Pikiran yang cerdas yang dihasilkan oleh penalaran sendiri,
akan bisa membuat orang bisa mengerti sendiri tentang segala hal tanpa
harus melalui belajar dari suatu ajaran yang dibuat oleh orang lain.
RAHASIA TAHAPAN KELAHIRAN MANUSIA JAWA
(Kunci Pembuka Tabir Rahasia di balik Ramalan Jaya Baya)
Oleh : Pujo Prayitno
KATA PENGANTAR
Tulisan berikut, terjemahan bebas bersumber dari
Buku Serie Adamakna
Jilid Angka : Sekawan,
Kawedalaken dening : Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya,
Penerbit : “SOEMODIDJODJO MAHA DEWA”
Ngayugyakarta Hadiningrat. Tahun : 1994.
Jilid Angka : Sekawan,
Kawedalaken dening : Ny. Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya,
Penerbit : “SOEMODIDJODJO MAHA DEWA”
Ngayugyakarta Hadiningrat. Tahun : 1994.
Cerita hidup!! sejak jaman dahulu sampai sekarang
bisa dikatakan selalu sama, yaitu hidup akan selalu menjadi bahan permainan wiyasa
yaitu selalu menjadi permainan cipta, rasa, karsa dan juga ripta diri dari
dalam diri manusia itu sendiri.
Cipta boleh di kata cetusan hati; Rasa bisa
diartikan perasaan hati; karsa itu keinginan hati, ripta itu menyangkut pikiran
dan pengalaman. Dari ke empat unsur itulah, segala tindakan manusia selalu di
bawah kekuasaan dan permainan mereka,
yang berupa Cipta, ripta, rasa, dan karsa dari dalam diri manusia. Jarang
sekali manusia yang bertindak atas dasar kehendak Tuhan. Sedangkan
sesungguhnya, ke empat unsur tersebut adalah hanya tamu yang selalu datang dan
pergi setiap saat mendatangi tiap diri manusia. Dimana .. diri manusia yang
sesungguhnya adalah yang menyaksikan datang dan perginya tamu ke empat unsur
tersebut; bukan diri yang di kendalikan oleh mereka. Hanya manusia yang terpilih
dari yang terpilih yang mampu bertindak demikian.
Wiyasa atau empat unsur tersebut, ada yang mudah di
pahami dan ada pula yang sulit untuk di mengerti. Untuk itu, ada ibarat bahwa, bisa
dari hewan kelabang dan kalajengking terletak pada sengat nya. Bisa dari ular
adalah pada semburan bisa dari giginya. Sedangkan bisa dari ajaran dan
kitab-kitab para cerdik pandai tidak lain terletak pada cerah dan tidaknya pemahaman tiap diri pribadi, bukan dari isi kitab-kitab yang di
baca. Isi kitab, sebatas membantu sedangkan kitab sebenar-benar – nya kitab...
adalah yang ada di dalam diri tiap diri manusia.
Oleh karena, para pengarang sastra khususnya Sastra
Jawa, ketika memberikan ajaran atau pun tuntunan, kebanyakan di bungkus dalam
indah dan menarik dari alur ceritanya, dengan cara di bungkus oleh ibarat dan
kata-kata kias. Sehingga tidak ada kata atau kalimat yang disusun apa adanya,
bahkan susunan kata nya di buat dengan sistim tebakan agar pembacanya menebak
dan mengira-ira sendiri isi yang terkandung dalam sastra tersebut, dengan
penalaran pribadi nya masing-masing berdasarkan daya pikir dan telaah serta
kecerdasan pikiran nya sendiri.
Hal demikian, harapan pembuat kitab dengan cara menyusun
sebuah kitab yang berdasarkan alur cerita yang indah dengan maksud untuk menyembunyikan
isi dari kitab yang dibuatnya. Hal demikian adalah dengan tujuan, agar pembaca
nya tidak hanya memahami apa isi asli sesungguhnya dari kitab tersbut, juga
diharapkan pembacanya mengerti dan paham isi yang palsu yang terkandung di dalam kitab tersebut. Apa
bila pembacanya telah memahami dan mengerti isi yang palsu, otomatis dengan
sendirinya pembaca kitab tersebut, akan memahami dan mengerti isi yang
sebenarnya dari ajaran yang terkandung dalam kitab tersebut, yang ternyata
isinya sangat bermanfaat bagi pembaca kitab
itu sendiri. Sebaliknya, apabila pembacanya salah dalam menafsirkan isi yang
terkandung dalam sebuah kitab, karena terkena tipuan oleh indah dan menarik alur
ceritanya, dan kemudian penafsiran yang salah tersebut di sebar luaskan kepada orang
banyak, baik dengan cerita lesan atau di urai dalam karya sastra lain nya,
justru hal yang demikian akan semakin besar pengaruh sesat dari isi kitab
tersebut.
Perbuatan dan sikap pengarang kitab, dengan cara menutupi
kandungan isi yang sebenarnya dari ajaran yang diuraikan dalam karya sastra yang
dibuat oleh nya, dengan harapan agar para pembacan kitab tersebut, menggunakan
nalar dan pemikiran yang bijaksana serta menggunakan kecerdasan berfikir pembaca
kitab itu sendiri, agar pembaca kitab, bisa memahami dan mengerti apa maksud
yang sebenarnya dari isi sebuah kitab. Karena dengan menggunakan kecerdasan berfikir
yang demikian, maka akan melatih pembacanya untuk menjadi orang yang cerdas.
Karena dengan pikiran yang cerdas yang dihasilkan oleh penalaran nya sendiri,
maka akan bisa membuat orang bisa mengerti sendiri tentang segala hal tanpa
harus melalui belajar dari suatu ajaran yang dibuat oleh orang lain, yang
dengan kata lain bisa menerima dan memahami ilmu-ilmu yang berasal dari dalam
dirinya sendiri, sehingga , ilmu yang keluar dari dalam diri nya sendiri tentunya adalah ilmu yang benar ...
sebenar-benar nya ilmu.
Beda dengan ilmu yang di dapat dari belajar kepada
orang lain, kadang ilmu dari orang lain itu sumbernya hanya berdasar dari
kepercayaan saja, hingga kadang benar dan salah, serta benar-benar nyata dan
tidaknya, tanpa di olah dulu oleh daya pikir dan tanpa di nalar kebenaran ilmu
tersebut. Yang demikian itu, yang disebut tetap tertipu oleh ajaran yang
pelajari tersebut; karna percaya ... tanpa dasar yang benar. Percaya yang
demikian itu.. adalah sebagai sumber penyebab kacaunya pikiran dan jelas akan mengakibatkan
kebingungan, karena pikiran yang demikian sama saja dengan pikiran yang di
kendalikan oleh pikiran orang lain, bukan oleh pikiran sendiri. Itu lah yang
menyebabkan seseorang tersesat dalam pikiran yang penasaran dan kebingungan.
Percaya tanpa dasar yang demikian, sebagai
penghalang besar terhadap hal apa saja, dan apa bila dijadikan dasar dalam
segala hal, akan sangat merugikan. Sedangkan apabila daya pikir dan kecerdasan
diri telah bisa mendiri berdiri sendiri, barulah pikiran diri akan lenyap dari
rasa percaya tanpa dasar. Segala macam urusan tidak akan berubah-ubah, atau
tidak akan terpengaruh oleh pendapat dari siapa saja, sebelum di pikir sendiri dengan
se benar-benar berfikir, sehingga memang benar bahwa cara berfikir yang dengan
cara tersebut akan membawa kepada kebenaran dan keselamatan diri manusia itu
sendiri. sehingga dengan demikian, segala hal apa saja seharus nya di
hubung-hubung kan terlebih dahulu, sehingga akan menghasilkan kebenaran yang se
benar-benar nya kebenaran. Seharus nya yang demikian itu yang harus manjadi
dasar dalam tiap langkah tiap manusia, dengan harapan diri tidak akan merasakan
kuatir lagi, karena segala tindakan yang dilakukan atas dasar tumbuh dari
pikiran dan kecerdasan dalam diri sendiri.
Berdiri sendiri mandiri yang demikian, berarti atas
dasar ilmu dari dalam diri sendiri, dan dengan pemahaman diri memahami betul
posisi yang sebenarnya dari apa yang sedang di kerjakan, dan juga memahami
segala perbuatan benar dan salah sarta segala akibat yang harus di terimanya atas
segala apa pun juga yang akan dikerjakannya. Sehingga segala pekerjaan apa saja
yang akan dikerjakan tidak akan meninggalkan kewaspadaan, ke hati-hati an dan
juga perhitungan yang matang.
AJARAN CATUR
YOGA
Oleh karena agar para pembaca tidak salah tafsir,
terhadap isi kitab yang digubah oleh para Pujangga jaman dahulu, yang di gubah dengan ke indahan bahasa dan
alur cerita yang indah; yang menerangkan sebuah ajaran ilmu yang di gubah
dengan bentuk sebuah cerita dengan nama cerita “empat jaman”, yang disebut :
Jaman Kretayoga, Tirtayoga, Dwaparayoga, dan Kaliyoga, maka di sini akan di uraikan
makna sebenarnya maksud dan isi yang terkandung di dalam ajaran tersebut.
Sebab, dengan adanya cerita tersebut,
ternyata bisa menyebabkan rasa penasaran yang besar. Sedangkan yang menyebabkan
sangat membingungkan, adalah cerita yang terkandung di dalam cerita pada Jaman Kaliyoga.
Dengan adanya Jaman Kaliyoga tersebut, banyak menimbulkan salah tafsir,
sehingga banyak dipahami sebagai Jaman Sengara, yaitu jaman yang penuh
pergolakan, atau juga dimaknai jaman akhir, yaitu jaman mendekati kiyamat.
Dengan adanya sebutan empat jaman tersebut di atas,
hampir di seluruh Tanah Jawa, dan hampir semua orang jawa boleh dikatakan merata
telah mengetahui ajaran tersebut. Hal tersebut disebabkan semakin lama semakin
banyak buku-buku, majalah-majalah yang berhubungan dengan budaya jawa yang
memuat cerita tersebut. Sayangnya, kesemuanya itu sejak dari dulu hanya memuat
cerita asli dari cerita empat jaman tersebut, dan belum ada yang mengurai isi
yang tersurat atau membuka rahasia di balik cerita tersbut.
Untuk itu, dalam uraian selanjutnya akan kami coba
membuka rahasia yang terkandung dalam cerita empat jaman tersebut, yang dalam
Serat Nitisastra termuat dalam “Pupuh Tembang Kusumawicitra” sebagaimana,
uraian berikut :
Dalam suatu cerita, ada kata-kata : CATURYOGA, yang
berarti “Empat Jaman” atau “Jaman yang berjumlah empat” itu adalah sebuah
cerita yang termuat di dalam Serat Nitisastra. Sedangkan Serat Nitisastra, jika
tidak salah adalah bagian dari Serat Mahabarata pada bagian Markandeyasamyasa
Parwa Bab. 187 s/d 190, dan juga pada bab Tirtayatra Parwa bab 148 dan 149.
Pada awalnya Serat Nitisastra digubah dalam Bahasa Kawi pada akhir Jaman
Majapahit, yang selanjutnya oleh generasi selanjutnya di terjemahkan ke dalam
Bahasa Jawa biasa. Dan untuk selanjutnya Serat Nitisastra di bagian “Pupuh
Tembang Kusumawicitra” Di buat buku tersendiri, dan di gubah dengan cara
dirobah cerita nya, Kata-kata nya di robah dengan cara di tambah atau juga di
kurangi, kemudian berubah menjadi “SERAT JANGKA JAYABAYA” yang menceritakan
akan datang nya “Ratu Adil Herucakra Tunjungseta Semune Pudhak Sinumpet” dan
lain sebagainya.
Sesungguhnya, cerita tersebut di dalam Serat
Nitisastra dalam “Pupuh Tembang Kusumawicitra” adalah sudah jelas bahwa cerita
tersebut di gubah dengan bahasa kias yang arti sesungguhnya adalah gambaran
dari cerita Proses hidup seorang manusia, sejak jaman sebelum masuk ke dalam
kandungan seorang Ibu, kemudian lehir ke alam dunia sampai dengan saat
meninggalnya. Itu... makna sesungguhnya... bukan sebuah ramalan.
Makna yang sesungguhnya seperti demikian itu,
karena di dalamnya menguraikan cerita tentang adanya empat jaman, di uraikan
dalam “Tembang Kusumawicitra” sebuah lagu yang mengandung maksud memberikan
ibarat sebagai petunjuk.
Adapun makna dari kata “Kusumawicitra” adalah bermakna Bunga yang teramat Indah, Yang
disebut juga : Bunga Teratai (Taratya). Bunga teratai mempunyai banyak nama
lain, di antaranya : Tunjung, Padma, Kumudhu, Kumala, Sarasedya, Sisiktunjung,
Sijanu, Semawi, Winata, Pakoja, Mundara, Madana, Bayem Sujar, Irim-irim, Padmanata,
Padmaraga, Padmanaba, Satapatra, Surajawe, dan Indiwara. Dari kesemua nama-nama
tersebut menggandung arti sendiri-sendiri. Di sini tidak diterangkan makna dari
masing-masing nama tersebut, akan tetapi akan dijelaskan maksud keselurahan
dari adanya bunga teratai tersebut. Sedangkan makna tersirat dari bunga teratai
adalah sebagai lambang dari biji hidup manusia. Apalagi dari tiap bunga
kebanyakan juga sebagai biji hidup dari sebagian besar tumbuhan, dari bunga
menjadi, bakal biji, dari bakal biji akan menjadi buah.
Adapun dengan adanya “Tembang Kusumawicitra” yang
bermakna : Bunga yang teramat indah, mengandung maksud sebuah cerita yang di
mulai dari sebuah biji yang hendak menggelar sebuah wujud yang lebih utama,
terbawa dari makna kata : “Kusuma” = Bunga = biji; “Wi” = Lebih; “Citra” = Rupa
= ber wujud = Menjadi ada.
Agar lebih jelas lagi, akan kami sunting “Tembang
Kusumawicitra, sebagaimana berikut :
TEMBANG KUSUMAWICITRA
1.
|
<*> Manawi dumugi ing jaman Kaliyoga;
Mboten wonten ingkang nglangkungi tiyang sugih, Boten kocap tiyang ingkang
guna; ingkang prawira, Utawi Pandhita
putus; Sadaya sami merak anembah dateng tiyang sugih.
<*> Apabila sampa pada Jaman Kaliyoga,
Tidak ada yang bisa manandingi orang kaya, Tidak juga oleh orang yang banyak
ke ahlian nya, orang pemberani, Ataupun Pandhita Ulama berilmu tinggi, Semua akan
mendekat menyembah kepada orang kaya.
|
|
2.
|
<*> Ing jaman ngriku bangsaning Pandhita
sirna, Lawan bangsaning Ratu samimlarat kawelas asih; Anak sami purun dipun
pitenah; Para pandhita sami nglampahaken dados nahkoda.
<*> Pada jaman itu golonga Pandhita Ulama
hilang; Dan juga para Pemimpin semuanya miskin dan perlu di kasihani; Anak
rela di fitnah; Para Pandhita Pemuka Agama justru menjalan perbuatan sebagai
nahkoda.
|
|
3.
|
<*> Bumi tansah gonjing, Jagad tansah
dahuru; Ratu kekirangan arta, Tansah pinisungsungan ing tiyang sugih; Sagung
ingkang ulah pedamelan sami nurut ingepahan; Seganten mili dateng lepen.
<*> Bumi selalu bergetar; Dunia selalu
tidak aman; Raja kekurangan uang; Selalu dibantu oleh orang kaya; Semua yang
bekerja menurut dan hanya diberi gaji
saja; Laut mengalir menuju sungai.
|
|
4.
|
<*> Tiyang bebet (darah) asor wangsul dados
tiyang luhur; Kamurkanipun tiyang saya anglangkungi; Sang Ratu kalumuhan
dateng Sang Pandhita; Boten wonten ingkang anglampahi panembah.
<*> Manusia bermental rendah kembali
menjadi manusia yang diutamakan, Angkara murka manusia semakin
merajalela, Raja malas bersikap
seperti Pandhita; Tidak ada yang menjalankan syariat Agama.
|
|
5.
|
<*> Kaliyan wedaling kaluhuran saking dipun
saranani arta; Karanten Sang Ratu kawisesa dateng tiyang sugih; Tiyang salah
dados awet ing ndamel; Tiyang leres dados katiwar-tiwar; Awit saking melarat.
<*> Dan juga bisa keluarnya ajaran yang
luhur dengan jalan pakai syarat uang; Karena para pemimpin di kuasai oleh
orang kaya; Orang bermental jelek justru bertahan di dalam pekerjaan; Orang
benar justru di biarkan dan di abaikan; Karena kemelaratan nya.
|
|
6.
|
<*> Tiyang murka sangsaya andadra dados
angsal panggenan; Tiyang sabar wekasan dados kirang paramarta; Tiyang dursila
durjana sami adamel cilakanipun tiyang sepuhipun.
<*> Orang serakah semakin menjadi dan
justru mendapatkan tempat; Orang sabar akan menjadi kurang selamat; Orang
durhaka, penjahat, akan membuat celaka orang tua nya.
|
|
7.
|
<*> Sang Ratu sasat suwita dateng Papatih;
Sagung ingkang andum sami amilih; Pratingkahipun sawenang-wenang; Ical
berkating bumi; Sami kasrakat; Kadosta oyod-oyodan; Gegodhongan, woh-wohan
sami tanpa guna.
<*> Para Pemimpin bagaikan mengabdi pada
wakilnya; Semua yang memberi sedekah hanya kepada yang di pilih saja;
Tindakan nya se wenang-wenang; Hilang berkah bumi; Semua mengalami sengsara;
Seperti dari jenis akar-akar an; Daun-daun nan; Buah-buahan semua tidak
berguna.
|
|
8
|
<*> Ingkang saged, ingkang kuwasa, Boten
angresepi ing jagad; Bangsa Pandhita, Satriya, Waisya; Miwah bangsa Sudra,
Sami tunggil padamelan; Karanten sajagad sami angaken saged; Sami ngegung
aken dhiri; Boten wonten ingkang purun kasoran.
<*> Yang bisa yang berkuasa; Tidak membuat
indah dunia; Golongan Pandhita Ulama; Pemimpin, Pedagang, dan para buruh,
semua menjadi satu dalam pekerjaan; Karena semua orang mengaku bisa; Semua
menyombongkan diri; Tidak ada yang mau kalah.
|
|
9.
|
<*> Tiyang ulah sastra tuwin puja samadi
boten wonten ingkang anut ing pamardining Pandhita; Tanpa damel; Sagung japa
mantra boten wonten ingkang katarimah; Adil hukum boten anglabeti; Temah
dados durgama.
<*> Orang yang melakukan pekerjaan di
bidang seni dan para Pemimpin Umat, tidak ada yang berpedoman kepada tuntunan
yang benar; Tidak berguna; Semua do’a mantra tidak ada yang terkabul; Tidak
ada keadilan Hukum; Hingga akhirnya menjadi rusak semua aturan.
|
|
10.
|
<*> Sami rebah ing sekar cempaka; hangsoka,
hangsana, cendhana, wungu, kenanga, surastri, nagasari, Sadaya wit ipun sirna
sami winadungan; tinegoran, tinutuhan, kaprapalan erining pang secang lawan
pilang.
<*> Bunga Cempaka semuanya tumbang; Bunga
Soka; Bunga Hangsana; Bunga Cendhana, Bunga Wungu, Kenanga; Surastri;
Nagasari; Semua pohon bunga itu di tebang habis.
|
|
11.
|
<*> Sakhatahing peksi: Merak, banyak,
dhandhang, bango, sapanungilanipun, sami lebur pinasangan pikat lajeng
sinengkeran; Ingkang suka bingah namung : segawon, babi, sami ingopenan,
pinilala tinuwukan erah kalihan daging.
<*> Semua jenis burung : Merak, Angsa;
Dhanddhang; Bangau; dan sebagainya, semua musnah di tengkap menggunakan
jaring kemudian di kurung; yang merdeka hanya : Anjing, babi karena dirawat;
dengan harapan bisa di ambil darahnya dan juga daging.
|
|
12.
|
<*> Salebeting jaman Kaliyoga, sakathahing
tiyang sami langkung angkaramurka; Tansah tukar arebar kaluhuran; Tiyang
sajagad sami boten uninga dateng sedherek, Mengsah ingkang sampun kathah
cacadipun rinangkul minangka kanthi.
<*> Ketika memasuki Jaman Kaliyoga; Orang
semakin menjadi-jadi angkara murka nya; Selalu berselisih berebut kebenaran;
Manusia se dunia tidak kenal lagi kepada saudaranya; Musuh yang jumlahnya
sangat banyak justru di jadikan sahabat.
|
|
13.
|
<*> Wewalering Dewa tinarajang; Sakathahing
candhi rinisakan; Kabuyutan boten wonten damelipun; Sami samun sagung cariyos
papakem; Kagunan, kasantikan, sami linebur dening tiyang bodho ingkang murka
ing jagad.
<*> Petunjuk Tuhan di langgar; Banyak
tempat ibadah di hancurkan; Ajaran kebenaran tidak ada gunanya; Semua cerita
ajaran para Pujangga kosong; Ke ahlian; kepandaian, semuanya musnah
dihancurkan oleh orang bodoh yang bersifat angkara murka di dunia.
|
|
14.
|
<*> Kacariyos ingkang jaman punika
saestunipun sakawan; Ingkang wiwitan nama jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana
ingkang dados witing ngagesang; Punika prenahipun wonten pulunging galih;
Saweg taksih siniwi ing Swarga.
<*>
Sesungguhnya jaman itu terbagi menjadi empat jaman; Yang pertama
bernama Jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana yang jadi awal kehidupan; Itu
masih bertempat di dalam dari dalam batin yang paling dalam (Sang Hyang
Pramana berpindah tempat). Masih tersimpan di Surga.
|
|
15.
|
<*>Kaping kalih jaman Tirtayoga; Prenahipun
Sang Hyang Pramana wonten samadyaning paningal; Kaping tiga jaman
Dweparayoga; Prenahipun Sang Hyang Pramana (Sang Hyang Atma) wonten ing
daging lawan erah.
<*> Yang ke dua Jaman Tirtayoga; Sang Hyang
Pramana berpindah tempat ke dalam inti penglihatan; Yang ke tiga Jaman
Dweparayoga; Sang Hyang Pramana yang
disebut juga Atma, berpindah tempat masuk ke dalam seluruh tubuh dan
peredaran darah.
|
|
16.
|
<*> Kaping sekawan Jaman Kaliyoga; Sang
Hyang Pramana manggen ing kulit lawan wulu puhun; Dene yen jaman Kretayoga
yuswaning Sang Hyang Pramana sakethi taun.
<*> Yang ke empat Jaman Kaliyoga; Sang
Hyang Pramana berpindah tempat ke dalam kulit dan bulu halus; Sedangkan umur Sang
Hyang Pramana pada jaman itu sebanyak
“Sakethi” tahun.
|
|
17.
|
<*> Ing jaman Tirtayoga punika gesanging
Sang Hayng Pramana dumugi saleksa taun; Ing Jaman Dweparayoga yuswa sewu taun
langkung satus taun kalihan satus wulan.
<*> Pada jaman Tirtayoga ini, umur Sang
Hyang Pramana sampai dengan “Saleksa” Tahun. Pada Jaman Dweparayoga, umurnya
seribu tahun, lebih seratus tahun dan seratus bulan.
|
|
18.
|
<*> Yen Jaman Kaliyoga punika yuswanipun
enggal-enggal; Kados upaminipun gebyaring kilat wonten ing mendung; Kala ing
Jaman Kretayoga; Wiwitipun ingkang dados perang putranipun Pandhita nama Dewi
Naruki.
<*> Ketika memasuki jaman Kaliyoga di sini,
berumur pendek, Ibarat secepat kilat ketika mendung; Ketika jaman Kretayoga ,
yang menjadi penyebab perang adalah anak seorang pandhita yang bernama “Dewi
Naruki”.
|
|
19.
|
<*> Ing Jaman Tirtayoga; Jalaranipun
ingkang dados perang ageng nama Dewi Sinta (Janaki); Ing Jaman Dweparayoga ingkang
dados wiwitaning perang Dewi Drupadi; Kocap Putri linuwih.
<*> Pada jaman Tirtayoga; yang menjadi
penyebab perang besar bernama Dewi Sinta (Janaki); Ketika jaman Dweparayoga
yang menjadi penyebab perang “Dewi Drupadi: Terkenal Putri yang mempunyai banyak
kelebihan.
|
|
20.
|
<*> Ing Jaman Kaliyoga kathah ingkang dados
sababipun perang ageng inggih punika; Pawestri, Siti, miwah rajabrana; Mila
kaenget-engeta; Sang sujana sampun pijer olah arta; Amrih dhateng tiyang
estri.
<*> Pada Jaman Kaliyoga, sangat banyak yang
bisa menyebabkan perang besar, diantaranya, yaitu : Wanita; Tanah atau
Negara; dan juga Harta benda; Maka dari itu perlu selalu di ingat; Wahai para
manusia.. jangan selalu bermain uang; dihambur-hambur kan kepada para wanita.
|
|
Keadaan rangkaian kalimat di dalam “Tembang
Kusumawicitra” yang telah di jelaskan seperti tersebut di atas, sebetulnya pada
bagian nomor 14, seharusnya yang menjadi awal cerita sampai dengan nomor
20; kemudian di sambung oleh cerita nomor 1 sampai dengan nomor 13.
Sebelum menjelaskan cerita keadaan empat jaman
(Catur Yoga) perlu diterangkan terlebih dahulu tentang kata “Jaman” Di sini
bukan kata jaman yang bermakna masa atau suatu waktu; akan tetapi yang
dimaksud adalah : Jaman = Manusia (Janma = manjanma = menjelma = mengada =
menitis).
Sehingga di dalaman Candrasangkala watak 4 keluaran
Yogyakarta – Pengarang – B.P.H. Suryanegara, kata Yoga (jaman) di artikan Air
Bibit Manusia, dengan maksud atau
sebutan lain : Sebuah air yang akan menjadi manusia, yang disebut juga : Rahsa.
Sedangkan asal usul manusia, jalan yang harus
dilewati adalah melalui empat tahapan, yaitu yang disebut 4 jaman atau dengan
sebutan lain : Caturyoga, yaitu : Kretayoga; Tirtayoga; Dwaparayoga dan
Kaliyoga.
Tahapan pertama disebut “Kretayoga” yang mempunyai
makna : Wujud hidup manusia; adalah berawal dari ketiadaan; yaitu hidup manusia
yang disebut masih berada di alam kosong (Sunyaruri), yaitu alam yang belum ada
apa apa. Sehingga dilambangkan dengan sebutan jaman Kreta, artinya “Selamat” tenang.
Sedangkan makna sesungguhnya dari
“Selamat” adalah yang tidak ada apa-apa, tidak nampak apa-apa, tidak terasa
apa-apa, tidak punya keinginan apa-apa, tidak berfikir apa-apa. Di tempat itu
manusia masih di jaga di alam surga, sedangkan di alam surga sebenarnya di sana
tidak ada apa-apa. Karena tidak ada apa-apa, tempat juga belum ada, hingga
berada di tempat yang tidak ada apa-apa. Sehingga kata Surga, adalah hanya
sebagai ibarat suatu keadaan yang tidak ada apa-apa (Suci).
Yang disebut : Yang pertama “Jaman Kretayoga” Sang
Hyang Pramana yang menjadi bibit hidup, posisinya berada di pusat batin. Bahwa
maksudnya adalah asal hidup manusia adalah dari alam kosong alam yang suci
(Sunyaruri), turun dan berada pada pusat rasa se orang Laki-laki ketika masih
bayi. Sedangkan diceritakan manusia berada di Jaman Kretayoga mempunyai umur
100.000 tahun, hitungan tersebut hanya sebagai ibarat dari cerita keadaan yang
sangat lama tanpa ada masa akhir. Sebab,
sangat tidak mungkin apabila ada manusia yang bisa membuktikan dan mengetahui
cerita hidup yang begitu lamanya. Sehingga maksud cerita tersebut di atas
adalah menceritakan bahwa apabila biji manusia akan melanjutkan proses hidup menuju
tahapan berikutnya adalah harus melewati empat tahapan seperti tersebut di atas.
Sedangkan yang disebut : Pada Jaman Kretayoga,
bahwa yang menjadi penyebab perang adalah Dewi Naruki, artinya “Naruki” =
Mengisi = menempati = Manuksma = Manjanma = menjalma = mengejawantah =
berwujud. Sedangkan di kisahkan dalam perang merebut Sang Dewi tersbut, sebagai
ibarat, Bahwa setiap yang bernyawa tentu
mempunyai watak kepada ingin melakukan olah Sanggama (Menyatukan rasa) dengan
lawan jenisnya; Tujuan sanggama adalah akan menurunkan biji manusia. Akan
tetapi masalah akan menurunkan biji bagi manusia karena sudah menjadi watak,
maka kebanyakan manusia tidak ingat bahwa tindakan demikian bisa akan
menurunkan biji manusia. Kebanyakan manusia di dalam batin nya hanya menuruti
keinginan ingin merasakan nikmatan nya asmara saja. Seperti juga, seperti watak
dari orang makan adalah bertujuan sebatas agar kenyang saja, namun kenyang
tersebut tidak masuk dalam angan-angan nya. Sedangkan angan-angan nya hanya
punya hasrat kepada rasa enak dan nikmat dari rasa makanan yang dimakan.
Bab sebagai tanda bahwa apabila dalam sanggama
tersebut hanya berasal dari pengaruh angan-angan ingin menurunkan biji saja
adalah dari perbuatan hewan, yaitu apabila tidak pada masa akan menurunkan
biji, di situ tentu tidak mau melakukan senggama. Hewan dalam melakukan
sanggama mengikuti peredaran musim kawin dari hewan tersebut.
Demikian juga, ketika hewan sedang hamil, juga
tidak akan mau melakukan senggama. Yang demikian sebagai tanda yang nyata,
sebab watak dari hewan adalah masih menempati watak murni, tidak tercampur oleh
pengaruh hawa nafsunya. Demikian juga dalam hal makan, bahwa hewan ketika makan
hanya sebatas makan, makan hanya bertujuan agar kenyang, itu saja, yaitu
seperti yang di contoh kan oleh ular, cara makan nya hanya di telan saja, yang
tentunya cara makan yang demikian tidak akan bisa merasakan enak dari makanan.
Tahapan ke dua, disebut Tirtayoga, yaitu disebutkan
bahwa biji hidup manusia yang sedang berada di dalam pusat rasa, berawal dari
bunga, berkembang kemudian menyebar di seluruh anggota badan seorang laki-laki.
Seperti itu keadaan manusia, di awali dari sejak lahir dan berkembang semakin
besar, di situ biji dari bakal anak ikut berkembang juga sampai dengan manusia
itu memasuki masa dewasa. Sedangkan yang disebut umur dewasa, yang telah
lengkap tumbuh dan berkembang dari rahsa yang berada di dalam badan seorang
laki-laki. Ibarat sebuah isi yang sudah bisa memenuhi tempatnya, yaitu ketika
seorang laki-laki telah memasuki masa dewasa. Di situ biji manusia kemudian
disebut bertempat di dalam alam Tirtayoga., karena keadaan rahsa biji hidup
manusia masih menyatu dengan darah dan rahsa seorang laki-laki, seperti ibarat
madu dengan rasa manisnya, tidak mungkin bisa di pisah. Sedangkan mengapa
disebut jaman Tirtayoga, karena kedudukan Sang Hyang Pramana saat itu berada di
dalam pusat penglihatan, yang demikian adalah di dalam angan-angan dan di dalam
penglihatan, yang disebut : “CIPTA”. Mengapa disebut demikian?, Karena gerak dari
rahsa bibit hidup manusia yang sedang berproses, sedang berada di bawah
kekuasaan dari daya cipta. Apabila rasa manusia belum terserang rasa asmara, tidak mungkin biji hidup manusia
tersebut akan keluar.
Sedangkan mengapa disebut bahwa : Biji hidup
manusia ketika di Jaman Tirtayoga hanya berumur 10.000 tahun, cerita yang
demikian itu juga hanya sebagai peribahasa saja, sedangkan maksud yang
sesungguhnya adalah suatu masa yang sudah dekat menuju hidup nyata di alam
dunia, dibanding ketika masih berada di Jaman Kretayoga. Sebab proses pindah dari biji hidup tersebut, dari bayi
lahir sampai dengan dewasa, dan berada dalam umur seorang laki-laki sejak dari
umur 14 tahun barulah biji manusia memasuki Jaman Tirtayoga. Oleh karena telah
sampai masa puber, di situ kemudian lebih cepat waktu yang dibutuhkan agar bisa
terlaksana biji hidup manusia tersebut, pindah
menuju jaman Dwaparayoga.
Sedangkan yang disebut : Ketika Jaman Tirtayoga
yang menjadi penyebab terjadi perang adalah Putri di Matili yang bernama Dyah
Wara Sinta. Kata “Sinta” mengandung
maksud = Isi, anta = mempunyai hasrat. Kata Isi Anta tersebut adalah suatu kata
yang berasal dari Jaman Hindu, yang pada saat itu semua kata tersusun terbalik
di banding susunan kata Jawa jaman sekarang, Sebagai contoh nama Pandhu Putra
dalam bahasa Jawa menjadi Putra Pandhu, Raja Putra menjadi Putra Raja dan
sebagainya. Sehingga kata “Isi Anta”
menurut Bahasa Jawa menjadi “Anta Isi”. Artinya Anta = kamu, isi,,,
sudah jelas maksudnya, sehingga bisa berarti = Kamu Isi, lebih jelasnya lagi; Kamu
sudah punya rasa ingin bersanggama. Sehingga Dewi Sinta juga mempunyai nama
lain Dewi Janaki (Karena Dewi Sinta adalah Putra Raja Janaka di Kerajaan
Matili). Kata Janaki berasal dari kata “Ja” = Keluar; “Naki” = mempunyai putra.
Dewi Sinta juga punya sebutan lain : “Matili”, yang berasal dari kata “Patil”,
yang berarti : “Sifat” dan “Pentil”,
mengandung maksud bahwa apabila sifat manusia sudah pentil (mengeluarkan bakal
biji), dengan tanda telah birahi. Kata Matili juga bermakna Kawin, atau juga
kata matili = matala = awal mula. Kata “Matala” berasal dari kata “Tala”, yaitu
rumah lebah, maksud dari kata “Matala” (Matili), dikatakan bahwa biji kehidupan
manusai sudah akan masuk rumah, ke dalam rahim seorang wanita, juga bermakna
menempati atau membutuhkan tempat.
Sedangkan yang disebut dalam “Serat Ramayana” :
Ketika Negara Matili mengadakan pertandingan (sayembara), Siapa saja yang bisa
menarik Gendhewa (busur panah) Pusaka
Matili (alat untuk melontar panah), siapa saja yang bisa memenangkan
“Sayembara” (Sayem = Sendiri, bara = mempunyai kelebihan; berarti : Yang mempunyai
kelebihan sendiri) dalam sayembara tersebut yang bisa berhasil menang adalah seorang
Satria yang bernama Rama, namun hanya berhasil menarik busur saja, tidak
digunakan untuk melepaskan panah.
Sedangkan tindakan menarik busur panah tersbut,
sebagai lambang dari rahsa manusia yang sudah Mentheng-Mentheng (bergelora)
bagikan tali busur yang di tarik di dalam diri seorang laki-laki (Sangat
berhasrat), karena sangat ingin berperang . Sehingga kata “Menthang =
penthang-penthang = dorongan yang sangat kuat untuk melakukan asmara : ulah
asmara.
Keturunan ke tiga, disebut :Dwaparayoga. Kata
Dwapara = Dopara, mengandung maksud tidak mungkin, aneh; yaitu : Rahsa biji
bakal hidup manusia ketika telah keluar, di terima di dalam rahim seorang
wanita.
Sedangkan yang disebut : Ketika Jaman Dwaparayoga,
sebagai penyebab terjadinya perang “Dewi Drupadi”, artinya “Dru” = Jelek;
“padi” = kelakuan; artinya : karena dari kelakuan kejelekan; maksudnya adalah
ketika biji hidup manusia berada di dalam rahim, itu adalah tempat yang jelek. Barangkali
karena apabila kurang lengkap pencampuran nya, tentu tidak akan lestari untuk
menjadi anak manusia yang lahir ke alam dunia dengan terjadinya keguguran
kandungan. Sehingga daya hidup manusia ketika berada di dalam kandungan seorang
wanita, akan menghadapi tantangan dua macam masalah. Yang pertama, barangkali
dari asal biji hidup yang jelek; yang ke dua : Barangkali ada suatu sebab yang
ditimbulkan oleh keadaan rahim. Sehingga tidak seperti ketika masih berada di
dalam Jaman Tirtayoga dan Jaman Kretayoga, sebab di situ tempat yang tidak ada
halangan apapun.
Dewi Drupadi dalam cerita adalah anak dari Raja
Drupada, makna dari “Dru” = Jelek; “Pada” = Tempat, mengandung maksud adalah
suatu tempat yang jelek. Begitu juga Dewi Drupadi dalam cerita mempunyai Suami
(Semah) lima laki-laki (Pandhawa). Kata “Semah” = Suami = perkawinan = Campuran
= bumbu. Yaitu suatu percampuran bakal manusia, yang sesungguhnya berasal dari
suwung 1. (kosong – Sunyaruri), 2. Dari suatu panas - api; 3. dari hawa - udara, 4. dari air dan 5. dari bumi. Campuran dari
lima bahan tersebut di lambangkan dengan Pandhawa. 1. Yudhisthira, yaitu suwung
– kosong; 2. Bhima, sebagai angin atau pun hawa; 3. Arjuna adalah sebagai air
dan tanah (Air juga sebagai tanah, karena kekentalannya hingga disebut juga
tanah); 4. Nakula, sebagai hawa panas dari air dan tanah; 5. Sadewa, sebagai
hawa dingin dari air dan tanah tersebut. Sedangkan panas dan dingin (lebih dan
kurang nya) adalah kembar = jodho = seimbang. Mengandung maksud : bahwa reaksi
dari panas dan dingin sama kuatnya, hal demikian tentu bisa menjadikan suasana.
Walau sama kuatnya, namun pengaruh dingin dan panas tersebut, tidak dengan
ukuran yang sama. Sebab apabila sama akan menjadi hancur ke dua-dua nya, tidak
jodoh; artinya : Tidak bisa menghasilkan suasana baru, karena akan hilang rasa
panas dan dingin atau disebut kurang dan
lebih. Dingin dan panas tersebut disebut juga Dewa Kembar, disebut Sang Hyang
Aswin; untuk lebih mudahnya : Adanya Nakula dan Sadewa bisa dikatakan daya
lebih dan daya kurang dengan satu tujuan.
Sehingga Dewi Drupadi disebut juga Rajaputri di
Pancala (Dalam cerita Wayang disebut Cempala), mengandung maksud “Panca” =
lima, “La” = berubah; artinya : Di dalam ari-ari adalah tempat bercampur nya
lima unsur yang menjadi satu ujud dari asal susunan manusia. Kata “Pancala” juga bisa di artikan
berasal dari kata “Pancal-pancalan”
yaitu tekanan bayi untuk meloncat ketika akan lahir ke dunia. Makna yang
dimikian juga digunakan untuk orang yang meninggal dunia (dalam Bahasa Jawa
disebut “Pancal ndunya” = meninggal dunia). Dengan demikian kata tersebut,
adalah kembali kepada makna kata “Pancala” : Bayi menekan ari-ari kemudian
lahir ke alam dunia.
Sedangkan dalam cerita Wayang disebut : “Cempala” artinya
, Cem berasal dari kata “Cencem”; “Pala” = Buah” maksudnya adalah adanya Biji
manusia. Ini mengandung maksud : Ari-ari dalah yang menjadi tempat proses
reaksi dari biji manusia, sehingga bisa menumbuhkan bentuk dari manusia.
Kembali pada cerita Ratu Pancala (Cempala) Raja
Drupada, diceritakan ketika raja mengadakan sayembara dengan ujud sayembara
berupa menarik busur panah, bagi siapa saja yang berhasil menarik busur
tersebut, akan di nikah kan dengan Sang Raja Putri Dewi Drupadi. Di situ
Pandhawa mendapat perintah dari kakek nya Resi Wiyasa (Abiyassa) , bahwa sudah
menjadi ketetapan Dewa, bahwa Rajaputri dari Pancala Sang Ratnaning Ayu Dewi
Drupadi akan menjadi istri Pandhawa Lima, sehingga disuruh untuk mengikuti
sayembara, sedangkan yang bisa menarik tali busur dengan sempurna adalah Sang
Arjuna.
Oleh karena sudah menjadi ketetapan Dewa, bahwa Dewi
Drupadi akan menjadi istri dari lima orang Satria Pandhawa. Cerita yang
demikian cocog dengan keterangan di depan. Sedangkan adanya sayembara sebagai
perlambang Olah Seni Bercinta, bangkitnya rasa diri karena dorongan seluruh
anggota badan, melesat masuk ke dalam otak. Panah mengenai mulut = (Dalam
Bahasa Jawa “Cangkem”), sebagai lambang dari Rahim wanita. Sedangkan disebut :
Arjuna yang bisa berhasil dengan sempurna, yang demikian sebagai petunjuk,
untuk mempermudah ibarat agar mudah diterima oleh pikiran, bahwa ternyata
penyebab hidup manusia pengaruh terbesar adalah dari air rahsa (Arjuna).
Sedangkan yang disebut Hidup Manusia dari : ketiadaan, Hawa, angin, Api dan Bumi itu tidak
mudah untuk di pahami oleh pikiran.
Sedangkan mengapa disebut berasal dari Awang uwung
(Kosong), sebab manusia mempunyai keadaan yang tidak nampak oleh mata, seperti :
Tentang Atma, Budi dan sebagainya. Yang berasal dari angin, terbukti manusia
mempunyai nafas. Berasal dari bumi, terbukti mempunyai wujud rahsa yang
berbentuk kasar, yaitu : kulit, daging, tulang, sumsum dan sebagainya. Berasal
dari air, terbukti menusia mempunyai darah, dan darah tersebut bisa menyebabkan
daya dingin dan daya panas, yang berasal dari dalam diri sendiri, juga daya
yang berasal dari luar badan. Yang demikian itu, diceritakan di dalam Serat
Mahabarata, walaupun Dewi Drupadi menjadi istri dari lima orang satriya
Pandhawa, namun di dalam hati Dewi Drupadi, yang paling di cintai atau di
kasihi adalah hanya Arjuna. Kata di kasihi = yang paling dekat, ialah yang
paling dekat, yang mengandung maksud : Bahwa saksi hidup manusia terjadi dari
rahsa Arjuna, juga disebut : Mani, Madi, Wadi, Manikem.
Keturuna ke empat, disebut Jaman Kaliyoga, sebagai
lambang hidup manusia berada di alam dunia, yang disebut berada di Jaman
Kaliyoga. Sang Hyang Pramana bertempat di kulit dan rambut, sebab badan manusia
seluruhnya sebagai tempatnya hidup yang sejati, walaupun dalam pucuk rambut sampai
dengan pucuk kuku sekali pun, juga ketempatan rahsa dari hidup manusia sejati.
Sedangkan yang disebut, apabila berada di Jaman Kaliyoga tersebut, berumur
sangat cepat (pendek-pendek), bagaikan seperti
sinar dari kilat ketika mendung. Oleh karena dengan adanya kata cepat-cepat
tersebut, mengandung maksud bahwa, suatu
pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga sama dengan tiap-tiap
dilakukan oleh manusia yang baru lahir sampai dengan meninggal. Sedangkan yang
disebut : Umur manusia di ibaratkan hanya secepat kilat ketika ada mendung,
maksudnya adalah, apa bila di banding dengan umur dunia se isinya ini. Walaupun manusia andai kata bisa berumur
sampai dengan 1.000 tahun, itu juga belum sebanding. Umur dunia yang tanpa awal
dan tanpa akhir tersebut, juga disebut di dalam Serat Babad Pandhawa.
Ketika di dunia mulai menginjak Jaman Kaliyoga
tersebut ada sekitar 432.000 tahun, dan setelah itu dunia musnah. Walaupun di
situ disebut bahwa umur dunia ada batasan nya, bagaimana caranya untuk bisa menyaksikan,
apabila cerita tersebut nyata-nyata benar? Sebab, yang akan membuktikan tentunya
sudah meninggal dunia semua, walaupun telah di ganti oleh generasi manusisa
yang lahir baru, seandainya rata-rata mempunyai umur 100 tahun. Sehingga manusia
yang akan lahir sampai berjumlah 4.320 keturunan, itu baru bisa membuktikan
umur dunia di Jaman Kaliyoga yang mempunyai umur 432.000 tahun tersebut.
Apabila dijumlah umur dari ke empat jaman tersebut berjumlah 432.000 tahun, apa
mungkin masih ada manusia yang percaya kepada umur dunia tersebut? Atau juga,
bahwa yang disebut : Jaman Pralaya (Sirna – musnah), itu seperti apa? Apakah
nyawa sudah sudah tidak dapat hidup di muka bumi lagi? Dan apa karena bumi nya
yang musnah?
Sedangkan yang tersebut di baris angka 16 Tembang
Kusumawicitra, yang menyebutkan Jaman dengan kata YEN (ketika), yaitu yang
menyebutkan : Yen Jaman Kretayoga
(Ketika jaman kretayoga) umur Sang Hyang Pramana sakethi tahun; Kata “Yen”
tersebut mengandung maksud segala sesuatu yang terjadi ber ulang-ulang kejadian
nya, sama artinya dengan kata tiap-tiap ; seperti : Katika musim hujan =
tiap-tiap musim hujan. Jadi dengan demikian bahwa, Jaman Kretayoga tersebut
adalah jaman yang berulang-ulang di lalui. Artinya : Selamanya; tiap-tiap hidup manusia yang lahir
di dunia, juga pasti melewati Jaman Kretayoga. Sedangkan apabila diartikan
bahwa hanya sekali hidup, tentunya akan mengunakan kata : Dhek (Pada) Pada
Jaman Kretayoga, yang artinya tidak akan terjadi lagi.
Sedangkan kata Kali, makna sesungguhnya adalah Nama
dari Seorang Dewi yang bernama Bathari Durga (Chali Dewi), dan juga mempunyai
nama lain Sang Hyang Candhi. Sedangkan Snag Hyang Kali, adalah istri dari Sang
Hyang Siwa. Dewa yang bertugas membuat kerusakan. Sang Hyang juga sebagai istri
dari Sang Hyang Kala (Chala Dewa), Dewa dari segala sebab, yaitu sabab sebagai
penyebab rusak.
Dan sesungguhnya Sang Hyang Kala sama saja dengan
Sang Hyang Siwa, di dalam cerita Wayang dan juga termuat dalam Serat Pustaka
Raja Purwa. Sang Hyang Kala anak dari Sang Hyang Siwa. Kata Anak = Anane
(Adanya), mengandung maksud menyebutkan bahwa Sang Hyang Kala adalah sama saja
dengan Sang Hyang Siwa, sama saja dengan Sang Hyang Mahadewa, Dewa dari Pembuat
Kerusakan.
Dari penjelasan tersebut di atas, dengan adanya
Jaman Kaliyoga, adalah menjelaskan : Bahwa ketika berada di alam dunia adalah
sama saja masuk ke dalam Jaman Kerusakan, dengan bukti juga bahwa bumi disebut
juga : Marcapada. Marcapada = Marcupada; Marcu = Api, atau yang meledak (Marcu
= Mrecon = bom; sedangkan kata “Pada” = tempat. Sehingga bumi adalah : Tempat
yang panas, dan juga disebut : Panasnya Badan atau panasnya Hati. Dengan adanya
panas tersebut kemudian diberi lambang Dewa yang menguasai, bernama Sang Hyang
Yama = Jama, adalah dewa yang bertugas menguasai neraka. Dan juga sebagai dewa dari
yang paling bawah (asor), dan juga bertugas sebagai dewa pati (Dewa pencabut
nyawa).
Sedangkan dengan adanya 3 Dewa : Sang Hyang Siwa
yang bertugas membuat kerusakan; Sang Hyang Kala yang bertugas membuat penyebab
dari kerusakan; Sang Hyang Yama, yang bertugas menjaga Neraka (Dewa penyebab
panas), yang sebetulnya ke tiga dewa tersebut adalah tidak ada. Karena hanya
berhenti di dalam bahasa ibarat saja. Sedang maksud yang sebenarnya adalah
sebagai yang menggambarkan penyebab rusaknya hidup manusia, seperti :
1. Sang Hyang Siwa, di dalam cerita ini berkedudukan,
sebagai simbul rusak karena disebabkan oleh Budi, dan cara berfikir yang rusak.
2. Sang Hyang Kala, simbul dari rusak nya perbuatan.
3. Sang Hyang Yama (Jama), simbul dari rusak nya cipta
atau keinginan.
Dari ke tiga kerusakan tersebut di atas, disebut
juga manusia yang telah rusak budi pekerti nya, yang akan menjadi manusia yang
angkara murka. Sedangkan makna yang tersirat dari ke Tiga Dewa tersebut, yang
telah di maknai seperti di atas, adalah hanya berlaku pada KISAH DAN CERITA ini
saja. Sedangkan dalam cerita dan kisah yang lain nya adalah mempunyai makna
sendiri-sendiri, menurut isi cerita yang di ceritakan nya.
Sedangkan ujud penjelasan kerusakan dunia tersebut,
telah di contoh kan pada Tembang Kusumawicitra Nomor. 1 sampai dengan Nomor. 7.
(Lihat di atas).
Semua keterangan di atas, telah jelas dan terang
bahwa yang disebut : Jaman Kaliyoga, adalah jaman yang menceritakan tentang
akal budi manusia yang rusak di dalam hidup di dunia, sejak awal terciptanya
dunia sampai dengan akhir dunia akan selalu ada. Sehingga jaman kaliyoga, selalu
ada di setiap jaman dalam kisah hidup manusia. Jaman Kaliyoga tidak Cuma sekali
saja muncul, akan tetapi berkali-kali. Tiap masa akan ada Jaman Kaliyoga.
Nuwun.........
Kota Sepanjang – Kabupaten Sidoarjo, 25 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar