“TAOISME”
Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang–Tzu,
Serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn
‘Arabi
Buku Kedua dari
SUFISME dan TAOISME
TOSHIHIKO
IZUTSU
Diterjemahkan dari Sufism and Taoism; A
Comparative Study of Key Philosophical Conseps (Parts 2 & 3) by Thoshihiki
Izutsu
@ 1983, 1993, Toshihiko Izutsu
Penerjemah : Musa Kazhim & Arif Mulyadi
Penyunting : Hardiansyah Suteja
Perancang Isi : Dzul Yamin
ISBN : 978-979-433-914-5
Cetakan I, November 2015
Diterbitkan Oleh Penerbit Mizan (PT Mizan
Publika) Anggota IKAPI
Gedung Ratu Prabu I, Lt.6
Jl. TB Simatupang Kav 20 Jakarta 12430,
Indonesia
Laman : http”//www.mizan.com
Surel : mizan,scholar@yahoo.com
Penyadur : Pujo Prayitno
ISI BUKU
Prakata
Pendahuluan
BAGIAN PERTAMA
1.
Lao-Tzu dan Chuang-Tzu
2.
Dari Mitopoiesis (Mythopoiesis) Menuju Metafisika
3.
Mimpi dan Kenyataan
4.
Melampaui Ini dan Itu
5.
Kelahiran Ego Baru
6.
Menentang Esensialisme
7.
Jalan (Tao)
8.
Jalan Keluar dari Selaksa Keajaiban
9.
Determinisme dan Kebebasan
10.
Pembalikan Mutlak terhadap Nilai-Nilai
11.
Manusia Sempurna
12.
Homo Politicus
BAGIAN KEDUA
Refleksi Komparatif
13.
Sejumlah Pendahuluan Metodologis
14.
Transformasi Batin Manusia
15.
Struktur Realitas yang Berderajat
16.
Esensi dan Eksistensi
17.
Perkembangan Diri Eksistensi
PRAKATA
Buku
iini aslinya telah saya tulis lebih dari lima tahun silam, semasa saya mengajar
filsafat Islam di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal,
Kanada. Pada waktu itu, saya mulai sadar bahwa perlahan-lahan saya memasuki
fase baru kehidupan intelektual, meraba-raba jalan menuju tipe baru filsafat
oriental yang didasarkan pada serangkaian studi fitologis dan komparatif yang
ketat terhadap sejumlah istilah kunci dari beberapa tradisi kefilsafatan di
timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Karya ini adalah produk pertama
dalam upaya saya ke arah tersebut.
Buku
ini selanjutnya diterbitkan di Jepang dalam dua jilid pada 1966-1967, dengan
judul A Vomparative Study of Key Philosophical Conceps ini Sufism and Taoism
(diserta sub judul Ibn “Arabi and Lao-tzu – Chuang tzu) sebagai publikasi The
Institute of Cultural and Linguistic Studies, Keio University; Tokyo, di bawah
pengarahan mendiang Profesor Nobuhiru Matsumoto.
Tuntutan
besar bagi sebuah edisi baru yang direvisi mendorong saya untuk menerbitkan
ulang buku ini sewaktu saya di Iran. Karena dicetak di Ingris dan dijadwalkan
beredar di Teheran pada akhir 1978 menjelang pecahnya “revolusi” Khomeini, buku
ini akhirnya tidak mungkin untuk diterbitkan. Syahdan, akibat terjadinya takdir
aneh, buku ini – dalam keadaan telah direvisi seutuhnya, meski masih dalam
bentuk lembarn-lembaran untuk diperiksa – sekali lagi kembali bersama
pengarangnya ke Jepang tempatnya pertama kali terlahir.
Saat
merevisi keseluruhan buku ini, saya berupaya sebisa mungkin menghapus semua
kekurangan yang teramati pada waktu itu. Tetapi tentu saja, tetap ada
batas-batas alamiah bagi upaya perbaikan dan perubahan semacam itu.
Saya
hanya berharap bahwa dalam bentuk barunya, walau pun pasti masih mengandung
banyak kekeliruan dan kekurangan, setidaknya buku ini bisa menjadi sumbangan
bersahaja menuju pengembangan “dialog-dialog metahistoris” antara berbagai
tradisi filosofis di Timur dan Barat, dialog filosofis khas yang kiranya saat
ini dunia sedang sangat membutuhkannya.
Kewajiban
menyenangkan buat saya untuk berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada The
Iwanami Shoten Publisher, yang telah mengambil tugas penerbitan karya ini.
Terima kasih khusus buat Mr. Atsushi Aiba (dari penerbit yang sama) yang
bekerja maksimal demi terlaksananya proyek ini. Saya juga ingin menghaturkan
terima kasih kepada pihak-pihak berwenang di almamater saya. Keiro University,
yang sekarang saya ingat dari mereka saya mendapatkan banyaik dorongan saat
saya menulis karya ini dalam bentuk aslinya.
T.
Izutsu
4
Oktober 1981
Kakamura
Jepang
PENDAHULUAN
Sebagaimana
tersirat pada judul dan sub-judul, tujuan utama keseluruhan karya ini adalah
mencoba melakukan perbandingan struktural antara pandangan dunia Sufisme yang
diwakili Ibn “Arabi dan pandangan dunia Taoisme yang diwakili Lao-tzu dan
Chuang-tzu. Saya menyadari bahwa studi sejenis ini memiliki sejumlah jebakan.
Perbandingan yang dilakukan seara sederhana antara dua sistem pemikiran yang
tidak memiliki hubungan historis bisa menjadi pengamatan dangkal atas pelbagai
keserupaan yang kurang menunjukkan ketajaman ilmiah. Untuk menghindari
kekeliruan ini, diperlukan upaya pembeberan struktur fundamental tiap-tiap
pandangan-dunia secara independen dan seketat mungkin sebelum mengajukan
pertimbangan komparatif apa pun.
Bertolak
dari situ, Bagian Pertama akan dkhususkan bagi upaya mendudukan dan menganalisa
konsep-konsep ontologis utama yang melambari pandangan-dunia filosofis Ibn
“Arabi, sementara pada Bagian Kedua sebuah studi analitis yang sama persis sama
akan dibuat seputar pandangan-dunia Lao-tzu dan Chuang-tzu, sehingga kedua
bagian itu akan menjadi dua studi yang berbeda sama sekali; satu bagian
mengenai Ibn ‘Arabi dan bagian kedua mengenai Taoisme kuno. Baru pada Bagian
Ketiga kita akan melakukan upaya perbandingan dan koordinasi pelbagai
konsep-kunci kedua pandangan-dunia yang sebelumnya telah dianalisis tanpa
melihat keserupaan dan perbedaan keduanya.
Apapun
hasilnya, motif utama yang mengaliri keseluruhan karya ini tidak lain adalah
keinginan untuk membuka jendela baru pada ranah filsafat dan mistisisme
komparatif. Titik tolak yang baik bagi komparasi semacam ini terletak pada
fakta bahwa kedua pandangan-dunia ini sama-sama berlandas pada dua poros utama.
Sang Mutlak dan Manusia Sempurna. Sistem utuh dalam pemikiran ontologis yang
berkembang pada dua pandangan-dunia di atas bermuara pada dua kutub ini.
Harus
dicatat sebagai suatu struktur ontologis, hal ini tidaklah asing dalam sufisme
dan Taoisme. Oposisi Sang Mutlak dan Manusia Sempurna sebagai dua poros
pandangan dunia dalam berbagai bentuk merupakan pola dasar yang lazim bagi
banyak tipe mistisisme yang berkembang di dunia pada tempat dan waktu yang
berlainan. Sebuah pertimbangan komparatif atas sejumlah sistem serupa dalam pola umum dan berbeda dalam
hal-hal terperinci (semisal) asal-usul dan lingkungan historis tampaknya akan
bermanfaat untuk mempersiapkan landasan bagi apa yang secara tepat disebut
Profesor Henry Corbin sebagai un dialogue dans la metahistoire, yakni dialog
metahistoris atau transhistoris. Inilah sesuatu yang dibutuhkan secara sangat
mendesak dalam situasi dunia sekarang.
Mengingat
bahwa Ibn ‘Arabi menimbulkan banyak diskusi dan kontroversi yang tidak pernah
terjadi dalam sejarah pemikiran Islam sebelumnya, dan menisbahkan hal ini pada
watak dasar Islam yang mengkombinasikan dua Kebenaran : haqiqah (kebenaran
berdasarkan inteleks) dan Syari’ah (Kebenaran berdasarkan Pewahyuan), Dr. Osman
Yahya mengajukan pertanyaan berikut ini :
“Ie cas
d’Ibnu “Arabi ne se posarait pas ovec autant d’acuite dans une tradition de
pure metaphysique comme le tooism ou le vedanta ou Ia personalite du Moitre ...
eut pu s’sepanouir librement ni non plus dans une tradition de pure loi
positive ou son cas n’eut meme pas pu etre pose pusiqu’il eut ete refuse par la
communaute tout entiere, irremediablement. Mais le destin a voulu placer Ibn
‘Arabi a la croisee des chemins pour digager, en sa personne, la veritable
vocation de l’Islam.”
Kasus
Ibn ‘Arabi tidak mungkin mengemuka secara heboh dalam sebuah tradisi metafisika
murni sebagaimana halnya tooisme ataupun wedanta di mana kepribadian sang Guru
.... telah bisa berkembang dengan bebas; bukan pula dalam sebuah tradisi hukum
poisitf murni di mana kata Ibn “Arabi bahkan tidak bisa dikemukakan karena
telah ditolak sepenuhnya oleh seluruh masyarakat. Tetapi takdir ingin
menempatkan Ibn “Arabi dalam persimpangan jalan guna mengumandangkan seruan
sejati Islam dengan sendirinya.
Tidak
dapat disangkal bahwa metafisika Lao-tzu tentang Tao dalam kejelukan
pemikirannya yang tidak berujung menunjukkan sejumlah keserupaan menakjubkan
dengan konsep Ibn “Arabi tentang wujud (being). Lebih menariknya lagi, seperti
yang akan saya singgung pada Bagian Kedua, Lao-tzu dan Chuang-tzu
merepresentasikan puncak tradisi spiritual yang secara historis berbeda dengan
Sufisme.
Sebagaimana
telah saya nyatakan di atas, kita mesti menjaga diri dari membuat
perbandingan-perbandingan yang terlalu gampang. Tetapi, kita juga harus
mengakui bahwa studi komparatif sejenis ini, bila dilakukan secara cermat,
setidaknya akan memberikan landasan umum bagi terciptanya sebuah dialog antar
budaya yang berguna.
Sejalan
dengan rencana besar itu, paro pertama buku ini akan berhubungan secara eksklusif
dengan studi analitis atas beberapa konsep kunci yang menjadi dasar-dasar
ontologis pandangan-dunia Ibn “Arabi. Seperti telah saya katakan,
pandangan-dunia ini berkisar pada dua poros. Sang Mutlak dan Manusia Sempurna,
dalam bentuk Turun dan Naik ontologis
(ontological Descent and Ascent). Dalam mendedahkan proses kosmik ini, di
setiap tahapannya, Ibn “Arabi telah mengembangkan pelbagai konsep
penting.Konsep-konsep itulah yang akan dianalisis dalam karya ini. Jadi, karya
ini secara metodis bertujuan menguraikan aspek ontologis filsafat mistis Ibn
“Arabi sebagai sistem yang memiliki sejumlah konsep kunci yang berhubungan
dengan “maujud: (being) dan “Eksistensi”.
Kita
harus akui bahwa ontologis hanya salah satu aspek dari pemikiran manusia
luarbiasa ini. Ada sejumlah aspek lain yang tidak kalah pentingnya semisal,
psikologi, epistemologi, simbolisme, dan lain sebagainya, yang secara
keseluruhan membentuk sebuah pandangan-dunia yang orisinal dan berbobot. Namun,
konsep Maujud, seperti akan kita lihat, adalah dasar pemikiran filosofisnya.
Dan, teorinya tentang Maujud tak ayal lagi sangat orisinil dan secara historis
berpengaruh luas sehingga perlu diperlakukan secara terpisah.
Sejak
sekarang, saya ingin menjelaskan bahwa karya ini bukanlah sebuah studi
filologis yang menyeluruh mengenai Ibn “Arabi. Sebaliknya, sejauh menyangkut
Ibnu “Arabi, studi ini didasarkan hampir secara khusus pada buku Fushush
Al-Hikam. Pada intinya, karya ini berisi analisis terhadap beberapa konsep
ontologis utama yang dikembangkan Ibnu “Arabi dalam buku yang paling dipuja dan
sering digambarkan sebagai opus magnum-nya. buku ini telah dikaji dan
dikomentari oleh sekian orang sepanjang beberapa abad. Jadi, dari segi bahan,
karya ini tidak berpretensi menyuguhkan hal baru.
Sejak
semula, saya tidak berniat melakukan kerja besar-besaran. Saya lebih berniat
menyelami “napas-kehidupan”, semangat menyala dan sumber eksistensial kehendak
berfilsafat yang terdapat pada pemikir besar ini. Dari kedalaman itu, saya
ingin menemukan susunan keseluruhan sistem ontologisnya, langkah demi langkah,
persis seperti dia sendiri mengembangkannya. Untuk memahami pemikiran manusia
semacam Ibnu “Arabi, seseorang harus menangkap ruh yang merasuki dan
menghidupkan keseluruhan struktur’ bila tidak, semuanya akan hilang. Semua
pertimbangan dari luar, pasti akan jauh panggang dari api. Bahkan, pada tataran
intelektual dan filosofis, orang harus mencoba memahami pemikirannya dari dalam
dan merekontruksinya dalam dirinya sendiri melalui hal yang dapat disebut
sebagai empati eksistensial. Untuk tujuan itu, meskipun kerja besar-besaran
tentu saja menarik, hal itu bukanlah persyaratan utama.
Ibnu
“Arabi bukan sekedar pemikir berbobot, dia juga seorang penulis prolifik
luarbiasa. Kalangan ahli sendiri berselisih perihal jumlah pasti dari
karya-karyanya. Sebagai misal, Al-Sya’rani mencatat syaikh ini telah menulis
sekitar 400 karangan. Repetoar umum dalam karya bibliografis Dr. Osman Yahya
yang disebutkan di atas mendaftar sebanyak 856 karya, meskipun termasuk karya
yang diragukan dan jelas-jelas palsu.
Dalam
situasi seperti ini, dan untuk tujuan kita, bukan saja tidak relevan, melainkan
cukup berbahaya, untuk mencoba mencatat semua yang dikatakan dan ditulis
seorang pengarang mengenai semua subyek selama beberapa tahun. Hal itu bisa
dengan mudah menghanyutkan orang dalam samudra konsep, citra, dan simbol yang
tercecer secara acak sepanjuang ratusan karyanya, dan kehilangan pandangan atas
satu atau beberapa garis pemikiran dan ruh pemandu yang melambari keseluruhan
struktur yang ada. Demi menghindari tumpukan simbol dan mungkin lebih bermanfaat
untuk berkonsentrasi pada sebuah karya yang memaparkan berbagai pemikirannya
dalam bentuk paling matang.
Bagaimanapun,
karya ini secara ekslusif berisi analisis ihwal Fushush Al-Hikam, kecuali di
beberapa tempat ketika saya mengacu pada karyanya yang lebih kecil untuk
memperoleh penjelasan lebih jauh mengenai sejumlah pokok masalah penting.
Seperti yang saya nyatakan di atas, Fushush Al-Hikam dikaji banyak orang dalam
bentuk yang beragam. Betatapun, saya berharap bahwa analisis saya atas buku yang
sama akan menyumbangkan pemahaman lebih baik terhadap Syaikh Akbar yang telah
dianggap sebagai salah satu pemikir mendalam, tetapi pada saat yang sama,
paling susah dipahami yang pernah dilahirkan Islam.
BAGIAN
PERTAMA
1.
LAO-TZU dan CHUANG-TZU
Tao
Te Ching, merupakan buku terkenal di dunia. ia merupakan buku paling banyak
dibaca di Barat dalam beragai terjemahan sebagai salah satu teks dasar paling
penting dari Kebijaksanaan Timur. Secara umum – atau lebih tepatnya secara
populer – ia dipandang sebagai risalah filosofiko-mistis yang ditulis pemikir
Cina kuno bernama Lao-tzu, kawan senior dari Konfucius (Kong Hu-Chu/Confucius).
Dalam lingkaran lebih ilmiah, dewasa ini tak ada seorang pun yang mengambil
pandangan semacam itu.
Sebenarnya,
sejak Dinasti Ch’ing, ketika pertama kali persoalan kepengarangan buku itu
dimunculkan di Cina, buku ini telah didiskusikan oleh banyak orang. Ia telah
mendorong kontroversi yang demikian hidup tidak hanya di Cina, melainkan juga
di Jepang, bahkan di Barat. Hipotesis-hipotesis yang diajukan begtu beragam,
sehingga membuat kita gelap soal apakah Tao Te Ching merupakan karya seorang
pemikir individual, atau bahkan apakah lelaki bernama Lao-tzu itu benar-benar
ada? Kita tidak lagi berada dalam suatu posisi untuk membuat tempat kronologis
layak seputar buku itu dengan kepercayaan penuh.
Untuk
tujuan khusus kita, masalah kepengarangan dan autentisitas karya itu hanya
memiliki arti sampingan. Entah pernah ada seorang tokoh historis bijak bernama
Lao-tzu di negara Ch’u, yang hidup lebih dari 160 tahun ataukah tidak, baik
orang bijak ini benar-benar menulis Tao Te Ching atau tidak, pertanyaan-pertanyaan
ini dan sejenisnya, baik dijawab secara negatif ataupun afirmatif, tidak
berpengaruh sama sekali pada tujuan utama karya ini. Yang menjadi kepentingan
mendasar ialah bahwa pemikiran itu ada, dan ia mempunyai struktur dakhil yang
sangat khas. Apabila dianalisis dan dipahami dengan cara tepat, ia akan menjadi
filsafat Cina tandingan yang sangat memikat bagi corak filsafat “Kesatuan
Eksistensi” (wahdat al-wujud) sebagaimana dipaparkan Ibn “Arabi dalam Islam.
Lao-tzu
adalah tokoh legendaris, atau setidaknya, semi-legendaris, yang sungguh
keterlaluan jika mengatakan bahwa tidak ada hal pasti mengenainya yang kita
ketahui. Karena, bahkan dengan asumsi bahwa ada dasar historis pada
biografinya, harus kita akui bahwa khayalan rakyat telah merajutnya menjadi
tapestri menawan yang terdiri dari pelbagai peristiwa luarbiasa dan kejadian
menakjubkan yang tak seorang pun bisa berharap untuk menguraikan jaring rumit
legenda mitos, dan fakta di dalamnya.
Bahkan,
sejarawan Cina paling waras dan dapat diandalkan di masa kuno, dan yang paling
awal berusaha menggambarkan kehidupan serta sepak terjang Lao-tzu dalam karya
Buku Sejarah, Ssu Ma Ch’ien dari Dinasti Han (awal abad pertama sebelum
Masehi), harus puas dengan memberikan narasi amat tidak konsisten dan tidak
sistimatis yang disusun dari sejumlah cerita yang berasal dari berbagai sumber.
Menurut salah satu legenda tersebt, Lao-tzu merupakan penduduk
negeri Ch’u. Dia masih menjabat sebagai pegawai bendhahara Kerajaan Chou,
ketika Konfucius datang mengunjunginya. Setelah wawancara, Konfucius dikisahkan
membuat pernyataan berikut pada murid-muridnya tentang Lao-tzu : “Burung-burung
terbang, ikan-ikan berenang, dan hewan-hewan berlarian – semua ini aku ketahui
dengan pasti. Lantas, yang lari bisa ditangkap, yang berenang bisa dikail, dan
yang terbang bisa dibidik dengan anak panah. Namun, apa yang bisa kita perbuat
pada naga? Kita tidak bisa melihat bagaimana ia menunggang angin dan awan serta
menaiki langit. Begitulah Lao-tzu yang kutemui hari ini, hanya bisa dibanding
dengan seekor naga!”.
Kisah
ini menjadikan Lao-tzu sebagai orang yang hidup sezaman dengan Konfucius
(551-479 SM). Hal ini tentu saja berarti Lao-tzu yang hidup di abad ke-6 SM,
tidak mungiin menjadi suatu fakta historis.
Banyak
argumen telah diajukan terhadap historisitas cerita yang baru saja kita kutip.
Salah satunya memiliki arti penting tertentu bagi kita; terkait dengan
pengujian ini dan narasi serupa secara filologis serta dalam kerangka
perkembangan historis pemikiran filosofis di Cina kuno. Di sini saya akan
memberikan contoh tipikal dari argumen filologis semacam itu.
Sokichi
Tsuda dalam karya kodangnya, The Thought of the Taoist School and its
Development, melakukan pengujian filologis cermat atas penggunaan tidak umum
dari beberapa istilah tekenis kunci dalam Tao Te Ching. Dia sampai pada
kesimpulan bahwa buku itu pasti merupakan produk periode setelah Mencius (372 –
289 SM). Implikasinya, Lao-tzu – dengan asumsi bahwa dia memang tokoh historis –
adalah seorang pemikir yang muncul setelah Mencius.
Tsuda
memilih ungkapan jen-i yang dijumpai pada Bab XVIII Tao Te Ching sebagai
patokan penilaiannya. Kata Jen-i marupakan paduan dua kata, jen dan i. Dua kata
ini, jen (perikemanusiaan atau humanenes, dengan penekanan khusus apda belas
kasih) dan i, (kesalehan), tidak termasuk dalam kota kata Lao-tzu; keduanya
adalah istilah-istilah kunci Konfusianisme. Saat memaparkan dua kebajikan
manusia paling mendasar, kedua istilah kunci itu berperan sangat penting dalam
pemikiran etis Konfusius sendiri. Namun, dalam lisan Konfusius, keduanya tetap
merupakan dua kata mandiri; keduanya tidak bergabung menjadi suatu unit
semantik dalam bentuk jen-i yang hampir sejajar dengan konsep kompleks tunggal.
Fenomena terakhir ini baru teramati pada masa pasca Konfusius.
Tsuda
menunjukkan bahwa pemikir yang pertama kali menekankan konsep jen-i adalah
mencius, fakta ini, bersama dengan fakta dalam pasase yang disebutkan di atas
bahwa Lao-tzu menggunakan istilah0istilah jen dan i dalam bentuk gabungan, akan
memperlihatkan bahwa Tao Te Ching merupakan produk dari suatu periode ketika
istilah kunci Kunfusian jen-i telah terbangun dengan kukuh, karena pasase
tersebut secara jelas dimaksudkan sebagai kritik tajam atas etika Konfusian.
Dengan kata lain, Lao-tzu menggunakan ungkapan tersebut dengan maksud seperti
itu lantaran dia telah melihat Mencius dan teori etikanya.
Lebih
dari itu, lanjut Tsuda, Mencius secara gigih menyerang dan mengutuk segala
sesuatu yang tidak selaras dengan Konfusianisme. Namun, tidak pernah sekalipun
dia menunjukkan upaya sadar untuk mengkritik Lao-tzu atau Tao Te Ching,
sekalipun faktanya ajaran Lao-tzu ini secara diametris berlawanan dengan
doktrinnya. Bahkan, dia tidak pernah menyebut nama Lao-tzu. Inilah bukti tak
terbantahkan yang menguatkan tesis bahwa Tao Te Ching termasuk karya dari
periode setelah Mencius. Mengingat, dontrin-doktrin Tao Te Ching dikritik
secara terang-terangan oleh Hsun-Tzu (wafat kira-kira 315-236 SM), maka Lao-tzu
tidak mungkin lahir setelah Hsun-Tzu. Dengan demikian, sebagai kesimpulan,
Tsuda menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode antara Mencius dan
Hsun-Tzu.
Meskipun
terdapat sejumlah poin bermasalah pada argumen-argumen Tsuda, saya kira secara
keseluruhan dia benar adanya. Kenyataannya, ada sejumlah pasase dalam Tao Te
Ching yang tidak dapat dipahami sepenuhnya kecuali kita menempatkannya pada
latar belakarng filsafat Konfusian yang sudah berdiri sangat kuat.
Sesungguhnya, hal ini merupakan inti seluruh masalah, setidaknya bagi mereka
yang menjadikan pemikiran Lao-tzu itu sendiri sebagai perhatian utama.
Baris-baris pembuka sangat terkenal dari Tao Te Ching, misalnya, yang di
dalamnya Jalan sejati (the rela Way) dan Nama sejati (the real Name) disebutkan
dengan sangat kontras antara “jalan” biasa dan “nama” biasa, tidak memiliki
nama hakiki kecuali ketika kita menyadari bahwa apa yang dimaksudkan dengan
“jalan” biasa (the ordinary way) tidak lain adalah jalan hidup etis sebagaimana
dipahami dan diajarkan oleh mazhab Konfusius. Sementara itu apa yang disebut
sebagai “nama-nama” biasa adalah “nama-nama” Konfusian, akni kategori-kategori
etis tertinggi yang dibakukan melalui “nama-nama” tertentu, aitu sejumlah
istilah kunci.
Lebih
jauh, buku Tao Te Ching mengandung sejumlah kata dan frase yang secara sepintas
berasal dari aneka sumber lain, seperti Mo-tzu, Yang Chu, Shang Yang, dan
bahkan Chuang-tzu, Shen Tao,d an sebagainya. Ada sejumlah sarjana yang, dengan
mendasarkan diri mereka pada obersevasi ini, melangkah lebih jauh daripada
Tsuda dan menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode Chuang-tzu dan Shen Tao. Yang Jung Kuo, seorang sarjana
kotemporer dari Peking, misalnya membenarkan pendapat ini dalam bukunya,
History of Thought in Ancient China.
Sebagian
“referensi” milik para pemikir yang secara tradisional dipandang lahir setelah
Lao-tzu yang dipradugakan di sini boleh jadi sangat bisa dijelaskan karena
pengaruh Tao Te Ching itu sendiri pada mereka. Dalam menuliskan karya-karya
mereka, para pemikir ini mungkin “meminjam” sejumlah gagasan dan ungkapan dari
buku Tao Te Ching. Selain itu, kita harus ingat bahwa teks buku ini, yang kita
miliki hari ini, secara jelas telah melewati proses penyuntingan, penyuntingan
ulang, dan penataan kembali yang berkali-kali pada Dinasti han. Banyak
“referensi” yang mungkin bersifat tambahan dan interpolasi yang diimbuhkan
belakangan.
Bagaimanapun,
harus diakui bahwa Tao Te Ching merupakan suatu karya Kontroversial. Paling
tidak bisa dirumuskan pemikirannya telah mempradugakan keberadaan mazhab
Konfusian.
Kembali
pada aspek lain dari Lao-tzu yang lebih penting untuk tujuan buku ini ketimbang
aspek kronologisnya. Kita bisa mulai dengan memerhatikan Biografi Lao-tzu yang
disodorkan Ssu Ma Ch’ien dalam Biik of History. Pada buku itu dia menepatkan
Lao-tzu sebagai orang Ch’u. Maka itu, dalam suatu pasase, dia menulis “Lao-tzu”
adalah warga asli desa Ch’u Jen, di Li Hsiang, Provinsi K’u, negara Ch’u”.
Dalam pasase lain, dia menyatakan bahwa menurut riwayat berbeda, ada seorang
bernama Lao Lai Tzu di masa Konfusius; bahwa dia adalah orang Ch’u, dan
melahirkan lima belas buku yang membicarakan ikhwal jalan. Ssu Ma Ch’ien
menambahkan bahwa orang ini mungkin sama dengan Lao-tzu.
Semua
ini sangat mungkin legenda belaka. Bagaimanapun, menurutnya, hal yang sangat
signifikan ialah bahwa “legenda” itu menghubungkan penulis Tao Te Ching dengan
negeri Ch’u. Hubungan Lao-tzu dengan
negara bagian selatan Ch’u ini tidak bisa dipandang semata-mata sebagai
hubungan kebetulan, karena ada semangat Ch’u yang mengalir di sepanjang buku
tersebut. yang saya maksud dengan “semangat Ch’u” adalah apa yang secara tepat
bisa disebut sebagai kecenderungan pola-pikir shamanic atau modus pemikiran
shamanic. Ch’u adalah negara besar yang terletak di pinggiran bagian selatan
Kerajaan Tengah yang berperadaban, suatu negeri penuh sungai, hutan, dan
pegunungan, berlimpah dengan kekayaan alam namun miskin dalam aspek kebudayaan,
dihuni banyak orang yang berasal-usul non-Cina dengan adat-istiadat yang
beragam dan aneh. Di sana terdapat berbagai jenis kepercayaan takhayul pada
wujud-wujud adikodrati dan ruh-ruh liar, sehingga prakteik-praktik shamanic
tumbuh mekar.
(Shaman, adalh dukun atau pendeta yang diyakini memiliki
kesaktian untuk menembuhkan penyakit atau mengusir ruh jahat).
Tetapi, tampaknya atmosfer primitif dan “tak
beradab” ini bisa menjadi lahan subur pertumbuhan suatu kekuatan visioner
luarbiasa dari imajinasi puitis sebagaimana diperlihatkan elegi-elegi yang
ditulis penyair shaman terbesar yang pernah dihasilkan negara Ch’u. Ch;u Yyuan.
Atmosfer yang sama bisa juga menghasilkan corak pemikiran metafisis yang khas.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena pengalaman shamanic terhadap realitas
bersifat sedemikian rupa sehingga ia bisa disuling dan dielaborasi menjadi
suatu pengalaman metafisis tingkat tinggi. Lagi pula, kedalaman metafisika
pemikiran Lao-tzu, saya percaya, bisa dipaparkan sampai kadar yang jauh dengan
mengaitkan pada metalitas shamanic bangsa Cina kuno yang ada sejak masa sejarah
paling tua bahkan sebelum itu,d an yang telah tumbuh subur terutama di bagian
selatan Cina dalam sejarah panjang kebudayaan Cina.
Sehubungan
dengan ini, saya kira Henri Maspero pada dasarnya benar ketika dia berkeberatan
dengan pandangan tradisional bahwa Taoisme mendadak mulai pada awal abad ke-4
SM sebagai suatu metafisika mistis oleh Lao-tzu. Taoisme banyak dikembangkan
secara filosofis oleh Chuang-tzu menjelang akhir abad tersebut dan divulgarkan
secara besar-besaran oleh Lieh-tzu, setelah itu, Taoisme mengalami penyimpangan
dan degenari sampai Dinasri Han Terakhir yang beralih bentuk menjadi suatu
campuran dari takhayul, animisme, guna-guna, dan sihir. Terhadap pandangan ini,
Maspero megnambil sikap bahwa Taoisme adalah agama “personal” --- sebagai lawan
tipe agama negara agrikultural komunal yang tidak berhubungan dengan
penyelamatan personal – yang ada sejak zaman dahulu kala. Dia percaya bahwa
mazhab Lao-tzu dan Chuang-tzu merupakan cabang khusus atau bagiant ertentu
dalam gerakan keagamaan yang luas ini, suatu cabang khas yang dicirikan dengan
kecenderungan filosofis-mistis yang nyata.
Obeservasi-observasi
ini tampaknya mengarahkan kita kembali sekali lagi pada problem kepengarangan
Tao Te Ching dan historisitas Lao-tzu. Apakah dapat dibayangkan bahwa
penyulingan metafisika dari mistisme mentah itu bisa dicapai sebagai hasil dari
proses perkembangan ilmiah, tanpa partisipasi aktif seorang pemikir tertentu
yang dianugerahi kejeniusan filosofis? Saa kira tidak demikian. Shamanisme primitif
di masa Cina kuno niscaya akan tetap menyisakan kementahan aslinya sebagai
fenomena agama populer yang dicirikan dengan kegilaan ekstatis dan kerasukan
yang “heboh”, jika bukan karena dalam perjalanan sejarahnyya terdapat
penjabaran hebat oleh beberapa orang yang memiliki kecerdasan luarbiasa. Jadi,
untuk menghasilkan Elegies of Cg’u, visi shamanik atas alam harus melalui benak
seorang Ch’u Yuan. Demikian pula, visi dunia shamanik yang sama hanya dapat
ditingkatkan menjadi metafisika mendalam tentang Jalan oleh seorang jenius
filosofis tertentu.
Ketika
membaca Tao Te Ching – dengan mengingat pada pengamatan di atas – kita tidak
bisa lain kecuali merasakan, istilahnya, napas orang hebat yang menyebar pada
keseluruhan volume, ruh seorang filosof kawakan yang berdetak di sepanjang buku
tersebut. dengan semua tambahan pada interpolasi yang mungkin diimbuhkan
belakangan, yang dengan mudah sayya akui, saya tidak bisa menyetujui pandangan
yang menyatakan bahwa Tao Te Ching
merupakan karya kompilasi yang terdiri atas fragmen-fragmen pemikiran
ang dinukil dari aneka ragam sumber heterogen. Karena, terdapat kesatuan
fundamental tertentu yang mencolok kita di mana-mana dalam buku itu.d an
kesatuan itu bersifat personal. Faktanya, Tao Te Ching secara keseluruhan adalah
karya unik yang diwarnai secara jelas oleh kepribadian seorang manusia
luarbiasa, seorang filosof-shaman. Bukankah dia
memberikan semacam potret diri kepada kita di bagian XX buku tersebut.
Kebanyakan orang bahagia dan ceria seolah-olah mereka diundang pada
perjamuan mewah, atau seolah-olah mereka menaiki menara tinggi untuk menikmati
pemandangan musim semi.
Aku sendiri terus diam dan sunyi, tidak menunjukkan aktivitas. Aku
laksana bayi yang baru dilahirkan, belum belajar untuk tersenyum. Aku terlihat
sedih dan tanpa tujuan, seakan-akan aku tak punya tempat kembali.
Semua orang mempunyai lebih dari cukup, aku sendiri tampak hampa dan
kosong.
Sebenarnya yang kumiliki adalah pikiran seorang pendiri! Betapa
bodoh dan bingung! Orang-orang kasar semuanya pintar dan cerdas, sementara aku
sendiri gelap dan bodoh. Semua orang kasar gesit dan waspada, sementara aku
lamban dan ceroboh.
Aku laksana samudra jeluk yang terus-menerus berombak, laksana angin
yang tak pernah berhenti berhembus.
Yang lainnya memiliki pekerjaan untuk dilakukan, sedangkan aku
sendiri masih tidak berguna dan rendahan. Hanya aku yang berbeda dari semua
yang lain, karena aku mengharagai suapan makan Sang Ibu.
Demikian
pula halnya di pasase lain (LXVII), dia berkata tentang dirinya.
Setiap orang di kolong langit berkata bahwa aku besar, tetapi tampak
bodoh. Memang, aku tampak bodoh karena besar. Sekiranya aku cerdas niscaya telah raib sejak
dulu.
Dan
kembali di LXX, kita membaca :
Ujaran-ujaranku sangat mudah dipahamidan sangat mudah untuk dilakukan.
Namun, tak seorang pun di kolong langit memahaminya; tak seorang pun
mempraktikkannya.
Ujaran-ujaranku keluar dari sumber jernih, dan tindakan-tindakanku
lahir dari prinsip tinggi. Namun, orang-orang tidak memahaminya. Karena itu
mereka tidak memahamiku.
Mereka yang memahamiku amatlah jarang. Hal itu merupakan bukti bahwa
aku sangat berharga. Sungguh, orang bijak bestari mengenakan busana pakaian
kasar, tetapi di dalamnya terdapat mutiara.
Pasase yang baru saja dikutip memberikan
gambaran ihwal pikiran yang orisinil, citra seorang manusia yang tampak murung,
bodoh, dan tidak berdaya, berdiri jauh dari orang-orang “cerdas” yang
menghabiskan waktu mereka dalam kesenangan hidup remeh-remeh. Dia mengambil
sikap tersebut karena dia menyadari dirinya sendiri berbeda total dariapda
orang-orang biasa. Pertanyaan penting yang harus kita ajukan adalah ini : kapan
perbedaan ini muncul? Tao Te Ching itu sendiri dan juga Chuang-tzu agaknya
memberikan jawaban tegas atas persoalan ini. Manusia merasa dirinya berbeda
dibanding dengan yang lain karena hanya dia yang mengetahui makna hakiki
eksistensi. Hal ini dia ketahui karena pandangan metafisikanya yang didasarkan
pada hal yang disebut Chuang-tzu sebagai tso wang “duduk dalam perikelupaan”
(sitting in oblivion), yakni pengalaman ekstatis menyatu dengan Sang Mutlak.
Jalan, manusia pemilik ujaran-ujaran yang telah kita kutip di atas adalah
seorang filosof-mistis, atau seorang shaman visioner yang berubah menjadi
filosof.
Kiranya
sangat signifikan bagi tujuan spesifik kita untuk mencatat bahwa spirit
shamnisme yang dikembangkan secara filosofis telah menyelubungi keseluruhan Tao
Te Ching. Istilahnya, ia merupakan “pusat” personal yang sekiranya keseluruhan
gagasan pokok buku itu terkoordinasi, baik itu pemikiran menyangkut struktur
metafisi alam semesta, hakikat manusia, seni mengatur orang, maupun panduan
praktis kehidupan. Kesatuan organis semacam itu tidak dapat dijabarkan kecuali
berdasarkan asumsi bahwa buku tersebut – jauh dari kemungkinan sebagai
rangkaian potongan pemikiran yang secara acak dipungut dari sana-sini --- pada
intinya adalah karya seorang pengarang.
Dalam
menelaah buku seperti Tao Te Ching, yang paling penting adalah memahami
kesatuan personal yang mendasarinya sebagai keseluruhan, dan menunjukkannya
sebagai pusat koordinasi semua gagasan pokonya. Karena, jika tidak demikian,
kita tidak akan berada pada posisi untuk menembus struktur subtil dari
simbolisme Tao Te Ching dan menguraikannya dengan tepat mengenai
gagasan-gagasan pokok metafisiknya.
Berpindah
dari Lao-tzu ke Chuang-tzu, kita merasa diri kita sendiri berdiri di atas
landasan yang jauh lebih padat. Karena, kendatipun kita tidak tahu secara lebih
baik ihwal kehidupan dan identitasnya yang sejati, paling tidak kita paham
bahwa kita sedang berurusan dengan tokoh sejarah, yang benar-benar ada di
sekitar pertengahan abad keempat SM. Dia hidup semasa dengan Mencius,
penyair-shaman agung Ch’u Yuan dan Ch’u, dan ahli dialektika yang berbakat Hui
Shih atau Hui-tzu yang bersamanya dia sendiri adalah pasangan tepat dalam
menguasai seni memanipulasi konsep-konsep logis.
Menurut
laporan yang diberikan Ssu Ma Ch’ien dalam Book of History yang disebutkan di
atas, Chuang-tzu atau Chuang Chou adalah warga Meng. Dia pernah menduduki
jabatan di Ch’i-Yuan. Meng; mempunyai pendidikan luarbiasa, namun doktrinnya
pada dasarnya berpijak pada ajaran-ajaran Lao-tzu; dan tulisannya, yang
terhitung lebih dari 100.000 kata, sebagian besar bersifat simbolis atau alegoris.
Adalah
pentin bahwa Meng, ang disebutkan oleh Ssu Ma Ch’ien sebagai tempat lahir
Chuang-tzu, sekarang ini berada di kawasan Ho Nan dan merupakan tempat di
negeri kuno Sung. Saya menganggap hal ini penting lantaran Sung adalah negeri
tempat para keturunan bangsa in kuno dibolehkan untuk tinggal setelah
ditaklukkan oleh bangsa Chou. Di sana, keturunan bangsa yang pernah terkenal
ini -- dicemooh oleh para penakluk
sebagai “bangsa yang ditaklukkan” dan senantiasa diancam dan diserang
tetangga-tetagga mereka – berhasil memelihara dan menjaga pelbagai keyakinan
agama dan legenda ihwal leluhur bangsa mereka. Arti penting fakta ini
sehubungan dengan tesis kajian sekarang akan segera di sadari apabila orang
mengingat ruh animistik-shamanik kebudayaan Yin sebagaimana tercermin dalam
upacara-upacara kurban dan ritus-ritus peramalan (divination) serta mitos-mitos
yang terkait dengan dinasti ini. Secara tradisional bangsa Yin adalah bangsa
yang terkenal karena pemujaan mereka pada arwah dan penyembahan pada “Tuhan-di
atas”. Sejak dahulu perbedaan antara Yin dan Chou dikenal dengan diktum semacam
ini : “Yin memuja arwah, sementar Chou
memberikan nilai tertinggi pada budaya manusia.”
Terlepas
dari observasi hubungan historis antara Dianasti Yin dan bangsa Sung ini, dalam
History of Chinese Philosophy, Fung Yu Lang menunjukkan – menurut saya cukup
tepat – bahwa bentuk pemikiran Chuang-tzu dekat dengan pola pemikiran bangsa
Ch’u, “Kita harus ingat”, tulisannya, “Fakta bahwa negara Sung berbatasan
dengan Ch’u membuatnya sangat mungkin bahwa Chuang-tzu di satu sisi dipengaruhi
Ch’u, dan saat sama dipengaruhi gagasan-gagasan para dialektikawan. (Patut
diingat, Hui Shih adalah warga Sung). Jadi, dengan menggunakan dialektika yang
belakangan, Chuang-tzu mampu menata pikiran-pikirannya yang melejit, dan
merumuskan sistem filsafat yang terpadu.”
Di
antara “ruh Ch’u”, kita telah membincangkannya pada bagian sebelumnya
menyangkut struktur dasar pemikiran Lao-tzu. Fung Yu Lang membanding the
Elegies of Ch’u (Ch’u Tzu) dengan Chuang-tzu dan melihat ada kemiripan yang
menakjubkan antara keduanya dalam penyajian “kekayaan imajinasi dan kebebasan
ruh”. Tetapi, dia alpa untuk melacak kemiripan ini hingga ke sumber
shamaniknya, sehingga “Kekayaan imajinasi dan kebebsan ruh” tetap tak terjelaskan.
Bagaimanapun kenyaaannya, kita akan menghindar lebih jauh soal rincian-riuncian
masalah-masalah ini sampai di sini, mengingat banyak hal lain yang akan
disampaikan dalam bab berikutnya.
Problem
hubungan antara Lao-tzu dan Chuang-tzu telah dikuaps secara luas oleh pafa
filolog. Sebagaimana yang telah kita amati, doktrin utama Chuang-tzu secara
tradisional dipandang sebagai doktrin yang
didasarkan pada ajaran-ajaran Lao-tzu. Tentang pandangan ini, sudah
abrng tentu Lao-tzu adalah leluhur Chuang-tzu dalam filsafat Taois; baris-baris
utama pemikiran telah diletakkan oleh yang pertama,d an yag belakangan tinggal
mengambil pikiran-pikiran tersebut dan mengembangkannya dengan caranya sendiri
ke dalam sistem alegoris berskala besar mengikuti kemampuan filosofis dan
kesustraannya. Pandangan ini tampaknya merupakan kesimpulan lumrah yang ditarik
dari pengamatan atas dua fakta berikut : (1) eksistensi hubungan batin yang tak
terbantahkan antara keduanya dalam struktur pandangan-dunia dan cara berpikir
mistis mereka; (2) Chuang-tzu sendiri acap menyebut Lao-tzu sebagai salah satu
pemikir Taois terdahulu. Dan ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan di beberapa
tempat hampir bernada sama .
Meski
demikian masalahnya tidak sesederhana seperti yang terlihat begitu saja. dalam
kenyataannya, sejumlah pertanyaan serius telah muncul di zaman modern tentang
masalah ini. Sebagai titik awal, Tao Te Ching sendiri tidak pernah dirujuk
dalam Chuang Tzu, kendati Lao-tzu, sebagai tokoh legendaris muncul di beberapa
halamannya,d an gagasan-gagasannya disebutkan. Namun, fakta terakhir ini tidak
membuktikan apa-apa secara konklusif. Karena, kita mengetahui bahwa banyak
tokoh yang diciptakan untuk memainkan peran-peran penting dalam Chuang-tzu
adalah fiktif. Kesamaan bahasa secara mudah mungkin dijelaskan sebagai hasil
dari interpolasi yang timbul belakangan dalam Tao Te Ching itu sendiri ataupun
hasil dari keberadaan sumber-sumber serupa.
Yang
Jung Kuno, yang telah kita rujuk di atas, bisa disebut sebagai repretasi
sarjana modern yang tidak hanya meragukan kedudukan Lao-tzu sebagai pendahulu
Chuang-Tzu, namun melangkah lebih jauh dan secara utuh membalikann urutan
kronologis tersebut. dalams ebuah bab menarik apda bukunya yang disebutkan di
atas, History of Thought ini Ancient China, secara tegas dia berpandangan bahwa
Chuang-tzu bukanlah murid Lao-tzu; sebaliknya, yang terakhir (Lao-tzu) – atau
lebih tepatnya, Tao Te Ching – tiada lain daripada kelanjutan dan pengembangan
lebih jauh dari Chuang-tzu.d an cara dia mempertahankan pandangannya adalah
murni filologis; dia mencoba membuktikan pandanganna melalui pengujian sejumlah
konsep kunci umum dalam Lao-tzu dan Chuang-tzu. Dia menyimpulkan bahwa Tao Te
Ching mempradugakan keberadaan Chuang-tzu lebih awal. Umpamanya, konsep kunci
Taoisme terpenting, Tao (Ayun/Wag) sebagai prinsip kosmis perkembangan alamiah,
atau Alam, dalam Chuang-tzu struktur dakhilnya belum sepenuhnya dikembangkan.
Konsep itu telah ada, katanya, namun masih merupakan benih belaka. Tao Te Ching
mengambil alih konsep ini pada poin jitu ini dan menjabarkannya dalam suatu
prinsip mutlak. Sumber yang tak dapat diketahui secara mutlak, yang bersifat
azali (pre-eternal) dan yang darinya segala sesuatu beremanasi. Yang Jung Kuo
mengira bahwa kaitan historis antara keduanya ini – Chuang-tzu sebagai titik
pangkal dan Lao-tzu sebagai puncaknya – dapat diamati sepanjang keseluruhan
struktur filsafat Taois.
Argumen
ini, betapapun sangat menariknya, tidaklah konklusif. Karena, konsep-konsep
kunci yang dibahas memungkinkan munculnya penjelasan yang sama-sama bsia
dijustifikasi dalam kerangka perkembangan yang mengalir dari Lao-tzu ke
Chuang-tzu. Menyangkut metafisika Tao, misalnya, kita harus ingat bahwa Lao-tzu
hanya memberikan hasil sustu sistem monistik mapan atas pencitraan arketipal
yang pusatnya terdiri dari Sang Mutlak yang mutlak, tao, yang berkembang tahap
demi tahap dengan aktivitas kreatif “alamiah”-nya sendiri sampai ke alam
kemajemukan. Ontologi ini,s ebagaimana yang telah saya tunjukkan sebelumnya,
hanya dapat dimengerti berdasarkan asumsi yang berpijak di atas
landasan-landasan pengalaman ekstatik atau mistik ihwal Eksistensi. Lao-tzu bagaimana
pun tidak, tidak mengungkapkan aspek eksperiensial dari pandangan-dunianya ini
kecuali melalui beberapa isyarat dan sugesti simbolis serta samar. Inilah
alasan mengapa Tao Te Ching cenderung
memberi kesan sebagai elaborasi filosofis dari sesuatu yang mendahuluinya.
Bahwa “sesuatu yang mendahuluinya”, bagaimanapun, tentu saja bisa bukan sesuatu
yang diambil dari yang lain.
Dari
sisi lain, Chuang-tzu benar-benar tertarik pada aspek ekspirensial mistisme
Taois yang tidak tersentuh oleh Lou-tzu. Dia terutama tidak berurusan dengan
upaya membangun metafisika beskala kosmis yang merentang dari Yang Tak Dapat
Diketahui secara mutlak sampai ke alam konkret yang sarat warna dan bentuk.
Perhatian utamanya tertuju pada jenis “pengalaman” yang tidak biasa itu
sendiri, “pengalaman” yang dengannya seseorang menembus misteri Eksistensi. Dia
berusaha melukiskannya secara rinci, kadang-kadang secara alegoris,
kadang-kadang secara teoritis, proses psikologi atau spiritual yang melaluinya
siapa pun bisa semakin “tercerahkan” dan terus menghampiri struktur sejati
realitas yang tersembunyi di balik tirai pengalaman indrawi (sensible
experience).
Dibandingkan
dengan Lou-tzu, sikapnya ini lebih bermuatan epistemologis ketimbang metafisik.
Perbedaan ini memisahkan dua pemikir itu secara sangat mendasar, kendati pun
mereka memiliki perhatian sama pada pengaruh-pengaruh praktis dari pengalaman
supaindrawi terhadap Jalan. Perbedaan yang sama mungkin juga dapat
diformulasikan dalam konteks gerakan ke atas
dan gerakan ke bawah. Lou-tzu mencoba memaparkan secara metafisik bagaimana
Sang Mutlak yang mutlak berkembang secara alami menjadi Yang Tunggal, dan
bagimana Yang Tunggal berkembang menjadi Dua, dan Dua menjadi Tiga, dan Tiga
menjadi “sepuluh ribu benda”. Sejatinya, hal ini merupakan paparan
tentang gerakan menurun ontologis – atau emnasional – kendatipun dia
menitikberatkan juga pada arti penting konsep Kembali, yaitu proses kembalinya
segala sesuatu ke asa-muasal mereka. Chuang-tzu
tertarik untuk mendedahkan secara epistemologis gerakan pikiran manusia menaik
dari alam kemajemukan dan keragaman menuju medan ontologis tempat segala
perbedaan membaur ke dalam Yang Tunggal.
Berkat
penekanan tertentu pada aspek epistemologis pengalaman tao ini, Chuang-tzu
terkena kesulitan mengembangkan konsep tao itu sendiri sebagai suatu sistem
filosofis. Inilah mengapa metafisikanya tentang tao tampil tidak sempurna atau
berkembang secara tidak sempurna. Meski demikian, ini tidak serta merta berarti
bahwa dia menggambarkan tahapan kronologis lebih awal ketimbang Lou-tzu.
Karena, sebagaimana yang telah kita lihat, perbedaan bisa jadi semata-mata perbedaan
titik tekan.
Kini
saya akan menutu bab ini dengan memberikan uraian ringkas ihwal buku yang
dikenal dengan nama Chuang-tzu itu sendiri.
Bibliografi
penting yang terkandung dalam the chronicel of the Han Dynasty menyatakan bahwa
Chuang-tzu terdiri atas 52 bab. Namun, teks dasar buku yang ada di tangan kita
hanya berjumlah 33 bab. Ini akibat dari kerja penyuntingan yang dilakukan oleh
Kuo Hsiang. Faktanya semua suntingan belakangan atas buku Chuang-tzu pada
akhirnya kembali ke resensi Kuo Hsiang ini. Pemikir terkemuka aliran Taois ini
secara kritis memeriska teks tradisional tersebut, menyisakan sejumlah pasase
atau bagian yang dian anggap palsu dan tidak bermanfaat,d an membagi yang
tersisa setelah pengujian ini menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama
disebut Interior Chapters (nei p’ien) yang terdiri atas tujuh bab. Kelompok
kedua disebut Exterior Chapters (wai p’ien) dan terdiri atas lima belas bab.
Dan terakhir disebut Miscellaneous Chapters (tza p’ien) yang memuat sebelas
bab.
Dengan
mengesampingkan masalah kemungkinan penambahan interpolasi, kita bisa katakan
secara umum bahwa Interior Chapters menggambarkan pemikiran dan gagasan Chuang-tzu
dan sepertinya berasa dari penanya sendiri. Adapun dua kelompok lainnya,
sekarang para sarjana sepakat bahwa semuanya itu adalah
pengembangan,interpretasi dan penjabaran paling akhir yang dilampirkan ke teks
utama oleh para pengikut Chuang-tzu. Entah Interior Chapters itu berasal dari
pena Chuang-tzu sendiri ataukah tdiak, jelaslah bahwa mereka menggambarkan
lapisan paling tua dari buku itu. Secara filosofis dan litetrer ia juga
merupakan bagian paling esensial. Sementara Exterior dan Miscellaneous Chapters
hanya menunjukkan arti penting sekunder.
Dalam
kajian sekarang, saya secara khusus berpegang pada Interior Chapters. Hal ini
akan saya lakukan karena alasan yang barusan disebutkan dan juga karena
keinginan untuk memberikan konsistensi pada deskripsi analitis saya terhadap
pemikiran Chuang-tzu.
2.
DARI MITOPOIESIS (MYTHOPOIESIS) MENUJU METAFISIKA
Pada
bab sebelumnya saya telah mengindikasikan tentang kemungkinan adanya hubungan
yang sangat kukuh antara filsafat Taois dan Shamanisme. Saya mengemukakan bahwa
pemikiran atau pandanga-dunia Lou-tzu dan Cuang-tzu mungkin sangat tepat dikaji
terkait dengan latarbelakang tradisi semangat shamanisme pada era Cina kuno.
Bab ini akan diarahkan untuk lembih membahas secara rinci tentang persoalan ini,
maksudnya latarbelakang shamanisme berkaitan dengan filsafat Taois sebagaimana
dilukiskan melalui Tao Te Ching dan Chuang-tzu.
Faktanya,
sepanjang sejarah pemikiran Cina telah berlangsung apa yang mungkin layak
dinamakan “modus pemikiran shamanik”. Kami melihat bahwa modus pemikiran
spesifik ini memanisfestasikan diri dalam berbagai bentuk dan pada ragam
tingkatan sesuai dengan kondisi waktu dan tempat khususnya, kadang-kadang dalam
bentuk populer dan fantastis, sering nyaris menyentuh batas takhayul dan cabul,
namun kadang-kadang dalam bentuk tertata secara intelektual dan terelaborasi
secara logis. Kami juga mengamati bahwa modus pemikiran ini sangat berbeda
denga modus pemikiran realistis dan rasionalistis sebagaimana terlukiskan
melalui pandangan-dunia Konfusius dan para pengikutnya yang sangat berpegang
pada etika.
Singkat
kata, saya menganggap pandangan dunia Taois Lou-tzu dan Chuang-tzu sebagai
elaborasi atau kulminasi filosofis dari modus pemikiran shamanik ini; dengan
kata lain, sebagai bentuk khusus filsafat yang timbul dari pengalaman
eksistensial personal yang khas pada orang-orang yang dianugerahi kemampuan
melihat hal-hal yang berbeda pada medan kesadaran supraindrawi melalui
perjumpaan ekstatis dengan Sang Mutlak dan melalui citra-citra paling mendasar
(erchetypal image) yang timbul darinya.
Para
filosof Taois yang menghasilkan karya-karya seperti Tao Te Ching dan Chuang-tzu
di satu sisi adalah “kalangan saman”, sejauh berkenaan dengan landasan
eksperiensial pandangan-dunia mereka. Namun, di sisi lain, mereka adalah
pemikir-pemikir intelektual yang, tidak puas untuk tetap berada pada tingkatan
primitif shamanisme populer, menggunakan intelek mereka untuk meningkatkan dan
mengeelaborasi visi awal mereka ke dalam sebuah sistem konsep-konsep metafisisk
yang dirancang untuk menjelaskan struktur wujud.
Lou-tzu
berbicara tentang sheng-jen atau “manusia sci”. Ia merupakan salahs atu konsep
utama pandangan-dunia filosfisnya, dan dengan demikian memainkan peran sangat
penting dalam pemikirannya. “Manusia suci” adalah seorang manusia yang telah
mencapai posisi tertinggi dari intuisi Jalan, hingga dia benarbenar menyatu
dengannya, dan tentu saja berperilaku di dunia ini dengan mengikuti
petunjuk-petunjuk Jalan yang dia rasakan berlaku di dalam dirinya. Singkat kata
dia merupakan perwujudan manusiawi dari Jalan itu. Dalam pemaknaan yang persis
sama, Chuang-tzu berbicara tentang Chen-jen
atau “manusia sejati” chih-jen atau “manusia puncak” shen-jen atau “manusia
Ilahi” (atau super manusia). Manusia
yang diacu dengan berbagai kata ini dalam realitasnya tiada lain dariapda
shaman filosofis, atau shaman yang intuisi visionernya tentang dunia telah
diperhalus dan dijabarkan ke dalam visi filosofis tentang wujud.
Bahwa konsep dasar itu secara historis memiliki hubungan
sangat dekat dengan shamanisme ditunjukkan melalui makna etimologis kata sheng
di sini diterjemahkan dengan “suci”. Shuo Wen Chieh Tzu, sebuah kamus etimologi
tertua (dikompilasi pada 100 Masehi), dalam penjelasannya tentang struktur
etimologis kata ini menyatakan : “Sheng menunjukkan manusia yang daun teliganya
memiliki daya tangkap luar biasa”. Dengan kata lain, istilah itu menunjukkan
manusia yang dianugerahi pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara
makhluk adialami, dewa atau ruh ,dan langsung memahami kemauan atau maksud
makhluk tersebut. dalam peristiwa sejarah yang berlangsung pada Dinasti Yin,
makhluk seperti itu ialah pendeta yang secara teguh menekuni peramalan.
Sehubungan dengan ini, menarik untuk menyebutkan bahwa
dalam Tao Te Ching, “manusia suci” (Wali) dikategorikan sebagai penguasa
tertinggi sebuah pemerintahan atau “raja”. Dan bahwa persamaan (Wali = Raja),
ini dipahami sebagai persoalan yang dapat diterima pemahaman umum, sesuatu yang
dianggap pasti kebenarannya. Kita perlu sekali mencamkan bahwa pada masa
Dinasti Yin, shamanisme berhubungan erat dengan politik. Pada dinasti itu, para
pejabat tinggi pemerintahan yang menggenggam dan menggunakan kekuasaan mereka
yang besar dalam mengelola pemerintahan pada mulanya adalah shaman. Sedangkan
pada periode-periode awal dinasti itu, Shaman Agung adalah pendeta-pejabat
tinggi (the high priest-vizier), atau bahkan raja itu sendiri.
Hal
ini tampaknya mengindikasikan bahwa di
balik “manusia suci” (wali) sebagai cita-cita
Taois tentang Manusia Sempurna tersembunyi gambaran seorang shaman. Dan
di bawah permukaan pandangan-dunia metafisik Taoisme terlihat dengan jelas
kosmologis shamanik yang kembali ke era paling kuno dalam sejarah Cina.
Untuk
tujuan-tujuan langsung kajian ini, kita tidak harus memasuki pembahasan
teoritis secara rinci tentang gagasan shamanisme. Cukup kiranya untuk sementara
ini kita mendefinisikannya dengan menyatakan bahwa ia merupakan fenomena ketika
seorang peramal yang terilhami berada dalam keadaan ekstase bersua dengan
maujud-maujud supranatural, baik berbentuk dewa ataupun ruh. Seseorang yang
berkemampuan alami sejenis ini dalam sebuah masyarakat primitif cenderung
bertugas sebagai penengah antara anggota-anggota suku dan alam gaib.
Sebagai
salah satu ciri paling menonjol mentalitas shamanik, pertama-tama kita akan
menilik fenomena pembentukan mitos (mythophoiesis) di dalamnya. Secara
definisi, shaman adalah orang yang dalam visinya paling mendasar danekstatis
memersepsi perbagai hal yang benar-benar berbeda dengan apa yang dilihat oleh
manusia normal pada umumnya melalui pengalaman-pengalaman indrawi. Ciri
pengalaman shaman tentang realitas yang paling menakjubkan adalah munculnya
segala sesuatu dalam kesadaran “imajinal”-nya dalam bentuk-bentuk simbolik dan
sarat mitos (mythical). Alam yang dilihat oleh shamandalam kondisi trans
(trance) adalah alam “imajinasi kreatif”, sebagaimana Henry Corbin secara tepat
menamakannya, terlepas kasarnya penamaan itu. Pada tingkat kesadaran ini,
segala sesuatu yang kita persepsi di sekeliling kita melepaskan modus
eksistensi alamiah dan wajarnya serta beralih benuk menjadi citra (image) dan
simbol. Segenap citra itu, ketika disistematisasikan dan disusun sesuai dengan
pola-pola perkembangan yang inheren di dalamnya, cenderung untuk menghasilkan
sebuah kosmologi sarat mitos.
Tradisi
shamanik pada masa Cina Kuno telah menghasilkan kosmologi seperti itu. Dalam
Elegies of Ch’u yang disinggung pada bab sebelumnya, kita dapat menelusuri
selangkah demi selangkah dan dalam bentuk paling konkret tentang proses aktual
yang melaluinya pengalaman shamanik tentang realitas menghasilkan kosmologi
yang aneh dan “imajinal”. Dalam komparasi lebih jauh Elegies of Ch’u dengan
buku seperti Huai Nan Tzu, kita dapat melihat hubungan sangat dekat antara kosmologi
shamanik dengan metafisika Taois. Di sana orang melihat betapa pandangan-dunia
penuh mitos yang dihadirkan kosmologi shamanik berkembang dan beralih bentuk
menjadi ontologi Jalan.
Fakta
lain yang tampaknya menegaskan adanya hubungan sangat dekat, secara esensial
dan historis, antara metafisika Taois dan visi shamanik tentang dunia ditemukan
dalam sejarah Taoisme setelah periode Negeri-Negeri yang Berperang. Faktanyya,
perkembangan Toisme, setelah berhasil emncapai puncak filosfisnya di tangan Lou-tzu
dan Chuang-tzu, terus menunjukkan kurva “degenerasi” – sebagaimana lazimnya
disebut – bahkan di bawah pengaruh kuat Tao Te Ching dan Chuang-tzu dan kembali
ke bentuk metipoiesisnya semula, dengan demikian menampakkan landasan
shamaniknya, hingga pada masa Dinasti Han Akhir mencapai tahap manakala Taoisme
hampir-hampir sinonim dengan takhayul, sihir, dan teluh. Struktur lahiriah
metafisika Taois itu sendiri hampir tidak menampakkan jejak yang jelas dalam
hal latar belakang shamaniknya. Namun, deskripsi filosofis Lou-tzu tentang tao,
msialnya, terdapat sesuatu yang benar-benar tidak terbantahkan yang
mengindikasikan hubungan asal-usulnya dengan shamanisme.
Lou-tzu melukiskan sebagaimana akan kita lihat secara rinci
pada bagian selanjutnya. Jalan (tao) sebagai Sesuatu yang suram dan kelam,
sebelum adanya Langit dan Bumi, tidak dapat dikenali dan diketahui, tidak dapat
dipahami dan abstrak sampai pada tingkatan hanya cocok diperikan sebagai
Non-Wujud, tetapi penuh dengan pelbagai bentuk, citra dan sesuatu, yang
tersembunyi di tengah ketidak-jelasan primordialnya. Dengan demikian, Jalan
metafisik memiliki bandingan yang menarik dalam imajinasi mitos populer yang
dipresentasikan oleh Shan Hai Ching, yang menampakkan bentuk fantastis.
Tiga
rastus lima puluh mil ke sebelah Barat terdapat sebuah gunung yang dinamakan
dengan Gunung Langit. Gunung ini menghasilkan banyak emas dan permata, juga
sulfur biru. Sedangkan sungai ying bermuara di sana, dan mengalir ke arah barat
daya hingga mengaliri Lembah Air Mendidih. Di gunung ini hidup Burung Ilahi
yang tubuhnya seperti sebuah kantong kuning, merah seperti api yang membara,
memiliki enam kaki dan empat sayap. Burung ini anehnya tidak berbentuk, tidak
berwajah, tidak memiliki mata, namun sangat pandai bernyanyi dan menari. Pada
hakikatnya, Burung ini tidak lain kecuali Dewa Chiang.
Pada
pasase yang dikutip di sini, ada dua hal yang menarik perhatian. Salah satunya
adalah fakta bahwa burung monster itu dilukiskan sebagai burung yang pandai
bernyanyi dan menari. Hubungan poin ini dengan masalah khusus yang sedang kita
bahas akan segera dapat dipahami jika orang mengingat bahwa “bernyanyi dan
menari”, yaitu tarian ritual, selalu menyertai fenomena shamanisme. Menari pada
masa Cina kuno merupakan sarana yang kuat untuk mencari kehendak ilahi,
menimbulkan kondisi kebahagiaan luar biasa terhadap manusia,d an “memanggil”
ruh-ruh alam gaib. Kamus yang telah disebutkan di atas, Shuo Wen,
mendefinisikan kata wu (shaman) sebagai “seorang perempuan yang secara alamiah
cocok untuk melayani makhluk-makhluk tanpa bentuk (maksudnya, maujud-maujud
gaib) dan yang, dengan menggunakan tarian, mampu memanggil ruh”. Menariknya,
kamus yang sama menjelaskan ciri serupa dalam melukiskan kata wu dengan
menyatakan bahwa kata itu menggambarkan seroang perempuan yang menari dengan
mengenakan dua lengan baju panjang menggantung di kanan dan kiri. Pada tahap
perkembangannya lebih awal, ia menggambarkan figus shaman yang sedang memegang
batu giok dengan kedua tangannya di hadapan ruh atau dewa.
Adalah
juga signifikan bahwa monster itu konon merupakan seekor burung, yang sangat
mungkin merupakan sebuah indikasi bahwa tarian shaman yang dibicarakan di sini
merupakan sejenis tarian bulu pada saat seorang shaman secara ritual dihiasi
pakaian berbulu.
Hal
kedua yang perlu diperhatikan pasa pasase Shan Hai Ching di atas – dan hal ini
memiliki relevansi jauh lebih besar dengan kajian kita dibanding dengan yang
pertama – adalah ungkapan khusus yang digunakan dalam diskripsi tentang roman
wajah monster, hun tun, yang untuk sementara telah saya terjemahkan sebaga
“secara aneh tidak berbentuk”. Ia bermakna keadaan kacaunya, segala sesuatu,
keadaan tidak berbentuk ketika tiada yang bisa terlukiskan dengan jelas, tiada
yang bisa dibedakan dengan jelas, namun jauh dari semata-mata nonwujud;
sebaliknya, ia merupakan “kehadiran” yang sangat buram di mana eksistensi
sesuatu – atau beberapa hal, tetap tidak terbedakan – secara samar dan kabur
bisa terindrakan.
Hubungan
antara kata itu sebagaimana digunakan pada pasase ini dengan kiasan Chuang-tzu
tentang Kaisar Ilahi Hun Tun telah lama menjadi perhatian para filologd ari
Dninasti Ch’ing. Pengulas karya Shan Hai Ching, Pi Yuan, umpamanya, secara
eksplisit menghubungkan deskripsi monster ini dengan wajah yang tidak berciri
milik Kaisar Hun Tun.
Kiasan
yang diberikan Chuang-tzu berbunyi sebagai berikut :
Kaisar Laut Selatan disebut sebagai Shu, Kaisar Laut Utara
disebut sebagai Hu, sedangkan Kaisar yang menguasai wilayah pusat disebut
sebagai Hun Tun. Sekali waktu, Shu dan Hu bertemu di wilayah Hun Tun, yang
memperlakukan mereka berdua dengan sangat baik, oleh karena itu, Shu dan Hu
melakukan perundingan bersama tentang bagaimana cara keduanya dapat membalas
kebaikan Hun Tun.
Mereka berkata, “Semua manusia memiliki tujuh lubang untuk melihat,
mendengar, makan, dan bernapas. Tetapi yang satu ini (yaitu Hun Tun) sendiri
tidak memiliki satu pun lubang. Marilah kita sedikit melubanginya.”
Mereka melubanginya dengan satu lubang setiap hari, hingga pada
hari ketujuh Hun Tun mati.
Ksiah
ini melukiskan secara simbolik tentang dampak destruktif jenis filsafat
esensialis pada Realitas. Hal ini merupakan cemooh tanpa belas kasihan terhadap
jenis filsafat itu atas nama bentuk khas filsafat eksistensialis yang
sebagaimana nanti kita akan pahami, ingin sekali ditegakkan oleh Chuang-tzu.
Shu dan Hu, yang melambangkan kesementaraan eksistensi manusia, bertemu di
wilayah pusat kekuasan Hun Tun; mereka diperlakukan dengan sangat baik dan
dalam waktu singkat mereka merasa bahagia – sebagaimana nama-nama mereka
sendiri mengindikasikan tentang hal itu8. Peristiwa ini tampak melamabangkan
intelektualitas manusia memasuki wilayah dunia supraindrawi “ketiadaan
perbedaan”, Yang Absolut, dan menemukan did alamnya kebahagiaan luar biasa yang
singkat – kebahagiaan luarbiasa berupa intuisi mistik tentang Wujud, yang
dengan sangat disayangkan, berlangsung dalam tempo singkat. Terpicu oleh
pengalaman ini, intelektualitas manusia, atau Nalar, berusaha untuk menggerek
sejumlah lubang dalam Sang Mutlak. Jelasnya, ia berusaha untuk memberi
perbedaan dan mengaktualisasikan seluruh bentuk yang masih tersembunyi pada
ketiadaan perbedaan asalnya. Hasil “penggerekan” ini tidak lain dariapda
filsafat Nama-nama (ming) sebagaimana direpresentasikan Konfusius dan
mazhabnya, sebuah filsafat esensialis, tempat segala hal ditandai dengan jelas,
dilukiskan, dan benar-benar dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan tingkatan
ontologis segenap esensi. Namun demikian,begitu
lubang-lubang telah digerek pada wajah Hun Tun, dia mati. Hal ini bermakna
bahwa Sang Mutlak bisa dicerap Nalar melalui pembedaan-pembedaan “esensial,
yang dibuat pada realitas San Mutlak, dan dengan demikian menjadi sesuatu yang
dapat dipahami, tetapi begitu Dia dapat dipahami oleh Nalar, Sang Mutlak pun
mati.
Belum
waktunya kita mempelajari secara rinci pandangan eksistensialis Chuang-tzu.
Saya sekedar ingin menunjukkan melalui contoh ini betapa erat imajinasi
mitopoiesis shamanik sesungguhnya berhubungan dengan kelahiran filsafat Taois.
Dan sebaliknya, pada waktu yang sama, filsafat Taois dalam kandungan
filosofisnya jauh terpisah dengan shamanisme.
Jrak
antara shamanisme dan filsafat ini mungkin dapat didekatkan secukupnya jika
kita menempatkan di antara kedua kerangka hubungan tersebut suatu kisah
asal-usul alam semesta (cosmogonical story) – sebuah produk mentalitas
mitopoiesis serupa – yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Langit dan Bumi
menjelma. Hal ini bukan benar-benar “kisah”; melainkan “teori” yang memiliki
satu tujuan. Ia merupakan hasil upaya serius untuk melukiskan dan menjelaskan
secara teoritis asal-usul alam Wujud dan proses segala sesuatu di alam
memperoleh bentuk-bentuknya yang kita kenal sekarang. Dalam pengerian ini,
kosmogi merupakan kerangka-tengah (middle term) – yang secara struktural, jika
bukan secara historis – menjebatani antara mitos shamanisme yang sederhana dan
metafisika Jalan (tao) yang sangat berkembang.
Di
sini kami mengutip terjemahan kosmogoni sebagaimana yang tertuang dalam Huai
nan Tzu di atas.
Langit dan Bumi belum memiliki bentuk. Keduanya masih berupa
cairan tidak berbentuk; tiada yang stabil, tiada yang tentu. Keadaan ini
dinamakan Permulaan Agung. Permulaan Agung melahirkan kehampaan yang bersih
jernih. Kehampaan yang bersih jernih itu melahirkan kosmos. Kosmos melahirkan
energi vital (yang meliputi segalanya). Energi vital itu memiliki
keistimewaan-keitimewaan dalam dirinya. Apa yang jernih dan ringan
melayang-layang pada lapisan-lapisan tipis membentuk langit, sedangkan apa yang
berat dan keruh membeku dan menjadi bumi. Penyatuan unsur-unsur yang jernih dan
baik tentu saja mudah, sedangkan pembekuan unsur-unsur berat dan keruh adalah
sulit. Karena itu, langit lebih awal terbentuk, kemudian Bumi berwujud.
Langit dan Bumi bersama-sama menghimpun unsur-unsur halus dari energi
vitalnya untuk membentuk prinsip Negatif (Yin) dan Positif (yang), sedangkan
Negatif dan Positif bersama-sama menghimpun unsur-unsur lebih halus dari energi
vitalnya guna membentuk empat musim. Empat musim mencecerkan energi vitalnya
untuk menghasilkan sepuluh ribu benda. Energi panas prinsip Positif yang telah
terakumulasi melahirkan api, dan esensi energi api menjadi matahari. Energi
dingin khas prinsip Negatif yang telah terakumulasi akan menjadi air, sedangkan
esensi energi air menjadi bulan. Limpahan matahari dan bulan, yang telah
mengalami proses penjernihan, berubah menjadi bintang-bintang dan
planet-planet. Langit menerima matahari, bulan, pelbagai bintang, dan planet.
Bumi menerima air, kubangan, debu dan tanah.
Pada
pasase yang dikutip ini kita temukan lagi bahwa Sesuatu yang tidak terbedakan,
tidak memiliki ciri khusus, dan Ketidakteraturan primordial (peimordial Chaos),
kali ini sebagai sebuah prinsip kosmogonik atau Permulaan Agung, melukiskan
keadaan segala sesuatu sebelum penciptaan alam raya. Permulaan Agung tentu saja
berbeda dengan monster mitik dari Shan hai Ching dan prinsip metafisik dari Tao
Te Ching. Namun, pada waktu sama, ternyata ketiga prinsip ini merupakan
“fenomena” (penampakan) berbeda dari sesuatu yang sama.
Demikian
pula pada pasase berbeda dalam buku yang sama, kita menemukan :
Pada dahulu kala, ketika Langit dan Bumi masih noneksistensi, belum
ada sosok-sosok dan bentuk-bentuk tertentu. Dahsyat, buram, dan kelam secara
misterius; tidak ada yang dapat dibedakan, tidak ada yang dapat diukur; jauh
tidak terkira, sanagat luas dan hampa; tidak ada orang yang sanggup melihat
gerbangnya.
Kemudian lahir secara bersamaan dua dewa, dan mereka mulai menguasai
Langit dan memerintah Bumi. (Langit) sedemikian dalam, dan tidak seorang pun
tahu di mana batasnya. (Bumi) sedemikian luas, dan tidak ada orang yang tahu di
mana ujungnya.
Setelah itu (Wujud) membagi dirinya sendiri menjadi Negatif dan
Positif, yang selanjutnya terpisah menjadi delapan arah utama.
Yang keras dan yang lembut saling melengkapi satu sama lain, dan
sebagai akibatnya sepuluh ribu benda memperoleh bentuk pasti. Unsur-unsur kotor
dan rambang dari energi vital menghasilkan hewan-hewan (termasuk berbagai
binatang buas, burung, reptil dan ikan).
Energi vital yang lebih halus menghasilkan manusia. Inilah alasan mengapa
(aspek) ruhani selayaknya milik Langit, sedangkan jasmaniah milik Bumi.
Secara
historis, teori kosmogoni ini dan yang serupa dengannya tampak sangat
dipengaruhi Taoisme dan metafisikanya. Namun, secara struktural, teori-teori
itu menjalin garis penghubung antara mitos dan filsafat, yang memang berkenaan
dengan keduanya, sekalipun berbeda dalam semangat dan strukturnya. Kosmogoni
dalam pengertian ini membuka mata kita akan latarbelakang metopoeik
(mythopoeic) dari metafisika Jalan sebagaimana dirumuskan Lou-tzu dan
Chuang-tzu.
Dalam
gaya sama, kita dapat menjelaskan aspek subyektif – maksudnya, epistemologis –
hubungan antara shamanisme dan filsafat Taois dengan cara membanding artikel
Elegies of Cg’u yang disebutkan di atas dengan buku-buku karya Lou-tzu dan
Chuang-tzu. Kemudian memperoleh hasil menarik dari studi banding antara Ch’u
Yuan, sang penyair shaman yang agung pada pemerintahan Ch’u, dengan para
filosof Taoisme telah lama dicatat oleh Henry Maspero, walau pun kematian telah
mencegahnya untuk sepenuhna mengembangkan gagasan itu.
Dalam
Li Sao dan Yuan Yu, penyair shaman tersebut memerikan secara rinci proses
keadaan visioner yang melaluinya jiwa yang berada dalam kondisiekstatis,
dibantu dan ditolong beragai dewa dan ruh, naik menuju kota surgawi tempat
“maujud-maujud abadi” hidup. Hal ini sesungguhnya tiada lain merupakan
deskripsi tentang unio mystica shamanis. Dan kenaikan shamanis itu sejajar
dengan kenaikan visioner dari struktur yang sama dalam Chuang-tzu. Satu-satunya
perbedaan mendasar antara keduanya ialah bahwa pada khasus terakhir pengalaman
perjalanan spiritual itu telah disuling dan dielaborasi ke dalam bentuk
kontemplasi metafisik. Persis sebagaimana sang penyair-shaman dalam kebingungan
ekstansinya akan egonya mengalami sejenis keabadian dan kekekalan demikian pula
filosof Taois mengalami keabadian dan “kehidupan panjang” di tengah Jalan
abadi, melalui penyatuan dengannya. Adalah menarik untuk diperhatikan dalam
kaitan ini bahwa sang penyair mengatakan pada tahap akhir npengalaman
spiritualnya bahwa dian “melampaui Non-Tindakan (Wu Wei, Non Doing), mencapai
Kemurnian primordial dan berdampingan dengan Permulaan Agung. Dalam terminologi
Taois, kita akan mengatakan bahwa sang penyair itu, pada tahap ini, telah
"berdampingan dengan Jalan”, yakni “benar-benar menyatu dengan Jalan.”
Dalam
Li Sao, sang penyair tidak naik menuju ketinggian seperti itu. Berdasarkan
asumsi bahwa Li Sao dan Yuan Yu sama-sama merupakan karya autentik Ch’u Yuan.
Maspero menyatakan bahwa Li Sao melukiskan tahapan yang lebih dini dalam
perkembangan spiritual sang penyair, karena sebagai shaman dia belum mencapai
tahap akhir,s edangkan Yuan Yu melukiskan tahapan selanjutnya pada saat sang
penyair telh mencapai ujung mistisisme.
Tentu
saja interpretasi itu tidak dapat dipertahankan jika kita mengetahui dengan
pasti bahwa Yuan Yu merupakan karya yang disusun penyair mutakhir dan secara
rahasia diatributkan kepada Ch’u Yuan. Bagaimana pun juga, syair itu sendiri
dalam bentuk aktualnya jelas-jelas bersifat Taois, dan sebagian gagasannya
tidak dapat disangkal diambil dari Lou-tzu dan Chuang-tzu. Namun demikian,
sekali lagi, persoalan autentitas sama sekali bukan persoalan sangat penting
bagi kita. Karena, meskipun kita mengakui bahwa seluru syair itu – atau
sebagiannya – merupakan pemalsuan yang dilakukan Dinasti Han, namun fakta bahwa
metafisika taois dapat sebegitu alamiah ditransformasikan – atau dikembalikan –
ke dalam visi-dunia shamanis itu sendiri merupakan bukti tentang kecocokan yang
ada antara shamanisme dengan Taoisme.
Sebuah
perbandingan analitis yang rinci antara artikel Elegies of Ch’u dan karya-karya
Lou-tzu dan Chuang-tzu niscaya melahirkan karya yang sangat bermanfaat dan
menguntungkan. Namun, untuk itu, kita akan jauh menyimpang dari topik utama
kajian ini. Di samping itu, kita akan segera menguraikan secara rinci pada
bab-bab pertama buku ini tentang versi filosofis dalam hal perjalanan spiritual
yang baru saja disinggung. Dan ini harus cukup untuk tujuan-tujuan kita
sekarang ini.
Kini,
marilah kita meninggalkan persoalan asal-usul shamanis dalam Taoisme, dan
beralih ke aspek-aspek yang murni berkenaan dengan filsafat Taoisme. Perhatian
utama kita selanjutnya akan secara khusus ditujukan pada struktur aktual
metafisika Taois dan konsep-konsep utamanya.
3.
MIMPI DAN KENYATAAN
Pada
bab sebelumnya kita berbicara tentang mitos Kekacauan (Chaos_, ketiadaan perbedaan
primordial yang mendahului permulaan kosmos. Dalam bentuk shamanis aslinya,
sosok kekacauan sebagai monster tidak berbentuk terlihat ganjil, primitif, dan
aneh sekali. Namun, secara simbolik, ia sangat penting, karena gagasan
filosofis yang disimbolkannya langsung menyentuh inti realitas Wujud (Being).
Dalam pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, realitas Wujud
adalah Kekacauan.
Di sanalah tergeletak intisari ontologi mereka. Namun, proposisi ini tidak
bermakna bahwa kekacauan dan ketidakteraturan dunia yang kita tempati merupakan
sebuah fakta empiris. Karena, dunia empiris, sebagaimana setiap hari kita
amati, adalah jauh dari keadaan tidak berciri dan “tidak berbentuk” sebagaimana
wajah monster-burung Shan Hai Ching.s ebaliknya, ia merupakan dunia tempat kita
melihat banyak benda yang benar-benar dapat dibedakan satu dengan lainnya,
masing-masing memiliki “nama” khas, dan masing-masing pasti dapat digambarkan
dan ditentukan. Segala benda yang berada
di dalamnya memiliki tempat sendiri; segalanya secara rapi tersusun
dalam hirarki. Kita hidup dalam dunia seperti itu, dan kita benar-benar
merasakan dunian kita seperti itu. Menurut apra filosof Taois, hal itu justru
merupakan penyakit dari Nalar kita. Dan sulit bagi benak awam untuk tidak
melihat pembedaan-pembedaan di dunia tersebut. singkat kata, dunia tersebut
tidaklah kacau.
Akan
menjadi tugas pertama Chuang-tzu untuk memecahkan ruang-ruang Wujud yang
tampaknya kedap-air ini, agar kita bisa melihat sekilas pada kedalaman tak
terukur dari Kekacauan (Chaos) sediakala itu. Bagaimanapun juga, tugas ini sama
sekali tidaklah mudah. Chuang-tzu sesungguhnya mencoba melakukan berbagai
pendekatan. Mungkin yang paling mudah dari semuanyya untuk kita pahami adalah
ypayanya berkenaan dengan “pengacauan” (chaotification) – jika kita boleh
menciptakan kata itu – “mimpi” dan “realitas”. Melalui bahasa deskriptif dan
naratif yang kelihatannya sangat mudah, dia berusaha untuk segera menarik kita
menuju tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan “realitas” tidak dapat dibedakan
satu dengan lainnya, berpadu dalam sesuatu yang “tak berbentuk”.
Berikut
adalah bagian sangat terkenal dalam Chaung-tzu, ketika sang bijak berusaha
menyajikan sebagai sebuah pandangan seklias tentang “pengacauan” berbagai hal :
Suatu
ketika, aku, Chuang=tzu, bermimpi bahwa kau menjadi seekor kupu-kupu. Terbang
ke mana-mana dan semau hati, maka aku sesungguhnya seekor kupu-kupu. Bahagia
dan senang, aku tidak sadar bahwa aku adalah Chou.
Namun,
tiba-tiba aku terbangun,d an ternyata, aku adalah Chou.
Apakah Chou
bermimpi bahwa dia adalah seekor kupu-kupu? Ataukah kupu-kupu bermimpi menjadi
Chou? Bagaimana aku mengetahuinya? Bagaimanapun, tak dapat disangkal bahwa ada
perbedaan antara Chou dan seekor kupu-kupu. Situasi ini adalah apa yang aku
namakan “Transmutasi dari berbagai hal”.
Perdua
terakhir kutipan ini menyinggung tema utama Chuang-tzu. Pada jenis situasi yang
dilukiskan di sini, dirinya dan kupu-kupu tidakd apat lagi dibedakan, lantaran
masing-masing telah kehilangan identitas esensial dirinya. Meskipun begitu, dia
berkata, “tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan antara Chou dan seekor
kupu-kupu”. Pernyataan terakhir ini menunjukkan situasi tentang berbagai hal
dalam dunia fenomenal yang lazim manusia sebut sebagai “realitas”. Pada
tingkatan eksistensi ini, “manusia” tidak dapat menjadi “kupu-kupu”, dan
“kupu-kupu” tidak dapat menjadi “manusia”. Dengan demikian, dua hal yang tentu
saja berbeda dan dapat dibedakan satu dengan lainnya ini telah kehilangan ciri
khasnya pada tingkatan tertentu dari kesadaran manusia, dan menuju keadaan
tidak terbedakan (undifferentiation) – Kekacauan.
Situasi
ontologis ini oleh Chuang-tzu disebut sebagai Transmutasi berbagai hal, wu hua.
Wu hua merupakan salah satu istilah pokok yang sangat penting dalam filsafat
Chuang-tzu. Istilah itu akan dibahas secara rinci. Berikut ini saya akan
menerjemahkan pasase lain yang menjelaskan konsep serupa melalui citra-citra
yang mirip.
Seseorang meminum anggur dalam mimpinya, dan dia menangis dan
meratap pada pagi harinya (ketika dia terbangun). Seseorang menangis dalam
mimpi (sedihnya), tetapi pada pagi harinya dia dengan gembira pergi berburu.
Ketika dia sedang bermimpi dia tidak sadar bahwa dia sedang bermimpi; dia
bahkan berusaha (dalam mimpinya) untuk menafsirkan mimpinya. Hanya setelah
terjaga dari tidur, dia menyadari bahwa itu sekedar mimpi. Demikian juga,
halnya ketika seseorang mengalami Keterjagaan Agung dia menyadari bahwa semua
ini tidak lebih daripada sebuah Mimpi Besar. Namun, manusia bodoh membayangkan
bahwa semua itu sesungguhnya bukanlah mimpi. Tertipu oleh kecerdasan mereka
yang picik, mereka menganggap diri mereka cukup cerdas untuk membedakan antara
apa yang mulia dan apa yang hina. Betapa berurat berakar dan sulit diperbaiki
kebodohan mereka!
Realitas, aku dan engkau adalah sebuah mimpi. Bukan hanya itu,
justru fakta bahwa aku mengemukakan padamu bahwa engkau sedang bermimpi itu
sendiri merupakan sebuah mimpi!
Jenis pernyataan ini besar kemungkinan bakal digolongkan sebagai
sesat pikrian yang ganjil. (Namun, dia tampak sangat tepat sebab ia
mengungkapkan Kebenaran),d an seorang arif besar yang mampu menembus rahasia
itu sulit daharapkan muncul di dunia dalam sepuluh rivu tahun.
Gagasan
yang sama berulang apda pasase berikut :
Anggaplah
engkau bermimpi bahwa engkau adalah burung. (dalam kondisi itu) engkau terbang
tinggi menuju langit. Anggaplah engkau bermimpi bahwa engkau adalah seekor
ikan. Engkau menceburkan diri dalam kolam. (Sewaktu engkau sedang mengalami
semua ini dalam mimpi, apa yang engkau alami adalah “realitasmu”) Dilihat dari
sisi ini, tidak ada orang yang dapat yakin apakah kita – engkau dan aku, yang
sesungguhnya terlibat dalam percakapan melalui cara ini – sedang terjaga
ataukah sekadar bermimpi!.
Pandangan
demikian mereduksi perbedaan antara Aku dan engkau menjadi sekedar sebuah
penampakan atau penampilan, atau paling tidak menjadikan perbedaan iotu sangat
meragukan dan tidak berdasar.
Masing-masing
dari kita yakin bahwa “ini” adalah Aku (dan konsekuensinya “selain ini” adalah
Engkau atau Dia). Namun demikian, saat direfleksikan, bagaimana aku dapat
meyakini bahwa “Aku” ini yang aku anggap sebagai “Aku” benar-benar kepunyaan
“Aku”?
Maka
itu, sekalipun “diri” saya sendiri yang saya anggap sebagai inti eksistensi
yang paling kukuh dan dapat diandalkan – dan entitas satu-satunya yang sangat
pasti ketika saya meragukan eksistensi segala sesuatu lainnya, dalam pemahaman
filsafat Cartesian – tiba-tiba saja mengalami transformasi menjadi sesuatu yang
mirip mimpi dan tak nyata.
Dengan
begitu, melalui “sesat pikir ganjil” tampaknya Chuang-tzu mereduksi segala
sesuatu menjadi sebuah Mimpi Besar. Negasi kasar atas “realitas” ini tidak
lebih daripada langkah awal menuju filsafatnya, karena filsafatnya memiliki
sisi positif. Namun, sebelum menyingkapkan sisi positifnya – yang “kecerdasan
picik” kita tidak pernah dapat berharap memahaminya – dia memberikan pukulan
telak pada “kecerdasan” dan Nalar ini dengan mendepaknya dari landasan
pijakannya.
Dunia adalah sebuah mimpi; apa yang biasanya
kita anggap sebagai “realitas” yang kukuh, adalah sebuah mimpi. Lebih dari itu,
manusia yang memberitahukan orang-orang lain bahwa segala sesuatu adalah mimpi
dan orang-orang yang menyimak ajarannya, semuanya adalah bagian dari sebuah
mimpi.
Apa
yang Chuang-tzu ingin kemukakan dengan semua ini? Dia ingin mengemukakan bahwa
Realitas dalam pengertian sesungguhnya dari kata itu adalah sesuatu yang
benar-benar berbeda dari apa yang Nalar anggap sebagai “realitas”. Untuk
memahami makna sejatinya, kesadaran normal yang kita miliki pertama-tama harus
kehilangan identitas dirinya. Bersama-sama dengan “ego”, segala objek persepsi
dan pemikirannya juga harus kehilangan semua identitas-dirinya dan bergerak
menuju suatu kebingungan yang kita namakan di atas dengan “Kekacauan
primordial” (primordial Chaos). Hal yang disebutkan terakhir ibi adalah
tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan “realitas” kehilangan perbedaan esensial
di antara keduanya, sehingga signifikansi dari pelbagai perbedaan itu sendiri
telah hilang. Pada sisi subyektifnya, ia merupakan tingkat kesadaran yang di
dalamnyan tidak ada lagi “diri sendiri”, dan suatu benda dapat menjadi benda
lain. Ia merupakan sebuah tatanan Wujud yang sama sekali baru, tempat seluruh
maujud terbebaskan dari belenggu determinasi semantiknya yang secara bebas
saling bertransformasi satu dengan lainnya. Inilah apa yang Chuang-tzu namakan
sebagai Transmutasi segala sesuatu.
Transmutasi
segala sesuatu, sebagaimana dalam konsepsi Chuang-tzu, harus dipahami berkenaan
dengan dua dasar acuan. Pada satu sisi, ia menunjukkan situasi metafisik
manakala segala sesuatu ditemukan “bisa ditransformasikan” satu dengan lainnya
sedemikian rupa sehingga pada puncaknya semua menyatu bersama-sama menjadi
Kesatuan mutlak. Dalam pemaknaan ini, ia melampaui “waktu”; ia merupakan tatanan
berbagai hal yang supratemporal. Dalam pandangan orang yang telah mengalami
Keterjagaan Agung, segala sesuatu adalah Sat; segala sesuatu adalah realitas
itu sendiri. Namun, pada waktu sama, Realitas unik ini memperlihatkan padanya
pandangan kaledoskopik (yang terus menerus berubah dengan cepat) beragam dan
berbagai hal yang “secara esensial” berbeda satu dengan lainnya. Dan pada aspek
ini, alam Wujud memiliki beraneka ragam dan berjumlah banyak. Dua aspek itu
harus didamaikan satu dengan lainnya dengan menganggap “hal-hal” ini sebagai
selaksa bentuk fenomenal dari Satu yang mutlak. “Kesatuan eksistensi”, dipahami
dengan cara ini, merupakan intik filsafat Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Di
sisi lain, transmutasi yang sama dapat dipahami sebagai sebuah proses temporal.
Dan ini sesungguhnya juga dilakukan oleh Chuang-tzu. Suatu benda, a, terus
bersembada sebagai a untuk beberapa waktu; kemudian, setelah batas yang
sesungguhnya telah ditetapkan untuknya tiba, maka ia berhenti menjadi a dan
mengalami transmutasi atau transformasi menjadi benda lain. B, Dari sudut
pandang supratemporalitas, a dan b secara metafisik adalah satu dan benda yang
sama, perbedaan antara keduanya hanyalah merupakan perosalan yang bersifat
fenomenal (penampakan). Dalam pemaknaan ini, bahkan sebelum a berhenti menjadi
a – maksudnya,d ari permulaan --- a adalah b, dan b adalah a. Karenanya, tidak
ada persoalan a “menjadi” b, sebab a, justru dalam fakta, ia adalah a, telah
menjadi b.
Dari
sudut pandang kedua, bagaimanapun, a adalah a dan bukan sesuatu yang lain. Dan,
dalam proses temporal, a ini “menjadi” sesuatu yang lain. B yang pertama
“berubah” menjadi yang kedua. Namun, di sini pula kita mencapai Kesatuan
metafisik yang sama, yang istilahnya, secara berputar. Mengingat a, dengan
“menjadi” dan “berubah” sebagai b, mengembalikan dirinya kepada asal usul dan
sumbernya sendiri. Keseluruhan proses ini merupakan lingkaran ontologis, sebab,
melalui proses yang sama menjadi b, maka a semata-mata “menjadi” dirinya
sendiri – sekalipun dalam bentuk yang berbeda.
Saat
diterapkan pada konsep “hidup” dan “mati”, gagasan seperti itu, tentu saja
melahirkan Filsafat Kehidupan khas, yang pada dasarnya merupakan pandangan
optimistik tentang eksistensi manusia. Disebut “optimistik” lantaran ia
benar-benar meniadakan perbedaan antara Kehidupan dan Kematian.d ari sudut
pandang ini, apa yang dinamakan masalah Kematian berubah menjadi lebih daripada
sebuah masalah semu.
Walaupun
ia menjadi sebuah masalah semu dalam sudut pandang roang-orang yang telah
melihat Kebenaran, tetapi Chuang-Chu sering mengangkat tema ini dan
mengembangkan pemikiran di sekitarnya. Sesungguhnya, tema ini merupakan salah satu
topik yang sangat disenangi. Karena sesungguhnya hal ini adalah sebuah masalah,
atau pokok masalah. Kematian, khususnya, kebetulan merupakan masalah yang
sangat menggelisahkan pikiran awan. Seseorang
yang telah berhasil mengatasi angoise(kegelisahan dan kekhawatiran)
eksistensial dalam berhadapan terus-menerus dan setiap saat dengan kengerian
kemusnahan dirinya sendiri merupakan tanda bahwa dia berada pada tahap “manusia
sejati” Selain itu, karena hal itu kebetulan merupakan sebuah masalah
yang demikian vital, maka solusinya adalah mengingatkan arti penting konsep
Transmutasi. Jika tidak, segala sesuatu yang lain persisinya berada dalam
situasi ontologis antara Hidup dan Mati.
Kini
kita kembali ke maslah reduksi Chuang-tzu terhadap segala sesuatu menjadi modus
eksistensi mirip mimpi. Tidak ada di alam Wujud yang dapat benar-benar menopang
kehidupannya sendiri. Dalam terminologi skolastik kita mungkin melukiskan
situasi ini dengan mengatakan bahwa tidak ada yang memiliki – kecuali dalam
penampakan dan penampilan – “kuiditas” atau “esensi” yang tidak berubah. Dan
dalam kondisi segala sesuatu yang berubah-ubah ini, kita tidak lagi yakin akan
identitas-diri apa pun juga. Kita tidak pernah mengetahui apakah a sesungguhnya
adalah a itu sendiri.
Ketidak-pastian
mirip mimpi yang esensial ihwal ketiadaan determinasi ini sesungguhnya
mengandung kebenaran tentang Hidup dan
Mati. Struktur konseptual pernyataan ini akan mudah terlihat jika seseorang
menggantikan istilah-istilah Hidup dan Mati dengan a dan b, dan berusaha untuk
melukiskan ulang seluruh situasi menyangkut pola a-b yang telah disinggung di
atas.
Berbicara
tentang “manusia sejati” dari negeri Lu, Chuang-tzu berkata :
Dia tidak mau tahu mengapa dia hidup. Dia juga tidak mau tahu
mengapa dia mati. Dia bahkan tidak tahu yang mana datang eprtama kali dan yang
mana datang belakangan. (Maksudnya, Kehidupan dan Kematian yang ada dalam
benaknya tidaklah dibedakan satu dengan lainnya, sebab perbedaan antara
keduanya adalah tidak signifikan) Dengan mengikuti rangkaian alamiah
Transmutasi dia telah menjadi sesuatu yang pasi; kini dia benar-benar menunggu
Transmutasi selanjutnya.
Di samping itu, ketika seseorang mengalami Transmutasi, bagaimana
dia dapat yakin bahwa dia (sesungguhnya) sedang tidak bertransmutasi? Dan ketika
dia tidak mengalami Transmutasi, bagaimana dia dapat yakin bahwa dia
(sesungguhnya) sudah tidak bertranspmutasi?
Dalam
pasase yang sama berkenaan dengan masalah Kematian dan sikap yang pantas dari
“manusia sejati” terhadapnya, Chuang-tzu membiarkan Konfusius membuat
pernyataan berikut. Sudah barang tentu, Konfusius di sini adalah seorang tokoh
rekaan yang tidak harus menyangkut tokoh sejarah tertentu, tetapi pasti ada
seikit sentuhan ironi pada fakta Konfusius terpaksa membuat pernyataan
demikian.
Mereka
(Maksudnya, “manusia sejati”) adalah orang-orang yang dengan bebas berkelana di
luar batas-batas (maksudnya, norma-norma umum dari perilaku yang layak),
sedangkan orang-orang seperti diriku adalah orang-orang yang berkelana dengan
bebas hanya dalam batas-batas. “Di luar batas-batas” dan “dalam batas-batas”
merupakan kutub-kutub yang terpisah satu dengan lainnya.
Mereka
adalah orang-orang yang, dalam keadaan benar-benar menyatu dengan Maha Pencipta
Itu Sendiri, merasa bahagia berada dalam ranah Kesatuan asli dari energi bital
sebelum terbagi menjadi Langit dan Bumi.
Dalam
benak mereka, Kehidupan (atau Kelahiran) hanyalah pertumbuhan yang tidak normal,
sebuah kutil, sedangkan Kematian ibarat pecahnya sebuah bisaul, pecahnya sebuah
tumor. Jika demikian halna, bagaimana kita mengharapkan mereka untuk
memerhatikan persoalan tentang mana yang lebih baik dan lebih buruk – Kehidupan
atau Kematian? Mereka sekedar meminjam unsur-unsur yang berbeda,d an
memasangnya dalam bentuk biasa dari suatu tubuh. Karenanya mereka sadar tidak
memiliki liver dan tidak memiliki empedu, dan mereka mengesampingkan telinga
dan mata mereka. Dengan memasrahkan diri mereka kepada gelombang-gelombang
dahsyat yang senantiasa berulang. Akhir dan Awalnya, mereka terus berputar dalam
sebuah putaran, namun mereka tidak mengetahui manakah titik awal dan titik
akhir.
Bagi
Chuang-tzu, Kematian bukanlah apa-apa selain merupakan salah satu dari beragam
bentuk fenomena tiada akhir dalam hubungan dengan sebuah Realitas yang abadi.
Bagi pandagan kita, Realitas metafisik ini mengaktualisasikan dirinya
danmengembangkan dirina dalam proses yang mengikuti waktu. Namun, bahkan ketika
dikonsepsikan dalam bentuk temporal seperti itu, proses tersebut hanya
melukiskan sebuah lingkaran berputar tiada henti, karena tidak ada orang yang
mengetahui tentang awal dan akhir yang sesungguhnya. Kematian tidak lain
merupakan sebuah tahapan dalam lingkaran ini. Ketika itu terjadi, satu bentuk fenomena khusus terhapus dari lingkaran tersebut dan lenyap hanya untuk
muncul kembali sebagai suatu bentuk fenomena yang benar-benar berbeda. Alam senantiasan membuat dan mengubah buatan. Tetapi, lingkaran itu
sendiri, maksudnya Realitas itu sendiri, senantiasa tidak berubah dan tidak
goyah. Menyatu dengan Realitas, benak “manusia sejati” tidak pernah menjadi
goyah.
Sorang “manusia sejati” lanjut
Cuang-tzu, melihat tubuhnya sendiri secara mengerikan mengalami deformasi pada
hari-hari terakhir kehidupannya. Dia berjalan pincang menuju sebuah sumur,
memandang dirinya yang terpantul di dalam air dan berkata, “Aduh! Maha Pencipta
telah menjadikan aku sebagai jelek cacat!” Setelah itu, temannya bertanya
kepadanya, “Apakah engkau membenci kondisimu?” Berikut adalah jawaban “manusia
sejati” terhadap pertanyaan ini :
Tidak!
Mengapa aku harus membencinya? Mungkin saja proses Transmutasi akan mengubah
tangan kiriku menjadi seekor ayam jago. Maka, aku hanya akan menggunakannya
untuk berkokok memberitahukan datangnya pagi. Mungkin saja proses itu berlanjut
dan dapat mengubah tangan kananku menjadi busur panah. Maka aku hanya akan
menggunakannya guna menembak burung untuk dipanggang. Mungkin saja proses
tersebut akan mengubah bokongku menjadi roda dan mengubah ruhku menjadi seekor
kuda. Maka aku hanya cukup menempel pada dokar. Aku bahkan tidak perlu kuda
lain untuk dokar itu.
Apapun yang kita peroleh (maksudnya, dilahirkan
kedunia ini dalam suatu bentuk khusus) adalah berhubungan dengan datangnya
waktu. Apapun kehilangan kita (maksudnya, kematian) adalah juga berhubungan
dengan tibanya giliran. Kita harus merasa puas dengan “waktu” dan menerima
“giliran”. Maka kesedihan dan kebahagiaan tidak akan pernah mengenyangi. Sikap
demikiian biasanya dinamakan para leluhur sebagai “mengendurkan ikatan”. Jika
manusia tidak dapat mengendurkan dirinya dari suatu ikatan, berarti itu karena
“banyak hal” telah mengikatnya dengan ketat.
Manusia sejati lainnya pada
saat-saat akhir kehidupan menerima kunjungan seorang sahabtnya yang juga
merupakan “manusia sejati”. Percakapan antar mereka sebagaimana dikisahkan oleh
Cuang-tzu adalah menarik. Pengunjung itu melihat ratap tangis istri dan
anak-anak yang mengelilingi sahabtnya menjelang akhir kehidupannya, maka dia
berkata kepada mereka, “Hus! MEnjauhlah! Jangan kalian mengganggunya, karena
dia sedang melewati proses Transmutasi!”
Kemudian dia berpaling kepada
sahabatnya yang sedang sekarat sambal berkata :
Betapa
agung Maha Pencipta! Apa ayang akan dia lakukan terhadapmu kini? Kemana dia
akan membawamu? Apakah dia akan menjadikanmu sebagai liver seekor tikus? Ataukah
dia akan menjadikanmu lengan dari seekor serangga?
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini,
sahabatnya yang sedang sekarat menjawab :
(tidak
masalah bagaimanapun Maha Pencipta menjadikanku, aku menerima kondisi dan
mengikuti perintahnya) Tidakkah engkau mengerti? Dalam hubungan di antara
seorang anak dan orangtuanya, si anak akan pergi ke mana pun mereka menyuruhnya
untuk pergi, timur, barat, selatan, utara. Namun, hubungan antara Yin-Yang
(maksudnya, Hukum yang mengatur proses kosmik menjadi) dan manusia jauh lebih
erat daripada hubungan antara anak dan orangtuanya. Kini mereka (Yin dan Yang)
telah membawaku menuju ambang kematian. Seandainya aku menolak untuk tunduk
kepada mereka, maka sungguh itu merupakan suatu perbuatan pembangkangan.
Bayangkan
ada seorang pandai besi yang hebat, sedang membuat logam. Seandainya logam itu
harus bangkis melompat dan mulai berteriak, “Aku harus dibuat menjadi sebuah
pedang seperti Mo Yeh, tidak boleh lainnya!” Si pandai besi tentu saja akan
menganggap logam itu sebgai sesuatu yang sangat jahat. (Hal yang sama mungkin
benar tentang) seorang manusia yang dengan alas an bahwa dia kebetulan telah
mengambil bentuk manusia, seandainya
bersikukuh dengan mengatakan “Aku ingin menjadi seorang manusia, hanya
manusia! Tidak boleh lainnya!” Maha Pencipta tentu saja akan menganggapnya
sebagai makhluk yang sangat jahat.
Bayangkan
dunia itu sebagai sebuah tungku perapian yang besar, dan Maha Pencipta sebagai
pandai besi luar biasa. Ke mana pun kita mungkin pergi, segala sesuatu akan menjadi
baik. Dengan tenang kita akan pergi tidur (maksudnya, mati), dan tiba-tiba kita
akan mendapatkan diri kita terbangun (dalam suatu bentuk eksistensi baru).
Konsep tentang Transmutasi segala
sesuatu sebagaimana disusun oleh Chuang-tzu mungkin tampak mirip denga doktrin tentang “transmigrasi”. Namun,
kemiripan itu hanya bersifat lahiriah. Chuang-tzu tidak mengatakan bahwa jiwa
senantiasa melakukan transmigrasi dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Pokok
pemikirannya tentang masalah ini adalah bahwa segala sesuatu merupakan sebentuk
fenomena dari Realitas tunggal yang unik yang senantiasa secara berturut-turut
mengambil berbagai bentuk manifestasi diir. Di samping itu, sebagaimana kita
telah pahamisebelumnya, proses temporal ini sendiri hanyalah sebuah fenomena.
Tepatnya semua ini merupakan suatu yang secara abadi berlangsung pada tingkatan
temporal dari Wujud. Segala sesuatu adalah satu dalam keabadiannya, di lura
Waktu dan Ruang.
4. MELAMPAUI INI DAN ITU
Dari halaman-halaman terakhir bab
sebelumnya kita telah memahami bagaimana Chuang-tzu menghilangkan perbedaan
atau pertentangan antara Kehidupan dan Kematian serta mengembalikannya pada
kondisi asli “ketiadaan perbedaannya”. Kita telah membahas cukup luas persoalan
itu sebab ia merupakan salah satu topik kesukaan Chuang-tzu, selain juga karena
ia membukakan mata kita tentang aspek penting dari filsafatnya.
Tepatnya, bagaimanapun, dan dari
sudut pandang ontologis, Kehidupan dan Kematian seharusnya tidak menempati
tempat yang demikian istimewa. Karena semua yang dinamakan “lawan-lawan” dalam
filsafat Chuang-tzu, tidak sungguh-sungguh berlawanan satu dengan lainnya.
Sesungguhnya, dalam pandangannya, tidak ada sesuatu yang belawanan dengan
sesuatu lainnya, karena tidak ada sesuatu yang memiliki “esensi” yang benar-benar
kukuh dalam pusat ontologisnya. Dalam
pandangan seorang manusia yang telah mengalami “pengacauan” (Chaotification)
berbagai hal, segala sesuatu kehilangan garis batasnya yang kukuh, tercabut
dari landasan “esensial”-nya. Seluruh perbedaan ontologis antara berbagai hal
menjadi suram, kabur, dan akcau, jika bukan hancur sama sekali.
Perbedaan-perbedaan tersebut tentus aja masih ada, namun tidak lagi signifikan
dan “esensial”. Dan “lawan-lawan” tidak lagi menjadi “lawan-lawan” kecuali
secara konseptual. “Cantik” dan “jelek”, “baik” dan “buruk”, “benar” dan
“salah” serta “saleh” dan “tidak saleh” – semua ini dan pasangan-pasangan
konseptual lainnya yang sangat berbeda, pada tingkatan Nalar, dan yang
sesungguhnya memainkan peranan utama dalam kehidupan manusia, ditemukan berada
jauh dari kemutlakan.
Sikap
Chuang-tzu terhadap “lawan-lawan” dan “perbedaan-perbedaan” yang umumnya
diterima sebagai “nilai-nilai” kultural, estetika, atau etika ini akan tampak
tidak lebih dan tidak kurang dariapda apa yang disebut dengan relativisme. Hal yang sama sebenarnya merupakan sikap Lou-tzu. Sesungguhnya halm
itu ialah pandangan tentang nilai-nilai yang relativis. Namun, sangat penting
untuk dicermati bahwa ia bukanlah sejenis relativisme biasa sebagaimana
dipahami tentang tingkat kehidupan social yang bersifat emnpiris ataun
pragmatis. Ia adalah sejenis relativisme khas yang didasarkan pada jenis
intuisi mistik yang khas; intuisi mistik tentang Kesatuan dan Keragaman
eksistensi. Ia adalah filsafat tentang “ketiadaan perbedaan” yang merupakan
produk alamiah dari pengalaman metafisik tentang Realitas, suatu pengalaman
ketika Realitas yang langsung disaksikan saat ia mendedah dan
mendiversifikasikan dirinya menjadi beribu-ribu hal dan kemudian kembali lagi
kepada Kesatuan aslinya.
Dasar metafisika relativisme
Taois ini akan dibahas secara rinci pada bab berikutnya. Di sini kita akan
membatasi diri pada sisi “relativitas” filsafat ini, dan berusaha untuk
mengejar Chuang-tzu dan Lou-tzu sedekat mungkin sebagaimana mereka terus mengembangkan
gagasan-gagasannya tentang aspek khusus persoalan ini.
Sebagaimana baru saja saya
jelaskan, sikap Chuang-tzu dan Lou-tzu terhadap apa yang dinamakan nilai-nilai
kultural secara lahiriah tidak akan tampak apa-apa selain daripada
“relativisme” dalam istilah yang lazimnya dipahami. Pertama-tama marilah kita
menguji masalah ini dengan mengutip beberapampasase yang cocok dari dua buku
tersebut. Bahkan, dalma tahapan analisis pendahuluan ini, kita dengan jelas
akan melihat bahwa relativisme ini ditujukan untuk melawan pandangan
“esensialis” dari ajaran Konfusius. Pada kalimat terakhir pasase berikutn ini
terdapat petunjuk eksplisit menyangkut sudut pandang Konfusius.
Jika
seorang manusia tidur di sebuah tempat lembab, maka dia akan menderita sakit punggung,d
an pada kahirnya dia akan mengalami separo kelumpuhan. Namun, apakah ini
berlaku terhadap seekor ikan yang hidup di dalam air? Jika (seorang manusia)
hidup pada sebatang pohon, maka dia pasti akan terus menggigil ketakutan.
Namun, apakah ini berlaku untuk seekor monyet? Nah, yang mana dari ketiga
makhluk ini (maksudnya, manusia, ikan, dan monyet) yang menegtahui tempat
(mutlak) tepat untuk hidup?
Manusia
makan daging sapi dan babi; kijang makan rumput, kelabang menganggap ular itu
enak; burung rajawali dan burung gagak menyukai tikus. Dari keempat makhluk ini
manakah yang mengetahui rasa (mutlak) enak?
Seekor
monyet menemukan pasangannya pada monyet; seekor kijang berpasangan dengan
seekor kijang. Dan ikan-ikan air tawar hidup dengan ikan-ikan lainnya. Maka
Ch’iang dan Li Chi dianggap sebagai perempuan-perempuan cantic ideal oleh semua
lelaki. Namun sebaliknya, jika ikan kebetulan melihat kecantikan seperti
mereka, maka mereka akan menyelam di kedalaman air; burung-burung dapat terbang
tinggi; dan kijang dapat berlarian ke semua arah. Dari keempat makhluk ini,
manakah yang mengetahui kecantikan (mutlak) ideal?
Pertimbangan-pertimbangan
ini menuntunku untuk menyimpulkan bahwa batas-batas antara “kebaikan” (jen) dan
“kesalehan” (i), serta batas-batas antara “benar” dan “salah” juga sangat tidak
pasti dan kabur. Begitu luar-biasa kaburnya sehingga kita tidak pernah dapat
mengetahui bagaimana cara membedakannya (antara apa yang sangat benar dan apa
yang sangat salah, dan sebagainya).
Jenis relativisme ini juga
ditemukan dalam buku Lou-tzu. Konsep mendasar itu persis sama seperti dalam
buku Chuang-tzu; demikian pula alas an dia menjunjung tinggi pandangan seperti
itu. Sebagaimana akan kita pahami kelak, Lou-tzu juga memandang
perbedaan-perbedaan, pertentangan-pertentangan,d an kontradiksi-kontradiksi
yang nyata tersebut dari sudut pandang Satu metafisik ketika segala sesuatu
kehilangan sisi-sisi pembedaan konseptualnya yang tajam serta menjadi padu dan
serasi.
Satu-satunya perbedaan antara Chuang-tzu dan Lou-tzu
dalam hal ini adalah bahwa Lou-tzu mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang
sangat lugas, tepat, dan tegas. Sedangkan Chuang-tzu senang mengembangkan
pemikirannya dalam bentuk perumpamaan yang sangat banyak. Selain itu, gagasan
itu sendiri adalah sama bagi mereka berdua. Pada kutipan-kutipan pertamaberikut
ini dari Tao Te Ching, sebagai contoh, Lou-tzu secara implisit menolak
esensialisme kultural dalam mazhab Konfusius.
Buanglah
pembelajaran, dan tidak aka ada lagi kecemasan-kecemasan. Berapa banyak
sesungguhnya perbedaan yang ada di antara “ya tuan” dan “hem”!? Adakah pula
perbedaan antara “baik” dan “buruk”? “Apappun yang orang-orang lain hormati,
juga harus aku hormati”, (kata mereka).
Oh, betapa jauh aku dari
orang-orang awam (yang menganut gagasan demikian). Karena (di atas prinsip
demikian) tidak akan ada batas bagi lusnya (perbedaan-perbedaan sepele).
Manusia
cenderung membayangkan, kata Lou-tzu, bahwa segala sesuatu pada dasarnya dapat
dibedakan dengan lainnya, dan para pengikut Konfusius telah membangun sistem
terperinci tentang nilai-nilai moral yang tepatnya berupa gagasan bahwa segala
sesuatu ditandai (dapat dibedakan) dengan yang lain melalui “esensinya”
sendiri. Mereka tampaknya yakin bahwa “perbedaan-perbedaan” ini semuanya bersifat
permanen dan tidak dapat diubah. Namun, dalam kenyatannya. Mereka
sungguh-sungguh tertipu oleh aspek-aspek eksternal dan fenomenal Wujud. Seorang
manusia yang pandangannya tidak terselubung oleh jenis tipuan ini melihat dunia
Wujud sebagai ruang yang sangat luas dan tak terbatas karena berbagai hal
saling bergabung satu dengan lainnya. Kondisi ontologis segala sesuatu ini
tidaklah ada selain daripada apa yang Chuang-tzu namakan dengan Chaos. Pada
tingkatan kultural, pandangan demikian tentu saja mengarah kepada relativisme.
Lou-tzu melukiskan relativisme melalui cara berikut :
Mengingat,
faktanya semua orang di dunia mengenal “cantik” sebagai “cantik”, maka gagasan
tentang “jelek” pun muncul. Mengingat bahwa semua orang mengenal “baik” sebagai
“baik”, maka gagasan tentang “buruk” pun muncul. Begitulah persisnya
“eksistensi” dan “noneksistensi” saling melahirkan satu dan lainnya; “sulit”
dan “mudah” saling melengkapi satu dan lainnya. “panjang” dan “pendek” tampak
saling bertentangan satu dengan lainnya; “tinggi” dan “rendah” saling condong
satu dengan lainnya; “nada” dan “suara” tetap selaras satu dengan lainnya;
“sebelum” dan “setelah” saling mengikuti satu dengan lainnya.
Singkatnya,
segala sesuatu adalah relatif; tidak ada sesuatu yang mutlak. Kita hidup dalam
suatu dunia yang memiliki perbedaan-perbedaan relatif dan antitesis-antitesis
relatif. Namun, maoritas manusia tidak menyadari bahwa semua ini adalah
relatif. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa sesuatu yang mereka – atau
kesepakatan sosial – anggap sebagai “cantik” adalah pada esensinya “cantik”
dengan demikian mereka menganggap semua hal yang tidak sesuai dengan norma
tertentu sebagai “jelek” pada esensinya. Dengan mengambil sikap seperti itu
mereka sungguh-sungguh mengabaikan fakta bahwa
perbedaan antara kedua sifat itu semata-mata persoalan sudut pandang.
Sebagaimana
saya nyatakan sebelum ini, pernyataan pelbagai lawan yang demikian itu tentu
saja merupakan “relativisme”, tetapi ia merupakan relativisme yang didasarkan
pada, atau berasal dari, intuisi sangat luarbiasa ihwal struktur ontologis
alam. Intuisi sedianya adalah hal yang lazim bagi Lou-tzu dan Cuang-tzu. Namun,
di tangan Chuang-tzu intuisi itu mengarah pada pandangan “kacau balau” akan
berbagai hal, “ketiadaan perbedaan” esensial dari berbagai hal, yang dalam
aspek dinamisnya dipahami sebagai Transmutasi berbagai hal. Dalam kasus
Lou-tzu, intuisi yang sama, pada aspek dinamisnya, mengarah pada ontologi
pengembangan dan pelibatan, yang aspek statisnya adalah relativisme yang baru saja kita bahas.
Mengingat
Transmutasi (hua) adalah kata kunci filosofis Chuang-tzu pada bagian ini, maka
Kembali (Return) (fan atau fu) merupakan kata kunci yang dipilih Lou-tzu
sebagai ekspresi yang tepat untuk gagasannya.
Ihwal
makna kosmik dari Kembali sebagai dipahami oleh Lou-tzu, kita akan
berkesempatan untuk membicarakannya pada konteksselanjutnya. Di sini kita akan
membatasi diri untuk menimbang konsep ini sepanjang ia memiliki relevansi
langsung dengan masalah relativisme.
Kembali
(return) merupakan konsep dinamis. Dengna kata lain, Kembali mengacu kepada
aspek dinamis relativisme Lou-tzu di atas, atau dasar ontologis dinamis yang di
atasnya relativisme bertumpu. Dia menjelaskan konsep ini dalam bentuk singkat
dan tepat pada pasase berikut, yang sebenarnya bisa dianggap sebagai ringkasan
seluruh ontologiny
Kembali adalah bagaimana Jalan
bergerak,d an menjadi lemah adalah bagaimana Jalan bekerja. Sepuluh ribu hal di
bawah langit lahir dari wujud, dan Wujud lahir dari Non-Wujud.
Harus
dinyatakan bahwa dalam pasase ini terdapat dua rujukan tersembunyi menyangkut
dua makna atau aspek dari “kembali” yang tampaknya diakui oleh Lou-tzu terdapat
struktur ontologis segala sesuatu. Makna (atau aspek) pertama dia kemukakan
melalui kalimat pertama dan makna kedua melalui kalimat kedua. Kalimat pertama
bermakna bahwa segala sesuatu (a) yang ada mengandung dalam dirinya sebuah
kemungkinan atau kecenderungan alamiah untuk “kembali” (return). Maksudnya, ia
(a) ditransformasikan menjadi lawannya (b), yang tentu saja, mengandung
kemungkinan “kembali” yang sama kepada lawannya, yaitu kondisi semula yang
datang darinya (a). Dengan demikian, segla sesuatu tetap berada dalam proses
gerakan berputar, dari a ke b, dan selanjutnya dari b ke a. Lou-tzu mengatakan
bahwa inilah hukum “gerakan” ontologis (tung), atau aspek dinamis dari
Realitas. Dia menambahkan bahwa “kelemahan” merupakan cara bergerak ini dibuat
oleh Realitas.
Kalimat
berikut menganggap struktur dinamis Realitas sebagai gerakan vertikal dan
metafisik dari Banyak fenomenal menjadi Tunggal prafenomenal. Dimulai dari
keanekaragaman ketika segala sesuatu mengalami aktualisasi dan realisasi, ia
menarik segala sesuatu itu kembali ke keadaannya sediakala. “Sepuluh ribu hal
di bawah langit”, maksudnya segala sesuatu di alam, menjadi maujud aktual dari
Jalan (tao) pada tahap “eksistensinya”. Namun tahap “eksistensi” tersebut, yang
tidak ada selain dari pada tahapan dalam proses manifestasi dari Jalan (tao),
terjadi dari tahapan “noneksistensi”, yang merupakan kedalaman luarbiasa dari
Jalan (tao) itu sendiri yang sama sekali tidak diketahui-tidak dapat diketahui.
Harus diperhatikan bahwa “penyatuan kembali” beribu-ribu hal inbi menuju
“eksistensi” dan selanjutnya menunu “noneksistensi” bukan hanya merupakan
sebuah proses konseptual; menurut Lou-tzu hal itu terutama merupakan sebuah
proses kosmis. Segala sesuatu secara ontologis “kembali” ke sumber asalnya,
bejalan di atas jalan transformasi-transformasi “sirkuler” di antara mereka
sendiri sebagaimana telah dikemukakan melalui kalimat pertama. Segala sesuatu yang bersifat kosmik yang kembali (return) ke keadannya
semula akan menjadi ubjek pembahasan pada bab berikutnya. Di sini kami
menyinggung tentang Kembali “horizontal” segala sesuatu sebagaimana ditunjukkan
pada kalimat pertama, maksudnya, proses “pengembalian” (returning) timbal balik
di antara a dan b. Lou-tzu memiliki cara khas dalam mengekspresikan gagasannya
sebagaimana ditunjukkan melalui dia pasase berikut ini :
Kemalangan adalah pijakan nasib baik dan nasib baik
adalah tempat sembunyi kemalangan. (Keduanya dengan demikian secara tidak
terbatas saling berpindah menjadi satu dengan lainnya sehingga) tidak ada orang
yang mengetahui titik tempat proses tersebut berakhir. Tampaknya tidak ada
norma yang mutlak. Karena apa yang (dianggap) adil “berbalik” menjadi tidak
adil, dan apa yang (dianggap) baik “berbalik” menjadi jahat. Sesungguhnya
manusia telah lama sekali berada dalam kebingungan seputar ini.
Sifat segala
sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga orang yang pergi terlebih dahulu
berakhir dengan ketinggalan, dan yang mengikuti dari belakang pada akhirnya
menemukan dirinya berada di depan orang-orang lain. Orang yang meniup sesuatu
untuk membuatnya panas berakhir dengan membuatnya dingin, dan orang yang meniup
sesuatu untuk membuatnya dingin, pada akhirnya membuatnya panas. Orang yang
berusaha menjadi kuat akan menjadi lemah,d an orang yang ingin tetap lemah akan
berubah menjadi kuat. Orang yang aman akan jatuh ke dalam bahaya, sedangkan
orang yang berada dalam bahaya akan berakhir aman.
Dengan
demikian, dalam pandangan Chuang-tzu dan Lou-tzu, segala sesuatu di alam adalah
relative; tidak ada yang secara mutlak dapat dipercaya atau stabil dalam
pemaknaan ini. Sebagaimana saya indikasikan sebelumnya,
“relativisme” ini, dalam kasus Lou-tzu dan Chuang-tzu, harus dipahami dalam
pengertian khusus, yaitu, dalam pengertian bahwa tidak ada yang memiliki
“esensi atau kuiditas”.
Segala sesuatu, pada tingkatan
Realitas yang lebih dalam, adalah “tidak memiliki esensi”. Dunia itu sendiri
adalah “kacau-balau” (chaoutic). Ini sebenarnya tidak hanya merupakan alam
eksternal tempat kita eksis, tetapi sebenarnya sama dengan dunia di dalam kita,
alam internal berupa rangkaian konsep dan penilaian. Hal ini tidaklah sulit
untuk dipahami, karena apa pun penilaian yang mungkin kita buat tentang apa
saja yang kita pilih untuk dibicarakan dalam dunia yang “kacau” ini, pendapat
kita itu pasti bersifat relative, berat sebelah, bermakna ganda, dan tidak
dapat dipercaya, lantaran objek penilaian itu sendiri secara ontologis adalah
relatif.
Argument Chuang-tzu berkenaan
dengan masalah ini secara logika sangat menarik dan penting. Periode
Negara-negara yang Berperang menyaksikan perkembangan hebat dalam teori-teori
logika-semantik di CIna. Pada masa Chuang-tzu Konfusius, dan Mohists
benar-benar bangkit untuk saling menetang satu sama lain,d an dua aliran ini
Bersama-sama menentang “para pakar dialektik” (atau “Sofis (mereka yang pandai
memutarbalikan sesuatu) yang juga dikenal sebagai aliran Nama-nama. Beragam
perdebatan panas berlangsung di antara mereka tentang dasar kultur manusia,
berbagi fenomenanya, landasan etika, struktur logis suatu pemikiran, dan
sebagai-nya. Hal itu merupakan cara untuk mengadakan serangkaian diskusi jenis
ini dalam bentuk dialektis. “Ini benar” – “ini salah” atau “ini baik” – “ini
buruk”, merupakan rumusan umum yang melaluinya orang-orang ini membahas
persoalan mereka.
Ssituasi demikian sungguh
menggelikan dan semua pembahasan ini adalah sia-sia dari sudut pandang
Chuang-tzu yang menurutnya Realitas itu sendiri adalah “kacau”, objek-objek
yang diungkapkan dengan kata-kata hangat oleh orang-orang ini pada esensinya
tidak tetap dan bermakna ganda. Para pakar dialektika dimaksud “berbicara
tentang perbedaan antara ‘keras’ dan ‘putih’ umpamanya, seolah kata-kata ini
digantungkan pada beragai aspek.”
Tidak hanya itu. Orang-orang yang
suka membahas melalui cara ini biasanya melakukan kesalahan fatal dengan
kesalahan tafsir antara “memiliki argument terbaik” dan “secara objektif
salah”. Namun, sebetulnya, kemenangan dan
kekalahan dalam perdebatan logika, sama sekali tidaklah menentukan “benar” dan
“salah” suatu fakta objektif.
Sebagai missal, kau dan aku terlibat dalam sebuah
diskusi. Dan bayangkan bila kau bisa mengalahkanku, tetapi aku tidak dapat
mengalahkanmu. Apakah ini berarti bahwa kau “benar” dan “aku salah”?
Bayangkan bila, sebagai gantinya, aku mengalahkanmu
dan kau tidak mampu mengalahkanku. Apakah ini berarti bahwa aku “benar” dan kau
“salah”? Apakah memang jika aku “benar” maka kau “salah”, dan jika kau “benar”,
maka aku salah”? Ataukah kita berdua bisa
sama-sama “benar” atau sama-sama “salah”? Bukankah aku dan kau yang layak
memutusakannya? (Bagaimana jika meminta beberapa orang lain untuk memutuskan?)
Tetapi, nyatanya orang-orang lain pun berada dalam kegelapan yang sama. Lantas
siapakah yang bisa kita
minta untuk memberikan penilaian adil? Bayangkan bila kita membiarkan seseorang
yang setuju denganmu memberikan penilaian. Mungkinkah orang itu bisa memberikan
penilaian adil, mengingat sejak semula dia sependapat denganmu? Bayangkan bila
kita membiarkan seseorang yang sependapat denganku untuk memberikan penilaian.
Mungkinkah ia dapat memberikan penilaian adil, mengingat sejak semula dia
sependapaku?
Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang
berbeda pandangan (tidak sependapat) denganku ataupun denganmu untuk memberikan
penilaian? Bukankah sejak awal dia telah berbeda (pendapat) dengan kita berdua?
Bagaimana mungkin orang itu dapat memberikan penilaian adil? (Dia hanya akan
memberikan pendapat ketiga) Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang
sependapat dengan kita berdua untuk memberikan penilaian? Namun, sejak awal dia
telah memiliki pendapat yang sama dengan kita berdua. Bagaimana mungkin orang
itu dapat memberikan penilaian adil? (Dia hanya akan mengatakan bahwa Aku
“benar”, namun kau juga “benar”).
Dari segenap pertimbangan ini, kita harus menyimpulkan
bahwa kau dan aku bukanlah orang ketiga yang bisa mengetahui (di mana kebenaran
itu berada). Lantas apakah kita perlu berharap munculnya orang keempat?”
Bagaimana situasi ini dapat
dijelaskan secara memuaskan? Chuang-tzu menjawab bahwa semua kebingungan ini
bermula pada kecenderungan alamiah Nalar yang menganggap segala sesuatu dalam
kerangka pertentangan “benar” dan “salah”. Kecenderungan alamiah Nalar kita ini
berdasar pada, atau merupakan hasil dari, pandangan esensial tentang Wujud.
Nalar alamiah kemungkinan besar menganggap bahwa sesuatu yang secara
konvensional atau secara subjektif itu “benar” maka secara esensial juga
“benar”, sebaliknya, sesuatu yang secara konvensional atau secara subjektif itu
“salah” maka secara esensial juga “salah”. Namun, sebenarnya, tidak ada yang secara esensial “benar” atau “salah”.
Sesuatu yang disebut “benar” dan “salah” itu, tak lain daripada hal-hal yang
bersifat relatif.
Sesuai dengan pendapat
nonesensialis ini, Chuang-tzu menegaskan bahwa sikap satu-satunya yang dapat
dibenarkan untuk kita ambil adalah, pertama-tama, mengetahui relativitas
“benar” dan “salah”, dan selanjutnya mentransendensikan relativisme ini sendiri
ke tingkatan “penyetaraan” segala sesuatu, suatu tingkatan ketika segala
sesuatu secara esensial tidak dibeda-bedakan dengan lainnya, walaupun hal-hal
itu, pada tingkatan realitas yang lebih rendah, secara negative berbeda dan
berlainan satu dengan lainnya. Sifat ini khas milik “manusia sejati” yang
oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “tien ni” (Penyamarataan Ilahi), tien Chun
(Penyetaraan Ilahi), atau man yen (Tanpa batas).
“Benar”
bukanlah “benar”, dan “demikian” bukanlah “demikian”. Seandainya (apa yang
orang anggap) “benar” itu (secara mutlak) adalah “benar”, maka (secara mutlak)
berbeda dengan apa yang “tidak benar” dan tentu saja tidak ada ruang untuk
membahasnya. Dan seandainya “demikian” (secara mutlak) adalah “demikian”, maka
(secara mutlak) akan berbeda dengan “tidak demikian” dan tentu saja tidak ada
ruang untuk membahasnya.
Maka
itu, (mata rantai “tesis yang berpindah-pindah” tidak henti ini [maksudnya, “benar”
=> “tidak benar” =>. “benar” => “tidak benar” ... atau tesis dan
antitesis] saling bergantung satu dengan lainnya. Dan (lantaran
kesalingbergantungan ini membuat seluruh mata rantai tesis dan antitesis yag
saling bertentangan menjadi relatif), kita mungkin juga menganggapnya sebagai
hal tidak saling bertentangan satu dengan lainnya. (dengan adanya situasi demikian,
sikap satu-satunya yang layak kita ambil) adalah menyelaraskan semua ini (tesis
dan antitesis) dalam Penyamarataan Ilahi, dan membawa (segenap pertentangan
tiada henti antara maujud-maujud itu) kembali pada keadaan Tanpa Batas.
Ungkapan
“membawa semua pertentangan segala sesuatu itu kembali pada keadaan Tanpa
Batas” berarti mereduksi segala sesuatu yang “secara esensial” dapat dibedakan
menjadi keadaan aslinya dalam kesatuan “yang kacau” (Chaotic) ketika tiada “batas-batas” atau
sempadan-sempadan tertentu antara berbagai hal tersebut. pada sisi
subjektifnya, ia merupakan sikap mengabaikan seluruh penilaian diskriminatif
yang dapat dibuat seseorang pada tingkatan Nalar sehari-hari. Dengan
mengabaikan penilaian, implisit ataukah eksplisit, tentang apa pun, Chuang-tzu
menekankan, berarti seseorang seharusnya menempatkan dirinya sendiri dalam
kondisi mental sebelum semua penilaian, mendahului seluruh aktivitas Nalar,
ketika dia akan melihat berbagai hal dalam keadaan orisinal – atau “Ilahi”
menurut isitilahnya – yang “tanpa esensi” (esence-less).
Namun,
untuk mencapai tingkat ini sama sekali bukanlah tugas mudah. Ia menuntut
penggunaan aktif sejenis intuisi metafisik tertentu, yang oleh Chuang-tzu
disebut ming, “pencerahan” (illumination). Jenis intuisi iluminatif ini tidak
dimiliki oleh semua orang. Karena, sebagaimana terdapat orang-orang yang secara
fisik buta dan tuli. Namun, sayangnya, di dunia spiritual jumlah mereka yang
buta dan tuli jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah orang-orang yang mampu melihat
dan mendengar.
Orang
buta tidak dapat menikmati penglihatan tentang warna-warni dan pola-pola indah.
Orang tuli tidak dapat menikmati bunyi lonceng dan genderang. Namun, apakah
Anda berpendapat bahwa kebutaan dan ketulian terbatas pada organ-organ jasmani?
Tidak, kebutaan dan ketulian juga ditemukan pada ranah pengetahuan.
Struktur
ming, “intuisi”, akan dikaji secara lebih mendalam pada waktunya. Sebelum kisah
beralih ke persoalan ini, kita akan mengutip satu pasase lagi dari Chuang-tzu
yang mengembangkan gagasannya mengenai sifat relatif dan konvensional pada
“perbedaan-perbedaan” ontologis. Pasase itu akan membantu menyiapkan jalan bagi
pembahasan kita ihwal pandangan eksistensialis” Chuang-tzu melawan pandangan
“esensialis” tentang Wujud.
Sifat dasar
segala sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga tiada yang tidak bisa menjadi
“itu” (yakni, segala sesuatu dapat menjadi “itu”) dan tiada yang tidak bisa
menjadi “ini” (yakni, segala sesuatu dapat menjadi “ini”).
Pada
\umumnya kita membedakan antara “ini” dan “itu” serta berpikir dan berbicara
tentang berbagai hal di sekitar kita dalam konsteks pertentangan mendasar
tersebut. apa yang “ini” bukanlah “itu”, dan apa yang “itu” bukanlah “ini”.
Hubungan itu pada dasarnya berkaitan dengan “Aku” dan “yang lain”, karena
istilah “ini” mengacu pada “Aku” sedangkan istilah “itu” berkenaan dengan “yang
lain”.
Dari
sudut pandang “Aku”, “aku” adalah “ini”, dan segala yang lain dariku adalah
“itu”. Namun, dari sudut pandang “yang lain”, “yang lain” adalah “ini”, dan saya
adalah “itu”. Dalam pengertian ini, segala sesuatu dapat dikatakan menjadi
sama-sama “ini” dan “itu”. Dengan ungkapan lain, perbedaan antara “ini” dan
“itu:” adalah relatif belaka.
Dari sudut pandang “itu” (sendiri), “itu” tidak dapat tampak
(sebagai “itu”). Hanya apabila aku (maksudnya, “ini”) mengenal diriku (sebagai
“ini”) sehingga ia (maksudnya “itu”) menjadi dikenal (sebagai “itu”).
“Itu”
membangun dirinya sendiri sebagai “itu” hanya apabila “ini” membangun dirinya
dan memandang “itu” sebagai objeknya, atau sebagai sesuatu yang lain daripada
“ini”. Hanya apabila kita menyadari relativitas mendasar “ini” dan “itu”,
barulah kita dapat berharap untuk memiliki pemahaman yang sesungguhnya tentang
struktur segala sesuatu.
Tentu
saja, masalah yang sangat penting adalah bahwa relativitas ini harus dipahami
melalui “pencerahan”. Pemahaman relativitas ontologis ini melalui Nalar – yang
sama sekali bukan hal sulit untuk dicapai – adalah sia-sia, kecuali sebagai
tahap persiapan untuk penyerapan “iluminatif” terhadap persoalan tersebut. akan
diperjelas pada bab berikutnya bahwa “relativitas” tidak melemahkan seluruh
struktur ontologis segala sesuatu. “Relativitas” hanyalah satu aspek darinya.
Karena, dalam pandangan Chuang-tzu, struktur ontologis segala sesuatu hakikatnya
adalah “ketiadaan perbedaan chaotic sebagaimana yang telah sering disebutkan.
“Ketiadaan perbedaan chaotic” merupakan sesuatu yang berada jauh di luar
jngkauan Nalar. Terlepas dari itu, sekiranya Nalar tetap berusaha untuk
memahaminya menurut caranya sendiri, “ketiadaan perbedaan” menjadi dapt
dipahami hanya dalam bentuk “relativitas”. Dengan kata lain, “relativitas”
berbagai hal merepresentasikan “ketiadaan perbedaan” ontologis awal yang
kemudian diturunkan ke tingkat pemikiran logis. Pada bab ini kita masih berada
pada tingkatan itu.
Karenanya,
telah ditetapkan : “itu” lahir dari “ini” dan “ini” bergantung kepada “itu”.
Doktrin ini dinamakan dengan teori fang seng, aitu teori tentang
“ke-salingbergantungan”.
Namun,
(hubungan timbal balik antara “ini” dan “itu”) mesti dipahami sebagai prinsip
dasar yang berlaku untuk segala sesuatu. Dengan demikian, karena ada
“kelahiran” maka ada “kematian”, dan karena ada “kematian” maka ada
“kelahiran”. Demikian pula, kara ada “baik” maka ada “tidak baik”, dan karena
ada “tidak baik” maka ada”baik”.
Chuang-tzu
bermaksud untuk mengatakan bahwa Realitas nhakiki adalah Realitas yang mencerap
segala sesuatu yang berlawanan; bahwa pembagian realitas asli ini menjadi
“kehidupan” dan “kematian”, “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”,d an
sebagainya, didasarkan pada berbagai sudut pandang yang diambil oleh berbagai
orang. Sebenarnya, segala sesuatu di dunia adalah “baik” dari sudut pandang
orang yang mengambil pendapat ini. Dan tidak ada yang tidak dapat dianggap sebagai
“tidak baik” dari sudut pandang orangn yang memilih mengambil pendapat ini.
Realitas hakiki adalah sesuatu yang mendahului hal ini dan semua pembagian
serupa. Ia adalah sesuatu yang “baik” dan “tidak baik”, serta yang sekaligus
bukan “tidak baik” dan bukan “baik”.
Demikianlah, manusia suci” tidak mendasarkan dirinya (pada salah
satu dari pertentangan-pertentangan), namun mencerahkan (segala sesuatu) dengan
cahaya Surga.
Tentu saja, (sikap “orang suci”) ini
juga merupakan sikap seorang manusia yang mendasarkan dirinya pada (apa yang dia anggap) “benar”,
namun, (karena ia bukan merupakan jenis “benar” yang bertentangan dengan
“salah”, tetapi merupakan “benar” mutlak dan transcendental yang mencakup dalam
dirinya seluruh pertentangan dan kondtradiksi yang ada), “ini” di sini adalah
sama seperti “itu”, dan “itu” adalah sama seperti “ini”. (Ia merupakan suatu
posisi yang meilputi dan melebihi “benar” dan “salah”, sehingga di sini) “itu”
menyatukan “benar” dan “salah”, namun “ini” juga menyatukan “benar” dan
“salah”.
(Dilihat dari sudut pandangan demikian)
masih adakah perbedaan antara “itu” dan “ini”? Atau tiada lagi “itu” dan “ini”?
Pada tingkatan ketika masing-masing “itu” dan
“ini” telah kehilangan pasangannya untuk berhadap-hadapan – itulah tingkatan yang
harus dianggap sebagai Engsel dari Jalan itu.
Engsel sebuah pintu dapat mulai
berfungsi secara tak terhingga hanya apabila pas dengan titik tengah
lekukannya. (Dengan cara yang sama, Engsel dari Jalan itu dapat merespon secara
tak terhingga dan bebas untuk situasi-situasi dunia fenomenal yang terus
menerus berubah hanya apabila ditempatkan secara tepat di titik tengah Realitas
mutlak yang melampaui seluruh pertentangan fenomenal) (Dalam keadaan seperti
itu) “benar” adlah satu ketiadaan akhir yang seragam; “salah” juga adalah
ketiadaan akhir yang seragam.
Itulah sebabnya saya
menitikberatkan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada “pencerahan”.
Satu yang mutlak tentu saja
merupakan Jalan yang meliputi keseluruhan alam Wujud; lebih tepatnya ia adalah
keseluruhan alam Wujud. Dengan begitu, ia melampaui segala perbedaan dan
pertentangan. Maka, dari sudut pandang Jalan itu, tiada perbedaan antara “benar”
dan “salah”. Naun, dapatkah Bahasa manusia secara tepat mewadahi keadaan yang
demikian? Tidak, setidaknya selama Bahasa itu digunakan dengan cara yang ada.
“Bahasa”, kan Chuang-tzu, “berbeda dengan hembusan angina, lantaran orang yang
bericara dianggap pasti memiliki maksud untuk disampaikan. Namun, Bahasa
sebagaimana yang digunakan sekarang tidak tampak memnyampaikan makna
sesungguhnya, karena orang-orang itu, khususnya para dialektika, yang sibuk
membahas “inbi” adalah benar dan “itu” adalah salah, atau “ini” adalah baik dan
“itu” adalah buruk, dan sebagainya, hanyalah berbicara tentang objek-objek yang
tidak memiliki kandungan pasti.”
Apakah
mereka benar-benar mengatakan sesuatu (yang bermakna)? Ataukah agaknya mereka
tidak mengatakan apa-apa? Mereka mengira bahwa ucapan mereka itu berbeda dengan
kicauan burung. Namun, apa bedanya? Ataukah tidak ada perbedaan sama sekali?
Di
manakah, sesungguhnya, Jalan itu tersembunyi (bagi orang-orang) yang
mengharuskan ada “benar” dan “salah”? Di manakah Bahasa (dalam pengertian
sejatinya) tersembunyi sehingga harus ada “benar” dan “salah”? ….(faktanya
adalah bahwa) Jalan tersebut tersembunyi akibat kebajikan-kebajikan remeh,
sedangkan Bahasa tersembunyi akibat pelbagai keangkuhan. Itulah sebabnya kita
mengadakan diskusi-diskusi “benar” dan “salah” para pengikut Konfusius dan
Mohits, satu pihak menganggap “benar” apa yang oleh pihak lain dianggap
“salah”, dan (sebaliknya) satu pihak menganggap “salah” apa yang oleh pihak
lain dianggap “benar”.
Jika
kita ingin menegaskan (pada tingkat lebih tinggi) apa yang oleh kedua belah
pihakanggap sebagai “salah”, dan menolak apa yang mereka anggap sebagai
“benar”, maka tidak ad acara yang lebih baik daripada “pencerahan”.
Dengan demikian, kita melihat
diri kita kembali lagi pada persoalan “pencerahan”. Bagian-bagian yang dikutip
di sini telah memperjelas bahwa “pencerahan” melukiskan sudut pandang “mutlak”
yang melampaui seluruh sudut pandang “relative”. Ia merupakan kondisi pikiran
yang berada di atas dan di luar perbedaan-perbedaan antara “ini” dan “itu”,
“Aku” dan “kau”. Namun, bagaimana seseorang dapat mencapai ketinggian spiritual
seperti itu, dengan dugaan bahwa tingkat itu benar-benar ada? Apa kandungan dan
struktur pengalman ini? Semua ini merupakan persoalan utama yang akan
menyibukkan kita pada dua bab berikutnya.
5. KELAHIRAN EGO
BARU
Kita telah melihat betapa sia-sia tidak masuk akal, dalam
pandangan Chuang-tzu, pola berpikir umum yang dicirikan dengan pembahasan
seputar “ini” adalah ‘benar” dan “itu” adalah “salah”. Apa sumber semua
verbalilasi sia-sia ini? Chuang-tzu menduga bahwa itu pasti ditemukan dalam
keyakinan manusia tentang dirinya yang salah, yakni bahwa dirinya memiliki
(atau adalah) sebuah “ego”,
suatu entitas swapada yang dianugerahi kemandirian ontologis mutlak. Manusia
cenderung lupa bahwa “ego” yang dia percaya begitu mandiri dan mutlak itu sesungguhnya merupakan sesuatu
yang secara esensial relatif dan bergantung. Relatif terhadap apa? Relatif
terhadap “kau” dan “mereka” serta segala lain yang ada di sekitar dirinya.
Bergantung pada apa? Bergantung pada Sesuatu yang secara mutlak di atasnya,
Sesuatu yang oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai Maha Pencipta, atau secara
harfiah, Pembaut segala sesuatu. Chuang-tzu melukiskan situasi ini melalui cerita
perumpamaan “Bayangan dan Penumbra” (Shadow and Penumbra).
Penumbra
pernah berkata kepada Bayangan : “Aku perhatikan kau kadang-kadang berjalan,
lalu beberapa saat kemudian kau terdiam di tempat. Kadang-kadang saya
perhatikan kau duduk, lalu beberapa saat kemudian kau berdiri. Mengapa kau
berubah-ubah dan tidak tetap?”
Bayangan
menjawab : “Tampaknya (saat bertindak seperti itu) saya sepenuhnya bergantung
pada sesuatu (yaitu, tubuh). Namun, apa yang saya gantungi tampaknya bertindak
bergantung kepada sesuatu yang lain (yaitu, Maha Pencipta). Karenanya, seluruh
aktivitasku yang bergantung kepada mereka tampak seperti gerakan sisik-sisik
ular atau sayap-sayap seekor jangkrik.
Lantas,
bagaimana saya harus tahu mengapa saya berbuat seperti ini, dan mengapa saya
tidak berbuat seperti itu?
Chuang-tzu
menghilangkan “ego” dengan sekali sebat dari apa yang tampak sebagai
kemandirian dan kewaspadaannya. Namun, pandangan itu tentu saja berlawanan
dengan kepercayaan dan keyakinan manusia sehari-hari tentang dirinya. Menurut
pandangan sehari-hari tentang berbagai hal, “Ego” justru merupakan dasar dan
inti eksistensi manusia, latanran tanpa “ego” manusia akan kehilangan
kepribadiannya, kesatuan dirinya, dan tidak ada apa-apanya. “Ego” merupakan
titik koordinasi, titik sintesis, tempat semua unsur berlainan dari
kepribadiannya, entah fisik atau mental, menjadi tersatukan. “Ego” yang
dimaksud itu oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “benak” (mind).
Saya
kira tepat pada kesempatan ini mengenalkan sepasang istilah utama yang tampak
telah berperan menentukan pembentukan garis-garis besar pemikiran Chuang-tzu
ihwal sifat dasar benak : tso chih yang secara harfiah bermakna “duduk
bergerak-gerak” dan tso wang yang secara harfiah bermakna “duduk tenang”.
Yang
pertama dari istilah tersebut di atas, tso chih, merujuk pada situasi ketika
benak seorang awam menemukan dirinya, dalam gerakan konstan, berpikir ke arah
ini pada saat ini dan berpikir ke arah itu pada saat berikutnya, sebagai
respons terhadap sedemikian banyak kesan dari luar yang menarik perhatiannya
dan membangkitkan keingintahuannya, tidak pernah berhenti dan beristirahat
walaupun sebentar, bahkan saat tubuhnya sudah terduduk tenang. Tubuh itu boleh
jadi sudah terduduk tenang, tetapi benaknya terus menerawang. Itulah benak
manusia dalam keadaan yang ditunjukkan oleh kata hsin (Benak/Mind) pada konteks
ini. Ia merupakan lawan yang tepat dari benak dalam keadaan konsentrasi yang
tenang dan damai.
Mudah dipahami secara konseptual mengenai pertentangan
antara kedua kondisi benak ini, yang satu “bergerak-gerak” dan yang lainnya
“duduk tenang dan hampa”. Namun, sangat sulit tentunya bagi orang-orang awam
untuk membebaskan diri dari dominasi “benak yang tenang”. Sebenarnya, demikian
Chuang-tzu mengajarkan, manusia itu sendiri yang bertanggungjawab membiarkan
Benak berlaku sewenang-wenang terhadapnya, karena tirani Benak berasal dari
tirani “ego” – “Ego” palsu yang, sebagaimana kita lihat di atas, menjadikan
dirinya sebagai pusat ontologis kepribadiannya. Chuang-tzu menggunakan ungkapan
khas untuk situasi dasar manusia ini : shin-shin atau “menjadikan benak sebagai
guru manusia itu sendiri.”
“Ego” yang dipahami seperti itu merupakan ciptaan manusia
belaka. Namun, manusia berpegang padanya, seolah-olah “ego” itu adalah sesuatu
yang objektif, bahkan mutlak. Dia tidak pernah dapat membayangkan dirinya eksis
tanpanya, maka dia pun tidak pernah dapat membayangkan dirinya eksis tanpanya,
mak dia pun tidak dapat meninggalkannya walau sesaat; karenanya dia menjadikan
Benaknya sebagai “guru yang mulia”.
Benak
ini, pada tingkatan intelektual yang lebih tinggi, muncul sebagai Nalar, (yang
merupakan) fakultas berpikir dan nalar diskurisf. Kadang-kadang Chuan-tzu
menamakannya dengan ch’eng hsin atau “benak lengkap”. “Benak lengkap” bermakna
benak yang telah memiliki bentuk tertentu, benak dalam keadaan mengenal. Ia
merupakan Nalar yang melalui petunjuknya – di sini kita menemukan lagi ungkapan
: “menjadikan benak sebagai guru” – manusia membedakan antara berbagai hal dan
memberikan penilaian tentangnya, dengan mengatakan “ini benar” dan “itu salah”,
dan sebagainya, dan terus terperosok lebih jauh dalam kubangan kesia-siaan
tanpa batas.
Setiap
orang mengikuti “benak lengkapnya” sendiri dan menghormatinya sebagai gurunya.
Dalam hal ini, kita mungkin mengatakan bahwa tidak ada orang yang tidak
memiliki guru. Orang-orang yang mengenal realitas dari fenomena perubahan tiada
henti dan menerima (hukum kosmis tentang Transmutasi ini) sebagai pijakan
(keputusan) mereka bukanlah kelompok manusia satu-satunya yang memiliki guru.
(Dalam pengertian tersebut) bahkan seorang idiot memiliki gurunya sendiri.
Mustahil seseorang untuk bersikeras terntang perbedaan antara “benar” dan
“salah” tanpa memiliki “benak lengkap”. Hal ini sama mustahlilnya dengan orang
yang berangkat (dari sebuah negeri di utara) hari ini dan tiba di negeri Yueh
(di perbatasasan Cina bagian selatan) kemarin!”
Maka
itu, kita melihat bahwa seluruh persoalan yang samar mengenai “benar” dan
“salah” atau “baik” dan “buruk”, yang sifat hakikinya diungkapkan pada bab
sebelumnya, berasal dari manusia yang menggunakan “benak lengkapnya” sendiri.
Benak, menurut Chuang-tzu, merupakan sumber dan asal muasal semua kebodohan
manusia.
Gagasan
tentang Benak ini juga dimiliki oleh Lou-tzu, walaupun pendekatannya sedikit
berbeda dengan Chuang-tzu. Bahwa gagasan itu sendiri pada dasarnya sama akan
segera bisa dipahami jika kita membaca secara seksama, sebagai contoh, Bab XLIX
dari Tao Te Ching. Cukup menarik bahwa Lou-tzu pada bagian ini menggunakan
istilah ch’ang hsin, yaitu “benak konstan atau tidk berubah”. Isitilah itu
mengingatkan kita tentang ch’eng hsin (benak lengkap) yang dipakai oleh
Chuang-tzu. Melalui ch’ang hsin, Lou-tzu menunjukkan keadaan benak yang sangat
kaku yang tidak lagi mempunyai segenap fleksibilitas alamiah, atau sebagaimana
dia suka katakan, keadaan benak yang telah kehilangan “kelembutan” alamiah
seorang bayi. Sebagaimana ditunjukkan oleh pasase tersebut, kekakuan benak yang
tidak wajar ini secara khusus termanifestasikan dalam aktivitas benak yang
bersifat memilahd an membeda-bedakan apa yang dipersepsinya di mana-mana sebagi
“baik” dan “buruk”, “benar” dan “salah”, serta menganggap kategori-kategori ini
sebagai sesuatu yang obyektif dan mutlak.
Menurut
Lou-tzu, ia bukan hanya persoalan tentang seseorang yang menjadi persial,
berprasangka, dan keras pendirian. Dalam pandangannya, penggunaan fungsi benak
ini memengaruhi inti eksistensi manusia itu sendiri. Ia merupakan masalah
krisis eksistensial manusia. Manusia berada dalam nestapa yang menyedihkan,
sebab manusia – hampir scara alamiah, orang bisa mengatakan – dikodratkan
demikian sehingga manusia mengarahkan aktivitas benaknya untuk membedakan dan
memilah satu dengan lain hal.
“Seorang manusia suci” tidak dengan sendirinya memiliki benak
yang secara kaku telah ditetapkan. Dia menjadikan benak semua orang sebagai
benaknya. (Prinsipnya terwakili dalam diktum) : “Orang-orang baik akan aku
perlakukan sebagai orang baik. Namun, orang-orang yang tidak baik pun juga akan
kuperlakukan sebagai orang baik. )Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah
asli manusia adalah kebaikan. Orang-orang yang setia akan kuperlakukan sebagai
orang setia. Namun, orang-orang yang tidak setia akan kuperlakukan sebagai
orang setia. (Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah asli manusia adalah
kesetiaan”
Dengan demikian, seorang manusia suci, walaupun dia hidup di
dunia ini, tetapi dia senantiasa membuka lebar-lebar benaknya dan men-chaotifikasi
benaknya sendiri terhadap semua hal.
Orang-orang awam memaksakan penglihatan dan pendengaran mereka
(dalam rangka membeda-bedakan berbagai hal). Sebaliknya, seorang manusia suci
membiarkan penglihatan dan pendengarannya (bebas) seperti bayi.
Lou-tzu
kadang-kadang menggunakan kata chih, tidak mengetahui, untuk menunjukkan
aktivitas benak yang membedakan-bedakan yang sedang kita perbincangkan ini.
Namun, diperlukan kecermatan dalam memahami kata ini, sebab menurut Lou-tzu, “tidak
mengetahui” itu sendiri tidaklah tercela; ketercelaannya berasal dari cara
tertentu “tidak mengetahui” itu sendiri berlangsung dan objek-objek tertentu
yang disasarnya.
Jenis
“tidak mengetahui” yang salah dalam pandangan Lou-tzu adalah aktivitas intelegensi
yang diskriminatif dan membeda-bedakan sebagaimana yang telah kita lihat juga
begitu keras dicela oleh Chuang-tzu. Namun, tidak seperti Chuang-tzu yang
membangun gagasan ini pada tingkatan logis sebagai masalah dialektika, dengan
membuat contoh-contoh dari diskusi tentang “benar” dan “salah” yang terjadi di
kalangan pakar Dialektika pada masanya. Lou-tzu cenderung menilai efek-efek
merusak dari jeni “tidak mengetahui” ini pada tingkatan yang lebih praktis. Dia
memusatkan perhatian pada sikap evaluasional yang merupakan hasil paling
langsung dari aktivitas benak yyang “membeda-bedakan” tersebut. di sini
persoalan “ini adalah benar” dan “itu adalah salah”, bukanlah persoalan logika.
Dia lebih merupakan persoalan evaluasi praktis. Dan dengan demikian, ia
berhubungan langsung dengan fakta-fakta kehidupan nyata. “Tidak mengetahui”
yang dipahami dalam pengertian ini, dicela lantaran ia mengganggu benak manusia
dalam cara yang tidak perlu dan salah. Dan gangguan benak oleh persepsi
nilainilai, positif dan negatif, dianggap oleh Lou-tzu sebagai salah dan
mengusik eksistensi manusia, sebab ia menjauhkannya dari fitrah hakikinya, dan
pada puncaknya menjauhkannya dari Jalan itu sendiri. Pada pasase berikut, kata
chih “tidak mengetahui”, secara nyata digunakan dalam pemaknaan ini.
Jika
(penguasa) tidak benar-benar menghormati ( apa yang disebut sebagai)
orang-orang bijak, maka rakyyat (tentu saja) akan terjauhkan dari peneladanan
yang sia-sia. Jika (penguasa) tidak menghargai harta benda yang sulit
diperoleh, maka rakyat terjauhkan dari melakukan pencurian. Jika (penguasa)
tidak mempertontonkan hal-hal yang mudah merangsang hasrat, maka benak rakyat
tidak akan terganggu.
Oleh
karena itu, “manusia suci” yang memerintah rakyat mengosongkan benak mereka,
pada saat mengenyangkan perut mereka; memperlemah ambisi-ambisi mereka, pada
saat menguatkan tulang-tulang mereka.
Dalam
cara ini, dia menjadikan rakyatnya selalu dalam keadaan tidak berpengetahuan
dan berkeinginan, sehingga golongan yang disebut sebagai “orang-orang yang
berpengatahuan” tidak berkesempatan untuk ikut campur.
PENGARUH
BURUK ATIVITAS Benak yang suka membeda-bedakan itu begitu kuat sehingga sedikit
saja ia ada, sudah cukup untuk menjadikan manusia setiap saat dapat menyimpang
dari jalan
Jika
aku kebetulan memiliki sedikit saja “tidak mengetahui”, maka saya akan berada
dalam bahaya besar untuk tersesat meskipun saya sesungguhnya sedang berjalan di
tengah jalan utama (maksudnya, jalan). Jalan utama itu lurus dan ama, tetapi
banyak orang cenderung untuk memilih jalan-jalan pinggiran yang sempit.
Bagaimanapun,
bukan “tidak mengetahui” itu sendiri yang sangat buruk; kualitas “tidak
mengetahui” bergantung pada objek-objeknya. Bila kecenderungan umumnya untuk
mengarah ke sisi luar dan mengamati objek-objek eksternal telah tertanggulangi
dan dikembalikan ke sisi batin, maka “tidak mengetahui” itu akan
mentransformasikan dirinya dalam intuisi, “Pencerahan”.
Orang
yang mengetahui YANG lain-lain (maksudnya objek-objek eksternal di luar
dirinya) adalah orang-orang yang pandai, tetapi orang yang MENGENAL dirinya
adalah orang yang cerdas dan “tercerahkan”.
Penting
untuk dicatat bahwa di sini kita menemukan kata yang persis sama, yaitu ming,
“pencerahan”, sebagaimana kita temukan pada Chuang-tzu. Adalah juga sangat
penting untuk dicamkan bahwa kata “pencerahan” yang baru saja dikutip dalam
pasase di atas berhubungan langsung dengan pengetahuan manusia tentang dirinya.
Karena itu terbukti menunjukkan pengetahuan langsung dan intuitif tentang
Jalan. Ia dilukiskan sebagai “pengenalan diri” atau “pengetahuan diri” manusia,
lantaran pencerapan langsung yang intuitif akan Jalan hanya dapat diperoleh
manusia dengan “beralih ke dalam dirinya sendiri.”
Tentu
saja, menurutn pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, Jalan itu serba meliputi. Ia ada
di mana-mana di alam; alam itu sendiri merupakan manifestasi-diri Jalan (tao).
Dalam pengertian ini, hal-hal eksternal pun sesungguhnya memanifestasikan Jalan
itu, masing-masing dengan cara dan bentuknya sendiri-sendiri. Namun, hanya
manusia di semesta Wujud (Being) ini yang menyadari dirinya. Maksudnya, hanya
manusia yang bisa memahami Jalan itu dari dalam. Manusia mampu menyadari
dirinya sebagai manifestasi Jalan tersebut. manusia mampu merasakan dan
menyentuh dalam dirinya getaran kehidupan Sang Mutlak ketika aktif bekerja di
dalam dirinya. Manusia mampu mengintuisi (in-tuit) Jalan itu dari dalam. Namun,
manusia tidak mampu mengintuisinya dari objek-objek eksternal, sebab manusia
tidak mampu memasuki “ke dalam” berbagai hal dan merasakan manifestasi Jalan
itu sebagai keadaan subjektifnya sendiri. Paling tidak, perjumpaan subjektif
pribadi yang pertama kali dengan Jalan itu harus dicapai dalam dirinya sendiri.
Untuk tujuan ini, kecenderungan benak yang
menjauhi pusat (centrifugal) harus dihentikan dan dialihkan ke arah yang
berlawanan; kecenderungan benak harus dibuat mendekati pusat (centripetal).
Pengalihan arah yang drastis ini dilukiskan oleh Lou-tzu sebagai ‘menutup”
seluruh lubang dan pintu tubuh. Dengan menyumbat semua saluran keluar dari
aktivitas benak yang sentrivugal, manusia akan menelisik jauh ke dalam benaknya
sendiri hingga dia mencapai inti eksistensial dirinya.
Inti
eksistensial dirinya ini yang dia temukan di kedalaman benaknya boleh jadi
bukan Jalan per se, lantaran bagaimanapun juga ia merupakan bentuk Jalan (tao)
yang telah terindividualisasi. Namun, di sisi lain, tidak ada perbedaan atau
ketidaksesuaian hakiki di antara keduanya. Lou-tzu mengungkapkan keadaan ini
secara simbolis dengan menamakan Jalan per se sebagai Ibu, sedangkan Jalan
dalam bentuk yang telah terindividualisasi sebagai Anak. Orang yang mengenal
Anak dengan sendirinya mengenal Ibunya.
Pada
pasase yang akan segera saya kutip, arti penting “menurutp seluruh lubang dan
pintu” ditekankan sebagai cara tunggal manusia untuk dapat mengenal Anak, dan melalui Anaklah manusia mengenal Ibu. Dengan demikian, keadaan puncak yang tercapai dari situ diistilahkandengan
“pencerahan” (illumination). Perlu dijelaskan bahwa Anak (tzu) yang dalam
pemahaman ini merepresentasikan duplikat yang terindividualisasikan dari sang
Ibu (mu), bukanlah suatu selain dari apa yang dinamakan oleh Lou-tzu di tempat
lain sebagai Kebajikan (te) – atau barangkali secara lebih ketatnya, perwujudan
individual Jalan dengan inti eksistensial berupa daya kreatif dan vital, yang
tak lain adalah Jalan yang telah tersebar di antara “sepuluh ribu hal”.
Sebagaimana kita akan kaji nanti, daya kreatif dan daya viral masing-masing
individu yang mewujud sebagai determinasi individual Jalan ini dinamakan oleh
Lou-tzu dengan “Kebajian”.
Segala hal yang berada di bawah langit memiliki
Permulaan yang harus dianggap sebagai Ibu dari segala sesuatu.
Bila kau mengenali “ibu”, tentu saja kau akan
mengenali “anaknya”. Dan bila setelah mengenali “anak” itu kau kembali kepada
Ibu dan berpegang padanya, maka kau tidak akan pernah melakukan kesalahan
hingga akhir hidupmu.
Sumbatlah segala lubang dan tutuplah segenap pintu
(yakni, hentikanlah fungsi normal organ-organ indra dan aktivitas sentrivugal
pada benak), dan sepanjang hidupmu kau (yakin, energi spiritual) tidak akan
habis.
Sebaliknya, jika kau membiarkan lubang-lubangmu
terbuka lebar, dan terus menambah pelbagai aktivitasnya hingga akhri hidupmu,
maka kau tidak akan selamat.
Kemampuan merasakan hal terkecil (maksudnya, sesuatu
yan nonindrawi sebagai Anak dari Jalan (tao) dalam dirimu) secara tepat bisa
dinamakan sebagai “Pencerahan”. Berpegang pada apa yang lembut dan lentur,
(maksudnya, meninggalkan kekakuan Benak yang diperbukan oleh
perbedaan-perbedaan”esensia;” antara berbagai hal dan menerima “secara lembut”
segala hal dalam keadaan hakikinya berupa transformasi timbal balik) secara
tepat bisa dinamakan sebagai kekuatan.
Jika dengan menggunakan cahaya eksternalmu kau kembali
kepada Pencerahan internalmu, maka kau tidak akan pernah mendatangkan
malapetaka pada dirimu. Keadaan (puncak) itu adalah apa yang dinamakan dengan
“melangkah menuju sesuatu yang hakiki secara kekal.”
“Menutup seluruh lubang dan
pintu” bermakna, sebagaimana telah saya indikasikan, pertama-tama menghentikan
fungsi semua organ penginderaan, dan selanjutnya menyucikan Benak dari
Hasrat-hasrta fisik dan material. Hal ini diperjelas dengan membandingkan
pasase yang baru saja saya kutip dengan pasase XII berikut :
Lima warna (maksudnya, warna-warna primer : putih,
hitam, biru, merah, dan kuning) membuat mata manusia menjadi buta. Lima not
music membuat telingan manusia menjadi tuli. Lima rasa (maksudnya, manis, asin,
asam, pedas, pahit) membuat selera
manusia menjadi tumpul. (Permainan-permainan seperti) berlomba dan berburu
membuat benak manusia menjadi gila. Harta yang sulit diperoleh menghalangi
perilaku baik manusia.
Oleh karena itu, “manusia suci” memuasatkan perhatian
pada rongga perut (maksudnya, berupaya keras untuk membangun inti terdalam
eksistensinya) dan tidak memedulikan mata (maksudnya, tidak mengikuti
kemauan-kemauan pancaindera). Dengan bersungguh-sungguh dia meninggalkan yang
terakhir (mengikuti kemauan-kemauan pancaindra) dan memilih yang pertama
(membangun inti terdalam eksistensinya).
“Manusia
suci” memerhatikan rongga perut dan tidak mengacuhkan mata, lantaran dia sadar
bahwa aktivitas sentrifugal Benak hanya akan menjauhkannya dari Jalan. Jalan
itu berada di “sisi dalam” dirinya sendiri dalam bentuk yang palinbg konkrit
dan gambling. Semakin jauh seseorang menuju ke “bagian luar” semakin sedikit
dia berhubungan dengan Sang Mutlak. Apa yang seharusnya diperbuat adalah
“tinggal di rumah” dan tidak pergi ke luar rumah.
Tanpa
pergi ke luar rumah, seseorang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di
bawah Langit (maksudnya, realitas segala hal), bahkan, tanpa mengintip dari
jendela, seseorang dapat melihat bekerjanya Langit. Semakin jauh seseorang
keluar, semakin sedikit yang dia ketahui,
Oleh
sebab itu, “manusia suci” mengetahui tanpa pergi ke luar. Dia memiliki
pandangan yang jelas tentang segala sesuatu tanpa melihatnya. Dia mencapai
segala sesuatu tanpa melakukan apa-apa.
Pasase-pasase yang telah dikutip
dari Tao Te Ching berbicara tentang aspek epistemologis Jalan (tao); persoalan
bagaimana dan dengan cara apa manusia dapat “mengintuisi” (intuit) Sang Mutlak.
Lou-tzu menjawab, bahwa
satu-satunya cara yang mungkin ditempuh manusia demi mencapai tujuan ini adalah
dengan secara total menghalangi kecenderungan sentrifugal benaknya sendiri dan
menggantikannya dengan aktivitas sentripetal yang apda puncaknya akan
membawanya pada “pencerahan”.
Bagaimanapun, Lou-tzu tidak
terlalu peduli dengan proses epistemologis itu sendiri yang melaluinya manusia
memupuk “mata batin” disbanding dengan hasil dari efek jenis intuisi ini.
Memang, dia biasanya memulai argument persis dari titik di mana proses itu
mencapai tahap akhir. Ada dua hal yang menjadi perhatian utamanya. Yang pertama adalah efek praktis dan dapat
dilihat yang dihasilkan intuisi pencerahan pada sikap dan perilaku dasar
manusia. Bagaimana “manusia suci” itu ebrtindak dalam situasi-situasi lazim
kehidupan manusia? Itulah salah satu persoalan utamanya. Persoalan ini akan
dibicarakan pada bab berikut dalam pembahasan tentang konsep Manusia Sempurna.
Persoalan utama kedua Lou-tzu
adalah struktur metafisik alam Wujud, dengan Jalan sebagai sumber dan dasar
segala sesuatu. Di sini pula aspek epistemologis persoalan itu entah
benar-benar hamper dibuang ataukah sekedar diisyaratkan secara sangat samar.
Lou-tzu lebih tertarik untuk melukiskan proses ontologis yang melaluinya Jalan
(tao) sebagai Sang Mutlak yang benar-benar tidak dikenal dan tidak diketahui
terus menjadikan dirinya secara bertahap dapat terlihat dan terdeterminasi
hingga pada akhirnya mencapai tahap Keragaman tak terbatas alam fenomenal. Dia
juga menunjukkan Gerakan mundur segala sesuatu, yang melaluinya segala sesuatu
itu kembali ke keadaan asli Kesatuanmutlak.
Hal yang mengagumkan adalah bahwa
semua papran mengenai proses ontologis ini dibuat dari sudut pandang seorang
manusia yang telah mengalami “pencerahan”, dengan mata manusia yang benar-benar
mengetahui rahasia Wujud. Dalam kata lain, Chuang-tzu berbeda dengan Lou-tzu.
Dia sungguh-sungguh tertarik dengan proses yang mendahului tahap akhir
“pencerahan” dan yang melaluinya pencerahan itu tercapai. Chuang-tzu bahkan
mencoba untuk menjelaskan, kandungan eksperiensial “pencerahan” yang dia ketahui sebagai sesuatu
yang pada dasarnya tak terkatakan. Sisa bab ini dan bab berikutnya secara
spesifik akan menyinggung persoalan itu, yang mungkin kita namakan sisi epistemologis
atau sisi subjektif pengalaman Jalan.
Pada permulaan bab ini, saya
memusatkan perhatian pada dua konsep utama yang berakitan dengan sisi ubjektif
pengalaman-Jalan, yang saling bertentangan satu dengan lainnya secara diametric
; tso ch’ih “keadaan duduk bergerak-gerak” dan tso wang “duduk tenang”. Pada
halaman-halaman sebelumnya terutama kita telah menguji struktur konsep pertama.
Kini tiba waktunya kita beralih kepada konsep kedua.
Seorang
manusia yang berada dalam “kondisi duduk tenang” tampak begitu aneh dan berbeda
dengan manusia pada umumnya, sehingga dia dengan mudah dapat dikenali oleh
orang luar yang mengamatinya. Pada buku II dari karyanya, Chuang-tzu memberikan
penjelasan khusus tentang manusia seperti itu. Manusia itu di sini dilukiskan
seperti Nan Kuo Tzu Ch’i, atau Tzu Ch’i dari Wilayah Selatan. Konon dia adalah
seorang guru besar Ch’u, yang hidup dalam pertapaan di “wilayah selatan”. Bagi
Chuang-tzu, dia tentunya adalah personifikasi dari konsep Manusia Sempurna.
Pada suatu waktu Tzu Ch’i dari Wilaah Selatan duduk bersandar pada
bangku kecil. Sambil memandang ke langit, dia menarik napas dalam-dalam dan
lembut. Dalam keadaan benar-benar lupa akan eksistensi jasmaniahnya, dia tampak
telah kehilangan seluruh kesadaran tentang “pasangan-pasangan” (yakni,
pertentangan antara “aku” dan “berbagai hal”, atau antara “ego” dan “yang
lain”).
Yen Ch’eng Tzu Yu (salah seorang muridnya) yang hadir di
hadapannya, bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai guru?
Mungkinkah tubuh seharusnya dijadikan seperti pohon yang layu dan benak
dijadikan seperti debu-debu yang tak bernyawa? Guru yang kini sedang bersandar
pada bangku ini bukanlah guru yang pernah saya lihat bersandar di masa lampau!”
Tzu Ch’i menjawab, “Bagus sekali kau mengajukan pertanyaan itu, wahai Yen! (Aku
tampak berbeda dari sebelumnya) sebab saya kini telah kehilangan diriku.
Tetapi, apakah kau sanggup memahami (makna sesungguhnya dari hal) ini?”
Setelah
pernyataan pemuka ini, guru besar itu selanjutnya melukiskan kepada sang murid
yang kebingungan itu tentang kondisi “kehilangan ego”, dengan menuturkan
padanya apa yang sebenarnya dia alami dalam kondisi itu. Akibatnya, kita
memiliki visi yang terkenal tentang Angin Kosmis, salah satu pasase paling
indah dan berbobot dalam keseluruhan buku Chuang-tzu. Pasase tersebut akan diterjemahkan
pada bab berikutnya. Di sini kita hanya perlu mencatat bahwa kata-kata sang
guru : “Aku kini telah kehilangan diriku”, menunjukkan pada keadaan “duduk
tenang” atau “duduk perikelupaan” sebagai alwan dari “duduk bergerak-gerak”.
Namun,
apa tepatnya “duduk perikelupaan” itu? Bagaimana seseorang bisa benar-benar
mengalaminya? Hal ini merupakan sesuatu yang benar-benar sulit – atau lebih
tepatnya, hampir benar-benar mustahil – untuk menjelaskannya dengan kata-kata.
Meskipun demikian, Chuang-tzu mencoba untuk menjelaskannya.
Dalam
buku VI dia memberikan definisinya sendiri tentang “duduk perikelupaan” itu.
Pasase itu berbunyi sebagai berikut :
Apa makna dari “perikelupaan” itu?
Ia bermakna bahwa seluruh anggota tubuh menjadi terlarutkan,
sedangkan aktivitas-aktivitas telinga dan mata (maksudnya, kativitas-aktivitas
Pancaindra) menjadi sirna, sehingga seorang bisa membebaskan dirinya dari
bentuk dan benak (maksudnya, “identitas diri” jasmani dan rohani) dan menyatu
dengan yang Maha Meliputi (maksudnya, Jalan yang “meliputi” segalanya). Inilah
apa yang saya namakan dengan “duduk perikelupaan”).
Secara
eksternal, atau secara fisik, seluruh bagian tubuh menjadi “larut” dan
terlupakan. Maksudna, kesadaran akan “ego” jasmaniah dihilangkan. Secara
internal, seluruh aktivitas mental “digugurkan”. Yakni, tidak ada lagi
kesadaran yang tertinggal dari “ego” terdalam yang menjadi pusat dan dasar yang
menyatukan aktivitas mental manusia. Akibat “pelupaan” total akan “aku” luar
dan dalam ini disebut oleh Chuang-tzu sebagai hsu. Kehampaan, atau
perimetafisik-spiritual manakala tidak ada apa pun yang menghalangi aktivitas
yang serba-meliputi dari jalan.
Kata
“Hampa” dalam konteks ini tidak harus dipahami secara negatif belaka. Kata itu
memiliki makna positif. Dan dalam aspek positifnya, Kehampaan harus dikaitkan
dengan konsep tentang Maha Meliputi yang tampak apda pasase yang baru saja
dikutip.
Saya
telah menerjemahkan ungkapan Cina ta t’ung, yang secara harfiah bermakna
“menyebar”, sebagai Maha Meliputi mengikuti interpretasi yang diberikan oleh
Ch’eng Hsuan Ying, yang mengidentikan ta t’ung dengan ta tao, “Jalan Agung”.
Lalu dia ebrkata : “Ta t’ung sama dengan ta tao, mengingat Jalan meliputi
segala sesuatudan memerintahkannya, maka dalam pemaknaan ini Ia pantas disebut
sebagai Maha Meliputi. Interpretasi ini tampaknya benar, tetapi harus
dilengkapi dengan pemahaman tentang
aspek lain dari duduk perkara ini. Yakni, bahwa saat mengalami keadaan
spiritual yang sedang diperbincangkan di sini, segala hal dalam keragaman tak-terhingga
saling merembesi satu sama lain secara bebas, tanpa hambatan apa pun. Dalam
pengalaman ini, manusia yang telah kehilangan “egonya” akan menemukan kembali
“egonya” dalam bentuk yang benar-benar berbeda, terlahir kembali sebagai apa
yang bsia kita sebut Ego Universal, Kosmis, atau Transendental yang
mentransformasikan dirinya secara bebas ke dalam segala hal yang selalu saling
bertransformasi satu sama lain.
Hal
itu mestilah merupakan implikasi sejati dari ungkapan khusus ta t’ung sebagai
ganti kata yang lebih umu tao, Jalan. Masalah ini telah diterangkan dengan
sangat jelas oleh Kuo Hsiang yang menjabarkan pasase ini dengan mengatakan : “
Di dalam ‘sisi batin’ manusia itu tidak ada kesadaran tentang eksistensi
jasmaniahnya sendiri; pada ‘sisi lahiriah’ manusia itu tidak ada kesadaran
tentang eksistensi Langit dan Bumi. Hana dalam kondisi seperti itulah manusia
menjadi benar-benar terindentikkandengan proses (kosmik) Perubahan (yakni,
“beragam transformasi”) itu sendiri tanpa mengalami hambatan apa pun sama
sekali. Karena, dalam kondisi demikian, tidak ada yang tidak dapat dia liputi
dengan bebas.
Chuang-tzu
sendiri mengungkapkan gagasan yang sama secara jauh lebih singkat :
Dengan menyatu, kau tidak memiliki kesukaan. Dengan mengalami
transmutasi, kau tidak memiliki keterikatan.
Berdasarkan
penjelasan yang telah diberikan sebelumnya, makna dari ungkapan singkat ini
dengan mudah dapat dijabarkan sebagai berikut. Setelah benar-benar menatu dan
menerupai Jalan itu sendiri, maka manusia tidka lagi mempunyai suka dan tidak
suka. Dalam kondisi spiritual seperti itu, manusia melampaui
perbedaan-perbedaan umum antara “benar” dan “salah”, “baik” dan “buruk”. Dan
karena manusia kini identik dengan Jalan (tao), serta Jalan itu secara konstan
memanifestasikan dirinya dalam banyak bentuk Wujud, maka manusia itu sendiri
“ditransmutasikan” dari satu hal ke hal lainnya, tanpa ada hambatan apap pun,
seolah-olah dia berputar mengelilingi Kehampaan agung. Manusia sesungguhnya
tidak berada dalam “kehampaan”, sebab ada banyak hal yang berdenyyut bersama
Kehidupan yang serba meliputi, muncul dan menghilang dalam beragam bentuk tak
terhingga. Namun demikian, pokonya dalam Kehampaan metafisik ini tiada hal yang
menghalangi kebebasan mutlak manusia tersebut. karena manusia itu sendiri,
dalam kondisi ini, benar-benar identik dengan setiap hal itu, ikut serta dalam
pasang-surut kosmik Transmutasi yang berlangsung terus-menerus; atau bahkan
manusia itu merupakan Transmutasi kosmik itu sendiri. Inilah apa yang
dimaksudkan dengan ungkapan : “Kau tidak memiliki fiksitas”. “Tidak memiliki
fiksitas” bermakna fleksibilitas tanpa batas dan kebebasan mutlak.
Tampaknya
jelas dari apa yang telah dikemukakan bahwa hsu adalah Kehampaan metafisik dan
spiritual. Pada hakikatnya, perbedaan antara “metafisik” dan “spiritual” dalam
konteks ini sepertinya agak mengada-ada, sebab keadaan yang sedang dibicarakan
ini merujuk pada keidentikan total dan utuh manusia dengan Zat yang Maha
Meliputi. Namun, secara teoritis, ada maksud di balik pembedaan seperti itu.
Karena, ketika persoalan itu diungkap pada tingaktan yang lebih praktis ihwal
apa yang secara konkret harus dilakukan untuk menjadi teridentikan secara utuh
dengan Jalan (tao), maka kita harus kembali lagi ke gagasan membuat benak
menjadi “hampa”. Hanya setelah orang sukses dalam membuat benaknya menjadi
benar-benar “hampa”, dia dapat menemukan dirinya di tengah-tengah Kehampaan
metafisik. Bagian dari ajaran Chuang-tzu ini merupakan ajran praktis mengenai
metode tepat yang melaluinya manusia dapat berharap mencapai keadaan seperti
itu. Metode ini dia sebut dengan “berpuasa” atau penyucian Benak.
Penyucian
Benak merupakan titik sangat penting dalam pengembangan manusia dari
perimanusia “biasa” menuju “Manusia Sempurna. Seorang manusia “biasa” tidak
pernah dapat menjadi Manusia Sempurna kecuali bila dia melewati titik yang
menentukan ini. Pentingnya pengalaman ini akan menjadi jelas jika seseorang
mengingat apa yang telah kita lihat dari ungkapan khas Chuang-tzu : “menjadikan Benak sebagai gurunya sendiri”. Manusia tentu
saja cenderung berpegang pada Benaknya – dan Nalar – serta berpikir dan berbuat
sesuai dengan petunjuknya. Apa pun yang Benak katakan untuk dipercayai adalah
mutlak benar, dan apa pun yang Benak perintahkan untuk dilakukan adalah mutlak
baik. Dengan kata lain, manusia memuliakan “egonya” sendiri sebagai “gurunya”.
Dari amatan ini, “penyucian Benak” secara tepat bermakna bahwa
manusia harus menghilangkan kebiasaan “memuliakan” Benak ini, bahwa manusia
harus membuang jauh-jauh “egonya” sendiri. Dan itu adalah langkah pertama
transformasi menjadi Manusia Sempurna.
Dalam
suatu percakapan imajiner yang dibuat Chuang-tzu dengan maksud untuk menyokong
tesisnya, Konfusius – yang di sini secara ironis dijadikan ahli hikmah pengikut
Tao – mengajarkan muridnya, Yen Hui, tentang bagaimana melaju agar sukses dalam
penyyucian Benak.
Dalam
dialo g ini, Yen Hui dilukiskan sebagai murid yang berapi-api dan telah
mati-matian berjuang untuk mengetahui cara yang tepat menjadi Manusia Sempurna,
namun semuanya sia-sai. Sebagai upaya terakhir, dia beralih kepada Konfusius
dan dengan rendah hati memohon arahannya. Berikut ini adalah bagian dari dialog
dimaksud :
Yen Hui : Aku tidak
dapat melanjutkan lebih jauh. Bolehkah aku memohon kepadamu agar kau memberikan
cara yang tepat?
Konfusius : Pertama,
berpuasalah. Barulah kemudian aku akan mengajarimu. Apakah kau-anggap mudah
(melihat kebenaran) sementara kau mempertahankan Benakmu? Jika siapa pun
mengira itu mudah, maka Langit yang luas dan cerah tidak akan merestuinya.
Kata yang
diterjemahkan dengan berpuasa\, chai, bermakna amelakukan “puasa” pada upacara
pengurbanan untuk menempatkan diri dalam kondisi “kesucian” religius. Dalam
konteks ini, Konfusius menggunakan kata itu tidak dalam pengertian murni religius
ini, tetapi sebagai kiasan yang berarti “puasa Benak”, maksudnya, “penyucian
Benak”. Bagaimanapun, Yen Hui tidak memahami hal ini, dan menggunakan kata itu
dalam pengertian umumnya. Dia membayangkan bahwa yang dimaksud Konfusius dengan
kata itu adalah melaksanakan puasa ritual yang berkenaan dengan makan dan
minum. Oleh sebab itu, jawaban menggelikan berikut ini dia berikan kepada
Gurunya.
Yen Hui : Keluargaku miskin,
sedemikian rupa sehingga aku tidak pernah meminum miras,s erta tidak memakan
bawang putih dan bawang merah selama beberapa bulan. Tidak bisakah itu dianggap
berpuasa?
Konfusius : Apa yang engkau katakan adalah puasa
sebagai tuntunan ritual. Itu bukanlah puasa Benak.
Yen Hu : Bolehkah aku bertanya apa yang kau
maksud dengan puasa Benak?
Konfusius
: Bawalau seluruh aktivitas Benak
menuju titik penyatuan. Janganlah mendengar dengan telingamu, tetapi dengarlah
dengan Benak (yang sudah terkonsentrasi). (Lantas melangkahlah lebih jauh dan)
berhentilah mendengar dengan Benak; dengarlah dengan Ruh (ch’i). Telinga (atau secara lebih umum, pengindraan)
terbatas pada mendengar (yakni tiap indra hanya memahami objek yang sesuai
dengannya secara fisik). Benak terbatas
pada (membentuk konsep) yang sesuai dengan objek-objek eksternalna.
Namun, Jiwa itu sendiri adalah “hampa” (tidak memiliki objek-objek tetap yang sesuai dengan dirinya), dan terus
mengalami transformasi tanpa batas sesuai dengan (Transmutasi dari) berbagai
hal (yang terus datang dan pergi). Jalan (tao) secara keseluruhan hanya
mewarisi “kehampaan” (maksudnya, Benak “tanpa ego”). Menjadikan Benak “hampa”
(dengan cara ini) adalah apa yang aku maksud dengan “Puasa Benak”.
Sebagaimana
saya jelaskan sebelumnya, hsu, “hampa”\, merupakan istilah utama dalam
filsaafat Chuang-tzu. Dalam konteks ini, kata itu melukiskan sikap subjektif
manusia yang sesuai dengan struktur Jalan (tao) yang merupakan Kehampaan itu
sendiri. Masalah ini sangat ditekankan oleh Lou-tzu, sebagaimana kita akan
lihat secara rinci pada bab berikutnya yang membahas tentang metafisika Jalan
(tao). Di sini kita terutama masih menyinggung tentang segi subjektif dari
persoalan tersebut. gagasan utamanya adalah bahwa jika seseorang “duduk dalam
perikelupaan” dengan benak yang benar-benar “hampa”, maka segala hal datang
tepat sebagaimana adanya ke dalam “kehampaan” tanpa ego ini, sebagaimana segala
hal itu datang dan pergi dalam proses Transmutasi kosmik. Dalam kondisi ini,
benaknya dapat dibandingkan dengan sebuah cermin bening yang merefleksikan
segala sesuatu tanpa mengalami distorsi atau kerusakan sedikit pun.
Semua
ini tentu saja merupakan persoalan yang mesti dialami secara langsung;
pemahaman konseptual murni hanya bisa sedikit memahami. Yen Hui yang benaknya
telah sepenuhnya matang untuk transformasi persoalan jenis ini – dalam anekdot
ini – tiba-tiba menjadi “tercerahkan” melalui pengajaran gurunya,d an membuat
amatan berikut tentang dirinya :
Yen Hu : Sebelum Hui (maksudnya, aku) menerima
pelajaran ini, Hui benar-benar bukanlah apa-apa selain Hui (maksudnya, “aku”
merupakan “ego” kecilku, tidak ada lainnya). Namun karena sekarang saya telah
menerima pelajaran ini, saya menyadari bahwa sejak semula tidak pernah ada
(“ego” yang dinamakan dengan) Hui. Apakah kondisi ini layak untuk dianggap
“kehampaan” (yang baru saja engkau bicarakan)?
Konfusius : Sungguh, begitulah adanya!
Kemudian
Konfusius mengontraskan keadaan ini dengan “duduk bergerak-gerak”. Lantas dia
memerikan yang pertama dengan membandingkannya pada ruang kosong yang tertutup
rapat yang secara misterius dan tenang menyinari dirinya dengan cahaya putihnya
sendiri.
Pandanglah ke dalam ruangan tertutup itu dan lihatlah bagaimana
“interiornya” yang kosong menghasilkan (warna) putih cerah. Seluruh berkah alam
masuk untuk menetap dalam keheningan itu.
Sebaliknya, jika (Benakmu) tidak tenang, maka kau berada dalam
kondisi apa yang saya namakan “duduk bergerak-gerak”.
Namun, jika seseorang mengarahkan telinga dan matanya menuju
“interior”, serta menempatkan Benak dan Nalarnya pada “Eksteior” (yakni,
meniadakan fungsi normal Benak dan Nalar), maka para dewa dan ruh pun
berdatangan untuk menetap secara bebas ( dalam “interiornya” yang tidak berego
itu), apalagi manusia. Inilah Transmutasi sepuluh ribu hal.
Kalimat
terakhir melukiskan salah satu masalah utama metafisika Chuang-tzu. Makana
khusus istilah utama hua telah dijelaskan di atas. Apa yang penting
diperhatikan di sini adalah bahwa pada pasase yang baru saja dikutip, hua,
Transmutasi, ternyata dilukiskan sebagai kondisi subjektif manusia, sebagai
sesuatu yang terjadi did alam “interiornya”. Bahkan, “interior” manusia adalah
Transmutasi sepuluh ribu hal, yaitu, tentang semua benda dan peristiwa
fenomenal dunia. manusia dalam kondisi “duduk dalam perikelupaan” yang sempurna
mengalami secara subjektif, sebagai pengalaman rpibadinya, Transmutasi dari
segala sesuatu.
Seluruh
persoalan itu dapat dirumuskan ulang secara lebih teoritis dalam kerangka
proses perkembangan spiritual manusia menuju pencerahan.
Pada
pengalaman manusia biasa, arus konstan dari fenomenal yang berubah-ubah secara
tak terhingga itu ada dalam kuasa Tuhan. Semua itu secara positif menimpa,
memengaruhi, mengusik, melanda dan mengikat manusia. Dalam situasi demikian,
manusia adalah hamba atau budak. Benak manusia menjadi tercabik-cabik dan
bercabang ke semua arah untuk mencari bentuk-bentuk chameleonic (yang
berubah-ubah warna) dalam berbagai hal dan peristiwa.
Segera
setelah manusia membebaskan dirinya dari perbudakan ini dan melampaui pola
pengalaman umum, maka pemandangan di depan matanya menyajikan penampilan yang
benar-benar berbeda. Pandangan kaleidoskopik masih tetap ada. Berbagai hal dan
peristiwa tetap melanjutkan perubahan dan transformasi sebagaimana sebelumnya.
Satu-satunya perbedaan esensial antara kedua tingkatan itu adalah bahwa pada yang
kedua segala sesuatu dan peristiwa yang terus timbul dan tenggelam ini
terpantulkan dengan tenang dalam cermin “batin” manusia yang telah terpoles .
manusia itu sendiri tidak lagi dipusingkan oleh genomena yang berubah tiada
henti.
Manusia
pada tingkatan ini mengamati berbagai hal dengan tenang, dan benaknya ibarat
cermin yang terpoles. Dia menerima segala sesuatu yang memasuki “batinnya”, dan
membiarkannya, tanpa gelisah, lenap dari pandangannyya. Baginya tidak ada yang
harus ditolak, namun tidak ada pula yang harus dikejar dengan sengaja. Singkatnya,
dia berada di luar “baik: dan “buruk”, “benar” dan “salah”.
Selangkah
lebih jauh, dia sampai pada tingkat “ketiadaan perbedaan”, ketika segala hal
menjadi “terkacaukan” (chaotified(. Pada tingkatan ini, masih ada banyak hal.
Namun, hal-hal ini tidak lagi memperlihatkan batasan dan sempadan yang “secara
esensial” memisahkan satu dengan lainnya. Inilah tingkatan Transmutasi kosmik.
Sudah berang tentu bahwa pada aspek subjektifnya, Transmutasi melukiskan tingkatan
spiritual manusia itu sendiri.
Akibat
“puasa Benak” tersebut, manusia itu kini benar-benar “tanpa ego”. Dan karena
manusia telah menjadi “tanpa ego”, maka dia menjadi satu dengan “sepuluh ribu
hal”. Dia terus mengalami perubahan bersama berubahan segala hal yang tak
terhingga. Dia tidk lagi menjadi “pengamat” yang tenang terhadap hal-hal yang
berubah. Dia adal subjek dari Transmutasi. Keselarasan yang sempurna telah
sepenuhnya tercapai antara “interior” dan “eksteior”; tidak ada perbedaan lagi
antara keduanya.
Meminjam
terminologi Ibn ‘Arabi dapat kita katakan bahwa manusia pada tingkatan
perkembangan spiritual setinggi ini secara subjektif bertempat di tingkat
Kesatuan Eksistensi (wahdat al wujud), dans ecara personal mengalami seluruh
alam Wujud dalam tingkat itu. Situasi ini dilukiskan oleh Chuang-tzu dengan
cara berikut :
Mati dan hidup, bahagia dan sengsara, berada dalam kesulitan dan
dalam kelapangan, miskin dan kaya, cerdas dan tidak becus, dihina dan
dimuliakan, lapar dan haus, menderita kedinginan dan kepanasan – semua ini
hanyalah perubahan-perubahan tanpa henti dari berbagai hal (fenomenal), dan
merupakan akibat dari jalannya Nasib yang senantiasa berlangsung.
Segala hal ini silih berganti antara satu dengan lainnya di
depan mata kita sendiri, namun tidak ada orang yang dengan akalnya mampu
melacak sumber awal dari semua hal tersebut.
Walaupun begitu, perubahan-perubahan ini tidak cukup kuat untuk
mengganggu (manusia yang “duduk dalam perikelupaan, lantaran dia benar-benar
menyatu dengan Transmutasi itu sendiri), juga tidak mampu mengusik “khazanah
terdalam” (manusia semacam itu.
Sebaliknya, dia memelihara (‘Khazanah terdalam” miliknya) dalam
keselarasan yang damai dengan (segala perubahan) sehingga dia menjadi satu
dengan semuanya itu tanpa mengalami hambatan, dan tidak pernah kehilangan
keceriaan spiritual.
Siang dan malam, tanpa henti, dia senang berasa dalam gelombang
pasang bersama segala sesuatu. Saat berbaur dengan 9berbagai hal yang berubah
terus menerus tanpa tingkatan eksistensi yang nonindriawi) dia terus
menciptakan “waktu” (dunia) dalam “interiornya”.
Keadaan demikian itu saya sebut sebagai kesempurnaan (yakni,
aktualisasi yang sempurna) dari potensialitas manusia.
Manakala
manusia menggapai perkembangan spiritual setinggi ini, dia sepenuhnya pantas
mendapat gelar Manusia Sempurna. Namun, hal ini bukan merupakan derajat
terakhir dan puncak dari “duduk dalam perikelupaan”. Masih ada lagi tingkatan
yang lebih tinggi. Aitu, tingkatan “tidak lagi Mati, tidak lagi Hidup.”
Chuang-tzu terkadang menamakannya dengan “titik ekstrem” (chih) dari
pengetahuan (chih). Pada tingkatan terakhir ini, manusia bukan hanya seutuhnya
menyatu dengan perubahan dawam “sepuluh ribu hal” – sebagaimana halnya ketika
dia berada pada tingkatan sebelumna – tetapi menyatu padu dengan “Misteri dari
segala Misteri”, tingkat metafisik puncak dari Sang Mutlak, sebelum Dia turun
memasuki ranah Transmutasi universal. Saking menyatunya dengan Jalan, manusia
ini bahkan sampai tidak sadar bahwa dia menyatu dengan Jalan tersebut. jalan
(tao) pada tingkatan ini tidak hadir seperti Jalan (tao) dalam kesadaran
manusia. Begitulah adanya lantaran memang tidak ada “kesadaran” di manapun,
sekalipun hanya sekilas. “Perikelupaan” yang berlangsung sudah sempurna. Dan
aktualisasi “perikelupaan” yang demikian sempurna itu bisa dijelaskan sekedar
sebagai acuan terhadap fakta metafisik bahwa Sang Mutlak, Jalan (tao), dalam
kemutlakannyya yang sempurna merupan Sesuatu yang tidak seorang pun bisa
menyebutnya sebagai “sesuatu”. Karenanya, kebiasaan umum dalam
filsafat-filsafat dunia Timur memberikan acuan pada Sang Mutlak itu sebagai
Bukan Sesuatu (Nothing).
Tingkatan-tingkatan
perkembangan spiritual yang dilukiskan di atas tentang “perikelupaan” telah
dibahas secara beragam oleh Chuang-tzu pada beberapa tempat dalam bukunya.
Kadang-kadang dia menempuh jalan menaik, dan kadang-kadang jalan menurun. Jalan
naik sesuai dengan proses sebenarnya yang melaluinya benak seorang manusia
setahap demi setahap melaju menuju kesempuaan spiritual. Contoh khas tentang
jenis deskripsi ini ditemukan pada pasase yang diakui sebagai reproduksi
percakapan antara seseorang bernama Nan Po Tzu K’uei dan seorang Lelaki (atau
Perempuan?) Sempurna bernama Nu Yu. Pada pasase ini, Chuang-tzu memberikan
gambaran tentang tingkatan-tingkatan yang dilalui oleh seorang manusia yang
lahir dengan potensi khusus untuk menjadi seorang Manusia Sempurna hingga dia
benar-benar mencapai tingkatan terakhir. Deskripsi itu sangat menarik apabila
dianggap sebagai sutu bandingan Taois atas kefanaan atau peniadaan-diri dalam
Islam.
Percakapan
bermula dari keheranan Nan Po Tzu K’uei pada air muka si tua Nu Yu, yang,
sebagaimana dia amati, laksana air muka seorang bocah.
Nan Po Tzu : Engkau adalah orang yang sudah tua, wahai
guru, namun air mukamu seperti seorang bocah. Mengapa?
Nu Yu : (Ini
karena) saya telah mengenal Jalan (tao).
Nan Po Tzu : Mungkinkah saya mempelajari Jalan tersebut?
Nu Yu : Tidak.
Bagaimana mungkin? Engkau bukanlah jenis orang yang tepat untuk mempelajarinya.
Engkau kenal Pu Liang I. (Sejak semula) dia emmiliki potensi alamiah untuk
menjadi seorang “manusia suci”, namun dia belum mendapatkan Jalan (tao),
sedangkan saya memiliki Jalan itu, namun tidak memiliki “potensi”. Saya ingin
memberinya petunjuk untuk melihat apakah, barangkali, dia dapat menjadi
“manusia suci”. Meskipun saya harus gagal mencapai tujuanku, namun (aku kira),
mudah bagi manusia yang memiliki Jalan untuk menyampaikannya kepada orang yang
memiliki potensi untuk menjadi seorang “manusia suci”. Maka itu, saya selalu
mengajarnya. Setelah tiga hari, dia telah belajar menempatkan dunia di luar
Benaknya.
Tindakan
“menempatkan dunia di luar Benak”, yyaitu melupakan eksistensi dunia, menandai
dicapainya tingkatan pertama. Sebagai sesuatu yang objektif – dan karenanya
secara relatif jauh dari Benak – “dunia” merupakan hal yang paling mudah untuk
dihilangkan dari kesadaran manusia.
Setelah dia menempatkan dunia di luar dirinya, saya terus
mengajarinya. Dan dalam tujuh hari, dia telah belajar sebagaimana menempatkan
segala sesuatu di luar Benaknya.
Tindakan “menempatkan
segala sesuatu di luar Benak” melukiskan tingkatan kedua. Melupakan adanya
dunia tidaklah terlalu sulit, namun “segala sesuatu” yang sangat terkait erat
dengan manusia tidak mudah terhapus dari kesadaran. Sebagaimana Kuo Hsang
katakan “ “Berbagai hal dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, hal-hal
itu sangat erat dengan ego. Inilah mengapa hal-hal dimaksud begitu sulit untuk
ditempatkan di luar Benak. Sedangkan Ch’eng Hsuan Ying menuturkan : “Keadaan
seluruh dunia bersifat asing dan jauh tersingkir dari kita; jadi mudah untuk
melupakannya. Berbagai hal dan alat yang membantu kehidupan
sehari-hari kita adalah akrab bagi kita;
jadi sulit untuk melupakannya”. Dengan
melupakan hal-hal yang sudah akrab di sekliling ktia dan terkait melalui
berbagai cara dengan kehidupan sehari-hari kita, maka dunia eksternal akan
seutuhnya hilang dari kesadaran kita.
Setelah dia menempatkan berbagai hal di luar Benaknya,
saya terus mengajarnya. Dan dalam Sembilan hari, dia telah belajar bagaimana
menempatkan Kehidupan di luar Benak.
Inilah tingakatan ketiga. Ia
terdiri dari tindakan manusia melupakan Kehidupan, yaitu, menghapuskan fakta
tentang kehidupannya sendiri dari kesadarannya, dari eksistensi pribadinya
sendiri. Inilah tingkatan melepaskan “ego”. Akibatnya, dunia, dalam aspek-aspek
eksternal dan internalnya, menghilang dari kesadaran. Tingkatan ini segera
diikuti oleh tingkatan berikutnya yang merupakan kedatangan fajar “pencerahan”
yang tak terduga.
Setelah dia menempatkan Kehidupan di luar Benaknya, (mata batinnya terbuka
sebagaimana) cahaya pertama fajar menyeruak (di kegelapan malam).
Begitu “pencerahan” ini diraih,
tidak ada lagi tingkatan-tingkatan sesudahnya. Atau boleh dibilang, ada
tingkatan-tingkatan, tetapi tidak muncul secara berturut-turut; semua tingkatan
itu menjadi teraktualisasi secara serentak. Jika itu dianggap merupakan
“tingkatan-tingkatan”, maka tingkatan-tingaktan itu harus dilukiskan sebagai
tingkatan-tingkatan horizontal yang terjadi seketika dan Bersama itu mata batin
terbuka melalui sinar fajar spiritual yang menembus. Yang pertama dari
tingkatan-tingkatan itu adalah “memersepsi Keesaan Mutlak”.
Saat fajar menyingsing, dia melihat Keesaan.
Inilah momenketika segala hal dan “aku” menyatu tunggal secara mutlak.
Tidak ada lagi pertentangan subjek dan objek- - subjek yang “melihat” dan objek
yang “dilihat” benar-benar menyatu – tidak ada lagi perbedaan antara “ini” dan
“itu”, “eksistensi” dan “non eksistensi”. “Aku” dan dunia dikembalikan kepada
kesatuan orisinalnya yang mutlak.
Dan setelah melihat Keesaan, tidak ada lagi (dalam
eksdarfannya) masa lalu dan masa sekarang.
Peda tingkatan Keesaan mutalk, tidak ada lagi kesadaran tentang
perbedaan antara “masa lalu” dan “masa sekarang”. Tidak ada lagi kesadaran
tentang “waktu”. Kita dapat melukiskan situasi ini secara berbeda dengan
mengatakan bahwa manusia sekarang berada dalam Sekarang yang abadi. Dan karena tidak ada lagi kesadaran tentang “waktu”
yang terus berputar, maka manusia berada dalam kondisi “tidak Mati dan Tidak
Hidup”.
Setlah meniadakan masa lalu dan sekarang, dia mampu
memasuki kondisi “tdaik Mati dan tidak Hidup”.
Kondisi “tidak Mati dan tidak Hidup” bukanlah sesuatu selain daripada
kondisi Sang Mutlak itu sendiri. Manusia pada tingkatan ini beradsa tepat di
tengah-tengah Jalan, terhubungkan dan menyatu dengannya. Dia berada di luar
Kehidupan dan Kematian, sebab Jalan yang telah menyatu dengannya berada di luar
Kehidupan dan Kematina.
Keadaan Jalan atau Sang Mutlak,
bagaimanapun, tidaklah sekadar berada di lura Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana tampak jelas melalui proses epistemologis yang
melaluinya manusia pada akhirnya mencapainya, kondisi ini bukanlah “kenihilan”
dalam pemaknaan yang semata-mata negative. Agaknya kondisi ini lebih merupakan
puncak metafisika. Kesatuan mutlak, yang kepadanya disperse Keragaman ontologis
dikembalikan. Ia merupakan Kesatuan yang terbentuk melalui penyatuan “sepuluh
ribu hal”, suatu Kesatuan di mana segala yang ada direduksi menjadi Ketiadaan.
Tiada “Kematian dan Kehidupan” di
sini. Jelasnya, inilah peri-Ketenteraman dan
Keheningan yang utuh. Tidak ada lagi sedikit pun kegaduhan dan kehebohan alam
esksitensi indriawi. Namun begitu, peri-Keheningan ini bukanlah keheningan
Kematian. Tidak ada lagi Gerakan yang dapat teramati. Tetapi, ia bukanlah
keadaan tanpa gerak dalam pengertian yang benar-benar negative. Ia lebih merupakan
keadaan tanpa gerak yang bersifat dinamis, penuh dengan tegangan-tegangan
ontologis internal, dan di dalam dirinya tersimpan kemungkinan-kemungkinan
Gerakan dan aksi yang tak terhingga.
Dengan demikian, dalam kedua
aspek yang baru saja disebutkan, itulah coincidentia oppositorum. Dalam
pandagan ini, Sang Mutlak merupakan Sesuatu yang terus merealisasikan dan
mengaktualisasikan “sepuluh ribu hal” dalam banyak bentuknya dan
mentransformasikannya dalam proses Transmutasi tanpa batas, dan bahkan pada waktu
yang bersamaan mempertahankan segala hal ini dalam Kesatuannya yang
supratemporal dan supraspasial. Inilah Kesatuan yang merupakan Keragaman itu
sendiri. Inilah Keheningan yang merupakan Gelegar itu sendiri.
Pada akhir pasase itu Chuang-tzu
menjelaskan aspek Jalan (tao) ini melalui katga-kata berikut :
Yang membunuh Kehidupan tidak akan mati. Yang
menghidupkan segala yang hidup tidaklah hidup. Dengan sifat itu ia melepas
segala sesuatu, dan menyambut segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang tidak ia
binasakan. Tidak ada sesuatu yang tidak ia sempurnakan. Dalam aspek ini, ia
dinamakan Kegaduhan-Ketenteraman”. Nama Kegaduhan-ketenteraman menunjukkan
fakta bahwa ia (maksudnya, Jalan tersebut) mengatur (segala hal) kegaduhan dan
agitasi dan selanjutnya menuntun segalanya itu menuju Ketenteraman.
Kita harus mencamkan bahwa pada
tingkatan tertinggi spiritualitas ini, manusia benar-benar menyatu dan
terhubungkan dengan Jalan tersebut. Mengingat, bagaimanapun, Jalan itu tidak
lain dari Ketenteraman-Kegaduhan, maka manusia yang menyatu dengan Jalan itu bergerak melalui
proses kosmik dari Kesatuan mutlak yang berdiversifikasi dalam kegaduhan dan
agitasi menjadi “sepuluh ribu hal” ini, dan “sepuluh ribu hal” itu kembali lagi
menuju peri_Ketenteraman semula. Ontology Taoisme merupakan ontology yang
didasarkan pada pengalaman semacam itu. Mungkin wajar bagi kita untuk
membayangkan bahwa pandangan Wujud dalam mata spiritual orang bijak penganut
Tao akan merupakan sifat dan struktur yang sangat berbeda dengan sifat dan
struktur pengikut Aristoteles, msialnya, yang mendasarkan bangunan filsafatnya
di atas pengalaman ontologis biasa dari seorang manusia biasa yang memandang
dunia di sekitarnya pada tingkatan akal sehat yang kuat dan kukuh. Sudut
pandang yang sangat alamiah dari para filosof pengikut Aristoteles adalah
esensialisme. Pada zaman Cina Kuno, sudut pandang esensialis diwakili oleh
Konfusius dan alirannya. Lou-tzu dan Chuang-tzu mengambil sikap keras
terhadapnya. Bab berikutnya akan dicurahkan untuk menjelaskan pokok masalah
ternteu ini. {}{}{}
6. MENENTANG ESENSIALISME
Menjelang akhir bab sebelumnya
saya telah tunjukkan fakta bahwa menurut Chuang-tzu, tingkatan-tingkatan “duduk
dalam perikelupaan” ditemukan dalam dua arah yang berlawanan : naik dan turun.
Yang pertama sesungguhnya berawal dari tingkatan terendah dan menaik setahap
demi setahap menuju tingkatan puncak dan tertinggi. Contoh tipikal jenis
deskripsi ini sudah saya kemukakan.
Yang kedua, alur turun, merupakan
kebalikan dari yang pertama. Ia berawal dari tingkatan tertinggi dan bergerak
menuju tingkatan terendah. Sebagai pendahuluan yang cocok untuk topik utama bab
ini, kita akan memulai dengan menerjemahkan satu pasase dari Chuang-tzu pada
saat tingkatan-tingkatan itu dilukiskan dengan cara tersebut. Pada pasase ini,
Chuang-tzu, alih-alih membicarakan “duduk dalam perikelupaan”, membagi
pengetahuan manusia tentang REalitas menjadi empat kelompok yang membentuk
sederetan tingkatan yang berurutan. Tingkatan-tingkatan ini merupakan
tahapan-tahapan epistemologis yang bersesuaian dengan tahapan-tahapan ontologis
yang oleh Lou-tzu dalam Tao Te Ching dibedakan dalam proses segala sesuatu di
alam Wujud yang muncul secara berkesinambungan dari Kesatuan mutlak Jalan
(tao).
Apakah batas puncak pengetahuan? Ia merupakan tingkatan
yang tergambarkan melalui anggapan bahwa tidak ada yang benar-benar eksis dari
awal. Inilah batas terjauh (Pengetahuan), yang untuknya tidak ada lagi yang
dapat ditambahkan,
Sebagaimana kita lihat pada bab
sebelumnya, inilah tingkatan puncak yang untuknya manusia mencapai akhir “duduk
dalam perikelupaan”. Di sini, manusia benar-benar menyatu dengan Jalan itu dan
berhubungan dengan Realitas mutlak, sehingga Jalan (tao) atau Realitas pun
tidak lagi disadari. Inilah tingkatan Kehampaan dan Ketiadaan dalam pemaknaan
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Ihwal tingkatan ini, Kuo Hsiang
mengatakan : “Manusia pada tingkatan ini telah sepenuhnya melupakan Langit dan
Bumi, menempatkan segala sesuatu yang ada di luar benaknya. Di sisi luar, dia
tidak memersepsi eksistensi alam semesta; di sisi dalam, dia telah kehilangan
seluruh kesadaran tentang eksistensinya sendiri. Karena ‘hampa’ secara tidak
terbatas, dia sama sekali tidak mengalami hambatan. Dia terus mengalami
perubahan sebagaimana berbagai hal itu sendiri mengalami perubahan, dan tidak
ada sesuatu yang tidak sesuai untuknya”.
Berikutnya adalah tingkatan ketika terdapat kesadaran
tentang “berbagai hal” yang mewujud. Namun, (dalam kesadaran ini) “batas-batas”
di antaranya tidak pernah ada seperti sediakala.
Pada tingkatan kedua ini, manusia
menjadi sadar akan Jalan yang mengandung segala sesuatu dalam potensialitas
murni. Jalan itu akan mendiversifikasikan dirinya sendiri pada tahapan
berikutnya menjadi “sepuluh ribu hal”. Namun, di sini belum ada ‘batas-batas’
di antara berbagai hal itu. “Berbagai hal” itu masih merupakan Keseluruhan
tidak-terbagi yang terdiri atas banyak unsur heterogen yang secara potensial
tidak terbilang. Semua itu masih dalam medan yang rata, Kekacauan, di mana
berbagai hal itu belum memiliki perbedaan-perbedaan “esensial”.
Berikutnya (maksudnya, tingkatan ketiga) merupakan
tingkatan di mana “batas-batas” mulai dikenali (di antara berbagai hal itu).
Namun, hingga kini benar-benar tidak ada perbedaan yang dibuat antara “benar” dan
“salah”.
Di sini Kekacauan (chaos) mulai
menyingkapkan bentuk-bentuk tertentu dari beragai hal yang ada dalam dirinya.s
egala hal menunjukkan garis-garis batasnya sendiri,d an setiap hal denga jelas menandai “batasnya” sendiri yang
dengannya ia membedakan dirinya dari hal-hal lain. Inilah tingkatan
“esensi-esensi” murni. Kesatuan awal itu mulai emmbagi dirinya, dan
terdiversifikasi menjadi Keragaman, sedangkan Sang Mutlak memanifestasikan
diri-Nya sebagai maujud-maujud “relatif” tak terbilang. Akibatnya, Realitas
yang sebelumnya berada di luar jangkauan pengetahuan manusia untuk pertama
kalinya masuk dalam tangkapannya.
Namun,
pada tingkatan ini sekalipun, perbedaan antara “benar” dan “salah” belum
dibuat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkatan ketiga ini kita masih
berhubungan erat dengan Jalan dalam integritas awalnya, walau pun, tentu saja,
kontak dengan Jalan itu sudah tidak lagi secara langsung, sebab kontak itu
dibuat melalui tabir “esensi-esensi”. Kita mungkin ingat mitos tentang Kaisar
Kekacauan (Hun Tun), yang kita baca pada bab 2, yang tewa segera setelah
sahabat-sahabatnya membuat lubang-lubang pada wajahnya yang “tak berbentuk”.
Terkait dengan pasase ini, dalam mitos itu terdapat penyederhanaan yang
berlebihan. Karena Kekacauan tidak akan “mati” semata-mata dengan
“lubag-lubang” (maksudnya, perbedaan-perbedaan “esensia;”) yang dibuat padanya.
Kematian Kekacauan yang sebenarnya terjadi pada tahap berikutnya.
Tetapi, begitu “benar” dan “salah” benar-benar mengemuka, maka
Jalan menjadi rusak. Dan begitu Jalan itu rusak, lahirlah Cinta.
Dengan
munculya “benar” da “salah”, Kekacaua kehilangan vitalitas alamiahnya dan
terfosilkan sebagai “bentuk-bentuk esensial” yang kaku dan tidak lentur laksana
bangkai. Sebagaimana Wang Hsien Ch’ien tuturkan : “Ketika “benar” dan “salah”
dikenali, maka integritas Chaotic Jalan segera tergerus”.
Dan
hal ini terjadi seiring dengan lahirnya Cinta. Kelahiran Cinta melambangkan
aktivitas emosi manusia seperti cinta dan benci, suka dan tidak suka. Inilah
tingkatan terakhir dan terendah dari Pengetahuan.
Tentu
saja ada aspek lain ihwal masalah tersebut. jalan ini konon mati bersamaan
dengan munculnya emosi-emosi manusia seperti cinta dan benci. Namun, hal itu
hanya apabila orang melihatnya terkait dengan integritas Chaostic semula, yakni
“ketiadaan pembedaan” orisinal Sang Mutlak. Bila tidak dilihat dalam kaitan
itu, segala sesuatu sebetulnya merupakan manifestasi tertentud ari Jalan itu
sendiri. Dan begitu pula “esensi” yang terfosilkan pun bukanlah sesuatu selain
dari “Determinasi-diri” Sang Mutlak. Namun, aspek persoalan ini tidaklah relevan
dengan topik pembahasan kita sekarang.
Sebagaimana
telah beberapa kali saya nyatakan – dan penting untuk mengingatnya sekali lagi
dalam rangka memahami dengan benar pandangan filosofis Chuang-tzu ihwal
“esensialisme” – penjabaran yang baru saja diberikan tentang empat tingkatan
itu bukanlah suatu teori abstrak; ia merupakan penjelasan tentang fakta yang
berdasarkan pengalaman. Ia merupakan pemerian fenomenologis iheal pengalaman ekstasis
(kebahagiaan luar biasa). Pada bagian yang baru saja dikutip, proses ekstasis
dijelaskan dalam urutan menurun. Maksudnya, Chuang-tzu melukiskan :kembalinya”
kesadaran. Dia memulai dari tahap kotemplasi tertinggi ketika “peripelupaan”
telah menyempurna, dan menurun selangkah-demi selangkah hingga mencapai
tingkatan kesadaran normal.
Apa
yang harus diperhatikan betul sehubungan dengan persoalan ini, entah ditinjau
dalam urutan menurun ataupun menaik, proses ekstasi terdiri dari dua aspek yang
benar-benar saling bersesuaian. Satunya adalah aspek subjektif, yang dapat kita
namakan “aspek epistemologis”, dan yang lainnya adalah aspek objektif, atau
aspek “metafisik”.
Ambillah,s
ebagai contoh, tahap tertinggi. Pada sisi
subjektifnya, sebagaimana baru saja saya sebutkan, ia merupakan tahapan
di mana pelaku kontemplasi telah meraih ekstasis. Dia kini berada dalam
“perikelupaan” utuh tentang segala sesuatu, termasuk dunia dan dirinya. Hal ini
tentu saja bermakna bahwa dia beradsa dalam peri-Ketiadaan (Nothing-ness), lantaran
dia tidak sadar akan apa pun dan (memang) tidak ada “kesadaran”. Ketiadaan
subjektif ini selaras dengan Ketiadaan objektif tentang Jalan. Karena Jalan
(tao) juga ebrada dalam Ketiadaan murninya yang mutlak, suatu keadaan “di mana
tidak ada yang benar-benar mewujud sejak awal”, yakni, sesuatu keadaan
metafisik di mana tidak ada apa pun yang dapat dibedakan sebagai maujud.
Dari
peri-Kehampaan sempurna itu, subjektif dan objektif, pelaku kontemplasi mulai
kembali menuju keadaa pikrian sehari-hari. Awalnya dia mengaduk-aduk sesuatu di
dalam dirinya. Kesadaran terjaga di dalam dirinya untuk menemukan “pelbagai
hal” yang mewujud. Namun, kesadaran apda tingkatan ini pun merupakan cahaya
suram dan redup. Ia belum menjadi kecermelangan siang hari yang menyilaukan
mata. Ia masih berupa senja kesadaran, suatu sore di saat segala hal hanya
dapat dilihat secara tidak tegas dan membingungkan.
Penjelasan
situasi seperti itu mungkin mengesankan sebagai evaluasi yang negatif. Kondisi
kesadaran pada tingkatan ini dilukiskan sebagai cahaya temaram semata-mata
karena penjelasan itu dibuat melalui sudut pandang kesadaran normal dari suatu
benak biasa. Bagi kesadaran normal, cahaya kesadaran ekstatis tampak temaram
dan tidak tegas sebab ia tidak (mampu) membedakan dan memilah antara satu
dengan lainnya. Namun, pada hakikatnya, ketidakjelasan itu, menurut Chuang-tzu,
adalah Realitas sebagaimana adanya.
Mengingat
keadaan Realitas sesungguhnya adalah bersifat “suram” dan “tidak tegas”, maka
kesadaran pasti juga “suram” dan “tidak tegas”. Hanya dengan cahaya suram
itulah Realitas dalam integritasnya dapat mencerahkan. Cahaya kesadaran normal
yang berkilauan dan menyilaukan dapat memberikan kesadaran yang kuta tentang
objek partikular ini atau objek partikular itu. Namun, dengan memusatkan cahaya
pada objek partikular tersebut, cahaya itu menjadikan seluruh alam tenggelam ke
dalam kegelapan. Berkenaan dengan masalah ini, Chuang-tzu menyatakan :
Oleh karena itu, Cahaya yang memancar dan temaram itulah yang
dituju oleh “manusia suci”. Bagaimanapun, dia tidak menggunakan Cahaya ini
(untuk mencerahkan benda-benda partikuler), namun meminjakannya untuk segala
hal secara universal. Inilah yang dinamakan dengan “pencerahan”.
Frase yang di sini diterjemahkan
sebagai “Cahaya yang memancar dan temaram” itu bermakna sejenis cahaya yang
darinya seseorang tidak dapat meyakini apakah ia ada ataukah tidak; seberkas
cahaya yang tidak terpusatkan pada objek partikulae ini atau objek particular
itu yang “memancar” dan menyebar luas ke semua arah. Ia bukanlah cahaya redup
dan temaram, bukan cahaya terang ataupun gelap. Namun, pada kenyataannya, ia
adalah Cahaya Universal yang mencerahi segala sesuatu seperti apa adanya.
Chuang-tzu
menamakan jenis Cahaya spiritual ini juga sebagai “Cahaya yang terhalangai”.
Sebagaimana Ch’eng Hsuan Ying paparkan : “(Benak manusia suci”) lupa (untuk
membedakan berbagai hal) namun mencerahi semuanya. Dan senyampang dia mencerahi
semua, dia pun melupakan semua. Itulah mengapa dia memburamkan dan menghalangi
cahanya, kendatipun justru dia menjadi semakin berkilau”.
Sisi “objektif” yang selaras
dengan tahap ini secara ontologis merupakan tahap paling penting menurut
Chuang-tzu. Dalam Cahaya yang redup dan memancar dari kesadaran pelaku
kontemplasi, “sepuluh ribu hal” tampak menyheruak seolah-olah melalui kabut.
Mereka tampak suram dan tidak tegas sebab tidak ada “sempadan-sempadan”, yakni
“esensi-esensi” atau “kuiditas-kuiditas” tertentu, untuk membeda-bedakan satu
dengan lainnya.
Saya katakana bahwa hal ini
secara ontologis merupakan tahapan yang paling penting bagi Chuang-tzu,
lantaran tahapan yang lebih tinggi, tingkatan Sang Mutlak dalam kemutlakannya,
tentunya berada di luar seluruh pemikiran dan penalaran. Sedangkan tingkatan
yang lebih rendah adalah tingkatan berbagai “esensi” atau “kuiditas”, ketika
segala hal tampak menuju kesadaran yang secara jelas saling terpisahkan satu
dengan lainnya melalui “Batasan-batasannya”. Chuang-tzu memerangi pandangan
bahwa tingkatan ini merepresentasikan Realitas seperti apa adanya.
Dengan demikian, kita melihat
bahwa tingkatan “choitifikasi”, pada saat segala hal dilihat dalam “ketiadaan perbedaannya” yang asli, yaitu, di
luar dan terpisah dari “esensi-esensi”, merupakan masalah sangat penting dalam
metafisika Chuang-tzu. Kita dapat
menamakan metafisika ini sebagai “eksistensialisme”, dengan memaknai kata
“eksistensi” (existential) dalam pengetian yang sama dengan wujud dalam system
metafisika Ibn ‘Arabi.
Sejak awal saya telah
menekankansecara implisit dan eksplisit akan sikap “eksistensialis” Chuang-tzu.
Saya kira kini saya telah menjadikannya cukup jelas bahwa makna sesungguhnya
mejnjadi dapat dipahami hanya apabila kita mengaitkannya dengan tingkatan kedua
(dari atas) “duduk dalam perikelupaan”. Ia merupakan suatu pandangan filosofis yang
didasarkan pada visi tentang Chaos. Dalam hal ini. Ia ebrtentangan dengan
pendapat yang diambil “esensialisme” yang didasarkan pada visi tentang Realitas
yang terbatas pada, dan tipikal, tahap epistemologis-ontologis penampakan “
sepuluh ribu hal”, masing-masing dengan “Batasan-batasannya” yang sangat jelas.
Berkenaan dengan proses “duduk dalam perikelupaan” – proses pengembalian
ekstasis sempurna menuju alam akal sehat yang “normal” – pandangan “esensialis”
itu masuk dalam tingkatan ketiga yang dijelaskan di atas.
Dengan begitu, dalam kerangka
pengalaman tersebut, “eksistensialisme” menggambarkan sebuah visi tentang
Realitas yang merupakan tingkatan lebih tinggi disbanding dengan
“esensialisme”. Adalah penting untuk diperhatikan bahwa esensialisme dianggap
sebagai tingkatan ketiga dalam proses Kembali dari kontemplasi ekstatis
sepanjang ia berada dalam kerangka khusus ini. Bagaimanapun, pada hakikatnya,
pelaku kontemplasi itu, saat dia turun menuju tingkatan ini dan menyadari berbagai
hal beserta “Batasan-batasan” tergasnya, maka sesungguhnya dia telah setaraf
dengan manusia biasa yang tidak mengetahui apa-apa tentang pengalaman akstetis.
Padangannya tentang Wujud pada tingkatan khusus ini bukanlah sesuatu yang tidak
wajar dari sudut pandang akal sehat. Sebaliknya, pandangan itu merupakan pandangan tentangn Wujud yang umum
untuk,dan dimiliki oleh, semua manusia yang sepenuhnya berpikiran “logis” dan
“normal”. Dengan kata lain, “esensialisme” merupakan ontology tipikal
Betapapun, pernyataan ini tidak
harus dipahami dengan implikasi bahwa, bagi Chuang-tzu atau Lou-tzu,
“esensialisme” merupakan pandangan yang salah dan keliru tentang Wujud, dan
bahwa ia menidtorsi dan merusak struktur sejati berbagai hal. Karena “esensialisme”
tidak mewakili dan sesuai dengan
tingkatan tertentu dalam proses penyebaran. Sang Mutlak itu sendiri. Di samping
itu,pada sisi subjektifny, sebagaimana telah ktia lihat, “esensialisme”
merupakan tingkatan ketiga dari “duduk dalam perikelupaan” pada proses kembali
dari kontemplasi. Jadi, tidak ada yang salah dengan esensialisme.
Persoalan serius muncul hanya
apabila akal sehat menolak untuk melihat perbedaan apa pun dalam kerangka
“tingkatan-tingkatan” ontologis antara “eksistensialisme” dan “esensialisme”
serta mulai menegaskan bahwa esensialisme merupakan satu-satunya pandangan yang
benar terhadap Wujud. Bila sudah begitu, barulah seorang Chuang-tzu tampil
dalam pemberontakan terbuka atas “esensialisme”. Namun, mengingat esenisalisme
merupakan fitrah akal sehat untuk memandang berbagai hal secara “esensialis”,
maka Chuang-tzu dalm Lou-tzu senantiasa merasa diri mereka terpaksa
memanifestasikan sikap pemberontakan menentang padangan yang demikiian. Filsafat
mereka, dalam kaitan ini, mungkin layak disebut sebagai pemberontakan menentang
“tirani” Nalar.
Chuang-tzu melihat contoh khas
pandangan “esensial” dalam filsafat moral Konfusius. Filsafat Konfusius,d alam
pandagan Chuang-tzu, tidak lebih daripada elaborasi etika “esensialisme”
ontologis. Keutamaan-keutamaan yang disebutkan Konfusius, seperti
“kemanusiaan”, “keadilan”,d an sebagainya, tidak lain merupakan beberapa produk
aktivitas Benak normal yang tentu saja cenderung melihat berbagai hal secara
kasar ditentukan “esensi-esensin-nya”
sendiri. Realitas dalam kemutlakan tidak memiliki “Batasan-batasan” seperti
itu. Namun, seorang Konfusius membuat perbedaan-perbedaan yang tidak ada, dan
merekayasa darinya serangkaian kategori etika ketat dan kaku demi mengatur
perilaku manusia.
Berhenti! Berhenti mendekati manusia dengan (ajaranmu tentang)
kebajikan-kebajikan! Sungguh berbahaya, berbahaya sekali (apa yang kau lakukan
itu) untuk menggaris-garis landasan dan melintasi Batasan-batasan.”
“Esensialisme”
ontologis dianggap berbahaya sebab segera setelah kita mengambil sikap itu,
kita pasti akan kehilangan kelenturan alamiah benak kita dan akibatnya
kehilangan pandangan tentang “ketiadaan perbedaan” mutlak yang merupakan sumber
dan dasar hakiki segala sesuatu yang ada. “Esensialisme” tidak akan terus berada
dalam lingkup ontology; tentu saja ia akan tumbuh menjadi kategorisasi
sederetan nilai yang begitu telah termapankan, akan mulai mendominasi seluruh
system perilaku kita.
Pada pasase berikut, Chuang-tzu
melayangkan gambaran simbolis melalui sindiran tajam menyangkut sejumlah orang yang
sia-sia terlibat dalam diskusi-diskusi hangat seputar “nilai-nilai” ebrbagai
hal, sambal menganggapnya sebagai sesuatu yang mutlak, sesuatu yang pasti tak
dapat diganggu-gugat :
Mata
air telah mengering, dan semua ikan bergeletakan di atas tanah. (Di saat-saat
menjelang mati) mereka saling menghembuskan napas lembab dan berusaha untuk
saling membasahi dengan buih dan busa. Akan jauh lebih baik bagi mereka jika
mereka dapat saling melupakan di dalam sungai atau laut lepas. Demikian pula,
banyak orang memuji “manusia agung” dan mencela “manusia buruk”. Namun, akan
jauh lebih baik jika merka melupakan keduanya (“baik” dan “buruk”) dan bebas
“bertransmutasi” dengan Jalan itu sendiri.
“Esensialisme” rupa-rupanya
adalah pandangan filosof yang sangat cocok bagi benak manusia. Apapun, Nalar
dan akal sehat yang selain merupakan bentuk kasar dari Nalar, tentu saja
cenderung mengambil posisi “esensialis”. Itulah tumpuan pemikiran kita yang
biasa.
Intisari pandangan “esensialis”
dapat disajikan secara tepat sebagai sebuah tesis bahwa segala sesuatu memiliki
“esensi” atau “kuiditas”, yang
masing-masingnya diberi garis tegas melalui “esensinya” dari selainnya.
Sebuah meja adalah meja, sebagai contoh, dan tidak pernah dapat menjadi kursi.
Buku yang berada di atas meja itu, “secara esensial” adalah buku, dan “secara
esensial” berbeda dengan, atau lain dari meja itu. Ada “sepuluh ribu”,
maksudnya, tidak terbilang, berada di dunia. Namun, tidak ada kebingungan di
antara mereka, karena mereka terpisahkan satu sama lain melalui garis-garis
dimarkasi yang tegas atau “Batasan-batasan” yang dipasok oleh “esensi-esensi”
mereka.
Sebagaimana telah saya ungkapkan,
ontology “esensialis” ini sendiri bukanlah sesuatu yang harus ditolak. Ia
memberikan gambaran yang benar tentang berbagai hal, jika diletakkan di tempat yang
tepat, yaitu selama seseorang memahaminya sebagai gambaran berbagai hal pada
tingkatan ontologis tertentu. Chuang-tzu tidak berkeberatan dengan hal ini.
Masalah yang ingin dia sampaikan adalah agar “esensialisme” tidak dianggap
sebagai satu-satunya pandangan final tentang berbagai hal. Dan dia bangkit
melakukan pemberontakan terhadapnya pada saat orang mulai membuat pernyataan
seperti itu. Karena, dia yakin bahwa esensialisme bukanlah pandangan akhir
tentang berbagai hal.
Dari sudut pandang seseorang yang
telah melihat berbagai hal secara berbeda dalam visi ekstatisnya, secara
ontologis terdapat tingkatan di mana “esensi-esensi” itu meniada. Hal ini bagi
seorang Chuang-tzu berarti bahwa “sejak semula” – seperti yang dia katakana –
hal-hal itu bukanlah “esensi-esensi” dalam pengertian pusat ontologis segala
sesuatu yang keras dan kukuh. Bagaimanapun juga, dalam pandangan ini, apa
yang dinamakan “esensi-esensi” itu telah kehilangan kekukuhannya dan menjadi
tercairkan. “Mimpi” dan “realitas” menjadi tidak jelas di alam “ketiadaan
perbedaan” yang luas dan tanpa batas. Di sini tidak ada lagi ,perbedaan yang
jelas antara meja dan kursi, antara meja dan buku. Setiap sesuatu adalah
dirinya sendiri, dan bahkan, pada waktu bersamaan, adalah segala lainnya. Tidak
ada “esensi-esensi”, yang ada ialah segala hal saling melintasi dan
mentransformasikan diri mereka menjadi satu sama lain tanpa henti. Segala
sesuatu adalah “satu” – secara dinamis. Kita mungkin pantas
membandingkan pandangan ini dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan
Eksistensi, wahdatul al-wujud. Dan kita sudah mengetahui bahwa inilah yang
dinamakan Chuang-tzu sebagai chaos.
Ibn ‘Arabi dapat berbicara
tentang Kesatuan Eksistensi sebab dia memandang alam Keragaman, maujud-maujud yang
tidak dapat dibatasi, sebagai selaksa determinasi-diri atau manifestasi-diri
Sang Mutlak yang Ia sendiri merupakan Kesatuan Mutlak. Dengan cara serupa,
Chuang-tzu sampai apda gagasan tentang “Chaotifikasi” berbagai hal, sebab dia
memandangnya dari sudut pandang Jalan, yang juga merupakan Kesatuan metafisik
mutlak.
Dalam filsafat Barat kontemporer,
tekanan khusus sering diberikan terhadap kekuasaan “tiranik” Bahasa, pengaruh
formatif besar pola-pola kebahasan pada pembentukan pemikiran kita. Pengaruh
Bahasa terutama tampak dalam formasi pandangan “esensialis” tentang berbagai
hal.
Dari
sudut pandang “eksistensialisme” mutlak, tidak ada sekat-sekat yang begitu
rapat di alam Wujud. Namun, manusia “mengartikulasikan”, yakni,
memenggal-menggal – pada galibnya secara sewenang-wenang – keseluruhan yang
semula tidak terbagi ini menjadi sejumlah segmen. Lantas manusia memberikan
nama khusus untuk masing-masing segmen ini. Segmen Realitas, dengan demikian
diberikan sebuah nama, terkristalisasi menjadi “esuatu”. Nama itu memberinya
kestabilan “esensial”, dan dengan demikian menjaminnya dari disintegrasi.
Baik-buruknya, begitulah faktanya kekuasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa
secara positif mendukung “esensialisme”.
Begitu
suatu “benda” menjadi mantap dengan satu nama tertentu, maka manusia mudah
dituntun menuju pemikiran bahwa benda itu secara esensial adalah itu dan bukan
lainnya. Jika satu benda dinamakan A, maka ia mendapatkan ke-A-annya, yaitu
“esensi” menjadi A. Dan karena ia adalah A “secara esensial”, maka ia tidak
pernah dapat menjadi selain dari A. Seseorang hampir tidak dapat membayangkan
di bawah kondisi-kondisi tersebut, benda itu menjadi B, C, atau D. Benda itu
dengan demikian menjadi sesuatu yang tertentu dan tidak dapat berubah.
Hubungan
mendasar antara “esensialisme” dan bahasa inni mendapat perhatian Chuang-tzu.
Dia memerhatikannya sebab dia memandang persoalan ini dari sudut pandang Jalan
mutlak karena, sebagaimana telah berung kali kami tunjukkan, tidak ada sedikit
pun determinasi-determinasi “esensial;”.
Jalan sama sekali tidak memiliki “batasan-batasan”. Begitu juga
bahasa (yang memproduksi dan mengekspresikan “batasan-batasan” itu) memiliki
kepermsnrnsan.
Nasmun (manakala kesesuaian terbangun antara keduanya) maka
muncul “batasan-batasan” (esensial) yang sejati.
Berkenaan
dengan logika solfistikm (argumen yang menyesatkan) dari aliran Kung Sun Lung,
Chuang-tzu menjelaskan bahwa jenis logika inik merupakan produk “esensialisme”
kebebasan.
Ketimbang berusaha membuktikan dengan sarana “jari” bahwa “jari”
bukanlah “jari”, mengapa kita tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan jari”
bahwa “jari” bukanlah sebuah “jari”?
Makna
pasase ini akan menjadi jelas hanya apabila kita memahaminya dengan latarbelakang
logikja sofistik yang mengemuka pada masa Chuang-tzu. Argumen yang dikemukakan
kaum Sofis aliran Kung Sun Lung dapat diringkauys sebagai berikut. Konsep jari
iktu sendiri mencakup konsep-konsep tentang Ibu jari, jari telunjuk, jari
tengah, jari manis,d an jari kelingking. Sebetulnya tidak ada “jari” selain
daripada kelima jari ini. Namun, jika kita mengambil salah satu darinya,
misalnya jari telunjuk, maka kita akan menemukannya menegasikan dan
mengeksklusikan semua sisanya, sebab “jari telunjuk” bukanlah salah satu dari
keempat jari lainnya. Jadi, “Jari telunjuk” yang sebetulnya adalah sebuah
“jari”, bukanlah sebuah “jari”, sebab konsepnya berlaku secara ekslusif untuk
dirinya sendiri,bukan untuk selainnya.
Terhadap
pembuktian ini, Chuang-tzu menyatakan bahwa argumen itu semata-mata merupakan
bagian sofisri (argumen menyesatkan) yang dangkal dan tidak bermakna. Kita
tidak memperoleh apa pun meskipun kita membuktikan melalui cara ini bahwa
sesbuah “jari” tepat untuk dianggap sebagai “bukan jari”. Dan pandagan terakhir
ini – walau pun secara dangkal memberikan kesimpulan serupa; yaitu bahwa sebuah
“jari” bukanlah sebuah “jari” – tidak merupakan bagian dari sofistri. Ia
merupakan pandangan yang bertumpu pada “Chaotifikasi” berbagai hal, dan justru
berada pada jantung struktur Realitas.
Istilah
“bukan jari” yang tampak apda paro kedua pernyataan yang dikutip di atas tidak
ditujukan sebagai kontradiksi logis dari “jari”. Ia bermakna sesuatu seperti
“jari super”, atau keadaan ontologis di mana “jari” tidak lagi merupakan sebuah
“jari”. “Mengapa tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan jari”? tanya
Chuang-tzu. Maksud dia, daripada buang-buang waktu berusaha membuktikan dengan
menggunakan tipuan-tipuan logika – sebagaimana yang dilakukan oleh Kung Sun
Lung dan para pengikutnya – bahwa “sebuah jari bukanlah sebuah jari” justru
pada tataran “sebuah jari adalah sebuah jari”, lebih baik kita segera melampaui
tingkatan ontologis perbedaan-perbedaan “esensial” dan melihat realitas situasi
itu dengan mata “pencerahan”. Mengingat, faktanya, pada tingkatan
“Chaotifikasi”, sebuah “jari” secara niscaya bukan lagi sebuah “jari”, tidak
lagi begiktu pasti bahwa sebuah jari tidak dapat menjadi sesuatu selain
daripada dirinya sendiri. Segala hal (benda) adalah satu, dan kita tidak
memiliki alasan untuk terus berpegang pada gagasan bahwa karena A adalah A,
maka A tidak dapat menjadi sesuatu selain daripada A. Jadi, pernyataan sebuah
“jari” bukanlah sebuah “jari” terbukti benar; namun, kini, pada tataran yang
lebih tinggi daripada tataran di mana para penganut sofistri berusaha keras
untuk meneguhkan pernyataan serupa.
Chuang-tzu
memberikan satu contoh lagi, bahwa seekor “kuda” bukan seekor “kuda”, yang juga
merupakan top[ik terkenal dari kaun sofis pada zamannya.
Daripada berusaha untuk membuktikan dengan menggunakan seekor
“kuda” bahwa seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda”, mengapa kita tidak
membuktikan dengan menggunakan “bukan kuda” bahwa seekor “kuda” bukanlah seekor
“kuda”
Struktur
argumen itu persis sama dengan struktur sebelumnya. Kaum Sofis menyatakan bahwa
seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda” berdasar pengamatan berikut. Menurut
mereka, konsep “kuda” harus dapat sandang pada kuda-kuda dari berbagai warna,
seperti “kuda putih”, “kuda kuning”, “kuda hitam”, dan sebagainya, dan tidak
ada “kuda” yang mewujud secara aktual yang tidak berwana. Setiap kuda yang
mewujud secara aktual pasti berwarna,
entah berwarna putih, hitam, atau kuning, dan sebagainya. Hal itu tidak ada
pengecualian. Marilah kita ambil seekot “kuda putih” sebagai contoh. “Kuda
putih”, karena berwana putih, tentu saja mengeksklusifkan seluruh kuda dari
warna-warna lainnya. Konsep itu tidak dapat berlaku untuk “kuda hitam”, sebagai
contoh, atau “kuda kuning”. Dan hal yang sama berlaku bagi kuda apapun dari
warna apapun. Namun, karena kondsep tentang “kuda” harus demikian sehingga
berlaku bagi seluruh kuda dari segala warna, maka kita harus menyimpulkan bahwa
tidak ada kuda yang mewujud secara aktual yang benar-benar merupakan seekor
“kuda”.
Dengan
cara ini, Kaum Sofis membuktikan, atau mengaku membuktikan, bahwa “kuda”
bukanlah “kuda”. Terhadap hal ini, Chuang-tzu berpendapat bahwa, sekalipun
mengakui kebenaran argumen ini, konklusi yang mereka ambil dengan cara ini sama
sekali tidak mempunyai signifikansi. Sebagaimana dalam argumen sebelumnya
tentang “jari”, Chuang-tzu menunjukkan bahwa ada tinjauan di mana konklusi yang
sama tetap bisa dipertahankan, tetapi dengan makna yang sama sekali baru. Di
sini pula istilah “bukan kuda” menunjukkan tingkatan metafisik di mana segala
perbedaan “esensial” terkikis melalui “Chaotifikasi”.
Begitu
kita menempatkan diri kita pada tataran itu, kita memerepsi bahwa “jariu”
adalah “jari” dan sekaligus, pada waktu yang sama, bukan “jari”, bahwa “kuda”
adalah seekor “:kuda” dan bukan seekor “kuda”. Begiktu pula halnya bagi semua
hal lainnya. Kita bahkanbisa ke titik ekstrem dengan menegaskan bahwa sluruh
alam adalah “:jari”, dan seluruh alam adalah :kuda”.
Langit dan bumi (yuaitu, seluruh alam) adalah sebuah “jari”.
Segala sesuatu adalah seekor “kuda”.
Langit
dan bumi beserta “sepuluh ribu hal (BENDA)” yang mewujud di dalamnya tidak lain
merupakan keseluruhan yang “tidak berbeda-beda”, karena segala hal (Ibenda)
secara ontologis saling merembesi. Dalam keadaan demikian, seekor :kuda”
bukanlah seekor :kuda” yang tidak dapat berubah; ia dapat menjadi sesuatu yang
lain. Dengan memandang situasi khusus ini dari sisi sebaliknya, maka dapat kita
katakan bahwa segala hal berhak untuk dianggap sebagai seekor “kuda” atau
sebuah “jari”, atau tentu saja, sesuatu yang lain.
Dari
sudut pandang semcam ini, Chuang-tzu terus melancarkan kritik atas pendapat
“esensialis” dengan cara berikut :
(Alih-alih memandang persoalan ini dari sudut pandang “bukan
jari” dan “bukan kuda”, manusia malah membagi-bagi keseluruhan Wujud yang
semula tidak terbeda-bedakan menjadi berbagai kategori yang, lagi-lagi, mereka
klasifikasikan menjadi “benar” dan “tidak benar”) dan bersikukuh bahwa “benar”
adalah “benar” serta tidak dapat berubah dan “tidak benar” ada;lah “tidak
benar” serta tidak dapat berubah. (Padahal, perbedaan antara “benar” dan “tidak
benar”, jauh dari sesuatu yang “esensial”, yakni, sesuatu yang didasarkan pada
sifat sejati Wujud, lebih merupakan masalah adat dan kebiasaan, persis seperti)
jalan dibangun (di tempat yang sebelumnya tidak ada) oleh orang-orang yang
rutin berjalan di atasnya. Demikian juga, “berbagai benda” dibentuk melalui
kenyataan bahwa ia ditunjuk dengan nama partikular ini atau nama partikular itu
(semata-mata berdasarkan adat atau kebiasaan masyarakat).
(Dan segera setelah “berbagai hal (benda)” terkristalisasi, maka
mereka ditimbang sebagai “benar” dan “tidak benar”, “begitu” ataukah “bukan
begitu”). Atas dasar apakah seorang manusia menilai sesuatu itu seperti
“begitu”? Dia menilai “begitu” terhadap apa pun (yang orang atau masyarakat”
berkebiasaan) menilai “begitu”? Atas dasar apakah seorang manusia menilai
sesuatu “tida begitu”? Dia semata-pmata menilainya sebagai “tidak begitu” sebab
(orang-orang lain) menilainya (melalui kebiasaan) “tidak begitu”
(Bagaimanapun, dari sudut pandang “pencerahan”, realitas berbagai
hal hanya dapat dipahami apabila seseorang menempatkan dirinya pada tingkatan
yang lebih tinggi berupa penerimaan nondiskriminatif yang melampaui segala
perbedaan yang demikian relatif ini. Dipandang dari tingkat itu), ada hal
tertentu di mana segala sesuatu tanpa kecuali harus dianggap sebagai “begitu”
(yaitu, dapat ditegaskan dan dapat diterima), dan segala sesuatu tanpa kecuali
harus dianggap sebagai “benar”. Tidak ada sesuatu yang tidak “begitu”. Tidak
ada sesuatu yang tidak “benar”. Apakah sebutir padi ataukah tiang besar, apakah
seorang penderita kusta ataukah seorang Hsi Shih (perempuan terhormat dan
cantik), betapapun mungkin hal-hal itu aneh, ganjil, jelek, dan fantastis,
namun Jalan menjadikan semuanya itu satu.
Realitas yang dicerap pada tingkatan itu disebut oleh
Chuang-tzu sebagai (Penyetaraan Ilahi) {Heavenly Equalizatrion}, atau Berjalan
di Dua Arah (pada waktu yang bersamaan). Istilah pertama (Penyetaraan) bermakna
keadaan metafisik “alamiah” di mana segala hal, tanpa terusik oleh perbedaan-perbedaan
antara “baik” dan “buruk” dan “benar” dan “salah”, dan sebagainya, berada dalam
keselarasan atau kesetaraan aslinya. Dan lantaran, sebagaimana Ch’eng Hsuan
Ying amati, seorang “manusia suci” selalu melihat berbagai hal dalam keadaan
keselarasan seperti itu, maka benaknya juga berada dalam kedamaian abadi, tidak
pernah terusik oleh perbedaan-perbedaan antara berbagai hal. Istilah kedua, yang
secara harfiah bermakna “pergi ke dua arah”, menunjukkan keadaan metafisik
serupa manakala “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”, sama-sama dapat
diterima; dengan kata lain, suatu keadaa tatkala segala sesuatu yang berlawanan
dan bertentangan itu menjadi dapat diterima dalam Kesatuan punck coincidentia
oppositorium.
Adalah
sangat signifikan bahwa bab kedua Chuang-tzu diberi judul Ch’i Wu Lun, yakni,
“Wacana untuk Menyetarakan (Segala) Sesuatu. Bab ini diberi judul demikian
karena ia terutama membahas pandangan yang melihat segala sesuatu sebagai
“setara”, yakni, pada puncaknya Satu. Menurut pandangan ini, karena
“penyetaraan” berbagai hal itu dapat dibenarkan hanya pada tingkatan
“eksistensi”, bukan pada tingkatan “Esensi-esensi”, maka saya menganggap teori
ini sudah sepantasnya dibanding dengan Kesatuan Eksistensi (wahdat alwujud) Ibn
‘Arabi.
“Esensialisme”,
bila memang merupakan pandangan filosofi tentang eksistensi, mesti mampu
menjelaskan keseluruhan alam Wujud. Ia memang bertujuan – dan mengklaim,
setidaknya secara implisit – menjadi cukup komprehensif untuk meliputi segala
sesuatu. Namun, dalam fakta aktualnya, bagaimana ia bisa seperti itu apabila
sifat dasarnya mengisolasi setiap satuan ontologis, menjadikan mereka “secara
esensial” mandiri satu dengan lainnya? Jika seseorang melakukan pendekatan ini
terhadap berbagai hal, namun ingin memahami semuanya, maka dia terpaksa memilih
jalan lain berupa metode penjumlahan dan penambahan. Tetapi, betapapun jauh
seseorang menempuh arah ini, dia tidak akan pernah mencapaik puncaknya. Karena
tidak masalah berapa banyak unit independen yang dapat dia tumpuk-tumpuk, tapi
dia akan tertinggal dengan sejumlah hal tak terbatas yang masih tidak tersentuh
dan tidak terpahami.
Dengan demikian, “Esensialisme”
melalui sifat dasarnya itu tidak mampu memahami realitas dunia Wujud dalam
kerumitannya yang tak terbatas serta dalam perkembangan dan transformasinya
yang nirwatas (limitless). Untuk memahami secara konprehensif bagaimana
sesungguhnya Dun ia Wujud itu dan bagaimana sesungguhnya ia bekerja, Chuang-tzu
berpendapat, kita harus meninggalkan tingkatan perbedaan-perbedaan “esensial”,
dan, melalui penyatuan diri kita dengan “eksistensi” itu sendiri yang meliputi
segala hal, pandanglah segala hal alam kondisi orisinalnya berupa
“chaotifikasi” dan “ketiadaan pembedaan”. Alih-alih merumuskan tesis ini dalam
bentuk teoritis seperti itu, Chuang-tzu menjelaskan pendapatnya melalui contoh
konkret tengan Chao Wen, seorang pemain kecapi terkenal.
Bahwa sesuatu dapat menjadi “sempurna” dan “tidak sempurna”
(pada waktu yang sama) mungkin secara tepat dicontohkan melalui apa yang terjadi
ketika Chao Wen memetik kecapi. Bahwa sesuatu dapat tetap “tidak sempurna” dan
“tidak cacat” mungkin secara tepat
dicontohkan dengan apa yang terjadi ketika Chao Wen tidak memetik
kecapi.
Makna pasase di atas dapat dijabarkan
sebagai berikut. Chao Wen adalah seorang musisi jenius. Ketika dia memetik
kecapi, komposisi musik yang dia mainkan itu teraktualisasi dalam bentuk
sempurna. Inilah apa yang dijelaskan melalui untkapan : “bahwa sesuatu dapat
menjadi sempurna”.
Namun melalui fakta bahwa Chao Wen
memainkan bagian musik tertentu dan mengaktualisasikannya dalam bentuk
sempuirna, berbagai bagian tak terbatas lain nyang tertinggal menjadi gelap dan
lenyap. Inilah yang dimaksud dengan sesuatu yang menjadi “cacat” pada waktu
yang sama. Jadi, aktualisasi sempurna dari satu bagian musik tertentu pada
waktu yang sama merupakan penafian dan peniadaan semua kemungkinan lainnya.
Hanya ketika Chao Wen tidak sedang bermain, kita berada dalam keadaan menikmati
semua bagian musik yang mampu dia aktualisasikan. Dan hanya dalam bentuk
demikian musiknya “sempurna” dan pengertianyang mutlak, yakni, dalam pengertian
musiknya mengatasi perbedaan antara “kesempurnaan” dan “ketidaksempurnaan”
(atau “kekacauan”).
Dengan demikian, “penyetaraan” segala
sesuatu mambawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun, jika seseorang
berpegang pada gagasan ini dan benar-pbenar mengabaikan aspek fenomenal
berbagai hal, maka dia jatuh pada kesalahan yang sama-sama tidak dapat dimaafkan. Karena, bagaimana pun juga,
berbagai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realitas. Tentu saja
musaik Chao Wen adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tia
memetik kecapinya. Namun, benar pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi
dalam kemampuannya itu ditakdirkan “menyempurna” dalam pengertian Relatif.
Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari jalan keluar dari kemungkinan
menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu dengan
laionnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang fundamental
dan yang fenomenal, adalah esensial bagi realitas musik.
Demikian juga, “penyetaraan” sega;la
sesuatu membawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun, jika seseorang
berpegang pada gagasan ini dan
benar-benar mengabaikan aspek fenomenal berbagai hal, maka dia jatuh pada
kesalahan yang sama-sama tidak dapat dimaafkan. Karena, bagaimanapun juga,
beragai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realiotas. Tentu saja,
musik Chao Wen adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tidak
memerik kecapinya. Namun, benar pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi
dalam kemampuannya itu ditakdirkan “menyempurna” dalam pengertian relatif.
Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari jalan keluar dari kemungkinan
menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu dengan
lainnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang
fundamental dan yang fenomenal, adalah esensial bagi realitas muskinya.
Demikian juga, dalam struktur
ontologis segala sesuatu, “ketiadaan perbedaan” orisinal dan “perbedaan
fenomenal, atau Kesatuan dan Keragaman, adalah sama-sama hakiki. Jika
Chuang-tzu begitu banyak menekankan
aspek awal (“ketiadaan perbedaan”/Kesatuan), itu terutama karena pada tingkatan
akal sehat pengalaman manusia aspek fenomenal terlampau menonjol dan dominan,
sehingga pada umumnya dianggap sebagai satu-satunya realitas.
Akar Wujud secara mutlak adalah satu.
Tetapi, ia tidak selamanya berada dalam Kesatuan Orisinalnya. Sebaliknya,
termasuk dalam sifat dasar Wujud tidak pernah berhenti memanifestasikan diri
dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas. Ia terus mentransformasikan diri mereka
menjadi satu sama lain. Inilah aspek fenomenal Wujud. Namun, melalui proses
“diversifikasi” dan “diverensiasi” ontologis ini segala hal kembali pada ujung
sumber metafisiknya. Proses “turun” dan “naik” secara paradoksal adalah satu
dan sama. Hubungan antara Kesatuan dan Keragaman harus dipahami dengan cara
ini. Sebagaimana Kesatuan bukan merupakan “kesatuan” statis berupa kematian dan
kekakuan, melainkan merupakan proses dinamis tiada henti dari coincidentia
oppositorium, demikian pula Keragaman bukanlah “pembedaan” statis berbagai hal yang
secara kasar bersifat pasti, melainkan merupakan proses kehidupan konstan yang
di dalam dirinya terkandung tegangan ontologis Kesatuan dalam Keragaman.
Jika dilihat dari sudut pandang “perbedaan”, (tidak ada sesuatu
yang sama seperti sesuatu lainnya), bahkan liver dan empedu (contoh tipical dua
hal yang sangat bermiripan), adalah berbeda dan jauh terpisah sebagaimana
negeri Ch’u dan negeri Yueh).
Namun, dilihat dari sudut pandang “kesamaan”, segala hal itu
satu dan sama.
Sayangnya, mata manusia biasa terpikit
pada gebyar fenomenal Keragaman dan tak bisa mencerap Kesatuan dhasyat yang
melambari keseluruhan itu. Mereka tidak dapat, sebagaimana Chuang-tzu katakan,
“menyatukan objek-objek pengetahuan mereka.”
Satu-satunya sikap tepat yang bisa
kita ambil dalam situasi ini adalah “membiarkan benak kita beristirahat dalam
harmoni kesempurnaan spiritual. Kata “harmoni” (ho) di sini, sebagaimana
dinyatakan oleh Ch’eng Hsuan Ying, menunjukkan fakta bahwa ketika kita
“menyatukan objek-objek pengetahuan kita” dan men-“chaotifikasi” segala
sesuatu, maka benak kita akan merasanakan kedamaian yang sempurna, tidak lagi
terusik oleh “apa yang telinga dan mata kita senangi”; ia juga menunjukkan
fakta bahwa segala hal pada tingkatan ini sama-sama damai, tidak ada
pertentangan-pertentangan “esensial” dan antara mereka. Kita tetap harus tidak
buta terhadap aspek fenomenal Wujud. Chuang-tzu mengatakan; tetapi kita salah
kalau masih terkungkung di alam fenomenal yang sama dan melihat Keragaman
berbagai hal terlepas dari sudut pandang fenomenal. Kita harus melampaui
tingkatan ini, naik menuju tingkatan lebih tinggi,d an dengan memandang ke
bawah dari ketinggian itu perhatikanlah kaleidoskop Keragaman berbagai hal yang
senantiasa berubah itu. Hanya setelah melakukan ini, kita berada dalam posisi
untuk mengetahui realitas Wujud.
Hubungan dinamis antara Kesatuan
mutlak orisinal dan Keragaman fenomenal, yaitu proses yang melaluinya Sang
Mutlak, yang meninggalkan kegelapan metafisiknya, membuat keragaman dirinya ke
dalam banyak hal dari alam fenomenal merupakan sesuatu yang,s ebagaimana telah
saya tunjukkan berkali-kali, menyingkapkan realitasnya hanya kepada benak yang
dalam kondisi ekstasis, atau sebagaimana Chuang-tzu sebut, “keadaan duduk dalam
perikelupaan”. Hal yang paling sulit dipahami oleh benak nonekstasis dalam
status ontologis segenap “esensi”.
Saat Sang Mutlak membagi dirinya
melalui proses perkembangan ontologis menjadi “sepuluh ribnu hal”,
masing-masing dirinya tampak memperoleh “esensi” tertentu. Karena, bagaimanapun
juga, apa makna berbicara tentang “sepuluh ribu hal”, jika mereka tidak dapat
dibedakan satu dengan lainnya? Bagaimana mereka dapat dibedakan satu dengan
lainnya jika mereka tidak memiliki “esensi”?
Ketika kita mengakui A sebagai berbeda
dan dapat dibedakan dari B, apakah pada waktu yangs ama kita tidak mengakui A
sebagai memiliki “esensi” yang berbeda dengan esensi B?
Bagaimanapun, mengikuti sudut pandang
Chuang-tzu, beberapa hal yang diberi “esensi” dan “secara esensial” dapat
dibedakan satu dengan lainnya semata-mata merupakan persoalan penampakan.
Masing-masing dari “sepuluh ribu hal” itu tampak memiliki “esesinya” sendiri
yang secara pasti tidak dapat diubah. Padahal, masing-masing hal itu
semata-mata tampak atau kelihatan memiliki “esensi” semacam itu.
Namun, gambaran kita secara tak
terelakkan diperumit fakta bahwa “esensi’esensi” yang tampak itu pun juga murni
tidak ada. Mereka bukan sekadar hasil-hasil halusinasi. Mereka memiliki status
ontologis yang khas bagi mereka. Secara ontologis, mereka bukanlah isapan
jempol. “Eksistensi” yang mutlak meliputi segala sesuatu bisa mengenakan
bentuk-bentuk tak terbatas lantarana da sejenis landasan ontologis bagi mereka.
Tentu saja kita tak dapat mengatakan bahwa “esensi-esensi” itu mewujud dalam
pengertian lazim dari kata itu. Namun, kita pun tidak dapat mengatakan bahwa
mereka secara mutlak tidak mewujud.
Pada titik ini, sebagaimana kita
ingat, Ibn ‘Arabi memperkenalkan konsep “arketip-arketip permanen” (a’yan
tsabitah) dalam sistem metafisikanya. Dan konsep ini bekerja dengan sangat
mengagumkan. Karena, dengan cara begitu Ibn ‘Arabi secara filosofis berhasil
menyelesaikan kesulitan yang ditimbulkan situasi paradoksial ini.
“Arketip-arketip permanen” adalah prinsip-prinsip metafisik yang bisa “dibilang
tidak mewujud dan tidak juga tidak mewujud”, dan yang melaluinya Eksistensi
Ilahi yang meliputi segala sesuatu berubah ke dalam sekian banyak hal. Hanya
saja, bagi Ibn ‘Arabi, pada dasarnya itu juga bukan merupakan
persoalanfilosofis; melainkan merupakan visi ekstatis.
Chuang-tzu tidak memiliki perangkat
filosofis seperti itu. Dia langsung memilih pemaparan simbolis dari kandungan
visi metafisiknya. Hasilnya, kini kita memiliki apa yangs ecara bulat diakui
sebagai salah satu paparan paling mengagumkan tentang Angin dalam literatur
Cina. Tentu saja, itu bukan sekedar karya kesusastraan. Itu merupakan simbol
filosofis yang Chuang-tzu gunakan untuk tujuan mengekspresikan secara verbal
apa yang secara verbal tidak dapat diekspresikan. Lagi pula, seluruh pasase itu
sangat penting secara filosofis, lantaran, seperti akan kita lihat, ia
merupakan apa yang mungkin kita sebut sebagai “dalil Taois akan esksitensi
Tuhan”.
Bagian awal pasase tersebut murni
bersifat simbolis. Makna filosofis sejatinya paling baik dipahami, saat
membacanya, jika orang mencamkan bahwa Angin Kosmis melambangkan “eksistensi”,
atau Sang Mutlak dalam actus-nya yang serba meliputi, dan bahwa “pori-pori”
pohon yang berlubang melambangkan “esensi-esensi”.
Bumi yang agung bersendawa, dan sendawa itu disebut dengan
angin. Sepanjang sendawa tersebut tidak benar-benar terjadi, tidak ada yang
dapat teramati. Namun, begitu ia terjadi, seluruh lubang pohon menimbulkan
bunyi-bunyi yang keras.
Dengarkanlah! Tidakkah kau mendengar bunyi angin mendesir saat
berhembus dari jauh? Pepohonan di hutan berbukit mulai bergerisik, bergoyang,
dan berayun-ayun, selanjutnya lubang-lubang serta celah-celah pepohonnan besar
yang berukuran kira-kira 100 lengan mulai memunculkan berbagai bunyi.
Ada celah seperti hidung, mulut, telinga; sebagian (luasnya)
seperti potongan-potongan tiang; sebagian (bulat) laksana mangkuk; sebagian lain
laksana lumpang. Sebagian laksana empang yang dalam;s ebagian lain laksana
kubangan yang dangkal. (Bunyi-bunyi yang mereka timbulkan pun jadi beragam) :
sebagian menderu-deru laksana arus deras yang menghancurkan karang; sebagian
berdesis laksana anak-anak panah yang melayang; sebagian menggeram, sebagian
lain seperti terengah-engah, sebagian bersorak, sebagian mengerang. Sebagian
bunyi bersifat dalam dan tersembunyi, sebagian bunyi bersifat sedih dan
berkabung.
Senyampang angin pertama bertiup dengan bunyi dengan desir yang
sangat gaduh. Angin yang sepoi-poi disambut celah-celah dengan bunyi-bunyi
lembut. Angin badai disambut denganbunyi-bunyi kencang.
Bagaimanapun, begitu angin ribut itu telah berlalu, seluruh
celah dan lubang itu pun menjadi kosong dan tidak ebrbunyi. Kau hanya akan
melihat dahan-dahan pohon bergoyang dengan perlahan, dan ranting-ranting lunak
bergerak dengan lembut.
Sebagaimana saya katakan sebelumnya,
semua ini tidak dimaksudkans ebagai sekedar deskripsi kesusastraaan tentang
angin. Tujuan Chuang-tzu yangs esungguhnya terungkap melalui pasase berikut
ini. Tujuan filosofis Chuang-tzu dapat dirumuskan melalui cara berikut.
“Celah-celah” dan “lubang-lubang” pohon menghayalkan bahwa mereka itu mewujud
secara mandiri, bahwa mereka memunculkan semua bebunyian itu. Mereka gagal
memperhatikan bahwa mereka memunculkan
semua bebunyian itu semata-mata akibat dari kerja aktif Angin pada
mereka. Pada hakikatnya, Angin itulah yang menjadikan “celah-celah” itu
bergema.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa
“celah-celah” itu sama sekali tidak maujud. Tentu saja celah-celah itu ada,
tetapi aktualisasi mereka hanya melalui aktivitas positif Angin. Sebagaimana
terbukti, ini merupakan paparan yang sangat cerdas tentang status ontologis
pelbagai “esensi”, yang telah disebutkan terlebih dahulu.
Jelas terbukti bahwa Angi di sini
bukanlah angi fisik biasa. Ia adalah Angin Kosmik yang sangat sesuai dengan
konsep Ibn ‘Arabi tentang sarayan al wujud,s ecara harfiah bermakna “penyebaran
Eksistensi”. Menarik dan sungguh sangat signifikan bahwa Ibn ‘Arabi dan
Chuang-tzu memahami “eksistensi” sebagai sesuatu yang bergerak – “berembus”,
“mengalir”, atau “menyebar”. Menurut mereka berdua, “eksistensi” adalah actus.
(Angin tunggal yang sama) berembus pada sepuluh ribu hal (benda)
melalui beragai cara, dan menjadikan masing-masing celah menghasilkan bunyian
sendiri yang khas, sehingga masing-masing menghayalkan bahwa dirinya sendirilah
yang menghasilkan bunyi khas itu. Padahal, kenyataannya, siapakah yang
menjadikan (celah-celah itu) menghasilkan berbagai bunyi?
Siapakah itu? Untuk memberikan jawaban yang
tepat terhadap pertanyaan genting ini, pertama-tama kita harus menyatakan bahwa
Angin Kosmik tidak memiliki bunyinya sendiri. “Bunyi Langit” (t’ien lai) itu
tanpa bunyi. Apa yang dapat terdengar pada telingan fisik kita hanyalah sepuluh
ribu bunyi yang dihasilkan oleh celah-celah pepohonan. Itu bukanlah bunyi
Langit; melainkan adalah “Bunyi Bumi” (ti lai). Namun, Chuang-tzu bersikukuh, kita
harus mendengar bunyi Langit yang tanpa bunyi di balik masing-masing sepuluh
ribu bunyi Bumi. Bahkan, kita harus menyadari bahwa dalam mendengar bunyi Bumi
kita sebenarnya tidak lain daripada mendengar bunyi Langit. Berbagai bunyi tak
terhingga yang dikeluarkan celah-celah itu tidaklah lebih daripada satu bunyi,
yaitu bunyi Langit yang mutlak.
Harus dicatat bahwa pertanyaan yang
sama persis : “Siapakah itu?” bisa dan mesti ditanyakan dari apa yang bisa
diamati dalam wilayah “interior” diri kita sendiri. Persis sebagaimana celah
pepohonan memunculkan beragam bunyi karena Angin yang berhembus pada mereka,
wilayah “interior” manusia berada dalam guncangan konstan. Siapa ayang
menyebabkan segala guncangan ini? Itulah pertanyaan utama. Apakah benak manusia
itu sendiri yang bertanggung jawab membuatnya? Ataukah rangsangan-rangsangan
eksternal yang menjadi penyebabnya? Chuang-tzu menjawab, tidak. Tetapi, marilah
pertama-tama kita melihat bagaimana dia melukiskan “celah” inti yang tiada
henti menghasilkan pelbagai kebisingan dan bunyi.
Bahkan, sewaktut tertidur, jiwa manusia (tersiksa) karena
berhubungan dengan berbagai hal (dalam mimpi). Ketika terjaga, fungsi-fungsi
jasmani mulai kembali aktif; mereka bergelut dengan hal-hal eksternal, serta
segala jenis pikiran dan emosi muncul di dalamnya. Ini semua mendorong mereka
setiap hari untuk menggunakan benak dalam berselisih denga pihak lain. Sebagian benak nganggur dan
hampa. Sebagian benak ganjil. Sebagian benak cermat. Orang yang memiliki
ketakutan-ketakutan remeh itu menjadi gugup; orang yang terserang oleh
ketakutan-ketakutan besar itu menjadi tolol.
Cara mereka berargumen tentang kebenaran dan kesalahan pelbagai
perkara mengingatkan kita akan orang-orang yang menembakkan anak-anak panah dan
peluru (yakni, mereka sangat cepat dan gesit). Mereka berusaha keras meraih
kemenangan (dalam perdebatan) seolah-olah merek telah bersumpah di hadapan para
Dewa. Cara mereka terus menggunakan (energi mental mereka) dari hari ke hari
mengingatkan kita akan (daun-daun pepohonan) yang layu di musim gugur dan musim
dingin.
Mereka telah melangkah begitu jauh ke dalam angan-angan dan
khayalan sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk kembali. Cara mereka
jatuh semakin jauh ke dalam kegilaan seiring pertambahan usia mengingatkan kita
akan benak yang benar-benar terpasung dengan jeratan-jeratan (syahwat). Maka,
manakala benak mereka mendekati kematian, tak ada jalan untuk mengembalikan
mereka pada kecerahan masa muda.
Sesungguhnya (lintasan-lintasan benak manusia sangatlah beragam,
seperti bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh celah-celah pepohonan) : kegembiraan,
kemarahan, kesedihan, dan kebahagiaan! Kadang-kadang mereka cemas akan masa
mendatang; kadang-kadang mereka dengan sia-sia meratapi masa lalu yang tak
dapat diraih kembali. Kadang-kadang mereka plin-plan, kadang-kadang mereka
tegar. Kadang-kadang mereka merayu, kadang-kadang mereka angkuh. Kadang-kadang
mereka tulus, kadang-kadang mereka berpura-pura.
Mereka mengingatkan kita akan segala jenis bunyi yang berasal
dari lubang-lubang kosong (dari seruling), atau cendawan-cenawan yang muncul
dari kelembaban. Siang dan malam, perubhan-perubahan ini tidak pernah berhenti
untuk saling menggantikan di depan mata kita.
Dari mana (perubahan-perubahan tiada henti) ini berasal? Tidak
ada yang tahu asal-usul semua perubahan ini. Adalah mustahil untuk mengetahui,
sangat mustahil! Namun, itu semua merupakan fakta yang tak dapat diingkari,
bahwa pagi dan sore hal-hal ini benar-benar terjadi (pada diri kita). Ya, fakta
bahwa mereka terjadi (pada diri kita) sebenarnya bermakna bahwa kita sedang
hidup.
Setelah melukiskan melalui cara ini
serangkaian peristiwa psikologis tiada akhir yang secara aktual berlangsung
dalam benak kita siang dan malam itu, Chuang-tzu selanjutnya menafsrkan
fenomena yang membingungkan ini. Apa yang menjadi penyebab sejati dan utama
dari semua ini? Dia bertanya kepada dirinya sendiri apakah penyebab utama semua
hiruk pikuk psikologis ini adalah “ego” kita. Dengan megnatakan bahwa “ego”
merupakan penyebab semua ini tidak lain kecuali berarti mengakui – secara tidak
langsung – bahwa segenap rangsangan eksternal merupakan penyebab pergerakan
psikologis kita. Dia melukiskan hubungan antara rangsangan-rangsangan eksternal
dan keadaan-keadaan benak kita yang berubah-ubah ini dalam kerangka hubungan
antara “itu” (yakni, objek-objek) dan “ego”.
Tanpa “itu”, maka tidak akan ada “ego”. Tanpa “ego”, maka “itu”
tidak akan bertahan kuat. (Jadi, “ego” kita, yakni, keseluruhan fenomena
psikologis kita, tampaknya berhutang eksistensi pada rangsangan-rangsangan
eksternal tersebut). pandangan ini rupanya mendekati kebenaran. Hanya saja,
pertanyaan tentang apa yangs esungguhnya menjadikan (benak kita) bergerak
seperti itu tetap tak terjawab.
Chuang-tzu mengakui bahwa
rangsangan-rangsangan eksternal memang menimbulkan kekisruhan dalam benak kita.
Bagaimanapun, pandangan semacam itu tidaklah menukik pada pokok persoalabn.
Orang-orang yang membayangkan bahwa pandangan ini benar-benar mampu menjelaskan
perubahan-perubahan psikologis yang berlangsung pada diri kita dapt dibanding
dengan “lubag-lubang” dan “celah-celah” pepohonan yang secara naif membayangkan
bahwa merekalah yang menghasilkan bunyi-bunyi yang mereka keluarkan, tanpa
memerhatikan aktivitas Angin.
Di luar rangsangan-rangsangan yang
ebrasal dari objek-objek eksternal tersebut, ada Sesuatu yang menjadi penyebab
utama. Sesuatu yang menyebabkan objek-objek eksternal memengaruhi benak kita
dan dengan demikian menyebabkan benak kita tersulut. Di luar dan di balik
seluruh fenomena ini agaknya ada Pelaku sejati yang menggerakkan dan mengendalikan
seluruh gerakan dan peristiwa dalam benak kita, sebagaimana Angin berada di
balik segala bunyi yang dihasilkan lewat “celah-celah” pepohonan tersebut.
Tetapi, sebagaimana Angin itu tidak
dapat dilihat dan tidak dapat di rasakan, demikian pula Pelaku ini tidak dapat
diketahui dan tidak terlihat. Sebagaimana kita dapat merasakan adanya Angin –
walaupun tidak dapat dilihat – melalui aktivitasnya, maka kita pun dapat
merasakan adanya Agen tersebut melalui actus-Nya.
Rupa-rupanya memang ada Penguasa yang sesungguhnya. Mustahil
bagi kita untuk melihat-Nya dalam bentuk konkret. Dia beraksi – tidak ada
keraguan mengenainya; namun kita tidak dapat melihat bentuk-Nya. dia
menunjukkan aktivitas-Nya, namun Dia tidak memiliki bentuk yang bisa diindra.
Adalah sangat penting secara filosofis
bagi Chuang-tzu untuk menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam aspek pribadinya,
yakni, sebagai Pelaku mutlak, hanya bisa kita jangkau sebagai actus. Sang
Mutlak dalam hal ini adalah actus; bukan “sesuatu (benda)”. Tanpa memiliki
bentuk yang indrawi, maksudnya, tanpa menjadi “sesuatu” ia tidak pernah
berhenti memanifestasikan aktivitasnya. Kita hanya dapat menelusuri jejaknya,
di mana-mana, dalam segala sesuatu. Namun, kita tidak pernah dapat melihat
bentuknya karena ia tidak memiliki bentuk dan karena ia bukan “sesuatu
(benda)”. Namun, benak manusia secara fitri adalah “esensialis”. Benak manusia
menganggapnya sangat sulit, untuk tidak menyebut sama sekali mustahil, untuk
menjabarkan apa pun kecuali dalam bentuk “sesuatu (benda)”. Benak manusia tidak mampu, kecuali dalam
kasus-kasus yangs angat jarang, mengonsepsi sesuatu sebagai Bukan Sesuatu.
Konsepsi Sang Mutlak sebagai Sesuatu yang Bukan sesuatu bagi benak awam secara
sederhana adalah paradoks yang tidak dapat di toleransi, jika bukan merupakan
isapan jempol belaka.
Untuk menjadikan paradoks metafisik
ini sedikit lebih dapat diterima Chuang-tzu membanding situasi ini dengan
fungsi anggota dan organ tubuh yang rumit, seluruh mekanismenya diatur dan
dikendalikan “sesuatu” yang tidak dapat dilihat jiwa.
Seratus tulang sendir, sembilan lubang, enam jeroan – semua itu
membentuk tubuh manusia. Nah, dari semua ini, bagian mana yang harus paling
kita hormati (masudnya, bagian mana yang harus kita anggap sebagai Penguasa
tubuh)? Apakah kau menghormati (sebagai Penguasa) semua itu secara setara?
(Tidak, itu mustahil). Lantas, apakah kau lebih menyukai salah satu darinya
sebagai milikmu secara khusus? (Tidak, itu juga mustahil). Namun, jika tidak
(maksudnya, jika bukan semua itu dan bukan salah satunya secara khusus
menempati posisi sebagai penguasa tubuh), apakah persoalannya bahwa semua itu
sekadar pelayan dan pembantu? (Jika mereka semua merupakan pelayan dan
pembantu), bagaimana negeri (maksudnya, tubuh) dapat berada dalam keteraturan?
Araukah apa persoalannya bahwa mereka berkuasa dan dikuasai, menempati posisi
Penguasa dan bawahan secara bergilir?
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka
semua). Entah manusia mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini,
realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh (pengetahuan) tersebut; tidak
bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka
semua). Entah manusia mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini,
realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh (pengetahuan) tersebut; tidak
bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Penguasa sejati dalam hal ini adalah
jiwa yang bentuk konkretnya tidak diketahui siapa pun. Tetapi, tentu saja, ia
dikemukakan di sini sebagai suatu citraan yang dapat menjelaskan hubungan
antara Sang Mutlak dan segala peristiwa serta fenomena alam Wujud. Sebagimana
organ-organ dan anggota-anggota tubuh di bawah dominasi jiwa yang tak dapat
dilihat itu, demikian pula semua yang mewujud dan berlangsung di alam berada
dalam dominasi Penguasa yang tidak dikenal dan tidak dapat diketahui.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya,
sangat signifikan bahwa Chuang-tzu di sini memperkenalkan “Penguasa hakiki”
alam sebagai actus. Tidak ada orang yang dapat melihat Sang Mutlak itu sendiri
sebagai “sesuatu” yang mewujud, namun tidak seorang pun yang dapat mengingkari
kehadiran actus-nya. dan bahwa actus itu secara filosofis tidak lain tidak
bukan adalah Eksistensi.
Kita juga harus memerhatikan bahwa
actus Sang Mutlak yang , pada pasase sebelumnya, diperikan sebagai Angin
Kosmik, yaitu kekuatan kosmik, di sini diperkenalkan sebagai sesuatu yang
personal – Tuhan. Dalam pandangan dunia
Chuang-tzu, Sang Mutlak atau Jalan memiliki dua aspek berbeda, yaitu kosmik dan
personal. Dalam aspek kosmiknya, Sang Mutlak adalah Alam, suatu energi vital
Wujud yang meliputi segala sesuatu dan menjadikan segala sesuatu itu mewujud,
tumbuh, membusuk, dan pada akhirnya mengembalikan mereka menuju sumber semula,
sedangkan pada aspek personalnya Ia adalah Tuhan, Pencipta Langit dan Bumi,
Tuhan segala sesuatu dan segala peristiwa. Sebagai serangkaian konsepsi dan
reprentasi, keduanya benar-benar berbeda satu dengan lainnya, tapi dalam
kenyataannya keduanya sama-sama secara tepat menunjuk pada sesuatu yang tunggal
dan sama. Perbedaan antara Alam dan Tuhan hanyalah sudut pandang, atau cara
benak manusia mengonsepsi Sang Mutlak yang pada dirinya sendiri adalah
benar-benar tidak bisa dikenal dan diketahui. Ihwal misteri metafisik
utama ini kita akan berusaha untuk membahasnya lebih rinci pada bab berikut.
7.
J A L A N (TAO)
Sampai di sini kita telah menapak tilas Chuang-tzu
yang berusaha menganalisis proses penyingkapan visi tentang Sang Mutlak kepada Manusia
Sempurna Taois, yang membuka jendela baru ihwal keseluruhan alam Wujud dalam
benaknya yang benar-benar berbeda dari, dan sangat bertentangan dengan, apa
yang dipahami oleh akal sehat khalayak awam. Berkenaan hal itu, kita
telah mengabaikan Lou-tzu kecuali pada beberapa tempat. Kita juga tidak
menganalisis secara sistimatis pemikiran filosof yang terungkap dalam Tao Te
Ching. Kita telah mengambil jalan ini karena beberapa alasan. Yang terpenting
bahwa Chuang-tzu, sebagaimana telah saya katakan berkali-kali, sangat tertarik
menjabarkan segi epistemologis masalah Tao, sedangkan Lou-tzu hanya tertarik mendedahkan hasil pengalaman
tentang Sang Mutlak, yaitu apa yang mengiringi dan diakibatkan oleh pengalaman
itu.
Kitatelah menyimak pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu menyodorkan
analisis teoritis yang rinci ihwal proses perkembangan bertahap benak manusia
menyongsong kesempurnaan taois. Dia berusaha memberikan paparan akurat tentang
ragam pengalaman metafisik dan spirutual Taois yang melaluinya manusia “naik”
menuju Sang Mutlak hingga dia menjadi benar-benar menyatu dengan-Nya. tentunya,
Chuang-tzu juga tertarik pada gerakan
“menurun” benak, dari tingkat ekstatis kembali ke tingkat kesadaran
sehari-hari, yakni, dari tingkatan Kesatuan mutlak kembali ke keragaman
“esensial”. Kendatipun begitu, uraiannya tentang proses Turun itu bersifat
epistemologis sekaligus ontologis. Maksudnya, penjelasannya dibuat sedemikian
rupa sehingga untuk setiap tingkatan obejktif Wujud terdapat padanannya dalam
tingkatan subjektif pengalaman spiritual, sampai-sampai sistem ontologis, dalam
kasus Chuang-tzu, pada saat yang bersamaan merupakan sistem epistemologis yang
sempurna, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, ciri khas Chuang-tzu yang
meleburkan kedua aspek bersama-sama sehinga kadang-kadang sulit bagi kita untuk
menentukan apakah pasase tertentu itu diajukan sebagai pemerian sisi subjektif
ataukah sisi objektif struktur ontologis segala sesuatu. “Duduk dalam
perikelupaan” merupakan contoh dari apa yang dimaksud.
Sebaliknya, Lou-tzu agaknya tidak terlalu tertarik dengan tahap-tahap
bersifat pengalaman (experiantial) yang mendahului visi puncak tentang Sang
Mutlak. Dia tidak mau susah-susah menjelaskan bagaimana dan melalui proses apa
kita dapat memperoleh visi tentang Sang Mutlak. Dia tampaknya lebih tertarik
pada pertanyaan-pertanyaan seputar : (1) Apa itu Sang Mutlak, yaknim Jalan?;
dan (2) Bagaimana seorang “manusia suci” diharapkan berperilaku dalam situasi
dan kondisi umum kehidupan sosial berdasarkan visinya tentang Jalan?
Sejak awal dia mengungkapkan kata-katanya atas nama Sang Mutlak,s ebagai
wakil orang-orang yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam hal
kesempurnaan Taois. Di balik halaman-halaman Tao Te Ching, kita merasakan
kehadiran seorang manusia yang telah mengalami penyatuan sempurna dengan Sang
Mutlak, yang , karenanya mengetahui apa itu Sang Mutlak.
Sekonyong-konyong Lou-tzu langsung berbicara tentang Jalan. Dia mencoba
menyampaikan kepada kita pengetahuan personalnya ihwal Sang Mutlak, dan –
begitulah yang tertangkap oleh pemahaman akal sehat – pandangannya yang aneh
tentang alam semesta. Seandainya bukan karena Chuang-tzu, kita hampir tidak
mampu mengetahui secara pasti latabelakang eksperiensial seperti apakah yang
dimiliki pandangan luarbiasa tentang dunia ini sebagai “prasejarah” yang tidak
terucapkan. Itulah sebabnya kita hingga kini secara sadar telah menahan diri
untuk tidak beralih menganalisa pemikiran Lou-tzu secara sistimatis, dan
membatasi diri pada tuga mengklarifikasi “prasejarah” ini dalam sorotan
perkataan Chuang-tzu mengenainya.
Namun demikian, situasi khas yang baru saja kita sebutkan menyangkut sikap
dasar Lou-tzu rupa-rupanya menunjukkan bahwa Tao Te Ching adalah pilihan
terbaik untuk kita jadikan sandaran, bila kita memang ingin memperoleh
pemahaman jernih ihwal konsepsi Taois mengenai Sang Mutlak, realitas dan
perbuatan-Nya. seperti yang akan segera kita ketahui, Sang Mutlak yang
dikonsepsi oleh Lou-tzu dan Chuang-tzu pastinya, berada di luar segala pemerian
verbal. Meski begitu, Lou-tzu telah berjuang untuk memerikan, paling tidak
secara simbolis, Sesuatu yang tak terkatakan ini. Dan dia berhasil dengan
mengagumkan. Faktanya, Tao Te Ching adalah karya yang luar biasa dalam upayanya
mengjangkau sebisa mungkin Sang Mutlak yang pada dasarnya tidak dapat
dijabarkan itu. Itulah mengapa kita akan sangat membutuhkan bahasan bab ini
untuk memperjelas struktur metafisik Sang Mutlak.
Namun demikian, kitta harus menyatakan, bahwa lagi-lagi di sini Lou-tzu
tidak menerangkan bagaimana dan mengapa Sang
Mutlak itu tidak dapat dijabarkan dan diperikan. Dia hanya menyatakan bahwa
Jalan itu “tidak memiliki nama”, “tidak berbentuk”, tidak tercitrakan”, “tidak
terlihat”, “tidak terdengar”, dan sebagainya. Alhasil, Jalan itu “tiada”
(wu wu) atau Tiada (wu). Berkenaan dengan proses psikologis atau logis yang
dengannya seseorang mencapai kesimpulan ini, dia tidak mengatakan sesuatu yang
positif. Proses ini diperjelas secara menarik oleh Chuang-tzu dalam pasase yang
memberikan kesaksian ampuh sebagai seorang pakar dialektika ulung. Marilah kita
mulai dengan membaca pasase yang dimaksud sebagai suatu pengantar teoritis yang
mencerahkan kepada konsepsi Lou-tzu tentang Sang Mutlak.
Chuang-tzu sangat menyadari fakta abahwa Jalan, atau Sang Mutlak dalam
kemutlakannya, menolak segala verbalisasi dan penalaran; yaitu, jika
diposisikan pada tataran bahasa, maka Jalan akan serta merta dan suka tidak
suka berubah menjadi sebuah konsep. Sebagai sebuah konsep, tentu saja Sang
Mutlak berada dalam tingkatan yang sama dengan konsep lainnya. Dia melakukan
amatan ini sebagai titik awal argumentasinya. Dia mengatakan bahwa manusia
membuat perbedaan antara “benar” dan “salah” dalam segala hal dan kemudian
menganggap adanya perbedaan fundamental antara “benar” dan “salah. Sebaliknya,
Chuang-tzu mengemukakan tesis bahwa tidak ada perbedaan antara “benar” dan
“salah”. Dalam hal ini, khalayak awam dan Chuang-tzu bertentangan satu sama
lain secara diametris. Namun, Chuang-tzu menimpali, sebagai sebuah proposisi
logika, “tidak ada perbedaan antara benar dan salah” tidaklah kurang nalar
(logos), daripada proposisi sebaliknya : “ada perbedaan antara benar dan salah.
Dalam hal ini, keduanya merupakan satu kategori yang sama.
Dalam kenyataannya, dua proposisi itu menunjukkan pada dua tataran wacana
(level discourse) yang sepenuhnya berbeda. Perbedaan itu, sebagaimana telah
kita ketahui, hanya muncul ketika seseorang menyadari bahwa pernyataan positif
merupakan pernyataan yang khas pada tataran wacana empiris, sedangkan
pernyataan negatif sejak awal ditujukan untuk mewakili “pengacauan”
(chaotification) ontologis yang dialami oleh Manusia Sempurna pada saat-saat
penyatuan ekstatiknya dengan Sang Mutlak. Sebagai sebuah ungkapan pengalaman
yang orisinal, pernyataan itu bukanlah merupakan proposisi logika kecuali pada
bentuk luarnya saja. tetapi, selama pernyataan itu memiliki bentuk logika
(logica form), maka ia merupakan proposisi logika (logical proppsition); dan
dengan sendirinya, ia tidak tepat mewakili pengalaman unik tentang “pengacauan”
, karena ia adalah kontradiksi proposisi : “ada perbedaan antara benar dan
salah”. Jika demikian, adalah sikap lain yang dapat kita ambil ketimbang
sekadar mempertahankan sikap diam seribu bahasa? Menurutnya, “Terlepas dari
itu, saya tetap berani membahas persoalan itu (pada tataran logika atau
konseptual)”. Dengan pernyataan-pernyataan pendahuluan ini, dia telah mulai
mengembangkan sebuah argumen yang sangat menarik dengan cara berikut.
Singkatnya, argumen itu menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam kemutlakan aslinya
secara konseptual merupakan negasi-terhadap-negasi-suatu-negasi )negation
of-negation-of-negation), yakni, negasi Sang Mutlak sebagai Tiada yang,
lagi-lagi, merupakan negasi Ada (the negation of the absolutes being Nothing
wich, again, is the negation of Being). Dan itulah batas terjauh yang dapat
dijangkau pemikiran logis kita dalam upaya pamungkas memahami Sang Mutlak pada
tataran konsep-konsep.
Kita telah melihat bahwa pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu, dalam
menjabarkan tahap-tahap perkembangan spiritual “duduk dalam perikelupaan”,
menyebutkan pandangan bahwa “tiada yang mewujud sejak semula” sebagai batas
terakhir kognisi ekstatis.
Apa batas terakhir Pengetahuan? Ia adalah tahapan yang
direpresentasikan oleh pandangan bahwa tiada yang mewujud sejak semula. Inilah
batas terakhir (Pengetahuan), dan tak ada lagi yang dapat ditambahkan.
“Tiada yang mewujud sejak semula”, yang tercantum dalam kutipan ini merupakan kalimat-kunci untuk memahami
dengan benar pasase yang akan segera kita baca. Penting untuk dicamkan bahwa
dalam pasase yang akan segera kita cermati ini kita tidak lagi berhubungan
dengan permasalahan epistemologis menyangkut batas akhir kognisi manusia.
Persoalan kita di sini murni merupakan persoalan metafisik. Karena itu berkaitan
dengan asal mula Wujud, atau tentang Alam Semesta. “Asal mula” yang sedang kita
perbincangkan di sini bermakna titik permulaan alam Wujud. Setiap kali kita
berpikir secara logis ihwal pembentukan alam Wujud, kita mesti mempradugakan
sebuah “permulaan”. Nalar kita tidak dapat memahami alam Wujud tanpa
membayangkan titik di mana alam itu “mulai” mewujud.
Karena itu, kita mempradugakan “Permulaan”. (Namun, saat
kita mempradugakan “Permulaan”, Nalar kita mau tidak mau melangkah jauh kembali
dan ) mengakui gagasan bahwa tidak pernah ada Permulaan. (Maka, konsep tidak
pernah ada Permulaan niscaya terkukuhkan. Namun, saat kita mempradugakan tidak
pernah ada permulaan, pemikiran logis kita melangkah jauh kembali dengan
mengingkari gagasan yang baru saja terkukuhkan, dan ) mengakui gagasan tidak
pernah ada “tidak pernah ada Permulaan”. (Maka, konsep “tidak ada-tidak pernah
ada-Permulaan” terkukuhkan).
Konsep tentang Permulaan, yaitu, titik awal keseluruhan alam Wujud,
hanyalah sebuah konsep yang relatif.s ecara konseptual ia bisa lebih jauh
didorong kembali dan kembali lagi. Hanya saja,
tak peduli seberapa jauh ktia dapat mendorongnya ke belakang, proses
konseptual ini tidak mencapai titik akhir. Untuk benar-benar mengakhiri proses
ini kita harus memukulnya telak dengan jalan mengingkari Permulaan itu sendiri.
Hasilnya, konsep tentang tidak-pernah-ada-Permulaan diperoleh.
Namun, konsep tentang Tiada-Permulaan, lagi-lagi, adalah konsep yang
bersifat relatif, karena ia merupakan konsep yang hanya bertahan dengan jalan dipertentangkan
dengan konsep terntang Permulaan. Untuk menghilangkan relativitas ini dan
mencapai Tiada-Permulaan yang mutlak, kita harus melampaui (konsep)
Tiada-Permulaan itu sendiri dengan jalan menegasikannya dan menegaskan (konsep)
Tidak ada Tiada-Permulaan. Namun, tidak ada Tiada-Permulaan – yang mesti
diartikulasikan sebagai Tidak ada-(Tiada-Permulaan) – adalah konsep yang
signifikansi sejatinya tersingkapkan hanya bagi orang-orang yang mampu
memahaminya sebagai penanda hal-ihwal metafisik yang mesti dicerap oleh sejenis
intuisi metafisik. Hal ini tampaknya mengisyaratkan bahwa Tidak ada
Tiada-Permulaan, walaupun merupakan sesuatu yang telah dipradugakan oleh Nalar,
berada di luar tangkapan seluruh penalaran logis.
Dengan cara yang sama, (kita mulai dengan memerhatikan
fakta bahwa) Wujud itu ada. (Tetapi, saat kita mengakui Wujud, Nalar kita
kembali jauh ke belakang dan mengakui bahwa) ada Non-Wujud (atau Tiada). (Begitu kita
mempradugakan Non-Wujud, maka mau tidak mau kita kembali jauh ke balang dan
mengakui bahwa (tidak ada Non-Wujud itu sejak awal. (Ketika konsep Tidak ada
(Non-Wujud) dikukuhkan dengan cara ini, Nalar melangkah lebih jauh dan belakang
dan mengakui bahwa) tidak ada yang dinamakan “tidak ada-Non-Wujud” (yakni,
penafian atas penafian terhadap Non-Wujud, atau Tidak ada-(Tidak
ada-Non-Wujud).
Konsep Tidak ada [Tidak ada-Non-Wujud) atau Tidak ada-Tidak ada-Tiada ini
mewakili tahap logika paling ujung yang dicapai dengan menafikan – yaitu,
melampaui – penafian pertentangan Wujud dan Non-Wujud. Inilah imbangan logis
dan konseptual dari Jalan atau Tiada menafikan yang bukan sekedar “tiada”,
melainkan Tiada transenden yang terdapat di balik “wujud” dan “non-wujud”
sebagaimana yang bisa dipahami.
Jadi, tampaknya kita telah berhasil mengkonseptualisasikan Jalan sebagai
Tiada yang transenden secara mutlak. Namun, apakah Sang Mutlak yang
terkonseptualisasikan itu secara cermat mencerminkan hakikat Sang Mutlak?
Sekaitan dengan pertanyaan itu, kita tidak dapat mengatakan Ya maupun Tidak.
Sebagaimana halnya dengan konsep Tidak ada-Tiada-Permulaan, kita harus
menyatakan bahwa konsep Tidak ada-Tidak ada-Tiada sejalan de-ngan realitas
tentang Sang Mutlak hanya apabila kita, dalam memahaminya, melampaui ranah
pemikiran logis itu sendiri menuju konsep tentang intuisi ekstatis atau mistis.
Namun, apabila kita melakukan hal itu, konsep tentang Tidak ada-Tidak ada-Tiada
akan segera berhenti sebagai konsep. Dan kita akan berakhir dengan menyadari
bahwa seluruh penalaran logis yang ada pada kenyatannya muspra dan sia-sia.
Sebaiknya, jika kita menolak melampaui tingkat penalaran maka konsep Tidak-ada
– Tidak-ada-tiada akan selamanya menjadi konsep kosong yang tidak memiliki
seluruh makna positif dan, karenanya, tidak berada tepat menjelaskan hakikat
Sang Mutlak. Maka itu, bagaimanapun, tindakan konseptualisasi benak terbukti
gagal memahami Sang Mutlak sebagaimana adanya.
(Apabila Nalar mulai aktif), secara tak terduga kita akan
menemukan diri kita berhadapan dengan “wujud” dan “nonwujud”. (Namun, karena
semua ini merupakan konsep-konsep relatif dalam pengertian bahwa “wujud” pada
tahap ini berubah menjadi “nonwujud” pada tahap berikutnya, dan begitulah
seterusnya), kita tidak pernah dapt
mengetahui secara pasti mana yang benar-benar “wujud” dan mana yang benar-benar
“nonwujud”. Kini saya baru saja menetapkan sesuatu (yang tampaknya) memiliki
makna, (yakni, saya telah menetapkan Sang Mutlak sebagai Tidak ada-tidak-ada
tiada). Namun, saya tidak tahu apakah saya sesungguhnya telah menetapkan
sesuatu yang memiliki makna ataukah apa yang telah saya tetapkan itu,
ujung-ujungnya, tidak memilki makna apa pun.
Pada titik ini, Chuang-tzu tiba-tiba mengubah arah pemikirannya dan mencoba
pendekatan lain. Kali ini dia beralih kepada aspek Kesatuan yang, sebagaimana
kita telah lihat sebelumnya, merupakan salah satu ciri Sang Mutlak yang sangat
menonjol. Namun, sebelum membahas persoalan itu berdasar penalaran logis, dia
mengingatkan kita secara hati-hati tentang apa yang dipahami melalui pernyataan
bahwa Sang Mutlak itu “satu”. Dia mengatakan bahwa Sang Mutlak itu “satu”
sebagai sebuah Coincidentia oppositorium. Kita telah menguji pada Bab 4
pendapat Chuang-tzu mengenai persoalan ini. Istilah utamanya adalah
“penyetaraan” segala sesuatu dalam Sang Mutlak.
Jalan atau Sang Mutlak, menurut Chuang-tzu, merupakan keadaan metafisik
Penyetaraan Langit/Surgawi (Heavenly Equalization), maksudnya, Sang Mutlak
“setara” dengan segala pertentangan dan kontradiksi. Pada tahap ini, sesuatu
yang terkecil pada waktu yang sama adalah yang terbesar, dan satu momen adalah
keabadian.
(Keadaan Penyetaraan
Surgawi menolak akal sehat dan nalar, lantaran kita mengakui pada tahap ini
bahwa) tidak ada alam yang lebih besar daripada ujung rambut seekor hewan di
musim gugur, sementara Gunung T’ai (yang biasanya disebutkan sebagai
perumpamaan sesuatu yang sangat besar) dianggap sangat kecil. Tidak ada orang
yang hidup lebih lama daripada bayi yang belum berumur, sementara P’eng Tsi
(yang konon hidup 800 tahun) dianggap telah mati muda. Langit dan Bumi berlangsung
dalam waktu yang sama seperti saya (yakni, kelangsungan abadi Langit dan Bumi
sama saja dengan kelangsungan sesaat dari eksistensiku di dunia ini). Dan
sepuluh ribu hal sama persis dengan diriku sendiri.
Dengan demikian, dari sisi Penyetaraan Surgawi, segala sesuatu menjadi
tereduksi dalam kesatuan tunggal dalam kerangka ruang dan waktu. Bagaimana
penalaran logis memahami Kesatuan mutlak seperti itu? Itulah pertanyaan yang
sedang kita hadapi sekarang.
Segala sesuatu (pada
tahap ini) secara mutlak adalah “Satu”. Namun, jika begitu, bagaimana mungkin
kita mengatakan sesuatu? (Yakni, karena segala sesuatu secara mutlak adalah
“satu”, maka tidak ada lagi suatu apa pun yang berbeda dengan sesuatu lain. Dan
karena tidak ada lagi perbedaan, maka tidak ada artinya bahkan untuk mengatakan
: “satu”).
(Hanya saja, dalam
rangka bernalar, saya harus mempradugakan sesuatu). Maka itu, saya katakan :
“Satu”. Namun, bagaimana saya dapat menilai bahwa (ia tunggal) atau mereka
(jamak) adalah “satu” tanpa secara eksplisit mempradugakan istilah (yakni,
kata-kata atau konsep : “satu”? Bagaimanapun, (saat saya mempradugakan istilah
“satu”), “Satu” yang asli (yakni Satu mutlak yang merupakan suatu coincidentia
oppositorium) dan istilah (atau konsep tentang) “satu” niscaya menjadi “dua”.
(Hal ini mungkin bermakana bahwa penalaran
paling sedikir saja sudah menjadikan Satu asli itu membelah dirinya
sendiri menjadi Dua dan dengan demikian memunculkan dualisme.).
Selanjutnya “dua” ini
(yakni, penilaian tentang istilah dua : “Jalan itu Satu”) beserta “satu”
(maksudnya, Satu mutlak yang mendahului semua penilaian) menjadi “tiga”.
Dari titik ini proses
itu akan berlangsung tanpa ujung, sedemikian sehingga pakar matematika yang
berbakat pun tidak akan mampu menghapus angka, apalagi orang biasa.
Dengan cara ini, jika
perpindahan dari Non-Wujud ke Wujud secara tak terelakan membawa kita (paling
sedikit) pada “tiga”, maka di manakah kita akan berakhir jika berpindah dari
Wujud ke Wujud (yakni, jika, alih-alih memulai dari Satu yang mutlak, kita
mengambil sudut pandang relativis yang mengejar berbagai hal individual yang
terus mengalami keragaman tiada henti? Lebih baik kita tidak melakukan
perpindahanapa pun (yakni, lebih baik tidak menggunakan penalaran mengenai Sang
Mutlak dan berbagai hal). Biarlah kita memuaskan diri kita dengan mengiyakan
saja (yang melampaui segala pertentangan dan kontradiksi, serta membiarkan
segala sesuatu sebagaimana adanya)!
Karena itu, setelah mengembangkan penalaran panjang-lebar tentang sifat
Sang Mutlak, Chuang-tzu, secara cukup ironis, berakhir dengan menegaskan bahwa
penalaran itu sia-sia. Dia menghimbau kita untuk meninggalkan segala pemikiran
logis tentang Sang Mutlak dan tetap menyelamis ecara ekstatis Pengetahuan
intuitif mutlak. Karena, hanya dengan menjalankan hal itu kita dapat berharap
untuk tetap berada dalam hubungan langsung dengan Sang Mutlak.
Dengan demikian, tahap
tertinggi Pengetahuan adalah tetap tak bergeming terhadap apa yang pasti tidak
dapat diketahui (oleh penalaran). Adakah orang yang mengetahui Kata yang bukan
lagi sebuah “kata”? Adakah roang yang mengetahui Jalan itu yang bahkan bukan
sebuah “Jalan”? Jika ada orang yang mengetahui hal demikian, maka dia pantas
dinamakan “Bendaharawan Surga” (Yakni, orang yang memiliki kunci gudang perbendaharaan
tak terbatas tentang Wujud. Tidak hanya itu, dia sama seperti “perbendaharaan”
itu sendiri). (Perbendaharaan Surga yang dengannya orang ini telah serupa
dan menyatu ibarat samudra tak bertepi);
tidak jadi masalah seberapa banyak kau menuangkan air ke dalamnya, samudra itu
tidak akan pernah menjadi penuh; dan tidak jadi masalah seberapa banyak kau
mengambil air darinya, samudra itu tidak akan pernah kering. Tidak ada orang
yang tahu bagaimana dan darimana segala sesuatu (tak terbatas) ini mewujud.
Itulah Pengetahuan
yang dimiliki orang seperti itu yang secara tepat bisa disebut “Cahaya yang
terhalang”.
Jadi, dengan mengikuti argumen Chuang-tzu selangkah demi selangkah kita
telah diarahkan menuju konklusi bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam realitas
puncaknya melampaui seluruh penalaran dan konseptualisasi. Konklusi ini
membentuk titik awal pemikiran metafisik Lou-tzu. Sebagaimana telah nyatakan
pada permulaan bab ini, Lou-tzu enggan bersusah-susah menjelaskan proses logika
atau proses epistemologis yang mendasari sistem metafisikanya. Namun, kita kini
berada dalam posisi untuk memahami latarbelakang metafisika ini.
Sudah sewajarnya, metafisika Lou-tzu berawal dengan menyebutkan beberapa
sifat negatif dari Jalan, pada mulanya, “tanpa nama”.
Jalan dalam realitas mutlaknya (ch’ang) tidak memiliki
nama.
Terpilin panjang seperti benang, tidak ada nama yang
dapat diberikan untuknya.
Jalan itu tersembunyi dan tanpa nama.
Jalan yang “tanpa nama” itu bermakna bahwa sebutan “Jalan” tidak lain
daripada pengganti sementara. Lou-tzu secara kasar menyebutnya “Jalan” lantaran
tanpa memberinya suatu nama dia pun tidak dapat merujuk padanya. Fakta ini
benar-benar terindikasidari kalimat pembuka yang sangat populer dalam Tao Te
Ching.
“Jalan” yang dapat ditandai dengan kata “Jalan” bukanlah
jalan sesungguhnya.
“Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah
Nama sesungguhnya.
Adalah menarik dan penting untuk dinyatakan bahwa pasase ini, di samping
merupakan pertanyaan tegas yang kurang lebih bermakna bahwa Sang Mutlak itu
“tanpa nama”, dirancang menjadi semacam kritik implisit terahdap realisme
Konfusius. “Jalan” yang di sini disebut sebagai
bukan “Jalan sesungguhnya” adalah “jalan” kemanusiaan (atau etis) sebagaimana
dihayati aliran Konfusius. sedangkan “nama” yang dikatakan bukan “Nama
sesungguhnya” merujuk pada apa yang disebnut “kebajikan”, kesalehan”, dan
sebagainya, dan mereka anggap sebagai keluhuran-keluhuran utama.
Mengani kata “jalan” (tao))
sebagaimana pertama kali digunakan Konfusius sendiri dan lingkaran terdekatnya,
informasi autentik mengenainya diberikan dala Lun Yu (“Bunga Rampai”). Membahas
rincian rumit persoalan itu akan membawa kita terlalu jauh dari lingkup kajian
sekarang. Di sini saya akan membatasi diri untuk memberikan beberapa contoh
seperlunya guna memperjelas ciri-ciri khas yang sangat esensial dari konsep
Konfusius tentang Tao.
Guru Yu (salam seorang murid Konfusius) pernah
menyatakan : Orang-orang yang berwatak menghormati orang tua dan saudara
(maksudnya, orang-orang yang berperilaku sangat baik sejak lahir terhadap
orangtua dan kakak-kakak mereka) di rumah, jarang sekali (dalam kehidupan
khalayak) bersikap menetang keinginan orang-orang yang lebih tinggi dari
mereka. Dan (orang-orang yang tidak bersikap menetang keinginan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka)
sungguh tidak pernah berkeinginan melakukan keresahan (dalam masyarakat).
(Pengamatan atas fakta ini menyadarkan kita bahwa ) “manusia bangsawan” seharusnya
berjuang (untuk mengukuhkan) akar, karena ketika akar terkukuhkan, maka “jalan”
(tao) secara alami akan tumbuh. Sikap yang tepat terhadap orangtua dan kakak,
dalam hal ini, dapat dianggap merupakan akar dari “keluhuran” (atau “cinta yang
manusiawi”).
Secara kontekstual jelas bahwa
“jalan” pada pasase ini bermakna sikap etis yang pantas dari seseorang terhadap
saudara-saudaranya dalam masyarakat, argument ini khas para penganut Konfusius.
Argument itu mengakui bahwa perbuatan baik bawaan sejak lahir manusia terhadap
mereka yang sangat dekat pertalian darahnya sebagai “akar” atau “asal-mula”
akhlak manusia. Perbuatan baik bawaan sejak lahir ini apabila dikembangkan menjadi
perbuatan baik yang bersifat universal terhadap seluruh anggota masyarakat,
makai a akan berubah menjadi prinsip tertinggi akhlak mulia, “Jalan”,
sebagaimana ditunjukkan melalui “kebajikan dan kemurahan hati”.
Jelaslah, struktur konseptual
argument tersebut didasarkan pada istilah-istilah “kepatuhan anak”,
penghormatan pada orang tua”, dan “perbuatan luhur”. Kata “jalan” hamper-hampir
disebutkan secara sepintas. Ia bahkan bukan merupakan istilah-kunci dalam
pengertian sejati kata tersebut.
Sang Guru (konfusius) barkata, “O Shen, ‘jalanku’
adalah suatu kesatuan yang melintasi (segala bentuk perilaku)”. Guru Tseng
dengan penuh hormat menjawab, “ya!”
Manakala guru meninggalkan tempat itu, murid-murid
lainnya bertanya (kepada Guru Tseng), “Apa yang dia maksud?”
Guru Tseng berkata, “Jalan” yang dimiliki guru kita
meliputi “kesetiaan” (maksudnya, setia atau mempercayai hati Nurani sendiri)
dan “baik hati” (yakni, memikirkan orang-orang lain, seolah-oleh persoalan
mereka merupakan persoalannya sendiri).
Pada pasase ini, “jalan” juga bisa
bermakna prinsip utama akhlak mulia. Melalui pernyataan : “Jlanaku merupakan
kesatuan yang melintasi”. Konfusius bermaksud mengatakan bahwa walaupun
perilakunya tampak secara nyata dalam berbagai bentuk, namun yang mendasarinya
adalah keseluruhan prinsip etika yang unik. Dengan kata lain, “jalan” di sini
bermakna prinsip pemersatu seluruh
bentuk akhlak.
Sang Guru berkata, “Jika ‘jalan’ telah menguasai sebuah negeri,
kau boleh berani berbicara dan berbuat. Namun, jika ‘jalan’ tidak merata, kau
boleh berani berbuat, tetapi kau seharusnya sedikit berbicara.”
Konfusius
sering berbicara tentang “jalan” yang menguasai sebuah negeri – atau secara
lebih harfiah “negeri yang memiliki jalan”. Apa yang dimaksud dengan suatu kata
dalam konteks-konteks demikian terlalu jelas untuk diberi penjabaran.
Sang Guru berkata, “Jalan” “manusia bangsawan”
(termanifestasikan) dalam tiga (bentuk). Namun, saya sendiri tidak setara
dengan bentuk-bentuk itu. Orang yang benar-benar bebudi luhur tidak pernah
cemas. Orang yang benar-benar bijak tidak pernah bingung. Orang yang
benar-benar berani, tidak pernah takut.
Penafsiran kata tao kurang-lebih beragam sesuai dengan konteksnya, tetapi
makna utamanya tampak pada seluruh penggunaan kata tersebut sebagai “jalan”
yang cocok atau yang tepat bagi perilaku dalam kehidupan sosial. “Jalan” ini
semata-mata terbatas pada manusia. Pasalnya, walaupun pada dasarnya bersifat
kemanusiaan dan etis dalam manifestasi konkretnya, dalam kesadaran moral
Konfusius konsep itu tupanya memiliki sesuatu yang bersifat kosmik sebagai
landasan metafisiknya. “Jalan” dalam bentuk metafisik yang sesungguhnya
merupakan hukum tertinggi yang meliputi Wujud. Hukum tertinggi yang mengatur
kerja alam semesta pada umumnya, dan mengatur manusia sebagai bagian dari
keseluruhan alam semesta pada khususnya, dinamakan “jalan” apabila dipahami
melalui, atau direfleksikan dalam, kesadaran manusia.
Prinsip tertinggi akhlak mulia, dalam pemaknaan ini, tiada lain adalah
manifestasi partikular dan hukum universal Wujud dalam bentuk hukum tertinggi
yang mengatur kehidupan manusia yang benar. Menurut Konfusius, prinsip akhlak
mulia sama sekali bukan merupakan undang-undang buatan manusia, atau
seperangkat aturan yang mengatur perilaku manusia dari luar dirinya. Prinsip
itu merupakan refleksi dalam kesadaran manusia akan hukum tertinggi alam
semesata. Dan, dengan demikian, ia merupakan hukum alam “yang
diinternalisasikan” untuk mengatur perilaku manusia dari alam.
Karena itu, untuk mengenal
“jalan” (tao) tidak cukup dengan hanya mempelajari aturan-aturan formal akhlak
mulia dan perilaku beanr. Ia juga meliputi hubungan manusia dengan hokum
metafisik yang meliputi Kosmos melalui cara menghayatinya. Pernyataan yang
sangat kukuh dan bergairah berikut ini mungkin kedengaran janggal atau bahkan
menggelikan jika “jalan” Konfusius itu semata-mata merupakan persoalan
tatakrama dan perilaku benar.
Sang Guru berkata, “Kika seorang manusia mendengar
(yakni, memahami makna terdalam dari) “jalan” pada pagi hari, maka dia mungkin
akan mati Bahagia pada sore hari.”
Pada aspek “kosmisk” ini,
konsepsi Konfusius ihwal “jalan” dapat dikatakan memiliki keserupaan dengan
imbangan Taoisnya. Namun, perbedaan antara kedua konsep itu jauh lebih mencolok
dan menukik ketimbang keserupaan itu, sebagaimana akan segera kita lihat.
Bagaimana pun juga, ada sikap kesadaran yang nyata di pihak Lou-tzu dan
Cuang-tzu untuk menolak “jalan” (tao) sebagaimana dipahami Konfusius dan para
pengikutnya. Lou-tzu mengatakan bahwa “jalan” (tao) yang dapat dikenali sebagai
“jalan” oleh orang-orang awam – Konfusius dan para pengikutnya mewakili mereka
– bukanlah Jalan sejati. Jalan sejati,
atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya, bukanlah suatu yang dapat dipahami benak
awam. Bagaimana seseorang dapat “mengetahuinya”? Bagaimana seseorang dapat
“mendengar”? Pada dasarnya ia adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak dapat
dikenali, dan tidak dapat didengar.
Karena pada dasarnya
tidak diketahui dan tidak dapat dikenal, maka Jalan (tao) adalah “tanpa nama”.
Di sini pula kita menemukan Lou-tzu secara sadar mengambil posisi menentang
sikap Konfusius menyangkut “nama-nama”. Tentu saja, Lou-tzu juga berbicara
tentang “nama-nama”. Dia mengatakan bahwa jalan “tanpa nama” terus menggunakan
berbagai nama dalam proses penentuan jati-dirinya.
Jalan (tao) dalam realitas mutlaknya tidak memiliki
“nama”. Ia (dapat dibandingkan dengan) kayu gelondongan …. Hanya ketika kayu
itu dipotong-potong muncullah “nama-nama”.
Tetapi, ada perbedaan mendasar
antara Lou-tzu dan Konfusius mengenai “nama-nama” ini, mengingat Lou-tzu tidak
menganggap “nama-nama” tersebut sebagai sesuatu yang sepenuhnya terkukuhkan.s
ebagaimana telah kita pelajari dari penjelasan Chuang-tzu tentang
“chaotifikasi” dan tesis Lou-tzu bahwa segala sesuatu di ala mini bersifat
“relative”, segala “nama” – dan pada
akhirnya “segala sesuatu” yang ditentukan oleh “nama-nama” itu – hanya bersifat
relative. Sebaliknya, “realisme” Konfusius mengambil sikap bahwa di balik
setiap “nama” terdapat realitas objektif dan permanen yang sesuai dengannya.
Nama-nama tertinggi sesuai dengan realitas-realitas tertinggi. Nama-nama ini
melukiskan sifat-sifat utama : “kebaikan”, “kesalahan”, “kesantunan”,
“kebajikan”, “kejujuran”. Terhadap hal ini, Lou-tzu mengemukakan pandangan
bahwa “nama-nama” ini, yang boleh jadi disebut sebagai “nama-nama”, bukanlah
“nama-nama” hakiki. Menurut hematnya, Nama-nama, atau sifat-sfat utama itu yang
dihargai begitu tinggi oleh para pengikut Konfusius tidak lain hanyalah
beberapa gejala kemusnahan dan kerusakan, yaitu, gejala-gejala sekelompok
manusia yang mengalienasikan diri mereka dari Sang Mutlak.
Hanya ketika Jalan Agung itu mundur, “kebaikan” dan
“keluhuran” maju. Hanya ketika kecerdasan dan kebijaksanaan tampil, tipu
muslihat dan makar muncul. Hanya ketika enam hubungan dasar kekeluargaan
(maksudnya, hubungan-hubungan antara ayah dan anak, kakak dan adik, suami dan
istri) jauh dari harmoni, maka anak-anak yang patuh tampak. Hanya ketika negara
jatuh ke dalam keresahan dan kerusuhan, para warga negara yang setia
menampilkan diri mereka.
Hanya setelah Kebajikan hilang, “Budi pekerti”
menonjol. Hanya setelah “budi pekerti” hilang, “keluhuran menonjol”. Dan hanya
setelah “keluhuran” hilang, “kesantunan” menonjol.
Sungguh, “kesantunan” muncul pada suatu ketika “kesetiaan”
dan “kejujuran” telah menjadi langka. Ia menandai awal kerusuhan (dalam
masyarakat).
Jauh dari nilai-nilai hakiki
sebagaimana yang ditegaskan para pengikut Konfusius, semua Nama-nama ini tidak
lain hanyalah tanda-tanda alienasi diri manusia dari Realitas. Justru dengan
meneguhkan Nama-nama ini sebagai nilai-nilai mutlak dan permanen terdapat
isyarat yang tegas bahwa Sang Mutlak telah terabaikan. Berbicara secara lebih
umum, tidak ada “nama” yang bersifat mutlak. Karena, sebagaimana Lou-tzu katakana,
suatau “nama” yang dapa ditandai melalui kata “nama” bukanlah Nama sejati.
Satu-satunya “Nama sejati” (ch’ang ming) yang bersifat mutlak adalah Nama yang
disandang Sang Mutlak. Namun, Nama mutlak itu,s ecara paradoksal, adalah “Tanpa
Nama”, atau sebagaimana kita akan segera lihat, merupakan “Misteri dari segala
Misteri”, Gerbagn segala Keajaiban”.
Saya beru saja menggunakan
ungkapan : “Nama yang disandang Sang Mutlak”. Sesungguhnya,s ebagaimana Lou-tzu
sendiri secara eksplisit mengakui, Jalan “tanpa nama” juga menggunakan “nama”
yang lebih positif pada tahap awal manifestasi-diri atau determinasi-diri.
Bahwa “nama” awal yang disandang oleh Sang Mutlak dalam aktivitas kreatif-Nya
merupakan Eksistensi (yu). Lou-tzu, demi membuat konsesi bagi gaya Bahasa
popular, kadang-kadang menamakan Eksistensi sebagai Langit dan Bumi (t’ien ti).
Tegasnya, Jalan apda tahap ini sesungguhnya belum secara actual menjadi Langit
dan Bumi. Ia hanyalah Langit dan Bumi in potential. Itulah wajah Sang Mutlak
yang dengannya Dia, istilahnya, berpaling kea lam Wujud yang tentu saja berasal
dari-Nya. Ini mengacu kepada Sang Mutlak sebagai prinsip kreativitas yang abadi
dan lestari.
Tanpa Nama merupakan awal Langit dan Bumi. Yang
Dinamai (the Nomed) merupakan Ibu (Induk) sepuluh ribu hal (ciptaan).
Namun, sebelum kita membahas
rincian persoalan tentang Yang Dinamai, kita harus membahas lebih lanjut sisi “tanpa nama” dari Jalan.
Untuk memulai babak baru dalam
meninjau aspek ini dari Jalan (tao) tersebut, dengan nyaman kita dapat mengingat kembali kata-kata
pembuka dalam Tao Te Ching, yang telah dikuti[ di atas dan yang telah membawa
kita pada semacam penyimpangan Panjang seputar perbedaan fundamental antara
ajaran Konfusius dan Taoisme seputar pemahaman “jalan” (tao) dan “nama” bukan
Jalan sesungguhnya. “Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah Nama
sesungguhnya.
Konsepsi yang sama tentang Jalan
diungkapkan Chuang-tzu secara agak berbeda sebagai berikut :
Jika jalan diperjelas, maka ia bukan lagi jalan”.
Maksdunya,s esuatu yang dapat ditunjuk sebagai Jalan bukanlah Jalan yang
hakiki. Dan juga :
Adakah orang yang bisa mengenal Jalan yang bukan
merupakan sebuah “jalan”?
Tentu saja, ini bermakna bahwa Jalan hakiki tidak memiliki bentuk
kasat-mata yang dengannya seseorang dapat menunjukkan dengan kata “jalan”.
Untuk mengatakan bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya adalah
“tanpa nama”, sehingga menolak untuk ditandai dengan “nama” apa pun juga, harus
diujarkan bahwa hal itu melampaui seluruh pemahaman linguistik. Dan ini sama
halnya dengan mengatakan bahwa Jalan berada di luar jangkauan pemikiran dan persepsi
indrawi. Dengan demikian, Jalan merupakan sifat yang Nalar tidak mampu
memahaminya dan pancaindra tidak mampu mencandranya. Dengan kata lain, Jalan
merupakan sesuatu Transenden mutlak.
Meskipun kita berusaha melihatnya, ia tidak dapat di
lihat. Dalam kaitan ini ia dinamakan “tanpa sosok”.
Meskipun kita berusaha mendengarnya, ia tidak dapat
didengar. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangat tidak terdengar”.
Meskipun kita berusaha menjamahnya, ia tidak dapat
disentuh. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangar suci”.
Pada ketiga aspek ini, ia sama sekali tidak dapat
terukur. Semuanya melebur menjadi Satu.
(Lazimnya, bagian atas sesuatu tampak jelas,s edangkan
bagian bawahnya gelap dan kelam. Tetapi tidak begitu halnya dengan Jalan itu.)
Bagian atasnya, tidaklah
cerah,. Bagian bawahnya, tidaklah gelap.
Ia terpilin tanpa
jarak seperti benang, tetapi tidak ada nama yang dapat diberikan kepadanya. Dan
(aktivitas kreatif yang terpilin ini) pada puncaknya kembali ke kekosongan
semula.
Akankah ktia
memerikannya sebagai Bentuk yang tak berbentuk, atau Sosok yang tak bersosok?
Akankah kita memerikannya sebagai sesuatu yang samar-samar dan tidak dapat
ditentukan? Berdiri di hadapannya, kita tidak melihat bagian depannya.
Membuntutinya, kita tidak melihat bagian belakangnya.
Dengan demikian, Jalan “tanpa nama”
adalah sama seperti Non Wujud. Karena apa pun yang sepenuhnya tidak dapat
diperesepsi dan dipahami, apa pun yang tidak memiliki “citra”, bagi manusia,
sama seperti “tidak mewujud”. Ia adalah “Tiada” (wu).
Penting untuk diperhatikan bahwa Jalan tampak seperti
“Tiada” hanya apabila dilihat dari sudut pandang kita. Ia Tiada bagi kita sebab
ia melampaui pemahaman manusia. Ia, sebagaimana para filosof Islam
katakan, adalah masalah i’tibar atau “sudut tinjauan” (manusia). Sebaliknya,
Jalan itu sendiri – jauh dari “tiada” – adalah Eksistensi dalam pengertian
paling sempurna dari istilah tersebut. karena itu ia merupakan puncak asal dan
sumber seluruh Wujud.
Bagi pemahaman manusia biasa, Jalan itu adalah Tiada. Namun, ia bukan
“tiada” dalam pengertian negatif belaka. Ia bukan “tiada” yang bersifat pasif.
Ia adalah Tiada yang bersifat positif dalam pengertian bahwa Ia adalah
Non-Wujud yang sarat Eksistensi.
Sudah tentu, aspek positif Jalan ini jauh lebih sulit diterangkan ketimbang
aspek negatifnya. Memang ia tidak mungkin dijelaskan secara verbal. Seperti
telah kita pahami, realitas Jalan tidak dapat dijabarkan dan diutarakan.
Tetapi, Lou-tzu berusaha menjabarkannya, atau minimal memebrikan beberapa
petunjuk bagaimana kita seharusnya “merasakan” kehadirannya di tengah-tengah
alam Wujud. Tentu saja,petunjuk-petunjuk tersebut sangat kabur dan tidak tegas.
Petunjuk-petunjuk itu niscaya berciri simbolik.
Jalan dalam realitasnya sama sekali samar, sama sekali
saru.
Sama sekali saru, sama sekali samar, namun di dalamnya
ada suatu Cintra.
Sama sekali samar, sama sekali saru, namun di dalamnya
ada Sesuatu.
Sama sekali misterius, sama sekali gelap, namun di
dalamnya ada Esensi tersuci.
Esensi tersuci itu sangat nyata adanya.
(Kreativitasnya secara abadi dan langgeng terus bekerja,
sehingga) dari awal zaman hingga kini Namanya tidak pernah meninggalkannya.
Melalui Nama ini Ia mengatur dasar-dasar sesuatu.
Bagaimana kita mengetahui bahwa demikianlah Ia dengan
dasar-dasar segala sesuatu? Dari apa yang baru saja saya katakan.
Jalan, Jalan dalam aspek murni negatifnya yang berada di luar pemahaman
manusia adalah Tiada dan Non-Wujud. Pada aspek ini Jalan tidak memiliki “nama”
apa pun. Bahkan, kata “jalan” semestinya tidak berlaku untuknya. Jalan adalah
“tanpa nama”.
Misteri yang sepenuhnya tidak dapat disentuh dan tidak dapat ditembus
menghilangkan kegelapannya sendiri dan melangkah lebih maju untuk memiliki
sebuah “nama”. Pada tahap penentuan diri ini, ia merupakan sebuah “Citra” yang
redupd an suram. Pada Citra tersebut kita secara samar merasakan kehadiran
Sesuatu yang luarbiasa dan misterius. Namun kita belum mengetahui apa itu. Ia
terasa sebagai Sesuatu namun ia masih belim memiliki “nama”.
Pada bagian pertama kajian ini, kita melihat bagaimana, dalam sistem
metafisika Ibn ‘Arabi, Sang Mutlak dalam kemutlakannya adalah “tanpa nama”.
Kita melihat bagaimana Sang Mutlak dalam keadaan demikian bahkan berada di luar
tahapan yang semestinya harus ditandai dengan nama Allah. Demikian juga menurut
Lou-tzu, Sesuatu ini bahkan telaha da jauh sebelum Tuhan (secara harfiah :
Penguasa langit).
Dalam tak terselami Dia, laksana pendahulu sepuluh ribu
hal ....
Laksana massa air yang dalam (dan tidak tampak di atas
permukaan), namun
Sesuatu tampaknya ada di sana.
Aku tidak tahu anak siapakah itu
Tampaknya ia telaha da jauh sebelumnya yang serta dengan
Penguasa (maksudnya, Tuhan).
Sesuatu yang “tanpa nama” ini, dalam aspek positifnya, yakni, dalam
kreativitasnya yang abadi dan terus berlangsung, untuk sementara waktu dapat
disebut “jalan”. Lou-tzu sendiri mengakui bahwa itu merupakan “nama” yang
bersifat sementara. Namun dari seluruh “nama” yang mungkin bersifat sementara,
“jalan” merupakan nama yang representatif. Sebenarnya, Lou-tzu mengusulkan beberapa
“nama” lain lagi bagi Jalan, dan menunjukkan beberapa “atribut” khas, yang
masing-masingnya menjukkan aspek tertentu dari Jalan.
Ada Sesuatu, tanpa bentuk namun sempurna, lahir sebelum
Langit dan Bumi.
Diam dan hampa, berdiri sendiri, tidak pernah berubah. Ia
berkeliling di mana-mana, tidak pernah berhenti. Ia dapat dianggap sebagai Ibu
keseluruhan alam raya.
Saya tidak mengetahui “namanya”. Untuk membuat nama
samaran, saya menyebutnya “Jalan”.
Terpaksa memberinya nama (lebih lanjut), saya menyebutnya
“Agung”.
“Agung” mengandung makna “Bergerak Maju”. “Bergerak Maju”
mengandung makna “Melangkah Jauh”. Dan “Melangkah Jauh” mengandung makna “Mampu
Berbalik Arah”.
Pada pasase yang baru saja dikutip Lou-tzu mengemukakan kemungkinan Sang
Mutlak diberi berbagai nama. Namun, pada waktu yang sama, dia memperjelasnya
bahwa semua “Nama: atau “atribut” ini adalah bersifat sementara, relatif, dan
parsial. Sebagai contoh, dia mengusulkan untuk menamakan Sang Mutlak dengan
nama “Agung”. Dia dibenarkan melakukan hal demikian karena Sang Mutlak atau
Jalan adalah “agung”. Namun, kita harus ingat, ia “agung” hanya dalam
pengertian tertentu, dari sudut pandang khusus. Menganggap Jalan sebagai “agung”
hanya mewakili satu sudut pandang khas yang kita (manusia) gunakan menyangkut
Sang Mutlak. Hal ini tentu saja mengandung makna bahwa terdapat juga hal tertentu di mana Jalan seharusnya dinamakan
“kecil”. Ia dapat dianggap “agung”; ia pun dapat dianggap “kecil”. Kedua “nama”
itu adalah tepat, namuntidak ada dari keduanya yang benar-benar selaras dengan
realitasnya.
Dalam hal ini, Jalan dapat dibandingkan dengan tumbuhan air yang
terapung-apung menyusuri jalan ini atau jalan itu. Ia tidak memiliki kestabilan.
Karena tidak memiliki kestabilan, ia menerima “nama” apa pun, namun tidak ada
“nama” yang dapat melukiskannya secara sempurna.
Jalan agung adalah seperti sesuatu yang hanyut di atas
air. Ia bergerak ke mana-mana, kiri dan kanan.
Sepuluh ribu hal berutang eksistensi mereka padanya.
Tetapi, ia tidak bersikap angkuh (dengan aktivitas kreatifnya sendiri). Ia
merampungkan pekerjaannya, namun ia tidak membuat klaim. Ia memberi pakaian dan
makanan kepada sepuluh ribu hal, namun ia tidak pernah menguasai mereka secara
keras. Karena ia sepenuhnya bebas dari keinginan, maka ia mungkin dinamakan
“kecil”.
Sepuluh ribu hal kembali kepadanya, namun ia tidak
membuat klaim bahwa ia adalah Majikan mereka. Dalam hal ini, ia dapat juga
dinamakan “Agung”.
Kesulitan yang kita temukan secara tak terelakkan dalam upaya memberikan
sebuah “nama” yang pantas untuk Sang Mutlak semestinya tidak hanya menyangkut
fakta bahwa ia pada dasarnya “tanpa nama”, tetapi juga menyangkut fakta bahwa
Sang Mutlak bukanlah “sesuatu” dalam arti yang pada galibnya kita pahami dari
istilah “sesuatu”. Kekuatan deskriptif yang dimiliki oleh bahasa manusia,
tragisnya, amat terbatas. Saat kita secara linguistik menunjuk suatu hal, entah
metafisik ataukah empiris, melalui kata benda, ia menjadi “terkonkretkan/terbendakan”,
yakni, ia berubah menjadi “substansi” dalam gambaran kita. Sebelumnya kita
telah menyebut Sang Mutlak sebagai Sesuatu; tetapi “Sesuatu” dalam imajinasi
kita adalah sejumlah substansi, kendatipun mungkin misterius. Begitulah adanya
untuk “nama-nama” seperti “Induk”, “Jalan”, dan sebagainya, atau bahkan
“Tiada”.
Tetapi, Sang Mutlak yang kita tunjuk melalui “nama-nama” ini bukanlah suatu
“substansi”, dan ia seharusnya tidak dipahami sebagai suatu “substansi”. Inilah
alasan – atau minimal salah satu alasan utama – mengapa Lou-tzu banyak
menekankan bahwa seluruh “nama” yang dia usulkan tidak lain dari pengganti
sementara. “Nama” apa pun yang mungkin dia gunakan dalam memaknai Sang Mutlak,
tidak seharusnya kita coba “konkretkan” dalam pengertian yang dia katakan dari
nama itu. Karena sebagai “sesuatu” dalam pengertian “substansi”, Sang Mutlak
itu “tidak ada”. Bagaimana sesuatu dapat merupakan “substansi” apabila ia
sepenuhnya “tanpa sosok”, “tidak dapat dilihat”, “tidak dapat didengar”, “tidak
dapat disentuh”, dan “tidak dapat dirasa”? Sang Mutlak merupakan “Sesuatu”
hanya dalam pengertian Tindakan, atau tindakan Eksistensi itu sendiri. Secara
ilmiah, kita dapat ungkapkan konsepsi tersebut dengan mengatakan bahwa Sang
Mutlak adalah Actus Purus (Tindakan Murni). Ia merupakan Actus Purus dalam
pengertian bahwa ia sangat “aktual”, juga dalam pengertian bahwa ia mewujud
justru sebagai tindak mewujudkan dan menjadikan “segala sesuatu” maujud.
Kata-kata berikut dari Lou-tzu dan Chuang-tzu memperjelas masalah ini
LOU-TZU MENGATAKAN :
Dia ayang melintasi alam, menggenggam Citra Agung, ke
mana pun Dia pergi tidak akan menemui kesulitan. Dia akan selalu selamat,
tenteram, dan, tenang.
Musik nan merdu dan makanan nan lezat akan membuat para
penempuh jalan berhenti. Sebaliknya, Jalan yang terucap dalam kata-kata
bersifat hambar dan tanpa rasa.
Orang memandangnya, dan menemukannya tidak layak untuk
dilihat.
Orang mendengarnya, dan menemukannya tidak layak untuk
didengar.
Namun, bila seseorang menggunakannya, dia akan
menemukannya tidak pernah habis.
Bunyi yang paling keras tidak dapat terdengar.
Citra teragung tidak memiliki bentuk.
Jalan bersifat tersembunyi dan tidak bernama. Namun,
Jalan sendirilah yang benar-benar paling unggul dalam memberikan bantuan dan
menyempurnakan berbagai hal.
SEDANGKAN CHUANG-TZU MENGATAKAN :
Jalan memiliki realitas dan buktinya. Namun, (ini tidak
berarti bahwa ia) melakukan sesuatu dengan niatan. Ia juga tidak memiliki
bentuk (yang ragawi). Jadi ia dapat dipindahkan (dari hati ke hati “orang-orang
yang benar”), tetapi tidak dapat diterima (sebagaimana sesuatu yang memiliki
bentuk eksternal). Ia dapat diintuisi, namun tidak dapat dilihat. Ia mampu
berdiri sendiri tanpa bantuan. Ia memiliki akar sendiri dalam dirinya.
Ia maujud bahkan sebelum Langit dan Bumi itu mewujud. Ia
benar-benar telah maujud dari dahulu kala.
Ia merupakan sesuatu yang menganugerahkan spiritualitas
kepada segenap ruh. Dan ia adalah sesuatu yang membuat Penguasa Langit
(maksudnya, Tuhan) menjadi tuhan.
Ia yang menciptakan Langit. Ia yang menciptakan Bumi.
Ia mewujud bahkan di atas titik tertinggi langit.
Meskipun, ia tidak tinggi.
Ia mewujud bahkan di bawah enam arah. Meskipun, ia tidak
“dalam”.
Ia lahir sebelum Langit dan Bumi. Meskipun, ia bukan
“leluhur”.
Ia lebih tua dari zaman (kesejarahan) paling kuno.
Meskipu, ia tidak “tua”.
Dengan demikian, Lou-tzu dan Chuang-tzu sama-sama sepakat menegaskan bahwa
Jalan (tao) adalah actus. Tak diragukan lagi bahwa actus itu maujud. Namun, ia
tidak maujud sebagai “substansi”. Ia tidak bisa “dikonkretkan/direifikasi”.
Untuk tidak mereifikasinya, kita harus merasakannya. Karena, kita mustahil
dapat membayangkan, memerikan atau memahami Sang Mutlak tanpa mengubahnya
menjadi semacam “substansi”. Intuisi metafisik atau ekstatis boleh jadi
merupakan satu-satunya cara untuk kita dapat mendekatinya tanpa menimpakan
pencemaran serius terhadap citranya. Tetapi, intuisi jenis ini terbuka hanya
bagi orang-orang yang telah mengalami hingga batas sejauh apa yang Chuang-tzu
sebut sebagai “duduk dalam perikelupaan”.
Bagaimanapun, penjelasan sebelumnya paling tidak telah memperjelas bahwa
Jalan (tao) memiliki dua aspek yang bertentangan, positif dan negatif. Sisi
negatif dapat dibanding dengan Kegelapan metafisik dari Ibn ‘Arabi. Dalam
pandangan dunia Ibn ‘Arabi pun, Sang Mutlak (haqq) dalam dirinya sendiri, yaitu
dalam kemutlakan-Nya, sama sekali tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar dan
tidak dapat dijamah sebagai “bentuk” apa pun. Ia merupakan Transenden mutlak,
dan karenanya ia adalah “Tiada” dalam pemahaman manusia. Hanya saja,
sebagaimana kita ingat, Sang Mutlak dalam intuisi metafisik arif Arab itu
“Tiada” bukan karena ia “tiada” dalam pengertian yang benar-benar negatif,
melainkan lebih tepatnya karena ia terlalu sepenuhnya maujud – lebih tepatnya,
ia adalah Eksistensi itu sendiri. Demikian juga, ia merupakan Kegelapan bukan
lantaran ia tidak memiliki cahaya, tetapi lebih tepatnya karena ia terlalu
penuh dengan cahaya, sangat bercahaya – lebih tepatnya, ia adalah Cahaya itu sendiri.
Begitulah tepatnya Jalan sebagaimana yang Lou-tzu intuisikan. Jalan
tidaklah gelap, namun ia tampak gelap karena ia terlalu bercahaya dan terang.
Dia berkata :
Satu “jalan” yang (terlalu) terang tampak gelap.
Jalan itu dalam dirinya sendiri, yakni, dari sudut pandang Jalan itu
sendiri, adalah terang. Tetapi, karena ia terlalu mendalam untuk dikenali
manusia, dari sudut pandang manusia, ia adalah gelap. Jaln itu “Tiada” dalam
pengertian ini.
Bagaimanapun juga, aspek negatif ini tidak menyusutkan kehakikian Sang
Mutlak. Jika aspek itu menyusutkan, maka tidak akan ada alam, tidak ada
makhluk. Dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, Sang Mutlak melalui Kehendak-Nya sendiri
yang tak terukur turun dari tahap Kegelapan luar biasa atau “ketiadaan” menuju
tahap manifestasi diri. Kendatipun dalam dirinya adalah misteri yang tidak
terkait dengan apa pun selain dirinya, dan adalah Realitas yang sepenuhnya
mandiri, Sang Mutlak memiliki aspek positif yang berpaling pada alam. Dan pada
aspek positif ini, Sang Mutlak mengandung segala hal dalam bentuk Nama dan
Sifat. Dalam cara yang sama, kendati dalam dirinya ia adalah Sesuatu yang
“tanpa nama”, Kegelapan yang melampaui segala hl, Jalan Lou-tzu juga “Sesuatu yang
bernama” dan merupakan “Ibu dari sepuluh ribu ciptaan”. Jauh dari menjadi
Non-Wujud, dalam hal ini ia adalah Wujud dalam pemaknaan paling sempurna.
Tanpa Nama merupakan permulaan Langit dan Bumi. Yang Dinamai
merupakan Ibu dari sepuluh ribu hal (ciptaan),
Pasase ini dapat juga
diterjemahkan sebagai berikut :
Istilah “Non-Wujud” dapat diterapkan bagi permulaan
Langit dan Bumi. Istilah “Wujud” dapat diterapkan bagi Induk dari sepuluh ribu
hal.
Terjemahan mana pun yang mungkin
ktia pilih, hasilnya menjadi sesuatu yang persis sama. Karena, dalam system
metafisika Lou-tzu, sebagaimana telah kita pahami, “Tanpa Nama” itu sama dengan
“Non-Wujud”, sedangkan “Yang Dinamai” itu sama dengan Wujud”.
Apa yang lebih penting untuk
diperhatikan adalah bahwa secara metafisik Tanpa Nama atau Non-Wujud melukiskan
tahap yang lebih tinggi – atau lebih fundamental – disbanding dengan Yang
Dinamai atau Wujud dalam struktur Sang Mutlak itu sendiri. Seperti halnya bagi
Ibn ‘Arabi “manifestasi diri” (tajali) tertinggi sekalipun merupakan tahap lebih rendah
disbanding dengan Esensi (dzat) mutlak Sang Mutlak itu sendiri, demikian pula
bagi Lou-tzu Wujud menyantirkan tahap metafisik sekunder dalam kemutlakan Sang
Mutlak.
Sepuluh ribu ciptaan yang berada di bawah Langit Lahir
karena Wujud (yu), sedangkan Wujud lahir karena Non-Wujud (wu).
Jika kita meletakkan dua pasase
ini berdampingan satu sama lain, kita memahami bahwa menurut konsepsi Lou-tzu, Sang Mutlak pada tahap puncak metafisiknya adalah Tanpa Nama dan
Non-Wujud, sedangkan pada tahap awal kemunculan alam ia menjadi Yang Dinamai
dan Wujud Ungkapan. Ungkapan : “Permulaan Langit dan Bumi”, yang Lou-tzu
gunakan berkenaan dengan Tanpa Nama, tampak menandakan bahwa di sini ia
menganggap Sang Mutlak sekaitan dengan tatanan temporal. Harus kita akui bahwa
hanya dari sudut pandang demikian kita dapat secara tepat berbicara tentang
“alam ciptaan” (creation) atau “pemunculan” alam. Tetapi, ungkapan temporal
tidak terlalu tepat untuk kenyataan masalah ini. Karena, sebagaimana dalam hal
tahap-tahap yang berurutan dari manifestasi-diri Tuhan menurut metafisika Ibn
‘Arabi, “permulaan” yang sedang diperbinbcangkan di sini secara tepat bukanlah
merupakan sebuah konsep temporal. Ia semata-mata mengacu pada aspek Sang Mutlak
saat ia mengandung dalam dirinya “ribuan ciptaan di bawah Langit” dalam keadaan
potential. Dengan ungkapan lain, Sang Mutlak sebagai ribuan ciptaan dalam
persembunyian metafisiknya adalah Asal-mula. Asal-mula dalam pengertian ini
sama dengan Non-Wujud. Kita dapat membuat makna kata “Asal-mula” lebih bisa
dipahami jika kita menerjemahkannya sebagai “prinsip pertama” atau Urgrund
Wujud.
Konsep tentang “pemunculan” atau
“perwujudan” segala yang maujud, juga bersifat nontemporal. Dalam santiran temporal
kita, “perwujudan” adalah sebuah proses, tahap awalnya adalah Nom-Wujud dan
tahap akhirnya adalah Wujud. Namun, secara metafisik, mustahil terjadi
penahapan temporal pada Sang Mutlak. Menurut
Lou-tzu, Sang Mutlak adalah Non-Wujud sekaligus Wujud, Tanpa Nama sekaligus
Yang Dinamai pada waktu yang sama.
Lou-tzu menjabarkan hubungan
antara Non-Wujud dan Wujud dengan cara berikut ini.
Dalam keadaan No-Wujudnya yang abadi (atau mutlak)
seseorang akan melihat realitas yang misterius dari Jalan. Dalam keadaan
Wujudnya yang abadi seseorang dapat melihat determinasi-determinasi Jalan.
Keduanya ini akhirnya menjadi satu dan sama. Namun,
begitu tereksternalisasikan (externalized), keduanya menyandang nama yang
berbeda (yaitu, “Non-Wujud” dan “Wujud”). Dalam (keadaan asli) “kesamaan”,
(Jalan itu) disebut dengan misteri. Benar-benar misteri dari segala Misteri.
Dan ia merupakan Gerbang dari ribuan Keajaiban.
Non-Wujud (atau Tanpa Nama)
dimana Realitas misterius (miao) yang teramati bisa sesuai dengan keadaan Sang
Mutlak (haqq), dalam konsepsi Ibn ‘Arabi, sebelum Ia secara actual mulai
bekerja secara kreatif. Sedangkan Wujud (atau Yang Dinamai) dimana Jalan (tao)
memanifestasikan dirinya dalam “determinasi-determinasi” (chiao) tak berhingga
dapat menemukan santirannya dalam pemikiran Ibn ‘Arabi denga keadaan Sang
Mutlak ketika aktivitas kreatifnya menyebar, sebagai Nafas Sang Maha Pengasih,
“diterminasikan” dalam hal-hal (ciptaan) yang tak berhingga.
Sungguh mengagumkan bahwa dalam
pasase ini Lou-tzu bahkan melampaui perbedaan antara Wujud dan Non-Wujud.
Non-Wujud tentu saja merupakan prinsip puncak metafisik, sumber paling
fundamental dari Wujud. Ia adalah Jalan, sebagaimana Wujud juga adalah Jalan.
Tetapi, karena Non-Wujud di sini secara konseptual bertentangan dengan “Wujud”,
makai a tidak mungkin menjadi Wujud. Pertentangan mendasar itu sendiri harus
dilampaui/ditransendensikan. Lou-tzu melihat di balik pertengan Wujud dan
Non-Wujud terdapat Sesuatu yang mutlak tidak terkatakan yang secara simbolik
dia namakan denga hsuan. Kata itu pada mulanya bermakna “hitam” dengan campuran
kemerahan, sebuah istilah yang sangat cocok untuk sesuatu yang sepenuhnya
“tidak dapat dilihat”, Misteri yang tidak terukur (‘hitam”), tetapi pada tahap
tertentu menampakkan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang mengandung sepuluh
ribu hal (“merah”) dalam keadaan potensialitas mereka. Pada Misteri segala
Misteri ini Lou-tzu melihat Sang Mutlak dalam keadaan bahkan ketika Wujud dan
Non-Wujud belum dapat dibedakan antara satu sama lain, suatu keadaan puncak
metafisik “keduanya adalah satu dan merupakan sesuatu yang sama”.
Sang Mutlak atau Jalan, sejauh
sebagai Misteri dari segala Mistewri, akan tampak tidak berkaitan dengan alam
fenomenal. Namun, sebagaimana kita telah lihat, dalam kegelapan mutlak Misteri
besar ini (“hitam”), telah tampak sayup-sayup suram (“merah”) kemunculan
hal-hal yang bersifat fenomenal. Dan Misteri segala Misteri pada waktu yang
sama dikatakan merupakan “Gerbang Ribuan Keajaiban”. Pada bab berikut ini kita
akan membahas proses sepuluh ribu hal
(ciptaan) mengalir deras keluar dari Gerbang ini. [][][][][][][]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar