Membaca Falsafah Jawa, Jika tidak tuntas sangat berbahaya.
"Jangan Suka Berbantahan Masalah Ilmu"
"Lebih mudah dipahami oleh yang sudah memiliki ilmu Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun"
"Jangan Suka Berbantahan Masalah Ilmu"
"Lebih mudah dipahami oleh yang sudah memiliki ilmu Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun"
“FALSAFAH
KETUHANAN : TERJEMAHAN BEBAS BUKU KUNCI SWARGA”
Oleh : Faqier ‘Abdul Haqq (Bratakesawa)
Penerbit : Jajasan ‘Djojobojo” Surabaya
Tahun : 1952.
Penerjemah : Pujo Prayitno
DAFTA -
ISI
PRAWACANA
(tidak diterjemahkan)
Bab.I
: URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT TUHAN YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI DZATI
WAJIBI’L MAUJUDI).
Bab.II
: URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT (BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L
AQIYAAMATI)
Bab.III
: URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA TUHAN DAN ADANYA YAN GAIB-GAIB (BABU MA’RIFATULLAH
WA GHAIBI’L MAUJUUDI)
PRAWACANA
(tidak diterjemahkan)
Bismi’llahi’ rrahmani’rrahiem
Atas asma Dalem Gusti Allah
ingkang maha Mirah ingkang Maha Asih.
KULA NUWUN, anggen kula cumantaka
ngripta serat “Kunci Swargo (miftahul jannati) punika, boten saking bade
ngongasaken kalangkungan kula ing babagan falsafah tuwin tashawwuf adedasar
Islam, ingkang kula pancen boten gadah kalangkungan babagan punika,
sayektosipun namung saking kaderenging achlaq, tumrap bangsa kita ingkang
sampun uwal saking penjajah punika.
Saking pamanah kula: mubalipun
panindak warni-warni ingkang mitunani masyarakat tuwin praja, ngrebdanipun
panindak nyulayani wulangan agama ingkang dipun siyaraken para Rasul, tuwin
tuwuhipun grombolan “Kabatosan” pinten-pinten ingkang sisip sembiripun
cacad-cinacad : andadosaken karingkihaning bangsa, punika boten sanes, jalaran
kita kesupen dating ingkang sinebut asma Allah.
Jalaran saking punika, amila
serat punika, boten sanes inggih namung bade isi andaran iktikad ingatasipun
pangeran ingkang Maha Esa, miturut salah satunggaling paham. Pangandaripun
adedasar dalil naqli (kitabing Pangeran) tuwin dalil ‘aqli (akal
pikiran) sagadugipun ingkang ngandaraken. Punapa dene kaurutaken wiwit saking
tataran iman(percaya ingkang boten namung tiru-tiru) dumugi
tataran ma’rifat (weruh, ingkang sanes weruhing netra),
kagubah ing basa Ngoko adapur soal-jawab, dados 3 bab.
Sarehning ingkang kula andaraken
punika nama satunggaling paham, amila saupami wonten ingkang boten nyuwaweni
jalaran ngrungkebi paham sanes, nuwun inggih boten aneh. Ewadene kula inggih
ngunjukaken suka sukur kula ing Pangeran dene serat punika, boten ketang namung
panda latu sapelik, meksa wonten ingkang rumaos kasuluhan, katitik saking
datenging serat-serat saking para maosipun “Kunci Swarga”, ingakang sami
mratelaken mareming panggalihipun.
Nalika manitra
( cap-capan I ) sinangkalan : Tri Murti Salira Nabi ( 1883
Jawi = 1952 Masehi
Salamipun
PANGRIPTA
Bab.I
: URAIAN TENTANG KESEJATIAN DZAT TUHAN YANG WJIB ADANYA (BABU HAQIQATI DZATI
WAJIBI’L MAUJUDI).
1. WREDATAMA : Kakak, Atas kedatanganku ke sini, karena aku libur panjang, untuk mohon
diajari Ilmu kenyataan yang menjadi keyakinan kakak.
Perintah
Kakak setahun yang lalu, sudah saya
laksanakan. Aku sudah berguru ke sana ke mari dan sudah membaca
buku-buku tentang Agama dan tentang Ilmu Batin.
Sehingga
kedatanganku ke sini bisa diibaratkan mengambil air menggunakan pikulan air,
seperti petunjuk Kakak dahulu, apakah tidak demikian?
Hew
1. MUDADAMA:
Syukurlah, beruntunglah jika kemu sejak ketika itu tidak hanya berhenti pada
niat saja.
Memang,
bukan hanya dirimu saja yang saya sarankan demikian. Dengan tujuan agar tidak
fanatik. Sebab menurut penadapatku, fanatik itu menjadi penghalang besar,
terhadap orang yang sedang mencari ilmu hakikat. Karena menjadikan mereka jadi
kehilangan penalaran, itu disebabkan terttutup oleh keyakinan “menolak” atas
pendapat orang lain.
Lebih
tinggi lagi kerugian, orang yang belajar ilmu hakikat jika sudah fanatik terhadap sesama manusia.
Apapun ajaran gurunya, diterima apa adanya hingga lahir batin, tanpa di telaah
sama sekali. Padalah, walau- pun Firman
Tuhan yang tercantum di dalam Kitab-Kitab Agama itu pun, penghayatannya juga
harus menggunakan akal dan pikira.
2.. WREDATAMA: Aku
baru paham sekarang, bahwa petunjuk Kakak itu, mengandung maksud yang demikian.
Saya kira, ketika Kakak memberi perunjuk ketika itu, disebabkan saya dikira belum
kuwat untuk meguasai ilmu hakikat, atau bagaimana ?
2. MUDADAMA
: Belum kuat bagaimana? Apakah kamu beranggapan bahwa seseorang yang belajar
Ilmu Hakikat ada yang menjadi gila, oleh karena belum kuwat? Seandainya ada
Ilmu yang bisa menyebabkan gila, sudah bisa ditentukan bahwa itu bukan Ilmu
Hakikat.
Sederhananya,
bahwa Ilmu Hakikat itu sama sekali tidak ada bahanya dan tidak merugikan. Dan
jika bisa “terkabul” justru bermanfaat dan menyelamatkan baik di dunia hingga
akherat. Sehingga dikatakan jika “Terkabul”, tentunya ada yang “tidak
terkabul”. Yaitu belajar ilmu yang tidak bisa membuahkan Iman (kepercayaan),
dan anggapan (Keyakinan). Karena takdir manusia, antara yang satu dengan
lainnya tidak ada yang sama. Kata lainnya : Beda-beda takdir tiap diri.
3. WREDATAMA
: Bagi yang telah mendapat anugrah Iman dan niat, apakah masih diperlukan
membandingkan dengan ilmunya orang lain?
3. MUDADAMA
: Sangat perlu, itu tidak, namun tidak ada jeleknya, artinya tidak ada ruginya.
Sebaliknya ; Jika menolak, membantah, tidak mau memahami lain ilmu, itu sudah
pasti ruginya, karena terjerumus ke dalam kefanatikan itu tadi.
Fanatik
yang seperti itu, artinya tidak bisa merasa bahwa diri manusia itu mempunyai
sifat sial, sifat lupa, banyak kekuarangannya. Merasa telah benar sendiri,
merasa paling sempurna, itu sebetulnya karena kelemahannya, merasa
khawatir jika terpengaruh oleh lain ilmu.
Menambah
ilmu itu janganlah kuatir bahwa Iman dan cita-citanya akan goyah. Seandainya
keyakinan dan kepercayaannya menjadi goyak dikarenakan ketika mempertimbangkan
dan menelaah ilmu milik orang lain, itu menandakan bahwa Iman dan Cita-cita
sebelumnya dikarenakan belum 100%. Iya apa tidak? Kan tidak merugikan ?
Atas
orang yang tidak fanatik, sekira ilmunya orang lain di anggap salah, tidak
cukup hanya dengan dasar “Saya menolak”.
Pastilah ada alasan yang jelas, bagian mana yang dianggap salah, dan apakah
sebabnya sehingga di anggap salah.
Sekarang
saya bertanya kepadamu : Apa yang kamu peroleh dari kamu berguru dan membaca
Buku-buku itu bagaimana? Apakah masih belum ada yang bisa memuaskan pikiranmu?
4. MUDADAMA: Apalagi
merasa puas, mengerti saja belum, Kak, Sebab, pemahamanku dari tiap jenisnya
beda penjabarannya dan juga kalimatnya. Entah karena akebodohanku, atau
bagaimana. Sehingga saya minta Kakak berkenan memberikan penerangan tentang hal
itu dan mengajarkan Ilmu Hakikat itu.
4. WREDATAMA: Penyebab
kebingunganmu itu bisa juga dari dirimu
sendiri, yaitu karena menyamakan sesuatu yang sesungguhnya tidak sama.
Tiap-tiap
guru atau pengarang buku itu memang tidak harus sama penguraiannya dan
kalimat-kalimatnya (istilah) yang digunakannya, sehingga tidak usah kau
banding-bandingkan. Gantilah saja penalaranmu. Nantinya akan kau temukan
sebagian atau sedikit, dari uraian tadi, yang sama persisi, dan cocok dengan
akal pikiranmu.
Namun
bisa juga penyebab kebingungan itu tidak dikarenakan kesalahanmu. Sebab tidak
kurang tukang memberi penerangan, yang seharusnya bisa menjelaskan sesutu yang
sulit, justru membuat bingung atas sesuatu yang mudah.
Bia
terjadi yang demikian itu, ada yang tidak disengaja, artinya memang tidak punya
dasar keahlian tentang bagaimana cara menerangkan agar mudah dipahami. Ada yang
memang disengaja; Membikin bingung itu ada dua tujuan :
a.
Dia sendiri memang tidak mengerti tentang sesuatu yang dia terangkan, sehingga
hanya mengatakan saja suatu keterangan yang pernah dia dengar, dengan diawur
saja.
b.
Dirinya memang sangat paham tentang yang dia jelaskan, namun memang tidak mau
membuka rahasianya, penyebabnya : Itu bermacam-macam. Ada yang karena sangat
bijaksananya, ada yang karena .......... silahkan tebak sendiri.
5. MUDADAMA: Menyela
kata Kak!! Tadi kakak mengatakan (Bab.I No.2) : Ada pencarian yang tidak
terkabul, yaitu yang tidak membuahkan Iman dan keyakinan. Dan jika keterangan
yang diterima itu memang jelas, terang-terangan, dan juga cara menerangkannya
memang bisa, apakah masih ada yang tidak bisa menerimanya sehingga menolaknya?
5. WREDATAMA: Menerimanya
memang bisa menerima, mengerti pun bisa mengerti juga, namun, bisa digambarkan
sebagai berikut :
A, B,
dan C. Sama-sama menerima penjelasan tentang keburukan orang
merokok, dikarenakan tembakau itu mengandung racun yang bernama Nikotin, yang
bisa membuat rusaknya badan.
Si A,
ranpa ragu-ragu, kemudian berhenti merokok, karena telah paham betul atas penjelasan tersebut, karena kuatnya
peyakinannya.
Si B,
juga memahami atas penjelasan tersebut, dan juga percaya bahwa merokok itu
merugikan kesehatan badan, namun....... tidak bisa menghentikan merokok, karena
kurang kuat pendiriannya, seingga berhenti merokok itu terasa sangat berat
baginya.
Si ,
juga paham atas penjelasan tersebut, namun setengah percaya dan tidak percaya,
Dalam batinnya berkata : “Soal racun itu terkadang hanya perkiraan saja, karena
tidak kelihatan. Yang jelas saja, bahwa seorang laki-laki yang tidak merokok
itu terlihat kurang pantas. Shingga entah benar atau tidaknya tentang cacun,
aku tetap terus merokok, agar tidak terlihat tidak pantas.:
Pikirkanlah
hal itu. Baru menerangkan soal rokok saja, hasilnya tidak sama. Apalagi
penjelasan tentang Ke-sukma-an / Ilmu hakikat
yang berjuta-juta kali lipat guna dan manfaatnya, karena bisa sebagai
jalan masuk surga atau masuk neraka.
Jika
saja Iman dan Keyakinan itu, manusia bisa membuatnya, maka ketika di masa hidup
para Rasul tidak akan ada orang Kafir. Iya apa tidak? Nah.... sekarang apakah
yagn kau inginkan.. sampaikanlah dengan jelas...
6. MUDADAMA : Yang kuinginkan tidak lain mohon diberi ajaran tentang Ilmu Hakikat,
yang bisa dipergunakan dalam hdiup di dunia dan di akhirat, barangkali saja
saya bisa memahaminya. Sebab saya merasa belum mempunyai keyakinan dan pegangan
yang sebenarnya, walau pun saya telah berguru
ke mana-mana dan sudah membaca bermacam-macam Kitab.
6. WREDATAMA
: Ya sudahlah, Jika memang niatmu
sudah jelas begitu. Namun pahamilah, Bahwa Kakakmu ini tidak pernah “memberi
ajaran” seperti yang kau inginkan itu. Itu adalah kebiasaan di masa lalu, yang
harus duduk di kain mori putih, atau di tempat yang tidak terhalang pepohonan.
Aku tidak mempergunakan cara seperti itu.
Alangkah
baiknya mempergunakan cara tanya jawab saja. Kamu, bertanyalah sekehendak
hatimu, apa yang kau inginkan, akan saya jawab semampuku. Jika jawabannya belum
memuaskan, bantahlah, hinga kau merasa puas.
Cobalah
sekarang, apa yang akan kamu tanyakan?
7. MUDADAMA
: Waduh!! Jika Kakak
menghendaki cara seperti, sangatlah susah bagiku, Karena membuat pertanyaan itu
tidak gampang. Sebentar saya pikirkan terlebih dahulu. Pertanyaan apa yang
harus dahulukan, karena sangatlah banyak tentang bab-bab yang akan saya mohon
untuk dijelaskan.
7. WREDATAMA:
Sukurlah! Jika kamu telah
mempersiapkan banyak pertanyaan. Sesungguhnya bertanya itu tidak sukar. Hanya
saja, dari pertanayaan itu, maka bisa diukur ilmu yang dimiliki.oleh yang
bertanya.
Memang, yang lebih mudah dari yang mudah itu, adalah
mendengarkan “Pengajaran” seperti yang kau inginkan. Namun, jika dirimu biasa
mempergunakan cara seperti itu, maka penalaranmu tidak bisa berkembang, dan
tidak bisa membuahkan kepercayaan dan keyakinan yang sebenarnya.
Maka dari itu, lebih baik mempergunakan cara tanya
jawab iitu saja. Dan sebaiknya tanya jawab ini catatlah semuanya, barangkali
saja ada gunanya untuk siapa saja yang menghendakinya.
Catatlah seperlunya saja, janganlah takut-takut,
karena Negara Kita ini berdasar Demokrasi ; Tidak ada halangannya untuk
mengeluarkan dan menyebarkan pendapat tentang bab apa saja.
Agar supaya lebih terperinci penjabarannya,
pahamilah olehmu, bahwa yagn disebut Ilmu Hakikat, Ilmu jiwa, Ilmu ke-sukma-an,
Kerokhanian, kesempurnaan, ke-Allah-an, Kebatinan, ada juga yang menyebutnya
Asal dan Tujuan Kejadian (sangkan paran) atau Ilmu Tua, itu adalah :
Menjelesskan tentang Allah
Menjelaskan Tentang kematian
Menjelaskan tentang Jalan Ma’rifat Ketuhanan
Menjelaskan tentang yang gaib.
Namun, banyak dari mereka, barangkali kali merasa
khawatir akan segera meninggal dunia, yang lebih diutamakan itu adalah mencari
ajaran tentang sikap seseorang yang akan meninggal dunia. Sedangkan penjelasan
tentang hal lain-lainnya tidak menjadi perhatiannya.
Ada juga yang walau pun sedikit pernah mendengar
kalimat “Ma;rifat” namun tiba-tiba melakukan latihan yang menurut anggapanya
adalah merupakan Jalan Ma’rifat kepada Tuhan. Itu juga tidak memiliki perhatian
terhadap ajaran yang lain-lainnya.
Ada lagi yang perhatiannya adalah hanya kepada yang
gaib-gaib, tanpa berdasar kepada keterangan yang jelas. Tentang hal yang
lainnya yang justru lebih penting , tidak menjadi perhatiannya.
Seekrang, silahkan bertanya sekehendak hatimu, namun
sebaiknya ikuti tata urutan yang telah tersebut di atas, barangkali saja , dari
jawaban yang saya berikan bisa menjadikan terang dan puasnya hatimu.
8. MUDADAMA
: Terima kasih, Kakak telah
memberi pedoman urut-urutan dari pertanyaan. Namun sebelumnya saya mohon
penjelasan terlebih dahulu. Yang dalam pencariannya dengan cara tidak urut ,
itu kerugiannya di mana?
8. WREDATAMA:
Tidak hanya mendapatkan kerugian, justru itu
termasuk masuk ke dalam bahaya yang mengerikan, Cobalah dipikirkan :
Meninggal dunia itu seharusnya kan : Innaa lillahi
wa inna ilaihi raji’uun (Al-Baqarah 156 = Sesungguh asal dari Allah kembali
kepada Allah). Namun akan kembali ke manakah, bila tentang ke-Allah-an,
seseorang imannya masih ragu-ragu dan juga dalam keyakinannya?
Demikian juga halnya bagi bagi yang belajar
Ma’rifat, padahal belum jelas tentang ke-Allah-an. Apa yang akan di
makrifatkan, jika iman dan keyakinannya masih ragu-ragu? Nah kan, itu lebih
baik yang rajin menjalankan Shalat Syari’at saja – menurut Agamanya sendiri-sendiri
yang di senangi – yang sama sekali tidak ada bahayanya.
Sedangkan bagi yang perhatiannya tertuju kepada yang
Gaib-gain itu, bila sampai terlupa atau tanpa pejelasan yagn jelas, pastilah
akan celaka, sebab belum bisa membedakan diantara “Yang Iya” dan “yang bukan”
9. MUDADAMA : Mohon ijin Kak, menyela untuk
mohon penjelasan : Ada pencarian yang harus melewati bahaya, ada yang tidak,
hal itu pemahaman saya belum jelas. Jika sampai kepada yang dicari (kembali
kepada pangkuan Tuhan), seharusnya kan memilih yang tidak ada bahanya. Apakah
tdiak demikian?
9. WREDATAMA:
Dalam hal memilih, saya
tidak bisa menyarankan, itu tergantung dari kesenangan diri masing-masing untuk
memilih. Sampai atau tidaknya atas yang menjadi tujuannya, itu tergantung kuasa
dan keadilan Tuhan sendiri. Wallahu a’lam, Hanya Tuhan Allah yang Maha
Mengetahui.
Namun jika soal pencarian atau ibadah kepada Tuhan, itu memang ada 4
tingkatan, yaitu :
1. Syari;at,
artinya : Aturan yang berupa aturan Agama tentang perintah dan larangan yang
harus dijalankan. Sebagai dasarnya harulah percaya, bukan yang itu bukan yang
ini. Itu sebagai ujian ketika menghamba kepada Tuhan dengan cara
bersungguh-sungguh.
2. Thariqat,
artinya : Jalan atau petunjuk, berupa petunjuk yang memberi pengertian akal dan
pikiran, sehingga keyakinannya tidak hanya ikut-ikutan, dan menjadi sarana
untuk mencapai kepada Hakikat.
3. Haqiqat,
artinya : Sejati atau nyata, itu adalah sudah bisa merasa di dalam halusnya
rasa tentang perbedaan yang Nyata (Haq) dengan yang bukan (bathal), yang
berasal dari perjuangan yang berdasar petunjuk tersebut. Diri yang lain sudah
tidak bisa ikut campur sama sekali.
4. Ma’rifat,
artinya : Melihat, namun bukan penglihatan mata ketika melihat. Itu adalah
suatu hal yang sudah bisa menyatakan tentang Kenyataan, yang dalam
menyatakannya sama sekali tidak mempergunakan alat. Tentang hal itu, selain
bahwa orang lain sudah tidak bisa ikut campur lagi, diri sendiri pun tidak bisa
menceritakan kepada diri yang lain.
Berdasarkan keteranga tersebut, bahwa sesungguhnya yang
terpenting ada pada tingkatan Thariqat.
Namun bagi seseorang yang hanya menjalan syri’at saja, asal dengan
sungguh-sungguh, jika diperkenankan itu juga akan mendapat anugerah petunjuk yang berasal bukan dari orang lain, itu
disebut Ilham. Shingga Rasul Allah pernah bersabda : “Aktsaru ahli’Ijannati
albalhu wa illiyuuna lidzawi alalbaabi (Hadist), Kebanyakan orang yang hali
surga itu orang yang bodoh-bodoh, sedangkan yang berada di Illiyun – Surga yang
tertinggi .. ituadalah orang yang pintar-pintar).
“Pintar” di sini bukan bermakna pintar dalam hal
ilmu keduniaan (mahir), yang terendah adalh di baigan Thariqat. Sebab untuk
menetapkan bahwa sesuatu itu ilham atau bukan, itu haru ada keterangan yang
jelas. Dan jika ilham palsu yang diyakini, maka akan gagal untuk menjadi Ahli
‘Ijannati (penghuni surga)).
10. MUDADAMA : Jika demikian, atas semua
keterangan Kaka itu, seandainya saya bisa menerima, baru termasuk di tingkat
Thariqat, apakah demikian Kak?
10. WREDATAMA
: Nah... menurut perasaanmu bagaimana? Segala
sesuatu yang masih bisa dikatakan, baik berupa tanya jawab, atau yang berupa
ajaran atau urutan Wirid, hal itu sudah jelas masih berada di tingkat Thariqat.
Namun yang berbentuk Ajaran atau rangkaian Wirid, banyak yang tanpa penjelasan,
serta ketika mendapatkan itu semua dengan syarat Tirakat atau ada larangannya,
sehingga menyebabkan banyak yang tertarik.
Sedangkan untuk bisa sampai di Tingkat Hakikat itu
masih sangat jauh. Untuk sampai ke Tingkat Ma;rifat itu semakin sangat jauh
sekali.
Maka dari itu, kamu jangan sampai punya anggapan,
bahwa hanya karena sudah mengerti, itu sudah sampai di Tingkat Hakekat atau
Ma;rifat, itu bukan. Paling tinggi baru sampai buah dari Iman dan keyakinan,
yang menjadi pedoman dalam berjuang untuk mencapai Hakekat dan Ma’rifat yang
jauhnya sangat jauh itu.
Jangan menggampangkan, namun juga jangan cepat
“putus asa” dan jangan menyalahkan diri sendiri.
Ketika kita merusaha mencapai Ma’rifat itu bukan
aneh pun bukan tidak wajar, sebab Tuhan sendiri memerintahkan demikian :
Kullama ruziquuwa minhaa min tsamaratin rizqan qaaluuwa hadzaa adzdzie ruziqna
min qablu wa utuwabihi mutatsabihan (Al-Baqarah 25 = Seandainya orang-orang itu
diberi rijeki dari buah-buahan surga, akan berkata : “Ini sama dengan yang
diberikan kapaku seperti dahulu). Artinya, orang-orang yang mendapatkan
kenikmatan surga ketika di akherat itu telah pernah merasakan kenikmatan
(ma’rifat) kita hidup di dunia dahulu.
Ada juga perintah Tuhan, yang seperti ini : Waman
kana fiehadziehi a’ma fahuwa fiel achirati a’ma wa adlallu saielan (Isra :72 = Barang
siapa yang di sini buta, maka dia di akhirat pun buta, tidak tahu jalan).
Sehingga seseorang yang ingin mencapai Ma’rifat
denegan benar, itu tidak lain berniat merasakan surga di dalam ketika masih memiliki
raga ini, dan agar tidak buta ketika di dunia dan di akhirat.
11. MUDADAMA
: Iya, Iya Kak, saya sudah
paham. Namun dalam saya memohon penjelasan mengenai bahwa dalam berusaha ketika
ada bahanya denga yang tidak ada bahayanya, Kakak belum memberi jawaban. Hal
itu bagaimanakah kejelasannya? Dan juga yang dikatakan menjadi penghalang
besar, itu mohon dijelaskan sekalian.
11. WREDATAMA
: Oooo... Ibaratnya begini
: Seseorang yang berhenti pada syari’at saja, yang maksudnya sama sekali tanpa
ilmu Tarikat yang jelas, itu sama halnya dengan seseorang yang tidak pernah
bepergian, mengumpulkan bekal untuk perjalanan jauh, seumpama pergi Haji ke
Makkah. Juka memang benar-benar, selain bekal yang berupa uang, tidak boleh
tidak, harus berbekal ilmu tentang tata cara orang naik kereta, Cara naik kapal
laut, cara setelah sampai di Tanah Arab, dan lain sebagainya, Itu benar kan?
Dan seumpama seseorang itu tidak mempunyai ilmunya,
semestinya tentu tida jadi bepergian, terhenti di rumah saja. Namun hal itu,
sama sekali tidak ada bahayanya. Justru telah berhasil mengumpulkan uang yang
banyak gunanya (“amal Shalih = berbuat baik). Namun jika kemudian mendapatkan
Ilham, hal itu tidak masuk dalam gambaran ini.
Sedangkan
yang belajar ilmu Ma’rifat atau ilmu hakikat kesempurnaan mati, padahal belum
bisa memahami dengan jelas keterangan tentang itu, itu sama halnya dengan
seseorang yagn pergi Haji, yang sudah terlanjur berada di dalam kereta atau di
dalam kapal, namun tidak membawa tiket atau karcis, dan juga sama sekali tidak
tau ke mana tujuan dari yang dinaikinya itu, dan lagi tidak tau Makkah itu ada
di mana. Dan orang itu ada yang membawa bekal, ada juga yang tidak membawa
bekal sama sekali.
Apakah hal seperti bukan merupakan bahaya besar?
Dari golongan inilah yang kemudian mencela
terhadap orang yang menjalankan syari’at. Sehingga diberi julukan dengan
sebutan klenik oleh para ahli syari’at.
Seseorang yang patuh pada aturan, patuh pada
perintah, tunduk kepada kedisiplinan.... malah di cela! Hal itu sangat tidak
pantas bagi yang mencelanya taa? Seharusnya, walau pun dirinya tidak
menjalankan syari’at, tidak bisa menyalahkan orang yang menjalan syaria’at itu.
Maka dari itu, jika dirimu ingin belajar ilmu
ma’rifat, sebaiknya, juga dengan menjalankan syari’at, sesuai dengan Agama yang
gkau anut. Itu menjadi pondasi, untuk mempermudah mencapai cita-citamu,
seukuran dengan derajat dan martabatmu. Jika tidak bisa menjalankan, hal itu
terserah saja, namun jangan sekali-kali meremehkan orang lain yang menjalan
syari;at.
Sebaliknya, jika kau bersungguh-ssungguh belajar
Ma’rifat, jangan kamu khawatir di tuduh “klenik”. Seandainya saja, tiap
ma’rifat itu klenik, tentunya tidak akan ada yang bernama Mu’min Khas, tidak
ada yang bernama wali, dan juga tidak perlu para filsuf mengarang kitab-kitab
falsafah dan juga para sufi yang mengarang Kitab-kitan Tashawwuf.
Sedangkan bagi yang menjadi perhatiannya adalah hal
yang gaib-gaib, itu adalah :
a.
Ketika
seseorang telah memperoleh keterangan yang jelas, dan sudah mencapai di
tingkatan hakikat, itu bagaiakn orang pergi haji, namun perhatinnya hanya
senang melihat kota Jakarta saja.
b.
Sedangkan
bagi seseorang yang belum memeproleh keterangan yang jelas, serta belum bisa
mencapai apa-apa, itu ibaratnya bagaikan seseorang yang bepergian dengan tujuan
hanya ingin melihat keindahan ssuatu tempat, namun tidak mengetahui bahwa yang
indah itu apanya, dan sedang berada di kota apa. Tentang pergi Haji, sama
sekali tidak masuk ke dalam pikirannya
atau hanya dipikir sambil lalu saja.
Sudahlah, cukup ini saja, sepertinya dirimu sudah
mempersiapkan pertanyaan yang hebat. Hayooo mau bertanya apa lagi?
12. MUDADAMA
: Ini masih tergolong hanya menyela terlebih
dahulu, agar semakin sempurna pengertianku, Kak. Kakak tadi mengatakan, Ilmu
hakikat atau ilmu kejiwaan atau lain sebagainya itu tadi, hal itu memang sama
saja, ataukah berbeda-beda? Bila beda sebutannya, itu seharusnya juga beda
ujudndya dan beda artinya pula, walau pun perbedaaanya hanya sedikit. Apakah
tidak demikian ?
12. WREDATAMA
: Wahhh, jika berbicara hakikat
mempergunakan jalan penjelasan kata, itu agak susah. Sebab kata-kata yang
dipergunakan pada tingkat Hakikat yang terbanyak dalam Bahasa Arab atau
Sanskrit, yangsudah berubah makna dari yang sebenarnya. Sehingga jika kau ingin
memahami sebuah ajaran itu, rasakanlah maknanya saja.
Demikian juga halnya, tentang nama-nama ilmu yang
kamu tanyakan itu, sesungguhnya tidak hanya berbeda sedikit, ada yang beda
maknanya banyak sekali. Namun pada umumnya hanya diringkas saja, dianggap sama
saja.
“Kenyatan/Yang Nyata adanya” (Kasunyatan = Bahasa
Jawa), itu makna sederhananya hanya sampai menjangkau tingkatan Hakikat saja,
sebab berasal dari kata dasar “Nyata” yang artinya HAQ, Namun kata “Kasunyatan”
yang berasa dari bahasa Sanskrit “Sunyata” (menerangkan tentang Sunya, tentang
yang kosong), itu mengandung makna telah sampai tingkatan Ma’rifat (“arifin).
“Kejiwaan” dan “Kerokhanian” itu memang maknanya
sama, yaitu ilmu tentang Jiwa atau Roh, maksudnya : Badan halus. Namun sekarang
ini, kata “Jiwa” itu banyak yang dimaknai Budi Pekerti, terkadang bermakna
semangat, malah ada yang hanya bermakna ...................... Nafsu. Nah, itu
kan bukan ilmu Ke –Allah-an, sebab roh (jiwa), itu, bukan Allah.
“Kasukman” tentang suka, makna dasarnya adalah
kailingan/kesadaran ingatan, sebab “Suksma” itu artinya adalah hilang atau
tidak terlihat mata. Namun sudah sejak jaman dahulu bahwa Allah sering disebut
juga Hyang Suksma, sehingga Ilmu Kasuksman itu, dianggap mempunyai arti sama
dengan ilmu Tentang Allah.
“Kasampurnan” (kesempurnaan), itu berasal dari kata
“sempurna” maksud sebenarnya ada “Sempurna dalam kematiannya”. Namun mati yang
sempurna itu pada umumnya yang kembali kepada asal, Kembai kepada asal mulanya,
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” itu tadi.
“Ka-Allah-an” (tentang Allah), dalam bahasa
Indonesianya Ke-Tuhanan, itu adalah Ilmu yang menerangkan tentang Dzat, Sifat,
Asma dan Af’al dari Tuhan. Bisa dimaknai
lebih luas lagi : Juga menerangkan tentang cara ibadah kepada Allah, dalam
lahir dan batinnya, juga disebut Sari’at, Tarikat, hakekat dan Ma’rifat itu
tadi.
“Kebatinan”, itu makna dasarnya adalah, semua ilmu
yang bukan tentang lahir, yaitu tentang segala jenis Mantra, aji kesaktian dan
kelebihan itu semua termasuk ilmu kebatinan. Nah yang ini memang tidak termasuk
ilmu tentang Ke-Tuhanan.
“Sangkan paran” (Asal dan tujuan), itu ilmu yang
menerangkan Sangkan (asal) ketika belum tercipta itu bagaimana, dan parene
(pada akhirnya) itu bagaimana. Sehingga jika tidak melenceng sama juga dengan
Kasampurnan itu tadi.
“Ngelmu Tuwa” /Ilmu tua, itu maknanya juga ilmu
tentang Kesempurnaan dalam kematian. Sebab orang yang sudah tua pada umumnya itu sudah mendekati saat
kematiannya, sehingga seharusnya sudah waktunya ingat dan berusaha mencari ilmu
tentang mati, sehingga di saat kematiannya tidak asal-asalan saja.
Seperti itulah keterangan ringkas tentang
pertanyaanmu tadi, menurut pemikiranku.
13. MUDADAMA
: Iya Kak, ringkasan-ringkasan tersebut, saya
sudah bisa menerimanya. Namun sekrang saya mohon penjelasan tentang yang inti, sesuai
dengan batasan-uraian Kakak tadi (Bab I No.7), yaitu mohon diterangkan tentang
“Allah”.
Ada yang berpendapat, bahwa sesungguhnya Allah itu
hanya “Asma”, hanya anggapan atau sebutan saja, sesungguhnya tidak ada. Dicari
di alam manapun, tidak akan bisa ditemukan. Pendapat yang demikian, menurut
Kakak itu bagaimana?
13. WREDATAMA
: Sabar dulu, sebab hal itu
harus diperinci, jangalah dicampur aduk, agar tidak membingungkan.
Tentang sebutan “Allah” itu memang benar, memang
hanya Asma atau sebutan buatan manusia ini. Sedangkan manusia dalam membuat
nama adalah menurut bahasannya masing-masing, dan anggapan orang
sendiri-sendiri. Yang membuat kata “Allah” itu orang Arab, artinya : Yang
disembah. Sedangkan bangsa kita atau orang Jawa menyebut dengan sebutan “Pangeran”
artinya “: Yang diikuti” (dikawulani/di ngengeri). Dalam Bahasa Indonesia
disebut “Tuhan” artinya “Tuan” atau “de Heer” yaitu “Majikan” (bendara).
Namun jangan kau kira bahwa Allah itu asma
Eigennaam, seperti nama manusia, itu bukan. Dalam menulisnya menggunakan Huruf
Besar, bahkan di tambahi dengan kata “Gusti” itu hanya “Tata Krama” (Sopan
santun) saja. Sehingga jika dirimu menyebutkan hanya asma, anggapan saja atau
sebutan saja, itu pun tidak salah.
Namun jika pemahaman untuk memahami sebutan “
Sejatine ora ana” (Sebenarnya tidak ada), hal itu tidak benar. Sebab, semua
sebutan, tidak perduli hanya sebutan saja, atau sekedar nama saja, yang disebut
itu pastilah ada.
Oleh karena sebutan “Allah” itu buatan manusia,
demikian juga dengan sebutan yang lainnya, sehingga ada sebuah ajaran yang
mengatakan : Manusia itu mengada dengan sendirinya, sebelum Allah, malaikat,
bumi, langit : Ada”, Itu tetap kata yang menyesatkan, dan tidak perlu di pikir..
Tentang ada atau tidak adanya itu, selain tidak
bergantung sebutannya atau hanya
anggapan saja atau sebutan nama, juga tidak tergantung ditemukan atau tidak
dditemukan dalam pencariannya. Contoh dari yang kasar hingga yang halus, itu begini
:
Baksil itu jelas ada, iya kan? Akan tetapi, untuk
meyakinkan kita tentang adanya, itu bila kita lihat menggunakan mikroskop.
Atom itu juga jelas ada, iya kan? Akan tetapi lebih
lembut dibanding dengan baksil. Sehingga untuk meyakinkan bahwa itu ada, bukan
menggunakan mikroskop, yaitu menggunakan alat lain untuk memisahkan atom dari
benda yang ada atom-nya.
Warna merah itu pasti ada, iya kan? Akan tetapi meski dilihat dengan
mikroskop, dipisah menggunakan cara apa pun saja, itu tidak akan bisa.
Berkali-kali hanya bisa bertemu dengan benda yang mengandung warna merah,
contohnya bunga wora-wari.
Rasa peda itu ada, iya kan? Akan tetapi tidak bisa
dibuktikan dengan mikroskop atau alat pemisah, berulang kali kita hanya bisa
bertemu dengan barang yang mengandung rasa pedas, seperti contohnya lombok.
Dan, Hari Minggu itu kan jelas adanya, kan? Akan
tetapi bagaimana agar bisa kita ini bertemu dengan hari Minggu itu, yang lebih
halus dibandingkan dengan warna merah atau rasa pedas?
Kita yakin bisa bertemu dengan Hari Minggu, akan
tetapi tidak seperti bertemunya antara dirimu dan aku “Bertemu nyata” seperti
sekarang ini. Ketika melihat semua kantor tutup, Sekolah dan Pegadaian juga
tutup, kemudian teringat di kala kemarin sore tercium bau orang membakar kemenyan...
tentunya baru bisa menetapkan bahwa saat itu adalah sungguh-sungguh hari
Minggu, iya kan?
Sedangkan tentang Allah itu tadi, menurut
pemahamanku, aku yakin seyakin-yakinnya. Tuhan Allah itu ada. Itu tidak karena
dari meniru-niru, dikarena mendengar kalimat Dzat Wajibul Wujud (Dzat yang
pasti adanya) itu tidak. Hal itu seperti keyakinanku kepada Hari Minggu
tersebut tadi.
Aku dan dirimu tidak bisa bertutur kata seperti ini,
intinya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Dzat yang
wajib adanya itu, tidak ada. Sehingga tidak sia-sia Kaum Muslimin, setiap akan
melakukan apapun saja, mengucapkan Bismillah atau Bismillahi rrahmaanir-rahiem
(Asta Asma Allah yang Maha murah dan Maha Asih). Sayangnya, bahwa kebanyakan,
dalam pengucapannya hanya terbawa karena kebiasaan saja, tidak merasuk dalam
hati sanubari.
Demikian juga, tidak percuma ada lafal yang
mengatakan : Laachaula walaaquwwata illa billah (Tidak ada daya kekuatan selain
atas pertolongan Allah). Sayangnya, bagi bangsa kitahasa Arab, dalam
pengucapannya berubah menjadi “Wala-wala kuwatta” sehingga menjadi beda
maknanya.
14. MUDADAMA
: Maaf, Kak. Kakak
mengatakan “Manusia tidak bisa melakukan apa-apa, seandainya Allah itu tidak
ada”, itu penjelasannya bagaimana ? Dan apakah ada uraian lainnya lagi yang
menyebabkan Kakak yakin dengan seyakin-yakinnya tang adanya Allah itu?
14. WREDATAMA
: Benar, Kejarlah jangan
sungkan-sungkan, jika hatimu belum puas!
Siapa pun juga, semestinya yakin, bahwa dirinya itu
tdiak bisa berbuat apa-apa, selain atas pertolongan Allah? Sebagai bukti bahwa
seseorang tidak bisa mempergunakan bagian dari badan, .. yang diaku sebagai
miliknya – akan patuh sekehendak hatinya. Sebagai contohnya, tidak akan bisa
memerintah mata untuk bergantian, mata yang satu tidur dan satunya terjaga.
Tidak bisa mempertahankan umur, walau hanya satu menit saja, jika telah sampai
waktu meninggalnya.
Serta, di dalam hidupnya, masih saja mendapatkan
sifat sial serta sifat lupa.
Itulah keadaan yang ada di raga kita. Sekarang cobal
renungkanlah tentang alam yang tergelar ini, seperti contohnya :
Siapakah yang memerintahkan Bulan dan Matahari
sehingga berjalan sesuai garis edarnya dengan tetap, yang tidak akan bisa
dipengaruhi oleh kehendak manusisa ? Siapakah yang memerintahkan Bumi, laut,
sungai, gunung, serta semua isinya? Siapakah yang menciptakan hujan serta
tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan
sebagai sumber makanan makhluk hidup ini? Singkatnya saja, sangat banyak sekali
tanda dan saksinya, Bacalah Al-Qur’an, dan sekarang kan sudah banyak yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Daerah atau Bahasa Indonesia.
15. MUDADAMA
: Penjelasan yang demikian,
saya masih belum puas, Kak!! Apa yang telah dijelaskan itu semua, kita ini
hanya menemukan barang yang telah tercipta. Oleh karena merasa tidak bisa
membuatnya dan tidak bisa menguasainya, kemudian tumbuh perkiraan sesuai hukum
adat, pastilah ada penciptanya, serta kira-kira ada yang menatanya. Dan
semestinya yang mencipta dan yang mengaturnya itu sangatlah berkuasa. Apakah
tidak demikian?
15. WREDATAMA
: Nahhh... kan begitu! Ini
namanya diskusi (bertukar pikiran) sungguhan. Sekarang bergantian, berilah saya
keterangan terlebih dahulu. Tentang keadaan yang sudah tergelar ini semua,
menurut pendapatmu, bagaimanakah asal kejadiannya ? Maksudnya, berasal dari
daya apa, dan apakah sebabnya, tercipta ?
16. MUDADAMA
: Adanya itu, tercipta
dengan sendirinya Kak! Hal itu disebut Naturwet, atau aturan hukum kodrat. Hal
itu bisa terjadi karena bersatunya suatu bahan atau menyatunya daya tarik
menarik.
16. WREDATAMA
: Bagus!! Nah, yang mengadakan Wet atau aturan, bahwa
Yang ini berkumpul dengan yang itu akan menjadi begini, yang di sini dan dan
yang di sana akan menjadi seperti itu, siapakah itu atau apa sebutanmu untuk
menyebutkannya?
17. MUDADAMA
: Yang mengadakan aturan
hukum kudrat tidak lain adalah Kudrat. Yang menciptakan Natuurwet juga ...
natuur. Ya itulah Natuur itulah yang mempunyai kekuatan tertinggi. Di atasnya
Natuur itu, sudah tidak ada kekuatan lagi.
17. WREDATAMA
: Sebentarlah dahulu!!,
Yang kamu bicarakan itu, dirimua hanya menirukan saja kepercayaan dan keyakinan
orang lain, apah yang menjadi keyakinan dirimu? Seandainya itu Iman dan
keyakinan mu sendiri, apakah kamu sudah benar-benar mantap ? Sudah tidak ada keraguan
lagi?
18. MUDADAMA
: Waduh .. ketahuan
rahasiaku!! Seandainya saya sudah mempunyai pedoman dan keyakinan seperti itu,
tentunya saya tidak mohon penjelasan ke sini. Saya hanya menirukan saja,
pendapat dari golongan Natuuralist saja, Kak ! Saya sendiri masih bingung.
Entahlah apa yang saya yakini. Ada pendapat yang seperti itu, sepertinya akan
terbawa, oleh karena tidak bisa yang lebih tinggi lagi, akan tetapi juga
tidak... berani, karena belum merasa cocok.
18. WREDATAMA
: Waa... sepertikah
kejelasannya. Bila “Kudrat” yang kamu sebut-sebut itu tadi “Kudrat” kata Arab
(Qudrat), itu memang sebagian dari sifat-sifat Tuhan, sedangkan maknanya adalah
“Kuasa”. Sifat Kadiran (Qadiran) artinya yang berkuada. Sehingga tidak salah
bila Allah disebut Yang Maha Kuasa, namun itu hanya menyebutkan sebagian dari
sifatnya saja, sifat-sifat yang lainnya masih banyak.
Sehinggga bukan si Kudrat itulah, daya kekuatan yang
paling tinggi, daya kekuatan sebenarnya yang tertinggi itu, tentunya yang
mempunyai sifat Kudrat dan sifat Kadiran itu tadi.
Sedangkan bila “Kudrat” atau “Kodrat” dalam Bahasa
Jawa, maknanya hampir mirip dengan kamu sebut Natuur itu tadi. Jika saya tidak
salah, “Kodrat” dalam bahasa Jawa itu bermakna, ya seperti itu tadi, sedangkan
“Natuur” itu, bermakana seluruh yang tergelar ini, seluruh alam semesta.
Itu pun belum tepat bila dianggap sebagai daya
kekuatan yang tertinggi. Sebab, seumpama bisa saya sebut “bekerja” itu semua
hanya buah dari Perbuatan tuhan. Sedangkan bila Tuhan berkehendak untuk
menciptakan segala sesuatu : “Yaquulahu Kun Fayakuun (Al-Baqarah 117, Maryam
35, Yaasin 82 = Berkatalah Tuhan, “Jadilah” maka menjadi ada”
Nah sekarang ketahuilah olehmu yang jelas
bukti-buktinya, bila Natuur yang dianggap daya kekuatan atau Penguasa yang
tertinggi oleh golongan Naturalist itu, sesungguhnya bukan daya kekuatan atau
Penguasa yang tertinggi.
(a)
Kaum
Naturalist memiliki keyakinan, bahwa semua kejadian (akibat) itu tentu ada
penyebabnya, namun kenyataannya, ada beberapa kejadian yang dia tidak bisa
menemukan penyebabnya, alias menemui jalan buntu. Sebab bila dipikir karena
bersatunya sesuatu tidak bisa ditemukan, dari daya tarik menarik pun juga tidak
bisa ditemukan. Seperti contohnya :
Apakah sebabnya watak dari si A itu mudah gelisah,
mudah bingung, gampang sedih; sedangkan si B tenang, tidak mudah kebingungan
dan selalu gembira? Sebab campurannya tidak sama. Benar! Namun, apakah yang
menyebabkan bahan-bahannya menjadi berbeda-beda? Jawabannya hanya kadang-kadang
atau tiba-tiba seperti itu!.
Apakah yang menyebabkan si C senang membeli Undian
berhadiah, akan tetapi tidak pernah menang, sedangkan si D hanya mencoba-coba
saja dan hanya membeli satu kali, dan persis mendapatkan nomor satu? Jawabannya
hanya kebetulan atau tiba-tiba itu tadi.
Sedangkan bagi yang percaya kepada adanya Tuhan,
tidak pernah menemukan kebutuan yang seperti itu, walau pun kita juga yakin
kepada adanya aturan hukum Sebab dan Akibat. Kebetulan atau tiba-tiba, yang
sepertinya hanya mempercayai pendapat sendiri itu, menurutku tidak ada. Karena
hal itu sesungguhnya patuh pada garis atas kehendak Tuhan Yang Maha Adil.
(b). Natuur itu bersifat bisu, Namun Allah itu memiliki sifat Kalam, yang
bermakna Sabda dam sifat Mutakaliman yang bermakna Yang bersabda. Sehingga ada
makhluknya yang mendapat perintah Tuhan, itu adalah para Nabi.
(c). Natur itu, bersifat Buta, Tuli dan Bodoh, dan lain-lainnya, ringkasnya
itu, walaupun saya katakan semalam suntuk pun tidak akan ada habisnya. Bagaikan
membandingkan satu buah bulu gajah dengan ujud gajah.
19. MUDADAMA
: Iya, iya Kak, saya sudah
mengerti. Saya sudah yakin bahwa Allah itu ada dan DIA itu daya kekuatan atau
Penguasa yang paling berkuasa.
19. WREDATAMA
: Syukurlah, bila kamu
sudah mendapat Iman, Namun kamu harus mengerti, bahwa Imanmu itu masih termasuk
golongan Iman orang Taqlid, arttinya, hanya ikut-ikutan saja kepada orang
banyak atau mengikuti keyakinan dari Kakakmu, Aku, kamu pikir : Mana mungkin
punya maksud untuk menyesatkan, tidak.
Syeikh Imam Ghazali, dalam menjelaskan tentang Iman
itu, ada tiga macam :
(1) Imannya orang yang yang ikut-ikutan itu tadi,
ibaratnya, kamu percaya bahwa di Kampung Snetul itu orang yang bernama Pak
Pawira, Badannya tegap, rumahnya menghadap ke selatan, menghadap ke jalan raya.
Oleh karena banyak orang yang menceritakan seperti itu. Iman yang seperti itu,
bila orang banyak itu salah, kamu ikut salah. Sehingga mudah sekali berubah.
(2) Imannya bagi orang yang Ahli Kitab Agama
(Usulluddin), Ibaratnya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul tadi
memang benar ada orang yang bernama Pawira, karena pernah lewat di depan
rumahnya, serta pernah mendengar suara Pak Pawira yang terdengar dari jalan.
Iman yang eperti itu masih bisa salah, karena suara yang terdengar belum tentu
suara dari Pak Pawira yang sebenarnya.
(3) Imannya orang ahli Ma’rifat (“Arifin),
ibaratanya, seseorang yang percaya bahwa di Kampung Sentul itu tadi, memang
benar ada orang yang mempunyai nama Pak Pawira, badannya tegap, karena pernah
bertamu dan sudah pernah bertemu dengan Pak Pawira sendiri. Inilah Iman yang sebnar-benarnya.
Begitu pun masih ada tingkatannya, yaitu : Jika ketika bertandang di waktu
matahari terbenam, tentunya kurang jelas dibanding dengan setelah menyalakan
lampu. Pertemuan dengan peneranga lampu tentunya kurang jelas dibanding dengan
penerangan Matahari.
20. MUDADAMA
: Bagaimana penalarannya,
Kakak mempunyai anggapan, bahwa kepercayaanku kepada adanya Tuhan itu baru
termasuk kepercayaan yang mudah berubah ?
20. WREDATAMA
: Tentu saja tau! Karena
sejak awal kamu masih ragu-ragu, namun
dengan spontan dan tiba-tiba kamu sekarang menyatakan bahwa telah
memiliki keyakinan tentang sesuatu yang sulit seperti itu.
Hayooo, apakah kau tau : Apakah sebabnya kita ini
wajib berbakti kepada Tuhan? Seandainya kamu sudah menjalan ibadah, sudah pasti
di dalam angan-anganmu itu ada maksud pengharapan menerima pahala serta takut
akan menerima seiksa. Iya kan? Padahal di dalam Al-Qur’an menjelaskan : Wama
dhalamnaahum walakin dhalamuu anfusahum (Huud 101, Al-Ankabut 40 = Allah tidak
menghukum hambanya, akan tetapi hamba-lah yang menyiksa dirinya sendiri).
Apakah sebabnya kamu mengharap-harap menerima
pahala, serta takut mendapat siksa itu???
Sebab
: Tuhanmu itu, kamu bayang-bayangkan berujud sesuatu yang duduk di singgasana
emas yang ada di langit. Atau berujud Markas yang sangat besar, berserta
anggota staf yang sangat banyak : Ahli memberi perintah, membagi pahala dan
memberi hukuman. Iyaa kan ?
Sehingga
ketika kamu mengalami musibah, kadangkala memohon kepada-Nya, sedangkan ketika
sedang dalam keadaan senang, biasanya kamu lupa. Kesadaran an ingatanmu hanya
jika sedang beriibadah, terlebih lagi ketika berada dalam keadaa susah itu
tadi.
Dan
jika memohon, namun tidak dikabulkan, hatimu kau paksa-paksa untuk ikut menuduh
bawa Tuhan itu adil. Akan mengatakan tidak adil, tidak berani. Akan tetapi
sesungguhnya hatimu belum menerima, karena kamu belum paham. Ketika kamu
menyebut adil itu, hanya meniru-niru kata orang kebanyakan saja. Benarkah
demikian?
21. MUDADAMA
: Aduh Kakaaaaakkk! Memang
benar seperti itu, anggapan dana bayanganku. Terus, yang disebut Tuhan itu apa?
Apakah hawa? Bukan. Apakah cahaya? Bukan. Apaka Daya? Bukan. Apakah
zonnestelsel? Bukan. Apakah Cosmos? Bukan. Terus, apakah itu? Mohon untuk
dijelas se jelas-jelasnya. Apa dan Manakah Tuhan itu?
21. WREDATAMA
: Tentusaja, semua itu
bukan, karena yang kau sebut-sebut itu, semuanya barang baru, yang terkena
halangan serta selalu berubah-ubah. Sedangkan Tuhan itu, Awal tidak ada yang
mengawali, serta kekal tidak mengalami perubahan.
Singkatnya : Jangankan hanya Zonnestelsel (Wilayah
Matahari), bahkan di luar Zonnestelsel sekali pun, juga di bawah kekuasaan Dzat
Tuhan Yang Maha Agung. Padahal, baru menggambarkan Zonnestelsel saja, nalar
seseorang sudah tidak bisa menjangkau, Begitu bukan ?
Pertanyaanmu : “Tuhan itu apa dan mana” itu
pemikiran yang terlampau jauh. Sebaiknya, pahami terlebih dahulu
sifat-sifat-Nya saja. Sifat-sifat Tuhan itu di jelaskan di dalam Al-Qur’an,
serta ssudah ada yang menghimpun dan sudah disepakati oleh orang banyak : 20
jumlahnya, yaitu :
1.
wujud =
ana / Ada
2.
qidam =
Terdahulu
3.
baqaa =
Kekal
4.
muhaalafah li’lhawaaditsi = Berbeda
dengan Makhluk
5.
qiyaamu bi nafsihi =
Berdiri sendiri
6.
wahdaniyat =
sawiji / Esa (Satu-satunya)
7.
qudrat =
Kuasa
8.
iraadad =
Berkehendak
9.
‘ilmu =
Mengetahui
10.
hajjat = Hidup
11.
sama =Mendengar
12.
bashar =
Melihat
13.
kalaam =
Berbicara
14.
qaadiran =
Yang Berkuasa
15.
muriedan = Yang
Berkehendak menentukan
16.
‘alieman =
Yang Mengethui
17.
hayyan =
Yang Hidup
18.
sami’an =
Yang Mendengar
19.
bashieran = Yang
Melihat
20.
mutakalieman = Yang
berbicara
22. MUDADAMA
: Mohon menyela dahulu Kak!
Sifat pada nomor 14 hingga nomor 20 itu, sepertinya hanya mengulang Nomor 7
hingga nomor 13. Apakah ada perbedaannya? Jika sama saja, maka bisa dikatakan
bahwa Tuhan itu hanya mempunyai 13 sifat, bukan 20?
22. WREDATAMA
: Bagaimanakah kamu ini ?
Perbedaan kata “Kuada” dengan “Yang Berkuasa” itu tentunya sudah jelas.
“Kuwasa” itu sebutan keadaan yang menempati, seperti halnya putih, bulat,
tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan “Yang Berkuasa” itu menyatakan yang
ketempatan oleh keadaan Kuasa itu. Bahasa Arab dari Sifat itu artinya pembeda,
tidak hanya bermakna keadaan saja, sehingga bisa diumpamakan kepada yang
ketempatan keadaan. “Yang berkuasa” berbeda dengan “Kuasa”. Iya apa tidak?
Tentang sifat Tuhan itu, sebenarnya banyak sekali.
Akan tetapi ahli Agama di kala itu punya pendapat bahwa jumlah 20 itu, sudah
bisa memuat sifat-sifat yang tersebut di dalam Al-Qur’an semua, Contohnya,
Sifat Maha Gagah, Maha Bijaksana, Maha Luas, Maha Pemberi Ampunan, dan lain
sebagainya, dan juga seperti yang sudah
kerap kamu dengar (dan juga termuat di Al-Qur’an) : Maha Murah, Maha Asih, Maha
Mengetahui dan lain sebagainya. Masing-masing itu termasuk sifat dari 20
tersebut, tentunya kamu bisa memikirkan sendiri.
Sifat
20 itu, disebut Sifat Wajib, sedangkan sifat Mokal juga ada 20, yaitu lawan
dari Sifat Wajib itu. Kemudian ditambah lagi Sifat Wenang. Sehingga jumlah Sifat
Tuhan itu yang termuat di dalam Ilmu
“Aqaid ada 41.
Sedangkan
Sifat Wajib 20 tersebut, di dalam ajaran Usuluddin dibagi (diringkas) menjadi
4, yaitu :
a.
Sifat nomor 1 disebut sifat
“Nafsiyah” = yang di anggap badan.
b.
Sifat nomor 2 hingga 6 disebut
sifat “Salbiyah” = yang menidakan lawan-nya.
c.
Sifat nomor 7 hingga 13 disebut
sifat “Ma’ani = Yang menempati di Sifat Nafsiyah.
d.
Sifat nomor 14 hingga 20 disebut
sifat “Ma’nawiyah” = yang ketempaan Sifat Ma’ani.
Di
dalam buku-buku Wirid, yang pembagiannya, sebagai berikut :
a.
Sifat nomor 1 disebut Sifat
“Jalaal, artinya Maha Agung.
b.
Sifat nomor 2,3,4,5 disebut sifat
Jamaal, artinya Maha Indah.
c.
Sifat nomor 11,12,13 serta nomor
18,19,20 disebut sifat “Kamal” artinya Maha Sempurna.
d.
Sifat nomor 6,7,8,9,10 serta
nomor 14,15,16,17, disebut sifat “Qahar” artinya Yang Maha Berkuasa.
Ada lagi Sifat-sifat Tuhan yang sering terbawa oleh
para pencari Hakikat, yaitu : Hidup tanpa roh, Kuasa tanpa alat, Tanpa Awal
Tanpa Akhir, yang tidak bisa terbayangkan, Tidak berada di Jaman tidak berada
di Maqom, tidak berarah tidak bertempat, Jauh tanpa hingga dekat tanpa mana,
Bukan di luar pun bukan di dalam, namun berada di seluruh yang tergelar ini
.... dan lains ebagainya.
Walau pun telah di jelaskan sejelas-jelassnya
seperti itu, akan tetapi yang menerimanya masih ............. bingung, karena
dalam hatinya masih menyamakan atau membayang-bayangkan Sifat Tuhan itu dengan
yang ada di kanan kirinya, yaitu benda-benda yang...... baru, ini. Itulah
mansuia.
23. MUDADAMA
: Memang Nyata Kak!! Memang
saya masih bingung, belum bisa menghayati, manakah yang disebut Tuhan itu?
Saya pikir-pikir, memang benar apa kata para ahli
Agama, yang masukdnya demikian :
“Di dalam Ilmu Tashawwuf Islam tidak membicarakan
hakekat Dzat Tuhan, hanya memberi petunjuk tentang mengolah Hati, sebagai
sarana untuk mmencapai Ilmu Ma’rifat. Bila pedoman Tashawwuf itu dijalankan
dengan ssungguh-sungguh, bukan tidak mungkin seumpama mendapatkan kemurahan
Tuhan, kemudian dibukalah terhadap Ilmu Hakikat, yang bisa menerangi atas Kegaiban
Tuhan”.
Seperti itulah petunjuknya. Menurut penilaian Kakak,
bagaimana?
23. WREDATAMA
: Jika tentang hal benar
dan tidak benar, sesungguhnya hanya tergantung kesenangan orang
sendiri-sendiri, sulit untuk mengurainya. Jika soal mudahnya, hal itu saya
berani tanggung jawab : Memang benarlah demikian. Sebelumnya (Bab I No.9), aku
kan sudah menjelaskan. Seseorang menjalankan syari’at Agaama apa saja yang
diyakini, jika dengan sungguh-sungguh, jika diijinkan juga bisa memperoleh
Ilham. Perbedaannya dengan yang kamu katakan tadi, jika sekarang dengan
ditambah menjalankan pedoman Ilmu Tashawwuf, itu lebih baik.
Namun yang kamu katakan itu tadi, itu pendpatnya
para Pujangga atau Pandhiata di jamannya, iya kan? Yaitu ketika jama keadaan
masyarakat belum seperti sekarang ini kemajuannya, iya kan?
Jadi, bukan merupakan perintah Al-Qur’an! Jika
Al-Qur’an, justru menganjurkan supaya seseorang mempergunakan akal dan
pikirannya. Menurut pemahamanku, mempergunakan akal dan pikiran itu juga
membahas tentang Tuhan juga, dengan sejelas-jelasnya.
Mengapa saya berkata demikian, sebab perintah Tuhan
di dalam Al-Qur’an itu selamanya tetap, akan tetapi pendapat seseorang
kadang-kadang berubah-ubah, mengikuti arus jaman, seperti halnya : Socrates
dihukum mati, dikarenakan pendapatnya di sampaikan di jaman ketika itu. Setelah
sampai beberapa abad, orang-orang barulah yakin bahwa pendapat Socrates itu
benar. Iya apa tidak?
Para
Ahli Agama ketika jaman itu, punya pendapat, bahwa tentang Tuhan itu tidak bisa
dikatakan. Memang benar, karena di kala itu belum ada Sekolah Menengah Atas,
belum ada Universitas, pikiran orang belum berkembang seperti sekarang ini.
Masih sangat patuh atas petunjuk orang tuanya, atas-atasannya, penuntunnya.
Akan
tetapi sekarang, mau percaya itu jika sudah benar-benar mengerti, jika akal dan
pikirannya sudah bsia menerima.
Dan
lagi, walau pun petunjuk Ahli Agama itu benar, yaitu sesuai dengan keadaan
masyarakat di jamannya, namun bagaimanakah hasilnya?
a.
Negara sang Pujangga atau Sang
Pandhita yang mencetuskan pendapat yang seperti itu, menjadi jajahan negara
lain tentang Politik atau ekonomi.
b.
Agama sang Pujangga atau Sang
Pandhita yang mencetuskan pendapatnya itu tergesa-gesa, Dan ilmu Kebatinan
masyarakat umum, tidak semakin maju, justru semakin mundur.
Penyebabnya
: Pendapat itu tadi menjadi rem atas berkembangnya nalar serta mendidik kepada
penganutnya Sang Pujangga atau Sang Pandhita, menjadi manusia yang pasif dan
pesimistis : Akan begini takut, mau seperti itu khawatir, dan sebagainya.
Nah,
sekarang saya hanya menyerahkan apa kehendak hatimu. Apakah akan diam saja,
apakah akan terus mencari, baranggkali akan mendapatkan Ilham sendiri, atau
meneruskan saling berbagi dengan orang lain (aku) barangkali saja semakin
bertambah ilmumu?
24. MUDADAMA
: Itu Kak, barangkali oleh
karena saya ini adalah produk jaman sekarang yang terbiasa mempergunakan akal
dan pikiran, segala sesuatu tentu memilih mengerti terlebih dahulu. Oleh karena
itu, bila berkenan, mohon agar Kakak meneruskan memberikan penjelasan yang bisa
diterima oleh akal pikiran.
24. WREDATAMA
: Terserah, apa kehendakmu,
namun akal dan pikiran ketika kamu membandingkan Allah dengan keadaan yang baru
itu, singkirkan terlebih dahulu. Bukan karerna kebodohanmu, namun pahamilah,
bahwa Allah itu memang bukan sebangsa barang baru, yang bisa kamu
bayang-bayangkan dengan mempergunakan akal dan pikiranmu. Jika sudah kau
tanggalkan, nantinya tidak akan bingung dan ragu lagi. Silahkan, sekarang kamu
akan bertanya soal apa?
25. MUDADAMA
: Iya Kak, Sudah saya
tanggalkan akal dan pikiranku dalam membayang-bayangkan Hakekat Dzat Tuhan.
Sedangkan memikirkan telur dengan ayam lebih ada lebih dahulu yang mana pun,
tidak bisa, apalagi memikirkan Allah. Tentunya itu salahku sendiri. Akan tetapi
saya minta penjelasan dahulu. Apakah kita ini tidak termasuk golongan
Muktajillah, Kak?
25. WREDATAMA
: Lo...lo... lo... Kamu
sudah pernah mendengar kata “Muktajilah” (mu’tazilah) segala.......!
Bagi orang yang aktif dan optimistis itu insyaf,
bahwa nasib dirinya di dunia dan akhirat itu, menjadi tanggungannya sendiri,
bukan tanggungan yang lainnya. Shingga yang dijadikan patokan bukan omongannya
siap-siapa, yaitu hanya satu : Petunjuk dari Kitab Agama yang terjaga dari
perubahannya. Sedangkan di Qur’an jelas menganjurkan berulang kali, agar
mempergunakan akal! Dan Pikiran, dan bahkan menerangkan bahwa para Jin dan
Manusia yang masuk ke dalam neraka Jahanam yang : Lahum Quluubu lasjafqahuuna
bihaa (Al-A’raf 179 = Punya hati namun tidak untuk berfikir).
Tentang termasuk dalam golongan Muktajilah atau pun
tidak, itu sesungguhnya mudah dalam menganalisa hatinya sendiri. Memang tidak
perlu khawatir. Barangkali saja ketika berjalannya nalar pemikiran itu ada atau
mengurangi atas Kebesaran-Nya, seperti halnya golongan Naturalist yang kau
sampaikan itu tadi, tetulah itu termasuk golongan .......... Qodariyah, tetap
disebut Kafir. Sedangkan Mu’tazilah yang kamu takuti itu, sepertinya belum
pasti jika kafir. Sebab sepengetahuanku, penguraiannya hanya untuk dipergunakan
untuk membantah atau mengukur ketekadan orang ahli Sunnah, yaitu golongan orang
keyakinannya seperti Pujangga atau Pandhita yang baru saja kita bicarakan itu
tadi (Bab I No.23). Ahli Sunnah yang sanat kolot. Bukan hanya Qadariyah dan
Mu’tazilah saja yang dianggap kafir. Padahal tujuan Filsafat itu untuk
mempertebal Iman, supaya Iman-nya tidak karena Taqlid (hanya ikut-ikutan) saja.
Akan
tetapi jika kamu selalu kuatir disalahkan dimana-mana, yang kamu kira akan
menanggung nasibmu di dunia dan akhirat, yah sudah, “Selamat Tinggal” tetaplah
passief dan pesimistis, aku akan berjalan sendiri.
26. MUDADAMA
: Tidak akan Kak!!
Kekuatiran saya tentang Muktajilah itu tadi, karena aku belum mengerti. Aku
sekarang sudah paham garis-garisnya, sehingga akan meneruskan minta penjelasan.
Ada
golongan yang berkeyakinan di dalam kepercayaannya bahwa Allah itu, sebenarnya
tidak lain adalah INGSUN, Nah tentang itu bagaimanakah penjelasannya? Bila
keyakinan itu cocog dengan keyakinan Kakak, saya mohon penjelasannya :
Bagimanakah hubungannya dengan bab ketika memerintahkan semua isi alam ini, dan
bagaimana hubungannya dengan sifat Tuhan yang sudah dibicarakan sebelumnya itu
(Bab I No. 21,22)?
Dan
bila tidak ada kecocokan, dengan keyakinan Kakak, bagian yang manakah yang
tidak cocok itu?
26. WREDATAMA
: Ooo, adikku, anak dari ayah dan Ibu! Kamu
sekarang bertanya tentang “Sastraceta Wadiningrat? Perhatikanlah dengan pikiran
yang bening, sekarang kita melalui persimpangan jalan, yang satu menuju surga,
yang satunya menuju neraka.
Di dalam Pedalangan diceritakan, siapa yang mengerti
tentang Sastra Jendra Hayuningrat itu, jika raksasa, ketika matinya akan
berkumpul dengan manusia yang sempurna, jika manusia, ketik matinya berkumpul
dengan Dewa yang mulia. Sehiingga sangat senangi oleh Raja Sumali, termuat di
dalam Serat “Lokapala” seperti ini (Sinom) :
Sastrajendra
Hayuningrat, pangruwat barang sakalir,
kapungkur
sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih,
wus
kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh,
ditya
diyu reksasa, myang sato sining wanadri,
lamun
weruh artine kang Sastrajendra.
Artinya :
Sastra (Ilmu) Jendra = Harja
Endra =jalan keselamatan, pangruwat (mengubah) segala sesuatu.
Penguasa segala pembicaraan,
tentang Ilmu sudah tidak ada lagi.
Sudah termuat ilmu tinggi, puncak
segala puncak ilmu.
Segala jenis raksasa, serta
seluruh hewan isi lautan.
Jika paham artinya tentang
Sastrajendra.
Rinuwat
dening Batara, sampurna padinireki,
atmane
wor lan manugsa, manugsa kang wis linuwuh,
yen
manugsa udani, wor lan dewa patinipun,
jawata
kang minulya, mangkana Prabu Sumali,
duk
miyarsa tyasira andandang sastra.
Artinya :
Diganti oleh Dewa, sempurna sama
dengan.
Atma (roh tertinggi) berkumpul
dengan manusia, atas manusia yang mulia.
Jika ada manusisa yang
mengetahui, berkumpul dengan dewa ketika matinya.
Bersama Dewa yang mulia, seperti
itu Raja Sumali.
Ketika mendengarnya, hatinya
menjadi terang.
Bsnjure
(dandang-gula) :
Jog
tumedak Sang Prabu Sumali, saking palenggahan nawaretna,
angrepepeh
neng ngarsane, arsa mangraup suku,
Sang
Pandita gupuh nedaki, pan sarwi kipa-kipa,
nyandak
astanipun, duh yayi Prabu Ngalengka,
Sampun
sampun paduka arsa punapi, anguncapaken asta.
Artinya :
Kemudian turunlah Sang Raja
Sumali, dari singgasananya yang indah.
Bersujud di hadapanhya, untuk
mencium kaki.
Sang Pandhita segera menghindar,
serta menolak dengan tegas.
Menarik tangannya, Wahai Raja
Ngalengka
Sudah-sudahlah, apa yang engkau
kehendaki, menyembah dengan kedua tangan.
Aturnya
lon Sang Prabu Sumali, saking sukane manah kawula,
amiyarsa
pituture, ing tyas langkung kapencut,
nugrahanen
kakang pun yayi, Sastrajendra juningrat, pangruwating driyu,
pun
yayi liwat druhaka, tinitah wil sato padane neng bumi,
pae
lawan manungsa.
Artinya :
Perkata dengan pelan Raja Sumali,
terbawa oleh gembiranya hati hamba.
Mendengar penjelasannya, sehingga
sangat ingin dalam hatinya.
Atas anugerah nasehat Kakak
kepada ku, tentang Sastrajendra Yuningrat Pangruwating Diyu.
Adikmu ini penuh kedurhakaan,
dicipta bagaikan sama dengan hewan di bumi ini.
Jauh berbeda dengan manusia.
Sampun
tanggung nggen paduka asih, ing kaswasih mbenjang Ngariloka,
cangkingen
wosing deweke, prasetyamba pukulan,
sampun
menggah nini Sukesi, nagari ing Ngalengka,
lan
saisinipun, jro pura katur sadya,
nadyan
pejah gesang tan ngeraos ndarbeni, langkung karsa paduka.
Artinya :
Jangan setengah-setengah atas
kasih sayang paduka, kepada hamba kelak di alam baka.
Ajaklah seperti dirinya, sumpahku
wahai sang tapa
Jangan seperti Nini Sukesi,
Negara di Ngalengka.
Serta semua isinya di dalam
keraton, kuberikan semua.
Bahkan hidup mati pun tidak merasa
memiliki, terserah kehandak Paduka.
Sumpah
Raja Sumali itu tidak mengherankan, karena sebesar-besarnya harta manusia hidup itu bukan Kerajaan beserta
seluruh isinya, akan adalah Nyawanya. Namun begitu nyawa itu dianggap remeh,
jika dibanding dengan Keyakinan. Sehingga Umat Islam sangat berani perang
Sabil, Umat Kristen saling berani perang Salib, Orang Jepang saling Jibaku,
karena punya keyakinan bahwa akan naik surga.
Sedangkan
Sastrajendra itu tadi, walau pun lebih berharga dibanding dengan Nyawanya,
namun perlu ditambah lagi jika “tidak salah dalam memahaminya. Dan jika salah
dalam memahami, walau pun raksasa, atau pun manusia akan berada di dasar
neraka. Nah, tentunya sangat berbahaya, iya kan?
Oleh
karena sangta berahayanya, sehingga sejak jaman dahulu, di seluruh tanah jawa
dan Agama apa saja, menjadi larangan. Dengan adanya larangan itu dikarenakan
sangat sayangnya kepada yang salah dalam memahaminya, itu memang ada benarnya.
Namun ada juga dalam melarangnya itu, dikarenakan mengawatirkan kepada yang
tidak salah dalam memahaminya. Sebab yang tidak salah dalam memahaminya itu
serendah-rendahnya menjadi orang yang tegar, kuat, bukan percaya tanpa bukti,
tidak mudah dipengaruhi, karena seolah-olah telah memegang “KUNCI SURGA”. Namun
belum masuk ke surga serta belum menikmati buah-buahan surga, tentang (Bab I
No.10) jangan dianggap gampang!!!!
27. MUDADAMA
: Iya Kak. Bahaya bagi yang
salah dalam memahaminya itu, penjelasannya bagaimana?
27. WREDATAMA
: Penjelasanku di muka (Bab I No.11), aku
membuat perumpamaan orang yang pergi Haji yang sudah terlanjur naik kereta api
atau kapal, akan teteapi tidak tau kendararan itu akan pergi ke mana, dan tidak
mengetahui Makkah itu ada di mana. Tentulah akan mengalami kebingungan,
bagaikan Capung yang tidak punya mata, benar kan?
Tentunya, tentang Sastrajendra Hayuningrat ini, jika
seseorang salah dalam memahaminya, itu bagaikan seseorang yang pergi Haji, yang
sudah merasa tidak bingung dan sudah tidak ada penghalangnya, kemudian dengan
segera naik mobil ke arah selatan, tidak berbelok-belok, karena beranggapan
bahwa Makkah itu ada di Selatan, serta bisa dijangkau menggunakan mobil.
Tentulah pada akhirnya masuk dan tenggelam di laut. Seperti itulah tersesatnya
dalam kematian, juga sebagai gambaran tersesatnya ketika masih hidupnya ketika
menjadi penduduk di alam dunia ini.
Contoh ketika tersesat di dunia : Resi Wisrawa yang
mengajarkan Sastrajendra kepada Dyah Sukesi, di kisahkan Dyah Sukesi adalah
calon menantunya kemudian di kawin sendiri, yang pada akhirnya menjadi perang
besar berebut dengan anaknya sendiri, serta penerima gambaran kesalahannya,
sehingga anak-anaknya yang dari Dyah Sukesi berujud Raksasa. Padahal kelakuan Resi Wisrawa hanya terbawa karena
lupa, apalagi bagi yang salam pemahamannya.
Sedangkan salah pemahaman itu, pada umumnya karena
bersahabat dengan orang yang ketika belajarnya tidak urut dalam tingkatan
menjalankann syariat. Sebab di Tingkat Syari’at itu banyak latihan-latihan
jasmani dan rokhani yang sangat diperlukan sebagai dasar pondasinya.
Sedangkan pertanyaanmu tentang orang yang meyakini
bahwa “Allah itu sebenarnya tidak lain adalah Ingsun” aku tidak bisa memberi penilaian bagaimana
tentang keyakinannya, entah sama, entah berbeda dengan keyakinanku. Akan tetapi
menurutku, Sebutan yang seperti itu saya anggap tidak benar dan sangat mudah
menyebabkan “Salah terima”.
Tentang hal itu tidak perlu saya jabarkan, nantinya
kamu akan mengerti dengan sendirinya, setelah mendengarkan penjelasanku.
Tidak hanya mengerti ucapan yang satu itu saja, saya
pastikan kamu juga akan mengerti apa
yang diharapkan oleh para pengarang Kitab-Kitab Kebatinan yang sudah pernah
kamu baca.
Di dalam uraian ini, saya sengaja tidak akan menggunakan kata-kata yang sudah
sering kamu baca atau kamu dengar, seperti halnya :
Ingsun, Aku, Aku wutuh, sebab kadang-kadang dalam
pikiran timbul pemikiran menjadi : Aku Suta (Aku diri manusia ), Aku Naya.
Pribadi : bisa ddiartikan Sendiri, sendirian, tidak
ada temannya.
Manusia sejati atau Sejatinya Manusia (Haqiqatul
Insan) dilam pikiran kadang dipahami sebagai “Orang” yang bergerak-gerak ini.
28. MUDADAMA
: Iya Kak, saya ikut saja,
barangkali aku bisa mengerti. Seperti apakah, akan saya dengarkan dengan
sungguh-sungguh.
26. WREDATAMA
: Kethauilah olehmu, Semua orang itu, tidak
memilih laki-laki atau wanita, Tua atau muda, kaya atau miskin, tidak memilih
bangsa dan Agamanya ..... tegaknya hidupnya berasal dari : (1) Ditempati oleh
Sang Alus, (2) Badan halus beserta perlengkapannya ayang halus (3) badan kasar,
yang terlihat mata ini, beserta kelengkapannya yang terlihat nyata.
Sedangkan yang membedakan nampak di tata lahirnya
tiap orang itu tadi, tidak lain hanya dikarenakan oleh perbedaan dasar dan ilmu yang ada di badan halus beserta
perlengkapannya dan juga badan kasar berserta kelengkapannya, sama sekali bukan
karena kurang adilnya Sang Alus dalam menegakkannya.
Perbedaan “dasar” terhadap “badan” (halus dan kasar)
disebabkan tidak sama ukurannya campurannya. Bisa diibaratkan kopi susu, ada
yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis, ada yang hambar, ada yang sedang.
Sedangkan perbedaan dari “dasar” terhadap “Alat”
(halus dan kasar), diibaratkan peralatan orang berumah tangga, ada yang indah
pengerjaannya dan awet digunakannya, ada yang tidak.
Tentang perbedaan “Ajaran” terhadap ‘Badan Kasar”
sepertinya sudah jelas, seumpama orang yang tidak mau Olah Raga dan tidak mau
menjaga makananya dan temepat tinggalnya, tentu saja kesehatannya berbeda
dengan yang ber Olah Raga dan mau menjaga makanannya serta tempat tinggalnya.
Dan tentunya walau pun untuk badan halus juga demikian, maksudnya juga ada cara
berlatih dan penjagaan kesehatannya.
Sedangkan perbedaan “Ajaran” terhadap “peralatan
badan kasar” tentunya sudah jelas ; Seumpama orang yang tidak belajar, tentu
sulit untuk bsia membaca dan menulis, seseorang yang tidak biasa berpikir
tentunya akan menjadi tumpul pikirannya.
Demikian juga “peralatan badan halus” tentulah
seperti itu juga. Seumpama orang yang memiliki motor yang bagus, akan tetapi
tidak mengetahui cara merawatnya dan cara menjalankannya, tentu saja tidak akan
bsia mempergunakan manfaatnya.
29. MUDADAMA
: Mohon maaf Kak!! Kakak
mengatakan “Sang Alus” itu saya tidak mengerti sama sekali. Yang sudah sering
saya baca dan saya dengar itu hanya “badan halus” dan “badan kasar” itu saja.
Dan lagi, Kakak mengatakan jika “Pikiran” itu
peralatan badan kasar, tentunya Pancaindra – menurut Kakak – juga termasuk
peralatan badan kasar. Sedangkan menurut pemahamanku, yang saya anggap sebagai
peralatan bada kasar itu semua yang berujud jasad jasmani ini, Sedangkan yang
bukan raga jasmani itu, saya sebut peralatan badan halus, Hal itu, bagaimanakah
penjelasannya?
29. WREDATAMA
: Sebentarlah dahulu!! Kamu sekarang belum
mengetahui, itu tidak menjadi apa, Namun asal kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh,
nantinya akan mengerti sendiri. Dari perbedaan dalam penyebutannya, jangan kamu
pikirkan dulu. Nanti setelah kamu mengerti, tentu akan paham : sama ata pun
beda dengan uraian yang sudah pernah kamu baca dan yang pernah kamu dengar itu,
Jika ada yang kau temukan sama, perssamaannya ada di bagian mana, sedangkan
bila ada yang kau temukan berbeda, perbedaannya ada di bagian mana.”
Marilah, saya teruskan ya..:
Semua peralatan (alat) yang bisa dipergunakan dalam
ketika kita sadar dalam tingkat biasa ini, itu saya sebut sebagai alat badan
kasar. Ujudnya bukan hanya Pancaindra saja, sebenarnya “asthendriya”. Itu semua
teraliri oleh “Rasa” namun juga rasa dari bada kasar juga, yaitu :
1.
Bentuknya
bernama hidung, mesinnya bernama penciuman, pekerjaanya bernama mencium.
2.
Bentuknya
bernama Telinga, mesinnya bernama pendengar, pekerjaanya bernama mendengarkan.
3.
Bentuknya
bernama mata, mesinnya bernama penglihatan, pekerjaanya bernama melihat.
4.
Bentuknya
bernama lidah, mesinnya bernama pengecap, pekerjaanya bernama merasakan manis,
gurih, dan sebagainya..
5.
Bentuknya
bernama kulit daging, mesinnya bernama penyentuh, pekerjaanya bernama merasakan
pedih, pegal, panas, dan sebagainya..
6.
Bentuknya
bernama Jantung, mesinnya bernama hati, pekerjaanya bernama berangan-angan, mencipta,
dan lain-lainnya..
7.
Bentuknya
bernama Otak, mesinnya bernama Akal, pekerjaanya bernama mengingat-ingat,
berpikir dan lains ebagainya..
8.
Bentuknya
bernama Kelamin, mesinnya bernama Nafsu, pekerjaanya bernama Marah, keinginan,
dan lain-lainnya..
Kesemuanya itu saya namakan peralatan badan kasar.
Sedangkan peralatan badan halus itu hanya satu, yaitu “RASA SADAR” “Atau “Rasa
Sejati” yang halus teramat halus, yang ketika bekerja didalam diri kita “tidak
biasa” yaitu tidak dengan terjaga seperti saat ini.
Sedangkan yang saya katakan “Sang Alus” itu tidak
mempergunakan alat apa pun juga, sebab dirinya itu QADIRUN Bilaa alatin (Kuasa
tanpa alat).
30. MUDADAMA
: Itu, Kak!! Tentang yang
lima (Penciuman, pendengaran, penglihatan, pengecap, dan perasa) itu dianggap
sebagai peralatan badan kasar, ya sudah, aku ikut sependapat. Akan tetapi yang
3 lainnya itu tadi, bagaimanakah, karena temepatnya tersembunyi sekali?
Sehingga ada yang mengkiaskan, bahwa di situ itu singgasana (Arasy)
bersemayamnya Ingsun. Yang tengah disebut rumah terlarang atau Baital Mukharam,
yang atas disebut rumah keramaian atau Baitalmakmur, yang bawah disebut Rumah
kesucian atau Baitulmukhadas.
30. WREDATAMA
: Hayo.. hayo... tiba-tiba mengeluarkan Wirid. Tentang “Ingsun” aku tadi telah
mengatakan, tidak akan ikut membicarakan! Aku hanya akan menerangkan tentang
kata “Singgasana” (Palenggahan) dengan “peralatan” itu saja.
Jika dianggap singgasana, tentu saja selalu
berganti-ganti yang mendudukinya. Bisa juga diduduki bersama-sama, karena yang
duduk itu bisa berjumlah berajapun saja seperti Candabirawa. Dan jika ketika
ketiganya tidak ada yang mendudukinya, itu kemudian duduknya apa dan ada di
mana?
Sedangkan jika dianggap alat, itu kan jelas. Karena
ada kalanya ketiga alat itu akan mempergunakan alat yang teramat sangat
halusnya, yang saya sebut Rasa Sadar atau rasa jati itu tadi. Kadangkala juga,
ketiga tidak bekerja karena tidak disengaja, seperti, ketika sedang menderita
sakit yang sangat parah.
Sedangkan ketika saya menyebutnya hanya sebagai alat
badan kasar itu, oleh karena kita ini bisa mempergunakannya dan merasa
menggunakannya di dalam biasa seperti halnya saat ini.
31. MUDADAMA
: Iya, iya Kak. Tentang
alat, aku sudah bisa menerima. Akan tetapi tentang “Sang Alus” aku tetap masih
kebingungan, mengapa tidak disebut saja “Badan Halus”, seperti ajaran di banyak
ajaran itu?
31. WREDATAMA
: Wahhhh..! Memerinci hal yang sudah kecil kamu
ini! Kan, sudah jelas, bahwa Sang Alus itu bukan badan halus? Sebab :
Semua yang disebut badan (Raga) itu bagaimana pun
juga sifatnya --- KASAR, agak halus, halus, halus sekali, halus teramat halus,
---- Pasti terbuat dari bercampurnya campuran bahannya (Elemen, Anasir), dan
pasti juga berujud bentuk .
Kita ini bisa membuktikan segala rupa badan kasar,
dengan mempergunakan alat-alat kasar : Pembawaanya dan pekerjaanya manusia,
Sedangkan badan halus juga bisa dibuktikan dengan mempergunakan alat yang halus
“Kerjanya” manusia; sampai hari ini belum ada alat “Buatan” manusia yang bisa
dipergunakan membuktikan badan halus itu.
Sedangkan yang saya sebut Sang Alus itu tadi, oleh
karena bukan Raga, untuk menyatakannya juga tanpa alat. Apalagi alat raga, mana
mungkin bisa, sedangkan alat yang halus teramat halus : Tidak bisa, Karena
DIRI-NYA itu --- tidak bisa terbayangkan.
32. MUDADAMA
: Iya, iya, Kak, sudah agak
jelas pemahamanku tentang perbedaan “Sang Alus” denegan “badan halus” itu,
Selanjutnya mohon mohon penjelasan yang lebih jelas, seperti apa konstruksinya
(susunannya) “Sang Alus”, “Badan halus” dan badan kasar itu tadi, sehingga
berujud manusia hidup seperti kita ini?
32. WREDATAMA
: Oooo... Jika tentang itu, tidak begitu sulit,
untuk menerangkannya.
Semua orang yang bisa duduk dan bisa saling
berbicara ini, tidak membedakan yang tampan, gagah, lulusan Sekolah Tinggi,
banyak bayarannya, rumahnya gedung tinggi, dengan yang kerempeng, buta huruf,
kerja meminta-minta, bertempat tinggal di bawah jembatan .... ketika
ditinggalkan oleh “Badan Halus” beserta
peralatannya itu, kemudian... terkulai tanpa daya sama sekali. Hidungnya sudah
tidak bisa mencium lagi, telinganya, matanya, dan lain lainnya, sudah tidak
bisa kerja seperti sebelumnya. Sedangkan raga kasarnya kemudian membusuk,
hancur, menjadi jasad yang sangat halus, aku dan kamu menyebutnya ..... Mati.
Sehingga yang bernama “mati” itu, hanya rusaknya
badan kasar ini. Sedangkan “Badan Halus” beserta peralatannya, oleh karena
masih di tegakkan oleh “Sang Alus” tidak ikut mati. Sedangkan jika “Sang Alus”
itu meninggalkannya, sang badan halus beserta peralatannya juga akan sirna,
seperti rusaknya badan kasar itut adi. Hanya tinggal “Sang Alus” yang kekal
dalam kenyataannya, kembali ke asal muasalnya.........
Jika kau sebut “konstruksi” yaitu seperti itu
konstruksinya. Tetapi, jangan kamu kira seperti halnya ayam jago yang berada di
kurungannya di dalam sebuah kamar, itu bukan. Paling tidak, ibaratkanlah
seperti air samudra, yang terdiri dari Air dan garam. Sedangkan air itu,
berasal dari Hydrogenium (H=zat air)
dengan Oxygenium (O=jat pembakar).
Sehingga kepergian badan halus dari raga kasar itu,
jika tanpa ilmu itu sangat susah. Samakan dengan air laut yang dipanaskan
dengan api, uapnya didinginkan, kemudian akan menjadi garam dan air. Sedangkan
keluarnya Sang Alus dari Badan Halus, sangatlah jauh sekali, samakanlah seperti
ketika memisahkan Air menjadi Hydrogenium dan Oxygenium itu tadi.
Sekarang “Sang Alus” itu saya sebut dengan kata
“IKHEID” atau “Purusha”, dan untuk selanjutnya akan saya sebut seperti itu,
janganlah sampai salah paham.
33. MUDADAMA
: Penjelasan Kakak itu terang,
jelas, terperinci, akan tetapi tetap saya belum .... jelas.
Sesungguhnya, yang disebut mempergunakan kata
“Purusha, itu, apakah roh kita ini, apakah hidup kita ini, Kak?
33. WREDATAMA
: Yahhh... bagaimanakah kamu ini? Purusha itu ya
Purusha. Seandainya Purusha itu roh kita atau Urip kita, sebelumnya aku kan
sudah mengatakan seperti itu, apakah kamu merasa saya biikinbingung?
Roh (ar-ruuhu), itu yang saya sebut dengan kata
“badan halus” itu tadi, yaitu sejenis bahan dan dan sejenis yang mengandudng bentuk.
Di Yogyakarta di sini banyak saudara kita yang mempunyai kelebihan bisa
menyatakan keadaan Roh itu, berjenjang gmenurut derajat kemampuan yang
membuktikan sebanding dengan derajat yang dinyatakan. Kan, tadi sudah saya
katakan, bahwa Purusha itu bukan si Badan Halus, karena Purusha itu disebut
“Hayyun Bilaarauhin (hidup tanpa roh), sehingga bukan Roh.
Sedangkan kata “Hidup” itu tadi, aku tidak paham apa
yang kamu maksudkan? Apa “Hidup” yang artinya bisa bergerak-gerak (sebaliknya –
mati), apa “Yang Hidup” apa “Sang Hidup”? Akan tetapi ketiganya bukan yang
disebut dengan Purusha. “HIDUP” dan “YANG HIDUP” itu hanya sebagian dari
sifat-sifat Purusha, sedangkan “SANG HIDUP”
itu hanya salah satu dari sebutan Purusha, saja.
Lebih jelasnya bahwa, ketiganya itu bukan Purusha yang
sebenarnya. Karena Purusha itu, bersifat menguasai semua yang tergelar ini.
Walau pun batu yang tidak bisa bergerak, walau pun badan kasarnya seseorang
yang sudah hancur bersatu dengan tanah ..... juga terkuasai oleh Purusha.
Seandainya kamu mempunyai perkiraan : Purusha itu
nafsu kita, atau nyawa kita, itu jgua salah. Karena Nafas itu hanya tali hidup,
nyawa itu hanya tanda hidup, Salah juga jika kamu punya perkiraan : Yang
disebut Purusha itu, Tirta Nirmala (Air Kehdiupan) atau “Ma’ulhayat”, karena
itu hanya perlengkapan hidup saja.
Lebih tersesat lagi jika yang kamu anggap Purusha
itu adalah angan-angan, rasa sadar, sorot mata, dan lains ebagainya lagi.
Singkatnya, jangan kamu cari di luar diri kita atau di dalam diri kita.!!
34. MUDADAMA
: Apakah Purusha itu yang
mempunyai sifat 20 yang sudah dibicarakan di depan itu (Bab I No.21)? jika
demikian, tentulah Purusha itu yang menciptakan Bumi dan Langit beserta segala
semua isinya itu?
Jika demikian, itu cocog dengan sebuah ajaran yang mengkiaskan
kata “Menciptakan” itu ketika kita “Ingat : Tergelar dengan seketika (Kun
Fayakuun), dan ketika kita lupa : Hilang semua, dinamakan Kiyamat.
30. WREDATAMA
: Purusha itu, memang sangat benar yang
mempunyai Sifat 20 sifat wajibnya, 20 sifat mokalnya, tadi itu! Coba
rasakanlah, sifat mana dari 20 itu, yang bukan sifat dari Tuhan?
Akan tetapi, ketahuilah olehmu, Purusha itu bukan
yang menciptakan bumi dan langit beserta segala isinya ini.
Sedangkan yang meniptakan Bumi dan Langit beserta
segala isinya ini, jangalah kamu salah paham jika saya sebut namanya dengan
nama “Absolute Ik” atau “ISYWARA”.
Isywara itu, selain mempunyai sifat 20 yang wajib,
dan 20 sifat mokalnya, juga mempunyai sifat 1 lagi, yaitu sifat Wenang (Jais).
Artinya wenang menciptakan semua yang tergelar ini, juga wenang tidak
menciptakan.
Sedangkan kiyas dari kata Menciptakan seperti yang
kamu sampaikan tadi, terus terang saja, menurut pendapatku
............................. tidak berani!
Rasa-rasanya itu, tidak masuk akal (Bab I No.13).
Sebab, mengatakan hal seperti itu, seharusnya bukan
hanya berdasarkan akal dan pikiran (Dalil Aqli) saja, harus berpedoman bunyi
Kitab-kitab Agama (Dalil Naqli). Sedangkan di dalam Al-Qur’an menyebutkan :
“Allahu Alladzi Chalaqa Assamawati wa’lardla wamaa bainahuma fie sitiati
Ayyaami (As-Sajdah 4, Al-Hadid 4 = Allah itu yang menicptakan langit-langit dan
bumi beserta yang ada di antaranya di dalam enam hari).
Jika menurut Qudrat Tuhan yang sudah tergelar ini,
untuk menjadi keadaan itu pasti berasal dari bahan. Namun ketika asal yang
pertamakalinya. Yang dahulu paling terdahulu. Tuhan dalam menciptakan semua
yang tergelar ini tanpa bahan, hanya berasa dari SABDA “Kun” itu tadi.
Jika aku tidak salah, yang mempunyai pengias seperti
yang kamu katakan tadi, dari golongan
orang yang meyakini bahwa manusia itu berasal dari “Adam (Bukan Nabi Adam).
Yang bermakna kosong, ada dengan sendirinya. Sebellum adanya Allah, malaikat,
bumi langit dan lain sebagainya. Sebab, semua nma-nama itu semua buatan dari
Manusia.
Memanglah benar, bahwa nama-nama itu semua buatan
dari Manusia ......... Akan tetapi keyakinan yang seperti itu, menurut
keyakinanku, saya anggap perkataan yang tidak masuk akal (Bab I No.13). Aku,
sungguh sangat tidak berani.
Sedangkan keyakinanku : Bahwa Manusia itu ditempati
oleh Purusha (Ikheid) yang mempunyai sifat 20 dan sifat mokal 20. Sedangkan
yang menciptakan langit-langit dan Bumi itu “ISYWARA” (Absolute Ik), yang
memiliki sifat wajib 20, sifat mokal 20 dan sifat Wenang 1. DIA itu tegak dengan
Pribadi, serta mencipta segala yang tergelar ini, tanpa bahan.
35. MUDADAMA
: Wah- wah.... , sekarang
saya mengerti, jadi, yang disebut Isywara itu, sebenarnya Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang bahasa Arabnya Allah. Sedangkan Purusha itu, bahasa Arabnya apa, dan
apa hubungannya dengan Isywara?
Dan juga, Kakak, mempergunakan kata “Ikheid” dan
“Absolue Ik”, apakah itu tidak sama artinya dengan kata “Ingsun” yang saya
sampaikan tadi (Bab.I No.26,27)?
35. WREDATAMA
: Wah...... Pertanyaanmu sampai seteliti itu.
Dan sulit. Yah sudahlah, asal tidak tercampur dengan rasa sentimen!
Coba pikirkan
: Seandainya kata Purusha saya ganti dengan X, serta kata Isywara itu saya
ganti huruf Y, tentunya tidak merubah apa-apa, karena kata-kata atau
nama-nama itu semua, hanya bikinan
manusia, ta? Jika jelas tidak merubah apa pun, sehingga, Arab atau bukan Arab
itu tidak usah jadi soal.
Purusha dan Isywara, bahasa Sanskrit, ketika saya
mempergunakannya itu, hanya untuk nama saja, seperti halnya X dan Y itu tadi,
agar tidak bingung. Sebab, jika mempergunakan bahasa Arab, barangkali saja akan
membuat bingung dalam pemahamanmu, sebab, Isywara itu di dalam Al-Qur’an
disebut Allah, sedangkan Purusha itu di dalam Al-Qur’an juga disebut Allah.
Cobalah baca dengan teliti, kemudian rasakan
menggunakan pikiran yang jernih, seperti halnya, yang menjelaskan Iblis itu
musuh Allah, nah itu kan jelas Allah Purusha, bukan Allah Isywara. Sebab
hakekatnya Isywara itu, tidak punya musuh, karena segala sesuatu itu Ciptaan
Isywara sendiri, iya apa tidak?
Dan jika Iblis dikatakan musuh dari Purusha itu,
memang sangat benar. Karena jika orang mengikuti ajakan Iblis, tidak bisa
tidak, tentu tidak akan kenal dan tidak akan tunduk kepada Purusha, iyalah Dzat
Yang Maha Suci itu.
Sedangkan Purusha itu tidak lain, adalah .......
bayangan dari Isywara. Janga sekali-kali kamu salah paham, “Bayangan” itu
bukanlah pecahan atau bagian.
Pemahaman seperti yang baru saja saya jelaskan itu
tadi, di jaman kemarin-kemarin sangat dirahasiakan. Jika di sebarkan
menggunakan tulisan, bahasanya dipatar balik, tidak akan di buka semuanya.
Dikala disebarkan melalui lisan, harus dipertemukan antara dahi dengan dahi,
dan hanya ringkasnya saja, atau dengan menggunakan isyarat saja.
Sebenarnya yang dimaksud dari pemaham itu semua,
adalah maksud yang sebenar-benarnya dari Lafal : “Laailaha Illaallah Muhammadur
Rasuulullah” (Tidak ada tuhan kecuali Allah, Nabi Muhammad saw. itu utusan
Allah), Jika lafa itu ditambahi “Asyhadu
Anna (Saya bersaksi sesungguhnya), disebut kalimah Syahadat (= Ucapan-ucapan
kesaksian), itulah Rukun Islam yang “Terdahulu” dan “Terutama”.
Dibuat teramat sangat rahasia itu, seperti yang
telah saya katakan (Bab I No.26), karena sangat teramat sangat berbahaya.
Sebab, jika sampai salah paham, bia juga kemudian mengaku ........ Allah.
Sehingga tidak perduli batal haram, dan menyalahkan aturan Agama. Sebab,
mengira bahwa “Dosa” itu tidak ada, jika sudah mati yah sudah “Selesai” pasti
kembali kepada asalnya.
Tetapi bagi yang tidak salah dalam memahaminya,
pasti tekun berbakti kepada Tuhan, tindakannya menjadi Wari’i (tidak menganggap
mudah), cinta kepada sesamanya, merasa bahwa dirinya – itu kamu – Diri yang
lain karena itu semua adalah “SATU”. Karena telah yaqin di dalam Iman dan
keyakinannya, bahwa Allah itu itu dekat lebih dari yang terdekat, namun tidak
bersentuhan, dan yaqin bahwa Allah itu ternyata Maha Mengetahui segala
gerak-gerik, cipta rasa dari hamba-Nya.
Sedangkan ketika aku menggunakan kata “Ikheid lan
Absolute Ik itu, tujuannya ya hanya untuk membedakan supaya jangan campur itu
tadi. Jika kamu punya anggapan maknanya sama dengan Ingsun, itu boleh saja.
Namun jangan sampau campur, jika menggunakan kata “Ingsun” harus ditambahi
keterangan sebagai berikut :
Karena hanya sebagai makhluk : Ingsun itu maknanya
bukan Kamu. Namun Ikheid (Purusha) itu : Iya kamu iya Ingsun iya Diri-Nya.
Singkatnya! Ingsun yang bukan di luar bukan di dalam, Yang Maha Suci dari sifat
baru ini semua.
Sedangkan Absolute Ik (Isywara) itu Ingsun yang
diyakini oleh Manusia. Dia itu yang menciptakan, menguasai dan memelihara
tergelarnya alam ini. Yaitu Maha Esa serta mempunyai bayangan yang disebut “Ikheid”
(Purusha) itu tadi.
Bagaimana, bisa menjadi jelas, apa justru semakin
membingungkan?
36. MUDADAMA
: Mohon maaf Kak! Sebera
pun besarnya salahku, saya mohon dimaafkan. Engkau berkata, Purusha (Ikheid)
itu Allah, yang mempunyai sifat wajib 20, dan mokal 20, sedangkan Isywara
(Absolute Ik) itu Allah yang mempunyai sifat wajib 20, dan Mokal 20 dan sifat
Wenang 1. Jika demikian, apakah Allah itu lebih dari satu?
36. WREDATAMA
: Bagaimanakah, sehingga kamu mempunyai
pemahaman seperti itu? Aku tadi kan sudah bilang, bahwa Purusha itu hanya “Bayangan”
Isywara saja, iya kan?
Seumpama
di tengah hari, di tengah-tengah alun-alun ada jambangan 1000 yang kesemuanya
terisi air, pastilah di dalam masing-masing jambangan ada “Bayangan: dari
matahari. Benar kan? Apakah kamu kemudian mengira bahwa mataharinya itu dua, tiga atau 1000?
Seperti itulah perumpamaan Iswara dan Purusha itu.
Nah...
sekarang kamu sudah bisa menjawab sendiri pertanyaanmu tentang sama atau
tidaknya : Keyakinanku dengan keyakinan orang yang mengatakan “Allah itu
sesungguhnya tidak lain adalah Ingsun” itu tadi (Bab I No.26). Dan saya kira
kamu tidak akan salah paham terhadap kata-kata yang barangkali sudah pernah
kamu dengar, karena memang populer (sering terucap). Lafalnya begini : Waman ‘arafa
nafsahu faqod’arafa rabbahum, waman ‘arafa rabbahu faqad jahila nafsahu =
Barang siapa mengenal diri pribadi sungguh-sungguh mengetahui Tuhannya, barang
siapa tidak mengetahui Tuhannya, benar-benar bodoh terhadap ilmu dirinya itu).
Jika
pemahamanmu sudah jelas, terus bagaimana? Yang terpenting dari yang penting itu
............. mengamalkan (bertindak), supaya air yang ada di dalam jambangan
iru jernih. Karena, jika iar yang ada di dalam jambangan itu keruh, pastilah
bayangan dari matahari tidak nampak. Dan jika jambangan itu pecah, semoga saja
bayangan matahari tidak menempel di dalam pecahan jambangan, atau berada di air
yang tumpah melebar itu.
37. MUDADAMA
: Iya Kak, bahwa tentang
Ingsun, sepertinya saya sudah bisa menjawabnya sendiri. Intinya tergatung dari
pendefisiannya (keterangan pedoman) apa yang disebut dengan kata Ingsun itu,
Apakah Roh, apakah Purusha, apakah yang lainnya.
Walau pun yang disebut Ingsun itu Purusha, itu pun
harus mengerti, bahwa Purusha itu bukan Isywara, hanya bayangannya saja.
Sedangkan keterangan-keterangan yang baru saja
dikatakan itu tadi, walau pun saya sudah sering mendengar, akan tetapi belum
bisa memahami. Mohon dijelaskan sekalian.
35. WREDATAMA
: Saya kira sudah mengerti, hanya saja kamu
masih kuatir barangkali saja salah. Untuk jelasnya, sebagai berikut :
Lafal
: Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” itu bagi si Jamabangan yang berisi
air, ketika bisa melihat Bayangan Matahari, sudah cukup, bagaikan telah melihat
Mataharinya. Memang hanya seperti itu
puncak dari Ilmu Ma’rifat. Atau pengibaratan seperti Wayang, ketika bisa
bertemu dengan Ki Dalang, sudah cukup, bagaikan telah bertemu dengan Yang
menaggap yang minta lakon cerita wayang.
Ayat
selanjutnya : Waman ‘arafa Rabbahu faqad jahila nafsahu” itu bagi yang salah
anggapannya, si Jambangan yang berisi air tiba-tiba ingin bertemu dengan
matahari yang ada di langit, Si Wayang yang tiba-tiba ingin bertemu dengan yang
nanggap yang berada di Rumah Belakang. Itu jika bisa benar-benar bertemu ....
... tetap masih salah.
Sedagnkan
keyakinan yang mengaku Allah (yang kebanyakan tidak berani terang-terangan)
serta yang meyakini mati itu “Selesai” tidak akan ada cerita lagi (Bab I
No.35), itu ibaratnya bagaikan jambangan yang berisi air yang meyakini hanya
ada bayangan matahari saja, tidak meyakini adanya matahari. Bagaimanakah
bayangan itu bisa menjadi ada di dalam air di jambangan, serta abagaimana akhirnya
setelah jambangan pecah : tidak menjadi perhatiannya. Atau diibaratkan seperti
halnya si Wayang yang hanya meyakini adanya Ki Dalang saja, tidak meyakini
adanya yang nanggap. Apakah sebabnya Ki Dalang itu melakonkan wayang, dan
bagaimana setelah selesainya pertunjukan : tidak menjadi perhattiannya.
Keyakinan
yang seperti itu, keyakinan madzab (golongan) Qadariyah yang sudah saya katakan
sebelumnya (Bab I No.25). Bangsa kita yang merasa sebagai Ahli Ma’rifat, banyak
yang mempunyai keyakinan Qadariyah itu.
Kamu
paham bahwa keyakinanku tidak seperti itu. Seumpama jambangan yang berisi air,
aku meyakini adanya bayangan matahari dan Matahari. Seumpama wayang, aku
meyakini adanya Ki Dalang dan Yang Nanggap wayang.
Akan
tetapi seumpama jambangan yang berisi air, aku tidak meyakini bisa melihat
matahari yang berada di langit, seumpama Wayang, saya tidak meyakini bisa
bertemu dengan Yang Nanggap wayang yang berada di Rumah bagian belakang. Seperti
keyakinan Jabariyah. Bangsa kita yang ahli Syari’at dan ahli Sunnah, banyak
yang memiliki keyakinan Jabariyah ini.
Yang
menjadi keyakinanku, kesempurnaan Hakikat dan Ma’rifat itu, harus urut melewati
tingkatan syari’at dan Tarikat terlebih dahulu. Sebaliknya, jika hanya ahli
Syari’at saja, itu belum sempurna. Namun, oleh karena pendapat orang itu
berbeda-beda, orang Qadariyah barang kali mengira keyakinan itu tanpa dasar. Sebaliknya,
orang Jabariyah atau ahli Sunnah barangkali mengira aku ini.... kafir. Yang
seperti itu semua : Terserahlah, hiburankau hanya nembang jawa ura-ura seperti
ini *Dhandhang Gula)
Langkung
nuwun Kanjeng Sunan Kali.
Atur
sembah sarwi ngaras pada.
nDjeng
Sunan Benang sabdane.
Yayi
den awas emut
Aja
kongsi kawedar lathi.
Iku
sabda larangan
Yen
kawedar ngrungu
Mring
sagunging kang tumitah
Yen
mangerti dadi manungsa sejati
Kapir
kupur sampurna
Artinya :
Sangat berterima kasih Sunan
Kalijaga.
Menghaturkan sembah mencium kaki.
Sunan Benang berkata.
Yayi hati hatilah dan ingatlah
Jangan sampai kamu ajarkan dengan
lisan
Itu jaran rahasia
Jika diajarkan dan ada yang
mendengar
Kepada siapapun saja
Jika paham akan menjadi manusia
sejati
Kafir Kufur sampurna (Bagi tidak
paham).
Dan
apapun yang bernama keyakinan// Yang terpenting dari yang penting itu ....
pelaksanaannya. Tidak cukup hanya mengerti saja. Jangan dianggap mudah. Karena
hanya dengan menjalankan itu, yang bisa membuahkan rasa nikmat dan raya
mendapatkan keberuntungan, di dalam hidupnya ketika di dunia ini, dan ketika
akan meninggal dunia, dan setelah meninggal dunia.
Pesan
terakhirku, kepadamu :
Jika
kamu tidak (belum) cocok dengan keterangan ini, kamu jangan mempunyai anggapan,
jika aku akan membencimu. Sebab cocok atau tidak cocoknya dirimu, tidak akan
mengurangi atau menambah apa-apa bagi diriku mengabdi kepada Tuhan.
Dan,
jika kamu meras cocok terhadap keteranganku, aku berpesan :
1.
Jika kamu sudah menjalankan syari’at,
sungguh, jangan kemudian kamu berubah. Jika belum, lebih baik menjalankannya.
Agama apa yang kamu senangi. Syari’at itu menjadi “Pendorong” yagn penting atas
segala cita-citamu.
2.
Ajaran ini, jangan kamu jadikan
pembicaraan dalam tiap harinya, sebab tidak ada gunanya sama sekali untuk
dirimu dan untuk yang mendengarnya. Sedangkan bila ada yang mengawali mengajak
musyawarah, tanggapilah, namun jika terjadi perselisihan dalam keyakinan,
mengalah sajalah. Jangan suka berbantah Ilmu, tidak ada hasilnya sama sekali,
sama-sama tidak bisa membuktikan yang sebenarnya. Dna jika lawan bicaramu
terlihat akan meminta penjelasan atas keyakinanmu, namun belum merasa jelas,
maka jelaskanlah, jangan suka menyimpan ilmu. Memberi tongkat kepada orang yang
melewati jalan yang licin itu termasuk perbuatan utama.
3.
Sudahlah, sekarang kamu istirahatlah terlebih dahulu.
38. MUDADAMA
: Memang saya ingin memohon
penjelasan tentang Kalimah Syahadat, serta tentang si Wayang yang ingin bertemu
dengan yang menanggap tadi. Kak, memang pada umumnya seperti itu. Namun karena
penjelasannya agak panjang, makanya saya bersabar sampai besok sore saja.
Sekarang saya hanya ingin memohon dijelaskan tentang perintah Kakak, itu tadi.
I. Otak baiknya dipergunakan dalam pembicaraan tiap
harinya itu : hanya karena tidak ada manfaatnya saja, apa sesungguhnya .....
ada Tuah. Atau Halatnya?
II. Mengapa, bahwa sesuatu yang benar, namun tidak
bisa dibuktikan?
III. Apakah kita ini tidak berkewajiban menyebarkan
ilmu yang menurut keyakinan kita : sangat besar manfaatnya?
38. WREDATAMA
: Saya menurut saja, penjelasan tentang Kalimat
Syahadat dan tentang yang satunya itu tadi, sabarlah sampai besok sore. Namun
pahamilah olehmu, tentang keyakinan itu, bukan berdasarkan pendapat umum, tidak
harus menang stem. Looo!!
Sedangkan pertanyaan I. II, III, itu semua,
pendapatku begini :
Jawaban pertanyaan I : Kata Halat itu ada dua macam
yaitu :
a.
“Halat” yang sama dengan kata
Jawa “Walat” itu artinya Tulah sarik. Nah
itu tidak ada walatnya sedikit pun. Ilmu Ketuhanan itu tidak ada yang
menyebabkan tampa tulah sarik /kuwalat (bsia mendapatkan musibah), bagi yang
membicarakannya dan bagi yang mendengarkannya. Walau pun demikian, membicarakan
keyakinan dengan terang-terangan seperti ini, tetap kurang baik jika dibicakan
dalam pembicaraan sehari-hari, artinya dibicarakan dengan siapa saja. Harus
dengan cara dipilih-pilih, dengan siapakah untuk dibicarakan.
b.
“Halat” yang berasal dari Bahasa
Arab “Ghalath” itu artinya kekeliruan. Nah, itu memang benar, karena kebodohan
dari yang mendengarnya atau yang membicarakannya, bisa menyebabkan adanya
kekeliruan, seperti contohnya .......... mengaku ALLAH itu tadi.
Jawaban
pertanyaan ke II : Sesuatu yang benar dan nyata, namun tidak bisa dibuktikan,
itu bukan sesuatu yang aneh kan? Apakah kamu bisa membuktikan ketika kamu
bermimpi naik pangkat, walau pun benar kamu bermimpi seperti itu? Apakah kamu
bisa membuktikan kamu lupa ketika janjian, walaupun benar kamu memang lupa?
Sedangkan
kepercayaan (Iman) dan keyakinan (Iktikad) menurut ilmu itu, yang disebut benar
: “Jika mempergunakan pedoman dua macam :
a.
Dalil Naqli (nukil=petikan)
maksudnya menggunakan dasar kutipan dari Kitab Tuhan. Namun karena ajaran itu
banyak yang menggunakan ibarat atau contoh, sehingga untuk memahaminya tidak
harus semuanya di terima letterlijk (apa adanya).
b.
Dalil “Aqli (akal pikiran),
artinya yang bisa disaksikan oleh akal dan pikiran manusia, yang bebas dari
pengaruh. Sedangkan akal dan pikiran itu bermacam-macam warna dasar dan
ukurannya, sehingga berbeda-beda pula pendapatnya.
Coba
pikirkan : Yang hanya menggunakan pedoman dua macam warna saja, pendapatnya
berbeda-beda. Apalagi jika yang satu menggunakan dasar satu warna, dan yang
satunya tidak menggunakan dasar sama sekali ..... tentulah tidak akan sama
pendapatnya!! Padahal antara yang satu dengan yang satunya, sama-sama tidak
bisa membuktikan kebenaran pendapatnya itu tadi, seperti halnya tidak bisa
ketika membuktikan kebenaran “mimpi” dan kebenaran “lupa” itu tadi.
Jawaban
pertanyaan ke III : Jika berdasar Ilmu Jawa yang dalam bahasa luar “psychologie”
Kodrat manusia itu ketempatan watak mencari teman. Sehingga ketika menyebarkan
ilmunya yang dikira bermanfaat kepada yang lain, itu tidak lain hanya karena
watak untuk mencari ....... Teman itu
tadi. Sedangkan ilmu yang dikira bermanfaat itu, bagi yang gmenyebarkan
beranggapan benar, akan tetapi golongan lain bisa juga menganggap tidak benar
dan tidak baik.
Seandainya
ilmu yang sebarkan itu kepada golongan manusia yang sebagian besar sekali
menganggap benar dan baik sungguhan itu, manfaatnya tidak lain hanya ...... kehidupan
bersama di alam dunia ini. Sama sekali bukan syarat mutlak dalam mengabdi
kepada Tuhan, artinya, Bukan pekerjan wajib. Sedangkan yang ermasuk pekerjaan
wajib bagi kita ini : hanya yang diwajibkan di dalam A;-Qur’an : Wamaa chalaqtu
aljinna wal insa illa lya’buduuni (Adz-Dzariyat 56 = Tidak menciptakan Ingsun
(Allah) jin dan manusia, hanya agar menjalankan ibadah).
Sedangkan
bagi yang berniat menyebarkan ilmunya
tentang Ke-Tuhanan, termasuk ibadah itu tadi. Perintah Qur’an begini : Wamaa
anta bihaadie al’umyi ‘an dlalaalatihim intusmi’u illa man jun’minu bisyastinaa
fahum muslimuuna (An Naml 81 = dan kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada
orang buta hatinya karena sesatnya, selain orang yang percaya kapada
ayat-ayatingsun (Allah) dan berserah diri kepada Ingsun itu yang mau
mendengarkan).
Sehingga
: Menyebarkan ilmu itu boleh saja. Namun jika sudah jelas diingini. Bertutur
kta dengan siapa saja, untuk meningkatkan ilmu dan menjernihkan pendapat, itu
baik, namun berbantahan ‘ berebut benar” JANGAN!!!
Sudah,
sekarang istirahatlah, aku juga akan beristirahat. Besok sore dilanjutkan lagi.
Bab.II
: URAIAN TENTANG SIKSA KUBUR DAN HARI KIAMAT (BABU ‘ADZAABRI WA YAUMI’L
AQIYAAMATI)
1.
MUDADAMA : Kak, saya sangat mengharapkan pemberian penjelasan
Kakak dalam saya mohon keterangan tentang yang dimaksud dari Lafal : “Laa ilaha
ilaallah Muhammadun Rasuulullah: serta tentang se Wayang yang ingin bertemu
dengan yang Nanggap (Bab I No.38) kemarin malam itu. Sebaiknya dimulai sekarang
saja, senyampang masih sore, longgar waktunya.
1.
WREDATAMA : Aku setuju saja, sekehendakmu, dimulai ya silahkan.
Tapi saya ingin bertanya terlebih dahulu, apakah kamu sudah benar-benar
mengerti penjelasan tentang “Purusha dan Isywara itu?
2.
MUDADAMA : Menurut perasaanku sudah benar-benar mengerti, hanya
saja agar lebih paham pengertianku, seandainya “Purusha” itu disebut “Tuhannya
setiap diri manusia” dan “Isywara” itu
desbut “Allah-nya orang umum, bagaimana?
2.
WREDATAMA : Jika kejelasan pemahamanmu harus kamu sebut
demikian, juga bisa, akan tetapi tidak umum, Pada umumnya seseorang
menyebutnya, serta tertulis dalam A;-Qur’an, ya hanya berbunyi Allah, itu saja,
tidak ada tambahan Individueel atau algemeen. Akan tetapi jika mau
memperhatikan, sebenarnya di Qur’an ada kalimat yang artinya Allah atau Tuhan,
yaitu kata “RABB” *Rabbun), yang terperinci menjadi :
Rabbi =
Tuhanku
Rabbana =
Tuhan kami (Tuhan kita)
Rabbihim =
Tuhan kami (tuhan kita)
Raabika =
Tuhanmu
Rabbikum =
Tuhan kamu
Rabbahu =
Tuhannya
Rabbahum =
Tuhan mereka
Sehingga dalam sebetunmu tadi, walau pun tidak
umum, akan tetapi tidak salah. Hanya saja harus ingat, bahwa Allah tiap
masing-masing orang itu hanya bayangannya Alla-nya manusia pada umumnya itu
tadi. An harus memahami, bahwa sang pemilik bayangan itu tidak terbayangkan,
sehingga bayangannya juga tidak terbayangkan. Jika masih bisa dibayangkan,
jelas salah.
3.
MUDADAMA : Iya, iya, Kak. Sekarang pemahamanku semakin terang.
Jika demikian, kalimat “Waman ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, waman ‘arofa
rabbahu faqad jahila nafsahu” yang
disampaikan di depan (Bab I No.36) itu lebih cocok seumpama di ganti : “Waman
‘arafa Rabbahu faqad ‘arafa Allahu, waman ‘arafa Allahu fadad jahila nafsahu” =
Barangsiapa mengetahi tuhannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Alalah, sing
sapa mengetahui Allah sungguh bodh dirinya itu.
3.
WREDATAMA : Nah, sekaran ini kamu sudah pintar. Kalimat itu
sebenarnya petikan dari Hadits, akan tetapi bukan hadits yang syah(shahih atau
qudsi) alias hanya ciptaanya seorang sarjana sendiri saja, sehingga boleh saja
kamu rubah seperti itu. Justru aku lebih memilih yang kamu rubah itu, sebab,
kata “nafsahu” (dirinya) yang depan itu, jika salah pemahamannya, bisa
menyebabkan sesat.
Sekarang saya akan bertanya lagi, jika kamu sudah
benar-benar mengerti tentang yang kita bicarakan ini, biasanya ada buktinya di
dalam hatimu. Yaitu merasa Tegar, Kuat, bukan percaya kepada yang tidak ada
buktinya, tidak mudah terpengaruh (Bab I No.26), bertambah baktinya kepada
Tuhan, benar tindakannya, cinta kepada sesamanya (Bab I No.35), tenteram,
longgar, selalu sabar dan syukur, giat berikhtiar akan tetapi pasrah, dan sifat
yang lain-lainnya yang terpuji. Jika diringkas menjadi satu kata, Hidup
terkuasai oleh ....... Cinta. Sehingga benarlah kalimat yang berbunyi God is
liefd. Nah, apakah kamu sudah ada perasaan kenikmatan yang seperti itu? Walau
pun belum 100% atau 50%, tidak mengapa. Kadang juga sudah ada buahnya saja
sudah sangat beruntung, berkembangnya akan ditemukan di belakang.
4.
MUDADAMA : Ooo, Kakakku! Tentulah Kakak tidak akan salah terka.
Menurut perasaanku, perubahan di dalam sanubariku itu sudah ada, namun jika
diibaratkan biji baru tumbuh atau baru bersemi, entah baru baru berapa
persennya.
Namun, saya terlebih dahulu menyela untuk mohon
keterangan terlebih dahulu, tentang “Cinta” yang berkuasa itu tadi. Tentunya
akan menjadi orang passief (terserah apa adanya) dan reaksioner (musuh
perkembangan) dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan ilmu Hakikat itu,
menurut yang Kakak sampaikan : bermanfaat dan menyelamatkan di dunia dan di
akhirat (Bab I No.2). Menurut pemahamanku “Dunia” itu juga termasuk masyarakat
ini, tidak bisa bila dunia hanya diartikan sebagai sebuah Gua bagi orang yang
sedang bertapa, menjauhi kehidupan bermasyarakat.
4.
WREDATAMA : Sudah benarlah pemahamanmu tentang kata “Dunia” .
Tetapi tentang pemahamanmu bahwa orang yang terkuasai oleh “Cinta” akan menjadi
pasif dan reaksioner itu masih salah. Karena “Cinta” itu seharusnya justru ....
Revolusioner, bahkan kadang .... ultra revoluisoner. Seperti halnya para Rasul
ketika menjadi Senopati Perang, itu dikarenakan terkuasai oleh “Cinta”, bukan
ddikarenakan menuruti hawa nafsunya.
Contohnya lagi, Ketika Satria Rama memebantu atas
permintaan Sugriwa untuk membunuh Subali. Ketika Subali hampir lepas nyawanya,
tiba-tiba mengeluarkan tuntutannya, mengapa Satria Rama ikut campur
pertengkaran antar saudara? Jawaban dari Satria Rama : Mengapa saya membunuhmu
karena terdorong rasa “Cinta” agarkamu
tidak semakin tersesat dalam kubangan kesalahan.
Hal itu, rasakanlah! Tentunya kamu mengira itu hal
yang aneh, mengapa membunuh justru terdorong oleh rasa “Cinta”. Karena pada
umumnya membunuh itu karena terdorong karena marah dan kebencian. Akan tetapi
bagi para Rasul, bukan hal yang aneh. Jika tidak demikian, justru sangat aneh.
Seperti itulah tindakan Satria Rama itu tadi. Oleh karena Satria Rama itu
diceritakan sebagai titisan Awatara (Kata Sanskrit “Avatara” juga dimaknai
utusan Tuhan – Rasul).
Selanjutnya : Para pencari Hakikat, harus selalu
mengoreksi dan mengawasi “Hatinya sendiri” dan berlatih diri agar segala
tindakannya berdasarkan “Cinta” Tidak perduli ketika berada di tengah-tengah
kehidupan amsyarakat, atau sedang berada di dalam Gua. Sedangkan berada di
tempat yang sepi dan kosong pun jika tindakannya belum dilandasi rasa “CINTA”,
tidak bakalan bisa untuk bisa mencapai Ilmu Hakikat.
Sedangkan untuk mebjalankan perbuatan yang
berlandaskan “Cinta” itu tadi, jika menurut ajaran Sri Kresna kepada Sang
Harjuna, yang termuat di dalam Serat Bagawat Gita, dikatakan : “Melakukan yang
tidak melakukan” Dalam Bahasa Arab, singkat saja, hanya dua suku kata, yaitu
“Ikhlas. Maksudnya, tidak punya pamrih, selain hanya karena Allah, atau karena
“Cinta”.
5.
MUDADAMA : Itu, Kak!! Walau pun bagiku baru menjadi gambaran
saja, namun sudah membuat terangnya pikiranku. Sekarang Kakak agar berkenan
memberikan penjelasan tentang Kalimat dua yang saya mohon untuk dijelaskan
kemarin itu.
5.
WREDATAMA : Untuk makna atau bahasa Indonesia, kamu tentunya
sudah mengerti, benar kan?
“Laa ilaha Illaallah = Tidak ada Tuhan kecuali hanya
Allah.”
“Muhammadun Rasuulullah = Muhammad utusan Allah.”
Jika lafat tersebut ditambahi “Asyhadu anna” (Aku
bersaksi dengan sebenarnya) barulah disebut “Kalimat Syahadat” (Kalimat
persaksian).
Nah, itu di pelajaran “Aqaid, sudah diterangkan
dengan jelas tentang Sifat-Sifat Tuhan dan Sifat-sifat Rasul-Nya. Kamu tentunya
kan sudah mengetahui ?
Sifat wajib Tuhan itu 20, mokalnya 20, Wenang 1,
jumlahnya 41, sudah saya jelaskan di depan (Bab I No.21,22,34)
Sedangkan sifat Rasul itu :
Sifat wajibnya 4, yaitu Sidiq + Jujur, Amanah = bisa
dipercaya, tabligh = menyampaikan perintah Tuhan, Fathanah = Bijaksana.
Mokalnya juga 4, yaitu : Kidzib + dusta, Chiyanat =
berkhianat, ingkar, Kitman = Mengurangi, menambah atau merubah perintah Tuhan,
badalah = bodoh.
Sifat Wenang “’aral bashariyah = terkena musibah
yang tidak menyebabkan kecacatan dalam kerusaulannya.
Sehingga jumlah Sifat Tuhan dan Sifat Rasul itu ada
50, sehingga ajaran itu disebut “Aqaid 50. Ada juga yang dikembangkan menjadi
“aqaid 62. Ada juga yang diringkas, bahwa sifat Tuhan yang perlu dipahami itu
hanya 13 yang wajib, dan 13 yagn mokal, seperti pendapat di depan (Bab I
No.22), sedang sifat Wenang milik Tuhan dan milik Rasul, tidak perlu diketahui.
Menurut pendapatku, yang dikembangkan juga baik,
yang ringkas padat juga baik. Akan tetapi kamu harus paham, meski jelas
bagaimana pun juga, “’Aqaid” tentang sifat Tuhan itu hanya berupa pedoman saja,
tidak ditunjuk/disentuh :Muk. Sedangkan ‘Aqaid tentang sifat Rasul itu hanya
berupa penjelasan dalam tulisan saja. Tidak memerinci makna dan rasa dari
tulisan itu. Lebih jelasnya : Hanya menjelaskan yang tersurat (Leterlijk),
tidak mengupas yang tersirat (Symbolisch).
Hal itu bukan karena kekurangan “aqaid, karena hal
itu adalah memang ajaran untuk orang banyak (massa). Sedangkan bagi yang ingin
memahami yang sebenarnya tentang Tuhan, yang disebutkan dalam kalimat “Laa
ilaha Illaallah” serta ingin bisa merasakan kalimat “Muhammadun Rasuu lullaah”
harus di cari di luar ilmu “Aqaid. Yaitu yagn saya sebut “Sastracetha Wadining
Rat” atau “Sastrajendra Hayuningrat” (Bab I No.26).
Di dalam kisah Pedalangan, diceritakan yang mengerti
makna sastra tersebut, jika Raksasa ketika matinya berkumpul bersama manusia
yang sempurna, jika manusia, ketika kematiannya berkumpul bersama Dewa yang
mulia. Cocog dengan isi sebuah hadits, sabda Rasulullah kepada sahabat Muazimaa
min ahadin Asyhaduan laa ilaha illaallahu wa anna muhamadan Rasuulullahi
shidqan min qalbihi illa Harramu Allahu ‘ala annari = Barang siapa orang yang
mengucapkan kalimat syahadat hingga ke dalam hati, oran itu diharamkan oleh
Tuhan saka siksa neraka.
Kalimat, “mengatakan hingga ke dalam hati” itu sama
dengan “Paham terhadap maknanya” Hal itu iya apa tidak?
6.
MUDADAMA : Ya mpun!!! Sekarang saya paham, apa sebabnya bahwa
mengucapkan kalimah syahadat itu menjadi Rukun Islam yang pertama, karena di
dalam kalimat itu isi maknanya yang sangat rahasia. Sedangkan Rukun Islam yang
lain-lainnya, apakah ada hubungannya dengan cara pengucapan kalimat syahat itu
tadi, Kak?
6.
WREDATAMA : Yahhh... kamu mengajakku untuk berbelok terlebih
dahulu, ta? Rukun Islam yang ke dua hingga yang ke lima, itu memang benar erat
hubungannya dengan Rukun Islam yang pertama, beginilah kejelasannya :
Orang yang mengucapkan “Saya bersaksi sesungguhnya
.........” itu yang utama juga harus mengerti benar-benar tentang apa yang disaksikan.
Di dalam kalimat ini yang disaksikan adalah tentang Allah, dan tentang
Kerasullan Nabi Muhammadsaw. Artinya benar-benar mengerti sampai dengan yaqin
(kenyataan) di kedalaman rasa. Bukan hanya meniru-niru saja.
Jika hanya mengucapkan saja, walau pun berapakali
pun dalam mengucapkannya sepertinya sangat sulit untuk bsia terbukanya sampai
dengan ke dalam sanubarinya. Kareena hal itu adalah Rahasia Dunia yang sangat
membahayakan. Sebaiknya disarati dengan latihan jiwa dan raga . Barangkali saja
bisa sebagai jalan hingga dibuka hatinya oleh Tuhan. Jiwanya di latih patuh dan
ingat dengan sadar tentang Tuhan, lima kali di dalam sehari semalam, di dalam
waktu yang sudah ditentukan. Ketika beribadah dalam keadaan suci dan
menggerakan raga yang sangat bermanfaat terhadap kesehatan. Sebab kebijaksanaan
dan kesantausaan jiwa itu, bisa tercapai jika raganya sehat. Ini Rukun Islam
yang ke dua, Sembahyang (Shalat) lima waktu.
Namun juga masih sulit untuk bisa terbuka, karena
memang sangat gawatnya. Barangkalai kesulitannya itu dikarnekan masih sangat
cintanya kepada hartanya, sehingga perli di sarati dengna rasa ikhlas
mengeluarkan sebagian dari hartanya yaitu menjalankan Rukun Islam yang ketiga,
Membayar zakat.
Pada umumnya juga masih jauh untuk bisa terbuka,
karena kewajiban membayar zakat itu tidak berat untuk dijalankan. Alangkah
baiknya di beri syarat lagi yang agak beat, yaitu berlatih mengendalikan nafsu,
karena nafsu itu memang menjadi penghalang yang menyebabkan gelap. Sedangkan
sumber kakutan nafsu itu adalah dari makanan, sehingga untuk bisa
mengendalikannya dengan cara berlapar-lapar pada siang hari, selama sebulan
dalam satu tahunnya. Itulah Rukun Islam yang ke 4, wajib berpuasa di Bulan
Ramadlan.
Sedangkan Rukun Islam yagn kelima Pergi Haji ke
Baitullah, itu sesungguhnya sangat penting sekali sebagai ujian yang terakhir.
Jika lulus dari ujian itu, barangkali bisa terbuka oleh Tuhan, mengerti tentang
rahasia yang tersembunyi itu tadi. Namun karena pergi Haji itu, harus
mengeluarkan biaya yagn tidak semua orang bisa. Agama yang bersifat luas,
memuat dan meliputi, dalam mewajibkan pergi Haji itu, hanya untuk orang yang
mampu saja.
Pergi haji itu sebagai perwujudan ikhlas berkorban
harta yang tidak sedikit, ikhla berkorban perasaan, berpisah dengan anak istri,
keluarga, kerabat, bangsa dan tanah airnya, karena kesemuanya itu disebut
Dunia, yang kadang menjadi penghalang ketika beribadah kepada Tuhan.
Pengobanannya tidak cukup sampai di situ, juka
ikhlas mengorbankan jiwa dan raga, seperti, seandainya tiba-tiba sakit sehingga
meninggal dunia di tempat yang jauh dari keluarga, itu harus ikhlas. Sehingga
yang namanya pergi haji itu ujian menjadalankan Satu Tekad, mengabdi kepada
Tuhan, selain Tuhan, semuanya tidak ada harganya.
Jika dalam tekadnya sudah nyata seperti itu, untuk
bisa terbukanya ahati, sepertinya hanya setebal kulit bawang, entah disebabkan
oleh daya dari menghisap suasana Tanah Suci, karena suasana itu sangat besar
daya kekuatannya, entah melalu petunjuk dari sessama makhluk selama melakukan
pergaulan di sana.
Untuk penjelasan ini, janganlah kamu salah dalam
memahami, seandainya kamu sudah benar-benar paham atas Rahassia yang
tersembunyi ini, bahwa orang yang beragama Muhammad, tidak boleh, yang kemudian
tidak menjalankan Shalat, Zakat, Puasa, Haji, itu tadi. Apalagi jika hanya baru
mengerti sedikit. Karena para Wali serta Rasulullah sendiri, juga tetap
menjalankan Rukun Islam tersebut. Tekadkan di dalam hatimu, memberi contoh yang
baik kepada semua orang, itu termasuk perbuatan yang utama..
7.
MUDADAMA : Iya, iya Kak, aku sudah mengerti penjelasan Kakak
yang terperinci itu. Sekarang sduah sampai waktunya, Kakak mengarikan rahasia
yang tersembunyi itu, saya sangat ingin mendengarnya.
7.
WREDATAMA : Dengarkanlah ya!!! Seseorang yang mengucapkan
kalimat yang maknanya “Hamba bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali
hanya Allah”itu, jika ketika di dalam bersaksi itu tadi itak hanya meniru-nieru
atau hanya ikut-ikutan, tentunya harus benar-benar mengerti, tentang Allah.
Jangan gampang menjawab: Jika itu termasuk kepercayaan, Sebab kepercayaan
terhadap apa saja tidak akan
pilih-pilih... yang jika diri sendiri belum yakin kebenarannya, itu tidak ada
bedanya dengan “Gugon Tuhon” (percaya terhasap sesuatu yang belum ada
buktinya). Iya apa tidak?
Untuk Kakakmu ini, dalam saya menyaksikan yang sebenar-benarnya. Bahwa
tidak Tuhan selain Allah, tidak ragu-ragu lagi. Seperti yang sudah kita
bicarakan bersama di depan.
a.
Aku, orang satu ini, yang saya
sebut Allah itu, yaitu bergelar Ikheid = Purusha = Rabbi = Individueele God.
Yaitu yang saya gambarkan Ki Dalang bagi si Wayang, dan yang umpamakan Bayang
Matahari bagi Si Jambangan yang terisi air.
b.
Aku, jika sedang bersama dengan
dirimu, bersama dengan dirinya, bersama dengan semua orang di dunia ini, sama,
menyebut Allah, itulah yang dimaksudkan yang bergelar Absolute Ik – Isywara –
Rabbana = algemeene God. Yaitu yang saya gambar Sing Nanggap bagi si Wayang,
dan saya ibaratkan Matahari bagi di Jambangan yang berisi air.
Aku sudah mengatakan, bahwa puncak Ilmu Ma’rifat itu : Si Wayang sudah bertemu dengan Ki Dalang
(Bab I No.37) atau si Jambangan berisi air sudah melihat bayangan matahari.
Namun kata “Bertemu” atau “melihat” itu jangan kamu bayangkan seperti halnya kamu bertemu denganku, atau
seperti kamu melihat kepada diriku, itu bukan. Menurut ilmu Tarikat, seperti
pengertianmu terhadap Hari Minggu, kamu bisa percaya karena kantor-kantor tutup
semua, serta Hari Jum’at sudah sudah tertinggal satu hari (Bab I No.13).
Sedangkan bagi Hakikat dan Ma’rifat, seperti halnya dirimu berada di hari
Minggu, bisa terasa karena ketika pagi :
masuk ke hari Senin.
Namun, karena manusia itu bermacam-macam, yang banyak atau pada umumnya,
seumpama wayang yang ingin bertemu dengan Yang Nanggap di Rumah belakang. Yang di patuhi yaitu yang Nanggap
itu. Seumpama jambangan berisi air : ingin bertemu dengan matahari di langit,
yang di sembah ya Matahari itu (Bab I No.37).
Si Wayang lup, bahwa Petruk itu tidak bisa apa-apa, yang berbicara dan yang
menggerakkan adalah Ki Dhalang. Ada saatnya Petruk itu jadi Ratu, karena Ki
Dalang melaksanakan perindah dari Yang Nanggap, agar menggelarkan wayang dengan
lakon “Petruk dadi ratu”.
Bahwa, tujuan Hakikat itu tidak lain
adalah, supaya jambangan telah pecah, bayang matahari kembali kepada matahari
(Innaa lillahi wa innaaa ilaihi radji’uun),
tidak tertinggal di pecahan jambangan atau di airnya yang tumpah (Bab I
No.36), Atau setelah menggelar pertunjukan wayang, Ki dalang melaporkan kepada
yang nanggap, tidak larut pada cerita
Petruk atau pergi bertamasya ke
mana-mana yang tanpa tujuan. Tentang hl ini, sebaiknya dijelaskan jika telah
sampai pada gilirannya membicarakan jalan menuju Ma’rifat kepada Tuhan saja.
8.
MUDADAMA : Iya Kak, saya ngikut saja. Selanjutnya sekarang
Kakak, agar meneruskan untuk memberikan penjelasan tentangn Kalimat Syahadat
itu tadi.
8.
WREDATAMA : Baiklah. Dengarkanlah dengan cermat, yang
menyebabkan menjadi salah dalam pemahamannya, sehinga bisa tersesat menjadi
...... KLENIK.
Kalimat selanjutnya; Mengucapkan kalimat yang
maknanya “ dan hamba bersaksi, sesungguhnya Nabi Muhammad itu utusan Allah.”
Kalimat tersebut, sesungguhnya mengandung makna
ganda : Lahir (letterlijk) dan batin (symbolisch).
Menurut makna lahir (letterlijk), yang disebut
“Muhammad” pada kalimat tersebut; Sebutan manusia (eigennaam), yaitu Nabi
Muhammad putra Sayyid Abdullah, yang lahir di Makkah, dimakamkan di Madinah.
Sehingga asmanya kita ucapkan di dalam kalimat Syahadat, karena beliau adalah
Ayah pencetus Agama yang kita anut.
Oleh karena kita sudah membuktikan bahwa petunjuk
Agama itu, memberi penerangan hati sanubari kita, shingga kita yaqin dan
bersaksi : Bila beliaunya itu adalah Utusan Allah, yang membawa amanah
men-syiarkan penerang kepada seluruh manusia di dunia. Ujud dari petunjuk dan
penerang yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sedangkan, makna rasa batin (symbolisch) yang
disebut “Muhammad” dalam kalimat tersebut, kata sebutan yang berasal dari
gabungan (afgeleide zelfstanding naamwoord). Yaitu berasal dari kata “Hamid”
yang artinya “Pujian sanjungan” Muhammad bermakna : Yang dipuji. Sedangkan yang
maksud tidak lain adalah ujud dari diri manusia ini. Baik halusnya juga raganya
yang mengucapkan kalimat Syahadat itu tadi, yang ternyata lebih lengkap alatnya
dan campuran wujudnya dibanding dengan makhlk yang lainnya.
Untuk lebih jelasnya : Semua Rasul selain Nabi
Muhammad itu juga sama-sama mempunyai sifat “Muhammad”. Demikian juga para
Nabi, para Wali, para Mukmin ..... dan seluruh manusia biasa yang bagaimana pun
juga, itu semua juga bersifat Muhammaad. Serta yang sebenar-benarnya juga
menjadi Utusan Allahsendiri, alias individueele God, seperti tersebut di atas.
Sebab, jika dirinya sudah tidak menjadi utusan, pastilah raganya tanpa daya,
yaitu mati.
9.
MUDADAMA : Maaf Kak, Aku pernah mendengar sebuah wirid yang
berbunyi “Sesungguhnya Muhammad itu sifat Ingsu, Rasul itu rasa ningsun”.
Apakah itu sesuai dengan penjelasan Kakak itu tadi?
9.
WREDATAMA : Nah!! Benar kan perkiraanku. Kamu akan tersesat
menuju “KLENIK”. Mengolah kata seperti itu, bukan kebiasaanku. Rasul itu kata
Arab, Rasa itu kata Sanskrit, jika diolah agar sesuai, tentunya akan dimarahi
oleh ahli sastra.
Sedangkan, maksud dari penjelasanku tadi itu, tidak
demikian. Yang bersifat “RASUL” (utusan) itu, adalah yang bersifat Muhammad itu
tadi. Yaitu lengkap dengan alat dan bahan campuran dari manusia, bukan Cuma
salah satu dari alat manusia yang
bernama “RASA” itu.
10.
MUDADAMA : Iya, Iya Kak, aku sudah paham, perbedaan uraian penjelasan
dirimu dengan rangkain wirid “Rasul” “Rasa” itu tadi. Akan tetapi, apakah Kakak
mempunyai anggapan bahwa gerak gerik kita berasal dari perintah Tuhan, karena
diri kita ini mempunyai sifat Muhammad dan juga sifat Rasul?
10. WREDATAMA : Bagus!!! Nah, itu pertanyaan yang penting. Ketahuilah olehmu, sebenarnya
jika masih bernama manusia, itu tidak ada bedanya tentang kelengkapan alat dan
bahan campurannya (Bab I No.28), sehingga jangan suka, mencelakakan diri
sendiri.
Di depan sudah saya katakan, yang berbeda itu hanya ukuran dari bahan
campurannya, seumpama kopi susu ada yang terlalu pahit, ada yang terlalu manis,
ada yang hambar, ada yang sedang. Perbedaan alat : Ada yang bahan kayunya tua
serta halus pengerjaanya, ada yang kayu muda, serta kasar pengerjaannya.
Sehingga kemudian menjadi berbeda-beda, karena ada yang gperawatannya alat itu
tadi ada yang rajin dan dipelajari kegunaannya dari masing-masing jenisnya, ada
yang tidak dirawat sama sekali serta tidak mengerti kegunaannya.
Nah, seperti itulah contohnya. Karena ada orang yang dujuli Nabi, ada
yang disebut Wali, ada yang dinamakan Mukmin chas, ada yang dinamakan mukmin
“am”, ada yang memiliki sebutan yang bermacam-macam itu.
Golong yang terakhir itu tadi juga berisfat Muhammad, tidak berbeda dengan
Nabi – Wali – Mukmin, seharusnya demikian : Juga bersifat Rasul, Sebagai
contohnya, berikut ini :
Seumpama aku menjadi pribumi di salah satu Kabupaten, namun belum pernha
bertemu dengan Pak Bupati. Kemudian ada orang yang singgah di rumahku,
memerintahkan supaya aku datang untuk menyapu halaman Kabupaten. Aku terus
bilang kepada kakak perempuanmu, jika diperintah oleh Pak Bupati.
Apakah yang saya omongkan itu benar? Bisa dipastikan, salah! Karena yang
memerintahkan aku itu tadi bisa saja hanya Sekretaris Kebupaten saja, bisa saja
abdi rendahan saja, bisa juga orang luar yang berniat mempermainkan aku.
Sehingga “Serat Wedhatama” mengingatkan (Gambuh) :
Kalamun durung lugu.
Aja pisan wani ngaku-aku
Antuk siku kang mangkono kaki
Kena uga wenang muluk,
Kalamun wus pada melok.
Artinya
:
Jika
belum paham
Jangan
sekali-kali mengaku sudah paham
Akan
mendapat hukuman, tindakan yang seperti itu.
Boleh
saja memberi pelajaran..
Jika
sudah benar-benar paham melihat dengan jelas tanpa penghalang apapun.
Padalah “Melihat dengan jelas” itu sulit sekali. Jangankan melihat dengan
jelas menurut Ma’rifat, baru melihat denegan jelas di tingkat Tarikat
(mengerti) saja, tidak mudah, karena banyak penghalangnya. Seperti yang
diperintahkan di dalam Surat Yasin ayat 9,10 “ wa ja’alnaa min baini aidihim
saddan wamin chalfihim saddan
faghsyainahum fahum laayubshiruun ( Dan Ingsung sudah membuat penutup di depan
dan di belakang, dan Ingsun tutup penglihatannya hingga tidak bisa melihat
segalanya), terusannya : Wasawaaa’un ‘alaihim andzartahum am lam tundzirhum
laayu’minuun (Sama saja atas orang –orang itu, kamu beri nasihat atau tidak, tidak akan beriman). Seperti
itulah orang yang tertutup hatinya.
Sehingga : Walau pun sama-sama mempunyai sifat Muhammad, yang nyata.
Namun jangan menganggap mudah mengaku sama-sama bersifat utusan Tuhan, walau
pun seharusnya benar. Karena kita ini Mukmin “am atau dibawah “am” ini. Yang
sering itu menjadi utusan ................ Nafsu, atau menjadi pengikut ......
syaitan (Setan dalam diri atau setan di luar diri).
11.
MUDADAMA : Sudah- sudah, Kak (Sambil mata sembab meneteskan air
mata), hatika sangat pedih. A’udzu billahi minasysyathanirajim (Semoga saya
dijauhkan oleh Allah dari godaan syaothan yang terajam).
(Setelah
saling berdiam diri beberapa menit) : Sekarang saya mohon penjelasan, bahwa si
Wayang yang ingin bertemu dengan yang Nanggap. Jika puncak ilmu Ma’rifat, itu
hanya sampai tingkat Ma’rifat si Wayang terhadap Ki Dalang (Bab I No.37, Bab.II
No.7), itu kan tidak ada bedanya dengan golongan yang meyakini bahwa yang
Nanggap itu tidak ada. Hanya Ki Dalang yang tetap abadi atas kudrat iradatnya
sendiri.
11. WREDATAMA : Sekilas memang tidak ada bedanaya, tetapi akibatnya, bukan Cuma beda,
justru berlawanan yang sangat nyata.
Golongan yang meyakini bahwa yang Nanggap itu tidak ada, kebanyakan
mengakibatkan juga meyakini bahwa ketika matinya itu menganggapnya sudah
“selesai” tidak ada cerita lagi (Bab I No.35).
Pastilah tidak ada usaha dan perjuangan, “Ilmunya” tanpa amal, karena
dalam perkiraannya ketika mati pastilah sempurna, sudah memastikan pasti akan
kembali kepada asalnya.
Sedangkan bagi yang meyakini bahwa yang Nanggap itu ada, itu
mengakibatkan memiliki keyakinan bahwa
setelah mati itu belum “selessai” masih tetap terus hidup. Yang semula hidup
mempergunakan basan kasar (jasmani) berada di alam dunia, kemudian hidup
memeprgunakan badan halus (rohani) yang berada di alam gaib. Di tempat itu
masih mengalami rasa enak dan rasa tidak enak.
Golongan ini, bermacam-macam caranya berusaha dan berjuang agar terlepas
dari segala rasa itu tadi. Ada yang memakai cara giat shalatnya, ada yang
membuang kekayaannya, ada yang menghindari keramaian, ada yang tidak menikah,
bahkan ada juga menyiksa raganya. Bertindak seperti itu tidak hanya satu hari
dua hari saja, namun sampai tanpa batas waktunya. Seumpama orang yang berbuat
seperti itu, itu dianggap semuanya bodoh, Aku, Kakamu ini, ikhlas menerima
masuk dalam golongan orang bodoh itu tadi. Karena aku yakin seyakin-yakinnya,
bahwa mati itu belum pasti “selesai”.
12. MUDADAMA : Iya Kak, aku sudah mengerti penjelasan tentang perbedaan antar paham iut
tadi. Kemudian Kakak mengatakan tidak mesti “selesai” itu menurut pemahamanku ada bisa “selesai” sungguhan.
Sedangkan yang dikatakan “Selesai” itu bagaimana? Dan apakah sebabnya ada yang
“selesai” dan ada yang tidak? Bagi golongan yang meyakini mati belum pasti
“selesai” itu, apakah bukan “selesai” yang dicarinya?
12. WREDATAMA : Yang saya katakan “selesai” itu yang bisa menjalankan “Inna lillahi wa
innaa ilaihi raji’un” – Asal dari Allah, kembali kepada Allah, artinya sudah
tidak terbayangkan. Yaitu yang disebut Naik ke dalam Surga yang tertinggi tanpa
hisab (Tanpa ditimbang antara amal dan dosanya, karena sudah tidak tersentuh
dosa). Sudah tidak merasakan nikmat kubur atau pun siksa kubur, sudah terbebas
dari hari kiamat (sewaktu roh-roh dibangkitkan dari alam kubur).
Memang “selesai” itu yang dicari oleh para pencari Hakikat. Akan tetapi
pencarian apakah cukup hanya mempergunakan anggapan saja, tanpa syarat-syarat?
Karena yang bisa melakukan yang seperti itu hanya para Rasul, para Nabi dan
para Wali namun tidak semua, dan para Mukmin yang diijinkan oleh Tuhan.
Maka dari itu, orang yang shalat, setelah membaca tahiyyat akhir kemudian
berdoa “A’udzubika min ‘adzaabil qabri” (semoga terjaga di siksa kubur), itu
sudah semestinya bagi Mukmin “Am, karena memang siksa kubur itu yagn sangat
ditakuti. Jika tidak mengalami siksa kubur, berarti merasakan nikmat kubur,
sambil menunggu datangnya hari kiyamat, barangkali setelah dihisab, bisa naik
ke surga. Walau pun di surga yang paling bawah sendiri, tentunya merasa nikmat,
dibanding masuk ke dalam neraka, neraka yang mana saja.
13. MUDADAMA : Wahhh....... Sekarang sudah sampai membicarakan tentang meninggal dunia,
yang menurut penyampaian Kakak, juga perlu dijelaskan, termasuk baku bagian ke II bagi ilmu hakikat, (Bab I No.7).
Akan tetapi saya ingin menyela terlebih dahulu minta dijelaskan terlebih
dahulu. Apakah golongan yang meyakini bahwa Yang Nanggap tidak ada itu tanpa
dasar? Jika aku tidak keliru, itu kan ilmunya Syeikh Siti Jenar, yagn tidak
sedikit pengaruhnya kepada bangsa kita ini, iya kan Kak ?
13. WREDATAMA : Nahhhh.. ini sama saja aku kamu paksa untuk basah semua! Memang demikian,
aku hanya ingin mengatakan paham keyakinanku sendiri, yang menjadi keyakinanku
sendiri. Yang menimbang dan membandingkan dengan yang lainnya itu kamu sendiri
(Bab I No.29).
Ilmu milik Syeikh Siti Jenar yang sebenarnya, itu tidak ada yang tau,
karena Syeikh Sitijenar tidak meninggalkan Kitab yang menjelaskan paham
keyakinannya. Sedangkan paham yang kamu sebut ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu
tadi, tidak lain hanya pendapat para Pengarang Kitab Sitijenar, atau pendapat
para guru wirid speeninggal Syeikh Sitijenar, yagn belum tentu cocok dengan ilmunya
Syeikh Sitijenar yang sebenarnya.
Sedangkan ilmu dari Syeikh Sitijenar yang sebenarnya itu, perkiraanku
berasal dari ilmu Falsafah Tashawwuf Islam yagn berkembang di Negara-negara
Islam ketika abad ke 12 dan 13 Masehi. Yaitu yang disebut paham Wahdatul Wujud.
Yaitu sebuah paham yang meyakini bahwa makhluk dan yang mencitakanitu “Sajatin”
: Satu. Sedangkan ketika menyebut dua itu karena penglihatan dari makhluk itu
sendiri. Jika melihatnya dari Pencipta : “Satu utuh” bukan dua. Contohnya
bagaikan Samudra dan ombaknya, seperti api dan nyalanya, seperti madu dan rasa
manisnya.
Seperti itulah paham Pujangga Sufi Muhammad Bin Ali bin Ahmad bin
Abdullah yang bergelar Muhyidin Al-Hatiniy atau Ibnu Arabiy.
Paham itu memisahkan diri dengan paham lainnya sebelum itu, yang pada
umumnya meyakini bahwa Makhluk dengan Penciptanya itu dua.
Selanjutnya, dua paham itu masih tetap menjadi perselisihan sampai dengan
sekarang belum ada akhirnya. Golongan yang meyakini bawa makhluk dan Pencipta
itu dua, mempunyai pendapat bahwa Makhluk an khaliq itu tidak sama Dzat-nya.
Sehingga menuduh sangat sesat jika ada yang mempunyai anggapan : Makhluk itu
bisa menyatu dengan Khaliq, setinggi-tinggi Cuma bisa ... mendekat atau bisa bertutur kata saja.
Nahhh. Sehingga tadi aku mengatakan, jika yang kamu sebut Ilmu Syeikh
Sitijenar itu, belum tentu cocok dengan ilmunya Syeikh Sitijenar yang
sebenarnya ........ karena “Ilmu dari Ibnu ‘Arabiy itu menggunakan “Amal. Akan
tetapi yang kamu kira ilmu dari Syeikh Sitijenar itu tadi, pada umumnya hanya
berhenti pada pemahaman saja. Jika telah
memahami merasa telah tamat dan sempurna.
14. MUDADAMA : Sedangkan keyakinan Kakak yang sudah di jelaskan kepadaku, itu termasuk
golongan yang mana, Kak? Aku malah menjadi bingung, ketika beri tahu keyakinan dua
macam itu.
14. WREDATAMA : Bagaimanakah kamu itu! Kamu terus memaksa agar aku terus bertambah basah.
Paham dua macam itu, menurutku : sama benarnya. Menjadi bermasalah, tidak
lain karena tidak saling menghayati terlebih dahulu : Manakah yang disebut makhluk
di dalam masalah yang dibicarakan itu?
Jika yang disebut makhluk yang ada di dua ajaran itu, sesuatu yang
berbentuk – kasar atau halus – maka menjadi benar bagi yang berkeyakinan bahwa
makhluk dan Khaliq itu dua, bukan satu dan tidak bisa bersatu, karena Khaliq
itu tanpa bentuk, bukan jisim, bukan jirim (Jisim dan Jirim untuk lebih
jelasnya di Buku Serat Wulang Reh di blog yang sama), Tidak bisa dibayangkan.
Sedangkan jika yang disebut makhluk dalam keyakinan itu Bayangan Matahari
bagi si Jambangan berisi air, tentulah benar yang meyakini bahwa makhluk dan
chaliq itu : Satu, iya kan? Tentunya tidak salah jika makhluk bisa menyatu
dengan khalik, ta? Bagaimana...... apakah masih kurang jelas keteranganku ini?
15. MUDADAMA : Sudah jelas Kak, dan saya sudah puas. Sekarang saya mau minta penjelasan
sedikit, akan tetapi jangan menjadikan Kakak menjadi tidak enak hati.
Setiap Kakak menganjurkan tentang menjalankan Syari’at Agama apa saja
yang dianut (Bab I No.11) atau yang disenangi (Bab I No.37). Akan tetapi entah
karena apa, penjelasan Kakak kepada saya ini jelasa mengarah kepada Islam dan
hanya mengambil dari dalil-dalik Qur’an saja?
15. WREDATAMA : Bukan karena sebab apa-apa, hanya terbawa oleh karena aku ini orang Islam, Sedangkan jika kamu bertanya
“Apa sebabnya Kakak memilih Agama Islam?” Pertanyaan seperti itu sama saja
dengan kamu bertanya “Apa sebabnya Kakak membangun rumah memilih model kampung,
bukan model limasan saja?” Nah... itu sebenarnya hanya karena senang model
saja, tidak ada sebab lain lagi. Menurut pendapatku : Agama itu Internasional,
artinya, untuk orang sedunia. Dari tanah mana saja asalnya, jika aku senang, ya
itulah yang saya anut.
Oleh karena aku menyenangi, sehingga masuk kepada kata-kata “Orang
senang, tidak kurang sanjungannya”. Sebagian dari sanjunganku, yaitu dari
kitabnya (Qur’an) yang walau pun sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
akan tetapi dalam bahasa aslinya tidak akan pernah hilang, sehingga bisa
dicocokan : Apakah terjemahan itu obyektif (apa adanya), apakah ditambah-tambahi
menurut selera yang menterjemahkan (subyektif). Sedangkan Kitab Suci yang
lain-lainnya tidak demikian!
Barangkali jika kamu menginginkan yang kadang kala mendengar kutipan yang
berasal dari kitab-kitab suci selain Qur’an, aku tidak keberatan. Dan aku juga
mempelajari, karena aku juga percaya kepada Rasul selain Nabi Muhammad serta
percaya kepada Kitab Suci selain Al-Qur’an.
Kitab Taurat menyebutkan : “Allah kemudian mencitakan manusia menurut
ceritanya, dalam menciptakan yang yang dicontoh cerita Allah, pada hakikatnya
laki-laki perempuan” (Purwaning dumadi I:27).
Di dalam Injil menyebutkan : Tidak ada orang yang mendekat kepada Rama
jika tidak keluar dari aku. Jika kamu mengetahui tentang aku, pastilah
mengetahui Romoku” (Jochanan 14:6-7) “Orang yang ttelah melihatku, sehingga
sudah melihat Sang Rama. Apakah kamu tidak percaya, bahwa aku ini ada di dalam
Sang Rama, dan Sang Rama ada di aku?” (Id. 14 : 9,10).
Cobalah rasakan! Yang dikatakan Manusia mencontoh cerita dari Allah dalam
Kitan Taurat itu, tentunya sama dengan yang saya umpamakan Bayangan dari matahari dengan matahari, iya
kan? Sedangkan yagn disebut Sang Putra dengan Sang Rama di dalam Kitab Injil
itu tadi, itu kan aku, iya kan?
Sedangkan di dalam Al-Qur’an juga menerangkan : Lam yalid wa lam yuulad
(Al-Ikhlas 3 = Tidak beranak dan tidak peranakkan), An da’auli’rrahmani waladan
wa maayanbaghie li’rrahmani an yattahidza waladan 9Maryam 91,92 = Mereka
mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai anak, Tuhan dikatakan mempunyai anak itu
tidak benar), karena ada orang yang meyakini bahwa kata “Putra” itu bermakna
Leterlijk, bukan symbolisch yang ibaratnya adalah bayangan.
16. MUDADAMA : Sudah Kak, dalam saya mengajak Kakak untuk membelokan pembicaraan hingga
benar-benar basah, sudah cukup. Sekarang, Kakak berkenanlah Kakak untuk
menjelaskan tentang SiksaKubur itu bagaimana sehingga bisa diterima oleh akal
dan pikiran?
16. WREDATAMA : Kepercayaan terhadap adanya siksa kubur dan tentang menjalankan keutamaan
agar tidak mengalami siksa kubur itu, sebenarnya sudah sejak jaman dahulu kala,
sebelum adanya Agama yang disyiarkan oleh para Nabi utusan Allah.
Sedangkan tumbuhnya kepercayaan ketika itu, entah karena berasal dari
gagasan saja, seperti : (a) Di alam ketika tidur, tiba-tiba menemukan cerita
yang disebut bermimpi (b) Memperhatikan segala perbuatan pasti mendapatkan
buahnya (c) Dan lain-lainnya, entah karena ada yang dituakan yang mendapat
ilham dari Tuhan sehingga bisa melihat atau bisa berkomunikasi dengan roh orang
yang sudah meninggal dunia, saya kita tidak perlu dibicarakan panjang lebar.
Ketika memasuki jaman Para Nabi dan para Rasul yang bertugas menyiarkan
Agama, mereka semakin menguatkan bahwa keyakinan yang semula masih samar-samar
itu, memang benar-benar ada. Tentulah ketika para Rasul menerangkan wasiat itu
tadi tidak hanya berasal dari gagasan saja dan tidak hanya untuk menakut-nakuti
saja. Artinya memang benar-benar ada dan para Rasul memang benar-benar mengetahui, karena para
Rasul itu bersifat Sidiq, Amanat, Tabligh, Fathanah (Bab II No.5).
Sehinga seharusnsya, kita ini hanya cukup percaya saja terhadap kabar
tersebut, karena tentang Jiwa itu memang sulit. Firman Tuhan di dalam Al-Qur’an
: Wa yasalumaka ‘ani’rruhi quli’rruuhu min amri rabbi wamaa uutietum minal
‘ilmi illa qallilan (Israa’85 = Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh,
katakanlah : Roh itu urusan Tuhanku, kalian tidak diberi pengetahuan kecuali
hanya sedikit saja).
17. MUDADAMA : Kak, Ketika kepercayaan tentang adanya Allah yang berbahaya, yang rahasia
seperti itu, Kakak berkenan memberikan penjelasan yang sangat memuaskan
perasaan hatiku. Maka dari itu tentang roh dan siksa kubur, saya juga mohon
untuk dijelaskan dengan sejelas-jelasnya, jangan dibatasi seperti itu tadi.
Namun, sebelum Kakak berkenan membuka pagar tersebut, saya mohon
penjelasan terlebih dahulu : Yang disebut “Kubur” itu apa? Apakah Kuburan atau
begraafplaats (tempat untuk memendam mayat) seperti itu Kak?
17. WREDATAMA : Begraafplaats itu dalam bahasa Jawa disebut “Jaratan” atau “Pajaratan”
namun kata “Jarat” artinya apa, saya sendiri tidak mengerti. Sedangkan kata
Jawa “Kuburan” Ngubur, dikubur, itu sebenarnya adalah salah, karena mengambil
dari kata Arab “Qubur” (ism mufrad Qabrun, ism jama Qubuurun), yang artinya
......... akan saya terangkan nanti saja.
“Jaratan” terkadang disebut juga “Makaman” itu juga mengambil dari Bahasa
Arab : Makam (Maqam) yagn artinya adalah Tempat, sembarang tempat, bukan hanya
tempat mayat. Dan juga kadang disebut “Kramatan” menurut perkiraanku juga
mengambil dari Bahasa Aarab (Rahmat), yang artinya kemurahan. Maksudnya : Bahwa
Mayat yang dipendam di tempat itu itu terhormat atau mendapatkan kemurahan
Tuhan.
Sedangkan di bahasa haluskan dalam bahasa Jawa (Dikramakan) menjadi
“Pasareyan” uatau “Setana” (Istana), tentunya kamu sudah mengerti. Maksudnya :
Semua mayat yang diteempatkan di tempat itu, bukannya dianggap mati, hanya
Tidur saja, dan di anggap bertempat tinggal di Istana yang indah.
Sedangkan Kata Arab “Qubur” itu tadi, di dalam Qur’an juga disebutkan
“Barjah”. Pada umumya dianggap sebutan “Alam”, akan tetapi tidak terlihat oleh
mata seperti halnya alam dunia ini.
Anggapan “Sebutan” itu tadi, sebenarnya masih salah, sepertihalnya
Madinah (Madinatun) yang semula bermakna “Kota” lama-kelamaan berubah menjadi
“Nama Kota” (Madinah). Sedangkan kata “Kubur” atau “Barja” itu, berasal dari
kata suasana, yang artinya : (a) Peralihan, antra alam dunia dan alam lainnya
lagi, (b) Tahanan : Menunggu waktu akan diadili, (c) Hijab, penutup, karena
sudah tidak bisa melihat alam dunia, namun belum melihat alam lainnya lagi.
Maka dari itu, janganlah kamu salah dalam memahaminya, Kubur itu, kamu
maknai Kuburan atau Jaratan. Jelasnya : Seandainya ada orang yang meninggal
dunia karena tenggelam di laut, atau meninggal karna dimakan harimau, atau mati
denegan tubuh hancur karena terkena bom atoom, itu rohnya juga mengalami siksa
kubur atau nikmat kubur, walau pun mayatnya tidak di tanam di Jaratan.
Sedangkan bagi orang yang meninggal dunia dan mayatnya tidak hancur
seperti yang saya katakan itu tadi, roh-nya memang ada yang menunggui bekas
raganya, dalam beberapa waktu. Oleh karena itu, sehingga ada pendapat mayat
dibalsam agar tidak rusak, agar supaya roh-nya tetap menunggui raganya hingga
beratus-ratus tahun. Dan sebailknya ada yang berpendapat : Mayatnya dibakar,
agar cepat rusak, supaya roh-nya cepat merdeka, bisa ke sana ke mari, tidak
menunggi raganya saja.
Sedangkan tentang yang dialami oleh para ahli kubur itu, tersebut di
dalam Hadits, seperti ini :
Sahabat Ibnu Abbas menceritakan : Pada suatu hari, Rasulullah lewat di
jalan yang berdekatan dengan makam, mendengar orang sambat kesakitan, karena
mengalami siksa kubur. Beliau kemudian mengambil pelepah kurma, setelah
dipatahkan menjadi dua, masing-masing kemudian diletakkan di atas makam orang yang
mengeluh itu tadi, sambil berkata : “Semoga orang yang sedang mengalami siksaan
ini mendapatkan kemurahan selagi pelepah kurma ini belum kering.” (Hadits
Shahih Buchari).
Ada lagi : Sahabat Abu Ayub menceritakan : Pada suatu hari Rasulullah
keluar setelah matahari terbenam. Beliau mendengar suara, para sahabat yang
mengiringkannya juga mendengarnya. Beliau kemudian berkata “Orang Yahudi sedang
disiksa di dalam kuburnya” (Hadits Shahih Muslim).
18. MUDADAMA : Cukup tiga itu saja Kak!! Apakah Kakak berkenan memberi penjelasan yang
lebih jelas, bukan atas dasar cerita seperti itu? Dan apakah sebabnya, Kakak
hanya memetik dari hadits saja? Apakah di dalam Al-Qur’an tidamasalah itu?k ada
ayat-ayat yang menjelaskan
15. WREDATAMA : Di dalam Al-Qur’an tidak kurang ayat-ayat yang menjelaskan tentang alam
akhirat, hari kiamat, surga dan neraka, dan lain sebagainya. Dan saya perlu
untuk menjelaskan terlebih dahulu yang
sejelas-jelasnya, maka dari itu belum saya petik.
Sepertinya kamu lebih puas, atas keterangan yang berdasarkan Al-Qur’an
dibanding keterangan yang berdasarkan Hadits. Itu menandakan bahwa dirimu
mempunyai pertimbangan yang atajam.
Alhandulillah. Memang di dalam Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat, untuk bisa pas
jika menggunakan dasar Al-Qur’an. Akan tetapi kamu jangan menyalahkan dan
menyepelekan Hadits, karena banyak sekali aturan dan Rukun Islam yang tidak
disebutkan di dalam Al-Qur’an, disebutkan di Al-Hadits.
Sehingga : Ajaran yang bersumber dari Hadits itu, sebagian besar memang
untuk Syari’at. Sama dengan pendapatnya Abu Hurairah Hafidhatumin Rasuulillahi
wi’aaani faaammmaa ahaduhumaa
fabatsatstuhu waamma ilaa charufalan batsatstuhu qufi’a hadazalbul ‘umu (Hadits
shahih Buchari = Saya hapal dari Rasulullah Haidts dua karung, yang satu karung
sudah saya siarkan sedangkan yang sekarung lainnya, jika saya siarkan, pastilah
saya disembelih orang), Maksudndya Hadits yang tidak disiarkan itu memang tidak
cocok seumpama disiarkan kepada orang banyak (massa).
Tentang keadaan roh manusia yang sudah terpisah dari badan kasarnya itu,
selain tersebut di dlam Hadits yang di antaranya sudah saya katakan itu tadi,
juga termuat di dalam Al-Qur’an. Nanti kita bicarakan dengan jelas, Ada lagi
keterangan yang berasal dari sumber yang lain.
Ada ilmu yang disebut Spiritisme, yaitu cara memanggil Roh orang yang
sudah meninggal dunia, atau cara berhubungan (berdialog) dengan Roh orang yang
sudah meninggal dunia. Adanya ilmu itu sudah sejak jaman dahulu kala, yang
kemudian tertutup, karena (a) kalah pengaruh oleh ilmu Agama, yang sebagian
besar mengajarkan agar orang percaya
begitu saja (Dogmatisch). (b). Kalah pengaruh dengan ilmu Materialisme, yang
keyakinannya hanya percaya kepada segala sesuatu yang bisa terlihat mata saja.
Di dalam abad ini, ilmu Spiritualisme itu tadi, tiba-tiba muncul kembali,
justru kemunculannnya di wilayahnya orang-orang yang tersebut di hurus (b) itu
tadi. Sudah banyak yang mengamalkan (mempraktekkan), serta tercapai apa yang
menjadi tujuannya.
Ilmu tersebut justru bisa dipergunakan untuk membuka keruwetan perkara
lahir, seperti : Orang mati yang meninggalkan harta benda, akan tetapi ahli
warisnya tidak mengetahui di mana menyimpannya; Orang yang meninggal dunia
karena dibunuh, tidak ketahuan sipa pembunuhnya, dan lains ebagainya. Juga bisa
ditanyai bagaimana keadaanya roh itu enak atau tidak enak, terang ataukah
gelap, longgar ataukah sempit lingkungannya, dan sebagainya.
Bagaimana, apakah kamu masih ragu-ragu tentang roh yang tetap hidup yang
berada di alam kubur itu? Apakah semua keterangan ini belum bisa membuat
puasnya hatimu?
19. MUDADAMA : Soal ragu-ragu, itu tidak, Kak! Penjelasan Kakak sebelum-sebelumnya sudah
menjadi kepercayaanku, Jika konstruksi dari manusia itu terbentuk dari !.
Purusha (Allahe tiap diri manusia) yang memiliki sifat Hidup. II. Badan halus,
juga jiwa atau Roh. III. Badan kasar yaitu raga kita ini, Bab I No.18,
31,32,33).
Untuk orang yang belum sempurna seperti saya ini, jika badan kasar sudah
rusak, tinggal badan halus (roh) yang masih memiliki daya Hidup dari Sang
Purusha, sehingga roh tersebut masih lestari hidup (Bab I No.32). Contohnya ada
yang seperti bayangan dari matahari menempel di air yang tumpah melebar, Dikarenakan
Si Jambangan sudah pecah, ada yang seperti bayangan matahari yang melekat di
air yang menempel di pecahan jambangan (Bab I No.36). Itulah keadaan roh yang
telah bebas bisa ke sana akemari, dengan
roh yang masih menunggui raganya di pemakaman.
Sebenarnya : Daya hidup itu kekal, aku sudah tidak ragu-ragu, akan tetapi
terus terang saja, penjelasan Kakak mengenai keadaan para ahli kubur, aku belum
puas. Karena Hadits dan Spiritisme itu hanya menceritakan pengalaman orang
lain, tidak setiap orang bisa membuktikannya sendiri. Yang ku harapkan, Kakak bersedia memberikan
penjelasan yang seketika aku bisa merasa yakin
nyata, yang selanjutnya menjadi pemahamanku, menjadi ilmuku dan menjadi
kepercayaanku, siapakah dan apakah yan menyebabkan kejadian yang dialami oleh
para ahli kubur itu?
