Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 01 Desember 2019

Tao Te Ching Filsafat Taoisme Jilid I



 “TAOISME”
Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang–Tzu,
Serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn ‘Arabi

Buku Kedua dari
SUFISME dan TAOISME
TOSHIHIKO  IZUTSU

Diterjemahkan dari Sufism and Taoism; A Comparative Study of Key Philosophical Conseps (Parts 2 & 3) by Thoshihiki Izutsu
@ 1983, 1993, Toshihiko Izutsu

Penerjemah : Musa Kazhim & Arif Mulyadi
Penyunting : Hardiansyah Suteja
Perancang Isi : Dzul Yamin
ISBN : 978-979-433-914-5
Cetakan I, November 2015
Diterbitkan Oleh Penerbit Mizan (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI
Gedung Ratu Prabu I, Lt.6
Jl. TB Simatupang Kav 20 Jakarta 12430, Indonesia
Laman : http”//www.mizan.com
Surel : mizan,scholar@yahoo.com
Penyadur : Pujo Prayitno

ISI  BUKU

Prakata
Pendahuluan
BAGIAN  PERTAMA
1. Lao-Tzu dan Chuang-Tzu
2. Dari Mitopoiesis (Mythopoiesis) Menuju Metafisika
3. Mimpi dan Kenyataan
4. Melampaui Ini dan Itu
5. Kelahiran Ego Baru
6. Menentang Esensialisme
7. Jalan (Tao)
8. Jalan Keluar dari Selaksa Keajaiban
9. Determinisme dan Kebebasan
10. Pembalikan Mutlak terhadap Nilai-Nilai
11. Manusia Sempurna
12. Homo Politicus

BAGIAN KEDUA
Refleksi Komparatif
13. Sejumlah Pendahuluan Metodologis
14. Transformasi Batin Manusia
15. Struktur Realitas yang Berderajat
16. Esensi dan Eksistensi
17. Perkembangan Diri Eksistensi

PRAKATA

Buku iini aslinya telah saya tulis lebih dari lima tahun silam, semasa saya mengajar filsafat Islam di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Pada waktu itu, saya mulai sadar bahwa perlahan-lahan saya memasuki fase baru kehidupan intelektual, meraba-raba jalan menuju tipe baru filsafat oriental yang didasarkan pada serangkaian studi fitologis dan komparatif yang ketat terhadap sejumlah istilah kunci dari beberapa tradisi kefilsafatan di timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Karya ini adalah produk pertama dalam upaya saya ke arah tersebut.
Buku ini selanjutnya diterbitkan di Jepang dalam dua jilid pada 1966-1967, dengan judul A Vomparative Study of Key Philosophical Conceps ini Sufism and Taoism (diserta sub judul Ibn “Arabi and Lao-tzu – Chuang tzu) sebagai publikasi The Institute of Cultural and Linguistic Studies, Keio University; Tokyo, di bawah pengarahan mendiang Profesor Nobuhiru Matsumoto.
Tuntutan besar bagi sebuah edisi baru yang direvisi mendorong saya untuk menerbitkan ulang buku ini sewaktu saya di Iran. Karena dicetak di Ingris dan dijadwalkan beredar di Teheran pada akhir 1978 menjelang pecahnya “revolusi” Khomeini, buku ini akhirnya tidak mungkin untuk diterbitkan. Syahdan, akibat terjadinya takdir aneh, buku ini – dalam keadaan telah direvisi seutuhnya, meski masih dalam bentuk lembarn-lembaran untuk diperiksa – sekali lagi kembali bersama pengarangnya ke Jepang tempatnya pertama kali terlahir.
Saat merevisi keseluruhan buku ini, saya berupaya sebisa mungkin menghapus semua kekurangan yang teramati pada waktu itu. Tetapi tentu saja, tetap ada batas-batas alamiah bagi upaya perbaikan dan perubahan semacam itu.
Saya hanya berharap bahwa dalam bentuk barunya, walau pun pasti masih mengandung banyak kekeliruan dan kekurangan, setidaknya buku ini bisa menjadi sumbangan bersahaja menuju pengembangan “dialog-dialog metahistoris” antara berbagai tradisi filosofis di Timur dan Barat, dialog filosofis khas yang kiranya saat ini dunia sedang sangat membutuhkannya.
Kewajiban menyenangkan buat saya untuk berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada The Iwanami Shoten Publisher, yang telah mengambil tugas penerbitan karya ini. Terima kasih khusus buat Mr. Atsushi Aiba (dari penerbit yang sama) yang bekerja maksimal demi terlaksananya proyek ini. Saya juga ingin menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak berwenang di almamater saya. Keiro University, yang sekarang saya ingat dari mereka saya mendapatkan banyaik dorongan saat saya menulis karya ini dalam bentuk aslinya.

T. Izutsu
4 Oktober 1981
Kakamura Jepang

PENDAHULUAN

Sebagaimana tersirat pada judul dan sub-judul, tujuan utama keseluruhan karya ini adalah mencoba melakukan perbandingan struktural antara pandangan dunia Sufisme yang diwakili Ibn “Arabi dan pandangan dunia Taoisme yang diwakili Lao-tzu dan Chuang-tzu. Saya menyadari bahwa studi sejenis ini memiliki sejumlah jebakan. Perbandingan yang dilakukan seara sederhana antara dua sistem pemikiran yang tidak memiliki hubungan historis bisa menjadi pengamatan dangkal atas pelbagai keserupaan yang kurang menunjukkan ketajaman ilmiah. Untuk menghindari kekeliruan ini, diperlukan upaya pembeberan struktur fundamental tiap-tiap pandangan-dunia secara independen dan seketat mungkin sebelum mengajukan pertimbangan komparatif apa pun.
Bertolak dari situ, Bagian Pertama akan dkhususkan bagi upaya mendudukan dan menganalisa konsep-konsep ontologis utama yang melambari pandangan-dunia filosofis Ibn “Arabi, sementara pada Bagian Kedua sebuah studi analitis yang sama persis sama akan dibuat seputar pandangan-dunia Lao-tzu dan Chuang-tzu, sehingga kedua bagian itu akan menjadi dua studi yang berbeda sama sekali; satu bagian mengenai Ibn ‘Arabi dan bagian kedua mengenai Taoisme kuno. Baru pada Bagian Ketiga kita akan melakukan upaya perbandingan dan koordinasi pelbagai konsep-kunci kedua pandangan-dunia yang sebelumnya telah dianalisis tanpa melihat keserupaan dan perbedaan keduanya.
Apapun hasilnya, motif utama yang mengaliri keseluruhan karya ini tidak lain adalah keinginan untuk membuka jendela baru pada ranah filsafat dan mistisisme komparatif. Titik tolak yang baik bagi komparasi semacam ini terletak pada fakta bahwa kedua pandangan-dunia ini sama-sama berlandas pada dua poros utama. Sang Mutlak dan Manusia Sempurna. Sistem utuh dalam pemikiran ontologis yang berkembang pada dua pandangan-dunia di atas bermuara pada dua kutub ini.
Harus dicatat sebagai suatu struktur ontologis, hal ini tidaklah asing dalam sufisme dan Taoisme. Oposisi Sang Mutlak dan Manusia Sempurna sebagai dua poros pandangan dunia dalam berbagai bentuk merupakan pola dasar yang lazim bagi banyak tipe mistisisme yang berkembang di dunia pada tempat dan waktu yang berlainan. Sebuah pertimbangan komparatif atas sejumlah sistem  serupa dalam pola umum dan berbeda dalam hal-hal terperinci (semisal) asal-usul dan lingkungan historis tampaknya akan bermanfaat untuk mempersiapkan landasan bagi apa yang secara tepat disebut Profesor Henry Corbin sebagai un dialogue dans la metahistoire, yakni dialog metahistoris atau transhistoris. Inilah sesuatu yang dibutuhkan secara sangat mendesak dalam situasi dunia sekarang.
Mengingat bahwa Ibn ‘Arabi menimbulkan banyak diskusi dan kontroversi yang tidak pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam sebelumnya, dan menisbahkan hal ini pada watak dasar Islam yang mengkombinasikan dua Kebenaran : haqiqah (kebenaran berdasarkan inteleks) dan Syari’ah (Kebenaran berdasarkan Pewahyuan), Dr. Osman Yahya mengajukan pertanyaan berikut ini :
“Ie cas d’Ibnu “Arabi ne se posarait pas ovec autant d’acuite dans une tradition de pure metaphysique comme le tooism ou le vedanta ou Ia personalite du Moitre ... eut pu s’sepanouir librement ni non plus dans une tradition de pure loi positive ou son cas n’eut meme pas pu etre pose pusiqu’il eut ete refuse par la communaute tout entiere, irremediablement. Mais le destin a voulu placer Ibn ‘Arabi a la croisee des chemins pour digager, en sa personne, la veritable vocation de l’Islam.”
Kasus Ibn ‘Arabi tidak mungkin mengemuka secara heboh dalam sebuah tradisi metafisika murni sebagaimana halnya tooisme ataupun wedanta di mana kepribadian sang Guru .... telah bisa berkembang dengan bebas; bukan pula dalam sebuah tradisi hukum poisitf murni di mana kata Ibn “Arabi bahkan tidak bisa dikemukakan karena telah ditolak sepenuhnya oleh seluruh masyarakat. Tetapi takdir ingin menempatkan Ibn “Arabi dalam persimpangan jalan guna mengumandangkan seruan sejati Islam dengan sendirinya.
Tidak dapat disangkal bahwa metafisika Lao-tzu tentang Tao dalam kejelukan pemikirannya yang tidak berujung menunjukkan sejumlah keserupaan menakjubkan dengan konsep Ibn “Arabi tentang wujud (being). Lebih menariknya lagi, seperti yang akan saya singgung pada Bagian Kedua, Lao-tzu dan Chuang-tzu merepresentasikan puncak tradisi spiritual yang secara historis berbeda dengan Sufisme.
Sebagaimana telah saya nyatakan di atas, kita mesti menjaga diri dari membuat perbandingan-perbandingan yang terlalu gampang. Tetapi, kita juga harus mengakui bahwa studi komparatif sejenis ini, bila dilakukan secara cermat, setidaknya akan memberikan landasan umum bagi terciptanya sebuah dialog antar budaya yang berguna.
Sejalan dengan rencana besar itu, paro pertama buku ini akan berhubungan secara eksklusif dengan studi analitis atas beberapa konsep kunci yang menjadi dasar-dasar ontologis pandangan-dunia Ibn “Arabi. Seperti telah saya katakan, pandangan-dunia ini berkisar pada dua poros. Sang Mutlak dan Manusia Sempurna, dalam bentuk Turun  dan Naik ontologis (ontological Descent and Ascent). Dalam mendedahkan proses kosmik ini, di setiap tahapannya, Ibn “Arabi telah mengembangkan pelbagai konsep penting.Konsep-konsep itulah yang akan dianalisis dalam karya ini. Jadi, karya ini secara metodis bertujuan menguraikan aspek ontologis filsafat mistis Ibn “Arabi sebagai sistem yang memiliki sejumlah konsep kunci yang berhubungan dengan “maujud: (being) dan “Eksistensi”.
Kita harus akui bahwa ontologis hanya salah satu aspek dari pemikiran manusia luarbiasa ini. Ada sejumlah aspek lain yang tidak kalah pentingnya semisal, psikologi, epistemologi, simbolisme, dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan membentuk sebuah pandangan-dunia yang orisinal dan berbobot. Namun, konsep Maujud, seperti akan kita lihat, adalah dasar pemikiran filosofisnya. Dan, teorinya tentang Maujud tak ayal lagi sangat orisinil dan secara historis berpengaruh luas sehingga perlu diperlakukan secara terpisah.
Sejak sekarang, saya ingin menjelaskan bahwa karya ini bukanlah sebuah studi filologis yang menyeluruh mengenai Ibn “Arabi. Sebaliknya, sejauh menyangkut Ibnu “Arabi, studi ini didasarkan hampir secara khusus pada buku Fushush Al-Hikam. Pada intinya, karya ini berisi analisis terhadap beberapa konsep ontologis utama yang dikembangkan Ibnu “Arabi dalam buku yang paling dipuja dan sering digambarkan sebagai opus magnum-nya. buku ini telah dikaji dan dikomentari oleh sekian orang sepanjang beberapa abad. Jadi, dari segi bahan, karya ini tidak berpretensi menyuguhkan hal baru.
Sejak semula, saya tidak berniat melakukan kerja besar-besaran. Saya lebih berniat menyelami “napas-kehidupan”, semangat menyala dan sumber eksistensial kehendak berfilsafat yang terdapat pada pemikir besar ini. Dari kedalaman itu, saya ingin menemukan susunan keseluruhan sistem ontologisnya, langkah demi langkah, persis seperti dia sendiri mengembangkannya. Untuk memahami pemikiran manusia semacam Ibnu “Arabi, seseorang harus menangkap ruh yang merasuki dan menghidupkan keseluruhan struktur’ bila tidak, semuanya akan hilang. Semua pertimbangan dari luar, pasti akan jauh panggang dari api. Bahkan, pada tataran intelektual dan filosofis, orang harus mencoba memahami pemikirannya dari dalam dan merekontruksinya dalam dirinya sendiri melalui hal yang dapat disebut sebagai empati eksistensial. Untuk tujuan itu, meskipun kerja besar-besaran tentu saja menarik, hal itu bukanlah persyaratan utama.
Ibnu “Arabi bukan sekedar pemikir berbobot, dia juga seorang penulis prolifik luarbiasa. Kalangan ahli sendiri berselisih perihal jumlah pasti dari karya-karyanya. Sebagai misal, Al-Sya’rani mencatat syaikh ini telah menulis sekitar 400 karangan. Repetoar umum dalam karya bibliografis Dr. Osman Yahya yang disebutkan di atas mendaftar sebanyak 856 karya, meskipun termasuk karya yang diragukan dan jelas-jelas palsu.
Dalam situasi seperti ini, dan untuk tujuan kita, bukan saja tidak relevan, melainkan cukup berbahaya, untuk mencoba mencatat semua yang dikatakan dan ditulis seorang pengarang mengenai semua subyek selama beberapa tahun. Hal itu bisa dengan mudah menghanyutkan orang dalam samudra konsep, citra, dan simbol yang tercecer secara acak sepanjuang ratusan karyanya, dan kehilangan pandangan atas satu atau beberapa garis pemikiran dan ruh pemandu yang melambari keseluruhan struktur yang ada. Demi menghindari tumpukan simbol dan mungkin lebih bermanfaat untuk berkonsentrasi pada sebuah karya yang memaparkan berbagai pemikirannya dalam bentuk paling matang.
Bagaimanapun, karya ini secara ekslusif berisi analisis ihwal Fushush Al-Hikam, kecuali di beberapa tempat ketika saya mengacu pada karyanya yang lebih kecil untuk memperoleh penjelasan lebih jauh mengenai sejumlah pokok masalah penting. Seperti yang saya nyatakan di atas, Fushush Al-Hikam dikaji banyak orang dalam bentuk yang beragam. Betatapun, saya berharap bahwa analisis saya atas buku yang sama akan menyumbangkan pemahaman lebih baik terhadap Syaikh Akbar yang telah dianggap sebagai salah satu pemikir mendalam, tetapi pada saat yang sama, paling susah dipahami yang pernah dilahirkan Islam.

BAGIAN  PERTAMA

1. LAO-TZU dan CHUANG-TZU

Tao Te Ching, merupakan buku terkenal di dunia. ia merupakan buku paling banyak dibaca di Barat dalam beragai terjemahan sebagai salah satu teks dasar paling penting dari Kebijaksanaan Timur. Secara umum – atau lebih tepatnya secara populer – ia dipandang sebagai risalah filosofiko-mistis yang ditulis pemikir Cina kuno bernama Lao-tzu, kawan senior dari Konfucius (Kong Hu-Chu/Confucius). Dalam lingkaran lebih ilmiah, dewasa ini tak ada seorang pun yang mengambil pandangan semacam itu.
Sebenarnya, sejak Dinasti Ch’ing, ketika pertama kali persoalan kepengarangan buku itu dimunculkan di Cina, buku ini telah didiskusikan oleh banyak orang. Ia telah mendorong kontroversi yang demikian hidup tidak hanya di Cina, melainkan juga di Jepang, bahkan di Barat. Hipotesis-hipotesis yang diajukan begtu beragam, sehingga membuat kita gelap soal apakah Tao Te Ching merupakan karya seorang pemikir individual, atau bahkan apakah lelaki bernama Lao-tzu itu benar-benar ada? Kita tidak lagi berada dalam suatu posisi untuk membuat tempat kronologis layak seputar buku itu dengan kepercayaan penuh.
Untuk tujuan khusus kita, masalah kepengarangan dan autentisitas karya itu hanya memiliki arti sampingan. Entah pernah ada seorang tokoh historis bijak bernama Lao-tzu di negara Ch’u, yang hidup lebih dari 160 tahun ataukah tidak, baik orang bijak ini benar-benar menulis Tao Te Ching atau tidak, pertanyaan-pertanyaan ini dan sejenisnya, baik dijawab secara negatif ataupun afirmatif, tidak berpengaruh sama sekali pada tujuan utama karya ini. Yang menjadi kepentingan mendasar ialah bahwa pemikiran itu ada, dan ia mempunyai struktur dakhil yang sangat khas. Apabila dianalisis dan dipahami dengan cara tepat, ia akan menjadi filsafat Cina tandingan yang sangat memikat bagi corak filsafat “Kesatuan Eksistensi” (wahdat al-wujud) sebagaimana dipaparkan Ibn “Arabi dalam Islam.
Lao-tzu adalah tokoh legendaris, atau setidaknya, semi-legendaris, yang sungguh keterlaluan jika mengatakan bahwa tidak ada hal pasti mengenainya yang kita ketahui. Karena, bahkan dengan asumsi bahwa ada dasar historis pada biografinya, harus kita akui bahwa khayalan rakyat telah merajutnya menjadi tapestri menawan yang terdiri dari pelbagai peristiwa luarbiasa dan kejadian menakjubkan yang tak seorang pun bisa berharap untuk menguraikan jaring rumit legenda mitos, dan fakta di dalamnya.
Bahkan, sejarawan Cina paling waras dan dapat diandalkan di masa kuno, dan yang paling awal berusaha menggambarkan kehidupan serta sepak terjang Lao-tzu dalam karya Buku Sejarah, Ssu Ma Ch’ien dari Dinasti Han (awal abad pertama sebelum Masehi), harus puas dengan memberikan narasi amat tidak konsisten dan tidak sistimatis yang disusun dari sejumlah cerita yang berasal dari berbagai sumber.
Menurut salah satu legenda tersebt, Lao-tzu merupakan penduduk negeri Ch’u. Dia masih menjabat sebagai pegawai bendhahara Kerajaan Chou, ketika Konfucius datang mengunjunginya. Setelah wawancara, Konfucius dikisahkan membuat pernyataan berikut pada murid-muridnya tentang Lao-tzu : “Burung-burung terbang, ikan-ikan berenang, dan hewan-hewan berlarian – semua ini aku ketahui dengan pasti. Lantas, yang lari bisa ditangkap, yang berenang bisa dikail, dan yang terbang bisa dibidik dengan anak panah. Namun, apa yang bisa kita perbuat pada naga? Kita tidak bisa melihat bagaimana ia menunggang angin dan awan serta menaiki langit. Begitulah Lao-tzu yang kutemui hari ini, hanya bisa dibanding dengan seekor naga!”.
Kisah ini menjadikan Lao-tzu sebagai orang yang hidup sezaman dengan Konfucius (551-479 SM). Hal ini tentu saja berarti Lao-tzu yang hidup di abad ke-6 SM, tidak mungiin menjadi suatu fakta historis.
Banyak argumen telah diajukan terhadap historisitas cerita yang baru saja kita kutip. Salah satunya memiliki arti penting tertentu bagi kita; terkait dengan pengujian ini dan narasi serupa secara filologis serta dalam kerangka perkembangan historis pemikiran filosofis di Cina kuno. Di sini saya akan memberikan contoh tipikal dari argumen filologis semacam itu.
Sokichi Tsuda dalam karya kodangnya, The Thought of the Taoist School and its Development, melakukan pengujian filologis cermat atas penggunaan tidak umum dari beberapa istilah tekenis kunci dalam Tao Te Ching. Dia sampai pada kesimpulan bahwa buku itu pasti merupakan produk periode setelah Mencius (372 – 289 SM). Implikasinya, Lao-tzu – dengan asumsi bahwa dia memang tokoh historis – adalah seorang pemikir yang muncul setelah Mencius.
Tsuda memilih ungkapan jen-i yang dijumpai pada Bab XVIII Tao Te Ching sebagai patokan penilaiannya. Kata Jen-i marupakan paduan dua kata, jen dan i. Dua kata ini, jen (perikemanusiaan atau humanenes, dengan penekanan khusus apda belas kasih) dan i, (kesalehan), tidak termasuk dalam kota kata Lao-tzu; keduanya adalah istilah-istilah kunci Konfusianisme. Saat memaparkan dua kebajikan manusia paling mendasar, kedua istilah kunci itu berperan sangat penting dalam pemikiran etis Konfusius sendiri. Namun, dalam lisan Konfusius, keduanya tetap merupakan dua kata mandiri; keduanya tidak bergabung menjadi suatu unit semantik dalam bentuk jen-i yang hampir sejajar dengan konsep kompleks tunggal. Fenomena terakhir ini baru teramati pada masa pasca Konfusius.
Tsuda menunjukkan bahwa pemikir yang pertama kali menekankan konsep jen-i adalah mencius, fakta ini, bersama dengan fakta dalam pasase yang disebutkan di atas bahwa Lao-tzu menggunakan istilah0istilah jen dan i dalam bentuk gabungan, akan memperlihatkan bahwa Tao Te Ching merupakan produk dari suatu periode ketika istilah kunci Kunfusian jen-i telah terbangun dengan kukuh, karena pasase tersebut secara jelas dimaksudkan sebagai kritik tajam atas etika Konfusian. Dengan kata lain, Lao-tzu menggunakan ungkapan tersebut dengan maksud seperti itu lantaran dia telah melihat Mencius dan teori etikanya.
Lebih dari itu, lanjut Tsuda, Mencius secara gigih menyerang dan mengutuk segala sesuatu yang tidak selaras dengan Konfusianisme. Namun, tidak pernah sekalipun dia menunjukkan upaya sadar untuk mengkritik Lao-tzu atau Tao Te Ching, sekalipun faktanya ajaran Lao-tzu ini secara diametris berlawanan dengan doktrinnya. Bahkan, dia tidak pernah menyebut nama Lao-tzu. Inilah bukti tak terbantahkan yang menguatkan tesis bahwa Tao Te Ching termasuk karya dari periode setelah Mencius. Mengingat, dontrin-doktrin Tao Te Ching dikritik secara terang-terangan oleh Hsun-Tzu (wafat kira-kira 315-236 SM), maka Lao-tzu tidak mungkin lahir setelah Hsun-Tzu. Dengan demikian, sebagai kesimpulan, Tsuda menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode antara Mencius dan Hsun-Tzu.
Meskipun terdapat sejumlah poin bermasalah pada argumen-argumen Tsuda, saya kira secara keseluruhan dia benar adanya. Kenyataannya, ada sejumlah pasase dalam Tao Te Ching yang tidak dapat dipahami sepenuhnya kecuali kita menempatkannya pada latar belakarng filsafat Konfusian yang sudah berdiri sangat kuat. Sesungguhnya, hal ini merupakan inti seluruh masalah, setidaknya bagi mereka yang menjadikan pemikiran Lao-tzu itu sendiri sebagai perhatian utama. Baris-baris pembuka sangat terkenal dari Tao Te Ching, misalnya, yang di dalamnya Jalan sejati (the rela Way) dan Nama sejati (the real Name) disebutkan dengan sangat kontras antara “jalan” biasa dan “nama” biasa, tidak memiliki nama hakiki kecuali ketika kita menyadari bahwa apa yang dimaksudkan dengan “jalan” biasa (the ordinary way) tidak lain adalah jalan hidup etis sebagaimana dipahami dan diajarkan oleh mazhab Konfusius. Sementara itu apa yang disebut sebagai “nama-nama” biasa adalah “nama-nama” Konfusian, akni kategori-kategori etis tertinggi yang dibakukan melalui “nama-nama” tertentu, aitu sejumlah istilah kunci.
Lebih jauh, buku Tao Te Ching mengandung sejumlah kata dan frase yang secara sepintas berasal dari aneka sumber lain, seperti Mo-tzu, Yang Chu, Shang Yang, dan bahkan Chuang-tzu, Shen Tao,d an sebagainya. Ada sejumlah sarjana yang, dengan mendasarkan diri mereka pada obersevasi ini, melangkah lebih jauh daripada Tsuda dan menyatakan bahwa Tao Te Ching termasuk dalam periode Chuang-tzu  dan Shen Tao. Yang Jung Kuo, seorang sarjana kotemporer dari Peking, misalnya membenarkan pendapat ini dalam bukunya, History of Thought in Ancient China.
Sebagian “referensi” milik para pemikir yang secara tradisional dipandang lahir setelah Lao-tzu yang dipradugakan di sini boleh jadi sangat bisa dijelaskan karena pengaruh Tao Te Ching itu sendiri pada mereka. Dalam menuliskan karya-karya mereka, para pemikir ini mungkin “meminjam” sejumlah gagasan dan ungkapan dari buku Tao Te Ching. Selain itu, kita harus ingat bahwa teks buku ini, yang kita miliki hari ini, secara jelas telah melewati proses penyuntingan, penyuntingan ulang, dan penataan kembali yang berkali-kali pada Dinasti han. Banyak “referensi” yang mungkin bersifat tambahan dan interpolasi yang diimbuhkan belakangan.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa Tao Te Ching merupakan suatu karya Kontroversial. Paling tidak bisa dirumuskan pemikirannya telah mempradugakan keberadaan mazhab Konfusian.
Kembali pada aspek lain dari Lao-tzu yang lebih penting untuk tujuan buku ini ketimbang aspek kronologisnya. Kita bisa mulai dengan memerhatikan Biografi Lao-tzu yang disodorkan Ssu Ma Ch’ien dalam Biik of History. Pada buku itu dia menepatkan Lao-tzu sebagai orang Ch’u. Maka itu, dalam suatu pasase, dia menulis “Lao-tzu” adalah warga asli desa Ch’u Jen, di Li Hsiang, Provinsi K’u, negara Ch’u”. Dalam pasase lain, dia menyatakan bahwa menurut riwayat berbeda, ada seorang bernama Lao Lai Tzu di masa Konfusius; bahwa dia adalah orang Ch’u, dan melahirkan lima belas buku yang membicarakan ikhwal jalan. Ssu Ma Ch’ien menambahkan bahwa orang ini mungkin sama dengan Lao-tzu.
Semua ini sangat mungkin legenda belaka. Bagaimanapun, menurutnya, hal yang sangat signifikan ialah bahwa “legenda” itu menghubungkan penulis Tao Te Ching dengan negeri Ch’u. Hubungan Lao-tzu dengan  negara bagian selatan Ch’u ini tidak bisa dipandang semata-mata sebagai hubungan kebetulan, karena ada semangat Ch’u yang mengalir di sepanjang buku tersebut. yang saya maksud dengan “semangat Ch’u” adalah apa yang secara tepat bisa disebut sebagai kecenderungan pola-pikir shamanic atau modus pemikiran shamanic. Ch’u adalah negara besar yang terletak di pinggiran bagian selatan Kerajaan Tengah yang berperadaban, suatu negeri penuh sungai, hutan, dan pegunungan, berlimpah dengan kekayaan alam namun miskin dalam aspek kebudayaan, dihuni banyak orang yang berasal-usul non-Cina dengan adat-istiadat yang beragam dan aneh. Di sana terdapat berbagai jenis kepercayaan takhayul pada wujud-wujud adikodrati dan ruh-ruh liar, sehingga prakteik-praktik shamanic tumbuh mekar.
(Shaman, adalh dukun atau pendeta yang diyakini memiliki kesaktian untuk menembuhkan penyakit atau mengusir ruh jahat).
 Tetapi, tampaknya atmosfer primitif dan “tak beradab” ini bisa menjadi lahan subur pertumbuhan suatu kekuatan visioner luarbiasa dari imajinasi puitis sebagaimana diperlihatkan elegi-elegi yang ditulis penyair shaman terbesar yang pernah dihasilkan negara Ch’u. Ch;u Yyuan. Atmosfer yang sama bisa juga menghasilkan corak pemikiran metafisis yang khas. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pengalaman shamanic terhadap realitas bersifat sedemikian rupa sehingga ia bisa disuling dan dielaborasi menjadi suatu pengalaman metafisis tingkat tinggi. Lagi pula, kedalaman metafisika pemikiran Lao-tzu, saya percaya, bisa dipaparkan sampai kadar yang jauh dengan mengaitkan pada metalitas shamanic bangsa Cina kuno yang ada sejak masa sejarah paling tua bahkan sebelum itu,d an yang telah tumbuh subur terutama di bagian selatan Cina dalam sejarah panjang kebudayaan Cina.
Sehubungan dengan ini, saya kira Henri Maspero pada dasarnya benar ketika dia berkeberatan dengan pandangan tradisional bahwa Taoisme mendadak mulai pada awal abad ke-4 SM sebagai suatu metafisika mistis oleh Lao-tzu. Taoisme banyak dikembangkan secara filosofis oleh Chuang-tzu menjelang akhir abad tersebut dan divulgarkan secara besar-besaran oleh Lieh-tzu, setelah itu, Taoisme mengalami penyimpangan dan degenari sampai Dinasri Han Terakhir yang beralih bentuk menjadi suatu campuran dari takhayul, animisme, guna-guna, dan sihir. Terhadap pandangan ini, Maspero megnambil sikap bahwa Taoisme adalah agama “personal” --- sebagai lawan tipe agama negara agrikultural komunal yang tidak berhubungan dengan penyelamatan personal – yang ada sejak zaman dahulu kala. Dia percaya bahwa mazhab Lao-tzu dan Chuang-tzu merupakan cabang khusus atau bagiant ertentu dalam gerakan keagamaan yang luas ini, suatu cabang khas yang dicirikan dengan kecenderungan filosofis-mistis yang nyata.
Obeservasi-observasi ini tampaknya mengarahkan kita kembali sekali lagi pada problem kepengarangan Tao Te Ching dan historisitas Lao-tzu. Apakah dapat dibayangkan bahwa penyulingan metafisika dari mistisme mentah itu bisa dicapai sebagai hasil dari proses perkembangan ilmiah, tanpa partisipasi aktif seorang pemikir tertentu yang dianugerahi kejeniusan filosofis? Saa kira tidak demikian. Shamanisme primitif di masa Cina kuno niscaya akan tetap menyisakan kementahan aslinya sebagai fenomena agama populer yang dicirikan dengan kegilaan ekstatis dan kerasukan yang “heboh”, jika bukan karena dalam perjalanan sejarahnyya terdapat penjabaran hebat oleh beberapa orang yang memiliki kecerdasan luarbiasa. Jadi, untuk menghasilkan Elegies of Cg’u, visi shamanik atas alam harus melalui benak seorang Ch’u Yuan. Demikian pula, visi dunia shamanik yang sama hanya dapat ditingkatkan menjadi metafisika mendalam tentang Jalan oleh seorang jenius filosofis tertentu.
Ketika membaca Tao Te Ching – dengan mengingat pada pengamatan di atas – kita tidak bisa lain kecuali merasakan, istilahnya, napas orang hebat yang menyebar pada keseluruhan volume, ruh seorang filosof kawakan yang berdetak di sepanjang buku tersebut. dengan semua tambahan pada interpolasi yang mungkin diimbuhkan belakangan, yang dengan mudah sayya akui, saya tidak bisa menyetujui pandangan yang menyatakan bahwa Tao Te Ching  merupakan karya kompilasi yang terdiri atas fragmen-fragmen pemikiran ang dinukil dari aneka ragam sumber heterogen. Karena, terdapat kesatuan fundamental tertentu yang mencolok kita di mana-mana dalam buku itu.d an kesatuan itu bersifat personal. Faktanya, Tao Te Ching secara keseluruhan adalah karya unik yang diwarnai secara jelas oleh kepribadian seorang manusia luarbiasa, seorang filosof-shaman. Bukankah dia memberikan semacam potret diri kepada kita di bagian XX buku tersebut.
Kebanyakan orang bahagia dan ceria seolah-olah mereka diundang pada perjamuan mewah, atau seolah-olah mereka menaiki menara tinggi untuk menikmati pemandangan musim semi.
Aku sendiri terus diam dan sunyi, tidak menunjukkan aktivitas. Aku laksana bayi yang baru dilahirkan, belum belajar untuk tersenyum. Aku terlihat sedih dan tanpa tujuan, seakan-akan aku tak punya tempat kembali.
Semua orang mempunyai lebih dari cukup, aku sendiri tampak hampa dan kosong.
Sebenarnya yang kumiliki adalah pikiran seorang pendiri! Betapa bodoh dan bingung! Orang-orang kasar semuanya pintar dan cerdas, sementara aku sendiri gelap dan bodoh. Semua orang kasar gesit dan waspada, sementara aku lamban dan ceroboh.
Aku laksana samudra jeluk yang terus-menerus berombak, laksana angin yang tak pernah berhenti berhembus.
Yang lainnya memiliki pekerjaan untuk dilakukan, sedangkan aku sendiri masih tidak berguna dan rendahan. Hanya aku yang berbeda dari semua yang lain, karena aku mengharagai suapan makan Sang Ibu.
Demikian pula halnya di pasase lain (LXVII), dia berkata tentang dirinya.
Setiap orang di kolong langit berkata bahwa aku besar, tetapi tampak bodoh. Memang, aku tampak bodoh karena besar. Sekiranya aku cerdas niscaya telah raib sejak dulu.
Dan kembali di LXX, kita membaca :
Ujaran-ujaranku sangat mudah dipahamidan sangat mudah untuk dilakukan. Namun, tak seorang pun di kolong langit memahaminya; tak seorang pun mempraktikkannya.
Ujaran-ujaranku keluar dari sumber jernih, dan tindakan-tindakanku lahir dari prinsip tinggi. Namun, orang-orang tidak memahaminya. Karena itu mereka tidak memahamiku.
Mereka yang memahamiku amatlah jarang. Hal itu merupakan bukti bahwa aku sangat berharga. Sungguh, orang bijak bestari mengenakan busana pakaian kasar, tetapi di dalamnya terdapat mutiara.
Pasase yang baru saja dikutip memberikan gambaran ihwal pikiran yang orisinil, citra seorang manusia yang tampak murung, bodoh, dan tidak berdaya, berdiri jauh dari orang-orang “cerdas” yang menghabiskan waktu mereka dalam kesenangan hidup remeh-remeh. Dia mengambil sikap tersebut karena dia menyadari dirinya sendiri berbeda total dariapda orang-orang biasa. Pertanyaan penting yang harus kita ajukan adalah ini : kapan perbedaan ini muncul? Tao Te Ching itu sendiri dan juga Chuang-tzu agaknya memberikan jawaban tegas atas persoalan ini. Manusia merasa dirinya berbeda dibanding dengan yang lain karena hanya dia yang mengetahui makna hakiki eksistensi. Hal ini dia ketahui karena pandangan metafisikanya yang didasarkan pada hal yang disebut Chuang-tzu sebagai tso wang “duduk dalam perikelupaan” (sitting in oblivion), yakni pengalaman ekstatis menyatu dengan Sang Mutlak. Jalan, manusia pemilik ujaran-ujaran yang telah kita kutip di atas adalah seorang filosof-mistis, atau seorang shaman visioner yang berubah menjadi filosof.
Kiranya sangat signifikan bagi tujuan spesifik kita untuk mencatat bahwa spirit shamnisme yang dikembangkan secara filosofis telah menyelubungi keseluruhan Tao Te Ching. Istilahnya, ia merupakan “pusat” personal yang sekiranya keseluruhan gagasan pokok buku itu terkoordinasi, baik itu pemikiran menyangkut struktur metafisi alam semesta, hakikat manusia, seni mengatur orang, maupun panduan praktis kehidupan. Kesatuan organis semacam itu tidak dapat dijabarkan kecuali berdasarkan asumsi bahwa buku tersebut – jauh dari kemungkinan sebagai rangkaian potongan pemikiran yang secara acak dipungut dari sana-sini --- pada intinya adalah karya seorang pengarang.
Dalam menelaah buku seperti Tao Te Ching, yang paling penting adalah memahami kesatuan personal yang mendasarinya sebagai keseluruhan, dan menunjukkannya sebagai pusat koordinasi semua gagasan pokonya. Karena, jika tidak demikian, kita tidak akan berada pada posisi untuk menembus struktur subtil dari simbolisme Tao Te Ching dan menguraikannya dengan tepat mengenai gagasan-gagasan pokok metafisiknya.
Berpindah dari Lao-tzu ke Chuang-tzu, kita merasa diri kita sendiri berdiri di atas landasan yang jauh lebih padat. Karena, kendatipun kita tidak tahu secara lebih baik ihwal kehidupan dan identitasnya yang sejati, paling tidak kita paham bahwa kita sedang berurusan dengan tokoh sejarah, yang benar-benar ada di sekitar pertengahan abad keempat SM. Dia hidup semasa dengan Mencius, penyair-shaman agung Ch’u Yuan dan Ch’u, dan ahli dialektika yang berbakat Hui Shih atau Hui-tzu yang bersamanya dia sendiri adalah pasangan tepat dalam menguasai seni memanipulasi konsep-konsep logis.
Menurut laporan yang diberikan Ssu Ma Ch’ien dalam Book of History yang disebutkan di atas, Chuang-tzu atau Chuang Chou adalah warga Meng. Dia pernah menduduki jabatan di Ch’i-Yuan. Meng; mempunyai pendidikan luarbiasa, namun doktrinnya pada dasarnya berpijak pada ajaran-ajaran Lao-tzu; dan tulisannya, yang terhitung lebih dari 100.000 kata, sebagian besar bersifat simbolis atau alegoris.
Adalah pentin bahwa Meng, ang disebutkan oleh Ssu Ma Ch’ien sebagai tempat lahir Chuang-tzu, sekarang ini berada di kawasan Ho Nan dan merupakan tempat di negeri kuno Sung. Saya menganggap hal ini penting lantaran Sung adalah negeri tempat para keturunan bangsa in kuno dibolehkan untuk tinggal setelah ditaklukkan oleh bangsa Chou. Di sana, keturunan bangsa yang pernah terkenal ini  -- dicemooh oleh para penakluk sebagai “bangsa yang ditaklukkan” dan senantiasa diancam dan diserang tetangga-tetagga mereka – berhasil memelihara dan menjaga pelbagai keyakinan agama dan legenda ihwal leluhur bangsa mereka. Arti penting fakta ini sehubungan dengan tesis kajian sekarang akan segera di sadari apabila orang mengingat ruh animistik-shamanik kebudayaan Yin sebagaimana tercermin dalam upacara-upacara kurban dan ritus-ritus peramalan (divination) serta mitos-mitos yang terkait dengan dinasti ini. Secara tradisional bangsa Yin adalah bangsa yang terkenal karena pemujaan mereka pada arwah dan penyembahan pada “Tuhan-di atas”. Sejak dahulu perbedaan antara Yin dan Chou dikenal dengan diktum semacam ini : “Yin memuja arwah, sementar Chou memberikan nilai tertinggi pada budaya manusia.”
Terlepas dari observasi hubungan historis antara Dianasti Yin dan bangsa Sung ini, dalam History of Chinese Philosophy, Fung Yu Lang menunjukkan – menurut saya cukup tepat – bahwa bentuk pemikiran Chuang-tzu dekat dengan pola pemikiran bangsa Ch’u, “Kita harus ingat”, tulisannya, “Fakta bahwa negara Sung berbatasan dengan Ch’u membuatnya sangat mungkin bahwa Chuang-tzu di satu sisi dipengaruhi Ch’u, dan saat sama dipengaruhi gagasan-gagasan para dialektikawan. (Patut diingat, Hui Shih adalah warga Sung). Jadi, dengan menggunakan dialektika yang belakangan, Chuang-tzu mampu menata pikiran-pikirannya yang melejit, dan merumuskan sistem filsafat yang terpadu.”
Di antara “ruh Ch’u”, kita telah membincangkannya pada bagian sebelumnya menyangkut struktur dasar pemikiran Lao-tzu. Fung Yu Lang membanding the Elegies of Ch’u (Ch’u Tzu) dengan Chuang-tzu dan melihat ada kemiripan yang menakjubkan antara keduanya dalam penyajian “kekayaan imajinasi dan kebebasan ruh”. Tetapi, dia alpa untuk melacak kemiripan ini hingga ke sumber shamaniknya, sehingga “Kekayaan imajinasi dan kebebsan ruh” tetap tak terjelaskan. Bagaimanapun kenyaaannya, kita akan menghindar lebih jauh soal rincian-riuncian masalah-masalah ini sampai di sini, mengingat banyak hal lain yang akan disampaikan dalam bab berikutnya.
Problem hubungan antara Lao-tzu dan Chuang-tzu telah dikuaps secara luas oleh pafa filolog. Sebagaimana yang telah kita amati, doktrin utama Chuang-tzu secara tradisional dipandang sebagai doktrin yang  didasarkan pada ajaran-ajaran Lao-tzu. Tentang pandangan ini, sudah abrng tentu Lao-tzu adalah leluhur Chuang-tzu dalam filsafat Taois; baris-baris utama pemikiran telah diletakkan oleh yang pertama,d an yag belakangan tinggal mengambil pikiran-pikiran tersebut dan mengembangkannya dengan caranya sendiri ke dalam sistem alegoris berskala besar mengikuti kemampuan filosofis dan kesustraannya. Pandangan ini tampaknya merupakan kesimpulan lumrah yang ditarik dari pengamatan atas dua fakta berikut : (1) eksistensi hubungan batin yang tak terbantahkan antara keduanya dalam struktur pandangan-dunia dan cara berpikir mistis mereka; (2) Chuang-tzu sendiri acap menyebut Lao-tzu sebagai salah satu pemikir Taois terdahulu. Dan ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan di beberapa tempat hampir bernada sama .
Meski demikian masalahnya tidak sesederhana seperti yang terlihat begitu saja. dalam kenyataannya, sejumlah pertanyaan serius telah muncul di zaman modern tentang masalah ini. Sebagai titik awal, Tao Te Ching sendiri tidak pernah dirujuk dalam Chuang Tzu, kendati Lao-tzu, sebagai tokoh legendaris muncul di beberapa halamannya,d an gagasan-gagasannya disebutkan. Namun, fakta terakhir ini tidak membuktikan apa-apa secara konklusif. Karena, kita mengetahui bahwa banyak tokoh yang diciptakan untuk memainkan peran-peran penting dalam Chuang-tzu adalah fiktif. Kesamaan bahasa secara mudah mungkin dijelaskan sebagai hasil dari interpolasi yang timbul belakangan dalam Tao Te Ching itu sendiri ataupun hasil dari keberadaan sumber-sumber serupa.
Yang Jung Kuno, yang telah kita rujuk di atas, bisa disebut sebagai repretasi sarjana modern yang tidak hanya meragukan kedudukan Lao-tzu sebagai pendahulu Chuang-Tzu, namun melangkah lebih jauh dan secara utuh membalikann urutan kronologis tersebut. dalams ebuah bab menarik apda bukunya yang disebutkan di atas, History of Thought ini Ancient China, secara tegas dia berpandangan bahwa Chuang-tzu bukanlah murid Lao-tzu; sebaliknya, yang terakhir (Lao-tzu) – atau lebih tepatnya, Tao Te Ching – tiada lain daripada kelanjutan dan pengembangan lebih jauh dari Chuang-tzu.d an cara dia mempertahankan pandangannya adalah murni filologis; dia mencoba membuktikan pandanganna melalui pengujian sejumlah konsep kunci umum dalam Lao-tzu dan Chuang-tzu. Dia menyimpulkan bahwa Tao Te Ching mempradugakan keberadaan Chuang-tzu lebih awal. Umpamanya, konsep kunci Taoisme terpenting, Tao (Ayun/Wag) sebagai prinsip kosmis perkembangan alamiah, atau Alam, dalam Chuang-tzu struktur dakhilnya belum sepenuhnya dikembangkan. Konsep itu telah ada, katanya, namun masih merupakan benih belaka. Tao Te Ching mengambil alih konsep ini pada poin jitu ini dan menjabarkannya dalam suatu prinsip mutlak. Sumber yang tak dapat diketahui secara mutlak, yang bersifat azali (pre-eternal) dan yang darinya segala sesuatu beremanasi. Yang Jung Kuo mengira bahwa kaitan historis antara keduanya ini – Chuang-tzu sebagai titik pangkal dan Lao-tzu sebagai puncaknya – dapat diamati sepanjang keseluruhan struktur filsafat Taois.
Argumen ini, betapapun sangat menariknya, tidaklah konklusif. Karena, konsep-konsep kunci yang dibahas memungkinkan munculnya penjelasan yang sama-sama bsia dijustifikasi dalam kerangka perkembangan yang mengalir dari Lao-tzu ke Chuang-tzu. Menyangkut metafisika Tao, misalnya, kita harus ingat bahwa Lao-tzu hanya memberikan hasil sustu sistem monistik mapan atas pencitraan arketipal yang pusatnya terdiri dari Sang Mutlak yang mutlak, tao, yang berkembang tahap demi tahap dengan aktivitas kreatif “alamiah”-nya sendiri sampai ke alam kemajemukan. Ontologi ini,s ebagaimana yang telah saya tunjukkan sebelumnya, hanya dapat dimengerti berdasarkan asumsi yang berpijak di atas landasan-landasan pengalaman ekstatik atau mistik ihwal Eksistensi. Lao-tzu bagaimana pun tidak, tidak mengungkapkan aspek eksperiensial dari pandangan-dunianya ini kecuali melalui beberapa isyarat dan sugesti simbolis serta samar. Inilah alasan  mengapa Tao Te Ching cenderung memberi kesan sebagai elaborasi filosofis dari sesuatu yang mendahuluinya. Bahwa “sesuatu yang mendahuluinya”, bagaimanapun, tentu saja bisa bukan sesuatu yang diambil dari yang lain.
Dari sisi lain, Chuang-tzu benar-benar tertarik pada aspek ekspirensial mistisme Taois yang tidak tersentuh oleh Lou-tzu. Dia terutama tidak berurusan dengan upaya membangun metafisika beskala kosmis yang merentang dari Yang Tak Dapat Diketahui secara mutlak sampai ke alam konkret yang sarat warna dan bentuk. Perhatian utamanya tertuju pada jenis “pengalaman” yang tidak biasa itu sendiri, “pengalaman” yang dengannya seseorang menembus misteri Eksistensi. Dia berusaha melukiskannya secara rinci, kadang-kadang secara alegoris, kadang-kadang secara teoritis, proses psikologi atau spiritual yang melaluinya siapa pun bisa semakin “tercerahkan” dan terus menghampiri struktur sejati realitas yang tersembunyi di balik tirai pengalaman indrawi (sensible experience).
Dibandingkan dengan Lou-tzu, sikapnya ini lebih bermuatan epistemologis ketimbang metafisik. Perbedaan ini memisahkan dua pemikir itu secara sangat mendasar, kendati pun mereka memiliki perhatian sama pada pengaruh-pengaruh praktis dari pengalaman supaindrawi terhadap Jalan. Perbedaan yang sama mungkin juga dapat diformulasikan dalam konteks gerakan ke atas dan gerakan ke bawah. Lou-tzu mencoba memaparkan secara metafisik bagaimana Sang Mutlak yang mutlak berkembang secara alami menjadi Yang Tunggal, dan bagimana Yang Tunggal berkembang menjadi Dua, dan Dua menjadi Tiga, dan Tiga menjadi “sepuluh ribu benda”. Sejatinya, hal ini merupakan paparan tentang gerakan menurun ontologis – atau emnasional – kendatipun dia menitikberatkan juga pada arti penting konsep Kembali, yaitu proses kembalinya segala sesuatu ke asa-muasal mereka. Chuang-tzu tertarik untuk mendedahkan secara epistemologis gerakan pikiran manusia menaik dari alam kemajemukan dan keragaman menuju medan ontologis tempat segala perbedaan membaur ke dalam Yang Tunggal.
Berkat penekanan tertentu pada aspek epistemologis pengalaman tao ini, Chuang-tzu terkena kesulitan mengembangkan konsep tao itu sendiri sebagai suatu sistem filosofis. Inilah mengapa metafisikanya tentang tao tampil tidak sempurna atau berkembang secara tidak sempurna. Meski demikian, ini tidak serta merta berarti bahwa dia menggambarkan tahapan kronologis lebih awal ketimbang Lou-tzu. Karena, sebagaimana yang telah kita lihat, perbedaan bisa jadi semata-mata perbedaan titik tekan.
Kini saya akan menutu bab ini dengan memberikan uraian ringkas ihwal buku yang dikenal dengan nama Chuang-tzu itu sendiri.
Bibliografi penting yang terkandung dalam the chronicel of the Han Dynasty menyatakan bahwa Chuang-tzu terdiri atas 52 bab. Namun, teks dasar buku yang ada di tangan kita hanya berjumlah 33 bab. Ini akibat dari kerja penyuntingan yang dilakukan oleh Kuo Hsiang. Faktanya semua suntingan belakangan atas buku Chuang-tzu pada akhirnya kembali ke resensi Kuo Hsiang ini. Pemikir terkemuka aliran Taois ini secara kritis memeriska teks tradisional tersebut, menyisakan sejumlah pasase atau bagian yang dian anggap palsu dan tidak bermanfaat,d an membagi yang tersisa setelah pengujian ini menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama disebut Interior Chapters (nei p’ien) yang terdiri atas tujuh bab. Kelompok kedua disebut Exterior Chapters (wai p’ien) dan terdiri atas lima belas bab. Dan terakhir disebut Miscellaneous Chapters (tza p’ien) yang memuat sebelas bab.
Dengan mengesampingkan masalah kemungkinan penambahan interpolasi, kita bisa katakan secara umum bahwa Interior Chapters menggambarkan pemikiran dan gagasan Chuang-tzu dan sepertinya berasa dari penanya sendiri. Adapun dua kelompok lainnya, sekarang para sarjana sepakat bahwa semuanya itu adalah pengembangan,interpretasi dan penjabaran paling akhir yang dilampirkan ke teks utama oleh para pengikut Chuang-tzu. Entah Interior Chapters itu berasal dari pena Chuang-tzu sendiri ataukah tdiak, jelaslah bahwa mereka menggambarkan lapisan paling tua dari buku itu. Secara filosofis dan litetrer ia juga merupakan bagian paling esensial. Sementara Exterior dan Miscellaneous Chapters hanya menunjukkan arti penting sekunder.
Dalam kajian sekarang, saya secara khusus berpegang pada Interior Chapters. Hal ini akan saya lakukan karena alasan yang barusan disebutkan dan juga karena keinginan untuk memberikan konsistensi pada deskripsi analitis saya terhadap pemikiran Chuang-tzu.

2. DARI MITOPOIESIS (MYTHOPOIESIS) MENUJU METAFISIKA

Pada bab sebelumnya saya telah mengindikasikan tentang kemungkinan adanya hubungan yang sangat kukuh antara filsafat Taois dan Shamanisme. Saya mengemukakan bahwa pemikiran atau pandanga-dunia Lou-tzu dan Cuang-tzu mungkin sangat tepat dikaji terkait dengan latarbelakang tradisi semangat shamanisme pada era Cina kuno. Bab ini akan diarahkan untuk lembih membahas secara rinci tentang persoalan ini, maksudnya latarbelakang shamanisme berkaitan dengan filsafat Taois sebagaimana dilukiskan melalui Tao Te Ching dan Chuang-tzu.
Faktanya, sepanjang sejarah pemikiran Cina telah berlangsung apa yang mungkin layak dinamakan “modus pemikiran shamanik”. Kami melihat bahwa modus pemikiran spesifik ini memanisfestasikan diri dalam berbagai bentuk dan pada ragam tingkatan sesuai dengan kondisi waktu dan tempat khususnya, kadang-kadang dalam bentuk populer dan fantastis, sering nyaris menyentuh batas takhayul dan cabul, namun kadang-kadang dalam bentuk tertata secara intelektual dan terelaborasi secara logis. Kami juga mengamati bahwa modus pemikiran ini sangat berbeda denga modus pemikiran realistis dan rasionalistis sebagaimana terlukiskan melalui pandangan-dunia Konfusius dan para pengikutnya yang sangat berpegang pada etika.
Singkat kata, saya menganggap pandangan dunia Taois Lou-tzu dan Chuang-tzu sebagai elaborasi atau kulminasi filosofis dari modus pemikiran shamanik ini; dengan kata lain, sebagai bentuk khusus filsafat yang timbul dari pengalaman eksistensial personal yang khas pada orang-orang yang dianugerahi kemampuan melihat hal-hal yang berbeda pada medan kesadaran supraindrawi melalui perjumpaan ekstatis dengan Sang Mutlak dan melalui citra-citra paling mendasar (erchetypal image) yang timbul darinya.
Para filosof Taois yang menghasilkan karya-karya seperti Tao Te Ching dan Chuang-tzu di satu sisi adalah “kalangan saman”, sejauh berkenaan dengan landasan eksperiensial pandangan-dunia mereka. Namun, di sisi lain, mereka adalah pemikir-pemikir intelektual yang, tidak puas untuk tetap berada pada tingkatan primitif shamanisme populer, menggunakan intelek mereka untuk meningkatkan dan mengeelaborasi visi awal mereka ke dalam sebuah sistem konsep-konsep metafisisk yang dirancang untuk menjelaskan struktur wujud.
Lou-tzu berbicara tentang sheng-jen atau “manusia sci”. Ia merupakan salahs atu konsep utama pandangan-dunia filosfisnya, dan dengan demikian memainkan peran sangat penting dalam pemikirannya. “Manusia suci” adalah seorang manusia yang telah mencapai posisi tertinggi dari intuisi Jalan, hingga dia benarbenar menyatu dengannya, dan tentu saja berperilaku di dunia ini dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Jalan yang dia rasakan berlaku di dalam dirinya. Singkat kata dia merupakan perwujudan manusiawi dari Jalan itu. Dalam pemaknaan yang persis sama, Chuang-tzu berbicara tentang Chen-jen atau “manusia sejati” chih-jen atau “manusia puncak” shen-jen atau “manusia Ilahi” (atau super manusia). Manusia yang diacu dengan berbagai kata ini dalam realitasnya tiada lain dariapda shaman filosofis, atau shaman yang intuisi visionernya tentang dunia telah diperhalus dan dijabarkan ke dalam visi filosofis tentang wujud.
Bahwa konsep dasar itu secara historis memiliki hubungan sangat dekat dengan shamanisme ditunjukkan melalui makna etimologis kata sheng di sini diterjemahkan dengan “suci”. Shuo Wen Chieh Tzu, sebuah kamus etimologi tertua (dikompilasi pada 100 Masehi), dalam penjelasannya tentang struktur etimologis kata ini menyatakan : “Sheng menunjukkan manusia yang daun teliganya memiliki daya tangkap luar biasa”. Dengan kata lain, istilah itu menunjukkan manusia yang dianugerahi pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara makhluk adialami, dewa atau ruh ,dan langsung memahami kemauan atau maksud makhluk tersebut. dalam peristiwa sejarah yang berlangsung pada Dinasti Yin, makhluk seperti itu ialah pendeta yang secara teguh menekuni peramalan.
Sehubungan dengan ini, menarik untuk menyebutkan bahwa dalam Tao Te Ching, “manusia suci” (Wali) dikategorikan sebagai penguasa tertinggi sebuah pemerintahan atau “raja”. Dan bahwa persamaan (Wali = Raja), ini dipahami sebagai persoalan yang dapat diterima pemahaman umum, sesuatu yang dianggap pasti kebenarannya. Kita perlu sekali mencamkan bahwa pada masa Dinasti Yin, shamanisme berhubungan erat dengan politik. Pada dinasti itu, para pejabat tinggi pemerintahan yang menggenggam dan menggunakan kekuasaan mereka yang besar dalam mengelola pemerintahan pada mulanya adalah shaman. Sedangkan pada periode-periode awal dinasti itu, Shaman Agung adalah pendeta-pejabat tinggi (the high priest-vizier), atau bahkan raja itu sendiri.
Hal ini  tampaknya mengindikasikan bahwa di balik “manusia suci” (wali) sebagai cita-cita  Taois tentang Manusia Sempurna tersembunyi gambaran seorang shaman. Dan di bawah permukaan pandangan-dunia metafisik Taoisme terlihat dengan jelas kosmologis shamanik yang kembali ke era paling kuno dalam sejarah Cina.
Untuk tujuan-tujuan langsung kajian ini, kita tidak harus memasuki pembahasan teoritis secara rinci tentang gagasan shamanisme. Cukup kiranya untuk sementara ini kita mendefinisikannya dengan menyatakan bahwa ia merupakan fenomena ketika seorang peramal yang terilhami berada dalam keadaan ekstase bersua dengan maujud-maujud supranatural, baik berbentuk dewa ataupun ruh. Seseorang yang berkemampuan alami sejenis ini dalam sebuah masyarakat primitif cenderung bertugas sebagai penengah antara anggota-anggota suku dan alam gaib.
Sebagai salah satu ciri paling menonjol mentalitas shamanik, pertama-tama kita akan menilik fenomena pembentukan mitos (mythophoiesis) di dalamnya. Secara definisi, shaman adalah orang yang dalam visinya paling mendasar danekstatis memersepsi perbagai hal yang benar-benar berbeda dengan apa yang dilihat oleh manusia normal pada umumnya melalui pengalaman-pengalaman indrawi. Ciri pengalaman shaman tentang realitas yang paling menakjubkan adalah munculnya segala sesuatu dalam kesadaran “imajinal”-nya dalam bentuk-bentuk simbolik dan sarat mitos (mythical). Alam yang dilihat oleh shamandalam kondisi trans (trance) adalah alam “imajinasi kreatif”, sebagaimana Henry Corbin secara tepat menamakannya, terlepas kasarnya penamaan itu. Pada tingkat kesadaran ini, segala sesuatu yang kita persepsi di sekeliling kita melepaskan modus eksistensi alamiah dan wajarnya serta beralih benuk menjadi citra (image) dan simbol. Segenap citra itu, ketika disistematisasikan dan disusun sesuai dengan pola-pola perkembangan yang inheren di dalamnya, cenderung untuk menghasilkan sebuah kosmologi sarat mitos.
Tradisi shamanik pada masa Cina Kuno telah menghasilkan kosmologi seperti itu. Dalam Elegies of Ch’u yang disinggung pada bab sebelumnya, kita dapat menelusuri selangkah demi selangkah dan dalam bentuk paling konkret tentang proses aktual yang melaluinya pengalaman shamanik tentang realitas menghasilkan kosmologi yang aneh dan “imajinal”. Dalam komparasi lebih jauh Elegies of Ch’u dengan buku seperti Huai Nan Tzu, kita dapat melihat hubungan sangat dekat antara kosmologi shamanik dengan metafisika Taois. Di sana orang melihat betapa pandangan-dunia penuh mitos yang dihadirkan kosmologi shamanik berkembang dan beralih bentuk menjadi ontologi Jalan.
Fakta lain yang tampaknya menegaskan adanya hubungan sangat dekat, secara esensial dan historis, antara metafisika Taois dan visi shamanik tentang dunia ditemukan dalam sejarah Taoisme setelah periode Negeri-Negeri yang Berperang. Faktanyya, perkembangan Toisme, setelah berhasil emncapai puncak filosfisnya di tangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, terus menunjukkan kurva “degenerasi” – sebagaimana lazimnya disebut – bahkan di bawah pengaruh kuat Tao Te Ching dan Chuang-tzu dan kembali ke bentuk metipoiesisnya semula, dengan demikian menampakkan landasan shamaniknya, hingga pada masa Dinasti Han Akhir mencapai tahap manakala Taoisme hampir-hampir sinonim dengan takhayul, sihir, dan teluh. Struktur lahiriah metafisika Taois itu sendiri hampir tidak menampakkan jejak yang jelas dalam hal latar belakang shamaniknya. Namun, deskripsi filosofis Lou-tzu tentang tao, msialnya, terdapat sesuatu yang benar-benar tidak terbantahkan yang mengindikasikan hubungan asal-usulnya dengan shamanisme.
Lou-tzu melukiskan sebagaimana akan kita lihat secara rinci pada bagian selanjutnya. Jalan (tao) sebagai Sesuatu yang suram dan kelam, sebelum adanya Langit dan Bumi, tidak dapat dikenali dan diketahui, tidak dapat dipahami dan abstrak sampai pada tingkatan hanya cocok diperikan sebagai Non-Wujud, tetapi penuh dengan pelbagai bentuk, citra dan sesuatu, yang tersembunyi di tengah ketidak-jelasan primordialnya. Dengan demikian, Jalan metafisik memiliki bandingan yang menarik dalam imajinasi mitos populer yang dipresentasikan oleh Shan Hai Ching, yang menampakkan bentuk fantastis.
Tiga rastus lima puluh mil ke sebelah Barat terdapat sebuah gunung yang dinamakan dengan Gunung Langit. Gunung ini menghasilkan banyak emas dan permata, juga sulfur biru. Sedangkan sungai ying bermuara di sana, dan mengalir ke arah barat daya hingga mengaliri Lembah Air Mendidih. Di gunung ini hidup Burung Ilahi yang tubuhnya seperti sebuah kantong kuning, merah seperti api yang membara, memiliki enam kaki dan empat sayap. Burung ini anehnya tidak berbentuk, tidak berwajah, tidak memiliki mata, namun sangat pandai bernyanyi dan menari. Pada hakikatnya, Burung ini tidak lain kecuali Dewa Chiang.
Pada pasase yang dikutip di sini, ada dua hal yang menarik perhatian. Salah satunya adalah fakta bahwa burung monster itu dilukiskan sebagai burung yang pandai bernyanyi dan menari. Hubungan poin ini dengan masalah khusus yang sedang kita bahas akan segera dapat dipahami jika orang mengingat bahwa “bernyanyi dan menari”, yaitu tarian ritual, selalu menyertai fenomena shamanisme. Menari pada masa Cina kuno merupakan sarana yang kuat untuk mencari kehendak ilahi, menimbulkan kondisi kebahagiaan luar biasa terhadap manusia,d an “memanggil” ruh-ruh alam gaib. Kamus yang telah disebutkan di atas, Shuo Wen, mendefinisikan kata wu (shaman) sebagai “seorang perempuan yang secara alamiah cocok untuk melayani makhluk-makhluk tanpa bentuk (maksudnya, maujud-maujud gaib) dan yang, dengan menggunakan tarian, mampu memanggil ruh”. Menariknya, kamus yang sama menjelaskan ciri serupa dalam melukiskan kata wu dengan menyatakan bahwa kata itu menggambarkan seroang perempuan yang menari dengan mengenakan dua lengan baju panjang menggantung di kanan dan kiri. Pada tahap perkembangannya lebih awal, ia menggambarkan figus shaman yang sedang memegang batu giok dengan kedua tangannya di hadapan ruh atau dewa.
Adalah juga signifikan bahwa monster itu konon merupakan seekor burung, yang sangat mungkin merupakan sebuah indikasi bahwa tarian shaman yang dibicarakan di sini merupakan sejenis tarian bulu pada saat seorang shaman secara ritual dihiasi pakaian berbulu.
Hal kedua yang perlu diperhatikan pasa pasase Shan Hai Ching di atas – dan hal ini memiliki relevansi jauh lebih besar dengan kajian kita dibanding dengan yang pertama – adalah ungkapan khusus yang digunakan dalam diskripsi tentang roman wajah monster, hun tun, yang untuk sementara telah saya terjemahkan sebaga “secara aneh tidak berbentuk”. Ia bermakna keadaan kacaunya, segala sesuatu, keadaan tidak berbentuk ketika tiada yang bisa terlukiskan dengan jelas, tiada yang bisa dibedakan dengan jelas, namun jauh dari semata-mata nonwujud; sebaliknya, ia merupakan “kehadiran” yang sangat buram di mana eksistensi sesuatu – atau beberapa hal, tetap tidak terbedakan – secara samar dan kabur bisa terindrakan.
Hubungan antara kata itu sebagaimana digunakan pada pasase ini dengan kiasan Chuang-tzu tentang Kaisar Ilahi Hun Tun telah lama menjadi perhatian para filologd ari Dninasti Ch’ing. Pengulas karya Shan Hai Ching, Pi Yuan, umpamanya, secara eksplisit menghubungkan deskripsi monster ini dengan wajah yang tidak berciri milik Kaisar Hun Tun.
Kiasan yang diberikan Chuang-tzu berbunyi sebagai berikut :
Kaisar Laut Selatan disebut sebagai Shu, Kaisar Laut Utara disebut sebagai Hu, sedangkan Kaisar yang menguasai wilayah pusat disebut sebagai Hun Tun. Sekali waktu, Shu dan Hu bertemu di wilayah Hun Tun, yang memperlakukan mereka berdua dengan sangat baik, oleh karena itu, Shu dan Hu melakukan perundingan bersama tentang bagaimana cara keduanya dapat membalas kebaikan Hun Tun.
Mereka berkata, “Semua manusia memiliki tujuh lubang untuk melihat, mendengar, makan, dan bernapas. Tetapi yang satu ini (yaitu Hun Tun) sendiri tidak memiliki satu pun lubang. Marilah kita sedikit melubanginya.”
Mereka melubanginya dengan satu lubang setiap hari, hingga pada hari ketujuh Hun Tun mati.
Ksiah ini melukiskan secara simbolik tentang dampak destruktif jenis filsafat esensialis pada Realitas. Hal ini merupakan cemooh tanpa belas kasihan terhadap jenis filsafat itu atas nama bentuk khas filsafat eksistensialis yang sebagaimana nanti kita akan pahami, ingin sekali ditegakkan oleh Chuang-tzu. Shu dan Hu, yang melambangkan kesementaraan eksistensi manusia, bertemu di wilayah pusat kekuasan Hun Tun; mereka diperlakukan dengan sangat baik dan dalam waktu singkat mereka merasa bahagia – sebagaimana nama-nama mereka sendiri mengindikasikan tentang hal itu8. Peristiwa ini tampak melamabangkan intelektualitas manusia memasuki wilayah dunia supraindrawi “ketiadaan perbedaan”, Yang Absolut, dan menemukan did alamnya kebahagiaan luar biasa yang singkat – kebahagiaan luarbiasa berupa intuisi mistik tentang Wujud, yang dengan sangat disayangkan, berlangsung dalam tempo singkat. Terpicu oleh pengalaman ini, intelektualitas manusia, atau Nalar, berusaha untuk menggerek sejumlah lubang dalam Sang Mutlak. Jelasnya, ia berusaha untuk memberi perbedaan dan mengaktualisasikan seluruh bentuk yang masih tersembunyi pada ketiadaan perbedaan asalnya. Hasil “penggerekan” ini tidak lain dariapda filsafat Nama-nama (ming) sebagaimana direpresentasikan Konfusius dan mazhabnya, sebuah filsafat esensialis, tempat segala hal ditandai dengan jelas, dilukiskan, dan benar-benar dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan tingkatan ontologis segenap esensi. Namun demikian,begitu lubang-lubang telah digerek pada wajah Hun Tun, dia mati. Hal ini bermakna bahwa Sang Mutlak bisa dicerap Nalar melalui pembedaan-pembedaan “esensial, yang dibuat pada realitas San Mutlak, dan dengan demikian menjadi sesuatu yang dapat dipahami, tetapi begitu Dia dapat dipahami oleh Nalar, Sang Mutlak pun mati.
Belum waktunya kita mempelajari secara rinci pandangan eksistensialis Chuang-tzu. Saya sekedar ingin menunjukkan melalui contoh ini betapa erat imajinasi mitopoiesis shamanik sesungguhnya berhubungan dengan kelahiran filsafat Taois. Dan sebaliknya, pada waktu yang sama, filsafat Taois dalam kandungan filosofisnya jauh terpisah dengan shamanisme.
Jrak antara shamanisme dan filsafat ini mungkin dapat didekatkan secukupnya jika kita menempatkan di antara kedua kerangka hubungan tersebut suatu kisah asal-usul alam semesta (cosmogonical story) – sebuah produk mentalitas mitopoiesis serupa – yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Langit dan Bumi menjelma. Hal ini bukan benar-benar “kisah”; melainkan “teori” yang memiliki satu tujuan. Ia merupakan hasil upaya serius untuk melukiskan dan menjelaskan secara teoritis asal-usul alam Wujud dan proses segala sesuatu di alam memperoleh bentuk-bentuknya yang kita kenal sekarang. Dalam pengerian ini, kosmogi merupakan kerangka-tengah (middle term) – yang secara struktural, jika bukan secara historis – menjebatani antara mitos shamanisme yang sederhana dan metafisika Jalan (tao) yang sangat berkembang.
Di sini kami mengutip terjemahan kosmogoni sebagaimana yang tertuang dalam Huai nan Tzu di atas.
Langit dan Bumi belum memiliki bentuk. Keduanya masih berupa cairan tidak berbentuk; tiada yang stabil, tiada yang tentu. Keadaan ini dinamakan Permulaan Agung. Permulaan Agung melahirkan kehampaan yang bersih jernih. Kehampaan yang bersih jernih itu melahirkan kosmos. Kosmos melahirkan energi vital (yang meliputi segalanya). Energi vital itu memiliki keistimewaan-keitimewaan dalam dirinya. Apa yang jernih dan ringan melayang-layang pada lapisan-lapisan tipis membentuk langit, sedangkan apa yang berat dan keruh membeku dan menjadi bumi. Penyatuan unsur-unsur yang jernih dan baik tentu saja mudah, sedangkan pembekuan unsur-unsur berat dan keruh adalah sulit. Karena itu, langit lebih awal terbentuk, kemudian Bumi berwujud.
Langit dan Bumi bersama-sama menghimpun unsur-unsur halus dari energi vitalnya untuk membentuk prinsip Negatif (Yin) dan Positif (yang), sedangkan Negatif dan Positif bersama-sama menghimpun unsur-unsur lebih halus dari energi vitalnya guna membentuk empat musim. Empat musim mencecerkan energi vitalnya untuk menghasilkan sepuluh ribu benda. Energi panas prinsip Positif yang telah terakumulasi melahirkan api, dan esensi energi api menjadi matahari. Energi dingin khas prinsip Negatif yang telah terakumulasi akan menjadi air, sedangkan esensi energi air menjadi bulan. Limpahan matahari dan bulan, yang telah mengalami proses penjernihan, berubah menjadi bintang-bintang dan planet-planet. Langit menerima matahari, bulan, pelbagai bintang, dan planet. Bumi menerima air, kubangan, debu dan tanah.
Pada pasase yang dikutip ini kita temukan lagi bahwa Sesuatu yang tidak terbedakan, tidak memiliki ciri khusus, dan Ketidakteraturan primordial (peimordial Chaos), kali ini sebagai sebuah prinsip kosmogonik atau Permulaan Agung, melukiskan keadaan segala sesuatu sebelum penciptaan alam raya. Permulaan Agung tentu saja berbeda dengan monster mitik dari Shan hai Ching dan prinsip metafisik dari Tao Te Ching. Namun, pada waktu sama, ternyata ketiga prinsip ini merupakan “fenomena” (penampakan) berbeda dari sesuatu yang sama.
Demikian pula pada pasase berbeda dalam buku yang sama, kita menemukan :
Pada dahulu kala, ketika Langit dan Bumi masih noneksistensi, belum ada sosok-sosok dan bentuk-bentuk tertentu. Dahsyat, buram, dan kelam secara misterius; tidak ada yang dapat dibedakan, tidak ada yang dapat diukur; jauh tidak terkira, sanagat luas dan hampa; tidak ada orang yang sanggup melihat gerbangnya.
Kemudian lahir secara bersamaan dua dewa, dan mereka mulai menguasai Langit dan memerintah Bumi. (Langit) sedemikian dalam, dan tidak seorang pun tahu di mana batasnya. (Bumi) sedemikian luas, dan tidak ada orang yang tahu di mana ujungnya.
Setelah itu (Wujud) membagi dirinya sendiri menjadi Negatif dan Positif, yang selanjutnya terpisah menjadi delapan arah utama.
Yang keras dan yang lembut saling melengkapi satu sama lain, dan sebagai akibatnya sepuluh ribu benda memperoleh bentuk pasti. Unsur-unsur kotor dan rambang dari energi vital menghasilkan hewan-hewan (termasuk berbagai binatang  buas, burung, reptil dan ikan). Energi vital yang lebih halus menghasilkan manusia. Inilah alasan mengapa (aspek) ruhani selayaknya milik Langit, sedangkan jasmaniah milik Bumi.
Secara historis, teori kosmogoni ini dan yang serupa dengannya tampak sangat dipengaruhi Taoisme dan metafisikanya. Namun, secara struktural, teori-teori itu menjalin garis penghubung antara mitos dan filsafat, yang memang berkenaan dengan keduanya, sekalipun berbeda dalam semangat dan strukturnya. Kosmogoni dalam pengertian ini membuka mata kita akan latarbelakang metopoeik (mythopoeic) dari metafisika Jalan sebagaimana dirumuskan Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Dalam gaya sama, kita dapat menjelaskan aspek subyektif – maksudnya, epistemologis – hubungan antara shamanisme dan filsafat Taois dengan cara membanding artikel Elegies of Cg’u yang disebutkan di atas dengan buku-buku karya Lou-tzu dan Chuang-tzu. Kemudian memperoleh hasil menarik dari studi banding antara Ch’u Yuan, sang penyair shaman yang agung pada pemerintahan Ch’u, dengan para filosof Taoisme telah lama dicatat oleh Henry Maspero, walau pun kematian telah mencegahnya untuk sepenuhna mengembangkan gagasan itu.
Dalam Li Sao dan Yuan Yu, penyair shaman tersebut memerikan secara rinci proses keadaan visioner yang melaluinya jiwa yang berada dalam kondisiekstatis, dibantu dan ditolong beragai dewa dan ruh, naik menuju kota surgawi tempat “maujud-maujud abadi” hidup. Hal ini sesungguhnya tiada lain merupakan deskripsi tentang unio mystica shamanis. Dan kenaikan shamanis itu sejajar dengan kenaikan visioner dari struktur yang sama dalam Chuang-tzu. Satu-satunya perbedaan mendasar antara keduanya ialah bahwa pada khasus terakhir pengalaman perjalanan spiritual itu telah disuling dan dielaborasi ke dalam bentuk kontemplasi metafisik. Persis sebagaimana sang penyair-shaman dalam kebingungan ekstansinya akan egonya mengalami sejenis keabadian dan kekekalan demikian pula filosof Taois mengalami keabadian dan “kehidupan panjang” di tengah Jalan abadi, melalui penyatuan dengannya. Adalah menarik untuk diperhatikan dalam kaitan ini bahwa sang penyair mengatakan pada tahap akhir npengalaman spiritualnya bahwa dian “melampaui Non-Tindakan (Wu Wei, Non Doing), mencapai Kemurnian primordial dan berdampingan dengan Permulaan Agung. Dalam terminologi Taois, kita akan mengatakan bahwa sang penyair itu, pada tahap ini, telah "berdampingan dengan Jalan”, yakni “benar-benar menyatu dengan Jalan.”

Dalam Li Sao, sang penyair tidak naik menuju ketinggian seperti itu. Berdasarkan asumsi bahwa Li Sao dan Yuan Yu sama-sama merupakan karya autentik Ch’u Yuan. Maspero menyatakan bahwa Li Sao melukiskan tahapan yang lebih dini dalam perkembangan spiritual sang penyair, karena sebagai shaman dia belum mencapai tahap akhir,s edangkan Yuan Yu melukiskan tahapan selanjutnya pada saat sang penyair telh mencapai ujung mistisisme.
Tentu saja interpretasi itu tidak dapat dipertahankan jika kita mengetahui dengan pasti bahwa Yuan Yu merupakan karya yang disusun penyair mutakhir dan secara rahasia diatributkan kepada Ch’u Yuan. Bagaimana pun juga, syair itu sendiri dalam bentuk aktualnya jelas-jelas bersifat Taois, dan sebagian gagasannya tidak dapat disangkal diambil dari Lou-tzu dan Chuang-tzu. Namun demikian, sekali lagi, persoalan autentitas sama sekali bukan persoalan sangat penting bagi kita. Karena, meskipun kita mengakui bahwa seluru syair itu – atau sebagiannya – merupakan pemalsuan yang dilakukan Dinasti Han, namun fakta bahwa metafisika taois dapat sebegitu alamiah ditransformasikan – atau dikembalikan – ke dalam visi-dunia shamanis itu sendiri merupakan bukti tentang kecocokan yang ada antara shamanisme dengan Taoisme.
Sebuah perbandingan analitis yang rinci antara artikel Elegies of Ch’u dan karya-karya Lou-tzu dan Chuang-tzu niscaya melahirkan karya yang sangat bermanfaat dan menguntungkan. Namun, untuk itu, kita akan jauh menyimpang dari topik utama kajian ini. Di samping itu, kita akan segera menguraikan secara rinci pada bab-bab pertama buku ini tentang versi filosofis dalam hal perjalanan spiritual yang baru saja disinggung. Dan ini harus cukup untuk tujuan-tujuan kita sekarang ini.
Kini, marilah kita meninggalkan persoalan asal-usul shamanis dalam Taoisme, dan beralih ke aspek-aspek yang murni berkenaan dengan filsafat Taoisme. Perhatian utama kita selanjutnya akan secara khusus ditujukan pada struktur aktual metafisika Taois dan konsep-konsep utamanya.

3. MIMPI DAN KENYATAAN

Pada bab sebelumnya kita berbicara tentang mitos Kekacauan (Chaos_, ketiadaan perbedaan primordial yang mendahului permulaan kosmos. Dalam bentuk shamanis aslinya, sosok kekacauan sebagai monster tidak berbentuk terlihat ganjil, primitif, dan aneh sekali. Namun, secara simbolik, ia sangat penting, karena gagasan filosofis yang disimbolkannya langsung menyentuh inti realitas Wujud (Being).
Dalam pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, realitas Wujud adalah Kekacauan. Di sanalah tergeletak intisari ontologi mereka. Namun, proposisi ini tidak bermakna bahwa kekacauan dan ketidakteraturan dunia yang kita tempati merupakan sebuah fakta empiris. Karena, dunia empiris, sebagaimana setiap hari kita amati, adalah jauh dari keadaan tidak berciri dan “tidak berbentuk” sebagaimana wajah monster-burung Shan Hai Ching.s ebaliknya, ia merupakan dunia tempat kita melihat banyak benda yang benar-benar dapat dibedakan satu dengan lainnya, masing-masing memiliki “nama” khas, dan masing-masing pasti dapat digambarkan dan ditentukan. Segala benda yang berada  di dalamnya memiliki tempat sendiri; segalanya secara rapi tersusun dalam hirarki. Kita hidup dalam dunia seperti itu, dan kita benar-benar merasakan dunian kita seperti itu. Menurut apra filosof Taois, hal itu justru merupakan penyakit dari Nalar kita. Dan sulit bagi benak awam untuk tidak melihat pembedaan-pembedaan di dunia tersebut. singkat kata, dunia tersebut tidaklah kacau.
Akan menjadi tugas pertama Chuang-tzu untuk memecahkan ruang-ruang Wujud yang tampaknya kedap-air ini, agar kita bisa melihat sekilas pada kedalaman tak terukur dari Kekacauan (Chaos) sediakala itu. Bagaimanapun juga, tugas ini sama sekali tidaklah mudah. Chuang-tzu sesungguhnya mencoba melakukan berbagai pendekatan. Mungkin yang paling mudah dari semuanyya untuk kita pahami adalah ypayanya berkenaan dengan “pengacauan” (chaotification) – jika kita boleh menciptakan kata itu – “mimpi” dan “realitas”. Melalui bahasa deskriptif dan naratif yang kelihatannya sangat mudah, dia berusaha untuk segera menarik kita menuju tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan “realitas” tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya, berpadu dalam sesuatu yang “tak berbentuk”.
Berikut adalah bagian sangat terkenal dalam Chaung-tzu, ketika sang bijak berusaha menyajikan sebagai sebuah pandangan seklias tentang “pengacauan” berbagai hal :
Suatu ketika, aku, Chuang=tzu, bermimpi bahwa kau menjadi seekor kupu-kupu. Terbang ke mana-mana dan semau hati, maka aku sesungguhnya seekor kupu-kupu. Bahagia dan senang, aku tidak sadar bahwa aku adalah Chou.
Namun, tiba-tiba aku terbangun,d an ternyata, aku adalah Chou.
Apakah Chou bermimpi bahwa dia adalah seekor kupu-kupu? Ataukah kupu-kupu bermimpi menjadi Chou? Bagaimana aku mengetahuinya? Bagaimanapun, tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan antara Chou dan seekor kupu-kupu. Situasi ini adalah apa yang aku namakan “Transmutasi dari berbagai hal”.
Perdua terakhir kutipan ini menyinggung tema utama Chuang-tzu. Pada jenis situasi yang dilukiskan di sini, dirinya dan kupu-kupu tidakd apat lagi dibedakan, lantaran masing-masing telah kehilangan identitas esensial dirinya. Meskipun begitu, dia berkata, “tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan antara Chou dan seekor kupu-kupu”. Pernyataan terakhir ini menunjukkan situasi tentang berbagai hal dalam dunia fenomenal yang lazim manusia sebut sebagai “realitas”. Pada tingkatan eksistensi ini, “manusia” tidak dapat menjadi “kupu-kupu”, dan “kupu-kupu” tidak dapat menjadi “manusia”. Dengan demikian, dua hal yang tentu saja berbeda dan dapat dibedakan satu dengan lainnya ini telah kehilangan ciri khasnya pada tingkatan tertentu dari kesadaran manusia, dan menuju keadaan tidak terbedakan (undifferentiation) – Kekacauan.
Situasi ontologis ini oleh Chuang-tzu disebut sebagai Transmutasi berbagai hal, wu hua. Wu hua merupakan salah satu istilah pokok yang sangat penting dalam filsafat Chuang-tzu. Istilah itu akan dibahas secara rinci. Berikut ini saya akan menerjemahkan pasase lain yang menjelaskan konsep serupa melalui citra-citra yang mirip.
Seseorang meminum anggur dalam mimpinya, dan dia menangis dan meratap pada pagi harinya (ketika dia terbangun). Seseorang menangis dalam mimpi (sedihnya), tetapi pada pagi harinya dia dengan gembira pergi berburu. Ketika dia sedang bermimpi dia tidak sadar bahwa dia sedang bermimpi; dia bahkan berusaha (dalam mimpinya) untuk menafsirkan mimpinya. Hanya setelah terjaga dari tidur, dia menyadari bahwa itu sekedar mimpi. Demikian juga, halnya ketika seseorang mengalami Keterjagaan Agung dia menyadari bahwa semua ini tidak lebih daripada sebuah Mimpi Besar. Namun, manusia bodoh membayangkan bahwa semua itu sesungguhnya bukanlah mimpi. Tertipu oleh kecerdasan mereka yang picik, mereka menganggap diri mereka cukup cerdas untuk membedakan antara apa yang mulia dan apa yang hina. Betapa berurat berakar dan sulit diperbaiki kebodohan mereka!
Realitas, aku dan engkau adalah sebuah mimpi. Bukan hanya itu, justru fakta bahwa aku mengemukakan padamu bahwa engkau sedang bermimpi itu sendiri merupakan sebuah mimpi!
Jenis pernyataan ini besar kemungkinan bakal digolongkan sebagai sesat pikrian yang ganjil. (Namun, dia tampak sangat tepat sebab ia mengungkapkan Kebenaran),d an seorang arif besar yang mampu menembus rahasia itu sulit daharapkan muncul di dunia dalam sepuluh rivu tahun.
Gagasan yang sama berulang apda pasase berikut :
Anggaplah engkau bermimpi bahwa engkau adalah burung. (dalam kondisi itu) engkau terbang tinggi menuju langit. Anggaplah engkau bermimpi bahwa engkau adalah seekor ikan. Engkau menceburkan diri dalam kolam. (Sewaktu engkau sedang mengalami semua ini dalam mimpi, apa yang engkau alami adalah “realitasmu”) Dilihat dari sisi ini, tidak ada orang yang dapat yakin apakah kita – engkau dan aku, yang sesungguhnya terlibat dalam percakapan melalui cara ini – sedang terjaga ataukah sekadar bermimpi!.
Pandangan demikian mereduksi perbedaan antara Aku dan engkau menjadi sekedar sebuah penampakan atau penampilan, atau paling tidak menjadikan perbedaan iotu sangat meragukan dan tidak berdasar.
Masing-masing dari kita yakin bahwa “ini” adalah Aku (dan konsekuensinya “selain ini” adalah Engkau atau Dia). Namun demikian, saat direfleksikan, bagaimana aku dapat meyakini bahwa “Aku” ini yang aku anggap sebagai “Aku” benar-benar kepunyaan “Aku”?
Maka itu, sekalipun “diri” saya sendiri yang saya anggap sebagai inti eksistensi yang paling kukuh dan dapat diandalkan – dan entitas satu-satunya yang sangat pasti ketika saya meragukan eksistensi segala sesuatu lainnya, dalam pemahaman filsafat Cartesian – tiba-tiba saja mengalami transformasi menjadi sesuatu yang mirip mimpi dan tak nyata.
Dengan begitu, melalui “sesat pikir ganjil” tampaknya Chuang-tzu mereduksi segala sesuatu menjadi sebuah Mimpi Besar. Negasi kasar atas “realitas” ini tidak lebih daripada langkah awal menuju filsafatnya, karena filsafatnya memiliki sisi positif. Namun, sebelum menyingkapkan sisi positifnya – yang “kecerdasan picik” kita tidak pernah dapat berharap memahaminya – dia memberikan pukulan telak pada “kecerdasan” dan Nalar ini dengan mendepaknya dari landasan pijakannya.
Dunia adalah sebuah mimpi; apa yang biasanya kita anggap sebagai “realitas” yang kukuh, adalah sebuah mimpi. Lebih dari itu, manusia yang memberitahukan orang-orang lain bahwa segala sesuatu adalah mimpi dan orang-orang yang menyimak ajarannya, semuanya adalah bagian dari sebuah mimpi.
Apa yang Chuang-tzu ingin kemukakan dengan semua ini? Dia ingin mengemukakan bahwa Realitas dalam pengertian sesungguhnya dari kata itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dari apa yang Nalar anggap sebagai “realitas”. Untuk memahami makna sejatinya, kesadaran normal yang kita miliki pertama-tama harus kehilangan identitas dirinya. Bersama-sama dengan “ego”, segala objek persepsi dan pemikirannya juga harus kehilangan semua identitas-dirinya dan bergerak menuju suatu kebingungan yang kita namakan di atas dengan “Kekacauan primordial” (primordial Chaos). Hal yang disebutkan terakhir ibi adalah tingkatan ontologis tempat “mimpi” dan “realitas” kehilangan perbedaan esensial di antara keduanya, sehingga signifikansi dari pelbagai perbedaan itu sendiri telah hilang. Pada sisi subyektifnya, ia merupakan tingkat kesadaran yang di dalamnyan tidak ada lagi “diri sendiri”, dan suatu benda dapat menjadi benda lain. Ia merupakan sebuah tatanan Wujud yang sama sekali baru, tempat seluruh maujud terbebaskan dari belenggu determinasi semantiknya yang secara bebas saling bertransformasi satu dengan lainnya. Inilah apa yang Chuang-tzu namakan sebagai Transmutasi segala sesuatu.
Transmutasi segala sesuatu, sebagaimana dalam konsepsi Chuang-tzu, harus dipahami berkenaan dengan dua dasar acuan. Pada satu sisi, ia menunjukkan situasi metafisik manakala segala sesuatu ditemukan “bisa ditransformasikan” satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga pada puncaknya semua menyatu bersama-sama menjadi Kesatuan mutlak. Dalam pemaknaan ini, ia melampaui “waktu”; ia merupakan tatanan berbagai hal yang supratemporal. Dalam pandangan orang yang telah mengalami Keterjagaan Agung, segala sesuatu adalah Sat; segala sesuatu adalah realitas itu sendiri. Namun, pada waktu sama, Realitas unik ini memperlihatkan padanya pandangan kaledoskopik (yang terus menerus berubah dengan cepat) beragam dan berbagai hal yang “secara esensial” berbeda satu dengan lainnya. Dan pada aspek ini, alam Wujud memiliki beraneka ragam dan berjumlah banyak. Dua aspek itu harus didamaikan satu dengan lainnya dengan menganggap “hal-hal” ini sebagai selaksa bentuk fenomenal dari Satu yang mutlak. “Kesatuan eksistensi”, dipahami dengan cara ini, merupakan intik filsafat Lou-tzu dan Chuang-tzu.
Di sisi lain, transmutasi yang sama dapat dipahami sebagai sebuah proses temporal. Dan ini sesungguhnya juga dilakukan oleh Chuang-tzu. Suatu benda, a, terus bersembada sebagai a untuk beberapa waktu; kemudian, setelah batas yang sesungguhnya telah ditetapkan untuknya tiba, maka ia berhenti menjadi a dan mengalami transmutasi atau transformasi menjadi benda lain. B, Dari sudut pandang supratemporalitas, a dan b secara metafisik adalah satu dan benda yang sama, perbedaan antara keduanya hanyalah merupakan perosalan yang bersifat fenomenal (penampakan). Dalam pemaknaan ini, bahkan sebelum a berhenti menjadi a – maksudnya,d ari permulaan --- a adalah b, dan b adalah a. Karenanya, tidak ada persoalan a “menjadi” b, sebab a, justru dalam fakta, ia adalah a, telah menjadi b.
Dari sudut pandang kedua, bagaimanapun, a adalah a dan bukan sesuatu yang lain. Dan, dalam proses temporal, a ini “menjadi” sesuatu yang lain. B yang pertama “berubah” menjadi yang kedua. Namun, di sini pula kita mencapai Kesatuan metafisik yang sama, yang istilahnya, secara berputar. Mengingat a, dengan “menjadi” dan “berubah” sebagai b, mengembalikan dirinya kepada asal usul dan sumbernya sendiri. Keseluruhan proses ini merupakan lingkaran ontologis, sebab, melalui proses yang sama menjadi b, maka a semata-mata “menjadi” dirinya sendiri – sekalipun dalam bentuk yang berbeda.
Saat diterapkan pada konsep “hidup” dan “mati”, gagasan seperti itu, tentu saja melahirkan Filsafat Kehidupan khas, yang pada dasarnya merupakan pandangan optimistik tentang eksistensi manusia. Disebut “optimistik” lantaran ia benar-benar meniadakan perbedaan antara Kehidupan dan Kematian.d ari sudut pandang ini, apa yang dinamakan masalah Kematian berubah menjadi lebih daripada sebuah masalah semu.
Walaupun ia menjadi sebuah masalah semu dalam sudut pandang roang-orang yang telah melihat Kebenaran, tetapi Chuang-Chu sering mengangkat tema ini dan mengembangkan pemikiran di sekitarnya. Sesungguhnya, tema ini merupakan salah satu topik yang sangat disenangi. Karena sesungguhnya hal ini adalah sebuah masalah, atau pokok masalah. Kematian, khususnya, kebetulan merupakan masalah yang sangat menggelisahkan pikiran awan. Seseorang yang telah berhasil mengatasi angoise(kegelisahan dan kekhawatiran) eksistensial dalam berhadapan terus-menerus dan setiap saat dengan kengerian kemusnahan dirinya sendiri merupakan tanda bahwa dia berada pada tahap “manusia sejati” Selain itu, karena hal itu kebetulan merupakan sebuah masalah yang demikian vital, maka solusinya adalah mengingatkan arti penting konsep Transmutasi. Jika tidak, segala sesuatu yang lain persisinya berada dalam situasi ontologis antara Hidup dan Mati.
Kini kita kembali ke maslah reduksi Chuang-tzu terhadap segala sesuatu menjadi modus eksistensi mirip mimpi. Tidak ada di alam Wujud yang dapat benar-benar menopang kehidupannya sendiri. Dalam terminologi skolastik kita mungkin melukiskan situasi ini dengan mengatakan bahwa tidak ada yang memiliki – kecuali dalam penampakan dan penampilan – “kuiditas” atau “esensi” yang tidak berubah. Dan dalam kondisi segala sesuatu yang berubah-ubah ini, kita tidak lagi yakin akan identitas-diri apa pun juga. Kita tidak pernah mengetahui apakah a sesungguhnya adalah a itu sendiri.
Ketidak-pastian mirip mimpi yang esensial ihwal ketiadaan determinasi ini sesungguhnya mengandung kebenaran tentang  Hidup dan Mati. Struktur konseptual pernyataan ini akan mudah terlihat jika seseorang menggantikan istilah-istilah Hidup dan Mati dengan a dan b, dan berusaha untuk melukiskan ulang seluruh situasi menyangkut pola a-b yang telah disinggung di atas.
Berbicara tentang “manusia sejati” dari negeri Lu, Chuang-tzu berkata :
Dia tidak mau tahu mengapa dia hidup. Dia juga tidak mau tahu mengapa dia mati. Dia bahkan tidak tahu yang mana datang eprtama kali dan yang mana datang belakangan. (Maksudnya, Kehidupan dan Kematian yang ada dalam benaknya tidaklah dibedakan satu dengan lainnya, sebab perbedaan antara keduanya adalah tidak signifikan) Dengan mengikuti rangkaian alamiah Transmutasi dia telah menjadi sesuatu yang pasi; kini dia benar-benar menunggu Transmutasi selanjutnya.
Di samping itu, ketika seseorang mengalami Transmutasi, bagaimana dia dapat yakin bahwa dia (sesungguhnya) sedang tidak bertransmutasi? Dan ketika dia tidak mengalami Transmutasi, bagaimana dia dapat yakin bahwa dia (sesungguhnya) sudah tidak bertranspmutasi?
Dalam pasase yang sama berkenaan dengan masalah Kematian dan sikap yang pantas dari “manusia sejati” terhadapnya, Chuang-tzu membiarkan Konfusius membuat pernyataan berikut. Sudah barang tentu, Konfusius di sini adalah seorang tokoh rekaan yang tidak harus menyangkut tokoh sejarah tertentu, tetapi pasti ada seikit sentuhan ironi pada fakta Konfusius terpaksa membuat pernyataan demikian.
Mereka (Maksudnya, “manusia sejati”) adalah orang-orang yang dengan bebas berkelana di luar batas-batas (maksudnya, norma-norma umum dari perilaku yang layak), sedangkan orang-orang seperti diriku adalah orang-orang yang berkelana dengan bebas hanya dalam batas-batas. “Di luar batas-batas” dan “dalam batas-batas” merupakan kutub-kutub yang terpisah satu dengan lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang, dalam keadaan benar-benar menyatu dengan Maha Pencipta Itu Sendiri, merasa bahagia berada dalam ranah Kesatuan asli dari energi bital sebelum terbagi menjadi Langit dan Bumi.
Dalam benak mereka, Kehidupan (atau Kelahiran) hanyalah pertumbuhan yang tidak normal, sebuah kutil, sedangkan Kematian ibarat pecahnya sebuah bisaul, pecahnya sebuah tumor. Jika demikian halna, bagaimana kita mengharapkan mereka untuk memerhatikan persoalan tentang mana yang lebih baik dan lebih buruk – Kehidupan atau Kematian? Mereka sekedar meminjam unsur-unsur yang berbeda,d an memasangnya dalam bentuk biasa dari suatu tubuh. Karenanya mereka sadar tidak memiliki liver dan tidak memiliki empedu, dan mereka mengesampingkan telinga dan mata mereka. Dengan memasrahkan diri mereka kepada gelombang-gelombang dahsyat yang senantiasa berulang. Akhir dan Awalnya, mereka terus berputar dalam sebuah putaran, namun mereka tidak mengetahui manakah titik awal dan titik akhir.
Bagi Chuang-tzu, Kematian bukanlah apa-apa selain merupakan salah satu dari beragam bentuk fenomena tiada akhir dalam hubungan dengan sebuah Realitas yang abadi. Bagi pandagan kita, Realitas metafisik ini mengaktualisasikan dirinya danmengembangkan dirina dalam proses yang mengikuti waktu. Namun, bahkan ketika dikonsepsikan dalam bentuk temporal seperti itu, proses tersebut hanya melukiskan sebuah lingkaran berputar tiada henti, karena tidak ada orang yang mengetahui tentang awal dan akhir yang sesungguhnya. Kematian tidak lain merupakan sebuah tahapan dalam lingkaran ini. Ketika itu terjadi, satu bentuk fenomena khusus terhapus dari lingkaran tersebut dan lenyap hanya untuk muncul kembali sebagai suatu bentuk fenomena yang benar-benar berbeda. Alam senantiasan membuat dan mengubah buatan. Tetapi, lingkaran itu sendiri, maksudnya Realitas itu sendiri, senantiasa tidak berubah dan tidak goyah. Menyatu dengan Realitas, benak “manusia sejati” tidak pernah menjadi goyah.
Sorang “manusia sejati” lanjut Cuang-tzu, melihat tubuhnya sendiri secara mengerikan mengalami deformasi pada hari-hari terakhir kehidupannya. Dia berjalan pincang menuju sebuah sumur, memandang dirinya yang terpantul di dalam air dan berkata, “Aduh! Maha Pencipta telah menjadikan aku sebagai jelek cacat!” Setelah itu, temannya bertanya kepadanya, “Apakah engkau membenci kondisimu?” Berikut adalah jawaban “manusia sejati” terhadap pertanyaan ini :
Tidak! Mengapa aku harus membencinya? Mungkin saja proses Transmutasi akan mengubah tangan kiriku menjadi seekor ayam jago. Maka, aku hanya akan menggunakannya untuk berkokok memberitahukan datangnya pagi. Mungkin saja proses itu berlanjut dan dapat mengubah tangan kananku menjadi busur panah. Maka aku hanya akan menggunakannya guna menembak burung untuk dipanggang. Mungkin saja proses tersebut akan mengubah bokongku menjadi roda dan mengubah ruhku menjadi seekor kuda. Maka aku hanya cukup menempel pada dokar. Aku bahkan tidak perlu kuda lain untuk dokar itu.
Apapun yang kita peroleh (maksudnya, dilahirkan kedunia ini dalam suatu bentuk khusus) adalah berhubungan dengan datangnya waktu. Apapun kehilangan kita (maksudnya, kematian) adalah juga berhubungan dengan tibanya giliran. Kita harus merasa puas dengan “waktu” dan menerima “giliran”. Maka kesedihan dan kebahagiaan tidak akan pernah mengenyangi. Sikap demikiian biasanya dinamakan para leluhur sebagai “mengendurkan ikatan”. Jika manusia tidak dapat mengendurkan dirinya dari suatu ikatan, berarti itu karena “banyak hal” telah mengikatnya dengan ketat.
Manusia sejati lainnya pada saat-saat akhir kehidupan menerima kunjungan seorang sahabtnya yang juga merupakan “manusia sejati”. Percakapan antar mereka sebagaimana dikisahkan oleh Cuang-tzu adalah menarik. Pengunjung itu melihat ratap tangis istri dan anak-anak yang mengelilingi sahabtnya menjelang akhir kehidupannya, maka dia berkata kepada mereka, “Hus! MEnjauhlah! Jangan kalian mengganggunya, karena dia sedang melewati proses Transmutasi!”
Kemudian dia berpaling kepada sahabatnya yang sedang sekarat sambal berkata :
Betapa agung Maha Pencipta! Apa ayang akan dia lakukan terhadapmu kini? Kemana dia akan membawamu? Apakah dia akan menjadikanmu sebagai liver seekor tikus? Ataukah dia akan menjadikanmu lengan dari seekor serangga?
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, sahabatnya yang sedang sekarat menjawab :
(tidak masalah bagaimanapun Maha Pencipta menjadikanku, aku menerima kondisi dan mengikuti perintahnya) Tidakkah engkau mengerti? Dalam hubungan di antara seorang anak dan orangtuanya, si anak akan pergi ke mana pun mereka menyuruhnya untuk pergi, timur, barat, selatan, utara. Namun, hubungan antara Yin-Yang (maksudnya, Hukum yang mengatur proses kosmik menjadi) dan manusia jauh lebih erat daripada hubungan antara anak dan orangtuanya. Kini mereka (Yin dan Yang) telah membawaku menuju ambang kematian. Seandainya aku menolak untuk tunduk kepada mereka, maka sungguh itu merupakan suatu perbuatan pembangkangan.
Bayangkan ada seorang pandai besi yang hebat, sedang membuat logam. Seandainya logam itu harus bangkis melompat dan mulai berteriak, “Aku harus dibuat menjadi sebuah pedang seperti Mo Yeh, tidak boleh lainnya!” Si pandai besi tentu saja akan menganggap logam itu sebgai sesuatu yang sangat jahat. (Hal yang sama mungkin benar tentang) seorang manusia yang dengan alas an bahwa dia kebetulan telah mengambil bentuk manusia, seandainya  bersikukuh dengan mengatakan “Aku ingin menjadi seorang manusia, hanya manusia! Tidak boleh lainnya!” Maha Pencipta tentu saja akan menganggapnya sebagai makhluk yang sangat jahat.
Bayangkan dunia itu sebagai sebuah tungku perapian yang besar, dan Maha Pencipta sebagai pandai besi luar biasa. Ke mana pun kita mungkin pergi, segala sesuatu akan menjadi baik. Dengan tenang kita akan pergi tidur (maksudnya, mati), dan tiba-tiba kita akan mendapatkan diri kita terbangun (dalam suatu bentuk eksistensi baru).
Konsep tentang Transmutasi segala sesuatu sebagaimana disusun oleh Chuang-tzu mungkin tampak mirip denga  doktrin tentang “transmigrasi”. Namun, kemiripan itu hanya bersifat lahiriah. Chuang-tzu tidak mengatakan bahwa jiwa senantiasa melakukan transmigrasi dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Pokok pemikirannya tentang masalah ini adalah bahwa segala sesuatu merupakan sebentuk fenomena dari Realitas tunggal yang unik yang senantiasa secara berturut-turut mengambil berbagai bentuk manifestasi diir. Di samping itu, sebagaimana kita telah pahamisebelumnya, proses temporal ini sendiri hanyalah sebuah fenomena. Tepatnya semua ini merupakan suatu yang secara abadi berlangsung pada tingkatan temporal dari Wujud. Segala sesuatu adalah satu dalam keabadiannya, di lura Waktu dan Ruang.

4. MELAMPAUI INI DAN ITU

Dari halaman-halaman terakhir bab sebelumnya kita telah memahami bagaimana Chuang-tzu menghilangkan perbedaan atau pertentangan antara Kehidupan dan Kematian serta mengembalikannya pada kondisi asli “ketiadaan perbedaannya”. Kita telah membahas cukup luas persoalan itu sebab ia merupakan salah satu topik kesukaan Chuang-tzu, selain juga karena ia membukakan mata kita tentang aspek penting dari filsafatnya.
Tepatnya, bagaimanapun, dan dari sudut pandang ontologis, Kehidupan dan Kematian seharusnya tidak menempati tempat yang demikian istimewa. Karena semua yang dinamakan “lawan-lawan” dalam filsafat Chuang-tzu, tidak sungguh-sungguh berlawanan satu dengan lainnya. Sesungguhnya, dalam pandangannya, tidak ada sesuatu yang belawanan dengan sesuatu lainnya, karena tidak ada sesuatu yang memiliki “esensi” yang benar-benar kukuh dalam pusat ontologisnya. Dalam pandangan seorang manusia yang telah mengalami “pengacauan” (Chaotification) berbagai hal, segala sesuatu kehilangan garis batasnya yang kukuh, tercabut dari landasan “esensial”-nya. Seluruh perbedaan ontologis antara berbagai hal menjadi suram, kabur, dan akcau, jika bukan hancur sama sekali. Perbedaan-perbedaan tersebut tentus aja masih ada, namun tidak lagi signifikan dan “esensial”. Dan “lawan-lawan” tidak lagi menjadi “lawan-lawan” kecuali secara konseptual. “Cantik” dan “jelek”, “baik” dan “buruk”, “benar” dan “salah” serta “saleh” dan “tidak saleh” – semua ini dan pasangan-pasangan konseptual lainnya yang sangat berbeda, pada tingkatan Nalar, dan yang sesungguhnya memainkan peranan utama dalam kehidupan manusia, ditemukan berada jauh dari kemutlakan.
Sikap Chuang-tzu terhadap “lawan-lawan” dan “perbedaan-perbedaan” yang umumnya diterima sebagai “nilai-nilai” kultural, estetika, atau etika ini akan tampak tidak lebih dan tidak kurang dariapda apa yang disebut dengan relativisme. Hal yang sama sebenarnya merupakan sikap Lou-tzu. Sesungguhnya halm itu ialah pandangan tentang nilai-nilai yang relativis. Namun, sangat penting untuk dicermati bahwa ia bukanlah sejenis relativisme biasa sebagaimana dipahami tentang tingkat kehidupan social yang bersifat emnpiris ataun pragmatis. Ia adalah sejenis relativisme khas yang didasarkan pada jenis intuisi mistik yang khas; intuisi mistik tentang Kesatuan dan Keragaman eksistensi. Ia adalah filsafat tentang “ketiadaan perbedaan” yang merupakan produk alamiah dari pengalaman metafisik tentang Realitas, suatu pengalaman ketika Realitas yang langsung disaksikan saat ia mendedah dan mendiversifikasikan dirinya menjadi beribu-ribu hal dan kemudian kembali lagi kepada Kesatuan aslinya.
Dasar metafisika relativisme Taois ini akan dibahas secara rinci pada bab berikutnya. Di sini kita akan membatasi diri pada sisi “relativitas” filsafat ini, dan berusaha untuk mengejar Chuang-tzu dan Lou-tzu sedekat mungkin sebagaimana mereka terus mengembangkan gagasan-gagasannya tentang aspek khusus persoalan ini.
Sebagaimana baru saja saya jelaskan, sikap Chuang-tzu dan Lou-tzu terhadap apa yang dinamakan nilai-nilai kultural secara lahiriah tidak akan tampak apa-apa selain daripada “relativisme” dalam istilah yang lazimnya dipahami. Pertama-tama marilah kita menguji masalah ini dengan mengutip beberapampasase yang cocok dari dua buku tersebut. Bahkan, dalma tahapan analisis pendahuluan ini, kita dengan jelas akan melihat bahwa relativisme ini ditujukan untuk melawan pandangan “esensialis” dari ajaran Konfusius. Pada kalimat terakhir pasase berikutn ini terdapat petunjuk eksplisit menyangkut sudut pandang Konfusius.
Jika seorang manusia tidur di sebuah tempat lembab, maka dia akan menderita sakit punggung,d an pada kahirnya dia akan mengalami separo kelumpuhan. Namun, apakah ini berlaku terhadap seekor ikan yang hidup di dalam air? Jika (seorang manusia) hidup pada sebatang pohon, maka dia pasti akan terus menggigil ketakutan. Namun, apakah ini berlaku untuk seekor monyet? Nah, yang mana dari ketiga makhluk ini (maksudnya, manusia, ikan, dan monyet) yang menegtahui tempat (mutlak) tepat untuk hidup?
Manusia makan daging sapi dan babi; kijang makan rumput, kelabang menganggap ular itu enak; burung rajawali dan burung gagak menyukai tikus. Dari keempat makhluk ini manakah yang mengetahui rasa (mutlak) enak?
Seekor monyet menemukan pasangannya pada monyet; seekor kijang berpasangan dengan seekor kijang. Dan ikan-ikan air tawar hidup dengan ikan-ikan lainnya. Maka Ch’iang dan Li Chi dianggap sebagai perempuan-perempuan cantic ideal oleh semua lelaki. Namun sebaliknya, jika ikan kebetulan melihat kecantikan seperti mereka, maka mereka akan menyelam di kedalaman air; burung-burung dapat terbang tinggi; dan kijang dapat berlarian ke semua arah. Dari keempat makhluk ini, manakah yang mengetahui kecantikan (mutlak) ideal?
Pertimbangan-pertimbangan ini menuntunku untuk menyimpulkan bahwa batas-batas antara “kebaikan” (jen) dan “kesalehan” (i), serta batas-batas antara “benar” dan “salah” juga sangat tidak pasti dan kabur. Begitu luar-biasa kaburnya sehingga kita tidak pernah dapat mengetahui bagaimana cara membedakannya (antara apa yang sangat benar dan apa yang sangat salah, dan sebagainya).
Jenis relativisme ini juga ditemukan dalam buku Lou-tzu. Konsep mendasar itu persis sama seperti dalam buku Chuang-tzu; demikian pula alas an dia menjunjung tinggi pandangan seperti itu. Sebagaimana akan kita pahami kelak, Lou-tzu juga memandang perbedaan-perbedaan, pertentangan-pertentangan,d an kontradiksi-kontradiksi yang nyata tersebut dari sudut pandang Satu metafisik ketika segala sesuatu kehilangan sisi-sisi pembedaan konseptualnya yang tajam serta menjadi padu dan serasi.
Satu-satunya perbedaan antara Chuang-tzu dan Lou-tzu dalam hal ini adalah bahwa Lou-tzu mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang sangat lugas, tepat, dan tegas. Sedangkan Chuang-tzu senang mengembangkan pemikirannya dalam bentuk perumpamaan yang sangat banyak. Selain itu, gagasan itu sendiri adalah sama bagi mereka berdua. Pada kutipan-kutipan pertamaberikut ini dari Tao Te Ching, sebagai contoh, Lou-tzu secara implisit menolak esensialisme kultural dalam mazhab Konfusius.
Buanglah pembelajaran, dan tidak aka ada lagi kecemasan-kecemasan. Berapa banyak sesungguhnya perbedaan yang ada di antara “ya tuan” dan “hem”!? Adakah pula perbedaan antara “baik” dan “buruk”? “Apappun yang orang-orang lain hormati, juga harus aku hormati”, (kata mereka).
Oh, betapa jauh aku dari orang-orang awam (yang menganut gagasan demikian). Karena (di atas prinsip demikian) tidak akan ada batas bagi lusnya (perbedaan-perbedaan sepele).
Manusia cenderung membayangkan, kata Lou-tzu, bahwa segala sesuatu pada dasarnya dapat dibedakan dengan lainnya, dan para pengikut Konfusius telah membangun sistem terperinci tentang nilai-nilai moral yang tepatnya berupa gagasan bahwa segala sesuatu ditandai (dapat dibedakan) dengan yang lain melalui “esensinya” sendiri. Mereka tampaknya yakin bahwa “perbedaan-perbedaan” ini semuanya bersifat permanen dan tidak dapat diubah. Namun, dalam kenyatannya. Mereka sungguh-sungguh tertipu oleh aspek-aspek eksternal dan fenomenal Wujud. Seorang manusia yang pandangannya tidak terselubung oleh jenis tipuan ini melihat dunia Wujud sebagai ruang yang sangat luas dan tak terbatas karena berbagai hal saling bergabung satu dengan lainnya. Kondisi ontologis segala sesuatu ini tidaklah ada selain daripada apa yang Chuang-tzu namakan dengan Chaos. Pada tingkatan kultural, pandangan demikian tentu saja mengarah kepada relativisme. Lou-tzu melukiskan relativisme melalui cara berikut :
Mengingat, faktanya semua orang di dunia mengenal “cantik” sebagai “cantik”, maka gagasan tentang “jelek” pun muncul. Mengingat bahwa semua orang mengenal “baik” sebagai “baik”, maka gagasan tentang “buruk” pun muncul. Begitulah persisnya “eksistensi” dan “noneksistensi” saling melahirkan satu dan lainnya; “sulit” dan “mudah” saling melengkapi satu dan lainnya. “panjang” dan “pendek” tampak saling bertentangan satu dengan lainnya; “tinggi” dan “rendah” saling condong satu dengan lainnya; “nada” dan “suara” tetap selaras satu dengan lainnya; “sebelum” dan “setelah” saling mengikuti satu dengan lainnya.
Singkatnya, segala sesuatu adalah relatif; tidak ada sesuatu yang mutlak. Kita hidup dalam suatu dunia yang memiliki perbedaan-perbedaan relatif dan antitesis-antitesis relatif. Namun, maoritas manusia tidak menyadari bahwa semua ini adalah relatif. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa sesuatu yang mereka – atau kesepakatan sosial – anggap sebagai “cantik” adalah pada esensinya “cantik” dengan demikian mereka menganggap semua hal yang tidak sesuai dengan norma tertentu sebagai “jelek” pada esensinya. Dengan mengambil sikap seperti itu mereka sungguh-sungguh mengabaikan fakta bahwa perbedaan antara kedua sifat itu semata-mata persoalan sudut pandang.
Sebagaimana saya nyatakan sebelum ini, pernyataan pelbagai lawan yang demikian itu tentu saja merupakan “relativisme”, tetapi ia merupakan relativisme yang didasarkan pada, atau berasal dari, intuisi sangat luarbiasa ihwal struktur ontologis alam. Intuisi sedianya adalah hal yang lazim bagi Lou-tzu dan Cuang-tzu. Namun, di tangan Chuang-tzu intuisi itu mengarah pada pandangan “kacau balau” akan berbagai hal, “ketiadaan perbedaan” esensial dari berbagai hal, yang dalam aspek dinamisnya dipahami sebagai Transmutasi berbagai hal. Dalam kasus Lou-tzu, intuisi yang sama, pada aspek dinamisnya, mengarah pada ontologi pengembangan dan pelibatan, yang aspek statisnya adalah relativisme yang  baru saja kita bahas.
Mengingat Transmutasi (hua) adalah kata kunci filosofis Chuang-tzu pada bagian ini, maka Kembali (Return) (fan atau fu) merupakan kata kunci yang dipilih Lou-tzu sebagai ekspresi yang tepat untuk gagasannya.
Ihwal makna kosmik dari Kembali sebagai dipahami oleh Lou-tzu, kita akan berkesempatan untuk membicarakannya pada konteksselanjutnya. Di sini kita akan membatasi diri untuk menimbang konsep ini sepanjang ia memiliki relevansi langsung dengan masalah relativisme.
Kembali (return) merupakan konsep dinamis. Dengna kata lain, Kembali mengacu kepada aspek dinamis relativisme Lou-tzu di atas, atau dasar ontologis dinamis yang di atasnya relativisme bertumpu. Dia menjelaskan konsep ini dalam bentuk singkat dan tepat pada pasase berikut, yang sebenarnya bisa dianggap sebagai ringkasan seluruh ontologiny
Kembali adalah bagaimana Jalan bergerak,d an menjadi lemah adalah bagaimana Jalan bekerja. Sepuluh ribu hal di bawah langit lahir dari wujud, dan Wujud lahir dari Non-Wujud.
Harus dinyatakan bahwa dalam pasase ini terdapat dua rujukan tersembunyi menyangkut dua makna atau aspek dari “kembali” yang tampaknya diakui oleh Lou-tzu terdapat struktur ontologis segala sesuatu. Makna (atau aspek) pertama dia kemukakan melalui kalimat pertama dan makna kedua melalui kalimat kedua. Kalimat pertama bermakna bahwa segala sesuatu (a) yang ada mengandung dalam dirinya sebuah kemungkinan atau kecenderungan alamiah untuk “kembali” (return). Maksudnya, ia (a) ditransformasikan menjadi lawannya (b), yang tentu saja, mengandung kemungkinan “kembali” yang sama kepada lawannya, yaitu kondisi semula yang datang darinya (a). Dengan demikian, segla sesuatu tetap berada dalam proses gerakan berputar, dari a ke b, dan selanjutnya dari b ke a. Lou-tzu mengatakan bahwa inilah hukum “gerakan” ontologis (tung), atau aspek dinamis dari Realitas. Dia menambahkan bahwa “kelemahan” merupakan cara bergerak ini dibuat oleh Realitas.
Kalimat berikut menganggap struktur dinamis Realitas sebagai gerakan vertikal dan metafisik dari Banyak fenomenal menjadi Tunggal prafenomenal. Dimulai dari keanekaragaman ketika segala sesuatu mengalami aktualisasi dan realisasi, ia menarik segala sesuatu itu kembali ke keadaannya sediakala. “Sepuluh ribu hal di bawah langit”, maksudnya segala sesuatu di alam, menjadi maujud aktual dari Jalan (tao) pada tahap “eksistensinya”. Namun tahap “eksistensi” tersebut, yang tidak ada selain dari pada tahapan dalam proses manifestasi dari Jalan (tao), terjadi dari tahapan “noneksistensi”, yang merupakan kedalaman luarbiasa dari Jalan (tao) itu sendiri yang sama sekali tidak diketahui-tidak dapat diketahui. Harus diperhatikan bahwa “penyatuan kembali” beribu-ribu hal inbi menuju “eksistensi” dan selanjutnya menunu “noneksistensi” bukan hanya merupakan sebuah proses konseptual; menurut Lou-tzu hal itu terutama merupakan sebuah proses kosmis. Segala sesuatu secara ontologis “kembali” ke sumber asalnya, bejalan di atas jalan transformasi-transformasi “sirkuler” di antara mereka sendiri sebagaimana telah dikemukakan melalui kalimat pertama. Segala sesuatu yang bersifat kosmik yang kembali (return) ke keadannya semula akan menjadi ubjek pembahasan pada bab berikutnya. Di sini kami menyinggung tentang Kembali “horizontal” segala sesuatu sebagaimana ditunjukkan pada kalimat pertama, maksudnya, proses “pengembalian” (returning) timbal balik di antara a dan b. Lou-tzu memiliki cara khas dalam mengekspresikan gagasannya sebagaimana ditunjukkan melalui dia pasase berikut ini :
Kemalangan adalah pijakan nasib baik dan nasib baik adalah tempat sembunyi kemalangan. (Keduanya dengan demikian secara tidak terbatas saling berpindah menjadi satu dengan lainnya sehingga) tidak ada orang yang mengetahui titik tempat proses tersebut berakhir. Tampaknya tidak ada norma yang mutlak. Karena apa yang (dianggap) adil “berbalik” menjadi tidak adil, dan apa yang (dianggap) baik “berbalik” menjadi jahat. Sesungguhnya manusia telah lama sekali berada dalam kebingungan seputar ini.
Sifat segala sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga orang yang pergi terlebih dahulu berakhir dengan ketinggalan, dan yang mengikuti dari belakang pada akhirnya menemukan dirinya berada di depan orang-orang lain. Orang yang meniup sesuatu untuk membuatnya panas berakhir dengan membuatnya dingin, dan orang yang meniup sesuatu untuk membuatnya dingin, pada akhirnya membuatnya panas. Orang yang berusaha menjadi kuat akan menjadi lemah,d an orang yang ingin tetap lemah akan berubah menjadi kuat. Orang yang aman akan jatuh ke dalam bahaya, sedangkan orang yang berada dalam bahaya akan berakhir aman.
Dengan demikian, dalam pandangan Chuang-tzu dan Lou-tzu, segala sesuatu di alam adalah relative; tidak ada yang secara mutlak dapat dipercaya atau stabil dalam pemaknaan ini. Sebagaimana saya indikasikan sebelumnya, “relativisme” ini, dalam kasus Lou-tzu dan Chuang-tzu, harus dipahami dalam pengertian khusus, yaitu, dalam pengertian bahwa tidak ada yang memiliki “esensi atau kuiditas”.
Segala sesuatu, pada tingkatan Realitas yang lebih dalam, adalah “tidak memiliki esensi”. Dunia itu sendiri adalah “kacau-balau” (chaoutic). Ini sebenarnya tidak hanya merupakan alam eksternal tempat kita eksis, tetapi sebenarnya sama dengan dunia di dalam kita, alam internal berupa rangkaian konsep dan penilaian. Hal ini tidaklah sulit untuk dipahami, karena apa pun penilaian yang mungkin kita buat tentang apa saja yang kita pilih untuk dibicarakan dalam dunia yang “kacau” ini, pendapat kita itu pasti bersifat relative, berat sebelah, bermakna ganda, dan tidak dapat dipercaya, lantaran objek penilaian itu sendiri secara ontologis adalah relatif.
Argument Chuang-tzu berkenaan dengan masalah ini secara logika sangat menarik dan penting. Periode Negara-negara yang Berperang menyaksikan perkembangan hebat dalam teori-teori logika-semantik di CIna. Pada masa Chuang-tzu Konfusius, dan Mohists benar-benar bangkit untuk saling menetang satu sama lain,d an dua aliran ini Bersama-sama menentang “para pakar dialektik” (atau “Sofis (mereka yang pandai memutarbalikan sesuatu) yang juga dikenal sebagai aliran Nama-nama. Beragam perdebatan panas berlangsung di antara mereka tentang dasar kultur manusia, berbagi fenomenanya, landasan etika, struktur logis suatu pemikiran, dan sebagai-nya. Hal itu merupakan cara untuk mengadakan serangkaian diskusi jenis ini dalam bentuk dialektis. “Ini benar” – “ini salah” atau “ini baik” – “ini buruk”, merupakan rumusan umum yang melaluinya orang-orang ini membahas persoalan mereka.
Ssituasi demikian sungguh menggelikan dan semua pembahasan ini adalah sia-sia dari sudut pandang Chuang-tzu yang menurutnya Realitas itu sendiri adalah “kacau”, objek-objek yang diungkapkan dengan kata-kata hangat oleh orang-orang ini pada esensinya tidak tetap dan bermakna ganda. Para pakar dialektika dimaksud “berbicara tentang perbedaan antara ‘keras’ dan ‘putih’ umpamanya, seolah kata-kata ini digantungkan pada beragai aspek.”
Tidak hanya itu. Orang-orang yang suka membahas melalui cara ini biasanya melakukan kesalahan fatal dengan kesalahan tafsir antara “memiliki argument terbaik” dan “secara objektif salah”. Namun, sebetulnya, kemenangan dan kekalahan dalam perdebatan logika, sama sekali tidaklah menentukan “benar” dan “salah” suatu fakta objektif.
Sebagai missal, kau dan aku terlibat dalam sebuah diskusi. Dan bayangkan bila kau bisa mengalahkanku, tetapi aku tidak dapat mengalahkanmu. Apakah ini berarti bahwa kau “benar” dan “aku salah”?
Bayangkan bila, sebagai gantinya, aku mengalahkanmu dan kau tidak mampu mengalahkanku. Apakah ini berarti bahwa aku “benar” dan kau “salah”? Apakah memang jika aku “benar” maka kau “salah”, dan jika kau “benar”, maka aku salah”? Ataukah kita berdua bisa  sama-sama “benar” atau sama-sama “salah”? Bukankah aku dan kau yang layak memutusakannya? (Bagaimana jika meminta beberapa orang lain untuk memutuskan?) Tetapi, nyatanya orang-orang lain pun berada dalam kegelapan yang sama. Lantas siapakah yang bisa kita minta untuk memberikan penilaian adil? Bayangkan bila kita membiarkan seseorang yang setuju denganmu memberikan penilaian. Mungkinkah orang itu bisa memberikan penilaian adil, mengingat sejak semula dia sependapat denganmu? Bayangkan bila kita membiarkan seseorang yang sependapat denganku untuk memberikan penilaian. Mungkinkah ia dapat memberikan penilaian adil, mengingat sejak semula dia sependapaku?
Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang berbeda pandangan (tidak sependapat) denganku ataupun denganmu untuk memberikan penilaian? Bukankah sejak awal dia telah berbeda (pendapat) dengan kita berdua? Bagaimana mungkin orang itu dapat memberikan penilaian adil? (Dia hanya akan memberikan pendapat ketiga) Bagaimana seandainya kita meminta seseorang yang sependapat dengan kita berdua untuk memberikan penilaian? Namun, sejak awal dia telah memiliki pendapat yang sama dengan kita berdua. Bagaimana mungkin orang itu dapat memberikan penilaian adil? (Dia hanya akan mengatakan bahwa Aku “benar”, namun kau juga “benar”).
Dari segenap pertimbangan ini, kita harus menyimpulkan bahwa kau dan aku bukanlah orang ketiga yang bisa mengetahui (di mana kebenaran itu berada). Lantas apakah kita perlu berharap munculnya orang keempat?”
Bagaimana situasi ini dapat dijelaskan secara memuaskan? Chuang-tzu menjawab bahwa semua kebingungan ini bermula pada kecenderungan alamiah Nalar yang menganggap segala sesuatu dalam kerangka pertentangan “benar” dan “salah”. Kecenderungan alamiah Nalar kita ini berdasar pada, atau merupakan hasil dari, pandangan esensial tentang Wujud. Nalar alamiah kemungkinan besar menganggap bahwa sesuatu yang secara konvensional atau secara subjektif itu “benar” maka secara esensial juga “benar”, sebaliknya, sesuatu yang secara konvensional atau secara subjektif itu “salah” maka secara esensial juga “salah”. Namun, sebenarnya, tidak ada yang secara esensial “benar” atau “salah”. Sesuatu yang disebut “benar” dan “salah” itu, tak lain daripada hal-hal yang bersifat relatif.
Sesuai dengan pendapat nonesensialis ini, Chuang-tzu menegaskan bahwa sikap satu-satunya yang dapat dibenarkan untuk kita ambil adalah, pertama-tama, mengetahui relativitas “benar” dan “salah”, dan selanjutnya mentransendensikan relativisme ini sendiri ke tingkatan “penyetaraan” segala sesuatu, suatu tingkatan ketika segala sesuatu secara esensial tidak dibeda-bedakan dengan lainnya, walaupun hal-hal itu, pada tingkatan realitas yang lebih rendah, secara negative berbeda dan berlainan satu dengan lainnya. Sifat ini khas milik “manusia sejati” yang oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “tien ni” (Penyamarataan Ilahi), tien Chun (Penyetaraan Ilahi), atau man yen (Tanpa batas).
“Benar” bukanlah “benar”, dan “demikian” bukanlah “demikian”. Seandainya (apa yang orang anggap) “benar” itu (secara mutlak) adalah “benar”, maka (secara mutlak) berbeda dengan apa yang “tidak benar” dan tentu saja tidak ada ruang untuk membahasnya. Dan seandainya “demikian” (secara mutlak) adalah “demikian”, maka (secara mutlak) akan berbeda dengan “tidak demikian” dan tentu saja tidak ada ruang untuk membahasnya.
Maka itu, (mata rantai “tesis yang berpindah-pindah” tidak henti ini [maksudnya, “benar” => “tidak benar” =>. “benar” => “tidak benar” ... atau tesis dan antitesis] saling bergantung satu dengan lainnya. Dan (lantaran kesalingbergantungan ini membuat seluruh mata rantai tesis dan antitesis yag saling bertentangan menjadi relatif), kita mungkin juga menganggapnya sebagai hal tidak saling bertentangan satu dengan lainnya. (dengan adanya situasi demikian, sikap satu-satunya yang layak kita ambil) adalah menyelaraskan semua ini (tesis dan antitesis) dalam Penyamarataan Ilahi, dan membawa (segenap pertentangan tiada henti antara maujud-maujud itu) kembali pada keadaan Tanpa Batas.
Ungkapan “membawa semua pertentangan segala sesuatu itu kembali pada keadaan Tanpa Batas” berarti mereduksi segala sesuatu yang “secara esensial” dapat dibedakan menjadi keadaan aslinya dalam kesatuan “yang kacau” (Chaotic)  ketika tiada “batas-batas” atau sempadan-sempadan tertentu antara berbagai hal tersebut. pada sisi subjektifnya, ia merupakan sikap mengabaikan seluruh penilaian diskriminatif yang dapat dibuat seseorang pada tingkatan Nalar sehari-hari. Dengan mengabaikan penilaian, implisit ataukah eksplisit, tentang apa pun, Chuang-tzu menekankan, berarti seseorang seharusnya menempatkan dirinya sendiri dalam kondisi mental sebelum semua penilaian, mendahului seluruh aktivitas Nalar, ketika dia akan melihat berbagai hal dalam keadaan orisinal – atau “Ilahi” menurut isitilahnya – yang “tanpa esensi” (esence-less).
Namun, untuk mencapai tingkat ini sama sekali bukanlah tugas mudah. Ia menuntut penggunaan aktif sejenis intuisi metafisik tertentu, yang oleh Chuang-tzu disebut ming, “pencerahan” (illumination). Jenis intuisi iluminatif ini tidak dimiliki oleh semua orang. Karena, sebagaimana terdapat orang-orang yang secara fisik buta dan tuli. Namun, sayangnya, di dunia spiritual jumlah mereka yang buta dan tuli jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah orang-orang yang mampu melihat dan mendengar.
Orang buta tidak dapat menikmati penglihatan tentang warna-warni dan pola-pola indah. Orang tuli tidak dapat menikmati bunyi lonceng dan genderang. Namun, apakah Anda berpendapat bahwa kebutaan dan ketulian terbatas pada organ-organ jasmani? Tidak, kebutaan dan ketulian juga ditemukan pada ranah pengetahuan.
Struktur ming, “intuisi”, akan dikaji secara lebih mendalam pada waktunya. Sebelum kisah beralih ke persoalan ini, kita akan mengutip satu pasase lagi dari Chuang-tzu yang mengembangkan gagasannya mengenai sifat relatif dan konvensional pada “perbedaan-perbedaan” ontologis. Pasase itu akan membantu menyiapkan jalan bagi pembahasan kita ihwal pandangan eksistensialis” Chuang-tzu melawan pandangan “esensialis” tentang  Wujud.
Sifat dasar segala sesuatu adalah sedemikian rupa sehingga tiada yang tidak bisa menjadi “itu” (yakni, segala sesuatu dapat menjadi “itu”) dan tiada yang tidak bisa menjadi “ini” (yakni, segala sesuatu dapat menjadi “ini”).
Pada \umumnya kita membedakan antara “ini” dan “itu” serta berpikir dan berbicara tentang berbagai hal di sekitar kita dalam konsteks pertentangan mendasar tersebut. apa yang “ini” bukanlah “itu”, dan apa yang “itu” bukanlah “ini”. Hubungan itu pada dasarnya berkaitan dengan “Aku” dan “yang lain”, karena istilah “ini” mengacu pada “Aku” sedangkan istilah “itu” berkenaan dengan “yang lain”.
Dari sudut pandang “Aku”, “aku” adalah “ini”, dan segala yang lain dariku adalah “itu”. Namun, dari sudut pandang “yang lain”, “yang lain” adalah “ini”, dan saya adalah “itu”. Dalam pengertian ini, segala sesuatu dapat dikatakan menjadi sama-sama “ini” dan “itu”. Dengan ungkapan lain, perbedaan antara “ini” dan “itu:” adalah relatif belaka.
Dari sudut pandang “itu” (sendiri), “itu” tidak dapat tampak (sebagai “itu”). Hanya apabila aku (maksudnya, “ini”) mengenal diriku (sebagai “ini”) sehingga ia (maksudnya “itu”) menjadi dikenal (sebagai “itu”).
“Itu” membangun dirinya sendiri sebagai “itu” hanya apabila “ini” membangun dirinya dan memandang “itu” sebagai objeknya, atau sebagai sesuatu yang lain daripada “ini”. Hanya apabila kita menyadari relativitas mendasar “ini” dan “itu”, barulah kita dapat berharap untuk memiliki pemahaman yang sesungguhnya tentang struktur segala sesuatu.
Tentu saja, masalah yang sangat penting adalah bahwa relativitas ini harus dipahami melalui “pencerahan”. Pemahaman relativitas ontologis ini melalui Nalar – yang sama sekali bukan hal sulit untuk dicapai – adalah sia-sia, kecuali sebagai tahap persiapan untuk penyerapan “iluminatif” terhadap persoalan tersebut. akan diperjelas pada bab berikutnya bahwa “relativitas” tidak melemahkan seluruh struktur ontologis segala sesuatu. “Relativitas” hanyalah satu aspek darinya. Karena, dalam pandangan Chuang-tzu, struktur ontologis segala sesuatu hakikatnya adalah “ketiadaan perbedaan chaotic sebagaimana yang telah sering disebutkan. “Ketiadaan perbedaan chaotic” merupakan sesuatu yang berada jauh di luar jngkauan Nalar. Terlepas dari itu, sekiranya Nalar tetap berusaha untuk memahaminya menurut caranya sendiri, “ketiadaan perbedaan” menjadi dapt dipahami hanya dalam bentuk “relativitas”. Dengan kata lain, “relativitas” berbagai hal merepresentasikan “ketiadaan perbedaan” ontologis awal yang kemudian diturunkan ke tingkat pemikiran logis. Pada bab ini kita masih berada pada tingkatan itu.
Karenanya, telah ditetapkan : “itu” lahir dari “ini” dan “ini” bergantung kepada “itu”. Doktrin ini dinamakan dengan teori fang seng, aitu teori tentang “ke-salingbergantungan”.
Namun, (hubungan timbal balik antara “ini” dan “itu”) mesti dipahami sebagai prinsip dasar yang berlaku untuk segala sesuatu. Dengan demikian, karena ada “kelahiran” maka ada “kematian”, dan karena ada “kematian” maka ada “kelahiran”. Demikian pula, kara ada “baik” maka ada “tidak baik”, dan karena ada “tidak baik” maka ada”baik”.
Chuang-tzu bermaksud untuk mengatakan bahwa Realitas nhakiki adalah Realitas yang mencerap segala sesuatu yang berlawanan; bahwa pembagian realitas asli ini menjadi “kehidupan” dan “kematian”, “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”,d an sebagainya, didasarkan pada berbagai sudut pandang yang diambil oleh berbagai orang. Sebenarnya, segala sesuatu di dunia adalah “baik” dari sudut pandang orang yang mengambil pendapat ini. Dan tidak ada yang tidak dapat dianggap sebagai “tidak baik” dari sudut pandang orangn yang memilih mengambil pendapat ini. Realitas hakiki adalah sesuatu yang mendahului hal ini dan semua pembagian serupa. Ia adalah sesuatu yang “baik” dan “tidak baik”, serta yang sekaligus bukan “tidak baik” dan bukan “baik”.
Demikianlah, manusia suci” tidak mendasarkan dirinya (pada salah satu dari pertentangan-pertentangan), namun mencerahkan (segala sesuatu) dengan cahaya Surga.
Tentu saja, (sikap “orang suci”) ini juga merupakan sikap seorang manusia yang mendasarkan  dirinya pada (apa yang dia anggap) “benar”, namun, (karena ia bukan merupakan jenis “benar” yang bertentangan dengan “salah”, tetapi merupakan “benar” mutlak dan transcendental yang mencakup dalam dirinya seluruh pertentangan dan kondtradiksi yang ada), “ini” di sini adalah sama seperti “itu”, dan “itu” adalah sama seperti “ini”. (Ia merupakan suatu posisi yang meilputi dan melebihi “benar” dan “salah”, sehingga di sini) “itu” menyatukan “benar” dan “salah”, namun “ini” juga menyatukan “benar” dan “salah”.
(Dilihat dari sudut pandangan demikian) masih adakah perbedaan antara “itu” dan “ini”? Atau tiada lagi “itu” dan “ini”? Pada tingkatan ketika masing-masing “itu” dan “ini” telah kehilangan pasangannya untuk berhadap-hadapan – itulah tingkatan yang harus dianggap sebagai Engsel dari Jalan itu.
Engsel sebuah pintu dapat mulai berfungsi secara tak terhingga hanya apabila pas dengan titik tengah lekukannya. (Dengan cara yang sama, Engsel dari Jalan itu dapat merespon secara tak terhingga dan bebas untuk situasi-situasi dunia fenomenal yang terus menerus berubah hanya apabila ditempatkan secara tepat di titik tengah Realitas mutlak yang melampaui seluruh pertentangan fenomenal) (Dalam keadaan seperti itu) “benar” adlah satu ketiadaan akhir yang seragam; “salah” juga adalah ketiadaan akhir yang seragam.
Itulah sebabnya saya menitikberatkan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada “pencerahan”.
Satu yang mutlak tentu saja merupakan Jalan yang meliputi keseluruhan alam Wujud; lebih tepatnya ia adalah keseluruhan alam Wujud. Dengan begitu, ia melampaui segala perbedaan dan pertentangan. Maka, dari sudut pandang Jalan itu, tiada perbedaan antara “benar” dan “salah”. Naun, dapatkah Bahasa manusia secara tepat mewadahi keadaan yang demikian? Tidak, setidaknya selama Bahasa itu digunakan dengan cara yang ada. “Bahasa”, kan Chuang-tzu, “berbeda dengan hembusan angina, lantaran orang yang bericara dianggap pasti memiliki maksud untuk disampaikan. Namun, Bahasa sebagaimana yang digunakan sekarang tidak tampak memnyampaikan makna sesungguhnya, karena orang-orang itu, khususnya para dialektika, yang sibuk membahas “inbi” adalah benar dan “itu” adalah salah, atau “ini” adalah baik dan “itu” adalah buruk, dan sebagainya, hanyalah berbicara tentang objek-objek yang tidak memiliki kandungan pasti.”
Apakah mereka benar-benar mengatakan sesuatu (yang bermakna)? Ataukah agaknya mereka tidak mengatakan apa-apa? Mereka mengira bahwa ucapan mereka itu berbeda dengan kicauan burung. Namun, apa bedanya? Ataukah tidak ada perbedaan sama sekali?
Di manakah, sesungguhnya, Jalan itu tersembunyi (bagi orang-orang) yang mengharuskan ada “benar” dan “salah”? Di manakah Bahasa (dalam pengertian sejatinya) tersembunyi sehingga harus ada “benar” dan “salah”? ….(faktanya adalah bahwa) Jalan tersebut tersembunyi akibat kebajikan-kebajikan remeh, sedangkan Bahasa tersembunyi akibat pelbagai keangkuhan. Itulah sebabnya kita mengadakan diskusi-diskusi “benar” dan “salah” para pengikut Konfusius dan Mohits, satu pihak menganggap “benar” apa yang oleh pihak lain dianggap “salah”, dan (sebaliknya) satu pihak menganggap “salah” apa yang oleh pihak lain dianggap “benar”.
Jika kita ingin menegaskan (pada tingkat lebih tinggi) apa yang oleh kedua belah pihakanggap sebagai “salah”, dan menolak apa yang mereka anggap sebagai “benar”, maka tidak ad acara yang lebih baik daripada “pencerahan”.
Dengan demikian, kita melihat diri kita kembali lagi pada persoalan “pencerahan”. Bagian-bagian yang dikutip di sini telah memperjelas bahwa “pencerahan” melukiskan sudut pandang “mutlak” yang melampaui seluruh sudut pandang “relative”. Ia merupakan kondisi pikiran yang berada di atas dan di luar perbedaan-perbedaan antara “ini” dan “itu”, “Aku” dan “kau”. Namun, bagaimana seseorang dapat mencapai ketinggian spiritual seperti itu, dengan dugaan bahwa tingkat itu benar-benar ada? Apa kandungan dan struktur pengalman ini? Semua ini merupakan persoalan utama yang akan menyibukkan kita pada dua bab berikutnya.

5. KELAHIRAN  EGO  BARU

Kita telah melihat betapa sia-sia tidak masuk akal, dalam pandangan Chuang-tzu, pola berpikir umum yang dicirikan dengan pembahasan seputar “ini” adalah ‘benar” dan “itu” adalah “salah”. Apa sumber semua verbalilasi sia-sia ini? Chuang-tzu menduga bahwa itu pasti ditemukan dalam keyakinan manusia tentang dirinya yang salah, yakni bahwa dirinya memiliki (atau adalah) sebuah “ego”, suatu entitas swapada yang dianugerahi kemandirian ontologis mutlak. Manusia cenderung lupa bahwa “ego” yang dia percaya begitu mandiri dan  mutlak itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang secara esensial relatif dan bergantung. Relatif terhadap apa? Relatif terhadap “kau” dan “mereka” serta segala lain yang ada di sekitar dirinya. Bergantung pada apa? Bergantung pada Sesuatu yang secara mutlak di atasnya, Sesuatu yang oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai Maha Pencipta, atau secara harfiah, Pembaut segala sesuatu. Chuang-tzu melukiskan situasi ini melalui cerita perumpamaan “Bayangan dan Penumbra” (Shadow and Penumbra).
Penumbra pernah berkata kepada Bayangan : “Aku perhatikan kau kadang-kadang berjalan, lalu beberapa saat kemudian kau terdiam di tempat. Kadang-kadang saya perhatikan kau duduk, lalu beberapa saat kemudian kau berdiri. Mengapa kau berubah-ubah dan tidak tetap?”
Bayangan menjawab : “Tampaknya (saat bertindak seperti itu) saya sepenuhnya bergantung pada sesuatu (yaitu, tubuh). Namun, apa yang saya gantungi tampaknya bertindak bergantung kepada sesuatu yang lain (yaitu, Maha Pencipta). Karenanya, seluruh aktivitasku yang bergantung kepada mereka tampak seperti gerakan sisik-sisik ular atau sayap-sayap seekor jangkrik.
Lantas, bagaimana saya harus tahu mengapa saya berbuat seperti ini, dan mengapa saya tidak berbuat seperti itu?
Chuang-tzu menghilangkan “ego” dengan sekali sebat dari apa yang tampak sebagai kemandirian dan kewaspadaannya. Namun, pandangan itu tentu saja berlawanan dengan kepercayaan dan keyakinan manusia sehari-hari tentang dirinya. Menurut pandangan sehari-hari tentang berbagai hal, “Ego” justru merupakan dasar dan inti eksistensi manusia, latanran tanpa “ego” manusia akan kehilangan kepribadiannya, kesatuan dirinya, dan tidak ada apa-apanya. “Ego” merupakan titik koordinasi, titik sintesis, tempat semua unsur berlainan dari kepribadiannya, entah fisik atau mental, menjadi tersatukan. “Ego” yang dimaksud itu oleh Chuang-tzu dinamakan sebagai “benak” (mind).
Saya kira tepat pada kesempatan ini mengenalkan sepasang istilah utama yang tampak telah berperan menentukan pembentukan garis-garis besar pemikiran Chuang-tzu ihwal sifat dasar benak : tso chih yang secara harfiah bermakna “duduk bergerak-gerak” dan tso wang yang secara harfiah bermakna “duduk tenang”.
Yang pertama dari istilah tersebut di atas, tso chih, merujuk pada situasi ketika benak seorang awam menemukan dirinya, dalam gerakan konstan, berpikir ke arah ini pada saat ini dan berpikir ke arah itu pada saat berikutnya, sebagai respons terhadap sedemikian banyak kesan dari luar yang menarik perhatiannya dan membangkitkan keingintahuannya, tidak pernah berhenti dan beristirahat walaupun sebentar, bahkan saat tubuhnya sudah terduduk tenang. Tubuh itu boleh jadi sudah terduduk tenang, tetapi benaknya terus menerawang. Itulah benak manusia dalam keadaan yang ditunjukkan oleh kata hsin (Benak/Mind) pada konteks ini. Ia merupakan lawan yang tepat dari benak dalam keadaan konsentrasi yang tenang dan damai.
Mudah dipahami secara konseptual mengenai pertentangan antara kedua kondisi benak ini, yang satu “bergerak-gerak” dan yang lainnya “duduk tenang dan hampa”. Namun, sangat sulit tentunya bagi orang-orang awam untuk membebaskan diri dari dominasi “benak yang tenang”. Sebenarnya, demikian Chuang-tzu mengajarkan, manusia itu sendiri yang bertanggungjawab membiarkan Benak berlaku sewenang-wenang terhadapnya, karena tirani Benak berasal dari tirani “ego” – “Ego” palsu yang, sebagaimana kita lihat di atas, menjadikan dirinya sebagai pusat ontologis kepribadiannya. Chuang-tzu menggunakan ungkapan khas untuk situasi dasar manusia ini : shin-shin atau “menjadikan benak sebagai guru manusia itu sendiri.”
“Ego” yang dipahami seperti itu merupakan ciptaan manusia belaka. Namun, manusia berpegang padanya, seolah-olah “ego” itu adalah sesuatu yang objektif, bahkan mutlak. Dia tidak pernah dapat membayangkan dirinya eksis tanpanya, maka dia pun tidak pernah dapat membayangkan dirinya eksis tanpanya, mak dia pun tidak dapat meninggalkannya walau sesaat; karenanya dia menjadikan Benaknya sebagai “guru yang mulia”.
Benak ini, pada tingkatan intelektual yang lebih tinggi, muncul sebagai Nalar, (yang merupakan) fakultas berpikir dan nalar diskurisf. Kadang-kadang Chuan-tzu menamakannya dengan ch’eng hsin atau “benak lengkap”. “Benak lengkap” bermakna benak yang telah memiliki bentuk tertentu, benak dalam keadaan mengenal. Ia merupakan Nalar yang melalui petunjuknya – di sini kita menemukan lagi ungkapan : “menjadikan benak sebagai guru” – manusia membedakan antara berbagai hal dan memberikan penilaian tentangnya, dengan mengatakan “ini benar” dan “itu salah”, dan sebagainya, dan terus terperosok lebih jauh dalam kubangan kesia-siaan tanpa batas.
Setiap orang mengikuti “benak lengkapnya” sendiri dan menghormatinya sebagai gurunya. Dalam hal ini, kita mungkin mengatakan bahwa tidak ada orang yang tidak memiliki guru. Orang-orang yang mengenal realitas dari fenomena perubahan tiada henti dan menerima (hukum kosmis tentang Transmutasi ini) sebagai pijakan (keputusan) mereka bukanlah kelompok manusia satu-satunya yang memiliki guru. (Dalam pengertian tersebut) bahkan seorang idiot memiliki gurunya sendiri. Mustahil seseorang untuk bersikeras terntang perbedaan antara “benar” dan “salah” tanpa memiliki “benak lengkap”. Hal ini sama mustahlilnya dengan orang yang berangkat (dari sebuah negeri di utara) hari ini dan tiba di negeri Yueh (di perbatasasan Cina bagian selatan) kemarin!”
Maka itu, kita melihat bahwa seluruh persoalan yang samar mengenai “benar” dan “salah” atau “baik” dan “buruk”, yang sifat hakikinya diungkapkan pada bab sebelumnya, berasal dari manusia yang menggunakan “benak lengkapnya” sendiri. Benak, menurut Chuang-tzu, merupakan sumber dan asal muasal semua kebodohan manusia.
Gagasan tentang Benak ini juga dimiliki oleh Lou-tzu, walaupun pendekatannya sedikit berbeda dengan Chuang-tzu. Bahwa gagasan itu sendiri pada dasarnya sama akan segera bisa dipahami jika kita membaca secara seksama, sebagai contoh, Bab XLIX dari Tao Te Ching. Cukup menarik bahwa Lou-tzu pada bagian ini menggunakan istilah ch’ang hsin, yaitu “benak konstan atau tidk berubah”. Isitilah itu mengingatkan kita tentang ch’eng hsin (benak lengkap) yang dipakai oleh Chuang-tzu. Melalui ch’ang hsin, Lou-tzu menunjukkan keadaan benak yang sangat kaku yang tidak lagi mempunyai segenap fleksibilitas alamiah, atau sebagaimana dia suka katakan, keadaan benak yang telah kehilangan “kelembutan” alamiah seorang bayi. Sebagaimana ditunjukkan oleh pasase tersebut, kekakuan benak yang tidak wajar ini secara khusus termanifestasikan dalam aktivitas benak yang bersifat memilahd an membeda-bedakan apa yang dipersepsinya di mana-mana sebagi “baik” dan “buruk”, “benar” dan “salah”, serta menganggap kategori-kategori ini sebagai sesuatu yang obyektif dan mutlak.
Menurut Lou-tzu, ia bukan hanya persoalan tentang seseorang yang menjadi persial, berprasangka, dan keras pendirian. Dalam pandangannya, penggunaan fungsi benak ini memengaruhi inti eksistensi manusia itu sendiri. Ia merupakan masalah krisis eksistensial manusia. Manusia berada dalam nestapa yang menyedihkan, sebab manusia – hampir scara alamiah, orang bisa mengatakan – dikodratkan demikian sehingga manusia mengarahkan aktivitas benaknya untuk membedakan dan memilah satu dengan lain hal.
“Seorang manusia suci” tidak dengan sendirinya memiliki benak yang secara kaku telah ditetapkan. Dia menjadikan benak semua orang sebagai benaknya. (Prinsipnya terwakili dalam diktum) : “Orang-orang baik akan aku perlakukan sebagai orang baik. Namun, orang-orang yang tidak baik pun juga akan kuperlakukan sebagai orang baik. )Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah asli manusia adalah kebaikan. Orang-orang yang setia akan kuperlakukan sebagai orang setia. Namun, orang-orang yang tidak setia akan kuperlakukan sebagai orang setia. (Itulah sikap yang aku ambil) sebab fitrah asli manusia adalah kesetiaan”
Dengan demikian, seorang manusia suci, walaupun dia hidup di dunia ini, tetapi dia senantiasa membuka lebar-lebar benaknya dan men-chaotifikasi benaknya sendiri terhadap semua hal.
Orang-orang awam memaksakan penglihatan dan pendengaran mereka (dalam rangka membeda-bedakan berbagai hal). Sebaliknya, seorang manusia suci membiarkan penglihatan dan pendengarannya (bebas) seperti bayi.
Lou-tzu kadang-kadang menggunakan kata chih, tidak mengetahui, untuk menunjukkan aktivitas benak yang membedakan-bedakan yang sedang kita perbincangkan ini. Namun, diperlukan kecermatan dalam memahami kata ini, sebab menurut Lou-tzu, “tidak mengetahui” itu sendiri tidaklah tercela; ketercelaannya berasal dari cara tertentu “tidak mengetahui” itu sendiri berlangsung dan objek-objek tertentu yang disasarnya.
Jenis “tidak mengetahui” yang salah dalam pandangan Lou-tzu adalah aktivitas intelegensi yang diskriminatif dan membeda-bedakan sebagaimana yang telah kita lihat juga begitu keras dicela oleh Chuang-tzu. Namun, tidak seperti Chuang-tzu yang membangun gagasan ini pada tingkatan logis sebagai masalah dialektika, dengan membuat contoh-contoh dari diskusi tentang “benar” dan “salah” yang terjadi di kalangan pakar Dialektika pada masanya. Lou-tzu cenderung menilai efek-efek merusak dari jeni “tidak mengetahui” ini pada tingkatan yang lebih praktis. Dia memusatkan perhatian pada sikap evaluasional yang merupakan hasil paling langsung dari aktivitas benak yyang “membeda-bedakan” tersebut. di sini persoalan “ini adalah benar” dan “itu adalah salah”, bukanlah persoalan logika. Dia lebih merupakan persoalan evaluasi praktis. Dan dengan demikian, ia berhubungan langsung dengan fakta-fakta kehidupan nyata. “Tidak mengetahui” yang dipahami dalam pengertian ini, dicela lantaran ia mengganggu benak manusia dalam cara yang tidak perlu dan salah. Dan gangguan benak oleh persepsi nilainilai, positif dan negatif, dianggap oleh Lou-tzu sebagai salah dan mengusik eksistensi manusia, sebab ia menjauhkannya dari fitrah hakikinya, dan pada puncaknya menjauhkannya dari Jalan itu sendiri. Pada pasase berikut, kata chih “tidak mengetahui”, secara nyata digunakan dalam pemaknaan ini.
Jika (penguasa) tidak benar-benar menghormati ( apa yang disebut sebagai) orang-orang bijak, maka rakyyat (tentu saja) akan terjauhkan dari peneladanan yang sia-sia. Jika (penguasa) tidak menghargai harta benda yang sulit diperoleh, maka rakyat terjauhkan dari melakukan pencurian. Jika (penguasa) tidak mempertontonkan hal-hal yang mudah merangsang hasrat, maka benak rakyat tidak akan terganggu.
Oleh karena itu, “manusia suci” yang memerintah rakyat mengosongkan benak mereka, pada saat mengenyangkan perut mereka; memperlemah ambisi-ambisi mereka, pada saat menguatkan tulang-tulang mereka.
Dalam cara ini, dia menjadikan rakyatnya selalu dalam keadaan tidak berpengetahuan dan berkeinginan, sehingga golongan yang disebut sebagai “orang-orang yang berpengatahuan” tidak berkesempatan untuk ikut campur.
PENGARUH BURUK ATIVITAS Benak yang suka membeda-bedakan itu begitu kuat sehingga sedikit saja ia ada, sudah cukup untuk menjadikan manusia setiap saat dapat menyimpang dari jalan
Jika aku kebetulan memiliki sedikit saja “tidak mengetahui”, maka saya akan berada dalam bahaya besar untuk tersesat meskipun saya sesungguhnya sedang berjalan di tengah jalan utama (maksudnya, jalan). Jalan utama itu lurus dan ama, tetapi banyak orang cenderung untuk memilih jalan-jalan pinggiran yang sempit.
Bagaimanapun, bukan “tidak mengetahui” itu sendiri yang sangat buruk; kualitas “tidak mengetahui” bergantung pada objek-objeknya. Bila kecenderungan umumnya untuk mengarah ke sisi luar dan mengamati objek-objek eksternal telah tertanggulangi dan dikembalikan ke sisi batin, maka “tidak mengetahui” itu akan mentransformasikan dirinya dalam intuisi, “Pencerahan”.
Orang yang mengetahui YANG lain-lain (maksudnya objek-objek eksternal di luar dirinya) adalah orang-orang yang pandai, tetapi orang yang MENGENAL dirinya adalah orang yang cerdas dan “tercerahkan”.
Penting untuk dicatat bahwa di sini kita menemukan kata yang persis sama, yaitu ming, “pencerahan”, sebagaimana kita temukan pada Chuang-tzu. Adalah juga sangat penting untuk dicamkan bahwa kata “pencerahan” yang baru saja dikutip dalam pasase di atas berhubungan langsung dengan pengetahuan manusia tentang dirinya. Karena itu terbukti menunjukkan pengetahuan langsung dan intuitif tentang Jalan. Ia dilukiskan sebagai “pengenalan diri” atau “pengetahuan diri” manusia, lantaran pencerapan langsung yang intuitif akan Jalan hanya dapat diperoleh manusia dengan “beralih ke dalam dirinya sendiri.”
Tentu saja, menurutn pandangan Lou-tzu dan Chuang-tzu, Jalan itu serba meliputi. Ia ada di mana-mana di alam; alam itu sendiri merupakan manifestasi-diri Jalan (tao). Dalam pengertian ini, hal-hal eksternal pun sesungguhnya memanifestasikan Jalan itu, masing-masing dengan cara dan bentuknya sendiri-sendiri. Namun, hanya manusia di semesta Wujud (Being) ini yang menyadari dirinya. Maksudnya, hanya manusia yang bisa memahami Jalan itu dari dalam. Manusia mampu menyadari dirinya sebagai manifestasi Jalan tersebut. manusia mampu merasakan dan menyentuh dalam dirinya getaran kehidupan Sang Mutlak ketika aktif bekerja di dalam dirinya. Manusia mampu mengintuisi (in-tuit) Jalan itu dari dalam. Namun, manusia tidak mampu mengintuisinya dari objek-objek eksternal, sebab manusia tidak mampu memasuki “ke dalam” berbagai hal dan merasakan manifestasi Jalan itu sebagai keadaan subjektifnya sendiri. Paling tidak, perjumpaan subjektif pribadi yang pertama kali dengan Jalan itu harus dicapai dalam dirinya sendiri.
Untuk tujuan ini, kecenderungan benak yang menjauhi pusat (centrifugal) harus dihentikan dan dialihkan ke arah yang berlawanan; kecenderungan benak harus dibuat mendekati pusat (centripetal). Pengalihan arah yang drastis ini dilukiskan oleh Lou-tzu sebagai ‘menutup” seluruh lubang dan pintu tubuh. Dengan menyumbat semua saluran keluar dari aktivitas benak yang sentrivugal, manusia akan menelisik jauh ke dalam benaknya sendiri hingga dia mencapai inti eksistensial dirinya.
Inti eksistensial dirinya ini yang dia temukan di kedalaman benaknya boleh jadi bukan Jalan per se, lantaran bagaimanapun juga ia merupakan bentuk Jalan (tao) yang telah terindividualisasi. Namun, di sisi lain, tidak ada perbedaan atau ketidaksesuaian hakiki di antara keduanya. Lou-tzu mengungkapkan keadaan ini secara simbolis dengan menamakan Jalan per se sebagai Ibu, sedangkan Jalan dalam bentuk yang telah terindividualisasi sebagai Anak. Orang yang mengenal Anak dengan sendirinya mengenal Ibunya.
Pada pasase yang akan segera saya kutip, arti penting “menurutp seluruh lubang dan pintu” ditekankan sebagai cara tunggal manusia untuk dapat mengenal Anak, dan melalui Anaklah manusia mengenal Ibu. Dengan demikian, keadaan puncak yang tercapai dari situ diistilahkandengan “pencerahan” (illumination). Perlu dijelaskan bahwa Anak (tzu) yang dalam pemahaman ini merepresentasikan duplikat yang terindividualisasikan dari sang Ibu (mu), bukanlah suatu selain dari apa yang dinamakan oleh Lou-tzu di tempat lain sebagai Kebajikan (te) – atau barangkali secara lebih ketatnya, perwujudan individual Jalan dengan inti eksistensial berupa daya kreatif dan vital, yang tak lain adalah Jalan yang telah tersebar di antara “sepuluh ribu hal”. Sebagaimana kita akan kaji nanti, daya kreatif dan daya viral masing-masing individu yang mewujud sebagai determinasi individual Jalan ini dinamakan oleh Lou-tzu dengan “Kebajian”.
Segala hal yang berada di bawah langit memiliki Permulaan yang harus dianggap sebagai Ibu dari segala sesuatu.
Bila kau mengenali “ibu”, tentu saja kau akan mengenali “anaknya”. Dan bila setelah mengenali “anak” itu kau kembali kepada Ibu dan berpegang padanya, maka kau tidak akan pernah melakukan kesalahan hingga akhir hidupmu.
Sumbatlah segala lubang dan tutuplah segenap pintu (yakni, hentikanlah fungsi normal organ-organ indra dan aktivitas sentrivugal pada benak), dan sepanjang hidupmu kau (yakin, energi spiritual) tidak akan habis.
Sebaliknya, jika kau membiarkan lubang-lubangmu terbuka lebar, dan terus menambah pelbagai aktivitasnya hingga akhri hidupmu, maka kau tidak akan selamat.
Kemampuan merasakan hal terkecil (maksudnya, sesuatu yan nonindrawi sebagai Anak dari Jalan (tao) dalam dirimu) secara tepat bisa dinamakan sebagai “Pencerahan”. Berpegang pada apa yang lembut dan lentur, (maksudnya, meninggalkan kekakuan Benak yang diperbukan oleh perbedaan-perbedaan”esensia;” antara berbagai hal dan menerima “secara lembut” segala hal dalam keadaan hakikinya berupa transformasi timbal balik) secara tepat bisa dinamakan sebagai kekuatan.
Jika dengan menggunakan cahaya eksternalmu kau kembali kepada Pencerahan internalmu, maka kau tidak akan pernah mendatangkan malapetaka pada dirimu. Keadaan (puncak) itu adalah apa yang dinamakan dengan “melangkah menuju sesuatu yang hakiki secara kekal.”
“Menutup seluruh lubang dan pintu” bermakna, sebagaimana telah saya indikasikan, pertama-tama menghentikan fungsi semua organ penginderaan, dan selanjutnya menyucikan Benak dari Hasrat-hasrta fisik dan material. Hal ini diperjelas dengan membandingkan pasase yang baru saja saya kutip dengan pasase XII berikut :
Lima warna (maksudnya, warna-warna primer : putih, hitam, biru, merah, dan kuning) membuat mata manusia menjadi buta. Lima not music membuat telingan manusia menjadi tuli. Lima rasa (maksudnya, manis, asin, asam, pedas, pahit)  membuat selera manusia menjadi tumpul. (Permainan-permainan seperti) berlomba dan berburu membuat benak manusia menjadi gila. Harta yang sulit diperoleh menghalangi perilaku baik manusia.
Oleh karena itu, “manusia suci” memuasatkan perhatian pada rongga perut (maksudnya, berupaya keras untuk membangun inti terdalam eksistensinya) dan tidak memedulikan mata (maksudnya, tidak mengikuti kemauan-kemauan pancaindera). Dengan bersungguh-sungguh dia meninggalkan yang terakhir (mengikuti kemauan-kemauan pancaindra) dan memilih yang pertama (membangun inti terdalam eksistensinya).
Manusia suci” memerhatikan rongga perut dan tidak mengacuhkan mata, lantaran dia sadar bahwa aktivitas sentrifugal Benak hanya akan menjauhkannya dari Jalan. Jalan itu berada di “sisi dalam” dirinya sendiri dalam bentuk yang palinbg konkrit dan gambling. Semakin jauh seseorang menuju ke “bagian luar” semakin sedikit dia berhubungan dengan Sang Mutlak. Apa yang seharusnya diperbuat adalah “tinggal di rumah” dan tidak pergi ke luar rumah.
Tanpa pergi ke luar rumah, seseorang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di bawah Langit (maksudnya, realitas segala hal), bahkan, tanpa mengintip dari jendela, seseorang dapat melihat bekerjanya Langit. Semakin jauh seseorang keluar, semakin sedikit yang dia ketahui,
Oleh sebab itu, “manusia suci” mengetahui tanpa pergi ke luar. Dia memiliki pandangan yang jelas tentang segala sesuatu tanpa melihatnya. Dia mencapai segala sesuatu tanpa melakukan apa-apa.
Pasase-pasase yang telah dikutip dari Tao Te Ching berbicara tentang aspek epistemologis Jalan (tao); persoalan bagaimana dan dengan cara apa manusia dapat “mengintuisi” (intuit) Sang Mutlak.
Lou-tzu menjawab, bahwa satu-satunya cara yang mungkin ditempuh manusia demi mencapai tujuan ini adalah dengan secara total menghalangi kecenderungan sentrifugal benaknya sendiri dan menggantikannya dengan aktivitas sentripetal yang apda puncaknya akan membawanya pada “pencerahan”.
Bagaimanapun, Lou-tzu tidak terlalu peduli dengan proses epistemologis itu sendiri yang melaluinya manusia memupuk “mata batin” disbanding dengan hasil dari efek jenis intuisi ini. Memang, dia biasanya memulai argument persis dari titik di mana proses itu mencapai tahap akhir. Ada dua hal yang menjadi perhatian utamanya.  Yang pertama adalah efek praktis dan dapat dilihat yang dihasilkan intuisi pencerahan pada sikap dan perilaku dasar manusia. Bagaimana “manusia suci” itu ebrtindak dalam situasi-situasi lazim kehidupan manusia? Itulah salah satu persoalan utamanya. Persoalan ini akan dibicarakan pada bab berikut dalam pembahasan tentang konsep Manusia Sempurna.
Persoalan utama kedua Lou-tzu adalah struktur metafisik alam Wujud, dengan Jalan sebagai sumber dan dasar segala sesuatu. Di sini pula aspek epistemologis persoalan itu entah benar-benar hamper dibuang ataukah sekedar diisyaratkan secara sangat samar. Lou-tzu lebih tertarik untuk melukiskan proses ontologis yang melaluinya Jalan (tao) sebagai Sang Mutlak yang benar-benar tidak dikenal dan tidak diketahui terus menjadikan dirinya secara bertahap dapat terlihat dan terdeterminasi hingga pada akhirnya mencapai tahap Keragaman tak terbatas alam fenomenal. Dia juga menunjukkan Gerakan mundur segala sesuatu, yang melaluinya segala sesuatu itu kembali ke keadaan asli Kesatuanmutlak.
Hal yang mengagumkan adalah bahwa semua papran mengenai proses ontologis ini dibuat dari sudut pandang seorang manusia yang telah mengalami “pencerahan”, dengan mata manusia yang benar-benar mengetahui rahasia Wujud. Dalam kata lain, Chuang-tzu berbeda dengan Lou-tzu. Dia sungguh-sungguh tertarik dengan proses yang mendahului tahap akhir “pencerahan” dan yang melaluinya pencerahan itu tercapai. Chuang-tzu bahkan mencoba untuk menjelaskan, kandungan eksperiensial  “pencerahan” yang dia ketahui sebagai sesuatu yang pada dasarnya tak terkatakan. Sisa bab ini dan bab berikutnya secara spesifik akan menyinggung persoalan itu, yang mungkin kita namakan sisi epistemologis atau sisi subjektif pengalaman Jalan.
Pada permulaan bab ini, saya memusatkan perhatian pada dua konsep utama yang berakitan dengan sisi ubjektif pengalaman-Jalan, yang saling bertentangan satu dengan lainnya secara diametric ; tso ch’ih “keadaan duduk bergerak-gerak” dan tso wang “duduk tenang”. Pada halaman-halaman sebelumnya terutama kita telah menguji struktur konsep pertama. Kini tiba waktunya kita beralih kepada konsep kedua.
Seorang manusia yang berada dalam “kondisi duduk tenang” tampak begitu aneh dan berbeda dengan manusia pada umumnya, sehingga dia dengan mudah dapat dikenali oleh orang luar yang mengamatinya. Pada buku II dari karyanya, Chuang-tzu memberikan penjelasan khusus tentang manusia seperti itu. Manusia itu di sini dilukiskan seperti Nan Kuo Tzu Ch’i, atau Tzu Ch’i dari Wilayah Selatan. Konon dia adalah seorang guru besar Ch’u, yang hidup dalam pertapaan di “wilayah selatan”. Bagi Chuang-tzu, dia tentunya adalah personifikasi dari konsep Manusia Sempurna.
Pada suatu waktu Tzu Ch’i dari Wilaah Selatan duduk bersandar pada bangku kecil. Sambil memandang ke langit, dia menarik napas dalam-dalam dan lembut. Dalam keadaan benar-benar lupa akan eksistensi jasmaniahnya, dia tampak telah kehilangan seluruh kesadaran tentang “pasangan-pasangan” (yakni, pertentangan antara “aku” dan “berbagai hal”, atau antara “ego” dan “yang lain”).
Yen Ch’eng Tzu Yu (salah seorang muridnya) yang hadir di hadapannya, bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai guru? Mungkinkah tubuh seharusnya dijadikan seperti pohon yang layu dan benak dijadikan seperti debu-debu yang tak bernyawa? Guru yang kini sedang bersandar pada bangku ini bukanlah guru yang pernah saya lihat bersandar di masa lampau!” Tzu Ch’i menjawab, “Bagus sekali kau mengajukan pertanyaan itu, wahai Yen! (Aku tampak berbeda dari sebelumnya) sebab saya kini telah kehilangan diriku. Tetapi, apakah kau sanggup memahami (makna sesungguhnya dari hal) ini?”
Setelah pernyataan pemuka ini, guru besar itu selanjutnya melukiskan kepada sang murid yang kebingungan itu tentang kondisi “kehilangan ego”, dengan menuturkan padanya apa yang sebenarnya dia alami dalam kondisi itu. Akibatnya, kita memiliki visi yang terkenal tentang Angin Kosmis, salah satu pasase paling indah dan berbobot dalam keseluruhan buku Chuang-tzu. Pasase tersebut akan diterjemahkan pada bab berikutnya. Di sini kita hanya perlu mencatat bahwa kata-kata sang guru : “Aku kini telah kehilangan diriku”, menunjukkan pada keadaan “duduk tenang” atau “duduk perikelupaan” sebagai alwan dari “duduk bergerak-gerak”.
Namun, apa tepatnya “duduk perikelupaan” itu? Bagaimana seseorang bisa benar-benar mengalaminya? Hal ini merupakan sesuatu yang benar-benar sulit – atau lebih tepatnya, hampir benar-benar mustahil – untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Meskipun demikian, Chuang-tzu mencoba untuk menjelaskannya.
Dalam buku VI dia memberikan definisinya sendiri tentang “duduk perikelupaan” itu. Pasase itu berbunyi sebagai berikut :
Apa makna dari “perikelupaan” itu?
Ia bermakna bahwa seluruh anggota tubuh menjadi terlarutkan, sedangkan aktivitas-aktivitas telinga dan mata (maksudnya, kativitas-aktivitas Pancaindra) menjadi sirna, sehingga seorang bisa membebaskan dirinya dari bentuk dan benak (maksudnya, “identitas diri” jasmani dan rohani) dan menyatu dengan yang Maha Meliputi (maksudnya, Jalan yang “meliputi” segalanya). Inilah apa yang saya namakan dengan “duduk perikelupaan”).
Secara eksternal, atau secara fisik, seluruh bagian tubuh menjadi “larut” dan terlupakan. Maksudna, kesadaran akan “ego” jasmaniah dihilangkan. Secara internal, seluruh aktivitas mental “digugurkan”. Yakni, tidak ada lagi kesadaran yang tertinggal dari “ego” terdalam yang menjadi pusat dan dasar yang menyatukan aktivitas mental manusia. Akibat “pelupaan” total akan “aku” luar dan dalam ini disebut oleh Chuang-tzu sebagai hsu. Kehampaan, atau perimetafisik-spiritual manakala tidak ada apa pun yang menghalangi aktivitas yang serba-meliputi dari jalan.
Kata “Hampa” dalam konteks ini tidak harus dipahami secara negatif belaka. Kata itu memiliki makna positif. Dan dalam aspek positifnya, Kehampaan harus dikaitkan dengan konsep tentang Maha Meliputi yang tampak apda pasase yang baru saja dikutip.
Saya telah menerjemahkan ungkapan Cina ta t’ung, yang secara harfiah bermakna “menyebar”, sebagai Maha Meliputi mengikuti interpretasi yang diberikan oleh Ch’eng Hsuan Ying, yang mengidentikan ta t’ung dengan ta tao, “Jalan Agung”. Lalu dia ebrkata : “Ta t’ung sama dengan ta tao, mengingat Jalan meliputi segala sesuatudan memerintahkannya, maka dalam pemaknaan ini Ia pantas disebut sebagai Maha Meliputi. Interpretasi ini tampaknya benar, tetapi harus dilengkapi dengan pemahaman tentang  aspek lain dari duduk perkara ini. Yakni, bahwa saat mengalami keadaan spiritual yang sedang diperbincangkan di sini, segala hal dalam keragaman tak-terhingga saling merembesi satu sama lain secara bebas, tanpa hambatan apa pun. Dalam pengalaman ini, manusia yang telah kehilangan “egonya” akan menemukan kembali “egonya” dalam bentuk yang benar-benar berbeda, terlahir kembali sebagai apa yang bsia kita sebut Ego Universal, Kosmis, atau Transendental yang mentransformasikan dirinya secara bebas ke dalam segala hal yang selalu saling bertransformasi satu sama lain.
Hal itu mestilah merupakan implikasi sejati dari ungkapan khusus ta t’ung sebagai ganti kata yang lebih umu tao, Jalan. Masalah ini telah diterangkan dengan sangat jelas oleh Kuo Hsiang yang menjabarkan pasase ini dengan mengatakan : “ Di dalam ‘sisi batin’ manusia itu tidak ada kesadaran tentang eksistensi jasmaniahnya sendiri; pada ‘sisi lahiriah’ manusia itu tidak ada kesadaran tentang eksistensi Langit dan Bumi. Hana dalam kondisi seperti itulah manusia menjadi benar-benar terindentikkandengan proses (kosmik) Perubahan (yakni, “beragam transformasi”) itu sendiri tanpa mengalami hambatan apa pun sama sekali. Karena, dalam kondisi demikian, tidak ada yang tidak dapat dia liputi dengan bebas.
Chuang-tzu sendiri mengungkapkan gagasan yang sama secara jauh lebih singkat :
Dengan menyatu, kau tidak memiliki kesukaan. Dengan mengalami transmutasi, kau tidak memiliki keterikatan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan sebelumnya, makna dari ungkapan singkat ini dengan mudah dapat dijabarkan sebagai berikut. Setelah benar-benar menatu dan menerupai Jalan itu sendiri, maka manusia tidka lagi mempunyai suka dan tidak suka. Dalam kondisi spiritual seperti itu, manusia melampaui perbedaan-perbedaan umum antara “benar” dan “salah”, “baik” dan “buruk”. Dan karena manusia kini identik dengan Jalan (tao), serta Jalan itu secara konstan memanifestasikan dirinya dalam banyak bentuk Wujud, maka manusia itu sendiri “ditransmutasikan” dari satu hal ke hal lainnya, tanpa ada hambatan apap pun, seolah-olah dia berputar mengelilingi Kehampaan agung. Manusia sesungguhnya tidak berada dalam “kehampaan”, sebab ada banyak hal yang berdenyyut bersama Kehidupan yang serba meliputi, muncul dan menghilang dalam beragam bentuk tak terhingga. Namun demikian, pokonya dalam Kehampaan metafisik ini tiada hal yang menghalangi kebebasan mutlak manusia tersebut. karena manusia itu sendiri, dalam kondisi ini, benar-benar identik dengan setiap hal itu, ikut serta dalam pasang-surut kosmik Transmutasi yang berlangsung terus-menerus; atau bahkan manusia itu merupakan Transmutasi kosmik itu sendiri. Inilah apa yang dimaksudkan dengan ungkapan : “Kau tidak memiliki fiksitas”. “Tidak memiliki fiksitas” bermakna fleksibilitas tanpa batas dan kebebasan mutlak.
Tampaknya jelas dari apa yang telah dikemukakan bahwa hsu adalah Kehampaan metafisik dan spiritual. Pada hakikatnya, perbedaan antara “metafisik” dan “spiritual” dalam konteks ini sepertinya agak mengada-ada, sebab keadaan yang sedang dibicarakan ini merujuk pada keidentikan total dan utuh manusia dengan Zat yang Maha Meliputi. Namun, secara teoritis, ada maksud di balik pembedaan seperti itu. Karena, ketika persoalan itu diungkap pada tingaktan yang lebih praktis ihwal apa yang secara konkret harus dilakukan untuk menjadi teridentikan secara utuh dengan Jalan (tao), maka kita harus kembali lagi ke gagasan membuat benak menjadi “hampa”. Hanya setelah orang sukses dalam membuat benaknya menjadi benar-benar “hampa”, dia dapat menemukan dirinya di tengah-tengah Kehampaan metafisik. Bagian dari ajaran Chuang-tzu ini merupakan ajran praktis mengenai metode tepat yang melaluinya manusia dapat berharap mencapai keadaan seperti itu. Metode ini dia sebut dengan “berpuasa” atau penyucian Benak.
Penyucian Benak merupakan titik sangat penting dalam pengembangan manusia dari perimanusia “biasa” menuju “Manusia Sempurna. Seorang manusia “biasa” tidak pernah dapat menjadi Manusia Sempurna kecuali bila dia melewati titik yang menentukan ini. Pentingnya pengalaman ini akan menjadi jelas jika seseorang mengingat apa yang telah kita lihat dari ungkapan khas Chuang-tzu : “menjadikan Benak sebagai gurunya sendiri”. Manusia tentu saja cenderung berpegang pada Benaknya – dan Nalar – serta berpikir dan berbuat sesuai dengan petunjuknya. Apa pun yang Benak katakan untuk dipercayai adalah mutlak benar, dan apa pun yang Benak perintahkan untuk dilakukan adalah mutlak baik. Dengan kata lain, manusia memuliakan “egonya” sendiri sebagai “gurunya”.
Dari amatan ini, “penyucian Benak” secara tepat bermakna bahwa manusia harus menghilangkan kebiasaan “memuliakan” Benak ini, bahwa manusia harus membuang jauh-jauh “egonya” sendiri. Dan itu adalah langkah pertama transformasi menjadi Manusia Sempurna.
Dalam suatu percakapan imajiner yang dibuat Chuang-tzu dengan maksud untuk menyokong tesisnya, Konfusius – yang di sini secara ironis dijadikan ahli hikmah pengikut Tao – mengajarkan muridnya, Yen Hui, tentang bagaimana melaju agar sukses dalam penyyucian Benak.
Dalam dialo g ini, Yen Hui dilukiskan sebagai murid yang berapi-api dan telah mati-matian berjuang untuk mengetahui cara yang tepat menjadi Manusia Sempurna, namun semuanya sia-sai. Sebagai upaya terakhir, dia beralih kepada Konfusius dan dengan rendah hati memohon arahannya. Berikut ini adalah bagian dari dialog dimaksud :
Yen Hui : Aku tidak dapat melanjutkan lebih jauh. Bolehkah aku memohon kepadamu agar kau memberikan cara yang tepat?
Konfusius : Pertama, berpuasalah. Barulah kemudian aku akan mengajarimu. Apakah kau-anggap mudah (melihat kebenaran) sementara kau mempertahankan Benakmu? Jika siapa pun mengira itu mudah, maka Langit yang luas dan cerah tidak akan merestuinya.
Kata yang diterjemahkan dengan berpuasa\, chai, bermakna amelakukan “puasa” pada upacara pengurbanan untuk menempatkan diri dalam kondisi “kesucian” religius. Dalam konteks ini, Konfusius menggunakan kata itu tidak dalam pengertian murni religius ini, tetapi sebagai kiasan yang berarti “puasa Benak”, maksudnya, “penyucian Benak”. Bagaimanapun, Yen Hui tidak memahami hal ini, dan menggunakan kata itu dalam pengertian umumnya. Dia membayangkan bahwa yang dimaksud Konfusius dengan kata itu adalah melaksanakan puasa ritual yang berkenaan dengan makan dan minum. Oleh sebab itu, jawaban menggelikan berikut ini dia berikan kepada Gurunya.
Yen Hui :                     Keluargaku miskin, sedemikian rupa sehingga aku tidak pernah meminum miras,s erta tidak memakan bawang putih dan bawang merah selama beberapa bulan. Tidak bisakah itu dianggap berpuasa?
Konfusius :      Apa yang engkau katakan adalah puasa sebagai tuntunan ritual. Itu bukanlah puasa Benak.
Yen Hu :          Bolehkah aku bertanya apa yang kau maksud dengan puasa Benak?
Konfusius :      Bawalau seluruh aktivitas Benak menuju titik penyatuan. Janganlah mendengar dengan telingamu, tetapi dengarlah dengan Benak (yang sudah terkonsentrasi). (Lantas melangkahlah lebih jauh dan) berhentilah mendengar dengan Benak; dengarlah dengan Ruh (ch’i).  Telinga (atau secara lebih umum, pengindraan) terbatas pada mendengar (yakni tiap indra hanya memahami objek yang sesuai dengannya secara fisik). Benak terbatas  pada (membentuk konsep) yang sesuai dengan objek-objek eksternalna. Namun, Jiwa itu sendiri adalah “hampa” (tidak memiliki objek-objek  tetap yang sesuai dengan dirinya), dan terus mengalami transformasi tanpa batas sesuai dengan (Transmutasi dari) berbagai hal (yang terus datang dan pergi). Jalan (tao) secara keseluruhan hanya mewarisi “kehampaan” (maksudnya, Benak “tanpa ego”). Menjadikan Benak “hampa” (dengan cara ini) adalah apa yang aku maksud dengan “Puasa Benak”.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, hsu, “hampa”\, merupakan istilah utama dalam filsaafat Chuang-tzu. Dalam konteks ini, kata itu melukiskan sikap subjektif manusia yang sesuai dengan struktur Jalan (tao) yang merupakan Kehampaan itu sendiri. Masalah ini sangat ditekankan oleh Lou-tzu, sebagaimana kita akan lihat secara rinci pada bab berikutnya yang membahas tentang metafisika Jalan (tao). Di sini kita terutama masih menyinggung tentang segi subjektif dari persoalan tersebut. gagasan utamanya adalah bahwa jika seseorang “duduk dalam perikelupaan” dengan benak yang benar-benar “hampa”, maka segala hal datang tepat sebagaimana adanya ke dalam “kehampaan” tanpa ego ini, sebagaimana segala hal itu datang dan pergi dalam proses Transmutasi kosmik. Dalam kondisi ini, benaknya dapat dibandingkan dengan sebuah cermin bening yang merefleksikan segala sesuatu tanpa mengalami distorsi atau kerusakan sedikit pun.
Semua ini tentu saja merupakan persoalan yang mesti dialami secara langsung; pemahaman konseptual murni hanya bisa sedikit memahami. Yen Hui yang benaknya telah sepenuhnya matang untuk transformasi persoalan jenis ini – dalam anekdot ini – tiba-tiba menjadi “tercerahkan” melalui pengajaran gurunya,d an membuat amatan berikut tentang dirinya :
Yen Hu :          Sebelum Hui (maksudnya, aku) menerima pelajaran ini, Hui benar-benar bukanlah apa-apa selain Hui (maksudnya, “aku” merupakan “ego” kecilku, tidak ada lainnya). Namun karena sekarang saya telah menerima pelajaran ini, saya menyadari bahwa sejak semula tidak pernah ada (“ego” yang dinamakan dengan) Hui. Apakah kondisi ini layak untuk dianggap “kehampaan” (yang baru saja engkau bicarakan)?
Konfusius :      Sungguh, begitulah adanya!
Kemudian Konfusius mengontraskan keadaan ini dengan “duduk bergerak-gerak”. Lantas dia memerikan yang pertama dengan membandingkannya pada ruang kosong yang tertutup rapat yang secara misterius dan tenang menyinari dirinya dengan cahaya putihnya sendiri.
Pandanglah ke dalam ruangan tertutup itu dan lihatlah bagaimana “interiornya” yang kosong menghasilkan (warna) putih cerah. Seluruh berkah alam masuk untuk menetap dalam keheningan itu.
Sebaliknya, jika (Benakmu) tidak tenang, maka kau berada dalam kondisi apa yang saya namakan “duduk bergerak-gerak”.
Namun, jika seseorang mengarahkan telinga dan matanya menuju “interior”, serta menempatkan Benak dan Nalarnya pada “Eksteior” (yakni, meniadakan fungsi normal Benak dan Nalar), maka para dewa dan ruh pun berdatangan untuk menetap secara bebas ( dalam “interiornya” yang tidak berego itu), apalagi manusia. Inilah Transmutasi sepuluh ribu hal.
Kalimat terakhir melukiskan salah satu masalah utama metafisika Chuang-tzu. Makana khusus istilah utama hua telah dijelaskan di atas. Apa yang penting diperhatikan di sini adalah bahwa pada pasase yang baru saja dikutip, hua, Transmutasi, ternyata dilukiskan sebagai kondisi subjektif manusia, sebagai sesuatu yang terjadi did alam “interiornya”. Bahkan, “interior” manusia adalah Transmutasi sepuluh ribu hal, yaitu, tentang semua benda dan peristiwa fenomenal dunia. manusia dalam kondisi “duduk dalam perikelupaan” yang sempurna mengalami secara subjektif, sebagai pengalaman rpibadinya, Transmutasi dari segala sesuatu.
Seluruh persoalan itu dapat dirumuskan ulang secara lebih teoritis dalam kerangka proses perkembangan spiritual manusia menuju pencerahan.
Pada pengalaman manusia biasa, arus konstan dari fenomenal yang berubah-ubah secara tak terhingga itu ada dalam kuasa Tuhan. Semua itu secara positif menimpa, memengaruhi, mengusik, melanda dan mengikat manusia. Dalam situasi demikian, manusia adalah hamba atau budak. Benak manusia menjadi tercabik-cabik dan bercabang ke semua arah untuk mencari bentuk-bentuk chameleonic (yang berubah-ubah warna) dalam berbagai hal dan peristiwa.
Segera setelah manusia membebaskan dirinya dari perbudakan ini dan melampaui pola pengalaman umum, maka pemandangan di depan matanya menyajikan penampilan yang benar-benar berbeda. Pandangan kaleidoskopik masih tetap ada. Berbagai hal dan peristiwa tetap melanjutkan perubahan dan transformasi sebagaimana sebelumnya. Satu-satunya perbedaan esensial antara kedua tingkatan itu adalah bahwa pada yang kedua segala sesuatu dan peristiwa yang terus timbul dan tenggelam ini terpantulkan dengan tenang dalam cermin “batin” manusia yang telah terpoles . manusia itu sendiri tidak lagi dipusingkan oleh genomena yang berubah tiada henti.
Manusia pada tingkatan ini mengamati berbagai hal dengan tenang, dan benaknya ibarat cermin yang terpoles. Dia menerima segala sesuatu yang memasuki “batinnya”, dan membiarkannya, tanpa gelisah, lenap dari pandangannyya. Baginya tidak ada yang harus ditolak, namun tidak ada pula yang harus dikejar dengan sengaja. Singkatnya, dia berada di luar “baik: dan “buruk”, “benar” dan “salah”.
Selangkah lebih jauh, dia sampai pada tingkat “ketiadaan perbedaan”, ketika segala hal menjadi “terkacaukan” (chaotified(. Pada tingkatan ini, masih ada banyak hal. Namun, hal-hal ini tidak lagi memperlihatkan batasan dan sempadan yang “secara esensial” memisahkan satu dengan lainnya. Inilah tingkatan Transmutasi kosmik. Sudah berang tentu bahwa pada aspek subjektifnya, Transmutasi melukiskan tingkatan spiritual manusia itu sendiri.
Akibat “puasa Benak” tersebut, manusia itu kini benar-benar “tanpa ego”. Dan karena manusia telah menjadi “tanpa ego”, maka dia menjadi satu dengan “sepuluh ribu hal”. Dia terus mengalami perubahan bersama berubahan segala hal yang tak terhingga. Dia tidk lagi menjadi “pengamat” yang tenang terhadap hal-hal yang berubah. Dia adal subjek dari Transmutasi. Keselarasan yang sempurna telah sepenuhnya tercapai antara “interior” dan “eksteior”; tidak ada perbedaan lagi antara keduanya.
Meminjam terminologi Ibn ‘Arabi dapat kita katakan bahwa manusia pada tingkatan perkembangan spiritual setinggi ini secara subjektif bertempat di tingkat Kesatuan Eksistensi (wahdat al wujud), dans ecara personal mengalami seluruh alam Wujud dalam tingkat itu. Situasi ini dilukiskan oleh Chuang-tzu dengan cara berikut :
Mati dan hidup, bahagia dan sengsara, berada dalam kesulitan dan dalam kelapangan, miskin dan kaya, cerdas dan tidak becus, dihina dan dimuliakan, lapar dan haus, menderita kedinginan dan kepanasan – semua ini hanyalah perubahan-perubahan tanpa henti dari berbagai hal (fenomenal), dan merupakan akibat dari jalannya Nasib yang senantiasa berlangsung.
Segala hal ini silih berganti antara satu dengan lainnya di depan mata kita sendiri, namun tidak ada orang yang dengan akalnya mampu melacak sumber awal dari semua hal tersebut.
Walaupun begitu, perubahan-perubahan ini tidak cukup kuat untuk mengganggu (manusia yang “duduk dalam perikelupaan, lantaran dia benar-benar menyatu dengan Transmutasi itu sendiri), juga tidak mampu mengusik “khazanah terdalam” (manusia semacam itu.
Sebaliknya, dia memelihara (‘Khazanah terdalam” miliknya) dalam keselarasan yang damai dengan (segala perubahan) sehingga dia menjadi satu dengan semuanya itu tanpa mengalami hambatan, dan tidak pernah kehilangan keceriaan spiritual.
Siang dan malam, tanpa henti, dia senang berasa dalam gelombang pasang bersama segala sesuatu. Saat berbaur dengan 9berbagai hal yang berubah terus menerus tanpa tingkatan eksistensi yang nonindriawi) dia terus menciptakan “waktu” (dunia) dalam “interiornya”.
Keadaan demikian itu saya sebut sebagai kesempurnaan (yakni, aktualisasi yang sempurna) dari potensialitas manusia.
Manakala manusia menggapai perkembangan spiritual setinggi ini, dia sepenuhnya pantas mendapat gelar Manusia Sempurna. Namun, hal ini bukan merupakan derajat terakhir dan puncak dari “duduk dalam perikelupaan”. Masih ada lagi tingkatan yang lebih tinggi. Aitu, tingkatan “tidak lagi Mati, tidak lagi Hidup.” Chuang-tzu terkadang menamakannya dengan “titik ekstrem” (chih) dari pengetahuan (chih). Pada tingkatan terakhir ini, manusia bukan hanya seutuhnya menyatu dengan perubahan dawam “sepuluh ribu hal” – sebagaimana halnya ketika dia berada pada tingkatan sebelumna – tetapi menyatu padu dengan “Misteri dari segala Misteri”, tingkat metafisik puncak dari Sang Mutlak, sebelum Dia turun memasuki ranah Transmutasi universal. Saking menyatunya dengan Jalan, manusia ini bahkan sampai tidak sadar bahwa dia menyatu dengan Jalan tersebut. jalan (tao) pada tingkatan ini tidak hadir seperti Jalan (tao) dalam kesadaran manusia. Begitulah adanya lantaran memang tidak ada “kesadaran” di manapun, sekalipun hanya sekilas. “Perikelupaan” yang berlangsung sudah sempurna. Dan aktualisasi “perikelupaan” yang demikian sempurna itu bisa dijelaskan sekedar sebagai acuan terhadap fakta metafisik bahwa Sang Mutlak, Jalan (tao), dalam kemutlakannyya yang sempurna merupan Sesuatu yang tidak seorang pun bisa menyebutnya sebagai “sesuatu”. Karenanya, kebiasaan umum dalam filsafat-filsafat dunia Timur memberikan acuan pada Sang Mutlak itu sebagai Bukan Sesuatu (Nothing).
Tingkatan-tingkatan perkembangan spiritual yang dilukiskan di atas tentang “perikelupaan” telah dibahas secara beragam oleh Chuang-tzu pada beberapa tempat dalam bukunya. Kadang-kadang dia menempuh jalan menaik, dan kadang-kadang jalan menurun. Jalan naik sesuai dengan proses sebenarnya yang melaluinya benak seorang manusia setahap demi setahap melaju menuju kesempuaan spiritual. Contoh khas tentang jenis deskripsi ini ditemukan pada pasase yang diakui sebagai reproduksi percakapan antara seseorang bernama Nan Po Tzu K’uei dan seorang Lelaki (atau Perempuan?) Sempurna bernama Nu Yu. Pada pasase ini, Chuang-tzu memberikan gambaran tentang tingkatan-tingkatan yang dilalui oleh seorang manusia yang lahir dengan potensi khusus untuk menjadi seorang Manusia Sempurna hingga dia benar-benar mencapai tingkatan terakhir. Deskripsi itu sangat menarik apabila dianggap sebagai sutu bandingan Taois atas kefanaan atau peniadaan-diri dalam Islam.
Percakapan bermula dari keheranan Nan Po Tzu K’uei pada air muka si tua Nu Yu, yang, sebagaimana dia amati, laksana air muka seorang bocah.
Nan Po Tzu :   Engkau adalah orang yang sudah tua, wahai guru, namun air mukamu seperti seorang bocah. Mengapa?
Nu Yu          :   (Ini karena) saya telah mengenal Jalan (tao).
Nan Po Tzu :   Mungkinkah saya mempelajari Jalan tersebut?
Nu Yu          :   Tidak. Bagaimana mungkin? Engkau bukanlah jenis orang yang tepat untuk mempelajarinya. Engkau kenal Pu Liang I. (Sejak semula) dia emmiliki potensi alamiah untuk menjadi seorang “manusia suci”, namun dia belum mendapatkan Jalan (tao), sedangkan saya memiliki Jalan itu, namun tidak memiliki “potensi”. Saya ingin memberinya petunjuk untuk melihat apakah, barangkali, dia dapat menjadi “manusia suci”. Meskipun saya harus gagal mencapai tujuanku, namun (aku kira), mudah bagi manusia yang memiliki Jalan untuk menyampaikannya kepada orang yang memiliki potensi untuk menjadi seorang “manusia suci”. Maka itu, saya selalu mengajarnya. Setelah tiga hari, dia telah belajar menempatkan dunia di luar Benaknya.
Tindakan “menempatkan dunia di luar Benak”, yyaitu melupakan eksistensi dunia, menandai dicapainya tingkatan pertama. Sebagai sesuatu yang objektif – dan karenanya secara relatif jauh dari Benak – “dunia” merupakan hal yang paling mudah untuk dihilangkan dari kesadaran manusia.
Setelah dia menempatkan dunia di luar dirinya, saya terus mengajarinya. Dan dalam tujuh hari, dia telah belajar sebagaimana menempatkan segala sesuatu di luar Benaknya.
Tindakan “menempatkan segala sesuatu di luar Benak” melukiskan tingkatan kedua. Melupakan adanya dunia tidaklah terlalu sulit, namun “segala sesuatu” yang sangat terkait erat dengan manusia tidak mudah terhapus dari kesadaran. Sebagaimana Kuo Hsang katakan “ “Berbagai hal dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, hal-hal itu sangat erat dengan ego. Inilah mengapa hal-hal dimaksud begitu sulit untuk ditempatkan di luar Benak. Sedangkan Ch’eng Hsuan Ying menuturkan : “Keadaan seluruh dunia bersifat asing dan jauh tersingkir dari kita; jadi mudah untuk melupakannya. Berbagai hal dan alat yang membantu kehidupan sehari-hari kita adalah akrab bagi kita; jadi sulit untuk melupakannya”. Dengan melupakan hal-hal yang sudah akrab di sekliling ktia dan terkait melalui berbagai cara dengan kehidupan sehari-hari kita, maka dunia eksternal akan seutuhnya hilang dari kesadaran kita.
Setelah dia menempatkan berbagai hal di luar Benaknya, saya terus mengajarnya. Dan dalam Sembilan hari, dia telah belajar bagaimana menempatkan Kehidupan di luar Benak.
Inilah tingakatan ketiga. Ia terdiri dari tindakan manusia melupakan Kehidupan, yaitu, menghapuskan fakta tentang kehidupannya sendiri dari kesadarannya, dari eksistensi pribadinya sendiri. Inilah tingkatan melepaskan “ego”. Akibatnya, dunia, dalam aspek-aspek eksternal dan internalnya, menghilang dari kesadaran. Tingkatan ini segera diikuti oleh tingkatan berikutnya yang merupakan kedatangan fajar “pencerahan” yang tak terduga.
Setelah dia menempatkan Kehidupan di luar Benaknya, (mata batinnya terbuka sebagaimana) cahaya pertama fajar menyeruak (di kegelapan malam).
Begitu “pencerahan” ini diraih, tidak ada lagi tingkatan-tingkatan sesudahnya. Atau boleh dibilang, ada tingkatan-tingkatan, tetapi tidak muncul secara berturut-turut; semua tingkatan itu menjadi teraktualisasi secara serentak. Jika itu dianggap merupakan “tingkatan-tingkatan”, maka tingkatan-tingaktan itu harus dilukiskan sebagai tingkatan-tingkatan horizontal yang terjadi seketika dan Bersama itu mata batin terbuka melalui sinar fajar spiritual yang menembus. Yang pertama dari tingkatan-tingkatan itu adalah “memersepsi Keesaan Mutlak”.
Saat fajar menyingsing, dia melihat Keesaan.
Inilah momenketika segala hal dan “aku” menyatu tunggal secara mutlak. Tidak ada lagi pertentangan subjek dan objek- - subjek yang “melihat” dan objek yang “dilihat” benar-benar menyatu – tidak ada lagi perbedaan antara “ini” dan “itu”, “eksistensi” dan “non eksistensi”. “Aku” dan dunia dikembalikan kepada kesatuan orisinalnya yang mutlak.
Dan setelah melihat Keesaan, tidak ada lagi (dalam eksdarfannya) masa lalu dan masa sekarang.
Peda tingkatan Keesaan mutalk, tidak ada lagi kesadaran tentang perbedaan antara “masa lalu” dan “masa sekarang”. Tidak ada lagi kesadaran tentang “waktu”. Kita dapat melukiskan situasi ini secara berbeda dengan mengatakan bahwa manusia sekarang berada dalam Sekarang yang abadi. Dan karena tidak ada lagi kesadaran tentang “waktu” yang terus berputar, maka manusia berada dalam kondisi “tidak Mati dan Tidak Hidup”.
Setlah meniadakan masa lalu dan sekarang, dia mampu memasuki kondisi “tdaik Mati dan tidak Hidup”.
Kondisi “tidak Mati dan tidak Hidup” bukanlah sesuatu selain daripada kondisi Sang Mutlak itu sendiri. Manusia pada tingkatan ini beradsa tepat di tengah-tengah Jalan, terhubungkan dan menyatu dengannya. Dia berada di luar Kehidupan dan Kematian, sebab Jalan yang telah menyatu dengannya berada di luar Kehidupan dan Kematina.
Keadaan Jalan atau Sang Mutlak, bagaimanapun, tidaklah sekadar berada di lura Kehidupan dan Kematian. Sebagaimana tampak jelas melalui proses epistemologis yang melaluinya manusia pada akhirnya mencapainya, kondisi ini bukanlah “kenihilan” dalam pemaknaan yang semata-mata negative. Agaknya kondisi ini lebih merupakan puncak metafisika. Kesatuan mutlak, yang kepadanya disperse Keragaman ontologis dikembalikan. Ia merupakan Kesatuan yang terbentuk melalui penyatuan “sepuluh ribu hal”, suatu Kesatuan di mana segala yang ada direduksi menjadi Ketiadaan.
Tiada “Kematian dan Kehidupan” di sini. Jelasnya, inilah peri-Ketenteraman dan Keheningan yang utuh. Tidak ada lagi sedikit pun kegaduhan dan kehebohan alam esksitensi indriawi. Namun begitu, peri-Keheningan ini bukanlah keheningan Kematian. Tidak ada lagi Gerakan yang dapat teramati. Tetapi, ia bukanlah keadaan tanpa gerak dalam pengertian yang benar-benar negative. Ia lebih merupakan keadaan tanpa gerak yang bersifat dinamis, penuh dengan tegangan-tegangan ontologis internal, dan di dalam dirinya tersimpan kemungkinan-kemungkinan Gerakan dan aksi yang tak terhingga.
Dengan demikian, dalam kedua aspek yang baru saja disebutkan, itulah coincidentia oppositorum. Dalam pandagan ini, Sang Mutlak merupakan Sesuatu yang terus merealisasikan dan mengaktualisasikan “sepuluh ribu hal” dalam banyak bentuknya dan mentransformasikannya dalam proses Transmutasi tanpa batas, dan bahkan pada waktu yang bersamaan mempertahankan segala hal ini dalam Kesatuannya yang supratemporal dan supraspasial. Inilah Kesatuan yang merupakan Keragaman itu sendiri. Inilah Keheningan yang merupakan Gelegar itu sendiri.
Pada akhir pasase itu Chuang-tzu menjelaskan aspek Jalan (tao) ini melalui katga-kata berikut :
Yang membunuh Kehidupan tidak akan mati. Yang menghidupkan segala yang hidup tidaklah hidup. Dengan sifat itu ia melepas segala sesuatu, dan menyambut segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang tidak ia binasakan. Tidak ada sesuatu yang tidak ia sempurnakan. Dalam aspek ini, ia dinamakan Kegaduhan-Ketenteraman”. Nama Kegaduhan-ketenteraman menunjukkan fakta bahwa ia (maksudnya, Jalan tersebut) mengatur (segala hal) kegaduhan dan agitasi dan selanjutnya menuntun segalanya itu menuju Ketenteraman.
Kita harus mencamkan bahwa pada tingkatan tertinggi spiritualitas ini, manusia benar-benar menyatu dan terhubungkan dengan Jalan tersebut. Mengingat, bagaimanapun, Jalan itu tidak lain dari Ketenteraman-Kegaduhan, maka manusia yang menyatu dengan Jalan itu bergerak melalui proses kosmik dari Kesatuan mutlak yang berdiversifikasi dalam kegaduhan dan agitasi menjadi “sepuluh ribu hal” ini, dan “sepuluh ribu hal” itu kembali lagi menuju peri_Ketenteraman semula. Ontology Taoisme merupakan ontology yang didasarkan pada pengalaman semacam itu. Mungkin wajar bagi kita untuk membayangkan bahwa pandangan Wujud dalam mata spiritual orang bijak penganut Tao akan merupakan sifat dan struktur yang sangat berbeda dengan sifat dan struktur pengikut Aristoteles, msialnya, yang mendasarkan bangunan filsafatnya di atas pengalaman ontologis biasa dari seorang manusia biasa yang memandang dunia di sekitarnya pada tingkatan akal sehat yang kuat dan kukuh. Sudut pandang yang sangat alamiah dari para filosof pengikut Aristoteles adalah esensialisme. Pada zaman Cina Kuno, sudut pandang esensialis diwakili oleh Konfusius dan alirannya. Lou-tzu dan Chuang-tzu mengambil sikap keras terhadapnya. Bab berikutnya akan dicurahkan untuk menjelaskan pokok masalah ternteu ini. {}{}{}

6. MENENTANG ESENSIALISME

Menjelang akhir bab sebelumnya saya telah tunjukkan fakta bahwa menurut Chuang-tzu, tingkatan-tingkatan “duduk dalam perikelupaan” ditemukan dalam dua arah yang berlawanan : naik dan turun. Yang pertama sesungguhnya berawal dari tingkatan terendah dan menaik setahap demi setahap menuju tingkatan puncak dan tertinggi. Contoh tipikal jenis deskripsi ini sudah saya kemukakan.
Yang kedua, alur turun, merupakan kebalikan dari yang pertama. Ia berawal dari tingkatan tertinggi dan bergerak menuju tingkatan terendah. Sebagai pendahuluan yang cocok untuk topik utama bab ini, kita akan memulai dengan menerjemahkan satu pasase dari Chuang-tzu pada saat tingkatan-tingkatan itu dilukiskan dengan cara tersebut. Pada pasase ini, Chuang-tzu, alih-alih membicarakan “duduk dalam perikelupaan”, membagi pengetahuan manusia tentang REalitas menjadi empat kelompok yang membentuk sederetan tingkatan yang berurutan. Tingkatan-tingkatan ini merupakan tahapan-tahapan epistemologis yang bersesuaian dengan tahapan-tahapan ontologis yang oleh Lou-tzu dalam Tao Te Ching dibedakan dalam proses segala sesuatu di alam Wujud yang muncul secara berkesinambungan dari Kesatuan mutlak Jalan (tao).
Apakah batas puncak pengetahuan? Ia merupakan tingkatan yang tergambarkan melalui anggapan bahwa tidak ada yang benar-benar eksis dari awal. Inilah batas terjauh (Pengetahuan), yang untuknya tidak ada lagi yang dapat ditambahkan,
Sebagaimana kita lihat pada bab sebelumnya, inilah tingkatan puncak yang untuknya manusia mencapai akhir “duduk dalam perikelupaan”. Di sini, manusia benar-benar menyatu dengan Jalan itu dan berhubungan dengan Realitas mutlak, sehingga Jalan (tao) atau Realitas pun tidak lagi disadari. Inilah tingkatan Kehampaan dan Ketiadaan dalam pemaknaan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Ihwal tingkatan ini, Kuo Hsiang mengatakan : “Manusia pada tingkatan ini telah sepenuhnya melupakan Langit dan Bumi, menempatkan segala sesuatu yang ada di luar benaknya. Di sisi luar, dia tidak memersepsi eksistensi alam semesta; di sisi dalam, dia telah kehilangan seluruh kesadaran tentang eksistensinya sendiri. Karena ‘hampa’ secara tidak terbatas, dia sama sekali tidak mengalami hambatan. Dia terus mengalami perubahan sebagaimana berbagai hal itu sendiri mengalami perubahan, dan tidak ada sesuatu yang tidak sesuai untuknya”.
Berikutnya adalah tingkatan ketika terdapat kesadaran tentang “berbagai hal” yang mewujud. Namun, (dalam kesadaran ini) “batas-batas” di antaranya tidak pernah ada seperti sediakala.
Pada tingkatan kedua ini, manusia menjadi sadar akan Jalan yang mengandung segala sesuatu dalam potensialitas murni. Jalan itu akan mendiversifikasikan dirinya sendiri pada tahapan berikutnya menjadi “sepuluh ribu hal”. Namun, di sini belum ada ‘batas-batas’ di antara berbagai hal itu. “Berbagai hal” itu masih merupakan Keseluruhan tidak-terbagi yang terdiri atas banyak unsur heterogen yang secara potensial tidak terbilang. Semua itu masih dalam medan yang rata, Kekacauan, di mana berbagai hal itu belum memiliki perbedaan-perbedaan “esensial”.
Berikutnya (maksudnya, tingkatan ketiga) merupakan tingkatan di mana “batas-batas” mulai dikenali (di antara berbagai hal itu). Namun, hingga kini benar-benar tidak ada perbedaan yang dibuat antara “benar” dan “salah”.
Di sini Kekacauan (chaos) mulai menyingkapkan bentuk-bentuk tertentu dari beragai hal yang ada dalam dirinya.s egala hal menunjukkan garis-garis batasnya sendiri,d an setiap hal denga  jelas menandai “batasnya” sendiri yang dengannya ia membedakan dirinya dari hal-hal lain. Inilah tingkatan “esensi-esensi” murni. Kesatuan awal itu mulai emmbagi dirinya, dan terdiversifikasi menjadi Keragaman, sedangkan Sang Mutlak memanifestasikan diri-Nya sebagai maujud-maujud “relatif” tak terbilang. Akibatnya, Realitas yang sebelumnya berada di luar jangkauan pengetahuan manusia untuk pertama kalinya masuk dalam tangkapannya.
Namun, pada tingkatan ini sekalipun, perbedaan antara “benar” dan “salah” belum dibuat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkatan ketiga ini kita masih berhubungan erat dengan Jalan dalam integritas awalnya, walau pun, tentu saja, kontak dengan Jalan itu sudah tidak lagi secara langsung, sebab kontak itu dibuat melalui tabir “esensi-esensi”. Kita mungkin ingat mitos tentang Kaisar Kekacauan (Hun Tun), yang kita baca pada bab 2, yang tewa segera setelah sahabat-sahabatnya membuat lubang-lubang pada wajahnya yang “tak berbentuk”. Terkait dengan pasase ini, dalam mitos itu terdapat penyederhanaan yang berlebihan. Karena Kekacauan tidak akan “mati” semata-mata dengan “lubag-lubang” (maksudnya, perbedaan-perbedaan “esensia;”) yang dibuat padanya. Kematian Kekacauan yang sebenarnya terjadi pada tahap berikutnya.
Tetapi, begitu “benar” dan “salah” benar-benar mengemuka, maka Jalan menjadi rusak. Dan begitu Jalan itu rusak, lahirlah Cinta.
Dengan munculya “benar” da “salah”, Kekacaua kehilangan vitalitas alamiahnya dan terfosilkan sebagai “bentuk-bentuk esensial” yang kaku dan tidak lentur laksana bangkai. Sebagaimana Wang Hsien Ch’ien tuturkan : “Ketika “benar” dan “salah” dikenali, maka integritas Chaotic Jalan segera tergerus”.
Dan hal ini terjadi seiring dengan lahirnya Cinta. Kelahiran Cinta melambangkan aktivitas emosi manusia seperti cinta dan benci, suka dan tidak suka. Inilah tingkatan terakhir dan terendah dari Pengetahuan.
Tentu saja ada aspek lain ihwal masalah tersebut. jalan ini konon mati bersamaan dengan munculnya emosi-emosi manusia seperti cinta dan benci. Namun, hal itu hanya apabila orang melihatnya terkait dengan integritas Chaostic semula, yakni “ketiadaan pembedaan” orisinal Sang Mutlak. Bila tidak dilihat dalam kaitan itu, segala sesuatu sebetulnya merupakan manifestasi tertentud ari Jalan itu sendiri. Dan begitu pula “esensi” yang terfosilkan pun bukanlah sesuatu selain dari “Determinasi-diri” Sang Mutlak. Namun, aspek persoalan ini tidaklah relevan dengan topik pembahasan kita sekarang.
Sebagaimana telah beberapa kali saya nyatakan – dan penting untuk mengingatnya sekali lagi dalam rangka memahami dengan benar pandangan filosofis Chuang-tzu ihwal “esensialisme” – penjabaran yang baru saja diberikan tentang empat tingkatan itu bukanlah suatu teori abstrak; ia merupakan penjelasan tentang fakta yang berdasarkan pengalaman. Ia merupakan pemerian fenomenologis iheal pengalaman ekstasis (kebahagiaan luar biasa). Pada bagian yang baru saja dikutip, proses ekstasis dijelaskan dalam urutan menurun. Maksudnya, Chuang-tzu melukiskan :kembalinya” kesadaran. Dia memulai dari tahap kotemplasi tertinggi ketika “peripelupaan” telah menyempurna, dan menurun selangkah-demi selangkah hingga mencapai tingkatan kesadaran normal.
Apa yang harus diperhatikan betul sehubungan dengan persoalan ini, entah ditinjau dalam urutan menurun ataupun menaik, proses ekstasi terdiri dari dua aspek yang benar-benar saling bersesuaian. Satunya adalah aspek subjektif, yang dapat kita namakan “aspek epistemologis”, dan yang lainnya adalah aspek objektif, atau aspek “metafisik”.
Ambillah,s ebagai contoh, tahap tertinggi. Pada sisi  subjektifnya, sebagaimana baru saja saya sebutkan, ia merupakan tahapan di mana pelaku kontemplasi telah meraih ekstasis. Dia kini berada dalam “perikelupaan” utuh tentang segala sesuatu, termasuk dunia dan dirinya. Hal ini tentu saja bermakna bahwa dia beradsa dalam peri-Ketiadaan (Nothing-ness), lantaran dia tidak sadar akan apa pun dan (memang) tidak ada “kesadaran”. Ketiadaan subjektif ini selaras dengan Ketiadaan objektif tentang Jalan. Karena Jalan (tao) juga ebrada dalam Ketiadaan murninya yang mutlak, suatu keadaan “di mana tidak ada yang benar-benar mewujud sejak awal”, yakni, sesuatu keadaan metafisik di mana tidak ada apa pun yang dapat dibedakan sebagai maujud.
Dari peri-Kehampaan sempurna itu, subjektif dan objektif, pelaku kontemplasi mulai kembali menuju keadaa pikrian sehari-hari. Awalnya dia mengaduk-aduk sesuatu di dalam dirinya. Kesadaran terjaga di dalam dirinya untuk menemukan “pelbagai hal” yang mewujud. Namun, kesadaran apda tingkatan ini pun merupakan cahaya suram dan redup. Ia belum menjadi kecermelangan siang hari yang menyilaukan mata. Ia masih berupa senja kesadaran, suatu sore di saat segala hal hanya dapat dilihat secara tidak tegas dan membingungkan.
Penjelasan situasi seperti itu mungkin mengesankan sebagai evaluasi yang negatif. Kondisi kesadaran pada tingkatan ini dilukiskan sebagai cahaya temaram semata-mata karena penjelasan itu dibuat melalui sudut pandang kesadaran normal dari suatu benak biasa. Bagi kesadaran normal, cahaya kesadaran ekstatis tampak temaram dan tidak tegas sebab ia tidak (mampu) membedakan dan memilah antara satu dengan lainnya. Namun, pada hakikatnya, ketidakjelasan itu, menurut Chuang-tzu, adalah Realitas sebagaimana adanya.
Mengingat keadaan Realitas sesungguhnya adalah bersifat “suram” dan “tidak tegas”, maka kesadaran pasti juga “suram” dan “tidak tegas”. Hanya dengan cahaya suram itulah Realitas dalam integritasnya dapat mencerahkan. Cahaya kesadaran normal yang berkilauan dan menyilaukan dapat memberikan kesadaran yang kuta tentang objek partikular ini atau objek partikular itu. Namun, dengan memusatkan cahaya pada objek partikular tersebut, cahaya itu menjadikan seluruh alam tenggelam ke dalam kegelapan. Berkenaan dengan masalah ini, Chuang-tzu menyatakan :
Oleh karena itu, Cahaya yang memancar dan temaram itulah yang dituju oleh “manusia suci”. Bagaimanapun, dia tidak menggunakan Cahaya ini (untuk mencerahkan benda-benda partikuler), namun meminjakannya untuk segala hal secara universal. Inilah yang dinamakan dengan “pencerahan”.
Frase yang di sini diterjemahkan sebagai “Cahaya yang memancar dan temaram” itu bermakna sejenis cahaya yang darinya seseorang tidak dapat meyakini apakah ia ada ataukah tidak; seberkas cahaya yang tidak terpusatkan pada objek partikulae ini atau objek particular itu yang “memancar” dan menyebar luas ke semua arah. Ia bukanlah cahaya redup dan temaram, bukan cahaya terang ataupun gelap. Namun, pada kenyataannya, ia adalah Cahaya Universal yang mencerahi segala sesuatu seperti apa adanya.
Chuang-tzu menamakan jenis Cahaya spiritual ini juga sebagai “Cahaya yang terhalangai”. Sebagaimana Ch’eng Hsuan Ying paparkan : “(Benak manusia suci”) lupa (untuk membedakan berbagai hal) namun mencerahi semuanya. Dan senyampang dia mencerahi semua, dia pun melupakan semua. Itulah mengapa dia memburamkan dan menghalangi cahanya, kendatipun justru dia menjadi semakin berkilau”.
Sisi “objektif” yang selaras dengan tahap ini secara ontologis merupakan tahap paling penting menurut Chuang-tzu. Dalam Cahaya yang redup dan memancar dari kesadaran pelaku kontemplasi, “sepuluh ribu hal” tampak menyheruak seolah-olah melalui kabut. Mereka tampak suram dan tidak tegas sebab tidak ada “sempadan-sempadan”, yakni “esensi-esensi” atau “kuiditas-kuiditas” tertentu, untuk membeda-bedakan satu dengan lainnya.
Saya katakana bahwa hal ini secara ontologis merupakan tahapan yang paling penting bagi Chuang-tzu, lantaran tahapan yang lebih tinggi, tingkatan Sang Mutlak dalam kemutlakannya, tentunya berada di luar seluruh pemikiran dan penalaran. Sedangkan tingkatan yang lebih rendah adalah tingkatan berbagai “esensi” atau “kuiditas”, ketika segala hal tampak menuju kesadaran yang secara jelas saling terpisahkan satu dengan lainnya melalui “Batasan-batasannya”. Chuang-tzu memerangi pandangan bahwa tingkatan ini merepresentasikan Realitas seperti apa adanya.
Dengan demikian, kita melihat bahwa tingkatan “choitifikasi”, pada saat segala hal dilihat dalam  “ketiadaan perbedaannya” yang asli, yaitu, di luar dan terpisah dari “esensi-esensi”, merupakan masalah sangat penting dalam metafisika Chuang-tzu. Kita  dapat menamakan metafisika ini sebagai “eksistensialisme”, dengan memaknai kata “eksistensi” (existential) dalam pengetian yang sama dengan wujud dalam system metafisika Ibn ‘Arabi.
Sejak awal saya telah menekankansecara implisit dan eksplisit akan sikap “eksistensialis” Chuang-tzu. Saya kira kini saya telah menjadikannya cukup jelas bahwa makna sesungguhnya mejnjadi dapat dipahami hanya apabila kita mengaitkannya dengan tingkatan kedua (dari atas) “duduk dalam perikelupaan”. Ia merupakan suatu pandangan filosofis yang didasarkan pada visi tentang Chaos. Dalam hal ini. Ia ebrtentangan dengan pendapat yang diambil “esensialisme” yang didasarkan pada visi tentang Realitas yang terbatas pada, dan tipikal, tahap epistemologis-ontologis penampakan “ sepuluh ribu hal”, masing-masing dengan “Batasan-batasannya” yang sangat jelas. Berkenaan dengan proses “duduk dalam perikelupaan” – proses pengembalian ekstasis sempurna menuju alam akal sehat yang “normal” – pandangan “esensialis” itu masuk dalam tingkatan ketiga yang dijelaskan di atas.
Dengan begitu, dalam kerangka pengalaman tersebut, “eksistensialisme” menggambarkan sebuah visi tentang Realitas yang merupakan tingkatan lebih tinggi disbanding dengan “esensialisme”. Adalah penting untuk diperhatikan bahwa esensialisme dianggap sebagai tingkatan ketiga dalam proses Kembali dari kontemplasi ekstatis sepanjang ia berada dalam kerangka khusus ini. Bagaimanapun, pada hakikatnya, pelaku kontemplasi itu, saat dia turun menuju tingkatan ini dan menyadari berbagai hal beserta “Batasan-batasan” tergasnya, maka sesungguhnya dia telah setaraf dengan manusia biasa yang tidak mengetahui apa-apa tentang pengalaman akstetis. Padangannya tentang Wujud pada tingkatan khusus ini bukanlah sesuatu yang tidak wajar dari sudut pandang akal sehat. Sebaliknya, pandangan itu  merupakan pandangan tentangn Wujud yang umum untuk,dan dimiliki oleh, semua manusia yang sepenuhnya berpikiran “logis” dan “normal”. Dengan kata lain, “esensialisme” merupakan ontology tipikal
Betapapun, pernyataan ini tidak harus dipahami dengan implikasi bahwa, bagi Chuang-tzu atau Lou-tzu, “esensialisme” merupakan pandangan yang salah dan keliru tentang Wujud, dan bahwa ia menidtorsi dan merusak struktur sejati berbagai hal. Karena “esensialisme” tidak  mewakili dan sesuai dengan tingkatan tertentu dalam proses penyebaran. Sang Mutlak itu sendiri. Di samping itu,pada sisi subjektifny, sebagaimana telah ktia lihat, “esensialisme” merupakan tingkatan ketiga dari “duduk dalam perikelupaan” pada proses kembali dari kontemplasi. Jadi, tidak ada yang salah dengan esensialisme.
Persoalan serius muncul hanya apabila akal sehat menolak untuk melihat perbedaan apa pun dalam kerangka “tingkatan-tingkatan” ontologis antara “eksistensialisme” dan “esensialisme” serta mulai menegaskan bahwa esensialisme merupakan satu-satunya pandangan yang benar terhadap Wujud. Bila sudah begitu, barulah seorang Chuang-tzu tampil dalam pemberontakan terbuka atas “esensialisme”. Namun, mengingat esenisalisme merupakan fitrah akal sehat untuk memandang berbagai hal secara “esensialis”, maka Chuang-tzu dalm Lou-tzu senantiasa merasa diri mereka terpaksa memanifestasikan sikap pemberontakan menentang padangan yang demikiian. Filsafat mereka, dalam kaitan ini, mungkin layak disebut sebagai pemberontakan menentang “tirani” Nalar.
Chuang-tzu melihat contoh khas pandangan “esensial” dalam filsafat moral Konfusius. Filsafat Konfusius,d alam pandagan Chuang-tzu, tidak lebih daripada elaborasi etika “esensialisme” ontologis. Keutamaan-keutamaan yang disebutkan Konfusius, seperti “kemanusiaan”, “keadilan”,d an sebagainya, tidak lain merupakan beberapa produk aktivitas Benak normal yang tentu saja cenderung melihat berbagai hal secara kasar ditentukan  “esensi-esensin-nya” sendiri. Realitas dalam kemutlakan tidak memiliki “Batasan-batasan” seperti itu. Namun, seorang Konfusius membuat perbedaan-perbedaan yang tidak ada, dan merekayasa darinya serangkaian kategori etika ketat dan kaku demi mengatur perilaku manusia.
Berhenti! Berhenti mendekati manusia dengan (ajaranmu tentang) kebajikan-kebajikan! Sungguh berbahaya, berbahaya sekali (apa yang kau lakukan itu) untuk menggaris-garis landasan dan melintasi Batasan-batasan.”
“Esensialisme” ontologis dianggap berbahaya sebab segera setelah kita mengambil sikap itu, kita pasti akan kehilangan kelenturan alamiah benak kita dan akibatnya kehilangan pandangan tentang “ketiadaan perbedaan” mutlak yang merupakan sumber dan dasar hakiki segala sesuatu yang ada. “Esensialisme” tidak akan terus berada dalam lingkup ontology; tentu saja ia akan tumbuh menjadi kategorisasi sederetan nilai yang begitu telah termapankan, akan mulai mendominasi seluruh system perilaku kita.
Pada pasase berikut, Chuang-tzu melayangkan gambaran simbolis melalui sindiran tajam menyangkut sejumlah orang yang sia-sia terlibat dalam diskusi-diskusi hangat seputar “nilai-nilai” ebrbagai hal, sambal menganggapnya sebagai sesuatu yang mutlak, sesuatu yang pasti tak dapat diganggu-gugat :
Mata air telah mengering, dan semua ikan bergeletakan di atas tanah. (Di saat-saat menjelang mati) mereka saling menghembuskan napas lembab dan berusaha untuk saling membasahi dengan buih dan busa. Akan jauh lebih baik bagi mereka jika mereka dapat saling melupakan di dalam sungai atau laut lepas. Demikian pula, banyak orang memuji “manusia agung” dan mencela “manusia buruk”. Namun, akan jauh lebih baik jika merka melupakan keduanya (“baik” dan “buruk”) dan bebas “bertransmutasi” dengan Jalan itu sendiri.
“Esensialisme” rupa-rupanya adalah pandangan filosof yang sangat cocok bagi benak manusia. Apapun, Nalar dan akal sehat yang selain merupakan bentuk kasar dari Nalar, tentu saja cenderung mengambil posisi “esensialis”. Itulah tumpuan pemikiran kita yang biasa.
Intisari pandangan “esensialis” dapat disajikan secara tepat sebagai sebuah tesis bahwa segala sesuatu memiliki “esensi” atau “kuiditas”, yang  masing-masingnya diberi garis tegas melalui “esensinya” dari selainnya. Sebuah meja adalah meja, sebagai contoh, dan tidak pernah dapat menjadi kursi. Buku yang berada di atas meja itu, “secara esensial” adalah buku, dan “secara esensial” berbeda dengan, atau lain dari meja itu. Ada “sepuluh ribu”, maksudnya, tidak terbilang, berada di dunia. Namun, tidak ada kebingungan di antara mereka, karena mereka terpisahkan satu sama lain melalui garis-garis dimarkasi yang tegas atau “Batasan-batasan” yang dipasok oleh “esensi-esensi” mereka.
Sebagaimana telah saya ungkapkan, ontology “esensialis” ini sendiri bukanlah sesuatu yang harus ditolak. Ia memberikan gambaran yang benar tentang berbagai hal, jika diletakkan di tempat yang tepat, yaitu selama seseorang memahaminya sebagai gambaran berbagai hal pada tingkatan ontologis tertentu. Chuang-tzu tidak berkeberatan dengan hal ini. Masalah yang ingin dia sampaikan adalah agar “esensialisme” tidak dianggap sebagai satu-satunya pandangan final tentang berbagai hal. Dan dia bangkit melakukan pemberontakan terhadapnya pada saat orang mulai membuat pernyataan seperti itu. Karena, dia yakin bahwa esensialisme bukanlah pandangan akhir tentang berbagai hal.
Dari sudut pandang seseorang yang telah melihat berbagai hal secara berbeda dalam visi ekstatisnya, secara ontologis terdapat tingkatan di mana “esensi-esensi” itu meniada. Hal ini bagi seorang Chuang-tzu berarti bahwa “sejak semula” – seperti yang dia katakana – hal-hal itu bukanlah “esensi-esensi” dalam pengertian pusat ontologis segala sesuatu yang keras dan kukuh. Bagaimanapun juga, dalam pandangan ini, apa yang dinamakan “esensi-esensi” itu telah kehilangan kekukuhannya dan menjadi tercairkan. “Mimpi” dan “realitas” menjadi tidak jelas di alam “ketiadaan perbedaan” yang luas dan tanpa batas. Di sini tidak ada lagi ,perbedaan yang jelas antara meja dan kursi, antara meja dan buku. Setiap sesuatu adalah dirinya sendiri, dan bahkan, pada waktu bersamaan, adalah segala lainnya. Tidak ada “esensi-esensi”, yang ada ialah segala hal saling melintasi dan mentransformasikan diri mereka menjadi satu sama lain tanpa henti. Segala sesuatu adalah “satu” – secara dinamis. Kita mungkin pantas membandingkan pandangan ini dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan Eksistensi, wahdatul al-wujud. Dan kita sudah mengetahui bahwa inilah yang dinamakan Chuang-tzu sebagai chaos.
Ibn ‘Arabi dapat berbicara tentang Kesatuan Eksistensi sebab dia memandang alam Keragaman, maujud-maujud yang tidak dapat dibatasi, sebagai selaksa determinasi-diri atau manifestasi-diri Sang Mutlak yang Ia sendiri merupakan Kesatuan Mutlak. Dengan cara serupa, Chuang-tzu sampai apda gagasan tentang “Chaotifikasi” berbagai hal, sebab dia memandangnya dari sudut pandang Jalan, yang juga merupakan Kesatuan metafisik mutlak.
Dalam filsafat Barat kontemporer, tekanan khusus sering diberikan terhadap kekuasaan “tiranik” Bahasa, pengaruh formatif besar pola-pola kebahasan pada pembentukan pemikiran kita. Pengaruh Bahasa terutama tampak dalam formasi pandangan “esensialis” tentang berbagai hal.
Dari sudut pandang “eksistensialisme” mutlak, tidak ada sekat-sekat yang begitu rapat di alam Wujud. Namun, manusia “mengartikulasikan”, yakni, memenggal-menggal – pada galibnya secara sewenang-wenang – keseluruhan yang semula tidak terbagi ini menjadi sejumlah segmen. Lantas manusia memberikan nama khusus untuk masing-masing segmen ini. Segmen Realitas, dengan demikian diberikan sebuah nama, terkristalisasi menjadi “esuatu”. Nama itu memberinya kestabilan “esensial”, dan dengan demikian menjaminnya dari disintegrasi. Baik-buruknya, begitulah faktanya kekuasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa secara positif mendukung “esensialisme”.
Begitu suatu “benda” menjadi mantap dengan satu nama tertentu, maka manusia mudah dituntun menuju pemikiran bahwa benda itu secara esensial adalah itu dan bukan lainnya. Jika satu benda dinamakan A, maka ia mendapatkan ke-A-annya, yaitu “esensi” menjadi A. Dan karena ia adalah A “secara esensial”, maka ia tidak pernah dapat menjadi selain dari A. Seseorang hampir tidak dapat membayangkan di bawah kondisi-kondisi tersebut, benda itu menjadi B, C, atau D. Benda itu dengan demikian menjadi sesuatu yang tertentu dan tidak dapat berubah.
Hubungan mendasar antara “esensialisme” dan bahasa inni mendapat perhatian Chuang-tzu. Dia memerhatikannya sebab dia memandang persoalan ini dari sudut pandang Jalan mutlak karena, sebagaimana telah berung kali kami tunjukkan, tidak ada sedikit pun determinasi-determinasi “esensial;”.
Jalan sama sekali tidak memiliki “batasan-batasan”. Begitu juga bahasa (yang memproduksi dan mengekspresikan “batasan-batasan” itu) memiliki kepermsnrnsan.
Nasmun (manakala kesesuaian terbangun antara keduanya) maka muncul “batasan-batasan” (esensial) yang sejati.
Berkenaan dengan logika solfistikm (argumen yang menyesatkan) dari aliran Kung Sun Lung, Chuang-tzu menjelaskan bahwa jenis logika inik merupakan produk “esensialisme” kebebasan.
Ketimbang berusaha membuktikan dengan sarana “jari” bahwa “jari” bukanlah “jari”, mengapa kita tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan jari” bahwa “jari” bukanlah sebuah “jari”?
Makna pasase ini akan menjadi jelas hanya apabila kita memahaminya dengan latarbelakang logikja sofistik yang mengemuka pada masa Chuang-tzu. Argumen yang dikemukakan kaum Sofis aliran Kung Sun Lung dapat diringkauys sebagai berikut. Konsep jari iktu sendiri mencakup konsep-konsep tentang Ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, jari manis,d an jari kelingking. Sebetulnya tidak ada “jari” selain daripada kelima jari ini. Namun, jika kita mengambil salah satu darinya, misalnya jari telunjuk, maka kita akan menemukannya menegasikan dan mengeksklusikan semua sisanya, sebab “jari telunjuk” bukanlah salah satu dari keempat jari lainnya. Jadi, “Jari telunjuk” yang sebetulnya adalah sebuah “jari”, bukanlah sebuah “jari”, sebab konsepnya berlaku secara ekslusif untuk dirinya sendiri,bukan untuk selainnya.
Terhadap pembuktian ini, Chuang-tzu menyatakan bahwa argumen itu semata-mata merupakan bagian sofisri (argumen menyesatkan) yang dangkal dan tidak bermakna. Kita tidak memperoleh apa pun meskipun kita membuktikan melalui cara ini bahwa sesbuah “jari” tepat untuk dianggap sebagai “bukan jari”. Dan pandagan terakhir ini – walau pun secara dangkal memberikan kesimpulan serupa; yaitu bahwa sebuah “jari” bukanlah sebuah “jari” – tidak merupakan bagian dari sofistri. Ia merupakan pandangan yang bertumpu pada “Chaotifikasi” berbagai hal, dan justru berada pada jantung struktur Realitas.
Istilah “bukan jari” yang tampak apda paro kedua pernyataan yang dikutip di atas tidak ditujukan sebagai kontradiksi logis dari “jari”. Ia bermakna sesuatu seperti “jari super”, atau keadaan ontologis di mana “jari” tidak lagi merupakan sebuah “jari”. “Mengapa tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan jari”? tanya Chuang-tzu. Maksud dia, daripada buang-buang waktu berusaha membuktikan dengan menggunakan tipuan-tipuan logika – sebagaimana yang dilakukan oleh Kung Sun Lung dan para pengikutnya – bahwa “sebuah jari bukanlah sebuah jari” justru pada tataran “sebuah jari adalah sebuah jari”, lebih baik kita segera melampaui tingkatan ontologis perbedaan-perbedaan “esensial” dan melihat realitas situasi itu dengan mata “pencerahan”. Mengingat, faktanya, pada tingkatan “Chaotifikasi”, sebuah “jari” secara niscaya bukan lagi sebuah “jari”, tidak lagi begiktu pasti bahwa sebuah jari tidak dapat menjadi sesuatu selain daripada dirinya sendiri. Segala hal (benda) adalah satu, dan kita tidak memiliki alasan untuk terus berpegang pada gagasan bahwa karena A adalah A, maka A tidak dapat menjadi sesuatu selain daripada A. Jadi, pernyataan sebuah “jari” bukanlah sebuah “jari” terbukti benar; namun, kini, pada tataran yang lebih tinggi daripada tataran di mana para penganut sofistri berusaha keras untuk meneguhkan pernyataan serupa.
Chuang-tzu memberikan satu contoh lagi, bahwa seekor “kuda” bukan seekor “kuda”, yang juga merupakan top[ik terkenal dari kaun sofis pada zamannya.
Daripada berusaha untuk membuktikan dengan menggunakan seekor “kuda” bahwa seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda”, mengapa kita tidak membuktikan dengan menggunakan “bukan kuda” bahwa seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda”
Struktur argumen itu persis sama dengan struktur sebelumnya. Kaum Sofis menyatakan bahwa seekor “kuda” bukanlah seekor “kuda” berdasar pengamatan berikut. Menurut mereka, konsep “kuda” harus dapat sandang pada kuda-kuda dari berbagai warna, seperti “kuda putih”, “kuda kuning”, “kuda hitam”, dan sebagainya, dan tidak ada “kuda” yang mewujud secara aktual yang tidak berwana. Setiap kuda yang mewujud secara aktual  pasti berwarna, entah berwarna putih, hitam, atau kuning, dan sebagainya. Hal itu tidak ada pengecualian. Marilah kita ambil seekot “kuda putih” sebagai contoh. “Kuda putih”, karena berwana putih, tentu saja mengeksklusifkan seluruh kuda dari warna-warna lainnya. Konsep itu tidak dapat berlaku untuk “kuda hitam”, sebagai contoh, atau “kuda kuning”. Dan hal yang sama berlaku bagi kuda apapun dari warna apapun. Namun, karena kondsep tentang “kuda” harus demikian sehingga berlaku bagi seluruh kuda dari segala warna, maka kita harus menyimpulkan bahwa tidak ada kuda yang mewujud secara aktual yang benar-benar merupakan seekor “kuda”.
Dengan cara ini, Kaum Sofis membuktikan, atau mengaku membuktikan, bahwa “kuda” bukanlah “kuda”. Terhadap hal ini, Chuang-tzu berpendapat bahwa, sekalipun mengakui kebenaran argumen ini, konklusi yang mereka ambil dengan cara ini sama sekali tidak mempunyai signifikansi. Sebagaimana dalam argumen sebelumnya tentang “jari”, Chuang-tzu menunjukkan bahwa ada tinjauan di mana konklusi yang sama tetap bisa dipertahankan, tetapi dengan makna yang sama sekali baru. Di sini pula istilah “bukan kuda” menunjukkan tingkatan metafisik di mana segala perbedaan “esensial” terkikis melalui “Chaotifikasi”.
Begitu kita menempatkan diri kita pada tataran itu, kita memerepsi bahwa “jariu” adalah “jari” dan sekaligus, pada waktu yang sama, bukan “jari”, bahwa “kuda” adalah seekor “:kuda” dan bukan seekor “kuda”. Begiktu pula halnya bagi semua hal lainnya. Kita bahkanbisa ke titik ekstrem dengan menegaskan bahwa sluruh alam adalah “:jari”, dan seluruh alam adalah :kuda”.
Langit dan bumi (yuaitu, seluruh alam) adalah sebuah “jari”. Segala sesuatu adalah seekor “kuda”.
Langit dan bumi beserta “sepuluh ribu hal (BENDA)” yang mewujud di dalamnya tidak lain merupakan keseluruhan yang “tidak berbeda-beda”, karena segala hal (Ibenda) secara ontologis saling merembesi. Dalam keadaan demikian, seekor :kuda” bukanlah seekor :kuda” yang tidak dapat berubah; ia dapat menjadi sesuatu yang lain. Dengan memandang situasi khusus ini dari sisi sebaliknya, maka dapat kita katakan bahwa segala hal berhak untuk dianggap sebagai seekor “kuda” atau sebuah “jari”, atau tentu saja, sesuatu yang lain.
Dari sudut pandang semcam ini, Chuang-tzu terus melancarkan kritik atas pendapat “esensialis” dengan cara berikut :
(Alih-alih memandang persoalan ini dari sudut pandang “bukan jari” dan “bukan kuda”, manusia malah membagi-bagi keseluruhan Wujud yang semula tidak terbeda-bedakan menjadi berbagai kategori yang, lagi-lagi, mereka klasifikasikan menjadi “benar” dan “tidak benar”) dan bersikukuh bahwa “benar” adalah “benar” serta tidak dapat berubah dan “tidak benar” ada;lah “tidak benar” serta tidak dapat berubah. (Padahal, perbedaan antara “benar” dan “tidak benar”, jauh dari sesuatu yang “esensial”, yakni, sesuatu yang didasarkan pada sifat sejati Wujud, lebih merupakan masalah adat dan kebiasaan, persis seperti) jalan dibangun (di tempat yang sebelumnya tidak ada) oleh orang-orang yang rutin berjalan di atasnya. Demikian juga, “berbagai benda” dibentuk melalui kenyataan bahwa ia ditunjuk dengan nama partikular ini atau nama partikular itu (semata-mata berdasarkan adat atau kebiasaan masyarakat).
(Dan segera setelah “berbagai hal (benda)” terkristalisasi, maka mereka ditimbang sebagai “benar” dan “tidak benar”, “begitu” ataukah “bukan begitu”). Atas dasar apakah seorang manusia menilai sesuatu itu seperti “begitu”? Dia menilai “begitu” terhadap apa pun (yang orang atau masyarakat” berkebiasaan) menilai “begitu”? Atas dasar apakah seorang manusia menilai sesuatu “tida begitu”? Dia semata-pmata menilainya sebagai “tidak begitu” sebab (orang-orang lain) menilainya (melalui kebiasaan) “tidak begitu”
(Bagaimanapun, dari sudut pandang “pencerahan”, realitas berbagai hal hanya dapat dipahami apabila seseorang menempatkan dirinya pada tingkatan yang lebih tinggi berupa penerimaan nondiskriminatif yang melampaui segala perbedaan yang demikian relatif ini. Dipandang dari tingkat itu), ada hal tertentu di mana segala sesuatu tanpa kecuali harus dianggap sebagai “begitu” (yaitu, dapat ditegaskan dan dapat diterima), dan segala sesuatu tanpa kecuali harus dianggap sebagai “benar”. Tidak ada sesuatu yang tidak “begitu”. Tidak ada sesuatu yang tidak “benar”. Apakah sebutir padi ataukah tiang besar, apakah seorang penderita kusta ataukah seorang Hsi Shih (perempuan terhormat dan cantik), betapapun mungkin hal-hal itu aneh, ganjil, jelek, dan fantastis, namun Jalan menjadikan semuanya itu satu.
Realitas yang dicerap pada tingkatan itu disebut oleh Chuang-tzu sebagai (Penyetaraan Ilahi) {Heavenly Equalizatrion}, atau Berjalan di Dua Arah (pada waktu yang bersamaan). Istilah pertama (Penyetaraan) bermakna keadaan metafisik “alamiah” di mana segala hal, tanpa terusik oleh perbedaan-perbedaan antara “baik” dan “buruk” dan “benar” dan “salah”, dan sebagainya, berada dalam keselarasan atau kesetaraan aslinya. Dan lantaran, sebagaimana Ch’eng Hsuan Ying amati, seorang “manusia suci” selalu melihat berbagai hal dalam keadaan keselarasan seperti itu, maka benaknya juga berada dalam kedamaian abadi, tidak pernah terusik oleh perbedaan-perbedaan antara berbagai hal. Istilah kedua, yang secara harfiah bermakna “pergi ke dua arah”, menunjukkan keadaan metafisik serupa manakala “baik” dan “buruk”, atau “benar” dan “salah”, sama-sama dapat diterima; dengan kata lain, suatu keadaa tatkala segala sesuatu yang berlawanan dan bertentangan itu menjadi dapat diterima dalam Kesatuan punck coincidentia oppositorium.
Adalah sangat signifikan bahwa bab kedua Chuang-tzu diberi judul Ch’i Wu Lun, yakni, “Wacana untuk Menyetarakan (Segala) Sesuatu. Bab ini diberi judul demikian karena ia terutama membahas pandangan yang melihat segala sesuatu sebagai “setara”, yakni, pada puncaknya Satu. Menurut pandangan ini, karena “penyetaraan” berbagai hal itu dapat dibenarkan hanya pada tingkatan “eksistensi”, bukan pada tingkatan “Esensi-esensi”, maka saya menganggap teori ini sudah sepantasnya dibanding dengan Kesatuan Eksistensi (wahdat alwujud) Ibn ‘Arabi.
“Esensialisme”, bila memang merupakan pandangan filosofi tentang eksistensi, mesti mampu menjelaskan keseluruhan alam Wujud. Ia memang bertujuan – dan mengklaim, setidaknya secara implisit – menjadi cukup komprehensif untuk meliputi segala sesuatu. Namun, dalam fakta aktualnya, bagaimana ia bisa seperti itu apabila sifat dasarnya mengisolasi setiap satuan ontologis, menjadikan mereka “secara esensial” mandiri satu dengan lainnya? Jika seseorang melakukan pendekatan ini terhadap berbagai hal, namun ingin memahami semuanya, maka dia terpaksa memilih jalan lain berupa metode penjumlahan dan penambahan. Tetapi, betapapun jauh seseorang menempuh arah ini, dia tidak akan pernah mencapaik puncaknya. Karena tidak masalah berapa banyak unit independen yang dapat dia tumpuk-tumpuk, tapi dia akan tertinggal dengan sejumlah hal tak terbatas yang masih tidak tersentuh dan tidak terpahami.
Dengan demikian, “Esensialisme” melalui sifat dasarnya itu tidak mampu memahami realitas dunia Wujud dalam kerumitannya yang tak terbatas serta dalam perkembangan dan transformasinya yang nirwatas (limitless). Untuk memahami secara konprehensif bagaimana sesungguhnya Dun ia Wujud itu dan bagaimana sesungguhnya ia bekerja, Chuang-tzu berpendapat, kita harus meninggalkan tingkatan perbedaan-perbedaan “esensial”, dan, melalui penyatuan diri kita dengan “eksistensi” itu sendiri yang meliputi segala hal, pandanglah segala hal alam kondisi orisinalnya berupa “chaotifikasi” dan “ketiadaan pembedaan”. Alih-alih merumuskan tesis ini dalam bentuk teoritis seperti itu, Chuang-tzu menjelaskan pendapatnya melalui contoh konkret tengan Chao Wen, seorang pemain kecapi terkenal.
Bahwa sesuatu dapat menjadi “sempurna” dan “tidak sempurna” (pada waktu yang sama) mungkin secara tepat dicontohkan melalui apa yang terjadi ketika Chao Wen memetik kecapi. Bahwa sesuatu dapat tetap “tidak sempurna” dan “tidak cacat” mungkin secara tepat  dicontohkan dengan apa yang terjadi ketika Chao Wen tidak memetik kecapi.
Makna pasase di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Chao Wen adalah seorang musisi jenius. Ketika dia memetik kecapi, komposisi musik yang dia mainkan itu teraktualisasi dalam bentuk sempurna. Inilah apa yang dijelaskan melalui untkapan : “bahwa sesuatu dapat menjadi sempurna”.
Namun melalui fakta bahwa Chao Wen memainkan bagian musik tertentu dan mengaktualisasikannya dalam bentuk sempuirna, berbagai bagian tak terbatas lain nyang tertinggal menjadi gelap dan lenyap. Inilah yang dimaksud dengan sesuatu yang menjadi “cacat” pada waktu yang sama. Jadi, aktualisasi sempurna dari satu bagian musik tertentu pada waktu yang sama merupakan penafian dan peniadaan semua kemungkinan lainnya. Hanya ketika Chao Wen tidak sedang bermain, kita berada dalam keadaan menikmati semua bagian musik yang mampu dia aktualisasikan. Dan hanya dalam bentuk demikian musiknya “sempurna” dan pengertianyang mutlak, yakni, dalam pengertian musiknya mengatasi perbedaan antara “kesempurnaan” dan “ketidaksempurnaan” (atau “kekacauan”).
Dengan demikian, “penyetaraan” segala sesuatu mambawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun, jika seseorang berpegang pada gagasan ini dan benar-pbenar mengabaikan aspek fenomenal berbagai hal, maka dia jatuh pada kesalahan yang sama-sama tidak dapat  dimaafkan. Karena, bagaimana pun juga, berbagai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realitas. Tentu saja musaik Chao Wen adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tia memetik kecapinya. Namun, benar pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi dalam kemampuannya itu ditakdirkan “menyempurna” dalam pengertian Relatif. Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari jalan keluar dari kemungkinan menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu dengan laionnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang fundamental dan yang fenomenal, adalah esensial bagi realitas musik.
Demikian juga, “penyetaraan” sega;la sesuatu membawa kita menuju inti realitas Wujud. Namun, jika seseorang berpegang pada  gagasan ini dan benar-benar mengabaikan aspek fenomenal berbagai hal, maka dia jatuh pada kesalahan yang sama-sama tidak dapat dimaafkan. Karena, bagaimanapun juga, beragai fenomena tak terbatas juga merupakan aspek dari Realiotas. Tentu saja, musik Chao Wen adalah “sempurna” dalam pengertian mutlak, hanya jika dia tidak memerik kecapinya. Namun, benar pula bahwa segenap kemungkinan yang tersembunyi dalam kemampuannya itu ditakdirkan “menyempurna” dalam pengertian relatif. Semua itu tidak akan pernah berhenti mencari jalan keluar dari kemungkinan menuju aktualitas sekalipun bisa berakhir dengan saling merusak satu dengan lainnya. Dua bentuk “kesempurnaan”, yang mutlak dan yang relatif, yang fundamental dan yang fenomenal, adalah esensial bagi realitas muskinya.
Demikian juga, dalam struktur ontologis segala sesuatu, “ketiadaan perbedaan” orisinal dan “perbedaan fenomenal, atau Kesatuan dan Keragaman, adalah sama-sama hakiki. Jika Chuang-tzu  begitu banyak menekankan aspek awal (“ketiadaan perbedaan”/Kesatuan), itu terutama karena pada tingkatan akal sehat pengalaman manusia aspek fenomenal terlampau menonjol dan dominan, sehingga pada umumnya dianggap sebagai satu-satunya realitas.
Akar Wujud secara mutlak adalah satu. Tetapi, ia tidak selamanya berada dalam Kesatuan Orisinalnya. Sebaliknya, termasuk dalam sifat dasar Wujud tidak pernah berhenti memanifestasikan diri dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas. Ia terus mentransformasikan diri mereka menjadi satu sama lain. Inilah aspek fenomenal Wujud. Namun, melalui proses “diversifikasi” dan “diverensiasi” ontologis ini segala hal kembali pada ujung sumber metafisiknya. Proses “turun” dan “naik” secara paradoksal adalah satu dan sama. Hubungan antara Kesatuan dan Keragaman harus dipahami dengan cara ini. Sebagaimana Kesatuan bukan merupakan “kesatuan” statis berupa kematian dan kekakuan, melainkan merupakan proses dinamis tiada henti dari coincidentia oppositorium, demikian pula Keragaman bukanlah “pembedaan” statis berbagai hal yang secara kasar bersifat pasti, melainkan merupakan proses kehidupan konstan yang di dalam dirinya terkandung tegangan ontologis Kesatuan dalam Keragaman.
Jika dilihat dari sudut pandang “perbedaan”, (tidak ada sesuatu yang sama seperti sesuatu lainnya), bahkan liver dan empedu (contoh tipical dua hal yang sangat bermiripan), adalah berbeda dan jauh terpisah sebagaimana negeri Ch’u dan negeri Yueh).
Namun, dilihat dari sudut pandang “kesamaan”, segala hal itu satu dan sama.
Sayangnya, mata manusia biasa terpikit pada gebyar fenomenal Keragaman dan tak bisa mencerap Kesatuan dhasyat yang melambari keseluruhan itu. Mereka tidak dapat, sebagaimana Chuang-tzu katakan, “menyatukan objek-objek pengetahuan mereka.”
Satu-satunya sikap tepat yang bisa kita ambil dalam situasi ini adalah “membiarkan benak kita beristirahat dalam harmoni kesempurnaan spiritual. Kata “harmoni” (ho) di sini, sebagaimana dinyatakan oleh Ch’eng Hsuan Ying, menunjukkan fakta bahwa ketika kita “menyatukan objek-objek pengetahuan kita” dan men-“chaotifikasi” segala sesuatu, maka benak kita akan merasanakan kedamaian yang sempurna, tidak lagi terusik oleh “apa yang telinga dan mata kita senangi”; ia juga menunjukkan fakta bahwa segala hal pada tingkatan ini sama-sama damai, tidak ada pertentangan-pertentangan “esensial” dan antara mereka. Kita tetap harus tidak buta terhadap aspek fenomenal Wujud. Chuang-tzu mengatakan; tetapi kita salah kalau masih terkungkung di alam fenomenal yang sama dan melihat Keragaman berbagai hal terlepas dari sudut pandang fenomenal. Kita harus melampaui tingkatan ini, naik menuju tingkatan lebih tinggi,d an dengan memandang ke bawah dari ketinggian itu perhatikanlah kaleidoskop Keragaman berbagai hal yang senantiasa berubah itu. Hanya setelah melakukan ini, kita berada dalam posisi untuk mengetahui realitas Wujud.
Hubungan dinamis antara Kesatuan mutlak orisinal dan Keragaman fenomenal, yaitu proses yang melaluinya Sang Mutlak, yang meninggalkan kegelapan metafisiknya, membuat keragaman dirinya ke dalam banyak hal dari alam fenomenal merupakan sesuatu yang,s ebagaimana telah saya tunjukkan berkali-kali, menyingkapkan realitasnya hanya kepada benak yang dalam kondisi ekstasis, atau sebagaimana Chuang-tzu sebut, “keadaan duduk dalam perikelupaan”. Hal yang paling sulit dipahami oleh benak nonekstasis dalam status ontologis segenap “esensi”.
Saat Sang Mutlak membagi dirinya melalui proses perkembangan ontologis menjadi “sepuluh ribnu hal”, masing-masing dirinya tampak memperoleh “esensi” tertentu. Karena, bagaimanapun juga, apa makna berbicara tentang “sepuluh ribu hal”, jika mereka tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya? Bagaimana mereka dapat dibedakan satu dengan lainnya jika mereka tidak memiliki “esensi”?
Ketika kita mengakui A sebagai berbeda dan dapat dibedakan dari B, apakah pada waktu yangs ama kita tidak mengakui A sebagai memiliki “esensi” yang berbeda dengan esensi B?
Bagaimanapun, mengikuti sudut pandang Chuang-tzu, beberapa hal yang diberi “esensi” dan “secara esensial” dapat dibedakan satu dengan lainnya semata-mata merupakan persoalan penampakan. Masing-masing dari “sepuluh ribu hal” itu tampak memiliki “esesinya” sendiri yang secara pasti tidak dapat diubah. Padahal, masing-masing hal itu semata-mata tampak atau kelihatan memiliki “esensi” semacam itu.
Namun, gambaran kita secara tak terelakkan diperumit fakta bahwa “esensi’esensi” yang tampak itu pun juga murni tidak ada. Mereka bukan sekadar hasil-hasil halusinasi. Mereka memiliki status ontologis yang khas bagi mereka. Secara ontologis, mereka bukanlah isapan jempol. “Eksistensi” yang mutlak meliputi segala sesuatu bisa mengenakan bentuk-bentuk tak terbatas lantarana da sejenis landasan ontologis bagi mereka. Tentu saja kita tak dapat mengatakan bahwa “esensi-esensi” itu mewujud dalam pengertian lazim dari kata itu. Namun, kita pun tidak dapat mengatakan bahwa mereka secara mutlak tidak mewujud.
Pada titik ini, sebagaimana kita ingat, Ibn ‘Arabi memperkenalkan konsep “arketip-arketip permanen” (a’yan tsabitah) dalam sistem metafisikanya. Dan konsep ini bekerja dengan sangat mengagumkan. Karena, dengan cara begitu Ibn ‘Arabi secara filosofis berhasil menyelesaikan kesulitan yang ditimbulkan situasi paradoksial ini. “Arketip-arketip permanen” adalah prinsip-prinsip metafisik yang bisa “dibilang tidak mewujud dan tidak juga tidak mewujud”, dan yang melaluinya Eksistensi Ilahi yang meliputi segala sesuatu berubah ke dalam sekian banyak hal. Hanya saja, bagi Ibn ‘Arabi, pada dasarnya itu juga bukan merupakan persoalanfilosofis; melainkan merupakan visi ekstatis.
Chuang-tzu tidak memiliki perangkat filosofis seperti itu. Dia langsung memilih pemaparan simbolis dari kandungan visi metafisiknya. Hasilnya, kini kita memiliki apa yangs ecara bulat diakui sebagai salah satu paparan paling mengagumkan tentang Angin dalam literatur Cina. Tentu saja, itu bukan sekedar karya kesusastraan. Itu merupakan simbol filosofis yang Chuang-tzu gunakan untuk tujuan mengekspresikan secara verbal apa yang secara verbal tidak dapat diekspresikan. Lagi pula, seluruh pasase itu sangat penting secara filosofis, lantaran, seperti akan kita lihat, ia merupakan apa yang mungkin kita sebut sebagai “dalil Taois akan esksitensi Tuhan”.
Bagian awal pasase tersebut murni bersifat simbolis. Makna filosofis sejatinya paling baik dipahami, saat membacanya, jika orang mencamkan bahwa Angin Kosmis melambangkan “eksistensi”, atau Sang Mutlak dalam actus-nya yang serba meliputi, dan bahwa “pori-pori” pohon yang berlubang melambangkan “esensi-esensi”.
Bumi yang agung bersendawa, dan sendawa itu disebut dengan angin. Sepanjang sendawa tersebut tidak benar-benar terjadi, tidak ada yang dapat teramati. Namun, begitu ia terjadi, seluruh lubang pohon menimbulkan bunyi-bunyi yang keras.
Dengarkanlah! Tidakkah kau mendengar bunyi angin mendesir saat berhembus dari jauh? Pepohonan di hutan berbukit mulai bergerisik, bergoyang, dan berayun-ayun, selanjutnya lubang-lubang serta celah-celah pepohonnan besar yang berukuran kira-kira 100 lengan mulai memunculkan berbagai bunyi.
Ada celah seperti hidung, mulut, telinga; sebagian (luasnya) seperti potongan-potongan tiang; sebagian (bulat) laksana mangkuk; sebagian lain laksana lumpang. Sebagian laksana empang yang dalam;s ebagian lain laksana kubangan yang dangkal. (Bunyi-bunyi yang mereka timbulkan pun jadi beragam) : sebagian menderu-deru laksana arus deras yang menghancurkan karang; sebagian berdesis laksana anak-anak panah yang melayang; sebagian menggeram, sebagian lain seperti terengah-engah, sebagian bersorak, sebagian mengerang. Sebagian bunyi bersifat dalam dan tersembunyi, sebagian bunyi bersifat sedih dan berkabung.
Senyampang angin pertama bertiup dengan bunyi dengan desir yang sangat gaduh. Angin yang sepoi-poi disambut celah-celah dengan bunyi-bunyi lembut. Angin badai disambut denganbunyi-bunyi kencang.
Bagaimanapun, begitu angin ribut itu telah berlalu, seluruh celah dan lubang itu pun menjadi kosong dan tidak ebrbunyi. Kau hanya akan melihat dahan-dahan pohon bergoyang dengan perlahan, dan ranting-ranting lunak bergerak dengan lembut.
Sebagaimana saya katakan sebelumnya, semua ini tidak dimaksudkans ebagai sekedar deskripsi kesusastraaan tentang angin. Tujuan Chuang-tzu yangs esungguhnya terungkap melalui pasase berikut ini. Tujuan filosofis Chuang-tzu dapat dirumuskan melalui cara berikut. “Celah-celah” dan “lubang-lubang” pohon menghayalkan bahwa mereka itu mewujud secara mandiri, bahwa mereka memunculkan semua bebunyian itu. Mereka gagal memperhatikan bahwa mereka memunculkan  semua bebunyian itu semata-mata akibat dari kerja aktif Angin pada mereka. Pada hakikatnya, Angin itulah yang menjadikan “celah-celah” itu bergema.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa “celah-celah” itu sama sekali tidak maujud. Tentu saja celah-celah itu ada, tetapi aktualisasi mereka hanya melalui aktivitas positif Angin. Sebagaimana terbukti, ini merupakan paparan yang sangat cerdas tentang status ontologis pelbagai “esensi”, yang telah disebutkan terlebih dahulu.
Jelas terbukti bahwa Angi di sini bukanlah angi fisik biasa. Ia adalah Angin Kosmik yang sangat sesuai dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang sarayan al wujud,s ecara harfiah bermakna “penyebaran Eksistensi”. Menarik dan sungguh sangat signifikan bahwa Ibn ‘Arabi dan Chuang-tzu memahami “eksistensi” sebagai sesuatu yang bergerak – “berembus”, “mengalir”, atau “menyebar”. Menurut mereka berdua, “eksistensi” adalah actus.
(Angin tunggal yang sama) berembus pada sepuluh ribu hal (benda) melalui beragai cara, dan menjadikan masing-masing celah menghasilkan bunyian sendiri yang khas, sehingga masing-masing menghayalkan bahwa dirinya sendirilah yang menghasilkan bunyi khas itu. Padahal, kenyataannya, siapakah yang menjadikan (celah-celah itu) menghasilkan berbagai bunyi?
 Siapakah itu? Untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan genting ini, pertama-tama kita harus menyatakan bahwa Angin Kosmik tidak memiliki bunyinya sendiri. “Bunyi Langit” (t’ien lai) itu tanpa bunyi. Apa yang dapat terdengar pada telingan fisik kita hanyalah sepuluh ribu bunyi yang dihasilkan oleh celah-celah pepohonan. Itu bukanlah bunyi Langit; melainkan adalah “Bunyi Bumi” (ti lai). Namun, Chuang-tzu bersikukuh, kita harus mendengar bunyi Langit yang tanpa bunyi di balik masing-masing sepuluh ribu bunyi Bumi. Bahkan, kita harus menyadari bahwa dalam mendengar bunyi Bumi kita sebenarnya tidak lain daripada mendengar bunyi Langit. Berbagai bunyi tak terhingga yang dikeluarkan celah-celah itu tidaklah lebih daripada satu bunyi, yaitu bunyi Langit yang mutlak.
Harus dicatat bahwa pertanyaan yang sama persis : “Siapakah itu?” bisa dan mesti ditanyakan dari apa yang bisa diamati dalam wilayah “interior” diri kita sendiri. Persis sebagaimana celah pepohonan memunculkan beragam bunyi karena Angin yang berhembus pada mereka, wilayah “interior” manusia berada dalam guncangan konstan. Siapa ayang menyebabkan segala guncangan ini? Itulah pertanyaan utama. Apakah benak manusia itu sendiri yang bertanggung jawab membuatnya? Ataukah rangsangan-rangsangan eksternal yang menjadi penyebabnya? Chuang-tzu menjawab, tidak. Tetapi, marilah pertama-tama kita melihat bagaimana dia melukiskan “celah” inti yang tiada henti menghasilkan pelbagai kebisingan dan bunyi.
Bahkan, sewaktut tertidur, jiwa manusia (tersiksa) karena berhubungan dengan berbagai hal (dalam mimpi). Ketika terjaga, fungsi-fungsi jasmani mulai kembali aktif; mereka bergelut dengan hal-hal eksternal, serta segala jenis pikiran dan emosi muncul di dalamnya. Ini semua mendorong mereka setiap hari untuk menggunakan benak dalam berselisih denga  pihak lain. Sebagian benak nganggur dan hampa. Sebagian benak ganjil. Sebagian benak cermat. Orang yang memiliki ketakutan-ketakutan remeh itu menjadi gugup; orang yang terserang oleh ketakutan-ketakutan besar itu menjadi tolol.
Cara mereka berargumen tentang kebenaran dan kesalahan pelbagai perkara mengingatkan kita akan orang-orang yang menembakkan anak-anak panah dan peluru (yakni, mereka sangat cepat dan gesit). Mereka berusaha keras meraih kemenangan (dalam perdebatan) seolah-olah merek telah bersumpah di hadapan para Dewa. Cara mereka terus menggunakan (energi mental mereka) dari hari ke hari mengingatkan kita akan (daun-daun pepohonan) yang layu di musim gugur dan musim dingin.
Mereka telah melangkah begitu jauh ke dalam angan-angan dan khayalan sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk kembali. Cara mereka jatuh semakin jauh ke dalam kegilaan seiring pertambahan usia mengingatkan kita akan benak yang benar-benar terpasung dengan jeratan-jeratan (syahwat). Maka, manakala benak mereka mendekati kematian, tak ada jalan untuk mengembalikan mereka pada kecerahan masa muda.
Sesungguhnya (lintasan-lintasan benak manusia sangatlah beragam, seperti bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh celah-celah pepohonan) : kegembiraan, kemarahan, kesedihan, dan kebahagiaan! Kadang-kadang mereka cemas akan masa mendatang; kadang-kadang mereka dengan sia-sia meratapi masa lalu yang tak dapat diraih kembali. Kadang-kadang mereka plin-plan, kadang-kadang mereka tegar. Kadang-kadang mereka merayu, kadang-kadang mereka angkuh. Kadang-kadang mereka tulus, kadang-kadang mereka berpura-pura.
Mereka mengingatkan kita akan segala jenis bunyi yang berasal dari lubang-lubang kosong (dari seruling), atau cendawan-cenawan yang muncul dari kelembaban. Siang dan malam, perubhan-perubahan ini tidak pernah berhenti untuk saling menggantikan di depan mata kita.
Dari mana (perubahan-perubahan tiada henti) ini berasal? Tidak ada yang tahu asal-usul semua perubahan ini. Adalah mustahil untuk mengetahui, sangat mustahil! Namun, itu semua merupakan fakta yang tak dapat diingkari, bahwa pagi dan sore hal-hal ini benar-benar terjadi (pada diri kita). Ya, fakta bahwa mereka terjadi (pada diri kita) sebenarnya bermakna bahwa kita sedang hidup.
Setelah melukiskan melalui cara ini serangkaian peristiwa psikologis tiada akhir yang secara aktual berlangsung dalam benak kita siang dan malam itu, Chuang-tzu selanjutnya menafsrkan fenomena yang membingungkan ini. Apa yang menjadi penyebab sejati dan utama dari semua ini? Dia bertanya kepada dirinya sendiri apakah penyebab utama semua hiruk pikuk psikologis ini adalah “ego” kita. Dengan megnatakan bahwa “ego” merupakan penyebab semua ini tidak lain kecuali berarti mengakui – secara tidak langsung – bahwa segenap rangsangan eksternal merupakan penyebab pergerakan psikologis kita. Dia melukiskan hubungan antara rangsangan-rangsangan eksternal dan keadaan-keadaan benak kita yang berubah-ubah ini dalam kerangka hubungan antara “itu” (yakni, objek-objek) dan “ego”.
Tanpa “itu”, maka tidak akan ada “ego”. Tanpa “ego”, maka “itu” tidak akan bertahan kuat. (Jadi, “ego” kita, yakni, keseluruhan fenomena psikologis kita, tampaknya berhutang eksistensi pada rangsangan-rangsangan eksternal tersebut). pandangan ini rupanya mendekati kebenaran. Hanya saja, pertanyaan tentang apa yangs esungguhnya menjadikan (benak kita) bergerak seperti itu tetap tak terjawab.
Chuang-tzu mengakui bahwa rangsangan-rangsangan eksternal memang menimbulkan kekisruhan dalam benak kita. Bagaimanapun, pandangan semacam itu tidaklah menukik pada pokok persoalabn. Orang-orang yang membayangkan bahwa pandangan ini benar-benar mampu menjelaskan perubahan-perubahan psikologis yang berlangsung pada diri kita dapt dibanding dengan “lubag-lubang” dan “celah-celah” pepohonan yang secara naif membayangkan bahwa merekalah yang menghasilkan bunyi-bunyi yang mereka keluarkan, tanpa memerhatikan aktivitas Angin.
Di luar rangsangan-rangsangan yang ebrasal dari objek-objek eksternal tersebut, ada Sesuatu yang menjadi penyebab utama. Sesuatu yang menyebabkan objek-objek eksternal memengaruhi benak kita dan dengan demikian menyebabkan benak kita tersulut. Di luar dan di balik seluruh fenomena ini agaknya ada Pelaku sejati yang menggerakkan dan mengendalikan seluruh gerakan dan peristiwa dalam benak kita, sebagaimana Angin berada di balik segala bunyi yang dihasilkan lewat “celah-celah” pepohonan tersebut.
Tetapi, sebagaimana Angin itu tidak dapat dilihat dan tidak dapat di rasakan, demikian pula Pelaku ini tidak dapat diketahui dan tidak terlihat. Sebagaimana kita dapat merasakan adanya Angin – walaupun tidak dapat dilihat – melalui aktivitasnya, maka kita pun dapat merasakan adanya Agen tersebut melalui actus-Nya.
Rupa-rupanya memang ada Penguasa yang sesungguhnya. Mustahil bagi kita untuk melihat-Nya dalam bentuk konkret. Dia beraksi – tidak ada keraguan mengenainya; namun kita tidak dapat melihat bentuk-Nya. dia menunjukkan aktivitas-Nya, namun Dia tidak memiliki bentuk yang bisa diindra.
Adalah sangat penting secara filosofis bagi Chuang-tzu untuk menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam aspek pribadinya, yakni, sebagai Pelaku mutlak, hanya bisa kita jangkau sebagai actus. Sang Mutlak dalam hal ini adalah actus; bukan “sesuatu (benda)”. Tanpa memiliki bentuk yang indrawi, maksudnya, tanpa menjadi “sesuatu” ia tidak pernah berhenti memanifestasikan aktivitasnya. Kita hanya dapat menelusuri jejaknya, di mana-mana, dalam segala sesuatu. Namun, kita tidak pernah dapat melihat bentuknya karena ia tidak memiliki bentuk dan karena ia bukan “sesuatu (benda)”. Namun, benak manusia secara fitri adalah “esensialis”. Benak manusia menganggapnya sangat sulit, untuk tidak menyebut sama sekali mustahil, untuk menjabarkan apa pun kecuali dalam bentuk “sesuatu (benda)”.  Benak manusia tidak mampu, kecuali dalam kasus-kasus yangs angat jarang, mengonsepsi sesuatu sebagai Bukan Sesuatu. Konsepsi Sang Mutlak sebagai Sesuatu yang Bukan sesuatu bagi benak awam secara sederhana adalah paradoks yang tidak dapat di toleransi, jika bukan merupakan isapan jempol belaka.
Untuk menjadikan paradoks metafisik ini sedikit lebih dapat diterima Chuang-tzu membanding situasi ini dengan fungsi anggota dan organ tubuh yang rumit, seluruh mekanismenya diatur dan dikendalikan “sesuatu” yang tidak dapat dilihat jiwa.
Seratus tulang sendir, sembilan lubang, enam jeroan – semua itu membentuk tubuh manusia. Nah, dari semua ini, bagian mana yang harus paling kita hormati (masudnya, bagian mana yang harus kita anggap sebagai Penguasa tubuh)? Apakah kau menghormati (sebagai Penguasa) semua itu secara setara? (Tidak, itu mustahil). Lantas, apakah kau lebih menyukai salah satu darinya sebagai milikmu secara khusus? (Tidak, itu juga mustahil). Namun, jika tidak (maksudnya, jika bukan semua itu dan bukan salah satunya secara khusus menempati posisi sebagai penguasa tubuh), apakah persoalannya bahwa semua itu sekadar pelayan dan pembantu? (Jika mereka semua merupakan pelayan dan pembantu), bagaimana negeri (maksudnya, tubuh) dapat berada dalam keteraturan? Araukah apa persoalannya bahwa mereka berkuasa dan dikuasai, menempati posisi Penguasa dan bawahan secara bergilir?
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka semua). Entah manusia mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini, realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh (pengetahuan) tersebut; tidak bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Tidak, pasti ada Penguasa sesungguhnya (yang mengatur mereka semua). Entah manusia mengetahui atau tidak bentuk konkret Penguasa ini, realitasnya tidak akan pernah terpengaruh oleh (pengetahuan) tersebut; tidak bertambah dan tidak berkurang olehnya.
Penguasa sejati dalam hal ini adalah jiwa yang bentuk konkretnya tidak diketahui siapa pun. Tetapi, tentu saja, ia dikemukakan di sini sebagai suatu citraan yang dapat menjelaskan hubungan antara Sang Mutlak dan segala peristiwa serta fenomena alam Wujud. Sebagimana organ-organ dan anggota-anggota tubuh di bawah dominasi jiwa yang tak dapat dilihat itu, demikian pula semua yang mewujud dan berlangsung di alam berada dalam dominasi Penguasa yang tidak dikenal dan tidak dapat diketahui.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, sangat signifikan bahwa Chuang-tzu di sini memperkenalkan “Penguasa hakiki” alam sebagai actus. Tidak ada orang yang dapat melihat Sang Mutlak itu sendiri sebagai “sesuatu” yang mewujud, namun tidak seorang pun yang dapat mengingkari kehadiran actus-nya. dan bahwa actus itu secara filosofis tidak lain tidak bukan adalah Eksistensi.
Kita juga harus memerhatikan bahwa actus Sang Mutlak yang , pada pasase sebelumnya, diperikan sebagai Angin Kosmik, yaitu kekuatan kosmik, di sini diperkenalkan sebagai sesuatu yang personal – Tuhan. Dalam pandangan dunia Chuang-tzu, Sang Mutlak atau Jalan memiliki dua aspek berbeda, yaitu kosmik dan personal. Dalam aspek kosmiknya, Sang Mutlak adalah Alam, suatu energi vital Wujud yang meliputi segala sesuatu dan menjadikan segala sesuatu itu mewujud, tumbuh, membusuk, dan pada akhirnya mengembalikan mereka menuju sumber semula, sedangkan pada aspek personalnya Ia adalah Tuhan, Pencipta Langit dan Bumi, Tuhan segala sesuatu dan segala peristiwa. Sebagai serangkaian konsepsi dan reprentasi, keduanya benar-benar berbeda satu dengan lainnya, tapi dalam kenyataannya keduanya sama-sama secara tepat menunjuk pada sesuatu yang tunggal dan sama. Perbedaan antara Alam dan Tuhan hanyalah sudut pandang, atau cara benak manusia mengonsepsi Sang Mutlak yang pada dirinya sendiri adalah benar-benar tidak bisa dikenal dan diketahui. Ihwal misteri metafisik utama ini kita akan berusaha untuk membahasnya lebih rinci pada bab berikut.

7. J A L A N (TAO)

Sampai di sini kita telah menapak tilas Chuang-tzu yang berusaha menganalisis proses penyingkapan visi tentang Sang Mutlak kepada Manusia Sempurna Taois, yang membuka jendela baru ihwal keseluruhan alam Wujud dalam benaknya yang benar-benar berbeda dari, dan sangat bertentangan dengan, apa yang dipahami oleh akal sehat khalayak awam. Berkenaan hal itu, kita telah mengabaikan Lou-tzu kecuali pada beberapa tempat. Kita juga tidak menganalisis secara sistimatis pemikiran filosof yang terungkap dalam Tao Te Ching. Kita telah mengambil jalan ini karena beberapa alasan. Yang terpenting bahwa Chuang-tzu, sebagaimana telah saya katakan berkali-kali, sangat tertarik menjabarkan segi epistemologis masalah Tao, sedangkan Lou-tzu  hanya tertarik mendedahkan hasil pengalaman tentang Sang Mutlak, yaitu apa yang mengiringi dan diakibatkan oleh pengalaman itu.
Kitatelah menyimak pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu menyodorkan analisis teoritis yang rinci ihwal proses perkembangan bertahap benak manusia menyongsong kesempurnaan taois. Dia berusaha memberikan paparan akurat tentang ragam pengalaman metafisik dan spirutual Taois yang melaluinya manusia “naik” menuju Sang Mutlak hingga dia menjadi benar-benar menyatu dengan-Nya. tentunya, Chuang-tzu  juga tertarik pada gerakan “menurun” benak, dari tingkat ekstatis kembali ke tingkat kesadaran sehari-hari, yakni, dari tingkatan Kesatuan mutlak kembali ke keragaman “esensial”. Kendatipun begitu, uraiannya tentang proses Turun itu bersifat epistemologis sekaligus ontologis. Maksudnya, penjelasannya dibuat sedemikian rupa sehingga untuk setiap tingkatan obejktif Wujud terdapat padanannya dalam tingkatan subjektif pengalaman spiritual, sampai-sampai sistem ontologis, dalam kasus Chuang-tzu, pada saat yang bersamaan merupakan sistem epistemologis yang sempurna, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, ciri khas Chuang-tzu yang meleburkan kedua aspek bersama-sama sehinga kadang-kadang sulit bagi kita untuk menentukan apakah pasase tertentu itu diajukan sebagai pemerian sisi subjektif ataukah sisi objektif struktur ontologis segala sesuatu. “Duduk dalam perikelupaan” merupakan contoh dari apa yang dimaksud.
Sebaliknya, Lou-tzu agaknya tidak terlalu tertarik dengan tahap-tahap bersifat pengalaman (experiantial) yang mendahului visi puncak tentang Sang Mutlak. Dia tidak mau susah-susah menjelaskan bagaimana dan melalui proses apa kita dapat memperoleh visi tentang Sang Mutlak. Dia tampaknya lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan seputar : (1) Apa itu Sang Mutlak, yaknim Jalan?; dan (2) Bagaimana seorang “manusia suci” diharapkan berperilaku dalam situasi dan kondisi umum kehidupan sosial berdasarkan visinya tentang Jalan?
Sejak awal dia mengungkapkan kata-katanya atas nama Sang Mutlak,s ebagai wakil orang-orang yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam hal kesempurnaan Taois. Di balik halaman-halaman Tao Te Ching, kita merasakan kehadiran seorang manusia yang telah mengalami penyatuan sempurna dengan Sang Mutlak, yang , karenanya mengetahui apa itu Sang Mutlak.
Sekonyong-konyong Lou-tzu langsung berbicara tentang Jalan. Dia mencoba menyampaikan kepada kita pengetahuan personalnya ihwal Sang Mutlak, dan – begitulah yang tertangkap oleh pemahaman akal sehat – pandangannya yang aneh tentang alam semesta. Seandainya bukan karena Chuang-tzu, kita hampir tidak mampu mengetahui secara pasti latabelakang eksperiensial seperti apakah yang dimiliki pandangan luarbiasa tentang dunia ini sebagai “prasejarah” yang tidak terucapkan. Itulah sebabnya kita hingga kini secara sadar telah menahan diri untuk tidak beralih menganalisa pemikiran Lou-tzu secara sistimatis, dan membatasi diri pada tuga mengklarifikasi “prasejarah” ini dalam sorotan perkataan Chuang-tzu mengenainya.
Namun demikian, situasi khas yang baru saja kita sebutkan menyangkut sikap dasar Lou-tzu rupa-rupanya menunjukkan bahwa Tao Te Ching adalah pilihan terbaik untuk kita jadikan sandaran, bila kita memang ingin memperoleh pemahaman jernih ihwal konsepsi Taois mengenai Sang Mutlak, realitas dan perbuatan-Nya. seperti yang akan segera kita ketahui, Sang Mutlak yang dikonsepsi oleh Lou-tzu dan Chuang-tzu pastinya, berada di luar segala pemerian verbal. Meski begitu, Lou-tzu telah berjuang untuk memerikan, paling tidak secara simbolis, Sesuatu yang tak terkatakan ini. Dan dia berhasil dengan mengagumkan. Faktanya, Tao Te Ching adalah karya yang luar biasa dalam upayanya mengjangkau sebisa mungkin Sang Mutlak yang pada dasarnya tidak dapat dijabarkan itu. Itulah mengapa kita akan sangat membutuhkan bahasan bab ini untuk memperjelas struktur metafisik Sang Mutlak.
Namun demikian, kitta harus menyatakan, bahwa lagi-lagi di sini Lou-tzu tidak menerangkan bagaimana dan mengapa Sang Mutlak itu tidak dapat dijabarkan dan diperikan. Dia hanya menyatakan bahwa Jalan itu “tidak memiliki nama”, “tidak berbentuk”, tidak tercitrakan”, “tidak terlihat”, “tidak terdengar”, dan sebagainya. Alhasil, Jalan itu “tiada” (wu wu) atau Tiada (wu). Berkenaan dengan proses psikologis atau logis yang dengannya seseorang mencapai kesimpulan ini, dia tidak mengatakan sesuatu yang positif. Proses ini diperjelas secara menarik oleh Chuang-tzu dalam pasase yang memberikan kesaksian ampuh sebagai seorang pakar dialektika ulung. Marilah kita mulai dengan membaca pasase yang dimaksud sebagai suatu pengantar teoritis yang mencerahkan kepada konsepsi Lou-tzu tentang Sang Mutlak.
Chuang-tzu sangat menyadari fakta abahwa Jalan, atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya, menolak segala verbalisasi dan penalaran; yaitu, jika diposisikan pada tataran bahasa, maka Jalan akan serta merta dan suka tidak suka berubah menjadi sebuah konsep. Sebagai sebuah konsep, tentu saja Sang Mutlak berada dalam tingkatan yang sama dengan konsep lainnya. Dia melakukan amatan ini sebagai titik awal argumentasinya. Dia mengatakan bahwa manusia membuat perbedaan antara “benar” dan “salah” dalam segala hal dan kemudian menganggap adanya perbedaan fundamental antara “benar” dan “salah. Sebaliknya, Chuang-tzu mengemukakan tesis bahwa tidak ada perbedaan antara “benar” dan “salah”. Dalam hal ini, khalayak awam dan Chuang-tzu bertentangan satu sama lain secara diametris. Namun, Chuang-tzu menimpali, sebagai sebuah proposisi logika, “tidak ada perbedaan antara benar dan salah” tidaklah kurang nalar (logos), daripada proposisi sebaliknya : “ada perbedaan antara benar dan salah. Dalam hal ini, keduanya merupakan satu kategori yang sama.
Dalam kenyataannya, dua proposisi itu menunjukkan pada dua tataran wacana (level discourse) yang sepenuhnya berbeda. Perbedaan itu, sebagaimana telah kita ketahui, hanya muncul ketika seseorang menyadari bahwa pernyataan positif merupakan pernyataan yang khas pada tataran wacana empiris, sedangkan pernyataan negatif sejak awal ditujukan untuk mewakili “pengacauan” (chaotification) ontologis yang dialami oleh Manusia Sempurna pada saat-saat penyatuan ekstatiknya dengan Sang Mutlak. Sebagai sebuah ungkapan pengalaman yang orisinal, pernyataan itu bukanlah merupakan proposisi logika kecuali pada bentuk luarnya saja. tetapi, selama pernyataan itu memiliki bentuk logika (logica form), maka ia merupakan proposisi logika (logical proppsition); dan dengan sendirinya, ia tidak tepat mewakili pengalaman unik tentang “pengacauan” , karena ia adalah kontradiksi proposisi : “ada perbedaan antara benar dan salah”. Jika demikian, adalah sikap lain yang dapat kita ambil ketimbang sekadar mempertahankan sikap diam seribu bahasa? Menurutnya, “Terlepas dari itu, saya tetap berani membahas persoalan itu (pada tataran logika atau konseptual)”. Dengan pernyataan-pernyataan pendahuluan ini, dia telah mulai mengembangkan sebuah argumen yang sangat menarik dengan cara berikut. Singkatnya, argumen itu menegaskan bahwa Sang Mutlak dalam kemutlakan aslinya secara konseptual merupakan negasi-terhadap-negasi-suatu-negasi )negation of-negation-of-negation), yakni, negasi Sang Mutlak sebagai Tiada yang, lagi-lagi, merupakan negasi Ada (the negation of the absolutes being Nothing wich, again, is the negation of Being). Dan itulah batas terjauh yang dapat dijangkau pemikiran logis kita dalam upaya pamungkas memahami Sang Mutlak pada tataran konsep-konsep.
Kita telah melihat bahwa pada bab sebelumnya bagaimana Chuang-tzu, dalam menjabarkan tahap-tahap perkembangan spiritual “duduk dalam perikelupaan”, menyebutkan pandangan bahwa “tiada yang mewujud sejak semula” sebagai batas terakhir kognisi ekstatis.
Apa batas terakhir Pengetahuan? Ia adalah tahapan yang direpresentasikan oleh pandangan bahwa tiada yang mewujud sejak semula. Inilah batas terakhir (Pengetahuan), dan tak ada lagi yang dapat ditambahkan.
“Tiada yang mewujud sejak semula”, yang tercantum dalam kutipan ini merupakan kalimat-kunci untuk memahami dengan benar pasase yang akan segera kita baca. Penting untuk dicamkan bahwa dalam pasase yang akan segera kita cermati ini kita tidak lagi berhubungan dengan permasalahan epistemologis menyangkut batas akhir kognisi manusia. Persoalan kita di sini murni merupakan persoalan metafisik. Karena itu berkaitan dengan asal mula Wujud, atau tentang Alam Semesta. “Asal mula” yang sedang kita perbincangkan di sini bermakna titik permulaan alam Wujud. Setiap kali kita berpikir secara logis ihwal pembentukan alam Wujud, kita mesti mempradugakan sebuah “permulaan”. Nalar kita tidak dapat memahami alam Wujud tanpa membayangkan titik di mana alam itu “mulai” mewujud.
Karena itu, kita mempradugakan “Permulaan”. (Namun, saat kita mempradugakan “Permulaan”, Nalar kita mau tidak mau melangkah jauh kembali dan ) mengakui gagasan bahwa tidak pernah ada Permulaan. (Maka, konsep tidak pernah ada Permulaan niscaya terkukuhkan. Namun, saat kita mempradugakan tidak pernah ada permulaan, pemikiran logis kita melangkah jauh kembali dengan mengingkari gagasan yang baru saja terkukuhkan, dan ) mengakui gagasan tidak pernah ada “tidak pernah ada Permulaan”. (Maka, konsep “tidak ada-tidak pernah ada-Permulaan” terkukuhkan).
Konsep tentang Permulaan, yaitu, titik awal keseluruhan alam Wujud, hanyalah sebuah konsep yang relatif.s ecara konseptual ia bisa lebih jauh didorong kembali dan kembali lagi. Hanya saja,  tak peduli seberapa jauh ktia dapat mendorongnya ke belakang, proses konseptual ini tidak mencapai titik akhir. Untuk benar-benar mengakhiri proses ini kita harus memukulnya telak dengan jalan mengingkari Permulaan itu sendiri. Hasilnya, konsep tentang tidak-pernah-ada-Permulaan diperoleh.
Namun, konsep tentang Tiada-Permulaan, lagi-lagi, adalah konsep yang bersifat relatif, karena ia merupakan konsep yang hanya bertahan dengan jalan dipertentangkan dengan konsep terntang Permulaan. Untuk menghilangkan relativitas ini dan mencapai Tiada-Permulaan yang mutlak, kita harus melampaui (konsep) Tiada-Permulaan itu sendiri dengan jalan menegasikannya dan menegaskan (konsep) Tidak ada Tiada-Permulaan. Namun, tidak ada Tiada-Permulaan – yang mesti diartikulasikan sebagai Tidak ada-(Tiada-Permulaan) – adalah konsep yang signifikansi sejatinya tersingkapkan hanya bagi orang-orang yang mampu memahaminya sebagai penanda hal-ihwal metafisik yang mesti dicerap oleh sejenis intuisi metafisik. Hal ini tampaknya mengisyaratkan bahwa Tidak ada Tiada-Permulaan, walaupun merupakan sesuatu yang telah dipradugakan oleh Nalar, berada di luar tangkapan seluruh penalaran logis.
Dengan cara yang sama, (kita mulai dengan memerhatikan fakta bahwa) Wujud itu ada. (Tetapi, saat kita mengakui Wujud, Nalar kita kembali jauh ke belakang dan mengakui bahwa) ada  Non-Wujud (atau Tiada). (Begitu kita mempradugakan Non-Wujud, maka mau tidak mau kita kembali jauh ke balang dan mengakui bahwa (tidak ada Non-Wujud itu sejak awal. (Ketika konsep Tidak ada (Non-Wujud) dikukuhkan dengan cara ini, Nalar melangkah lebih jauh dan belakang dan mengakui bahwa) tidak ada yang dinamakan “tidak ada-Non-Wujud” (yakni, penafian atas penafian terhadap Non-Wujud, atau Tidak ada-(Tidak ada-Non-Wujud).
Konsep Tidak ada [Tidak ada-Non-Wujud) atau Tidak ada-Tidak ada-Tiada ini mewakili tahap logika paling ujung yang dicapai dengan menafikan – yaitu, melampaui – penafian pertentangan Wujud dan Non-Wujud. Inilah imbangan logis dan konseptual dari Jalan atau Tiada menafikan yang bukan sekedar “tiada”, melainkan Tiada transenden yang terdapat di balik “wujud” dan “non-wujud” sebagaimana yang bisa dipahami.
Jadi, tampaknya kita telah berhasil mengkonseptualisasikan Jalan sebagai Tiada yang transenden secara mutlak. Namun, apakah Sang Mutlak yang terkonseptualisasikan itu secara cermat mencerminkan hakikat Sang Mutlak? Sekaitan dengan pertanyaan itu, kita tidak dapat mengatakan Ya maupun Tidak. Sebagaimana halnya dengan konsep Tidak ada-Tiada-Permulaan, kita harus menyatakan bahwa konsep Tidak ada-Tidak ada-Tiada sejalan de-ngan realitas tentang Sang Mutlak hanya apabila kita, dalam memahaminya, melampaui ranah pemikiran logis itu sendiri menuju konsep tentang intuisi ekstatis atau mistis. Namun, apabila kita melakukan hal itu, konsep tentang Tidak ada-Tidak ada-Tiada akan segera berhenti sebagai konsep. Dan kita akan berakhir dengan menyadari bahwa seluruh penalaran logis yang ada pada kenyatannya muspra dan sia-sia. Sebaiknya, jika kita menolak melampaui tingkat penalaran maka konsep Tidak-ada – Tidak-ada-tiada akan selamanya menjadi konsep kosong yang tidak memiliki seluruh makna positif dan, karenanya, tidak berada tepat menjelaskan hakikat Sang Mutlak. Maka itu, bagaimanapun, tindakan konseptualisasi benak terbukti gagal memahami Sang Mutlak sebagaimana adanya.
(Apabila Nalar mulai aktif), secara tak terduga kita akan menemukan diri kita berhadapan dengan “wujud” dan “nonwujud”. (Namun, karena semua ini merupakan konsep-konsep relatif dalam pengertian bahwa “wujud” pada tahap ini berubah menjadi “nonwujud” pada tahap berikutnya, dan begitulah seterusnya),  kita tidak pernah dapt mengetahui secara pasti mana yang benar-benar “wujud” dan mana yang benar-benar “nonwujud”. Kini saya baru saja menetapkan sesuatu (yang tampaknya) memiliki makna, (yakni, saya telah menetapkan Sang Mutlak sebagai Tidak ada-tidak-ada tiada). Namun, saya tidak tahu apakah saya sesungguhnya telah menetapkan sesuatu yang memiliki makna ataukah apa yang telah saya tetapkan itu, ujung-ujungnya, tidak memilki makna apa pun.
Pada titik ini, Chuang-tzu tiba-tiba mengubah arah pemikirannya dan mencoba pendekatan lain. Kali ini dia beralih kepada aspek Kesatuan yang, sebagaimana kita telah lihat sebelumnya, merupakan salah satu ciri Sang Mutlak yang sangat menonjol. Namun, sebelum membahas persoalan itu berdasar penalaran logis, dia mengingatkan kita secara hati-hati tentang apa yang dipahami melalui pernyataan bahwa Sang Mutlak itu “satu”. Dia mengatakan bahwa Sang Mutlak itu “satu” sebagai sebuah Coincidentia oppositorium. Kita telah menguji pada Bab 4 pendapat Chuang-tzu mengenai persoalan ini. Istilah utamanya adalah “penyetaraan” segala sesuatu dalam Sang Mutlak.
Jalan atau Sang Mutlak, menurut Chuang-tzu, merupakan keadaan metafisik Penyetaraan Langit/Surgawi (Heavenly Equalization), maksudnya, Sang Mutlak “setara” dengan segala pertentangan dan kontradiksi. Pada tahap ini, sesuatu yang terkecil pada waktu yang sama adalah yang terbesar, dan satu momen adalah keabadian.
(Keadaan Penyetaraan Surgawi menolak akal sehat dan nalar, lantaran kita mengakui pada tahap ini bahwa) tidak ada alam yang lebih besar daripada ujung rambut seekor hewan di musim gugur, sementara Gunung T’ai (yang biasanya disebutkan sebagai perumpamaan sesuatu yang sangat besar) dianggap sangat kecil. Tidak ada orang yang hidup lebih lama daripada bayi yang belum berumur, sementara P’eng Tsi (yang konon hidup 800 tahun) dianggap telah mati muda. Langit dan Bumi berlangsung dalam waktu yang sama seperti saya (yakni, kelangsungan abadi Langit dan Bumi sama saja dengan kelangsungan sesaat dari eksistensiku di dunia ini). Dan sepuluh ribu hal sama persis dengan diriku sendiri.
Dengan demikian, dari sisi Penyetaraan Surgawi, segala sesuatu menjadi tereduksi dalam kesatuan tunggal dalam kerangka ruang dan waktu. Bagaimana penalaran logis memahami Kesatuan mutlak seperti itu? Itulah pertanyaan yang sedang kita hadapi sekarang.
Segala sesuatu (pada tahap ini) secara mutlak adalah “Satu”. Namun, jika begitu, bagaimana mungkin kita mengatakan sesuatu? (Yakni, karena segala sesuatu secara mutlak adalah “satu”, maka tidak ada lagi suatu apa pun yang berbeda dengan sesuatu lain. Dan karena tidak ada lagi perbedaan, maka tidak ada artinya bahkan untuk mengatakan : “satu”).
(Hanya saja, dalam rangka bernalar, saya harus mempradugakan sesuatu). Maka itu, saya katakan : “Satu”. Namun, bagaimana saya dapat menilai bahwa (ia tunggal) atau mereka (jamak) adalah “satu” tanpa secara eksplisit mempradugakan istilah (yakni, kata-kata atau konsep : “satu”? Bagaimanapun, (saat saya mempradugakan istilah “satu”), “Satu” yang asli (yakni Satu mutlak yang merupakan suatu coincidentia oppositorium) dan istilah (atau konsep tentang) “satu” niscaya menjadi “dua”. (Hal ini mungkin bermakana bahwa penalaran  paling sedikir saja sudah menjadikan Satu asli itu membelah dirinya sendiri menjadi Dua dan dengan demikian memunculkan dualisme.).
Selanjutnya “dua” ini (yakni, penilaian tentang istilah dua : “Jalan itu Satu”) beserta “satu” (maksudnya, Satu mutlak yang mendahului semua penilaian) menjadi “tiga”.
Dari titik ini proses itu akan berlangsung tanpa ujung, sedemikian sehingga pakar matematika yang berbakat pun tidak akan mampu menghapus angka, apalagi orang biasa.
Dengan cara ini, jika perpindahan dari Non-Wujud ke Wujud secara tak terelakan membawa kita (paling sedikit) pada “tiga”, maka di manakah kita akan berakhir jika berpindah dari Wujud ke Wujud (yakni, jika, alih-alih memulai dari Satu yang mutlak, kita mengambil sudut pandang relativis yang mengejar berbagai hal individual yang terus mengalami keragaman tiada henti? Lebih baik kita tidak melakukan perpindahanapa pun (yakni, lebih baik tidak menggunakan penalaran mengenai Sang Mutlak dan berbagai hal). Biarlah kita memuaskan diri kita dengan mengiyakan saja (yang melampaui segala pertentangan dan kontradiksi, serta membiarkan segala sesuatu sebagaimana adanya)!
Karena itu, setelah mengembangkan penalaran panjang-lebar tentang sifat Sang Mutlak, Chuang-tzu, secara cukup ironis, berakhir dengan menegaskan bahwa penalaran itu sia-sia. Dia menghimbau kita untuk meninggalkan segala pemikiran logis tentang Sang Mutlak dan tetap menyelamis ecara ekstatis Pengetahuan intuitif mutlak. Karena, hanya dengan menjalankan hal itu kita dapat berharap untuk tetap berada dalam hubungan langsung dengan Sang Mutlak.
Dengan demikian, tahap tertinggi Pengetahuan adalah tetap tak bergeming terhadap apa yang pasti tidak dapat diketahui (oleh penalaran). Adakah orang yang mengetahui Kata yang bukan lagi sebuah “kata”? Adakah roang yang mengetahui Jalan itu yang bahkan bukan sebuah “Jalan”? Jika ada orang yang mengetahui hal demikian, maka dia pantas dinamakan “Bendaharawan Surga” (Yakni, orang yang memiliki kunci gudang perbendaharaan tak terbatas tentang Wujud. Tidak hanya itu, dia sama seperti “perbendaharaan” itu sendiri). (Perbendaharaan Surga yang dengannya orang ini telah serupa dan  menyatu ibarat samudra tak bertepi); tidak jadi masalah seberapa banyak kau menuangkan air ke dalamnya, samudra itu tidak akan pernah menjadi penuh; dan tidak jadi masalah seberapa banyak kau mengambil air darinya, samudra itu tidak akan pernah kering. Tidak ada orang yang tahu bagaimana dan darimana segala sesuatu (tak terbatas) ini mewujud.
Itulah Pengetahuan yang dimiliki orang seperti itu yang secara tepat bisa disebut “Cahaya yang terhalang”.
Jadi, dengan mengikuti argumen Chuang-tzu selangkah demi selangkah kita telah diarahkan menuju konklusi bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam realitas puncaknya melampaui seluruh penalaran dan konseptualisasi. Konklusi ini membentuk titik awal pemikiran metafisik Lou-tzu. Sebagaimana telah nyatakan pada permulaan bab ini, Lou-tzu enggan bersusah-susah menjelaskan proses logika atau proses epistemologis yang mendasari sistem metafisikanya. Namun, kita kini berada dalam posisi untuk memahami latarbelakang metafisika ini.
Sudah sewajarnya, metafisika Lou-tzu berawal dengan menyebutkan beberapa sifat negatif dari Jalan, pada mulanya, “tanpa nama”.
Jalan dalam realitas mutlaknya (ch’ang) tidak memiliki nama.
Terpilin panjang seperti benang, tidak ada nama yang dapat diberikan untuknya.
Jalan itu tersembunyi dan tanpa nama.
Jalan yang “tanpa nama” itu bermakna bahwa sebutan “Jalan” tidak lain daripada pengganti sementara. Lou-tzu secara kasar menyebutnya “Jalan” lantaran tanpa memberinya suatu nama dia pun tidak dapat merujuk padanya. Fakta ini benar-benar terindikasidari kalimat pembuka yang sangat populer dalam Tao Te Ching.
“Jalan” yang dapat ditandai dengan kata “Jalan” bukanlah jalan sesungguhnya.
“Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah Nama sesungguhnya.
Adalah menarik dan penting untuk dinyatakan bahwa pasase ini, di samping merupakan pertanyaan tegas yang kurang lebih bermakna bahwa Sang Mutlak itu “tanpa nama”, dirancang menjadi semacam kritik implisit terahdap realisme Konfusius. “Jalan” yang di sini disebut sebagai bukan “Jalan sesungguhnya” adalah “jalan” kemanusiaan (atau etis) sebagaimana dihayati aliran Konfusius. sedangkan “nama” yang dikatakan bukan “Nama sesungguhnya” merujuk pada apa yang disebnut “kebajikan”, kesalehan”, dan sebagainya, dan mereka anggap sebagai keluhuran-keluhuran utama.
Mengani kata “jalan” (tao)) sebagaimana pertama kali digunakan Konfusius sendiri dan lingkaran terdekatnya, informasi autentik mengenainya diberikan dala Lun Yu (“Bunga Rampai”). Membahas rincian rumit persoalan itu akan membawa kita terlalu jauh dari lingkup kajian sekarang. Di sini saya akan membatasi diri untuk memberikan beberapa contoh seperlunya guna memperjelas ciri-ciri khas yang sangat esensial dari konsep Konfusius tentang Tao.
Guru Yu (salam seorang murid Konfusius) pernah menyatakan : Orang-orang yang berwatak menghormati orang tua dan saudara (maksudnya, orang-orang yang berperilaku sangat baik sejak lahir terhadap orangtua dan kakak-kakak mereka) di rumah, jarang sekali (dalam kehidupan khalayak) bersikap menetang keinginan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka. Dan (orang-orang yang tidak bersikap menetang keinginan  orang-orang yang lebih tinggi dari mereka) sungguh tidak pernah berkeinginan melakukan keresahan (dalam masyarakat).
(Pengamatan atas fakta ini menyadarkan kita  bahwa ) “manusia bangsawan” seharusnya berjuang (untuk mengukuhkan) akar, karena ketika akar terkukuhkan, maka “jalan” (tao) secara alami akan tumbuh. Sikap yang tepat terhadap orangtua dan kakak, dalam hal ini, dapat dianggap merupakan akar dari “keluhuran” (atau “cinta yang manusiawi”).
Secara kontekstual jelas bahwa “jalan” pada pasase ini bermakna sikap etis yang pantas dari seseorang terhadap saudara-saudaranya dalam masyarakat, argument ini khas para penganut Konfusius. Argument itu mengakui bahwa perbuatan baik bawaan sejak lahir manusia terhadap mereka yang sangat dekat pertalian darahnya sebagai “akar” atau “asal-mula” akhlak manusia. Perbuatan baik bawaan sejak lahir ini apabila dikembangkan menjadi perbuatan baik yang bersifat universal terhadap seluruh anggota masyarakat, makai a akan berubah menjadi prinsip tertinggi akhlak mulia, “Jalan”, sebagaimana ditunjukkan melalui “kebajikan dan kemurahan hati”.
Jelaslah, struktur konseptual argument tersebut didasarkan pada istilah-istilah “kepatuhan anak”, penghormatan pada orang tua”, dan “perbuatan luhur”. Kata “jalan” hamper-hampir disebutkan secara sepintas. Ia bahkan bukan merupakan istilah-kunci dalam pengertian sejati kata tersebut.
Sang Guru (konfusius) barkata, “O Shen, ‘jalanku’ adalah suatu kesatuan yang melintasi (segala bentuk perilaku)”. Guru Tseng dengan penuh hormat menjawab, “ya!”
Manakala guru meninggalkan tempat itu, murid-murid lainnya bertanya (kepada Guru Tseng), “Apa yang dia maksud?”
Guru Tseng berkata, “Jalan” yang dimiliki guru kita meliputi “kesetiaan”  (maksudnya,  setia atau mempercayai hati Nurani sendiri) dan “baik hati” (yakni, memikirkan orang-orang lain, seolah-oleh persoalan mereka merupakan persoalannya sendiri).
Pada pasase ini, “jalan” juga bisa bermakna prinsip utama akhlak mulia. Melalui pernyataan : “Jlanaku merupakan kesatuan yang melintasi”. Konfusius bermaksud mengatakan bahwa walaupun perilakunya tampak secara nyata dalam berbagai bentuk, namun yang mendasarinya adalah keseluruhan prinsip etika yang unik. Dengan kata lain, “jalan” di sini bermakna prinsip  pemersatu seluruh bentuk akhlak.
Sang Guru berkata, “Jika ‘jalan’ telah menguasai sebuah negeri, kau boleh berani berbicara dan berbuat. Namun, jika ‘jalan’ tidak merata, kau boleh berani berbuat, tetapi kau seharusnya sedikit berbicara.”
Konfusius sering berbicara tentang “jalan” yang menguasai sebuah negeri – atau secara lebih harfiah “negeri yang memiliki jalan”. Apa yang dimaksud dengan suatu kata dalam konteks-konteks demikian terlalu jelas untuk diberi penjabaran.
Sang Guru berkata, “Jalan” “manusia bangsawan” (termanifestasikan) dalam tiga (bentuk). Namun, saya sendiri tidak setara dengan bentuk-bentuk itu. Orang yang benar-benar bebudi luhur tidak pernah cemas. Orang yang benar-benar bijak tidak pernah bingung. Orang yang benar-benar berani, tidak pernah takut.
Penafsiran kata tao kurang-lebih beragam sesuai dengan konteksnya, tetapi makna utamanya tampak pada seluruh penggunaan kata tersebut sebagai “jalan” yang cocok atau yang tepat bagi perilaku dalam kehidupan sosial. “Jalan” ini semata-mata terbatas pada manusia. Pasalnya, walaupun pada dasarnya bersifat kemanusiaan dan etis dalam manifestasi konkretnya, dalam kesadaran moral Konfusius konsep itu tupanya memiliki sesuatu yang bersifat kosmik sebagai landasan metafisiknya. “Jalan” dalam bentuk metafisik yang sesungguhnya merupakan hukum tertinggi yang meliputi Wujud. Hukum tertinggi yang mengatur kerja alam semesta pada umumnya, dan mengatur manusia sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta pada khususnya, dinamakan “jalan” apabila dipahami melalui, atau direfleksikan dalam, kesadaran manusia.
Prinsip tertinggi akhlak mulia, dalam pemaknaan ini, tiada lain adalah manifestasi partikular dan hukum universal Wujud dalam bentuk hukum tertinggi yang mengatur kehidupan manusia yang benar. Menurut Konfusius, prinsip akhlak mulia sama sekali bukan merupakan undang-undang buatan manusia, atau seperangkat aturan yang mengatur perilaku manusia dari luar dirinya. Prinsip itu merupakan refleksi dalam kesadaran manusia akan hukum tertinggi alam semesata. Dan, dengan demikian, ia merupakan hukum alam “yang diinternalisasikan” untuk mengatur perilaku manusia dari alam.
Karena itu, untuk mengenal “jalan” (tao) tidak cukup dengan hanya mempelajari aturan-aturan formal akhlak mulia dan perilaku beanr. Ia juga meliputi hubungan manusia dengan hokum metafisik yang meliputi Kosmos melalui cara menghayatinya. Pernyataan yang sangat kukuh dan bergairah berikut ini mungkin kedengaran janggal atau bahkan menggelikan jika “jalan” Konfusius itu semata-mata merupakan persoalan tatakrama dan perilaku benar.
Sang Guru berkata, “Kika seorang manusia mendengar (yakni, memahami makna terdalam dari) “jalan” pada pagi hari, maka dia mungkin akan mati Bahagia pada sore hari.”
Pada aspek “kosmisk” ini, konsepsi Konfusius ihwal “jalan” dapat dikatakan memiliki keserupaan dengan imbangan Taoisnya. Namun, perbedaan antara kedua konsep itu jauh lebih mencolok dan menukik ketimbang keserupaan itu, sebagaimana akan segera kita lihat. Bagaimana pun juga, ada sikap kesadaran yang nyata di pihak Lou-tzu dan Cuang-tzu untuk menolak “jalan” (tao) sebagaimana dipahami Konfusius dan para pengikutnya. Lou-tzu mengatakan bahwa “jalan” (tao) yang dapat dikenali sebagai “jalan” oleh orang-orang awam – Konfusius dan para pengikutnya mewakili mereka – bukanlah  Jalan sejati. Jalan sejati, atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya, bukanlah suatu yang dapat dipahami benak awam. Bagaimana seseorang dapat “mengetahuinya”? Bagaimana seseorang dapat “mendengar”? Pada dasarnya ia adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak dapat dikenali, dan tidak dapat didengar.
            Karena pada dasarnya tidak diketahui dan tidak dapat dikenal, maka Jalan (tao) adalah “tanpa nama”. Di sini pula kita menemukan Lou-tzu secara sadar mengambil posisi menentang sikap Konfusius menyangkut “nama-nama”. Tentu saja, Lou-tzu juga berbicara tentang “nama-nama”. Dia mengatakan bahwa jalan “tanpa nama” terus menggunakan berbagai nama dalam proses penentuan jati-dirinya.
Jalan (tao) dalam realitas mutlaknya tidak memiliki “nama”. Ia (dapat dibandingkan dengan) kayu gelondongan …. Hanya ketika kayu itu dipotong-potong muncullah “nama-nama”.
Tetapi, ada perbedaan mendasar antara Lou-tzu dan Konfusius mengenai “nama-nama” ini, mengingat Lou-tzu tidak menganggap “nama-nama” tersebut sebagai sesuatu yang sepenuhnya terkukuhkan.s ebagaimana telah kita pelajari dari penjelasan Chuang-tzu tentang “chaotifikasi” dan tesis Lou-tzu bahwa segala sesuatu di ala mini bersifat “relative”, segala  “nama” – dan pada akhirnya “segala sesuatu” yang ditentukan oleh “nama-nama” itu – hanya bersifat relative. Sebaliknya, “realisme” Konfusius mengambil sikap bahwa di balik setiap “nama” terdapat realitas objektif dan permanen yang sesuai dengannya. Nama-nama tertinggi sesuai dengan realitas-realitas tertinggi. Nama-nama ini melukiskan sifat-sifat utama : “kebaikan”, “kesalahan”, “kesantunan”, “kebajikan”, “kejujuran”. Terhadap hal ini, Lou-tzu mengemukakan pandangan bahwa “nama-nama” ini, yang boleh jadi disebut sebagai “nama-nama”, bukanlah “nama-nama” hakiki. Menurut hematnya, Nama-nama, atau sifat-sfat utama itu yang dihargai begitu tinggi oleh para pengikut Konfusius tidak lain hanyalah beberapa gejala kemusnahan dan kerusakan, yaitu, gejala-gejala sekelompok manusia yang mengalienasikan diri mereka dari Sang Mutlak.
Hanya ketika Jalan Agung itu mundur, “kebaikan” dan “keluhuran” maju. Hanya ketika kecerdasan dan kebijaksanaan tampil, tipu muslihat dan makar muncul. Hanya ketika enam hubungan dasar kekeluargaan (maksudnya, hubungan-hubungan antara ayah dan anak, kakak dan adik, suami dan istri) jauh dari harmoni, maka anak-anak yang patuh tampak. Hanya ketika negara jatuh ke dalam keresahan dan kerusuhan, para warga negara yang setia menampilkan diri mereka.
Hanya setelah Kebajikan hilang, “Budi pekerti” menonjol. Hanya setelah “budi pekerti” hilang, “keluhuran menonjol”. Dan hanya setelah “keluhuran” hilang, “kesantunan” menonjol.
Sungguh, “kesantunan” muncul pada suatu ketika “kesetiaan” dan “kejujuran” telah menjadi langka. Ia menandai awal kerusuhan (dalam masyarakat).
Jauh dari nilai-nilai hakiki sebagaimana yang ditegaskan para pengikut Konfusius, semua Nama-nama ini tidak lain hanyalah tanda-tanda alienasi diri manusia dari Realitas. Justru dengan meneguhkan Nama-nama ini sebagai nilai-nilai mutlak dan permanen terdapat isyarat yang tegas bahwa Sang Mutlak telah terabaikan. Berbicara secara lebih umum, tidak ada “nama” yang bersifat mutlak. Karena, sebagaimana Lou-tzu katakana, suatau “nama” yang dapa ditandai melalui kata “nama” bukanlah Nama sejati. Satu-satunya “Nama sejati” (ch’ang ming) yang bersifat mutlak adalah Nama yang disandang Sang Mutlak. Namun, Nama mutlak itu,s ecara paradoksal, adalah “Tanpa Nama”, atau sebagaimana kita akan segera lihat, merupakan “Misteri dari segala Misteri”, Gerbagn segala Keajaiban”.
Saya beru saja menggunakan ungkapan : “Nama yang disandang Sang Mutlak”. Sesungguhnya,s ebagaimana Lou-tzu sendiri secara eksplisit mengakui, Jalan “tanpa nama” juga menggunakan “nama” yang lebih positif pada tahap awal manifestasi-diri atau determinasi-diri. Bahwa “nama” awal yang disandang oleh Sang Mutlak dalam aktivitas kreatif-Nya merupakan Eksistensi (yu). Lou-tzu, demi membuat konsesi bagi gaya Bahasa popular, kadang-kadang menamakan Eksistensi sebagai Langit dan Bumi (t’ien ti). Tegasnya, Jalan apda tahap ini sesungguhnya belum secara actual menjadi Langit dan Bumi. Ia hanyalah Langit dan Bumi in potential. Itulah wajah Sang Mutlak yang dengannya Dia, istilahnya, berpaling kea lam Wujud yang tentu saja berasal dari-Nya. Ini mengacu kepada Sang Mutlak sebagai prinsip kreativitas yang abadi dan lestari.
Tanpa Nama merupakan awal Langit dan Bumi. Yang Dinamai (the Nomed) merupakan Ibu (Induk) sepuluh ribu hal (ciptaan).
Namun, sebelum kita membahas rincian persoalan tentang Yang Dinamai, kita harus membahas lebih lanjut  sisi “tanpa nama” dari Jalan.
Untuk memulai babak baru dalam meninjau aspek ini dari Jalan (tao) tersebut, dengan  nyaman kita dapat mengingat kembali kata-kata pembuka dalam Tao Te Ching, yang telah dikuti[ di atas dan yang telah membawa kita pada semacam penyimpangan Panjang seputar perbedaan fundamental antara ajaran Konfusius dan Taoisme seputar pemahaman “jalan” (tao) dan “nama” bukan Jalan sesungguhnya. “Nama” yang dapat ditandai dengan kata “nama” bukanlah Nama sesungguhnya.
Konsepsi yang sama tentang Jalan diungkapkan Chuang-tzu secara agak berbeda sebagai berikut :
Jika jalan diperjelas, maka ia bukan lagi jalan”.
Maksdunya,s esuatu yang dapat ditunjuk sebagai Jalan bukanlah Jalan yang hakiki. Dan juga :
Adakah orang yang bisa mengenal Jalan yang bukan merupakan sebuah “jalan”?
Tentu saja, ini bermakna bahwa Jalan hakiki tidak memiliki bentuk kasat-mata yang dengannya seseorang dapat menunjukkan dengan kata “jalan”.
Untuk mengatakan bahwa Jalan atau Sang Mutlak dalam kemutlakannya adalah “tanpa nama”, sehingga menolak untuk ditandai dengan “nama” apa pun juga, harus diujarkan bahwa hal itu melampaui seluruh pemahaman linguistik. Dan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa Jalan berada di luar jangkauan pemikiran dan persepsi indrawi. Dengan demikian, Jalan merupakan sifat yang Nalar tidak mampu memahaminya dan pancaindra tidak mampu mencandranya. Dengan kata lain, Jalan merupakan sesuatu Transenden mutlak.
Meskipun kita berusaha melihatnya, ia tidak dapat di lihat. Dalam kaitan ini ia dinamakan “tanpa sosok”.
Meskipun kita berusaha mendengarnya, ia tidak dapat didengar. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangat tidak terdengar”.
Meskipun kita berusaha menjamahnya, ia tidak dapat disentuh. Dalam kaitan ini ia dinamakan “sangar suci”.
Pada ketiga aspek ini, ia sama sekali tidak dapat terukur. Semuanya melebur menjadi Satu.
(Lazimnya, bagian atas sesuatu tampak jelas,s edangkan bagian bawahnya gelap dan kelam. Tetapi tidak begitu halnya dengan Jalan itu.)
Bagian atasnya, tidaklah cerah,. Bagian bawahnya, tidaklah gelap.
Ia terpilin tanpa jarak seperti benang, tetapi tidak ada nama yang dapat diberikan kepadanya. Dan (aktivitas kreatif yang terpilin ini) pada puncaknya kembali ke kekosongan semula.
Akankah ktia memerikannya sebagai Bentuk yang tak berbentuk, atau Sosok yang tak bersosok? Akankah kita memerikannya sebagai sesuatu yang samar-samar dan tidak dapat ditentukan? Berdiri di hadapannya, kita tidak melihat bagian depannya. Membuntutinya, kita tidak melihat bagian belakangnya.
 Dengan demikian, Jalan “tanpa nama” adalah sama seperti Non Wujud. Karena apa pun yang sepenuhnya tidak dapat diperesepsi dan dipahami, apa pun yang tidak memiliki “citra”, bagi manusia, sama seperti “tidak mewujud”. Ia adalah “Tiada” (wu).
Penting untuk diperhatikan bahwa Jalan tampak seperti “Tiada” hanya apabila dilihat dari sudut pandang kita. Ia Tiada bagi kita sebab ia melampaui pemahaman manusia. Ia, sebagaimana para filosof Islam katakan, adalah masalah i’tibar atau “sudut tinjauan” (manusia). Sebaliknya, Jalan itu sendiri – jauh dari “tiada” – adalah Eksistensi dalam pengertian paling sempurna dari istilah tersebut. karena itu ia merupakan puncak asal dan sumber seluruh Wujud.
Bagi pemahaman manusia biasa, Jalan itu adalah Tiada. Namun, ia bukan “tiada” dalam pengertian negatif belaka. Ia bukan “tiada” yang bersifat pasif. Ia adalah Tiada yang bersifat positif dalam pengertian bahwa Ia adalah Non-Wujud yang sarat Eksistensi.
Sudah tentu, aspek positif Jalan ini jauh lebih sulit diterangkan ketimbang aspek negatifnya. Memang ia tidak mungkin dijelaskan secara verbal. Seperti telah kita pahami, realitas Jalan tidak dapat dijabarkan dan diutarakan. Tetapi, Lou-tzu berusaha menjabarkannya, atau minimal memebrikan beberapa petunjuk bagaimana kita seharusnya “merasakan” kehadirannya di tengah-tengah alam Wujud. Tentu saja,petunjuk-petunjuk tersebut sangat kabur dan tidak tegas. Petunjuk-petunjuk itu niscaya berciri simbolik.
Jalan dalam realitasnya sama sekali samar, sama sekali saru.
Sama sekali saru, sama sekali samar, namun di dalamnya ada suatu Cintra.
Sama sekali samar, sama sekali saru, namun di dalamnya ada Sesuatu.
Sama sekali misterius, sama sekali gelap, namun di dalamnya ada Esensi tersuci.
Esensi tersuci itu sangat nyata adanya.
(Kreativitasnya secara abadi dan langgeng terus bekerja, sehingga) dari awal zaman hingga kini Namanya tidak pernah meninggalkannya. Melalui Nama ini Ia mengatur dasar-dasar sesuatu.
Bagaimana kita mengetahui bahwa demikianlah Ia dengan dasar-dasar segala sesuatu? Dari apa yang baru saja saya katakan.
Jalan, Jalan dalam aspek murni negatifnya yang berada di luar pemahaman manusia adalah Tiada dan Non-Wujud. Pada aspek ini Jalan tidak memiliki “nama” apa pun. Bahkan, kata “jalan” semestinya tidak berlaku untuknya. Jalan adalah “tanpa nama”.
Misteri yang sepenuhnya tidak dapat disentuh dan tidak dapat ditembus menghilangkan kegelapannya sendiri dan melangkah lebih maju untuk memiliki sebuah “nama”. Pada tahap penentuan diri ini, ia merupakan sebuah “Citra” yang redupd an suram. Pada Citra tersebut kita secara samar merasakan kehadiran Sesuatu yang luarbiasa dan misterius. Namun kita belum mengetahui apa itu. Ia terasa sebagai Sesuatu namun ia masih belim memiliki “nama”.
Pada bagian pertama kajian ini, kita melihat bagaimana, dalam sistem metafisika Ibn ‘Arabi, Sang Mutlak dalam kemutlakannya adalah “tanpa nama”. Kita melihat bagaimana Sang Mutlak dalam keadaan demikian bahkan berada di luar tahapan yang semestinya harus ditandai dengan nama Allah. Demikian juga menurut Lou-tzu, Sesuatu ini bahkan telaha da jauh sebelum Tuhan (secara harfiah : Penguasa langit).
Dalam tak terselami Dia, laksana pendahulu sepuluh ribu hal ....
Laksana massa air yang dalam (dan tidak tampak di atas permukaan), namun
Sesuatu tampaknya ada di sana.
Aku tidak tahu anak siapakah itu
Tampaknya ia telaha da jauh sebelumnya yang serta dengan Penguasa (maksudnya, Tuhan).
Sesuatu yang “tanpa nama” ini, dalam aspek positifnya, yakni, dalam kreativitasnya yang abadi dan terus berlangsung, untuk sementara waktu dapat disebut “jalan”. Lou-tzu sendiri mengakui bahwa itu merupakan “nama” yang bersifat sementara. Namun dari seluruh “nama” yang mungkin bersifat sementara, “jalan” merupakan nama yang representatif. Sebenarnya, Lou-tzu mengusulkan beberapa “nama” lain lagi bagi Jalan, dan menunjukkan beberapa “atribut” khas, yang masing-masingnya menjukkan aspek tertentu dari Jalan.
Ada Sesuatu, tanpa bentuk namun sempurna, lahir sebelum Langit dan Bumi.
Diam dan hampa, berdiri sendiri, tidak pernah berubah. Ia berkeliling di mana-mana, tidak pernah berhenti. Ia dapat dianggap sebagai Ibu keseluruhan alam raya.
Saya tidak mengetahui “namanya”. Untuk membuat nama samaran, saya menyebutnya “Jalan”.
Terpaksa memberinya nama (lebih lanjut), saya menyebutnya “Agung”.
“Agung” mengandung makna “Bergerak Maju”. “Bergerak Maju” mengandung makna “Melangkah Jauh”. Dan “Melangkah Jauh” mengandung makna “Mampu Berbalik Arah”.
Pada pasase yang baru saja dikutip Lou-tzu mengemukakan kemungkinan Sang Mutlak diberi berbagai nama. Namun, pada waktu yang sama, dia memperjelasnya bahwa semua “Nama: atau “atribut” ini adalah bersifat sementara, relatif, dan parsial. Sebagai contoh, dia mengusulkan untuk menamakan Sang Mutlak dengan nama “Agung”. Dia dibenarkan melakukan hal demikian karena Sang Mutlak atau Jalan adalah “agung”. Namun, kita harus ingat, ia “agung” hanya dalam pengertian tertentu, dari sudut pandang khusus. Menganggap Jalan sebagai “agung” hanya mewakili satu sudut pandang khas yang kita (manusia) gunakan menyangkut Sang Mutlak. Hal ini tentu saja mengandung makna bahwa terdapat juga hal  tertentu di mana Jalan seharusnya dinamakan “kecil”. Ia dapat dianggap “agung”; ia pun dapat dianggap “kecil”. Kedua “nama” itu adalah tepat, namuntidak ada dari keduanya yang benar-benar selaras dengan realitasnya.
Dalam hal ini, Jalan dapat dibandingkan dengan tumbuhan air yang terapung-apung menyusuri jalan ini atau jalan itu. Ia tidak memiliki kestabilan. Karena tidak memiliki kestabilan, ia menerima “nama” apa pun, namun tidak ada “nama” yang dapat melukiskannya secara sempurna.
Jalan agung adalah seperti sesuatu yang hanyut di atas air. Ia bergerak ke mana-mana, kiri dan kanan.
Sepuluh ribu hal berutang eksistensi mereka padanya. Tetapi, ia tidak bersikap angkuh (dengan aktivitas kreatifnya sendiri). Ia merampungkan pekerjaannya, namun ia tidak membuat klaim. Ia memberi pakaian dan makanan kepada sepuluh ribu hal, namun ia tidak pernah menguasai mereka secara keras. Karena ia sepenuhnya bebas dari keinginan, maka ia mungkin dinamakan “kecil”.
Sepuluh ribu hal kembali kepadanya, namun ia tidak membuat klaim bahwa ia adalah Majikan mereka. Dalam hal ini, ia dapat juga dinamakan “Agung”.
Kesulitan yang kita temukan secara tak terelakkan dalam upaya memberikan sebuah “nama” yang pantas untuk Sang Mutlak semestinya tidak hanya menyangkut fakta bahwa ia pada dasarnya “tanpa nama”, tetapi juga menyangkut fakta bahwa Sang Mutlak bukanlah “sesuatu” dalam arti yang pada galibnya kita pahami dari istilah “sesuatu”. Kekuatan deskriptif yang dimiliki oleh bahasa manusia, tragisnya, amat terbatas. Saat kita secara linguistik menunjuk suatu hal, entah metafisik ataukah empiris, melalui kata benda, ia menjadi “terkonkretkan/terbendakan”, yakni, ia berubah menjadi “substansi” dalam gambaran kita. Sebelumnya kita telah menyebut Sang Mutlak sebagai Sesuatu; tetapi “Sesuatu” dalam imajinasi kita adalah sejumlah substansi, kendatipun mungkin misterius. Begitulah adanya untuk “nama-nama” seperti “Induk”, “Jalan”, dan sebagainya, atau bahkan “Tiada”.
Tetapi, Sang Mutlak yang kita tunjuk melalui “nama-nama” ini bukanlah suatu “substansi”, dan ia seharusnya tidak dipahami sebagai suatu “substansi”. Inilah alasan – atau minimal salah satu alasan utama – mengapa Lou-tzu banyak menekankan bahwa seluruh “nama” yang dia usulkan tidak lain dari pengganti sementara. “Nama” apa pun yang mungkin dia gunakan dalam memaknai Sang Mutlak, tidak seharusnya kita coba “konkretkan” dalam pengertian yang dia katakan dari nama itu. Karena sebagai “sesuatu” dalam pengertian “substansi”, Sang Mutlak itu “tidak ada”. Bagaimana sesuatu dapat merupakan “substansi” apabila ia sepenuhnya “tanpa sosok”, “tidak dapat dilihat”, “tidak dapat didengar”, “tidak dapat disentuh”, dan “tidak dapat dirasa”? Sang Mutlak merupakan “Sesuatu” hanya dalam pengertian Tindakan, atau tindakan Eksistensi itu sendiri. Secara ilmiah, kita dapat ungkapkan konsepsi tersebut dengan mengatakan bahwa Sang Mutlak adalah Actus Purus (Tindakan Murni). Ia merupakan Actus Purus dalam pengertian bahwa ia sangat “aktual”, juga dalam pengertian bahwa ia mewujud justru sebagai tindak mewujudkan dan menjadikan “segala sesuatu” maujud. Kata-kata berikut dari Lou-tzu dan Chuang-tzu memperjelas masalah ini
LOU-TZU MENGATAKAN :
Dia ayang melintasi alam, menggenggam Citra Agung, ke mana pun Dia pergi tidak akan menemui kesulitan. Dia akan selalu selamat, tenteram, dan, tenang.
Musik nan merdu dan makanan nan lezat akan membuat para penempuh jalan berhenti. Sebaliknya, Jalan yang terucap dalam kata-kata bersifat hambar dan tanpa rasa.
Orang memandangnya, dan menemukannya tidak layak untuk dilihat.
Orang mendengarnya, dan menemukannya tidak layak untuk didengar.
Namun, bila seseorang menggunakannya, dia akan menemukannya tidak pernah habis.
Bunyi yang paling keras tidak dapat terdengar.
Citra teragung tidak memiliki bentuk.
Jalan bersifat tersembunyi dan tidak bernama. Namun, Jalan sendirilah yang benar-benar paling unggul dalam memberikan bantuan dan menyempurnakan berbagai hal.
SEDANGKAN CHUANG-TZU MENGATAKAN :
Jalan memiliki realitas dan buktinya. Namun, (ini tidak berarti bahwa ia) melakukan sesuatu dengan niatan. Ia juga tidak memiliki bentuk (yang ragawi). Jadi ia dapat dipindahkan (dari hati ke hati “orang-orang yang benar”), tetapi tidak dapat diterima (sebagaimana sesuatu yang memiliki bentuk eksternal). Ia dapat diintuisi, namun tidak dapat dilihat. Ia mampu berdiri sendiri tanpa bantuan. Ia memiliki akar sendiri dalam dirinya.
Ia maujud bahkan sebelum Langit dan Bumi itu mewujud. Ia benar-benar telah maujud dari dahulu kala.
Ia merupakan sesuatu yang menganugerahkan spiritualitas kepada segenap ruh. Dan ia adalah sesuatu yang membuat Penguasa Langit (maksudnya, Tuhan) menjadi tuhan.
Ia yang menciptakan Langit. Ia yang menciptakan Bumi.
Ia mewujud bahkan di atas titik tertinggi langit. Meskipun, ia tidak tinggi.
Ia mewujud bahkan di bawah enam arah. Meskipun, ia tidak “dalam”.
Ia lahir sebelum Langit dan Bumi. Meskipun, ia bukan “leluhur”.
Ia lebih tua dari zaman (kesejarahan) paling kuno. Meskipu, ia tidak “tua”.
Dengan demikian, Lou-tzu dan Chuang-tzu sama-sama sepakat menegaskan bahwa Jalan (tao) adalah actus. Tak diragukan lagi bahwa actus itu maujud. Namun, ia tidak maujud sebagai “substansi”. Ia tidak bisa “dikonkretkan/direifikasi”. Untuk tidak mereifikasinya, kita harus merasakannya. Karena, kita mustahil dapat membayangkan, memerikan atau memahami Sang Mutlak tanpa mengubahnya menjadi semacam “substansi”. Intuisi metafisik atau ekstatis boleh jadi merupakan satu-satunya cara untuk kita dapat mendekatinya tanpa menimpakan pencemaran serius terhadap citranya. Tetapi, intuisi jenis ini terbuka hanya bagi orang-orang yang telah mengalami hingga batas sejauh apa yang Chuang-tzu sebut sebagai “duduk dalam perikelupaan”.
Bagaimanapun, penjelasan sebelumnya paling tidak telah memperjelas bahwa Jalan (tao) memiliki dua aspek yang bertentangan, positif dan negatif. Sisi negatif dapat dibanding dengan Kegelapan metafisik dari Ibn ‘Arabi. Dalam pandangan dunia Ibn ‘Arabi pun, Sang Mutlak (haqq) dalam dirinya sendiri, yaitu dalam kemutlakan-Nya, sama sekali tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar dan tidak dapat dijamah sebagai “bentuk” apa pun. Ia merupakan Transenden mutlak, dan karenanya ia adalah “Tiada” dalam pemahaman manusia. Hanya saja, sebagaimana kita ingat, Sang Mutlak dalam intuisi metafisik arif Arab itu “Tiada” bukan karena ia “tiada” dalam pengertian yang benar-benar negatif, melainkan lebih tepatnya karena ia terlalu sepenuhnya maujud – lebih tepatnya, ia adalah Eksistensi itu sendiri. Demikian juga, ia merupakan Kegelapan bukan lantaran ia tidak memiliki cahaya, tetapi lebih tepatnya karena ia terlalu penuh dengan cahaya, sangat bercahaya – lebih tepatnya, ia adalah Cahaya itu sendiri.
Begitulah tepatnya Jalan sebagaimana yang Lou-tzu intuisikan. Jalan tidaklah gelap, namun ia tampak gelap karena ia terlalu bercahaya dan terang. Dia berkata :
Satu “jalan” yang (terlalu) terang tampak gelap.
Jalan itu dalam dirinya sendiri, yakni, dari sudut pandang Jalan itu sendiri, adalah terang. Tetapi, karena ia terlalu mendalam untuk dikenali manusia, dari sudut pandang manusia, ia adalah gelap. Jaln itu “Tiada” dalam pengertian ini.
Bagaimanapun juga, aspek negatif ini tidak menyusutkan kehakikian Sang Mutlak. Jika aspek itu menyusutkan, maka tidak akan ada alam, tidak ada makhluk. Dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, Sang Mutlak melalui Kehendak-Nya sendiri yang tak terukur turun dari tahap Kegelapan luar biasa atau “ketiadaan” menuju tahap manifestasi diri. Kendatipun dalam dirinya adalah misteri yang tidak terkait dengan apa pun selain dirinya, dan adalah Realitas yang sepenuhnya mandiri, Sang Mutlak memiliki aspek positif yang berpaling pada alam. Dan pada aspek positif ini, Sang Mutlak mengandung segala hal dalam bentuk Nama dan Sifat. Dalam cara yang sama, kendati dalam dirinya ia adalah Sesuatu yang “tanpa nama”, Kegelapan yang melampaui segala hl, Jalan Lou-tzu juga “Sesuatu yang bernama” dan merupakan “Ibu dari sepuluh ribu ciptaan”. Jauh dari menjadi Non-Wujud, dalam hal ini ia adalah Wujud dalam pemaknaan paling sempurna.
Tanpa Nama merupakan permulaan Langit dan Bumi. Yang Dinamai merupakan Ibu dari sepuluh ribu hal (ciptaan),
Pasase ini dapat juga diterjemahkan sebagai berikut :
Istilah “Non-Wujud” dapat diterapkan bagi permulaan Langit dan Bumi. Istilah “Wujud” dapat diterapkan bagi Induk dari sepuluh ribu hal.
Terjemahan mana pun yang mungkin ktia pilih, hasilnya menjadi sesuatu yang persis sama. Karena, dalam system metafisika Lou-tzu, sebagaimana telah kita pahami, “Tanpa Nama” itu sama dengan “Non-Wujud”, sedangkan “Yang Dinamai” itu sama dengan Wujud”.
Apa yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa secara metafisik Tanpa Nama atau Non-Wujud melukiskan tahap yang lebih tinggi – atau lebih fundamental – disbanding dengan Yang Dinamai atau Wujud dalam struktur Sang Mutlak itu sendiri. Seperti halnya bagi Ibn ‘Arabi “manifestasi diri” (tajali) tertinggi  sekalipun merupakan tahap lebih rendah disbanding dengan Esensi (dzat) mutlak Sang Mutlak itu sendiri, demikian pula bagi Lou-tzu Wujud menyantirkan tahap metafisik sekunder dalam kemutlakan Sang Mutlak.
Sepuluh ribu ciptaan yang berada di bawah Langit Lahir karena Wujud (yu), sedangkan Wujud lahir karena Non-Wujud (wu).
Jika kita meletakkan dua pasase ini berdampingan satu sama lain, kita memahami bahwa menurut konsepsi Lou-tzu, Sang Mutlak pada tahap puncak metafisiknya adalah Tanpa Nama dan Non-Wujud, sedangkan pada tahap awal kemunculan alam ia menjadi Yang Dinamai dan Wujud Ungkapan. Ungkapan : “Permulaan Langit dan Bumi”, yang Lou-tzu gunakan berkenaan dengan Tanpa Nama, tampak menandakan bahwa di sini ia menganggap Sang Mutlak sekaitan dengan tatanan temporal. Harus kita akui bahwa hanya dari sudut pandang demikian kita dapat secara tepat berbicara tentang “alam ciptaan” (creation) atau “pemunculan” alam. Tetapi, ungkapan temporal tidak terlalu tepat untuk kenyataan masalah ini. Karena, sebagaimana dalam hal tahap-tahap yang berurutan dari manifestasi-diri Tuhan menurut metafisika Ibn ‘Arabi, “permulaan” yang sedang diperbinbcangkan di sini secara tepat bukanlah merupakan sebuah konsep temporal. Ia semata-mata mengacu pada aspek Sang Mutlak saat ia mengandung dalam dirinya “ribuan ciptaan di bawah Langit” dalam keadaan potential. Dengan ungkapan lain, Sang Mutlak sebagai ribuan ciptaan dalam persembunyian metafisiknya adalah Asal-mula. Asal-mula dalam pengertian ini sama dengan Non-Wujud. Kita dapat membuat makna kata “Asal-mula” lebih bisa dipahami jika kita menerjemahkannya sebagai “prinsip pertama” atau Urgrund Wujud.
Konsep tentang “pemunculan” atau “perwujudan” segala yang maujud, juga bersifat nontemporal. Dalam santiran temporal kita, “perwujudan” adalah sebuah proses, tahap awalnya adalah Nom-Wujud dan tahap akhirnya adalah Wujud. Namun, secara metafisik, mustahil terjadi penahapan temporal pada Sang Mutlak. Menurut Lou-tzu, Sang Mutlak adalah Non-Wujud sekaligus Wujud, Tanpa Nama sekaligus Yang Dinamai pada waktu yang sama.
Lou-tzu menjabarkan hubungan antara Non-Wujud dan Wujud dengan cara berikut ini.
Dalam keadaan No-Wujudnya yang abadi (atau mutlak) seseorang akan melihat realitas yang misterius dari Jalan. Dalam keadaan Wujudnya yang abadi seseorang dapat melihat determinasi-determinasi Jalan.
Keduanya ini akhirnya menjadi satu dan sama. Namun, begitu tereksternalisasikan (externalized), keduanya menyandang nama yang berbeda (yaitu, “Non-Wujud” dan “Wujud”). Dalam (keadaan asli) “kesamaan”, (Jalan itu) disebut dengan misteri. Benar-benar misteri dari segala Misteri. Dan ia merupakan Gerbang dari ribuan Keajaiban.
Non-Wujud (atau Tanpa Nama) dimana Realitas misterius (miao) yang teramati bisa sesuai dengan keadaan Sang Mutlak (haqq), dalam konsepsi Ibn ‘Arabi, sebelum Ia secara actual mulai bekerja secara kreatif. Sedangkan Wujud (atau Yang Dinamai) dimana Jalan (tao) memanifestasikan dirinya dalam “determinasi-determinasi” (chiao) tak berhingga dapat menemukan santirannya dalam pemikiran Ibn ‘Arabi denga keadaan Sang Mutlak ketika aktivitas kreatifnya menyebar, sebagai Nafas Sang Maha Pengasih, “diterminasikan” dalam hal-hal (ciptaan) yang tak berhingga.
Sungguh mengagumkan bahwa dalam pasase ini Lou-tzu bahkan melampaui perbedaan antara Wujud dan Non-Wujud. Non-Wujud tentu saja merupakan prinsip puncak metafisik, sumber paling fundamental dari Wujud. Ia adalah Jalan, sebagaimana Wujud juga adalah Jalan. Tetapi, karena Non-Wujud di sini secara konseptual bertentangan dengan “Wujud”, makai a tidak mungkin menjadi Wujud. Pertentangan mendasar itu sendiri harus dilampaui/ditransendensikan. Lou-tzu melihat di balik pertengan Wujud dan Non-Wujud terdapat Sesuatu yang mutlak tidak terkatakan yang secara simbolik dia namakan denga hsuan. Kata itu pada mulanya bermakna “hitam” dengan campuran kemerahan, sebuah istilah yang sangat cocok untuk sesuatu yang sepenuhnya “tidak dapat dilihat”, Misteri yang tidak terukur (‘hitam”), tetapi pada tahap tertentu menampakkan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang mengandung sepuluh ribu hal (“merah”) dalam keadaan potensialitas mereka. Pada Misteri segala Misteri ini Lou-tzu melihat Sang Mutlak dalam keadaan bahkan ketika Wujud dan Non-Wujud belum dapat dibedakan antara satu sama lain, suatu keadaan puncak metafisik “keduanya adalah satu dan merupakan sesuatu yang sama”.
Sang Mutlak atau Jalan, sejauh sebagai Misteri dari segala Mistewri, akan tampak tidak berkaitan dengan alam fenomenal. Namun, sebagaimana kita telah lihat, dalam kegelapan mutlak Misteri besar ini (“hitam”), telah tampak sayup-sayup suram (“merah”) kemunculan hal-hal yang bersifat fenomenal. Dan Misteri segala Misteri pada waktu yang sama dikatakan merupakan “Gerbang Ribuan Keajaiban”. Pada bab berikut ini kita akan membahas proses sepuluh ribu  hal (ciptaan) mengalir deras keluar dari Gerbang ini. [][][][][][][]
LANJUT KE JILID II


Tidak ada komentar:

Posting Komentar