SEJAK TAHUN 1046 MASEHI - RUJUKAN TASAWUF SAMPAI SEKARANG
“RISALATUL
QUSYAIRIYAH”
(INDUK ILMU TASAWUF)
Penerbit : RISALAH
GUSTI - Surabaya
Tahun : April 1997
Alih Bahasa : Mohammad Luqman Hakiem
Penyadur : Pujo Prayitno
BAB III.
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN
(MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
DATAR ISI
29.
KEBEBASAN
30.
DZIKIR
31.
FUTUWWAH
32.
FIRASAT
33.
AKHLAK
34.
KEDERMAWAN HATI
35.
GHIRAH
36.
KEWALIAN
37.
DOA
38.
KEFAKIRAN
39.
TASAWUF
40.
ADAB
41.
TATA ATURAN BEPERGIAN
42.
PERSAHABATAN
43.
TAUHID
44.
KELUAR DARI DUNIA
45.
MA’RIFAT
46.
CINTA
47.
RINDU
48.
MENJAGA PERASAN HATI SYEIKH
49.
SIMA’
BAB IV.
KONDISI RUHANI DAN KAROMAH
DATAR ISI
1.
KARAMAH PARA WALI
2.
URGENSI WALI DAN KEWALIAN
3.
MIMPI
4.
WASIAT BAGI PARA MURID
29.
KEBEBASAN
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin)
atas diri mreka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu).” Qs. Al-Hasyr :9).
Syeikh berkata : “Mereka (kaum Anshar) memberikan dengan
penuh kemurahan hati kepada kaum Muhajirin, sebab mereka (kaum Anshar) bebas
dari keterikatan pada (harta benda) yang diterima oleh kaum Muhajirin itu, dan
dengan demikian mereka mampu memberi dengan penuh kemurahan hati.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. R.a bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Apa pun yang mencukupi kebutuhan seseorang , adalah apa
yang cukup untuk dirinya. Semua hanya akan berakhir pada empat hasta dan
sejengkal tanah kuburan, dan segala sesuatu akan kembali pada tempat
kembalinya.”
Syeikh berkata : “Kebebasan berarti bahwa si hamba bebas
dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk tidak berlaku atas dirinya.
Tanda absahnya kebebasan adalah, bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala
hal dalam hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di hadapannya.”
Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw. : “Saya
telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak da bedanya bagi
saya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang yang datang
ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan berangkat ke akhirat dalam
keadaan bebas pula.” Dalam sebuah ucapannya pula : “Orang yang hidup di dunia
dalam keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.”
Syeikh berkata : “Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan
diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika ubudiyahnya benar, maka
kebebasannya dari belenggu akan sempurna. Mengenai mereka yang menghayalkan
bahwa ada waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan berpaling dari
hukum yang tersirat dalam perintah dan larangan Allah swt. sementara dirinya
dalam keadaan mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.”
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw. :
“Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu
keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Para ahli tafsir sepakat bahwa “keyakinan” di sini
berarti “saat kematian.”
Manakala para sufi berbicara tentang kebebasan, yang
mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di bawah perbudakan oleh
sesama makhluk ataupun diperbudak oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi
ataupun ukhrowi; ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak sesuatu
pun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi yang bersifat sementara,
pencarian kepuasan bawa nafsu, keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun
ambisi.
Asy-Syibly pernah ditanya : “ tidak tahukan Anda bahwa Allah Maha Penyayang?” Beliau
menjawab : “Tentu. Tapi, karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka
aku tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan maqam kebebasan
sungguhlah mulia.”
Abul Abbas as-Sayyary pernah bika shalat sah selain
membaca Al-Qur’an, tentu sah pula membaca bait syair ini :
Setiap zaman aku menginginkan yang mustahil.
Agar kelopak mataku bisa melihat wajah kebebasan.
Para Syeikh telah berbicara banyak tentang kebebasan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Barangsiapa menghendaki kebebasan,
hendaklah meraih ubudiyah.”
Ketika al-Junayd disodori kasus seseorang yang kekayaan
duniawinya hanya sebesar embun yang menempel di burtir kurma, ia berkata :
“Hamba yang masih terikat kontrak akan tetap menjadi hamba selama ia masih
memiliki satu dirham sekalipun.” Ia juga mengatakan : “Engkau tidak akan dapat
mencapai kebebasan sejati selama masih ada sisa dunia dalam hakikat ubudiyah.”
Bisyr al-Hafi berkta : “Barangsiapa menginginkan rasa
kebebasan dan ringan dalam ubudiyah, maka bersihkanlah batinnya, antara ia dan
Allah swt.”
Al-Husain bin Mnashur berkomentar : “Ketika orang mencapai
maqam ubudiyah, segalanya tampak bebas dari belenggu ubudiyah, Lalu ia
melakukannya tanpa beban, Itulah maqam para Nabi dan kaum shiddiqin. Maksudnya,
ia sendiri dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun tetap
konsisten dengan syariat.”
Manshur al-Faqih membacakan syair berikut :
Tak ada seorangpun manusia atau jin yang bebas
Kebebasan baginya berlalu
Kemanisan hidup adalah kegetiran
Ketahuilah bahwa jenis kebebasan paling besar justru
ketika melayani orang-orang miskin.
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, bahwa Allah telah
mengajarkan kepada Daud as. : “Jika egkau menjumpai seorang manusia yang
mencari-Ku, maka jadilah dirimu sebagai pelayan.”
Nabi saw. bersabda : “Pemimpin
suatu kaum adalah pelayan mereka.” (H.r. Abu Abdurrahman as-Sulami).
Yahya bin Muadz
mengatakan : “Generasi duniawi dilayani budak-budak laki-laki dan
wanita, generasi akhirat dilayani mereka yang merdeka dan saleh.”
Ibrahim bin Adham berkata : “Orang bebas yang mulai telah
keluar dari dunia lebih sbeleum ia dikeluarkan dari dunia (wafat).”
Dikatakannya pula : “Janganlah bersahabt, kecuali dengan
orang mulia yang bebas, ia hanya mendengar namun tidak banyak bicara.”
30.
DZIKIR
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. Al-Ahzab :41).
Diriwayatkan bawah Rasulullah ssaw. Bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalan terbaik dan
paling besih dalam pandangan Allah swt. serta orang yang tertinggi derajatnya
di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi
musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?”
Para sahabat bertanya : “Apakah itu,
(H.r. Baihaqi).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang
mengucapk : “Allah, Allah.” (Hr. Muslim).
Anas ra. Juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda
: “Kiamat tidak akan datang sampai lafazh, Allah, Allah,’ tidak lagi
disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : Dzikir adalah tiang
penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah
landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt.
kecuali dengan terus menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam Dzikir : Dzikir lisan dan dzikir hati. Si
hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir
hati lah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir
dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam
suluknya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Dzikir adalah
tebran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berati
telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti
telah dipecat.
Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syibly
biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di
punggungnya. Setiap kali kelaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya
sendiri dengan cambuk sampai cabuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu
habis sebelum malam tiba. Jika demikian ia akan memukulkan tangan dan kakinya
ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.”
Dikatakan : “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang
dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang
tertuju pada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya,
maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua
yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”
Ketika al-Wasithy ditanya tentag dzikir, menjelaskan : “Dzikir berarti meninggalkan bidang
kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai
kecintaan yang luar biasa.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Seorang yang
benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya.
Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala
sesuatu.”
Abu Utsman ditanya : “Kami melakukan dzikir lisan kepada
Allah saw. tetapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abu Utsman
measihatkan : “Memujilah kepada Allah swt, karena telah menghiasi anggota
badanmu dengan ketaatan.”
Sebuah hadits yang mashur menuturkan, bahwa Rasulullah
saw. mengajarkan :
“Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu
semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada Beliau : “Apakah taman suraga itu, wahai
Rasulullah?” Beliau mennjawab : “Yaitu kumpulan orang-orang yang melkukan
dzikir kepada Allah>” (H.r. Tirmidzi).
Jabir bin Abdullah menceritakan : “Rasulullah saw.
mendatangi kami dan beliau bersabda :
“Wahai umat manusia, merumputlah di taman surga!.” Kami
bertanya : “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab : “Majelis orang melakukan
dzikir.” Beliau bersabda : “Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir.
Siapa pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt. melihat pada
derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah
kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat dimana hamba mendudukan-Nya dalam
dirinya.”
Asy-Syibly berkata : “Bukanlah Allah swt. telah berfirman
: “Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfaat apa, wahai manusia dari
orang yang duduk dalam majelis Allah swt?” Lalu ia bersyair berikut :
Aku mengingta-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat;
Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.
Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta,
Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar
Ketika wujud memperlihatkan Engkau adalah hadirku,
Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,
Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,
Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.
Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak
terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintahkan untuk ber dzikir
kepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan
tetapi, shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal
ibadah termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati bersifat
terus menerus, dalam kondisi apa pun, Allah swt. berfirman :
“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Qs. Ali Imran :191).
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan : “Berdiri berarti
menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari seikap
berpura-pura dalam dzikir.”
Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq : “Manakah yang lebih baik, dzikir atau tafakur?” Bagaimana yang
lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata : “Dalam pandanganku dzikir adalah lebih
baik dari tafakur, sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan
bukannya fikir. Apap pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari
sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq setuju dengan
pendapat yang bagus ini.
Muhammad al-Kattany berkata : “Seandainya bukan
kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena
mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt? Tanpa
membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan syair :
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
Melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap
dzikir!.”
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi
imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.”
(Qs. Al-Baqarah :152).
Sebuha hadis menyebutkan bahwa Jibril as. Mengatakan
kepada Rasulullah saw. bahwasanya Allah swt. telah berfirman : “Aku telah
memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang
lain.” Nabi saw. bertanya kepada Jibril : “Apakah pemberian itu?” Jibril
menjawab : “Pemberian itu adalah firman-Nya, “Berdzikirlah kepadaKu, niscaya
Aku akan berdzikir kepadamu.” Dan belum pernah memfirmankan itu kepada ummat
lain yang mana pun.”
Dikatakan : “Malaikat maut minta izin dengan orang yang
berzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. Bertanya :
“Wahai Tuhanku, di mana engkau tinggal?” Allah swt. berfirman : “Dalam hati
manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang
bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan
penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di isni hanyalah dzikir yang tetap dan
sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.
Ketika Dzun Nuun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan :
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia
mebacakan syair :
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
Aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yag mengalir dari lisanku.
Sahl bin Abdullah mengatakan : Tiada sehari pun berlalu,
kecuali Allah swt. berseru : “Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim
kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan
penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan
engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Di surga ada
lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai
berdzikir kepada Allah. Terakdang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja
dan teman-temannya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti?” Ia menjawab
: “Sahabatku telah kendur dzikirnya.”
Dikatakan : “Carilah kemanisan dalam tiga hal : shalat,
dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana , atau
jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”
Ahmad al-Aswad menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan
perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba di suatu tempat yang dihuni
banyak ular. Ibrahim al-Khawwas meletakkan kualinya dan duduk begitu pun
denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular pun
berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, yang lalu berkata, “Dzikirlah kepada
Allah!” Aku pun berdzikir, dan akhirnya ular-ular itu akhirnya pergi menjauh.
Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau
menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami
bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan
menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya, Kiranya
semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada
Syeikh : “Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau menjawab :
“Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam.”
Abu Utsman berkata : “Seseorang yang tidak dapat
merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”
As-Sary menegaskan : “Tertulis dalam salah satu kitab
suci : “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku
dan Aku pun asyik kepadanya.” Dikatakan pula : “Allah mewahyukan kepada Daud
as. : “Bergembiralah kepada-Ku dan bersenang-senanglah dengan dzikir
kepada-Ku!.”
Ats-Tsaury mengatakan : “Ada hukuman atas tiap-tap
sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir
kepada-Nya.”
Tertulis dalam Injil : “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau
dipengaruhi oleh kemarahan, dan aku akan ingat kepadamu ketika aku marah,
Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu
dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri.”
Seorang pendeta ditanya : “Apakah engkau sedang
berpuasa?” Ia menjawab : “Aku berpuasa dengan dzikir kepada-Nya. Jika aku
mengingat selain-Nya, maka puasaku batal.”
Dikatakan : “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati
manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan meggeliat-geliat di tanah
seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya.
Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya : “Apa yang
telah terjadi atas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan menjawab : “Seorang
manusia telah menyentuhnya.”
Sahl berkata : “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk,
dari lupa kepada Allah swt.”
Didkatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin
seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir
batin adalah rahasia antara si hamba dengan Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku mendengar cerita
tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi
menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas mengigitnya dan
mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketia ia siuman, aku bertanya
akepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku : “Binatang itu diutus oleh
Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan
mengigitku sebagaimana yang engkau saksikan.”
Abdullah Al-Jurairy mengabarkan : “Di antara murid-murid
kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan mengucap “Allah”
“Allah”. Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa
kepalanya. Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah mebentuk kata-kata
Allah-Allah.”
31.
FUTUWWAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Qs.
Al-Kahfi :13).
Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. memberikan perhatian kepada
seorang hamba selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya yang Muslim.”
(Hr. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah
dan Zaid bin Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq : “Futuwwah pada prinsipnya
adalah kepedulian secara terus menerus yang dilakukans eorang hamba kepada
orang lain.”
Syeikh berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat
Futuwwah. Kecuali hanya ada pada diri Rasulullah saw. saja, sebab pada hari
Kebangkitan semua orang akan mengatakan : “Nafsi.... nafsii... (aku hanya
mengurus diriku, aku hanya mengurus diriku), sementara Rasulullah saw. akan
mengatakan : “Ummati .... Ummati.... (ummatku ... ummatku...)”
Al Junayd mengatakan : “Futuwwah dapat ditemukan di Syam,
kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail menegaskan : “Futuwwah berarti memafkan
kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan pula : “Futuwwah berarti seseorang tidak
menganggap dirinya lebih tinggi dan orang lain.”
Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Orang yang bersifat
Futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Futuwwah
berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi Tuhanmu.”
Dikatakan : “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak
akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy
mengatakan : “Ashabul Kahfi (Mereka meninggalkan keluarganya, menuju kepada
Tuhannya. Mereka kontra duniawinya, sehingga mereka dipuji karena meninggalkan
duniawi demi Allah swt. Karenanya, mereka menentang arus kebiasaan, dan lelap
di gua selama 309 tahun, sama sekali tidak ada perubahan fisiknya). Mereka
disebut fityah karena mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan : “Manusia yang
futuwwah adalah orang yang menghancurkan berhala, sebab Allah swt.
berfirman : “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini,
yang bernama Ibrahim: (Qs. Al-Anbiya :60) dan : “Maka Ibrahm membuat
berhala-berhala itu hancur berpotong-potong (Qs. Al-Anbiya :58). Berhala setiap
manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan hawa nafsunya
sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits al-Muhasiby berkata : “Futuwwah menuntut agar
engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili oleh orang lain.”
Amr bin Utsman al-Makky mengatakan :”Futuwwah adalah
memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya, “Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya, “Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr Abadzy berkomentar : “Muru’ah merupakan bagian
dari futuwwah. Ia berarti berpaling dari dunia dan akhirat, dengan bangga
menjauhi kedunya.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengatakan : “Futuwwah
berarti bahwa ha-hal yang langgeng maupun yang musnah sama saja bagi diri
Anda.”
Ahmad bin Hanbal ditanya : “Apakah futuwwah itu?” dan
beliau menjawab : “Futuwwah artinya meninggalkan apa yang engkau inginkan demi
apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang Sufi : “Apakah futuwwah
itu?” Ia menjawab : “Futuwwah artinya engkau tidak membedakan makan bersama
dengan seorang wali ataukah seorang kafir.”
Saya mendengar salah seorang ulama mengabarkan : “Sorang
Majusi mengundang Ibrahim as. Makan. Ibrahim menjawab : “Aku mau menerima
undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar
jawaban demikian, si orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian Allah swt.
menurunkan wahyu kepada Ibrahim : “Selama lima puluh tahun Kami telah
memberinya makan sekalipun ia kafir. Apa salahnya jika engkau meneriema
seporsi makanan darinya tanpa
menuntutnya mengganti agama? Ibrahimm lalu mengejar si orang Majusi itu sampai
tersusul, lalu minta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya
mengapa meminta maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi,
dan orang Majusi itu pun akhirnya msuk Islam.
Al-Junayd mengatakan : “Futuwwah artinya menahan diri
dari menyakiti hati orang dan menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Futuwwah artinya
mengikuti sunnah.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya setia dan menjaga ketetapan
Allah.”
Dikatakan juga : “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang
engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling
manakala seorang yang membutuhkan datang mendekatimu.”
Ada yang berpendapat : “Futuwwah artinya engkau tidak
menutup diri dari orang yang mencarimu.”
Pendapat lain : “Futuwwah artinya engkau tidak
menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari alasan (jika diminta).”
Dikatakan : “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan
menyembunyikan cobaan.”
Yang lain berkata : “Futuwwah artinya bahwa jika engkau
mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan terpengaruh jika yang
datang sembilan atau pun sebelas orang.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya meninggalkan segala bentuk
perbedaan.”
Ahmad bin Khadhrawaih berkata kepada isterinya : “Aku
ingin mengadakan pesta dengan mengundang seorang luntang-lantung yang terkenal
di daerahnya dengan sebutan ‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya
berkeberatan, ‘Itu tidak benar, mengundang seorang preman muda datang ke
rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti dilaksanakan!.” Istrinya berkata :
“Jika demikian, maka smbelihlah kambing, sapi dan keledai, dan lemparkan saja
dagingnya dari pintu orang itu ke pintu rumahmu!.” Ahmad bertanya : “Aku
mengerti apa yang engkau maksudkan dengan kambing dan sapi, tapi apa maksudmu
dengan menyembelih keledai?” Istrinya menjawab : “Engkau mengundang seorang
preman muda ke rumah kita, maka paling tidak, lebih baik engkau membuat pesta
bagi anjing-anjing di tempat ini.
Dalam suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan yang
dihadiri oleh beberapa orang Sufi, termsuk seorang Syeikh dari Syiraz. Ketika
acara penyimakan (ceramah) dimulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz
bertanya kepada tuan rumah : “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan rumah menjawab
: “Aku tidak tahu. Aku telah ebrtindak cermat dan memastikan semua makanan,
kecuali terung.” Keesokan paginya mereka pergi mencari tahu tentang terung itu kepada pedagang
sayuran, yang mengatakan kepada meraka : “Aku tidak punya sayuran. Maka aku
lalu mencurinya dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Merka lalu membawa si pedagang
ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si pemilik kebun berkata dengan heran
: “Anda bersussah paya mendatangiku hanya untuk urusan seribu biji terung?”
Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini, ditambah dua ekor sapi,
seekor keledai dan bajak, agar ia tidak perlu mencuri terung lagi.”
Dikatakan, bahwa seorang laki-laki menikahi seorang
wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat adanya cacar pada tubuh istrinya itu.
Laki-laki itu berseru kepada orang banyak : “Mataku terkena penyakit. Aku telah
menjadi buta!” Pengantin wanita itu pun lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah
dua puluh tahun berselang wanita itu meninggal. Laki-laki itu mendadak membuka
matanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, ia
menjelaskan, : “Aku sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar
istriku tidak merasa malu.” Seseorang berkata kepadanya : “Engkau telah
melampaui semua orang dalam hal futuwwah!.”
Dzun Nuun al-Mishry mengajarkan : “Orang yang
menginginkan perllaku yang utama hendaklah mencontoh para pemikul air dari
Baghdad!>” Seseorang bertanya kepadanya : “Bagaimana mereka itu?” Ia
menjawab : “Ketika aku dibawa ke hadapan khalifah atas tuduhan sebagai zindiq,
aku melihat seorang pemikul air yag memakai sorban, berpakaian kain Mesir yang
bagus, memebawa kendi-kendi tanah liat yang bagus. Aku berkata kepada seseorang
: Ini pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata kepadaku : “Bukan, ini adalah
pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil sebuah cangkir, minum darinya dan
menyuruh sahabt-sahabtku : Berilah ia satu dinar!” Pembawa air itu menolaknya
seraya berkata : “Anda adalah seorang tahanan. Bukanlah sikap futuwwah bila
menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan oeh sebagian teman-teman kami : “Tidak da
tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.”
IA adalah seorang pemuda bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli
sepotong jubah linen darinya. Ia hanya memintaku membayar seharga modal yang
dikeluarkannya untuk membeli jubah itu. Saya bertanya kepdanya : “Apakah Anda
tidak mau mengambil sedikit keuntungan?” Ia menjawab : “Tentang harga jubah
itu, aku mau menerima pembayaran Anda, tapi aku tidak mau membebankan kewajiban
apa pun terhadap Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada tepat
dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.”
Dikisahkan, seorang laki-laki yang mengaku futuwwah
datang dari Naisabur ke Nasa, dimana seseorang mengundangnya makan bersama
sekelompok orang yang memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan,
seorang budak wanita datang untuk menuangkan air guna membasuh tangan mereka.
Laki-laki dari Naisabur itu menarik tangannya dan berkata : “Berdasarkan aturan
futuwwah, tidaklah diperbolehkan seorang gadis menuangkan air untuk laki-laki.”
Tetapi orang lainnya yang hadir di sana berkata, : “Aku telh datang ke sini
selama bertahun-tahun tanpa mengetahui apaka laki-laki atau wanita yang
menuangkan air untuk membasuh tangan kita?”
Manshur al-Maghriby menuturkan : “Seseorang ingin menguji
Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia menjual kepada Nuh seorang budak wanita yang
diberi pakaian laki-laki, dengan pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah
budak laki-laki. Budk itu mempunyai wajah cantik yang bersinar cemerlang. Nuh
membelinya dengan perkiraan bahwa budak itu laki-laki. Budak itu tinggal
bersamanya selama berlbulan-bulan. Seseorang bertanya kepadanya : “Apakah
tuanmu tahu bahwa engkau adalah seorang gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia belum
pernah menyentuhku, karena mengira bahwa aku laki-laki.”
Dikatakan, seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk
menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sulan, tapi ia menolak. Ia
lalu dihukum dera seribu kali, namun demikian masih tetap menolak menyerahkan
budaknya. Malam itu udara sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah bangun,
ia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin. Seseorang mengatakan
kepadanya : “Engkau mengambil resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.”
Dijawabnya : “Aku malu kepda Alalh swt. karena aku rela menderita seribu kali
pukulan cambuk demi seorang makhluk,
tapi tidak bersedia menahan dinginnya amandi demi Dia.”
Sekelompo ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang
laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya
membawa tilam makanan. Si pelayan tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu
lalu memanggilnya hingga berulang-ulang. Para tamu saling berpandangan seraya
berkata : “Ini tidak benar. Dala aturan futuwwah, seseorang tiak boleh
mempekerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi dan
sekali lagi.” Laki-laki itu bertanya kepda pelayannya : “Mengapa begitu lama
engkau baru datang membawakan tilam itu?” Si pelayan menjawab : “Ada seekor
semut pada tilma itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan tilam
uantuk para tamu yang ahli futuwwah manakala ada semut di atasnnya, sebalikya,
tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya meunggu
sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.” Para tamu berkata kepaa pelayan
itu : “Engkau telah menunjukkan pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut
dilayani para ahli futuwwah.”
Suatu ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di
Madinah. Ia mengira kantong berisi uangnya dicuri orang. Ia keluar, melihat
Ja’far ash-Shadiq dan memegang tangannya serta bertanya : “Apakah engkau yang
mencuri kantongku?” Ja’far bertanya : “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-lai itu
menjawab : “Uang sebanyak seribu dinar!” Ja’far lalu membawa laki-laki itu ke
rumahnya dan memberinya uang seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke penginapan
dan menemukan pundi-pundi yag dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun pergi menemui
Ja’far ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya serta mengembalikan uangnya. Tapi
Ja’far menolak mengambil uangnya kembali dan berkata : “Aku tidak pernah
menuntut kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu bertanya kepda
seseorang yang ada di tempat itu : “Siapa laki-laki itu?” Yang daitanya
menjawab : “Ja’far ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada
Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata Ja’far balik bertanya :
“Apakah pendapatmu?” Syaqiq menjawab : “Futuwwah, jika kita diberi sesuatu,
kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Ja’far berkata :
“Najing-anjing kita di Madinah juga bersikap begitu.” Syaqiq bertanya : “Wahai
cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah futuwwah itu dalam pandangan Anda?”
Ja’far menjawab : “Futuwwah adalah, jika kita diberi sesuatu, kita berikan
kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.”
Al-Murta’isy mengabarkan : “Kami bersama Abu Hafs
menjenguk seorang yang sedang sakit, dan kami berangkat serombongan. Abu Hafs
bertanya kepada si sakit : “Apakah engkau ingin sembuh?” Ia menjawab : “Ya,
Maka si sakit lalu bangkit dan berjalan bersama kami, demi kami semua lalu jatuh
sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”
32.
FIRASAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
anda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (firasat)” (Qs.
Al-Hijr :75).
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda” adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdy, bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia
melihat dengan nur Allah swt.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang meyelusup secara
tiba-tiba ke dalam hati, yang menafikan segala sesuatu yang berlawanan
dengannya; dengan demikian ia memiliki ketentuan hukum dalam hati. Firasat
mempunyai akar kata yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa binatang
buas. Jiwa si hamba tidak dapat menetang firasat, yag merupakan kriteria
potensi keimanan. Siapa pun yang lebih kuat imnnya, lebih tajam pula
firasatnya.
Abu Sa’id al-Kharraz berkomentar : “Seseorang yang
melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya Al-Haq; muatan
ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur dengan kealpaan ataupun kelalaian.
Bahkan, ketentuan Allah mengalir melaui lisan si hamba.”
Adapun perkataan al-Kharraz : “Ia melihat dengan cahaya
Al-Haq.” Adalah cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Firasat terdiri dari
cahaya yang cemerlang dalam hati, yang membuat si ahli ma’rifat mampu membawa
rahasia-rahasia dari satu alam ghaib lainnya, sedemikian rupa, hingga ia dapat
melihat hal-hal dengan cara dimana Allah swt, memperlihatkan kepdanya, hingga
ia dapat berbicara melalui sukma budinya..”
Diriwayatkan bahwa Abul Hasan ad-Dailamy menuturkan :
“Aku pergi ke Anthakia karena mendengar keberadaan seorang kulit hitam yang
berbicara tentag hal-hal rahasia. Aku tinggal di sana sampai ia turun dari
Gunung Lukam. Ia membawa barang-barang halal yang dijualnya. Aku lapar karena
sudah dua hari tidak makan. Maka aku lalu bertanya kepadanya; Berapa harganya
ini?” Kubuat ia percaya bahwa aku akan membeli barang dagangannya. Ia berkata
kepadaku, ‘Duduklah di situ, jika barang-barang ini sudah terjual aku akan
memberimu uang yang dengannya engkau dapat membeli makanan!” Maka aku lalu
meninggalkannya dan pergi ke pedagang yang lain untuk membuatnya mengira bahwa
aku sedang menawar dagangannya. Kemudian aku kembali kepadanya dan berkata :
“”Jika engkau bermaksud menjual barang ini, maka katakanlah kepadaku berapa
harganya!.” Ia menjawab : “Engkau sudah dua hari kelaparan. Duduklah! Jika
barang ini telh terjual, aku akan memberimu uang untuk membeli sesuatu.” Maka
ku pun duduk, dan ketika barangnya telah terjual, ia memberiku uang dan pergi
meninggalkanku. Aku mengikutinya, dan ia berpaling kepadaku serta berkata :
“Jika engkau membutuhkan sesuatu, mintalah kepada Allah swt! Tetapi bila hawa
nafsumu memperoleh sesuatu dari terpenuhinya kebutuhan itu, maka engkau
terhijab dari Allah swt.”
Muhammad al-Kattany berkata : “Firasat adalah mukasyafah
dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia adalah salah satu tahapan
keimanan.”
Dikatakan bahwa asy-Syafi’y dan Muhammad bin al-Hasan –
semoga Allah swt. merahmati mereka – sedang berada di Masjidil Haram ketika
seseorang masuk ke Masjid. Muhammad bin al-Hasan berkata : “Aku punya firasat
bahwa ia adalah seorang tukang kayu.” Dan asy-Syafi’y berkata : “Aku punya
firasat bahwa ia adalah seorang tukang besi.” Ketika mereka bertanya kepada
orang itu, ia menjawab, “Dahulu, aku pernah menjadi tukang besi, namun sekarang
aku adalah tukang gkayu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Orang gyang mampu
menyimpulkan (al-mustanbith) adalah orang yang selalu menaruh perhatian kepada
yang gaib. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi atau terjaga dari pandangannya.
IA adalah orang yang ditunjuk dalam firman Allah swt.
“......tentulah orang-orang yang mampu menemukan
kebenaran akan mengetahui persoalannya.” (Qs. An-Nisa’ :83).”
Orang yang membaca firasat, akan mengetahui intuisi dan
juga mengetahui apa yang ada di lubuk hati yang dalam dengan cara menyimpulkan
dan melalui alamat-alamat. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda (firasat).” (Qs. Al-Hijr :75), yakni bagi orang-orang
ma’rifat terhadap tanda-tanda yang diungkapkan Allah mengenai dua kelompok
manusia, yaitu wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya.
Seseorang yang memiliki firasat, melihat dengan cahaya
Allah swt, yang mendaklah kamu menjadi orang-orang gyang mengenal Tuhan
(rabbaniyyin)” (Qs. Ali Imran :9), yakni para ulama ahli hikmah yang berakhlak
dengan Allah swt. Yang Haq, baik secara ideologis maupun moral. Mereka bebas
dari apa yang telah dikatakan orang lain, atau memberi perhatian kepada mereka,
atau dipedulikan oleh mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Abdul Qasim al-Munady
sedang menderita sakit. Ia adalh syeikh besar di kalangan syeikh di Naisabur.
Maka Abul Hasan al-Busyanjy dan al-Hasan al-Haddad pun pergi menjenguknya. Di
tengah jalan mereka membeli sebutir apel setengah dirham dengan menghutang.
Ketika mereka telah sampai ke rumahnya, Abul Qasim bertanya : “Kegelapan apa
lagi ini?” Mereka lalu pergi ke luar dan saling bertanya, kesalahan apa yang
telah mereka lakukan. Mereka berpikir dan kemudian menyimpulkan, barangkali
kesalahan itu adalah bahwa mereka belum membayar harga apel itu. Maka mereka
pun lalu pergi kepada si penjual buah, membayar apel itu dan kembali ke rumah
Abul Qasim. Ketika Abul Qasim melihat mereka, ia berkata : “Aneh sakli. Orang
dapat keluar dari kegelapan dengan begitu cepat. Ceritakan kepadaku apa yang
telah kalian lakukan!” Ketika mereka telah menceritakan apa yang telah terjadi.
Abul Qasim membenarkan, Ya” masing-masing dari kalian berdua mengharapkan yang
lain membayar apel itu, tapi malu memintanya. Jadi pembelian apel itu tidak
tuntas. Alasan pembelian apel itu adalah karena diriku, dan hanya aku saja yang
melihat kegelapan itu pada diri kalian berdua.” Sementara Abul Qasim sendiri
pun biasa pergi ke pasar setiap hari untuk berjualan. Apabila ia telah
memperoleh keuntungan yang cukup baginya .. antara seperenam hingga setengah
dirham --- maka ia akan pulang dan kembali pada kesibukan utamanya, yaitu waktu
utama dan mewaspadai hatinya.”
Al Husain bin Manshur berkata : “Apabila Allah
berkehendak untuk melimpahkan rahasia maka, Dia akan mengamanatkan
rahasia-rahasia kepada hati, yang kemudian dipahaminya dan dipermaklumkannya.”
Ketika salah seorang Sufi ditanya tentang firasat, ia
menjawab, “Firaat berarti ada ruh-ruh yang bekeliling di dalam langit dan
mengamati makna hakiki dari masalah-masalah gaib. Mereka berbicara tentang
rahasia-rahasia penciptaan dengan bahasa nyata, bukan kata-kata yang bersifat
speklulasi atau dugaan.”
Diceritakan bahwa Zakariya asy-Syikhtany terlibat
perselingkuhan dengan seorang wanita sebelum ia bertobat. Suatu ketika setelah
menjadi salah seorang murid terkemuka Abu Utsman al-Hiry, ia berdiri di depan
gurunya sambil berpikir tentang si wanita itu. Abu Utsman menganggkat dan
memandangnya sambil bertanya : “Apakah engkau tidak merasa malu.”
Pada awal hubungannya saya dengan Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq -- Semoga Allah
merahmatinya -- sebuah majelis pengajian
diadakan untuk diri saya di Masjid al-Mutarriz. Suatu ketika saya minta izin
untuk pergi selama beberapa waktu ke Nasa, dan beliau mengizinkan. Suatu hari
saya berjalan dengan beliau ke tempat pengajiannya, tiba tiba saya berpikir :
“Seandainya beliau mau menggatikan saya mengajar di pengajian-pengajianku
ketika saya pergi.” Beliau berpaling kepada saya dan berkata : “Aku akan
menggantikanmu di pengajian salama engkau pergi.” Saya terus berjalan. Sejenak
terlintas dalam pikiran bahwa beliau sakit, dan akan menyushkan jika beliau
mengajar dua hari dalam seminggu. Saya ingin agar beliau mengurangi kelas dan
dan mengajar menjadi sekali (sehari) seminggu> Beliau berpaling kapda saya
dan berkata : “Kalau aku tidak dapat menggantikanmu mangajar dua kali seminggu,
aku hanya akan melakukannya sekali seminggu.” Selagi saya berjalan terus,
sejenak pikiran lain terlintas dalam hati, dan beliau pun berpaling kepada saya
dan mengatakan masalahnya sebagaimana yang sedang saya pikirkan.
Syah al-Kirmany memiliki firasat sangat tajam dan tidak
pernah keliru. Bilau mengatakan :Firasat akan selalu benar bagi orang yang
merendahkan pandangannya dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya
dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dengan muraqabah yang
terus menerus dan lahiriahnya selaras denga Sunnah, dan membiasakan diri makan
makanan yang halal saja.”
Abul Husain an-Nury ditanya : “Darimana datangnya firasat
ahli firasat? Ia menjawab, dengan menyebut firman Allah swt. ini, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (Qs. Al-Hijr :29). Jadi, bagi orang
yang jatah cahayanya lebih besar, maka musyahadahnya lebih kuat, dan penilaian
firatsatnya pun lebih dapat dipercaya. Apakah engkau tidak melihat bagaimana
ruh ditiupkan ke dalam tubuh Adam menjadi sebab sujudnya para malaikat
kepadanya dalam firman-Nya : “Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. Al-Hijr :29).”
Pendapat Abul Husain an-Nury ini mengundang kesamaran. Ia
menyebutka peniupan ruh oleh Allah swt. ke dalam tubuh Adam bukan untuk
mendukng pendapat mereka yang mempercayai qadimnya ruh, bukan pula seperti yang
tampak bagi orang-orang berhati lemah. Apa pun yang dibenarkan adalah peniupan
ruh, pertemuan dan perpisahan, maka ia juga dapat
dikenai pengaruh dan perubahan yang pada gilirannya merupakan sifat-sifat
makhluk. Allah swt. menganugerahi orang-orang beriman dengan kemampuan
penglihatan batin dan firasat, yang sesungguhnya adalah ma’rifat. Inilah
maksa sabda Nabi saw. : “Sebab ia (orang beriman)
melihat dengan nur Allah swt.” yaitu dengan pengetahuan dan kearifan.
Dia memberikan kepada Mukmin kedudukan yang unik dan berbeda dari semua makhluk
lainnya. Penamaan ilmu pengetahuan dan kearifan hati ini bisa disebut dengan “Cahaya-cahaya.” Bukanlah suatu yang bid’ah. Juga, diskripsi
cahaya tersebut sebagai “peniupan ruh.”, bukanlah hal yang mengada-ada, yang
dimaksudkan adalah penciptaan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang mempunyai
firasat dapat mengenai sasarannya dengan panah pertama yang dilepasakannya. Ia
tidak penah berpaling pada penafsiran, spekulasi, ataupun dugaan.”
Dikatakan : “Firasat para murid adalah spekulasi
yang menghasilkan keyakinan, dan firasat
ahli ma’rifat adalah pembenaran yang melahirkan hakikat.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky mengajarkan : “Jika engkau
bermajelis dengan orang-orang jujur, maka berlaku jujurlah terhadap mereka,
sebab mereka adalah mata-mata hati. Mereka masuk ke dalam hatimu dan
meninggalkannya tanpa engkau sadari.”
Abu Ja’far al-Haddad berkata : “Firasat adalah kilasan
pertama intuisi tanpa kontra hati. Jika suatu intuisi datang kemudian dan
berlawanan, itu tidak lebih dari kata hawa nafsu.”
Diceritakan bahwa Abu Abdullah a-Razy an Naissabury
mengabarkan : “Ibnu Anbary memberi pakaian wol untukku. Kulihat asy-Syibly
memakai sebuah sorban yagn sangat serasi dengan wolku. Diam-diam aku
menginginkan agar dapat memiliki jubah dan sorban itu sekaligus. Ketka
asy-Syibly meninggalkan kumpulan pengajiannya, ia berpaling padaku, Aku pun
mengikutinya, sebab sudah menjadi kebiasaannya untuk berpaling kepadaku jika
menginginkan agar aku ikut dengannya. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, aku
mengikutinya. “Lepaskan wol itu” katanya. Aku pun melepaskan wolku, yang
kemudian dilipatnya. Setelah itu dilemparkan sorbannya ke atas wolku,
disuruhnya orang menyalakan api, lalu dibakarnya wol dan sorban itu.”
Abu Hafs an-Naisabury menegaskan : “Adalah keliru bagi
siapa pun untuk mengikuti orang yang memiliki firasat. Tetai maksudnya adalah
berwaspada kepada orang yang memiliki firasat, sebab Rasulullah saw. telah
bersabda. “Waspadalah terhadap firasat orang Mukmmin.” Beliau tidak bersabda :
“Gunakanlah firasat kamu sekalian!.” Bagaimana mungkin dibenarkan pengakuan
firasat, bagi orang yang berada pada tahap waspada terhadap firasat.?”
Abul Abbas bin Masruq menuturkan : “Ketika aku pergi
menjenguk seorang tua yang merupakan salah seorang sahabat kami, kutemukan ia
tinggal di lingkungan yang kumuh. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana
orang tua ini menolong dirinya?” Si orang tua itu lalu berkata kepadaku :
“Wahai Abul Abbas, campakkanlah bisikan kotor itu! Allah memiliki
kebaikan-kebaikan lembut yang tersembunyi.”
Az. Zubaidy mengabarkan : “Aku sedang berada di dalam
sebuah masjid di Baghdad bersama sekelompok fakir, sudah berhari-hari kami
tidak menerima sesuatu pun. Aku datang kepada al-Khawwas untuk meminta sesuatu.
Ketika pandangannya jatuh kepadaku, ia bertanya : “Kebutuhan yang membawamu ke
sini, diketahui Allah atau tidak?” Aku menjawab : “Tentu saja Dia
mengetahuinya.” Maka al-Khawwas pun memerintahkan : Kalau begitu, jagalah
ketenanganmu dan jangan perlihatkan kebutuhanmu kepada sesama makhluk! Aku pun
pergi, dan tidak alma kemudian kami diberi makanan yang melebihi kebutuhan
kami.”
Dikatakan, “Suatu hari Sahl bin Abdullah sedang berada di
dalam masjid jami.” Ketika seekor burung merpati jatuh dari angkasa karena
panas dan lelah. Sahl berseru : “Syeikh al-Kirmany baru saja wafat atas
kehendak Allah swt. Orang-orang yang berada di tempat itu menuliskan ucapannya,
dan memang benarlah apa yang dikatakannya itu.”
Dikatakan : “Abu Abdullah at-Targhundy, salah seorang
pembesar pada masanya, bepergian ke Thous. Sesampai di kHarwa, ia menyuruh
temannya : “Belilah sedikit roti!.” Temannya itu pun membeli roti secukupnya
untuk merek berdua, tetapi Abu Abdullah berkata kepadanya : “Belilah lebih
banyak lagi!.” Temannya dengan segera membeli roti lagi sekiranya cukup untuk
sepuluh orang, seolah-olah ia sengaja menganggap ucapan Abu Abdullah sebagai
isapan jempol semata. Ketika mereka tiba di atas gunung, bertemulah dengan
sekelompok orang yang telah diikat oleh kawanan penyamun. Karena sudah agak
lama mereka tidak menelan sesuap makanan, orang-orang tersebut pun meminta
makanan kepada mereka berdua. Abu Abdullah berkata : “Bentangkanlah tilam untuk
mereka!.”
Aku berada bersama Syiekh Imam Abu Ali ketika orang-orang
yang hadir mulai membicarakan tentang bagaimana Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy bangit dari tempat duduknya ketika acara penimakan, sebagaimana
layaknya para fakir. Syeikh Abu Ali berkata, : “Mengenai erilaku Abu
Abdurrahman, apakah diam tidak lebih baik baginya?” Barangkali beliau
memerintahkan kepadaku : “Pergilah kepada as-Sulamy! Engkau akan menemukannya
sedang duduk di perpustakaannya. Di atas buku-buku itu ada sebuah buku empat
persegi yang kecil berwarna merah birisi puisi-puisi karya al-Husain ban
Manshur. Ambillah buku itu, tanpa berkata apapun kepadanya dan bawalah
kepadaku!” Waktu itu siang hari. Ketika aku pergi kepada as-Sulamy, ia sedang
berada di perpustakaannya, dan buku yang disebutkan Abu Ali ada di tempat yag
beliau sebutkan.
Ketika aku duduk, Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy mulai
berkata, Suatu ketika ada seseorang yang mencela salah seorang ulama karena
perilakunya dalam penyimakan. Orang yang sama ini pada suatu hari terlihat
sedang berada sendirian di rumahnya, menari berputar-putar seperti halnya orang
yang sedang mengalami keleburan ruhani. Ketika seseorang bertanya
akepadanyamengapa ia berlaku demikian, ia menjawab : “Aku menemui sebuah
masalah yang membingungkan. Tiba-tiba penyelesaiannya diungkapkan kepadaku. Aku
begitu gembira sehingga tidak mampu menguasai diri dan mulai menari
berputar-putar.
Mereka berkata tentang orang ini : “Seorang dengan
kedudukan seperti itu bertindak seperti biasanya.”
Ketika kuperhatikan apa yag diperintahkan oleh Syeikh Abu
Ali kepadaku dan semuanya dalam keadaan seperti yang beliau gambarkan, maka aku
menyadari apa yang dikatakaApa yang harus kulakukan, dalam keadaan terjepit di
antara mereka begini?” Aku berpikir-pikir dan memutuskan bahwa tidak ada
pandangan lain selain kejujuran.”
Syeikh Abu Ali mengabarkan sebuah buku tertentu kepadaku
dn menyuruhku mengambilnya tanpa meminta izin kepada Anda. Aku takut kepada
Anda. Tapi juga tidak mau menurut Anda. Apa yang harus aku lakukan?”
As-Sulamy mengambil jilid keenam dri buku wacana
al-Husain dimana terdapat juga sebuah bab karangannya sendiri yang diberi judul
Ash-Shayhur fi Naqdid Duhur dan berkata : “Bahwalah ini kepadanya dan katakan :
“Saya menelaah buku ini, dan saya menyalin beberapa baris darinya ke dalam
tulisan saya.” Maka aku pun pergi dari hadapannya.”
AL-Hasan al-Haddad menuturkan : “Aku sedang berada
bersama Abul Qasim al-Munady dan sekelompok fakir (Sufi) yang sedang menjadi
tamunya ketika ia menyuruhku pergi ke luar dan mencarikan makanan untuk mereka.
Aku merasa senang menerima tugas ini, sekalipun Abul Qasim tahu bahwa bila aku
adalah seorang yang sangat miskin. Aku membawa sebuha keranjang besar dan pergi
ke luar.
Di jalan menuju ke pasar Sayyar, aku berjumpa dengan
seorang syeikh yang berpakaian sangat bagus. Aku mengucapkan salam kepadanya
dan berkata : Ada sekelompok sufi yang sedang berkumpul di dekat sini. Mungkin
anda punya sesuatu untuk diberikan kepada meraka?” Syeikh itu lalu menyuruh
pelayannya membawa keluar persediaan makanannya berupa roti, daging dan angur.
Ketika aku kembali ke rumah Aul Qasim
al-Munady, ia menghmabur dari dalam rumah sambil berseru kepadaku : “Kembalikan
makanan itu ke asalnya di mana engkau memperolehnya tadi!”
Aku kembali dan meminta maaf kepada syeikh yang memberi
makanan itu dan berkata : “Saya tidak menemukan Sufi-sufi itu. Mungkin mereka
sudah pergi.” Kukembalikan makanan itu kepadanya dan kuteruskan langkahku pergi
ke pasar. Aku berhasil memperoleh sedikit makanan, yang segera ku bawa ke rumah
Abul Qasim. Ia menyuruhku masuk ke dalam. Ketika aku menceritakan kepadanya
semua yang terjadi, ia berkata : “Ya itulah Ibnu Sayyar, seorang pecinta dunia
yang dekat dengan penguasa, Kalau engkau mencari makanan untuk para Sufi,
carilah seperti ini, bukan seperti tadi itu.”
Abul Husain al-Qarafi mengisahkan : “Aku mengunjungi Abul
Khayr at-Tinaty, dan ketika aku berpamitan kepadanya, ia mengantarku sampai ke
pintu masjid dan berkata : “Wahai Abul Husain, aku tahu engkau tidak membawa
bekal, karenanya bawalah dua butir apel ini!” Kuterima apel itu, kumasukan ke dalam
saku, lalu aku berangkat. Tiga hari lamanya aku tidak memperoleh makanan,
karena itu kuambil satu apel dan kumakan. Kemudian aku berpikir-pikir mau
memakan apel yang kedua, dan kudapati kedua apel itu masih ada dalam kantongku.
Aku terus memakan apel-apel itu, dan kedua apel itu ada terus dalam kantongku
sampai aku tiba di pintu gerbang kota Mosul.
Aku berkata dalam hati : “Kedua apel ini telah merusak
kondsi tawakkalku kepada Allah, karena keduanya telah menjadi semacam bekal
bagiku.” Maka aku terakhir kalinya kuambil kedua apel itu dan melihat
sekelilingku. Tiba-tiba kulihat seorang fakir memakai jubah sedang meratap.”
Aku sangat menginginkan apel itu.” Maka kuberikan kedua apel itu kepadanya.
Ketika aku merenung masalah apel tersebut, terlintas dalam pikiranku bahwa
Syeikh Abu Khayr mungkin telah mengirim kedua apel itu kepada orang ini, dan
aku hanya menjadi perantara kebaikannya itu. Kucari orang kafir itu, tapi ia
sudah lenyap.
Ada seorang pemuda yang belajar kepada Junayd. IA mampu
membaca pikiran orang . Al-Junayd diberitahu akan hal ini, dan ia lalu bertanya
kepada pemuda itu :Benarkah apa yang dikatakan orang tentang dirimu?” Pemuda
itu lalu berkata kepada al-Junayd : “Yakinlah tentang sesuatu.” Al-Junayd
menjawab : “Aku telah yakin.” Pemuda itu berkata : “Anda sedang meyakini ini
dan itu.” AL-Junayd berkata, “Bukan.” Pemuda itu meminta al-Junayd mengulangi
keyakinannya dua kali lagi, dan setiap kali Al-Junayd mengatakan bahwa tebakan
si pemuda salah, dan saya yakin akan hati saya.” Al-Junayd mengakui : “Kamu
memang benar ketika tiga kali kamu mengatakan apa yang sedang kuyakini, tetapi
aku ingin menguji apakah hatimu akan berubah atau tidak.”
Ibrahim ar-Raqqy jatuh sakit. Dibawakanlah obat kepadanya
dalam sebuah mangkok, yang lalu diminumnya. Kemudia ia berkata : “Sebuah
insiden yang besar telah terjadi di kerajaan hari ini. Aku tidak akan makan
atau minum sebelum aku tahu insiden apa itu.” Setelah beberapa hari datanglah
kabar bahwa al-Qurthuby telah memasuki Mekkah al-Mukarramah pada saat itu, dan
ia terbunuh pada perang besar-besaran tersebut.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia
mengabarkan : “Aku datang kepada Utsman bin Affan r.a. Setelah eku melihat
seorang waniat di jalan. Aku telah membayangkan wajahnya yang cantik. Utsman
berkata : “Salah seorang di antara kamu telah datang kepadaku hari ini dengan
bekas-bekas zina di matanya.” Aku bertanya kepadanya : Apakah mungkin ada wahyu
setelah Rasulullah saw. wafat?” Beliau berkata : “Tidak, tapi adan kemampuan
mata hati, bukti dan firasat yang benar.”
Ahmad al-Kharraz mengatakan : “Aku masuk ke Masjidil
Haram di mana aku melihat seorang fakir yang memakai dua potong jubah, sedang
meminta-minta kepada orang gbanyak. Aku berkata dalam hati : “Orang seperti ini
merupakan beban bagi orang banyak.” Si fakir itu melihat kepadaku dan berkata :
“Ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua yang ada di dalam jiwamu, karena itu
berhati-hatilah terhadap-Nya.” (Qs. Al-Baqarah : 235). Setelah aku minta maaf
kepadanya di dalam hati, lantas ia berkata : “Dan Dia-lah yang menerima tobat
dari hamba-hamba-Nya.” (Qs. Asy-Syuura :25).”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Suatu hari ketika aku sedag
berada di masjid besar Baghdad, ada sekelompok fakir di sana. Tiba-tiba,seorang
pemuda gagah perkasa dengan keharumannya yang menyebar di samping juga sanat
ramah serta tampan rupawan datang kepada kami sambil tersenyum. Aku berkata
kepada sahabt-sahabtku : “Pikirankau mengatakan bahwa anak muda ini seorang
Yahudi.” Mereka semua tidak setuju dengan ucapanku itu. Aku keluar dan begi
juga pemuda itu. Kemudian ia kembali kepada mereka dan bertanya : “Apa yang
dikatakan syeikh itu tentang diriku?” Mereka semua merasa malu untuk mengatakan
kepadanya, tetapi pemuda itu terus mendesak hingga akhirnya mereka
mengungkapkan. : “Ia mengatakan bahwa engkau seorang Yahudi.” Setelah itu anak
muda itu datang kepadaku, membungkuk di hdapanku, dan berikrar masuk Islam.”
Ketika seseorang bertanya tentang perbuatannya tadi, ia
berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa firasat orang-orang yang
jujur tidak pernah keliru.” Lalu aku berkata : “Sebenarnya, aku menguji
orang-orang Islam. Aku mencari-cari di antara mereka dan memutuskan, jika da
seorang kyang jujur di antara mereka, maka ia adalah seorang Sufi, sebab para
Sufi berbicara dengan firman Alalh swt. Aku menyembunyikan identitasku dan
mengelabui mereka. Ketika Syeikh ini mengetahui siapa diriku sebenarnya dengan
firasatnya, maka tahulah aku bahwa ia adalah penegak kebenaran yang jujur.” Dan
pemuda ini kemudian menjadi salah seorang Sufi besar.”
Ahmad al-Jurairy bertanya : “Adakah di antara kalian yang
tahu apabila Alalh berkehendak membuat peristiwa besar di kerajaan
memberitahunya, sebelum kejadian itu terjadi?” Kami menjawab : “Tidak”. Ia
berkata : “Menangislah kamu sekalian karena adaya hati yang belum pernah
menemukan sesuatu dari Allah swt!.”
Abu Musa ad-Dailamy mengatakan : “Ketika aku bertanya
kepada Abdurrahman bin Yahya tentang tawakkal, ia menjelaskan, Tawakkal berarti
bahwa jika engkau memasukan tanganmu sebatas pergelangan tangan ke dalam mulut
ular, engkau tidak merasa takut kepada apa-pun selain Allah swt. Kemudian aku
pergi kepaa Abu Yazid untuk bertanya kepadanya tentang tawakkal. Aku mengetk
pintu rumahnya, dan dari balik pintu ia menjawab : “Apakah kata-kata
Abdurrahman tidak cukup untukmu?” Aku meminta : “Bukakan pintu!.” Ia menjawab :
“Engkau tidak datang untuk mengunjungiku, dan jawabannya sudah ada di balik
pintu.” Pintu pun tidak dibukakan untuk-ku. Aku lalu pergi dan menunggu hingga
satu tahun lamanya. Kemudian aku ingin pergi kepadanya lagi dan ia berkata.
“Selamat datang. Sekarang engkau datang kepadaku sebagai tamu. “ Aku tinggal
bersamanya selama sebulan, dan tidak ada bisikan hatiku yang tertuang,
melainkan ia selalu mengatakannya kepadaku. Ketika mengucapkan selamat berpisah
kepadaku, aku meminta kepadanya : “Berikanlah sepatah kata lagi yang
bermanfaat!” Ia berkata : Ibuku mengatakan kepdaku bahwa ketika ia mengundang
aku, setip kali ada makanan halal yang disuguhkan kepadanya, maka tangannya
dapat mengambil makanan itu, tetapi jika ada sesduatu yang syubhat di dalamnya,
tangannya tidak mau diulurkan.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku pergi ke padang
pasir, di mana kau mengalami banyak cobaan. Ketika tiba di Mekkah, aku
menemukan keajaiban. Secara tidak terduga ada seorang tua berseru kepdaku :
“Wahai Ibrahim, aku ada bersamamu ketika engkau di pdang pasir, tetapi aku
tidak berbicara kepdamukarena takut kalau-kalau aku emnggangu keadaan batinmu.
Sekarang, keluarlah waswas dari dirimu!.”
Diakbarkan bahwa meskipun a-Furghani al-Murghinany pergi
setiap tahun menunaikan ibadat haji, melewati Naisabur tanpa singgah ke
kediaman Abu Utsman al-Hiry. Ia menjelaskan : “Suatu ketika aku pergi
menjenguknya dan memberi salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas salamku. Aku
bertanya kepadanya : “Seorang Muslim datang menemui seorang Muslim lainya dan
mengucapkan salam, namun tidak memperoleh balasan? Abu Utsman menjawab,
“Apaakah seperti itu, seseorang yang gmelakukan ibadat haji, meninggalkan
ibunya dan tidak memperlakukannya dengan penuh horamt? Mendengar ucapannya itu,
aku kembali ke Furghanah dan tinggal di sana menemani ibuku hingga akhir hayat
beliau. Kemudian aku pergi menemui Abu Utsman, dan ketika masuk ke rumahnya, ia
menerimaku dan menyuruhku duduk.” Setelah itu, al-Furghani tinggal bersamanya
terus menerus. Ia meminta agar ditugaskan merawat piaraannya, yang menjadi
pekerjaannya sampai Abu Utsman wafat.”
Khayr an-Nassaj berkata : “Suatu hari aku sedang
duduk-duduk di rumahku ketika instinkku mengatakan bahwa al-Junayd sedang
berada di depan pintu. Tapi aku mengingkari instinkku itu. Untuk kedua dan
ketiga kalinya instinkku itu muncul lagi, hingga akhirnya aku berjalan ke arah
pintu, dan benarlah ia ada di sana. Al-Junayd bertanya : “Mengapa engkau tidak
datang pada instink yang pertama?”
Muhammad ibnul Husain al-Bisthamy mengabarkan : “Ketika
aku pergi menjenguk Abu Utsman al-Maghriby, aku berkata dalam hati :
“Barangkali ia menginginkan sesuatu dariku.” Abu Utsman berkata : “Manusia
tidak cukup puas bahwa aku menerima pemberian mereka. Sehingga mereka menambah
permintaanku pada diri mereka,”
Salah seorang fakir menuturkan : “Aku sedang berada di
Baghdad. Terketuk olehku bahwa al-Murta’isy akan datang kepadaku dengan membawa
uang limabelas dirham hingga aku dapat membeli kantong makanan, tali dan sandal
yang dapat kupergunakan untuk pergi ke padang pasir. Tba-tiba kudengar pintu
diketuk orang. Aku membukanya, dan kulihat al-Murtha’isy berdiri di sana,
membawa sebuah pundi-pundi kain. Ia memerintahkan “Ambillah ini” Aku berkata :
“Wahai syeikh, aku tidak menginginkannya.” Ia bertanya, Lantas mengapa engkau
mengganggu aku? Berapa uang yang engkau inginkan? Aku menjawab : “Limabelas
dirham.” Ia berkata : “Inilah uang itu, lima belas dirham.”
Salah seorang Sufi berpendapat mengenai firman Allah swt.
“ Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan?” (Qs.
Al-An’am :122), dimaksudkan adalah mati hatinya. Kemudian Allah menghidupkannya
melalui cahaya firasat, dalam hati itu pula ditampakkan cahaya musyahadah, yang
tentu tidaklah sama dengan orang yang berjalan dalam keadaan alpa dengan
kealpaannya.
Dikatakan : “Firasat seseorang benar, berarti ia telah
naik ke tahapan musyahadah.”
Abul Abbas Ahmad bin Masruq berkata : “Seorang yang cukup
tua datang kepada kami. IA berbicara tentang tasawuf secara menawan, dan
instinknya sanat bagus. Ia menyuruh kami, dalam suatu ucapannya : “Katakanlah
kepadaku apa yang ada dalam benak kalian!.” Pikiranku mengatakan bahwa ia
adalah seorang Yahudi. Pikiran itu seakan-akan merupakan peringatan yang
mendesak, maka aku pun mengungkapkannya kepada al-Jurairy. Ungkapanku itu
membuat perasaannya tertekan, tetapi aku menegaskan : “Aku tidak punya pilihan
lain, kecuali mengatakannya kepada orang ini.” Maka aku pun berkata kepadanya :
“Engkau menyuru kami mengatakan kepadamu apa pun yang ada dalam pikiran kami.
Pikiranku mengatakan baha engkau adalah seorang Yahudi.” Sesaat ia menundukkan
kepala, lalu mengangkatnya, dan mengaku : “Engkau benar, dan aku sekarang
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Ia menjelaskan : “Aku telah mencoba menempuh jalan semua agama, dan aku berkata
dalam hati L “Jika berada dengan suatu kaum, diantaranya memiliki suatu
kebenaran, maka kebenaran aan bersamamnya. Maka aku lalu bergaul dengan kalian
untuk menguji kalian. Ternyata kalian berada dalam kebenaran. “ Ia kemudian
menjadi Muslim yagn sangat baik.
Diriwayatkan oleh al-Junayd bahwa as-Sary suka mendorong
al-Junayd agar berceramah kepada orang banyak. Al-Junayd berkata, : “Aku merasa
takut berbicara di depan mereka? Pada suatu malam jum’at aku bermimpi bertemu
dengan Nabi saw. Beliau memerintahkan kepadaku “Berkhutbahlah kepada orang
banyak!” Aku terbangun, lalu pergi ke rumah as-Sary sebelum subuh, dan mengetuk
pint rumahnya. Ia bertanya : “Engkau tidak percaya kepadaku, hingga Nabi
sendiri yang mengatakannya kepadamu?” Pagi itu al-Junayd duduk di depan orang
banyak di masjid, dan tesebarlah kabar bahwa al-Junayd sedang berceramah.
Seorang pemuda Nasrani yang menyamar datang kepada al-Junayd dan bertanya :
“Katakanlah kepadaku, wahai syeikh, apa makna perkataan Rasulullah :
“Waspadalah terhadap firasat orang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya
Alalh swt?” LA- Junayd mendundukkan kepalanya, kemudian menganggkatnya dan berkata
“Masuklah ke dalam Islam. Saat keislamanmu telah tiba.” Si Pemuda Nasrani itu
pun masuk Islam.
33.
AKHLAK
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yag agung.”
(qs. Al-qalam :4).
Diriwayatkan oleh Anas bahawa seseoarng bertanya kepada
Nabi saw. “Wahai Rasulullah, siapakah di antara orang-orang beriman yang paling
utama imannya?” Beliau menjawab :
“Yaitu mereka yang paling baik akhlaknya.” (Hr. Ibnu
Majah).
Akhlak yang baik adalah keutamaan sejarah hidup hamba;
sehingga mutiara-mutiara seseorang dapat tampak. Manusia itu terlapisi oleh
fisiknya, namun terungkap oleh akhlaknya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq juga berkta : “Allah swt.
menganugerahi Nabi-Nya saw. dengan keistimewaan sifat beliau, dengan pujian yang
sama sekali tidak pernah dipujikan kepada makhluk lain. Karena itu Allah swt.
berfirman : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Allah swt. memberi
predikat beliau dengan akhlak yang agung, karena beliau merelakan diri dari
dunia dan akhiratnya, dan merasa puas hanya dengan Allah swt. semata.”
Al-Wasithy juga mengatakan : “Akhlak yng mulia berarti orang tidak bertengkar
dengan orang lain, tidak memushi oleh mereka, karena hamba itu diluapi kedahsyatan
ma’rifat kepada Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur menjelaskan : “Akhlak mulia adalah,
bahwa engkau tidak terpengaruh kekasaran orang banyak, setelah engkau
memperhatikan Al-Haq.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengatakan : “Akhlak mulia berarti
engkau tidak mempunyai cita-cita selain Allah swt.”
AL-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah akhlak.
Barangsiapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula dalam tasawuf.”
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. yang mengatakan : “ Jika
engkau mendengar aku mengatakan kepada seorang budak.” Semoga Allah
melaknatimu.” Maka saksikanlah bahwa aku telah memerdekakannya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan : “Jika seseorang
bertindak dengan akhlak mulia dalam segala hal, tapi ia memperlakukan ayamnya
dengan buruk, maka tidak dapat dianggap berakhlak baik.”
Dikatakan : “Apabila Ibnu Umar melihat salah seorang
budaknya melaksanakan shalat dengan baik, beliau akan memerdekakannya.
Budak-budaknya semua tahu akan hal itu, dan mereka mengerjakan shlat dengan
baik hanya semata agar dilihat olehnya. Sekalipun demikian, Ibnu Umar masih
tetap memerdekakan mereka. Ketika seseorang hendak menipu kami demi Allah, maka
kami akan membiarkan diri kami ditipu demi Dia.
Al-Harits al-Muhasiby mengatakan : “Kita
akan merasa rugi jika kehilangan tiga hal : Wajah cerah disertai dengan
kesantunan, kata-kata yang diucapkan dengan baik dan disertai kejujuran, serta
persaudaraan yang kuat dipadu dengan kesetiaan.”
Abdullah bin Muhammad ar-Razy mengatakan : “Akhlak
berarti memandang rendah apa pun yang datang darimu, dan mengagungkan yang
datang dari Alalh swt.”
Al-Ahnaf bin Qays ditanya : “Siapa yang mengajarkan
akhlak kepadamu?” Ia menjawab : “Qays bin Ashim al-Munaqqary.” Orang itu
bertanya lagi :”Bagaimana akhlaknya?” Al-Ahnaf menuturkan, “Suatu ketika ia
sedang duduk-duduk di rumahnya ketika seorang budak wanita masuk dengan membawa
tusuk daging yang membara. Benda itu jatuh menimpa salah seorang anaknya, yang
kemudian meninggal dunia. Budak itu sangat berduka. Qays mengatakan kepadanya :
“Jangan khawatir, Engkau kumerdekakan, karena Allah.”
Syah al-Kirmany menuturkan : “Satu tanda akhlak yang baik
adalah, bahwa engkau mencegah bahaya, dan secara rela menanggung kerugian yang
mereka timpakan kepadamu.”
Rasulullah saw. bersabda :
“Engkau tidak akan dapat memberikan kebahagiaan orang
lain dengan hartamu, karenanya berilah kebahagiaan dengan wajah yang manis dan
akhlak yang baik.: (H.r. Al-Bazzar dan Hakim).
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Sipakah
orang yang paling banyak cemas?” Ia menjawab : “Orang yang paling buruk
akhlaknya.”
Wagab menegaskan : “Jika seorang hamba mempraktikkn
akhlak mulia selama empatpuluh hari. Allah akan menjadikan akhlak mulia sebagai
sifat bawaan baginya.”
Ketika menafsirkan firman Allah saw. :
“Dan pakaianmu, hendaklah engkau bersihkan.” (Qs.
Al-Muddattsir :4).
Hasan al-Bashry menjelaskan bahwa ayat ini berarti : “Dan
akhlakmu itu, perindahlah.”
Seorang Sufi memiliki seekor domba betina. Ketika ia
menemukan salah satu kakinya terpotong, ia bertanya : “Siapakah yang melakukan
ini?” Salah seorang budaknya menjawab : “Saya” Ketika ditanya mengapa ia
melakukan hal itu, si budak menjawa : “Untuk membuat tuan bersedih karenanya.”
Sufi itu menjawab : “Itu tidak terjadi, tapi aku merasa sakit karena tindakanmu
itu. Pergilah, engkau kumerdekakan.”
Ibrahim Bin Adham ditanya : “Apakah
Anda pernah senang di dunia ini?” Ia menjawab : “Ya, dua kali. Yang pertama,
ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang mengencingiku. Yang
kedua, ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang
menempelengku.”
Dikatakan bahwa manakala anak-anak melihat Uways
al-Qarany, mereka selalu melemparinya dengan batu. Karena itu ia mengatakan
kepada mereka :” Jika memang kalian memang harus melempariku, gunakanlah batu
yang ekcil agar kakiku tidak terluka, yang membuatku terhalang dhalat.”
Suatu ketika seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qays dan
menghinanya. Orang itu mengikuti di belakangnya. Ketika al-Ahnaf sampai di
dekat lingkungan kediamannya sendiri, ia berhenti dn menasihati orang itu, : “Wahai
anak muda, jika engkau masih punya kata-kata untuk diucapkan, katakanlah
sekarang, sebelum salah seorang tetangga dekat yang bodoh mendengar, dan
menjawab kata-katamu.”
Hatim al-Asham ditanya : “Haruskah seseorang menanggung
beban dari setiap orang?” Ia menjawab : “Ya, kecuai dari dirinya sendiri.”
Diceritakan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a.
suatu ketika memanggil salah seorang budaknya, tapi si budak tidak menjawab.
Beliau mengulangi panggilannya dua hingga tiga kali, tapi si budak masih tetap
tidak menjawab. Ketika beliau datang melihat budak itu dan menemukannya sedang
tidur-tiduran, Ali bertanya : “Apakah engkau tidak mendengar panggilanku?” Ia
menjawab : “Ya, saya mendengar.” Beliau bertanya : “Lantas mengapa engkau tidak
datang?” Si budak menjawab : “Saya merasa aman dari hukuman tuan, jadi saya
malas.” Ali berkata kepadanya : “Pergilah, engkau merdeka karena Allah swt.”
Diceritakan bahwa ketika Ma’ruf al-Karkhy pergi berwudlu,
ia meletakkan Al-Qur’an dan jubahnya. Seorang wanita datang dan membawanya.
Ma’ruf mengikutinya dari belakang. “Wahai saudaraku, aku adalah Ma’ruf
al-Karkhy, engkau tidak apa-apa atas perbuatanmu ini. Apakah engkau punya
seorang laki-laki yang dapat membaca Al-Qur’an?” Wanita itu menjawab : “Tidak.”
Ma’ruf bertanya : “Seorang suami?” “Tidak,” jawab wanita itu. Ma’ruf lalu
berkata, “Kalau begitu, berikanlah Al-Qur’an itu kembali kepadaku dan ambillah
jubah itu!.”
Para pencuri memasuki rumah Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Salah seorang sahabt kami
mendengar Syeikh tersebut menuturkan : “Suatu hari aku melewati pasar dan
kulihat jubahnya sedang dilelang, tapi aku berpaling menjauh tanpa menaruh
perhatian sedikit-pun padanya.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Aku baru saja pulang dari
Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak
mengangan-angan diriku. Aku memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah.
Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata : “Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau
tidak mengharap-hrap diriku.” Ia menjawab : “Itulah keutamaanmu. Dan itulah
hakmu.”
Ketika Abu Hafs ditanya tentang akhlak, ia mengatakan :
“Akhlak adalah pilihan Allah swt. untuk Nabi-Nya saw. dalam firman-Nya : “Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf.” (Qs. Al-A’raf :119).
Dikatakan : “Akhlak berarti
engaku dekat orang banyak, tapi asing terhadap urusan mereka.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik adalah bagaimana menerima
perlakuan kasar manusia dan ketentuan Al-Haq tanpa merasa sedih dan cemas.”
Dikatakan bahwa Abu Dzar memberi minum
untanya di sebuah bak kolam air. Tiba-tiba ada sebagian orang yang menabraknya.
Bak air itu pecah. AbuDzar duduk, kemudian berbaring. Seseorang bertanya
kepadanya mengapa berbuat begitu. Ia menjawab “Rasulullah saw. memerintahkan
kita, bahwa jika seseorang merasa marah, hendaklah ia duduk sampai marahnya
reda. Jika tidak reda juga, hendaklah ia berbaring.”
Tertulia dalam kitab Injil : “Hambaku, ingatlah kepada-Ku
ketika engkau sedang marah, maka Aku akan mengingatkanmu ketika Aku marah.”
Luqman berkata kepada nakanya : “Ada tiga macam orang
yang tidak dikanli kecualai pada tiga perkara : “Seorang murah hati ketika
marah, seorang pemberani di saat perang, dan seorang saudraa saat dibutuhkan.”
Musa as. Berkata : “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu agar
tidak dikatakan kepadaku, hal-hal yang bukan diriku, “Allah mewahyukan
kepadanya : “Aku tidak pernah melakukan hal itu untuk Diri-Ku. Bagaimana Aku
bisa melakukannya untukmu?”
Yahya bin Ziyad al-Haritsy ditanya, berkaitan dengan
seorang budak yang buruk perilakunya. “Mengapa engkau masih tetap
memeliharanya?” Ia menjawab, “Agar aku dapat belajar bermurah hati.”
Tentang firman Allah swt. “.....dan (Dia) menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Qs. Ar-Ruum:20), mempunyai makna bahwa
“lahir” berarti pembentukan fisik manusia, dan “batin” adalah penyucian akhlak
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Aku lebih suka berteman
seorang penjahat penuh dosa, tapi akhlaknya baik daripada seorang saleh yag
akhlaknya buruk.”
Dikatakan : “Akhlak yang baik berarti menanggung
penderitaan dengan penuh kegembiraan.”
Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke salah satu
padang pasir yang luas. Tiba-tiba seorang tentara muncul di hadapannya dan
bertanya : “Di mana kampung paling ramai?” Ibrahim menunjuk ke kuburan. Tentara
itu lalu memukul kepala Ibrahim bin Adham. Ketika akhirnya ia melepaskan
Ibrahim, seseorang mengatakan kepadanya, “Itu tadi Ibrahim bin Adham, Sufi dari
Khurasan.” Tentara itu lalu meminta maaf kepada Ibrahim bin Adham. Ibrahim
berkata : “Ketika engkau memukulku aku berdoa kepada Alalh swt. agar
memasukanmu ke dalam surga.” Tentara itu bertanya, “Mengapa?” Ibrahim menjawab
: “Sebab aku tahu bahwa aku akan memperoleh pahala karena pukulan-pukulanmu.
Aku tidak ingin nasibku menjadi baik dengan krugianmu, dan perhitungan amalmu
menjadi buruk karena diriku.”
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki mengundang Sa’id bin
Ismail al-Hiry ke rumahnya. Ketika Sa’id muncul di muka pintu rumah orang itu,
orang itu mengatakan kepadanya, “Wahai Syeikh, ini bukan waktu yang baik bagi
tuan untuk masuk ke dalam rumahku. Anda benar-benar menyesal. Maaf silahkan
pergi.” Ketika Sa’id datang lagi ke rumahnya, orang itu menyuruhnya pergi lagi
seraya mengatakan, “Maaf tuan, Ia meminta maaf kepada Sa’id dan menyuruhnya
supaya datang lagi pada suatu waktu tertentu. Sa’id pun pergi. Ketika datang
lagi, orang itu mengatakan hal yang sama. (Persitiwa itu sampai berulang empat
kali). Akhirnya orang itu menjelaskan : “Wahai Syeikh, aku hanya ingin menguji
Anda.” Ia lalu memintaa maaf kepada Sa’id dan memuji-mujinya. Sa’id menjawab :
“Jangan memujiku karena sifat yang juga dimiliki oleh seekor anjing; jika
anjing dipanggil, ia datang, jika diusir, ia pergi.”
Dikdisahkan bahwa Sa’id al-Hiry sedang mewetati jalan
menjelang tengah hari ketika seseorang di atas atap menumpahkan seember abu ke
atas kepadalanya. Kawan-kawannya menjadi marah dan mulai meneriaki orang yang
menumpahkan Abi itu. Sa’id berkata : “Jangan mengatakan apa-apa! Orang yang
layak memeperoleh neraka, tapi hanya dikenai abu saja tidak berhak untuk
marah.”
Dikatakan, Salah seorang dari fakir sedag gmenjadi tamu
di rumah Ja’fat bin Handzalah, yang leyaninya sebaik mungkinn. Fakir itu
berkata : “Anda bertul-betul orang yang baik. Sayang Anda seorang Yahudi.”
Ja’far menjawab : “Agamaku tidak mempegaruhi caraku melayani kebutuhamu.
Berdoalah agar jiwamu disembuhkan dan aku memperoleh hidayatnya!.”
Diceritakan bahwa Abdullah al-Khayyath mempunyai
pelanggan jahitan baju seorang Majusi. Orang itu biasa mebayarnya dengan uang
dirham palsu dan Abdullah menerima saja uang palsu itu. Suatu hari ketika
Abdullah sedang sibuk di Suraunya, orang Majusi itu datang untuk mengambil
pakaian pesanannya dan mencoba membayarnya dengan dirham-dirham palsu, yang
diberikan kepada muridnya, namun oleh murid itu ditolaknya. Akhirnya si orang
Majusi itu mebayar dengan uang dirham asli. Ketika Abdullah kembali, ia
bertanya kepada mudirnya : “Dimana pakaian pesanan orang Majusi itu?” Si
pembantu menceritakan apa yang telah terjadi. Abdullah memarahinya. Katnya :
“Engkau telah melakukan kesalahan. Selama beberapa waktu, kami telah melakukan
bisnis dengan caranya itu, dan aku bersabar saja. Dirham-dirham palsu itu
biasanya kulemparkan ke dalam sumur agar ia tidak menipu orang lain, selain
diriku.”
Dikatakan : “Akhlak yang buruk menyempitkan hati
pelakunya. Sebab ia tidak memberikan ruang bagi apa pun selain hawa nafsunya
sendiri, dan hati menjadi seperti sebua ruangan sempit yang hanya cukup bagi
pemiliknya.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik berarti bahwa engkau
tidak peduli siapa pun yang berdiri di sebelahmu dalam shaf ketika shalat.”
Dikatakn juga : “Suatu tanda keburukan akhlak Anda,
manakala Anda hanya tertuju pada keburukan akhlak orang lain.”
Rasulullah saw. ditanya : “Apakah yang disebut celaka
itu? Beliau menjawab : “Akhlak yang buruk.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. baha seseorang
memohon kepada Rasulullah saw. :
“Wahai Rasulullah! Mohonlah kepada Allah swt. agar
membinasakan orang-orang musyrik itu!” Beliau menjawab : “Aku diutus sebagai
rahmat, bukan sebagai penyiksa.” (H.r. Muslim).
34.
KEDERMAWANAN HATI
Edit : Pujo Prayitno
Alah swt. berfirman :
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas
diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu)>” (Qs. Al-Hasyr :9).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah saw. bersabda :
“Orang-orang yang
dermawan dekat dengan Allah swt, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan
jauh dari nerka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh adari
manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-orang bodoh yang pemurah
lebih disukai Allah swt. ketimbang orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.” (Hr.
Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani.).
Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu pengetahuan antara
kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan sifat sakah’ hanya karena
tidak adanya ketentuan pasti dari-Nya. Hakikat murah hati (juud), manakala
seseorang tidak merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya kepada orang lain.
Sementara sebagian kalangan Sufi, derma (sakha’) adalah
tahap pertama, disusul oleh Juud, kemudian memprioritaskan orang lain (itsar).
Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian
lainnya, ia adalah pemilik sakah’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih
banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia adalah orang yang
memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih
mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup
untuk hidupnya, itulah sifat itsar.
Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, bahwa asma’
binti Kharijah al-Fazzary mengatakan : “Aku tidak mau menolak seseorang yang
datang meminta kepadaku. Jika ia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk
menjaga kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia membuatku mempu menjaga
kehormatanku sendiri.”
Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu pintar sekali
dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada sahabat-sahabat dekatnya.
Ia biasa meninggalkan uang seribu dirham kepada mereka dan berkata : “Tolong
jaga uang ini sampai aku kembali!” Kemudian, ia menulis surat kepada mereka :
“Uang itu boleh kalian ambil.”
Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu dengan seseorang
dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang orang tersebut. “Ia dari mana?”
Dikatakan kepadanya bahwa orang itu dari Madinah. “Seseorang dari kota Anda,
bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang gkepada kami dan membuat kami kaya.”
Orang Madinah itu bertanya : “Bagaimana mungkin?” Ia tidak datang kepada Anda,
kecuali sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij itu menjawab : “Ia
tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia mengajarkan kepadakami kemurahan
hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami menjadi
kaya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika
Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah. Sang Khalifah lalu
menyuruh agar mereka dipenggal lehernya. Sementara al-Junyad terlindung oleh
kedudukannya yang terhormat di lapangan fiqih. IA dapat memberikan fatwa sesuai
dengan mazhab Abu Tsur.
Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury dan
lain-lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk pemenggalan kepala
mereka. An-Nury melangkah ke depan dan si Algojo bertanya kepadanya : “Apakah
engkau sadar apa yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab : “Ya” Si Algojo
bertanya lagi : “Lantas apa yang membuatmu begitu bersemangat tampil ke depan?”
Ia menjawab : “Aku ingin agar kawan-kawanku dapat menikmati hidup beberapa saat
lagi.”
Si Algojo merasa bingung bercampur heran atas jawaban
An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang kemudian diteruskan oleh
para Sufi itu kepada seorang hakim untuk diperiksa perkaranya. Sang Hakim mengajukan
beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain an-Nury, dan dijawabnya
semua, lantas ia mengatakan : “Di samping itu, sesungguhnya Allah mempunyai
hamba-hamba yang jika mereka berdiri, berdiri bersama Allah, dan apabila
bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus berbicara dan kata-katanya
membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu mengirim pesan kepada Khalifah :
“Jika orang-orang ini dianggap zindiq, maka tidak ada lagi seorang Muslim pun
di muka bumi ini.”
Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli barang-barang dari
penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata : “Anda akan menghemat uang
jika mau pergi ke pasar.” Ia menjawab :
“Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita denegan harapan dapat menyediaka
jasa kepada kita.”
Dikatakan : “Seorang laki-laki mengirimkan seorang budak
wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama murid-muridnya. Ia
berkata : “Betapa buruknya bila aku menerima budak ini sementara Anda semua ada
di sini. Aku tidak ingin mengisitimewakan
salah seorang dari Anda dengan memberikan budak ini, sedangkan Anda
semuanya mempunyai hak atas budak itu dan juga atas penghormatanku. Budak ini
tidak dapat dibagi-bagi di antara Anda sekalian.” Jumlah mereka sebanyak
delapanpuluh orang. Akhirnya Jabalah memerintahkan agar didtangkan seorang
budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridndya itu.”
Dikatakn : “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu Bakrah
kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah seorang wanita.
Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya dan berdiri di belakang pintu,
seraya berkata : “Menjauhlah dari pintu dan suruhlah salah seorang budakmu
untuk mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang wanita Arab, dan
budakku telah meninggal dua hari yang lalu!”
Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan kepada
budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.” Wanita itu berseru :
“Subhanallah, Anda menghinaku?” Mendengar tanggapan wanita itu, Ubaydullah
menyuruh budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu wanita itu berkata
: “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda dimaafkan.” Ubaydullah berkata lagi, “
Ambilkan tigapuluh ribu untuknya!.” Saat itulah si wanita membanting daun pintu
rumahnya dan berteriak : “Anda benar-benar memalukan!>” Tatepai Ubaydullah
berhasil memberikan kepadanya uang tigapuluh ribu dirham itu, yang juga
diterimanya. Sorenya, jumlah pelamarnya telah menjadi berlipat ganda.
Dikatakan : “Kedermawanan hati berarti bertindak pada
saat munculnya instik yang pertama.”
Saya mendengar salah seorang murid Abul hasan al-Busyanjy
– semoga Allah merahmatinya – menuturkan : “Abul Hasan al-Busyanjy sedang
berada di dalam toilet. Ia memanggil salah seorang muridndya dan memerintahkan
: “Ambillah baju ini dariku dan berikan kepaa si Fulan!” Seseorang bertanya
kepadanya : “Tidak dapatkah Anda menunggu sampai Anda keluar dari toilet?” Ia
menjawab : “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran dan batal
memberikan baju ini.”
Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya : “Pernahkah Anda
melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda sendiri?” Ia menjawab tegas :
“Ya.” Pernah kami berhenti di apdang pasir di rumah seorang wanita. Suaminya
pulang, dan ia berkata kepadanya : “Engkau punya banyak tamu.” Maka suaminya
itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya, dan memberitahukan, “Ini untuk
Anda semua.”. Keesokan hari ia mengambil seekor unta lagi dan mengatakan : “Ini
untuk Anda.” Kami berkeberatan : “Tapi unta yang Anda sembelih kemarin itu baru
kami makan sedikit saja. “Ia menjawab : “Saya tidak pernah meninggalkan daging
basi kepada tamu-tamu saya.”
Kami tinggal di rumah orang itu selam dua atau tiga hari
lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus melakukan hal yang
sama. Ketika hendak berangkat meneruskan pejalanan, kami tinggalkan uang
seratus dinar di rumahnya dan berkata kepada isterinya : “Mintakan maaf untuk
kami kepada suami Anda!>” Lalu kami berangkat meneruskan perjalanan. Pada
tengah hari tiba-tiba ada teriakan seseorang di belakang kami: “Berhenti wahai
gerombolan orang jahat! Kalian semua mau membayar keramah-tamahanku? Lalu ia
memaksa kami kembali dan mengatakan : “Anda mengambilnya kembali, atau saya
tusuk Anda dengan tommbak saya ini!.” Uang itu kami ambil kembali dan kami pun
terus melanjutkan perjalanan. Kemudian orang itu bersyair :
Jika kau ambil kembali pahala
Karena apa yang telah kuberikan,
Maka biarlah kehinaan
Bagi peraihnya.
Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke rumah salah
seorang sahabtnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu dan pintu rumah
dikunci. Ia berkata : “Orang ini seorang Sufi, tapi mengunci rumahnya?
Hancurkan saja kuncinya?” Maka meraka pun membongkar kunci rumah itu.
Diperintahkannya agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di rumah itu
untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami rumah itu.
Ketika si empunya rumah datang, ia tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk rumah itu, dan ia masih
mempunyai pakaian. Dilemparkannya pakaian itu sambil berucap : “Wahai para
sahabt, ini juga bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!” Suaminya
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau lebih suka menderita seperti ini?” Si
istri menjawab : “Diamah!” Bagi seorang syeikh seperti itu, yang menghormati
kita dengan memperlakukan kita penuh keakraban dan yang melaksanakan
urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita sesuatu yang dapat kita
hinakan.”
Bisyr ibnul Harits mengatakan : “Menaruh perhatian kepada
seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”
Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin Ubadah jatuh sakit,
sahabt-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia bertanya tentang
mereka. Dikatakan kepadanya : “Mereka malu karena hutang-hutangnya kepada Anda.
“Ia berteriak : “Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang saudara
mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu mengirim seorang utusan untuk
mempermaklumkan bahwa barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu
dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan orang-orang yang
datang mengunjunginya.
Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far, “Anda memberi cukup
banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika ditentang meskipun sedikit.”
Ia menjawab, “Aku memberikan hartaku, tapi aku menggerutu dengan nalarku.”
Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far pergi menengok
salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan, ia berhenti di
sebuah kebun kurma suatu kaum dimana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika
si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke dalam kebun
itu dan mendatanginya. Budak itu lalu meemparkan sepotong roti, dan anjing itu
memakannya. Ia melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti pada anjing
itu, yang terus lahap memakannya.
Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu, bertanya
kepada si budak : “Wahai budak, berapa banyak makanan yang engkau terima tiap
hari?” Ia menjawab : “Seperti yang anda saksikan adi.” Abdullah bertanya,
“Lantas mengapa engkau berikan makananmu pada anjing itu, bukannya engkau makan
sendiri.?” Si budak menjelaskan : “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu
telh datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.”
Abdullah bertanya lagi : “Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak menjawab :
“Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku telah dicela orang
karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.” Maka ia lalu
membeli kebun kurma itu, sekaligus dengan budak itu dan alat-alat kerjanya,
kemudian memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu kepadanya.”
Diceritakan bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang
sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabtnya itu. Si sahabat bertanya
kepadanya : “Ada apa?” Laki-laki itu menjawab : “Aku punya hutang sebanyak
empat ratus dirham yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu lalu mengambil
uang empatratus dirham dan memberikannya kepada sahabatnya. Setelah itu ia
masuk ke dalam sambil menangis. Istrinya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau
tidak mengjukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan susah?” Suaminya
menjawab : “Aku menangis karena kau tidak melihat kondisi yang menimpanya
sehingga terpaksa mengungkapkannya kepadaku.”
Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan : “Apabila salah
seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku, hendaklah menyampaikannya
melalui pesan tertulis, sebab aku tidak suka melihat hinanya wajah seseoarng
yang sangat membutuhkan.”
Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat gara-gara
terhadap Abdullah bin Abbas. IA membawa orang-orang tekemuka di kota dan
mengatakan kepada mereka bahwa Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya
untuk makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah Abdullah, dan
pekarangan rumahnya pun penuh dengan kehadiran mereka. Abdullah bertanya : “Ada
apa ini?” Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Dengan
segera Abdullah menyuruh orang untuk membeli buah-buahan dan roti serta memasak
makanan. Semunaya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua makanan
telah habis dimakan, ia bertanya kepada para wakilnya, : “Apakah mungkin bagiku
untuk menyediakan makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab :
“Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan : “Jika demikian, biarlah semua orang ini
menjadi tamuku setiap hari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
menuturkan : “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang berwudhu di
pekarangannya, seorang laki-laki datang meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa
sesuatu pun, karenanya ia lalu berkata : “Tunggu sampai aku selesai!” Orang itu
pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata kepada orang itu : “Ambillah
botol minyak wangi ini dan pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi.
Abu Sahl menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah pergi jauh;
kemudian ia berteriak : “Ada orang mencuri botol minyak wangi!” Orang-orang pun
mengejar “si pencuri” tetapi tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat
demikian hanya karena keluarganya sering
mengecamnya atas tindakannya yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.
Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada seorang
laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya jubah milik
beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika hendak pergi mengajar. Suatu
delegasi ulama-ulama terkenal yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap
bidang ilmu datang dari Persia. Delegasi
tersebut mencakup pra fuqaha tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan
panglima tentara, yakni Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk menyambut
kedatangan mereka. Beliau mengenakan pakaian perang di balik jubah wanita yang
dipakainya, lalu menaiki kendaraannya. Sang Panglima berkata : “Ia mengejekku
di hdapan seluruh penduduk kota, dengan berkendaraan memakai jubah wanita!”
Tetapi Abu Sahl kemudian berdebat dengan seluruh anggota delegasi terssebut,
dan berhasil memenangkannya.
Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy –
semoga Allah merahmatinya – mengabarkan bahwa Syeikh Abu Sahl tidak pernah memberikan
sedekah kepada siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan hartanya ia lempar ke
tanah agar diambil orang yang membutuhkannya, dan berkata : “Dunia ini bagiku
kecil nilainya dibanding kau melihat ke arahnya, sementara tanganku di atas
tangan seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “ Tangan yang di atas
lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Hr. Muslim dan Tirmidzi).
Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah seorang yang murah
hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya. Beliau mengatakan :
“Aku tidak punya sesuatu pun untuk kuberikan kepadamu. Laporkan kepada Hakim,
dengan tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu dirham, untuk ku akui,
sehingga hakim itu menahanku. Sebab keluargaku pasti tidak membiarkan diriku
ditahan.” Si penyair itu pun menuruti perintahnya dan ia tidak dapat berbuat
banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh ribu dirham agar ia
keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun keluar setelah ditunaikan hutangnya.
Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Hasan bin
Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu sebanyak lima puluh
ribu dirham dan limaraus dinar. Beliau menyuruh orang itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu.
Orang itu pun lalu mencari kuli. Kemudain al-Hasan memberikan kepadanya
selendangnya, sambil berkata :”Upah kuli itu, kutanggung juga.” Ketika seorng
wanita meminta makok madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang membawa
sekantong kulit penuh madu kepada wanita tersebut. Seseorang mengkritik atas
tindakannya itu, dan dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan
kebutuhannya, dan aku memberi sesuai dengan kesenanganku.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku Shalat Subuh di
masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah seorang yang
berhutang kepada kepadaku. Seusai menunaikan shalat, seseorang meletakkan satu
stel pakaian dan sepasang ssandal di hadapan setiap orang yang ada di masjid
itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya :Apa ini?” Orang-orang menjawa
:Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah, dan beliau menyruh hal ini dilakukan
kepada seluruh jamaah masjid.”. Aku berkata : “Akan tetapi aku orang luar. Aku
datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang berhutang kepadaku.”
Mereka berkata : “Hadiah ini untuk semua yang hadir.”
Diceritakan, bahwa menjelang wafat, asy-Syafi’y r,a,
memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan aku!” Namun orang yang
dimaksud tidak ada di sana. Ketika ia datang kepadanya dikatakan tentang pesan
asy-Syafi’y tersebut. Maka ia minta untuk melihat pembukuan asy-Syafi’y, dan ia
menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak tujuh puluh ribu dirham.
Orang itu kemudian menyelesesaikan huang itu dan berkaa : “Inilah tugasku
memandikan beliau.”
Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y kembali ke Mekkah
dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar. Seseorang mengatakan kepada
beliau : Anda harus membeli budak wanita dengan uang itu.” Mendengar itu,
beliau lalu memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan menumpahkan
dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang datang ke kemah, beliau
memberinya segenggam uang. Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan
mengibas-ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang
tertingggal.
Dikisahka, bahwa as-Sary pergi kelaut pada hari raya, dan
bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya melihat sekilas saja
kepadanya. Seseorang berkaa : “Itu orang penting.” Ia menjawab : “Aku tahu
siapa dia, tetapi telah dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim berjumpa,
maka seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua :sembilan puluh
persen untuk orang yang lebih bergembira di antara mereka berdua. Aku ingin
agar ia memperoleh bagian yang lebih banyak.
Diceritakan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abu
Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada beliau : “Apa yang
membuat Anda menangis?” Beliau menjawab : “Tidak seorang pun tamu yang datang
kepadaku selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah menghinaku.”
Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a. mengatakan : “Zakat
atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di dalamnya untuk tamu.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu
Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs. Adz-Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan, karena
Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga dikatakan demikian, karena si
tamu seorang mulia dengan sendirinya juga seorang yang mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada empat perbuatan
yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia seorang prnguasa :
“Berdiri dari tempat duduknya untuk ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang
ulama yang pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang tidak
diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka
atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa berdosa jika di
antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan hal itu bagi
mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali waktu
sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika orang itu hendak
berangkat, budak-budak Abdullah menolak membantunya. Ketika ditanya tentang hal
ini, Abdullah menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby
dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan mereka
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan jiwa dengan
tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati dalam memberikan
milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari yang sangat
dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan sebagian dari
pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku bertanya kepadanya : “Wahai Abu Nashr,
orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa Anda
berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku ingat kepada orang-orang miskin
dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka.
Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka, kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kedermawanan hati
bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kedermawanan hakiki
adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”
35.
GHIRAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang lahir ataupun yang batin.” (Qs. Al-A’raf :33).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.Di
antara cemburu-Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik kekejian yang lahir
maupun keji yang batin.” (Hr. Bukhari – Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayat oleh Abu Huraiarah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga pencemburu.
Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul bilamana seorang hamba yang beriman
melakukan apa yang telah dilarang-Nya.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi).
Cemburu adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki
sesuatu. Allah digamabarkan bersifat Ghirah (cemburu), berarti bahwa Allah
tidak ridha manakala ada tuhan lain di sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak
Allah ketika hamba –Nya taat kepadan-Nya.
Diriwayatkan dari as-Sary as-Saqathyketika dibacakan ayat
:
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan
antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu
hijab yang tidak dapat ditembus.” (Qs. Al-Isra’:45).
As-Sary berkata kepada murid-muridnya : “tahukah kamu
apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada yang lebih
pencemburu daripada Allah swt.”
Dengan kata-kata :”Itu adalah hijab cemburu”, maksud
as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan kepada orang-orang kafir
untuk mengetahui kebenaran agama.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Alah swt. telah
mengingatkan beban kehinaan pada kaki orang-orang yang malas dalam beribaddat
kepada-Nya. Dia menempatkan mereka pada jarak yang ajuh dari-Nya dan menajdika
mereka terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada-Nya.”
Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair :
Aku pencinta setia kepada yang kucintai, tetapi
Pertolongan mana yang bisa kuperoleh
Dengan buruknya pandangan para tuan?
Kaum Sufi juga amengatakan tentang masalah ini : “Sorang
yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat mengingini tidaklah
diingikan.”
Al-Abbas az-Zauzany mengatakan : “Aku dianugerahi
kebaiakan dala permulaan perjalanan ruhaniku. Aku mengetahui apa yang masih
tersissa antara aku dan tujuanku. Pada suatu malam aku bermipi tergelincir dari
puncak gunung yang ingin kucapai. Aku sangat sedih (ketika bangun). Kemudian
aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara mengatakan : “Wahai Abbas, Allah
tidak menghendaki engkau mencapai tujuan yang engku upayakan. Tetapi Dia telah
membawakan hikmah kepada lidahmu.” Ketika aku bangun pagi aku benar-benar telah
dianugerahi ilham ucapan-ucapan yang penuh hikmah.”
Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika ada
seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat-saat bersama Allah swt.
Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama di antara orang-orang miskin. Ketika
muncul kembali, tidak dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab : “Duh, hijab telah terjadi.”
Selama dalam majelis, tiba-tiba terjadi sesuatu yang
merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq biasa berkata : “Ini
adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak menghendaki mereka mengalami nuansa
lebih dari saat yang jernih ini.”
Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Juwita berhasrat datang kepada kami;
Sampai ketika ia memandang cermin
Keindahan wajahnya
Telah menawan dirinya.
Sebagian Sufi ditanya : “Apakah engkau ingin
melihat-Nya?” ia amenjawab : “Tidak” Ia ditanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Aku
ingin menyucikan Keindahan yang begitu agung dari segala pandangan seperti
persepsiku.”
Para Sufi bersyair :
Aku iri kepada mataku yang memandangmu
Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu.
Kulihat dirimu menampakkan keindahan-keindahan
Yang membuatku terpesona.
Aku cemburu
Darimu
Padamu.
Asy-Syibly pernah ditanya : “Kapankah engkau istirahat?”
Ia menjawab : “Jika kudapati baha tiada lagi orang berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq telah
mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja menyelesaikan akad jual
beli seekor kuda dengan seorang Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan
dibaalkan, maka Nabi membatalkannya. Kemudian si Badui berkata : “Semoga Allah
swt. memberimu umur panjang. Dari golong apa engkau?” Nabi menjawab : “Seorang
laki-laki dari suku Quraisy.” Salah seorang sahabat yag hadir mencela si Badui
: “Kekuarang ajaran mana yang lebih besar daripada tidak mengenali Nabimu?”
Syeikh Abu Ali berkata : “Nabi saw. bersabda : “Sorang glaki-laki dari suku
Quraisy.” Itu adalah karena cmeburu. Jika tidak, tentu beliau akan menjawab
kepda siapapun yang bertanya kepada beliau, siapa diri belaiu yang sebenarnya.
Kemudian Allah swt. menjadikan sahabt tersebut mengungkapkan identitas beliau
kepada si Badui dengan bertanya : “Kekurang ajaran mana yang lebih besar
dariapda tidak mengenali Nabimu?”
Sebagian Sufi berkata : “Cemburu adalah sifat orang-orang
pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan tidaklah mengalami cemburu,
tidak pula memiliki predikat ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi
di kerajaan. Allah swt. sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam segala
ketentuan yang dikehendaki-Nya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Cemburu adalah
amal para murid. Sedangkan mereka yang telah mencapai hakikat kebenaran, tidak
ada rasa cemburu.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Ada dua macam cemburu;
Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap hati manusia.”
Diteaskannya juga : “Cemburu Allah menyangkut nafas manusia, jika nafs itu
dihembuskan untuk selain Alalh swt.”
Seharusnya dikatakan : Ada dua macam cemburu : Pertama
cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak ingin ada sesuatu yang
melimpahi makhluk. Dan kedua, cemburu hamba terhadap Allah swt. berarti
penolakannya untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada selain
Allah.” Karenanya tidak dapat dikatakan :Aku cemburu kepada Allah swt.” Tapi
hendaklah mengatakan : Aku cemburu demi Allah swt.” Cemburu kepada Allah swt,
adalah kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi cemburu demi
Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan penjernihan amal-amal kebajikan
kepada-Nya.
Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah –
jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah, mendengarkan kepada selain
Allah, atau memperbolehkan yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati
mereka, maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati mereka – Allah
bagitu cemburu akan hati mereka hingga Dia mengembalikan mereka kepada
Diri-Nya, dalam keadaan kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan kepada
mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari semua yang mereka perbolehkan
bersemayam di hati mereka. Sebagaimana Nabi Adam as. Ketika hatinya tersirat
keinginan hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari
surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. Di saat keberadaan Ismail membuat
beliau bangga dan kagum, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai
Ismail keluar dari dalam hati Ibrahim. “Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis (nya) (untuk dikorbankan)”
(Qs. Ash-Shaffaat :103), dan Ibrahim telah menyucikan batinnya melalui
perintah-Nya, lalu Allah menggantikan dengan domba.
Muhammad bin Hissan menuturkan : “Sekali waktu, ketika
aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang pemuda datang kepadaku.
Tubuhnya telah terbakar oleh badai pasir dan anin, Ketika melihatku, ia
berpaling dan lari. Aku mengikutinya dan berkata : Berilah aku sepatah kata
nasihat!.” Ia menjawab : “Waspadalah, karena Dia pecemburu. Dia tidak mau menemukan sesuatu
selainDiri-Nya dalam hati hamba-Nya.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Alalh swt. adalah Pencemburu.
Salah satu tanda cemburu-Nya adalah bahwa Dia tidak menjadikan jalan menuju
Diri-Nya selain Dari-Nya sendiri.”
Diriwayatkan bahwa Alalh swt. menyampaikan wahyu kepada
sala seorang Nabi-Nya : “Si Fulan membutuhkan Aku dan Aku pun membutuhkannya.
Jika ia memenuhi kebutuhan-Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya.” Nabi
tersebut – semoga Allah melimpahkan keselamatan kepadanya – bertanya dalam
munajatnya : “Wahai Tuhanku, abagaimana mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?”
Allah menjawab : “Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka hendaknya ia
mengosongkan hatinya. Aku akan memenuhi kebutuhannya.”
Diceritakan bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi melihat
sekelompok bidadari. IA memandang mereka, sehingga beberapa hari waktunya
terbengkelai. Kemudian ia bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia
tidak menoleh kepada mereka, seraya berkata : Kalian semua mengalihkan
perhatianku.”
Dikatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah jatuh sakit paa suatu
hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya. IA menjawab : “Karena aku
memalingkan hatiku ke surga, maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak
menegcamku. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan : “Satu
ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku. Aku menjelajahi beberapa
gunung dan bertemu dengan segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta
atau lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka kerjakan
di temepat itu, mereka menjawab : “Kami diberitahu bahwa di sini tinggal
seorang laki-laki yang keluar (dari gua) sekali setahun. Jika ia berdoa untuk
orang banyak, mereka akan sembuh.” Aku lalu menunggu sampai orang itu keluar.
Ia berdoa untuk orang-orang itu dan mereka pun sembuh. Aku mengikutinya, datang
ke dekatnya dan bertanya, : “Apakah obat untuk penyakit batinku? Ia menjawab :
“Wahai Sary, pergilah dariku, agar Alalh swt. Yang Pencemburu, tidak melihatmu
mencari ketenangan dari selain Dia. Itu akkan merendahkan derajatmu di
sisi-Nya.”
Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang
cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya dengan alpa; sehingga
tidak mungkin rasanya memandang mereka, yang membuatnya menderita.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaqberkomentar
tentang kejadian ketika seorang badui masuk ke dalam masjid Nabi dan kencing.
Para sahabat berdatangan untuk mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan :
“Orang Badui itu berperilaku buruk sekali, tetapi justru rasa malu justru
menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang hamba. Apabila ia
mengetahui kemahakuasaan dan kebesaran Allah swt. maka ia akan marah manakala
mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh, atau manakala
melihat seseorang melakukan ketaatan ibadat tanpa benar-benar disertai
pernghormatan kepada-Nya.”
Diceritkan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-Syibly
yang bernama Abul Hasan, meinggal dunia. Sebagai tanda berkabung, ibunya
memotong seluruh rambutnya. Asy-Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur
jenggotnya hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan dukacita
bertanya : “Apa yag telah engkau lakukan, wahai Abu Bakr?” Ia menjawab : “Aku
mengikuti contoh yang diberikan istriku.” Salah seorang di antara mereka
bertanya lagi, : “Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda melakukan
hal ini?” Ia menjawab : “Aku tahu bahwa orang-orang akan datang untuk
menyatakan belassungkawa dengan menyebut nama Allah secara sembrono dengan
mengatakan : “Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.” Aku mengorbankan
jenggotku untuk menebus kesembronoan mereka dalam meneyebut-nyebut nama Allah
swt.”
Ketika an-Nury mendengar seseorang
menyerukan adzan, ia berteriak : “Bohong dan racun!” Sebaliknya ketika
mendengar seekor anjing menggonggong, ia berkata : “Iya, aku siap melayanimu!.”
Seseorang berkomentar : “Ini adalah bid’ah.
Ia mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas tauhid, “Bohong dan
racun.” Sementara ia mengatakan, “Ya siap melayanimu.” Pada anjing yang
menggonggong” Ketika ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan : “Orang
itu menyebut-nyebut nama Allah swt. dengan penuh kealpaan, sedangkan anjing
itu, Allah swt. telah berfirman : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada
di dalamnya bertasbih kepada Allah.” (Qs. Al-Isra :44).
Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai
mengucapkan dua kalimah syahadat, ia berkata : “Seandainya Engkau tidak
memerintahkan aku menyebut demikian, niscaya aku tidak akan menyebutkan yang
lain bersama dengan-Mu.
Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya berseru
: “Maha Agung Allah.” Ia menjawab : “Aku lebih ska mengagungkan-Nya, dengan
cara tidak seperti itu.”
Abul Hasan al-Khazafany berkata : “Laa ilaaha illallaah
dari dalam kalbu, dan Muhammadarrasuulullaah dari telingaku, maka orang yang
hanya melihat perkataan ini pada tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah
menghina syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab, bahaya bagi tipu
daya, justru ketika disandarkan pada Kekuasaan Allah swt. sementara justru
menghina dalam pelaksanaannya.”
36.
KEWALIAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Ynus
: 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Barangsiapa yang menyakiri
seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang
hamaba bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa
ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keragguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku
yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti
hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan!.” (H.r.
Ahmad, Hakim dan Tirmidzi).
Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari
bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang
diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah difirmankan
oleh-Nya : :...... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang
saleh.” (Qs. Al-A’raf :196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Arti yang kedua berasal dari
bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang
secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus
menerus tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali
untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak
Allah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya,
di saat senang maupun susah.
Salah satu persayaratan seorang wali adalah bahwa Allah
melindunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu
persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum).
Sipa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari stariat Allah swt.
berarti telah tertipu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk
mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali.
Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang
tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjsid. Abu
Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata :
“Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar
seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan
untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt.?”
Terdapat ketidakpercayaan di kalangan kaum Sufi mengenai
apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah
seorang wali atau bukan. Sebagian mereka mengatakan : “Hal itu tidak
didperbolehkan. Sang wali harus selalu instropeksi dirinya dengan pandangan
penuh hina. Jika suatu karamah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika
keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaan sekarang.” Para Sufi yang
berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan
keteguhannya hingga akhir hayat.
Akan tetapi, sebagian sufi mengatakan : “Boleh saja
seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian
sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat
kewalian di saat ini.”
Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk
mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali akan dianugerahi suatu karamah
tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadaanya mengenai kepastian
keadan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karamah seorang wali adalah wajib.
Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya
mengagungkan dan memahabessarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih
efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.
Ketika Nabi saw. bersabda : “Sepuluh orang sahabtku akan
berada di surga.” Maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah
saw. dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat
keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami secara benar mengenai
kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, di samping itu juga
pengetahuan tentang hakikat karamah. Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang
wali, manakala dia menyaksikan suatu karamah terjadi di depan matanya, tidak
mungkin ia tidak membedakan antara karamah dan lainnya. Jika menyaksikan hal
seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.
Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan
datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi
pengetahuan ini sendiri adalah suatu karamah. Ajaran tentang karamah wali
adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi. Di antara
syeikh yang menyapakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang :
“Apakah engkau ingin menjadi wali Allah>” Dia menjawab : “Ya” Ibrahim bin
Adham lalu berkata : “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta kekayaan
duniawi ataupun ukhrowi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt. semata.
Palingkanlah mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu
wali-Nya.”
Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut
: “Mereka adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah
mengalami penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka
mencapai tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan : “Wali-wali Allah
adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para
pengantin selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam
ruang khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang
melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”
Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang
yang saleh menuturkan : “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan
makam Abu Bakr at.Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir namanya pada
nisan itu. Namun tiba-tiba digali dan dicuri orang meskipun makam-makam yang
lain tidak. Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepda Abu Ali
ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan kepadaku : “Syeikh itu lebih suka tidak
dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan
memperbaiki kenangan kepadanya. Allah swt. tidak ingin kecuali tetap
menyembunyikannya sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu
hidupnya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Kadang-kadang
seorang wali termasyhur ke mana-mana, namun ia tidak akan tergoda oleh
kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Para wali tidak mengajukan
tuntutan; mereka justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan :
“Pangkal perjalanan para wali adalah langkah pertama para Nabi.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Wali adalah dia yang
selalu melakukan perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Seorang wali berbuat
sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat
seseorang yang berwatak seperti itu!.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Seorang wali adalah yang
fana’ keadaannya namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil
alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah.
Dia tidak tahu apa tentang ddirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain
Allah swt.”
Abu Yazid mengabarkan :”Jatah para wali yang sudah
ditentukan berasal dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali berbuat
sesuai dengan salah satu Asma tersebut : Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir
(Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang lahir) dan Al-Bathin (Yang batin). Manakala seorang
Wlai fana’ dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia
kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya beasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan
menyaksikan kekuasaan-Nya; Wali yag mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan
menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya. Wali
yang bagiannya dari al-Awwal disebutkan dengan masa lampau; Wali yang namanya
berasal dari al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang.
Masing-masing diberi keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah
dipilih oleh Alalh swt. dan dipelihara untuk diri-Nya.”
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok terpilih di
antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak
hanya sibuk dengan masa depan, atau pun masa lalu dalam benaknya, juga bukan
karena jalan-jalan ruhani yang telah dilewatinya. Demikian keadaan ruhani
mereka yang telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk. Seperti difirmankan Allah swt. :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka
tidur.” (Qs. Al-Kahfi :18).
Yahyan bin Mu’adz mengatakan : “Seorang wali adalah
wewangian Allah di bumi, yang dicium banunya oleh pafa shiddiqin, hingga bau
itu menyentuh kalbunya, smapai mereka terbelenggu rindu pada Tuhannya. Ibarat
mereka senantiasa bertambah menurut derajat akhlaknya.
Muhammad al-Wasithy ditanya : “Bagaimana seorang wali
dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia menjawab : “Pada awalnya, dia dibesarkan
dengan ibdadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tabir
melalui kelembutan-Nya. Kemudian Dia mengembalikan ke dalam sifat-sifatnya yang
terddahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati rasa ketegauhannya dalam
waktu-waktunya.”
Dikatakan : “Tanda kewalian ada tiga : Disibukkan dengan
Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia hanya bercita-cita kepada Allah
swt.”
Alh-Kharraz berkata : “Jika Allah swt. berkehendak
mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya
pintu gerbang dzikir kepada-Nya. Jia dia telah merasakan manisnya dzikir, maka
Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lantas dinaikan ke atas
kesukacitaan ruhani. Kemudian dia ditempatkan-Nya di atas tahta tauhid.
Kemudian dibukakan tabir dan dimasukan ke dalam rumah Ketunggalan. Disibakkan
baginya Keagungan dan Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang Kebesaran dan
Keagungan, ia tetap tanpa dirinya. Pada saat seperti itu si hamba menjadi
fana’. Setelah itu ia akan berada di dalam perlindungan Allah swt, bebas dari
keccenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt. maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt. maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”
Dikatakan : “Salah sifat seorang wali adalah bahwa dia
tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu keadaan yang dibenci yang
menempati di masa datang. Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu.
Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada gambaran di depan hingga ia harus
takut, atau tak ada harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu yang
tercnta untuk datang, atau bahkan yang dibenci kelak terbuka kedoknya. Hal itu
juga berada di luar lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa sedih,
sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu. Bagaimana mungkin orang yang telah
merasakan cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan-Nya akan tertimpa
kesedihan? Allah swt. berfirman : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu,
tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Qs. Yunus :62).
37.
DOA
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dalam
kerahasiaan.” (Qs. A-A’raf :55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.”
(Qs. Al-Mu’min :60).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anans bin
Malik).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat
beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit,
kelegaan bagi perindu.”
Allah s”Mereka menggenggamkan tangannya.” (Qs. At-Taubah
:67).
Ditafsirka bahwa ayat ini bermakna : “Mereka tidak
mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk berdoa kepada kami.”
Sahl bin Abdullah menuturkan : “Percayakanlah
rahasai-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka melihatlah kepada-Ku, kalau
tidak, maka dengarkanlah Aku, Kalau tidak, maka menunggulah di pintu-Ku. Jika
tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan, ketakanlah kepada-Ku apa
kebutuhan-mu.”
Sahl juga berkata : “Doa yang paling dekat untuk
dikabulkan dalah doa seketika.” Yang maksudnya adalah doa yang terpaksa
dipanjatkan oleh seseorang dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap apa
yang didoakannya.
Abu Abdullah al-Makanisy berkata : “Aku sedang bersama
al-Junayd ketika seorang wanita datang dan meminta kepadanya : “Berdoalah
untukku agar Allah mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah hilang.”
Al-Junayd mengatakan kepadanya : “Pergilah, dan bersabarlah.” Kemudian wanita
itu berlalu, kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar beroda lagi.
Al-Junayd menjawab : “Pergilah dan bersabarlah.” Hal ini berlangsung
berkali-kali, dan setiap kali al-Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar.
Akhirnya wanita itu berkata : “Kesabaranku telah habis. Sudah tidak ada lagi
sisa kesabaranku.” Al-Junayd menjawab : “Jika demikian halnya, pulanglah
sekarang, sebab anakmu telah kembali.” Wanita itu pun pulang, dan menemukan
anaknya. Dia kembali kepada al-Junayd : “Bagaimana engkau bisa tahu?” Dia
menjawab : “Allah swt. telah berfirman “Atau siapakah yang memperkenan (doa)
orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan.” (Qs. an-Naml : 62).”
Orang berbeda pendapat mengenai mana yag lebih baik :
Berdoa atau berdiam diri dan bersikap ridha. Di antara mereka ada sebagian yang
berekata : “Doa adalah otak ibadat.”
Adalah lebih baik melaksanakan apa pun yang merupakan amal ibadat daripada
melewatkannya. Di samping itu, berdoa adalah hak Tuhan atas manusia. Kalaupun
Dia tidak mengabulkan doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat dengan
doa-nya, namun sang hamba telah melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah
ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”
Abu hazim al-A’raj berkata : “Dihalangi berdoa adalah
lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi tidak dikabulkan.”
Ada orang lain yang menegaskan : “Diam dan tidak berbuat
apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan adalah lebih sempurna daripada berdoa.
Bersikap ridha atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih utama.
Sehubungan dengan alasan ini, al-Wasithy mengatakan : “Memilih apa yang telah
ditetapkan bagimu dalam zaman azali adalah lebih baik bagimu daripada menentang
kedaan yang ada sekarang.”
Nabi saw. berdsabda : “Allah swt. berfirman dalam hadits
qudsi : “Aku memberi kepada orang yang terlalu sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat
berdoa, lebih banyak daripada yang Ku-berikan kepada mereka yang berdoa”.
Ada kelompk kaum yang berkata : “Si hamba harus sberdoa
dengan lidahnya, sementara pada saat yang sama dia juga bersikap ridha, dan
dengan demikian menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah mengatakan
bahwa waktu dan situasi itu berbeda-beda. Dala situasi tertentu, doa adalah
lebih baik daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang hamba. Sementara
dalam keadaan alin, berdiam diri adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai
alasan etika pula. Ini hanya bisa diketahui dalam waktu, karena pengetahuan
mengenai waktu, jika seseorang mendapati hatinya
condong untuk untuk berdoa, maka berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati
hatinya condong kepada diam diri, maka berdiam diri lebih baik.
Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si hamba
untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap Tuhannya Yang Maha Luhur ketika
berdoa. Dia juga harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan berdoanya,
maka berdoa adalah paling baik baginya. Jika ia mengalami semacam kendala dan
hatinya merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik baginya adalah
meninggalkan berdoa pada saat itu. Jika dia tidak mengalamami yang manapun dari
kedua hal ini, maka terus berdoa atau pun meninggalkannya adalah sama saja baiknya.
Jika kepeduliannya yang utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri,
maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya. Dalam soal=soal yang
menyangkut nasib kaum Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban seseorang
terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih baik daripada tidak, tapi dalam
perkara-perkara yang menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri
adalah lebih baik.
Dalam sebuah hadis disebutkan : “Apabila
seorang hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah berfirman : “Wahai Jibril,
tundalah memenuhi kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang mendengarkan
suaranya.” Apabila seseorang yang tidak disukai Allah beroda, Dia berfirman :
“Wahai Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku tak suka mendengar
suaranya.”
Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Waththan bermimpi
melihat Allah swt. dan ia berkata : “Wahai Tuhanku, betapa banyak kami telah
beroda kepadamu, tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!.” Dia menjawab : “Wahai
Yahya, itu karena Aku senang mendengarkan suaramu.”
Nabi saw. menjelaskan :
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila
seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia akan menolaknya. Lalu orang itu
berdoa lagi, akhirnya Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya : “Hamba-Ku
menolak untuk beroda kepada selain pada-Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya.:
(H.r. Ali ra. Dan dikeluarkan oleh al-Hakim).
Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. yang
menuturkan : “Pada masa Nabi saw. ada seorang laki-laki yang berdagang antara
Syam dan Madinah serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian, tanpa
begabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal kepada Allah swt. Sekali waktu,
ketika dia bepergian dari Syam ke Madinah, seorang penyamun mencegatnya dan
berkata kepadanya : “Berhenti!” Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si
penyamun : “Ambillah barang-barangku tapi jangan kau rintangi jalanku!” Si
penyamun menjawab : “Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang
kukehendaki.” Maka pedagang itu menjawab : “Apa yang kau kehendaki dariku,
bukankah urusanmu itu hartaku?” Ambillah abrang-barang itu dan enyahlah!>”
Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya. Si pedagang berkata :
“Tunggulah sampai aku berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.” Maka si pedagang pun
bangkit, berwudhu, lalu shalat empat rakaat. Setelah itu dia mengangkat
tangannya ke langit dan beroda :
“Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha
Penyayang, Wahai pemilik ‘Arasy yang Agung, wahai Yang dari-Nya segala sesuatu
berasal dan kepada-Nya sesuatu kembali, Wahai Yang Maha melakukan apa yang
dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi
segenap penjuru ‘Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan yang
dengannya Engkau memerintah makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada
Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah aku.!.
Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika ia selesai berdoa,
tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berwarna abu-abu dan
berpakaian hijau dengan memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si
penyamun melihat si penegndara kuda itu, ditinggalkannya si pedagang dan
disongsongnya si pengendara kuda itu. Ketika sudah dekat, si penunggang kuda
itu menyerang si penyamun sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya.
Kemudian penunggang kuda mendatangi si pedagang dan memerintahkan : “Bangkit
dan bunuhlah dia!” Namun si pedagang itu balik berkata : “Siapa Anda?” Aku tak
pernah membunuh seseorang, dan diriku tak layak membunuhnya.”
Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun langsung
membunuhnya. Kemudian mendatangi si pedagang, sambil memberi tahu : “Aku adalah
seorang malaikat dari langit ke tiga. Ketika engkau berdoa untuk pertama
kalinya, kami mendengar bunyi gaduh di pintu gerbang langit. Kami berkata
“Sebuah kejahatan telah terjadi.” Ketika engkau berdoa untuk kedua kalinya,
pintu langit terbuka dan terlihat seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa
untuk ketiga kalinya, Jibril As. Turun ke langit kami dan berteriak : “Siapakah
yang mau menolong orang yang tertekan ini?” Aku memohon kepada Allah swt. agar
diizinkan membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan pertolongan kepada
siapa saja yang beroda dengan doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan,
malapetaka dan keputus-asaan.”
Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya dengan
aman sampai ke Madinah dan pergi menemui Nabi saw. serta menceritakan kisahnya
kepada beliau, juga tentag doa yang diucapkannya. Nabi saw. bersabda kepadanya
: “Allah telah mengilhamimu dengan Nama-Namanya
yang paling Indah, yang jika disebutkan dalam Doa, niscaya Dia akan
mengabulkannya. Jika Dia dimohon denga Nama-nama itu, Dia akan
menganugerahkan-Nya.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran hati.
Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yanglalai. Diriwayatkan bahwa Nabi saw.
telah bersabda :
“Sesungguhnya Alalh swt. tidak akan menjawab doa seorang
hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi dan Ahmad).
Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba haruslah diperoleh
secara halal. Nabi saw. menegaskan :
“Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan.” (H.r.
Thabrani).
Dikatakan : “Doa adalah kunci bagi kebutuhan seorang
pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-MU?” Bagaimana aku tidak akan berdoa
kepada-Mu, sedang engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. Berjalan melewati seorang
laki-laki yang sedangberdoa dengan renah hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya
Allah, seandainya kebutuhannya ada dalam tangnaku, niscaya akan kupenuhi
doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada Musa : “Aku lebih pengasih kepadanya
daripadamu. Dia memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada
domba-dombanya. Sedang aku tidak akan mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang
hatinya terpaut pada selian Aku.” Ketika
Musa mengatakan kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt.
kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya dengan pernuh perhatian kepada
Allah swt. dan urusannya pun selesai.
Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq : “Apa
sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah dikabulkan?” Beliau menjawab : “Itu
karena engkau berdoa kepada tuhan yang engkau tak punya pengetahuan tentang
–Nya”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Ya’qub bin Lyats ditimpa penyakit yang mebuat para dokter tidak berdaya.
Mereka lalu berkata kepadanya : “Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh
bernama Shal bin Abdullah. Jika ia berdoa untuk tuan, niscaya Allah swt. akan
mengabulkan doanya.” Ya’kub pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, :
“Berdoalah kepada Allah untukku.” Sahl berkata : “Bagaimana doaku untukmu akan
dikabulkan, sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak di dalam
penjaramu?” Maka Ya’kub lalu melepskan semua orang yang ada dalam penjaranya.
Sahl lalu berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kepadanya
hinanya ketidakpatuhan kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.” Ya’kub bin Layts
lalu sembuh. Dia mencoba memberi Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak.
Seseorang berkata kepada Sahl : “Jika saja engkau menerimanya, engkau bisa
memberikannya kepada orang miskin.” Beberapa waktu kemudian, sat Sahl sedang
memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-kerikil itu tiba-tiba
berubah menjadi batu permata. Dia bertanya kepada para sahabatnya : “Apakah
perlunya bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini, menerima harta
kekayaan dari Ya’kub bin Layts?”
Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering menegaskan :
“Barangsiapa yang gigih mengetuk pintu, berarti sudha dekat saat terbukanya
pintu itu baginya.” Rabi’ah Adwiyah bertanya kepadanya : “Sampai kapan engkau
akan mengatakan begitu?” Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa
memintanya agar dibuka?” Salih menjawan : “Seorang laki-laki yang sudah tua tak
tahu akan kebenaran, dan seorang wanita mengetahuinya!”.
As-Syary berkata : “Suatu ketika aku menghadiri pengajian
Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datag kepadanya dan meminta : “Wahai Abu
Mahfudz, berdoalah kepda Allah untukku, agar Dia mengembalikan kantongku.
Kantong itu dicuri orang; isinya uang seribu dinar.” Ma’ruf tetapdiam. Untuk
ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya. Kemudian Ma’ruf menjawab :
“Apa yang harus kukatakan?” Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan dari
Nabi-Nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci?” Kemudain Ma’ruf mengembalikan
kepda-Nya. Tapi orang itu tetap emndesak : “Berdoaah kepada Allahemudian aku
bertemu dengan dia lagi, sedang matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya
“Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?” Dia menjawab, bahwa dalam
mimpinya ada suara bersuara : “Katankalah wahai
Yang Maha Dekat, wahai yang Maha Mengabulkan, wahai yang mendengarkan Doaku,
wahai yang Maha Baik dalam kehendak-Nya, kembalikanlah penglihatanku.”
Kuulangi doa ini dan Allah swt, lalu mengembalikan penglihatanku.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku menderita sakit
yang parah di mataku ketika untuk pertama kalinya aku kembali dari Marv ke
Anisabur. Sudah agak lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap dan
kudengar seseorang bertanya kepadaku : “Tidakkah
Allah mencukupi bagi hamba-Nya?” (Qs. Az-Zumar :36). Aku terbangun dan
kudapati penyakitku telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah
berhenti. Sesudah itu aku tak pernah menderita sakit mata lagi.”
Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah berkata : “Aku
sedang berada di Iskandiriyah ketika Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku
betul-betul merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Hanbal.
Klihat dia sedang melenggang. Aku bertanya : “Wahai Abu Abdullah, gerakan apa
ini?” Dia menjawab : “Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.”
Aku bertanya : “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab : “Dia
telah mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas kepalaku, dan memberikan
sepasang sandal emas untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku : “Wahai Ahmad, semua ini karena
engkau telah menjaga Al-Qur’an sebagai firman-Ku.” Kemudian Dia berfirman :
“Wahai Ahmad, berdoalah kepda-Ku dengan kata-kata yang engkau terima dari
Sufyan ats-Tdaury, yang dulu engkau ucapkan waktu engkau madih hidup.” Maka aku
pun berdoa : “Wahai Tuhan semesta, dengan
kekuasaan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan janganlah Engkau
tanyai aku tentang sesuatu pun.” Kemudian Allah mempermaklumkan : “Wahai
Ahmad, inilah surga. Masuklah! Lalu aku pun masuk.”
Suatu hari ada seorang pemuda yang memegang kain penutup
Ka’bah dan berkata : “Tuhanku, Tuhanku, tak ada seorang pun yang mesti didekati
selain Engkau, tidak ada pula seorang perantara yang bisa disuap. Jika aku
mematuhi-Mu, itu adalah karena limpahan rahmat-Mu, dan segala Puji adalah
bagi-Mu. Jika aku menetang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan kesombonganku.
Engkau punya rgumentasi yang tak terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu
terhadap diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-Mu, kecuali jika
engkau mengampuniku.” Kemudian dia mendengar seuah suara batin yang berseru :
“Anak muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan : “Manfaat doa adalah menampakkan kebutuhan di
sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah swt, akan melakukan apa yang
dikehendaki-Nya.”
Dikatakan juga : “Doa awam dilakukan dengan ucapan, doa
kaum zahid dilakukan dengan tindakan, dan doa kaum ‘Arifin dilakukan dengan
ihwal hati.”
Juga dikatakan : “Doa terbaik adalah doa yang dikobarkan
dengan kesedihan.”
Salah seorang Sufi mengtakan : “Jika engkau berdoa kepada
Allah swt. agar dianugerahkan sesuatu dan doamu dikabulkan, maka bedoalah,
siapa tahu saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”
Dikatakan : “Kidah kaum pemula terucap lewat doa, namun
lidah mereka yang telah mencapai hakikat terbelenggu dalam kebisuan.”
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab : “Aku
takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt, akan berfirman kepadaku : “Jika engkau
memohon kepada-Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu, berarti engkau
meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak ditetapkan
bagimu, berarti engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya. Namun jika
engkau bersikap ridha terhadap keputusan-Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih
dari harapanmu.”
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak berkata : “Sudah
limapuluh tahun aku tidak beroda, dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa
untukku.”
Dikatakan : “ Doa adalah tangga bagi orang-orang yang
berdosa.”
Dikatakan juga : “Doa adalah saling bertukar pesan.
Selama kedua pihak tetap bertukar demikian, semuanya akan baik.”
Dikatakan : “Orang-orang yang berdosa mengucapkan doa
dengan air mata.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengataka : “Jika seorang berdoa
menangis, berarti dia telah membuka hubungan dengan Allah swt.”
Tentag hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Air mata pemuda mengungkapkan
Apa yang disembunyikan;
Nafasmu menjelaskan hati;
Yang menyembunyikan rahasia.erdoa berarti meninggalkan
dosa-dosa.” Dikatakan : “Doa adalah cara seorang
pecinta mengungkapkan kerinduannya.”
Dikatakan : “Diizinkan berdoa, lebih baik dari anugerah.”
AL-Kattany menyatakan : “Allah swt. tidak menganugerahkan
kaum beriman, untuk mengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk membuka pintu
kemaafan.”
Dikatakan juga : “Beroda menyebabkan engkau hadir di
hadorat Allah swt. Sedang dikabulkannya doamu menjadikan engkau berpaling
menjauh. Dan berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan membawa
balasan.”
Dikatakan : Doa berarti menghadapAllah swt. dengan
ungkapan rasa malu.”
Dikatakan : “Satu persyaratan doa adalah bertumpu pada
keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula : “Bagaimana engkau akan menunggu ijabah
doa, sedang engkau menghalangi jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar didoakan
: “Doakan aku.” Dijawab : “Engkau cukup dengan Allah swt. daripada unsur lain
yang kau jadikan perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”
Abdurrahman bin Ahmad berkata : “Aku mendengar ayahku
menceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Tqy bin Mukhlad dan mengatakan
kepadanya : “Orang-orang Binzantium telah menawan anakku. Aku tak punya apa-apa
lagi di rumahku selain anakku itu. Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika
saja tuan bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa menebusnya, sebab saya
sudah tidak tahu lagi mana siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun
beristirahat.” Taqy berkata kepadanya : “Baiklah, pergilah sampai-sampai aku
melihat masalah ini, Insya Allah.” Kemudian Syeikh itu menundukkan kepadalnya
dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu bebereapa saat lamanya. Kemudian
wanita itu datang lagi bersama anaknya dan bersseru kepada Syeikh tersebut :
“Anakku telah kembali dengan selamat, dan dia punya cerita untuk tuan.”
Anakknya itu lalu mengisahkan : “Saya sedang berada dalam
tawanan seorang gpangeran Bizantium bersama dengan sekelompok tawanan. Sang
Pangeran menegaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja setiap hari. Orang
itu membawa kami kembali dari bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal
oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya terputus dan jatuh dari
kaki saya.”
Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana peristiwa
itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika wanita itu mendatangi Syeikh
Taqy saat beliau berdoa. Si pemuda melanjutkan ceritanya : “Pengawal memukul
saya dan berteriak : “Engkau telah memutusakn rantai ini!.” Saya berkata :
“Tidak, ia jatuh sendiri dari kaki saya!.” Orang itu kebingungan dan tak tahu
apa yang harus dilakukannya. Dia memanggil teman-temannya, lalu memanggil
pandai besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya berjalan beberapa
langkah, rantai itu terlepas lagi dari kaki saya. Mereka tercengang dan
kemudain memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya kepada saya :
“Apakah engkau punya Ibu?” Saya katakan “Ya”. Mereka lalu berkata : “Doa ibumu
telah dikabulkan. Alalh swt. telah membebaskanmu. Kami tak bisa lagi
merantaimu.” Kemudian mereka memberi saya makanan dan bekal lalu menyruh
seorang pengawal mengatarkan saya sampai ke daerah kaum Muslimin.”
38.
KEFAKIRAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak
tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-Baqarah :273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun
sebelum orang-orang kaya. (Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari
(surga).” (H.r. Tirmidzi).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana
ke mari denegan hrapan diberi orang sesuap dua suap, sebutir atau dua butir
kurma.” Seseoarang bertanya : “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu wahai
Rasulullah?” Nabi saw, menjawab : “Dia adalah orang yang tidak menemukan
kepuasan atas kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula orang banyak
mengetahui hal ihwal mereka hingga mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi
saw. : “dan malu meminta” artinya adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt.
untuk meminta-minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para Sufi,
pilihan Alalh swt. pada orang takwa piluhan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi
fakir merupakan pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah
pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para hamba-Nya, yang dengan mereka Dia
menjaga para makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di
kalngan manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat
Alalh swt. pada Hari Kebangkitan, seperti dikatakan dalam hadis riwayat Umar
bin Khaththab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang
miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari
Kebangkitan.” (hr. Ibnul Laal, dan Ibnu Umar).
Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawakan uang
sebganyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak
menerimanya dan berkata : “Engkau mau mengahapus namaku dari daftar orang-orang
miskin dengan uang sepuluh ribu dirham!. Aku tidak akan menerimanay.!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan : “Allah tidak pernah membinasakan
suatu kaum, apa pun kejahatan yang mereka lakukan, kecuali jika mereka
merendahkan dan menghina kaum miskin.”
Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki kebajikan
lain dalam pandangan Allah selain keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan
dimurahkan di kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka,
sebab mereka perlu memberli barang-barang dan orang-orang kaya perlu
menjualnya. Begitulah halnya dengan kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula
halnya dengan kaun yang terpilih di kalangan mereka.?”
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia
menjawab : “Hakikat kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain
Allah, dan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan : “Kefakiran adalah
pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq padatahun 394 atau 395 Hijriyah. Dia memakaia pakaian yang terbuat
dari kain yang sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat
Syeikh itu bertanya dengan nada bergurau : “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia
menjawab : “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku
untuk ditukar dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika
seorang misikin mendatangi sebuah pertemuan untuk meminta sedekah, seraya
berkata : “Saya sudah tiga tidak makan.” Salah seorang syeikh yang hadir di
situ berkata : “Engkau dusta!” Kemiskinan adalah rahasia Tuhan. Dia tidak
mempercayakan rahasia-Nya kepda orang yang memamerkannya kepada siapa pun yang
dikehendakinya!.”
Hamdun al-Qashshar menyatakan : “Manakala
iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira sebagaimana kegembiraan
mereka yang disebabkan tiga hal : “Seorang Muslim membunuh sesama Muslim,
seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah hati yang menyimpan
ketakutan pada kemiskinan.”
Al-Junayd berkata : “Wahai orang-orang fakir, kamu semua
dijadikan terkenal oleh Allah swt, dan dihormati karena-Nya. Tetapi
perhatikanlah bagaimana keadaanmu manakala kamu berada sendirianbersama-ny.” Al
Junayd ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik : miskin dan bergantung pada
Tuhan, atau dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjawab : “Jika kemiskinan seseorang
adalah shahih, maka kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika kekayaannya di
sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan ketergantungannya pada –Nya juga
tersempurnakan. Jangan bertanya, : “Manakah yang lebih bai?” Sebab keduanya
adalah keadaan yang salah satunya tidak akan lenyap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin : “Miskin
berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula
bahwa ada tiga tanda seorang miskin : Dia melindungi batinnya, dia melaksanakan
kewajiban-kewajiban agamnya, dia menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz : “Mengapa
kemurahan hati orang kaya tidak sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab :
“Karena tiga alasan : “Kekayaan mereka didapatkan dengan jalan yang tidak
halal, mereka tidak dimampukan untuk memberi sedekah, dan penderiaan orang
miskin itu memang dikehendaki.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Musa as. :
“Jika engkau berjumpa dengan orang-orang miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti
engkau tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan,
maka campakkanlah ke tanah semua yag telah Kuajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan : “Aku lebih
suka jatuh dari tembok istana dan remuk daripada duduk bersama orang kaya,
karena aku mendengar Rasulullah saw. bersambda :
“Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati!.”
Seseorang bertanya : “Siapakah orang mati itu?” Beliau
menjawab “ Orang-orang kaya.” (Hr. Tirmidzi dan Hakim).
Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam :
“Harga-harga telah naik!.” Dia menjawab : “Kita tidak berharga untuk dibuat
lapar oleh Allah. Dia hanya melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Kami meminta kemiskinan
tapi diberi kekayaan; orang lain meminta kekayaan dapi kemiskinan datang kepada
mereka.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin Mu’adz :
“Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata : “Takut pada kemiskinan itu sendiri.”
Orang itu lantas bertanya lagi : “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia menjawab :
Rasa aman di sisi Allah Swt.”
Ibnu Karainy berkata : “Orang miskin yang sejati,
menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak mendatanginya dan merusak kemiskinannya;
sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan, agar kemiskinan tidak
mendatanginya dan merusak kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya : “Dengan cara pa orang miskin mendektai
Allah?” Dia menjawab : “Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain
kemiskinannya yang dengan kemiskinan itu dia mendekati Allh swt.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa a.s. : “Maukah engkau
memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh ummat
manusia di Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab : “Ya” Allah swt. berfirman :
“Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya
pakaian.” Musa lalu menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk mengunjungi
oang-orang miskin dan memeriksa pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.”
Sahl bin Abdullah menyatakan : “Ada lima
mutiara jiwa : Seorang miskin yang berpura-pura kaya, orang lapar yang
berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang berpra-pura bahagia, seseorang
yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorang yang
berpuaa di siang hari dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan kelelahan.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Maqam yang paling baik
adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam kesabaran melalui kemiskinan sampai
masuk liang lahat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Suatu tanda kemurkaan Allah
kepada seorang hamba adalah bahwa so hamba merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly berkomentar : “Tanda kemiskinan yang paling
kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini diberikan kepada seseorang dan
kemudian disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari, tetapi kemudian
terlintas dalam pikirannya untuk menyimpan hartanya bagi esok hari. Yang
demikian itu tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Orang bertanya mana
yang lebih baik; kemiskinan atau kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling baik
adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia
lalu menjaga dirinya dalam batas tersebut.”
Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja,
kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata :
“Aku punya empat keping mata uang itu, Aku amlu kepada Allah swt. untuk
membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’, Kemudian aku pergi dan
mengeleuarkan uang itu. Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul Muwallad berkata : “Aku bertanya kepada
Ibnul Jalla’ : “Kapankah orang-orang miskin patut disebut miskin?” Dia menjawab
: “Jika tak ada lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.” Ibrahim
bertanya : “Bagaimana bisa begitu?” Dia menjawab : “Jika dia memilikinya, berarti dia tidak
memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya, berarti dia memiliki
sebutan kemiskinan itu.”
Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar adalah jika si
miskin tidak merasa puas dengan aspek mana pun dari kemiskinannya selain dengan
Dia yang dibutuhkannya.
Abdullah ibnul Mubarak menyatakan : “Membuat diri sendiri
tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada
kemiskinan.”
Banan al-Mishry menuturkan : “Suatu ketika aku sedang
duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda berada di depanku. Seorang laki-laki
datang kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi berisi uang dan
meletakkannya di hadapan pemuda itu. Pemuda itu berkata : “Aku tak
membutuhkannya.” Orang itu berkata : “Kalau begitu, bagi-bagikanlah kepada
orang-orang miskin.” Petang harinya kulihat pemuda itu ada di lembah sedang
mengemis. Aku bertanya : “Alangkah baiknya jika engkau menyimpan sedikit dari
uang tadi untuk dirimu sendiri.” Dia menjawab : “Siapa yang tahu kalau aku
masih akan terus hidup sampai petang ini.?”
Abu Hafs berkata : “Cara paling baik bagi seorang hamba
untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus menerus fakir kepada-Nya dalam
setiap keadaan, memathi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki
dengan jalan yang halal.”
Al-Murta’isy berkomentar : “Yang paling baik adalh bahwa
cita-cita orang miskin itu tidak melampaui langkah-langkahnya.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan : “Ada empat
orang yang merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf
bin Asbat, tidak mau menerima pemberian apa pun dari saudara-saudaranya ataupun
dari penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tuju puluh ribu dirham dari saudara
laki-lakinya tapi dia tidak mau menerima satu sen pun darinya. Ia hidup dengan
menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima pemberian
dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu dihabiskannya
untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi dan yang
tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari menguasa, maka itu
diberikannya kepada orang-orang yag patut menerimanya di kalangan warga Tarsus.
Yang ketiga , Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari
saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil,
tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa, Yang keempat, Makhlad
bin-alHussain, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari
saudara-saudaranya. Dia mengatakan : “Penguasa tidak menganggap ada orang yang
wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah swt. merahmati –
berkata : “Ada sebuah hadis yang mengatakan. “Orang yang merendahkan diri di
hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti ia teleh kehilangan dua
pertiga agamanya.: Ini disebabakan bahwa seorang manusia terdiri dari hati,
lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia
kehilangan dua pertiga agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan
orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan : “Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya
dituntut paling tidak agar dia memiliki empat hal; ilmu yang akan menjadi
pertimabngannya, sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang
akan menguatkan imannya, dan dzikir yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga : “Orang yang menginginkan kemiskinan
untuk kemuliaannya, ia mati dalam keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar
tidak disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam keadaan kaya.”
Al-Muzayyin menyatakan : “Berbagai jalan kepada Alalh
swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tapi sekarang tak satu pun
diantaranya yang tersisa selain kemiskinan dan kemiskinan adalah jalan yang
terbaik di antara jalan-jalan itu.”
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, Asy-Syibly
menjawab : “Hakikat kemiskinan adalah bahwa si hamba tidak merasa puas selain
Allah swt.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Abu Sahl
al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku : “Kemiskinan adalah kemiskinan dan
kehinaan.” Aku menjawab : “Bukan, justru katakan, : “Kemiskinan dan lumpur.”
Aku membalas : “Bukan, kemiskinan dan tahta Ilahi.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang hadis nabi
saw. :
“Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.”
(H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh mengatakan : “Bahaya
yang bisa timbul dari sesuatu adalah berbandnig terbalik dengan manfaat dan
kebajikan yang terkandung di dalamnya. Apa pun yang sangat bermanfaat dalam
dirinya sendiri, mengandung bahaya yang paling besar pada sisi lainnya.
Begitulah halnya dengan iman. Karena ia sifat yang paling baik, maka kebalikannya
adalah kekafiran. Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa
ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt. menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”
AL-Junayd mengaarkan : “Jika engkau bertemu dengan seorng
miskin, hadapilah ia dengan budimu, bukan dengan ilmu mu. Kebaikan budi akan
mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.” Saya bertanya : “Wahai Abul
Qasim, apakah ilmu benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab : “Ya,
jika si orang miskin bersikap benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan
ilmumu kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena
api.”
Mudzaffar al-Qurmisainy berkata : “Orang miskin adalah
orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan
ini mempunyai makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami
tujuan sang Sufi. Ucapan ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan
tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan
Alalh swt.”
Abdullah bin Khafifi mengatakan : “Kemiskinan berati
tidak memiliki harta benda dan meninggalkan aturan-aturan manusiawi.”
Abu Hafs berkata : “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi
siapa pun sampai dia lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Kemurahan
hati bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang tidak punya, melainkan
orang yang tidak ebrpunya memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla menegaskan : “Seandainya tidak karena adanya
tujuan lebih agaug dalam tawadlu; niscaya akan menjadi cara orng miskin untuk
berjalan dengan sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Salam empatpuluh tahun aku
hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku melihat seolah-olah
Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara mengatakan : “Bahwa Malik Bin Dinar dan
Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga.” Maka aku perhatikan siapa di antara
keduanya yang lebih dahulu msuk, dan ternyata orang itu adalah Muhammad bi
Wasi’. Ketika aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan kepadaku : “Dia
hanya memiliki selembar baju, sedangkan Malik dua.”
Muhammad al-Masuhy berkata : “Orang miskin adalah orang
yang tidak membutuhkan terhadap sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda
duniawi.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Kapankah orang miskin bisa
beristirahat?” Dia menjawab : “Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya
sendiri selain saat kekiniannya.”
Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi
soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata : “Bukanlah kemiskinan ata kekayaan
yag memiliki bbot di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan
ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan; Orang ini bersyukur, atau orang ini
bersabar.”
Dikaakan Allah sw. Mewahyukan kepada sebgain pra Nabi-Nya
: “Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya
si fakir kepadamu.”
Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata : “Orang yang tidak
punya rasa takut kepada Allah swt. bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh
makanan yang dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-pengajian
Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan,
: Di antara aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak punya keinginan,
kalaupun dia berkeinginan juga, jangan sampai keinginannya melebihi
kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi :
Meraka berkata, esok adalah hari raya. Apa yang akan kau
pakai?
Kukatakan, Jubah kehormatan yang diberi-Nya.
Yang mecurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati
Kemiskinan dan kesabaran, adalah pakaianku yang di
bawanya
Ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu
Hari Jum’at dan hari Raya
Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih pada hari
Ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak ada,
Wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan mendengar
suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu Bakr
al-Msihry menjawab : “Dia adalah orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak
pula berkeinginan memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Aku lebih menyukai rasa
fakir kepada Alalh swt. secara langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan
penuh takjub.”
Abu Abdullah al-Hushry menuturkan : “Abu Ja’far al-Haddad
bekerja selama duapuluh tahun, dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang
itu dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa,
setelah itu dia akan berkeliling mencari sedekah setalah shalat maghrib untuk
berbuka puasa.
An-Nury menyatakan : “Tanda seorang miskin adalah
kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan memberi dengan murah hati
manakala dia punya banyak rezeki.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Ada seorang pemuda
bersama kami di Mekkah yang memakai pakaian kumal dan bertambal-tambal> Dia
tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam
hati aku sangat merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang duaratus
dirham dari sumber yang halal. Uang itu kubawa kepadanya. “Uang ini telah
datang kepadaku dari sumber yag halal. Belanjakanlah untuk keperluanmu.” Saraya
memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang selama
ini tidak kukeetahui.” Saya membeli kesempatan untuk bisa duduk bersama Alalh
swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuh puluh ribu dinar dari
harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari
keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.” Ia lalu berdiri dan
menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku
menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu ketika ia berjalan pergi,
ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Aku belum pernah
diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir Bulan Ramadhan selama empat puluh
tahun, sementara aku diterima dengan penuh penghormatan di kalangan kaum
terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di
kalangan para fakir di hadapan Allah dalam urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah kejatuhan mereka dari upaya
mencari hakikat menjadi upaya mencari Ilmu.”
Khayr an-Nassaj menuturkan : Alu memasuki
sebuah masjid dan melihat ada seorang kafir di situ. Ketika dia melihatku,
dipegangnya bajuku sambil memohon : “Wahai Syeikh, kasihanilah aku, karena penderitaanku
sangat besar!” Aku bertanya : “Apa yang kau derita?” Dia menjawab : “Aku telah
tidak lagi diberi cobaan, dan selalu dalam
keadaan sehat wal afiat!.” Aku memandangnya, tiba-tiba ia telah
dibukakan sedikir harta dunia.”
Abu Bakr al-Warraq berkata : “Berbahagialah
orang yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya apa maksud
perkataannya itu, dia menjawab : “Penguasa di dunia tidak menunut pajak
darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab dengannya.”
39.
TASAWUF
Edit : Pujo Prayitno
Kesucian (Shafa”) adalah sifat terpuji dalam setiap
ucapan, Lawannya, yakni kekotoran yang tercela.
Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang
menuturkan : “Pada suati hari rasulullah saw. keluar menemui kami dengan roman
wajah yang berubah, lalu beliau bersabda : “
“Kesucian dunia telah lenyap,
yang tinggal hanya kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap
Muslim.” (H.r. Daraquthi, namun riwayat dari Jabir)>
Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini.
Jadi seseorang dikatakan seoran Sufi dan kelompoknya disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi disebut mutashawwif, dan jumlahnya disebut mutashawwifah.
Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata
lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan Sufi. Penafsiran yang
paling masuk akal adalah bahwa Sufi banyak serupa dengan laqab (gelar).
Ada orang-orang gyang mengatakan bahwa kata Sufi diambil
dari kata souf (bulu). Jadi, Tashawwuf (tasawuf) digunakan dengan artian
“memakai kain bulu” sebagamana kata taqammus digunakan dengan arti “memakai
baju” (qamis). Itu hanya satu panangan saja. Tapi sesungguhnya kaum Sufi tidak
mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.
Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi berhubungan
dengan serambi (Shuffah) masjid Rasulullah
saw. Tetapi kata Shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.
Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari
kata shafa’, yang berarti “kemurnia”.
Pengertian kata Sufi dan shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa.
Sebagian orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang berarti
barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini memang benar
dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehinga
tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata untuk sebutan bagi
mereka.
Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu
bertanya, apa arti tasawuf?” Dan siapa yang disebut Sufi?” Setiap ungkapan
selalu dikaitkan denganpengamalamannya sendiri. Kami akan menyebutkan sebagia
ucapan mereka secara sekilas ssaja. :
Ketika Muhammad al-Jurairiy ditanya tentang tasawuf, dia
menjelaskan : “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar
dari setiap akhllak yang tercela.”
Al-Junayd ditanya soal Tasawuf, ia menjawab : “Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu
dengan-Nya.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, ketika ditanya tentang
Sufi menjawab : “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang menerimanya,
dan juga tak menerima siapapun.”
Abu Hamzah al-Baghdady berkata : “Tanda
Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan
dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang Sufi palsu adalah dia menjadi
kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami
kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
Amr bin Utsman al-Makky al-Qashshab mengatakan : “Tasawuf
adalah ahlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia.”
Ketika ditanaya tentag tasawuf, Sumnun berkata : “Tasawuf
berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki oleh apa pun.”
Ruwaym ditanya tentang tasawuf : “Tasawuf artinya
menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan ap pun yang
dikehendaki-Nya.”
Al-Junay ditanya tentagn Tasawuf : “Tasawuf adalah engkau
berada semata-mata bersama Allah Swt. tanpa keterikatan apa pun.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tasawuf didasarkan pada tiga
sifat : memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan
memberi, dengan cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri
sendiri; dan meninggalkan sikap menentang dan memilih.”
Ma’ruf al-Kahkhy menjelaskan : “Tsawuf artinya memihak
pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk.”
Hamdun al-Qashshar berkata : “Bersahabtlah
dengan para Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan
perbuatan-perbutan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun
bukan sesuatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena
mengerjakannya.”
AL-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang hali tasawuf
: “Mereka adalah kelompk manusia yang mengalamai pelapangan, yang mencampakkan
segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudain mereka
diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya : “Ingatlah!”
Menangislah kalian karena Kami.”
Al-Junayd berkata : “Tasawuf adalah perang tanpa
kompromi.” Dia berkata pula : “Para sufi adalah anggota dari suatu keluarga
yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga
menjelaskan lagi : “Tasawuf adalah dzikir bersama ekstase yang disertai
penyimakan, dan tinndakan yang didasari Sunnah.”
Al-Junayd menyatakan : “Kaum Sufi adalah
seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak
menumbuhkan kecuai segala tumbuhan yang baik. Dia juga mengatakan : “Seorang
Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; Juga
seperti mendung memayungi segala yang ada; “Seperti air hujan, mengairi segala
sesuatu.” Dia melanjutkan : “Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh
kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sufi adalah orang yang memandang
darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad an-Nury berkata : “Tanda seorang Sufi adalah dia
merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah
akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam kahlak yang baik, berarti
ia melebihimu dalam tasawuf.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan : “Tasawuf
adalh tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau di usir.” Dia juga
mengatakan : “Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan
dari-Nya.”
Dikatakan : “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi
yang amat kikir.”
Dikatakan : “Tasawuf adalah tangan yag kosong dan hati yang baik.”
Dikatakan : “Tasawuf adalah tangan yag kosong dan hati yang baik.”
Asy-Syibly mengatakan : “Tasawuf adalah duduk bersama
Allah swt. anpa hasrat.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari
Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly mengatakan : Sufi terpisah dari manusia dan
bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt. kepada Musa : “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” (Qs. Thaha
:41). Dan memisahknnya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya
: “Engkau tidak akan melihat-Ku.” Asy-Syibly juga mengatakan : “Para Sufi
adalah anak-anak dipangkuan Tuhan Al-Haq.” Katanya : “Tasawuf adalah kilat yang
menyala.” Dan “Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
Ruway berkata : “Para Sufi akan tetap penuh dengan
kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi segera setelah
mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka.”
Al-Jurairy mengatakan : “Tasaswuf berarti kesadaran atas
keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al Muzayyin menegaskan : “Tasawuf adalah kepasrahan
kepada Al-Haq.”
Askar an-Naksyaby menyatakan : “Seorang Sufi tidaklah
dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”
Dikatakan : “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan
hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.”
Ketika Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang orang-oarng
Sufi, dia menjawab : “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah swt. di atas
segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah swt. di atas segala makhluk yang
ada.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Mula-mula para Sufi
diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sessuatu
pun yang tinggal selain kesedihan.”
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab : “Sufi
adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab yang
diridhai.”
Abu Nashr
as-Sarraj ath-Thausy berkata : “Aku bertanya kepada Ali-al-Hushry.’ Sipakah,
menurutmu sufi itu?” Dia menjawab : “Yang tidak dibawah bumi dan tidak dinaungi
langit.” Dengan ucapannya, menurut saya, ini al-Hushry merujuk pkepada nuansa
keleburan.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang manakala ddisuguhi
dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik
diantaranya.”
As-Syibly ditanya : “Mengapa para Sufi itu disebut sufi?”
Dia menjawab : “Hal itu karena adanya sessuatu yang membekas pada jiwa mereka.
Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada
mereka.”
Ahmad ibnul Jalla’ ditanya : “Apakah yang disebut Sufi?”
Dia menjawab : “Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiah, namun kita
tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki
sarana-sarana duniawi. Mereka bersamma Allah swt. tanpa terikat pada suatu
tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat.
Karenanya disebut Sufi.”
Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan : “Tasawuf adalah
keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul Hasan as-Sirwany mengatakan : “Sufi adalah yang
bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang menyertainya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Yang terbaik untuk
diucapkan tentang masalah ini adalah : “Iilah jalan yang cocok kecuali bagi
kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt. untuk menyapu kotoran binatang.”
Abu Ali pada suatu hari menyatakan : “Seandinya sang
fakir tak punya apa-apa lagi yag tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu
ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang
akan menaruh perhatian kepadanya.”
Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky berkata : “Tasawuf adalah
berpaling dari sikap menetang ketetapan Allah swt.”
Al-Hushry berkomentar : “ Sang Sufi tiada setelah
ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadannya.” Ucapan ini tidak
mudah dipahami. Kata-kata : “Dia tiada setelah ketiadaannya,” berarti bahwa
setelah cacat-cacatnya hilang , cacat-cacat itu tidak akan kembali. Perkataan.
: “Tidak pula dia tiada setelah keberadaanya,” berarti bahwa dia sibuk bersama
Alalh swt. tidak akan gugur karena gugurnya makhluk. Sluruh peristiwa dunia
tidaklah mempengaryhinya.
Dikatakan : “Sang Sufi terhapuskandalam kilasan yang
diterimanya dan Alalh swt.”
Dikatakan pula : ‘Sang Sufi terkungkung dalam pelaksanaan
Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah.”
Juga dikatakan : “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya
dia berubah, dia tidak akan ternodai.”
40.
ADAB
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Penglihtannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :17).
Dikatakab bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan
adab di hadirat Allah.”
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs.
At-Tahrim :6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan : “Didiklah
dan ajarilah mereka adab.”
Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah
bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah
si Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan
banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak.”
Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak
mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula metetahui dengan baik
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”
Nabi saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan
menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik.
Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan,
dari sini munculah istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba akan
mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan
adab menaati-Nya.” Beliau juga mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau
menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya
terhenti.”
Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau
sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang
duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya
ingin menenpatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau
tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau
lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak
menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu
menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah itu saya merenung,
ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.”
Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut
keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut
syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan
tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab
tidak mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”
Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal
yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia meenjawab :
“Maksudku engkau harus mempraktikan adab kepada Allah swt. baik secara lahir
dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun
bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian dia membacakan Syair :
Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya
Jika diam, duhai cantinya
Bdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun
dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk.
Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang
bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada
kematian.”
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang
lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab : “Ma’rifat mengenai
Ktuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas
kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif
meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama
mereka yang binasa.
Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan adab
mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk dipelataran akan dikirim
kembali ke pintu gerbang. Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan
dikirim untuk menjaga binatang.”
Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak yang
telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana
diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?”
Dia menjawab : “Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa
kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Para sufi adalah mereka
yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya.”
Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit
adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan : “Kita mencari ilmu
tentang adab setelah orang-orang beradab meninggalkan kita.”
Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan
membuat orang merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk; 2).
Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang menyakitkan.”
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut
ini, tentag adab :
Orang asing tak terasing
Bila dihiasi tiga pekerti
Menjalan adab, diantaranya,
Dan kedua berbudi baik.
Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata
kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!>”
Abu Hafs menjawab : “Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan
ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab bagi
seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang
mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya adabmu!.” Sang Sufi
menjawab : “Aku tidak mempunyai adab buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang
mengajarmu adab?” Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”
Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan :
“Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang
cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra,
menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab;
2). Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik,
menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3).
Kaum terpilih (ahlul Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati,
menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan
perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, menjaankan adab pada saat-saat memohon,
dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”
Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan : “Orang
yang gmenundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan
tulus,”
Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai kecuali
oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka --- dan penegak
kebenaran (shiddiqin).”
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda
pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal
diri.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan diri
dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif
melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang mendidik hatinya.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman :
“Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku
niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Ku-buka padanya jauh dari
hakikatDzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang
engkau sukai; adab atau kebinasaan.”
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika
sedang berada bersama murid-muridnya, berkata : “Meninggalkan adab di
tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab.” Statemen
ini didukung oleh hadis yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu
Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha
beliau dan bersabda. “Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu
di hadapannya.??” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan bahwa betatapun beliau
menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan
Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair berikut
:
Dalam diriku penuh santun nan ramah,
Maka, bila berhadapan dengan mereka
Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.
Aku berbicara apa adanya
Tanpa malu-malu
Al-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta telah
benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah
menghujam sang pecinta, adab akan menjadi keniscayaannya.”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak menjalankan
adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula dalam
Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.”
Mengenai ayat :
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada
Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang.” (Qs.
Al-Anbiya :83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub
tidak mengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata karena beradab dalam
berbicara pada Tuhan.”
Begitu juga Isa as. Mengatakan :
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka
adalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).
“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah
Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “ Aku
tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya.”
Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara
orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah seorang
fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.”
Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan
lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama syeikh ini dan
berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku
dan berkata : “Wahai Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi
meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda mengatakan sesuatu yagn tak
berkenan pada benaknya.” Dia menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami
dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?” Dia
menjawab : “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa
makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena
kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda
mengeathui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi
bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di
meja makannya, dia menyuguhkan makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku
menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.” Katika saya mendengar
ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya
tak suka makan makanannya.” Aku menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan
kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahgia?”
Dia berkata : “Wahai Abul Qasim, saya bertobat!.” Maka aku pun menyuruhnya
kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”
41.
TATA ATURAN
BEPERGIAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di
daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs. Yunus :22).
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila
menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca :
“Maha Suci Tuhan yang telah
menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.”
(Qs. Az-Zukruf : 13-4).
Kemudian dialnjutkan dengan doa :
“YA Allallh, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar
dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan
perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya
Allah, Engkau-lah yang menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah
bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan
pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada
istri-istrinya, dan ditambah dengan doa : “(kami) orang yang kembali, tergolong
orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi, maka
kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian
termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri
terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di
rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji.
Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl
bin Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada
yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya,
seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata
mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani,
kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan
ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly
dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka
bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam :
Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke
sifat lain. Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan
sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia
memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberpa orang bertanya padanya :
‘Apakah engkau bepergian, wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab : Bepergian di
bumi atau bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau
bepergian ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu
hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata
padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk
menemuimu.’ Aku menjawab : Sebenarnya Anda cukup
selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam
ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, : “Aku berada di
tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat
tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku
datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa
yang mengundang kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk
di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh,
tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang
ajam, mau ke mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah, semoga
Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, : “Apakah Allah mengundangmu?”
Aku menjawab : “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah
Allah swt. berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya : “Kerajaan kan luas
termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah
engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki
Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata,
: “Berjalanlah di atas unta.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany :
“Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah kamu, agar setiap malam
menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik
dibanding seribu argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali duduk, adalah upaya
cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang umurku, sungguh yang
demikian lebih baik daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami bepergian
selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad
al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama
orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada seorang syeikh –
kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami
kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal hingga
akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan Az-Zaqqaq duduk menghadap
kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar,
dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang yang
masih tidur, kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian,
katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui langkahnya. Bila di mana saja
hatinya ingin berhenti, di sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah
swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua
sandal dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka bumi, dan
raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai kedua sandal menjadi robek dan tongkat
terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby senantiasa
melancong disertai para murid-muridnya. Ketika sedang ikhram, dan sudah tahalul
dari ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara bajunya tak pernah kotor,
kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya. Sedangkan murid-muridnya
berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka
ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur : “Hai Fulan,
sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun tidak pernah menjulurkan
tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar
tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan. Bahkan
dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.” Ia selalu
menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku
menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki padang pasir tanpa bekal
maupun kendaraan, sebelum aku menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia
berkata kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal,
lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila aku minta beban itu
dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu, aku bawakan.” Pintaku. Ia lantas
menjawab : “Akulah pemimpin, dan Anda harus patuh.”
Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu
membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia bentangkan untuk
menghalangi air hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah, celaka bila aku
mati, padahal belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata
padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah ia seperti Anda
melihat bagaimana aku menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad
ar-Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh mengatakan sesuatu.
“Hai anak muda, mereka tidak berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui
musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra
selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku menambal pakaianku yang
sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu tempat yang kuketahui, bahwa di
tempat itu ada seorang teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang membawa
beban, bila ia bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran
jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin menyandarkan sesuatu pada
mujahadah itu. Lalu mereka menyandarkan aturan-aturan bepergian atau
pengembaraan pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari segala
hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah dengan segala pengetahuan,
agar senantiasa hidup bersama Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara.
Dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya sekalipun dalam
masa pengembaraannya. Mereka berkata : “Kemurahan diberikan pada orang yang bepergian karena darurat.
Sedangkan kita, tidak punya kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada
darurat dalam bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah
merasa tak tahan di padang pasir, sampai aku merasa putus asa. Tiba-tiba mataku
melihat rembulan di siang hari itu. Di sana tertulis ayat :
“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.” (Qs.
Al-Baqarah :137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang
musafir butuh empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai pertimbangannya;
Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan),
karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa
beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah berpisah dengan jatum dan
tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup,
sdangkan tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak pernah
bergantung dan memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar
dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman. Kami memasuki salah satu
perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku dengan membawa
sepatu, dan aku menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah ini
bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah membuka
(mencopo) sandal itu karena aku.” Aku katakan padanya : “Kenapa Anda ini?”
Teman tadi bicara
: “Aku juga mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak
persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga
kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah massjid pada suatu lembah.
Mereka pun menginap di sana. Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin
mencekan mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim berdiri di
sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab :
“Aku khawatir jika kalian tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk
menghalangi udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di pintu
itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya untuk
pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang pasir bajunya terkena air
kencing. Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.”
Kemudian ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya menjawab. Setelah
pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia bertanya mengapa
sang ibu duduk di sana. Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad
untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga
puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang
itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada rasa yang
bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa waktu terakhir ini.” Daud menjawab
: “Tidak apa-apa. Bila tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih
gampang.”
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku
keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar,
sesampai di kedai makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku
bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda
membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab : “Mengapa?” Apakah aku
punya tanggungan padamu?” Atau aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda
harus membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari
berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang
kau mau adalah aku, bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan
sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan
asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama
beberpa hari, tidak makan sedikitpun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah
dimasak. Aku mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary berpaling
kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang saja makanan itu,
karena aku melihat Syeikh tidak suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat
kami. Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan dibelikan
sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan tidak berbuat
apa-apa, sembari berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam
keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?” Kemudian
di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorang
yang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka
repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki tadi, agar
membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu
berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan
bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku
ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan
begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy yang
berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar
dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata : “Pada saat awal perjalanan
ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan
dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya,
dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi.
Aku memakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya.
Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga
ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat
keresahanku, dan wajhnya tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat
perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku
mengirim seseorng kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak
menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama
kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan
kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai ditengah kehidupan orang-orang
Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami
ingin membeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka
memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir
sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan bahwa tindakanku
membuatnya tersiksas yang memalukan pada si fakir itu. Aku bertobat dalam
hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun
berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada
si fakir tadi.”
42.
PERSAHABATAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“.......sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata pada sahabatnya : “Janganlah
kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (Qs. At-Taubah :40).
Abul Qasim al-Junayd r.a. berkata : “Ketika Allah swt.
menetapkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabt, Allah menjelaskan,
bahwa Nabi saw. menampakkan sifat kepedulian yang besar kepadanya. Dalam firman-Nya
: “Di waktu dia berkata pada sahabatnya, ‘Janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah berserta kita.” Orang yang merdeka adalah senantiasa peduli
atas orang yang menjadi sahabatnya.
Riwayat dari Anas bin Malik r.a. Rasulullah saw. bersabda
: “Kapankah aku bertemu kekasih-kekasihku?” Para sahabt menjawab : “Demi ayah,
engkau dan ibu kami, apakah kami-kami ini bukan kekasihmu?” Rasul saw. besabda
: “Engkau adalah sahabt-sahabtku. Sedangkan kekasih-kekasihku adalah kaum yang
belum pernah jumpa denganku, (tetapi) beriman kepadaku. Aku lebih banyak rindu
kepada mereka.” (H.r. Abu Syeikh, dalam Bab ats-Tsawab).
Persahabatan itu ada tiga macam : 1) Bersahabt dengan
orang yang lebih atas dari Anda. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai
rasa bakti; 2). Bersahabat dengan orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan
ini menuntut agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang
mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat. 3). Bersahabt dengan
mereka yang memiliki kemampuan dan pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan
yang menuntut sikap memprioriatskan sepenuhnya kepada sahabtnya itu.
Siapa yang bersahabat pada syeikh yang memiliki derajat
lebih daripada dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap kontra, bersikap
ramah dan respektif kepadanya, dan mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya
melalui iman.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata
ketika ditanya oleh sebagian murid-murid kami : “Berapa tahun Anda bersahabt
kepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?” Beliau melirik dengan tajam kepada
penanya, sembari berkata : “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku
berkhidmat padanya beberapa saat.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah
orang yang berada di bawah Anda, maka, suatu penghianatan dalam persahabatannya,
adalah ketika Anda tidak memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin
Muhammad bin Nashr : “Dosa kebodohan para fakir ditimpakan kepada Anda, karena
Anda sibuk dengan diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka,
sehingga mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabt dengan Anda
memiliki status yang sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap
bijak dan baik semaksimal mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya.
Bila tidak ada penafsiran positif, lebih baik Anda menyangka diri Anda telah
berbohong dan berhak mendapat celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Ahmad bin Abul Hawary berkata : “Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany : “Ada
seseorang yang tidak berkenan di hatiku!.” Lantas Abu Sulaiman menjawab :
“Sama, ia juga tak berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi
sebelum kita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu
apakah kita tidak mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada
Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim :
“Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku.” Ibrahim
menjawab : “Aku tak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata
kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan.
Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”
Dalam hal ini para Sufi bersyair :
Mata pandang ridha akan suram
Dari segala cela
Namun mata pandang dendam
Tampak buruk segalanya.
Abu Ahmad al-Qaalnasy berkata : “Aku berteman dengan
beberapa kaum di Bashrah, dan mereka menghormati aku. Sekali waktu kukatakan
pada mereka : “Manakah sarungku?” Tiba-tiba sarung itu jatuh dari mata mereka.”
Seseorang berkata pada Sahl bin Abdullah : “Aku ingin
berteeman denganmu wahai Abu Muhammad.” Beliau menjawab : “Bila di antara kita
ada yang mati, maka kepada siapa salah satu di antara kita bersahabat?” Orang
itu berkata : “Allah swt.” Sahl balik
menjawab : “Maka, sejak saat ini, bersahabtlah dengan-Nya.”
Ibrahim bin Adham bekerja sebagai pengetam dan penjaga
beberapa kebun, serta pekerjaan lainnya. Hasilnya diinfakkan pada para
sahabatnya (santrinya). Dikatakan : “Ibrahim bersama suatu jamaah dari para
sahabatnya (santrinya), sedangkan dirinya bekerja di siang hari untuk diberikan
kepada mereka. Mereka berkumpul di malam hari di suatu tempat, dan pada siang
hari mereka berpuasa. Suatu ketika Ibrahim pulang terlambat dari kerja. Dan
pada suatu malam mereka berkata : “Kemarilah, kita berbuka apa adanya.” Ibrahim
pulang lebih cepat setelah peristiwa itu. Mereka akhir berbuka dan tidur
nyenyak. Ketika Ibrahim pulang, didapati para sahabtnya itu tertidur pulas.
“Kasihan!” barangkali mereka tidak menemukan makanan.” Kata Ibrahim. Lalu,
Ibrahim membuat jenang dari tepung yang ada, dan menyalakan api serta bara.
Ketika mereka melihat Ibrahim sedang meniup-niup api sambil menempelkan sisi
wajahnya pada tanah, para sahabtnya mengingatkan akan kejadian tersebut. Beliau
menjawab : “Aku katakan, barangkali kali kalian semua tidak mendapatkan makanan
untuk berbuka, sehingga kalian tertidur semua. Aku ingin membangunkan kalian
nanti setelah bara menyala.” Maka masing-masing sahabatnya itu saling berkata :
“Lihatlah, apa yang telah kita lakukan, dan lihatlah apa yang dilakukan untuk
kita........????”
Dikatakan bahwa, jika seseorang ingin bersahabt dengan
Ibrahim bin Adham, ia mensyratkan bahwa orang itu harus berbakti dan
memberitahu padanya; tangannya haurs sama dengan tangan mereka dalam hal
seluruh rezeki yang telah dibuka oleh Allah bagi mereka di dunia.
Suatu hari, salah seorang santrinya berkata pada Ibrahim
bin Adham : “Aku tidak mampu melakukan ini.” Ibrahim menjawab sambil terkejut :
“Sungguh aku kagum atas kejujuranmu.”
Yusuf ibnur Husain berkata : “Aku berkata pada Dzun Nuun
al-Mishry : “Kepada siapa aku harus bersahabat?” Dzun Nuun menjawab : “Dengan
orang yang sama sekali tidak kau sembunyikan tentang dirimu, dimana Allah swt.
mengetahui dirimu.”
Sahl bin Abdullah berkata pada seseorang : “Bila Anda
termasuk orang yang takut binatang buas, jangan berteman denganku.”
Bisyr al-Harits berkata : “Berteman dengan kejahatan akan
melahirkan sangkaan buruk dengan bebas.”
Al-Junayd berkata : “Ketika Abu Hafs masuk ke Baghdad, ia
disertai seorang yang botak bagian kepala depannya, sama sekali bungkam tak
bicara. Kemudian aku bertanya pada para sahabat Abu Hafs mengenai keadaan orang
tersebut. Mereka menjawab : “Lelaki itu telah menafkahkan seratus ribu dirham
untuk diinfakkan kepada Abu Hafs. Abu Hafs tidak memperkenankannya bicara
sekecap pun.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Janganlah bersahabat
dengan Allah swt. kecuali senantiasa dalam keselarasan; jangan pula dengan
makhluk kecuali dengan saling menasehati; jangan pula dengan nafsu kecuali
dengan menentangnya; jangan bersahabat pula dengan setan kecuali dengan
memusuhi.” Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun :
“Siapakah yang bisa kujadikan sahabat?” Beliau menjawab : “Seseorang yang bila
engkau sakit, ia menjengukmu, bila engkau berbuat dosa, ia menganjurkan tobat
padamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Pohon bila tumbuh dengan sendirinya, namun tidak diolah
oleh manusia, ia akan tumbuh dengan daunnya, tetapi tidak bisa bebuah. Begitu
juga seorang murid bila berkembang tanpa guru ia akan muncul, namun tidak
berbuah.” Beliau juga berkata :
“Aku mendapatkan tharikat ini dari an-Nashr Abadzy , dan Nashr Abadzy dari
asy-Syibly, sedangkan asy-Syibly dari al-Junayd, dan al-Junayd dari as-Sary,
as-Sary dari Ma’ruf al-Karkhy, Ma’ruf al-Kharkhy dari Dawud ath-Tha’y, dan
dawud ath-Tha’y dari para Tai’in.” Saya mendengar pula bahwa beliau semoga
rahmat Allah swt. padanya --- berkata : “Takpernah sekalipun aku mengikuti
majelisnya Nashr Abadzy, kecuali aku selalu mandi sebelumnya.”
Saya sendiri, tak pernah masuk ke tempat guru saya Syeikh
Abu Ali pada awal belajar saya di sana, kecuali saya selalu berpuasa dan
sebelumnya saya mandi dahulu. Padahal saya memasuki pintu madrasahnya tidak
sekali. Saya selalu kembali ke pintu itu, saya khawatir beliau marah jika
memasuki pintu itu. Dan seketika saya melintas, lalu memasukinya. Bila sampai
di tengah ruang madrasah, beliau mendekati diri saya, dan saya benar-benar
terdiam senyap, Seandainya ada jarum yang menusuk pada mulut saya pun, tak akan
saya rasakan. Jika saya duduk, dan ada suatu masalah yang mengganggu diri saya,
saya tidak ingin bertanya pada beliau, melalui ucapan saya. Dan setiap kali
saya berada di majelis, beliau selalui melalui menjelaskan persoalan saya. Tidak
sekali hal-hal seperti itu saya saksikan dengan mata kepala. Seringkali saya
berpikir, seandainya Alalh swt. mengutus seorang Rasul pada zaman saya,
mungkinkah saya menambah rasa hormat padanya dalam hati saya, lebih dari rasa
hormat saya pada guru saya --- semoga Allah swt. merahmatinya. Dan sama sekali
tidak tergambarkan kemungkinan seperti itu. Saya tidak ingat lagi, sepanjang
saya mengikuti majelisnya, kemudian kenyataan diri saya setelah mendapatkan
kesinambungan jiwa, tak pernah sekalipun terbersit untuk kontra padanya, sampai
beliau wafat.”
Dikatakan Muhammad an-Nashr al-Harits, “Allah swt.
mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Jadilah kamu orang yang bangun dan kembali,
serta menjadi sahabat bagi dirimu. Setiap sahabat yang tidak menggembirakan
hatimu, maka jauhilah ia, dan janganlah bersahabat dengannya, karena ia akan
mengeraskan hatimu. Bagimu ia menjadi musuh. Banyak-banyaklah mengingat-Ku
karena akan mendatangkan rasa syukur kepada-Ku, dan mendapatkan tambahan dari
anugerah-Ku.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Bersahabtlah kalian
dengan Allah swt. Bila kalian tidak mampu, maka bersahabatlah dengan orang yang
bersahabt dengan Allah swt. karena bersahabt dengannya bisa menghubungkan
kalian kepada Allah swt. melalui berkat persahabatannya dengan Allah swt.”
43.
TAUHID
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. kberfirman :
“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa.” (Qs.
Al-Baqarah :163).
Rasulullah saw. bersabda :
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian
yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja.
Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan
hancurkanlah diriku, kemudian taburkan separo tubuhku di darat dan separohnya
lagi di laut pada saat angin kencang.” Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu.
Kemudian Allah swt. berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.”
Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Alalh swt. bertanya
pada orang tersebut, “Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia
menjawab : Karena malu kepada-Mu.” Kemudian Allah swt. mengampuni-nya (H.r.
Bukhari).
Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah
swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid
pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat
Wahdaniyah. Seperti dikatakan : “Anda berani dengan si Fulan bila Anda
dihubungkan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”
Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada,
yahiddu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan : Farrada fahuwa
faarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu
diganti dengan hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan dhammah,
diganti.
Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa
didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan : “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan penghilagnan.” Berbeda dengan ucapan Anda,
manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki.”
Sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt.
adalah ketunggalan Dzat.”
Sebagaian ahli hakikat berkata : “Arti bahwa Allah itu
Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat, penafian terhadap
penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang
menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya.”
Tauhid ada tiga kategori : Pertama, tauhdi Allah swt.
bagi Allah swt. yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah esa. Kedua,
tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah
yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga,
tauhidnya makhluk terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan bahwa Allah swt. Yang
Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya,
menegaskan bahwa Dia adalah Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid
dalam ungkapan yang ringkas.
Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata,
“Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada
campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada
sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada
cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Alalh), ,maka
Allah swt. pasti berbeda.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Tidak ada bagi ilmu tauhid
kecuali sekedar ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junay ditanya seputar tauhid, jawabnya : Menunggalkan
Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan
keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yanga Maha Esa, Yang tidak beranak
dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung
keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambran dan
tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” Al-Junayd berkomentar : “Bila akal para pemikir sudah mencapai
ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya
soal tauhid, al-Junayd menjawab : “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan
didalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Alalh sebagaimana Ada-Nya.”
Al-Hushry berkata : “Prinsip amaliah tauhid kita
mendasarkan pada lima hal : Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkan
Yang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan
melupakan apa yang diketahui dan tidak.”
Manshur al-Maghriby berkata : “Tauhid adalah mengugurkan
seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada
perantara itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah
pembagian, apakah celaka atau bahagia.”
Al-Junayd ditanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia
berkata : “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Alalh swt.; dimana
urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya
dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari
ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui
hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan
pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Alalh
swt. sebagaimana kehendak-Nya : yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya.
Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentag tauhid : “Tidak adanya
keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat.” Jawabnya.
Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia
menejawab : “Dzat Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa
dditerka melalui jangkuan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt.
maujud melalui kebenaran iman, tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata
akan memandang di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya.
Makhluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt.
menunjukkan melaui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak
menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan mata hati tanpa adanya
jangkauan dan penemuan ujungnya.”
Al-Junayd berkata : “Kata-kata paling mulia dalam tauhid
adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi
makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya
mengenal-Nya.”
Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr
ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli
hakikat, yang dimaksud dengan tidak berdaya,a dalah tak berdaya dari maujud,
bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk,
ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan
berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang
‘arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat
itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yag langsung. Menurut kalangan
Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat
langsung. Ma;rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan,
walaupun ma;rifat itu merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak
memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti
lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”
Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus
oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar
meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang
diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam
samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa
dahaga yang terus menerus.”
Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin
Manshur : “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum
Sufi?” Husain menjawab : “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak
disebabkan oleh apa-pun.”
Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan
eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junayd berkata
pula : “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia
sama-sama membincangkan dalam hatinya.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi
ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat
bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang
hanya diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata :
“Celaka Anda!” Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah
menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut
dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratanya pada tauhid, berarti ia
menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa
yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah
sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat
dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa menemukan-Nya,
berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal
Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka
sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu
yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus,
yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya. Seakan-akan ia
bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dan
hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa
karena tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya, Maka,
sebagaimana dikatakan, bahwa ia hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah
swt.”
Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan
makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan : “Tauhid berarti
mengugurkan “kekuatan” karenanya jangan bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan
kepadaku.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?”
Beliau menjawab : “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah
tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur unsur-unsur
kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata
menjelang akhir hayatya, di saat sakitnya mulai parah : “Salah satu tanda
keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian
beliau berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi
dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir,
dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap
bersyukur dan memuji.”
Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang
gyang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi
orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan
atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda
mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly
: “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”
Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah
melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Sat.”
Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam
tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah
swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya
membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u)
secara batin. Dan lahiriahnya, melalui lewat diskripsi keragman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang
bersayir :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana kami ada.”
Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang)
Al-Qur’an dan Hadist?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi orang yang
menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan ucapan terendah dan teringan.”
44.
KELUAR DARI
DUNIA
Edit : Pujo Prayitno
Membaca satu kata anda tau.
Membaca satu kalimat anda bijak.
Membaca satu buku anda bersinar.
Karena ilmu adalah cahaya.
Membaca satu kalimat anda bijak.
Membaca satu buku anda bersinar.
Karena ilmu adalah cahaya.
Allah berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik
oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka) “Salaamun’alaikum”
masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs.
An-Nahl :32).
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa mereka
dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka kembali kepada Tuhannya, dengan
jiwa kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan
kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan
salam (perpisahan) satu sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau
berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai (jumpa) di hari kiamat
nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi
saw. sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya. Nabi saw. bertanya
: “Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada
Allah swt. dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan
rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati hamba, dalam tempat
ini, kecuali Allah swt, memberikan padanya apa yang diharapkannya, dan
memberikan rasa tentram dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal
(naza’) berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa takut namun disertai
rasa hormat (haibah), adapula yang dilimpahi rasa harapan (raja’) dan di antara mereka ada yang dibuka oleh
Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka
untuk tentram dan tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku sedang di sisi al-Junyad
ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun baru. Junayd sedang
membaca Al-Qur’anu; Karim, hingga mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata :
“Hai Abul Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak (mengkhatamkan
Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan inilah, lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata : “Aku
menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya tiba. Sepanjang malam
itu dia mendendangkan syair berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya :
“Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka al-Hafi menjawab :
“Datang kepada Allah Azza wa Jalla sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian
murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila kalian menemukan maut,
belikan untukku.” Ketika wafatnya akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh
mengharapkannya, tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib
mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa yang membuatmu
menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal datang kepada Tuan Yang bernah
kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap :
“Duhai betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa girangnya, esok
kami menemui para kekasih : Muhammad dan tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola
matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari mengumandangkan ayat
suci : “Untuk kemenangan serpa ini hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.”
(Qs. Ash-Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang dirundung
duka, kemudian, kemudian orang-orang menjenguknya saat menjelang kematiannya,
sedangkan ia tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu : “Mengapa
aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan yang paling kujauhi telah
dekat, sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu
mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat menjelang
wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada detik-detik terakhir
nafasnya ia menguntaikan syair :
Ratapan rindu
kalbu ‘arifin ketika mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang
cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan Sang
Kekasih
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz
banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd menjawab : “Bukan hal yang
menakjubkan, jika ruhnya terbang menggapai kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai
Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam debu ...! Selanjutnya
mengatakan : “Perjalanan telah dekat, dan susngguh bagiku tak terbebas dari
dosa, tiada keringanan yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong,
Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si Sufi berteriak,
lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar suara : “Seorang
hamba hidup tena g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang wafatnya :
“Apa keinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin mengenal-Nya sebelum kematianku,
walaupun sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya :
“Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua menyuruhku begitu,
sedangkan aku sendiri terbakar dalam Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang berada
di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang fakir datag seraya berucap
: “Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata
: “Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan bisa ditempati oleh
manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si
fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu, shalat dan
... masya Allah Azza wa Jalla ---
mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya,
lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang berbicara
dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak, karena ekstase. Ahmad
berkata padanya : “Suatu kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai
di pintu rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata : “Aku telah
mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di
rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu dikatakan kepadanya :
“Bagimana dengan penyakit Anda?” Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit
itu, bagaimana Anda menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya : “Ucpakanlah Laa
Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan
: “Aku telah musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang
mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika menjelang
wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia menjawab : “Ucapan ini
sudah kami kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair :
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya :
“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly mendendangkan syair :
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang
fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal, kami duduk di
sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami berkata : “Ucapkalah Asyhadu
an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan
salah ssatu dari kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha
Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt tersebut merata pada
semua hadirin. Barulah kemudian beliau meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-Rudzbary :
“Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati ajal, kepalanya ada di
pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah,
pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi, dan inilah
orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami telah menghantarkanmu ke
tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali
membacakan syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir
asing yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni wajahnya. Lalu aku
duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari wajahnya, sampai kemudian matanya
terbuka, dan berkata : “Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu
yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang ini. Engkau
datang, menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga Allah swt.
mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku
mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya Abul Husain Ahmad an
Nury adalah dikarenakan mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah
padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah ditebang, namun
akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di
atas akar-akar itu, kembali pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua
kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk. Kedua telapan kakinya
membengkak, dan akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika
beliau menjelang wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,”
lalu beliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata :
“Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah sekian lama Yusuf tak
pernah mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya :
“Apakah engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa
panggang.”
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah : “Aku
inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa panggang yang
menghangatkan orang asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni
ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang menteri bicara dengan
ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri
itu memukulnya dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun
menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang berada
di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku,
berapa lama lagi diriku Engkau tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah
meninggal dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang mengisahkan :
“Aku melihat di padangpasir seorang pemuda. Ketika ia melihatku, ia berkata,
“Adapun yang mencukupinya, pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku
menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang lembut, sembari
kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan
syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah melupakannya, dan selalu
mengingatnya.” Dia kemudian bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
Tak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di
mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat dari Asy-Syibly?” Ia
menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “ “Aku punya dirham gelap, dan kau
telah menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang
lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan aku untuk shalat.”
Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa menyela-nyela air pada jenggotnya,
padahal aku menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air itu pada
tanganku dan kemudian menyelakan pada jenggotnya, lantas beliau wafat.”
Mendengar kisha itu Ja’far menangis tersedu, dan berkata : “Apa yang kalian
katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari
adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah
al-Mukarramah --- semoga Alalh swt.
menjaganya --- Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke
Madinah al Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang
pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Kukatakan
padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan
kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan,
lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya. Ketika selesai
memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan perjalanan. Aku pun kembali
ke Mekkah --- Semoga Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda
mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang diharapkan kebaikannya
itu llebih baik daripada menetap bersama orang yang tidak percaya
keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku
sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika beliausudah merelakan
ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi,
beliau pun berkata : “Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda
memandang ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata : “Abu
Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah ingat pada-Mu kecuali ketika
lupa, dan Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki
negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya berkata : “Kita sedang
berada dalam iringan jenazah seorang pemuda yang meninggal karena mendengar
orang menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas
mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad
ad-Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa yang dilakukan
Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku
ditawari surga dan seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.”
Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda menemukan hati
Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh tahun, aku kehilangan hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan
dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya. Orang-orang menjumpainya
tersesat di daerah kalangan Bani Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian
ia membuka matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah kemewahan
para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku
sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt. menjaganya –
tiba-tiba datang seorang fakir dengan membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun
mati. Tolong butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk
persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak waras, dan dia sedang
tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid
dan tawaf. Kemudian berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia,
pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya dan menggerakkannya. Ternyata ia
benar-benar mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry
mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu Abi Utsman membuka
matanya, berkata : “Hai anakku, menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong
riya’dalam batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd,
sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan salam. Namun
jawabannya terlambat, walau akhirnya menjawab pula. Setelah itu al-Junayd
berkata : “Maaf, aku sedang dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang
fakir datang pada kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan ketika wajahnya
kubuka untuk kuletakkan di atas tanah, agar Alalh swt. mengasihi dalam
pengasingannya, tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali,
apakah engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?” Aku berkata :
“Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini
hidup. Dan orang yang mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang
membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang
berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti orang-orang yang
mati itu, ada sakit dan ada pula orang-orang yang menjenguk. Ketika aku
dipanggil “Wahai Ali” aku pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang
berjalan, sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub
Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya aku mengatakan
padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”, lalu beliau tesenyum padaku
sembari berucap : “Yang kau maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah
merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya, kecuali hijab keagungan.”
Lalu saat jadi padam (wafat).” Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya
dan berkata : “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah
swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada
an-Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya; beliau berbicara
padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan dimakamkan
hari Jum’at, sebelum Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu
kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi kabar atas
kewafatannya. Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan
manusia sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah shalat.”
Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr. Kutemani jenazah, ternyata telah
dikeluarkan sebelum waktu shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku
bertanya pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di antara mereka
berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh ke arah rumah
dan berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang
diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan padamu, tidak
membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang diperintahkan padaku, membuat
senjang diriku. Lantas beliau meminta
air, untuk memperbarui wudhu, kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang
dan matanya terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi
bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan
kamu lupakan, tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa ketika
Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun mendatangi jenazahnya. Di
daerah itu ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang
Yahudi itu mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah kalian semua
melihat seperti apa yang kulihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda
lihat?” Yahudi itu berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari
langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian
itu, Yahudi tersebut membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang
taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di
Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu hari aku melewati
pintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda yang tampan dalam keadaan meninggal
dunia. Kulihat wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku, :
“hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu hidup,
walaupun mereka mati. Mereka hanya dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada berita sampai padaku
bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta untuk berwasiat. Beliau
malah menjawab : “Jangan ganggu aku. Aku ini sedang terpesona oleh
keindahan-keindahan kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai
situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada kami, mengenai
kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak
bahwa dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya padanya :
“Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini darimu.” Beliau menjawab :
“Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap ceroboh.”
45.
MA’RIFAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan
yang semestinya.” (Qs. AL-An’am :91).
Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa ayat tersebut
bermakna : “Mereka tidak mengenal Allah (ma’rifat sebagaimana seharusnya Dia
dikenal.”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Podasi sebuah rumah adalah dasarnya. Pondasi Agama adalah pengenalan kepada
Allah swt. yakin, dan akal yang teguh.” Aisyah lalu bertanya : “Demi ayah dan
ibuku, menjadi tebusanmu, apakah akal yang teguh itu?” Beliau menjawab :
“Menjga dari maksiat terhadap Alalh dan bersemangat dalam menaati Allah swt.”
(Dikeluarkan oleh ad-Dailany, dari Aisyah r.a.).
Ditinjau dari segi bahasa, para ulama mengartikan
ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah disebut ma’rifat, dan semua ma’rifat
adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah swt.
berarti seorang yagn ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Tetapi di
kalangan Sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah swt,
melalui Nama-nama serta Sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah swt,
dengan muamalatnya, kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah
dan cacat, yang terpaku lama di pintu (ruhani), dan yang senantiasa i’tikaf
dalam hatinya. Kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya, yang
mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya. Memutus segala kotoran
jiwanaya, dan dia mencondongkan hatinya kepada pikiran apa pun selain Alalh
swt. sehingga ia menjadi orang asing di kalangan makhluk. Ia menjadi bebas dari
bencana dirinya, bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam sukacita bersama
Allah swt. dalam munajatnya. Di setiap detik senantiasa kembali kepada-Nya,
senantiasa berbicara dari sisi Al-Haq melalui pengenalan rahasia-rahasia-Nya.
Dan ketika Allah swt. mengilhaminya dengan membuatnya menydari
rahasia-rahasia-Nya akan takdirnya, maka pada saat itu ia disebut seorang
‘arif, dan keadaannya disebut ma’rifat. Jelasnya, frekuensi keterasingannya
terhadap dirinya sendiri (dan seluruh makhluk yang ada) semata karena sukses
ma’rifatnya kepada Allah swt.
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat,
sesuai dengan pengalamannnya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang
kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Salahsatu tanda
ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah swt. Barangsiapa bertambah
ma’rifatnya, bertambah pula habah-nya.” Saya mendengar beliau juga menyatakan :
“Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa
kedamaian. Jadi, orang yang ma’rifatnya bertambah, maka bertambah pula
ketentramannya.”
Asy-Syibly berkata : “Bagi sang ‘arif tidak ada
keterikatan, bagi sang pecinta tidak ada keluhan, bagi sang hamba tidak ada
tuntutan, bagi orang yang takut kepada Alalh tidak ada tempat yang aman, dan
bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah.” Ketika asy-Syibly ditanya
tentang ma’rifat, dia menjawab : “Awalnya adalah ma’rifat hanya bagi Alalh swt.
dan yang akhirnrya adala sesuatu yang tiada hingga.”
Abu Hafs berkata : “Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada
lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku.” Ucapan Abu Hafs ini
mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam
padangan Sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri,
karena dia dilimpahi oleh dzikir kepada-Nya. Dengan demikian, tidak melihat
apapu selain Alalh swt. tidak pula musyahadah kepada selain Allah swt.
Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan refleksi
pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang dihadapinya. Bagi
sang ‘arif, semata kembali pada Tuhan-nya. Jika seseorang disibukkan dengan
Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri.
Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya
hati?” Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup
dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentag ma’rifat, Abu Yazid al-Bisthamy
menjawab dengan menyitir ayat : “Sesungguhnya raja-raja jika mereka memasuki
suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang
mulia menjadi hina.” (Qs. An-Naml :34). Abu Yazid menyatakan : “Manusia
mempunyai ihwal ruhani, bagi yang ‘arif tidak ada. Sifat-sifat manusiawinya
terhapus dan ke-dia-annya telah berubah menjadi ke-Dia-an lain. Pengaruhnya
gaib karena faktor Lain di luar dirinya.”
Muhammad al-Wasithy berkata : Ma’rifat tidak dibenarkan
jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan Allah swt. dan
kebutuhan terhadap-Nya.”
Dengan ucapan ini al-Wasithy memaksudkan bahwa kebutuhan
dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda kesadaran jiwa pada diri si hamba dan
tanda-tanda tetapnya sifat-sifatnya, karena keduanya merupakan sifat-sifatnya.
Sang ‘arif terlebur dalam obyek ma’rifatnya. Bagaimana mungkin ma’rifatnya,
shahih – bila kebutuhan dan kepuasan dengan-Nya masih meelkat – sementara dia
lebur dalam Wujudn-Nya atau terserap dalam musyahadah pada-Nya, tetapi belum
sepenuhnya mencapai wujud dan masih dipisahkan oleh kesadaran akan sifat apa
pun yang mungkin dimilikinya? Karena alasan inilah al-Wasithy juga mengatakan :
“Barangsiapa ma’rifat kepada Alalh swt. berarti terputus, bahkan bisa dan
hampa.”
Nabi saw. menyabdakan :
“Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya.” (Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang perspektifnya jauh.
Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan tersebut, mereka telah
banyak berbicara dengan ma’rifat dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky berkata : “Siapa yang lebih
ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Barangsiapa ma’rifat
(terhadap Allah swt. akan dikokohkan oleh keabadian, dan dunia seisinya terasa
sempit.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Allah swt. Dia
akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan hidup padanya. Segala
sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada sesuatu pun di antara
makhluk, dan dia mengalami sukacita yang luas biasa dengan Allah swt.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat (terhadap) Allah swt.
hilangah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak terikat ataupun terpisah
dari mereka.”
Dikatakan : Ma’rifat mendatangkan rasa malu
dan sikap pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan dan kepasrahan
kepada Allah swt.”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar : “Ma’rifat adalah cermin
sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu. Tampaklah Tuhannya.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw. memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke taman wishaal.” Dia juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif (terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt, dia bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw. memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke taman wishaal.” Dia juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif (terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt, dia bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah swt.”
Hasan bin Yazdaniyar ditanya : “Kapakah seorang ‘arif
menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab : “Ketika Penyaksi Tampak, maka sarana
penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan melebur.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata : “Apabila si
hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan melalui bisikan-bisikan
dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan yang tidak haq.”
Al-Hallaj juga mengatakan : “Tada seorang ‘arif adalah bahwa dia kosong dari
dunia dan akhirat.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Pangkal ma’rifat ada dua
: “Kedahsyatan dan kebingungan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Orang
yang paling ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar kebingungannya.”
Seorang laki-laki berkta kepada al-Junyad : “Di antara
ahli ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan, ‘Meninggalkan setiap macam gerakan
(lahiriah) adalah bagian dari kebajikan dan takwa.” Al-Junayd menjawab :
“Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan,
yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan besar. Pencuri dan pezina lebih
baik perilakunya daripada mereka yag berucap demikian. Sebab sang ‘arif
memperoleh amal-amal dari Allah swt. dan mereka kembali kepada Allah swt.
melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu tahun, aku tidak akan
mengurangi pelaksanaan amal kebajikan sekecil biji sawi sekalipun.”
Ditanya kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Dengan apa engkau
mencapai ma’rifat?” Dia menjawab : “Melalui erut yang lapar dan tubuh yang
telanjang.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury menuturkan : “Aku bertanya kepada
Abu Ya’kub as-Susy : “Apakah sang ‘arif bersedih karena sesuatu selain Allah
swt?” Dia menjawab : “Dan apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya
bersedih?” Aku lalu bertanya : “Lantas dengan mata yang mana dia melihat segala
alam ini?” Dia menjawab : “Dengan mata fana’ dan kehangusan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Sang ‘arif terbang dan
sang zahid berjalan.” Dikatakan : “Mata sang ‘arif menangis, tetapi hatinya
tertawa.”
AL Junayd menyatakan : “Sorang ‘arif tidak akan menjadi
‘arif sampai dia menjadi seperti bumi : diinjak oleh orang yang baik maupun
jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan; menyirami segala sesuatu, baik
yang mencintainya maupun membencinya.”
Yahya bin Muadz berkata : “Sang ‘arif keluar dari dunia
ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal : menangisi diri sendiri dan
pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan Lihur.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Merekan mencapai
ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan tinggal dengan
apa yang jadi milik-Nya.”
Yusuf bin Ali menegaskan : “Seseorang tidak akan menjadi
‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman diberikan kepadanya, kerajaan
itu tidak memalingkan perhatiannya sekejap mata pun dari Allah swt.”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan : “Ma’rifat dibangun dengan
tiga tiang : Rasa gentar (haibah), malu (haya’) dan kesukacitaan (Uns).”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Degan apa engkau mengenal
Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Kalaulah tidak
karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan menganl Tuhanku.”
Dikatakan : “Ulama menjadi panutan,
sedangkan seorang ‘arif adalah sumber petunjuk.”
Asy-Syibli mengatakan : “Sang ‘arif tidaklah berurusan
selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan pembicaraan tentang
sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun bagi dirinya selain
Allah swt.”
Dikatakan : “Sang ‘arif memperoleh kesenangan dengan
dzikir kepada Allah swt. dan ditakuti oleh makhluk-Nya. Dia membuatnya tidak
butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu merasa hina di hadapan Allah swt. lantas
Allah memuliakan di hadapan makhluk-Nya.”
Abu ath Thayyib as-Samary mengatakan : “Ma’rifat adalah
munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya terus menerus memancar.”
Dikatakan : “Sang ‘arif itu
di atas apa yang dikatakannya, dan sang ulama di bawah apa yang diucapkannya.”
Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata : “Allah swt.
menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempt tidurnya, yang tidak Dia ungkakan
kepada orang lain, padahal orang lain itu sedang shalat.”
Al-Junayd mengatakan : “Sang ‘arif adalah yang berbicara
haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam keadaan diam.”
Dzun Nuun menyatakan : “Bagi setiap orang ada hukuman
tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah terputus dari dzikir kepada
Allah swt.
Ruwaym berkata : “Riya’nya orang-orang ‘arif lebih utama
daripada keikhlasan para murid (pencari).”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq berkata :
“Diamnya seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah paling
simpatik dan paling menyenangkan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Meskipun para zahid adalah
raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling fakirnya ‘arifin.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang san ‘arif, dia menjawab
: “Warna air adalah warna wadahnya.” Artinya, sifat orang ‘arif selalu
ditentukan oleh waktunya.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya tentang sang ‘arif. Dia
mengatakan, : “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah swt. dalam tidurnya
dan tidak melihat satu pun selain Allah swt. di saat bangunnya. Dia tidak
sesuai dengan selain Allah swt, dan dia tidak memandang kepada selain Alalh
swt.”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy berkisah, bahwa salah
seorang syeikh ditanya : “Dengan apa Anda mengenal Allah swt.?” Dia amenjawab :
“Dengan kilatan cahaya yang memancar melalui lisan yang diambil dari pembedaan
biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan seseorang yang binasa
dan musnah.: Ia menunjuk kepada suatu ekstase yang muncul dan menuturkannya
dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkannya dari rahasia
yang tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkan-Nya; sedangkan yang lain-Nya
adalah faktor yang menyulitkannya. Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu :
Engkau bicara tanpa ucapan, adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang ‘arif, Abu Turab Askar
an-Nakhsyaby menjelaskan : “Tak sesuatu pun mengotorinya, justru segala sesuatu
menjadi bersih karenanya.”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata : “Cahaya pengetahuan
bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat dengannya keajaiban-keajaiban yang
gaib.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan : “Sang ‘arif hancur
dalam lautan hakikat. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang Sufi, “Ma’rifat
adalah ombak yang membumbung, naik dan turun.”
Yahya bin Mu’adz ditanya tentang sang ‘arif, dan menjawab
: “Seseorang yang ada dan terpisah.” Ia katakan sekali lagi : “Mula-mula ada,
kemudian terpisah.”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan : “Tanda seorang ‘arif
ada tiga : Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’-nya; dia tidak percaya
pada pengetahuan batin; apabila merusak hukum-hukum lahir; dan melimpahnya
rahmat Allah swt. kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang
menutupi kehormatan Alalh swt.
Dikatakan : “Orang yang ‘arif
bukanlah orang yang berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan
lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan orang-orang
yang terikat pada dunia.”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan : “Ma’rifat datang dari
sebuah mata kedermaan dan curahan usaha serius.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang perkataan Dzun Nuun
al-Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana, kemudian menghilang
pergi), maka al-Junayd menjawab : “Seorang ‘arif tidak dibatasi oleh kondisi
ruhani satu ke kondisi lain, tidak pula ditirai oleh tahap yang berpindah dari
satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang banyak dari setiap tempat
seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun yang mereka alami, dan dia
berbicara dengan bahasa mereka agar mereka bisa memberikan manfaat dengan
pembicaraannya.”
Muhammad ibnul Dadhl berkata : “Ma’rifat adalah hidupnya
hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya : “Apakah sang ‘arif sampai
pada kondisi, dimana air mata telah kering?” Dia menjawab : “Memang Menangis
termasuk dalam masa ketika mereka melakukan perjalanan menuju Allah swt. Ketika
mereka turun menuju lembah hakikat taqarub, dan mengalami rasa wushul dan
anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna.”
46.
MA’RIFAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamamnya, maka kelak Allah akan mendtangkan suatu kaum yang
Allah menintai mereka dan mereka mintai-Nya.” (Qs. Al-Maidah :54).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah
pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan
dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r.
Bukhari).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi saw. dari
Jibril as. Yang memberitahukan bahwa Tuhannya – Subhanahu wa Ta’ala, telah
berfirman :
“Barangsiapa menyakiti salah
seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku
merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk
mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak
suka menyakitinya, namun kematian harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang
paling Ku-cintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia
mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan
siapa yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang
kokoh baginya.” (Hadist dikeluarkan oleh : Ibnu Abud Dunya, al-Hakim,
Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi telah
bersabda : “Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka Dia berfirman
kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia.”
Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia berseru kepada para penghuni
langit lainnya : “Allah swt. mencintai Fulan, maka hendaklah kalian juga
mencintainya.” Para penghuni langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun
diterima oleh manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang
hamba....” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi saw.)
mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian Allah swt. kepada
seorang hamba.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah
disaksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah
mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya Allah swt. disifati
sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang mencintai
Allah swt.
Cinta menurut para ulama berarti kehendak. Tetapi yang dimaksud kaum Sufi bukan
kehendak. Karena kehendak hamba tidak tidak ada kaitannya dengan yang Qadim,
kecuali jika menggunakan perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk
membawa pada kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami akan
membahas masalah ini dalam dua pangkal, Insya Allah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih
khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan
pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak dan ihwal ruhani
yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih
khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan
pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan apda hamba, suatu kedekatan dan ihwal ruhani
yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, dimana menurut
kadar keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika dikatkan
dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan secara umum atas
nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia dikaitkan dengan kekhususan nikmat
disebut sebagai Mahabbah atau cinta.
Sebagian kaum Sufi mengatakan : “Cinta Allah swt. kepada
hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah memujinya dengan
sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini, yaitu
kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadim.”
Sebagia Sufi berkata : “Cina-Nya kepada si hamba termasuk
sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya, dimana Allah
menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani khusus, dimana sang hamba
menaiki tahapannya, sebagai diungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya kepada si hamba
adalah nikmat-Nya menyertai-Nya.”
Sekelompok ulama salaf berkata : “Mahabbah-Nya merupakan
sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks dan menghindar dari
penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang rasional dalam sifat-sifat
cinta makhluk, semisal kecondongan hati pada sesuatu atau menyenangi sesuatu,
seperti juga situasi kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama
manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari semua itu. Mengenai cinta
si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan yang dialami dalam hatinya, yang
terlalu lembut untuk dikatakan. Keadaan ini mendorong si hamba untuk ta’zim
kepada-Nya, memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran
dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang mendesak kepada-Nya, tidak menemuka
kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya, dan mengalamai keceriaan hatinya
dengan melakukan dzikir yang terus menerus kepada-Nya dalam hatinya.”
Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah berupa
kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat kemandirian Allah swt.
itu suci dari segala sentuhan, pemahaman dan pelampauan? Menggambarkan si
pecinta sebagai yang musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat daripada
menggambarkannya sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya. Cinta tidak bisa disifati
dengan sesuatu diskripsi, tidak bisa dibatasi dan dijelaskan kecuali dengan
cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang mendalam di saat timbulnya
kesulitan-kesulitan, maka, ketika kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada
lagi kebutuhan untuk meneggelamkan diri dalam penguraian kalam.
Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak. Mereka
berbicara menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan, Cinta
(hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab mengatakan
tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan.”
Dikatakan : “Al-Hubab adalah gelembung-gelembung yang
terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia
haus dan berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.
Dikatakan juga : “Hubb, berakar dari kata Hababul Maa’,
adalah air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah kepedulian yang
paling besar dari cinta hati.”
Dikatakan : “Cinta bersumber dari akar kata yang memiliki
arti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal ba’iir untuk menggambarkan seekor unta yang berlutut
dan menolak untuk bangkit lagi. Seakan-akan san pencinta (muhibb) tidak akan
menggerakkan hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”
Dikatakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata habb, yang
berarti anting-anting. Penyair berkata :
Ular menjulur-julurkan lidahnya,
Mengabiskan malam di sisi anting-anting,
Mendengarkan rahasia-rahasia.
Dalam syair di atas, digunakan kata habb untuk
anting-anting, dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena
goyangnya. Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta.”
Dikatakan : “Cinta dari kata habb (biji-bijian) yang
merupakan jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi
penopangnya. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia tersimpan
dalam kalbu.”
Dikatakan : “Kata hubb berasal dari kata hibbah, yang
berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai Hubb adalah lubuk
kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan.”
Dikatakan : “Hubb adalah keempat sisi tempat air. Cinta
dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang dicintai, dari segala hal yang
luhur maupun yang hina.”
Dikatakan juga : “Cinta berasal dari kata hibb, tempat
yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi
lainnya. Demikian pula, manakala hati diluapi
cinta, tak ada lagi tempat lagi selain sang kekasih.”
Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi, antara lain
:
“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di atas semua
yang yang dikasihi.”
“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang kekasih
dengan hati bimbang.”
“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan Sang Kekasih,
di alam nyata maupun gaib.”
“Cinta adalah peleburan si pecinta aats sifat-sifatnya
dan peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya.”
“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak Tuhan.”
“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang hormat
ketika menegakkan baktinya.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Cinta
adalah membebaskan hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan membesar-besarkan
hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu.”
Sahl mengatakan : “Cinta berarti memeluk ketaatan dan
berpisah dari sikap kontra.”
Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab : “Cinta
berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat
pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta direnggut oleh
ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan
akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga si pecinta lupa dan tidak sadar akan
sifat-sifatnya sendiri.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan : “Hakikat cinta
berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang kau cintai,
hingga tak satu pun yang tersisa.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Cinta
disebut “mahabbah” karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang
Kekasih.”
Ahmad bin Atha’ menegaskan : “Cinta berarti menegakkan
cacian selamanya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula : “Cinta adalah
kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Saya mendengar
beliau juga mengatakan : “Asyik masyuk cinta adalah melampaui semua batas
cinta. Dan Allah swt. tidak bisa digambarkan sebagai melampaui batas, Jadi Dia
tidak bisa disifati sebagai memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh cinta
manusia dikumpulkan pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih sangat
jauh dari kadar cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah swt. Tidak
bisa dikatakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah
swt. Allah tidak bisa dikatakan memiliki sifat cinta yang asyik masyuk. Tidak
pula si hamba bisa digambarkan sebagai memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa Allah
swt. berkobar cinta-Nya. Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa digunakan
dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab tidak ada
dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari Dia kepada si hamba
ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq tidak asyik dalam masyuk
hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak dalam asyiknya al-Haq, ed).
Asy-Syibly berkata : “Cinta berarti engkau cemburu demi
Sang Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”
Ketika ditanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’ menjawab :
“Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah sesuai dengan kadar
akal.”
Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr Abadzy
berkomentar : “Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan darah, sedangkan
macam yang lain menyebabkan pertumpahan darah.”
Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan : “Para pecinta
Allah swt. telah pergi membawa akemuliaan di dunia dan akhirat, sebab Nabi saw.
bersabda : “Seseorang akan bersama dengan orang
yang dicintai.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun
bersama Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Hakikat cinta adalah bahwa ia
tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan, tidak pula
bertambah jika dia disuguhi kebaikan. “Katanya pula : “Orang yang mendakwakan
diri mencintai Allah swt. adalah pendusta jika dia mengabaikan hukum-hukum yang
ditetapkan-Nya.”
Al-Junayd menegaskan : “Jika cinta seseorang itu benar,
maka anturan adab telah gugur.”
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam kaitan ucapan
Junayd :
Jika telah murni kasih sayang manusia,
Dan cinta mereka lestari,
Memuji telah menjadi kasar.
Al-Junyad juga mengatakan : “Anda tidak akan menjumpai
seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh
penghormatan, sementara orang lain menggunkana sebutan yang penuh kesantunan
untuk memanggil anaknya itu. Si ayah biasanya memanggil “Hai Fulan”.
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Cinta adalah
mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih.”
Bundal ibnul Husian berkata : “Seseorang bermimpi melihat
Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah dilakukan Allah
swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah mengampuniku dan menjadikanku
sebagi hujjah bagi para pecinta.”
Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan : “Hakikat cinta adalah
bahwa si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan kebutuhannya
terhadap Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan : “ Hakikat
cinta adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr Abadzy : “Engkau belum
pernah mengalami cinta!” Dia menjawab : “(Orang yang berkata begitu), benar.
Tetapi aku menanggung kesedihan mereka, dan di sana lah aku terbakar di
dalamnya.” Dia juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian dalam
semua keadaan.”
Kemudian dia bersyair :
Orang yang hasrat cintanya panjang
Akan merasakan kelupaan,
Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa.
Semakin banyak menemuinya
Harapanku tak tergapai
Berlalu secepat kilatan cahaya.
Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan : “Cinta berarti
gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”
Al-Junayd mengatakan : “Cinta adalah mengabaikan hasrat
tanpa harap.”
Dikatakan : “Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh
Sang Kekasih dalam hati.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah cobaan besar yang
ditempatkan dalam hati dari yang dihasrati.”
Ahmad bin Atha’ membacakan syair :
Kutanam satu cabang cinta para pecinta “
Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat rindu yang
mematang
Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari buah-buahan
yang manis,
Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,
Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar itu.
Dikatakan : “Awal mula cinta adalah penipuan, dan
akhirnya pembunuhan.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar tentang
hadis Nabi saw. : “Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan menulikan.” (H.r. Abu
Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta membutakan seseorang terhadap orang
lain karena cemburu, sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa kharisma.
Kemudian beliau membacakan syair :
Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,
Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama
Dengan orang belum pernah berhasrat.
Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan : “Cinta adalah
kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian engkau mengutamakan
padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta bendamu, kemudian berada dalam
keserasian dengannya, baik secara lahir maupun batin, kemudian menginformasikan
atas kekuranganmu dalam mencintai-Nya.”
As-Sary as-Saqathy mengatakan : “Tidak bisa dikatakan
cinta yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepda amasing-masing
dengan ungkapan “Wahai diriku”.
Asy-Syibly berkata : “Sang pecinta akan binasa jika diam,
tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”
Dikatakan : “Cinta adalah api dalam hati yang membakar
segala sesuatu selain kehendak sang kekasih.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah upaya besar sementara sang
pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”
Ahmad an-Nury mengatakan : “Cinta berarti merobek tabir
dan menyingkap rahasia-rahasia.”
Abu Ya’qub as-Susy berkata : “Cinta tidak sah tanpa
keluar dari melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan kefana’an
ilmu cinta.”
Al-Junayd menuturkan : “As-Sary memberikan sepotong
kertas kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada tujuhratus kisah
atau hadis.’ Dan di sana ada bait-bait syair :
Ketika aku mengaku cinta
Ia berkata : “Engkau bohong padaku”
Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan bulat nan
elok?
Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat pada urat di
dalam
Sedang engkau layu sampai tak tersisa
Untuk menjawab sang penyeru
Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi hasrat
cinta
Selain mata yang menangis dan ..
Penuh Munajat.....
Ibnu Masruq berkomentar : “Aku hadir ketika Samnun sedang
berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjdi lalu pecah.” Dikatakan :
“Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun berbicara tentang cinta di masjdi,
tiba-tiba seekor burung kecil datang dan mendekat ke arahnya. Ia terus mendekat
hingga akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan paruhnya ke
lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian mati.”
Al-Junayd menjelaskan : “Semua
cinta dengan satu tujuan. Jika tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang
pula.”
Diceritakan bahwa sekelompok orang datang mengunjungi
Asy-Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia bertanya, “Siapa
kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang yang mencintaimu, wahai
Abu Bakr!.” Syibly menghadap mereka
lantas melempari mereka dengan batu, sembari berkata : “Jika kalian mengaku
benar-benar mencintaiku, tentu kalian akan bersabar atas ujian yang menimpaku.”
Lalu dia mendendangkan syair :
Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan daam hati.
Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak
mataku,
Engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid al-Bisthamy :
“Aku mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.” Abu Yazid
membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan bumi namun rasa
hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa masih ada lagi?”
Para Sufi bersyair :’Aku kagum bagi yang berkata,
‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’
Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih ingat yang
kulupa?”
Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.
Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu
Aku tak kan hidup
Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena rindu.
Berapa kali aku hidup melalui harapan pada-Mu,
Dan berapa kali aku telah mati!
Aku meminum air cinta dan piala ke piala
Namun piala tetap penuh jua
Hausku tak henti-hentinya.
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan
kepada Isa as. : “Jika Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak
menemukan cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya
dengan cinta-Ku.”
Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq : “Salah
satu kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu bagimu, sebagai
Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku sebagai pecinta.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barang siapa
dianugerahi satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang
sama, berarti tertipu.”
Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas dirimu.”
Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan; kesadaran
hanya datang dengan melihat Sang Kekasih. Keetika melihat Kekasih justru tak
bisa dibayangkan.”
Para Sufi membacakan syair berikut :
Piala berputar, mereka pun mabuk,
Sedang mabukku datang dari si pemutar piala
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut
:
Aku menikmati dua mabuk
Sedangkan teman-teman minumku hanya satu
Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka
Yang mendapat anugerah itu
Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti mengundang celaan
yang terus menerus.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang budak
perempuan bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu lama.
Beliau mengatakan kepadaku : “Pada suatu hari Fairuz menghinaku, dengan
mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan al-Qari’ bertanya kepadanya :
“Mengapa engkau menyakiti Syeikh?” Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka memiliki
cinta sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa cinta.”
Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang kepada
orang-orang yang berkumpul pada hari hari taya dan bersyair :
Siapa yang mati dalam keluhan cinta
Matilah seperti itu,
Tak baik dalam cinta tanpa kematian
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas rumah dan
mati.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India menaruh
cinta yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada suatu hari si
budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan selamat berpisah kepadanya.
Airmata mengalir dari salah satu matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak
mengeluarkan airmata. Selama delapanpuluh empat tahundia menutup matanya yang
tak menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika kekasihnya pergi.
Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika berpisah,
Namun mata yang lain kikir pada kami untuk menangis.
Maka kuhukum mata yang kikir airmata
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling bertemu.
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari ketika kami
sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang cinta, dia
meminta, dengan bersyair :
Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan
Ketika dia meratap, dan sedih
Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh dan
benar-benar suci.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Siapa yang menyebarkan
cinta di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta dalam
pernyataan-pernyataannya.”
Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas cinta. Menurut
mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam keadaan
kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam keadaan bingung dan terhapus
dalam kegentaran.
Abu Bakr al-Kattany menuturkan : “Persoalan cinta sedang
dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji. Al-Junayd adalah
orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya suatu kali, dan bertanya
kepadanya : “Hai orang Irak, kaakanlah kepada kami apa pendapatmu. Al-Junayd
menundukkan kepalanya dan menangis, kemudian menjawab : “Cinta adalah seorang
pelayan yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir kepada
Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan
kesadaran yang terus menerus akan Dia dalam hatinya. Cahaya Dzatnya membakar
hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha
Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga manakala
dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang dikatakannya
adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia bergerak dengan perintah Allah,
dan manakala dia diam, maka diamnya adalah bersama Allah. Dia akan selalu
dengan Allah, bagi Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata al-Junayd itu,
semua syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan.
Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para ‘Arifin!.”.
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud
as : “Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika cinta kepada
selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”
Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh, menuturkan : “Suatu
ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas
dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu, lepaskanlah penyakit ini
dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai akhirnya ia pun sembuh.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa cinta
berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri Raja Aziz
ketika dia menyesali perbuatannya : “Akulah yang menggodanya untuk menundukkan
dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Qs.
Yusuf :51). Sebelumnya dia telah mengatakan : “Apakah pembalasan terhadap orang
yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum)
dengan azab yang pedih?” (Qs. Yusuf :25). Jadi, mula-mula dia menuduh Yusuf
telah berbuat dosa, tetapi akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas
penghianatannya itu.
Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan : “Aku bermimpi
bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah,
maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt. telah memenuhi kalbu saya
dan tidak menyisihkan cinta bagimu.” Beliau menjawab : “Wahai orang gyang
diberekati, barangsiapa mencintai Allah swt. berarti ia emncintaiku.”
Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah : “Tuhanku,
akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?” Tiba-tiba muncul
bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti itu, Engkau jangan menyanggka
buruk kepada Kami.”
Dikatakan : “Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf
“Ha” dan “ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya meninggalkan ruh,
kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’ di kalangan para
Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati, sedangkan cinta menafikan secara
psti adanya pertentangan. Pecinta selalu bersama Sang Kekasih. Dalam hal ini
didukung oleh sebuah hadis, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang mengatakan bahwa
seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag mencintai suatu kaum
tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?” Nabi menjawab : “Seseorang akan
bersama dengan orang yang dicintai.”
Abu Hafs menegaskan : “Kerusakan kondisi ruhani,
rata-rata karena tiga perkara : Kefasikan para arifin, penghgianatan para
pecinta (muhibbin), dan dustanya para muridin (pemula).”
Abu Utsan berkata : “Dosa para ‘arifin adalah menggunakan
ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan duniawi dan
memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para pencinta adalah mengutamakan
hawa nafsu mereka sendiri dibanding keridhaan Allah swt. dalam urusan-urusan
yang mereka hadapi.
Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih peduli
terhadap kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan
memandang kepada Allah swt.”
Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary menuturkan : Seekor
burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit betina di bawah kubah
Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si jantan bertanya kepadanya :
“Bagaimana kamu bisa menolakku sedangkan jika aku mau, aku bisa membuat kubah
ini runtuh menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar pembicaraan kedua
burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh Allah swt. untuk
mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya dan menanyakan kepadanya :
“Apa yang membuatmu berkata begitu?” Si burung menjawab : “Wahai Nabi Allah,
para perindu yang masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.” Sulaiman
menjawab : “Anda benar.!”
47.
R I N D U
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang, Dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.: (Qs. Al-Ankabut : 5).
Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan
kepadanya : “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat dan dia
mempercepatnya. Aku berkata : “Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai
Abul Yqzan.” Dia menjawab : “Hal itu tidak ada
salahnya, karena aku memanjatkan kepada Alalh sebuah doa yang pernah
kudengar dari Rasulullah saw.” Ketika hendak beranjak, salah seorang jamaah
mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu. Dia pun
mengulanginya : “Ya Allah dengan ilmu-Mu yang gaib
dan dengan kekuasaanmu atas semua makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau tahu
bahwa hidup itu membawa kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu
bahwa mati itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu agar
aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata maupun yang gaib. Aku
memohon kepada-Mu ungkapan yang benar ketika aku senang maupun ketika aku
marah. Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan dalam kekayaan amupun kemiskinan. Aku
mohon kepda-Mu kesenangan yang tak abadi, dan kesejukan jiwa yang tak terputus.
Aku mohon kepda-Mu keridhaan dengan apa yang telah ditentukan. Dan aku mohon
kepada-Mu kehidupan yang sejuk sesudah mati. Aku mohon agar bisa melihat
Wajah-Mu yang Mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang
mengancam, ayau menjadi korban fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami
dengan keindahan iman. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk
maupun penerima petunjuk.”
Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk
berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar volume cinta.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara
rindu dan hasrat yang bergolak, katanya : “Rindu
ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak
tidak sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini pra Sufi bersyair :
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya.
Sehingga kembali kepada-nya, penuh gelora.
An-Nashr Abadzi menyatakan : “Semua orang mempunyai tahap
kerinduan. Namun tidak semuanya mengalamai tahap gelora, dan siapa yang
memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehinggaia tidak dipandang lagi
pengaruh atau kesan dan keteguhan.”
Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada
Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya : “Aku bermimpi engkau akan
meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus bersiap-siap untuk keluar dari
dunia.” Abdullah ibnul Mubarak menjawab : “Engkau memberiku waktu yang lama,
aku hidup sampai setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar
dari Abu Ali ats-Tsaqafy :
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
Bersabarlah, siapa tahu esok
Engkau bertemu Sang Kekasih.”
Abu Utsman menuturkan : “Tanda rindu adalah mencintai
kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mua’dz menyatakan : “Tanda rindu adalah
membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Pada suatu hari
Daud as. Pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah swt. menurunkan wahyu
kepadanya : “Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagi orang yang sendirian!”
Daud menjawab : “Tuhanku, aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku untuk
bertemu dengan-Mu, lantas terhalang antara diriku untuk bergaul sesama
manusia.” Maka Allah swt. lalu berfirman : “Kembalilah kepada mereka. Sebab,
bila engkau mendatangi-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku
tetapkan dirimu di Laih Mahfudz sebagai seorang arih yang bijak.”
Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh
pemuda yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun wanita
itu justru menangis tersedu. Ia ditanya : “Apa yang engkau tangisi?” Wanita itu
menjawab : “Aku teringat kedatangan pemuda itu, jika kelak di hari kedatangan
kita kepada Allah swt.”
Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia
menjawab, “Jiwa yang terbakar, kalu yang berkobar, dan jantung yang
berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya : “Manakah yang lebih
utama, rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab : “Cinta,
karena rindu terlahir dari cinta.”
Salah seorang Sufi menyatakan : “Rindu adalah kobaran
dari jiwa, dan apinya menjilat-jilat ketika berpisah. Bila pertemeuan tiba, api
itu jadi padam. Bila yang dominan pada rahasia batinnya adalah penyaksian sang
kekasih, kerinduan tak melintas lagi.”
Seorang Sufi ditanya : “Apakah Anda pernah mengalami
kerinduan?” Dia menjawab : “Tidak. Rindu hanya bagi pecinta yang tak bersama
kekasihnya. Sedangkan Kekasih sebenarnya, senantiasa hadir.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq memberi komentar
atas firman Allah swt. “ .... dan aku bergerak kepadamu, wahai Tuhanku, agar
supaya Engkau ridha (kepadaku)” (Qs. Thaha :84). Arti ayat ini : “Aku bergerak
kepada-Mu karena indu kepada-Mu.” Namun disamarkan melalui kata ridha.”
Ad-Daqqaq juga berkata : “Salah satu tanda rindu adalah
harapan pada kematian dalam hamaparan ampunan yang sejahtera. Begitulah Nabi
Yusuf as. Ketika dilemparkan ke dalam sumur, beliau tidak berkata : “Biarkanlah
aku mati saja!” Ketika dimasukkan ke dalam penjara, beliau juga tidak
mengatakan : “Biarkanlah aku mati saja!”. Tetapi keetika orangtuanya datang
kepadanya dan semua saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata :
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam (Qs. Yusuf :1010).” Mengenai hal ini para
Sufi bersyair :
Kami dalam puncka kegembiraan,
Namun tak bisa sempurna,
Kecuali dengan kalian
Cacat yang ada pada kami,
Wahai orang-orang yang kucintai,
Engkau semua digaibkan
Sedang kami telah hadir.
Mereka juga bersyair :
Siapakah yang memeriahkan pesta raya,
Padahal aku sungguh berduka,
Kegembiraan telah penuh bagiku
Bila kekasih-kekasihku tiba.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Rindu adalah
hembusan kalbu yang muncul karena pesona, kecintaan untuk bertemu dan rasa
ingin berdekatan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Allah swt. mempunyai
hamba-hamba tertentu, jika Dia menutup tirai bagi mereka, maka mereka akan
memohon agar dikeluarkan dari surga sebagaimana para penghuni neraka minta
dikeluarkan dari neraka.”
Al- Husain al-Anshary berkata : “Aku bermimpi bahwa hari
Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah ‘Arasy, Alalh
swt. lalu bertanya : “Wahai para malaikat-Ku, siapakah orang ini?” Menereka
menjawab : “Engkau lebih Maha Mengetahui.” Maka Allah swt. pun berfirman :
“Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia mabuk karena mencintai-Ku; dan tak akan sadar
kecuali berjumpa dengan-Ku.” Riwayat lain mengatakan : “Inilah Ma’ruf
al-Karkhy. Dia meninggalkan dunia dalam keadaan rindu kepada Alalh. Maka Alalh
lalu memperkenankannya menatap Wajah-Nya.”
Farais menegaskan : “Hati para perindu disinari dengan
cahaya Alalh swt. Manakala Gairah kerinduan mereka membara, cahaya itu
menerangi langit dan bumi, dan Allah swt. menunjukkan kepada
malaikat-malaikat-Nya, seraya berfirman : “Mereka adalah perindu-perindu
kepada-Ku, Aku bersaksi pada kalian bahwa Aku pun sesungguhnya lebih rindu
kepada mereka.”
Syeikh Abu Ali ad- Daqqa pernah menjelaskan mengenai
sabda Nabi saw. : “Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk berjumpa
dengan-Mu.” Komentar Abu Ali : “Rindu itu terdiri dari seratus bagian. Nabi
memiliki sembilan puluh sembilan bagian, dan yang satu bagian dibagi-bagi di
kalangan umat manusia.” Abu Ali juga menginginkan yang satu bagian itu, karena
beliau cemburu jika satu bagian rindu diberikan kepada orang lain.”
Dikatakan : “Kerinduan orang-orang yang muqarrabun lebih
sempurna dibanding kerinduan mereka yang terhijab dari kehadiran-Nya.”
Demikianlah dikatakan penyair :
Sebutuk kerinduan suatu ketika
Bila tanda-tanda saling mendekat.
Dikatakan juga : “Para perindu saling merasakan manisnya
kematian, ketika menjemputnya, semata karena jiwa pertemuan telah terbuka
melebihi manisnya penyaksian.”
As-Sary menyatakan : “Rindu adalah maqam teragung bagi
seorang ‘arif manakala telah terwujud di dalamnya. Manakala dia mencapai
kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang menjauhkan dari yang
dirindukannya.”
Abu Utsman bin Sa’id al-Hiry berkomentar mengenai firman
Allah swt. “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut :5). “Ayat ini
sebagai penentram bagi para perindu. “Tafsirnya : “Aku tahu bahwa rindu kalian
kepada-Ku begitu kuat. Aku telah menetapkan satu waktu bagi kalian untuk
berjumpa dengan-Ku. Kalian semua akan segera datang kepada Yang kalian
rindukan.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud
as. : “Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil : “Mengapa kalian menaruh
kepeduan selain kepada-Ku, sedangkan Aku merindukanmu? Dusta macam apa ini?”
Allah swt. juga menurunkan wahyu kepada Daaud as. : “Jika
saja mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui bagaimana Aku telah
menunggu mereka, melimpahkan kasih sayang kepada mereka, dan kerinduan-Ku agar
mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-Ku, pasti mereka mati semua karena
rindu mereka, dan sendi-sendi mereka remuk karena cinta kepada-Ku. Wahai Daud,
inilah Kehendak-Ku terhadap mereka yang telah berpaling dari Ku, lalu bagaimana
kemauan-Ku terhadap mereka yang menghadap kepada-Ku?”
Dikatakan bahwa dalam kitab Taurat tertulis : “Kami
sangat merindukan kalian semua, namun kalian tidak saling membalas rindu; Kami
tanamkan rasa takut dalam dirimu, tapi kalian sendiri tidak merasa takut. Dan
kami memberi ratapan kepada kalian, sayangnya kalian semua tidak pernah
meratap.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika
Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah swt. mengembalikan penglihatannya.
Dia menangis lagi sampai buta kembali, dan Allah swt. mengembalikan lagi
penglihatannya. Kemudian ia menangis sampai buta, lantas Allah swt. mewahyukan
: “Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadidkanmu selamat
darinya.” Syu’aib menjawab : “Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada-Mu.”
Lalalu Allah berfirman padanya : “Karena itu Aku menunjuk Nabi-Ku dan
Kalimat-Ku untuk melayanimu selama sepuluh tahun.”
Dikatakan : “Barangsiapa rindu kepada Alalh swt. maka
segala sesuatu merindukannya.”
Dan dalam hadis disebutkan : “Surga merindukan tiga orang
: Ali, Ammar dan Salman.”
Malik bin Dinar mengatakan : “Aku membaca dalam Taurat
begini : “Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, tetapi kamu sekalian tidak rindu
kepada Kami. Kami mainkan seruling untukmu, tetapi engkau tidak menari.”
Al-Junayd ditanya : “Apa yang membuat seorang pecinta
menangis ketika bertemu dengan Kekasihnya?” Dia menjawab : “Itu hanya karena
kegembiraannya pada ang Kekasih, dan kepesonaan karena kedahsyatan rindu
kepada-Nya.”
48.
MENJAGA PERASAAN
HATI SYEIKH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma
al-Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada
Khidr, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru,
lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala
hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai
kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra
untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak
dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan. Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs.
Al-Kahfi:78).
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak
menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah akan
menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah
tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan
syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan antara keduanya
telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah.
Barangsiapa berguru kepada salah satu syeikh, kemudian dalam hatinya ada
kinflik, maka janji pertalian guru dan murid telah rusak, dan ia wajib
bertobat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak
ada lagi tobatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku
pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih hidup. Sebelum
aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua da majelis Khtamul Qur’an.
Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu
forum diskusi yang dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku
gelisah, dan aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang
diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata padanya : “Mereka
mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah dihilangkan dan diganti majelis
diskusi.” Lantas syeikh berkata : “Siapa saja yang berrkata kepada gurunya :
“Mengapa? Maka dia tak akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku
memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sessuatu
padaku, dan au bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali
kepdanya, ia memberikan secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan
pemenuhamu atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu,
ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di apdang pasir
menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah nekgau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang
berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy. Padahal waktu itu
aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait
dengan burung itu. Ja’far berkata padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa
ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan
kuletakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu
langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok
paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan
berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para syeikh, ia akan dipaksa
oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar=Razy mendengar Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang menjelaskan
sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-memijinya. Tiba-tiba Abdullah
sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah pdanya. Namun hatinya
tidak berkenan pada Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan
Abu Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah menjawab :
“Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas Abu Utsman berkata :
“Karera Anda mengaanggapnya arendah. Dan tak seorag pun yang menganggap rendah
seseorang melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh
hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari
ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkaa : “Ketika penduduk
Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendoakan meraka : “Ya
Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka seteah itu tak seorang jujur pun
yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah
ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan menyimpang pada
saat hidupnya, dengan maksud agar rasa ta’zimnya kepda syeikh tersebut tidak
hilang. Apabila syeikh telah meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan
balasan ridhanya syeikh kepadanaya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh
berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut hidup, karena ia
tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk
menghormati. Apabila syeikh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah
muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya.”
49.
SIMA’
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya.” (Qs. Az-Zumar :17-8).
Huruf Alif dan Laam pada kata al-Qaul di atas mengandung
pengertian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan dalil di atas
menekankan bahwa Alalh swt. memuji kepada mereka karena mengikuti kata-kata
paling baik.
Allah swt. berfirman :
“Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa
bergembira.” (Qs. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut
menunjukkan dalilnya Sima’ (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengar (sima’) syair dengan anda
yang indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair itu tidak menjurus pada
hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek yang tercela dalam
syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa nafsu, tidak pula memberi peluang
pada nafsunya, maka penyimakan tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang
didendangkan di hadapan Rasulullah saw. Rasul saw. menyimaknya, bahkan tidak
mengingkari mereka dalam mendedangkan syair tersebut. Apabila menyimaknya tanpa
nada yang indah diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan
dengan nada yang indah. Inilah realitas situasionalnya. Lalu, bagi para
penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa yang telah dijanjikan
Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertakwa, dalam derajat-derajat yang lebih
tinggi. Penyimak tersebut dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari
kesalahan-kesalahan, menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan
intuitif, dicintai oleh Agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada sabda
Rasulullah saw. yang mendekati bait-bait syair, walaupun Rasul saw, tidak
bermaksud membaut syair.
Anas bin Malik r.a. berkata : “Ketika orang-orang Anshar
menggli parit-parit, mereka mendendangkan syair :
Kamilah orang-orang baiat
Kepada Muhammad
Untuk berjuang sepanjang hayat.
Kemudian Rasulullah saw. menjawab :
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar
Dan Muhajirah.”
Wanacan yang keluar dari Rasul saw. tersebut bukanlah
wacana syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para
tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan dengan lagu.Di
antara yang memperbolehkan mendendangkan dengan lagu adalah Imam Malik bin
Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyianyang digunakan oleh penggembala untuk
gembalanya (hida’) mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak haids dan atsar
sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut. Sebuah riwayat dari Ibnu
Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sima’. Lalu dikatakan padanya : “Bila kelak
hari kiamat engkau dendangkan, kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu,
maka pada dua sisi yag mana posisi sima’ Anda?” Beliau menjawab : “Bukan dalam
kebajikan, juga bukan dalam keburukan.” Artinya, Jurayj menggolongkan sebagai
perbuatan mubah.
Sementara Imam Asy-Syafi’y r.a. tidak mengharamkan
penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam, walaupun lagunya
tidak digubah, atau sepanjang penyimakannya diarahkan untuk permainan yang bsia
menolak kesaksian, digunakan untuk hal-hal yang bsia menjatuhkan harga diri,
dan tidak dipertautkan untuk hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh. Namun,
yang dimaksud dengan Sima’ oleh kalangan Sufi bukannya demikian. Sebab mereka
jauh dari penyimakan yang bersifat main-main untuk kesenangan, atau duduk untuk
kegiatan penyimakan dengan hati yang alpa, ataupun dalam hatinya mengandung
khayalan kehampaan, bahkan tidak melakukan penyimakandalam bentuk yang tidak
proposional.
Ibnu Umar meriwayatkan beberapa haids seputar
diperbolehkannya Sima’. Riwayat lain dari Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib,
dan riwayat dari Umar – semoga Allah swt. meridhai mereka. Lagu-lagu untuk
gembala dan yang lain juga diperbolehkan. Beberpa syair didendangkan di hadapan
Nabi saw. dan Beliau tidak menolaknya. Bahkan dari riwayat Nabi saw. pernah
mendendangkan beberapa syair.
Dalam riwayat masyhur yang jelas, Nabi saw. pernah
memasuki tempat Aisyah r.a. dan didalam rumah itu ada dua jariyah yang sedang
menyanyi. Nabi pun tidak melatangnya.
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a. bahwa Abu
Bakr r.a. memasuki rumah Aisyah, sementara di rumah itu ada dua penyanyi wanita
yang menyanyikan lagu tentang kalangan Anshar yang bertikai dalam perang
Bu’ats. Abu Bakr r.a. berkata : “Seruling-seruling setan! Seruling-seruling
setan! Latas Nabi saw. bersabda : “Biarkan saja kedua penyanyi itu wahai Abu Bakr,
karena setiap bangsa memiliki perayaan. Dan perayaan kita adalah hari ini.”
(H.r. Bukhari).
Juga riwayat dari Aisyah r.a. bahwa suatu ketika kerabat
dari sahabt Anshar menikah, kemudian Nabi saw. datang, dan bertanya : “Kau
hadirkan gadis-gadis?” Aisyah menjawab : “Benar” Nabi saw. bertanya : “Engkau
suruh orang yang menyanyi?” Aisyah menjawab : “”Tidak” Maka Nabi saw. bersabda
: “(Betapa indahnya) seandainya engkau suruh orang yang mendendangkan : “Kami
telah datang untuk kalian, kami telah datang untuk kalian; maka kehidupan kami
adalah menyemarakkan kehidupan kalian.”
Rasulullah saw. bersanda :
“Baguskanlah Al-Qur’’an melalui suara-suara kamu
sekalian. Sebab suara yang bagus akan menambah kebagusan Al-Qur’an.” (H.r. Ibnu
‘Azib, dan ditakhrij ad-Daramy).
Semua ini menunjukkan keutamaan suara yang indah.
Rasulullah saw. juga bersabda : “Setiap sessuatu memiliki perhiasan, sedangkan
perhiasan Al-Qur’an adalah suara yang indah.” (H.r. Anas dan dikeluarkan oleh
adh-Dhiya’ Abdurrazaq dalam kumpulan hadisnya).
Sabdanya lagi : “Dua suara yang dilaknati : Suara umpatan
“Celaka” ketika sedang mendapati musibah, dan suara seruling yang
menghanyutkan.” (H.r. Al-Bazzar dan adh-Dhiya’ dari Anas bin Malik).
Pengertiannya, bahwa nada indah dierbolehkan kecuali
dalam dua suara tersebut. Jika tidak demikian, pengecualiannya dibatalkan.
Hadis-hadis soal ini cukup banyak. Bila menambah kadar dengan menyebutkan
sejumlah riwayat-riwayat yang ada, akan mengesampingkan maksud ikhtisar ini.
Diriwayatkan ada seseorang yang mendendangkan syair di
depan Rasulullah saw.
Kuterima kebahagiaan untuknya
Dua bentangan bagai manik hitam
Ia kembali, dan kukatakn apdanya
Sedang hati dalam nyala membara
Salahkah aku, berdosakah
Jika kurindukan dia?
Maka Rasulullah saw. menjawab : “Tidak”.
Inilah, bahwa keindahan suara termasuk nikmat Allah swt.
pada pemiliknya. Allah swt. berfirman : “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa
yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir : 1). Dalam tafsir dijelaskan bahwa
tambahan pada ciptaan-Nya itu adalah suara merdu.
Allah swt. mencela suara yang buruk. Firman-Nya :
“Sesungguhnya, seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (Qs. Luqman :19).
Hati selalu menikmati dan merindu pada suara yang merdu,
rasa tenteram akan muncul karena suara merdu, sesuatu yang tak bisa diinkgari.
Si bocah akan tenang bila mendengar nyanyian yang merdu. Begitu pula unta akan
berjalan ringan walaupun membawa beban berat. Bila mendengarkan suara-suara
yang menghiburnya. Allah swt. berfirman : “Apakah mereka tidak melihat
bagaimana unta diciptakan?” (Qs. Al-Ghaasyiyah :17). Dan Rasulullah saw. juga
bersabda :
“Allah swt. belum pernah mengizinkan terhadap sesuatu
apap pun sebagaimana pemberian izi terhadap seorang Nabi, yang melaggikan
bacaan Al-Qur’an.” (H.r. Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad dalam Musnad-nya).
Dikisahkan, bahwa nabi Daud as. Ketika sedang membaca
kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu menyimaknya.
Rasulullah saw. bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary :
“Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.” Dan Mu’adz berkata kepada
raslullah saw. : “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan
memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan : “Aku
sedang berada di apdang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab.
Salah seorang di antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak
berkulit hitam sedang diikat, dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di
halaman rumah. Budak itu berkata padaku : “Anda malam ini sebagai tamu. Dan
Anda di mana tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak
bisa menolak.” Maka kukatakan kepada pemilik rumah : “Aku tau menyantap
makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak ini.” Maka tuan si
budak itu menjawab : “Si budak ini telah memiskinkan dan menghancurkan
hartaku.” Aku bertanya : “Apa yang dilakukan?” Dia menjawab : “Budakku ini
memiliki suara yang merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu
unta ini dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang hingga
menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari, hanya ssehari saja
ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan unta-unta itu pun mati semua.
Tapi terserah apdamu!” Tali yang mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya
aku ingin mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu diperintah
untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju sebuah sumur di ujung
sana yang bisa untuk tempat minumnya. S budak itu pun menghalaunya. Dan unta
itu pun menoleh ke arah wajahnya, sembari memberot tali yang mengikatnya hingga
putus. Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan suara yang amat merdu, kemudian unta itu menderum
ke arahku, sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.”
La-Junayd ditanya : “Bagaimana suasana orang yang
kondisinya tenang, lalu ketika mendengarkan sima’ tiba-tiba hatinya risau.”
Maka, al-Junayd menjawab : “Sesungguhnya Allah swt. ketika berfirman kepada
benih dalam perjanjian yang pertama, melalui firman-Nya, -- Bukankah aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar (Engkau Tuhan kami) --- sehingga arwah
menjadi segar mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan
sima’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Sima’
itu haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara diperbolehkan
bagi orang-orang zuhud, sebab dengan dima’ mereka meraih mujahadahnya. Seperti
bagi kalangan kita, sangat dianjurkan, karena bisa membuat hati merasa hidup.”
Al-Harits bin Asad al-Muhashiby berkata : “Tiga perkara,
bila kita menjumpai, kita merasa nikmat, dan apda ketiganya kita telah
kehilangan : “Wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara merdu
disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu,
beliau menjawab : “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang dititipkan
Alalh kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.” Ditanya pula
tentang sima’, jawabnya : “Bisikan Haq yang membangkitkan kalbu kepada Yang
Haq. Siapa yang menyimak penuh perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar.
Dan siapa yag menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata : “Kasih sayang akan turun kepada
orang-orang fakir dalam tiga tempat ketika sedang sima’. Sebab mereka tidak
menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak berbicara kecuali dari
intuisi. Dan ketika mereka makan-makanan, mereka tidak makan kecuali ketika
lapar; ketika mereka sedang meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali
ingat pada sifat para wali.”
Al Junayd berkata : Sima’ bisa menjadi fitnah bagi yang
berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.” Dia juga berkata :
“Sima’ butuh tiga hal : Zaman, tempat dan sejumlah teman.”
Dulaf as0Syibly ditanya mengenai Sima’, dia menjawab :
“Secara llahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah pelajaran. Siapa
yang mengenal isyarat, ia boleh menyimak pelajaran. Jika tidak, berarti ia
mengundang fitnah dan menawarkan terhadap bencana.”
Dikatakan : “Sima’ tidak layak, kecuali pada orang yang
nafsunya telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disemebelih dengan pedang
mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya keserasian (Dengan Allah
swt).”
Abu Ya’qub Ishhaq an-Nahrajury ditanya soal sima’, dia
menjawab : “Suatu tingkah aku yang mendorong kembali kepada rahasia jiwa dari
sisi peleburan.”
Dikatakan : “Sima’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah
bagi ahli ma’rifat.”
Saya mendengar syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. lberkata :
“Sima’ adalah watak, kecualid ari arah syariat, dan asing kecuali dari yang
benar, dan fitnah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, sima’ ada dua macam : “Sima’ dengan syarat
adanya pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah mengenal
Asma’ dan Sifa-sifat. Bila tidak, sima’ akan emnceburkan dalam kekufuran murni.
Dan berikutnya adalah sima’ dengan syarat adanya tingkah ruhani. Syarat
penyimaknya haruslah fana’ dari segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih
dari pengaruh-pengaruh duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum
hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdul Hawary, yang mengatakan
: “Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang sima’, maka beliau menjawab : “Di
antara dua yang paling kucintai dibanding satu.”
Abu Husain an Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya :
“Siapa yang mendengar sima’, dan memberi pengaruh kepada sebab-sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata : “Siapa yang mengaku
telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara burung dan
gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu adalah si fakir yang
mengaku-aku.”
Ibnu Zair mempunyai seorang syeikh utama dari salah
seorang murid al-Junayd. Ketika aedang menghadiri majelis sima’ maka bila
berkenan ia membeberkan sarungngya dan duduk. Lantas berkata : “Sfi beserta
hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia juga berkata : “Sima’
hanya bagi yang memiliki nurani hati.” Sambil berkata bagitu dia berjalan dan
mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi
ketika sedang sima’, dia berkata : “Mereka menyaksikan makna-makna yang lenyap
dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang tertuju padaku.
Lantas mereka mencegah agar tidak terlalu gembira. Kemudian datanglah tangis,
sehingga kegembiraan itu berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek
bajunya, ada pula yang berteriak, ada yang menangis; masing-masing menurut
kadar keterikatan hatinya (dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata : “Apa yang harus kulakukan dengan
simma’ yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak memutuskannya?”
Karrena itu selayaknya dalam penyimakan Anda selalu bersambung, tidak
terputus.” Dia juga berkata : “Syogyanya ia merasa dahaga selamanya, minum
(ruhani) selamanya. Bila minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.”
Mujahid dalam menafsirkan firman Alalh swt. : “Maka
mereka dalam tamansurga, senantiasa bergembira.” (Qs. Ar-Ruum :15). Maksudnya
adalah sima’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya yang merdu sekali : “Kami
adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan pernah mati selamanya. Kami
adalah kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah putus selamanya.”
Dikatakan, sima’ adalah panggilan, sedangkan ekstase
adalah tujuan.
Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata : “Orang yang
menyimak berada di antara tirai dan ketampakkan : Tirai mendorong rasa dahaga,
sedangkan penampakkan mewariskan rasa riang. Tirai telah melhirkan gerakan para
penempuh, yaitu wahana kelemahan dan ketakberdayaan. Sementara penampakkan,
melahirkan ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana
istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat menghadirkan di hadirat Ilahi. Di
dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan rasa takut bercampur
hormat.” Allah swt. berfirman :
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu
mereka berkata : “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)>” (Qs. Al-Ahqaf :
29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata : “Sima’ ada tiga arah :
satu arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta kemuliaan
dengan tingkah laku ruhaninya, dan kami khawatir mereka terkena fitnah dan
riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati kebenaran, yang menuntut nilai
tambah dalam ihwal kondisi ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar
serasi dengan waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan
orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas apa yang
datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Barangsiapa mengaku
dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam sima’ dan gerakan-gerakan
selali bersifat naluriah baginya, maka tanda-tandanya adalah dia memperbaiki
tempat duduk yang di sana dia menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata : “Aku menyebut hikayat
ini kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata : “Inilah yang terindah.
Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu majelis kecuali rasa riang
dengan majelis tersebut, dan tak ada yang membatalkan di dalamnya kecuali dia
merasa tidak senang darinya.”
Bundar ibnul Husain berkata : “Sima’ terdiri tiga dimensi
: Di antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang menyimak
melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui Allah swr. Orang yang
menyimak melalui watak, ada dari kalangan awam maupun khusus. Sebab salah sati watak
manusiawi adalah merasa nikmat mendengarkan suara merdu. Sedangkan yang
menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa yang tiba
padanya, berupacacian dan khitab, bertemu atau pisah, dekat ataupun jauh, rasa
kecewa terhadap apa yang hilang atau haus terhadap keinginan di masa depan,
menepati janji atau membenarkan/meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun
ingat kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan takut
berpisah, atau yang sejenisnya. Sedangkan yang menyimak langsung melalui Allah
swt. maka dia menimak bersama dan hanya bagi Alalh set. Sima’ yang terakhir ini
tidak bisa diuraikan dengan kondisi-kondisi ruhani tersebut yang masih
tercampur oleh kepentingan manusiawi, dan masih memunculkan berbagai sebab-sebab
langsung. Maka, bagi kategori yang terakhir tersebut, saling menyimak dari
dimensi kemurnian tauhid terhadap Allah swt. dan sama sekali tidak disertai
kepentingan makhluk.”
Dikatakan : “Ahli sima’ itu ada tiga tahapan : Pertama,
generasi hakikat yang kembali dalam sima’nya bagi dialog Allah swt. kepada
mereka. Selanjutnya ada yang berbicara kepada Allah swt, melalui hatinya
disertai makna-makna yang telah didengarnya. Mereka dituntut untuk bersikap
benar dan jujur terhadap apa yang diisyaratkan menuju kepada Allah swt. Dan
terakhir, adalah si fakir yang menyendiri, yang memutus hubungan dunia dan
bencana. Mereka mendengarkan melalui kemerduan hatinya, dan mereka lebih dekat
dengan keselamatan.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary ditanya tentang sima’ :
“Mukasyafah terhadap rahasia batin, dan musyahadah terhadap Sang Kekasih.”
Jawabnya.
Ibrahim al-Khawwa ditanya : “Bagaimana mengenai orang
yang bergerak ketika sima’ terahdap selan Al-Qur’an, sementara gerakan gerakan
itu memang tidak ditemui dalam penyimakan Al-Qur’an?” Ibrahaim menjawab :
“Sebab sima Al-Qur’an merupakan hentakan, dimana seseorang tidak mungkin
bergerak dalam sima’ disebabkan oleh dahsyatnya kekuatannya. Sedangkan sima’
terhadap ucapan membuatnya riang dan karenanya ia bergerak dalam sima’ tersebut.”
Al-Junayd berkata : “Bila Anda melihat si penempuh
mencintai Sima’, ingatlah bahwa di dalamdirinya ada sisa-sisa kebatilan.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sima’ adalah ilmu yang
dipilih oleh Allah swt. dan tiada yang mengetahui kecuali hanya Dia.”
Dikatakan : “Ketika Dzun Nuun al-Moshry memasuki Baghdad,
para Sufi berkumpul padanya. Di antara mereka ada yang biasa berbicara. Mereka
meminta izin agar diperkenankan membacakan syair sedikit di hadapannya. Dzun
Nuun pun menyilahkan. Lantas orang tersebut membacakan syairnya :
Kecil asmaramu telah menyiksaku
Bagaimana dengan asmara yang perkasa?
Engkau telah mengumpulkan dari kalbuku
Cinta yang benar-benar berpadu
Sedang yang kuwarisi, bagi yang berduka
Bila tertawa sunyi
Jadilah pecah tangisnya.
Tiba-tiba Dzun Nuun berdiri dan membenamkan wajahnya.
Sementara darah menetes dari keningnya, namun tidak mentes ke tanah.
Ibrahim al-Maristany ditanya mengenai gerak dalam sima’ :
“Sampai kepaaku kisah Musa as. Yang bercerita tentang Bani Israil. Di antara
mereka ada yang merobek bajunya. Lantas Allah swt. menurunkan wahyu kepada Musa
as. : “Katakan padanya : “Robeklah hatimu buat Diri-ku, dan janganlah engkau
robek bajumu.”
Abi Ali al-Maghazaly pernah mengutarakan kepada Dulaf
asy-Syibly : “Terkadang pendengaranku terketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah
swt. sehingga menggiringku untuk meninggalkan segala yang ada, berpaling dari
dunia, kemudian aku kembali pada ihwal ruhaniku dan kepada orang pada umumnya.”
Maka Dulaf mengomentari : “Apa yang membuatmu tertarik kepada-Nya adalah
hubungan dari-Nya kepadamu dan merupakan kelembutan. Dan apa yang engkau
kembalikan kepada dirimu, adalah kepedulian dari-Nya atas dirimu. Sebab tidak
dibenarkan bagimu berbakti yang muncul dari daya dan kekuatan ketika menghadap
kepada-Nya.
Ahmad bin Muqatil al-‘ikky berkata : “Aku bersama Dulaf
asy-Syibly di sebuah masjid pada salah satu malam Ramadhan yang penuh berkat.
Dia sedang shalat di belakang imam, sementara aku di sampingnya. Imam membaca
sebauh ayat :
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki niscaya Kami
lenyapkan apa yang telah Kami Wahyukan kepadamu.” (Qs. Al-Israa’ :87).
Tiba-tiba Asu-Syibly menjerit dengan satu jeritan. Bisa
kukatakan, seakan-aan ruhnya terbang dalam keadaan menggigil.” Ahmad salalu
menyampaikan kisah ini kepada teman-temannya, dan seringkali diulanginya.
Al-Junayd mengisahkan : “Suatu hari aku
masuk ke tempat Sary as-Saqathy dan kulihat ada seorang lelaki yang pingsan di
sisinya. Aku bertanya : “Mengapa dia?” Sary menjawab : “Gara-gara mendengarkan
suatu ayat dari Kitab Allah swt.” Aku katakan : “Coba ulangi bacaan ayat
tersebut untuk kedua kalinya.” Lantas Sary membacanya, dan lelaki itu pun
sadar. Sary bertanya padaku : “Dari mana Anda mengetahui hal itu?” Aku katakan
: “Sesungguhnya baju Yusuf as. Telah membutakan mata Ya’qub, kemudian mata itu
sehat kembali karena baju itu. Aku mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.”
Abdul wahid bin Alwan berkata :”Ada seorang pemuda yang
berguru kepada al-Junayd. Bila mendengarkan suatu dzikir dia selalu menjerit.
Suatu hari Junayd berkata padanya. “Bila kamu lakukan hal itu sekali lagi, kamu
jangan berguru pada saya lagi.” Sejak saat itu pemuda itu bila mendengar
sesuatu, selalu berubah dan tampak mengekang dirinya, sampai setiap ujung bulu
di badannya meneteskan keringat. Pada suatu hari ia berteriak sekaut tenaga,
hingga meninggal dunia.”
Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Sebagian teman-temanku
meriwayatkan kisah padaku, dari Abul Husain ad-Darraj, yang mengatakan : “Dari
Baghdad aku bertujuan ke tempat Yusuf ibnul Husain ar-Razy. Ketika sampai di
Ray, aku menanyakan tempat tinggalnya. Setiap orang yang kutanya selalu balik
bertanya kepadaku, ‘ Apa yang akan Anda lakukan dengan manusia zindik itu?
Sampai akhirnya hatiku gelisah, sehingga aku bermaksud untuk kembali saja. Lantas
aku menginap di sebuah masjid malam itu. “Aku sudah datang ke negeri ini, tidak
da jeleknya kalau aku mengunjunginya.” Kataku dalam hati. Selanjutnya aku terus
bertanya tentang Yusuf, dan akhirnya sampai di masjidnya. Yusuf sedang dduduk
di mahrab, dan di depannya ada seseorang. Tampak Yusuf sedang membaca mushaf
Al-Qur’an. Ternyata dia adalah seorang Syeikh yang amat kharismatik, tampan dan
bagus jenggotnya. Aku mendekatinya, dan mengucapkan salam padanya. Dia pun
menjawab salamku. “Anda datang dari mana? Tanyanya padaku.” Dari Baghdad,
bermaksud ziarah ke tampat syeikh.” Kataku.” “Jika ada orang yang berkata
padamu di sebagian daerah. “Kamu menetap saja di tempatku, nanti kubelikan
rumah atau budak-budak wanita.” Apakah tawaran itu akan mencegahmu untuk ziarah
padaku?” tanya syeikh tersbut. “Wahai tuanku, Allah tidak mengujiku dengan
sesuatu seperti itu. Namun seandainya aku menerima tawaran mereka, aku tidak tahu bagaimana keadaanku.”
Jawabku. “Baiklah, ucapkan saja sesuatu.” Kata syeikh itu. “Ya” kataku. Lantas
kudendangkan syair :
Kulihat dirimu membangun penuh ketekunan
Di tanah pinjamanku
Bila aku punya tanah yang tinggi
Tentu robohlah apa yang engkau bangun.
Syeikh itu lalu menutup mushaf, terus menerus menangis,
sampai baju dan jenggotnya basah. Aku sampai merasa kasihan padanya, karena
terlalu banyak menangis.
Beliau lantas berkata padaku, “Anakku, jangan engkau cela
penduduk Ray, mengenai ucapan mereka tentang diriku yang zindiq. Sejak waktu
shalat tiba, inilah aku sedang membaca Al-Qur’an. Namun tidak setets pun air
mata yang jatuh dari mataku. Kiamat benar-benar telah tiba dari rumah ini.!.”
Abul Husain ad-Darraj berkata : “Aku bersama Ibnula
Fauthy sedang berjalan melewati Dajlah.” Antara Basrah dan Ubulan. Tiba-tiba
kami melihat vila indah. Di sana ada laki-laki, dan dihadapannya ada jariyah
yang sdang menyanyikan lagu.:
Bagi jalan Allah ada cinta
Yang datang dariku untukmmu, kelak diganti
Setiap hari kau ikuti
Hanya saja, denganmu lebih indah.
Ternyata ada seorang pemuda yang mendengarkan di bawah
jendela tampak memandang, sambil membawa bejana kulit dan baju tambalan. Pemuda
itu berkata.” Hai Jariyah, demi kehidupan tuanmu, ulangi kata-kata : Setiap
hari kau ikuti. Hanya saja, denganmu lebih indah. Ucapkan lagi kata-kata itu!.”
Jariyah tadi mengulangi kembali baitnya. Sedang si ffakir itu berkata :
“Inilah, demi Allah, ucapan yang mengikatkan ddiriku bersama Al-Haq.” Lalu
pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan yang menyebabkan ruhnya lepas dari
tubuhnya. Seketika pemilik vila itu berkata pada jariyah : “Kamu telah merdeka
--- karena Allah swt.”
Para penduduk Bashrah keluar dan mengurus pemakaman
pemuda itu, serta menshalatinya. Pemilik vila tersebut berkata : “Bukankah
kalian semua mengenalku? Aku bersaksi di hadapan kalian semua, bahwa segala
milikkku hanya untuk jalan Allah swt. Semua budak-budakku merdeka.” Kemudian
mereka memakai sarung dan berkain. Vilanya pun disedekahkan. Selanjutnya ia
pergi begitu saja. Sebab setelah peristiwa tersebut ia tidak menampakkan
dirinya, dan tidak pernah terdengar namanya disebut-sebut.
Abu Sulaiman ad-Dimasyqi mendengarkan panggilan orang
yang sedang thawaf : “Duhai, terimalah penghormatanku untuk-Mu!.” Lalu Abu
Sulaiman jatuh pingsan. Saat sadar ia ditanya, lalu menjawab : “Aku kira ia
berkata : “Terimalah, kau lihat penghormatanku padamu.”
Utbah al-Ghulam mendengar seseorang bermunajat : “Maha
Suci Allah, Tuhannya langit, sungguh sang pecinta selalu dalam tawanan.” Utbah
menyahut : “Kamu benar.” Lantas mendengarkan orang lain mengucapkan akta-kata
yang sama. Utbah menyela : “Bohong kamu!” Masing-masing individu menyimak dari
segi proporsinya.
Ruwayma bin Ahmad ditanya mengenai para syeikh yang
mereka temui dalam sima’. Ruwaym menjawab : “Seperti sekawanan domba yang
kepergok harimau.”
Riwayat dari Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz yang berkata :
“Aku melihat Ali ibnul Muwafiq dalam sima’, beliau berkata : “Beddirikan aku!.”
Merekapun membangkitkan, dan ia pun berdiri, lalu mengalami ekstase dan berkata
: “Akulah syeikh para penari.”
Dikatakan, Ibrahim ar-Raqqy bangkit semalam suntuk hingga
subuh. Banun dan jatuh di rumah itu. Sedangkan orang-orang bangkit sembari
menangis. Sedang bait-bait yang dibacakan adalah :
Demi Allah, tolaklah hati yang duka
Tiada lagi pengganti
Dari kekasihnya.
Al-Husain bin Muhammad bin Ahmad berkata : “Aku berbakti
kepada Sahl bin Abdullah bertahun-tahun. Aku tidak pernah melihat perubahan
pada dirinya, ketika menyimak sesuatu baik dari dzikir maupun bacaan Al-Qur’an,
ataupun yang lain. Ketika akhir hayatnya, dibacakan suatu ayat :
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan.” (Qs.
Al-Hadid :15).
Tiba-tiba kulihat ia berubah dan gemetar, hampir saja ia
jatuh. Ketika sudah sadar, aku bertanya padanya, lalu ia berkata : “Duhai
kekasih, betapa lemahnya kami....”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata :
“Aku masuk ke tampat Abu Utsman Sa’id al-Maghriby, dan ia sedang mengambil air
minum dari sumur melalui kerekan timba, lantas dia berbicara : “Hai Abu Abdurrahman,
tahukah engkau apa yang diucapkan oleh kerekan ini? Kukatakan : “Tidak!” Dia
berkata : “Kerekan ini berbunyi : Allah—Allah.”
Ruwaym berkata : “Riwayat dari Ali Bin Abu Thalib r.a.
bahwa beliau mendengarkan suara lonceng. Lalu beliau bertanya pada para
sahabtnya : Apakah kalian mengerti apayang diucapkan oleh lonceng itu? Mereka
menjawab : “Tidak! Ali berkata : “Sebenarnya lonceng itu mengucapkan : “Subhanallah,
benar, benar, sungguh Tuhan Kekal Abadi.”
Ahmad inbul Karkhy berkata : “Suatu hari jamaah sufi berkumpull di rumah al-Hasan al-Qazzaz. Di
antara mereka ada beberapa penyair, yang mendedangkan syairnya sembari ekstase.
Lalu Mumsyad ad-Dinawary datang mereka pun terdiam. Mumsyad berkata : “Kalian
terus saja seperti semula! Seandainya seluruh alat permainan dunia dikumpulkan
dalam telingaku, sama sekali tidak mempengaruhi hatiku, atau dijejalkan di
mulut dan gerahamku tiak berpengaruh sama sekali.” Ibnul karkhy melanjutkan : “Aku
mendengar pula ar-Rudzbary berkata : “Kami sampai pada masalah ini, bagaikan
berada di atas mata pedang, sedikit kita terlena ke sana kemari, kita tercebut
di neraka.”
Khayr an-Nassaj berkta : “Mua bin Imran – semoga shalawat
dan salam Allah terlimpah padanya – mengisahkan pada kaumnya, suatu kisah.
Salah satu di antara mereka ada yang menjerit. Kemudian Muasa as. Membentaknya.
Lalu Allah menurunkan wahyu : “Hai Musa, dengan bau Ku, mereka rasakan
semerbak, dengan cinta-Ku mereka membuka, dan dengan kerinduan-Ku mereka
berteriak. Mengapa engkau ingkari semua itu terhadapTuhanku?”
Dikatakan : “Dulaf asy Syibly mendengar seseorang
berkata, : “Plilihan kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham.” Lalu asy-Syibly
berteriak sembari mengatakan : “Bla kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham, bagaimana dengan
kejahatan-kejahatan.”
Dikatakan : “Aun bin Abdullah punya seorang jariyah yang
memiliki suara merdu, Aun menyuruh mendendangkan lagu. Jariyah itu
mendendangkan lagu dengan sura yang memilukan, sampai seluruh orang yang hadir
menangis.”
Abu Sulaiman ad- Darany ditanya tentang sima’. Dia
menjawab : “Setiap kalbu yang menginginkan suara berlagu, berati hati yang
lemah yang perlu diobati, sebagaimana anak kecil yang diobati dengan lagu-lagu
agar segera tidur.” Abu Sulaiman berkata selanjutnya : “Suara merdu sama sekali
tidak merasuk kalbu. Yang menggerakkan kalbu itu adalah apa yang ada di dalam
kalbu.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Jadilah kalian ini para Rabbaniyyun
: Yakni orang-orang yang menyimak dari Allah dan mengucapkan dengan Alah swt.”
Sebagian Sufi ditanya soal sima’, jawabnya : “Kilatan
yang melintas, kemudian padam. Cahaya yang tampak kemudian suram. Betapa
manusianya bila menetap bersama pemiliknya, walaupun sekejap mata.” Kemudian ia
membaca syair :
Bisikan dalam jiwa, yang mengusik
Bagai gerak kilat yang berkelebat
Lalu hilang
Disa bagimu, jika menuju rahasia batinku
Dan tercela bagimu, jika kau lakukan itu.
Dikatakan : “Sima’ memiliki bagian setiap
anggota tubuh. Bila tiba di mata, mata pun menangis. Bila sampai pada lisan,
berteriaklah dia. Ila menyentuh tangan, ia merobek dan memukul. Dan Bila sampai
di kaki, ia akan menari-nari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Abu
Amr bin Nujayd berkumpul bersama Nashr Abadzy serta para pengikutnya dalam
suatu tempat An-Nashr Abadzy mengatakan : “Kukatakan, bila orang-orang Sufi
berkumpul, satu angkat bicara, yang lain diam, itu lebih baik daripada
menggunjing seseorang.” Lantas Abu Amr berkata : “Anda menggunjing selama
tigapuluh tahun, lebih menyelamatkan diri Anda dibanding Anda menampakkan
ruhani dalam sima’ yang sebenarnya bukan pada Nada.” Lalu Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. berkata : “Manusia dalam sima’ terbagi tiga katagori : Berupaya
menyimak (mutasammi’), menyimak penuh perhatian (Mustami’) dan pendengar (saami’).
Mutasammi’ menyimak dengan waktu, dan Mustami’ menyimak dengan kondisi ruhani,
sedangkan Saami’ menyimak dengan Allah swt.”
Saya bertanya pada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. tidak
hanya sekali, menegnai adanya suatu yang menyerupai keringanan dalam sima’, dan
beliau mengupayakan padaku dengan menekankan adanya pengendalian dalam sima’.
Kemudian setelah beberapa waktu, beliau berkata : “Sebenarnya para syeikh Sufi
berkata : “Sepanjang hatimu disatukan dengan Allah swt. maka tidak apa-apa.”
Dari Abbas r.a. yang berkata : “Allah swt. mewahyukan
kepada Musa as. : “Aku jadikan dalam dirimu sepuluh ribu pendengaran, sehingga
kamu mendengarkan Kalam-Ku. Dan yang lebih Kucintai apa yang aa padamu bagi-Ku
dan lebih mendekatkan apda-Ku, apabila kamumemperbanyak shalawat kepaa Muhammad
saw.”
Abul Harits al-Aulasy berkata : “Aku melihat iblis –
semoga Allah swt. melaknatnya – dalam mimpi, berada di atas benteng Aulas. Aku
pun di atas atap. Di tangan kana iblis
ada jamaah, begitu pula di tangan kirinya. Mereka memakai pakaian yang
bersih-bersih. Iblis berkata kepada kelompok di antara mereka : “Bicaralah
kalian!.” Mereka pun berbicara dan menyanyikan lagu. Sungguh menegjutkan
kemerduan suara-suaranya, sampai aku ingin meleparkan diriku dari atap.
Kemudian Iblis bicara : “Menarilah kalian semua!” Mereka pun menari dengan
tarian yang paling indah. Lantas Iblis berkata padaku : “Hai Abul Harits, tak
satu pun yang tepat, yang kumasukkan pada kalian, kecuali yang ini tadi.”
Abdullah bin Ali berkata : “Aku berkumpul semalam bersama
Dulaf asy-Syibly r.a. Tiba-tiba ia berkata : “Para penyair itu adalah sesuatu.”
Maka Syibly berteriak dengan ekstase sambil duduk. Maka kepadanya dikatakan: “Wahai
Abu Bakr, ada apa Anda duduk di tengah-tengah jamaah ini?” Asy-Syibly langsung
berdiri dan mengalami ekstase kembali. Lalu mendendangkan syair :
Bagiku dua kemabukkan, sedang
Teman-teman mabukku hanya punya satu
Sesuatu yang disitimewakan bagiku
Di antara mereka,
Adalah kesendirianku.
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Aku melewati suatu vila.
Tiba-tiba kulihat pemuda yang tampan tergeletak di tengah-tengah orang yang
berkumpul di sana. Aku bertanya pada mereka tentang anak muda itu. Mereka
menjawab : “Pemuda ini melewati vila tersebut, dan di dalam vila itu ada
seorang jariyah yang mendedangkan lagu :
Betapa besar cita-cita hamba
Yang berambisi memandang-Mu
Ataukah karena tiada pertimbangan bagi mata
Untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu.
Lalu, tiba-tiba pemuda ini menjerit dan mati.