19. WREDATAMA : Permintaanmu sesungguhnya amat sangat sulit. Namun memang lebih baik
berbicara dengan orang yang sepertimu ini, dibanding berbicara dengan orang
yang fanatik dan yang percaya tanpa bukti, yang tidak mau mempergunakan akal
dan pikirannya.
Jika uraianku ini masih tetap tidak bisa membuat kepuasan hatimu,
penyebabnya tidak lain karena kebodohanku, yang tidak bisa memberikan
penjelasan, atau dari (Maaf .. satu
baris tidak terbaca).
Seumpama sekarang kamu menerima Telegram dari sbuah Jawatan, dipindah ke
tempat yang sangat jauh, menyeberang lauan. Kamu harus sberangkat sekarang
juga, tidak boleh membawa teman, bahkan untuk berpamitan kepada anak istrmu
saja tidak diperkenankan. Saya pastikan ketika kamu ada di sana, kamu merasa
tidak enak, ingat anak istrimu, ingat rumahmu, ingat peliharaanmu burung
perkutut, dan lain sebagainya. Padahal ragamu lengkap beserta perlengkapannya
“Astendriya” : Sehat semua, tidak ada yang sakit, akan tetapi merasa tidak
enak. Karena yang merasakan tidak enak itu rohmu, yang dengan pirlengkapan
“Rasa Sadar” atau “Rasa Jati” (Bab I No.29).
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur bagi orang yang lebih cinta
kepada dunia dibanding cinta kepada Tuhannya, Sedangkan rasa yang dialami , lebih
berat siksa kubur daripada gambaran itu tadi. Sebab dalam penggambaran itu :
badan kasar beserta perlengkapannya tidak sakit dan masih lengkap, sehingga
masih bisa berfikir dan bisa berusaha
agar meringankan rasa yagn dialaminya, seperti : mencari hiburan di
sana. Jika terpaksa tidak mendapatkan hiburan, bisa segera kembali ke tempat
asalnya yang lama. Sedangkan di alam kubur tidaklah demikian, karena sudah
tidak mempunyai badan kasar beserta kelengkapannya, sehingga sudah tidak bisa
berfikir dan tidak bisa berusaha
apa-apa. Juga tidak bisa segera minta pulang kembali ke tempat yang
lama.
Masih meneruskan penggambaran itu tadi, Ya! Seumpama yang menerima
Telegram untuk pindah itu orang yang sangat taat kepada Negara, pastilah tidak
merasakan rasa yang demikian itu, karena lebih cinta kepada Negaranya dibanding
kepada anak istrinya dan kepada dirinya sendiri. Dia, justru merasa gembira,
karena melaksanakan tugas dipindah
dengan di telegram itu tadi. Dalam hal tidak bisa berpamitan kepada anak
istrinya tidak menjadi apa, seumpama pamitan ya hanya saling mencegah sambil
menangis. Ini gambaran dari nikmat kubur, bagi para zaahid yaitu orang yang
tidak terikat kepada dunia (zuhud).
Gambaran yang lain lagi : Seumpama, aku berada di dalam tahanan, menunggu
waktu untuk diadili (Bab II No.17), Pastilah aku merasa menyesal karena dosaku
yang sudah saya lakukan, serta jantung berdegup kencang karena merasa
khawatir terhadap hukuman yang akan saya
terima. Yang ku harapkan, semoga cepat diadili, menjadikan perasaan ini merasa
hari yang sangat panjang, yang semakin menambah perasaan tidak enak dalam
diriku.
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur, yang tertulis di dalam Hadits
digigit ular berbisa yang banyak dan berkepala tujuh itu. (Maaf tidak terbaca,
kertasnya rusak) // Namun lebih berat siksa kubur dibanding dengan orang
tahanan itu, karena kesusahan bagi orang yang di tahan ketika tidur sudah tidak
terasa, serta lamanya dalam tahanan masih bisa dikira-kira, sedangkan siksa
kubur itu tidak ada selanya untuk tidur, dan lamnaya sampai dengan diadili itu
hanya tergantung kehendak Tuhan sendiri.
Akan tetapi, seumpama aku tidak merasa melakukan perbuatan yang menjadi
larangan Hukum Pidana, pasti aku tidak merasa menyesal seperti itu. Merasa
nyaman saja, karena tidak sendirian, karena lagi musimnya para saudara
ditangkapi dan ditahan. Justru ada perasaan gembira, karena perawatannya bagus,
dan saya bisa beristirahat dari kerepotan urusan rumah. Sehinga cepat atau
tidaknya untuk diadili, itu tidak menjadi pengharapan saya, hanya tinggal
pasrah sekehendak yang akan mengadili, Demikian juga rasa khawatir terhadap
putusan pengadilan, itu tidak akan ada, karena aku percaya bahwa Negara Hukum
tidak akan menghukum orang yagn tidak bersalah. Yang pastinya perkaraku akan
bebas, terkadan akan disusul dengan tidanakan rehabilitasi dari Negara
(dikembalikan kehormatannya) jika beruntung akan mendapatkan ganti kerugian
karena ditahan tanpa salah.
Seperti itulah gambaran dari siksa kubur yang menggunakan contoh
seseorang yang berada di dalam tahanan.
Bagaimana? Apakah masih kurang jelas dan belum menjadikan kepuasan di
dalam hatimu?
20. MUDADAMA : Hanya sekedar contoh atau perumpamaan, sudah sangat jelas sekali Kak.
Akan tetapi kepuasan hatiku masih belum 100%. Perkiraanku Kakak masih mau
memberikan penjelasan lagi, yang bisa menyebabkan kepuasanku menjadi 100%.
20. WREDATAMA : Aku setuju adaja!! Sekarang bukan contoh, jelas nyatanya, dan sama-sama
kita lakukan tiap harinya, yaitu ................... Tidur.
Keadaan dalam tidur itu sangatlah mirip dengan keadaan mati, Keadaan yang
jelas menurut ilmu kedokteran, ilmunya carilah sendiri, jujur saja aku belum
pernah membaca bukunya. Menurut pendapatku, entah benar entah salah, secara
garis besar sebagai berikut :
Tidur itu, badan kasar beserta perlengkapannya yang bernama Astendriya
masih tetap keadaannya, hanya saja peralatan-peralatan itu mesinnya dalam
keadaan istirahat, tidak berfungsi, namun daya (Stroom) sebagai penyebab bisa
berbuat, yaitu yang bernama “RASA” atau “Tali Rasa” masih tetap keadaannya.
Roh-nya yang mempergunakan alat yang bernama “Rasa Sadar” atau “Rasa Jati”
belum pisah dari badan kasar. Napas sebgai tali hidup, dan darah yang menjadi
sifat hidup, belum rusak dan masih tetap peredarannya.
Dilama alam tidur, peralatan Roh yang bernama rasa sadar atau rasa jati,
terkadang ingat terkadang tidak, karena ketika astendriya beristirahat .... Lesss Tidur ... itu melewati Bengawan
yang bernama “Lupa”.
Mati itu, badan kasar beserta perlengkapannya yang bernama astendriya
sudah tidak seperti semula. Peralatan-peralatan tersebut dalam tidak bisa kerja
lagi, dikarenakan daya yang menjadi sumber untuk bisa bekerja, sudah tidak
tersambung. Roh sudah terpisah dengan badan kasar, bersamaan dengan ketika
nafas dan darah berjalan untuk yang terakhir kalinya.
Di dalam alam kematian itu. Peralatan Roh yang bernama Rasa sadar atau
rasa jati, selalu ingat saja, karena terpisahnya roh dari raga, tidak melewati
Bengawan yang bernama “LUPA”.
Seperti itulah pendapatku tentang keadaan Tidur dan dalam alam kematian.
Di dalam Qur’an juga dijelaskan dengan singkat padat seperti ini : (Az-Zumar
42) : Allahu yatawaffa alanfusahiena mautihaa (Allah mengambil nyawa badan
ketika badan itu mati) wa allatie lam tamut fimanaamihaa ( dan mengambil nyawa
badan yang belum mati yaitu ketika tidur) fayumsiku allatie qadla ‘alaihan
almauta (DIA, menahan Nyawa badan yang sudah pasti mati) wajursilu aluchraa
ilaa ajalin musamman (dan mengembalikan nyawa badan yang tidur itu pada waktu
yang sudah ditentukan) inna fiedzalika laayatin liqaumin yatafakkaruuna
(Sungguh itu menjadi tanda kebenaran Tuhan bagi orang-orang yang mau berpikir).
Perintah Qur’an itu, bandingkan dengan uraian Serat Suluk yang seperti
ini bunyinya (Pangkur) :
Kang aran talining gesang
Swasananta tan kandeg rina wengi
Tanpa pakon lampahipun
Iyeku aran nyawa
Balik sapa iya ingkang ngajak turu
Lawan ingkang ngajak gesang
Tunggale kang ngajak mati.
Artinya
:
Yang
disebut tali hidup
Suasana-Nya
yang tidak pernah terhenti siang dan malam
Tidak
ada yang memerintah dalam berjalannya
Itulah
yang bernama Nyawa
Sedangkan,
siapakah yang mengajak tidur
Serta
yang mengajak hidup
Dan
juga yang mengajak mati.
21. MUDADAMA : Iya, iya Kak, sudah jelas lebih dari jelas, bahwa ketika tidur itu dekat
dengan alam kematian. Nah, kemudian yang berhubungan dengan penjelasan tentang
keadaan para ahli kubur itu, bagaimana ?
21. WREDATAMA : Jika kamu sudah mengakui, ketika dalam keadaan tidur itu dekat sekali
atau sangat mirip dengan alam kematian,
tentunya kamu juga akan mengakui dan percaya, bahwa pengalaman yang ditemukan
di alam tidur itu juga banyak sekali ..... (maaf teks asli tidak terbaca karena
kertas rusak)
Nahhh... penjelasan selanjutnya begini :
Di depan (Bab I No.29) sudah saya katakan, dan ini tadi (Bab II No.20)
juga baru saja katakan lagi, singkatnya : Bentuk dari Astendriya itu untuk bisa
berbuat karena ada mesinnya, serta mesin
itu untuk bisa berfungsinya karena teraliri
oleh Stroom yang bernama Tali Rasa. Itu semua saya sebut sebagai
peralatan badan kasar.
Namun ada kalanya, walau pun duduk santai seperti ini, tali rasa itu tadi
kadang menyambung sampai ke rasa jati (Peralatan badan halus), itulah yang bisa
menyebabkan ketika tidur menemukan cerita yang
bernama mimpi, enak atau tidak enak, terkadan hingga mengigau, tindihen
atau kagum-kagum.
Sedangkan mimipi itu berlawanan dengan yang sedang diinginkan. Seperti,
jika kamu sedang membenci seseorang, sangat ingin untuk mengalahkannya,
menurutku justru kamu akan bermimpi dikejar-kejar oleh orang tadi. Jika ada
sesuatu barang yang sangat kamu senangi, dan kamu sangat mengawatirkan
kehilangan benda itu, menurutku justru kamu malah bermimpi kehilangan barang
tersebut. Demikianlah selanjutnya.
Itulah cerita di alam tidur yang bernama mimpi, itu sebagai gambaran yang
banyak kemiripannya dengan cerita di alam kematian yang disebut alam kubur itu
tadi. Mimpi gembira dan enak itu sebagai gambaran nikmatnya laam kubur,
sedangkan bermimpi ruwet, tidak enak, itu gambaran siksa kubur.
Cobalah rasakan. Di dalam alam mimpi, seumpama kita menghindari bahaya, kan hanya lari-lari saja, terkadang
kembali lagi ke tempat bahaya itu tadi. Tidak punya akal atau cara seperti
ketika dalam alam sadar, karena nalar dan pikiran tidak berfungsi. Namun ruwet
bagaimana pun, jika sudah terbangun : lepas. Sedangkan siksa kubur, kapan
terlepasnya .......? Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Nah.. tentunya sangat
menakutkan ta? Begitu pun ada yang tidak takut terhadap siksa kubur, entahlah!
Aku termasuk golongan orang yang takut terhadap siksa kubur, takut yang
sebenar-benarnya.
22. MUDADAMA : Sudah, Kak, Sekarang aku sudah percaya bahwa siksa kubur itu memang ada,
dan aku sudah puas atas pemberian semua penjelasan Kakak. Hanya saja saya mohon
tambahan pejelasan, disebabkan oleh apakah di dalam mimpi atau di alam kubur,
kita justru menemukan sesuatu yang berlawanan dengan yang kita inginkan? Apakah
semua cita-cita seperti itu akibatnya?
22. WREDATAMA : Sebentar dulu! Tentunya kamu kan sudah tau, perbedaan antara keinginan
dan cita-cita itu? Seumpama kamu punya keinginan untuk memiliki ranti jam emas
22 karat, namun terhenti hanya pada keinginan saja, tentunya tidak akan bisa
terlaksana untuk memilikinya. Sedangkan jika kamu usahakan, dengan jalan
mengumpulkan uang untuk membelinya, tentu akan bisa memiliki. Apakah 22 karat
sungguhan ataukah kurang, itu tergantung banyaknya uang dalam kamu
mengumpulkannya. Jika kamu tidak mengerti perihal emas, terkadang justru
mendapatkan emas palsu. Namun, tetap apa yang kamu usahakan itu terlaksana.
Wajida Wajidahu (Siapa bersungguh akan terlaksana).
Seperti itulah perbedaaan keinginan dan cita-cita itu. Sedangkan penyebab
bahwa keinginan saja (tanpa di usahakan dan tanpa amal) justru membuahkan hasil
yang berlawanan, itu seperti ini.
Cipta atau angan-angan orang itu menimbulkan Getaran yang menembus ke
dalam suasana, jalan untuk nembus itu bernama ombak (gelombang) persis sama
dengan zender radio dalam mengirimkan suara atau telephographie dalam
mengirimkan foto, yang di jaman sekarang bukan suatu hal yang aneh.
Namun ketahuilah olehmu, cipta yang suci serta didorong oleh cinta itu,
seandainya panah : Tajam, seandainya benda yang dilempar itu mantap, sehingga
ketika menembus suasana bisa dengan mudah, karena suci dan cinta itu jadi jalan
ridho Tuhan.
Sebaliknya, cipta yang tertuju kepada urusan dunia, terlebih lagi karena
terdorong oleh nyala dari hawa nafsu, itu ibarat panah itu tanpa gendewa, untuk
sesuatu yagn dilempear itu ringan, sehingga ketika menembus suasana itu dengan
susah payah, yang kadang justru akan berbalik kembali kepada asalnya, seperti
bola yang dilempar ke tembok. Seandainya ketika dilemparkannya ke timur, arah
bola akan berbalik ke barat.,
Ada lagi keterangan yang lebih jelas dan kita sudah berkali-kali
mengalami, yaitu ketika kita bepergian dengan tergesa-gesa, ingin segera sampai
ke tujuan. Selama kita menunggu keberangkatan kereta api atau Bus satu jam
saja, di dalam perasaan seolah-oleh seperti 2 jam. Keinginan kita untuk
cepet-cepat, namun rasanya sangat lama.
23. MUDADAMA : Memang benar begitu Kak! Aku sekarang sudah mengerti : Penyebab siksa
kubur yagn bersifat berlawanan dengan keinginan. Sederhananya Cuma “siksa” itu
hanya menurut rasa dari diri sendiri. Dan jika Kakak berkenan di hati, aku
hanya mohon tambahan pengertian : Ahli Kubur itu, tinggalnya sendiri-sendiri,
apakah satu nasib : Kumpul?
23. WREDATAMA : Yang kamu katakan bahwa siksa itu hanya menurut rasa diri sendiri itu
sudah benar. Namun bukan hanya siksa saja, walau pun nikmat juga menurut rasa
diri sendiri. Seandainya kamu mencitakan nikmat kubur, serta syarat-syaratnya
kamu cukupi, seperti, teguh beribadah dan memperbanyak amal shaleh, itu juga
akan terlaksana. Artinya, seumpama yang kamu anggap nikmat kubur itu menempati
rumah yang terbuat dari emas, kamu juga merasa menempati rumah yang terbuat
dari emas.
Sedangkan pertanyaanmu itu tadi, sebenarnya tidak perlu dan pakai sangat.
Memang, asal kamu sudah percaya yaqin bahwa siksa kubur itu ada, terus
melakukan tindakan yang utama agar tidak menemukan siksa, itu sudah cukup, Oleh
karena kamu bertanya, iya saya jawab, akan tetapi jangan cepat-cepat kamu
percaya.
Jika kamu mempunyai perkiraan, ahli kubur yang mendapat nikmat berkumpul
dengan memperoleh nikmat, sedangkan yang mengalami siksa juga berkumpul dengan
yagn disiksa, pantasnya kemudian saling membicarakannya --- anggapan yang
seperti itu sangat tidak benar. Kamu masih terbawa anggapan jika alam kubur itu
merupakan sebuah tempat!
Kamu tadi kan sudah berkata, bahwa yang dialami oleh ahli kubur itu hanya
berdasarkan rasa diri yang merasakannya sendiri. Sedangkan tentang saling
berbicara, tentulah tidak ada, karena sudah tidak ketempatan akal dan pikiran (Bab
II No.21).
Sebagai contoh, jika kamu bermimpi bertemu dengan saya, apakah aku juga
bermimpi bertemu dengan kamu? Tidak!!! Karena “Kakakmu” yagn ada di dalam
impianmu itu buatanmu sendiri, bukan asli dari badan halusnya kakakmu ini.
Yang saya katakan ini tadi semuanya, ukuran bagi orang “biasa” seperti
aku dan dirimu, sedangkan jika ada yang luar biasa, aku tidak bisa
menjelaskannya.
24. MUDADAMA : Iya sudah, Kak, dalam saya memohon keterangan tentang yang tidak perlu,
hanya itu saja. Sekarang Kakak, mohon dijelaskan sambungan dari yang sudah di
sampaikan yang tadi itu.
Kakak tadi mengatakan : Alam kubur itu bermakna : (a) peralihan antara
alam dunia dan alam lainnya lagi, (b) Tahah : menunggu waku untuk diadili, (c)
Penutup : karena sduah tidak bisa melihat alam dunia, namun belum melihat alam
yang lainnya lagi (Bab II No.17).
Sedagkan “Alam lainnya lagi” itu disebut alam apa? Berapa sih jumlahnya
alam itu, dan bagaimanakah penjabarannya? Dan yang dikatakan “Waktu diadili”
itu apa dan bagaimanakah penjelasannya?
24. WREDATAMA : Nah, itu pertanyaan yagn sangat penting! Karena rukun Iman itu 6, yaitu
Percaya kepada 1. Allah, 2. Malaikat-malaikatnya Allah 3. Kitab-kitabnya Allah
4. Utusan-utusannya Allah, 5. Hari Akhir, 6. Takdir baik dan takdir jelek.
Sehingga jika kamu hanya percaya kepada Alalah saja, dan kepada yang
lainnya masih ragu-ragu, itu belum bisa disebut Mukmin (orang yang beriman).
Sedangkan jawaban atas pertanyaanmu itu nantinya, akan bermanfaat terhadap Rukun Iman yang angka 5 dan 6 itu
tadi, Hayatilah dengan sungguh-sungguh, karena banyak pecahannya yang
membingungkan.
Jumlah alam itu ada beratus-ratus atau beribu-ribu , karena yang memberi
nama itu manusia ini, menurut anggapannya sendiri-sendiri dan bahasanya
sendiri-sendiri. Bentuk alam ini ada yang bisa dilihat mata ada yang tidak
terlihat mata (gaib), ada yang gaib namun bisa dibayangkan, ada yang gaib dan
tidak bisa dibayangkan. Sedangkan Allah itu Tuhan seluruh alam *Rabbul
‘alamien).
Segala jenis alam itu tentu ada yang mengalami artinya ada yang
membuktikannya, seumpama makanan : pasti ada yang merasakan, seandainya suatu
tempat : pasti ada yang menempati. Sedangkan keadaan yang mengalami itu pasti
cocok dengan keadaan yang dialami.
Sehingga yang mengalami yang berasa di alam yang terlihat mata itu
keadaannya juga terlihat mata.
Yang menglamai di alam gaib, keadaannya juga gaib.
Yang mengalami di alam yang masih bisa dibayangkan, keadaanya juga bisa
dibayangkan,
Yang mengalami di alam yang tidak bisa terbayangkan, keadaanya juga tidak
akan bisa dibayangkan.
Semua pengalaman itu pasti mempergunakan waktu atau saat atau jaman atau
hari, Keadaan waktu pengalaman itu juga cocok dengan keadaan yang mengaalami
dan keadaan yagn dialami.
Jika alamnya itu bsia terlihat mata, yang mengalami juga terlihat mata,
waktunya juga bisa dihitung menggunakan bilangan yang terlihat mata.
Jika alamnya tidak terlihat mata, yagn mengalami juga tidak terlihat
mata, waktunya juga tidak bisa dihitung dengan bilangan yang terlihat mata.
Jika alamnya bisa dibayangkan, yang mengalami juga bisa dibayangkan,
waktunya juga masih bisa dibayangkan.
Sedangkan jika alamnya tidak terbayangkan, yang mengalami juga tidak bisa
dibayangkan, waktunya juga tidak bisa dibayangkan, yaitu disebut tanpa asal
mula dan tanpa akhir.
Cobalah semua itu kamu rasakan terlebih dahulu, jika sudah terang, nanti
akan saya lanjutkan.
25. MUDADAMA : Walau pun terlihat mbulet, namun sudah jelas Kak, terus bagaimana, saya
sangat ingin mendengarkan terus.
25. WREDATAMA : Iya pantas dirimu mengatakan mbulet itu. Nah, sedangkan alam itu tidak
pastilah tidak terpisah dengan jaman (hari), sehingga tempat dari kata alam dan
jaman itu kadang kala keliru, terkadang kata alam juga bermakna jaman.
Seperti halnya di dalam hidup kita yang berada di alam dunia ini, kima
mengalami alam dua macam, yaitu alam ketika belum teringat dan alam setelah
teringat, Sedangkan alam setelah teringat itu, bisa dibagi-bagi lagi, yaitu :
alam anak-anak ketika belum merasakan susah. Alam yang sudah bisa merasakan
senang dan susah, alam menginjak dewasa, alam pemuda, alam setengah tua .....
dan seterusnya. Alam kecil-kecil itu apda umumnya tidak terpikirkan, yang masuk
dalam pemikiran dan selalu disebut-sebut : si JAMAN.
Sedangkan “Hari Akhir” (jaman akhir, waktu akhir, saat akhir) yang saya
katakan tadi (Bab II No.24) alamnya itu disebut alam akherat, artinya alam yang
akan dialami besok hari, setelah mengalami alam dunia ini.
Yang disebut “Alamu’l Insan (Alam manusia) yaitu alam yang pasti dialami
oleh kita para manusia ini ada empat, yatu :
1.
Alam arwah (alam roh), yaitu
alam ketika manusia belum lahir ada di alam dunia ini.
2.
Alam dunia, yaitu alam yang
kita alami menggunakan badan kasar sekarang ini.
3.
Alam kubur, yaitu alam
peraliha, setelah kita meninggalkan alam dunia dan meninggalkan jasad kita ini.
4.
Alam “Akherat, yaitu setelah
kita dibangkitkan dari alam kubur, di hari kiamat.
26. MUDADAMA : Hanya empat, Kak? Yang sudah sering saya dengan dan sering saya baca,
alam manusia itu ada tujuh, dan mempunyai nama sendiri-sendiri. Hal itu Kakak,
berkenan memberi penjelasan sepertlunya, jika kakak mengatakan salah, dimana
salahnya yang tujuh itu?
26. WREDATAMA : Yahhhh... kamu itu selalu mempropokasi aku saja. Aku tidak mau
menyebutkan salah kepada pendapat siapa saja, malahan pendapatku sendiri :
Entah benar-entah salah. Wallahu a’lam.
Aku tadi sudah mengatakan bahwa alam itu banyak sekali, menurut anggapan
dan bahasanya yang menyebutkannya (Bab II No.24), sehingga pemahamanmu
janganlah tebawa oleh .... “Nama”, sebab semua itu “Bukan nama” Eignaam atau
merek, hanya “Tanda” keadaan menurut anggapan yang memberi “tanda”
Alam tujuh yang kamu katakan itu tadi, tidak lain hanya nama dari alam
arwah dan alam dunia, ditambahi alam Uluhiyah, asal mula semua makhluk, yaitu
alam yang tidak bisa terbayangkan. Di dalam penjelasanku itu tadi, alam
uluhiyah tidak saya sebutkan, karena aku hanya menerangkan alam dari manusia
saja. Sedangkan yang bernama manusia atau titah setelah bersifat arwah (roh).
Sedangkan alam kubur dan alam akhirat di dalam penjelasanku tadi, umumnya
tidak dikatakan dalam wirid-wirid, karena anggapannya : Yang disebut “Asal” itu
berjaannya dari asal semula menuju ke alam dunia, sedangkan yang disebut
“tujuan” (mati) atu berjalannya dari
alam dunia kembali pulang menuju asal
kejadiannya. Sehingga alam-alam yang dilewati ketika kembali pulang itu tidak
lain adalah alam-alam yang dilewati ketika tercipta, jumlahnya tujuh, sehingga
perinciannya disebut “Martabat Tujuh”
Bagaimana? Apakah kamu sudah puas saya jawab demikian?
27. MUDADAMA : Sudah Kak!! Sekarang saya mohon keterangan : Apakah alam kubur itu tidak
termasuk hari akhir atau alam akhirat?
Kakak tadi menyampaikan, bahwa nama “Akhirat” itu bukan merek, hanya
tanda saja. Sedangkan alam kubur itu juga akhir, atau terakhir, atau yang akan
datang, dibanding alam dunia ini, kan?
27. WREDATAMA : Memang tidak ada yang mempunyai anggapan bahwa siksa kubur itu juga siksa
akherat, atau neraka, dan nikmat kubur itu juga nikmat akherat atau surga.
Namun yang punya pendapat seperti itu tadi, saya kira hanya karena lupa saja.
Sebab jika menurut Al-Qur’an alam akherat itu, akan dialami setelah kita
dibangkitkan dari alam kubur di hari kiamat. Ketika itu orang-orang kemudian
dddiadili atau dihisab amal dan dosanya, terus ada yang diganjar masuk surga
atau disiksa di neraka. Ketika di akherat itu kekal selamanya. Sehinga jelas,
bahwa alam kubur itu hanya alam peralihan saja, bukan akherat, karena alam
kubur itu tidak kekal selamanya, Dan jelas bahwa siksa kubur itu bukan neraka,
serta nikmat kubur itu bukan surga.
28. MUDADAMA : Iya Kak, memang Qur’an menyebutkan demikian, jelas salah pendapatku itu
tadi. Nah... sekarang saya mohon keterangan tentang hari kiamat, karena Kakak
mengatakan : ketika dibangunkan dari alam kubur, itu bagaimana? Sedangkan yagn
sering saya dengar, kiyamat itu berarti rusak, dan ada ... tiga macam, yaitu :
1.
Kiamat Sughra = Kiyamat kecil
atau rusaknya jagad kecil, yaitu rusaknya raga masing-masing orang ini.
2.
Kiamat Wustha = Kimat sedang,
yaitu rusaknya raga manusia bersama-sama, seperti halnya ketika ada wabah,
bencana alam besar, banjir besar, perang dan sebagainya.
3.
Kiamat Kubra = Kiamat besar
atau rusaknya jagad raya, yaitu rusaknya seluruh alam dunia ini.
28. WREDATAMA : Di depan kamu juga sudah menggunakan kata kiamat, yang kamu anggap rusak
itu (Bab I No.34), namun tidak saya benarkan, karena belum sampai waktunya
membiacarakan hari kiamat.
Memang gpada umumnya kata kiamat itu disamakan artinya dengan Fana, yaitu
rusak. Terlebih lagi “Kiamat” dalam bahasa Jawa, umumnya dimaknai : Rusak atau
gara-gara akan rusak (Wedatama : Lir kiamat saben ari). Namun salah
penerapannya, hal seperti itu jangan diterapkan untuk memahami Kitab Suci.
Sepengetahuanku di dalam Qur’an tidak ada kata Kiamat yang bermakna
rusak, dan juga tidak ada kiamat tiga macam seperti yang kamu katakan itu. Kata
Qiyaaman (fi’il mashdar) = Qaama (Fi’il madli) itu artinya : Berdiri dengan
tiba-tiba (njenggelek); Qiyaamu binafsihi = berdiri dengan sendirinya (sifat
20, Bab I No.21).
Sehingga : Yaumil Qiyaamah (Jaumil Qiyaamat) = Hari ketika terbangun.
Oleh karena terbangunnya anba atsa minal mauti (bangun dari kematian) sehingga
yaumil qiyaamah juga disebut yaumil ba’ats.
Setelah bangun, orang-orang itu kemudian digiring ke padang Mahsyar,
makanya yaumil qiyaamah juga disebut yaumil mahsyar. Disebut juga yaumil
fashlah (hari putusan) dan lain-lainnya lagi.
Di waktu itulah yang disebut hari terakhir atau jaumil achirah.
29. MUDADAMA : (Maaf sebaris kalimat tidak terbaca) // Jika melihat dari arti kata,
penjelasan Kakak itu masuk akal. Namun apa Kakak tidak percaya, bahwa alam yang
tergelar ini bisa rusak? Karena Alam ini barang baru, yang ada awalnya, tentu
saja ada akhirnya, benar kan? Selain itu, para ahli Kosmologis juga sudah
meramalkan, entah berapa juta tahun lagi, bisa terjadi matahari itu kehilangan
panasnya, atau bumi ini bertabrakan dengan planet lainnya, atau dari yang
lainnya lagi, yang menyebabkan makhluk ini semua : Musnah, tentunya apakah
benar?
29. WREDATAMA : Yang kamu katakan itu, benar, dan saya juga percaya seperti itu. Tidak
usah menunggu sampai berjuta tahun, Jika Tuhan Berkehendak, barangkali besok
lusa bisa saja terjadi alam ini rusak semua. Namun itu lain masalah. Hancurnya
dunia besar beserta isinya, yang kamu bahasakan kiyamat Kubra itu bukan kiyamat yang tercantum di dalam
Al-Qur’an.
Pikirkanlah : Memaknai lafal itu, seharusnya apa adanya dari arti kata
(obyektif) saja. Setelah yang demikina, baru memaknai maksudnya : Ini
letterlijk apakah sumbolisch. Sedangkan jika arti dari “Bangun” kemudian
diganti menjadi “Rusak” itu ............. obyektif : tidak, atau Letterelijk :
pun tidak, symbolisch juga tidak ada hubungannya, iya apa tidak?
Bergesernya arti akta itu sudah biasa, tidak termasuk sesuatu yang aneh.
Akan tetapi bergesernya makna “Bangun” beubah menjadi “rusak” itu menurut
perkiraanku hanya ada di negara yang bahanya bukan bahasa Arab, Penyebab bisa
berubah menajdi demikian, karena hampir
tiap ayat dari Al-Qur’an yang menceritakan hari kiyamat itu, bersamaan
atau bergandengan dengan cerita tentang bencana besar yang sangat menakutkan,
yang menumbuhkan kekuatiran rusaknya dunia beserta seluruh isinya.
30. MUDADAMA : Iya Kak, sekarang aku sudang mengerti. Tentang yang salah tapi sudah
menjadi pemahaman umum itu tadi sepertinya sudah tidak perlu diperpanjang lagi,
kita memilih yang benar saja. Mengenai bangun dati kematian itu saja, Kakak
berkenan memberi penjelasan bagaimanakah kejelasannya?
30. WREDATAMA : Kitab Allah yang menjelaskan tentang bangkit dari kematian (kiyamat) itu
bukan hanya Qur’an saja. Injil juga seperti itu. Hanya saja, penjabarannya, sekilas
ada perbedaannya.
Di dalam Injil, kiyamat itu merupakan “Pangebang” (.....?) karena yang
bangkit dari kematian itu hanya umat manusia yang dikehendaki Tuhan saja.
Cobalaha rasakan maknanya, sebagai berikut :
“Yang menjadi sebab mengapa orang mati tidak dibangkitkan, menjadi
Kristus, dan juga tidak diorangkan. Padahal jika Kristus tidak dibangkitkan,
kepercayaanmu itu menjadi tidak berguna, kamu masih tetap dikuasi oleh
dosa-dosamu” (1 Korinta 15:16,17).
“Karena Tuhan sendiri akan turun dari surga dengan tanda suaranya
Malaekat Pemimpin dan Sangkakala milik Allah, kemudan semua yang mati dan
golongannya Kristus akan bangkit terlebih dahulu. Setelah demikian, beberapa
dari kita yang masih hidup, akan tertolong bersama-sama dengan yang baru saja
bangkit tadi, berada di angkasa, menyambut Tuhan menuju angkasa, demikian
selanjutnya kita akan menyatu dengan Tuhan selamanya” I Tessalonika 4:16,17).
Sedangkan di dalam Al-Qur’an, kiyamat itu merupakan anacaman, karena
kedatangannya dengan cara tiba-tiba dan sangat menakutkan, dan juga pada waktu
itu bagi yang masih berdosa akan mulai menerima siksaan yang kekal selamanya.
Akan tetapi umat manusia yang mendapat anugerah Tuhan , bebas dari itu semua.
Beginilah dalilnya : “Wanuficha fie’shshuuri fasha’iqa man fie’ssaamawati waman
fie’lardli illaa man syaaillahu tsumma nuficha fiehi uchraa faidzaahum qiyaamun
yandhuruuna (Az Zumar 68 = Ditiuplah Sangkakala, kemudian semua mati seisi
langit dan seisi bumi, kecuali yang mendapat pertolongan Tuhan; ditiup sekali
lagi, orang-orang itu kemudian bangkit menunggu keputusan). Artinya : Orang
yang mendapat anugerah Tuhan itu tidak ikut meninggal dan juga tidak ikut
bangkit.
31. MUDADAMA : Mohon maaf Kak!!! Sama-sama Kitab Allah, yang wajib kita imani (Rukun
Iman), (Bab II No.24) akan tetapi maknanya, mengapa bisa berlawanan, hal itu
mengapa?
31. WREDATAMA : Itu sama, sama sekali tidak berlawanan! Yang diceritakan itu tentang Roh
yang berasda di alam kubur, kan?
Menurut dalil di Injil : Roh yang diterima itu, tidak lama berada di alam
kubur, kemudian bangkit (Kiyamat).
Menurut Dalil Qur’an, entah cepat atau lama, semua roh yang berada di
alam kubur itu pasti bangkit (Kiyamat), namun roh yang sudah sempurna, sudah
tidak berasa di alam kubur, karena sudah berada di surga yang tidak melwetai
hisab (Bab II No.12); makanya tidak ikut tidak sadar dan tidak ikut bangkit.
Bahwa roh yang berada di alam kubur pati dibangkitkan, artinya tidak
pilih-pilih, itu ada di Surat Al Haji:7 : Wa anna asaa’ata atiyata laa raiba
fiehaa wa annaa allaha yab’atsu man fie’lqubuuri = Dan sesungguhnya waktu
(kiyamat) itu pasti datang, tidak ada keraguan lagi, Allah akan membangkitkan
siapa saja yang ada di alam kubur).
Sedangkan soal cepat atau lamanya sampai di hari kiyamat itu termuat di
Surat Al Ahzab 63 : Innamaa ‘ilmuhaa ‘inda allahi wamaa yudrieka al’alla aassa’ata
takuunu qarieba = Sesungguhnya yang mengetahui itu hanya Allah sendiri,
barangkali bahwa itu sudah dekat.
32. MUDADAMA : Maf, maaf Kak! Saya mohon ijin menyela sedikit. Tadi Kakakf menafsirkan
Injil : Roh yagn diterima itu tidak lama berada di alam kubur, cepat Kiyamat
atau bangkit dari kematian. Jika demikian, hari kiyamat itu tidak bersamaan,
tidak dalam satu waktu! Padahal menurut kepercayaan yang sudah umum, juga
menurut dalil Qur’an yang baru saja disampaikan itu tadi, kiyamat itu
bersamaan, hanya saja, hanya Tuhan yang mengetahui. Hal itu, bagaimanakah
penjelasannya?
32. WREDATAMA : Tenang dulu yah.... Pikir dengan jernih, itu agak bahaya. Dalil Qur’an
yang barusan saya katakan itu tadi, tidak menyebutkan “Bangkitnya semua roh
bersamaan dalam satu waktu” seperti yang kamu pahami itu. Destun, hanya
menyebutkan bahwa semua Roh, akan dibangkitkan, tidak ada keterangan : apakah
bersamaan dalam satu waktu, apakah sebagian, ataukah satu persatu.
Di dalam bab, tentang menjelaskan adanya kiyamat itu memang paling banyak
disebut di dalam Al-Qur’an, namun sepengetahuanku : Tidak ada yang
menyebutkan “Semua isi alam kubur
bangkit bersamaan dalam satu waktu”, . Di dalam Surat An Naba 18 hanya
menyebutkan : Yauma yunfachu fie’shshuuri (Hari teriakan Sangkakala) kemudian :
Fataa’tuuna afwaajaa (Datang dalam barisan-barisan).
Seumpama “barisan-barisan” itu kamu ganti “Bersama-sama” juga tidak
salah. Akan tetapi bersamaan itu bermakna BANYAK dan bersamaan dalam satu
waktu, bukan berarti SEMUA bersama-sama dalam satu waktu, seperti pendapatmu
itu tadi, kan?
Kepercayaanmu yang kamu samakan dengan kepercayaan umum, yang menganggap
bahwa hari kiyamat itu bersamaan dalam satu waktu, serta semua isi alam bangkit
bersamaan, itu tidak lain karena kamu menggambarkan kejadian luar biasa yang
belum pernah terjadi selama dunia ini ada.
Di depan, ketika membicarakan alam mimpi dan alam kubur (Bab II No.23),
kamu sudah mengakui, bahwa keadaan di dalam alam-alam itu, hanya berdasarkan rasa
diri sendiri-sendiri. Dan juga bangkitnya roh dari alam kubur masuk ke dalam
akherat di hari kiyamat, tentunya demikian juga, kan? Artinya : atas roh yang
mengalami kebangkitan, bisa juga merasa banyak yang bersamanya, bisa juga
merasa bersama-sama yang banyak sekali, jangan seperti semua, bisa juga merasa
sendirian.
Namun bagi saya, yang sedang berbicara sekarang ini, tidak ingat sudah
(belum) pernah bangkit dari alam kubur, aku punya apendapat, bahwa gambaranmu
hari kiyamat itu tadi ......... salah. Karena berbeda dengan sifat dari Al-Qur’an!!!
33. MUDADAMA : Wah-wah-wah, saya merasa agak bingung Kak!! Kakak mengatakan berbeda
dengan Sifat Qur’an, hal itu bagaimana?
33. WREDATAMA : Qur’an itu, bersifat BANAR, tidak pernah berubah atau berlawanan
selamanya, serta Surat atau ayatnya antara yang satu dengan yang lainnya,
sesuai dan tidak bertentangan.
Di Qur’an ada banyak ayat yang menceritakan keadaan para ahli surga dan ahli neraka,
kejadian yang sudah dialami. Padahal surga dan neraka itu keemunya setelah
kiyamat, setelah para ahli kubur ditimbang besarnya amal dan besarnya dosanya
(diperiksa – diadili – dihisab).
Olehkarena itu, jika kiyamat, kamu gambarkan kejadian umum yang luar
biasa dan belum pernah kejadian ........... tentunya menjadi berselisih :
antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya. Iya apa tidak?
34. MUDADAMA : Iya demikian! Akan tetapi keterangan tentang adanya hari kiyamat itu jelas waktu yang belum
terjadi, kan Kak? Kalimatnya kan “Besok” atau “akan” kan begitu Kak?
34. WREDATAMA : Benar, memang kiyamat itu waktu yang belum terjadi! Dan aku mana mungkin
mau mau merubah Nash-nya (redaksinya) Qur’an. Namun, belum terjadi, besok atau
akan terjadi itu menurut ..... masing-masign orang yang masih hidup dengan
badan kasar , yang masih bisa mempergunakan akal dan pikiran ini. Bukan aturan
bagi orang yang mati yang ada di alamm kubur, atau orang hidup yang bagaikan
mati karena tidak mau mempergunakan akal dan pikirannya. Fainnaka laatusm’u
aimawtaa (Ar-Rum 52 : = Sesungghnya kamu tidak bisa menasehati orang mati).
Sedangkan kiyamatnya para ahli kubur, sudah terjadi berkali-kali,
sehingga sudah ada cerita (bukan
kira-kira) tentang ahli Surga dan ahli neraka. Kiyamat itu terjadinya tiap
hari, tiap jam, tiap menit, dan akan selalu ada selamanya, tidak
selesai-selesai atau tidak ada liburnya, karena Tuhan itu ada tanpa awal dan
tanpa akhir.
35. MUDADAMA : Iya-iya kak, aku ikut saja atas pendapat Kakak, tentang kiyamat itu.
Sedangkan bentuk kiyamat yagn dialami oleh para ahli kubur itu seperti apa?
Apakah kita yang masih hidup bisa menyatakan?
35. WREDATAMA : Nyata bagi pemahaman, itu mudah saja, jika kamu masih mau mempergunakan
akal dan pikiranmu. Tetapi lebih dari itu, tentu saja menggunakan ilmu,
seumpamanya Spiritisme (Bab II No.18). Aku berani menetapkan : Ahli piritualisme
yang sudah sangat tinggi, tentu tidak akan bisa berhubungan atau bertemu dengan
roh para Rasul dan sesamanya, atau rohnya siapa saja yang sudah meninggal dunia
beribu-ribu tahun. Karena roh para Rasul itu sudah kembali pulang : Tidak bisa
terbayangkan. Sedangkan orang yang sudah meninggal dunia beberapa ribu
tahun itu umumnya sudah tidak ditemukan
di alam kubur, karena sudah mengalami kiyamat (bangkit dari kematian).
Sedangkan keadaan bangkit dari alam kubur memasuki alam akhirat itu :
a.
Ketika diadili berdasarkan kita
ceritanya sendiri-sendiri (Israa 14), serta anggota badannya saling bicara
sendiri-sendiri (Ya’sin 65).
b.
Putusan untuk menerima balasan,
sesuai dengan perbuatan yagn sudah pernah dilakukannya sendiri-sendiri (Ali ‘Imaraan
25), ada yang menerima balasan surga, ada yagn disiksa di neraka (An Nazi’at 36
– 41 dan lain-lainnya), tidak ada diri yang lain yagn bisa menggantikan atau
mengajari merubah putusan (Al-Baqarah 48), sehingga dikatakan dunia itu ladang
bagi akherat (Hadits).
c.
Alam akherat itu kekal
selamanya (Al Mu’min 39), di saat itu ayah sduah tidak berguna bagi anaknya,
ana sudah tidak berguna kepada ayahnya (Luqman 33), seseorng yagn tadinya
saling mengasihi menjadi bermusuhan, kecuali orang yang takut kepada Tuhan (Az
Zuchruf 67), tidak ada yang saling bertanya tentang keturunan (Al Mu’minun
1010).
Menurut keterangan a, b, c itu tadi, bagi kakakmu ini, sudah tidak
ragu-ragu lagi, jika ketika bangkit dari kematian (kiyamat) itu sebenarnya
.......... seorang bayi yang lahir dari kandungan seorang Ibu.
Bayi itu sudah membawa ketetapan (Qadar, takdir) baik atau buruk (Surga –
neraka) menurut amal diri masing-masing ketika dahulunya. Sehingga aku juga
sangat percaya adanya ketetapan baik dan buruk itu, dan saya sangat yakin bawa
Allah itu Maha Adil, sedangkan baik dan buruk
keteapan itu tetap dari buah perbuatan diri.
Sehingga : Alam dunia yang sedang saya alami sekarang ini ; Akheratnya
alam duniaku ketika dahulu, juga menjadi ladang akhiratku besok.
36. MUDADAMA : Mohon ijin Kak. Ini masalah yang teramat sangat penting, sehingga
ijinkahlah Kak, aku membatahtah, dengan sangat.
Jika seperti penyampaian Kakak itu tadi, kan berarti : Akherat itu tidak
kekal selamanya. Dan berarti kita ini mati berkali-kali, yagn sangat tidak
diingini bagi para pencari hakikat, terlebih lagi yang menggunakan dasar Agama
Islam.
36. WREDATAMA : Dibantah pun aku sangat senang, sebab menjadikan kemurnian pendapatku,
yang menggunakan dasar tidak lain , hanya mencari kesentausaan Iman yang
sebenar-benarnya Iman, bukan Iman yang hanya berdasarkan percaya saja.
:Kekal: itu bermakna sesuai umur masing-masing dari orang hidup ini,
sebab Qur’an yang menerangkan tentang Akherat itu tuntunan bagi manusia hidup
ini, bukan tuntunan bagi manusia mati (Bab II No.34) Sehingga surga dan neraka
(takdir baik dan takdir buruk) yagn kita jalani sekarang ini langgeng. Sedngkan
siapa pun yang bertobat dari dosanya, itu menjadi perkenan Tuhan, serta Tuhan
akan memberi ampunan, karena Allah itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih (An
Nisa 146, Al-An’am 128, At Taubat 27).
Kamu mengatakan “mati berkali-kali” itu tidak benar, karena Sidin itu meninggalnya
hanya ssekali, sedangkan kelahiran bayi dari rahim seorang Ibu, itu juga pada
akhirnya akan mengalamai mati juga. Itu bukan ....... Sidin, namanya Siman,
terakdang Jacob, atau Liem, bisa juga Alaydrus, atau yang lain-lainnya lagi,
Iya apa tidak?
37. MUDADAMA : Iya benar, Kak, aku yang salah, Kita, orang, yang tiap dirinya punya
tanda “Nama” ini, kan Cuma badan kasarnya saja, Sedangkan badan kasar itu
hidupnya hanya sekali, matinya juga hanya sekali.
Akan tetapi pemahaman Kakak tentang perjalanan roh (hikayatul arwah) yang
berganti-ganti raga kasar itu, apakah tidak bertentangan dengan Ajaran Agama
yang digelar oleh para Nabi Utusan Allah? Itu kan Ilmu Hindu yang dinamakan “Manjanma,
iya kan? Kata yang popler itu : Reinkarnasi, bahasa Jawanya “Penitisan”. Yaitu
sebuah paham yang meyakini bahwa roh itu selalu berputar berkali-kali bagaikan
Cakra Penggilingn (Perputaran Roda).
Jika saya tidak salah, reinkarnasi itu, bahas Arabnya :Tanasuch, serta
paham “Tanasuch” itu ditolak oleh Agama Islam. Sedangkan penjelasan Kakak itu,
kan termasuk Falsafah yang berdasarkan Islam, kan?
37. WREDATAMA : Sabar.... tenang...... Perintah di dalam Qur’an “ Allahu wasi’u ‘alim
(Allah itu Maha Luas dan Maha Mengetahui), sehingga jika kamu akan mengabdi
kepada Tuhan ...... luaskanlah dadamu, jangan sempit-sempit!!!!
Kata Arab “Tanasuch” itu saya tidak begitu paham artinya : Apakah roh
manusia lahir menjadi bayi, apakah roh manusi yang bisa lahir menjadi hewan,
apakah roh manusia yang menempel kepada sifat hidup yang sudah ketempatan roh.
Akan tetapi sepengetahuanku di dalam Al-Qur’an tidak ada yang menerangkan
tanasuch itu benar atau sesat. Sehingga yang menolak paham tanasuch itu bukan
Agama Islam, hanya pendapatnya Sarjana-Sarjana Islam, yang pemahamannya tidak
berdasarkan Al-Qur’an.
Demikian juga kata yang lain-lainnya yang kamu sebutkan itu tadi, mengapa
tidak saya bciarakan, itu hanya karena kurang pemahamanku, bukan karena menolak
karena berasal dari ilmunya orang di sana-sana. Yang saya bicarakan itu karena
aku sudah tidak ragu-ragu lagi, bahwa ketika bangun itulah Lahir menjadi bayi.
Sebab, selain berdasarkan keadaan a, b, c itu tadi (Bab II No.35) juga ada
dalil yang mengatakan : wa kuntum amwaatan faahyaakum tsummaa yumietukum tsumma
yuhyiekum (Al Baqarah 28 = Dan kamu sebelumnya mati, dihidupkan, kemudian mati,
kemudian dihidupkan lagi); Laqad ji’ttumuunaa kamaa chalaqnaakum awwala
(Al-Kahfi 48 = Sesungguhnya kedatanganmu itu (di hari kiyamat) seperti ketika
kamu tercipta ketika awalnya).
Saya yakin masiha da dalil yang lainnya lagi yang menguatkan pendapat
ini.
Akan tetapi janganlah kamu salah tafsir, tentang kelahiran menjadi bayi
lagi itu bukan tujuan, lhooo!! Sebenarnya karena keterpaksaan yang mengharuskan
begitu karena belum bisa menghilangkan keterikatannya kepada dunia, yang
bagaikan daya tarikan besi berani terhadap sebuah paku kecil. Keterikatan
tersebut jika menurut Agama Buddha disebut SAMSARA yang kemudian menjadi kata bahasa
Jawa :Sengsara” yang berarti selalu celaka saja. Jika Agama Kristen menyebutnya
menerima dosa warisan dosa dari Nabi Adam
38. MUDADAMA : Iya Kak, akan tetapi aku pernah diberitahu oleh seseorang : Di dalam
Surat Al Mu’minuun, ada yang menerangkan tentang Mokalnya roh kembali ke dunia
ini. Hal itu bagaimanakah?
38. WREDATAMA : Surat Al Mu’minuun, ayat 99, 100, itu bukan memokalkan, seperti katamu
itu tadi. Di ayat tersebut menjelaskan :
Sambatnya orang yang sedang mengalami siksa kubur dan perintah Firman Allah, Nash-nya seperti ini : Qaala
rabbi arji’uuni (Katanya : Wahai Tuhanku kembalikanlah aku = ke dunia) La’alli a malu shaalihan fiema
taraktu (semoga amal shaleh yang ku tinggalkan) kalla innahaa kalimatuun huwa
qaailuhaa (tidak bisa! Sesungguhnya itu hanya kaya yang diucapkan saja = tidak
berguna) wamin waraihim barzachun ( dan belakangnya ada penghalangnya barjah yang menghalangi) ilaa yaumi juba’at
suuna ( sampai datang hari kembangkitan).
Menurut yang ku pahami, makna ayat itu, sudah sangat jelas. Tidak bisa
kembali ke alam dunia lagi itu jika orang yang bernama SIDIN minta kembali
untuk menjadi SIDIN. Namun bukan hal yang tidak mungkin kembali ke dunia
(dibangkitkan di hari kiyamat) yaitu terlahir menjadi bayi yang bernama SIMAN,
atau Yacob, atau Liem atau Alaydrus itu tadi (Bab II No.36).
39. MUDADAMA : Sudah Kak, aku menyerah, ikut pendapat Kakak. Namun Kak, berilah
keterangan tentang “Kala Sangka” (Sangkakala) (Terompet) tanda kiyamat yagn
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Injil, itu sebenarnya apa, dan bencana yang
mengerikan itu seperti apakah ceritanya seerta apakah maksudnya? (Bab II No. 28
– 32).
39. WREDATAMA : Yang dibahasakan “Kalasangka” (Sangkakala) itu perintah Allah, yang dalam
bahasa dalangnya disebut Genta Keleleng.
Sedangkan bencana yang sangat menakutkan itu sebaiknya kamu baca sendiri.
Jika hanya singkatnya saja, yaitu : Datang tiba-tiba, suaranya menggetarkan,
bumi pecah, langit membelah, gunung hancur, hujan bintang, mendung berbaris
kelam, dan lains ebagainya. Nah... itu sebenarnya ibarat atau simbolisch.
a.
Jika dengan menceritakan
ketakutan dan kesakitan yang berdosa, itu ibarat susahnya orang yang akan masuk
ke alam kematian (sakaratil maut), terlebih lagi bagi orang yagn tidak
mempunyai Iman.
b.
Jika tidak menggunakan cerita
yang mengerikan, itu ibarat kesakitannya seorang wanita yagn melahirkan
bayinya.
Selain berita rusaknya alam yang symbolisch, dalam Qur’an juga memuat
banyak cerita kehancurannya yang melakukan dosa, contohnya : Kaum “Ad, kaum
Tsamud, kaum Luth, banjir topan jaman Nabi Nuh, dan lain-lainnya. Itu cerita
letterlijk, bukan ibarat, rusak oleh bahaya alam.
Sekarang marilah istirahat dulu, besok sore dilanjutkan lagi.
40. MUDADAMA : Wahhh... tidak terasa ternyata sudah larut malam. Memang saya akan mohon
keterangan mengenai Surga Neraka (Bab II No.35) yang lebih terperinci, dan
minta diajari, amalan apa yang haru kita jalankan, supaya kita bebas dari
Kiyamat (Bab II No.30) atau tidak terpaksa “Samsara” atau tidak menerima
warisan dosa asal dari Nabi Adam (Bab II No.37) tadi itu.
40. WREDATAMA : Keterangan tentang Surga Neraka itu sebaiknya dijadikan satu saja
bersamaan membicarakan tentang yang gaib lain-lainnya, seperti Maalekat, yang
juga wajib kita percaya (Rukun Iman (Bab II No.24). Kamu boleh bertanya tentang
yang gaib-gaib apa saja, jika aku bisa, pasti saya terangkan. Gunanya, agar
tidak menjadi orang yang gampang heran, jangan mempercayai yang diawur saja dan
jangan mencela yang diawur saja.
Sedangkan soal terbebas dai kiyamat, karena sudah kembali ke asal usulnya
..... memang itu yang di perjuangkan oleh para pencari Hakikat. Dalam kita
bermusyawarah dua hari initidak lain ya hanya menuju ke situ saja, barangkalai
saja diperkenankan oleh-Nya. Syaratnya yang harus ...... menjalankan (“amal),
menjalankan Syari’at, mencari Tarekat, menyatakan Hakekat, Menggapai Ma’rifat.
Nah.. itu besok sore saja di bicarakan sampai dengan sejelas-jelasnya.
Sekarang, marilah beristirahat dahulu.
Bab.III
: URAIAN TENTANG MA’RIFAT KEPADA TUHAN DAN ADANYA YANG GAIB-GAIB (BABU
MA’RIFATULLAH WA GHAIBI’L MAUJUUDI)
1. MUDADAMA : Kak, saya merasa bahwa pemberian penjelasan Kakak yang sudah saya terima
itu masih jauhdari mencukupi, namun besok saya terpaksa mohon pamit pulang, karena
ada tugas dinas yang harus saya kerjakan di liburan ini.
1. WREDATAMA : Nah... hal itu aku sepakat, dalam kamu mencintai ilmu kebatinan, walau
pun sampai bagaimanapun, namun jangan sampai meninggalkan tugas wajib yang
sudah menjadi kewajibanmu.
Jika kamu mencari ilmu batin, dengan jalan tidak mementingkan urusan
dunia, itu termasuk dalam peribahasa “Luput ing piyangkuh” (salah jalan), tidak
merasa bahwa hidupmu itu ada di dunia, masih butuh pakaian, makan dan kebutuhan
hidup yang lain selama masih hidup di dunia. Dan jika kamu hanya sendirian,
yang tidak mempunyai kewajiban atas anak istri, bisa saja seumpama menjauhi
urusan dunia, kemudian pergi ke tempat sunyi, artinya sudah tidak hidup di
dalam lingkungan masyarakat pada umumnya.
Hanya saja, dalam kamu mementingkan urusan dunia itu, bagi para penempuh,
seharusnya dengan diiringi sadar, bahwa manusia itu penguasa dunia, bukan
dikuasai oleh dunia. Dunia itu hanyalah alat, jangan sampai manusianya yang
diperalat oleh dunia.
2. MUDADAMA : Iya Kak, semoga saja saya selalu sadar dan ingat atas perintah Kakak.
Sesungguhnya saya belum bosan mendengarkan nasehat Kakak itu, Jika tidak
terhalang jarak yang jauh, pastilah sering datang ke sini, walau pun ibaratnya
“Canthing Jali” digunakan mengambil air pun hanya menghasilkan sedikit saja.
2. WREDATAMA : Ilmu milik Tuhan itu, dikatakan bahwa seumpama semeu daun yang ada di
seluruh dunia itu sebagai kertasnya, dan lautan sebagai tintanya (Al-Kahfi :
109), tidak akan cukup. Jika dikatakan tidak akan ada putusnya. Sedangkan
musyawarah di dalam pertemuanku dengan dirimu ini kan hanya sebagai “Biji”saja,
Untuk tumbuh berkembangnya, buahnya ........ itu tergantung keseuburan tanahnya
dan perawatannya.
3. MUDADAMA : Aduh Kakak!! Hal itu, aku masih teramat sngat jauh. Sehingga akan selalu
datang gke sini.
3. WREDATAMA : Jangan merasa rendah diri. Saya doakan dirimu itu bisa melebihi aku,
sedangkan sekolahnya saja lebih tinggi dirimu. An sebenarnya ilmu kebatinan itu
lebih mudah diterima oleh orang yang mengetahui ilmu Kudrat (natuurkunde), ilmu
dunia (Scheikunde), dan lain-lainnya. Dan juga memang tidak jarang anak
melebihi orang tuanya, saudara muda melebihi saudara tua, murid melebihi guru.
Oleh karena pertemuanku dengan kamu hanya tinggal semalam ini, aku hanya
ngikut saja, tentang apa yang masih perlu kamu tanyakan sekarang ini?
4. MUDADAMA : Yang perlu lebih dari perlu, saya mohon penjelasan : Bagaimana jika aku
meninggal dunia itu bisa pulang kepada Tuhan, tidak mengalami terlahir lagi
menjadi bayi? Ibaratnya “Senteg pisan anigasi” (sekali tebas putus. Jika
menggunakan syarat, syaratnya apa, jika menggunakan laku, lakunya bagaimana?
4. WREDATAMA : Wahhhh... jadi yang kamu cita-citakan itu terbebas dari Kiyamat (bebas
bangkit dari kematian) atau surga tanpa hisab?
Yah... itu cita-cita yang tinggi lebih dari yang tinggi, Jika hanya
teorinya saja bisa di katakan, akan tetapi tindakan dan berhasilnya itu yang
sulit lebih dari yang tersulit. Surga ayang seperti itu hanya disediakan untuk
para Nabi yang terpilih. Wali terpilih, Pandita yang terpilih, Mukmin Chas yang
terpilih dan...... makhluk yang mendapat anugerah Tuhan saja.
Seumpama cita-cita itu agak lebih dilonggarkan sedikit, bagaimana?
Seperti : Surga yang melalui Hisab di hari Kiyamat juga mau, kadang juga tidak
dengan berada di alam kubur. Kemudian diberi kelonggaran lagi : lama di alam
kubur juga terima, kadang juga tidak mengalami siksa kubur.
Karena katahuilah olehmu, yang tersebutkan bahwa manusia yang matinya
berkumpul dengan Dewa yang mulia (Sastraceta Wadining Rat, Bab.I, 26, Bab II :
5) itu juga baru bermakna “Terbebas dari siksa kubur” belum bermakna “Asal dai
Tuhan, kembali kepada Tuhan” seperti cita-citamu itu.
Jika dilonggarkan seperti itu, dan kamu sepakat, marilah bersama-sama
kita cari, barangkali saja diterima.
5. MUDADAMA : Iya Kak, bahwa cita-cita itu sebaiknya menggunakanwaktu yang longgar, aku
ikut saja. Namun permohonanku, agar Kakak menjelaskan tentang cita-cita yang
tinggi itu tadi. Karena jika surga yagn tanpa hisab itu juga disediakan bagi
manusia biasa yang mendapat anugerah Tuhan, sehingga jika ada manusia biasa
seperti aku ini, juga tidak aneh jika mempunyai cita-cita yang seperti itu.
5. WREDATAMA : Sangat tepat sekali apa yang kamu sampaikan itu! Syukur Alhamdulillah,
menandakan bahwa yang sudah dibicarakan itu bisa kamu terima dengan jelas. Aku
tidak keberatan menuruti permintaanmu itu, beginilah jelasnya :
Sudah saya katakan, yang bisa bebas dari pengaruh Kodrat “Bangkit dari
kematian” (Arab Qiyamat, Sanskrit Samsara) atau terlahir ke dunia lagi itu,
tidak lain hanyalah manusia yang sudah bisa lepas dari ikatan dunia itu tadi,
Dalam Agama Kristen disebut menerima warisan dosa dari Nabi Adam (Bab II
No.37).
Sedangkan yang disebut terkekang oleh dunia itu, tidak lain adalah ......
KEINGINAN. Bukan hanya keinginan yang rendah atau pun yang luhur, dan juga yang
luhur dari yang terluhur. Cobalah dipikir, mana ada manusia hidup yang tidak
mempunyai keinginan?
Ujud dari keinginan yang agak luhur, contohnya, ingin mengerti tentang
semua ilmu. Jika cukup amalnya, ketika pulang kembali ke dunia lagi, bisa juga
menjadi ..... Proffesor, atau penemu ilmu baru.
Ada lagi yang lebih luhur dibanding itu, contohnya , keinginan untuk
membuat ketenteraman dunia, Jika cukup amalnya, ketika terlahir kembali ke
dunia bisa menjadi .... Presiden sebuah Negara Besar yang bisa membawahi
wilayahnya.
Sedang yang luhur dari yang terluhur itu keinginan untuk menjadi penuntun
umat manusia agar berbakti kepda Tuhan. Tentang yang ini, jika cukup amalnya,
ketika terlahir kembali bisa juga menjadi .... Nabi utusan Tuhan, Arab Rasul,
Sanskrit Avatar yang menyebarkan Agama.
6. MUDADAMA : Mohon ijin Kak!! Menurut pemahamanku, Kakak mempunyai pendapat, bahwa
Utusan Tuhan itu ketika tercipta di dunia juga berasal dari akibat “terkekang”.
Apakah pendapat seperti itu itu tidak sesat?
Apa yang berkehendak ignin menjadi penuntun umat manusia agar berbakti
kepada Tuhan itu bukan atas Anugerah Tuhan.?
6. WREDATAMA : Sebentar, aku agak kurang paham, mengpa kamu bertanya seperti itu.
Cobalah dengarkan dengan tenang.
Menurutku, penduduk dunia, sangat menghormati profesor yang menemukan
sebuah ilmu, yang kemudian di sebarkan di dunia ini. Dan lebih menghormati lagi
terhadap Kepala Negara besar yang bisa membuat ketenteraman dunia ini. Terlebih
lagi menganggap terhormat dan mematuhi kepada Utusan Tuhan yang mengelar pencerahan di dunia ini. Karena
jika tidak demikian tentu saja dunia ini tidak akan ada kemajuan, tidak
tenteram, dan tidan terang. Sehingga kata “Terkekang” atau terikat itu tidak
berarti meremehkan. Marilah, sekarang kita pikir menggunakan pikiran pada
umumnya saja dan merdeka saja (obyektif).
Keinginan atau cita-cita akan berbuat kebaikan di dunia (masyarakatnya
orang hidup di dunia) itu baru bsia disebut “berhasil”, Sedangkan jika yang
mempunyai keinginan itu kembali ke dunia, tentulah bisa melaksanakan
keinginannya, kan? Tentunya akan bisa terlaksananya cita-citu itu, kan, yang
pada umumnya dikatakan “mendapat anugerah Tuhan”?
Sehingga : Seumpama yang mempunyai keinginan itu tidak kembali ke dunia,
malah bisa kamu sebut tidak mendapat
anugerah Tuhan. Hal itulah yang menyebabkan aku tidak mengerti, mengapa dalam
kamu berpikir, menjadi terbalik?
Dan aku agak heran, mengapa kamu masih ragu-ragu atas sifat Tuhan yang
Maha Murah. Singkatnya, semua cita-cita (keinginan) baik sang rendah atau pun
yang tinggi, asal cukup syarat-syaratnya (amalnya, lakunya) pasti akan mendapat
ridho Tuhan, artinya, terlaksana. Dan jika tidak bisa didapat ketika di
hidupnya, karena tiba-tiba mati. Tidak ada perbuatan yang hilang sia-sia, dan
tidak ada kejadian yagn tanpa sebab.
7. MUDADAMA : Sudah, sudah kak, kau yang keliru, sekarang aku sudah mengerti. Yang ku
inginkan Kakak terus memberikan penjelasan tentang untuk bisa tercapainya cita-cita “Terbebas dari kiyamat” itu.
7. WREDATAMA : Jika masalahnya seperti itu kan sudah jelas lebih dari jelas ta? Oleh
karena yang menyebabkan kembali tercipta di dunia lagi itu adalah keinginan
tentang urusan dunia, sehingga agar bisa terbebas tercipta lagi, tidak ada lain
jika sudah ...... tidak mempunyai
keinginan tentang urusan dunia itu tadi.
Di dalam bahasa Sanskrit disebut “Wairagya”, bahasa Arabnya “Zuhud” orangnya
disebut zaahid. Di dalam Filsafat Kristen, dikatakan ; Agar bisa terlepas dari
dosa warisan Nabi Adam (memakan buah larangan) itu, jika sudah bisa membawa
salib sendiri.
Namun “Wiragya” itu hanya salah satu sifat saja, sempurnanya harus dengan
Ilmu dan laku (Amal). Artinya, jiak ada orang yang bisa melenyapkan
keinginannya tentang urusan dunia, akan tetapi kurang ilmunya dan amalnya,
buahnya kira-kira hanya ..... dikira orang gila.
8.. MUDADAMA : Maaf, menyela sedikit. Sedangkan yang Wairagya serta cukup ilmunya serta
amalnya itu, terus bagaimanakah hidupnya di dunia ini? Apakah sudah tidak
mencari sandang pangan untuk kebutuhan
raga ini?
8. WREDATAMA : Hlo....., kan baru saja, saya mengatakannya kepadamu, tentang yang kamu
tanyakan itu? (Bab III No.1), Jelasnya lagi, begini :
Urusan mencari sandang pangan untuk memenuhi tuntutan raga itu, kita
bebas memilih, mana yang kita bisa dan kita senangi., singkatnya : merdeka se
merda-merdekanya. Namun, bagi para pencari Hakikat itu, entah sudah mencapai
wairagra 100%, apa 50% apa baru 1% ....
harus bertekad di dalam sanubarinya, bahwa dalam segala tindakannya hanya sebatas
untuk merawat sebatas kebutuhan raga saja. Walau menjadi pengemis, apa tani,
dagang, guru sekolah, polisi, tentara, pengarang, dokter, pamong praja, .....
Perdana Menteri sekali pun, hakikatnya sama saja, agar sebisa-bisa harus
bertekad seperti itu.
Oleh karena keyakinan seperti itu, pastilah cara hidupnya hanya
sepertlunya saja, tidak berlebihan, Di dalam Agama Hindu Kuna, mewajibkan
kepada orang yan gsudah tidak mempunyai tanggungan anak, mengembara hidup
mengemis (menjadi bikhsu), namun tidak boleh menerima pemberian yang lebih dari
kebutuhan per harinya.
Nah... melakukannya bagaimana? Apakah pasief : Polisi tidak mau menangkap
pencuri, tentara tidak mau membunuh musuh? Tidak!!!! Tidak demikian. Seharunya
justru jelih aktif dibanding dengan yang bukan pencari hakikat. Karena bagi
pencari hakikat itu tidak akan mau menerima balas jasa yang tidak sebanding
dengan kerjanya. Namun aktifnya karena menjalankan kewajiban yang sudah menjadi
tanggung jawabnya, bukan karena rasa benci kepada pencuri atau kepada musuhnya,
tidak mengharap mendapatkan sanjungan dari atasannya, atau bukan mencari ketinggian
pangkat dan bayarannya, walau pun tidak menolak seumpama dinaikan pangkatnya.
9. MUDADAMA : Wah..... Jika bertindak dan bekerja yang seperti itu bagiku ............
sangat sulit sekali. Karena bisa disebut perbuatan yang hampa dari segala
harapan.
9. WREDATAMA : Nahhh... itu karena kamu bertanya laku bagi yang sudah wairagya! Ya
seperti itulah. Yaitu yang dikatakan “Agawe kang tan agawe (berbuat yang tanpa
mengharapkan hasilnya). Dalam bahasa Arab didsebut Ikhlas (Bab II No.4) karena
hidupnya telah terkuasai oleh CINTA, yang bersumber dari sifat Tuhan Yang Maha
Penyayang (Bab II No.3).
Soal aku dan dan kamu masih merasa sangat jauh, tidak mengapa, hanya agar
bisa dijadikan pedoman terlebih dahulu. Tidak beda dengan anak sekolah yang
masih di sekolah dasar, terus mengerjakan soal anak SMA atau Mahasiswa,
tentunya kejauhan.
Oleh karena kejauhan itu tadi, sehingga dalam ajaran Agam Islam bagi para
Mu’min “Am ( Mukmin biasa) seperti aku dan dirimu ini “Kumpulkanlah harta
seolah tidak akan mati selamanya, namun beribadahlah kepada Tuhan seperti kamu
akan mati besok hari”. Nahhh...hal itu tidak sulit untuk dijalankan.
Akan tetapi bagi Mukmin Chas (Mukmin cerdas) dan juga yagn disebut
Chawasul chawas (cerdas dan kuat) tentu saja tidak menggunakan ajaran itu tadi,
karena sudah yakin se yakin-yakinnya bahwa manusia itu tidak bisa melakukan
secara bersamaan tentang hal yang berlawanan, hingga bisa berhasil keduanya.
Pastilah hasilnya hanya di tengah-tengahnya saja, atau memihak salah satunya.
10.
MUDADAMA : Memang benarlah demikian Kak. Singkatnya, harus
memilih, jika mementingkan kekayaan, dalam pencarian tentang Ketuhanan harus
bisa menerima hanya sampai tingkatan Syari’at saja. Sedangkan jika mementingkan
Ketuhanan, juga harus hanya menerima dunia seperlunya saja. Jika pun jadi orang
kaya yang tidak disengaja, bukan karena giatnya bekerja.
Namun menurut sejarah dari masa lalu, dan yang kita
ketahui sendiri sekarang ini, mengapa tidak ada para Arif (ahli ma’rifay) dan
para “Ubad (ahli ibadah) itu yang.......... kaya. Justru ceritanya Ki Ageng andanarang
dahulu, yang sudah terlanju sangat kaya karena hasil kerja sebelumnya, kemudian
meninggalkan kekayaannya itu, karena lebih mementingkan tentang Ketuhanan, yang
akhirnya menjadi Wali terkenal dengan nama Sunan di Tembayat. Demikian juga
Sidharta Gautama, yang takdir semula sebagai orang kaya karena sebagai Raja
Putra calon Raja, tiba-tiba meninggalkan kekayaan dan derajatnya, karena lebih
mementingkan urusan Ketuhanan, akhirnya menjadi Buddha Gautama.
Akan tetapi, Kakak, entahlah, akan baagaimanakah
akhirnya diriku ini, aku memaksa tetap mohon dijelaskan tentang Ilmu dan Amal,
yang sudah akan dibicarakan itu tadi.
10.
WREDATAMA : Hal itu aku tidak keberatan, hanya mengikuti
kehendakmu saja. Silahkan dengarkan yang sungguh-sungguh, karena ini hal yang
sangat rahasia dan berbahaya.... !
Kamu mempunyai keinginan agar supaya saat kematianmu
tidak terpaksa terlahir lagi ke dunia. Yairu “Asal dari Tuhan kembali kepada
Tuhan”. Untuk cita-cita yang demikian
yang harus dibicarakan tentunya tentang, yaitu :
a.
Yang disebut Tuhan itu apa?
b.
Yang disebut mati “kembali kepada Tuhan” itu
bagaimana?
c.
Carakematian “Kembali kepada Tuhan” itu bagaimana?
Penjelasan a,b,c, itu semua disebut “Ngelmu” sedang
caranya yang tersebut di c itu dinamakan “Laku” atau Ngamal. Marilah sekarang
kita bicarakan :
11.
MUDADAMA : Iya Kak, memang demikian. Yang kuminta, Kakak
berkenan menjelaskan satu demi satu sampai sejelas-jelasnya.
1.
WREDATAMA :
a.
Yang disebut Tuhan itu apa? Di depan kan sudah
dibicarakan panjang lebar, menurutku sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Di
antara Sifat Tuhan itu, seperti : Yang tidak bisa dibayangkan. Sehingga di
dalam keadaan apa pun juga jika masih bisa dibayangkan jelas bukan Tuhan. Selain itu, Tuhan itu
disebut Maha kuasa tanpa alat, iya kan? Dua macam itu saja dahulu, sudah cukup
dijadikan sebagai pedoman.
b.
Yang disebut mati “kembali kepada Tuhan” itu
bagaimana? Memang seharusnsya demikian, jawabannya mudah saja, dan pasti
benarnya : (I). Oleh karena Tuhan itu tidak bisa dibayangkan, sehingga “Kembali
kepada Tuhan” itu juga ........ tidak bisa dibayangkan. (II). Oleh karena Tuhan
itu berkuasa tanpa mempergunakan alat, sehingga jika kita masih menggunakan alat,
walau pun alat yang halus lebih dari yang terhalus, jelas belum kembali kepada
Tuhan.
c.
Caranya mati “Kembali kepada tuhan” itu bagaimana?
Ini (c) Jawabannya juga tidak sulit, yaitu : dipelajari dengan tekun, ketika
masih belum mati, ini.
Sehingga, ketika masih hidup menggunakan jazad
kasar ... belajarlah... tentang ,,, yang tidak terbayangkan, atau belajar tanpa
alat.
Tentunya hal itu tidak sulit kan? Namun, yang perlu
keterangan yang panjang itu adalah caranya belajar. Dan yang sulit dari yang
tersulit , itu adalah keberhasilannya dalam belajar.
Jika berhasil dalam belajarnya, hal itu berarti
sudah sampai kesejatian Ma’rifat. Barangkali diperkanan oleh Tuhan menjalankan
apa yang dikatakan di dalam dalil yang sudah pernah saya sampaikan di depan, yang artinya : Ketika orang-orang
ahli surga itu diberi rizki dari buah-buahan surga, saling berkata : Ini kan
sama dengan yang sudah diberikan kepadaku ketika dahulu (Bab I No.10).
Sehingga “Surga” di dalam dalil ini bisa dimaknai “Surga
Tanpa Hisab” (Bebas dari Kiyamat) juga bisa dimaknai “Surga dengan hisab” (Takdir setelah terlahir
kembali di dunia). Kesemuanya berdasar dari Ilmu dan amalnya ketika masih hidup
menggunakan jasa kasar ini.
12.
MUDADAMA : Iya, iya Kak, sudah jelas. Namun masih ada sedikit
yang saya belum mengerti, tentang telah berhasil dalam belajar, namun masih
dikatakan “Barangkali mendapat perkenan Tuhan”. Itu kejelasannya bagaimana?
12.
WREDATAMA : Ketahuilah olehmu, manusia ini bersifat celaka dan
berubah-ubah. Maka dari itu, agama yang terpuji, tentang apa saja, memastikan
bahwa hal itu termasuk larangan besar. Terlebih lagi tentang hal kematian.
Ketika dalam sakaratil maut, itu sama saja sedang
menempuh ............... Ujian. Banyak yang ketika di rumah sudah paham tentang
apa yang dipelajarinya, bisa dengan sebenar-benarnya, tiba-tiba ketika
mengerjakan ujian ....... tidak bisa. Tentunya tidak lulus ujian.
Pastilah kejadian tersebut tidak terlepas dari
sebab, namun yang namanya sebab itu bisa mengembang panjang sekali, hingga
sampai tidak diketahui. Contohnya : Penyebab dari tidak bisanya mengerjakan
ujian itu karena lupa. Sebabnya lupa karena pikirannya tidak konsentrasi.
Penyebab tidak konsentrasinya karena teringat kesusahannya. Penyebab
kesusahannya itu karena ayahnya sakit keras. Karena ayahnya sakit keras sehingga
mengaikatkan sanagta sedih, karena adiknya masih kecil-kecil ...... begitulah
seterusnya. Sehinga bisa disimpulkan : Semuanya itu tergantung kemurahan Tuhan.
Namun dalam menumpuh ujian, jika tidak lulus masih
bisa diulangi lagi di tahun yang lain. Sedangkan tentang kematian, tidak
demikian, sehingga dikatakan “Senteg pisan anigasi” (Sekali tebas putus).
“Anigasi” itu isitilahnya orang menenun, artinya
sudah selesai menjadi tenunan : Di tigas dari alat tenunnya. Jangan kamu kira
bermakna telah selesai semua atau sempurna (Bab III No.4), Sedangkan “Seneteg”
itu ibarat dari suaranya “Walira dibenturkan” setelah benagnya di pasang.
Berbahayanya tentang masalah mati itu diibartkan “Benturan
Walira itu tadi, yaitu hanya dalam hitungan waktu sak................. detik.
Sangat sayang sekali, sudah bertahun-tahun belajar dengan tekun “Dog-dog byang
anenun garingsing wayang, pakanane mas kumambang” ......... wasana bareng
anigasi, dadi jarit tenunan ......... kepyur-kepyur negnteni randa semaya, tur
benange lawe bae (Alias Gagal Totoal). Dikarenakan lupa pada waktu satu detik
itu tadi. Mati yang demikian itu disebut “Suul chatimah”. Sedangkan bila
menjadi “jarit tenunan garingsing wayang
temenan, (Kain pakaian jawa yang bagus),
benangnya juga benang emas sungguhan, mati yang demikian itu dikatakan “Husnul
chatimah”
Maka dari itu, didalam kita mengamalkan itlmu itu,
baerhasil atau pun tidak hanya...... pasrah (berserah diri), sekehendak Yang Maha Kuasa yang menguasai segalanya.
Berserah diri... hanya... Cuma... itu saja. Tanpa Amal ...... salah, karena
jika tidak menenun, atau menenun menggunakan benang lawe, juga tidak akan bisa
menjadi tenunan benang emas.
Bagaimana, apakah sudah jelas?
13. MUDADAMA : Sudah Kak, Untuk selanjutnya mohon penjelasan tentang Cara belajar “Tanpa
mempergunakan alat” itu tadi, aku sangat ingin mendengarnya.
13. WREDATAMA : Baiklah, dengarkanlah. Agar lebih jelas, kamu haru mengetahui terlebih
dahhulu bahwa belajarnya itu bernama “Shalat Ma’rifat. Barangkali kami baru
kali ini mendengar kata tersebut. Memang ini kata yang berasal dari bahasa Arab
yang diserap ke dalam bahasa Jawa. Dalam saya menggunakan kata tersebut, dengan
harapan agar tata caranya, jangan sampai salah pengertian.
“Shalat” itu sebutan dari suatu pekerjaan, termasuk kata kerja (Fi’il).
Sedangkan pekerjaan “Shalat Ma’rifat” dalam bahasa sanskrit ; Yoga, orang yang
mengerjakannya disebut “Yogie”
14. MUDADAMA : Saya memang belum pernah mendengar kata “Shalat Ma’rifat” itu tadi Kak. Yang
sering saya dengar itu, Shalat Wajib, Shalat sunnat, shalat Hajat, shalat
Witir, Shalat ......... Daim. Terus, bagaimanakah penjelasannya?
14. WREDATAMA : Istilah Shalat itu ada 4 jenis, sedangkan shalat-shalat yang baru saja
kamu sebutkan itu, dari masing-masing jenis itu, termasuk salah satu jenis dari
4 macam, yang akan saya jelaskan, yaitu :
1.
Shalat Syari’at = Ibadah raga,
bersuci menggunakan air, jika diterima akan medapatkan Ma’rifat Syaria’t,
artinya paham tentang Astrendiya yang lima (Panca Indra). Seperti, oleh karena
mata melihat dunia yang tergelar ini, menyebabkan percaya bahwa segala sessuatu
itu ada yang menciptakannya, yaitu yagn disebut Tuhan. Keyakinan yang seperti
ini dinamakan “Wajibul Yaqin”
2.
Shalat Tharikat = Ibadahnya
cipta (hati), bersuci dengan cara memerangi hawa nafsu, Jika diterima akan
memperoleh Ma’rifat Tharikat, artinya memahamkan kepada pikiran tentang
astrendiya yagn tiga (Tri Indriya). Artinya percaya dengan pengertian kepada
yang sebenarnya dari yang disebut Tuhan, tidak hanya percaya meniru orang
banyak saja. Kepercayaan yang seperti ini dinamakan “Ainul Yaqin”.
3.
Shalat Khakikat + Ibadahnya
Jiwa (roh) yang mempergunakan alat yang bernama “Rasa jati” inti rasa, bersuci
dengan cara “Eneng Ening Awas Eling” (Kesadaran diri dengan penuh ketenangan
dan kesucian serta kewaspaadan dengan kesadaran penuh). Jika diterima akan
mendapatkan Ma’rifat Khakekat, artinya mengetahui Rasa Jati. Artinya percayanya
tidak hanya berhenti pada pengertian saja. Kepercayaan yang seperti ini dinamakan
Haqqul Yaqin. Dalam tingkatan ini , sudah mulai terbukanya bermacam-macam hijab
(penutup) yang menghalang-halangi antara makhluk dengan penciptanya. Namun,
disinilah tingkatan yang “AMAT SANGAT BERBAHAYA” karena Teramat sangat banyak
“GODAANNYA”.
4.
Shalat Ma’rifat = ibadahnya
Suksma, yaitu Jiwa yang berkuasa tanpa mempergunakan sarana (Purusha = Ikheid,
Bab I No.32, Bab II No.7) bersuci menggunakan Wairagya (Zuhud, Bab III No.7)
yaitu membuang segala cita-cita apa saja, selain hanya tertuju kepada TUHAN. Jika
diterima akan mendapatkan Ma’rifat dari Ma’rifat atau sebenar-benarnya Ma’rifat
(SEJATINING MA”RIFAT). Artinya, percayanya tanpa sarana, serta tidak bisa
terbayangkan. Yaitu dalam tingkatan ini disebut “Leburing papan kalawan tulis”
“Hilangnya padan dan tulis”. “CEP TAN KENA KINECAP” “Diam tenang tanpa ucap” //
Tingkatan ini disebut “Isbatul Yaqin”, yaitu tetapnya kepercayaan. Itulah yagn
paling utama, bisalah melakukan hal itu, 5 kali dalam sehari semalam. Paling
tidak 1 kali dalam satu minggu. Jika tidak, paling tidak sekali dalam satu
bulan. Jika pun tidak, sekali dalam satu tahun. Jika tidak, SEKALI DALAM SE
UMUR HIDUP”.
Nyanyian Jawa (Ura-Ura) entah siapa pengarangnya, yang menggabarkan
Rindunya seseorang yang baru sekali mencicipi “Tan kena kinaya ngapa “ (Yang
tak terbayangkan), seperti ini (Dhadhanggula).
Damar kurung binekta ing kemit;
Tintingana salira priyangga;
Den rumangsa ing sisipe;
Roningkacang puniku;
Angelayung rasaning ati;
Sela penglawed ganda;
Sepisan ketemu;
Kelabang sinandung muncar;
Nora rena kepanggih pisan ping kalih;
Kumudu saben dina.... (Tidak diterjemahkan)
Bagi yang sudah terbaisa seeprti itu (Tan kena
kinaya ngapa = Sejatining ma;rifat) sinebut “ARIFIN”. Sehingga yang disebut
Arif itu pasti “Yogie”, namun “Yogie” belum tentu sudah sampai di tingkatan
“Arif”.
Bagaimana? Apa sujah jelas pemahamanmu?
15. MUDADAMA : Sudah Kak! Aku sekarang paham, sehingga kata “Ma;rifat” itu
bermacam-macam dalam memaknainya. Untuk selanjutnya, mohon penjelasan bagaimana
caranya menjalankan yang disebut “Shalat Ma’rifat”, aku sangat ingin mendengarnya. Apakah yagn disebut
nutupi babahan hawa sanga, mandeng pucuking grana? (Menutup lobang sembilan dan
memandang pucuk hidung). Dan aku pernah mendengar kata “Tafakur” dan juga
“Semedi” itu maknanya bagaimana? Apakah yang itu yang sesuai dengan istilah
Kakak menyebutnya “Shalat Ma’rifat”?
15. WREDATAMA : Menutup longa sembilan (Tidak mengaktifkan 2 lubang Kuping, 2 lubang Hidung, 2. Mata, 1 mulut, 1
lubang kelamin, 1 lubang pembuangan, itu termasuk sikap memaksakan diri, yang
akan bisa merusak raga kita. Sama saja dengan bunuh diri. Ikap yang demikian
itu mungkin dilakukan di Tanah Hindu sebelum Sang Buddha mengajarkan penerang.
Bagi Agama Islam, tentang hal apa saja yang menyebakan rusaknya badan itu jadi
larangan.
Tentang memusatkan pandangan pada ujung hidung, dengan setengah terpejam
(Rem-rem ayam), atau benar-benar terpejam, tidak ada larangan untuk dijalankan,
Tujuan dari kata-kata tersebut, Pandangan kedua mata dipusatkan menuju di
antara kedua alis mata (Panon = diatas pasu). Ujung hidung di dalam Qur’an
disebut Gunung, yang dipandang oleh Nabi Musa as. Atas perintah Tuhan, karena
Nabi Musa as. Ingin melihat Dzat Tuhan
(Al A’raf 143). Di serat Dewa Ruci (Ada di Blog ini) disebut “Gunung Reksamuka”,
sedangkan di serat-serat lainnya disebut “Gunung Tursina”.
Tentang sikap yang tidak merusak badan kasar itu bagaimana?
Singkatnya saja begini : Tujuan dari sikap demikian tidak lain hanya
untuk mengendalikan gar menjadi tenang kerja dari Astrendiya. Seperti yang
sudah saya sampaikan di depan, Astendriya bisa berfungsi karena teraliri daya
yang bernama “RASA’ atau “TALI RASA”
(Bab I No.29 Bab II No.20, 21). Ketika Astrendiya sudah tenang, yang aktif
tinggal daya (Sesuatu yang sangat halus) yang bernama Rasa Sadar (Eling) atau
Rasa Jati. Sehingga yang bernama rasa jati itu tidak lain, Rasa yang
berfungsinya tidak teraliri si Astenriya.
Dalam tingkatan ini, bisa disebut , menjalankan “anjumenengake Jiwa (Roh)
kang urip mawa piranti rasa jati” (Menegakkan Jiwa (roh) yang hidup dengan
menggunakan rasa jati).
Oleh karena sudah mengerti tujuannya itu bisa membuat diamnya gerak dari
astrendiya, maka sikap dari badan kasar itu tidak perlu dipaksa-paksa.
Sebisanya dan sesuai dengan caranya sendiri-sendiri, tenang dengan menopang
paha juga boleh. Menata nafas juga bisa, biar menata dengan sendirinya juga
boleh. Singkatnya, sesuai dengan pengalaman diri masing-masing, yang apda
akhirnya akan menemukan cara yang paling cocok, untuk dirinya sendiri.
16. MUDADAMA : Mohon maaf Kak. Seandainya laku yang disampaikan Kakak itu berhasil, itu
kan bukan sejatinya Ma’rifat, karena baru sampai tegaknya jiwa yang masih
mempergunakan sarana Rasa jati. Jika kau tidak salah, Kakak mengatakan, bahwa
sebenarnya ma’rifat itu di dalam keadaan yang tanpa sarana.
16. WREDATAMA : Memang bukan Ma’rifat yang sebenarnya, Itu jika diperkenankan baru sampai
ke tingkat Ma’rifat hakikat (Mengetahui isi rasa jati) yaitu tingkatan yang
saya katakan sangat Berbahaya itu (Bab III no.14). Padahal baru sampai ke
tingkat itu saja sudah sangat sulit, pilih-pilih yang bisa diterima dalam
pencariannya.
Dan juga, apa yang sudah saya katakan, belum selesai. Baru sampai bab
sikap dari badan kasar saja dan tentang pengaturan nafas. Sedangkan
kelanjutannya, sebagai berikut :
Seseorang yang menjalankan Shalat Ma’rifat (Yoga) itu dalam mengolah
ciptanya tujuannya ada dua jenis, yaitu :
a.
Menyatukan (memusatkan,
mengheningkan, konsentrasi) cipta, dalam Bahasan Arab disebut Tafakur. Makna
apa adanya dari kata tafakur itu memikirkan atau mikir-mikir, akan tetapi dalam
tindakan itu bermakna Pikir (Cipta). Memusatkan Cipta itu kata lainnya adalah
:Shalat Ma’rifat yang menggunakan (gigitan) = (Lisan, obyek), dalam bahasa
sanskrit : samprajnata.
b.
Mengosongkan cipta, bahasa
lainnya barangkali meditasi. Jika dalam mengosongkan itu dengan mengucapkan
mantra atau kata-kata atau dalam bahasara Arabnya Dzikir. Makna apa adanya dari
Dzikir itu mengingat-ingat, namun dalam tindakan itu bermakna mengucapkan
kata-kata sebagai sarana untuk menapak dengan tujuan untuk mengosongkan cipta.
Sedangkan mengosongkan cipta itu dalam kata yang lain disebut : Shalat
Ma’rifat, yang tanpa cakotan, dalam bahasa Sanskrit : asamprajnata. Jika ketika mengosongkan cipta
menggunakan pijakan mengucapkan rangkaian kata, dalam bahasa sanskrit disebut :
asamprajnata mantra yoga.
17. MUDADAMA : Sekarang saya sudah mengerti makna kata Tafakur yang saya mohonkan
keterangan itu tadi (Bab III No.15),. Ternyata tafakur itu tidak sama artinya
dengan Shalat Ma’rifat, hanya salah satu cara dama menjalankan Shalat Ma’rifat
saja. Sedangkan yang diberi nama “Semedi” Kakak belum menjelaskannya.
17. WREDATAMA : Shalat Ma’rifat (Yoga) yang bisa berhasil mencapai sejatinya Ma’rifat
(Ma’rifat kepada Tuhan = Ma’rifatullah) itu, dalam bahasa Sanskrit : Samadhi,
dalam bahasa Arabnya disebut : Khusyuk. Sehingga kata Samadhi dan Khusyuk itu
kata kerja, akan tetapi berkembang melebar dalam bahasa Jawa “Samadhi” itu
dianggap kata kerja yang artinya sama dengan “Yoga”. Dalam sebuah Hadits : Man
shalla rakataini lamyuhits fihima nafsuhu bisyai’in min amri addunya (Barang
siapa Shalat dalam dua raka’at bisa bebas dari perkara dunia) Ghufiralahu maa
taqaddama min dzanbihi (diampuni oleh Tuhan, atas segala dosa yang telah
dilakukan selama hidupnya).
Sedangkan “bebas dari semua perkara dunia itu, yang disebut khusyuk atau
samadhi, yang bisa melepaskan manusia dari dosa warisan yang berasal dari Nabi
Adam (Dosa selama hidup).
Sedangkan keterangan hadits “Shalatnya khusyuk, diampuni dosanya” itu perintah
yang mengandung didikan ke arah aktif dan optimistis (mau mengerjakan dengan
tanpa putus asa), padahal sebenarnya ....... siapakah yang tidak berdosa :
Shalatnya bisa khusyuk”.
Sedangkan yang dinamakan dosa bagi para penempuh Ma’rifat itu tidak sama
dengan dosa bagi ahli Syari’at. Dalam ajaran Syariat, perbuatan jahat yang
belum terlahir, itu belum termasuk dosa. Sedangkan batasan perbuatan jahat itu,
yang menjadi larangan Agama. Akan tetapi bagi para penempuh Ma’rifat, yang
dinamakan dosa itu, semua perbuatan baik dalam tata lahir maupun masih di dalam
hati, itu yang menjadi penutup antara Sang penempuh dengan Tuhannya. Jika dosa
yang seperti itu sudah bisa dihilangkan, yahhhh itu baru bisa melakukan Shalat
Khusyuk (samadhi). Walau pun tidak bisa dua raka’at, iya satu raka’at, apa satu
menit, apa satu detik, menurut tebal tipisnya sisa dari dosa yang masih
menguasainya.
Yah, jadi melebar!! Urutannya kan baru sampai membahas sikap yoga, tadi
itu?
18. MUDADAMA : Iya, sekarang sebaiknya meneruskan menjelaskan tentang Yoga lagi. Yoga
yang masih gigitan dan yoha yang tanpa gigitan, itu lebih baik yang mana dan
lebih mudah yang mana untuk dilakukan?
18. WREDATAMA : Kesullitannya itu samasaja, akan tetapi tiap-tiap orang tidak sama
keadaannya. Orang yang sifatnya pasif, walau pun belajar menggunakan gigitan,
kadang-kadang akibatnya menjadi tanpa gigitan. Demikian juga sebaliknya, orang
yang sifatnya aktif, walau pun ketika belajar tidak menggunakan gigitan, pada
akhirnya mejadi menggunakan gigitan.
Namun kita ini bebas memilih mana yang cocok. Bagi yang baru belajar itu
lebih baik yang menggunakan gigitan (menyatukan cipta). Yang menjadi gigitan :
apa pun saja boleh, memang yang paling baik itu memusatkan ciptanya kepada
Tuhan (isi alam ini semuanya). Karena bagi yang baru belajar tanpa gigitan
(mengsongkan cipta) itu, kebanyakan tertipu atau tersesat menjadi ......
Perewangan (medium), yang tidak disengaja.
Perewangan itu, mendesak jiwanya sendiri (roh yagn asli), seluruh badan
kasarnya beserta perlengkapan astendriya : tidak mempunyai daya kekuatan untuk
membantah perintah dari roh lainnya yang mempengaruhinya. Diperintah
berkata-kata ya berkata-kata, diperintah berjalan juga akan berjalan .....
dengan setengah ingat setengah sadar apa yang dilakukannya itu, atau tidak
ingat apa-apa.
Hal seperti itu, itulah hal sangat berbahaya dan menakutkan, baik dalam
lahir maupun dalam batin. Sebab jika yang mempengaruhi itu roh yang baik, tentu
akan diperintah tentang hal yang baik, sebaliknya jika yang mempenagaruhi itu roh
yang jahat, pastilah akan memerintah hal kejahatan dan hal yang aneh-aneh.
Kemudian orang banyak akan mengira gila atau kesurupan. Lebih baik perewangan
yang di harapkan daripada perewangan yang tidak diharapkan. Karena perewanagn
yagn diharapkan itu , ruh lain dalam mempengaruhi tidak tetap, hanya ketika
diperlukan saja. Sebaliknya, roh yang tidak dinginkan, dalam melakukan pengaruh
secara terus menerus. Agak lebih beruntung, jika yang mempengaruhi itu roh yang
baik, walau pun orang tersebut dipengaruhi terus menerus “Abnormal” namun
orang awam tidak menuduhnya gila atau
kesurupan, terkadang malah .... dihormati, dan di agungkan oleh umum.
19. MUDADAMA : Mohon maaf Kak!! Kakak pernah menyampaikan, yang disebut Pandita putus
ing Sunyata (ahli dalam hal sunyata atau hampa), di malam ini kakak menyebutnya
“ Yogie yang sudah samapi samadhinya. Jadi, puncak yoga itu kan ...... kosong
(hampa). Apakah sebabnya, yang belajar yoga di awali dengan cara mengosongkan
cipta banyak yang tersesat menjadi perewangan?
19. WREDATAMA : Apa yang kamu sampaikan itu sangat tepat. Memang puncak yoga itu kosong
(hampa). Akan tetapi kosongnya seorang pandita putus dalam kehampaan itu tidak
sama dengan kosongnya orang yang baru saja belajar.
Yang baru belajar itu pada umumnya belum bisa melepaskan keterikan dunia
(cita-cita). Malah tidak kurang-kurang ketika belajar yoga itu memang dipakai
sarana untuk mencapai tetang urusan dunia (derajat, semat, keramat). Yang
demikian ketika mengosongkan, sebagai gambarannya bagaikan memasang rumah lebah
yang disi gula, barangkali ada lebah yang datang. Atau memasang jebakan yang
ada kambingnya berbunyi embek-embek, barangkali saja ada harimau yang
mendatanginya.
Kamu kan sudah mengerti, yang menyebabkan seseorang ketika meninggal
dunia belum kembali kepada Tuhan, serta terpaksa akan terlahir lagi ke dunia
ini? Tidak alain karena belum bisa melepaskan ikatan dengan dunia (Bab II
No.37). Itu contoh ibaratnya lebah atau harimau itu tadi.
Roha dari seseorang yang meninggal dunia yang akan mempengaruhi calin
perewangan itu, bisa dipastikan kondisinya mengikuti isi dari calon perewangan,
dibahasakan mencari yagn sejenis, Isian itu diibaratkan gula atau kambing itu
tadi. Sehinga : isi dari calon
perewangan itu menginginkan kekayaan, yang mendatanginya juga roh yang bernafsu
tentang urusan harta. Jika isi dari calon perewanagan itu tadi menginginkan
untuk menjadi Dukun atau guru ilmu kebatinan, dan sejenisnya, juka akan
didatangi roh yang ketika hidupnya mempunyai cita-cita demikian.
Sedangkan kosongnya Pendita putus itu sunyata (kehampaan) yang tidak
demikian itu. Karena beliaunya tidak ketempelan urusan dunia, sehingga tidak
akan ada roh yang ketrik karena Sang Pandita tidak ada isinya yang sama
jenisnya dengan roh yang berkelana itu
tadi.
Pun demikian, ada sebagaian ajaran (namun bukan bersumber dari Qur’an dan
hadits) yang dalam menempunya tentang kesempurnaan itu mengharapkan mendapatkan
tuntunan dari roh luhur dan suci dengan cara seperti itu. Aku mengatakan hal
yang jujur kepada dirimu, bagi kakakmu, Aku, hal seperti, tidak mau.
20. MUDADAMA : Sedangkan tidak mau Kakak itu, sebabnya bagaimana? Dan juga tadi Kakak
mengatakan tentang perewangan terus-terusan, itu tandanya seperti apa? Seumpama
aku mengoreksi diriku sendiri, gar tidak terjadi demikian, apakah tidak bisa?
20. WREDATAMA : Memang, penolakanku itu tidak sepi dari sebab. Menuru pendapatku, begini
:
Luhur bagaimana pun, sesuci apapun, roh yang belum kembali kepada Tuhan
itu jelas merupakan roh yang belum
sempurna. Seumpama roh yagn belums empurna mengajarkan ajaran, tentu saja ....... Tidak sempurna, terkadan justrus
menyesatkan. Sedangkan kita yang masih berbadan kasar ini, masih mempunyai
kesempatan yagn sangat longgar untuk menggapai yang lebih sempurna. Dan jika di
rasakan dari ajaran Agama, ilmu yagn demikian itu bagaikan menyembah berhala
atau menyekutukan Tuhan, yagn semestinya harus kita hindari.
Selain itu, luhur yang bagaimana pun, sucu yang seperti apa pun, roh ahli
kubur yang menuntun terhadsap orang yang hidup di dunia itu saya anggap .....
sesat. Sejauh-jauhnya. Sedangkan jalan yang benar ; Jika dirinya mempunyai
tujuan akan menuntun manusia yang hidup di dunia itu, juga harus bisa hidup di
alam dunia terlebih dahulu, yaitu harus terlahir menjadi bayi dahulu,
barangkali saja akan tercapai cita-citanya.
Sedangkan tanda dari perewangan yang tetap atau orang yang dalam
pencariannya dituntun oleh roh yang lain itu, yang pasi ...... FANATIK, tidak
akan mau mempertimbangan pendapat orang lain. Karena akal dan pikirannya memang
sudah tanpa daya. Karena akal dan pikirannya sudah tidak bisa mempertimbangkan
dan menalar, sehingga kadang-kadang melakukan perbuatan yang aneh-aneh sehingga
disebut aneh.
Yang demikian itu, sesungguhnya yang menjalankannya sendiri pun juga bisa
mengoreksi dirinya sendiri, jika saja mau. Bagi yang mengoreksi dirinya sendiri
selain tanda-tanda itu tadi, ada tandanya lagi yang nyata, yaitu ketika dirinya
mulai kehilangan kemerdekaannya, itu sudah pasti ada yang menuntun. Maksudnya
akan ke utara menjadi ke arah selatan, akan menyambut tamu justru menutup
pintu, dan sebagainya, jika memaksakan diri untuk menuruti keinginannya
sendiri, kemudian ................ Sakit, atau mendapatkan siksa yang lainnya.
21. MUDADAMA : Wah.... sungguh sangat gawat, Kak! Nah... sekarang nasihat Kakak : Mana
yagn bisa saya lakukan serta jauh dari bahaya? Karena, aku juga tidak mau
dituntun oleh roh gentayangan seperti itu.
21. WREDATAMA : “Menyarankan” itu kurang baik, karena hal itu tergantung pilihan kamu
sendiri. Aku hanya bisa berkata : Yang tanpa beban itu ........ menjalankan
Syari’at! (Bab I No.8). Sedangkan jika kamu akan menyetakan tentagn Hakikat,
untuk mencapai Ma’rifat, jangan lupa
matangkan dahulu pencarianmu tentagn Tarikat (Bab II No.40).
Sebab, kejadian bahaya itu tadi, selain karena sikap dalam pencarian,
tidak lain karena belum benar-benar jelas tentang membedakan yang “Iya” dan
yang “bukan”, alias belum matang
tarekatnya. Jika syarat rukunnya sudah dijalankan, tentu tidak menemukan
kehinaan, serta disyarati tekad “Jika hanya berani atas yang mudah saja, dan
takut kepada yang sulit, segala sesuatu tidak akan bisa ditemukan” Iya apa
tidak?
15. MUDADAMA : Iya betul Kak! Akan tetapi kau tetap memohon untuk diberi penjelasan
tentang Yoga itu tadi, supaya aku lebih jelas, barangkali ada bahaya tambahan.
15. WREDATAMA : Aku tidak keberatan, Dengarkanlah!
Belajar Yoga itu, gunakanlah sikap
menyatukan cipta, apa .............. sulitnya. Tidak bisa dibatasi kapan sampai bisanya dalam berapa bulan atau
berapa tahun, seperti ketika mencari ilmu di tata lahir ini. Karena belajar
Yoga itu tidak cukup dibekali Rajin dan tekun. Bisa dan belum bisanya itu
tergantung lengkap atau belum lengkapnya dalam menenangkan si astendriya.
Awas, yang saya sebut “Bisa” di sini bukan berarti bisa yoga yang
sebenarnya yoga, apalagi sampai dengan “Samadhi” hlo! Makanya, tidak menyebutkan
tentang Wairagya, Yang saya katakan bisa di sini itu, baru sampai berdirinya
Jiwa yang masih beserta perangkatnya yang bernama Rasa Jati (Bab III No.15),
sehingga bagu sampai bsai melewati jalannya Yoga saja.
Maka dari itu, awal belajar itu, boleh saya belum wairagya, maksudnya
boleh saja menyatukan citanya kepada urusan dunia. Tentang apa saja yagn
disenangi itu boleh saja (Bab III No.18), kadan gjuga bisa menjadi syarat
memepermudah dikala belajar.
Di sinilah kunci dari segala Aji, seperti : Pengasihan, gendam,
kedidayaan, kekuatan, asmaragama dan sebagainya. Sehingga para sesepuh dalam
melihat ilmu yang seperti ini, bisa diterima : Agar yang dilihat belajar
melewati jalan Yoga (Shalat Ma’rifat).
Sayangnya, banyak yang terhenti di tingkatan itu, malahan yang semula mempunyai
cita-cita lebih luhur (Tentagn Tuhan) juga banyak yang tergiur di tingkatan
itu.
23. MUDADAMA : Mohon menyela dahulu Kak! Yang belajar mempergunakan sikap menyatukan
cipta, bisa menghasilkan kelebihan yang disebut “aji” itu tadi, bisa dikatakan
juga : Kelebihan itu terjadinya dari terpusatnya cipta.
Sedangkan yang belajar mempergunakan cara mengosongkan cipta, bisa
menghasilkan kelebihan apa?
23. WREDATAMA : Wah, pertanyaan tersebut terkadang, sangat sulit untuk dijawab.
Belajar dengan menggunakan cara mengosongkan cipta itu, buahnya
kebanyakan : Mendapatkan sasmita atau wangsit. Namun juga bisa : Tidak sengaja
membuahkan salah satu kelebihan seperti yagn menyatukan cipta itu tadi. Keterangan
seperti ini : .....................................
Kelebihan yang terjadi dari terpusatnya cipta itu, pasti hanya salah satu
kelebihan saja, dari mana yang dipelajarinya. Sedangkan jika ingin mempunyai
kelebihan dua atau tiga, dalam memusatkan ketika belajar, juga harus dua tiga
kali.
Sedangkan yang belajar menggunakan cara mengosongkan cipta iu, ketika
dipengaruhi oleh roh yagn ketika hidupnya mengedepankan kepada salah satu dari
kelebihan itu, maka akan mempunyai kelebihan seperti itu, yang tanpa disengaja.
Sehingga : Keleibihan orang yang menyatukan cipta itu dengan jalan
disengaja, serta berasal dari kekuatan roh-nya sendiri, akan kelebihan orang
yang mengosongkan ciptanya itu, tidak disengaja, serta berasal dari kekuatan
roh lain yang mempengaruhinya.
Bagaimana, apakah kamu bisa menerimanya?
24. MUDADAMA : Iya, mengerti Kak! Kemudian bagaimana terusnya? Sepertinya masih
panjang yang perlu di jelaskan kepadaku.
24. WREDATAMA : Akan saya singkat saja, menjadi panjang itu, tergantung pertanyaanmu.
Ketika kita mengawali belajar menangkan astendriya itu, pastilah pada
awalnya, kedunya, bahkan sampai berkali-kali hingga berpuluh-puluh atus
pengulangan .... juga belum bisa mencapai ketenangan. Apa lagi tenang yang
sebenarnya. Jika mempergunakan cara menyatukan cipta, citanya atidak bisa
menyatu, jika mempergunakan cara mengosongkan cipta, ciptanya melayang.
Sedangkan jika matanya, dipejamkan, yang ada hanya gelap, jika di pejamkan
seperti ayam mengantuk jiga tidak melihat apa-apa. Maka dari itu, jika tidak
dengan sabar dan tekun, pastilah menjadi bosan, malas, putus asa sehingga
menghentikan dalam belajarnya.’
Ketika astendriya mulai bisa tenang sedikit, matanya yang terpejam atau
terpejam bagaikan ayam yang mengantuk itu mulai bisa melihat apa-apa : berujud
berbagai warna kadang juga suatu ujud, namun hanya sekejap-sekejap, saling
bergantian, belum jelas sama sekali.
Ketika itu, yang belajar pada umumnya mulai senang, hilagn bosannya,
karena sudah merasakan apa yang disebut “Penglihatan gaib”.
Namun yang demikian itu, sebenarnya masih sangat jauh, seandainya orang
berjalan itu, baru melaangkahkan satu langkah kaki.
25. MUDADAMA : Maaf Kak, Aku mohon untuk diterangkan sekalian : Mata yang terpejam
tiba-tiba bisa melihat apa-apa, itu nalarnya bagaimana ? Dan yang terlihat itu
dari mana salnya dan sejenis apa?
25. WREDATAMA : Di depan sudah saya jelaskan, ketika si astendriya itu tenang, yang
bekerja tinggal si rasa jati (Bab III No.15) Sehingga yagn bernama penglihatan
Gaib yang bisa dilihat pun penglihatan gaib itu, tidak lain adalah penglihatan
rasa jati.
Akan tetapi karena yang sedang kita bicarakan itu tadi si astendriya
belum tenang beneran. Sehingga penglihatan rasa jati basih sangat bergetar
tidak terlihat jelas.
Sedangkan gambaran gaib yang nampak ketika itu (Warna atau ujud) bukan
berasa dari sana sini, tidak lain adalah berasal dari diri sendiri. Yaitu bekas
dari kerja astendriya yang tiga (Tri Indriya), Angan-angan, pikiran dan
keinginan. Seingga seperti orang yang bercermin : melihat rupa sendiri. Semua
itu singkatnya dinamakan Hijab (Warana = penghalang), sehingga tidak perlu
diperhatikan, tidak perlu dimaknai atau di otak-atik dikira-kira.
Kadangkala, pengalaman seperti itu
sangat lama. Terlebih lagi bila yang sedang belajar itu merasa
mendapatkan kunci gedong gaib, yang bisa ditanyai tentang apa saja, pastilah
pengalamannya hanta terhenti hanya di situ saja.
Memang, tiap bertanya pasti mendapat jawaban, karena pertanyaan dan
jawaban itu dari satu sumber, seperti bagaikan berkeaca itu tadi.
Sedangkan bagi yang tidak mau memperhatikan atas yang terlihat itu,
karena paham bahwa itu penghalang/hijab/penutupyang harus dibuka, kemudian akan
memperoleh pengalaman lagi yang ..... sangat berat sekali. Yaitu terasa
bergetar di seluruh badan atau seperti ada yang merambat, kadang seperti
digigit semut rasa di seluruh badan, kadang juga terdengar suara yang
mengagetkan dan lain-sebagainya. Singkatnya, jarang yang mampu bertahan.
Keadaan seperti ini dalam kisah pedalangan digambarkan, pasukan “Bajo – Barat”
yang menggoda seorang satria yang sedang bertapa. Sedangkan yagn dirasa dan
yagn didengar itu semua tidak lain : adaalah si asendriya itu tadi yang akan
benar-benar teenang. Pengalaman yang seperti ini berkali-kali terulang lagi.
Jika yang sedang belajar sudah berkali-kali lulus dari pengalaman yagn
berat ini, jika diperkenankan, kemudian akan mendapatkan pengalaman lagi yang
...... mengerikan! Yaitu terasa darahnya berjlan diawali dari ujung jempol
kaki, naik ke punggung, tengkuk, kepala. Demikian juga yang dari dada juga naik
ke kepala. Kemudian terasa melayang seperti akan pingsan. Setelah akan terasa
merinding, bulu kuduk berdiri semua, sangat takut. Khawatir jika terlanjut ....... meninggal dunia,
akhirnya kembali jalan.
Di dalam mengalami pengalaman yang seperti itu, seharusnya jangalah takut
dan kuatir, kadang juga nafas yang menjadi tali hidup ini... janganlah dirubah
sedikit pun.
Dan jika di waktu itu nafasnya di tahan, tentu akan putus, hingga
berakhir menjadi kematian, dan tidak bisa diulang lagi atau disambung lagi.
Cara memutus tali hidup dalam
keadaan seperti itu tadi, yang sudah dijalankan oleh Syeikh Siti Jenar dan para
muridnya, yang termuat di dalam layangBabad.
26. MUDADAMA : Iya Kak, aku sudah bisa menerima. Kira-kira jika demikian pengalaman yang
akan dialami ketika dalam keadaan sakaratil maut. Sehingga yang kelihatakan
dalam tata lahirnya ; Bagi sudah pernah belajar sekarat dengan yang belum
pernah, memang ada bedanya.
Sedangkan yang tidak kembali seperti penjelasan Kakak, kelanjutannya
bagaimana, Kak?
26. WREDATAMA : Jika tidak kembali kepada jalannya, itu berarti bisa membuka penghalang,
Yaitu yagn saya sebut bisa diterima pada tingkatan Ma’rifat Hakekat (Bab III
No.14) measuk ke dalam alam yang baru, yang bukan alam bagi orang yang melihat
dengan mata kepala. Bukan alam bagi orang tidur. Di dalam Serat Wedhatama (ada
di Blog ini juga); dikatakan .....
“Kabuka ing warana”. Tarlen saking liyep layaping aluyut, pinda pisating
supena, sumusup ing rasa jati”
Bagi yang belajar dengan cara mengosongkan cipta, pada detik itu awal
mula mulai kepengaruh oleh roh lain yang kemudian menjadi penuntunnya.
Sedangkan bagi belajar menggunakan cara menyatukan cipta, pada detik itu
menyatu dengan yang ada dalam ciptanya.
Namun ketahuilah olehmu, walau pun sudah pernah memasuki pengalaman
seperti itu, belum tentu dalam tiap-tiap melakukan hal yang sama ketika
menenangkan Astendriya bisa mengalami hal seperti itu lagi. Sehingga banyak
yang berpendapat, bahwa ketika itu sudah samapi kepada seejatinya ma’rifat,
yagn digambarkan kenikmatannya “Sor langening salulut”, dan ceritakan serta di
katakan bahwa yang menyembah itu adalah yang disembah, karena kenyataannnya
hanya stu, bukan dua atau tiga. Di dalam Serat Wedhatama itu tadi juga
mempunyai anggapan bahwa itu sudah disebut “Mulih mula mulanira” (Kembali
kepada asalnya).
Hal itu menurut Kakakmu aku ini, walau pun belum pernah memasuki alam
Sejatinya Ma’rifat (Ma’rifatullah), namun punya keyakinan, bahwa sejatinya
Ma’rifat tidak hanya seperti yang baru saja dibicarakan itu tadi, karena
pengalaman tentang rasa kenikmatan dan rasa dalam penyatuan atau satu rasa itu
berarti masih menggunakan “Alat” dan masih bisa digambarkan atau dibayangkan.
Sehingga : yang disebut Ma’rifat kepada Tuhan itu seharusnya juga dalam
pengalaman yang “Tanpa menggunakan alat” dan “Tidak bisa terbayangkan” (Bab III
No.11.b). Iya apa tidak?
27. MUDADAMA : Penyampaian Kakak yang demikian, memang masuk akal dan pikiran. Untuk
selanjutnya, mohon perkenan Kakak untuk memeberikan penjelasan : Dari
pengalaman Ma’rifat Hakekat sampai dengan Ma’rifatnya Ma’rifat itu cara-caranya
bagaimana?
27. WREDATAMA : Sabar dulu, yang baru saja kita
bicarakan itu tadi, saya teruskan lagi :
Seseorang yang mengosongkan ciptanya yang kemudian memasuki pengalaman
seperti itu, tentu saja untuk selanjutnya hanya tinggal mengikuti dan mematuhi
kepada roh yang mempengaruhinya, karena keadaanya sudah menjadi “Luar biasa”
secara terus menerus (Bab III No.18).
Sedangkan bagi orang yang bercita-cita terhadap sesuatu urusan dunia
dengan jalan menyatukan ciptanya, jika sudah sampai kepada pengalaman yang
demikian itu sudah selesai, artinya hanya berhenti sampai di situ saja. Serta
biasanya yang menjadi cita-citanya itu akan terlaksana. Sedangkan jika di lain
hari ada yagn di cita-citakan lagi, juga dengan jalan melakukan yang seperti
itu lagi, namun belum tentu memperoleh pengalaman seperti yang sudah itu.
Sedangkan bagi seseorang yang bercita-cita untuk Ma’rifat kepada Tuhan,
dan ketika menyatukan ciptanya ditujukan atas salah satu urusan dunia hanya
untuk pijakan saja, setelah memeperoleh pengalaman seperti itu, harus
dilanjutkan lagi usahanya. Boleh saja berganti-ganti yang dijadikan untuk
berpijak, yang kemudian melanjutkan menyatukan ciptanya tertuju kepada Tuhan.
Hal itu biasanya, penglihatan rasa jatinya bisa melihat ....... Ujud
dirinya sendiri, yang berwarna putih dan tanpa cacat. Di dalam serat-serat
Wirid dan Suluk-suluk disebut dengan nama “Mayang Seta” (Bayangan putih).
Apakah itu yagn disebut Tuhan? BUKAN!!!!!! Karena Tuha itu tidak akan bisa terbayangkan, padahal
yang itu rupad dari dirinya sendiri, sehingga jelas bukan TUHAN.!!!
Kejelasannya : Itu hanya seperti orang yagn sedang bercermin, yagn sudah
saya jelaskan tadi itu (Bab III No.25). Perbedaannya : Yang tadi itu Astendriya
sama sekali belum tenang, makanya ketika bercermin : Penglihatan Rasa jati
hanya melihat rupa atau perwujudan Symbol (perlambang) bekas dari kerja
angan-angan, pikiran, keinginan. Namun sekarang astendriya sudah bisa
benar-benar tenng, sehingga ketika bercermin : penglihatan rasa jati bisa
melihat jiwa (roh)nya sendiri.
Namun ketahuilah olehmu, Roh yang lain yang yang dituntun oleh perewangan
secara terus menerus itu tadi, juga sering memperlihatkan diri kepada yagn
dituntun ; Seperti rupa dari yang dituntun itu!! Bahkan orang yang bukan
menggunakan perewangan, juga sering DIPALSU oleh roh lain, dengan cara seperti
itu. (Hati-hatilah).
28. MUDADAMA : Wahhhh!!! Jika demikian, Sungguh, sangat amat berbahaya sekali, Kak!!
Sehigga : aku, yagn tidak mau dintuntun oleh roh gentayangan seperti itu (Bab
III No.21) seandainya aku bisa sampai tingkatan itu, jika kurang waspada dan
hati-hati, masih bisa di palsu yang kemudian dituntun juga. Sedangkan perbedaan
Roh-nya sendiri yang sebenarnya, dengan yang menyerupai roh diri ini, akan
tetapi palsu, itu bagaimana Kak?
28. WREDATAMA : Perbedaanya itu sesungguhnya tidak perlu untuk diceritakan. Seperti, ada
yang menerangkan, bahwa roh-nya sendiri yang sebenarnya itu, ada tanda Huruf
Alif di dahinya, yagn disebut “ALIF mutakalimun wahid.” Ada juga yang
menerangkan bahwa rohnya diri sendiri itu dengan tanda duduk di singgasana. Ada
juga yang menjelaskan roh-nya sendiri itu warnanya putih, bukan putih susu atau
putih kaca, yaitu putih alumunium. Namun tanda-tanda itu semua .... tidak ada
gunanya. Sebab jika kamu sudah mengerti terlebih dahulu, tidak lain akan
dijadikan penggambaran, yang akhirnya roh lian yang bertekad menyesatkan itu
juga akan menyerupai ..... seperti yang yang gambarkan atau kamu
bayang-bayangkan itu, Nahhh.. tentunya tak ada gunanya, Kan??
Dan yang pati tidak akan bisa salah itu, tidak laina adalah
.........................................JANGAN MAU DITUNTUN. Sehingga tidak
akan mempergunakan cara membedakan antara rohnya diri ini dan roh yang lain.
(Catatan Penterjemah :
Ada juga yang berbekal ilmu mengusir roh sebelum meraga sukma seperti itu,
untuk benteng diri, ada yang berbekal
Ayat Kursi bagi yang Islam dan sejenisnya. Dan bagi orang Jawa ada yang
menggunakan Rajah Kalacakra, dan sejenisnya. Untuk membentengi diri dari serangan-serangan
ruh yang jahat, yang bisa membahayakan diri ini. Ada juga yang mempergunakan
Aji Panggandha (Aji penciuman Gaib) karena Bau tiap diri (Bahasa kasarnya yaitu
bau keringat) tiap diri itu tidak ada yang sama. Maaf bagi yang tidak sependapat – Jika ingin
mendalami... sebaiknya atas bimbingan sang ahli dan sebaiknya jangan di cari di
dunia maya.. itu semua cukup dijadikan wawasan saja) .
29. MUDADAMA : Sebentar dulu Kak!! Mohon maaf. Yang dibicarakan ini tadi : sikap dari
orang yang berusaha mencapai Sejatinya Ma’rifat, dengan cara menempatkan roh
nya sendiri (Bab III No.15, 22) yang tidak mau dituntun oleh orang lainnya (Bab
III No.19,29), setelh rohnya sendiri sudah datang berdiri, kemudian tunutannya
di tolak, hal itu apakah tidak rugi bagi keberhasilan pencarian.?
29. WREDATAMA : Rugi atau pun tidak, itu sebenarnya hanya tergantung dari anggapan dari
diri sendiri. Coba saya terangkan rumusnya (formulanya), begini :
1.
Yang dari semula sudah mau
(mengharapkan) dituntun oleh roh yang lain, itu berarti sesat dari awal. Karena
roh yang dintuntun terdesak (terpengaruh) terus-terusan, sedangkan roh yang
menuntunnya itu sebenarnya menurut istilahmu ....... Gentayangan. Ketika sampai
saat kematiannya ...... seperti yagn tersebut di surat Al-An’aam 94 : Walaqad
ji’tumuunaa furaadaa kamaa chalaqnaakum awwala marrotin wa tarktum maa
chwwalnaakum (Sesungginya kamu akan menghadap kepada (KU) sendirian, seperti
ketika kamu (AKU) ciptakan awalnya, dan meninggalkan apa pun yang sudah (AKU)
berikan kepadamu) Waraa’a dhuhuurikum wamaa naraama’akum sufa’aakumu adzdziena
za’amtum annahum fiekum surakawua (dan (AKU) tidak melihat kamu kumpul dengan
berhalamu yang bisa menolongmu, yang kamu anggap sekutu Tuhan) Laqad aqaththa’a
bainakum wadlalla’ankum maakuntum tas’umuuna (Sesungguhnya sudah pisah antara
kamu dan berhalamu, dan sudah hilang darimu apa yang sebelumnya kamu anggap
(AKU). // Sehingga roh yang dituntun itu tinggal sendirian, mengalami siksa
kubur, terpisah dengan roh yang menuntunnya. Karena pada saat itu (Tersebut di
dalam surat lainnya) Berhala atau roh yang menuntunnya itu kemudian mengelak
alian meninggalkan dan membiarkannya sendirian.
2.
Yang dituntun oleh roh yang
lain yang tidak dari awalnya, hanya karena setelah mendapatkan pengalaman
melihat ujud dirinya sendiri, tidak bisa membedakan yang sebenarnya dengan yang
palsu, berarti tersesatnya tidak dari awal mulanya. Ketika sampai waktu
kematiannya ...... juga ditinggal oleh penuntunnya seperti a. Itu tadi. Hanaya
yang membedakannya b. Ini tidak sendirian, hanya gentayangan saja, karena roh
yang ditinggalkan oleh penuntunnya itu keadaanya sudah mulai memiliki ilmu,
dari hasil usahanya yang tidak sesat sebelumnya.
3.
Yang dituntun oleh rohnya
sendiri .. jika tidak salah dalam memilihnya --- itu berarti tidak mengalami
kesesatan seperti halnya a. Atau
Cobalah pikirkan : Roh siapa pun juga yang baru sampai pada pengalaman
sebegitu itu, keadaannya sama saja. Karena masih menggunakan alat yang bernama
rasa jati, yang menyebabkan mengalami perasaan (enak atau tidak enak) ketika
berada di alam kubur. Sehingga rohnya sendiri tidak akan mengalami
“gentayangan” seperti roh yang lain kamu tolak itu.
Sehingga jika disingkat :
a.
Sendirian, sebab sesat dari
awal.
b.
Gentayangan, karena sestanya
tidak dari awalnya.
c.
Gentayangan karena dari
perbuatannya sendiri, karena tidak mengalami sesat.
Sekarang, coba kamu jawab : Bagi yang sedang berusaha mencapai sejatinya
Ma’rifat, jika seperti a. Menolak, seperti b, juga menolak, akan tetapi jika
seperti a. Mau, hal itu, apakah keuntungannya? Jika seperti c. Juga menolaknya
juga, hal itu apa kerugiannya?
30. MUDADAMA : Alasanku menganggp rugi itu tadi karena aku belum mengerti Kak. Sedangkan
sekarang sudah jelas, walau pun seperti c itu tidak sesat, akan tetapi
seandainya orang bepergian masih harus melanjutkan perjalanannya, sehingga
tidak terlalu lama terhenti di tempat itu, artinya tidak perlu memperhatikan
pengalaman yang itu tadi. Kan begitu, Kak?
30. WREDATAMA : Jika yang diusahakan itu sejatinya Ma’rifat (Ma’rifat Ketuhanan), memang
benar seperti itu. Bandingkan dengan cerita di dalam Hadits Mi’raj : Ketika
Nabi Muhammad diantarkan oleh Malaikat Jibril (Rohul Kudus) untuk menghadap
kepada Tuhannya, ketika hampir sampai sampai di Hadapan Tuhan, sang pengiring
itu terpaksa ditinggal, karena sang pengiring itu tadi tidak kuat untuk
melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi ketahuilah olehmu,
Jika bukan Nabi yang terpilih, atau Wali yang terpilih, atau Mukmin chas yang
mendapat perkenan Tuhan, ketika sampai kepada pengalaman melihat “Mayangan
Seta” (bayangan putih)) itu pada umumnya akan..... tergiur. Karena kala itu
adalah sebagai sumber dari segala Aji kesaktian dan segala kelebihan (Bab III
No.22), yang umumnya itu yang menjadi cta-citanya. Sehingga bagi yang ingin
mencapai sejatinya Ma’rifat (Marifat Ketuhanan), yang seperti itu disebut
Tingkatan yang sangat penuh jebakan yang sangat berbahaya (Bab III No.14).
Siapa saja yang berulangkali mendapatkan pengalaman melihat bayangan putih
itu (walau pun yang palsu) kemudian akan mendapatkan kelebihan bermacam-macam,
contohnya :
a.
Terbukanya penglihatan gaib,
melihat dan bisa berhubungan dengan roh-roh yang berada di alam gaib, bisa
minta tolong atau memerintah kepada roh-roh tersebut, bisa mengetahui isi hati
orang dan nasib seseorang, dan juga melihat gambaran gaib yang lain-lainnya,
yang singkatnya disebut “helderzien”.
b.
Terbukanya pendengaran gaib,
perasa gaib, penciuman gaib, yang bagi orang biasa tidak memilikinya.
c.
Bia mempunyai daya gaib yang
bisa dipergunakan dalam hal penyembuhan, (magnetiseeren) atau kewibawaan
(Hypnotiseeren).
d.
Memiliki kelebihan yang lainnya
lagi (kedigdayaan) yang aneh-aneh, dan mendapat pengalaman yang bermacam-macam
yang indah-indah.
Sehingga tidak aneh hingga banyak yang tercebur lupa kepada cita-cita
semula (Ma’rifat Ketuhanan), serta jika sudah lupa yang demikian itu kemudian
menjadi FANATIK, mengandalkan kebenarannya dan pendapatnya sendiri saja, hampa
dari pertimbangan dan penalaran.
Sedangkan bagi yagn tidak mengalami lupa dari tujuan semula, pastilah
tidak ada kefanatikan, karena selalu ingat dan sadar bahwa manusia ini
mempunyai sifat celaka( sakit, lupa, salah), Apalagi hanya kita, selagi Nabi
Rasul sendiri (Atas perintah Tuhannya) mengatakan kepada orang-orang kafir : Wa
innaa au iyyakum al’ala hudan au fie dlalalin mubienin (Sabaa” 24 + Entah aku
entah kamu semua yang benar, atau dalam kesesatan yang nyata).
Oleh karena tidak fanatik, akal dan pikirannya masih bisa
didpergunakannya untuk menimbang dan menalar, sebagai berikut :
a.
Kelebihan itu jika dibandingkan
dengan kelebihan Tuhan, ibaratnya hanya setetes air dibanding dengan samudra,
untuk apa dicintai (ora urub den kurebi).
b.
Kelebihannya itu hanya khusus
urusan abstrak (tidak terlihat mata) yang tidak mudah untuk ditetapkan benar
salahnya oleh orang lain. Sehingga : kalah dasar dari ilmu nyata, tentang hal
yang abstrak, terlebih lagi dengan ilmu lahir tentang hal yang konkrit
(terlihat mata), yang bisa didsaksikan kebenaran dan salahnya oleh orang lain.
c.
Kelebihan tentang hal abstrak
itu ada batasnya yang tidak merubah kudrat, seperti, tidak bisa digunakan untuk
merubah takdir yang dialami oleh orang hidup, termasuk dirinya sendiri. Juga
tidak bisa untuk menolong yang dialami roh di alam kuburnya, seperti, dari dari
irang yang sangat dicintai.
d.
Pengalamannya yang aneh-aneh
tentang hal gaib itu, jika di teliti tidak secara fanatik, kebanyakan hanya
tertipu oleh perasaanya sendir, dari akibat gambaran dari angan-angan dan
catatan keyakinan ketika pernah mendengar tentang hal gaib. Padahal yang
diyakininya itu belum tentu benar.
31. MUDADAMA : Mohon maaf Kak! Jika yang memperoleh keleibihan atau “Mampu” itu terus
tergiur, tentu hal itu bisa disebut tertipu. Namun apakah Kakak tidak percaya
terhadap adanya Mukjizat dan kramat (Karomah), yaitu kelebihan yang diberikan
oleh Tuhan kepada titah yang tidak terkena tipuan.
31. WREDATAMA : Sangat amat yakin dan percaya! Namun yang terpenting yang harus kamu
pahami, itu bukan tentang percayaku atau tidak percayaku, yaitu tentang
perincian dari kelebihan tersebut.
Kelebihan yang aneh-aneh yang juga bia kamu sebut “Kemampuan” itu dalam
garis besarnya ada 4 macam, yaitu : (1) Mukjizatnya Nabi, (2) Karomahnya Wali,
(3). Ma’unahnya Mukmin, (4), Istijrat-nya Kafir.
Kelebihan yang empat macam itu, bagi orang lain yang melihatnya tidak ada
bedanya, karena terlihat sama keanehannya. Sedangkan membedakan yang ketempatan
kelebihan itu tidak mudah. Bisa saja kafir dikira Wali, atau sebalinya.
Sedangkan yang membedakannya itu seharusnya dirinya sendiri, yang kadang
tidak terikat oleh sakit yang beranama Fanatik itu tadi, Sedangkan untuk
memilahnya, begini :
“Mukjizat dan karomah itu yang ketempatan, tidak akan merasa bahwa
dirinya mempunyai kelebihan. Sehingga keluarnya mukjizat atau pun karomah
itu tidak dengan diniyati, serta hanya
berhubungan dengan penyiaran Ajaran Agama.
“Ma’unah” itu yang ketempatan, juga tidak merasa bahwa dirinya
ketempatan. Sehingga keluarnya Ma’unah itu tidak dengan diniyati, hanya
“tiba-tiba” ketika yang ketempatan itu menghadapi bahaya.
Sehingga, jika yang ketempatan kelebihan itu merasa ketempatan, serta
keluarnya kelebihan itu karena diniyati, kelebihan itu yang bernama kelebihan
tas perintah dari Nafsu. Jika untuk mendapatkan kelebihan itu karena diusahakan
itulah perintah Setan. Namun karena Tuhan itu Maha Murah, pun dikabulkan juga.
Kelebihan yang demikian itu yang disebut .............................
“Istijrat”.
32. MUDADAMA : Cukup jelas Kak! Sekarang Kaka, mohon berkenan meneruskan memberikan
penjelasan : Bagaimana caranya untuk menghilangkan tipuan itu, serta bisa
terlaksananya cita-cita itu (Ma’rifat Ketuhanan) itu yang sudah bagaimana?
32. WREDATAMA : Jika hanya menceritakan saja, aku tidak keberatan, walau pun bagi ku dan
kamu : tentang hal ini baru ada dalam niyat saja yang masih.... sangat-sangat
jauhnya.
Pengalaman yang banyak cobaan dan tipuannya itu pasti dilewati, karena
hal itu memang jalannya. Sedangkan kita ini, ada yang bisa melewati jalan itu ketika hidupnya, ada yang
tidak bisa. Namun walau pun bisa atau tidak bisa mengalami ketika masih hidup
ini, besok ketika masuk ke pintu kematian *Sakaratil maut) juga mengalami.
Sedangkan caranya untuk menghindari cobaan tipuan itu --- apa mengalami
sekarang, atau ketika sakaratil maut--- tidak lain hanya.............................
TIDAK MEMPERHATIKANNYA.
Jika kita lulus dari pengalaman itu ketika dalam hidup ini, insya Allah
usaha kita dalam menuju Ma’rifat Tullah itu bisa terlaksana. Jika kita lulus
dari pengalaman itu ketika sakaratil maut, Insya Allah kita “Asal dari Tuhan
kembali kepada-Nya”,
Di kala itu sudah tidak bisa dibicarakan, karena “Tidak bisa
terbayangkan” di dalam keadaan ketika “Tanpa alat” *Bab III No.11,b. 26).
Paling Pol hanya bisa digambarkan bagikan orang tidur yang tidak bermimpi atau
seperti seseorang yang pingsan. Didalam Qur’an diceritakan ketika Nabi Musa
memandang Gunung (Bab III No.15) hinga terlaksana Ma’rifat kepada Tuhan, itu
begini : Falamma tajalla rabbuhu liljabali ja’alahu dakkan wacharra muusa
sha’iqan (Al A’raf 143 = Ketika Ma’rifat kepada Tuhan di gunung itu, kemudian
gunung itu hancur, Nabi Musa terjatuh pingsan).
Sudah-sudah, tentang Ma’rifat kepada Tuhan tidak perlu dirembug panjang
lebar lagi, hanya perlu saya tambahi keterangan seperti ini : Bisa saja ketika
kamu belajar Shalat Ma’rifat (Yoga) tau mengalami satu detik bagaikan tidur
tidak bermimpi, atau seperti pingsan, hal itu jangan kau kira jika kamu sudah
Ma’rifat kepada Tuhan : Tanpa melewati jalan yang banyak godaannya itu. Hal
seperti itu sama seperti ketika tidur
merasa tidak bermimpi, sebenarnya bermimi, namun mempinya sedikit sekali hinga
tidak teringat sama sekali.
Singkatnya, jalan yang banyak godaanya itu (Menyusup di rasa jati” Bab
III No.26) tidak bisa dihindari, seperti orang yang menghitung dari satu hingga
sepuluh, tidak akan bisa menghindari angka sembilan.
Dan jika setelah kepulanganmu dari sini, kemudian kamu belajar Shalat
Ma’rifat, aku hanya pesan sedikit :
I.
Perhatikanlah kesehatan badan,
karena jika badan kasar sakit-sakitan, bisa dipastikan : Tidak akan bisa
tercapai yang dicita-citakan.
II.
Tekun dalam menjalankannya dan
telaten, namun jangan dipaksa-paksa : tergesa-gesa ingins egera sampai; karena
ma’rifat itu tidak bisa dikerjakan dengan memaksakan diri.
III.
Bisa disertai mengurangi makan,
tidur, asmaram namun jangan sampai merugikan kesehatan badan. Boleh juga dengan
mendasari seperti itu, beserta juga jangan memuaskan makan, memuaskan tidur,
memuaskan asmara.
33. MUDADAMA : Iya Kak, perintah Kakak, akan saya patuhi. Nah sekarang tinggal menjelaskan
tentang yang gaib, yang pada umunya percaya atau tidak percayanya seseorang
hanya meniru-niru saja. Seperti pada Rukun Iman yang ke enam, Kita harus
mempercayai Malaikat-Malaikat-nya Allah
(Bab II No.24) Yang dinamakan Malaikat itu apa, Kak? Mohon penjelasannya hingga membuat diriku
puas.
33. WREDATAMA : Penjelasan yang tidak memuaskan itu berasal dari bodohnya yang memberikan
penjelasan, atau juga yang menerima penjelasan, atau kedua-duanya. Akan tetapi
akan saya coba, dengankalah!
Makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar ada empat.
1. Roh manusia yang sudah meninggal dunia, yang belum kembali kepada
asalnya dan belum dilahrikan ke dunia
lagi (belum kiyamat = belum bangkit dari kematian). Alamnya disebut alam kubur.
Roh tersebut ada yang mengalami enak dan tidak enak. Sehingga jika ada yang
menerangkan alam kubur itu ada tingkatannya, dan masing-masing jenisnya diberi
nama sendiri-sendiri, juga tidak salah. Di tempat itu tidak ada hdiup
bertetangga, karena masing-masing roh itu hanya menjalankan keadaan menurut
rasa dirinya masing-masing. Seumpama ada yang merasa bermasyarakat, juga
menurut rasanya diri mereka itu tadi, seperti halnya orang bermimpi
bermasyarakat. Sehingga tidak akan berkembangbiak atau pun berumah tangga.
Roh-roh tersebut jika sudah sampai waktunya (berdasarkan ilmu dan amal
perbuatannya) kemudian lahir menjadi bayi ke dunia lagi.
2. Bangsa Jin; yaitu mahkluk Tuhan, tidak berbeda dengan hewan dan
manusia ini, namun tidak berbadan kasar. Hewan itu tidak terbilang jenisnya, ada
yang merambat, merangkak, melata, terbang dan lain sebagainya ..... demikian
juga bangsa Jin, juga tanpa bilangan jenisnya, masing-masing jenis ditandai
dengan nama sendiri-sendiri oleh manusia. Alam Jin itu dinamakan alam astral
(ajsam) dan ditingkatkan sama dengan alam kubur yang terendah. Sehingga siapa
yang mata batinnya terbuka bisa berhubungan dengan roh yang ada di alam kubur,
juga bisa berhubungan dengan bangsa jin. Banga jin itu hidup di alamnya,
bermasyarakat seperti halnya manusia yang hidup di lam dunia ini. Sehingga
berkembang biak dan berumah tangga.
Sama-sama bangsa Jin, yang tertinggi tingkatannya itu “JIN” yang sering
disebut dalam Al-Qur’an, yaitu yang bentuk badannya banyak sekali yang mirip
dengan manusia. Sedangkan kelakuannya juga seperti manusia ini. Ada yang jelek
ada yang bagus, juga ada yang berbakti kepada Tuhannya, dan belajar Ilmu Agama.
Sabagian manusia ada yang suka bersahabt dengan Jin, malahan ada yang
sukka berumah menikah dengan Jin. Demikian juga Jin itu, ada yang suka bersahabt
dan kawin dengan manusia. Itu tidak mengherankan, sama saja dengan orang yang
suka kawin dengan orang beda bangsa itu.
Sedangkan jika terjadi hal yang demikian itu, menurut aturan kudrat, mau
tidak mau yang satu termasuk golongan (warga negara) satunya. Namun Jin mokal
dan tidak mungkin berubah menjadi manusia, karena hanya memiliki badan halus
saja, tidak memiliki dan tidak bisa membuat badan kasar. Sedang manusianya,
mempunya badan kasar pun juga mempunyai badan halus. Sehingga manusialah yang harus
mengubah dirinya untuk bisa masuk pada alam jin, dan ketika raga kasarnya sudah
rusak (mati). Seterusnya manusia yang sudah pindah warga negara ke bangsa Jin
itu juga mirip seperti Jin : Hidup berumah tangga dan bisa memiliki keturunan
di alam ajsam itu.
Makhluk berjenis Jin itu menurut aturan Kudrat Tuhan, tidak bisa tidak,
jiawanya juga mengalami kemajuan(Evolusi) hinga sampai sempurna : Kembali
kepada Tuhannya. Namun bagaimana perjalanan kemajuan itu, kita manusia tidak
mengerti. Yang jelas saja, pasti beda dengan amnusia. Sedangkan manusisa yagn
sudah menjad “Warganegara Jin itu, kemajuan jiwanya juga mengikuti cara Jin.
Ada juga manusia yang tidak kawin dengan Jin, namun ketika matinya,
rohnya juga terpaksa menjadi warga negara Jin, hingga lama sekali baru bisa
menjadi warga negara manusia lagi. Yaitu manusia yang ketika hidupnya berguru
atau mengambil tuntunan dan pertolongan Jin, menggunakan perjanjian atau pun
tidak. Itu sama dengan orang berpakaian serba putih, menceburkan diri di
perapian batu arang, mokal jika pakaiannya tidak terkena hitamnya arang.
Sehingga jika akan kembali menjadi putih lagi harus membersihkan hitamnya
terlebih dahulu.
Roh yang mempengaruhi manusia hidup yang menjadi perewangan yang
kadang-kadang saja atau yagn terus menerus (Bab III No. 18, 19, 20, 27), itu
bisa dipastikan roh dari orang mti yang pindah alam ke alam jin, atau memang
jin blesteran atau jin murni.
Bangsa Setan (Syaithan), yaitu makhluk Tuhan yang lebih lembut dibanding Proton (bagian
dari atoom), jenisnya juga tidak terbilang, sedangkan tunggal jenisnya yaitu :
Iblis atau Idajil. Setan dan Iblis itu sering disebut dalam Al-Qur’an, yaitu
yang selama-lamanya menggoda manusia dan menjadi musuh manusia.
Alam setan itu juga termasuk alam Ajsam, artinya jika ingin menyatakan
ujudnya ttidak bisa terlihat (dibesarkan) dengan menggunakan mikroskoop, harus
dengan penglihatan gaib, seperti halnya seseorang yang menyatakan ujud dari
jenis Jin. Sedang Jenis Setan itu, walau pun yang paling tinggi, dikarenakan
ujud dan perbuatannya, tingkatannya sama dengan bangsa Jin yagn paling rendah
sendiri. Yaitu ujudnya mengerikan, perbuatannya tidak ada yang baik. Masih ada
bedanya lagi, yaitu bangsa Jin yagn paling rendah itu tadi, hdiupnya mengalami
perubahan-perubahan berevolusi, sedangkan setan tidak, serta senang menang
dalam dalam kejahilannya.
Sitan itu hidupnya hanya menjadi benalu di badan kasar manusia. Ketika
raga manusia ini ditinggal oleh roh-nya, setan yang menumpang dan tidak
terbilang jumlahnya itu ditinggal pula, akhirnya rusak, kembali kepasa asalnya
dan “Selesai” tanpa kisah lagi. Sehingga perbuatan setan itu tanpa tanggung
jawab sama sekali. Yang bertanggung jawab manusianya yang di tempeli, yang
ketika meninggalkan raganya masih ada riwayat lagi.
34. MUDADAMA : Maaf Kak! Jika tentang roh orang yagn meninggal dunia yagn masih kekal
hidup di alam kubur, itu sudah jelas penerimaanku. Demikian juga tentang
makhluk yang berbadan halus yang disebut “Jin” itu aku juga bisa menerimanya,
walau pun aku belum pernah melihatnya. Karena kepercayaan itu tidak harus bisa
ddisaksikan oleh astendriya yagn lima (Pancaindra), juga bisa disaksikan
menggunakan pengertian. Kepercayaanku tentang adanya Jin, sama saja dengan
kepercayaanku, bahwa di dalam laut ditempati hewan buruan air yang jumlah jenis
tidak beda dengan hewan buruan darat, walau pun aku belum pernah melihat
keadaan di kedalam laut.
Namun, tentagn Setan ...... pemahamanku belum bisa menerimanya. Tiba-tiba
ada makhluk yang hidup sebagai “benalu” segala, atu maksuddnya bagaimana dan
kejelasannya seperti apa?
Dan juga, mohon maaf sebelumnya, aku tadi kan mohon penjelasan tentang
“Malaikat” yang termasuk Tukun Iman, itu kan?
34. WREDATAMA : Jika langsung aku menerangkan
tentang Malaikat, menurutku kamu tidak langsung mengeri. Sehingga sebelum
menerangkan tentang malaekt, saya awali menjelaskan tentang Jin dan setan
terlebih dahulu, yang juga disebut di dalam l Qur’an.
Tentang badan kasar manusia yang ditempeli kehidupan makhluk lain, itu
kan bukan hal yang aneh, ta? Sepertinya : Cacing tambang, kutu rambut, daln
lain-lainnya, itu semua kehidupannya benalu bagi raga manusia. Artinya jika
badan kasar itu telah rusak, si cacing gdan kutu rambut itu ikut rusak. Hanya
saja perbedaanya, demikian : Cacing dan kutu rambut itu benalu yang datang
gkemudian, yang menjadi ada karena terbawa dari makanan atau kotoran, dan bisa
dihilangkan dari badan manusia. Sedangkan Setan itu “Benalu” asli, dalam
menjadi benalu sejak manusia terlahir dari kandungan Ibu, serta tidak bisa
dimusnahkan dari raga manusia. Soal itu perlu dijelaskan hingga
sejelas-jelasnya.
Ketika manusia hidup menggunakan basan kasar, itu dari kudratnya Tuhan;
pasti ketemepatan setan, walau pun para Wali dan para Nabi, juga demikian.
Dalam Hadits : Maa minkum min ahadin illa walahu syaithan (Tidak ada satu
manusia pun dari kalian semua, kecuali pasti ketempatan setan). Inu bukan hal
yang aneh, seperti halnya tiap manusia hidup itu pasti ketempatan nafas,
hasrat, nafsu, akal, pikiran, dan kelengkapan yang lain-lainnya lagi. Seandainya
kosong salah satunya, pasti tidak hidup atau tidak sempurna hidupnya.
Sedangkan yagn dinamakan setan itu apa? Marilah dengarkan yang jelas.
Jangan mudah percaya pun jangan mudah membantah.
Pada abad pertangan sekarang ini, para sarjana Ilmu Kedokteran sudah
sepakat pendapatnya, bahwa di dalam badan
kasar manusia hidup itu ada biji
sakit (Baksil, bakteri) bermacam-macam, namun ada daya reaksi yagn cukup
kekuatannya untuk menahan kekuatannya (aksine) dari baksil-baksil itu. Itu bagi
orang yang sehat.
Sedangkan jika ada kejadian dari
sebab yang berasal dari dalam atau dari luar, yang menyebabkan daya reaksi itu
tadi kurang kekuatannya ...... baksil bakteri itu kemudian In Aksi, orangnya
dinamakan sakit. Sedangkan ujud dari baksil bakteri yang teramat sangat kecilnya
itu sekarang sudah bisa di lihat menggunakan alat, juga buatan para sarjana,
yang bernama mikroskoop.
Coba sekarang pikirkan yang obyektif, seumpama bakteri-bakteri itu saya
namakan X, atau Y, atau Z, apa ............................... SETAN, kan bisa
saja, ta? Kan hanya nama saja!
35. MUDADAMA : Iya, Kak, jika hanya tentang nama saja, dari pengertianku tidak ada
keberatannya. Namun yagn bernama “setan” dengan yang bernama “bakteri-bateri”
itu apakah sama, Kak?
35. WREDATAMA : Sabar dulu, jika tentang “Nama” kamu sduah tidak keberatan, saya teruskan
uraianku.
Sebenarnya yagn disebut Setan di dalam Kitab-Kitab Suci, ketika di jaman
kuna itu, yaitu yang dinamakan baksil-baksil oleh Ilmu kedokteran di jaman
sekrang ini. Namun baksil-baksil itu termasuk setan pada tingkatan rendah dan
kasar (agal), sehingga sekarang sudah bisa dilihat dengan menggunakan alat.
Sedangkan di badan manusia itu juga ada setannya yang tingkatannya lebih tinggi
dan keadaannya lebih lembut dibanding dengan baksil-baksil itu.
Ketika sarjana ahli Wetenschaschap belum bisa membuat alat yang disebut
Mikroskoop, kepercayaan orang biasa kepada bakteri-bakteri cukup hanya
merasakan akibat dari perbuatannya saja. Demikian juga sekarang, kepercayaan
orang kebanyakan kepada adanya setan (Bakteri-bakteri yagn lebih lembut) itu
seharusnya juga cukup dengan mengetahui akibat dari perbuatannya saja. Dan juga
bukan hal yang aneh seumpama besok berapa turunan lagi, ada sarjana ahli
wetenschap yagn bisa membuat mikroskoop yang lebih canggih, yang bisa
dipergunakan untuk melihat setan dengan sejelas-jelasnya, itu adalah apa, dan
juga tentang badan halus yang lainnya.
36. MUDADAMA : Nahhh.. sekarang pehamanku sudah terang, Kak. Malah menurut pendapatkku,
tentang adanya Lelembut (makhluk lembut) yagn bernama setan itu lebih dekat
kepada wetenschap dibanding terhadap mystiek. Untuk selanjut, Kakakberkenanlah
menerangkan akibat dari perbuatan setan itu, agar orang kebanyakan seperti aku ini, bisa percaya – yakin bahwa
memang ada sungguhan.
36. WREDATAMA : Itu tidak sulit, asal saja kamu
masih mau menggunakan akal dan pikiran saja.
Sebangsa setan yagn ada di badan kasar manusia itu takdir perbuatan yang
pokok menyebabkan sakitnya jiwa bagi manusia. Sedangkan yagn sebut sakitnya
jiwa itu, angan-anagn yang menghalangi antara makhluk dengan penciptanya. Tidak
membedakan yang memiliki angan-angan itu bodoh atau pinter, kaya atau miskin,
raganya sakit atau sehat, Dan juga tidak membedakan apa yang punya angan-angan
itu dalam tindakan lahirnya bertindak maksiat atau tidak maksiat.
Sedangkan setan yagn kasar yagn bernama baksil-bakteri yagn ada di badan
kasar dari manusia itu, takdir perbuatannya yang poko : menyebabkan sakitnya
raga. Sehingga jika orang biasa (mukmin awam) jika mengalami sakit raga itu,
menjadikan gelap pikirannya, luntur pengabdiannya kepada Tuhan, dalam
berikhtiar tidak dengan cara pasrah, terkadang mau minta tolong kepada badan
halus ( menjadi musyrik = menyekutukan Tuhan), kadang juga bisa menyembuhkan.
Hal itu bisa menyebabkan manusia berbuat demikian itu takdir dari perbuatan
setan.
Dan juga pahamilah olehmu, baksil – bakteri yang sedang “in aksi” di
dalam tubuh manusia itu, bisa menular atau dengan sengaja ditularkan kepada
manusia lain. Jika yang tertular itu kurang kuat daya reaksinyan juga akan
mengalami sakit raga seperti yang ketempatan baksil-bakteri itu tadi. Namun
karena baksil – bakteri itu termasuk setan kasar, cara penularannya itu juga
dengan cara kasar, yaitu jika dekat atau terlihat mata.
Sedangkan jenis setan , yang tingkatnnya halusnya melebihi baksil –
bakteri itu, juga bisa ditulasrkan kepada manusia alainnya, dari jarak jauh.
Ketika yagn ditulari itu kurang kuat daya reaksinya, juga kemudian terserang
sakit di jiwanya, terkadang terjangkit sakitnya raga dan jiwanya, menurut
keinginan yang menularkan.
Jika penjelasanku ini sudah bisa kamu pahami, tentunya kamu tidak akan
menyalahkan tentang adaya “ Tenung, teluh, guna-guna pengasihan, santet, jaran
goyang, dan lain sebagainya, itu. Tentunya kamu juga mengerti bahwa kelebihna-kelebihan
dan berbagi jenis aji kesaktian yang diusahakan itu (Bab III No.22, 30, 31),
berarti : Ditolong oleh rohnya orang yang meninggal dunia yagn belum sempurna,
atau ditolong oleh golongan Jin, atau ditolong oleh ......... Setan dari
dirinya sendiri.
37. MUDADAMA : Iya Kak, sekarang aku sudah mengerti sungguhan. Tentag setan yang
sebelumnya aku setengah percaya setengah tidak, sekarang sudah yakin adanya.
Dan juga tidak heran bahwa jika setan itu bisa menundukan perbuatannya
(menggoda) kepada orang yang sehat raganya, dan juga kepada orang yang
kelihatan dalam kelakuannya bertindak “baik”. Yaitu ketika orang-orang itu
menyenangi tentang urusan dunia mengalahkan pengabdiannya kepada Tuhan. Sebab
yang menghalang-halangi antara makhluk dengan Tuhan itu tidak lain itu hanya
tentang keduniaan itu.
Nah... tentang itu aku mohon penjelasan : Apa, kita sebagai manusia ini
tidak bisa meneliti sendiri terhadap godaan setan itu : sebelum jadi kurban?
Dan juga, jika baksil-baksil yang ada di badan kasarnya manusia disertai daya
reaksi, sedangkan setan yagn ada di badan kasarnya manusia, yang lebih besar
bahayanya, apakah tidak disertai daya reaksi?
37. WREDATAMA : Nah sekarang soal “Malaekat” yagn kamu tanyakan dari semula. Aku tadi
sudah menyampaikan, bahwa makhluk yang berbadan halus itu, secara garis besar
ada empat (Bab III No..33) baru saya terangkan yang tiga, masih kurang satu :
yaitu dari golongan Malaekat itu.
4. Bangsa Malaekat (malaikat), itu makhluk Tuhan berbadan halus yang
luhur derajatnya. Pemimpin setan yang bernama Idajil itu, sebelumnya juga
golongan malaekat. Namun kemudian direndahkan derajatnya, dimasukkan ke dalam
golongan setan yang alamnya bernama alam ajsam (Bab III No.33).
Sedangkan alam dari golongan Malaekat itu bernama alam Malakut. Jumlah
dari golongan malaekat itu juga tidak terbilang, seperti halnya jumlah dari
golongan setan. Nama dari para malaekat yang perlu dikaetahui dalam Rukun Iman
ada 10, yaitu :
1.
Jibril = Yang menjadi utusan Tuhan memberikan Wahyu kepada para
Nabi dan memberikan Ilham kepada makhluk yang diberi anugerah itu.
2.
Mikail = Yang membagikan rejeki dan yang mencurahkan hujan.
3.
Israil = Yang menempatkan Roh.
4.
“Izrail = Yang mencabut roh.
5.
Raqib = Yang mencatat pebuatan baik buruk.
6.
“Atid = Yang mencatat perbuatan baik buruk
7.
Munkar = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur.
8.
Nakir = Yang memeriksa ilmu dan amal, di alam kubur
9.
Ridwan = Penjaga surga.
10.
Malik = Penjaga Neraka.
Alam Malakut itu alam yang luhur (halus) sekali, sehingga orang yang
belajar Yoga (Shalat Ma’rifat) sangat jarang yagn bisa sampai di tingkatan itu.
Seta orang yang terbuka penglihatan gaibnya, jarang yang bisa melihat terhadsap
ujud dari Malaekat itu, walau pun sudah
bisa melihat wujud makhluk yang ada di
alam Ajsam dan yang ada di alam kubur. Namun manusia yang sempurna dari yang
sempurna : derajatnya melebihi Malaekat. Yaitu seperti yang sudah saya
sampaikan itu, ketika Mihraj-nya Nabi
Muhammad hampir sampai di hadapan Tuhan, Malaekat Jibril tidak kuat melajutkan untuk
ikut (Bab III No.30).
38. MUDADAMA : Mohon maaf Kak! Aku agak bingung mendangar penyampaian Kakak tanteng Malaekat itu. Yang dibicarakan yang
sudah lalu kan golongan setan yang berada di badan kasarnya manusia alias yagn
ada di jagad kecil (mikrokosmos). Aku kemudian mohon penjelasan tentang
zelfkorreksi dan tentang daya areaksi yang menanggulangi aksi dari golongan
setan itu. Kemudian Kakak, terus membicarakan golongan Malaekat, padahal
penerimaanku : Malaekat itu para alat (Apparat) utusan Tuhan yang bertugas
mengurus semua manusia yang ada di seluruh dunia alias yagn ada di jaga besar
(makrokosmos). Tentang hal itu bagaimana?
38. WREDATAMA : Itu kan pendapatmu sendiri, dari bawaanmu sendiri, bukan pendapat yang
karena mendengar penyampaianku, ta? Aku
tidak mengakatan Jagad besar dan sejenisnya, yagn saya katakan semua itu hanya
jagad kecil, yaitu badan kasar dari manusia ini.
Memang benar bahwa malakekat itu aparat utusan Tuhan, namun Tuhan yang
bermakna “Individueele God” (Bab II
No.2,8), bukan Tuhan yang bermakna, algemenee God” seperti perkiraanmu itu.
Sedangkan Algemeene God itu apakah memiliki Aparat yang bernama Malaekat, apa
tidak, itu, tidak bisa dibicarakan, sehingga juga tidak perlu dibicarakan.
Karena Tinggi-Tingginya Ma’rifatullah itu – walau pun para Nabi sekali pun –
tidak lain hanya Ma’rifat kepada
......... Individueele God = Allah-nya sendiri (Bab I No.37, Bab II
No.7).
Sehingga : Nama dari Malaekat serta kewajibannya sekalian, yang saya
katakan itu tadi, tidak lain adalah ........................................
Malaekat dari diri orang masing-masing serta kewajibannya kepada diri
amsing-masing orang ketika masih berbadan kasar ini.
Jika kamu masih bingung, karena tidak lain dikarenakan nama dari Malaekat
dan nama dari Pemimpjn setan itu yang kamu kira eignnaa, sebagai ibarat ........ Pak Sastrakara.
Padahal sebenarnya “Nama” itu sebutan dari tugas pekerjaanya, Gambarannya
.............. Pak Carik yang pekerjaan menulis, dan di tiap kelurahan ada Pak Carik-nya. Jelasnya : Tiap diri
manusia itu ada Ijajilnya sendiri-sendiri, juga ada Jibril-nya sendiri-sendiri,
Mikail-nya sendiri-sendiri, Israfi-nya sendiri-sendiri ..... dan seterusnya.
Yang masing-masing saling mempunyai
kewajiban seperti yang saya katakan itu tadi. Namun, tugas malaekat itu
jangan kamu pahami Letterlijk seperti
perkiraanmu semula itu tadi.
Sedangkan Malaekat yang tak terblang jumlahnya itu, hidupnya juga menjadi
benalu di badan kasar manusia, yang atas kudrat dari Tuhan, sebagai lawan
menandingi dari golongan setan, yaitu dari reaksi atas aksi-nya golongan setan.
Ketika badan kasar manusia ini rusak, para Malaekat juga akan “Selesai” kembali
kepada asalnya, seperti halnya golongan
setan yagn sudah saya jelaskan itu tadi.
Untuk lebih jelasnya menggunakan rumus (formula), seperti ini :
Aksi dari setan rendahan (baksil, bakteri) yang menyebabkan sakitnya
raga, di tanggulangi oleh reaksi dari Malaekat arahan.
Aksi dari setan tingkat yang lebih halus, yang menyebabkan sakitnya jiwa,
ditanggulangi ileh reaksi dari Malaekat yang lebih luhur.
Sehigga : Golongan Malaekat itu – makhluk berbadan halus yang ditakdirkan
menjadi reaksi terhadap aksi dari golongan setan. Oleh karena Malaekat itu
makhluk yagn luhur derajatnya (Sangat halus), sehingga Malaekat yang Arahan saja, tidak bisa dilihat
mempergunakan mikroskoop, apalagi malaekat yang lebih luhur derajatnya. Juga
dengan mempergunakan penglihatan gaib sangat jarang yang bisa melihatnya. Namun
dengan menggunakan akal dan pikiran, orang bisa percaya atas adanya Malaekat
itu, karena melihat dari menyatakan atas perbuatannya.
Sedangkan perbuatan Malaekat Arahan yang membentengi aksi dan
bakteri-baksil, wetenschap sudah menyaksikan adanya, Sedangkan yagn dilakukan
oleh Malaekat yang menanggulangi perbuatan setan, yang menggoda manusisa agar
sangat mencintai urusan dunia hingga mengalahkan penghambaannya kepada Tuhan,
bisa dinyatakan menggunakan Zalfkorreksi seperti ini :
Kita ini dalam setiap harinya, tiap jam, tiap menit, tiap detik, pasti
mengalami Chaathir (krenteg-osik/Cetusan hati) ketika salah satu indriya yang
lima mengalami hal apa saja, terkadang tersa, terkadan tidak terasa, karena
sangat eratnya, Cetusan itu garis besarnya pasti hanya dua macam yang selalu
berlawanan, Yang satu mengajak lupa (menolak) kepada Tuhan, yang satunya lagi menghamba
(manghadap) kepada Tuhan. Cetusan hati yang mengajak menolak itu, tidak lain
dari perbuatan golongan setan, sedangkan yang mengajak menghadap Tuhan itu
tidak lain berasal dari perbuatan golongan malaekat.
Orang yang kuat raganya, daya reaksi dari malaekat Arahan itu kuat dalam
menghadapi aksi dari golongan setan rendahan (baksil bakteri). Semikian juga
orang yang kuat jiwanya (rohnya), daya reaksi malaekat yang selalu mengajak
menghadap Tuhanitu juga kuat menanggulangi aksi dari golongan setan yagn selalu
mengajak menghidar dan menolak terhadsap Tuhan. Sedangkan badan kasar serta si
astendriya yang dikendalikan oleh akal pikiran, hanya tinggal menurut saja.
Jika roh-nya tunduk kepada setan, tentu akan melakukan sesuai dengan watak dari
setan, demikian juga sebaliknya.
Nah... sekarang sudah malam, jika kamu akan pulang besok, sekarang
istirahatlah.
39. MUDADAMA : Iya Kak, namun aku memaksa mohon diterangkan dahulu tentang surga dan
neraka, walau secara singkat saja. Keinginanku ingin mengerti tentang hal yang
gaib lainnya yagn tidak ada hubungannya dengan Iman dan tekad, saya sabarkan
dahulu, lain waktu saja jika saya datang ke sini lagi.
Kakak mengatakan, bahwa surga neraka aitu bermakna takdir baik dan takdir
buruk (Bab II No.35) itu aku belum jelas benar.
a.
Yang disebut takdir baik dan
takdir buruk itu yang baimana ujudnya?
b.
Katanya surga itu lapis tujuh,
neraka itu lapis tujuh, sedangkan surga neraka itu merupakan takdir hidup,
terus bagaimmana kejelasannya?
39. WREDATAMA : Pertanyaanmu itu sepertinya sudah isi catatan .... bahwa surga aneraka
itu kamu kira tempat. Hal itu keliru,
salah yang sebenarnya. Surga Neraka itu kenyataannya persisi seperti “alam-a;am”
yang sudah saya jelaskan di depan. Tidak lain hanya menurut rasa dari yang
mengalami sendiri-sendiri (Bab II No.23, 24, 25).
Sehingga jika kamu mempunyai anggapan, bahwa yang disebut takdir baik itu
orang yang dilahirkan pinter, sugih, terhormat ...... itu salah. Sebab yang
mengalami hal demikian belum tentu mempunyai rasa Beruntung. Sedangkan yang
dilahirkan sebaliknya itu semua jangan kamu kira itu takdir jelek, karena yang
mengalami belum tentu mempunyai rasa celaka.
Singkatnya : Surga = keadaan hati yang berasa beruntung, senang, tenteram
dan lain sebagainya, yang secara garis
besarnya dikatakan enak; Neraka = Keadaan hati yang merasa celaka, susah, resah
dan lain sebagainya, yang secara garis besarnya dikatan tidak enak.
Coba sekarang dikupas :
Kata “Surga’ dan “Neraka” itu, aku tidak mengerti kejelasannya, apakah
kata yagn sudah berubah atau mengambil dan manca, apa asli bahasa Nasional, dan
makna yang letterlijk, itu bagaimana aku juga tidak mengerti dengan jelas.
Sedangka jika makna yang mengikuti artinya, sudah jelas Surga =
Kenikmatan dan keindahan, Neraka = lawan dari kenikmatan dan keindahan, Jika
demikian, kan kata sebutan yang disimpulkan dari kata ‘Keadaan”. Namun ketika dijadikan kata yang berbunyi “Surga”
dan “Neraka” kemudian menimbulkan anggapan baru : Surga neraka itu sebutan
tempat, seperti Pantai, gua dan lain-sebagainya.
Di dalam Biybel, dalam menyebut surga itu Hemel artinya atas, untuk
menggambarkan keluhurannya, terkadang eden atau Paradiys artinya Pertamanan,
untuk menggambarkan kenikmatannya dan keindahannya itu tadi. Sedangkan dalam
menyebut Neraka : Hel, artinya ....... Bawah, untuk menggambarkan keburukannya.
Di dalam Qur’an dalam menyebut surga itu Jannatun (al-jannatu) artinya
pertamanan, juga untuk menggambarkan kenikmatannya dan keindahannya itu tadi.
Sedangkan kata “Jannatun” itu kadan ditambahi Firdaus, naim, chudi, adni,
illiyin ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, Entah yang lainnya
lagi. Kemudian menumbuhkan anggapan bahwa tambahannya itu
........................................ Eignnaame si Jannatun, seperti halnya “Parangtritis”
Eignnaame “Pantai” Atau “Langse” eignnaaame Gua. Padahal kenyataannya tambahan
itu adalah kata keterangan atas Kenikmatan dan keindahan iut tadi. Seperti
:Jannatul Firdaus” bermakna Pertamanan
yang dihiasi Istanabukan Surga yang bernama Firdaus. Sedangkan “Firdaus” itu
satu maksud dengan “Paradiys” di Biybel, berasal dari Bahasa Ibrani.
Seharusnya kata sebutan itu tidak berlawanan. Namun kata sebutan Surga
dianggap berlawanan kata sebutan neraka,
oleh karena kedunya memang asal dari kata keadaan. Sedangkan di Qur’an tidak
demikian. Kata sebutan “Jannatun” yang diartikan ke dalam bahasa Jawa “Surga”
tidak mempunyai lawan katanya dan bahasa jawanya Neraka. Di Qur’an hanya
menceritakan adanya “Adzaab (Siksa) bermacam-macam, contohnya : wailun, sa’ir,
jahim, jahanam, huthammah, haawiyah, saqar, nar .......... entah yang lainnya
lagi. Sedangkan kata-kata itu kan jelas adalah kata keterangan yang menerangkan
“Adzaab” itutadi, bukan eignnaam, serta kata “Wailun” (dibaca : Wel) itu satu
asal dengan “Hel” di Biybel, sama berasal dari bahasa Ibrani.
Menurutkan sekarang sudah jelas lebih dari jelas, bahwa surga Neraka itu
bukan tempat, hanya rasanya (Yang dirasakan hati) yang mengalami saja.
Sedangkan surga Neraka itu dikatakan lapis tujuh, atau warna tujuh, itu
tidak ada salahnya, Karena rasa yang dialami hati (enak atau tidak enak) itu
memang banyak jenisnya, bukan hanya tujuh macam saja. Serta masing-masing warna
itu tidak sama ukurannya, juga bukan tujuh ukuran saja.
Yang Terakhir : saya ulangi
pesanku ; Jangan suka berbantahan masalah Ilmu (Bab I No.37) ingatlah perintah
Qur’an “ Mani ahtadaa fainnamaa yahtaddie linafsihi waman dlalla fainnamaa
yahdlilu ‘alaihaa (Isyraa’ 15) = siapa yang mendapakan petunjuk itu untuk
dirinya sendiri, yang siapa sesat juga untuk dirinya snediri). Artinya : Masing-masing orang itu keyakinanan menurut taqdirnya
sendiri-sendiri, tidak bisa didpengaruhi.
Sekarang ayo... Istirahat.
TAMAT
Kota
Sepanjang, Kab. Sidoarjo, Jawa Tumur, 23 September 2014
Ketika
Matahari pada posisi di Tengah Bumi Garis Katulistiwa.
Pakatau mas pujo, saya apresiasi atas usaha anda untuk mempublikasikan ilmuyang bermanfaat cuma kritik sedikit tolong dicrmati lagi mudatama dan wredatama apa tidak kebalik, karena yang bertanya biasanya yang muda kepada yang tua, maap ya
BalasHapusapakah masih ada lanjutnya mas untuk bab 2 dam bab 3
BalasHapusAlhamdulillah, maturnuwun mas/pak Pujo atas jerih payahnya menerjemahkan buku Kuntji Swarga ke bahasa Indonesia. Saya punya buku ini cetakan ke VI dengan ejaan Lama, sudah saya baca dengan segala keruwetan cetakan buku seharga 30 rupiah ini. Sekali lagi maturnuwun, semoga Allah SWT membalas yang lebih baik buat panjenengan semua.
BalasHapusSalam Rahayu dari Solo
BalasHapusMatur suwun ya mas. Saya punya buku cetakan ke 4.tapi halaman terakhirnya hilang. Dan di artikel ini ada sampai hal terakhir.sehinga tahu sampai endingnya. Sekali lagi terimakasih. Rahayu sagung dumadi.
BalasHapusAssalamu alaikum wrwb. matur suwun mas pujo, sangat bermanfaat. Permisi, menawi Bpk ibu pembaca mempunyai buku aslinya, bolehkah saya ganti atau saya beli ?. Matursuwun
BalasHapusAssalamualaikum Mas Pujo . . Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT dan rasa terimakasih sebanyak-banyaknya buat mas Pujo yg telah memudahkan kami memahami kitab kuntjo Swarga...semoga Allah SWT membalas berlipat ganda atas jerih payahnya mas Pujo menterjemahkan kitab ini...harapan saya mas Pujo Sudi menterjemahkan kitab wirid itmi... matur nuwun sangeet mas.. wassalamu'alaikum
BalasHapusYang versi bahasa jawa adakah
BalasHapus