.
MEMBUKA RAHASIA ILMU JAWA
(Bab Membuka Rahasia Ilmu Samadhi/Yoga Orang Jawa - Mengurai sedikit Ajaran Syech Sitijenar)
Penyunting : Pujo Prayitno
Tulisan berikut, terjemahan bebas bersumber dari
Buku Serie Adamakna Jilid Angka : Sekawan,
Kawedalaken dening : Ny. Siti Woeryan Soemodiyah
Noeradya, Penerbit : “SOEMODIDJODJO MAHA DEWA”
Ngayugyakarta Hadiningrat. Tahun : 1994.
Dari Bab Yang berjudul “Aji Pameleng”
Tata cara “Samadhi” (Yoga), disebut juga “AJI
PAMELENG”; yang bermakna “Aji” = Ratu; “Pameleng” = Konsentrasi = Tapa –
Bertapa - Samadhi, mengandung maksud, sebuah niat yang paling utama untuk
bertapa atau Samadhi. Bertapa – Samadhi, disebut juga : Manekung, Tafakur,
Pubarata, Mengendalikan Budi, mengendalikan cipta, menenangkan raga, yoga, dan
sebagainya.
Tempat untuk menjalankan hal tersebut, dinamakan
Pertapan, Pamurcitan, Pamursitan, dan lain sebagainya. Sedangkan teorinya
disebut “Daiwan”, dawan, tirta amerta, tirta kamandhanu, tirta nirmala,
mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastra cetha, ataupun
Sastrajendrayuningrat Pengruwating Diyu, dan lain sebagainya.
Sedangkan manfaat ilmu Samadhi dan tindakan yang
demikian, digunakan sebagai sarana menyempurnakan dalam menjalankan Ibadah, agar
mendapatkan keselamatan hidup, sebab bisa sebagai sarana untuk bisa melakukan
tindak laku utama dengan sempurna, dan juga bisa digunkan sebagai sarana ketika
diri ada hajat keperluan yang sangat penting untuk memohon anugrah hidup kepada
Tuhan Yang Maha Murah.
Sedangkan mengapa di dunia ada ilmu tata cara
bertapa (Yoga) Samadhi yang demikian, menurut dari kata-kata tersebut, ternyata
banyak yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Dengan demikian terbukti bahwa Ilmu
Samadhi, berasal dari ilmu para pertapa (Yogi) dari Hindu India pada jaman
dahulu. Barangkali saja bersamaan dengan ketika Bangsa Hindu membuat
Candi-candi dan patung-patung pada saat itu. Awal mula ilmu tersebut, hanya
untuk bangsa Hindu, tidak terkecuali Bangsa Hindu yang beragama apa saja akan
bisa melakukan Samadhi. Sebab hanyalah Ilmu Samadhi (Tafakur) ini saja yang
menjadi pembuka ilmu di seluruh dunia, dan juga menjadi ujung tombak dalam Ilmu
Agama.
Lama-kelamaan Bangsa Hindu merantau ke Tanah Jawa
dan ke berbagai negara lain, serta juga mengajarkan Agama dan ilmu yang dianutnya.
Demikian Juga Ilmu Samadhi juga tidak ketinggalan. Imu Samadhi di Tanah Jawa
bisa berkembang dengan subur, sebab masyarakat Jawa tidak pilih-pilih ilmu, dan
juga orang Jawa senang berguru dan bisa menjalankan dengan sempurna ilmu apa
saja yang masuk ke Tanah Jawa. Sebab ilmu yang demikian bisa selaras dengan
dasar jiwa orang Jawa, sehingga orang jawa dengan mudahnya bisa menerima ilmu
tersebut. Ditambah juga dengan banyak
nya orang Hindu yang pergi ke tanah Jawa, dengan tujuan berdagang, menyebarkan
Agama dan juga ilmu bijaknya. Sekejab saja hampir semua orang Jawa di masa itu,
memeluk Agama Hindu.
Kemudian disusul dengan datangnya Bangsa Arab ke
tanah Jawa, yang juga dengan membawa Ilmu dan Agama Nabi Muhammad, saw. Yaitu
Agama Islam, sehingga sedikit mengurangi perkembangan Agama Hindu, sebab,
banyak juga orang Jawa yang memeluk Agama Islam. Hanya saja, Agama Islam tidak
punya Ilmu Samadhi, sebagaimana tersebut di atas.
Ketika Islam telah berkuasa dengan berhasil mendirikan
Kerajaan Demak (Bintara), kemudian Negara melarang orang Jawa untuk menyebar
luaskan Ilmu Samadhi, demikian juga dipaksa berganti agama untuk memeluk Agama
Islam.
Namun, tidak semua orang Jawa mau masuk untuk memeluk
Agama Islam. Walaupun telah memeluk Agama Islam, namun tidak sepenuhnya
menjalan Syariatnya, hanya sebatas karena takut pada hukuman raja saja.
Sehingga Agama Islam yang dianut hanya sebatas luar atau di lahir saja. Dalam
jiwa dan batin mereka, masih tetap beragama Hindu. Sehingga Ilmu Samadhi masih
tetap dijalankan, hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan pada
malam hari di atas jam 12 malam. Sedangkan tempat untuk bertapa di tempat yang tidak
terhalang apapun, yaitu di tempat terbuka yang luas, seperti di dalam hutan, di
sungai dan sebagainya, asal saja tempat yang benar-benar sepi. Diajarkan dengan
cara bisikan, tidak boleh terdengar oleh siapapun, walaupun oleh dedaunan,
rumput, hewan dan juga hewan kecil yang merayap di tanah juga tidak boleh
mendengar. Jika ikut mendengar maka mereka yang mendengar akan berubah menjadi
manusia. Sehingga diajarkan dengan cara, Guru duduk berhadapan dengan cara
beradu dahi dengan murid, dan guru berpesan bahwa apa yang diajarkan tidak
boleh diberitahukan kepada siapapun juga, tanpa ijin dari sang guru. Jika di
langgar, maka sang murid akan mendapat celaka karena akan mendapat hukuman dari
Tuhan. Cara yang demikian bertujuan agar ajaran Ilmu Samadhi (Yoga) tidak bisa di
ketahui oleh Pemerintah yang berpedoman pada ajaran Agama Islam, sebab apabila
sampai ketahuan, akan mendapat hukuman yang sangat berat.
Sampai
dengan jaman sekarang, walaupun negara sudah tidak melarang dengan adanya Ilmu Samadhi
(yoga), namun cara menyebar luaskan ajaran tersebut, masih tetp sama dengan
cara sembunyi-sembunyi seperti di jelaskan di atas. Sehingga mendapat julukan
oleh orang yang tidak suka ajaran tersebut, atau oleh orang yang beragama
Islam, bahwa ajaran Ilmu Samadhi (yoga) tersebut disebut Ilmu Klenik. Berasal
dari kata “Klenik” sehingga di tanah Jawa ada sebutan “Abangan” dan “Putihan”
(merah dan putih). Yang diberi julukan “Abangan” adalah orang jawa Islam yang
tidak menjalankan Syariat Agama Islam, sedangkan “Putihan” adalah sebutan bagi
orang jawa yang menjalankan sepenuhnya Syariat Agama Islam, disebut Santri.
Sehingga Santri disebut juga “Putihan” sebab pada umumnya pakaian yang digunakan
oleh Santri yang ber Agama Islam, itu lebih bersih di banding dengan orang Jawa
yang tidak ber Agama Islam.
Kembali kepada Ilmu Samadhi (yoga), bahwa disebut
Ilmu Rahasia di karenakan seperti keterangan tersebut di atas. Sedangkan yang
sesungguhnya nama Ajaran Rahasia itu, sebetulnya tidak ada. Sehinga boleh-boleh
saja di ajarkan kepada siapa saja, baik kepada yang muda atau juga kepada yang
sudah berumur tua, dan juga boleh diajarkan sewaktu-waktu kapan saja, apabila
ada seseorang yang benar-benar sangat membutuhkan Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut.
Sebab, tata cara yang demikian itu, agar ajaran tersebut bisa diketahui oleh
orang banyak, lebih-lebih bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut ternyata menjadi
pemuka dari semua Ilmu, sehingga wajib disebar luaskan agar menjadi pengetahuan
bagi generasi muda ataupun juga yang sudah tua, tanpa melihat tinggi rendah
dari martabat dan derajat seseorang.
Tibalah pada
suatu masa, ada cerita kejadian yang tidak di sangka-sangka, di belakang hari
Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut bisa di terima oleh orang Islam, sebab mereka percaya
bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersbut, memang benar sebagai puncak ilmu yang bisa
menghantarkan kepada keselamatan, kehormatan, ketenteraman dan sebagainya.
Sehingga Ilmu Samadhi (yoga) tersebut oleh se orang yang telah terbuka pintu
hatinya dengan kebenaran, yang bernama “Shech Sitijenar” atau Syech Lemah
Abang, yang nama aslinya “San Ali Ansar” ada juga yang menyebut “Kasan Ali
Ansar”, yang kedudukan tingkat ilmunya juga sebagai Pemuka Agama setingkat Wali,
kemudian digubah oleh nya di kitab buatannya yang disebut “Daim”, mengambil
dari asal kata “Daiwan” , yang kemudian digunakan sebagai tata cara dalam
melakukan ibadah, dengan cara dirobah susunan katanya, menjadi : “Sholat Daim”
(Sholat yang tiada terputus). Sehingga oleh ajaran Syech Sitijenar Sholat
terbagi menjadi dua, yaitu Sholat 5 waktu, disebut Sholat Syariat, Sholat
lahir. Yang ke dua Sholat Daim. Sholat ini adalah Sholat di dalam batin, mengandung
maksud juga menyatukan rasa diri pribadi dengan Tuhan atau dalam Bahasa Jawa
disebut “Manunggaling Kawula Gusti”, atau “Loroning Atunggal” (Dua menjadi
satu).
Kitab buatan Syech Sitijenar kemudian digunakan
sebagai pedoman dalam ajaran tersebut. Setelah berhasil mendapat perhatian oleh
orang banyak, di situ Sholat 5 waktu dan Syariat Agama Islam oleh pengikut
Syech Sitijenar, ajaran nya banyak yang ditinggalkan ataupun tidak di ajarkan
lagi. Perhatian para penyebar Ilmu murid Syech Sitijenar hanya mengajarkan Sholat
Daim saja. Sehingga orang jawa yang semula sudah memeluk Agama Islam terlebih
lagi yang belum, semua condong dan berguru kepada Syech Sitijenar, sebab
ajarannya lebih mudah, terang dan nyata.
Sedangkan Ilmu Samadhi yang dikembangkan oleh Syech
Sitijenar berasal dari Kyai Ageng Pengging, sebab Syech Sitijenar adalah masih saudara
dari Kyai Ageng Penging. Ilmu Samadhi (Yoga) oleh Syech Sitijenar diajarkan
kepada “Raden Watiswara” juga bernama “Pangeran Panggung”, yang juga dia
mempunyai derajat Wali. Kemudian diajarkan kepada “Sunan Geseng”, yang juga
bernama “Ki Cakrajaya” yang berasal dari daerah “Pagelen”. yang dalam cerita ketika dia belum menjadi
Wali, mempunyai pekerjaan “nderes” mengambil air sari bunga pohon kelapa untuk
dibuat menjadi Gula Kelapa. Kemudian olehnya diajarkan kepada orang banyak .
Demikian juga para sahabat Syech Sitijenar yang telah terbuka hatinya oleh
ajaran Syech Sitijenar disuruh mendirikan perguruan untuk menyebarkan Ilmu
Samadhi tersebut. Semakin lama semakin banyak dan berkembang, sehingga berhasil
menyaingi bahkan melemahkan kekuasan Wali yang lain dalam hal menyebarkan Ilmu Agama Islam,
sehingga banyak masjid yang kosong.
Untuk menanggulangi keadaan yang demikian agar
tidak semakin berkembang luas, maka Kyai Ageng Pengging dan juga Syech
Sitijenar beserta pengikutnya semuanya di hukum pancung oleh para Wali yang
mendapat perintah dari Sultan Demak. Demikian juga Pangeran Panggung tidak
ketinggalan pula, di hukum dengan cara dibakar di tengah alun-alun Demak, untuk
dijadikan contoh agar supaya orang-orang dan para pengikutnya menjadi takut,
dengan harapan supaya bersedia meninggal ajaran Syech Sitijenar.
Dalam cerita tersebut, tubuh Pangeran Panggung
tidak bisa terbakar api, kemudian dia keluar dari dalam api dan meninggalkan
kerajaan Demak. Ada salah satu kisah cerita bahwa, pada saat Pangeran Panggung sedang berada di
dalam api, Pangerang panggung mengarang Kitab yang diberi nama “Suluk Malang
Sumirang”. 20 Bait Tembang Macapat yang termuat di dilam buku "Suluk Walisana" Karangan Sunan Giri ke II (Jenis lagu Jawa). Sebelum meninggalkan Demak, buku itu diserahkan kepada Raja Demak.
Dan pada saat Pangeran Panggung pergi meninggalkan api, Sultan Bintara dan para
punggawa kerajaan, beserta para Wali, kalah wibawa oleh kesaktian Pangeran
Panggung, sehingga termangu dan tidak bisa berbuat apa-apa bagaikan tersihir. Setelah Pangeran Panggung pergi jauh, barulah
Sultan Demak dan para Wali sadar bahwa Pangeran Panggung selamat dari hukuman
bakar. Sehingga mereka merasa kalah oleh kesaktian Pangeran Panggung, yang
mendapat Anugrah kasih sayang dari Tuhan. Kemudian datang Punggawa kerajaan
melapor bahwa Sunan Geseng atau Cakrajaya pergi juga menyusul langkah Pangeran
Panggung. Kemudian setelah sadar, barulah muncul kemarahan Sultan Demak, sehingga
kemudian menyuruh prajuritnya untuk membunuh sahabat dan semua murid Syech
Sitijenar yang telah berhasil ditangkap, sedangkan yang tidak tertangkap melarikan
diri mencari selamat.
Para sahabat dan murid Syech Sitijenar yang masih
hidup di dalam pelariannya, kemudian mendirikan Perguruan dan terus melestarikan ajaran
“Ilmu Samadhi”, namun dengan cara ditutupi dengan ajaran Syariat Islam seperti pada
umumnya, agar tidak di ganggu ataupun dilarang oleh para Wali pembela Kerajaan
Demak. Sedangkan isi ajarannya, sebagai berikut :
Cara pengajaran Ilmu Samadhi yang kemudian disebut
Sholat Daim dibarengi dengan pengajaran Sholat 5 waktu, juga rukun Islam
lainnya. Ajaran Sholat Daim kemudian diberi nama Naksobandiyah, sedangkan isi
ajaran diberi nama “Tafakur”. Cara yang lain, tata cara dalam cara mengajarkan
ilmu tersebut, sebelum para murid diberi
ajaran Sholat Daim, terlebih dahulu para murid dilatih menjalankan beberapa macam
jenis dzikir dan juga membaca ayat-ayat suci. Sejak saat itu Ajaran Ilmu
Samadhi, ada dua macam yaitu :
1. Ilmu Samadhi yang sesuai dengan
ajaran yang diajarkan oleh para murid Syech Sitijenar yang ditutupi atau oleh
ajaran Rukun Islam. Ajaran tersebut pada
jaman selanjutnya mengalami perubahan karena tidak sesuai lagi dengan ajaran
pada awal ilmu itu ada. Sehingga para guru pada jaman sekarang dalam
menyampaikan pengajaran Ilmu Samadhi, yang telah berganti nama menjadi
Naksobandiyah dan juga Satariyah, mengira bahwa ilmu tersebut perasal dari
Jabalkuber atau Mekah, walaupun Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah yang asli itu ada,
dan cara pengajarannya tidak sama seperti tersebut di atas. Sehingga para Kyai
guru Agama Islam, memberi julukan Guru Klenik kepada para guru yang mengajarkan
Ilmu Samadhi yang berpedoman pada ajaran Jawa yang bersumber dari ajaran Syech
Sitijenar, dan Para Kyai Guru tersebut memberi julukan nama “Kiniyai”
mengandung maksud Guru yang mengajarkan ilmu setan. Sedangkan sebutan Kyai
adalah hanya untuk guru yang mengajarkan Ilmu Nabi.
2. Ajaran Ilmu Samadhi cara Jawa,
yang bersumber dari Kyai Ageng Pengging yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar
(jaman sekarang diberi julukan klenik), tersebut yang pada awalnya berdasar
pada 5 pedoman, sebagaimana berikut :
2.1. Setya tuhu; sangat bersungguh-sungguh dan jujur.
2.2. Santosa; berbuat adil,
tanggung jawab tidak berbuat semaunya sendiri.
2.3. Benar dalam semua pekerjaan;
Sabar; kasih sayang pada sesama, tidak mengunggulkan dirinya sendiri, tidak
berwatak kejam.
2.4. Pinter saliring kawruh, Pandai
dalam banyak ilmu, terlebih lagi pandai menjaga perasaan sesama, serta bisa
mengendalikan nafsu amarah dalam diri, tidak serakah terhadap harta benda.
2.5. Susila anor – raga, Selalu
bersikap sopan santun, serta bersikap yang bisa menyenangkan orang lain dan
juga indah dalam berkata-kata apalagi terhadap orang yang sedang menderita
kesusahan.
Tindakan 5
macam tersebut harus dilakukan bersama saat ketika menjalankan Samadhi, yaitu
mengendalikan Cipta mengheningkan cipta. Oleh karena itu menurut ajaran Jawa,
tentang Ilmu Samadhi dan juga 5 macam tindakan tersebut di atas, akan diajarkan
kepada semua anak muda atau orang tua tidak memandang tinggi rendahnya kelas
dalam masyarakat. Sebab inti ilmu dan tinggi tingkatan ilmu seseorang apabila
tetap dalam menjalankan Samadhi, dan
mampu menjalan 5 ajaran tersebut di atas, maka manusia akan mendapatkan
ketentraman, sedangkan dengan adanya ketentraman menyebabkan hidup merdeka
dalam rasa. Jika tidak demikian, sampai dengan akhir jaman, seseorang akan
mengalami nasib sengsara, tergilas oleh roda jaman, sebab rusak hati nurani
diri.
Tentang Ilmu Samadhi yang diberi nama Ajaran
Naksobandiyah dan Satariyah, yang berasal dari Syech Sitijenar, telah
dijelaskan di muka, namun tata caranya tidak dijelaskan. Di sini hanya akan
menjelaskan tata cara melakukan Samadhi cara Jawa, sebelum tercampur dengan
Agama lain, sebagai berikut :
Semoga para pembaca tidak salah terima, bahwa
Samadhi itu, akan menghilangkan rasa hidup manusia atau pun akan mengeluarkan ruh
dari badan. Pemahaman yang demikian, berasal dari pemahaman yang terkandung
dalam cerita “Sri Kresna” raja Dwarawati, atau “Arjuna” yang sedang menjalankan
“Raga Sukma”. Agar diketahui di sini, bahwa cerita demikian hanya sebatas
ibarat saja.
Tata cara Samadhi Jawa adalah sebagai berikut :
Kata Samadhi = Satu rasa = memusatkan rasa = rasa jati = rasa ketika rasa belum
bekerja. Sedangkan berjalannya rasa disebabkan oleh hasil pengalaman-pengalaman
yang diterima atau kejadian-kejadian yang di terima dalam hidup sehari-hari.
Itulah kerja rasa yang disebut berfikir. Berasal dari kekuatan ilmu,
pengalaman, dan peristiwa hidup sehari-hari, sehinga Pikiran manusia bisa
menganggap baik dan buruk, yang bisa menjadi penyebab Tata cara, tindakan,
sikap, dan sebagainya, yang kemudian akan menjadi kebiasaan.
Sedangkan anggapan tentang baik dan buruk, yang telah
menjadi kebiasaan tersebut, apa bila buruk memang benar-benar buruk, dan
apabila biak, memang benar-benar baik, itu sebetulnya belum tentu benar. Hal
ini karena hanya disebabkan oleh kebiasaan cara berfikir saja, atau anggapan
diri sendiri saja. Anggapan yang demikian, tidak mesti benar, tetap hanya sebatas
kebiasaan tata cara berfikir saja, sehingga hal itu bukan yang sebenarnya.
Sedangkan maksud dan tujuan Samadhi, adalah bertujuan
untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang sebenar-benarnya (Kajaten). Sedang
tata cara nya adalah dengan memahami dan menghilangkan segala anggapan dari
kekuatan daya pikir sendiri, disebut hilangnya tempat dan tulisan (Sirnaning
papan lan tulis). Setelah berhasil menguasai daya pikir yang demikian, maka
itu ujud rasa yang sesungguhnya rasa (rasa jati) yang bisa mengetahui segala
sesuatu tanpa petunjuk (Dalam bahasa Jawa disebut "Tanpa Tinulis bisa dibaca"). Sedangkan hal demikian akan bisa dicapai dengan cara
menghentikan segala pengaruh gerak pikiran, dengan cara mengendalikan segala
gerak anggota badan.
Mengendalikan pengaruh dari gerakan badan yang
paling maksimal adalah dengan cara tidur
terlentang, tangan bersedakep melipat kedua tangan atau kedua tangan diluruskan,
kedua telapak tangan ditempelkan di kedua paha kanan dan kiri, kaki diluruskan,
telapak kaki yang kanan di atas telapak kaki kiri, sikap yang demikian disebut
“Sidakep saluku tunggal”, (Bersidakep berkaki satu). Dan juga memusatkan
pandangan atau menghentikan gerak mata. Tindakan demikian disebut “Meleng”
(Memusatkan mata). Sikap demikian akan bisa mengendalikan gerak pikiran, serta
mengendalikan gerak rasa, sedangkan pusat titik mata di arahkan dan di pusatkan
memandang ujung hidung dengan menyatukan dua titik pandangan mata menjadi satu,
dengan cara memejamkan kedua mata.
Langkah selanjutnya adalah menata keluar masuknya
nafas, dengan cara mengendalikan jalannya nafa. Dimulai nafas berjalan dari
puser perut, di tarik ke atas melewati pangkal mulut Cethak) terus di naikan ke atas hingga masuk
ke dalam otak, kemudian di tahan semampunya di dalam otak. Dalam melakukan
tarikan nafas yang demikian, dilakukan sampai dengan badan merasa tidak punya
daya kekuatan untuk mengangkat apapun, sedangkan yang di kendalikan adalah
jalannya rasa. Apabila telah terasa berat dalam menahan nafas, kemudian nafas
dilepaskan dengan perlahan-lahan. Sikap yang demikian yang disebut Sastracetha.
Arti dari “Cetha” = penempatan ilmu, “Cetha” = Suara Cethak (pangkal mulut)
yang berat.
Disebut demikian, sebab ketika sedang melakukan
tarikan nafas dari pusat perut melewati dada terus naik melewati cethak
(pangkal mulut) sampai masuk ke pusat otak. Apabila jalan nya pernafasan tidak
di kendalikan, maka nafas hanya akan mengikuti jalan nafas sendiri saja, cara nafas
yang demikian tidak akan sampai naik masuk ke dalam otak, sebab nafas baru
sampai di pangkal mulut (cethak) akan turun kembali dan keluar lagi.
Langkah demikian disebut juga “Daiwan” (dawan),
maksudnya : Mengendalikan perjalan nafas yang panjang dan dengan tenang, dengan
mengucapkan mantra di dalam batin, yaitu yang berbunyi “Hu” bersama dengan
masuknya nafas, yang berjalan dari puser, cethak sampai ke pusat otak. Kemudian
mengucapkan “ya” bersama sama saat melepaskan nafas yang berjalan dari pusat
otak – cetahk – sampai ke perut. Naik dan turun nya perjalanan nafas akan selalu melewati
dada dan cethak.
Hal demikian disebut “Sastracetha” sebab, ketika
mengucapkan mantra sastra dua macam : Hu – ya, yang hanya di batin saja, akan
terasa di dalam cethak (pangkal mulut). (Mantra dua macam tersebut, Hu dan Ya,
di dalam ajaran Naksobandiyah dirubah menjadi berbunyi : Hu – Allah,
menyebutnya juga bersamaan dengan perjalanan nafas. Sedangkan dalam ajaran
Satariyah sebutan tersebut , menjadi : Ha ilah Ha illalloh, namun tidak
digabung dengan pernafasan).
(Sedikit tambahan penyunting : Pada saat melakukan
pernafasan demikian, usahakan mengendurkan urat wajah se rilex-rilex nya atau
sesantai mungkin, dibarengi seolah-olah tersenyum, dan mengendurkan urat otak
se santai santainya, dan yang terpenting... jangan dibarengi menelan ludah –
penyunting hanya sebatas belajar yoga dan sangat bermanfaat ketika sedang
menghadapi problim kehidupan).
Kebiasaan yang biasa terjadi, dalam melakukan
pernafasan dengan cara demikian, dalam satu angkatan bernafas hanya mampu
mengulang sebanyak 3 kali pernafasan, biasanya sudah terengah-engah. Apabila
sudah tenang, maka di ulang lagi. Tindakan demikian dilakukan berulang-ulang, hingga
jika semakin lama dan makin banyak dilakukan, akan semakin baik. Sedangkan
dalam satu kali angkatan tindakan yang demikian disebut : “Tri pandurat” yang
artinya “Tri” = tiga; “Pandu” = suci; “Rat” = Dunia = tubuh = tempat, yang
bermakna juga : Tiga kali tarikan nafas, maka itu berarti telah bisa sampai di
hadapan Yang Maha Suci yang bertempat di dalam otak (Susuhunan = yang di suwun)
tempat permohonan. Yaitu yang disebut “Kawula Gusti”, maksudnya : Ketika kita
menarik nafas , kita sebagai ibarat Gusti (Tuhan); dan ketika melepas nafas,
kita kembali sebagai “Kawula” (makhluk). Hal yang demikian, diharapkan para
pembaca tidak salah menafsirkan. Bahwa yang disebut “Kawula Gusti” (Makhluk dan
Tuhan), itu bukan nafas kita, namun hanya daya kekuatan dari pikiran dan cipta
kita. Sehingga, dalam inti melakukan Samadhi adalah kita harus dengan cara memanjangkan
masuk dan keluarnya nafas, dengan menjernihkan penglihatan, sebab penglihatan
adalah terjadi dari pengaruh rasa.
Sedangkan sikap Samadhi, seperti yang telah di
jelaskan di atas, juga bisa dengan jalan di percepat, asal dilakukan dengan
cara tidak terputus dalam mengendalikan jalannya pernafasan, bisa dilakukan
pada saat duduk, berjalan ataupun pada saat bekerja, juga sebaiknya dalam melakukan
pernafasan dengan cara tersebut, dengan jalan mengucapkan mantra yang berbunyi
: “Hu –Ya” seperti dijelaskan sebelumnya...ataupun juga bisa diganti sesuai
dengan keyakinan nya masing-masing.
Selain itu, berdasar kata daiwan, juga masih
mempunyai arti yang lain, yaitu panjang tidak berujung atau bermakna langgeng,
yang mempunyai maksud bahwa nafas kita adalah sebagai tanda hidup tiap diri
pribadi. Sedangkan bahwa nafas itu ada, ditandai dengan adanya keluar dan masuk
nya angin tanpa berhenti, yang bersamaan juga dengan berjalannya detak jantung yang
seiring juga dengan perjalanan peredaran darah (Ruh). Bahwa, apabila keduanya
berhenti tidak bekerja, maka disebut meninggal dunia, yaitu rusaknya jasad
manusia yang akan kembali kepada asalnya. Sehingga sebaiknya, dalam bernafas
diusahakan dipanjangkan juga, agar umur kita bisa panjang untuk hidup di dunia.
Dengan adanya uraian di atas, menunjukan bahwa Ilmu
Samadhi, ternyata besar manfaatnya, sehingga disebut juga
“Sastrajendrayuningrat Pangruwating Diyu”. Artinya : “Sastra” = Ilmu; “Jendra”
= berasal dari kata Harja dan Endra. Artinya “Harja” = bahagia; “Endra” = Raja;
“Yu” = Selamat; “Ningrat” = Dunia = tempat = Badan, mengandung maksud : Mustika
dari ilmu yang bisa menyebabkan keselamatan hidup, kebahagia an hidup,
ketenangan hidup, dan lain sebagainya. Sedangkan makna dari “Pangruwating Diyu”
= menghancurkan diyu; sedangkan “Diyu” = Raksasa, Denawa, Asura, sebagai
lambang dari Kejahatan, penyakit, kotoran, Bahaya, pikiran gelap, kebodohan,
dan sebagainya. Sehingga sifat Diyu itu berlawanan dengan Tuhan, yaitu : Pandai,
Indah, Selamat, dan sebagainya. Mengandung maksud juga bahwa, bagi siapa saja
yang bisa mengalahkan segala kejahatan dan segala penghalang hidup. Artinya,
bagi siapa saja yang selalu menjalankan Samadhi yang tiada henti, maka apabila
dilakukan oleh manusia jahat, akan hilang sifat jahatnya dan akan berubah
menjadi orang baik. Orang yang sedang sakit, akan hilang sakitnya. Orang
angkara murka, orang kejam, akan menjadi orang yang sabar, menerima apa adanya,
dan jadi orang yang penyayang. Jika dilakukan oleh pembohong, akan berubah
menjadi orang jujur, Bodo akan menjadi pinter, dan sebagainya.
Bisa juga untuk menghilangkan, segala macam bencana
dan segala rencana jahat, bahaya dan halangan apapun, yang tumbuh dari
kegelapan jiwa diri pribadi, semuanya akan hilang musnah “Lebur dening
pangastuti” karena menjalankan ulah Samadhi. Demikian juga bisa membentengi diri
dari serangan bahaya yang berasal dari perbuatan orang lain, dan juga makhluk
lainnya, baik yang berupa hewan yang jahat atau juga makhluk halus yang jahat,
akan musnah terbakar dari kewibawaan ahli Samadhi.
Harapan penyunting, bahwa akan lebih sempurna
apabila menjalankan ajaran kebaikan dari teori yang di dapat dari luar diri apabila
diimbangi dengan keadaan sucinya hati karena ulah Samadhi, yang dilakukan
dengan olah rasa, tafakur dan Samadhi apabila melakukan ajaran kebaikan, akan
semakin sempurna dan tidak kaku. Karena bukan hanya berdasar teori dalam Ilmu
Syariat saja, tapi juga dengan olah rasa sehingga kebenaran mutlak akan menjadi
pedoman dalam segala tindak perbuatan dirinya.
Nuwun...
Kota Sepanjang – Kabupaten Sidoarjo – Jawa Timur,
27-7-2013.