SEJAK TAHUN 1046 MASEHI - RUJUKAN TASAWUF SAMPAI SEKARANG
IMAM AL-QUSYAIRY
AN-NAISABURY
“RISALATUL
QUSYAIRIYAH”
(INDUK ILMU TASAWUF BAB : I)
Penerbit : RISALAH
GUSTI - SURABAYA
Tahun : April 1997
Alih Bahasa : Mohammad Luqman Hakiem
Penyadur : Pujo Prayitno
MUKADIMAH
1.
GOLONGAN SUFI
2.
PROBLEMATIKA KITA
3.
MOTIVASI
PENULIS RISALAH INI
BAB I.
PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
1.
MA’RIFATULLAH
2.
SIFAT-SIFAT
3.
I M A N
4.
R E Z E K I
5.
ARASY
6.
Allah Swt. YANG
HAQ
MUKADIMAH
BismiLLahir RahmaanirRahiim.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dengan Keagungan
Diraja-Nya, dan Maha Esa dengan Keindahan Kekuasaan-Nya, Perkasa dengan
Keluhuran Ahadiyah-Nya, Maha Suci dengan Ketinggian Shamadiyah-Nya. Maha Besar
dalam Dzat-Nya dari segala cakrawala setiap yang memandang-Nya, dan bersih
dalam Sifat-sifat-Nya dari segala bentuk dan proyeksi.
Bagi-Nya, Segala Sifat-sifat yang khusus bagi Diri-Nya,
dan ayat ayat yang terucap, bahwasanya sifat dan ucapan itu tidak sama dengan
makhluk-Nya.
Maha Suci Allah Yang Perkasa. Tak ada batas untuk
meraih-Nya, dan ayat-ayat yang terucap, bahwa sanya sifat dan ucapan itu tidak
sama dengan makhluk-Nya.
Maha Suci Allah Yang Perkasa. Tak ada batas untuk
meraih-Nya, tak ada bilangan untuk mengukur-Nya, tak ada jarak untuk
membatasi-Nya, dan tak seorang pun memberi pertolongan pada-Nya, tak ada
seorang anak yang memberi syafaat pada-Nya, tak ada bilangan untuk
mengumpulkan-Nya, tak ada tempat untuk tinggal-Nya, tak ada waktu yang
menemukan-Nya, tak ada kepahaman untuk mengukur-Nya dan tak ada khayalan untuk
memproyeksikan-Nya.
Maha Luhur Allah untuk ditanyakan : Bagaimana Dia? Atau,
di mana Dia? Atau ciptaan-Nya diupayakan oleh periasan, atau kreasi-Nya
dipertaruhkan dari kekurangan dan keburukan. Sebab bagi-Nya, tak satu pun yang
menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Mahamengetahui. Dia tidak dikalahkan
oelh kehidupan, dan Dia Maha Waspada lagi Maha Kuasa.
Saya memuji-Nya atas segala yang didelegasikan dan
diciptakan. Dan saya bersyukur atas apa yang terangkum dalam genggaman dan
tertolak, saya bertawakal kepada-Nya dan saya menerima, saya ridha terhadap apa
yang telah diberikan dan apa yang tidak diberikan.
Saya berssaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dengan
Keesaan-Nya. Tak ada sekutu bagi-Nya. Suatu kesaksian yang diyakini lewat
tauhid kepada-Nya, dan berjalan melalui kebajikan Abadi-Nya.
Dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah hamba-Nya
yang terpilih dan menjadi kepercayaan-Nya yang terpilih, menjadi Rasul-Nya yang
diutus untuk seluruh ummmat manusia. Semoga, senantiasa Allah mencurahkan
rakhmat-Nya kepadanya, dan kepada seluruh keluarganya yang menjadi lampu
penerang tak kunjung padam. Begitu juga kepada para sahabatnya yang menjadi
pintu-pintu pembuka hidayat. Semoga salam-Nya senantiasa tercurah, dalam yang
berlipat ganda banyaknya.
Kitab ini ditulis oleh al-Faqih
ila-Llah, Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi untuk para jamaah Sufi di
negeri-negeri Islam, pada tahun 437 H. Yang bertepatan Tahun 1045 M.
1.
GOLONGAN SUFI
Edit : Pujo Prayitno
Allah telh menjadikan golongan ini sebagai barisan
kekasih-kekasih-Nya. Dan Dia telah mengutamakan mereka di atas seluruh
hamba-hamba-Nya, setelah pra Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepada mereka. Allah menjadikan hati mereka sebagai sumber
rahasia-Nya, dan memberikan keistimewaan di antara para ummat melalui kecemerlangan
cahaya-Nya.
Mereka adalah para penolong bagi makhluk. Mereka
memerankan tingkah lakunya bersama dan dengan Al-Haq. Allah menjaga mereka di
tempat-tempat musyahadah, ketika ditempatkan
hakikat-hakikat Ahadiyah-Nya pada mereka. Allah menolong mereka dalam
menegakkan adab ubudiyah, dan Allah
menempatkan secara nyata kepada mereka jalan-jalan hukum rububiyah.
Lalu mereka menegakkan sesuai dengan kewajiban dan tugas, dan mereka
mewujudkan apa yang telah dianugerahkan Allah swt. melalui kreasi dengan segala
kejujuran fakir dan sifat leburnya jiwa. Mereka sama sekali tidak mengandalkan
apa yang telah dihasilkan itu, sebagai buah amalnya. Atau kejernihan ilmu yang
lahir dari tingkah laku, sebagai ilmu mereka. Segalanya dari Keagungan dan Keluhuran
Allah swt. Yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, memilih siapa yang diinginkan-Nya,
di antara para hamba. Dia tidak dihukumi oleh makhluk. Pahal-Nya merupakan awal
dari fadhal, dan siksa-Nya merupakan hukum
keadilan, sedangkan amar-Nya meruppakan qadha’.
2.
PROBLEMATIKA KITA
Edit : Pujo Prayitno
Kemudian, ketahuilah, semua, bahwa ahli-ahli hakikat dari
golongan Sufi ini, mayoritas telah tiada, yang tersisa hanya bekasnya, saja.
Seperti dikatakan penyair :
Sedangkan kemah-kemah
Sungguh seperti kemah mereka
Aku melihat wanita-wanita yang hidup
Bukanlah wanita kemah itu
Yang terjadi adalah melemahnya tharikat tersebut, bahkan
tergusur. Sementara para Syeikh yang membimbing mereka telah berlalu. Generasi
muda sangat sedikit yang mengikuti petunjuk dan tradisi mereka. Sehingga
hilanglah wara’i, cakrawalanya menjadi
sempit, justru sikap tamak dan ikatannya yang menguat. Hati mereka semakin jauh
dari citra syariat. Bahkan mereka menganggap remeh dan acuh tak acuh terhadap
persoalan agama, sehingga mereka terhempas pada pandangan yang tidak memisahkan
halal dan haram.
Selain menganggap enteng dalam melaksanakan ibadat,
mereka juga meremehkan puasa dan shalat. Mereka terjerumus dalam medan
kealpaan, menacapkan tonggak-tonggak syahwat, tanpa peduli menerjang
larangan-larangan. Mereka bangga atas apa yang mereka peroleh dari rakyat,
wanita-wanita dan orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Kemudian mereka membiarkan apa yang telah mereka langgar
itu. Sehingga mereka mengisyaratkan pada hakiat-hakikat tertinggi dengan
ihwalnya, lalu mengaku bahwa mereka telah bebas dan merdeka dari belenggu,
mereka telah mewujudkan hakikat bertemu dengan Allah swt. (wasilah). Dan mereka merasa bahwa dirinya telah
berdiri di atas kebenaran, dengan aturan-aturan hukum sendiri. Allah swt. tidak
lagi memberi beban pada diri mereka. Hal-hal yang diutamakan atau dilarang-Nya,
begitupun Allah tidak mencaci dan mengecam mereka. Mereka menyangka ketika
dibukakan rahasia-rahasia Ahadiyah dan bertransenden
kepada universalitas, maka segala aturan manusia bisa tidak berlaku. Mereke
menganggap telah abadi setelah melampaui fana’nya
melalui cahaya-cahaya Shamadiyah. Orang yang
mempunyai pendapat berbeda dengan mereka, dianggap bukan sebanding atau setahap
dengan mereka. Orang yang ingin mengganti pandangan merreka malah dianggap
sebagai golongan yang harus disingkirkan di mata mereka.
3..
MOTIVASI
PENULIS RISALAH INI
Edit : Pujo Prayitno
Di saat cobaan panjang melanda kita dewasa ini – secara
sepintas kita melihat kisah tersebut – saya sangat terdorong untuk membeberkan
kemungkaran mereka dengan tharikat seperti itu, bahwa para pengikutnya telah
berbuat keburukan, atau orang yang berbeda dengan mereka selalu di caci, bahkan
suatu bencana di negeri ini menimpa orang-orang yang kontra dengan tharikat
mereka, disamping mendapatkan ancaman dan siksaan.
Ketika saya renungkan secara mendalam atas bencana
kelemahan ini, ingin rasanya membongkar dan mengikis habis pandangan mereka
itu. Semoga Allah memberikan kedemaan melalui Maha
Lembut-Nya dalam menggugah orang yang mengingkari sunnah yang luhur, yang telah
menelantarkan etika tharikat yang hakiki.
Ketika waktu yang tersisa hanya dipenuhi dengan
kesulitan, sementara generasi zaman di negeri ini telah terseret pada
kebiasaannya, terbujuk oleh kemurtadannya, tiba-tiba hasrat saya menghentak
dalam kalbu untuk meluruskan secara total dengan dasar-dasar yang perlu di
bangun, dan kembali pada generasi Salafnya. Kemudian saya tuangkan Risalah ini
pada Anda sekalian (Semoga Allah memberikan kemuliaan kepada Anda). Saya juga
menguraikan sebagian perjalanan para syeikh tharikat ini, adab dan akhlak
mereka, pekerjaan dan akidah dalam kalbunya. Serta isyarat-isyarat kerinduan
mereka, metode dalam menapaki tahap-tahap dari awal hingga puncaknya, agar
orang yang hendak menempuh (al-murid)
tharikat ini memiliki kekuatan hati. Dan untuk saya, dari anda sekalian
mengaharpkan adanya suatu koreksi, sebagai kesaksian. Tentu saja, keluhan ini
merupakan hiburan bagi saya. Dan dari Allah Yang Maha Mulia kita mendapatkan
fadhal dan pahala. Saya memohon pertolongan kepada Allah swt. terhadap apa yang
saya tuturkan, dan saya senantiasa menyerahkan semuanya kepada-Nya. Saya
memohon agar dijaga dari kekeliruan dalam Risalah ini, serta memohon ampunan
dan pertolongan-Nya. Dia-lah Yang memberi fadhal secara layak, dan Kuasa
terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya.
438 H. / 1046 M.
Abul Qasim Abdul
Karim bin Hawazin al- Qusyairy
BAB I.
PRINSIP-PRINSIP
TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
Edit : Pujo Prayitno
Ketahuilah, para syeikh golongan Sufi telah membangun
kaidah-kaidah mereka di atas prinsip tauhid yang shalih. Mereka telah membuat
kaidah ini jauh dari bid’ah, relevan dengan ajaran tauhid yang telah diwariskan
oleh generasi Salaf dan Ahi Sunnah. Tak ada rekayasa atau penyimpangan di
dalamnya. Mereka mengetahui yang menjadi Hak Allah, dan mereka telah
membuktikan hal-hal yang menjadi predikat Wujud, dari segala yang tiada. Karena
itu al-Junayd r.a. pemuka tharikat ini berkata : “Tauhid
adalah menunggalkan Yang Maha Dahulu (qadim) dari yang datang kemudian (huduts).
Para Syeikh itu membangun aturan dasar tauhid dengan
argumentasi yang jelas dan bukti yang layak. Sebagaimana dikatakan Ahmad bin
Muhammad al-Jurairy r.a. “Siapa yang berpijak pada
ilmu tauhid yang tidak didasari oleh pembuktian dari bukti argumentasinya, akan
disirnakan oleh bujuk yang mendahului dalam hasrat kebinasaan.” Makasud
Syeikh ini, barang siapa bertaklid dan tidak merenungkan dalil-dalil/bukti
tauhid, ia gugur dari tradisi yang menyelamatkannya. Ia akan terjerumus dalam
jurang kehancuran. Sementara orang yang mau merenungkan tulisan dan keunggulan
kalimat-kalimat mereka; ia akan menemukan kumpulan ucapan dan rinciannya yang
memberikan kekuatan kontemplatif; bahwa sanya kalangan mana pun tidak bisa
membatasi diri lewat angan –angan dalam
pembuktian, dan tidak memasuki
tahapan pencarian secara menyimpang.
1.
MA’RIFATULLAH
Edit : Pujo Prayitno
Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa,
yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan
bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya.
Ia berkata : “Ma’rifat.” Karena firman Allah
swt. : “Aku tidak menciptakan jin manusia kecuali
untuk menyembah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyaat : 56).
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa
liya’buduun dimaksudkan adalah Illa
liya’rifuuun (kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd
berkata : “Haat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat
makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita bagSang
makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat
kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap
raja, kepada siapa kewajiban-kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal
mempunyai bukti, hikmah mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat.
Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat menyaksikan; bahwa sanya
kejernihan ibadat tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan
Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan
Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada beranak dan tidak diperanakkan.
Dengan kontra terhadap antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya
menyerupakan dan bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada
sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat.
Jawabnya : “Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yang
mencegah dirimu dari penyimpanngan dan penyerupaan.”
2.
SIFAT-SIFAT
Edit : Pujo Prayitno
Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu
bahwa Allah swt. tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada
Sifat-sifat.”
Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam”
hanyalah bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak
bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada
di genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan
yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya. Hal-hal
yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya. Siapa
yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana. Sungguh
Maha Suci Allah swt. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula
dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri
keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada, juga tidak dihilangkan oleh tiada.
Sifat-Nya tidak memliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya tak
terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya
dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia menjelaskan kepada
makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal penjelasan-Nya
melalui kejadian baru (hudus)-Nya.”
Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah
ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya
dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal, selalu berbeda
dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu
bermula? Atau dia kembali pada sesuatu, padahal Dia-lah yang memunculkaNya ?
Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya,
ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak berukuran ketinggain, kedatangan-Nya
tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal dan yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin,
Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tidada sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di
antara dua sisi Dzun Nuun al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar
tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti
Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan,
ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab langsung bagi
segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi
ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya
kecuali Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah
justru berbeda dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan
ikrar Anda behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak
ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya.”
3.
I M A N
Edit : Pujo Prayitno
Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti
penetapan kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal
yang gaib.”
Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua
macam : Karamah da istidraj.
Segala hal yang menerap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang
sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja , “Aku beriman, insya
Allah’!.”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang
yang beriman melihat Allah swt, dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan
kawasan.
Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat
penyaksian al-Haq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yang lebih rindu kepada-Nya,
dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi’raj,
sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt, dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu
seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku.
Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam,
dengan Islam yang baru (sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan
bayangan, yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasan Ilahi.”
Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan
seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak
tidak dengan zatnya. Begitu juga hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak
dengan zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan
cabang bagi jasad dan arwah.
4. R E Z E K I
Edit : Pujo Prayitno
Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah.
Jawabnya : “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari
Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan
dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya,
bersama Allah baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya
soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd : “Tauhid adalah keyakinan.”
“Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah
ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah
swt, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian, Anda
telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan :
“Doakan aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu
gaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian
sesuatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nuun.
Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala
bisikan yang mengisyaraktkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan
unsur keserupaan.” Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid,
menjelaskan : “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu
pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid
melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran,
maka Allah swt pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman
Allah swt. “
“Tidak ada sesuatu pun yang
menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura
: 11).
Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan
keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan mahabbah-Nya
kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi
karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi
karena badi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara
sifat-sifat (fi’l) dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt.
secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka
Anda diintegrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u Anda akan
terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya.
Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a.
mengatakan : “Ketika aku datang dari Baghdad. Aku belajar di masjid
Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan
secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk
berjauhan dengan kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari,
kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya
kau seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,’ katanya sambil menunjuk ke
arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang
telah berkata kepadanya : “Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?” Yahya
menjawab : “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya : “Bagaimana Dia?”
“Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali beretanya : “Di mana
Dia?” “Dia benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.”
Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a.
Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna : ma’al an-biyaa’ (beserta
para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah
swt. :
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku
mendengar dan melihat.” (Qs.Thaaha :46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan
liputan. Allah swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah :
&).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar
layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah swt.”
5. ARASY
Edit : Pujo Prayitno
Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt.
“Tuhan Yang Maha Pemurah,
Yang bersemayan di atas Arasy.” (Qs.Thaha : 5)
Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, san Arasy
itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan)
menjadi semayam (-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya
bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang lebih dekat
kepada-Nya dari sesuatu yang lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan
bahwa Allah swt. ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu
benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas.
Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah
mengandung sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia
mendekat, lalu tambah mendekat lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa :Barangsiapa
mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di
sana. Padahal mendekat yang dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat
kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan
tidak ada jauh.”
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya
sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara
tidak sengaja aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan, sehingga
aku harus mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan
memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena
ia berkata : Al-Qur’an adalah makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata :
“Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia membuat rahasia
bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as. Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia
itu tidak tersebar di kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian hruf-huruf itu
meluncur dari lisan Adam as. Melalui struktur yang berlaku dan struktur bahasa.
Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah
makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan
perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan
perbuatan dalam obyek yang diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen
: “Tawakal adalah perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata : “Siapa
yang mengenal hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan : Mengapa dan
bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yang lebih mulia
dari makhluk Allah ketimbang ruh.”
6. Allah Swt. YANG HAQ
Edit : Pujo Prayitno
Para Syeikh dari tharikat ini mengatakan soal tauhid.
Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha
Kasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Maha Agung, Maha Luhur,Maha Bicara,
Maha Melihat, Maha Besar, Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Abadi dan selagalanya
bergantung kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa
dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat, Maha Mendengar
dengan sifat Sama’, Maha Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara dengan Kalam,
dan Maha Hidup dengan Hayat, serta Maha Abadi dengan Baqa’
Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang
merupkan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha
Suci Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.
Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak
bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat
tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan
Abadi.
Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yang tidak disamai oleh
segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru,
tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan
bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada
penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.
Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh
pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat.
Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk
menolong-Nya.
Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari
hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-Nya tidak tersembunyi
oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana dia
mencipta dan apa yang dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya : Di mana Dia,
dan bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga
muncul kata-kata Kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga
didkatakan : “Melampaui kekinina dan zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan
: “Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu ?” Kenapa, tidak ada sebab langsung
terhadap pekerjaan-Nya.”
Allah juga tidak bisa dipertanyakan : Apakah Dia? Karen
Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat
bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan
dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asmaul Husnah dan Sifat-sifat Luhur. Dia
melakukan sesuai dengan kehendak-Nya,
dan memberi kehinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak
ada yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam
kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului Qadga’. Apa yang diketaui dari
ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai
sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak
terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan
dan keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan
submateri. Allah yang mengutus utusan untuk para ummat bukan sebagai kewajiban
bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan Para Nabi as,
tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi kita
Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang
cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta
mengenalkan mana yang mungkar. Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam
setelah wafat Nabi saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari
kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan
para Auliya-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan “IJMA”.
Dan rekayasa kebatilan sirna melaui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya
dilakukan oleh para pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“Agar Dia memenangkannya di
atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci.” (Qs.
As-Shaff : ().
Sepanjag, Sidoarjo : 30 Nopember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar