Ini membahas Filsafat, bukan membahas Agama. Harap maklum.
(Indian Philosophy)
Edit : Pujo Prayitno
DAFTAR - ISI
BAB .I : PENGANTAR
1. Keadaan Alam di India
2. Ciri-Ciri Umum dari Alam Fikiran India
3. Beberapa dakwaan yang dituduhkan pada
Filsafat India
4. Nilai dari Studi yang ditujukan pada
Filsafat India
5. Berbagai Periode di dalam Perkembangan
Alam Fikiran India
BAB. II : PENUTUP KATA
6. Perkembangan Filsafat
7. Kesatuan dari Semua System
8. Kemunduran Filsafat di Hari-hari
Belakangan
9. Keadaan Sekarang
Corak umum Filsafat India – Keadaan alam di India –
Banyaknya perhatian akan hal-hal di lapangan intelektual - Kepribadian Filsafat
India – Pengaruh dari Barat – Corak Kejiwaan/Kerohanian di dalam alam fikiran
India – Hubungan yang erat antara filsafat dengan hidup seseorang dan Agama – Tekanan pada
subyektivitet – Dasar Psychologis dari Metaphysica – Apa yang dicapai oleh
India dalam lapangan Ilmu
Pengetahuan yang positif – Synthesis
teoritis dan analysa Ilmiah – Timur Sedang merenung – Idealisme yang Monistis –
Bentuk yang bermaam-macam dari Idealisme yang Monistis, yaitu Non Dualisme,
Minisme murni, Monisme yang tidak murni (modified) dan Monisme yagn tidak
dinyatakan (Implicit) – Tuhan yagn didasarkan atas intuisi – Darsjan –
syarat-syarat yang diajukan oleh Syamkara bagi mereka yagn hendak mempelajari
Filsafat – Conservatisme yang construtif di dalam alam fikiran India –
Persesuaian dan kontinuitit (kelangsungan) yagn terdapat di dalam alam fikiran
Inida – Meninjau dakwaan-dakwaan yang ditutudkan pada Filsafat India seperti
misalnya pessimisme, dogmatisme, sikap acuh tak acuh terhadap Ethica dan corak
yang tidak progresif – Bernilaianya studi yang ditujukan pada Filsafat India – Mengapa kita
mempergunakan istilah “Filsafat India” – Methode Historis – Kesulitan dalam
menetapkan urut-urutan menurut waktu (Chronologi) - Berbagai periode di dalam perkembangan Alam
Fikiran India – Hal-hal yang berhubungan dengan Weda, Cerita-cerita
kepahlawanan, systimatik dan scholastik – Buku-buku Sejarah Filsafat India sebagaimana
ditulis oleh Pengarang-pengarang India.
1. KEADAAN
ALAM DI INDIA
Syarat pertama yang diperlukan oleh Filsafat untuk
berkembang, dan diperlukan oleh kesenian serta ilmu pengetahuan untuk berbunga,
adalah adanya masyarakat yang berdiri kukuh, yang dapat menjamin keamanan serta
ketenangan hidup. Tidak mungkin ada kebudayaan yang beranekaragam, apabila
anggota-anggota masyarakatnya masih mengembara untuk berjuang bagi hidupnya,
dan mati karena kelaparan. Dewi nasib
telah menempatkan India pada bagian
permukaan bumi, di mana alam membagi-bagikan kekayaannya dengan leluasa, dan
dimana segi-segi penghidupan memberikan harapan-harapan yang menyenangkan.
Untuk waktu yang lama, Pegunungan Himalaya yang
menjulang tinggi dan membujur panja g di sebelah sana, serta lautan luas yang
mendampingi pantai di sebelah sini, telah membantu India dalam menolak
serangan/serbuan dari luar/ Alam yagn dermawan memberi makanan yang
berlimpah-limpah, sehingga penduduknya tidak usah bekerja mati-matian, dan
tidak usah berjuang untuk hidup. Tidak pernah dirasakan oleh orang India bahwa
dunia itu merupakan pusat pertengkaran, dimana orang berebutan kekuasaan,
kekayaan dan pengaruh. Bilama orang sudah tidak perlu memaksa sumber
sumber-sumber alamnya untuk memberikan hasil yang sebesar-besarnya dan tidak
perlu berusaha untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan/kekuasaan-kekuasaan di bumi
ini, maka ia lalu mulai memikirkan tentagn cara hidup yang bertingkat lebih
tinggi, yaitu suatu cara hidup yang lebih didasarkan atas kerohanian/kejiwaan.
Barangkali juga iklim yang “Memenatkan” (enervating) itu, sedikit banyak telah
ikut mendorong orang India untuk menghindari keramaian hidup, dan mencari
tempat untuk beristirahat. Hutan belukar dengan lorong-lorongnya yang luas dan
teduh, memberi kesempatan banyak kepada “Jiwa-Jiwa yagn salah” untuk mengembara
di situ dengan hati yang tenang, untuk memimpikan hal-hal yang aneh-aneh, dan
untuk menyanyikan lagu-lag yang riang gembira. Mereka yang sudah bosan akan
keramaian hidup mengadakan semacam perjalanan “Jemaah Haji” (pilgrimage) ke
tempat-tempat yang demikian itu, untuk memperoleh rasa tenang di dalam
sanubarinya, dengan mengalihkan perhatiannya keapda menderunya angin dan gemerciknya air yang menetes, mendengar
musik-musik indah yang dinyanyikan oleh daun-daun, sehingga akhirnya dapat
pulih kembali hati mereka dan segar kembali jiwa mereka. Dan tempat-tempat yang
dipakai oleh pera perenung India dalam bersamadi untuk memikirkan soal-soal
hidup secara “mendalam” adalah yang di dalam bahasa kami disebut
“Asjrama-asjrama” dan “Teponawa-teponawa” atau tempat-tempat bertapa di dalam
hutan. Yang ikut mendorong orang India untuk menyelenggarakan ara hidup yang
“bertingkat lebih tinggi” itu adalah :
1.
Adanya ketentraman di dalam hidup.
2.
Adanya kekayaan akan sumber-sumber alam.
3.
Terhindarnya orang-orang India dari
kegelisahan-kegelisahan batin, dan
4.
Adanya rasa acuh-tak acuh terhadap
kenikmatan-kenikmatan di dalam hidup.
Hal ini menyebabkan bahwa sejak permulaan Sejarah
India, di sna terdapat :
1.
Sikap jiwa yang tidak mau bertawakal.
2.
Cinta akan kebijaksanaan akal.
3.
Nafsu besar dalam mengejar cita-cita “tinggi” dari
akal.
Dengan adanya bantuand ari alam, dan adanya
keleluasan intelek untuk merenungkan tentag kesulitan-kesulitan yang dihadapi,
orang India berhasil menghindari
keruntuhan yang menurut Plato akan menimpa mereka yang membenci akal.
Katanya (Bacalah “Phaedo”) :
“Ada
satu hal yagn perlu sekali mendapat perhatian, yaitu janganlah kita sampai
mendatangkan kecelakaan besar dengan menjadi manusia yang membenci akal”.
Kenikmatan
yang dirasakan dalam memahami sesuatu, merupakan kemurnian batin yang paling
luhur yang pernah dapat dicapai oleh manusia. Dan nafsu orang India
untuk memperoleh kemurnian itu, menjiwai semangat yang menyala-nyala di dalam
akalnya.
Di banyak negeri-negeri lain, orang-orang gyang
memikirkan tentang “Apakah hidup itu? Dan “Apakah yang dapat disebut
ada/Berada”, itu tergolong oang-orang yang melakukan pekerjaan mewah. Di
negeri-negeri itu, titik berat diletakkan pada perbuatan-perbuatan, sedang
cita-cita filsafat hanya ditempatkan “Di antara kurung “ saja. Di India Kuno,
Fiflsafat tidaklah dimaksudnkan untuk sekedar membantu sesuatu cabang ilmu
pengetahuan atau pun sesuatu cabang kesenian, melainkan senantiasa mempunyai
kedudukan penting sebagai “Ilmu yang berdiri sendiri”. Sebaliknya, di barat –
Malahan juga ketika Filsafat Barat sedang mengalami “masa semarak” diwaktu
mudanya, yaitu pda jaman Plato dan Aristoteles – orang lebih condong untuk
mengatakan bahwa Filsafat adalah alat pembantu dalam mempelajari hal-hal lain,
seperti halnya dalam mempelajari politik atau pun Ethica. Pada jaman abad-abad
pertengahan, Filsafat itu merupakan theologi; bagi Bacon dan Newton, Filsafat
adalah ilmu pengetahuan alam kodrat, sedang para ahli fikir dari abad ke-19
menganggap Filsafat sebagai Sejarah, Politik dan Sosiologi. Di India, Filsafat
itu “Berdiri di atas kakinya sendiri” sedang ilmu-ilmu lainnya memandangnya
sebagai sesuatu yang dapat diharapkan akan memberikan ispirasi-inspirasi
(ilham-ilham) serta kekuatan kepadanya. Di sini, Filssafat merupakan ilmu
pengetahuan induk yang memimpin ilmu-ilmu pengetahuan lainnya; dan tanpa
Filsafat, ilmu-ilmu pengetahuan ini dengan mudah akan menjadi “kosong” dan
menjadi tertawaan orang banyak. n mengenai Dewa/Tuhan yang abadi, yang menjadi
dasar dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Di dalam Mundaka Upanisad dikatakan tentang : “Brahma-Widya
atau ilmu pengetahuan,
Berkatalah
Kautilya : “Filsafat adalah lampu yang menerangi semua Ilmu Pengetahuan saja;
Filsafat adalah alat penjaga bagi segala macam kewajiban.
Oleh karena Filsafat itu adalah suatu usaha menusia
untuk menelaah persoalan-persoalan mengenai alam semesta, maka sebagai usaha
manusia, Filsafat itu lalu juga terpengaruh oleh faktor-faktor kebangsaan dan
kebudayaan/peradaban. Masing-masing bangsa mempunyai cara berfikir dengan
coraknya sendiri-sendiri. Sejak berabad-abad di dalam sejarah, melewati pasang
ssurutnya nasib yang pernah dialami oleh India, dapatlah terlihat di sana
adanya ciri-ciri yang sama, yaitu : “Selalu nampak
gejala-gejala/peristiwa-peristiwa psycologis tertentu, yang secara turun
temurun dan waris mewaris akan tetap
menjadi tanda chusus bagi rakyat India,
selama mereka ini masih dianugerahi untuk menjalani hidup yang tersendiri.”
Artinya “Hidup tersendiri” ialah bahwa mereka
berkembang dengan cara yang tidak tergantung pada pengaruh dari bangsa lain.
Jadi tidak usah berarti : “Berkembang
dengan cara yang tidak sama dengan bangsa lain”. Sebab, secara mutlak, “Ketidak
samaan yang 100%” itu tidak ada, tidak lain karena di mana-mana saja (di bumi
ini) menasia itu tetap sama, terutama kalau dilihat segi-segi kejiwaannya. Adanya
perbedaan-perbedaan kecil itu disebabkan karena bangsa yang satu dengan bangsa
yang lain itu :
1.
Berbeda lam usia.
2.
Berbeda dalam sejarah, dan
3.
Berbeda di dalam watak.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang kecil ini,
maka kebudayaan dunia lalu boleh dikata “bertambah kaya” dan jalan yang
ditempuh dalam mengejar perkembangan-perkembangan di lapangan Filsafat itu
sudah terang tidak lebih mudah daripada jalan mana saja yang memberi
kemungkinan bagi tercapainya hasil-hasil
lain yang juga mempunyai arti bagi umat manusia. Sebelum kita kembali
membicarakan berbagai ciri-ciri khusus dari alam fikiran India, ada baiknya
kiranya untuk menyapaikan lebih dahulu kepada para pembaca, sepatah dua patah
kata tentang pengaruh Barat terahdap alam fikiran India.
Berulang-ulang orang menanyakan ya atau tidaknya
serta sampai berapa jauhnya alam pikiran Idnia itu mengoper ide-ide dri
sumber-sumber asing, misalnya dari Yunani. Beberapa di antara pendapat-pendapat
yagn diajukan oleh ahli-ahli pikir India, menyamai ajaran-ajaran dari yunani
Kuno sedemikian rupa hingga siapa saja yang berkehendak mencurigai kemurniannya sesuatu system pikiran juga berasal dari India, mudah
saja dapat menuruti kehendaknya itu. Adalah suatu usaha yagn sia-sia belaka,
untuk menyelidiki apakah ada pertalian
antara ide-ide dari India dan ide-ide dari Yunani Kuno. Adanya persamaan-persamaan
secara kebetulan itu, oleh mereka yang tak memihak dianggap sebagai suatu
pralelisme di dalam sejarah. Mungkin ada berbagai orang yang telah mengalami
hal hal yang sama; dan persamaan di dalam pengalaman ini sudah tentu dapat
menimbulkan pandagan-pandangan. Pendapat-pendaat yang sama pula. Tidak ada
bukti-bukti yang nyata, untuk menunjukkan adanya pengoperan-pengoperan langsung
ide-ide Barat oleh orang-orang India. Uraian kami di bawah ini akan
memperlihatkan bahwa alam pikiran India berupa suatu usaha akal manusia yang
tidak pernah kena pengaruh dari luar. Di India persoalan-persoalan Filosofis
didiskusikan tanpa ada pengaruh atau pun pertalian dengan Barat. Meskipun
sekali-sekali ada “pergaulan” antara India dan Barat, namun India telah
berkesempatan untuk mengembangkan cara hidupnya sendiri, Filsafatnya sendiri,
dan agamanya sendiri, sesuai dengan cita-citanya sendiri. Entah manakah tempat
asal yang sebenarnya dari kaun Arya (Aryans) yang datang ke semenanjung kami,
tetapi yang tearng ialah bahwa mereka kemudian tidak lagi berhubungan dengan
keluarga-keluarga sedarah mereka di Barat atau pun di Utara, dan bahwa mereka
berkembang menurut lini-lini (garis-garis) mereka sendiri. Memang benar, bahwa
India berulang-ulang diserbu oleh musuh yang masuk ke daerah kami melalui tapal
batas Barat Laut; tetapi selalu Iskandar (Alexander), tidak ada di antara
mereka yang telah berusaha untuk melancarkan hubungan kejiwaan antara Barat dan
Timur. Hanaya sejak hari-hari belakangan ini saja (yaitu setelah erbuka
pintu-pintu lautan) makin dipererat hubungan-hubungan yang akrab, yang
hasil-hasilnya.akibat-akibatya dpat dikatakan sekarang, karena
hasil-hasil/akibat-akibat inimasih tenagh menjadi. Maka untuk praktisnya,
marilah kita sekarang memandang alam pikiran India sebagai suatu “System yang
tertutup” atau suatu “pertumbuhan yangautonom”.
Catatan Penulis :
“Sudah
cukup kalau diperhatikan di sini, bahwa di antara aliran-aliran kefilsafaan
yang terdapat di India, alairan Nyanya yang pertama nampak sesuai sekali dengan
aliran partipatetis; aliran Nyaya yang kedua
(kadang-kadang disebut Waisyesika) adalah sesuai dengan kefilsafatan
India; kedua aliran Mimamsa (satu di antaranyasering disebut Wedanta) sesuai
dengan kefilsafatan Plato; aliran Samkhya yang pertama itu sesuai dengan aliran
Italia (yaitu madzhab keagamaan dan kefilsafatan yagn didirikan oleh Pythagoras
di Italia bagian Selatan), dan aliran kedua dari Patanjali nampak sesuai dengan
kefilsafatan kaum Stoa. Dengan demikian maka Gautama itu dapat dikatakan
sebanding dengan Aristoteles, Kanada sebanding dengan Thales, jaimini dengan
Socrates, Wyasa dengan Plato, Kapila dengan Pythagoras, dan Patanjali dengan
Zeno).
Banyak orang berpendapat bahwa alam pikiran Yunani
telah kena pengaruh dari India,s edang sebaliknya hanya sedikit orang yang
mengemukakan bahwa alam pikiran India banyak dipengaruhi oleh Yunanni.
2.
CIRI-CIRI UMUM DARI ALAM PIKIRAN INDIA
Pada hakekatnya, Filsafat India itu bersifat
kejiwaan/kerohanian (spiritual). Dan yang memungkinkan India sampai dapat bertahan terhadap
serbuan-serbuan sepanjang waktu dan terhadap kejadian-kejadian di luar
perhitungan sepanjang Sejarah, adalah
keteguhan jiwa/rohaninya, jadi bukanlah struktur politiknya atau pun organisasi
sosialnya. Berulang-ulang di dalam sejarah, serbuan-serbuan dari luar dan
percekcokan-percekcokan di antara kami
dengan kami sendiri, hampir saja merusak
kebudayaan India. Orang-orang yang datang dari baik Yunani maupun dari Scythia,
orang-orang Iran dan orang-orang Mongol, Orang-orang Perancis dan orang-orang Ingris, berganti-ganti telah
berdaya-upaya untuk menindasnya, tetapi India tetap berdiri dengan tegak.
Akhirnya ternyata bahwa India tidak dapat ditaklukkan, dan semangatnya yan
menyala-nyala sejak dahulukala, masih tetap berkobar sampai sekarang. Sepanjang
hidupnya, orang India itu selalu mengejar satu tujuan. Yaitu, mereka berjuang
demi kebenaran dengan menjauhi kesesatan. Mungkin kami telah membuat
kesalahan-kesalahan besar, tetapi apa yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan
kecakupan yang kami iliki. Sejarah alam pikiran India menggambarkan
penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh akal dengan tiada hentinya, yaitu penyelidikan-penyelidikan yang
ditujukan pada soal-soal yang tetap lama, tetapi sekaligus juga tetap baru.
Seluruh kehidupan di India dikuasai oleh cita-cita
kerohanian/kejiwaan. Yang diperhatikan oleh Filsafat India adalah tempat-tempat
kedamaian yang tetap bagi manusia, jadi bukannya kesepian yang “lebih sunyi
dariapda di bulan”. Yang dijadikan titik permulaan dari Filsafat India adalah
hidup, dan setelah melewati berbagai-bagai madzhab/aliran, maka Filsafat ini
dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Buah-buah karangan yang ternama
mengenai Filsafat India itu tidak ditulis dengan sikap yang angkuh, dan juga
tidak memaksa secara mutlak para pembacanya untuk menurutinya. Jadi tidak
seperti yan banyak di usik-usik oleh kritik-kritik dan komentar-komentar di
hari-hari belakangan. Berbiara tentang “Gita” dan “Upanisad-upanisad”, tidak
dapat dikatakan bahwa buah-buah karanganini adalah jauh dari kepercayaan
rakyat. Tulisan-tulisan tersebut tidak saja berupa bahan literatur yang tinggi
nilainya, tetapi sekaligus juga merupakan ?Kendaraan dari system-system pikiran
yang besar dan hebat”. Di dalam “Purana-purana” terdapat kebenaran yang diberi
bentuk Mythe dan cerita, dengan maksud supaya dengan jalan demikian
kebenarannya itu dapat dipahami oleh orang-orang banyak. Di India, suatu tugas
yagn sulit sekali, yaitu tugas untuk menarik perhatian khalayak ramai serta
mengarahkan perhatian itu pada
metaphysica, sudah dapat terpenuhi.
Yang menjadi tujuan daripada peletak dasar-dasar
Filsafat, adalah mengadakan pembaharuan-pembaharuan di lapangan sosial dan
kerohanian di dalam negeri. Bilamana kebudayaan India itu disebut kebudayaan
Brahmana, maka yangdimaksudkan hanyalah bahwa orak pokok dan alasan-alasan yang
dijadikan alat pendorong di situ berupa hasil-hasil ciptaan dari baik hali-ahli
Filsafatnya maupun dari pikiran yang religiuas, sedang pencipta-penciptanya sendiri
bukan semuanya orang-orang yang menurut kelahirannya tergolong kasta Brahmana.
Ide Plato bahwa para ahli filsafat harus menjadi penguasa dan pimpinan
masyarakat, itu dipraktekkan di India. Di sini orang berpendapat bahwa
kebenaran-kebenaran yang “terdalam” (ultimate) berupa kebenaran-kebenaran yang
terletak di bidang kerohanian/kejiwaan, dan di dalam cahaya kebenaran-kebenaran
kerohanian/kejiwaan ini, orang harus menuju ke kemurnian hidup yagn
sesungguhnya.
Keagamaan di India itu tidak didasarkan atas
dogma-dogma, melainkan atas :
Sythesis-synthesis akal, di mana terus menerus
dikumpulkan konsep-konsep baru, sesuai
dengan kemajuan-kemajuan di lapangan Filsafat. Keagamaan India banyak
didasarkan atas experimnet-experiment, sedang sifatnya hanyalah sementara saja;
tidak lain karena di situ diusahakan supaya jalannya dapat sejajar dengan
kemajuan-kemajuan pikiran manusia.
Banyak dilancarkan kritik-kritik yang isinya begini
:
“Karena lama pikiran India menitik-beratkan pada
intelek, maka Filsafar lalu menduduki tempat Agama.”
Kritik-kritik ini menggambarkan coraka rationil
yang terdapat di dalam keagamaan di India. Di India belum pernah kami menjumpai
gerakan keagamaan yagn tidak mengandung isi kefilsafatan; dan isi kefilsafatan
ini selalu dipelihara baik-baik dan diperkembangkan sebagai alat penguatnya.
Berkatalah Havell (Di dalam bukunya yang berjudul : “Aryan Rule in India”) :
“DI India, Agama itu sukar dapat disebut dogma,
melainkan berupa Hypothesis kerja dari tingkah laku manusia, yang di sesuaikan
dengan berbagai fase/tingka perkembangan jiwa dan dengan berbagai syarat-syarat
hidup.”
Setiap usaha untuk mengkristalisasikan Agama
menjadi sesuatu kepercayaan tertentu,
pasti disusul usaha-usaha menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan lama
yang bersifat kerokhanian.kejiwaan, dan juga disusul dengan reaksi-reaksi
filosofis yang melancarkan perang kritik untuk membela apa yang benar dan
menghantam apa yang salah. Sudah berulang-ulang dan juga untuk seterusnya, kai
telah dan akan menyaksikan, bahwa stiap kali apabila kepercayaan-kepercayaan
yang tradisional itu pada sesuatu saat sudak sesuai lagi, atau pun tidak lagi
benar karena jamannya sudah berubah, maka lalu datanglah bimbingan di dalam
bentuk suatu pandangan dari seorang guru baru, entah Buddha, entah Mahawira,
Entah Wiyasa, entah Syamkara, yang kembali mengeduk bagian terdalam dari hidup
kejiwaan/kerohanian. Sudah terang ini merupakan
saat-saat penting di dalam sejarah
alam pikiran India, yaitu saat-saat dimana dilakukan testing/ujian terhadap bagian
terdalam dari diri manusia, saat-saat di mana orang membalik matanya untuk
memandang dirinya sendiri secara mendalam. Saat-saat di mana jiwa manusia
memulai pengembaraan-pengembaraan baru, atas desakan dari semangat yang
menyemburkan jalannya ke sisi yang larut, dan yang tidak diketahui darimana
datngnya. Yang menyebabkan ke-Agamaan di India dapat tetap “hidup dan nyata”
Adalah : “Adanya hubungan yang erat antara kebenaran-kebenaran yang diakui
dalam dalam Filsafat dan kehidupan sehari-hari dari rakyat India.
Soal-soal keagamaan yang mengobarkan semangat di
lapangan Filsafat. Secara tuun-temurun pikiran orang India telah di arahkan
pada soal soal mengenai :
1.
Sifat-sifat Ketuhanan.
2.
Akhir dari hidup.
3.
Hubungan antara Jiwa/roh individual (perseorangan)
dan jiwa universal.
Walau pun
pada umumnya Filsafat India itu tidak terlepas 100% dari
pertimbangan-pertimbanganpara pemuda keagamaan, namun diskusi-diskusi
kefilsafatan selalu diselenggrakan tanpa gangguan-gangguan dari
formalitet-formalitet keagamaan. Orang tidak pernah mencampur-adukan Agama
dengan Fisafat. Dan karena ada hubungan yang erat antara teori dan praktek,
antara ajaran dan praktek hidup, maka : “Bagi kefilsafatan yang tidak tahan
terhadap ujian-ujian di dalam praktek-hidup sehari-hari (tidak di dalam arti
yang pragmatis, melainkan di dalam arti yang lebih luas), tidak ada kemungkinan
untuk tetap berpengaruh”.
Bagi mereka yang menyadari “pertalian darah yang
sebenarnya” antara praktek hidup dan teori, maka filsafat dijadikan pegangan
hidup dan dipraktekkan dengan suatu cara hidup yang ditujukan untuk
melaksanakan keinginan-keinginan di
dalam lapangan kejiwaan/kerohanian. Tidak pernah ada sesuatu ajaran
(ajaran-ajaran di dalam Samkhya-pun tidak) yang hanya tetap berupa “kta-kata
indah” atau pun “dogma sesuatu madzhab” saja. Setiap ajaran telah meresp
sebagai keyakinan di dalam jiwa, menggerakan hati manusia dan memperepat
berdebar-debarnya jantung.
Tidaklah benar, kalau orang mengatakan bahwa
Filsafat di India tidak pernah menyadari dirinya, atau pun tidak pernah menapai
tingkat yang kritis, pun pada fase-fase permulaan, renungan-renungan akal sudah
ditujukan untuk mengoreksi keperayaan yagn dicapai dengan jalan keagamaan.
Ikutilah kemajuan-kemajuan Agma sebagaimana dapat disaksikan di dalam proses
perkembangan dari nyanyian-nyanyian pujaan Weda sampai lahirnya
Upanisad-upanisad. Kemudian seaktu kami menginjak jaman Bduddhisme, semangat
yang menyala-nyala di dalam lapangan Filsafat itu sudah mempunyai bentuk tertentu, yaitu sudah menjadi suatu sikap
akal (attitude of mind) yang dalam menghadapi hal-hal yang bercorak intelektual
tidak mau mendengarkan perimbangan-pertimbangan pihak luar (bagaimana pun
besarnya juga kewibaan dari pihak luar itu), dan yang tidak mau mengakui adanya
batasan-batasan di dalam lapangan kerjanya; kecuali apabila batasan-batasan itu
merupakan hasil-hasil penyelidikan logika yang dilakukan secara mendalam, yang
menguji segala sesuatu, dan yang mengikuti jalan pikiran ke manapun juga tanpa
takut-takut. Setelah India memperoleh beragai “darsjana” atau “system-system
pikiran” orang dapat menarik konklusi adanya usaha yang keras dan terus-menerus
, untuk berpikir secara systimatis.
System-system tersebut sama sekali lepas dari
faktor-faktor keagamaan yang tradisional, dan juga terlepas dari
purbasangka-purbasangka.
Buktinya : “Di dalam Samkhya, tidak disebut-sebut
tentang adanya Tuhan, dan juga diyakini bahwa hal itu tidak dapat dibuktikan
seara teoritis.”
Di dalam Wisjesika dan Yoga diterima danya makhluk
yang tertinggi, tetapi makhluk ini tidak dianggap sebagai pencipta dari alam
semesta. Dan bilamana Jaimini menunjuk pada Tuhan, maka itu hanya dimaksudkan
untuk menyangkal adanya pimpinan dari Tuhan, dan untuk menyangkal bahwa Tuhan
menguasai dan menetapkan tata susila di dunia ini. Sudah terkenal bahwa
system-system Buddhisme yang dulu-duu, sama sekali acuh tak acuh terhadap
Tuhan. Ada orang-orang yang materialistis, yaitu kaum Carwaka, yang menyangkal
adanya Tuhan, menertawakan para pendeta, mencemooh Weda-Weda dan mencari kebahagiaan
di dalam kesenangan-kesenenangan.
Meskipun agama dan tradisi-tradisi sosial memegang
peranan utama di dalam hidup, namun itu tidak mengganggu
penyelidikan-penyelidikan Filsafat, yang dilakukan dengan bebas. Ada suatu hal
yang berupa paradox yagn aneh, tetapi namun demikian toh jelas-jelas meruakan
suatu kebenaran, yaitu : “Walau pun hidup sosail dari seorang individu itu
masih terikat pada pembedaan-pemebedaan yang diadakan antara kasta yang satu
dengan kasta yang lain, namun orangnya sendiri masih bebas untuk mengikuti
pendapatnya pribadi.
Seara bebas dan leluasa, akal orang India dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mengkritik kepercayaan-kepercayaan yang
mengurung manusia sejak ia dilahirkan. Inilah sebabnya mengapa di India
pikiran-pikiran yang menyimpang dari keagamaan yang berpengaruh,
pikiran-pikiran yang sceptis, pikiran-pikiran yang menentang keagaam,
pikiran-pikiran yang rasionalistis, pikiran-pikiran yang menetang
kepercayaan-keprcayaan yang dogamtis, itu semuanya dapat tumbuh dengan
suburnya. Menurut Mahabharata
: “Masing-masing MUNI pasti mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.”
Semuanya ini menunjukkan bahwa akal orang India
mempunyai corak intelektual yang kuat, yaitu sejenis akal yang berusaha
mengetahui kebenaran yang sedalam-dalamnya serta semua segi kegiatan-kegiatan
manusia. Dorongan yang intelektuil ini tidak hanya berbatas pada Filsafat dan
Theologi saja, teteapi juga melebar sampai di lapangan-lapangan Logica an
Gramatica, rhetorica 9ilmu pidato) dan bahasa kedokteran dan astronimo; pada
kenyataannya malahan sampai di semua lapangan kesenian dan ilmiah, dari ilmu
bangun-bangunan (architecture) sampai ilmu hewan. Segala apa saja yagn
bermanfaat bagi hdiup atau menarik bagi akal, dijakdikan obyek dari
penyeledikian dan kritik. Anda akan memmpunyai sekedar bayangan betapa luasnya
hidup keintelektualan di India itu, bila
mana anda mempunyai gambaran bahwa pun untuk hal-hal yang keil-kecil seperti
misalnya hal memelihara kuda dan melatih gajah, itu ada SASTRA-SASTRANYA dan
literaturnya sendiri.
Usaha Filsafat untuk menetapkan sifat-sifat dari
apa yan dinamakan Kenyataan itu ada yang dimulai dengan berpokok pangkal pada
“DIRI YANG BERFIKIR” dan ada pula yang dimuali dengan berpokok pangkal pada
“OBYEK_OBYEK PIKIRAN”.” Kalai tindajauannya sedang diarahkan kelaur (artinya di
luar diri manusia), maka yang dijadikan obyek pikiran adalah kejadian-kejadian
yang “datang dan lalu” di dalam waktu yang singkat dan di dalam jumlah yang banyak”. Di dalam “Atmanam
Widdhi” atau “Kenalilah diri kita” Disebutkan dengan singkat :
“Apa yang
merupakan hukum, dan juga disebut Nanam-nama para Nabi. Di dalam diri manusia
terdapat jiwa yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Psykchologi an Ethica
meerupakan ilmu-ilmu pengetahuan yang pokok. Digambarkan bermacam-macam bentuk
dari cara hidup yang berdasarkan akal, dengan varietet-varietetnya yang
serba dynamis, dan dengan sisi-sisinya
yang terang serta sisi-sisinya yang gelap.”
Psychologi India menyadari : “Bernilainya pemusatan
pikiran (concentration), dan ini dianggap merupakan alat untuk menangkap
kebenaran. Ada kepercayaan bahwa segala macam tingkat hidup atau pun tingkat
pikiran itu dapat diapai dengan jalan melatih secara methodis kehendak serta
pengtehauan manusia.”
Psychologi tersebut mengakui adanya hubungan yan
erat antara rohani dan jasmani. Pengalaman-penagalaman psychis seperti di dalam
telepathi dan di dalam “memperoleh penglihatan tanpa mempergunakan pancaindra”
(Clairvoyance; Halderziendhied), tidak dianggap sebagai hal-hal yang abnormal
atau pun hal-hal yang ajaib. Itu bukan akibat sakitnya akal dan juga bukan
ilham yang diberikan oleh Tuhan, melainkan itu merupakan kekuatan-kekuatan yang
dapat dimiliki oleh akal manusia setelah memenuhi syarat-syarat tertentu; dan
syarat-syarat ini telah ditetapkan dengan seksama.
Akal manusia itu mempunyai tiga aspek, dan sesuatu
pengetahuan itu dapat :
1.
Menyelam di bawah kesadaran.
2.
Di sadari (Consciousness), atau
3.
Dapat berlomba di atas kesadara
(superconsciousness).
Peristiwa-peristiwa psychis yang dikatakan abnormal,
yaitu yang disebut dengan istilah-istilah “keadaan bahagia dan terharu yang
berlebih-lebihan” (ecstasy), “Kepandaian yang luas biasa” (Genius), “Inspirasi”
“keadaan gila”, itu semuanya adalah hasil/akibat dari bekerjanya akal di dalam
wilayah yang berada di atas kesadaran. System kefilsafatan Yoga terutama
memperhatikan pengelaman-pengalaman seperti ini, sedang system-system lainnya
sering menunjukkan pada pengalaman-pengalaman itu untuk dipergunakan bagi
kepentingannya sendiri.
Bagian-bagian (sschema-schema) di dalam
Metaphysica, itu didasarkan atas materi (bahan) yang diberikan oleh ilmu
psychologi. Kritik-kritik yang dilemparkan pada Metaphysica Barat, bahwa
Metaphysica Barat ini sifatnya berat sebelah karena hanya memperhatikan
“Keadaan bangun” saja, memang ada dasar-dasarnya pula ( yang bukan keadaan
bangun), dan yang sama-sama berhak untuk dijadikan bahan pertimbangan. Alam
pikiran India memperhitungkan :
1.
Bentuk-bentuk terjaga/bangun.
2.
Keadaan bermimpi, dan
3.
Keadaan tidur tanpa bermimpi.
Bilamana kira
meninjau kesadaran di dalam keadaan bangun sebagai keseluruhan, maka kita lalu
memperoleh konsep-konsep yang realistis, dualistis dan pluralistis mengenai
retaphysica. Bilamana kita mempelajari kesadaran di dalam keadaan bermimpi,
maka hal itu akan membawa kita pada ajaran-ajaran yang subyectivistis. Dan studi akan keadaan
tidur tanpa bermmpi membawa kita pada teori-teori yang abstrak dan mystis.
Untuk memperoleh kebenaran, kita harus mempertimbang-timbangkan dan
memperhitungkan segala macam bentuk-bentuk kesadaran.
Adanya perhatian
yang meluap-luap akan subyektivisme ini belum berarti bahwa di lapangan
ilmu-ilmu pengetahuan yag obyektif, India lalu tidak berhak untuk ikut
bersuara. Sebab apabila kita melihat hasil-hasil yagn telah dicapai oleh India
di dalam lapangan ilmu pengetahuan yang
positif, kita malahan akan menyaksikan hal yang sebaliknya. Orang-orang India
pada jaman dulu-dulu, telah melatakkan dasar-dasar dari pengetahuan mathematica
dan mechanica. Mereka berhasil untuk mengukur kekuatan cahaya lampu,
membagi-bagi tahun, membagi-bagi ruang angkasa, menyelidiki jalannya matahari
dan planet-planet melewati ruang mintaku al buruj (zodiacal), menganalisa
susunan dari apa yang disebut “kebendaan” dan mempelajari sifat-sifat burung dan
binatang-binatang lain, tanam-tanaman dan bibit. Kami kutip di sini sebagaian
dari apa yagn dimuat di dalam “Aitareya Brahmana”, yaitu yang telah diutlis
sedikit-dikitnya 2.000 tahun sebelum Copernicus dilahirkan. “Matahari tidak pernah terbenam atau pun terbit. Bilamana
orang berkata kepada dirinya bahwa matahari akan terbenam, maka sebentar lagi
matahari akan mengubah siang yang ada di bawahnya, menjadi malam; dan
mendatangkan siang pada bagian lain. Sedangkan kalau orang berkata bahwa
matahari terbit pada pagi hari, maka itu berarti bahwa matahari hanya sekedar
menggese tempatnya pada berakhirnya malam, dengan mendatangkan siang di
bawahnya, dan mendatangkan malam pada bagian lainnya. Pada kenyataannya,
matahari itu tidak pernah terbenam.
Walau pun ini hanya idceritakan sebagai hikayat
(folklore) saja, toh itu menarik perhatian kita.
Di dalam “Indian Wisdom” buah arangan Monier
Williams, tertulis : “Bagaimana pun juga konklusi kita, dalam kita menyelidiki
sumber manakah yang pada aslinya telah memberikan ide-ide pertama di dalam
lapangan astronomi yang sekarang sudah tersebar di seluruh dunia, namun selalu
da kemungkinan bahwa pendapatan aljabr di lapangan astronomi dan geometri itu
adalah berkat jasa-jasa orang-orang Hindu ini, orang-orang Arab menerima tidak
saja konsep-konsep pertama mengenai analysa yang berdasarkan Al Jabar, tetapi
juga simbol-simbol angka yagn tidak ternilai harganya itu, serta cara-cara
menulis angka-angka desimal (angka di belakang koma sebagai tanda persepuluhan)
yang sekarang dipergunakan di mana-mana di Eropa, dan juga memberi jasa-jasa
pada kemajuan ilmu hitung.
Colebrooke yang meneterjemahkan buku karangan
Bhaskara mengenai Aljabar, mengemukakan : “Jalannya bulan dan matahari telah
diikuti dengan seksama oleh orang-orang Hindu, dan hasil-hasil yang mereka capai asalah sedemikian baiknya hingga teori
mereka mengenai beredarnya bulan itu lebih tepat daripada yang pernah diajukan
ole orang-orang Yunani. Mereka membagi-bagi Eclipcita (yaitu lingkungan besar
yang menurut pandangan mata adalah jaan yang dilalui oleh Matahari tiap-tiap
tahunnya, red) di dalam 17 dan 28 bagian. Ini merupakan suatu pembagian yang
aaagaknya didasarkan atas pendapatan mereka sendiri, sedang inspirasinya telah
mereka peroleh sewaktu mereka mempelajari “Periode Bulan” (Moon’s periode) yang
mereka nyatakan dengan jumlah “hari”. Mereka terutama cakap sekali dalam
menggambarkan jalannya planet yagn sinarnya paling terang kalau dibandingkan
dengan planet-planet pening lainnya (yaitu Yupiter, red) dan mereka menemukan
“Periode Yupiter” yang dihubungkan dengan periode matahari dan periode bulan,
dan yang dimasukkan ke dalam penanggalan mereka, yaitu suatu penanggalan yang
didasarkan atas cyclus yagn terdiri atas 60 bulan, dan yang sudah lazim dipakai
di kalangan orang-orang Kadec (Chaldeans).
Di dalam “Sanskrit Literature” buah karangan Max
Muller tertulis : “Sekarang oran sudah bersepakat bahwa orang-orang Hindu pada
jaman dahulu sudah menguasi dan mengembangkan dua macam ilmu pengetahuan, yaitu
Logica dan Gramatika.”
Wilson mengemukakan (Lihatlah “Works”) : Di dalam
ilmu kedokteran, seperti juga di dalam Astonomi dan Metaphysica, orang-orang
Hindu pernah mengalami jaman yang dapat menandingi hasil-hasil yang dicapai
oleh bangsa-bangsa yang paling maju di dunia ini. Di dalam hal obat-obatan dan
ilmu bedah mereka memperoleh kecakapan yang tidak kalah dengan siapa saja yang
hasil-hasil penyelidikannya pernah didokumentasikan (dan dapat dilaksanakan)
sewaktu dunia belum diperkenalkan dengan ilmu anatomi oleh penyelidik-penyelidik
dari jaman modern.”
Memang benar bahwa kami tidak pernah memperoleh
pendapatan-pendapatan yang berupa alat-alat mechanis besar. Ini tidak lain
disebabkan karena kami sudah dianugerahi oleh Alam dengan saluran-saluran air
yagn besar-besar, dan dengan persediaan makanan yang banyak. Ada juga baiknya
untuk mengingat bahwa bagaimanapun juga, pendapatan-pendapatan mechanis itu
termasuk abad ke-16 dan abad-abad kemudian sewaktu India kehilangan
kemerdekaannya, sehingga kami lalu hidup di dalam wilayah “orang lain”. Pada
saat India kehilangan kemerdekaannya, dan kemudian bertingkah dengan
bangsa-bangsa lain, India boleh dikatakan kena tulah, sehingga “berubah menjadi
batu”. Sampai dengan waktu itu, India dapat memelihara kecakapannya di dalam
lapangan kesenian, pekerjaan tangan dan industri, dan sudah barang tentu juga
di dalam lapangan Mathematica, Astronomi, ilmu kimia, obat-obatan, ilmu bedah
dan juga di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan Physis sebagaimana sudah
dipraktekkan pada jaman kuno. Orang India mengetahui bagaimana caranya memahat
batu, membuat lukisan-lukisan, menggilapkan emas, dan menenun bahan-bahan
pakaian yang indah. India telah mengembangkan segala macam kesenian (baik yang
“Halus” mau pun yang dikerjakan dengan mesin) yagn dibutuhkan oleh setiap
mesyarakat yang beradab. Kapal-kapal India mengarungi Saumudra besar, dan
kekayaannya melimpah-limpah sampai mengalir ke Judea (Negeri bangsa Yahudi),
Mesir dan Roma, Konsep-konsepnya mengenai manusia dan masyarakat, tata-susila
dan Agama, benar-benar menarik perhatian (untuk waktu itu). Tidak ada dasarnya
untuk mengatakan bahwa rakyat India berlomba-lomba di dalam pusisi dan
mytologi, atau pun untuk mengatakan bahwa mereka membenci ilmu pengetahuan
serta Filsafat, sekali pun benar juga kalau orang mengatakan bahwa mereka lebih
bermaksudd mencari kesatuan di dalam segala sesuatu, daripada
menonjol-nonjolkan perbedaan-perbedaannya.
Kalau
pembaca mengijinkan, ssaya akan membeda-bedakan antara :
Akal yang speculatif (yang murni teoritis), dan
Akal yang bersifat /bercorak ilmiah.
Akal yagn speculatif atau murni teoritis itu lebih
bersifat syntheteis, sedang akal ilmiah itu lebih bersifat Analystis. Akal yagn
speculatif lebih cenderung untuk menciptakan kefilsfatan-kefilsafatan cosmis
(cosmos = Dunia) yang dengan pandangan yang luas dapat memberi keterangan
tentang asal usul dari segala sesuatu saja, keteranagan-keterangan mengenai
sejarah (Yang dimulai sejak sekian abad yag lalu), dan juga mengenai leburnya
serta mundurnya dunia kita ini.
Sebaliknya, akal ilmiah itu mempunyai kecondongan
untuk merenungkan secara mendalam tentang hal-hal yang chusus serta
keistimewaan-keistimewaan dari dunia ini, sehingga mengabaikan arti “kesatuan”
dan “Keseluruhan”. Alam pikiran India berusaha untuk : Meninjau segala sesuatu
saja dengan pandangan yang luas dan yang tidak terikat pada perseorangan
(Impersonal).
Dengan demikian maka ada bahan untuk mengkritik
bahwa alam Pikiran India lebih bersifat idialistis dan teoritis, kaerna
menciptakan khayalan-khayalan di dalam dunia impian, dan membuat penganut-penganutnya
menjadi dicap sebagai “orang-orang asing” di dunia ini. Sebaliknya, alam
pikiran Barat itu lebih bersifat khusus, lebih terikat pada perseorangan dan
lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan umum (pragmatistic).
Akal yang
bercorak ilmiah menggantungkan diri pada pancaindra, sedang akan yang
speculatif berpegang pada “perasaan jiwa” Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa yang
menyebabkan orang India (yang tanpa gangguan dari dunia luar mendpat
keanugerahan untuk sesuka hati menikmati hal-hal yang indah di dalam dunia ini,
dan juga untuk melahirkan kekayaan jiwanya di dalam bentuk nyanyian dan
dongengan, musik dana tari-tarian, rite-rite dan Keagamaan), meleburkan dirinya
ke alam renungan-renungan, adalah keadaan alam sekitarnya. Berulang-ulang orang
mengejek dengan kata-kata : “Awas! Timur Sedang merenung!”, dan ini memang
mengandung kebenaran.
Karena adanya pandangan yang systhematis, Filsafat
India lalu meliputi berbagai ilmu pengetahuan yang di dalam jaman moderen ini
menjadi di-differensiasi-kan (diperinci). Selama kira-kira seratus tahun yagn
akhir-akhir, berbagai cabang pengetahuan yag mula-mula termasuk Filsafat,
antara lain Ekonomi, Politik, Tata Susila, Psychologi, Pendidikan, itu telah
melepaskan diri satu persatu. Pada jaman Plato, yang termasuk Filsafat itu
adalah semua imu pengetahuan saja, yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia
dan yang menjadi pusat perhatian dari renungan-renungan menusia. Demikian juga
naskah-naskah India yang kuno-kuno menggambarkan suasana kefilsafatan didalam
arti yang seluas itu. Pada hari-hari kemudian, Filsafat Barat itu menjadi
synonim (sama) dengan Metaphysica, yang terdiri atas diskusi-diskusi yang
“Gelap dan dalam” (Abstruse) mengenai pengetahuan, mengenai sifat ada /
ke-beradaan dan mengenai nilai. Maka terdengarlah keluh kesah bahwa Metaphysica
itu sifatnya menjadi 100% teoritis, karena dipisahkan dari aspek-aspek yang
praktis dan juga dari persangkaan-persangkaan (imagination) yang biasa
dilakukan oleh manusia.
Setelah kita mengetahui bahwa pikiran orang India
di titik-beratkan pada soal subjectivitet, yang berjalan bersama dengan suatu
kecenderungan untuk mencapai pandangan yagn synthetis, maka tidaklah sukar
untuk sampai pada kesimpulan bahwa di dalam keadaan yang demikian :
Idealisme yang Monistis-lah yang dianggap merupakan
sumber kebenaran dari segala sesuatu yang kita hadapi.
Catatan Redaksi :
Monisme (monos = tunggal) alah filsafat yang
mendasarkan segala-galanya pada Satu Azas semata-mata. Lawan : Dualisme dan
Pluralisme.
Seluruh pertumbuhan pikiran yang berhubungan dengan
Weda di dasarkan atas itu. Dan Idelisme yang Ministis ini menjadi dasar dari
Agama Buddha dan Agama Brahma. Idelisme yang Monistis merupakan Kebenaran yang
Tertinggi yang diwahyukan kepada India. Malahan juga system-system yang
menamakan dirinya “Dualistis” dan “Pluralistis” itu agaknya sudah kemasukan
corak Ministis yagn kuat. (Dualisme adalah Filsafat yang mengajarkan bahwa
kenyataan itu berdasarkan dua azas. Hakekat yang tidak berhubungan satu dengan
lainnya. Dan Pluralisme mendasarkan kenyataan itu pada pelbagai azas/hakekat
yang masing-masing tidak berhubungan satu dengan lainnya, Red.). Bilamana kita dapat mengabstraksikan pendapat-pendapat yang saling
berbeda, dan menemukan corak umum yang terdapat pada alam fikiran India, maka
kita akan mengatakan bahwa : Filsafat India mempunyai kecenderungan untuk
menafsirkan hidup dan alam kodrat itu sesuai dengan pandangan Idealisme yang
Ministis. Tetapi kecenderungannya ini adalah sedemikian plastisnya, sedemikian
hidupnya dan sedemikian banyak macamnya, hingga mempunyai bentuk yag rupa-rupa
dan terlahirkan di dalam bermacam ragam ajaran-ajaran yang dapat saling
bermusuhan.
Marilah kita meninjau dengan singkat bentuk-bentuk
pokok dari Idealisme yang Monistis sebagaimana terdapat di India, tanpa
memperhatikan detil-detil dari perkembangannya, ata pun penilaian-penilaian
yang diberikan di dalam bentuk kritik. Dengan jalan demikian kita akan dapat
mengenal corak dan fungsi Filsafat menurut pandangan orang India. Untuk maksud
ini, kita menggolong-golongkan Idelisme yang Monistis itu ke dalam empat type,
yaitu :
1.
Non Dualisme atau Adwaitisme.
2.
Monisme yang murni.
3.
Monisme yang dimodifikasi-kan (yang diberi bentuk
lain; jadi sudah tidak murni lagi), dan
4.
Monisme yang implicit (artinya tidak dinyatakan,
tetapi sudah terkandung secara diam-diam, Rd).
Penyelidikan-penyelidikan filsafat dilakukan atas
dasar fakta-fakta yagn telah dialami. Dibutuhkan jalan fikiran yang logis untuk
menentukan apakah fakta-fakta yang nampak pada seseorang itu dapat diterima
oleh semua orang saja, ataukah hanya bersifat subyectif. Orang baru mau menerima kebenaran
sesuatu teori, bilama teori ini dapat memberi keterangan yang memuaskan tentang
fakta/fakta-fakta yang bersangkutan. Sudah saya kemukakan bahwa fakta-fakta
yang berupa fikiran atau kesadaran manusia itu telah dipelajari oleh ahli-ahli
fikir India dengan perhatian dan kecermatan yagn tidak kurang daripada yang
dicurahkan oleh tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari jaman moderen pada studi
mengenai fakta-fakta di dunia luar (artinya di luar diri manusia).
Konklusi-konklusi kefilsafatan yagn disampaikan oleh Monisme yang Adwaitis di
dasarkan atas : “Bahan-bahan yang diperoleh dengan jalan pengawasan-pengawasan
dalam lapangan psycologi.
Kegiatan-kegiatan manusia itu dapat berlangsung di
dalam :
1.
Keadaan terjaga/bangun (state of waking).
2.
Keadaan bermimpi (state of dreaming), atau.
3.
Keadaan tidur tanpa mimpi (state of dreamless
sleep).
Di dalam keadaan bermimpi, kita berhadapan dengan
sebuah dunia yang benar-benar konkrit. Tetapi dunia ini tidak kita sebut nyata,
oleh karena di dalam keadaan bangun kita berkesimpulan bahwa dunia impian itu
tidak sesuai dengan dunia yang kita hadapi di dalam keadaan bangun. Tetapi
bagaimana pun juga, kalau ditinjau dari keadaan bermimpi (jadi suatu tinjauan
yang sifatnya relatif), maka dunia impian pun adalah nyata. Dan kalau kita
berpendapat bahwa keadaan bermimpi itu kurang nyata daripada keadaan bangun,
maka yang menjadi dasar dari pendapat itu bukanlah pengetahuan kita akan tetapi
yang merupakan kebenaran yang sesungguhnya, melainkan kalau kita berpendapat
lain, ini akan bertentangan dengan norma-norma yagn sudah diakui di dalam
“hidup dengan keadaan bangun” (Waking life).
Tetapi sebaliknya, kenyataan yang diakui di dalam
keadaan bangun pun adalah suatu hal yang relatif. Sebab kenyataan itu tidak
terus menerus ada, dan hanya bertalian dengan keadaan bangun saja. Segera
setelah kita mulai bermimpi atau pun tidur, kenyataan yang demikian itu menjadi
lenyap. Hubungan antara kesadaran bangun dan dunia yang dihadapi olehnya ialah
: “Serupa dengan hubungan
antara kesadaran bermimpi dan dunia impian.
Jadi kedua-duanya tidak dapat disebut “nyata secara
mutlak”. Berkatalah Syamkara : “Dunia
impian itu sehari harinya menghilang/menyelam (untuk sementara) ke sesuatu
tempat di bawah kesadaran kita, sedang dunia pancaindra itu menghilang/menjelma
di dalam keadaan-keadaan yang khusus/khas.”
Di dalam keadaan tidur tanpa mimpi berhentilah kesadaran yang kita alami
secara empiris (yang kita alami berkali-kali dengan panca indra. Red). Beberapa
ahli fikir India berpendapat bahwa di dalam keadaan tersebut kita mempunyai : “Kesadaran yang tidak berobyek.”
Bagaimanapun juga, teranglah sudah bahwa di dalam
keadaan tidur tempat mimpi kita tidak dapat mengatakan bahwa kesadaran kita
menjadi “Tidak ada”, sebab pendapat atau hypothesis yagn demikian adalah
bertenetangan dengan apa yang nanti kita ingat setelah kita bangun kembali dengan
segar bugar. Kita sudah dengans endirinya mengakui bahwa “diri” kita terus-menerus tetap ada, meskipun
pada saat-saat itu (yaitu dalam keadaan tidur tanpa mimpi) tidak da hal-hal
yang kita alami. Pada saat-saat itu tidak terasa adanya obyek, dan obyeknya
memang tidak ada selama kita tidur dengan nyenyak. Diri murni kita agaknya
tidak terganggu oleh timbul dan lenyapnya ide-ide macam apa saja, yang (timbul
dan lenyap itu) disertai dengan perasaan-perasaan tertentu.
“Diri manusia tidak berbeda pada saat yang satu dan
saat yang lain, dan juga tidak berubah-ubah seperti hal-hal/barang-barang yang
mengelilingi nya. Hal-hal/barang-barang inilah yang berubah ubah dan
berbeda-beda pada saat yang satu dan saat yang lain” (Bhamati).
Jadi, diri yang tetap sama dan satu di
tengah-tengah segala macam perubahan-perubahan itu mempunyai sifat-sifat yang
berlainan dengan perubahan-perubahan tersebut. Yang berubah-ubah adalah
keadaanya, sedang Dirinya adalah tetap sama.
“Dari bulan ke
bulan, dari tahun ke tahun, sepanjang cyclus waktu, yang entah panjang entah
pendek, baik pada masa lampau maupun pada masa depan, hanya kesadaran yang
menerangi dirinya sendiri inilah yang tidak pernah terbit atau pun terbenam”
(Pancadasji).
Di sini
dirasakan adanya suatu “kenyataan yang tak bersyarat” yaitu bahwa waktu dan
ruang bersama-sama dengan obyek-obyeknya pada sesuatu saat akan lenyap. Tatapi
diri kita menjadi penonton tetap dari seluruh drama dari ide ide yang bertalian
dengan suasana hati/perasaan-perasaan pada waktu bangun, pada waktu bermimpi
dan pada waktu tidur. Kita
meyakini bahwa pada kita ada sesuatu yang melebihi/mengatasi rasa senang dan
sedih, melebihi/mengatasi kebajikan dan kejahatan, baik dan buruk, yaitu ada
diri yang : “Tidak pernah mati, tidak pernah dilahirkan. Karena tidak
dilahirkan, kekal dan abadi, maka yang sudah ada sejak sedia kala ini tidak akan ikut rusak
dengan hancurnya jasmani. Bilamana si pembunuh mengira bahwa ia dapat membunuh,
atau pun yang di bunuh mengira bahwa ia dibunuh, maka kedua-duanya tidak
mengetahui apakah kebenaran itu. Sebab diri (the self) itu tidak membunuh dan juga tidak dibunuh”
(Katha Up.).
Diri yag tetap sama itu didampingi oleh obyek-obyek
yang menurut pengalaman-pengalaman kita, adalah berbeda-beda. Diri tersebut
sifatnya adalah permanen dan terus menerus sama, sedang obyek-obyeknya bersifat
tidak permanen dan selalu berubah-ubah. Diri ini sifatnya adalah : Absolut (
Mutlak), dan tidak tergantung pada obyek-obyek, sedang obyek-obyek ini
berubah-ubah menurut suasana yang meliputi hati manusia. (Moods).
Lalu bagaimanakah keterangannya mengenai keadaan di
dudnia ini? Di dalam dunia, perubahan-perubahan yang kita alami itu terikat
pada : 1. Ruang, 2. Waktu, dan 3. Musabab (Sebab).
Berbeda dengan Diri yang satu, yang universal, yang
tetap sama itu, di dalam dunia terdapat banyak sekali pribadi-pribadi/hal-hal
khusus (particulars) yang sifat-sifatnya saling bertentangan. Tentang hal-hal
yang khusus ini kita hanya dapat berkata bahwa itu “Bukan Diri”, melainkan
obyek-obyek dari sesuatu subyek. Sifatnya tidaklah nyata, di dalam keadaan yang
bagaimana pun juga. Katagori-katagori pokok di dalam dunia pengalaman, yaitu
waktu ruang dan musabab, sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self
contradictory). Sebab waktu, ruang dan musabab adalah istilah-istilah relatif
yang masing-masing tergantung pada bahan-bahan atas mana pengertian-pengertian
itu tersusun. Waktu, ruang dan musabab itu pada kenyataannya tidak
sungguh-sungguh ada. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa waktu, ruang
dan musabab itu sama sekali tidak ada.
Dunia
mengelilingi kita. Kita bekerja di dunia, dan kita menjelajahinya. Tetapi kita
tidak tahu dan tidak dapat mengetahui mengapa dunia ini ada. Kenyataan inilah,
yaitu : “Kenyataan bahwa orang tidak dapat menerangkan mengapa dunia ini ada,
adalah yang dimaksud dengan istilah “MAYA”.
Kalau kita bertanya apakah hubungannya antara
“DIRI” yang mutlak dan perubahan-perubahan yang Empiris, dan bertanya mengapa
dapat terjadi dan baaimana terjadinya, sampai ada dua macam hal itu, maka kita
sebetulnya sebelum apa-apa sudah menerima bahwa segala sesuatu itu mempunyai
“mengapa”-nya dan “bagaimana”-nya. Dan kalau orang mengatakan (sekedar sebagai
jawaban atas pertanyaan pertanyaan di atas itu) bahwa yang KEKAL dan ABADI menjadi fana, atau pun bahwa
yang kekal dan abadi itu melahirkan diri-Nya di dalam bentuk kefanaan, maka
pembelaan semacam itu adalah omong kosong belaka. Yang fana dan terbatas tidak
dapat merupakan suatu perwujudan dari yang Kekal dan TAK TERBATAS. Andaikan
yang abadi itu melahirkan diri-NYA din dalam bentuk “kefanaan”, maka pada saat
itu terjadi, hilangnya sifat keabadian-Nya, sehingga menjadi fana pula. Dan
kalau orang mengatakan bahwa yang MUTLAK “turun derajatnya” atau “mundur”
sampai menjadi empiris (artinya sampai dapat dialami dengan pancaindra, Red),
maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa yang Mutlak itu tidak
sungguh-sungguh mutlak. Tidak mungkina ada kemunduran yang menimpa sesuatu yang
Sempurna, dan tidak mungkin ada kegelapan yang berlindung di dalam kecemerlangan-Nya
yang sempurna. Kita tidak mau mengakui bahwa yagn Sempurna sedang berubah, dan
menjadi fana karena perubahan itu. Sebab “perubahan” itu mengandung arti
“berkehendak” atau pun “mempunyai suatu keinginan”, dan yang dapat berkehedak
atau mempunyai keinginan itu tidak lain hanyalah hal-hal yang tidak sempurna
saja.
Diri yang Mutlak tidak dapat menjadi obyek
pengetahuan, sebab segala sesuatu yang diketahui itu sifatnya terbatas dan
relatif. Pikiran kita yang
serba terbatas itu tidak dapat menerobos ikatan-ikatan waktu, ruang dan
musabab. Pikiran kita merupakan bagian dari dunia relatif. Maka dengan demikian
tidak dapatlah kita dengan pikiran (yang sifatnya relatif itu) mengenal Diri
yang Mutlak. Pengalaman-pengalaman kita yang hanya relatif itu adalah : “ Suatu
impian di dalam keadaan bangun”.
Ilmu pengetahuan
dan Logica merupakan baik bagian-bagian maupun hasil dari impian di dalam
keadaan bangun itu. Kegagaan Metaphysica untuk menangkap hal-hal di luar dunia
pengalaman itu tidak usah ditangisi atau ditertawakan, tidak usah dipuji atau
pun di cela, melainkan harus dimengerti/ dipahami. Dengan kerendahan hati yang
menjadi tanda dari kekuatan akalnya, entah Plato entah Nagarjuna, entah Kent
entah Syamkara, menerangkan baha pikiran manusia itu hanya berkisar pada
hal-hal yang relatif, dan tidak berurusan dengan yang mutlak.
Walau pun
yang mutlak tidak dapat dikenal/diketahui dengan jalan Logica, namun siapa saja
yang berusha mengetahui apakah kebenaran itu, tentu mau mengakui bahwa yang
Mutlak itu merupakan suatu lingkungan kenyataan, di mana kita hidup, bergerak
dan berada, Hanya dengan : Perantaraan yang Mutlak atau Kenyataan itu, segala
sesuatu lainnya dapat dikenal/diketahui. Yang Mutlak itu merupakan Saksi Abadi
dari segala Pengetahuan.
(1)
Para pengikut Non Dualisme menyiarkan ke mana-mana,
bahwa teori mereka didasarkan atas hubungan yagn logis dari fakta-fakta.
Menurut Mereka : “Yang merupakan kenyataan yang Terdalam adalah Diri, yang dirasakan
oleh semua saja, oleh karena Diri ini adalah Diri dari segala sesuatu yagn diketahui danjuga
dari segala sesuatu yang tidak diketahui. Jadi adanya diri itu hanya dirasakan saja, tidak di
kenal/diketahui, sebab satu-satunya pihak yangg mengenal-Nya/mengetahui-Nya,
tidak lain hanya Diri itu sendiri. Bagi mereka, Diri itu adalah yang merupakan
satu-satunya Kebenaran dan Keabadian, dan di samping itu tidak ada lainnya.
Mengenai hal-hal beraneka warna yang kita alami sehari-hari itu
pengikut-pengikut Non Dualisme mengatakan : Yah! Hal-hal itu memang ada
di muka kita, tetapi tidak untuk seterusnya, sebab tentu akan berakhir pula.
Kita tidak tahu, dan juga tidak dapat mengetahui mengapanya. Semua obyek-obyek
pengalamana merupakan hal-hal yang bertentangan, teteapi namun demikian,
semuanya itu adalah fakta-fakta yang sebenarnya.” Demikian inilah sikap
filosofis dari Adwaita, ata pun sikap Non Dualisme sebagaimana dibela oleh
Gaudapada dan Syamkara.
(2)
Ada pengikut-pengikut Adwaitisme yang tidak puas
dengan pandangan ini, dan merasa bahwa tidak ada baiknya untuk menutupi
kekacauan pikiran kita dengan mempergunakan perkataan “Maya” sebagai perisai.
Maka berusahalah mereka untuk memberi keterangan-keterangan yang positif,
mengenai hubungan antara keadaan yang sempurna (yang tidak mengandung sesuatu
yagn negatif, yang tetap nyata, dan dapat dirasakan di dalam inti terdalam dari
pengalaman-pengalaman kita) dan dunia perubahan (Yang keadaannya tidak
sempurna). Untuk membela dan melindungi Kesempurnaan dari Kenyataan yagn Satu
itu, mereka terpaksa mengatakan bahwa : Perubahan-perubahan itu tidak
disebabkan karena kenyataan yang sempurna ditambah dengan unsur dari luar,
sebab di luar-Nya sudah tidak ada apa-apa. Yang menyebabkan perubahan-perubahan
itu tidak lain jalan karena Kenyataan yang Sempurna itu dikurangi
unsur-unsur-Nya.
Jadi prinsip yang mereka pakai untuk menerangkan
perubahan-perubahan di dalam alam semesta itu sifatnya negatif, seperti yagn
dikemukakan oleh Plato dengan istilah “Ke-tidak – ada- an”, dan juga oleh
Aristtoteles dengan istilah “Kebendaan/kejasmanian”. Dengan mempergunakan
prinsip yang negatif ini, yang Tetap dan Tidak Berubah-ubah lalu digambarkan
sebagai tersebut di dalam kejamakan yang bergerak (teh moving many). Tetapi
yang tetap dan tidak Beruba-ubah itu tidak terkandung di dalam kenyataan yang
bergerak/berubah-ubah. Seperti halnya dengan sinar-sinar yagn mengalir dari
matahari, padahal mataharinya sendiri tidak mengandung sinar-sinar itu. Bagi
mereka : MAYA adalah prinsip negatif yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan dan timbulnya kejadian-kejadian di mana-mana, dan bersama
itu juga menciptakan kegadudhan-kegaduhan tanpa akhir serta huru-hara yagn
terus menerus.
Jadi,
perubahan yang terus menerus di dalam alam semesta itu diterangkan sebagai
disebabkan oleh degradasi (kemunduran, turunnya derajat) dari yang Tetap dan
Tidak Berubah-ubah. Penkataan “Nyata” itu adalah untuk menggambarkan segala
sesuatu yang di dalam proses perubahan menjadi positif. Segala sesuatu di dunia
senantiasa berjuang untuk memperoleh kembali sifat nyatanya, berjuang untuk
mengisi kekurangan-kekurangannya, berjuang untuk membersihkan diri dari
kekususannya serta kesendiriannya. Akan tetapi ini terhalang, karena
masing-masing mempunyai kekosongan di bagian dalamnya (Inner Void), yaitu masing-masing mempunyai
MAYA yang negatif yang berupa interval (celah) antara “Apa ujudnya” dan “Apa
seharusnya” masing-masing itu. Bilamana kita bisa menghilangi MAYA, yaitu kita
meniadakan kecondongan kita ke arah
ke-Duaan (artinya kita janganlah membeda-bedakan antara Diri yagn Mutlak dan
Perubahanperubahan yang Empiris sebagai dua hal yang berdiri sendiri-sendiri,
Red), menghapus interfalnya mengisi kekurangan-kekurangannya sehingga
memungkinkan berhentinya kegaduhan-kegaduhan, maka ruang, waktu dan perubahan
akan kembali ke dalam keadaannya yang asli dan murni. Selama MAYA masih
merajalela dengan kekurangan-kekurangannya seperti sedia kala, maka segala
sesuatu itu ditakdirkan untuk tetap berada di dalam dunia ruang-waktu-musabab.
Maya bukanlah buatan manusia. Maya sudah ada sebeum intelek kita ada, dan maya
juga tidak tergantung pada intelek kita. Maya benar-benar : Merupakan generator
(alat pembangkit gaya/tenaga) dari segala sesuatu yagn ada di dunia; juga
generator dari intelek. Maya adalah kekuatan raksasa yang terkandung di dalam
dunia seluruhnya. Kadang-kadang maya juga disebut Prakitri.
Di susulnya pertumbuhan oleh kemudnuran, terjadinya
evolusi-evolusi cosmis secara berulang-ulang, itu semua menandakan bahwa dunia
masih terdiri atas kekurangan-kekurangan. Dikatakan bahwa dunia perubahan itu
adalah suatu interupsi terhadap keberadaan. Maya mencerminkan kenyataan. Proses
keduniawian itu lebih banyak merupakan kebalikan (inversion), dan bukannya
penyalinan (translation) dari Ke-Berada-an yang Tetap dan Tak Berubah-ubah
(immutable being). Namun demikian, dunia maya tidak dapat berdiri sendiri kalau
dipisahkan dari ke Berada-an yang Murni. Andaikata tidak ada Ke-Tetap-an yagn
Tak Berubah-ubah, niscaya tidak akan ada gerakan; sebab gerakan itu adalah
suatu degradasi saja dari yang Tetap dan Tak Berubah-ubah. Keadaan yang tidak
bergerak merupakan : “Kebenaran yang tersembunyi di belakang gerakan-gerakan
yang Universal.
Seperti juga “Menjadi” itu adalah kemunduran/penyelewengan
dari “Berada”, maka :
Awidya pun atau “Ke-Tidak-tahu an” merupakan
kemunduran dari Widya atau “pengetahuan”
Untuk mengetahui kebenaran itu, dan untuk memahami
apakah yang merupakan Kenyataan, kita lebih dahulu harus membebaskan diri kita
dari awidya dan dari ukuran-ukuran yang didasarkan atas intelek. Sebab
alat-alat pengukur ini akan pecah dan rusak pada saat kita hendak memasukkan
(dengan paksaan) kenyataan ke dalamnya.
Ini tidak dimaksudkan sebagai uraian untuk minta
maaf karena adanya kelmabatan/kemalasan berfikir. Di dalam pandangan ini,
Filsafar sebagai Logica dalam mempergunakan pikira, membujuk penganutnya untuk
meninggalkan saja konsep-konsep yang berdasarkan intelek. Sebab konsep-konsep intelektual
ini hanya dapat dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan praktis di dalam dunia
perubahan. Di sini Filsafat menyampaikan kepada kita, bahwa selama kita masih
terika intelek, dan selama kita masih tersesat di dalam dunia keanekawarnaan
atau dunia kejamakan, maka akan sia-sialah usaha kita untuk kembali ke
kesederhanaan dari yang Satu- itu.
Apabila kita bertanya mengapa ada Awidya, mengapa
ada Maya, yang menyebabkan mundurnya Windya dan mundurnya tingkat “berasa” maka
pertanyaan yang demikian itu tidak dapat terjawab. Di sini Filsafat sebagai
logika mempunyai fungsi yang negatif yaitu :
1.
Untuk memperlihatkan bahwa semua katagori-katagori
intelektual itu tetap tidak akan mencukupi.
2.
Untuk menunjukkan bagaimana terikatnya obyek-obyek
di dunia ini kepada akal yang memikirkan tentang obyek-obyek itu; dan bahwa
tanpa obyek akalitu tidak dapat berdiri sendiri.
Akal tidak dapat
memberi tahu apa-apa mengenai yang abadi dan yang tidak berubah-ubah, yang
berada secara tersendiri, artinya tidak tergantung pada kejadian-kejadian di
dunia. Dan akal tidak dapat menceritakan sesuatu tentang Maya yang menyebabkan
terciptanya dunia. Akal tidak dapat membantu kita untuk secara langsung sampai
pada kenyataan. Sebaliknya, akal malahan mengatakan kepada kita bahwa untuk
mengukur Kenyataan, kita harus memberi bentuk baru (yang mungkin sekali berbeda
amat dengan ujud yang sesungguhnya, Red). Kepada apa yang disebut Kenyataan
itu. Sebab, bilamana akal pada suatu hari dapat mengenakan suatu ujud tertentu
pada Kenyataan, hal itu mungkin dapat membantu manusia di dalam usahanya untuk
mencari Kebenaran. Yaitu kita lalu dapat memikirkannya sampai
sedetail-detailnya, kita dapat mempertahankannya secara logis, dan kita dapat
menolongnya untuk “Berbiak”.
Akan tetapi para penegak Monisme yang Murni
mengatakan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada akal
abstrak, yaitu suatu kekuatan yang memungkinkan manusia untuk merasakan “Daya
Pendorong” dari kenyataan. Tidak lain orang harus mengendepkan dirinya ke dalam
: Kesadaran yang Universil, dan membuat dirinya menjadi “Lebar dan Luas” di
tengah-tengah segala sesuatu yagn juga serba lebar dan luas itu.
Dengan cara demikian, orang lalu lebih banyak
mengalami daripada memikirkan Kenyataan, sehingga ia lalu ikut menjadi nyata
sendiri, tanpa banyak mengetahui tentang apakah Kenyataan itu. Monisme yagn
Extrem demikian, yang membeda-bedakan :
1.
Antara Logika
dan Intuisi.
2.
Antara Kenyataan
dan Ke-Berada-an.
Kita dapatai pada beberapa Upanisad, pada Nagarjuna
dan pada Syamkara kalau suasana hatinya sedang diliputi dengan
perasaaan-perasaan yang Ultra Filosofis (Ultra = berlebih-lebihan); pada Syri
Harsa dan juga pada penganut-penganut aliran Wedanta Adwaita, sedang
kumandangnya di Barat terdengar pada Parmenides dan Plato, Spinoza dan Plotinus,
Bradley dan Bergson, dan jangan dilupakan : pada Mystik Barat.
-------------------------------------------------------------------------
Catatan Penulis :
Dapat dikatakan bahwa di dalam kefilsafatan Samkhya
terdapat keterangan-keterangan yagn serupa mengenai pengalaman-pengalaman
manusia. Tidak ada kata-kata yang menyinggung
kelemahan-kelemahan/kekurangan-kekurangan dari “alat-alat” yang dipergunakan
untuk dapat mengalami sesuatu. Perbedaannya hanyalah bahwa di dalam
kefilsafatan Samkhya ada prasangka-prasangka yagn pluralistis, tanpa
dasar-dasar yagn logis. Kalau pluralisnya hapus (sebagaimana akan terjadi
bilamana diuji sebentar saja dengan logika), maka teori Samkhya menjadi identik
(sama) dengan Monisme Murni yagn digambarkan did atas.
-------------------------------------------------------------------------
Entah apakah artinya Ke-Beradaan yang Murni bagi
intuisi, tetapi bagi intelek ke-Beradaan yang Murni itu tak lain dan tak bukan
adalah suatu abstraksi yagn absolut. Ada anggapan, bahwa ke-Berada-an itu
berlangsung terus, juga andaikata tiap-tiap fakta dan tiap-tiap obyek
pancaindra sama sekali di hapus. Shingga dengan demikian, ke-Berada-an itu
adalaha :
Sisa/Ampas yagn tinggal sebagai hasil
peng-abstraksi-an dari alam semesta seluruhnya.
Memang adalah
suatu latihan yang sulit bagi pikiran manusia, untuk menghilangkan lautan dan
daratan, waktu, matahari dan bintang-bintang, ruang dan waktu, manusia dan
Tuhan, dari kesadarannya. Tetapi kalau kita berusaha untuk menghapus alam
semesta, maka agaknya lalu tidak ada sisa lagi untuk dijadikan obyek pikiran.
Pikiran manusia yang sifatnya terbatas dan rational, dengan kegelisahan yang
mendekatai ke-putus-asa-an, sampai kepada kesimpulan bahwa lalu tidak ada
apa-apa lagi kalau segala sesuatu dihapus. Jadi dalil pokok dari intuisi, bahwa
“Ke-Berada-an itu ya ada begitu saja”, itu bagi akal artinya “tidak ada
apa-apa” mengingat
kata-kata Hegel :
Akal hanya
dapat bekerja kalau menghadapi fakta-fakta tertentu, hal-hal yang sudah konkrit.
Bagi akal, setiap pernyataan yang memperkuat hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung
penyangkalan terhadap hal itu, dan sebaliknya setiap pernyataan yang menyangkal
hal sesuatu, itu sekaligus juga mengandung penguatan terhadap hal itu. Setiap
fakta yang konkrit adalah suatu “Kejadian” yang timbul dari kombinasi antara
“Ada” dan “Tidak ada”, antara yang positif dan yang negatif.
Mereka yang tidak puas dengan hanya merasakan Ke
Berada an atas dasar intuisi ssaja, emnginginkan suatu synthesis yang dicapai
dengan jalan akal (sedang akan ini menurut indting bawaannya selalu menuju ke hal-hal
yang kongkrit). Mereka ini lalu tertarik akan system : “Idealisme yang
obyectif.”
(3).
Penganut-penganut idealisme yang kongkrit ini
berusaha menyatukan kedua konsep, yaitu :
1. Konsep mengenai ke-Berada-an yang Murni, dan
2. Kosnep mengenai Perubahan-perubahan yang Nampak.
Ke dalam satu systhesis, dengan mengemukakan adanya
Tuhan. Pun para pengikut Monisme yagn extrem mengakui bahwa Perubahan itu
tergantung pada Ke-Berada-an, sedang sebaliknya ke-Berada-an itu tidak
tergantung pada perubahan. Dengan jalan demikian orang sampai pada sejenis
“kemutlatakan yang terbias” (refrated absolute), yaitu orang sampai pada Tuhan
yang memungkinkan terbentuknya dunia . Sifat-sifat Tuhan merupakan kombinasi :
1.
Antara hakekat ke-Berada-an dan hakekat Perubahan.
2.
Antara Ke-Satu-an dan ke-Jamak-an.
3.
Antara sifat Tidak Terbatas dan Sifat Terbatas.
Yang mula-mula merupakan ke-Beradaan yang Murni;
sekarang menjadi Subyek yagn mengubah dirinya menjadi obyek, dan kemudian
memungut kembali obyeknya itu untuk dimasukkan lagi ke dalam dirinya. Untuk
mempergunakan istilah-istilah Hegel :
“Posisi, oposisi dan komposisi terus menerus
susul-menyusul di dalam proses yang abadi. Yaitu suatu proses yang jalannya
ibarat berputar-putar di dalam sebuah lingkaran”.
(Catatan Penulis : Istilah-istilah Hegel ini lebih
terkenal dengan “the is, antithesis dan synthesis”).
Hegel dengan tepat telah melihat bahwa dua syarat
yang harus dipenuhi untuk adanya sebuah dunia yang kongkrit itu ialah :
a.
Harus ada subyek, dan
b.
Harus ada obyek.
Di dalam segala sesuatu yagn kongkrit, tentu ada
kombinasi antara subyek dan obyek, jadi antara dua hal yang berlawanan. Pun
tentang Tuhan Yang Maha Agung dikaakan bahwa pada diri-Nya terdapat dua corak
yagn berlawanan, di mana corak yang satu tidak saja ditimbulkan oleh yang lain,
tetapi corak yagn satu itu adalah juga corak yang lain. Dan bilamana orang
sudah menyatakan adanya Tuhan yagn dynamis yang secara abadi teriakt apda
“berputarnya roda” maka ia dengan sendirinya lalu menyadari bermacam-macam
tingkat “Berada”, dari Beredanya kesempurnaan Tuhan sampai Beradanya debu yang
hina. Bersamaan dengan itu, maka setelah ditetapkan adanya Tuhan yang demikian,
orang lalu juga memperkuat adanya bermacam-macam tingkat “Kenyataan”, dari
tingkat yagn sungguh-sungguh Nyata sampai tingkat / keadaan yagn “hampa
samasekali” (Nothing). Dengan demikian maka atas dasar fikiran, orang telah
menyusun suatu alam semesta yang sesuai dengan kehendak fikiran, yang memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ditetapkan oleh fikiran. Di dalam alam semesta yang
demikian itu, adanya subyek dan obyek merupakan faktor-faktor yang penting. Di
sini pengertian-pengertian ruang, waktu dan musabab tidak dianggap sebagai
hal-hal yagn subyectif, sebab itu memenuhi prinsip-prinsip universil dari fikiran.
Bilaman orang dalam mengikuti pandangan Monisme
yang Murni tidak begitu mengerti mana yang sama dan mana yang berbeda, maka di
sini (yaitu dalam mengikuti pandangan Idealisme yang obyektif) ia akan
memperoleh pengertian yang lebih terang, Dikatakan bahwa :
Dunia telah bertumbuh dari sesuatu yang satu dan
Sama menjadi hal-hal yang berbeda satu dengan lainnya. Maka dari itu persamaan
dan perbedaannya tidak dapat dipisah-pisahkan. Tuhan merupakan dasar yang
terdalam yaitu dasar persamaan; sedangkan dunia adalah bentuk luarnya, yaitu
tempat di mana dipancarkan Kesadaran yagn mula-mula hanya ada di bagian
terdalam.
Pengikut-pengikut monisme yang murni tidak dapat
menerima adanya Tuhan yang demikian itu. Sebab, menurut teori mereka, Tuhan
semacam itu justru merupakan kemunduran ini hanya selangkah saja, artinya di
mana interval yagn memisahkannya dari keberadaaan yang Murni atau kemutlakan
itu adalah sekecil-kecilnya. Jadi lalu merupakan hasil dari awidya yang
terpisah dari widya oleh interval yagn sekecil-kecilnya.
Dengan perkataan lain, Tuhan yang konkrit ini
merupakan hasil tertinggi dari kecerdasan manusia. Tetapi sayangnya iayalah
bahwa sekali pun “Tertinggi”, tetapi toh tetap masih merupakan “hasil” saja.
Sedang kecerdasan kita, sekalipun sudah berdekatan sekali dengan widya, toh
masih belum merupakan widya. Tuhan seperti yang digambarkan ini, mengalami
keberadaan tingkat Maximum, sedang kekurangannya adalah minimum sekali. Tetapi,
bagaimana pun juga, toh masih ada kekurangannya. Sekali tersentuh oleh kekuatan
maya yagn sekecil-kecilnya, sekali mundur dari keberadaan yang sempurna, maka
terlemparlah Tuhan ke dalam ruang dan waktu, sekali pun ruang dan waktu ini
masih berdekatan sekali dengan ke tidak terbatasan dan keKekekalan yang mutlak.
Di sini yang mutlak berubah menjadi Tuhan Pencipta Alam Semesta yagn sekarang
berada di dalam sesuatu ruang (entah ruang mana), dan yang dari “bagian dalam”
menggerakkan segala sesuatu tanpa beralih tempat. Dengan demikian Tuhan
mencerminkan kemutlakan yang sudah di objectivir, artinya dibuat jelas bagi
pengertian manusai dengan ditempatkan-Nya disesuatu ruang dan dengan
digambarkan-Nya sebag “Sesuatu”, yaitu sebagai Jiwa/roh yang masuk ke dalam
segala sesuatu/ Jiwa/roh ini adalah Brahmanmaya, ada dan tidak ada, obyek dan
subyek, kekuatan abadi, Penggerak yang tak bergerak menurut Aritoteles, Diri
yang Mutlak menurut Hegel, wisyistadwaita (absolut dan relatif) menurut
Ramanudja, baik causa Efficiens mau pun Causa Finalis dari alam semata. Dunia
itu tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, oleh karena kekuatan
yang diberikan oleh Tuhan mustahil mempunyai permulaan, dan juga musthil akan
pernah berakhir. Memang sudah menjadi sifat hakekat-Nya, bahwa Tuhan tidak
pernah berhenti atau pun beristirahat.
Tidak usah diragu-ragukan lagi, bahwa gambaran di
atas ini merupakan konsep tertinggi yagn dapat dicapai oleh pikiran manusia.
Bilmana kita mengikuti pikiran kita sampai ke “ujung-ujung”-nya, di mana
intelek kita selalu berusaha untuk mempersatukan segala sesuatu yagn ada di
dunia ini, dan berusaha amenciptakan synthesis antara hal-hal yang berlawanan,
maka akhirnya kita akan memperoleh suatu konsep yang sifatnya adalah antara
“ada dan tidak ada”, atau merupakan kombinasi antara kedua-duanya. Dan konsep
ini telah kita peroleh setelah kita mengepres (dengan paksaan) segala sesuatu
ke dalam suatu “keseluruhan”. Di dalam hal ini, Filsafat mempunyai corak yang
constructif, dan karenanya, Filsafat lalu bersifat positif dan berfungsi
Synthetis.
Pun di sini, pemahaman yagn berdasarkan logika dan
“permainan abstraksi”, melarang kita masuk ke dunia kekonkritan, padahal hanya
di dalam dunia yang konkrit abstraksi-abstraksi itu dapat hidup dan bergerak.
Bilamana ada hal-hal yang kurang logis, sehingga sukar untuk dipahaminya, maka
ratio manusia lalu mencari jalan keluar, Dengan berpangkal pada dunia
pengalaman, pikiran menusia mencari
jalan dan naik sampai tercapainya prinsip ke-Tuhan-an. Dan setelah
dengan jalan dmeikian, orang menemukan konsep mengenai keseluruhan, maka
turunlah kembali pikirannya, untuk meneliti detail-detailnya, dan meninjau
kembali bagian-bagian dari keseluruhannya itu. Tetapi segala macam dogmatisme
di dalam lapangan logika, yang bagaimana pun besarnya juga kepercayaannya akan
kekuatan akal, akan berhenti pada konsep mengenai dunia ini, tanpa mengharapkan
hasil yang lebih dari itu. Dan kalau orang sudah ragu-ragu akan kemutlakan
pikirannya, maka timbul lah kesulitan-kesulitan. Orang mulai bertanya : Apakah
adal larangan, bahwa pengetahuan kita disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
dari akal yang menurut sifatnya ingin “mempersatukan dan memisah-misahkan”
segala sesuatu. Barangkali kalau ada akal yang sifatnya lain (jadi yang tidak
ingin mempersatukan dan memisah-misahkan segala sessuatu), dibutuhkan pula
pengetahuan yang laind aripada pengetahuan kita sekarang. Pada hemat kita ,
semua pengetahuan it sama saja bentuknya. Tetapi kalau ada kritik-kritik yang
membantahnya, sukar juga untuk membela pendapat itu. Betul, konsep kita
mengenai Kenyataan itu mungkin dianggap benar oleh pikiran kita, tetapi
bagaimana mungkinnya menggambarkan Kenyataan dengan pikiran, di mana Kenyataan
itu tidak identik dengan pikiran? (Kita toh juga tidak dapat mengganbarkan
kambing dengan sapi, satu kambing 1/3 sapi?. Pen). Dan kalau kita mengepres
semua konsep ke dalam satu konsep saja, itu belum berati bahwa kita lalu sudah
mengatasi semua konsep. Kita masih bisa membela “Ya, tetapi dengan demikian
kita lalu tahu hubungannya antara konsep yagn satu dengan yang lain! Tetapi ini
pun akan dijawab dengan “Ada atau tidak adanya hubngan itu ditetapkan oleh akal
kita. Mungkin di antara hal-halnya sendiri (yang kita konsepkan) itu tidak ada
hubungannya sama sekali. Hubungan-hubungan itu hanya terdapat pada akal, sebab
akal inilah yagn selalu menghubung-hubungkan. Dan bagaimana pun cerdasnya
sesuatu akal, hingga dapat menemukan hal-hal yang bukan-bukan, akal itu toh
tetep akal manusia biasa saja.”
Teori dari Monisme yagn dimodifikasikan sebagaimana
telah digambarkan di atas, diterima oleh beberapa Upanisad dan oleh
Bhagawatgita, oleh beberaa penganut Budhhisme dan oleh Ramanuja, dan mungkin
juga oleh Badarayana. Di Barat pendpat semacam itu kita jumpai pada Aristotele
dan Hegel.
Menurut pendapat Non Dualisme atau Adwaitisme,
Ke-Beradaan yagn sempurna itu, sifatnya adalah nyata, sedang perubahan-erubahan
yagn tidak nyata itu merupakan fakta-fakta. Tetapi mengapa demikian halnya
mereka tidak tahu. Menurut pandangan Monisme yang Murni, perubahan-perubahan di
dunia itu adalah suatu penceburan (precipitation) dari ke-Beradaan yagn Murni
ke dalam ruang dan waktu, akrena terdorong oleh kekurangan-kekuarangan yang
ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan. Menurut pandangan Monisme yang
dimodifikasikan, hasil tertinggi yang dapat kita peroleh adalah suatu synthesis
yang berupa Tuhan, Yaitu suatu synthesis antara ke-Beradaan yang Murni dan
ke-Tidak Berada-an.
(4)
Dengan demikian Logica seakan-akan memaksa kita
untuk memperkuat adanya bermacam-macam tingkat Kenyataan. Bilamana kita menolak
konsep mengenai Ke-Beradaan yang Murni karena tidak dapat dipergunakan di dalam
dunia pengalaman ini, dan kita menolak juga ide mengenai Tuhan Pencipta Alam
Semesta karena tidak logis, maka lalu hanya tinggal perubahan-perubahan saja,
yang banyak sekali jumlahnya dan yang masing-masing senantiasa hendak
berubah-ubah lagi menjadi sesuatu lain.
Maka lalu tercapailah prinsip pokok dari Buddhisme. Yaitu bahwa atas dasa
hypothesis dari Monisme yang dimodifikasikan , corak/watak khusus dari
bermacam-macam tingkat sebagaimana terdapat di dunia ini, harus diukur menurut
jarak yang memisahkannya dari Kenyataan yang sempurna. Semuanya ini mempunyai
persamaan, yaitu bahwa semuanya saja terikat pada ruang dan waktu. Tetapi kalau
masing-masing itu kita perhatikan dari jarak yang lebih dekat, maka kita akan
menemukan makin banyak tanda-tanda yang khusus. Kalau kita sekarang menerima
adanya perbedaan antara kenyataan-kenyataan yang berpikir (Thinking reals) dan
obyek-obyek yang tidak berpikir (unthinking object), maka kita akan sampai pada
kefilsafatan dualistis dari Madwa. Ini pun pada dasarnya adalah suatu Monisme, selama
kenyataan-kenyataan itu masih dianggap tergantung (paratantra) padsa Tuhan, dan
selama Tuhan ini masih dianggap sebagai satu-satunya yang berdiri sendiri dan
tidak tergantung pada siapa atau apa pun juga (swatantra).
Sebaliknya kalau kita menitik beratkan, bahwa
mahluk-mahluk yang berpikir itu tidak tergantung pada siapa atau apa pun juga,
meka kita lalu sampai pada Pluralisme yang dianut oleh Samkhya, asal adanya
kita di sini dengan mengusik-usik tentang adanya Tuhan, yang toh tidak dapat
dibuktikan. Kalau sekarang masih ditambahkan adanya obyek-obyek di dalam jumlah
yang jamak/banyak (Pluralisme), maka kita sampai pada Realisme yang
Pluralistis, di mana Tuhan Pun dianggap sebagai salah satu diantara
kenyataan-kenyataan lainnya, Sekali pun Tuhan ini lebih luhur dan lebih
berkuasa daripada lainlainnya.
Dalam membicarakan tentang tingkat-tingkat
kenyataan yang berbeda-beda, agaknya masing-masing ahli Filsafat mempunyai
pendapatnya sendiri-sendiri mengenai bagaimana coraknya “Kekhususan” yang
terdapat pada tiap-tiap hal. Dan apakah sesuatu system itu menuju ke Atheisme
atau ke Theisme, hal itu sma sekali tergantung pada banyak sedikitnya perhatian
yagn dicurahkan pada ada atau tidak adanya sesuatu yang Mutlak sebagai pihak
yang mengawasi/melindungi permainan drama alam semesta. Kadang-kadang suatu
system memang menjadi kilau kemilau kalau pusat perhatiannya disinarkan pada
Tuhan, tetapi kadang-kadang juga malahan menjadi kabur. Maka dengan demikian
ada bermacam-macam jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam ia menyatakan
reaksinya terhadap persoalan-persoalan di dunia ini, dan jalan yang dipilihnya
itu sudah tentu harus sesuai dengan pikirannya sendiri.
Di dalam alam pikiran India benar-benar dapat
dikatakan adanya : Harmoni (keselarasan) antara Tuhan dan manusia. Jadi tidak
seperti di Barat, di mana perbedaannya malahan agak menonjol.
Menonjolnya perbedaan itu nampak pada
mythologi-mythologi. Mytho mengeneai Promotheus yagn dianggap sebagai pembela
umat manusia (oleh karena ia berusaha membela nasibnya terhadap usaha Zeus
untuk memusnahkan jenis manusia dengan makhluk jenis lain), juga cerita tentang
Hercules yang dengan bekerja berat berdaya upaya untuk menghindarkan kemusnahan
dunia, atau pun konsep mengenai Kristus sebagai “Putra Manusia” (Son of Man),
semuanya menunjukkan bahwa manusia itu dijadikan pusat perhatian orang Barat.
Memang benar, bahwa Kristus juga disebut Putera Tuhan, yaitu Putera tertua yang
harus dikorbankan untuk meredakan amarah Tuhan. Tetapi bagaimana pun juga, yang
hendak saya tandaskan di sini yaitu bahwa : Di dalam kebudayaan barat terdapat
suatu kecenderungan pokok untuk mengemukakan adanya oposisi antara manusia dan
Tuhan, dimana manusia melawan kekuasaan Tuhan dan “Mencuri api-Nya” (di sini
penulis menunjukkan pada Promethous yang menccuri apai dari Zeus, yaitu api
yang hendak dipergunakan untuk membasmi umat manusia, Pen) dalam membela
nasibnya sendiri.
Menurut Anggapan orang India :
Adanya manusia itu adalah karena Tuhan. Karena
pengorbanan Tuhan lah dunia seluruhnya itu dapat berujud seperti yang kita
saksikan ini.
Di dalam Purusa Suktadikemukakan adanya
“Pengorbanan abadi” yang dilakukan oleh Tuhanuntuk dapat memelihara manusia
serta dunia. Di dalam Purusa Sukta tersebut, dunia seluruhnya itu digambarkan
sebagai sesuatu yang luasnya serta besarnya tidak ada bandingnya, dan yang
menjadi “hidup” karena digerakkan oleh sesuatu roh/Jiwa. Di dalam Substansi
Roh/Jiwa ini sudah terkandung segala macam bentuk hidup. Yang memegang peranan
utama di dalam alam pikiran India, yaitu yang memberi warna pada kebudayaannya,
dan yang memberi bentuk. Ujud pada pikiran-pikirannya, adalah : Corak
kerohaniannya/kejiwaannya.
Yang dijadikan dasar dari Sejarah Kebudayaan India adalah
pengalaman-pengalaman di dalam lapangan kerohanian/kejiwaan. Pada khususnya,
pengalaman-penglamana ini adalah suatu : Mysticisme. Bukan Mysticisme di dalam
arti mempergunakan kekuatan-kekuatan gaib melainkan semata-mata suatu desakan
untuk menundukkan sifat-sifat manusia akepada suatu disiplin yang akan membantu
manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dalam lapangan
kerokhanian/ Kejiwaan.
Dimana kitab-kitab dari Kaum Yahudi dan kaum
Nasrani itu banyak menunjukkan coraknya yang religius dan Ethis, di dalam
kitab-kitab suci dari orang-orang Hindu itu lebih nampak corak
kerohaniannya/kejiwaannya, sedang di samping itu ada pula desakan untuk
mengikat hidup manusia pada disiplin keagamaan. Sehingga menurut kenyataannya.
: Satu-satunya hal yang benr-benar hidup di India adalah ke Beradaan Abdai dari
Tuhan.
Di dalam proses perkembangan dari kefilsafatan mana
saja, pada akhirnya tentu akan tercapai suatu anggapan bahwa segala sesuatu
yagn nyata itu tidak dapat bertentangan dengan dirinya sendiri (Self
contradictory). Menurut Sejarah Filsafat, dibutuhkan waktu yang lama, sebelum
manusia menyadari pentingnya anggapan yang demikian itu serta mempraktekkannya
dengan penuh keyakinan. Tanpa menyadarinya betul-betul, maka sesuai dengan apa
yang tertera di dalam Reg Weda, orang India menganggap pengetahuan itu sebagai
bernilai. Kemudian setelah tercapai tingkatan Upanisad, muncullah
persoalan-persoalan yang dialecttis dan dirasakan adanya kesulitan-kesulitan
yagn timbul dari pengetahuan. Di sini nampak adanya usah-usaha untuk memberi
batas-batas pada pengetahuan manusia dan untuk memberi tempat kepada intuisi.
Tetapi usaha-usaha ini dilakukan dengan cara ygn semi filosofis (jadi tidak 100% filosofis). Dan sewaktu orang
mulai meragu-ragukan kekuatan dari akan, maka munculllah scepticisme, dan
muncul pula kaum materialist serta kaum nihilist (Kaum Nihilist adalah mereka
yang hendak meruntuhkan segala macam keyakinan yang dimiliki oleh manusia,
Pen). Karena menyetujui apa yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad, yaitu
bahwa kenyataan yang tidak nampak itu tidak dapat dipahami denganintelek yang
bersenjatakan Logica, maka Buddhisme lalu memperkkuat ajaran yang mengatakan
bahwa : “Dunia yang nampak ini bukanlah merupakan suatu kenyataan. Bagi Kaum
Bidhhist, adanya pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu memang
suatu hal yang sudah sewajarnya, sedang dunia pengalaman itu menurut mereka
semata-mata merupakan tekanan (tension) yagn ditimbulkan oleh
pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan itu. Manusia tidak dapat
mengetahui apakah masih ada hal-hal lain di samping apa yang ada di sekitar
kita ini, sedang apa yang ada ini tidaklah merupakan kenyataan karena
mengandung pertentangan-pertentangan terhadap dirinya sendiri (self
contadictory).
Konklusi yagn demikian ilah yagn akhirnya dicapai
di dalam perkembangan Buddhisme.
Di dalam teori Nagarjuna dinyatakan bahwa pandangan
yang terdapat di dalam Upanisad-upanisad itu mempunyai kedudukan yang central
(menduduki tempat pusat). Pernyataan Nagarjuna ini di sandarkan atas
dasar-dasar yang logis. Dan pandangan yang dikatakan mempunyai kedudukan yagn
central itu adalah demikian :
Kenyataan
itu ada, sekali pun kita tidak dapat mengenalnya atau mengetahuinya. Dan segala
sesuatu yang kita ketahui itu tidaklah nyata, sebab tiap-tiap usaha untuk
menafsirkan dunia ini sebagai “Systemn yagn masuk akal” pasti akan gagal,
Pandangan yang demikian ini sduah abrang tentu
mendorong timbulnya kritik-kritik yagn meremehkan kekuatan akal, dan
kritik-kritik ini dilancarkan dengan penuh keyakinan. Di katakan bahwa :
Pikiran itu sifatnya bertentangan dengan dirinya sendiri (Self Contradictory),
atau bahwa pikiran itu tidak mencukupi.
Berbedalah jawaban-jawaban yang diberikan atas
pertanyaan : “Mengapa pikiran itu tidak mampu untuk menangkap kenyataan?” Ada
yang menjawab :
1.
Karena Pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian
saja dan tidak mengenai keseluruhan.
2.
Karena strukturnya memang kurang sempurna, atau
karena sifatnya memang sudah bertentangan dengan dirinya sendiri.
Sebagaimana
telah kita lihat,a da juga pihak-pihak yang mempertahankan bahwa Kenyataan itu,
sifatnya rational, tetapi dengan catatan bahwa Kenyataan itu bukan ratio
semata-mata (melainkan lebih dari itu). Sehingga ratio manusia itu tidak akan
mampu untuk menangkap Kenyataan seluruhnya. Jadi yagn merupakan Kenyataan itu
adalah lebih daripada yang dapat diberi tahukan oleh pikiran/akal.
Pikiran itu memberikan kepada kita suatu
pengetahuan mengenai Kenyataan. Jadi melulu suatu pengetahuan saja, dan bukan
Kenyataannya sendiri.
Ada pihak lain yagn merasa bahwa yagn disebut
“Kenyataan” itu sifatnya sama sekali sesuai dengan dirinya sendiri (self
Consistent), sedang yang disebut “Pikiran” itu sifatnya bertentangan dengan
dirinya sendiri (Self Contradictory). Bekerjanya pikiran itu selalu didasarkan
atas adanya subyek dan obyek, sedang Kenyataan yang mutlak itu adalah sesuatu
di mana akedua antithesis tersebut sudah hapus. Pikiran yang bagaimana pun juga
konkritnya, artinya pikiran yagn sudah berusaha mati-matian untuk mengkombinasikan
“Kejamakan” sampai menjadi “Kesatuan” itu toh masih tetap abstrak saja, sebab
sifatnya memang bertentangan dengan dirinya sendiri. Maka apabila kita hendak
menangkap kenyataan, pikiran kita harus dilenyapkan lebih dahulu.
Sehubungan dengan hypothesis yagn menyatakan bahwa
pikiran itu hanya mengenai bagian-bagian saja, dan tidak mengenai keseluruhan,
orang mengemukakan : “Apa yang kita tangkap dengan jalan pikiran itu tidak
bertentangan dengan Kenyataan, tetapi itu hanya menyampaikan kepda kita
sebagian saja dari kenyataan. Pandangan-pandangan yang menegnai bagian-bagian
itu saling bertentangan oleh karena hanya mengenai bagian-bagian saja.
Pandangan-pandangan demikian dapat benar juga, asal diingat bahwa kebenarannya
itu hanya terbatas pada bagian-bagian saja, jadi tidak merupakan seluruh
kebenaran.”
Dari hypothesis ygn kedua, yaitu yang menyatakan
pikiran tidak mampu untuk menangkap Kenyataan karena strukturnya memang kurang
sempurna, atau karena sifatnya memang sudah bertentangan dengan dirinya
sendiri, orang sampai pada suatu pendapat bahwa Kenyataan itu dapat ditangkap dengan : Sejenis perasaan
atau intuisi.
---------------------------------------------
Catatan Penulis :
Bandingkanlah dengan Bradley yang mengatakan bahwa
kita dapat mencapai sampai pada Kenyataan dengans ejenis perasaan, dan Mc.
Taggart yang menganggap Cinta.kasih sayang sebagai cara yang paling memuaskan
mencerminkan kenyataan yang Mutlak.
------------------------------------------------------
Juga pendapat yang pertama tadi mendesakkan supaya
pikiran kita ditambah dengan perasaan, bilamana kita masih inging menangkap
Kenyataan yang lengkap.
Dengan demikian orang India agaknya membutuhkan
sesuatu unsur lain untuk ditambahkan pada pikiran, dan ini disarankan dengan
adanya istilah Darsjana yang berarti sesuatu system kefilsafatan atau sesuatu
Syastra (Ajaran).
Istilah Darsjana itu berasal dari perkataan Darsj
yang berarti “melihat”. Dengan “Penglihatan” ini dapat didmaksudkan suatu
pengawasan yagn dilakukan dengan pancaindra, dapat juga suatu pengetahuan yagn
didasarkan atas konsep-konsep pikiran, dan dapt juga suatu pemadnangan yang
dalam yagn diperoleh dengan jalan intuisi. Darsj dapat berarti menyelidiki
fakta-fakta, menyelidiki dengan mempergunakan dasar-dasar logica, atau memperoleh
pemandangan yang dalam dengan perantaraan roh/jiwa. Pada umumnya, darsjana itu
berarti pembahasan yang kritis, pemeriskaan dengan mempergunakan dasar-dasar
logica atau pun System. Tetapi sewaktu pikiran-pikiran yang filosofis masih
berada pada tingkat pendahuluan (artinya belum mengalami
perkembangan-perkembangan lebih lanjut), yaitu sewaktu filsafat masih banyak
didasarkan atas intuisi melulu, tidak pernahlah perkataan Darsjana dipergunakan
di dalam arti sebagaimana diuraikan di atas tadi. Hal ini menunjukkan bahwa
darsjana bukanlah intuisi, sekali pun mungkin banyak pertaliannya dengan itu.
Barangkalai darsjana itu memang dimaksuddkan untuk menujuk pada :
Suatu System yang telah didperoleh dengan jalan
intuisi dan yang kemudian diberi dasar-dasar yang logis.
Di dalam system-system Monisme yang extrem,
Filsafat membuka jalan bagi tercapainya pemandangan yang dalam dengan jalan
intuisi, karena di situ digambarkan bagaimana lemahnya kekuatan dari pikiran
manusia. Di dalam system-system Monisme yang tidak extrem, dimana kenyataan itu
digambarkan sebagai suatu keseluruhan yang konkrit, Filsafat paling berhasil
untuk memberi gambaran tentang kenyataaan yang memenuhi angan-angan manusia.
Tetapi bagaimana pun juga, yang disebut Kenyataan
itu itu jauh melebihi/mengatasi katagori-katagori yang dikenal oleh manusia.
Menurut Monisme yagn extrem, hanya suatu pemandangan yang dalam yagn kita
peroleh dengan jalan intuisi, dapat menyampaikan kepada kita betapa penuhnya
dan lengkapnya apa yang disebut Kenyataan itu. Sedang menurut Monisme yang
konkrit, yagn dapat menyampaikan itu adalah suatu penglihatan yang dalam
(Insight) dimana pengetahuan manusia sudah bercampur gaul dengan
perasaan-perasaan dan emosi. Dikatakan bahwa dengan mempergunakan konsep-konsep
pikiran, orang tidak dapat memperoleh kepastian seperti dengan jalan
“mengalami”. Sekali lagi saya ulangi, bahwa suatu pendapat atau pandangan yang bagaimana pun
juga logisnya, hanya diterima sebagai benar, bilamana dapat bertahan terhadap
ujian-ujian hidup.
Pengertian yang diberikan oleh perkataan Darsjana
itu memang samar-samar, sebab dengan istilah itu tidak saja dilukiskan
pembelaan yang dealectis sebagaimana dilakukan oleh Monisme yagn extrem, tetapi
juga kebenaran intutionil (kebenaran yang diterima atas dasar intuisi) yagn
menjadi dasar dari pembelaan itu. Filosofis, Darsjana di sini berarti menguji
kekuatan intuisi dan mempropagandakannya dengan mempergunakan dasar-dasar
logica. Malahn di dalam system-system lainnya, darsjana itu berarti menguji
logis tidaknya suatu uraian pembelaan terhadap kebenaran yagn telah diperoleh
atas dasar konsep-konsep pikiran, dengan atau pun tanpa bantuan intuisi. Dengan
demikian maka darsjana itu menguji segala pandangan saja yang dimiliki oleh
manusia dalam ia hendak menggambarkan kenyataan. Dan apabila yang disebut
Kenyataan itu hanya Satu, maka segala macam pandangan yang menggambarkan
Kenyataan yang satu itu, tentunya harus “Sesuai dan sepakat” satu dengan
lainnya. Di dalam padnangan-pandanganitu tidak boleh ada sesuatu yagn terselip
di situ secara kebetulan saja, melainkan masing-masing harus mencerminkan sudut
pandangnya sendiri-sendiri dalam meninjau kenyataan yang satu itu. Dan setelah
orang mengumpulkan semua sudut-sudut pandangan yagn saling berbeda itu
(berbedanya disebabkan karena masing-masing memotret Kenyataan yang Satu itu
dari lain sudut) untuk dipertimbang-timbangkan secar mendalam, maka gambaran
tentang Kenyataan yang kemudian deiberikan dengan dasar-dasar Logica, adalah
setingkat lebih tinggi. Tetapi setelah ia menyadari bahwa kosnep-konsep pikiran
itu tidak mampu untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai Kenyataan, maka
ial lalu mencoba untuk menangkap Kenyataan dengan jalan intuisi, dimana ide-ide
yang didasarkan intelek kehilangan perannya. Di sinilah orang berhadapan dengan
Monisme yagn extrem did alam keadaan yang
semurni-murninya. Tetapi dari sini mereka kembali lagi menggambarkan
Kenyataan menurut Logica pikiran, kembali lagi mereka mempertimbang-timbangkan
detil-detilnya dengan hanya maju melangkah demi selangkah. Hasil dari
pertimbangan-pertimbangan ini, mereka nyatakan di dalam system-system yang
beraneka warna itu. Dan kalau di dalam hal yang terakhir ini orang
mempergunakan istilah darsjana, maka itu berarti suatu pembahasan ilmiah yang
ditujukan untuk menggambarkan Kenyataan. Inilah enaknya mempunyai perkataan
yang samar-samar; satu perkataan saja sudah dapat melukiskan bermacam-macam inspirasi
kefilsafatan yagn serbag kompleks itu.
Suatu darsjana adalah suatu “Pengnangkapan dengan
perantaraan roh/jiwa kita” suatu pemandangan yang lengkap lalu menampakkan
diri, pada mata jiwa/mata roh (soulsense). “Pandangan jwia” ini, juga hanya
dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar merasakan filsafat di dalam
cara hidupnya, (di India) menjadi : “Tanda yagn membedakan ahli filsafat yagn
sebenarnya dari lain-lainnya.
Dengan demikian maka yang dapat mencapai
hasil-hasil tertinggi di dalam fislafat, itu hanyalah : Mereka saja yang pada
dirinya sendiri sudah berhasil lebih dahulu untuk mensucikan roh/jiwanya.
Penyucian ini harus dapat dilakukan, setelah orang
menerima adanya kekuatan lain yagn amsih tersembunyi di dalam ddirinya. Dan ini
abru diyakini, setelah ia benar-benar menemukan kekuatan itu, yang memungkinkan
dia untuk memeriksa serta memahami hidup seluruhnya. Karena adanya sumber
yang “dalam” ini, maka seorang ahli
Filsafat dapat mengajar pada kita tentang kebenaran hidup. Yaitu suatu
kebenaran yang tidak dapat ditemukan dengan mellu mempergunakan intelek. Dan pandangannya
mengenai hidup itu, boleh dikatakan timbul dengan sendirinya. Laksana buah yang
tumbuh dari sekuntum bunga, atas dasar suatu kekuatan gaib yagn dicari oleh
manusia dengan bermacam-macam jalan.
Sebelums eseorang yang mencari kebenaran itu dapat
mulai dengan penyelidikan-penyelidikannya, ia lebih dahulu harus smemenuhi
syarat-syarat pokok tertentu. Di dalam komentar yang ditulis oleh Syamkara
mengenai “Sutra” (buku penuntun) pertama dari Sutra-Sutra Wedanta, ia
mengatakan bahwa setiap siswa yang mempelajari filsafat harus memenuhi 4 macam
syarat, yaitu :
1.
Ia harus tahu adanya perbedaan yang abadi dan yagn
tidak abadi. Ini tidak berarti bahwa ia harus mempunyai pengetahuan yang
lengkap mengenai itu, sebab pengetahuan yang demikian tentunya baru dapat
diperoleh pada akhir-akhir penyelidikannya. Yang dimaksudkan hanyalah bahwa ia
harus mempunyai kecenderungan yang metaphyssis, artinya janganlah ia menerima
begitu saja atau menganggap segala sesuatu yagn dilihatnya itu sebagai “nyata
secara mutlak”. Jadi supaya pada setiap saat si penyelidik itu sudah siap-sial
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya sendiri, Ia harus :
1.
Mempunyai jiwa yang bersedia untuk memeriksa serta
menguji segala sesuatu dengan ketelitian;
2.
Mempunyai kekuatan untuk membayang-bayangkan
(imagination) mana yang benar dan mana yang tidak, dan membayang-bayangkan
kebenaran apa yang dapat di abstraksikan dari kejadian-kejadian yagn nampaknya
tidak berhubungan satu dengan lainnya.
3.
Mempunyai kebiasaan untuk bersemdi, sehingga
pikirannya tidak akan terbuang-buang karena melayang ke tempat-tempat yagn
bukan menajdi tujuannya.
2.
Ia harus dapat mengekang keinginan-keinginannya
akan melihat buah-buah dari usahanya, baik mengekang untuk hidupnya sekarang
maupun untuk hidupnya di masa depan.
Di sini orang harus menjauhkan diri dari :
1.
Segala macam keinginan, sampai juga keinginan yang
hampir-hampir tak berarti;
2.
Alasan-alasan perseorangan;
3.
Kebutuhan-kebutuhan praktis.
Tujuannya
tak lain ialah menyelidiki apakah pikirannya dapat mencerminkan keadaan yang
sebenarnya.
Bagaimanakah
seseorang dapat mempergunakan inteleknya sebaik-baiknya? Tidak lain, ia harus
benar-benar memahami segala sesuatu yang baik maupun yang buruk. Seorang ahli
Filsafat adalah seorang naturalis, artinya ia harus mengikuti segala kejadian
tanpa menonjol-nonjolkan kebaikannya atau pun meremehkan keburukannya atas
dasar prasangka sendiri. Ia haruss berdiri “di luar hidup”, dan dari situ ia
meninjau hidup. Mereka dikatakan bahwa orang yang demikian tidak boleh
menyayangi baik masa sekarang mau pun masa depan. Setelah itu, barulah ia dapat
berpikir dengan erang, dapat menilai dengan kesungguhan hati, dan dapat
memperoleh suatu pandangan cosmis yagn tak terikat pada perasaan-perasaan
perseorangan, sedang perhatiannya terpusatkan pada faktanya melulu. Untuk
mencapai tingkat ini, ia lebih dahulu harus menyesuaikan suasana hatinya,
sebagaimana diminta oleh syarat yagn ke tiga.
3.
Ia harus :
1.
Mempunyai hati yang tenang.
2.
Menguasai dirinya sendiri.
3.
Membelakangkan dan rela mengorbankan kepentingan
dirinya sendiri,
4.
Sabar
5.
Tenteram pikirannya.
6.
Beriman/Berketeguhan batin.
Hanya dengan
jiwa yang terlatih, yang menguasai seluruh raga.jasmani dengan 100%, orang
dapat melakukan penyelidikan-penyelidikan dan melakukan semadi/perenungan
dengan tiada hentinya (selama masih hidu). Tak sesaat pun obyeknya akan hilang
dari pikirannya, dan tak sesaat pun perhatiannya akan tergoda oleh
keinginan-keinginan keduniawian. Seorang pencari kebenaran harus berani
mengorbankan segala-galanya untuk mencapai tujuannya yang tertinggi. Maka diperlukan
sekali bahwa ia :
1.
Menundukkan
dirinya pada suatu discipline yagn keras.
2.
Menjauhkan
dirinya dari kesenangan-kesenangan.
3.
Menderita
kesedihan, dan
4.
Tahan terhadap
penghinaan-penghinaan.
Dengan adanya disiplin kejiwaan yang juga
mengandung suatu ujian tanpa rasa sayang terhadap dirinya sendiri, maka si
pencari kebenaran dapat sampai pada suatu tingkat di mana kebebasannya akan
berakhir (end of Freedom).
4.
Sebagai syarat ke-4 dikemukakan bahwa siswa yang
mempelajari Filsafat harus mempunyai hasrat besar untuk mencapai moksa atau
pembebasan. Orang yang jiwanya sudah “bersuasana metaphysis”, yang telah
melepaskan segala macam keinginannya dan telah menjalani nya dan telah
menjalani latihan-latihan seperti tersebut di atas tadi, hanya memiliki satu hasrat
besar, yaitu untuk mencapai “Titik Akhir” atau “Tingkat Abadi”.
------------------------
Rakyat India itu sedmeikian besar rasa hormatnya
terhadap para ahli Filsafat yagn cemerlang dalam mempergunakan daya pengetahuan
serta inteleknya, hinggga mereka benar-benar memuja tinggi ahli-ahli filsafat
itu. Nabi-Nabi ini, yagn dengan rasa setia akan kebenaran berusaha keras untuk
memahami rahasia-rahasia dunia dan untuk merumuskannya, yang siang malam
memeras peluhnya, benar-benar mencerminkan istilah “Ahli Filsafat” di dalam
artinya yangpokok. Demi kepentingan umat manusia, mereka menarik pelajaran dari
hal-hal yang dialaminya. Maka dari itu jgua tidak mengherankan bahwa untuk
selama-lamanya, makhluk yang berjenis manusia akan tetap berterima kasih pada
mereka.
Corak kebangsaan lain yang terdapat di India,
berupa : “Pemujaan/penghormatan terhadap masa yang lampau.
Di sana nampak adanya semnagat untuk mempertahankan
hal-hal yang lama, dari abad ke abad dengan kesetiaan yang berlebih-lebihan.
Apabila orang India menghadapi sesuatu kebudayaan baru atau pun suatu
pengluasan pengetahuan yagn datang mendadak, ia tidak akan menyerah begitu saja
pada kehendak hatinya pada saat itu, melainkan ia akan berpegang erat pada
kepercayaannya yagn treadisionil, dan ia akan berusaha untuk memasukkan yang
baru ke dalam yang lama. Adanya “Liberalisme yang conservatife” ini menjadi
pendorong dalam tercapainya hasil-hasil yang gemilang di lapangan kebudayaan
dan peradaban India. Di antara akebudayaan-kebudayaan tinggi yang terdapat pada
jaman Kuno, sekarang hanya tinggal kebudayaan India saja yang masih hidup.
Kejayaan dari peradaban/kebudayaan Mesir hanya dapat kita pelajari dan
laporan-laporan para ahli archeologi atau dari tulisan-tulisan Hieroglyphe yang ditinggalkan oleh orang-oran Mesir dari jaman
Kuno. Dari kerajaan Babylon yang dahulu mempunyai tokoh-tokoh yang luar biasa
pandainya di dalam lapangan ilmiah, irigasi dan tehnik, sekarang hanya tinggal
timbunan puing saja. Kebudyaan romawi yagn tersohor karena lembaga-lembaga politiknya
dan cita-citanya ke arah keadilan dan persamaan, sebagian bear boleh dikatakan
sudah termasuk/ masa yang silam. Sebaliknya peradaban/kebudayaan India yang
menurut taksiran paling sedikit sudah 4.000 tahun usianya, kini masih tetap
hidup di dalam bentuk-bentuknya yangpokok. Kebudayaan yang sudah bersinar sejak
jaman Weda itu, boleh di kata adalah muda dan tua sekaligus. Sudah
berulang-ulang terjadi, bahwa akebudayaan tersebut mengalami peremajaan, setiap
kali kalau perjalanan sejarah menghendakinya. Dan kalau sampai ada
perubahan-erubahan, maka perubahan-perubahan ini tidaklah disadari. Bagaimana
pun juga, setiap kali terjadi perubahan, maka katanya aitu hanya suatu
pemberian nama baru saja kepada cara berpikir yang lama. Di “Alam Reg Weda:
kita dapat membacanya, betapa besarnya perhatian orang-orang Arya yang menyerbu
dahulu (yang keyakinan-keyakinanya di dalam soal-soal keagamaan sangat
terkenal) akan konsep-konsep yang dimiliki oleh penduduk bumiputra. Di dalam
Weda Atharwa kita dapat melihat bahwa di samping Dewa-Dewa Langit dan Matahari,
Api dan Angin, sebagaimana dipuja oleh orang-oran Arya dari Gangga sampai
Hellespont, masih ditambah lagi Dewa-Dewa cosmis yang diperincinya tidak begitu
tegas. Upanisad-Upanisad dianggap sebagai peninggalan yang tetap berjiwa atau
lebih tepat : dianggap sebagai perwujudan dari sesuatu yagn sudah tercantum di
dalam nyanyian-nyanyian pujaan Weda. Orang mengatakan bahwa Bhagawadgita (di
blog yang sama ada Bhagawat Gita Bahasa Jawa). Menyebutkan secara
berturut-turut ajaran-ajaran yang tertera di dalam Upanisad-Upanisad. DI dalam
syair-syair kepahlawanan India, terdapat :
“Titik pertemuan antara konsep-konsep religius
terpenting yagn datang dari “laur” dan pemujaan terhadap keadaan alam
sebagaimana dilakukan pada jaman sebelum masuknya orang-orang “luar.”
Adanya rasa hormat dan pemujaan terhadap jaman
kuno, menggalang jalan bagi tercapainya hasil-hasil yang gemilang pada jaman
baru.
-------------------------------------------
Catatan Penulis :
Bandingkanlah denngan apa yang ditulis oleh Gilbert
Murray di dalam “Four Stages of Greek Religion: : “Pernyataan bahwa hal sesuatu
baru merupakan hal yang lama, adalah ciri umum yang menjadi tanda dari
pergerakan-pergerakan besar. Demikian dikatakan bahwa Reformasi itu adalah suatu pergerakan untuk
kembali ke-Kitab Injil, Pergerakan Evangeli di Inggris menyatakan hendak
kembali ke Injil, sedang pergerakan Gereja Tinggi (High Church) hendak kembali
ke Gereja yagn dulu-dulu. Unsur yang penting ini kita dapati pula di dalam
Revolusi Perancis, yaitu usaha terkuat di dalam sejarah manusia untuk
mematahkan ikatan-ikatan/tradisi-tradisi dari jama yang lampau, di mana orang
bercita-cita akan kembali ke “Kebajikan Republik Romawi” (Th. 510 – 27 sebelum
M.) ataupun kembali pada kesederhanaan – manusia yang sewajarnya.”
--------------------------------------------
Semangat yang lama tetap dipertahankan, sekali pun
tidak di dalam bentuk-bentuknya yagn lama. Kecenderungan ini, yaitu
kecenderugnan untuk mempertahankan type/pola yang sama, telah menimbulkan
sementara pernyataan yang ganjil sekali, sebab orang India dikatakan tidak
mobil (tidak suka “bergerak”). Padahal, pikiran oarng India itu tidak bernah
berhenti, sekali pun tidak dikehendaki patahnya ikatan-ikatan dengan jaman yang
lampau.
Adanya rasa hormat terahdap masa yang silam
menyebakan bahwa di dalam alam pikiran India terdapat continutit (kelangsungan)
yagn terus menerus, tanpa ada titi-titik berhenti. Abad yagn satu teriakt apda
abad yagn lain oleh suatu cinta saleh yagn terdapat di dalam hati sanubari
orang India. Kebudayaan Hidnu adalah buah yagn dihasilkan oleh
pergantian-pergantian abad, dan juga deikerjakan oleh breatus-ratus generasi.
Di antara generasi-generasi ini ada yang berbadan panjang, yang bekerja lambat
denga muka suram, tetapi ada pula yang
berbadan pendek, yagn bekerja cepat dengan muak berseri-seri. Masing-masing di
antara mereka ini telah menyumbangkan sesuatu kwalitet pada tradisi yang luhur
dan kaya itu, yang tetap masih hidup, walau pun juga mengandung tanda-tanda dari
msa lampau yang sudah mati. Jalan hidup yagn ditempuh oleh Filsafat India itu
diibaratkan jalannya iar yang meluncur berguling-guling dengan suka ria dari
sumbernya di antara puncak-puncak
pegunungan di sebelah Utara, yagn kemudian menderas melintasi lembah-lembah dan
padang-padang yagn teduh dengan menyerkap di dalam arusnya yagn perkasa itu,
aliran-aliran lain yang lebih kecil, sehingga akhirnya sekausa raja berjalanlah
ia dalam santun melewati negeri-negeri dan rakyat-rakyat yagn tersangkut paut
hart akekayaannya. Dengan nejinjing ribuan perahu di dlam pangkuannya. Siapa
gerangan yang tahu apakah dan kapankah arus yang super kuasa itu, yang kini
masih terus menerus mengalir dengan hiruk pikuk dan dengan kemauan yang penuh
rasa gembira, akan masuk ke dalam Samudra, yaitu ayah dari semua arus dan
aliran.
Dengan tiada perkecualian, semua ahli pikir India
menganggap keseluruhan dari Filsafat India, sebagai : “Satu system wahyu-wahyu
yagn saling susul menyusul secara terus menerus.
Mereka percaya bahwa tiap-tiap peradaban/Kebudayaan
itu sudah dengan sendirinya mengembangkan sesuatu pikiran yagn berasal dari
Dewa/Tuhan.
-------------------------------------------
Catatan Penulis :
Sifat pembawaan yagn terdapat pada setiap bangsa
ini, yaitu keyakinan bahwa yagn dilaksanakan dan diperkembangkan itu adalah
pikiran yang berasal dari Dewa/Tuhan, oleh orang Yunani deisebut “Sifat Asli”
(Nature), dan oleh Orang India disebut “Dharma”.
-------------------------------------
Di sini terkandung suatu teologi (filsafat yagn
mengajarkan bahwa segala kejadian di alam ini disebabkan dan ditentukan oleh
tujuannya atau causa finalisnya, Pen) Yang mengajarkan bahwa hidup tiap-tiap
bangsa itu berkembang menuju ke kesempurnaan) Mengenai hal ini ada berbagai
padnangan yang berbeda-beda, tetapi semuanya dianggap sebaga cabang-cabang dari
satu pohon. Pandangan yangsatu menempuh jalan yang salah, yang lain terbentur
pada jalan buntu, tetapi bagaimana pun juga, bersama-sama mereka akan menemukan
jalan raya yang menuju ke kebenaran. Antara kita dengan kita, caranya
mendamaikan ke enam system yang orthodox itu digambarkan sebagai seorang Ibu
yang menunjukkan bulan kepada anaknya dengan berkata “Liharlah lingkaran yang
bersinar di atas pohon itu!” Ini mudah sekali di tangkap oleh si anak, tanpa
juga menyebut-nyebut tentang jauhnya jarak yang memissahkan bumi dari bulan.
Sebab kalau itu disebut-sebut, akibatnya akan membingungkan si anak saja.
Demikian juga kalau kita mengikuti pandangan-pandangan yang berbeda-beda itu,
kita akan menjadi bingung, sebab tiap-tiap pandangan itu telah disesuaikan
dengan apa yang dapat dipahami oleh sekelompok manusia tentunya, masing-masing
dengan kelemahannya sendiri-sendiri.
Di dalam
Prabodhacandrodaya, yaitu sebuah drama (ceritera sedih) yagn coraknya
filosofis, dikatakan :
“Keenam system kefilsafatan Hindu itu tidak dapat
dilepaskan satu dari lainnya, tetapi dengan sudut pandangan yang berbeda-beda,
mereka bersama-sama mendukung kemegahan dan kebesaran Tuhan yag Satu dan yagn
tak terciptakan, Keenam-enamnya bersma-sama merupakan focus (titik api) yang
hidup dari sinar-sinar yang bercerai berai sebagaimana dipancarkan oleh umat
manusia (dengan segi-seginya yang bermacam-macam) dalam mereka hendak
menggambarkan matahari yagn amat indah itu.”
Di dalam Sarwadarsanasamgraha, yatu buah ciptaan
Madhwa (1380 M) disebut tentang adalah 16 system pikiran yang amsing-masing
diberi nomor urut, dan di susun dari bawah ke atas, untuk menunjukkan adanya
rentetan system-system yagn saling susul-menyusul melewati garis yang menanjak.
Yang ditempatkan di atas sendiri adalah Wedanta adwaita (atau Non dualisme),
Madhwa menempatkan dirinya pada sudut pandangan Hegel, dan menganggap Sejarah
Filsafat India sebagai suatu usaha yagn progesif untuk memperoleh konsep yagn
tegas dan terang mengenai dunia. Ia mengatakn bahwa :
“Dengan adanya system-system yang susul-menyusul
itu, apa yang disebut “kebenaran” dikeluarkan dari selubungnya sedikit demi
sedikit. Dan kita baru akan memperoleh kebenaran yagn lengkap apabila rentetan
system-system itu sduah lengkap. Di dalam Wedanta Adwaita, sinar-sinar yang
bercerai berai sudah dipersatu-padukan sedemikian rupa hingga bersama-sama
mempunyai focus satu.
Wijnanabhiksu, seorang theolog dan ahli pikir dari
abad ke 16- beranggapan bahwa system-system itu semeuanya mempunyai
kewibawaannya sendiri-sendiri. Di dalam usahanya untuk menyesuaikan system yagn
satu dengan yang lain, ia membeda-bedakan, antara :
“Kebenaran praktis dan kebenaran metaphysis, sedang
samkhya diapndang berisikan pernyataan yang memberi keputusan terakhir di dalam
soal kebenaran.”
Madhusudana Saraswati menulis di dalam buah
karangannya yang berkepala Prasthanabheda :
“Maksud yang dikandung oleh para Muni, yaitu
penulis-penulis dari system-system tersebut, adalah mendukung teori maya,
sedang tujuan mereka yalah menetapkan atas dasar bukti-bukti, adanya Satu Tuhan
yang tertinggi yang merupakan sat-satunya hakekat. Dan pendapat dari muni-muni
itu mustahil keliru, sebab mereka mengetahui segala-galanya.
Karena mereka melihat bahwa manusia itu tidak dapat
secara sekaligus memasuki wilayah kebenaran yang Tertinggi, tidak lain karena
masih terikat pada kebiasaannya untuk mengejar-ngejar obyek-obyek pancaindra,
maka mereka lalu memberikan kepada umat manusia bermacam-macam teori dengan
maksud supaya orang jangan jatuh ke dalam jurang atheisme. Tetapi ada banyak
orang yang mengerti tujuan apa yang hendak dicapai oleh para muni. Dan karena
ada anggapan yagn salah, yaitu bahwa para muni malahan memberi pelajaran yang
bertentangan dengan isi Weda-Weda, maka orang lalu lebih suka mempelajari semua
ajaran saja yang diberikan oleh madzhab-madzhab/aliran-aliran yang ada. Dengan
demikian orang India menjadi penganut dari berbagai system bersama-sama.
Maka lalu juga ada usaha-usaha untuk menyesuaikan
system yang satu dengan lainnya. Dan ini memang banyak diusahakan oleh hampir
semua kritisi dan komentator. Bedhanya system yagn satu dengan lainnya itu lalu
hanya berkisar pada apa yang dianggap sebagai kebenaran. Para pembela Nyaya
(seperti misalnya Udayana) menganggap Nyaya sebagai satu-satunya kebenran,
sedang para Theist menganggap Theist sebagai yang benar. Adalah sesuai dengan
jiwa kebudayaan India, untuk beranggapan bahwa arus-arus pikiran yang
bermacam-macam sebagaimana mengalir di tanah India itu, akan melapaskan airnya
ke dalam satu-satunya sungai yang air bahnya akan menuju ke Hadirat Tuhan.
Sudah dari permulaan, orang India merasa bahwa yang
dinamakan Kebenran itu mempunyai banyak sisinya. Masing-masing pandangan
mendekatinya dari sisi yang berlainan. Maka apa yang dicerminkan oleh
masing-masing pandangan itu tentunya kurang lengkap darpada yang dicerminkan
oleh semua pandangan bersama-sama. Adanya pandangan dasar yang demikian ini
menyebabkan bahwa orang India : “Sifatnya toleran (meneggang rasa atau hati
orang lain) dan dapat menerima pandangan-pandangan lain.
Pun ajaran-ajaran yang berbahaya diterima olehnya
tanpa ras takut-takut, asal saja ajaran-ajaran itu tersandarkan pada Logica.
Malahan dimana mungkin, ia akan tetap membantu supaya semua ajaran-ajaran itu
dapat hidup langsung. Ini suatu hal yang juga termasuk tradisi India. Dalam mempelajari
Filsafat India, kita akan menjumpai berbagai contoh di mana orang India
benar-benar memperlihatkan toleransi yang sebesar-besarnya.
Sudah barang tentu, bahwa berpandangan yang seluas
itu ada bahaya-bahayanya. Dan memang sudah kerap kali terjadi bahwa sikap yang
demikian ini :
1.
Mendatangkan pikiran-pikiran yagn kabur dan
samar-smar pada ahli-ahli filsafat India.
2.
Menyebabkan mereka menerima begitu saja
pandangan-pandangan baru tanpa banyak memikirkannya, dan
3.
Membawa mereka ke-eclecticisme yang “murah-murahan.”
3. BEBERAPA
DAKWAAN YANG DITUDUHKAN PADA FILSAFAT INDIA
Kita banyak mendengar bahwa di dalam
serangan-serangan yang dilakukan terhadap filsafat India orang
menonjol-nonjolkan :
1.
Pesimisnya;
2.
Dogmatismenya;
3.
Sikapnya yang acuh tak acuh terhadap Ethica, dan
4.
Sifatnya yang tidak progresif.
Hampir setiap kritik yang dilancarkan terhadap
filsafat dan Kebudayaan India menonjol-nonjolkan pessimismenya. Kami
sebaliknya, tidak mengerti bagaimana pikiran manusia dapat bekerja dengan bebas
dan dapat memberi bentuk baru pada cara-cara hidup, andaikata sudah penuh
berisikan rasa payah andaikata sudah penuh berisikan rasa payah dan muak serta
tertimpa oleh perasaan putus asa. Baiklah dikatakan sebelumnya, bahwa lapangan
kerja dan kebebasan Filsafat India itu tidak dapat menerima adanya pessimisme
yang berlebih-lebihan. Boleh juga orang mengatakan bahwa Filsafat India
itu pessimistis, asal saja perkataan
pessimistis itu diambil di dalam arti : “Tidak puas dengan apa adanya.”
Tetapi kalau diambil arti ini, lalu semua
kefilsafatan adalah pessimistis. Sebab yang menimbulkan persoalan-persoalan
Filsafat dan Agama itu adalah
penderitaan-penderitaan yang terdapat di dunia ini. System-system ke-Agamaan
yang menitik beratkan pada “pembebasan” (dari dosa-dosa) itu mencari jalan
untuk dapat lolos dari hidup yang singkat ini. Tetapi apa buruknya untuk mencari
kenyataan di dalam keadaannya yang sebenarnya (Sebagaimana diusahakan oleh
Filsafat India)? Di dalam Filsafat India istilah “SAT” itu baik menunjukkan
apda Kenyataan mau pun Kesempurnaan. Kebenran dan Kebaikan atau lebih tepat :
Kenyataan dan Kesempurnaan, itu berjalan bersama-sama. Kenyataan mempunyai
nilai yang tertinggi, dan bukankah nilai yang tertinggi itu menjadi dasar dari
segala macam optimissme
Prof. Bosanquat menulis :
“Aku percaya akan optimisme, tetapi masih harus
ditambahkan bahwa optimisme itu baru mempunyai arti, bilamana terus menerus
berjalan bersama-sama dengan pessimisme, sampai tiba pada sesuatu titik di mana
apa yang disebut pessimisme itu sudah teratasi/terlampau. Aku yakin bahwa apa
yang kunyatakan ini harus menjadi jiwa yang sebenarnya dari hidup. Dan bilamana
ada orang yang menyatakan bahwa pernyataanku ini mengandung bahaya, dan
menganggapnya sebagai alasan yang dicari-cari saja untuk membenarkan adanya
ketawakalan pada hal-hal yang buruk, maka aku akan menjawab bahwa setiap kebenaran
saja yang diteropong dengan ketelitian, dengan demikian lalu juga ada bahayanya
kalau dipraktekkan”. (Bacalah “Social and Internasional Ideals”, dan
bandignkanlah dengan apa yang dikatakan oleh Schopenhauer : “Bilamana optimisme itu hanya berupa omong
kosong belaka tanpa dasar-dasar pikiran, maka itu semata-mata akan menggabarkan
kegilaan dan penderitaan manusia yang tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata.”
Para ahli pikir India memang dapat disebut
pessimisme,a sal saja diambil di dalam arti bahwa mereka : “Memandang tata
dunia ini sebagai suatu hal yang buruk, dan sebagai suatu khayalan/kebohongan
belaka.
Tetapi, di samping itu merupakan juga optimistis,
oleh akrena mereka merasa bahwa tentu ada jalan kelaurnya, yang menuju ke
wilayah Kebenaran atau juga di wilayah kebaikan.
Orang mengkritik bahwa Filsafat India itu dogmatis
melulu, padahal Filsafat di dalama rti yang sebenarnya tidak boleh dan tidak
dapat hidup langsung atas dasar penerimaan sesuatu dogma. Apakah tuduhan yang
demikian ini benar atau tidak, hal itu saya serahkan pada anda yaang tengah
mempelajari buku ini. Banyak di antara system-system Filsafat India
mempersoalkan pengetahuan manusia, memperbincangkan asal mulanya serta nilainya
sebgai alat untuk mempelajari soal-soal lain. Memang benar bahwa pada umumnya
orang memandang Weda atau Sruti sumber pengetahuan yang berkewibawaan, sehingga
orang juga banyak menghormatinya. Akan tetapi, sessuatu kefislafatan hanya akan
menjadi dogmatis, apabila kefilsafatan itu sebelum apa-apa sudah beranggapan
bahwa did alam hal ini :
“Pernyataan-pernyataan yang tertera di dalam weda
dapat lebih dipercaya daripada pancaindra kita, dan mempunyai tingkat yang
lebih tinggi daripada konklusi-konklusi akal manusia.
Pernyataan-pernyataan di dalam Weda-weda berupa
Aptavacana atau sabda-sabdadari para arif bijaksana. Dan kalau kamis edang
menghadapi sesuatu persoalan yang sulit, kami dapat mengharap bantuan dari apa
yang tercantum di dalam sabda-sabda itu, asal saja ada keyakinan pada kami
bahwa para arif bijaksana itu mempunyai “alat-alat” yang lebih baik dariiapda
alat-alat manusia biasa untuk menilai bermacam-macam persoalan. Pada umumnya,
pernyataan-pernyataan di dalam Weda itu menuju pada pengalaman-pengalaman para
Nabi (Seers) yang harus diperhatikan dalam hal orang hendak menafsirkan
Kenyataan secara rational. Penglaman-pengalaman tersebut berupa
pengalaman-pengalaman dalam memperoleh pemadangan yang terang dan dalam dengan
jalan intuisi (Intuitional Experiences), dan dapat diperoleh siapa saja, asal
mau! Bantuan yang kami harapkan dari Weda-weda itu tidaklah mengenai soal-soal yang
extra filosofis. Seseorng yang hatinya suci muerni, tanpa ragu-ragu menerima
apa yang dialaminya dengan jalan intuisi, jadi disamakan dengan orang biasa
yang menerima begitu saja sesuatu dogma.
Memang benar bahwa di kemmudian hari, sewaktu
komentar-komentar di tulis, di dalam lapangan Filsafat terdapat suasana yang
orthodox (jadi di mana orang berpegang erat pada pedoman-pedoman lama. Pen)
yaitu sewaktu orang hanya memikirkan bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya
untuk membela secara academis (jadi teoritis melulu) dogma-dogma yang telah
diterima. Meskipun tentang system-system yang dulu-dulu juga dikatan bahwa
sifatnya hanya menerangkan/menjeaskan semata-mata, dan bahwa system-system tersebut
berupa komentar-komentar atas naskah-naskah lama, namun tidak pernah dikandung
maksud bahwa system-system itu akan diterima begitu saja., oleh karena memang
di insyafi bahwa Upanisad-upanisad yang
merupakan sumber ilmu bagi system-system itu, mempunyai banyak segi-segi yang
bermacam-ragam, Tetapi sesudah abad ke-8, pertengkaran di dalam lapangan
filsafat memperoleh corak yang tradisional dan scholastis (artinay di mana kaum
muda di didik untuk mengoper pendirina guruny, dst. Pen). Sehingga tidak lagi
terdapat kebebasan seperti di dalam periode-periode sebelumnya. Para
pendiri-pendiri madzhab dinyataan sebagai orang-orang yang kudus/suci, sehingga
tidak mungkin lagi untuk menyelidiki atau menguji pendpat-pendapat mereka,
sebab itu dianggap mengurangi penghormatan dan mengurangi penghargaan yang
layak diberikan kepada mereka. Dengan demikian sudah tertancaplah dalil-dalil
pokok yang akan didengung-dengungkan
untuk seterusnya, sedang yang menjadi fungsi dari para guru itu hanyalah
menyampaikan saja kepercayaan dari aliran/ madzhabnya, dengan sekedar
perubahan-perubahan yang dibutuhkan oleh jaman.
Orang mencari alasan-alasan baru untuk menegakkan
konklusi-konklusi dari jaman yang sudah lama lampau, dan menempuh jalan keluar
baru sampai terbentur pada kesulitan kesulitan yag beru pula, sehingga akhirnya
kembali lagi dia pada pegangan-pegangan yang lama dengan mengubah sedikit pokok
persoalannya. Orang tidak banyak merenungkan lagi tentang soal-soal hidup yang
sifatnya “lebih mendalam”, sedang terlalu banyak diskusi dicurahan pada hal-hal
yang dibikin-bikin oleh manusia. Kekayaan tradisi India membeleenggu
orang-orangnya dengan beban yang sedemikian beratnya, hingga ilsafat berhenti
bergerak, dan kadang-kadang malahan hampir-hampir berhenti bernafas. Tuduhan
yang pada umunya dilemparkan pada keseluruhan dari Filsafat India, yaitu bahwa
Filsafat India tidak memberi sesuatu manfaat, mungkin ada dasarnya, kalau kita
melihat kata-kata yang berlimpah-limpah sebagaimana dinyatakan di dalam risalah
para komentator. Mereka ini semata-mata mencari nafkah sebagai ahli Dialectica (Ahli-ahli debat yang
mempergunakan dasar-dasar Logika.Pen) Jadi bukan Rasul-Rasul berilham.
Yang menunjukkan jalan-jalan hidup atau pun menunjukkan jalan ke keindahan,
seperti halnya dengan ahli-ahli filsafat dari generasi yang dulu-dulu. Namun
demikian, di bawah lapisan kerak yang melekat pada taman itu, jiwa orang india
masih tetap muda, sehingga sekali-kali kerak itu diterobosi dengan tunas yang hijau dan lunak.
Tampillah ke muka tokoh-tokoh seperti Syamkara atau Madhwa, yang menamakan
dirinya komentator, tetapi sekaligus juga memperhatikan adanya azas kejiwaan
yang menuntun gerakan-gerakan di dunia ini.
Acap kali dikemukakan bahwa Filsfat India tidak
bercorak Ethis, Farcuhar menulis di dalam “Hibbert Journal” : “Boleh dikatakan
bahwa di dalam batas-batas alam pikiran Hindu, tidak terdapat kefilsafatan
ethis.”
Tuduhan yang demikian ini tidak dapat
dipertahankan. Adalah suatu hal yang lajim, bahwa orang India selalu berusaha
untuk mengisi seluruh hidupnya dengan kekuatan kejiwaan/kerohanian. Konsep yang
terpenting di dalam alam pikiran India adalah yang mengenai Kenyataan, dan
kemudian yang mengenai Dharma. Dan apakah intinya ethis atau tidak mengenai hal
itu dapat dikatakan bahwa baik Buddhisme, Jainisme mau pun Hinduisme tidak
kalah ethisnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan lainnya. Sebab di situ ada
anggapan bahwa kesempuranaan di dalam lapangan Ethica merupakan langkah pertama
ke arah pengetahuan yang bercorak keagamaan.
Ada tuduhan bahwa Filsafat India tetap “berhenti di
tempatnya saja” (stationary) dan berupa “proses menebah jerami tua” dengant
idak hentinya. Istilah timur yang tidak berubah-ubah” juga dipakai untuk
menyatakan bahwa di India jarum yang menunjukkan waktu itu sudah tidak maju-maju
lagi, dan malahan berhenti untuk selama-lamanya.
a.
Kalau dimaksudkan bahwa Filsafat India itu tidak
prograsif karena persoalan-perosalannya sama, maka janganlah tuduhan yang
demikian itu hanya dilemparkan pada Fislafat India saja,s ebab did alam perkembangan
dari kefilsfatan apa saja, tentu terdapat ke-tidak progresif-an. Dari abad-ke
abad,d an dimana pun juga persoalan-persoalan lama mengenai Tuhan, mengenai
kebebasan, dan mengenai keabadian itu selalu berkali-kali diulangi, dan selalu
berakhir dengan pemecahan yang tetap tidak memuaskan. Tetapi meskipun bentuk
persoalannya sama, namun materinya (isinya) berlainan. Misalnya da perbedaan
yang besar sekali antara Tuhan yang digambarkan di dalam nyanyian-nyanyian
pujaan Weda, dan Diri Yang Mutlak sebgaimana digambarkan oleh Sjamkara.
Filsafat adalah kumandang dari suatu keadaan tertentul dan oleh karena setiap
keadaan itu menjadi “baru” lagi pada tiap-tiap generasi, maka usaha-usaha di
dalam lapangan Filsafat pun perlu diperbaharui pula.
b.
Ataukah dimaksudkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pokok antara pemecahan yang diberikan di dalam kitab-kitab suci India Kuno dan yang
diberikan di dalam buah-buah kerangka Plato atau pun di dalam kitab-kitab Agama
Nasrani? Kalau ini yang dimaksudkan, maka ini hanya menunjukkan bahwa Jiwa
Universil yang Satu itu, yang selalu membagi-bagikan kasih sayang-Nya dari
zaman ke zaman (sekali pun dengan jangka waktu yang agak panjang)
memperdengarkan kembali suara-Nya untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat
manusia. Pesanan yang kudus /Suci ini menerobos rintangan-rintangan zaman
dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda, sesua dengan adanya bangsa-bangsa
dan tradisi-tradisi yang berbeda-beda pula.
c.
Ada juga kemungkinan, bahwa yang dimaksudkan yaitu
adanya penghormatan tertentu terhadpa masa lampau, yang memaksa para ahli piir
India untuk menuang minuman anggur baru ke dalam botol-botol yang lama. Tetapi
kalau ini yang dimaksudkan, maka saya akan kembali menandaskan pernyataan saya
di muka, yaitu bah hal ini justru
merupakan tanda khusus dari alam pikiran India. Filsafat India bertubuh dengan
memungut kembali segala kebaikan yang pernah rontok pada hari-hari yang lampau,
untuk ditambah dengan kebaikan-kebaikan lain. Sedikit-demi sedikit. Oang India
mewaris kepercayaan nenek moyangnya, yang diubah sedikit bentuknya untuk
memenuhi panggilan jaman. Kalau orang mengkritik bahwa alam pikiran India tidak
dapat disebut bernilai karena tidak disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu
pengetahuan, maka saya akan menjawab bahwa orang-orang yang sedang
sibuk-sibuknya mengenyam sesuatu perkembangan baru, selalu cenderung untuk
memberi cap yang demikian itu pada hal-hal yag menurut pandangannya sudah
ketinggalan jaman. Yang mengkritik demikian itu mungkin mengira, bahwa
perkembangan-perkembangan ilmiah telah menimbulkan perubahan-perubahan besar
pada inti/hakekat filsfat. Kalau ditinjau dari segi-seginya ilmiah, memang
teori-teori seperti yang mengenai “Evolusi biologis” dan mengenai relavitet
physik” itu adalah revolusioner sekali, tetapi sebaliknya, teori-teori tersebut
sama sekali tidak mengacaukan kefilsafatan-kefislafatan lama, melainkan malahan
memperkuat kebenarannya, dengan menilainya dari sudut-sudut pandangan baru.
d.
Tentang tidak progresifnya Filsafat India dan tetap
berhentinya di tempat yang sama, itu memang suatu tuduhan yang benar, asal saja
dituduhkan pada periode yang datang sesudah jaman para komentator ulung yang
pertama-tama. Beban yang ditinggalkan oleh masa lampau terasa semakin berat,
segala inisiatif terkekang kuat-kuat, dan dimulailah suatu pekerjaan yang
serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh para scholastici apad aabad
pertengahan, dimana kewibawaan serta tradisi dihormati sebesar-besarnya, dan
dimana prasangka-prasangka theologis sduah meresap dalam-dalam. Andai kata ada
lebih banyak kebebasan, maka sudah terang bahw para ahli Filsafat India lalu
akan lebih berhasil dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai.
Sebab untuk melanjutkan perkembangan daari Filsafat yang hidup, dan untuk tetap
memelihara dan menyuburkan tenaga-tenaga yang kreatif, dibutuhkan adanya kontak
secara bebas dengan gerakan-gerakan hidup di dunia ini, supaya benar-benar
dapat terselenggara kebebasan di dalam alam pikiran. Filsafat India yang telah
kehilangan kekuatan serta tenaganya sejak negaranya menderita kekalahan
politik, baranggkalai akan mendapat ilham-ilham baru dan dorongan baru dari
jaman yang sekarang sedang menyingsingkan fajarnya di atas India. Bagaimana pun
juga , bila mana para ahli pikir India dapat mengkombinasikan cintanya akan masa
lampau dengan kehausannya akan Kebenaran, maka Filsafat India akan menginjak
suatu masa depan yang segemilang masa lampaunya.
4. NILAI
DARI STUDI YANG DITUJUKAN PADA FILSAFAT INDIA
Orang mempelajari Filsafat India tidak sebagai
barang antik (kuno) semata-mata. Ada manfaatnya juga untuk mengerti bagaimana
jalan pikirannya para ahli filsafat pada masa yang lampau, dan bagaimana
ujudnya ide-ide yang menghinggapi mereka. Hal sesuatu yang pernah menjadi pusat
perhatian orang banyak, untuk seterusnya tidak akan kehilagan seluruh nilainya.
Dengan menilik kembali kaum Arya yang memuja-muja Weda, orang dapat
menyaksikana danya pergulatan besar antara pikiran yang kuat dengan
persoalan-perosalan yang tergolong paling sulit diantara yang pernah dihadapi
oleh manusia yang berpikir, Kata Hegel :
“Sejarah Filsafat di dalam arti yang sebenarnya,
tidak berkisar pada amsa yang lampau, melainkan berkisar apda masa sekarang
yang kita hadapi di manapun kita berada. Dan hasilnya bukanlah sebuah musium
yang berisikan kesesatan-kesesatan dari intelek manusia, melainkan sebuha
bangsal dimana orang mendewa-dewakan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai tingkat
Logica, di dalam alam pikiran seluruh umat manusia” (Logicc” terjemahan
Wallace).
Aka ternyata pula bahwa Sejarah Filsafat India
berlainan sekli dengan kesan pertama yang kita peroleh daripadanya. Sebab
Filsafat India bukanlah semata-mata suatu rentetan saja dari ide-ide yang
susul-menyusul di dalam jangka waktu yang pendek.
Memang mudah sekali untuk memandang Filsafat
sebagai olah raga saja, sebab bagi mereka yang sudah puas dengan hidup
berpancaindra dan berpikir tanpa aturan, persoalan-persoalan Filsafat nampak
sebagai hal-hal yang tidak nyata dan yang tidak masuk akal. Mereka yang
memusuhi Filssafat mengkritik bahwa pihak-pihak yang menjelang gerakan
diskusi-diskusi Fislafat itu membuang-buang waktu saja dengan saling damprat
mendamprat secara logis dan main sulap dengan intelek manusia, sedang yang
dibicarakan panjang lebar itu tak lain daripada teka-teki seperti : “Mana yang
ada lebih dulu, telor atau ayam?” (Bagaimanapun juga, ini ternyata bukan soal
yang remeh-remeh. Bacalah “Luck or Cunning” buha karangan Samuel Butler).
Persoalan-persoalan yang dibicarakan di dalam
Filsafat India telah mengagumkan umat manusia sejak dahulu kala, sekali pun
persoalan-persoalan itu belum pernah duga mendapat penyelsaian yang memuaskan.
Agaknya manusia itu mempunyai kebutuhan atau keinginan besar untuk mengetahui
sifat hakekat baik dari apa yang dinamakan roh/Jiwa mau pun dari Tuhan. Setiap
orang yang mau memikirkan bahwa dirinya dari lahir sampai mati nyata-nyata
terseret oleh arus yang mengalir tanpa berhenti mau memikirkan tentang alun
hidup yang makin meninggi, tentang hal-hal yang jadi menjadi dan susul menyusul
dengan tiada hentinya, tentu akan bertanya :
“Apakah maksudnya ini semua? Apakah artinya sebagai
keseluruhan, kalau kita menyampingkan dulu kejadian-kejaidan yang kecil-kecil
dan membingungkan?”
Filsafat bukanlah suatu keanehan, melainkan suatu
hal yang memenuhi kepentingan/kebutuhan orang India. Memang ada orang-orang
yang berfilsafat untuk mencari nafkah; dan ini boleh jadi adalah suatu
pekerjaan yang sia-sia. Tetapi kalau itu kita kesampingkan, maka dapat
dikatakan bahwa di dalam lapangan logica, di India terdapat perkembangan-perkembangan
pikrian yang paling maju. Buah-buah karya dari para ahli filsafat India adalah
sedemikian bernilainya bagi kemajuan pengetahuan manusia, sehingga akami
menganggap pekerjaan mereka sebgai sesuatu yang patut dipelajari dengan
sungguh-sungguh, sekalipun mungkin juga mengandung kekeliruan yang menyolok
mata. Bilamana adanya sophisme-sophisme yang mencemarkan nama Fislafat pada
waktu yang lampau itu dijadikan alasan untuk meniadakan pelajaran fislafat,
maka tidak hanya studi akan Filsafat India saja, tetapi juga seluruh studi yang
berbau filsafat itu sebaiknya dihapuskan pula.
Bagaimana pun juga, ampas ayang masih tinggal di
dalam saringan yang dipakai untuk menepis kebenaran yang tetap (Boleh diakui
bahwa ini adalah iuran yang berfaedah sekali bagi perkembangan pikiran
manusia), Itu tidak seberapa banyak, juga setelah diperhitungkan buah-buah
kerja dari ahli-ahli pikir Barat yang besar-besar seperti Plato dan
Aristoteles. Orang mudah tersenyum geli, kalau menghadapi langgam musik halus
yang menggema di dalam buah-buah karangan Plato, atau menjumpai dogmatisme
Descartes yang buta celik, atau berhaapan dengan Empirisme Hume yang kruang
segar, atau meninjau paradox-paradox Hegel yang menyengangkan. Tetapi bagaimana
pun juga, tidak dapat kita bantah studi yang dipusatkan pada buah-buah kerja
mereka itu menguntungkan juga.
Kembali pada filsafat India, walau pun di antara
kebenran-kebenran hakiki dari Filsafat India itu hanya sedikit saja yang telah
ikut membentuk sejarah alam pikiran manusia, namun di situ terdapat
synthetis-synthetis umum serta konsep-konsep yang diajukan dengan cara yang
systematis oleh entah Badarayana entah
Syamkara, yang sebagai patokan-patokan pembatasan di dlaam pikiran manusia dan
sebagai tugu-tugu peringatan akan kepandaian sesama kita, sudah barang tentu
akan menghias sejarah kita untuk selama-amanya.
------------------------------------
Catatatn Penulis :
Catatan penulis :
Banyak sarjana-sarjana Barat mengakui bernilainya
Fislafat India. Kata Victor Cousin :
“Sebaliknya apabila kita mengikuti
pergerakan-pergerakan di Timur dalam lapangan kepujanggaan dan Filsafat, maka yang
terutama berasal dari India (dan yang mulai menyebar ke Eropah) itu menarik
perhatian karna banyaknya kebenraan-kebenaran yang terdapat di dalamnya. Dan
kebenaran-kebenaran ini sedemikian dalamnya, dan sedemikian berbedanya dengan
hasil-hasil remeh yang kadang-kadang menyebabkan para ahli di eropah
menghentikan pekerjaannya, hingga kita terpaksa membuka topi dan mengakui bahwa
di Timur kita menemukan tanah air dari kefilsafatan tingkat Tertinggi.
Menurut Max Muller :
“Sampai kini orang eropa itu kebanyakndisuapi saja
dengan pikiran-pikiran Yunani dan Romawi, dan
jgua dengan ide-ide yang berasal dari bangsa Yahudi. Tetapi jikalau
sekarang aku merenung diri, untuk memikirkan tentang kesusteraan manakah yang
sekiranya dapat memberikan kepada oran Eropa jalan baru yang paling banyak
memenuhi harapan, yang dapat lebih difahami, yang lebih universal sifatnya,
yang pada kenyataannya lebih cocok dengan sifat-sifat manusia, yang tidak saja
sesuai dengan hidup sekarang tetapi juga dengan suatu hidup abadi yang memenuhi
idam-idaman manusia, maka aku sekali lagi akan menunjuk ke arah India.”
Max Muller juga berkta :
“Di antara bangsa-bangsa yang apda hakekatnya
berpegang teguh pada kefilsafatannya dan metaphysicanya sendir, dan yang pada
bakatnya mempunyai hasrat untuk menyelaminya, seperti bangsa Jerman apda jaman
sekarang dan bangsa Yahudi pada jaman dahulu terdapat juga bangsa Hindu yang
menduduki tempat nomor satu kalau ditinjau dari lamanya waktu”.
-----------------------------------------
Bagi seorang Pelajar India, studi akan Filsafat
India saja sudah dapat memberikan kepada suatu penglihata yang tajam perihal
kedudukan India pada masa yang lampau. Pada waktu sekarang, orang Hindu pada
umumya menganggap system-syste dari jaman yang lampau, yatu Buddhisme dan
Adwaitisme, semuanya sebaga sama-sama bernilai dan dapat diterima oleh akal.
Pengarang-pengaran dari system-system it dipuja-puja, sebagai Dewa. Studi akan
Filsafat India akan membawakan baik pengertian yang jelas tentang situasinya,
sudut pandangan yang tehuh dan tak memihak, mau pun keinsyafan bahwa segala
sesuatu dari jaman kuno itu tidak boleh dianggap sduah sempurna. Dan
tercapainya keinsyafan yang demikian ini adalah sesuatu yang pantas
dicita-citakan. Sebab apabila intelek itu sudah dilepaskan dari
tekanan-tekanannya, maka lalu dimungkinkan tembulnya pikiran-pikiran yang asli
dan usaha-usaha yang kreatif. Boleh jadi ada orangg-orang India yang pada waktu
sekarang dengan hati berat merasa puas dengan mengetahui beberapa detail saja
dari permulaan sejarah negerinya. Memang orang-orang tua itu suka menghibur
dirinya dengan ceritera-ceritera dari masa mudanya; dan suatu cara untuk
melupakan masa sekarang yang seburuk ini, adalah membaca tentang masa lampau
yang serba gemilang.
5. BERBAGAI
PERIODE DI DALAM PERKEMBANGAN ALAM PIKIRAN INDIA
Saya pandang perlu untuk sekedar memberi alasan
mengapa saya telah memilih “Fislafat India” sebagai kepala dari buku ini, dan
mengapa saya membicarakan fislafat orang-orang Hindu terlepas dari suku-suku
bangsa lain yang juga berdiam di India. Yang terutama menjadi alasan adalah :
“Adanya kebiasaan untuk mempergunakan istilah itu.
Pun pada waktu sekarang ini dapat dikatakan bahwa istilah “India” itu terutama
berarti “Hindu”. Dan yang kita bicarakan di sini adalah Sejarah Alam Pikiran
India, hanya sampai tahun 1.000 M. Atau lewat sedikit. Jadi sebelum
kekayaan-kekayaan orang Hindu menjadi didpertalikan dengan hl-hal yang bukan
asli Hindu.
Berbagai-bagai orang pada jaman yang berbeda-beda
telah memberikan sumbangannya kepada perkembangan yang terus menerus dari alam
pikiran India. Dan kekuatan jiwa India telah memberikan pengaruhnya yang tidak
sedikit. Bagi kita tidaklah mungkin untuk mempunyai kepstian tentang chronologi
(urut-urutan waktu) dari fase-fase perkemebangan itu. Tetapi bagaimana pun
juga, kita akan berusaha untuk meneropong alam pikiran India dari sudut
sejarah.
Ada berbaai aliran yang ajaran-ajarannya bersangkut
paut dengan keadaan sekitarnya, dan sebaiknya semuanya ini di tinjau
bersama-sama. Sebab, kalau ditinjau satu per satu, akan hilanglah daya
penariknya, dan kita akan memandangnya sebagai tradisi-tradisi yang sudah mati.
Tiap-tiap system kefilsafatan itu adalah jawaban
atas suatu pertanyaan positif yang timbul pada periode yang bersangkutan. Dan
kalau orang pada sesuatu periode memnadang suatu persoalan dari sudutnya
sendiri, maka ia tentu akan menemukan sesuatu kebenaran juga.
Kefilsafatan-kefilsafatan India itu bukanlah sejumlah dalil-dalil yang
memberikan penyelesaian ata pun juga yang dijadikan pegangan orang tanpa
diketahui artinya yang sebenarnya, melainkan merupakan :
“Pernyatan dan evolusi sesuatu pikiran, yang perlu kita selami dahulu, kalau kita ingin
mengetahui bagaimana terbentuknya system-system tersebut.
Kita berusaha mengakui adanya :
“Hubungan setia-kawan (Solidarity) antara ffilsafat
dan Sejarah antara hidup yang berdasarkan inntelek dan keadaan-keadaan sosial.
Dalam gambaran Walter Pater :
“Seperti pohon cemara yang tumbuh dengan gerak
berputar (suatu hal yang tentunya dipandang sebagai perminan alam belaka kalau
kebetulan terjadi di tenagh-tengah lapangan rumput di Inggris) itu dapat
dianggap sebagai akibat dari pergulatan antara kekuatan-kekuatan dari arus-arus
air yag mengalir di pegunungan Lapa (Alpine), atau dianggap sebagai ciptaan yang
dipaksakan oleh keadaan, atau juga sebagai ciptaan yang sudah logis kalau
melihat adanya fakta-fakta tertentu, maka demikian juga kepercayaan-kepercayaan
yang bagaimana pun anehnya itu akan dilihat sebagai hal-hal yang sudah
semestinya, asal saja orang tahu bagaimana cara menghubung-hubungkan dengan
keadaan sekitarnya. Sebenarnya, kepercayaan-kepercayaan itu merupakan
bagian-bagian dari keadaan sekeitarnya (Plato and Platonism).
Methode historis menghendaki supaya kita jangan
memihak dalam kita meninjau pertarungan antara berbagai aliran, tetapi supaya
kita mengikuti perkembangannya dengan sikap tak peduli mana yang menang dan
mana yang kalah.
Karena kita menyadari betapa pentingnya peranan
“waktu” di dalam Sejarah, maka kita juga sangat menyayangkan bahwa di India
hampir-hampir tak pernah diadakan pencatatan tentang kapan lahirnya sesuatu
system. Sehingga orang tidak dapat mengetahui system mana yang ada lebih
dahulu, yang ini atau yang itu. Orang India pada jaman kuno sedemikian sedikit
perhatiannya akan Sejarah, atau barangkali juga dapat dikatakan sedemikian
berlebih lebihan perhatiannya akan filsafat, hingga kita sekarang lebih banyak
mengetahui tentang kefilsafatannya daripada tentang ahli-ahli filsafatnya.
Tetapi sejak lahirnya Buddha, orang menaruh lebih banyak perhatian akan urutan
waktu. Meluasnya apengaruh Buddhisme terjadi bersamaan dengan meluasnya
kekuasaan orang Iran sampai sungai Indus, di bawah Dynasti Achaemenidia dari
Iran. Dan menurut pendengaran, Buddhisme ini menjadi sumber dari mana orang
Barat mulai mengetahui sesuatu tentang India, yaitu karena dipelajari oleh
Hecateus dan Herodotus.
Di dalam garis besarnya, Filsfat India itu
dibagi-bagi sebagai berikut :
1.
Periode Weda (Tahun 1.500 – 600 sebelum Masehi)
yang meliputi jaman tegaknya kekuasaan orang-orang Arya dan meluasnya
kebudayaan serta peradaban Arya secara
selangkah-demi selangkah. Pada periode ini tercatat berdirinya
Universitas-Universitas kehutanan” dimana idealisme tinggi dari India mulai
berkembang. Di situ kita menghadapi aliran-aliran pikiran yang susul menyusul
dan yang dapat mudah dikenal karena adanya Mantra-Mantra atau nyanyian-nyanyian
pujaan, pemeluk-pemeluk Agama Brahma, dan Upanishad-uphanisad.
Pendapat-pendapat yang diajukan di dalam periode ini belum dapata disebut
filosofis menurut arti katanya juga teknis. Ini adalah suatu periode di mana
orang masih meraba-raba dan mencari-cari di mana pikiran dan tachayul saling
bercakar-cakaran. Tetapi untuk memenuhi ketertiban dan urut-urutan dalam
menguraikan pokok pembicaraan kita ini, perlulah kita mulai dengan membahas
pendapat-pendapat yang ermuat di dalam nyaian-nyanyian pujaan Regweda, dan
membicarakan tentang sudut pandangan yang terdapat di alam Upanishad-Upanishad.
2.
Periode hikayat/cerita-cerita kepahlawanan (epic
Periode ; 600 sebelum Masehi sampai 200 sesudah Masehi). Di sini berkembanglah
baik Upanishad-Upanishad yang dulu-dulu, mau pun darsjana-darsjana atau
system-system kefilsafatan. Hikayat Ramayana dan Mahabharata menjadi alat
pemancar dari amanat baru yang datang dari hubungan antara sifat kepahlawanan
dan sifat Ke-Tuhanan di dalam diri manusia. Pun di dalam periode ini kita
menjumpai suatu pen-demokrasian”secara besar-besaran dari ide-ide Upanishad ke
dalam Buddhisme dan kedalam Bhagawadgita. System-system yang religius dari
Buddhisme, Jainisme, Syiwaisme, dan Wishnuisme termasuk periode ini.
Perkembangan dari pikiran-pikiran abstrak, yang mencapai puncaknya pada
berbagai aliran/madzhab Fislafat India di dalam bentuk dasjana, juga termasuk
periode ini. Kebanyakan di antara system-system itu mulai timbul kira-kira
bersamaan dengan melebarnya Buddhisme, sedang system system ini berkembang dari abad ke abad
secara berdampingan. Tetapi buah-buah kerja yang disusun systematis oleh
aliran/aliran/madzhab-madzhab tersebut baru selesai dan baru dapat kita
saksikan pada periode yang kemudian.
3.
Lalu datang periode Sutra )Sejal 200 tahun, sesudah
Masehi) Yang dijadikan pokok pembicaraan menjadi sedemikian banyaknya, hingga
sukar sekali untuk menguasai seluruhnya. Maka juga dirasakan perlunya untuk membuat sekema kefilsafatan yang pendek
dan ringkas. Ikhtisar ini dibuat di dalam bentuk Sutra. Sutra-sutra ini tidak
dapat dimengerti kalau tidak ada komentarnya, maka juga tidak mengherankan
bahwa komentar-komentarnya menjadi lebih penting daripada sutra-sutranya
sendiri. Di dalam perkembangan pada periode ini sudah tercapai suatu sikap yang
kritis di dalam lapangan filsafat. Di
dalam periode-periode sebelumnya kita sudah menjumpai diskusi-diskusi
kefilsafatan dimana akal tidak bagitu saja menerima apa yang dikatakan orang,
hingga terdapat suatu “permainan” yang mengitari pokok persoalannya, dengan
mengajukan keberatan-keberatan dan jawaban-jawaban atas itu. Dengan jalan
intuisi, para ahli pikir dapat sampai pada prinsip-prinsip umum yang bagi
mereka agaknya dapat menerangkan segala aspek alam semesta. Sekali pun di sini
synthesis-synthesis kefilsafatan itu sifatnya sudah mendalam dan cermat, namun
keadaannya boleh dikata “menderita terus menerus” karena tidak ada sikap yang
terutama kritis seperi dianjurkan oleh Knt. Tanpa amengkritik lebih dahulu
apakah manusia itu mampu untuk memecahkan persoalan-persoalan filosofis, mereka
mengarahkan pandangannya kepada dunia dan berpikir-pikir sampai tercapai
konklusi-konklusinya. Usaha-usaha pertma yang diadakan untuk memahami dan
menerangkan dunia, belum dapat disebut ‘Sungguh-sungguh filosofis”, oleh karena
mereka belum diganggu oleh suara-suara yang menanyakan sampai berapa jauhkah
kekuasaan manusia di dalam hal ini. Dan apa sudah tepatkah alat-alat dan criterium-criterium
yang dipergunakan di sini. Seperti dikatakan oleh Caird : “Akal manusia sedang
begitu sibuk menyelidiki obyeknya, hingga tidak ada kesempatan untuk mengawasi
dirinya sendiri”. (Bacalah “Critical Philosophy of Kant”). Setelah sampai pada sutra-sutra, maka barulah
pikiran-pikiran dan renungan-renungan itu menyadari dirinya, sehingga
pikiran-pikiran dan renungan-renungan tidak lagi semata-mata merupakan
paham-paham satau pun menggambarkan “kebebasan yang masih dipengaruhi oleh
Agama”. Mengenai system-systemnya sendiri tidak dapat dikatakan dengan tepat,
mana yang lahir lebih dahulu dan mana yang datang belakangan.
Aliran-aliran
itu saling tunjuk menunjuk, yaitu di dalam hal yang satu menerima pandangan
Samkhya, dan Waisyesika mengakui kebenaran pandangan Nyata maupun samkhya.
Nyaya menunjuk pada baik Wedanta mau pun samkhya. Secara langsung atau tidak
langsung, Mimamsa mengakui bahwa aliran-aliran lainnya telah muncul lebih
dahulu daripadanya. Tetapi demikian juga pendapat Wedanta. Menurut Prof. Garbe,
aliran yang tertua adalah aliran Samkhya, Kemudian muncul Yoga, dan yang
terakhir adalah Waisjesika dan Nyaya. Periode Sutra tidak dapat dibedakan dengan
tegas dari periode scholastik para komentator. Kedua periode tersebut boleh
dikata masih berlangsung sampai kini,
4.
Periode Scholastik pun mulai sejak abad ke 2
sesudah M. Mustahil bagi kami, untuk menarik garis perbatasan yang tegas antara
Periode ini dan Periode Sutra. Tetapi di sini tercatat nama-nama besar seperti
Kumarila, Syamkara, Syridhara, Ramanudja, Madhwa, Wacaspati, Udayana, Bhaskara,
Jayanta, Wijnanabhiksu dan Raghunatha. Kesustraan yang terdapat di dalam
periode ini pada umumnya berbentuk pertengkaran pena. Kita menghadapi di sini
guru-guru Filsafat yang bercekcok karena masing-masing mempunyai teori-teorinya
sedniri yang cerdik licin, dengan mengajukan alasan-alasan yang tersusun rapih.
Mereka dengan ganas bertengkar dalam menetapkan sifat-sifat umum atas dasar
Logica. Banyak sarjana-sarjana India takut membuka buku-buku mereka ini, sebab
buku-buku itu tidak memberi penjelasan, melainkan acapkali malahan
membingungkan. Tidak soerang pun menyangkal bahwa mereka cerdik dan penuh bersemangat.
Tetapi dari mereka kita hanya menerima kata-kata saja, dan bukan sesuatu jalan
pikiran. Kita tidak memjumpai filsafat, melainkan suatu pertengkaran dengan
kata-kata yang tepat sekali kalau dipandang dari sudut Logika. Ini juga
jamannya komentar-komentar dari jenis yang paling buruk, yang pikirannya
samar-samar, tetapi yang menguasai Logica didalam bentuk kata-kata yang
tersusun rapih, sedang mereka bersikap tidak sabar terhadap pihak lawan. Sudah
barang tentu ada pula komentar-komentar dari jenis yang lebih baik, dan yang
nilainya sama tingginya dengan ahli-ahli pikir kuno yang dikomentari buah
karyanya. Komentator-komentator seperti syamkara dan Ramanuja, kembali
menandaskan ajaran-ajaran lama, dan pernyataan mereka adalah sama nilainya
dengan sesuatu pendapatan baru di dalam lapangan kejiwaan/kerohanian.
Ada beberapa buku “Sejarah Filsafat India” yang
semuanya ditulis oleh pengarang-pengarang India. Hampir semua komentator di
kemudian hari mendiskusikan ajaran-ajaran orang lain yang ditilik dari sudut
pandangnya sendiri. Sehingga dari komentator meraka ini kita dapat mempunyai
bayangan tentang bagaimana pandangan-pandangan orang pada jaman yang menjadi
obyek pembicaraan itu. Ada pula orang-orang yang dengan hati sadar berusaha
untuk menguraikan system-system yang beraneka warna itu secara berturut-turut.
Di antara “Laporan-laporan historis” tersebut dan
beberapa yang penting , dan yang akan saya sebutkan di bawah.
1.
Saddara Jamuccaya atau “Ringkasan dari enam system”
adalah nama buah karangan yang ditulis oleh Haribhadra. Kata Barth :
“Haribhadra yang menurut tradisi meninggal pada tahun 529 sesudah Masehi.
Tetapi menurut penyelidikan yang lebih seksama ternyata hidup apda abad ke 9,
yang suka mempergunakan kata-kata yang sama tetapi lain artinya, adalah seorang
gpenganut Brahmanisme yang kemudian beralih menganut Jainisme. Ia masih
termasyhur sebagai pengarang dari 1400 Prabandha (artinya 1400 bab) dan agaknya
ia adalah salah seorang di antara mereka yang pertama-tama telah memasukkan
bahasa Sanskerta ke dalam literatur kefilsafatan dari pengikut-pengikut Janisme
Sywetambara. Bagi penganut-penganut Brahmanisme, apa yang disebut 6 system itu
terdiri atas : Kedua Mimasa, Samkhya dan Yoga, Nyata dan Waisyesika. Sebaliknya
Haribadra di dalam buah pena tersebut
telah membahas secara pendek dan obyektif di dalam 87 Sloka, prinsip-prinsip
pokok dari Kaum Buddhist, dari Jainisme, dari pengikut-pengikut Nyata, dari
Samkhya, dari Waisyesika dan dari Mimamsa. Dengan demikina maka Haribhadra
menempatkan alirannya sendiri (yaitu Jainisme), bersma-sama dengan
aliran-aliran yang mempunyai banyak pertalian dengan jainisme, di antara
aliran-aliran lain yang menjadi lawan.
Dan lawan mereka adalah kaum Budhhist dan kaum Ritualist dari aliran Jainisme.
Yang akhir ini dipersekutukan olehnya dengan kaum Lokayatika, yaitu kaum
Materialist yang atheistis. Ini dilakukan olehnya, tidak karena ia fanatik
sekali dalam soal penggolong-golongan sekte, dan juga tidak untuk menuruti
keinginannya sendiri, melainkan atas dasar suatu pendapat yang pada waktu itu
memang banyak dianut, juga diantara para penganut Brahmanisme (Bacalah “Indian
Atiquary”).
2.
Orang berpendapat bahwa Samantabhadra, seorang
pengikut Jainisme digambarkan dari abad ke-6, telah menulis buku yang berkepala
“Aptamimamsa”, dimana ia memperkenalkan kita dengan aliran-aliran filosofis
yang beraneka warna itu (Bacalah buah karangan Widyabhushan “Mediaeval Systems
of Indian Logic”).
3.
Seorang Buddhist Madhya-Muka, yaitu Bhawawiweka,
termashur sebagai pengarang dari “Tarkajwala” yang berupa suatu kritik terhadap
aliran-aliran Mimamsa, Samkhya, Weisyesika dan Wedanta.
4.
Menurut mereka yang sudah membaca, Widyananda,
seorang pengikut Jainisme Digambarkan di dalam bukunya “Astasahasri” dan juga :
5.
Merutungga (juga seorang Jainist Digambara) di
dalam bukunya “Saddarsjana –Vicara” (Tahun 1.300 sesudah M) telah mengkritik
system-system Hindu.
6.
Pembahasan mengenai Filsafat India yang terkenal
sekali, adalah yang dilakukan oleh Madhawacarya (Seorang penganut aliran
Wedanta yang termasyhur) di dalam buku yang berjudul “Sarwadarsjanasamgraha”,
Ia hidup pada abad ke 14, di India Selatan.
7.
“Sarwaseddhantasarasamgraha” yang menurut anggapan
telah ditulis oleh Syamkara (Anggapan ini agaknya keliru. Bacalah “Indian
Logic”, buah karangan Keith) dan :
8.
“Prasthananabheda”, buah karangan Madhusudana
Saraswati (bacalah “Six Systems”, buah karangan Max Muller), mengandung
bahan-bahan yang berguna sekali dalam mempelajarai kefilsafatan-kefilsafatan
India yang beraneka warna itu.
BAB.II
: PENUTUP KATA
6.
PERKEMBANGAN FILSAFAT
Jalan
yang ditempuh oleh Filsafat Hindu di dalam proses perkembangannya –Kesatuan
dari system-system yang bermacam-macam –Semangat di dalam lapangan Filsafat
mengalami kemudnuran di hari-hari belakangan – Kontak/Hubungan dengan Barata –
Keadaan sekarang - Conservatisme dan
Redicalisme - Masa Depan.
7.
PERKEMBANGAN FILSAFAT
Sepanjang
sejarah, bangsa India selalu digoda-goda oleh pikiran untuk menemukan sebuah
dunia idam-idaman, yang lebih nyata dan lebih sukar didekati daripada dunia nyata
dan lebih sukar didekati daripada dunia yang biasa kita hadapi sehari-harinya,
dan yang merupakan tempat kediaman yang sebenarnya dari roh/jiwa. Apa yang kita
lihat di India, benar-benar melukiskan usaha manusia yang tak kunjung padam
untuk memecahkan teka-teki yang menyelubungi Sphinx, dan untuk menempatkan
dirinya pada tangga kesusilaan dan kerohanian/kejiwaan, yang menjulang tinggi
di atas watak-watak kebinatangan. Perjuangan ini telah berlangsung sejak 4.000
tahun yang lalu (atau lebih, kalau penemuan-penemuan para ahli purbakala di
Sind dan di Punjab baru-baru ini, yang membuka tabir penutup jaman yang sudah
lama-silam, ikut didperhitungkan), Sejarah manusia telah mencatat berbagai hal
yang akan tetap merupakan tugu-tugu peringatan di dalam perkembangan filsafat,
yaitu :
a.
Adanya
kepercayaan seperti yang terdapat pada kanak-kanak saja (Naviva) bahwa dunia
itu dikuasai oleh Dewa-dewa Matahari dan Langit, yang dari atas mengawasi baik
buruknya tingkah laku manusia;
b.
Adanya
kepercayaan bahwa Dewa-Dewa yang dapat dipaksa secara halus dengan do’a atau
rite untuk memenuhi permintaan manusia, itu adalah bentuk-bentuk ssaja dari
Satu Makhluk Tertinggi;
c.
Adanya
keyakinan besar bahwa jiwa yang suci murni yang memberi tahu bahwa hidup itu
abadi, adalah Satu dengan roh terdalam dari manusia (Innermost soul of man);
d.
Timbulnya
materialisme, scepticisme dan fatalisme, dan digantikannya isme-isme tersebut
dengan system-system ethis dari Buddhisme dan Jainisme yang pada pokoknya
mengajarkan bahwa dengan atau tanpa Tuhan, orang dapat membebakan diri dari
segala macam bencana, yaitu dengan jalan menjauhi kejahatan/keburukan, baik di
dalam pikiran, perkataan mau pun perbuatan;
e.
Theisme
liberal dari Bhagawadgita yang mengajarkan bahwa di samping kesempurnaan
metaphysis, jiwa itu masih harus dilengkapi dengan kesempurnaan ethis;
f.
Schema
Nyaya yang didasarkan atas Logica. Daripadanya, dunia pengetahuan telah
mendapat katagori-katagori yang sampai kini masih tetap dipergunakan;
g.
Caranya
system Waisyesika menafsirkan alam kodrat;
h.
Teori-teori
Samkhya di dalam lapangan ilmiah dan psychologi;
i.
Schema
Yoga yang menunjukkan jalan ke arah Kesempurnaan;
j.
Tata
tertib di dalam lapangan Ethisca dan Sosial sebagaimana dianjurkan oleh
Mimamsa, dan penafsiran religius mengenai kenyataan tertinggi sebagaimana
diajukan oleh Syamkara, Ramanuja, Madhwa dan Mimbarka, Wallabha dan Jiwa
Goswami.
Di
dalam urut-urutan yang logis, type yang satu menyusul type yang lain, dan aliran yang satu menyusul
aliran yang lain. Selama hidupnya, orang India tidak pernah berhenti bergerak,
dan di dalam perkembangan ini, cara hidupnya yang makin konkrit bentuknya itu
kadang-kadang berubah,s esuai dengan kebutuhan-kebutuhan physik, sosial dan
cultural. Mula-mula, sewaktu orang India melakukan segala sesuatu baru untuk
pertama kalinya, tidak ada praktek-praktek dari masa lampau yang dapat
dicontoh. Bagaimana dapat mencontoh kebijaksaan kalau ini belum pernah ada
sebelumnya, dan bagaimana caranya mengatasi kesulitan-kesulitan yang bukan main
banyaknya itu! Namun demikian, hasil-hasil yang mereka capai di dalam alam
pikiran dan praktek, bolehlah dibanggakan. Tetapi hasil-hasil ini belum
lengkap, dan masih dapat diharapkan perkembangan-perkembangan lain, sebab
Sphinx-nya masih tetap tersenyum simpul. Filsafat India belum lagi mencapai
tingkat kedewasaannya.
Dalam
mempelajari filsfat India (dan Juga dalam mempelajari Filsafat-filsafat
lainnya), orang tak saja mendapat bayangan tentang betapa sulitnya memecahkan
soal “Keberadadaan” yang luas lainnya serta banyak rahasisa-rahasianya itu,
tetapi juga mendapat bayangan tentang betapa bernilainya usaha-usaha manusia
yang tak kenal lelah itu untuk memahaminya. Rentetan panjang ahli-ahli pikir,
berjuang mati-matian untuk menyumbangkan sekedarnya pada “Kuil Kebijaksanaan”,
dan untuk menambahkan sesuatu baru pada pengetahuan manusia yang masih
kurang-kurang gsaja. Tetapi pikiran manusia belum lagi mampu untuk mendekati
cita-cita yang tak mungkin ditinggalkan tetapi juga tak mungkin terlaksanakan.
Kami jauh lebih yakin akan gelapnya keadaan yang mengelilinginya dan akan
kurangnya tenaga serta kekuatan manusia untuk menerangi kegelapan itu dengan
obor yang kami waris dari jaman-lampau yang gilang-gemilang. Bagaimana pun juga, jarak yang masih memisahkan kami
dari tujuan terakhir, tidak begitu jauh lagi kalau dibandingkan dengan keadaan
pada jaman-jaman yang lampau. Tetapi jarak itu nampaknya tidak mungkin
terlampaui, dan manusia barangkali akan teteap terikat seperti Prometheus pada batu rahasia, dengan tali
temali dari akal yang serba terbatas.
Kata
Xenophanes (Gomperz : “Greek Thinkers”) :
“Tidak seorang pun pernah berhasil
memperoleh kepastian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Dewa-Dewa dan
yang berhubungan dengan apa yang ku namakan “Sifat-sifat Universal”, dan di
masa depan pun tidak akan ada orang yang dapat mencapainya. Malahan andaikata
ada yang kebetulan menemukan kebenarannya, ia sendiri toh tidak tahu, sebab
segala sesuatu saja dapat nampak benar.”
Tetapi, filsafat tidak dimaksudkan untuk
menelorkan usaha-usaha yang sia-sia belaka. Filsafat menolong kita untuk ikut
merasakan bahwa tali- temali yang mengikat manusia itu makin berubah dari jaman
ke jaman. Filsfat mempertebal keyakinan manusia akan ke-tidak-sempurnaannya.
Sehingga makin mendalamlah pengertiannya tentang apa yang dinamakan
“Kesempurnaan”, dan makin terasalah bahwa hidupnya masih jauh dari sempurna.
Bahwa Dunia tidak dapat dibuka tabir rahasianya oleh intelek manusia seperti
yang menjadi keinginan kita, tidak usah dikagumi, sebab ahli filsafat itu
adalah pecinta kebijaksanaan semata-mata, dan bukannya pemiliki kebijaksanaan.
Yang dipersoalkan bukan akhirnya perjalanan, melainkan perjalanannya sendiri.
Lebih baik masih di tengah jalan, daripada sudah sampai.
Menjelang
tamatnya buku ini, kita boleh bertanya :
1.
Apakah
fakta-fakta yang diketahui dari Sejarah itu memperkuat kepercayaan manusia akan
adanya kemajuan-kemajuan?
2.
Apakah
perjalanan yang ditempuh oleh pikiran manusia itu, maju atau mundur arahnya?
Pertanyaan
ini mempunyai ekor-ekornya yang tidak dapat diabaikan. Di India orang percaya
bahwa ia mendapat kemajuan-kemajuan, sebab seperti yang sudah saya katakan,
cyklus-cyklus waktu di sana saling terikat oleh seutas tali yang hidup. Pada intinya,
perkembangan-perkembangan yang selalu maju ke depan itu tidak pernah mengenal
titik berhenti. Malahn juga revolusi-revolusi yang mengancam akan
menelan masa yang lampau, judtru menolong memperbaiki kerusakan-kerusakannya. Angin-angin yang berhembus ke
arah belakang, ternyata lebih memperkuat daripada menghambat proses
perkembangan itu. Periode dkemunduran seperti yang dialami dihari-hari belakangan ini, sebetulnya
amerupakan periode peralihan saja dari cara hidup yang lama ke cara hidup yang
baru. Dua macam arus, yang satu maju yang lain mundur, bercampur di sini. Pada
sesuatu waktu, arusnya amengalir maju dengan kencangnya, pada lain waktu lagi,
nampaknya lebih mundur daripada maju, tetapi : “Kalau ditilik perkembangan
seluruhnya, maka arus itu terang-terang maju ke depan.
Tidak
ada gunanya untuk memungkiri bahwa di dalam proses itu tercatat hal-hal yang
tenggelam musnah. Tetapi
lebih baik kehilangan barang yang tidak seberapa jumlahnya daripada membendung
arus yang didorong oleh jaman lampau dan yang telah mengakibatkan menetesnya
air mata banyak. Bagaimana pun juga, andaikata perkembangannya tidak
berlangsung seperti yang kita saksikan ini, maka akibat-akibatnya tentu akan
lebih buruk. Yang kami pentingkan ialah amsa depan. Kami sekarang dapat
mempunyai pemandangan yang lebih terang dan lebih jauh daripada mereka yang
hidup sebelum jaman kami, sebab kami sekarang dapat berdiri di atas punggung
mereka. Daripada menikmati saja ahasil-hasil dasar yang dengan kemuliaan hati
telah dicapai di dalam masa yang silam, lebih baik kami sekarang mendirikan
bangunan yang lebih tinggi dan luhur, dengan usaha-usaha yang senilai dengan
yang dilakukan dahulu dan yang sesuai dengan pandangan-pandangan moderen.
8.
KESATUAN DARI SEMUA SYSTEM
Dua
buah pedoman yang di dalam bentuk yang berbeda-beda telah memberi warna kepada
usaha-usaha para ahli pikir India, adalah :
1.
Rasa
setia terhadap tradisi, dan
2.
Sumpah
taat pada kebenaran.
Setiap
ahli pikir mengakui bahwa prinsip-prinsip yang menjadi pegangan para tokoh dari
jaman yang lampau, berupa tugu-tugu yang terbikin di dalam pabrik
kerohanian.kejiawaan. dan bilamana tugu-tugu ini sampai kena fitnah, maka
fitnahan ini akan memerciki kebudayaannya sendiri. Karena rakyat India bersifat
prosesif, dan kaya raya akan tradisi-tradisi, maka mereka lalu berjaga-jaga,
jangan sampai kebudayaan mereka terlantar, sekali pun mungkin juga mengandung
unsur-unsur yang tidak construktif, Ahli-ahli pikiran berusaha sekeras-kerasnya
untuk menerangkan, melambangkan, mengubah dan memuliakan penuturan-penuturan
yang tradisional, karena emosi-emosi manusia terpusatkan di sekitar penuturan-penuturan
itu. Ahli-ahli filsafat India di kemudian hari membenarkan
ketereangan-keterangan filosofis yang bermacam ragam sebagaimana diberikan oleh
tokoh-tokoh yang hidup lebih dahulu dalam menafsirkan alam semesta, dan mereka
menganggap penafsiran-penafsiran ini sebagai cara yang berbeda beda untuk
mendekati kebenaran. Pendapat-pendapat yang berbeda-beda itu tidaklah dianggap
sebagai petualangan-petualangan pikiran manusia begitu saja di dalam wilayah
asing yang belum di kenal orang, yang tidak berhubungan satu dengan lainnya,
dan juga tidak dianggap sebagai koleksi (kumpulan) keanehan-keanehan filosofis,
melainkan dianggap sebagai pernyataan dari Satu Akal, yang telah mendirikan
sebuah Kuil/Candi besar, terddiri dari banyak sekali tembok-tembok dan bangsal-bangsal,
gang-gang dan tiang-tiang.
Logica dan Ilmu Pengetahuan, Filsafat
dan Agama, saling terikat seperti bagian bagian tubuh dari mahkuk hidup. Setiap
langkah baru di dalam kemajudan pikiran manusia, selalu dilantik dengan
perbaikan-perbaikan di dalam lapangan logica. Persoalan mengenai methode, yang
erat hubungannya dengan sifat-sifat akal manusia, dipandang mempunyai nilai
yang tinggi.
Menurut
System Nyata :
“Sesuatu
kefilsafatan hanya dapat berdiri kukuh apabila didasarkan atas logica.
System
Waisyesika memperingatkan bahwa :
“Sesuatu
kefilsafatan hanya dapat memperoleh hasil-hasil yang baik, apabila
mempertimbang-tibangkan dan memperhitungkan susunan-susunan dari
perujudan-perujudan physis.
Ini mengandung anjuran, janganlah kita
sampai “membangun di awang-awang”. Sekali pun Physica dan Metaphysisca itu
berbeda sekali dan tidak dapat dicampur adukkan, namun suatu skema kefilsafatan
itu harus sesuai dengan hasil-hasil Ilmu Pengetahuan alam Kodrat.
Tetapi
system Samkhya memperingatkan :
“Awas!!!!....
Janganlah kita beranggapan bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi dunia phisis,
itu berlaku juga bagi alam semesta seluruhnya. Sebab kesesatan yang demikian
selalu merupakan yang bercorak ilmiah.”
Sumber-sumber
alam tidak menghasilkan kesadaran. Tidak dapa “Keadaan Alam” itu dinyatakan
dengan istilah “Kesadaran” atau dijabarkan
menjadai “Kesadaran”, dan demikian juga sebalinya; maka usaha-usaha
dari baik Metaphysica yang murni ilmiah
mau pun metaphysica yang psichologis untuk melakukan hal itu, akan sia-sia
belaka.
Yang menjadi pokok pembiacaraan di
dalam aliran Yoga, adalah : “Pengalaman-pengalaman di lapangan Keagamaan.”
Kenyataan
itu tidak hanya terdapat di dalam Ilmu Pengetahuan dan di dalam hidup manusia
saja, tetapi juga di dalam pengalaman-pengalaman ke-Agama-an.
System-syste
Purwa Mimamsa dan Wedanta menitik beratkan pada : )ethica dan Agama.
Persoalan
kefilsafatan yang terutama di perhatikan oleh aliran Wedanta adalah :
“Hubungan
antara alam kodrat dan akal/pikiran.
Ada
pepatah yang menyatakan bahwa orang-orang yang kudus/suci tidak saling
bertentangan, dan demikian juga halnya dengan kefilsafatan-kefilsafatan di
India. Realisme dari system-system Nyaya
dan Waisyesika, Dualisme dari system-system Samkhya dan Yoga, dan monisme dari
system Wedanta itu tidak saling berbeda karena yang satu benar yang glains
salah, melainkan hanya karena : “Yang satu lebih benar daripada yang lain.
Sebab,
yang tersebut pertama memang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari mereka
yang tidak begitu cerdas (mandadhikari), yang ked dua disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan dari mereka yang biasa saja pikirannya (madhyamadhikari),
dan yang ketiga disesuaikan dengan kebutuhan=kebutuhan dari mereka yang
panda-pandai (Uttamadhikari).
Bandingkanlah
dengan apa yang dikatakan oleh Kant (diambil dari buku J.Ward “A study of
Kant”) :
“Suatu
cara untuk mempertahankan kehormatan akal manusia ialah menyesuaikan
pernyataan-pernyatan dari akal itu sebagaimana kita dapati pada para ahli pikir
yang jitu-jitu, dan menemukan apa yang merupakan kebenaran. Sebab mustahil
tokoh-tokoh yang bekerja dengan cermat dan teliti itu akan 100% keliru dalam
mengincar Kebenaran, sekalipun pendapat-pendapatnya dapat saling bertentangan.”
Pandangan-pandangan
yang berbeda-beda itu semuanya :
“Terpahat
dari sebuah batu saja, sedang pandangan-pandangan itu bersama-sama merupakan
Satu Keseluruhan. Masing-masing tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan yang
“tertutup”itu.
Sesuatu sckema mengenai alam kodrat hanya dapat
dipandang lengkap, bilamana :
Sudah
memperhitungkan segi-segi Logica, Physica, Psychologi dan Esthica, Metaphysica
dan Agama secara bersama-sama.
Setiap
system pikiran di India menyumbangkan teorinya sendiri mengenai pengetahuan,
dan menyumbangkan penafsirannya sendiri mengenai alam kodrat dan akal, Ethica
dan Agama. Apa yang kita ketahui mengenai alam semesta, makin lama makin banyak
dan mendalam, karena adanya bimbingan dari ilmu-ilmu pengetahuan alam kodrat.
Maka dari itu kita juga tidak dapat merasa puas, apabila hidup manusia itu
hanya ditinjau dari sesuatu sudut pandangan tertentu saja. Kalau di masa depan
masih ada usaha-usaha untuk meperkembangkan Filsafat, maka :
“Harus
diperhitungkan pula hasil-hasil dan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam
kodrat dan psychologi di hari-hari belakangan ini.
9.
FISAFAT DAN HIDUP
Yang menjadi fungsi dari Filsafat
adalah :
“Mengatur Hidup dan menuntun manusia di
dalam perbuatan-perbuatannya.
Filsfat
memegang pucuk pimpinan dalam menentukan arah perjalanan kita, melewati
hutan-hutan Perubahan yang tersebar di seluruh dunia. Filsafat hanya dapat
hidup, kalau berdekatan dengan hidup manusia. Perkembangan pendapat-pendapat
serta ide-ide para ahli pikir itu berlangsung di dalam proses sejarah belajar
bagaimana menghormati ahli-ahli pikir itu, tetapi juga bagaimana caranya
memperoleh semangat kerja seperti mereka itu. Nama-nama seperti Wisywamitra,
Yadjnawalkya dan Gargi, Buddha dan Mahawira, Gautama dan Kanada, Kapila dan
Patanjali, Badarayana dan Djaimini, Syamkara dan Ramanudja, itu menarik
perhatian para penulis-penulis sejrah, tiada karena dpat menjadi
bahanpembicaraan semata-mata, melainkan karena itu adalah :
“Contoh-contoh
dari tokoh-tokoh yang berkepribadian.
Karena
mereka, Filsafat dapat meneropong dunia dengan kekuatan yang berdasarkan
pikiran dan pengalaman. Kalau pikiran sudah sampai pada akhir perjalanannya,
maka setelah dipraktekkan dan diuji dengan ujian hidup, berubahlah pikiran itu
menjadi Agama. Menaati discipline Filsafat itu berarti : “Memenuhi Panggilan
Agama.
10.
KEMUNDURAN FISLAFAT DI HARI-HARI BELAKANGAN
Buku
ini tidak dimaksudkan untuk memperkuat kritik yang banyak dilemparkan, yaitu
bahwa seakan-akan sudah sesuai dengan jiwa India, Kalau orang takut-takut
mempergunakan pikirannya. Tidak dapat kami mengabaikan begitu saja seluruh
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di dalam alam Filsafat India, dengan
alasan bahwa kita lebih suka menghormati
jiwa ketimuran yang masih mengambang-ambang di dalam khayalan-khayalan dan
mythologi kanak-akank. Tetapi bagaimana pun juga, di dalam tiga atau empat abad
yang terakhir ini, emmang ada banyak hal yang memperkuat prasangka-prasangka
yang demikian itu.
India
sekarang sudah kehilangan peranan historisnya; India tidak lagi menjadi pelopor
pengetahuan tinggi di Asia.
----------------------------------------
.Catatan
Penulis :
Di
bawah Judul “China’s debt to India”, Prof. Liang Ghi Cho, menulis :
“India
telah mengajar kami untuk menginsyafi arti dari kebebasan yang mutlak. Prinsip
pokok ini, yang menghendaki kebebasan di dalam cara-cara berpikir, memungkina
manusia untuk melepaskan diri baik dari ikatan-ikatan adat dari jaman yang
lampau, mau pun dari kebiasaan-kebiasaan dari jaman ini. Dengan adanya
kebebasan berpikir, manusia dapat menjauhkan diri dari kekuatan-kekuatan yang
timbul dalam mengejar kepentingan-kepentingan materiil, yang selalu hendak
memperbudak kita .................. India juga telah mengajar kami tentang
apakah artinya Cinta yang mutlak itu. Yaitu sejenis perasaan kasih sayang murni
terhadap semua makhluk yang hidup, yang meniadakan godaan-godaan seperti iri
hati, rasa marah, sikap tak sabar, rasa jijik dan nafsu berkonkurensi, Yaitu
suatu cinta merasa yang dengan rasa
sayang menaruh sympathi pada hal-hal yang tidak normal, pada
kejahatan-kejahatan dan pada perbuatan-perbuatan dosa. Itulah cinta mutlak,
yang mengakui bahwa segala sesuatunya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari
lainnya.”
Ia
meneruskan uraiannya dengan menerangkan sumbangan-sumbangan apa yang telah
diberikan oleh India kepada Tiongkok di dalam lapangan kesusasteraan dan kesenian,
musik dan ilmu bangun-bangun, seni lukis dan seni pahat, drama, puisi dan
cerita-cerita chayalan, astronomi dan kedokteran, sosial dan pendidikan. Sudah
terkenal bahwa India telah memancarkan pengaruhnya ke Birma dan Sailan, Jepang
dan Korea.
---------------------------------------------
Ada
beberapa orang yang mendapat kesan, bahwa sungai yang telah mengalir dengan
derasnya dari abad ke abad, itu nampaknya akan berakhir di dalam rawa yang
airnya menggenang tanpa guna. Ahli-ahli filsafat atau lebih tepat :
penulis-penulis risalah kefilsafatan pada masa kemunduran ini menamakan dirinya
“Pemuja-pemuja kebenran”. Tetapi sayangnya, bagi mereka memuja kebenaran itu
berarti :
1.
Menghormati
uraian-uraian yang nampaknya logis, tepat dan rapih, tetapi sebetulnya tidak
(Sophistreis, dan
2.
Menjunjung
tinggi usaha-usaha untuk membeda-bedakan sampai ke detail-detailnya dogma-dogma
dari sesutu aliran.
Orang-orang
ini, yang mencari nafkah dengan berkedok ahli dialectica, mengira bahwa saluran
keccil yang mereka pancurkan ke dalam pasir dan menguap menjadi kabut, itu
merupakan sungai raksasa dari Filsafat India.
Hal
ini adalah akibat dari berbagai sebab. Perubahan-perubahan di dalam lapangan
politik, yang terjadi setelah orang-orang Islam berpengaruh di sana, membuat
otak dan jiwa menuasia menjadi alat-alat
mesin yang conservatif. Dan di dalam suatu jaman, dimana hampir setiap hidung
membanggakan dirinya sendiri dan ingin mengadili sendiri, sehingga tata tertib
sosial serta pegangan-pegangan/keyakinan-keyakinan lama diancam akan dihancur leburkan ke dalam
kekacauan anarchi, maka sudah tentu orang lalu menginginkan sesuatu kekuasaan yang
berkewibawaan. Kemenangan pihak Islam, bersama-sama dengan
proganda-propagandanya, dan kemudian pergerakan-pergerakan misi agama Nasrani,
telah berusaha keras untuk menggoncangkan masyarakat Hindu yang kukuh sentausa.
Dan setelah kemudian orang benar-benar menginsyafi adanya
kegoncangan-kegoncangan dan kegoncangan-kegoncangan, maka kekuasaan yang
berkewibawaan lah yang dianggap sebagai satu-satunya tiang yang dapat menopang
keamanan sosial dan tata tertib Ethis. Orang Hindu yang melihat akan terjadinya bentrokan antara
kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, memperkuat kedudukannya
dengan mengadakan perserikatan-perserikatan sebagai pagar untuk merintangi
masuknya ide-ide dari luar. Tetapi masyarakat yang tidak mempunyai kepercayaan
terhadap akal, dan yang sudah tidak mau mendengarkan lagi petunjuk-petunjuk yang
sehat, menceburkan dirinya ke dalam pelukan kekuasaan asing, yang melarang
setiap pikiran untuk mengembara dengan bebas dan leluasa. Maka pada saat itu
lah akal orang India mulai melalaikan
kewajibannya. Tidak ada lagi ahli-ahli pikir, melainkan pelajar-pelajar
saja yang terlalu payah untuk membuat coretan-coretan baru, dan yang sudah puas
kalau dapat mengumandangkan suara-suara lama. Sepanjang beberapa abad, mereka
ini berhasil untuk membohongi dirinya sendiri dengan teori-teori yang katanya
sudah dapat memutusi segala persoalan. Dengan lenyapnya jiwa yang creatif, maka
“Filsafat” menjadi dicampur adaukkan
dengan “Sejarah Filsafat”. Filsafat tidak lagi memenuhi fungsinya, dan sekarang
menjadi terbalut singsat di dalam kubu bayang-bayang. Dengan demikian, maka
Filsafat lalu menyalahi dirinya sendiri, karena tidak lagi menjadi pembimbing
dan penjaga akal yang sehar. Banyak di antara mereka ini menyangka bahwa bansga
India telah mengadakan perjalanan yang jauh
sekali, dan telah sampai pada tujuannya dengan menghabiskan tenaga terakhir. Mereka sudah penat dan
letih, dan rasanya akan jatuh-jatuh
saja, karena ingin berbaring untuk melepaskan lelahnya. Mereka yang tahu bahwa
perjalanannya belum berakhir, dan yang melihat bahwa di muka masih terbentagn
wilayah yang luas, malahan takut akan bahaya-bahaya yang mungkin menunggu di
sebelah sana, Mereka yang berkecil hati ini, tidak berani menanyakan apa
artinya hidup bertangan hampa, atau menanyakan tentang ada tidaknya nilai-nilai
yang abadi. Sebab hantu yang mengawasi penyelidikan-penyelidikan di dalam
wilayah yang belum dikenal, tidak mudah diusir, dan malahan juga ingin
disingkiri oleh mereka yang berbesar hati, bilaman mungkin! Kekuatan manusia yang bagaimana
pun juga besarnya, kadang-kadang dikendurkan oleh kuman-kuman penyakit tidur.
Dan di dalam tiga atau empat abad yagn
terakhir ini, Filsafat India benar-benar terserang oleh peneyakit ini.
11.
KEADAAN SEKARANG
Agama-Agama
yang mempunyai kedudukan penting di dunia ini dan bermacam ragam aliran-aliran
pikiran, kini telah saling bertemu di wilayah India. Adanya kontak dengan orang
dan jiwa Barat, mengusikm perasaan puas yang sementara itu dapat menenangkan
hati serta pikiran orang India. Setelah orang India ini mulai mengenal dan
kemudian menyelami materi dari kebudayaan asing, ia mendapat kesan bahwa tidak
ada sesuatu jawaban resmi yang dapat diberikan atas persoalan-persoalan yang intinya terlalu
“Dalam” (ultimate problems). Orang tidak lagi
percaya akan benarnya jawaban-jawaban/pemecahan-pemecahan yang
tradisional, dan hal ini sedikit banyak telah ikut membuat pikiran manusia
menjadi :
1.
Lebih
bebas, dan
2.
Lebih
mudah dapat menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan lain.
Orang
tidak lagi berpegang pada tradisi, dan di samping para ahli pikir yang sedang
sibuk-sibuknya membangun rumah di atas pondasi lama, ada pula anasir-anasir yang
hendak membuat fundamen yang sama sekali
baru. Tidak dapat tidak, perhatian kita tentu tertarik oleh jaman peralihan
ini, yang mempercepat berdebar-debarnya jantung kita.
Paling
belakang ini, India enak-enak termenanung saja di tanah becek di pinggir
sungai, tanpa juga dihampiri oleh saluran pikiran yang apda waktu yang
bersamaan sedang mengalir dengan derasnya. Akan tetapi, India tidak lagi
terpencil sendirian. Kalau kita menunggu tiga atau empat abad lagi, mungkin
para penulis sejarah dapat bercerita banyak tentang hasil-hasil/akibat-akibat
dari pergaulan antara India dan Eropah ini. Tetapi bagi kita sekarang,
hasil-hasil/akibat-akibat itu masih belum nampak. Di India sendiri, pada dewasa
ini tercatat :
1.
Usaha-usaha
untuk memperluas pengalaman.
2.
Tumbuhnya
sikap yang krits dan
3.
Adanya
rasa segan untuk meneburkan diri di dalam yang teoritis melulu.
Tetapi
di samping itu masih ada juga sudut pandangan lain. Sebab memang sudah menjadi
hasilnya, bahwa baik di dalam pikiran mau pun di dalam perbuatan-perbuatannya,
orang India harus mengalami kemunduran; mundur ke arah anarchi dan mundur ke
tingkat budak. Bagi kebudayaan dan peradaban, kedua-duanya tidak baik. Anarchi
dapat membawa rasa tak aman di dalam soal-soal materiil, keruntuhan kekuatan
ekonomi dan bahaya sosial, yaitu kekeruhan-kekeruhan yang dapat segera lenyap,
asal orang mau menjadi budak dari kekuasaan asing.Tetapi adalah suatu hal yang
keliru sekali, untuk mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dari tinggi rendahnya
tingkat kebudayaan atau peradaban itu adalah ada atau tidak adanya kemakmuran
economis dan dapat atau tidaknya tata-tertib sosial itu ditegakkan.
Bagaimana
pun juga, dapat mudah dimenegrti bagaimana perasaannya orang-orang India ketika
pada awal abad ke 19 (setelah generasi-generasinya sekian lama menyaksikan
pertengkaran-pertengkaran di antara orang-orangnya sendiri dan mengalami
penderitaan-penderitaan di dalam hati sanubarinya) mereka menyambut dengan
gembira datangnya pemerintahan Ingris, yang diharapkan akan dapat menuntun
mereka ke abad Keemasan. Tetapi di samping itu, kita juga dapat setuju dengan
apa yang dirasakan oleh orang-orang India dewasa ini, yaitu bahwa jiwa manusia
:
1.
Tidak
ingin hidup enak, melainkan ingin bahagia.
2.
Tidak
menginginkan keamanan, melainkan ingin hidup bebas.
3.
Tidak
menginginkan stabilitasi ekonomi atau pun Pemerintahan yang baik, melainkan
ingin membersihkan diri dari dosa-dosa, tanpa segan-segan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat atau pun penderitaan kalau ini memang harus
dilaksanakan dahulu untuk mencapai itu.
Karena
tidak ada autonomi politik, maka lalu tidak ada daya pendorong bagi timbulnya
kebajikan-kebajikan, juga kebajikan-kebajikan yang sifatnya tidak politis. Ingris telah mendatangkan
perdamaian dan keamanan di wilayah Inida, tetapi ini bukanlah merupakan tujuan
kita yang terakhir. Sebab kita harus mengakui bahwa stabilisasi ekonomi dan
keamanan politik itu hanya alat-alat saja (sekali pun juga alat-alat yang
penting sekali) untuk mencapai kebebasan di lapangan kejiwaan/kerohanian.
Pemerintah Ingris yang dengan keras kepala selalu meementingkan dan memaksa
kehendaknya sendiri, sudah barang tentu melupakan kebutuhan-kebutuhan para hambanya
di lapangan kejiwaan. Maka sekali pun membawa perbaikan-perbaikan dan
keringanan-keringanan, tidak berhasillah mereka untuk tetap melakukan
penindasan, dan tidak berhasillah mereka untuk meyakinkan para hambanya akan
baiknya system pemerintahan Ingris. Dan bilamana sumber-sumber hidup menjadi
makin kering, bilamana idam-idaman yang diimpi-impikan oleh bangsa India sejak
ribuan tahun makin menjauh, bilamana cahaya yang menerangi kesadaran jiwa
manusia makin kurang berkilaunya. Bilamana orang tidak lagi begitu bebas dalam
mempraktekkan kemampuan-kemampuannya masing-masing, bilamana keindahan serta
kenikmatan hidup, dan rasa tenang dan damai sudah makin berkurang, atau
sebagaimana dikatakan oleh orang India, Bilamana Pranaramam, mana anandam,
santi samrddham menjadi makin mundur, maka tidaklah mengherankan bahwa orang
India lalu tidak lagi merasakan ringannya tanggungannya, melainkan hanya
meyakini adanya beban berat yang menindas dan menggencatnya.
Tidak
ada manfaatnya untuk membicarakan tentang betapa hebatnya pekeraan orang-orang
Ingris dahulu, sebab sejarah sudah terlanjur memberikan keputusannya, justru
suatu keputusan yang didasarkan atas tinggi rendahnya nilai kejiwaan/kerohanian
yang terdapat di dalam di dalam pekerjaannya itu. Bahwa dpemimpin-pemimpin dari
generasi belakangan ini sduah merasa puas dengan hanya mengumandangkan
lagu-lagu lama saja, dan tidak memperdengarkan suara-suara baru, bahwa mereka
hanya merupakan “perantara-perantara indtelektual” saja dan bukannya ahli-ahli
pikir yang asli, itu seberapa banyak adalah akibat dari “perkenalan yang
mengejutkan” dengan jiwa Barat, dan juga akibat dari perbudakan yang membuat
orang India berputih mata \. Orang-orang Ingris sendiri tahu juga, bahwa sikap
India dewasa ini, yang entah disebut mengacau keamanan, entah memberontak,
entah menentang, itu mempunyai dasar-dasarnya yang dalam. Orang-orang Inggris
berdaya upaya untuk meresapkan kebudayaan mereka ke dalam hati orang-orang
India, dan sudah barang tentu mereka menganggap kebudayaannya sendiri lebih
tinggi tingkatannya. Mereka merasa bahwa cara yang sebaik-baiknya ialah
menyalurkan kebudayaan mereka melalui penerangan dan pendidikan, dan ini mereka
lakukan tanpa ragu-ragu dan tanpa kenal payah, dengan suatu system yang memang
rapih sekali.
Tetapi
orang India tidak dapat menerima politik “Imperalisme kebudayaan” ini. Ia
berpegang erat pada adat kebiasaan kuno dan ini adalah salah satu sebabnya,
mengapa ia dapat berhasil mengendalikan kegoncangan nafsunya, berhasil membuka
matanya, dan berhasil memberantas penyelewengan-penyelewengan dari
keinginannya. Siapa saja yang kenal akan sejarahnya, tentu dapat sehati dengan
hasrat orang India untuk mendiami “rumah kejiwaannya” sendiri, sebab : “Sarwas
swe swe grhe raja, artinya setiap orang adalah raja didalam rumahnya sendiri.
Karena
tidak ada kemerdekaan di dalam lapangan politik, maka jiwa orang India yang
hendak bergerak secara bebas, lalu mendapat gangguan. Maka tidak mengherankan,
bahwa hal ini dirasakan sebagai penghinaan besar. Pekik “swaradji!” dimaksdukan
sebagai pernyataan dari hasrat orang India untuk melindungi, jangan sampai ada
gangguan-gangguan yang dapat berpengaruh di lapangan kerja dari jiwa/roh.
Bagaimana
pun juga, masing-masing memberi banyak harapan. Bilamana orang India dapat
membersihkan gangguan-gangguan tersebut dan mencapai kemerdekaan di lapangan
kejiwaan, bantuan besar bagi perkembangan jiwa orang India.
Di
dalam lapangan kebudayaan, tidak pernah alam pikiran Hindu menghasilkan
ajaran-ajaran yang menyerupai ajaran Monroe. (Doktrina Monroe yang juga
terkenal sebagai ajaran “Amerika untuk bangsa Amerika”, menghendaki bahwa
Eropah tidak boleh campur tangan di dalam urusan-urusan Amerika, dan sebaliknya
Amerika juga tidak akan ikut campur tangan di dalam urusan orang-orang Eropah.
Pen). Malahan juga pada zaman kuno, sewaktu India masih dapat memberikan cukup
banyak santunan-santunan rohani kepada rakyatnya sendiri, tidak pernah mereka
mengalami sesuatu periode di mana mereka segan-segan untuk menerima dengan baik
hasil-hasil dari ide orang asing. Pada zaman yang cemerlang itu, sikap
orang-orang India dapat disamakan dengan sikap orang-orang Athena yang terkenal
karena kecerdasannya, di mana Pericles berkata : “Kita dengan senang
mendengarkan pendapat-pendapat orang lain, dan kita tidak memalingkan muka
terhadap mereka yang tidak stuju dengan pendapat kita”.
Ketakutan
orang India pada pengaruh dari luar, sudah seimbang dengan
kelemahan-kelemahannya, dan seimbang dengan tidak adanya kepercayaan pada
dirinya sendiri. Kami mengakui, bahwa kini pada muka kami nampak kerut-kerut
akibat kesedihan, sedang rambut kami
nampak putih karena umur lanjut. Yang sehat-sehat pikirannya di antara kami,
hatinya makin lama makin was-was, dan malahan ada yang menjadi pessimistis
sekali, hingga menjadi pertapa-pertapa intelektual. Dengan demikian maka tidak
adanya “kerja sama” antara Kebudayaan Timur dan Barat di sini adalah akbita
dari suatu keadaan yang tidak wajar (Unnatural), jadi hal itu tidak akan teteap
demikian untuk seterusnya. Tetapi walau pun tidak ada kerja sama, namun ada
usaha-usaha untuk mengerti dan menerima baik jiwa dari kebudayaan barat.
Apabila India dapat memasukkan untnsur-unsur yang bernilai dari kebudayaan
Barat, kemudian kebudayaannya sendiri, maka hal itu semata-mata akan merupakan
ulangan belaka dari parallelisme-parallelisme yang sudah kerap kali terjadi di
dalam Sejarah Alam Pikiran India.
Orang-orang
yang sama sekali tidak kena pengaruh Barat, kebanyakan tergolong lapisan
intelektual dan bangsawan-bangsawan yang bermoral. Mereka itu acuh tak auh
terhadap perkembangan-perkembangan politik, dan tidak begitu mengharap-harapkan
sesuatu, karena mereka sudah bertawakal pada keadaan, dan hidup menyendiri.
Mereka beranggapan bahwa tidak ada banyak hal lagi yang patut dipelajari atau
patut ditinggalkan. Dan satu-satunya hal yang mereka lakukan sebagai kewajiban,
adalah melamunkan Dharma abadi dari masa yang lampau. Mereka menginsyafi adanya
kekuatan-kekuatan lain yang sedang mengamuk dan yang belum dapat dikuasai.
Mereka menganjurkan supaya angin-angin badai dan kekecewaan-kekecewaan yang
mengancam hidup dari segala sudut itu dihadapi saja dengan penuh ketenangan dan
penuh rasa harga diri.
Andaikata
mereka ini hidup di dalam jaman yang “lebih baik” niscaya mereka akan lebih
berhasil untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitarnya, dan niscaya
mereka tidak akan mau berhenti mengadakan usaha-usaha untuk menyesuikan
Filsafat yang rational dengan agama rakyat. Mereka selalu bersedia memberi
penjelasan-penjelasan mengenai Agama, dan bersedia membelanya terhadap
kecaman-kecaman dari pihak yang tidak percaya, dengan mempergunakan methode
allegoris (Methode yang didasarkan atas sysbol-symbol/lambang-lambang,Pen)
dalam memberi tafsiran-tafsiran yang theologis. Di dalam gambaran mereka
lapangan kerja Agama itu meliputi seluruh sifat-sifat manusia meliputi
kecerdasannya dan cita-citanya, baik cita-cita yang praktis maupun yang
emosional (yang berdasarkan getaran-getaran jiwa, Pen,) Andaikata kini, mereka
yang mewakili kebajikan jaman kuno itu juga mempunyai inspirasi-inspirasi
seperti tokoh-tokoh dahulu, niscaya mereka dengan kecerdasan yang diwaris dari jaman kuno, sudah membangun
suatu skema baru yang mentereng karena garis-garisnya yang asli, dan karena
suasananya yang bebas. Jadi mereka tidak akan duduk menganggur begitu saja,
untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak suka bekerja sama dengan kekuasaan
asing. Sebaliknya mereka ini menghormati setinggi-tingginya “penuntun-penuntun
yang berkewibawaan” (Authtority) di dalam alam pikiran dan alam perbuatan, baik
yang berhubungan denegan kejiwaan amupun dengan hal-hal yang nilainya tahan
lama, sehingga dengan demikian mereka mudah dituduh sebagai “Budak-budak di
lapangan kejiwaan” dan sebagai “pekerja-pekerja di dalam kamar gelap”. Dimana
dahulu orang mampu dan bersedia memberikan alasan-alasan yang rasional, mengapa mereka tetap setia
pada sesuatu penuntun berkewibawaan yang menjadi pilihannya (entah apakah penuntun-pemilihannya
ini berupa Weda atau Agama), dan di mana dahulu, penuntun-penuntun yang
berkewibawaan itu memperdengarkan amanatnya melalui censur logika akal yang
menyaringnya secara kritis dan menafsirkannya secara filosofis, sekarang
penghormatan tentang “penuntun-penuntun yang berkewibawaan” itu justru
merupakan penjara bagi jiwa manusia. Orang beranggapan bahwa menguji kebenaran
naskah-naskah kuno itu berarti kurang menghormati tokoh-tokoh yang sudah
meninggal. Sebaliknya, kalau orang menerima kebenarannya, maka itu diangggap
sebagai tanda kesetiaan. Setiap pertanyaan atau pun keragu-raguan ditindas
dengan mendengungkan naskah-naskah kuno, sedang kebenaran-kebenaran ilmiah itu
tidak diakui 100% kalau tidak sesuai dengan Agama/kepercayaan yang dianut.
Sikap yang passif dan sabar, menurut dengan patuh dan tanpa bertanya, dan
bertawakal pada nasib dan keadaan, dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai
nilai utama di dalam lapangan intelektual. Maka juga sama sekali tidak
mengherankan bahwa risalah-risalah kefilsafatan dari jaman belakang ini,
tingkatnya jauh lebih rendah daripada buah-buah karya dari abad-abad yang
lampau. Andaikata pikiran mereka tidak begitu tegang, keras dan liat, maka
pandangan mereka tentu tidak sesempit itu.
Ahli-ahli
pikir India adalah waris-waris dari :
“Tokoh-tokoh
yang mempunyai tradisi luhur, yaitu yang menaruh kepercayaan pada Akal.”
Bukanlah
menjadi keinginannya para Nabi dahulu, untuk menyalin/meniru hal-hal yang lama,
melainkan untuk :
“Menciptakan
hal-hal yang beru”.
Nabi-Nabi
itu senantiasa mempunyai hasrat besar untuk :
1.
Mencari
kebenaran-kebenaran baru di dalam wilayah yang belum di kenal, dan
2.
Mencari
jawaban atas teka-teki pengalaman-pengalaman yang selalu berubah-ubah, jadi yang
selalu merupakan bahan baru.
Warisan
sebanyak itu, pada aslinya tidak pernah dimaksudkan untuk memperbudak jiwa dari generasi-generasi
yang datang gkemudian. Maka janganlah kita hanya menyalin/meniru saja
pemecahan-pemecahan yang diberikan oleh jaman yang lampau, sebab tidak pernah
sejarah itu berulang di dalam ujud yang persis sama. Apa yang sudah dijalankan
pada masa yang silam, tidak perlu diulangi lagi pada masa kita sekarang. Kita
hendaknya mengikuti segala sesuatu dengan mata terbuka, supaya dapat menemukan
persoalan-persoalan yang perlu kita renungkan, dan juga perlu kita pecahkan
dengan inspirasi dari jaman yang lampau. Semangat mencari kebenaran itu tidak
selalu mempunyai bentuk-bentuk yan sama
saja. Maka hendaknya kita setiap kali memperbaharui lagi bentuk-bentuk yang
lama. Malahan juga kalimat-kalimat yang lama, harus dipergunakan dengan cara
yang berlainan. Filsafat
dari masa sekarang harus mempunyai arti bagi masa sekarang, tidak bagi masa
yang silam. Yang ditafsirkan oleh filsafat, adalah hal ikhwal mengenai hidup, yang
disifatinya tetap asli saja. Maka Filsafat sebagai juru tafsirnya, harus
pula mempunyai bentuk dan isi yang sama aslinya dengan itu. Dan oleh karena
masa sekarang itu adalah lanjutan dari masa yang lampau, maka dengan demikian
juga continuitet yang berlangsung dari dahulu sampai sekarang, juga tidak akan
terpatahkan karenanya.
Salah satu di antara
alasan-alasan yang dikemukakan oleh kaum conservatif yaitu bahwa : “KEBENARAN ITU TIDAK TERPENGARUH OLEH
WAKTU” Mustahil sesuatu kebenaran itu dapat diganti, seperti juga tidak
mungkin untuk mengganti keindahan matahari terbenam atau pun kasih sayang ibu
terhadap anak. Saya mengakui, memang kebenaran itu boleh jadi tidak
berubah-ubah, tetapi kebenaran yagn tetap sama itu dilahirkan di dalam sesuatu
bentuk yang berdasarkan unsur-unsur yagn
dapat berubah-ubah. Maka bolehlah jiwa kita itu sama dengan jiwa kuno, sebab
benih dari ide-ide kuno itu tetap memegang peranan pening, tetapi tubuh
kita dan juga berdebarnya jantung kita,
tidak boleh ketinggalan jaman. Orang lupa, bahwa Agama kita ini adalah hasil dari perubahan-perubahan
dan pergantian-pergantian abad. Maka kiranya juga tidak ada alasan untuk
melarang Agama berganti/berubah bentuknya, asal saja dikehendaki oleh jiwa dari
jaman baru. Boleh orang tetap setia
sesetia-setianya pada kepercayaan
yang lama, tetapi jiwanya (yang
sudah ketinggalan jaman) haruslah diubah. Andaikata para pemimpin dari
orang-orang Hindu yang hidup 2.000 tahun yang lalu (yang tidak banyak mengenyam
ilmu pengetahuan tetapi yang berjiwa besar) itu datang kembali lagi ke bumi,
maka mereka akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa di antara penganut-penganut
mereka yang paling setia (artinya yagn berpegang erat pada penafsiran secara
lurus/ leterlijk dari ajaran-ajaran mereka, dan tidak ada seorang pun yang
mengikuti langkah-langkah mereka, dan tidak pernah menyeleweng dari itu), tidak
ada seorang pun yang mengikuti langkah-langah mereka tepat 100% seperti yang
mereka kehendaki dahulu.
-----------------------------------------
Catatan penulis :
Bandingkanlah dengan aapa yang
dikatakan oleh Aurobindo Ghosh, di dalam “Arya” :
“Andaikata orang India dari jaman Upanisad, atau dari jaman Buddha, atau
dari abad klasik yagn datang kemudian, itu pada jaman moderen ini kembali
melihat tanah airnya, amak ia akan menyaksikan betapa eratnya bangsa India
berpegang pada bentuk-bentuk luar, rangka-rangka dan kulit-kulit dari jaman
yang lampau, tanpa juga mengerti banyak akan intinya yang sebenarnya. Sebab
intinya yang sebenarnya adalah jauh lebih luhur dan mulia daripada yang mereka
sangka.
Ia akan tercengang melihat betapa miskinnya jiwa mereka, betapa tipisnya
keinginan mereka untuk bergerak, betapa statisnya sikap mereka hingga
mengulang-ulangi saja lagu-lagu yang lama, betapa sedikitnya perhatian mereka
akan ilmu pengetahuan, betapa tipisnya hasil mereka di dalam lapangan kesenian,
dan betapa lemahnya daya pencipta
mereka.”
----------------------------------------
Pada dewasa ini, kukup yang
bertumpuk-tumpuk, sudah menghalang-halangi mengalirnya air, dan merintangi
gerak bebas dari jiwa. Apabila orang berkata bahwa bentuk-bentuk kuno yagn
sudah “mati” (sebab tidak lagi mengandung kebenaran-kebenaran yang tidak boleh diabaikan) itu terlalu antik
dan terlalu berkewibawaan untuk dibuat main-main, maka itu berarti
memperpanjang saja penderitaan pasien yagn sudah lama merana karena racun dari
sampah-sampah busuk yang ditinggalkan oleh masa yang silam. Seharusnya jiwa
yang conservatif itu membuka pintu untuk memberi jalan kepada
perubahan-perubahan yagn tidak dapat kita cegah. Tetapi karena pintunya tidak
terbuka lebar, tidak lain karena orang belum merasa apa perlunya mengadakan
perubahan-perubahan, maka di dalam lapangan Filsafat lalu mendapat suatu
campuran yang aneh. Yaitu campuran antara
kecerdasan yang meresap ke mana-mana dan kebingungan-kebingungan yagn
sifatnya ajauh dari filosofis.
Mereka yang mau berpikir, seharusnya mengerahkan sebagaian besar dari
tenaganya pada soal-soal
:
1.
Bagaimana
caranya membebaskan kepercayaan lama serta kekuatan-kekuatan lama dari
kukupnya;
2.
Bagaimana
caranya menyesuaikan Agama dengan jiwa ilmiah;
3.
Bagaimana
caranya memenuhi dan menafsirkan permintaan-permintaan dari tabiat-tabiat
perseorangan, dan
4.
Bagaimana
caranya menguasai kekuatan-kekuatan yang bercerai berai dengan mendasarkan diri
atas kepercayaan orang-orang dari Jaman Kuno.
Tetapi sayangnya. Ada beberapa
orang yang pikirannya tidak dicurahkan pada soal-soal tersebut, melainkan pada
hal-hal yang menarik perhatian para ahli purbakala. Dan dilapangan ini kemudian
memang terdapat berbagai specialis (ahli). Pendidikan yang diberikan oleh
Negara, sifatnya religius dan tidak didasarkan atas pandangan yang luas. Orang
belum insyaf-insyaf saja bahwa jiwa yang diwaris dari jaman kuno itu tidak
hanya diperuntukkan bagi beberapa
gelintir manusia saja. Ide-ide adalah
kekuatan, dan kekuatan-kekuatan ini harus dipancarkan, apabila tidak
dikehendaki bahwa generasi sekarang akan mengakhiri hidupnya. Dan memang akan
mengherankan sekali, andaikata jiwa dari Upanisad, dari Gita dan dari
dialog-dialog Buddha (yang dahulu dapat
menggerakkan manusia sampai menciptakan hasil-hasil yang gemilang) itu tidak lagi
dapat memberikan pengaruhnya kepada manusia jaman sekarang. Jikalau (sebelum
terlambat) sekarang diadakan reorganisasi di dalam tata hidup nasional, maka
alam pikiran India akan dapat melangkah ke suatu mada depan yang penuh harapan.
Dan orang tidak dapat meramalkan sebelumnya, bunga-bunga apakah yang akan mekar
nanti, dan buah-buah apakah yang masih dapat masak pada pohon-pohon tua yang
masih tetap tahan uji.
Di samping orang-orang yang
conservatif (kolot) di dalam pikiran dan perbuatan, yang tidak kena pengaruh
dari kebudayaan Barat, ada beberapa lainnya yang setelah mendapat pendidikan di
dalam cara-cara berpikir secara Barat, kemudian menganut suatu kefilsfatan yagn
Rationalistis Naturalistis, dan minta supaya mereka dibebaskan dari beban yagn
ditinggalkan oleh jaman kuno. Mereka itu mempunyai tradisi yang tidak kenal
toleransi, dan tidak begitu percaya bahwa kebijaksanaan orang India sudah
mencapai tingkat kedewasaannya. Dikap dari mereka yang menyebut dirinya
“Progressif” ini, dapat mudah dimengerti. Jiwa yang diwaris oleh bangsa kami,
tidak dapat melindungi India terhadap serangan-serangan dari para “penyerbu”
dan para “perusak” itu. Agaknya India telah dikhianati sedemikian rupa hingga
sekarang kehilangan kemerdekaannya. Sebab mereka yang menamakan dirinya
“pecinta tanah air ini, berharap besar untuk meniru negara-negara Barat dalam
mengejar dan memenuhi keinginan-keinginan materiil. Mereka menghancurkan
akar-akar dari kebudayaan kuno, untuk memberi tempat kepada barang-barang baru
yang diimpor dari Barat. Sampai di hari-hari belakangan, Filsafat India telah
dijadikan obyek di dalam studi yagn diselenggarakan pada
Universitas-Universitas India, dan malahan pada saat ini kedudukannya di dalam
rencana pelajaran Filosofis pada Universitas-Universitas itu tidaklah begitu
besar artinya. Seluruh system pendidikannya mengandung saran, seakan-akan
kebudayaan India itu lebih rendah tingkatannya. Sekali pun politik yang dipraktekkan oleh Macauly itu mengandung
nilai-nilai kebudayaan, namun itu terang-terangan menyebelah pihak dan berat
sebelah. Politik tersebut dilakukan dengan sangat berhati-hati, dan
mempergunakan kata-kata pilihan yang halus untuk memperingatkan kita pada
kekuatan dan pada pentingnya kebudayaan Barat. Tetapi bagaimana pun juga
berhati-hatinya, dan bagaimana pun halusnya juga kata-katanya, politik itu
tidak mendorong orang India untuk menyayangi kebudayaannya sendiri. Harapan
Macaulay sedikit banyak telah terpenuhi, sebab akhirnya telah dididik : “Orang
India yang “lebih Ingris daripada orang Ingris sendiri.”
Sudah barang tentu bahwa
bebereapa diantara mereka ini sependapat dengan kritik-kritik orang luar, yang
memang memusuhi kebudayaan India. Kalau kita melihat evolusi kebudayaan India.
Kalau kita melihat Evolusi kebudayaan di India, demikian akta mereka, maka kita
akan menyaksikan pemandangan yang suram. Sebab di situ kita akan mendapat kebodohan-kebodohan
dan takhayul-takhayaul, tanpa melihat satu keselarasan pun. Baru-baru ini,
seorang di antara mereka mengatakan : “Kalau India masih ingin maju dan masih
ingin menginjak jaman yagn bersemarak, maka di dalam lapangan kejiwaan, Inggris
harus menjadi ibunya, sedang yunani harus menjadi neneknya!”
Tetapi karena ia tidak menaruh
kepercayaan pada agama, maka ia juga tidak ingin mengganti Hinduisme dengan
Agama Nasrani.
Orang-orang yang menjadi korban
dari jaman yang penuh dengan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan-penderitaan ini,
memberi kesan kepada kita, bahwa yagn merupakan sisi lemah dari benteng
pertahanan nasionalisme itu ialah :
“Tidak adanya cinta akan alam
pikiran India. Tetapi mungkin ini alah akibat dari bertingkahnya golongan
intelektual saja!”
Adalah suatu peristiwa yang
mencengangkan, bahwa justru sewaktu Barat mulai menghargai kebudayaan India,
beberapa di antara putra-putra India sendiri malahan mulai menghinanya.
Berkali-kali Barat telah berdaya upaya untuk meyakinkan orang-orang India,
bahwa Filsfat India tidak dapat masuk akal, bahwa kesenian India tidak berjiwa,
bahwa Agama India menggelikan, dan bahwa Ethica India mengerikan. Kemudian
setelah Barat merasa bahwa apa yang dikatakan itu tidak 100 persen benar, maka
beberaepa di antara orang-orang India sendiri justru memperkuat kebenarannya
100%.
Sekali pun sukar juga untuk
menarik manusia kembali ke kebudayaannya sendiri, yang lebih rendah
tingkaatannya kalau ditinjau dari sudut logica
pikiran Barat, yaitu dengan maksud supaya kita dapat membersihkannya
dari keragu-raguan dan kekuatan-kekuatan dialectica yagn destructif, namun
jangan dilupakan bahwa kita akan lebih mudah membangun di atas fundamen yang
sduah ada, daripada berusaha untuk menggantinya dengan stuktur yang sama sekali baru, mengenai tata susila,
mengenai tata hidup, dan mengenai ethica. Kita tidak dapat memotong-motong dan
memisahkan diri kita dari sumber-sumber hidup kita. Berlainan dengan konstruksi
konstruksi di dalam ilmu ukur, skema-skema kefislafatan ittu adalah buah-buah
dari hidup manusia. Apa juga yang diwariskan oleh sejarah kepada kita, adalah
makanan yang harus kita hirup, kalau kita tidak mau mati karena kehabisan
tenaga.
Kaum conservatif benar-benar
yakin akan kemegahannya warisan-warisan dari jaman kuno, dan mereka benar-benar
yakin bahwa kebudayaan moderen tidak memberi tempat kepada Tuhan. Demikian juga
kaum Radical mempunyai kepastian bahwa warisan-warisan dari jaman kuno itu tidak
berguna, dan bahwa yang bernilai tinggi itu adalah Rationalisme yang
Naturalistis. Banyak dapat dikatakan
tentang kedua pandangan itu. Tetapi kalau kita mempelajari sejarah Alam Pikiran
India dengan baik, maka kita akan berkesimpulan bahwa : “baik pandangan kaum
Conservatif mau pun pandangan kaum Radical itu kedua-duanya sama-sama
kelirunya.
Mereka yang mencacimaki
kebudayaan India karena dikatakan tidak berguna, terang-terang tidak mengetahui
banyak tentang hal itu, sedang mereka yang memuja-mujanya karena dianggap
paling sempurna, juga erang-terang tidak mengetahui banyak mengenai
kebudayaan-kebudayaan lain. Kaum Radical dan Kaum Conservatif, yang satu dengan
cita-citanya akan mencapai hal-hal yang baru, yang lain dengan idam-idaman
untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran yang lama, kedua-duanya harus saling
dekat mendekati dan saling
paham-memahami pendiriannya. Sebab tidak dapat orang itu menyendiri di dalam
sebuah masyarakat kecil, di mana umat manusia tersebar di dunia yagn luas,
dengan kapal-kapal terbang, kapal-kapal, kereta api dan P,T,T, yang
menghubungkan orang satu dengan yang lain hingga menjadi satu “keseluruhan
hidup”. System pikiran kita harus mengadakan aksi dan reaksi terhadap
kemajuan-kemajuan dunia. System-system yang tidak bergerak itu sama saja dengan
kolam air yang dikerumuni oleh tumbuh-tumbuhan yagn tak sedap dipandang mata,
sedang sebaliknya sungai-sungai yang mengalir, itu setiap kali membawa
persediaan air baru dari sumber-sumber inspirasinya. Tidak ada salahnya untuk
meresapkan kebudayaan-kebudayaan lain di dalam hati sanubari kita. Hanya saja,
kita harus : Menambah, mempertinggi dan memurnikan unsur-unsur yang kita oper,
untuk diolah bersama-sama dengan yang paling baik di antara unsur-unsur
kebudayaan kita sendiri.
Bagaimana caranya mengolah dan menggodok
berbagai unsur itu di dalam kuali nasional, hal itu didalam garis besarnya
diterangkan di dalam buah-buah karangan dari Gandhi dan Tagore, dari Aurobindo
Ghosh dan Bhagawandes. Buah-buah karangan ini memberi sementara harapan akan
datangnya masa depan yang gemilang, menunjukkan beberapa bukti bahwa
pandangan-pandangan yang scholastis sudah tertaklukkan, dan juga
mengumandangkan suara-suara yang kembali menuju ke keagungannya kebudayaannya
sendiri. Di samping mengoreti sumber-sumber dari Idealisme yagn Humanistis di
India dahulu, penulis-penulis itu memperingatkan supaya kita memperhatikan alam
pikiran Barat, dan supaya itu diresapkan di dalam hati sanubari kita. Mereka
berhasrat akan mempergunakan kembali sumber-sumber dari jaman kuno, dan
berhasrat akan mengalirkan airnya ke tanah-tanah di mana merajalela bahaya
kelaparan dan kehausan, dengan pimpinan yang suci murni dan yang bersih dari
segala macam korupsi.
Tetapi apda prakteknya, masa
depan yang akan datang, tidak akan memenuhi idam-idaman kita seluruhnya. Dengan
lesunya kegiatan-kegiatan di dalam lapangan politik (yang telah menghabiskan
banyak tenaga dan pikiran terutama dari yang pandai-pandai di antara
orang-orang bangsa India), dengan diperbanyaknya dan didperluasnya studi
mengenai alam pikiran India pada Universitas-universitas baru (sedang
Universitas-universitas yang lama lambat
laun mengikuti juga, sekali pun dengan perasaan enggan), mungin fajar masih
dapat menyingsing. Sedang Kaum Conservatif, yang lebih suka melihat masa yagn silam daripada masa depan,
nampaknya tidak akan berdaya lagi di hari-hari yang akan datang.
Persoalan yang apda dewasa ini
sedang dihadapi oleh Filsafat India, yaitu :
1.
Apakah
Filsafat India akan dijadikan suatu upacara/ibadah keagamaan (cult) saja,
dengan lapangan kerja yang terbatas dan tanpa dibolehkan menyelidiki
fakta-fakta yagn sekarang ada, atau;
2.
Apakah
Filsafata India akan diberi hidup dan dibuat nyata, agar supaya tidak menyalahi
dirinya sendiri dan dapat merupakan salah satu dari unsur-unsur penting yang
menentukan kemajuan umat manusia, dengan jalan mempertalikan pengetahuan modern
(yang sudah luas sekali) dengan cita-cita dari ahli-ahi Filsafat dari jaman
kuno.
Semua gejala-gejala yang ada,
menunjukkan bahwa masa depan akan menyaksikan terlaksananya akemungkinan yagn
nomor dua, agar supaya orang dapat setia akan system-system pikiran yang
dahulu-dahulu, dan sekaligus juga memenuhi panggilan Filsafat, maka ia harus : “mempunyai
pandangan yang makin lama makin bertambah luas.”
Hanya bilamana Filsafat India
dapat maju dan dapat memuliakan hidup kita, maka barulah itu ada artinya bagi
amsa sekarang, dan barulah orang mau mengakui bahwa filsafat India itu memang
benar-benar diperlukan. Mudah-mudahan hal itu dapat terlaksana hendaknya, sebab
kalau kita melihat proses perkembangan filsafat India dari masa yang lalu, maka
kita benar-benar mempunyai banyak harapan. Terutama dengan adanya ahli-ahli
pikir yang ulung-ulung seperti Yadjna Walkya dan Gargi, Buddha dan Mahawira,
Gautama dan Kapila, Sjamkara dan Ramanudja, madhwa dan Wallabha, dan banyak
lainnya, maka India menjadi berhak untuk ikut menghias kulit bumi. Sebab
tokoh-tokoh itu merupakan bukti yang nyata, bahwa : “Bansga India adalah suatu
bangsa yang bermartabat, suatu bangsa yang berjiwa.
Lain dari pada itu, mereka juga
menunjukkan adanya kemungkinan, bahwa India masih sanggup bangkit untuk berdiri
lebih tinggi daripada tingkatnya sekarang, dan bahwa kesanggupan yang seluhur
itu dapat terlaksana pula.
T A M A T
Kota Sepanjang, Sidoarjo,
Jatim, Jum’at : 5 September 2014.