“PARA FILOSOF MUSLIM”
“IBN
TUFAIL”
Penyunting
: Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno
DAFTAR
ISI
A.
KEHIDUPAN DAN KARYA-KARYANYA
B.
PERNYATAAN KEBENARAN MUWAHHID
C.
HAYY IBN YAQZAN
D.
DOKTRIN-DOKTRIN
E.
PENGARUH
F.
PSIKOLOGI
G.
AKAL DAN PENGETAHUAN
H.
TUHAN SUMBER PENGETAHUAN
I.
FILSAFAT POLITIK
J.
ETIKA
K.
TASAWUF
A.
KEHIDUPAN DAN KARYANYA
Abu
Bakr Muhammad ibn ‘Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail (Latin,
Abubacer), pemuka besar pertama pemikiran filosofis Muwahhid dari Spanyol,
lahir pada dekade pertama abad ke-6 H/ ke-12 M di Guadix, di Propinsi Granada. Ia
termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Al-Marrakhusi belajar kepada
ibn Bajjah, yang kalau kita lihat sangkalan ibn Tufail bahwa dia mengenal
filosof itu, adalah tidak benar. Dia memulai karirnya sebagai dokter praktek di
Granada dan lewat ketenarannya dalam jabatan itu dia diangkat menjadi
sekretaris gubernur di Propinsi itu. Kemudian, pada tahun 549 H/1154 M, dia
menjadi Sekretaris Pribadi Gubernur
Ceuta dan Tangier, putra ‘Abd al-Mu’min, penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang
merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, dia menduduki jabatan dokter
tinggi dan menjadi Qadhi di Pengadilan serta wazir Khalifah Muwahhid abu Ya’qub
Yusuf (memerintah tahun 558 H/1163 M – 580 H/1184 M). Khalifah ini berminat
pada fislafat dan memberi kebebasan berfilsafat, dan hal ini menjadikan
Pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan metode ilmiah serta
membuat Spanyol seperti dikatakan oleh
R.Briffault, “Tempat kelahiran kembali negeri Eropa.” Bersama khalifah Abu
Ya’qub Yusuf, ibn Tufail menjadi berpengaruh besar, dan dia yang
memperkenalkannya dengan ibn Rusyd (meninggal tahun 595 H/1198 M). Atas
kehendak Khalifah, dia memberi saran kepada ibn Bajjah agar membuat keterangan
atas karya-karya Aristoteles, suatu tugas yang dilaksanakan dengan penuhn
semangat oleh ibn Bajjah tapi tak dapat diselesaikan sampai dia meninggal. Ibn
Tufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter Pemerintah apda tahun 578 H/1182
M, dikarenakan usianya yang telah lanjut dan dia menganjurkan perlindungannya
agar memilih ibn Rusyd untuk menggantikan kedudukannya. Tapi dia tetap
mendapatkan penghargaan dari Abu Ya’qub dan setelah meninggal (pada tahun 580
H/1184 M) dia mendapatkan penghargaan pula dari putranya abu Yusuf al-Mansyur
(580 H/1185 M - 595 H/1199M). Ibn Tufail meninggal di Maroko pada
tahun 581 H/1185-1186 M. Al-Mansyur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Ibn
Tufail adalah seorang dokter, filosof, ahli matematika dan penyair yang sangat
terkenal dari Muwahhdi Spanyol, tapi sayangnya hanya sedikit sekali
karya-karyanya yang dikenal orang. Ibn Khatib menganggap dua risalah mengenai
ilmu pengobatan itu sebagai karyanya. Al-Batruji (muridnya) dan ibn Rusyd
percaya bahwa dia memiliki “gagasan-gagasan astronomis asli.” Al-Bitruji
membuat sangkalan atas teori Plotomeus mengenai epicycles dan eccentric
circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab al-Hai’ah dikemukakannya
sebagai sumbangan dari gurunya ibn Tufail. Dengan mengutip perkataan ibn Rusyd,
ibn abi Usaibi’ah menganggap fi al-Buqa’ al-Maskunah wal-Ghair al-Maskunah sebagai
karya ibn Tufail, dapi dalam catatan ibn Rusyd sendiri acuan semacam itu tidak
dapat ditemukan. Al-Marrakushi yang ahli sejarah itu; mengaku telah melihat
naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan. Miguel Casiri
(1122 H/1710 M – 1205 H/1790 M) menyebutkan dua karya yang masih ada : Risalah
Hayy ibn Yaqzan dan Asrar al-Hikmah al-Mashriqiyyah, yang disebut terakhir ini
berbentuk naskah. Kata pengantar dari Risalah Hayy ibn Yaqzan, yang judul
lengkapnya ialah Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Mashriqiyyah.
B.
PERNYATAAN KEBENARAN MUWAHHID
Landasan
dinasti Muwahhid berkaitan dengan nama ibn Tumart (meninggal 524 J/1130 M),
seorang pemimpin keagamaan dan politik yang menganggap dirinya sebagai Mahdi.
Dia memperkenalkan kepada dunia barat skolatikisme al-Ghazali dan mendesak
orang-orang untuk mempelajari Fiqh Zahiriah. Dalam pengembaraannya dia bertemu
dengan ‘Abd al-Mu’min al-Qumi (meninggal 558 H/1163 M), putra seorang pembuat
barang tembikar, dan membuatnya menjadi pengikutnya serta warisannya dalam
gerakan puritanismenya. Dia mengangkar bendera pemberontakan melawan para
penguasa Murabiah Spanyol, tapi akhirnya keberhasilan jatuh kepada ‘Abd
al-Mu’min, yang menguasai Oran, Tlemcen, Fez, Ceuta dan pada tahun 542 H/1147 M
menjadi penguasa Muwahhid pertama di Maroko. Dia digantikan oleh abu Ya’qub
Yusuf (meninggal pada tahun 580 H/1184 M) dan kemudian oleh abu Yusud al-Mansur
(meninggal pada tahun 595 H/1199 M) yang dalam Pemerintahannya kedua orang
besar termasyhur itu, ibn Tufail dan ibn Rusyd, memancarkan kegemilangan abadi
mereka.
Orang-orang Muwahhid itu mengaku sebagai pengikut
al-Ghazali. Mereka dikenal karena keyakinan puritanis mereka mengenai keesaan
Tuhan. Gagasan antropomorfis bagi mereka merupakan suatu laknat. Karena
pengaruh ibn Tumart, mereka mempertahankan ketaatan membuta mereka terhadap
aspek eksoteris agama. Fiqh Zahiriah merupakan agama Negara Muwahhid. Sebagai
pewaris ibn Bajjah, mereka menganggap filsafat sebagai bagian dari kebenaran
esoteris yang disediakan bagi sebagian kecil orang-orang yang mendapatkan
pencerahan. Orang awam, karena tidak mampu mencerna pengetahuan murni, tidak
boleh diajari lebih dari sekedar makna harfiah ilmu akhirat Al-Quran.
Tak
perlu dikatakan bahwa persiapan mental ibn Tufail sebagian besar ditunjang oleh
agama resmi Muwahhid, dan karyanya Hayy ibn Yaqzan tak lain merupakan suatu
pembelaan atas sikap para Muwahhid terhadap rakyat dan para filosof.
C.
JAYY IBN YAQZAN
RINGKASAN
Risalah
ini secara dramatis dibuka dengan kelahiran mendadak Hayy di sebuah pulau
kosong, diikuti dengan suat legenda mengenai dibuangnya dia ke tampat terpencil
itu oleh saudara perempuan seorang raja, dengan maksud agar perkawinannya
dengan Yaqzan tetap dirahasiakan. Tanpa campur tangan masyrakat, di tempat itu
dia diberi makan oleh seekor rusa kecil dan diajari oleh pikiran alamiah atau
akal sehat, yang, meski sungguh tak masuk akal, memberinya pikiran induktif
agar dia bisa menyelidiki rahasia segala benda. Tidak seperti jenis binatang
yang lebih rendah, dia merasa sadar akan ketelanjangannya dan ketiadaan
perlindungan atas dirinya. Dia memikirkan keadaannya dan menutupi bagian bawah
tubuhnya dengan dedaunan, mempersenjatai dirinya dengan sebuah tongkat, dan
dengan begitu menyadari keunggulan dirinya atas binatang-binatang berkaki.
Kematian ibu rusa itu membuat dirinya menemukan ruh (soul) binatang yang
menggunakan tubuh sebagai alatnya, seperti tongkat di tangannaya, yang
memberinya penerangan dan kehangatan dengan api, dan dengan begitu menyerupai
benda-benda angkasa. Dia kemudian berpaling kepada analisis dan fenomena alam,
memperbandingkan obyek-obyek yang ada di sekelilingnya, dan membeda-bedakan
mereka serta menggolongkan mereka sebagai benda mati, tanaman dan binatang.
Dalam penyelidikan itu dia menjadi tahu bahwa tubuh merupakan unsur umum setiap
obyek, tapi mereka termasuk kelompok-kelompok yang berbeda-beda diakrenakan
fungsi-fungsi tertentu mereka. Hal ini membuatnya menduga bahwa setiap kelompok
obyek memiliki bentuk atau ruh (soul) tertentu. Tapi karena ruh (soul) tidakd
apat dilihat, maka kecekatan dialektisnya akhirnya membawanya kepada gagasan
mengenai suatu Kemaujudan Utama, kekal, tak ebrjasmani, dan mesti ada yang
merupakan sebab efiisen perilaku tertentu benda-benda. Hal ini membuatnya sadar
akan esensi immaterialnya sendiri; dan dengan berlaku atas dasar suatu aturan tiga hal disiplin kezuhudan yagn
kelak akan dijelaskan, akhirnya dia tenggelam dalam perenungan tak
terkendalikan tentang Kamujudan Utama.
Pada
tahap ini, Asal, suatu jiwa yang selalu merenung dan berpikir, dari pulai di
dekatnya, tampil untuk mencapai kesempurnaan dalam kesendirian. Dia memberi
tahu Hayy, sang putra alam, tentang konsepsi-konsepsi Qurani tentang Tuhan,
malaikat-malaikat-Nya, nabi-nabi-Nya, Hari Penentuan,d an sebagainya, yang
dengan akalnya yang telah berkembang sendiri dapat segera dikenalnya sebagai kebenaran. Tapi mulanya
dia tidak mampu melihat kebijakan yang tersirat
dalam bahasa kias Al-Quran mengenai Tuhan dan Akhirat, dan ijin yang
diberikan dalam ktiab itu bagi manusia untuk menikmati kehidupan duniawi yaitu
ijin yang bsia membuat manusia berpaling dari kebenaran. Dengan penuh keinginan
dan harapan, dia ebrangkat bersama Asal menuju pulau tersebut yang diperintah
oleh Salaman dan mulai mengubah rakyatnya yang terkekang adat. Dia berusaha
keras memberikan penerangan kepada mereka lewar konsep-konsep murni, tapi
akhirnya ia mendapati bahwa konsep-konsep ini tak terjangkau oleh pikiran
mereka. Kemudian dia menyadari kearifan Nabi dalam memberi mereka bentuk-bentuk
yang dapat dicapai oleh indera dan bukannya penerangan yang lengkap. Maka dia
kembali ke pulaunya yang sepi dan tenggelam dalam perenungan.
SUMBER-SUMBER
Hayy
ibn Yaqzan merupakan ciptaan unik pemikiran filosofis mistis ibn Tufail.
Bagaimana pun, gagasan roman ini tidak seluruhnya baru. Ibn Sina (meninggal
tahun 428 H/1037 M), di antara para pendahulunya, telah menulis suatu kisah
kiasan dengan judul serupa. Tapi persamaannya, sampai di situ saja. Cerita ibn
Sina yang didramatisasi mengisahkan bagaimana dia suatu hari, bersama beberapa
teman, pergi berkelana di sekitar sebuah kota dan tiba-tiba bertemu seorang
lelaki tua. Hayy ibn Yaqzan, dan minta kepadanya agar diijinkan menemuinya
dalam pengembaraannya yang tiada akhir. Tapi orang tua itu menyahut bahwa
mustahil bagi ibn Sina dikarenakan oleh teman-temannya yang tak mungkin
ditinggalkannya. Dalam kisah
kiasan ini ibn Sina sendiri mencerminkan jiwa rasional, teman-temannya
mencerminkan berbagai indera, dan orang tua itu, Hayy ibn Yaqzan, akal aktif.
Dalam karyaibn Sina, dengan demikian, tokoh Hayy menggambarkan Spirit Manusia
Super, tetapi tokoh utama dalam roman karya Tufail tampaknya merupakan
personifikasi spirit alamiah manusia yang disinari dari atas, dan bahwa Spirit
itu mesti sesuai dengan Ruh Muhammad bila dipahami secara benar, yang
ucapan-ucapannya mesti ditafsirkan secara kiasan.
Begitu
pula, nama-nama Salaman dan Absal, dua tokoh lain dalam roman ibn Tufail, bukan
merupakan tokoh baru dalam kesusastraan filosofis. Keduanya juga diambil dari
kisah karya ibn Sina Salaman wa Absal, yang kita kenal lewat parafrase. Tusi
dalam uraiannya atas Isyarat. Kisah itu menceritakan Absal, adik laki-laki Salaman. Yang ingin maju ke
medan perang demi menghindari hasrat amoral istri kakaknya, tapi dia
ditinggalkan oleh pasukannya gara-gara ulah iparnya itu dan tubuhnya yang
terluka diseret seekor binatang semacam rusa ke sebuah tempat yang aman. Ketika
pulang ke rumahnya, dia membentuk pasukan sendiri yang kuat dan merebut kembali
kerajaan yang kalah itu demi Salaman, yang istrinya, karena putus asa, meracuni
Absal hingga meninggal. Salaman yang tenggelam dalam kesedihan kehilangan
gairah hidup dan menjadi pertapa. Akhirnya, seorang ahli mistik menceritakan
kepadanya bahwa istrinya sendirilah yang telah menyebabkan bencana itu. Maka
dibunuhhnya perempuan itu dan semua kaki-tangannya. Salaman dalam kisah ini,
meggambarkan ruh rasional, Absal menggambarkan nalar teoritis dan istri Salaman
menggabarkan tubuh yang memuja nafsu. Meski ada persamaan nama dan
bagian cerita mengenai rusa, namun tema dasar dari kedua risalah ini pada
hakikatnya berbeda. Dalam karya ibn Sina, tujuan utamanya yaitu menunjukkan
bagaimana penderitaan seseorang (dia sendiri adalah seorang narapida di penjara
bawah tanah dari sebuah benteng ketika dia menulis cerita kiasan itu)
mendatangkan karunia Tuhan dan menyebabkan terjadinya permurnian jiwa, sedang
tujuan ibn Tufail tidak lain mendramatisasi perkembangana nalar teoritis dari
persepsi-rasa yang masih kasar menjadi visi indah tentang Tuhan.
Pengaruh
yang sangat dalam dan nyata sekali, yang tampak telah mewarnai struktur dasar
roman ibn Tufail, yaitu pengaruh ibn Bajjah, pendahulunya, seorang rasionalis.
Tokoh Hayy, yang sendirian dan berpikiran metafisikal, hanyalah bentuk ekstrem
dari “manusia sendirian” dalam karya ibn Bajjah Tadbir al-Mutawahhid. Bagaimana
pun, meski ia mengakui pentingnya kesendirian untuk mengembangkan nalar
teoritius, ibn Tufail merasa agak tak puas atas penandasan sepihak ibn Bajjah
atas peranan nalar dalam memperoleh kebenaran sejati. Agak simpatik keluhannya
tentang “ketidaksempurnaan” Tadbir al-Mutawahhid-nya ibn Bajjah. Keinginannya
untuk meniadakan ketidaksempurnaan inilah yang mendorong ibn Tufail menciptakan
Hayy ibn Yaqzan. Dan karena pengaruh al-Ghazali (meninggal tahun 505 H/1111M)
dan barangkali juga pengaruh Surahwardi Maqtul, tokoh Persia yang hidup sezaman
dengannya, yang membuat dia menambah nalar dengan ekstase dalam menuju dunia
surgawi.
Mengenai
kelahiran Hayy ibn Yaqzan di sebuah pulau kosong, ibn Tufail menyodorkan dua
versi. Versi ilmiah kelahirannya yang tiba-tiba sepenuhnya atas pengaruh ibn
Sina. Versi legendaris kelahiran itu dialcak oleh Gracia,” Madrid, 1926) sampai
kepada Kitab Dhu al-Qarnain wa Qissat
al-Sanam wal-Malak wa Bintuhu, suatu kisah dari Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn Ishaq. Kisah itu menceritakan bagaimana,
dalam ketidakbahagiaannya sebagai keluarga raja, putri raja itu membang anak
perempuannya sendiri, hasil hubungannya dengan putra Wazir ayahnya, ke laut.
Ombak laut yang buas menghempaskannya ke pulau kosong yang di sana ia diberi
makan oleh seekor rusa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik; kemudian
hari, Alexader yang Agung bertemu dengannya secara kebetulan di pulau Oreon. Bahwa
mulanya kehidupan Hayy sama dengan kehidupan gadis itu, tak perlu diragukan,
tapi persamaannya hanya sama di situ saja. Di samping itu, kisah dari Yunani
itu tampaknya bukanlah merupakan satu-satunya sumber legenda ini. Badi’
al-Zaman Foruzanfar baru-baru ini telah mendapati bahwa kisah itu berasal dari
kisah Persia tentang Musa o Dara-o Nimrud.
Kerangka
romantis kisah Hayy ibn Yaqzan memang tidak asli dan berasal dari Alexandria;
bahkan mungkin dari Persia. Bagaimana pun, ibn Tufail-lah yang mengubah sebuah
kisah sederhana menjadi sebuah roman yang mengandung makna filosofis yang unik.
Ketajaman filosofislah, bukannya ketajaman imajinasi puitis, yang menandai
kebaruan risalah itu dan membuatnya menjadi “salah satu dari buku-buku paling
asli Jaman Pertengahan.”
TUJUAN
RISALAH
Sebagaimana
telah dikatakan oleh al-Marrakhushi, ahli sejarah itu, Hayy ibn Yaqzan adalah
sebuah risalah yang bertujuan memberikan penjelasan ilmiah tentang permulaan
kehidupan manusia di bumi. Sebagai pembukaan kisah Hayy ibn Yaqzan, dikisahkan
bahwa cuaca yang baik dari pulau kosong itu, dan juga persesuaian antara
unsur-unsur di tempat itu, menyebabkan kelahiran tiba-tiba manusia pertama,
yang mendapati bahwa sebatang tongkat bisa menjadi senjata untuk mempertahankan
eksistensinya, dan dengan demikian dia merasa yakin bahwa dia mengungguli
binatang-binatang lain. Tapi sebenarnya permulaan ini dimaksudkan semata-mata
untuk memaparkan latar-belakang pertumbuhan akal induktif, yang tak bergantung
kepada pengaruh sosial apa pun.
Bertentangan
dengan pendapat al-Marrakushi, tapi sesuai benar dengan pendapat de Boer, Dr.
Muhammad Ghallab berpendirian bahwa risalah itu pada dasarnya bertujuan
menunjukkan kemampuan individu manusia untuk hidup sendiri, dengan hanya
memanfaatkan sumber-sumber alam saja tanpa bantuan masyarakat, dan berusaha
memperoleh kebenaran sejati, asalkan dia memiliki kecerdasan untuk itu.
Kebenaran Quran dan Hadits terbuka bagi pencerapan akal murni, tapi harus
dilindungi dari orang awam yang buta huruf yang urusannya bukanlah untuk
berpikir melainkan untuk percaya dan patuh. Sebenarnya, pandangan ini merupakan
gema dari sikap ibn Bajjah, yang di kemudian hari dianggap sebagai sikap resmi
yang tepat di bawah pemerintahan Muwahhid.
Muhammad
Yunus Farangi Mahalli melihat tujuan yang lebih tinggi yang tersirat dalam
risalah itu. Agama bagi masyarakat yang maju sama pentingnya dengan filsafat
dan tasawuf --- suatu tesis yang dengan sangat gemilang ditunjukkan oleh kerja
sama ketiga tokoh watak dramatis itu : Hayy in Yaqzan, sang filosof; Absal,
ahli tasawuf; dan Salaman, ahli teologi. Tujuan utamanya bukan hanya
menunjukkan bahwa fislafat sekalgus dengan agama harus dipahami secara tepat,
tapi bahwa aspek-aspek eksoteris dan esoteris agama dan filsafat itu merupakan
ekspresi kebenaran kekal yang sma yang disingkapkan kepada setiap individu
sesuai dengan kemampuan mereka.
Secara
filosofis, risalah itu merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori ibn
Tuafil mengenai pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo
Platonis di stu pihak, dan al-Ghazali dengan ibn Bajjah di pihak lain.
Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles,
tapi ibn Bajjah adalah pengikut sejati Aristoteles. Ibn Tufail, mengikuti jalan
tengah, menjebatani jurang pemisah antara dua pihak itu. Sebagai seorang
rasionalis, dia memihak ibn Bajjah dalam melawan al-Ghazali dan mengubah
tasawuf menjadi rasionalisme; sebagai seorang ahli tasawuf dia memihak
al-Ghazali dalam melawan ibn Bajjah dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf.
Ekstase merupakan bentuk tertinggi pengetahuan, tapi jalan menuju pengetahuan semacam
ini itu diperlicin dengan pengembangan
nalar, diikuti dengan pemurnian jiwa melalui praktek-praktek kezuhudan.
Metode-metode al-Ghazali dan ibn Tufail keduanya sebagian sama, tapi, tidak
seperti al-Ghazali , ekstase ibn Tufail ditandai dengan suatu tekanan
Neo-Platonik. Al-Ghazali yang setia kepada sikap teologis-mistisnya, menganggap
ekstase sebagai sarana untuk melihat Tuhan, tapi bagi ibn Tufail, sang filosof,
visi indah mengungkapkan akal aktif dan rangkaian sebab Neo-Platonik sampai ke
unsur-unsurnya dan kembali lagi kepada diri.
D.
DOKTRIN-DOKTRIN
DUNIA
Apakah
dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya?
Inilah salah satu masalah paling
menantang dalam fislafat Muslim. Ibn Tufail sejalan dengan kemahiran
dialektisnya, menghadapi amsalah itu dengan tepat,s ebagaimana Kant. Tidak
seperti para pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya,
pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan
pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia
melibatkan konsep eksistensi tak berbatas yang tak kurang mustahil dibandingkan
gagasan tentang rentangan tak berbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat
lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat
mendahului mereka dalam hal waktu; dan yang tidak dapat ada sebelum
kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat-laun. Begitu
pula, konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang
seksama. Sebagaimana al-Ghazali,
dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidak maujudan
tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia
ada; tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu
kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala
yang tercipta pasti membutuhkan
Pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan
bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh sesuatu yang terjadai
atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatu pun maujud sebelum Dia untuk
membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu meski dianggap bersumber dari
suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan tersebut?
Karena
itu ibn Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan semetara dunia ini.
Antinomi
ini dengan jelas meramalkan sikap para pengikut Kant bahwa nalar ada batasnya dan bahwa argumentasinya
akan mendatangkan kontradiksi yang membingungkan.
TUHAN
Baik
kekekalan dunia maupun creatio ex nihilo-nya bagaimana pun membawa kepada
eksistensi suatu Kemaujudan Nonfisik yang kekal. Penciptaan dunia yang bersangsung lambat laun itu
mensyaratkan adanya suatu Pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta mesti bersifat
immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia, diciptakan oleh
satu Pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan
membawa suatu kemunduruan yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena
itu, dunia ini pasti mempunyai Penciptanya yang tidak berujud benda. Dan karena
Dia bersifat immaterial maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat Indera kita
ataupun lewat imajinasi; sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat
ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia, berarti kekekalan geraknya
juga; dan gerak, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak
atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah
benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan
suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu, penyebab efisien dari gerak
kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi
ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu;
sebab penyatuan dan pemisahan, ketergantungan atau keterlepasan, merupakan
tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya, lepas sama
sekali dari itu semua.
Bagaimana pun juga, ada sebuah
pertanyaan di sini. Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang
pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan
ibn Sina, ibn Tufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan
kekekalan dalam waktu, dan percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam
hal esensi tapi tidak dalam waktu.
Ambillah satu contoh. Jika kau
pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu maka benda itu,
tak pelak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu
bergantung pada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam
esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam
waktu keduanya tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan
Tuhan sama-sama kekal, ibn Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia
itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang
ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan
pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh al-Ghazali, ibn Tufail memandang
dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan
cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal ataupun berakhir. Dunia tidak akan hancur
sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentuan. Kehancurannya berupa
keberalihannya memnjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran
sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain, sebab
kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa
sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.
KOSMOLOGI CAHAYA
Sesuai
sekali dengan pandangan ibn Sina dan para pendahulunya yang lain, ibn Tufail
menerima prinsip bahwa dari
satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan
kemaujudan dari yang satu dijelaskan dalam gaya Neo-Platonik yang monoton,
sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran
yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan
refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh
pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan
kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari
itu sendiri,juga bukan cermin itu sendiri; bukan pula sesuatu yang lain dari
matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari
kalau kita pandang sember cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang
cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga
pada cahaya pertama beserta perwujudanya di dalam kosmos.
EPISTEMOLOGI
Jiwa, pada tahap awalnya, bukanlah
suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji telah tersirat di dalamnya
sejal awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan
pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan
kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan
sesungguhnya di balik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini
tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan
mereka secara berurutan dan memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang
melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi juga pendidikan semua indera
dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara
pengalaman dan nalar (Kant) di satu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan
intuisi (Bergson dan Iqbal), di pihak lain, membentuk esensi epistemologi ibn
Tufail.
Pengalaman
suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi
berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati; dari sana berbagi data-indera yang
kacau mencapai otak yang menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur saraf.
Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi
suatu kesatuan persepsi.
Pengalaman memberi kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan
pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman, dan hewan. Setiap kelompok
benda memperlihatkan fungsi-fungsi jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu
berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas
dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati
secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu
tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh
itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan
sebab itu ialah Tuhan.
Ibn
Tufail juga menyadari keterbatasan metode yang baru didapatnya itu. Mengikuti
pendapat al-Ghazali dan mendahului pendapat Hume, ibn Tufail tidak melihat
adanya kekuatan pada sebab yang bisa mendatangkan pengaruh sebagaimana
biasanya. Empirisme Hume berakhir dengan skeptisime, tapi ketasawufan ibn
Tufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab-akibat merupakan suatu tindak
perpaduan yang dianggap berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap
berasal dari bentuk a priori pemahaman. Ibn Tufail sekaligus berada di depan
Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metode induktif
ilmu modern; melihat ketidak mampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki
mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, dan juga ketidakmampuan
akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan
akibat; dan akhirnya menjernihkan awan skeptisime dengan membuat pernyataan
bersama al-Ghazali bahwa rangkaian
sebab-akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah
mendidik indera dan akal serta memperhatikan keterbatasan keduanya, ibn Tufail
akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber
tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat
proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif
lewat cahaya yang ada di dalamnya, jiwa menjadi sadar diri mengalami “apa yang tak pernah dilihat mata, atau
di dengar telinga, atau di rasa hati orang manapun.” Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada
apa yang dilihat, didengar atau di rasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa
dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esesnsi
itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu
pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.
ETIKA
Bukan kebahagiaan duniawi, melainkan
penyatuan sepenuhnya dengan Tuhanlah yang merupakan Kebaikan Tertinggi etika. Perwujudannyam setelah pengembangan
akal induktif dan deduktif, akhirnya bergantung kepada aturan tiga pokok
disiplin jiwa, yang menurut de Boer memiliki suatu “corak Phytagoras.” Manusia merupakan suatu perpaduan
tubuh, jiwa hewani dan esensi non bendawi, dan dengan demikian menggambarkan
binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu, pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga
aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda
angkasa, dan Tuhan. Mengenai peniruannya, pertama, ia terikat
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta
menjaganya dari cuaca buruk dan binatang
buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua
menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek
hidup dan tak hidup, perenungan dan esensi Tuhan dan perputaran esensi orang
dalam ekstase. (Ibn Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki
jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang
Tuhan). Terakhir,
dia harus melengakpi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun
yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaanb, kebijaksanaan, kebebasan dari
keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri,
demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas, merupakan salah satu
disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri,
dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat
Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
FILSFAAT
DAN AGAMA
Filsafat merupakan pemahaman akal
secara murni atas kebenaran konsep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, tak
dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Bahasa merupakan hasil dari kebutuhan-kebutuhan material
lingkungan sosail dan karena itu hanya dapat menyentuh dunia fenomena semata.
Dunia angkasa, yang abstrak dan non bendawi, tidak dapat dijangkau. Bila
dilukiskan dengan lambang bendawi, maka ia akan kehilangan esensinya, dan
bisa-bisa orang menganggapnya tidak sebagaimana yang sebenarnya.
Kalai begitu mengapa Al-Quran melukiskan
dunia-atas itu dalam ibarat-ibarat, sehingga pandangan yang lebih jelas
terkesampingkan dan orang bisa jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal karena
menganggap pemenuhan kebutuhan jasmaniah sebagai esensi Tuhan, padahal Dia
lepas dari itu? Dan mengapa Kitab Suci tidak hanya sekedar memberikan
ajaran-ajaran dan tatacara pemujaan, dan memberi manusia ijin untuk
mengumpulkan kekayaan serta memberinya kebebasan mencari makan, yang dengan
cara itu mereka mengejar tujuan yang sia-sia dan berpaling dari kebenaran? Tidakkah kebutuhan yang sangat penting dari jiwa itu ialah
membebaskan diri dari hasrat-hasrat serta ikatan-ikatan duniawi sebelum dia
memulai perjalanannya menuju surga? Apakah manusia mau mengesampingkan
tujuan-tujuan duniawi untuk mengikuti kebenaran, jika mereka mencapai
pengetahuan murni sehingga mampu memahami segala suatu dengan benar?
Kegagalan menyedihkan Hayy dalam upaya memberi penerangan kepada massa dengan
jalan memberikan konsep-konsep murni itu, membuka jalan bagi menjawab
pertanyaa-pertanyaan di atas. Nabi berlaku bijak dengan memberi mereka bentuk-bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera dan bukannya penerangan melulu, sebab mereka tidak
memiliki jalan keselamatan yang lain. Bila mencapai pengetahuan murni, mereka
akan terguncang dan jatuh dan berakhir dengan buruk. Bagaimanapun, meski ibn
Tufail menyuarakan kebijaksanaan Negara Muwahhid tentang penahanan pengajaran
filsafat kepada orang kebanyakan, namun dengan jelas dia mengakui adanya
sekelompok orang berbakat yang patut mendapatkan petunjuk-petunjuk filosofis
dan kepada mereka paling baik ditanamkan pengetahuan serta kebijaksanaan dengan
jalan mengemukakan kiasan-kiasan.
Agama diperuntukan bagi semua orang;
tapi filsafat hanya bagi orang-orang berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan
mereka harus dipisahkan secara hati-hati. Tak pelak lagi, filsafat harus
dipahami secara bersamaan dengan agama; keduanya membawa kepada kebenaran yang
sma, tapi dengan cara-cara yang berbeda. Mereka berbeda bukan hanya dalam
metode dan lingkup, tapi juga dalam taraf rahmat yang mereka anugerahkan kepada
para pengikut setia mereka.
Agama melukiskan dunia atas dengan
lambang-lambang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan dan
gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah dipahami oleh
orang-orang, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan
moralitas. Filsafat, di lain pihak, merupakan bagian dari kebenaran esoteris.
Ia berupaya menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep dan
imaji-imaji murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang disitu esensi
ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Persepsi rasa, nalar, dan intuisi merupakan
dasar-dasar pengetahuan filsafat.
Para nabi pun memiliki
intuisi; sumber utama pengetahuan meraka adalah wahyu Tuhan. Pengetahuan Nabi
didapat secara langsung dan pribadi, sedangkan pengetahuan para pengikutnya
didapat dari wasiat.
Filsafat merupakan masalah khusus
individu; ia mensyaratkan perangai dan bakat tertentu untuk menangkap
penerangannya. Agama, sebaliknya, merupakan suatu disiplin sosial. Pandangannya
bersifat melembaga, bukan individual. Tujuannya kurang labih yaitu kebaikan
massa secara umum, tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan individu dalam
kemampuan dan ketercerahan batiniah.
Filsafat menghadapkan kita kepada
realitas. Ia menuntut
perenungan terus-menerus atas kebenaran, visi jelas cahaya utama, sumber segala
kemaujudan, dengan melepaskan semua ikatan duniawi. Agama tidak demikian tegar
dalam ketentuan-ketentuannya. Ia mengutuk kepertapaan dalam arti apa pun; sebab
manusia pada umumnya tidak mampu mencapai hal itu. Oleh karena itu, agama
menetapkan syarat mutlak yang paling mudah dilaksanakan dan memberikan kepada
manusia ijin untuk menjalani kehidupan duniawi, asal tidak melanggar
batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan
demikian para filosof, mampu mencapai kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan orang
kebanyakan harus merasa puas dengan kebahagiaan kedua dan tidak dapat meningkat
lagi, dikarenakan keterbatasan diri mereka. Kemudian teori ini, di bawah
pengaruh ibn Rusyd, mempersenjatai para Sarjana Eropa terhadap Gereja dengan
doktrin “Kebenaran lipat dua,”
John dari Brescia dan Siger dari Brabant menjadi duta wakil utamanya. Cerita
ini tampaknya belum berakhir di sini; sebab sikap individualistik yang
menguntungkan dari filsfat modern, suatu sikap yang membedakannya dari
pandangan jaman pertengahan dan jaman kuno, ternyata juga merupakan suatu dasar
yang khas dari teori itu.
E.
PENGARUH
Di
antara karya ibn Tufail, hanya Hayy ibn Yaqzan sajahlah yang masih ada
sekarang. Karya itu merupakan suatu roman filsafat pendek, tapi pengaruhnya
terhadap generasi berikutnya di Barat begitu besar sehingga karya tersebut
dianggap sebagai “salah satu buku paling mengagumkan di Jaman Pertengahan.”
Mengenai semangatnya, karya itu menyamai Arabian Nights; mengenai metodenya, ia
bersifat filosofis segkaligus mistis. Ia menyatukan kesenangan dan kebenaran
dengan jalan menggunakan imajinasi dan intuisi untuk membantu akal, dan daya
tarik khusus inilah yang menjadikannya termasyhur dan mendorong orang untuk
menterjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani, Latin, Ingris, Belanda, Prancis,
Spanyol, Jerman dan Rusia. Bahkan sampai sekarang, minat dunia terhadap karya
itu belum hilang. Edisi bahasa Arab baru-baru ini dari Ahmad Amin (1371 /
1952), yang diikuti terjemahan bahasa Persia dan Urdu pada dasawarsa yang sama,
cukup menjadi bukti bahwa karya ibn Tufail tak kalah memikat bagi dunia modern,
sebagai mana ia memikat dunia jaman pertengahan.
Risalah
itu menarik perhatian the Quakers, dan George Kieth yang mendapati bahwa karya
itu menopang “pandangan antusiastik” the Society of Friends, menerjemahkannya
ke dalam bahasa Ingris pada tahun 1085 H/1674 M. Begitu hebat pengaruh karya
itu, atau menurut istilah Simon Oxkley “manfaat buruk”, sehingga dia merasa
berkewajiban untuk menuliskan suatu lampiran tiga puluh enam lembar bagi versi
bahasa Ingris dari buku tersebut (1120 H/1708 M), yang dimaksudkannya untuk
menyangkal tesis ibn Tufail bahwa seorang individu, yang bernama cahaya batin a
priori-nya, dapat mencapai kebenaran utama.
Utang
Gracian Baltasar, seorang penulis Spanyol, terhadap ibn Tufail menarik
perhatian dunia pada empat dasa warsa pertama abad ini. Menurut L. Gauthier,
kehidupan awal Andrenio, tokoh utama dalam karya Baltasar- El Criticon
(Saragosa, 1062 H/1651 M), merupakan suatu “manifestasi” dan “tiruan yang tak
terpungkiri” dari versi legendaris kelahiran Hayy. Tapi G. Gomez, seorang
kritikus Spanyol, mengemukakan bahwa El Criticon, lebih dekat dengan kisah
Yunani Dhu al-Qarnain wa Qissat al-Sanam wal-Malak wa Bintuhu, dibandingkan
dengan Hayy ibn Yaqzan. D.K. Petrof,
seorang Orientalis Rusia, juga beranggapan bahwa Gracian Baltasar merupakan
kekecualian terhadap pengaruh ibn Tufail. Tapi, L. Gauthier, dalam versi
terakhir risalah itu (Bairut, 1355 H/1936 M), mempertahankan sikap Gomez dan
Petrof dan mengambil kesimpulan bahwa Gracian Baltasar berutang kepada kisah dari
Yunani Qissat al-Sanam secara tidak langsung lewat karya ibn Tufail Hayy ibn
Yaqzan. Pengaruh kerangka roman risalah ini juga dapat dilihat dalam Menedez
Pelyo, Pou, Saif Bin dhi Yzan dan Taszan. Bahkan Robinson Crusie (1132 H/1719
M), karya Daniel Defoe, tidak merupakan kekecualian terhadap pengaruhnya,
sebagaimana dibuktikan oleh A.R. Pastor dalam karyanya Idea of Robinson Crusoe.
Di
antara murid-murid ibn Tufail, abu Ishaq al-Bitruji dan abu al-Walid ibn Rusyd
dadalah paling menonjol. Dia berada di barisan depan dalam bidang astronomi
lewat al-Bitruji yang teorinya tentang gerakan Muslim anti-Plotomeus. Dalam
bidang filsafat dan pengobatan dia menguasai arena lewat ibn Rusyd yang paham
rasionalismenya “berkobar bagi api yang ganas di sekolah-sekolah Eropa” dan
menuntun pemikiran mereka selama tidak kurang dari tiga abad.
********************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar