(Pencerahan Ilmu
Pengetahuan)
Judul : Suhrawardi– FILSAFAT ILLUMINASI (Pencerahan Ilmu
Pengetahuan)
Oleh : Hossein Ziai (Guru Besar Universita California Los
Angeles
Diterjemahkan dari @Hoosein Ziai, Knowledge and
Illumination
A Study of Surahwardi’s Hikmat al-Isyraq
Penerjemah : Dr, Afif Muhammad dan Drs. Munir
Penerbit : Zaman Wacana Mulia
Jl. Pasirwangi 3 Pasirluyu Bandung 40254
Penyadur : Pujo Prayitno
DAFTAR - ISI
1. BAGAIMANA
MENDEFINISIKAN FILSAFAT ILLUMINASI
2.
KARYA-KARYA SUHRAWARDI TENTANG FILSAFAT ILLUMINASI
2.1. Empat
Karya Penting
2.2.
Posisi al-Lamahat dan Karya-karya lainnya
2.3. Sifat
Keempat Karya Ini
2.4.
Periode Penulisan Karya-karya Penting : Catatan tentang Kehidupan Surahwardi
2.5. Abu
al-Barakat al-Baghdadi dan Filsafat Illuminasi
3.
KARYA-KARYA PENTING YANG DIKAJI
3.1.
Al-Talwihat
3.2.
Al-Muqawamat
3.3.
Al-Masyari’ wa al-Mutharahat
3.4.
Hikmat al-Irsyaq
3.4.1.
Alasan-alasan Surahwardi Menyusun Hikmat al-Isyraq
3.4.2.
Metode Hikmat al-Irsyaq
3.4.3.
Pandangan Surahwardi tentang Sejarah Filsafat
4. K E S I M P U L A N
FILSAFAT ILLUMINASI
1. BAGAIMANA
MENDEFINISIKAN FILSAFAT ILLUMINASI
Semenjak masa-masa awal abad ini, para orientalis dan
sejarawan filsafat mencatat bahwa Suhrawardi adalah tokoh penting dalam
membangun pemikiran filsafat pasca Ibn Sina. Sarjana-sarjana terkenal, semisal
Carra de Vaux dan Max Horten, telah menulis esensi-esensi pendek tentang
Surahwardi. Di akhir tahun duapuluhan, Louis Massignon telah memberikan suatu
klaisifikasi karya-karya Surahwari. Pada akhir tahun tiga puluhan, Otto Spies
mengedit dan menerjemahkan sejumlah kiasan-kiasan fislafatnya; dan Helmut Ritter
membahas aspek-aspek kehidupannya dan membedakannya dari tiga mistikus Muslim
yang mempunyai nama yang sama. Memasuki pertengahan tahun empat puluhan, edisi
teks Henry Corbin atas karya-karya filsafat Suhrawardi mengobarkan perhatian
khusus dalam pemikiran seorang manusia yang secara tradisional dikenal dengan
“Guru Filsafat Illuminasi” (Syaykh al-Isyraq). Dalam tahun-tahun terakhir ini,
Seyyed Hossein Nasr telah mengerahkan sejumlah kajian terhadap dimensi spiritual
dan keagamaan dalam ajaran-ajaran Surahwardi. Namun, belum ada suatu usaha
serius untuk mengkaji dasar-dasar logika dan epistemologi filsafat Illuminasi
dari sudut pandang filsafat, dan menyebutkannya dalam sejumlah halaman tesis
doktoral Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysies in Persia, tetap
merupakan catatan umum terbaik atas pemikiran filsafat Surahwardi.
Sarjana-sarjana akhir-akhir ini, terutama Corbin dan
Nasr, telah memberikan penekanan pada signifikasi Suhrawardisebagai seorang
pembangkit pemikiran Irak kuno. Kedua penulis ini berulang-ulang menunjukkan
apa yang mereka anggap sebagai kualitas mistis pemikiran Suhrawardi yang
mendasar, namun tanpa upaya kajian sistimatis terhadapa karya-karya filsafat
Illuminasi. Karakterisasi umum semacam itu, meskipun berguna, tidak memberikan
kepada kita suatu pandangan komprehensif tentang filsafat Illuminasi.
Untuk menilai secara rinci peran Suhrawardi dalam
perkembangan pemikiran filsafat Ibn-Sina, seseorang harus menggambarkan
karakter pemikirannya. Peran Suhrawardi sebagai perintis “kebijaksanaan”
(wisdom) Yunani dan Iran dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan keagaamaan
dan mistis tidak dapat dibatasi, sebelum melihat penanganannya terhadap problem
logika, fisika, matematika dan metafisika. Untuk mengatakan bahwa Suhrawardi adalah
seorang mistikus metafisika. Untuk mengatakan bahwa Suhrawardiseorang mistikus yang telah
ditakdirkan untuk mengagunggkan dan menghidupkan filsafat dan kebijaksaan Iran
Kuno, dan untuk menggambarkannya sebagai seorang wali “perenialis”, “bijak” dan
“agung”, tidak harus membatasi hakikat pemikirannya yang sebenarnya – meskipun
ia bukan seorang mistikus, teolog, filosof yang sistematis atau ideolog
sejumlah bentuk nasionalisme Iran abad pertengahan.
Untuk mengatakan sesuatu yang penting tentang pemikiran
Surahwardi, pertama-tama kita harus membatasi hakikat dasar logika dan
epistemologi filsafat illuminasi yang jelas. Hanya dengan dasar analisis
sistematis semacam itu kita dapat menunjukkan apakah Suhrawardi seorang
mistikus atau filosof, atau apakah dan bagaimana dari, filsafat sistematisnya
adalah pembelaan, penjelasan, atau sitematisasi atas pengalaman-pengalaman
mistis sebagai sebuah metode untuk menyingkap realitas. Untuk melakukan suatu
pendekatan sitematis semacam itu, kita harus membatasi terlebih dahulu
karya-karya Suhrawardi yang membahas apa yang secara spesifik ia sebut filsafat
Illuminasi (Hikmat al-Isyraq).
2. KARYA-KARYA SUHRAWARDI TENTANG FILSAFAT ILLUMINASI
2.1. Empat Karya Penting
Kita akan memulai dengan menyelidiki empat karya filsafat
Suhrawardi yang berbahasa Arab :
al-Talwihat (Intimations), al-Muqawamat (Apposites), al-Masyari’ wa
al-Mutharahat (Paths and Havens), dan Hikmat al-Isyraq, untuk menujukkan bahwa
berdasarkan pernyataan eksplisit Suhrawardi sendiri, karya-karya ini merupakan
karya yang utuh (integral) yang di dalamnya gambaran umum dan perkembangan filsafat Illuminasi dikemukakan, dari
permulaan analisis dan diskursifnya hingga tujuan yang dialami (Experential),
yang digambarkan secara kiasan dan simbolik sebagai tujuan filsafat illuminasi.
Untuk menjawab pertanyaan “Apakah filsafat illuminasi itu?” secara memuaskan
kita tidak dapat membatasi diri dengan hanya mengkaji salah satu dari empat
karya ini, sebaliknya, kita harus menyelidiki seluruhnya sebagai keseluruhan
yang koheren. Hanya dengan kajian semacam itu, memungkinkan menggambarka suatu
penilaian yang komprehensif tentang filsafat illuminasi itu.
Berikut ini adalah pernyataan Suhrawardi yang paling
eksplisit tentang keterkaitan keempat karya tersebut : “Buku ini (al-Masyari’
wa al-Mutharahat) harus dibaca terlebih dahulu sebelum membaca Hikmat al-Isyraq
dan setelah penyelidikan singkat yang disebut al-Talwihat”. Karena al-Mukawamat
dinyatakan sebagai penjelasan bagi al-Talwihat, ia mengikuti bahwa rangkaian pembacaan dan pengajaran filsafat illuminasi yang
dianjurkan, sebagai berikut : 1)al-Talwihat, 2) al-Muqawamat; 3) al-Masyari’ wa
al-Mutharahat, dan 4) Himat al-Isyraq. Kenyataanya, karya-karya ini harus
dibaca bersama dan dalam urutan
tertentu, dan hanya dengan begitu mereka membentuk filsafat illuminasi.
Sekarang, dalam meninjau fakta-fakta tertentu yang akan kita selidiki segera,
terbukti bahwa karya-karya penting ini ditulis, diajarkan, direvisi dalam
rentang waktu tidak lebih dari sepuluh tahun. Ini menunjukkan bahwa gagasan
filsafat Illuminasi, apakah secara persial atau seluruhnya, telah ada dalam
pikiran Suhrawardi ketika menyusun masing-masing karya-karya ini. Sebenarnya
saya ingin menunjukkan bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing dari
karya-karya ini tidak lain kecuali mengetengahkan filsafat Illuminasi yang
sistematis. Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihat
(Intimations), misalnya, ditulis sesuai dengan “metode Paripatetik”, ia
bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan
dalam filsafat Paripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode
“Paripatetik” dalam kehidupan dan karya-karya Surahwardi. Sebaliknya, ia menunjuk
pada kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat
Illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Paripatetik, terutama ajaran-ajaran Ibn
Sina sebagaimana ditemukan dalam dua karyanya yang terkenal, al-Syifa’ dan
dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat. Untuk menyusun suatu filsafat dalam suatu
karya yang menyingkap logia, fisika dan matematika (dan filsafat Illuminasi
merupakan suatu sistem filsafat yang sempurna dalam pengertian ini) berarti
bahwa, bahkan lebih jauh, Suhrawardi harus bekerja dalam kerangka kerja
metodologis dan konspetual tradisi ilmiah dan filosofis yang telah mapan, yang
dalam hal ini tradisi Paripatetik yang dinyatakan secara eksplisit, terutama
adalah Ibn Sina (yang sering disebut Suhrawardidi sejumlah tempat dalam teks-teksnya)
dan bukan Al-Farabi atau al-Kindi (bahkan tidak pernah disebut).
Filsafat Illuminasi menekankan
unsur-unsur intuitif tertentu yang melampaui pemikiran diskursif, tetapi ia
bukanlah suatu sistem yang sepenuhnya bertolak belakang, atau berbeda sepenuhnya,
dengan filsafat Paripatetik. Sebenarnya, filsafat
Paripatetik, sebaaimana dikaji dan dipahami Surahwardi, adalah titik tolak dan
unsur yang tak terpisahkan dari metodologi illuminasi. Hanya dengan
membandingkan dengan filsafat Paripatetik seseorang dapat menyadari bagaimana
filsafat illuminasi bertujuan memperluas pandangan manusia terhadap sesuatu;
kemudian, dalam istilah-istilah tersebut, keberhasilannya dalam mencapai tujuan
itu dapat ditentukan.
2.2. Posisi al-Lamahat dan
Karya-karya lainnya
Karena beberapa alasan, kita tidak memasukkan karya Suhrawardi
al-Lamahat (Flashes of Light) dari kajian kita. Sejak awal, Suhrawardi hanya
menyebut al-Lamahat sekalid alam empat karya yang telah disebutkan terdahulu,
sedang di antara yang terakhir ini terdapat sejumlah penyebutan silang. Ia juga
tidak pernah menyebut bahwa al-Lamahat sebagai bagian dari tulsian yang mesti
dibaca oleh murid filsafat illuminasi. Satu-satunya tempat Suhrawardi menyebut
al-Lamahat adalah dalam “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq, tempat ia menunjukkan
bahwa di antara karya-karyanya, karya ini menempati suatu posisi “di bawah”
al-Talwihat, yang termasuk ke dalam kelompok karya yang menghiasi filsafat
Illuminasi. Dalam “Pendahuluan” al-Lamahat Suhrawardi menyebutnya sebagai suatu
karya “yang sangat singkat, yang hanya mengandung unsur-unsur terpenting tiga
ilmu (logika, fisika, dan metafisika).” “Unsur-unsur terpenting” hanya
merupakan suatu garis besar atau silabus singkat topik-topik penting filsafat
Paripatetik, seperti dikemukakan, misalnya, dalam karya penting filsafat Ibn
Sina, al-Syifa’, Al-Lamahat adalah karya sederhana, yang mengetengahkan secara
tidak argumentatif prinsip-prinsip dari kaidah-kaidah utama filsafat
Paripatetik mengenai logika, fisika dan metafisika. Sebaliknya, dalam keempat
karyanya yang penting, Suhrawardi membicarakan persoalan dalam berbagai-bagai
tingkatannya secara hati-hati dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
Paripatetik, apakah ditolak atau direvisi, ataukah akhirnya disusun kembali
dalam suatu kerangka illuminasi baru, dan mengekspresikan penggunaan suatu
bahasa teknis yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan filsafat illuminasi
yang terkait.al-Lamahat tidak mengandung sifat-sifat semacam itu.
Di antara karya-karya lain Suhrawardi berikut ini, karena
alasan-alasan yang akan disebutkan di bawah ini, merupakan karya-karya yang
tidak menjadi bagian dari kajian kita terhadap filsafat illuminasi saat ini,
tetapi akan diselidiki dalam buku ini tentang penggunaan kiasan dalam filsafat
illuminasi.
1. Partawnamah (Sinar Matahari) karya berbahasa Persia,d
an merupakan salah satu karya Suhrawardi yang berdiri sendiri. Karya ini
dianggap sebagai simbol filsafat illuminasi yang berbahasa Persia. Sengaja
tidak saya masukkan karya itu dalam kajian ini sekarang karena analisis
terhadapnya mengharuskan suatu pemahaman tentang apa filsafat illuminasi itu,
yang juga menjadi tujuan kita di sini. Harus disebutkan bahwa Suhrawardi membahas
secara rinci kedudukan kesadaran diri fundamental subjek yang mengetahui dalam
epistemologi. Konsepnya tentang “keakuan” (I-ness, mani) diperluas meliputi
“kemauan” (thou-ness, tu’i) dan “kediaan” (shelhelit-ness, u i).
Istilah-istilah yang digeneralisasikan ini menunjukkan kesadaran diri dalam
subjek yang mengetahui dan nyata (zahir).
2. Hayakil al-Nur (Kuil Cahaya) baik yang versi Arab
maupun Persia. Karya ini juga masuk dalam kategori simbol filsafat illuminasi.
Dalam karya ini, Suhrawardi menggunakan penafsiran al-Qur’an (ta’wil) lebih
banyak dibanding dalam karya-karya didaktik penting lainnya. Karena saya
berencana menyelidiki persoalan penafsiran (ta’wil) dalam metodologi
Surahwardi, dengan menggunakan Syarh Hayakil Al-Nur karya Jalal al-Din
Al-Dawwani pada kesempatan terpisah, maka saya tidak menguraikannya dalam karya
ini.
3. Cerita-cerita Kiasan Arab dan Persia. Sebelas cerita
ini menggambarkan ekspresi “puitis” tentang hasil terakhir pengalaman
illuminasi (isyraq). Karya-karya SuhrawardiKalimat al-Tashawwuf (Pepatah
tentang Tasawuf) dan al-Alwah al-Imadi (Tabtet-tabtet Imadi), meskipun tidak
bersifat kiasan dalam pengertiannya yang kaku, harus dimasukkan dalam kategori
karya “puitis” dan kiasan, dan tidak termasuk di antara karya-karya sistematis
“teoritis” tentang filsafat illuminasi.
2.3. Sifat Keempat Karya Ini
Pengelompokan kita di sini terhadap empat karya tersebut
berbeda dengan skema Corbin tentang “grands strates dogmatiques”. Namun kita
ingin melampaui apa yang telah ditegaskan Corbin, dan mengemukakan bahwa
keemepat karya tersebut, ketika dipertimbangkan bersama, membentuk suatu unit
utuh yang merupakan upaya yang dilakukan oleh Suhrawardi
untuk mengemukakan formulasi baru filsafat secara sistematis. Formulasi baru
ini menggunakan suatu bahasa teknis khas, mengaksentuasikan tindakan kreatif
intuisi, dan berperan sebagai aksioma utama tempat pengetahuan jiwa tentang
dirinya adalah dasar dan titik tolak pengetahuan. Tujuan Suhrawardi membangun
suatu dasar intuisi bagi pembangunan kembali filsafat Paripatetik adalah tujuan
masing-masing dari keempat karya yang disebutkan.
Keempat
buku tersebut satu sama lain saling terkait dan membentuk suatu keseluruhan
yang meliputi putaran titik tolak dengan filsafat diskursif (hikmah bahtsiyyah)
dan berakhir pada filsafat intuitif (hikmah dzauwqiyyah). Pandangan dasar
filsafat ini, sebagai upaya penyatuan filsafat diskursif dan intuitif,
masing-masing terdapat dalam keempat karya itu dalam bentuk yang berbeda, yaitu
setiap dari karya ini menyatukan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, metode, dan
istilah-istilah teknis filsafat diskursif dengan filsafat intuitif, tetapi
karya pertama dalam lingkup ini, al-Talwihat menekankan filsafat diskursif,
sementara karya terakhir dalam lingkup ini, Hikmat al-Isyraq, menekankan
filsafat intuitif. Penyatuan semacam itu tidak ditemukan selain dalam empat karya
Surahwardi, kecuali Partawnamah, al-Alwah al-‘Imadi, dan Hayakil al-Nur.
2.4. Periode Penulisan
Karya-karya Penting : Catatan tentang Kehidupan Surahwardi
Sekarang mari kita selidiki fakta-fakta hsitoris yang
relevan dalam kehidupan Surahwardi, bukan untuk memberikan biografi kepada
pemabca, tetapi untuk menegaskan rentang waktu Suhrawardimenulis karya-karyanya
yang penting dan di tempat-tempat ia terlibat dalam pengajaran filsafat
illuminasi.
Kita hanya mengetahui beberapa tanggal dan peristiwa
tertentu yang rinci dalam kehidupan Surahwardi. Kita tahu bahwa Suhrawardidilahirkan
di Desa Suhrawardi di Iran Timur Laut pada 549/1155, dan dihukum gantung di
Aleppo pada 587/1191. Ini berarti ia hidup dalam 38 tahun Qamariah dan 36 tahun
Syamsiyah. Kita memperoleh informasi bahwa Suhrawardi datang ke Aleppo pada
179/1183. Suhrawardi sendiri menegaskan bahwa ia menyelssaikan Hikmat al-Isyraq
pada 582/1186. Sedangkan Syams al-Din Muhammad Syahrazuri menyatakan bahwa
Nuzhat al-Arwah-nya bahwa Suhrawardi kira-kira berusai 30 tahun pada saat
menyelesaikan, atau mendekati penyelesaian, al-Masyari wa al-Mutharahat (yaitu,
buku ini diselesaikan sekitar tahun 579/1183).
Kita dapat berasumsi bahwa Suhrawardi telah menyelesaikan
semua studinya sebelum berangkat ke Aleppo dan mungkin sudah menyelesaikan
semua tulisan-tulisannya sebelum masa itu. Kita mengenal nama-nama sejumlah
gurunya, namun tidak mempunyai informasi yang pasti kapan, atau teks-teks apa
atau bentuk-bentuk karya yang ia pelajari bersama mereka. Sejauh yang kita
tahu, guru pertama Suhrawardi adalah Majd al-Din al-Jilli, yang mengajarinya
filsafat dan teolog di Maragha. Guru Suhrawardi berikutnya adalah Fakhr al-Din
al-Mardini (w.594/1198), yang mengajarinya filsafat Isfahan atau Mardin, dan
mungkin ia adalah gurunya terpenting. Kita tahu bahwa Mardin berada di suatu
tempat di Aleppo pada tahun Suhrawardi dieksekusi, tempat ia diperkirakan
diriwayatkan, tetapi kita tidak tahu apakah ada hubungan antara guru dan
muridnya itu di Syiria, juga kita tidak tahu apakah ia memainkan peran, positif
atau negatif, dalam intrik yang mengantarkan Suhrawardi pada fitnah dan
eksekusi. Penting dicatat bahwa al-Mardini hidup sezaman dengan seorang anti
Aristotelian, Abu al-Barakat al-baghdadi (w.setelah 560/1164), dan murid orang
yang bernama sama, al-Baghdadi,d an musuhnya di Baghdad;d an ini, mungkin
menjelaskan alasan-alasan alin (yang akan kita rinci dalam abgian 2.5 bab ini),
mungkin menjelaskan mengapa al-baghdadi adalah salah satu dari sejumlah filosof
masa itu yang sering disebut-sebut namanya oleh Surahwardi. Al-Baghdadi,
seperti juga Suhrawardi yang mengikutinmya, mengklaim bahwa karya utamanya,
al-Mu’tabar telah disusun atas dasar “refleksi pribadi”. Kedua filosof itu
mengakui bahwa kepastian-kepastian intuisi sama sahihnya dengan
kepastian-kepastian akal dan persepsi indrawi, dan menegaskan bahwa hanya
bentuk kepastian yang terakhirlah yang diterima filsafat Paripatetik. Akhirnya,
kita mengetahui nama guru Suhrawardi yang lain, Zahir al-Farsi, yang kepadanya
ia belajar al-Basha’ir karya seorang ahli logika terkenal ‘Umar ibn Sahlan
al-Sawi (lebih kurang wafat 540/1145), yang dikalangan sejumlah kecil filosof
namanya disebut Surahwardi, terutama yang berkaitan dengan prsoalan-persoalan
logika. Suhrawardi adalah seorang filosof muda yang meninggalkan tanah airnya
dan pergi ke Syiria pada masa kekacauan dan intrik politik, kemudian masuk ke
Aleppo apda tahun 579/1183, tempat ia mengajar dan bersahabat dengan putra
mahkota Malik Zahir Shah, putra Shalahuddin al-Ayyubi. Lebih jauh, kita tahu
tanggal penyusunan dua dari karya-karyanya yang pernting. Berdasarkan informasi
yang sangat sedikit ini kita berusaha memastikan kemungkinan rentang waktu
penulisan karya-karya Suhrawardi yang penting.
Kita tidak tahu dengan pasti, kapan Suhrawardi menyelesaikan
studi, atau kapan ia mulai mengajar dan menulis, namun asumsi-asumsi berikut
beralasan untuk dilakukan. Suhrawardi mungkin menyelesaikan studinya dengan
al-Jili pada permulaan umur duapuluhan, dan dengan al-Mardini pada pertengahan umur
dua puluhan. Mari kita asumsikan bahwa, setelah menyelesaikan studinya, sebuah
periode antara tiga sampai lima tahun lewat sebelum masa ketika sekelompok
murid atau siswa, yang sering ia sebut sebagai “saudara” atau “sahabat”,
mendekatkan diri kepadanya. Untuk merekalah, yang menuntutnya dengan keras, ia
menulis kebanyakan karyanya. Ini juga berarti bahwa Suhrawardi telah
menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk
tulisan. Tidak mungkin karya-karya Suhrawardi yang penting itu ditulis sebelum
akhir umur dua puluhan. Suhrawardi paling banter mempunyai waktu sepuluh tahun
untuk menyusun semua karya-karyanya yang penting dan, mungkin, kebanyakan
karya-karya lainnya termsuk cerita-cerita alegoris. Sekarang, sepuluh tahun
bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seroang pemikir untuk mempunyai dua masa
yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya. Paripatetik dan
Illuminasi, seperti ditunjukan oleh beberapa sarjana. Saya sulit mempercayai hipotesis
ini, dan kenyataannya bahwa Suhrawardimenulis sejumlah sinopsis ajaran-ajaran
Paripatetik (yang tanggal-tanggal penyuusunanya tidak pasti) kelihatannya tidak
mendukung hipotesis itu.
Dalam beberapa hal, keempat karya penting Suhrawardi yang
dikaji di sini saling merujuk satu sama lain, dan, penilaian dengan memeriksa
luasnya rujukan silang, karya-karya itu disusun kira-kira pada waktu yang
bersamaan, atau setidak-tidaknya masing-masing karya itu telah direvisi terus
menerus, pada saat diajarkan, dengan memperhatikan pandangan yang lainnya. Barangkali
tahun 582/1186, tahun penyelesaian Hikmat al-Isyraq dinyatakan, adalaht ahun
ketika sebuah versi telah tersedia, tetapi ia secara meyakinkan direvisi pada
akhir kehidupan Suhrawardi sebagaimana buku
tersebut diajarkan. Juga pada 579/1183, tahun ketika Suhrawarditelah
memasuki Aleppo dan telah menyelesaikan al-Mashari wa al-Mutharahat, bisa jadi
telah memiliki “draft” (atau versi) keempat karyanya yang penting, yang ia
bahas selama pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Malik Zahir Shah.
2.5. Abu al-Barakat
al-Baghdadi dan Filsafat Illuminasi
Abu al-Barakat al-baghdadi termasuk diantara sangat
sedikit filosof yang namanya disebut Suhrawardi ketika membahas
persoalan-persoalan filsafat tertentu, dan dalam beberapa tempat ia
diidentifikasikan dalam manuskrip-manuskrip karya-karya Suhrawardi dalam
catatan-catatan pinggir ketika merujuk subjek-subjek yang sedang dibahas dalam
teks. Juga Suhrawardi secara jelas menempatkan posisi Platonis Baghdadi dalam
beberapa kesempatan – posisi yang ia sendiri lebih menyukainya – dan dalam
kaitannya dengan isu-isu kunci filsafat, metodologi al-Baghdadi bergaung dalam
permusuhan kembali prinsip-prinsip filsafat Suhrawardi sendiri. Tentang
persoalan terpenting mengenai dasar filsafat, baik Suhrawardi maupun Baghdadi
sebelumnya, mengambil posisi intuisionis dengan memberikan kepada intuisi utama
peran penting dalam bangunan filsafat. Struktur karya filsafat Baghdadi,
al-Mu’tabar, juga terefleksi dalam karya-karya filsafat Surahwardi. Nampaknya,
terbukti bagi saya bahwa Baghdadi harus dianggap sebagai seorang sumber
langsung yang penting bagi sejumlah pendekatan non-Paripatetik Suhrawardi terhadap persoalan-persoalan filsafat.
Metodologi filsafat Ibn Sina, penggunaannya terhadap istilah teknis dan tujuan
filsafatnya sebagai standar dalam memandang filsafat Arab dan Persia kemudian
dikaji dan diuraikan lebih jauh. Baghdadi dan Suhrawardi melakukan upaya-upaya
serius dalam merumuskan kembali beberapa prinsip filsafat Ibn Sina, sesuatu yang
tidak dilakukan filosof itus endiri dalam bentuk yang sitematis semacam itu.
Dalam bidang inilah bacaan Suhrawardi terhadap karya filsafat Baghdadi,
al-Mu’tabar, akan diselidiki, karena ia akan membantu menjelaskan bangunan
filsafat illuminasi.
Berikut ini, saya akan merujuk kepada al-Mu’tabar
Baghdadi ketika menganalisis filsafat illuminasi Suhrawardi untuk menunjukkan
kaitan antara kedua metodologi itu dan untuk mencatat tema-tema umum mereka yang
anti Ibn Sina. Saya tidak ebrmaksud melakukan suatu perbandingan yang mendalam.
Namun, filsafat illuminasi, pada akhirnya dibedakan dari karya filsafat
baghdadi dalam penggunaannya kiasan “cahaya”, posisi ontologisnya, teori
illuminasi tentang emanasi, teori epistemologis tentang pengetahuan dengan
kehadiran dan dalam bentuknya yang didefinisikan sebagai filsafat sistematis
non Paripatetik yang dirancang sebagai sistem illuminasi yang terpisah.
3. KARYA-KARYA PENTING YANG
DIKAJI
3.1. Al-Talwihat
Dalam “Pendahuluan” bab “ilmu ketiga” (al-‘Ilm
al-tsalits, yaitu metafisika) al-Talwihat, Suhrawardi menegaskan : (Dalam buku
ini) saya tidak menaruh perhatian pada ajaran Paripatetik yang telah dikenal,
sebaliknya saya akan meninjau dan mervisinya semampu saya dan hanya akan
menyebutkan inti teori-teori (qawa ‘id) Guru Pertama.
Lebih jauh, dalam “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq, ia
menegaskan bahwa al-Talwihat merupakan suatu karya yang disusun sesuai dengan
“metode Paripatetik”, (‘ala thariq al-masysya’in) sedang di akhir al-Talwihat,
ia menegaskan : Dalam buku ini saya telah memberikan apa yang memungkinkan
seseorang membuang (metode-metode Paripatetik), dengan hal-hal yang menakjubkan
dan unik. Ia dengan hati-hati telah menetapkan kaidah-kaidah ilmu. Di dalamnya tidak terdapat
ketidaksesuaian, juga tidak terdapat pikiran yang terpencar-pencar. Saya
nasehatkan agar Anda tidak megikutiku, juga mengikuti orang lain dengan
membuta. Karena ukuran sesuatu adalah demonstrasi ..... Beralihlah ke “ilmu-ilmu
yang dialami” agar Anda menjadi salah seorang filosof.
Kita dapat menyimpulkan dari pernyataan –pernyataan ini
bahwa al-Talwihat adalah karya yang di dalamnya,d engan menggunakan “metode
Paripatetik”, Suhrawardi menganalisis persoalan-persoalan penting filsafat diskursif dan mengmukakan
kesimpulan-kesimpulan tertentu, atau kebenaran-kebenaran suatu hakikat simbolik
– wujud ini menurutnya, adalah “rahasia-rahasia”, dan mengetengahkan suatu
pandangan filsafat yang menunjuk pada “pengetahuan yang dialami” sebagai jenis
pengetahuan tertinggi yang juga menjadi
dasar bagi epistemologi. Pengetahuan yang dialami, sebagai intuisi ruang-waktu
utama, perlu dijelaskan, atau didiskusikan – oleh karena itu bahts, atau
filsafat diskursif adalah penting – dan metodologi Paripatetik harus digunakan
dalam proses menjelaskan apa intuisi itu. Ini juga merupakan ciri penting
pandangan Suhrawardi terhadap sejarah filsafat, khususnya sejarah filsafat
dalam Islam. Pandangan ini, juga dibahas secara rinci dalam al-Masyari’ wa
al-Mutharahat dan Hikmat al-Isyraq, dikemukakan dalam al-Talwihat melalui
pengingatan kembali (recollection) Suhrawardi tentang sebuah visi mimpi dengan
Aristoteles, yang memberitahukannya dalam mimpi bahwa di antara orang-orang
“bijak” Islam (hukama), hanya mistikus seperti Abu Yazid al-Bustami dan
al-Hallaj yang telah mencapai penyatuan dengan Intelek Aktif; hanya mereka yang
benar-benar orang bijak karena telah melampaui filsafat diskursif melalui
pengalaman pribadinya. Dalam suatu bagian sebelumnya, Suhrawardi menginformasikan
kepada kita bahwa bentuk-bentuk pengetahuan tertentu, bentuk-bentuk yang
menempati peringkat yang sama dengan yang diperoleh melalui penyatuan dengan
Intelek Aktif, telah diperoleh oleh filosof-filosof semisal Aristotelesd an
Plato,d an filosof lain di kalangan kuno, juga para mjistikus dalam Islam, dan
kebenaran-kebenaran “(haqa’iq) yang diperoleh semacam itu dikatakan sebagai
hasil suatu pengetahuan intuitif, bentuk pengetahuan yang dialami. Berkaitan
dengan prinsip-prinsip epistemologis yang penting ini, Suhrawardi menunjukkan
kepada pembaca al-Masyari’ wa al-Mutharahat, tempat mana ia menjelaskan secara
luas persoalan pengetahuan jiwa tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pengetahuan diri atau persoalan-persoalan epistemologis terkait lainnya. Posisi
Suhrawarditentang apakah fislafat itu, juga pandangan-pandangannya terhadap
kepentingan epistemologis tentang tindakan-tindakan kreatif intuisi, persoalan
pengalaman pribadi,d an “rahasia-rahasia” (rumuz), seperti dijelaskan dalam
al-Talwihat, adalah catatan-catatan terbatas tentang filsafat illuminasinya. Di
beberapa tempat dalam al-Talwihat, terutama dalam bab tentang visi-mimpi dengan
Aristoteles, prinsip-prinsip illuminasi dibahas Suhrawardi dengan panjang
lebar-panjang lebar, meskipun dengan menggunakan bahasa teknis nonilluminasi,
dan ini adalah suatu indikasi yang jelas dari tujuannya dalam buku ini : untuk
meletakkan dasar filsafat illuminasi dengan mengemukakan “inti” ajaran filsafat
Aristoteles. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut tidak dapat dianggap sebagai
suatu karya Paripatetik yang terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan,
filsafat illuminasi.
Surahwardi, dalam “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq,s ecara
jelas menegaskan bahwa “filsafat diskursif” (hikmah bahtsy-yah) adalah unsur
penting “filsafat intuitif” (hikmahdzawqiy-yah). Ia lebih jauh menegaskan bahwa
hanya sebuah kombinasi yang sempurna yang sejati (hikmah) – tujuan fislafat
illuminasi – dan jika di sini kita membuat identifikasi antara “fisafat
diskursif” dan “inti” ajaran Aristoteles, kita menyadari mengapa al-Talwihat,
sebagai karya filsafat, dianggap sebagai langkah awal dalam membangun kembali
filsafat illuminasi. Al-Talwihat pada dasarnya adalah bagian “diskursif” dari
metodologi filsafat illuminasi. Suhrawardi menguraikan bahwa bagian metodologi
Paripatetik ia eprlukan untuk digunakan dalam karyanya ini. Namun, ini hanyalah
salah satu unsur al-Talwihat yang paling jelas, dan unsur-unsur yang telah
meng-antarkan sarjana-sarjana dan komentator-komentator berpikir bahwa karya
ini adalah ringkasan “standar” ajaran Paripatetik. Unsur al-Talwihat yang
kurang jelas – yang akan diselediki dengan hati-hati kemudian – dapat dibatasi
dengan menyelidiki bahwa karya ini secara sederhana bukanlah suatu pembahasan
(ekspose) “inti” ajaran Aristoteles. Namun lebih dari itu. Perhatikanlah bagian
dalam al-Masyari’ wa al-Mutharahat berikut : Seseorang yang ingin menemukan apa
yang penting ia ketahui sebelum (mempelajari) Hikmat al-Isyraq ada did alam
buku al-Talwihat tempat saya menyatakan pendapat-pendapat yang membedakan saya
dengan guru filsafat diskursif, Aristoteles.
Pembahasan Suhrawardi tentang “inti” ajaran Aristoteles
adalah sesuai dengan apa yang telah ia rumuskan kembali, yaitu menjadi ajaran,
dan bukan suatu ringkasan sederhana darinya. Tujuan utama al-Talwihat adalah
untuk menerima suatu metodologi Paripatetik yang telah dirumuskan kembali
sebagai unsur penting metode illuminasi, dan untuk mengajarkan hal itu kepada
murid-murid filsafat illuminasi.
3.2. Al-Muqawamat
Apa yang telah jauhs aya katakan tentang al-Talwihat
dalam beberapa hal juga berkaitan dengan al-Muqawamat, akrena secara sederhana
karya ini oleh pengarangnya disebut sebagai penjelasan (addendum, syarh) bagi
al-Talwihat dan sevara substansial tidak berbeda, tentu tidak dalam tujuan atau
strukturnya. Namun, al-Muqawamat selangkah ke depan ke arah suatu penjelasan
ajaran illuminasi yang lebih spesifik dan komprehensif,d an menggunakan istilah
teknis yang lebih tidak standar dibanding dengan Al-Talwihat. Al-Talwihat
sering disebut-sebut dalam al-Muqawamat, terutama yang menunjukkan subjek yang
sama yang diuraikan dengan baik di situ. Pada satu kesempatan Suhrawardi
menyatakan bahwa al-Muqawamat adalah sesuai dengan “metode al-Talwihat”,
sehingga al-Muqawamat juga dianggap sebagai sebuah unsur “diskursif” lebih jauh
metodologi illuminasi. Di akhir al-Muqawamat Suhrawardi menunjukkan kaitan
karya ini dengan karya-karyanya yang lain ketika ia mengantisipasi Hikmat
al-Isyraq, dengan menunjuk kepada al-Masyari” wa al-Mutharahat sebagai karya yang
did alamnya rincian filsafat illuminasi dapat ditemukan, dan lebih jauh
menginformasikan kepada pembaca bahwa al-Muqawamat adalah karya yang di
dalamnya tingkat pokok persoalan dibahas lebih mendalam. Sungguh, dalam pandangan
saya al-Muqawamat adalah karya yang lebih argumentatif dan lebih maju daripada
al-Talwihat.
3.3. Al-Masyari’ wa
al-Mutharahat
Al-Masyari’ wa al-Mutharahat adalah karya Suhrawardi yang
sangat terkenal setelah Hikmat al-Isyraq. Jika kita pmenyandingkan gaya yang
lebih bagus karya yang disebut terakhir, kita harus menjernihkannya bahwa
al-Masyari’ wa al-Mutharahat adalah karya illuminasi terpenting, yang
mengandung,s ebagaimana kita diberitahu oleh Suhrawardi sendiri, “analisis
terperinci” ajarannya. Ia adalah karya yang secara disengaja disusun lebih
panjang dariapda Hikmat al-Isyraq. Dalam karya ini Suhrawardi menyusun rincian
prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metodologi illuminasi yang hanya ia bahas
secara ringkas dalam Hikmat al-Isyraq. Komentator Hikmat al-Isyraq lebih sering
merujuk kepada al-Msyari’ wa al-Mutharahat daripada kepada karya-karya
Suhrawardi lainnya. Jika Hikmat al-Isyraq dirancang sebagai suatu pernyataan
ayng lebih puitis tentang kesatuan pengalaman illuminasi, al-Masyarai’ wa al-Mutharahat
adalah suatu analisis filosofis terhadap pengalamana itu yang disusun dengan
baik.
Pernyataan yang sangat eksplisit tentang al-Masyari’ wa
al-Mutharahat diberikan sendiri oleh Suhrawardi dalam “Pendahuluan”-nya :
Buku ini terdiri dari tiga ilmu (Logika, fisika,
metafisika). Saya telah menyusunnya atas dorongamu saudara-saudaraku. Di
dalamnya saya menguraikan subjek-subjek dan teori-teori yang tidak ditemukan
dalam karya-karya lain (tentang filsafat). (Teori-teori ini) benar-benar
bermanfaat,d an telah diperoleh dan diperbaiki melalui pengalaman-pengalaman
saya pribadi. Namun, saya tidak berangkat sama sekali dari jalan Paripatetik,
meskipund alam karya ini saya telah emngutarakannya pendapat-pendapat yang
mengisyaratkan prinsip-prinsip mulia (filsafat) di samping apa yang telah
diuraikan oleh para filosof Paripatetik. Orang yang tak berprasangka yang
dengan hati-hati telah mempelajari karya-karya Paripatetik akan menemukan bahwa
karya ini sempurna sedangkan karya-karya lain cacat. Siapa saja yang belum
memahami ilmu-ilmu diskursif tidak akan dapat memahami karya kami yang disebut
Hikmat al-Irsyaq, al-Masyari’ wa al—Mutharahat harus dibaca sebelum menyelidiki
Hikmat al-Isyraq dan sesudah menyelidiki karya ringkas yang disebut
al-Talwihat. Di sini kita tidak menyempurnakan struktur (karya-karya
Paripatetik tertentu). Juga tidak mendukung, dalam beberapa hal, subjek ilmu
(yang sudah mapan), tetapi tujuan lebih jauh dalam karya ini adalah filsafat
diskursif, meskipun yang demikian itu harus melibatkan (pembahasan)
kaidah-kaidah berbagai-bagai ilmu lainnya. Karena itu, ketika murid filsafat
diskursif mempelajari metode ini dengan baik, ia dapat memulainya dengan
praktik-praktik asketik yang mencerahkan dengan perintah seorang yang ahli
dalam illuminasi (al-Qayyim ‘ala al-isyraq, agar prinsip-prinsip dasar
illuminasi memanisfestasikan diri kepadanya. Setelah (permulaan semacam itu) ia
akan berasa dalam suatu posisi untuk memahami prinsip-prinsip sesuatu
(al-asyya). Karena bagi ketiga bentuk (al-shuwar al-tsalats) yang disebutkan
dalam Hikmat al-Isyraq, yaitu : (edisi Corbin menyebut tiga kode). Titik tolak filsafat adalah meninggalkan dunia,
pertengahannya adalah (ditandai dengan) melihat Cahaya Tuhan (al-anwar
al-ilahiyyah), dan akhirnya tanpa batas. Saya namakan buku ini al-Masyari’
wa al-Mutharahat.
Kita mencatat dari “Pendahuluan” ini bahwa al-Masyari’ wa
al-Mutharahat bukanlah satu-satunya karya yang disusun sesuai dengan metodologi
Paripatetik. Seperti Himat al-Isyraq, karya ini juga di dasarkan pada refleksi
pribadi Suhrawardi. Ia bukan sekadar karya tempat mana kelemahan-kelemahan
ajaran Paripatetik dikemukakan, tetapi juga sebuah karya yang mengantarkan para
pembaca kepada suatu pembahasan yang mendalam tentang apa filsafat illuminasi
itu. Seperti ditegaskan sendiri oleh Suhrawardi, dalam struktur karya tersebut
juga berbeda dari karya-karya Paripatetik standar.
Al-Masyari’ wa al-Mutharahat membuat sejumlah rujukan
terhadap Hikmat al-Isyraq dan terhadap sifat-sifat yang “menakjubkan”,
“Simbolik”, metaforis dan illuminationis karya yang disebut terakhir ini. Dalam
beberapa hal, dalam al-Masyari’ wa al-Mutharahat Suhrawardi menyebut Hikmat
al-Irsyaq-nya sebagai karya tempat “kunci” bagi “rahasia-rahasia” ajarannya
ditemukan. Juga terdapat beberapa indikasi bahwa ketika menyusun al-Masyari’ wa
al-Mutharahat, Suhrawardi telah mendapatkan penekanan-penekanan tertentu atas
dirinya. Semua ini dengan jelas menunjukkan bahwa suatu versi yang sempurna
dari kedua karya ini telah ada secara bersamaan : Karena apa yang saya yakini tentang masalah
ini, telah disebutkan dalam karya saya yang berjudul Hikmat al-Irsyaq. Saya
tidak dapat menyebutnya secara eksplisit di sini (dalam al-Masyari’ wa
al-Mutahrahat) karena tujuan saya dalam karya ini adalah (membahas) analisis
diskursif dalam suatu cara yang tidak terlalu jauh tersesat dari pendekatan
Paripatetik.”
Terdapat sejumlah sifat dalam al-Mayari’ wa al-Mutharahat
yang menunjukkan pentingnya karya ini sebagai suatu karya yang tak terpisahkan
dalam mempelajari filsafat illuminasi. Pertama, seperti tercatat,terdapat
sejumlah rujukan dalam Hikmat al-Irsyaq. Kedua, karya penting ini mengandung
kajian yang kaku dan terperinci sistem filsafat Suhrawardi sendiri yang tidak
ditemukan, yang sama terperincinya, dalam Hikmat al-Irsyaq. Contoh untuk itu
adalah ketika Suhrawardi membahas konsep bahasa dan susunan simbolik sekadar
sebagai sarana menulis pengetahuan yang dialami, dan tempat membahas semantik
“bahasa illuminasi” (lisan al-isyraq). Suhrawardi memberikan penekanan yang
besar pada penggunaan utama bahasa dalam filsafat, tetapi ia tidak pernah
menguraikan subjek “bahasa illuminasi” dalam Hikmat al-Irsyaq sebagaimana ia
melakukannya dalam al-Masyari’ wa al-Mutharahat. Pembaca diharapkan telah
mengetahui karya yang terakhir ini, karena perincian-perincian posisi bahasa
dalam membangun kembali metafisika benar-benar diselidiki.
Filsafat illuminasi menggunakan suatu
bahasa khas, seperangkat istilah teknis tertentu, dan menekankan penggunaan
suatu bentuk simbolik ekspresi yang didasarkan pada lebih luas dan dalam
prinsip, citra cahaya dan kegelapan. Simbolisme cahaya digunakan untuk
wujud-wujud tertentu dan batasan-batasan wujud, bentuk dan materi, Tuhan,
hal-hal yang dipikirkan baik primer maupun sekunder, intelek, jiwa, iseity
individual dan tingkatan-tingkatan intensitas pengalaman mistis. Singkatnya,
penggunaan simbol-simbol adalah sifat integral bangunan filsafat illuminasi,
dan bentuk ekspresi simbolik ini juga menjadi sifat utama al-Masyari’ wa
al-Mutharahat. Dalam karya ini bentuk
simbolik selalu diketengahkan dalam suatu kerangka filsafat Paripatetik dan
terminologi teknisnya yang semacam itu, nampaknya, untuk menginstruksikan
kepada pembaca tentang bahasa baru yang digunakan. Sekarang, jelaslah bahwa
filsafat Paripatetik diskursif yang menggunakan sebuah bahasa yang telah
digunakan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina dan kira-kira menjadi standar pada masa
Suhrawardi. Tetapi, dalam memandang penggunaan
“bahasa illuminasi” Suhrawardi itu, pertanyaan harus dikemukakan : Seberapa
jauh sistem filsafat baru Suhrawardi itu, sebagai ekspresi simbolik dan sebagai
sebuah penggunaan khusus bahasa? Pertanyaan semacam itu mengantarkan kita
menyelidiki sistem illuminasi dalam kaitannya dengan Paripatetik untuk melihat
bagaimana dua bentuk itu dikaitkan dan, terutama, untuk menunjukkan perbedaan
esensial antara keduanya. Sekali kedua “bahasa” diidentifikasi, seperti pernah
ditunjukan para komentator filsafat illuminasi telah bisa menyadair bahwa : 1) ingga saat ini terdapat suatu hubungan
antara dua sistem yang tak tercatat; 2) “Bahasa illuminasi” adalah sebuah mode
yang penting untuk membangun dan mengekspresikan filsafat illuminasi; dan 3) Beberapa pembahasan tentang konsep
“illuminasi” itu sendiri, yang menegaskan pengalaman sebagai dasar
epistemologi, menuntut suatu bahasanya sendiri untuk mengekspresikan
“pengalaman” dalam suatu cara analisis yang tidak menghilangkan pengalaman
tersebut.
Seperti yang akan kita lihat nanti, ini merupakan prinsip
dasar, yaitu untuk mengetahui sesuatu adalah
dengan memperoleh suatu “pengalaman” tentangnya, serupa dengan intuisi
utama batasan-batasan wujud. Pengetahuan tentang sesuatu yang dialami dianalisa
hanya berakibat kepada penangkapan intuitif yang menyeluruh dan langsung
tentang apa ia sebenarnya. Apakah ada sesuatu, kita mungkin bertanya apda titik
ini, dalam “pengalaman” suatu subjek, yang mengharuskan apa yang telah
diperoleh oleh subjek itu melalui suatu bahasa simbolik yang disusun secara
khusus? Jawaban atas pertanyaan ini akan diselidiki dari berbagai-bagai sudut
pandang, tetapi tidak jelas, bahkan pada titik waktu pendahuluan ini, bahwa
“bahasa illuminasi” Suhrawardi adalah upaya yang ia lakukan untuk menggunakan
suatu bahasa khusus yang digunakan untuk menggambarkan “pengalaman” illuminasi.
Sama jelasnya, bahwa penafsiran simbolisme illuminasi dan
implikasi-implikasinya merupakan aspek-aspek utama kontroversi seperti apa
filsafat illuminasi itu. Harus diingat bahwa simbolisme bangunan filsafat
illuminasi dikembangkan secara rinci oleh Suhrawardi dalam al-Masyari’ wa
al-Mutharahat, dan karena aitu karya ini tidak dapat dilepaskan dari upaya kita
memahami filsafat illuminasi.
Ada suatu sisi “lisan” yang penting
bagi ajran-ajaran Suhrawardi, suatu ajaran yang telah diuraikan secara lebih
bebas, tanpa terbatas pada kata yang tertulis, dengan bahasa simbolik filsafat
illuminasi. Ajaran-ajaran “lisan” tersebut harus dibatasi pada suatu lingkaran
sahabat-sahabat dekat Suhrawardi. Kesimpulan kita ini dikuatkan oleh penamaan
Suhrawardi sendiri kepada seseorang yang “ahli dalam illuminasi”, yang dapat disamakan
dengan guru sufi, atau mursyid, berikut dengan sejumlah pernyataannya yang
lebih kurang mengatakan bahwa filsafat illuminasi tidak dapat disesuaikan
dengan semua orang, dan tentu saja tidak dengan mereka yang berada di luar
peserta. Ajaran lisan filsafat illuminasi, ditujukan kepada sekelompok sahabat,
sebagai sarana mengalirkan simbol, menyingkap maknanya yang diinginkan.
Pembahasan tentang pengalaman illuminasi
itu sendiri, menurut Suhrawardi, tidakd apat dibatasi sepenuhnya pada bentuk
ungkapan biasa dan analisis diskursif. Simbol-simbol (tanda-tanda dan
rahasia-rahasia) harus digunakan. Simbol (termasuk metafor dan alegori) sendiri
merupakan semacam sifat yang akan mendatangkan suatu jawaban dalam jiwa dan
pikiran subjek, namun pengungkapan pengalaman akan tetap tinggal, personal dan
hanya dapat dikomunikasikan sepenuhnya dalam lingkaran teman-teman dekat. Dalam al-Masyari’ wa al-Mutharahat kita menemukan suatu
pernyataan eksplisit tentang ini : Misteri besar dan mulia yang disingkapkan
ungkapan simbolik (dan metaforis) dari buku kami Hikamt al-Irsyaq, hanya dapat
kita tujukan kepada sahabat-sahabat kita, para illuminasi (ashhabuna
al-isyaqiyyun).
“Sahabat-sahabat illuminasionis”, yang juga disebut
Suhrawardi sebagai “:saduara”, yang membentuk lingkaran “persaudaraan
abstraksi” (ikhwan al-tajrid), yang telah mengakses sebuah tingkat pemahaman
filsafat illuminasi tidak dikandung dalam buku-buku ini. Tingkat illuminasi
semacam itu adalah tingkat tempat Suhrawardi telah menyalurkan wacana-wacana
selama hidup, dan, mungkin, dilanjutkan oleh orang yang “ahli dalam illuminasi”
setelah ia meninggal. Hanya pada titik ini kita menyadari bahwa karya-karya
Suhrawardi semacam itu seperti al-Talwihat dan al-Muqawamat (yang sering
disebut dalam al-Msyarai’ wa al-Mutharahat), disusun dengan “metode
Paripatetik”, sekaligus untuk menunjukkan kelemahan metedo tersebut,s
ebagaimana kita ketahui dalam al-Masyari’ wa al-Mutharahat. Pesan tersebut
kemudian menjadi jelas : metode “Paripatetik” dan bahasa biasa gagal menggambarkan esensi “pengalaman” yang
menjadi dasar epistemologis illuminasi.
3.4. Hikmat al-Irsyaq
Karya Suhrawardi yang paling terkenal adalah Hikmat
al-Irsyaq. Ini adalah karya terakhir dari empat karya yang diselidiki di sini,
karya yang di dalamnya prinsip-prinsip filsafat illuminasi secara sistematis,
meskipun singkat, diketengahkan dalam bentuk yang indah dan sempurna. Ia adalah
karya yang disebut Suhrawardi memuat pengertian intuitifnya sendiri tentang
dasar filsafat. Juga karya yang secara sistematis memformulasikan hasil-hasil
yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman mistis Suhrawardi sendiri dan
menggabungkannya dalam membangun kembali filsafat. Karya ini memuat formulasi
terakhir sistem baru Suhrawardi dengan secara jelas dan dalam suatu bentuk
simbolik, rincian-rincian yang telah dikemukakan dalam ketika karya yang telah
disebutkan. Bahkan karya ini juga memuat metodologi, kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip filsafat diskursif dan illuminasi. Pencampuran antara filsafat diskursif (al-Hikmah al-bahtsiyyah) dan
filsafat intuitif (al-Hikmah al-dzawq) yang harmonis dan sempurna adalah tujuan
dan tanda khas filsafat illuminasi.
Hanya al-Talwihat dan al-Lamahat yang dirujuk Suhrawardi
dalam Hikmat al-Irsyaq. Quthb al-Din al-Syirazi, dalam Syarh Hikmat al-Isyraq,
menegaskan bahwa ini menunjukkan Suhrawardi telah memulai menulis, meskipun
belum sempurna, karya-karya yang lain sebelum menyusun Himat al-Isyraq. Seperti
telah kita sebutkan di muka, Suhrawardi pasti telah menulis atau merevisi
karya-karyanya yang penting bersamaan, Suhrawardi tidak menyebut al-Masyari’ wa
al-Muthaharat dalam Hikmat al-Irsyaq secara khusus, tetapi signifikasi karya
tersebut telah diketahui. Namun, Quthb al-Din yakin bahwa, pernyataan
Suhrawardi, “Saya telah menyusun al-Talwihat dan berikutnya al-Lamahat, dan
lain-lain yang mengikuti metode Paripatetik. Suhrawardi memaksudkan “lain-lain”
adalah al-Masyari’ wa al-Mutharahat dan al-Muqawamat. Dengan melihat apa yang
telah saya katakan di atas, saya tidak sependapat dengan pandangan ini. Dengan
menyebut al-Talwihat, Suhrawardi, pada dasarnya, telah merujuk kepada
al-Muqawamat, akrena kita tahu yang terakhir ini adalah penjelas bagi yang
pertama. Juga, seperti telah kami tunjukkan, al-Masyari’ wa al-Mutharahat
bukanlah karya yang disusun hanya menurut “metode Paripatetik”. Dengan meninjau
pernyataan-pernyataan Suhrawardi yang diulang-ulang menggambarkan pentingnya
al-Masyari’ wa al-Mutharahat bagi suatu pemahaman yang benar-tentang filsafat
illuminasi, kita tidak dapat menempatkan karya tersebut dalam kategori yang
sama dengan al-Lamahat, dan yang demikian itu tidak menguranginya sebagai tidak
relevan untuk mempelajari filsafat illuminasi. Dengan tidak menyebut
al-Masyari’ wa al-Mutharahat pada bagian “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq,
Suhrawardi barangkali ingin menunjukkan apa yang telah jelas bagi
sahabat-sahabatnya bahwa karya tersebut tidak harus dimasukkan ke dalam
karya-karya yang disusun sebagai ringkasan didaktik filsafat illuminasi. Karya
semisal Risalah fi I’tiqad al-Hukama (Ajaran para filosof) lebih tepat untuk
pernyataan Suhrawardi “lain-lain” dalam bagian itu, karena dirancang secara
lebih tepat sebagai ringkasan singkat ajaran Paripatetik,d an secara sangat
jelas berada dalam bentuk ekspresi Paripatetik.
Seperti kita selidiki, Hikmat al-Isuraq
sendiri merupakan puncak tujuan filsafat Suhrawardi : Suatu rekonstruksi
filsafat yang sistematis. Ini telah dia awali dengan al-Talwihat, disempurnakan
lebih jauh dalam al-Muqawamat dan dirumuskan sepenuhnya dalam al-Masyari’ wa
al-Mutharahat. Hikmat al-Isyraq hanya dapat
dipahami jika dianggap sebagai rentetan rekonstruksi filsafat yang secara
hati-hati disusun Suhrawardi dalam keempat karyanya yang penting, meskipun ia
sebagai karya terpenting dalam rentetan itu. Karya tersebut dianggap oleh
Suhrawardi sendiri sebagai yang terbaik dalam “Pendahuluan”-nya yang sekarang
akan kita selidiki.
“Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq
menguraikan tiga subyek yang mendasari rekonstruksi fislafat illuminasi, ia
juga mengemukakan tujuan-tujuan pengarangnya. Subjek pertama menguraikan
alasan-alasan Suhrawardi menyusun karya-karya tersebut dan kelompok orang-orang
yang menjadi tujuan buku ini. Kedua mengarahkan persoalan metodologi. Ketika
menguraikan sejarah filsafat, begitu juga tempat filsafat illuminasi dan
kedudukan apra filosof “yang bijak” dalam sejarah. Mari kita selidiki ketiga subjek yang dipersoalkan
tersebut.
3.4.1. Alasan-alasan Surahwardi Menyusun Hikmat
al-Isyraq
Seperti kebanyakan karya Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq
sebenarnya ditulis sebagai hasil permintaan yang terus menerus dari
sahabt-sahabat dan murid-muridnya. Seperti telah kita catat implikasi
pernyataan semacam itu adalah pokok masalah karya-karya Suhrawardi kemungkinan
telah diajarkan secara lisan kepada kelompok sahabatnya sebelum diturunkan
dalam bentuk tulisan. Pada gilirannya mendorong, dalam konteks wacana lisan
yang telah diberikan oleh Suhrawardi para murid mempunyai kesempatan ikut serta
dalam pembahasan ajaran-ajaran utama filsafat illuminasi dan tujuan terdalam
simbolisme yang digunakan dalam karya-karya tertulisnya. Penggambaran simbolik
ajaran iiluminasi adalah suatu komponen integral moetode Suhrawardi, seperti ia
tunjukan sendiri dalam berbagai-bagai kesempatan, yaitu dalam bagian keempat
“Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq. Kita juga masih ingat “kesulitan-kesulitan”,
menurut Suhrawardi, dasar-dasar filsafat illuminasi yang menjadi perhatian
untuk ditulis. ‘Kesulitan-kesulitan” semacam itu barangkali karena
komplikasi-implikasi di dalamnya yang dimasukkan dalam tulisan perihal unsur
kualitatif pengalaman tempat yang mode ungkapan lisan, “kehadiran” (Hudhur)
guru yang telah mengalaminya sendiri, menyaksikan persaksian langsung. Namun,
terdapat cukup indikasi dalam tulisan-tulisannya yang jika diselidiki dengan
cermat, memungkinkan kita menembus makna simbol-simbol yang dimaksudkan. Yang
demikian itu mengantarkan kita membangun pandangan tentang apa filsafat
illuminasi Suhrawardi itu. Makna-makna bahasa metafor yang dimaksudkan, di sini
dan di tempat lain, diselidiki Suhrawardi sendiri sebagai contoh, dan lebih
jauh oleh para komentatornya.
Ada pernyataan yang tidak biasa dibuat oleh Suhrawardi di
awal ‘Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq,d an pernyataan itu tidak pernha diulang
Suhrawardi dalam karya-karya yang lain. Pernyataan tersebut dapat diterjemahkan
dalam dua cara dengan implikasi yang berbeda. Pernyataan tersebut adalah :
Jika bukan karena keharusan memenuhi
suatu kewajiban, suatu pesan yang telah muncul,d an suatu kewajiban yang telah
diberikan dari suatu ketidaktaatan yang akan mengantarkan kepada jalan yang
sesat, saya tidak pernah merasa wajib untuk melangkah lebih jauh dans ecara
terbuka menyingkap filsafat illuminasi.
Penafisaran pertama atas pernyataan tersebut, yang salah
satunya dikemukakan komentator Quthb al-Din al-Syirazi, bahwa “sumber” dari
perintah yang diberikan itu adalah Tuhan. Cara kedua menafsirkan pernyataan
tersebut adalah dengan menganggap sumber perintah yang diberikan itu sesuatu
yang membumi, yang bisa jadi ditetapkan seorang pangeran atau raja. Kenyataan
yang demikian itu tidak mustahil, suatu motif politis untuk menyusun suatu
karya. Kita tahu bahwa pada 579/1183 Suhrawardi pergi ke Aleppo, tempat Hikmat
al-Isyraq ditulis pada 582/1186, dan bahwa natara Malik Zhahir Syah al-Ayyubi
dan Suhrawardi terdapat hubungan baik. Karenanya, adalah mungkin bahwa printah
menulis Hikmat al-Irsyaq telah diberikan oleh Malik Zahir Syah kepada
Suhrawardi, setelah mendengar ceramah Suhrawardi tentang filsafat Illuminasi.
Kita tahu bahwa Suhrawardi dibunuh atas dorongan beberapa ulama yang ada di
sekitar Malik muda, yang menghasud ayahnya, Sultan Saladin Agung bahwa
Suhrawardi telah menyelwengkan syariat. Namun, ada alasan-alasan politis yang
lebih khusus atas intrik tersebut. apakah mungkin ada suatu hubungan antara
penulisan bebas dan penerbitan Hikmat al-Irsyaq yang, nampaknya, Suhrawardi
dengan berat mengalah pada intrik politik yang mengantarkannya pada kematian?
Jika memang demikian, lalu apa? Yang demikian bukanlah tidak mungkin, juga
bukan tanpa presenden bahwa filosof mempunyai keinginan mempengaruhi seseorang
penguasa yang telah mempunyai hubungan baik. Di atas semuanya itu, abad ke-11
dan ke-12 telah menyaksikan beberapa intrik politik para kaum esoteris dan
mistikus dan lain-lain yang cenderung filosof dan termotivasi secara politis.
Sepertinya Hikmat al-Irsyaq telah dipandang sebagai “konstitusi” bagi
“masyarakat” baru yang dipimpin oleh Malik Zahir Syah yang secara filosofi
terpelajar dengan bantuan filosof Suhrawardi, yang berperan sebagai kekuatan
spiritual di belakang istana. Melalui raja telah mengakses “kebijaksanaan”
terlarang yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan illuminasi filosof
bijak di istananya. Rancangan semacam itu, seperti telah saya katakan, bukanlah
tanpa presenden. Ini barangkali yang menjadi alasan kuat atas intrik istana
yang sebenarnya menyebabkan eksekusi Suhrawardi. Alasan semacam itu akan
melibatkan reaksi-reaksi atas rencana, yang dipelopori oleh Suhrawardi,
pembentukan tatanan baru (setidak-tidaknya) di Aleppo,d an sangat terbuka dalam
memandang kenyataan bahwa tak seorang pun sejarawan filsafat dapat mengakhiri
alasan kuat atas kalimat kematian Suhrawardi, kecuali penjelasan yang ambigu
bahwa para hakim Aleppo telah menganggap ajaran-ajaran Suhrawardi bid’ah.
3.4.2. Metode Hikmat al-Irsyaq
Pernyataan pendek dan tepat yang dibahas Suhrawardi dalam
“Pendahuluan” Hikmat al-Irsyaq adalah sebgai pendukung teori umum filsafat
illuminasi, terutama posisi intuisi dan pengalaman sebagai dasar epistemologi.
Di antara semua karya Suhrawardi, hanya “Pendahuluan” dua di antara mereka,
al-Masyari wa al-Mutharahat dan Hikmat al-Irsyaq, yang memuat pernyataan khusus
tentang metodologi filsafat illuminasi. Dalam “pendahuluan” al-Masyari’ wa
al-Mutharahat Suhrawardi menyebut buku tersebut
mengandung suatu eksposisi hasil-hasil pengalaman dan intuisinya sendiri, dan
lebih jauh menegaskan pandangan tentang bagaimana pengetahuan diperoleh.
Prinsip-prinsip
yang dibentuk ini sebagai hasil suatu proses yang terdiri dari tiga tangga.
Tanga pertama ditandai dengan aktivitas sebagian filosof : ia harus “memisahkan
dunia”. Tangga kedua ditandai dengan pengalaman-pengalaman tertentu : filosof
mencapai pancaran-pancaran suatu “Cahaya Tuhan” (al Nur al-Illahi). Tangga
ketiga ditandai dengan perolehan pengetahuan yang tak terbatas dan tak terikat,
yaitu pengetahuan illuminasi (al-‘ilm al-isyraqi). Catatan Suhrawardi atas
persoalan metodologi yang sama dalam “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq lebih jelas
dan rinci, tetapi secara esensial sama dengan catatan yang diberikan dalam
al-Masyari’ wa al-Mutharahat. Filsafat illuminasi terdiri dari tiga tingkat
yang berkaitan dengan persoalan pengetahuan – bagaimana mempersiapkan
mengalaminya, menerimanya melalui illuminasi,d an menyusunnya dalam suatu
pandangan yang sistematik tentangnya, seperti dalam karya sebelumnya – ditambah
dengan suatu tingkat tambahan yang terdiri dari proses mengungkapkan
hasil-hasil pengalaman illuminasi dan pencarian tentangnya, dalam bentuk
tulisan. Karena kita menyelidiki tahap-tahap yang disebutkan secara lebih rinci lebih jauh kita
menyelidiki bahwa tangga pertama adalah aktivitas yang melaluinya filosof
mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan illuminasi, suatu jalan hidup
tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada keseiapan menerima “pengalaman”.
Tahap kedua adalah tangga illuminasi. Tahap ketiga adalah tahap konstruktiif.
Tahap terakhir ini menggambarkan secara simbolik setiap kali diperlukan,d alam
bentuk tulisan, struktur yang telah dibangun selama tangga ketiga. Mari kita
selidiki tahapan-tahapan tersebut.
Awal tahap pertama diawali dengan
aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti
makan daging,d an mempersiapkan diri untuk menerima inspirasi dan ilham.
Aktivitas-aktivitas semacam itu masuk dalam kategori praktik-praktik asketik
dan mistik, meskipun tidak sama persis dengan pernyataan-pernyataan dan
penghentian-penghentian jalan sufi yang diterapkan, atau tarekat sufi,
sebagaimana dikenal dalam karya-karya mistis yang ditemua Surahwardi. Melalui
aktivitas-aktivitas semacam itu, filosof dengan kekuatan intuisinya, dalam
dirinya, seperti diceritakan Surahwadi kepada kita, terdapat suatu bagian
“cahaya Tuhan” (al-bariq al-ilahi), dapat menerima realitas keberadaannya dan
mengakui kebenaran intuisinya sendiri melalui “ilham” dan “penyingkapan diri”
(musyahadah ma mukasyafah). Atas dasar itu, tahap pertama ini terdiri dari : 1)
suatu aktivitas, 2) suatu kondisi (yang ditemui seseorang, karena kita tahu
bahwa setiap orang mempunyai intuisi dan dalam diri setiap orang ada bagian
tertentu cahaya Tuhan); dan 3) ilham pribadi.
Tahap pertama megnantarkan kepada tahap kedua, dan Cahaya
Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk serangkaian “cahaya
penyingkap” (al-anwar al-sanihah) dan melalui “cahaya-cahaya penyingkap”
pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-‘ulum
al-haqiqiyyah) dapat diperoleh.
Tahap ketiga adalah tahap pembangunan suatu ilmu yang
benar (al-‘ilm al-shahih). Selama tahap ini, filosof menggunakan analisis
diskursif. Pengalaman ditempatkan pada pengujian, dan sistem pembuktian yang
digunakan adalah pembuktian (burhan) Posterior Analyties Aristoteles. Kepastian
yang sama yang diperoleh oleh gerakan dari data indrawi (observasi dan formasi
konsep) ke pembuktian didasarkan pada akal, yang juga menjadid asar pengetahuan
ilmiah diskursif, yang dikatakan dapat diperoleh jika data visoner yang
mendasari filsafat illuminasi juga di-“buktikan”. Ini dilakukan lewat suatu
analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan membangun
suatu sistem tempat pengalaman itu sudah berakhir.
Tahap terakhir adalah menurunkan filsafat illuminasi
dalam bentuk tulisan. Tahap ini,d an tahap ketiga yang telah disebutkan di
muka, hanya merupakan unsur-unsur filsafat illuminasi yang harus ktia akses.
Para praktisi, murid jalanilluminasi, harus berperantara kepada kedua tahap
pertama melalui pengalaman. Para murid yang mengikuti sikap Surahwadi akan
mengalami “kehadiran” pengalaman mereka sendiri, apakah secara individu atau
sebagai bagian suatu kelompok. Surahwadi mungkin telah (kita mengasumsikan
demikian berdasarkan pada indikasi-indikasi dalam teks), mendiskusikan
visi-visinya dengan murid-muridnya; jalan personal “kehadiran”-nya, akan
berperan sebagai saksi bagi visi-visi semacam itu, dan manifestasi fisik,
fenomena yang diselidiki, diasosiasikan dengan pengalaman visioner, yang
digambarkan dalam Hikmat al-Isyraq,
telah disaksikan oleh seorang yang hadir. Apa yang harus kita akses adalah
teks-teks yang dikatakan sebagai penggambaran simbolik tentang fenomena
pengalaman visioner, dan kita harus menentukan apa yang mereka simbolkan.
3.4.3. Pandangan Surahwardi tentang Sejarah
Filsafat
Akhir-akhir ini telah banyak ditulis tentang pandangan
Surahwadi terhadap filsafat,d an umumnya ditekankan pada perannya sebagai
pembangkit bentuk tertentu “kebijaksanaan” Iran yang dirancang dengan simbol
pahlevi, atau fahlavani dan kiyani. Salah satu aspek penting pandangannya
terhadap filsafat adalah sikapnya terhadap Aristoteles dan filsafat diskursif.
Dalam “Pendahuluan” Hikmat al-Isyraq, Surahwadi secara eksplisit menegaskan
bahwa filosof yang sempurna adalah orang yang
mengkombinasikan kemampuan intuitif dengan metodologi diskursif. Surahwadi
sendiri meyakini bahwa filsafat illuminasinya adalah suatu kombinasi yang
sempurna semisal itu.
Plato diakui sebagai guru
filsafat intuitif, dan ia dikatakan sebagai bagian dari tradisi panjang yang
menggabungkan cabang Yunani-Mesir dengan cabang Iran, yang keduanya bersumber
dari Hermes, “bapak para filosof”. Sementara Aristoteles diakui sebagai bapak
filsafat diskursif. Surahwadi, melalui filsafat illuminasinya, menganggap
dirinya sebagai pemersatu yang sempurna atas kedua bentuk filsafat tersebut.
dalam pandangannya, peran filosof dalam sejaraha dalah sebagai orang “bijak”
yang mengkombinasikan pengetahuan intuitif dengan metodologi diskursif, yang ia
sebut sebagai filosof Ilahiah (al-hakim al-muta ‘allih),d alam posisinya
sebagai pemilik “kebijaksanaan”. Orang bijaksana ini harus dianggap sebagai
pemimpin (imam) masyarakat, kepemimpinan dalam suatu dimensi aktual, temporal
atau esoterik dan spiritual. Kebijaksaan, dalam pengertian ini, adalah aa yang
membedakan pemerintah yang baik dari pemerintah yang zalim dan korup. Karena
itu, ajaran Aristoteles,d an filsafat Paripatetik secara umum, harus tidak
dianggap sebagai suatu sistem filsafat yang jelas-jelas terpisah dari filsafat
illuminasi, juga harus tidak dianggap sebagai bentuk tertentu filsafat ayng
diyakini Surahwadi pada masa muda, atau hanya dalam sejumlah karyanya saja.
kombinasi filsafat diskursif (hikmah bahtsiyyah) dan filsafat intuitif (hikmah
dzawqiyyah), kombinasi yang dikatakan sebagai filsafat Illahiah (hikmah
muta’allihah), adalah apa yang membedakan filsafat illuminasi baik dari teosofi
mistisme quasilosofis.
4. K E S I M P U L
A N
Surahwadi telah menulis empat karya filsafat yagn
penting. Dalam masing-masing karya tersebut ia menguraikan persoalan filsafat
dalam bentuk yang sempurna, bahkan masing-masing karya membimbing kepada karya
yagn lain,d an terdpat pernyataan-pernyataan yang eksplisit yang diberikan
Surahwadi sendiri bahwa keempat karya tersebut saling terkait dan harus dibaca
dalam suatu kaidah yang khas. Masing-masing karya mempunyai penekanan yang khas
pada istilah, dan bahkan terdpat indikasi-indikasi tertentu bahwa Surahwadi
mempunyai suatu tinjauan terhadap keempat karya tersebut ketika ia menulis
masing-masing karya itu, dan indikasi lain bahwa seperangkat istilah, yang
melengkapi kerangka konseptual karya-karyanya, telah dikembangkan. Kita telah
tunjukan, berdasarkan pernyataan-pernyataan Surahwadi sendiri yang eksplisit,
keempat karya tersebut adalah berkaitan dan utuh.
Hakikat hubungan yang rumit di antara keempat karya
tersebut memerlukan suatu analisis terhadap proses pemikiran yagn diawali
dengan al-Talwihat dan berpuncak pada Hikmat al-Irsyaq. Sejauh ini kita telah
menyelidiki hubungan antara keempat karya tersebut berdasarkan
pernyataan-pernyataan Surahwadi sendiri. Tugas kita berikutnya adalah
menyelidiki kandungan karya-karya tersebut. tugas ini tidaklah mudah. Kita
berhadapan dengan prsoalan yang “proses”-nya tidak begitu mulus. Ini bukan
suatu proses yang dapat dilihat untuk mengawali, dengan menjelaskan ajaran
Aristoteles dalam al-Talwihat, diikuti dengan menekankan beberapa persoalan
yang secara tepat diselesaikan Aristoteles atau diabaikannya, dan akhirnya
berakhir dengan teori yang baru, berbeda, sempurna, dan saling berhubungan yang
diketengahkan dalam Hikmat al-Irsyaq. Kenyataannya, proses tersebut penuh
dengan hambatan, pada saat tertentu,d an sangat sering mengandaikan bahwa
beberapa hasil penting yang diketengahkan dalam Hikmat al-Irsyaq adalah
kesimpulan-kesimpulan dari seri karya “sebelumnya”, atau bahwa mereka hanya
dapat dipahami dalam istilah-istilah perkembangan mode pemikiran dari
al-Talwihat melalui al-Masyari’ wa al-Mutharahat. Apa yang menimbulkan
kesulitan tersebut adalah gaya dan terminologi Surahwadi, yang kadang-kadang
dikhususkan dalam buku tertentu tapi pada saat yagn lain berlaku bagi keempat
karya tersebut. perubahan nyata dalam gaya semacam itu karena merupakan bagian
dari eksperimen Surahwadi dengan gaya dan analisis filsafat. Ia menyelidiki
suatu idea dalam seri karya terdahulu di dalam suatu kerangka konseptual,
metodologi dan metafisika Paripatetik yang telah mapan, dengan menggunakan
seperangkat terminologi teknis “standar”, tetapi dengan beberapa perubahan
penting, dan baru menyelidiki suatu idea, bahkan idea yang sama, di dalam
sebuah cara illuminationis, dengan mencoba menangkap esensi pengalalaman,
“keakuan” wujud manusia, dalam kata-kata dan simbol-simbol. Kasus semacam itu
ada dalam al-Talwihat, yang diduga sebagai karya yang sepenuhnya Aristoteles.
Karena dalam karya ini tidak terdapat metode yang jelas untuk mendekati
persoalan-persoalan itu. Sering tanpa peringatan, sebuah idea baru dilempar dan
diselidiki dari tempat yang menguntungkan ajaran illuminasi.
Semua ini berarti bahwa kita harus sering membaca kembali
keempat karya tersebut untuk memahami kesatuan pemikiran yang mendasari
karya-karya tersebut. kita harus mempunyai hasil akhir analisis Surahwadi
seperti diketengahkan dalam Hakikat al-Isyraq yang ada di depan kita untuk
memahami sepenuhnya karya sebelumnya, yagn dalam gilirannya harus diselidiki
dengan cermat jika kita ingin membuat pengertian konstruksi terakhirnya. Ini
menuntut kita menyelidiki karya-karya filsafat penting dari dua sudut pandang.
Kita harus menyelidiki masing-masing karya secara terpisah untuk menentukan
kesatuan pemikirannya dan cara yang di dalamnya persoalan-persoalan filsafat,
dan akhirnya kita harus menyelidiki karya-karya tersebut secara keseluruhan,
dengan menilai mereka sebagai kesatuan yang sebenarnya untuk menemukan kembali
pemikiran Surahwadi yang utuh. Setelah penyelidikan ganda semacam itu, kita
berada dalam posisi mengemukakan penilaian yang bertalian secara logis atas
filsafat illuminasi.
Sepanjang, 16 Mei 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar