu?”
“Ya (beginilah yang pantas dia dapat). Mulanya, saya
berpikir bahwa dia adalah seorang manusia (Sejati). Namun, kini saya menyadari
bahwa dia bukan (manusia sejati). (Alasan mengapa pendapatku berubah adalah
sebagai berikut). Barusan saya pergi untuk meratapinya; saya lihat orang-orang
tua menangisinya seolah-olah sedang menangisi anak sendiri, dan para pemuda
menangisinya seperti menangisi ibu sendiri. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa
dia mempu membangkitkan seimpati orang-orang ini dalam sebuah bentuk seperti
itu, maka pastilah (selama hidup) dia secara licik mebuat mereka, entah
bagaimana caranya, untuk menyampaikan kata-kata (duka cita dan kesedihan) bagi
kematiannya, tanpa secara eksplisit memohon mereka untuk berbuat demikian, dan
untuk menangisinya, tanpa secara eksplisit meminta mereka beruat seperti itu.”
Bagaimanapun, hal ini tidak lain adalah “pelarian dari
langit” (melarikan diri dari alur alamiah segala sesuatu sebagaimana yang telah
disuratkan Langit) dan menentang realitas alamiah manusia. Orang-orang ini
benar-benar telah melupakan (dari mana) mereka memperoleh apa yang mereka
peroleh (faktanya mereka telah mendapatkan kehidupan dan keberadaan dari
Langit, dan melalui perintah Langit). Pada zaman dahulu, orang yang berperilaku
demikian dapat dikenai hukuman karena (kejahatan) “melarikan diri dari Langit”.
Guru kalian dating (yakni, lahir ke
dunia ) secara alamiah, lantaran begitulaj waktu (yang telah ditentukan) baginya (untuk
dating). Kini dia pergi secara alamiah, karena inilah gilirannya (untuk pergi).
Jika kira rela denan “masa” itu dan menerima “giliran”
ini, maka tak aka nada duka atau suka yang menggerayangi. Perilaku semacam itu
biasa disebut orang-orang dahulu dengan “mengendurkan ikatan Sang Penguasa
(Langit).”
Paragrap terakhir pasase di atas
sebagian besar ditemukan secara harfiah dalam pasase lain yang telah dikutip
pada bab 3, ketika ungkapan “mengendurkan ikatan muncul dengan makna yang sama,
yang mesti dituju orang untuk memecahkan masalah konflik antara Keniscayaan dan
kebebasan manusia dengan penghayatan jernih bahwa segala sesuatu mengikuti
Kehendak Langit.
Langkah selanjutnya yang mesti
diambil orang, berdasarkan obeservasi Chuang-tzu tentang “mengendurkan Ikatan
dengan Sang Pengausa Langit”, terletak apda ketidakpedulian atau kemampuan
untuk melampaui, efek-efek yang ditimbulkan perputaran roda nasib. Dalam paro
akhir anekdot orang pincang, si pincang itu sendiri yang melukiskan jenis
kebebasan yang dinikmatinya, yakni dengan sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada
apa pun yang telah ditetapkan baginya oleh Langit. Orang lain – demikian orang
itu mengamati – mungkin membayangkan, karena pincang, pastilah kehidupannya
penuh beban. Namun, menurutnya, tidaklah demikian kenyataannya. Dia menjelaskan
situasinya dengan gambaran seekor burut pegar.
Lihatlah burung pegar yang hidup di rawa-rawa. (Untuk
memberi makan dirinya) Burung itu harus menanggung kesulitan berjalan sepuluh
langkah demi satu patukan (makanan) dan serratus langkah demi satu hirupan
(air). (Orang yang melihat mungkin akan
berpikir bahwa burung itu pasti merasakan hidup yang begitu sulit). Namun
demikian, burung itu tidak akan pernah rela untuk ditangkap dan diberi makan di
dalam sebuah sangkar. Sebab ( di dalam sebuah sangkar, seekor burung dapat
makan dan minum hingga kenyang) ia akan penuh vitalitas meskipun belum
mendapati dirinya Bahagia.
Kehilangan sebuah kaki bagi seseorang adalah kehilangan satu
“kebebasan”. Orang yang pincang harus mengalami ketidaknyamanan dalam hidupnya
sehari-hari seperti pegat yang harus berjalan begitu jauh hanya demi sepatukan
makanan dan sehirupan air. Manusia dengan struktur tubuh yang normal “bebas”
berjalan dengan kedua kakinya. Namun, kebebasan yang dibicarakan di sini adalah
sesuatu yang bersifat fisik, kebebasan eksternal. Persoalan sesungguhnya adalah apakah manusia
memiliki kebebasan spiritual, kebebasan internal, atau tidak. Jika manusia
dengan dua kaki tidak memiliki kebebasan internal, kondisinya tidak jauh
berbeda dengan burung di dalam sangkar; dia bisa makan dan minum tanpa
menanggung ketidaknyamanan fisik apap pun. Meskipun demikian dia tidak bisa
menikmati keberadaannya di dunia. Kesengsaraan sesungguhnya dari manusia
seperti itu terletak pada fakta bahwa dia tanpa daya juang untuk mengubah apa
yang tidak pernah bisa berubah, dan bahwa dia harus memerdekakan hidupnya.
Pemikiran Chuang-tzu,
bagaimanapun, tidaklah berhenti pada tahap ini. Kebebasan batin yang didasarkan
pada penerimaan pasif terhadap apa pun yang diberikan, atau ketenangan benak
berkat kepasrahan pada Keniscyaan, baginya, tidaklah mencedrminkan tahap
terkahir kebebasan manusia. Dalam upaya meraih tahap terakhir dan tertinggi
kebebasan batin, manusia mestilah melangkah lebih jauh dan menghapuskan
pembedaan – atau pertentangan – utama antara eksistensinya sendiri dan
KEniscayaan. Namun, bagaimanakah hal itu dapat diraih?
Chuang-tzu sering berbicara
mengenai “apa yang tidak dapat dielakkan” atau “apa yang tidak bisa dibuat
sebaliknya”. Segala sesuatu nsicaya telah ditetapkan dan diputuskan oleh
semacam Kehendak Kosmik yang disebut dengan Perintah atau Langit. Selama masih
terdapat setitik kesenjangan di dalam kesadaran seseorang antara Kehendak
Kosmik ini dan kehendak pribadinya, Keniscayaan akan dirasakan sebagai sesuatu
yang memaksanya, sesuatu yang mesti diterimanya sekalipun bertentangan dengan
kehendaknya. Jika, dalam kondisi itu, melalui penyerahan-diri dia memperoleh
“kebebasan” dalam kadar tertentu, tentu saja hal itu bukanlah kebebasan yang
sempurna. Kebebasan yang paripurna digapai hanya apabila manusia mengidentikan
dirinya dengan Keniscayaan itu sendiri, maksudnya, alur alamiah segala sesuatu
dan pristiwa, serta terus mentransformasikan dirinya seiring alur alamiah
bergeser ke sana ke mari.
Pergilah Bersama segala sesuatu ke manapun mereka
pergi, dan biarkan benakmu berkelana ( di wilayah kebebasan mutlak). Serahkan
dirimu sepenuhnya kepada “apa yang tidak bisa dibuat sebaliknua”, lalu pelihara
dan tumbuhkanlah keseimbangan benak (yang tenang). Hal itu sungguh merupakan
modus eksistensi tertinggi manusia.
Bersikap seperti itu terhadap
Keniscayaan Wujud yang tak bisa diganggu-gugat, tak syak lagi, hanya mungkin
bagi seorang “manusia sejati”. Namun, bahkan manusia biasa, menurut Chuang-tzu,
semestinya tidak mengabaikan harapan untuk bendekati cita-cita tertinggi itu.
Dan untuk itu, satu-satunya yang diminta dari manusia biasa ialah menerima
secara positif takdir mereka ketimbang menyerahkan diri secara pasif dan
cengeng pada kepasrahan fatalistic. Chuang-tzu menyodorkan alas an yang mudah
mereka pahami sekaitan dengan mengapa mereka harus mengambil sikap penerimaan
positif dan sukarela. Pada tahap ini, sduah sewajarnya Keniscayaan itu diwakili
fakta konkret Kehidupan dan Kematian.
Kehidupan dan Kematian adalah masalah Perintah
(Langit). (Keduanya silih berganti) seperti halnya Siang dan Malam yang terus
silih berganti satu sama lain. Keteraturan ketat ini adalah berkat Langit. Di
dunia ini, terdapat banyak hal (seperti Hidup dan Mati, Siang dan Malam, dan
lainnya yang tak terhitung banyaknya) yang berlaku di luar wilayah campur
tangan manusia. Hal ini akrena struktur alamiah segala sesuatu.
Manusia terbiasa menghormati ayahnya seolah-olah sang
ayah adalah Langit itu sendiri dan mencintainya secara tulus. Jika demikian
halnya, betapa lebih besarnya (hormat dan cinta) yang seharusnya dia berikan
kepada (Sang Ayah) yang jauh lebih agung daripada ayahnya sendiri!
Manusia terbiasa memandangpenguasa yang dia layani
sebagai lebih kuasa atas dirinya. Dia siap mati untuk penguasa itu. Jika
demikian, betapa seharusnya dia (anggap lebih tinggi) Sang (Penguasa) Sejati!
Ungkapan “apa yang tak dapat
dielakkan” (put e i) naga-naganya menyatakan ide tentang manusia yang terkekang
oleh kendala tidak wajar. Kesan itu timbul hanya karena perhatian kita terfokus
– pada galibnya – kepada berbagai hal dan perisitiwa individual tertentu.
Sebaliknya, jika kita mengarahkan perhatian kita kepada keseluruhan “apa yang
tak dapat dihindari”, yang tidak lain adalah Jalan itu sendiri saat ia
memanisfestasikan aktivitas kreatifnya dalam bentuk-bentuk alam Wujud, nsicaya
kita akan menerima kesan yang jauh berbeda ihwal persoalan itu. Lebih jauh,
apabila kita mengidentikkan diri dengan kerja Jalan itu sendiri dan secara
paripurna menyatu dan meelbur dengannya,
maka “Keniscayaan yang tak terhindarkan” dan “ketidakbebasan” segera akan
berubah menjadi sebuah kebebasan mutlak. Ini adalah kebebasan. Karena, begitu
kondisi spiritual itu tercapai, manusia tidak akan menderita apa pun dari
(sisi) luar. Segal sesuatu dialami sebagai yang dating dalam, sebagai miliknya
sendiri. Perubahan-perubahan tanpa henti yang menjadi akrakter alam fenomenal
adalah perubahan-perubahan dirinya sendiri. Sebagaimana Kuo Hsiang katakana :
“Dengan melupakan (pembedaan antara) Baik dan Buruk, dan dengan mengabaikan
Hidup dan Mati, dia (manusia) kini benar-benar menyatu dengan Transmutarsi
Universal. Tanpa menghadapi hambatan apa pun, dia pergi kemanapun saja.
Dan lantaran segala sesuatu
adalah dirinya sendiri – atau seharusnya kita katakana, karena segala sesuatu
adalah dirinya yang terus berubah Bersama dengan Transmutasi kosmik – maka
dengan sukarela dan penuh cinta dia menerima apa pun yang terjadi padanya
atau apa pun yang diamatinya. Hal yang
sama dikatakan oleh Lou-tzu :
“Manusia Suci” tidaklah memiliki benak tertentunya
sendiri yang ajek. Dia membuat benak semua orang menjadi benaknya.
Mereka yang baik, (dia berkata), saya perlakukan
dengan baik. Bahkan yang tidak baik pun saya perlakukan dengan baik. (Sikap
seperti itu saya ambil) karena sifat asli manusia adalah kebaikan.
Mereka yang setia saya perlakukan dengan setia. Dan
bahkan mereka yang tidak setia pun saya perlakukan dengan setia. (Sikap seperti
itu saya ambil) karena sifat asli manusia adalah kesetiaan.
Jadi, “manusia suci”, ketika hidup di dunia, menjaga
benaknya selalu terbuka. Dia “mengacaukan” (chaotify) benaknya sendiri
berkaitan dengan semua hal.
Manusia biasa memakai amta dan telingan mereka (agar dapat membedakan satu dan lain
hal). Sebaliknya, “manusia suci” membiarkan mata dan telinga mereka (bebas)
seperti bayi.
Di
sini, sikap “manusia suci” terhadap segala sesuatu sangatlah kontras dengan
sikap orang biasa. Yang pertama disifati dengan “tidak memiliki benak tertentu
yang ajek”, yakni suatu kelenturan benak tanpa ujung. Kelenturan ini adalah
hasil dari kemampuannya secara penuh untuk melebur dengan Transmutasi “sepuluh
ribu hal”.
Sang
“manusia suci” juga dikatakan telah “mengacaukan” benaknya. Gampangnya ini
berarti bahwa benaknya berada di luar dan di atas semua pembedaan relatif –
antara baik dan buruk, benar dan salah, jujur dan dusta, dan sebagainya.
Setelah menyatu dengan Jalan saat ia memanifestasikan dirinya, bagaimana
mungkin dia dapat membuat pembedaan-pembedaan seperti itu? Bukankah segala
sesuatu adalah bentuk partikular dari Kebajikan, yang juga merupakan aktivitas
Jalan? Dan bukankah juga setiap bentuk partikular Kebajikan adalah bentuknya
sendiri?
Chuan-tzu
melihat, dalam situasi seperti itu, manifestasi kebebasan mutlak manusia :
Tanah yang agung (yakni, Bumi – Langit dan Bumi, atau Alam)
telah menempatkan dalam bentuk tertentu (yakni, telah membikinku dengan bentuk
ragawi tertentu). Ia meletakkan di atasku beban kehidupan. Ia mempermudah
hidupku dengan menjadikanku tua. Dan (akhirnya) ia akan mengistirahatkanku
dengan membiarkanku mati. (Empat tahap tersebut tidak lain adalah empat bentuk
berbeda dari eksistensi, yang pastinya merupakan empat bentuk keragaman Alam).
Jika saya bahagia karena mendapatkan Kehidupanku, seharusnya saya pun bahagia
saat menjemput Kematianku.
Apa
yang Chuang-tzu tekankan berkaitan dengan konteks itu bukanlah persoalan
melampaui Kehidupan dan Kematian. Persoalannya di sini terkait dengan
Keniscayaan, yang di dalamnya Kehidupan dan Kematian tidak lain adalah dua
contoh konkret yang gamblang. Pokok argumennya adalah bahwa Keniscayaan Wujud
tidak lagi menjadi “keniscayaan” manakala manusia sepenuhnya menyatu dengan
Keniscayaan itu sendiri. Ke manapun dia pergi, dan ke dalam bentuk apapun dia
berubah, dia akan selalu bersama. Keniscayaan yang telah berhenti menjadi
“keniscayaan”. Sebaliknya, jika penyatuan itu tidak utuh, dan jika terdapat
satu saja bagian dari keseluruhan itu yang asing bagi dirinya, maka bagian itu
setiap saat akan merusak kebebasannya.
(Seorang nelayan) menyembunyikan perahunya di lembah dan
jaringnya di rawa-rawa karena berpikir bahwa, dengan cara seperti itu, perahu
dan jaring itu akan aman (dari apra pencuri). Namun demikian, di tengah malam,
orang jahat (pencuri) mungkin (datang dan) merampok semuanya tanpa sedikit pun
diketahui si (nelayan) bodoh itu.
Menyembunyikan barang kecil di tempat luas, sampai batas
tertentu pasti akan menguntungkanmu. Tetapi, (hal itu tidak memberikan keamanan
mutlak, karena) masih terdapat banyak kemungkinan (bagi sesuatu yang kecil)
untuk melarikan diri dan menghilang.
Sebaiknya, jika kau menyembunyikan seluruh dunia di dalam
seluruh dunia itu sendiri, maka tidak akan ada tempat baginya untuk melarikan
diri.
Inilah kebenaran terbesar yang berlaku umum pada segala sesuatu.
Sungguh, suatu kebetulan bahwa kau memperoleh bentuk sebagai
manusia. Bahkan, hal seperti itu telah cukup membahagiakanmu. Namun (ingatlah
bahwa) sesuatu seperti bentuk manusia tidak lain hanyalah satu dari aneka ragam
bentuk (fenomenal) Transmutasi Universal. (Jika satu bentuk fenomenal saja
telah membuatmu senang), maka sungguh tak terhitung kerianganmu (bila kau mampu
mengalami bersama Jalan semua
Transformasi yang Ia manifestasikan). Oleh karena itu, “manusia suci”
melanglangbuana dengan senang hati dalam ranah “yang dirinya tak ada tempat
untuk berlari dan yang di dalamnya segala sesuatu memperoleh eksistensinya”.
(Dan (dalam tingkat spiritual seperti itu) dia mendapati segala sesuatu itu
baik – mati muda baik, umur tua juga baik, awal itu baik, dan akhir itu pun
baik. (Bagaimanapun, “manusia suci” itu juga manusia). Namun demikian, dalam
kaitan ini, dia berperan sebagai model bagi masyarakat. Jika demikian, lebih
dari itu semua, semestinya (Jalan itu sendiri dijadikan sebagai model bagi
semua manusia – Jalan) yang padanya bergantung sepuluh ribu hal dan yang
merupakan landasan hakiki Transmutasi universal.
Pada
Bab 3, kita membaca ksiah “manusia suci” yang tubuhnya secara mengerikan
dirusak sejumlah penyakit serius. Dia pun membuat pernyataan berikut ini ikhwal
keadaan yang dialaminya.
Apa pun yang kita peroleh (maksudnya, Kehidupan) adalah
ebrhubungan dengan datangnya waktu. Apapun yang kita kehilangan (maksudnya,
kematian) adalah juga berhubungan dengan tibanya giliran. Kita harus merasa
puas dengan “waktu” dan menerima “giliran”. Maka kesedihan dan kebahagiaan
tidak akan pernah melanda. Sikap demikian biasanya dinamakan para leluhur
sebagai “mengendurkan ikatan (Langit)”. Jika manusia tdiak dapat mengendurkan
dirinya dari ikatan, berarti itu karena “banyak hal” telah mengikatnya dengan
ketat.
Kemudian dia menambahkan :
Sejak dahulu, taka da yang pernah mengalahkan Langit.
Bagaimana saya bisa gundah (atas apa yang menimpaku)?
Alih-alih
“mengendurkan ikatan Langit”, banyak manusia yang justru terikat dengan segala
sesuatu. Jelasnya, alih-alih “menyembunyikan seluruh dunia dalam dunia”, mereka
mencoba menyebunyikan hal-hal kecil di tempat lebih besar”. Dalam benak manusia
seperti itu, tidak akan pernah ada ruang bagi kebebasan sejati. Pada setiap
saat, mereka akan disadarkan pada Keniscayaan mutlak Kehendak Langit atau –
dengan kata lain – Hukum Alam yang menindas, menghambat, memaksa, dan membuat
mereka berada dalam sangar sempit. Pemahaman menyangkut Kehendak Langit ini
sama sekali tidak keliru. Sebab, scara ontologis, alur segala sesuatu secara
mutlak dan “niscaya” ditetapkan oleh aktivitas Jalan, dan tak seorang pun mampu
melarikan diri darinya. Dan “taka da yang pernah mengalahkan langit”.
Pada sisi lain, bagaimanapun,
secara spiritual terdapat satu titik tertentu yang bisa mengalihkan bentuk
Keniscayaan ontologis ini menjadi sebuah KEbebasan mutlak. Manakala titik balik
krusial ini benar-benar dialami seseorang manusia, maka dia menjadi “manusia
suci” atau Manusia Sempurna, sebagaimana dipahami dalam filsafat Taois. Pada
bab-abab sebelumnya, kita akan memerhatikan struktur konsep Manusia Sempurna
dalam Tapoisme. [][][][][][][][][][][][]
10. PEMBALIKAN MUTLAK
TERHADAP NILAI-NILA
Di dalam Tao Te Ching, istilah
sheng jen (“manusia suci”) digunakan secara konsisten sehingga mungkin pantas
untuk dipertimbangkan sebagai padanan yang lebih dekat dengan istilah Islam
Insan Kamil (“manusia sempurna”). Kata ini tampaknya sudah ada sejak zaman
kuno. Alhasil, dengan mempertimbangkan pola yang digunakan Konfusius dalam
Analects, kata itu pastilah lazim digunakan pada masanya.
Guru berkata : “Manusia suci” tidak pantas kutemui.
Saya akan sangat senang sekalipun hanya berjumpa dengan seorang manusia dengan
moralitas luar biasa.
Guru berkata : Betapa beraninya saya mengaku diriku
“manusia suci” atau manusia dengan “cinta kasih” (sempurna) sekalipun.
Secara fisologis, tidaklah mudah
menemukan makna tepat yang dimaksud Konfusius dengan kata tersebut. Namun, dari
konteks-konteks umum, tempat kata itu digunakan, dan dari karakter-karakter
dominan ajarannya, menurut saya, kita tak salah jika menilai bahwa yang dia
maksud dengan istilah sheng jen adalah manuisa unggulan dengan kesempurnaan
etis. Konfusius bahkan tidak berani berharap untuk berjumpa manusia seperti itu
dalam hidupnya, apalagi mengklaim dirinya sebagai manusia seperti itu.
Bagaimanapun, hal itu bukanlah
persoalan yang harus kita bicarakan dalam konteks sekarang. Hal yang akan saya
ajukan di sini adalah kenyataan bahwa kata sheng jen itu sendiri
mempresentasikan sebuah konsep yang tampaknya tidak begitu dipahami para
intelektual masa Konfusius, dan bahwa Lou-tzu melakukan perubahan drastic pada
konotasi kata tersebut. Perubahan semantic ini dihasilkan Lou-tzu melalui
pijakan metafisiknya, yang berakar pada asal-usul shamanic.
Pada bab-bab sebelumnya, kita
mengetahui bagaimana Lou-tzu – dan Chuang-tzu – berkembang dalam mileu shaman.
Manusia sempurna bagi Lou-tzu pada awalnya adalah seorang shaman yang
“sempurna”. Fakta inin tersembunyi dari kita karena pandangan dunianya tidak
jelas-jelas hamanik, tetapi diajukan dengan elaborasi metafisik yang luarbiasa
rumitnya. Akar shamanic pada konsep Taois tentang “manusia suci” akan
tersingkap jika kita menghubungkan pasase berikut dari Tao Te Ching, misalnya,
dengan apa yang Chuang-tzu nyatakan menyangkut pengalaman ekstetik dari
“keadaan duduk dalam perikelupaan”.
Hambatan semua yang terbuka (mata, telinga, mulut, dan
lain-lain), dan tutuplah semua pintunya (aktivitas akal), maka seluruh hidupmu
(energi sepiritualmu) tidak akan letih,
Sebaliknya, bila kau tetap membuka yang terbuka itu
selebar-lebarnya dan terus meningkatkan aktivitasnya, kau tidak akan pernah
terselamatkan sampai akhir.
Mampu merasakan hal-hal kecil adalah pencerahan
(ming).
Berpegang pada sesuatu yang lembut dan fleksibel
adalah kekuatan.
Apabila, dengan menggunakan cahaya luarmu, engkau
kembali kepada pencerahan dalammu, engkau tidak akan pernah membawa kepedihan
kepada dirimu sendiri. Keadaan (puncak) seperti itu adalah apa yang dinamakan
“melangkah menuju hakikat abadi”>
“Hakikat abadi”, seperti yang
sering kita temui, merujuk kepada Jalan sebagai realitas abadi tanpa perubahan.
Dengan demikian, konsep “manusia suci”, sebagaimana yang kita pahami dari
kutipan di atas, adalah konsep tentang manusia “yang kembali kepada
pencearhan”, dan dengan begitu, “melangkah ke dalam”, yakni meleburkan dirinya
dengan Jalan. Hal ini persis seperti manusia yang sepenuhnya menyatu dengan
“apa yang tidak dapat dibuat sebaliknya”, sesuatu yang telah kita bahas pada
bab terdahulu dalam kaitannya dengan problem KEniscayaan dan Kebebasan.
Bagi Lou-tzu
dan Chuang-tzu, “manusia suci” adalah manusia yang pikirannya “berkelana dalam
ranah Kebebasan mutlak”, jauh dari kesibukan orang-orang biasa. Maka wajar
kiranya, bila dinilai dengan patokan um, manusia semacam itu tampak sangat
“abnormal”. Jika orang-orang, yang berpikiran duniawi mewakili “orang normal”,
maka “manusia suci” benar-benar dapat dipandang sebagai makhluk yang aneh dan
ganjil.
Manusia abnormal – manusia macam apa dia, jika saya
boleh bertanya? Jawabannya : Manusia abnormal adalah manusia yang sepenuhnya
berbeda dengan yang lain, dan berada dalam puncak keselarasan dengan Langit.
Maka itu, ada perkataan : Manusia picik dari sudut pandang Langit adalah, dari
sudut pandang kalangan awam, manusia kebajikan yang anggun; sedangkan manusia
dengan kebajikan yang anggun dari sudut pandang
Langit adalah, dari sudut pandang kalangan awam, manusia yang picik.
Dengan demikian, manusia
sempurna, yang berada dalam harmoni sempurna dengan Langit, justru berada dalam
pertentangan dengan manusia biasa pada setiapm hal. Pola perilakunya sepenuhnya
berbeda dengan sesuatu yang dapat diterima secara umum sehingga dia tidak
termasuk dalam masyarakat “normal”. Yang terakhir justru menganggapnya
“abnormal”. Dia “abnormal” karena Jalan, yang bersamanya dalam harmoni yang
sempurna, dari sudut pandang manusia pada umumnya, kadang-kala aneh dan
abnormal, saking “abnormalnya” sehingga mereka menganggapnya lucu dan
menggelikan. Lou-tzu mengatakan sebagai berikut :
Ketika manusia dari derajat rendah mendengar tentang
Jalan, tiba-tiba saja dia tertawa.
Jika tidak ditertawakan, maka tidaklah layak menjadi
Jalan.
Apabila Jalan sedemikian rupa
sehingga terlihat tidak hanya aneh dan samar tetapi bahkan lucu dan
menggelikan, maka wajarlah bila Manusia Sempurna, yang merupakan citra yang
hidup dari Jalan, juga akan terlihat menggelikan atau kadang sangat
menjengkelkan. Chuang-tzu sering menggambarkan dalam bukunya mengenai perilaku
“aneh” si abnormal tersebut.
Suatu ketika, seorang murid
Konfusius – tentu saja ini kisah fiktif – melihat dua orang “abnormal” dengan
sukacita bernyanyi Bersama ketika menyambut kehadiran jenazah sahabt mereka,
manusia “abnormal” lainya, alih-alih melakukan upacara pemakaman sebagaimana
mestinya. Karena dongkol dan marah, dia bergegas kembali dan melaporkan apa
yang baru saja dilihatnya kepada Gurunya. “Manusia macam apakah mereka? Dia
bertanya kepada Konfusius.
Manusia amacam apa mereka? Mereka tidak memerhatikan
tata tertib perilaku yang sepantasnya. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap
bentuk-bentuk luar. Ketika jenazah dating, mereka bernyanyi tanpa sedikit pun
mengubah air muka mereka. Perilaku mereka (begitu abnormal sehingga) saya
benar-benar tidak dapat melukiskan karakter merek. Manusia macam apakah mereka
itu?
Sungguh irones, Chuang-tzu
membuat Konfusius jeli memahami situasi sebenarnya dalam kerangka filsafat
Taois dan menjelaskan karakter perilaku kedua orang itu kepada muridnya yang
kebingungan. Berikut ini apa yang Konfusius katakana mengenai hal tersebut.
Mereka adalah orang yang bebas berkelana di luar
batas-batas (yaitu norma-norma umum perilaku yang pantas), sedangkan manusia
sepertiku hanya bebas berkelana di dalam batas-batas. Di “luar batas” dan di
“dalam batas” adalah kutub-kutub yang berjauhan satu sama lain …..
Mereka yang sepenuhnya telah menyatu dengan Sang
Pencipta itu sendiri menikmati kenangan di dalam (tingkat spiritual) Kesatuan
energi vital asli sebelum terbagi menjadi Langit dan Bumi.
Bagi pikiran mereka, Kehidupan hanyalah pertumbuhan
sebuah kutil dan Kematian adalah pecahnya bisul, meledaknya tumor……. Mereka hanya meminjam elemen-elemen yang
berbeda lalu meletakkannya Bersama di dalam bentuk tubuh yang umum (dalam
pandangan mereka, manusia adalah sebuah komposisi yang terbuat dari beberapa
elemen yang berbeda yang secara kebetulan ditempatkan Bersama dalam sebuah unit
ragawi).
Maka, mereka sama sekali tidak memedulikan, baik
(aktivitas) organ hati maupun empedu mereka. Mereka pun mengesampingkan
(aktivitas) mata dan telinga mereka. Mereka menyerahkan diri kepada gelombang Akhir
dan Awal yang gulung-menggulung tak terhingga. Mereka terus berputar di dalam
sebuah lingkaran, tanpa tahu mana titik awal dan mana titik akhir,
Latas, tanpa menyadari eksistensi pribadi mereka,
mereka mengembara menembus dunia debu dan kotoran, dan menikmati perjalanan
menuju lubuk hati mereka dalam aktivitas Tanpa Berbuat (Non-Doing).
Bagaimana bisa manusia semacam itu merepotkan diri
mereka dengan memerhatikan tetek-bengek aturan-aturan perilaku yang khusus bagi
dunia wadag sehingga mungkin dapat menarik perhatian (yakni, memuaskan) telinga
dan mata orang-orang biasa.
Dengan demikian, pola perilaku
manusia-manusia ini niscaya merupakan kebalikan sempurna dari tata nilai yang
diterima secara umum. Tentu saja, bukanlah maksud mereka melawan system nilai
normal. Namun, katika manusia-manusia ini hidup dan berperilaku di dunia ini,
perilaku mereka secara alamiah merefleksikan standar nilai-nilai yang sama
sekali ganjil, yang tidak pernah bisa sama dengan apa yang diterima pandangan
umum dan Nalar.
Chuang-tzu mengungkapkan ide ini
dalam banyak cara. Salah satu ungkapan paling menarik, yang dia gunakan dalam
kaitan ini, adalah apa yang kami sebut sebagai frase bernuansa paradoksal :
“merusak, atau melumpuhkan kebajikan”. Setelah membicarakan bagaimana seorang
manusia cacat – Shu si Pincang – karena kecacatannya dapat menyempurnakan
rentang hidup dengan aman dan sejahtera. Chuang-tzu melontarkan pernyataan
berikut :
Bahkan, jika seorang manusia dengan tubuh lumpuh
seperti itu mampu memberdayakan dirinya dan menunaikan rentang hidup yang telah
diberikan kepadanya oleh Langit, bukankah lebih dahsyat lagi orang-orang yang
telah “melumpuhkan kebajikan.”
“Melumpuhkan atau merusak”
kebajikan adalah sebuah ungkapan yang sangat berpengaruh. Ini berarti :
menghancurkan dan membalikkan hirarki nilai-nilai yang umum berlaku. Karena
system nilai yang berlandaskan gaya hidup atau prinsip eksistensi yang khas
bagi “orang-orang cacat” ini, tentu saja secara radikal bertentangan dengan
(system nilai) masyarakat pada umumnya, kebebasan sejati mereka tidak dapat
dikenali kalangan awam. Bahkan, manusia Nalar paling canggih --- Nalar,
sebenarnya, merupakan elaborasi dari pemahaman umum – gagal memahami
signifikansi cara hidup yang “abnormal” itu, sekalipun boleh jadi dia setidaknya
merasakan sayup-sayup kehadiran sesuatu yang besar.
Hui Shih (Hui-tzu), seorang
dialektis pada masa Chuang-tzu, yang telah disebutkan sebelumnya, melontarkan
kritik terhadap Chuang-tzu – dalam salah satu anekdot mengenai “orang sofis”
yang dicatat di dalam buku Chuang-tzu – dan menyatakan bahwa pemikiran
Chuang-tzu tidak diragukan lagi “hebat”, tetapi terlalu hebat untuk
dipraktikkan dalam dunia nyata. Ia “hebat tapi lumpuh”. Menjawab ini,
Chuang-tzu menyatakan bahwa mata orang-orang yang tertutupi oleh system
nilai-nilai tradisional stereotip dan jumud tidak dapat melihat keagungan yang
sungguh-sungguh agung. Selain itu, menurutnya, sesuatu
yang “berguna” dalam pengertian sejati adalah sesuatu yang melampaui konsepsi
umum tentang “kegunaan”. Kegunaan “yang sia-sia”, keagungan “abnormal”,
singkatnya, adalah sebuah pembalikan mutlak dari tatanan nilai-nilai – inilah
yang mencirikan pandangan-dunia Manusia Sempurna.
Pertama-tama,a marilah kita
melihat bagaimana Hui-tzu melukiskan “kesia-siaan” sesuatu yang “secara
abnormal besar”.
Raja Wei suatu saat memberiku sejumlah benih labu
besar. Kutabur benih-benih itu dan akhirnya benih-benih itu menghasilkan buah.
Setiap labu cukup besar untuk memuat lima pikul. Kugunakan salah satunya untuk
membuat air dan cairan lainnya, tetapi ternyata ia terlalu berat sehingga saya
tak mampu mengangkatnya. Lalu saya memotongnya menjadi dua bagian dan kucoba
jadikan sendok besar. Namun, ia terlalu lembek dan dangkal untuk menahan cairan
apa pun.
Ia bukanlah tidak cukup besar tapi justru sangat besar
hingga mencapai tingkat yang luarbiasa besar. Namun, ia benar-benar tak
berguna. Akhirnya, kuhancurkan labu-labu itu.
Menarik untuk memerhatikan bahwa
Hui-tzu menyebut labu-labu itu besar, bahkan sangat besar. Akan tetapi,
ukurannya yang berlebihan menjadikannya tidak praktis untuk dimanfaatkan.
Dengan symbol itu, ia hendak menunjukkan bahwa kapasitas spiritual Sang Manusia
Sempurna sangatlah besar. Namun, ketika melampaui batas tertentu, kapasitas itu
praktis menjadikannya orang bodoh. Bagaimanapun, hal ini hanya memprovokasi
tanggapan tajam dari Chuang-tzu, yang menyatakan bahwa Hui-tzu tidak dapat
menemukan labu yang bermanfaat “hanya karena tidak mengetahui bagaimana
memanfaatkan sesuatu yang besar secara benar”. Dia menambahkan sebagai berikut
:
Kini kau memiliki sebuah labu yang cukup besar untuk
menampung lima picul, mengapa tidak terlintas di pikiranmu untuk menggunakannya
sebagai tong besar? Kau bisa menikmati mengambang di atas sungai dan danau,
mengapa mengkhawatirkannya terlalu dalam atau dangkal untuk memuat cairan
apapun. Terbukti sudah, sahabatku, bahwakau punya benak yang terlalu padat
dengan benih,
Situasi yang persis sama ditemukan dalam anekdot lain yang muncul
setelah anekdot di atas.
Hui-tzu pernah berkata kepada Chuang-tzu, “Aku
memiliki (dalam kebunku) sebuah pohon besar yang termasyhur dengan sebutan shu
(pohon yang bau, tidak berguna). Akarnya berkenjal-kenjal seperti kena tumor,
dan tak seorang pun yang bisa mengukurnya. Ranting-rantingnya begitu keriting
dan bengkok sehingga tak seorang pun dapat memanfaatkannya sebagai kompas atau
bujur sangkar. Bahkan, apabila saya harus memajangnya di tepi jalan raya (untuk
menjualnya), tak seorang tukang kayu pun yang akan menoleh ke arahnya. Kini,
kata-katamu juga sama, sangatlah besar tapi sia-sia. Itulah mengapa orang-orang
mengabaikannya dan tak seorang pun mau mendengarmu”>
Chuang-tzu berkata, “Kau harus memerhatikan
seekormusang, bagaimana ia menyebunyikan dirinya dengan membungkuk, dan
mengawasi binatanglinglung (misalnya ayam, tikus, dan lain-sebagainya) yang
melintas. Kadangkala, lagi-lagi, ia dengan gesit melompat ke barat dan timur,
melompat ke atas dan ke bawah tanpa ragu. Namun, pada akhirnya, ia jatuh ke
dalam sebuah perangkap atau mati dalam sebuah jarring.
Kini lihatlah lembu hitam. Dia ebsar seperti awan
raksasa yang menggantung di langit. Sungguh ia besar. Ia tidak mengetahui
bagaimana cara menangkap tikus. (Dalam pengertian ini, ia tidaklah berguna
tetapi ia tidak mati dalam sebuah perangkap atau jarring).
Kau mengatakan bahwa kau memiliki sebuah pohon besar
dan khawatir karena pohon itu tidak berguna. Baiklah kalua begitu. Mengapa kau
tidak menanamnya di Kampung Tiada-Mutlak, atau di Hutan-Luas-Tanpa-Batas,
menjalani hari-harimu dengan bermalas-malasan di sisinya tanpa mengerjakan apa
pun, dan berbaring tidur dengan lelap di bawahnya?
Maka, pohon itu tidak akan pernah mengalami kematian
premature karena ditebas sebilah kapak. Tak ada sesuatu pun di sana yang dapat
melujkainya. Jika memang tidak berguna, mengapakah ia menyebabkanmu gelisah dan
khawatir?”
Pasase yang dikutip di atas, yang
di dalamnya Chuang-tzu mengklarifikasi sikapnya terhadap jenis rasionalisme dan
utilita rianisme Hui-tzu, adalah salah satu yang terpenting bagi tujuan kita.
Karena ia berisikan, melalui bentuk simbolek, beberapa pandangan dasar
Chuang-tzu. Pandangan-pandangan itu sangat berkaitan satus ama lain sehingga
sangat sulit membicarakan sem,ua itu secara terpisah. Selain itu, beberapa di
antaranya telah di bahas secara terperinci terkait dengan persoalan lain,
sedangkan yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak, dihubungkan dengan
apa=apa yang telah disebutkan pada bab-abab terdahulu. Untuk mudahnya, saya
akan mengkalsifikasikan semua itu dalam empat pokok, dan membahasnya secara
ringkas satu per satu dari sudut pandangn khas bab ini. Keempat pokok itu
adalah : (1) gambaran wilayah asing dan fantastic yang didesain dengan ungkapan
seperti Kampung-Tiada-Mutlak dan Hutan-Luas-Tanpa-Batas (2). Ide tentang
menyia-nyiakan usia seseorang; (3) “kebesaran abdnormal”; dan (4) ide tentang
pengembaraan bebas.
(1) Dua ekspresi tersebut :
Kampung-Tiada-Mutlak dan Hutan-Luas-Tanpa-Batas sangatlah khas antropologi
filosofis Chuang-tzu. Keduanya menggambarkan secara simbolik kondisi spiritual,
yang did alamnya Sang Manusia Sempurna menemukan kebebasan dan ketenangannya
yang mutlak. Pada pasase lain, Chuang-tzu memberi kita petunjuk – lagi-lagi
scara simbolik – lewat mulut seorang Manusia Sempurna rekaan mengenai apa yang
dimaksudkan dengan terminology-termonologi tersebut,
Aku hendak menyatukan diriku dengan Sang Pencipta
Sendiri. Namun, ketika bosan dengan hal itu, segera saja saya menaiki
Burung-Kehampaan-Murni dan berkelana menembus batas-batas enam arah (Alam
Semesta).
Di sana, saya akan menuju ke dalam lubuk hatiku di
Kampung-Tiada-Mutlak dan hidup sendiri di Hutan-Luas-Tanpa-Batas.
Dalam sorotan dari apa yang telah
kiita ketahui mengenai pandangan-pandangan utama Chuang-tzu,
Kampung-Tiada-Mutlak atau Hutan-Luas-Tanpa-Batas pastinya merujuk kepada
keadaan spiritual Ketiadaan atau Hampa, di dalamnya Sang Manusia Sempurna
mendapati dirinya berada pada momen-momen pengalaman ekstatik. Pada tahap
tertinggi keadaan-dalam-perikelupaan, benak Sang Manusia Sempurna berada pada
kekosongan yang khas. Semua jejak benda-benda fenomenal terhapus bersihd ari
kesadarannya; bahkan kesadaran itu sendiri telah terhapuskan. Di sini, tidak
ada perbedaan antara “subjek” dan “objek”. Sebab baik benak maupun benda-benda
itu benar-benar menghilang. Dia kini adalah penghuni wilayah metafisik yang
aneh, “luas tanpa batas” dan “mutlak tiada”.
Namun demikian, ini baru separo
jalan menjadi penghuni Kampung-Tiada-Mutlak dan Hutan-Luas-Tanpa-Batas. Pada
paro lainnya pengalaman ini, realitas dunia fenomenal mulai tersingkap di depan
mata spiritualnya yang telah mengalami transformasi. Segala sesuatu yang telah
terhapus dari kesadarannya – termasuk kesadarannya sendiri – kembali kepadanya
dalam bentuk yang sama sekali baru. Terlahir kembali pada tingkat eksistensi
yang baru, dia kini berada dalam posisi yang mampu mengarahkan pandangan yang
luas dan tak terhalang terhadap seluruh alam Wujud, sebgaimana dia berdetak
Bersama kehidupan abadi, di dalamnya keberagaman yang tak terhingga dating dan
pergi, muncul dan menghilang setiap saat. Kita telah mengetahui bahwa aspek
Manusia Sempurna ini, yakni, eksistensinya sebagai penghuni wilayah Ketiadaan
dan Tanpa Batas, telah dibahas Chuyang-tzu dalam sebuah cara yang lebih
filosofis sebagai persoalan Transmutasi segala sesuatu.
Setelah benar-benar dekat dengan yang tak memiliki
kepalsuan (Realitas sejati, Jalan), dia tidak bergeser-geser. Dia memandang
Transmutasi universal segala sesuatusebagai (manifestasi langsung) Perintah
Langit, dan tetap merapat kepada (yakni, menjaga mata hatinya tetap focus pada)
Sumber Agungnya.
(2) Pandangan tentang
menyia-nyiakan waktu sangatlah dekat dengan pandangan mengenai kehidupan dalam
wilayah Kehampaan dan Tanpa Batas. Sebab, Sang Manusia Sempurna tidaklah dapat
menjadi penghuni sebuah negeri kecuali dia menyia-nyiakan waktunya, tidak
melakukan sesuatu pun, dan menikmati waktu demi waktu dalam tidur yang nyenyak.
“Menjadi sia-sia (pasif)” adalah suatu cara simbolik untuk mengekspresikan
pandangan dasar tentang Tanpa-Berbuat. Prinsip Tanpa-Berbuat yang, kita lihat
sebelumnya merepresentasikan, bagi Lou-tzu dan Chuang-tzu, modus tertinggi
eksistensi manusia di dunia ini mensyaratkan Sang Manusia Sempurna untuk “hidup
alamiah” dan menjalani segala sesuatu dalam kondisinya yang alamiah serta
membiarkan mereka seperti apa adanya. Dia tidak mengintervensi nasib apa pun.
Inilah “pengabaian” Manusia Sempurna terhadap sepuluh ribu hal, yang
mengenainya telah dijelaskan sebelumnya.
Tetapi, “pengabaian” dalam
persoalan ini tidaklah berate ketidak-pedulian atau kebodohan. Justru
sebaliknya, segala sesuatu, sebagaimana mereka dating dan pergi, secara akurat
direfleksikan dalam benak. Manusia Sempurna yang “hampa”. Benaknya dalam
pengertian itu dapat diumpamakan sebuha cermin tanpa noda. Cermin yang
cemerlang akan merefleksikan setiap objek, sepanjang objek itu berada di
hadapan cermin. Namun, jika objek itu pergi, cemin tidak berupaya menangkapnya,
dan tidak juga cermin secara khusus menyambut objek baru yang muncul. Dengan
demikian, benak Manusia Sempurna memiliki gambaran paling jelas dari segala
sesuatu tetapi tidak dibuat gelisah olehnya.
(Manusia Sempurna) bukanlah satu-satunya pemilik kemasyhuran,
(tetapi membiarkan setiap sesuatu memiliki kemasyhurannya masing-masing). Dia
tidak memonopoli rencana (tetapi membiarkan setiap sesuatu membuat rencana
masing-masing). Dia tidak menerima tanggung-jawab atas segala sesuatu (tetapi
membiarkan setiap sesuatu menerima tanggung jawab masing-masing). Dia bukanlah
satu-satunya yang memiliki kebijaksanaan (tetapi membiarkan setiap sesuatu
mengimplementasikan kebijaksanaan masing-masing). Dia benar-benar menyatu
dengan yang tak terbatas (yakni aktivitas Jalan yang tak terbatas), dan
mengembara menuju lubuk hatinya di dalam Negeri-Tanpa-Jejak (yakni wilayah
kehampaan).
Dia memanfaatkan semaksimal mungkin apa yang diterimanya dari
Langit tetapi tidak bermaksud mendapatkan sesuatu. Dia adalah “hampa” – Itulah
dia.
“Manusia puncak” membuat benaknya bekerja seperti halnya sebuah
cermin (tak bernoda). Dia tidak mengejar sesuatu. Tidak pula dia menanti
sesuatu. Dia hanya merespon dan merefleksikan (apa pun yang datang kepadanya).
Namun, dia tidak menyimpan sesuatu pun. Inilah mengapa dia dia mampu
mengungguli segala sesuatu dan tidak terluka oleh apa pun. Saya mendengar bahwa
debu tak akan mampu hinggap pada permukaan sebuah cermin yang cemerlang;
(inilah yang hendak diaktakan) jika debu mampu hinggap pada sebuah cermin,
(kita percaya bahwa) ia bukanlah cermin yang cemerlang.
Dengan
demikian, Manusia Sempurna tidak melakukan sesuatu pun – yakni, dengan maksud
melakukan sesuatu. Saat seorang manusia
melakukan sesuatu, kesadarannya untuk
melakukan hal itu menyebabkan perbuatannya “tidak alamiah”. Sebaliknya,
Manusia Sempurna menyerahkan segala sesuatu, baik dirinya maupun semua objek
lainnya, kepada karakteristik mereka masing-masing. Inilah makna istilah Tanpa
Berbuat (wu wei). Karena tidak melakukan apa pun, maka dia tidak membiarkan
sesuatu pun tak terselesaikan. Melalui kebajikan Tidak Berbuat ini, dia
hakikatnya melakukan segala sesuatu. Sebab dalam kondisi seperti itu,
keberadaannya identik dengan Alam, sementara Alam menyelesaikan segala sesuatu
tanpa memaksakan apa pun.
(3) “Kebebasan abnormal” Manusia Sempurna
menghasilkan sejumlah simbol yang luar biasa dalam buku Chuang-tzu. Kita telah
melihat sebagian di antaranya : labu yang terlalu besar untuk dimanfaatkan,
pohon-shu besar yang tak bermanfaat di kebun Hui-tzu, lembu hitam yang
berbaring di padang rumput dan tidak melakukan apa pun, bahkan tidak mampu
menangkap seekor tikus sekali pun. Hal tersebut merupakan simbol-simbol yang
relatif sederhana; semua itu adalah benda-benda berukuran sedang dibanding
dengan hal-hal lain yang kita temukan dalam Buku yang sama. Sebagai contoh
simbol-simbol fantastik, kami dapat menyebutkan kisah termasyhur tentang mitos
seekor burung raksasa yang terdapat pada halaman pertama Chuang-tzu.
Dalam kegelapan samudera utara yang misterius (yakni batas bumi
bagian utara), hiduplah seekor ikan yang bernama K’un. Ukurannya begitu besar
sehingga tak seorang pun tahu berapa ribu mil ukurannya.
(Ketika, akhirnya, masa transformasi tiba) Ikan tersebut
bertransformasi menjadi seekor Burung yang dikenal dengan P’eng. Punggung P’eng
begitu besar sehingga tak seorang pun
tahu berapa ribu mil ukurannya.
Kini burung itu tiba-tiba mendorong tubuhnya dan terbang.
Perhatikan, sayapnya bak awan raksasa yang menggantung di angkasa. Ketika
samudera mula bergolak (dengan badai angin yang kuat), Burung itu bermaksud
melakukan perjalanan menuju kegelapan samudera selatan yang misterius. Samudera
bagian selatan adalah Danau Surga.
Pada kenyataannya, di dalam Buku berjudul Ch’i Hsieh, yang
mencatat perisitiwa-perstiwa dan hal-hal aneh, kami mendapati paparan berikut
(tentang Burung tersebut) : Ketika bersiap menuju kegelapan Samudera selatan
yang misterius, P’eng mulai dengan sayapnya, menghantam permukaan air hingga
tiga ribu mil. Maka ia terbang bersama topan hingga mencapai ketinggian
sembilan belas ribu mil. Ia tetap terbang selama enam bulan sebelum
beristirahat.
Hal
ini langsung diikuti dengan sebuah paparan utama tentang kesan yang tampaknya
diterima Burung tersebut ketika melihat bumi kita dari ketinggian sembilan
belas ribu mil. Burung itu telah melintasi wilayah yang sangta jauh dari alam
“duniawi”, tempat segala macam kepentingan material dan hasrat yang berlimpah
meluap-luap dalam sebuah kekacauan yang tiada henti. Hal ini tidaklah berarti
bahwa Burung tersebut tidak menyaksikan dunia vulgar yang “kotor”. Dunia
“kotor” tetap ada, di bawah Burung tersebut. satu-satunya perbedaan adalah
bahwa dunia yang terlihat dari ketinggian itu tampak di mata Burung tersebut
sebagai sesuatu yang indah, sangat indah – ungkapan simbolik lainnya bagi cara
berpikir Manusia Sempurna yang mencerminkan segala sesuatu pada permukaannya
yang tanpa noda.
Chuang-tzu
membawa diskripsi perjalanan Burung itu hingga akhir dengan kembali lagi kepada
pandangan “besarnya” Burung itu yang mengakibatkan “besarnya” situasi yang
melingkupinya. Berkat daya tulisannya, Burung itu sekarang hidup dalam
imajinasi kita sebagai simbol yang cerdas bagi Manusia Sempurna yang, dengan
melampaui keremehan dan kekerdilan eksistensi manusia, bebas berkelana dalam
Keabadian dan Ketiadaan “hampa”.
(Mengapa Burung itu terbang hingga ketinggian semacam itu?) Jika
jumlahnya tidak cukup banyak, air tidak akan memiliki kekuatan untuk melayarkan
sebuah kapal besar. Jika engkau menuangkan segelas air ke dalam sebuah lubang
di atas tanah, butiran-butiran debu akan mudah mengapung di atasnya bagaikan
kapal. Namun, apabila engkau tempatkan sebuah gelas di sana, ia akan tetap
melekat pada tanah karena airnya terlalu dangkal sementara “kapalnya” terlalu
besar.
(Demikian juga) jika akumulasinya tidak cukup kencang, angin
tidaklah mampu menerbangkan sayap-sayap yang besar. Namun, pada ketinggian
sembilan beals ribu mil, angin (yang demikian kencang) berada di bawah Burung
tersebut. hanya pada kondisi seperti itulah, ia dapat menunggangi angin dan
melintasi langit biru, tanpa ada sesuatu pun yang menghambat penerbangannya.
Kini ia telah berada pada posisi untuk melakukan perjalanan menuju selatan.
Di
sini, Manusia Sempurna digambarkan sebagai seekor Burung raksasa, yang terbang
jauh di atas dunia rasional. Burung tersebut “besar” dan keseluruhan situasi,
yang di dalamnya ia bergerak, tentu juga “besar”. Namun, “besaran” Manusia
Sempurna yang luarbiasa ini menjadikannya benar-benar membingungkan, atau
bahkan absurd, di mata manusia pada umumnya, yang tidak memiliki tolok ukur
penilaian lain selain akal sehat. Di atas, kita telah memerhatikan bagaimana
Lou-tzu, dalam kaitannya dengan “abnormalitas” Jalan, membuat pernyataan yang
paradoks bahwa Jalan, jika tidak ditertawakan orang-orang “berderajat rendah”,
tidaklah pantas dipandang sebagai Jalan. Kenyataannya, Burung P’eng besar luar
biasa. Chuang-tzu menyimbolkan manusia-manusia “berderajat rendah” yang
menertawakan “besarnya” Manusia Sempurna dengan seekor jangkrik dan merpati kecil.
Seekor Jangkrik dan merpati kecil dengan menghinakan tertawa
pada Burung tersebut dan berkata, “jika mengumpulkan semua energi untuk
terbang, kami mampu mencapai sebuah pohon elm dan sapanwood. Namun (dalam
terbang seperti itu) kami kadang kala tidak berhasil dan jatuh ke tanah.
(Mungkin dalam skala kecil, tetapi penerbangan kami tetaplah juga penerbangan).
Mengapa begitu penting bahwa (Burung tersebut) harus naik sembilan belas ribu
mil untuk melakukan perjalanan ke selatan?
Seseorang yang pergi piknik ke daerah dekat padang rumput akan
membawa makanan yang cukup untuk tiga kali makan; dan akan kembali (sore hari)
dengan perut yang masih kenyang. Namun, yang melakukan perjalanan ke tempat
yang jauhnya seratus mil, akan menggiling padi malam sebelumnya sebagai
persiapan. Lalu, dia yang melakukan perjalanan seribu mil akan mulai
mengumpulkan bekal tiga bulan sebelumnya.
Apa yang diketahui dua makhluk tersebut (jangkrik dan merpati
kecil) tetnang (situasi hakikat dari Burung tersebut)? Mereka yang hanya memiliki
kebijaksanaan kerdil tidak mampu memahami pikiran mereka yang mempunyai
Kebijaksanaan nan Agung.
Paparan
tentang perjalanan imajinatif Burung P’eng melintasi dunia ini merupakan salah
satu kisah termasyhur. Adalah penting bahwa bagian tersebut benar-benar
diletakkan pada awal keseluruhan buku Chuang-tzu. Para pembaca awam yang
pertama kali menghampiri buku ini akan mudah dikejutkan dengan simbol-simbol
sangat tidak biasa yang membentu kisah tersebut, dan akan digiring ke dalam
kebingungan sehingga tidak mengetahui bagaimana menafsirkan keseluruhannya.
Namun, dengan kebingungan tersebut, dia akan langsung diarahkan kepada suasana
metopoik (sarat mitos) yang aneh, menyantirkan apa yang bisa kita sebut sebagai
modus berpikir shamanik. Bagaimanapun, tidak seperti penglihatan shaman dari
jenis umum, sebuah suasana kedamaian, kemurnian, dan ketenangan yang tidak
biasa mendomonasi gambaranperjalanan Burung tersebut. Hal ini merupakan sebuah
refleksi dari kondisi bati Manusia Sempurna yang tidak lagi semata-mata
“shaman” tetapi, lebih tepatnya, “filosof” besar dalam pengertian orisinal
Yunani kuno dari kata tersebut.
Terlepas
dari itu semua, ini mungkin merupakan gaya Chuang-tzu yang kuat dan dinamis
serta imajinasi kreatifnya yang telah berhasil melahirkan simbol yang
menakjubkan bagi “keagungan” spiritual Manusai Sempurna.
(4).
Mengenai pandangan pengembaraan bebas, masih terpapar hal kecil perlu
dikatakan. Pasalnya, paparan terdahulu tentang perjalanan Burung itu sendiri
adalah sesuatu yang luarbiasa ihwal “pengembaraan bebas” seperti juga (paparan hebat) tentang “keagungan” Manusia
Sempurna.
“Pengembaraan
bebas” adalah sebuah ekspresi simbolik bagi kebebasan mutlak yang dinikmati
Manusia Sempurna pada setiap saat dari eksistensinya. Apa yang dimaksud dengan
“kebebasan mutlak” harusnya, sejak awal, begitu jelas untuk dijelaskan lebih
lanjut. Manusia Sempurna mutlak bebas karena tidak bergantung kepada apa pun.
Dia tidak bergantung kepada apa pun karena benar-benar telah menyatu dengan
Jalan, tidak terdapat pertentangan di antara apa yang dia lakukan dengan apa
yang diperbuat Langit-dan Bumi. Pada bagian berikut, Chuang-tzu, dari sudut
pandangan “kebergantungan” dan “ketidakbergantungan”, membagi manusia ke dalam
empat kategori utama. Pertama adalah manusia dengan “kebijaksanaan yang kecil”,
yang kedua adalah manusia dengan “kebijaksanaan rata-rata”, yang
direpresentasikan Sung Jung-tzu; yang ketiga adalah manusia dengan
“kebijaksanaan agung”, yang masih, dalam kadar tertentu, memiliki cacat di
dalam kesempurnaan spiritualnya, yang direpresentasikan pemikir Tao termasyhur,
Lieh-tzu; yang keemepat dan yang terakhir adalah manusia dengan kesempurnaan
puncak, yakni Manusia Sempurna sejati.
Inilah seorang manusia yang kebijaksanaannya cukup baik untuk
menjadikannya pantas memenangkan sebuah posisi resmi, yang perilakunya cukup
baik untuk menghasilkan harmoni did alam sebuah wilayah, yang moralitasnya
cukup baik untuk menjadikannya patut dalam mengatur satu negara. Manusia
seperti itu melihat dirinya sendiri dengan kebanggaan-diri persis seperti
(makhluk-makhluk kecil yang telah disebutkan).
Sung Jung-tzu pastinya akan menertawakan manusia seperti itu.
Sung adalah jenis manusia yang, sekalipun seluruh dunia memujinya, tidak akan
terstimulasi untuk meningkatkan kekuatan (moral) yang biasa, dan, sekalipun
seluruh dunia mempersalahkannya, tidak akan terpengaruh dan tersakiti.
Hal ini karena dia menetapkan garis demarkasi jelas antara yang
internal dan eksternal. Dengan begitu, dia benar-benar menyadari batas-batas
kejayaan dan kesedihan yang sejati. Hal ini membuatnya sangat tak acuh dengan
kepentingan-kepentingan remeh dunia. namun demikian, dia belumlah stabil (yakni
benar-benar independen).
Kemudian datanglah Lieh-tzu. Dia mengendarai angin dan
mengembara dengan kecerdasan menakjubkan. Dia biasanya kembali ke bumi setelah
lima belas hari (dari perjalanan berkelanjutan). Dia sama sekali tidak tertarik
untuk meraih kebahagiaan. Selain itu, (kemampuannya untuk terbang)
menghidnarinya dari kesulitan berjalan kaki. Namun, masih saja dia harus
bergantung kepada sesuatu (yakni angin).
Bagi manusia (yang bebas dan independen secara mutlak) yang
mendaki jalan alamiah Langit dan Bumi, berkehendak mengendalikan enam bentuk
dasar Alam, dan bebas mengembara melalui dunia Tanpa Batas – kepada apakah dia
mesti bergantung?
Maka dikatakan : Manusia Tertinggi tidaklah memiliki ego (dan
karena tidak berego, dia mengadaptasikan dirinya kepada segala sesuatu dan
peristiwa dengan fleksibilitas tanpa batas). Manusia Ilahi tidaklah memiliki
nilai (karena dia melakukan tanpa maksud). Manusia Suci tidaklah memiliki
ketenaran (karena dia mengatasi segala nilai duniawi).
Kelas
terakhir dari (kategori) manusia-manusia yang digambarkan di atas adalah Sang
Manusia Sempurna. “Pengembaraan bebas” tidak
lain adalah sebuah ekspresi simbolik bagi independensi spiritual mutlak
yang menjadi karakteristik modus eksistensinya di dunia ini. Dia merujuk kepada
Kebebasan mutlaknya, keberadaannya yang tidak terpenjara di dalam satu ruang,
dan keberadaannya yang tidak terikat kepada sesuatu yang khusus. Ekspresi
tersebut juga menarik dalam hal bahwa ia mengindikasikan bentuk rasional
Manusia Sempurna versi Tao sebagai seorang shaman yang dalam kondisi ekstattik,
terbiasa melakukan sebuah perjalanan mitopoeik mengitari alam semesta tanpa
batas secara bebas, tanpa terhambat oleh penjara tubuh materialnya. Bagian
pertama buku Chuang-tzu berjudul “Pengembaraan Bebas”. Saya berpikir bahwa
bukanlah kebetulan semata jika sebuah magnum opus puisi shamanik, Yuan Yu
(“Mengembara jauh”), yang ditemukan dalam Elegies of Ch’u, menyiratkan kesamaan
dengan bagian mitopoeik pandangan-dunia Taoisme. Baik Manusia Sempurna versi
Tao maupun Shaman sgung versi Ch’u mendaki awan-awan, mengendarai Naga Terbang,
dan berkelana jauh melampaui empat lautan. [][][][][][][][]]][][][]
11. MANUSIA SEMPURNA
Sebagian
besar gambaran karekteristik Manusia Sempurna telah disebutkan, baik secara
eksplisit maupun implisit, pada bab-bab terdahulu. Beberapa di antaranya telah
dibahas secara lengkap, sementara yang lainnya telah disinggung secara ringkas.
Selain itu, kami juga telah berkali-kali menunjukkan bahwa Manusia Sempurna,
seperti yang dipahami Lou-tzu dan Chuang-tzu, tidak lain adalah personifikasi
Jalan itu sendiri. Manusia Sempurna menjadi “sempurna” lantaran benar-benar
menjadi Imago (citra) personal dari Jalan. Dalam pengertian ini, dengan
menjelaskan sifat dan aktivitas Jalan, bisa dikatakan kita telah menjelaskan
Manusia Sempurna. Jadi, dari sudut tertentu, semua bab terdahulu dapat
dipandang sebagai penjelasan yang mencirikan profil Manusia Sempurna. Kita
telah demikian akrab dengan konsep Taois ihwal Manusia Sempurna. Karena itu,
bab ini hanya akan mengambil bentuk rekapitulasi sistematis tentang apa yang
telah dibahas dalam alur buku ini perihal Manusia Sempurna.
Mari
kita mulai dengan mengulang pengamatan paling dasar konsep Manusia Sempurna,
yaitu bahwa di adalah seorang manusia yang secara paripurna menyatu dan melebur
dengan Jalan. Bila seorang manusia, dalam perjalanan disiplin spiritualnya mencapai
tahap puncak Pencerahan – suatu tahap yang di dalamnya tidak tersisa lagi jejak
“egonya”, dan, karena itu, tidak ada pertentangan antara “dirinya” dan Jalan –
maka ia menandai kelahiran Manusia Sempurna. Lou-tzu menyebut tahap ini sebagai
“mendekap Sang Esa”.
“Manusia Suci mendekap Sang Esa, oleh karena itu, menjadi model
segala sesuatu yang ada di bawah Langit.
Dengan mengendalikan jiwa labilnya, (Manusia Sempurna) mendekap
Sang Esa dalam pelukannya dan tidak pernah terpisahkan darinya.
Klausa
pembuka kutipan kedua tersebut menarik karena bersitan shamaninya. Pada zaman
Cina kuno, hal yang sepadan dengan soul (“jiwa”) dalam bahasa Inggris (psyche –
dalam Yunani kuno) memiliki dua substansi terpisah, yaitu hun dan po. Dengan
kata lain, kita dapat mengatakan bahwa manusia
dipercaya memiliki dua jiwa. Hal pertama adalah jiwa superior atau jiwa
spiritual, landasan fungsi-fungsi mental dan spiritual. Hal kedua adalah jiwa
inferior atau jiwa yang bersifat fisik (atau kebinatangan), menyangkut
fungsi-fungsi tubuh dan material. Ketika seorang manusia mati, hun
diyakini naik ke Langit dan p’o terbenam dalam bumi. Terkait frase ying p’o, di
sini diterjemahkan sebagai “jiwa (fisik) yang labil”, adalah penting bahwa
kombinasi yang persis sama ditemukan dalam puisi shaman terkenal “Mengembara
Jauh” (Yuan Yu) dan Elegies of Ch’u :
Dengan mengendalikan jiwa labilku, saya mendaki ketinggian yang
berkabut.
Dan dengan mengendari awan-awan yang menggantung, saya mendaki
lebih tinggi lagi.
Namun
tentu saja, Manusia Sempurna mengetahui bagaimana mengendalikan jiwa labilnya
dengan berada pada “kondisi-dalam-perikelupaan” sehingga mampu mendaki
ketinggian Harmoni dan mendekap yang Esa, tidak pernah melepaskannya.
Manusia
Sempurna tidak lagi terganggu oleh kekhawatiran jiwanya. Sebaliknya, dia selalu
menjaga jiwanya tetap tenang.
Apa yang kumaksud dengan “Manusia Sejati”? (Aku memikirkan)
“manusia sejati” dari amsa lalu. Maka tidak pernah menentang kemalangan (nasib
buruk). Mereka pun tidak angkuh dalam kemakmuran. Mereka tidak membuat rencana
matang dengan maksud menyelesaikan segala sesuatu.
Orang seperti itu tidak menyesal meskipun mungkin melakukan
suatu kesalahan, tidak jatuh ke dalam kepuasan-diri walau pun mungkin menemukan
keberhasilan.
Manusia seperti itu tidak takut sekalipun menaiki tempat
tertinggi. Dia tidak basah sekalipun melalui air. Dia tidak terbakar sekalipun
melalui api.
Semua ini adalah hasil Kebijaksanaan (sejati) yang telah
mencapai titik puncak kesempurnaan dalam (penyatuan dengan) Jalan.
Prinsip
Taois mengenai “Ketidakbergantungan” dilukiskan dengan sangat baik melalui
perilaku Manusia Sempurna terhadap Hidup dan Matinya sendiri. Persoalan ini
telah dibahas secara lengkap dalam konteks-konteks sebelumnya. Di sini, kami
cukup memberikan satu pasase terjemahan tambahan, yang tampaknya memaparkan
sebuah kesimpulan yang baik dari seluruh argumen mengenai pandangan ini.
“Manusia sejati” dari masa terdahulu tidak mengetahui apa pun
tentang mencintai Hidup dan membenci Mati. Mereka datang (ke dunia ini) tanpa
kenikmatan khusus apa pun. Mereka pergi (mati) tanpa perlawanan apa pun. Dengan
tenang mereka datang, dengan damai mereka pergi. Mereka tidak melupakan
bagaimana mereka mulai ada (bahwa permulaan Hidup mereka ada berkat proses
alamiah Jalan). Mereka juga tidak mengkhawatirkan akhir eksistensi mereka.
Mereka begitu saja menerima (Kehidupan) dan mereka bahagia
(untuk menjalani Kehidupan itu). Dan (ketika Kematian datang) mereka mudah saja
menyerahkan (Kehidupan mereka) dan melupakannya.
Inilah yang saya sebut sebagai : Tidak menentang proses Jalan
dengan menggunakan Nalar, dan tidak mengintervensi apa yang Langit perbuat
dengan melakukan (upaya-upaya) manusia (yang remeh).
Seperti itulah sang “manusia sejati”.
Kondisi
internal seperti itu pastilah berdampak pada kondisi-kondisi fisik Manusia
Sempurna. Benaknya yang tenang terpantulkan dengan cara yang sangat khas, yang
di dalamnya fungsi-fungsi tubuhnya dijalankan. Manusia Sempurna bereda dengan
orang-orang pada umumnya bukan hanya dalam tingkatan spiritual, tetapi juga
dalam bangunan fisiknya.
“Manusia sejati” dari masa terdahulu tidak bermimpi ketika
tidur. Mereka tidak merasakan kemarahan ketika bangun. Mereka tidak menikmati
makanan secara khusus ketika makan.
Napas mereka tenang dan dalam. Mereka selalu bernapas dengan
tumit-tumit mereka. Manusia biasa, sebaliknya, bernapas dengan kerongkongan
mereka (pernapasan mereka dangkal). Engkau mengetahui bahwa mereka yang
tersudutkan dalam argumen – dengan putus asa mereka berusaha memuntahkan
kata-kata yang melekat pada kerongkongan mereka. (Dibanding dengan bagaimana
Manusia Sempurna bernapas, bernapasnya manusia biasa adalah seperti itu) (Hal
ini karena, pada kenyataannya, tidak seperti Manusia Sempurna yang tidak
memiliki hasrat, manusia biasa) tenggelam dalam hasrat-hasrat mereka dan
dangkal dalam kelengkapan spiritual alamiah mereka.
Manusia biasa di sini dicirikan sebagai “yang tenggelam
dalam hasrat-hasrat mereka” dan “dangkal dalam perlengkapan alamiah mereka”.
Dalam pengertian ini, mereka benar-benar mewakili lawan dari apa yang Lou-tzu
tekankan sebagai modus eksistensi manusia yang ideal versi Taois :
“Tidak-ada-kebijaksanaan dan tidak ada hasrat” (wu-chih wu-yu). “Kebijaksanaan”
di sini berarti penggunaan Nalar.
Kita
telah mengetahui bahwa menyucikan Pikiran dan hasrat-hasrat fisik dan materi
dengan “menutup semua yang terbuka dan semua pintu” adalah langkah pertama yang
niscaya untuk menuju aktualitas ide tentang Manusia Sempurna.
Lima warna membuat manusia buta. Lima nada musik membuat manusia
tuli. Lima rasa menghilangkan selera manusia. (Permainan-permainan seperti)
perlombaan dan perburuan menjadikan pikiran manusia gila. Barang-barang yang
sulit diperoleh merintangi perilaku waras manusia.
Maka, “manusia suci” memusatkan perhatian pada hati (berusaha
untuk mengembangkan pusat internal eksistensinya) dan tidak memedulikan mata
(tidak mengikuti keinginan pancaindranya). Dengan begitu, dia mengabaikan yang
terakhir dan memilih yang pertama.
Kita
telah menyaksikan bagaimana, dalam pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, Nalar
merintangi aktivitas bebas Alam. Nalar dalam
bentuknya yang paling rendah adalah akal sehat yang “waras” atau “normal”. Gaya
hidup orang awam menentang proses alamiah segala sesuatu karena mereka berada
dalam kendali Nalar dan akal sehat.
Hasrat tak terbatas dan Nalar argumentatif membentuk inti
“ego”. Setelah terbentuk, “ego” akan tumbuh lebih kuat hingga mendominasi
keseluruhan eksistensi manusia : semua tindakan (manusia itu) diarahkan
olehnya, dan semua perasaan, emosi, dan pemikiran ditundukkan di bawah
perintahnya yang mutlak. Inilah mengapa bagitu sulit bagi seorang manusia biasa
untuk “meniadakan dirinya sendiri.”
Nalar
membuat manusia “jumud” dan “canggung”. Hasrat mendorongnya secara paksa untuk
menentang kondisi-kondisi yang secara alamiah terbentuk dan untuk berkeinginan
memburu objek-objek hasrat tersebut. ini merupakan kebalikan langsung dari
cita-tica Taois untuk menyelaraskan diri dengan proses alamiah segala sesuatu,
tanpa benalar dan berhasrat pada apapun. Dengan begitu, dia benar-benar menyatu
dengan Alam. Lou-tzu menemukan “bayi” sebagai simbol yang cocok untuk
cita-citanya.
Orang yang di dalam dirinya memiliki limpahan Kebajikan bisa
dibanding dengan bayi.
Serangga-serangga beracun tidak berani menyengatnya. Hewan-hewan
buas tidak berani memangsanya. Burung-burung pemangsa tidak berani menerkamnya.
Tulang-tulangnya rapuh dan otot-ototnya lembek, tetapi
genggamannya kuat. Dia belum mengetahui penyatuan pria dan perempuan, tetapi
seluruh tubuhnya penuh energi. Hal ini karena aktivitasnya berada pada posisi
yang tinggi.
Dia meraung dan menangis sepanjang hari, tetapi tidak menjadi
parau. Hal ini karena harmoni alamiah di dalamnya berada pada posisi tinggi.
Mengetahui harmoni alamiah berarti mesti (menjadi satu dengan)
Realitas abadi (ch’ang). Dan Mengetahui Realitas abadi berarti menjadi
tercerahkan (ming).
Dengan
demikian, bayi secara “alamiah” berada pada tahap pencerahan karena secara
“alamiah” satu dengan Jalan. Sementara itu, “kelemahan” dan “kelembutan” bayi
adalah gambaran hidup dari aktivitas kreatif Jalan yang selalu supel, lembut,
dan luwe. Dialah simbol dari kehidupan sejati.
Manusia, saat lahir, bersifat lembut dan lemah. Tetapi, pada
saat mati, dia bersifat keras dan kaku.
Sepuluh ribu hal, rumput dan pohon, Lembut dan rapuh saat hidup,
sedangkan saat mati, mereka kering dan kaku.
Jadi, keras dan kaku adalah sahabat Kematian, sementara
kelembutan dan kelemahan adalah sahabat Kehidupan.
Maka, pasukan yang terlalu perkasa cenderung kalah dalam
pertempuran, dan sebuah pohon yang terlalu kaku sangat mudah tumbang.
Yang kuat dan kuasa akhirnya diruntuhkan, sementara yang lembut
dan lemah, akhirnya menggapai tempat-tempat tinggi.
Pasase berikut ini
luarbiasa karena mengumpulkan sebagian besar simbol favorit Lou-tzu yang
menunjukkan “fleksibilitas”, “kelembutan”, “rendah hati”, “sederhana”, atau
pendek kata, kebajikan Negativitas.
Da yang mengetahui “pria” tetapi tetap pada peran “perempuan”
akan menjadi “telaga” seluruh dunia.
Dan ketika dia menjadi “telaga” seluruh dunia, maka Kebajikan
abadi tidak pernah akan mengabaikannya. Dan dia akan kembali kepada keadaan
“bayi”.
Dia yang mengetahui “putih” tetapi tetap pada peran “hitam” akan
menjadi model bagi seluruh yang berada di bawah Langit.
Dan ketika dia menjadi model bagi seluruh yang berada di bawah
Langit, maka Kebajikan abadi tidak akan pernah mengecewakannya. Dan dia akan
kembali lagi kepada Ketakterbatasan.
Dia yang mengetahui “keagungan” tetapi tetap pada peran
“kehinaan” akan menjadi “lembah” bagi semua yang ada di bawah Langit.
Dan ketika dia menjadi “lembah” bagi semua yang ada di bawah
Langit, maka Kebajikan akan menjadi sempurna. Dan dia akan kembali lagi kepada
keadaan “kayu yang belum terpotong”.
“Kayu yang belum terpotong” (dalam “kesederhanannya”, secara
potensial, mengandung segala jenis perkakas); ketika terpotong, ia menjadi
baragam jenis perkakas. Demikian jgua “manusia suci”, dengan mempraktikkannya
(yakni, kebajikan “kayu yang belum terpotong”), menjadi Tuan bagi seluruh
penguasa. Potongan yang terbaik adalah yang tak terpotong”.
Istilah
kunci paling penting dalam medan semantik khas Negativitas adalah wu wei,
“Tidak berbuat” (Tanpa berbuat), yang telah kita jumpai beberapa kali pada
bab-abab seblumnya. Makna paling esensial dari Tidak-Beruat adalah pengingkaran
terhadap segala “maksud”, segala upaya mengada-ada (atau tidak alamiah), dari
sisi manusia. Sementara itu, Manusia Sempurna memeliki kapasitas untuk
mempertahankan prinsip ini secara konstan dan konsisten lantara dia tidak
memiliki “ego”, lantaran dia telah “menghapuskan” dirinya. Maka “penghapusan”
ego” sebagai subjek segala hasrat dan tindakan sengaja, pada saat yang sama,
berimplikasi pada pembentukan Ego baru – Ego Kosmik – yang benar-benar selaras
dengan Jalan dalam aktivitas kreatifnya.
Langit terus langgeng dan Bumi terus bertahan. Alasan Langit dan
Bumi terus Langgeng dan terus bertahan adalah akrena mereka tidak berjuang
untuk meneruskan hidup. Dengan demikian, mereka mampu menjadi kekal. Berkaitan
dengan ini, “manusia suci” menempatkan dirinya di belakang, dan (persis karena
dia menempatkan dirinya di belakang) dia sampai (secara alamiah) ke depan. Dia
tetap berada di luar dan, karena itu, dia selalu ada. Bukankah karena tidak
memiliki “diri” (yakni ego kecil) dia mampu membentuk “Dirinya”?
Jadi,
dalam segala hal, Manusia Sempurna merupakan citra Sempurna Langit dan Bumi,
yakni, Jalan sebagaimana ia memanifestasikan dirinya sebagai alam Wujud.
Manusia Sempurna mewujud melalui prinsip yang persis sama dengan Langit dan
Bumi. Prinsip universal itu, baik bagi Manusia Sempurna maupun aktivitas Jalan,
adalah prinsip Tidak Beruat atau “menjadi diri sendiri”. Uapay sadar dari sisi
manusia untuk hidup atau menggapai maksudnya melanggar prinsip tertinggi ini
dan berakhir dengan membawa sebuah hasil yang berbeda dengan apa yang
dimaksudkannya.
Dia yang berdiri di atas ujung kaki tidak mampu berdiri kukuh.
Dia yang melangkah panjang tidak mampu berjalan jauh.
Dia yang memamerkan dirinya tidak mampu bersinar.
Dia yang menganggap dirinya benar tidak akan dikenang.
Dia yang memuji dirinya sendiri tidak mampu menggapai sukses
sejati.
Dia yang terlalu percaya diri tidak mampu bertahan.
Dari sudut pandang Jalan, perilaku-perilaku itu disebut “makanan
mubazir dan tumor yang sia-sia”. Mereka tidak disukai semua orang.
Karena itu, dia yang memiliki (yakni telah menyatu dengan) Jalan
tidak pernah melakukan satu pun perilaku seperti itu.
Karena itu, “manusia suci” tetap pada prinsip Tidak-Beruat dan
mempraktikkan ajaran Tanpa-Kata.
Apabila orang mengejar pengetahuan, maka pengetahuan akan terus
berkembang dari waktu ke waktu.
Apabila orang mengejar Jalan, (apa yang dia raih) akan terus
berkurang dari waktu ke waktu.
Berkurang dan terus berkurang, sampai pada akhirnya orang sampai
pada keadaan Tidak-Beruat. Dan ketika seseorang mempraktikkan Tidak-Beruat,
tidak ada yang gagal diperbuatnya. Bahkan, sebuah kekaisaran pun pasti bisa
diraih dengan mempraktikkan (prinsip) Tidak-Ada-Yang-Diperbuat. Jika bertumpu
pada (prinsip) Ada-Yang-Diperbuat, maka orang tidak akan pernah memperoleh
sebuah kekaisaran.
Tanpa keluar dari suatu pintu, seseorang dapat mengetahui segala
sesuatu di bawah Langit.
Tanpa mengintik dari jendela, seseorang dapat melihat aktivitas
Langit.
Semakin jauh keluar, semakin sedikit orang mengetahui sesuatu.
Karena itu, “manusia suci” mengetahui (segala sesuatu) tanpa
keluar.
Dia memiliki pandangan yang jelas mengenai setiap sesuatu tanpa
melihat.
Dia beruat segala sesuatu tanpa “berbuat”.
Apa
yang saya terjemahkan di sini sebagai “aktivitas Langit” pada bentuk aslinya,
t’ien tao secara harfiah bermakna “jalan Langit”. Ia berarti aktivitas alamiah
Langit. “Langit” di sini berarti Jalan sebagaimana ia memanifestasikan dirinya
dalam bentuk Alam, atau “jadi-diri-sendiri” (being-so of-itself) segala seuatu.
Langit, dalam pengertian inis elalu aktif, ia bekerja tanpa sesaat pun
berhenti; ia “melakukan” sesuatu yang tak terbilang banyaknya. Bagaimanapun,
“perbuatannya” secara esensial berbeda dengan “perbuatan” sengaja manusia.
Langit “melakukan” segala sesuatu tanpa setitik pun maksud darinya untuk
“melakukan” sesuatu. “Perbuatannya” bersemayam di dalam sepuluh ribu hal yang
mewujud atau menjadi “diri mereka sendiri”. Dengan kata lain, Langit
menunjukkan bentuk yang paling utuh dari prinsip Tidak Beruat.
Chuang-tzu
menyatakan :
Dia yang mengetahui apa yang Langit lakukan (“jalan Langit”) ...
berada pada batas tertinggi (Kebijaksanaan manusia). Sebab, dia yang mengetahui
apa yang Langit lakukan, hidup dalam keselarasan dengan (prinsip yang sama
seperti) Langit.
Mengulas
pernyataan di atas, Kyo Hsiang melontarkan uraian menarik dan penting berikut :
Langit dalam pasase ini bermakna Alam (“jadi-diri-sendiri). Dia
yang “beruat” (yakni beruat sesuatu dengan maksud atau kesadaran untuk
melakukannya) tidak bisa “melakukan” satu pun (dalam pengertian sebenarnya kata
tersebut). “Perbuatan” (sejati) adalah apa yang seuatu itu “lakukan sendiri”
(yakni, itu dilakukan oleh “dirinya sendiri”, sesuai dengan karakternya
sendiri). Demikian juga, dia yang “mengetahui” (yakni, dengan sengaja dan sadar
berusaha mengetahui sesuatu) tidak bisa “mengetahui” satu pun (dalam pengertian
sebenarnya kata tersebut). “Mengetahui” (sejati) ialah (sesuatu) yang
“mengetahui dirinya sendiri”. Saya katakan, sesuatu itu, “jadi tahu akan dirinya
sendiri”. Jadi, (“mengetahui” sejati, sebenarnya), “tidak mengetahui”. Saya
katakan, hal itu adalah “tidak mengetahui”. Jadi, sumber utama “mengetahui”
adalah “tidak mengetahui”.
Demikian pual, “perbuatan” terdapat dalam sesuatu “yang
dilakukan oleh dirinya sendiri”. Jadi, (“perbuatan” sejati, sebenarnya) adalah
“tidak beruat”. Saya katakan, itu “tidak beruat”. Jadi, sumber utama
“perbuatan” adalah “tidak beruat”.
Maka, “tidak beruat” harus dipandang sebagai dasar “perbuatan”.
Demikian juga, karena “mengetahui” berasal dari “tidak mengetahui”, maka “tidak
mengetahui” harus dianggap sebagai dasar “mengetahui”.
Dengan demikian, “manusia sejati” mengabaikan “mengetahui”, dan
karenanya, “mengetahui”. Dia tidak “beruat”, dan karenanya “beruat”. Setiap
sesuatu jadi “diri sendiri”, (dan itulah makna “perbuatan” pada “manusia
sejati”). Dia hanya duduk, mengabaikan segala sesuatu, dan karenanya,
memperoleh segala sesuatu.
Maka (dalam kaitan dengan “manusia sejati”) kata “mengetahui”
kehilangan kapasitasnya dan istilah “beruat” benar-benar lenyap.
Inilah
penjelasan luarbiasa mengenai istilah kunci “Tidak-Beruat” sebagaimana yang
dipahami Lou-tzu dan Chuang-tzu, sedemikian sehingga menjadikan upaya lebih
jauh untuk menjelaskan konsep ini tampak sia-sia.
Namun
demikian, ada satu hal yang mesti disebutkan di sini, tidak untuk menjelaskan
konsep Tidak-Beruat, tetapi untuk memaparkan kekhasan pola pemikiran Lou-tzu.
Saya telah berulang kali menunjukkan bahwa cara “simbolik” merupakan pola khas
Lou-tzu dalam membangun pemikirannya. Dalam banyak kasus, terutama ketika
menyangkut persoalan yang dipandangnya sangat penting, dia membangun dan
mengelaborasi permikirannya melalui perantaraan metafora. “Air” adalah salah
satu simbol kegemarannya. Dia menggunakannya untuk menunjukkan kekuatan prima
dari Tidak-Berbuat. Pengamatan empiris terhadap aktivitas air langsung bisa
secara konklusif mendukung terinya tentang
Tidak-Berbuat dan sajian lugas mengenai Jalan sebagai Tidak-Beruat yang
menghasilkan segenap efek.
Yang terlembut dari segala sesuatu di dunia ini (air) menguasai
segala yang terkeras di dunia ini (seperti batu dan karang). Karena dirinya
tidak memiliki bentuk tertentu, ia bisa merembesi sesuatu yang tanpa celah.
Dengan begini, saya menyadari nilai Tidak-Berbuat.
Bagaimanapun,
ajaran melalui Tanpa-Kata (pengajaran tanpa-kata yang diberikan Manusia
Sempurna, dirinya tetap diam tapi pengaruh pribadinya “secara alamiah”
memengaruhi segala sesuatu) dan efek Tidak-berbuat” --- sangat sedikit di dunia
ini yang bisa memahami semua itu.
Dalam
pasase ini, air tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, yang dimaksud Lou-tzu
dengan air pada “yang terlembut dari segala sesuatu” di perjelas kutipan
berikut.
Tidak ada di bawah Langit yang lebih lembut dan lemah dariapda
air. Demikian juga dalam menyerang sesuatu dengan keras dan kuat, tidak ada
yang menandinginya. Karena, tidak ada yang bisa menghancurkannya.
Yang lemah mengalahkan yang kuat, dan yang lembut mengalahkan
yang keras.
Setiap orang di dunia ini mengetahui hal ini tetapi tak seorang
pun mampu mempraktikkan (pengetahuan) ini.
“Kepasifan
yang positif” atau “kelemahan yang kuat” dari air, bagi Lou-tzu, merupakan
salah satu gambaran paling tepat tentang Jalan dan Manusia Sempurna.
Kebaikan tertinggi bagaikan air. Air memberi manfaat
pada sepuluh ribu hal, tetapi tidak pernah bersaing dengan apa pun. Ia menghuni
tempat-tempat (rendah) yang dibenci semua manusia. Namun, justru karena itu, ia
lebih dekat dengan Jalan (dan “Manusia-suci”)/
“Tidak pernah bersaing dengan apapun”
yang ditonjolkan karakter air adalah prinsip tertinggi lain yang mengendalikan
perilaku Manusia Sempurna.
Seorang pejuang hebat tidak menggunakan kekerasan.
Seorang petarung hebat tidak membiarkan dirinya jatuh dalm kemarahan. Dia yang
memenangi pertarungan tidak memperlakukan lawannya sebagai lawan. Dia yang
berhasil menguasai manusia merendahkan dirinya di hadapan mereka.
Inilah yang saya sebut Kebajikan “tidak menyaigni”.
Hal ini mungkin dapat juga disebut dengan menggunakan kemampuan orang lain secara
lebih baik.
Manusia seperti itu pasti dapat dianggap, telah berada dalam harmoni sempurna dengan Prinsip
Utama Langit.
“Manusia-suci” … tidak pernah bersaing dengan apa pun.
Itulah sebabnya tak seorang pun di bawah langit bersaing dengannya.
Dengan demikian, Manusia Sempurna
tidak bersaing dengan siapa pun atau apa pun. Seperti
seorang petarung yang ulung, dia tidak membiarkan dirinya disulut dan dihasut.
Dalam pengertian ini, dia mungkin dapat dikatakan tidak memiliki emosi dan
perasaan manusia biasa. Faktanya, dia bukanlah “manusia”, jika yang orang
pahami dari kata ini adalah manusia biasa. Pada hakikatnya, dia adalah
maujud kosmik terbesar yang tak terbatas. Terkait dengan hal ini, Chuang-tzu
meninggalkan catatan menarik ihwal sebuah diskusi antara dirinya dengan seorang
ahli dialektik, Hui-tzu yang telah disebutkan lebih awal. Kita tidak mengetahui
apakah dialog itu fiktif ataukah nyata. Namun, terlepas dari itu, ia merupakan
dokumen berharga bagi kita, mengingat di dalamnya terdapat penjelasan satu
aspek penting dari konotasi Manusia Sempurna.
Diskusi tersebut berawal ketika
Chuang-tzu membuat pernyataan berikut ini.
“Manusia suci” memiliki bentuk fisik manusia tetapi
tidak memiliki emosi manusi, dia hidup di antara manusia lainnya sebagai salah
seorang dari mereka. Namun, karena dia tidak memiliki emosi manusia, “benar”
dan “salah” (atau suka dan tidak suka) tidak bisa merasukinya.
Ah, betapa remeh dan kecilnya dia, terkait dengan
kemanusiaan pada umumnya! Namun, begitu besar dia, terkait dengan keunikannya (
di dunia) dalam menyempurnakan Langit di dalam dirinya!.
Terhadap pernyataan di atas,
Hui-tzu melontarkan pertanyaan serius. Pertanyaan itu memicu perbincangan
teoritis seputar tema tersebut antara Chuang-tzu – dan Hui-tzu.
Hui-tzu :
Apakah mungkin manusia tanpa emosi?
Chuang-tzu :
Ya.
Hui-tzu :
Jika tanpa emosi, mungkinkah dia dikatakan sebagai :manusia”?
Chuang-tzu :
Jika telah memberinya ciri-khas manusia. Langit telah memberi-nya bentuk
ragawi. Lalu, bagaimana bisa kita tidak menyebutnya “manusia”?
Hui-tzu :
Namun, karena kau menyebutnya “manusia”, mustahil dia tanpa emosi.
Chuang-tzu :
Apa yang kumaksud dengan “Emosi” adalah ebrbeda dengan apa yang kumaksud dengan
kata yang sama. Ketika kukatakan”dia tanpa emosi”, saya bermaksud bahwa manusia
itu tidak membiarkan hatinya tersakiti (terganggu) oleh suka atau tidak suka,
dan bahwa dia menyesuaikan diri dengan (prinsip) “jadi-diri-sendiri” dari
segala sesuatu, tidak pernah berusaha untuk meningkatkan energi kehidupan.
Hui-tzu :
Jika tidak berupaya meningkatkan energi hidupnya (misalnya dengan mengonsumsi
makanan bergizi, berpakaian, dan lain-lain), bagaimana bisa menjaga tubuhnya
agar tetap hidup?
Chuang-tzu :
Jalan telah memberinya ciri-khas manusia.
Langit telah memberinya bentuk ragawi. (sebagai hasilnya, dia memiliki
eksistensi sebagai seorang “manusia”.) Persoalannya, semua yang harus dia
lakukan adalah tidak membiarkan batinnya tersakiti oleh suka dan tidak suka.
(Inilah ayng kumaksud denga “tidak
berusaha untuk meningkatkan hidup”.). Engkau “mengeksternalisasikan” ruhmu
(yakni, engkau terus-menerus menyerahkan ruhmu pada objek-obejk eksternal dunia
ini) dan melemahkan energi mentalmu, kadang dengan bersandar pada mejamu dengan
mata tertutup. Langit sendiri telah memilihkan bagimu sebuah bentuk fisik.
Namun, engkau (alih-alih menjalin harmoni dengan Kehendak Langit,
menyia-nyiakan waktumu dengan) membuat gaduh tentang “keras dan putihnya
(sebongkah batu)”.
Jadi, jelas
bahwa “Manusia Sempurna tidak memiliki emosi” tidak lain berarti bahwa
keberadaannya tidak terganggu oleh apa pun yang menimpanya atau apapun yang
terjadi di depan matanya. Terdapat alasan metafisik mendalam mengenai hal ini.
Dia mampu mempertahankan sikap fundamental ini dalam segala kondisi karena
“menyatu” dengan segala hal, yang pada puncaknya (segala hal itu) memang
“satu”. Seperti telah kita perhatikan, segala sesuatu secara metafisik adalah
“satu”, dikap Manusia Sempurna terhadap semua itu tidak lain kecuali “satu”.
Konsep Manusia Sempurna “yang
tidak memiliki emosi”, dalam hal ini, hakikatnya adalah turunan dari ide yang
lebih fundamental, yang sebelumnya telah kita kenal, yakni bahwa Manusia
Sempurna tidak memiliki “ego”. Karena tidak memiliki “ego”, dia tidak membuat
“pembedaan” terhadap segala sesuatu. Dengna kata lain, dia selalu “satu”.
Keberadaannya yang secara personal, adalah “Satu” – inilah yang dimaksud dengan
ungkapan “tidak memiliki emosi” – didasarkan pada fakta obejktif bahwa Realitas
adalah “satu”. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Manusia Sempurna,
dalam pengertian apa pun, tidak mengetahui perbedaan antara aneka ragam yang
tak terhingga dari dunia fenomenal. Lebih tepatnya, pengabaiannya terhadap
“pembedaan antara segala sesuatu” hanya bermakna bahwa – karena benar-benar
menyadari segala sesuatu itu sebagai hal-hal yang berbeda – dia memiliki mata
spiritual yang digunakannya untuk memerepsi kaleidoskop bentuk-bentuk “Satu”
metafisik yang berubah-ubah, yangs emua itu tak lain adalah ragam manifestasi.
Ketika dia melihat segala sesuatu yang tampaknya berbeda itu dari sudut pandang
khasnya, semua itu menyingkapkan diri mereka di hadapan matanya sebagai
bentuk-bentuk pengulangan dari satu dan sesuatu yang sama, “yang menempati
satus ama lain”, semuanya sama-sama “baik”.
(Manusia sempurna) adalah “satu”, entah dia (terlihat)
menyukai sesuatu atau membenci sesuatu. Dia juga “satu”, entah dia memandang
segala sesuatu sebagai “satu” atau tidak “satu”.
Manakala memandang (tiap sesuatu sebagai) yang “satu”,
dia sedang bertindak sebagai sahabat Langit; (dia mengambil pandangan
Pemnyetaraan Surgawi). Manakala memandang (segala sesuatu) tidak “satu”, dia
sedang bertindak sebagai sahabat Manusia; (dia memandang Keragaman dunia
fenomenal sebagaimana tampak pada mata manusia).
Maka, di dalam dirinya, Langit dan Manusia tidak
saling mengalahkan (yakni, dia memadukan did alam dirinya, sudut pandang
“mutlak” Langit maupun sudut pandang “relative” Manusia secara serasi dan tanpa
konfrontasi). Sesungguhnya yang demikiian itulah karakter “manusia sejati”.
“Tanpa emosi” seharusnya
tidak dimaknai bahwa Manusia Sempurna benar-benar tidak mengalami kemarahan,
kegembiraan, kesedihan, dan kebahagiaan. Dia mengalami semua itu dan semua
emosi manusia lainnya. Dalam hal ini, satu-satunya perbedaan antara dirinya
dengan orang-orang biasa terletak pada kenyataan bahwa, pada yang pertama,
selalu saja ada sesuatu yang tak terganggu pada bagian terdalam hatinya bahkan
meskipun dia harus mengalami emosi-emosi yang kaut, sesuatu yang tak
terpengaruh dan tak tersentuh oleh emosi-emosi itu.
Emosi-emosi itu dating dan pergi
dalam dunia batinnya begitu alamiahnya laksana empat musim dalam setahun yang
dating dan pergi di dunia eksternal.
Pikirannya Bahagia dengan situasi apa pun yang
terjadi. Penampilan luarnya tenang dan damai. Dahinya lebar dan tampak tidak
cemas.
Kadangkala dengan dingin dia berlaku keras seperti
musim gugur; kadang kala dengan hangat dia bersahabat seperti musim semi.
Keceriaan dan kemarahan dating dan pergi begitu alamiahnya laksana empat musim
yang berlaku di ala mini. Karena selalu menjaga harmoni dengan segala sesuatu
(yang terus-menerus “bertransmutasi” satu dengan lainnya), dia tidk mengenal
batas apa pun.
Karena keberadaan seperti itu
adalah kondisi spiritualnya, Manusia Sempurna
tidak menemukan sesuatu pun di dunia ini yang mengganggu keseimbangan pikiran
kosmiknya walau pun secara akurat mampu mengenali segala sesuatu yang terjadi,
baik terhadap dirinya maupun yang lain. Dia berpartisipasi dalam
aktivitas-aktivitas dunia Bersama manusia-manusia lainnya, tetapi pada saat
yang sama, di dalam bagian terdalam hatinya, selalu terpisah dari hiruk pikuk
dan kesibukan dunia ini. Ketenangan dan kedamaian adalah sifat terpenting yang
membangun karakter, baik sisi dalam maupun sisi luar, Manusia Sempurna.
Dengan mencapai batas maksimum “kehampaan” (internal),
aku kukuh menjaga diriku tetap dalam ketenangan.
(Manusia Suci), dengan tenang dan jernih, menjadi
teladan semua yang di bawah Langit.
Chuang-tzu, seperti baisanya,
lebih berpanjang kata dalam memaparkan kebajikan “ketenangan” dan “kedamaian”.
Dari semua yang seimbang, yang paling sempurna adalah
permukaan air saat tenang. Karena (keseimbangan yang sempurna) ini, ia dapat
digunakan sebagai patokan penyeimbangan. Dan (keseimbangan yang sempurna air
yang tenang) berkaitan dengan fakta bahwa (air saat tenang) menjaga di sisi
dalamnya (ketenangan yang luar biasa) dan sama sekali tidak menunjukkan
konfrontasi di sisi luarnya.
Demikian juga, Kebajikan adalah kondisi (spiritual)
yang dicapai ketika seorang manusia telah menyempurnakan ketenangan (pikiran).
(Dalam kondisi itu) Kebajikan tidak datang dalam bentuk yang terlihat (karena
bagian dalam manusia itu sangatlah tenang, maka tidak ada konfrontasi yang
muncul). Namun, segala sesuatu, dengan sendirinya, (secara spontan tertarik
oleh Kebajikannya yang tak terlihat dan) tidak mampu terpisah darinya.
[][][][][][][][][][][][][][]
12. HOMO POLITICUS
Sepanjang
bab-bab terdahulu, kami telah menjelaskan Manusia Sempurna versi Taoisme
sebagai manusia dengan transendensi mutlak. Dia telah benar-benar melampaui
dunia manusia biasa dan dunia benda-benda remeh, dalam artian di “mengabaikan”
semua perbedaan di antara mereka sehingga tak ada satu pun yang
menggelisahkan benaknya. Konsekuensinya, dia menyendiri di tengah “ketenangan”
mendalam sembari menyatu dengan Yang Esa. “Tanpa – atau – melampaui – emosi manusia”,
dia menerima yang baik sebagai “baik” dan juga yang tidak baik sebagai “baik”.
Dia memegang prinsip Tidak-Berbuat dan tidak
mengintervensi alur alamiah segala sesuatu. Alih-alih, dia membiarkan sepuluh
ribu hal mewujud dengan sendirinya, tumbuh, dan kemudian menghilang sesuai
dengan “masa: dan “ajal” mereka masing-masing. Dia “tak memihak” – seperti
halnya Langit dan Bumi yang “tak-memihak” dalam hubungannya dengan sepuluh ribu
hal – memperlakukan semuanya seolah-olah mereka adalah “anjing-anjing jerami”
)straw dogs).
Dalam
pengertian ini, Manusia Sempurna adalah manusia dengan Negativitas mutlak.
Semua itu dan bahkan sifat-sifat “negatif” lain menjadi miliknya karena dia
benar-benar telah menyatu dengan “jalan” (yakni, proses spontan dan alamiah)
Langit dan akhirnya denagn Jalan itu sendiri. Dalam berperilaku seperti itu,
Manusia Sempurna menjadi personifikasi Jalan.
Tetapi,
patut diingat bahwa negativitas atau pasivitas murni tidaklah melemahkan
aktivitas Jalan. Pada kenyataannya, pasivitas Jalan bukanlah “pasivitas”
sebagaimana yang dipahami secara umum. Ia adalah pasivitas yang disokong dengan
“positivitas”. Mungkin kita harus mengatakan bahwa Jalan – terlihat – demikian
“positif” karena ia terlalu positif untuk sekedar menjadi “positif” dalam
pengertian yang lumrah diterima. Tidak-Berbuat,
misalnya, adalah jelas prinsip pasif dan negatif, tetapi ia pada hakikatnya
adalah kekuatan positif yang tidak “membiarkan apa pun”. Fakta ini adalah
imbangan yang tepat bagi Jalan yang digambarkan sebagai “Tiada”. “Tiada” bukan karena
“tidak ada” secara negatif dan pasif, tetapi karena ia (Jalan) adalah Wujud
yang melimpah ruah.
Manusia
Sempurna, sebagai pengejawantahan dan personifikasi sempurna dari Jalan,
niscaya juga harus merefleksikan aspek positif – atau supra positif – darinya.
Pada saat yang sama, Jalan itu sendiri secara positif -- dan lebih daripada sekedar positif –
terlibat dalam penataan ciptaan dan, melalui prinsip Tidak-Berbuat, mengatur
seluruh proses Alam hingga rincian mungil dari segenap peristiwa tertentu.
Jadi, Sang Manusia Sempurna secara positif peduli akan penataan dunia, sekali
lagi, melalui prinsip Tidak-Berbuat.
Selain
itu, secara umum, karakteristik pemikiran filosof Cina
kuno adalah perhatiannya yang serius pada persoalan pengaturan masyarakat.
Dalam kenyataannya, Homo Politicus selalu menjadi tema penting semua aliran
utama pemikiran Cina. Lou-tzu dan Chuang-tzu
juga termasuk dalam arus umum ini. Lou-tzu yang mengembangkan, di satu sisi,
metafisika kompleks mengenai Jalan dan menjelaskan manusia ideal sebagai dia
yang mutlak tidak berorientasi duniawi, hidup jauh melampaui kebisingan dan
kegaduhan hidup sehari-hari, menunjukkan dirinya begitu antusias terhadap seni
memerintah suatu wilayah. Bagi Lou-tzu, Sang Manusia Sempurna tidaklah
benar-benar “sempurna” kecuali duduk pada pucuk pimpinan sebuah negeri sebagai
Penguasa tertinggi rakyatnya. Manusia Sempurna, pada saat yang sama, adalah
seorang filosof sekaligus politikus.
Hal
ini, tentu saja, tidaklah berarti bahwa Manusia Sempurna harus berjuang
mengejar kekuasaan politik atau memerintah dunia. dia bahkan tidak pernah
berupaya menarik perhatian orang lain.
Dia tidak menampilkan diri. Karena itu, dia menonjol.
Dia tidak membenarkan diri. Karena itu, dia termasyhur.
Dia tidak memuji diri. Karena itu, keunggulannya diakui.
Dia
tidak mencoba untuk menonjol. Namun, karena perilaku “negatif” terhadap dirinya
itu – dan lebih esensial lagi adalah karena dia “sempurna” – dia “secara
alamiah” menjadi menonjol. Dia tidak melakukan apa pun yang menjadi haknya
untuk menarik perhatian, tetapi orang-orang secara spontan berkumpul di
sekitarnya. Dia menahan dirinya untuk tetap berada di belakang, tetapi
orang-orang secara spontan, dan bahkan tanpa sadar, menddorongnya ke depan. Tao
Te Ching dipenuhi dengan ekspresi-ekspresi yang menunjukkan keganjilan Sang
Manusia Sempurna ini. Yang paling terkenal dan representatif dari semua itu
mungkin adalah (ungkapan) “melembutkan cahaya dan menerjunkan diri ke dalam
wilayah penuh debu (masyarakat awam)”.
(“Manusia suci”) mengurangi ketajamannya, melepaskan ikatannya,
melembutkan tatapannya, dan berguling penuh debu. Sesuatu yang saya sebut
dengan keadaan Pengabaian Misterius.
Manusia seperti itu tidak dapat didekati terlalu intim.
Seseorang tidak juga dapat terlalu jauh darinya. Seseorang tidak mampu
memberinya manfaat, tidak juga menyakitinya. Seseorang tidaklah dapat
melukainya, tidak juga menghinaannya. Begitulah, dia menjadi yang termulia di
antara seluruh maujud di bawah Langit.
“Pengabaian
Misterius” (hsuan t’ung) adalah ekspresi yang sangat penting. Manusia Sempurna,
sebagai seorang manusia, hidup di antara orang-orang biasa sebagai seorang
warga masyarakat. Dia eksis di tengah-tengah kehidupan keseharian, diam dan
tenang, di belakang dan di bawah manusia-manusia lain. Dia “menempatkan”
dirinya bersama prang-orang biasa, tanpa “membedakan” dirinya dengan orang
lain. Dari luar, dia terlihat sama persis dengan orang-orang biasa. Namun, hal
ini, pada hakikatnya, adalah “kesamaan” yang sangat khas karena, dalam bangunan
spiritualnya, dia terbang layaknya Burung P’eng di langit biru kebebasan dan
kemandirian mutlak.
Melalui
aktivitas spontan manusia seperti itulah, Kebajikan Jalan mewujud dalam suatu
bentuk tatanan politik sempurna. Berdasarkan pola pemikiran Lou-tzu dan
Cuang-tzu yang khas tersebut, Manusia Sempurna, berkat “kesempurnaan”
spiritualnya, secara spontan menduduki tempat tertinggi di alam spiritual; dan
konsekuensinya dia pun niscaya menduduki tempat tertinggi di alam realitas. Dia
niscaya menjadi “tuan bagi seluruh penguasa”.
Demikianlah,
di sini lagi-lagi kita menemukan cara berpikir paradoksikal, yang menjadi
karakteristik para pemikir Taois. Karena menurut mereka, Manusia Sempurna adalah seseorang yang “secara bebas
mengembara di luar batas dunia debu dan kotoran, serta menikmati perjalanan menuju lubuk hatinya di dalam
Kampung-Ketiadaan-Mutlak”. Namun tepatnya, karena eksis secara permanen
di luar batas dunia debu dan kotoran, maka dia sebenarnya mampu menjaga dirinya
di tengah-tengah debud an kotoran dunia materi. Dengan tetap “tak acuh”
terhadap kepentingan-kepentingan remeh duniawi, dia tertarik pada
problem-problem besar dunia aktual. Sesungguhnya, dia bukanlah manusia “yang
kemampuannya cukup baik untuk menjadikannya hebat dalam politik sebuah negara.
Namun, dia cukup baik untuk menjadi penguasa mutlak sebuah alam, atau bahkan
“segala yang berada di bawah Langit”.
Lantas,
apakah politik Manusia Sempurna? Dari sudut pandang akal sehat, Chuang-tzu
berkata, bentuk manajemen urusan politik yang paling ideal terdiri ata “sang
penguasa yang merancang semua aturan dan undang-undang buat dirinya sendiri,
dan dari situ mengatur masyarakatnya. Karena, dengan begitu, siapa yang berani
menentangnya dan tidak ‘ditransformasikan oleh kebijakannya?”
Chuang-tzu
menyatakan bahwa hal seperti itu tidak lain adalah suatu “kebijakan yang
menipu”. “Mengatur dunia melalui prinsip semacam itu adalah seperti berupaya
membelah samudra, menggali sungai besar dengan satu tangan, atau membiarkan
seekor nyamuk memanggul gunung!”.
Manusia
Sempurna tidak mengatur dunia melalui hukum-hukum buatan manusia, yang tiada
lain merupakan perangkat-perangkat ekstenal yang dirancang hanya untuk mengatur
aspek-aspek luar kehidupan manusia. Dia mengatur dunia dengan “mengatur dirinya
sendiri”, yakni, dengan menyempurnakan Kebajikan Batinnya.
Manakala sebagai penguasa, bagaimana
mungkin “manusia suci” tertarik mengurusi kehdiupan eksternal masyarakat?
Dia memperbaiki sisi dalamnya (yakni
membawa Kebajikan batinnya menuju kesempurnaan) dan kemudian mengatur
(masyarakat). Dia secara eksklusif tertarik memantapkan urusan dirnya sendiri.
(Maka dia menyerahkan segala sesuatu
yang lain ke dalam pengaturan alamiahnya masing-masing). Pikirkanlah seekor
burung terbang tinggi di angkasa, menghindari bahaya tertembus sebaris anak
panah; atau seekor tikus kecil hidup di sebuah lubang yang dalam di bahwa bukit
suci, memghindari (bahaya) tercangkul atau terbakar. (Setiap hidupan memiliki
kebijaksanaan alamiahnya masing-masing, yang dengannya secara otomatis
mengetahui cara hidup aman.) Apakah manusia memiliki pengetahuan yang lebih
sedikit daripada yang dimiliki dua makhluk kecil tersebut.
Apa yang Chuang-tzu maksudkan
dengan “memperbaiki sisi dalam seseorang” dijelaskan sendiri dalam pristilahan
yang lebih konkret sebagai berikut :
Biarkan pikiranmu berkelana dengan bebas di (wilayah)
Kesederhanaan (yang di dalamnya tidak ada satu pun jejak Hasrat), satukanlah
energi vitalmu dengan Kedamaian Tanpa Batas, dan ikutilah arah alamiah
(menjadi-diri-sendiri) dari segala sesuatu tanpa membiarkan “egomu”
mengintervensinya. Maka, seluruh dunia akan teratur (secara spontan).
Ringkasnya, hal ini berarti bahwa
ketika Manusia Sempurna dalam pengertian sebenarnya teraktualisasikan, maka dunia
akan teratur dengan sendirinya. Hal itu tidak berarti bahwa Manusia Sempurna
secara positf mengatur dunia dengan menetapkan seperangkat hukum ketat dan
menegakkannya. Penataan dunia yang benar secara spontan terwujudkan begitu
Manusia Sempurna “meluruskan keadaan batinnya”. Jelas hal ini tidak lain
bermakna mempraktikkan prinsip Tidak-Beruat yang fundamental. Bagi Lou-tzu dan
Chuang-tzu, itulah bentuk politik yang paling adiluhung dan ideal.
Lou-tzu menjelaskan situasi itu
dalam ungkapan-ungkapan berikut :
Sebuah negara akan tertata dengan baik melalui
“kelurusan”. Perang mungkin bisa dimenangkan dengan perlbagai taktik.
Kekuasaan, bagaimana pun, hanya diraih dengan Tanpa-Tindakan.
Bagaimana aku mengetahui hal itu dengan demikian
adanya? Dengan pengamatan berikut :
Semakin banyak pembatasan dan larangan di dunia ini,
semakin miskin manusia. Semakin banyak perangkat peradaban yang manusia miliki,
semakin kacaulah negeri.
Semakin banyak keterampilan dan keahlian yang manusia
miliki, semakin banyak objek sia-sia yang akan dihasilkan.
Semakin banyak hukum dan aturan yang dikeluarkan,
semakin banyak pula perampok dan pencuri.
Oleh karena itu, “manusia
suci” berkata : aku tetap dalam Tanpa-Tindakan dan manusia (secara moral) bakal
mengubah dirinya sendiri. Aku menikmati keheningan dan manusia menjadi lurus
dengan sendirinya. Aku tidak mengintervensi apa pun dan manusia menjadi Makmur
dengan sendirinya. Aku tetap bebas dari Hasrat dan manusia dengan sendirinya
menjadi seperti “balok kayu yang tak terpotong”.
Seperti yang telah saya tekankan
berulang-ulang, kemampuan adiluhung Manusia Sempurna sebagai negarawan ini
adalah karena, dalam mempraktikkan Tanpa Tindakan, dia benar-benar menjadi
Salinan yang utuh dari Jalan itu sendiri.
Jalan dalam realitas mutlaknya adalah tidak aktif
(yakni “tidak-berbuat”) tetapi ia tidak membiarkan apa pun.
Apabila para tuan dan raja dipatuhi berdasarkan
prinsip ini, maka sepuluh ribu hal akan tumbuh dan berkembang berdasarkan
harmoninya sendiri-sendiri.
Tetapi, jika dalam proses pertumbuhan, Hasrat (yang
secara positif menentang Alam) muncul (pada beberapa bagian dari sepuluh ribu
hal tersebut), maka saya akan menenangkannya dengan bobot “hal tanpa nama”
(kesederhanaan) “kayu yang tak terpotong”. Hal tanpa nama (kesederhanaan) “kayu
yang tak terpotong” akan mengembalikan segala sesuatu kepada keadaan (aslinya)
yang tak berhasrat.
Jika (manusia) tak berhasrat dan, konsekuensinya,
“tenang”, seluruh dunia akan dengan sendirinya menjadi penuh kedamaian.
Jalan dalam realitas mutlaknya adalah “tak bernama”.
(Dalam hal ini, ia seperti “kayu yang tak terpotong”). “Kayu yang tak
terpotong” mungkin terlihat tidak penting, tetapi taka da apa pun di dunia ini
yang mampu menguasainya.
Jika para tuan dan raja dipatuhi berdasarkan prinsip
(“kayu yang tak terpotong”), sepuluh ribu hal akan dengan sendirinya bangkit
untuk mengabdi kepada mereka. Langit dan Bumi akan bergabung Bersama kekuatan
mereka untuk mengirimkan embun yang lembut, dan manusia akan dengan sendirinya
menjadi tertatat secara damai, kendatipun tidak terdapat hokum dan aturan yang
diumumkan.
Dengan begitu, Manusia Sempurna
dalam kapasitas sebagai negarawan menjalankan pemerintahannya sesudai dengan
prinsip Tidak-Berbuat. “Dia tidak melakukan apa pun selain tidak-berbuat apa
pun”. Namun, dengan tidak berbuat apa pun, dia sebenarnya melakukan hal besar.
Sebab, tidak-berbuat-apa pun baginya adalah tidak melakukan apa-pun yang
menentang alur alamiah segala sesuatu. Dengan demikian, “tidak-berbuat-apa-pun”
baginya sama dengan “membantu” perkembangan alamiah dan spontan segala sesuatu
secara alamiah dan spontan.
“Manusia suci” berhasrat untuk tidak berhasrat. Dia
belajar untuk tidak belajar. Karenanya, dia secara konstan kembali kepada
(Sumber Tertinggi) yang terlewatkan begitu saja oleh manusia pada umumnya.
Dia menolong secara spontan keberadaan sepuluh ribu
hal. Dia menolak mengintervensinya dengan perbuatannya sendiri.
Banyak pasase lain dari Tao Te
Ching, yang di dalamnya, pandangan tentang Tidak-Berbuat dinyatakan sebagai
prinsip puncak politik Taois. Namun, berkaitan dengan maksud khusus kita, apa
yang telah disampaikan tampaknya cukup memadai.
Meski begitu, ada satu hal lagi
yang berkaitan dengan Tidak-Berbuat sebagi sebuah pandangan politik.
Sebelumnya, kita telah banyak memerhatikan perilaku Manusia Sempurna dalam
mengatur kekuasaan yang sesuai dengan prinsip Tidak-Berbuat. Kita belum
membahas persoalan keadaan batin atau sikap rakyat yang diatur, khalayak yang
diperintah Manusia Sempurna.
Dalam beberapa pasase di atas,
telah dikemukakan bahwa pemerintahan ideal Manusia Sempurna menghadapi kendala
jika subjek-subjeknya memiliki “Hasrat” dan “pengetahuan”. Manusia Sempurna
sendiri mutlak melampaui segala “Hasrat” manusia – karena dia tanpa “emosi” –
danm melampaui “pemngetahuan” remeh-remeh yang diraih dengan penggumnaan
fakultas rasional benak – karena dia benar-benar telah “mengacaukan”
pikriannya. Seberapa pun Sempurnanya dia dalam persoalan ini, dia tidak bisa
merealisasikan cita-cita pemerintahan dengan prinsip Tidak-Berbuat, kecuali
masyarakatnya juga benar-benar siap untuk menerima pemerintahannya. Mereka akan
benar-benar siap menerima pemerintahannya hanya jika mereka tersucikan dari
“Hasrat” dan “pengetahuan”. Dengan demikian, program penyucian masyarakat dari
kendala-kendala itu membentuk bagian dari politik Tidak-Berbuat.
Apabila (penguasa) tidak menjunjung (mereka yang
disebut-sebut) sebagai orang-orang bijak, masyarakat akan terjauhkan dari
saling bermusuhan.
Jika dia tidak mengagumi barang-barang yang sulit
diperoleh, maka masyarakat akan jauh dari perbuatan mencuri.
Jika dia tidak menampakkan hal-hal yang cenderung
merangsang Hasrat, maka benak masyarakat tidak akan terganggu.
Jika, ketika dia mengatur masyarakat dengan
mengosongkan benak mereka, “manusia suci” menjadikan keyakinan mereka penuh;
dengan melemahkan kehendak mereka, (dia) mengubah tulang-tulang mereka menjadi
kuat.
Dengan cara ini, dia menjaga masyarakat agar selalu
dalam keadaan “tanpa pengetahuan” dan “tanpa Hasrat”. Maka, yang dinamakan
“para ahli” tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengintervensi (Dan
memengaruhi masyarakat).
Jiak dia mempraktikkan (prinsip) Tidak-Berbuat, maka
dunia tidak akan diperintah kecuali dengan cara terbaik.
Sejak dahulu, mereka yang berhasil dalam mempraktikkan
Jalan tidak berusaha untuk membijakkan dan mencerdaskan masyarakat. Lebih
tepatnya, mereka berupaya menjaga masyarakat dalam kondisi (sederhana) tanpa
pengetahuan. Jika masyarakat sulit diatur, hal itu karena mereka memiliki
terllau banyak “pengetahuan”.
Orang yang memerintah suatu negara dengan (memberi
masyarakat) “pengetahuan” akan menghancurkan negerinya.
Mengetahui (perbedaan antara) dua (bentuk
pemerintahan) itu menjadi dasar pijakan (suatu pemerintahn). Dan mengetahui
dasar pijaka dalam setiap hal adalah apa yang aku sebut dengan Kebajikan
Misterius. Betapa mendalam dan luas, Kebajikan Misterius ini! (Kedalamannya
ditunjukkan fakta bahwa) ia bekerja secara bertentangan dengan sifat dasar
segala seuatu, tetapi pada akhirnya kembali kepada Harmoni Agung, (pada awalnya,
proses Kebajikan Misterius terlihat seperti bertentangan dengan tata alamiah
segala sesuatu, tetapi, dalam kenyatannya, berada dalam harmoni dengan proses
Jalan Agung).
Harmoni Agung yang harus diraih
melalui praktik Tidak-Berbuat merepresentasikan tingkatan tertinggi
kesempurnaan antara beragam bentuk kemungkinan dalam mengatur suatu negara.
Itulah seni memerintah yang khas bagi Manusia Sempurna. Dengan memerhatikan
standar ini, maka semua bentuk politik yang tersisa didapati tidak sempurna
dalam banyak tingkatan.
Tipe penguasa tertinggi adalah yang masyarakat di
bawahnya hanya menyadari kehadirannya.
Yang berikutnya adalah penguasa yang kepadanya mereka
merasa terhubung dan yang kepadanya mereka memuji.
Yang berikutnya adalah penguasa yang kepadanya mereka
takut.
Yang berikutnya adalah penguasa yang kepadanya mereka
mengolok-olok. Jika (penguasa) tidak cukup dipercaya, hal itu karena dia memang
tidak cukup amanah.
Jika (sebalinya) penguasa itu waspada dan menimbang
semua ucapannya, maka tugasnya akan selesai, kerjanya akan tutnas,d an
masyarakat akan berkata, “Semua ini kami lakukan secara alamiah, oleh kami
sendiri”.
Masyarakat merasakan hal tersebut
karena Manusia Sempurna berkuasa atas mereka dengan prinsip Tidak-Berbuat.
Mereka sayupsayup menyadari kehadirannya atas mereka, tetapi tidak memerhatikan
hal yang berlangsung begitu halus sekalipun ia berkuasa atas mereka.
Adalah sangat menarik untuk
memerhatikan bahwa tipe penguasa kedua yang tercantum dalam kutipan di atas,
yakni, penguasa yang kepadanya masyarakat merasa terhubung dan sangat
memujinya, pastinya, merujuk kepada cita-cita Konfusius tentang memerintah
masyarakat dengan “kebajikan”. Kita haur singat kembali, dalam hubungan ini,
kata-kata Lou-tzu yang telah kita kutip lebih awal. Hanya jika Jalan yang agung
melemah, maka “kebajikan” dan “kebaikan” muncul”. Implikasinya adalah bahwa
cita-cita tertinggi politik Konfusius dan alirannya adalah, dari sudut panang
Lou-tzu, bukan sekedar kelas kedua tetapi juga sesuatu yang menunjukkan
pelemahan Jalan agung.
Hanya apabila Jalan yang Agung melemah, maka
“kebajikan” dan “kebaikan” muncul.
Hanya jika kepandaian dan kebajikan muncul di dunia,
maka tipu-daya dan intrik timbul.
Hanya jika enam dasar hubungan baik hilang dari
harmoni, maka perilaku kanak-kanak akan tampak.
Hanya jika suatu negara dalam
kebingungan dan kekacauan, maka subjek-subjek yang terpercaya akan lahir.
Jika penguasa menghapuskan “kepandaian” dan
mengabaikan “kecedasan”, manfaat yang diterima masyarakat akan meningkat
seratus kali lipat.
Jika dia menghapuskan “kebajikan” dan “mengabaikan
“kebaikan”, masyarakat akan (dengan spontan) kembali kepada “kebaktian anak”
dan “kasih saying orang tua”.
Jika dia menghapuskan tipu-daya dan mengabaikan
(perburuan) laba, maka tidak akan terdapat pencuri dan perampok.
Jika hanya dengan tiga (prinsip) tersebut, seseorang
berpikir hiasan-hiasan terlalu sedikit, maka biarkanlah hal itu menjadi suatu
tambahan. Secara eksternal, tunjukkan kesederhanaan sutra yang belum tercelup
dan secara internal milikilah kesederhanaan
kayu yang belum terukir. Hilangkan egoism dan hancurkan Hasrat.
Pada salah satu pasase yang
dikutip di atas, kita melihat bagaimana dalam pandangan
Lou-tzu tipe tertinggi pemerintahan diwakili penguasa yang memerintah suatu
negara begitu “alamiah” sehingga masyarakatnya hanya menyadari adanya seorang
penguasa atas mereka, tanpa menyematkan kepadanya nilai atau kualitas khusus
apa pun. Chuang-tzu serratus persen sependapat dengan Lou-tzu dalam
persoalan ini. Kemudian, baik menurut Chuang-tzu maupun Lou-tzu, dalam sebuah
bentuk pemerintahan seperti itu, bukan hanya masyarakatnya yang tidak
memerhatikan nilai penguasa mereka tetapi juga sang penguasa sendiri bahkan
tidak menyadari nilainya sendiri.
Lou-tzu :
“Manusia
suci” adalah (orang) yang melakukan sesuatu yang besar tetapi tidak
membesar-besarkan prestasinya sendiri; dia menunaikan tugasnya tetapi tidak
membicarakan nilainya sendiri. Bukankah ini karena dia tidak hendak menunjukkan
superioritasnya atas yang lain.
Dan Chuang-tzu
Ketika
seorang “raja yang tercerahkan” berkuasa aats dunia, jilainya meliputi seluruh
yang berada di bawah Langit. Namun, dia tidaklah menyadari nilai itu sebagai
sesuatu yang dihasilkannya.
Kekuatan
perubahannya memengaruhi sepuluh ribu hal. Namun, manusia tidak merasa
bergantung kepadanya.
Telah
terjadi “sesuatu” (di dunia karena kehadirannya sebagai penguasa) tetapi tak
seorang pun mampu secara pasti menyebutnya. (Eksistensi “sesuautu” tersebut
jelas hanya ditunjukkan oleh fakta bahwa) ia benar-benar secara spontan
menjadikan segala sesuatu Bahagia dan puas.
Dia
sendiri berada di dalam (kondisi spiritual dari) Yang Misterius dan mengembara
menuju lubuk hatinya di dalam Ketiadaan.
Saya akan lebih jauh memerhatikan
bagian ini dengan mengutip dari Tao Te Ching sebuah pasase, yang di dalamnya
Lou-tzu menggambarkan, dalam suasana yang tenang, sebuah negara imajinatif yang
diperintah seorang “manusia suci” – sebuah negara yang berdasarkan prinsip
Tidak-Berbuat yang di dalamnya ideal tertinggi politik Tao diejawanthkan dalam
suatu bentuk konkret. Hal ini tidaklah sama sekali berarti sebuah negara ideal
beskala besar seperti Republik Plato. Paling tidak, ia adalah sebuah desa.
Namun, siapa yang tahu? Masyarakat negeri kecil ini bahkan mungkin lebih
Bahagia dan puas daripada para penduduk negara Platonik tersebut.
Sebuah
negeri kecil dengan populasi kecil. Terdapat banyak ragam alat perang (di
negeri ini). Namun, rakyat tidak berhasrat untuk menggunakan semua itu.
Rakyatnya (begitu Bahagia dan puas sehingga) mereka tidak menganggap enteng
kematian (mereka sangat tidak ingin mati karena hidup begitu nikmat). Tidak
pula mereka hendak pindah ke tempat-tempat jauh. Walaupun terdapat kapal-kapal
dan pedati-pedati, tidak ada tempat untuk dituju dengan semua itu. Meskipun
terdapat perasai dan senjata, tidak ada kesempatan untuk menunjukkan semua itu.
Rakyatnya
diajarkan untuk kembali pada (Kesederhaan masa lalu) dengan menggunakan tali
simpul (alih-alih system penulisan yang kompleks).
Mereka
menikmati kelezatan pada makanan mereka dan keindahan pada pakaian mereka. Puas
dan tenang dengan tempat-tempat tinggal mereka, mereka mendapati kesenangan
pada tradisi masa lalu mereka.
Negeri
tetangga persis di sana, dalam sekejap pandangan. Rakyat negeri ini bahkan bisa
mendengar kokok ayam jantan dan gonggongan anjing di dalam negeri itu. Namun
demikian, para penduduk kedua negeri menjadi tua dan mati tanpa pernah saling
mengunjungi satu sama lain.
BAGIAN KEDUA
Kesimpulan –
Refleksi Komparatif
13. Sejumlah Pendahuluan
Metodologis
Sebagaimana disebutkan dalam
Pengantar Bagian Pertama karya ini, saya memulai studi ini lantaran terpicu
oleh keyakinan bahwa apa yang disebut oleh Prof. Henry Corbin sebagai un
dialogue dans la metahistoire adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam situasi
sekarang. Tidak pernah ada sepanjang sejarah manusia kebutuhan untuk saling
memahami antara bangsa-bangsa dunia terasa lebih kuat disbanding denga
masa-masa sekarang.
Saling memahami” dapat direalisasikan – atau setidaknya dapat dibayangkan – di sejumlah arah kehidupan yang berbeda-beda. Aras filosofis merupakan salah satu yang paling penting. Dan sudah menjadi ciri khas aras filosofis yang – tidak seperti aras-aras kepentingan manusia lainnya yang kurang lebih terkait dengan situasi-situasi sekarang dan kondisi-kondisi actual dunia – menyediakan atau memberikan wadah tepat untuk mengejawantahkan aktivitas “saling memahami” dalam format dialog metahistoris. Dialog-dialog metahistoris, yang diselenggarakan secara metodik, saya yakin, akan mengkristal pada philosophia perrenis, dalam pengertian paling utuh dari istilah tersebut. Mengingat dorongan filosofis dari Benak manusia adalah – dengan mengabaikan usia, tempat,d an bangsa – secara fundamental dan pada ujung-ujungnya satu.
Saling memahami” dapat direalisasikan – atau setidaknya dapat dibayangkan – di sejumlah arah kehidupan yang berbeda-beda. Aras filosofis merupakan salah satu yang paling penting. Dan sudah menjadi ciri khas aras filosofis yang – tidak seperti aras-aras kepentingan manusia lainnya yang kurang lebih terkait dengan situasi-situasi sekarang dan kondisi-kondisi actual dunia – menyediakan atau memberikan wadah tepat untuk mengejawantahkan aktivitas “saling memahami” dalam format dialog metahistoris. Dialog-dialog metahistoris, yang diselenggarakan secara metodik, saya yakin, akan mengkristal pada philosophia perrenis, dalam pengertian paling utuh dari istilah tersebut. Mengingat dorongan filosofis dari Benak manusia adalah – dengan mengabaikan usia, tempat,d an bangsa – secara fundamental dan pada ujung-ujungnya satu.
Saya siap mengakui bahwa karya
ini masih terlalu jauh dari cita-cita itu. Tetapi, setidaknya, itulah motif
saya menerjuni kajian ini. Pada Bagian Pertama, suatu ikhtiar telah dilakukan
untuk meletakkan struktur fundamental pandangan-dunia Ibn ‘Arabi, salah seorang
filosof-sufi terbesar. Karya analitis itu dilakukan cukup terpisah dari
pertimbangan-pertimbangan komparatif. Saya hanya mencoba mengisolasi dan
menganalisis seketat mungkin konsep-konsep utama yang menjadi landasan
pandangan dunia filosofis Ibn ‘Arabi sedemikian sehingga ia dapat membentuk
studi independent secara lengkap.
Bagian Kedua yang membahas
Lou-tzu dan Chuang-tzu memiliki sifat yang sedikit berbeda. Tentus aja, ia
sendiri merupakan kajian ihwal filsafat Taois yang juga sama-sama independent,
yang dapat dibaca seperi itu. Tetapi, ia berbeda sedikit dari Bagian Pertama
dalam satu hal, yakni bahwa alam memisahkan dan menyajikan konsep-konsep kunci
secara sistimatis, saya telah mulai mempersiapkan karya yang terkoordinasi dan
terkomparasi. Dengan itu dalam karya inis aya tidak semata-mata merujuk pada
beberapa bagian pemikiran Ibn ‘Arabi. Saya merujuk pada sesuatu yang lebih
fundamental dan berciri lebih metodologis.
Saya baru saja membicarakan
“karya persiapan untuk koordinasi dan komparasi”. Konkretnya, hal ini merujuk
bahwa secara sadar saya mengolah dan menyajikan seluruh permasalahan itu
sedemikian rupa sehingga analisis konsep-konsep kunci Taoisme dapat melahirkan landasan filosofis umum yang
memungkinkan terjadinya dialog metahistoris tersebut. Hal ini tidak berarti
bahwa saya memodifikasi bahan-bahan yang ada demi memudahkan perbandingan,
apalagi mendistorsi bahan-bahan yang ada demi memudahkan perbandingan, apalagi
mendistorsi fakta-fakta yang ada, atau memaksakan sesuatu pada Lou-tzu dan
Chuang-tzu untuk tujuan tersebut.
Faktanya, suatu analisis objektif
terhadap istilah-istilah kunci Taois pastinya akan mengarahakan saya pada ide
sentral yang mungkin bekerja sebagai jaringan penghubung paling utama antara
kedua system pemikiran itu. Satu-satunya hal semena-mena yang saya lakukan –
jika memang itu bisa dibilang “semena-mena” – terletak pada “nama” filosofis
yang saya berikan pada ide sentral tersebut. Nama itu adalah “eksistensi”.
Tetapi, begitu nama itu terkukuhkan, saya dapat mencirikan semangat utama
pandangan-dunia filosofis Lou-tzu dan Chuang-tzu sebagai “eksistensialis” yang
berlawanan dengan kecenderungan “esensialis” mazhab Konfusius.
Rasanya saya telah menjelaskan
secara luas pada Bagian Kedua bahwa dengan memahami filsafat Lou-tzu dan
Chuang-tzu dalam kerangka “eksistensi”, saya tidak memaksakan sacarasemena-mena
sesuatu yanga sing dalam pemikiran mereka. Satu hal yang layak, untuk
diperhatikan ialah para pemikir Taois sendiri tidak mengajukan suatu “nama”
baku untuk ide khusus ini, sementara di pihak lain, Ibn ‘Arabi mengusung kata
wujud, yang secara historis dan structural, merupakan ungkapan Arab yang persis
sepadan untuk ide yang sama. Sudah barang tentu, Lou-tzu dan Chuang-tzu
menggunakan kata yu yang bermakna “wujud” atau “eksistensi” yang bertolak
belakang dengan kata wu “nonwujud” atau “noneksistensi”. Tetapi, sebagaimana
yang kita lihat, yu dalam system mereka berperan sangat istimewa yang agak
berbeda dengan pengertian “eksistensi” yang dibahas di sini. Yu merujuk pada
aspek atau tahapan khusus aktivitas kreatif Sang Mutlak, suatu tahapan di mana
Sang Mutlak secara mutlak “tidak bernama” berubah menjadi “yang dinamai” dan
mulai bercabang dalam sekian banyak hal.
Jauh lebih tepat daripada kata yu
dalam kaitan ini adalah kata tao, Jalan, yang pada dasarnya merupakan padanan
Taois yang tepat untuk kata Islam Haqq. Kebenaran ataupun Realitas. Tetapi, tao
pertama-tama, merupakan kata yang memiliki struktur konotatif sangat rumit. Ia
meliputi medan semantic yang luas, merentang dari Misteri segala Misteri hingga
“jadi-diri-sendiri” (being so of itself) pada semua maujud. Boleh dikatakan,
maknanya diwarnai dengan arena ragam nuansa dan disertai dengan banyak
asosiasi. Sudah tentu ia benar-benar mencakup jangkauan besar dari pengertian
“eksistensi”. Namun, jika digunakan sebagau suatu istilah yang setara dengan
“eksistensi”, tak terelakkan lagi istilah itu akan menambah banyak unsur
terhadap pengertian dasar “eksistensi”. Pemakaian istilah “taoisme”, misalnya,
sebagai ganti “eksistensialisme” dalam pelbagai konteks yang bertujuan
memperlihatkan perbedaan radikal antara poandangan fundamental “Taoisme” dan
“Esensialisme” – yang sepertinya, merupakan padanan Inggris yang dipilih untuk
mengungkapkan konsepsi Konfusius tentang “nama-nama” (ming) – akan membuat
semeua situasi semakin tambah pelik dan membingungkan. Untuk merujuk aspek
particular tao sebagai actus purus, sangat penting bagi kita untuk memiliki
kata yang jauh kurang “berwarna” dibandingkan tao. Dan “eksistensi” adalah
satus-atunya kata untuk tujuan itu.
Pertimbangan-pertimbangan ini tampaknya akan
membawa kita pada suatu problem metodologis yang sangat penting menyangkut
kementakan dialog-dialog metahistoris. Problem itu terkait dengan kebutuhan
terhadap sistem linguistik umum, yang dapat diterapkan bersama. Hal ini cukup
wajar mengingat konsep “dialog” itus endiri justru mengasumsikan adanya bahasa
yang dapat dipakai bersama antara dua mitra bicara.
Apabila
tujuan kita diarahkan untuk menetepkan dialog filosofis antara dua pemikir yang
berasal dari satu latarbelakang kebudayaan dan sejarah yang sama, misalnya
Plato dan Aristoteles, atau Thomas Aquinas dan Duns Scotus, Kant dan Hegel,d an
sebagainya, maka problem keniscayaan bahasa yang sama sudah pasti muncul.
Tetapi, problem mulai mencuat ketika kita mengambil dia pemikir dalam satu
tradisi kebudayaan yang berbeda dalam beberapa faktor, seperti Aristoteles dan
Kant, umpamanya. Masing-masing berfilsafat dalam bahasa yang berbeda satu
dengan lainnya. Dalam pengertian ini, tidak ada bahasa pemersatu di antara
mereka. Namun, secara luas, kita masih bisa mengatakan bahwa ada bahasa
filsafat yang sama di antara keduanya, mengingat pertalian erat satu tradisi
filsafat yang mengikat keduanya secara tak terpisahkan. Sebenarnya, nyaris
tidak dapat dibayangkan bahwa suatu istilah-kunci yang memiliki signifikansi
dasar dalam bahaya Ynani tidak akan mendapatkan padanannya dalam bahasa Jerman.
Tentu
saja, jarak linguistik menjadi lebih nyata saat ktia hendak membangun dialog
antara dua pemikir yang berasal dari dua tradisi kebudayaan yang berbeda, Ibn
Sina dan Thomas Aquinas, misalnya. Meski demikian, di sini kita masih
dibenarkan oleh adanya bahasa filosofis bersama mengingat bahwa dalam analisis
puncaknya mereka mewakili dua ragam filsafat skolastik, yang ujung-ujungnya
keduanya merujuk pada satu sumber yang sama, Yunani. Umpamanya, konsep
“eksistensi” – dalam bentuk bahasa Arab wujud dan bahasa Latin, Existentia –
muncul dengan konotasi dasar yang sama baik dalam tradisi skolastik Timur
maupun Barat. Karena itu, problem bahasa umum tidak mengemuka dalam bentuk yang
terlampau akut.
Masalah
benar-benar menyeruak dengan sangat akut kala tidak ada ikatan historis dalam
arti apa pun antara kedua pemikir. Dan ini tepatnya yang terjadi dalam kasus
Ibn ‘Arabi dan Lou-tzu atau Chuang-tzu. Dalam kasus demikian, jika kebetulan
ada suatu konsep sentral yang aktif dalam kedua sistem itu, tetapi hanya
memiliki imbangan linguistiknya dalam salah satu dari keduanya, maka kita mesti
menunjuk konsep nonlinguistik dalam sistem itu yang cair atau lentur, kemudian
membekukannya dengan satu “nama” yang baku. “Nama” itu mungkin dipinjam dari
sistem pihak lain, jika istilah itu benar-benar tepat dan serasi. Atau suatu
kata lain mungkin dapat dipilih untuk maksud tersebut. dalam kasus khusus kita,
Ibn ‘Arabi menawarkan kata wujud yaitu, dalam bentuk terjemahannya,
“eksistensi”, berperan cocok untuk tujuan kita lantaran ia mengungkapkan konsep
yang mesti diungkapkan dalam pola yang paling sederhana, yakni, tanpa
“mewarnainya” dengan konotasi-konotasi khusus. Secara konotatif, kata itu tetap
tidak memiliki warna tertentu karena Ibn ‘Arabi dengan sengaja menggunakan
ragam istilah-istilah lain, seperti tajalli, faydh, rahmah, nafas,d ans ebagainya,
untuk menguraikan konsep yang sama dengan konotasi-konotasi khusus.
Kenyataan
bahwa kita tidak sedang melakukan hal semena-mena terhadap hakikat
pandangan-dunia para pemikir Taois dengan menerapkan “eksistensi” pada ide
sentral pemikiran mereka, jelas terbukti apabila orang sedikit bersusah-payah
memeriska ulang paparan Chunag-tzu mengenai Angin Kosmik serta interpretasi
analitis mengenainya, sebagaimana tertuang pada Bab 6.
Wahlhasil,
dengan mengukuhkan “eksistensi” sebagai konsep kedua sistem (pemikiran), kini
kita mempunyai pijakan filosofis bersama untuk membangun dialog metahistoris
antara Ibn ‘Arabi di satu sisi dan Lou-tzu dan Chuang-tzu di sisi lain. Dengan
eprtimbangan itu, marilah kita amati ulang poin-poin utama kedua sistem
filsafat yang telah kita analisis secara rinci pada halaman-halaman sebelumnya.
Mula-mula
saya ingin menunjukkan bahwa struktur filosofis kedua sistem secara keseluruhan
didominasi oleh Ketunggalan Eksistensi (Unity of Existence). Konsep ini
dinyatakan dalam bahasa Arab dengan
wahdat al-wujud yang secara harfiah berarti “kesatuan eksistensi” (oneness of
existence). Untuk mengungkapkan kosnep-konsep dasar yang sama, Chuang-tzu
memakai kata-kata seperti t’ien nie (Penyamaan Surgawi) dan t’ien chun
(Penyetaraan Surgawi).
Kata-kata
“penyamaan” dan “penyetaraa” secara jelas mengungkapkan bahwa “kesatuan”
(unity) yang dibahas bukanlah “ketunggalan” sederhana, melainkan “ketunggalan”
yang tersusun dalam ebrbagai hal yang berbeda. Ringkasnya, ide itu adalah
sebagai berikut. Sebenarnya, ada banyak hal yang berbeda tetapi “disetarakan”
antara satu dengan lainnya, atau “disejajarkan” ke tingkat “ketunggalan”,
dengan menghilangkan segenap perbedaan ontologis mereka dalam Kekacauan (chaos)
metafisiknya yang semula. Pendek kata, “ketunggalan” yang dibahas adalah
“ketunggalan” dari keberagaman (multiplicity). Hal yang sama benarnya berlaku
untuk wahdah dalam pandangan Ibn “Arabi.
Dalam
kedua sistem ini, seluruh kata Wujud (Being) digambarkan sebagai sejenis
tegangan ontologis antara Ketunggalan dan Keberagaman. Ketunggalan dalam
pandangan-dunia Ibn ‘Arabi disantirkan dengan haqq, Kebenaran/Realitas,
sementara dalam Taoisme, disantirkan dengan tao, Jalan. Keberagaman menurut Ibn
‘Arabi adalah mumkinat, “wujud-wujud yang mungkin mewujud”. Sedangkan menurut
Lou-tzu dan Chuang-tzu adalah wan wu”, “Sepuluh Ribu hal”.
Haqq
. tajjali .> mumkinat
Tao
. sheng .> wan wu
Hubungan
antara kedua kerangka dari ketegangan ontologis itu adalah Ketunggalan. Ia
adalah Ketunggalan lantaran segala sesuatu yang merupakan Keberagaman, pada
puncaknya, merupakan bentuk-bentuk fenomenal berbeda yang disandang oleh Sang
Mutlak (sebagai Kebenaran maupun Jalan). Proses fenomenal Tunggal sejati
mendifersifikasikan dirinya sendiri menjadi Banyak yang dipandang oleh Ibn
‘Arabi sebagai tajalli, “manifestasi-diri” dari Yang Satu, dan oleh Lou-tzu dan
Chuang-tzu sebagai sheng, “menghasilkan”. Dan, secara khusus, Chuang-tzu
mengupas lebih jauh gagasan ini menjadi Transmutasi universal, wu hua, yangs ecara
harfiah artinya “segala sesuatu yang selalu beralih-bentuk”.
Demikianlah
kerangka konseptual yang terdapat dalam pandangan-dunia Ibn ‘Arabi dan
pemikir-pemikir Taois. Kerangka itu sepenuhnya dibangun di atas konsep paling
mendasar dari “eksistensi”. Selanjutnya kita akan memeriksa dalam kerangka ini
dan dalam kerangka konsep dasar ini sejumlah garis besar yang mencirikan dua
sistem kefilsafatan di atas. [][][][[][][]][]][][][][][]
14. Transformasi
Batin Manusia
Pandangan-dunia
filosofis “Ketunggalan dalam Keberagaman”, entah dalam bentuk “Ketunggalan
Eksistensi” maupun “Penyetaraan Surgawi”, merupakan pandangan-dunia –
setidak-tidaknya – yang tidak lazim. Ini merupakan pandangan-dunia yang luar
biasa mengingat ia adalah hasil visi luarbiasa terhadap Eksistensi yang dialami
oleh manusia yang luarbiasa. Ciri yang paling menonjol mengenai corak filsafat
ini adalah bahwa kegiatan berfilsafat berawal dengan penangkapan intuitif
langsung terhadap Eksistensi pada kedalaman metafisiknya, pada tingkat wujudnya
sebagai Sang Mutlak yang “mutlak”.
Eksistensi
– yang selalu dan di mana-mana menjadi tema utama bagi sekian banyak filosof –
dapat dihampiri dan ditangkap menurut berbagai tingkatan yang berbeda-beda.
Dalam hal ini, sikap Aristotelian menggambarkan lawan yang tepat bagi posisi
yang diambil oleh para filosof Taoisme dan Sufisme. Bagi Aristoteles,
Eksistensi terutama berarti keberadaan benda-benda “individual” pada tingkat
konkret realitas fenomenal. Dan kegiatan berfilsafatnya barawal dari pengalaman
biasa terhadap Eksistensi yang dicerap oleh seluruh manusia pada tingkat
pemahaman awam (common sense).
Bagi
seorang Ibn ‘Arabi atau Chuang-tzu, bagaimanapun, “benda-beda” yang dialami
oleh beak biasa pada tingkat fisik itu tiada lain adalah “mimpi” semata, atau
berciri bagaikan mimpi. Dari sudut pandang mereka, “benda-benda” yang ditangkap
pada tingkat itu – sekalipun pada akhirnya tidak lain adalah bentuk-bentuk
fenomenal Sang Mutlak,d an, dengan demikian, tidak lain adalah juga Eksistensi
– tidak menyingkapkan kedalaman metafisik yangs ejati pada Eksistensi. Suatu
ontologi yang didasarkan pada pengalaman seperti itu hanya akan menyentuh
secara dangkal permukaan “benda-benda” tadi; ia tidak berada dalam posisi untuk
menjabarkan struktur “benda-benda” itu dalam kerangka landasan dasar Eksistensi
mereka. Filosof semacam ini adlaah manusia yang berada pada tingkat “modus
duniawi wujud” (nasy’ah dunyawiyah), dalam terminologi Ibn ‘Arabi. Orang
semacam ini membutuhka “penglihatan spiritual” (‘ayn al-bashirah) – atau
“cahaya yang emncerahkan” (ming) dalam istilah Chuang-tzu – yang secara mutlak
penting bagi penetrasi lebih mendalam menuju rahasia Eksistensi. Untuk
mendapatkan penglihatan itu, manusia harus mengalami suatu kelahiran spiritual
kembali dan dialihkan dari “modus duniawi wujud” menuju “modus ukhrawi/dunia
lain wujud” (nasy’ah ukhrawiyah).
Mengingat
yang pertama adalah pola kebanyakan manusia yang wajar, maka manusia pemilik
“modus ukhrawi wujud” secara otomatis misti tampil sebagai manusia “abnormal”.d
alam makna ini, pandangan-dunia Taoisme dan Sufisme menggambarkan suatu visi
Eksistensi yang terkait dengan manusia “abnormal”.
Kiranya
signifikan bahwa proses yang dengannya transformasi spiritual ini terjadi pada
manusia, diterangkan oleh Ibn ‘Arabi dan Chuang-tzu sedemikian rupa sehingga
hal itu membukakans ecara tepat struktur dasar yang sama pada kedua kasus itu.
Ibn ‘Arabi memerikannya dalam konteks “peniadaan-diri” (fana), sedangkan
Chuang-tzu dalam istilah “duduk dalam perikelupaan” (tso wang). Kata-kata yang
digunakan : “peniadaan” dan “pelupaan” jelas-jelas mengacu pada satu konsep
yang sama. Dan konsepsi sama yang mendasarinya adalah “penyucian Benak”, atau
menurut istilah Chuang-tzu, “puasa” ruhani.
Ihwal
apa yang sesungguhnya terjadi selama proses “penyucian”, rinciannya telah
didedahkan dalam bagian Pertama dan Kedua buku ini. Dan rasanya kruang
bermanfaat untuk mengulang uraian itu kembali di sini. “Penyucian”, baik dalam
Taoisme maupun Sufisme, terdiri dari, singkatnya, penyucian manusia atas segala
hasrat serta aktivitas Nalar (Reason). Dengan kata lain, ia terdiri dari
pengosongan sempurna “ego” sebagai subjek empiris seluruh aktivitas Nalar dan
hasrat. Pengosongan ego empiris berakibat pada aktualisasi Ego Kosmik, yang
dalam kasus Taoisme, dipandang menyatu sepenuhnya dengan Sang Mutlak dalam
aktivitas kreatif-Nya, sementara dalam kasus Ibn ‘Arabi, disebut-sebut
bersenyawa dengan Sang Mutlak hingga batas akhir yang dimungkinkan.
Barangkali
butir paling menarik menyangkut topik ini dari perspektif perbandingan adalah
problem “tahap-tahap penyucian”. Suatu pemikiran komparatif di sini lebih
menarik karena baik Ibn ‘Arabi maupun Chuang-tzu membedakan tiga tahapan dasar.
Kedua sistem itu berbeda satu sama lain dalam rincian, tetapi seia sekata dalam
yang pokok.
Kita
mulai dengan meninjau ulang tesis Chuang-tzu. Menurutnya, tahapan pertama (“penyucian”) terdiri atas
“mengeluarkan dunia dari Benak”, yakni, katakanlah, melupakan eksistensi dunia
objektif. Dunia sebagai suatu wujud “objektif” secara relatif jauh dari Benak
sejak semula, sehingga relatif mduah bagi manusia untuk menghapuskannya dari
kesadarannya melalui kontemplasi.
Tahapan kedua adalah “mengeluarkan segala sesuatu dari
Benak”, yaitu, menghapus hal-hal familiar yang mengitari manusia dalam
kesehariannya dari kesadaran. Pada tahapan ini, dunia eksternal sepenuhnya
sirna dari kesadarannya.
Tahapan ketiga ialah pelupaan manusia akan Kehidupan,
yakni, kehidupannya sendiri atau lebih jauh eksistensi personalnya. Dengan
demikian, “ego” diahncurkan seluruhnya,d an dunia, baik eksternal maupun
internal, lenyap dari kesadaran. Ketika “ego” dilenyapkan, maka batin manusia
terbuka dan cahaya “iluminasi” segera merasuki kegelapan malam spiritualnya.
Hal ini menegarai kelahiran Ego baru dalam manusia. Kini dia mendapatkan
dirinya sendiri dalam Keabadian, melampaui semua kungkungan ruang dan waktu.
Dia juga “melampaui Kehidupan dan Kematian”, yakni dia “menyatu” dengan segala
hal dan segala hal dipadukan menjadi “satu” dalam “ketiadaan kesadarannya”.
Dalam kondisi spiritual ini, suatu Ketenangan atau Ketenteraman yang tidak
biasa menguasai segala sesuatu. Dan dalam Ketenangan Kosmik ini, jauh dari
hiruk pikuk dan kecemasan alam indriawi, manusia merasa tersatukan dan
teridentikkan dengan proses Transmutasi universal “sepuluh ribu hal”.
Sebagaimana
yang telah saya katakan sebelumnya, Ibn ‘Arabi
juta membagi proses (penyucian) menjadi tiga tahapan dengan menyajikan versi
Islam mengenai penyucian ruhani. Tahap
pertama ialah “peniadaan sifat”. Pada tahapan ini, manusia meniadakan
semua sifat “manusianya”, dan sebagai gantinya, dia menyandang sifat-sifat
Ilahi.
Tahapan kedua manusia mengosongkan “esensi” personalnya
sendiri dan menyadari dalam dirinya sendiri wujudnya menyatu dengan Esensi
Ilahi. Ini merupakan kesempurnaan fenomena “peniadaan diri” dalam pengertian
yang tepat untuk kata tersebut. tahapan ini bersesuaian dengan paro pertama
dari tahapan ketiga Chuang-tzu, pada saat manusia diperintahkan untuk
menanggalkan “ego” purbanya.
Tahapan ketiga, menurut Ibn ‘Arabi, adalah tahapan ketika
manusia mendapatkan kembali “dirinya” yang telah dia sirnakan pada fase
sebelumnya. Hanya saa, dia tidk memperoleh kembali “dirinya” dalam kondisi yang
sama seperti sebelumnya, namun sebaliknya di tengah-tengah Zat Ilahi. Ini
merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa
setelah menanggalkan “ego” purabanya dia telah mendapatkan Ego baru.
Setelah kehilangan hidupnya, dia menemukan Kehidupan baru yang menyatu dengan
Realitas Ilahi. Dalam terminologi teknis Sufisme, hal ini dikenal sebagai
kewaspadaan abadi (Baqa).
Tahapan
ketiga ini senapas dengan paro kedua dari tahapan ketiga menurut pembagian
Chuang-tzu mengenai proses penyucian. Kini manusia menyaksikan seluruh benda
fenomenal saling terkait dan melebur dalam samudra tanpa batas Kehidupan Ilahi.
Kesadarannya – atau lebih tepatnya, suprakesadarannya – berada dalam kesetalaan
penuh dengan kesadaran Ilahi dalam suatu tahapan ontologis sbelum ia bergerak
terpilah-pilah secara aktual menjadi selaksa determinasi dan bentuk partikular.
Sudah sewajarnya, ia memasuki Keheningan mendalam dan suatu Ketenteraman
luarbiasa yang menguasai Benaknya yang terkonsentrasi.
Ada
hal penting lain untuk disebutkan sekaitan dengan masalah “penyucian” Benak
ini. Hal itu menyangkut arah sentripetal “penyucian”. Proses “peniadaan-diri”
atau “penyucian-diri”, jika itu berhasil, secara mutlak harus dipalingkan dan
diarahkan pada inti paling dakhil eksistensi manusia. Arah ini secara jelas
bertolakbelakang dengna gerakan-gerakan Benak yang lazim. Aktivitas benak
biasanya dicirikan oleh kecenderungan sentrifugalnya. Benak memiliki
kecenderungan alamiah yang sangat jelas untuk “keluar” menuju alam eksternal,
ditarik oleh, dan dalam pencarian, obejk-objek eksternal. Demi tujuan
“penyucian” tersebut, kecenderungan alamiah ini mesti dihela dan diputar ke
arah sebaliknya. “Penyucian” hanya dapat direalisasikan oleh “perubahan pada
diri manusia itu sendiri”. Hal ini dilontarkan oleh Ibn ‘Arabi melalui hadis terkenal : “Barangsiapa mengenal dirinya,
niscaya dia mengenal Tuhannya”. Dari perspektif Taoisme, hadis ini
berkorespondensi dengan diktum Lou-tzu : “Barangsiapa
mengenal yang lain (yakni objek-objek eksternal) berarti dia adalah orang yang
‘cerdas’, namun yang mengenali dirinya berarti dia adalah orang yang
‘tercerahkan’. Merujuk pada situasi serupa, Lou-tzu membincangkan
“penutupan semua bukaan dan pintu”. Penutupan semua bukaan dan pintu bermakna
merintangi seluruh arus keluar terjadinya aktivitas sentrifugal dalam Benak. Dengan demikian, apa yang dimaksud adalah
menyelamnya manusia secara jeluk ke dalam benaknya sendiri sampai dia bersentuhan
langsung dengan pusat eksistensial dirinya sendiri.
Alasan
mengapa hal ini harus disebut memiliki arti penting yang khusus adalah bahwa
tesis semacam itu akan emncuatkan pertama-tama pandangan yang bertentangan
dengan tesis yang lebih fundamental dari Ketunggalan Eksistensi. Karena, baik
dalam pandangan-dunia Ibn ‘Arabi maupun para pemikir Taois, bukan hanya diri
kita sendiri melainkan segala sesuatu di alam semesta, tanpa kecuali, adalah
bentuk-bentuk fenomenal Sang Mutlak. Dengan sendirinya, tidak ada perbedaan mendasar
antara kedua pandangan-dunia tersebut. seluruh maujud sama-sama menjelmakan
Sang Mutlak, masing-masing dalam cara dan bentuknya yang khas. Lantas, mengapa
benda-benda eksternal tadi dipandang merusak aktualisasi subjektif Ketunggalan
Eksistensi?
Jawabannya
tidak jauh-jauh. Kendatipun benda-benda eksternal merupakan perwujudan banyak
ragam bentuk Sang Mutlak dan sekalipun kita tahu hal inis ecara intelektual,
kita tidak dapat menembus ke dalamnya dan merasakan dari dalam Kehidupan yang
berdetak dalam Sang Mutlak sebagaimana ia secara aktif bekerja di dalam
tiap-tiap sesuatu. Yang dapat kita lakukan adalah memandang mereka dari luar.
Hanya dalam diri kita sendiri, masing-masing kita mampu masuk ke “sisi
dalamnya” dan mengintuisi Sang Mutlak sebagai sesuatu yang secara konstan
bekerja dalam dirinya sendiri. Hanya dalam hal ini kita dapat berperanserta
secara subjektif dalam Misteri Eksistensi.
Selain
itu, kecenderungan sentrifugal benak secara langsung berkaitan dengan aktivitas
pembedaan yang dibuat oleh Nalar. Dan Nalar tidak bisa bertahan hidup tanpa
mengambil posisi “esensialis”. Karena, ketika batasan-batasan konseptual tidak
lagi terpola secara rapi, Nalar sama sekali tidak berdaya. Menurut Nalar,
“realitas” terdiri atas berbagai “hal” dan “kualitas”, masing-masing memiliki
apa yang disebut sebagai “esensi” yang dengannya ia dibedakan dari selainnya.
“Hal-hal” dan “kualitas-kualitas” inis esungguhnya tidak lain adalah sekian
banyak bentuk manifestasi-diri Sang Mutlak. Tetapi, sejauh mereka adalah entitas-entitas
swapada, mereka menyembunyikan Sang Mutlak di balik hijab-hijab “esensia;”
mereka yang tebal. Mereka menjadi halangan antara penglihatan kita dan Sang
Mutlak, dan memustahilkan berlangsungnya pandangan langsung kita terhadap
Realitas. Dalam hal ini, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
penglihatannya terhalangi oleh tirai tebal “segala sesuatu”. Dalam Taoisme,
orang-orang ini dianggap tidak mampu “mengacaukan” (chaotify) “pelbagai hal”,
tidak bisa menafsirkan realitas kecuali dalam istilah “ini” – atau – “itu”,
“baik” – atau – “buruk”, “benar” – atau – “salah:, dan seterusnya.
Ketika “penyucian” Benak tertuntaskan dan
manusia telah berubah menjadi Kekosongan metafisik, dengan melupakan baik aspek
=-dalam maupun aspek-luar dirinya sendiri, dia dibolehkan untuk mengalami apa
yang oleh para pemikir Tao sebut sebagai “pencerahan” (ming) dan apa yang oleh
Ibn ‘Arabi sebut sebagai “penyingkapan” (kasyf) atau “pencicipan seketika”
(dzauwq). Ciri khas “pencerahan” atau “penyingkapan” adalah bahwa saat tahapan
puncak ini teraktualisasikan sepenuhnya, “segala sesuatu” yang telah dihapus
dari kesadarannya dalam proses “penyucian” semuanya menjadi kembali lagi,
sepenuhnya berubah, ke Benaknya, yang kini laksana cermin tanpa noda yang
menjadi kilau gemilau _ Cermin Misterius, begitu Lou-tzu menamakannya. Maka,
tahapan tertinggi intuisi metafisik ini bukan saja menyaksikan Sang Mutlak,
melainkan juga sepenuhnya tidak menyadari aspek fenomenalnya. “Penyingkapan”
tertinggi, manusia Ibn ‘Arabi, adalah penyingkapan mereka yang menyaksikan
makhluk dan Sang Mutlak sebagai dua aspek dari Realitas tunggal, atau
sebaliknya, yang menyaksikan keseluruhan sebagai Realitas tunggal yang membagi
dirinya sendiri secara terus menerus dan berkelanjutan menurut berbagai aspek
dan hubungan, menjadi “satu” dalam kaitannya dengan Esensi, dan “semua”
kaitannya dengan Nama-Nama Ilahi.
Demikian pula, Manusia Sempurna menurut
Taoisme seutuhnya memandang keragaman segala sesuatu pada aras fenomenal
Eksitensi yang tak terhingga, dan permukaan tak bernoda Cermin Misteriusnya
memantulkan semuanya ketika mereka muncul dan menghilang. Tetapi, kaleidoskop
anekaragam bentuk bergeser-geser terus ini tidak mengganggu Ketenangan kosmik
dari Benak, lantaran di balik tabir-tabir dunia fenomenal yang beranekawarna
ini, dia merasakan “Satu” metafisik. Dia sendiri menyatu dengan perubahan
konstan Transmutasi dan menjadi satu di dalamnya, dia manunggal dengan “yang
Tunggal”.
Pandangan-dunia
metafisik Ibn ‘Arabi, Lou-tzu dan Chuang-tzu merupakan hasil keadaan spiritual
yang “abnormal” tersebut. ia merupakan suatu ontologi, mengingat ia adalah visi
Eksistensi yang terfilsfaatkan. Namun, ia merupakan ontologi luarbiasa karena
visi fundamental Eksistensi jauh dari kesan lazim. [][][][][][][][][][][][]]
15. Struktur Realitas
yang Berderajat
Dalam
kerangka asal-usul historis jelas memang tidak ada tautan sama sekali antara
Sufisme dan Taoisme. Berbicara dari sisi sejarah, Sufisme kembali kepada bentuk
khusus monoteisme Semitik, sementara yang terakhir – jika hipotesis yang saya
ajukan di awal studi ini benar – merupakan elaborasi filosofis dari tipe
shamanisme Timur Jauh.
Adalah
sangat signifikan, kendatipun terdapat jarak sejarah kebudayaan di antara
keduanya yang lebar, pada tataran filosofis keduanya memiliki landasan pijak
yang sama. Pertama-tama, keduanya sama-sama memijakkan pemikiran filosofisnya
pada konsepsi Eksistensi yang amat khas yang pada dasarnya identik, sekalipun
berbeda satu sama lain dalam perincian dan masalah-masalah sekunde.
Lebih
jauh, keduanya sepakat bahwa kegiatan berfilsafat memiliki sumber puncaknya
dalam mengalami Eksistensi, bukan dalam penalaran tentang Eksistensi. Lebih
jauh lagi, “mengalami” Eksistensi dalam kasus khusus ini bukan berarti
mengalaminya pada tataran umum persepsi indrawi, namun pada tataran (atau
sejumlah tataran) intuisi supraindrawi (supra sensible intuition).
Eksistensi
atau Realitas yang “dialami” pada tataran-tataran supraindrawi menyingkapkan
dirinya sendiri sebagai struktur yang bersusun-susun (multi-stratified
structure). Realitas yang orang amati pada intuisi metafisik semacam ini
bukanlah struktur yang bersusunan-tunggal (unistratum). Dengan demikian, visi
Realitas yang dicapai secara total berbeda dengan pandangan umum terhadap
“Realitas” yang dimiliki oleh roang-orang biasa.
Kiranya
sangat menarik bahwa baik Ibn ‘Arabi maupun Chuang-tzu memulai dengan kejutan
keras pada akal sehat dengan menolak sama sekali untuk mengakui realitas yang
lazim disebut-sebut sebagai “realitas”, seraya menyatakan bahwa yang terakhir
itu tidak lain hanyalah sebuah mimpi. Menukil hadis terkenal : “Seluruh manusia
tertidur, hanya setelah mereka mati barulah mereka benar-benar terjaga”, Ibn
‘Arabi berkata, “Alam ini adalah suatu ilusi; ia tidak memiliki eksistensi yang
hakiki .... Ketahuilah, kau sendiri adalah imajinasi. Dan segala sesuatu yang
kaupersepsi dan kaukatakan pada dirimu, ‘ini bukan aku’, adalah juga
imajinasi”. Persis senada dengan Ibn ‘Arabi, Chuang-tzu menuturkan, “Anggaplah
kau bermimpi bahwa kau adalah seekor burung. (Dalam keadaan itu) kau melayang
tinggi ke angkasa. Anggaplah kau bermimpi bahwa kau seekor ikan; kau menyelam
jeluk ke dalam kolam. (Ketika kau mengalami semua ini dalam mimpimu, apa yang
kaualami adalah “realitas”-mu). Dengan memerhatikan ini, tak seorang pun dapat
memastikan apakah kita – kau dan aku, yang sesungguhnya sedang terlibat
perbincangan dalam soal ini – terbangun dari mimpi belaka”. Dengan begitu, apa
yang disebut sebagai “realitas” itu sekonyong-konyong berubah dan tersusutkan
menjadi sesuatu mimpi-mimpi dan tidak nyata.
Bagaimanapun,
hal yang jauh lebih menarik adalah bahwa, baik menurut Ibn ‘Arabi ataupun
Chuang-tzu, diktum “Semua adalah mimpi” memiliki makna metafisik yang sangat
positif. Alhasil, ini bukan pernyataan emotif yang berakibat pada, katakanlah, bahwa dunia yang kita tempati ini
laksana sebuah mimpi, bahwa segala sesuatu di dunia ini secara tragis bersifat
sementara dan sesaat. Namun, sebaliknya, ia merupakan pernyataan
ontologis tegas yang mengakui adanya tataran ontologis yang lebih tinggi,
karena segala sesuatu dihilangkan dari batasan-batasan esensial mereka yang
tampaknya kaku dan disingkapkan dalam kenirwadagan alamiah (natural
amorphousness) mereka. Dan cukup paradoksal bahwa tataran Eksistensi
mimpi-mimpi ini, baik menurut Ibn ‘Arabi maupun Chuang-tzu, jauh lebih “riil”
ketimbang apa yang disebut sebagai ‘realitas’.
Tingkatan
Eksistensi bak-mimpi ini berada dalam sistem ontologis Ibn ‘Arabi ayng dia
namakan dengan “alam kemiripan dan Imajinasi”, sementara Chuang-tzu menyebutnya
dengan Kekacauan (chaos).
Maka
itu, proposisi dasar bahwa semuanya adalah sebuah mimpi tidaklah berarti bahwa
apa yang dinamakan sebagai ‘realitas’ adalah sesuatu yang sia-sia dan tidak
berdasar. Alih-alih bermakna bahwa alam fisik adalah ilusi belaka, proposisi
itu menunjukkan bahwa alam yang kita alami dan rasakan di tingkat indrawi
(sensible level) ini bukanlah realitas swapada atau swasembada
(self-subsistent), melainkan sebuah Lambang – ayah (jamak dari ayat), atau
“indikator” seperti yag disebutkan Ibn ‘Arabi dengan meminjam istilah Al-Qur’an
– yangs ecara samar dan saru menunjuk ke “Sesuatu di balik sana”. Jadi,
objek-objek indrawi (sansible things), dalam tafsiran itu, merupakan
bentuk-bentuk fenomenal (atau sosok-sosok luaran) Sang Mutlak itu sendiri, dan
dengan sendirinya, mereka adalah “riil” dalam bentuk tertentu.
Bagaimanapun,
sekali lagi ini merupakan masalah pengalaman intuitif langsung. Fakta metafisik
di balik dan di luar yang disebut sebagai “realitas”, yang kelihatannya merupakan
jalinan warna-warni fantasi dan imajinasi, yang di dalamnya tersembunyi
Realitas “hakiki”, tidak serta merta menjadi jelas kecuali bagi mereka yang
mempelajari bagaimana “menafsir” dengan tepat – sebagaimana Ibn ‘Arabi katakan
– aneka ragam bentuk dan sifat tak berhingga ini sebagai selaksa manifestasi
Realitas. Inilah apa yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi tatkala dia menyatakan bahwa
manusia harus “mati dan terjaga”.
“Satu-satunya ‘realitas’ (dalam pengertian
sebenarnya istilah ini) adalah Sang Mutlak yang menyingkapkan diri-Nya sendiri
sebagai apa adanya dalam bentuk-bentuk indrawi yang tidak lain merupakan wadah
manifestasi-diri-Nya. noktah ini menjadi dapat dimengerti hanya apabila manusia
terjaga dari kehidupan sekarang – yakni tidur dalam kelalaian ini – setelah dia
meninggal dunia melalui peniadaan-diri di dalam Allah.”
Demikian
juga, Chuang-tzu membahas kebutuhan untuk mengalami Keterjaan Besar. “Hanya
setelah manusia mengalami Keterjagaan Besar barulah dia benar-benar menyadari
bahwa ‘realitas’ hanyalah sebuah Mimpi Besar. Namun, orang dungu membayangkan
bahwa dia sesungguhnya sedag terjaga ...... Alangkah mengakar dan kronisnya
kebodohan mereka!”
Di
amta orang-orang yang telah mengalami Keterjagaan spiritual, segala sesuatu,
masing-masing dalam bentuk dan tingkatnya sendiri-sendiri, memanisfestasikan
kehadiran “Sesuatu yang melampaui”. Dan “Sesuatu yang melampaui” itu pada
akhirnya adalah al-haqq menurut Ibn ‘Arabi dan tao menurut Lou-tzu dan
Chuang-tzu – (yakni) Sang Mutlak. Baik Ibn ‘Arabi maupun para bijak bestari
Taois membedekan beberapa derajat atau tingkatan proses penyingkapan-diri Sang
Mutlak. Secara ontologis, ini berarti bahwa Eksistensi itu merupakan struktur
(realitas) multistrata.
Menurut
Ibn ‘Arabi, struktur itu adalah sebagai berikut :
(1)
Tahapan Esensi (Misteri mutlak, Kegelapan total);
(2)
Tahapan Sifat-sifat dan Nama-Nama Ilahi (Tahapan Ilahiah);
(3)
Tahapan Perbuatan-Perbuatan Ilahi (tingkatan Rububiyah (Lordship);
(4)
Tahapan Pelbagai Citra dan Penyerupaan;
(5)
Alam Indriawi.
Sedangkan
menurut Lou-tzu :
(1)
Misteri segala Misteri.
(2)
Non-Wujud (Tiada, atau Tanpa Nama);
(3)
Yang Esa
(4)
Wujud (Langit dan Bumi)
(5)
Sepuluh ribu hal
Dua
sistem pemikiran visioner tersebut sama-sama mufakat dalam poin-poin berikut :
(1)
keduanya mengakui tahap pertama sebagai Misteri mutlak, yakni, sesuatu yang
secara mutlak tidak diketahui-tidak terketahui, melampaui semua perbedaan dan
pembatasan, bahkan batasan “yang tidak dibatasi”;
(2)
keduanya megnakui empat tahapan terakhir sebagai selaksa bentuk yang disandang
oleh Misteri mutlak ini dalam proses perkembangan ontologis-Nya, sehingga
semuanya itu adalah, dalam pengertian ini, “satu”. Poin terakhir ini, yakni
problem Ketunggalan, akan didiskusikan lebih jauh dalam bab berikut.
[][][][][][][][][][][][][][][]
16. Esensi dan
Eksitensi
Seperti
telah kita lihat sebelumnya, baik “Peneyamaan Surgawi” Chuang-tzu ataupun
“Ketunggalan Eksistensi” Ibn ‘Arabi didasarkan pada gagasan bahwa segala
sesuatu pada akhirnya dapat direduksi menjadi Kesatuan asli Sang Mutlak dalam
kemutlakannya, yakni, “Esensi di tingkat Keesaan” (ahadiyyah).
Harus
dicatat bahwa Esensi dalam Ketunggalan yang kesederhaannya tidak bersyarat,d
alam pandangan Ibn ‘Arabi, tidak lain adalah Eksistensi murni, bahkan di sini
tidak terdapat sedikit pun ketidakcocokan antara “esensi” (yakni, kuiditas) dan
“eksistensi”. Sang Mutlak bukanlah “sesuatu” dalam makna sebuah “substansi”.
Seperti
Wasyani paparkan : “Realiats disebut sebagai “Esensi di tingkat Keesaan” dan
sifat sejatinya tidak lain adalah Eksistensi murni dan sederhana sejauh ia
adalah Eksistensi. Ia bukan pernyataan yang disyaratkan dengan nondeterminasi
ataupun determinasi, karena pada dirinya sendiri ia terlalu kudus untuk dinilai
dengan sifat adan nama apa pun. Ia tidak punya kualitas ataupun delimitasi;
bahkan tidak ada bayang-bayang Kemajemukan di dalam-Nya. ia bukanlah
substansi,...., lantaran suatu substansi mesti memiliki ‘esensi’ selain
‘eksistensi’, yaitu, ‘kuiditas’ yang dengannya ia adalah substansi yang
dibedakan daris emua substansi lainnya”.
Konsepsi
ihwal Sang Mutlak yang tidak diberi syarat determinasi ataupun nondeterminasi
secara lebih lugas dilontarkan oleh Lou-tzu melalui kata-kata tubnggal seperti
“Tiada” dan “Tanpa Nama”, dan oleh Chuang-tzu melalui ungkapan Tiada (Tidak ada
Non-Wujud). Ungkapan terakhir, Tiada (Tidak ada Non-Wujud), secara analitis
menunjukkan tahapan-tahapan proses logis yang emlaluinya orang sampai pada
realisasi Sang Mutalk yang melampaui seluruh determinasi. Pertama, gagasan Sang
Mutlak adalah Wujud, yakni, “eksistensi” sebagaimana yang lazim dipahami,
dinafikan. Karena itu, konsep Non-Wujud dipradugakan. Kemudian, konsep
Non-Wujud ini dibuang lantaran, sebagai negasi sederhana atas Wujud, ia hanya
Non-Wujud relatif. Selanjutnya, diperoleh suatu konsep Tiada Non-Wujud. Konsep
ini berpijak pada penafian Wujud sekaligus Non-Wujud, dan dengan begitu di
dalamnya tersimpan suatu jejak atau refleksi dari oposisi yang ada di antara
dua eprtentangan kontradiktif tersebut. bahkan, untuk membuang jejak
sayup-sayup relativitas ini, orang mesti menafikan Tiada-Non-Wujud itu sendiri.
Maka itu, pada akhirnya konsep Tiada-(Tidak ada Non-Wujud) diisbatkan, sebagai
“Tiada” dalam transendensi nonkondisionalnya yang mutlak.
Chuang-tzu
menjabarkan lewat simbol Angin Kosmik yang mengagumkan bahwa Tiada yang
transenden ini bukanlah “tiada” negatif murni dalam pengertian biasa kata
tersebut; sebaliknya, bahwa ia adalah kelimpahruahan Eksistensi yang menjadi
pijakan ontologis puncak segala sesuatu, sebagai Sesuatu yang terletak di dasar
semua maujud dan yang mewujudkan segala-galanya. Chuang-tzu menyatakan,
“Tampaknya memang ada Penguasa sejati. Kiranya mustahil bagi kita untuk
melihat-Nya dalam bentuk konkret. Dia bertindak – hal ini tidak bisa diragukan
lagi; tetapi kita tidak dapat melihat bentuk-Nya. dia sungguh-sungguh
memperlihatkan aktivitas-Nya, tetapi Dia tidak punya bentuk indrawi”.
Sederhananya, hal itu bermakna bahwa Tiada (Tidak ada Non-Wujud) – atau secara
teologis, Penguasa hakiki alam raya – itu adalah actus, energi kreatif, bukan
suatu substansi. Angin Kosmik pada dirinya tidak dapat dilihat dan tak
terbayangkan – karena ia bukan substansi – tetapi kita mengetahui kehadiran-Nya
melalui aktivitas ontologis-Nya. melalui sepuluh ribu “lubang” dan “celah” yang
masing-masing menghasilkan suaranya sendiri akibat Angin yang berhembus pada
mereka.
Ide
dasar yang melambari penggunaan simbol Angin dapat dibanding dengan pencitraan
favorit Ibn ‘Arabi berupa “aliran deras”
Eksistensi (sarayan al-wujud). “Rahasia Kehidupan (yakni, Eksistensi) terletak
pada tindakan pengaliran yang khas pada air.” “Air” Eksistensi secara abadi
mengalir melalui segala sesuatu. Ia “menyebar” ke segala sudut alam semesta,
membanjiri dan memenuhi segala sesuatu. Kiranya signifikan bahwa baik
Chuang-tzu maupun Ibn ‘Arabi menyantirkan Eksistensi sebagai sesuatu yang
bergerak : “berhembus”, “mengalir”, “menyebar”, “merembes”, dan seterusnya. Hal
ini adalah bukti jelas bahwa Eksistensi sebagaimana yang telah mereka ketahui
melalui “pencicipan langsung” adalah benar-benar suatu actus, tidak lain dan
tidak bukan.
Eksistensi
yang merupakan suatu actus, yang karenanya menyebarkan dirinya sendiri ke sudut
terjauh dan secara luas, selanjutnya melahirkan sepuluh ribu hal. Sepuluh ribu
hal, seperti yang berkali-kali saya tunjukkan, merupakan aneka ragam bentuk
yang di dalamnya Eksistensi (atau Sang Mutlak) memanifestasikan diri-Nya
sendiri. Dan dalam pemaknaan ini, segalanya adalah Eksistensi, tidak ada hal
lain kecuali Eksistensi. Dan memang tiada sesuatu selain Eksistensi. Ditilik
dari tinjauan ini, seluruh alam Wujud adalah satu.
Bagaimanapun,
pada sisi lain, terdapat fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa secara aktual
kita melihat dengan mata kepala sendiri sesuatu ketakterhingaan dari
keanekaragaman “segala sesuatu” yang tak terbatas yang berbeda satu dengan
lainnya. Kata Ibn ‘Arabi, “Terbukti sudah bahwa yang ini berbeda dengan yang
itu ..... Dan di alam Ilahiah, betapapun luasnya ia, tidak ada sesuatu pun yang
mengulangi dirinya sendiri. Sesungguhnya ini adalah fakta yang mendasar”. Dari
perspektif ini, tidak ada suatu benda (ciptaan) yang sama persis dengan benda
lain. Bahkan, “suatu benda yang sama” pada kenyataannya tidak sama persis dalam
dua momen yang berurutan.
Hal-hal
yang secara individu berbeda-beda ini, pada tingkat Eksistensi yang lebih
universal, tetap memelihara perbedaan dan keistimewaan mereka masing-masing,
tetapi kini bukan lagi “sebagai beragam individu” melainkan dalam kerangka
sebagai “beragam esensi”. Perbedaan serta keistimewaan ontologis yang
dimanifestasikan oleh “hal-hal” itu apda tingkat ini jauh lebih kukuh dan
permanen karena mereka didasarkan pada, dan ditetapkan oleh, “esensi-esensi”
mereka. Yang terakhir ini memberikan suatu fiksitas “esensial” pada “pelbagai
hal” yang menjaga mereka dari disitegrasi. Seekor “kdua” adalah “kuda” karena
“esensi”nya; ia tidak pernah bisa menjadi seekor “anjing”. Seekor “anjing” juga
“secara esensial” seekor “anjing”, dan bukan benda lain. Tak ayal lagi, inilah
pijakan dasar ontologis tipe “esensialis”.
Bagaimana
kita bisa mengurai kontradiksi yang tampak antara Ketunggalan Eksistensi mutlak
dan Ketnggalan segala sesuatu yang disebutkan di atas, dan Kemajemukan yang tak
dapat ditolak dari sepuluh ribu hal yang tidak dapat direduksikan menjadi satu
sama lain, apalagi menjadi sesuatu yang unik dan tunggal? Tentu saja, bila
seseorang meletakkan dua sudut pandang ini secara berdampingan, maka benaknya
pasti terlempar ke dalam kebingungan yang mengharu-biru. Menyaksikan Yang Satu
dalam Yang Banyak dan Yang Banyak dalam Yang Satu, atau sebaliknya melihat Yang
Banyak sebagai yang Satu dan yang Satu sebagai Yang Banyak – tentus aja hal ini
akan berakibat pada apa yang disebut oleh Ibn ‘Arabi dengan “kebingungan”
(metafisik) (hayrah).
Dihadapkan
dengan problem ini, Chuang-tzu mengambil pandangan seorang antiesensialis
sejati. Pandangan terhadap segala sesuatu, yang masing-masing dibedakan dari
yang lainnya dengan “batasan” kukuh “esensi”, menurutnya tidaklah memerikan
dengan benar tentang hal-hal itu sendiri. Pembedaan-pembedaan “esensial” yang
diakui oleh akal sehat dan Nalar di antara hal-hal tersebut, menurutnya, kosong dari realitas. “hal-hal”
yang lazimnya terlihat seolah-oleh berbeda satu sama lainnya dalam kerangka
“esensi-esensi” secara sederhana dikarenakan orang awam tidak “terjaga”. Kalau
sudah terjaga, mereka akan “mengacaukan” (chaotify) segala sesuatu dan
memandang semua itu dalam “ketiadaan perbedaan” (undifferentiation) asli
mereka.
Namun
demikian, hal-hal yang “ter-chaos-kan” tidaklah sama dengan ketiadaan mereka.
Konsep “chaotifikasi” (chaotification) menjadi tak bermakna apabila tidak ada
pluralitas sama sekali di alam Wujud. Menurut Ibn ‘Arabi adalah fakta paling
mendasar bahwa banyak hal “berbeda” yang benar-benar mewujud, betapapun “tidak
hakikinya” mereka dalam diri mereka sendiri dan dari sudut pandang tingkat
Eksistensi metafisik yang lebih tinggi. Perbedaan dan keistimewaan yang dapat
diamati di dunia mungkin memperlihatkan diri mereka sendiri sebagai “tidak
nyata” ketika ditilik dengan “penglihatan spiritual” seorang filosof ekstatik,
tetapi selagi segala sesuatu secara faktual berbeda-beda dan lain daripada yang
lain, pastilah juga ada beberapa landasan ontologis untuk hal itu. Dan landasan
ontologis itu tidak bisa lain kecuali “esensi-esensi” tersebut.
Esensi-esensi
itu secara simbolik diisyaratkan oleh Chuang-tzu melalui citra “lubang/celah”
pada pepohonan, yang menghasilkans egala jenis suara ketika Angin menerpa
mereka. Chuang-tzu tidak menegaskan bahwa “lubag-lubang” itu tidak ada dalam
pengertian apa pun. Mereka sebenarnya ada. Satu hal yang perlu disebutkan
adalah bahwa mereka tidak menghasilkan suara oleh karena diri mereka sendiri.
Angin, dan bukan “lubang-lubang” itu, yang sesungguhnya mengeluarkan
suara-suara tersebut. “(Satu angin yang sama) menerpa sepuluh ribu hal dalam
berbagai cara, dan menjadikan setiap ‘lubag’ menghasilkan suara khasnya
sendiri, sehingga masing-masing membayangkan bahwa dirinyalah yang mengeluarkan
suara tertentu itu. Namun sesungghnya siapakah yang menjadikan
(‘lubang-lubang/celah-celah’) itu mengeluarkan berbagai bunyi dan suara?
Semua
ini rupanya sama saja dengan menyatakan – sekalipun Chuang-tzu sendirit idak
berbicara dalam ekrangka konsep-konsep ini – bahwa “esensi-esensi” itu bukanlah
sama sekali tiada, karena secara potensial mereka ada. “Esensi-esensi” itu
benar-benar ada, tetapi hanya in potentia, tidak in actu; mereka tidaklah
aktual atau riil dalam pengertian seutuhnya kata tersebut. sesuatu yang
benar-benar “riil” adalah Eksistensi, tidak lain. Dan “esensi-esensi” tampak
seakan-akan “riil” hanya berkat kegiatan aktualisasi Eksistensi.
Posisi
“lubang-lubang/celah-celah” dalam ontologis Chuang-tzu sejalan dengan
“arketip-arketip permanen” dalam ontologis Ibn ‘Arabi. Perbedaan utama antara kedua
sistem ontologis itu terletak pada fakta bahwa pada yang pertama, hubungan
antara Esensi dan Eksistensi semata-mata bersifat simbolik, sementara Ibn
‘Arabi secara sadar mengambil masalah itu sebagai tema ontologis dan
mengelaborasinya jauh lebih teoritis.
Pada
bab 12 bagian Pertama rincian menyangkut struktur konseptual “arketip-arketip
permanen” telah kita ketengahkan. Cukupla di sini untuk menyatakan bahwa
“arketip-arketip permanen” merupakan “esensi-esensi” segala sesuatu,d an bahwa
mereka tidak diterangkan sebagai “eksisten maupun noneksisten” – yang persis
berlaku pada “lubang-lubang” Chuang-tzu. Tetapi, menariknya adalah bahwa
“arketip-arketip permanen” juga diperikan oleh Ibn ‘Arabi sebagai
“realitas-realitas (haqo iq) yangs ecara abadi tersimpan di alam Gaib”. Yakni,
“arketip-arketip permanen” itu, sekalipun “noneksistensi” dalam kerangka
“eksistensi-eksternal”, benar-benar in actu dalam Kesadaran Ilahi. Dalam hal
ini, ontologi Ibn ‘Arabi berwatak Platonik; ia lebih “esensial” ketimbang
ontologi Chuang-tzu yang tidak megnakui sesuatu yang lebih dari potensialitas
belaka pada “esensi-esensi” tersebut. [][][][][][][][][][][]
17. Pengembangan-Diri
Eksistensi
Landasan
mutlak dan pucnak Eksistensi, baik dalam sufisme maupun Taoisme, adalah Misteri
segala Misteri. Yang terakhir ini, seperti Ibn ‘Arabi katakan, adalah ankar
al-nakirat (yang paling tidak tentu/tidak terikat daris emua yang tidak
tentu/tidak terikat); yakni, ia adalah Sesuatu yang secara total melampaui
semua kualifikasi dan relasi yang dapat didbayangkan. Dan karena ia bersifat
transenden sampai apda tingkat seperti itu, ia tetap tidak dikenal dan tidak
dapat diketahui selama-lamanya. Jadi, Eksistensi per se secara mutlak tak dapat
dibayangkan dan juga tak daat didekati. Ibn ‘Arabi menyebut aspek Eksistensi
ini dengan ungkapan ghayb, “ketersembunyian”, atau “ketaktampakan”. Dalam
sistem Taois, ia disebut hsuan atau Misteri yang merupakan kata yang paling
tepat untuk penyebutan tahap transenden mutlak Eksistensi ini.
Para
bijak bestari Taois juga memiliki sehimpunan kata-kata neatif seperti wu,
Non-Wujud, wu wu, Tiada Sesuatu atau “Tiada”, wu-ming, Tanpa Nama, dan
lain-lain. Istilah-istilah ini tepatnya mesti ditimbang sebagi berfungsi dalam
ranah transendensi semula. Secara konseptual, bagaimanapun, adan perbedaan yang
dapat diamati antara istilah-istilah negatif ini dan “Misteri”, karena
“ke-negatif-an” mereka mengisyaratkan oposisi terhadap sesuatu yang “positif”,
yakni tahapan selanjutnya dari yu atau Wujud, tempat ‘batas-batas’ segala sesuatu-
yang bakal-ada mulai sayupsayup terlihat. Inilah alasan mengapa Chuang-tzu
mengusulkan penggunaan ungkapan kompleks, Tiada-(Tidak Ada-Non Wujud) atau
Tidak Ada-Tidak Ada-Tiada untuk mengacu pada tahapan puncak Eksistensi(yakni
Misteri dari segala misteri) tanpa meninggalkan aras kenegatifannya. Tetapi,
perbedaan antara Misteri dan istilah-istilah negatif ini secara khusus bersifat
konseptual. Kalau tidak, “Non-Wujud”, “Tiada”, dan “Tanpa Nama” persisnya
mendenotasikan hal yang sama dengan “Misteri”. Mereka semua menunjukkan Sang
Mutlak dalam kemutlakan-Nya, atau Eksistensi pada tahapan puncak-Nya, sebagai
Sesuatu yang tidak dikenal-tidak dapat diketahui, melampaui segala jenis
kualifikasi, diterminasi dan relasi.
Adalah
penting untuk dicatat bahwa Ibn ‘Arabi menamai tingkat ontologis ini dengan
“tingkat Keesaan” (ahadiyyah). Sang Mutlak pada tahap ini adalah “Esa” dalam
arti bahwa Ia menolak menerima kualifikasi apa pun. Maka itu, “satu” di sini
berarti tidak ada selain transendensi mutlak.’
Para
pemikir Taois juga membincangkan Jalan sebagai “Yang Esa”. Sebagaimana yang
telah saya coba tunjukkan pada ba-bab sebelumnya, “Yang Esa” dalam sistem Taois
secara konseptual ditempatkan di antara tahapan Non-Wujud dan Wujud. Ini tidak
sama persis dengan Jalan sebagai Misteri, lantaran ia dianggap sebagai sesuatu
yang “dicapai”, yakni disertai, oleh sepuluh ribu hal.d alam istilah lain, Yang
Esa adalah asas imanensi. Jalan adalah “imanen” dalam segala seuatu yang
eksisten sebagai inti eksistensialnya, atau sebagai Kebajikannya, seperti kata
Lou-tzu. Namun, baik dianggap sebagai “imanen” ataupun “transenden”, Jalan
adalah Jalan. Apa yang imanen dalam segala sesuatu persis sama dengan sesuatu
yang mentransendensi segala sesuatu. Situasi ini berkorespondensi dengan
perbedaan konseptual antara tanzih dan tasybih serta keidentikan faktual
keduanya dalam sistem Ibn ‘Arabi.
Karena
itu, konsep Taois tentang Yang Esa, sejauh ia merujuk kepada Sang Mutlak itu
sendiri, adalah padanan akurat bagi ahad-nya Ibn ‘Arabi, “yang mutlak Esa”.
Tetapi, selagi ia adalah “Esa” yang mengandung dalam dirinya sendiri
kemungkinan Kemajemukan, ia adalah padanan yang tepat bagi wahid, “yang Tunggal
di tingkat Nama dan Sifat”, atau Ketunggalan dari Yang Banyak. Ringkasnya, Yang
Esa dalam Taois mencakup ahad dan wahid dalam Sufisme.
Pertimbangan-pertimbangan
tersebut menyadarkan kita bahwa tahap awal dan akhir Eksistensi itu sendiri
tentus aja dapat ditinjau dari dua sudut yang ebrbeda : (1) sebagai Sang Mutlak
per se, dan (2) Sang Mutlak selaku sumber dan titik-awal proses
pengembangan-diri. Pada yang pertama dari dua aspek ini, Sang Mutlak adalah
Misteri dan Kegelapan. Dalam aspek kedua, sebaliknya, suatu bias sayup-sayup
cahaya telah dapat dipersepsi di tengah-tengah kegelapan total tersebut.
sebagaimana Ibn ‘Arabi katakan : “Segala sesuatu tersimpan di dalam dada
Nafas,s ebagaimana cahaya terang di siang hari di tengah-tengah kegelapan
fajar”.
Dalam
hal ini, adalah sangat signifikan bahwa kata yang digunakan oleh para bijak
bestari Taois untuk menunjukkan Misteri, hsuan, semula berarti “hitam” dengan
campuran kemerahan. Lou-tzu sebagaimana telah kita lihat, ingin kita
menggunakan kata p’u dalam pengertian ini juga yang semula berarti “kayu” yang
tidak terpotong”. Eksistensi, pada tahap kesederhanaan mutlak ini, ibarat “kayu
yang tidak terpotong”. Selagi ia masih “tidak terpotong”, tidak ada
sesuatu yang dapat dilihat kecuali
“kayu”. Tetapi, sejauh ia mengandung kemungkinan menghasilkan segala macam
perabotan, ia lebih daripada sekedar “kayu”. Secara aktual, ia masih “Tiada”,
tetapis ecara potensial ia adalah beraneka ragam benda. Setidaknya ada perasaan
samar dan rambang bahwa sesuatu akan segera terjadi. Hal ini adalah aspek
“positif” dari Misteri, sisi Sang Mutlak yang menghadap ke alam penciptaan. Ibn
‘Arabi menyampaikan gagasan yang sama dengan ungkapan “Khazanah tersembunyi”
yang dia ambil dari sebuah hadis. Dan termasuk dari sifat dasae “Khazanah
tersembunyi” bahwa ia “ingin dikenali”.
Bagaimanapun,
pada tahapan Nama-nama dan Sifat-Sifat Ilahiah – dalam peristilahan
pandangan-dunia Ibn ‘Arabi --- “keinginan dikenal” ini, yakni dorongan
ontologis dalam Eksistensi (the inner ontological drive of Existence) ini,
bakal segera teraktualkan. Pada tahapan Ketunggalan mutlak, Sang Mutlak qua
Sang Mutlak dicirikan oleh suatu “kemandirian” sempurna, dan tidak dituntut
oleh atau menuntut bagi dirinya sendiri suatu aktivitas kreatif apa pun. Jika
“penciptaan” dapat sedikir dibayangkan pada tahapan ini, maka ia semata-mata
berupa sosok yang tampak sayup-sayup. Dalam sistem Taoisme, konsep Non-Wujud
atau Tiada secara tepat merujuk pada keadaan pelik ini. “Dalam dan Tak
Berdasar”, Lou-tzu mengatakan, “ia seperti asal-usul dan asas sepuluh ribu hal
..... Di sana tiada, tetapi rupa-rupanya ada sesuatu. Aku tidak tahu putra
siapakah ia. Tampaknya ia merupakan leluhur Kaisar Langit”. “Jalan pada
hakikatnya sangat saru, sama sekali samar-samar. Tidak jelas sama sekali, kabur
total, namun di tengah-tengahnya ada suatu Citra. Samar total, sama sekali
rambang, tetapi di tengah-tengahnya ada Sesuatu”.
“Khazanah
Tersembunyi ingin dikenal”. Khazanah tersembunyi rapat, katakanlah begitu,
namun ditekan dari dalam oleh “keinginan untuk dienal”. Berbicara lebih tidak
simbolik, hal-hal tak terhingga yang dikandung oleh Sang Mutlak dalam status
potentia murni scara kuat mencari jalan keluar. Hal ini tentu saja menyebabkan
tegangan ontologis dalam Sang Mutlak. Dan tekanan ontologis internal ini,
berkembang semakin kuat hingga akhirnya membuka dirinya sendiri dengan letusan
keluar. Kiranya sangat menarik untuk dicatat bahwa baik Ibn “Arabi maupun
Chuang-tzu memilih jenis paparan serupa ketika mencoba mendedah situasi ini.
Chuang-tzu membicarakan soal letusan. Ia berkata : “Bumi Yang Agung meletus, dan letusan ini disebut dengan Angin.
Sepanjang letusan tidak benar-benar terjadi, tidak ada sesuatu yang dapat
diamati. Tetapi, begitu ia terjadi, seluruh celah pohon mengeluarkan
suara-suara mendengung”. Keluarnya sepuluh ribu hal dari Sang Mutlak di
sini diumpamakan dengan Buni Agung yang menyeburkan Angin.
Tak kruang berani dan indahnya adalah
pencitraan mitopoeik (mythopoeic) “hembusan nafas” dari Ibn “Arabi untuk
memerikan masalah tersebut. keadaan ontologis tegangan
tinggi yang mendahului “letusan keluar” dan diakibatkan oleh jumlah besar
sesuatu yang terkumpul di dalamnya diumpamakan dengan keadaan manusia yang
nafasnya tertahan di dalam. Setelah tegangan ini mencapai titik
penghabisan, maka udara yang tertahan di dalam dada tersebut akhirnya meledak
dan menyembur keluar dengan hembusan keras. Serupa itulah kekuatan kreatif
Eksistensi menyembur keluar dari kedalaman Sang Mutlak. Ini adalah fenomena
yang Ibn ‘Arabi sebaut sebagai “hembusan Sang Maha Pengasih”. Dalam bahasa
teologis khas Ibn ‘Arabi, fenomena yang sama dapat juga dijelaskan sebagai
Sifat-Sifat Ilahiah, di tingkat tekanan tinggi dari dalam, tiba-tiba menyembur
keluar dari dada Sang Mutlak. “Sebelum mewujud di alam lahiriah (dalam bentuk
objek-objek fenomenal), Nama-nama itu tersimpan di dalam Esensi Sang Mutlak (yakni,
Misteri dari segala Misteri), dan semuanya mencari jalan keluar menuju alam
eksistensi eksternal. Situasi ini dapat dibanding dengan orang yang menahan
nafas dalam dadanya sendiri. Nafas, yang tertahan di dalam, pasti mencari
sela-sela menuju ke alam luar. Hal ini menyebabkan dalam diri orang itu
terdapat sensasi kemampatan yang disebabkan oleh tekanan tinggi dari dalam.
Bila dia berhasil menghembuskan nafas keluar, maka kemampatan itu tidak akan
lagi terasa. Sebagaimana halnya manusia merasa tersiksa oleh kemampatan ketika
dia tidak berhasil menghembuskan nafas keluar, demikian pula Sang Mutlak akan
merasakan derita bila tekanan (ontologis) dari dalam itu tidak Dia salurkan
melalui perwujudan alam sebagai jawaban atas tuntutan Nama-nama-Nya.
Hal
ini dapat dibanding, sejalan dengan tuntutan internalnya yang niscaya dan
alamiah, terus mendeterminasikan dirinya tanpa kenal lelah dalam benda-benda
konkret yang tak berhingga. Dan “nafas Sang Maha Pengasih” atau Rahmat
ontologis menyelubungi mereka semua, menyusun pusat eksistensial masing-masing
dari mereka. Pusat eksistensial yang diperoleh oleh setiap objek fenomenal
itulah yang disebut dengan (te) atau Kebajikan oleh para bijak bestari Taois.
Menarik
untuk diperhatikan bahwa rahmah atau Rahmat – menurut pemahaman Ibn ‘Arabi –
secara primer adalah suatu fakta ontologis. Ia merujuk pada actus Eksistensi,
yakni, tindakan mewujudkan segala sesuatu. Ia tidak secara primer
mendenotasikan sikap emotif belas kasih dan sayang. Hanya saja, Rahmat sebagai
limpahan Eksistensi tentu saja membawa nada emotif dan subjektif. Dan hal ini
amat selaras dengan mepahamanan etis tentang Tuhan dalam Islam. Aktivitas
kreatif Eksistensi dalam Taoisme disantirkan dalam bentuk yang secara diametris
berlawanan denga konsep tersebut. karena, dalam Taoisme, Jalan disebut sebagai
“tidak-manusiawi” (pu jen). “Langit dan Bumi” kata Lou-tzu, “hampa ‘kasih
sayang’ (yakni, kurang sayang)”. Keduanya memperlakukan sepuluh ribu hal
seakan-akan anjing-anjing jerami. Perbedaan antara kedua sistem itu,
bagaimanapun juga, hanyalah pada permukaannya belaka. Karena, entah dijelaskan
dalam kerangka Rahmat (seperti dalam Sufisme) atau non-Rahmat (seperti dalam
Taoisme), fakta dasar yang diutarakan tetaplah sama.Hal ini disebabkan karena
Rahmat ontologis, dalam konsep Ibn ‘Arabi,s ecara mutlak bersifat Cuma-Cuma.
Apa yang dimaksud dengan Rahmat ataupun non-Rahmat tidak lain adalah aktivitas
kreatif Eksistensi yang serbameliputi. Ibn ‘Arabi sendiri memperingatkan kita
untuk tidak memahami kata rahmah dalam asosiasi-asosiasi lazimnya. “Dalam aktivitasnya tidak ada pertimbangan untuk
mencapai suatu tujuan, atau ada-tiadanya sesuatu cocok untuk suatu tujuan.
Entah tepat ataupunt idak, Rahmat Ilahi meliputi segala sesuatu dengan
Eksistensi”.
Jabaran
Rahmat Ibn ‘Arabi ini sangat sesuai dengan semangat Taoisme sehingga ia
melampaui sisi harfiah penjelasan Lou-tzu ihwal konsep Taois non-Rahmat.
Mengingat dalam keduanya Rahmat maupun Non-Rahmat itu sama-sama tidak berpihak
dan tidak membeda-bedakan dalam pelimpahan “eksistensi”-Nya pada segala sesuatu
dan setiap hal. Dalam perspektif Lou-tzu, aktivitas kreatif Sang Mutlak
merentang mencakup sepuluh ribu hal tanpa satu pengecualian, persisnya karena
Ia berpijak pada kaidah non-Rahmat. Sekiranya sedikit saja emosi manusia terlibat
di dalamnya, niscaya Sang Mutlak tidak akan bertindak denganketakberpihakan
mutlak semacam ini. Ibn ‘Arabi berpendapat, sebaliknya, bahwa Sang Mutlak
mencurahkan “Eksistensi” kepada semua hal tanpa penegcualian persisnya lantaran
semua itu adalah actus Rahmat. Rahmat Ilahi yang secara mendasar bersifat luas
tanpa batas, niscaya meliputi seluruh alam. Jelaslah bahwa gagasan-gagasan
pokok dalam kedua sitem tersebut adalah satu hal yang sama.
Struktur konsep Rahmat atau non-Rahmat ini sendiri secara langsung
bertautan dengan gagasan penting lain; bahwa Sang Mutlak “melampaui baik dan
buruk”. Aktivitas kreatif Sang Mutlak yang terdiri atas pelimpahan “eksistensi”
qua “eksistensi” pada segala seuatu tidak mencakup penilaian moral. Dari sudut
pandang Sang Mutlak, tidak masalah samasekali apakah objek yang diberi itu baik
ataukah buruk. Sebaliknya, secara mutlak tidak ada perbedaan semacam itu di
antara objek-objek tersebut. objek-objek ini menyandang baik dan buruk serta
segenap sifat evaluasional lainnya hanya setelah diberi “eksistensi” oleh
tindakan Sang Mutlak yang tidak membeda-bedakan itu; dan hal itu berasal dari
titik-titik pandang partikular makhluk. Jika tidak demikian, seluruh maujud
sebenarnya berada di atas “jalan lurus” – sebagaimana kata Ibn ‘Arabi katakan ---
atau seluruh maujud adalah “jadi-diri-sendiri” – sebagaimana kata para bijak
bestari Taois. Pada tahap ini, tidak ada perbedaan antara baik dan buruk.
Gagasan
ini dirumuskan oleh Lou-tzu dan Chuang-tzu dalam kerangka pandangan “relativis”
terhadap semua nilai. Orang-orang awam membedakan “baik” dan “buruk”, “indah”
dan “jelek”, “mulai” dan “hina”, dan lain-lain, dan membangun kehidupan sosial
serta personal mereka di atas perbedaan-perbedaan ini seolah-olah mereka adalah
kategori-kategori objektif sifat dasar segala sesuatu. Tetapi, sebetulnya semua
ini berikut pelbagai kategori objek-objek baku lainnya, jauh dari keadaan
“objekrif”, dan tidak lebih dari natijah pendapat-pendapat “subjektif” dan
“relatif”. Seorang wanita “cantik” dalam sudut
pandang manusia, kata Chuang-tzu, adalah cukup “jelek” dan “mengerikan” dari
sudut pandang binatang lainnya sehingga pasti membuat mereka kabur secepat
mungkin. Perbedaan-perbedaan itu semata-mata merupakan sudut pandang yang
relatif,s ebuah masalah suka dan tidak suka. Sebagaimana Ibn ‘Arabi
kemukakan, “Buruk tidak lain adalah apa yang
orang tidak suka, dan baik tidak lain adalah apa yang orang suka.”
Demikianlah,
dalam Sufisme ataupun Taoisme segala sesuatu pada dasarnya, yakni, sebagai
“eksistensi”, tidak baik juga tidak buruk. Namun, ada tinjauan tertentu –
sekali lagi baik dalam Sufisme maupun Taoisme – karena segala sesuatu secara
fundamental dipandang “baik”. Hal ini disebabkan segala sesuatu yang dipandangn
“eksistensi” merupakan manifestasi-diri tertentu dari Sang Mutlak itu sendiri.
Dan di pandang dari perspektif seperti itu, segala
sesuatu di alam raya ini adalah “satu”. Seperti Chuang-tzu tuturkan :
“(Betapapun mereka itu terlihat beda satu sama lain), pada dasarnya semua tidak
lain daripada selaksa hal yang bisa diafirmasi’ yang tumpang tindih satu sama
lain”. Semuanya secara fundamental menyatu dengan yang lain sebagai “hal yang
bisa diafirmasi”, yakni baik. Manusia Sempurna “adalah ‘satu’, entah dia
(tampaknya) menyukai sesuatu ataukah tidak”. Lou-tzu mengatakan : “Semua yang
baik, aku perlalukan sebagai baik. Tetapi yang tidak baik, aku perlalukan
sebagai baik pula. Karena sifat asli manusia itu adalah kebaikan. Orang yang setia aku perlaukan sebagai orang
setia. Tetapi, bahkan yang tidak setia,
aku perlakukan sebagai orang setia.
Karena sifat asli manusia itu adalah kesetiaan”. Sikap seperti itu
tampaknya akan segera didukung oleh Ibn ‘Arabi, yang berkata : “Apa yang buruk adalah buruk hanya karena (kesan
subjektif yang timbul dari) citarasa; tetapi hal yang sama akan ditemukan
secara esensial baik, jika dipandang terlepas dari (sikap subjektif pada sisi
manusia) yang suka atau tidak suka”.
Pertimbangan-pertimbangan
ini memperjelas bahwa bagi Ibn ‘Arbi dan para bijak bestari Taois ada hubungan
sangat dekat dan intim antara Sang Mutlak dan segala sesuatu di alam fenomenal.
Sekalipun alam fenomenal tampak sangat jauh dari Sang Mutlak, bagaimanapun
juga, mereka tidak lain adalah sekian banyak bentuk benda-benda yang disandang
oleh Sang Mutlak dalam memanisfestasikan dirinya-sendiri pada berbagai
tingkatan dan tempat. Hubungan ontologis yang intim antara dua kerangka proses
kreatif ini dalam Taoisme diekspresikan secara simbolek melalui citra hubungan
Ibu-Anak. Jalan pada tahapan “Wujud” atau “Yang Dinamai” dipandang oleh Lou-tzu
sebagai “Ibu sepuluh ribu hal”. Implikasi simbolik dari pernyataan ini adalah
bahwa segala sesuatu di alam fenomenal adalah daging dan darah Sang Mutlak. Dan
cita-cita Taois terletak pada pengenalan manusia terhadap Anak melalui
pengenalan terhadap Ibu, dan pada pengenalan terhadap Anak yang tetap berpegang
kuat pada Sang Ibu.
Pada sisi Ibn ‘Arabi, hubungan ontologis yang sama antara
Sang Mutlak dan benda-benda fenomenal dibanding dengan hubungan yang tak
terpisahkan antara “bayangan” dan sumbernya, yakni manusia atau objek yang
membiaskannya ke bumi. “Tidaklah kau melihat”, tanya Ibn ‘Arabi, “betapa dalam
pengalaman logis wajarmu bayangan sedemikian terikat kuat dengan orang yang
membiaskannya sehingga sangat mustahil baginya untuk membebaskan diri dari
ikatan ini? Hal ini sangat mustahil karena tidaklah mungin bagi segala sesuatu
untuk terpisah dari dirinya sendiri”. Alam adalah bayangan Sang Mutlak dalam
hubungan sangat dekat yang tak pernah bisa terputus. Setiap satu bagian dari
alam merupakan aspek partikular Sang Mutlak,d an merupakan Sang Mutlak dalam
suatu bentuk yang terbatasi.
Ibn ‘Arabi memerikan hubungan serupa dengan
merujuk pada Nama Ilahi : “Mahalembut” (lathif). “Kelembutan” dalam konteks ini
berati kualitas sesuatu yang imaterial yang, disebabkan oleh ematerialitasnya,
merembesi dan merasuki substansi-substansi segala sesuatu yang lain,
menyebarkan dirinya pada segala seuatu itu dan secara bebas berbaur dengannya.
“Adalah pengaruh ‘kemahalembutan’ Tuhan bahwa Dia maujud di setiap benda
partikular, melalui suatu nama partikular, sebagai esensi benda partikular
tersebut. dia imanen dalam setiap objek partikular sedemikian tupa sehingga
Dia, pada setiap kasus, diacu dengan makna konvensional dan lazim yang terdapat
pada nama partikular sesuatu itu. Maka
itu, kita mengatakan : “Ini adalah Langit”,
“Ini adalah bumi”, “ini adalah pohon”, dan lain-lain. Apdahal, esensi
maujud pada setiap benda ini hanyalah satu”.
Kita masih ingat betul bahwa dalam suatu kutipan komentar
atas Fushush al-Hikam karya Ibn ‘Arabi, Qasyani juga menggunakan pencitraan
Sang Ibi. “Dasar pijakan segala sesuatu disebut dengan Ibu (umm), karena Ibu
adalah (batang) yang darinya semua cabang berasal”.
Lebih
jauh, menarik untuk dicatat bahwa baik Ibn ‘Arabi maupun para bijak bestari
Taois melukiskan proses penciptaan sebagai aliran yang terus menerus dan tunak.
Dalam tinjauan ini, pandangan-dunia mereka jelas-jelas berwatak dinamis. Tidak
ada sesuatu yang tetap statis. Alam dalam keseluruhan berada dalam gerakan yang
kencang. Ibn ‘Arabi menyatakan : “Sebagaimana aliran air dalam sungai yang
selama-lamanya menjadi baru kembali secara terus menerus”. Alam
mentransformasikan dirinya secara kaleidoskop setiap detknya. Dengusan Kosmik
Lou-tzu adalah simbol yang tepat untuk proses penciptaan yang tiada henti ini.
“Ruang antara Langit dan Bumi dapat disetarakan dengan puput. Ia hampa, tetapi
aktivitasnya tak terhingga. Semakin ia
bekerja, semakin ia menghasilkan.”
Tesis
Transmutasi universal segala sesuatu yang Chuang-tzu kemukakan juga merujuk
pada aspek Realitas ini. Segala sesuatu di alam fenomenal secara konstan
berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Secara ontologis, segala sesuatu
terlibat dalam proses Transmutasi kosmik. “Mati
dan hidup, abadi dan binasa, terjerembab ke dalam keadaan sulit, dan berada
dalam kemajuan, miskin dan kaya, pandai dan pandir, hina dan mulia ... semuanya
ini tiada lain adalah perubahan-perubahan konstan dalams egala sesuatu, dan
akibat dari kerja Nasib yang tiada henti. Semuanya ini silih berganti berubah
di depan mata kita, tetapi tak seorang pun dengan Inteleknya bisa melacak
kembali ke sumber asli mereka”. Perubahan-perubahan ini “mengingatkan
kita akan segala jenis suara yang muncul dari lubang-lubang kosong (sebuah seruling),
atau cendawan-cendawan yang tumbuh dari kelembaban hangat. Siang dan malam,
perubahan-perubahan ini tidak pernah berhenti saling bergantian di depan mata
kita”.
Ibn ‘Arabi melacak pasang-surut segala sesuatu yang tiada
henti ini hingga satu momen tunggal. Hasilnya adalah teori “penciptaan
barunya”, yakni, tesis bahwa alam semesta terus diciptakan ulang setiap
saatnya. Setiap saat, benda-benda dan sarana-sarana tak terhitung dihasilkan,
dan pada saat berikutnya, mereka dimusnahkan untuk digantikan oleh benda-benda
dan sarana-sarana tak terhingga lainnya. Dan proses ontologis ini, terus
mengulang-ulang dari-nya tanpa henti dan tanpa akhir.
Menariknya,
tidak dalam Sufisme maupun Taoisme, proses Turun ontologis ini .. dari Misteri
dari segala Misteri sampai tahap benda-benda fenomenal – yang dibuat untuk
melukiskan akhir penghabisan aktivitas Eksistensi. Proses Turun ini diikuti
oleh kebalikannya, yakni proses Naik (ontologis). Sepuluh ribu hal tumbuh subur
pada tahapan akhir proses turun, kemudian mengambil proses naik menuju sumber
puncak mereka hingga raib di Kegelapan sediakala dan mendapatkan tempat
istirahat mereka dalam Keheningan/Kedamaian kosmik yang prafenomenal. Jadi,
seluruh proses penciptaan membentuk lingkaran besar ontologis yang di dalamnya
sesungguhnya tidak ada titik awal maupun titik akhir, gerakan dari satu tahapan
ke tahapan lain, dilihat pada dirinya sendiri, tentunya adalah suatu gejala
temporal. Tetapi, keseluruhan lingkaran yang tidak memiliki titik awal maupun
titik akhir itu adalah fenomena transtemporal atau fenomena atemporal.d engan
kata lain, ia adalah proses metafisik. Segala sesuatu adalah kejadian dalam
Sekarang/Kini yang Abadi (an Eternal Now). [][][[][][][][][][][][][][][][][]
T A M A
T
Sepanjang, 01 Desember 2019.