“NABI
MUHAMMAD DALAM KARYA IQBAL”
Bab terakhir dalam Buku “Dan Muhammad
Adalah Utusan Allah”
Penerbit : Mizan
Penyadur : Pujo Prayitno
Berbagai segi penghormatan kepada Nabi Muhammad saw. tampaknya bertemu
di dalam karya Muhammad Iqbal, penyair filosof Indo-Muslim yang untuk pertama
kalinya mengungkapkan gagasan tentang sebuah negara Muslim yang merdeka di
barat laut anak Benua India dan yang karena itu dinyatakan sebagai “Bapak
spiritual” Pakistan. Bangsa ini lahir sembilant ahun setelah meninggalnya (21
April 1938) pada 14 Agustus 1947.
Karya Iqbal merupakan suatu pintalan berbagai nuansa yang menarik yang
berkisar dari fundamentalisme Islam sampai teori-teori ilmiah paling mutakhir
dari Barat, dari penerbangan-penerbangan mistikal ke dalam Hadirat Tuhan sampai
analisis-analisis rasional tentang fenomena spiritual. Kepelbagai macam ini,
nyata sekali di dalam karya prosanya yang berbahasa ingris, The Reconstruktion of Religious Thoughl in
Islam (yang hampir pasti diilhami oleh judul karya Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum
Al-Din) dan dalam beberapa artikel berbahasa Ingris; teapi hal itu juga, dan
sungguh secara dominan, terungkapkan dalam baris sajak Urdu dan Persianya.
Gambaran-gambaran lama, yang sudah dikenal baik oleh pembaca Muslim selama
berabad-abad, diambil dalam puisi ini dan diberi kandungan baru. Nabi Islam
tampil di dalam karya Iqbal seperti dalam karya-karya beribu-ribu penyair dan
pemikir terdahulu sebagai tokoh sentral bagi kehidupan spiritual Muslim, tokoh
yang mengungkapkan dirinya dalam bidang-bidang yang senantiasa berubah dan yang
penggambarannya oleh Iqbal berpuncak pada pernyataan yang berani di dalam
Javidnama ( yang sekaligus juga mengungkapkan tentang “perjalanan ke
langit”-nya sang penyair sendiri) :
Tuhan
dapat kau ingkari, namu Nabi tak!
Setelah menyelesaikan studi-studinya
dalam filsafat dan hukum di Cambridge, Iqbal menghabiskans ekitar enam bulan di
Jerman pada 1907; dan di sana menjadi pengagum Goethe yang bersemangat, yang
karyanya baginya, merupakan pengejawantahan tertinggi puisi kratif. Karena itu
dapat dimengerti bahwa dia merasa, terutama,
tertarik pada tokoh Faust, orang yang tidak pernah berhenti dalam
mencari realisasi diri, dan kepada West-Ostlicher Divan. Pada tahun 1923, dia
menyusun “Payam-i Masyriq (Pesan Dari Timur) sebagai jawaban dalam bahasa
Persia terhadap West-Ostlicher Divan, dan dia menunjukkan dalam prakatanya
bahwa Goethe telah menunjukkan perhatian kepada hal-hal Islam sejak mudanya.
Syair Goethe, “Mahomet Gesang”, ditulis ketika penulis muda ini sedang
merencanakan sebuah drama tentang Nabi Islam pada 1772, mengilhami Iqbal
sedemikian rupa sehingga dia mempersembahkan kepada pembacanya sebuah versi
Persia dalam Payam-i Masyriq, yang dia sendiri mengkarakterisasikannya dalam sebuah
catatan kaki :
Sebuah terjemahan yang benar-benar bebas ata “Mohamets
Gesang”-nya Goethe yang termasyhur. Dalam syair ini, yang ditulis jauh sebelum
West-Ostlicher Divan, penyair Jeman ini telah menunjukkan gagasan Islam tentang
kehidupan dengan benar-benar indah. Sebenarnya hal itu adalah bagian dari
sebuah daram islami yang dimaksudkannya (untuk ditulis) tetapi tidak dapat
diselesaikannya. Maksud penerjemahan ini, tak lain adalah menunjukkan pandangan
Goethe.
Iqbal memulai terjemahannya dengan baris-baris
:
Lihatlah arus air, bagaimana ia mengalir, mabuk,
Seperti sebuah galaksi di tengah-tengah padang rumput!
Dan mengakhiri syair agak panjang itu
dengan :
Betapa menakjubakn! Samudra tak berpantai --- bagaimana ia mengalir, mabuk,
Khas dalam dirinya, asing bagi segala lainnya, ia
mengalir!
Gambaran tentang sungai sebagai metafor untuk aktivitas
kenabian sangat dekat dengan pemikiran mistik Islami teologi Syi’ah abad
pertengahan, Al-Kulaini, bahkan mengutip sebuah perkataan yagn dinisbatkan
kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, Imam Pertama Syi’ah : “siapakah sungai besar itu? Rasulullah dan
pengetahuan yang telah diberikan kepadanya.”
Dan ketika Iqbal, sembilan tahun setelah Payam-i Masyriq, menggambarkan “perjalanan
ke langit”-nya sendiri di dalam Javidnama yang diberi nama samawi Zindarud, “Arus
Hidup”. Nama ini jelas menunjuk ke hubungannya dengan Nabi, yagn sangat dia
upayakan untuk diikuti dalam segala bidang kehidupan, dan yang risalah
dinamikanya ingin diperbaruinya di dunia ini.
Pujian Iqbal kepada Nabi sering
bersifat tradisional. Dalam sebuah syair Urdu awal, yang tidak diterbitkannya
dan yang akrena itu disajikan hanya dalam sebuah himpunan yang diterbitkan jauh
setelah meninggalnya, dia bahkan menggunakan gambaran hadis qudsi tradisional “Aku adalah Ahmad tanpa m, Ahad, Esa,” dengan
mengklaim bahwa sang pecinta melihat Allah melalui Nabi. Kemudian dengan
hati-hati dia menghindari hadis ini sebab tampaknya membawa ke
konsekuensi-konsekuensi panteisme, yang dalam usia-usia matangnya tidak
disukainya sama sekali.
Bersama beratus-ratus penyair di
sepanjang sejarah Islam, Iqbal juga berlantun :
Debu Madinah dan Najaf adalah kolirium bagi mataku!”
Karena itu, seperti dikatakannya,
pesona-pesona menggoda dan gemerlap pengetahuan Eropa tidak dapat
mengacaukannya atau mengalihkan matanya dari arah yang benar.
Adalah menarik perhatian betapa jelas
kecintaan dan kepercayaan Iqbal kepada Nabi terejawantahkan dalam korespondensi
dirinya dengan sahabat-sahabat yang di dalamnya dia pada umumnya menyinggung
banyak masalah yang menjadi perhatian pribadi dan ilmu pengetahuan. Sahabat-sahabatnya
mengatakan bahwa dia sering mencucurkan air mata bila nama Nabi disebut-sebut, “(dengan
disebutnya) namanya – bergetarlah jiwaku ketika aku berpikir tentang nama mulia
itu : -- dengan disebut-sebutnya namanya yang telah membawakan untuk manusia
risalah akhir kemerdekaan dan persamaan,” seperti ditulisnya di dalam sebuah
artikel pada 1909. Gerakan sirah, yang berupaya memberikan pengetahuan yang
lebih mendalam tentang biografi Nabi dan pribadi historikal Nabi pada umumya,
benar-benar mendapatkan simpatisnya. Selama 1929 dia menerima, yang pada waktu
itu, pemimpinnya di rumahnya di Lahore, dan pada tahun yang sama dia
menyebutkan dalam salah satu suratnya dengan sangat puas bahwa hari lahir Nabi
baru-baru ini telah dirayakan di India selatan, dengan mengatakan bahwa “untuk
menghubungkan bangsa-bangsa Muslim India, pribadi paling suci Nabi kita yang
mulia dapat membentuk kekuatan yang sangat besar dan sangat efektif.”
Meskipun dia menulis dalam gaya yang
benar-benar klasikal, hanya na;t tersebut yang tak diterbitkan, puisi Iqbal
mengandung banyak baris sajak yang menghormati Nabi. Salah satu tema yang
paling jelas dri baris sajaknya adalah kepercayaan sepenuhnya kepada Nabi, yang
mengungkapkan pengungkapannya mewarnai karyanya dari awal hingga akhir.
Bagi yang berbuat maksiat, cintamu lebih besar ..
Dalam mengampuni dosa-dosa, bagai cinta ibu.
Maka dia menulis pada sekitar 1936,
untuk mengungkapkan perasaan yang, seperti terlihat jelas, terpusat pada
tasawuf. Namun, menarik perhatian bahwa Iqbal berbicara agak jarang tentang
peranan Muhammad sebagai syafi’ (perantara pada Hari Kiamat), sebab peran Nabi
inilah yang telah ditekankan oleh para penyair klasikal dan, lebih khususnya,
rakyat dalam syair-syair doa meraka. Dalam Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia
diri), yang dia terbitkan pada 1915 dalam bahasa Persia, dan yang merupakan pengejawantahan
pertama filsafat dinamiknya yang baru tentang Diri, dia berkata :
Kami mempercayainya pada Hari Pengadilan,
Di dunia ini pula dia pelindungku.
Namun perhatian ini jarang, jika
pernah diulang, barangkali karena konsep Iqbal tentang kematian, kembangkitan
kembali, dan Pengadilan Terakhir selama tahun-tahun terkemudian pada dasarnya
berbeda dengan eskatologi tradisional para teolog dan khatib populer. Baginya,
Nabi jauh lebih merupakan dukungan dalam hidup ini : pada akhir matsanawi
keduanya yang berbahaya Persia, Rumuz-i Bekhudi (Misteri-Misteri Ketiadaan
Diri), yang disusun pada 1917 untuk menyampaikan gagasan-gagasannya tentang
peranan individu-sempurna dalam suatu Negara Islam ideal, dia memohon kepada
Nabi, secara tipikal, agar menganugerahinya kekuatan untuk beraktivitas.
Namun, keyakinannya pada
kekuatan-kekuatan adialami Nabi tampak sekuat keyakinan berjuta-juta orang
beriman sebelum dia. Ketika tinggal di Bhopal pada 1936, dan menderita sakit
yang serius, doa melohat dalam mimpi sosok pembaru Sir Sayyid Ahmad Khan, kakek
tuan rumahnya, Sir Ross Masood. Sir Sayyid Ahmad Khan, masih menasehati dia
agar berpaling kepada Nabi dan memohon kepadanya agar diberi kesembuhan, Iqbal
segera menggubah sebuah syair yang agak panjang; di dalamnya dia pertama-tama
menggambarkan situasi politik orang-orang Muslim yang menyedihkan dan kemudian
memohon pertolongan Nabi untuk menyembuhkan sakitnya. Jelaslah dia terpengaruh
oleh Burdah-nya Busiri dan kepercayaan kepada daya penyembuhnya, seperti dia
sebutkan syair ini juga dalam hubungan-hubungan yang lain.
Setahun sebelumnya, dia menulis kepada
seorang sayyid : “Pengobatan batiniah bagiku adalah hanya dengan membaca
shalawat (durud) untuk kakek moyangmu (Nabi).” Namun seperti penyair-penyair
abad sebelumnya, dia juga sering merasa bahwa sepertinya tidak patut
mengucapkan nama suci Muhammad :
Kubaca Shalawat atas Nabi –
Karena malu, tubuhku jadi bagai air.
Kata cinta : “Duhai yang dipersembahkan kepada yang lain
–
Selama tak kau
terima warna dan keharuman dari Muhammad,
Jangan kau nodai namanya dengan Shalawatmu!”
Bagi Iqbal, Muhammad, seperti bagi
para teolog dan sufi sebelum dia, adalah segi aktivitas Tuhan yang dapat
dilihat. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata manusia, seperti dikatakan oleh
Al-Qur’an (surah 7 : 139), tetapi Nabi dapat dilihat dan diraba :
Duhai Rasul Allah, dengan Allah aku berbicara melalui
tabir-tabir, denganmu tidak –
Dia yang tersembunyiku, dikau yang nyataku!”.
Karena itu, Iqbal berpaling kepada
Nabi, baik untuk memohon agar diberi kesembuhan, maupun untuk memuji-Nya,
seperti yang terutama terjelaskan dalam baris-baris sajak terakhirnya, yang
diterbirkan sesudah meninggalnya sebagai Armaghan-i Hijaz (Karunia Hijaz).
Orang-orang Muslim tahu bahwa mereka
dapat mengalami kehadiran Allah ketika mereka sedang membaca Al-Qur’an, karena
firman-firman Allah sendiri menjadi terdengar oleh mereka. Begitu pula,
generasi-generasi dari orang-orang Muslim yang saleh merasa bahwa mempelajari
tema-tema kehidupan Nabi, atau hadis atau topik-topik juridikal yang didasarkan
pada kata-katanya, membuat mereka memperoleh kedekatan tertentu dengan Nabi.
Iqbal merasakan hal yang sama ketika menggarap subjek-sumbjek yang berkenaan
dengan sejarah Islam dan jurisprudensi Islam, seperti yang terutama dia lakukan
menjelang akhir hayatnya :
Pe,beda-pembeda problim-problim juridikal dan argumentasi
ahli hukum Islam, yang di dalamnya tersembunyi cinta kepada Penutup Kenabian –
studi atas semua hal ini memberiku kegembiraan spiritual yang tiada
henti-hentinya!.
Maka dia menulis pada 1936. Dan betapa
sedemikian besar kegembiraannya ketika dia melihat sesuatu milik Nabi!
Pengalaman mengunjungi Qandahar, yang di sana Jubah Nabi, khirqa-i syiraf,
dilestarikan, selama dia berada di Afganistan pada musim gugur pada 1932, membuatnya
menggubah sebuah himne berbahasa Persia yang bagus – seperti apda masa-masa
sebelumnya sewaktu meliaht sandal atau bahkan gambar sandal Nabi akan
memberikan ilham kepada banyak penyair untuk menggubah baris sajak yang indah.
Dalam syairnya tentang khirqa-i syarif, Iqbal menyamakan hatinya dengan Jibril,
yang telah melihat Nabi ketika masih hidup; dia juga mengatakan bagaimana dia
mulai menari, bernyanyi dan membaca puisi di depan relik suci itu :
Jubah “barzakh yagn tak dapat dilanggar keduanya” (surah
55 : 20)
Aku melihatnya melalui hadis “Aku memiliki dua jubah.”
Memandangnya adalah isra’ dan mi’raj kami,
Agamanya dan ritualnya adalah ulasan tentang alam
semesta,
Pada dahinya tertulis nasib segala sesuatu.
Penafsiran tentang Muhammad sebagai
barzakh, garis batas antara dua alam, telah diterapkan pada Nabi jauh
sebelumnya : dalam baris sajak Jami’, dia berdiri di antara dua samudra
prakeabadian dan samudra kefanaan; yaitu dia membentuk titik temu antara alam Ilahiah
dan alam manusiawi. “Dua
Jubah” itu adalah Kemiskinan dan perang suci; hadis bahwa Muhammad
melihat “Jubah Kemiskinan” selama peralanannya ke langit berada di latar
belakang baris kedua dan ketiga madah Iqbal.
Adalah wajar bahwa Iqbal dengan berkobar-kobar
bercita-cita mengunjungi Raudhah Nabi di Madinah, sekaligus menunaikan
kewajiban ibadah haji ke Makkah, dan dia menyebut harapan ini berulang-ulang di
dalam surat-surat dan syair-syairnya. Pada 1908, dia menulis puji-pujian
tentang Yatsib (Madinah), yang di sana “Pangeran Laulaka” beristirahat dan yang
karena itu membentuk pusat sejati kehidupan ras manusia. Selama perang Balkan
dia bermimpi tentang meninggal di Madinah, harapan bagi banyak jiwa yagn saleh
yang rindu untuk dimakamkan di dekat Nabi tercinta. Karena alasan inilah
himpunan puisinya yang diterbitkan sepeninggalnya disebut Armaghan-i Hijaz
(Karunia Hijaz),s ebab semakin tua sang penyair, semakin rindu dia untuk
mengjungi tempat peristirahatan terakhir Nabi. Dia merasa yakin bahwa perjalanan
seperti itu akan membawa manfaat-manfaat spiritual yagn ebsar sekali. Apakah
dia tidak berbicara di dalam salah satu syair awalnya tentang syifa’ khana-i
Hijaz (tempat menyembuhkan di Hijaz), yagn di sana jiwa yang lelah ini akan
menemukan harapan baru?
Sekali waktu, ketika kembali dari
suatu Konperensi Meja Bundar di London, Iqbal singgah di Yerusalem untuk
menghadiri suatu konferensi Muslim. Pada titik ini, dia merenungkan suatu
perjalanan ke Madinah, teapi kemudian menganggapnya tidak baik memadukan ibadah
haji dengan perjalanan yagn dilakukan untuk alasan-alasan politik. Pada
masa-masa itulah dia menggubah himne berbahasa Urdu yang besar untuk Nabi, yang
ditutup dengan baris :
Dikaulah Lembaran yang terjaga baik, dan dikaulah Pena!
Dalam himne itu, dia mengambil alih
gaya para penyair sufi sebelumnya dan bahkan berupaya melampaui puji-pujian
mereka yang menerapkan persamaan-persamaan yang sangat tinggai pada Nabi.
Seperti banyak penulis, khususnya
dalam tradisi sufi dan puisi, Iqbal lebih suka menyebut Nabi dengan nama
Mushthafa (Yang terpilih). Baginya, Mushthafa merupakan sumber sagala segala
yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan manusia, dan seperti para penyair
pembaru abad ke 19, dia juga melihat satu sebab siatuasi kaum Muslim saat itu
yang menyedihkan dalam fakta memperihatinkan bahwa mereka terasingkan dari
“keindahan Nabi”. Mereka harus tahu bahwa jalan ini adalah satu-satunya jalan
yang harus dipilih! Pemikiran ini mewarnai kuatrain-kuatrain di dalam karya
putikal terakhir Iqbal, tetapi dia sudah mengungkapkan hal itu
berdasawarsa-dasawarsa di dalam salah satu syair besarnya yang berbahasa Urdu,
Jawab-i Syikwah (Jawaban kepada keluhan). Dalam syair tahun 1912, ini Allah
berfirman kepada kaum Muslim, yang terhadap Syikwah (keluhan)-nya memberikan
jawaban yang panjang dan tegas yang diakhiri dengan perintah :
Berimanlah kepada Muhammad, maka Kami pun milikmu,
Bukan saja dunia ini, tetapi pun lembaran dan Pena
milikmu!
Beberapa tahun setelah menulis
baris-baris ini, Iqbal meneruskan pemikiran ini di dalam Asrar-i Khudi-nya. Di
sini dia tidak lagi mengajarkan seperti kebanyakan penyair sufi sebelumnya,
penenggelaman diri manusia di dalam samudra Zat Ilahi, yang di sana dia akan
lenyak bagaikan setetes air hujan, namun penguatan personalitas (atau
individualitas) manusia, yang tumbuh semakin dekat dengan Allah, yang akhirnya
mencapai suatu pertemuan langsung dengan Allah. Diri Maha Agung. Diri manusia,
meskipun demikian, dapat diperkuat hanya oleh cinta, dan cinta ini berkaitan
erat sekali dengan Muhammad. Karena itu, Iqbal berpaling gkepada Nabi :
Kekasih tersembunyi di dalam hatiku .....
Di dalam hati Muslim ada rumah Muhammad,
Segenap kemuliaan kami, dari nama Muhammad.
Kekuatan nama Muhammad yang dapat
memberikan berkah ini, yang seperti telah terlihat merupakan suatu topik
tradisional bagi literatur Islami, telah disebut-sebut di dalam akhir Jawab-i
Syikwah, ketika Iqbal mendengar perintah Allah :
Tinggikanlah
segala yang rendah dengan kekuatan cinta,
Terangilah dunia
dengan nama Muhammad!
Dalam penggambaran yagn ebrgelora
tentang Nabi di dalam bab ketiga Asrar-i Khudi, Iqbal bahkan melangkah lebih
jauh.
Keabadian kurang dari satu saat dalam masanya,
Keabadian semakin abadi karena zatnya.
Dia tidur di atas selembar tikar dari rumput purun,
Namun mahkita Khosroe di bawah kaki umatnya.
Dalam baris-baris ini, Iqbal mengikuti
banyak penyair na’t dan terutama, tampaknya, Naziri, mengajarkan kemiskinan
dengan kekuatan, suatu kontras yang melayaninya berkali-kali dalam
mengkarakteristikan akhlak komprehensif Nabi. Kami mendapatinya di dalam baris
sajak, yang ditulis duapuluh tahun kemudian :
Kemiskinan dan kerajaan adalah ilham-ilham Mushthafa;
Keduanya perwujudan zat Mushthafa.
Ini adalah sebuah gambaran tentang
salah satu hadis yang disukai di dalam tradisi sufi : “Kemiskinan adalah
kebangganku.” Namun, kemiskinan bukanlah tidak mempunyai apa-apa, atau lebih
kurang lagi yang dibutuhkan oleh pengemis; tetapi adalah keadaan seseorang yang
benar-beanr bersandar kepada Allah. Yang Mahakaya (Al-Ghaniy), karena itu tidak
memerlukan sebab-sebab sekunder lagi. Dalam kualitas lipat dua ini, sebagai
“miskin” dan “kuasa”, Nabi menjadi tempat pengejawantahan keindahan (Jamal) dan
keagungan (Jalal)-Nya, dua sifat komplementer Allah itu yang
pengaruh-mempengaruhinya saja dapat membuat mengalisrnya kehidupan
makhluk-makhluk. Dan perpaduan kedua aspek ini membuat Muhammad seorang Nabi
yang ideal yang (seperti tersirat dalam penggambaran ini) melampaui baik kelembutan ‘Isa atau pun
ketegaran Musa dalam hukum, yang demikian memberikan keteladanan bagi
kebanyakan manusia sempurna.
Di medan perang, bisa meleleh di hadapan cahaya
pedangnya;
Dalam berdoa, air mata menetes dari matanya bagai tetes-tetes
hujan.
Keagungan Nabi ini mengilhami puisi
Iqbal di sepanjang hidupnya. Dalam tahun-tahun terakhirnya dia kembali ke amsal
mistikal lama untuk mengungkapkan misteri personalitas Nabi ini :
Dialah makna Jibril dan Al-Qur’an.
Dialah penjaga kearifan Allah.
Kearifannya lebih tinggi daripada nalar .......
Pandangan-pandangan Iqval yang lebih
praktis tentang profetologi – yang masih membawa aroma mistikal yang kuat –
terhampar di hdapan pembaca dengan sangat jelas dalam Rumuz-i Bekhudi, syair yagn
di dalamnya dia membahas ideal-ideal sosial dan politiknya. Di sini Muhammad
disamakan dengan, dalam metafor klasikal cahaya, “doan di dalam kegelapan
makhluk , lampu yang sudah ada ketika Adam masih berada di antara air dan
lempung.”
Penafsiran Iqbal yang benar-benar
mistikal tentang esensi Nabi telah diungkapkan dengan sangat mengesankan di
dalam Javidnama. Di sini penyait ini meletakkan sebuah himne untuk menghormati
Nabi di mulut sufi martir Al-Hallaj, yang, lebih seribu tahun sebelumnya telah
menggubah penggambaran agung gpertama tentang Nabi yang primordial itu, sumber
cahaya dan kearifan. Dalam syair ini Iqbal mengambil lagi gagasan klasik bahwa
‘abduhu (hamba-Nya) adalah derajat tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia,
sebab selama mi’raj-nya Nabi diberi nama kehormatan ini (surah 17-1). Lagi
pula, surah 53:10, yang seperti terlihat sebelumnya sering ditafsirkan sebagai
berkenaan dengan mi’raj, menyatakan bahwa “Allah mewahyukan kepada hamba-Nya
apa yagn diwahyukan-Nya.” Di dalam lingkungan Yupiter di dalam Javidnama,
Hallaj ditanya tentang misteri-misteri Nabi dan menjawab dalam suatu syair yang
panjang :
“Hamba-Nya” lebih tinggi daripada pemahamanmu,
Sebab ia itu manusia, sekaligus zat.
Zatnya bukan Arab, bukan Persia,
Dia manusia sebelum Adam.
“Hamba-Nya” penulis nasib,
Di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan.
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras.
“Hamba-Nya” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya” sesuatu yang
lain lagi ---
Kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan.
“Hamba-Nya” tak berawal
tak berakhir,
“Hamba-Nya” – di mana
baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun
tahurahasia-rahasia “Hamba-Nya” ---
“Hamba-Nya” tak lain
adalah rahasia “kecuali Allah.”
Baris terakhir di sini, sekali lagi,
mengambil gagasan bahwa Nabi, sebagai hamba paling sempurna Allah, merupakan
pengejawantahan aktivitas Allah, dan satu-satunya jalan untuk mendapatkan
rahasia penegetahuan iman : “Tak ada Tuhan kecuali Allah.”
Dalam pemikiran Iqbal, peran Muhammad
sebagai “Hamba-Nya” ini memiliki arti khusus, sebab manusia idealnya, mard-i
momin, benar-benar berbeda dengan Manusia Supernya Nietzsche, yagn dengannya
dia kadang-kadang tercampuradukan. Yang terakhir muncul “ketika Tuhan
meninggal”, namun mard-i momin, yang berlomba dengan keteladanan Muhammad,
adalah hamba paling sempurna Allah dan dapat mencapai kedekatan sedemikian yang
mungkin dengan Allah dengan mengemban peran itu. Ini pada dasarnya adalah
konsep tarikat-tarikat sufi “bersahaja” tentang qurb al-fara-id.” Kededakatan
dengan Allah yang disebabkan oleh mengikuti dengan sungguh-sungguh keteladanan
Nabi” dan melaksanakan keajiban di dunia ini.
Bagi Iqbal, Nabi jauh lebih daripada
satu figur mistikal yang bercahaya yang menjadi perantara keimanan sejati
kepada “segenggam debu ini” yaitu manusia; dia bahkan lebih daripada “hamba
Allah” yang berada di luar ruang dan aktu namun tidak pernah ddidesa-dewakan.
Dia juga adalah pemimpin umatnya, “model yang bai” bukan saja begi perilaku
pribadi tetapi juga perilaku sosial dan politik, dia “yang membuka pintu dunia
ini dengan kunci agama”.
Baris-baris sajak seperti itu harus
dibaca – sering terjadi, misalnya, dalam Asrar-i Khudi dan bahkan lagi dalam
Rumuz-i Bekhudi – berdasarkan korespondensi yagn dilakukan oleh Iqbal jauh
kemudian pada 1938 dengan Sayyid Sulaiman Nadwi. Dia telah bertanya kepada
sahabatnya tentang problim ijtihad-i nabawi, yaitu kapasitas dan kekuasaan Nabi
untuk memutuskan secara mandiri problim-problim juridikal dan lainnya yagn
tidak dibahas di dalam Al-Qur’an. Sayyid Sulaiman Nadwi menjawab bahwa
“kecerdasan kenabian lebih tinggi daripada kecerdasan manusisa yang wajar” dan
bahwa Nabi dibimbing dalam segala keputusannya tentang jalan yang
sungguh-sungguh beanr. Sesungguhnya kapasitas ini sendiri yang membuatnya
menjadi pemimpin umat yagn dipandu oleh Allah.
Peran politik dan sosail Nabi ini
menajdi sering lebih sentral bagi Iqbal dariapda segi-segi mistikalnya;d an di
sini dia menggantikan kaum modernis. Dia berbicara dengan sangat ebrani dalam
syairnya, Nubuwwah (Kenabian), yang ditulis belakangan dalam hidupnya, ketika
dia menyatakan bahwa meskipun dia tidak dapat membahas zat nubuwwah seperti
dilakukan oleh para teolog dan sufi,
Kenabian seperti itu adalah hasis bagi Muslim
Yagn di dalamnya ta ada risalah kekuatan dan energi
Filosof penyait itu tidak pernha
jemu-jemunya membandingkan nabi yang bekerja di dunia ini dengan sufi yang
seperti dikatakannya di dalam Javidnama, digoda oleh setan untuk mengabdikan
dirinya sepenuhnya kepada suatu kehidupan terpencil asketisme dan mengkliam
bahwa hanya dengan berada di dalam alam lain seperti itu dia dapat mencapai
tujuannya. Pada permulaan wacana kelima di dalam Reconstruction of Religious
Though in Islam-nya, Iqbal menyatakan problem ini dengan jelas sekali ketika
menafsikan pengalaman Mi’raj :
“Muhammad dari Arabia
naik ke langit tertinggi dan kembali. Demi Allah aku bersumpah bahwa jika aku
telah mencapai titik itu, tentu aku takkan pernah kembali.” Ini adalah
kata-kata seorang wali Muslim besar, “Abdul Quddus dari Gongah. Dalam seleuruh
literatur sufi, barangkali akan sulit untuk mendapatkan kata-kata yang, dalam
satu kalimat, mengungkapkan persepsi yang tajam seperti itu tentang perbedaan
psikologika antara kesadaran kenabian dan kesadaran kesufian. Sufi tak mau
kembali dari “pengalaman menyatu” itu, dan malah bila dia kembali, kembalinya
tidak banyak artinya bagi manusia pada umumnya. Kembalinya Nabi adalah kreatif.
Dia kembali untuk menempatkan dirinya ke dalam lingkungan waktu dengan tujuan
mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah, dan dengan demikian untuk menciptakan
suatu dunia ideal yang segar. Bagi sufi, ketenangan “pengalaman bersatu”
merupakan sesuatu yang final’ bagi Nabi, itu adalah kebangkitan, di dalam
dirinya kekutan-kekutan psikologik yang mengguncangkan dunia, yang
diperhitungkan untuk sepenuhnya mengubah dunia manusia. Keinginan untuk
menjadikan pengalaman religiuasnya sesuatu kekutan dunia yang hidup sangat
besar di dalam diri Nabi. Dengan demikian kembalinya Nabi sama dengan sejenis
pengujian pragmatik atas pengalaman religiusnya.
Tentu saja pengalaman menyat seperti
itu selama mi’raj dapat dicapai hanya oleh mereka yang memiliki “ambisi yang
tinggi” (Himmah). Namun bagi mereka hal itu hanyalah sesaat :
Bagi ambisi tinggi, itu hanyalah satu tahap manuju Tahta
Bagi Iqbal, seperti juga bagi para
teolog pembaru Indo-Muslim lainnya, cara penggambaran tentang Nabi Islam di
dalam buku-buku Eropa beanr-beanr menjijikan. Di antara biografi-biografi yagn
ada padanya yagn dia pilih untuk penyerangan khusus, yaitu biografi Aloys
Sprenger, orientalis Austria yang telah bekerja selama bertahun-tahun di India
dan, secara keseluruhan, lebih bersimpati terhadap Islam dan khususnya terhadap
kebangkitan Islam di India, dibanding dengan kebanyak orang Eropa lainnya.
Tetapi Sprenger telah mengklaim bahwa Nabi adalah seorang psikopat, dan
kata-kata ini memicu Iqbal untuk memberikan jawaban yang menggigit dalam salah
satu esainya di dalam Reconstrution of Religious Thought in Islam :
Kalau seorang psikopat
mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu
hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yagn
sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia
dan yang telah meng-Ilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras
manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yagn memancar dari gerakan yang
dilancarkan oleh Nabi Islam, ketegangan spiritual dan perilaku yang muncul
darinya tak dapat ddipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata
fantasi di dalam otaknya. Tak mungiin untuk memahaminya kecuali sebagai
tanggapan terhadap situasi objektif yang melahirkan antusiaisme-antusiaisme
baru tatanan- tatanan batu, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya
dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan
faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.
Iqbal meliaht bahwa kekhsan sejati
risalah kenabian terkandung dalam kemampuan untuk membebaskan manusia dari
pelbagai pandangan dunia tradisional, untuk menuntun mereka dari Volksreligion
ke Weltreligion, dan “untuk menentang, dengan konsistensi yang bersemangat,
ajaran-ajaran dalam filsafat hidup Arab itu” (seperti ditulis oleh Goldziher)
yagn ada di dalam struktur-struktur lama keluarga dan klan. Dengan
menghancurkan semua itu, Nabi dapat membentuk suatu masyarakat spiritual yagn
tak lagi didasarkan apda darah, ras, atau bangsa. Penyair filosof ini
mengungkapkan gagasan ini dalam bab yang menarik di dalam Javidnama, yagn di
dalamnya dia membuat pembaca mendengarkan keluhan Abu Jahal, salah seorang
musuh tersengit Nabi di antara para aristokrat Makkah. Para wakil ideal
pra-Islam dalam perilaku ini, mengutuk aktivitas-aktivitas revolusioner
Muhammad yang menentang semua yagn sudah diterima oleh masyarakat Badui dan
Makkah :
Sungguh sakit sekali hati kami ini oleh Muhammad!
Ajarannya telah memadamkan cahaya-cahaya Ka’bah!
Agamanya menghapus perbedaan-perbedaan ras dan darah –
Padahal dia sendiri dari Quraisy, dia mengingkari
superioritas Arab
Dalam agamanya, yang tinggi dan rendah satu,
Dia makan dari piring yagn sama dengan budaknya!
Dan setelah meneguraikan sejumlah
“kajahatan” lain Nabi, kepala suku Makkah lama aitu menutup khutbahnya yagn
panjang lagi puitikal dengan kutukan terhadap Muhammad. Iqbal tentu saja benar
dalam menyoroti segi-segi supernasional Nabi;
tetapi dia sendiri, seperti banyak penyair lain India Muslim, juga
menekankan karakter “Arab”-nya Nabi dan akar-akar Arab Islam.
Pada umunya, penggambaran negatif Abu
Jahal sesuai benar dengan sikap umum Iqbal. Seperti kebanyakan modernis, dia
menekankan ajaran-ajaran Islam yang antiras dan “demokratik”, khususnya ketika
mengkontraskannya dengan sistem kasta Hindu. Pada 1910, dia meanfsirkan makna
hijrah Muhammad dari Makkah ke Madinah dalam arti baru dan dalam kerangka
politik. Kaum sufi seperti Maulana Rumi telah lama menggunakan kejadian yang
sama itu sebagai paradigma bagi hajinyamanusia dari dunia ini ke alam-alam
spiritual. Tetapi Iqbal mencatat di dalam buku hariannya kata-kata menarik ini
:
Islam tampil sebagai
rpotes terhadap keberhalaan. Dan apakah patriotisme tak lain adalah bentuk
tinggi keberhalaan; pendewaan terhadap objek material? .... Dan apa yagn
dihancurkan oleh Islam tak dapat dijadikan prinsip itu sendiri dari strukturnya
sebagai suatu masyarakat politik. Kenyataan bahwa Nabi sejahtera dan wafat di
suatu tempat yagn bukan tempat kelahirannya barangkali merupakan suatu isyarat
sufi ke effek yang sama.
Pemilihan hijrah sebagai permulaan
penaggalan Muslim, bagi Iqbal, bernar-benar bermakna : seandainya orang-orang
Makkah segera menerima risalah Muhammad, jalannya sejarah tetnu akan berbeda;
dengan memutuskan ikatan-ikatan kekeluargaan dan klan, Nabi ingin memberikan
contoh kepada generasi-generasi mendatang. Itulah sebabnya Iqbal menulis (pada
waktu yang sama dia mencatat pemikiran-pemikiran yagn serupa dalam proses
berbahasa Ingris seperti Stray Reflections) sebuah syair Urdu, Wathaniyya
(Patriotisme), dia berkata :
Meninggalkan tanah
tumpah darah, sunnah kekasih Allah!
Tumbuhnya ketegangan-ketegangan
kebangsaan yagn disaksikannya sebagai pelajar di Ingris dan Jerman dari 1905
sampai 1908, dan menjadi faktor membahayakan seperti itu dalam politik Timur
Jauh setelah Perang Dunia Pertama, telah memacu Iqbal agak awal untuk mengembangkan
sikap yang bertentangan dengan nasionalisme politik yagn sempit :
Tanah tumpah darah (wathan) adalah sesuatu yagn berbeda
dalam ajaran-ajaran Nabi yagn lurus,
Tanah tumpah darah adalah sesuatu yagn berlainan dalam
kata-kata politikus.
KARENA ITU DIA TIDAK PERNAH BERHENTI
MENGULANG-ULANG BAHWA Islam bertentangan dengan rasisme, sungguh, “mukjizat
terbesar Nabi adalah membentuk suatu bangsa (yang tersatukan seara spiritual “.
Dapat dilihat dalam kata-kata ini sebuah gema pernyataan Sir Sayyid bahwa
mukjizat terbesar Islam adalah membentuk suatu umat beriman dari
kelompok-kelompok badui yang suka
amenjarah, segenap argumen Rumuz-i Bekehudi didasarkan pada daya Nabi dalam
membangun bangsa, dan dua dasawarsa setelah menerbitkan syair didaktik itu, Iqbal
masih tergerak untuk mengulang tekanannya :
Nabi dapat melakukan mukjizat memperbaiki dengan katanya
Qum. “Bangkitlah”.
Dengan membangkitkan seruan “Allah Mahabesar (daripada
apapun)” di dalam hati sebuah bangsa.
Keyakinan ini membuatnya peraya bahwa
menusisa dapat memulia suatu hidup yang sepenuhnya baru. Jika dia hanya mau
berpaling kembali kepada risalah Nabi yang bersahaja dan praktis. Bepegang pada
wahyu-wahyu yagn dibawa oleh seorang Rasul Allah, yang akan menciptakan
perasaan solidaritas yang sangat besar dalam sekelompok individu, suatu
perasaan yang kemudian akan memacu kelompok itu ke puncak-puncak aktivitas yang
tak pernah terbayangkan. Argumen Iqbal di sini mengingatkan akan ajaran-ajaran
filosof sejarah Afrika Utara zaman pertengahan, Ibn Khaldun, yang baginya
konsep ‘ashabiyyah, “esprit de corp, soldiaritas,” membentuk poros filsafatnya;
dia juga percaya bahwa esprit de corps ini sangat kuat dalam suatu kelompok
ayng digerakkan oleh semangat religius yang meneyala-nyala.
Menurut Iqbal, Muhammad tidak saja
memberikan contoh sebuah jalan yang harus dan dapat dibangun oleh masyarakat
beriman yang supernasional seperti itu; tapi pada saat yang sama, dia adalah
simbol kesatuan masyarakat itu yang tak tergoyahkan. Di dalam Asrar-i Khudi
penyair ini mengatakan, dalam madah agung-nya tentang Nabi :
Kami bagaikan bunga mawar yang banyak daunnya, namun
keharumannya satu :
Dialah ruh masyarakat, dan dia satu.
Nabi adalah “jantung dalam segenggam
debu,” yang dirinya manusia menujunya. Yaitu, dia adalah kekuatan pemberi
kehidupan yang mengubah manusia menjadi suatu oranisasi. Karena itu, segenap
manifestasi gerakan-gerakan kebangsaan yagn didasarkan pada politik, bagi Iqbal
tidak lain adalah berhala-berhala baru, dan nasionalisme adalah cap baru penyembahan
terhadap baal. Bangsa Muslim ideal, dengan demikian, takkan tunduk kepada
godaan Baal dan berhala-berhala itu, seperti digambarkan di dalam Javidnama,
namun akan tetap hidup oleh jantungnya, yaitu Nabi.
Dari sudut pandang ini Iqbal
mengarahkan kritik kerasnya terhadap berbagai gerakan kebangsaan di Timur
Tengah, di antaranya Iran di bawah Reza Shah Pahlavi dan Turki di bawah Mustafa
Kemal Ataturk (walaupun dia telah memuji Ataturk setelah kemenangannya atas
Yunani pada 1922). Pada 1920-an dan awal 1930-an, Afghanistan, baginya,
tampaknya merupakan satu-satunya negeri yagn di dalamnya ajaran-ajaran Nabi
dijaga secara murni; itulah sebabnya negara ini secara khusus ddisebut dalam
“Nasihat Iblis kepada anak-anak Politiknya” di dalam Zarb-i Kalim, sebuah syair
yang di dalamnya Iqbal bertanya kepada Ruh Muhammad di mana orang-orang
Muslimnya pergi, dan di mana pengendara-penegendara unta, yang memimpin kafilah
dengan nyanyiannya, pergi.
Javidnama mengandung di dalam
lingkungan Mercusuarius sebuah pembahasan panjang tentang konsep kebangsaan
seperti yang dikonespsikan oleh Nabi; dan pada akhir hidupnya, Iqbal menulis,
dalam gaya yang lebih prosaik :
Adalah kebesaran khas
Nabi Suci sajalah bahwa perbedaan-perbedaan dan kompleks-kompleks superioritas
bangsa-bangsa di dunia yang diciptakan oleh diri itu hancur, dan kemudian
muncul suatu masyarakat yagn dapat dicoraki ummatan muslimatun laka (“sebagai
umat Muslim bagimu”, surah 2:122), dan yang kepada pemikirannya ketentuan Ilahi
syuhada ‘ala al-nas (“saksi bagi manusia”, ssurah 22:78) benar-benar berlaku.
Masyarakat yang ideal, millat, yang
diimpi-impikan oleh Iqbal harus menjadi
realisasi tauhid yang komprehensif, pengakuan akan Keesaan Allah yang telah
disampaikan oleh Nabi dalam masa hidupnya, dan masyarakat ini untuk mengikuti
Nabi, yagn telah membentuk dan merealisasikan dengan keteladanannya tentang
ideal-ideal persaudaraan, persamaan dan kemerdekaan universal. Karena itu Iqbal
berkata di dalam Rumuz-i Bekhudi :
Dari kenabian, fondasi kami di dunia
Dari Kenabian, agama kami punya ritual-ritualnya,
Dari Kenabian, beratus-ratus ribu kita satu,
Bagian dari bagian tak dapat dipisahkan.
Dari Kenabian, kita semua punya melodi yagn sama,
Napas yang sama, tujuan yang sama.
Faktor
yang sangat penting yang dapat menyumbang bagi pembentukan ideal-ideal ini
adalah cinta yang menyala-nyala kepada Nabi, yang akan memampukan baik individu
maupun masyarakat itu untuk hidup dalam keselarasan, menurut
keperluan-keperluan cinta kepada Allah. Iqbal mengatakan bahwa cinta yang
dinamik, pusat teologi puisinya, adalah “Mushthafa”; akal analitikal dapat
disamakan dengan musuh utama Nabi, yaitu Abu Lahab. (Kecenderungan kaum sufi
zaman pertengahan untuk mengkontraskan Muhammad, wujud cinta, dengan filosof,
segera muncul di dalam benak).
Iqbal juga mengembangkan satu gagasan
yang lain yang penting : karena Muhammad adalah pemimpin dan penyempurnaan
sedemikian sederetan panjagn rasul-rasul utusan Allah, maka bangsa yang
diciptakan olehnya juga tentu pemimpin bangsa-bangsa dan contoh final, dan
karenannya paling sempurna, suatu masyarakat yang hanya didasarkan pada Allah.
Dialah Penutup para Nabi, kita penutup para bangsa!.
Dan
karena Nabi diutus sebagai rahmatan li al-‘alamin (sebagai rahmat bagi alam
semesta), maka orang-orang Muslimnya juga tentulah perwujudan rahmat bagi
masyarakat dunia. Iqbal bahkan melangkah lebih jauh
lagi dalam menganalogikan antara Nabi dan umatnya. Bahwa Allah menyebut Nabi dengan kata Laulaka yang
mengandung arti bahwa setiap orang beriman yang berupaya ameniru keteladanan
Nabi juga berpartisipasi di dunia ini. Dunia telah diciptakan demi dia dan dia
harus bertindak di dalamnya; dan jika ini berlaku bagi individu Muslim, itu
juga berlaku bagi masyarakat beriman yagn ideal, yang, menggantikan Nabi, diharapkan
menguasai dunia yagn tinggi itu.
Peranan pemimpin ini niscaya
mengandung kekuatan ; di sini juga individu Muslim dan amsyarakat itu harus
merealisasikan di dalam diri mereka kekuatan Nabi, sebanyak seperti mereka
mengupayakan kemiskinannya, yang bersandar pada kekayaan mutlak Allah. Namun
Iqbal tentu saja menyadari bahaya-bahaya yang akan menetang realisasi ideal
Kenabian ini, dan tahu persis bahwa impiannya tentang kembali ke Zaman Keemasan
empat khalifah pertama tak dapat benar-benar terwujudkan; sebab dia melihat
dengan jelas bahwa masyarakat Muslim di masanya juga ingin sekali melupakan
“kemiskinan” Nabi dan mengacaukan “kekuatan” dengan keberuntungan-keberuntungan
duniawi.
Penafsiran Iqbal tentang Nabi dalam
bidang mistikal, religius, dan politik pada umumhya sama dengan penafsiran
penyair-penyair mistikal sebelum dia di satu pihak, dan pembaru-pembaru
modernis di lain pihak. Tetapi caranya memadukan dua segi utama dari tradisi
itu hampir tanpa keliman membuat karyanya menarik. Di samping itu, filosof
penyair ini juga memiliki seumbangan-sumbangan spesifik untuk diberikan kepada
bidang profetologi, terutama dalam penafsirannya tentang doktrin finalitas
kenabian Muhammad. Sebab Al-Qur’an mengatakan (surah 5 : 5) bahwa “Hari ini
telah Kami sempurnakan bagimu agamamu,” selalu diterima bahwa wahyu itu
bernar-benar berakhir dengan Muhammad, Penutup para Nabi. Iqbal sendiri
mengungkapkan keyakinan ini secara puitikal di dalam Rumuz-i Bekhudi :
Kini Allah telah melengkapkan bagi kita hukum Allah ini,
Dan telah melengkapkan kenabian bagi Nabi kita.
Kini jabatan pembawa piala dilimpahkan kepada kita :
Dia beri kita piala terakhir yagn ada pada-Nya.
Tetapi apa arti finalitas kenabian
bagi Iqbal? Tidak akankah seorang nabi baru diperlukan untuk menerjemahkan Al-Qur’an
ke dalam bahasa zaman kita? Jawaban Iqbal untuk pertanyaan retorikal ini sangat
menggelitik pikiran :
Nabi Islam tampaknya
berada di antara dunia dulu dan dunia modern. Sejauh menyangkut sumber
wahyunya, dia milik dunia djulu; sejauh menyangkut jiwa wahyunya, dia milik
dunia modern. Pada dirinya kehidupan
menemukan sumber-sumber lain pengetahuan, yang selaras dengan arah barunya.
Kelahiran Islam ..... adalah kelahiran akal induktif. Di dalam Islam, kenabian mencapai
kesempurnaannya dalam menemukan kebutuhan untuk menghapus kenabian itu sendiri.
Ini melibatkan persepsi yagn tajam bahwa kehidupan tak dapat untuk selamanya
dipandang sebagai tak mandiri, yaitu bahwa untuk mencapai kesadaran diri penuh
manusia akhirnya harus dikembalikan ke sumber-sumbernya sendiri.
Al-Qur’an telah membuka bagi manusia
bidang pengetahuan ilmiah yang tak ada ujungnya dan metode-metode, sebab ia mengajarkan pentingnya pengamatan
seksama ata fenomena alam dan kejiwaan; tegurannya agar mengamati tanda-tanda
Allah “di ufuk-ufuk dan di dalam diri mereka sendiri.” (surah 41 : 53), hadir
sebagai permulaan penelitian ilmiah sejati, seperti disimpulkannya dari sebuah
hadis yang mengatakan tentang perhatian Muhammad untuk mengamati seorang anak
laki-laki Yahudi yang menderita kelainan mental. Kehausan akan pengetahuan
inilah yang membawa Nabi untuk menggalakkan studi-studi dan
penelitian-penelitian. Penafsiran tentang sikap Nabi diberikan pada permulaan
dari karyanya, Reconstruction of Religious Thought in Islam :
Pencarian akan
fondasi-fondasi rasional di dalam Islam kiranya dipandang sebagai dimulai
dengan Nabi sendiri. Dia terus menerus berdoa : “Ya Allah, anugerahilah daku
pengetahuan tentang akhlak puncak segala sesuatu!”
Dalam bahasa puitikal Iqbal telah mengungkapkan
keyakinan yagn sama ini beberapa tahun sebelumnya dalam syair persembahan
Payam-i Masyriq :
Meski dia telah melihat Zat dari Zat tanpa tabir,
Kata-kata “Duhai Tuhan, perbanyaklah pada daku
pengetahuan!”
.... senantiasa datang dari bibirnya.
Baris dajak ini ditulis untuk
mengobarkan minat Amanullah, waktu itu raja Afghanistan, pada peneltian dan
aktivitas-aktivitas ilmiah. Tanggapan Iqbal terhadap problem pendidikan jauh
lebih menarik perhatian bila diingat bahwa sikap tradisional banyak mullah di
kebanyakan negeri Muslim, yang menetang sekali pengetahuan “duniawi” dan yang
tidak melihat apa-apa selain penyusupan-penyusupan setani dalam mengenal
metode-metode ilmiah Barat. Namun Iqbal, mengikuti kaum modernis sebelumnya,
berupaya membuktikan bahwa ilmu pengetahuan telah dibawa ke Eropa selama
Zaman-zaman pertengahan oleh para filosof, dokter, dan ahli astronomi Muslim;
di Eropa, ilmu pengetahuan itu dikembangkan hingga sampai ke standarnya yang sekarang; dan karena ilmu pengetahuan adalah
pusaka absah orang-orang Muslim, ia harus dipungut kembali tanpa
sungkan-sungkan demi kemanfaatan umat.
Finalitas jabatan kenabian Muhammad,
bagi Iqbal, berarti skali pun pembuka jalan-jalan baru dalam penelitian ilmiah
dan pandangan-dunia ilmiah. Karena ini, salah seorang penafsir Iqbal yagn lebih
radikal, ‘Inayatullah Masyriqi, pendiri faksi militan Islam Khaksar di Tapal
Batas Barat Laut, sampai-sampai mengatakan bahwa para ilmuwan modern adalah
para pengganti sejati Nabi. Agak kemudian, seorang penafsir lain pemikiran
Iqbal, Ghulam Parvez, mengklaim bahwa hanya pintu nubuwwah, segi “personal”
karya Muhammad, yang tertutup, sedangkan risalah (Ideologi) terpulang kepada
orang-orang Muslim untuk mengamalkan dan mengelaborasinya. Dengan demikian,
penafsiran luar biasa Iqbal tentang finalitas Kenabian membawa ke
kesimpulan-kesimpulan yang tak terbayangkan di dalam kalangan-kalangan
progresif tertnetu. Sebagian kaum kiri di India telah menarik
kesimpulan-kesimpulan yang bahkan lebih jauh lagi dari paragraf yang dikutip di
atas, yang telah disalahpahami sebagai memaafkan pendekatan yang semata-mata
ilmiah terhasdap kehidupan ranpa amemerlukan bimbingan kenabian apa pun ---
yang berarti, bagi penulis-penulis seperti itu, memasukkan suatu pandangan dunia
ilmiah Marxis. Iqbal tentu saja akan merasa ngeri oleh penafsiran ateistik
seperti itu atas kata-katanya,s ebab dia telah mendefinisikan pandangannya
berkenaan dengan ffinalitas risalah Muhammad dalam pasase lain dengan sangat
jelas.
Tak ada penyerahan
spiritual (yang mungkin) terhadap manusia setelah Muhammad, yagn telah
membebaskan pengikut-pengikutnya dengan memberi mereka suatu hukum yagn dapat
dilaksanakan, yang terbit dari jantung suara hati manusia itu sendiri.s ecara
teologik doktrin itu adalah bahwa organisasi sosio politik yagn disebut Islam
adalah sempurna dan abadadi. Tak ada wahyu yagn menyangkalnya yang
mengakibatkan bid’ah, yang mungkin setelah Muhammad.
Kata-kata ini ditujukan untuk
menentang gerakan modernis Qadiani, yagn muncul pada akhir abad ke 19 di Punjab
dan yagn pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, telah mengucapkan kata-kata tertentu
yang dapat ditafsirkan sebagai mengklaim sebagai nabi atau, barangkali, mesiah,
Iqbal berjuang melawan gerakan ini dengan segenap kekuatannya, sebab dan
percaya bahwa menerima finalitas risalah Muhammad.
Adalah beanr-beanr
faktor yagn dengan tepat menarik garis batas antara Muslim dan non-Muslim dan
memampukan untuk menentukan apakah individu ata kelompok tertentu adalah bagian
dari umat ini atau bukan . . . . . Menurut kepercayaan Kami, Islam sebagai
suatu agama diwahyukan oleh Allah, namun keberadaan Islam sebagai suatu
masyarakat bergantung sepenuhnya pada personalitas Nabi Suci.
Ini barangkali adalah definisi paling
kategorikal tentang peran politik Nabi di dalam karya Iqbal. Ketaksukaan Iqbal
terhadap orang-orang Qadiani dan Ahmadiyah (sebagaimana kelompok yang lebih
liberal itu disebut, yagn pecah pada 1914) juga diungkapkan dalam sebuah syair
yang di dalamnya dia menyuarakan kemarahannya tentang mereka yang menolak
konsep “perang suci” dan sebagai gantinya membahas problem-problem yang tidak
bermanfaat berkenaan dengan Messiah dan Mahdi. Sebab dia benar-benar komited
terhadap kepercayaan yang tak perlu dipertanyakan lagi bahwa
Bagi kami, cukup
mushthafa!
Harus di tambahkan di sini, demi
keadailan, bahwa bab yang berjudul “Muhammad, Teladan Terbaik” di dalam buku
Islam oleh Sir Zafrullah Khan, seorang ahli hukum kenamaan dan anggota
Ahmadiyah, ditulis dengan pengabdian sepenuh hati sedemikian, sehingga akan
sulit untuk melihat kenapa itu tidak dapat diterima oleh Muslim ortodoks.
Bila diakui posisi senetral yagn
diduduki oleh Nabi dalam pemikiran dan puisi Iqbal, banyak dari
metafor-metafor, imaji-imaji, dan simbol-simbolnya sering berarti cinta kepada
Nabi atau cinta yang diilhami olehnya sebab ia adalah perwujudan sejati Cinta
Ilahi, seperti dilantunkan oleh Iqbal menyusul Rumi dan sufi-sufi lain : madah
besar “Masjid Cordoba”, seperti banyak baris sajak lainnya dalam himpunan
syair-syair Urdunya yagn sangat matang, Bal-i Jibril, berulangkali menyamakan “Cinta”
dengan “Mushthafa”.
Begitu pula, penggambaran
terus-menerus Iqbal tentang Arabia, Najd dan Hijaz, mendapatkan nilai sejatinya
melalui penghormatannya yang mendapam terhadap ‘sahabat dari Arabia”,
sebagaimana dia senang menyebut Nabi, mengikuti contoh banyak penyair India
sebelum dia. Kunci bagi cara berpikir Iqbal dalam konteks ini adalah baris
sajak final Tarana-i Milli-nya (Lagu Kebangsaan) yagn digubah pada tahun-tahun
awal abad ini :
Pemimpin kafilah itu bagi kami adalah pangeran Hijaz,
Dengan namanya jiwa kami jadi damai!
Baris ini diikuti dengan kata-kata
penyingkap :
Lagu Iqbal seakan-akan suara lonceng kafilah itu!
Kata-kata ini, yang memberi buku Urdu
pertamanya dengan judul Bang-i Dara
(Panggilan Lonceng Kafilah), khususnya mengungkapkan hubungan dekat san penyair
dengan Nabi; bertindak sebagai lonceng pada kaki unta Muhammad, dia mengadu ---
dengan suaranya – orang-orang Muslim yagn khilaf kembali ke tampat suci di
Makkah, dan menyeru mereka untuk kembali, di bahwah bimbingannya, ke jalan
Nabi, mencampakkan jalan-jalan gmeerlap kehidupan Eropa maupun taman-taman
bunga mawar nan harum dari impian-impian sufistik Persia.
Karya Iqbal mencakup interpretasi-interpretasi
teologikal, mistikal, dan sosiologikal tentang Nabi. Namun menjelang akhir
hayatnya, sekali lagi dia berpaling kepada Nabi sebagai sahabat yang setia,
penuh kasih sayang dan menyenangkan dan berlantun dengan kata-kata sederhana,
hampir seperti salah satu penyair rakyat di tanah tumpah darahnya, Punjab,
tentang kerinduannya akan tempat terakhir peristirahatan Nabi :
Bak seekor burung yang, dalam malam gurun.
Membentangkan sayap-sayapnya kala berpikir tentang
sarangnya.
Dan dalam sebuah gambaran tak
terlupakan, Iqbal mengikhtisarkan apa yang telah dan masih dirasakan oleh
berjuta-juta Muslim ssaleh selama berabad-abad tentang Nabi :
Cinta kepada Nabi mengalir bak darah di dalam urat-urat
umatnya.
T
A M A T
Rabu, 08 Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar