SURAT-SURAT SANG SUFI
Muhammad Ibn ‘Abad
Penerbit : Mizan
Cetakan Pertama : Dzulqa’idah 1413/Mei 1993
Penyadur : Pujo Prayitno
RIWAYAT HIDUP IBN ‘ABBAD
Ibn “Abbad lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota puncak bukit di Spanyol,
yang waktu itu di bawah kekuasaan dinasti Mariniyah. Pada usia tujuh tahun, dia
menghafal Al-Qur’an dan mulai mempelajari hukum Maliki yang dikodifikasikan
oleh Ibn Abi Zayd dari Qayrawan (meninggal 996) dalam Risalah. Pada tahun 1340,
Sultan Mariniyah, Abu Al-Hasan, menderita kekalahan di Spanyol dan terpaksa
membatasi upaya militernya di sana. Meningkatnya penaklukan kembali oleh
orang-orang Kristen, membuat kehadiran Kaum Muslim di Spanyol semakin sulit.
Pada 1347, Ibd “Abbad pindah ke Fez, ibukota Maroko.
Sultan
Abu Al-Hasan (1331 – 1348) berupaya menajdikan ibukotanya sebagai pusat utama
ilmu dan kebudayaan. Dia melindungi seni, membantu kolese-kolese teologi baru,
dan mengundang guru-guru ternama. Ayah Ibn “Abbad menjadi Khatib di Masjid
Qashbah, sementara Ibn “Abbad melanjutkan kembali studinya di bidang agama.
Mentor paling termasyhur Ibn “Abbad, Al-Syarif Al-Tilimsani (meninggal 1369),
diakui secara luas sebagai pemimpin kembangkitan kembali Malikisme. Dia amat
alim dalam ilmu prinsip-prinsip hukum (ushul) sehingga dianugerahi hak yagn
langka, yang berhak melakukan ijtihad. Tilimsani mengajar Ibn “Abbad, pertama
di Tlemcen, dan kemudian ketika sang guru datang ke Fez atas undagan Sultan Abu
‘Inan.
Selama
masa tinggal pertama di Fez, Ibd “Abbad mungkin tinggal di pondokan pelajar
kolese teologi tertua yang masih ada, yaitu madrasah Halfawiyin. Dari Al- Abili
(meninggal 1356) dia mempelajari risalah teologi Asy’ariyah, Al-Irsyad, yagn
ditulis oleh Al-Juwayni (meninggal 1086), salah seorang guru Al-Ghazali,d an
beberapa tulisan Ibn Al-Hajib (meninggal 1248) tenetng hukum. Seperti
Tilimsani, Al- Abili mendorong pembaharuan hukum Maliki; dia mengkritik
kekakuan mazhab-mazhab yang disponsori negara dan stagnasi yagn dialami
mazhab-mazhab itu.
Dengan
diawasi Al-Maqqari (meninggal 1337), Ibn “Abbad membaca himpunan hadis Nabi
karya Muslim dan juga karya-karya lain yang telah dipelajarinya sebelumnya dari
Tilimsani. Dari Al-‘Imrani (meninggal 1286) dia mempelajari himpunan hadis
Malik ibn Anas (meninggal 795), Al-Muwaththa’, ‘Imrani adalah seorang faqih
kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik kadpa tasawuf. Seperti alim-alim
Maliki lainnya, dia menulis beberapa ulasan tentang Al-Mudawwanah karya Sahnun
(meninggal 854) – bagimana pun juga karya paling berpengaruh di bidang fiqih
Afrika Utara.Ikhtisatr klasik Al-Baradz’i (Qayrawan abad kesepuluh) tentang
Mudawwanah merupakan sumber lain bagi pendidikan Ibn ‘Abbad, mungkin ketika dia
tinggal di Madrasah Bou ‘Inaniyah yang baru selesai pembangunannya itu. Dalam surat
6 dia memuji Abu Thalib Al-Makki, dengan mengatakan bahwa Qut Al-Qulub karya
Abu Thalib itu amat penting bagi kehidupan spiritual, sebagaimana pentingnya
Mudawwanah bagi fiqih : sempurna dan tak bisa digantikan oleh yang lain.
Dua alim lain Maliki perlu disebutkan di sini. Ibn “Abbad menulis surat 16 untuk Abu Ishaq
Ibrahim Al-Syatibi dari Granada (meninggal 1388) mawafaqat karyanya merupakan
sumbangan utamanya pada suasana studi-studi keagamaan yang kiranya telah
berkembang secara dramatis meskipun memiliki banyak sekali luka lama yang perlu
disembuhkan. Akhirnya Ibn ‘Abbad menyebut-nyebut Ahmad Al-Qabbab (meninggal
1375), juga ldalam Surat 16. Seperti Al-Abili, Al-Qabbab berupaya menyuntikan
kehidupan baru ke dalam studi-studi keagamaan yang terhuyung-huyung akibat
pukulan keras yang dilancarkan Almuhadiyah terhadap studi-studi itu.
Ibn.Khaldun mengatakan bahwa :kalangan ulama Maliki tidak pernah henti-hentinya
menulis komentar, penjelasan dan sinopsis tentang karya-karya utama ini. Pendidikan
yang diterima Ibn ‘Abbad di bangku sekolah tentang hukum agama itu luas, namun
sangat tradisional dan agak kaku, dalam gaya Maroko. Nwiya menunjukkan tidak
adanya secara menyolok-matanama Fakh Al-Din Al-Razi (meninggal 1209) dari
sekian nama tokoh yang dibaca Ibn ‘Abbad. Sekitar tahun 1300 ada pemisahan
antara gaya studi hukum yang dilakukan di Fez dan di Tunis. Tunis menajdi lebih
spekulatif di bawah pengaruh Fakhr Al-Din Al-Razi, yang menurut M. Mahdi. “mempengaruhi
persesuaian baru antara pengetauan filsafat rasional dan studi-studi agama. Sementara
itu Fez tetap lebih konservatiff di bawah pengaruh Ibn Al-Hajib.
Meskipun
dengan latar belakang studi-studi hukum tradisional yang luas, Ibn ‘Abbad
menolak, dalam Surat-suratnya, untuk membahas langsung pertanyaan-pertanyaan
tentang hukum dengan mengatakan bahwa dia kurang memiliki keahlian yang
diperlukan untuk itu.
Barangkali
Abn ‘Abbad mengenal tasawuf salah seorang guru hukumnya, sebab banyak di antara
mereka itu adalah sufi. Beberapa gurunya resmi berhubungan dengan
tarikat-tarikat yang sudah diakui, tapi mereka mengajar tasawuf secara pribadi,
dengan memakai karya-karya klasik Al-Makki, Al Ghazali, dan Surahwardi.
Setelah
meninggalnya sultan Abu ‘Inan, pada
tahun 1358, Fez rupanya mengalami suatu periode yang amat kacau. Terdapat tujuhbelas
sultan antara 1358 dan 1465, dan enam orang yang berusaha merebut kesultanan
antara 1358 dan 1367. Tak lama setelah meninggalnya sultan, Ibn ‘Abbad pergi ke
barat, ke Sale, kota di tepi laut Atlantik. Di sana Ibn ‘Asyir (sekitar 1300
-1362) menjadi tokoh poros dalam kebangkitan tasawuf di luar tarikat. Penziarah
dari segenap penjuru Maroko datan mengunjungi syaikh ini untuk mendapatkan
barakahnya. Ibn ‘Abbad terus menjadi murid terbaik Syaikh ini, dia banyak
membaca tasawuf dan berbagai cabang serta gayanya. Setidak-tidaknya dia
memutuskan untuk mendukung Syadziliyah. Itulah informasi dari Ibn Al-Sakkak
(meninggal 1451), penulis Maghribi pertama yang menulis dengan jelas tentang
Syadziliyah. Dia pun mengatakan bahwa, ketika masih anak-anak, dia pernah
ebrtemu Ibn ‘Abbad yang usianya lebih tua dan sering makan bersamanya.
.
Ibn ‘Abbad pergi ke Sale untuk menghindari kondisi hidup yagn sedang sekarat di
Fez, dan untuk mencari keselamatan spiritual. Gurunya memandangnya “dalam kelas
tersendiri”. Berkat kemandirian dan keinginannya untuk menempuh jalannya
sendiri, sang murid tidak terkuasai oleh intensitas gurunya. Ibn ‘Asyir sangat
halus perasaannya, karena terus menerus berpuasa dan makan hanya dua hari
sekali. Inilah praktik lama sufi yang disebut “Puasa Daud”, yang dimaksdukan
untuk menjaga agar sang zahid tidak terbiasa dengan puasa atau rasa kenyang. Selaras
dengan keicntannya kepada tulisan-tulisan Al-Muhasibi, Ibn “Asyir menekankan
praktik menguji hati nurani. Dia adalah sufi Shaw yang tegar.
Pada
sekitar 1362 atau 1363, setelah meninggalnya . Ibn ‘Asyir, . Ibn ‘Abbad meninggalkan
Sale menuju Tangiers. Di sana dia berguru kepada sufi yang kurang begitu
dikenal, Abu Marwan ‘Abd Al-Malik. Setelah tinggal di sana untuk waktu yang
tidak diketahui, sang pencari muda ini kembali ke Fez. Selama berada kembali ke
Fes, . Ibn ‘Abbad berkenalan kembali dengan Yahya Al-Sarraj (sekitar 1344
sekitar 1400), pendiri cabang Fez dari sebuah keluarga yagn berakar di Ronda,
dan penerima beberapa Surat ini. . Ibn ‘Abbad juga menjadi sahabat karib Abu
Al-Rabi; Sulayman Al-Anfasi (sekitar 1377). Atas permintaan kedua sahabat
inilah dia menulis Tanbih, yagn diselesaikan antara 1370 – 1372.
.
Ibn ‘Abbad kembali ke Sale pada tanggal yang tidak jelas, dan tinggal di sana
sampai sekitar 1375. Kebanyakan jika tidak semuanya, korespondennya dilakukan
sejak sebelum tahun itu. Sekitar 1375 dia diangkat menjadi Imam dan Khatib
masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan ilmu tertua dan paling bergengsi
di Afrika Utara. Sultan Abu Al-‘Abbas Ahmad (pemerintahan pertama 1373 – 1384)
rupanya melakukan pengangkatan itu berdasarkan reputasi . Ibn ‘Abbad akan
integritas pribadinya, dan kemsyhuran Tanbih-nya. Prospek pengambilalihan pos
khatib ketika khutbah telah turun derajatnya menajdi sedikit lebih dari sekedar
menyampaikan sesuatu secara hafalan tanpa pemikiran mendalam bagi banyak
khatib, tentunya menimbulkan tantangan. Dengan merenungkan keadaa seni dalam
salah satu Surat, terlihat dia mencatat lima jenis khatib yang menurtnya tidak
dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sebagian hanya mengulang-ulang khutbah yang
sama setiap Jum’at; sebagian mengulangnya dengan sedikit variasi; sebagian
berkhutbah tanpa mengaitkan pesan-pesan mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang
berubah; sebagian memperhatikan kebutuhan-kebutuhan itu, namun tidak dapat
mengaitkan pesan mereka secara efektif dengan kebutuhan-kebutuhan itu; dan
sebagian juga kurang taat, dan semata-mata aktor-aktor yang berlagak. Khatib sejati
adalah khatib yang memberikan nasihat dan mengajar orang selaras dengan
kebutuhan-kebutuhan sehari-hari mereka yang mendesak, dan mampu memadukan gaya
penyampaiannya dengan tema yang telah dipilihnya. . Ibn ‘Abbad lebih menyukai
gaya didaktis ketimbang gaya nasihat atau peringatan, karena orang itu
memerlukan peringatan, dia selalu menempatkan dirinya sebagai terikat kepada
kewajiban yang diwajibkan pada audiennya.
Masih
ada seratus dua puluh empat khutbah dalam sebuah manuskrip, yang telah
dianalisis oleh Paul Nwiya. Khutbah Jum’at lazimnya terdiri atas dua bagian :
Bagian pertama mengembangkan tema yang sesuai dengan keadaan, dan bagian kedua
membahas topik baku, yaitu shalawat atas Nabi, para Shahabatnya, para
isterinya, para penerusnya, dan umat Islam, dengan menyebutkan nama khalifah
atau sultan umat Islam. Hanya satu di antara khutbah-khutbah . Ibn ‘Abbad yagn
masih ada yagn mengandung bagian kedua itu. Tapi bagian pembuka dari tiap-tiap
bagian itu dimulai dengan doksologi (zikir), doa pendek untuk Nabi, dan
Syahadat, yang semuanya diikuti oleh jamaah. Khutbah itu disampaikan sekitar
dua puluh menit.
Frasa-frasa
yang memaukau, ritmis, pendek dan tepat, dimaksudkan untuk menandingi prosa
bersajak kitab suci. Karena doktrin dasar Islam itu sederhana, maka pembicara
perlu mengadalkan keahlian bahasa Arab, tanpa sekaligus membawakan sekedar
suara yang indah namun tidak mengandung pengaruh personal dan tantangan moral. .
Ibn ‘Abbad suka menggugah-langsugn hati nurani jamaahnya, dengan didukung oleh
Al-Qur’an dan hadis, dan berupaya menarik perhatian melalui intonasi yang
tepat. Dia mengaitkan tema-temanya dengan keadaan. Selama bulan Ramadhan, dia
berbicara tentang puasa, dan tentang perlunya terlebih dahulu menyucikan hati
agar tindakan fisik ini memiliki makna spiritual. Selama bulan haji, yaitu
bulan Dzulhijjah, bulan terakhir dalam tahun Hijriah, dia menyerukan agar
memeriska keadaan hati nurani selama tahun-tahun yagn lewat. Bila datang tahun
baru, di bulan Muharram, dia menganjurkan agar bersedekah. . Ibn ‘Abbad tidak
memandang khutbah umum itu sebagai forum yagn tepat untuk menyampaikan
masalah-masalah tasawuf. Dia amembahas masalah tasawuf dalam surat-surat
pribadi yang berisi bimbingan spiritual.
Selama
seperempat terakhir abad keempat belas, dinasti Mariniyah mengalami kemudnuran.
Kota besar Fez mengalami kesulitan politik besar dan lebih dari sekedar sedikit
keresahan spiritual. Gambaran sosok . Ibn ‘Abbad yagn tinggal di rumah kecil di
dekat masjid, yang menarik sedertan anak kecil berjalan di belakangnya ketika .
Ibn ‘Abbad berjalan menuju ke masjid, dan yang memperhatikan kebtuuhan orang
sedapat mungkin, merupakan gambaran tentang keyakinan dan harapan pada saat
terjadi ketidak-stabilan dan ketidakpastian. Menjelang akhir hayatnya, dia
menulis kepada seorang sahabat, Abu Al-‘Abbas Al-Marrakusyi, bahwa dia merasa
jenuh deengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya, dan pasrah
dengan kesehatannya yang memburuk serta sedang mempersiapkan diri menyongsong
datangnya kematian. Nwaiya mengatakan bahwa . Ibn ‘Abbad tetap membujang sampai
akhir hayatnya. Sebagian sumber mengatakan dia tidak pernah menikah. Kalau memang
dia menikah pada akhir hayatnya, tentu dia melakukannya karena keinginan
mengikuti contoh Nabi, bukannya karena dirinya lebih menyukainya. Dia tidak
pernah pergi haji ke Makkah.
Pada
17 Juni 1390, . Ibn ‘Abbad dimakamkan di ahdapan sultan dan banyak penduduk
Fez. Meskpun lokasi-lokasi makamnya tidak lagi diketahui, toh konon tetap
menjadi tujuan penziarah selama bertahun-tahun. Sampai 1936, Serikat Sekerja
Pembaut Sepatu mengadakan perayaan untuknya setiap tahun, sebab dia telah
menjadi wali pelindung mereka.
DAFTAR - ISI
Riwayat Hidup Ibn ‘Abad
Surat Pertama
Surat Kedua
Surat Ketiga
Surat Keempat
Surat Kelima
Surat Keenam
Surat Ketujuh
Surat Kedelapan
Surat Kesembilan
Surat Kesepuluh
Surat Kesebelas
Surat Kedua belas
Surat Ketiga belas
Surat Keempat belas
Surat Kelima belas
Surat keenam belas
SURAT PERTAMA
Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat untuk menjawab
sebuah pertanyaan seseorang tentang satu masalah dalam kitab Qut Al-Qulub
(Santapan Kalbu), dalam bab “Takut”. Surat ini juga memuat informasi bermanfaat
lainnya yang dibutuhkan seorang pencari dalam berhubungan dengan orang-orang
tertentu
1.
Kusampaikan
salam hangatku kepadamu. Aku memohon kepada Allah Swt. agar memberi kita
keberhasilan sempurna, petunjuk ke arah Jalan Lurus, dan jaminan bahwa harapan
kita bakal terpenuhi dan amalan-amalan kita menjadi benar.
Telah
kuterima suratmu. Di dalamnya engkau mencari penjelasan atas pertanyaan yang
dikemukakan kepadamu oleh kitab karya Abu Thalib, risalah penyembuhan. Seperti
yang kau minta, berupaya menjelaskan sepenuhnya kandungan kitab itu berarti
harus mengungkapkan rahasia-rahasia dan pengetahuan gaib. Yang demikian itu
sungguh riskan dan amat berbahaya. Lagi pula, analisis tajam terhadap
sifat-sifat dan hakikat Allah sangatlah menyulitkanku. Orang dapat sampai pada
kebenaran-kebenaran seperti itu hanya dengan cahaya keimanan, dan hanya
manusia-manusia paling tulus dan ikhlaslah yang beroleh bimbingan di sepanjang Jalan itu. Siapakah di antara
kita yang dapat mengklaim hidup di Jalan itu atau merupakan bagian dari
masyarakat seperti itu? Nafsu kita telah membuat ktia buta. Kita tidak tahu
lagi bagaimana kita mesti berperilaku; jejak-jejak padang perkemahan
menghentikan langkah kita, sampai kita kehabisana bekal dan gagal mencapai
tujuan. Dengan pelbagai kelicikan dan bujuk rayunya, musuh dan tingkah laku
kita telah membunuh kita. Pandangan kita buta, dan kalbu kita gelap gulita.
Sungguh suatu kecongkakan dan kesombongan belaka bila kita menghasaratkan
pengalaman menyeluruh tentang apa yang engaku minta agar aku menjelaskannya,
menyusuri jalan penyingkapan dan kejelasan pandangan. Yang demikian itu,
berarti mengabaikan kepastian kita serta menjerumuskan diri kita ke jurang
kebodohan presensi (berpamrih) yang melecehkan dan menghina orang-orang pandai
dan membuktikan kejahilan orang-orang bodoh. Kebatilan tidak bakal bisa tegak
dengan sarana seperti itu.
2.
Seandainya
kita harus memasuki dunia ahli fiqih, kita akan tahu bahwa mereka juga tidak
bakal mampu memuaskan dahaga kita atau menunjukki kita jalan pemahaman lewat
penggunaan akal dan pandangan-pandangan kaku mereka. Semuanya itu merupakan
langkah mundur dan tidak tepat. Salah satu alternatif kita dalam hal ini ialah
menyerahkan hal itu kepada emreka yang berwenang dan layak menanganinya. Kita
harus puas dengan apa yang ada pada diri kita dan mencari mukasyafah (penyingkapan)
dari Tuhan, Yang menurunkan wahyu, Yang Mahabijak. Kita harus mencari bimbingan
menuju Jalan Lurus (Qs. 1 : 5) dari orang-orang yang menegaskan treansendensi
dan mengingkari antropomorfisme . jalan itu benar-benar aman dari pelbagai
kemalangan, dan akan menjaga orang-orang seperti kita dari pelbagai perilaku
serta tindakan bodoh. Diperlukan perilaku yang benar, kalau kita berjalan
dengan apra wali dan guru spiritual, suatu perilaku yang mengangkat seseorang
ke puncak tertinggi kewalian. Seperti dikatakan oleh al-Junayd, “Meyakini apa
yang telah kita pelajari : Inilah kewalian.” Sekalipun begitu, aku tetap merasa
berkewajiban menjawab pertanyaanmu, karenanya, aku akan berbicara tentang soal
ini sejauh pemahamanku. Aku akan membahas apa yang tampaknya tepat dalam
keadaan seperti ini, dalam upaya menghilangkan keraguan serta sikap yagn tidak
bisa dipertahankan lagi. Aku akan membatasi perhatianku pada hal itu saja.
Sekiranya aku nanti sampai pada Kebenaran Mistik, maka hal itu terjadi berkat
bantuan Ilahi. Jika aku gagal, penyebabnya adalah kelemahan manusiawi semata.
Betapapun juga, hanya Allah Swt. saja yang berhak dipuji.
Ini
adalah soal penting yang merupakan bagian dari ilmu mengenal keesaan Allah.
Dengan dmeikian, ia berkaitan dengan soal waktu yang penting bagi orang-orang
yagn yakin akan keunikan Allah. Ini selaras dengan prinsip-prinsip kaum sufi,
melambangkan makna spiritual ketulusan, dan berasal dari orang-orang yang
memiliki keyakinan, keimanan, pengalaman dan pandangan yang jelas. Hal itu tidak
bisa dijelaskan kecuali dengan menghayatinya, dan taka da seorang pun bisa
membuktikan kebenarannya kecuali dengan memberikan contohnya.
Al-Ghzali
setuju dengan padangan Abu Thalib, dan mengungkapkan soal itu dengan cara yang
sama. Keduanya berbicara tentang muslihat (Ilahi) dan menguraikannya secara
panjang lebar. Dan Allah Swt. telah menisbahkan hati itu pada Diri-Nya dalam
berbagai surah di dalam Kitab-Nya, sama seperti dinisbahkannya cobaan, godaan
dan kelicikan kepada-Nya. Semua istilah ini mengungkapkan aspek-aspek dari
kehendak dan pengetahuan-Nya, dan menunjukkan bahwa kesucian, transendensi dan
keagungan-Nya tidak bisa dibandingkan dan sama sekali tak mengandung
antropomirfisme.
Baiklah,
aku mulai saja di sini dengan pendahuluan. Pencipta Mahaagung telah menciptakan dan membentuk manusia
dengan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, semuanya itu amatlah kecil
manakala dibandingkan dengan-Nya. Kemudian, Dia membekali manusia dengan
kecenderungan untuk mengetahui (Ma’rifah) tentang Diri-Nya dan tentang
sifat-sifat serta Nama-nama-Nya. Dengan sarana itu, Dia mengangkat seseorang
tinggi-tinggi mengatasi batasan-batasan intelek, sehingga seseorang dapat
memahami ilmu-ilmu empiris, serta menuntunnya untuk merenungi berbagai tanda
kekuasaan di alam semesta dan dalam diri makhluk. Keagungan dan keajaiban
menampakkan diri di depan seseorang yang memperhatikan tanda-tanda kekuasaan
ini. Semuanya itu memaksa dirinya mengakui bahwa Pencipta, Penyebab Pertama
memiliki sifat-sifat seperti hidup, mengetahui, berkuasan dan berkehendak –
bahkan waktu seseorang memperhatikan dirinya sendiri setelah menyelesaikan
pekerjaan. Kemudian orang itu juga memperhatikan dirinya sendiri serta melihat
di sana sifat-sifat kesempurnaan seperti mendengar, melihat dan berkata-kata, sehingga
pengalaman ihwal kekuasaan Ilahi memaksanhya menisbahkan sifat-sifat serupa
kepada Pencipta.
3.
Lalu,
orang melihat perbedaan sangat besar antara yang baru dan yang azali, makhluk
dan Khalik. Hal ini mendorong dia menegaskan transendensi dan mengingkari
antropomorfisme. Pada titik ini, orang memahami segala yang bisa dijangkau oleh
pemahaman manusia tentang transendensi Penciptanya Yang Maha Tinggi. Dari sana,
dia naik ke derajat tertinggi dan tingkatan maksimal kemampuannya untuk
menegaskan dan melihat. Inilah
proses, yang dengan proses ini, seseorang mengamati dan melakukan refleksi dan
terbimbing menuju Sebab lewat akibat-akibat-Nya.dan proses itu akan
cukup membimbing setiap orang yagn pandai menuju dasar-dasar pengetahauan
mendalam yagn merupakan syarat bagi keselamatan dan kemajuan spiritual. Akan
tetapi, orang mungkin masih mengalami keraguan dalam keimanannya dan tidak
mengalami pengembangan inti wujudnya serta penyucian kalbu.
Kemudian
Allah Swt. memilihi sebagian hamba-Nya. Allah Swt. menampakkan diri-Nya kepada
mereka lewat cahaya-Nya, sesuatu yang tampak ssangat jelas bagi mereka. Dengan
cahaya itu, mereka pergi menyusuri jalan yang ditunjukkan dengan jelas oleh
pengetahuan mendlam mereka tentang-Nya. Mereka merenungkan sifat-sifat
menakjubkan dan Nama-nama-Nya dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh
golongan pertama. Mereka memahami keagungan kehadiran Ilahi dan cahaya-cahaya
suci sedemikian sehingga tak dapat dilakukan oeh orang-orang yang mencari
bukti. Kepada orang-orang yang mencari bukti inilah hamba-hamba terpilih itu
mengatakan, “Mengapa engkau mencari
informasi tentang apa yang pada dasarnya tidak bisa dipaparkan? Kapan Dia Dia
begitu tersembunyi sehingga tidak ada bukti
tentang-Nya? Bagaimana mungkin Dia hilang dari kita sementara banyak
jejak yang menuntuk kita menuju kepada-Nya? Bisakah segala sesuatu selin Dia
menjadi tampak dengan cara di luar kekuatan alaminya sampai Di menampakkannya?
Mana mungkin Dia yang pada diri-Nya segala sifat diketahui bisa diketahui oleh
sifat-sifat-Nya? Atau, mana mungkin Dia yagn Wujud-Nya mendahului segala wujud
lainnya bisa dibedakan sebagai satu entitas khas? Dan bagaimana mungkin dengan
sarana tidak memadai Dia yang “lebih dekat ketimbang urat leher” (banding Qs.
50 : 16) bisa dijangkau? Dan “Tidakkah cukup Tuhanmu, karena sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. 41 : 53).
Melalui
pengetahuan mendalam tentang-Nya, mereka sampai hanya pada nama-nama;
disebabkan oleh transendensi-Nya, mereka tidak sampai pada batas pujian dan
pengagungan paling jauh. Namun mereka merenungkan Wujud itu, dan bila segala
sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya hanyalah ketiadaan semata, yang bila
keabadian segala sesuatu lainnya ddibandingkan dengan-Nya tidak berarti apa-apa,
yang mengalaminya hanyalah kepalsuan, yang melihatnya hanyalah ilusi, yagn
mengingatnya hanyalah kelupaan, dan yang bertambahnya hanyalah kekurangan.
Demikianlah, mereka melihat dengan pandangan mata keyakinan dan bukti yagn
jelas keberanaran orang yang mengatakan, “Allah maujud sebelum segala sesuatu,
dan Dia maujud terpisah dari segala sesuatu yagn bergantung kepada-Nya.”
Setelah
mereka mencapai peringkat ini, mereka bisa memahami Sang Raja Yang Maha
Mengetahui. Dia bebaskan mereka dari perbudakan menuju pengetahuan dan
menyebabkan mereka mati terhadapat segala-galanya. Relung kalbu mereka menjadi
suci, dan Allah Swt. menampakkan diri kepada mereka melalui Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya yang paling mulia. Dia beri
mereka pengetahuan tentang apa yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka berlaku
sebagai hamba di hadapan Tuannya. Mereka beristirahat di tempat di maan Zat
yang mengetahui setiap pemikiran rahasia mereka mengawasi mereka. Mereka
bergabung dalam barisan ibadah bersama-sama orang-orang yang “membentuk shaf
serta bertasbih memuji-Nya” (bandingkan Qs. 37: 165-166). Mereka mencapai tingkatan hamba paling mulia, dan
bertasbih dengan lidah keadaan spiritual mereka, seraya berkata, “ Betapa
banyak hasrat kalbuku .....” Dan betapa bahagianya mereka dipilih menjadi
penghuni tempat orang-orang yang dicintai, dengan “Akhir kehidupan indah.” (Qs.
3 : 14, 13 : 29), seperti diungkapkan
dalam Umm Al-Kitab.
4.
Perbedaan
antara dua jalan dan metode-metodenya ini bisa dengan gamblang dijelaskan
dengan cara begini. Di dalam inti jalan pertama dicarinya bukti oleh akal serta
ketidakmampuan akal untuk memahami, kecuali dengan penalaran analogis dan perbandingan.
Yang demikian itu berlaku selama dibimbing oleh pengkajian empiris. Akan
tetapi, jalan kedua bertumpu pada cahaya keyakinan, yang hanya dengan itu
Kebenran Nyata tampak jelas. Itulah sesuatu paling agung yang bisa turun dari
langit ke dalam kalbu orang-orang mukmin pilihan, yang dengan begitu memahami
Kebenran Mistik Sifat-sifat dan Nama-nama.
Setelah
engkau memahami pendahuluan ini, engkau akan memahami bahwa berbagai keberatan
yang kau ajukan berkenaan dengan Syaikh Abu Thalib runtuh dengan sendirinya.
Masalah ini berkaitan erat dengan cara berpikir yagn tidak ada hubungannya
dengan pemahaman analogis atau tatanan rasional. Selanjutnya,
keberatan-keberatan itu berkaitan dengan cara berpikir yang lebih luas, sebab
pendekatannya terhadap masalah ini tidak melampaui batas-batas akal.
Sekarang
tentang pernyataan Abu Thalib, “Muslihat
Tuhan tak berkesudahan, sebab kehendak dan ketentuan-Nya juga tak terbatas.”
Di sini dia menyebutkan bahwa satu aspek dari pengetahuan, kalam, kehendak dan
keputusan Allah Swt. itu, tak dapat dipahami dan dimengerti. Karena itulah Nabi
dan Jibril takup kepada tipu daya Tuhan mereka yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi,
sekalipun mereka memiliki keimanan kuat. Takut seperti inilah yang niscaya ada
pada diri kita. Hampir tak bisa dibayangkan untuk lepas dari rasa takut seperti
ini, sebab hal ini adalah salah satu syarat bagi keimanan dan pengetahuan
tentang Sifat-sifat dan Nama-nama hakiki Tuhan. Karena itu, semakin besar
pengetahuan kita tetnang Sifat-sifat dan Nama-nama, semakin takut kita jadinya.
Seperti dikatakan oleh salah seorang sufi, “Seorang yang meiliki penegtahuan
mendalam tentang Allah Swt. tidak akan merasa nyaman, dengan pengetahuan
seperti ini menggoncangkan rasa amannya. Hanya orang-orang berandalan saja yang menganggap diri
mereka aman dari tipu daya Tuhan.” (Qs 7:79). Dan seorang lainnya
mengatakan : “Takutlah keapda Tuhanmu sedemikian sehingga engaku selamat dari
segala hal, tapi waspadalah jangan sampai hatimu merasa aman dari Allah Swt
dalam hal terntu.” Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk takut kepada
sesuatu, akan tetapi, seseorang tak bkal pernah merasa aman dari Allah Swt.
Sesungguhnya
makna lahiriah firman Allah “Aku telah menjadikan kamu berdua aman” tidaklah
dimaksudkan untuk menghilangkan ketakutan mereka, sebab, makna yang tampak dari
dari kata-kata itu tidak menghilangkan kebutuhan batiniah akan sifat takut itu.
Seperti telah dikatakan oleh Syaikh Abu Thalib, pernyataan itu berlaku pada
sifat khusus bahwa Allah Swt. sudah menetapkan ketentuan dengan
pengetahuan-Nya. Ini adalah satu aspek dari transendensi kalam Allah, dan tak
ada satu pun yang bertentangan dengannya, sebab metode-metode rasional tidak bisa menghalangi Allah dari mengatakan
hal-hal yang tidak bisa kita pahami. Dalam pembahasan ini, cobaan dan ujian
Muhammad dan Jibril bersifat mendidik bagi kita. Hal itu akan bermanfaat buat
kita untuk mengamati keadaan mereka dalam memperhatikan hakikat Sifat-sifat
Ilahi, untuk mengetahui bagaimana Allah mengubah keadaan hamba pilihan-Nya, seperti
dalam ksiah Ibrahim a.s.
Janji
pengukuhan dari Allah sungguh masuk akal. Tapi bagaimana melihat nuansa-nuansa
itu? Selain itu, dalam pengalaman Muhammad dan Jibril ada sesuatu yang
menunjukkan kebergantungan penuh mereka kepada Tuhan meraka yang Mahakuasa dan
Mahatinggi. Tingkatan (maqam) ini – Allah mengangkat Nabi-Nya ke tingaktan ini
– dalam keadaan sebagian besar keadaannya, adalah tingkatan yang tinggi dan
mulia. Dan ini lebih sempurna ketimbang memperlihatkan ketakbergantungan.
Kefakiran lebih tepat bagi kondisi penghambaan ketimbang ketakbergantungan,
sebab, seperti dilukiskan oleh para pemimpin sufi, ketakbergantungan adalah
salah satu hak istimewa Allah. Masalahnya adalah bahwa kedua makhluk terkasih
(Muhammad dan jibril) bisa memahami, lewat penyingkapan sifat ketakbergantungan
dan pengalaman tentang kebesaran dan keagungan-Nya dalam keadaan ini, bahwa apa
yang dikehendaki Allah dari mereka pada saat itu dalam mengakui kefakiran dan
menyadari kerendahan dan kelemahan. Itulah sebabnya Dia berurusan dan berbicara
dengan mereka seperti yang dilakukan-Nya.
Lebih
jauh Abu Thalib mengatakan bahwa “Allah Swt tidaklah dipaksa oleh aturan-aturan
apa pun, dan tak ada kecaman-kecaman manusia berlaku atas-Nya. Ini mengacu pada
aspek lain dari transendensi esensi Ilahi atas batasan-batasan kemakhlukan. Dia
bertindak dan memiliki ekagungan sempurna secara mutlak. Tak ada ketentuan apa
pun yang mengikat-Nya, sebab Dia-lah yang mengeluarkan ebrbagai ketentuan. Lalu
bagaimana mungkin Dia terikat oleh ketentuan atau terkena batasan,d an dengan
demikian tak mampu membuktikan secara penuh kebenaran-Nya dalam kata dan
tindakan? Sebab, Dia-lah yang menyatakan setiap orang tulus yang memiliki
ketulusan, dan Dia-lah yang memberikan kesadaran penuh tentang Kebenaran kepada
setiap orang yang memiliki kebenaran. Setiap perkataan-Nya adalah Kebenaran itu
sendiri. Kebenaran Mistik yang mengartikulasianya melampaui sekedar ungkapan
lahiriah. Karena itu, jika maknya tersembunyi dari kita atau maksudndya tak
bisa kita pahami, maka Allah Swt – kalau begitu – pasti bukan Tuha. Ini
meruntuhkan kebenaran-kebenaran terhadap apa yang dikatakan Syaikh Abu Thalib.
Allah tidak mungkin bisa dilukiskan tidak berwatak benar. Dengan demikian, yang
kita dapatkan di sini hanyalah kesulitan dalam memahami gaya ungkapan-Nya.
Abu
Thalib selanjutnya mengatakan : “Jika kata-kata berubah, maka Dia sendiri
adalah pengganti kata-kata itu.” Dan sebagainya. Ini adalah pernyataan logis
dan luar biasa tentang makna keesaan Ilahi yang tak mampu dipahami secara
rasional. Allah tidak perlu, seperti dibayangkan sebagian orang, minta izin
untuk membatalkan apa yang telah dikatakan-Nya.
Aku
tidak yakin akan kesahihan haids yang dikutip Abu Thalib. Aku juga tak tahu
ahli-ahli hadis mana yang meriwayatkannya. Akan tetapi, Abu Thalib
menguatkannya dengan padangannya bahwa karena hadis mutawatir tidak
bertentangan dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka ia bisa dipakai dan
sahih, sekalipun ada keraguan tentang rantai periwayatannya. Baik Ahmad ibn
Hanbal maupun ‘Abd Al- Rahman ibn Mahdi dan yagn lainnya tidak menyebutkan
hadis ini dalam “Bab Ilmu.”
6.
Betapapun
juga, aku berpendapat bahwa tak perlu ada bukti penguat guna menjelaskan hadis
itus serta menghilangkan keraguan tentangnya. Sungguh mengherankan bahwa ada
oran tak mau menerima hadis ini atas dasar karena dia tak memahaminya serta
yakin bahwa hadis itu tak masuk akal dan berasal dari rantai periwayatan yagn
tak sahih. Sesungguhnya, keimanan dan keyakinan yang dipatrikan Allah Swt. pada
Muhammad dan Jibril tidak bisa diragukan lagi. Kedudukan tinggi dan kemuliaan
mereka, dan diangkatnya mereka ke tempat yang amat mulia, cukuplah membuktikan
hal itu.
Ketakutan
mereka akan tipu daya Allah bisa juga dipahami sebagai masalah intelektual.
Yang jelas pertanyaana dan jawaban itu merupakan bentuk ucapan, dan itulah yang
menjadikan masalah ini bisa dipahami. Jawaban kita tentang hadis ini tak lain
adalah jawaban yang selalu diberikan berkenaan dengan kesulitan intelektual
ini. Al-Ghazali membahas soal ini dan mengomentari hadis ini dengan
mengemukakan hadis lain tentang doa Nabi saw. kepada Tuhannya pada waktu Perang
Badar. “Jika Engkau
menghancurkan barisan pasukan ini, maka tak bakal ada seorang pun
menyembah-Mu.” Beliau berdoa seperti ini dalam kontek janji pertolongan
dan kemenangan dari Allah Swt. Maksud hadis ini dalam koleksi ini, dan komentar
atasnya, sama dengan apa yagn dikatakan tentang hadis eprtama, kecuali bahwa
dalam haids pertama karakteristik kefakiran tampak lebih jelas.
Kisah
Musa a.s. dan ketakutannya setelah memiliki keyakinan dan keimanan kuat, adalah
variasi lain tentang tema pengetahuan transenden, kalam, kehendak, dan
ketentuan Allah Swt. serta tentang kebutuhan nyata Musa akan Tuhannya, dan
tentang kemuliaan kedudukannya. Inilah makna pernyatan Syaikh Abu Thalib “Musa
tidak merasa aman” sampai kalimat “karena Musa memiliki pengetahuan mendalam
tentang tipu daya tersembunyi-Nya dan sifat-sifat terselubung-Nya.” Pengamatan
Abu Thalib “dan adapun pengetahuan-Nya tidak tunduk kepada ketentuans ejauh
yagn di bawah ketentuan adalah sebentuk paksaan. Allah-lah yagn emnang, namun
seandainya Dia tunduk apda ketentuan, maka Dia akan menjadi yagn diadili dan
bakal menjadi yang dikalahkan. Tapi Allah jauh di atas hal semisal itu.
7.
Maksud
Allah yang kedua tidaklah, seperti engkau bayangkan, memiliki pengertian
seperti yagn pertama. Yang kedua jelas meliputi salah satu rahasia Allah Swt.
yagn mengakibatkan timbulnya kedamaian, ketenangan, keyakinan, dan tiadanya
ketakutan dalam diri Musa. Ini menunjukkan kerahmanan dan kerahiman-Nya dalam
menjalankan kehendak-Nya dalam diri Musa a.s. Syaikh Abu Thalib memperhatikan
ini ketika berkata : “Kemudian dia percaya pada zat yagn tenagh berbicara
kepadanya, sekalipun mula-mula dia tidak bisa diam tenang.” Tidakkan engkau
mengetahui sebagai Allah Swt. membawa Musa menuju pemahaman lebih dalam tetang
tujuan-Nya guna membuat dia aman, dengan menggunakan sebuah kalimat yagn
subyeknya diberi tekanan dan dengan menambahkan kata-sandang tertentu pada
predikatnya – dalam bentuk superlatif dan sesudah subyek kata ganti yagn
ditegaskan? Begitu banyak perbedaan lahiriah antara kedua pernyataan itu.
Begitu
pula, kisah Isa a.s. melukiskan transendensi pengetahuan dan kalam Allah, dan
menunjukkan perilaku yang tepat dalam kedudukan itu yang tidak dapat dilukiskan
oleh keindahan sastra dan paparan yang runtut teratur. Yang demikian itu
diamanatkan kepada guru-guru yang dipilih Allah untuk menggunakannya. Karena
itu, aku tidak akan mengulas lebih jauh soal ini; dan aku memohon ampun kepada
Allah Swt. atas apa yang tak kulakukan. Sesungguhnya, tak ada seorang pun bisa
benar-benar memahami kedudukan yang telah aku uraikan itu, kecuali orang-orang
pilihan yang telah mengalaminya secara langsung. Dan aku pun benar-benar tak
mampu memahaminya juga, seperti halnya aorang lain.
Engkau
menyinggung beberapa pernyataan Abu Bakr Al-Khatib yang tidak sependapat dengan
Abu Thalib mengenai pandangan-pandangan kaum sufi tentang Sifat-sifat Ilahi.
Pernyataan-pernyataan argumentatif itu muncul sesudah pujian Abu Bakr atas Abu
Thalib, dan sulit menjelaskan bagaimana pertentangan dan pujian bisa berjlan
seiring. Jika orang yang merasa keberatan memaksudkan kata-katanya yang
belakangan sebagai berarti bid’ah Abu Thalib, seolah-olah dia berdebat dengan
seseorang yang tidak setuju mengenai dasar sifat-sifat, keabadiannya, hubungan
timbal balik menyeluruhnya, atau transendensinya, maka Abu Bakr pastilah tidak
menyinggung-nyinggung soal itu. Tak ada sesuatu pun yagn telah dikatakan Abu
Thalib membenarkan kesimpulan seperti itu. Lantas, bagaimana perbedaan pendapat
Abu Bakr sesuai dengan pujiannya kepada Abu Thalib, jika pada saat yang sama
Abu Thalib pantas menerima kecaman pedas atas keadaan spiritual dan
kesalahannya, lebih daripada dia layak beroleh pujian dan sanjungan Abu Bakr?
Jika, sebaliknya, Abu Bakr sekedar tidak setuju tanpa bermaksud menilai bahwa
dia telah berbuat bid’ah, seperti dalam debat damai antara kaum literalis dan spiritualis,
maka ahal itu bisa diterima, dan satu pihak pun tidak punya bukti meyakinkan
untuk menjatuhkan pihak lain.
Yang
aku inginkan darimu adalah berhenti pada soal yagn ada dalam kita Al-Khatib
itu. Tulislah lengkap bagian itu, dan kirimkan kepadaku agar aku bisa
memepelajarinya. Aku senang engkau menggeluti ilmu-ilmu ini dan mengkajinya,
sekalipun engkau jauh dari rumah dan terpisah dari sanak saudara dan
lingkunganmu. Kokohkan pikiranmu dalam kajian itu dan tekunilah, dan
hasil-hasilnya bakal sangat bermanfaat bagimu.
8.
Engkau
memerlukan pengajaran yagn maknanya bisa dipahami sepenuhnya hanya lewat
kecerdasan dan pengalaman, dan seseorang bisa dipalingkan dari pengajaran itu
hanya oleh kelalaian dan kepura-puraan. Inilah bahaya-bahaya yang bakal engkau jumpai dalam proses belajar
ini. Khusunya di antara orang-orang yang memiliki salah satu dari tiga sifa ini
: keangkuhan, bid’ah, dan taqlid buta. Keangkuhan adalah laknat yang mencegah seseorang
memahami ayat-ayat dan peringatan-peringatan Ilahi. Bid’ah adalah kesalahan. Melalui kesalahan
ini keangkuhan menyebabkan seseorang jatuh ke dalam kesulitan-kesulitan serius.
Dan taqlid buta
adalah belenggu yang mencegah seseorang meraih kejayaan dan mencapai tujuan.
Orang yang memiliki salah satu dar sifat-sifat ini tunduk pada penilaian tak
berarti dan berada dalam pergulatan dan kekacauan terus menerus. Bagaimana
jadinya dengan orang yang dalam dirinya bergabung sifat-sifat itu.
Jangan
biarkan dirimu dipengaruhi oleh orang-orang seperti ini. Janganlah pergaulanmu
dengan mereka menghalangimu dari proses belajar ini, sehingga kesalahanmu
menjadi lemah, dan pintu-pintu petunjuk serta keberhasilan tertutup bagimu. Manakala salah seorang di antara
orang-orang ini mengemukakan berbagai argumen tak masuk akal atau mengaku
berada dalam keadaan atau maqm (kedudukan) tertentu. Maka akibatnya adalah
penalaran sesat, dusta, penipuan, dan angan-angan. Ini menggiurkan orang
yang berbicara dan orang yang mendengarkan, sebab mengaku membuat kaya setiap
orang yang bodoh dan mudah tertipu. Semuanya itu adalah kesombongan di atas
kesombongan. Di dalamnya dijumpai salah satu bukti paling meyakinkan ihwal
keunggulan pengetahuan yagn sudah aku bicarakan. Ia membuka pintunya hanya buat
hamba yagn suci dan bertakwa kepada Allah, dan menyingkapkan hijabnya hanya
buat kalbu yang bertobat dan dibersihkan dari berbagai padangan pertentangan
yang dikemukakan oelh bentuk-bentuk lain pengetahuan.
Karenanya,
janganlah memandang pendukung hukum lebih mampu ketimbang seseorang yang
berasal dari mazhab Pengetahuan ini. Sebab, pengetahuan eksoteris bertentangan sekali dengan Kebenaran
Mistik. Ia menutup ke arah perilaku tak benar dan kerusakan jalan
hidupnya,d an puncaknya adalah kehampaan membinasakan buat mereka yang terlibat
di dalamnya.
Kaum sufi, sebaliknya, merenungkan
apa yang tersembunyi dari orang lain, dan menyadari sepenuhnya
kebenaran-kebenaran yang tidak dipahami orang lain.
Mereka itu seperti orang-orang yang dikatakan oleh penyair :
Malamku telah menjadi fajar cerah
karena wajahmu,
Meski petang telah menampak ke
angkasa.
Banyak orang tetap berada dalam malam
mereka,
Sementara kami berada dalam pesona
kecemerlangan wajahmu.
9.
Seperti
dikatakan Jibril : “Jangan
menganggap dirimu alim, sebab pengetahuan apra ulama hanyalah kecurigaan.”
Manakala sebuah eprtanyaan
dilontarkan kepadamu, janganlah engkau deakti dengan gaya intelektual semata.
Sebaiknya engkau menanganinya dengan tenang, mengesampingkan
keberatan-keberatan rasional, sehingga kebenaran sederhananya, yang bisa
menenangkan kalbumu dan meluaskan inti wujudmu, bisa tersingkap bagimu. Engkau
memerlukan niat suci dan keinginan tulus guna mengejar pengetahuan ini, sebab
ia adalah pentetahuan mulia yang membawa sang hamba menuju pengetahuan mendalam
ihwal Rahmat-Nya. Melaluinya, sang hamba di bawa menuju puncka pertemuan
dengan-Nya bersama orang-orang pilihan dan terkasih-Nya. Al-Junayd berkata :
“Sekiranya akau tahu bahwa Allah memiliki pengetahuan lebih mulia di kolong langit ini ketimbang pengetahuan
yang kita uraikan bersama-sama sahabat dan saudara-saudara kita ini, aku baka
segera lari mengejarnya.” Semuanya ini ddiasarkan atas mencari perlindungan
secara tulus, atas kesadaran akan kebutuhan diri, atas doa terus menerus, dan
atas penidadaan diri, di hadapan Sang Raja Yang Mahaagung. Mulai sarana-sarana
inilah inti wujud seseorang berkembang dan berbagi rahasia bisa dibongkar. Dan
tidak ada pertolongan dan kekuatan kecuali dari Allah Swt.
Siapa
saja yang menerima perintah ini dan bertindak sesuai dengan rincian tersurat
dan maksud-maksudnya, bakal beroleh kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat
nanti, dan bakal beroleh kegembiraan. Hanya saja, bila seseorang terus menerus
menangguhkan dan menghindari peringatan-peringatan berisi petunjuk, maka dia
tidak bakal pernah bisa menyamai orang-orang bijak dalm hal kebaikan. Marilah
kita beroda kepada Allah, agar Dia menerangi penglihatan kita dan menyucikan
kalbu kita, sehingga dengan kemurahan dan karunia-Nya. Dia melimpahkan rahmat
kepada kita yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Dan, yang awal serta yang terakhir, semoga
Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita Muhammad dan
keluarganya.
SURAT KEDUA
Kepada Muhammad ib Adibah. Surat untuk menjelaskan
sebab-sebab dosa dan kemaksiatan yang menjadi ciri seseorang yang memiliki
kehidupan spiritual tinggi
10.
Telah kuterima suratmu. Aku memahami betul keadaan
spiritual yang menurutmu tengah engkau alami. Saudaraku, aku ingin engkau
mengetahui bahwa, dengan keadaanmu saat ini, tak ada sesuatu pun perlu
dikhawatirkan atau patut dicela. Seseorang yang berusaha menyucikan kalbunya,
dalam keadaan seperti itu, jarang sekali bisa menemukan jalan yang mesti di
tempuh untuk mencapai tujuan, kecuali bahwa musuhnya menghadang perjalanannya.
Untuk mencapai itu, Musuh mengerahkan tentara-tentara setan seperti dirinya,
belum lagi iblis-iblis betina, dan memasang berbagai jebakan dan perangkap.
Dengan menggunakan siasat dan tipu muslihat, dia menebari berbagai pesona dunia
ini, angan-angan dan janji keselamatan, sehingga mereka yang waspada dan
hati-hati tak dapat melihatnya. Seandainya seorang pencari tersandung tidak
sadar oleh salah satunya dan tanpa bantuan pengetahuan spiritual, maka Musuh
merebut kesempatan ini guna menyebarkan pasukan-pasukannya untuk melawan dia.
Dia mengirimkan setan-setannya untuk memperdaya sang pencari dengan segala
macam kesombongan dan kepra-puraan yang bisa membutakan pandangan kalbunya.
Hal-hal ini menghalangi jalan sang pencari menuju Jalan Tuhannya, sehingga
membuatnya bingung dan tanpa petunjuk di sepanjang jalan itu, sebab dia tidak
bisa menemukan rambu-rambu. Bagaimana mungkin seseorang bisa menempuh jalan
lurus menuju kesucian kalbu dalam kondisi seperti itu, kecuali dengan bantuan
dan sebelumnya mendapat perhatian dari Tuhannya yang Mahakuasa dan Mahaagung.
Sebelumnya aku telah menulis surat kepadamu untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaanmu ketika engkau berada di sini. Dalam surat itu
aku mencantumkan beberapa soal yang bermanfaat bagi sang pencari dalam
perjalanannya, dengan menggunakan secara terinci tentang bagaimana ddia mesti
bertingkah laku dalam segenap keadaan spiritualnya. Itulah pandanganku yang
terbaik dalam soal itu. Tak seorang berakal sehat pun bakal meragukan kelogisan
dari apa yang aku katakan, atau was-was mengenai maksud-maksudnya sebagai obat
buat segala penyakitnya. Setelah aku mengirim surat itu, aku menerima surat
darimu. Karena nadamu dan juga karena engkau tidak membalas suratku, atau tidak
berkata bahwa engkau telah menerimanya, atau memberikan reaksi terhadapnya atau
tak menunjukkan apakah engkau masih berada dalam keadaan jiwamu sebelumnya atau
tidak. Aku pun lalu curiga bahwa suratku tidak sampai kepadamu. Betapapun juga,
aku memberikan jawabanku ini terhadap surat-suratmu yang terakhir dengan
harapan bahwa Allah Swt. bakal memberi keberhasilan. Aku menulis surat ini
mengingat pertanyaanmu, sebagaimana layaknya, dan dengan harapan jawabanku bisa
membantumu.
11.
Inti suratmu bisa diringkas dalam tiga pernyataan.
Pertama, bahwa engkau diliputi berbagai dosa dan kesalahan; keuda, bahwa engkau
tak mampu menghilangkan atau mencegahnya agar tidak terjadi; dan ketiga, bahwa
engkau kemudian mengalami rasa malu dan kekcauan mental. Keuda yang terakhir
ini sesungguhnya bisa menjadi yang pertama, sebab ketidakmampuan menghindari
dosa atau meninggalkannya adalah kesalahan, seperti halnya akibatnya yang
berupa kebingungan dan hilangnya sebagian keyakinan. Singkat kata, engkau
adalah orang penuh dengan berbagai kesalahan.
Adalah penting bahwa engkau menelaah, dengan
pandangan spiritual, kesalahan-kesalahan yang telah engkau katakan ini, baik
secara langsung atau secara tersirat. Dengan kata lain, engkau jangan sekedar
memandangnya secara dangkal, sebab nanti engkau bakal cenderung
melebih-lebihkannya, dan dengan begitu menafsirkan cara hidupmu sebagai
perilaku yang jahat dan bodoh. Engkau akan membayangkan kesalahan-kesalahan
yang sesungguhnya tidak ada, dan melihat penyakit di dalam apa yang
sesungguhnya adalah obat. Pengetahuan mendalam sang hamba tentang keadaan
spiritualnya dalam melihat mana kebaikan dan mana akejahatan, mana yang
relatifbaik dan mana yang realtif jahat, merupakan salah satu pengetahuan
paling penting dan amat langka. Sekarang ini, pengetahuan seperti itu sedikit
sekali dijumpai. Orang-orang yang oleh orang gbanyak dipandang memiliki
pengetahuan mendalam seperti ini dalam bentuknya yang paling canggih –
sesungguhnya berurusan dengan soal-soal hipotesis dan pengetahuan formal, yang
sama sekali tidak berkaitan dengan Kebenaran Mistik. Dalam keadaan seperti itu,
sang pencari hanya makin bertambah bingung dan terhina saja ketika dia melihat
suasana.
Semuanya itu adalah akibat dari sedikitnya
sufi-sufi sejati yang mampu membimbing seseorang mencintai jalan ini. Seseorang
hanya bisa menyesali dan berduka atas hilangnya orang-orang seperti ini.
Ketiadaan emreka di zaman kita ditegaskan oleh kata-kata salah seorang leluhur
kita :
Betapa memilukan tiadanya orang-orang yang menjadi mercusuar dan
benteng pertahanan.
Awan hujan, kota-kita, karang-karang menjulang tinggi di lembah.
Betapa memilukan padamnya kedamaian dan ketenangan.
Bagi kita, malam tak bakal berubah jadi siang.
Sampai nasib menapaki jalannya.
Kini kalbu kita hanyalah bara api, mata kita hanyalah
Segenap linangan air mata.
Ada dua cara pendekatan dalam menelaah
kesalahan-kesalahan yang engkau jelaskan itu. Yang pertama adalah menganggap
kesalahan-kesalahan itu sebagai sifat-sifat yang telah dimaksudkan dan
diciptakan Alalh dalam dirimu. Yang kedua adalah memandangnya sebagai
dinisbahkan kepadamu oleh Hukum Wahyu. Perkataan seseorang : “Semeuanya tiu
dimaksudkan oleh-Nya, tapi tidak harus dinisbahkan kepada-Nya.” Menunjukkan dua
pendekatan ini.
Pendekatan pertama tidak menganggap pujian dan
celaan berasal dari manusia. Allah Swt. sajalah yang harus dipuji. Engkau harus
puas dengan ketentuan-Nya, dan tunduk kepada keputusan dan kehendak-Nya.
Singkirkan keresahanmu tentang hal itu sekarang ini, dan arahkan perhatianmu
pada apa yang harus engkau telaah.
12.
Menurut sudut pandang kedua, kesalahan memang patut
dicela. Engkau harus bertobat atas kesalahan dan merasa sedih serta menyesalinya.
Jika engkau berhasil, engkau bakal beroleh ganjaran berlimpah berupa karunia
abadi serta beroleh keridhaan Tuhanmu lantaran telah melakukan apa yang Dia
perintahkan. Ini tidak berarti bahwa engkau meski khawatir jika sakit atau jika
kelelahan menimpamu selama terjadi berbagai peristiwa. Akan tetapi, jika engkau
tidak cukup merasa menyesal, dan sifat kemanusisaanmu mengalahkan dirimu, dan
nafsumu menguasaimu, maka segeralah mencari perlindungan kepada Tuhanmu. Akui
kelemahan dan keffakiranmu, serta mintalah karunia-Nya, denganr endah hati dan
penuh penyesalan menghadap keharibaan-Nya sebagai seseorang yang berada dalam
kesulitan. Meski begitu, janganlah menghadapi keadaan ini dengan cara seperti
yang engkau katakan telah engkau lakukan – seakan-akan engkau mati tenggelam
dalam gelombang, atau menjadi mangsa empuk binatang buas, atau menjadi seorang
tawanan yang disiksa, atau seseorang yang dihukum mati. Setelah engkau memasuki
keadaan tobat ini, bergembiralah, sebab engkau bakal menecapai ekdudukan begitu
mulia, yang nilainya hanya diketahui para wali. Seseorang yang mencapai keadaan
ini permintaanya berhak dikabulkan dan keinginannya didpenuhi. Janji harus
dipenuhi demi keadilan, dan Allah Swt. tidak mengingakari janji-Nya. Seorang
alim yang berpandangan seperti inisampai-sampai mengatakan bahwa seseorang yang
meiliki keadaan itu tidak usah meminta orang lain agar mendoakannya. Dia
mengatakan, “Terkabulnya permintaan terletak pada doanya sendiri, bukan doa
orang lain.”
Sebuah kisah menceritakan bagaimana seorang wanita
mendatangi Al-Junayd dan berkata : “Berdoalah untukku, sebab anakku hilang.”
Dia menjawab : “Pergi dan ebrsabarlah.” Wanita itu pergi, tetapi kemudian
kembali dan berkata : “Aku sudah melakukan apa yang engkau perintahkan
kepadaku.” Junayd berkata : “Bersabarlah.” Dia menjawab : “Kesabranku sudah
habis, dan tak kuat lagi menanggung hal ini lebih lama lagi, karena itu
berdoalah untukku.” Al-Junayd berkata :”Jika engkau berkata benar, pergilah,
dan anakmu akan kembali.” Lalu wanita itu pun pergi. Tak lama kemudian, dia
datang kembali sambil bersyukur kepada Allah. Seseorang bertanya kepada Junayd
: “Bagaimana engkau mengetahui hal itu?” Dia menjawab : “Lewat firman Allah
Yang Mahatinggi, “Seorang yang membutuhkan, merasa yakin bahwa doanya dikabulkan
manakala dia berdoa kepada-Nya” (Qs. 27:62(. Tanda seorang yang mengalami
tekanan berat adalah dia tidak percaya pada jiwa rendahnya dan tak ebrgantung
kepada sumber daya dan kekuatannya sendiri,d an dia tiba-tiba sadar bahwa tak
ada sesuatu dalam pengalamannya – kecuali hanya Allah – yang mempu
menyingkapkan atau mencegahnya.
Salah seorang sufi berkata : “Yang engkau sembah
adalah pikiran pertama yang datang ke dalam benakmu ketika engkau menderita
kecemasan.” Yang lainnya sambil
mengomentari firman Allah Swt. “Seseorang yang membutuhkan merasa yakin bahwa
doanya dikabulkan manakala dia berdoa kepada-Nya” (Qs. 27 : 62), berkata :
“Orang yang membutuhkan adalah orang yang menghadap keharibaan-Nya dengan
tangan terangkat dalam doa tanpa memimpikan karunia khusus dari Allah
sedemikian seolah-olah dia punya klaim atasnya, seraya berkata : “Tuanku,
berilah aku apa-apa yang Engkau punyai.”
Itulah orang yang membutuhkan, meskipun dia – dalam keadaan ini –
mencapai keistimewaan berupa kedekatan kepada Allah dan berupa cinta. Karena
seseorang mampu beroleh manfaat dari kefakiran dan kemiskinan, maka kebingungan
yang dialaminya pun memudar.
13.
Jika doamu belum dikabulkan dan engkau tidak
besabar serta tidak khyusyuk dalam tobat, serta terus berada dalam keadaan yang
baru saja aku uraikan, yaitu membutuhkan karunia-karunia Allah serta tidak
menggantungkan diri pada sarana-sarana lain, maka satu dari dua hal bakal
terjadi. Entah engkau bakal hancur berkeping-keping bersama kecemasan dan
mengalami kegoncangan hebat, atau engkau akan bersabar dan pasrah. Dalam
kasusmu, tidaka da alasan mengapa engkau mesti hancur karena kegelisahan.
Engkau telah aman dan tiba pada Kebenaran Mistik iman, sehingga tidak ada
alasan bagimu merasa khawatir bakal sampai pada jalan seperti itu, jalan yang
harus engkau pilih di antara dua keadaan. Karena itu, yang mesti dilakukan
adalah tabah dan pasrah. Dan dalam keadaan ini, tiadanya jawaban pun merupakan
jawaban itu sendiri.
Ibn “Atha berkata : “Jika Allah membukakan pintu pemahaman bagimu dalam
bentuk kehilangan, maka kehilangan itu sendiri adalah suatu karunia.”
Dia juga mengatakan : “Manakala Tuhan memberi karunia, Dia ingin engkau menyadari
kebaikan-Nya; manakala Dia membuatmu kehilangan, Dia ingin menunjukkan kepadamu
kekuasaan-Nya yang luar biasa. Dan dalam semuanya itu, Dia membuatmu paham dan
menampakkan diri-Nya keapdamu dalam anugerah-Nya.” Dalam keadaan ini engkau
bakal mengalami kontemplasi atau perenungan dan tingkat kemajuan di mana engkau
akan menemukan peningkatan dan penyegaran. Insysa Allah, keadaan ini akan
menjadi sarana untuk mencapai tujuanmu
dan menyembunyikan penyakitmu begitu engkau merenungkan Tuhanmu Swt. yang Sifat-sifat
keagungan, kemuliaan, serta kedaulatan penuh dan ketakbergantungan mutlak-Nya,
merupakan hak itimewa-Nya. Pdaa saat bersamaan, engkau akan melihat
akibat-akibat dari ketentuan dan keputusan-Nya dalam dirimu, dan melihat
dirimus ebagai teater Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya. Ketika engkau memasukkan
ini ke dalam kalbumu sehingga menjadi perhatian utamamu, maka engkau, Insya
Allah, akan melangkah ke dalam keadaan-keadaan lanjutan seperti mengikuti
Sunnah Nabi dan dalam kedudukan mulia seperti cinta, ridla, makrifat, dan
takwa. Tak diragukan lagi, Sifat-sifat sempurna dan anugerah-anugerah Ilahi ini
menuntun orang yang baginya mereka semuanya itu tampak jelas dan yakin bahwa
Allah sajalah yang diinginkan. Allah-lah yang mendekatkan, memberi anugerah dengan
murah hati, dan yang memberi rasa cinta.
Perenungan ini kemudian membimbing menuju keadaan
dan kedudukan lebih lanjut, seperti kedudukan sabar, syukur, harap, malu, dan
tobat. Smuanya ini terjadi seketika, sehingga engkau menjadi baru di mana
sebelumnya engkau sudah hancur, serta kembali ke Zat yang dulu engkau pernah
lari dari_nya. Abu Hurayrah berkata dalam kumpulan hadisnya :”Rasulullah saw.
bersabda : “Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sekali pun kamu
tidak berbuat dosa, Allah akan mendatangimu dan menjadikanmu seorang yang akan
berbuat dosa dan memohon ampunan Allah, sehingga Dia mengampuni orang itu.” Ibrahim ibn Adham berkata :
“Suatu malam ketika sedang turun hujan dan guntur bergemuruh, aku melakukan
thawaf mengelilingi Ka’bah. Lintasan Thawaf sedang kosong. Lalu aku mendekati pintu Ka’bah dan berdoa : “ya
Allah, lindungilah aku dari tidak mematuhi-Mu.” Aku mendengar sebuah suara dari
dalam Ka’bah, “Oh, Ibrahim, engkau meminta perlindugnan dari-Ku dan begitu pun
semua hamba-Ku. Jika Aku melindungi mereka sepenuhnya, lantas kepada siapa lagi
Aku bersifat Pemurah dan Maha Pengampun?”.
Sebaliknya, jika engkau tetap buta dan tertipu, dan
tidak dengan ikhtiar mencari perlindungan serta tidak mengakui kefakiranmu,
maka engkau bakal terus menghinakan keadaan spiritualmu yang sesungguhnya,
disebabkan oleh dorongan yang kuat untuk mengetahui keadaan-keadaan spiritualmu
itu. Engkau akan membenci dirimu sendiri, dan bersedih atas kelalaianmu dan
sifat borosmu. Jika hal ini terjadi, engkau mesti mengerjakan amal-amal ibadah
dalam kalbu dan jasmani. Amalan-amalan ini akan menunjukkan Jalan menuju
Tuhanmu, dan penyakit yang engkau derita tidak bakal menghalamgni langkahmu di
Jalan itu. Seorang terkenal berkata : “Pergilah menuju Tuhan, sekalipun engkau lemah dan
mengalami kehancuran.”
14.
Tetapi masih ada lagi satu Jalan lebh langsung
menuju-Nya yang bisa engkau jangkau. Tetaplah engkau dalam kedudukan syukur
dengan cara mengetahui segala sesuatu yang menajdi Hak-Nya; dan mintalah lagi.
Dengan begitu engkau bisa membawa dalam kalbumu kebesaran dan keagungan Tuhanmu
serta sifat-sifat kesempurnaan dan transendensi-Nya. Pada saat bersamaan,
engkau akan menyadari tingkat kehinaanmu sendiri, rasa malu dan
ketidakberartianmu, serta kehinaan dan kelemahan jiwa rendahmu. Kemudian,
lihatlah rahmat yang Allah anugerahkan kepadamu dalam bentuk apa pun/ sertelah
engkau mengatamatinya dengan cermat, engkau bakal mulai menyadari anugerah-Nya
kepadamu, dan engkan akan mulai mensyukurinya. Pengetahuan mendalam tentang
rahmat-Nya itu sendiri merupakan rasa syukur, dan menjadi kunci bagi segala
sesuatu yang baik serta sumber berlimpah kelurusan, nasib baik dan ketulusan.
Allah Swt. telah berfirman : “Jika engkau bersyukur, pasi Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu.” (Qs. 14:7). Dan juga, “Ingatlah nikmat-nikmat Allah agar
kamu beroleh kejayaan.” (Qs. 7:69).
Bagi hamba yang hadir di haribaan Tuannya, tak ada
sesuatu pun yang lebih bermanfaat, kecuali hal ini; sebab ia adalah “Jalan
Lurus” (Qs. 1:5). Setan ebrusaha menyelewengkan dan menyesatkan sang musyafir
dari jalan itu. Dalam hubungan ini Allah Swt. berfirman : “Sungguh, aku bakal
benar-benar menghalang mereka dari Jalan Lurus-Mu” hingga kalimat “dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur” (Qs. 7 : 16-17). Dan sebuah
sabda Nabi saw. berbunyi “Lihatlah orang-orang yang lebih rendah darimu, dan
jangan melihat orang-orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian ini akan
sangat membantumu untuk tidak meremehkan nikmat yang telah Allah berikan
keapdamu.” Tak syak lagi, engkau menyadari anugerah tak ternilai Tuhanmu
keapdamu, baik dalam praktik keagamaan maupun dalam berbagai urusan duniamu.
Nikmat yang tak seberapa ini tak
membuatmu enggan terhadap kondisi spiritualmu saat ini seperti telah engkau
uraikan. Itu adalah salah satu pengaruh keimanan, sesuai dengan sabda Nabi saw.
: “Seorang beriman adalah orang yang amal-amal salehnya membuat dirinya senang
dan yang amal-amal buruknya membuatnya susah.” Betapa banyak orang yang jauh
lebih mengalami kesulitan ketimbang dirimu, namun hati mereka tetap ridha, dan
mereka pun merasa senang serta gembira dalam kondisi mereka!.
Seperti kulihat, engkau masih ebrada dalam
tahap-tahap awal kekalutan ini. Tuhanmu telah bersikap kasih sayang dan murah
hati kepadamu, yaitu dengan membalikkan persoalan sehingga engaku memberikan
pujian atas hasil kerja-Nya dan, insya Allah, beroleh manfaat darinya tanpa
meminta bantuan dari kemampuan dan kekuatanmu. Engkau harus ridha dengan
kemurahan Tuhanmu kepadmu. Biarlah hal itu menyibukkanmu dan membebaskanmu dari
mawas diri berlebihan. Dengan begitu, engkau layak beroleh ridla Tuhanmu. Allah Swt berfirman kepada salah
seorang nabi-Nya : “Capailah nikmat kearifan (hikmah) dan nikmat tersembunyi,
sebab Aku mencintai hal itu.” Nabi itu bertanya : “Ya Tuhan, apakah nikmat
hikmah dan nikmat tersembunyi itu?” Allah berkata : “Nikmat hikmah adalah
begini : “Jika beban berat membebani pundakmu, ketahuilah bahwa itu Aku yang
membebankannya, karenannya, mintalah kepada-Ku untuk mengangkatnya. Dan nikmat
tersembunyi itu begini : ‘Jika engau mempunyai tak lebih dari seikat
buncis-terimakan ulat, ketahuilah bahwa itu cara-Ku untuk tetap mengingatkanmu,
maka bersyukurlah kepadas-Ku atas hal itu.”
15.
Karena itu, ambillah pendekatan positif terhadap
kondisi tersebut, yang dengan kondisi tersebut Tuhanmu telah dengan murah hati memberimu pelajaran. Dengan
bersyukur kepada Tunamu, sibukkan dirimu dengan ridla atsnya dan dengan
menginginkannya lagi. Pandanglah kecemasan, kegelisahan, depresi, dan derita
sedih apa pun yang telah engkau alami sebagai rahmat berlimpah dan hikmah yang
luas. Arahkan pikiranmu pada pahala yang diberikan kepadamu berkat penilaian
Allah Swt. atas dirimu. Sebuah
kisah menceritakan bagaimana seorang syaikh melihat anak muda memasuki Makkah
setelah musim haji berakhir. Anak muda itu putus asa dan sedih seperti
kehilangan segalanya. Lalu syaikh itu
berkata kepadanya : “Demikian sering aku beribadah haji. Karenanya, berikan
penderitaan dan kesengsaraan yang kau pikul padaku, dan aku akan memberikan
semua ibadah hajiku kepadamu.” Yang demikian itu harus membuatmu yakin
bahwa Allah melalui kondisi spiritualmu kini, telah melindungimu dari berbagai
marabahaya kesombongan. Yang jgua seperti itu adalah segala sesuatu yang engkau
alami, yang mungkin membuat jiwamu gelisah dan hatimu terluka.
Engkau curiga jangan-jangan engkau berada di ambang
hukuman, yang merupakan keselamatan dan keuntungan bagimu, menurut pendapat
kaum sufi terkemuka. Sebab, jika engkau tidak curiga seperti itu, engkau akan
seperti orang sakit yang butuh penyembuhan. Seseorang pernah berkata kepada
Hudzayfah, semoga Allah meridhainya : “Aku takut kalau-kalau aku ini munafik.” Hudzaifah menjawab : “Jika engkau munafik,
maka engkau tidak perlu takut kepada kemunafikan.” Yang paling penting
dilakukan orang pencari adalah memperhatikan sikap ini, dan bersikap hati-hati
kalau-kalau dia memilikinya, yaitu agar dia harus menyucikan amal-amalnya dan
berhasil dalam usahanya. Hal itu akan menunjukkan niatnya dan ketulusan
keinginannya.
Betapa banyak orang yang berusaha beribadah kepada
Allah melalui amal-amal kepatuhan lahiriah sambil tetap memperhatikan
keburukan-keburukan seperti keangkuhan, kesombongan, kepongahan, dan – demi
usaha itu – terus menyusuri jalan perpisahan dan menjauh dari Allah. Betapa
banyak orang yang meninggalkan dan mengingkari dunia ini, sementara orang
paling hina dan memalukan pun menikmati kedudukan tinggi bersama Tuhannya,
ketimbang golongan orang pertama! Sebab, orang yang mengalami kejauhan dalam
kedekatan kepada Allah adalah orang yang diberi kedekatan melalui rasa
takutnya, dan dengan demikian naik ke tingkat yang tinggi. Sebaliknya, orang
yang melihat kedekatan dalam kejauhan, ditipu oleh rasa amannya, dan dengan
demikian pun direndahkan direndahkan kedudukannya. Seperti dikatakan Ibn
‘Atha,’ Mungkin saja Dia akan membukakan untukmu pintu kepatuhan dan tanpa
membukakan untukmu pintu penerimaan; atau barangkali Dia akan menetapkan dosa bagimu, sehingga dosa itu
menajdi sarana untuk datang kepada-Nya.” Itulah makna ucapan : “Ada banyak dosa yang memberi sang
pendosa jalan masuk surga.” Nah, jika jika engkau menambahkan pada hal
itu persepsimu tentang kesalahan-kesalahan tersembunyi dan tentang apa yang
telah disembunyikan jiwa rendahmu darimu dalam bentuk nafsu yang bisa
mengalahkanmu. Maka itulah karunia paling besar. Ia selaras dengan jalan yang
ditempuh orang-orang cerdik untuk menggelincirkan musuh-musuh mereka lewat
kata-kata mereka sendiri; keadaan ini tak ada bandingannya.
Mungkin engkau akan mengatakan : “Tetapi yang pasti
hal itu hanya bisa memperkuat keadaan yang tak sesuai denganmu?”. Dalam segala
hal, terserah apda Tuhanmu untuk mengemukakan keberatan kepadamu, apakah engkau
mengetahui buktinya atau tidak. Dan beruntung benar bahwa hak istimewa Tuhanmu
jugalah yang membebaskan hamba-Nya dari tuduhan! Karena itu, jika engkau bisa
menghindar dan menahan diri dari sebagian hal itu, maka yang demikian itu akan
merupakan anugerah yang banyak, entah nasibmu berubah atau tidak. Sekalipun ada
perubahan, kondisimu yang tercipta oleh perubahan akan selalu lebih ringan,
lebih mudah ditanggung ketimbang kondisi yang digantikannya. Karena itu,
ambillah keuntungan dari perbedaan antara penilaian Allah tentang dirimu dan
penilaianmu sendiri. Mungkin yang demikian itu merupakan langkah menahan diri
dari menyalahkan dirimu sendiri. Setelah mempelajari rahasia ini, engkau tidak
akan tenang menghadapi berbagai kesengsaraan atau sangat tercekam berbagai
kecemasan; seperti telah aku anjurkan, hendaknya engkau memandangnya lebih sebagai
anugerah.
16.
“Tetapi”, orang boleh jadi berkeberatan, “ketiadaan
perhatian moral atas hal semisal ini akan mengakibatkan berkurangnya kesedihan,
yang pada gilirannya bakal menjurus pada pelanggaran atas prinsip yang telah
engkau letakkan, yaitu bahwa
hal-hal yang mengganggu jiwa dan membuat gelisah dan resah kalbu itu lebih baik.
Dengan kata lain, hal itu akan menjurus pada penolakan apa yang lebih baik,
seperti telah engkau uraikan. Selanjutnya, ia akan menjurus pada peremehan
ketidakpatuhan dan perbuatan dosa serta pada berkurangnya ketakutan dan
penyesalan.
Jawaban ata keberatan pertama adalah bahwa
berkurangnya kesedihan dalam hal ini patut dipuji. Itu lebih baik ketimbang
kondisi yang telah engkau gambarkan, sebab pengurangan ini mempunyai hasil-hasil
yang bermanfaat dan kerugian muncul lantaran tak mampu mengurangi kesedihan.
Adapun manfaat positifnya, ia menyebabkan didapatnya karunia Allah, dan
anugerah-anugerah khusus, serta dilihatnya berlimpahnya kemurahan Allah. Dengan
demikian, seseorang pun terangkat ke kedudukan syukur dan ke segala sesuatu
yang mendorong ke hal-hal serupa. Tak ada sesuatu pun yangg menyamai hasil
sangat menguntungkan ini. Adapun bahaya karena tak mampu mengurangi kesedihan
adalah bahwa seseorang menanggung resiko kerugian dalam satu dari dua cara jika
dia terus-menerus berada dalam keadaan sedih yang makin memuncak, sehingga
kalbu dan jiwanya disibukkan dengannya. Cara pertama adalah, bahwa dia mungkin tergiring menuju
keputus-asaan, dan kemurungan – dua macam keburukan paling berat. Yang kedua adalah bahwa keengganan meliputi
dan menyakitkan pikirannya. Adalah penting melindungi dan mempertahankan akal
dari serbuan keengganan, sebab akal memberikan dukungan pada sang musafir. Akal yang lemah bukanlah sahabat
yang baik.
Dengan adanya jawabanku atas keberatan pertama,
maka keberatan kedua – bahwa seseorang tergiring untuk memandang keingkaran dan
perbuatan dosa sebagai tak berarti – pun runtuh. Keadaan pikiran yang aku
anjurkan sesungguhnya jauh lebih mendorong ke sikap menahan diri dan tobat,
ketimbang rasa takut dan penyesalan itu sendiri. Aku menganjurkan suatu
kecenderungan di mana perenungan menuntun seseorang menuju kedudukan yang
membuatnya bisa lebih cepat menghindarkan diri dari nafsunya. Sikap itu
memiliki kesamaan dengan kebahagiaan di hadapan Allah swt. Keagungan adalah
kualitas yang dipupuk seorang hamba dengan cara menyadari jarak antara
kekuasaan, keagungan serta kedaulatan tertinggi Tuhannya, dengan kehinaan,
kerendahan, dan kekuranganmematuhi Tuhannya. Aku tidak ragu barang sedikit pun,
bahwa akibat mengagumi Allah Swt ini, seorang hamba bisa menilai sendiri secara
lebih akurat besarnya tingkat
pembangkangan ketimbang yang bisa dia capai lewat ketakutannya kepada Tuhan.
Alasannya adalah bahwa dalam keadaan takut,
seseorang memusatkan perhatian hanya apada dirinya sendiri, dan pada bagaimana
dia akan gagal mencapai tujuannya manakala dia jatuh dalam perbuatan dosa.
Dalam keadaan kagum, sebaliknya, sang hamba melihat keagungan dan transendensi
Tuhannya, dan kemudian berhati-hati kalau-kalau Tuhan melihat dia melakukan apa
yang dibenci-Nya. Ada sebuah ucapan : “Orang yang menghindari perbuatan dosa lantaran berhati-hati agar tak
terkena Hukuman-Nya, banyak jumlahnya; tetapi orang yang berbuat demikian
karena takut pada ketelitian cermat-Nya, sangat sedikit jumlahnya.”
Sikap yang aku anjurkan berpusat pada apa yang dicari. Apa yang telah engkau
uraikan merupakan gambaran sang pencari, dan menurut pandangan kaum Sufi, ada
perbedaan besar antara keduanya.
17.
Selain itu, yang sedang aku bicarakan ini berkaitan
dengan sifat-sifat penghambaan. Ia adalah bagian integral dari kedudukan
perenungan (musyahadah) tentang Tuhan, karena ia amengajari seseorang bagaimana
mesti memimpin diri sendiri dengan benar di ahdapan Allah Swt. dengan
memusatkan perhatian pada-Nya. Seseorang yang memiliki sifat-sifat seorang
hamba, merasa semua kebutuhannya dipenuhi, seperti ditunjukkan oleh firman
Allah Swt. “Bukanlah Allah cukup bagi hamba-Nya?” (Qs. 39:36). Seseorang yang merasa bahwa Allah
cukup baginya, pasti menjadikan Allah sebagai penyembuh dan pemulihnya.
Akhirnya, kekhawatiran orang yang mengajukan
keberatan tentang berkurangnya rasa takut, tidaklah beralasan sama sekali.
Perasaan takut yang benar muncul karena pengetahuan mendalam sang hamba tentang
bujukan jiwa rnedahnya dan perbuatan dosanya. Seseorang yang meiliki pengetahuan mendalam tentang jiwa
rendahnya, melihat bahwa jiwa rendahnya adalah musuhnya yang paling jahat,
sebab semua bujukannya membuka pintu bagi masuknya akibat-akibat yang
membahayakan. Kemudian, orang itu mengundang amarah dan dendam jiwa rendah.
Jiwa rendah memperdayakan dirinya dan menyebabkan dia jatuh ke dalam kejahatan
yang berkedok kebaikan dan dia pun benar-benar tak menyadarinya. Jiwa rendah tak menjanjikannya
batuan, tetapi justru meninggalkannya dalam keadaan sangat memerlukan, sebab
jiwa rendah hanya ingin menyakiti dan menghancurkannya. Adakah musuh yang lebih
memusuhi ketimbang itu.”
Allah Swt. telah memberitahukan hal itu kepada kita
dalam sebuah kalimat yang sangat jelas dan tegas : Sesungguhnya jiwa rendah
(nafsu) menyuruh kepada kejahatan.” (Qs. 12:53). Sifat-sifat jahatnya adalah
sedemikian tupa, sehingga seseorang tidak bisa membayangkan dirinya dapat
terbebas dari sifat-sifat itu kecuali lewat rahmat dan perlindungan Allah Swt.
Seperti difirmankan oleh Allah Swt dalam ayat yang sama : “kecuali bila Tuhanku
memberikan rahmatn-Nya.” (Qs. 12:53). Mengingat semuanaya ini, mana mungkins
seseorang membayangkan bahwa rasa takut bakal berkurang? Tidak ada alasan bagi
kepedulian orang yang berkeberatan. Betul-betul bertentangan. Rasa takut sangat
mungkin bakal bertambah, disebabkan bertambahnya pengetahuan mendalam tentang
Kebenaran Mistik. Itulah salah satu rahmat Allah Swt paling besar kepada
hamba-Nya. Rahmat itu sendiri menjadi sarana untuk menemukan Rahmat; terlepas
dari hubungan langsung dengan perbuatan sang hamba. Banyak orang melewatkan hal
ini begitu saja, dan tidak menikmati manfaat-manfaat yang telah aku uraikan.
Dan di luar manfaat-manfaat yang baru saja disebutkan, berbagai anugerah dan
karunia pun bertambah dan meningkat, seperti dikatakan oleh kaum sufi
:”Kedudukan-kedudukan dalam keyakinan sama sekali tidak membatalkan satu sama
lain; justru semuanya itu memperkuat satu sama lain.”
Setelah kekaguman dan takut ini sepenuhny adisadari
sang hamba, emlalui keduanya dia menerima warisan mulia, yang dengan warisan
itu Allah Swt. memasukkan cahaya ke dalam kalbunya. Keuntungan segera dari
cahaya ini adalah bahwa sang hamba dapat menyadari kesalahan dan kelemahan
tersembunyinya. Cahaya itu menjadi tolok ukur baginya, dan membantunya mematuhi
Tuhannya yang Mahaagung lagi Mahamulia. Ibn “Atha’ berkata : “Cahaya adalah tentara kalbu,
persis seperti kegelapan adalah tentara jiwa rendah (nafsu). Karenanya, ketika Allah
membantu hamba-Nya, Dia memperkuatnya dengan apsuka cahaya, dan menyingkirkan darinya kekuatan
kegelapan dan segala sesuatu selain Allah.” Ibn ‘Atha; memandang cahaya
sebagai pelindung, senantiasa hadir dan mengawasi sang hamba dalam segala
situasi; entah ketika sang hamba patuh, bersemangat, memiliki pengetahuan spiritual
dan melihat terus menerus, atau ketika tidak patuh, semenetara jiwa rendah tak
mampu membebaskan dirinya dari ketakpatuhan itu, karena dikalahkan dan ditawan,
dan dengan demikian cenderung kepada ketidak patuhan, atau dalam kasus-kasus
yang lebih lazim atau di mana keinginan
menguasai seseorang, sehingga dia tidak dapat menemukan kebahagiaan atau cahaya
dalam berbagai anugerah yang diterimanya, tapi lebih mendapati anugerah itu
sebagai membangkitkan rasa benci, membebani dan mengganggu.
18.
Manfaat
lainnya dari cahaya itu adaalah pengetahuan mendalam sang hamba tentang
kekuatan jiwa rnedahnya. Pengetahuan itu membuang semua perilaku congkak dan
sombong, entah dalam hubungannya dengan Tuhan atau dengans esama hamba Tuhan.
Dengan demikian, sang hamba mempunyai sifat rendah hati, halus, lemah lembut,
patuh dan ridha kepada Allah, dan kasih sayang, tidak sukamenyakiti orang lain,
toleransi, saling mengingatkan sesama Muslim dengan tulus, mencintai apa yang
baik bagi mereka dan membuat mereka bahagia. Singkat kata, sang hamba memimpin
dirinya sendiri dengan benar di hadapan Allah Swt dengan harapan meningkatkan
segenap anugerah dari-Nya dan mengurangi kesombongan perilaku dan kebanggan
dirinya. Disadarinya bahwa hanya rahmat dan kebaikan Allah sajalah yang bisa
membantu dia, dan satu-satunya tempat berlindung bagi dirinya adalah rahmat dan
kebaikan-Nya.
Memohon ampunan Allah dan menerima maaf-Nya adalah
keinginan paling utama seorang hamaba. Seperti akta seseorang. “Perhatian seseorang yang memiliki
pengetahuan mendalam terpusat hanya pada meminta ampunan.” Tentang
orang-orang yang sangat ridha kepada-Nya, Allah Swt berfirman, “Banyak Nabi
bersama dengan sejumlah besar orang bertakwa berperang. Mereka tidak menjadi
lemah lantaran apa yang menimpa diri mereka di Jalan Allah, tidak lesu dan
tidak menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Qs. 3 : 146).
Selanjutnya, Dia mengatakan : “Dan yang harus mereka katakan adalah : “Ya Tuhan
kami, ampunilah dosa-dosa kami dan berbagai tindakan berlebihan kami” (Qs. 3 :
147). Dituturkan sebuah ksiah tentang bagaimana Ibn Al-Mubarak mendatangi beberapa sahabatnya pada suatu
hari dan berkata, “Kemarin aku berlaku lancang kepada Allah Swt. Aku meminta
surga kepada-Nya.” Begitulah keadaan spiritual yang baik dari
orang-orang seperti ini, dan sifat-sifat mulia mereka. Allah menghendaki agar
kita beroleh manfaat karena menginginkan keadaan dan sifat serupa.
Karena berkah yang aku uraikan itu adalah milikmu,
mengapa engkau tidak mengambil manfaat darinya?. Mengapa engkau menipu dirimu
sendiri tentang semuanya itu, membuang-buang waktu berhargamu dengan
menduga-duga Tuhan dan meremehkan apa yang Dia inginkan untukmu, hingga akhirnya
engkau berada dalam kondisi yang telah engkau uraikan? Ibn. ‘Atha’ berkata : “Orang yang pada saat tertentu
menginginkan agar terjadi sesuatu selain dari apa yang telah ditimpakan Allah
pada saat itu, berarti berpegang kuat kepada kebodohan.”
Karenanya, isilah ingatanmu dengan pikiran-pikiran
tentang kekuatan dan kekuasaan Allah. Jadikan caramu memohon ampunan sedemikian
rupa, sehingga menghilangkan sisa-sisa kotoran yagn telah merasuk ke dalam
jiwamu, sehingga engkau banyak berdoa seperti dilakukan oleh Utusan Allah,
Yunus a.s. di dalam kegelapan, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau.
Sungguh, aku termasuk orang yagn zalim.” (Qs. 21:87-88). Lalu Allah Swt.
berfirman : “Maka Kami kabulkan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan
demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang
beriman.” (Qs. 21: 87:88). Salah seorang ulama berkata : “Setiap orang
beriman yang berdoa seperti Dzun Nun (Nabi Yunus a.s.), manakala dia dilanda
kecemasan atau masalah-masalah serius, akan diselamatkan oleh Allah, seperti
halnya Dia menyelamatkan Dzun Nun, sesuai dengan firman-Nya : “demikianlah Kami
menyelamatkan orang-orang beriman.”
19.
Sejauh ini kita telah mengkaji sampai di mana dosa
dan keingkaran dalam keadaan spiritualmu. Kini, aku beralih pada kesalahan yang
engkau sebutkan, seperti rongrongan hawa nafsu di saat timbul godaan;
kegelisahan yang timbul dan beragai serbuan godaan, kesusahan, dan kegagalan
serta tiadanya kesabaran. Semuanya itu adalah kelemahan-kelemahan yang ada di
dalam kemanusiaanmu dan berakar kuat di dalam watak alaminya. Itu semua tidak
usah disalahkan. Sesungguhnya, dalam keadaan-keadaan tertentu,
kelemahan-kelemahan itu memiliki nilai positif, selama sang hamba mengakui
berbagai kelemahan, kekurangan, kerendahan, kefakiran, dan kebutuhannya.
Seperti dikatakan oleh Ibn “Atha’ “Saat terbaikmu adalah saat ketika engkau
melihat dengan jelas hakikat kefakiranmu, dan engkau pun lalu pasrah.” Dia juga
mengatakan, “Ketika saat-saat sulit datang, para pencari menikmati hari
perayaan.” Sebab mereka mungkin menemukan keberlimpahan di waktu-waktu sulit
yang tidak mereka temukan di dalam puasa dan shalat. Itulah cara Allah Swt.
menguji beberapa orang pilihan-Nya.
Sebuah kisah bercerita bagaimana – ketika Abu
‘Utsman Al-Hiri bersama dengan gurunya, Abu Hafsh – dia mengulurkan tangan
untuk mengambil kismis. Abu Hafs memegang kerongkongannya dan mecoba mengocok
kismis itu agar keluar darinya. Ketika Abu Hafs sduah tenang, Abu ‘Utsman
berkata : “Wahai Guru, aku tahu bahwa hal-hal duniawi ini tak berarti dalam
pandanganmu; karena itu, bagaimana engkau begitu marah kepadaku soal kismis
itu?”. Abu Hafsh menjawab : “Engkau bodoh telah meanruh kepercayaan pada kalbu
yagn tidak diperintah oleh tuannya.”
Orang lain berkata : “Aku pernah bepergian bersama
Al-Khawashsh. Kami berhenti untuk berkemah di bawah sebatang pohon. Kemudian
datang seekor singa serta berbaring di situ untuk istirahat. Aku sangat takut.
Lalu aku memanjat pohon itu dan berpegangan apda dahan sampai fajar tiba karena
takut kepada singa itu. Tetapi Al-Kawashsh tidak memperhatikan binatang buas
itu. Malam berikutnya kami berhenti untuk berisitirahat di sebuah masjid.
Al-Khawashsh tertidur; tetapi ketika seekor kutu busuk melintasi wajahnya, dia
menginjaknya. Aku berkata : “Sungguh aneh! Kemarin seekor singa tidak membuatmu
tersentak ketakutan, malam ini engkau malah takut kepada seekor kutu busuk!”.
Dia menjawab : “Kemarin aku tidak saadar; malam ini aku kembali sadar. Itulahs
ebabnya aku takut.”
Sahl ibn ‘Abd Allah, semoga Allah meridhainya,
berkata : “Allah membebani orang-orang pilihan dengan kefakiran. Dia buat
mereka merasa membutuhkan makhluk, dan kemudian menaruh dalam hati mereka
penangkalnya. Dengan begitu, Dia melarang roang-orang bergantung kepada
makhluk, agar mereka kembali kepada-Nya. Ketika orang-orang pilihan ini kembali
kepada-Nya dalam keadaan pasrah, Dia memberi mereka rezeki yang tidak mereka
perhitungkan sebelumnya. Dituturkan bahwa seseorang melihat, di sebuah daerah
Kristen, seorang sufi yang mengajarkan pengakuan akan keesaan Allah, sikap tak
terpengaruh dan kebergantungan penuh kepada Allah Swt. Dalam keadaan sangat
miskin dan memerlukan, dia meminta sesuatu kepada bekas muridnya. Menjawab
permintaan itu, sang murid melantunkan bait-bait ini :
Kala kami bertindak sebagai pembimbing
Kami berada di atas segenap tuan dan hamba
Tapi kala kami berasa di bawah
Kehinaan kami melebihi kehinaan kaum Yahudi.
Sebaliknya, yagn patut disalahkan adalah jiwa
rendah. Penyebab hal itu adalah tiadanya keyakinan, dan akibatnya adalah
hal-hal yang bisa digolongkan sebagai dosa.
Perhatian apa yang aku bicarakan ini. Kemudian
ketika sebagian masalah yang engkau keluhkan ini menguasaimu, amalkan sifat penghambaan, kepada Tuhanmu
dengan menyeru-Nya : “Wahai Engkau yang Mahakaya, kepada siapa lagi orang miskin
pergi, kalau bukan keapda-Mu?” di saat lemah : “Wahai Engkau yang Mahakuat,
kepada siapa lagi orang lemah pergi, kalau bukan kepada-Mu?”, di saat kamu
berbuat : “Wahai Engkau Yang Mahakuasa melakukan segala sesuatu, kepada siapa
lagi orang tak berdaya pergi, kalau bukan kepada-Mu?” Dan di saat dalam
kehinaan : “Wahai Engkau yang Mahamulia, kepada siapa lagi orang hina pergi,
kalau bukan kepada-Mu?” seorang ahli makrifat berkata : “Orang bersabar dalam hal itu,
pasti dikabulkan doanya.” Dan Ibn “Atha’ berkata : “Insyafi sifat-sifatmu
sendiri, maka Dia akan menuntunmu untuk mengetahui sifat-sifat-Nya, Insyafi
kelemahanmu, maka Dia akan membimbingmu menuju kekuatan-Nya.”
Manfaatkan dorongan keyakinan, dan yakinlah terus,
jika kau mau sungguh-sungguh mempelajari ilmu kaum sufi. Jadikan keyakinan itu
landasan segala usahamu. Tekunlah dalam belajar, sebagai kewajiban yang harus
dijalankan, dan jangan pedulikan orang lain yang bakal menyimpangkanmu darinya
atau mencemarkan tasawuf, entah dalam diri atau dalam tulisan, entah secara
langsung atau tidak langsung. Adalah memalukan bila seseorang yang cerdas dan
memiliki pemahaman diperkenalkan pada satu persoalan dan tidak bisa mengambil
manfaat darinya, dan lebih-lebih jika seorang pemfitnah berhasil memalingkan darinya
dari hal itu, seperti abrus aja kukemukakan.
Dalam surat sebelumnya, aku menulis tentang
tulisan-tulisan sufi yang mesti engkau abca. Aku menyebutkan bahwa yang terpenting di antaranya adalah kitab
karya Syaikh Abu Thalib. Keinginanmu untuk menelaah dan mengkaji kitab ini
mestilah sama dengan keinginan untuk mencari apa apa yang bisa mengakhiri
kekalutanmu dan mengobati penyakitmu. Di sini aku sebutkan kitab Qut Al-Qulub (Santapan Kalbu). Kitab itu akan
membantumu mencapai setiap tujuan yang engkau cari. Mulailah dengan bergaul
bersama seorang yang beriman kuat dan memiliki kematangan spiritual, dan dengan
memperhatikan masalah-masalah yang merugikanmu dan yang menguras inti
keberadaanmu. Aku belum mengetahui dewasa ini seorang yang sangat ahli seperti
guruku, Sulayman, semoga Allah merahmatinya. Karena itum terimalah darinya apa
saja yang engkau pandang membantumu dalam memperkaya akalbumu dan memelihara
hubunganmu dengan Tuhanmu. Belajarlah mengucapkan shalawat atas Nabi Muhammad
saw.; sebab aku tahu beberapa sufi menyebut-nyebut shalawat sebagai sarana
memperkuat keyakinan. Karenanya, tingkatkan amal-amalmu dalam hal itu.
21.
Inilah pandanganku tentang cara-cara yang tepat
untuk menghilangkan kekalutanmu dan mengobati penyakitmu, asalkan engkau mau
mengamalkannya. Tetapi, jika engkau tidak mau mengamalkan hal itu,d an dengan
begitu tidak menemukan kepuasan dari nikmat-nikmat Tuhan Yang Maha Rahman
ketika engkau menapaki jalanmu kecuali dalam cara-cara lahiriah maka aku yakin
bahwa engkau bakal bekerja keraas salam seribu tahun, dan tak bakal pernah
memuaskan keinginan-keinginanmu atau menemukan apa yang ttengah engkau cari.
Kemajuan yang engkau raih akan tetap merupakan harapan yang jauh. Setelah
engkau mengerjakan semua amalan yang aku anjurkan ini, dan kalbumu tak lagi
mengalami kebingungan, maka engkau telah siap mendekati rahmat-rahmat Allah
yang mengagumkan.
Kemudian, sudah abrang tentu, engkau mesti bersabar
dalam amalan-amalan ini selama sisa hidupmu. Segala sesuatu yang aku bicarakan
dalam surat ini dimaksudkan mengajarimu secara sederhana cara bergerak maju
meraih tujuan yang engkau inginkan, dengan bantuan Allah. Ia adalah suatu
metode spiritual. Ia tidak melibatkan amalan-amalan fisik, kecuali seperti yang
diperlukan dalam berbagai hal biasa, dan tidak ada kerja yang menguras tenaga
secara psikologis. Dalam hal ini hakikat metode itu dapat segera dipahami dan
mudah dimengerti. Hanya saja, untuk bisa benar-benar mencapai tujuan itu, kita
mesti bergantung sepenuhnya pada Allah Swt. dan memusatkan perhatian penuh
kepada-Nya di sepanjang jalan kesabaran. Ini akan memberikan kebahagiaan luar
biasa. Dan inilah awal dari apa yang dibicarakan kaum sufi. Orang yang sabar
bakal benar-benar bisa mencapainya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah berkata : “Seorang hamba dalam
segala keadaan, harus berjalan menuju Tuannya. Tindakan kembalinya, terus
menerus kepada-Nya merupakan keadaan spiritual paling baik dalam diri sang
hamba. Manakala dia tidak
patuh’ dia berkata : “Ya Tuhan, ampunilah aku.” Dan manakala ketakpatuhannya
berakhir, dia mengatakan : “Ya Tuhan, berpalinglah kepadaku.” Dan manakala Dia
sudah berbuat begitu, sang hamba pun berkata : “Ya Tuhan, terimalah daku.”
Mengomntari akta-kata Nabi saw. : “Dia menjadikan segala sesuatu mudah, karenanya jangan mempersulitnya.”
Salah seorang sufi berkata : “Maksud ucapan itu ialah :”Bimbinglah mereka
kepada Tuhan dan jangan kepada sesuatu selain-Nya; sebab orang yang menuntunmu
kepada dunia ini telah menipumu, dan orang yang menuntunmu kepada Tuhan telah
melindungimu.”
22.
Hanya orang yang kalbunya hidup dengan keimanan
saja yang mampu menempuh Jalan ini. Tandanya yang pasti adalah bahwa orang
seperti ini bangkit, bersiap siaga dan peka dalam amalan keagamaannya manakala
timbul berbagai perubahan dan rintangan, entah dalam bentuk kesempitan atau
keluasaan. Orang yang kalbunya mati, dan yang kebal terhadap hal-hal semisal
itus erta asyik beanr mengumbar hawa nafsunya dalam kejahatan, tidak boleh
memandang hal ini. Orang semacam itu hanya makin bertambah saja pengetahuannya
tentang kejahatan dan kemaksiatan, dan akan mendapati kelakuannya hanyalah
kesesatan dalam kerugian. Dia mesti menghindari racun mematikan dan menyibukkan
diri dengan berbagai peringatan tentang keingkaran yang telah sampai kepada
kita di dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta ucapan-ucapan para
ulama. Dan dia mesti pula memperhatikan batas-batas dan sangsi-sangsi hukum di
alam jasmani maupun ruhani. Tak ada obat lain buat jenis penyakit ini.
Terlepas dari apa yang telah aku jelaskan dalam
uraian singkat dan tak memadai ini, aku tak berbicara lebih dari ini dalam
masalah itu. Yakinlah ini dan amalkanlah, sebab ini adalah cara yang mujarab
dalam menuju kebaikan dan peningkatan. “Dan Allah berjaya dalam urusan-Nya.”
(Qs.12:21). “Jika Allah menolongmu, maka tak bakal ada seorang pun mampu
mengalahkanmu; dan jika Allah tidak menolongmu, lantas siapa lagi yagn bsia
menolongmu?” (Qs. 3:160). Segala sesuatu kembali kepada-Nya. Karena itu,
sembahlah Dia, dan berimanlah kepada-Nya, sebab cukuplah Allah bagi orang yang bertawakal kepadanya.
SURAT KETIGA
Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjelaskan
soal taklid buta, bid’ah, serta ketidakjujuran dan kedengkin yagn dikandung
keduanya.
23.
Salam. Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau
memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah menerima jawabanku sebelumnya.
Engkau katakan bahwa surat itu menggerakkan dan memenuhi kebutuhanmu untuk
menjelaskan pemikiranmu serta memantapkan keyakinanmu. Engkau juga meminta, dalam surat itu, agar aku
menjelaskan lebih jauh lagi soal “taklid buta” dan “bid’ah” yang aku katakan
dalam jawabanku sebelumnya.
Pertama-tama, kedua konsep ini dicela dan dikecam
oleh Hukum Wahyu, dan merupakan kelemahan serius dalam diri orang yang menganut
salah satunya. Taklid buta sesungguhnya adalah sejenis bid’ah, yang nanti akan
aku bahas, dan sama dengan bertindak menyesuikan diri dengan pandangan orang
lain tanpa adanya bukti yang menguatkan. Misalnya, kita menganggap seseorang
memiliki otoritas, semata-mata berdasarkan kedudukan tinggi orang gitu, atau
menganggap segenap masyarakat memiliki otoritas, berdasarkan banyaknya atau
usia keberadaannya yang sudah tua. Allah Swt. mencela “taklid buta” ini dalam
banyak ayat Al-Qur’an, sebab sikap itu terlihat dalam berbagai golongan orang
kafir, “Dan mereka berkata, ‘Kalau saja Al-Qur’an ini diturunkan kepada seorang
besar dari kedua kota ini!.” (Qs. 43:31). Di situ, mereka menyebut-nyebut
orang-orang besar tertentu dari kedua kota, yaitu Al-Walid ibn Al-Mughirah dari
Makkah dan Mas’ud ibn ‘Umar dari Al-Tha’if. Dengan cara begitu mereka
mengingkari kebesaran hakiki seruan kenabian Muhammad, dan mengejek serta
melecehkannya lantaran beliau adalah anak yaitm Abu Thalib. Dalam kata-kata
Allah Swt. “Manakala orang-orang kafir melihatmu, mereka hanya mengejek serta
melecehkanmu.” (Qs. 21:36).
24.
Ketika Nabi Muhammad saw. menyeru orang-orang kafir
Quraysy kepada agama sejati dan hakiki Islam, mereka menuntut bukti-bukti
darinya. Mereka meminta beliau agar menghidupkan kembali bagi mereka salah
seorang terkemuka mereka. Qushayy ibn Kilab. Mereka bertanya kepada Nabi saw.
apa yang beliau bawa; tetapi mereka mengikuti pandangan Qushayy secara membuta
dan kembali kepadanya. Dan ketika Abu Thalib sedang menjelang maut, sejumlah
orang Quraysy mendampinginya. Termasuk Abu Jahl. Nabi saw. datang mengunjungi
Abu Thalib, dan mengajaknya untuk mengakui keesaan Allah. Lalu orang-orang
Quraysy berkata : “Wahai Abu Thalib, akankah engkau meninggalkan jamaah ‘Abd
Al-Muththalib?”. Kemudidan Nabi saw. mendesaknya lagi; dan lagi-lagi
orang-orang Quraysy berusaha menghalangi Abu Thalib. Akhirnya dia tetap bersama
jamaah ‘Abd Al-Muththalib. Lalu diturunkan ayat ini : “Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi dan cintai, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. 28:56).
Semuanya ini menunjukkan contoh taklid buta berdasarkan prestise. Allah Swt.
melukiskan orang-orang yang ebrbuat demikian ketika berfirman : “Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganur suatu agama.” (Qs. 43:22). Dengan kata
lain, mereka percaya sekali kepada nenek moyang mereka lantaran mereka memuja
nenek moyang.
Tentang kaum Nabi Shaleh as., Allah Swt. berfirman
: “Akankah kita mengikuti seseorang di antara kita?”. (Qs. 54:24). Karena itu,
mereka pun menolak mengikuti orang itu. Masalahnya adalah bahwa jika diutus
sejumlah besar orang kepada mereka, mereka dengan senang hati mau mengikutinya.
Inilah jenis taklid buta berdasarkan kekuatan jumlah.
Tentang Fir’aun dan Kaum Nabi Nuh as., Allah Swt
berfirman : “Kami belum pernah mengetahui hal semacam itu pada nenek moyang
kami dahulu.” (Qs. : 28:36). Dengan kata lain, jika Nabi Nuh berbicara kepada
mereka tentang nenek moyang dan agama nenek moyang mereka dalam misi
kenabiannya, maka orang-orang pun akan mau menerima otoritas pendahulu mereka
dan mengikuti jejak-jejak mereka. Inilah jenis taklid buta berdasarkan
kekunoan.
Allah tidak memaffkan orang-orang hina dari
kalangan kaum kafir, entah lantaran taklid buta keapda pemimpin mereka atau lantaran
kepemimpinan sesat para pemimpin mereka.s ebaliknya, Allah memandang mereka
semua berada dalam kesesatan, dan
memberi mereka peringatan dan hukuman yang setimpal. Disebabkan oleh kebodohan
dan kejahilannya yang tak kepalang tanggung. Allah menyamakan orang-orang
seperti ini dengan keledai dan binatang ternak (Qs. 7:179, 25 : 44; 47:12)
karena emreka tak memiliki pengetahuan dan pemahaman.
Engkau harus mengerti, bahwa sikap taklid buta yang
tercela dan tak kritis ini telah memercekkan apinya bahkan di jaman kita ini.
Akibat buruknya sudah menyebar luas. Akan engkau ketahui misalnya, bagaimana
orang yang tidak memiliki hikmah tapi sekedar mengklaim memiliki pemahaman,
menyeringai dan mengertukan dahi manakala dia mendengar sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan mistik sejati atau sesuatu yang diketahui oleh
orang banyak yang memberikan kesaksian atas keimanan mereka. Disebabkan
kejahilannya yang kelewat batas, orang speerti ini berkata : “Jika hal ini
benar, maka orang pasti akan menggunakannya sejak dulu, atau mewariskannya dari
generasi ke generasi.” Engkau juga akan melihat orang yang bercita-cita menjadi
seorang sufi, tapi tak mengerti sedikit pun tentang masalah ketentuan hukum
atau tentang hal-hal yang halal dan haram, dan terasing dari semuanya, serta
terkelabui kebohongannya sendiri. Karena kejahilan orang seperti ini hanya
untuk orang-orang awam. Guruku si anu tidak bisa membaca atau menulis. Dia tidak
menganut mazhab mana pun.”
Engkau juga akan menemui orang-orang berpikiran
bebas dan malas, yang terus-menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Mereka
melakukan berbagai kekeliruan orang-orang dahulu dan kesalahan-kesalahan para
ulama, seraya beranggapan bahwa hal itu merupakan praktik agama yang benar.
Dengan begitu, kejahilan pun merajalela di tengah-tengah masyarakat,
sampai-sampai masyarakat tidak lagi melihat yang berada di atas
pemimpin-pemimpin agama mereka, yang mereka ikuti seperti binatang-binatang
pengerat.mereka tidak berpikir barang sedikit pun tentang mengorbankan diri
mereka demi praktik dan dukunga legal pemimpin mereka. Orang seperti ini banyak
sekali, tapi aku tak perlu menambah jumlah contohnya. Maksudku sederhana saja;
agar engkau menyadari bahwa melakukan
hubungan sosial dengan orang-orang seperti ini akan menumpulkan kalbumu, dan
mencegahmu emncapai tujuan yang engkau cari. Karena itu, berhati-hatilah dalam
soal-soal ini.
25.
Selanjutnya,
engkau mesti mengetahui bahwa setiap eprtanyaan memerlukan jawaban yang benar.
Karenanya, tidak boleh taklid buta. Harus dicari bukti yang menjadi dasar dari pertanyaan itu, entah berhubungan dengan
msalah-masalah wajib seperti rukun iman, atau masalah-masalah tak wajib yang
tidak esensian bagi keimanan. Taklid buta dalam soal-soal ini tercela, entah
pengkajiannya berhasil ataut idak. Akan tetapi hal ini, tidak berlaku dalam
kasus-kasus di mana orang banyak menerima begitu saja otoritas mereka yang ahli
dalam berbagai cabang ilmu hukum. Dalam hal itu, jawaban yang benar hanya dapat
diberikan seorang faqih ahli. Karenanya, masyarakat dapat memperoleh jawaban
hanya dengan menerima otoritas orang lain. Pun hal ini tidak berlaku dalam
hubungannya dengan tafsir Al-Qur’an, studi ahdis, sejarah, tata bahasa,
linguistik, kedokteran, dan sebagainya. Sebab, sekalipun seseorang mencari
pengetahuan tentang sesuatu. Dia masih harus menerima otoritas orang yang ahli
dalam bidang-bidang tersebut. Namun demikian, menerima otoritas begitu saja,
pada hakikatnya tercela dan tidak bisa diandalkan, dan menimbulkan
akibat-akibat merusak. Tidakkah engkau melihat bagaimana orang bodoh menjadi lebih
keras kepala dalam masalah-masalah agama lantaran taklid buta dalam soal-soal
agamanya, sementara orang yang akalnya sehat tidak mengalami nasib demikian.
Wallahu a’lam.
Akan halnya bid’ah, banyak ayat Al-Qur’an dan hadis
memberi kesaksian atas dosa bid’ah. Mislanya, Allah Swt. berfirman :”Bukanlah
tanggung jawabmu mengurusi orang-orang yang memecah belah agamanya dan menjadi
bergolong-golongan.” (Qs. 6:160). Para mufasir ayat itu mencatat bahwa inilah
orang-orang yang cenderung memperturutkan hawa nafsu dan berbuat bid’ah. Allah
Swt. berfirman : “Mereka
tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka
karena kedengkian di antara mereka.” (Qs. 42:14). Dengan kata lain, orang-orang
itu mengetahui bahwa mereka berbuat keliru dengan menimbulkan perpecahan dan
perselisihan serta membangkitkan permusuhan. Allah Swt. menyebut mereka sebagai “setan-setan
dari jenis manusia dan jin, yang menggunakan muslihat guna membuat
argumen-argumen mereka meyakinkan.” (Qs. 6:12). Muslihat di sini
bermakna retorika yang anggun dan berhiaskan keindahan. Masih banyak lagi ayat
lain seperti ini. Manakala Al-Qur’an berbicara tentang dosa memperturutkan hawa
nafsu dan dosa bersandar pada argumen-argumen kosong, serta melarang kedua hal
ini, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Barangsiapa
menambahkan pada agama kami sesuatu yang bukan berasal darinya, maka dia itu
durhaka.” Beliau juga bersabda : “Belumlah dikatakan beriman salah seorang di
antara kamu, kecuali bila berpegang teguh pada apa yang aku bawa.” Dan lagi,
“Mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) adalah jahat, dan setiap bid’ah
adalah sesat.” Dan Nabi Muhammad saw. juga bersabda : “Bani Israil pecah
menjadi tuuh puluh dua sekte, dan umatku akan pecah menjadi tujuh puluh tiga.
Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Orang-orang pun bertanya, “Apakah yagn
satu itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Yang mengikutiku dan mengikuti
Sahabat-sahabatku.” Versi lain berbunyi : “Tujuh puluh dua masuk neraka dan
satu masuk surga. Itulah Jamaah. Sungguh banyak orang bakal memisahkan diri
dari Jamaahku setelah ditipu oleh tingkah-laku ini. Mereka tidak akan selamat,
kecuali mereka bergabung dengan Jamaahku.”
26.
Seseorang berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Berilah aku
nasihat.” Lalu Ibn ‘Abbas menjawab : “Jadilah seorang pemeluk (Islam) yang
teguh, dan jangan menjadi ahli bid’ah.” Dan Ibn Mas’ud berkata, “Jika engkau
seorang penganut teguh, dan tidak mengada-adakan bid’ah, maka cukuplah sudah
engkau berbuat begitu.” Dia juga mengatakan, “Seseorang yang akan mengikuti
Sunnah Nabi, mesti bertindak seperti Sahabat-sahabat Muhammad Saw., sebab
merekalah umat terbaik, paling tulus hatinya, paling laim, dan paling rendah
hati. Allah memilih mereka sebagai Sahabat-sahabat Nabi-Nya dan untuk
menyebarkan agama-Nya. Karena itu, tirulah perilaku dan sifat-sifat khusus
mereka, sebab mereka beroleh petunjuk yang lurus.”
Syurayh berkata, “Sunnah Nabi lebih utama ketimbang
penalaran analogis. Ikutilah Sunnah dan jangan menjadi kaum ahli bid’ah serta
jangan menyimpang dari Sunnah yang telah engkau terima. Dan Sya’bil berkata,
“Jika engkau mengemukakan keberatan terhadap sikap tentang alam kematian,
engkau bakal menghancurkannya.” Seseorang bertanya kepada Malik tentang satu
masalah, dan Malik pun menjawab, “Rasulullah saw. berkata begini dan begitu.”
Lalu orang itu bertanya, “Apakah pendapatmu juga demikian?”. Malik menjawab,
“Hendaknya mereka yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Nabi berhati-hati
agar mereka tak berselisih, atau azab neraka menimpa mereka.” Dan Abu Sufyan Al-Tsauri berkata,
“Iblis lebih menyukai bid’ah ketimbang keingkaran terang-terangan. Sebab orang
bisa bertobat dari keingkaran, tapi tidak bisa bertobat dari bid’ah.”
Banyak ucapan dan hadis yang menyinggung hal ini.
Bid’ah bermakna usaha menambah-nambahkan pada, atau mengemukakan argumen
bertentangan dengan, kebenaran yang diajarkan Rasulullah saw., dengan mengklaim
bahwa bid’ah adalah jalan lurus dalam bidang fatwa berkenaan dengan benar atau
salahnya pengetahuan atau tindakan. Variasinya tak terhingga. Aku telah
menyebutkan beberapa saja di antaranya di sini, sebab tak ada gunanya
berpanjang-lebar tentang hal-hal itu. Akan tetapi, lewat contoh sejarah kongkret,
aku kemukakan berikut ini :
Allah Swt. mengutus Muhammad saw. sebagai Rasul
bagi segenap umat manusisa, dan sebagai pembimbing mereka menuju alam
kedamaian. Di zaman pra-Islam, hiduplah orang-orang jahil dan orang-orang jahat
sesat yang bersilang pendapat, dan bermacam-macam keinginan serta hasrat
mereka. Pikiran mereka mendorong pola perilaku mereka yang sembrono. Karena
pikiran mereka seperti itu, mereka hanya menyembah batu, matahari dan bulan.
Akan tetapi, Allah Swt. berlaku baik kepada mereka. Dan mengutus kepada mereka
seorang Rasul dari kalangan mereka. Rasul itu adalah orang paling utama, paling
baik di antara mereka, dan Allah memberinya sifat-sifat kesempurnaan dan akhlak
luhur. Allah menganugerahkannya karunia-karunia mulia dan berbagai perintah.
Dalam diri dan sifat-sifat Nabi dijumpai tanda yang
cemerlang dan kewibawaan luar biasa, sehingga api kesalahan pun padam manakala
cahaya Nabi terbit. Jejak-jejak kejahilan sebelumnya pun terhapus, manakala
jejak bekas-bekas jejak kakinya muncul, dan perselisihan pun berhenti. Itulah
saat penuh kerukunan dan kedamaian, ketika orang-orang seiman menjadi
bersaudara dan bersama-sama dalam mematuhi dan mentaati Tuhan Alama Semesta.
Mereka jual jiwa mereka kepada Zat yang memiliki dan membebaskan mereka. Mereka
puas hidup tanpa tujuan dan nilai duniawi ini. Mereka bahagia dalam ikrar
kesetiaan dan berkata, “Kami telah beroleh nikmat-nikmat tak terkira dan tak
terlukiskan nilainya.” Mereka menganggap persahabatand engan Rasul-Nya sebagai
kekayaan tak ternilai dan benteng pertahanan paling kuat. Karena kecintaan
mereka kepada Rasul-Nya, mereka jaga persahabatan mereka dengan segenap
kehidupan mereka. Kalbu mereka tertuju hanya kepadanya sehingga mereka lebih
mengutamakannya di atas segala sesuatu lainnya. Orang dewasa dan anak-anak
tunduk pasrah pada keridhaannya dan berikrar setia kepadanya, sekalipun harus
menanggung derita kematian, serta bersatu memuji dan memuliakan Nabi. “Sungguh,
orang-orang yang berikrar setia kepadamu sebenarnya berikrar setia kepada
Allah.” (Qs. 48:10). Itulah saat yang mulia, luhur, dan agung; dan aku tak
mampu berbicara lebih banyak lagi tentang kemuliaan dan keluhuran amal serta
keadaan spiritual mereka.
Semua yang kuktakan sejauh ini, ditegaskan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang mewariskan kepada kita agama orang-orang berakal dan
bijaksana. Singkat kata, mereka bersatu-kata dalam beribadah kepada Tuhan
mereka, serta bersatu-padu dalam mencari pertolongan dan pembelaan pada kalam
Allah Swt. Sebab Allah Swt. mempersatukan mereka dalam keaptuhan pada satu
hukum agama, agar mereka saling mengenal satu sama lain melalui ketaatan
bersama kepada hukum itu, dan agar mereka menjadi seperti satu diri. Allah Swt.
berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.” (Qs. 49:10). Dan juga,
“Orang-orang mukmin – laki-laki dan perempuan – adalah pelindung satu sama
lain.” (Qs. 9:71). Karena itu, Nabi saw. mewajibkan bersatu padu dan melarang
keingkaran. Sebuah hadis sahih mengatakan, “Manakala seseorang menyaksikan
pemimpinnya melakukan sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah dia bersabar;
sebab barangsiapa memisahkan diri barang sejengkal pun dari jamaah, dan mati
dalam keadaan itu, maka ia mati jahiliyah.”
Di akhir sebuah hadis panjang Nabi saw. bersabda :”Aku memerintahkan kepadamu lima
hal, yang juga diperintahkan kepadaku oleh Tuhanku : Bersatu, penuh perhatian,
berhijrah, serta berjuang di Jalan Allah. Barangsiapa meninggalkan Jamaah walau
barang sejengkal pun, maka dia telah melepaskan diri dari Islam, kecuali dia
kembali lagi. Dan barangsiapa menganut keyakinan jahiliyah, maka dia termasuk
ahli neraka.” Yang dimaksdu Beliau dengan “melepaskan diri dari Islam”
adalah memutuskan ikatan Islam, meninggalkan Sunnah Nabi, dan mengikuti bid’ah.
Sya’bi berkata :
“Beberapa orang dari kufah pergi ke padang pasir untuk membaktikan diri
beribadah kepada Allah. Mereka memutuskan membangun sebuah masjid, dan kemudian
mendirikan sebuah bangunan. Ketika Ibn Mas’ud datang mengunjungi mereka, mereka
berkata : “Salam atasmu, Wahai ‘Abd Al-Rahman. Kami sangat gembira engkau
datang mengunjungi kami.’ Dia menjawab, ‘Aku datang bukan untuk berkunjung. Aku
akan pergi setelah masjid di padang pasir ini dirobohkan. Kalian bertindak
tidak sesuai dengan petunjuk Sahabat-sahabat Muhammad saw. Tidakkah kalian mengerti
bahwa jika orang lain juga melakukan apa yang kalian lakukan ini, maka tak
bakal ada seorang pun yang memerangi musuh, menganjurkan kebaikan, dan melarang
kejahatan, atau menegakkan hukum? Kembalilah. Belajarlah dari orang-orang yang
lebih tahu darimu, dan ajarilah orang-orang yagn lebih tidak tahu darimu.’ Dengan
kata-kata ini, begitu dia berhasil meyakinkan mereka, dia baru pergi setelah
kami merobohkan bangunan mereka dan membawa kembali orang-orang itu.”
Setelah Allah Swt. mengangkat Nabi-Nya, Muhammad
saw. ke haribaan-Nya, sesuai dengan keridhaan-Nya, dan menganugerahinya rahmat
dan kebaikan paling utama, Dia megangkat Khulafa’ Al-Rasyidin
(Khalifah-khalifah Terbimbing Lurus) sebagai pengganti Nabi saw. untuk
mendamaikan dan menunjukkan jalan lurus dan benar. Mereka mengikuti dan
mempertahankan agama Nabi dan Sunnahnya, serta menebarkan cahaya-cahayanya yang
terang serta tanda-tandanya yang cemerlang. Keadaan ini terus berlangsung
selama kehidupan mereka, sampai Allah memanggil mereka ke hadirat-Nya. Akan
tetapi, ketika zaman penuh kemuliaan dan keadilan mengalami kemunduruan, dan
zaman kebaikan serta kemurnian telah lewat, maka, bersamaan dengan itu,
padamlah cahaya-cahaya keyakinan dan keimanan.
28.
Lantas
sifat-sifat “jiwa rendah (nafsu) yang sellau menyuruh kepada kejahatan” (Qs.
12:53) makin bertambah kuat dan merajalela. Hawa nafsu dan bid’ah bangkit;
persatuan dalam agama tergadaikan; sengketa dan perpecahan pun muncul, sehingga
setiap golongan dan daerah memiliki mazhab sendiri. Orang sibuk dengan bid’ah,
dan terjerumus di bawah cengkeraman kekafiran dan kesesatan. Mereka tidak lagi
menempuh jalan; hubungan pun terputus, orang saling memusuhi satu sama lain
dalam kebencian, kedengkian dan dendam. Skandal ini bahkan melewati batas dan
menumpahkan darah. Dan hal-hal buruk ini menyebabkan sebagian orang membuang
cara berpakaian sopan, dan menampilkan diri dengan cara tidak senonoh. Mereka
menukar agama mereka untuk membeli sesuatu yang tak berharga serta mengundang
murka Allah, yang kepada-Nya mereka bakal kembali.
Proses ini berlangsung hingga zaman kita, sehingga
kita pun mereguk minuman dari cangkir yagn sama. “Sesungguhnya kami adalah
milik Allah, dan kepada Allah pula kami bakal kembali.” (Qs. 2:156). Nabi kita,
Muhammad saw. diriwayatkan mengatakan : “Akulah pelindung bagi
Sahabat-sahabatku. Akan tetapi, bila aku tiada, Sahabat-sahabatku akan
menunaikan misi mereka dan menajdi pelindung bagi umatku. Karena itu, setelah
aku wafat, umatku harus melaksanakan apa yang mereka putuskan.” Beliau juga
mengatakan hal-hal seperti itu. Dan inilah saat-saat penuh perselisihan dan
perpecahan yagn dilukiskan Nabi Muhammad saw. Beliau memerintahkan agar menarik
diri dari masyarakat pada saat-saat seperti itu.
Di sini aku akan mengutip beberapa riwayat tentang
perpecahan yagn berkaitan dengan berbagai cobaan dan godaan, dengan menggunakan
hadis-hadis Nabi serta dengan mengingat mukjizat yang benar-benar menakjubkan
(Al-Qur’an), berikut peringatan-peringatannya tentang segala kejadian yang
hingga kini belum terungkapkan. Rasulullah saw. bersabda : “Bagaimanakah
keadaan kalian semua pada saat itu ketika orang disaring seperti dalam
saringan, sehingga yang tertinggal hanya ampas manusia, yang sumpah serapah dan
ikrar setianya campur aduk tak karuan, ketika orang merasa asing satu sama lain
dan mengjadi begitu?” – lalu beliau membuhulkan rapat-rapat jari-jemarinya.
Mereka bertanya : “Akan bagaimana kami, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Kalian
akan berbpegan teguh pada apa yagn kalian setujui, dan mencampakkan apa yang
tidak kalian setujui. Kalian akan memperhatikan hanya apa yang berkaitan dengan
sebagian kecil dari kalian, dan mengabaikan kepentingan sebagian besar orang.” Dan dalam sebuah hadis dari ‘Abd
Allah ibn Mas’ud, Nabi saw. bersabda : “Apa yang akan kalian lakukan manakala
perpecahan menimpamu, supaya tindakan kalian didukung sebagian kecil orang dan
diabaikan sebagian besar orang, dan manakala sebagian Sunnah Nabi dibiarkan tak
dijalankan, maka akan dikatakan bahwa seluruhnya telah ditinggalkan?” Mereka
bertanya : “Kapan hal itu akan terjadi, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab :
“Ketika para pembaca Al-Qur’an di antaramu berjumlah banyak, tapi jumlah ulama
di antaramu sedikit; ketika jumlah pemimpinmu banyak, tapi jumlah orang mukmin
di antaramu sedikit, dan ketika dunia ini mencari-cari amalan-amalan ukhrawi
namun hanya dipenuhi selain Allah.” ‘Abd Allah ibn Mas’ud menambahkan, “Dan
kita sudah sampai pada hal itu.”
29.
Mengomentari firman Allah Swt, “Jagalah (engkau
bertanggung jawab atas) dirimu” (Qs.5:105), Nabi saw. bersabda : “Perintahkan
kebaikan dan laranglah kejahatan; tetapi manakala kalian melihat keserakahan
dan hawa nafsu menguasai, dan dunia ini lebih disikuai; serta manakala kalian
melihat setiap orang alim kagum dengan pendpatnya sendiri, maka jagalah dirimu,
dan tinggalkan orang banyak. Sebab, sesungguhnya hari-hari kesabaran pasti akan
datang. Lalu, kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Seseorang yagn
bertindak benar pada hari-hari itu akan menerima ganjaran lima puluh orang yagn
ebruat seperti dia.” Seseorang berkata : “Ya Rasulullah, ganjaran lima puluh
orang di antara mereka?” Beliau menjawab : “Ya, ganjaran lima puluh orang di
antara kalian.” Dan beliau juga bersabda : “Berbuatlah kebaikan, sebelum
perselisihan datang laksana kepekatan malam gelap, kala orang akan bangun di
pagi hari dalam keadaan beriman, dan di sore hari menajdi kafir, atau di sore
hari beriman, dan bangun di pagi hari dalam keadaan kafir, karena menukar
agamanya dengan dunia ini. Al-Hasan berkata : “Ini berarti bahwa dia mengawali
harinya dengan menghormati kehidupan dan harta saudaranya, dan mengakhiri
harinya dengan memandangnya sebagai mangsa empuk.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Kalian hidup di
suatu zaman, manakala seseorang mengabaikan sepersepuluh kewajibannya, dia
bakal binasa; tapi akan datang suatu zaman, manakala seseorang menunaikan
sepersepuluh kewajibannya, dia bakal selamat. Sungguh, hari-hari kesabaran akan
datang, ketika kesabaran itu laksana menggenggam bara api. Mengerjakan
amal-amal ibadah sederhana pada zaman penuh kehancuran, itu sama bermanfaatnya
dengan datang kepadaku sebagai orang-orang yang berhijrah. Ibn Adi berkata :
“Kami pergi mengunjungi Anas ibn Malik, dan mengadu kepadanya bahwa kami tak
pernah bertemu dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Lalu dia
berkata, ‘Di antara orang banyak itu, ada seorang yang lebih jahat ketimbang
yang lainnya, sampai engkau datang menemui Tuhanmu. Aku mendengar ini dari
Rasulullah saw.
Diaktakan oleh riwayat dari Hudzayfah, “Rasulullah
saw. menuturkan dua buah hadis kepada kami. Salah satunya, kulihat, telah
terbukti kebenarannya. Dan satunya lagi, sedang kutunggu. Beliau menuturkan
keapda kami bagaimana dapat dipercaya sifat amanah turun masuk ke dalam kalbu
manusia. Lalu Al-Qur’an diwahyukan, sehingga mereka membaca Al-Qur’an dan
bertindak sesuai dengan Sunnah Nabi. Kemudian beliau menuturkan kepada kami
bagaimana situasi itu menjadi memburuk. Sifat dapat dipercaya dicabut ketika
seseeorang sedang tidur; lalu dia bangun dan mendapati sifat itu telah diambil
dari kalbunya. Bekas-bekasnya laksana kudis dan luka melepuh akibat bara api di
kakimu. Dilihantya luka bengkak, tapi tak ada sesuatu pun di dalamnya. Sifat
itu sudah sangat berkurang, sehingga akan dikatakan bahwa di kalangan suku anu
ada seseorang yagn dapat dipercaya. Aku telah meliaht zaman ketika aku tidak
ambil peduli pada hal yagn aku berurusan denganmu; sebab jika dia seorang
Muslim, maka Islamnya bakal menuntun dia berlaku adil kepadaku, kalau tidak, penguasa
akan memaksanya berlaku demikian. Akan tetapi, aku tak membeli sesuatu pun
darimu kecuali anu dan anu.”
Versi lain dari sabda ini diriwayatkan demikian :
“Seseorang tidur sebentar dan sifat dapat dipercaya akan dihilangkan dari
kalbunya, sehingga hanya bekas-bekasnya saja yang tertinggal. Kemudian dia akan
tidur lagi, dan lagi-lagi sifat dapat dipercaya bakal diambil dengan
meninggalkan tanda seperti luka melepuh akibat bara api mengenai kakimu. Bara
api meninggalkan luka melepuh, tapi akan engkau lihat bahwa luka melepuh itu
berangsur-angsur bakal hilang sampai tak tersisa sedikit pun. Orang akan bangun
di pagi hari dan saling berurusan satu sama lain, tapi nyaris tak ada di antara
mereka hidup sesuai dengan kejujuran. Dan orang akan dikatakan betapa cerdas
dan pandai dia. Akan tetapi, dalam kalbunya tak ada seberat biji sawi pun
kejujuran.
Haids lainnya mengatakan : “Orang biasa bertanya
kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan; tetapi aku (Hudzayfah) bertanya kepada
beliau tentang kejahatan, lantaran aku takut kalau-kalau hal itu menipuku.
Karena itu, aku berkata : “Ya Rasulullah, kita pernah hidup di zaman jahiliyah
dan kejahatan, lalu Allah memberi kita zaman penuh kebaikan ini. Akankah
kejahatan mengikuti kebaikan?” Beliau menjawab : “Ya. Lalu aku bertanya,
‘Apakah akan ada kebaikan setelah kejahatan itu?’ Belaiu menjawab : “Ya, tapi
akana da kabut asap di dalamnya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kabut asap itu?’
Beliau menjawab, ‘Orang akan mengikuti jalan hidup yang bukan jalan hidupku,
dan memberi petunjuk yang bukan petunjukku, sehingga kamu akan emngetahui
sebagian kebaikan dan sebagian kejahatan di dalamnya.’ Aku bertanya lagi, ‘Dan
setelah kebaikan, akankah ada kejahatan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, Orang akan
berdiri di gerbang neraka menyeru-nyeru; dan mereka bakal melemparkan ke dalam
neraka siapa saja yang menjawab seruannya.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah,
gambarkan sosok orang itu kepada kami.’ Beliau menjawab, “Mereka itu
orang-orang setanah air dengan kita, dan mereka berbicara dengan bahasa kita
pula.’ Lalu aku bertanya, ‘Nasihat apa yang bisa engkau berikan kepadaku bila
aku sempat hidup mengalami zaman itu?’ Beliau menjawab, “Ikutilah Jamaah kaum
Muslim dan pemimpinnya.’ ‘Tapi bagaimana bila mereka tidak memiliki jamaah dan
pemimpin?’ Aku bertanya. Belia menjawab. “Kalau memang begitu, hendaknya kamu
memisahkan diri dari golongan orang seperti itu, sekalipun untuk itu kamu harus
berpegang erat pada akar pohon sampai kamu mati.”
Dari
Usamah ibn Zayd, kita dapatkan riwayat ini : “Rasulullah saw. melihat ke bawah
dari salah sebuah benteng di Madinah dan bertanya, ‘Apakah engkau melihat apa
yang aku lihat?’ Mereka menjawab. ‘Tidak.’ Lalu berliau berkata, ‘Aku melihat
pertikaian di antara rumah-rumahmu, seperti hujan deras turun.” Ucapan lainnya
berbunyi, “Percayalah kepadaku, bakal ada pertikaian, dan orang yang duduk
lebih baik ketimbang orang yang berdiri, dan orang yang berdiri akan lebih baik
ketimbang orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik ketimbang
orang yang berlari. Orang yagn melihat perselisihan akan terpikat. Karena itu,
orang yang bisa mencari temepat perlindungan hendaknya berlindung di dalamnya.”
Beliau juga berakta, “Tidak lama lagi milik terbaik seorang Muslim adalah domba
yang dia gembalakan ke puncak gunung dan tempat-tempat turun hujan, ketika itu
dia akan lari dari perselisihan dan membawa serta agamanya.”
Perhatikan hal ini berikut apa yang telah aku kutip
dari Ibn Mas’ud mengenai orang-orang yang memisahkan diri, dan perbedaan antara
berbagai zaman pun akan nampak di matamu. Ibn Mas’ud mengatakan bahwa di
zamannya “kejelasan telah lenyap dari dunia ini, dan hanya kekaburan dan
keburaman saja yang tersisa, sehingga dewasa ini kematian menjadi anugerah bagi
setiap Muslim.” Masih ada banyak lagi hadis tentang perpecahan.
Salah satu hadis itu bercerita bagaimana “akan
datang suatu zaman ketika orang bakal tersesat dalam agama mereka, tapi mereka
tidak menyadarinya. Orang akan bangun pagi sebagai orang religius, dan
mengakhiri harinya tanpa mengetahui apa itu agama. Di zaman itu, kecerdasan banyak orang akan diambil.
Yang pertama kali diambil adalah kerendahan hati, lalu keimanan,dan kemudian
ketakwaan kepada Allah.” Seseorang bertanya kepada Ibn Al-Mubarak apakah keadilan bakal terwujud
setelah duaratus tahun. Ibn Al-Mubarak menjawab, “Aku tengah membicarakan hal
itu bersama Shamad ibn Sulmah. Dia jadi gelisah serta berkata, “Jika engkau
bisa sebelum duaratus tahun itu, lakukanlah! Sebab pada zaman itu bakal muncul
pangeran-pangeran lancung, menteri-menteri zalim, orang-orang istana tak setia,
dan pembaca-pembaca Al-Qur’an jahat, yang pembicaraan mereka tercela dan yang
oleh Allah dipandang sebagai orang-orang berbau busuk.”
Nah, jika semuanya aitu memang begitu di zaman
mereka, tidakkah engkau peraya bahwa dewasa ini demikian juga keadaannya? Di
zaman-zaman ini, orang pandai mesti minta nasihat pada dirinya sendiri dan
menghindari anak-anak suku bangsanya. Dia mesti memenukan sabahat sejati dan
teguh yang menempuh jalan kemajuan yang jelas, dan yang meriwayatkan
hadis-hadis dengan benarserta mengikuti cara hidup Nabi. Sebab Allah Swt.
mewajibkan pada zaman mana pun untuk mempertahankan agama (Islam) dan melawan
kaum ahli bid’ah. Allah Swt. membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan
akan kebenaran-Nya dan dengan demikian membimbing mereka di sepanjang
Jalan-Nya.
31.
Nabi Muhammad saw. bersabda : “Golongan yang
meninggalkan jamaahku, berada dalam
kesesatan, dan tak seorang pun yang menetang Jamaahku bakal merugikannya
kecuali bila Allah mengizinkannya.” Berbicara tentang pengetahuan dan ulama,
‘Ali – semoga Allah meridhainya – berkata di akhir sebuah hadis yagn diriwayatkan dari Kumail ibn Ziyad
Al-Thawi, “Ya Allah, jangan biarkan bumi ini kosong dari seseorang yang pernuh
perhatian pada hujah-Mu di muka bumi, entah hujah itu nampak dan dikenal atau
tersembunyi dan tak dikenal, agar hujah dan bukti Allah tidak hilang. Di mana
orang-orang seperti ini, dan berapa banyak jumlahnya? Jumlah mereka sedikit, ,
tetapi kekuatan mereka besar. Allah menjaga hujah-hujah-Nya, sampai orang-orang
yang merenungkannya mengenalinya dan mematrikan citranya dalam kalbu-kalbu
mereka. Lalu dia menuntun mereka menuju pengetahuan tentang Kebenaran Mistik
dalam agama, sehingga mereka mengikuti ruh keyakinan. Merekan memandang ringan
apa saja yagn dianggap sukar oleh orang-orang yang hidup dalam kemewahan, dan
mereka kenal betul apa yang orang-orang jahil terasing darinya. Di dunia ini,
mereka hidup dalam raganya, tapi jiwa mereka asyik dengan alam tertinggi.
Inilah khalifah-khalifah Allh di muka bumi, yang menyeru manusia kepada
agama-Nya dengan mengatakan ‘Lihat ke sini! Lihat ke sini!’ dengan harapan
bahwa mereka akan melihat. Wahai Kumail, aku memohon ampunan Allah untuk kita
berdua.” Dan akhirnya ‘Ali berkata, “Dan sekalipun orang-orang seperti ini
terus berkurang jumlahnya, sampai hanya tinggal seorang, maka yang seorang itu
pun akan merupakan Jamaah,”
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn
Al-Mubarak tentang apa yang diperlukan untuk membentuk majelis jamaah. Dia
menjawab, “Abu Bakar dan ‘Umar,” orang itu berkata, “Tapi Abu Bakar dan ‘Umar
sudah meninggal.” “Kalau begitu, maka si anu dan si anu,” katanya. Orang itu
lalu berkata, “Tapi mereka juga sudah meninggal.” Kemudian, dia berkata, “Abu
Hamzah Al-Sukri adaah majelis jamaah.” Ketika menjelaskan makna istilah majelis
atau jamaah, Sufyan Al-Tsauri berkata, “Jika di atas puncak gunung ada seorang
bijak bestari, maka dia adalah jamaah.” Ia membenarkan apa yagn telah aku
katakan.
Akan tetapi, aku telah melantur. Karena itu,
baiklah aku kembali pada pokok bahasanku. Segala sesuatu yang aku bicarakan
dalam surat ini mengacu kepada salah satu jenis bid’ah. Apa pun sebab-sebabnya, bid;ah menimbulkan
perselisihan, kontroversi, skisme, dan perpecahan. Hal-hal seperti ini terjadi
di kalangan orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan sia-sia yang timbul
akibat fanatisme mereka yang bersifat memecah belah. Mereka mengetahui
mana yang penipu dan mana orang yang berbicara beanr. Marilah kita analisis
masalah ini lebih jauh. Perpecahan, di antara para penipu, timbul karena hasrat
destruktif dan bujuk rayu setan. Penyebab perpecahan di kalangan orang-orang beriman adalah ketaatan
mereka kepada syarat-syarat keimanan dan perintah-perintah yang mesti diikuti
oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, di antara orang-orang beriman, terjadi
penggolongan lantaran sebab-sebab yang berbeda, seperti misalnya dalam kasus
perselisihan kaum sufi dan para faqih (ahli hukum Islam) atas masalah-masalah
hukum dan prinsip-prinsip Hukum Wahyu. Hanya saja, perbedaan pendapat di
kalangan mereka tentang masalah-masalah itu, adalah rahmat; sebab Allah karena
rahmat-Nya, tidak ingin memaksa kita dalam praktik keimanan.
Perselisihan jenis terakhir ini terjadi juga di
antara kelompok mulia sufi, tapi tidak mengandung rasa permusuhan dan
kebencian. Sebab mereka semua mencari kebenaran dan menempuh jaan ketulusan.
‘Awn ibn ‘Abd Allah berkata, ‘Sungguh indah ketika Sahabat-sahabat Nabi
Muhammad saw. tidak merasa asing satu sama lain, sehingga manakala mereka
bersatu kata tentang sesuatu dan seseorang memisahkan diri dari sikap mereka,
maka berarti dia telah meninggalkan Sunnah Nabi. Namun jika mereka mengemukakan
berbagai pendapat, dan seseorang mengikuti salah satu pendapat mereka, maka
orang itu tetap mengikuti Sunnah Nabi.” Rahasia dari hal itu adalah, seperti
telah aku katakan, bahwa persoalannya, terletak pada keadaan mengikuti pendapat
yang mungkin, bukannya memaksakan kesamaan.
32.
Hal serupa juga bisa dikatakan tentang perbedaan
pendapat di kalangan orang-orang yang mengerti masalah-masalah esoteris atau
batiniah yang berkaitan dengan kemajuan kalbu dan kedudukan pencinta dan yang
dicicntai. Ini sepenuhnya merupakan kontroversi berkenaan dengan hubungan
antara Kebenaran Mistik dan variasi keadaan spiritual serta tingkat kepekaan
individu. Masing-masing pendapat itu menyuarakan pengalaman mistik yang terjadi
dalam konteks kapasitas tertentu seseorang. Kemampuan untuk melihat mana orang
yang mengatakan kebenaran dan mana orang yang berkata dusta, sangat sulit
dipahami. Orang yang menginginkan hal itu haruslah melipatgandakan usahanya
untuk mematuhi aturan-aturan praktik keagamaan dan usahanya meneliti kehidupan
dan hadis-hadis Nabi, agar memahami semuanya itu dalam kalbunya dan agar tidak
taklid buta, dengan cara mencari keberhasilan dan penegasan dari Tuhannya.
Sebelumnya aku telah memperingatkanmu agar
hati-hati terhadap orang-orang yang mengamalkan bid’ah yang bertalian dengan
rukun iman, ilmu lahiriah dan batiniah, dan tindakan yang sama sekali
bertentangan dengan Sunnah Nabi. Sesungguhnya, hal itu mencakup semua jenis
bid’ah pada akhirnya. Salah seorang ulama mengatakan, “Bersahabat dengan ahli
bid’ah pada akhirnya menghilangkan cahaya kalbu dan perbuatan baik, sehingga
dibenci oleh Allah dan jauh dari-Nya.” Sahl ibn ‘Abd Allah berkata,
“Barangsiapa memperlakukan ahli bid’ah dengan lemah lembut, berarti dia merusak
Indahnya Jalan Nabi; dan barangsiapa memberikan senyuman kepada seorang ahli
bid’ah, berarti dia kehilangan cahaya iman dalam kalbunya.” Dan salah seorang
ulama berkata, “Tobat dari bid’ah tidak membawa keberhasilan; sebab sekalipun
seseorang kemudian menemukan sebagian Kebenaran, dia masih belum mengecap
Kebenaran Mistik.
Selain bid’ah dalam pengetahuan dan tindakan, yang
banyak sekali jumlahnya, yang aku sebutkan dalam uraianku tentang bid’ah, masih
ada lagi lainnya. Yang meliputi kebenaran, berlebih-lebihan, pemborosan, kearas
kepala – yang kesemuanya itu tercela dan sama sekali bukan bagian dari Sunnah
Nabi. Setelah engkau mencerna apa yang telah aku bicarakan, engkau akan
mengerti bahwa satu-satunya golongan yagn berhasil mengikuti Sunnah Nabi adalah
golongan sufi ini, paling tidak sebelum diperkenalkannya hal-hal baru di
kalangan mereka dalam waktu-waktu belakangan ini. Perhatian utama kaum sufi
adalah hal-hal yagn tidak ada dalam diri orang-orang yang terombang-ambing
dalam kesesatan, yakni berjuang melawan jiwa rendah agar tercegah dari
mengikuti hawa nafsu, dan membebaskan diri sepenuhnya dari dunia ini. Tujuan
mereka adalah memusatkan kalbu pada Tuhan dan tenggelam dalam pengalaman dan
kedekatan dengan-Nya.
Tujuan itu meliputis emua kewajiban agama,
peringkat (maqam) orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) dan
keyakinan, serta keadaan spiritual mereka vis a vis Sunnah Nabi. Peringkat
mulia mereka diperoleh mereka karena mereka memegang teguh perilaku yang
ditetapkan Hukum Wahyu. Tak ada seorang adil pun yang bisa mencurigai bahwa mereka tidak lagi
menaati Sunnah Nabi sebagai tujuan paling mulia mereka. Dan meskipun demikian,
mereka dihukum lantaran hal itu, padahal sesungguhnya mereka itulah yang
disebut-sebut Nabi Muhammad saw. ketika abeliau berkata, “Sesungguhnya Allah
Swt. mempunyai beberapa orang hamba yang menjadi kurus dan yang oleh Allah Swt.
dijadidkan sehat dengan rahmat-Nya serta disejahterakan oleh-Nya. Dan manakala
meninggal dunia, Dia memasukan mereka ke dalam surga-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang berbagai perselisihan menimpa mereka seperti kegelapan malam,
namun mereka selamat.
33.
Abu Al-Qasim Al-Junayd, tokoh dan pemimpin kaum
sufi, berkata, “Semua jalan tertutup bagi makhluk-makhluk Allah, kecuali bagi
mereka yang mengikuti jejak Rasulullah saw. “ Katanya juga, “Seseorang yang
tidak hafal Al-Qur’an dan tidak tahu hadis, tidak bisa diikuti, sebab segenap
pengetahuan kita termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi.” Selanjutnya dia
mengatakan, “Pengetahuan kita ini berdasarkan pada enam hal : Kitab Allah,
Sunnah Rasul-Nya, makan-makanan halal, menahan diri dari menyakiti roang lain
dan menghindari dosa-dosa, tobat dan mengupayakan keadilan.” Abu ‘Utsman
Al-Hirri berkata, “Barangsiapa menjadikan Sunnah Nabi sebagai penguasa atas
dirinya dalam kata-kata dan perbuatan, maka dia telah berbicara dengan hikmah;
barangsiapa membiarkan hawa nafsu menguasai dirinya, maka dia berbicara sebagai
ahli bid’ah.” Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
beroleh petunjuk....” (Qs. 24:54). Ibn ‘Atha’ berkata, “Manakala seseorang
mengikuti Sunnah Nabi, Allah menerangi kalbunya dengan cahaya makrifat.”
Tak ada kedudukan yang lebih mulia daripada
mengikuti Sang Tercinta (Allah Swt), Nabi Muhammad saw. dalam berbagai
perintah, tindakan dan kepribadian. Abu Hamzah Al-Baghdadi mengatakan,
“Seseorang yang mengetahui Jalan Allah, tidak mendapat kesulitan mengikutinya.
Dan satu-satunya pemandu menuju Jalan Allah adalah mengikuti Rasulullah dalam
berbagai tindakan, keadaan spiritual dan kata-katanya.” Abu Bakar Al-Thamastani
berkata, “Barangsiapa menjadikan Kitab Allah dan Sunnah Nabi sebagai
sahabat-sahabatnya, dan meninggalkan jiwa rendahnya serta dunia makhluk, dengan
melakukan Hijrah menuju Allah dalam kalbunya, maka dia adalah orang yang lurus
dan adil.” Dan Abu Al-Qasim Al-Nashrabadzi mengatakan, “Prinsip-prinsip dasar
tasawuf adalah mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Nabi, meninggalkan bid’ah,
menghargai tinggi-tinggi kritik dan kecemasan guru-guru spiritual, melihat
berbagai muslihat dunia ini, sabar dalam melaksanakan kebaktian-kebaktian
spiritual dan meninggalkan pencarian kemewahan dan berbagai penafsiran
sisa-sia.”
Abu Yazid Al-Bisthami berkata kepada salah seorang
sahabatnya, “Mari kita pergi melihat orang ini yang telah mengukir reputasi
kewalian. “Orang yang disebut-sebutnya ini terkenal karena kezuhudannya. Dia
melanjutkan kisahnya : “Lalu kami pun pergi. Ketika orang itu keluar dari
rumahnya, dia masuk masjid dan meludah ke arah mihrab. Abu Yazid memalingkan
muka tanpa menguapkan salam pada orang itu, dan berkata, “Ini bukan gambaran
perilaku Nabi saw. Bagaimana bisa orang ini menjadi contoh dalam apa yang dia
mohonkan?” Abu Yazid juga mengatakan, “Aku bermaksud memohon kepada Tuhanku,
Allah Swt. agar menghilangkan keinginanku pada makanan dan pada wanita. Tapi
kemudian aku berkata pada diriku sendiri, “Bagaimana mungkin memohon hal ini
kepada Allah, seemntara Rasulullah saw. tidak melakukan hal demikian?” karena
itu, aku tidak memohonnya. Kemudian aku tidak lagi peduli apakah aku melihat
wanita atau tembok!”
Ja’far ibn Nashayr bertanya keada Bakran
Al-Dinawari, hamba sahaya Al-Sybli, “Bagaimana pendaptmu tenetang Al-Sybli?”
Bakran berkata, “Dia pernah ebrcerita kepadaku, ‘Aku pernah memperoleh satu
dirham secara tak jujur, lalu aku menyedekahkannya atas nama pemiliknya; tapi
hatiku tak pernah mengalami kebingungan melebihi saat itu.’ Lalu, dia
memerintahku untuk melakukan wudlu’ baginya. Aku melakukannya, tapi aku lupa
menyisir jenggotnya. Dia tak bisa berbicara, lalu memegang tanganku dan
menelusurkan tanganku itu ke jenggotnya. Kemudian dia meninggal.” Ja’far
meenangis dan berkata, “Apa katamu tentang seseorang yagn dalam hidupnya tak
pernah diingatkan akan perilaku yang ditetapkan oleh Hukum Wahyu?”
34.
Masih banyak lagi kisah lain seperti itu tentang
kaum sufi. Aku cukup menyebutkan beberapa di antaranya. Semoga dengan kisah-kisah
itu, Allah menjadikan kita bisa mengambil manfaat dan berkahnya, serta
mengumpulkan kita dalam barisan mereka, dan menjadikan kita mampu menempuh
jalan mereka. Seseorang yang menmpuh jalan mereka, dan lebih menyukai jalan
mereka ketimbang jalan para faqih, akan menyusul mereka dan berjalan selaras
dengan mereka dalam ajaran dan pemikiran. Wallahu a’lam.
Kemudian, inilah yang ingin aku katakan tentang
taklid buta dan bid’ah. Belum kutemukan seorang ulama yang menyebutkan
batasannya, tetapi aku telah membuat kesimpulan-kesimpulan dari makna yang
dimaksud dan generasi-generasi tersiratnya. Barangkali, apa yang kukatakan ini
bisa diterima akal, tapi hanya Allah Swt sajaah yang menganugerahkan
keberhasilan melalui kebaikan dan kemurahan-Nya.
Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri surat ini
dengan kutipan dari seorang pemimpin agama terkemuka, Al-Hasan ibn Al-Hasan
Al-Bashri, semoga Allah meridhainya. Dia mengajak kita untuk memperhatikan cara
lama dan terlupakan, yaitu cara memperoleh keberhasilan, yang mesti dipelajari
oleh orang yang memiliki niat luhur. Kupikir, dengan cara begini aku bisa
meringkaskan apa yang telah aku bicarakan, dan mengakhiri tujuanku.
Mengomentari firman Allah Swt, “Sungguh dalam diri
Rasulullah ada teladan mulia bagimu.” (Qs. 33:21), Hasan, semoga Allah
meridhainya, berkata :
Allah memilih Muhammad saw. untuk menerima pengetahuan, dan
menurunkan Kitab-Nya kepadanya, serta mengutusnya sebagai Rasul bagi kaumya.
Lalu memberikan tempat kepada Nabi di dunia ini agar orang-orang di dunia ini
melihatnya. Dia juga memberinya kekuasaan di dunia. Lalu Dia berfirman,
“Sungguh, dalam diri Rasulullah ada teladan mulia bagimu.” Tapi, demi Allah,
orang-orang dalam kabilahnya melecehkan teladan itu. Maka Allah pun menjauhkan
mereka dari-Nya. Keselamatan, keselematan! Wahyu, Wahyu!. Dengan itulah engkau
bakal bangkit! Di dalamnya engkau akan bahagia! Ikatan dunia ini diputuskan
darimu, dan pintu-pintunya pun tertutup bagimu. Seolah-olah engkau adalah
iring-iringan penunggang kuda yang sedang berhenti – seruan salah seorang
darimu itu sendiri adalah jawabannya. Kondisi dunia ini bergantung kepada ikrar
Rasulullah saw. tapi engkau menerjunkan diri ke dalam dosa dunia ini, karena
itu, demi Allah, segala yang kita ketahui tentang apa yang tersisa, adalah
perhitungan akhir.
Ketika Allah Swt mengutus Nabi-Nya, Dia mengatakan, “Inilah
seorang Nabi, inilah kesayangan-Ku. Ikutilah teladan dan Jalannya. “Di hadapan
Nabi tak ada pintu terkunci; di ahdapan dia, tak seorang penjaga pintu pun yang
bangkit berdiri. Nabi tidak makan pagi dengan mangkok, pun tidak tinggal diam. Tapi
dia senantiasa pergi ke luar. Siapa saja yang ingin menemui Rasulullah saw. pasti menemuinya. Dia duduk
di tanah, dan meletakkan makannya di tanah, serta mengenakan pakaian kasar. Dia
menunggang keledai, dan menjilati tangannya. Dan Nabi pun bersabda, “Barangsiapa
memandang hina Sunnahku, maka dia bukan golonganku.”
Banyak orang yang menghindari Sunnahnya dan memisahkan diri
darinya. Kaum kafir! Kaum pendosa! Makanan mereka adalah riba dan dendam. Tuhanku
telah menyatakan mereka sebagai orang-orang bodoh, dan menghinakan mereka. Mereka
menyatakan bahwa tak ada sesuatu yagn salah berkenaan dengan cara mereka makan,
minum, dan menghias diri. Mereka memaknai firman Allah Swt menurut diri mereka
sendiri. “Katakanlah; Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik yang disediakan
oleh-Nya?” (Qs. 7 : 32). Akan tetapi, hal-hal seperti ini diperuntukkan bagi
sahabat-sahabat setan, dan setan menjadikan hal-hal itu sebagai tempat bermain
perutnya dan sistem pencernaannya.
35.
Para sahabat Rasulullah saw. bertindak sesuai dengan Kitab Allah
dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad saw. Mereka mengamalka apa yang mereka dakwahkan,
dan mendakwahkan apa yang mereka amalkan. Ketika malam tiba, mereka berdiri dan
menutupi wajah mereka. Air mata mengalir di pipi. Mereka menginginkan adanya
kebebasan bagi budak-budak mereka. Manakala sebagian kebaikan ini ditawarkan
kepada mereka atau disediakan buat mereka, mereka mengambilnya sebanyak yang
mereka perlukan dan menyisakan kelebihannya untuk kehidupan mendatang. Mereka bersyukur
kepada Tuhan aatas hal itu, dan menjual jiwa mereka demi kebaikan. Dan manakala
hal-hal yang baik itu diambil dari mereka, mereka bergembira dan berkata, “Ini
adalah sebagian dari keridhaan penuh perhatian Allah Swt.” jika mereka
mengerjakan kebaikan, mereka merasa bahagia dan memohon kepada Allah agar
menerimanya. Dan manakala mereka beruat maksiat, mereka merasa sangat menyesal
dan memohon ampunan Allah. Mereka selalu bertindak dengan cara demikian. Dan,demi
Allah, hanya melalui ampunan saja mereka terbebas dari dosa atau dianugerahi
Surga.
Orang berhasrata pada agama dan bergegas menuju kepadanya. Orang
mukmin mengerjakan amal-amal kebaikan, dan merasa khawatir kalau-kalau tidak
diterima. Akan teatpi, setelah mereka, datanglah orang-orang yang berbuat
kemungkaran, merasa aman dan tidak khawatir sedikit pun bahwa mereka bisa
terjebak dalam perbuatan mereka. Di antara orang-orang dalam Jamaah ini, ada
orang-orang yang mungkin hidup lima puluh tahun tanpa memiliki sehelai pakaian
pun untuk dilipat, tanpa sesuatu pun untuk diletakkan antara diri mereka dan
tanah, dan yang tidak memerintahkan keluarganya untuk menyiapkan makanan apa
pun yang menarik bagi mereka. Manakala orang seperti ini memasuki rumahnya, dia
masuk dalam keadaan kurus kering dan lemah. Manakala ajakan kepada keimanan ini
datang kepada mereka, mereka menerimanya dengan tulus; dan dalam kalbu mereka
timbul keyakinan tentang hal itu. Kalbu, badan, serta mata mereka tunduk kepada
ajakan itu, seolah-olah mereka melihat apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan,
demi Allah, mereka sama sekali bukan kaum yang cenderung pada perselisihan,
atau kesombongan, atau kepura-puraan.
Perintah datang pada orang-orang ini dari Allah Swt. dan mereka
pun meyakininya, sehingga Allah melukiskan mereka dengan pujian tertinggi dalam
Kitab-Nya ketika Dia berfirman, “Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih adalah
orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” – kata kerendahan hati
dalam bahasa Arab bermakna kelemah-lembutan, ketenangan dan ketulusan – dan selanjutnya
Allah berfirman, “Dan manakala orang-orang jahir menyapa mereka, mereka
menjawab ‘Salam” (Qs. 25:63). Inilah orang-orang mulia, bertakwa kepada Allah
dan sabar. Jika mereka dizalimi, mereka tidak membalas. Jika mereka diperlakukan
dengan jahil, mereka membalas dengan kemuliaan, dan mereka sabar hingga Allah
memudahkan jalan mereka. Begitulah cara hamba-hamba Allah berurusan dengan
orang lain.
Malam hari mereka mengikuti siang hari mereka, dan malam hari
mereka lebih baik. Sebab mereka menghabiskan malam hari dengan bersujud di
hadapan Tuhan mereka, dan berdiri tegak di hadirat-Nya, dengan menutupi wajah
mereka. Air mata mereka mengalir ke pipi disebabkan perpisahan dari Tuhan
mereka. Itulah sebabnya, mereka bangun malam di hadapan-Nya, dan itulah
sebabnya siang hari mereka terasa kurang penting. “Mereka berkata, ‘Ya Tuhan
kami, jauhkan kami dari azab Jahannam, sungguh, azabnya adalah kebinasaan
kekal.” (Qs. 25:65). Segala sesuatu bakal musnah, dan juga binasa; tapi selama
langit dan bumi masih ada, penderitaan pun tak bisa dihindarkan. Orang-orang
ini bersaksi kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Orang-orang beriman
bekerja keras, tapi tidak merasa lelah.
Dan engkau – semoga Allah menganugerahimu keimanan ini; sebab
Allah tidak memiliki anugerah lebih baik bagi hamba-Nya di dunia ini maupun di
akhirat nanti (selain iman ini). Orang-orang beriman bersabar, patuh, bertakwa
kepada Allah, dan bersikap hormat. Demi Allah, seorang hamba tidak bisa
memahami Tuhannya sedemikian rupa sehingga dia menjadi sombong atau angkuh. Seorang
hamba mencari anugerah ini dan dengan berusaha keras mendapatkannya, sambil
senantiasa bersaksi kepada Allah baik secara sembunhi maupun terang-terangan,
hingga maut menjemputnya. Lalu, Tuhannya mendengar pujian umat-Nya : “Mereka
berkata : ‘Tuhan kami ialah Allah, ‘dan kemudian mereka menempuh Jalan Lurus.”
(Qs. 41:30). Demi Allah, mereka benar-beanr memiliki pengetahuan mendalam
(makrifat) tentag-Nya, dan mereka pun bergegas mematuhi-Nya : “Malaikat turun
kepada mereka, dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan bersedih hati :
dengarkanlah kabar gembira tentang surga yang dijanjikan kepadamu.” (Qs. 41:
30). Mereka tinggalkan dunia pada kaumnya, tapi yang demikian itu tidak membuat
mereka sedih. Pun tidak pula mereka berlomba-lomba dengan kaumnya mencari
kejayaan duniawi ini. Karena mulia, alim, dan bijak, maka mereka adalah
lentera-lentera petunjuk yang membawa orang keluar dari segenap perselisihan
duniawi yang gelap. Penduduk bumi tidak mengenal mereka, tapi penduduk langit
mengetahui mereka.
Di sini, aku tidak akan melanjutkan lagi kutipan
dari apa yang dikatakan Hasan. Kata-katanya merupakan mutiara sangat indah dan
pemikiran yang agung, seperti kata-kata alim lainnya. Bahkan lidah-lidah paling
fasih pun tak mampu mengungkapkan hal-hal seperti itu. Dan seseorang yang
merenungkan soal-soal ini, tak bisa lain kecuali amat terpesona dan terkagum-kagum.
Dengan itu, kita mengikuti masalah-masalah tersebut dan sampai pada tujuan
kita. Beetapa besar jasa kedudukan spiritual Hasan dalam membantu agama dan
dalam meluluhlantakkan kemurtadan, dalam membimbing orang yang ingkar menuju
Jalan Lurus dan dalam mengajari orang-orang jahil! Semoga Allah memberinya
balasan dan gamnjaran besar atas hal ini. Dan semoga pula Allah memberi kita
keberhasilan dalam mengikuti jejak langkah Hasan dan tercerahkan oleh
cahay-cahayanya.
SURAT KEEMPAT
Kepada Muhammad ibn Adibah. Sebuah bab tentang perilaku
mereka yang menekuni ilmu-ilmu hukum (fiqih), tentang bid’ah, serta berbagai
kesalahan yagn menjadi tanggung jawab mereka..
Hendaknya engkau memhamai bahwa dewasa ini bid’ah
merajalela di kalangan orang-orang seperti ini, dan akibatnya adalah perpecahan
dan pengaruh membahayakan. Penyebabnya adalah niat buruk metode penyelidikan
mereka dan karena mereka tidak mengetahui kegunaan dan penerapan hukum.
Kekeliruan niat mereka selalu menjerumuskan mereka ke jurang ketertipuan. Karena
tak mengetahui makna hakiki ilmu, kalbu mereka tak meiliki cahaya. Mereka telah
menjadi lambang memudarnya penglihatan dan akan menyadari rasa malu mereka
ketika relung kalbu mereka diadili. Engkau hanya perlu mengamati tindakan
mereka dan memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan spiritual mereka agar
engkau meyakini kelogisan dan ketepatan dari apa yang telah aku katakan tentang
mereka. Kabar angin
tidaklah bisa menggantikan kesaksian. Tak ada sesuatu pun yang bisa memberikan
kejelasan, kecuali melihat dengan mata kepala sendiri.
Singkatnya, seseorang yang menggeluti ilmu-ilmu
ini, dengan maksud jahat dan tipu muslihat dalam kalbunya, akan terpedaya sejak
permulaan. Biasanya, orang seperti ini mengemukakan beerbagai macam penafsiran
yagn tak bisa diterima, dan dalam proses itu sifat-sifat hawa nafsu tercelanya
menjadi bertambah kuat. Keadaan ini tak pelak lagi mengakibatkan timbulnya
banyak kemaksiatan dan kemunduruan, sementara orang tersebut mengira bahwa
Tuhannyalah yang telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan hal itu!
Andaikan salah seorang faqih ini menekuni
pekerjaannya dengan hal-hal yang telah dinyatakannya sebagai niat yang suci.
Dia yakin bahwa Tuhannya bakal memberi ganjaran atas kegiatan mengkaji dan
belajarnya. Dia mengira bahwa dia menghabiskan waktunya sebagaimana mestinya dan
bahwa dia terbebas dari motif jahat. Lalu musuh terkukuhnya menjarah dirinya,
mengalahkannya dengan segala muslihat dan kebenaran setengah-setengah,
membuatnya hanya ingat kepada sifat-sifat mulia orang-orang alim dan status
tinggi kaum faqih dan kaum intelktual. Sementara orang yang malang itu tidak
menyadari bahwa dirinya telah dikelabui oleh setan. Dia telah terjerumus dalam
cengkeraman musuh, menolak hal-hal yang mengikat dirinya dan menjadi tanggung jawabnya.
Seorang faqih lainnya mungkin mengawali tugasnya
dengan niat baik. Dia bersungguh-sungguh menghindari dosa-dosa ini, menempatkan
beragai masalah pada perspektifnya yang benar, dan terus-menerus mengamati
motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan jiwa rendah atau hawa nafsunya.
Akan tetapi, orang ini tak bisa menemukan seorang pun yang bisa memberinya
petunjuk dalam keadannya yagn sekarang, sehingga dia tetap berada di dalamnya,
dan keadaan memaksa dia menjalin persahabatan dengan orang-orang yang tidak
dikenalnya. Jauh sebelumnya, demam batiniah mulai menjalar dalam dirinya,d an
tanda-tanda kemunafikan mulai tampak dalam perilaku lahiriahnya. Kerusakan
kalbu telah menggusur ketulusan dan jalan keberhasilan. Kesempurnaan pun
menjadi tidak jelas bagi dirinya, “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, dan amat sedikit jumlah mereka ini.” (Qs. 38:25.)
Dan Guru Umat manusia, Muhammad saw. kita dapatkan
hadis ini, “Orang paling munafik di kalangan umatku adalah
pembaca Al-Qur’an.” Al-Hasan ibn Abi Al-Hasan mengatakan, “Manakala seseorang
berangkat pergi mencari pengetahuan, maka pengetahuan itu akan segera tampak
dalam kerendahan hatinya, pakaiannya, pandangannya, ucapannya, gerak-geriknya,
shalatnya, petunjuknya, dan kezuhudannya. Jika orang itu mau mencaai pintu
gerbang pengetahuan terakhir, dia mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuan
itu. Segala sesuatunya akan menjadi baik buat dirinya di dunia ini, sejauh hal
itu memungkinkan; dan jika tidak di sini, maka dia bisa mengharapkan hal itu dalam
kehidupan akhirat nanti.” Seterusnya, dia mengatakan, “Allah tidak menerima
puasa, shalat, pembebasan budak, ibadah haji atau umrah, jihad, zakat, atau
amal kebaikan seorang ahli bid’ah. Sungguh, akan datang masanya ketika
orang-orang mencampur-adukkan kebenaran dan kebatilan. Jika hal itu terjadi,
maka tak ada sesuatu pun yang berguna, kecuali teriakannya seperti teriakan
orang yang tenggelam. Karena itu, bantulah dirimu sendiri untuk meraih
pengetahuan; akan tetapi, ingatlah bahwa pengetahuan tidak bakal membuat aman
orang-orang yang mempelajarinya.” Al-Hasan,s emoga Allah merahmatinya, mengacu
di sini kepada pencarian ilmu, ketiadaan pengetahuan spiritual, yang terlihat
jelas di zamannya.
Sufyan Al-Tsawri
mengatakan, “Berhati-hatilah terhadap banyak bujukan ulama lancung yang suka
menipu! Dan berhati-hatilah terhadap kerendahan hati orang munafik!”
Malik berkata, “Aku pergi mengunjuungi ‘Abd A; Rahman ibn Hurmuz. Meski telah
melanggar hukum secara sembunyi-sembunyi, dia tetap berbicara tentang hukum-hukum
Islam, dan tentang bagaimana dia merasa takut lantaran apa yang telah dia
lakukan. Dia banyak sekali menangis.” Malik meneruskan, “Nah, Ibn Hurmuz adalah
orang yang hendak aku tandingi. Dia tak banyak berbicara, tak banyak
menjelaskan pendapat-pendapat hukum, teguh dalam menjalankan ibadah, sangat
berhati-hati dalam berbicara, keras dalam berurusan dengan orang lancung, dan
salah seorang ahli debat paling pandai.” Malik melanjutkan, “Aku pergi
mengunungi Rabi’ah, dan mendapatinya sedang menangis. Lalu aku berkata
kepadanya, ‘Semoga Allah memberimu keberanian, mengapa engkau menangis?” Dia
menjawab, “Wahai malik, orang kafir dan orang terkutuk menjelas-uraian hukum
dan berbicara tentang agama kita.” Dan Malik menyimpulkan, “Rabi’ah benar-benar
memahami keadaan kita.” Seseorang lainnya mengatakan, “Aku melihat Sufyan
Al-Tsawri sedang sedih, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Dia
berkata, “Kita telah sampai pada soal berurusan dengan anak-anak dunia ini.’
Maka aku bertanya, ‘Bagaimana bisa dmeikia?”. Dia menjawab, ‘salahs seorang
dari mereka tetap bersama kita, hingga dia memiliki hubungan dengan kita.
Kemudian dia pergi untuk menjadi pekerja, orang istana, pemungut tpajak. Lalu
dia berkata, “Al-Tsawri meriwayatkan hadis ini kepadaku...”
39.
Barang kali engkau akan bertanya, “Bagaimana bisa
murid dan guru menjadi orang yang menempuh jalan Sunnah Nabi dan mengikuti apa
yang dikehendaki umat beriman ini?” Hubungan timbal balik antara pengajaran
seorang guru dan kegiatan belajar seorang murid adalah seperti berikut ini.
Sunnah Nabi tentang kegiatan belajar seorang murid mengharuskan bahwa, dalam
soal-soal kewajiban hukum tertentu, dia mesti menaruh kepercayaan pada guru,
yang paling alim dan yang bertakwa kepada Allah yang bisa dijumpainya. Tentang
pengajaran guru, Sunnah Nabi memerintahkan berbuat kebaikan kepada murid,
bersikap ramah kepadanya dan guru memberikan pengajaran sejelas mungkin.
Malahan dalam soal-soal yang tidak melibatkan syarat-syarat hukum tertnetu,
Sunnah Nabi mensyaratkan agar guru dan murid memliki niat yang tulus, dan agar
mereka menghindari tindakan-tindakan terlarang dan tercela, serta agar mereka
tidak bersikap terlalu bebas dalam memenuhi syarat-syarat lahiriah Hukum Wahyu.
Jika mereka bertentangan dengan salah satu syarat itu, dan mengira bahwa mereka
telah mengerjalan amal kebaikan, maka mereka termasuk ahli bid’ah, dan
pandangan mereka adalah bid’ah juga, sebab hal itu tidak selaras dengan jalan
pendahulu kita dalam agama ini. Sebaiknya, jika mereka mengakui dosa-dosa
mereka dan ingin selamat darinya, tapi karena semata-mata tak mampu, maka
mereka bukanlah ahli bid’ah, melainkan hanya orang-orang membangkang yang
mengesampingkan perbuatan yang lebih mulia.
Inilah beberapa pelangaran yang umumnya dilakukan
oleh sang murid. Dia mungkin belajar dengan seseorang yang amat suka mempunyai
banyak pengikut atau melawan orang yang mempunyai bukti, atau tidak
menghapuskan hal-hal tercela dalam kelasnya. Hal-hal tercela ini bisa mencakup
fitnah, pertikaian, sok aksi, suka bertengkar, dan berteriak-teriak, baik di
dalam masjid atau selama mendengarkan hadis-hadis Nabi saw. Termasuk juga
menentang seorang ulama dengan cara yang sengit, menyakiti sesama murid dengan
tuduhan palsu, menolak pandangan mayoritas orang, melanggar tatakrama kesusilaan
dan hal-hal lain yang sejenisnya. Dalam pengertian umum, ini meliputi juga
perilaku kasar, yaitu mengusiknya dengan berbagai pertanyaan, atau mentang apa
yang dikatakannya, atau menyakiti, dengan kata dan tindakan, mereka yang dekat
dengannya di kelas, atau berburuk sangka kepadanya, dan sebagainya.
Adapun guru, dia bisa saja gagal karena menerima
murid-murid yang benaknya jelas-jelas dikaruniai niat kotor atau pikiran buruk.
Sungguh, kurangnya memperhatikan masalah inilah, persisnya, yang menyebabkan timbulnya
banyak kerusakan di zaman kita sekarang. Guru bisa juga melakukan kesalahan,
berupa duduk di tempat yang tinggi di atas sahabat-sahabatnya tanpa alasan yang
cukup kuat; atau berupa memperturutkan perilaku yang jelek, entah ditujukan
kepada guru atau pada murid; kadang-kadang tak bisa berbicara dengan benar, dan
bahkan memerintahkan murid keluar meninggalkan kelas; atau berupa mengutamakan
orang kaya dan anak-anak yang tempatnya berdekatan dengannya, serta
mengesampingkan orang miskin – suatu tindakan yang sama sekali tidak berkaitan
dengan tuntunan agama.
Guru bisa juga berbuat kesalahan, karena tidak
memberi nasihat kepada murid di saat yang tepat; atau karena tak bisa
menghidupkan kelasnya dengan mengingat Allah (Dzikr), membaca ayat-ayat
Kitab-Nya dan hadis-hadis Nabi saw. serta tradisi orang-orang saleh; atau
karena tidak mengucapkan shalawat atas Nabi saw, atau tidak memohon amunan dan
rahmat Allah serta mencari perlindungan kepada-Nya – sebab kesemuanya ini
jelas-jelas diwajibkan atas semua orang. Sesungguhnyalah, guru mesti menjaidkan
semuanya ini sebagai fondasi dalam kelas, memperhatikannya dengan seksama, dan
memandangnya sebagai manfaat-manfaat terbesar dalam kelas.
40.
Soal=soal seperti ini menunjukkan kewaspadaan kalbu
dan kesucian jiwa guru. Jika dia memang memiliki banyak pengetahuan tentang
kepastian dan juga memiliki keadaan spiritual kaum sufi dan orang-orang
memiliki keberhasilan spiritual, tentu saja dia akan berbicara kepada
murid-muridnya tentang pengetahuannya yang sangat berharga ini, sampai mereka
bisa memahaminya. Dia tentu akan membiarkan mereka melihat sebagian keadaan
spiritualnya yang mulia, agar dengan begitu keadaan mereka bertambah kuat. Dia
tentu akan menunjukkan kepada mereka hubungan timbal-balik antara Hukum Wahyu
dan Kebenaran Mistik, serta menjelaskan pemahaman tentang berbagai rahasia
Jalan yang amat terang, yang ingin mereka ketahui. Dengan perhatian dan cara
berbicaranya, guru supaya mencegah murid agar tidak memberikan perhatian pada
segala sesuatu yang baru dan berlangsung sekilas, serta supaya membantu mereka
menaydari dan mewujudkan makna kata-kata Nabi saw. “Bait paling benar yang
pernah dilantunkan penyair adalah : ‘Bukankah segala sesuatu, yang tidak mengandung Tuhan, kosong belaka?”
Demikianlah jalan leluhur kita yagn saleh dalam
agama dan nasihat ulama kita yang otoritatif. Siapa saja yang meneladani dan
mengikuti mereka, akan beroleh keberhasilan besar dalam kehidupannya dan
kesalehan abadi sebagai hasil akhir di hadapan Tuhannya. Siapa saja yang
berpaling dan mengikuti perilaku teladan itu, dan memutuskan tali persahabatan
dengan leluhur kita, berarti telah menukar akhirat dengan dunia ini (bandingkan
dengan Qs. 2 : 86), dan mengundang murka Tuhannya serta akan terkena firman
Allah Swt. “Katakanlah : Akankah kami beritahukan kepadamu orang-orang yang
paling merugi amal-amalnya? Mereka itulah orang-orang yagn telah sia-sia amal
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. I : 103-104). Semoga Allah melindungi kita
dari hal dmeikian itu.
SURAT KELIMA
Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat untuk menghibur
hati seorang sahabat yang dirundung kegelisahan karena keberataan-keberatan
seseorang terhadap surat-surat sahabatnya
41.
Segala puji bagi Allah semata.
Kusampaikan salam hangatku keapdamu. Aku memandang
perlu menulis surat keapdamu. Karena aku mengetahui kesusahanmu akibat apa yang
telah dikatakan Zayd atau ‘Amr tentang isi surat yang aku tulis kepadamu
beberapa waktu yang lalu. Kuhimpun segala sesuatu yang sangat memberatkan dan
menyusahkanmu.
Aku ingin agar engkau mengetahui bahwa aku berani
mengemukakan penjelasan tentang kebenaran dan kesalahan itu. Karena aku
menaydari benar bahwa aku membuka diriku bagi cercaan dan kecaman para
kritikus. Yang demikian itu sama sekali tidak menghalangiku, sebab aku
melakukannya dengan niat tulus, dan surat itu pun sudah mencapai tujuannya. Seseorang yang merasa yakin bahwa
dirinya bisa menghindari kecaman dan tantangan orang, sesungguhnya telah
terpedaya. Aku sendiri tidak takut pada jenis kritikan yang akan
bertolak dengan sendirinya itu. Akan tetapi, aku takut pada orang yang memutar
balikan makna yang kumaksud dan yagn tak mampu memahami makna hakikinya. Aku
yakin baha apa yang aku tulis tentang soal itu sduah jelas dan benar, tanpa
menyatakan berlebih-lebihan, dan bahwa aku menghindari sikap kasar. Sebab yang
demikian itu tidak bakal menuntun pada pemahaman.
Al-Syafi’i dengan tepat mengatakan bahwa ketika
menasihati salah seorang sahabatnya, “Aku hanya aka berbicara tentang kebenaran
keapdamu. Betapa pun juga, tak ada jalan untuk menyelamatkan diri dari
masyarakat; karenanya, aku akan mengingat apa yang menjadi perhatian utamamu
dan kemudian membebankan hal itu kepadamu sebagai kewajiban.” Dan seorang bijak mengatakan,
“Masyarakat umum bisa menjadi siksaan yang jauh lebih hebat ketimbang tujuh
dosa atau ular berbisa sekali pun. Orang masih bisa menghindar dari yang
terakhir ini, tapi dia tidak bakal bisa sepenuhnya menjauhkan diri dari
masyarakat.”
Karena itu, Allah menganugerahkan kepada kita ketenangan yang bisa
menyegarkan kalbu dan jiwa, dan kedamaian yang memancarkan kecemerlangan fajar.
Dengan kedua anugerah itu, kita tidak usah memperdulikan orang-orang yang
melontarkan halilintar dan guntur kepadakita, dan kita tidak begitu masygul
dengan siapa yang berdiri atau duduk. Sebalikya, kita jadidkan semuanya itu
sebagai sebab untuk merenung, sarana untuk mengingat, dan alasan untuk lebih
banyak memuji Allah Swt, yang memang layak dan pantas beroleh pujian. Seorang
bijak mengatakan, “Barangsiapa
melihat orang dengan matanya sendiri, maka dia bakal terlibat sengketa
berkepanjangan dengan mereka; barangsiapa melihat mereka dengan mata Allah,
maka dia akan memaafkan mereka.”
42.
Karena itu, kita mesti menelusuri daftar
orang-orang yang menempuh jalan sufi yang telah dikecam dan dituduh sesat dan
menyimpang, serta memperhatikan perilaku mereka. Mereka adalah orang-orang terpilih
di antara para wali, terbiasa dengan cobaan dan kesengsaraan, karena menerima
anugerah yang begitu banyak sehingga tidak bisa diukur dan atas anugerah
seperti itu rasa terima kasih belumlah memadai. Akan teatpi, anugerah itu tidak
mengurangi sedikit pun integritas keadaan spiritual mereka. Tak seorang pun
bisa memungkiri mereka, kecuali barangkali dengan menahan air matanya, “Mana
bisa kau menjadi seperti itu, mengingat aku adalah aku? Bisakah orang sepertiku
mencapai kedudukan yang begitu mulia?”
Meskipun begitu, aku senang bahwa nafsu telah diambil dariku,
Dan aku terbebas darinya; ia tak lagi menguasai diriku.
Di tengah-tengah cobaan spiritual yang membuat
kepala tertunduk, janganlah kita jadi bingung karena apa yang terjadi di
sekeliling kita, atau cemas apakah itu mudharat atau manfaat.
Inilah yang ingin aku jelaskan kepadamu guna
mengobati kalbumu dan menenangkan pikiranmu. Aku lebih suka melakukan hal itu
dengan cara begini, ketimbang tidak menyebutkan dalam surat ini apa yang telah
aku tulis kepadamu sebelumnya, atau menyarankan agar hal itu dirahasiakan.
Jangan biarkan hal-hal itu membuatmu takut atau menyusahkan dirimu. Baiklah,
aku percayakan kepadamu nasihat yang telah aku berikan kepadamu dalam suratku
sebelumnya dan menegaskan ikrar-dukungan yang dinyatakan secara tidak langsung.
Kita memohon kepada Allah Swt, agar Dia memberi keberhasilan melalui
keridhaan-Nya. Semoga Dia menghimpun berbagai hasrat dan keinginan kita dalam
pengabdian penuh kesalehan di hadapan-Nya, sebab Dia adalah Raja yang Maha
Pemurah, Abadi, dan Pengasih.
SURAT KEENAM
Kepada Muhammad ibn Adibah. Surat yang menjawab
berbagai pertanyaan, masing-masing judulnya diberikan di pinggir halaman
(tetapi di sini disisipkan dalam tanda kurung), karena topik-topik dibahas atas
dasar kelompok masalah Pertama, pertanyaan tentang haji dan syarat-syarat
hukumnya yang berkaitan dengan individu dan keadaan.
43.
Segenap puji bagi Allah semata.
(Prinsip-prinsip tentang menunaikan ibadah haji).
Sekarang ini, menunaikan haji menjadi semakin
diinginkan orang dan sangat dihaasratkan 9oleh mereka). Mereka lebih menyukai
kesukaran, kebutuhan dan perpisahan dari rumah, yang merupakan bagian dari
ibadah haji, ketimbang bersantai-santai, bersenang-senang, dan tinggal di
rumah. Sudah barang tentu, ada sebagian orang yang meninggalkan agama mereka
dan tidak mempunyai keinginan menunaikan ibadah haji. Dan ada sebagian orang
lainnya yang , setelah melaksanakan berbagai formalitas amal yang diniatkannya,
hanya mempunyai satu perhatian dan keinginan, yakni kembali ke negeri mereka
dan bergabung kembali bersama keluarga dan sahabat-sahabat mareka. Namun,
setelah mereka melakukan itu, mereka mengalami lagi kejemuan tinggal di rumah.
Mereka menjadi bosan sehingga mereka merindukan, bahkan lebih dari sebelumnya,
untuk berangkat menunaikan ibadah haji lagi. Ini semua adalah kecenderungan
mendasar dan alami manusia.
Manakala orang yagn pandai dan memiliki pemahaman
spiritual menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, dia mesti mengesampingkan
kebutuhan alaminya dan mengkritik secara spiritual kecenderungan manusiawinya.
Dia harus meminta nasihat kepada
kalbunya dan bertindak sesuai dengan syarat-syarat praktik keagamaan, sejauh
kesemuanya itu terlihat jelas baginya. Kalau tidak, dia mesti meminta nasihat kepada
orang yang berkompeten dalam masalah-masalah ini, bukannya mengikuti tingkah
laku pribadi. Tanpa pengetahuan dan pertimbangan spiritual, tindakannya bakal
sia-sia dan dia akan berusaha dengan sia-sia pula.
Syarat-syarat hukum ibadah haji sudah engkau
ketahui. Akrenanya, mari kita lihat persoalan itu dari sudut pandang yagn lebih
umum. Aku katakan bahwa ibadah haji itu ada tiga macam : ibadah haji yang
sepenuhnya terpuji, ibadah haji yang sepenuhnya berdosa, dan ibadah haji yang
sebagian terpuji, dan sebagian tercela.
Ibadah haji yang sepenuhnya terpuji adalah ibadah
hajinya seseorang yang berpengetahuan, yakni, dan bebas dari perintah jiwa
rendah (hawa nafsu). Orang seperti ini tidak dikuasai oleh kecenderungan
manusiawinya. Syarat-syarat praktik keagamaan dan cahaya keyakinan
mendorongnya. Ini adalah keadaan mulia, kedudukan sangat mulia yang bisa
sepenuhnya dipahami hanya oleh orang yang mengalaminya.
44.
Sebuah kisah menuturkan bagaimana salah seorang
ulama bercerita demikian : “Ketika aku sedang melakukan Thawwaf mengelilingi
Ka’bah, seorang tua datang menghampiriku dan bertanya tentang negeriku. Aku
ceritakan hal itu kepadanya, dan dia bertanya : “Berapa jauh dari sini ke
sana?” Aku menjawab : “Sekitar dua bulan.” Lalu dia berkata : “Engkau bisa menunaikan
ibadah haji ke Ka’bah inis etiap tahun!” Kemudian aku bertanya kepadanya : “Dan
berapa jauh negerimu?” Dia menjawab : “Ketika aku masih muda, aku berangkat
meninggalkan negeriku untuk mengadakan perjalanan selama lima tahun.” Aku
terheran-heran, lalu dia meneruskan kata-katanya :
Kunjungilah yang kaucintai meski rumahnya
Jauh darimu dan tersembunyi.
Jangan biarkan jarak menghalangimu
Untuk mengunjungi-Nya,
Sebab pecinta selalu mengunjungi yang
Dicintainya.
Kisah lainnya menuturkan bagaimana suatu hari
Syaikh Abu Al-Hasan Al-Lakhmi sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya
membicarakan aspek-aspek hukum ibadah haji. Mereka berbicara panjang-lebar
tentang apakah syarat itu masih berlaku di zaman mereka. Sementara itu, seorang
miskin mendengarkan pembicaraan mereka di luar jamaah mereka. Setelah mereka
selesai, orang itu menjulurkan kepalanya ke jamaah itu dan berkata kepada
Syaikh :
Wahai Guruku,
Jika engkau tak berhasrat sedikit pun
Menumpahkan darahku,
Engkau hampir tak akan terlalu memperhatikannya.
Karakteristik ibadah haji yang sepenuhnya tercela
sangat berbeda dari karakterisitik ibadah haji yang dilakukan dengan niat yang
bebas dari kemunafikan dan hasrat akan reputasi. Yang pertama didorong
semata-mata oleh tingakh laku sia-sia. Tapi keuda tipe pertama ibadah haji ini
jarang sekali terjadi, dan implikasi hukumnya pun jelas.
Ibadah hajinya seorang saleh yang mengerjakannya
karena keyakinan yang mengandung tujuan pribadi dan hawa nafsu, adalah berdosa
sebagian dan terpuji sebagian. Orang seperti ini tidak menyadari muslihat musuh
dan tipu daya jiwa rendah yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi. Motif
yang baik maupun yang buruk tampaknya sama-sama menonjol. Hanya saja, motivasi
dari jenis ibadah haji ini berbeda-beda dalam setiap individu dan berbagai
keadaan, dan ini perlu dijelaskan lagi.
Baik orang yagn sudah pernah menunaikan ibadah haji
maupun yagn belum pernah menunaikannya, bisa melaksanakan ibadah haji jenis
ini. Bagi orang yna gbelum pernah menunaikan ibadah haji, yang mampu memenuhi
kewajiban ini, dan yang memiliki cukup bekal dan tak ada halangan, maka
pejalanan ibadah hajinya itu hukumnya wajib dan terpuji. Setelah dia menunaikan
kewajibannya kepada orang tua, keluarga, dan pemberi pinjaman, menurut
aturan-aturan khusus para faqih, maka tak ada sesuatu pun yang mengahlangi
ibadah hajinya. Sebaliknya, jika orang takut akan tertimpa kematian, atau tidak
cukup memenuhi syarat, atau menghadapi berbagai hambatan, maka kewajiban tiu
pun berkurang. Hal serupa berlaku pada masyarakat, yakni umumnya kaum Muslim
yang hanya memperhatikan amal-amal lahiriah. Begitu pula, jika seseorang
mengabaikan berbagai tindak-keaptuhan dan amal saleh, yang bersifat pribadi
ataupun kemasyarakatan, melalaikan waktu-waktu shalat dan amal-amal sunnah serta
menolak melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain seperti mengajar,
belajar, atau berlaku baik kepada seorang Muslim bahkan ketika berada di rumah,
maka kewajiban itu pun berkurang pula. Sebaliknya, jika orang selama melakukan
perjalanan mengabaikan kewajiban tertentu atau melakukan sesuatu yang
terlarang, yang tidak akan dilakukan seandainya dia tinggal di rumah, maka
kewajiban itu pun berkurang. Dalam keadaan seperti itu, menunaikan ibadah haji
adalah berdosa. Kekuatan kecenderungan jiwa rendah (nafsu) akan mengakibatkan
timbulnya dosa dan hilangnya syarat niat saleh bagi ibadah haji.
Sekali pun orang yang menunaikan ibadah haji dengan
penuh perhatian melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dan
menghindari apa yagn dilarang, maka perjalanannya masih tercela, baik karena
kekuatan kecenderugnan pribadinya maupun akibat tiadanya niat yagn ssaleh
tersebut, atau karena dia tidak bisa merasa yakin akan keselamatannya.
Sebaliknya, perjalanannya bisa sangat terpuji hingga membantunya menunaikan kewajiban
ibadah haji dan menghindari berbuat salah asalkan fisiknya kuat, punya banyak
uang, dan bisa pergi lewat jalan yang lazim. Dalam hal itu, dia mesti
melaksanakan kewajibannya yagn sudah ditetapkan, dan menghindari dosa-dosa
sepnajang perjalanan. Jika masalah-masalah ini tidak ada ketika dia hendak
menunaikan ibadah haji, maka persoalannya lebih jelas lagi.
Dalam kaitan ini, ibadah haji akan diterima dengan
syarat-syarat berikut : apabila orang itu berasal dari golongan lebih terdidik,
atau termasuk di antara orang-orang yang lebih cenderung pada kegiatan-kegiatan
yang dibutuhkan dalam perjuangan melawan hawa nafsu, penyucian kalbu, sikap
waspada terhadsap pikiran-pikirannya, menjaga imajinasi sehat, selalu
memikirkan dan menyadari hal-hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mulia
dan kedudukan-kedudukan tinggi, dan memiliki tekad kuat dalam penyucian batin dari dosa-dosa besar
dalam kalbu yang memberontak. Terakhir, hal-hal berikut ini harus dihilangkan :
kesombongan, keangkuhan, iri hati, kedengkian, kepura-puraan, kemunafikan,
kebohongan dalam praktik agama, berburuk sangka pada kaum Muslim, sangat cinta
dunia, dan jenis-jenis ketololan lainnya. Jika dalam hal ini ada
kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi pelaksanaan ibadah haji, maka orang harus
mempelajari prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengannya, sejauh
kemampuannya.
46.
Jika, sebaliknya, orang itu tidak memiliki tekad
kuat dalam penyucian dan pembersihan (kalbu) yang aku tenagh bicarakan, atau
memandang hal ini tidak penting bagi dirinya, dan jika dia tidak memiliki
kesehatan fisik yang baik serta keuangan yang cukup, maka dia berdosa bila
menunaikan ibadah haji, disebabkan oleh keterasingannya dan dasar-dasarnya,
belum lagi kebaikan-kebaikan dalam keadaan spiritual yang telah aku uraikan
sebagai syarat bagi ibadah haji, kecenderungan kuat hawa nafsu adalah halangan
lain. Andaikanlah, misalnya, orang mempunyai kekuatan fisik yang baik, bekal
yang diperlukan untuk mencegah kelelahan dan untuk memenuhi keinginannya.
Andaikan lagi bahwa keinginannya untuk melakukan perjalanan begitu kuat,
sehingga selallu menggelora, sekalipun terbuka kemungkinan untuk membebaskan
dirinya dari menunaikan ibadah haji dan memperoleh ganjaran yang sama dengan
cara menahan diri dari melakukan perjalanan. Dalam hal itu, akan lebih baik
baginya tidak jadi pergi, karena dua alasan : kekuatan kecenderugnan alaminya,
dan resiko kehilangan manfaat-manfaat yang akan diperolehnya kalau tetap
tinggal di rumah, mengingat dia tidak yakin bisa mencapinya dalam perjalanannya,
terutama karena tiadanya jalan yang aman.
Akan tetapi, bagaimana kalau orang hampir tak
mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan motifnya bepergian
semata-mata untuk memenuhi satu syarat? Jika ada kecenderungan dan keinginan
untuk menunaikan ibadah haji, maka kepergiannya untuk ibadah haji akan sangat
terpuji. Keinginannya memang lemah, tapi kuat harapannya untuk mencapai tujuan,
dengan kesehatan fisik dan bekal yang cukup kuat, khususnya jika dia harus
bergabung selama perjalanan itu dengan saudara-saudara yang saleh dan
sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan jika dia bisa melakukan perjalanan lewat
jalan yang lazim.
Semua yang telah aku bicarakan sejauh ini berlaku
pada orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji.
Sekarang perhatikan kasus seseorang yang sudah
menunaikan ibadah haji. Jika orang itu awam, yang sikapnya pada amal saleh dan
amal ibadah sama dengan sikap yang telah aku paparkan sebelumnya, maka ada
beberapa alasan mengapa kepergiannya menunaikan ibadah haji akan tercela.
Alasan-alasan itu mencakup kecenderungan hawa nafsunya, resiko tidak dapat
mencapai tujuan yang diharapkannya, dan ketidakpastiannya mengenai kesempurnaan
keinginannya dan mengenai keselamatannya dari berbagai bahaya yang mungkin
ditemuinya. Seandainya dia tetap di rumah, situasinya akan berbeda dari situasi
yang aku uraikan sebelumnya. Maka kepergiannya menunaikan ibadah haji
barangkali cenderung lebih tercela, karena kecenderungan hawa nafsunya itu kuat
dan dia akan menanggung resiko melemahkan kewajiban agamanya atau terjerumus ke
dalam dosa dalam perjalanannya. Akant etapi, mungkin saja perjalanannya patut
dipuji, lantaran keinginannya untuk turut serta dalam amal ibadah tertentu,
sekalipun kecenderungan ini tidak begitu dihargai. Di sini aku mengandaikan dia
terbebas dari berbagai halangan tersebut di atas; tetapi jika dia benar-benar
mengetahui tidak terbebas darinya, maka menunaikan ibadah haji pasti akan
berdosa, sebab tak ada sesuatu pun yang sama pentingnya dengan keterbebasan itu.
Jika orang yang bersangkutan itu terdidik dalam
soal-soal agama, maka ibadah hajinya itu tercela bila mengakibatkan hilangnya
keadaan spiritual amat baik yang sudah diperolehnya, dan berkurangnya kata-kata
dan amal-amal yang menyertai keadaan itu. Ini semua membutuhkan kehampaan hati,
keikhlasan dan kesucian niat, yang gkesemuanya ini akan menurun kadarnya karena
aperjalanan panjang ini. Aku menganggap sifat-sifat yang baru saja kusebutkan
itu lebih penting ketimbang amalan-amalan sunnah yang dikerjakan dalam ibadah
haji, sebab yang pertama merupakan soal-soal dan amalan hakiki yang memperbaiki
amal ibadah seseorang. Kesemuanya itu penting bagi orang yang menempuh jalan
ketulusan dan mengakui Keesaaan Ilahi (Tawhid), dan menaikkan seseorang ke
keududukan orang-orang terpilih. Tak ada
amalan-amalan sunnah dalam ibadah yang bisa menyamai amalan-amalan kelbu ini,
dan tak ada amal-amal saleh bisa menggantikannya.
47.
Jika orang seperti ini menunaikan ibadah haji tanpa
ketulusan, maka dia lebih layak dicela ketimbang dipuji. Kecenderungan alami
terhadap ibadah haji, berikut pemenuhan kehendak hawa nafsu dan
tujuan-tujuannya, menunjukkan adanya ketidaktulusan. Dalam hal ini, hawa nafsu
ingin memenuhi tujuan-tujuannya melalui amal-amal ibadah yang dikerjakan orang
itu dalam perjalannya. Kesemuanya ini anatara meliputi : bertemu dengan ulama
dan orang yang terkenal kesalehannya, mengambil manfaat dari pengetahuan
mereka, memohon berkah dan doa dari mereka, melayani sahabat dan teman,
mendapatkan kebaikan dari upaya seseorang, mengamati suasana kota-kota dan
gurun pasir yang dilalui, mengerjakan banyak amal ritual dan dan kewajiban
ibadah haji dengan penuh kegembiraan. Niat sejati jenis ibadah haji tetap
merupakan keinginan tak tersembunyi untuk melihat negeri-negeri asing,
mengalami hal-hal baru seperti bertemu orang-orang alim dan hamba-hamba Allah,
terbebas dari kesusahan di rumah, dan terbebas dari kesibukan membosankan
urusan duniawi. Tanda yang menunjukkan seseorang terperdaya adalah bahwa dia
merasa bisa melakukan banyak amal saleh ini, dan yang juga lebih penting, walau
pun tetap tinggal di rumah; tetapi ketika dia berasa di rumah, dia tidak
memperhatikannya dan sama sekali tak tertarik lagi kepadanya.
Beginilah
keadaan orang yang , ketika dia berpikir untuk menunaikan ibadah haji, bertanya
kepada Bisyr ibn Al-Hafi. Abu Nashr Al-Tamar menuturkan bahwa ada seseorang
datang mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr Al-Harits, dengan mengatakan,
“Aku ingin sekali menunaikan ibadah haji. Karena itu, berilah aku petunjuk.”
Bisyr berkata, “Berapa banyak uang yang engkau miliki untuk bekalmu?” Orang itu
menjawab, “Seribu dirham.” “Dan apakah yang mendorongmu menunaikan ibadah
haji?” Bisyr bertanya. “Apakah itu untuk bersenang-senang, atau rindu kepada
Baytullah, atau keinginan beroleh ridha Allah?” “Keinginan beroleh ridha
Allah,” jawab irang itu. Bisyr kemudian bertanya, “Dan jika engkau bisa
memperoleh ridha Allah Swt. dengan tinggal di rumah dan membelanjakan seribu
dirham itu, dan engkau yakin bahwa ini akan mendatangkan ridha Allah, akankah
engkau melakukannya?” “Ya,” kata orang itu. “Kalau begitu, bagikan uang itu
kepada sepuluh orang,” kata Bisyr. “Maka orang beriman bisa menunaikan praktik
aamanya, dan orang miskin bisa berdikari, dan sang ayah bisa membuat keluarganya
sejahtera, dan pengasuh anak yatim bisa memberi anak asuhnya kebahagiaan.
Karena itu, jika Allah Yang Mahaesa memberi kalbumu kekuatan untuk bersedekah,
maka lakukanlah. Sebab, sungguh, tindakanmu memberikan kebahagiaan
ke dalam kalbu orang Muslim, tindakanmu menyirami kalbu orang yang mengeluh,
dan tindakanmu meringankan penderitaan orang miskin, dan tindakanmu menguatkan
kembali keyakinan orang yang lemah, semuanya itu jauh lebih baik ketimbang
ribuan hujah Islam. Pergilah dan bagikan uang itu seperti yang telah aku
sarankan kepadamu. Kalau tidak, katakan kepadaku apa yang sesungguhnya ada
dalam kalbumu.” Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Nashr, perjalanan hajiku ini
adalah puncak keinginan dalam kalbuku.” Lalu Bisyr pun tersenyum, mendekatinya
seraya berkata, “Kalau uang
diperoleh lewat praktik-praktik bisnis yang kotor dan belum jelas
halal-haramnya, maka uang itu bahkan mendorong hawa nafsu membayangkan
keinginan untuk bersegera menjalankan amal-amal yang secara lahiriah tampak
saleh. Tapi, Allah Swt,
telah bersumpah bahwa Dia hanya akan menerima amal orang yang bertakwa
kepada-Nya.” Ketika Bisyr mengatakan ini, orang itu pun menangis.
Ambillah kasus seseorang yang mapan dalam
keadaan-keadaan spiritual yang telah aku sebutkan dan berupaya sepenuhnya memupuknya
sambil tetap tinggal di rumah. Andaikan dia ingin menguji kesetiaannya pada
keadaan-keadaan itu, dengan cara menanggung perasaan keberpisahan dari hal-hal
yang lazim dan diandalkan di negerinya, memutuskan untuk berjuang melawan jiwa
rendahnya dengan cara demikian. Ibadah haji yang dilakukannya adalah terpuji.
Meski perjuangan itu dilakukan seraya tetap memikirkan hal tersebut. Yang
demikian itu tetap menjadi salah satu kebisaan musafir-musafir yang terpisah
sendirian. Bahkan, aku memandang kecederungan jiwa rendah kepada penunaian
ibadah haji itu sebagai berdosa dalam kebanyak hal. Alasanku adalah adanya
prinsip yang mengatakan kecenderungan jiwa rendah pada amal-amal ibadah yang
secara fisik sulit dikerjakan, adalah berdosa.
(Jawaban atas pertanyaan kedua : tentang bagaimana
jiwa rendah atau hawa nafsu bisa cenderung pada apa yang menimbulkan kesulitan)
Seseorang yang mendengar ini mungkin merasa heran
dan bertanya, “Bagaimana mungkin jiwa rendah bisa cenderung kepada apa yang
menimbulkan kesulitan bila hal itu bukan perhatian utamanya?” Orang yang
mengajukan keberatan itu tidak menyadari, bahwa jiwa rendah kadang-kadang
mencari tujuan yang bisa dicapai hanya dengan meninggalkan kesenangannya.
Seseorang melihat, misalnya, orang-orang begitu diharu-biru oleh kecintaan akan
kemasyhuran serta kekayaan dan begitu tekun memenuhi keinginan mereka akan
hal-hal itu, sampai-sampai mereka mau menanggung resiko menentang bahaya,
terjun ke dalam laut dan menerjunkan diri ke dalam segala bahaya. Harapan untuk
mencapai keinginan itu mendorong mereka merasa senang dan gembira berada dalam
kesulitan seperti ini. Biarpun begitu, yagn mereka peroleh bukanlah yang mereka
harapkan. Pertanyaan ini memiliki dua segi. Bedanya, tujuan-tujuan yang baru
saja kusebutkan sudah lumrah dan diketahui oleh hampir semua orang. Cara-cara
mencapai semuanya itu jelas dan tak samar barang sedikit pun. Sebaliknya, orang
–orang saleh yang keadaan spiritualnya tinggi melampaui orang-orang Muslim
umumnya, mengabdikan diri pada tujuan-tujuan lain yagn telah aku bicarakan.
Teapi, lantaran kebodohan sajalah jiwa rendah melaksanakan tugas-tugas sulit
untuk mencapai hasil yang kecil, kendatipun seseorang siap berperang, difitnah,
dan beradu kekuatan fisik agar setelah dia mati, beroleh pujian atas keberanian
dan ketabahannya. Inilah benar-beanr kebodohan, sebab apa guna dan manfaat
hal-hal itu bagi jiwa rendah setelah kematian?
Tujuan seperti ini dikejar-kejar tanpa adanya
konsep atau maksud dan tanpa kepuasan pada akhirnya, seperti dikatakan ‘Ali ibn
Hazm dalam “Kitab Pemerintahan”. Yang lebih bodohd ari mereka ini adalah
orang-orang yang pernah aku jumpai, yang tidak tahu mengapa mereka mengorbankan
dirinya. Kadang-kadang Zayd menyerang ‘Amr,
kadang-kadang ‘Amr menyerang Zayd, bahkan mungkin pada hari yang sama.
Mereka berani menempuh resiko kematian sia-sia. Mereka terbunuh demi neraka atau
melarikan diri membawa kehinaan. Rasulullah saw. memberikan peringatan tentang
orang-orang seperti ini ketika beliau bersabda : “Akan tiba masanya ketika
orang yang membunuh tidak tahu mengapa dia membunuh, pun tidak pula orang yang
terbunuh tidak tahu mengapa dia dibunuh.”
49.
Nah, masalah bisa disamakan dengan situasi di mana
kecendrungan alami jiwa rendah memaksa sebagian orang menjadi sangat asyik
dengan amal ibadah dan memberlakukan praktik-praktik pengingkaran diri dalam
kadar yang tinggi atas diri mereka sendiri. Mereka melemparkan jiwa rendah ke
dalam situasi berbahaya, dan mendorong jiwa rendah melaksanakan
ekwajiban-kewajiban berdasar atas anggapan bahwa hal ini bakal mempercepat
kemajuan mereka menuju keadaan spiritual orang-orang besar. Mereka membayangkan
bahwa dengan kecenderungan berlebih-lebihan ini, mereka bisa menukar kepicikan
mereka dengan pengetahuan tentang kesempuranaan. Mereka tinggalkan
tujuan-tujuan duniawi tertentu, sembari berharap mendukung ketulusan
maksud-maksud jiwa rendah mereka, dengan mengklaim bahwa mreka mengikuti
kewajiban-kewajiban agama. Jauh sebelumnya, mereka mempersembahkan amal dan
waktu ibadah ini, membaktikan banyak waktu kepadanya, dan tak dapat
mengendalikan tujuan-tujuan mereka, yaitu terperosok ke dalam hal-hal lebih
tercela ketimbang yang gmereka tuju dan inginkan sebelumnya. Jika maksud-maksud
jiwa rendah telah dianggap benar, maka tindakannya sama sekali bukan suat
pelanggaran; dan jiwa rendah akan memahami bahwa hanya ketaatan kepada agama
kaum monoteis sejati sajalah yang bisamengakhirinya. Aku bersumpah demi
hidupku, bahwa dewasa ini seseorang yang taat kepada agama itu dan mengikuti
jalannya, akan anehnya mengalami derita tak terperikan dan mereguk minuman yang
mencekik leher seakant ak seorang pun bisa meminumnya. Karena itu, apahala yang
diterimanya akan banyak, dan jerih payahnya pun bermanfaat, sebab prinsip
logisnya adalah bahwa segala sesuatu yang membebani jiwa rendah, sesungguhnya
adalah baik.
(Jawaban atas pertanyaan ketiga : tentang segi
positif kesulitan-kesulitan yang menimpa jiwa rendah).
Baiklah kuterangkan. Allah Swt. telah mewajibkan
hamba-hambanya untuk beribadah kepada-Nya. Dia telah memberi tahu kita, bahwa
Dia menciptakan mereka persis untuk tujuan itu. Dia berfirman : “Aku ciptakan
jin dan manusia hanyalah agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. 51:56). Ibadah
adalah salah satu karakterirstik paling luhur dan agung. Dengan ibadah Dia
menggambarkan nabi-nabi dan Rasul-Nya. Ibadah adalah salah satu gelar termulia.
Yang dengannya Dia menemai mereka, khususnya nabi kita, Muhammad saw. Itulah sebabnya beliau mencapai kedudukan
sangat tinggi dan menduduki posisi termulia dan bakal muncul di alam semesta
pada Hati Kiamat bersama semua nabi dan rasul di bawah panji-panji beliau.
Salah satu pernyataan paling ringkas dan paling
fasih tentang topik ini adalah ucapan seseorang, “Ibadah adalah visi spiritual
tentang Keilahian.” Ungkapan ini meringkaskan makna apenghambaan menurut kaum
sufi. Hal itu berhubungan dengan kedudukan mengerjakan amal saleh yang
disebutkan dalam haids Jibril a.s. Dikatakan bahwa : “Ibadah berarti menjadi
hamba-Nya dalam setiap keadaan, seolah-olah Dia adalah Tuanmu dalam setiap
keadaan.” Juga dikatakan :
“Ibadah mempunyai empat karakteristik : Memenuhi janji, melaksanakan hukum,
merasa senang dengan kondisi aktualnya, dan bersabar di saat kehilangan.”
Maksud ungkapan ini dan lainnya yang serua adalah bahwa ibadah merupakan sifat
yagn inheren dalam diri sang hamba, yang mendorongnya untuk mematuhi
perintah-perintah Ilahi, menghindari apa yang dilarang, dan pasrah kepada
Ketentuan-ketentuan Ilahi. Penghambaan
dimulai dengan kedudukan kepasrahan, dan diakhiri dengan kedudukan berbuat amal
saleh.
Hanya “jiwa rendah yang menyruh pada kejahatan”
(Qs. 12:53), sajalah yang bisa menyelewengkan sang hamba dari memenuhi ibadah
yang sesuai dengan kedudukannya ini. Karena itu, satu-satunya cara untuk
memenuhi ibadah yang sesuai dengan perintah-perintah Ilahi adalah berjuang
melawan jiwa rendah di sepanjang jalan sahabat kaum sufi yang terpilih ini.
Allah Swt. berfirman : “Dan orang yang berjihad demi Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka Jalan-Jalan Kami.” (Qs. 29:69). Dan juga,
“Sungguh, surga adalah tempat tinggal bagi orang yang menahan diri dari hawa
anfsunya.” (Qs. 79:40-41). Dan menurut sabda Nabi, “Musuh terbesarmu adalah
jiwa rendah (hawa nafsu) yang ada di antara kedua sisimu.” Allah Swt.
memerintahkan kepada Dawud a.s. untuk mengatakan : “Jiwa rendahmu adalah musuh;
sungguh tak ada lagi di seluruh kerajaan ini yang suka menentangku.”
50.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu malam aku bangun untuk
shalat malam, tapi aku tak bisa juga dipejamkan. Kemudian aku duduk, kubuka
pintu, lalu pergi keluar. Di sana kulihat seseorang berpakaian wol tengah
berbaring di jalan. Ketika dia melihatku, dia mengangkat kepalanya dan berkata,
“Wahai Abu Al Qasim, cepatlah kemari!” ‘Baik, Tuan, jawabku. Lalu dia berkata,
‘Aku memohon kepada Sang Pembangkit Kalbu agar membangkitkan kalbumu.’ ‘Dia
baru saja melakukannya,’ jawabku. ‘Apa yang engkau perlukan?’ Orang itu lalu
bertanya kepadaku, ‘Kapan penyakit jiwa rendah menjadi obat buat dirinya
sendiri?’ Aku menjawab, ‘Ketika jiwa rendah bertentangan dengan keinginannya,
maka penyakitnya itu sendiri menjadi obatnya.’ Orang itu termenung sesaat,
kemudian berkata, ‘Seandainya aku memberikan jawaban itu tujuh kali kepadamu,
engkau pasti akan menolaknya. Tapi kini engkau telah mendengarnya dari
Al-Junayd, maka engkau pun mendengarkannya.’ Lalu orang itu berpaling dariku,
aku tidak mengenalnya.”
Renungkanlah
kisah luar biasa ini. Ada kisah-kisah lain tak terhitung jumlahnya yang
memiliki maksud serupa. Dalam kaitan dengan berbagai cobaan yang digunakan
Allah Swt. untuk menguji beberapa hamba-Nya inilah, manfaat-manfaat
pengingkaran diri dan latihan-latihan (Spiritual) seperti itu bisa membuahkan
hasil, sebab cobaan itu menyebabkan sang hamba menahan keinginan dan membenci
hawa nafsunya. Dia beroleh menfaat dari menanggung cobaan dengan penuh
kesabaran, serta memperlihatkan sifat-sifat yang diperjuangkan sang hamba :
rendah hati, kepasrahan yang bersifat meniadakan diri dari pengakuan akan
kefakirannya. Orang yang mengalami berbagai cobaan, menjadi contoh dan teladan.
Karena alasan itulah, para nabi menjadi teladan kita, sesuai dengan firman
Allah Swt, “Karena itu bersabar lah, seperti rasul-rasul berhati teguh telah
bersabar.” (Qs. 46:35). Sungguh, mereka terbiasa mendapat penderitaan dan
kesulitan – Ayub a.s. misalnya. Mereka dipotong dengan gunting dan gergaji
menjadi dua, dan semua itu ada tujuh puluh nabi. Lantas, mengatakan bahwa segala
sesuatu yang membebani jiwa rendah adalah baik, berarti mengatakan bahwa setiap
cobaan adalah karunia.
(Jawaban atas pertanyaan keempat : Uraian tentang soal-soal ringan yang
terpuji)
Orang mungkin bertanya, apakah kalau setiap
aktivitas yagn kurang bertumpu pada jiwa rendah atau yang menyebabkannya
bertindak secara tepat melalui rahmat dan harapan,adalah suatu keburukan dan
penyebab kesusahan. Haruskah orang meminta beban dan kesengsaraan dan
mencarinya secara aktif, karena semuanya itu sesungguhnya adalah karunia yang
baik, ataukah cara seperti ini dianjurkan?
Untuk pertanyaan eprtama, aku menjawab tidak, sebab
orang bisa menemukan segala macam amal saleh yang mudah bagi jiwa maupun yang
terpuji, dan menemukan berbagai karunia yang menyenangkan, sepenuhnya positif,d
an tidak mengandung keburukan. Aku mengacu kepada jenis keringanan yang dialami
sebagian orang dalam berbagai tindakan, seperti memutuskan diri dari kesibukan
duniawi, beristirahat menenangkan perhatian kalbu, atau bersyukur atas karunia
yang melebihi harapan dan yang menyenangkan. Beberapa sumber keringanan,
misalnya, adalah membahagiaan orang yang bersedih hati, memberi makan orang
yang lapar, memberi pakaian orang-orang yang telanajang, memberi minum
orang-orang yang gkehausan, melindungi anak-anak yatim, membantah agama lain,
dan sebagainya. Karena itu, mengalami keringanan dan kebahagiaan rahmat berkat
amal-amal seperti ini, merupakan sarana untuk mematuhi dan menyembah Allah.
Inilah berbagai rahmat yang diberikan kepada orang-orang yang memberi makan,
minum, pakain, perlindungan, memberi tumpangan, atau menikahkan. Akan tetapi,
seperti akan aku jelaskan, adalah patut dipujikan kalau merasa senang dengan
amal-amal penuh rahmat ini saja, lantaran semuanya itu merupakan peringatan
keras terhadap kecenderungan alami seseorang, dan bukan lantaran semuanya itu
berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan kotor seseorang.
(Jawaban atas pertanyaan kelima : Tentang menahan diri dari menginginkan
dan meminta bagian kesulitan).
Selama tidak melanggar larangan agama,
diperbolehkan menginginkan dan meminta cobaan; teatapi, tidak diperbolehkan
maakala agama melarangnya. Menurut sebuah hadis sahih dari Abu Hurayrah,
Rasulullah saw. bersabda : “Janganlah engkau menginginkan bertemu dengan musuh;
tetapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah!” dan menurut sebuah hadis
dari ‘Abd Allah ibn Abi Awfa, Rasulullah sawb bersabda, “Wahai manusia! Janglah
emnginginkan bertemu dengan musuh; mintalah kesejahteraan dan kebaikan dari
Allah. Tapi jika engkau bertemu dengan musuh, bersabarlah, dan ketahuilah bahwa
surga itu berada di bawah bayangan pedang.” Anas ibn Malik juga meriwayatkan
sebuah hadis sahih bahwa Rasulullah saw. mengunjungi seorang Muslim yagn sudah
sangat lemah dan rentan sehingga tampak seperti seekor ayam. Rasulullah Saw.
bertanya kepadanya : “Sudahkah engkau berdoa untuk sesuatu, atau memohon
sesuatu kepada Allah?” Dia menjawab : “ “Ya, Aku telah berdoa, “Ya Allah,
jangan Kau hukum aku di akhirat nanti. Sebaliknya, segerakan hukuman-Mu untukku
di dunia ini.” Maka Rasulullah saw. berkata, “Mahasuci Allah! Itu di luar
kemampuanmu, engkau tak bakal sanggup menanggungnya! Mengapa engkau tidak
berdoa, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat dan
lindungilah kami dari siksa neraka?” (Qs. 2 : 201). Anas mengatakan, orang itu
lalu berdoa seeprti itu, dan dia pun sembuh.”
Variasi lain dari hadis itu berbunyi : “Kita tidak
sanggup menanggung hukuman dari Alalh.” Rasulullah saw. tidak pernah berhenti
berdoa meminta rahmat yang banyak dan keterbebasan dari berbagai cobaan.
Riwayat-riwayat yang bisa dipercaya menuturkan bahwa salah satu doa yagn paling
sering diucapkan Rasulullah saw. adalah, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di
dunia ini dan kebaikan di akhirat nanti dan lindungilah kami dari siksa
neraka.” Dan Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. biasa meminta
perlindungan dari keputusan merugikan, dari dikuasai oleh penderitaan, dari
kegembiraan musuh atas kemalangannya, dan dari kesusahan dalam kesengsaraan.
Inilah hanya sebagian kecil doa beliau untuk keselamtan. Di sebuah daerah di
mana orang-orang kafir telah menyakiti beliau, Nabi Saw. berkata, “Tetapi aku
lebih tertarik kepada kesejahteraan dan kebaikanmu.”
Himah ucapan-ucapan itu adalah begini : Cobaan
tidaklah diinginkan pada dirinya sendiri, tapi hanya jika kesemuanya itu
mengandung beberapa manfaat yang telah aku sebutkan, dan jika kesemuanya itu
meningkatkan pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang sabar dalam
menghadapinya. Bahkan tanpa memberikan berbagai cobaan ata membebani orang
dengan beberapa kesulitan, Allah Swt. memberikan kebaikan dan lebih banyak lagi
kepada siapa yang dipilih-Nya. Rasulullah Saw. diriwayatkan telah bersabda,
“Adalah hak prerrogatif (istimewa) Allah sajalah
untuk menahan kemurahan-Nya dari salah seorang di antaramu yagn adalah
hamba-hamba-Nya, sampai sang hamba itu meraih dan mendapatkannya.” Rasulullah
saw. juga bersabda : “Sesungguhnya Allah menjauhkan penyakit dari sebagian
hamba-Nya, di dunia ini. Dia berikan kepada mereka kesehatan dalam kehidupan,
kesehatan dalam kematian, dan kesehatan di surga, di mana di surga inilah Dia
memasukkan mereka.”
52.
Sag hamba mestilah meminta anugerah dari Tuannya
tanpa perantaraan berbagai cobaan dan kesulitan. Selanjutnya dia tidak boleh bermaksud
menginginkan untuk dirinya sendiri, atau memerlukan banyak sekali kekuatan dan
kesabaran yagn tak boleh diusik barang sedikit pun. Makhluk itu lemah dan,
kecuali dengan pertolongan dan bantuan Allah, tak mampu menahan dan menangkis
kekuatan sebuah atom yang bisa
menguasainya. Kepercayaan pada diri sendiri dalam hal ini adalah mustahil;
bahkan mengharapkannya adalah puncak kesombongan. Namun, seseorang harus merasa
khawatir mengendalikan dan mempercayai dirinya sendiri,d an dengan demikian
binasa, seperti halnya sebagian orang lainnya.
Ketika Al-Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, sakit
kerasa, dia sering berdoa, ‘YA Allah, jika yang demikian itu membuat-Mu ridha,
tambahlah penyakit ini. “ Maka Al-Ma’afiri menulis surat kepadanya dari wilayah
selatan Mesir. “Wahai Abu ‘Abd Allah, engkau bukan termasuk salah seorang dari
kami yang menderita berbagai cobaan dan kemudian memohon agar menajdi puas
dengan segala sesuatu sebagaimana mestinya\! Di atas segalanya, kita harus
meminta kebaikan dan kesehatan.” Al-Syafi’i membalas, “Aku memohon ampunan
Allah dan bertobat di ahdapan-Nya.” Setelah itu, dia biasa berdoa, “Ya Allah,
berilah aku rahmat-rahmat yagn aku inginkan.”
Kemudian ktia jumpai pernyataan luar biasan ini :
Aku menginginkan-Mu, tapi aku menginginkan-Mu
Bukan demi pahala;
Tidak, aku menginginkan-Mu demi hukuman abadi.
Telah kucapai setiap keinginanku.
Kecuali kebahagiaan ekstase dalam kesengasaraan.
Dan ucapan Sumnun ini : “Engkaulah satu-satunya
keinginanku, karena itu, ujilah aku sekehendak-Mu.” Ketika Mu’adz ibn Jabal
akan meninggal dunia, dia berkata, “Tahanlah keinginanku dengan kekuatan-Mu,
dan aku akan memberi-Mu isyarat bahwa kalbuku mencintai-Mu.”
Semua pernyataan ini adalah akibat dari ekadaan spiritual luar biasa di aman Pengausa Ekstase telah menguasai para pembicara tersebut.
Semua pernyataan ini adalah akibat dari ekadaan spiritual luar biasa di aman Pengausa Ekstase telah menguasai para pembicara tersebut.
53.
Demikianlah, para pecinta dalam maqam cinta
dikalahkan oleh Allah, entah melalui kehinaan atau melalui perasaan
meluap-luap, sehingga mereka berbicara tentang hal-hal yang mengejutkan begitu
pertama kali di dengar telinga. Sebagian dari apa yang mereka katakan tampak
seperti kekafiran. Meski begitu, mereka dibenarkan dalams egala sesuatu yang
mereka katakan, dan aman dalam kedudukan mulia. Seperti dikatakan Syibli, “Sang
pencinta akan binasa jika dia diam; sang sufi akan binasa jika dia tidak diam.”
Diriwayatkan bahwa ketika Sumnun mengucapkan bait yagn dikutip di atas, salah
seorang sahabatnya berkata kepada yagn lainnya, “Kemarin ketika aku berada di
Rastaq, aku mendengar susara Guru kita Sumnun ibn Hamzah tengah menyeruh Allah
Swt. memohon keapda-Nya agar disembuhkan.” Orang kedua berkata, “Aku juga
mendengar hal itu kemarin ketika aku sedang berada di tempat anu. Orang ketiga dan keempat mengatakan hal
serupa. Ucapan itut erdengar oleh Sumnun. Dia menderita penyakit lemah, tapi da
bersabar dan tidak cemas. Makanya, ketika dia mendengar bahwa mereka mengatakan
hal-hal ini ketika sesungguhnya dia tidak memohon dan tidak mengatakan hal
seperti itu, dia menyadari bahwa mereka berlaku sebagaimana mestinya hamba-hamba
dengan cara menyembunyikan keadaan spiritual. Kemudian, dia berjalan-jalan
mengelilingi tempat belajar mereka sembari berkata, “Berdoalah untuk pamanmu,
sang penipu ini.” Nah, Sumnun ini adalah salah seorang pecinta, dan telah
mengalami hal-hal menakjubkan dalam maqam cinta.
Karenanya, sang hamba harus memohon, menginginkan,
dan merasa puas dengan kesehatan yang baik. Sikap seperti ini merupakan bagian
dari perilaku orang yang benar. Manakala cobaan datang, orang harus bersabar,
pasrah, dan ridha dengan keputusan Allah, sambil menydari bahwa dirinya tengah
menempuh jalan orang-orang yagn disucikan oleh kesengsaraan.
Dari apa yang telah aku bicarakan hingga kini,
jelaslah bahwa penghambaan yang aku sebutkan tidaklah hanya terdiri atas
berbagai macam perjuangan dan penderitaan, dan bahwa titik tolaknya berada
dalam amal-amal jasmani dan kalbu. Jika sang pencari menemukan seorang
pembimbing spiritual yagn menuntunnya menuju jalan ibadah dan melindunginya
dari berbagai jebakan dan perangkapnya, seorang pembimbing yang memiliki
silsilah-silsilah mulia dan aspirasi tinggi, maka sang pencari itu meski
ebrpegang kuat-kuat pada kelim jubahnya, mengikuti jubahnya, mengikuti
jejaknya, dan meneladani kata dan tindakannya. Sang pencari mesti menyadari
bahwa dirinya telah menemukan belerang merah dan telah memperoleh kebahagiaan
abadi lebih besar.
(Jawaban atas pertanyaan keenam : Tentang Kitab-kitab Tasawud mana yang
mesti dibaca, dan bagaimana cara mengamalkannya)
Jika seorang pencari tidak menemukan pembimbing
seperti ini, atau mengalami kesukaaran dalam melakukan yang demikian itu, maka
dia mesti berpedoman pada tulisan-tulisan para tokoh sufi, khususnya kitab
Al-Muhasibi, Al-Sulami, Al-Qusyayri, Abu Thalib Al-Makki, Abu Hamid Al-Ghazali,
dan ‘Awarif Al-Ma’arif-nya Al-Suhrawardi. Inilah sumber-sumber utama, tempat
orang mengambil nasihat dan memperoleh setiap jenis ilmu pengetahuan. Karena
alasan inilah, ucapan-ucapan para pemimpin sufi dikutip dalam ebrbagai surat
dan analogi, dan telah beredar luas di kalangan ulama. Ucapan-ucapan ini
dimaksudkan bagi sang pencar setelah dia memantapkan ketaatannya pada mazhab
Sunni dan bersandar pada otoritas mazhab ini dalam menerangkan praktik
agamanya. Dari mazhab ini sang pencari mesti memlilih Sunnah Nabi yang terbaik,
dengan ketulusan niat dan ketetapan hati kuat unutk mengerjakan amal baik.
Kemudian, dia mesti berjuang mewujudkan amal baik sepenuhnya dalam tindakan dan
perkataan, dengan memohon pertolongan dari Tuhannya dalam semua keadaan
spiritualnya. Setelah memiliki karakteristik ini dan mempelajari
tulisan-tulisan ini, dia bisa berharap akan sampai pada tujuan yang dicarinya
dan sampai pada pemahaman yang diinginkannya.
Dari karya-karta terkenal yang telah aku sebutkan
itu, aku mengetahui tak ada satu pun yang lebih bisa memuaskan dahaga,
mengobati penyakit, dan membimbing menuju Jalan kecuali karya Abu Thalib
Al-Makki dan Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka menulis dalam kedua kitab itu rahasia
pengetahuan dan keajaiban pemahaman yang bakal memberi kebahagiaan dan
memudahkan persoalan-persoalan. Misalnya, Al-Ghazali mengkategorikan, menyusun
dalam bab-bab, menerangkan, menjelaskan, menyaring dan memperbaiki, dan membuat
ikhtisar tentang segala sesuatu yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Dia
memberikan contoh, menghilangkan kekaburan, menjelaskan rahasisa-rahasisa
pelik, dengan menunjukkan arah menuju jalan perenungan dan pemahaman.
54.
Akan tetapi, kitabnya tidak memuat materi sulit
yagn berbeda dengan pandangan para teolog spekulatif. Sang pencari tidak
membutuhkan pengetahuan mendalam (makrifat) tentang ini, sebab semuanya itu
bukanlah fondasi penting bagid asar-dasar Jalan yang diikutinya. Hampir semua
materi itu terdapat dalam bagian “Kebaikan-kebaikan bermanfaat,” dalam bab-bab
tentang tobat,s yukur, Keesaan Allah, dan cinta. Uraian yang lebih mudah
dipahami tentang soal-soal ini bisa dijumpai dalam bagian-bagian lain kitab
itu. Manakala seseorang mempelajari kitab ini menemui salah satu bagian itu,
dia cukup hanya beralih ke bagian lain, dan memberi pengarang kitab itu manfaat
akan keraguan tentang apa yang tidak diketahui sang pencari. Dia mungkin juga
mengetahui hadis-hadis tertentu yang membahas soal-soal serupa, tapi tidak
ahrus menerima atau menolaknya. Dengan demikian, sang pencari akan
menggabungkan keuntungan-keuntungan membaca kitab itu dengan sikap berbeda
terhadap para ulama yang memahami hal-hal ini.
Kitab Abu Thalib dihargai,d an lebih disukai di
antara kitab-kitab lainnya, sebab cakupan bahasannya tak ada dalam kitab
lainnya. Aku belum mengetahui seorang pun yang mampu menghasilkan kitab-kitab
semisal itu. Di dalamnya dia mengemukakan ilmu tasawuf ilmiah yang tidak bsia
dijelaskan. Dia mampu menguak tabir rahasia yang tak seorang pun bisa
melakukannya. Kitabnya memadukan makna yang dalam dengan keindahan ekspresi dan
disuguhkan dengan cara yang menarik pendengaran dan yang terasa manis oleh
lidah. Dia menguraikan cabang-cabang dak akar-akar pengetahuan,d an menysunnya
menurut pertanyaan dan bab. Dalam hal ini, kitab itu, bagi tasawuf, sama dengan
kitab Al-Mudawwanah bagi ilmu hukum (fiqh) : Kitab ini menggantikan kitab-kitab
lainnya, dan ak ada satu pun yang mampu menggantikannya.
Karya ini memuat sejumlah pengetahuan rahasia yang
tidak bisa dipahami melalui analisis rasional, dan tidak sesuai dengan ilmu
hukum tradisional (fiqh), serta juga memuat beberapa hadis yang mengingkari
cara berpikir dan cara meraih kemajuan pengarangnya. Manakala pembaca menemui ini,
dia mesti siap menangguhkan keputusan tentangnya, seperti aku sebutkan
sebelumnya, dan hanya menempuh jalan lurus dengan harapan bahwa Allah, Yang
Menurunkan Wahyu, Yang Maha Mengetahui, bakal membukakan ini kepadanya.
Dan tulisan-tulisan yang telah aku sebutkan,
keduanya ini memuat banyak manfaat yang harus di dapatkan sang pencari, dan dia
tak akan bisa menemukan pengganti lain yang memadai. Dia mesti mencari
manfaat-manfaat itu dalam halaman-halamannya, dan mengambilnya dari
relung-relung rahasianya, serta meminta bantuan dengan cara berhubungan dan
bergaul dengan seseorang yagn mendukung cara berpikir yang sama dan bisa
menjadikan sang pencari berpartisipasi dalam meraih tujuannya dan objek
keinginannya.
(Jawaban atas pertanyaan ketujuh : Tentang menghindarnya sang pencari
dari berhubungan dengan orang yang mungkin cenderung merusak keadaan
spiritualnya.)
Sang pencari harus menghindarkan diri dari
persahabatan, kesibukan, dan tindakan dua kelompok orang . kelompok mereka
mencakup orang-orang yang menggeluti ilmu-ilmu eksoteris, seperti kajian hukum
agamadan sebagainya. Pada umumnya, dia tidak akan menemukan kedamaian dalam
mempelajari ilmu-ilmu ini, dan mungkin juga terjatuh ke dalam berbagai jenis
dosa, baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah. Keterbebasan dari dosa cukup
jarang terjadi dalam keadaan bagaimana pun. Akan tetapi, di tengah-tengah
pengkajian tentang spekulasi-spekulasi hukum yang jernih dan kontroversi
akademis yang sembarangan, tidak ada yang dapat melindungi agar kalbu tidak
lalai. Sang penari akan menghabiskan kehidupannya dalam usaha sia-sia,
membuang-buang waktu dalam berbagai usaha tak membawa hasil. Begitu dia membuang-buang waktu
di tengah hiruk-pikuk soal baik buruk, maka hasil jerih payahnya bakal segera
lenyap tanpa bekas.
55.
Orang terbaik yang sekarang ini menggeluti kajian
ini adalah orang yang menggunakan kajian itu sebagai bangunan untuk mendidik
siapa saja yang membutuhkan keahlian mereka dalam memutuskan hukum yang gmenjadi wewenang faqih. Akan
tetapi, mereka mempertahankan kedudukan mereka dengan penalaran yang tampaknya
bagus. Misalnya, mungkin dikatakan, “Aku mengerjakan kewajiban memberantas kejahilan dan kesesatan. Sejak
dulu hingga sekarang orang terus menerus bekerja keras melakukan kewajiban itu,
dan sangat menghargai pengkajian dan pencarian yang muhim, seperti halnya Malik
dan ulama-ulama lainnya. Aku tempuh jalan yang sama serta mengerjakan pekerjaan
mereka. Dengan begitu, bukankah aku ini tempat berlindung dari ketenggelaman
dan sumber petunjuk bagi orang-orang
yang gmelakukan kesalahan, dari jalan yang salah kembali ke jalan yang benar?” Begitulah, mereka dengan tabah
berusaha membuktikan ketulusan amal mereka; begitulah, mereka mereka memberikan nasihat
dan mencoba menjelaskan duduk persoalan mereka. Tetapi, yang demikian itu
adalah saran dan bisikan setan untuk menyebarluaskan perselisihan dan
kesesatan. Slah satu kesessatan paling besar
yagn dilakukan setan dengan retorika yang halus dan argumentasi yang
diputarbalikan ialah, agar orang melupakan jiwa rendahnya dan Tuhannya. Setan mengendaliaknorang itu
dengan genggaman hawa nafsunya, sehingga membuatnya tuli dan buta. Dengan membuang rasa takut dan
kekhawatirannya, orang itu pun dikuasai kelalaian dan sifat tak berperasaan.
Lalu dia bersahabat dengan orang hina, menimbulkan berbagai tindakan kejahatan.
Hambatan-hambatan ini bertambah banyak dalam diri
seseorang, sebanding dengan ketenggelamannya dalam kajian hukum, sehingga
semakin sulit bagi dirinya untuk bebas dan melepaskan diri darinya. Semakin
maju seseorang dalam belajarnya karena motif-motif yagn serakah, maka semakin
bertambah kejahilan dan kelemahannya. Dia laksana orang yang membangun sebuah
benteng dapi meluluh-lantakkan sebuah kota.
Penilaian tinggi atas jiwa rendah adalah indikatornya, dan juga
kekagumannya pada intelegensi dan intuisinya, keangkuhannya, dan penolakannya
untuk menerima saran dan nasigat spiritual. Karena kalbunya tidak penuh
perhatian, dan telinganya tidak menyimak baik-baik, dia menolak itu dari orang
yang mengemukakannya. Dia lecehkan sahabat-sahabat dan rekan-rekannya dalam
belajar. Dia jatuh ke dalam dosa paling besar, karena melontarkan fitnahan
sewaktu mereka tidak ada. Orang yang telah mengalami cara kerja mereka dan
menyaksikan tindakan-tindakan mereka, akan merasa yakin tentang kebenaran dari
apa yang telah aku katakan tentang orang-orang ini. Jalan mereka nyata-nyata tidak sama dengan jalan leluhur
kita yang saleh dalam agama, yang jalannya adalah persaudaraan, kekeluargaan,
dan saling keterbukaan.
Nah, jika orang melarang seperti ini menyadari
kelalaian dan kesombongannya, menyadari keburukan amalnya berikut akibatnya,
dan menginsafi keinginannya untuk bertobat, perubahan dalam kalbu, serta
keadilan yang ditandai oleh nilai-nilai luhur, maka dia juga akan mengetahui
bahwa kesengsaraan yang dideritanya berakar kuat dalam kecenderungannya, dan
bahwa kegelapannya memadamkan cahaya pengetahuan spiritual. Jika dia adalah
sejenis orang yang sebelumnya penuh perhatian dan terbimbing secara benar di
jalan kewaspadaan, maka dia akan memperhatikan prospek perjuangannya melawan
hawa nafsunya dengan kecemasan luar biasa; tapi dia akan terus mencampakkan
sifat-sifatnya yang penuh dosa, sekalipun dalam keadaan sangat sulit tak
terperikan. Jika, sebaliknya, orang itu memiliki penilaian yang merugikan
sehingga Allah menjadikan pengetahuannya serba-salah, maka kebutaannya bakal
semakin bertambah. Dia tetap menjadi budak hawa nafsunya, dan menderita
kekalahan dalam urusan-urusan agama dan dunia. Kita berlindung kepada Allah
dari hal itu.
56.
Seseorang yang kalbunya menderita karena berbagai
argumen yang tampaknya baik seperti itu – sedangkan menyerah kepada kesalahan
itu adalah musuh paling buruk – cukup hanya membandingkan, dengan pandangan
mata kejujuran yang mantap, keadaan spiritual orang-orang yagn telah aku
uraikan dengan keadaan spiritual pemimpin agama yang telah aku sebutkan.
Kemudian, dia akan melihat sendiri jurang gperbedaan antara kedua kondisi
tersebut, dan akan berkata : “Sungguh berbeda!” Itu karena pemimpin agama membangun
jalan hidupnya di atas fondasi ketakwaan kepada Allah, kesalehan, ketulusan
kalbu, dan keterbukaan. Yang demikian itu pada gilirannya menyebabkan ketajaman
pandangan dan kesucian wujud batiniahnya. Pemimpin agama itu meemahami
kebenaran-kebenaran, yang tersembunyi maupun yang tampak, dan ilmu-ilmu dunia
dan akhirat nanti, dan beroleh pertolongan di saat-saat mereka masih hidup dan
di saat mereka berada bersama saudara-saudara mereka, dan bantuan serta
persahabatan itu membuat benar segenap persoalan mereka dalam cara-cara yang
tidak dialami oleh orang lain. Kita mengetahui kesemuanya ini, tentang keadaan
spiritaul para pemimpin itu, berkat pengisahan terus-menerus riwayat-riwayat
dari mereka mengenai soal itu.
Kedua, sang pencari harus menghidnari sufi-sufi
eksentrik yang tidak mau terikat oleh hukum dan yant idak disiplin dalam segi
formal praktik keagamaan. Sang pencari harus menghindari mereka, bahkan sewaktu
dia menjauhkan diri dari ahli-ahli hukum *fiqih), dan lebih-lebih, karena
orang-orang gitu sangat banya merugikan. Keadaan spiritual mereka sesuai dengan
hasrat jiwa rendah, sebab mereka mengklaim telah meraih kedudukan mulia dan
terbebas dari kerja fisik. Yang demikian itu bertentangan dengan pandangan kaum
sufi sejati, dan berarti meninggalkan kecintaan padan Jalan. Guru Abu Al-Qasim
Al-Qusyayri, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Guru-guru spiritual sufi
sepakat sepenuhnya, bahwa Hukum Wahyu mesti dijunjung dan dihargai
tinggi-tinggi. Mereka secara khusus mengikuti Jalan latihan-latihan spiritual,
dan berhati- hati dalam mengikuti Sunnah Nabi tanpa melanggar satu pun
kewajiban praktik keagamaan. Mereka sepakat, bahwa seseorang yang tak mampu
melakukan latihan-latihan spiritual dan pengingkaran diri, serta tidak
membangun kehidupannya di atas fondasi pengabdian dan ketakwaan, berarti tidak
memperhatikan Allah Swt. dan terpedaya bahkan ketika dia berdoa kepada-Nya.
Orang seperti ini menghancurkan dirinya sendiri, dan menyebabkan kematian orang
lain yagn sudah tertipu oleh pembicaraannya yang sia-sia.”
Al-Junayd mengatakan, “Kami tidak belajar tasawuf
dari kabar angin, tapi melalui lapar, meninggalkan dunia ini, dan melepaskan
diri dari segala yang akrab bagi kami dan menyenangkan kami.” Katanya juga,
“Sungguh orang yang bersatu erat dengan Allah bertindak karena Allah dan
kembali kepada-Nya lewat tindakan itu. Kalaulah kiranya aku hidup seribu
tahaun, amal kebaikanku tak bakal berkurang seberat atom pun, kecuali bila Dia
mencegahku dari mengerjakan amal itu.” Seseorang melihat Junayd membawa tasbih
dan berkata keapdanya, “Meski engkau terkemuka, engkau masih memainkan tasbih
itu?” Dia menjawab, “Aku tak bakal menyimpang dari jalan yang telah menuntun
diriku menuju Tuhanku.” Dia biasa ke tokonya setiap hari menurunkan tirai, dan
shalat dua ratus rakaat sebelum pulang ke rumah.
Ruwaym berkata, “Tasawuf adalah pengorbanan jiwa,
jika engkau bisa menajdi sufi meski harus demikian, maka lakukanlah; jika
tidak, maka janganlah ikut-ikutan.” Dia juga mengatakan, “Sekalipun seluruh
dunia bersedia menerima formalisme, dan kaum sufi memuaskan perhatian kepada
kebenaran-kebenaran abadi, maka tidaklah begitu berbahaya kalau engkau duduk di
antara segala macam orang, ketimbang bergaul dengan kaum sufi. Kebanyakan orang
menuntut jiwa mereka lewat kebenaran-kebenaran ibadah dan ketulusan. Karena
itu, manakala seseorang
bergaul dengan kaum sufi dan berdebat dengan mereka tentang sesuatu yang mereka
itu miliki pengetahuan lebih tinggi mengenai hal itu, maka Allah akan
menghilangkan cahaya keimanan dari kalbu orang itu.
Yusuf ibn Al-Husayn Al-Razi berkata, “Manakala kau
melihat seorang pencari bergelimangan dalam kemewahan, aku tidak tahu apa yang
bakal terjadi atas dirinya.” Dia menulis kepada Al-Junayd, “Semoga Allah tidak
membuatmu menikmati makanan jiwa rendah, sebab sekali engkau menikmatinya,
engkau tidak bakal pernah lagi merasakan
kebaikan.” Ibn Khafif berkata, “Keinginan menimbulkan kesulitan, dan
kegelisahan pun tetap ada : Dan yang lebih
membahayakan sang pencari adalah menangguhkan hukuman atas jiwa rendah dengan
berbagai dalih.” Al-Hushri berkata, “Orang mengatakan bahwa Al-Hushri tidak
menganjurkan amalan-amalan sunnah. Sungguh, aku mewajibakan diriku untuk
melakukan shalat sendirian Sunnah) seolah-olah aku mempunyai kekuatan anak muda
dan seolah-olah aku akan dihukum apabila tidak melakukan satu sujud pun!.”
Jauhkan dirimu dari menfitnah dan bertengkar.
Singkapkanlah hijab Hukum Wahyu. Adapun orang-orang eksentrik, mereka itu telah
berbuat keliru, dan menghindari mereka itu sangatlah dianjurkan. Abu Yazid al-Bisthami
mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang yang melakukan berbagai keajaiban,
sekalipun mampu terbang di udara, janganlah mudah terpesona. Telitilah apakah
dia hidup sesuai dengan perintah dan larangan, menghormati hukum, dan
berperilaku sesuai dengan Hukum Wahyu.” Dan Abu Al-Husayn Al-Nuri
mengatakan, “Jika engkau meliaht seeseorang berdoa di hadapan Allah dalam
keadaan yang menjauhkan dirinya dari Hukum Wahyu yang sudah diketahui,
janganlah mendekatinya!.” Seseorang berkata kepada Abu ‘Ali Al-Rudzbari tentang
orang yang mendengarkan musik, dan berkata, “Bagiku, ini diperbolehkan, sebab
aku telah sampai pada tataran di mana tak ada lagi pada diriku jejak keadaan
spiritual yang bertentangan.” Abu ‘Ali menjawab, “Sungguh dia benar-benar
telahs ampai di neraka.” Seseorang ebrkata keapda Al-Nashrabadzi, “”Bagaimana
tentang seseorang yang duduk menemani wanita dan berkata, “Di mata mereka, aku tak bisa diganggu-gugat?”
Dia menjawab, “Selama manusia masih ada, perintah dan larangan masiha da, maka
boleh dan tidak bleh pun akan tetap berlaku atas dirinya. Orang yang mengaku
tak bisa diganggu-gugat secara hukum berada dalam kesesatan.”
Abu Bakr Al-Zaqqaq mengatakan, “Aku mengembara di
padang pasir Israel selama lima belas hari. Ketika aku menemukan sebuah jalan,
seorang prajurit menangkapku dan memberiku minum segelas air. Dan kalbuku pun
kembali keras selama tiga puluh tahun.” Abu Hafs Al-Haddad mengatakan,
“Seseorang yang tidak menimbang amal dan keadaan spiritualnya setiap waktu
dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, dan tidak menghitung dosanya, tidaklah bisa
digolongkan sebagai manusia.” Seseorang bertanya kepada Isma’il ibn Nujayd
tentang tasawuf. Lalu dia berkata, “Tasawuf adalah kesabaran dalam menanggung
beban perintah dan larangan.” Dan Abu Al-Abbas Al-Dinawari mengatakan, “Mereka
telah meruntuhkan pilar-pilar tasawuf dan menghancurkan Jalannya, serta telah
mengubah makna-makna spiritualnya dengan termonologi yang mereka ciptakan
sendiri : Mereka menyebut makanan sebagai pertumbuhan, kelakuan tak baik sebagai
ketulusan, meninggalkan kebenaran sebagai keeksentrikan, menyukai hal-hal
tercela sebagai kebaikan, mengumbar hawa nafsu sebagai godaan, kembali ke dunia
ini sebagai kedatangan, akhlak yang buruk sebagai kesewenang-wenangan,
kekikiran sebagai ketabahan, bertanya sebagai bekerja, kata-kata kotor sevagai
celaan! Akan tetapi, ini bukanlah Jalan kaum Sufi.” Dan masih banyak lagi
riwayat serta kisah lain seperti ini tentang kaum tasawuf.
(Jawaban atas pertanyaan kedelapan : Menguraikan moderasi tasawuf dalam
mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis)
Jika sang pencari ingin mempelajari ilmu tafsir
Al-Qur’an dan ilmu hadis, itu sungguh baik dan mulia, sebab di dalam Al-Qur’an
dan hadis terletak kebenaran-kebenaran agama dan kedudukan orang beriman.
Mereka temukan dalam kedua sumber itu tempat penyeberangan, tempat merenung,
tujuan pencarian, obat penyembuh penyakit, pertahanan terhadap musuh, dan
kendali hawa nafsu mereka. Dalam hal ini, kedua sumber ini berbeda dari ilmu
hukum (fiqh), sekalipun fiqih berasal dari dan berpijak di atasnya. Aku sudah berbicara
tentang godaan-godaan yang menyertai studi fiqih. Seseorang cukup hanya
mengambil dari fiqih apa yang dibutuhkannya bagi ibadah dan amal-amal
lahiriahnya, dan mengesampingkan sisanya.
(Jawaban atas pertanyaan kesembilan : Uraian tentang keadaan spiritual
luhur dan mulia yang harus dicapai oleh sang pencari)
Tidak ada persoalan tentang bagaimana sang pencari
mesti berperilaku secara batiniah maupun lahiriah, baik dalam keadan spiritual,
yang melalui keadaan ini dia beroleh kemajuan, mauun dalam amal-amal ikhlas
yang ada hubungannya dengan kekayaan atau kefakiran, sehat atau sakit, ketaatan
atau keingkaran, ingat atau lupanya. Yang aku maksud dengan ingat adalah kesaksian dan kehadiran kalbu, dan
lupa adalah keterhijaban dan ketidakhadiran kalbu. Kedua-duanya selalu ada di
jalan yang dilaluinya. Dan ketika sampai, sang pencari harus bersikap waspada
terhadap ini, sebab kewaspadaan adalah salah satu pilar atau fondasi paling
kokoh. Inilah salah satu sifat yang paling mulia dalam diri sang hamba, dan
sebagian mencakup pengetahuan yang jelas tentang Keesaan Allah (Tawhid).
Melalui ingat lan waspada, sang pencari akan menahan diri dari terburu-buru
bertindak berdasarkan harapan dan kegelisahan yang muncul dari dalam dirinya,
dan aakn terbebaskan dari perbudakan dosa dan dari keletihan dalam bertindak.
Kekayaan, kesehatan, ketaatan, dan ingat memiliki
nilai dan martabat yang sangat tinggi. Perilaku batiniah seseorang dalam
kaitannya dengan ini, berupa pengetahuan mendalamnya tentang keagungan,
kebesaran, kemuliaan, dan kemahakuasaan Tuhannya. Pengetahuan mendalam tentang
firman Allah Swt. ini akan membuahkan itu : “Mereka tidak mampu mengukur
kekuasaan penuh Allah.” (Qs. 6 : 92). Untuk memperoleh pengetahuan mendalam
tentang kehinaan, kerendahan, ketercelaan, dan kelemahan jiwa rendah, cukuplah
sudah memperoleh pengetahuan mendalam tentang kalam Allah Swt. berikut ini : “Bukankah
telah datang atas manusia satu masa ketika dia belum merupakan sesuatu yang
dapat disebut?” (Qs. 76 : 1). Setelah menguasai kedua aspek pengetahuan
mendalam ini, seseorang memahami dengan pasti bahwa dia sama sekali tidak bisa
beroleh manfaat dari karunia-karunia yang telah kusebutkan. Dia menyadari
bahwa, kecuali karunia dan kemurahan Allah, semuanya itu amat sedikit; dan,
jika Allah menimpakan kepadanya segala macam kesulitan dan cobaan melalui
berbagai bencana sangat mengerikan, dan menempatkan dalam keadaan yang
menyebabkan dirinya menyimpang dari agamanya dan meninggalkannya karena urusan
duniawi, itu karena dia memang patut menerimanya. Dia yakin benar akan semuanya
itu. Karenanya, orang harus bergembira dan bersyukur kepada Tuhannya. Dengan
cara begitu, dia tak akan berusaha demi apa yang berada lebih rendah yang
berada di bawah harkat-martabatnya dan terhidnar dari keadaan spiritual yang
dia sebelumnya telah tertipu.
Kekayaan dan kesehatan mengharuskan agar dalam
perilaku lahiriahnya, dan memanfaatkan kedua karunia ini untuk memathui Allah
Swt. bukan untuk membangkang. Karena itu, ketaatan meliputi ketulusan,
peningkatan, dan kecurigaan atas jiwa rendah. Kemudian, orang pun bisa yakin
bahwa perilakunya adalah benar, dan berharap hal itu akan diterima. Makna ingat
adalah bahwa pengembangan tak akan menuntun ke perilaku tak baik, bahwa
kontraksi tidak akan mencegah melakukan amal-amal yang wajib atau yang
dipandangnya terpuji, dan bahwa orang itu memperhatikan perilakunya
terus-menerus dan tidak membebaskan dirinya dari kewajiban.
Kefakiran
dan penderitaan berkaitan dengan kerendahan dan kelemahan. Perilaku batiniah
yang berhubungan dengannya terbentuk
karena pengetahuan mendalam bahwa dengan kedua hal ini Allah menuntun orang di
jalan para nabi terkasih dan wali-Nya, dan bahwa Allah memandang orang itu
pantas mendekati-Nya dan menerima penyucian dari-Nya. Dengan cara begini, Allah
mengajari orang itu bahwa salah satu kemungkinan paling besar baginya adalah
diuji amal keagamaannya dan kehidupan sehari-harinya. Karenanya,
patutlah seorang hamba berbahagia dengan keridhaan-Nya, karena telah menguji
dirinya dan menjadikan dirinya salah seorang sahabat dekat-Nya, dan dengan
bersyukur kepada Allah yang telah menetapkan atasnya takdir yang begitu
menggembirakan sebagai tanda kebaikan dan perhatian Allah kepadanya. Yang
demikian itu mencegah agar tidak hanyut dalam penderitaan dan cobaan, serta
agar tidak berduka dan mengeluh.
59.
Ada sebuah kisah
tentang bagaimana seorang sultan menangkap sahabat seorang wali. Wali itu
menulis surat kepada sahabatnya dan berkata, “Bersyukurlah kepada Allah.” Sang
sahabat heran, dan membalas surat itu dan berkata, “Aku bersyukur kepada
Allah.” Kemudian, seorang penganut agama Magi dibawa masuk. Dia sakit perut dan
terbelenggu. Salah satu kaki si penganut agama Magi itu dibelenggu dengan salah
satu kaki sang sahabat itu. Nah, sang penganut agama Magi ini bangun beberapa
kali semalaman, dan sahabat itu pun mesti bangun juga. Ini terus terjadi sampai
sahabat itu kelelahan. Lalu sahabat itu menulis surat kepada sang wali, yang
kemudian menjawab. “Bersyukurlah kepada Allah.” Sahabat itu membalas surat itu
lagi dan bertanya, “Berapa lama lagi engkau menyuruhku begini?” Kesengsaraan
apa lagi yang lebih besar ketimbang ini?” Sang wali menjawab, “Apa yang akan
engkau lakukan bila sabuk di pinggangnya diikatkan ke pinggangmu, seperti
belenggu di kakinya itu dibelenggukan ke kakimu?”
Seseorang berkata kepada Sahl ibn ‘Abd Allah,
“Seorang pencuri membongar lalu masuk ke rumahku, dan mengambil harta milikku!”
Sahl menjawab, “Bersyukurlah keapda Allah. Sebab bila pencuri itu masuk ke
kalbumu maksudku setan dan mengambil pengakuanmu akan Keesaan Allah (Syahadat),
apa yang akan engkau lakukan?”
Seorang guru spiritual sedang berjalan di sebuah
jalan. Tiba-tiba seember abu ditumpahkan di atas kepalanya. Dia lalu bersujud
syukur kepada Alalh Swt. Seseorang berkomentar tentang hal itu kepadanya. Lalu
dia berkata, “Aku mengharapkan api neraka dituangkan ke atas diriku. Beruntung
benar bahwa yang ditumpahkan itu hanyalah abu!”
Perilaku lahiriah dalam kefakiran dan penderitaan
mestilah berupa kesabaran sempurna, memohon kepada Allah agar menghilangkan
penderitaan itu, mencari pertolongan dari apa yagn secara lahiriah dituntut
oleh hukum pengobatan medis, serta menjauhkan diri dari sumber penderitaan dan
bahaya. Jika pengetahuan mendalam (makrifat) seseorang begitu tinggi, sehingga
dia bisa menghilangkannya tanpa bantuan obat ini dalam keadaan tertentu, maka
itu pun bisa diterima. Dikatakan bahwa lidah pemula selamanya berteriak meminta
pertolongan, sementara lidah orang yang mulia spiritualnya hanya diam saja.
Seseorang
bertanya kepada Al-Wasithi apakah dia berseru keras dalam berdoa. Dia menjawab,
“Aku takut menyeru Allah, kalau-kalau nanti dikatakan kepadaku, “Jika engkau
meminta kepada-Ku sesuatu yang telah Aku sediakan bagimu, itu karena engkau
meragukan-Ku. Dan jika engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang Aku tak mau memberikannya,
engkau akan makin kecewa dengan-Ku. Tetapi jika engkau benar-benar puas, Aku
akan memberimu apa yang telah Aku simpan untukmu dari keabadian.”
Sebuah kisah menuturkan bagaimana ‘Abd Allah ibn
Munazil berkata, “Aku tidak meminta sesuatu kepada Allah selama lima puluh
tahun, dan aku tak ingin orang lain berdoa untukku.” Dia menyebut doa yang
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, bukan doa sebenarnya;
sebab doa terbaik yang dimaksudkan untuk memberikan bukti tentang penghambaan
seseorang kepadas Allah, berikut doa untuk orang lain yang berkeluh kesah,
adalah kewajiban-kewajiban agama yagn ditetapkan atas ulama dan juga orang
awam. Jenis doa terakhir ini sama sekali tidak bertentangan dengan kedudukan
mulia orang-orang yang tinggi spiritualnya. Sesungguhnyalah, bagi mereka doa
itu adalah penyebab pertumbuhan spiritual mereka, kecuali bagi orang yang
benar-benar tenggelam dalam keadaan spiritual tertentu yang sama sekali tak
bisa diuraikan.
Sebaliknya, jika orang merasa begitu yakin, sehingga
dia meninggalkan kehidupan biasa dan perawatan medis, yang sangat baik; maka
itulah yang dilakukan oleh para pemimpin spiritual. Seseorang berkata, “Sekelompok orang mengunjungi
Al-Junayd dan berkata, ‘Kami mencari rezeki.’ Dia menjawab, ‘Jika kalian tahu
di mana rezeki itu berada, carilah.’ Lalu mereka berkata, ‘Kami meminta itu
keapda Allah.’ Junayd berkata, ‘Jika kalian yakin bahwa Allah telah melupakan
kalian, maka ingatlah Dia.’ Maka mereka berkata, “Kalau begitu, kami akan
pulang dan bertawakal kepada Allah.’ Junayd menjawab, ‘Godaan adalah keraguan.’
Lantas, apa itu tipu daya?’ mereka bertanya. Dia menjawab, ‘Meninggalkan tipu
daya itu sendiri.”/
Abu Hamzah berkata, “Aku merasa malu di ahdapan
Allah, karena aku pergi ke padang pasir dalam keadaan puas. Aku menyatakan
bahwa aku bertawakal kepada-Nya, tapi sebenarnya dengan membawa bekal malam itu
aku pergi keluar dalam keadaan sudah puas!” Seseorang berkata kepada Habib
Al’Ajami, “Engkau telah meninggalkan perdaganganmu.” Dia menajwab, “Tapi aku telah
menemukan keamanan hakiki.” Ketika Abu Bakr Al-Shiddiq sakit, seseorang
bertanya kepadanya, “Maukah kami panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang
tabib telah memeriksaku dan berkata bahwa aku sendiri yagn menyebabkan apa yagn
aku inginkan.” Dan seseorang berkata kepada Abu Al-Darda, “Tidak bolehkan kami
panggilkan tabib untukmu?” Dia menjawab, “Sang tabib telah menjadikanku sakit.”
Seseorang berkata kepada Sahl, “Kapan keyakinan seseorang itu bisa kuat?” Dia
menjawab, “Ketika dia ditimpa penyakit fisik dan ketika berkurangnya harta
kekayaan, tapi tidak mengalami kebingungan spiritual, dan terus memperhatikan
Allah Swt agar melindungi dirinya.”
60.
Perilaku batiniah yagn berkaitan dengan keingkaran
dan kelupaan terbentuk berdasarkan pengetahuan bahwa kedua hal itu ada dalam
keputusan dan ketenetuan Allah, dan pengetahuan mendalam bahwa ada rahmat
karunia dalam kehampaan diri sang hamba, dalam dosanya, dan dalam
keterkuasainya dia oleh bujukan-bujukan kelalaian dan kebingungan. Semuanya ini
terjadi karena Allah ingin memberinya pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat
mulia-Nya dan pengalaman tentang sifat-sifat suci-Nya, termasuk keagungan-Nya,
keadilan-Nya dalam menghilangkan berbagai rintangan, kepemilikan-Nya, karunia
ampunan-Nya, dan penerima tobat hamba-Nya. Ini sungguh mengagumkan, tapi tidak
mengherankan; sebab, seperti dikatakan sebuah hadis, “Jika kamu tidak berbuat
dosa, Allah tidak akan membimbingmu.” Hadis lainnya mengatakan, “Jika kamu
tidak pernah berbuat dosa, aku takut kamu terjatuh ke dalam sesuatu yang lebih
hebat – keajaiban dari segala keajaiban!”
Ibrahim ibn
Adham menuturkan, “Pada suatu malam, di sat turun hujan lebat, aku melakukan
Thawaf mengelilingi Ka’bah. Lintasan thawaf
kosong, dan aku pun senang. Ketika telah menyelesaikan kewajiban itu,
aku berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dari tidak mematuhi-Mu?” Lalu terdengar
suara berkata kepadaku, “Wahai Abu Ibrahim, engkau memohon kepada-Ku agar
melindungimu, dan begitu pula halnya semua hamba-Ku. Tapi jika Aku melindungi
mereka, lantas kepada siapa lagi Aku bersifat Pemurah dan Pemaaf?”.
Orang menemukan dalam
keadaan ingkar dan lalai suatu pertumbuhan yang tidak ditemukan dalam keadaan
patuh dan ingat. Itulah yang dimaksud ucapan anonim ini, “Ada banyak dosa yang membukakan
bagi sang pendosa jalan ke surga.” Sang pendosa mempunyai pengalaman tentang
kebaikan Allah, sekalipun dirinya tercela. Penyesalannya atas kemungkinan
hilangnya peruntungan-abadi dan kebahagiaan-langgengnya, mengalihkan
perhatiannya dari dosa waktu itu. Salah seorang sufi mengatakan, “Orang yang
memiliki pemahaman hakiki tentang Allah Swt adalah orang yang merendahkan
kesulitan masa kini dalam berbagai kebaikan yang mengalir kepadanya dari Allah,
yang menenggelamkan dosa-dosa jiwa rendahnya dalam kemurahan Allah kepada
dirinya.” Karena itu, ingatlah nikmat Allah, agar kamu beroleh kejayaan.” (Qs.
7 : 69).
Hanya orang yang
kalbunya hidup dengan keimanan dan keyakinan saja yang bisa mengalami
pengukuhan dan pertumbuhan melalui berbagai perilaku batiniah dan pengetahuan
spiritual ini. Petunjuk tentang itu adalah bahwa perbuatan lahiriah dan
perilaku fisik seseorang, yang sebentar
lagi akan kubciarakan, terbebas dari berbagai kelemahan. Kemajuan yang
diraihnya tidak membuatnya hangat-hangat kuku dalam menjalankan kewajiban
agamanya. Sebaliknya, dia meliaptgandakan kehatia-hatiannya dalam berbuat dan
sangat gembira dengan hasilnya. Karena itu, orang seperti ini beroleh kekuatan
melalui kesaksamaan, dan tumbuh karena mengingat kebaikan-kebaikan dan
pengetahuan Ilahi ini. Akan tetapi, ada beberapa jenis orang yang bagi mereka
memikirkan dan merenungkan masalah-masalah ini bisa sangat berbahaya, dan
mereka tidak boleh melakukannya. Mereka mesti membatasi perhatian mereka hanya
pada perilaku lahiriah mereka saja, termasuk hal-hal seperti memulai tobat,
meretas cengkeraman kemaksiatan; penuh perhatian pada rasa takut, penyesalan,
dan air mata; lari menuju kerinduan dan doa; waspada penuh hati-hati terhadap
masalah-masalah krusial seperti ingat dan hadirnya relung kalbu.
61.
Dalam semua keadaan
spiritual ini, perilaku lahiriah sang pencari didasarkan pada memperehatikan
setiap situasi seraya mengingat situasi tersebut, dan dia harus juga
menggunakan doa-doa yang tepat. Dengan cara begini, seseorang senantiasa
menghidupkan kehadiran dan perhatiannya, sehingga ini menjadi kebiasaan
perilakunya. Begitu sang hamba memperhatikan syarat-syrat ini, dan sepenuhnya
menguasai pengetahuan paling penting ini, maka dia akan siap menuju kedudukan
syukur, dan berhak beroleh ingat yang main kuat yang dijanjikan sebagai bagian
dari kedudukan itu. Tak ada pertumbuhan lebih mulia selain mencapai dan beroleh
kemajuan dalam keadaan spiritual ini. Sang hamba terhindar dari nasib tak
diinginkan, dan memperoleh kekayaan tak ternilai harganya dalam kehidupannya,
dengan mencapai tujuannya sewat jalan pintas. Setiap fajar dan dalam setiap
waktu shalat sendirian, dia berikan kepada Zat yagn disembahnya apa yang
menjadi hak-Nya. Hamba seperti ini beroleh bantuan dalam hak-hak istimewa
khusus yang diperuntukkan baginya oleh Sang Pemberi segala karunia.
(Jawaban atas pertanyaan kesepuluh : Menyebutkan bagaimana seseorang
mesti bertindak dalam mengkaji spekulasi teologis pada Ulama)
Sang pencari mesti
berusaha berperilaku pantas terhadap semua orang terdidik atau saleh. Dia tidak
boleh menentang mereka atau mencari-cari kesalahan atas apa yang mereka
lakukan, kecuali bila apa yang mereka ajarkan ietu bertentangan dengan Hukum
Wahyu. Dia tidak boleh berburuk sangka keapda mereka, kecuali bila dia
benar-benar yakin tentang persoalannya. Manakala
dia memperhatikan sesuatu yang dikatakan oleh salah seorang rekan sezamannya
atau oleh yang lainnya, atau menyadari sesuatu yagn telah mereka lakukan, dia
mesti mendudukannya pada kupasan kritis Kitab Allah dan Sunnah Nabi, pada
penafsiran harfiah maupun spiritualnya. Jika tindakan itu sesuai dengan
kriteria-kriteria tersebut, maka hal itu tak jadi masalah. Jika tidak, dia mesti
mencari penafsiran yang absah. Jika dia mendapatkannya, maka hal itu amat baik;
jika tidak, dia harus menangguhkan keputusan tentang masalah itu. Hanya saja,
jika dia kemudian bermaksud mengemukakan pandangan yang bertentangan, dia wajib
mengesampingkannya dan tak usah memperhatikannya lagi. Semuanya ini berlaku
hanya jika masalah hukum menjadi perhatian langsung dan krusial baginya. Jika
masalah itu tidak menjadi perhatiannya, maka dia tidak boleh terlibat dalam
pembuktian dan kontra-pembuktian demi menunjukkan kesahihan atau ketidaksahihan
masalah itu. Sang pencari harus berperilaku seperti Rasulullah saw. ketika beliau bersabda, “Bagian
penting dari Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan menjadi
urusannya.”
Hendaknya sang pencari
berhati-hati mengenai perilakunya terhadap kaum elit dan masyarakat umum dalam
segenap urusannya, sebagaimana telah kujelaskan. Setelah dia menjadi cakap
dalam segala yang telah kubicarakan, maka sang pencari akan beroleh, dengan
izin Allah, kekuatan batin yang bakal menuntunnya ke latihan-latihan spiritual
dan ke kedudukan dan keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dia akan mengenal
rahasias-rahasia hukum, ketika cahaya keyakinan terbit dalam kalbunya dan
ketika dia beroleh makrifat tentang berbagai tipu daya dan khayalan dalam
pengetahuan maupun tindakan. Dia akan dapat membedakan antara kebenaran dan
hal-hal yang remeh. Dia hanya akan memikirkan apa yang membuat Tuhannya ridha,
dan dia hanya akan menginginkan apa yang diharapkannya bakal membuatnya
sejahtera dan mendekatkannya pada Allah. Dia akan merasakan nikmatnya iman dan
keyakinan. Dan bertakwa kepada Allah akan sangat mudah baginya. Kenikmatan
berada dalam kedudukan ini luar biasa, dan berbeda dari berbagai kenikmatan
mengagumkan yang telah aku bicarakan sebelumnya. Inilah salah satu cara Allah
Swt menyegarkan sebagian hamaba-Nya, sebagai kebikan dan ungkapan kelembutan
kepada mereka.
62.
Akan tetapi, keringanan
bukanlah sifat yang inheren dalam kedudukan penghambaan. Sesungguhnya, beban
beberapa hamba menjadi berlipat ganda. Kontraksi, menguasai mereka, dan mereka
berdiri di hadapan Allah sebagai orang-orang yang telah pasrah menerima beban
yang telah Dia pikulkan atas diri mereka. Keadaan spiritual mereka lebih
sempurna ketimbang keadaan spiritual orang lain; sebab, dalam sikap dan
kewaspadaan yang benar mereka beroleh kemajuan. Mereka aman dari berbagai
bahaya yang mengharu-biru orang lain. Al-Wasithi, semoga Allah merahmatinya,
mengatakan, “Waspadalah terhadap rasa senang dengan karunia, sebab orang-orang
yang suci mengetahui bahwa hal itu adalah penyembunyian.” Dia juga mengatakan, “Berhati-hatilah :
Manisnya amal saleh seringkali menyembunyikan racun yang mematikan.” Alasan untuk itu adalah, karena hal ini
membangkitkan jiwa rendah dan menyebabkan jiwa rendah percaya pada, dan
menyesuaikan diri dengan, apa yang tampak jelas baginya. Yang demikian itu
hanya menyebabkan kelalaian dalam masalah-masalah terlarang, sebab jiwa rnedah
semakin menjadi-jadi, yang ruang lingkupnya tidak bisa dijangkau, dan yang
bahaya-bahayanya tidak bisa dipahami. Inilah, sebagaimana diketahui benar oleh
Allah Swt, yang disebut-sebut oleh Al-Junayd ketika dia berkata, “Jika seseorang mengabdikan diri
kepada Allah selama seribu tahun, dan kemudian tiba-tiba berpaling dari-Nya,
maka yang hilang darinya lebih ketimbang apa yang diperolehnya.” Dengan
kata lain, orang itu merasa puas dengan
kedudukannya di hadapan Allah, dan terpalingkan dari Tuhannya.
Seorang pembimbing
spiritual berkata tentang kepuasan dan keamanan. “Aku takut kalau-kalau
manisnya keduanya itu bisa memalingkanku dari Allah Swt.” Dan guru Abu Al-Qasim mengatakan, “Merasa
dekat itu menabiri kedekatan, dan barang siapa bersumpah dengan jiwa rendahnya,
berarti dia telah ditipu jiwa rendahnya.” Ada juga yang mengatakan dalam
hubungan ini, “Semoga Allah menjauhkanmu
dari-Nya,” yakni jauh dari mengalami kedekatan dengan-Nya. Sungguh, usaha-usaha untuk
mengetahui kedekatan dengan-Nya mengandung tanda-tanda tipu daya. Sebab Allah
Swt berada di luar segala kedekatan. Dan berada dalam kehadiran
Kebenaran Mistik hanya menimbulkan kebingungan dan kemusnahan. Berkenaan dengan
ini, seseorang mengatakan :
Keterujianku oleh-Mu adalah bahwa aku tidak peduli akan
keterujianku itu;
Kedekatan-Mu adalah seperti kejauhan-Mu, lantas kapan aku akan
terbebaskan?
Guru Abu ‘Ali Al-Daqqaq
melantunkan banyak puisi seperti ini :
Kasih sayang-Mu berupa meninggalkan, dan cintamu berupa
kebencian;
Kedekatan-Mu adalah kejauhan, dan kedamaian-Mu adalah
perang.
Abu Al-Husayn Al-Nuri
berkata ketika bertemu salah seorang sahabat Abu Hamzah, “Engkau adalah salahs
eorang sahabat Abu Hamzah, yang banyak berbicara tentang kedekatan. Manakala
engkau bertemu dengannya, katakan padanya bahwa Abu Al-Husayn Al-Nuri
menyampaikan salam dan mengatakan, ‘Menurut kami, dekatnya kedekatan adalah
jauhnya kejahuan.”
Mengembangkan
sepenuhnya apa yang telah aku bicarakan, akan memakan waktu lama, dan
memerlukan penyingkapan rahasia-rahasia yang kita tidak berwenang
menyingkapkannya. Begitu sang pencari sampai pada hal ini, kalbunya dipenuhi
oleh cahaya cemerlang dan pengetahuan-pengetahuan menakjubkan, sehingga dia
dapat melihat sebagian dari kebesaran dan keagungan Tuhannya yagn tak
terlukiskan serta sebagian keajaiban dunia kekuasaan dan hikmah-Nya.
(Jawaban atas pertanyaan kesebelas : Merujuk ke surat lain)
63.
Aku telah mengatakan
segala yang harus kukatakan tentang muslihat Tuhan, suatu soal yang dikemukakan
oleh Syaikh Abu Thalib dalam bab Takut. Aku tidak akan menjelaskan lebih jauh
lagi, selain apa yang telah kubicarakan tentang hal itu dalam surat pertama.
Puaslah dengan hal itu, dan renungkan uraian tentang soal itu. Pelajarilah
dengan cermat, sebab ia disusun secara teratur, dikemukakan dengan argumen
sangat teliti, dan sangat terpadu. Aku menawarkan surat ini sebagai jalan bagi sang pencari menuju kedudukan (maqam)
Keesaan Tuhan (Tawhid). Telah kusimpulkan soal ini, sehingga bisa diungkap
dengan kata-kata, dan telah kuringkaskan semua pengetahuan dan jenis perilaku,
yang uraian penuhnya memerlukan ebrjilid-jilid buku. Surat ini memuat jawaban
pernuh atas semua pertanyaanmu, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang aku
tak berkewajiban menjawabnya. Itulah yang aku maksudkan di sini.
Karena itu, aku memohon
kepada Allah Swt, agar memberi kita keberhasilan dalam amal-amal kita sesuai
dengan pengetahuan kita. Semoga Dia tidak memandang amal-amal kita sebagai
kutukan atau laknat atas diri kita. Berdoalah untukku serta untuk semua sahabat
kita yang membaca surat ini. Akhirnya tidak ada kekuatan dan pertolongan
kecuali dari Allah, Mahakuasa, Mahaagung. Dia-lah sebaik-baik pelindung kita.
Dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad
saw., keluarga, dan para Sahabatnya.
SURAT KETUJUH
Kepada Yahya Al-Sarraj (mungkin). Surat tentang
derajat sabar dan pasrah (tawakal) di kalangan orang-orang yang mengalami
berbagai cobaan
64.
Segala
puji bagi Allah semata.
Telah
kuterima suratmu. Engkau menerangkan kebingungan tentang masalah sabar dalam
emngahadapi berbagai kesengsaraan. Masalah itu sesungguhnya amat jelas dan
tidak perlu diperdebatkan lagi. Penderitaan yang lama adalah salah satu
kedudukan yakin, dan sebanding dengan kekuatan atau kelemahan yakin, serta
kebertambahan atau keberkurangannnya. Sabar mencakup tindakan menahan jiwa
rendah 9hawa nafsu) sedemikian sehingga tidak menyetuji berbagai tindakan dan
perkataan sengaja yang bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik.
Hanya orang yang keyakinannya kuat, dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa
rendahnya lemah, sajalah yang bisa mencapai derajat sabar yang diinginkan.
Orang yang keyakinannya sangat lemah, dan yang dalam dirinya sifat-sifat jiwa
renadhnya kuat. Tak mampu bersabar. Dia tidak dapat menjaga diri terhadap
berbagai dorongan hawan nafsu. Akibatnya, orang seperti ini seringkali berada
di ambang kekafiran. Semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian itu
karena menganggap Allah Swt berlaku zalim.
Tingkat
yakin orang sangat berbeda-beda. Mereka berada di antara kedua kutuhb sabar
ini. Bila keyakinan seseorang
sangat kuat, maka dia tidak merasa menderita manakala berbagai cobaan menimpa
dirinya. Sesungguhnya, boleh jadi dia merasa bahagia dan gembira berada dalam
cobaan-cobaan itu, serta memandangnya sebagai kebaikan. Inilah salah
satu kedudukan (maqam) tertinggi cinta dan tawakal. Sebuah ksiah menuturkan
seseorang bertanya kepada Sari Al-Saqathi, “Apakah sang pecinta merasa sedih
dan menderita?” “Tidak,” jawabnya. “Sekalipun sang pecinta ditebas oleh
pedang?” “Sekalipun ditebas dengan pedang tujuh puluh kali,” jawab Al-Saqathi. Baiklah,
kujelaskan lebih jauh. Seseorang mungkin saja mengalami derita fisik, tapi
merasa bahagia dalam kalbunya, sebab telah dikatakan, “Tawakal berarti kegembiraan kalbu di kala
diberlakukan Ketentuan Ilahi.” Abu
Ya’qub Al-Nahrajuri mengatakan, “Manakala sang hamba mendekati perwujudan
keyakinan sempurna, dia memandang kesengsaraan sebagai rahmat, dan hambatan
serius sebagai kesenangan.” Lebih dari itu, orang seperti ini memandang adanya
musibah sama seperti ketiadaannya. Jika keyakinannya mengendur, dia pun surut
ke belakang, sehingga inti wujudnya menyempit, karena tiadanya sifat meluas
cahaya keyakinan. Kemunduran itu pada gilirannya membuatnya mengeluh dan merasa
menderita.
Manakala
sang hamba mengalami musibah, maka kata-kata “Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dari Allah” membantu mencegah menyempitnya inti wujudnya. Bagi orangn
yang tengah menempuh perjalanan, kebenaran kata-kata ini tidaklah memberi
manfaat, tetapi bagi orang yang memiliki keyakinan, itu adalah positif.
Kata-kata itu bahkan mencegah rintihan orang yang sakit tidak sampai terperosok
ke dalam keluhan, sebab kata-kata itu mengidentifikasikan sakit sebagai bagian
dari apa yang ditetapkan atas diri sang hamba. Bahkan, burung merak pun tidak
merintih ketika jatuh sakit. Riwayat menuturkan bahwa Zakariya, a.s. merintih
dan mengerang ketika digergaji. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepadanya, “Jika
engkau merintih sekali lagi kepada-Ku, akan Aku porak-porandakan langit dan
bumi ini.”
65.
Manakala
seseorang yang ditimpa musibah menahan jiwa rendahnya dari kata-kata yang bisa
menyebabkan seseorang mengeluh, maka dia tengah mengamalkan kesabaran paling
indah. Seperti telah difirman Allah Swt. dalam Kitab-Nya berkenaan dengan
Nabi-Nya, Ya’qub a.s. : “Sabar itu indah” (Qs. 12 : 18). Allah Swt. menunjukkan
bahwa sabar adalah menghindari keluhan dan sok pamer. Nah, jika cobaan-cobaan
seperti ini menimpa seseorang, dan dia mampu tidak mengeluh dan tidak
menunjukkan ketidak-senangan, dan tidak melampaui batas-batas pengetahuan,
serta tidak membuat gaduh karena perasaan tak senang dan negatifnya, maka orang
itu telah mencapai kedudukan sabar sekalipun bukan kedudukan orang-orang
pilihan. Jika, sebaliknya, dia
memberikan tanggapan negatif, maka dia telah meninggalkan kesabaran dan menjadi
tidak sabar, yakni gelisah. Manakala seseorang mengakui kemaksiatan
tindakannya, dan berlatih mengekang jiwa rendahnya, lalu memaksakan dirinyas
ecara berlebihan dalam proses itu, maka dia tengah berusaha bersabar. Hanya
saja, yang demikian itu adalah kesabaran yang dibuat-buat. Persis seperti
halnya zuhud, bila dipaksakan, maka hanyalah pura-pura zuhud semata. Ia tidak
membimbing ke kedudukan yang bernilai untuk disebutkan, atau ke keadaan yang
berharga untuk dicapai.
Maksudku
ialah bahwa mengalami penderitaan tidaklah mengurangi kesabaran, lantaran sang
hamba mengalaminya dengan tidak sengaja. Hanya tindakan sukarela yang
membuatnya mengalami penderitaan bertentangan dengan Hukum Wahyu dan Kebenran
Mistik sajalah yang bisa mengurangi sabar. Tindakan-tindakan sejenis itu terjadi
sebanding dengan derajat yakin; frekuensi tindakan-tindakan itu pun
berbeda-beda, seperti halnya derajat –derajat yakin itu sendiri.
Derajat-derajat yakin itu apda dasarnya adalah tiga katagori yang disebutkan
dalam Al-Qur’an (102 : 5, 7;56;95) : Pengetahuan tentang yakin, yakin itu
sendiri, dan yakin yang tertinggi. Dalam masing-masing katagori itu, ada
tingkatan yang banyak sekali jumlahnya. Salah seorang sufi mengatakan, “Sang
hamba belumlah mencapai yakin yang sempurna, kecuali bila dia telah memutuskan
dari dirinya segala sesuatu di antara bumi dan Tahta Allah yang memisahkan
dirinya dari Allah di aats segala-galanya.” Yakin tidak memiliki batas
tertinggi. Ketika seseorang mempelajari dan memahami agama, maka yakinnya pun
semakin bertambah.
Semoga
Allah memperkuat kita dengan kekayaan-Nya yang tak ada habis-habisnya dalam
kebaikan dan kemurahan-Nya.
SURAT KEDELAPAN
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat tentang amal dan
keadaan-keadaan spiritual (hal) yang dibutuha=kan oleh orang yagn ebrtobat jika
dia ingin menetap dalam kedudukan tobat. Disertakan juga hal-hal bermanfaat
lainnya.
66.
Segala puji bagi Allah semata.
Telah kuterima suratmu, dan telah kubaca surat itu
seluruhnya dengan teliti dan cermat. Kecuali untuk soal hamba bertobat yang
telah mengalami perubahan dan tengah menempuh jalan orang yang mengabdi kepada
Allah. Aku tahu tak ada satu soal pun dalam surat itu yang memerlukan jawaban
sangat mendalam. Aku gembira bahwa engkau memusatkan perhatianmu pada soal itu.
Sebab kita tahu bahwa seorang hamba seperti ini bakal beroleh ganjaran
berlimpah dari Allah Swt. dalam kehidupan akhirat nanti. Semoga Allah Swt.
menganugerahkan kemenangan surgawi dan keharuman samawi yang tidak bisa dikukur
kecuali oleh orang yang memiliki makrifat (pengetahuan mendalam) tentang-Nya.
Tobat adalah salah satu keharusan utama yang
diperintahkan dalam berbagai hadis Nabi yang terkenal. Di antara soal penting,
kedudukan iman didasarkan pada tobat : Segalanya bermula, terus mengada, dan berakhir dengan
Tobat. Tidak ada seorang pencari pun bisa menghilangkannya dalam
kemajuan spiritualnya, pun tidak pula dia bisa menghindarinya hanya berpaling
darinya. Jelaslah bahwa sang hamba mesti terus memperhatikan awal, kelanjutan,
pertumbuhan, dan peningkatan tobatnya. Dia mesti melindungi watak hakikinya dengan rajin bekerja, dan
memperkuatnya dengan meningkatkan daya tahan. Untuk tawakal dan mengalami tobat
sepenuhnya, dia harus sbenar-benar beribadah dan bersikap murah hati. Begitulah
cara mensyukuri keadaan yang meningkat yang bertalian dengannya. Dari sudut
pandang iman, pengetahuan dan tindakan yan didasarkan atas tobat merupakan
kewajiban-kewajiban penting. Segenap
kehidupan orang-orang yang bijak dan memiliki pengetahuan spiritual, sibuk
dengan tobat dan penyesalan, sebagai salah satu perhatian utama mereka.
Setelah engkau memahami hal itu dengan jelas, aku ingin agar engkau mengetahui
juga bahwa apa yang sedang aku bahas ini terbagi ke dalam dua kategori, yang
umum dan yang khusus.
Segi-segi umum tobat ditunjukkan dan ddijelaskan
dalam Kitab Allah, haids-hadis Rasul-Nya, dalam ucapan-ucapan para salaf
(pendahulu kita dalam agama), dan dalam berbagai penafsiran atas sumber-sumber
tersebut di atas yang disampaikan oleh para pemimpin agama. Seseorang yang
berusaha beroleh manfaat dari pengetahuan ini dan menempuh jalan ini mestilah
mendengarkan, dengan telinga kalbunya, sanggahan-sanggahan tak bermakna yang
dilontarkan oleh orang-orang munafik dan suka membantah tentang soal-soal ini.
Dia mesti sanggup mengahdapi berbagai rasionalisasi mereka yang sudah
diputarbalikan, hingga suatu saat semuanya itu menampakkan hakikatnya. Dengan
demikian, segenap keraguan dalam diri sang pencari pun akan bisa dijelaskan.
67.
Segi-segi
khusus itu meliputi pengetahuan tentang berbagai kedudukan dan keadaan sang
hamba, entah dalam keadaan diam atau bergerak, entah di depan umum atau dalam
kesendirian, dalam soal-soal yagn sudah ditetapkan baginya atau dalam
situasi-situasi di maan dia menjalankan kebebabasan pribadi, di saat musim
makmur atau paceklik, dalam kesendirian atau dalam bergaul dengan orang lain,
dalam semua tindakan juga perkataannya. Sang hamba tidak boleh beranggapan
bahwa dia memiliki kesadaran penuh, kecuali melalui pergaulan dan seseorang
yagn berpegang gpada kebenaran, yang sudah terjun ke dalam lautan ini dan yang
sudah belajar membedakan antara permatan berharga dan batu karang. Dia harus
menerima bantuan yang hanya bisa diberikan seorang guru, ketika guru tersebut
memberikan kepada sang pencari apa yang dikehendakinya, memberinya fondasi
dalam Kebenaran Mistik dan dalam menghilangkan kepura-puraan. Biarlah sang guru
mengajari sang pencari beberapa rahasia yang tampak jelas bagi sang guru,
menunjukkan kegagalan dan hambatan sang pencari, serta memberinya ganjaran yang
tepat tentang keadaan spiritualnya. Bila sang hamba berhasil menemukan guru
yang unik ini, dia mesti beanr-benar mengikutinya dan menempuh jalannya yang
terang. Kalau tidak, dia mesti mengikuti kehati-hatian dan kebijaksanaan tanpa
ragu-ragu sedikit pun. Dengan demikian, jalan ketabahan dan ketakwaan kepada
Allah akan terbuka lebar di hadapannya. Inilah cara paling bermanfaat untuk
mencari dan mencapai tujuan.
Aku memutuskan untuk menyebutkan di sini hanya
beberapa sifat kedudukan tobat, yang kelihatannya paling cocok dalam konteks
ini. Uraian dan paparan yang mendalam tentang sifat-sifat setiap kedudukan
tidaklah bisa banyak membuka kunci khazanah rahasia-rahasianya selama hidup
kita, dan bakal sia-sia saja dalam hal ini. Engkau mesti memahami bahwa
kedudukan tobat itu paling utama dan merupakan fondasi bagi berbagai kedudukan
lainnya. Penyesalan berarti menukar perbuatan-perbuatan dosa dengan perilaku
terpuji. Ini meliputi gerak-gerik lahir dan batin, keyakinan, kata-kata dan
tindakan. Dalam penyesalan dan tobatnya, sang hamba pertama-tama mesti menaruh
kepercayaan kuat-kuat pada ketulusan gurunya agar beroleh kepuasan dengannya,
tunduk kepada perwaliannya, dan mencari apa yang diinginkan sang guru ketika
bergaul dengannya. Kemudian, sang hamba mesti meneliti dan memeriksa perilaku
batiniahnya, lalu meninggalkan kelakuan-kelakuan bodoh dan kegemarannya akan
kesia-siaan duniawi. Dia juga harus memeriksa dengan cermat perilaku lahiriahnya,
agar selaras dengan syarat-syarat hukum, dan menyucikannya deri berbagai
pengaruh kebiasaan dan kecenderungan hawa nafsu. Yang demikian itu menyiapkan
dirinya untuk memperoleh berbagai rahmat dan manfaat dari perilaku yang baik
sewaktu dia bergegas menuju kesalehan, ketakwaan kepada Allah, dan mengutamakan
kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia ini; dan sewaktu dia perlahan-lahan
bergerak maju menetapkan pijakan yang kokoh di bawah bimbingan dan pengawasan
yang baik dari sang guru.
Selain itu,
sang hamba bakal memetik buah dari kegiatan memanfaatkan waktunya dengan sangat
baik; mawas diri, mencela perbuatan dosanya, dan menundukkan
kecenderungan-kecenderungan untuk durhaka yang ada dalam dirinya; mewaspadai
segala pemikiran dalam jiwa rendahnya; memeriksa ketulusan niatnya;
mengutamakan pemikiran kalbunya; segera memperbaiki kezaliman dan menghormati
kesepakatan; mengejar berbagai kewajiban dan keharusan yang terlewatkan;
menghindari kesombongan; menghindari dosa-dosa; mengurangi kemaksiatan;
lemah-lembut; menyelamatkan inti wujudnya dari berbagai bencana dan kemalangan;
tekun mengamalkan agama; dan bersikap kasih sayang dan menasehati sesama Muslim
sesuai dengan syarat-syarat agama dan perilaku teladan Rasulullah Muhammad saw.
Berkat manfaat-manfaat inilah, sang hamba terbebas dari tirani penindasan,
dosa-dosa besar, dan kebencian. Kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yang
demikian itu.
68.
Kemudian engkau perlu memahami, bahwa dalam
tahap-tahap awal, orang yang bertobat terus-menerus dirundung kesedihan dan
penyesalan yang mendalam. Sejenis kemabukan yang disebabkan oleh keadaan
spiritualnya menguasai dirinya, mengalahkannya, dan mengancam bakal membuatnya
lelah. Dia hanya bisa melihat kondisinya sendiri, dan tidak kuasa mengubahnya.
Jiwanya tertundukkan, kemampuan berdoanya pun berkurang, dan watak
kemanusiaannya mengalahkan dirinya. Dia terus dalam keadaan demikian, hingga
berbagai angan-angan kecemasan yang tak terhindarkan pun menimpa dirinya.
Tentara ketakutan dan kekhawatiran, yang sebelumnya dia terbebas darinya, kini
berkemah di halaman rumahnya. Maka dia harus percaya pada keimanannya dan tetap
teguh dalam komitmennya. Begitulah, dia mesti bersabar dalam keadaan spiritual
dan memulai manklukkan tentara hawa nafsu yang tak terkendalikan.
Beranekaragaman orang mendapati diri mereka berada
dalam situasi ini. Dan situasi ini menguji keberanian orang-orang jahil dan
bodoh maupun orang-orang bijak. Inilah “Perjuangan besar”, yang bila perjuangan
melawan orang-orang kafir dibandingkan dengannya nampak tak berarti apa-apa dan
lebih rendah derajatnya! Manakala sang hamba keluar sebagai pemenang, berarti
dia telah menaklukkan kerajaan jiwa rendah, dan berbahagia dalam taman-taman
kesucian. Jika dia kalah, watak kemanusiaannya menguasai dirinya. Dalam hal
terakhir ini, dia mesti memperbarui tobatnya, memperhatikan sekali lafi masalah
itu, dan kembali kepada kondisi yang lebih tepat. Dan dia harus terus
melanjutkan proses ini sepanjang dia masih berada di dunia ini. Dalam menolak
mentah-mentah kekuatan dan kemampuannya sendiri, dia harus bisa menemukan
dukungan bagi tindakan-tindakan lahiriah dan batiniahnya, sehingga tak ada
sesuatu pun bisa mencegah dirinya dari menuju dengan penuh kebebasan ke
haribaan Tuhannya untuk selama-lamanya. Itulah dasar persoalan ini, dan
merupakan tambatan yang kokoh. Orang yang berpegang erat-erat padanya bakal
mampu bertahan secara lebih pasti.
Banyak pendahulu kita yang saleh (salaf) telah
beroleh kemajuan dengan cara begini, dan bergegas penuh kepatuhan menuju tujuan
ini. Sikap keagamaan dan praktik kebiasaan mereka terbentuk berkat semua seifat
iman dan keyakinan yang bertambah, baik yang telah kusebutkan maupun yang tidak
aku sebutkan. Bagi mereka, jalan kemajuan itu laksana kedudukan jalan
penyegaran bagi pencari kehidupan abadi. Mereka bergembira dan berbahagia
dengannya; tak ada usaha dan tak ada musuh yang mencegah mereka. Mereka
bertahan dalam tujuan mereka, sebab mereka memiliki tanda-tanda yang jelas dari
Tuhan mereka dan keyakinan hakiki sebagai hasil amal mereka.
Orang-orang mendekati persoalan mereka dengan
berbagai cara, dan terbagi ke dalam beberapa golongan. Sebagian orang menempuh
jalan memeriksa amal-amal raga dan kalbunya, dan menggunakan ini sebagai sarana
meraih pengetahuan sempurna tentang kesalahan-kesalahan mereka berikut
kewajiban-kewajiban lahiriah mereka. Dengan begitu, mereka sampai pada kesucian
jiwa, dan membatasi perhatian mereka pada apa yang berkaitan samata-mata dengan
diri mereka sendiri. Jika seseorang menanyakan kepada mereka masalah hukum,
mereka menghubungi orang lain, sebab mereka memandang yang demikian itu sebagai
cara melindungi diri mereka sendiri. Diriwayatkan juga hal-hal lainnya semisal
itu, yaitu tentang orang-orang dalam golongan ini.
69.
Yang lainnya pun sangat penuh perhatian manakaa
melihat bid’ah timbul di kalangan masyarakat, atau manakala cinta akan dunia
ini mengalahkan hal-hal lainnya. Mereka percaya bahwa mereka berkewajiban
memberikan jawaban kepada masyarakat seperti ini, dengan cara membebaskan
mereka dari kejahilan keyakinan mereka serta dari berbagai kezaliman perilaku
duniawi mereka.
Sebagian orang lagi takut akan bid’ah yang berada
di luar batas-batas Islam awal. Mereka menganggap perubahan seperti ini sebgai
bencana yang membahayakan diri mereka. Karenanaya, mereka menempuh jalan
kehati-hatian, dengan membatasi diri pada pengamalan keimanan tradisional kaku
dan menjauhi diskusi-diskusi intelektual. Seandainya ada seseorang mencoba mempengaruhi mereka ata menentang pandangan mereka, orang-orang ini serta merta menolak mereka dan sepenuhnya melecehkan mereka serta aal keagamaan mereka.
Mereka memandang diskusi dengan orang-orang semisal ini, dan keterlibatan dalam
perdebatan, sebagai membuang-buang waktu dan pekerjaan sia-sia. Dalam aktivitas
keduniawian, kebanyakan orang ini tidak mencari jabatan dalam pemerinthan, baik
dengan senang hati maupun terpaksa,
lantaran sangat takut dengan bahaya yang
terkandung dalam memegang jabatan itu.
Orang-orang yang amal keagamaan dan kepedulian mereka pada kebaikan kaum Muslim
membuat mereka memikul tanggung jawab kemasyarakatan, terus-menerus waspada,
sebab mereka tidak bisa tenang pada situasi itu.
Kemudian ada orang-orang yang gandrung sekali pada
perdebatan dan diskusi, malahan tenggelam di dalamnya. Manakala mereka melihat
gemuruh kontroversi datang mendekat dan api kebodohan dinyalakan, mereka
menjadi ahli dalam segi tertentu perdebatan itu. Lalu mereka berusaha keras dan
tak kenal lelah menyiapkan pembelaan terhadap pandangan lawan. Mereka membuat
hukum-hukum yang mengikat orang banyak, dan menjelaskan jalan-jalan petunjuk
sehingga orang bisa beroleh petunjuk. Mereka menunggu-nunggu musuh-musuh agama
di setiap penyergapan dan pengintaian, dan melindungi benteng-benteng dengan
pertahanan paling tangguh. Kemudian, mereka menerima jabatan-jabatan dalam
pemerintahan, seperti baru saja telah aku sebutkan. Betapapun juga, mereka
tetap frustasi, karena ternyata jabatan-jabatan ini tidak dapat mendatangkan
kepatuhan yang dibutuhkan untuk membantu memenuhi hasrat-hasrat serta
tujuan-tujuan mereka. Berbagai penderitaan dan cobaan tak terelakkan merundung
mereka yang memegang jabatan-jabatan itu, dan mereka benar-benar diuji dengan
perjuangan dan kesengssaaan.
70.
Masing-masing golongan yang telah aku uraikan itu
menganut pandangan yang bisa diterima,d an sesuai dengan bagian masing-masing
yang diberikan oleh Tuhannya. Tetapi, ketika waktu pun berlalu,
golongan-golongan ini menjadi makin sedikit jumlahnya dan makin pendek umurnya.
Akibatnya, di zaman kita tanda-tanda dan jejak-jejak agama pun terhapus.
Pemeluk-pemeluk agama yang bersemangat pun tidak ada lagi. Orang-orang
tenggelam dalam golongan dunia ini, kalbu-kalbu pun merana. Segenap rasa malu
pun hilang. Orang-orang pandai menyimpang dari ajaran yang benar. Orang banyak
pun tersesat di gurun kejahilan dan kerusakan; kaum ulama sudah tidak ada.
Orang-orang yang memiliki keyakinan pun sudah lenyap. Bumi menjadi gelap,
dengan hilangnya cahaya dan tenggelamnya matahari dan bulan. Sahabt menjadi
musuh. Ulama menjadi ulama asal-asalan. Saudara pun menjadi tidak setia dan
mulai berkhianat. Para pembaca Al-Qur’an berlaku kurang ajar dan tersuruk-suruk
dalam kejahilan. Kebenaran tertutupi oleh kebatilan, sementara para pembual
yang lalai dan orang-orang bodoh serta jahil mengklaim memiliki ilmu dan
pengetahuan mendalam tentang Kebenaran!
Aku tak bisa berbicara panjang lebar tentang
orang-orang seperti ini. Tak banyak orang yang memahaminya. Bagimu, perhatikan
betapa amat baik pengetahuan yang nyata itu! Perhatikan, apakah di jaman kita
ini masih ada orang yang memiliki pijakan kuat, yang dalam hatinya ada ccahaya,
dan yang sikapnya murni dan jelas. Selidikilah, apakah sekarang ini ada orang
yang memperhatikan apa yang tidak diwajibkan, dan yang niatnya tetap murni dan
suci meski dirundung kemalangan sekali pun.
Disebabkan keadaan-keadaan zaman ini, sang pencari
mestilah mengasingkan diri dalam kedukaan, airmata, dan penyesalan. Dia harus
mencari nasihat dari setiap orang yang benar-benar berpengetahuan, menyibukkan
diri dengan berbagai persoalan sendiri, dan lebih tegar ketimbang sebelumnya
dalam menghadapi jiwa rendahnya. Dia mesti lari menghindari orang banyak,
sebagaimana dia lari menghindari seekor singa. Dia mesti mengesampingkan
penafsiran-penafsiran picik, dan jangan terpengaruh oleh celaan-celaan mereka
kecuali dalam hal-hal yang jelas. Dia mesti bersabar dalam amalan perbuatan ini
sampai mati. Maka dia bakal selamat, dan akan beroleh ganjaran berlipat ganda
yang dijanjikan buat orang-orang yang memulai amal perbuatan ini pada saat
terakhir. Tetapi, jika iblis memalingkan sang pencari dari jalan yang jelas
ini, lantaran sang pencari tidak memanfaatkan rambu-rambu sepanjang jalan itu,
maka Allah Swt tidak peduli, di lembah bumi mana pun dia tentu bakal binasa.
Setiap pencari haruslah mempunyai seorang penasihat
spiritual yang akal dan nalurinya sehat, jika menimbang semua yang telah aku
katakan tadi dan mengkaji persoalan-persoalan ini dengan pikiran yang bebas
dari keberpihakan dan penyimpangan. Dengan begitu, sang pencari bisa sampai
pada pemahaman sempurna. Dengan petunuuk dan kemenangan dari Tuhannya, dia akan
senantiasa berada di puncak ketinggian Jalan, dia menjalankan agamanya dengan
ketulusan dan penuh perhatian. Seorang ulama terkemuka, Syaikh Abu Al-Qasim
‘Abd Al-Rahman ibn Muhammad ‘Abd Allah Al Bakri Al Shaqalli menguraikan
berbagai golongan hamba dan berbagai kerusakan yang merajalela di bumi ini,
dalam karya Kitab Cahaya-Cahaya. Kupikir ada baiknya aku kutipkan ringkasan
sebagian dari apa yang dibicarakan dalam kitab itu,
Al-Shaqalli menulis :
Orang-orang generasi pertama (yakni para sahabat Nabi) sangat
tahu tentang Kitab Allah dan dapat menjelaskan pengetahuan mendalam tentang
teladan serta perilaku Rasulullah saw. Sebab mereka adalah orang-orang yang
sangat berpengetahuan luas. Kemudian datanglah generasi kedua. Mereka adalah
orang-orang yang juga berpengetahuan mendalam tentang makna ayat-ayat Kitab
Allah, dan meneladani perilaku Muhammad, serta memahami tafsir dan
penjelasan-penjelasan para Sahabat. Hanya saja, cinta kasih kepada sesama yang
merupakan ciri khas para Sahabat berkurang di kalangan Tabi’in (generasi
sesudah Sahabat). Begitu pula dalam hal kezuhudan. Saat itulah kemudian muncul
kaum bid’ah, yang menyesatkan orang-orang bodoh dan menundukkan orang-orang
awam secara diam-diam.
71.
Kemudian datanglah generasi ketiga. Ulama, yang berpegang teguh
kepada ketulusan dan bertindak dalam batas-batas hukum, hampir sudah tidak ada
lagi. Pengetahuan para
Sahabat dan Tabi’in sudah hilang. Di kalangan orang-orang pada zaman itu,
jarang sekali dijumpai ketakutan, harapan, kesabaran, dan rasa syukur. Tetapi
lebih sering dijumpai adanya diskusi, perselisihan, kontroversi, dan
kemunafikan. Pertikaian merajalela, dan para juru dakwah pun melangkah di
jalan-jalan kesesatan. Pengetahuan tentang Kebenaran Mistik jarang sekali
dijumpai, kejahilan dan kebodohan merajalela.
Kekacaun tumbuh, seiring dengan datangnya generasi keempat. Tak
ada seorang musafir pun yang menempuh jalan petunjuk, dan kemunafikan pun
menyebar luas. Berbondong-bondong orang meninggalkan agama, menjual kebenaran
dengan kebatilan dan akhirat dengan dunia ini. Dusta dan penipuan menjadi acara
keseharian. Kemungkaran beroleh kejayaan. Wali-wali Allah udah tiada.
Orang-orang jahat meninggalkan suara mereka. Orang-orang beriman pun pergi
bersembunyi. Kesabaran telah hilang, dan nasihat yang baik sudah tidak ada lagi
di mana-mana. Keakraban sudah amat jarang. Niat dalam hubungannya dengan Allah
berubah menjadi jahat. Orang-orang mulai berani menipu, berbpesta pora, dan
menumpahkan darah dengan cara tidak adil dan sewenang-wenang. Hal-hal yang
haram menjadi urat nadi kehidupan, dan orang-orang yang tak bermoral beroleh
prestise. Hampir semua orang yang memiliki keyakinan atau yang berusaha
mengenal Kebenaran Mistik dirundung kesengsaraan dan perselisihan. Tetapi,
masih ada beberapa orang yang menyaksikan kekuasaan Allah dan pengetahuannya
tentang ketentuan-ketentuan Ilahi.
Dengan datangnya generasi ke lima, kesulitan-kesulitan kaum
Muslimin bertambah, sehingga mereka
terpecah-belah menjadi berbagai golongan, yang menguasai dan yang dikuasai.
Sebagian golongan bertengkar dengan golongan lainnya. Sebagian lagi menuntut
balas-dendam atas yang lainnya. Sebab amalan keagamaan dan perilaku sehari-hari
dan keduniawian mereka telah rusak. Mereka yang tetap meyakini Kebenaran Mistik
(Hakekat), bisa menemukan kelegaan hanya dengan menjauhkan diri dari orang
banyak, dan menyembunyikan diri dari para juru dakwah.
Ketika generasi keenam datang menyusul, orang-orang yang adil
pun sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanya orang-orang jahat. Akal telah
diambil dari pengetahuan, dan menjadi sekedar bukti rasional. Islam tinggal
hanya nama saja. Kajian tentang Al-Qur’an sudah tidak ada, dengan meninggalkan
sedikit bekas dan jejak. Kemudian, yang paling luar biasa dari segalanya ,
generasi ke tujuh, jauh lebih jahat dan suka menentang. Begitulah terus
keadaannya sampai Hari Kiamat kelak.
Itulah pandangan Al-Shaqalli.
Pemikiran-pemikirannya tentang masalah ini sangat baik dan tak tertandingi
ulama man pun. Aku sudah lebih cukup berbicara tentang soal itu.
72.
Aku kuatir sekarang, sebab aku telah melantur dan
menyimpang ke topik-topik baru. Yang pasti, orang bisa berbiara lebih dari ini,
sebab aku belum membahas banyak persoalan yang memerlukan petunjuk, dan telah
meringkaskan uraianku tentang banyak hal yang memerlukan penjelasan lebih jauh.
Aku melakukan yang demikian itu demi keringkasan. Aku telah berusaha menjawab
butir-butir penting yang engkau tanyakan dalam suratmu, dengan nasihat spiritual,
saran, pengajaran, dan anjuran-anjuran yang dapat diterima akal. Karena aku
menyadari ketidakmampuanku menjawab sepenuhnya peranyaan-pertanyaanmu dengan
uraian mendalam yang pantas engkau peroleh, aku memberimu uraian selektif, dan
berharap aku telah menjelaskan hal-hal penting, hubungan-hubungan, dan
argumen-argumen yang kelogisannya bisa dipahami setiap orang yang cerdas dan
yang manfaatnya jelas nyata bagi setiap pencari yang bertobat.
Aku mengakui kekurangan-kekuranganku dalam
amal-amal yang aku uraikan di sini. Kualifikasi-kualifikasiku sendiri
bertentangan sekali dengan yang baru saja aku sebutkan dan aku uraikan. Aku
tidak dikuasai oleh jalan argumenku sendiri, dan dengan begitu aku berjalan
tanpa tujuan.
Kuisyaratkan jalan petunjuk, tapi aku sendiri
Tak beroleh petunjuk;
Meski aku menguraikan obat penyakit, aku sendiri
Terus-menerus menderita penyakit itu.
Aku ingin orang-orang suci dan orang-orang terkasih
yang membaca surat ini berdoa untukku, agar aku diberi kemampuan bertobat dan
menyesali dosa-dosaku. Semoga harapanku itu bisa terwujud melalui kepatuhan,
dan semoga amal-amalku dinilai sebagai kebaikan dan kebajikan. Yang demikian
mudah saja bagi Zat yang menciptakan segala sesuatu dan mengajarkan jalan
kehidupan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Di sinilah suratku ini
kuakhiri. Segala Puji bagi Allah Swt. Tuhan kita, dan Shalawat serta salam atas
Rasul-Nya, yang adalah kebanggan kita dan teladan paling baik.
SURAT KESEMBILAN
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat berisi nasihat dan
saran kepada seseorang yang inti wujudnya dirundung kesedihan, akibat
keadaan-keadaan spiritual yang tidak bisa diterimanya, dan ketika dicobanya
tidak bisa dia gantikan dengan keadaan-keadaan yang disukainya dan bisa
diterimanya.
Segala puji bagi Allah atas keluasan Rahmat-Nya.
Telah kuterima suratmu yang melukiskan
keadaan-keadaan spiritualmu saat ini. Engkau katakan dirimu baik-baik saja.
Inti pesanmu adalah bahwa engkau mendapati sebagian keadaan yang tengah engau
alami itu tercela, sama sekali tidak kausukai, dan bahwa engkau merasa bahwa
itus ebagai keadaan yang tidak mendukung untuk mendekatkan diri kepada Tuhanmu.
Engkau ingin agar engkau bisa menemukan jalanmu menuju, dan hidup dalam,
keadaan-keadaan baru tertentu yang engkau bayangkan dan engaku pandang secara
intelektual sbagai layak diinginkan dan bernilai posiritf.
Saudaraku, engkau berlaku terlalu keras pada dirimu
sendiri, dan bertindak tidak tepat. Dengan cara sia-sia dan tak bermanfaat,
engkau telah melelahkan pikiranmu dengan menghabiskan waktumu seperti itu. Yang
lebih buruk lagi, sangat berbahaya bagimu menyibukkan diri dengan
persoalan-persoalan semisal itu, sebab hal-hal itu membuatmu tidak mampu
mengetahui maksud dkaum sufi saleh dan suci, serta menjauhkanmu dari Tuhan
Semesta Alam. Meskipun begitu aku aku bisa memahami situasimu saat ini. Sebab
tampaknya engkau pun bernasib seperti orang lain yang tak terhitung jumlahnya,
sebelum dan sesudahmu, yang mengalami hal serupa. Engkau menganut pandangan
untuk beruat sekehendak mereka, entah dalam keadaan bergerak atau dalam keadaan
diam, dan bahwa mereka sama sekali bisa tidak memperdulikan Zat Pertama,
Pencipta, Pengautr, Penentu Takdir. Pada gilirannya, pandangan itu mengantar
mereka kepada pertanyaan-pertanyaan salah dan jawaban-jawaban lancung, sehingga
mereka secara tidak sadar menyimpang dari Jalan Lurus (Qs. 1 : 5).
Orang-orang ini berbeda-beda. Ada yang melakukan
amalan0amalan lahiriah, seperti dhalat, puasa, haji, umrah, berdoa, bersedekah,
aksi militer, mengajar, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan seorang Muslim, dan
amal-amal Ibadah lainnya seperti itu, entah sering atau kadang-kadang saja.
Mereka yang menggeluti hal-hal sejenis ini tanpa menemukan kebahagiaan di
dalamnya, atau tanpa menyadari manfaat dan kebaikannya dalam pandangan Tuhan, seperti
telah engkau uraikan dalam kasusmu sendiri, mendapati diri mereka berada dalam
keadaan-keadaan spiritual yang tk bisa diterima, seperti yang engkau alami itu.
Kemudian, ada yang
hanya puas dengan mengerjakan amal-amal lahiriah ini dan tak ingin mengakhirinya.
Tetapi, ketika mereka lalai melaksanakannya, dirundung kemalasan atau
kebosanan, atau sesuatu di antara keduanya ini, yang lantaran satu dan lain
sebab melemahkan keteguhan hati mereka, maka kehidupan mereka menjadi sangat
kacau. Dalam suasana kekacauan itu, mereka percaya bahwa mereka telah
disingkirkan jauh-jauh dari Allah.
74.
Ada juga yagn tidak memikirkan amal-amal ibadah,
dan tidak peduli sedikit pun tentangnya. Mereka membayangkan diri mereka daapt
mengatasi situasi apa pun yang mungkin mereka jumpai. Sebagian lagi memberikan
waktu dan tempat khusus bagi amal-amal mereka, seolah-olah masalahnya
bergantung sepenuhnya pada keduanya itu. Manakala waktu sudah tiba, atau mereka sampai
pada tempat yang ditentukan, mereka menyadari telah melakukan kebiasaan
bertindak lalai dan menangguh-nagguhkan. Mereka hanya memenuhi apa yang telah
dijanjikan, dan setia kepada kondisi-kondisi yang telah ditetapkan. Tetapi,
mereka tidak memenuhi syarat-syarat dan janji-janji mereka. Mereka menundanya
hingga waktu lain, dan begitulah seterusnya.
Lalu, ada orang yang mengerjakan amal-amal
keagamaan, dan begitu mendengar kisah-kisah tentang para salaf dan kesetiaan
mereka pada Teladan Nabi dan amal-amal mereka yang baik memandang diri mereka
sangat mampu melakukan hal-hal demikian itu seandainya saja memutuskan untuk
melakukannya. Kemudian, mereka pun berkata, “Aku akan melakukan itu begitu aku
terbebas dari kesibukan ini dan itu, dan bila aku berada dalam keadaan
spiritual yang tepat.” Seperti telah aku kemukakan, mereka menghabiskan segenap
kehidupan mereka dengan sikap suka menangguh-nangguhkan.
Sebagian orang yakin bahwa kehidupan mereka kacau
berantakan, dan bahwa mereka tak mampu berbuata apa-apa. Yang demikian itu
boleh jadi sangat benar yakni, mereka mungkins saja demikian, baik dalam
kenyataan maupun secara kiasan; atau barangkali mereka hanya membayangkan bahwa
memang begitu keadaannya. Manakala orang-orang ini mendengar tentang leluhur
saleh mereka, atau melihat seseorang yang memiliki sifat-sifat leluhur itu.
Mereka mengatakan, “Tak ada seorang pun seperti diriku yagn mampu melakukan hal
demikian itu, atau memiliki keinginan atau kemampuan menyelesaikan hal-hal
seperti itu. Makanya, mereka membiarkannya begitu saja, dan tidak memutuskan
untuk menerapkan pada diri mereka sendiri. Aku telah mengamati semua sikap yang
salah ini dalam diriku, dan juga melihatnya dalam diri orang lain, karena
alasan yang sederhana bahwa mereka bisa menaklukkan kalbu-kalbu kita.
Sebaiknya, kaum sufi dan mereka yang memiliki
kehidupan spiritual tinggi, memperhatikan amal-amal batiniah, dan terbebas dari
berbagai penalaran yang tampaknya benar seperti itu. Mereka berusaha mengetahui
secara sempurna Keesaan Ilahi (Tawhid) sejak awal, sebab mereka membuat
perjanjian dan biasa berdoa dengan penuh rendah hati kepada Tuhan mereka,
sehingga kalbu-kalbu mereka menyadari kehadiran-Nya kapan pun. Mereka berusaha
menjadikan-Nya sebagai sahabat mereka dalam segenap keadaan spiritual mereka,
sejauh mereka mampu. Ketika Allah melihat sikap yang demikian itu ada dalam
diri mereka, Dia menyayangi mereka, dengan menjadikan mereka tidak lagi
memperhatikan kelemahan atau kekuatan mereka sendiri dalam apa saja yang mereka
lakukan atau tinggalkan. Lalu Allah menjadi perlindungan dan menjaga mereka.
Dia menjamin kesejahteraan dan rezeki mereka, sebab mereka adalah
hamba-hamba-Nya, dan mengabdi beribadah kepada-Nya. Allah Swt. berfirman :
“Bukankah Aku cukup bagi hamba-hamba-Nya?” (Qs. 39:36). Dia juga berfirman.
“Ingatlah, sesungguhnya Perlindunganku adalah Allah, yang menurunkan Kitab dan
Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. 7:196). Dan dalam hadis qudsi,
Allah berfirman, “Aku bersama hamba-Ku manakala dia mengingat-Ku.”
75.
Yang sulit menjadi mudah dan yang keras bisa
ditanggung hamba-hamba ini. Allah menjadikan setiap waktu mereka berharga dan
sangat penting. Dia tetapkan mereka dalam kesenangan dan dalam kerajaan besar.
Di dalam diri-Nya saja mereka bergerak atau beristirahat. Kepada-Nya saja
mereka bergantung. Kepada-Nya saja mereka mengangkat segenap pikiran dan
aspirasi mereka. Itulah sebabnya Umat ini adalah yang terbaik di antara
Umat-Umat lain. Dalam salah satu hadis Nabi, Allah Swt. diriwayatkan berfirman
kepada Isa a.s. :”Aku akan membangkitkan sebuah Umat sesudahmy. Manakala mereka
mencintai apa yang menimpa diri mereka, mereka akan memuji dan bersyukur
atasnya. Jika mereka membenci apa yang menimpa diri mereka, mereka senantiasa
ingat akan ganjaran atau pahala mereka di akhirat nanti dan menanggungnya
dengan sabar, sekalipun mereka tidak memiliki pemahaman atau pengetahuan.” Isa
a.s. menjawab : “Ya Allah, bagaimana mungkin akan demikian, jika mereka tidak
memiliki pemahaman dan pengetahuan?” Allah menjawab, “Aku akan memberi mereka
pemahaman dan pengetahuan-Ku.”
Karena itu, agama umat Muhammad secara khusus
ditandai oleh kebebasan dan kemudahan. Umat tersebut tidak memandang rendah
beban-beban yang memberatkan sekalipun, lantaran apa yang mereka inginkan
senantiasa ada dan tersedia. Kemudahan dalam setiap situasi ini dimungkinkan
hanya melalui penglihatan kontemplatif (musyahadah) yang telah aku bicarakan.
Allah Swt. berfirman, “Dia sama sekali tidak menjadikan kesulitan atasmu dalam
agama. Ikutilah agama bapakmu, Ibrahim. Dalam Kitab ini dan sebelumnya, Allah
menamai kamu sebagai orang-orang Muslim.” (Qs. 22:78). Dan agama Umat itu tak
lain adalah Islam dan pengakuan tentang Keesaan Ilahi (Tawhid).
Nabi kita, Muhammad saw., bersabda, “Telah
didbangkitkan golongan ahli tauhid yang toleran, dan itu adalah agama Ibrahim
a.s.” Seorang sufi mengomentari kata-kata Nabi saw., “Mereka mendapati agama
itu mudah dan tidak sulit.” Sabda itu bermakna bahwa mereka hanya dibimbing
kepada Allah saja. Karenanya,
seseorang yang membimbingmu kepada dunia ini, berarti dia menipumu, dan
seseorang yang membimbingmu kepada amal-amal lahiriah, hanya akan membuatmu
sangat lelah. Tetapi orang yang membimbingnmu kepada Allah, telah memberimu
nasihat yang baik. Maksudku di sini ialah memberitahumu bahwa
orang-orang macam begini melakukan beberapa kesalahan seperti yang telah aku
sebutkan, yakni, kesalahan yang berkaitan dengan tiadanya pengetahuan tentang
diri yang sejati dan penilaian yang akurat atas kemampuan dan kekuatan mereka
sendiri. Bila tidak demikian, mereka tidak akan mempunyai keadaan mamupun
kedudukan spiritual. Tetapi, karena jarang sekali kekurangan dalam hal ini,
mereka terus menerus waspada dan tetap kokoh dalam kedudukan mereka. Mereka
menemukan pijakan kuat dalam perhatian Allah kepada mereka. Sebaliknya,
orang-orang yang suka berdusta dan angkuh telah memutuskan komunikasi mereka
dengan Allah. Engkau bisa memahami dari semuanya ini penyebab berbagai
kesalahan orang-orang ini, serta sarana agar orang yang aman tetap merasa aman.
Keadaan yang terakhir ini bisa terjadi hanya dalam keadaan mulia, suatu keadaan
yang diberikan Allah kepada mereka sehingga mereka menjadi wali-wali Allah.
Karena itu, ketahuilah bahwa fungsi keadaan itu
dalam agama adalaha sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Semesta Alam.
Hendaknya engkau berkeinginan naik ke kedudukan mulia ini, dan bergabung dengan
para musafir yang telah diberi Allah kerajaan besar ini. Setelah engkau
melakukan ini, engkau akan memahami kebenaran pernyataanku bahwa satu-satunya
bantuanmu menuju kepadanya ada dalam keadaan itu sendiri. Dalam hubungan ini,
seseorang telah berkata, “Aku
mengetahui Tuhanku melalui Tuhanku.” Dan seandainya bukan karena Tuhanku, aku
tidak akan mengenal Tuhanku.” Sebuah kisah menuturkan bahwa seseorang bertanya kepada ‘Ali ibn Abi
Thalib, “Apakah engkau mengetahui Allah melalui Muhammad, atau apakah engkau
mengetahui Muhammad melalui Allah?” Ali menjawab, “Seandainya aku mengetahui
Allah melalui Muhammad, aku tidak akan menyembah Allah, dan Muhammad akan lebih
tertancap kuat-kuat dalam jiwaku ketimbang Allah. Allah mengenalkan diriku
dengan-Nya lewat Diri-Nya.”
76.
Setelah identitas sarana menuju Allah dan sarana
melalui Allah tampak jelas di hadapanmu sekalipun mungkin tetap tidak bisa
dipahami dari sudut pandang rasional semata-mata sehingga engkau tidak melihat
perbedaan antara keduanya, maka engkau akan mencapai keadaan itu, yang
merupakan tujuan para pencari dan kesempurnaan dambaan orang yang
merindukannya. Sebab, satu-satunya sarana yang tersedia ialah berada di dalam
wujud Zat Yang Satu yang senantiasa Hadir dan Dekat. Karena itu, jika yang
engkau cari itu sudah kautemukan dan ada padamu, mengapa engkau melihat di luar
diri-Nya, dan mengapa engkau mencari perantara dari selain-Nya? Aku hanya bisa
menyamakanmu, dalam hal itu, dengan seseorang yang memegang mutiara berharga
yang nilainya tidak dia hargai. Dia menganggap mutiara itu seperti batu biasa
saja, dan tidak tahu untuk apa. Dia mengeluh tentang sakit dan kemiskinan, dan
meminta-minta kepada orang lain. Tetapi, lihatlah betapa kondisi yang sebenarnya
tampak jelas, sekalipun dia tetap berada dalam keadaan itu. Maksudku ialah
bahwa dalam keadaan itu, dia jelas tak mampu mencapai tingkat kerajaan, belum
lagi ekstase, kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan yang menyertainya.
Seperti telah dikatakan, “Hampir tidak mengherankan kalau seorang musafir yang
tengah mencari-cari air menemukan seorang Yusuf. Yang mengehrankan ialah bahwa
pendosa yang mencari ampunan menemukan Allah.” Allah Swt. berfirman,
“Barangsiapa mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya sendiri, kemudian
memohon ampunan kepada Allah, pastilah dia mendapati Allah Maha Pengampun dan
Maha Penyanyang.” (Qs. 4:110).
Kini, pentingnya masalah ini engkau sadari
sepenuhnya; “Mudah-mudahan engkau akan memahami.” Sudah barang tentu, terlalu
lembut untuk ditangkap kata-kata atau dikandung oleh ibarat. Kekuasaan Allah
adalah penyebab utama segala sesuatu. Perkenalanku denganmu, dan kepercayaanmu
kepadaku untuk memperoleh petunjuk terbaik ke arah tujuanmu, berikut
surat-suratmu kepadaku dan jawaban-jawabanku kepadamu atas
pertanyaan-pertanyaan ini, hanyalah sekedar konteks, yang di dalamnya engkau
bisa mencapai keinginanmu tanpa bantuan atau kekuatan salah seorang dari kita.
Dengan adanya sudut pandangan ini, engkau akan mengetahui bahwa segenap keadaan
spiritualmu mengikuti jalan yang sama ini. Allah tidak mau memberi rezeki kepada hamba-Nya yang
beriman kecuali dari sumber-sumber yang tidak diketahui oleh sang hamba.
Lantas, untuk apa segenap kerja, usaha, kelelahan, dan pencarian ini?” Kamu mengehndaki
selain Allah; dan apakah anggapanmu terhadap Tuhan Semesta Alam?” (Qs. 37: 86-87). Engkau mesti
memahami, bahwa Allah lebih dekat sekedar menggantikan segala yang bersifat
sementara dan sebentar sifatnya. Sungguh, orang yang menemukan Allah tidaklah menginginkan apa-apa.
Tetapi orang yang kehilangan Allah, tidaklah memiliki apa-apa.
Kaum sufi dan orang-orang yang memiliki kehidupan
spiritual tinggi berpijak pada fondasi ini. Segala godaan dan kekhawatiran yang
menyerangmu dan menghalangi pandanganmu mengenai objek keinginanmu dan
pencapaian tujuanmu, bakal mencegahmu dari mewujudkan kebenaran-kebenaran ini.
Setalah Allah memberimu pemahaman yang aku bicarakan itu, dan engkau telah
tenggelam di dalamnya, maka kewajibanmu adalah terus menerus beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga
kelelahan, kebosanan, maupun penipuan tidak bisa menjatuhkanmu dari beribadah
kepada Allah asalkan engkau hidup dengan pemahaman itu dalam segenap kedatangan dan kepergianmu.
Jika engkau memandang bahwa segala seuatu berwujud dan bersumber dari Allah,
maka engkau akan bersyukur kepada-Nya, yang telah menganugerahkan kepadamu
kemenangan mudah ini, perniagaan yang menguntungkan dan berkembang ini.
Selanjutnya, engkau pun akan beroleh kebahagiaan dan tempat mulia di akhirat
nanti (Qs. 3:14; 13 : 29).
Karena itu, saudaraku, terimalah dengan ikhlas apa
yang telah kukatakan padamu. Belajarlah
lebih mengutamakannya ketimbang pengetahuan rasional dan tradisional. Pahamilah
bahwa akal tidak bisa memahaminya, pun tidak pula tradisi bisa mengungkapkannya
dengan jelas. Yang demikian itu adalah pengetahuan yang Allah amanatkan pada
relung-relung kalbu paling dalam. Dituturkan bahwa salah seorang nabi di
kalangan Bani Israil menerima Kitab Wahyu yang mengatakan, “Jangan katakan, “Pengetahuan
ada di langit; siapa yang akan membawanya turun?” atau ‘Ia ada di dalam bumi,
siapa yang akan membawanya naik ke atas?” atau, ‘Ia di seberang lautan; siapa
yang akan menyeberangkannya?” Pengetahuan berada di dalam inti wujudmu dan dalam
kalbumu. Sehingga sekarang pun engkau bisa berlaku di ahdapanku sebagai
orang yang bersemangat dan mengikuti teladan nabo-nabi suci. Pengetahuan ini
akan menyebar dari kalbumu ke lidahmu sampai ia meliputimu dan mengisimu.
Satu-satunya tujuanku menulis ini kepadamu tentang keadaan-keadaan spiritualmu
ialah agar engkau memiliki prinsip yang kokoh tempat engkau bisa kembali, dan
fondasi tempat engkau bisa membangun.
Nah, sekarang tentang apa yang engkau katakan
mengenai rangkaian keadaan spiritualmu dalam siang dan malam harimu. Kemajuan
itu adalah baik dan merupakan pertolongan yang engkau perlukan dalam bersyukur
kepada Allah karena telah membimbingmu kepada-Nya dan karena perhatianmu
kepada-Nya. Yang demikian itu mencakup kedekatan kepada Allah Swt, yang tak
banyak orang bisa mencapainya. Hanya saja, engkau merasa keberatan dalam
urusan-urusan keseharianmu. Jadwal pelaksanaanmu mengganggumu, hingga engkau
tidak lagi merasa senang, seperti engkau
alami sebelum kehilangan pandangan konteplatifmu karena kelalaian. Jika engkau
berhenti memusatkan perhatian apda dirimu sendiri, dan tak lagi memandang
kemampuan dan kekuatanmu sendiri sebagai hal-hak istimewa pribadimu, dan
sebagai gantinya memalingkan pandanganmu kepada keesaan Allah Swt. dalam
perlindungan-Nya kepadamu, dan meluruskan pikiran-pikiranmu tentang-Nya, maka
engkau akan menyadari kebaikan Allah kepadamu dan banyak cara Dia menunjukkan
kekuasaan-Nya kepadamu. Maka, tak ada sesuatu pun bisa mengalihkan pencarianmu,
dan engkau akan memberikan perhatianmu yang penuh kepada-Nya.
Inilah beberapa rahmat yang terlihat olehku, yang
akan membantumu untuk memulai berpikir. Dia mengeluarkanmu dari kegelapan
ketiadaan menuju cahaya kebenaran. Kemudian, Dia memeliharamu dengan
rahmat-Nya, dan membesarkanmu dengan kasih sayang dan kelembutan-Nya, sampai
engkau mampu berpikir dan memahami. Dia lalu menghiasaimu dengan hiasan Islam
dan keimanan, dan memberimu pengetahuan mendalam dan bukti yang jelas
tentangnya. Dia memberi jalan menuju Kitab-Nya, yang dengan itu Dia menunjukkan
firman-Nya yang mulia kepadamu, dengan membuatmu mampu memahami perwujudan
sifat-sifat dan Nama-nama-Nya, dan mendapatimu layak menerima
perinth-perintah-Nya, dan kesaksian yang bisa dipercaya dari nabi-nabi_nya.
Kemudian, Dia membekalimu dengan pengetahuan, dan mengangkatmu ke keluhuran
pengajaran.
Rahmat-Nya melampaui semua ini; sebagian besasr
tidak bisa kita ketahui. Dan semuanya ini terjadi tanpa perantara atau jasa apa
pun darimu; itu semua hanyalah kemurahan dan anugerah-Nya semata-mata. Semua
rahmat atau nikmat ini tidak bisa kita hitung, sebab, “Jika kamu
menghitung-hitung nikmal Allah, kamu tidak bakal bisa menghinggakannya.” (Qs.
14:34).
Seseorang yang mengalami rahmat-rahmat ini, dan
menaydari bahwa dia adalah seorang tamu tak diundang di tengah-tengah berbagai
rahmat ini, akan sangat senang dan bersyukur atasnya. Yang demikian itu
mencegah seseorang menginginkan apa yang tidak diberikan Allah Swt kepadanya.
Seringkali, seseorang meninggal di tengah-tengah berbagai rahmat seperti ini tanpa
mengetahuinya. Tak ada sesuatu pun yang lebih berharga bagi Allah Swt ketimbang
tindakan sang hamba menghadapi situasi aktualnya. Sebab, yang demikian itu
menunjukkan penghambaan seseorang dan merupakan batu ujian bagi perilaku. ‘Amr
ibn ‘Utsman Al-Makki, semoga Allah meridhainya, mengatakan, “Tasawuf bermakna
bahwa sang hamba bertindak setepat mungkin setiap saat.” Yang dimaksud adalah
bahwa sang hamba hadir di hadapan Tuhannya Swt setiap saat, dengan menjalankan
kewajiban-kewajiban Hukum Wahyu yang ditetapkan untuk waktu tertentu.
78.
Aku telah berbicara tentang cara sang hamba hadir
di hadapan Tuhannya, yang berkaitan dengan amal-amal mereka yang mengakui
Keesaan Ilahi. Cara bertindak yang sesuai dengan Hukum Wahyu itu, berasal dari
uraian para faqih tentang masalah-masalah hukum. Jika memungkinkan untuk
melakukan sebuah amal yang disepakati para faqih, tanpa mengalami ketiadaan
kebebasan atau kesedihan dalam inti wujud, maka sang hamba pun mencapai tingkat
tertinggi ketakwaan kepada Allah, dan mencapai derajat orang-orang yang saleh
dan bertakwa kepada Allah. Jika hal itu tidak mungkin, maka sang hamba mesti
berpegang pada pendapat lain, setelah dia tahu kedudukan para ahli. Dalam
kasus-kasus seperti itu, perbebdaan pendapat di kalangan para ulama adalah
rahmat. Jika tidak demikian, banyak orang akan merugi. Orang yang suka
merenung, yang puas dengan sebagian kecil dari kebaikan dunia ini, dan bukan
menjadi budak hawa nafsunya, akan memahami masalah ini. Tetapi, yang demikian
itu terasa sulit bagi orang yang merasa betah di muka bumi ini dan tenggelam
dalam berbagai kepentingan duniawi. Orang seperti ini ditimpa murka Allah Swt,
karena kebodohan dan kelalaiannya. Dan manakala pikiran serta hasrat seseorang
mengalir ke setiap lembah di dunia ini, maka Allah tidak peduli di lembah mana
orang itu bakal binasa.
Tindakanmu mengajar anak-anak, tak pelak lagi,
adalah salah satu cara paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi
upah yang engkau terima untuk pekerjaan itu, menjadi pokok perselisihan di kalangan
para ulama. Sebagian besar mereka hanya memandangnya boleh-boleh saja, atau
berpandangan bahwa, karena moralitasnya tidak diketahui, maka hal itu
diperbolehkan. Karena itu, yang engkau terima adalah gaji yang halal. Tentu
saja, akan lebih baik bila engkau tidak mencari keuntungan materi dari
mengajar, dan tidak mengharapkan dari murid-muridmu apa yang tidak mereka
miliki, serta memandang mengajar mereka hanya sebagai cara mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Orang saleh sebelummu telah bekerja seperti dirimu. Kisah
yang telah engkau ceritakan tentang Ibn Al-‘Arif menegsankan persis hal itu.
Dalam hal ini, batu ujian bagi ketulusanmu adalah bahwa engkau tidak
mengutamakan seorang murid yang memberimu hadiah atas murid yang sedikit
memberimu atau tidak memberimu apa-apa, dan bahwa engkau tidak mengutamakan
persahabatan seorang murid atas persahabatan murid lainnya.
Inilah tolok-ukur persoalan itu. Cobalaha berpegang
kepadanya; sebab engkau tahu bahwa engkau pasti akan menemukan rezeki, dan bahwa keserakahan tidak akan
menambah rezekimu, pun tidak pula ketakserakahan akan menguranginya. Yang
mesti engkau usahakan dan perjuangkan adalah rezeki kehidupan di akhirat.
Janganlah berusaha mencari itu, sebab “rezeki Tuhanmu adalah lebih baik dan
lebih kekal.” (Qs. 20 : 131). Maka, engkau akan bisa melakukan pekerjaanmu
dengan baik, dan tidak akan melalaikannya. Apa saja yang engkau terima sesuai
dengan tolok ukur ini, akan merupakan rahmat begitu rupa bagimu, sehingga satu
dirham akan sama nilainya dengan seribu dirham.
Jika engkau mengamalkan apa yang aku bicarakan
berkaitan dengan perenungan atas keesaan Allah, maka yang demikian itu sudah
cuup bagi tujuan perncarianmu ini. Engkau akan memperoleh pengetahuan dalam
mengajar dan mendidik anak-anak, meskipun mereka sangat beragam. Di antara
mereka, ada yang pandai dan ada pula yang bodoh; mereka meliputi murid-murid
setempat dan asing, berasal dari keturunan mulia atau rendah, yang miskin dan
yang kaya; dan dalam banyak hal, mereka juga berbeda-beda. Setiap orang dari
mereka berhal beroleh layanan penuh dan terbaik darimu. Engkau bisa memberikan
itu kepada mereka selama engkau memiliki empat sifat ini : keimanan yang kuat,
pikiran yang tajam; pengetahuan yang kokoh; dan watak yang baik. Jika engkau
mempunyai keempat sifat ini, engkau akan mampu memenuhi kebutuhan setiap murid,
dan menanganinya dengan cara yang tepat. Jika engkau tidak menempuh jalan
kehati-hatian dan keluwesan, maka pemahaman ini bakal tidak mungkin didapatkan.
Lebih baik bersikap lemah-lembut ketimbang bersikap keras. Ini adalah
pengetahuan praktis, dan tidak ada cara tertentu pun untuk menguasainya.
Engkau juga menulis bahwa engkau benar-benar tidak
terhibur manakala membaca Al-Qur’an. Engkau sangat ingin menangi, tapi tak
mampu. Sebabnya ialah : menakala
membaca Al-Qur’an, engkau tidak mencamkan dan memikirkan kata-kata siapa
Al-Qur’an itu, kepada siapa dan dalam keadaan bagaimana ia diturunkan.
Bagaimana engkau bisa menangis, jika syarat-syarat utama ini tidak engkau
penuhi? Allah Swt. melukiskan orang-orang yang terhibur karena membaa
Al-Qur’an sebagai memiliki sifat-sifat mulia, “Orang-orang yang sebelumnya
telah diberi pengetahuan, manakala Al-Qur’an dibacakan kepada mereka,
menundukkan wajah-wajah mereka, bersujud dan berkata, “Mahasuci Tuhan Kami!
Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi!’ Mereka menundukkan muka mereka
sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Qs. 17:107 – 109). Allah
melukiskan mereka, pertama-tama ebagai sebagai menerima pemahaman dan
pengetahuan mendalam tentang Allah Swt, manakala mereka memuliakan dan
mengagungkan-Nya dengan kata-kata mereka, “Mahasuci Tuhan Kami.” Kedua, Dia
mensifati mereka sebagai telah sampai pada tujuan penghambaan ketika mereka
menundukkan wajah-wajah mereka bersujud, sebab mereka yakin adanya alam
akhirat, tempat balasan dan hukuman setimpal bagi mereka. Ketiga, Allah
melukiskan mereka sebagai menangis dan bersikap khusyuk. Di tempat lain Allah
Swt berfirman : “Manakala mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul,
kamu lihat mata mereka berlinangan air mata karena mereka mengetahui
kebenaran.” (Qs. 5:83), dan hingga akhir teks tersebut. Dengan demikian, Allah
melukiskan mereka sebagai memiliki pengetahuan mendalam tentang kebenaran,
beriman kepada-Nya, ingin dekat dengan-Nya, serta ingin sempurna dalam berbagai
pekerjaannya. Rasulullah saw. menjelaskan istilah “sempurna” atau “menyembah
Allah terus menerus” dalam sebuah hadis sahih, “Yang demikian itu berarti
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan sekalipun engkau tidak bisa
melihatnya, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.”
Semuanya ini membawa kita kembali pada musyahadah
yang telah aku sebutkan sebelumnya. Tetapkan perhatianmu padanya, bangunlah
amal-amal kesalehanmu di atasnya; kemudian, seperti telah aku katakan, engkau
akan memuji hasil-hasilnya dalam semua yang engkau alami dan miliki. Meluasnya
inti wujudmu tidak akan selalu memudahkanmu membaca Al-Qur’an, sebab, itulah
anugerah yang besar, dan anugerah semisal ini boleh jadi atau boleh jadi tidak
terdapat dalam pembacaan Al-Qur’an itu.
80.
Engkau juga mengatakan, bahwa engkau takut kematian
datang kepadamu sebelum engkau siap. Yang demikian itu adalah kekuatan yang
baik. Itu adalah salah satu rahmat Allah Swt kepadamu. Engkau mesti bersyukur
kepada Allah atas hal itu, dan memohon lagi, sebab yang demikian itu termasuk
di antara kedudukan takwa paling berharga, dan hasilnya adalah rasa aman. Allah
diriwayatkan berfirman : “Aku
tidak menyatukan di dalam diri hamba-Ku dua ketakutan atau dua keamanan.
Barangsiapa takut kepada-Ku di dunia ini, Aku akan membuatnya aman di akhirat
nanti; dan barangsiapa merasa aman dari-Ku di dunia ini, Aku akan membuatnya
takut di akhirat nanti.” Selanjutnya, hal ini adalah ciri orang-orang
yang mengetahui Allah dan yang ridha kepada-Nya. Allah Swt. berfirman :
“Sesungguhnya, yang takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. 35:28). Dia juga berfirman : “Allah
ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu
hanyalah bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya.” (Qs. 98:8). Jenis ketakutan paling baik
adalah ketakutan bahwa engkau akan menemui Tuhanmu dan mendapati bahwa apa yang
engkau inginkan tidaklah sama dengan apa yang terbaik yang diinginkan Allah
darimu.
Kecemasanmu bahwa ketakutan ini bisa membuatmu
putus asa, yang demikian itu adalah angan-angan kosong. Sebab, harapan bisa menghilangkan
ketakutan. Ketakutan dan harapan termasuk di antara kedudukan ulama sufi.
Tetapi rasa aman adalah bagian dari muslihat Allah, dan putus asa terhadap
rahmat Allah adalah tanda orang-orang bodoh dan lalai. Penyebab
kebodohan dan kelalaian mereka adalah bahwa mereka memusatkan perhatian pada
diri mereka sendiri, mereka mengukur kebaikan atau kejelekan amal-amal mereka.
Sebaliknya, kalau saja mereka mau memperhatikan Tuhan, Zat Yang Esa, mereka
akan memandang mereka semua sama. Kemudian, mereka akan mempunyai sifat takut itu, yang disertai harapan, dan harapan
perlu mengiringi ketakutan. Pahamilah ini, dan amalkanlah ini, serta janganlah terpaku
pada amal-amalmu sendiri. Yang akan terjadi, terjadilah, dan kita berlindung
kepada Allah sematan.
Kesulitan lain yang engkau sebutkan adalah, bahwa
manakala engkau melakukan amal-amal ibadah, engkau merasa tidak sabaran. Jika
benar apa yang kupahami tentang dirimu, maka engkau malas dan lamban
mengerjakannya, dan mendahulukan kegiatan mengajar serta urusan-urusan
keluarga. Hilangnya musyahadah yang telah aku bicarakan, adalah penyebab hal
itu. Jika engkau beanr-benar ber-musyahadah, maka kebosanan, kemalasan dan
urusan-urusan lainnya tidak akan menyusahkanmu. Urusan sehari-hari lainnya
tidak bakal menggantikan amal-amal ibadahmu; sebaliknya; engkau malah bia
mencurahkan perhatian lebih banyak pada amal-amalmu, tanpa mudah menjadi mangsa
empuk penipuan dan khayalan.
Bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana
engkau inginkan, maka kemungkinan besar engkau kurang iman. Engkau mesti yakin
kepada Tuhanmu, dan meluruskan pikiranmu tentang-Nya, sebab Dia lebih tahu apa
yang baik bagimu. Ada sebuah kisah tentng Ibrahim ibn Adham, semoga Allah
meridhainya. Ibrahim berkata : “Suatu malam, aku tidak mengerjakan shalat
malam. Ketika aku menyadarinya, aku pun bertibat. Tapi, selama tiga hari
berikutnya, aku kembali lengah dan melaalaikan kewwajiban-kewajiban agamaku.
Ketika aku menyadari hal itu, terdengar olehku sebuah suara mengatakan :
Segalanya diampunkan bagimu, sebab yang demikian itu
Tak banyak berarti bagi Kami;
Apa yang Kami berikan kepadamu bakal hilang, tapi
Apa yang memancar dari Kami akan tetap ada.
Kemudian dikatakan kepadaku, “Wahai Ibrhim, jadilah
seorang hamba.’ Maka aku pun menjadi seorang hamba dan beroleh kedamaian.”
Karenanya, entah amal-amal ibadahmu itu terasa mudah bagimu atau sangat sedikit
jumlahnya, bersyukurlah kepada-Nya atas semuanya ini; sebab engkau tidak merugi
dalam pandangan-Nya. Guruku, Abu Al-‘Abbas Al-Mursi, mengatakan, “Amal
perbuatan kecil yang disertai pengakuan atas banyaknya rahmat Allah Swt, lebih
disukai ketimbang amal-amal besar di saat orang yang bersangkutan terpesona
oleh kekikirannya sendiri.”
Tentang kepribadianmu atas berbagai keberatan yang
telah menimpamu terus-menerus, engkau mesti paham bahwa ini adalah salah satu
cobaan, yang dengan itu Allah menguji sebagian hamba-Nya guna memilih mana yang
benar-benar saleh. Sang musuh terus menerus melancarkan keberatan-keberatan ke
dalam kalbu orang-orang ini, sampai membuat mereka jatuh ke dalam bid’ah sesat
atau kemurtadan atau kekacauan mental. Dalam keadaan itu, masalah paling remeh
pun yang menimpa orang seperti ini bisa benar-benar mengganggu kehidupannya dan
merampas kedamaiannya. Ini semua adalah bagian dari kemahakuasaan dan ketentuan
Ilahi. Oleh sebab itu, marilah kita berlindung kepada Allah, dari keputusan
yang merugikan, dari tertimpa kemalangan, dan dari kedengkian musuh.
Jika orang menjadi korban musuh, yang demikian itu
karena mereka telah kehilangan musyahadah yang sudah aku bicarakan. Jika mereka
memang benar-benar merenung, setan tidak punya jalan untuk menguasai mereka,
sebab mereka adalah hamba-hamba sejati Allah. Allah Swt berfirman :
“Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh.
Sungguh, setan mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (Qs. 35:6). Allah Swt. juga berkata keapda iblis, “Engkau tidak
punya kekuasaan atas hmba-hamba-Ku.” (Qs. 15 : 42). Seandainya setn menyulitkan
mereka dengan berbagai keberatan, mereka kembali kepada Tuhan mereka, dan Dia
pun memalingkan setan dari mereka. Mereka berlindung kepada-Nya, dan Dia
memberi mereka perlindungan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa manakala mereka ditimpa was-was dari setan ingat kepada Allah dan
kemudian mereka pun melihat kesalahan-kesalahannya.” (Qs. 7 : 201), dan, “Jika
setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sungguh, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. 41 : 36).
Barangkali engkau akan bertanya, “Bagimana mungkin bisikan bisa
berasal dari setan, bila hal itu kelihatannya mendorong adanya keimanan yang
lebih kuat, dan bila hal itu pula nampaknya mengakibatkan timbulnya keyakinan?
Dan bagaimana seseorang bisa membedakan antara keberatan-keberatan jahat
tercela dan penglihatan terpuji, bila keduanya nampak serupa?” Engkau mesti
memahami, bahwa apa pun yang berasal dari setan pada dasarnya bisa dipercaya.
Hanya saja, hal itu bertentangan dengan pengetahuan keagamaan hakiki, dan
bertentangan pula dengan keringanan, kemudahan, dan kebebasan yang menjadi ciri
khas agama ini. Dengan demikian, ia sama dengan keberlebihan dan bid’ah.
Perbedaan antara bisikan jahat dan penglihatan terpuji adalah bahwa yang
terakhir ini mendatangkan keselarasan dengan pengetahuan keagamaan hakiki.
Selanjutnya, berbagai keberatan tidak tetap muncul, meski sang hamba telah
mengerjakan amal kebaikan dan bertindak sesuai dengan Teladan Nabi. Penglihatan
hakiki, sebaliknya, akan berhenti, kala sangan hamba bertindak sesuai
dorongan-dorongannya sendiri.
Keberatan adalah penyakit, yang obatnya hanyalah
tidak memperhatikannya, berpegang pada syarat-syarat hukum, dan memohon kepada
Allah Swt agar menghentikannya. Semuanya ini bertumpu pada fondasi musyahadah
yang telah aku bicarakan sejak awal dalam surat ini. Ia adalah obat mujarab
yang menyebabkan perubahan radikal. Ia menghalau kegelapan dengan cahaya
cemerlang, dan mengatasi kematian dengan kehidupan. Semoga Allah memelihara
kita dengan pandangan ini, sebagaimana Dia memelihara Wali-wali-Nya dengan
rahmat dan kemurahan-Nya.
82.
Sebuah kisah menuturkan, seorang wali mengetahui
bahwa seseorang tengah menderita berbagai keberatan. Jawab ang wali adalah,
“Aku berjanji kepada sekelompok sufi yang memperolokkan setan; kini setan
memperolokkan mereka.” Guruku Al-‘Abbas Al-Mursi, semoga Allah meridhainya,
sangat membenci keberatan yang muncul berkaitan dengan shalat dan wudhu, karena
beliau kesulitan mengetahui seseorang yang mempunyai masalah itu. Suatu hari
beliau diberitahu, bahwa si anu adalah adalah seorang yang saleh, alim, dan
amat was-was. Beliau menjawab, “Wahai si anu, di manakah pengetahuan dan kesalehan itu? Pengetahuan
adalah yang menimbulkan kesan pada kalbu, seperti kesan putihnya putih di atas
putih dan hitamnya hitam.”
Engkau juga menyebutkan, bahwa engkau menghabiskan
waktumu dengan membaca buku-buku pilihan yang sangat banyak, tanpa
membeda-bedakan. Yang demikian itu baik, tetapi akan lebih baik kalau engkau
memusatkan perhatian kepada karya-karya paling penting. Kitab-kitab penting
adalah kitab-kitab yang dapat diamalkan langsung, antara lain seperti kitab
karya Ibn :Atha.”
Engkau
mengatakan bahwa pada beberapa hari engkau menghabiskan waktumu dengan membaca
Al-Qur’an sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Yang demikian itu
juga baik, asalkan engkau tidak mudah lalai dan lengah, sebagaimana sering
dilakukan orang lain. Mereka terlalu memperhatikan pengucapan yang benar dan
artikulasi huruf-huruf yang berlebihan, sehingga sedikit memperhatikan, atau
sama sekali tidak memperhatikan, makna dari apa yang mereka baca. Yang demikian
itu akan menjadikanmu sasaran olok-olok setan. Akan lebih baik kalau engkau
mencari seseorang yang memiliki pengetahuan tentang yakin, bersimpuh di hadapannya,
dan memohon bantuan darinya. Yang demikian itu bakal lebih bernilai bagimu.
Engkau mengatakan kepadaku, bahwa saudaraku
Muhammad ibn Adibah, semog Allah merahmati dan meridhainya, telah menganjurkan
agar engkau membaca kitab Ihya’ karya Abu Hamid Al-Ghazali. Itu adalah saran
yagn bagus. Sebab, uraian Al-Ghazali dalam kitab itu sama baik dan bagusnya
dengan uraian yang bisa dijumpai di mana saja. Hanya saja, menurutku, engkau
sebaiknya membaca hanya bagian-bagian tentang ibadah dan kepatuhan-kepatuhan
yang diwajibkan. Jika engkau membaca bagian-bagian tentang pengetahuan batiniah
atau bagian-bagian yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindakan, maka
perhatianmu tidak akan sepenuhnya tercurahkan. Dan bagian-bagian itu pun tidak
memiliki manfaat praktis bagimu. Hampir semuanya itu terkandung dalam bagian
terakhir, “Jalan keselamatan”. Dua bagian pertma dalam karya itu membahas ilmu
hukum (fiqh), yang tentangnya Al-Ghazali adalah tokoh yang diakui. Bagian
ketiga sebagian besar merupakan penyaringan dan seleksi dari apa yang
dibicarakan dala Kitab Al-Ri’ayah,
berikut tambahan-tambahannya yang bermanfaat. Itulah penilaianku atas kitab
tersebut.
Menakala
engkau membaca salah satu dari kitab-kitab itu, maka lakukanlah dengan niat
mengangkat pikiran-pikiranmu ke Allah Swt, agar Dia membuatmu bisa mengerti,
terlepas dari kebergantunganmu pada intelekmu, bahwa Dia adalah Kebenaran. Dengan
cara begitu,engkau akan mengutmakan apa yang terbaik dan yang lebih dekat
dengan tanggapan terhadap kebenaran, dan yang beroleh kejayaan dengannya.
Al-Suhrawardi sudah menunjukkan, dalam Kitabnya “Awarif Al Ma’arif
(Manfaat-manfaat Pengetahuan Mendalam), pentingnya memilih secara bijaksana
bahan bacaan.
Nasihatku yang pertama dan terakhir kepadamu adalah
: Jangan mengabaikan apa yang telah kukatakan kepadamu secara tersurat atau
tersirat tentang berbagai cara merenungkan keesaan Allah dan tentang derajat
yakin. Aku telah menegaskan hal-hal ini secara khusus, dan menjawab satu demi
satu soal-soal fundamentl, agar tidak terlewatkan satu pun dalam surat ini.
Percayalah pada hal-hal ini, bersandarlah kepadanya, dan carilah semuanya itu
di berbagai tempat yang paling mungkin, di antara orang-orang yang
mengamalkannya. Sebab hal-hal ini, alhamdulillah, merupakan esensi pemahaman
dan khazanah berharga yang dinilai tinggi oleh orang-orang yang berpengetahuan.
Dunia tempat hidupmu ini bakal tak banyak membantumu memberikan jawaban, akrena
dunia ini tidak adil dan kacau, karena puas dengan kemudahan yang membuat orang
meninggalkan tanggung jawab, karena yang umumnya didekati adalah kehidupan, dan
karena menghamba pada tuan-tuan bumi ini. Menurut hadis yang diriwayatkan
berasal dari rasulullah saw., “Keyakinan adalah harta kekayaan yang memadai.”
Tetapi, tuan-tuan bumi ini begitu sibuk dengan
dunia, sehingga ketika kekhawatiran dan kesedihan menimpa mereka, mereka
mencoba menghibur diri lewat kesenangan. Mereka mencari pertolongan dengan cara
bagaimanapun, agar bisa beroleh penyegaran dan kegembiraan. Lihatlah bagaimana
mereka kecanduan anggur, hiburan, taman-taman, kompetii-kompetisi musik,
mendengarkan kicauan burung dan alat-alat musik, serta berbagai hiburan
lainnya. Seperti dikatakan salah seorang penyair :
Usirlah kedukaanmu dengan anggur, segarkan kalbu
Tanpa mengingat-ingatnya.
Katakan pada orang yang mengecam apa yang engkau lakukan,
“Lupakanlah, jangan mencoba mengubahku!”
Dan, tentu saja, ini bukanlah apa yang sesungguhnya
dicari orang. Orang semisal ini sangat mungkin beroleh kesusahan dalam urusan
duniawi mereka karena berbagai cobaan dan kecemasan yang tk bisa diterima oleh
orang berakal tanpa mengatakan sesuatu apa pun tentang akibat-akibat yang
menunggu orang-orang itu dalam kehidupan akhirat!
Jika sang pencari ingin beramal menuju kehidupan
akhirat guna mengakhiri kesedihan dan kekhawatirannya di dunia ini, maka dia
kini mesti membenahi kehidupannya di ini selaku hamba Tuhannya, Allah Swt.
orang mesti untuk pertama dan terakhir kalinya senang mengadakan percakapan
akarab dengan-Nya. Inilah tepatnya jenis pengetahuan sejati yang teelah aku
bicarakan. Sebuah hadis mengatakan, “Segarkanlah kalbumu setiap saat!.” Dan
salah seorang sufi mengatakan, “Perbaikilah kehidupanmu, melalui penyesuaian
diri dengan berbagai ketentuan Ilahi,
dan janganlah hancur oleh kegelisahan dan kelelahan, manakala semuanya itu
telah dikerjakan.” Yang lain mengatakan, “ “Keridhaan adalah pintu paling lebar
menuju Allah, surga dunia ini, dan tempat istirahat bagi hamba-hamba Allah.”
Begitulah aku memutuskan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaanmu. Aku yakin, bahwa yang demikian ini akan memberimu apa
yang tengah engkau cari. Allah Swt. adalah Tuhan Pemberi Kejayaan kita, sesuai
dengan keridhaan-Nya. Semoga Allah melimpahkan kedamaian, rahmat, dan berkah
atas dirimu dan juga atas semua sahabat kita.().
SURAT KESEPULUH
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat untuk menjawab sebuah
pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang yang mengajar anak-anak, berikut
beberapa saran yang berguna baginya dalam kegiatan mengajarnya, khususnya
bagaimana dia bisa menghindari keberatan-keberatan dalam pekerjaan itu.
Segala puji bagi Allah.
Dan salam hangatku keapdamu. Telah kuterima
suratmu, engkau meminta nasihat yang bisa membimbingmu menuju keterbebasan dari
kebingungan dan keberatan-keberatan, serta tiadanya hiburan yang tengah engkau
alami. Engkau katakan bahwa semuanya itu telah menguasai dirimu. Engkau mesti
memahami bahwa keadaan-keadaan yang sebab-sebabnya engkau terangkan itu adalah
penyakit-penyakit hati. Yakinlah, bahwa kita bisa mengetahui asal-usulnya dan
menemukan jalan untuk mengobatinya.
Pertama-tama,
kebingungan yang engkau katakan telah menimpamu, menyangkut anak-anak, dan
kurangnya semangatmu untuk pekerjaan itu, karena tidak dapat memperhatikan dan
tidak mampu melihat nikmat-nikmat material dan spiritual yang engkau miliki.
Kesadaran dan perhatian akan nikmat-nikmat itu adalah obatnya. Secara khusus,
pengetahuan mendalam tentang ketiga hal ini akan cukup menempatkan dirimu dalam
keadaan ingat terus menerus, dan ini diperlukan. Camkan hal-al ini dalam
pikiranmu : Pertama, engkau membutuhkan pengetahuan mendalam tentang rahmat
mulia Allah Swt. yang menganugerahimu tugas mengajar dan membuatmu layak beroleh kemuliaan yang tinggi
ini. Mengajar adalah jabatan para Nabi dan ulama! Berusahalah mendapatkan pengetahuan
mendalam ini, dengan cara membaca berbagai riwayat kebaikan praktik mengajar,
yang tersebar luas dalam kajian-kajian kegamaan tradisional. Pengetahuan
mendalam ini akan meningkatkan kerendahan hati dan penghormatanmu di hadapan
Tuhanmu, dan akan mendorongmu mencari keridhaan-Nya dalam segenap keadaanmu.
Kedua,
engkau mesti mengapresiasi betapa mengajar adalah nikmat yang berlimpah dan
mulia, yang membuatmu mampu melawan ha-hal yang bisa menguasai jiwa rendahmu,
dan yang membantumu bertindak melawan hasrat-hasrat egoismu. Begitulah persyaratan-persyaratan
untuk menenggelamkan dirimu sepenuhnya dalam mengajar, yaitu dengan
mengorbankan waktu luang untuk memuaskan hawa nafsu sendiri, siap sedia
berhadsapan dengan tantangan-tantangan, mengingatkan mereka, bersabar
menghadapi mereka, bersusah payah menasehati mereka, dan membimbing mereka,
untuk menyebut hanya hanya beberapa tugas guru. Dalam hal-hal itu, ada
manfaat-manfaat luar biasa, hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh sang musafir
di jalan menuju kehidupan akhirat, jika dia bermaksud membentuk karakternya dan
memperbaiki jiwa rendahnya. Sungguh, Tuhanmu mengirimkan hal-hal ini kepadamu,
persis sesuai dengan kebutuhanmu dalam menempuh jalan terpuji. Pengetahuan
mendalam seperti itu kemudian akan membawamu ke derajat kesabaran yang tinggi
dan ke rasa syukur yang layak.
85.
Faktor ketiga adalah pengetahuan mendalam tentang nikmat unggul, yang dengan itu Dia
melindungimu dari berbagai bujukan dunia. Dia menjagamu dari terlibat dalam
petualangan-petualangan tercela, dan melindungimu dari segala jenis pergulatan
dan cobaan yang membuat mereka yang mencari dunia ini sibuk dengan berbagai
keberhasilan dan pencapaian duniawi mereka. Kesadaran ini bakal bermanfaat,
menjadikanmu puas dengan kehidupanmu, dan senang dengan apa yang bisa engkau
kerjakan.
Setelah mencapai pengetahuan mendalam tentang
ketiga macam nikmat ini dan terus menerus mencamkan dalam pikiran, engkau akan
mulai mengalami, dengan izin Allah Swt, kesenangan dan kebahagiaan dalam nikmat
Tuhanmu. Dengan begitu, engkau bakal terlindung dari berkembangnya watak
negatif, dan dari kesempitan inti wujudmu. Berbahagialah dengan kondisimu saat
ini, maka, engkau akan mampu memberikan kebenaran Tuhanmu kepada mereka yang
engkau ajar, melalui kebaikan, kasih sayang, perhatian, nasihat, kelemahlembutan,
perlakuan baikmu, serta dengan cara-cara lain yang bermanfaat bagi sang guru
maupun murid. Allah Swt, adalah Zat Pemberi petunjuk bagimu dan bagi mereka,
kini dan untuk selama-lamanya. Engkau mesti yakin bahwa setiap pemikiran guru
haruslah diarahkan kepada kerinduan akan Allah Swt, sebagai sumber petunjuk dan
keberhasilan. Sang guru harus yakin bahwa, apa yang dikatakan atau dilakukannya
selama mengajar murid-murid, Allah akan memberi balasan bagi dirinya dan
murid-muridnya. Jika engkau memahami ini dan bertindak sesuai dengannya, engkau
bakal menemukan rahmat-Nya, Insya Allah.
Sekarang
tentang berbagai keberatan yang senantiasa menimpamu. Kebodohan dan kebingungan
adalah penyebabnya. Pengetahuan dan ingat adalah obatnya. Yang kumaksudkan
dengan pengetahuan dan ingat adalah pengetahuan dan ingat akan Allah Swt.
berusahalah memiliki kedua hal ini, dengan bersikap teguh dan bertakwa kepada
Allah, dan dengan mengingat kekuasaan Tuhan Semesta Alam atas kalbu dan
lidahmu. Tidak ada obat lain.
Engkau tidak merasa terhibur selama melakukan
shalat dan selama membaca Al-Qur’an. Yang demikian itu adalah sejenis kekerasan
hati, yang disebabkan oleh satu atau dua hal berikut ini : perbuatan dosa atau
keterikatan kepada dunia. Besar atau kecil, kuat atau lemahnya hati, dan
tiadanya hiburan, akan sebanding dengan kedua penyebab ini. Obat untuknya
adalah tobat yang tulus, memeriksa kesadaran, dan waspada pada pikiran-pikiran
sendiri, sehingga setan tidak bakal mampu menguasai kalbu.
Jadikan doamu dalam keadaan seperti ini sebagai
permohonan ampunan, baik di waktu fajar maupun di waktu-waktu lain, ketika
engkau merasakan keinginan akan rahmat Sang Raja, Sang Pemberi Ampunan. Jenis
doa seperti itu menghilangkan dosa-dosa, menghaluskan hati, dan menyenangkan
bagi Zat Yang Mahamengetahui Segala Rahasia. Engkau mesti juga menggunakan cara
bershalawat kepada Rasulullah saw. dan doa-doa serupa. Yang demikian itu adalah
salah satu pertolongan paling baik bagi orang-orang yang mencari pertolongan
dalam mencapai keinginan-keinginan mereka.
Allah SWT adalah pemilik Kejayaan dan Petunjuk.
Dia-lah tujuan nasib kita, dan puncak harapan kita. Maka, inilah yang ingin
kukatakan dalam menjawab pertanyaanmu. Semoga salam, rahmat dan berkah
dilimpahkan atasmu.()()().
SURAT KESEBELAS
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat tentang
gaji yang diterima oleh seorang Guru, dan bagaimana dia bisa menghindari
keberatan-keberatan yang berkaitan dengan aktivitas mengajar.
86.
Segala puji bagi Allah semata.
Salam. Telah kuterima suratmu tentang ketidaksenanganmu
bergaul dengan anak-anak. Pertama engkau menyebutkan bahwa engkau takut dan
sedih atas kemungkinan hilangnya keselamatan abadimu, akibat pekerjaanmu. Dan
kedua engkau merasa ragu tentang layak tidaknya gaji yang engkau terima dari
sebagia murid. Engkau memintaku dalam surat itu untuk menjelaskan persoalan itu
menurut pandanganku.
Mengenai situasi pertama, engkau lebih mengetahui,
karena saksi mata melihat apa yang tidak dilihat oleh orang yang tak hadir di
situ. Karena itu, amatilah situasi itu dengan pandangan spiritual, dan
renungkanlah keadaanmu saat ini. Jika engkau yakin akan sebab-sebab di balik
itu, dan merasa pasti bahwa engkau tidak sanggup lagi melaksanakan
tanggung-jawab pekerjaanmu, maka bertindaklah berdasarkan penilaian itu dan
segera tinggalkanlah kegiatan mengajar, asalkan Tuhanmu memberimu kekuatan
untuk melakukan yang demikian itu sehingga engkau tak merasa cemas dan
menyalahkan diri. Tetapi, jika engkau mampu mengatasinya, yang demikian itu
jauh lebih baik; dan ganjaran untuk itu akan banyak. Jika yang engkau alami
adalah keberatan-keberatan tak berdasar, maka tolaklah mati-matian semuanya
itu, sebelum menguasai dirimu. Keengganan berlarut-larut, dan sibuk
berangan-angan, merusak keimanan, akal, dan kehidupan itu sendiri. Ini fakta
yang jelas. Singkat kata, keadaanmu saat ini tidaklah sepantasnya membuatmu
cemas.
Kedua, kekhaawatiranmu tentang keragu-raguan yang
telah mengganggumu, dan upayamu untuk mengatasinya menyebabkan dirimu
berkesimpulan bahwa engkau mesti memecahkan masalah itu dengan memisahkan diri
dari keluargamu. Aku tidak ragu-ragu barang sedikit pun bahwa ini adalah
bisikan jahat, dan sangat mungkin bahwa Musuhmu ingin menjurumuskanmu ke dalam
bahaya yang lebih besar lagi. Sebab, kesimpulan itu dan cara bertindak yang
engkau kemukakan tidaklah berdasakan teladan manapun dari para salaf kita atau
dari para pengikut orang-orang yang berpengetahuan dan yang mengamalkan agama.
Tidak adanya contoh atau teladan semisal ini merupakan bukti bahwa tidak ada
kebaikan dalam apa yang engkau kemukakan. Sebalik-nya, tidak bsia dipungkiri
algi bahwa manusia0manusia teladan telah mencari nasihat dari Allah Swt.
tentang diri mereka dan orang lain, dan telah bertindak sesuai dengan itu,
dengan mempertimbangkan hak-hak, kebutuhan dan keinginan mereka sendiri serta
orang lain. Mereka penuhi syarat-syarata Hukum Wahyu, dan menempuh jalan
kesalehan. Karena itu, jika engkau ingin berusaha menyamai mereka dan mengikuti
jejak mereka, terimalah apa yang datang kepadamu sedemikian rupa, sehingga
secara umum hal itu disepakati sebagai halal, dan pandanglah sebagai sesuai
dengan Hukum Wahyu.
87.
Jika pekerjaanmu sudah cukup bagimu, dan bisa
memberimu nafkah yang cukup, maka sadarilah betapa yang demikian itu adalah
rahmat bagimu, dan betapa hal itu sepenuhnya layak engkau terima. Sebaiknya,
jika engkau menerima jenis nafkah yang secara hukum masih bisa diperdebatkan,
maka yang demikian itu tidak akan berlaku bagimu, selama engkau mengikuti jalan
kehati-hatian dan kewaspadaan, menghindari kemewahan berlebihan, serta menerima
keadaanmu dalam kefakiran. Setelah melakukan hal itu, keragu-raguanmu yang
mengharu-biru akan hilang, dan engkau akan terbebas dari tindakan hukum.
Hanya saja, jika jiea rendahmu memberontak
memaksamu, sehingga engkau dikalahkan oleh hawa nafsumu atau menjadi mangsa
empuk berbagai keraguan, atau tidak disiplin, maka engkau berdosa dan tercela
tepi bukan lantaran alasan-alasan yang telah engkau sebutkan. Maksudku, engkau
akan dicela, bukan lantaran engkau tak bisa meninggalkan keluargamu, atau
lantaran engkau bertindak bertentangan dengan para ulama, tapi lantaran engkau
berhenti memerangi naluri rendahmu dan tak mampu memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan watak batiniahmu. Yang engkau pahami dari semuanya ini
adalah bahwa hanya karen
jiwa rendah sajalah seseorang itu mengalami kehancuran. Manakal
seseorang diperkuat oleh anugerah pertolongan dari Tuhannya, yang memberinya
kekuasaan untuk memerangi jiwa rendah dan menolak ajakannya, maka tindakan dan
keadaan orang itu bertambah tulus dan semakin bebas dari kerusakan. Inilah
dasar bagi kewaspadaan terhadap jiwa rendah.
Oleh sebab itu, hendaknya pekerjaan itu menjadi
lebih penting bagimu, ketimbang keberatan-keberatanmu atas kesulitan emncari
sumber penghasilan yang dibolehkan hukum. Keabsahan apa yang engkau peroleh
selama kegiatanmu mengajar, bukanlah berada di bawah kekuasaanmu, baik dalam
hal-hal umum maupun khusus. Karenanya, engkau tidak punya tanggung jawab untuk
terlibat dalam perdebatan tentang berbagai pendapat orang-orang yang berhati-hati.
Engkau mempunyai cukup keleluasaan yang melebihi pendapat-pendapat mereka.
Demikianlah pandanganku tentang pertanyaanmu. Allah
Swt adalah Pemberi Kemenangan bagi kita, sesuai dengan keridhaan-Nya. Tidak ada
Tuhan selain Dia, dan tak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Salam
atasmu.()().
SURAT KEDUABELAS
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat yang berisi bahasan tentang
syarat-syarat membaca dan meriwayatkan hadis, berikut beberapa komentar
berharga lainnya.
88.
Segala puji bagi Allah semata.
Salam. Telah kuterima suratmu. Engkau memusatkan
perhatianmu pada beberapa pertanyaan tentang membaca dan meriwayatkan Al-Qur’an
dan haids, khususnya apakah seseorang seperti yang telah engkau paparkan
dibolehkan membaca dan meriwayatkannya.
Saudaraku, engkau mesti memahami bahwa kedua
pertanyaan ini berkaitan dengan bidang fiqih. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan
lain yang engkau kemukakan kepadaku dalam suratmu itu; yaitu apa kewajiban
seseorang yang mengajar anak-anak, bagaimana dia mesti bersikap kepada mereka,
mengingat tingkat kecerdasan mereka berbeda-beda, serta pandangan Ibn Al-‘Arif
yang engkau sebutkan berkenaan dengan menerima gaji dari kegiatan mengajar
ketika pada mulanya tidak diinginkan. Semuanya ini adalah masalah-masalah fiqih
yang tidak aku geluri, kecuali bila masalah-masalah semisal itu pernah kubaca
dan kukaji. Maka, ketika tidak tumbuh kepedulian dan perhatian di kalangan para
ulama, aku pun mempelajari kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu, saat ini aku
tidak memiliki kemampuan intelektual yang diperlukan untuk mengkaji
masalah-masalah semisal ini dan memahaminya dengan tuntas. Bagaimanapun juga,
ada orang-orang di kotamu yang berminat pada dan memiiki pengetahuan tentang
hal-hal itu. Sebagian dari masalah-masalah ini tidak ada sangkut pautnya
denganmu sedikit pun. Sesungguhnya aku memandang keterlibatan dalam hal-hal itu
sebagai tindakan terlarang dan tidak penting. Engkau mesti berhati-hati dalam
hal itu.
Tetapi, aku akan banyak mengemukakan masalah
memabca. Aku yakin, bahwa orang yang membaca dan orang yang menyimaknya bakal
beroleh rahmat, dan jerih payah mereka pun bermanfaat bagi mereka, dan bahwa
kewajiban agama mereka akan terpenuhi sebagaimana mestinya, berdasarkan
syarat-syarat berikut ini : bahwa keduanya tidak mencari tujuan duniawi, bahwa
orang yang menerima riwayat itu bertindak mengatur apa yang dibaca, dan bahwa
periwayatan itu ditandai oleh integritas yang diperbincangkan oleh para ahli
haids. Maka, mataranti periwayatan akan selaras dengan keimanan, sebagaimana
diuraikan oleh para ulama. Kalau salah satu karakteristik ini tidak ada, maka
amal sang perawi dan orang yang menerimanya adalah sia-sia, karena kurangnya
ketulusan dan kegagalan menempuh jalan integritas (kejujuran). Begitulah yang
terjadi pada sebagian besar pembaca Al-Qur’an dewasa ini, kecuali orang-orang
yang dilindungi Allah.
89.
Masalah-masalah lainnya yang tidak menyangkut
bidang fiqih, yang engkau sebutkan, terbagi menjadi dua kategori. Yang satu
berkaitan dengan permintaanmu agar au mendefinisikan kejahatan-kejahatan yang
mematikan, seperti kesombongan, kemunafikan, penipuan, kemarahan, dendam, iri
hati, dan sebagainya. Yang lain bertalian dengan tindakanmu menjadi seorang
mukmin yang lebih sempurna, dan dengan permintaanmu agar aku memberimu nasihat
tentang apa yang bisa menyempurnakan keimanannmu dan agar aku mengajarimu
tentang masalah-masalah penting keimanan, lahiriah dan batiniah, yang wajib
atas sang hamba, maupun tentang amal-amal ibadah sunnah yang sangat terpuji.
Para ulama, khususnya Al-Muhasibi, telah menjawab pertanyaan eprtama. Baca dan
renungkanlah Al-Muahsibi, maka engkau bakal menjumpai obat di sana.
Untuk yagn kedua, aku hanya bisa membahasnya secara
umum. Tetapi, engkau sudah akrab dengan masalah-masalah umu, dan semuanya itu
tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhanmu. Jawaban-jawaban yang lebih khusus akan
dapat diberikan kalau aku tahu benar segenap keadaan lahiriah dan batiniahmu.
Aku bisa tahu benar, hanya jika engkau memberitahuku secara langsung, atau
setelah lama bergaul denganmu. Karena aku tak satu pun dari
kemungkinan-kemungkinan itu kumiliki, bagaimana mungkin aku bisa memberikan
jawaban panjang lebar dan bermanfaat yang secara umum lebih dari tepat? Orang
yang mencari nasihat mestilah lebih bertanya tentang apa yang benar-benar
diperlukannya, agar bisa selalu menyadari hubungannya dengan Allah Swt dalam
hal keimanan dan amal perbuatan. Dia mestilah memeriksa kualitas ibadahnya
dalam mendekati Allah Swt. kemudian, dia mesti menjelaskan hal itu dengan
jelas, sehingga orang yang memberi nasihat akan mengetahui kondisi sesungguhnya
dari orang yang dinasehati, dan denegan demikian memberikan jawaban menyeluruh
yang menguntungkan bagi orang yagn dinasihati dan orang yang memberi nasihat.
Engkau melakukan sesuatu serupa itu dalam surat pertama yang engkau tulis
kepadaku, dan itulah sebabnya suadara kita ibn Adibah, semoga Allah mengasihi
dan meridhainya dulu menulis surat kepadaku.
Engkau menanyakan kitab-kitab tasawuf mana yang
mesti engkau baca. Aku berpendapat bahwa kitab yang engkau meiliki, karya Ibn
“Atha’, Kitab Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir (Kitab Cahaya : Tentang
Menghilangkan Sifat Mementingkan Diri), adalah ikhtisar dari semua kitab, yang
panjang atau pendek, tentang tasawuf. Dan kitab itu memadukan kelengkapan dan
keringkasan. Jalan yang memberikan bimbingan pada sang musafir adalah jalan
pengakuan akan Keesaan Allah, sebuah jalan yang tidak menerima orang yang
mengingkari Keesaan Allah. Bagi orang yang menempuhnya dengan tulus dan hati
terbuka, jalan itu pastilah memberikan sifat-sifat terpuji, dan akan
menghilangkan dan menyucikan dirinya dari segala sifat tercela. Setelah engkau
mulai bisa memahami hal itu dan bertindak sesuai dengannya, maka semua yang
telah aku bicarakan akan menjadi jelas, dan pertanyaan-pertanyaan mengenai
agama yang telah engkau kemukakan akan terpadukan dengan masalah-masalah lain
yang bermanfaat dan berguna. Selain itu, jika engkau juga mempelajari Kitab
Al-Hikam (Kitab Tentang Hikmah), yang sangat terkenal dan dipakai secara luas,
serta berusaha berpegang kuat padanya dan memahaminya, maka engkau tidak lagi
memerlukan tulisan-tulisan terkenal mana pun selainnya.
Ambillah apa yang ada di hadapanmu, dan tinggalkan
Apa yang hanya engkau dengar;
Manakala matahari sudah terbit, apa perlunya
Engkau memiliki Saturnus?
Itulah semua yang ingin aku katakan kepadamu. Allah
Swt. adalah Pemberi Kejayaan bagi kita, berdasarkan keridhaan-Nya. Semoga
salam, rahmat, dan berkah dilimpahkan atasmu dan atas semua sahabat kita.()
SURAT KETIGABELAS
Kepada Yahya Al-Saraj. Surat yang menjelaskan ucapan guruku, Abu
Al-Hasan Al-Syadzili, yang menerangkan tentang orang yang membaca “Wirid
Besar”nya. Dan Allah lah yang menganugerahi kejayaan.
90
Segala puji bagi Allah.
Telah kuterima suratmu. Engkau berbicara tentang
ketetapan hatimu untuk membaca “Wirid Besar”. Lakukan keinginan itu, dan
sadarilah bahwa yang demikian itu, bagimu, merupakan peneguhan dari Allah.
Janganlah engkau menyimpang karena apa yang telah engkau pahami sebagai makna
dari ucapan yang dinisbahkan pada Sang Syaikh, semoga Allah meridhainya, yaitu
“Barangsiapa membaca wirid ini, dia memiliki apa yang aku miliki, dan mesti
mengamalkan apa yang harus kau amalkan.” Engkau telah salah memahami pernyataan
itu. Sesungguhnyalah, Abu Al-Hasan memaksudkan itu sebagai dorongan, suatu cara
mengarahkan pikiran kepada amalan wirid yang teguh dan pasti. Akhir ucapan itu
mengisyaratkan : “Dan Rasulullah saw. memberikan syafaat yang sungguh-sungguh.”
Dengan kata lain, seolah-olah syaikh mengatakan, “Jika seseorang membaca wirid
itu dengan niat ikhlas dan harapan tulus, dan senang mengikuti jalan kami
sebagaimana terwujud dalam wirid itu, dan berhati-hati dalam berkeinginan
mencapai sifat-sifat para wali sebagaimana terseut dalam wirid itu pula, maka
orang itu telah mencapai tujuan meraih harapannya. Dia telah mencapai peringkat
kewalian yang disediakan bagiku; dia telah memasuki wiridku, dan dengan
demikian masuk ke dalam kedudukan kewalianku. Karenanya, orang itu memiliki apa
yang aku miliki di jalan kedekatan pada Allah dan kehormatan, dan mesti
mengamalkan apa yang harus kuamalkan di jalan kepatuhan dan kepasrahan.
Karena kedudukan dan kewalian yang berasal dari
Allah itu mendahului yang berasal dari sang hamba, maka yang mendahului itu
adalah penyebab bagi yang mengikuti. Akibat itu mengikuti sebabnya, entah
sebagai rahmat atau sebagai kesungguhan. Oleh sebab itu, karena rahmat dan
ketulusan yang diperlukan ada lebih dahulu ketimbang inisiatif sang hamba. Itulah
makna kata-kata “Dia memiliki apa yang aku miliki.” – maka tindakan-tindakan
sang hamba bakal sejalan dengan maksud
dan tujuan Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata, “Dia mesti
mengamalkan apa yang harus kuamalkan.” Pernyataan itu dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan dan kelancaran, bukannya menimbulkan kecemasan dan konflik dalam diri
sang hamba.
Inilah tujuan dan ganjaran tertinggi kepatuhan.
Sekiranya tidak demikian halnya, maka hasilkan akan sangat bertentangan. Maksud
dari semuanya ini adalah bahwa frasa “Dia memiliki apa yang aku miliki”
merupakan cara berbicara mengenai hasil akhir dari kemurahan hati dan kesalehan
yaitu petunjuk, ganjaran, pertolongan, dan peneguhan. Semuanya ini, pada
gilirannya, merupakan sebab-sebab yang mesti dari segala yang mengikutinya,
sesuai dengan kata-kata, “Dia mesti mengamalkan apa yang harus kuamalkan.” Yang
demikian itu juga meliputi beramal sesuai dengan apa yang diperintahkan atas
diri sang hamba, dan bersatu dengan kemauan Allah Swt, agar lapanglah inti
wujudnya serta ringanlah beban yang dipikulnya (Qs. 94:1-2). Saudaraku, tak ada
sesuatu pun dalam pernyataan ini yang ahrus menghalangimu atau mencegahmu dari
mengerjakan apa yang hendak engkau kerjakan. Sebaliknya, biarkan hal itu
mendorongmu untuk melakukannya, jika Allah Swt. menghendaki.
Sekian kata-kataku yagn singkat ini. Semuanya cukup
sudah untuk memahami apa yang diriwayatkan sebagai dikatakan oleh Syaikh,
semoga Allah meridhainya. Akan halnya interpretasi yang engkau katakan sebagai
dikemukakan oleh oleh salah seorang sahabtmu “Dia memiliki apa yang aku miliki
di jalan kesucian, dan meski mengamalkan apa yang harus kuamalkan di jalan
rahmat atau kasih sayang” yang demikian itu memang merupakan satu cara yang
indah dan bagus dalam menjelaskannya, tapi jauh dari makna seperti yang telah
kubahas di atas. Interpretasi itu tidak memiliki kedalaman kesadaran spiritual
mengenai makna seperti yang telah kujelaskan.
Dan kepada Allah sajalah kita temukan kejayaan.()
SURAT KEEMPATBELAS
Kepada Yahya Al-Saraj. Jawaban buat pertanyaan dari seseorang yang
kecemasannya akan nafkah penghidupannya menghalangi dirinya mencapai tujuan
utamanya.
Segala puji bagi Allah.
Telah kuterima suratmu. Engkau melukiskan
kegelisahan batinmu yang tengah engkau alami, yang disebabkan oleh sumber
nafkah penghidupanmu. Tetapi, engkau tak sanggup meninggalkan sumber nafkah
itu. Engkau aktakan bahwa engkau tengah menunggu dan melihat apa yang bakal
muncul dari Dunia Gaib, seraya meyakini bahwa engkau kemudian bakal memahami
seluruh situasi dan merasa yakin tentangnya.
Apa yang aku kemukakan kepadamu ialah agar engkau
mengarahkan pandanganmu pada kehidupan akhirat nanti, dan berpaling dari dunia
ini. Lalu, engkau mestilah memilih pekerjaan yang sejalan dengan kerangka itu.
Jika engkau kebetulan mendapatkan sumber nafkah penghidupan yang tidak
menimbulkan ancaman atas keimananmu, maka nafkahilah dirimu dengan cara begitu;
dan jika tidak, jangan biarkan kesulitan itu membuatmu patah semangat.
Yakinilah benar bahwa seseorang yang meninggalkan sesuatu demi Tuhannya, bakal
lebih dari sekedar beroleh ganti berupa keimanan yang kuat dan ganjaran
kepatuhan kepada Tuhan Semesta Alam. Melalui ilustrasi berikut ini dituturkan
kisah tentang seseorang yang memiliki sebidang sawah, sejumlah tepung, dan
seekor keledai.
Kisah itu
menuturkan bagaimana seorang saleh ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau
bertobat?” Dia menjawab, “Aku adalah seorang yang kaya dan berkedudukan tinggi.
Pada suatu malam, pekerjaanku bertumpuk-tumpuk. Aku harus mengairi sawahku,
membawa sejumlah gandum ke penggilingan, dan keledaiku lari serta tersesat.
Maka aku berkata dalam hati, “Jika aku menghabiskan waktuku mencari keledai,
sawah akan tidak ada airnya. Jika aku mengairi sawah, maka gandum dan keledaiku
akan hilang.’ Saat itu malam Jum’at, dan masjid lumayan jauh jaraknya dari
desaku. Lalu aku berkata dalam hati, ‘Akan kutinggalkan seluruh persoalan ini
dan pergi menghadiri shalat berjamaah di Masjid.’ Dan aku pun pergi menghadiri
shalat jamaah. Ketika kembali pulang, aku melewati sawahku, dan sungguhs awah
itu telah terairi. Aku bertanya, “Siapa yang mengairi sawah ini?’ Aku diberi
tahu, “Tetanggamu ingin mengairi sawahnya; tetapi tanah bendungannya jebol
sewaktu dia tidur, dan air pun mengalir masuk ke sawahmu.’ Lalu ketika aku
mendatangi pintu rumahku, tiba-tiba saja ada keledai di tempat bak makan, maka
aku pun bertanya, ‘Siapa yang membawa kembali keledaiku?’ Terdengar jawaban,
‘Seekor serigala menyerangnya, lalu ia pun lari pulang.’ Dan ketika aku
memasuki rumah, kujumpau tepung yang sudah digiling! Aku bertanya, bagaimana
hal itu terjadi, dan aku pun diberitahu, ‘Sang tukang giling telah menggiling
tepung ini dengan tidak sengaja, dan ketika dia mengetahui bahwa tepung itu
milikmu, dia mengembalikannya ke rumahmu.’ Kemudian aku berkata dalam hati,
‘Sungguh benar perkataan. “Barangsiapa memperuntukkan dirinya bagi Allah, maka
Allah pun memperuntukkan Diri-Nya bagi orang itu. Allah memperhatikan segala
urusan seseorang yang beribadah kepada-Nya.” Maka aku pun mengingkari dunia ini
dan bertobat.”
92.
Engkau mesti memahami, bahwa berbagai jenis cobaan,
kecemasan dan berbagai kesulitan yang menimpamu di dunia ini, adalah jalan
menuju berbagai manfaat berlimpahan dan sarana menuju tujuan-tujuan mulia.
Hanya orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi, hati yang bening, dan
benar-benar murni sajalah yang mengetahui nilai kesemuanya ini. Karena itu,
biarkan kegembiraanmu di tengah-tengah berbagai hal yang engkau becni,
melampaui kebahagiaan yang engkau alami karena berbagai hal yang engkau cintai. Sebuah kisah menuturkan
bagaimana ‘Atha’ Al-Sulami tidak mencicipi makanan selama tujuh hari dan sama
sekali tidak memiliki kekuatan, tapi kalbunya sangat bahagia. Dia berkata, “Ya
Allah, jika Engkau masih membuatku lapar tiga hari lagi, Aku akan bersujud
kepada-Mu seribu kali!” juga dikatakan bahwa Fath Al-Muwashili pulang ke
rumahnya pada suatu malam serta tidak menjumpai makanan, tidak ada lampu dan
tidak ada pula kayu bakar. Lalu dia mulai mejuji Tuhannya, dan merendahkan diri
di hadapan-Nya, seraya berkata, “Tuhanku, mungkinkah aku pantas mendapat
perlakuan-Mu, seperti Engkau memperlakukan wali-wali-Mu?”
Ada satu pelajaran dalam kisah-ksiah ini bagi
orang-orang yang berusaha belajar, dan pesan bagi hamba-hamba Allah. Semoga
Allah Swt. membantu kita hidup dengan cara seperti itu.()
SURAT KELIMABELAS
Kepada Yahya Al-Saraj. Nasihat yang dibutuhkan oleh setiap pencari
yang menginginkan tambahan dari Zat Maha Terpuji dan Mahakaya.
93.
Segala puji bagi Allah semata.
Seseorang yang ingin menempuh jalan kebenaran dan
selamat dari Musuhnya, terbebas dari bisikan-bisikan jiwa rendah yang sempit,
dan ingin melapangkan inti wujudnya, mestilah lurus perilaku lahiriah dan
batiniahnya kepada Allah dalam segala keadaan. Singkat kata, yang dibutuhkan
guna memperoleh tambahan dari Allah adalah rasa syukur. Pondasi rasa Syukur ada
dua : Pertama, mengakui keagungan dan transendensi Tuhannya, dan mengetahui
sifat-sifat agung dan Nama-nama-Nya yang mulia; dan Kedua, menyadari kekecilan,
kerendahan, kekurangan, serta kelemahannya sendiri. Seseorang yang telah
menyadari sepenuhnya kedua dasar ini, akan memikirkan dirinya sendiri,
kata-kata serta berbagai tindakan yagn berkat Allah Swt terjadi dalam dirinya,
dan juga memikirkan tahap-tahap yang melaluinya Allah telah membawa dirinya.
Dari sana dia bergerak maju – berkat kemurahan, rahmat, kemahakuasaan, serta
kebaikan berlimpah dari Allah kepadanya – menuju ke tahap yang tak terpahami
oleh intelegensi dan pemahaman. Dan dari sana pula, cinta dan kekaguman
menggerakkan orang tersebut untuk
bersyukur kepada Allah Swt, lantaran dia sepenuhnya menjadi peka pada nikmat
Allah dan pada cara bertindak yang mesti ditempuhnya di hadapan Allah.
Misalnya saja, manakala seseorang melihat dirinya
sebagai hamba yang patuh, dia bergembira dengan apa yang diberikan oleh Tuhan
kepadanya, kendatipun dia tidak memiliki kedudukan penting dan layak
menerimanya. Sungguh tak banyak orang yang menerima karunia dan anugerah
seperti itu! Kemudian, orang mestilah berkelakuan baik kepada Allah dengan
menyempurnakan kepatuhannya serta menghilangkan berbagai kekurangannya, dengan
niat suci demi Tuhannya, Allah Swt. Orang yang memandang dirinya dan
berperilaku demikian, dan dengan begitu menghabiskan waktunya dengan keaptuhan
dan segala macam ibadah.
Situasi serupa akan berlaku jika seseorang melihat
dirinya memiliki kesehatan jasmani atau kekayaan amteri, betapapun kecil
jumlahnya. Hendaknya dia bergembira dengan itu, dan bersyukur kepada Tuhannya
atas hal itu, seraya mengetahui bahwa dia sebenarnya tidak layak menerimanya.
Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah memanfaatkan dua berkah itu untuk
mematuhi Tuhannya, Allah Swt, bukannya untuk menetang-Nya, betapa banyak orang
menderita sakit atau kemiskinan, yang menginginkan anugerah-anugerah semisal
itu, tapi tak pernah mendapatkannya!
94.
Begitu pula, manakala seseorang ditimpa kemiskinan
atau sakit atau juga sebagian coba dunia ini, hendaknya diabergembira; sebab ia
tengah dibimbing oleh sarana itu di sepanjang jalan para wali dan orang-orang
adil. Dia mestilah menemukan kegembiraan dalam anugerah Tuhannya, Allah Swt,
lantaran dia belumlah beroleh ujian yang lebih berat, sebagaimana yang diterima
banyak orang lainnya. Baginya, perilaku yang tepat berupa kesabaran dan kepasrahan,
tidak menggerutu dan mengeluh, berdoa kepada Allah Swt. atas berlimpahnya
nafkah kehidupan dan tiadanya lagi berbagai bahaya, serta memohon kesejahteraan
dalam urusan keagamaan dan dunia serta dalam kehidupan akhirat kelak. Jika
orang seperti ini mampu mengambil manfaat dari kekayaan materi dan pengobatan
medis bagi sakitnya, dia mestilah melakukan yang demikian itu; sebab, yang
demikian itu juga merupakan perilaku yang tepat. Dan dia mesti bersyukur, bahwa
Allah Swt. memberikan kesempatan itu kepadanya.
Demikian juga, jika seseorang berdosa, lalai, atau
bertindak tidak pantas, dia harus dapat memperhatikan berkah dan rahmat Allah
yang tersembunyi dalam kondisi itu. Sebab, yang demikian itu akan mendorong
seseorang untuk memperoleh ketakwaan kepada Allah, bertindak melawan perasaan
memetingkan dirinya, serta berlindung kepada Tuhannya. Seperti dikatakan hadis
qudsi, “Jika engkau tidak
pernah berdosa, aku takut kalau-kalau engkau bakal terjerumus ke dalam keadaan
yang lebih buruk ketimbang itu; kesombongan.” Betapa banyak orang
melakukan dosa besar dan memandangnya sebagai sumber kesenangan! Dalam hal ini,
perilaku yang pantas berupa tekad kuat untuk bertobat, dan ketakwaan
terus-menerus kepada Allah, disertai penyesalan yang dalam, doa, dan air mata.
Hal serupa juga berlaku pada kasus seseorang yang
berpegang pada hukum seorang ulama yang otoritasnya diterima secara luas, atau
yang menjumpai seseorang yang darinya dia bisa menerima pengajaran, yakni,
seorang yang benar-benar saleh yang telah menerima pengajaran dari para
pembimbing spiritualnya sendiri, dan mereka pun beroleh dari para pembimbing
spiritual mereka juga, dan sebagainya, hingga kembali ke otoritas pertama.
Orang seperti ini mestilah bergembira, dan bersyukur kepada Allah. Betapa
banyak orang secara membuta mengikuti kaum ahli bid’ah, atau menjadikan diri
mereka ahli bid’ah, dan dengan demikian mencampakkan diri mereka sendiri ke
dalam kebinasaan dan kehancuran! Perilaku yang tepat di sini berupa menghormati
guru dan mengikuti setiap perintahnya. Jika seseorang harus menemukan, dalam pandangan
hukum seorang pemimpin lain yang otoritasnya diterima secara luas, aturan yang
membolehkan tindakan bijaksana tertentu yang dapat dilakukannya, atau aturan
yang membolehkan memenuhi sebagian kebutuhan, dan jika tindakan itu jelas-jelas
tidak dilarang oleh madzab pemimpinnya sendiri, maka orang itu boleh mengikuti
aturan lain tanpa mengurangi kelayakan perilakunya.
Begitu pula, manakala seseorang berjumpa dengan
seorang pembimbing spiritual sufi yang menempuh jalan Teladan Nabi, hendaknya
ia bergembira dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang
jatuh binasa dalam cengkeraman kaum ahli bid’ah sesat, sehingga mengalami
kebinasaan! Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah mematuhi sang pembimbing
spiritual dan perintah-perintahnya, menolak sikap menetang, tidak
menyembunyikan tahasia batiniah apa pun dari sang pembimbing, serta tidak
mengganti satu pembimbing spiritual dengan yang lainnya.
Manakal seseorang mempunyai teman atau saudara –
atau istri atau suami – yang dalam persahabatannya kehidupan keagamaannya
selamat, dan yang dengannya dia mengalami kenimatan dunia ini, dia mestilah
senang dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang dibebani
oleh persahabatan yang merusak urusan-urusan keagamaan maupun keduniaannya, dan
yang darinya mereka tak mampu melepaskan diri! Dalam hal ini, perilaku yang
teapt berupa setia pada sahabat serta melaksanakan kewajiban-kewajiban
persaudaraan.
Demikian pula, jika seseorang memiliki sumber
nafkah kehidupan yang memberinya penghasilan cukup, hendaknya dia bergembira
dan bersyukur kepada Allah atas hal itu. Betapa banyak orang tak sanggup
menafkahi dirinya sendiri dan harus meminta-minta dari orang lain, serta tidak
puas dan lama menderita! Dalam hal ini, perilaku yang tepat adalah bersikap jujur
pada sesama Muslim, menghindari penipuan dan segala sesuatu yang dilarang oleh
hukum, dan sumber nafkah seseorang mungkin mengarahkan perhatiannya ke hukum
itu. Manakala seseorang melakukan amal ibadah, seperti mengajar Al-Qur’an dan
sebagainya, dia mestilah memikirkan serta memperhatikan ganjaran utamanya, dan
bersikap selemah-lembut mungkin dalam dalam kegiatan mengajarnya, tidak pernah
memperlakukan murid dengan kasar atau tidak adil! Dia senantiasa harus
memusatkan perhatian kepada Tuhannya.
95
Akhirnya, bila seseorang mendengar atau membaca
nasehat seperti itu, dia mestilah bersyukur kepada Tuhannya dan merasa gembira
dengannya. Betapa banyak orang menjadi budak kelalaian, mereka mencari nasehat
tapi tak bisa menemukan orang yang memberi nasehat! Perilaku yang tepat dalam
konteks ini adalah memperhatikan nasehat, serta menyampaikannya kepada
orang-orang yang layak dan pantas menerimanya.
Fondasi semuanya ini adalah sikap tulus ikhlas
seseorang yang membutuhkan Allah dan yang memohon agar Allah memberinya sikap
demikian secara sempurna dan membantu dirinya untuk mencapai hal itu.
Barangsiapa menerima anugerah dan nikmat ini, dia mesti bergembira dan
bersyukur kepada Allah Swt. aats hal itu. Betapa banyak orang tenggelam dalam
cinta diri serta kelewat mengandalkan intelegensi dan kepandaiannya sendiri! Di
sini, perilaku yang tepat adalah mencurigai jiwa rendah, agar mengetahui
kehampaannya, seperti telah aku anjurkan.
Segala sesuatu yang telah aku katakan, dari awal
hingga akhir, tersirat dalam sebuah haids sahih dari Nabi saw. : “Perhatikan
orang-orang yang lebih rendah darimu, dan jangan memperhatikan orang-orang yang
lebih tinggi darimu; dengan begitu engkau tidak memandang kecil karunia dan
anugerah Allah kepadamu.” Dan, semoga Allah memberi kejayaan kepada kita. Tidak
ada yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Dia semata.().
SURAT KEENAMBELAS
Kepada Abu Ishaq Al-Syathibi. Jawaban atas
pertanyaan apakah seseorang bisa mengikuti jalan sufi hanya dengan bantuan
kitab-kitab tasawuf, atau apakah seseorang memerlukan pembimbing spiritual.
Jawaban ini juga memuat bahasan tentang jalan yang menuju Allah.
96.
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita,
Muhammad Saw, dan Keluarganya. Dari Muhammad ibn ‘Abbad, semoga Allah
mengasihinya, kepada saudaraku Ibrahim Al-Syathibi, semoga Allah Swt melindungi
dan memberikan kemurahan-Nya keapdamu dalam kehidupan ini dan akhirat nanti.
Semoga salam, rahmat, dan berkah Allah terlimpah atas dirimu.
Telah kuterima suratmu. Aku memahami apa yang
tenQabbab, dan telah mempelajari kenadungannya. Aku tidak bisa membalas semeua
topik yang ada dalam surat-surat itu. Surat-surat itu membahas msalah-masalah
yang sangat beragam dan luas sedemikian, sehingga aku sama sekali tidak mampu
menjawab surat-surat itu secara keseluruhan, baik secara mendalam maupun secara
umum. Sesungguhnya, aku hampir sama sekali tidak bisa berbicara tentang masalah
itu, sekalipun aku lebih bkewajiban melakukan yang demikian itu, ketimbang yagn
ditimbulkan oleh pertanyaannmu yang berharga dan bermanfaat itu.
Demi keringkasan, aku telah memutuskan untuk
membatasi pembicaraanku pada pemahamanku tentang peran pembimbing spiritual,
dan pada apa yang bisa kupahami dengan jelas tentang permulaan menempuh Jalan
itu. Kemungkinan besar, yang demikian itu secara umum bisa berlaku pada
orang-orang yagn dianugerahi oleh Allah awal yang penuh keberhasilan dalam
kehidupan spiritual. Jika engkau mendapati apa yang kukemukakan ini sesuai, maka
katakanlah begitu; jika tidak, katakan padaku lebih banyak tentang apa yang
engkau inginkan, dan maafkanlah uraianku yang singkat kali ini. Allah Swt
adalah Pemberi kejayaan bagi kita berdua, sesuai dengan keridhaan-Nya.
Aku berpandangan bahwa secara umum orang hampir tak
bisa mengingkari keharusan adanya
pembimbing spiritual dalam menempuh jalan sufi. Ini sungguh menjadi salah satu
dari sekian banyak masalah penting dalam praktik nyata. Para pembimbing spiritual ini, yang kepadanya
para pengikut jalan itu berlindung, terbagi menjadi dua golongan : mereka yang
mengajar dan sekaligus mendidik, dan mereka yang mengajar tanpa mendidik.
Tidak semua musafir membutuhkan pembimbing
spiritual yang mendidik. Orang-orang yang berpikiran dangkal dan memiliki nafsu
memberontak, sungguh membutuhkan pembimbing seperti itu, tetapi orang-orang
yang berpikiran terbuka dan mempunyai
nafsu yang penurut tidaklah membutuhkan pengekangan dari jenis petunjuk
pertama. Tetapi, setiap orang yang menempuh jalan itu membutuhkan pembimbing
spiritual yang mendidik.
97.
Pembimbing spiritual yang mendidikk, dibutuhkan
oleh musafir-musafir yang telah aku sebutkan di atas, sebab jelaslah bahwa
nafsu mereka telah diselimuti kekerasan dan kesesatan yang sangat. Hanya
pembimbing spiritual yang mendidik sajalah yang bisa menyibak dan menembus
tirai ini. Di antara orang-orang semacam ini, banyak yang membutuhkan
pembimbing spiritual, karena mereka dapat terseret ke dalam persaingan dan
permusuhan. Keadaan mereka sama dengan keadaan orang-orang sakit kronis, yang
obat penyembuhnya masih tetap menjadi teka-teki. Tidak ada alternatif lain,
kecuali mencari dokter kompeten yang bisa menyembuhkan penyakit mereka dengan
obat mujarab.
Orang-orang yang berpikiran luas, dan yang bisa
mengendalikan nafsu mereka, tidak begitu membutuhkan pembimbing spiritual yang
mendidik, karena intelegensi dan kepatuhan mereka yang tinggi. Pembimbing
spiritual yang mendidik memberikan tugas-tugas yang tinggi. Pembimbing
spiritual yang mendidik memberikan tugas-tugas yang benar-benar cocok bagi
orang-orang seperti ini, tapi tugas-tugas itu tidak akan cocok bagi orang lain.
Orang seperti ini tetap sabar dan tabah dengan izin Allah Swt, tidak takut pada
bahaya yang mungkin menimpa dirinya di saat menempuh perjalanan di sepanjang
jalan itu. Dia tetap bersungguh-sungguh bergerak maju dan mendaki jalan itu
dengan cara yang benar, seperti yang akan aku uraikan. Insya Allah. Malahan
orang seperti ini, bagaimana pun juga, tidak akan mencapai kesempurnaan yang
dicapai orang yang mempercayakan dirinya pada pembimbing spiritual yang
mendidik. Sebab, hawa nafsu selalu tertutup dan penuh tipu daya, sehingga ia
tetap sajah berubah-ubah. Hawa nafsu tak pernah terbebas dari hambatan-hambatan
seperti itu, kecuali lewat kepatuhan pada pembimbing spiritual pertama,d an
lewat ketaatan pada keputusan pertama dan perwaliannya. Manakala seseorang
mengikatkan diri pada keputusan-keputusan yang ditetapkan pembimbing spiritual
yang mendidik, maka dia tidak membutuhkan pembimbing spiritual jenis kedua.
Menyandarkan diri pada pembimbing spiritual yang
mendidik, adalah jalan yang ditempuh para pemimpin sufi belakangan; sementara
kepatuhan para pembimbing spiritual yang mendidik, adalah jalan yang ditempuh
para pemimpin sufi awal. Adalah jelas bahwa hampir semua tulisan awal, seperti
karya Al-Harits Al-Muhasibi, Abu Thalib
Al-Makki, dan yang lain sebelum mereka, tidaklah menetapkan upaya meminta
bantuan kepada pembimbing spiritual yang mendidik, sebagaimana dilakukan
kitab-kitab karya para ulama belakangan. Kendatipun demikian, para penulis awal
berbiara tentang dasar-dasar pengetahuan sufi dan cabang-cabang, fondasi serta
implikasi-implikasinya. Yang demikian itu benar, khususnsya menyangkut Syaikh
Abu Thalib. Ketiak mampaun mereka menyebutkan pembimbing spiritual yang
mendidik, karenanya, mengesankan bahwa pembimbing spiritual ini bukanlah syarat
untuk mengikuti dan menempuh jalan tasawuf.
Yang kumaksud adalah jalan yang ditempuh olehs
sebagian besar musafir. Ia sama dengan jalan hidup leluhur spiritual kita di
zaman dahulu, karena meraka diriwayatkan tidak mencari pembimbing spiritual
yang mendidik lalu tunduk patuh kepada mereka dengan cara yang diharuskan atas
murid-murid pembimbing semisal ini. Sebaliknya, jalan leluhur kita adalah
mencari pengetahuan dan memelihara kehidupan batiniah, di atas jalan
persahabatan dan persaudaraan. Mereka mencapai ini dengan sering saling
berkunjung. Perilaku lahiriah dan batiniah mereka memberi bukti tentang manfaat
besar dari pendekatan ini. Mereka menjelajahi segenap penjuru negeri, berusaha
menemui para wali, ulama, dan hamba-hamba Allah.
98.
Dengan memperhatikan tulisan-tulsian kaum sufi,
kita lembali pada soal pembimbing spiritual yang mendidik. Menggunakan dan
mempelajari kitab-kitab ini dianjurkan, hanya jika pengarangnya adalah
orang-orang berilmu dan memiliki pengetahuan mendalam, yang perilakunya pantas
ditiru. Dan hanya orang yang bersahabt dengan pembimbing spiritual terpercaya
yang silsilah spiritualnya murni saja yang bisa menila secara baik tulisan-tulisan
ini. Manakala pembaca menemukan dalam tulisan-tulisan itu uraian bermanfaat yang
benar-benar selaras dengan tuntunan-tuntunan lahiriah Hukum Wahyu, maka yang
demikian tiu sduah cukup baginya. Kalau tidak, dia tak punya pilihan lain
kecuali kembali pada pembimbing spiritual yang bisa menjelaskan kitab-kitab
itu. Sebab, seperti telah aku sebutkan, pembimbing spiritual sangatlah penting
dalam hal itu.
Pembimbing spiritual yang mendidik sulit dijumpai dewasa ini, dan “lebih berharga
ketimbang belerang mereha.” Begitu pula pembimbing spiritual yang mendidik,
sebab banyak yang berhubungan dengan jalan ini dan dipuji serta dipercayai,
sesungguhnya tidak memberikan uraian yang akurat tentang makna tasawuf, pun
tidak pula memperkenalkan orang-orang dengan Kebenaran Mistik, apalagi dengan
apa yang ada di luar itu. Aku tidak tahu mana dari dua bencana itu yang lebih
besar : Hilangnya pembimbing spiritual yang memiliki pemahaman mendalam, atau
tiadanya murid-murid yang tulus. Tetapi kita adalah milik Allah , dan
kepada-Nya kita kembali.
Kini muncul pertanyaan, Apa yang harus dilakukan
seseorang yang ingin menempuh jalan sufi dalam keadaan-keadaan seperti ini?
Apakah dia mesti menyibukkan diri dengan mencari pembimbing spiritual? Atau
dia, tidak usah mencari, dan hanya menunggunya? Dan dalam tiap kasus, apakah dia melakukan
aktivivtas-aktivitas musafir ataukah tidak?
Aku katakan tidak perlu mencari pembimbing spiritual, apakah
seseorang itu giat mengamalkan tasawuf atau tidak. Pembimbing spiritual adalah
anugerah dari Allah Swt. Demikianlah cara Allah membimbing hamba
bercita-cita tinggi yang telah mengarahkan perhatiannya secara penuh dengan
mengikuti jalan itu, tidak membuang-buang usaha serta mengarahkan segenap
kemampuannya, betapa pun kecil atau besar. Dalam hubungan inilah Allah Swt
membimbing seseorang ke keududukan yang lebih luhur, selamat dari bid’ah dan
kesesatan, sehingga sang pencari aman dari perangkap-perangkap yang menanti
setiap orang yang mengandalkan perhatian dan pengawasan spiritual sebagai penahan
terhadap berbagai godaan masa lalu dan masa mendatang.
Begitu pulla, tidak ada artinya hanya
menunggu-nunggu pembimbing spiritual sambil menunda-nunda praktik aktif tasawuf. Yang demikian itu hanyalah tindakan
tak berguna serta pola perilaku tak tepat. Hanya tinggal pilihan keempat saja :
melakukan aktivitas spiritual di saat menunggu-nunggu pembimbing spiritual.
Sang pencari bisa mencapai tujuan itu, dengan cara menyucikan niatnya, yaitu
menjaga ketulusan hubungannya dengan Allah Swt. Seseorang yang menginginkan
kehadiran Allah, membutuhkan kebenaran sempurna, sebab Allah hadir pada
orang-orang yang benar. Ketulusan terjadi melalui pendisiplinan hawa nafsu demi
kesalehan yang diperlukan dalam tasawuf. Yang demikian itu meliputi doa
pribadi, kalau yang bersungguh-sungguh menuju pintu Yang Dipertuan, kerangka
pikiran positif, harapan murni serta hadir di hadapan Allah Swt dengan penuh
kekaguman, penghormatan, dan kerendahan hati. Begitu seseorang mendisiplinkan
diri, dan menyelaraskan jiwa rendah (hawa nafsu) dalam masalah-masalah ini, dia
mesti memohon Allah Swt agar memenuhi janji-Nya, dan dia akan sampai pada
tujuan yang diinginkannya.
99.
Seseorang
yang mencari petunjuk harus memahami bahwa cara hidup sufi adalah anugerah yang
Allah SWT berikan karena keridhaan-Nya pada hamba-hamba-Nya itu.
Dia bukakan pintu bagi tasawuf, serta menyibakkan hijabnya hanya kepada orang
yang benar-benar yakin membutuhkan Allah dan yang berada dalam tahap tawakal
kepada Allah. Kaum sufi, karena itu, dipisahkan dari sesama manusisa, dan tidak
menginginkan orang lain berbagi kehidupan dan tempat tinggal bersama mereka.
Seperti telah dikatakan guru-guru spiritual, “Kaum Sufi berdiam di sebuah rumah dan tak ada seorang
pun bergerak di dalamnya bersama mereka.” Yang demikian itu karena ketika Allah menginginkan
sebagian makhluk-Nya menjadi milik-Nya, yakni mengada secara esensial dan
absolut untuk-Nya, Dia tuangkan iman ke dalam kalbu mereka, serta memahatkan
iman itu di sana, dan memperkuat mereka dengan Ruh-Nya. Semuanya itu terjadi
tanpa adanya inisiatif dari mereka. Karena itu, ketika Allah memberikan
anugerah itu kepada mereka, dan membuat mereka menyadarinya, Dia bukakan bagi
mereka pintu perlindungan dan kebutuhan akan Diri-Nya. Kemudian
makhluk-makhluk-Nya akan memandang diri mereka tak berdaya, nyaris tak bisa berbuat apa-apa,
serta mengada di batas kelemahan dan kefakiran.
Manakala Allah membuka pintu ini bagi mereka, Dia
kirimkan kepada mereka anugerah, rahmat, berkah, dan kebaikan, sesuai dengan
janji-Nya baha Dia akan cukup bagi hamba-hamba-Nya yang mengabdikan diri mereka
kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya. Pada saat itu cahaya-cahaya keimanan bertambah. Allah Swt
mengatur keadaan-keadaan spiritual dan tindakan-tindakan mereka sedemikian
rupa, sehingga cahaya-cahaya itu nampak oleh mereka. Mereka terus-menerus
tinggal di pintu Allah Swt, sampai mereka tiba pada kedudukan menyembah Allah
secara terus menerus. Di sana mereka melihat Keesaan Allah,d an memahami
sepenuhnya Kunikan-Nya. Pada saat itu, bekas-bekas manusia-jasmani
mereka pun terhapuskan; penilaian paling matang mereka pun tampak totoal; dan
di kehadiran Eksistensi itu sendiri, segenap tampakan pun hilang. “Katakanlah :
Kebenaran telah datang, dan kebatilan pun telah lenyap. Sungguh, kebatilan
pasti bakal lenyap.” (Qs. 17:81).
Inilah penyempurnaan yang ingin sekali dialami oleh
para musafir. Ibadah mereka kepada Tuhan menjadi sempurna, dan mereka pun tidak
lagi harus mewaspadai terus-menerus ketulusan mereka. Itulah satu-satunya
keinginan mereka. Pada titik itu, “menempuh jalan” dan “tertarik” bersatu padu.
Perbedaannya ialah, Allah menganugerahkan kedudukan ini kepada mereka yang
telah “tertarik” dalam waktu lebih singkat, bukan kepada mereka yang “tengah
menempuh jalan.” Selain itu, Dia membimbing golongan pertama ke kedudukan ini
tanpa mereka mengerahkan usaha. Dalam masing-masing kasus, Allah Swt tidak
meninggalkan mereka begitu saja tanpa perlindungan dan penjagaan-Nya dari awal
hingga akhir. Mereka
terkena tindakan, bukan pelaku tindakan sesuai dengan ucapan, “Kaum Sufi adalah
anak-anak dalam pangkuan Tuhan.”
Makanya, engkau bisa melihat bagaimana Allah Swt memilih
menjaga oarng yagn telah dipilih-Nya,s ehingga orang tersebut tidak harus
mencari-cari dan menempuh jalan seraya hanya mengandalkan dirinya sendiri. Sang
musafir mestilah menuju ke arah ini. Misalnya saja, dia harus memandang
keadaannya sendiri berdasarkan pemahamannya tentang jalan sufi, meneladani
kedudukan mulia seseorang yang dikenal sebagai sufi, yang dengannya dia bisa
memahami sepenuhnya jalan itu serta tingkatan-tingkatannya. Tidak diragukan
lagi, pengertian dan pemahaman menyeluruh tentang hal itu sangatlah penting.
Tanpanya, tak bakal ada seorang pun bisa mencari jalan itu, atau berhati-hati
tiba di situ, sebab mencari sesuatu yang benar-benar tak diketahui sama sekali
tak bisa dibayangkan.
100.
Nah, pemahaman menyeluruh seseorang tentang hakikat
jalan itu tidaklah muncul dalam dirinya dengan serta merta. Hal itu muncul
melalui kecenderungan inteleknya. Pengamatan cermat atas situasi ini
mengungkapkan, bahwa Allah Swt. memberikan tiga nikmat dalam kaitannya dengan
pengertian dan pemahaman ini : kehidupan fakultas intelektual itu sendiri;
kecenderungan intelek dalam memahami hal berharga ini; dan tindakan memahaminya
itu sendiri. Dan smuanya ini terjadi dalam diri seseorang, terlepas dari
pertolongan kekuatan atau nilai abadinya. Sungguh sedikit sekali orang yang
dianugerahi bahkan satu dari ketiga nikmat ini, apalagi ketiga-tiganya.
Setelah seseorang memiliki pengetahuan tentang
segala sesuatu yang telah aku bicarakan, Allah Swt. masih mempunyai nikmat
keempat yang disediakan baginya, yang lebih baik ketimbang yang lainnya.
Merupakan pengetahuan mendalam bahwa dia tidak bisa menyebabkan hal-hal ini
lewat perilakunya sendiri. Inilah nikmat keempat. Selama sang hamba menyadari
memperhatikannya, serta bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang telah dipahami
dalam pikirannya itu, maka yang terlihat paling jelas di matanya adalah
ketakberdayaan, kefakiran, ketidakmampuan, serta kejahilannya sendiri. Dia
yakin bahwa Tuhannyalah, Allah Swt, yang menguasai hal-hal itu, serta yang
mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang
mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang tepat di
hadapan Allah, menghindari nafsunya lalu menuju kepada-Nya, serta membuatnya
keluar sebagai pemenang dalam arena ini. Dalam keadaan-keadaan seperti itu,
Allah akan menyediakan semua rezekinya, menyingkirkan segala kesulitannya,
serta menghilangkan baginya segala bentuk kesukaran.
Hasil dari mengalami pengetahuan dan perspektif
yang diberikan kepadanya ini adalah bahwa sang hamba bebas bergerak sehingga
dapat dibawa ke mana pun Allah membawa dirinya, tanpa harus mencari-cari dengan
cemas atau tanpa harus memilih ke mana dia akan pergi. Jika tetap dalam
kesadaran ini, dia bakal sampai pada kedudukan yang berhubungan dengan semua
kedudukan lainnya. Dia akan mencapai tujuan keinginannya, yang segala keinginan
lainnya adalah tercela.
Jika, sebaliknya, kesadaran ini tidak datang kepada
dirinya, dan dia terdorong untuk mencari hal-hal yang menyebabkan dirinya lalai
pada Zat yang menganugrahkan nikmat-nikmat yang telah aku jelaskan ini –
kondidsi ini diawali dengan tiadanya pemahaman dan perhatian penuh – maka
kemalangannya bakal lebih besar ketimbang kemalangan berupa sekedar tidak mampu
mencapai tujuan ini. Selain itu, sang hamba akan menderita kelelahan dalam
mencari, dan segenap jerih payahnya bakal membuat sempit inti wujudnya. Maka
itu, dia mesti kembali pada kondisi penyembuhan, yang sejak semula dia alami.
Inilah perubahan yang mendahului petunjuk. Pencapaian tak pernah bisa
mencampakkan prinsip-prinsip pertama. Selama perjalanannya, sang pencari mesti
mengambil untuk dirinya sendiri semua amalan hati ini, serta menjadikannya
sebagai fondasi seluruh kehidupannya.
101.
Di samping itu,s ang pencari harus menjauhkan diri
dari setiap perselisihan dan kemaksiatan, menarik diri dari orang banyak, dan
memutuskan hubungan dengan yang mendorong dirinya ke arah dosa dan kejahatan.
Yang terakhir ini mencakup segenap situasi yagn penting bagi jabatan politik
atau posisi kewenangan dan kepemimpinan, atau bagi pengkajian ilmu, dan
ebagainya. Semuanya ini merupakan gangguan utama, dan bertentangan dengan
menempuh jalan itu. Sang pencari mesti menghidnari pengkajian spekulatif yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal,
sebab hal itu cenderung menghasut orang-orang, dan menjadi penghalang besar antara seseorang dan
tujuannya yagn sudah ditentukan. Sejumlah kecil orang yang tekun mempelajari
hukum, dan yang pandai hukum serta secara ketat mengamalkannya, agaknya juga
tersentuh oleh pengetahuan sufi, kecuali orang yang menempuh jalan “tarikat”. Pendekatan faqih adalah
sedemikian rupa, sehingga banyak dari mereka membayangkan bahwa ada kesenjangan
antara yang lahiriah dan yang batiniah, dan ada pertentangan antara Hukum Wahyu
dan Kebenaran Mistik! Kecurigaan mereka menyebabkan mereka melecehkan tasawuf,
karena tasawuf dianggap telah menyimpang dari prosedur dan ketentuan ilmu hukum
mereka. Mereka telah menimpakan kesengsaraan atas banyak pemimpin spiritual,
menuduh mereka sebagai kafir, berpikiran bebas, serta berbagai kesesatan dan
bid’ah.
Sangatlah penting kalau sang musafir menghindari
orang-orang seperti ini, sebagaimana dia harus menghindari seekor singa. Dia
mesti menghindari keterlibatan dalam kajian-kajian mereka, kecuali sepanjang
semuanya itu berkaitan dengan ibadah serta praktik ibadahnya.
Di sisi yang lebih positif, sang pencari mesti
melakukan berbagai amalan khusus yagn diwajibkan atas musafir. Dia akan sampai
pada pengetahuan tentang hal-hal ini, meski hanya dalam bentuk berpaling dari
keingkaran, tidak melakukan pelanggaran hukum, menjaga pikirannya agar tidak
rancu, atau amal-amal lahirah dan batiniah lainnya sejenis itu. Kini dia mesti
mengatasi ketakutannya akan kegagalan, dan tidak lagi memikirkannya, sebab dia
pasti mengalami kegagalan lebih dari cukup, khususnya dalam latihan-latihan
awalnya. Kemudian mesti mencurahkan waktu luangnya, di luar latihan-latihan
spiritualnya, untuk mengkaji perilaku leluhur kita dalam agama, sifat hubungan
mereka dengan Allah Swt sebagaimana yang dibuktikan oleh ibadah dan ketulusan
keinginan mereka kepada-Nya.
Orang harus
tekun membaca tulisan-tulisan sufi, guna
memperoleh pengetahuan menyeluruh dan mendalam tentangnya, dan mencerna
pengetahuan mendalam serta memahami maksud-maksudnya. Sang pencari mestilah
mengesampingkan keengganan kebanyakan orang mempelajari beberapa tulisan sufi.
Seperti telah kukatakan, ini berlaku khususnya pada orang-orang yang tekun menggeluti
kajian-kajian hukum, intelektual, dan doktrinal. Menerima tulisan-tulisan ini
bisa terjadi setelah menyukai jalan
tasawuf dan berlindung kepada Allah Swt dengan harapan bahwa Allah akan
membukakan pintu pemahaman dalam soal-soal ini. Orang mesti mencari
bantuan, dengan cara berhubungan dengan seseorang yang benar-benar mengetahui
serta mempunyai kecintaan tulus apda jalan sufi.
Sang pencari mesti menyibukkan diri dengan berbagai
hal yagn telah aku uraikan, serta sama sekali tidak boleh terhalang oleh
kegagalannya menemukan pembimbing spiritual, yang kepadanya dia bisa kembali
pada setiap keadaan dalam perjalanannya. Dia mesti juga menyadari bahwa dia
tidak eprlu memandang rendah manfaat-manfaat yang sangat banyak yang
diperolehnya, dan menggenggam kuat-kuat hasil-hasil positif itu. Itulah jenis
syukur atas nikmat amalannya, yang diperlukan manakala seseorang ingin beroleh
lebih banyak.
Setelah sang
hamba memulai syarat-syarat ini, mencari pertolongan Allah Swt, percaya
kepada-Nya, menunjukkan perasaan takut yang tepat kepada-Nya, serta mematuhi
segala perintah-Nya, maka dia telah sampai pada harapan terbesar itu : Bahwa
Allah Swt akan mengajari dirinya apa yang perlu dia ketahui guna menempuh
perjalanannya, sebagaimana dijanjikan oleh-Nya ketia Dia berfirman,
“Bertakwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarimu.” (Qs. 2 :282). Allah
Swt, juga berfirman, “Sungguh, Kami akan menunjukkan kepada orang-orang yang
berjuang demi Kami, jalan-jalan Kami.” (Qs. 29:69). Dan juga; “Allah akan
memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.” (Qs. 65:2).
Walhasil, sang pencari akan memeproleh segala macam nikmat berlimpah, dan akan
mengalami kemajuan pesat dan langsung dalam perjalanannya.
102.
Allah Swt. akan menganugerahinya petunjuk yang
benar, yang menenangkan jiwa rendahnya, serta menyejukkan kalbunya. Sebagai
bagian dari proses ini, Allah Swt. akan memandunya menuju ke pembimbing
spiritual saleh, yang akan membantunya beroleh kemajuan lebih cepat dalam
pemahaman. Lambat laut dia tidak akan lagi memerlukan pembimbing atau roang
lain. Sang pencari hanya perlu menyucikan niatnya kepada Allah Swt, seta
memperbaiki corak berpikirnya tentang Allah. Dan akan mencapai hal itu. Dapat
dikatakan, tak ada pengantar formal baginya dalam hal-hal ini.
Singkat kata, orang yang mulai menempuh jalan itu,
beramal lewat amalan-amalan kalbu dan jasmani, seperti yang telah aku uraikan,
akan termasuk golongan yang terbimbing di sepanjang jalan itu, kalau memang layak
dan pantas untuk itu. Pada umunya, kaum sufi sepakat bahwa seseorang bisa
datang kepada Allah hanya dengan pertolongan Allah, dan bahwa hanya jiwa rendah
sajalah yang merupakan penghalang hubungan sang hamba dengan Allah. Jiwa rendah
yang tidak melawan dirinya sendiri, akan melawan Allah. Jika jiwa rendah
melawan Allah, maka tak bisa dibayangkan bisa menempuh jalan itu sambil menolak
serta menghalangi perlindungan, perhatian,d an dukungan yang ingin Allah
anugerahkan kepada sang pencari menurut cara yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mau memberi rezeki
kepada hamba yang saleh, kecuali dengan cara-cara yang tidak diketahui sang
hamba. Jiwa rendah yang menabiri antara kegelapan dan cahaya, tidak
lenyap begitu saja; hijab itu terangkat dan tersibak sedikit demi sedikit
sampai timbulnya keyakinan.
Inilah awal jalan sang musafir menuju berbagai
tingkatan keadaan dalam tasawuf. Puncaknya tak lain adalah sepenuhnya menyadari
Keesaan Allah, “Itulah karunia Allah yang diberikan oleh-Nya kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya (Qs. 62 :4). Selama seseorang tetap sibuk dengan (keadaan)
“tengah berada dalam perjalanan” dan dengan (keadaan) “Sampai di sana”, maka
tujuan itu tak akan bisa dicapai. Sewaktu-waktu dia mesti meninggalkan dirinya
sendiri. Hanya dengan begitu, dia akan mengalami kebebasan dan kemuliaan yang
sebanding dengan tahap kemajuannya, dan yang demikian itu sama dengan mengalami
kegembiraan waktu pulang ke rumah.
Bertentangan dengan spekulasi sebagian orang, tidak
ada gurun pasir atau tanah kosong di Jalan Allah Swt. Di mana saja sang musafir
berkemah, disediakan baginya rumah atau tempat yang menyenangkan. Setiap
situasi adalah mudah baginya; para hamba dan penolong memudahkan kedatangan dan
kepergiannya. Tetapi, jika hamba Allah itu berdsandar pada yang sifatnya lazim,
pada hal-hal yang dia yakini, maka dia pasti menjumpai gurun pasir dan tanah
kosong di dalam kelaparan jiwa rendah serta
di dalam pengandalan intelek
serta dugaannya. Ketika pada akhirnya
hijab itu disingkapkan, maka yang demikian tiu akan benar-benar nampak jelas
olehnya. Dan kita brelindung kepada Allah dari penilaian yang merugikan.
Setelah sang pencari memahami kebenaran
semua yang telah aku bicarakan, perjalanan di sepanjang jalan ini tidak
bakal menimbulkan kengerian baginya, dan dia tidak akan menganggapnya sulit.
Dia akan menempuh perjalanannya dengan gembira, dan dengan kelapangan wujudnyam serta dia tidak bakal membenani
jiwanya atau inteleknya dengan telaah berlebih-lebihan yang dibahas pemikir
psekulatif. Soal-soal semisal ini hanya membingungkan, menyusahkan, dan menahan
langkah seseorang, karena membuatnya segan memulai menempuh jalan ini, dan
secara efektif menghalang-halanganinya menempuh perjalanan ini. Meskipun
seorang hamba terpaksa memandang otentik hampir semua konsep spekulatiff ini,
dan tak mampu memenuhi kewwajiban-kewajibannya, yaitu bertindak sesuai dengan
syarat-syarat esensialnya, sesuai dengan Hukum Wahyu dan prosedur-prosedur
hukum di kalangan ulama, dia mungkin saja tidak bakal bisa memenuhinya dengan
cara begitu. Dan bagaimana mungkin dia bisa? Alhamdulillah, soal itu jauh lebih
mudah dicapai ketimbang semuanya ini!
103
Baiklah kujelaskan. Allah Swt. mengutus kepada kita
Rasul-Nya, Muhammad Saw. yang membawa agama yang benar dan toleran. Dia tidak
memaksa kita dalam agama. Di
atas dan di luar itu, syarat menempuh perjalanan yang tidak sejalan dengan
sarana orang, adalah memecah belah, menimbulkan kontroversi, serta menyebabkan
tiadanya petunjuk yang benar dan tiadanya satu hal penting yang dituntut
dari sang hamba yakni ketulusan dalam
beribadah kepada Allah Swt. satu-satunya yang mungkin mencegah sang hamba dari bergerak maju
meleati berbagai kedudukan penghambaan adalah menyerah kepada hawa nafsunya.
Segala macam hawa nafsu terlihat jelas olehnya, sebab kesemuanya itu, tak syak
lagi, merupakan bagian dari resam tubuh dan kemakhlukannya. Bagaimana mungkin
orang bisa tidak menyadari keadaan batiniahnya, sepanjang dia menuntut tanggung
jawab jiwa rendahnya, bertindak dengan keimnanan yang benar menuju Tuhannya,
serta berusaha menyucikan kalbu?
Karena itu, sang pencari mestilah melawan jiwa
rendahnya dalam menghadapi segala godaan, selama perlawanannya itu tidak
merugikan dirinya, secara mental atau jasmani. Dia harus terus menerus menolak
apa yang bisa menyebabkan dirinya mengandalkan sarana dan pemahamannya sendiri,
dalam kesulitan apa yang dialaminya. Sesungguhnya, kesulitan itu sendiri, sangat bermanfaat bagi dirinya.
Hasil bersih dari berbagai kesengsaraan yang menimpa sang pencari, dan yang dia
lihat selama melawan jiwa rendahnya,
adalah bahwa kesemuanya itu mengantarkan dirinya pada berbagai macam amal
kepatuhan. Hanya saja, sang pencari mungkin tidak menyadari tujuan ini dan
menghindari cobaan-cobaan, yang dengan
demikian kehilangan peluang untuk patuh. Hal serupa berlaku atas seseorang yang
menolak mengikuti apa yang dipahami pikirannya, manakala kebenaran rasional
tertentu menjadi jelas bagi pikirannya itu : Dia mengabaikannya, serta
pura-pura tidak mengetahuinya. Teapi, cobaan-cobaan tidaklah membahayakan
dirinya. Sebaliknya, semua itu merupakan jalan paling jelas untuk diikuti. Sang
hamba adalah orang yang nasibnya berupa kelemahan dan ketidak-cukupan,
sekalipun dia sangat berhasil dalam ilmu maupun amal.
Bagi sang pencari, bersandar pada disiplin diri
(mujahadah) yang telah aku uraikan ini, akan menjadi satu kesibukan yang akan
membuatnya tidak bingung serta tidak menyimpang dari jalan kesadaran spiritual
sempurna, dan tidak menghadapi berbagai bahaya serta kerentanan terhadap segala
luka. Orang yang
memanjakan jiwa rendahnya, baik dengan cara tidak mau berpuasa maupun berpuasa
terlalu ketat dan terlalu lama, tanpa beristirahat beberapa hari, sesungguhnya
sudah jauh tersesat. Hal serupa berlaku pula atas orang yang suka menyedekahkan
semua yang dia miliki tanpa menyimpan sebagian untuk dirinya sendiri; atau
orang yang senang mengasingkan diri di relung-relung gunung, atau terus menerus
memencilkan diri di gurun-gurun pasir. Kecenderungan-kecenderungan tersembunyi
hawa nafsu menyebabkan kesemuanya ini. Pengobatannya sulit, membutuhkan
pengujian keagamaan dan keduniaan yang sesuai dengan penyakit itu.
Lebih baik kita tetap berada dalam batas-batas
Hukum Wahyu, dan menempuh jalan kesalehan serta ketakwaan kepada Alalh, sebab
dalam keduanya itu, tidak ada kecenderungan hawa nafsu. Orang kemudian bisa
meningkatkan upayanya menundukkan jiwa rendah serta kecenderungannya untuk
lalai dab berlebih-lebihan. Manakala sang hamba tetap tulus dalam segenap
keadaannya, Allah Swt. akan menjaga, mendukung, dan melindungi dirinya dari
kehancuran. Dia akan membimbingnya, dan mengirimkan kepadanya pembimbing
spiritual berpengalaman, serta akan membuatnya bahagia. Tugas sang hamba adalah
memulai; tugas Allah Swt. adalah menyempurnakan. Dan dari awal hingga akhir,
soal itu ada dalam kekuasaan Allah.
Inilah yang aku tahu, untuk menjawab pertanyaanmu.
Aku menaydari sepenuhnya, bahwa dengan terlibat
dalam apa yang bukan urusanku, berati aku melangkahi batas-batasku dan
bertindak tidak tepat. Dari Allah Swt. aku memohon ampunan, keridhaan serta
maaf; sebab, yang demikian itu adalah wewenang-Nya. Dia cukup banyak memberiku
hal-hal itu, dan Dia-lah pelindung terbaik. Marilah kita memohon kepada Allah
Swt. agar menunjukkan kepada kita yang
benar sebagai benar, dan memberikan kita kemampuan untuk mengikutinya;
menunjukkan kepada kita yang salah sebagai salah, dan memberi kita kekuatan
untuk meninggalkannya. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas
Junjungan kita, Muhammad, dan Keluarganya, serta para Sahabatnya.()
Ooooo00000000000000000oooooooooooo0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar