Orang harus berbicara dahulu
yang banyak sekali, sebelum ia tinggal tenang dan diam
SEJARAH SINGKAT
FILSAFAT TIONGKOK (CINA)
(A Short History of Chinese Philosophy by
Fung Yu Lan)
Edit : Pujo Prayitno
P E N D
A H U L U A N
Buku
ini adalah terjemahan bebas dari A Short History of Chinese Philosophy, buah
karya Dr. FUNG YU LAN, bab ke-I; ke-II, ke-III, ke XXVII, dan ke-XXVIII).
Bab.I
: Jiwa dari Filsafat Tiongkok
a.
Tempat yang diduduki oleh
Filsafat di dalam Kebudayaan Tiongkok
b.
Peroalan dan Jiwa Filsafat
Tiongkok
c. Tentang bagaimana caranya para ahli filsfat Tiongkok menyatakan Isi Hatinya
c. Tentang bagaimana caranya para ahli filsfat Tiongkok menyatakan Isi Hatinya
d.
Bahasa Asing Sebagai Rintangan
Bab.II : Latar Belakang dari
Filsafat Tiongkok
e.
Latar Belakang Geografis Dari
Rakyat Tiongkok
f.
Latar Belakang Ekonomis Dari
Rakyat Tiongkok
g.
Keadaan yang Membalik adalah
Gerak Tao
h.
Pujaan Terhadap Keadaan Alam
Yang Asli
i.
System Kekeluargaan
j.
Yang Mengenai dunia ini dan
dunia lain
k.
Kesenian dan Puisi Tiongkok
l.
Methodologi Filsfat Tiongkok
m.
Negeri Laut dan Negeri Daratan
n.
Hal-hal yang Permanen (tetap)
dan hal yang dapat berubah didalam Filsfat Tiongk
Bab.IIII : Asal Mula dari Aliran-aliran di
Tiongkok
o.
Ssu T’an dan Enam Aliran
p.
Liu Hsin dan Teorinya tentang
Asa-Mula dari Aliran-aliran di Tiongkok
q.
Meninjau Kembali Teori Liu Hsin
Bab.XXVII : Perkenalan dengan Filsafat Barat
e.
Reaksi
Terhasap Neo-Confucianisme
f.
Pergerakan
yang menuju ke arah Agama Confucius
g.
Berkenalan
dengan Alam Pikiran Barat
h.
Perkenalan
dengan Filsafat Barat
Bab.XXVIII : Filsfat Tiongkok di dalam Dunia Moderen
i.
Perkenalan
dengan Filsafat Barat
j.
Hasil-Hasil di Dalam Lapangan
Filsafat pada Waktu Perang
k.
Corak Filsafat
l.
Lapangan Kehidupan
m.
Methodologi Di Dalam
Metaphysica
BAB
: I
JIWA DARI FILSAFAT
TIONGKOK
Tempat
yang diduduki oleh Filsafat di dalam kebudayaan Tiongkok dapat disamakan dalam
kebudayaan Tiongkok dapat disamakan dengan tempat yang diduduki oleh Agama di dalam kebudayaan negri-negri
lain. Di Tiongkok, setiap orang yang pernah mendapat pendidikan, merasa dirinya
bersangkut-paut dengan Filsafat. Bilaman pada jaman dahulu seseorang mendapat
pendidikan, maka pelajaran pertama yang diberikan kepadanya adalah pelajaran
Filsafat. Kalau seorang anak mulai masuk sekolah, maka pertama-tama yang
diajarkan kepadanya, adalah membaca “Empat Buah Buku”, yaitu terdiri dari :
1.
Analecta
Confucius,
2.
Buku
Mencius,
3.
Ilmu
“Tinggi” (the Great Learning), dan
4.
Ajaran tentang Jalan Tengah (Doctrine og the Mean).
Ke
empat buku ini merupakan naskah-naskah yang terpentign dari kefilsafatan Neo
Confucianisme. Kadang-kadang, bilamana pada permulaan anak-anak sedang
mempelajari huruf-hurufnya/tanda tandanya, mereka diberi semacam “Tiga Huruf Klasik”.
Dinamakan demikian oleh karena tiap-tiap kalimat di dalam buku itu terdiri atas
tiga huruf yang disusun sedemikian rupa
hingga kalau dibaca, pembacanya akan memperdengarkan suara-suara yang rhythmis
(yang sama iramanya). Hal ini memudahkan cara menghafalkannya. Pada hakekatnya,
buku “Tiga huruf klasik” ini adalah buku untuk tingkat permulaan, dan yang
pertama-tama dinyatakan di situ adalah bahwa : “Manusia itu pada aslinya bersifat baik” Ini
merupakan salah satu dari ide-ide pokok filsfat Mencius.
A.
Tempat yang diduduki oleh
Filsafat di dalam Kebudayaan Tiongkok
Orang
Barat yang melihat bahwa di dalam hidup orang Tiongkok itu terjalin,
ajaran-ajaran Confucianisme, medapat kesan bahwa Confucianisme ini seakan-akan
merupakan Agama. Tetapi apakah Confucianisme itu merupakan agama atau tidak,
hal itu sebetulnya tidak jauh berbeda
denga n misalnya Platonisme atau Aristotelisnisme. Benar juga bahwa
“empat buah buku” tersebut telah dijadikan Kitab Suci dari rakyat Tiongkok,
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di situ tidak dimuat sesuatu cerita tentang
penciptaan-penciptaan, dan juga tidak disebut tentang sorga atau pun neraka.
Memang
benar bahwa baik istilah “Filsfat: maupun istilah “Agama” itu kedua-duanya
mendua arti. Artinya, bagi orang yang satu dapat berlainan sekali dengan bagi
orang lain. Kalau kita berbicara tentang
Filsafat atau pun tentang Agama, di
dalam pikiran kita dapatlah melintas gambaran-gambaran yang beraneka warna
mengenai hal itu. Bagi saya, yang saya sebut Flsafat adalah : “Pikiran yang systimatis dan reflectif
tentang hidup.” Setiap orang yang belum mati, itu masih hidup. Tetapi
sekali pun masih hidup, tidak ada banyak orang yang berpikir secara reflectif
tentang hidup. Dan lebih sedikit lagi jumlah orang yang berpikir secara
reflectif dan systimatis. Seorang ahli filsfat harus beriflsafat; artinya ia
harus berpikir secara reflectif tentang hidup, dan kemudian ia harus menyatakan
pikirannya aitu secara systimatis.
Cara
berpikir yang saya maksud ini danamakan “Reflectif” oleh karena yang menjadi obyek dalah hidup. Teori tentang hidup, teori
tentang alam semesta, dan teori tentang pengetahuan, semuanya itu timbul dari
pikiran yang reflectif. Teori tentang alam semesta itu timbul, karena alam
semesta merupakan latar belakang drama hidup. Teori tentang pengetahuan timbul
karena “Berpikir” itu merupakan
pengetahuan. Beberapa ahli filsafat Barat mengatakan bahwa sebelum kita
berpikir, kita lebih dahulu harus menemukan apa yang dapat dipikirkan. Artinya, sebelum kita mulai
berpikir tentang hidup, kita lebih dahulu harus berpikir tentang pikiran kita.
Teori-teori
demikian ini semuanya adalah hasil dari cara berpikir yang reflectif. Konsep
tentang hidup, konsep tentang alam semesta, dan konsep tentang pengetahuan,
juga merupakan hasil dari cara berpikir yang reflectif. Meskipun kita berpikir
tentang hidup, atau meskipun kita berbicara tentang itu, kita selalu toh berada
di dalam “hidup” itu. Dan meskipun kita berpikir atau pun berbicara tentang
alam semesta, namun kita semuanya merupakan bagian dari alam semesta itu, yang disebut “Alam semesta” oleh
para ahili filsafat adalah “ Keseluruhan dari segala sesuatu yang ada.”
Jadi senilai dengan apa yang oleh ahli Filsafat Tiongkok Kuno Hui Shih disebut
“Yang Besar”, dimana di dalam perumusannya dinyatakan bahwa “tidak terdapat
sesuatu pun di luar Yang Besar itu”. Dengan demikian maka setiap orang dan
segala sesuatu saja harus dianggap sebagai bagian dari alam semesta. Jadi kalau
seseorang berpikir tentang alam semest ( dimana ia tidak “menghadapi” melainkan
“berada di dalam” alam semesta), maka ian sedang berpikir secara reflectif.
Bilamana kita berpikir tentang pengetahuan
atau berbicara tentang pengetahuan, pikiran dan pembicaraan kita itu sendiri
sudah merupakan pengetahuan. Kalau kita mempergunakan istilah Aristoteles, hal
itu merupakan “Pikiran tentang Pikiran”; dan pikiran yang demikian ini adalah
pikiran yang reflectif. Di sini para ahli filsafat berputar-putar saja di dalam
lingkaran, tanpa ada titik berhenti (vicious circle), sebab mereka amenghendaki
bahwa sebelum kita berpikir, kita hendaknya berpikir lebih dahulu tentang
pikiran kita dulu. Seolah-olah kita mempunyai kekuatan/kemampuan lain yang
memungkinkan kita untuk berpikir tentang pikiran. Sudah menjadi kenyataan
bahwa, kekuatan/kemampuan yang memungkinkan kita untuk berpikir tentang
pikiran, itu adalah juga kekuatan/kemampuan yang memungkinkah kita untuk
berpikir (jadi di sini kita berhadapan dengan satu kekuatan/kemampuan saja;
bukan dua kekuatan/kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya). Apabila kita
ragu-ragu tentang kemampuan pikiran kita untuk “meneropong” hidup dan alam
semesta, maka kita harus jura ragu-ragu tentang kemampuan pikiran kita untuk
“meneropong” pikiran kita.
Agama
pun mempunyai sangkut paut dengan hidup. Di dalam “jantung” *Heart) dari
tiap-tiap Agama yang luhur, terdapat Filsafat. Sebetulnya : “Setiap Agama yang
luhur berup sesuatu kefilsafatan yang mempunyai “bangunan atas” (boven bouw,
superstructure), yaitu suatu bangunan yang terdiri atas sejumlah takhayul
=-takhayaul, dogam-dogma, upaya-upaya dan lambang-lambang.
Agama
yang dmeikian inilah yang saya maksudkan, kalau saja mempergunakan istilah
“Agama” Kalau orang sudah memahami istilah Agama seperti yang saya uraikan tadi
(yang tidak jauh berbeda dengan arti yang lazim), maka ia akan mengerti bahwa
Confucianisme tidak dapat dipandang sebagai Agama. Sudah menjadi kebiasaan,
bahwa di Tiongkok dikatakan ada tiga Agama, yaitu :
1.
Confucianisme,
2.
Taoisme,
dan
3.
Budhhisme.
Tetapi seperti sudah kita lihat
di atas, confucianisme bukanlah Agama.
Mengenai
Taoisme, dapatlah dibedakan antara Taoisme sebagai kefilsafatan, yaitu yang
disebut “Tao Chia” (Artinya : Madzhab/aliran Tao) dan Taoisme sebagai Agama,
yaitu yang disebut “Tao chiao”. Ajaran-ajarannya tidak saja berlainan,
melainkan dapat dikatakan bertentangan. Taoisme sebagai kefilsafatan
mengajarkan supaya : “Orang menuruti alam kodrat”. Misalnya menurut Lao Tze dan
Chuang Tzu, adalah sesuatu proses alam kodrat bahwa hidup itu disusul dengan
mati. Maka dari itu hendaknya orang menuruti saja proses yang wajar ini dengan
tenang.
Sebailnya
Taoisme sebagai Agama, mengajarkan supaya : “Orang justru menentang alam
kodrat”. Maka yang menjadi ajaran pokok dari Agama Tao ialah Azas dan Teknik
tentang bagaimana caranya menjauhi maut, jadi nyata-nyata menentang alam
kodrat. Agama Tao berjiwa ilmiah, dan berusaha menaklukkan alam kodrat. Bagi
mereka yang merasa tertarik akan Sarjana Ilmu PengetahuanTiongkok, buah –buah
karangan dari pengikut-pengikut Agama Tao dapat memberikan banyak keterangan-keterangan
yang dibutuhkan.
Juga mengenai Buddhisme dapat dibedakan antara Buddhisme
sebagai Filsafat, yaitu yang dinamakan “Fo Hsueh” (artinya) : Ajaran Kaum
Buddha”) dan Buddhisme sebagai Agama, yaitu yang dinamakan “Fo Chiao”. Bagi pelajar-pelajar Tionghoa, kefislafatan
kaum Buddha lebih menarik daripada Agama Buddha.
Sudah
menjadi hal yang biasa sekali, uddha maupun rahib-rahib Tao bersama-sama bantu
membantu pada upacara-upcara pemakaman jenazah di Tiongkok. Dapat dikatakan
bahwa : “Orang Tiongkok itu
memandang Agama dari sudut Filsfat” Pada waktu sekarang, banyak orang
Barat mengetahui bahwa orang Tionghoa itu sudah tidak banyak lagi mempunyai
sangkut paut dengan Agama, jadi tidak seperti bangsa-bangsa lain. Prof. Derk
Bodde misalnya menulis di dalam “Dominant Ideas in the Formation of Chinese
Culture. (Journal of American Society, jilid 62, No.4, hal.293 -9).
“Di
dalam hidup orang Tionghoa, ide-ide dan
kegiatan-kegiatan di dalam lapangan keagamaan tidaklah menjadi faktor yang maha
penting, dan tidaklah mengalahkan segala sesuatu lainnya
....................... Yang memberi dasar kejiwaan pada kebudyaan Tiongkok
adalah Ethica (terutama Ethica ajaran Confucius), dan bukan Agama (artinya
bukan Agama yang formil, yang diorganisir) ...................................
Sehingga dengan demikian nampak perbedaan yang pokok antara Tiongkok dan
kebanyakan dari kebudayaan-kebudayaan lainnya, dimana gereja dan ke-paderian
pernah memegang peranan yang utama”.
Yahhh,
hal itu memang ada benarnya. Tetapi orang masih dapat bertanya :
1.
Mengapakah
demikian halnya?
2.
Kalau
keinginan akan hal-hal pada sisi laind ari dunia kita ini tidak merpkana
sesuatu hasrata dari hati manusia, mengapa (menurut kenyataan) bagi kebanyakan
orang ide-ide dan kegiatan-kegiatan di lapangan keagamaan itu menjadi faktor
yang maha penting dan mengalahkan segala sesuatu lainnya? Daripada nilai-nilai.
3.
Bila
keinginan tersebut merupakan salah atu hasrat pokok dari manusia, mengapa di
dalam hal ini orang Tionghoa menjadi
perkecualian?
4.
Bilaman
orang berkata bahwa yang memberi dsar kejiwaan pada kebudyaan Tingkok itu
adalah Ethica, dan bukan Agama, apakah itu mengandung arti bahwa orang Tionghoa
tidak sadar akan adanya nilai-nilai moral/kesusilaan?
Nilai-nilai
yang lebih tinggi/moral dapat disebt nilai-nilai “Supermoral” Cinta akan sesama manusia mempunyai nilai moral, sedang cinta akan
Tuhan mempunyai nilai yang supermoral. Beberapa orang mungkin condong
untuk menamakan nilai jenis ini : “nilai keagamaan”. Tetapi menurut pendapat
saya, nilai ini tidak terbatas pada Agama saja, apabila “Agama” diartikan lain
dariapda biasanya, yaitu diartikan seperti yang diterangkan di muka tadi.
Misalnya, cinta akan Tuhan di dalam Agama Nasrani, mempunyai nilai keagamaan, sedang cinta akan
Tuhan di dalam kefilsafatan Spinoza tidak demikian halnya, sebab apa yang oleh
Spinoza dinamakan “Tuhan” itu tidak lain daripada “Alam semesata”. Kalau kita
mau berbicara menurut batas-batas yang “Saksama” maka cinta akan Tuhan di dalam
agama Nasrani itu tidaklah bernilai Supermoral yang sungguh-sungguh. Sebabnya
ialah karena di dalam Agama Nasrani, Tuhan itu adalah suatu diri (personality).
Maka dengan demikian, cinta akan Tuhan yan dicurahkan oleh manusia itu dapat
disamakan dengan cinta Anak akan Ayahnya, jadi merupaka cinta yang bernilai
moral. Oleh karenanya, kalau cinta akan Tuhan (di dalam Agama Nasrani) itu
dikatakan mempunyai nilai yagn
supermoral, maka hal itu akan tetap terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Nilai
tersebut tidak lain hanya mirip (Quasi) saja dengan nilai Supermoral, sedang
cinta akan Tuhan di dalam filsafat Spinoza mempunyai nilai supermoral yang
sungguh-sungguh.
Untuk
menjawab pertanyaan pertanyaan di atas tadi, saya kemukakan di sini bahwa
keinginan akan hal-hal pada “sisi lain” dalam dunia kita ini, merupakan salah
satu hasrat yang terbawa oleh hati setiap orang saja, dan didalam hal ini orang
Tionghoa pun tidak boleh dikecualikan. Orang Tionghoa tidak mempunyai banyak sangkut paut dengan Agama, oleh karena
mereka mempunyai banyak sangkut paut dengan Filsfat, mereka tidak religius,
oleh karena mereka itu Filosofis, Dan di dalam Filsafat, dapatlah terpenuhi
keinginan orang Tionghoa untuk mengenal hal-hal yang beraa pada sisi laind ari
dunia kira sekarang ini. Lain daripada itu, di dalam filsafat Tiongkok, nilai-nilai
supermoral itu dicetuskan dan mendapat sambutan yang baik, sedang nilai-nilai
supermoral ini dipraktekkan di dalam kehidupan yang sesuai dengan Filsafat.
Menurut
tradisi Filsafat Tiongkok, maka yang menjadi fungsi Filsfat Tiongkok bukanlah
menambah pengetahuan yang positif (yang saya maksud dengan pengetahuan positif
ini adalah keterangan=keterangan mengenai fakta-fakta yang nyata), melainkan
mempertinggi tingkat pikiran. Artinya, supaya pikiran manusia itu dapat
menjulang tinggi untuk meraih hal-hal yang ada pada “sisi lain” dari dunia yang
nampak ini, dan juga untuk meraih nilai-nilai yang lebih tinggi daripada
nilai-nilai moral. Di
dalam Lao tzu tertulis “ Menyelidiki/menyelami Ilmu adalah untuk menambah hari
dengan hari. Menyelidiki/menyelami Tao (artinya jalan atau kebenaran) adalah
untuk mengurangi hari dengan hari.”
Saya
tidak akan ikut-ikut campur tangan dalam membeda-bedakan antara “menambah” dan
“mengurangi”, sebagaimana dikatakan oleh Lao Tzu (Catatan penulis : “Lao Tzu” adalah
bukunya dan “Lao Tzu” adalah orangnya) di atas. Pun saya tidak setuju 100%
dengan apa yang dikatakan olehnya. Tetapi kalimat itu saya kutip untuk sekedar
menunjukkan bahwa di dalam tradisi Filsafat Tiongkok terdaapt perbedaan antara
“menyelidiki/menyelami ilmu” dan “menyelidiki/menyelami Tao”. Maksud dari
penyelidikan/penyelaman Ilmu adalah apa yang saya sebut “menambah pengetahuan
yang positif” sedang maksud dari penyelidikan/penyelaman Tao adalah
mempertinggi tingkat pikiran. Filsfat dianggap termasuk penyelidikan/penyelaman
Tao.
Pandangan
bahwa fungsi Filsafat terutama metaphysica, bukanlah untuk menmabha pengetahuan
psitif, telah diajarkan oleh madzhab Wina (Viennese school) di dalam Filsafar
Barat pada waktu yang bersamaan, akan tetapi berbedalah sudut tinjaun serta maksud
tujuannya. Saya tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh madzhab ini
mengenai fungsi Filsafat dan mengenai corak Metaphysica, yaitu dikatakan bahwa
: “Fungsi Filsafat hanyalah semata-mata menjernihkan ide-ide, sedang corak dari
Metaphysica adalah seperti air di dalam coraknya. Metaphysica menyerupai
syair-syair yagn terdiri dari konsep-konsep.
Tetapi
bagaimana pun juga, kalau kita sudah membaca alasan-alasan yang dianjurkan oleh
madzab tersebut, memang menjadi jelas sekali, mengapa filsafat, terutama
Metaphysica akan menjadi tertawaan orang bilamana mencoba untuk memberi
keterangan-ketarangan mengenai fakta-fakta yang nyata.
Memang
betul bahwa Agama memberikan keterangan-keterangan mengenai fakta-fakta yang
nyata. Tetapi keterangan yang diberikan oleh Agama tidaklah selaras dengan
keterangan yang diberikan oleh ilmu Pengetahuan. Maka di Barat telah terjadi
bentrokan antara pihak Agama dan Pihak Ilmu Pengetahuan. DI mana Ilmu
Pengetahuan Maju, agama mundur, sedang kewibawaan Agama berkurang demi kemajuan
ilmu pengetahuan. Mereka yang berpegang teguh pada tradisi lama, menyesali
kejadian ini, dan merasa sayagn terhadap orang-orang yang meninggalkan
agamanya. Orang-orang ini dianggapnya sedang mengalami suatu degenerasi
(kemunduran). Memang hal itu pantas disayangkan, yaitu bilamana bagi
orang-orang itu, selain Agama tidak ada pintu lain yang memberi jalan ke
tercapainya nilai-nilai yang lebih tinggi. Memang kalau orang sudah melepaskan
dirinya dari Agama, sedang ia tidak mempunyai pegangan lain sebagai
penggantinya (sebagai pengganti Agama), ia juga kehilangan nilai-nilai yang
“lebih tinggi” itu. Ia lalu harus membatasi diri pada hal-hal keduniawian saja,
dan ini tidak lagi berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kejiwaan.
Tetapi
untung sekali baha di samping Agama masih
ada Filsafat, yang memberi jalan kepada manusia untuk menuju ke
nilai-nilai yang lebih tinggi. Di sini jalannya (yang menuju ke nilai-nilai
tersebut) dapat dikatakan “lebih langsung” daripada jalan yang ddiberikan oleh
agama, oleh akrena di dalam Filsfat jalan yang menuju ke nilai-nilai yang lebih
tinggi itu berbelok-belok dan berliku-liku seperti yang telah di gali oleh para
pemuda dan para pengacara keagamaan. Nilai-nilai yang “lebih tinggi”, yang didkenal oleh manusia dengan
jalan Filsafat itu malahan dapat dikatakan dengan jalan Agama, sebab tidak
dicampur dengan waham-waham (imagination) dan tachayul-tachayul. Di masa depan
manusia akan menempatkan Filsafat pada takhta yagn diduduki oleh Agama. Hal ini
sesuai dengan tradisi di Tiongkok. Sebab di sana tidak usah orang itu religius,
tetapi adalah perlu sekali bahwa ia berpandangan filosofis. Dan kalau seseorang sduahd apat diaktakan
filosofis, maka ia mendapat berkat dan doa restu dari pihak Agama.
B.
Persoalan dan Jiwa Filsafat Tiongkok
Keterangan
saya di atas tadi adalah suatu diskusi yang umum mengenai corak serta fungsi
dari Filsafat. Di dalam uraian-uraian saya selanjutnya, saya akan membicarakan
secara lebih khusus tentang Filsafat Tiongkok. Ada suatu arus pokok di dalam
sejarah Filsafat Tiongkok, yaitu yang dapat disebut “Jiwa Filsafat Tiongkok”
(the Spirit of Chinese Philosophy). Unutk membahami jiwa ini, kita sebelumnya
harus mempunyai pengertian yang terang lebih dahulu mengenai persoalan yang
oleh kebanyakan diantara para ahli Filsfat Tiongkok setelah dicarikan
pemecahannya.
Manusia
itu dapat berada di dalam bermacam-macam keadaan, bermacam-macam lapangan. Di
dalam masing-masing keadaan atau lapangan, tentu ada titik/tingkat tertinggi
yang dapat dicapainya. Misalnya bagi mereka yang bekerja di dalam lapangan
politik, tingkat tertinggi yang dpat dicapai
adalah kedudukan sebagai ahli pemerintahan yang ulung. Demikian juga di
dalam lapangan seni, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh kedudukan
sebagai seniman yang kenamaan. Tetapi meskipun ada bermacam-macam
lapisan/golongan manusia, namun mereka semuanya
adalah Manusia. Dan
apakah sekarang titik/tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh Manusia?
Menurut para ahli fisafat Tiongkok,
tingkat tertinggi yang dapat dicapai itu dalah kedudukan sebagai orang yang
Arif Bijaksana. Sedang tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh para arif
bijaksana adalah : “Suatu tungkat dimana dirinya pribadi sudah sama dengan alam
semesta (identification of the individual with the universe).
Persoalannya
sekarang ialah : Bilamana orang hendak mencapai kesamaan ini, perlukah bahwa ia
meninggalkan masyarakat, dan perlukah bahwa ia menyingkirkan hidup?
Oleh beberapa ahli filsfat, hal itu
dikatakan perlu. Buddha sendiri telah
mengatakan bahwa hidup itu merupakan
akar dan sumber dari kesengsaraan. Dengan kata-kata yang hampir serupa
dengan itu, Plato mengatakan bahwa raga adalah pengajar dari jiwa. Dan beberapa
diantara pengikut-pengikit Tao berpendpat bahwa hidup itu adalah suatu hal yang
serupa “keleibhan yang tidak berguna” Yahhhh, hidup itu merupakan bengkak,
sedangkan mati itu harus dianggap sebagai pecahnya bengkak tadi.
Semua
pendapat-pendapat tadi menggambarkan suatu sudut pandangan yang menganjurkan agar
supaya orang menjauhi jaring-jaring keduniawian yang penuh dengan kerupsi. Maka
dari itu, bilama si arif bijaksana hendak melaksanakan (bagi dirinya)
tercpainya tingkat tertinggi, ia harus meninggalkan hidupnya. Hanya dengan
jalan demikian “pembebasan terakhir” dapat dicapai. Filsafat jenis demikian ini
pada umumnya terkenal dengan nama : “Kefilsafatan mengenai dunia lain” other wordly
philosophy.
Ada
juga kefilsafatan jenis lain, yang menitik beratkan pada hal-hal yang terdapat
di dalam amsyarakat, seperti misalnya hubungan antara manusia dan hal ikhwal
kemanusiaan. Filsafat jenis ini hanya membicarakan tentang nilai-nilai moral,
dan tidak dapat (atau memang tidak mau) membicarakan tentang nilai-nilai
supermoral, Filsafat jenis demikian pada umuny disebut : “Kefilsafatan mengenai
dunia ini” (this wordly philosophy).
Kalau
ditinjau dari sudut “kefilsafatan mengenai dunia ini”, maka “filsafat mengenai
dunia lain” adalah terlalu idealis, tidak ada faedahnya yang praktis dan
bersifat negatif. Sebaliknya kalau ditinjau dari sudut “kefilsfatan mengenai
dunia ini” adalah terlalu realistis, dan :kurang dalam” sifatnya. Mungkin
filsafat mengenai dunia ini bersifat positif, tetapi itu dapat disamakan dengan
orang yang berjalan cepat-cepat, tetapi yang mengambil jalan yang keliru. Makin
cepat ia berjalan, makin jauh ia tersesat.
Ada
banyak orang yang mengatakan bahwa Filsafat Tiongkok itu tergolong “Filsafat
mengenai dunia ini”. Adalah sukar sekali untuk menyatakan, apakah orang yang
berpendapat demikian itu 100% benar atau 100% salah. Secara sepintas lalu dapat dikatakan bahwa mereka yang
berpandangan demikian itu tidaklah mempunyai pendapat yang keliru. Sebab,
menurut anggapan mereka (tanpa memandang aliran-aliran pikiran yang
berbeda-beda) Filsfat Tiongkok itu secara
langsung atau tidak langsung selalu berhubungan dengan pemerintahan dan
dengan Ethica. Maka dari itu, sepintas-lalu dapat dikatakan, bahwa Filsafat
Tiongkok itu pada pokonya membicarakan tentang masyarakat, dan tidak tentang
alam semesta. Filsfat Tiongkok membciarakan tentang tugas manusia sehari-hari
dalam melaksanakan hubungannya dengan lain-lain pihak, dan tidak membicarakan
tentang sorga atau pun neraka. Filsfat Tiongkok membicarakan tentang hidup
manusia pada waktu “sekarang” dan tidak membicarakan tentang hidup di dunia
akhirat. Pernah Confucius
ditanya oleh seorang muridnya mengenai arti “mati” tetapi ia menjawab :
“Bagaimana engkau hendak memahami arti mati, kalau arti hidup saja belum kau
fahami?
Dan
mencius telah berkata : “Kearif-bijaksanaan adalah tingkat tertinggi yang dapat
dicapai oleh manusia dalam melaskanakan hubugannya dengan lain-lain pihak”
Kalau diartikan secara patuh/lurus (letterlijk) maka kalimat Mencius berisikan
bahwa : “Didalam suatu masyarakat, “manusia susila” itu mencapai kesempurnaannya
didalam bentuk “orang yang arif bijaksana”.
Kalau
manusia yang diidam-idamkan itu adalah seorang makhluk dari “dunia ini”, maka
sepintas lalu agaknya dapat dikatakan bahwa yang disebut “si arif bijaksana”
itu adalah seorang manusia yang berlainan “jenisnya” dengan Buddha, dan juga
berlainan “jenisnya” dengan para Kudus/Suci (Saints) dari Agama Nasrani. Dn
sepinta lalu, agaknya memang demikian halnya dengan manusia arif bijaksana
menurut consep Confucius. Itulah sebabnya, mengapa dahulu Confucius dan
pengikut-pengikutnya ditertawakan habis-habisan oleh kaum Tao.
Akan
tetapi, hal di atas tadi hanyalah suatu pandangan yang sepintas lalu saja.
Filsafat Tiongkok tidak dapat dimengerti dengan mempelajarinya secara sepintas
lalu. Bilamana kita memahaminya benar-benar, maka azas pokok yang diajarkan
menurut tradisi berkisar seluruhnya pada “dunia ini” dan tentunya tidak dapat
pula dikatakan berkisar seluruhnya pada “dunia lain”. Itu berkisar pada
kedua-duanya, yaitu pada dunia ini, dan pada dunia lain.
Waktu
sedang membicarakan tentang Neo Confucianisme dari Dynasti Sung, berkatalah
sorang ahli filsafat : “Neo Confucianisme tidak dapat dipisah dari usaha-usaha
yang baisa kita lakukans ehari-harinya. Sekali pun demikian, itu langsung
menuju ke hal-hal yang merintis jalan surga.”
Inilah
yang dicita-citakan oleh Filsfat Tiongkok.
Dan justru karena memiliki “Jiwa” yang dmeikian ini, maka Filsfat
Tiongkok itu dapat dikatakan baik bersifat idealistis secara berlebih-lebihan;
dan di samping itu juta bercorak praktis. Hanya saja perkataan “praktis” di
sini diambil di dalam arti yang agak dalam.
Dua
corak dari Filsfat Tiongkok itu, yakni coraknya sebagai filsafat yang
mengajarkan tentang “dunia ini” dan coraknya sebagai Filsafat yang mengajarkan
tentang “dunia lain” adalah saling berlawanan, seperti juga halnya dengan
perlawanan antara realisme dan idealisme. Filsfat Tiongkok ditugaskan untuk :
“Menemukan suatu systhesis dari antithesis itu.”
Ini
tidak berarti bahwa kedua corak itu yang berlawanan itu lalu harus ditiadakan.
Corak-corak itu tetap masih ada, tetapi telah diusahakan supaya itu merupakan
suatu keseluruhan yang synthesis. Bagaimanakah caranya? Inilah persoalan yang
diusahakan pemecahannya oleh Filsfat Tiongkok.
Menurut
Filsfat Tiongkok, maka orang yang berhasil mendapatkan synthesis tersebut
(tidak hanya berhasil didalam teori tetapi juga di dalam
perbuatan-perbuatannya), berupa seorang manusia yang arif bijaksana. Ia
memenuhi kedua hal, yaitu :
1.
Mempunyai
sikap yang sesuai dengan “kefilsafatan dunia ini”, dan
2.
Juga
mempunyai sikap yang sesuai dengan kefislafatan dunia lain.
Tingkat
kejiwaan yang dicapai oleh si Arif Bijaksana menurut konsep-konsep Filsfat
Tiongkok adalah sesuai dengan apa yang dicapai oleh para Kudus/suci di dalam
Buddhisme dan juga di dalam Agama Barat. Akan tetapi si Arif Bijaksana menurut
konsep Filsfat Tiongkok itu bukanlah seseorang yang tidak mau campur tangan dengan urusan-urusan
keduniawian. Wataknya digambarkan sebagai berikut : “Dari dalam arif bijaksana, dari luar
kerajaan-kerajaan.” Artinya, dengan sifat-sifat dalamnya yang arif
bijaksana itu ia menyelami perkembangan jiwanya, dan dengan sifat luarnya yang
kerajaan-kerajaan itu ia amemainkan tugasnya
di dalam masyarakat. Si Arif Bijaksana tidak usah mengepalai
pemerintahan di dalam masyarakat. Ditinjau dari sudut praktek politik memang si
Arif Bijaksana itu kebanyakan tidak akan mendapat kesepakatan untuk dipilih
menjadi Kepala Negara. Ungkapan yang menyatakan : “Dari dalam Arif Bijaksana
dan dari luar kerajaan-kerajaan” itu hanya mengandung arti bahwa seseorang yang
jiwanya luhur sekali dan mulia sekali, itu menurut teori seharusnya menjadi
raja. Tetapi apakah ia apda hakekatnya mempunyai kesempatan untuk menjadi raja
atau tidak, itu adalah sesuatu hal yang ada di luar pembicaraan.
Oleh
karena menurut tradisi Tiongkok, watak si Arif Bijaksana itu adalah
kebijaksanaan dari dalam dan kerajaan-kerajaan dari luar, maka yang menjadi
tugas dari Filsafat adalah : “memungkinkan manusia untuk memperoleh watak yang
demikian itu.”
Maka
dari itu, yang didiskusikan oleh Filsfat Tiongkok adalah apa yang (oleh para
ahli Filsfat Tiongkok) digambarkan sebagai “TAO” (Jalan atau prinsip-prinsip
umum) yang menuju ke tercapainya “Kearif-bijaksana-an dari dalam dan
kerajaan-kerajaan dari luar.”
Teori
ini bunyinya hampir sama dengan teori Plato mengenai Raja ahli Filsafat.
Menurut Plato, di dalam suatu negara idam-idaman, si ahli filsafat seharusnya
menduduki mahkota, atau yang menjadi raja itu seharusnya adalah seorang ahli
filsafat. Dan agar supaya dapat menjadi ahli filsafat, seseorng itu ahrus
mengalami latihan-latihan filsfat sepanjagn waktu yang lama, sebelum jiwanya
dipindahkan dari “Dunia perubahan” ke “dunia ide-ide yang abadi”. Maka dengan
demikian, baik menurut Plato mau pun menurut para ahli filsafat Tiongkok,
kewajiban filsafat itu adalah memungkinkan manusia untuk memperoleh watak yang
digambarkan sebagai “dari dalam arif bijaksana dan dari luar
kerajaan-kerajaan”. Akan tetapi menurut Plato bilamana seorang ahli filsafat
menjadi Raja, maka jabatan Raja yang dipangkunya itu tidak sesuai dengan
kehendaknya sendiri. Dengan perkataan lain, jabatan Raja itu adalah sesuatu yang
dipaksakan kepadanya dan mengakibatkan bahwa ia menderita suatu pengorbanan.
Kaum Tao yang kun-kuno juga berpenddirian demikian. Ada suatu cerita tentang : “Seorang yang arif bijaksana,
yang lari dan bersembunyi di dalam gua sebuah gunung, oleh karena rakyat dari
sesuatu negara elah minta kepadanya untuk menjadi Raja. Ia diketemukan, dan
asap dimasukkan ke dalam guanya, sehingga akhirnya terpaksalah ia memenuhi
kewajiban yang berat itu. (Lushih Chu’un-ch’iu, I, 2.”
Jadi
ada persamaan antara ajaran Plato dan ajaran kaum Tao kuno, sedang uraian di
atas itu juga menunjukkan adanya corak
yang “mengenai dunia lain” pada kefilsafatan Tao. Tetapi kemudian hal ini
ditinjau kembali dan di “perbaiki” oleh Kuo Hsiang (abad ke-3) yang tergolong
kaum Tao Baru (Neo Taoist).
Menurut
Confucianisme, kewajiban sehari-hari untuk mengerjakan urusan-urusan sosial di
dalam hubungan antra manusia, itu bukan hal yang asing bagi si arif bijaksana.
Sebab yang menjadi hakekat di dalam perkembangan menuju ke kesempurnaan
kepribadiannya itu justru adalah meneruskan kewajiban tersebut. Ia melakukan
kewajibabn itu justru adalah meneruskan kewajiban tersebut. Ia melakukan
kewajiban itu tidak saja sebagai warga masyarakat, tetapi juga sebagai “warga alam semesta” atau “t’ion
min”, sebagaimana dikatakan oleh Mencius. Ia harus menyadari kedudukannya
sebagai warga alam semesta. Kalau tidak, maka perbuatan-perbuatannya akan
kehilangan nilainya yang supermoral. Andai kata ia mempunyai kesempatan untuk
menjadi raja, maka ia sudah tentu dengan senang hati akan mengabdikan dirinya
pada rakyat. Sehingga dengan demikian ia melakukan kewajibannya baik sebagai
warga masyarakat maupun sebgai warga alam semesta.
Oleh
kaarena yagn dibicarakan di dalam Filsafat itu adalah TAO yang menuju
ketercapainya “ke-arif-bijaksanaan dari dalam dan kerajaan-kerajaan dari luar”,
maka itu berarti bahwa :
“Filsafat tidak boleh dan tidak dapat dipishkan dari pikiran-pikiran politik”.
Dengan tidak memandang
perbedaan-perbedaan antara bermacam-macam aliran kefilsafatan di Tiongkok,
dapatlah dikatakan bahwa kefilsafatan masing-masing aliran itu di samping
memberikan ajaran-ajarannya, sekali gus juga mengemukakan sudut pandangnya di
dalam alam politik. Ini tidak berarti bahwa di dalam aliran-aliran itu
lalu tidak ada metaphysica, tidak ada Ethica, tidak ada logika! Itu hanya
berarti bahwa faktor-faktor tersebut semuanya ada hubungannya dengan pikiran-pikiran
politik, jadi seperti halnya dengan buah karangan Plato yang berjudul
“Republic” dimana dimuat selain kefilsafatan Plato seluruhnya, juga
pikiran-pikiran Plato yang bersifat politis.
Aliran/madzhab
Nama-nama (the Scool of Names) misalnya, terkenal karena menyatakan hal-hal
seperti : “Kuda putih
itu bukan kuda”. Dan agaknya pernyataan-pernyataan semacam itu memang
sedikit sekali hubungannya dengan politik. Tetapi pemimpin dari aliran
tersebut, yaitu Kung Sun Lung, kemudian menghendaki peruasan pernyataan-pernyataan
seperti itu, untuk memperbaiki hubungan antara nama-nama dan fakta-fakta,
dengan maksud untuk mengubah bentuk duni. Kita melihat di dalam dunia kita sekarang, bahwa menurut
para ahli pemerintahan, negara masing-masing semata-mata menghendaki
perdamaian. Tetapi pada hakekatnya, bilamana mereka berbicara tentang
perdamaian, maka pada saat itu juga
negara mereka acap kali sedang bersiap-siap untuk berperang. Maka
lalu terdapat hubungan yang “keliru” antara nama-nama dan fakta-fakta. Menurut
Kung Sun Lung, jenis hubungan yang “keliru”
ini seharusnya diperbaiki. Ini benar-benar merupakan suatu langkah maju
ke arah perubahan dunia.
Oleh
karena yang menjadi pokok pembicaraan di dalam Filsfat itu adalah
“Tao menuju ketecapainya kearif-bijaksanaan dari dalam dan keraja-rajaan dari
luar”, maka mempelajari filsafat itu tidaklah hanya berupa suatu usaha
untuk memperoleh pengetahuan mengenai situ saja, tetapi (selain itu) juga
berupa usaha usaha untuk memupuk watak yang demikian itu. Filsafat bukanlah
sesuatu untuk diketahui semta-mata, tetapi juga untuk dialami. Filsafat
bukanlah semata-mata sejenis permainan bagi kaum intelek, melainkan suatu hal
yang sifatnya alebih mendalam. Sebagaimana dikemukakan oleh teman sejawat saja,
Profesor Y.L. Chin, di dalam sebuah tulisan yang tidak pernah diterbitkan : “Masing-masing ahli filsafat Tiongkok
itu adalah Socrates dengan tingkat-tingkat yang berlainan. Sebabnya ialah
karena Ethica, Politik, berfikir secara reflectif, dan pengetahuan itu semuanya
bersatu di dalam diri para ahli filsafat. Pada meraka, Pengetahuan dan
Tabiat Saleh.Kebajikan itu adalah Satu dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Kefilsafatan mereka menghendaki bahwa mereka hidup menurut kefislafatan itu.
Mereka menjadi kendaraan dari kefilsafatan mereka. Hidup menurut
keyakinan-keyakinan filosofis, merupakan bagian dari kefilsfatan mereka. Secara terus menerus dan
dengan ketetapan hati, mereka melatih diri
di dalam suatu keadaan yang murni. Artinya suatu keadaan dimana
pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang egoistis dan egicentris sduah
teratasi, sehingga dengan demikian mereka akan bersatu dengan alam semesta. Sudah
terang bahwa proses latihan-latihan ini tidak dapat dihentikan, sebab kalau
berhenti, itu akan berati bahwa egonya menampakkan diri, dan bahwa mereka akan
kehilangan alam semesta. Maka mencarilah mereka terus menerus dengan tidak
hentinya, dan bersikap lah mereka untuk bersikap terus menerus sesuai dengan
apa yang dikatakan tadi. Dan oleh karena egonya tidak dapat dipisahkan dari alam
semesta, maka pada diri mereka terdapat suatu synthesis, yaitu synthesis di
dalam bentuk “ahli filsafat” menurut artinya yang asli. Sepert juga halnya
dengan Socrates, mereka tidak mengadakan “jam kerja” untuk kefilsafatan mereka.
Pun mereka bukan ahli pikir yang mengisolasikan
dirinya di dalam studi, dengan duduk “berlumutan” di kursinya untuk
merenungkan tentang hal ikhwal hidup. Karena jasa-jasa mereka, hampir-hampir
tidak pernahlah Filsafat itu hanya berupa ide-ide belaka yang dipamerkan
sebagai tauladan untuk dipahami oleh manusia; melainkan filsafat itu merupakan
suatu system ajaran-ajaran dan anjuran-anjuran yang menjadi intisari dari
tingkah laku para ahli filsafat. Malahan
di dalam keadaan yang extrem, dapat dikatakan bahwa kefilsfatan seorang ahli
filsafat itu merupakan biografinya.
c. Tentang Bagaimana Caranya
Para Ahli Filsfat Tiongkok Menyatakan Isi hatinya
Seorang
pelajar di negeri Barat yang mulai mempelajari Filsafat Tiongkok, segera akan
terbentur pada dua rintangan :
1.
Rintangan
pertama, audah tentu adalah kesulitan untuk memahami bahasa asing, dan
2.
Rintangan
lain adalah caranya para ahli Filsafat Tiongkok menyatakan isi hatinya.
Rintangan
yang ke 2 akan saya bicarakan lebih dahulu. Bilamana seseorang mulai
mempelajari buah-buah karangan Tiongkok yang coraknya filosofis, maka
barangkali kesan pertama yang dipelajarinya adalah bahwa ucapan-ucapan dan
tulisan-tulisan dari penulisnya adalah
pendek dan tidak berhubungan satu dengan lainnya. Bukanlah misalnya Analecta,
buah karangan Confucius, dan pembaca akan meliha bahwa tiap-tiap alinea hanya
aterdiri dari beberapa buah perkataan saja, sedang antara alinea yagn satu
dengan alinea selanjutnya hampir-hampir tidak ada hubungannya. Bukalah buku
yang memuat kefilsafatan Lao Tzu dan pembaca akan melihat bahwa buku itu
seluruhnya terdiri dari kira-kira lima ribu perkataan; jadi tidak lebih panjang
daripada artikel sesuatu majalah. Meskipun demikian, di dalam lima ribu kata
itu, orang akan dapat menemukan seluruh kefilsafatannya. Seorang pelajar yang sudah
biasa berpikir panjang, dan sudah biasa memperhitungkan hal-hal yang
kecil-kecil, di sini akan tersesat-sesat karena sulit sekali untuk mengerti apa
yang sebenarnya telah dikatakan oleh para ahli Filsafat Tiongkok itu. Ia lalu
mungkin condong untuk beranggapan bahwa pikiran-pikiran para ahli filsfat itu
memang tidak ada hubungnnya satu dengan lainnya. Tetapi andaikata
pikiran-pikiran itu benar-benar tidak berhubungan satu dengan lainnya, niscaya
tidak akan ada filsafat yang disebut “Filsafat Tiongkok”.
Bahwa
ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan para ahli Filsafat Tiongkok itu nampak
seperti tidak berhubungan satu dengan lainnya, hal itu disebabkan karena
ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan tersebut tidaklah merupakan buah karangan
filosofis yang formil. Menurut traddisi Tiongkok, mempelajari filsafat iti
bukanlah suatu pekerjaan atau pun jabatan yang tersendiri. Di sana, setiap
orang saja seharusnya mempelajari filsfat, seperti juga setiap orang Barat
seharusnya pergi ke gereja. Maksud
dan tujuan mempelajari Filsafat itu adalah : Agar supaya orang dimungkinkah
berkembang menjadi “manusia”l jadi supaya ia tidak hanya menjadi “manusia macam
tertentu’ saja.
Pelajaran-pelajaran
lain yang bukan filsafat, memungkinkan orang untuk berkembang menjadi “manusia jenis tertentu” (some special kind
of man). Maka tidak adalah orang
Tiongkok yang menurut jabatannya/pekerjaannya bergelar “ahli filsfat”. Dan oleh
karena mereka bukan “penjabat ahli filsafat” maka lalu juga tidak ada keharusan bagi mereka untuk menciptakan tulisan-tulisan
yang resmi/formal. Di Tiongkok, ahli-ahli filsafat yang membuat tulisan-tulisan
secara tidak resmi/tidak formil itu lebuh banyak jumlahnya, daripada yang
membuat tulisan-tulsian resmi/formil. Ilaman orang ingin mempelajari
kefilsfatan mereka, ia harus mempelajari peninggalan-peninggalan yang
mendokumentasikan ucapan-ucapan mereka, atau pun mempelajari surat-surat mereka
yang ditujukan kepada murid-murid atau teman-teman. Tetapi surat-surat ini
telah ditulis di dalam periode yagn berabad-abad sewaktu penulisnya masih
hidup, sedang domkumentasi-dokumentasi tersebut tidak dibaut oleh satu orang
saja. Maka sudah tentu akan ada hal-hal yang tidak berhubungan, malahan juga
ada hal-hal yang bertentangan atau pun yang tidak konsekwen/
Uraian
di muka tadi dapatlah kiranya memberi keterangan tentang apa sebabnya
ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan dari beberapa ahli filsafat itu tidak
berhubungan satu dengan lainnya. Tetapi uraian tadi belum memberi penjelasan
mengapa tulisan-tulisan/ucapan-ucapan tersebut dinayatakan secara pendek.
Di
dalam beberapa buah pena kefilsafatan, seperti misalnya yang telah ditulis oleh
Mencius dan Hsun Tzu, orang benar-benar dapat menentukan cara
verfikir/keputusan-keputusan akal (reasoning) serta alasan-alasan pembukti
(arguments) yagn sistimatis. Tetapi kalau dibandingkan dengan buah-buah karya
barat, maka tulisan-tulisan Mencius dan Hsun Tzu tadi masih kurang tegas. Hal
yang demikian ini tidak lain disebabkan karena para ahli filsfat Tiongok sudah biasa menyatakan
isi hatinya di dalam bentuk “Semboyan Pendek” (aphorism, apophthegn), atau pun
didalam bentuk sindiran/perumpamaan (allusion) dan illustrasi. Seluruh buku Lao
Tzu terdiri dari semboyan-semboyan pendek, dan kebanyakan dari bab-bab di dalam
“Chuang Tzu) penuh berisi sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan
illustrasi-illustrasi. Di dalam buku-buku yang tersebut terakhir ini
somboyan-semboyan pendeknya, sindiran-sindirannya/perumpamaan-perumpamaannya
dan illustrasi-illustrasinya benar-benar nampak dengan jelas. Tetapi juga di dalam
buah-buah karangan Mencius dan Hsun Tzu sebagaimana sudah disebut di atas tadi,
masih terdapat terlalu banyak semboyan-semboyan pendek,
sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi, kalau
dibandingkan dengan buku-buku kefilsafatan Barat. Semboyan-semboyan pendek itu
sifatnya memang harus pendek, sedang sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan
dan illustrasi-illustrasi itu seharusnya memang tidak berhubungan satu dengan
lainnya.
Dengan
demikian maka semboyan-semboyan yang pendek,
sindiran-sindira/perumpamaan-perumpamaan dan illustrasi-illustrasi itu memang
sifatnya kurang tegas. Akan tetapi, kekuarangan di dalam hal “ketegasan” itu
diganti dengan lain hal, yaitu diganti dengan saran-saran sebagaimana
terkandung di dalam tulisan-tulisan itu. Sifat tegas dan sifat mengandung saran
itu memang adalah dua hal yang tidak dapat disatukan. Suatu pernyataan itu
makin tegas, makin sedikit mengandung saran-saran. Ucapan-ucapan dan
tulisan-tulisan para ahli Filsafat Tiongkok itu sedemikian kurangnya di dalam
hal “ketegasan” hindda saran-saran yang dikandung itu tidak dapat terkirakan
banyaknya.
Yang
dicita-citakan oleh kesenian-kesenian macam apa saja di Tiongkok, adalah
tercampurnya “Sifat mengandung saran” (Sugestiveness), dan bukanlah ketegasan.
Hal ini berlaku baik terhadap Puisi, seni lukis, mau pun terhadap kesenian apa
saja. Di dalam Puisi, kerap kali yang ingin dicapai oleh Pujangganya bukanlah
hal yang tertulis di dalam syairnya, melainkan justru sesuatu yagn tidak
ditulis di situ. Menurut tradisi kesusastraan di Tiongkok, di dalam Puisi yang
baik, maka : “Jumlah
kata-katanya adalah terbatas, tetapi ide-ide yang disarankan oleh kata-kata itu
tidak terkira banyaknya. Maka dengan demikian, seorang pembaca Puisi
yang pandai, dapat melihat hal-hal yagn tidak tertulis didalam syair yang
dibacanya itu; dan seorang pembaca buku yang pandai dapat melihat hal-hal yang
tersembunyi diantara baris-barisnya. Itulah yang dicita-citakan oleh kesenian
Tiongkok, dan cita-cita ini tercerminkan di dalam cara yang dipergunakan oleh
para ahli filsfat Tiongkok untuk menyatakan isi hatinya.
Ditinjau
dari sudut filsafat Tiongkok, maka cita-cita kesenian Tiongkok yang demikian
itu mempunyai latar belakangnya. Di dlam Chuang Tzu bab ke-26 dikatakan :
“Keranjang-perangkap itu dimaksudkan
guna menangkap ikan, Tetapi setelah orang meangkap ikannya, tidak perlulah ia
masih memikirkan lagi tentang keranjangnya. Penjebak kaki kelinci itu
dimasudkan guna menangkap kelinci. Tetapi setelah orang menangkap kelinci,
tidak perlulah ia masih memikirkan lagi tentang penjebaknya. Yang dinamakan
“kata-kata” itu dimaksdukan untuk memperoleh ide. Tetapi setelah orang mencapai
dienya, tidak perlulah ia masih memikirkan lagi tentang kata-katanya. Ah,
andaikata aku dapat menemukan seseorang yang sudah berhenti memikirkan tentang
kata-kata, dan andaikata aku dapat bercakap-cakap dengan dia!”
Bercakap-cakap dengan seseorang yang
sudah berhenti memikirkan tentang kata-kata, itu bukanlah suatu percakapan yang
dilakukan dengan kata-kata. Di dalam Chuang Tzu dikatakan, dua orang yang arif
bijaksana saling bertemu tanpa mengeluarkan satu perkataan pun, oleh karena
“sewaktu mata mereka saling bertemu, Tao ada di situ:.
Menurut
Taoisme, Tao (jalan) itu tidak dapat dikatakan, hanya dapat disarankan.
Bilamana ada penggunaan kata-kata, maka : :Yang menunjukkan Tao itu bukanlah
petunjuk-petunjuk/arti-arti tambahan yang dinyatakan oleh kata-kata itu,
melainkan saran-saran yang diberikan oleh kata-kata tersebut.”
“Kata” adalah sesuatu yagn harus
dilupakan bilamana maksud yang dituju oleh kata itu sudah tercapai. Mengapa
kita masih harus pusing-pusing memikirkan tentang kata-kata, lebih lama
daripada seperlunya?
Ini berlaku terhadap kata-kata dan sajak-sajak di dalam Puisi, juga terhadap
garis-garis dan warna-warna di dalam seni lukis.
Selama
abad ke-3 dan ke-4 (setelah Masehi) kefilsafatan yang paling berpengaruh adalah
yagn diajarkan oleh aliran/madzhab Tao Baru (Neo Taoist Scool) yagn di dalam
sejarah Tiongkok terkenal sebagai “Hsuan Hsueh” (ilmu gelap atau mystik). Pada
waktu itu ada sebuah buku yang berjudul : “Shih Shuo Hsin Yu” yaitu yang
mencatat ucapan-ucapan yang gemilang
serta kegiatan-kegiatan yagn telah dilakukan oleh tokoh-tokoh termsyhur pada
jaman itu. Ucapan-ucapan itu kebanyakan sangat pendek, sedang beberapa di
antaranya hanya terdiri atas
perkataan-perkataan yagn sedikit saja jumlahnya. Di dlam buku tersebut
diceritakan ( di dalam bab ke 4) bahwa :
“Seorang Pegawai Tinggi bertanya kepada
seorang ahli filsafat (Pegawai Tingginya sendiri juga ahli Filsafat) : “Apakah
perbedaan dan persamaan ntara Lao Chuang (artinya Lao Tzu dan Chuang Tzu) dan
Confucius?” Jawabnya : “Apakah mereka itu tidak sama?” Pegawai Tinggi tersebut
gembira sekali dengan jawaban itu, dan dengan segera ia mengangkat ahli
filsafat tadi menjadi Sekretarisnya.
Oleh
karena jawabab di atas tadi ( di dalam bahasa Tionghoa) hanyaterdiri atas tiga
perkataan, maka ahli filsfat tersebut menjadid terkenal sebagai “sekretaris
tiga kata”. Ia tidak dapat menegatakan bahwa Lao Chuang dan Confucius tidak
mempunyai persamaan, dan demikian juga ia tidak dapat mengatakan bahwa mereka
100% sama. Maka jawabannya lalu diberikan di dalam bentuk pertanyaan, dan ini
benar-benar adalah suatu jawaban yang baik.
Ucapan-uapan
pendek di dalam Analecta Cinfucius dan di dalam
kefilsafatan Lai Tzu tidak semata-mata
berupa konklusi-konklusi dari premisse-premisse yang kabur atau telah
hilang. Ucapan-ucapan itu adalah semboyan-semboyan pendek yang penuh berisikan
saran-saran. Yang menarik di sini adalah justru coraknya memberi saran itu.
Kalau ide-ide yang dapat diketemukan di dalam Lao Tzu itu dikumpulkan, lalu itu
dikutip di dalam bentuk buku baru dengan misalnya mempergunakan lima puluh
ribu atau limaratus ribu perkataan, maka bagaimana pun juga usahanya,
buku baru ini akan benar-benar merupakan “bku baru”. Dan buku baru ini lalu
dapat dibaca bersama-sama dengan bukunya yang asli, dan dapat memberi
pertolongan banyak dalam kita hendak mengerti tulisannya yagn asli, tetapi buku
baru itu mustahil dapat menjadi pengganti dari bukunya yang asli.
Kuo
Hsiang, yagn sudah pernah disinggung di muka, adalah salah seorang komentator
ulung yang telah memberikan komentarnya atas buah ciptaan Chuang Tzu.
Komentarnya sendiri merupakan hasil karya klasik di anttara literatur yang
telah diciptakan oleh kaum Stoa. Oleh
Kuo Hsiang, sindiran-sindiran/perumpamaan-perumpamaan dan kisasan-kiasan Chuang
Tzu telah diubah bentuk susunannya sedemikian rupa hingga bersandar atas
keputusan-keputusan akal (reasoning) dan alasan-alasan yang rapih, sedang
syair-syair Chuang Tzu diubah menjadi proses
ciptaannya sendiri. Tulisannya jauh lebih tegas daripada tulisan Chuang
Tzu. Tetapi kalau kedua-duanya dibandingkan, yaitu yang satu (yang asli) penuh
dengan saran-saran dan yang lain (komentar Kuo Hsiang) penuh ketegasan, maka
orang mungkin masih akan bertanya : “Mana yang lebih baik?”. Pernah dikatakan
oleh seorang rahib dari madzhab “Ch’an” atau “Zen” pada periode di kemudian
hari :
“Setiap
orang mengatakan bahwa Kuo Hsiang telah mengomentari Chuang Tzu; tetapi saya
sendiri lebih suka mengatakan bahwa Chuang Tzu mengomentari Kuo Hsiang.”
d. Bahasa Asing Sebagai
Rintangan
Memang
benar bahwa dalam memabca semua buah pena saja yang mengenai kefilsfatan,
sebainya orang membaca naskahnya yang asli. Sebab kalau tidak, akan sulitlah
untuk memperoleh pengertian yang lengkap dan untuk menghargainya sebagaimana
mestinya. Tetapi untuk membaca naskahnya yang asli, ada rintangannya, yaitu
kesulitan untuk mengerti bahasanya. Dan oleh karena buah-buah pena kefilsafatan
Tiongkok (seperti telah dikatakan) sifatnya “mengandung/memberi saran-saran”,
maka kesulitan bahasa ini makin menghebat. Sifat mengandung/memberi saran-saran
dari ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan para ahli filsafat Tiongkok itu adalah
suatu hal yang boleh dikatakan. Bilamana orang membaca dari suatu terjemahan,
maka ia atidka dapat membaca/melihat sifatnya yang mengandung /memberi
saran-saran itu. Dan ini berarti bahwa sipembaca kehilangan banyak.
Bagaimana
juga, terjemahan itu hanyalah suatu intepretasi saja. Bilamana orang
menterjemahkan suatu kalimat dari Lao Tzu misalnya, ia memberikan
interpretasinya sendiri mengenai arti dari kalimat itu. Mungkin terjemahannya
ini hanya menyampaikan kepada kita satu gelintir ide saja, padahal kalimatnya
yagn asli mungkin pada hakekatnya mengandung banyak ide-ide lainnya di samping
ide yang satu tadi. Yang asli memberi/mengandung saran-saran, sedang
terjemahannya tidak, dan memang mustahil bahwa terjemahannya juga ikut
mengandung saran-saran. Dengan demikian maka terjemahannya itu kehilangan
banyak dari “kekayaan” yang terdapat pada aslinya.
Orang
telah banyak menterjemahkan Lao Tzu dan juga Analecta Confucius. Dan setiap
penterjemah menganggap terjemahan-terjemahan lainyya sebagai kurang gmemuaskan.
Tetapi bagaimana pun juga pandainya orang dalam mengerjakan sesuatu terjemahan,
terjemahan ini selalu akan lebih “miskin” daripada aslinya. Untuk
memperlihatkan “kekayaan” Lao Tzu dan “kekayaan” Analecta Confucius did alam
bentuknya yang asli, diperlukan adanya kombinasi antara semua
terjemahan-terjemahan yagn sudah dibuat dengan terjemahan-terjemahan lain yang
belum dibuat.
Telah
dikatakan oleh Kumarajiva (Abad ke-5), Seorang Penterjemah terkemuka dari
anskah-naskah Buddha ke dalam bahasa Tionghoa, bahwa :
“Pekerjaan seorang penterjemah itu adalah
serupa dengan mengunyah makanan yang akan ditelan oleh orang lain. Bilamana
seseorang tidak dapat mengunyah makanannya sendiri, maka terpaksalah ia
menerima saja makanan yang sudah dikunyah lebih dahulu oleh orang lain. Tetapi
ingatlah bahwa setelah dikunyah, makanan itu akan kurang enaknya dan kurang
harumnya daripada makanan yang masih asli.”
BAB
: II
LATAR BELAKANG
DARI FILSFAT TIONGKOK
Di
dalam Bab.I, telah saya katakan bahwa Filsafat itu adalah cara berpikir/pikiran
yang systematis dan Feflectif tentang hidup. Dalam memikirkan sesuatu, orang
yang berpikir itu baisanya terpengaruh oleh keadaan yang mengelilingi hidupnya.
Dan oleh karena ia dikelilingi oleh suatu keadaan tertentu, maka ia lalu
merasakan hidupnya dengan suatu cara yang tertentu pula; maka di dalam
kefilsafatannya lalu terdapat hal-hal yang ditonjol-tonjolkan atau dijadikan
titik berat, dan sebaliknya ada juga hal-hal yang dihindari. Ini lah yang
membuat kefilsafatannya menjadi sesuatu yang “karakteristik” (artinya ada
hal-hal yang khusus menjadi tanda dari kefilsafatan itu).
Apa
yang saya katakan ini tidak berlaku bagi individu, dan juga berlaku bagi
keseluruhan yang dinamakan rakyat/bangsa. Di dalam bab ini saya akan berusaha
memberikan sekedar uraian mengenai latar belakang geografis dan ekonomis dari
rakyat Tiongkok, untuk memperlihatkan mengapa kebudayaan Tiongkok pada umumnya,
dan Filsafat Tiongkok pada khususnya, mempunyai corak dan tanda-tanda seperti
yang dapat disaksikan oleh umat manusisa ini.
e. Latar Belakang Geografis
dari Rakyat Tiongkok
Di
dalam Analecta Confusius dikatakan : “Orang gyang arif bijaksana menikmati adanya air; Orang yang baik
menikmati adanya gunung-gunung. Yang Arif bijaksana bergerak; yang baik tinddal
diam dan tenang. Mereka yang arif bijaksana merasa bahagia; mereka yang baik
menderita dan bertahan. Dalam membaca kalimat-kalimat ini, saya merasa
bahwa ucapan Confucius itu menyarankan adanya perbedaan antara rakyat Tiongkok
Kuno dan rakyat Yunani Kuno.
Tiongkok
adalah suatu negeri dartan (Continental) yang luas. Bagi orang-orang Tiongkok
Kuno, yang menjadi “Dunia” adalah negeri mereka sendiri. Ada dua ungkapan di
dalam bahasa Tiongkok yang kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “dunia”
yaitu :
1.
Seluruhnya
di bawah langit, dan
2.
Seluruhnya
di antara empat lautan.
Bagi
rakyat dari sesuatu negeri yang dikelilingi oleh lautan (maritim) seperti
Yunani, tidak akan masuk akal bahwa kedua ungkapan di atas itu dapat mengandung
arti yang sama. Tetapi hal itu benar-benar kita dapati di dalam bahasa
Tionghoa, dan memang ada sebab-sebabnya.
Sejak
Jaman Confucius sampai akhir abad ke 19, tidak ada ahli fikir Tiongkok yang
pernah mengarungi lautan. Confucius dan Mencius itu hidupnya tidak jauh dari
lautan (perkataan “ tak jauh ini saya ambil di dalam artinya menurut jaman
moderen). Meskipun demikian, di dalam Analectanya, Confucius hanya sekali saja
menyebut perkataan “lautan”. Ia berkata : “ Bilamana perjalanan tidak membawa
pengaruh, aku akan berakit mengarungi lautan. Yang akan ikut dengan aku adalah
*Chung) Yu”.
Chung
Yu adalah murid Confucius yang terkenal karena keberaniannya dan
keperwiraannya. Di dalam Analecta ditulis bahwa sewaktu Chung Yu mendengar
pernyataan terssebut, ia menjadi gembira sekali. Akan tetapi Confucius tidaklah
begitu senang melihat kegembiraan Chung Yu yang meluap-luap itu dan berkatalah
ia :
“Yu
lebih berani daripada aku sendiri. Sampai aku tak tahu, apa yang harus
kuperbuat dengan dia.”
Juga
uncapan Mencius juga menyinggung “Lautan” hanya pendek saja. Berakatalah ia :
“Bagi
orang yang telah melihat lautan, adalah sukar untuk memikirkan tentang perairan
lain; dan bagi orang yang telah mengembara ke pintu gerbang si Arif Bijaksana
adalah sukar untuk memikirkan kata-kata orang lain (lain daripada si Arif
Bijaksana).
Jadi
tidak dapat dikatakan bahwa Mencius telah melebihi Confucius dalam membicarakan
tentang “lautan”. Berbeda sekali dengan sorang, Plato dan Aristoteles yang
mengembara dai Pulau ke pulau, karena hidup di dalam negeri yang di “kerumuni”
oleh lautan.
f. Latar Belakang Ekonomis dari
Rakyat Tiongkok
Mengenai
kehidupan para ahli pikir Tiongkok Kuno dan Yunani Kuno dapat diaktakan, bahwa
tidak saja keadaan geografis mereka berbeda, tetapi juga keadaan ekonominya.
Oleh karena Tiongkok adalah negeri daratan, maka yang menjadi sumber hidup
rakyat Tiongkok itu aalah pertanian. Pun pada dewasa ini dapat ddikatakan bahwa
rakyat Tiongkok yang menyelenggarakan pertanian ada kira-kira 75 sampai 80%. Di
dalam suatu negeri pertanian, yang menjadi dasar utama dari kesejahteraan rakyat
adalah tanah. Maka dari itu sepanjang Sejarah Tiongkok : “Pikiran-pikiran di
dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik itu telah terpusatkan pada
penggunaan dan distribusi tanah.”
Di
dalam keekonomian yang demikian, maka pertanian pada waktu damai samalah
pentingnya dengan pertanian pada waktu perang. Pada waktu peperangan tahun 480
– 222 sebelum Masehi, yaitu suatu periode yang menunjukkan banyak persamaan
dengan jaman sekarang “ini” (buku Fung Yu Lan ini ditulis pada tahun 1947.
Pen). Sewaktu Tiongkok masih terbagi-bagi atas banyak kerajaan-kerajaan feodal,
maka masing-masing kerajaan itu mencurahkan makin banyak perhatian pada apa
yang pada waktu itu dinamakan “Seni tari dan seni perang”. Akhirnya negara
Ch’in-lah (yaitu salah satu di antara tujuh kerajaan yang terbukti paling
terkemuka pada aktu itu) yang terbukti paling unggul baik di dalam hal
pertanian maupun di dalam hal perang, sehingga akhirnya berhasil memenangkan
kerajaan-kerajaan lainnya dan dengan demikian berhasil pula mempersatukan seluruh
Tiongkok untuk pertama kalinya di dalam
sejarah.
Bilaman para ahli pikir Tiongkok
melayangkan pikiran mereka ke arah lapangan sosial dan ekonomi, maka : Mereka
membeda-bedakan antara apa yang dinamakan “Akar” dan “Cabang”. Yang dimaksud
dengan “akar” adalah pertanian, sedangkan yang dimaksud dengan “cabang” adalah
perdagangan.
Alasannya
jalan bahwa pertanian itu berkisar pada produksi,s edang perdagangan itu hanya
berkisar pada penukaran saja. Sebelum orang dapat melakukan penukaran, ia harus
menjalankan lebih dahulu. Di dalam negeri yang agraris, pertanian merupapan
“alat produksi” yang terutama. Maka dari itu, sepanjang seluruh Sejarah
Tiongkok orang telah mengusahakan supaya : “Teori-teori sosial, ekonomi dan
politik itu semuanya di titik beratkan pada soal akar, dengan
membelakangkan/mengabaikan soal cabang.”
Maka
mereka yang berurusan dengan cabang, yaitu para pedagang, dipandang rendah. Ada
empat lapisan masyarakat yang tradisional, yaitu :
1.
Golongan
pelajar,
2.
Golongan
petani,
3.
Golongan
tukang (yang melakukan pekerjaan tangan),
4.
Golongan
pedagang.
Di
antara empat golongan ini, yang tingkatannya paling bawah dan paling akhir
adalah golongan pedagang. Golongan pelajar itu biasanya terdiri dari para Tuan
Tanah, sedang golongan petani adalah yang mengerjakan tanahnya. Pekerjaan yang
paling dihormati di Tiongkok adalah : “Pelajar dan mengerajakan tanah.”
Jikalau
suatu keluarga secara turun-temurun mempunyai tradisi “belajar dan mengerjakan
tanah” maka keluarga itu boleh membanggakan tradisi yang demikian baik. Meskipun
tanahnya tidak dikerjakan oleh golongan pelajar sendiri, namun oleh karena
mereka itu biasanya menjadi tuan-tuan tanah, maka harta kekayaan mereka lalu
berhubungan erat dengan baik buruknya hasil pertanian. Baik buruknya penunaian
menentukan baik buruknya nasib mereka, maka dari itu : Rekasi sikap mereka
terhadap tata alam semesta, pada pokoknya adalah seperti sikap orang tani, dan
demikian pula pandangan hidup mereka pada pokoknya adalah seperti pandangan
hidup orang tani.”
Di
samping itu, pendidikan mereka memungkinkan mereka untuk menyatakan apa yang
sebetulnya dirasakan tetapi tidak dapat diaktakan oleh orang tani. Pernyataan
ini dilakukan di dalam bentuk Filsafat, Kesusastraan dan Kesenian Tiongkok.
Nilai
Pertanian :
Di
dalam sebuah buku pedoman kecil yang disebut Lu Shih Ch’un-ch’iu (ditulis pada
abad ke 3 sebelum Maehi dan dijadikan pegangan bagi berbagai aliran
kefilsafatan), ada bab yang berjudul “Nilai Pertanian”, Di dalam bab ini
diperlawankan cara hidup dari mereka yang menduduki jabatan “akar” (yaitu para
petani) terhadap cara hidup dari mereka yang menjabat “cabang” (yaitu para
pedagang). Petani-petani
itu sifatnya primitif dan sederhana, dan oleh karena itu mereka selalu bersedia
untuk menerima (dan mematuhi) perintah-perintah. Mereka adalah ibarat
kanak-kaanak, dan sikap mereka adalah seperti sikap orang yang tidak tahu
tentang adanya keburukan, Maka dari itu mereka tidak pernah mementingkan
dirinya sendiri. Harta milik mereka yang berupa kebendaan, mempunyai bentuk
yang komplex (berbelit-belit dan bersusun-susun) dan sukar untuk
dipindah-pindah. Maka dari itu mereka tidak suka meninggalkan negerinya, juga
apabila negerinya sedang di dalam keadaan bahaya.
Sebaliknya para pedagang, itu sifatnya
korup, dan oleh akrena itu mereka juga tidak patuh. Mereka suka berkhianat,
maka selalu mereka mementingkan dirinya sendiri. Harta milik mereka hanya
sederhana saja, yang mudah di bawa ke sana-kemari, Maka dari itu bilamana
negerinya sedang di dalam keadaan bahaya, mereka meninggalkannya dengan sikap
masa bodoh.
Oleh
karena itu, di dalam bab tersebut dinyatakan bahwa tidak saja pertanian itu
dari sudut ekonomi lebih penting dari pada perdagangan, tetapi juga bahwa cara
hidup para petani itu lebih tinggi tingkatnya daripada cara hidup para
pedagang. Maka di sinilah letaknya nila pertanian.
Menurut
penulis dari bab tersebut, cara hidup rakyat itu sesuai dan tertentukan oleh
latar belakang ekonominya. Dan kalau kita sekarang beralih meninjau
penulisannya sendiri, maka penilaiannya yang setinggi itu terhadap pertanian,
menandakan pula bahwa penulis itu pun mempunyai padangan yang sesuai dan
tertentunya oleh latar belakang ekonomis pada waktu itu.
Di
dalam tinjauan Lu shih Ch’un-ch’iu ini kita dapat akar dan sumber dari dua
aliran pokok di dalam alam pikiran orang Tiongkok, yaitu :
1.
Toisme
dan
2.
Confucanisme.
Kedua aliran ini merupakan dua
“Ujung”yang sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lain; tetapi meskipun
demikian, kedua ujung itu mempunyai alas satu. Kedua-duanya menyatakan (dengan
cara yang entah bagaimana pun juga) cita-cita dan inspirasi-inspirasi yang
terdapat pada diri seorang petani.
g. Keadaan yang Membalik adalah
Ferak Tao
Sebelum
meninjau perbedaannya antara kedua aliran madzhab itu, marilah kita meninjau
dahulu suatu teori yang oleh kedu-duanya tetap dipertahankan. Yaitu teori yang
menyatakan bahwa :
“Baik
di lingkungan alam kodrat maupun di dalam lingkungan yang dikuasai oleh
manusia, perkembangan (dari apa saja) yang secara extrem (secara
berlebih-lebihan) menuju kesuatu arah tertentu, itu pasti disusul oleh
perkembangan lain yang menuju ke arah yang sebailknya.”
Atau
kalau kita meminjam kata-kata Hegel :
“Segala
sesuatu itu tentu mengandung hal/hal-hal yang (akan) menidadakan/menghapus
dirinya sendiri.”
Inilah
salah satu thesis (dalil) pokok dari kefilsfatan Lao Tzu dan juga salah satu
thesis pokok dari “Buku Perubahan-perubahan” (Book of Changes), sebagaimana
ditafsirkan oleh pengikut-pengikut Confucianisme.
Yang
mengilhami sampai terwujudnya dalil ini adalah gerakan matahari dan bulan serta
susulmenyusulnya empat musim, yang harus diperhatikan benar-benar oleh para
petani dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Dikatakan di dalam Appendix
(lampiran tambahan) dari “Buku Perubahan-Perubahan” tersbut :
“Bilamana
dingin pergi, datanglah panas, dan bilamana panas pergi datangnlah dingin.”
Dan
Juga :
“Bilamana matahari telah mencapai
puncaknya, maka turunlah ia; dan bilamana bulan sudah purnama, mengecillah ia”.
Gerakan-gerakan
yang demikian inilah yang dimaksudkan, apabila di dalam Appendix dipergunakan
istilah “Kembali/membalik”. Dikatakan misalnya di dalam Appendix I :
“Budi
dari Bumi dan Langit nampak di dalam keadaan yang membalik”.
Di
dalam Lao Tzu kita juga dapat membaca kata-kata serupa dengan ini :
“Keadaan
yang membalik adalah gerakan Tao.”
Teori
ini telah memberi pengaruh besar kepda rakyat Tiongkok dan telah ikut “berjasa”
menolong mereka dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang banyak timbul
sepanjang sejarah. Oleh karena rakyat Tiongkok mempunyai keyakinan akan
kebenaran teori tersebut, maka mereka tetap waspada, juga kalau mereka sedang
hidup di dalam kesejahteraan. Sebaliknya mereka juga tidak pernah berputus
harapan di dalam waktu-waktu yang penuh dengan bahaya. Di dalam peperangan yang
terakhir, konsep ini telah memberikan kepada rakyat Tiongkok semacam senjata
psychologis, sehingga juga di dalam waktu yang sedang sesuram-suramnya,
kebanyakan masih tetap berpegangan pada suatu harapan yang dinyatakan di dalam
kalimat : “Fajar akan segera menyingsing”, Hasrat untuk mau percaya inilah yang
telah menolong rakyat Tiongkok dalam bertahan sampai perang selesai.
Teori
ini juga menjadi pegangan pokok di dalam ajaran tentang “Jalan Tengah yang maha
baik” (the Golden Mean), yaitu sebuah ajaran yang disukai sekali baik oleh
Confucianisme maupun oleh Taoisme. Dalil utama dari kedua aliran ini adalah :
“Jangan
sekali-kali berlebih-lebihna” (Never too Much).
Menurut mereka, lebih baik orang itu
bersalah karena kebagian terlalu sedikit daripada bersalah karena mendapat
bagian terlalu banyak; dan lebih baik orang itu bersalah karena tidak
mengerjakan sesuatu daripada bersalah karena terlalu banyak mengerjakan
sesuatu. Sebab, kalau orang mendapat bagian terlalu banyak atau mengerjakan
sesuatu terlalu banyak. Itu selalu ada resikonya. Dan resikonya ini tidak lain
adalah bahwa orang mungkin memperoleh akibat yang justru sebaliknya dari yang
dikehendakinya.
h. Pujaan Terhadap Keadaan Alam
Yang Asli
Taoisme
dan Confucianisme itu berbeda karena masing-masing merasionalisasikan ata
menyatakan secara teoritis aspek yang berbeda-beda dari cara hidup orang tani.
Petani itu sederhana cara hidupnya, dan tidak pernahlah pikirannya menyerong ke
arah kejahatan. Oleh karena segala sesuatu diteropong dari sudut tinjauannya
sendiri, maka “Taoisme” memuja-muja kesederhanaan dari masyarakat yang
primitif, dan mencela peradaban. Demikian juga mereka memuja-muja sikap tak
berdosa (innocence) dari kanak-kanak dan membenci pengetahuan. Di dalam Lao Tzu
dikatakan :
“Marilah
memiliki Negeri yang kecil saja, dengan penduduk yang tak seberapa jumlahnya
,,,,,,,,,,, Suruhlah rakyat kembali mempergunakan simpul-simpul tali (sebagai
alat menghitung). Hendaknya rakyat mendapat makanan yang enak, pakaian yang
bagus, perumahan yang nyaman, dan kewajiban-kewajiban ke pertanian yang menyenangkan.
Mungkin negara-negara etangga adalah
sedemikian dekatnya hingga berkokoknya ayam dan menggonggongnya anjing di sana
dapat terdengar. Tetapi rakyat akan menjadi tua dan kemudian mati tanpa dapat
melawat ke sana.”
Bukankah
ini suatu gambaran negeri petani yang menarik karena kesederhanaannya dan ke
asliannya?
Para
petani itu selalu behubungan dengan alam kodrat. Maka mereka juga
memuji-muji dan mencinta akan alam
sekelilingnya. Oleh Taoisme, pujian dan Cinta ini dikembangkan
sebesar-besarnya. Diadakan perbedaan yang tegas
antara hal-hal yang bersal dari
alam kodrat dan hal-hal yang berasal dari manusia, antara hal-hal yang
asli dan hal-hal yang dibuat-buat. Menurut mereka, hal-hal yang berasal dari
alam kodrat merupakan akar dari segala
macam penderitaan. Oleh Hsun Tzu, seorang pengikut Confucianisme, dikatakan
bahwa : “Taoisme itu silau dan buta karena terlalu lama menatap Alam Kodrat,
dan tidak mempunyai pengetahuan tentang manusia.”
Sebagai
puncak/alhir perkembangan di dalam aliran pikiran yang demikian itu, oleh kaum
Taoisme diaktakan bahwa tingkat tertinggi yang dapat dicapai di dalam
perkembangan jiwa seorang yang arif bijaksana itu adalah : “Suatu titik/tingkat
di mana dirinya pribadi sudahlah sama dengan alam semesta.”
i.
System Kekeluargaan
Kaum
tani harus tetap tinggal di tanahnya yang tidak dapat dipindah-pindahkan; dan
demikian juga halnya dengan para tuan tanah yang termasuk golongan pelajar.
Mereka tinggal di tempat di mana dahulu ayah dan kakek menetap dan di mana akan
berlindung anak-anak dan cucu-cucu sampai di hari-hari kemudian. Kecuali
bilamana seseorang di antara mereka mempunyai bakat istimewa atau memperoleh
keuntungan yang luar biasa. Keluarga ( di dalam arti luas) harus hidup bersama,
karena terdorong oleh alasan-alasan economis. Maka dengan demikian
berkembanglah ysytem kekeluargaan di Tiongkok, yang merupakan suatu system yang
paling complex dan yang paling taratur di seluruh dunia. Sebgian besar dari
ajaran-ajaran Confucianisme ditujukan untuk membenarkan secara rational (berdasarkan
akal) ata pun untu menyatakan secara teoritis system kemasyarakatan ini.
Yang
dijadikan system kemasyarakatan/sosial di Tiongkok adalah system kekeluragaan.
Ada lima hubungan kemasyarakatan/sosial yang tradisionil, yaitu hubungan antara
:
1.
Raja
dan hamba,
2.
Ayah
dan anak;
3.
Kakak
dan Adik,
4.
Suami
dan istri
5.
Teman
dan teman.
Hubungan
yang ke-2, ke-3 dan ke-4 adalah yang disebut “hubungan keluarga”. Dan meskipun
yang kedua lainnya itu bukan “hubungan kleuarga”, namun itu dapat
dianggap/dipahami sebagai demikian. Maka hubungan antara seorang raja dan
hambanya dapat dianggap/dipahami sebagai hubungan antara ayah dan anak, sedang
antara teman dan teman dapat dianggap/dipahami sebagai hubungan antara kakak
dan adik. Dan cara anggapan yang demikian itu memang sudah lazim. Tetapi ini
tadi hanyalah hubungan-hubungan keluarga yang pokok saja; lain-lainnya masih
ada banyak lagi. Di dalam “erh Ya”, yaitu kamus tertua bahasa Tionghoa, yang
ditulis pada jaman sebelumm Masehi, dimuat lebih dari 100 macam hubungan keluarga
yang kebanyakan tidak ada synonimnya (persamaannya) di dalam bahasa Ingris.
Berdasarkan
atas alasan-alasan yang sama, maka terdapatlah di sana dan berkembanglah suatu
: “Pemujaan Terhadap
Leluhur”.
Pada
keluarga ayang ditinggal di sesuatu tempat yang agak menyendiri, maka
pemudajaan demikian itu biasanya ditujukan pada anggauta keluarga yang dahulu
sebagai orang pertama telah menetap di tanah itu untuk menegakkan hidupnya.
Dengan demikian orang itu menjadi symbol (lambang) persatuan keluarga, dan
symbol yang demikian itu memang sangat dibutuhkan oleh suatu oragnisasi yang
luas serta complex. Sebagian besar dari ajaran-ajaran Ci=onfuianisme ditujukan
: “Untuk dengan dasar ratio membenarkan system kemasyarakatan ini, dan hal itu
dinyatakan secara teoritis. Keadaan economis di tiongkok dijadikan dasar dari
pernyataan itu, sedang artinya yang ethis ditegaskan oleh Confucianisme.
Oleh
karena system kemasarakatan ini adalah pembawaaan dari keadaan-keadaan economis
ini pun adalah pembawaan dari situasi geografis, maka bagi oeng tiongkok baik
sistim maupun pernyataan teoritisnya itu sudah merupakan hal yang biasa sekali.
Maka dari itu, Confucianisme dengan sendirinya tetap berpengaruh sebagai
Filsafat yang orthodox, sampai datangnya suatu periode dimana industrialisasi
yang berasal dari Amerika dan Eropah modern menyerbu dan mengubah dasar
economis dari kehidupan orang tiongkok.
j. Yang Mengenai Dunia ini dan
Dunia Lain (this wordliness and Other worldliness).
Seperti
juga halnya dengan “Filsafat hidup sehari-hari”, maka Confucianisme pun adalah
keilsafatan mengenai organaisasi sosial. Confucianisme menitik beratkan pada
pertanggungan jawab ssosial amnusia. Sedang Taoisme menitik beratkan pada
hal-hal yang secara naturalijk sduah dengan sendirinya terdapat pada diri
manusia. Di dalam Chuang Tzu dikatakan bahwa Confucianisme “Menggembara di
dalam lingkungan masyarakat”, Seedang Taoisme melampauinya dan menggembara di
luar lingkungan itu”. Pada abad ke 3 dan ke-4 sewaktu Taoisme berpengaruh lagi,
orang biasa mengatakan bahwa :
Confucius
menghargai “Ming Chiao” (ajaran tentang nama-nama yang menunjukkan
hubungan-hubungan sosial), sedang Tao Tzu dan Chuang Tzu menghargai “Tzu yan”
(Sifat-sifat yang secara naturalisk sduah dengan sendirinya terdapat pada diri
manusia).
Dua
aliran kefilsafatan Tiongkok ini di dalam garis besarnya agak menyerupai
tradisi-tradisi classicisme dan romanticisme di dalam alam pikiran Barat.
Bacalah sajak-sajak yang digubah oleh Tu Fu dan Li Po, dan anda akan melihat di
situ pebedaan antara Confucianisme dan Taoisme. Kedua penyair ulung tersebut
hidup pada abad yang sama (abad ke 8), dan di dalam sajak-sajaknya mereka
secara kerja sama mengemukakan tentang kedua atradisi pokok di dalam alam
pikiran orang Tiongkhoa.
Oleh
karena Confucius “mengembara di dalam lingkungan masyarakat”, maka ini
nampaknya lalu mempunyai corak yang menuju ke “Dunia ini” (kalau dibandingkan
dengan Taoisme). Sebaliknya, oleh akrena Taoisme itu “mengembara di luar
lingkungan masyarakat, maka ini nampaknya lalu mempunyai, corak yang lebih
menuju ke “Dunia lain” (kalau dibandingkang dengan Confucianisme).
Kedua
lairan pikiran ini saling berkonkurensi, tetapi selain itu juga saling
lengkap-melengkapi. Kedua-duanya saling memancarkan semacam “imbangan kekuatan”
(balance of power). Dengan demikian maka di dalam sanubari rakyat Tiongkok
lebih meresaplah “rasa keseimbangan” dalam menghadapi hal-hal yang mengenai
dunia ini dan Dunia lain.
Ada
pengikut-pengikut Taoisme yang pada abad ke-3 dan ke-4 berusaha mendekatkan
Taoisme pada Confucianisme, dan ada pula pengikut-pengikut Confucianisme yang pada abad ke 11 dan ke-12 berusaha
mendekatkan Confucianisme pada Toaisme.
Pengikut-pengikut Toisme yang demikian itu tadi kita sebut para penganut
Neo-Taoisme, dan pengikut-pengikut Confucianisme yang demikian tadi kita sebut
para penganut Neo Confucianisme. Pergerakan-pergerakan inilah yang menyebabkan
bahwa Filsafat Tiongkok mempunyai corak yang menuju baik ke Dunia ini maupun ke
Dunia lain, sebagaimana telah saya uraikan di dalam bab ke-I.
k. Kesenian dan Puisi Tiongkok
Confucianisme
menganggap kesenian sebagai alat untuk pendidikan moral. Taoisme tidak pernah
secara resmi memberi uraian tentang kesenian, tetapi pujian mereka terhadap
gerak bebas dari jiwa serta pujann mereka terhadap keadaan alam yang asli,
telah memberi inspirasi besar kepada
seniman-seniman Tiongkok. Dengan demikian maka tidak usah diherankan lagi bahwa
kebanyakan di antara seniman-seniman terkemuka di Tiongkok memusatkan
perhatiannya pada keadaan alam yang asli (nature). Kebanyakan di antara
Lukisan-luksian Tiongkok yang tergolong “kelas utama” menggambarkan
pemandangan-pemandangan (landscapes), binatang-binatang serta bunga-bunga,
pohon-pohon serta bambu. Dalam melukiskan pemandangan-pemandangan, biasanya
digambar seorang yang sedang duduk pada kaki gunung atau di tepi sungai, yang
tengah menikmati keindahan alam serta merenungkan Tao atau jalan yang
“melebihi” alam dan “melebihi” manusia.
Juga
di dalam puisi Tiongkok, kita menjumpai sajak-sajak yang memberi gambaran
serupa itu. Sebagai contoh dapat kita baca sajak yang digubah oleh Tao Ch’ien
(th. 372 – 427) :
“Gubugku
kudirikan di daerah yang didiami oleh manusia,
Meskipun
demikian, tidak terdengar suara-suara kuda atau pun kereta di sampingku,
Tahukan
anda bagaimana itu mungkin?
Ada
hutan belukar di sekitarnya,
Yang
diciptakan oleh hati yang jauh.
Aku
memeik bunga chrysant di bawah pagar sebelah timur,
Lalu
kurenung lama bukit-bukit yang mengebur jauh, di musim panas.
Segeralah
hawa pegunungan pada waktu senja;
Burung-burung
yang terbang, datang kembali dua berdua;
Akan
tetapi kalau kita hendak mengatakannya,
Kita
tiba-tiba kehilangan kata-kata.”
Di
sini Taoisme nampak sebaik-baiknya.
l. Methodologi Filsafat
Tiongkok
Pandangan
hidup pak tani tidak saja menentukan isi dari Filsafat Tiongkok (seperti
misalnya : “Keadaan yang membalik adalah gerakan Tao”), tetapi ---- yang lebih
penting daripada itu ---- hal tersebut juga menentukan methodologinya. Prof.
Northrop (Filmer S.C. Northrop, “The Complementary Emphasis of Eastern Institution
Philosophy and Western Scientific Philosophy”) mengatakan bahwa pada pokoknya
ada dua macam konsep, yaitu :
1.
Konsep
yang dicapai dengan jalan intuisi (seakan-akan seperti ilham), dan
2.
Konsep
yang dicapai dengan jalan hypothesis (dimana orang beranggapan bahwa sesuatu
peristiwa itu keterangannya adalah demikian-demikian, tanpa ada bukti-bukti
yang nyata).
Konsep
yang dicapai dengan jalan intuisi, demikian katanya, adalah suatu konsep yang
menunjuk pada sesuatu yang kita “tangkap” secara langsung, sedang artinya yang
jelas diterangkan oleh apa yang kita tangpkap secara langsung itu. Misalnya
“biru” sebagai warna yang kita tangkap secara langsung, adalah konsep macam
pertama (konsep yang dicapai dengan jalan intuisi).
Mengenai
kosep macam ke-dua, dikatakan bahwa artinya yang jelas diterangkan oleh
hypotesisi dari teori (yang dicapai dengan jalan deduksi), yang mempergunakan
hypothesis itu. Misalnya “biru” sebagai ukuran panjang gelombang di dalam teori
elektro-magnitis, merupakan konsep yang dicapai dengan jalan hypothesis.
Northrop
juga mengatakan bahwa ada tiga macam kosnep yang dicapai dengan jalan intuisi,
yaitu :
1.
Konsep
tentang Continuum aes thesis yang di-differensialkan.
2.
Konsep
tentang Continuum aesthesis yang tidak tertentukan atau tidak di differensiasikan.
3.
Konsep
tentang differensiasi.
Berkatalh Northrop bahwa
Confucianisema itu, dapar di deginisikan sebagai kedaan jiwa di mana konsep
macam b. Di atas berpindah- temepat ke latar beakang dari alam pikiran, dan di
mana differensiasi-differensiasi yang konkrit yang sebentar datang dan sebentar
pergi secara relativistis dan humanistis, menjadi isi dari Filsafat. Akan
tetapi pada Taoisme, demikian katanya
selanjutnya, yang menjadi isi dari Filsafat adalah justru konsep macam
b. Yaitu konsep tentang continuum aesthesis yang tidak tertentukan atau tidak
didifferensiasikan.
Saya
tidak setuju 100% dengan apa yang dikatakan oleh Northrop itu, tetapi saya
aberpendapat bahwa di sini Northrop terlalu erat berpeegangan pada perbedaan
pokok antara Filsafat Tiongkok dan Filsafat Barat. Bilamana seseorang yang
sudah mempelajari Filsafat Tiongkok, kemudian mulia mempelajari Filsafat Barat,
maka senangnlah ia jika ia melihat perbedaan yang dibuat oleh para ahli
Filsafat Yunani antara ada dan tidak ada, antara yang terbatas dan yang tidak
terbatas. Teapi ia akan merasa agak heran, bahwa para ahli Filsfat Yunani
menganggap yang tidak ada dan yang tidak terbatas mempunyai tingkat lebih
rendah daripada yang ada dan yang terbatas. Di dalam Filsafat Tiongkok, hanya
aadalah justru sebaliknya. Adanya perbedaan ini disebabkan karena yang ada dan
yang terbatas dianggap jelas, sedangkan yang tidak ada dan yang tidak terbatas
dianggap kabur dan tidak jelas. Para ahli Filsafat yang mulai penyelidikikannya
dengan mempergunakan konsep-konsep yang dicapai dengan jalan hypothessis
menyukai hal-hal yang tegas, sedang mereka yang mulai dengan konsep-konsep yang
dicapai dengan jalan intuisi menghargai hal-hal yang tidak tegas.
Jikalau
apa yang dikemukakan oleh Northrop itu kita hubungkan dengan apa yang saya
sebut pada permulaan bab ini, maka kita melihat bahwa konsep tentang Continuum
aesthesis yang dibeda-bedakan ( di differensiasikan) yaitu yang menelorkan baik
konsep tentang Continuum aesthesis yang tidak di deifferensiasikan maupun konsep
tentang differensiasi (seperti dikatakan oleh Northrop) – pada pokoknya konsep
para petani. Hal-hal yang menjadi urusan para petani, seperti misalnya
peladangan dan penunaian, itu semuanya adalah hal-hal yang ditangkap oleh
mereka secara langsung. Dan oleh karena mereka primitif dan masih bersikap
seperti kanak-kanak, maka mereka menghargai apa yang mereka tangkap secara
langsung. Maka juga tidak mengherankan, bahwa dengan demikian ahli-ahli
filsafatnya mepergunakan “penangkapan secara langsung” sebagai titik permulaan
dari Filsafat mereka.
Hal
di atas itu juga memberi penjelasan mengapa epistemologi (yaitu ilmu tentang
pengetahuan; memeriksa asal-asal, azas-azas dan syarat-syarat pengetahuan dan
menentukan batas-batas, alat dan cara yang sebaiknya dipakai oleh ilmu
pengetahuan) tidak pernah berkembang di dalam Filsafat Tiongkok. Apakah meja
yang kulihat di mukaku itu nyata atau khayalan, dan apakah meja itu hanya suatu
ide saja di dalam alam pikiran atau benar-benar mengambil tempat di dalam
ruang, hal-hal yang demikian itu tidak pernah dipikirkan masak-masak oleh para
ahli Filsafat Tiongkok. Soalsoal epistemologis semacam itu tidak terdapat di
dalam Filsafat Tiongkok (kecuali did alam Buddhisme yang datang dari India), oleh
karena soal-soal epistemologis hanya timbul apabila orang menitik beratkan pada
emarkasi (garis perbatasan) antara subyek dan obyek. Dan di dalam continumm
aesthetis “yang mengenal” dan “yang dikenal” merupakan satu keseluruhan.
Hal
tersebut juga memberi penjelaan mengapa bahasa yang dipergunakan oleh Filsafat
Tiongkok bersifat suggestif (mengandung atau memberi saran-saran) dan tidak
tegas. Bahasanya tidak tegas, oleh karena tidak menyatakan sesuatu konsep
dengan kupasan yang deductif. Ahli Filsafatnya hanya menceriterakan kepada kita
apa yang dilihat olehnya. Maka dari itu, apa yang diceritakan itu isinya
banyak, sekali pun kata-katanya pendek. Inilah sebabnya mengapa kata-katanya
kurang seksama, tetapi suggestif.
m. Negeri Lautan dan Negeri
Daratan
Orang-orang
Yunani hidup di dalam negeri yang banyak dikelilingi oleh lautan, dan mereka
memelihara kesejahteraan mereka dengan jalan perdagangan. Mereka terutama
adalah pedagang. Dan yang menjadi urusan para pedagang tidak lain, yaitu :
1.
Peratama-tama
angka-angka abstrak yang dipergunakan dalam memperhitungkan perdagangan mereka,
2.
Kemudian
baru hal-hal yang konkrit, yaitu yang mungkin di tankgap secara langsung dengan
mempergunakan angka-angka abstrak itu.
Angka-angka
demikian itulah yang oleh Northrop disebut “konsep-konsep yang dicapai dengan
jalan Hypothesis itu oleh para ahli Filsfat Yunani lalu juga dipergunakan
sebagai titik permulaan. Mereka mengembangkan Mathematika (Ilmu pasti) dan cara
berpikir yang mathematis, Inilah sebabnya mengapa pada mereka timbul
persoalan-persoalan yang epistemologis dan mengapa bahasa mereka adalah
demikian tegasnya.
Akan
tetapi, para pedagang itu juga orang-orang kota. Untuk melaksanakan
usaha-bersama di dalam kota. Maka dari itu, mereka mempunyai organisasi sosial
yang tidak begitu didasarkan atas “kepentingan bersama dari keluarga”,
melainkan lebih didasarkan atas kepentingan kota. Inilah sebabnya mengapa
orang-orang yunai menyusun masyarakat mereka di sekitar negara kota (city
state). Jadi ini berlawanan dengan : “System sosial di Tiongkok yang dapat
disebut system negra keluarga (family state), karen dengan system itu negaranya
dapat digambarkan sebagai keluarga.” Organisasi sosial di dalam sebuah negara
kota tidaklah autokratis, sebab di situ tidak ada alasan moral mengapa di
antara orang-orang kota yang tergolong satu kelas yang sama, yang satu harus
dipandang glebih penting atau lebih tinggi daripada yang lain. Tetapi di dalam
suatu negara keluarga, organisasi sosilnya adalah autokratis dan hierarchis,
sebab di dalam suatu keluarga, kekuasaan ayah itu sudah barang tentu lebih
besar daripada kekuasaan anaknya.
Kenyataan bahwa orang-orang Tionghoa
adalah orang-orang tani, juga menjelaskan mengapa Tiongkok tidak berhasil
mengadakan revolusi industri, yaitu suatu alat untuk melangkah ke dunia modern.
Di dalam Lieh Tzu ada dongengan bahwa Pangeran dari Kerajaan Sung pada suatu
hari minta kepada seorang tukng yang pandai, untuk mengukit jade (batu giok) di
dalam bentuk daun. Tukang itu dapat menyelesaikannya di dalam waktu tiga tahun,
dan sewaktu daun buatan itu dipasang pada pohon asli, tidak ada seorang pun
yang dapat membedakannya dari daun-daunnya yang asli, sebab cara mengukirnya
memang benar-benar mengagumkan. Maka sangat giranglah ang Pangeran. Akan tetapi
ketika Liah Tzu mendengar tentang itu, ia berkata : “Andaikata alam raya membutuhkan 3 tahun untuk
membuat satu tangkai daun, maka akan ada sedikit pohon saja yang berdaun!.”
Demikianlah
pandangan seseorang yang mengagumi keadaan alam dan membenci hal-hal yang dibuat
oleh manusisa. Dan memang jalan yang harus ditempuh oleh para petani dalam
menyelenggarakan hidupnya itu boleh dikatakan tidak dalapat lain daripada
menuruti dan menyesuaikan dirinya dengan keadaan alam. Petani-petani ini
mengagumi keadaan alam dan membenci hal-hal yang dibuat-buat; dan oleh karena
mereka masih primitif dan menyerupai kanak-kanak, maka mudah puaslah mereka.
Mereka tidak menginginkan adanya perubahan, dan mereka juga tidak dapat
menggambarkan sesuatu perubahan. Di Tiongkok telah ditemukan
pendapatan-pendapatan baru yang tidak sedikit jumlahnya, dan
pendapatan-pendapatan itu telah banyak dikagumi oleh umat manusia. Tetapi
acapkali kita melihat bahwa
pendapatan-pendapatn itu malahan banyak disambut dengan rasa kecewa
daripada diberi hati.
Berlainanlah
keadaan para pedagang di suatu negeri yang banyak dikelilingi lautan. Mereka
mendapat lebih banyak kesempatan untuk
melihat bermacam-macam orang denegan ada kebiasaan dan dengan bahasa
yang rupa-rupa. Dengan demikian mereka sudah biasa menghadapai
perubahan-perubahan dan tidak takut menghadapi hal-hal yang beru. Malahan untuk
dapat menjual barang-barangnya dengan harga yang baik, mereka harus
menganjur-anjurkan pembaharuan di dalam pembikinan barang-barang yang akan
dijual. Bukan suatu hal yang kebetulan bahwa revolusi industri di Barat itu
pada permulaannya timbul di Inggris. Yaitu sebuah negeri lautan pula yang
memelihara kesejahteraannya dengan jalan perdagangan.
Ada
yang kita kutip di muka (di dalam bab ini) dari Lu Shih Ch’un-Ch’iu mengenai
para pedagang, itu dapat pula dikatakan terhadap rakyat dari negeri-negeri
lautan, asal saja kita ganti beberapa perkataan. Yaitu kita tidak lagi berkata
bahwa mereka “Korup dan suka berkhianat”, melainkab bahwa mereka “cerdik licin
(refined) dan pandai”’
Kita juga dapat meminjam ucapan Confucius, untuk dikatakan dengan kata-kata
kita sendiri, yaitu bahwa yang pandai
adalah rakyat dari negeri-negeri lautan, sedang yang baik adalah rakyat
dari negeri-negeri daratan. Maka dengan demikian kita mengulangi apa
yang dikatakan oleh Confucius :
“Aorang
yang arif bijaksana menikmati adanya air; orang yang baik menikmati adanya
gunung-gunung. Yang arif bijaksana bergerak; yang baik tinggal diam dan tenang.
Mereka yang arif bijaksana merasa bahagia; mereka yang baik menderita dan
bertahan.”
Tidaklah
termasuk bab ini untuk mengemukakan bahan-bahan bukti yang dapat memperlihatkan
adanya hubungan antara keadaan geografis serta economis dari Yunani dan Ingris
pada satu pihak, dan berkembangnya alam pikiran ilmiah Barat serta
lembaga-lembaga demokrasi pada lain pihak. Tetapi kenyataan bahwa keadaan
geografis serta economis dari baik Yunani mau pun Ingris itu berlainan sekali
dengan keadaan geografis serta economis dari Tiongkok, hal itu sudah cukup
untuk dijadikan bukti yang negatif bagi thesis saya mengenai Sejarah Tiongkok
sebagaimana telah saya utarakan di dalam bab ini.
n. Hal-hal Yang Permanen
(tetap) dan hal-hal yang dapat berubah di dalam Filsfat Tiongkok.
Kemajuan
ilmu pengetahuan telah mengalahkan geografi (ilmu bumi) sedemikian rupa, hingga
Tiongkok tidak lagi berada di dalam keadaan terpencil seperti dahulu kala.
Tiongkok pun sekarang sedang mengalami industrialisasi, dan meskipun datangnya
indutrialisasi ini sangat lambat kalau dibandingkan dengan di Barat (Buku ini
dibuat sudah lama .. bukan keadaan sekarang ini. Pen). Namun kedatangan yang
lambat itu selalu masih lebih baik daripada tidak pernah datang sama
sekali. Tidaklah benar untuk mengatakan
bahwa Timur telah diserbu oleh Barat. Di dalam hal ini lebih baik untuk
mengatakan bahwa jaman abad perteengahan telah diserbu oleh jaman moderen. Dan
untuk ikut hidup di dalam dunia yang modern, maka Tiongkok haruslah modern
pula.
Ada
satu hal yang masih tetap menjadi pertanyaan, yaitu bilamana Filsafat Tiongkok
itu demikian erat hubungannya dengan keadaan economis dari rakyat Tiongkok,
apakah hal-hal yang telah didnyatakan di dalam Filsafat Tiongkok itu lalu hanya
berlaku bagi rakyat yang hidup di dalam keadaan yang demikian saja?
Jawabannya
adalah “Ya: dan “Tidak”. Di dalam kefilsfatan dari rakyat mana pun juga atau
pada jaman apapun juga, selalu ada bagian yang hanya berlaku kalau ada
hubungannya dengan keadaan economis dari rakyat itu atau pada jaman itu, tetapi
selain itu tentu ada pula bagian lain yang tetap berlaku, juga kalau tidak ada
hubungannya dengan hal tersebut tadi. Sesuatu yang tidak relatif, mempunyai
nilai yang tahan lama. Saya ragu-ragu untuk mengatakan bahwa sesuatu yang tidak
relatif itu merupakan kebenaran yang absolut (mutlak). Sebab, untuk memutuskan
apakah yang dinamakan kebenaran yang absolut, itu adalah pekerjaan yang terlalu
muluk-muluk bagi manusia; pekerjaan itu hanya daapt dilakukan oleh Tuhan (Kalau
apa yang dinamakan “kebenaran yang absolut” itu benar-benar ada!!!).
Marilah
kita mengambil contoh di dalam filsfat Yunani. Aristoteles telah membenarkan
sysytem perbudakan dengan mempergunakan alasan yang didasarkan atas ratio
(akal). Pernyataan Aristoteles itu harus dianggap sebagai suatu teori yang
terikat (jadi relatif) pada keadaan ekonomi dari kehidupan di Yunani. Tetapi
ini tidak berarti bahwa di dalam lapangan sosial, kefilafatan Aristoteles lalu
tidak mengandung sesuatu un yang tidak relatif. Ini sama halnya dengan alam
pikiran orang Tionghoa. Bilamana Tiongkok sudah di industrialisasikan, maka :
“System
kelurga yang lama harus lah lenyap, dan bersama dengan itu akan lenyap pula
pengaruh dari pernyataan rational Confucianisme yang dimaksudkan untuk
membenarkan keadaan lama.”
Tetapi
ini tidak berarti bahwa di dalam lapangan sosial. Kefilsfatan Confucianisme itu
lalu tidak mengandung sesuatu pun yang tidak relatif.
Sebaliknya
ialah karena masyarakat Yunani Kuno dan masyarakat Tiongkok Kuno itu meskipun
saling berbeda, toh keduanya tergolong satu catagoriumum, yaitu yang kita sebut
“masyarakat”. Teori-teori yang merupakan pernyataan-pernytaan teoritis dari
masyarakat Yunani atau masyarakat Tiongkok, dengan demikian juga merupakan
sebagian dari pernyataan-pernyataan masyarakat pada umumnya. Meskipun di dalam
teori-teori itu ada hal-hal yang khusus terikat pada masyarakat Yunani atau pun
masyarakat Tiongkok, namun di dalamnya tentu terdapat pula hal-hal yang
sifatnya lebih universal, yaitu hal-hal yang berlaku bagi masyarakat pada
umumnya. Hal-hal yang saya sebut terakhir ini sifatnya tidak relatif. Dan
mempunyai nilai yang tahan lama.
Demikian
juga halnya dengan Taoisme. Teori Taoisme yang mengatakan bahwa : “Negara
idam-idaman manusia adalah negara yang sudah silam pada jaman dahulu,
sewaktu masih merajalela sifat-sifat
primitif.” Sudah terang adalah keliru. Dengan berpegang pada ide kemajuan, kita
sebagai orang modern beranggapan bahwa negara yang dicita-citakan oleh manusia
adalah sesuatu yang masih harus diciptakan di mana depan, dan bukanlah sesuatu
yang sudah silam di masa lampau. Tetapi ada juga orang-orang modern yang
menganggap suatu negara dimana merajalela hal-hal seperti anarchisme, sebagai
negara yang dicita-citakan oleh manusia. Anggapan atau pikiran yang demikian
ini tidak banyak berbeda dengan pikiran pengikut-pengikut Taoisme.
Fislfat
juga memberikan kepada kita suatu cita-cita tentang cara hidup. Sebagian dari
cita-cita itu sebagaimana diberikan oleh
filsfat dari orang-orang /rakyat tertentu atau Filsfat dari jaman/waktu
tertentu, hanya terikat pada sejenis kehidupan yang menjadi pembawaan dari
keadaan-keadaan sosial dari orang-orang /rakyat itu atau keadaan-keadaan sosial
pada jaman atau waktu itu. Tetapi cita-cita tentu juga mengandung bagian yang
berlaku bagi cara hidup pada umumnya, sehingga sifatnya lalu tidak relatif,
melainkan mempunyai nilai yang tahan lama. Hal ini agaknya seudah digambarkan
di dalam teori Confucianisme mengenai cara hidup yang dicita-citakan. Menurut
teori ini, carah hdiup yang dicita-citakan adalah :
“Suatu
cara hidup dimana alam semesta dipahami secara mendalam sekali, dan meskipun
demikian (meskipun alam semesta dipahami secara mendalam sekali) cara hidup itu
tetap deselenggarakan di dalam batas-batas lima hubungan pokok antara manusia
dengan manusia, Corak dari hubungan-hubungan ini (antara manusia dengan
manusia) dapat berubah-ubah menurut kedaan. Tetapi cita-citanya tidak berubah.
Maka salah-lah untuk mengatakan bahwa : “Karena beberapa di antara lima
hubungan itu harus hapus, maka harus hapus pula cita-cita Confucianisme tentang
cara hidup”. Dan juga salah untuk mengatakan bahwa : :Karena cita-cita akan
cara hidup ini diinginkan, maka kelima hubungan pokok itu semuanya harus
dipertahankan.”
Orang
harus membuat analisa yang logis dalam hendak membeda-bedakan mana yang
permanen dan mana yang dapat berubah di dalam Sejarah Filsafat, masing-masing kefislafatan
mempunyai hal-hal yang permanen, dan semua kefilsfatan mempunyai hal-hal yang
bersamaan. Inilah sebabnya mengapa semua kefislfatan itu meskipun berbeda-beda,
satu dengan lainnya, toh dapat dibanding-bandingkan di cocok-cocokkan satu
dengan lainnya, sedang yang satu juda dapat diterjemahkan dengan
istilah-istilah dari yang lain.
Apakah
methodologi dari Filsfat Tiongkok akan berubah? Artinya, apakah Filsfat baru
dari Tiongkok tidak lagi akan membatasi diri pada “konsep yang dicapai dengan
jalan intuisi?” Sudah tentu tidak akan lagi membatasai ddiri. Dan memang tidak
ada alasan mengapa harus tetap membatasi diri pada konsep yang demikian itu.
Pada kenyataannya, methodologinya sekadarang sudah mulai dan sedang berubah.
Mengenai perubahan ini, saja terpaksa menceritakan lebih banyak di dalam bab
terakhir dari buku ini.
BAB
: III
ASAL
MULA DARI ALIRAN-ALIRAN DI TIONGKOK
Di
dalam bab ke II telah saya katakan bahwa Confucianisme dan Taoisme merupakan
dua aliran poko di dalam alam pikiran Tiongkok. Tetapi meningkatnya dari
keadaan dahulu sampai menjadi aliran pokok ini telah membutuhkan evolusi yang
alma, dan sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-3 sebelum Masehi, kedua lairan
itu mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan lain-lain alairan pikiran yang
pada waktu itu saling berkonkurensi. Pada periode tersebut jumlah aliran-aliran
itu sedemikian banyaknya hingga orang Tiongok menyebutnya dangan nama “Seratus
Aliran”.
o. Ssu-ma T’an dan Enam Aliran
Penulis-penulis
sejarah di kemudian hari telah berusaha untuk menggolong-golongkan “seratus
aliran” itu. Tokoh pertama yang berbuat demikian adalah Ssu-ma T’an (yang
meninggal pada tahun 110 sebelum Masehi) yaitu ayah dari Ssu-ma Ch’ien (tahun
146 sampai kira-kira tahun 86 sebelum Masehi). Yang terakhir ini telah menulis
buku sejarah mengenai dynasti besar yang pertama di Tiongkok, dengan Judul
:Shih Chi” atau “Dokumen-dokumen Historis”. Di dalam bab terakhir dari buku
tersebut, Ssu-ma Ch’ien mengutip suaut artikel yang telah ditulis oleh ayahnya,
yaitu yang berjudul : “Mengenai ide-ide Pokok dari Enam Aliran”, Di sini Ssu-ma
T’an menggolong-golongkan para ahli filsafat yang hidup di dalam beberapa abad
sebelumnya, ke dalam enam aliran/madzab poko, yaitu :
1.
Yin-Yang
Chia atau aliran/madzab Yin Yang.
2.
Ju
Chia atau aliran/mahdzab para Sarjana ( di dalam arti : “Mereka yang
ber’ilmu”(.
3.
Mo
Chia atau aliran/mahdzab para Moshist.
4.
Ming
Chia atau aliran/madzab Nama-nama.
5.
Fa
Chia atau aliran/mahdzab para Legalist.
6.
Tao-Te
Chia atau aliran/madzab Jalan dan Kekuasaan dari Jalan itu.
Aliran Yin Yang : dianut oleh para cosmologist
(ilmu mengenai alam semessta) Dalam alam pikiran Tiongkok prinsip Yin dan Yang
dianggap sebagai dua prinsip pokok didalam cosmologi. Yin adalah prinsip
betina, sedangkan Yang adalah prinsip Jantan. Kalau keduanya saling
dikombinasikan, dan saling memberi pengaruhnya yang timbal balik, maka hal ini
menurut orang Tiongkok lalu menimbulkan seluruh peristiwa-peristiwa alam
kodrat.
Aliran Ju Chia, atau aliran dari Mereka yang
berilmu, terkenal di dalam kesusastraan Barat sebagai “Confucianist School”.
Tetapi perkataan “Ju” itu sewajarnya berarti “Pelajar”. Dengan demikian maka
namanya di dalam kesusasteraan Barat agak menyeatkan, sebab dari nama yang
diberikan atau tidak nampak bahwa masing-masing pengikutnya adalah baik pelajar
mau pun ahli pikir. Mereka ini (lebih daripada lain-lainnya) adalah guru-guru
yang memberi pelajaran mengenai buah-buah karya dari jaman klasik, dan dengan
demikian mereka itu adalah ahli-ahli waris dari kebudayaan yang diwariskan oleh
jaman kuno. Memang confucius memimpin madzab ini. Dan boleh dianggap sebagai
pendirinya. Tetapi bagaimana pun juga, istilah “Ju” itu tidak hanya berarti
“dari Confucius” atau “Confucianisme” tetapi juga mempunyai arti yang lebih
luas.
Mo Chia atau madzab para Mohist, mempnuyai oraganisasi yang terjalin erat dan
mempunyai disciplin yang keras. Pemimpinnya adalah Mo Tzu. Pengikut-pengikutnya
menamakan dirinya kaum Mohist. Dengan demikian maka nama dari madzab ini
bukanlah angitan/karangan dari Ssu-ma T’an, seperti halnya dengan beberapa di
antara nama-nama lainnya.
Aliran
yang ke-4 adalah aliran Ming
Chia atau madzab Nama-nama. Penganut-penganut aliran ini tertarik akan
perbedaan serta hubungan antara apa yang mereka namakan “nama-nama” (names) dan
“fakta-fakta yang nyata” (actualities).
Yang
ke-5, adalah aliran Fa
Chia atau madzab para Legalist, Perkataan Tionghoa berarti pola atau
hukum. Madzab ini mula-mula berasal dari serombongan ahli-ahli pemerintahan yang
berpendapat bahwa pemerintahan yang baik itu harus didasarkan pada Kitab
Undang-Undang yang tetap. Jadi Tidak didasarkan atas lembaga-lembaga moral
seperti yang didasarkan oleh “mereka yang berilmu”
Penganut-penganut
dari aliran Tao Techia
(madzab jalan dan kekuasaan dari Jalan itu) memusatkan metaphysicanya dan
fislafat sosilnya di sekitar suatu konsep tentang ke-Tidak-Adaan (Non being),
yaitu yang dinamakan Tao atau jalan. Mereka menitik beratkan pada individu
serta kepribadian sebagai kebanyakan pembawaaan dari seorang manusia. Yaitu
yang dinamakan Te. “Te” ini diterkjemahkan dengan kebajikan/tabiat saleh
(vertue), tetapi lebih tepat untuk menggambarkannya sebagai kekuatan yang berhubungan erat dengan (dan tidak dapat
dipisahkan dari) segala sesuatu yang individual” Golongan ini , yaitu yang oleh
Ssu-ma T’an dinamakan aliran Tao Te, di kemudian hari terkenal sebagai “Tao
Chia” Begitu saja, dan di dalam kesusastraan Barat disebut “Taoist School”, Sebagaimana telah saya
uraikan di dalam bab ke-I, ini harus dipisahkan dengan hati-hati dari Agama
Tao.
p.
Liu Hsin dan Teorinya tentang
Asa-Mula dari Aliran-aliran di Tiongkok
Penulis
Sejarah kedua yang telah berusaha menggolong-golongkan “aliran yang seratus
macam” itu adalah liu Hsin (kira-kira tahun 46 sebelum Masehi sampai tahun 23
sesudah Masehi). Dia termasuk “sarjana-sarjana yang aling terkemuka” pada
jamannya. Bersama-sama dengan ayahnya, yaitu Liu Hsiang, ia telah
membanding-bandingkan buku—buku di dalam “Perpustakaan Kerajaan”. Hasilnya
berupa suatu catalogus yang penuh denga
petunju-petunjuk, terkenal dengan nama “Tujuh Buah ikhtisar”. Catalogus
dari perpustakaaan Kerajaan ini (yaitu yang dinamakan oleh Pan Ku (tahun 32 –
92 sesudah Masehi) sebagai dasar dari sebuah bab yang dimuat di dalam buku
tentagn Sejarah Dynasti, yaitu tentang Sejarah Dynasti Han yang dulu-dulu.
Adapun bab itu diberi judul “Yi Wen Chih” atau “Risalah mengenai Kesusateraan”.
Di dalam Risalah ini Liu Hsian membagi-bagi “Aliran yang seratus” itu ke dalam
sepuluh golongan Pokok. Di antara yang sepuluh ini, ada enam yang sama dengan
yang dikemukakan oleh Ssu-Ma T’an. Yang empat lainnya adalah :
7.
Tsung Heng Chia atau aliran/madzab Para
Diplomat.
8.
Tsa Chia atau aliran/madzab para Eclectici.
9.
Nung Chia atau aliran/madzab para ahli Agraria.
10. Hsiao Shuo Chia
atau aliran/madzab para ahli dongeng.
Sebagai
akhir kata Liu Hsin, menulis :
“Para
Ahli Filsafat dapat digolongkan dalam 10 aliran, tetapi hanya 9 saja yang perlu
mendapat perhatian.”
Dengan
pernyataan ini ia hendak mengatakan bahwa madzab para ahli Dongeng tidaklah
sepenting aliran-aliran lainnya.
Dalam
mengadakan penggolongan ini, Liu Hsin lebih jauh melangkah ke muka kalau
dibandingkan dengan Ssu-ma T’an, tetapi juga tidak dapat dikatakan “sangat
lebih jauh”. Sekalipun demikian, di sini ada hal yang baru, yaitu :
“Untuk
pertama kalinya di dalam Sejarah Tiongkok telah diadakan usaha (oleh Liu Shin)
untuk menyelidiki secara systematis asal mula dari berbagai aliran, ditinjau
dari sudut historis.”
Teori
Liu Shin telah banyak dirsehi), yaitu sebelum retaknya lembaga-lembaga sosial pada
waktu itu : “Tidak ada pemisahan antara pegawai dan Guru.”
Dengan
perkataan lain, pegawai dari suatu Bagian Pemerintahan, sekali gus juga
bertugas sebagai “pemncar” (trransmitter) dari cabang ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan Bagiannya. Pegawai-pegawai ini memperoleh jabatannya dengan
jalan warisan. Jadi seperti halnya dengan para tuan tanah feodal pada waktu
itu. Maka pada hari-hari itu hanya ada : “Pelajaran-pelajaran yang diberikan
oleh para pegawai”, dan tidak ada “pengajaran privat.”
Artinya,
tidak ada seorang pun yang mengajar sesuatu cabang ilmu pengetahuan sebagai
individu dan di dalam suasana prive. Semua pengajaran hanya dilakukan oleh para
pegawai di dalam jabatannya sebagai anggota dari sesuatu Bagian Pemerintahan.
Tetapi
menurut teori ini, sewaktu dynasti Chou yang mula-mula bertahta itu kehilangan
kekuasaan, maka pada abad-abad kemudian para pegawai dari Bagian-Bagian
Pemerintahan juga kehilangan jabatannya, dan tersebarlah mereka di seluruh
negeri. Kemudian mereka memberi pelajaran lagi dalam cabang-cabang
pengetahuannya maisng-masing, tetapi sifatnya adalah privat. Dengan demikian,
mereka bukan lagi “pegawai” melainkan “Guru Privat”. Dengan adanya pemisahan
antara guru dan pegawai ini, maka timbullah berbagai aliran.
Marilah
kita sekarang membaca seluruhnya dari analysa Liu Hsin, itu :
“Anggota-anggota
dari madzab “Ju” bersal mula dari Kementerian Pengajaran. Madzab ini suka
sekali mempelajari Liu Yi, yaitu Enam Hal ke-Kuno-an atau Enam Kesenian Bebas
(Liberal Arts, Vrije kunsten) dari banyak menaruh perhatinnya pada hal-hal yang
berhubungan dengan perikemanusiaan dan keadilan. Mereka menganggap “Yao” dan
“Shun” (dua Kaisar bijaksana dari jama Kuno, yang diduga telah hidup pada abad
ke-24 dan ke-23 sebelum Masehi), sebagai leluhur dari madzab-mereka, dan
menganggap Raja Wen (1120? – 1108? Sebelum Masehi) dari dynasti Chou dan Raja
Wu (putera dari Raja Wen) sebagai tokoh-tokoh yang istimewa. Untuk memperoleh
“kewibawaan” (Authority) bagi ajarn-ajrannya, mereka menghormati Chung ni
(confucius) sebagai guru yang “menjulang tinggi”. Ajaran mereka dianggap
sebagai kebenaran yang tertinggi. Dikatakan bahwa hal-hal yang dikagumi itu
masih harus di test/diuji. Kemudian Chou dan ha-hal yang telah tercapai oleh
Chung ni adalah hasil-hasil yang diketemukan setelah diadakan test/ujian
terhadap ajaran-ajarannya.
Yang
gmenjadi anggota-anggota aliran Tao, pada mulanya adalah penulis-penulis
sejarah yang diakui secara resmi. Karena mereka mempelajari contoh-contoh di
dalam sejarah yang menggambarkan baik sukses maupun kegagalan, baik
pemeliharaan maupun pengrusakan, baik ke-malapetaka-an mau pun kemakmuran, dari
jman kuno sampai jama sekarang, maka dengan demikian mereka memperoleh
pelajaran tentang bagaimana caranya amempertahankan hal-hal yang hakiki (esensial) dan mengandung hal-hal yang pokok
(fundamental). Mereka mempertahankan pada
dirinya sifat-sifat kemurnian dan ke-obyektif-an; di mana-mana mereka
selalu berendah hati dan tidak pernah bersikap menentang.......
“
Di sinilah letaknya kekuatan madzab tersebutt.
Yang
menjadi anggota-anggota madzab Yin-Yang pada adalah mereka yagn bekerja pada kementerian
kehakiman. Mereka amenitik beratkan pada keteliatian dan keseksamaan dalam
memberikan baik hadiah/pujian maupun hukuman, agar supaya mulanya adalah ahli-ahli ilmu falak yan diakui
secara resmi. Dengan penuh rasa hormat mereka mempelajari angkasa raya yang
cemerlang, perjalanan yang berturut-turut dari mtahari dan bulan,
bintang-bintang dan letak-letaknya bintang yang satu terhadap yang lain. Dan
juga pembagian waktu dan musim. Di sinilah letaknya kekuatan madzab ini.
Yang
menjadi anggota-anggota dari aliran para Legalist pada mulanya dengan demikian dapat
ditegakkan suatu system menggenai tingkah laku yang benar. Di sinilah letaknya
kekuatan aliran ini.
Yang
menjadi anggota-anggota madzab Nama-nama, pada mulanya adalah mereka yang bekerja pada
Kementerian Peng-Upacaraan (Ministry or Ceremonies). Upaara yang diperuntukan
bagi mereka yang hidup pada waktu dahulu adalah berbeda-beda, oleh karena gelar
dan kedudukannya berbeda-beda pula. Kata Confucius : “Bilamana nama-nama tidak benar, maka
pembicaraan-pembicaraan tidak akan berjalan menurut proses yang sewajarnya.
Bilamana pembicaraan-pembicaraan tidak berjalan menurut proses yang sewajarnya,
maka tidak ada sesuatu pun yang dapat terselenggara. Di sinilah letaknya
kekuatan aliran ini.
Mereka
yang menjadi anggota-anggota dari aliran para Wohist, pada mulanya adalah mereka yang menjadi
penjaga-penjaga Candi/Kuil (Temple), Yang dinamakan Candi/Kuil ini mempunyai
balok-balok melintang yang rata dan yagn erbuat dari kayu,s edang atapatapnya
terbuat dari jerami; maka dari itu ajaran-ajran mereka dititik beratkan apda
kesederhaan. Ini adalah tempat di mana Tiga Orang Laki-laki Tertua dan Lima
Orang laki-laki Berpengalaman dihormati; maka dari itu ajaran-ajaran mereka
dititik beratkan pada kasih sayang terhadap siapa saja (Universal Love).
Upacara pemilihan pegawai-pegawai sipil dan upacara pada Latihan-latihan
Militer juga diadakan di dalam Kuil tersebut; maka dari itu yagn ditekankan
oleh ajaran-ajaran mereka adalah mempertinggi kebajikan dan kecakapan. Kuil
tersebut adalah tempat unutk memuliakan para ayah; maka dari itu diajarkan
untuk menghormati roh-roh. Mereka menerima ajaran tradisional untuk “mengikuti
jalannya empat musim” di dalam tingkah laku seseorang; maka dari itu
ajaran-ajaran mereka menentang fatalisme. Mereka menerima ajaran
tradisional untuk menunjukkan kepada
seluruh dunia tabiat saleh seperti yang terdapat pada anak kecil; maka dari itu
mereka mengajarkan supaya orang-orang menyetujui apa yang dikehendaki oleh
atasannya. Di sinilah letaknya kekuatan aliran ini.
Yang
menjadi anggota-anggota dari madzab para
Diplomat pada
mulanya adalah mereka yang bekerja pada Kementerin Perdutaan (ministry of
Embassies) ..............................................................
Mereka mengajarkan bagaimana caranya menaati perintah-perintah umum secara
diplomatis, jadi supaya jangan menaatinya secara letterlijk (tanpa kebebasan
sedikit pun). Di sinilah kekuatan ajaran mereka.
Yang
menjadi anggota-anggota dari lairan para Eclectici pada mulanya adalah para anggota
Majelis. Mereka mengoper sementara ajaran Confucianisme dan juga sebagai ajaran
para Mohist; dan mereka menyelaraskan baik ajaran-ajaran madzab Nama-nama
meupun ajaran-ajaran para Legalist. Mereka mengetahui bahwa bangsa mereka
membutuhkan masing-masing aliran itu, dan mereka mengerti bahwa pemerintahan
kerajaan tidak boleh gagal dalam mempersatukan semua aliran-aliran itu. Di
sinlah letak kekuatan madzab ini.
Yang
menjadi anggota-anggota dari aliran para Ahli Agraria pada mulanya adalah mereka yang bekerja
pada Kementerian Tanah dan Gandum, Mereka mengajarkan bagaimana caranya
menaburkan bermacam-macam bibit gandum dan mendesakkan supaya orang membajak
tanah dan menanam pohon-pohon murbai
(mulberry; di Tiongkok pohon-pohon ini ditanam untuk mendatangkan
ulat-ulat yang menghasilkan sutra) sedemikian rupa hingga rakyat tidak
kekeurangan pakaian dan makanan ............................. Di sinilh
letaknya kekuatan aliran ini.
Yang
menjadi anggota-anggota dari madzab para ahli Dongeng pada mulanya adalah mereka yang bekerja pada Kantor-Kantor Kecil. Madzab ini
di dirikan oleh orang-orang yagn mendengarkan perakapan-percakapan di
jalan-jalan, untuk kemudian diceritakan lagi kepada orang-orang glain yang
mereka jumpai di mana saja ......................................... Juga andai
kata di dalam ajaran-ajaran mereka hanya ada satu perkataan saja yang berguna
bagi kita, itu pun sudah dapat dianggap sebagai sesuatu “iuran”.
-----------------------------------------
Demikianlah
“Risalah mengenai kesusasteraan” sebagaimana terdapat di dalam buku “Sejarah
Dynasti Han yagn dulu-dulu”, dan itulah tadi apa yagn diuraikan oleh Liu Hsin
perihal asal mula dari aliran-aliran yang berjumlah sepuluh. Tafsiran mengenai
arti dari 10 aliran tadi tidak dapat dikatakan lengkap, dan pernyataannya bahwa
ada aliran-aliran yagn berasal mula pada Kementerian ini atau itu, Di dalam
beberapa hal boleh dikatakan “Semua maunya sendiri saja”, Misalnya, dalam
emnggambarkan ajaran madzab tao, ia hanya menyebut sedikit saja tentang ide-ide
Lao Tzu dan samasekali tidak menyinggung-nyinggung ide-ide Chuang Tzu. Lain
daripada itu sduah ternyata bahwa tidak ada persamaan antara ajaran-ajaran
madzab Nama-nama dengan funksi dari Kementerian peng-Upacaraan, kecuali bahwa
kedua-duanya menitik beratkan supaya orang mengadakan pembedaan-pembedaan.
q.
Meninjau Kembali Teori Liu Hsin
Meskipun
detil-detil dari teori Liu Hsin mungkin keliru, namun usahanya untuk
menyelidiki asal mula dari aliran-aliran itu kearah situasi politik dan situasi
sosial tertentu, sudah abrang tentu merupakan suatu sudut pandang yang benar.
Di atas tadi, tulisannya telah saya kutip dengan panjang lebar, oleh karena
caranya menggambarkan aliran-aliran itu saja sudah merupakan buah pena klassik
di dalam historiografi Tiongkok.
Di
dalam waktu-waktu belakangan ini, studi mengenai Sejarah Tiongkok telah
mendapat kemajuan besar, terutama selama beberapa tahun sebelum penyerbuan
Jepang pada tahun 1937. Maka dengan peneropongan yagn saya lakukan melalui
penyelidikan-penyelidikan pada waktu-waktu belakangan ini, saya telah membuat
teori saya sendiri mengenai asal-mula dari aliran-aliran kefilsafatan itu.
Teori ini adalah sejiwa dengan teori Liu Hsin, hanya saja, cara menyatakannya
adalah berlawanan. Artinya, segala sesuatu harus ditinjau dari sesuatu sudut
baru.
Marilah
kita membayang-bayangkan, bagaimana keadaan politis dan sosial dari negeri
Tiongkok, pada misalnya di atas sendiri di dalam susunan politis dan sosial
adalah Raja dari Dynasti Chou, yaitu yang menjadi “satu-satunya Tuan” dari
semua negara-negara (bagian). Ia membawahi ratusan negara-negara (bagian), yang
masing-masing dimiliki dan diperintahkan oleh seorang Pangeran. Beberapa di
antara negara-negara (bagian) ini telh di “diri”kan oleh pendiri-pendiri dari
dynasti Chou. Yaitu kalau mereka memperoleh wilayah/daerah baru dengan jalan
penaklukkan, maka mereka memberikannya sebagai pinjaman modal feodal kepada
anggota-anggota keluarganya. Negara-negara lainnya diperintah oleh
Pangeran-pangeran yang dahulu bersaing (dalam kekuasaan) dengan dynasti Chou,
tetapi kemudian semuanya mengakui Raja dari Dynasti Chou sebagai “Tuan mereka
bersama.”
Di
dalam tiap-tiap negara (bagian) di bawah sang Pangeran, tanah dibagi lagi dalam
banyak “tanah-tanah pinjaman”, masing-masing dengan tuan feodalnya
sendiri-sendiri, yagn semuanya ini adalah keluarga dari Pangeran tersebut. Pada
waktu itu, kekuasaan politik adalah sama dengan kekuasaan ekonomi. Mereka yang
mempunyai tanah, juga menjadi tuan dari tanah itu, baik tuan politis maupun
tuan ekonomis; dan selain itu mereka juga menjadi tuan dari orang-orang yang
bertempat tinggal di atas tanah itu. Mereka adalah para :Chun tau”, suatu
istilah yang arti sewajarnya adalah “putera-putera Pangeran”, tetapi yagn
dipergunakan untuk menunjuk pada kelas dimana tergolong tuan-tuan feodal,
Golonga
sosial lainnya adalah golongan “hsiao jen” yang berati “orang-orang kecil” atau
golonga”shu min” yagn berarti rakayat biasa atau massa (khalayak
ramai).Golongan inilah yang menjadi hamba (serf) dari para tuan feodal; mereka
mengerjakan tanahnya untuk kepentingan para “chun tzu” pada waktu damai, dan
menjadi prajurit perang yagn mempertahankan kepentingan para “chun tzu” pada
waktu perang.
Dengan
demikian maka para bangsawan, yaitu para “chun tzu” tidak saja menjadi penguasa
politis dan tuan tanah, tetapi juga merupakan satu-satunya golongan yang
berkesempatan untuk memperoleh pendidikan/pengajaran. Maka keluarga para tuan
tanah tidak saja merupakan pusat kekuasaan politis dan ekonomis, tetapi juga
menjadi pusat keilmuan. Diantara yang berpendidikan ini ada yang menjadi
pegawai dan bekerja untuk kepentingan golongan bangsawan tersebut. Pegawai ini
mempunyai pengetahuan khusus mengenai berbagai hal.Sebaliknya rakyat biasa
tidak berkesempatan untuk mendapat pendidikan/pengajaran, sehingga diantara
mereka tidak terdapat orang-orang yang berilmu. Inilah suatu kenyataan yang
bersembunyi di belakang teori Liu Hsin, yaitu yang gmenyatakan bahwa di bawah
dynasti Chou yagn dulu-dulu :tidak ada pemisahan antara pegawai dan guru”.
Dahulu
system feodal ini ditiadakan oleh Kaisar pertama dari Dynasti Ch’in pada tahun
221 sebelum Masehi. Ratusan tahun sebelumnya, system tersebut sudah mulai
retak, tetapi ribuan tahun sesudahnya sisa-sisa feodalisme di dalam lapangan
ekonomi masih tetap ada di dalam bentuk kekuasaan tuan-tuan tanah.
Penulis-penulis
sejarah dari waktu moderen masih belum bersepakat mengenai hal-hal yang
menyebabkan retaknya system feodal itu. Dan juga tidak termasuk rangka bab ini
untuk membicarakan sebab-sebabnya. Untuk keperluan kita sekarang, cukuplah
sudah untuk mengatakan bahwa di dalam Sejarah Tiongkok, periode anara abad ke-7
dan ke-3 sebelum Masehi, itu mengalami perubahan-perubahan sosial dan politis
yang besar sekali.
Kita
tidak mempunyai kepastian tentang kapan persisnya system feodal itu mulai
retak. Sudah sejak abad ke-7 (sebelum Masehi) ada orang-orang bangsawan yang
karena peperangan atau karena sebab lain, kehilangan tanah dan gelarnya,
sehingga dengan demikian mereka jatuh sampai pada tingkat rakyat biasa. Tetapi
ada juga oran-orang dari rakyat biasa
yang karena kecakapannya atau karena mendapat keanugerahan, dapat menjadi
pegawai-pegawai tinggi di dalam negaranya. Ini menggambarkan arti yang
sebenarnya dari keretakan dynasti Chou. Sebab, hal itu tidak hanya berarti
retaknya kekuasaan politis dari sesuatu keluarga kerajaan saja, melainkan dan
ini lebih penting – juga retaknya keseluruhan dari sesuatu system sosial.
Dengana danya keretakan ini, maka mereka yang dahulu mewakili secara resmi
berbagai cabang keilmuan, kemudian menjadi tersebar di antara rakyat baisa. Dahulunya,
mereka ini adalah bangsawan sungguh-sungguh atau pun para ahli yang memangku
sesuatu jabatan atas dasar warisan sewaktu mengabdi apda keluarga bangsawan
yang sedang berkuasa. Ini dapat menjelaskan arti dari ucapan Conficius yang
dikutip oleh Liu Hsin, yaitu sebagaimana dapat dibaca di dalam Risalahnya
mengenai Kesusasteraan (dan sebagian dari Risalah ini telah saya muat di muka)
: “Bilamana upacara-upcara menjadi hilang (didalam istana), maka orang perlu
mencarinya di dalam daerah-daerah diluar kota.”
Setelah
para bekas bangsawan atau bekas pegawai menyebar ke seluruh jurusan, mereka
mencari penghidupan dengan mendasarkan atas kekuatannya sendiri. Yaitu atas
kecakapannya atau keahliannya masing-masing. Mereka yang menyampaikan
ide-idenya kepada individu-individu lain (yang juga tidak ada hubungannya
dengan kepentingan sesuatu keluarga bangsawan yang berkaua) menjadi “guru”, dan
dengana danya pekerjaan guru sebagai “mata pencaharian” ini, timbullah
pemisahan antara guru dan pegawai.
Perkataan
“aliran” atau madzab” di dalam bab ini saya pakai sebagai penterjemahan untuk
perkataan Tionghoa “Chia”, yang selain itu juga berarti “keluarga” atau “rumah”.
Maka dari itu, “Chia” itu menunjukkan adanya sesuatu yagn sifatnya prive atau
sesuatu yang pribadi (persoonlijk). Tidak mungkin ada Chia-pikiran (aliran
pikiran) sebeluma da orang-orang (guru-guru) yang mengjarkan eide-idenya
sendiri secara prive/privat.
Maka
juga ada bermacam-macam Chia, oleh karena guru-gurunya mempunyai keahliannya
sendiri-sendiri, yaitu keahlian di dalam beberapa cabang keilmuan dan kesenian.
Ada beberapa dianaranya yagn hali dalam memberi pelajaran tentang buah-buah
karya dari jaman klasik, tentang cara melakukan upacara-upacara dan tentang
musik. Mereka ini terkenal sebagai para “Ju” atau “mereka yang berilmu”. Ada
yang ahli di dalam seni perang. Mereka ini adalah para “hsieh” atau para “ksatria”
(knights). Ada yang ahli di dalam seni bicara, yang terkenal sebagai para “pieh
che” atau para “pendebat”. Ada yagn ahli dalam hal-hal yang berhubungan dengan
ekkuatan gaib (magic), penujuman, astrologi dan numerologi, yaitu yang terkenal
sebagai para “Fang Shih” atau “mereka yang mempraktekan kesenian-kesenian
occultisme”. Ada juga yang ahli dalam mempraktekan hal-hal yang berhubungan
dengan pemerintahan. Mereka ini dapat bekerja sebagai penasehat-penasehat
pribadi dari penguasa-penguasa feodal, dan terkenal sebagai “Fang shu chih shih”
atau “mereka yang mengetahui tentang methode-methode”. Dan akhrinya, ada
beberapa orang yang memiliki ilmu dan bakat, tetapi yagn menaruh dendam pada
kekacauan politik pada waktu itu, sehingga memutuskan segala hubungannya dengan
orang-orang lain, dan menyendiri di dalam “alam liar”. Mereka ini terkenal
sebagai para “Yin che”, atau orang-orang pertapa.
Menurut
teori saya, enam aliran pikiran sebagaimana dimuat di dalam daftar Ssuman T’an,
itu berasal dari “enam macam manusia” yang saya sebut di atas. Maka, apa yang
telah dikatakan oleh Liu Hsin akan saya ulangi dengan kata-kata saya sendiri :
1.
Anggota-anggota
aliran Ju berasal dari “mereka yang ber-ilmu”.
2.
Anggota-anggota
aliran para Mohist berasal dari dari para “ksatria”,
3.
Anggota-anggota
aliran Tao berasal dari “orang-orang pertapa”
4.
Anggota-anggota
aliran Nama-nma berasal dari para “pendebat”.
5.
Anggota-anggota
Yin Yang berasal dari “mereka yang mempraktekan kesenian-kesenian occultisme”;
6.
Anggota-anggota
dari aliran para Legalist berasal dari “mereka yang mengetahui tentang
methode-methode.”.
Apa yang saya nyatakan ini akan
saya jelaskan di dalam bab-bab yang berikut.
BAB.
XXVII
PERKENALAN DENGAN
FILSAFAT BARAT
Setiap system kefilsfatan itu mudah di
salah fahami dan di salah gunakan. Demikian juga halnya dengan kedua aliran Neo
Confucianisme.
Menurut Chu Hsi, adalah suatu prinsip bahwa orang harus mulai dengan
menyelidiki sedala sesuatu, agar supaya dapat mengerti “Li) yang abadi” atau
Hukum-hukum; tetapi Chu Hsi sendiri tidak memenuhi prinsip ini dengan saksama.
Di dalam dokumentasi dimana dimuat pernyataan-pernyataan Chu Hsi, kita dapat
melihat bahwa betul ia telah mengawasi peristiwa-peristiwa alam kodrat dan
peristiwa-peristiwa sosial, tetapi kebanyakan dari waktunya telah dipergunakan
untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan jaman klassik dan untuk
mengomentari hal-hal ke-kuno-an itu. Ia tidak saja peraya bawa “Li yang abadi”
itu ada, tetapi juga bahwa “Li yang abadi” itu berupa pernyataan-pernyataan yang
telah diucapkan oleh para Bijaksana dari jaman Kuno. Dengan demikian maka di
dalam systemnya terdapat unsur-unsru :
1.
Autoritarianisme
(paksaan/kekuasaan), dan
2.
Conservatisme.
Yang makin lama makin nampak
dengan mejalarnya tradisi dari aliran Ch’eng Can. Aliran ini kemudian diakui dan
diajarkan secara resmi oleh negara, dan hal ini menjadi salah satu sebab
mengapa unsur-unsur tersebut makin terasa kuat.
Catatan Penulis :
Sebagai bahan
perbandingan, kami muat di sini apa yang ditulis di dalam E.N.S.I.E (Eerste
Nederlandse Systematisoh Ingerichte Encyclopaedie) mengenai “LI”. Li adalah
cara atau bentuk dari “i”. Biasanya “i” diterjemahkan dengan “keadilan”, tetapi terjemahan ini tidak
memuaskan untuk tulisan-tulisan yang kuno. Arti yang sebenarnya adalah :
pengertian baik yang seharusnya ada
antara raja dan hambanya, ayah dan anaknya. Lalu dari situ timbul arti :
Keinsyafan akan perbandingan yang seharusnya antara hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Juga dapat diganti dengan “Keinsyafan akan kewajiban”
“Ilmu mengenai kewajiban”, “Keadilan”, Kalau Confucius mengatakan tentang
“membenarkan nama-nama”, maka itu berarti bahwa hendaknya ada persesuaian
antara kedudukan dan sikap seseorang. Kalau sikap tiap-tiap orang itu sesuai
dengan statusnya, jadi kalau menurut Confucius “tiap-tiap nama itu sesuai
dengan kenyataannya” maka lalu terjaminlah “perbandingan yang seharusnya” antra
atas dan bawah, lalu seudah tentu ada pemerintahan yang baik. “Perbandingan yang
seharusnya” ini dinamakan “i”.
r.
Reaksi
Terhasap Neo-Confucianisme
Aliran Lu Wang, berupa suatu revolusi terhadap Conservatisme
tersebut, dan pada jaman Wang Shou Jen, pergerakan revolusioner itu mencapai
puncaknya. Pengetahuan intuitif (pengetahuan yang tidak diperoleh dengan jalan
belajar/mendengar/membaca) yang ada pada setiap manusia, dengan mudah tertarik
oleh pergerakan itu; dan tidak boleh dilupakan bahwa pengetahuan intuitif dari
seseorang itu merupakan “cahaya dalam” dari “jiwa asli”nya. Meskipun tidak
pernah diakui oleh pemerintah (jadi tidak seperti aliran Ch’eng-Chu yang
mendapat pengakuan), pengaruh aliran Lu-Wang menjadi sama kuatnya dengan
pengaruh aliran Ch’eng Chu.
Tetapi juga
kefilsafatan Wang Shou Jen telah disalahfahami dan disalahgunakan. Menurut Wang
: “Yang diketahui secara langsung di dalam pengetahuan Intuitif itu adalah segi
ethis dari kehendak atau pun pikiran kita. Pengetahuan intuitif itu hanya dapat
mengatakan kepada kita apa yang harus kita lakukan, tetapi tidak dapat
mengatakan bagaimana kita harus melakukannya.” Jadi, di dalam pengetahuan yang
intuitif itu tidak terdapat apa yang oleh orang Amerika dinamakan “Know how”. Agar supaya orang dapat mengetahui bagaimana
caranya melakukan hal yang seharusnya kita perbuat di dalam keadaan tertentu,
Wang mengatakan bahwa : “Kita harus mempelajari methode-methode (cara-cara) bertindak
yang berhubungan dengan keadaan yang kita hadapi.”
Tetapi di kemudian hari, pengikut-pengikutnya agaknya menjadi
percaya bahwa :
“Pengetahuan intuitif itu sendiri dapat mengatakan segala sesuatu kepada kita,
termasuk apa yang dinamakan “know how”.
Kita boleh berkata : “Wah, gila ini!!!!”, dan para pengikut
aliran Lu Wang benar-benar telah menderita karena akibat-akibat dari “kegilaan”
ini.
Pada akhir bab XXVI (yang tidak dimuat di dalam buku
terjemahan ini. Pen) kita telah meliaht bahwa “methode pembuktian” dari Ch’an
dipergunakan oleh Wang Shou Jen untuk mengkritik Buddhisme. Dan ini memang
sejenis pembuktian yang mudah sekali disalah gunakan. Menurut suatu cerita
ejekan (satiric story) :
“Sewaktu pada suatu
hari seorang pelajar mengunjungi sebuah Candi Buddha, ia tidak banyak
diperhatikan oleh rahib yang mengepalai di situ. Tetapi tidak lama kemudian,
pelajar itu melihat bahwa ada pegawai tinggi yang juga datang mengunjungi Candi
tersebut. Dan Pegawai Tinggi ini didsambut dengan segala maam pernghormatan
oleh rahib. Setelah pegawai tinggi tadi pergi, bertanyalah pelajar itu, mengapa
ia tidak mendapat penghormatan seperti pegawai tinggi tadi. Jawabannya :
“menghormati itu tidaklah untuk menghormati, dan tidak menghormati itu adalah
untuk menghormati!” Dengan segera pelajar itu memukul sang rahib pada mukanya.
Yang dipukul memprotes dengan marahnya : “Mengapa kau memukul aku?” Pelajar itu
menjawab : “Memukul itu tidaklah untuk memukul, dan tidak memukul itu adalah
untuk memukul”.
Cerita ini terdengar di mana-mana sesudah jaman Wang Shou
Jen, dan sudah barang tentu maksudnya adalah untuk mengkritik Wang Shou Jen dan
pengikut-pengikut Ch’an.
Wan Shou Jen hidup dan berpengaruh sewaktu dynasti Ming (th
1368 -1643) bertahta. Dynasti Ming ini
adalah suatu dynasti yang berkelahiran di Tiongkok dan yang menggantikan
dynasti Yuan atau dynasti Mongol (th.1280 – 1367). Dynasti Ming ini kemudian
diturunkan dari tahta sebagai akibat dari pemberontakan di dalam negerinya,
yang terjadi bersama-sama dengan penyerbuan dari luar, sehingga digantikan oleh
dynasti Ch’ing (tahun 1644 – 1911). Dan di bawah dynasti ini, seluruh Tiongkok
dikuasai untuk kedua kalinya oleh orang-orang asing, kali ini oleh orang-orang
dari Mansyuria. Tetapi orang-orang ini jauh lebih simpatik terhadap kebudayaan
Tiongkok dariapda orang-orang Mongol dahulu. Sejak permulaan sampai dua pertiga
dari waktu orang-orang mansyuria
berkuasa di situ, Tiongkok terus menerus mengalami di dalam negerinya
jaman damai dan jaman makmur, Dan selama waktu itu dapat dikatakan bahwa Tiongkok di dalam
berbagai segi telah mencatat
kemajuan-kemajuan penting, meskipun di dalam segi-segi lian juga makin tebal
conservatismenya di dalam lapangan kebudayaan dan lapangan sosial. Secara
resmi, aliran Ch’eng Chu malahan mendapat perlindungan yang lebih kuat daripada di waktu-waktu sebelumnya. Tetapi secara
tidak resmi, dynasti Ch’ing menyaksikan suatu reaksi penting terhadap aliran
Ch’eng-Chu dan terhadap aliran Lu-Wang. Para pemimpin dari pihak yang
melancarkan reaksi, mendakwa kedua aliran
tersebut, bahwa di bawah pengaruh Ch’anisme dan Taoisme, mereka telah memberi
tafsiran yang salah tentang ide-ide Confucius, sehingga dengan demikian
mereka didakwa telah kehilangan “aspek yang praktis dari ajaran-ajaran asli
Confuciuanisme”. Setelah seorang di antara para penyerang mengatakan : “Chu Hsi
adalah seorang rahib yang beraliran Tao, dan Lu Chiu Yuan adalah seorang rahib
Buddha.” Dakwaan ini tidak salah 100%, seperti telah kita lihat di dalam bab ke
XXV dan ke XXVI (tidak dimuat di sini. Pen).
Tetapi ditinjau dari sudut Filsafat, hal ini sama sekali
tidak mempunyai arti. Sebagaimana diuraikan di dalam bab ke XXIII (juga tidak
ada di dalam buku ini. Pen), maka :
“Neo-Confucianisme berupa suatu systhesis antara
Confucianisme, Buddhisme, Taoisme yang filosofis (melalui Ch’ anisme), dan
Taoisme yang religius).
Ditinjau dari sudut Sejarah Filsfat Tiongkok, sysnthesis yang
demikian itu berarti suatu perkembangan; jadi dari sudut Sejarah, itu dipandang
sebagai hal yang baik, dan tidak sebagai cacat.
Di bawah dynasti Ch’ing, yaitu waktu kedudukan Confucianisme
yang orthodox sedang sekuat-kuatnya
(lebih kuat dariapda di waktu-waktu sebelumnya), maka kalau orang
menyatakan bahwa neo Confucianisme itu tidak sama dengan Confucianisme yang
murni, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Neo Confucianisme adalah palsu dan keliru. Menurut pihak lawan
akibat-akibat dari Neo Confucianisme itu
memang lebih buruk dan lebih merugikan dariapda akibat-akibat Buddhisme dan
Taoisme. Sebab, seolah-olah nampak ada persesuaian antara Neo Confucianisme dan
Confucianisme murni, dan persesuaian yang
sebetulnya tidak ada ini dengan
mudah dapat memperdaya orang dan menyesatkan.
Dengan alasan ini, para pelajar dari dynasti Ch’ing memulai
suatu pergerakan baru, yaitu yang berupa suatu ajakan untuk “kembali ke Han”,
artinya kembali pada komentar-komentar yang telah ditulis oleh kaum pelajar
dari dynasti Han atas buah-buah karya dari jaman klasik. Mereka percaya bahwaa
karena para pelajar dari dynasti Han ini hidup pada waktu yang lebih berdekatan
dengan jaman Confucius, dan juga hidup pada waktu sebelum Buddhisme masuk ke
dalam Tiongkok, maka tafsiran-tafsiran mereka mengenai buah-buah karya klasik,
tentunya harus lebih murni dan lebih mendekati ide-ide tulen dari Confucius.
Sehubungan dengan itu, mereka mempelajari buah-buah pena dari pelajar-pelajar
dari dynasti Han (yaitu tulisan-tulisan yang dikesampingkan oleh Neo
Confucianisme), dan pelajaran ini disebut “ Han Hsueh” atau “Ilmu dari dynasti
Han”. Lawannya adalah “Sung Hsueh” atau “Ilmu dari dynasti Sung”, dan yang
dimaksudkan adalah jaran-ajarn Neo Confucianisme, oleh karena aliran-aliran
yang terpenting dari Neo Confucianisme telah mengalami masa-semaraknya di abwah
dynasti Sung.
Sepanjang abad ke-18 sampai awal abad sekarang, pertengkaran
antara pengikut-pengikut Ch’ing yang
memihak Han Hsueh, merupakaan suatu
pertengkaran yang tergolong dalam yang terhebat di dalam Sejarah Alam Pikiran
Tiongkok. Ditinjau dari sudut kita sekarang, pertengkaran itu benar-benar
serupa dengan pertengkaran antara
tafsiran filosofis dan tafsiran ilmiah mengenai naskah-naskah kuno.
Mereka yang memberi tafsiran ilmiah menitik beratkan pada
arti yang sesungguhnya menurut kepercayaan mereka, sedang mereka yang memberi tafsiran filosofis menitik
beratkan pada apa yang dahulu sebetulnya telah dimaksudkan sebagai artinya.
Oleh karena para “pelajar Han Hsueh” meletakkan titik berat
pada tafsiran ilmiah mengenai naskah-naskah kuno, maka mereka mencatat kemajuan
dan perkembangan di dalam pelancaran kritik berdasar naskah (textual critism),
pelancaran kritik pada tingkat yang lebih tinggi (higher criticism), ilmu bahasa (philology),
dan lain-lain lapangan yang sejenis. Dan memang studi mereka di dalam lapangan
sejarah, ilmu bahasa, dan lain-lainnya itu adalah suatu hal yang merupakan
satu-satunya kemajuan besar dari dynasti Ch’ing di dalam lapangan kebudayaan.
Ditinjau dari sudut filsafat, apa yang dicapai oleh “para
pelajar Han Hsueh” itu kurang penting, tetapi ditinjau dari sudut kebudayaan,
mereka telah banyak berusaha “membuka jiwa-jiwa pada jaman itu” untuk mencapai
kemajuan-kemajuan yang lebih besar di dalam lapangan kesusasteraan Tiongkok.
Pada masa dynasti Ming, kebanyakan di antara para pelajar memusatkan segala
perhatiannya pada “empat buah buku” (yaitu analecta Confucius, Buku Mencius,
Ilmu Tinggi, dan Ajarn tentang Jalan Tengah). Ini terjadi di bawah pengaruh Noe
Confucianisme, dan untuk dapat lulus dalam menempuh ujian-ujian (yang diadakan
oleh negara), orang harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai “Empat Buah
Buku” itu. Sebagai akibat mereka hanya mengetahui sedikit saja tentang
literatur lain. Tetapi setelah para pelajar dynasti Ch’ing merasa tertarik akan
“penilaian kembali secara ilmiah” dari
naskah-naskah kuni, mereka tidak lagi dapat membatasi diri pada studi
mengenai buah-buah karya klassik dari Confucius saja. Betul, buah-buah
kerja Confucius ini mendapat perhatian sebagai hal yang neomor satu, tetapai
setelah pekerjaan di dalam lapangan ini selesai, mereka lalu tidak hanya
mempelajari naskah-naskah klasik dari Confucianisme yang ortodox saja, tetapi
juga mempelajari naskah-naskah kuno lainnya, termasuk buah-buah pena seperti Mo
Tzu, Hun Tzu dan Han fei tzu, yang sudah sejak lama tidak diperhatikan sama
sekali. Mereka bekerja keras untuk mengoreksi kepalsuan-kepalsuan yang terselip
di dalam naskah-naskah itu, dan berusaha menerangkan cara pemakaian lama dari
kata-kata dan kalimat-kalimat. Berkat
pekerjaan mereka, naskah-naskah ini jauh lebih mudah dapat dibaca oleh sesama kita pada jaman sekarang daripada
misalnya di kala jaman dynasti Ming. Pekerjaan mereka telah banyak memberi
pertolongan dalam menghidupkan kembali perhatian orang akan studi filosofis
mengenai ahli-ahli filsafat itu. Perhatian ini “menyala” kembali sejak puluhan
tahun yang belakangan, dengan mendapat dorongan dari Filsafat Barat yang mulai
di kenal. Dengan ini kita sampai pada suatu pokok pembicaraan yang segera akan
kita kupas.
s.
Pergerakan
yang menuju ke arah Agama Confucius
Di sini kita tidak perlu menyelidiki secara seksama bagaimana
mula-mula orang Tiongkok sampai berkenalan dengan kebudayaan Barat. Cukuplah
sudah untuk mengatakan bahwa : “Kira-kira pada bagian akhir dari jaman dynasti
Ming, yaitu bagian akhir dari abad ke-16 dan bagian awal dari abad ke-17,
banyak pelajar-pelajar Tiongkok mengagumi mathematica dan astronomi yang pada
waktu itu dimasukkan oleh
anggota-anggota missi Jesuit ke dalam Tiongkok.”
Oleh Eropah Tiongkok dan daerah sekitarnya dinamanakan “Timur
Jauh”, sedang sebaliknya pda waktu terselenggaranya hubngan yang pertama-tama
antara Tiongkok dan eropah, benua Eropah oleh orang Tiongkok disebut “Barat
Jauh” atau “T’ai Hasi”. Pada abad yang dulu-dulu, yang dinamakan “Negeri Barat”
adalah India; maka dari negeri-negeri yang letaknya lebih barat daripada India
hanya dapat disebut dengan perkataan “Barat Jauh”. Ekarang istilah ini sudah
tidak dipakai lagi, tetapi sampai akhir abad yang lalu, istilah itu masih
dipakai oleh umum (di Tiongkok).
Di dalam bab ke XVI (tidak kami muat di sini, Pen.) telah
saya katakan bahwa : “Perbedaan yang secara tradisional selalu diadakan oleh
orang Tionghoa, yaitu dalam membedakan dirinya dari orang asing (semua orang
asing oleh mereka disebut “kaum Barbar”), itu lebih didasarkan atas
kebudayaannya daripada atas kebangsaannya.”
Rasa “Nasionalisme” mereka, lebih mengalami perkembangan ke
arah kebudayaan daripada kearah politik. Sebagai ahli-ahli waris dari suatu
kebudayaan kuno, yaitu suatu kebudayaan yang letak geografisnya jauh terpencil
dari kebudayaan-kebudayaan lain yang agak sama pentingnya, sangatlah sukar bagi
mereka untuk menggambarkan bagaimana mungkinnya ada bangsa lain yang
berkebudayaan pula dan yang cara hidupnya berlainan dengan mereka sendiri. Maka
bilamana mereka menjumpai kebudayan asing, sebelum apa-apa mereka seakan-akan
sudah mau menghinanya dan melawannya; tidak karena menghadapi sesuatu yang
asing semata-mata, tetapi hanya karena menurut anggapan mereka, setiap
kebudayaan lain adalah salah atau tidak setinggi kebudayaan mereka sendiri.
Sebagaimana telah kita lihat di dalam bab XVIII (juga tidak dimuat di sini.
Pen). : “masuknya Buddhisme telah mendorong terbentuknya agama Tao, sebagai
semacam reaksi yang nasionalistis terhadap kepercayaan oran asing.”
Demikian juga halnya sewaktu kebudayaan Barat masuk, dimana
para anggota Missi Nasrani memegang peranan penting; sebab di sini juga timbul
reaksi yang hampir serupa.
Pada abad ke-18 dan ke-17 sebagaimana sudah saya katakan di
atas, -- pelajar-pelajar yang menjadi anggota-anggota missi, dikagumi oleh
orang-orang Tiongkok. Dan sebab dari timbulnya rasa kagum itu bukanlah karena
agama yang mereka bawa, melainkan karena hasil-hasil yang telah mereka capai di
dalam lapangan mathematika dan astronomi. Tetapi kemudian terutama selama abad
ke-19, dengan makin meningkatnya keunggulan eropah dalam lapangan militer,
industri dan perdagangan, bersamaan dengan merosotnya kekuatan politik Tiongkok
di bawah orang-orang Mansyu, maka makin terasalah daya pendesak agama Nasrani
terhadap orang-orang Tiongkok. Setelah terjadi berbagai sengketa yang menghebat
antara anggota-anggota missi dan orang-orang Tiongkok, maka timbul pergerakan
untuk memiliki suatu Agama Confucius
yang “berkelahiran di dalam negeri”, dengan maksud untuk menandingi desakan
dari Barat. Gerakan ini dimulai pada akhir abad ke-19, oleh seorang yang
terkenal sebagai ahli pemerintahan dan sebagai pembaharu di dalam lapangan
politik yaitu K’ang Yu-wei (tahun 1858 – 1927). Kejadian ini bukannya suatu hal
yang kebetulan semata-mata – juga kalau ditinjau dari sudut perkembangan
sebelah dalam dari alam pikiran orang Tiongkok, sebab kaum pelajar Han Hsueh
sudah lebihn dahulu menggalang jalannya.
Dalam bab ke XVII dan bab ke XVIII telah dikemukakan bahwa
pada dynasti Han ada dua aliran Confucianisme yang paling berpengaruh, yaitu
:
-
Aliran naskah lama, dan
-
Aliran Naskah Baru.
Dengan
hidupnya akembali studi dan perhatian akan buah-buah karya dari pelajar-pelajar
Han, maka hidup kembali pula pertikaian lama antara kedua aliran itu, Dahulu kita telah melihat juga, bahwa :
“Aliran Naskah
Baru, di bawah pimpinan Tung Chung Shu, dengan penuh kepercayaan menganggap
Confucius sebagai pendiri dari suatu dynasti baru yang ideal. Kemudian mereka
melangkah lebih jauh lagi, dan menganggap Confucius sebagai makhluk yang hikmat
dan sakti, yang tingkatannya lebih tinggi daripada manusia biasa (supernatural
being), yang diutus ke bumi untuk menjalankan sesuatu kewajiban. Yhaaah.. ia
benar-benar dianggap sebagai Tuhan di antara manusia-manusia di bumi ini.
Di antara mereka yang meimpin pengikut-pengikut Ch’ing dari
Aliran Naskah Baru dalam mempelajari Han Hsueh adalah K’ang Yu-wei. K’ang
Yu-wei melihat bahwa di dalam aliran ini ada banyak bahan untuk membuat
Confucianisme menjadi agama yang diorganisir.
Waktu mempelajari Tung Chung shu, kita telah membaca teori
Tung yang fantastis (yang menyerupai khayalan belaka) itu mengenai Confucius.
Teori K’ang Yu-wei malahan lebih fantastis lagi. Sebagaimana telah kita lihat
di dalam “Ch’un Ch’iu” atau “Musim semi” di dalam “Buku-buku Tahunan Musim
Rontok” atau lebih jelas di dalam teori-teori para Komentator Han atas
tulisan-tulisan itu. Dan juga di dalam “Li Chi” atau “Buku Rite (uapcara
keagamaan)”, maka ada konsep bahwa : “Dunia itu berkembang melewati tiga zaman
atau tiga fase (tingkat) kemajuan.”
Teori ini dihidupan kembali oleh K’ang Yu-wei, sekarang
dengan penafsiran bahwa jaman Confuius adalah “jaman pertama” yang masih berasa
pada tingkat kemunduran dan kekacauan. Pada jaman kita, demikian katanya,
hubungan-hubungan yang makin erat antara Timur dan Barat, dan
pembaharuan-pembaharuan di dalam lapangan politik dan sosial di Eropah dan
Amerika menunjukkan bahwa manusia sedang mengalami kemajuan dari tingkat
kekacauan ke tingkat ke dua yang lebih tinggi, yaitu tingkat mendekati
perdamaian. Dan kemudian ini akan disusun pula dengan bersatunya seluruh dunia,
yang akan berarti terlaksananya tingkat terakhir dari kemajuan umat manusia,
yaitu tingkat “perdamaian yang merata”. Pada tahun1902 ia menulis :
“Segala sesuatu ini sebelumnya sudah diketahui oleh
Confucius” (Lun Yu atau Komentar ata Analecta, chuan.2).”
Pada tahun 1898, di dalam lapangan Politik terjadi
pembaharuan-pembaharuan yang mencolok mata. Pemimpin dari pergerakn ini adalah
K’ang Yu-wei. Tetapi ini adalah suatu pergerakan yang hanya berlangsung
beberapa bulan saja. Akibatnya ialah bahwa :
1.
K’ang Yu-wei terpaksa lari kem luar negeri.
2.
Sejumlah pengikut-pengikutnya dipidana mati, dan
3.
Pemerintahan Mansyu memperbaharui dan memperkuat politiknya.
Menurut
pendapat K’ang Yu-wei sendiri, yang dibela olehnya bukanlah pengoperan
kebudayaan Barat (yang merupakan kebudayaan baru bagi Tiongkok), melainkan
pelaksanaan dari ilmu-ilmu yang kuno dan tulen sebagaimana diajarkan oleh
Confucius. Ia telah menulis banyak komentar atas buah-buah karya klassik yang
berasal dari confucius, dan ini ditafsirkan menurut ide-ide baru. Lain daripada
itu, pada tahun 1884, ia telah menulis sebuah buku yang berjudul : “Ta T’ung
Shu” atau “Buku mengenai persatu-paduan tingkat atas”. Di dalam buku ini ia secara
konkrit menggambarkan suatu utopia (negara idam-idaman) yang akan terlaksana di
dalam phase ke tiga dari kemajuan umat manusia, menurut bagan (schema) dari
Cpnfucius. Buku ini adalah sedemikian berani dan revolusionernya, hingga pasti
akan juga mengejutkan penulis-penulis yang tergolong paling utopis (yang
cita-citanya terlalu tinggi hingga mustahil dapat tercapai). K’ang Yu-Wei
sendiri samasekali tidak dapat dikatakan utopis. Ia menerangkan bahwa
rancangannya hanya dapat dipraktekkan pada Fase/tingkat yang tertinggi dan yang
terakhir dari kebudayaan umat manusia. Tetapi selain itu, ia mempunyai program
politik yang apda saat itu juga dapat dipraktekkan, yaitu ia hanya mendesakkan
terbentuknya suatu monarchi (kerajaan) yang berdasarkan konstitusi. Maka dengan
demikian ia untuk seluruh hidupnya menjadi dibenci, pertama-tama oleh kaum
kolot oleh karena ia terlalu radikal, dan kemudian juga dibenci oleh kaun
radikal karena ia dipandang terlalu kolot.
Tetapi abad ke 20 tidak dapat disebut “abad keagamaan”, dan
masuknya agama Nasrani ke dalam Tiongkok sekarang ditambah lagi dengan masuknya
ilmu pengethuan moderen, yaitu lawannya Agama. Maka dengan sendirinya pengaruh
agama Nasrani di tiongkok menjadi terbatas, sedang pergerakn yang menginginkan
suatu agama Confucius menjadi kandas di tengah jalan. Meskipun demikian, dengan
jatuhnya dynasti Ch’ing dan dengan digantinya dynasti tersebut oleh suatu
Republik pada tahun 1912, datanglah suatu permintaan yang diajukan oleh
pengikut-pengikut K’ang Yu wei. Ini terjadi pada tahun 1915, sewaktu orang
sedang merencanakan Konstitusi Republik, dan permintaanya ialah : “Supaya Republik yang beru itu
menerima dan mengakui Confucianisme sebagai Agama kenegaraan.”
Terjadilah suatu pertengkaran yan hebar mengenai hal itu,
sampai akhirnya tercapai kompromi (persetujuan) bahwa : “ Konstitusi akan memaksa Republik Tiongkok untuk
menerima Confucianisme, tidak sebagai agama kenegaraan, melainkan sebagai
prinsip yang berdasarkan Ethica.”
Di dalam prakteknya, rencana konstitusi ini tidak pernah
terlaksana, dan sejak itu tidak pernah kedengaran lagi tentang Confucianisme
sebagai Agama didalam arti seperti yang dimaksud oleh K’ang Yu-wei.
Hendaknya dicatata, bahwa sampai pada tahun 1898 K’ang
Yu-wei, dan teman-temannya hanya mengetahui sedikit saja (atau barangkali juga
tidak mengetahui apa-apa) tentang Filsafat Barat. Seorang temannya, yaitu T’an
Ssu T’ung (tahun 1865 -1898) yang mati disiksa ketika pergerakan pembaharuan
politik gagal, adalah seorang tokoh yang pikirannya lebih halus daripada K’ang
sendiri. Ia menulis buku yang berjudul “Jen Hsueh” atau “Ilmu pengetahuan
mengenai Jen (hati sanubari manusia)”. Ia mengambil beberapa ide dari ilmu
kimia dan physsica moderen, dan di dalam bukunya ide-ide ini dimasukkan ke
dalam ajaran-ajaran Neo Confucianisme. Pada permulaan buku itu, ia menyebut
sejumlah buku-buku yang dianjurkan supaya dibaca dahulu sebelum orang
mempelajari “Ilmu Pengetahuan Mengenai Jan”. Di antara buku-buku yang disebut
itu, yang mengenai alam pikiran Barat hanyalah :
1.
“Wasiat Baru” )New Testament), dan
2.
“Beberapa Risalah mengenai Mathematica, Physica, Kimia dan
Sosiologi.”
Sudah jelas bahwa orang pada waktu itu hanya mengetahui
sedikit saja tentang Filsafat Barat, dan dikira bahwa selain mesin-mesin dan
kapal-kapal perang, kebudayaan Barat itu terutama hanya berkisar pada ilmu
pengetahuan dan agama nasrani saja.
t. Berkenalan
dengan Alam Pikiran Barat
Tokoh terbesar pada
awal abad kita sekarang ini, di dalam pengetahuan tentang alan pikiran Barat
adalah Yen Fu Tahun 1853 – 1920). Mula-mula ia dikirim oleh pemerintahnya ke
Ingris untuk mempelajari ilmu perkapalan. Sewaktu ia ada di sana, ia membaca
beberapa buah karangan mengenai humaniora (ilmu-ilmu yang menyelidiki kehidupan
rohani dan ciptaan-ciptaannya, jadi berlawanan dengan ilmu-ilmu alam kodrat)
yang sedang digemari pada waktu itu. Seteelah ia kembali di Tiongkok, ia
menterjemahkan berbagai buku ke dalam bahasa Tiongkok. Buku-buku itu adalah :
1.
Thomas Huxley : “Evolution and Ethica”,
2.
Adam Smith : “An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Wettions.”
3.
Herbert Spencer : “The Study of Sociology”.
4.
John Stuart Mill : “On Liberty”, dan juga separoh dari “A
System of Logic”
5.
E. Jenks : “A History of Politica.”
6.
Montesquieu : “Esprit des Lois”
7.
Suatu terjemahan dari Jevons : “Lessons ini Logic.”
Yen Fu mulai menterjemahkan buku-buku itu sesudah perang
antara Tiongkok dan Jepang (Tahun 1894 – 1895) dihentikan. Sesudah itu ia
menjadi sangat kenamaan dan terjemahan-terjemahannya dibaca di dalam kalangan
yang luas. Kenamaanya itu disebabkan oleh tiga hal :
1.
Pertama, kekalahan tiongkok di dalam peperangan Tiongkok –
Jepang (yang didahului oleh penghinaan-penghinaan dari pihak Barat) mengurangi
kepercayaan bangs Tiongkok akan keunggulan kebudayaan kuno mereka sendiri. Hal
ini menimbulkan keinginan untuk mengetahui sesuatu tentang alam pikiran Barat.
Sebelumnya itu, mereka menduga bahwa orang Barat itu hanya unggul dalam ilmu
pengetahuan, dalam hal mesin, senjata dan kapal perang, tetapi tidak disangka
dapat memberikan sesuatu yang bersifat kerohanian/kejiwaan pula.
2.
Sebab yag kedua ialah, bahwa Yen Fu telah menulis
komentar-komentar atas banyak bagian bagian di dalam terjemahannya, dimana ia
membanding-bandingkan ide-ide dari penulisnya
dengan ide-ide di dalam filsafat Tiongkok, dengan maksud untuk
memberikan pengertian yang lebih jelas kepada pembaca-pembacanya. Apa yang
dilakukan oleh Yen Fu ini kira-kira adalah seperti “ko yi” atau “penafsiran
dengan jalan analogi”, yang sudah saya sebut di dalam bab ke XX, yaitu
berhubungan dengan penterjemahan naskah-naskah Buddha.
3.
Sebab yang ketiga jalan bahwa bahasa Ingris moderen seperti
yang dipergunakan oleh Spencer. Mill, dan lain-lainnya di dalam bukunya itu,
telah diterjemahkan oleh Yen Fu ke dalam bahasaTionghoa dengan langgam yang
benar-benar klasik. Kalau seseorang membaca terjemahan ini, ia seolah-olah
membaca buah-buah karangan Tiongkok Kuno seperti misalnya Mo Tzu atau Hsun tzu.
Oleh karena orang-orang Tionghoa itu secara tradisional mempunyai rasa hormat
terhadap hasil kesusasteraan, maka juga pada jama Yen Fu ini mereka mempunyai
takhayul bahwa setiap pikiran saja dapat dinyatakan dengan langgam yang klasik,
itu sebenarnya adalah senilai dengan buah-buah karangan Tiongkok klasik yang
asli.
Tetapi adanya buku-buku terjemahan yang tidak seberapa
jumlahnya itu menunjukkan bahwa Filsafat
Barat yang diperkenalkan oleh Yen Fu kepada orang-orang Tiongkok itu
hanya sedikit sekali. Di antara buku-buku itu, yang benar-benar mengenai
kefilsafatan alah “Lessons in Logic” buku karangan Jevons, dan “System of
Logic” buah karangan Mill. Buah karanagan jevons ini hanya berupa sebuah
ringkasan yang pendek, sedang buah karangan Mill tersebut masih di dalam
keadaan tidak selesai. Yen Fu sendiri menganjurkan supaya orang menganggap
Spencer sebagai ahli Filsafat Barat yang terbesar; jadi itu menunjukkan bahwa
Yen Fu tidak mengetahui banyak tentang kefilsafatan Barat.
Ada pelajar lain yang juga hidup pada jaman Yen Fu. Ini lebih
banyak pengertiannya dan lebih luas pandangannya daripada Yen Fu, tetapi umum
baru mengenalnya setelah ia berhenti mempelajari Filsafat. Namanya adalah Wang
Kuo wei ( tahun 1877 0 1927), seorang tokoh yang ternama, dan tergolong penulis
sejarah,ahli prbakala, dan ahli sastra yang terkemuka di dalam waktu-waktu
belakangan ini. Sebelum ia berumur 30 tahun, ia sudah mempelajari hasil-hasil
karya Sebopenhauer dan Kant; jadi di dalam hal ini ia berbeda dengan Yen Fu
yang hanya mempelajari buah-buah karangan dari orang-orang Ingris melulu.
Tetapi setelah mencapai usia 30 tahun, Wang Kuo wei berhenti mempelajari
Filsafat, dengan alsasan sebagaimana ditulis olehnya di dalam buku : “Laporan
pribadi: pada usia 30 tahun”.
Ia mengatakan : “Aku bosan akan filsafat. Di antara
teori-teori kefilsafatan ada patokan umum, bahwa hal-hal yan dapat disayangi.dicintai
itu tidak dapat didpercaya, dan hal-hal yang dapat dipercaya itu tidak dapat
disayangi/dicintai. Aku tahu akan kebenaran, tetapi toh aku mempunyai cinta
yang buata tetapi luhur akan metaphysica, Ethica yang ulia, dan estetica yang
murni. Inilah yang paling ku mengerti. Tetapi dalam mencari hal-hal yang dapat
dipercaya, saya cenderung untuk percaya akan teori positivistis tentang
kebenaran, teori hedonistis tentang ethica dan teori empiristis tentang
Aesthetica. Aku tahu, bahwa teori-teori ini dapat dipercaya, tetapi aku tidak
dapat mencintainya. Dan aku merasa bahwa teori-teori lainnya mungkin kusayangi,
tetapi aku tidak dapat mempercayainya. Ini adalah suatu gangguan besar yang
telah kualami selama dua atau tiga tahun yang akhir-akhir ini. Waktu-waktu
belakangan ini perhatianku secara lambat laun beralih sendiri dari
Filsafat ke Kesusasteraan, di mana aku
ingin mencari hiburan untuk menghilangi kepedihanku.” (Ching an Wen chi atau
kumpulan hasil-hasil Kesusasteraan dari Wang Kuo Wei).
Berkatalah ia lagi, bahwa orang-orang seperti Spencer di Inggris dan undt di Jerman itu
hanyalah ahli-ahli filsafat yang tingakt rendahan saja, sebab kefislafatannya
hanya berupa suatu “syncretisme” (campuran) saja dari ilmu pengetahuan atau
dari system-system yang duku-dulu. Lain-lain ahli Fisafat yang dikenal olehnya
pada waktu itu hanyalah berbagai Penulis Sejarah Filsafat. Ia mengatakan bahwa
ia sendiri juga dapat menjadi Penulis Sejarah Filsafat yang cakap. Andaikata ia
meneruskan studinya di dalam lapangan Filsafat. “Tetapi” katanya, “aku lalu
tidak dapat menjadi seorang ahli Filsafat yang murni, dan lagi, aku tidak suka
menjadi seorang penulis Sejarah Filasafat. Inilah suatu sebab lain, mengapa aku
menjadi bosan akan Filsafat.”
Buah karangan Wang Kuo wei tadi telah saya kutip panjang
lebar, sebab setelah saya mempertimbang-timbangkan apa yang ditulisnya itu,
saya berpendapat bahwa ia mempunyai pandangan yang agak mendalam mengenai
Filsafat Barat. Kalau memakai pepatah Tiongkok, maka dapat dikatakan bahwa Wang
Kuo wei “mengetahui” apa yang manis dan apa yang pahit di dalamnya”. Sebab
kalau melihat kedaan seluruhnya, maka hanya ada sedikit saja orang Tionghoa
yang apda awal abad sekarang gmengetahui sesuatu tentang Filsafat Barat. Waktu
saya sendiri masih bersekolah di Syanghai, ada mata pelajaran mengenai logica
Elementer. Tetapi pada waktu itu tidak ada seorang pun di Shanghai yang cakap
untuk mengajar di dalam mata pelajaran itu. Akhirnya ditemukan juga seorang
guru yang minta kepada kami untuk membeli buku “Lessons in Logic” buku karangan
Jevons, untuk dipergunakan sebagai buku pelajaran. Kami diminta untuk
membacanya dengan cara sebagaimana diharapkan oleh seorang guru bahasa Inggris
dari murid-muridnya yang sedang membaca buku bacaan Inggris. Waktu kami sampai pada
pelajaran mengenai “judment”, ia minta kepada saya untuk mengejanya, sebab ia
ingin tahu apakah saya tidak menambah “e” antara “g” dan “m” dari perkataan
“judgment” itu.
Tidak lama akemudian kami mempunyai guru lain yang denegan
penuh kesadaran berusha untuk benar-benar memberi kuliah mengenai Logica
sebagaimana mestinya. Pada halaman-halaman penghabisan dari buku Jevons ada
berbagai pelajaran yang dimaksudkan sebagai bahan latihan, dan yang tidak usah
kami pelajari. Namun demikian, saya teap mempelajarinya, terdorong oleh
keinginan ku sendiri. Kebetulan ada satu di antaranya, yang tidak dapat saya
pahami maksudndya, sehingga sang guru saya minta untuk menerangkannya, setelah
kuliahnya selesai. Berlangsunglah suatu diskusi selama setengah jam, tanpa tercapai
suatu pemecahan. Akhirnya ia berkata : “Coba, hal itu nanti akan kupikirkan di
rumah, dan pda jam pelajaran yang akan datang aku akan memberi penjelasannya”.
Tetapi sayang, tidak pernah ia datang lagi mengajar, padahal saya sama sekali
tidak bermaksud membuat dia malu.
Pada jaman itu, Universitas Peking adalah satu-satunya
Universitas nasional di Tiongkok yang menurut maksudnya, harus mempunyai tiga
bagian/jurusan untuk Filsfat : Filsafat Tiongkok, Filsfat Barat dan Filsfat
Inda. Tetapi sewaktu Universitas itu di dirikan, hanya ada satu bagian/jurusan
saja, yaitu Filsafat Tiongkok. Pada tahun 1915 dikatakan bahwa bagian/jurusan
Filsafat Barat segera akan dibuka, sebab sudah terdapat seorang profrsor yang
dahulu telah belajar Filsfat di Jerman, sehingga dapat diharapkan bahwa ia
cakap memberi kuliah di dalam mata pelajaran itu. Maka pada tahun itu juga,
saya pergi ke Peking, dan saya diterima sebgai mahasiswa becchalaureat
(undergraduste). Tetapi betapa kecewa saya, waktu saya mendengar bahwa profesor
tersebut baru saja meninggal dunia, sehingga saya terpaksa belajar untuk
jurusan Filsafat Tiongkok.
Di dalam bagian/jurusan ini ada bermacam-macam profesor; ada
yang beraliran Naskah lama, ada yang beraliran Naskah Baru, ada yang beraliran
Ch’eng Chu dan ada yang beraliran Lu Wang. Salah seorang di antaranya, yaitu
yang menganut liran Lu Wang, memberi kuliah dalam Sejarah Filsafat Tiongkok.
Tiap-tiap minggu ia memberi kuliah empat jam, dan ini berlangsung selama dua
tahun berturut-turut. Ia mulai kuliahnya seperti biasa, yaitu dengan
menceritakan tentang Raja-raja Bijaksana Yao dan Shun, dan pada awal semester
(setengah tahun) yang pertama, ia hanya sampai pada Pangeran (Duke) Chou, jadi
hanya sampai kira-kira lima abad sebelum Confucius. Maka bertanyalah kami,
berapa lama lagi kuliahnya dapat selesai kalau dilanjutkan secara demikian.
Jawabnya : “Dalam
mempelajari Filsafat tidak ada selesai” atau “tidak selesai”. Jikalau kamu
menghendaki selesainya kuliah ini, aku dapat menyelesaikannya dengan satu
perkataan saja; dan jikalau kamu tidak mau selesai, dapat pula kuliah kita
dibuat sampai tidak pernah selesai.
u. Perkenalan
dengan Filsfat Barat
Pada tahun 1919 John Dewey dan Bertrand Russell diundang
untuk memberi kuliah pada Universitas Peking dan ditempat-tempat lain. Dengan
demikian mereka adalah ahli-ahli Filsfat Barat yang pertama datang di tiongkok,
dan dari mereka ini orang-orang Tiongkok, untuk pertama kalinya mendapat
laporan asli mengenai Filsfat Barat. Tetapi yang dikuliahkan kebanyakan adalah
kefilsfatan mereka sendiri. Mereka memberi kesan kepada pendengarnya bahwa
system-system kefilsafatan yang tradisonal itu seakan-akan sudah diganti
semuanya dan sudah dikesampingkan. Oleh karena pendengar-pendengarnya
mengetahui sedikit tentang Sejarah Filsafat Barat, maka kebanyakan tidak dapat
mengerti akan arti-arti teori-teori mereka. Tidak dapatlah seseorang memahami sesuatu kefilsafatan,
kalau ia tidak memahami tradisi yang dulu-dulu, yang disetujui atau pun di tolk
oleh kefilsfatan itu. Maka dari itu, meskipun kuliah-kuliah dari kedua
ahli Filsafat itu diterima dengan baik oleh banyak orang, namun di antara orang
yang sebanyak itu hanya ada beberapa saja yang sungguh-sungguh dapat
memahaminya. Bagaimana pun juga, kunjungan mereka ke Tiongkok memberi pandangan-pandangan
intelektual baru kepada banyak mahasiswa pada waktu itu. Di tinjau dari sudut
ini, kedatangan mereka mempunyai nilai cultural dan nila pendidikan yang
tinggi.
Saya katakan di dalam bab ke XXI (tidak termuat di buku ini.
Pen) bahwa : “Diperbedakan antara Buddhisme Tiongkok dan udhissme di Tiongkok.
Dan juga telah saya katakan bahwa : “Filsafat Tiongkok
menerima sesuatu ide dari Buddhisme, yaitu ide tentang Jiwa-Jiwa universal.
Sewaktu Filsafat Barat masuk, maka terjadi pula hal-hal
semacam itu. Setelah Dewey dan Russel kembali ke negaranya misalnya, di
Tiongkok terdapat system-system kefilsafatan yang banyak jumlahnya (yang laind
aripada yang dulu-dulu), yang masing-masing pernah menajdi populer di Tiongkok.
Tetapi sampai sekarang, hampir semua system-system itu semata-mata mewakili
Fislafat Barat di Tiongkok. Tidak ada satu pun di antaranya yang menjadi bagian
integral (bagian yang tidak dapat dipisahkan) dari perkembangan jiwa orang
Tionghoa, jadi tidak ada yang seperti misalnya Buddhisme Ch’an.
Sejauh penglihatan saya, hal yang permanen yang disumbangkan
oleh Filsafat Barat kepada Filsafat
Tiongkok adalah methode di dalam analysa yang berdasarkan logika. Di
dalam bab XXI, saya amengemukakan bahwa : “Baik Buddhisme maupun Taoisme
mempergunakan methode negatif.”
Methode yang analystis adalah justru sebaliknya dati itu;
maka boleh disebut methode positif. Methode yang negatif berusaha untuk
menyebutkan hal-hal yang bukan sifat dari obyeknya. Sedang methode pisitif
berusaha mengadakan pembedaan-pembedaan dan berusaha menyatakan apa obyeknya
itu. Adalah penting sekali bagi orang Tionghoa, bahwa mereka telah
diperkenalkan dengan methode negatif dari Buddhisme. Sebab, methode negatif ini
mula-mula sduah ada di dalam Taoisme mereka, Dan kemudian itu diperkuat karena
jasa Buddhisme. Tetapi masuknya methode pisitif adalah jauh lebih penting lagi,
yaah, ini benar-benar suatu hal yang bukan main pentingnya. Sebab methode itu
memberikan kepada orang Tionghoa suatu cara berpikir baru, yang menimbulkan
perubahan di dalam seluruh cara berpikir mereka. Tetapi sebagaimana akan kita
lihat di dalam bab berikutnya, methode ini tidak akan mengganti methode yang
lama, melainkan hanya menjadi supplemennya (pelengkapnya) semata-mata.
Yang
penting adalah methodenya, jadi bukan konklusi-konklusi yang sudah disiapkan oleh
Filsafat Barat. Menurut suatu cerita Tiongkok :
“Pada
suatu hari, ada seorang gyang berjumpa denga makhluk yang hidup abadi
(mmortal). Makhluk ini bertanya kepadanya apa yang diinginkan olehnya. Orang
itu mengatakan bahwa ia ngin emas. Makhluk yang hidup abadi tadi menyentuh
sejumlah batu-batu dengan jarinya, dan segera batu-batu itu berubah menjadi emas. “Ambillah emas itu!” katanya.
Tetapi orangnya menolak. Maka ia lalu ditanya, apalagi yang dikehendakinya. Dan
orang itu menjawab : “Aku menghendaki jarimu.” ....................... Methode
analystis adalah jari dari para ahli filsafat Barat, sedang orang Tionghoa
menghendaki jari itu.”
Inilah
sebabnya mengapa di antara banyak cabang-cabang
dari studi filosofis di Barat, Logica-lah yang pertama-tama menarik
harthatian orang Tionghoa. Pun sebelumnya Yen Fu menterjemahkan “System of
logic” buah karangan J.S. Mill, Li Chih tsao (meninggal pada tahun 1630)
bersama-sama dengan pendeta-pendeta Jesuit, mudah menterjemahkan sebuah buku
pelajaran dari abad pertengahan, yaitu logica Aristoteles. Terjemahannya
berjudul :Min Li T’an” atau “Penyelidikan mengenai Ming li”. Ming Li berarti “Meng-analysa prinsip
dengan jalan meng-analysa nama”. Yen Fu menterjemahkan “Logica” dengan istilah
“Ming Hsueh”, atau “Ilmu pengetahuan mengenai Nama-nama”. Seperi telah kita
lihat di dalam bab VIII yang menjadi
hakekat dari kefilsafatan aliran Nama-nama (sebagaimana diwakili oleh Kung Sun
Lung) adalah justru “analysa dari prinsip-prinsip dengan jalan meng-analisa
nama-nama”, Kefilsafatan tersebut tidaklah 100% sama dengan Logica. Tetapi ada
persamaannya. Dan ketika orang-orang
Tionghoa mulai mendengar tentang logica Barat, maka dengan segera mereka
melihat persamaannya, sehingga ini dihubungkan dengan aliran mereka sendiri,
yaitu aliran Nama-nama.”
Sampai
hari-hari belakangan ini, hasil yang paling dapaat dirasakan dari masuknya Filsafat Barat adalah hidupnya
kembali studi akan Filsafat Tiongkok, termsuk Buddhisme. Pernyataan saya ini tidak
mengandung “paradox” (hal yang bertentangan). Sebab, kalau seseorang menjumpai
ide-ide baru yang asing baginya, maka sudah sewajarnya bahwa ia kembali
meninjau ide-ide lama yang sudah dikenalnya, dengan maksud agar supaya ia dapat
menggambarkannya, membanding-bandingkannya, dan memperkuat kedua-duanya (baik
yang lama maupun yang baru). Dan bilamana ia meninjau kembali ide-ide yang lama
itu dengan bersenjata methode analytis, maka memang sudah sewajarnya bahwa ia
membuat analysa dari ide-ide itu. Kita telah
melihat di muka, bahwa pelajar-pelajar Han Hsueh telah menggalang jalan bagi
studi mengenai aliran-aliran pikiran kuno yang bukan aliran Confucianisme.
Tafsiran naskah-naskah kuno yang dibuat oleh pelajar-pelajar tersebut, sifatnya terutama adalah “Lurus menurut
kata-katany” (lettelijk, textual) dan philologi (didasarkan atas sifat-sifat
bahasanya), jadi tidak semata-mata filosofis. Tetapi ini adalah justru yang
diperlukan, sebelum seseorang melakukan methode analytis untuk meng-analysa
ide-ide filosofis dari berbagai aliran pikiran Tiongkok kuno.
Oleh
karena logica merupakan aspek/segi
pertama dari Filsafat Barat yang menarik perhatian orang Tionghoa, maka sudah
sewajarnya bahwa di antara aliran-aliran Tiongkok Kuno, aliran
Nama-nama-lah yang juga pertama-tama
dipentingkan di dalam studi yang diselenggarakan dengan cermat pada tahun-tahun
belakangan ini. Di dalam studi ini, buku Dr. Hu Shih. “Pekembangan Methode
Logica di Tiongkok Kuno” menjadi bahwa penting sejak penerbitan yang pertama
kalinya pada tahun 1922. Pelajar-pelajar sebagai Liang Ch’i Ch’ao (tahun 1873 –
1930) telah menyokong banyak di dalams tudi yang ditujukan untuk mempelajari
aliran Nama-nama dan aliran-aliran lain.
Penafisaran
dan pembikinan analysa dari ide-ide lama yang kedua-duanya didasarkan atas
methode analysa, memberi corak kepada “Jiwa” dari abad yang berakhir dengan
pecahnya aperang Tiongkok – Jepang pada tahun 1937. Malahan juga para
anggota-anggota missi Nasrani tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh jiwa
ini. Mungkin inilah sebabnya mengapa banyak anggota-anggota missi di Tiongkok
telah menterjemahkan buah-buah karangan filosofis Tiongkok dan menulis
buku-buku tentang Filsafat Tiongkok di dalam bahasa Barat, sedang sebaliknya
hanya ada beberapa saja yang telah
menterjemahkan buah-buah karangan Filsafat Barat dan menulis buku-buku mengenai
Filsafat Barat di dlam Bahasa Tionghoa. Dengan demikian mereka di dalam
lapangan Filsafat agaknya telah melakukan pekerjaan yang bentuknya justru
sebaliknya dari pekerjaanya sebagai anggota missi. Dan memang, dapat juga orang
melakukan pekerjaan missi itu di dalam bentuk yang sebaliknya dari yang
direncanakan semula, seperti juga halnya dalam orang mengadakan kontrak
pinjam-meminjam.
BAB.
XXVIII
FILSAFAT
TIONGKOK DI DALAM DUNIA MODEREN
Setelah
membaca uraian saya mengenai evolusi dan perkembangan Filsafat Tiongkok, maka
pembaca boleh jadi akan menanyakan hal-hal seperti misalnya :
1.
Bagaimana
bentuknya Filsafat Tiongkok pada masa sekarang, terutama pada waktu perang?
2.
Apakah
yang akan disumbangkan oleh Filsfat Tiongkok kepada Filsafat dari Dunia Masa
Depan?
Menurut
kenyataannya, memang sudah berulang-ulang saya ditanya mengenai hal itu, dan
kadang-kadang saya menjadi agak malu, oleh karena memang sukar untuk
menerangkan sesuatu kefilsafatan kepada seseorang yang belum kenal akan
tradisi-tradisi baik yang dijadikan pegangan mau pun yang diingkari oleh
kefilsafatan itu. Tetapi oleh karena pembaca sekarang seudah mengetahui sedikit
tentang tradisi-tradisi Filsafat Tiongkok, maka saya akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertannyaan itu dengan melanjutkan ceritera saya di dalam bab yang
terakhir ini.
v. Ahli Filsafat dan Penulis
Sejarah Filsafat
Dengan
melanjutkan cerita saya ini, saya bermaksud untuk memberikan uraian mengenai
hal-hal yang mungkin menjadi pertanyaan tadi, di dalam batas-batas ceritera saya sendiri. Tidak karena saya
berpendapat bahwa cerita saya ini adalah satu-satunya ceritera yang patut didengarkan, melainkan karena ini adalah
ceritera yang paling banyak saya ketahui. Dan mungkin ceritera saya ini dapat
dipergunakan sebagai semacam ilustrsi. Hal ini saya pandang lebih baik
daripada hanya memberikan daftar
nama-nama dan daftar :isme0isme” saja, tanpa menceriterakan lebih lanjut
tentang masing-masing nama atau isme
itu; sebab proses yang demikian ini samasekali tidak akan berhasil
memberikan kepada pembacanya sesuatu illustrasi (gambaran) yang bagaimana pun
juga. Dengan hanya mengatakan bahwa ahli-ahli filsfat ini atau itu beraliran
“isme” tertentu, tanpa ditambah apa-apa lagi, biasanya itu malahan
mengakibatkan tercapainya kesalah fahaman, dan bukan pemahaman.
Saya
telah menulis buku lain tentang Sejarah Filsafat Tiongko, yang lebih tebal dan
lebih luas daripada buku ini. Jilid yang ke dua dan terakhir dari buku tersebut diterbitkan pada tahun
1934, jadi tiga tahun sebelum pecahnya
perang Tiongkok – Jepang. Jilid yang ke satu dditerjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Dr. Bodde dan diterbitkan di Peiping pada tahun 1937, tiga
bulan setelah peperangan dimulai. Buku itu menggambarkan “Jiwa” (Spirit) dari
abad yang saya sebut apda akhir bab ke XXVII. Dalam menulis buku itu saya
mempergunakan sebaik-baiknya hasil-hasil studi yang telah dicapai oleh
pelajar-pelajar Han-Hsueh mengenai naskah-naskah para ahli filsafat kuno, dan
sekaligus saya mempergunakan methode analytis untuk menjelaskan ide-ide dari
ahli filsafat ini. Kalau ditinjau dari sudut pandangan seorang Penulis Sejarah,
maka pemakaian methode ini ada batas-batasnya, oleh karena ide-ide dari
ahli-ahli filsafat kuno itu mungkin di dalam
bentuknya yang asli tidaklah sejelas seperti yang diperlihatkan oleh
juru penerang dari jaman moderen ini. Fungsi dari suatu Sejarah Filsafat adalah
menceriterakan kepada kita, apakah artinya kata-kata yang telah dikeluarkan
oleh ahli-ahli filsafat pada jaman lampau itu bagi mereka sendiri, jadi
bukanlah menceriterakan bagaimana seharusnya arti kata-kata itu menurut
pendapat kita. Di dalam buku Sejarah yang saya tulis itu, saya telah berusaha
sekeras-kerasnya untuk mempergunakan methode
analytis di dalam batas-batas sebagaimana mestinya.
Tetapi
kalau ditinjau dari sudut pandangan seorang ahli filsafat yang murni, maka
lebih menarik dan lebih penting untuk menjelaskan ide-ide dari ahli-ahli
filsafat pada jaman yang lampau, dan untuk menarik konklusi-konklusi yang logis
dari teori-teori mereka, dengan maksud untuk memperlihatkan kesaksiannya
ataupun kejelekannya. Ini sudah barang tentu lebih menarik dan lebih penting
daripada hanya menceriterakan dan menyelidiki saja abagaimana pendapatnya para
ahli Filsafat itu sendiri mengenai ide-ide dan teori-tori tersebut. Dengan
berbuat dmeikian, lalu ada proses perkembangan dari keadaan lama ke keadaan
yang baru, dan ini merupakan phase lain di dalam perkembangan jiwa dari abad
yang saya katakan di muka. Tetapi pekerjaan yang demikian itu tidak lagi
merupakan pekerjaan seorang pelajar atau pekerjaan seorang Penulis Sejarah,
melainkan merupakan pekerjaan yang kreatif dari seorang ahli filsafat. Apa yang
saya rasakan di dalam hal ini adalah seperti apa yang dirasakan oleh Wang Kuo
wei, yaitu sejak tidak suka melulu menjadi seorang Penulis Sejarah semata-mata.
Maka dari itu, setelah saya selesi menulis buku Sejarah saya, dengan segera
saya siap-siap akan melakukan pekerjaan baru. Tetapi pada waktu saya sedang
bersiap-siap itu, pecahlah perang pada musim panas tahun 1937.
w. Hasil-Hasil di Dalam
Lapangan Filsafat pada Waktu Perang
Sebelum
pecahnya perang, maka bagian-bagian Filsfat dari Universitas Peking (di mana
saya emncapai derajat kesarjanaan saya) dan dari Universitas Tsing Hua (di mana
sekarang saya mengajat), dianggap sebagai yang berdiri paling kuat di Tiongkok, masing-masing dengan
tradisinya dan “titik berat” nya sendiri-sendiri. Yang menjadi tradisi dari
titik berat dari Universitas Peking adalah suatu studi yang ditujukan pada
Sejarah dan Keilmuan, dengan kecenderungan filosofis yang idealistis, yaitu
(kalau memepergunakan istilah Filsafat Barat), suatu kecenderungan ke arah Kant
atau Hegel, dan (kalau mempergunakan istilah Filsfat Tiongko) ke arah Lu Wang.
Sebaliknya yang menjadi tradisi dan titik berat dari Universitas Tsing Hua,
adalah penggunaan analysa yang berdasarkan
logic bagi studi mengenai soal-soal filosofis, dengan kecenderungan
filosofis yang realistis, yaitu (kalau mempergunakan istilah Filsafat
Barat)suatu kecenderungan ke arah Plato ( di dalam arti bahwa kefilsfatan Neo
Realisme disesuaikan dengan ajaran-ajaran Plato) dan (kalau mempergunakan
istilah Filsafat Tiongkok) ke arah Ch’ang Chu.
Kedua Universitas itu terletak di Peiping (dahulu
terkenal sebagai Peking), dan pada pecahnya perang, kedua-duanya dipindahka ke
Brat daya dan dikombinasikan dengan Universitas lain lagi, yaitu Universitas
Nankai dari Tientsin. Dengan adanya penggabungan tersebut, maka ketiga
Universitas itu merupakan “Persatuan Universitas Barat Daya” selama
berlangsungnya peperangan. Dengan demikian bagian-bagian Filsafat yang
didgabungkan itu merupakan suatu kombinasi yang jarang terdapat dan yang
benar-benar menakjubkan. Sebab di situ terdapat 9 orang profesor dari berbagai
aliran-aliran penting, baik aliran Tiongkok mamupun lairan Barat. Mula-mula,
Persatuan Universitas Barat Daya itu, sebagai keseluruhan terletak di Changsha
di Propinsi Hunan, tetapi bagian Filsfat kami, itu bersama-sama dengan
bagian-bagian lain yang mengenai humaniora (ilmu-ilmu yang menyelidiki
kehidupan rohani dan ciptaan-ciptaannya, jadi berlawanan dengan ilmu-ilmu alam
kodrat) terletak tersendiri di Hengshan, yaitu darah yang terkenal sebagai
“Gunung Selatan yang Suci”.
Di
sini kami hanya tinggal selama 4 bulan dan sesudah itu kami pindah lagi ke
Kunming, yang letaknya lebih barat daya lagi. Ini terjadi pada musim semi tahun
1938. Tetapi 4 bulan di sana itu telah “menggerakkan” jiwa kami. Pada waktu itu
kami sedang di tengah-tengah krisis
nasional yang terbessar di dalam
sejarah kami. Kami berada di tempat di mana Huai yang berusaha mengasah
batu bata menjadi cermin (tersebut di dalam bab ke XXII yang tidak dimuat di
sini.Pen) dan dimana Chu Hsi juga pernah bertempat tinggal. Kami tertimpa
penderitaan seperti yang juga dialami oleh dynasti Sung bagian Selatan, yaitu
sewaktu mereka diusir ke selatan oleh tentara asing. Meskipun demikian, ada
suatu hal yang menggembirakan, yaitu kami hidup bersama dengan ahli-ahli
filsafat, pujangga-pujanga dan pelajar-pelajar yang semuanya bertempat
tinggal di dalam satu gedung. Kombinasi
inilah, yaitu kombinasi antara saat historis, letak geografis dan kumpulan
manusia, yang pada khususnya telah menggerakan jiwa kami dan telah mendatangkan
ilham-ilham yang tidak ternilai harganya.
Selama
4 bulan itu, saya dan teman-teman sejawat saya, yaitu Prof. T’ang Yung t’ung
dan Prof. Y.L. Chin masing-masing berhasil menyelesaikan buah karangan yang
kami kerjakan apda waktu itu. Yang diselesaikan oleh Prof. T’ang adalah bagian
pertama dari bukunya yang berjudul : “Sejarah Buddhisme Tiongkok”. Prof. Chin
menjelaskan bukunya yang berjudul : “Mengenal Tao” sedang saya sendiri berhasil
menyelesaikan “Hsin Li Hsueh” atau “Li hsueh Baru”. Prof. Chin dan saya
mempunyai banyak ide-ide yang menunjukkan persamaan, tetapi buah pena saya
menceritakan tentang perkembangan aliran Ch’eng Chu (seperti yang dapat dilihat dari judulnya), sedang buah
karangan Prof Chin barupa hasil dari
studinya sendiri mengenai soal-soal metaphysis. Di hari-hari kemudian, saya
menulis di Kunming sejunlah buku-buku lagi, yaitu “Hsin Shih lun” yang juga
berjudul “Jalan Tiongkok ke arah Kemerdekaan”; Hsin Yuan jen” atau “Risalah
Baru mengenai sifat-sifat manusia”; ‘Hsin Yuan Tao” yang juga berjudul “Jiwa Filsafat Tiongkok” dan yang
diterjemahkan oleh E.R. Hughes dari Universitas
Oxford dan diterbitkan di London; dan juga “Hsin Chih jen” arau “Risalah
Baru mengenai Methodologi di dalam Metaphyisica”
Di
dalam uraian saya di bawah ini, saya akan berusaha untuk member ringkasan dari
berbagai hal yang saya kupas di dalam buku-buku tersebut, untuk menggambarkan
kecenderungan yang terdpat di dalam Filsafat Tiongkok sekarang. Mudah-mudahan
dengan cara yang demikian ini, pembaca dapat memperoleh sekedar pandangan
mengenai apa yang mungkin dapat disumbangkan oleh Filsafat Tiongkok kepada
Filsafat masa Depan.
Cara
berpikir yang filosofis (atau lebih baik
: cara berpikir yang metaphysis), itu dimulai dengan pengalaman bahwa sesuatu
itu ada. “Sesuatu” itu mungkin berupa sensasi, emosi (getaran jiwa) atau apa
saja. Dari pernyataan bahwa “Sesuatu itu ada” saya dengan dalan deduksi telah
menyimpulkan semua ide-ide atau konsep-konsep yang metaphysis, tidak saja
ide-ide ?konsep-konsep dari aliran Ch’eng Chu, tetapi juga dari aliran Tao. Ini
saya tulis di dlam buku saya “Hsin Li Hsueh”. Di situ ide-ide/konsep-konsep
tersebut saya pandang sedemikian rupa hingga dapat dianggap semata-mata sebagai
akibat yang logis dari pernyataan di atas itu, yaitu bahwa “sesuatu itu ada”.
Tidaklah sukar untuk melihat bagaimana ide-ide dari Li dan Chi dapat
disimpulkan (dengan jalan deduksi) dari pernyataan itu, dan demikian juga
halnya dengan ide-ide lainnya. Misalnya
ide tentang Gerakan, itu tidak saya anggap sebgai ide cosmologis tentang apa
sesungguhnya yang mula-mula menyebabkan gerakan ddunia, melainkan sebagai suatu
ide metaphysisis tentang sifat ada/ ke-berada-an (Existence). “Berada” atau ‘”bersifat ada”
merupakan suatu kegiatan (activity), suatu gerakan. Bilamana kita berpikir
tentang dudnia di dalam aspeknya (seginya) yang statis, kita akan menyetujui
apa yang dikatakan oleh pengikut-pengikut aliran Tao, yaitu bahwa sebelum
sessuatu itu menjadi “ada” maka beradanya Sifat Ada itu harus ada lebih dahulu
( There must first be the being of being). Dan bilama kita berpikir
tentang dunia di dalam aspeknya dikatakan oleh pengikut-pengikut Confucianisme,
yaitu bahwa sebelum sesuatu
itu menjadi ada, maka lebih dahulu harus
ada gerakan. Ini pun adalah suatu pernyataan tentang Kegiatan Sidat Ada;
hanya saja, di sini cara berpikir yang bentuknya/sifatnya saya namakan
“Illustratif” (Pictorial; menggambar-gambarkan), yaitu yang sesungguhnya berupa
paham/persangkaan (imagination), orang membayang-bayangkan Sifat Ada atau
Gerakan itu seperti Tuhan yang menjadi Ayah dari segala sesuatu. Di dalam
Pikiran yang berupa paham/persangkaan semacam ini, orang menghadapi Agama Agama
atau Cosmologi, bukan Filsafat atau Metaphysica.
Dengan
alasan yang di dalam garis besarnya sama dengan itu, saya telah berhasil untuk
menyimpulkan di dalam “Hsin Li Hsueh” semua ide-ide metaphysica dari Filsfat
Tiongkok, dan untuk mencakupnya di dalam suatu kkeseluruhan yang jelas dan
systimatis. Buku tersebut mendapat sambutan baik, oleh karena dirasakan bahwa
pengupasan yang saya lakukan di situ mengenai struktur (susunan) dari Filsfat
Tiongkok adalah lebih jelas daripada yang sudah-sudah. Buku itu dianggap
sebagai tanda dari hidupnya kembali Filsfat Tiongkok, dan ini dianggap sebagai
lambang dari hidupnya kembali bangsa Tiongkok.
Sebagaimana
telah saya uraikan di dalam bab ke XXVII, di dalam aliran Ch’ang Chu ada unsur
sutoritarianisme dan conservatisme. Hal ini tidak saya muat di dalam “Hsin Li
Hsueh”. Menurut pendapat saya metaphysica hanya dapat mengetahui bahwa ada
berbagai “Li”, tetapi tidak dapat mengetahui isi dari masing-masing Li. Adalah
termasuk lapangan kerja Ilmu Pengetahuan, untuk menyelidiki serta mengetahui
isi dari Li yang individual (yang bersifat perseorangan), dengan mempergunakan
methode ilmiah atau pun methode pragmatis (methode yang didasarkan atas
kemanfaatan bagi umum). “Li” nya sendiri bersifat mutlak dan abadi, tetapi “Li” (Makna Li ada
di bab sebelumnya). Yang kita kenal, artinya/kita dapati di dalam
aturan-aturan, hukum dan di dalam teori-teori ilmiah, sifatnya adalah relatif
dan dapat berubah.
Pelaksanaan
dari “Li” membutuhkan dasar yang meteriil. Berbagai “Li” yang mengenai struktur
sosial itu terlaksana di dalam bentuk masyarakat yang rupa-rupa typenya;s edang dasar meteriil
yang economis dari sesuatu type masyarakat tertentu. Dari itu, bilamana kita
berpikir di dalam alam sejarah, maka saya mempunyai kepercayaan akan bernilainya tafisaran
(secara) economis, dan di dalam buku saya : “Jalan Tiongkok ke arah
Kemerdekaan”, tafsiran yang demikian ini saya lakukan terhadap
peradaban/kebudayaan dan sejarah Tiongkok, seperti yang juga saya lakukan di
dalam bab II buku ini.
Saya
berpendapat bahwa kesukaran-kesukaran yang menimpa diri Wang Kuo wei itu
disebabkan karena ia tidak dapat menginsyafi bahwa setiap cabang pengetahuan itu
mempunyai lapangannya sendiri-sendiri. Memang orang tidak perlu percaya akan
sesuatu teori metaphysica, apabila teori itu tidak banyak membenarkan
fakta-fakta yang nyata. Tetapi sebaliknya, andaikata metaphysica itu yang
dibutuhkan oleh masing-masing “Li” untuk pelaksanaanya itu adalah fundamen sudah
berkembang sedemikian jauhnya hingga dapat menjelaskan semua fakta-fakta saja,
maka metaphysica yang demikian itu adalah metaphysica yang buruk, jadi sama
seperti orang mengatakan : “Ilmu Penegetahuan yang buruk!” (bad sience). Ini
tidak berarti bahwa suatu teori metaphysica yang baik itu lalu tidak dapat
dipercaya, melainkan bahwa sudah sedemikian jelasnya hingga orang tidak perlu
lagi mengatakan apakah ia percaya apa tidak kepadanya, seperti juga orang tidak
usah mengatakan bahwa ia percaya akan Ilmu Pasti. Perbedaan antara Metaphysica
dan mathematica serta Logica yaitu, bahwa di dalam baik mathematica maupun
logica tidak usah dimulai dengan pernyataan bahwa “Sesuatu ada”. Sebab
pernyataan bahwa “sesuatu ada” itu adalah suatu pernyataan yang menyangkut
kenyataan fakta-fakta , dan pernyataan yang demikian ini adalah satu-satunya
pernyataan yang perlu diucapkan oleh metaphysica (dan tidak perlu diucapkan
oleh baik Metaphysica maupun Logica).
x. Corak Filsafat
Methode
yang saya pergunakan di dalam “Hsin Li hsueh” seluruhnya adalah analytis.
Tetapi setelah buku itu selelsai ditulis, saya mulai insyaf akan pentingnya
methode negatif seperti yang saya sebut di dalam bab ke XXI (tidak ada di sini.
Pen). Bilamana sekarang seseorang bertanya kepada saya tentang definisi dari
Filsafat, maka saya akan memberi jawaban yang mengandung paradox, yaitu bahwa
Filsafat, terutama metaphysica, adalah suatu cabang pengetahuan yang setelah
mengalami perkembangan, akhirnya akan menjadi “pengetahuan yang bukan
pengetahuan”. Dan kalau memang demikian halnya, maka perlu dipergunakan methode
negatif. Filsaft, terutama metaphysica, tidak dapat dipergunakan untuk menambah
pengetahuan kita mengenai fakta-fakta, tetapi sebaliknya Filsafat itu tidak
dapat dikesampingkan dalam kita hendak mempertinggi jiwa kita. Yang saya
katakan ini bukanlah pendapat saya sendiri semata-mata, melainkan seperti sudah
kita lihat di muka, itu merupakan aspek-aspek tertentu dari tradisi filsafat
Tiongkok. Aspek-aspek inilah yang menurut pendapat saya dapat
menyokong/menyumbang sesuatu kepada Filsaafat dari Dunia Masa Depan. Aya akan
berusaha untuk mengupas hal ini lebih lanjut.
Filsafat itu seperti juga lain-lain
cabang pengetahuan, harus dimulai dengan pengalaman. Tetapi Filsafat, terutama
Metaphysica, berbeda dengan lain-lain cabang pengetahuan, oleh karena
perkembangannya pada akhirnya akan menuju ke-“sesuatu” yang melampaui
batas-pengalaman. Di
dalam “sesuatu” ini ada hal/hal-hal yang idak dapat secara logis ditangkap
dengan panca indera, melainkan hanya dapat dipikirkan saja. Misalnya orang
dapat menangkap/melihat meja yang persegi, tetapi ia tidak dapat menangkap
kepersegiannya. Ini tidak disebabkan karena panca indera kita masih belum
sempurna, melainkan karena ke-persegi-an itu berupa suatu “li”, yang hanya
dapat dipikirkan secara logis, tetapi tidak dapat di tangkap dengan panca
indera.
Di
dalam “sesuatu” itu ada hal/hal-hal yang selain tidak dapat ditangkap dengan
panca indera, juga tidak dapat dipikirkan (perkataan “dipikirkan” ini diambil
di dalam artinya yang “lurus”; stricly speaking). Di dalam bab ke-I telah saya
katakan bahwa Filsfat adalah suatu cara berpikir/pikiran yang reflectif dan
systimatis mengenai hidup. Oleh karena sifatnya reflectif, maka akhirnya orang
harus pula memikirkan tentang “Sesuatu” yang secara logis tidak dapat menjadi
obyek pikiran. Alam semesta misalnya, oleh karena ini adalah keseluruhan dari
segala sesuatu yang ada, maka secara logis tidak dapat menjadi obyek pikiran.
Seperti kita lihat di dalam bab ke XIX (tidak ada di buku ini. Pen) Perkataan
Tionghoa “Tien” atau “Langit” itu kadang-kadang dipakai di dalam arti
“keseluruhan” ini. Seperti yang dikatakan oleh Kuo Hsiang : “Langit adalah nama bagi segala
sesuatu”.
Oleh
karena alam semesta itu merupakan keseleuruhan dari segala sesuatu yang ada,
maka bilamana orang memikirkan tentang “alam semesta”, ia berpikir secara
refelctif, oleh karena baik
pikiran maupun pemikirannya termasuk pula di dalam “alam semesta” itu. Bilama seseorang memikirkan
tentang “Keseluruhan”-nya, maka gambaran
dari keseluruhan yang masuk” di dalam pikiran kita, tidaklah “mengandung”
pikiran kita (jadi pikiran kita ada di “luar” keseluruhan itu). Sebab “keseluruhan” yang kita
pikirkan itu lalu menjadi obyek dari pikiran kita, jadi dengan demikian
obyeknya (sebagai pihak pertama) berhadapaan dengan pikiran kita (sebagai pihak
ke dua). Maka dari
itu, keseluruhan yang dipikirkan oleh seseorang itu sebenarnya bukan merupakan
keseluruhan dari segala sesuatu yang ada. Sekali pun demikian, orang harus
berpikir lebih dahulu mengenai “keseluruhan”, sebelum menginsyafi bahwa “
keseluruhan” itu tidak dapat terpikirkan. Orang memerlukan pikiran, agar supaya
dapat insyaf akan hal/hal-hal yang tidak dapat dipikirkan. Jadi seperti juga
orang kadang-kadang memerlukan suara, agar supaya dapat menginsyafi arti
ketenangan. Orang memang harus berpikir tentang hal-hal yang tidak dapat
terpikirkan; dengan setelah ia berusaha memikirkan itu, maka yang tidak dapat
terpikirkan itu dengan sendirinya “merucut” (lepas) dari pegangannya, tetapi
juga yang paling menyusahkan di dalam Filsafat.
Hal/hal-hal
yang secara logis tidak dapat di tangkap dengan panca indera, melewati
batas-batas pengalaman; ha;/hal-hal yang selain tidak dapat ditangkap juga
tidak dapat terpikirkan, melewati batas-batas intelek (akal). Tetapi mengenai
apa yang melebihi/ melewati batas-batas pengalaman dan batas-batas intelek,
tentang hal itu tidak dapat dikatakan banyak. Maka dari itu Filsafat, atau
paling sedikit Metaphysica, harus sederhana coraknya. Sebab kalau tidak, itu
semata-mata akan merupakan Ilmu Pengetahuan yang buruk. Dan ide-ide yang
sederhana itu saja, sudah cukup bagi Filsafat untuk memenuhi fungsinya.
y. Lapangan Kehidupan
Apa yang menjadi fungsi Filsafat? Di
dalam bab ke I, saya telah menyarankan bahwa sesuai dengan tradisi Filsafat
Tiongko, Fungsinya itu bukanlah menambah pengetahuan yang positif mengenai
fakta-fakta, melainkan mempertinggi tingkat Jiwa. Saya kira ada baiknya untuk menguraikan lebih
lanjut tentang apa yang saya maksud dengan itu.
Di
dalam buku saya “Risalah Baru mengenai Sifat-sifat Manusia”, saya menulis bahwa
manusia itu berbeda dengan binatang. Bedanya begini : Kalau manusia berbuat sesuatu, maka ia
mengerti/memahami apa yang diperbuatnya, dan ia menyadai bahwa ia sedang
berbuat.
Pengertian/memahami dan kesadaran
diri inilah yang baginya memberi arti kepada apa yang
diperbuatnya itu. Dengan demikian maka pada perbuatan-perbuatan seseorang yang
beraneka warna macamnya itu, terlekat berbagai arti, dan keseluruhan dari
arti-arti ini merupakan apa yang saya sebut “Lapangan Kehidupan” (sphere of living). Mungkin
ada bnyak orang yang melakukan hal-hal yang sama, tetapi menurut tingkat
pemahaman dan kesadaran masing-masing, hal-hal itu mungkin mempunyai arti yang
berbeda-beda. Tiap-tiap individu mempunyai lapangan kehidupan sendiri yang
tidak seluruhnya sama dengan lapangan kehidupan individu lain. Tetapi meskipun
ada perbedaan-perbedaan yang individal, namun kita dapat menggolong-golongkan
lapangan-lapangan kehidupan yang
bermacam-macam itu di dalam empat tingkat yang umum, yaitu (mullai
dengan tingkat yang terendah) :
1.
Lapangan
kehidupan dimana belum diketahui ada keburukan-keburukan (innocent sphere),
2.
Lapangan
kehidupan yang didasarkan ata faktor kemanfaatan (utilitarian sphere),
3.
Lapangan
kehidupan yang didasarkan atas mpral (moral sphere).
4.
Lapangan
kehidupan yang mengatasi/melebihi lan-lainnya (transcendent sphere).
1.1. Orang dapat semata-mata menurut instingnya
atau berbuat menurut kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat. Seperti juga
halnya dengan kanak-kanak dan orang-orang yang primitif, ia melakukan hal-hal
yang tidak disadarinya atau pun tanpa banyak pengertian/pemahaman tentang apa
yang diperbuatnya itu. Maka baginya, apa yang diperbuatnya itu hanya mempunyai
arti yang sedikit (atau pun tidak mempunyai arti sama sekali). Lapangan
kehidupannya masih ada pada tingkat nomor satu.
1.2. Dapat pula seseorang sadar akan
dirinya, dan berbuat segala-galanya untuk dirinya senddiri ssaja. Ini belum
berarti ia lalu pasti orang yang tidak bermoral. Mungkin ia berbuat sesuatu
yang memberikan keuntungan bagi orang lain, tetapi dorongan yang menyebabkan ia
berbuat itu adalah keuntungan diri sendiri. Dengan demikian maka segala sesuatu
yang dilakukannya mempunyai arti kemnafaatan bagi dirinya sendiri. Lapangan
kehidupan yang demikian ini saya golongkan pada tingkat nomor dua.
1.3. Atau dapat pula seseorang
menjadi mengerti akan adanya sesuatu masyarakat, dimana ia adalah salah seorang
anggotanya. Masyarakat ini merupakan suatu keseluruhan dan anggota-anggotanya
adalah bagian dari keseluruhan itu. Dengan pengertian ini, ia berbuat segala
sesuatu untuk kepentingan/keuntungan masyarakatnya, atau sebagaimana diaktakan
oleh aliran Confucianisme : “Ia berbuat segala sesuatu demi keadilan, dan
tidakdemi keuntungan diri sendiri.” Ia benar-benar adalah orang yang bermoral,
dan segala sesuatu yang dilakukannya berupa perbuatan-perbuaan yang ber-“Moral”
(menurut arti katanya yang lurus). Ini saja golongan di dalam lapangan kehidupan
tingkat ketiga.
1.4. Akhirnya, orang dapat menjadi
mengerti bahwa di luar dan di atas masyarakat sebagai keseluruhan, masih ada
suatu keseluruhan yang lebih besar, yaitu alam semesta. Ia tidak saja menjadi
anggota masyarakat, tetapi sekaligus juga anggota alam semesta. Ia adalah warga
dari organisasi sosial, tetapi sekaligus ia juga menjadi warga Langit
(sebagaimana dikatakan oleh Mencius). Dengan pengertian/pemahaman ini, ia
berbuat segala sesuatu untuk kepentingan/keuntungan alam semesta. Ia memahami
arti dari hal-hal yang dilakukan olehnya, dan ia menyadari
perbuatan-perbuatannya. Pemahaman dan kesadaran diri ini baginya merupakan
lapangan kehidupan yang lebih tinggi, yang saya golongkan ke dalam lapangan
kehidupan tingkat tertinggi.
Di
antara empat macam lapangan kehidupan ini, yang nomor satu dan nomor dua adalah
hasil-hasil manusia sebagaimana adanya (products of man as he is). Sedang yang
nomor tiga dan nomor empat adalah hasil-hasil manusia sebagaiaman seharusnya (
as he ought to be). Yang dua lainnya adalah ciptaan jiwa. Lapangan kehidupan yang
saya sebut nomor satu, mempunyai tingkat
yang terendah, yang nomor dua tingkatnya lebih tinggi. Kemudian yang nomor tiga
lebih tinggi lagi, dan akhirnya nomor empat adalah yang tertinggi. Memanglah
demikian lah halnya, oleh karena tingkat pertama hampir-hampir tidak
membutuhkan baik pemahaman mau pun kesadaran diri, tingkat kedua dan ketiga
membutuhkan pemahaman dan kesadaran diri yang lebih daripada nomor satu, dan
kemudian tingkat nomor empat membutuhkan yang paling banyak. Lapangan kehidupan
tingkat ke tiga adalah lapangan dari nilai-nilai moral, sedangkan lapangan
kehidupan tingkat keempat adalah lapangan kehdidupan tingkat ke empet adalah lapangan dari nilai-nilai
super moral.
Menurut
tradisi Filsafat Tiongkok, fungsi Filsafat adalah menolong manusia untuk
mencapai lapangan kehidupan tingkat ke tiga dan keempat, terutama yang
ke-empat. Lapangan kehidupan tingkat ke-empat dapat juga disebut lapangan
Filsafat, oleh karena tingkat itu hanya dapat dicapai bilama orang dengan jalan
Filsafat mendapat sekedar pengertian/pemahaman alam semesta. Tetapi pun
lapangan kehidupan yang ketiga, yaitu lapangan moral, adalah hasil dari
Filsafat. Perbuatan-perbuatan moral itu bukanlah semata-mata
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan moral, dan manusai yang
bermoral itu juga bukan manusia yang semata-mata mempelajari dan mempraktekkan
kebiasaan-kebiasaan moral tertentu. Orang yang bermoral harus berbuat dan hidup
dengan penegertian/pemahaman akan prinsip-prinsip moral yang bersangkutan.
Adalah termasuk urusan Filsafat untuk memberikan pengertian/pemahaman ini
kepada umat manusia.
Hidup
di dalam lapangan kehidupan tingkat ketiga berarti menjadi seorang “Hsien” atau seorang manusia yang sempurna moralnya.
Dan hidup di dalam lapangan kehidupan
tingkat keempat berarti menjadi seorang “Sheng” atau seorang yang arif
bijaksana (Sage). Filsafat mengajarkan bagaimana caranya menjadi orang yang
arif bijaksana. Sebagaimana telah saya utarakan di dalam bab ke-I maka menjadi
orang yang arif bijaksana itu berarti : “Sebagai manusia mencapai kesempurnaan
yang tertinggi”. Inilah fungsi yang mulia dari filsafat.
Di dalam buah karangan yang berjudul
“Republic”, Plato mengatakan bahwa seorang ahli Filsfat harus meninggalkan
“dunia pancaindra” dan naik ke “Dunia intelek” (dunia akal). Kalau seorang hali Filsafat
berada di dalam dunia intelek, maka ia juga berada di dalam lapangan kehidupan
tingkat keempat. Sekali pun demikian, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh
mereka yang hidup di dalam lapangan kehidupan nomor empat itu adalah :
“Kesamaan dari dirinya dengan alam semesta, dan di dalam kesamaan ini ia juga
mengatasi/melebihi intelek.”
Di
dalam bab-bab yang di muka, saya sudah membentangkan bahwa Filsafat Tiongkok
senantiasa hendak menekankan bahwa untuk menjadi orang yang arif bijaksana, itu
tidak diperlukan hal-hal yang luar biasa. Si Arif bijaksana tidak dapat
melakukan hal-hal yang ajaib, dan ia juga tidak usah berusaha ke arah itu. Ia
tidak berbuat sesuatu pun yang melebihi perbuatan kebanayakan orang lain,
tetapi oleh karena ia mempunyai pemahaman yang dalam, maka apa yang
diperbuatnya itu mempunyai arti yang berlainan baginya. Dengan perkataan lain,
perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam “keadaan yang cemerlang” (enlightenment),
sedang perbuatan-perbuatan orang –orang lain itu dilakukan di dalam “keadaan
tidak mengetahui” (Ignorance). Sebagaimana dikatakan oleh rahib-rahib Ch’an :
“Pemahaman --- satu perkataan ini
adalah sumber dari segala macam rahasia-rahasia terpendam (Mysteries)”.
Dengan
jalan “pemahaman” ini, segala sessuatu seakan-akan mempunyai arti yang “lain”.
Dan arti yang dicapai dengan jalan “pemahaman” ini merupakan lapangan kehidupan
tingkat tertinggi.
Dengan
demikian maka orang yang arif bijaksana menurut pandangan orang tiongkok itu
termasuk baik di dunia ini maupun di dunia lain, dan Filsafat Tiongkok itu baik
ditujukan kepada dunia ini maupun kepada dunia lain. Dengan adanya
kemajuan-kemajuan ilmiah pada masa depan, saya percaya bahwa Agama dengan
dogma-dogma dan tachayul-takhayulnya akan memberi jalan kepada Ilmu
Pengetahuan; sedang keinginan manusia untuk mengenal hal-hal dari “Dunia Lain”
akan dipenuhi oleh Filsfat Masa Depan, yaitu suatu Filsafat yang (karena
dimaksud untuk memenuhi keinginan itu) mungkin sekali akan tertuju pada baik
dunia ini maupun dunia lain. Dalam hal ini mungkin di dalam Filsafat Tiongkok
ada hal/hal-hal yang dapat diberikan
sebagai sumbangan.
z. Methodologi Di
Dalam Metaphysica
Di
dalam buah karangan saya : “Risalah baru mengenai Methodologi di dalam
Metaphysica”, saya mempertahankan supaya tetap ada dua methode, yaitu :
1.
Methode
Positif, dan
2.
Methode
Negatif.
Yang menjai pokok di dalam
methode positif adalah membeicarkan tentang obyek metaphysica yag diseleidiki.
Sedang yang menjadi pokok di dalam methode negatif adalah justru tidak
membicarakan tentang itu. Dengan berbuat demikian, maka methode negatif akan menerangkan aspek-aspek tertentu
dari sifat-sifat yang dimiliki oleh
obyeknya, yaitu aspek-aspek yang tidak dapat digambarkan dan tidak dapat di
analysa secara positif.
Di dalam bab II saya telah
memperlihatkan bahwa saya setuju dengan pendapat Prof. Northrop, yaitu pendapat
bahwa Fislafat Barat itu dimulai dengan apa yang dinamakan olehnya “konsep yang
dicapai dengan jalan hypithesis” dan bahwa Filsafat Tiongkok dimulai dengan “konsep
yang dicapai dengan jalan intuisi”. Akibatnya ialah bahwa Filsafat Barat dengan
sendirinya di “kuasai” oleh methode yang positif, sedang Filsafat Tiongkok di “kuasai”
oleh methode yang negatif. Hal ini benar-benar terdapat pada Taoisme, yang memulai dan berakhir dengan
keseluruhan yang tidak dapat didefinisikan. Dari apa yang tertulis di dalam Lao
tzu dan Chung tzu, orang tidak dapat mengetahui “apakah Tao itu sebenarnya”,
melainkan hanya mengetahui “bukan apakah Tao itu”. Tetapi bilamana orang sudah
tahhu, bahwa Tao itu bukan ini, ini, ini, maka ia lalu memperoleh sedikit ide
tentang apakah Tao itu.
Sudah dikatakan di muka, bahwa methode
negatif dari Taoisme ini telah diperkuat oleh Buddhisme. Ch’anisme adalah
kombinasi dari Toisme dengan Budhhisme, dan Ch’anisme ini sebaiknya saya
namakan “Filsafat tentang ketenangan (silence)”. Bilaman orang memahami dan menginsyafi arti
dari ketanangan, maka ia lalu boleh dikata sudah mengetahui “sesutu” tentang
obyek metaphysica.
Di
Barat daapt diaktakan bahwa Kant telah mempergunakan methode negatif di dalam
metapgysica. Di dalam bukunya : “Kritik terhadap Akal yang Murni” Kant telah
menemukan “hal yang tidak dapat dikenal/diketahui”. Bagi Kant dan bagi
ahli-ahli filsafat Barat lain,, orang tidak dapat mengatakan sesuatu tentang
Numenon” itu, oleh karena “Noumenon” tidak dapat dikenal/diketahui. Maka dari
itu dianggap lebih baik untuk meninggalkan metaphysica sama sekali, dan
berhenti pada epistemologi
(Ilmu tentang pengetahuan; memeriksa asal-asal; azas-azas dan syarat-syarat
pengetahuan; menetukan batas-batas, alat dan cara yang sebaiknya
dipergunakan oleh Ilmu Pengetahuan). Tetapi bagi mereka yang sudah biasa
mempergunakan methode negatif, dianggap sebagai suatu keharusan bahwa orang
tidak mengatakan apa-apa tentang
noumenon, oleh karena noumenon itu tidak dapat didkenal/diketahui. Metaphysica
tidak dimaksudkan untuk mengetahui sesuatu mengenai “yang tidak dapat dikenal/diketahui”
melainkan untuk mengatakan sesuatu mengenai kenyataan bahwa “Yang tidak dapat
dikenal/diketahui” itu benar-benar tidak dapaat dikenal atau diketahui.
Bilamana orang sudah mengetahui bahwa “yang tidak dapat dienal/diketahui itu
benar-benar tidak dapat didkenal ata diketahui, maka bagaimana pun juga, ia
lalu sudah mengetahui “sesuatu” tentang itu, yaitu bahwa “ yang tidak dapat
dikenal/diketahui” memang tidak dapat dikenal atau di ketahui. Di dalam hal
ini, Kant telah memberikan jasa-jasanya yang tidak sedikit.
System-system metaphysis yang
besar-besar di dalam semua kefilsafatan saja, yang methodologinya entah negatif
entah positif, telah menunjuk ke mysticisme. Pada hakekatnya, methode negatif
itu adalah methode mysticisme. Tetapi juga pada Plato, Aristoteles dan Spinoza,
yang ketiga-tiganya telah mempergunakan methode positif dengan cara yang
sebaik-baiknya, kita dapat menyaksikan bahwa system-system mereka akhirnya
mempunyai corak yang mystis. Bilaman ahli Filsafat yang mengarang buku “Republic”
sudah mengawasi dan menyamakan dirinya dengan Ide Kebaikan, atau bilamana ahli
Filsafat yang menulis “Metaphysica” sudah menyamakan dirinya dengan Tuhan”
dengan jalan berpikir tentang Pikiran”, atau bilamana ahli Filsafat yang
gmenulssi “Ethica” sudah menempatkan diri di dalam keadaan : “melihat segala
sesuatu dari sudut keabadian” dan menikmati “cinta intelektual akan Tuhan”,
lalu apalagi yang dpat didlakukan selain tinggal tenang dan diam???Apakah di
dalam keadaan mereka ini, tidak lebih baik untuk mempergunakan istilah negatif
seperti : “Tidak satu”, “Tidak banyak”, “Tidak-tidak satu”, “Tidak-tidak-banyak”??
Dengan
demikian maka kedua methode itu tidak saling bertentangan/berlawanan melainkan
akan saling lengkap-melengkapi. Suatu system metaphysis yang sempurna,
seharusnya mulai dengan methode positif, dan berakhir dengan methode negatif.
Bilamana tidak berakhir dengan methode negatif, maka system itu tidak akan
berhasil mencapai puncak (climax) dari Filsafat. Dan sebalinya kalua tidak
mulai dengan methode positif maka system itu akan kekurangan pemikiran yang
jelas, yang diperlukan sekali di dalam Filsafat. Mysticisme bukanlah lawan dari
pikiran yang jelas, dan tingkatnya juga tidak dibawahnya. Lebih baik orang
gmengatakan bahwa tingkatnya ada di atasnya. Mystisme itu sifatnya tidak anti
rationil, melainkan super rationil.
Di
dalam sejarah Tiongkok, methode positif itu tidak pernah dikembangkan sampai
luas. Menurut kenyataannya, methode itu tidak banyak dihiraukan, Maka dari itu;
Filsafat Tiongkok itu kekurangan pemikiran yang jelas, dan ini adalah salah
satu sebab mengapa Filsfat Tiongkok mempunyai ciri “kesederhanaan”. Dan justru
karena kekurangan pemikiran yang jelas, maka kesederhanaannya itu sangat “naief”
(seakan-akan memberi kesan yang “bodoh”). Kesederhanaan yang demikian itu boleh
dipuji, tetapi sifat “naief”-nya harus dihapus dengan mempergunakan pikiran
yang jelas dan tegas. Pemikiran yang jelas/tegas itu bukanlah titik akhir dari
Filsfat, tetapi itu merupakan suatu discipline yang tidak dapat diabaikan, dan
yang perlu dimiliki oleh tiap-tiap ahli Filsafat. Dan sudah barang tentu
ahli-ahli Filsafat Tiongkok pun tidak boleh
ketinggalan. Sebaliknya, Sejarah Filsafat Barat belum pernah menyaksikan
adanya perkembangan yang seluas-luasnya dari methode negatif. Maka kombinasi
dari kedua-duanya itulah yang akan menghasilkan Filsafat Masa Depan.
Ada Cerita Ch’an yang menguraikan :
“suatu kebiasaan dari seorang guru.
Yaitu ia selalu memperlihatkan ibu jarinya kalau diminta untuk menerangkan
tentang Tao di dalam Buddhisme. Ia tetap tenang dan diam; hanya Ibu Jarinya
yang diperlihatkan. Anak laki-laki yang menjadi pengawalnya, melihat itu dan
menirunya. Pada suatu hari, guru tadi melihat pengawalnya sedang menirunya
lagi, dan secepat kilat Ibujari pengawalnya dipotong olehnya. Maka larilah anak
itu dengan berteriak-teriak karena kesakitan. Guru memanggilnya kembali, dan
pada waktu anak yang sedang lari itu menoleh, sang guru memperlihatkan lagi
Ibu-jarinya. Pada saat ini anak tadi menerima “Kecemerlangan yang Mendadak” (Sudden
Enlightenment).
Entah
apakah cerita ini benar atau tidak, tetapi bagaimana pun juga, itu menyarankan
supaya sebelum seorang ahli Filsfat atau seorang siswa yagn mempelajari
Filsafat mempergunakan methode negatif, hendaknya ia lebih dahulu menjelajahi
methode positif. Dan sebelum sampai pada tingkat kesederhanaan di dalam Filsafat,
hendaknya ia lebih dahulu menjelajahi strukturnya yang bersusun-susun.
Yahhhh....,
orang harus berbicara dahulu yang banyak sekali, sebelum ia tinggal tenang dan
diam.
oooOOOooo
T A M A T
Kota Sepanjang, Kab. Sidoarjo,
Jatim
Jum’at, 12 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar