“NASIR AL-DIN TUSI”
Oleh Bakhtiar Husain Siddiqi, M.A.,LL.B
Dosen di Bidang Filsafat, Goverenment
College, Lahore (Pakista)
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting
: Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno
DAFTAR
ISI
A.
KEHIDUPANNYA
B.
OBSERVATORIM MARAGHAH
C.
KARYA-KARYANYA
D.
AKHLAQ-I NASIRI
E.
ETIKA
F.
ILMU RUMAH TANGGA
G.
POLITIK
H.
SUMBER FILSAFAT PRAKTIS
I.
PSIKOLOGI
J.
METAFISIKA
K.
KENABIAN
L.
BAIK DAN BURUK
M.
LOGIKA
N.
TINJAUAN
A.
KEHIDUPANNYA
Khawajah
Nasir al-Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasa, seorang sarjana yang
mahir, ahli matematika, astronomi, dan politisi Syi’ah pada masa penyerangan
bangsa Mongol atas Para Pembunuh dan Khalifah, lahir di Tus pada tahun 597 H/1201
M. Seteleha menerima pendidikan dasar dari ayahnya dan Muhammad b. Hasan, dia
mempelajari Fiqh, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibn Sina, dari
Mahdar Farid al-Din Damad, dan matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia
kemudian pergi ke Baghdad, di sana dia mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat
dari Qutb al-Din, matematika dari Kamal al-Din ibn Yunus dan Fiqh serta Ushul
dari Salim ibn Badran.
Tusi
memulai karirnya sebagai ahli astronomi pada Nasir al-Din ‘abd al-Rahim,
Gubernur dari benteng gunung. Isma’illiah Quhistan selama masa pemerintahan
‘Ala al-Din Muhammad (618 – 652 H/1221 -1255 M), Syekah Agung (Khudawand) ke
tujuh dari Alamut. “Hubungan surat-menyurat”-nya dengan wazir Khalifah Abbasiah
terakhir, al-Musta’sim (640 – 656 H/1242 – 1258 M) di Baghdad, dihentikan oleh
atasan-atasannya, dan dia dipindahkan ke Alamut di bawah pengawasan ketat,
meski di sana dia menikmati segala kemudahan untuk menlanjutkan pelajarannya.
Pada tahun 654 H/1256 M, dia “menyerahkan” penguasa Pembunuh terakhir Rukn
al_din Khurshah ke tangan Hulagu dan kemudian menjadi teman Hulagu sebagai
penasihat terpercaya sampai ditaklukkannya Baghdad pada tahun 657 H.1258 M.
B.
OBSERVATORIUM MARAGHAH
Alasan
utama yang membuat Tusi mencapai kemasyhuran adalah keberhasilannya membujuk
Hulagu untuk mendirikan observatorium yang terkenal itu (rasad khanah) di
Maraghah, Azarbaijah, pada tahun 657 H/1259 M, yang dilengkapi dengan alat-alat
paling baik.” Sebagian diantaranya baru diciptakan untuk pertama kalinya.” Di
sini dia menyusun tabel-tabel astronominya, yang disebut Zij al-Ikhani, yang
“menjadi terkenal ke seluruh Asia, bahkan sampai ke Cina.” Di samping bisa
digunakan bagi kemaujudan astronomi dan matematika pada akhir abad ke-7 H/ke-12
M, observatorium ini juga penting dalam tiga hal lainnya. Ia merupakan
observatorium pertama yang banyak dikunjungi, sehingga dengan begitu ia membuka
pintu bagi komersialisasi observatorium di masa mendatang. Kedua, sebagaimana
ibn Tufail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat Pemerintahan Khalifah
‘Abd al-Mu’min menjadi galaksi bintang intelektual cemerlang yang mendorong
perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat, Tusi membuat observatorium
Maraghah menjadi suatu “majlis hebat” yang terdiri atas orang-orang pandai dan
terpelajardengan jalan membuat “rencana khusus” untuk pengajaran ilmu-ilmu
filsfat, di samping matematika dan astronomi, dan juga dengan jalan menyisihkan
uang sokongan itu untuk beasiswa. Ketiga, observatorium itu dihubungkan dengan
sebuah perpustakaan besar tempat disimpannya khazanah pengetahuan yang tak
terusakkan, yang dirampas oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika mereka
menaklukkan Irak, baghdad, Syria dan daerah-daerah lain. Menurut ibn Syakir,
perpustakaan itu berisi lebih dari empat ratus ribu jilid buku.
Tusi
tetap berpengaruh di bawah Abaga, pengganti hulagu, tanpa mendapat rintangan
sampai dia meninggal pada tahun 672 H/1274 M/
C.
KARYA-KARYANYA
Pada
masa penghancuran politik besar-besaran, yang diikuti kemunduran intelektual,
perlindungan Hulagu atas Tusi merupakan peristiwa sangat penting dalam sejarah
pemikiran Muslim. Kebangkitan kembali dan berkembangnya ilmu-ilmu filsafat di
akhir abag ke-7 H/ke-13 M berpusat di sekitar pribadi Tusi. Bagi orang-orang
Persi, dia dikenal sebagai “guru manusia” (Ustadz al-basyar). Bar-Hebraeus
menganggapnya sebgai “orang yang berpengathuan luas di semua cabang filsfat.”
Bagi Ivanow dia bagaikan “Kamus hidup.”
Dan Afnan menganggapnya sebagai “Juru ulas . . . .
yang paling mahir dalam mengulas karya-karya ibn Sina di Persia. Pun
orang mau tak mau akan terkesan oleh “kerajinan yang menakjubkan” yang
diperlihatkannya dalam “menyunting dan mengembangkan” terjemahan yang dibuat
oleh Tsabit bin Qurrah, Qusta bin Luqa dan Ishaq bin Hunain atas karya-karya
ahli matematika dan astronomi dari Yunani. Brockelman telah mengumpulkan lima
puluh sembilan dari karya-karyanya yang masih ada. Tapi Ivanow mengatakan bahwa
ada “sekitar seratis lima puluh karya”
yang telah ditulis olehnya. Daftar yang diberikan oleh Mudarris Ridwi berkisar
antara seratus tiga puluh judul, tidak termasuk dua puluh satu judul lainnya
yang diragukan apakah memang benar karya itu ditulis oleh Tusi.
Tusi
lebih pantas disebut sebagai sarjana yang mahir daripada seorang ahli pikir
yang kreatif, dan kedudukannya terutama sebagai seorang panganjur gerakan
kebangkitan kembali, sementara karya-karyanya kebanyak bersifat eklektis
(bersifat memilih dari ebrbagai sumber). Tapi meski dia seorang pengajur
gerakan kebangkitan kembali dan seorang eklektis, dia tetap meiliki keaslian,
terutama dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sungguh
mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat,
matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogi. Musik, sejarah,
kesusastraan dan dogmatik. Karya-karya penting filsafatnya sebagai berikut :
1. Asa
al-Iqtibas (logika). 1947
2.
Mantiq al-Tajrid (logika).
3.
Ta’dil al-Mi’yar (logika).
4.
Tajrid al-‘Aqa’id (dogmatik), Teheran, 1926.
5.
Qawa’id-‘Aqa’id (dogmatik), Teheran, 1926.
6.
Risaleh-i I'tiqadat (dogmatik).
7.
Akhlaq-i Nasiri (Etika).
8.
Ausaf al-Asyraf (Etika Sufi).
9.
Risaleh dar Ithbat-i Wajib (metafisik).
10.
Isbat-i Jauhar al-Mafariq (metafisik).
11. Risaleh
dar Wujud-i Jauhar-i Mujarrad (metafisik).
12.
Risaleh dar Itsbat-i ‘Aql-i Fa’a (metafisik).
13.
Risaleh Darurat-i Marg (metafisik).
14.
Risaleh Sudur Kathrat az Wahdat (metafisik).
15,
Risaleh ‘Ilal wa Ma’lulat (metafisik).
16.
Fushul (metafisik) Teheran, 1956.
17.
Tashawwurat (metafisik), Bombay, 1950.
18.
Talkhis al-Muhasal, Kairo, 1323/1905.
19.
Hall-i Musykilat al-Isharat, Lucknow, 1293/1876.
D.
AKHLAQ-I NASIRI
Tidak
ada yang menyeleweng lebih jauh dari kebenaran selain penegasan bahwa Akhlaq-i
Masiri yang ditulis oleh Tusi semata-mata merupakan “terjemahan” dari karya ibn
‘Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq. Sang pengarang, tak diragukan lagi, diberi tugas
oleh Nasir al-Din ‘Abd al-Rahim, Gubernur Isma’illiah dari Quhistan, untuk
menertejemahkan Kitab al-Thaharat (Tahdzib al-Akhlaq) dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Parsi, tapi dia tidak mau menerima tugas itu karena takut akan “mengubah
dan menodai karya aslinya.” Di samping itu, karya Miskawaih terbatas pada
penggambaran disiplin moral; disiplin yang menyangkut urusan rumah tangga dan
politik menurut Tusi, tidak terdapat dalam karya tersebut. Padahal hal ini
merupakan aspek-aspek yang sangat penting dari “filsafat praktis” dan karena
itu tidak boleh diabaikan. Dengan mengingat ini, Tusi menyusun Akhlaq-i Nasiri
berdasarkan pola berikut :
Mengenai
isinya, bagian mengenai filsafat moral merupakan suatu “ringkasan” dan bukan
suatu terjemahan dari Kitab al-Thaharat, tapi bentuknya, pengaturan pokok
pembicaraannya serta klasisikasi masalahnya merupakan karya Tusi sendiri, yang
dengan jelas memberikan kesan- keasliannya.
Mengenai
filsafat rumah tangga dan politik, Tusi berutang banya kepada ibn Sina dan
al-Farabi, sekali pun begitu tambahan dua bagian ini menyempurnakan filsafat
praktis (hikmat-i ‘amali) dalam segala detailnya, dan ini menguatkan penegasan
Tusi bahwa karya Akhlaq-i Nasiri ditulis “bukan dengan gaya tiruan atau
terjemahan, tapi benar-benar merupakan suatu upaya.”
E. ETIKA
Mengikuti
pendapat ibn Miskawaih, Tusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-i
quswa) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan
manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewar kesediaannya untuk
berdisiplin dan patuh. Konsep kebahagiaan utama itu pada hakikatnya berbeda
dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan “unsur-unsur
angkasa” dan juga tidak menunjuk kepada kedudukan kosmik manusia. Kebaikan-kebaikan
Plato menyangkal kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan (yang
berasal dari trinitas jiwa yakni akal, kemarahan dan hasrat) dan keterbedaan
mereka menjadi tujuh, sebelas, duabelas dan sembilan belas spesies, yang
diberikan oleh ibn Miskawaih, tampak menonjol sekali dalam etika Tusi; bedanya
hanyalah bahwa dia mengurangi sembilan belas spesies menjadi dua belas. Tapi
dengan mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal
teoritis, akal praktis, kemarahan dan hasrat, dan tidak seperti ibn Miskawaih,
Tusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis tanpa
menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga
kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tapi seperti ibn Miskawaih, dia menempatkan
kebajikan (tafadhdhul) di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, di atas
kebajikan.
Aristoteles
memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik eksesnya
maupun kerusakannya. Bagi Gelen, kejahatan merupakan suatu penyakit jiwa.
Al-Quran, setelah mengungkapkan prinisp-prinsip etika umum dari sikap yang tak
berlebihan, menyatakan bahwa kejahatan merupakan penyakit hati. Ibn Miskawaih,
setelah menyebutkan satu demi satu delapan kejahatan umum, yaitu kelihaian dan
kebodohan (safah dan balahat), gegabah dan pengecut (tahawwur) dan jubun),
pemanjaan dan pematangan (syarrahat dan khumud), kelaliman dan penderitaan
(jaur dan mahana), berdasarkan pola Aristoteles, menggambarkan secara panjang
lebar sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Ibn
Miskawaih tidak menjelaskan apakah rasa takut dan sedih itu membentuk
keberlebihan atau keberkurangan kemarahan dan hasrat. Masalah ini ditangani
oleh Tusi, dan dia menemukan pemecahannya, karena kepintarannya. Penyakit
merupakan penyimpakangan jiwadari keseimbangan (i’tidal). Aristoteles, dan juga
Miskawaih, memandang penyimpangan ini dari segi jumlah (kammiyat) dan karena
itu keberlebihan (ifrat) dan keberkurangan (tafrit) suatu keadaan, yang bagi
mereka hanyalah dua sebab penyakit moral. Tusi untuk pertam kalinya berpendapat
bahwa penyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan
untuk penyimpangan janis baru ini dia menamakannya perbuatan yang tak wajar
(rada’at). Dengan begitu,
maka penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu dari sebab ini : (1)
keberlebihan; (2) kekurangan; atau (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.
Dengan
menggunakan teori tiga sebab-akibat penyakit jiwa itu, Tusi
menggolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan
(hairat), kebodohan sederhana (jahl-i basit) dan kebodohan fatal (jahl-i
murakkab), yang membentuk keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran – suatu
penggolongan yang bukan berasal dari ibn Miskawaih.
Kebingungan
disebabkan oleh ketidak mampuan jiwa untuk membedakan antara kebenran dan
kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan
argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial.
Untuk menghilangkan kebingungan, Tusi menyarankan agar orang yang bingung
mestinya, pertama-tama, disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan
dan penyangkalan, yaitu yang bertentangan, bersifat eksklusif, tidak dapat
bermaujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa
teryakinkan bahwa jika
suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika ia salah, ia tidak mungkin
benar. Setelah dia
memahami prinsip bukti-diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai
aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.
Kebodohan sederhana terdapat pada
kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya.
Kebodohan semacam itu, merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak
untuk mencari pengetahuan, tapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan
keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan menunjukkan kepada
si pasien fakta bahwa pengakalanlah, dan bukan penampilan lahiriah, yang
membuat manusia berhak disebut sebagai manusia, dan bahwa manusia yang bodoh
itu tidak lebih baik dibandingkan binatang, bahkan lebih buruk dan itu, sebab
binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan
manusia akan sesuatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walau dia bodoh,
dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut menurut Tusi, penyakit ini
adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tepi dengan upaya keras
dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya
menjadi kebodohan sederhana.
Tusi menganggap kemarahan (ghadhab),
kepengecutan (jubun) dan ketakutan (khauf) sebagai tiga penyakit kemarahan yang
menonjol (quwwat-i difa’) dan dari segi keberlebihan, keberkurangan dan
ketakwajaran. Dalam analisanya mengenai ketakutan, terutama ketakutan akan
kematian, dan dalam penjelasannya yang tericni, mengenai tujuh kesesuaian serta
sepuluh sebab kemarahan, dia mengikuti pendapat ibn Miskawaih.
Begitu
pula, keberlebihna nafsu (ifrat-i syahwat) disebabkan oleh keberlebihan hasrat,
sedang sikpa sembrono ( batalat) merupakan akibat dari kekurangan, dan
kesedihan (huzan) serta cemburu (hasad) merupakan ketakwajaran kekuatan ini.
Dia mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebaikan dari nasib baik
orang lain, tanpa keinginan memiliki nasib baik itu . mengikuti pendapat
Ghazali, dia juga membedakan antara iri (ghibtat) dan cemburu, dengan jalan
mendefinisikan iri sebagai keinginan akan nasib baik orang lain, tanpa
menghendaki hilangnya nasib baik orang lain itu. Cemburu menelan kebaikan
sebagaimana api menelan bahan bakar, sedangkan iri itu patutu dipuji jika
perasaan tersebut diarahkan untuk mendapatkan kabikan, dan patutu diberi
hukuman jika diarahkan untuk mendapatkan pemuasan syahwat dan
kesenangan-kesenangan duniawi.
Tusi
mnenganggap sebagai latar belakang normal dan kehidupan moral, sebab manusia
pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada
tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Cinta dan persahabatan,
karena itu merupakan prinisp-prinsip yang penting dari teori moralnya – suatu teori yang
dengan jelas tidak mengandung kehidupan kepertapaan. Dalam karyanya yang
berikut, Aushaf al-asyraf, Tusi menulis bahwa kehidupan kepertapaan merupakan
suatu tahap dari kehidupan mistis. Dia mengemukakan bahwa upa penulisannya itu
semata-mata merupakan penghargaan intelektual serta perumusan rasional tradisi
tasawuf. Meski bukan seorang sufi, dia mendorong agar tasawuf dibahas secara
rasional. Dia menggolongkannya menjadi enam tahap, dan setiap tahap, kecuali
yang terakhir, memiliki enam pernyataan sendiri.
Tahap pertama yaitu tahap
persiapan untuk perjalanan mistis (suluk), yang mensyaratkan keyakinan kepada
Tuhan (Iman), senantiasa dalam keyakinan itu (tsabat), keteguhan kemauan
(niyyat), kejujuran (shidq), perenungan akan Tuhan (anabat) dan ketulusan hati
(khulus).
Tahap kedua terdiri atas
penolakan terhadap hubungan-hubungan duniawi yang menghalang-halangi jalan
mistis itu. Ada enam pokok penting dalam tahap ini, yaitu menyesali dosa
(taubat), menghindari dari berkehendak (zuhud), tidak bernafsu terhadap harta
(faqr), keras terhadap hasrat dan rasional (riyadhat), menghitung-hitung
kebaikan dan kejahatan (muharabat),
keselarasan antara tindakan dan niat (murraqabat), dan kesalehan (taqwa).
Tahap ketiga perjalanan mistis
ini ditandai dengan penyendirian (khalwat), perenungan (tafakur), ketakutan dan
kesedihan (khauf dan huzn), ketabahan (shabar), dan kebersyukuran kepada Tuhan
(Syukr).
Tahap keempat mencakup
pengalaman san pejalan (salik) sebelum dia mencapai tujuannya, yaitu bakti
kepada Tuhan (iradat), keamatinginan untuk berbakti (syauq), pengetahuan , dan
ketenangan jiwa (sukun).
Tahap kelima terdiri atas
kepasrahdirian kepada Tuhan (tawakkal), kepatuhan (ridha), ketundukan kepada
kehendak Tuhan (taslim), yakin akan keesaan Tuhan (tauhid), upaya untuk
bermanunggal dengan Tuhan (wahdat), dan peleburan diri dalam Tuhan (ittihad).
Pada
tahap keenam,
proses peleburan diri ke dalam Tuhan mencapai puncak dan sang pejalan (salik)
akhirnya hanyut (fana) dalam keesaan Tuhan.
F.
ILMU RUMAH TANGGA
Dengan
menyatakan rasa berhutangnya terhadap ibn Sina, Tusi mendefinisikan rumah
(manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orangtua dan anak, tuan
dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga (tadbir-i
manzil) adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya
kesejahteraan fisik, sosial dan mental kelompk utama ini, dengan ayah sebagai
pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan
keluarga.
Kekayaan
diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharaan-diri serta
pemeliharaan keturunan. Untuk memperolehnya, Tusi menyarankan agar manusia
bekerja secara terhormat dan mencapai kesempurnaan dalam pekerjaan itu, tanpa
melaksanakan ketidakadilan, kekejian ataupun kekejaman. Penataan rambut dan
pembersihan sampah, tak diragukan lagi, merupakan pekerjaan yang menjijikan
tapi diperlukan demi kelayakan sosial.
Tusi
menganggap menabung harta sebagai tindakan yang bijaksana, asalkan hal itu
tidak didorong oleh sifat tamak dan kikir, dan tidak mendatangkan kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga atau mengundak resiko bagi keutuhan dan
harga diri seseorang did alam masyarakat. Mengenai kelayakan, secara umum dia
membela sikap menengah. Orang tak perlu mengeluarkan harta kalau hal itu
menimbulkan keberlebihan, keberpameran, kesalahhitungan dan kepelitan.
Bukan kepuasan syahwat, tapi keayahan
dan perlindungan atas milikanlah yang menjadi pokok perkawinan. Itelegensi,
integritas, kemurnian, kesederhanaan, kecerdasan dankelembutan hati, dan
terlebih, kepatuhan terhadap suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada
diri seorang istri.
Memang baik kalau si istri memiliki keterhormatan, kekayaan serta kecantikan,
tapi semua ini menjadi tidak berarti kalau tidak dibarengi dengan intelegensi,
kesederhanaan dan kemurnian. Kesejahteraan mengharuskan suami memiliki banyak
gagasan. Dia boleh saja baik dan bermurah hati terhadap istrinya, tapi kalau sudah
menyangkut masalah-masalah yang lebih luas dari rumah tangganya, dia harus
menghindar dari kecintaannya yang berlebihan, tidak boleh membuka rahasia serta
membicarakan masalah-masalah penting dengannya. Poligami tidak dikehendaki
sebab hal itu bisa mendatangkan kekacauan dalam rumah tangga. Wanita pada
dasarnya lemah pikiran dan secara psikologis cemburu terhadap pasangan lain
suaminya dalam merebut cinta dan kekayaannya. Dengan berat hati Tusi memberikan
kelonggaran poligami kepada para raja, sebab mereka memerintahkan kepatuhan
tanpa syarat, tapi sebagai langkah yang bijaksana mereka disarankan agar
menghindari hal itu. Laki-laki bagi keluarga sama dengan jantung bagi tubuh,
dan karena satu hati tidak dapat menghidupi dua tubuh, maka begitu juga seorang
laki-laki tidak dapat mengurus dua keluarga. Sedemikian suci kehidupan rumah
tangga di mata Tusi sampai-sampai dia menyarankan agar jangan kawin kalau tidak
mampu menjaga keseimbangan keluarga.
Mengenai
disiplin anak-anak, Tusi juaga mengikuti pendapat ibn Miskawaih, memulai dengan
penanaman moral yang baik lewat pujian, hadiah dan celaan yang halus. Dia tidak
emnyukai celaan yang sering diucapkan serta teguran terbuka; celaan yang sering diucapkan
akan meningkatkan godaan, sedang teguran terbuka akan mengundang kebencian.
Setelah memberi mereka aturan-aturan makan, berpakaian, bercakap-cakap,
bersikap dan tatacara bergaul dalam masyarakat, anak-anak harus dilatih untuk
memeilih pekerjaan yang sesuai dengan mereka. Anak perempuan harus dilatih
menjadi istri serta ibu yang baik dalam rumah tangganya nanti.
Tusi
menutup pembahasan ini dengan menekankan sekali pemerhatian hak-hak orang tua,
sebagaimana ditetapkan oleh Islam. Secara psikologis, anak-anak baru bisa
menyadari hak-hak ayahnya, setelah mereka mencapai usia yang membuat mereka
bisa membeda-bedakan sesuatu, sedangkan mengenai hak-hak ibunya, mereka telah
melihat dengan jelas sejak awal sekali. Dari sini Tusi berkesimpulan bahwa
hak-hak ayah terutama bersifat mental,s edangkan hak-hak itu bersifat fisik.
Jadi dari ayahnya seseorang merasa berutang karena pengabdian tanpa pamrih san
ayah, dan dari ibunya karena disediakan makanan, pakaian dan
kenyamanan-kenyamanan fisik lainnya.
Terakhir,
pelayan bagi sebuah keluarga sama artinya dengan tangan dan kaki bagi manusia.
Tusi menyarankan agar ia diperlakukan dengan baik, sehingga ia merasa tergugah
untuk menyamakan sikapnya dengan sikap majikannya. Tujuan utamanya ialah agar
ia melayani tuannya atas dasar cinta, penghormatan danpengharapan, dan bukan
karena kebutuhan, paksaan atau ketakutan, yang membuat ketidaknyamanan di dalam
rumah tangga.
Ringkasnya,
bagi Tusi, rumah adalah pusat kehidupan keluarga. Pemasukan, tabungan,
pengeluaran dan disiplin istri, anak serta pelayan, semuanya merupakan pencipta
kesejahteraan keluarga.
G. POLITIK
Karya
Farabi Siyasah al-Madinah dan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah adalah upaya
pertama untuk merumuskan secara filosofis teori politik di dunia Muslim. Dia
menggunakan istilah ‘ilm al-madani, baik dalam arti ilmu kemasyarakatan maupun
ilmu pemerintahan. Dengan mengikuti pendapatnya, Tusi juga memakai istilah
siyasat-i mudum dalam dua arti tersebut. Sebenarnya, sikapnya terhadap
masyarakat negara (tamaddun), kelompok sosial dan kota terutama berasal dari
pandangan Farabi tentang hal itu.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk sosial. Untuk memperkuat sikapnya, Tusi mengacu
pada istilah insan,
sebuah kata Arab yang berarti manusia, yang secara hurufiah berarti orang yang suka berkumpul dan
berhubungan. Karena
kemampuan alamiah untuk berteman itu (uns-i thaba’i) merupakan ciri khas
manusia, maka kesempurnaan manusia dapat dicapai dengan menunjukkan sepenuhnya
watak ini terhadap sesamanya. Peradaban merupakan nama lain dari kesempurnaan
ini. Inilah sebabnya Islam menekankan keutamaan shalat berjamaah.
Kata
tamaddun berasal dari kata madinah (kota) yang bermakna kehidupan bersama
manusia yang memiliki pekerjaan yang berbeda-beda dengan tujuan saling membantu
dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena tak satu manusia pun bisa mencukupi
dirinya sendiri, maka setiap orang membutuhkan bantuan dan kerjasama orang
lain. Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan begitu juga dengan dorongan
yang membuat manusia mau bekerjasama. Beberapa orang bekerjasama demi kesenangan; beberapa yang lain demi
keinginan untuk mendapatkan keuntungan; dan beberapa lagi bertujuan demi
kebaikan dan kebajikan. Perbedaan sebab-sebab kerjasama itu mendorong timbulnya
pertentangan minat yang bisa mengakibatkan terjadinya penyerangan dan ketidak
adilan. Dengan begitu maka diperlukan pemerintahan untuk membuat setiap orang
merasa puas dengan haknya tanpa melanggar hak orang lain. Oleh karena itu,
pelaksanaan keadilan merupakan fungsi utama pemerintahan, yang harus dipimpin
oleh seorang raja yang adil, yang menjadi penengah kedua setelah
hukum-hukum Tuhan. Dia boleh saja melaksanakan kebijaksanaan kerajaan menurut
waktu dan keadaan, tapi ini pun harus sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum
Tuhan. Raja semacam itu, menurut kesimpulan Tusy, merupakan wakil Tuhan di
bumi, dan merupakan dokter bagi kekerasan dunia.
Dia
harus memiliki latar belakang keluarga yang terhormat, bercita-cita tinggi,
adil dalam menilai, teguh pendirian, kukuh dalam menghadapi kesulitan, lapang
dada dan memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik. Tuga pertamanya dan paling
utama adalah mengukuhkan Negara dengan menciptakan rasa cinta di antara
kawan-kawannya dan kebencian di antara musuh-musuhnya, juga dengan meningkatkan
kesatuan antar sarjana, prajurit, petani dan pedagang – empat kelompok yang ada
di dalam negara.
Kemudian Tusi menetapkan prinsip-prinsip etika
perang sebagai petunjuk bagi para penguasa. Musuh tidak boleh dianggap enteng,
serendah apapun dia, tapi perang juga harus dihindari sedapat mungkin, lewat
muslihat-muslihat diplomatis sekalipun, tanpa harus melakukan penghianatan.
Tapi jika pertentangan tak terelakkan lagi, maka serangan harus dilakukan atas
nama Tuhan dan dengan persetujuan seluruh anggota pasukan. Pasukan harus
dimpimpin oleh seseorang yang memiliki semangat yang hebat, penilaian yang
adil, dan pengalaman di medan perang. Tusi terutama menekankan agar dinas
rahasia selalu waspada terhadap gerak musuh. Lagi pula, diplomasi menuntut agar
musuh-musuh itu, selagi memungkinkan, dijadikan tawanan perang bukannya
dibunuh, dan tidak boleh ada pembunuhan setelah kemenangan tercapai, sebab
pengampunan lebih pantas diberikan oleh seorang raja daripada balas dendam.
Dalam masalah pertahanan, musuh harus dikejutkan dengan serangan atau sergapan
mendadak, asalkan kedudukannya cukup kuat; kakau tidak, maka tak boleh ada
waktu terbuang percuma hanya untuk menggali parit, membangun benteng atau
bahkan menyelenggarakan perundingan damai dengan jalan menawarkan kekayaan dan
menggunakan saluran diplomatik.
Tusi
yang menjabat sebagai wazir Hulagu, sangat waspada terhadap perubahan
pemerintahan kerajaan menjadi despotisme penuh, karena itu dia menasehatkan
agar para pembantu raja tidak berusaha menghubungi mereka, sebab dengan menjadi
teman mereka tidak lebih daripada berurusan dengan api. Tidak ada jabatan yang
lebih membahayakan daripada menteri raja, dan menteri tidak memiliki pelindung
yang lebih kuat untuk melawan rasa cemburu Dewan dan tingkah-tingkah aneh
keningratannya daripada sifat yang layak dipercaya. Menteri harus menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh
mencari tahu mengenai hal-hal yang bukan urusannya. Tusy sangat dihormati oleh
pemimpin Mongol, meski begitu dia menyetujui pendapat ibn Muqna bahwa semakin
dekat seseorang kepada raja, haruslah semakin besar rasa hormatnya terhadap
raja sehingga bila raja memanggilnya dengan sebutan ‘saudara; maka dia harus
memanggilnya dengan sebutan “tuan”.
H. SUMBER FILSAFAT PRAKTIS
Menurut Tusi, perintah-perintah Al-Quran
diberikan kepada manusia sebagai seorang individu, sebagai anggota keluarga,
dan sebagai penghuni kota atau negara. Pembagian menjadi tiga kedudukan itu
dengan jelas menggambarkan pembagian filsafat praktis menjadi etika, rumah
tangga dan politik, yang dilakukan oleh para ahli pikir Muslim. Hal yang sama berlaku pula isi
ilmu-ilmu ini; tapi di kemudian hari disiplin-disiplin ini diperluas dengan
sungguh-sungguh di bawah pengaruh Plato dan Aristoteles. Perkataan Shustery
bahwa “etika merupakan satu-atunya subyek di mana Timur tidak menerima Barat,”
dan bahwa “satu-satunya pengaruh yang dapat dibawa dari Barat ke Timur dalam
hubungannya dengan subyek ini adalah metode ilmiah,” lebih benar dalam hal
masalah rumah tangga dan politik, yang di dalamnya pengaruh Yunani paling
sedikit ditemukan daripada dalam hal etika.
I.
PSIKOLOGI
Tusi
membuka karangannya, bukan dengan mengemukakan bukti mengenai eksistensi jiwa,
tapi dengan mengemukakan asumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa
terbukti sendiri, dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain. Lagi pula
jiwa, tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas
dari eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan adanya seorang
ahli argumen dan seluruh masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam hal ini
keduanya sama, yaitu jiwa.
Sifat
Jiwa
Jiwa merupakan substasi sederhana dan
immaterial yang dapar merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan
alat-alat perasa, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi ibn
Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tak dapat dibagi,
kemampuannya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya
yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuk yang bertentangan pada waktu yang
sama, dan pembetulannya akan ilusi-rasa, Tusi menambahkan dua argumentasinya
sendiri. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi dan sebagainya, dan
dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu
substansi material; oleh karena itu, jiwa merupakan suatu substansi immaterial.
Lagi pula, akomodasi fisik itu
terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan did alam sebuah tempat
yang dibuat untuk limapuluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat
dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan
dan konsep obnyek-obyekk yang dikenalnya ke dalam banyak ruang agar siap pada
waktu diperlukan. Ini juga membutkikan bahwa jiwa merupakan suatu substansi
yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku,
telingaku,” kata “ku” menunjukkan idividualitas (huwiyyah) jiwa, yang memiliki
anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniahnya. Memang jiwa memerlukan tubuh
sebagai alat penyempurnaan dirinya, tapi ia tidak begitu dikarenakan
pemilikannya akan tubuh.
Indera-indera
jiwa
Kepada jiwa
vegetatif, hewani dan manusiawi yang dikemukakan oleh para pendahulunya, al-Tusi menambahkan
jiwa imajinatif yang menempati posisi
tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan
adanya akal (nutq) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis : akal
teoritis dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles.
Dengan mengikuti pendapat Kindi, Tusi berangggapan bahwa akal teoritis
merupakan suatu potensialitas, yang perwujudannya mencakup empat tingkatan.
Yaitu akal material (‘aql-i hayulani), akal malaikat (‘aql-i malaki), akal
aktif (‘aql-i bi al-fi’i), dan akal yang diperoleh ( (‘aql-i mustafad). Pada
tingkatan akal yang diperoleh setiap
bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti
wajah seseorang yang ada di dalam kaca dapat dilihat oleh orang tersebut. Di
lain pihak, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tak sengaja
dan yang sengaja. Oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan-tindakan
moral, kerumahtanggan dan politis.
Jiwa imajinatif berkenaan dengan
persepsi-persepsi rasa di satu pihak.
Dan dengan abstraksi-abstraksi rasional
di pihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan
menjadi tergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Tetapi jikakalau ia
dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh
dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah
keterpisahan jiwa dari tubuh, maka jejak imajinasi tetap berada dalam
bentuknya, dan hukuman atau penghargaan jiwa manusiawi menjadi ebrgantung
kepada jejak ini (hai’at) yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di
dunia ini.
Imajinasi
sensitif dan kalkulatif Aritoteles jelas merupakan struktur jiwa imajinatif
Tusi, tapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan
penghargaan yang berbelit-belit di akhir merupakan gagasannya sendiri.
Sedangkan
mengenai tradisi yang diterimanya dari ibn Sina dan Ghazali, Tusi mempercayai
lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat (hiss-i
mushtarak( dalam ruang otak yang pertama, persepsi (mushawwirah) di awal bagian
pertama ruang otak yang kedua, imajinasi di bagian depan ruang otak yang
ketiga, dan ingatan di bagian belakang otak.
J.
METAFISIKA
Menurut
Tusi, matematika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (‘ilm-i Ilahi) dan
filsafat pertama (falsafah-i ula). Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan Jiwa merupakan ilmu ketuhanan, dan
pengetahuan mengenai alam semesta dan
hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta merupakan filsafat pertama.
Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian
dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan juga
membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang (furu’)
metafisika itu termasuk pengetahuan kenabian (nubuwat), kepemimpinan spiritual
(imamat), dan Hari Pengadilan (qiyamat), Jelajah subyek itu sendiri menunjukkan
bahwa metafisika merupakan “esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utama
bagi sejarah gagasan-gagasan.”
Tuhan
Setelah
menyangkal kemungkinan logis ateisme dan adanya dualitas pokok, Tusi, tidak
seperti Farabi, ibn Msikawaih dan ibn Sina, mengemukakan bahwa logika dan
metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara
rasional. Sebagai penyebab utama bagi adanya bukti-bukti, dan karenanya
merupakan dasar dari semua logika dan metafisika. Dia sendiri tidak bergantung
kepada bukti-bukti logis. Sebagaimana hukum-hukum dasar dari logika formal, ia
tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan untuk pembuktian. Ia adalah prinisp
logika kosmik yang bersfat a priori, mendasar, perlu dan membuktikan diri.
Eksistensi-Nya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan.
Dari studi kehidupan moral pun, Tusi sampai pada kesimpulan yang sama dan,
seperti Kant di zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan
suatu pstulat pokok etika.
Selanjutnya,
Tusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu
yang harus dibuktikan; dan karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk
memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, maka mustahil pula bagi manusia untuk
membuktikan eksistens-Nya.
Creatio
ex ihilo
Persoalan mengenai apakah dunia itu kekal
(qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan (hadis), merupakan salah
satu masalah yang paling membingungkan dalam filsafat Muslim. Aristoteles
mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan gerakannya pada
penciptaan Tuhan. Sang Penggerak Utama. Ibn Miskawaih setuju dengan Aristoteles
yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tapi, tidak seperti
filosof Yunani itu, dia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentuk maupun
materinya, diciptakan oleh Tuhan dari ketakadaan. Tusi dalam karyanya
Tashawwurat (yang ditulis pada masa pemerintahan Ismailliah) melakukan suatu
upaya perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan ibn Miskawaih. Dia
memulai dengan mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya
waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari
ketiadaan, secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum
adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat
potensial yang di kemudian hari baru diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan
atas daya Cipta-Nya yang kekal. Oleh sebab itu, logisnya, Tuhan itu selamanya
merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada Diri-Nya. Dunia
ini, dengan kata lain, merupakan suatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini
Tusi menutup pembahasan ini secara
tiba-tiba dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan
Tuhan yang menyempurnakannya, meski, dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta
(muhadats).
Dalam
karyanya yang belakangan, Fushul (risalahnya yang terkenal dan panyak diulas),
Tusi meninggalkan sikapnya tersebut di atas itu sekaligus seraya mendukung
sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creatio ex nihilo. Dengan menggolongkan
Zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, dia mengemukakan bahwa iksistensi yang
mungkin itu bergantung kepada yang pasti; dan karena ia maujud akibat sesuatu
yang lain dari dirinya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan
maujud, sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Dan karena sesuatu yang
tidak maujud itu tidak ada, maka begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu
menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu menciptakan
disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).
Begitu
pula, dalam Tashawwurat, Tusi setuju dengan ibn Sina yang berpendapat bahwa
dari satu ketiadaan dapat muncul satu, dan dengan mengikuti prinsip ini dia
menerangkan asal (shudur) dunia ini dari Kemaujudan Yang Pasti itu dengan gaya
Neo-Platonik. Dalam karyanya Risaleh-i ‘Aql, Risaleh-i ‘Ilal wa Ma’lulat dan
Syarh-i Isyarat dia juga mendukung, baik secara logis maupun matematika,
penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu keseluruhan. Tapi dalam karya
berikutnya, Quwa’id al-Aqa’id, Tajrid al-‘Aqa’id, dan Fushul, dia secara jelas
menyerang dan menumbangkan dasar paling penting dari prinisp ini, yang
sebelumnya amat dia percayai. Refleksi akal pertama dikatakannya sebagai telah
menciptakan akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap
ini secara jelas mengisyaratkan kemajemukan pada yang tercipta oleh akal
pertama, yang bertentangan dengan prinisp bahwa satu ketakadaan muncul satu.
Sedangkan mengenai sumber kemajemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa
kemajemukan bisa maujud melalui wewenang Tuhan dan bisa pula tanpa wewenang
Tuhan. Jika ia maujud karena wewenang Tuhan, maka tidak ada keraguan lagi bahwa
ia datang dari Tuhan.di lain pihak, jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu
berarti adanya tuhan selain Allah.
Lagi-lagi,
dalam Tashawwurat, Tusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan
penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Tapi dalam Fushul dia
meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Di situ dia menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang bebas dan menumbangkan teori mengenai penciptaan karena desakan.
Jika Tuhan mencipta karena Dia butuh mencipta, Tusi mengemukakan, berarti
tindakan-tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, jika satu
bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, maka esensi Tuhan itu tentu juga menjadi
tiada; karena peneybab keberadaannya itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian
dari penyebabnya, hal itu selanjutnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian-bagian
lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Dan karena semua yang ada itu bergantung
kepada perlunya Tuhan, maka ketiadaan mereka akhirnya menjadikan ketiadaan
Tuhan sendiri.
K.
KENABIAN
Setelah
menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh, Tusi lalu
menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat
serta kebebasan individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosail, dan
ini memerlukan Aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia.
Tapi Tuhan sendiri berada di luar jangkauan indera, oleh karena itu Dia
mengutus para nabi untuk menuntun orang-orang. Ini, pada gilirannya, memerlukan
perantara kepemimpinan spiritual setelah para nabi itu untuk menerapkan Aturan
suci tersebut.
L.
BAIK DAN BURUK
Bik dan
buruk terdapat di dunia ini. Penonjolan yang buruk tidak sesuai dengan kebaikan
Tuhan. Untuk menghindari kesulitan ini, kaum Zoroester menganggap bahwa cahaya
dan kebaikan berasal dari Yazdan, sedangkan kegelapan dan keburukan dari
Ahriman. Tapi keberadaan kedua prinsip yang setingkat dan netral itu sendiri
melibatkan suatu ketidaksesuaian metafisik. Dengan menolak pendangan tentang
dasa ini, Tusi menjelaskan realitas dan obyektifitas keburukan dengan dorongan
ibn Sina, leluhur spiritaulnya.
Menurut
Tusi, yang baik datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk muncul sebagai
kebetulan (‘ard) dalam perjalanan yang baik itu. Kebaikan, misalnya, merupakan
bijih gandum yang ditaburkan di atas tanah dan disirami sehingga tumbuh menjadi
tanaman dan menghasilkan panen yang melimpah. Keburukan itu seperti busa yang muncul di atas permukaan
air, bukan dari air itu sendiri. Dengan begitu maka tidak ada prinsip buruk di dunia ini,
tapi sebagebetulan, ia merupakan suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil
dari suatu hal.
Dalam dunia manusia, keburukan kadang
terjadi lantaran kesalahan penilaian atau penyalahgunaan karunia Tuhan yang
berupa kehendak bebas. Tuhan sendiri menghendaki kebaikan yang menyeluruh, tapi
selubung indera, imajinasi, kesenangan dan pikiran menutupi pandangan kita dan
mengaburkan pandangan mental kita. Dengan begitu maka kebijaksanaan tidak
berhasil memperkirakan akibat-akibat dari tindakan, yang mengakibatkan adanya
kesalahpilihan, yang pada gilirannya menimbulkan keburukan.
Lagi, penilaian kita mengenai keburukan
selalu relatif sifatnya dan juga metaforis, yaitu bahwa penilaian selalu
mengacu pada sesuatu. Misalnya, ketika api membakar gubuk milik seorang miskin
atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan pada api atau air, malah
ketiadaan keduanya akan merupakan suatu keburukan penuh bila dibandingkan
dengan keburukan yang kadang ditimbulkan oleh keberadaan keduanya.
Akhirnya,
keburukan muncul dari kebodohan, atau akibat dari cacat fisik, atau kekurangan
sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan. Ketakhadiran siang adalah malam,
kekurangan harta adalah kemiskinan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan.
Oleh karena itu, pada hakikatnya, keburukan merupakan ketiadaan sesuatu –
sesuatu yang negatif, bukan positif.
Mengenai
mengapa suatu dosa yang terbatas dikenai hukuman yang tak terbatas dari Tuhan,
Tusi menjawab bahwa merupakan suatu kesalahan untuk menisbahkan pahala atau
hukuman kepada Tuhan. Sebagaimana yang baik, pada dsarnya dan mesti, pantas
menerima karunia dan kebahagiaan abadi, maka yang tidak baik juga, pada
dasarnya dan mesti, pantas menerima hukuman dan kesedihan abadi pula.
M.
LOGIKA
Mengenai
logika, karya-karyanya meliputi Asas al-Iqtibas Syarh-i Mantiq al-Isyarat,
Ta’dil al-Mi’yar dan Tafrid fi al-Mantiq. Yang disebut pertama tadi memberikan
penjelasan yang gamblang mengenai masalah itu dalam bahasa Persi atas dasar
logika ibn Sina dalam al-Syifa.
Tusi
menganggap logika sebagai
suatu ilmu dan suatu alat-ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna
dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu; sebagai alat, ia menjadi kunci
untuk memahami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makna dan sifat dari
makna-makna itu menjadi sedemikian berurat-berakar di dalam pikiran sehingga
tidak diperlukan lagi pemikiran dan refleksi, maka ilmu logika menjadi suatu
seni yang bermanfaat (san’at), yang membebaskan pikiran dari kesalahpengertian
di satu pihak dan kekacauan di pihak lain.
Setelah
mendefinisikan logika, Tusi, sebagaimana ibn Sina, memulai dengan pembahasan
pendek mengenai teori pengetahuan. Semua pengetahuan adalah konsep (tashawwur) atau penilaian (tashdiq);
yang pertama bisa di dapat lewat definisi dan yang kedua lewat silogisme.
Dengan begitu maka definisi dan silogisme merupakan dua
alat untuk mencapai pengetahuan.
Tidak
seperti Aristoteles, ibn Sina membagi semua silogisme menjadi silogisme
kopulatif (iqtirani) dan silogisme ekseptif (istitsna’i). Tusi mengikuti
pembagian ini dan menggabungkannya dengan caranya sendiri. Karya-karyanya dalam
bidang logika secara garis besar bercorak logika Aristoteles, tapi dia
menyebutkan empat dan bukannya tiga bentuk silogisme; dan sumber dan bentuk
keempat ini terdapat pada Organon-nya Aristoteles atau apda karya-karya
logikanya ibn Sina.
N.
TINJAUAN
Tusi,
sebagaimana telah kita ketahui berutang kepada ibn Miskawaih dalam hal logika
dan Farabni dalam hal politik; tapi tak satu pun dari mereka mencapai kedalaman
dan keluasan pengaruh ibn Sina atas dirinya. Logika, metafisika, psikologi,
il,mu rumah tangga dan dogmatik-nya Tusi – pada dasarnya berasal dari ibn Sina.
Di samping itu, hubungannya yang lama, sekalipun tak begitu akrab, dengan
Nizari Ismailliah telah mempengaruhi spekulasietik, psikologi dan metafisiknya.
Dari segi sejarah, kedudukannya terutama adalah sebagai seorang penganjur
gerakan kebangkitan kembali. Tapi dari segis ejarah kebudayaan, bahkan kembali
tradisi filsafat dan ilmiah, terutama pada masa kejatuhan politik dan
intelektual, meski ditandai dengan pengetahuan dan pengulangan yang melelahkan,
tidak kurang pentingnya dibandingkan permulaan, sehingga hal itu mempersiapkan
landasan bagi kelahiran kembali intelektual suatu bangsa.
*******************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar