Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Selasa, 17 April 2018

Filosof Muslim Filsafat Ibn Rusyd




PARA FILOSOF MUSLIM”
“Ibn RUSYD
Oleh Ahmad Fuad El-Ehwani, Ph.D.
Profesor di bidang Filsafat Islam, Fakultas Sastra – Cairo University
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN
B. FILSAFAT DAN AGAMA
C. JALAN MENUJU TUHAN
D. JALAN MENUJU PENGETAHUAN
                                                         E. JALAN MENUJU ILMU             
F. JALAN MENUJU WUJUD
G. AKAL DAN PENGETAHUAN
H. TUHAN SUMBER PENGETAHUAN
I. FILSAFAT POLITIK
J. ETIKA
K. TASAWUF

A.

Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Keluarganya terkenal alim dalam ilmu Fiqh. Ayah dan kakeknya pernah menjadi Kepala Pengadilan di Andalusia. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi keislaman. Al-Quran beserta penafsirannya, Hadis Nabi, ilmu Fiqh, bahasa dan sastra Arab dipelajarinya secara lisan dari seorang ahli (‘alim). Dia merevisi buku Malikiah, al-Muwatta, yang di pelajarinya bersama ayahnya abu al Qasim dan dihapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi. Logika, filsafat dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan Seville terkenal karena aktifitas-aktifitas artistiknya. Dalam sebuah dialog antara ibn Rusyd dan ibn Zuhr, ahli fisika, ketika berada di gedung Pengadilam al-Mansur ibn ‘Abd al-Mu’min, ibn Rusyd, yang merasa bangga dengan suasana ilmiah kota kelahirannya, berkata : “Jika seorang terpelajar meninggal di Seville, maka bukunya akan dikirim ke Cordova untuk dijual di sana; dan jika seorang penyanyi meninggal di Cordova maka alat-alat musiknya akan dikirim ke Seville.” Cordova  pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam di Timur.
Dia bukan murid dua filosof besar Maghribiah, ibn Bajjah dan ibn Tufail. Dalam kisah Hayy ibn Yaqzan, ibn Tufail mendapati kebanyakan alim di Maghrib tertarik kepada matematika dan bahwa filsafat yang diajarkan lewat buku-buku Aristoteles, al-Faeabi dan ibn Sina tidak akan memadai. Filosof pertama yang telah menghasilkan sesuatu yang bernilai dalam masalah ini adalah ibn Bajjah, tapi dia terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi dan meninggal sebelum sampai menyelesaikan karyanya. Al-Ghaza;li mengecam ajaran-ajaran filosof-filosof Muslim dalam bukunya Thahafut, dan metode yang digunakannya dalam mencapai kebenaran adalah tasawuf. Ibn Sina memaparkan secara terinci ajaran Aristoteles dalam al-Shifa, tapi dia mencampuradukan pendapatnya sendiri dengan pendapat Aristoteles. Penjelasan ringkas ibn Tufail tentang keadaan studi-studi filsafat di negeri-negeri Muslim di Timur sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa dia meminta ibn Rusyd untuk membuat ulasan atas karya Aristoteles.
Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang sedang berkecamuk. Dia lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/1147 M, yang menaklukkan Cordova pada tahun 543 H/1148 M. Gerakan Almuhadiah dimulai oleh Ibn Tumart yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi. Dia berusaha meniru golongan Gatimiah, yang muncul seabad sebelumnya dan berhasil mendirikan sebuah kekaisaran di Mesir dalam semangat berfislafat mereka, penafsiran-penafsiran rahasia mereka serta kehebatan mereka dalam bidan astronomi dan astrologi. Tiga orang pewarisnya, dari golongan Almuhadiah, ‘abd al-Mu’min, abu Ya’qub dan abuYusuf, yang diabdi oleh ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dan berfilsafat mereka.
Ketika abu Ya’kub menjadi Amir, dkiperintahkannya ibn Rusyd untuk menulisa ulasan-ulasan mengenai Aristoteles. Hal ini dipaparkan oleh al-Marrakusyi. Ibn Rusyd berkata : “Aketika aku mengahdap Pangeran Orang-orang Beriman, abu Ya’kub mulai memuji-muji diriku, menyebut-nyebut keluarga seerta para leluhurku. Yang pertama dikatakan oleh Pangeran Orang-orang Beriman itu adalah, ‘bagaimana pendapat mereka mengenai surga?’ Yang dimaksudkannya dengan ‘mereka’ yaitu para filosof. ‘Apakah surga itu kekal atau tercipta?’ Aku merasa bingung - . . . . . Tapi Pangeran Orang-orang Beriman itu memahami kebingunganku, lalu berpaling kepada ibn Tufail dan mulai membicarakan masalah yang baru diajukannya kepadaku, dengan menyebutkan apapun yang telah dikatakan oleh Aristoteles, Plato dan semua filosof lainnya . . . . . . .” Dalam penjelasan lain penulis riwayat hidup yang sama, ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu hari ibn Tufail memanggilnya dan mengatakan kepadanya bahwa Pangeran Orang-orang Beriman itu mengeluh tentang kesulitan ungkapan dari Aristoteles dan para penerjemahnya, dan menyebutkan kekaburan arah-arahnya dengan mengatakan : “Jika seseorang mau menyunting buku-buku ini, merangkum dan menjelaskan maksud-maksudnya secara terinci setelah benar-benar memahaminya, maka akan lebih mudah bagi banyak orang untuk memahami buku-buku tersebut." Dan ibn Tufail teruzur tidak bisa memenuhi tugas itu lantaran usianya yang telah lanjut dan kesibukannya dalam pemerintahan. Oleh karena itu, dia meminta ibn Rusyd untuk menerima tugas itu.
Maka mulailah ibn Rusyd menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk itu dia layak disebut sebagai “Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan. Dante dalam karyanya Divine Comedy menyebut nama ibn Rusyd bersma-sama dengan Euclid, Ptolomeus, Hippocrates, ibnu Sina dan Galen serta menjulukinya “Juru Ulas yang agung,”
“Euclide geometra e Tolemeo,
Ipocrate, Avicenna e Galieno,
Averois, che ‘I gran commento feo,”
(Dante, “Inferno,” IV, 142-44).
Dikisahkan bahwa dia menulis tiga macam ulasan : ulasan yang besar, menengah, dan kecil. Ulasan-ulasan besarnya disebut tafsir, dan mengikuti pola tafsir Al-Quran. Dia mengutip satu paragraf dari tulisan Aristoteles dan kemudian memberikan penafsiran serta ulasan atasnya. Kini kita masih memiliki ulasan besarnya dalam bahasa Arab yaitu Metaphysica, yang disunting oleh Bouyges (1357 H / 1938 M – 1371 H/1951 M). Ulasan kecilnya disebut talkhis. Dalam bahasa Arab talkhis berarti “rangkuman.” Orang mungkin mengatakan bahwa ulasan-ulasan ini, walau banyak mengemukakan filsafat Aristoteles, tapi juga mengungkapkan filsafat Rusyd. Suatu ringkasan yang berjudul Majmu’ah atau Jawami,” yang terdiri atas enam buku (Physics, De Caelo et Mundo, De Generatione et Corruptione, Meteorologica, De Anima dan Metaphysica), kini telah diterbitkan dalam bahasa Arab. Dalam ulasan-ulasan ini ibn Rusyd tidak mengikuti teks asli dari karya Aristoteles dan tahapan pemikirannya. Sebuah contoh dari ulasan menengahnya dapat dilihat dalam “Catagories” yang disunting oleh Bouyges pada tahun 1357 H/1932 M. Pada permulaan pragrafnya, ibn Rusyd menulis : “qala” (“dixit”) yang ditujukan kepada Aristoteles, dan kadang-kadang dia (tidak selalu) memberikan petikan dari teks aslinya. Metode ini adalah lazim di negeri-negeri Muslim di Timur, dan ibn Sina pun menggunakannya dalam karyanya al-Syifa, di situ banyak terdapat kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang diterjemahkan dari tulisan Aristoteles. Ibn Sina, dalam karyanya al-Syifa, menyatakan bahwa dia mengikuti “Sang Pemimpin Utaman.”
Memang benar bahwa sebagian besar ulasan-ulasan tersebut terdapat dalam terjemahan-terjemahan bahasa Latin atau Ibrani, atau dalam transliterasi bahasa Ibrani, tapi teks aslinya dalam bahasa Arab lebih jelas dan akurat. Secara keseluruhan nilai ulasan-ulasan ibn Rusyd bersifat historis, kecuali ulasan-ulasan kecilnya yang mengungkapkan, sampai batas-batas tertentu, pemikirannya sendiri. Pandangan-pandangan filosofisnya sendiri termaktub dalam tiga buku penting Fash, Kasyf dan Thahafut dan dalam sebuah risalah pendek berjudul al-Ittishal. Karyanya Colliget (Kulliyah) yang membahas ilmu pengobatan sama pentingnya dengan Canon-nya ibn Sina, dan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, tapi buku tersebut tidak begitu terkenal sebagaimana buku ibn Sina itu. Dalam ilmu hukum (Fiqh), kitabnya Bidayat al-Mujtahid dipakai sebagai buku acuan dalam bahasa Arab.
Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur dikarenakan beberapa sebab. Pertama, tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diedarkan  serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan filosof. Kedua, Eropa pada jaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana dianut oleh ibn Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Sebenarnya, dia sendiri terpengaruh oleh adanya pertentangan ilmu dan filsafat dengan agama. Agama memenangkan pertikaian itu di Timur, dan ilmu memenangkannya di Barat.
Aib dan siksaan yang diterimanya serta diusirnya dia dari tanah kelahirannya pada tahun 593 H/1196 M merupakan akibat dari pertentangan itu. Pertarungan antara kaum agamawan dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik, tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Dalam buku-bukunya, al-Kindi melukiskan pertarungan ini dan membela para filosof. Orang-orang yang ahli dalam ilmu keagamaan (fuqaha dan ‘ulama) lebih dekat dengan massa dan terpengaruh oleh mereka. Para penguasa Muslim, yang membutuhkan dukungan mereka, meninggalkan para filosof dan berpihak kepada massa yang berang. Beberapa penjelasan mengenai dibuangnya ibn Rusyd ke Lucena, dekat Cordova, telah diberikan. Tuduhan yang dilontarkan kepadanya berkenaan dengan penulisannya dalam beberapa m bukunya mengenai pengakuannya bahwa dia telah melihat jerapah di dalam taman ra.ja orang-orang Barbar.dalam pembelaannya ibn Rusyd mengatakan bahwa dia telah menulis “raja dan negeri,” Kisah keduanyan mengemukakan bahwa dia telah menulis bahwa Venus itu suci. Kisah ketiga mengemukakan bahwa dia menyangkal kebenaran historis mengenai orang-orang ‘Ad yang disebut-sebut di dalam al-Quran.
Tipu daya yang dilancarkan oleh kaum agamawan itu berhasil. Hal itu mengakibatkan ibn Rusyd bukan saja dihukum buang tapi juga tulisan-tulisannya dibakar di muka umum. Sebuah manifesto yang menentang filsafat dan para filosof dikeluarkan dan disebarkan di setiap tempat di Andalusia dan Marrakusy, yang melarang studi-studi yang dianggap membahayakan serta memerintahkan pembakaran semua buku yang berhubungan dengan ilmu-ilmu semacam itu. Tapi aib yang diderita oleh ibn Rusyd tidak ebrlangsung lama. Dan al-mansur, sekembalinya dari Marrakusy, mengapuni dan memanggilnya kembali. Ibn Rusyd pergi ke Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/1198 M.

B. FILSAFAT  DAN AGAMA

Perseuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Cara ibn Rusyd memecahkan masalah ini  benar-benar merupakan cara yang jenius. Sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis serangan-serangan keras para faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghazali dalam karyanya Ketidaklogisan Para Filosof. Risalah ibn Rusyd yang berjudul : Fashl al Maqat fi ma bainal Hikmah was-Syari’ah minal Ittishal, merupakan suatu pembelaan bagi filsafat sepanjang filsafat tersebut serasi dengan agama.
Mungkin diragukan, pada masa sekarang ini, apakah soal seperti itu pantas dihebohkan. Tapi pada abad ke 6 H/ke-12 M, masalah semacam itu memang sangat penting. Para filosof dituduh beruat bid’ah (kufr) atau tidak beragama. Al-Ghazali dalam karyanya Thahafut, mengutuk para filosof sebagai orang-orang yang tidak beragama. Kalau tuduhan itu benar, maka para filosof itu, berdasarkan Hukum Islam, harus dihukum mati, kecuali kalau mereka mau melepaskan diri dari berfilsafat atau membuat pernyataan di depan umum bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran filsafat mereka. Oleh karena itu, perlulah bagi para filosof membela diri dari pendapat-pendapat mereka.
Ibn Rusyd membuka risalah dengan mengajukan pertanyaan tentang  apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam). Jawabannya, sejak dini, yaitu bahwa filsafat diwajibaaakan atau paling tidak dianjurkan dalam agama (agama dalam pengertian ini dianggap sama dengan Syari’ah, terutama Islam). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekluasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan Sang Pencipta. Al-Quran memerintahkan manusia untuk berfikir (i’tibar) dalam banyak ayat-Nya seperti : “Berpikirlah, wahai yang bisa melihat.” Al-i’tibar merupakan suatu ungkapan Qurani yang berarti sesuatu yang lebih dari sekedar spekulasi atau refleksi (nazar).
Mengartikan perintah berpikir dalam Al-Quran ini secara logika, tidak lebih dari sekedar mengetahui yang gaib dari yang diketahui lewat pengambilan kesimpulan. Cara penalran secama ini disebut deduksi, dimana pemaparan  (burhan) merupakan bentuk paling baik. Dan karena Tuhan memerintahkan manusia untuk mengenal-nya lewat pemaparan  tersebut, maka orang harus mulai belajar tentang bagaimana membedakan antara deduksi demonstratif dan deduksi dialektis, retoris dan sofistikis. Pemaparan merupakan alat yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan. Ini merupakan metode pemikiran yang logis yang membawa kepada kepastian.
Jadi Al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat, karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenungkan bermacam-macam kemaujudan. Kini telah kita lewati bidang fiqih yang absah dan menuju bidang filsafat, meskipun keduanya berbeda. Sasaran agama secara filosofis yakni : agama berfungsi sebagai pencapai teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-‘ilm al-haq wal-‘amal al-haqq). Hal ini mengingatkan kita kepada definisi al-Kindi dan para pengikutnya, yang sampai saat ini tetap dipakai dalam filsafat Islam. Pengetahuan Sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, tentang kemaujudan lainnya, dan tentang kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Ada dua cara untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu pencerapan dan persesuaian. Persesuaian bisa bersifat demonstratif, dialektis atau retoris.
Ketiga macam persesuaian ini diguanakan dalam Al-Quran. Manusia terdiri atas tiga golongan : para filosof, para teolog dan orang-orang awam (al-Jumhur). Para filosof adalah kaum yang menggunakan cara demonstratif. Para teolog – yaitu orang-orang Asy’ariah, yang ajaran-ajaran mereka menjadi ajaran-ajaran resmi pada masa ibn Rusyd – ialah kaum yang lebih rendah tingkatannya, karena mereka memulai dari penalaran dalektis dan bukan dari kebenaran ilmiah. Orang awam ialah “orang-orang retoris” yang hanya bisa mencerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.
Sejauh ini, agama sejalan dengan filsfat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan dan tindakan agama. Tinggal masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika yang tradisional itu (al-manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional (al-ma’qul), maka yang tradisional harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional. Penafsiran yang bersifat alegoris (ta’wil) didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam Al-Quran dan ayat-ayat yang tersurat dan tersirat (batin). Para ulama Muslim pada masa lalu berusaha mengelak dari menafsirkan ayat-ayat semacam itu, sebab mereka takut akan mengacaukan pemikiran kaum awam. Kaum Asy’ariah menfsirkan ayat-ayat semacam itu sebagai sesuatu yang “duduk di atas Singgasana: (al-istiwa), sedangkan kaum Hanbaliah percaya bahwa ayat-ayat tersebut adalah “tersurat”. Sebagai filosof, ibn Rusyd bersikap lain dari para ulama Muslim itu, (orang-orang Asy’ariah dan Hanbaliah). Ta’wil boleh dilakukan hanya oleh para filosof, yang merupakan kaum demonstratif. Bahkan waktu itu, ta’wil mesti dipandang sebagai pengetahuan esoteris, dan sama sekali tidak boleh dikemukakan kepada orang awam.
Ibn Rusyd kembali kepada bidang Fiqh dan membandingkan metode logika filsfat dengan metode tradisional Fiqh. Yang disebut terakhir ini, yaitu prinsip-prinisp Fiqh, berpijak apda empat sumber : Al-Quran, Hadis, ijma (konsensus) dan Qiyas (silogisme yang absah). Telah kita pahami bahwa Al-Quran mesti ditafsirkan secara rasional. Ima’ adalah buah kesepakatan secara aklamasi dari para alim pada masa tertentu. Tapi tiada konsensus mengenai masalah-masalah doktrinal. Kapan pun, semata-mata karena beberapa alim percaya, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, bahwa ada beberapa masalah yang mesti dirahasiakan. Hanay “mereka yang memiliki kekuatan pengetahuan” (al-rasikhun fil’ilm) yang berhak mengetahuinya. Dan, karena tidak ada konsensus dalam masalah-masalah doktrinal, maka al-Ghazali, atas dasar ijma’, tidak berhak mengutuk para filosof sebagai orang-orang tak beragama. Dalam pandangan al-Ghazali, mereka pantas dituduh sebagai ahli bid’ah (takfir) lantaran tiga hal : ajaran mereka tentang keabadian dunia, penolakan mereka atas pengetahuan Tuhan atas segalanya; dan penolakan mereka atas kebangkitan kembali secara jasmaniah.
Menurut ibn Rusyd, agama didasarkan atas tiga prinsip yang mesti diyakini oleh setiap Muslim : eksistensi Tuhan, kenabian, dan kebangkitan. Tiga prinsip ini merupakan pokok masalah agama. Karena kenabian berdasarkan wahyu, maka filsafat akan selalu berbeda dengan agama, bila tidak bisa dibuktikan bahwa akal dan wahtu bersesuaian. Masalah ini dibahas secara lebih terinci dalam bukunya yang lain. Tapi orang yang menolak prinsip yang mana pun dari yang disebut di atas, berarti ia tak beragama (kafir). Dia dapat mempercayai  apa yang disukainya secara demontratif, dialektis ataupun retoris.
Para filosof tidak boleh mengemukakan penafsiran esoteris mereka kepada orang awam bila tidak mau dituduh sebagai ahli bid’ah. Para teolog yang bertindak begitu, bertanggung jawab atas timbulnya berbagai mazhab dalam Islam yang tuduh menuduh sebagai ahli bid’ah.
Ringkasnya, filsafat ialah saudara kembar agama; keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.

C. JALAN MENUJU TUHAN

Setelah menjelaskan bahwa ajaran-ajaran agama memiliki makna tersurat dan tersirat, yang simbolis bagi orang awam dan yang tersembunyi bagi kaum terpelajar, ibn Rusyd berusaha dalam bukunya  : al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, menemukan jalan menuju Tuhan, yaitu metode-metode yang ada di dalam Al-Quran untuk mencapai kepercayaan akan eksistensi Tuhan dan pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya, menurut makna yang tersurat itu, sebab pengetahuan pertama yang boleh dimiliki oleh setiap orang yang berakal ialah pengetahuan tentang hal-hal yang akan membuatnya yakin akan eksistensi Sang Pencipta.
Karena buku itu ditulis dalam bentuk teologis, maka ibn Rusyd mulai meninjau metode-metode  berbagai madzab Islam, yang digolongkannya menjadi lima golongan besar : Golongan Asy’ariah, Mu’tazilah, Batiniah, Hasyawiah dan Sufi. Wajarlah kalau dia paling sering mengemukakan orang-orang sejamannya, yaitu golongan Asy’ariah, dalam bahasannya, tapi aneh juga bahwa dia tidak pernah membicarakan golongan Batiniah. Golongan Mu’tazillah dibahas secara ringkas, tapi tidak secara terpisah melalui tulisan-tulisan mereka yang, seperti dinyatakan di kemudian hari, belum mencapai maghrib.
Golongan Hasyawiah berpendapat bahwa jalan menuju Tuhan yaitu mendengarkan lewat pengajaran secara lisan al-sam dan bukan lewat nalar. Maksud mereka ialah bahwa iman kepada Tuhan diterima dari Nabi dan bahwa nalar tidak ada kaitannya dengan hal itu. Tapi ini jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan di dalam Kitab Suci bahwa manusia diperintahkan untuk beriman melalui bukti-bukti rasional.
Golongan Asy’ariah percaya bahwa jalan menuju Tuhan yakni lewat akal, tapi metode mereka berbeda dengan jalan agama, yang oleh Al-Quran manusia diperintahkan untuk mengikutinya. Mereka memaparkan dasar-dasar pijakan mereka, seperti : Dunia itu tidak kekal; bendapbenda itu terdiri atas atom-atom; atom-atom itu tercipta; perantara adanya dunia itu tidak bersifat sementara, juga tidak kekal. Tapi argumentasi mereka tidak dapat dimengerti oleh orang awam, tidak kukuh dan tidak meyakinkan. Cara lain golongan Asy’ariah yaitu yang diberikan oleh abu al-Ma’ali. Cara itu didasarkan pada dua premise, bahwa dunia ini mungkin (ja’iz) dan bahwa yang mungkin itu bersifat sementara. Tapi cara ini menghapus kebijakan penciptaan makhluk-makhluk. Cara yang ditempuh ibn Sina dalambeberapa segi sama dengan cara abu Ma’ali.
Orang-orang sufi mengikuti cara mistis. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan masuk ke dalam jiwa jauh dari atas sana, bila kita sudah meninggalkan semua keinginan duniawi. Tapi cara ini tidak selalu bisa dilaksanakan oleh semua orang, pun cara ini menghapus spekulasi, yang diperintahkan dalam banyak ayat Al-Quran.
Lalu jalan apa yang paling cocok yang harus ditempuh oleh semua orang untuk mencapai Tuhan? Dua cara disebutkan dalam Al-Quran, yang oleh ibn Rusyd disebut sebagai pembuktian tentang adanya Tuhan dan pembuktian tentang penciptaan. Yang pertama bersifat teologis dan yang kedua bersifat kosmologis, keduanya mulai dari manusia dan makhluk-makhluk lain, dan bukan dari alam raya sebagai suatu keseluruhan.
Pembuktian tentang adanya Tuhan bertumpu pada dua prinsip : pertama, bahwa semua kemaujudan sesuai dengan kemaujudan manusia; dan kedua, bahwa kesesuaian ini dikarenakan oleh perantara yang berkehendak berbuat begitu, sebab kesesuaian tidak terjadi dengan sendirinya. Segala suatu diciptakan untuk kepentingan manusia; bintang gemintang bersinar di malam hari agar bisa menjadi penuntun bagi manusia, anggota-anggota tubuhnya sesuai dengan kehidupan dan eksistensinya. Seluruh teori nilai dapat dikembangkan dari pandangan ini.
Pembuktian tentang penciptaan itu mencakup binatang, tumbuh-tumbuhan dan angkasa. Pembuktian ini juga didasarkan pada dua prinsip : bahwa semua makhluk tercipta dan bahwa segala yang tercipta itu pasti mempunyai Pencipta. Contoh-contoh di atas berkenaan dengan makhluk-makhluk hidup. Kalau kita melihat benda-benda mati yang menjadi bernyawa, maka akan tahulah kita bahwa nyawa itu, tentu punya pencipta, yaitu Tuhan. Angkasa pun diperintahkan untuk bergerak dan menjaga dunia sekitarnya. Tuhan berfirman dalam Al-Quran  : “Sesungguhnya, yang selain Tuhan tidak dapat menciptakan seekor  serangga pun meski mereka semua bersatu.” Mereka yang ingin mengenal Tuhan harus mengetahui hakikat dan manfaat segala suatu agar bisa  mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang penciptaan.
Kedua cara itu lazim dipakai oleh golongan terpelajar dan awam. Perbedaan pengetahuan mereka terletak pada rinciannya. Orang awam cukup puas dengan hanya pengetahuan inderawi, yang merupakan langkah pertama menuju ilmu. Golongan terpelajar bisa yakin hanya melalui pembuktian.
Makna keesaan Tuhan tercermin pada prinsip Al-Quran : “Tiada Tuhan selain DIA.” Sangkalan terhadap adanya tuhan-tuhan lain di sini dianggap sebagai makna tambahan penegasan tentang keesaan Tuhan. Apa yang akan terjadi kalau Tuhan lebih dari satu? Dunia akan hancur : Satu Tuhan akan lebih berkuasa atas yang lain, atau tuhan-tuhan yang lain akan berupaya menggulingkan kekuasaan tuhan itu.
Tuhan disifati dengan tujuh sifat utama : tahu, hidup, kuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berfirman. Semua sifat itu merupakan sifat manusia sempurna. Ada tiga sikap yang menyangkut hubungan antara zat Tuhan dan sifat-Nya. Yang pertama yaitu sangkalan terhadap adanya sifat-sifat itu. Ini merupakan sikap kaum Mu’tazilah. Yang kedua yaitu penegasan tentang kesempurnaan sifat-sifat itu. Yang ketiga yaitu anggapan bahwa sifat-sifat itu tinggi dan berada di luar jangkauan pengetahuan manusia. Tapi, Al-Quran menandaskan sifat-sifat itu dan menyatakan bahwa “tidak ada yang menyamai Dia.” Yang berarti bahwa Dia mendengar, melihat dan berfirman dalam arti lahiriah. Orang yang menggunakan cara demonstratif tidak boleh memaparkan secara terinci penafsiran mereka kepada orang awam. Baik ajaran Mu’tazilah maupun ajaran Asy’ariah tidak cukup kuat. Ibn Rusyd mengecam cara pemecahan masalah mereka dalam bukunya al-Manahij dan dalam Thahafut. Dia beranggapan bahwa mengenai sifat-sifat itu, tanpa membuat penegasan ataupun sangkalan, orang harus menerima makna lahiriah yang tersurat di dalam Al-Quran. Sedangkan penafsiran tentang hal itu, herus bersifat esoteris.
Tindakan-tindakan Tuhan bisa diringkaskan menjadi lima tindakan utama : mencipta, mengutus nabi-nabi, menetapkan takdir, membangkitkan kembali dan mengadili. Semua itu merupakan tanda dari hubungan antara Tuhan, dunia dan manusia.
Penciptaan merupakan tindakan Tuhan. Dia menciptakan dunia secara terencana, bukan secara kebetulan. Dunia diatur dengan baik dan berada dalam keteraturan yang sempurna. Hal ini membuktikan eksistensi Sang Pencipta yang bijak. Sebab akibat  merupakan syarat. Seluruh hujjah ibn Rusyd menyangkut pembuktian bahwa tiada sesuatu pun muncul tanpa sebab, dan bahwa sebab-sebab itu, banyak jumlahnya dan bersumber  pada satu Sebab Utama. Dia berkata : “Orang yang, dalam hal-hal artifisial, menyangkal atau tidak dapat memahami hasil dari sebab, tentu tidak memiliki pengetahuan tentang ciptaan atau pencipta; begitu pula, orang yang menyangkal bahwa eksistensi di dunia ini bertumpu pada efek-efek sebab, dia tentu akan menyangkal adanya Sang Pencipta yang bijak.
Bukti pengutusan nabi-nabi itu berdasdarkan dua prinsip utama yang termaktub di dalam Al-Quran. Yang pertama manusia-manusia semacam itu adalah manusia-manusia yang menjelaskan hukum-hukum, lewat wahyu Tuhan, bukan lewat belajar. Tugas seorang Nabi yaitu menjelaskan hukum-hukum, yang jika dipatuhi akan membuat orang yang patuh itu senantiasa bahagia. Yang kedua, orang yang mampu melaksanakan tugas semacam itu adalah nabi. Sebagaimana tugas seorang dokter yaitu menyembuhkan tubuh, dan orang yang menyembuhkan itu ialah dokter. Para ahli teolog berpendapat bahwa keimanan kita kepada kebenaran para nabi dikarenakan oleh keimanan kepada tata-tindak mukjizat mereka yang adialami. Tapi Al-Quran tidak menerima cara ini yang lazim dianut oleh agama-agama sebelumnya. Ketika orang-orang berkata kepada Muhammad bahwa mereka tidak mau mempercayainya kecuali bila beliau bisa membuat sebuah mata air di tanah tandus, beliau menjawab lewat wahyu Tuhan : “Aku hanya seorang manuisa, seorang utusan.”. satu-satunya mukjizat Islami yaitu Al-Quran, yang berisi hukum-hukum yang diperlukan bagi kesejahteraan manusia. Karena itu, dalam Islam, tak ada yang bersifat adialami, sebab segalanya berjalan di atas hukum-hukum alam yang berasal dari adanya hubungan erat antara sebab dan akibat.
Takdir merupakan suatu masalah yang sangat pelik, yang membuat para ahli pikir Muslim terombang-ambing di antara fatalisme mutlak dan kehendak bebas mutlak. Fatalisme menghapus kebebasan manusia, dan karena itu menghapus pula tanggung jawab manusia. Golongan Mu’tazilah membenarkan pendapat tentang kehendak bebas ini yang menjadi dasar tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya. Jika pendapat ini dibenarkan, maka berarti Tuhan tidak punya sangkut-paut dengan perbuatan manusia, karena manusia menjadi pencipta perbuatan-perbuatan sendiri. Dan, bila demikian, berarti ada pencipta-pencipta lain selain Sang Pencipta. Golongan Asy’Ariah bersikap menengah dengan mengatakan bahwa nasib manuisa telah ditentukan, walau begitu dia juga diberi kemampuan untuk berbuat. Inilah ajaran termasyhur mereka tentang kemampuan (al-Kasb). Tapi cara pemecahan masalah seperti ini, dalam pandangan ibn Rusyd, merupakan suatu pertentangan diri. Ajaran mereka mengarah pada fatalisme.
Manusia tidak diarahkan kepada fatalisme atau kehendak bebas. Tapi dia ditentukan. Ketentuan merupakan hasil aksi sesuai dengan sebab-sebab aksi itu. Sebeb-sebab bisa bersifat eksternal atau pun internal. Aksi-aksi kita ditimbulkan oleh kehendak kita dan juga kesesuaian dari kejadian-kejadian eksternal. Kehendak manusia ditentukan oleh dorongan luar yang tunduk kepada keteraturan serta keselarasan sesuai dengan kehendak universal Tuhan. Aksi-aksi kita bukan hanya ditentukan oleh sebab-sebab dari luar, tapi juga oleh sebab-sebab eksternal dan internal itulah disebut takdir. Pengetahuan Tuhan tentang sebab-sebab ini dan akibat dari sebab-sebab itu merupakan bukti kemaujudan sebab-akibat.
Tuhan itu adil, dan tak pernah tidak adil terhadap manusia, sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Quran. Sifat manusia itu tidak sepenuhnya baik, meski yang baik itu yang dominan. Sebagian besar manusia itu baik. Tuhan telah menciptakan kebaikan secara hakiki dan mencitakan keburukan secara tidak hakiki bagi yang baik. Baik dan buruk itu serupa dengan api yang mendatangkan manfaat dalam banyak hal, tapi juga bisa mendatangkan bahaya. Teori ibn Rusyd ini menopang sikap optimis yang merajai dunia.
Semua agama sama sepakat mengenai realitas kebangkitan. Perbedaannya hanyalah terletak pada masalah apakah realitas kebangkitan itu berbentuk ruhani atau jasmani. Kebangkitan ruhani merupakan ketidak matian ruh setelah terpisah dari tubuh. Keyakinan akan kebangkitan jasmani lebih sesuai bagi pikiran awam yang tidak memahami kekekalan ruh.

D. JALAN MENUJU PENGETAHUAN

Kini kita tinggalkan ibn Rusyd, sebagai filosof Muslim yang ahli Fiqh itu, dan kita temui ibn Rusyd sebagai pengulas karya-karya Aristoteles, yang lebih setia kepada “Sang Guru Pertama” dibanding Alexander dari Aphrodiasisas dan Themistius. Filsafat abad pertengahan di Eropa dipengaruhi oleh Aristoteles lewat ulasan-ulasan yang ditulis oleh ibn Rusyd, sebagaimana diungkapkan secara tepat oleh Gilson, “Cukup aneh, sedikit sekali orang yang lebih berpengaruh dariapda ibn Rusyd dalam membentuk pikiran umum mengenai filsafat abad pertengahan yang kini diterima sebagai kebenaran sejarah.” Memang benar bahwa sistem utamanya yaitu sistem Aristoteles, tapi karena terpengaruh gagasan-gagasan yang diterimanya dari berbagai sumber, dia memberikan bentuk baru pada sistem tersebut.
Jalan menuju pengetahuan merupakan salah satu masalah besar yang dibahas dalam filsafat Muslim, dikarenakan oleh keterkaitannya dengan kemaujudan-kemaujudan yang lebih tinggi, yaitu “akal perantara” (agent intellect) yang dengan akal tersebut manusia berhubungan. Oleh ibn Rusyd, akal dan ruh dibedakan dengan hati-hati, dalam pemikirannya tentang proses pengetahuan. Diperlukan pemahaman penuh mengenai urutan hirarki dari segala periada guna memahami kedudukan dua entitas ini. Inilah sebabnya mengapa ibn Rusyd membuka risalahnya Talkhis Kitab al-Nafs dengan memberikan ulasan pendek tentang komposisi periada-periada itu. Sejak mula sekali dia mengatakan : “Tujuan risalah ini ialah mengemukakan pendapat-pendapat para pengulas dalam bidang psikologi, yang lebih dekat hubungannya  dengan ilmu alam dan lebih sesuai dengan tujuan Aristoteles. Sebelum itu,akan lebih relevan bila suatu pendahuluan pendek mengenai  prinsip-prinsip muhim yang disyaratkan bagi memahami ubstansi ruh (soul).” Prinisp-prinsip itu adalah : (1) Segala periada yang fana terdiri atas materi dan bentuk, yang masing-masing dengan sendirinya bukan suatu wujud, meskipun melalui gabungan keduanya, wujud itu maujud. (2) Materi utama tidak memiliki eksistensi aktual, dan hanya merupakan suatu kemampuan untuk menerima bentuk-bentuk. (3) Wujud-wujud sederhana pertama yang merupakan perwujudan materi utama itu merupakan empat unsur, yaitu : api, air, udara dan bumi. (4) Unsur-unsur itu masuk ke dalam susunan wujud-wujud lain lewat percampuran. Sebab jauh dari percampuran ini yaitu wujud-wujud angkasa. (5) Panas alam merupakan sebab utama adanya percampuran itu. (6) Benda-benda organik dihasilkan dari individu-individu hidup yang sejenis dengan benda-benda organik iu lewat panas alam. Jiwa merupakan sebab paling dekat dari pembentukan terus menerus mereka dan intelegensi yang menggerakkan lingkungan itu merupakan sebab jauh.
Sebelum membahas psikologi lebih jauh, ibn Rusyd mengajukan pertanyaan yang penting : “Apakah bentuk itu dapat bereksistensi tanpa materi?” Jawabannya merupakan jalan sejati pengetahuan.
Bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi, karena bentuk fisik – yang istilah lain dari bentuk materi – bisa maujud hanya dalam materi. Oleh sebab itu bentuk-bentuk tersebut sementara dan berubah-ubah. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki substansi kecuali dalam materi. Maka bentuk-bentuk terpisah itu merupakan sesuatu yang bukan bentuk-bentuk material. Karenanya, keterpisahan jiwa rasional yaitu akal, hanya dapat ditunjuukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa tidak terpisah sebab ia merupakan “bentuk dari wujud  alamiah organik.” Jiwa dibagi menurut  tindakan-tindakannya, menjadi lima bagian : Jiwa nutritif, sensitif, imajinatif, kognitif dan apetitif, dan yang disebut terakhir ini tampaknya lebih sesuai kalau ditempatkan sesuah yang imajinatif dan yang sensitif.
Hirarki unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bentuk material yang disebutkan di atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan yaitu lewat perasaan dan imajinasi, sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu, selain lewat dua cara tersebut, lewat akal.  Dengan demikian jalan menuju pengetahuan yaitu lewat perasaan atau lewat akal, yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang unieversal, kalau tidak maka binatang dikaakan memiliki pengetahuan. Istilah “pengetahuan” diberlakukan secara kabur  pada binatang, manusia dan Tuhan. Pengetahuan binatang terbatas oleh perasaan dan imajinasi, sedangkan pengetahuan manusia bersifat universal. Perasaan dan imajinasi terdapat pada binatang untuk kelestarian mereka. Untuk keamanan, menjaga diri dan mendapatkan makanan, hewan mesti mendekati atau menjauhi hal-hal yang dapat dirasakan. Kalau hal-hal yang dapat dirasakan itu ada, maka hal-hal itu dicerap oleh indera; dan kalau hal-hal yang dapat dirasakan tidak ada, maka hal-hal itu digantikan oleh gambaran-gambaran mereka. Jadi persaan merupakan kondisi gambaran, dan “setiap kemaujudan yang memiliki gambaran tentu memiliki pula perasaan.” Tapi karena manusia memiliki unsur yang lebih tinggi, yaitu akal, maka ia mendapatkan gambaran lewat pikiran dan nalar. Sedangkan pada binatang, gambaran pada dasarnya  ada secara alami. Selanjutnya, bentuk-bentuk yang dicerap oleh binatang terbatas, dan kadang-kadang, kalau bentuk-bentuk tersebut dicerap oleh manusia, maka bentuk-bentuk itu menjadi gambaran-gambarang universal. Mereka yang beranggapan bahwa hewan memiliki nalar, megnacaukan gambaran=gambaran universal dengan konsep-konsep universal. Bentuk-bentuk yang dicerap oleh manusia tak terbatas, dalam arti bahwa hal-hal tertentu yang mereka tunjukan tidak terbatas. Gambaran-gambaran, sepanjang merupakan sebab pendoorong gerakan, mempengaruhi tindakan manusia dengan konsep-konsep lewat kerja sama mereka.
Pengetahuan manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan Tuhan, sebab “manusia mencerap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang maujud lewat akalnya. Sebab, persepsi manusia berubah dikarenakan berubahnya hal-hal yang dicerapnya, dan kemaujudan persepsi mengisyaratkan kemajemukan obyek.” Mustahil bila pengetahuan Tuhan sama dengan pengetahuan kita, sebab “pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari adanya segala suatu itu.”  Kedua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu samna lain dan saling bertentangan. Pengetahuan Tuhan itu kekal, sedang pengetahuan manusia itu sementara. “Pengetahuan Tuhanlah yang menyebabkan segala kemaujudan, dan bukanlah segala kemaujudan itu yang menyebabkan Dia tahu.”
Sejauh ini, telah kita lihat bahwa ada pengetahuan yang bersifat individu, dan ada juga yang bersifat universal. Yang pertama merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi, sedang yang kedua merupakan hasil dari akal. Tindakan akal ialah mencerap gagasan, konsep yang bersifat universal dan yang hakiki. Akal memiliki tiga kerja dasar : Mengabstraksi, mengkombinasikan dan menilai. Kalau kita mencerap suatu gagasan yang bersifat universal, kita mengabstraksikannya dari materi. Hal ini lebih jelas pada sesuatu yang dilepaskan dari jauh dari materi, seperti titik dan garis. Akal tidak hanya mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, tapi ia juga mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dan menilai sebagian dari mereka bila sebagian yang lain dinyatakan sebagai benar, bisa berarti benar atau salah. Yang pertama dari kerja-kerja ini disebut pembenaran (intelligere dalam bahasa Ltin) dan yang kedua disebut pembenaran  (credulitas). Jadi kita memiliki tiga kerja berurutan. Pertama kita mendapatkan di dalam akal satu gagasan atau maksud tunggal yang sepenuhnya terabstraksi dari materi. Dan kerja inilah yang disebut sebagai abstraksi. Kedua, dengan mengkombinasikan dua maksud atau lebih, kita mendapatkan konsep seperti konsep tentang manusia yagn terdiri atas hewaniah dan rasionalitas, genus dan differentia.d an ini membentuk esensi sesuatu. Dengan begitu maka suatu esensi yang lengkap adalah membentuk pula definisinya. Ketiga, karena konsep tidak benar atau tidak salah, bila dibenarkan atau disangkal dalam suatu proposisi, maka kita mempunya suatu penilaian.
Akal itu bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua orang. Unsur ini merpakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal  yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi. Konsekuensinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan hal-hal yang terakal bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang, dan rusak bila hal-hal ini rusak.
Lewat akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis. Kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar; seperti, berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar.
  Dua pertanyaan utama tentang akal teoritis harus dijawab, yang pertama yakni kekekalannya dan yang kedua yakni hubungannnya dengan akal agen. Pertanyaan pertama dapat diajukan dengan cara lain. Apakah cerapan akal yang bersifat teoritis selalu aktual, ataukah mereka maujud secara potensi, lalu secara aktual, sehingga dengan demikian mereka bersifat bendawi? Ini membuat ibn Rusyd berfikir lagi tentang bentuk-bentuk bendawi, dan bentuk-bentuk elementer (yaitu bentuk-bentuk empat unsur) sampai gambaran yang dihadilkan oleh jiwa imajinatif. Mereka semua memiliki empat hal secara umum. (1) Kemaujudan mereka dapat berubah. (2) Mereka beragam dan banyak sesuai dengan keberagaman dan ke-banyak-kan obyek mereka. (Dari dua sifat ini berarti mereka bersifat sementara). (3) Mereka berkomposisi dari sesuatu yang bersifat material dan sesuatu yang bersifat formal. (4) Yang tercerap berbeda dengan yang maujud, sebab bentuk yang tercerap itu tunggal sepanjang ia terpahami, dan majemuk sepanjang itu menyangkut individualitasnya.
Bentuk-benetuk yang terpahami pada diri manusia tidak sama dengan bentuk-bentuk material lain. (1) Kemaujudan intelektual mereka adalah satu dan serupa dengan eksistensi obyektif mereka yang dapat ditunjukkan. (2) Persepsi mereka tak terbatas karena bentuk-bentuk yang diabstraksikan tidak memiliki kemajemukan individual. (3) Akal adalah yang terakali, sedang persepsi adalah yang tercerap.  (4) Akal tumbuh bersama usia, sedangkan semua indera lainnya menjadi lemah, karena akal bekerja tanpa organ.
Kerja pengakalan itu sebagai berikut : ada akal atau orang yang mencerap, dan ada hal-hal yang terakali yang merupakan obyek pengakalan dan tercerap oleh akal.  Hal-hal yang terakali itu harus maujud; kalau tidak, maka akal tidak bisa mencerap apa pun, sebab akal bisa berkaitan dengan yang maujud, bukan dengan yang tidak maujud. Dan, pengetahuan kita merupakan akibat dari hal-hal yang maujud. Nah, hal-hal yang terakali ini, yaitu yang bersifat universal, ada di dalam jiwa seperti yang dikemukakan oleh Plato, atau ada di dalam realitas di luar jiwa. Ibn Rusyd, mengikuti pendapat Aristoteles, menolak doktrin idialisme. Akibatnya, yang bersifat universal maujud secara realitas dan kemaujudan mereka terikat pada hal-hal tertentu yang terdiri atas materi dan bentuk. Melalui pengabstraksian, akal menelanjangi bentuk-bentuk materi.
Dengan begitu maka hal-hal yang terakali sebagian material dan sebagian lagi nonmaterial. Mereka bersifat material sepanjang bertumpa pada gambaran-gambaran yang pada gilirannya bertumpu pada hal-hal tertentu. Akal material tidak boleh ditafsirkan sebagai bersifat jasmaniah, tapi sebagai suatu kemungkinan semata, yaitu kesiapan menerima hal-hal yang terakali. Yang membawa akal yang mungkin dari potensi menuju aktualitas ialah akal agen yang lebih tinggi dan lebih mulia dibandingkan akal yang mungkin. Ia sendiri maujud, selalu aktuan, entah tercerap oleh kita atau tidak. Akal agen ini, dari segala sudur pandang, satu dan serupa dengan hal-hal yang terakali.
Manusia dapat meraih akal agen dalam kehidupannya kalau dia tumbuh dewasa. Karena akal tidak lain dari hal-hal yang terakali; maka tindakan akal dalam mendapatkan hal-hal yang terakali disebut “penyatuan” (al-ittihad) atau “komuni” (al-ittishal).
Penyatuan ini tidak sama dengan istilah kaum Sufi, sebab akal agen tidak suci dan tidak mencerahi jiwa kita sebagaimana dinyatakan oleh sebagian kaun Neo-Platonis. Penyatuan merupakan suatu kerja rasional yang harus dijelaskan dengan menggunakan dasar-dasar epitemologi, dan didasarkan pada pemerolehan bentuk-bentuk yang bersifat universal yang dilakukan oleh akal yang mungkin. Bentuk-bentuk universal ini tidak memiliki kemaujudan yang aktual yang terpisah dari hal-hal yang terasa.
Ketika karya-karya ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sebagian ajaran-ajarannya diterima dan sebagian lagi ditolak. Gerakan yang terpengaruh olehnya dinamakan gerakan Latin Averroism. Hal ini berarti filsfat Aristotteles menurut penafsiran ibn Rursyd, pembedanya antara filsafat dan teologi, rasionalme empirisnya, dan terutama teorinya mengenai akal. Secara keseluruhan, Latin Aveeroism menganggap ibn Rusyd sebagai orang yang setia kepada karya-karya Aristoteles dan kebenaran. Sementara itu, muncul banyak ahli teologi yang menentang ajaran-ajarannya. Sebuah contoh tentang penentangan ini terdapat dalam risalah Albert Yang Agung, Tentang Kesatuan Akal terhadap ibn Rusyd. Siger dan Brabant terutama mengikuti psikologi ibn Rusyd; sebuah rangkuman dari karya Siger : “Perihal akal,” membuktikan bahwa dia meminjam gagasan dari sebuah terjemahan Kitab al-Nafs. Gerakan ibn Rusyd berlangsung sampai abad ke-9 H/ke 15 M dan menghadapi banyak reaksi, yang membuktikan pengaruh yang besar dari filosof Cordova ini.

E.  JALAN MENUJU  ILMU

Ilmu agama dan filsafat merupakan tiga bidang yang berbeda. Manusia didesak untuk mendapatkan cara tertentu untuk menyelaraskan aspek kultural ini yang terdapat pada masyarakat tempat ia tinggal; kalai tidak, maka kepribadiannya akan hancur. Ilmu diperlukan untuk menyejahterakan kehidupan semua orang dalam masyarakat beradab. Kemaujudan bendawi mereka bergantung dan terikat pada tingkat pengetahuan ilmiah. Dalam masyarakat manusia, agama malah lebih mendasar. Sebagaimana dikemukakan oleh Bergson, “Di masa lalu dan masa kini, kita dapati masyarakat manusia yang tidak mengenal ilmu, seni atau pun filsafat. Tapi tak pernah ada suatu masyarakat pun yang tidak mengenal agama.” Filsafat merupakan pencarian akan kebenaran. Memang benar  bahwa manusia merupakan hewan yang bersifat metafisik. Kebesaran para filosof terkenal – Plato, Aristoteles, ibn Sina, ibn Rusyd, Descartes, Knat dan lain-lainnya p terletak pada kemampuan mereka menepatkan ketiga disiplin ini secara tepat, baik dalam lingkup pengetahuan maupun dalam aksi. Filosof Muslim petama memberikan penilaian yang tepat kepada ilmu tanpa mengurangi nilai agama. Dan dengan itu mereka menjadi orang-orang Muslim sejati, hanya saja mereka menafsirkan agama dengan pengetahuan ilmiah dan filosofis mereka sendiri.
Al-Ghazali tidak puas dengan ajaran-ajaran para filosof itu. Dia menyerang mereka dalam bukunya Ketidaklogisan Para Filosof dan menuduh mereka sebagai Kafir (Kufs) atas dua puluh hal. Kefasihan al-Ghazali dalam berbicara, pengetahuannya yang dalam tentang seni berdebat dan berargumentasi serta pengetahuannya yang laus dalam berbagai studi, membuatnya termasyhur sehingga dia dianggap sebagai hujjat al-Islam.
Ibn Rusyd menanggapi tuduhan itu satu demi satu. Diskusi antara dua tokoh besar itu sungguh merupakan suatu perdebatan yang menarik yang mencerminkan pertentangan murni dalam masyarakat Muslim, antara agama di satu pihak dan ilmu serta filsafat di pihak lain. Ibn Rusyd, dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan kepada kebenaran, menyatukan ketiga hal yang berbeda itu. Lewat penafsiran al-Quran secara rasional, dia mewarnai keselarasan antara agama dan filsafat. Dia menyingkapkan jalan sejati menuju agama sebagaimana dinyatakan di dalam al-Quran.
Kemudian dia berpaling untuk melicinkan jalan menuju ilmu. Dalam pembelaannya yang penuh semangat bagi agama, al-Ghazali secara tidak dinyana-nyana menutup pintu untuk ke sana. Jalan mistis kaum Sufi dinyatakan sebagai tidak sesuai dengan metode rasional. Sayangnya, kaum Muslim mengikuti paham al-Ghazali, sang Hujjat al Islam, dan sedikit demi sedikit melecehkan studi tentang ilmu. Kebesaran peradaban yang pernah mereka alami memudar. Di pihak lain, ibn Rusyd yang membela ilmu dan eropa abad pertengahan, mengikuti jalan yang ditunjukkan olehnya untuk mencapainya. Inilah  semangat sejati paham ibn Rusdy Latin yang membangkitkan ilmu Eropa. Ilmu merupakan suatu wujud pengetahuan yang sistimatis dan terumuskan, yang bertumpu pada pengamatan dan pengklasifikasian fakta-fakta. Tapi jalan menuju ilmu lebih mendasar daripada kebenaran-kebenaran ilmiah yang terperoleh, sebab melalui metode ilmiah kita dapat mencapai realitas-realitas ilmiah serta maju terus-menerus dalam studi kita.
Dua buku Thahafut-nya al-Ghazali dan ibn Rusyd menggambarkan gagasan-gagasan yang beraksi di atas panggung peradaban Islam selama abad-abad ke-5 dan 6 H/ke-11 dan 12 M. Sebagian dari gagasan-gagasan itu, meski kini dianggap sebagai nilai-nilai historis semata, sangat penting pada masa itu. Panjangnya pembahasan masalah mengenai kekekalan dunia dan tempat utamanya pada kedua puluh pembahasan itu menunjukkan penekanan al-Ghazali pada hal itu. Ibn Rusyd menganggap bahwa  soal-soal utama, yang membuat al-Ghazali menuduh para filosof sebagai tak beragama, ada tiga : kekekalan dunia, sangkalan atas pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal tertentu dan kebangkitan kembali jasmani. Menurut kami, masalah yang tetap sangat penting ialah masalah yang menyangkut sebab akibat. Sementara Hume mengecam sebab akibat, Kant berusaha menemukan beberapa dasar rasional tempat pijakan sebab akibat. Lewat bentuk-bentuk a priori transendental dari akal murni, Kant percaya bahwa ilmu terjaga. Kesimpulan Stuart Mill menyaratkan kepenyebaban universal. Rusel berkata : “Entah dari prasangka murni, dari pengaruh tradisi atau karena alasan lain tertentu, adalah lebih mudah untuk percaya bahwa ada hukum alam, yang membuat sebab-sebab selalu diikuti oleh akibat.” Hanya ilmu kinilah yang menggantikan konsepsi “sebab” dengan “hukum sebab akibat,” garis-garis sebab akibat” statistik dan sebagainya.
Ibn Rusyd merasa dirinya berhak menjaga ilmu dan menunjukkan jalan mencapai realitas-realitas ilmiah, karena al-Ghazali telah merusak hubungan penting antara sebab dan akibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Quadri : “La science perdiat ainsi toute rasion a’etre. La sunsistance n’avait plus de fondement . . . . . . . La pensee scientifique devait etre revendiquee et sauvee.”
Al-Ghazali memulai dialog mengenai ilmu alam dengan menyebutkan satu per satu ilmu-ilmu yang berbeda “untuk mengemukakan bahwa Hukum Suci tidak mendorong manusia bersaing dan menolak mereka.” Dalam penyebutan ini  dia menyebutkan ilmu-ilmu semacam mantera, alkimia, astrologi dan sebagainya. Ibn Rusyd menolak ilmu-ilmu ra spalsu semacam itu. Ilmu azimat itu omong kosong belaka. Entah alkimia benar-benar ada atau tidak. Astrologi tidak termasuk dalam ilmu fisika.
Alasan sesungguhnya mengapa al-Ghazali menyangkal hubungan sebab akibat itu adalah bahwa “pada penyangkalannya bertumpu kemungkinan penegasan keberadaan keajaiban-keajaiban yang menyela perjalanan biasa alam, seperti mengubah sutas tali menjadi seekor ular .........” Menurut ibn Rusyd, keajaiban-keajaiban itu tidak boleh dipermasalahkan atau diteliti oleh para filosof. “Orang yang meragukannya pantas di hukum.” Bagaimana pun keajaiban Islam tidak terletak pada keajaiban seperti mengubah seutas tali menjadi seekor ular, melainkan pada Al-Quran, “Yang keberadaannya tidak menyela perjalanan alam sebagaimana di duga . . . . . .  tepi keajaibannya diakui oleh setiap manusia lewat persepsi dan pemikiran . . . . .  Dan keajaiban ini jauh lebih hebat dibandingkan yang lain. Sebenarnya. Di sini ibn Rusyd mengulangi apa yang telah dinyatakan sebelumnya dalam buku kembarnya Fashl dan Kasyf. Para ahli teolog, seperti Muhammad ‘Abduh, Ameer Ali dan yang lain-lainnya, telah mengambil pandangan ibn Rusyd ini, yang sekarang berlaku di kalangan masyarakat Muslim. Kembalinya perhatian kepada ibn Rusyd merupakan salah satu pendorong kebangunan kembali di Timur, kata Muhammad ‘Abduh, “Tidaklah mungkin bagi kaum Muslimin untuk menyangkal hubungan yang ada antara sebab dan akibat di dunia ini.”
Kini kita tinggalkan pembukaan ini dan menuju kepada pokok pembahasan Al-Ghazali mendudukan tema itu begini : “Menurut kami, hubungan antara apa yang bisa dianggap sebagai sebab dan apa yang dianggap sebagai akibat bukanlah merupakan suatu hubungan yang mesti, kedua hal itu masing-masing memiliki individualitasnya sendiri dan bukan individualitas yang lain . . . . . pemuasan dahaga tidak mengisyaratkan peminuman, atau hubungan yang membakar dengan api . . . .  sebab hubungan yang ada pada hal ini berdasarkan kekuatan utama Tuhan untuk menciptakan mereka secara berurutan, meski bukan karena hubungan ini mesti dengan sendirinya.”
Ibn Rusyd memulai tanggapannya dari akal sehat, yang, menurutnya, merupakan dasar ketentuan. “Menyangkal keberadaan sebab efesien yang tampak pada hal-hal yang terasa adalah menyesatkan, dan orang yang menyangkal hal itu, baik menyangkal apa yang ada di dalam pikirannya dengan lidahnya maupun terbawa oleh keraguan yang menyesatkan........ “
Tapi filsafat tidak dapat berdiri di atas akal sehat. Empirisme itu bermanfaat untuk tujuan yang praktis, bukan untuk ilmu-ilmu pasti. Empirisme praktis didasarkan pada akal sehat dan pengetahuan ilmiah mempercayai hubungan sebab akibat, hanya saja yang disebut pertama itu kurang meyakinkan, sedang yang disebut kedua lebih kuat. Bersifat ilmiah berarti mampu meramalkan apa yang akan terjadi di kemudian hari bila suatu sebab telah diketahui. Mempercayai ilmu dan kekuatannya disebabkan oleh kemampuan kita untuk  meramal atas dasar hubungan sebab akibat. Ilmu moderen tetap mempercayai hubungan sebab akibat bukan dalam bentuk lama hubungan sebab akibat, tapi dalam urutan dan struktur hubungan sebab akibatnya. Ringkasnya, meyakini hubungan sebab akibat merupakan masalah keimaman. Ibn Rusyd telah menyempurnakan keimanan kepada alam ini, dan menyatakan bahwa segala suatu di dunia ini terjadi menurut keteraturan sempurna yang dapat dipahami sebagai hukum sebab akibat.
Ini membuat kita melihat dunia fisik sebagaimana dilihat oleh ibn Rusyd, dan begitulah hal itu dapat dikenali secara ilmiah. Dunia ini merupakan suatu rangkaian benda dan orang yang saling berkaitan dikarenakan adanya hubungan sebab akibat. Dua prinsip disyaratkan, meski tidak diungkapkan : yang pertama, yaitu benda dan yang kedua yaitu hukum sebab akibat. Dua dalil ini merupakan hasil asumsi metafisika yang berasal dari Aristoteles, yaitu gagasan mengenai substansi dan gagasan mengenai empat sebab. Al-Ghazali mengingkari dua prinsip itu. Sedangkan mengenai kekekalan benda, dia meniru argumen bandingan beberapa filosof dengan cara yang menggelikan, yaitu bahwa “Jika seseorang yang meninggalkan sebuah buku di rumah bisa mendapatkannya kalau dia kembali muda . . . . . sebab batu berubah menjadi emas, dan emas berubah menjadi batu; dan jika dia ditanya mengenai hal ini dia akan menjawab, “Aku tidak tahu apa yang ada di dalam rumahku pada saat ini.” Al-Ghazali menerima tantangan itu dengan mengatakan : “Tidak ada keberatan (bagiku) untuk mengakui bahwa apa pun mungkin bagi Tuhan.” Contoh tentang kemungkinan ini yaitu keajaiban Ibrahim ketika dia dilemeparkan ke dalam nyala api dan tidak terbakar. Api, dengan kehendak Tuhan, kehilangan sifat membakarnya, Penyebab sesungguhnya yaitu Tuhan, yang melalui kehendakdan kekuasaan-Nya, memberikan sifat kepada benda-benda. Maka, tak ada alasan mengapa mereka tidak bisa bertentangan dengan sifat mereka yang sesungguhnya.
Untuk menghadapi argumentasi ini, ibn Rusyd melihat masalah dari sudut pandang filosofis yang telah disebutkan di atas. Kekekalan benda membuat kita dapat mencapai hakikat suatu benda, definisinya, dan memberinya nama. “Sebab sudah terbukti dengan sendirinya, dan memberinya nama, “Sebab sudah terbukti dengan sendirinya bahwa semua benda itu memiliki esensi dan sifat-sifat yang menentukan fungsi-fungsi khusus masing-masing benda itu dan, yang lewat esensi dan sifat-sifat itu, definisi dan nama-nama dibeda-bedakan. Jika sebuah benda tidak memiliki sifat khusus, maka ia tidak akan memiliki satu nama atau definisi khusus, dan segala sesuatu akan menjadi nama saja.”
Mengenai dalil kedua hubungan sebab akibat, “Semua kejadian memiliki empat sebab, agen, bentuk, materi dan akhir.” Pikiran manusia mencerap hal-hal yang membayangkan sebab-sebab mereka. Dan, “intelegensi hanyalah persepsi segala hal beserta sebab-sebab mereka, dan dalam hal ini ia membedakan dirinya sendiri dari semua dayan pencerapan yang lain; dan orang yang mengingkari sebab-sebab, berarti ia mengingkari akal. Logika mengisyaratkan keberadaan sebab dan akibat, dan pengetahuan tentang akibat hanya dapat menjadi sempurna lewat pengetahuan tentang sebab. Pengingkaran akan sebab mengisyaratkan pengingkaran akan pengetahuan.” Jika mereka menamkan hubungan sebab akibat itu sebagai kebiasaan, maka kebiasaan merupakan suatu istilah yang membingungkan. Apakah yang mereka maksudkan dengan kebiasaan itu (1) kebiasaan agen, atau (2) kebiasaan benda-benda yang ada, atau (3) kebiasaan kita membentuk suatu kebiasaan di sekitar hal-hal semacam itu? Ibn Rusdy menolak dua makna pertama dan menerima makna terakhir yang sesuai dengan konseptualismemnya. Sebab mustahillah bahwa Tuhan memiliki kebiasaan. Kebiasaan hal-hal yang ada benar-benar merupakan sifat mereka, karena kebiasaan hanya ada pada yang hidup.
Secara keseluruhan, jalan menuju ilmu dimulai dengan keimanan yang merupakan dasar ketentuan. Para penganut skeptisisme dan agnotisme tidak mendapatkan tempat di bidang ilmu. Dengan bersenjatakan keimanan akan kemaujudan dunia semacam itu, akal menemukan sebab-sebab segala suatu. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan tentang hal-hal sebab-sebab keberadaan hal-hal itu.

F. JALAN MENUJU WUJUD

Dua jenis metafisik yang berbeda diterima oleh bangsa Arab, yaitu metafisik tentang Wujud dan metafisik tentang Yang Esa. Yang Pertama dari Aristoteles, dan yang kedua dari Plotinus. Karena Enneads-nya Plotinus dianggap secara keliru sebagai karya Aristoteles, maka al-Kindi menjadi bingung antara kedua sistem itu dan tidak dapat menyelaraskan keduanya. Al-Farabi lebih cenderung kepada filsafat tentang Yang Esa. Dia menyatukan kedua sistem itu menjadi Wujud Utama, Tuhan, Yang Esanya Al-Quran dan Yang Esanya Plotinus. Jalan menuju Yang Esa cenderung menjadi jalan mistis, sedang jalan menuju Wujud bersifat logika murni. Filsfat Al-Farabi berbaur dengan anggur mistisisme. Ibn Sina, yang mengikuti jalan yang telah dibuka oleh al-Farabi, memandang masalah itu, dari sudut pandang baru, yaitu dari perbedaan antara yang utama dan yang bergantung, tapi di masa tuanya dia berpikir tentang penyatuan Yang Esa dan Yang Maujud dengan semacam perbedaan ke arah mistisisme ma’rifat. Ibn Rusyd kembali kepada doktrin asli Aristoteles dan membebaskan dirinya dari beban Neo Platinisme. Wujud dan jalan untuk mencapainya adalah yang menjadi obyek dari risalah pendeknya Talkhis yang membahas perihal metafisik. Pada permulaan risalahnya dia mengatakan : “Tujuan kami adalah mengambil dari Methaphysics-nya Aristoteles ajaran-ajaran teoritisnya.
Sebagai pengikut setia Aristoteles, dia mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang Wujud. Metafisika adalah bagian dari ilmu-ilmu teoritis. Ia mempelajari Kemaujudan secara mutlak (bi-itlaq); prinsip-prinsip non bendawi hal-hal fisis yang dapat dirasakan seperti kesatuan, kemajemukan, kemampuan, aktualitas, dan sebagainya; sebab-sebab segala yang ada di samping Tuhan dan wujud-wujud suci. Ilmu fisika berhubungan dengan sebab-sebab dari wujud-wujud. Sedangkan metafisik mempelajari sebab-sebab tertinggi dari hal-hal tertentu.
Pokok soal metafisik itu ada tiga : studi mengenai (1) hal-hal yang dapat dirasa dan genus mereka, yaitu sepuluh kategori; (2) prinsip-prinsip substansi, wujud-wujud tersendiri dan bagaimana mereka berhubungan dengan Prinsip Pertama, yang merupakan Kesempurnaan Utama dan Sebab Utama; dan (3) ilmu-ilmu tertentu untuk membetulkan cara-cara berpikir yang menyesatkan. Jalslah bahwa bagian kedua dari pembagian ini adalah yang paling mendasar sifatnya, dan yang dua lainnya berkaitan dengannya. Karenanya ibn Rusyd memberikan definisi yang lebih, mengenai metafisik. “Metafisik adalah ilmu yang mempelajari keterhubungan hal-hal yang ada, mengenai tatanan hirarki sebab mereka sampai mencapai Sebab Utama.”
Karena itu, pengetahuan mengenai Wujud berupa apenyelidikan akan sebab dan prinsip-Nya. Pengetahuan yang benar sesuai dengan kemaujudan. Ibn Rusyd menghadapkan kemaujudan metal dengan kemaujudan eksternal dengan maksud jika yang ada di dalam pikiran kita sesuai dengan yang ada di luar, berarti Wujud itu benar. Maka, dua makna yang berbeda diterapkan pada Kemaujudan, yang satu bersifat epistemologis dan yang satunya lagi bersifat ontologis, mana di antara keduanya itu yang merupakan asal usul dari yang lainnya, esensi atau kemaujudan? Tidak ada kekacauan dalam sistem ibn Rusyd yang menyangkut masalah ini. Kemaujudan-kemaujudan lahiriah merupakan dasar bagi pengetahuan kita. Jika suatu wujud ada di dalam pikiran kita tanpa memiliki keberadaan sejati di luar, maka ia bukanlah suatu wujud, tapi hanya suatu kemaujudan seperti sebuah gagasan yang  tak masuk akal misalnya. Oleh karena itu, wujud dan eksistensi kemaujudan satu dan sama. Berkemaujudan berarti menjadi nyata. Kriteria Wujud yaitu eksistensinya yang nyata, entah dalam bentuk potensi atau tindakan. Materi utama memiliki wujud, meski ia tak pernah bermaujud tanpa bentuk. Kalau akal diikatkan dengan keberadaan-keberadaanb lahiriah, maka wujud yang ada di luar menjadi di dalam pikiran dalam bentuk konsep atau esensi. Maka keberadaan disyaratkan berada dalam wujud.
Keberadaan-keberadaan lahiriah disebut substansi. Substansi adalah yang pertama dari sepuluh kategori itu; yang lain adalah substansi-substansi sekunder. Substansi Utama memiliki substansialitas lebih banyak dibandingkan substansi sekunder. Kalau kita mengatakan, “Socrates itu seorang laki-laki”, ini berarti, bahwa Socrates itu lebih substansial dibandingkan manusia, kemanusiaan atau kelakian. Sementara itu, kelakian sama nyatanya dengan Socrates. Baik yang bersifat universal maupun yang tertentu merupakan substansi. Hal-hal tertensu memiliki kemaujudan yang dapat dicapai dengan indera, dan yang bersifat universal dapat dicapai dengan akal. Tapi substansi itu merupakan titik mula dalam seluruh metafisiknya ibn Rusyd.
Benda-benda fisis lainnya dianggap terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk. Ini tidak sepenuhnya benar, sebab sebuah benda tidak hanya terdiri atas materi saja atau bentuk saja; ia secara keseluruhan terdiri atas yang dua itu. Ia merupakan suatu gabungan. Keseluruhan ini merupakan tambahan bagi dua prinsip tentangn Wujud. Karenanya, prinsip-prinsip dan substansi-substansi yang dapat dirasa itu ada tiga. Benda merupakan suatu kesatuan yang memiliki banyak bagian. Yang kami maksud adalah keseluruhan yang terdiri atas materi dan bentuk.
Beberapa filosof, misalnya ibnu Sina, berpendapat bahwa setiap benda fisis memiliki dua bentuk, yaitu bentuk spesifik dan bentuk jasmaniah. Yang disebut terakhir itu, forma corporitas, terdiri atas tiga dimensi yang membuat benda dapat bergerak dalam ruang. Menurut ibn Sina, bentuk jasmani merupakan substansi dan penyebab kemaujudan pada wujud-wujud fisis. Ibn Rusyd menolak pandangan ini dan mengatakan bahwa ibn Sina sepenuhnya salah.mereka memiliki dua jenis kemaujudan, yang satu dapat dicapai dengan indera dan yang satunya lagi dapat dicapai dengan akal. Materi merupakan sebab jasmaniah mereka, sedangkan bentuk merupakan sebab kejelasan mereka.
Suatu benda dikenal lewat definisinya, yang menunjukkan esensinya; dan definisi terdiri atas bagian-bagian, yaitu genus dan diferensia. Genera, spesies dan diferensia bersifat unibversal. Nah, apakah yang esensi atau yang universal itu sama dengan benda-benda, ataukah mereka berbeda? Yang universal sama dengan yang tersendiri, karena mereka mendefinisikan esensi mereka. Mereka yang berpendapat bahwa yang universal itu memiliki kemaujudan terpisah dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan berada dalam pertentangan yang sangat sulit untuk dicari jalan keluarnya. Dalam pandangan mereka, pengetahuan manusia menjadi mungkin hanya bisa yang universal itu memiliki kemaujudan nyata tersendiri. Tapi, jelaslah bahwa bagi pengakalan esensi, tidak perlu kita kemukakan pendapat mengenai keterpisahan dan yang universal itu. Mereka bermaujud hanya di dalam pikiran kita sebagai konsep-konsep yang tidak bermateri. Karena ajaran ini merupakan suatu konseptualisme, yang bertentangan dengan realisme dan nomalisme. Pikiran manusia menepati tempat terhormat di dalam alam dan memainkan peran aktif dalam mencari pengetahuan.
Terlebih, yang bersifat universal itu tidak kekal dan tidak tetap sebagaimana diyakini oleh idealisme Platonis. Memang sepanjang menyangkut esensi, yang bersifat universal itu kekal, sebab esensi tidak dapat rusak. Tapi kalau menyangkut individu yang pada dasarnya dapat rusak, yang bersifat universal dapat rusak dan dapat berubah sepanjang ia masih menjadi bagian dari gabungan materi dan bentuk. Substansi pertama adalah ya “ini”.
Bagaimana yang bersifat universal itu dapat kekal dan sekaligus dapat rusak? Atau, seperti dikemukakan ileh ibn Rusyd, “Bagaimana wujud-wujud yang kekal dapat menjadi prinsip-prinsip dari benda-benda yang dapat rusak?” Kesulitan ini dipecahkan dengan menunjuk kepada potensi dan aktualitas. Skala wujud tersusun dari potensi murni sampai aktualitas murni. Materi utama adalah potensi murni; ia hanya dapat bermaujud dalam suatu wujud yang berpadu dengan bentuk. Keberadaan-keberadaan terendah merupakan empat unsur yang membentuk hal-hal yang dapat dirasa. Potensi (dalam bahasa Yunani dinamika) dapat dipahamis ebagai kemungkinan atau sifat. Potensi juga dapat dianggap sebagai lawan dari aktualitas. Nah, substansi pertama dapat bermaujud dalam aktualitas atau dalam potensi. Materi yang melekat pada substansi adalah potensialitasnya. Potensialitas ini berbeda-beda tingkatnya tergantung dekat dan jauhnya. Manusia, misalnya, secara potensial pertama adalah yang dekat dan potensi yang berikutnya adalah yang jauh.
Empat syarat harus dipenuhi oleh suatu benda yang akan bermaujud : (1) subyek yang paling dekat, (2) sifatnya, (3) sebab pendorongnya, (4) ketiadaan sebab-sebab yang mencegahnya. Misal, seorang yang sakit. Tidak semua orang sakit berkemungkinan bisa disembuhkan, dan orang yang mendapatkan kemungkina  itu harus juga mendapatkan sifatnya. Selain dua syarat ini, dia harus memiliki sebab efisien yang membawanya dari sakit menuju sehat asalkan tidak ada  pencegah-pencegah dari luar. Masalah obyek-obyek alamiah itu sama dengan masalah ibyek-obyek tiruan.
Akibatnya, selalu ada sebab penggerak yang membuat suatu beda bermaujud dalam aktualitas. Kadang, ada lebih dari satu sebab penggerak. Misal, roti memiliki potensi untuk berubah menjadi daging dan darah, dan sebagaimana sebab penggerak itu, ia memiliki mulut, perut, hati dan sebagainya. Sebab yang jauh adalah potensi pada unsur untuk berubah menjadi daging. Dengan sebab-sebab ini, roti membutuhkan suatu sebab yang sangat jauh, yaitu benda-benda angkasa.
Karena benda-benda fisik itu terdiri atas materi dan bentuk, maka potensi selalu diakibatkan oleh adanya materi, sedang aktualitas selalu diakibatkan oleh adanya bentuk. Bentuk, yang merupakan tindakan, ada sebelum adanya materi pada setiap hal, sebab bentuk juga merupakan sebab efisien dan sebab akhir. Sebab akhir adalah sebab dari segala sebab, karena sebab-sebab yang lain itu ada karena sebab akhir tersebut. Selanjutnya, potensi tidak mendahului tindakan, sebab potensi tidak pernah bisa dipisahkan dari tindakan. Materi dan bentuk sama bermaujud dalam suatu wujud. Sebab penggerak suatu wujud fisik bermaujud sebelum wujud itu sendiri. Harus ada perbedaan yang tegas antara penggerak dan sebab efesien. Sebab peneggerak hanya berlaku untuk mengubah tempat, yaitu gerak penafsiran. Semua perubahan yang lain, terutama perluasan dan kerusakan, disebabkan oleh sebab-sebab efisien. Benda-benda angkasa digerakkan oleh sebab penggerak, bukan sebab efisien, sebab gerak mereka terwujud di angkasa dan mereka tidak berubah. Mereka merupakan hal-hal yang berada di antara tindakan murni dan hal-hal yang ada, yang kadang bermujud dalam potensi dan kadang bermujud dalam tindakan. Kesamaan mereka dengan hal-hal yang ada dalam tindakan terletak pada kekekalan  dan pada ketidak rusakan mereka. Kesamaan mereka dengan benda-benda yang bermaujud dalam potensi dan muncul dalam aktualitas, terletak pada perubahan tempat mereka, gerak melingkar mereka dan udara. Ibn Rusyd mengakhiri pembahasan tentang hal ini dengan mengatakan : “Pikirkanlah bagaimana takdir Tuhan itu mengatur dan menyatukan kedua jenis keberadaan itu. Di antara tindakan murni dan potensi murni, takdir menepatkan jenis potensi ini, yaitu potensi di udara, yang lewat potensi tersebut kemaujudan-kemaujudan kekal dan yang dapat rusak dihubungkan.
Selanjutnya, tindakan mendahuli potensi dalam hal kehormatan dan kesempurnaan, sebab kejahatan merupakan kecacatan atau salah satu dari dua pertentangan itu, seperti penyakit yang meski bermaujud, dianggap buruk karena ketidaksehatan; dan karena potensi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu dari dua pertentangan itu, maka ia tidak sepenuhnya baik. Tindakan murni merupakan kebaikan mutlak. Oleh sebab itu, semakin dekat hal-hal itu dengan Prinsip Pertama yang merupakan tindakan murni, semakin baiklah mereka.  Benda-benda angkasa mencapai prinsip-prinsip mereka dari Prinsip Pertama itu, yaitu Tuhan. Begitu pula, segala yang di atas bumi ini, yang baik merupakan hasil dari kehendak dan rancangan-Nya. Sedangkan yang jahat, ia bermujud dikarenakan oleh materi. Dunia ini, sebagaimana adanya, adalah dunia yang paling baik. Dunia ini dapat tidak bermaujud sama sekali, atau bermaujud, karena memiliki beberapa keburukan demi kebaikan yang lebih besar,
Waktu merupakan rangkaian ketentuan yang kekal yang tunduk kepada suatu gerak kekal, yang terus menerus dan tunggal, karena yang tunggal itu terus menerus ada. Jelaslah, bahwa ibn Rusyd menegaskan kekekalan dunia ini atas dasar anggapan bahwa gerakan dan waktu itu kekal. Kekekalan dunia ini merupakan pembahasan pertama dan paling panjang di dalam Thahafut-nya al-Ghazali. Seluruh pembahasan itu, seperti telah disebutkan di atas, hanya bernilai sejarah; karena itu, kita tidak perlu memikirkannya.
Penggerak Pertama menggerakkan gerak pertama dengan hasrat, bukan dengan penggambaran. Dunia itu hidup, yaitu ia memiliki jiwa. Ia juga memiliki intelegensi. Benda-benda angkasa itu digerakkan bukan lewat perasaan dan penggambaran, sebagaimana hewan, tapi lewat konsepsi intelegensi. (Intelegensi disebutkan sepanjang menyangkut benda-benda angkasa; kalau menyangkut manusia disebut akal). Benda-benda angaksa tidak memiliki perasaan, karena perasaan ada pada hewan demi kelestarian hidup mereka. Penggambaran ada pada hewan demi tujuan yang sama. Benda-benda angkasa tidak membutuhkan kelestarian hidup, sebab mereka kekal. Gerakan mereka merupakan hasil dari hasrat (syauq) melalui pengakalan. Penggerak pertama, cakrawala digerakkan oleh suatu hasrat yang paling mulia – hasrat akan Kebaikan Utama. Oleh karena itu, penggerak-penggerak benda-benda angkasa merupakan intelegensi yang mereka sendiri tidak bergerak. Ada tiga puluh delapan penggerak dan sembilan lingkungan.
Intelegensi kesepuluh, atau Intelegensi Agens, adalah penggerak terakhir. Ia menggerakkan lingkungan bulan. Ia merupakan sebab dari gerak benda-benda lingkungan bulan. Intelegensi membentuk unsur-unsur dan hal-hal yang ada lainnya.
Manusia adalah mahluk paling dekat dengan benda-benda angkasa, hal ini dikarenakan oleh akal. Dia berada di antara yang kekal dan yang fana. Lewat intelegensi agen, dia memperoleh bentuk-bentuk yang meruapakan hasil dari intelegensi agen itu. Dengan begitu, hubungan dengan intelegansi agen dapat diwujudkan. Dan dalam lingkungan inilah, terletak kebahagiaan manusia.
************************************************************ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar