RISALATUL QUSYAIRIYAH
BAB II.
BAB II.
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)
Ketahuilah, bahwa setiap golongan dari para ulama
mempunyai terminologi praktis yang selalu menjadi patokan. Mereka, dengan
penggunaan kata-kata tersebut, melakukan internalisasi yang berbeda dengan
lainnya, sebagaimana mereka sepakati untuk tujuan mereka, agar dipahami
kelompok massanya, atau terpaku pada makna-maknanya secara global. Mereka
menggunakan kata-kata yang dimngerti oleh mereka, dengan maksud agar mereka di
dalamnya hanya bagi mereka, membuat tirai bagi orang yang menentang
tharikatnya, agar makna kata-kata mereka menjadi samar bagi orang lain, sebagai
bentuk fanatis terhadap rahasia-rahasia mereka, agar tidak tersebar kepada yang
bukan ahlinya. Sebab hakikat mereka, bukanlah kumpulan dari ragam tugas, atau
tertarik oleh amcam upaya. Namun tasawuf merupakan makna-makna yang telah dititipkan
Allah swt. dalam setiap kalbu kaum Sufi, dan hakikat-hakikatnya tersari dari
rahasia-rahasia kaum Sufi tersebut.
Kami bermaksud menjelaskan kata-kata tersebut agar mudah
dipahami oleh orang yang mau bersikukuh mendalami makna-maknanya dari mereka
yang menempuh jalan tasawuf dan mengikuti tradisi mereka. (Ungkapan dari para Sufi sering kontra terhadap sebab
logika duniawi, ketika mereka menguraikan tentang kondisi ruhani, hasrat dan
bisikan hatinya, serta rasa terdalamnya. Ungkapan itu tidak bisa menggambarkan
kilatan atau rasa yang begitu cepat, dan sulitnya mencari wujud serupa dalam
realita. Catatan kaki)
DAFTAR - ISI
1.
WAKTU
2.
MAQAM
3.
HAAL
4.
QABDH DAN BASTH
5.
HAIBAH DAN UNS
6.
TWAJUD, WUJD DAN WUJUD
7.
JAM’ DAN FARQ
8.
FANA’DAN BAQA’
9.
GHAIBAH DAN HUDHUR
10.
SHAHW DAN SUKR
11.
DZAUQ DAN SYURB
12.
MAHW DAN ITSBAT
13.
SITR DAN TAJALLI
14.
MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH
15.
LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
16.
BUWADAH DAN HUJUM
17.
TALWIN DAN TAMKIN
18.
QURB DAN BU’D
19.
SYARIAT DAN HAKIKAT
20.
NAFAS
21.
AL-KHAWATHIR
22.
ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
23.
WARID
24.
SYAAHID
25.
NAFSU
26.
RUH
27.
SIRR
1.
W A K T U
Edit : Pujo Prayitno
Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat,
adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pda peristiwa
yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang
dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka,
“kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu
yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata :
“Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka
waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat.
Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu
Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang
mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan
datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak
sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan
priorotas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan
seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang
telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang
ada pada saat itu.” Dikatakan : “Menyibukkan
terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai
sesuatu yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi
mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan
menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri.
Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan
menurut hukun syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang
diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan
kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti
keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana
fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran
yang berlalu, yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam
sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa
bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan
pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan
jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya
baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu
adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika
melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi
waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum
waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak
mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang
kompeten adalah hukum-hukum hakikat.
2.
M A Q A M
Edit : Pujo Prayitno
Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam
wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri
ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki
dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut.
Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal.
Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak
bertobat, tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah
untuk ber zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-wadkhal
berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah
menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt.
terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya strutur bangunan
ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika
al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa
yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami
diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di
dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata,
“Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak
memerintah diri kalian dengan hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang
Memunculkan dan Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu,
agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah
penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian bisa merusakkan
adanya cacat dalam adab.
3.
H A A L
Edit : Pujo Prayitno
Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan
arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan
usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau
berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia.
Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri,
sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memilik Maqam,
menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti
kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni
al-Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka
berkata : “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu
hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya.
Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah
benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam
ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya
al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian
dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal
ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas
ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap
secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia anaik ke ihwal
lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
4.
QABDH DAN BASTH
Edit : Pujo Prayitno
Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah
seseorang hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata
seorang arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan
al-Basth, setara kedudukannya dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan
kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut
kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu
yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka
yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu
seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di
depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang
mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats
menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi
keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan ddari
segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai pendatang di
dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada
basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap
segala hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke
ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian
orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang
bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak
hatinya). Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia
tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada
al-Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak
jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan
tak ada berita sedikit pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran.
Mereka berkata. ‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak
bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu
segala hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan
ubudiyah kepada Allah swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah
swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam
hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus
yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam
kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat
untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman,
sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, wabdh masing-masing pelaku
tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi
pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan
dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini alah taslim, sehingga
waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau
ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap
wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan
diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh.
Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah
menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,”
(Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu
sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia
harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang
besar. Karena itu, si pelaku harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth,
kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.”
Karenanya berkatalah mereka, “Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan
hati-hatilah, berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh
dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya
disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya
hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku
tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah
mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam
adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Raja’
melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat,
maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh
selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua hal itu adalah
penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku
dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku,
membuatku nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.
5.
HAIBAH DAN UNS
Edit : Pujo Prayitno
Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan
sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan
al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkatan khauf, dan basth di atas
tingkatan raja’, maka haibah lebih tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih
sempurna daripada basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah
muncul dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’.
Karena orang yang takut kepada Allah swt, melihat kekurangan dirinya di hadapan
Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan
Allah, sehingga muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus, hatinya
akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah
senantiasa lebur dalam kegaiban. Orang-orang yang berada dalam gaib
frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran.
Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda
menurut penjelasannya dalam bagian “minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang
dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata :
“Seorang hamba bisa ssampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas
pedang, sama sekali tidak merasakannya.” Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu,
hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata :
“Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu
alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda
berbuat demikian apda diri sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada
hatiku.’ Ia menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak
kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu
aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan
tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak
jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung
perubahan pada diri hamba. Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam wujud nyata.
Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu
saat di kampung, aku berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang
hina
Dan dengan manusia
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan
Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama
Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia.
6.
TAWAJUD, WUJD DAN
WUJUD
Edit : Pujo Prayitno
Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd),
melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat
dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat.
Padahal bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak
terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada
para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna
tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad
al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da
Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara al-Junayd
tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman
dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu
lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan
seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya.
“Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’
Aku katakan : “Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di dalamnya
sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang
bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika
aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,
sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata :
“Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga
diri dan waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan
sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan
ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah
persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari
wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah
kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang
tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap
ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan
sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan
menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan
manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum
batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan
mawajid merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki
tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur
manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan
Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada
antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan
ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd,
“Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan
wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan
akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud
mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman
hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas
tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai
dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu
Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat
dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan
ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang
kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan
selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai
*wushul). Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam
halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan
wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya
yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai
lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul
Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang
beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur
yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek
moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm
ad-Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam gairahnya,
kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara
bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu Jahm
berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata :
“Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah
manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini
ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak
lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu
Bakr ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar.
Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya,
seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar.
Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia
tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika
bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut karena
paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat
ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan,
sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan
akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu
shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu
seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu
menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat.
Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada
dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum
Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
7.
JAM’ DAN FARQ
Edit : Pujo Prayitno
Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan
kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri
sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal
yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika
datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan
datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam
konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian
segala bentuk perbuatan. Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq
dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka
hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang
menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari
Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk
merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab
siapa yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah
ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah),
merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu
kami memohon pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa
munajat, apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun
meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia
telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada
Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat
munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun
yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam
hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a.
(Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an-
Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’
dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti mengabarkan sikap perilakunya
sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!.
Jika ia berkata (“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban.
Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah
yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a,
dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan
sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui jerih payahku,
aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku
menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki
frekuensi masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat
mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan,
namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan
inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan,
lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul
jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk
Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. dan
jam’ul jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada
selain Allah swt. ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi
mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu
dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu
fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya,
sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba
bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam
perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya bersama
Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah
lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq
kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan
dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa
sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah
yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan dalam ragam
: Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt.
menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik
hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada
yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah
meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan
yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam
Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat
diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd,
mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.
8.
FANA’ DAN BAQA’
Edit : Pujo Prayitno
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya
sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat
terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut
, maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai
dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’
dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji.
Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka
sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba
mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan
pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan
tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi
permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal.
Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus
membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah
swt. memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan
melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan
dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’
dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam
ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia
dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’
kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya.
Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki,
angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian,
yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan
pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan
berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia
telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari
pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan
siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang
disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah
fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala
perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan
perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk
lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau
telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an
dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya
dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak
tahu dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka
dirinya ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya
maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk
lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu
yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa
atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada
majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin
untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita
itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari
tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan
rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka
adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha
Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah
malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika
bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka
untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan
orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang
melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah
ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa
yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga
seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa
diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat
ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana
digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari
kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari
sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari
sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian
fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud
Al-Haq.
9.
GHAIBAH DAN HIDHUR
Edit : Pujo Prayitno
Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui,
berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya
faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang
tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib,
karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu
Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara
yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan
akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat
bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang
sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya,
dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang
keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari
kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang
dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah
laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs
an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul
seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena
adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada
bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang
menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu
pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa
yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu
dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal
sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di
majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang
membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula
aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu
Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur
aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di
desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun
membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata,
“Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia
menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia
berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku
adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu
sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh
kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu
denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa
berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia
ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir,
kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir
dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk,
maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara
universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si
Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa
dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya
menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan,
karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama
makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya
beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang
muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid
mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia
menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa
maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu
Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera
pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali
pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun
menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama
mereka yang pergi kepada Allah swt.”
10.
SHAHW DAN SUKR
Edit : Pujo Prayitno
Shahw adalah
kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan Sukr
adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati
tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang
terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang
apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku
orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan
yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya bertambah
atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang
sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri
mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih
sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak
mencapai apa yang diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba
karena adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta
sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada
orang yang memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka
hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang
(sukr), dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr
yang muncul akibat mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya
Ada dua kemabukan bagiku
Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw)
tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama
Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi
oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati
kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan Shahw
mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan
hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka
bersyair :
Pabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannay menampak
pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi
gunung dan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.
Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi
ruhani itu sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja
dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan
dalam Shahw-nya terjaga melalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq
dan Syurb.
11.
DZAUQ DAN SYURB
Edit : Pujo Prayitno
Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah
Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang
mereka temukan dari buah tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang
muncul. Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq)
makanwi, dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb).
Sementara keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran
(irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang
yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit.
Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat
seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu
menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk,
sama sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa
yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan
pernah keruh. Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia
tidak akan pernah sabar dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka
bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid
al-Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga
usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali. “Aku heran atas kelemahan
dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang
keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban.
Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan
dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu.
12.
MAHW DAN ITSBAT
Edit : Pujo Prayitno
Mahw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat.
Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku
mulia, maka dialah yang memiliki mahw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Sebagian para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw
dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian berkata : “Adapun yang kuketahui,
waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat,
berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang
lahiriah dan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari
bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw
ghaflat muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat
dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh
dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari
Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan
Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan
itsbat dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt. berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari
hati orang-orang ‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan
orang-orang yang menuju kepada Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada
setiap orang, dan peng-itsbat-an Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah
lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian,
Allah swt. memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw
oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan pada penyaksian jagad dunia,
dan ditetapkan dalam wahana perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang
membuat diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau
bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya, tentu,
aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang
dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas.
Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara
cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala
penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian
mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada mereka seperti semula
setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.
13.
SITR DAN TAJALLI
Edit : Pujo Prayitno
Orang awam berada dalam tutup (sitr).
Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi (tajalli).
Dalam suatu hadis, Allah swt. apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu, maka
sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat
penyaksiannya. Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai
sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash
(kalangan khusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa
yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha
Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap
pun tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang
fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda
itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya
tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki
kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di
kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain
pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil
berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan
cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka
sebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya
kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati
sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat
meneemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan
(tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi
orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan
kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka
acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga
mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada
Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar
Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat
mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya
pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia
mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika didatangi keperkasaan
hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu
Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka
Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat
oleh pandangannya.” (Hr. Muslim).
14.
MUHADHARAH,
MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH
Edit : Pujo Prayitno
Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah
itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu
dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah,
yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila
langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian
tepancar dari bintang kemuliaan.
Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh al-Junayd
r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya.
Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang
yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya.
Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan
ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.”
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih
dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang
diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan
faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang
bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak
terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli
tampak terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah
ber-musyahadah, sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu
lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan
dan menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak
satu pun gelas piala yang mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang
menghapus mereka secara menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari
pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan : Mereka
berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada pengaruh.
15.
LAWAIH, LAWAMI’
DAN THAWALI’
Edit : Pujo Prayitno
Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris
tidak ada perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang
sedang dalam tahap permulaan (bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam
kalbu. Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka.
Namun Allah swt. mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di
dalam surga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62).
Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah
kilatan kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman
yang menutup mereka, sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka
seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
Dari sayap-sayap
lagnit yang benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian
Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya
tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih
jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari
cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan
mata menangis, tak puas-puasnya memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Tak sampai air wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan
mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai
pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh.
Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya
dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan
menyirnakan keraguan. Tetapi tetap berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak
terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan
perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut
berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak
sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam
panjang nan abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang
angkanya, yang ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap
beks-bekasnya. Orang akan berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya,
hidup dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia
berharap dengan waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup
dengan sesuatu yang ditemui, pada saat adanya itu.
16.
BUWADAH DAN HUJUM
Edit : Pujo Prayitno
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu
Anda dari dimensi ghaib, terkadang gkarena adanya faktor kesukacitaan atau
kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang
adatang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan
dan kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh
Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan oleh Hujum. Dan
diantaranya ada yang berada di atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara
potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan
kemuliaan. Sebagaimana dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung
17.
TALWIN DAN TAMKIN
Edit : Pujo Prayitno
Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku
tahapan. Tamkin adalah sifat ahli hakikat.
Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah
pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap,
berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan
(tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu
tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat menetap
Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat
tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian
sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan
para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan
dalam jiwanya, berarti mereka telah samapi.”
Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum
kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap
abadi dalam kondisi itu, dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah
pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap
untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi
kita Muhammad saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia
pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah
demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as.
Ketika mereka secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat raut
muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara
isteri Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi
tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki
ketenangan (tamkin) dalam peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena
satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau
justru karena kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba
juga karena dua hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba
itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata :
“Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua
hal. Pertama, tidak ada jalan lain
kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi
sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat
akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus)
yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r. Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli
hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan.
Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan
menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari
Malaikat tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari
ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r. Tirmidzi,
an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).”
Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi
saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba,
sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah
saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apabila telah sampai pada Yang
Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan
cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut
Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya.
Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi
kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia
selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati
tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena
tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang
merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka
tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan
rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini
abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin
maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat
tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali
jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam
situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka itu
bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke
kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
18.
QURB DAN BU’D
Edit : Pujo Prayitno
Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah
kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya.
Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan
menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh
dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq
adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan
dari Allah swt.
“Para hamba senantiasa
bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan
seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah,
sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah
mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka
dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan
Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan
pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang
kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di
akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara
masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud
kecuali kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan
hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu
dan Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan
Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian
dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para
Wali-Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih
dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya
pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding
diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.”
(Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah
: 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus
muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas
iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan,
disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang
cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku
selain Diri-Mu
Melainkan Engkau
katakan, benar, engkau mendengar
Dengan
pendengaran-Ku
Tiada getar hati
dalam rahasia
Getran selain
Diri-Mu
Melainkan engkau
telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
Salah seorang syeikh menguji para ssantrinya.
Masing-masing santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah
burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke
suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu
di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada
syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu
menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung
tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung
itu, dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat,
kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan
kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya
bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang
kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau
bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga
Allah swt. menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah
Anda karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena
dekat-Nya, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan
spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena
Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan
wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan
ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan
bait-bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah
Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau
Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam,
dan mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah
jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha
Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari
segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan
makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat
keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan
materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya
yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam
Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat
dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.
19.
SYARIAT DAN
HAKIKAT
Edit : Pujo Prayitno
Syariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah
Ketuhanan (rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa
syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan
Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah menempuh jalan
syariat tersebut, yakni mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki).
Setiat syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat,
tidak bisa diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan syariat, tidak
akan suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang
Khalik, sementara hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat
berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya.
Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang diperintahkan, sementara Hakikat
adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi
dan apa yang tampak.
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu
kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar dengan hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila
dilihat bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat
adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya.
20.
N A F A S
Edit : Pujo Prayitno
Nafas adalah hembusan kalbu melalui
kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih
lembut dan lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu
adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian
(ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang berada pada ttahap awal adalah
pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia
Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung
nafas (hati) bersama Allah swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan
dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta rahasia di
balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak
muncul dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan
kerumitan, adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif”
nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada toleransi yang mengalir
menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak
ada nafas, pastilah ia akan musnah.”
21.
AL-KHAWATHIR
Edit : Pujo Prayitno
Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah
bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang
dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari
Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat,
disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang
dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swr.
Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq).
Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari
para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu
pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak
bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila
bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun
yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat,
atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu
banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang
bersifat ilham dan mana yang waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa
yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan
antara ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya,
dengan cara mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui
perlawanan terhadap nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa
dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah
semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan
membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan
setan : bahwa naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan
menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai
bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali
bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali.
Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan
Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali
mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap
kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang
menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para
malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga
tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba
tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila
bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan
pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila
bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya,
dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan
pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”
22.
ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
Edit : Pujo Prayitno
Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang
menyebabkan keraguan sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah
swt. karena memang tidak relevan. Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu
sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah
sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu
yang ada dengan disertai kejelasan. Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada
dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang
cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin, diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan
Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang ma’rifat.
23.
W A R I D
Edit : Pujo Prayitno
Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan
dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa diduga oleh seorang hamba. Tergolong
kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi dari bisikan (khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang
juga dari intuisi pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih
umum dibnding al-khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi macam
perintah, atau yang se-arti dengannya. Sementara warid, lebih sebagai bisikan
kegembiraan, atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya.
24.
SYAAHID
Edit : Pujo Prayitno
Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si
Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase
(yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid
al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir
dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat
dan memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan
dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka
ia menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia
menyaksikan al-wujd.
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi
setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari
mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq
menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang
menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan
pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati
senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari
sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya,
hatinya hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk
selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata
asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid.
Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat
manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada
keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam
satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an
dirinya. Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut
sebagai saksi “atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih
menegakkan hukum naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas
sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang
paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama sekali tidak
menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan
Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au
Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail
dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadis tersebut adalah penglihatan ilmu,
bukan penglihatan mata.
25.
NAFSU
Edit : Pujo Prayitno
Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati
diri). Sedangkan menurut kauf Sufi, “Ucapan kata nafs
bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan masalah.” Yang mereka maksudkan dangan
nafs adalah sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan
perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi
dua : Pertama, bersifat upaya dari hamba,
seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua, budi pekertinya yang buruk dalam dirinya
yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri hamba adalah berjuang
melawan kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu
adalah hal-hal yang dilarang setara dengan keharaman atau larangan yang besifat
dibenci. Sedangkan pada sifat kedua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak.
Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam,
dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong
akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan
bahwa sesuatu perbuatan yang muncul dari nafsu dianggap baik. Atau perbuatan
nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena itulah perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi akhlak
dalam menyingkirkan nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar, haus atau
berjaga (tanpa tidur) dan sebagainya yang mengandung unsur penyusutan kekuatan
fisik. Walaupun cara seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam
hati, sebagai tempat akhlak yang tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa
lembut dalam hati, namun sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang
umum, masing-masing saling meundukkan. Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan
manusia. Eksistensi ruh dan nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa,
sebagaimana eksistensi malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga
sebagai tempat mendengar, hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat
rasa, maka, begitu pun orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan
yang merasakan, semuanya termasuk dalam bagan manusia. Demikian pula, tempat
sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat
tercela tempatnya adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan
tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan
sosok manusia.
26.
R U H
Edit : Pujo Prayitno
Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan
soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yaing lain berpandangan,
ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt.
menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang
arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu
tercetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan,
kemudain kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt.
menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala
maupun disiksa. Ruh adalah makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim,
merupakan kekeliruan besar. Beberpa hadis mengindikasikan bahwa ruh adalah
materi yang lembut.
27.
S I I R
Edit : Pujo Prayitno
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia,
sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah,
sebagaimana arwah temWApat mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata L “Sirr adalah sessuatu yang membuat
Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap
selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr
lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu
tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan
termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini,
ucapan seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan
yang masih suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu
menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar).
Sepnjang, Sidoarjo, 03 Desember 2013
Assalamu'alaikum.wr.wb
BalasHapusSalam silaturahmi saya sampaikan Bapak Ustadz dlm kedaaan sehat walafiat.
Terimakasih atas ilmu nya.
Jazakalloh Ahsanal Jaza
Mohon izin untuk di save
Alhamdulillah... Salam silaturrahim, mhn.izin mengambil manfaat
BalasHapusAlhamdulillah saya sdh baca.. Smg. Allah memberikan kefahaman yang sempurna dan memberikan manfaat fi dunya wal ahiroh, aamiin. Syukron
BalasHapus