SEJAK TAHUN 1046 MASEHI - RUJUKAN TASAWUF SAMPAI SEKARANG
“RISALATUL
QUSYAIRIYAH”
(INDUK ILMU TASAWUF)
Penerbitla s : RISALAH
GUSTI - SURABAYA
Tahun : April 1997
Alih Bahasa : Mohammad Luqman Hakiem
Penyadur : Pujo Prayitno
BAB III.
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN
(MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
DATAR ISI
1.
TOBAT
2.
MUJAHADAH
3.
KHALWAT DAN ‘UZLAH
4.
TAQWA
5.
WARA’
6.
ZUHUD
7.
DIAM
8.
KHAUF
9.
RAJA’
10.
SEDIH
11.
LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT
12.
KHUSYU’ DAN TAWADHU’
13.
MELAWAN NAFSU
14.
DENGKI
15.
PERGUNJINGAN
16.
QANA’AH
17.
TAWAKKAL
18.
SYUKUR
19.
YAKIN
20.
SABAR
21.
MURAQABAH
22.
RIDHA
23.
UBUDIYAH
24.
IBADAT
25.
ISTIQAMAH
26.
IKHLAS
27.
KEJUJURAN
28.
MALU
1.
T O B A T
Edit : Pujo Prayitno
“Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712
M) dari suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah
dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah), bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak
berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat
pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda
bertobat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang
bertobat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid II, hlm. 8050,
mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman.
Menurut as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, tobat merupakan tingkat pertama di
antara tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama di
antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).
Makna tobat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia
bertobat” beraarti “Ia kembali”. Jadi tobat adalah kembali dari sesuatu yang
dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda
“Menyesali kesalahan merupakan sutu tobat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan :
“Terdapat tiga syarat tobat yang musti dipenuhi agar tobat itu sah : Menyesali
pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung penyelewengan;
dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang
sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya tobat itu,
sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji
adalah Arafah”, maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya
tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di Arafah, melainkan
bahwa bagian terbesar unsurnya adalah wukuf di Arafah. Demikian pulalah maksud
dari pesan yang disampaikan Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan
merupakan suatu tobat.” – bahwa bagian utama tobat adalah menyesali keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah
cukup untuk memenuhi persyaratan tobat.” Demikian kata mereka yang telah
melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua
persyaratan yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertobat dari suatu
tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya.
Inilah makna tobat secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa tobat
mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab langsung tobat
yang pertama ialah kebangunan hati dari kealpaan, menyadari bahwa hamba
tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini dengan batuan Allah swt.
terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati,
lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah
mengingatkan pada kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal
daging di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad akan
bagus, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu
adalah hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya,
biscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang dilakukannya, dan
keinginan untuk bertobat akan datang ke lubuk hatinya, bersamaan dengan
tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah
swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam menempuh
jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertobat pertama adalah, memisahkan diri dari
orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk mengingkari
tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini
tidak akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat, secara terus
menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam
hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan raja’. Selanjutnya,
tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul kebandelan dalam hati akan
mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali
diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera
meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa
serupa di masa mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan tujuan yang
selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman
yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong
untuk melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin seringkali
terjadi, kita harus tetap berrharap orang seperti itu akan bertobat lagi karena
: “Bagi tiap-tiap masa ada ketentuannya.”
(Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali
mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya membekas di kalbu.
Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu pun lenyap. Aku menghadiri majelis
untuk kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu hingga di
jalan aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya untuk yang ketiga
kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di rumah. Selnjutnya kuhancurkan
segala peralatan yang mengarah pada dosa dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu,
kisah ini kusampaikan kepada Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas
kisah ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor burung gbangau : “Dengan burung
pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah itu dan burung bangau adalah Abu
Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu
perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu meninggalkanku,
dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya.”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya,
seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan
di dalam hatinya, hingga membuatnya bertobat. Selanjutnya ia mendapat cobaan.
Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada
suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera berpaling dan
mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya
berkata : “Wahai anakku, jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu,
kecuali ia seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membntumu
dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr bertobat dan kembali
sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang
murid bertobat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku
bertobat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam
jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu,
kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau
kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si pemuda itu pun bertobat,
kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri
dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada
perbuatan odsa, maka pada saat itulah tobat sejati menyeleusup ke lubuk hati.
Ia menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi
tindakan-tindakan tercela, sehingga tobatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan
diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-orang yang jahat
lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan malam dalam keadaan sengsara, dan
bertobat dalam situasi bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan
linangan air mata, dan mengobati hati dengan tobatnya. Ia dikenal di antara
sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan
kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertobatana seseorang adalah
menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan nahwa yang
dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat untuk
meninggalkan klaim yang bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan
apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim mereka, dan
kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran, disamping itu juga mendoakan
mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tobat dibagi menjadi tiga
tahap, tahap awal adalah tobat (tawbah), tahap tengah adalah kembali (inabah)
dan ketiga awbah.” Ia menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di
antara keduanya.
Barangsiapa bertobat karena takut siksa, maka ia
tergolong orang yang tobat. Siapa pun yang bertobat karena ingin mendapatkan
pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa
pun yang bertobat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan akrena ingin
mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, obat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat
(kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat
(kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Tobat itu mempunyai tiga makna.
Pertama, menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk tidak kembali pada
apa yang telah dilarang Allah swt.; dan ketiga adalah menyelesaikan/membela
orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Tobat
adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan
mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah terjadi atas
dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya
tentang tobat kepadaku. Kukatakan kepadanya. “Tobat adalah bahwa engkau tidak
melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan mengatakan, ‘Tobat
adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab,
“Karena apabila aku berada dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke
kondisi dingin, maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu
sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang
memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru, yang terus
menerus berubah. Al-Junayd merujuk tobatnya orang-orang yang telah mencapai
kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah
Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr)
kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Tobat kalangan
awam adalah tobat dari dosa, dan tobat kaum kahwash adalah tobat dari
kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Tobat adalah bahwa
engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan :
“Betapa besar perbedaan antara orang yang bertobat dari dosa, orang yang
bertobat dari kealpaan, dan orang yang bertobat dari kesadaran akan perbuatan
baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Tobat sejati adalah tobat yang
tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan
mengatakan, “Aku telah bertobat” dan aku tidak kembali kepada-Mu hanya karena sesuatu
yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak aka
berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan
dengan tidak disertai pencabutan dosa adalah tobat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal tobat, ia menjawab :
“Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika
mengingatnya, itulah tobat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi tobat adalah bahwa bumi
ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau tidak menjumpai
tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah
swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit
(pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat
lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima
tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat
dua jenis tobat : Inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi).
Dalam inabah sang hamba bertobat karena takut akan hukuman; dalam istijabah ia
bertobat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertobat membenci
dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana dosa-dosa dikejar.”
Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh
Allah karena tobat.” Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa
dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas tobatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Tobat para pendusta
berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya pada
Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman
kepada Adam : “Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan
penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan
sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku
akan membangkitkan orang-orang yang bertobat dari kubur-kubur mereka dalam
keadaan gembira; doa mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah
sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku
bertobat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi
apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertobat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang membiarkan dirinya larut
dalam kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri sendiri.
Tetapi apabila ia bertobat, niscaya penerimaan tobatnya oleh Tuhan diragukan,
terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi penerimaan
itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa sampai pada satu
titik dimana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam
sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah melakukan
suatu tindakan yang mengharuskan tobat, ialah bertobat secara sungguh-sungguh,
dengan menolak secara gigih perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana
tertuang dalam ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang
ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus
menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh
karena itu aku memohon ampunan Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr.
Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja
sesudah bertobat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh penyelewengan sebelum
bertobat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya :
“Kepada-Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya jika mereka
bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa, seorang
perdana Menteri, mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan
orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia? Siapakah ia?
Seorang wanita yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan
mengatakan , ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari
perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana Anda
lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia kembali ke
rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri,
lalu pergi ke Mekkah, dan menetplah ia dikota suci itu.
2.
MUJAHADAH
Edit : Pujo Prayitno
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs.
Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik
bin Sanan al-Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74 H/613 -693 M), seorang sahabat
Rasulullah saw. Ikut berperang duabelas kali, dan meriwayatkan 1170 hadis.
Meninggal di Madinah). Bhawa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad
terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada
seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Mka
air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa
menghiasai lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia
batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah
dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : “Adalah kesalahan
besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di
jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa
bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang
tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan
diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya.” Dikatakannnya pula, “Gerak adalah suatu berkat.” Dan katanya kemudian,
“Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah-barakah batin.”
As- Sary berkata : “Wahai kaum muda, tekunlah kalian,
sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan
lengah seperti diriku.” Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para
pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali
amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Seseorang
akan baru mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal : (1) Menutup
pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan; (2) Menutup pintu
keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati; (3) Menutup pintu istirahat dan
membuka pintu perjuangan; (4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga; (5)
Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan; (6). Menutup pintu
harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata : “Barangsiapa menghargai hawa
nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan : “Apabila seorang Sufi –
sesudah lima hari kelaparan – berkata : “Aku lapar.” Kirimlah ia ke pasar untuk
mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari
kebaisaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua sifat yang menghalangi
dalam mencapai kebaikan; keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan
pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus
mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras
dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa
nafsunya. Manakala Jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan
keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang
muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang
nyalanya telah ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan
dalam anggur kecongkakan, niscaya ia
akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasai
perbuatan-perbuatannya kepada siapapun yang melihatnya. Orang harus
memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman
kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan hargadirinya yang rendah,
asal-usulnya yang hina dan amal-amalnya yang emnijikan. Perjuangan kaum awam
berupa pelaksanaan tindakan-tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan
keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan
jaga, adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat
padanya, sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan
dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang
bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu
alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah apabila
pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku
berangkat haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa
segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini
kusadari saat ibu memintaku menarikan sguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal
ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang
kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam hajiku selama ini tidak
lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa,
karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku
sebagai suatu yang memberatkan dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya
mengenai keadaan ruhaninya. Ia menjawab : “Semasa Muda, aku berpikir bahwa
keadaan-keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpai
saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah
berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan
dirinya, penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba,
maka Allah menyembunyikan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu
sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas menegaskan : “Aku tidak menghadapi
seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan
menungganginya.”
Muhammad bin Fadhl mengatakan : “Istirahat total adalah
kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal :
Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang
merusak.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah kelemahan watak itu?” Ia
menjawab. “Mengkonsumsi hal-hal-yang haram.” Lalu saya tanyakan : “Apakah
keterpakuan pada kebiasaan itu?” Ia berkata : “Memandang dan mendengarkan
segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya bertanya :
“Apakah mempertahankan teman yang
merusak itu? Dijawabnya : “Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu
dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy mengatakan : “Penjara
adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai
pada kedamaian.” Ia juga berkata : “Aku mendengar Muhammad al-Farra’
berkisah bahwa Abul Husain al-Warraq mengatakan : “Ketika kami memulai menempuh
jalan-Nya lewat Tasawuf di Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek terbaik yang kami
lakukan adalah bahwa kami mempriorotaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak
pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah
menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu
memaffkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami
memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami
untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata : “Nafsu, seluruhnya gelap gulita,
peliatanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak
disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Ketika
mengatakan, “Pelita adalah batinnya.” Dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya
dan Allah swt. yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui
bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan
dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas
dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam
melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan
memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya.
Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan “Orang yang tidak mempunyai sirr
akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata : “Selama orang melihat setiap sesuatu
baik dalam jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya
orang yang berani mendakwa dirinya terus menerus selalu berbuat salahlah yang
akan sanggup melihat kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan : “Tidak
ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak
mengetahui kekurangan dirinya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan
cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata : “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun
kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku
berharap diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar : “Waspadalah
terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca-pembaca
Al-Qur’an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang mendekati
penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : Kerusakan merasuki diri
manusia dikarenakan enam hal (1) Mereka memliki niat yang lemah dalam
melaksanakan amal untuk akhirat; (2) Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu; (3) Mereka
tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelag ajal; (4)
Mereka lebih suka menyenagkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta; (5)
Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup
kepada Sunnah Nabi saw. (6) Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa
kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya.
3.
KHALWAT DAN ‘UZLAH
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin
Shakhr ad-Dausy (21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk
Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374
hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari
penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa bila ia
mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam peperangan, ia
memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan jihad; atau
seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak gunung atau
di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan
beribadat kepada Tuhan sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan
sesama manusia kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat
orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang
ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi
murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir
kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap seorang
yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari manusia adalah meyakini
bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya (dengan tindakannya
memisahkan diri dari mereka), bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan
mereka. Sikap pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya
sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik
dari masyarakat. Orang yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah
hati, dan orang yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain
adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya :
“Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku
adalah seekor anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari
mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara
syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian
orang tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?”
Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya
menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor,
kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya
bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus
mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak
menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan yang
dapat diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya
berada di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi
sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri
lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang
‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama
makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai
pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang seperti mereka
makan. Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya mendengar ia
berkata : “Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari
jarak yang jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa
bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan. Berpisahlah
dari diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti mencapai tujuan
Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi,
lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab :
“Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi
seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya
supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan,
terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan
terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak demikian,
maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke dalam cobaan atau
petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat
sangat dekat pada ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu
akan pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia dan
akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang terjelek
dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab
: “’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin
Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari
dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan
mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan
memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali
menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan
sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda
dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi munajat.
Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti
orang yang menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah
diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul asy-Syaami
mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama manusia ada baiknya, tetapi ada rasa
aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat
orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak,
wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda
kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab-akrab
dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa
bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa
menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik
Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah
Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa
seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya
sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang
banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah
yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang
sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti
kita, bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian :
“Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka
Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya :
“Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku!
Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain.
Seseorang yang belum menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi
mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah Anda
temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia
ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau
sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda
merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas
pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya itu, para Sufi
membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Suf ditanya Dzun Nuun
al-Mishry : “Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda
sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul
Mubarrak : “Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengans
sesama manusia sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan
hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan,
Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu
melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti
telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”
4.
T A Q W A
Edit : Pujo Prayitno
Alah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Qs. Al-Hujarat
:13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang
menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah saya!.” Beliau
menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan
kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus
melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau
harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r.
Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada
rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap orang yang
takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya
adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan ketundukan
kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan
hal-hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama
(yang menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing
bagian tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir menganei
firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus
dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus
bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada
penolong sejati selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain
Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak
satu pun amal yang langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi
secara adil sesuai dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan
takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan
taqwa dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan
memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba
waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan
takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh
dalam taqwa akan merindukan pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman
: “Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.”
(Qs. Al-An’am :32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari
dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu Abdullah
ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu
yang menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa
kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya dengan
sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat
keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi
lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan aspek batinnya
adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap
yang baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa diri dengan
apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak
sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang
membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal
hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang
menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang
yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat puluh
kaleng mentega. Ketika salah seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus
dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang darinya
tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak tau! Selanjutnya Ibnu
Sirin memutuskan mengosongkan semua guci dengan menuang seluruh mentega ke atas
tanah. Contoh orang saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia
membeli kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga,
dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut.
Maka, ia kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah
kerindangan pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan,
“sebuah hadis menyatakan :
“Setia hutang yang
pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun
as-Suyuti menganggap hadis ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama
seorang sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di dinding pagar
kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di dinding
orang.!” Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid
menjawab : “Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia
berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid menjawab :
“Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita menutupi dengan jubah
ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya hingga satu sisi jubahnya
mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan
menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa tongkat
seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di tanah, dan
menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu
mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta
maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu disebebkan
oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa
membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim
dingin. Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia
memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada
Allah swt.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan :
“Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat
membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih dahulu
kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi
waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah malam
sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada sahabatnya :
“Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin
Adham.” Malaikat pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah
diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua bertanya : “Mengapa?
Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma
bercampur menjadi satu dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan
kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah,
membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir kurma ke dalam
kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan mengisi malam hariku di
Masjid Kubah Batu Karang. Ketika
sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun dari langit, dan
malaikat yang satu bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di
sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata
lagi : “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh
Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek;
bagi kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash)
adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah menghindari
ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan amal
kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali
kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a.
berkata : “Kaum termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling
mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan
:
“Apabila seseorang menatap kecantikan
seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka
Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh
hati orang yang melakukannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy
dan Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan selamat kecuali bila
berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt. berfirman : “Dan terhadap
tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi
sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit
(pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat
lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima
tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena
kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula)
mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan
tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-orang yang memenuhi
janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat
kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt. berfirman :
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.”
(Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka
ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs.
Al-Anbiya :101).
Diaktakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan
pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman : “Dan kami
telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).
5.
W A R A ‘
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan oleh bu Dzar al-Ghiffary, (Abu Dzar adalah Jundub bin Junadah al-Ghiffary (wafat 23
H/652 M.) dari bagi Ghiffar, seorang sahabt yang telah dulu masuk Islam. Beliau
sangat jujur dan memiliki keteladanan. Tinggal di Damaskus), bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Sebagian dari kebaikan tindakan keIslaman seseorang
adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik Bin
Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan : “Wara’ adalah
meninggalkan apa pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin Adham memberika
penjelasan : “Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala
sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami dahulu selalu
meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan,
karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda :
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi orang yang
paling taat beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan
Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang yang wara’ di
zaman mereka : Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan
Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara’. Dan apabia usaha untuk mendapatkan
sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal
mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah sikap menjauhi
segala sesuatu selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’
dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari
kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap
mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’ adalah titik
tolak zuhud, sebagaimana sikap puas
terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’ adalah
kemudahan penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah berpangku pada
batas ilmu tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil milik Abdullah bin
Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan
seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tiga belas dinar. Ketika
seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan : Nama Allah swt.
tertera pada uang itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua jenis wara’ :
Wara’ dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada
satu tindakan pun selain karena Allah swt. dan wara’ dalam pengertian batin,
yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati
Anda kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak memeriksa dan meahami
seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas agama jeli, akan
memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti keluar dari
segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat
sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda,
tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari
pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk
dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’ adalah khalwat, dan
menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda jadikan
harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal
dan memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas atap rumha, ketika
obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami. Apakah diperbolehkan
bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya : “Siapakah Anda,
(semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya adalah saudara
wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau berkata, “Wara’ yang jujur muncul
dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan
melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang Syeikh
sedan duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu aku
bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan
Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab, ‘Wara’ para syeikh
ini demikian kecil sehingga kami memandang kecil mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama
empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar
dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, ‘Wahai penduduk
Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa
Anda tidak minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai timba, aku akan
meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang
syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan
tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan
dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi
tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha menggerakkannya hingga tiga kali.
Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan : “Tangannya tidak pernah
mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang Syeikh ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang
murni, ia menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat
kepada Allah swt. Dan Halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di
dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang
keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan berceramah di hadapan
sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya : “Siapakah yang
menguasai agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.” Hasan bertanya lagi :
“Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab : “Kesereakahan.” Maka Hasan
mengaguminya, seraya berkata : “Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih
baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis
Allah swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak
menyertai seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan
baginya makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang
dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat satu-satunya adalah aroma
keharumannya, dan aku tiak ingin hanya diriku sendiri yang mencium aromanya,
sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata :
“Abu Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang
sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih memadamkan
lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan.
“Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli
warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh
tahun. Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus
untuknya. Ketika ia selessai memakannya, aku mengambil sebongkah lempung
dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum
meminta haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di
sebuah rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat
diperoleh dari dinign rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya
adalah ruamh sewa, akan tetapi ia bependapat bahwa hal itu tidaklah penting.
Karenanya, ia pun menegeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia
mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu akan melihat betapa
lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang
kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di
Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut mengeluarkan
dua ember, sembari mengatakan “Ambillah, yang mana ember milik Anda.?” Ahmad
menjawab : “Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua meber maupun
uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri tahu, “Inilah ember
Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.” Ahmad menyahut : “Saya tidak akan
mengambilnya.” Lalu pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si
penjual bahan makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal
berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat dzuhur. Kuda tersebut
merumput di ladang milik Kepala Desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda
tersebut dengan tidak mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika
pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena dan lupa
mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas
dari tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk
memungut cambuk tersebut. Seseoang berkomentar, “Akan lebih mudah sandainya
Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan
kemudain mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu untuk pergi
ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang
belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan,
seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu menumbuhkan
penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat
lampu sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka, Rabi’ah pun
menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai
sepasang sayap yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia ditanya
: “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid
al-Hasan, ia bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?” Mereka
menjawab : “Wara”, IA berkata : “Tiada sesuatu yag paling mudah bagiku selain
ini (wara’). Mereka bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan
menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama
empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau
makan-makanan berlemak atau minum air dingin selama empat puluh tahun.
Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya
tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin
Abi Sinan : “Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang
pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Badul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah
tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan beribadah secara
khusyu’ selama empat puluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang
gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya
tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya?” Dijawabnya : “Baik, kecuali
bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga, disebabkan oleh debu pada timbangan
gandum yang dengannya aku menimbang empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam,
seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali dan
Isa bertanya kepadanya : “Siapakah Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang
kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang,
aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku dianggap
bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika
Abbas bin la-Muhtadi berlalu didhadapannya. IA bertanya : “Wahai Abu Sa’id,
apakah anda tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq,
minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara
tentang wara’.
6.
ZUHUD
Edit : Pujo Prayitno
Nabi saw. bersabda :
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah
dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena
ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-Takhrij oleh Abu Nu’im dan
Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pada umumnya
banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang
mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara
yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba-Nya
berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada-Nya atas berkat itu,
maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk
mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud terhadap perkara
yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal
adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar
terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah
dianugerahkan Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha
menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Alalh swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap
zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan
tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila seorang hamba
membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar, dan tiak
mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya
dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebh baik baginya bersikap zuhud
terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar : “Seyogyanya bagi seorang
hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya,
dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya harta yang halal, ia
harus bersyukur kepada-Nya. Apabila Allah swt menentukan dirinya berada pada
batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan,
karena kesabaran merupakan suatu yang paling utama bagi pemilik harta yang
halal.”
Sofyan ats.Tsauri berkata : “Zuhud terhadap dunia adalah
membtasai keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau
mengenakan jubah dari kain kasar.
Saru as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT. menjauhkan dunia
dari para auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci,
dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai-Nya lantaran Dia tidak
memperuntukkannya bagi merak.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam
firman-Nya, (“Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(Qs. Al-Hadid :23). Sebab sang hamba tidak gembira atas apa yang dimilikinya di
dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya Anda
meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Zuhud adaah
hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata “Aku
akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud menyebabkan
kedermawwanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan pada
semangat kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah sikap Anda
memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi
mudah bagi diri Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud adalah adanya sikap
tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula : “Zuhud adalah
ketidak senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud selalu asing di
dunia dan seorang ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud,
dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.”
Oleh sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan
jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah kekosongan hati
dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud. Sufyan
ats-Tsaury; Ahmad bin Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan bahwa
zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan
sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor penyebab
zuhud, sekaligus sebgai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang
mencakup disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah
tawakkal kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan
demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan zuhud, lantaran si
hamba tidak mampu merelakan kecuali dengan tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud,
adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab,
“Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan
baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan
kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan
dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud
adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud
seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa diserta
keterikatan, berbicara tanpa disetai ambisi, dan kemudian tanpa adanya
kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam
perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena tiada pula
zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid
sesuatu lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu
kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang ia inginkan, Dia memberi hamba
yang mustqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang
mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman
minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda
membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan
aya dapat menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab : “Ketika Anda
menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap
memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka
berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs. Al-Hasyr
: 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang
oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang
Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat
manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa
hal-hal ini tidak terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah
saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam
majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab : “Ketika Anda tiba pada suatu
keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga
sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum tiga hari
tidak merasakan lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di
atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa
diri Anda tidak akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud
adalah seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa
berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga
menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan
kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari
dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksanaan
di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>”
Ia menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan : “Ada tiga macam zuhud : Bersumpah menjauhi
perkara yang haram adalah zuhud kaum awam; Bersumpah menjauhi sikap
berlebih-lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (Khawash),
dan bersumpah menjauhi apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah
zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi
ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi : “Karena aku
menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin
wanita. Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang
bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak-acak rambutnya, dan
membakar gaunnya. Kaum ‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt. tidak
sedikit pun menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud
dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai zuhud terhadap
masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan
berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat-nikmat
sementara, demi nikmat-nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara
darah kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi
dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan
dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan
seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai
kuncinya. Dia amenempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan menjadikan
zuhud sebagai kuncinya.
7.
D I A M
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya :
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab : “Jagalah
lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.”
(Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman
dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya
apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di
dalamnya hukum syara’, perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi
di dalam sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para tokoh.
Begitu pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri
majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan
apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204). Dan
Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka
tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu
(untuk mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman : “...... dan
merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak
mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam,
menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut
kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan
baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat
kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan
kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kuucurahkan
padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini
:
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang
tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa
maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati
orang gyang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang
orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat
keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus pebuatannya
secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan
oleh-Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang
disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu
tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan
maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak
dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?”
Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah
:109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka
mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya
nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk
meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya.
Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia.
Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah
satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y
berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutukan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah
seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan
komentar berkenan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya
menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia
lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila
berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda ,
berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak
akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran
seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan,
meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi
meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan
diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri,
dijawabnya : “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa
lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara
hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan
bicaranya, maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara
berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu,
mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia,
siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu orang yang
paling mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang gpatut
diikt berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu
bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua
bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq
r.a. adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah
pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di
Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka
syria dan Irak), biasa engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan
agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung.
Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau berbicara, dan
bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam, sehingga
engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat
menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran
murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan
mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman
mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang
seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih
layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya
bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak
menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah
sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari
al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan
dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia diam.
Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik
dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany
berkata : “Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku
tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam
karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali
seseorang gyang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah
swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari
mendengar pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar
yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah
menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang adalah karena ada jin yang
hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari
kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku
jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah
suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada
sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat
dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di
tempatmu!.”
Sala seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun
dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih
banyak dari berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia
duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu
berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini
malah makan daging lebih dahulu.” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah
swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging
saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.”
(Qs. Al-Hujurat :12).
Salah seorang Sufi berkata : “Diam
adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana
kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam
menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada
yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, akan
menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi
seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si pembicara mengetahui
ada efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin
selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif
dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali
usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum
awam dengan lidahnya; diam bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan
hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran
menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama
tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku.
Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak mendengar
kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda
didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata hati Anda. Jika
Anda telah menjadi batang tubuh yang
kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata-kata hawa nafsu Anda. Dan
bahkan jika Anada berjuang dengan susah payah, jiwa Anda masih belum akan
berbicara dengan Anda, sebab ia adalah tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju
kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan
binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa
memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi
sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”
8.
KHAUF
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa
takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena
takut kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu seorang Ibu.
Dan debu dari jalan Allah tidak akan pernah bercampur dengan asap api neraka
pada batang hidung seorang hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang
berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut
jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya
terjadi di masa depan. Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan
itu tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada hukum-Nya,
“Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran
:175). Dia juga berfirman : “Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>”
(Qs. An-Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka yang
berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki
berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya.
Allah swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang
beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah adalah salah satu syarat
pengetahuan, karena Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada
Allahdi antara hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28).
Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan ma’rifat, sebab Allah
swt. berfirman : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs.
Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt.
yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar dari ambang
pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut,
yaitu gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar mencari
perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi orang yang merasa takut
(khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki
arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan jabadza. Jika
seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik kepada hasratnya sendiri,
seperti halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri.
Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada kebenaran
hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan
takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah
bahwa Anda berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa)
dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah
yang takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah
swt) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah
melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika
Anda termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat mereka, sebab
hanya orang-orang yang takut saja yang melihat orang yang takut.” Hanya
Ibu yang kehilangan anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang
berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak
Adam. Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya pada kemiskinan,
niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang
terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada
sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah swt. akan lari
kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya –
ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang hamba?” Ia menjawab :
“Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan sakit dan menghindari dari
segala sesuatu yang dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak
akan merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan sampai ia
melewati jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt.
adalah raja yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi
oleh seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah
swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi maknanya ialah
bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu saat yang akan datang, sementara
“anak-anak waktu kini” tidak punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan
orang saleh adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah
orang yang lari dari Tuhannya kepada
Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah
kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab :
“Takut adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah
meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’
lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan
selama tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah hilang dari hati
mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada
perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut adalah membatasi
keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat
Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat Allah swt. adalah
suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku
pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika melihatku, air matanya
amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata kepadanya : “Semoga Allah
mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda
pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik
kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr
ash-Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita paling
pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan paling dicintainya.
Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan hadis, dibanding istri-istri
Rusalullah yang lain). Yang bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat)
‘dan orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa takut (karena
mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-Mu’minun : 60-1), apakah mereka
itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum-minuman keras?
Beliau menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat
dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak
diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat
berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang
menimbulkan rasa takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan
muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap
dalam hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia
akan terusir,” Dikatakan : “Takut adalah supramasi ilmu sesuai dengan
hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan
Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu
tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila harapan telah
melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian ia katakan : “Wahai Ahmad
(muridnya), mereka naik melalui takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan
jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’)
adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun
berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka
harapan dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu
sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan
sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain Dia, maka semua
pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri
hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah
keragguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti
dan ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum
pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah,
Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi :103-4).
Maka, betapa
banyak orang yang akan merasa senang dengan keadaan mereka dan mereka diuji,
sehingga perilakunya berbalik secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan
perbuatan keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering
mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan syair :
Engkau duga
hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak
pernah takut tentang takdir buruk yang bakal tiba
Malam-malam hari
memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau
tertipu olehnya,
Sesudah malam
yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar
Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh
cita-cita spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi meninggalkan
sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup lama, tidak terdengar lagi
kabar berita mengenainya. Sahabat yang ditinggal pergi itu kemudian ikut
berperang bersama tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam
pertempuran itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi menyerang tentara
Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju ke depan dan tentara
musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi seorang ksatria Muslim, dan ia pun
terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian
majulah Sang Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran.
Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan ternyata aia adalah
sahabat sang Sufi yang dulu telah menemaninya beribadah selama bertahun-tahun!
Maka berserulah san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan
sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang
dahulu bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari
padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah
dari sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku
telah memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku, atau aku
akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan terhadap ketiga
orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah
membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu jika kamu pergi
saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang
Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh ironis, setelah
menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan berat, orang itu
akhirnya mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya,
Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba
menangis cukup lama hinggal Allah swt berfirman kepada mereka : “Wahai kalian
berdua, mengapa menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan kami,
kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt. berfirman : “Nah, kalian
berdua ternyata tidak bisa aman dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku
melihat hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti ini, karena
takut hidungku menghitam karena hukuman yang kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku
benar-benar yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan semua amal
perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah
kamu tertipu oleh tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih
saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam as. Di tempat
yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat.
Sebab, setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami
nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh banyaknya ilmu, sebab
Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi
lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu
dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung
daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak
mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari,
Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri kepada Allah swt.
kemarin. Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya
ada seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal karena kebobrokan
akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh dari mereka berdua, ia beseru
kepada Allah swt. dengan penuh kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah
aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa
yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun mewahyukan
kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang yang berdoa ini; telah Ku
tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada
seorang yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda gila?” Ia menjawab :
“Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk waktu yang lama, aku menjadi gila
karena takut terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait
berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah
melihat seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini, dan
lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya
diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah orang yang hatinya
telah tersobek karena rasa takut.” Tabib itu datang dan memeriksa denyut nadinya,
lalu berkata : “Aku tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia
yang seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika
akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah tergelincir dari tempat
kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena ketakutannya terhadap
tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya
dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia takut
akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari terbit, ia bersinar
cemerlang. Sama halnya dengan seorang beriman, ketika dibangkitkan dari kubur,
ia muncul dengan wajah yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada
Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya, dan aku pun lalu
mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu aku beroda : “Ya Allah,
anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian
ketenangan menghapus kekhawatiranku.”
9.
RAJA’
Edit : Pujo Prayitno
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut
:5).
Al-‘Ala’ bin Zaid menuturkan : “Amu menemui Malik bin
Dinar dan menemukan Syahr bin Hausyab bersamanya. Ketika Syahr dan aku pergi
meninggalkan Malik, aku berkata kepada Syahr : “Semoga Allah merahmatimu,
berilah aku nasihat dan perkayalah jiwaku. Semoga Allah memberimu kekayaan!.”
Ia menjawab. Dengan senang hati bibiku Ummu Darda’ menceritakan kepadaku
melalui Abu Darda’, bahwa Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sanya malaikat
Jibril as. Mengatakan : “Allah swt. berfirman : “Wahai hambaKu, selama engkau
menyembahKu, berharap akan bertemu denganKu, dan tidak menyekutukan Aku,
niscaya Aku akan mengampuni apa pun dosa yang tenegah engkau lakukan. Bahkan sekalipun
engkau datang dengan membawa keburukan dan dosa sebesar bumi, Aku akan
mengampunimu, dan tidak mempedulikan (berapa banyak dosa yang telah engkau
lakukan).” (Hr. Thabrani).
Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, bahwasanya Allah swt. berfirman (dalam hadis Qudsi) :
Keluralah dari neraka, wahai kalian yang dalam hatinya
masih terdapat iman walaupun sebesar biji gandum.” Kemudian Dia akan
memerintahkan : “Aku bersumpah demi keagungan-Ku, bahwa perlakuan-Ku terhadap
manusia yang beriman kepada-Ku walaupun sesaat saja di siang hari ataupun
malam, tidak akan sama perlakuan-Ku terhadap orang yang tidak pernah beriman
kepada-Ku.” (H.r. Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada sesuatu
yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut
berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu, harapan
berlaku bagi sesuatu yang diharapkan oleh seseorang akan terjadi. Hati menjadi
hidup oleh harapan-harapan melenyapkan beban hati. Perbedaan antara harapan dan
angan-angan (tamany) adalah bahwa angan-angan membuat seseorang menjadi malas.
Orang yang hanya berangan-angan sesuatu tidak akan pernah berusaha untuk
membulatkan tekad (untuk mencapai apa yang diangankannya). Hal yang sebalikya juga
berlaku atas diri seseorang yang memiliki harapan. Harapan adalah sifat yang
terpuji, tetapi angan-angan adalah sifat tercela.
Para Sufi telah berbicara banyak tentang harapan. Syah
al-Kirmany berkata : “Tanda-tanda harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada
manusia yang melakukan amal baik; dengan harapan amal perbuatannya itu akan
diterima oleh Allah swt. Ada lagi orang yang melakukan amal buruk, kemudian
bertobat; harapannya adalah memperoleh pengampunan. Akhirnya ada orang yang
tertipu diri sendiri, yang terus melakukan dosa, sambil berkata : “Aku berharap
untuk memperoleh pengampunan.” Bagi orang yang tahu bahwa dirinya melakukan
amal buruk, takut selayaknya lebih berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan adalah mengandalkan kemurahan dari
Yang Maha Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula : “Harapan adalah melihat kegemilangan
Ilahi dengan mata keindahan.”
Juga dikatakan : “Harapan adalah kedekatan hati kepada
kemurahan Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap adalah kesenangan hati terhadap
keutamaan tobat seseorang.”
Dikatakan juga : “Harapan berarti melihat pada kasih
sayang Allah swt. Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkomentar : “Takut dan harap adalah
seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si
burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah
satunya kurang berfunsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan
kemampuannya untuk terbang. Apabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si
burung akan terlemepar ke jurang kematiannya.”
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya
harapan pada seorang hamba?” Ia menjawab : “Tandanya adalah manakala ia
menerima nikmat anugerah (ihasan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap
akan menuhnya rahmat Allah swt. di dunia ini dan penuhnya pengampunan-Nya di
akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Barangsiapa mendorong dirinya untuk berharap saja, maka ia akan
terjerumus ke dalam kemalasan, dan barangsiapa mendorong dirinya kepada takut
saja, maka ia akan terjerumus pada keputusasaan. Yang patut adalah, ada waktu
untuk berharap dan ada waktu untuk takut; keduanya mempunyai tempatnya sendiri.”
Bakr bin Salim as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi
mengunjungi Malik bin Anas pada petang hari menjelang kematiannya, kami
bertanya : “Wahai Abu Abdullah, bagaimana keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak
tahu apa yang harus ku katakan kepadamu selain ini : “Kamu akan melihat dengan
mata kepalamu sendiri ampuna dari Allah swt. dalam ukuran yang melampaui
khayalanmu.” Kami menungginya sesudah itu sampai kami menutupkan matanya
setelah ia meninggal dunia.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Harapan yang kutaruh
kepada-Mu karena berbuat dosa nyaris lebih mengalahkan daripada harapanku
kepada-Mu disertao amal. Ini disebebkan, manakala aku melakukan amal baik, aku
mendapat diriku mengandalkan pada ketulusanku dalam melakukannya. Tapi
bagaimana aku bisa menjaga amalku dari kekurangan, sedangkan aku adalah makhluk
yang bersifat penuh kekuarangan?” Sebaliknya, manakala aku melakukan dosa, aku
mendapati diriku mengandalkan ampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak akan
mengampuni dosa-dosaku, sedangkan Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang berbicara kepada Dzun Nuun
al-Mishry saat menjelang ajalnya. Dzun Nuun mengajarkan kepada mereka :
“Janganlah kalian memperdulikan aku, sebab aku telah terpesona oleh kelembutan
Allah swt. kepada diriku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah
untukku yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling
sedap yang keluar dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuangap
paling berharga adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah sati kitab tafsir bahwa Rasulullah
saw. datag menemui para sahabat melalui pintu bani Syaibah. Beliau mendapati
mereka sedang tertawa-tawa. Beliau lalu bersabda : “Apkah kalian tertawa-tawa?”
Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” Beliau lalu meninggalkan mereka, kemudian kembali
lagi, seraya menyampaikan wahyu. Sabdanya : “Jibril turun membawa firman Allah
swt. Beritahukanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda : “Allah swt. tertawa ketika
hambahamba-Nya ditimpa keputus-asaan, sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.”
Aisyah bertanya : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita
swt. benar-benar tertawa? Beliau menjawab : “Demi Dia yang jiwaku berada di
tangan-Nya, Dia benar-benar tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak
akan menjauhkan kita dari kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa tertawa adaah sifat yang berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah ungkapan kemurahn-Nya. Hal ini adalah
sebagaimana perkataan : “Bumi menertawakan tanaman,” (yang berarti bumi
mengeluarkannya). Tertawanya Allah pada keputus asaan manusia adalah tanda
anugerah-Nya, sebagai tanda kelemahan penantian para makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang Majusi yang meminta kepada Ibrahim
as. Agar diizinkan menginap di rumahnya. Ibrahim berkata kepadanya : “Kalau
kamu masuk Islam, aku mau menjadikanmu sebagai tamuku.” Orang Majusi menjawab :
“Jika aku memeluk Islam, bagaimana mungkin engkau akan berbuat kebajikan
kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu berlalu, lantas Allah swt. berfirman kepada
Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau tidak mau memberinya makan kecuali jika ia mau
mengubah agamanya? Padahal Aku memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh
tahun, sedang ia dalam kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja,
bagaimana dengan dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar si orang Majusi
itu dan mengundangnya menjadi tamunya. Ketika si orang Majusi itu bertanya
kepada Nabi Ibrahim as. Mengapa berubah pikiran, beliau pun mengatakan kepada
si Majusi apa yang didengarnya dari Allah swt. Si orang Majusi itu bertanya :
“Beginikah cara Dia memperlakukan aku? Berikanlah Islam kepadaku!.” Lalu ia
masuk Islam.
Saya mendengar Abu Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam
aku bermimpi bertemu Abu Sahl as-Sha’luky, dengan keadaannya yang indah sekali.
Aku bertanya : “Bagaimana Anda mendapatkan semuai ini?” Ia menjawab : “Dengan
husnudzan-ku kepada Allah swt.”
Malik bin Dinar meriwayatkan sial mimpinya, bertemu
dengan ash-Sha’luky : “Apa yang telah Allah beikan kepada Anda hingga seperti
ini?” Ia menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku swt. dengan dosa yang sangat
banyak, namun Allah swt. menghapusnya lewat sangkaan baikku kepada-Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Aku
adalah sebagaimana yang disangka oleh hamba-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala
ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya
dalam Diri-Ku, Jika ia mengingat-Ku di tengah kumpulan orang banyak, maka Aku
akan mengingatnya di tengah kumpulan yang lebih baik dari itu. Jika ia datang
kepada-Ku sejarak satu jengkal, Aku akan mendatanginya sejarak satu hasta. Jika
ia melangkah kepada-Ku satu hasta, Aku akan melangkah kepadanaya dua hasta.
Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan
berlari.” (H.r. Bukhari).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Ibnul Mubarak sedang
bertempur melawan salah seorang tentara kafir (non Arab). Ketika tiba waktunya
bagi si orang kafir itu untuk sembahyang, ia meminta waktu kepada Ibnul
Mubarak. Ibnul Mubarak pun membiarkannya mengerjakan ibadatnya. Ketika tentara
kafir itu sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak merasakan keinginan untuk
menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-tiba Ibnul Mubarak mendengar sebuah
suara di angkasa yang berseru : “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti akan diminta pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra’ :34). Maka Ibnul
Mubarak pun menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si penyembah berhala selesai
bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak : “Mengapa Anda mengurungkan
niat Anda?” Ibnul Mubarak mengatakan kepadanya tentang suara yang didengarnya.
Si penyembah berhala berseru : “Betapa sempurnanya Tuhan Yang memarahi wali-Nya
demi membela musuh-Nya!.” Lalu ia pun masuk Islam dan menjadi seorang Muslim
yang sangat baik.”
Dikatakan : “Allah menjadikan manusia melakukan dosa
ketika Dia menamakan Diri-Nya “Yang Maha Pengampun”.
Dikatakan : “Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan
mengampuni dosa; niscaya tidak seorang Muslim pun yang akan pernah berbuat
dosa. Sebab ketika Dia berfirman : “Allah tidak akan mengampuni (manusia yang )
menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa : 48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali
mendapatkan ampunan-Nya.”
Ibrahim bin Adham – semoga Allah merahmatinya – berkata :
“Pada suatu ketika aku menunggu waktu luag dan tenangnya orang di sekitar
Ka’bah. Saat itu adalah malam yang gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya.
Akhirnya tempat itu pun sepi, aku lalu mulai melakukan thawaf, sambil bedoa :
“Ya Allah, lindungilah aku dari dosa, lindungilah aku dari dosa!”. Lalu aku
mendengar suara yang mengatakan : “Wahai Ibnu Adham, engkau meminta kepada-Ku
untuk melindungimu dari dosa, sebagaimana doa orang –orang yang lain. Tapi jika
Aku jadikan kamu semua tanpa dosa, lantas kepada siapa aku harus bersikap Maha
Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin Suraij menderita sakit – yang
akhirnya membawanya pada kematian – bermimpi bahwa hari Kebangkitan telah tiba.
Allah Yang Maha Kuasa bertanyi mana para ulama itu?” Semua ulama, termasuk
diriku, maju ke depan. Allah swt. bertanya : “Apakah yang telah kalian lakukan
dengan ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami semua menjawab : “Wahai Tuhan,
kami telah ebrbuat llai dan kami telah berbuat jahat.” Maka Allah swt. pun
mengulangi lagi pertanyaan-Nya seolah-olah Dia tidak menyukai jawaban yang
telah kami berikan dan menghendaki jawaban yang lain. Maka aku pun maju dan
menjawab : “Mengenai diriku, maka catatan dalam halaman lembaranku tidaklah
mengandudng dosa menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan Engkau telah berjanji bahwa
Engkau akan mengampuni semua Dosa selain itu.” Lalu Allah swt. berfirman :
“Pergilah kamu semua. Aku telah mengampunimu!” Abul Abbas pun meninggal dunia
tiga malam setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada seorang pemabuk yang mengumpulkan
sekelompok para pemabuk temannya. Ia memberikan uang empat dirham kepada salah
seorang budaknya dan menyuruhnya pergi membeli buah-buahan. Si budak pergi, dan
ditengah jalan ia melewati majelis Manshur bin ‘Ammar, saat dimana yang disebut
belakangan ii sedang meminta kepada orang banyak untuk memberikan sedekah
kepada beberapa orang pengemis, dengan mengaakan : “Barangsiapa memberikan
empat dirham, aku akan memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan uang empat dirham yang dibawanya
kepada Mansur, dan kemudian ia pun ditanya : “Doa apa yang engkau inginkan
dariku.”
Si Budak menjawab : “Aku ingin bebas dari tuanku.”
Manshur menodakan hal itu, lalu bertanya lagi : “Apa lagi?”
Si budak menjawab : “Aku ingin agar Allah memberiku ganti
uang empat dirham itu.” Manshur mendoakan hal itu, dan bertanya kembali : “Apa
lagi?”
Si Budak menjawab : “Aku ingin agar Allah mengampuni
dosaku, dosa tuanku, dosamu dan dosa semua orang yang ada di rumah tuanku itu.”
Manshur mendoakan hal itu. Si budak lalu pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya bertanya kepadanya mengapa ia pulang
terlambat, si budak menceritakan apa yang telah dilakukannya. Tuannya bertanya :
“Dan doa apa saja yang kamu mintakan?”
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas
dari perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan apa
permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang
empat dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang empatribu dirham.
Lalu, apa permintaanmu yang keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk
segera bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada Allah swt. Apa
permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya,
orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan berkata. “Ini
adalah permintaan yang berada di luar kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar
sebuah suara yang mengatakan : “Engkau telah melakukan apa yang berada dalam
batas kemampuanmu. Apakah engkau mengira bahwa Aku tidak akan melakukan apa
yang berada dalam kemampuan-Ku? Kuampuni dosamu, dosa budakmu itu, dosa Manshur
bin ‘Ammar dan dosa semua orang yang berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa
kali. Suatu ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang air dan berdoa :
“Wahai Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah sekian dan sekian dari ibadat Hajiku
kepada Rasulullah saw. sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang sahabt beliau,
dua iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk semua kaum
Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa menyisakan satu pun bagi
dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar suara bisikan yang mengatakan : “Inilah
orang yang menunjukkan kemurahan hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa
kedua orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada
suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga orang laki-laki
dan seorang wanita. Aku maju dan menggantikan si wanita. Kami terus berjalan
menuju ke kuburan. Kami melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya.
Setelah itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan orang
yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku bertanya : “Apakah Anda
tidak punya tetangga?” Ia menjawab : “Ya, tetapi mereka semua memandang hina
anakku yang meninggal itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia
seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak ia ke rumahku
dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Dalam tidurku malam itu, aku
bermimpi melihat seseorang datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama.
Ia berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika aku bertanya siapa dirinya,
ia menjelaskan : “Aku adalah si orang banci yang anda kuburkan tadi siang.
Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang
kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu
Amr al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari, bersamaan itu pula
menjumpai sekelompok orang beramai-ramai menyerukan pengusiran terhadap seorang
pemuda dari lingkungan mereka karena perbuatan-perbuatannya yang tidak
bermoral. Sementara tampak seorang wanita di tempat itu sedang menangis, konon
adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa kasihan kepadanya, lalu meminta kepada
orang banyak itu agar mengampuni si pemuda. “Bebakanlah pemuda ini demi aku.
Jika ia mengulang perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian
kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu, dan Amr pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan
itu lagi dan mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu. Abu Amr
berkata dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi lagi perbuatan odsanya,
dan mereka telah mengusirnya dari lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu
rumah si wanita dan bertanya apa yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia
meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya bagaimana keadaannya
menjelang akhir hayatnya, si ibu menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat
mengatakan padaku. “Janganlah ibu memberi tahukan kepada pra tetangga kita tentang
kematianku. Sebab, settelah mereka menderita karena aku, mereka akan senang
atas kemalanganku dan tidak mau menghadiri pemakamanku. Jika Ibu menguburkanku,
inilah cincinku yang tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku. Jika selesai
menguburkan diriku, pintalah syafaat dari Tuhanku buat diriku!” Aku melakukan
seperti yang diwasiatkannya. Dan sepulang dari penguburannya, aku mendengar
suaranya : “Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka
bukan dengan tujuan agar Aku memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan
mereka supaya mereka memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di
tepi Sungai Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika segerombolan pemuda
melewati kami dengan sebuah perahu. Mereka memukul-mukul rebana, minum anggur
dan bermain-main dengan penuh hura-hura. Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah
engkau lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan bermaksiat kepada Allah
swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia menghukum mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat
tangannya dan berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka
bersenang-senang di dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di akhirat
nanti!” Kami bertanya penasaran. Tapi kami memintamu untuk berdoa memohonkan
hukuman bagi mereka!” Ia menjawab : “Jika Dia menjadidkan mereka
bersenang-senang di akhirat, berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa
Yahya bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang sahabtku. Ia mencintaiku dan aku pun
mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin bertemu dengannya dalam mimpi
agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag telah diperbuat Allah swt. terhadap dirinya.
Suatu malam aku pun bermimpi bertemu dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia
menjawab : “Allah telah mengampuni dosaku. Tetapi Dia memarahiku dengan
kata-kata-Nya : “Wahai Yahya! Kau telah berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “
Aku menjawab : Itu memang benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadis
yang disampaikan kepadaku dengan riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
saw. telah bersabda : “Engkau telah berfirman : “Aku
malu menghukum seseorang yang telah berambut putih di neraka.” Lalu
Allah pun berfirman : “Aku mengampunimu wahai Yahya, dan benar Nabi-Ku itu.
Tetapi engkau telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
10.
SEDIH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga),
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita.” (Qs.
Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang
beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang
merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.” (H.r. Ahmad,
Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati
tersesat di lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli
penempuh jalan ruhani (suluk).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag
dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang
jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak
memiliki kesedihan.”
Dalam hadis dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai
setiap hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika
Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam
hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah
SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam
keadaan sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan :
“Sedih adalah raja, manakala bertahta dalam sebuah tempat, tidak akan sudi
menerima orang lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia
akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak
ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan
membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak
membutakannya.” Allah swt. berfirman : “Dan kedua matanya menjadi putih karena
kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap
anak-anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih
adalah mencegah diri dari bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap :
“Aduhai kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai kecilnya kesedihan
kita! Jika engkau benar-benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa
bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang
tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan
mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam
hari ia akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat diriku gelisah
dan menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan Allah pun menjawab : “Bagaimana
mungkin bagi seorang yang penderitaanya diperbarui setiap saat, akan mencari
penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan
orang dari makan, sedangkan takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan
apa kesedihan manusia dinilai?” Ia menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya
kesedihan seluruh manusia di muka bumi ini ditumpahkan kepadaku.” Banyak oang
telah berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya
kesedihan yang diilhami oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji,
sedang kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry
menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan dan
peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan itu bukan karena dosa.
Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat khusus, ia akan
membawakan pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan
pergi melakukan perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat seorang
yang sedang bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi
bertanya kepada matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni engkau telah
menyinari sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira
bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’
mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata :
“Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal
perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan :
“Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah
kesedihan yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia
menjawab : “Orang yang sedih adalah yang tidak
punya waktu untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka
berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”
11.
LAPAR DAN
MENINGGALKAN SYAHWAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena
kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan itu).” (Qs.
Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan
bahwa ketika Fatimah r.a. (Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11 H/605 – 632
M). Putri Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim, suku Quraisy. Ibundanya
Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali bin Abu Thalib r.a. melahirkan
Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan Zainab). Fatimah r.a. memberikan sekerat roti
bagi Rasulullah saw. beliau bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah
menjawab : “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang
sebelum memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu
sejak tiga hari ini.” (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah
dalam Musnad-nya, melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan
sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat
kaum Suf dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi
selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan diri dari makan, dan mereka
menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam
hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa
seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar
telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan,
kecuali setiap limabelas hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak
makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih
saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat
membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu
membeli sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika
Allah swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam
kepuasan nafsu makan dan minum, dan menepatkan kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh jalan
Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang
bertobat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang
menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia
bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh menjawab : “Aku lapar.” Ia
mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?” Sang Syeikh balas
mencela : “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadidkan aku
lapar adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid
mengabarkan : “Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama kami si Syam, dan
selama lima puluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut dengans esuap
makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu
Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah – Semoga
Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya kepadanya tentang makanannya. Ia
menjawab : “Aku meninnggalkan Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat
Araq. Dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.” Jadi, ia menyebari padang itu
dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap
kali makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi
kepada Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang yang
mengabdi kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini
adalah mengisi perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda
tentang orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah makan orang
beriman.” Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?” Ia mencela : “Suruh
saja orang membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar
adalah pelita, dan kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang
darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar
pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang
laki-laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit
makanan. Lalu ia bertanya : “Sudah berapa lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh
menjawab : “Lima hari.” Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang
bakhil> Anda memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah
lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan
sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada melakukan shalat
sepanjang malam.”
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa
hari Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan
sampai ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih
ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa
orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang halal, apa
pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu
yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan :
“Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah
seorang muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh, karena
laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegus atas ketidak
sopanannya itu, meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari
bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu tidak mau makan
selama limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai
tanda tobat atas ketidak sopanannya itu. Padahal selama ini ia telah menderita
kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan
syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari
lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi
setelah lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka kirimlah ia ke pasar
agar mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan
seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas
kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata : “Seseorang
bertanya kepada salah seorang syeikh : “Apakah Anda tidak enginginkan sesuatu?”
Sang Syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan
inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr
datang kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang telah membawamu
ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak wanita
telah menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa
berbuka puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku mesti makan dengan
seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu ia menjelaskan : “Telah
bertahun-tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum ditakdirkan untuk
memakannya. Lalu aku menjawab : “Ada terung yag halal dalam makanan ini.” Ia
menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu
Abdullah bin Khafi menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka
puasa setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan
limabelas butir kismis. Ia memandangku dan bertanya : “Siapa yang menyuruhmu
(memberi lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan membiarkan
sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah
cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin sekali makan roti
dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki
sebuah kampung. Seseorang gbangkit dan memegang tanganku sambil berkata :
“Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-orang itu
memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka mengenaliku dan
menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!” Mendengar itu, mereka cepat-cepat
meminta maaf kepadaku, dan laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa
hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku
berkata kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh tujuh puluh kali pukulan!.”
12.
KHUSYU’ DAN
TAWADHU’
Edit : Pujo Prayitno
Allag swt. berfiman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
mereka yang khusyu dala shalatnya.” (Qs. Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, lbahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya
terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka
barangsiapa yang dalam hatinya terdaapt iman walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang
bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berbapakain bagus?”
Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan; sombong adalah
berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim).
Anas bin Malik mengabarkan : “Rasulullah saw. suka
mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendari keledai dan memenuhi
undangan budak-budak.”
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir,
Rasul mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di
atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’
adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama
hilang dari agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia
menjawab : “Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati
orang yang hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara
tanda-tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi,
disakiti hatinya atau ditolak, maka ia, semua itu diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah
menahan mata dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’
adalah begini : Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam
dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa
nafsunya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut
yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab :
“Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu
kegaiban.” Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di
muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat
ini adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan
tawa dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika
berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam
hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang
memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang
memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya. “Wahai sahabat,
khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil
menunjuk bagunya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang
laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu
bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan
khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak
menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan
perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada
Allah swt.” Dikatakan “Khusyu’” adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke
dalam hati manakala menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala
hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara
tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak
senang melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia
bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai
kedalaman dimana aku menghinakan diriku sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang
lain tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di
tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda : “Tidak akan masuk surga oang-orang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum
Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy
merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt. menjadikannya sebagai tempat
mendaratnya perahu Nabi Nuh as.” (Bukit Judy berada di sebelah timur laut
Jazirah Ibnu Umar, Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter. Diriwayatkan
bahwa perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika terjadi banjir
bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat,
tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih
cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang
menulis, lalu datanglah seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si tamu
menawarkan diri : “Biarlah saya yang membesarkan nyalanya.” Tapi Umar menjawab
: “Jangan, tidaklah ramah menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu
berkata : “Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak :
“Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri pergi ke tempat
penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si tamu berseru : “Tuan lakukan
pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Muminin?” Umar berkata kepadanya : “Aku
melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw.
selalu memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal,
menambal baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling
gandum jika pelayan lelah. Beliau tiak pernah merasa malu membawwa
barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa
berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam
jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela makanan apa yang dihidangkan kepada
beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal
makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam
berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa, sedih tapi tiak
cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi tidak boros.
Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim.
Tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak
pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha
Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa
memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga berkomentar : “Barangsiapa
menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama
sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan :
“Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap pun yang
mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt. mewahyukan kepada
gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan soerang Nabi di salah satu puncak di
antaramu.” Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan
sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya dengan penuh
kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara kepada Musa as, di puncka
gunung ini, dikarenakan ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab :
“Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut
kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab
suci, “Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku
tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati Musa as. Maka Ku pilih
ia dan Aku aku berbicara langsung dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang
kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
Au Yazid ditanya :
“Bilakah seseorang mencapai sifat tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada
suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat
manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak
pernah diiri dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak
membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada sikap tawadhu’ dan orang
yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di
dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam
qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya
tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata : “Ada lima
macam manusia termulia di dunia ini : Ulama yang zuhud, seorang faqih yang
Sufi, seorang kaya yag rendah hati, seorang fakir yang bersyukur, dan seorang
bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan :
“Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia
paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan
bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat pada orang yang
miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima
kebenaran dari siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari
kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka
Zaid lalu mencegahnya : “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas
berkata : “Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.”
Maka, Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya, sambil berkata
: “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga
Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar
bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya :
“Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab :
“Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu
perasan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya. “
Beliau terrus memikul air an membawanya ke rumah seorang wnita Anshar dan
mengisikannya ke dalam genthong milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu
Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul
seikat kayu di atas punggungnya, danberteriak-teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak
membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih
memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang
yang bersikap sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya, adalah sikap
tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah
kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku, sebuah titik di
bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang
engkau mengangap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’
adalah bahwa orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh
saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta
dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan
thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepdanya.
Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih,
jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini
ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu
itu.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang
laki-laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh
orang-orang yang menjunjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga
menghalangi orang lain dari melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah
itu, kau melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di sebuah
jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu berkata kepadaku : “Aku dulu
membanggakan diri di tempat di mana manusia-manusia mestinya merendahkan diri,
maka Alalh swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia
berbangga diri>”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang
penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya : “Apakah
sifat-sifat itu?” Si budak menjawab : “Sifat yang paling kecil diantaranya
adalah behwa seandainya tuan membeli saya dan kemudian menyayangi saya melebihi
semua budak tuan a g lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang
sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak tuanku.” Maka
penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika
Umar bin Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian yang
dikenakannya berharga sekitar duableas dirham saja, yang terdiri dari jubah
luar, surban, celana , sepasang sandal, dan selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi”
berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya : “Tahukan kamu
dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tiga ratus dirham. Dan ayahmu
ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan
Kaum Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau berjalan dengan
lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau
tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di
dalam hal Agama.”
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai
mereka berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang
hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah dalam
hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan
bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya
pada pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok
anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun
turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa
mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan
berkata : “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak memperoleh
lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memeperoleh
keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan
bahan pakaian yang berasal dari pampasan perang kepada para sahabtnya. Beliau
mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel
tersebut dijual dan kemudian digunakan untuk membeli enam orang budak dan
memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada pembagian bahan
pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya bahan pakaian yang harganya
lebih murah. Ketika Mu’adz memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa protes?”
Engkau telah menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap
menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah
bersumpah akan mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku
di depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang
pada barang yang usang. Pula.”
13.
MELAWAN NAFSU
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggalnya.” )Qs. An-Naazi’aat : 40-1).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin
Abdullah al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697) ikut berperang
sebelas kali. Ia mempunyai majelis halaqah ilmiah di Masjid Nabawi.
Meriwayatkan 1.540 Hadist). Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Hal yang paling kutakutkan
kepada ummatku adalah mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa
nafsu memalingkan manusia adari Al-Haq, sedang melamun panjang membuat orang
lupa pada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal
ibadat.” (H.r. Hakim dan Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh ditanya tentang Islam, ia
menjawab : “Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi
seseorang yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang menyebabkan
sukacita jiwanya di hadalapan Allah swt. akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Kunci ibadat adalah
tafakur. Tanda terrcapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan
mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta : “Nafsu itu dengan sendirinya
cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba diperintahkan
agar bersabar di dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan
wataknya dengan cara menetang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan
perjuangan melawan tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar : “Nafsu amarah yang terus menerus
mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh,
pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan : “Barangsiapa tidak mencurigai diri
sendiri dalam setiap waktu, tidak menetangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan
tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak sesuai dalam hari-harinya,
adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa memberikan perhatiankepada nafsu
dan menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri sendiri.
Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki akal untuk menyenangi diri
sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari keturunan yang mulia,
Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak membersihkan diriku dari
kesaahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan, : “Suatu malam aku tidak dapat
tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wirid. Tetpai aku tidak menemukan
kemanisan atau kenikmatan yang bisanya kurasakan. Maka Aku menjadi bingung dan
berharap untuk dapat tidur saja, tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk,
namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela dan aku pergi
ke luar. Klihat seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang berbaring di
jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata :
“Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!” Aku menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan
waktu.” Ia berkata : “Bahkan aku sudah memohon kepada si Pembangkit hati agar
menggerakan hatimu kepadaku. “Aku berkata : “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa
kemauan anda ?” Aku menjawab : “ Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya
menjadi obatnya.” Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya
sendiri, :Dengar (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan
jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya
dari al-Junayd, dan sekang engkau telah mendengarnya.” Kemudian ia berlalu
meninggalkan aku. Aku tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah bertemu
dengannya lagi.”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat
terbesar adalah jika engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir
terbesar antara dirimu dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi
Allah selain yang lebih utama dari menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah
swt. Ibnu Atha’ menjawab : “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan
segala keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas
perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan : “Aku sedang berada di atas
gunung al-Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima, timbul
keinginanku untuk mencicipannya sebuah. Lalu aku naik ke atas memetik sebuah
dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat seorang glaki-laki
terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya :
“Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai Ibrahim.” Aku
bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia menjawab : Tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt. Aku berkata : “Kulihat
engkau berada dalam keadaan bersama Allah swt.” Mengapa engkau tidak meminta
kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?” Ia berkata : “Dan
engkau, kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau tidak
meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan delima?” Manusia
akan mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di akhirat, sementara sengatan
lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun pergi berlalu meninggalkan orang
itu.”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan :
“Selama empat puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kali pun di bawah atap rumahku atau di tempat
tertutup yang lain. Namun Terkadang aku
masih menginginkan agar bisa makan ‘ada
dengan kenyang. Sayang, keinginanku itu tidak pernah terpenuhi. Pada suatu
hari, ketika aku berada di Syam, seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas
kepadaku. Aku makan isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jaan aku melihat
botol-botol berisi semacam cairan, yang kukira adalah cuka. Di antara mereka
menegurku : “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah botol-botol anggur, dan ini guci
anggur!” Aku berkaa pada diri sendiri, “Adalah kewajibanku ....”Kemudian aku
pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi-isi botol serta guci-guci itu.
Orang itu mengira bahwa aku menumpahkan
isi botol-botol itu atas perintah
Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu hanya inisitaifku sendiri, ia lalu
membawaku kepada Ibnu Thaulun yang memerintahkan agar aku didera duaratus kali
dan dimasukan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya
sampai Abu Abdullah al Maghriby, guruku, datang ke negeri itu dan
membebaskanku. Ketika melihatku, beliau bertanya : “Apa yang telah engkau
perbuat?” Aku menjawab : “Satu perut yag penuh berisi ‘adas dan duaratus
deraan!” Beliau berkata : “Engkau telah diselematkan dari segala tuduhan di
akhirat.”
Dalam suatu riwyat
Sari as-SaqathY pernah menuturkan : “Selama tiga puluh tahun, nafsuku
telah meminta kepadaku sepotong wortel yang dicelup dalam madu kurma, tetapi
aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abu Abbas ala Baghdady menuturkan
bahwa kakeknya pernah berkata : “Bencana seorang hamba adalah rasa pusnya
terhadap keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham,
ia pun diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa Anda menerimanya?” Hatim
menjawab : “Dengan menerimanya aku merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan
kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku merasa kebangganku
sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih kebanggaannya daripada
kebangganku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin
melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab :
“Lebih tajridlah sifat alpa dari dalam hatimu, kekurang-seriusan dari dirimu,
dan perkataan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja
engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Orang yang melewati
malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan
orang yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balsan di malam
harinya. Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban
memberi nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha Pemurah hingga tidak
berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia.”
Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. “Wahai Daud,
peringatkanlah para sahabatnya terhadap
sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia
tertutup dari-Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara,
dan seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini?” Ia
menjelaskan : Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan
udara tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu
ditawarkan kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan meolaknya dengan rasa takut
kepada Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan
kepada seorang pndosa, pemenuhan itu akan mengusir darnya rasa takut kepada
Allah swt.” Dikatakan juga, : “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tanag
nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Hanya takut yang
sangat atau kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan “NAFSU”.
Al-Khawwa berkata : “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu,
tapi tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam
meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang
satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah,
dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi
kemudian ia memuntahkannya dan menangis. : “Singkirkan buah-buah ini.”
Pintanya> Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab : “Sebuah
suara berseru dalam hatiku : “Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu
nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.
14.
D E N G K I
Edit : Pujo Prayitno
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
sebuah dari kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman : “Dan dari
kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai
perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi
akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah
terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud
kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan
Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab
dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (H.r.
Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah
orang yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan takdir Allah Yang
Maha Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah,
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang
tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu
adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki
adalah musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang
berumur seratus dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah panjangnya umur
Anda!.” Ia menjawab : “Aku telah meninggalkan dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang
tidak menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang telah ditempatkan-Nya
dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu hadis dikatakan : “Ada seorang malaikat di
langit kelima yang amal perbuatan seseorang manusia melaluinya, dan ia bersinar
kemilau seperti matahari. Malaikat itu memerintahkan : “Berhentilah karena kau
adalah malaikat dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah
seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu
menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah merasa puas dengan
apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling
zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah
melihat orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia
senantiasa berada dalam keadaa sengssara dan nafas sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki
adalah penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya, memfitnahnya
manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa senang apabila ada bencana yang
menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang
lebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang
didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra
Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara, “Janganlah engkau
menggunjing dan mendengki salah seorang hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman
menjawab : “”Tuhanku”, cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat
“Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa
amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia tidak pernah dengki terhadap manusia
karena anugerah Allah swt. kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila melihat
adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang jika melihat adanya
kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau
ingin selamat dari seorang pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap
manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap yang tidak ia
miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau
mengharapkan untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan
menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak
memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal kasihan, terhadap
salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki
Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si zalim!.”
Sedang ia
Seakan-akan orang yang ditindas.
15.
PERGUNJINGAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain. Sukakah ssalah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (qs,
Al-Hujurat :12).
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang
laki-laki yang ikut duduk bersama Rasulullah saw. kemudian ia bangkit berdiri
dan pergi. Salah seorang yang hadir berkata : “Alangkah lemahnya orang itu.”
Rasulullah saw. bersabda : “Engkau telah memakan daging saudaramu ketika engkau
menggunjingnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa, as. : “Barangsiapa
meninggal dengan bertobat dari menggunnjing, akan menjadi orang terakhir yang
masuk surga, dan barangsiapa meninggal dengan berterus-terusan melakukan
gunjingan itu, akan menjadi orang yang pertama masuk neraka.”
Auf menuturkan : “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku aku
menggunjing Al-Hallaj. Ibnu Sirin berkata :”Sesungghnya Allah swt. adalah hakim
yang paling adil, maka sebanyak yag diambilnya dari al-Hallaj, sebanyak itu
pula yang diberikan-Nya kepadanya. Ketika engkau berjupa dengan Allah awt. Di
akhirat nanti, dosa sekecil apapun yang telah dilakukan al-Hallaj akan menjadi
lebih besar bagimu daripada dosa terbesar yang teah dilakuka al-Hallaj.”
Diriwaytkan bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah
pesta, dan ia pun bersedia menghadirinya. Ketika orang-orang membicarakan
seseorang yang tidak hadir, mereka mengatakan : “Seorang yang kurus kering dan
tidak meenarik.” Ibrahim berkata : “Inilah yang dilakukan nafsuku terhadap
diriku.” Kutemukan diriku dalam perkumpulan dimana pergunjingan dilakukan.” Ia
lalu pergi begitu saja, setelah itu ia tidak makan selama tiga hari.
Dikaakan : “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah
seperti orang yang menyiapkan ketapil. Ia menembak amal-amal baiknya sendiri
dengan perbuatannya itu ke Barat dan ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari
Khurasan, seorang lagi dari Hijaz, seorang lagi dari Turki, ia
mencerai-beraikan amal-amal baiknya sendiri, dan ketika berdiri, tak satu pun
amal baiknya.”
Dikatakan, : “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya
pada hari Kiamat, tetapi ia tidak melihat satu pun amal baiknya di dalamnya. Ia
akan bertanya : “Di mana shalat, puasa dan amal-amal ibadatku yang lain?”
Dikatakan kepadanya : “Semua amalmu telah hilang karena engkau terlibat dalam
pergunjingan.”
Dikatakan : “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni
separo dosanya.”
Sufyan ibnul Husain mengatakan : “Aku sedang duduk-duduk
dengan Iyas bin Mu’awiyah, dan menggunjing seseorang. Iyas bertanya kepadaku :
“Apakah engkau telah menyerang orang-orang Romawi atau Turki tahun ini?” Aku
menjawab : “Tidak” Ilyas berkata : Orang-orang Turki dan Romawi telah selmat
dari seranganmu, sementara saudaramu sendiri yang Muslim tidak!” Dikatakan :
“Seorang manusia akan diberi catatan amalnya di hari Kiamat, dan ia menemukan
di dalamnya amal-amal baik yag tidak pernah diperbuatnya. Dikatakan kepadanya :
“Ini adalah imbalan bagi gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui.”
Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang sabda Nabi saw. :
“Sesungguhnya Alalh membenci keluarga pemakan daging manusia.” (H.r. Baihaqi).
Sufyan mengomentari : “Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang
menggunjing, mereka memakan daging manusia.”
Ketika menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah ibnul
Mubarak, ia berkata : “Jika aku menggunjing seseorang niscaya aku akan
menggunjing kedua orang tuaku, sebab mereka yang paling berhak atas amal-amal
baiku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah
keuntungan seorang Muslim terhadap dirimu berupa tiga hal ini : Jika engkau
tidak bisa membantunya, maka janganlah engkau mengganggunya; Jika engkau tidak
bisa memberinya kegembiraan, maka janganlah engkau membuatnya sedih; Jika
engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau mencari-cari kesalahannya.
Dikatakan kepada Hasan al-Bashry : “ Si Fulan telah
menggunjing Anda”, maka al-Hasan lalu mengirimkan kue-kue kepada orang yang
menggunjingnya, dengan pesan : “Aku mendengar bahwa engkau telah melimpahkan
amal baimu kepadaku. Aku ingin membalas kebaikanmu.”
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda : “Jika orang melepaskan tabir rasa malu dari wajahnya,
niscaya tidak akan ada masalah pergunjingan bagimu.” (H.r. Ibnu Abdi dan Abu Asy-Syeikh).
Al-Junay menuturkan : “Aku sedang dudukduduk di masjid
asy-Syuniziyah, menunggu jenazah agar aku bisa ikut melaksanakan shalat
jenazah. Orag-orang Baghdad dengan berbagai kelasny duduk menunggu iringan
tersebut. Lalu aku melihat seorang miskin yang kelihatan bekas ibadatnya
mengemis dari orang banyak. Aku berkata kepada diriku sendiri : “Jika orang ini
mau bekerja untuk memperoleh rezekinya, itu akan lebih baginya.” Ketika aku
kembali ke rumah, maka seperti biasanya, aku mulai melakukan wirid di malam
hari, menangis dan shalat, serta amalan-amalan lainnya. Tetapi semua wiridku itu terasa memberatkan jiwaku, aka
aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk-duduk saja. Ketika aku terjaga,
kantuk datang kepadaku, aku melihat si pengemis itu. Kulihat orang-orang sedang
meletakkan tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan mereka
memerintahkan kepadaku : “Makanlah daging orang ini, karena engkau telah
menggunjingnya.” Keadan orang itu diungkapkan kepadaku, dan aku memprotes, “Aku
tiak menggunjingya.” Aku hanya mengatakan sesuatu kepada diriku sendiri.” Lalu
dikatakan keapdaku : “Perbuatan seperti itu pun tidak layak. Pergilah kepada
orang itu dan meminta maaflah!” Paginya aku terus mencari orang itu sampai aku
menemukannya sedang mengumpulkan dedaunan yang tersisa dalam air yag digunakan
untuk mencuci sayur mayur. Ketika aku memberi salam kepadanya, ia bertanya :
“Wahai abul Qasim, apakah engkau atang ke sini lagi?” Aku menjawab : “Tidak” Ia
berkata : “Semoga Allah mengampuni dosa kami dan dosamu.”
Abu Ja’far al-Baklhy berkata : “Seorang pemuda dari
kalngan warga Balkh sedang berada di antara kami, ia bermujahadah dan
mengabdikan dirinya untuk melayani Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat
dalam gunjingan. Ia suka mengatakan : “Si Fulan dan si Fulan itu demikian.”
Pada suatu hari aku melihatnya sedang mengunjungi beberapa tukang memandikan
jenazah yang disebut orang sebagai “orang-orang banci”. Ketika pemuda itu
meninggalkan mereka, aku bertanya kepadanya : “Wahai Fuan, apa yang telah
terjadi padamu?” Ia menjawab : “Begiliha akibatnya atas perbuatanku mengunjing.
Hal itu telah emncampakkanku dalam kehinaan ini. Aku telah tergila-gila kepada
salah seorang banci dan aku melayani mereka atas namanya. Semua amal ibadatku
sebelumnya telah musnah. Maka doakan agar Allah swt.mengasihiku!.”
16.
QANA’AH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki-
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik.” (Qs. An-Nahl : 97).
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda :
“Qana’ah (menerima pemberian
Allah) adalah harta yng tidak pernah sirna.” (Hr. Thabrani).
Diriwayatkan oleh Abu Hrairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang
yang paling berbakti kepada Allah swt. Jadilah engkau orang yang menerima
(pemberian-Nya), engkau akan menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah
manusia sebagaimana (kamu mencinta0 dirimu sendiri, maka engkau menjadi orang
yang beriman. Perbaikilah dalam hidup bertetangga dengan tetanggamu, engkau
akan menjadi orang Muslim. Dan sedikitlah tertaa, sebab banyak tertawa
mematikan hati.” (H.r. Baihaqi).
Dikatakan : “rang-orang miskin itu mati, kecuali mereka
yang dihidupkan Allah dengan kebesaran qana’ah.”
Bisyr al-Hafi berkata : “Qana’ah adalah seorang raja yang
hanya tinggal di dalam hati yang beriman.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkomentar : “Hubungan Qana’ah
dengan ridha adalah seperti hubungan antara maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah
adalah awal ridha, dan wara’ adalah awal zuhud.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi
hilangnya sesuatu yang biasa ada.”
Abu Bakr al-Maraghy menjelaskan : “Orang yang cerdas
adalah orang yang menagani dunianya, dengan qana’ah dan tidak bergegas-gegas,
tapi mengurusi urusan akhiratnya dengan penuh kerakusan dan ketergesaan,
menangani urusan agamanya denga ilmu dan ijtihad.”
Abu Abdullah bin Khafif berkata : “Qana’ah adalah
meningkatkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki,
dan menghindari ketergantungan keapda apa yang dimiliki.”
Dikaakan mengenai firman Allah swt. “Allah akan
menganugerahi mereka rezeki yang berlimpah)>” (Qs. Al-Hajj : 88), bahwa yang
dimaksud di sini adalah qana’ah.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah adalah
kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam
apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.”
Wahb menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana
mencari teman. Mereka berjumpa dengan qaba’ah dan mereka hinggap menetap
apdanya.”
Dikatakan : “Orang yang merasa qana’ah akan menemukan
bubur yang lezat.” Dikatakan juga, “Orang yag selalu kembali kepada Allah swt.
dalam segala hal, akan dianugerahi qana’ah.”
Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim melewati
seorang penjual daging yang mempunyai sejumlah daging berlemak, si penjual
berkata kepadanya : “Ambillah sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini
berlemak!.” Abu Hazim menjawab, “Aku tidak membawa uang.” Si pedagang berkata :
“Aku beri engkau waktu untuk mebayarnya.” Abu Hazim menjawab : “Jiwaku masih
lebih baik menunggu daripadamu.”
Salah seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling
qana’ah di antara ummat manusia>” Ia menjawab : “Yaitu orang yang paling
berguna bagi ummat manusia dan paling sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kiab Zabur : “Orang
yang Qana’ah adalah orang yang kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”
Dikatakan : “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam
lima tempat : Keagungan dalam ibadat, kehinaan dalam dosa, kehidmatan dalam
bangun malam, kebijaksanaan dalam perut kosong, dan kekayaan/cukup dalam
qana’ah.”
Ibrahim al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan
terhadap kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau membalas dendam kepada
musuhmu dengan qisas.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah selamat
dari orang-orang semasanya dan berjasa atas semua orang.”
Dikatakan, Orang yang qana’ah akan menemukan istirah dari
kecemsan dan berjaya atas segala sesuatu.”
Al-Kattany mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan
demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran.”
Dikatakan : “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang
bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa indahnya pemuda.
Dari hari-hari yang lapar
Lebih terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki
melihat seorang yang bijaksana sedang mengunyah potongan-potongan sayur yang
dibuang di tempat air, dan berka kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi
kepada Sultan, niscaya Anda tidak perlu makan-makanan begini. Orang bijak itu
menjawab : “Dan Anda, seandainya saja Anda mau berqana’ah dengan makanan
begini, niscaya Anda tidak pelu mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti
benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Al-Infithar :13).
Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia. Dalam
Ayat berikutnya :
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar
berada dalam neraka.” (Qs. Al-Infithar :14).
Kata Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai firman Alalh swt. :
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Qs. Al-Balad :12-3).
Dikatakan bahwa
ayat ini berarti : Membebaskan orang dari kerendahan sifat tamak.”
Dikatakan bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.” (Qs. Al-Ahza
:33), berarti, “menghilangkan sifat kikir dan iri.”
Dan firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Hazab :33)) berarti : Melalui sifat murah hati dan
tidak pelit dalam memberi.”
Mengenai firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku,
ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh
seorang jua pun sesudahku.” (Qs. Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku
derajat qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk dengan
pesoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha dengan ketentuan-Mu.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman)
pasti akan menghukum (burung hud-hud) dengan hukuman yang pedih.” (Qs. An-Naml
:21), bahwa ayat ini berarti : “Aku akan menaggalkan darinya sifat qana’ah dan
memberinya cobaan dengan sifat rakus.” Yakni : “Aku akan memohon kepada Allah
swt. agar melakukan hal ini terhadapnya.”
Abu Yazid Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa sampai
pada kedudukan sekarang ini?” Ia
menjawab : “Aku mengumpulkan harta benda dunia ini lalu mengikatnya dengan tali
qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka dalam ketepil keikhlasan dan
melontarkannya ka lautan putus asa. Maka aku pun bisa istirahat.”
Abdul Wahahb, paman Muhammad bin Farhan, menuturkan, :
“Aku sedang duduk-duduk bersama al-Junayd di sat musim haji, dan
disekelilingnya ada sekelompok besar orang non Arab, termasuk beberapa orang
yang telah dibesarkan di lingkungan rang Arab. Seseorang datang kepadanya
dengan membawa uang limaratus dinar, yang diletakkannya di hadapan al-Junayd,
lalu Junayd berkata, : “Sebarkan pada orang-orang fakir.” Sambil bertanya
kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang selain ini?” Ia menjawab : “Ya, aku
masih punya banyak.” Al-Junayd bertanya kepadanya : “Apakah kamu ingin
memperoleh lebih banyak dari yang kamu miliki sekarang?” Ia menjawab : “Ya”.
Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya : “Ambillah kembali uangmu ini, sebab
engkau lebih memerlukannya daripada kami.” Junayd tidak menerimanya.”
17.
TAWAKKAL
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Alalh
akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena itu, hendaklah kepada Alalh saja orang-orang
Mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali Imran:160).
“Dan hanya kepada Alalh hendaknya kamu bertawakkal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Al-Maidah:23).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat
berkumpul haji. Kulihat bahwa ummatku mememnuhi lembah dan gunung-gunung.
Jumlah dan penampilan mereka mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah engkau
ridha?” Aku menjawab : “Ya”. Bersama dengan mereka akan ada tujuh puluh ribu
orang yang masuk surga tanpa hisab.
Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak
pernah mencari ramalan dengan burung, dan idak penah pula mencuri; dan mereka
hanya bertawakkal kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi itu, Ukasyah bin
Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai Rasulullah, doakanlah
kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah seorang di antara mereka.”
Rasulullah lalu berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia salah seorang dari mereka.”
Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan juga saya, wahai Rasulullah.”
Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului akasyah.” (H.r. Ahmad).
Abu Ali ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkta kepada ‘Amar
bin Sinan : “Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka ia pun berkata
kepadaku : “Ia berkata bahwa ada tiga tanda orag gyang bertawakkal kepada Allah
swt. Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan tidak pula
menahan sesuatu.”
Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-Bisthamy
ditanya : “Apakah tawwakl itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana
apendapatmu?” Aku menjawab : “Para murid kami mengatakan : “Bahkan jika seekor
binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu, jiwamu tidak akan bergetar
karenanya.” Abu Yazid mengatakan : “Ya” itu mendekati. Tetapi jika penghuni surga hidup dengan penuh kenyamanan
dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terrlintas dalam
pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada kehidupan yang
lain, berarti engkau telah keluar dari golongan tawakkal!.”
Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam
tawakkal adalah bahwa si hamba berada di tangan Allah swt. seperti mayit di
tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa
ia bergerak dan berangan-angan.”
Hamdun al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah
berpaut erat pada Allah swt.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham : “Siapa
yang memberrimu makanan?” Ia menjawab : “Milik Allah-lah harta kekayaan dalngit
dan bumi, tetapi orang munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-Munafiqun :7).
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan
gerakan lahiriah tidak menaggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah
yakin bahwa takdir datang ari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu
dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt. di dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai
Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku
bertawakal saja kepada Allah?” Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan sesudah
itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-benar
bertawakkal kepada Allah di dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan
bertawakkal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi
mengatakan : “Aku telah bertawakkal kepada Allah swt. padahal aku berdusta
kepada Allah swt. Seandainya ia bertawakkal tentu akan puas dengan segala
sesuatu yang diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan
bertawakkal?” Ia menjawab : “Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara memanggilku dan seorang Badui
berjalan menghampiriku. Ia berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada
yang bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai keyakinanmu
menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu bahwa harapanmu untuk sampai ke
sebuah kota aalah dmei memperoleh citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah
mengharapkan kota-kota dan bertawakkalh kepada Allah.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia
menjelaskan : “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu
terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipunengkau sangat
membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan
Allah, meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal
kepada Allah adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby :
“Mengabdikan jasad untuk beribadat, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap
tenang dalam mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap
bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada
Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu
bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha
Melihat akan keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat
seorang dari kalangan jahat dikenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang
menerima hukuman cambuk. Aku bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa
sakitmu akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala orang yang
menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas
: “Apa yag telah engkau capai dalam perjalananmu menyeberangi padang pasir?”
Ibrahim al-Khawwas menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal kepada
Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-Husain lalu bertanya kepadanya :
“Engkau telah menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana
pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh
sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulain mencari
rezeki sehari saja, dan tidak berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan
oleh Sahlbin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt. dalam apa pun yang
dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada Allah,
pada hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh Ibrahim as. Ketika
menaggapi tawaran Jibril as. Untuk menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab :
“Darimu, aku tiak perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan
bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry :
“Apakah tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah menyingkirkan semua
yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang
itu meminta : “Apa lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah menghambakan
diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia
menjelaskan : “Tawakkal adalah jika engkau punya sepuluhribu dirham dan engkau
berhutang seperenam dirham, engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati
sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau punya hutang sepuluh
ribu dirham dan tidak mampu mewariskan harta yang cukup untuk melunasi
hutangmu, engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan menyelesaikan
hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi
berkomentar : “Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap
keadaan.” Si penanya minta penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan :
“Tinggalkan ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang
lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah keadaan
ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang
tetap keadaannya, berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah
kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan
kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah menyerahkan
diri kepada alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap
cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang
benar-benar tawakkal kepada Allh swt. tidak akan memakan sesuatu, karena di
negara itu ada orang yang lebih berhak akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas berjalan
melewati kami, dan kami berkata kepadanya : “Katakan kepada kami hal paling
aenh yang Anda lihat dalam perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr
as. Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku takut jika
tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku.
Karena itu, aku lalu memisahkan diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia menjelaskan
: “Kalbu yang hidup bersama Allah swt.dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan
bagi orang yang bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3), Tafwidh.” Orang
yang tawakkal akan merasa tenteram denan janji-Nya, orang yang taslim akan
merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan
merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah awal; Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada
Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar :
“Tawakkal adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol
adalah sebuah toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan
menyertai sebuah kaffilah adalah nafsu. Semua ini adalah
ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan
tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-Syibly mengatakan : “Pulanglah ke
rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa menghantam
dalam aktivitas geraknya, berarti menghantan Sunnah, dan abrangsiapa menghantam
dalam tawakkal berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang dalam
perjalanan menuju ke Mekkah, tiba-tiba
aku melihat seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya : “Engkau seorang
manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku Jin.” Aku bertanya lagi : “Engkau
hendak pergi ke mana?” Ia menjawab tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya :
“Tanpa bekal apa pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada
jin-jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal kepada Allah.” Aku
bertanya kepadanya : “Dan apakah tawakkal itu?” Ia menjawab : “ Menerima dari
Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya dalam
hal tawakkal kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu
membawa jarum dan benang, sebuah timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah
guntung. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda membawa
barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri dari segala hal?” Ia menjawab :
“Barang-barang ini tidak merusak tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt.
telah menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua. Seorang fakir tak
memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak
membawa jarum dab benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka
kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa
timba, jarum dan benang, maka patutu engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang
beriman, taslim sifata para wali, dan menyerahkan segenap urusan kepaa Allah
(tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal adalah sifat kaum awam, taslim
adalah sifat manusia-manusia khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul
khawash.” Saya juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah
sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as. Dan tafwidh adalah sifat
Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira
sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku
juga bekerja di pasar. Setiap hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan
sedikit pun darinya untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum,
aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di Syuniziyah, dan
kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat
haji empatbelas kali dengan kaki telanjang dan penuh tawakkal kepada Alalh.
Jika kakiku tercocok duri, kuingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada
jiwaku untuk bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah dan
kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah swt.
memasuki padang pasir dalam ekadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku
bertawakal, karena khawatir jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu
sendiri merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl kepada
Allah, ia menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang belum kucapai, dan bagaimana
seseorang yang belum menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang
tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt.
seperti seorang gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus berlindug,
kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan orang gyang bertawakkal kepada
Allah swt. Ia dibimbing hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di
padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di
depanku, lalu aku bergegas menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang
memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir ia seorang yang
lemah, maka aku merogoh saku dan mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan
kukatakan kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah di belakang
menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara,
dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya : “Engkau
mengambil dirham dari kantung bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang
Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di
Mekkah – semoga Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak mengonsumsi apa pun
selain air Zam-zam. Setelah beberrapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya.”
Bagaimana pendapat Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda minum?”
Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan berkata : “Semoga Allah membalas
kebaikanmu karena engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh aku
telah menyembah Zam-zam selama beberpa hari ini.” Kemudian laki-laki itu un
berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.” Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.” Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima
apa pun melalui seorang perantara.” Maka aku lalu berkata : “Wahai anak muda,
betapa ketatnya engkau berlaku atas dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai
Ibrahim, janganlah Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan melihat
kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?” Lalu ia menjawab : “Permulaan
tawakkal adalah bahwa jika Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan
Anda tidak menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan
keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada
al-Junayd dan bertanya : Ke manakah kita harus mencari rezeki?” Ia menjawab :
“Jika kalian semua tahu, pergi dan carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi
kami memang meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika kalian mengira
bahwa Dia melupakan diri kalian, maka ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya :
“haruskah kita pulang dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab :
“Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya : “Lantas, apakah rekayasa itu?”
Al-Junayd menjawab : “Yaitu meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary
: “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu
mengetahui banyak diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab
aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada di
tanagn Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin dari
pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya –
ditanya tentang orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak yag
mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan dirinya sama sekali, dan
berputus asa dari semua yang ada di tangan manusia memberinya kekuatan untuk
mengatasi tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir
dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan kepadanya : “Manakah yang
lebih engkau cintai, penyebab kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury
menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.” Maka ia pun selama
tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari
seorang fakir mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari
pekerjaan dan memperoleh sesuatu untuk dimakan.”
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu
melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk dimakan setelah tiga hari
menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu
perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika
aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu
menggodaku. Maka aku pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu yang
menguatkan tubuhku. Aku melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang
seseorang, lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan yang
menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-olah ada suara yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah
lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya sebuah saljamat yang
busuk!” Maka saljamat itu pun kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk.
Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan sebuah bingkisan
dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana Anda telah
memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku :
“Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan ketika
kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-masing dari kami bernadzar
bahwa jika Allah swt. menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah. Saya
sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya akan
memberikan bingkisan ini kepada orang pertama yang saya temui di antara mereka
yang tinggal di dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya temui.”
Aku lalu meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Ia pun membukanya dan
kudapati di dalamnya ada kue-kue samid
Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan daging manis yag dipotong kotak-kotak
kecil. Aku mengambil sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata :
“Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya
untuk Anda, karena saya telah menerima hadiah Anda.” Kemudian aku berkata
kepada diri sendiri : “Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju
ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada bersma
Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata :
“Suatu ketika aku punya hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian
aku bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai orang yang kikir,
engkau merampas hak kami sebesar jumlah itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan
kamilah yang memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi berurusan
dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan
: “Aku sedang berada di tengah perjalanan menuju ke Mekkah --- semoga Allah
menjaganya – datang dari Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita
mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau seorang kuli, engkau memikul
perbeklan di atas punggungmu, dengan membayangkan bahwa Dia tidak akan
memberikan rezeki kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku. Tapi
kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku
menemukan sebuah gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku :
“Barang ini akan terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan
memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.” Kemudain muncullah wanita
tadi, yang kemudian berkata kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang
pedagang! Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan aku akan
mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu dilemparkannya uang bebeerapa dirham kepadaku,
sambil berkata : “Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi
kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa ia
memerlukan seorang budak wanita untuk melayaninya. Maka ia lalu mengungkapkan
keperluannya itu kepada saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk
membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya : “Inilah uang untuk membeli
budak itu! Sekelompok budak sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang
engkau sukai!” Ketika rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju kepada salah
seorang budak, dan mereka berkata : “Itulah budak yang cocok untuknya.” Mereka
bertanya kepada pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak
dijual.” Mereka meminta dengan sangat agar budak itu dijual kepada mereka, tapi
pemiliknya mengatakan : “Ia telah didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!.
Seorang wanita dari Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan
kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak tersebut lalu
menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada
bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang dan memberi salam
kepadanya. Ia bertanya kepada mereka : “Dari mana Anda sekalian?” Mereka
menjawab : “Kami dari Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan
sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata : “Semoga Allah swt.
menerima syukur Anda sekalian.” Mereka bertanya : “Maukah Anda pergi bersama
kami? Bisyr menjawab : “Dengan tiga syarat : Kita tidak usah membawa (bekal)
apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada sipa pun; dan jika ada orang
memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab :
“Mengenai persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju.
Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak setuju.” Maka Bisyr lalu berkata :
“Anda semua telah datang dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.”
Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam fakir. Ada fakir yang
tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia tidak mau menerimanya, dialah
tergolong fakir ruhani. Lalu, ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika
diberi sesuatu mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di hadirat Yang Maha
Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi menerimanya sebatas
kebutuhan. Tebusannya adalah dengan memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti
berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah
yang patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki
yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong roti. Ia berkata : “Jika aku
memakan roti ini, aku akan mati.” Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang
malaikat, dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki. Jika
ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa pun.” Sepotong roti itu
tetap dipegangnya sampai ia meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah
dimakannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka
tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin wanita diiringkan kepada
keluarga pengantin laki-laki. Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah
(tadhyi”) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh) aalah bahwa
tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt. dan merupakan tindakan tercela,
sedangkan tafwidh berkaitan dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang
terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa menerima
uang satu sen dari sumber yang tidak halal, beraarti ia tidak bertawakkal
kepada Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku
berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku
memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di sana, kulihat sebuah tempat
perhentian, aku senang karena aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah
menjadi tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.” Karenanya aku pun
lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke suha tempat kecuali jika aku
dibawa ke dalamnya. Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas
dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang mengatakan : “Wahai penduduk
desa, salah seorang wali Alalh telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan
temukanlah ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke
Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika aku
pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam
sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku berkata :
“Tidak, demi Allah, aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian.
Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya berkata : “Mari kita
tutup lobang sumur ini agar tidak ada orang orang yang masuk jatuh ke
dalamnya.” Mereka membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur itu
dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri : “Aku
hanya akan berteriak kepada Dia yang lebih dekat daripada kedua orang ini.”
Maka aku pun tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu yang
membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya. Saat itulah kudengar suara
raungan pelan yang seolah-olah mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku
tahu apa yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan makhluk itu
lalu menarikku ke luar dari lubang sumur. Ternyata ia seekor singa! Dan
binatang itu lalu mneruskan perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku :
“Wahai Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu
dari kebinasaan yang lain.” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani
Ibrahim bin Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah kejadian paling aneh yang
Anda saksikan bersamanya?” Ia menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan
menuju Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan. Kami datang ke
kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah reruntuhan masjid. Ibrahim melihat
kepadaku dan berkata : “Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.”
Aku menjawab : “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata kepadaku :
“Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia menulis :
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang
diinginkan dalam setiap keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang
setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan
memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatu
pun selain Allah swt. Berikan kertas ini kepada orang pertama yang engkau
jumpai!” Aku pun pergi ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah seorang
laki-laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan kertas itu
kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis. Ia bertanya : “Di mana orang
yang telah menuliskan kata-kata pada kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia
berada di Masjid Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang enamratus
dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya
siapa orang yang mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang tersebut
adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim dan kuceritakan semuanya
kepadanya. Ia berkata : “Jangan kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke
mari!.” Sejam kemudian orang Nasrani itu pun muncul, mencium kepala Ibrahim dan
menyatakan keislamannya.”
18.
syukur
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat
pemberian-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7).
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari
Atha’ yang berkata : “Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan
berkata akepadanya : “Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan
yang Anda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau menangis dan bertanya : “Adakah
yang beliau lakukan, yag tidak mengagumkan?” Suatu malam, beliau datag
kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan
tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau berkata : “Wahai putri Abu Bakr,
izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku!” Aku menjawab : “Saya senang berdekatan dengan
Anda.” Tapi aku mengijinkannya. Kemudan beliau bangun, pergi ke tempat kantong
air dan berwudhu dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai
menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus
menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus
menangis. Terus menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan
memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau : “Apakah yang
menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni
dosa-dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab :
“Tidakkah akumenjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan
menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku :
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikenadlikan antara langit dan bumi,
sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.! (Qs.
Al-Baqarah :164).
Dengan ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur.
Artinya, memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah
diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan yang
serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian
balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah : “Seekor
binatang, dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang
diberikan kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan
bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan
mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi bersyukurnya seorang
hamba kepada Allah swt. adalah pujian kepada-Nya dengan mengingat-ingat
anugerah-Nya kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada
hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada-Nya. Kebaikan si hamba
adalah kepatuhan kepada Allah swt. sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan
rakhmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur
kepada-Nya. Syukur seorang hamba, pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan
maupun penegasan dalam hati atas
anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa
pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan syukur denga tubuh, yang
berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram
dalam latar musyahadah dengan erus menerus melaksanakan pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur dengan lidah
mereka, kaum pencinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin
beryukur dengan istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua perilaku mereka.
Abu Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah
memberikan musyahadah terhadap anugerah tersebut dan menjaga penghormatan.”
Hamdun al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas anugerah
adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai parasit dalam syukur.”
Al-Junayd berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur,
karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia
sadar di sisi Allah swt. lebih dari
bagian dirinya sendiri.”
Abu Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan
dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan : “Bersyukur atas
kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja.
Dengan cara memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia telah
memberikan taufik-Nya, dna Taufiq-Nya itu termasuk nikmat yang diperuntukkan bagi
diri Anda. Jadi Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda
bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak terhingga.
Dikatakan : “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada
pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.”
Al-Junayd mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau
tidak memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwayn menegaskan : “Bersyukur adalah engkau menghabiskan
seluruh kemampuanmu.”
Dikatakan : “Orang yag bersyukur adalah orang yang
bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah yang
bersyukur atas apa yang tidak ada.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas
pemberian tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur) berterima kasih karena
tidak diberi>” Dikatakan juga : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas
pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas lemelaratan.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterimakasih manakala anugerah diberikan,
dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih
berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sary, dan sekelompok
orang yang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia
bertanya kepadaku : “Wahai anakku, apakah ebrsyukur itu?” Aku menjawab :
“Syukur adalah jika orang tak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat
kepada-Nya.” Ia mengatakan : “Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau
peroleh melalui lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan : “Aku senantiasa menangis
mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan
Sang Pemberi Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Abu Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur
karena diberi makanan atau pakaian, sedangkan kaum khawash bersyukur atas
makna-makna yang datang di hati mereka.”
Dikatakan bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana aku
dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan kesyukuran itu sendiri adalah nikmat
dari-Mu.” Allah mewahyukan kepadanya : “Sekarang, engkau benar-benar telah
bersyukur kepada-Ku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa munajatnya,
: “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah
begini dan begitu. Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab : “Ia
mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya
tentang semua itu adalah syukurnya kepada-Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat
yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabtnya itu
mengatakan kepadanya; “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu
didera, dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah swt!”
Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dibelenggu,
salah satu borgol ranatainya dikenakan pada kaki sahabt, dan borgol lainnya
dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun, yang
berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan
hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!”
Sahabatnya ( si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini
“ Cobaan apa yang lebih berat dari ini?” Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang
dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana
belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan engkau
perbuat?”
Dikatakan : “Syukurnya kedua
belah mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada
sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang
engkau dengar tentang dirinya.”
Dikatakan juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk
mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia
bertanya kepadaku : “Wahai Al Junayd, apakah syukur itu?” Aku menjawab :
“Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan
untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi : “Bagaimana engkau sampai pada
(pengetahuan ini?” Aku menjawab : “Bersama majelis-majelis Anda.”
Diceritakan bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah
tiang dan bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak
Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati
aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat karena aku tidak bersyukur,
dan tidak melanggengkan bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada
yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan : “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan,
maka engkau mesti lebih banyak mengucap “SYUKUR” dengan lisanmu.”
Dikatakan pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah :
Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu; memberi nikmat kepada orang yang
tidak mau bersyukur; menebar benih di tanah yang tandus; dan menyalakan lampu
di bawah cahaya matahari...
Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar
gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya tentang
permohonannya itu, beliau menjawab : “Agar aku
dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk
memperoleh ampunan.” Kemudian
salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah swt.
melimpahkan salam kepadanya – berjalan melewati sebuah batu kecil yang
memancarkan air, yang membuatnya kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu
berbicara kepadanya, katanya : “Ketika aku mendengar Allah swt. berfirman : “Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis karena karena takut.” Nabi
itu kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu iru dari api neraka,
dan Allah lalu mewahyukan kepadanya : “Aku telah menyelamatkannya dari neraka.”
Manak Nabi itu lalu meneruskan
perjalanannya. Ketika kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur
darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu
itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya : “Mengapa engkau masih mengis
sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, : “Sebelumnya adalah
tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur selalu meningkat karena
ia berada di hadapan nikmat.” Allah swt. berfirman : “Jika kamu bersyukur,
niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang
sabar berada bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-Nya
yang memberikan cobaan. Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar (Qs. Al-Nafal :46).
Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin
Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda, yang memulai membuka
pembicaraan!” Umar berkata kepadanya : “Coba yang tua-tua dulu berbicara!”
Mendengar itu si pemuda berkata : “Wahai Amirul Mukminin, jika urusan
diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak dikalangan kaum
Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding Anda.” Maka Umar berkta :
“Bicaralah!” Pemuda itu menjelaskan : “Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan
keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa takut. Mengenai
keinginan, maka kemurahan Anda telah memenuhi kebutuhan kami dari ketakutan.”
Maka Umar pun bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian ini?” Ia menjawab :
“Kami adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang untuk menyampaikan
terima kasih kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.” Dan mereka lalu
bersenandung.” :
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan kebaikanmu berbicara
Aku melihat anugerah darimu
Dan aku menyembunyikan
Karenanya, di tangan yang pemurah
Jadi pencuri.
Diceritkan bahwa Allah swt. menyampaikan
wahyu kepada Musa as. : “Aku melimpahkan rakhmat kepada hamba-hamba-Ku : Mereka
yang mendapat cobaan maupun mereka yang terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa
pula terhadap mereka yang terampuni>\?” Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan
kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu.”
Dikatakan : “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas
nikamat-nikmat anggota badan.”
Dikatakan pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan
syukur sebagai tebusan darimu.”
Dalam hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di panggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji
kepada Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan : “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang diberikan-Nya, dan syukur atas yang
diperbuat oleh-Nya.
19.
YAKIN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“.... Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an)
yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah
swt. telah bersabda :
Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun
dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan
Allah yang diberikan, janganlah mencari kepada siapa pun atas anugerah yang
tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan
kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh
kebencian orang yang membencimu. Dengan
keadilan-Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu
dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu
dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah
bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir
setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur
dan takut kepada Allah swt.”
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby
melihatku ketika aku berada di pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku
sudah enambelas hari lamanya tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku
menjawab : “Aku terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang
akan menang agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai
diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang akan menang, aku akan terus
berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan mendapatkan suatu derajat.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak
adanya kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari
tambahan iman dan realisasinya.” Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang
iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah
pengetahuan yang dipercayakan pada hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini,
bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah
mukasyafah.” Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan : “Jika tabir
terungkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku.” Kemudian beralih
ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah
pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui
penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama
sekali.” Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha,
dengan apa yang diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada
awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa
salah seorang Sufi mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian
keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian
(musyahadah) danya Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan
istilah-istilah tersebut.”
Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa
hal pertama yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat
ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah
wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-menyusul dan
menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah,
bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin,
Mengenai pembenran Al-Haq (tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa
yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap
panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang
mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif,
sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah
itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah
itu menyusul pelaksanan tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah
tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks
tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar
beliau mengatakan : Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari
kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati
untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang
selain Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang
untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan
zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk
memandang akibat-akibatnya.” Ia juga mengatakan : “Ada tiga tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan
manusia; Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari
perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi (hadiah).
Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat
kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap
persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di
dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka
mencapai takwa kepada Allah swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh
keyakinan.” Tandasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara
yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri
sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah
batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah
mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara : Mukasyafah yang bersifat
informatif; mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat
iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi
pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir
kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang
mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi
antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan
sabaat.
Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya
kepada Abu Utsman al-Maghriby : “Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?”
Ia menjawab : “Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.”
Lalu aku bertanya : “Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan
penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab : “Dengan mukasyafah.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir
(kebenaran) disingkapkan, nsicaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan : “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang
dihasilkan oleh kekuatan iman.” Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya
tindak-tindak perlawanan.”
Al Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya
keraguan dalam penyaksian Yang Gaib.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai
sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya
ia bertambah dalam hal keyakinan, nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan bahwa denga ucpannya itu
Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan
dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan : “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus
berjalan.”
Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya
tentang keyakinan, ia menjawab : “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak
tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan
keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan
manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah
swt. (Hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat
menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali
bin Sahl menempatkan keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur
sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia memandang mungkin
dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya
adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata : “Keyakinan adalah
musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan
di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah
landasan hati, dan iman disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah
keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu
menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya
menuturkan : “Ketika aku tiba di Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan
thawaf sambil berkata :
Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau engkau cintai seiapapun
Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang
tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba
menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi
nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan :
Keyakinan informatif; keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat
seorang pemuda berjala di apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati :
“Jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya :
“Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa
peerbekalan?” Ia menjawab : “Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau
melihat sesuatu selain Allah swt.?” Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang
pergilah ke mana engkau mau?”
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan :
“Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa
yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya
mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi
nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku
mengambilnya lalu meleparkan kembali jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan lain
ke dalamnya, dan sekali lagi aKemudain terdengar sebuah suara gaib berseru :
“Apakah engkau tidak bisa mencari penghidupan selain dengan cara menangkap
mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku
lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan.”
20.
SABAR
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Bersabarlah, dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Qs. An-Nahl :217).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Aisyah menuturkan
haids berikut ini dari Rasulullah sawa. Yang bersabda :
“Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat mengahadapi
cobaan yang pertama.” (H.r. Bukhari, Tirmidzi dan Nasa’i).
Kemudian sabar dibagi dalam beberapa macam : Sabar
terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan.
Mengenai sabar dengan upaya, terbagi menjadi dua : Sabar dalam menjalankan
perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap
hal-hal yang tidak melalui upaya dari si hamba, maka kesabarannya adalah dalam
menjalankan ketnetuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.
AL-Junyad menegaskan : “Perjalanan dari dunia ke akhirat
adalah mudah bagi orang beriman, tetapi hijrahnya dari sisi Alalh swt. adalah
sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah swt. adalah sulit. Dan
perjalanan dari diri sendiri menuju Allah swt. adalah sangat sulit, tetapi yang
lebih sulit lagi adalah bersabar bersama Allah swt.”
Ketika ditanya tentang sabar, al-Junayd menjawab : “Sabar adalah meneguk kepahitan tanpa wajah cemberut.”
Ali bin Abu Thalib r.a. mengatakan : “Hubungan antara sabar
dengan iman aalah seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
Abu Qasim al-Hakim menjelaskan : “Firman Allah swt. “Dan
bersabarlah, adalah perintah untuk beribadat, dan firman-Nya, “Dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Qs. an-Nahl :127) adalah
untuk ubudiyah. Barangsiapa naik dari derajat “bagi-Mu” menuju derajat
“dengan-Mu” maka ia telah beralih dari derajat ibadah ke ubudiyah. Rasulullah
saw. bersabda :
“Dengan Mu aku hidup dan dengan-Mu aku mati.”
Abu sulaiman tentag sabar , dan ia mengatakan : “Demi
Allah, Kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana
pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai?”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah menjauhi pelanggaran
dan tetap bersikap rela sementara merasakan sakitnya penderitaan, dan sabar
juga menampakkan kekayaan ketika ditimpa kemiskinan di lapangan kehidupan.”
Ibnu Atha’ berkata : “Sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka
dengan perilaku adab.” Dikatakan : “Sabar adalah fana’ jiwa dalam cobaan, tanpa
keluhan.”
Abu Utsman berkomentar : “Orang yang paling sabar adalah
yang terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dirinya.” Dikatakan : “Sabar
adalah menjalani cobaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu Utsman juga berkata : “Pahala paling besar bagi
ibadat adalah pahala utuk kesabaran. Tidak ada pahala lain yang melebihinya.
Allah swt. berjanji : “Dan sesungghnya Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan.” (Qs. An-Nahl :96).
Amru bin Utsman mengatakan : “Sabar adalah berlaku teguh
terhadap Allah swt, dan menerima cobaan-cobaan-Nya dengan sikap lapang dada dan
tenang.”
Al-Khawwas menjelaskan : “Sabar adalah menetapi
ketentuan-ketentuan Kitabullah dan Sunnah Rasul.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Sabar para pecinta adalah
lebih besar daripada sabar orang zuhud. Betapa mengagumkan, bagaimana mereka
bersabar?”
Mereka telah menyenandungkan :
Kesabaran begitu indah di mana saja,
Kecuali kepadamu,
Sabarmu tidaklah indah.
Ruwaym berkata : “Sabar adalah meninggalkan keluh kesah.”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah meminta pertolongan
kepada Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sabar adalah
seperti namanya.” Syeikh Abu Abdurrahman melantunkan syair kepada saya, dari Abu
Bakr ar-Razy, dari syair Ibnu Atha’ :
Aku akan bersabar untuk ridha-Mu,
Sedang rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahwa Engkau ridha.
Meskipun diriku hancur karena sabarku.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Sabar ada tiga
macam : Sabar orang yang berjuang untuk bersabar (mutashabbir), sabar orang
yagn sabar (shabir) dan sabarnya orang yang sangat bersabar )Shabbar).”
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Sabar adalah gunung
yang tak pernah terguling.”
Ali bin Abdullah al-bashry menuturkan : “Seorang
laki-laki datang kepada as-Syibly dan bertanya : “Sabar macam manakah yang
tersulit bagi orang bersabar?” Ia menjawab : “Yaitu sabar terhadap Allah swt.
Tetapi orang itu menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly menyarankan : “Sabar untuk
Allah.” Orang itu menyanggah lagi : Bukan!” Asy-Syibly menjawab : “Sabar
bersama Allah.” Sekali lagi orang itu menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly bertanya
: “Lantas, sabar yang mana?” Orang itu menjawab : “Sabar berjauhan dengan
Allah.” Mendengar jawaban itu asy-Syibly berteriak sedemikian rupa sehingga
nyaris ruhnya melayang.”
Abu Muhammad Ahmad al—Jurairy menjelaskan : “Sabar
tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan
ketenteraman pikiran dalam keduanya. Bersikap sabar adalah mengalami kedamaian
ketika menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan beban
penderitaan.”
Salah seorang Sufi menyenandungkan :
Aku bersabar dan aku belum melihat kehendak-Mu atas
sabarku
Dan kusembunyikan petaka yang Kau kenakan
Pada diriku, di tempat sabar.
Takut bahwa hatiku akan mengeluh tentag deritaku.
Sampai air mataku mengalir, penuh rahasia
Dan aku tak tahu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Orang yang sabar
akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat, sebab mereka telah
mendapat derajat kesertaan di sisi Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Nafal :46). Dikatakan
mengenai arti firman Allah swt. : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan kaitkanlah (dirimu kepada Allah)>” (Qs.
Ali Imran : 200). Bahwa sabar (shabr) adalah berada di bawah tahap berteguh
hati dalam kesabaran (mushaabarah) dan dibawah tahap mengaitkan diri kepada
Allah (muraabathah).” Dikatakan juga : “Bersabarlah’ dengan dirimu dalam taat
kepada Alalh swt. Berteguhlah dalam kesabaran’ dengan hatimu dalam menghadapi
cobaan-cobaan yang berkaitan dengan Allah swt. dan “kaitkanlah’ jiwamu terhadap
kerinduan kepada Allah swt. Juga dikatakan : “”Bersabarlah” kepada Alalh,
‘berteguhlah dalam kesabaran’ dengan Allah, dan ‘kaitkanlah’ jiwamu dengan
Allah.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. : “Berakhlaklah dengan Akhlak-Ku. Di antaranya adalah bahwa
Aku adalah Yang Maha Penyabar.”
Dikatakan : “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu,
engkau akan mati sebagai syahid. Jika ia menghidupimu, maka engkau akan hidup
sebagai seorang yang mulia.”
Dikatakan juga : “Kesabaran untuk Allah adalah kesukaran,
sabar dengan Allah adalah baqa’, sabar jauh di dalam Allah adalah cobaan, dan
sabar jauh dari Allah adalah sangat hampa.”
Para Sufi bersyair :
Kesabaran berjauhan dengan-Mu tercela akibatnya,
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.
Mereka juga membacakan :
Bagaimana sabar, orang yang lepas dari-Ku
Laksana utara dan selatan
Ketika orang-orang bermain-main di segala hal
Aku melihat cinta bermain dengan orang-orang itu.
Dikatakan : “Sabar dalam mencari pemenuhan hidup adalah
tanda kemenangan, dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.”
Dikatakan : “Bersikap teguh dalam kesabaran adalah sabar
dalam bersabar, sampai kesabaran tenggelam dalam kesabaran dan kesabaran
berputus asa dari kesabaran, sebagaimana dikatakan syair :
Sabar orang yang sabar hingga kesabaran meminta
Pertolongan kepadanya
Sang pecinta berseru kepada kesabaran :Sabarlah!.”
Suatu ketika Syibly sedang ditahan di rumah sakit jiwa,
dan sekelompok orang daang menjenguknya. Ia bertanya : Siapakah kalian?” Mereka
amenjawab : “Kami adalah sahabat-sahabat tercintamu yang datang untuk
mengunjungimu.” Maka syibly lalu mulai melempari mereka dengan batu hingga
mereka pun berlarian. Ia berteriak, : “Wahai para pendusta, jika kalian memang
sahabt-sahabatku, niscaya kalian akan sabar ketika aku uji.”
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Demi penglihatan-Ku,
apa yang dipukul oleh mereka yang memikul beban demi Aku, adalah dalam
penglihatan-Ku.”
Allah swt. berfirman :
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kamu.” (Qs. Ath-Thuur :48).
Salah seorang Sufi mengabarkan : “Aku sedang berada di
Mekkah – semoga Allah swt. menjaganya – dan kulihat seorang fakir sedang
melakukan thawaf. Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya,
melihatnya, kemudian meneruskan thawafnya. Hari berikutnya kulihat ia melakukan
hal yang sama. Aku memperhatikannya selama beberapa hari, dan ia terus berbuat
demikian. Lalu pada suatu hari ia berjalan mengelilingi Ka’bah, melihat kertas
itu, mundur beberapa langkah, kemudian jatuh dan mati. Aku mengambil kertas
yang ada di sakunya, dan dilamnya tertulis : “Dan bersabarlah menunggu
ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami.”
Sebagian Sufi berkata : “Aku masuk ke negeri India dan
aku melihat seorang pemuda bermata satu, yang dijuluki orang “Si Fulan yang
Sabar.” Ketika aku bertanya tentangnya, orang mengatakan kepadaku, : “Semasa
muda, seorang sahabtnya berangkat untuk bepergian jauh. Ketika sahabtnya itu
berpamitan, meneteslah air mata dari salah satu kelopak matanya, namun kelopak
matanya yang sebelah lagi tidak. Ia katakan kepada bola matanya yang tidak
menangis itu : “Mengapa engkau tidak menangis ata keberangkatan sahabatku?”
Engkau kularang melihat dunia ini!” Lalu ditutupnya matanya itu, dan selama
enampuluh tahun belum pernah dibukanya.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Maka bersabarlah
kamu dengan sabar yang baik.” (Qs. Al-Ma’arij :5), bahwa : Sabar yang baik” itu
adalah sabar yang mencegah diketahuinya korban yang terkena penderitaan.
Umar bin Khtahthab r.a. berkata : “Seandainya kesabaran
dan syukur itu adalah dua ekor unta, bagiku akan sama saja mana yang akan
kukendarai.”
Ketika terkena cobaan, Ibnu Syabramah – semoga Allah swt.
merahmatinya – biasa mengatakan : “Semua ini hanyalah awan.” Dan cobaan itu
akan berlalu.”
Ketika Rasulullah ditanya tentang iman, beliau
menjelaskan :
“(Iman) adalah keteguhan hati dalam bersabar
dan bersikap murah hati.” (H.r. Abu Ya’la dan Baihaqi).
As-Sary ditanya tentang sabar, dan ia mulai berbicara.
Lalu seekor kalajengking merayap ke kakinya dan menyengatnya beberapa kali,
namun ia sama sekali tidak bergeming. Seseorang bertanya kepadanya : “Mengapa
engkau tidak mencampakkannya?” Ia menjawab : “Aku malu kepada Allah swt. untuk
berbicara tentang sabar sedang aku sendiri tidak sabar.”
Dalam sebuah hadis dikatakan : “Orang-orang miskin yang
sabar akan bersama di majelis Allah swt. di hari Kebangkitan.”
Allah swt. mewahyukan kepada salah seorang Nabi-Nya :
“Aku menurunkan cobaan kepada hamba-Ku, lalu ia berdoa kepada-Ku. Tetapi aku
menangguhkan doanya dan ia mengeluh kepada-Ku. Maka Aku lalu bertanya : “Wahai
hambaku, bagaimana Aku mengasihimu dari suatu yang dengannya Aku mengasihimu?”
Ibnu “Uyaynah berkomentar megeai arti firman Allah swt. :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (Qs. As-Sajdah : 24). Bahwa artinya
adalah : “Karena mereka memahami kepedulian pokok persoalan, maka kami angkat
mereka sebagai pemimpin.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Kondisi bersabar adalah jika engkau tidak berkeberatan terhadap apa yang telah
ditetapkan (takdir), sedangkan menampakkan cobaan tanpa mengeluh, maka hal ini
tidaklah menghilangkan sabar. Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Ayyub as, :
“Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya ia senantiasa berpaling (kepada Kami).” (Qs. Shaad :44). Allah
memfirmankan ini meskipun Ayyub berkata : “Sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit.” (Qs. Al-Anbiya : 83).” Dan saya mendengar beliau mengatakan : “Allah
menyebutkan ucapan Ayyub ini agar ucapan tersebut menjadi jalan ke luar bagi
orang-orang yang lemah di antara ummat ini.”
Salah seorang Sufi mengatakan, Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar (shabir).” Dia tidak berfirman
: “yang paling sabar (hsabur).” Sebab Ayyub tidaklah sabar sepanjang waktu.
Sebaliknya, terkadang beliau merasa senang terhadap cobaan yang menimmpa
dirinya dan mendapati cobaan tersebut menyenangkan. Pada saat menyenangi cobaan
tersebut, beliau bukanlah orang yang sabar; karena itu Allah tidak menyebutnya,
“yang paling sabar.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq menegaskan : “Hakikat sabar
adalah jika si hamba keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika
memasukinya, sebagaimana dikatakan oleh Ayyub as. Pada akhir cobaan yang
menimpa diri beliau. “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang menyayangi.” Ayyub
memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapannya : “Dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yag menyayangi.” Tetapi beliau tidak
berkata secara jelas, dengan kata-kata : “Limpahkanlah kasih sayang-Mu
kepadaku.”
Sabar ada dua macam : Sabar para ahli ibadat (abidin) dan
sabar para pecinta (muhibbin). Mengenai sabar para ahli ibadat, adalah lebih
baik jika sabar macam ini dipelihara. Mengenai sabar para pecinta, sebaiknya
ditinggalkan. Tentang makna kata-kata ini, para Sufi membacakan syair berikut :
Di Hari perpisahan, bahwa keputusannya
Untuk bersabar adalah satu di antara dua
Sangkaan-sangkaan dan dusta
Mengeni arti syair ini, saya telah mendengar Syeikh Abu
Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Ya’kub as. Telah menyiapkan dirinya untuk bersabar.
Karenanya, beliau lalu mengatakan : “Maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Artinya : “Sikapku adalah bersabar dengan sabar yang baik.”
Namun belum sampai malam tiba, beliau sudah mengatakan : “Aduhai duka citaku
terhadap Yunus.” (Qs. Yusuf :84).
21.
MURAQABAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Qs. Al-Ahzab
:52).
Diriwayatkan dalam suatu hadis, bahwa malaikat Jibril
datang kepada Rasulullah saw. dalam rupa sebagai seorang manusia. Ia bertanya :
“Wahai Muhammmad, apakah iman
itu?” Beliau menjawab : “Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah swt.
para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada takdir yang
baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit.” Jibril berkata : “Engkau
benar.” Jariri (perawai hadis ini) berkata : “Kami semua heran atas
penegasannya terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri yang
bertanya. Kemudian Jibril bertanya lagi : “Katakanlah kepadaku, apakah Islam
itu?” Nabi saw. menjawab : “Islam yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat,
membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan melaksanakan Ibadat Haji ke
Baitullah.” Jibril berkata : “Engkau benar”. Keudian ia bertanya lagi :
“Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?” Nabi menjawab : “Ihsan yaitu hendaknya
engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, (namun) jika engkau
tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril berkata : “Engkau
benar.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Nabi saw.
“Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Merupakan petunjuk
mengenai keadaan mawas diriepatnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah
kepada Allah swt, dan inilah sumber kebaikan baginya. Ia hanya akan sampai
kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya
sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya
di masa kini, tetapi berteguh di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya
dengan Allah swt. dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa
ingat kepada Allah swt. taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ia
mengetahui keadaan-keadaannya. Dia melihat perbuatannya, dan Dia mendengar
perkataannya. Orang yang alpa akan semua hal ini, ia akan jatuh dari titik awal
wushul, lalu bagaimana ia akan mencapai taqarub?”
Al-Jurairy berkata
: “Orang yang belum mengukuhkan rasa takwa dan muraqabah dirinya kepada Allah
swt. tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah merahmatinya ---
berkata : “Suatu ketika ada seorang raja mempunyai seorang menteri yang
mendampingi di hadapannya. Sang menteri berpaling kepada salah seorang pelayan
yang hadir, bukan karena curiga, tapi karena merasa adanya bisik-bisik di
antara pelayang itu. Kebetulan sang raja juga sedang memperhatikan menterinya
itu. Sang menteri khawatir bila sang raja akan mengira ia melihat kepada para
pelayan itu karena curiga. Karena itu, sang menteri tetap mengarahkan
pandangannya kepada mereka. Sejak hari itu sang menteri selalu datang kepada
raja dengan mata memandang ke satu sisi. Inilah mawas diri seorang manusia
terhadap sessamanya; maka bagaimana pula halnya mawas diri hamba terhadap
Tuhannya?”
Saya mendengar sorang fakir mengabarkan : “Ada seorang
raja mempunyai seorang pelayan yang mendapat perhatian lebih dari pelayan
lainnya. Tidak seorang pun di antara mereka yang lebih berharga atau lebih
tampan dari pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka ia
lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayan tersebut dari pelayan
lainnya dalam pengabdian. Suatu hari ia sedang menunggu kuda bersama para
pengiringnya. Di kejauhan tampak sebuah gunung bersalju. Sang Raja menatap ke
arah salju itu dan membungkukkan kepala. Si pelayan lalu memacu kudanya.
Orang-orang tidak tau mengapa si pelayan memacu kudanya. Tidak lama kemudian ia
kembali dengan membawa sidikit salju. Sang raja bertanya kepadanya : “Bagaimana
engkau tau bahwa aku menginginkan salju?” Si pelayan menjawab : “Karena paduka
menatapnya terus, dan seorang raja hanya melihat sessuatu jika mempunyai niat
yang benar.” Maka sang raja lalu berkata : “Aku memberinya anugerah dan
kehormatan khusus, karena bagi setiap orang ada pekerjaanya sendiri, dan
pekerjannya adalah mengamati pandangan mataku dan memperhatikan keadaanku.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Orang yang muraqabah
kepada Allah dalam benaknya, niscaya Allah swt. akan menjaga anggota badannya.”
Ketika Abu Husain bin Hind ditanya : “Kapankah seorang
hamba mengusir domba-dombanya ari padang kebinasaan dengan tongkat panjangnya?”
Ia menjawab : “Manakala ia tau bahwa seseorang sedang memperhatikannya.”
Ketika Ibnu Umar r.a. sedang berada dalam perjalanan ia
melihat seorang anak laki-laki sedang mengembalakan kambing. Ibnu Umar bertanya
kepadanya : “Maukah engkau menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si anak menjawab
: “Kambing-kambing ini bukan milikku.” Ibnu Umar berkata : “Katakan saja kepada
pemiliknya bahwa seekor serigala telah melarikannya.” Si anak berkata : “Lantas
di mana Allah?” Setelah kejadian itu, untuk beberapa waktu lamanya Ibnu Umar
selalu mengatakan : “Budak itu berkata : :Di mana Allah?”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa mewujudan muraqabah,
hanyalah takut akan hilangnya bagian dari Allah swt. tidak yang lain.”
Salah seorang syeikh mempunyai beberapa murid, dan ia
lebih menyukai salah seorang muridnya dn memberinya perhatian lebih daripada
murid-murid yang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab : “Aku akan
menunjukkan kepaamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu
diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung dan memerintahkan
kepada mereka : “Sembelihah burung-burung itu di suatu tempat di mana tidak
seorang pun akan melihatnya!.” Mereka semua lalu berangkat, kemudian
masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi murid kesayangannya
itu kembali dengan membawa burung pemberian sang Syeikh yang masih dalam
keadaan hidup. Ketika Syeikh bertanya : “Mengapa engkau tidak menyembelihnya?”
Si murid menjawab : “Tuan memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di
tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa menemukan tempat
seperti itu.” Mendengar jawaban muridnya itu sang Syeikh lalu berkata kepada
murid-murid yang lain : “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan perhatian
kepadanya.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Tanda muraqabah adalah
memilih apa yang di pilih oleh Allah swt. menganggap besar apa yang dipandang
besar oleh-Nya dan menganggap remeh apa yang di pandang-Nya remeh.”
Ibrahim an-Nashr abadzy menegaskan :
“Harapan (raja’) mendorongmu untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu dari
maksiat; dan muraqabah diri membawamu kepada jalan kebenaran hakiki.”
Ketika ditanyakan kepada Ja’far bin Nashr mengenai
muraqabah, ia berkata kepada saya : “Muraqabah adalah menjaga diri terhadap
sirri dikarenakan adanya kesadaran akan pengawan Allah swt. terhadap setiap
bisikan.”
Al Jurairy menjelaskan : “Jalan kita didbangun atas dua
bagian yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk muraqabah terhadap Allah
swt. dan hendaknya ilmu tampak dalam perilaku lahiriahmu.”
Abdullah al-Murta’isy berkomentar : “ Muraqabah adalah
menjaga diti atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan Yang Ghaib dalam
setiap pandangan dan ucaparn.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya : “Amal ibadat apakah yang
paling baik?” Ia menjawab : “Muraqabah terhadap Allah swt di setiap waktu.”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Kemawasan diri menghasilkan
muraqabah; muraqabah menghasilkan ketulusan bagin dan lahir, semata kepada
Allah swt.”
Abu Utsman al-Maghriby menegaskan : “Disiplin paling
utama pada diri manusia dalam menempuh tharikat ini adalah instropeksi dan
muraqabah, sedang aplikasinya dengan ilmu.”
Abu Utsman menuturkan : “Abu Hafs mengatakan
kepadaku, : “Manakala engkau duduk
mengajar orang gbanyak, jadilah seorang penasihat kepada hati dan jiwamu
sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh berkumpulnya mereka di
sekelilingmu, sebab mereka hanya memperhatikan wujud lahiriahmu, sedangkan
Allah swt. memperhatikan wujud batinmu.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengabarkan : “Salah seorang syeikh
mengatakan kepadaku : “Engkau harus mengawasi batinmu dan bermawas diri
terhadap Allah. Suaut ketika aku sedang bepergian melalui padang pasir, dan
tiba-tiba aku mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku. Aku ingin
menoleh tapi, hatl itu tak kulakukan. Lalu aku melihat sesuatu jatuh ke atas
pundakku, dan aku menoleh, sedang aku menjaga batinku, lantas aku menoleh dan
kulihat seekor binatang buas yang besar.”
Muhammad al-Wasithy berkata : “Amal ibadat terbaik adalah
menjaga waktu. Artinya, si hamba tidak melihat ke luar batas dirinya, tidak
memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya, dan tidak menyertakan diri dengan
sesuatu pun selain waktunya.”
22.
RIDHA
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya.” (Qs. Al-maidah : 119; Al-Bayyinah :8).
Jabir r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Para enghuni surga akan berada di dalam sebuah majelis
ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka, Mereka akan
mengangkat kepada dan Allah swt. akan memandang mereka dan berfirman : “Wahai
penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan!.” Mereka akan
menjawab : “Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.” Allah swt. menjawab :
“Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah memberi kalian
kemuliaan-Ku. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku!” Mereka
menjawab : “Kami memohon tambahan selain ini.”
Selanjutnya Rasul saw. bersabda : “Kemudian mereka akan
dibawakan kednaraan istimewa dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud hijau an
manikam merah. Mereka menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat cepet melebihi
kecepatan peglihatan mata. Lalu Allah swt. memerintahkan buah-buahan yang lezat
serta bidadari supaya dibawa kepada mereka, dan para bidadari itu akan berkata:
“Kami adalah penghibur kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan menjadi
layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.”
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang
harus semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut
“al-Mutsirah” sampai akhirnya mereka di bawa ke Surga “Adn, yang merupakan
pusat surga. Para malaikat akan menyerukan : “Wahai Tuhan kami, mereka telah
datang .” Allah swt. berfirman :
“Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang taat!.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda : “Maka tabir pun akan
disingkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada Allah swt. dan mereka
akan menikmati Cahaya Yang Maha Pegasih hingga mereka tidak akan melihat satu
sama lain. Kemudian Allah swt. memerintahkan : “Kembalikan mereka ke
istana-istana mereka dengan hadiah.”
Rasulullah saw. menlanjutkan : “Mereka akan dibawa
kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan dapat saling pandang lagi.”
Lalu Rasulullah saw. menjelaskan : “Itulah yang dimaksud dengan firman Allah
swt.” Sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Futhshilat : 32).” (H.r. Ibnu an-Najjar dan al-Bazzar).
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha.
Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ahwah) ataukah maqam? Ulama Khurasan
mengatakan : “Ridha adalah salah satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt. Ini
berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri.”
Sedang ulama Iraq mengatakan : “Ridha adalah ssalah satu ahwal, bukan sesuatu
yang diperoleh dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati,
seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah kompromi antara dua pandangan ini
dapat diajukan, dengan pernyataan demikian : “Awal ridha adalah sesuatu yang
dicapai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya ridha
merupakan kondisi ruhani (haal) dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya.”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing-masing
mengungkapkan keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka ungkapan pendapat mereka
berbeda-beda, sebagaimmana berbedanya pengalaman meneguk ruhani dan bagian
masing-masing.
Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang yang
ridha dengan Allah swt. adalah orang yang sama sekali tidak menentang
takdir-Nya.
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ridha bukanlah
bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak
berkeberatan terhadap hukum dan qadha Allah swt.”
Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap
ketentuan Alalh swt. yang telah diperintahkan agar ia ridha dengannya. Sebab
tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan
qadha tersebut, misalnya kemakssiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum
muslimin.
Para syeikh berkomentar : “Keridhaan adalah gerbang Allah
swt. yang terbesar.” Maksud mereka adalah, bahwa barangsiapa mendapat
kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut dengan sambutan paling
sempurna, dan dihormati dengan penghormatan tertinggi.”
Abdul ahid bin
Zaid menjelaskan : “Keridhaan adalah gerbang Allah yang teragung dan surga
dunia.”
Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat
ridha kecuali Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt. telah berfirman :
“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun rela kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah
:119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturan : “Seorang murid
bertanya kepada gurunya : “Apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha
kepadanya?” Sang guru menjawab : “Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang
ridha-Nya gaib?” Si murid berkata : “Sungguh ia tahu hal ini! Jika aku
mendapati hatiku ridha kepada Alalh swt. maka aku tahu bahwa Dia ridha
kepadaku.” Maka sang guru lalu berkata : “Sungguh baik sekali ucapanmu itu,
anak muda.”
Ketika Musa as. Berdoa : “Ilahi, bimbinglah aku kepada
amal yang mendatangkan keridhaan-Mu.” Allah swt. menjawab : “Engkau tidak akan
mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu
mewahyukan kepadanya : “Wahai putra Imran, keridhaan-Ku ada pada keridhaanmu
menerima ketetapan-Ku.”
Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan : “Jika si hamba
membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu, maka ia akan mencapai
ridha.”
An-Nashr Abadzy menegaskan : “Barangsiapa ingin mencapai
derajat kerelaan, hendaklah berpegang teguh apa-apa yang paanya Allah telah
menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan : “Ada dua macam
ridha; ridha dengan Allah swt. dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya.
Ridha dengan Alalh swt. berarti bahwa si hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur.
Dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah
ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Jalan sang pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan itulah jalan
olah ruhani. Jalan kaum terpilih (khawwash) lebh singkat, tapi lebih sulit dan
menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan
takdir.”
Riwaym mengatakan : “Keridhaan adalah jika Allah
meletakkan neraka Jahanam di tangan kanannya, maka ia tidak akan meminta agar
Dia memindahkannya ke tangan kirinya.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar : “Keridhaan adalah
menghilangkan kesedihan dari hati hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain
kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasithy mengajarkan : “Manfaatkanlah keridhaan
sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan
wawasannya tidak menabirimu dari kebenran batin yang menyangkut penglihatanmu.”
Ketahuilah bahwa kata-kta al-Wasithy tersebut sangat
penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat, sebab ridha
terhadap keadaan ruhani belaka merupakan tabir yang gmenabiri Si Pemberi
derajat keadaan ruhani. Jika seseorng menemukan kesenangan dalam ridha dan
mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya, maka ia telah tertabiri oleh
keadaannya sendiri dari musyahadah kebenran batin. Al-Wasithy juga
mengingatkan, : “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadat, sebab
itu adalah racun yang membawa maut.”
Ibnu Khafifi berkta : “Ridha adalah tenangnya hati dengan
ketetapan Alalh swt. dan keserassian hati dengan apa yang menjadikan Allah swt.
ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya.”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya : “Bilakah seorang
hamba dipandang ridha?” Ia menjawab : “Apabila baginya penderitaan sama
menggembirakannya dengan anugerah nikmat.”
Diceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hdapan
al-Junayd : “Tidak da daya dan kekuatan selain dengan Alalh, (la haula wa laa
quwwata illa billah)” dan al-Junayd mengatakan kepadanya : “Ucapanmu itu
merupakan ungkapan dada yang sempit, dan dada sempit (sedih) karena
meninggalkan ridha pada ketentuan-Nya.” Asy-Syibly lalu terdiam.
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Ridha adalah jika
engkau tidak meminta surga kepada Alalh swt. atau berlindung kepada-Nya dari
neraka.
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : Ada tiga tanda ridha,
tidak punya pilihan sebelumm diputuskannya keteapan (Allah), tidak merasakan
kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta
ditengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib r.a.
: “Abu Dzar mengatakan : “Kemiskinan lebih kucintai daripada kekayaan, dan
sakit lebih kucintai daripada kesehatan.” Al-Husain menjawab : “Semoga Allah
mengasihi Abu Dzar. Kalau aku sendiri berpendapat, Orang yang menruh pilihan
baik Allah swt. baginya, tidak akan berkeinginan selaind ari apa yang telah
dipilihkan Allah swt. baginya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi :
“Ridha adalah lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di
luar keadaannya.”
Ketika Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Aku
memohon kepada-Mu ridha setelah diputuskannya ketetapan-Mu.” Dijelaskannya, :
“Ini karena ridha sebelum diputuskannya ketetapan Allah, berarti adanya niat
kuat untuk ridha, tetapi ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah ridha itu
sendiri.”
Abu Sulaiman berkata : “Seandainya aku ingin mengetahui
sebagian kecil saja tentang ridha. Sekali pun itu akan menyebabkan aku masuk ke
neraka, aku akan menjadi orang yang ridha.”
Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan : “Ridha adalah hilangnya
kesedihan terhadap perintah yang manapun.”
Al-Junayd berkata : “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha menegaskan : “Ridha adalah mengarahkan
perhatian hati pada berlalunya qadha bagi si hamba, yaitu meninggalkan ketidak
senangan terhdapnya.”
Ruwaym berkata : “Ridha, tenangnya hati dalam menjalani
ketetapan (Allah).”
An-Nury mengatakan : “Ridha
adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”
Al-Jurairy mengatakan : “Barangsiapa ridha
tanpa batas, Allah swt. akan mengangkat derajatnya di luar batas.”
Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan : “Siapa pun tidak
akan pernah mendapatkan ridha manakala dalam hatinya ada seberat biji sawi
dunia.”
Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah
saw. menjelaskan : “Orang yang ridha Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan
nikmatnya iman.” (Hr. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulis surat kepada
Abu Musa al-Asy’ary, “Amma ba’du”... bahwa segala kebaikan terletak di dalam
keridhaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang
yang ridha, jika tidak mampu jadilah orang yang sabar.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah al-Ghulam biasa
menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan berucap : “Jika Engkau
menghukumku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun
tetap mencintamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Manusia dibuat dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai untuk menentang
keputusan Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “ Seorang laki-laki
mrah kepada salah seorang budaknya, maka si budak lalu minta bantuan seorang
laki-laki lainnya untuk menjadi penengah. Ketika tuannya telah memaffkannya, si
budak lalu menangis, dan si penengah bertanya : “Mengapa engkau menangis,
sedangkan tuanmu telah memaafkanmu?” si tuan berkata kepadanya : “Ia
menginginkan ridhaku, dan tidak ada jalan lagi baginya untuk memperolehnya.
Karena itu ia menangis.”
23.
UBUDIYAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfiman :
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.”
(Qs. Al-Hijr :99).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt.
dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya : Imam
yang adil; pemuda yang bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang
yang hatinya berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke
masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu dan
berpisah karena Allah, seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air matanya
mengalir; serta seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas
menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam; dan
seseorang yang bersedekah dengan diam-diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa
yang diberikan oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah
lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama adalah ibadat. Lalu
ubudiyah, dan akhirnya abudah.” Ibadat adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah
amalam kaum terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang sangat
terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga mengatakan : “Ibadat adalah untuk
orang yang memiliki ilmu yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul
yaqin, dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga
berkomentar : “Ibadat adalah untuk orang yang sedang berrjuang keras
(mujahadah), ubudiyah untuk orang yang sangat tahan menanggung kesukaran
(mukabidat) dan abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak
mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadat, dan siapa yang
tidak bakhil jiwanya dialah pemilik ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil
ruhnya, dialah pemilik abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak
ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas,
dan menydari bahwa amal-amal kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan
takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar
sendiri ketika menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari
keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta
anugerah yang diberikan-Nya kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun
perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau
dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu
sah?” Ia menjawab : “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah swt. dan memiliki kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah
tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal : Kelaparan,
ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau menyerahkan
diri sepenuhnya kepada-Nya dan menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa
engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah bahwa
engkau menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah
Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan banyak
sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan
menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau teerikat kepada
dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau
terikat kepda kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi kehidupan
duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah
hamba pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah
dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya
adalah riya’ dan keadaan-keadaan ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah hamba,
selala ia tidak menuntut apap pun untuk tunduk kepada dirinya. Jika ia telah
menuntut pelayan bagi dirinya, ia benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan
telah meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat
dipandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh kemiskinan dalam kefakiran
tidak tampak, tidak ada tanda kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku
mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai seorang penghamba karen
Yang Dihamba, seperti nilai seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah
atas diri seorang hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah berarti terlarang
dari perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan
pada tiga hal : Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya yang mana pun; tidak
menahan sesuatu pun yang diminta-Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau
meminta kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku :
Kesetiaan pada janji, menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Allah; ridha
terhadap apa pun yang dimiiki; dan kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui banyak
manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang datang mengunjungiku di
berbagai waktu, tak seorang pun yang lebih besar mujahadahnya dan lebih
memelihra ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku tidak
pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam mengagungkan
perintah-perintah Allah swt. daripadanya, yang lebih mengendalikan diri, atau
yang sama pemurahnya kepada sesamanya, dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Tiada sesuatu pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga tiada gelar yang lebih
sempurna bagi seorang beriman selain sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini
Allah swt. ketika menggambarkan sifat
Rasulullah saw. pada malam Mi’raj – saat paling mulia di dunia ini – berfimran
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1). Kemudian Allah swt.
berfirman : “Lalu ia menyampaikan kepada
hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-Najm : 10). Maka seandainya
ada gelar yang lebih agung daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah
menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal : Ketenangan
sampai pada kelezatan, dan keterkaitan Anda atas gerakan. Jika Anda
menggugurkan diri dari dua hal tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah
terrhadap anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne abagi manusia Sufi,
itu merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah
ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di
atas pintu, kegaduhan di dalam tempat tiggal, dan keringanan jiwa ada di
rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana
rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah
sifat hamba yang tak penah pisah. Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih dekat
pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-kekurangan daripada permohonan
imbalan dan pahala.” Ia juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran
akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan
semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang
merupakan dasar kebebasan.”
24.
IRADAT
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya.”
(Qs. Al-An-aam :52).
Diriwayatkan oleh Anas r.a. Bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda :
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka
Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya : “Bagaimana Dia
mempekerjakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab : “Dia akan memberinya
pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) = (adalah
konsentrasi kepda Allah swt. dalam suluk menuju kesempurnaan tauhid. Satu upaya
terpuji dan menjadi tuntutan bagi hamba. Iradat ini sendiri hakikatnya bukan
kehendak dirinya, dan tidak ada pilihan atas maksudnya. Bahwa, seseorang
berkonsentrasi semata karena Kehendak Allah swt). adalah jalan permulaan
para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju
Allah swt. Sifat inni disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak
mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak
meghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di
awal langkah menuju Jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan diserupakan
pada keinginan yang mendahului semua persoalan. Seorang murid mendapat sebutan
demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim dsebut
demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan
isim-isim musytaqat. Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang mengehendaki (murid)
identik dengan orang yang tidakk berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menaggalan kehendak dirinya bukanlah
seorang murid. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak
mempunyai kehendak bukanlah seorang murid.
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat,
masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelasakan, ‘Iradat adalah
berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak
adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus
mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari
semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Leh
karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari
praktik-praktik kebiasaan.”
Hakikat iradat adalah kebangkitan kalbu dalam mencari
Al-Haq. Karena itu dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang
menyakitkan, yang menbuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian Syeikh menuturkan : “Suatu ketika aku hanya
seorang diri di padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku
berteriak, “Wahai manusia, berbicaralah kepadaku. “Apakah yang engkau
kehendaki?” Aku menjawab : “Aku menhendaki Allah swt.” Suara itu bertanya :
“Kapankah engkau menghendaki Allah swt.?”
Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin
dengan kta-kata : “Berbicaralah kepadaku!.” Bagaimana ia dapat disebut
menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar
dalam kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah,
ementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya
sibuk sepanjang waktu, menaggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan
sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana,
dan meninggalkan semua bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair :
Kulibas malam dengan gairahnya
Tiada harimau dan serigala-serigala
Yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam
sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam
batin, dan kilauan-kilauan dalam jwa.”
Yusuf ibnu Husain menuturkan : “Abu Sulaiman dan Ahmad
bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang
perintah Abu Sulaiman dalam semua hal. Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika
yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan :
“Tungku sudah menyala, apa perintahmu?” Abu Sulaimman diam, tidak menjawab;
Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata,
dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya : “Pergilah kamu dan duduk di atasnya
saja!” Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera
memerintahkan : “Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah
berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.” Maka orang-orang pun
pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai
rambut pun terbakar.”
Dikatakan : “Di antara sifat-sifat murid adalah bahwa ia
senang melakukan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam
khalwat, dan sabar dalam menanti aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt,
memiliki rasa malu di hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan
apa yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari
orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada
Tuhan-Nya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan : “Ada tiga hal
yang menyiksa hati seorang murid. Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.”
Seseorang bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia
menjawab : “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan : “Jika engkau datang kepada
seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa
ia telah melanjutkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany berkata : “Aturan hidup yang
layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut : tidur hanya jika
sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala
terpaksa.”
Al-Junayd mengatakan : “Manakala Allah
menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para
Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pangkal iradat, engkau
melakukan isyarat menuju Aeorang murid tidak dapat disebut murid sampai
malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Jika murid mendengar
suatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam
hati hingga akhir hayatnya. Jika berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya
memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak
berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan
dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar : “Tahapan pertama seorang murid
adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Hal terlusit bagi para
murid adalah bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al-Husain mengatakan : “Jika engkau melihat
seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta
pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum,
yakinlah bahwa tidak sesuatu hasil yang akan muncul darinya.”
Seseorang bertanya kepada al-Junayd : “Apakah baik bagi
seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab : “Cerita-cerita
adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan kalbu para murid.” Kemudian
ditanyakan lagi kepadanya : “Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?”
Al-Junayd menegaskan : “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt. : “Dan semua
kisah Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya
Kami teguhkan hatimu.” (Qs. Huud :120).
Al-Junayd mengatakan : Seorang murid yang tulus tidak
membutuhkan ilmu pengethuan para ulama.” Perbedaan antara yang berkehendak
(murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid
sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt.
niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali
dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab
jika Allah menghendaki secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan
dalam memiliki iradat (terhadap-Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad.
Menurut mereka, murid adalah seorang pemula. Sedangkan murad berada pada
pangkalnya. Murid dibimbing melakukan pekerrjaan-pekerjaan yang menguras tenaga
dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah
dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan
ketenteraman. Sunnatullah bagi para penempuh cita-cita beraneka ragam.
Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan
yag berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung.
Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki
pada aalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani,
tetapi sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah
mendapatkan anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis-garis
ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : “Murid menanggung,
sedangkan murad ditanggung.” Ia juga berrkomentar : “Musa, as. Adalah seorang
murid sebab beliau berrkata : “Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!.” (Qs. Thaha
:25), Nabi kita Muhammad saw. adalah seorang Murad, sebab Allah swt. berfirman
mengenai diri beliau : “Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah
menghilangkan dariapdamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami
tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” (Qs. Al-Insyirah : 1-4). Nabi Musa as. Juga
memohon : “Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau!” Allah swt. berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup
melihat-Ku.” (Qs. Al-A’raf : 143), Allah swt. berfirman kepada Nabi kita :
“Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan
bayang-bayang?” (Qs. Al-Furqan :45). Kata-kata : “Apakah kamu tidak melihat
kepada Tuhanmu?” dan : “Bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?” Dimaksudkan
sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat
keadaannya.”
Ketika Al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab : “Murid
dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad
ddikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan;
sedang murad terbang. Bilakah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang.?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan
pesan : “Tanyakan kepada Abu Yazid.” Berapa lama tidur dan kesantaian ini,
padahal kafilah telah berlalu?” Abu Yazid mengirimkan jawabannya : “Katakan
kepada saudaraku Dzun Nuun. : “Seorang laki-laki adalah yang tidur sepanjang
malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.” Dzun Nuun berseru : “Hebat!
Inilah ucapan yang belum sampai pada keadaan kita.”
25.
ISTIQAMAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Tuhan kami
adalah Allah, kemudian mereka amengeluhkan penderitaan mereka, maka malaikat
akan turun kepada mereka, ‘Hendaknya kamu sekalian tidak takut dan tidak gelisah,
dan hendaknya kamu sekalian bergembira dengan surga yang telah dijanjikan untuk
kamu sekalian.” (Qs. Fushilat :30).
Riwayat dari Tsauban, bekas budak Rasulullah saw.
menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Berteguh hatilah (istiqamahlah) kamu, meskipun kamu
tidak akan mampu melakukan sepenuhnya. Ketahuilah bahwa bagian terbaik dari
agamamu adalah shalat, dan tiada seorang yang akan memelihara wudhu, kecuali
orang yang beriman.” (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Istiqamah adalah
derajat yang menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, dan
memungkinkannya untuk mencapai manfaat-manfaat secara tetap dan teratur. Upaya
dan perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia.”
Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang
menguarikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali.” (Qs. An-Nahl :92).
Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak akan
pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam berikutnya, dan suluknya
tidak akan kokoh.
Salah satu persyartan istiqamah dalam hukum kepemulaan.
Sebagaimana bagi ‘arifin, istiqamah merupakan pangkalnya. Tanda istiqamah dari
mereka yang mulai menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah mereka tidak
tercemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada pada tahap pertengahan
(ahlul wasaith) adalah bahwa tidak ada kata “berhenti”. Tanda istiqamah mereka
yang berada pada tahap akhir adalah, bahwa tidak ada tabir yang melindungi
mereka dan kelanjutan wushulnya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjeaskan : “Ada
tiga derajat istiqamah. Menegakkan segala sesuatu (takwim), meluruskan segala
sesuatu (iqamah) berlaku teguh
(istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa; iqamah berkaitan dengan
penyempurnaan hati; dan istiqamah berhubungan dengan tindak mendekat kepada
Allah dengan jalan sirri.”
Abu Bakr ash-Shiddiq. Ra. Berkomentar : “Makna firman-Nya
.... kemudian mereka ber istiqamah.’ Adalah bahwa mereka tidak menyekutukan
Allah swt. dengan sessuatu pun.” Umar bin Khaththab r.a. mengajarkan : “:Artinya
: “mereka tidak menipu orang lain seperti rubah.”
Pendpat Abu Bakr merujuk pada pelaksanaan prinsip-prinsip
tauhid, sedangkan pendapat Umar merujuk kepada sikap mencegah diri dari
penafsiran-penafsiran yang dipaksakan, dan pelaksanaan syarat-syarat
perjanjian.
Ibnu Atha’ mengatakan bahwa ayat di atas berarti :
“Mereka istiqamah dalam membatasi hati mereka kepada Tuhan.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Jadilah
pemilik istiqamah, bukan pencari karamah. Sebab nafsumu masih berkutat mencari
karamah, padahal Allah swt, menuntutmu istiqamah.
Abu Ali asy-Syabbuwy menuturkan : “Aku bermimpi bertemu
dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada Beliau : “Dikabarkan bahwa Paduka
bersabda : “Surat Huud telah membuat rambutku menjadi putih.” Apakah (rambut
Paduka menjadi putih karena) kisah-kisah para Nabi ataukah karena
dimusnahkannya ummat-ummat (zaman dahulu?) Beliau menjawab : “Bukan, melainkan
karena firman Allah swt.”
“Maka beristiqamahlah kamu sebagaimana kamu telah
diperintah!.” (Qs. Huud :112).
Dikatakan : Hanya orang-orang besar saja yang dapat
memelihara istiqamah, sebab hal ini meninggalkan perkara yang sebelumnya
disepakati dan meninggalkan adat serta kebiasaan, menegakkan ketulusan secara
esensial di sisi Allah swt. Karena itu, Nabi saw. bersabda : “Beristiqamahlah
kamu, mekipun kamu sekalian tidak akan mampu melakukan sepenuhnya!.”
Al-Wasithy mengatakan :Istiqamah adalah sifat akhlak
sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk.”
Asy-Syibly mengatakan : “Istiqamah berarti engkau
menghadapi setiap waktu, sebagai wahana bangkitnya.”
Dikatakan : “Istiqmah dalam berbicara berarti
meninggalkan perbuatan menggunjing orang, dalam tindakan berarti menjauhi
bid’ah, dalam amal saleh berarti meninggalkan kemalasan dan dalam keadaan
(haal) batin ia berarti menyingkap hijan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin
Furak menjelaskan : “Huruf siin dalam lafadz ‘istiqamah’ adalah siin
pencapaian. Artinya, mereka memohon istiqamah dalam bertauhid, kemudian dalam
menepati janji, dan dalam menjaga batas-batas perilaku mereka sesuai dengan
ketetapan Allah swt.”
Ketahuilah bahwa istiqamah melahirkan ketetapan akan
karamah. Allah swt. berfirman :
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas
tharikat itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang
berlimpah.” (Qs. Al-Jin :16),
Allah swt, tidak berfirman : “Kami akan membairkan mereka
minum.” Melainkan : “Kami akan memberi mereka minum dengan air yang berlimpah.”
Yang menunjukkan keabadiannya.
Al-Junayd berkata : “Aku berjumpa denegan salah seorang
penempuh jalan Allah (salik) di padang pasir di bawah sebatang, dialah Ummu
Ghailan. Kutanyakan kepadanya : “Mengapa Anda duduk di situ? Ia menjawab : “Ada
peristiwa, aku kehilangan sesuatu, dan aku berlalu meninggalkannya. Ketika aku
kembali dari ibadat haji, aku bersama pemuda, kutemukan barang tersebut telah
berpindah ke sebuah tempat yang lebih dekat ke pohon itu.” Aku bertanya :
“Mengapa Anda duduk di sini?” Ia menjawab : “Aku telah menemukan apa yang telah
kucari di tempat ini, jadi tetap saja aku duduk di sini.” Al-Junayd berkata :
“Aku tidak tahu mana yang lebih mulia, kegigihannya karena kehilangan keadaan,
atau keteguhan hatinya tinggal di tempat di mana ia telah mencapai kehendaknya.”
26.
IKHLAS
Edit : Pujo Prayitno
Friman Allah swt. :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik).” (Qs. Az-Zumar :3).
Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim
jika ia menetapi tiga perkara. Ikhlas beramal hanya bagi Allah swt. memberikan
nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat
Muslim.” (Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar).
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah set. Sebagai
Satu-satunya sesembahan. Sikap taat diaksudkan adalah taqarrub kepada Allah
swt. mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian
atau pun peghormatan dari manusia. Atatupun konotasi kehendak selain taqarrub
kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan : “Keikhlasan berarti menyucikan
amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.” Dikatakan juga
“Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu
manusia.”
Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda
:
“Aku bertanya kepada Jibril
as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata : “Aku bertanya
kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah swt.
menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati
hamba-hamba-Ku yang kucintai.” (Hr. Al-Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Keikhlasan adalah
menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq berarti membersihkan
diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap
riya’ dan orang yang jujur tidaklah takjub pada diri sendiri.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Keikhlaan hanya tidak
dapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara menetapi dengan sebenar-benarnya
dan bersabar untuknya. Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara
berikhlas secara terus menerus.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Apabila mereka melihat
keikhlasan dan dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan
keikhlasan lagi.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ada tiga tanda
keikhlasan. Manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan
manusia samasaja; melupakan amal ketika beramal; dan jika ia lupa akan haknya
untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.”
Aengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan
datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir
dari mereka tetapi mereka amenyadari perbuatan baiknya bukan dari diri sendiri,
tidak pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan.”
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan : “Cacat keikhlasan dari
masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan keikhlasannya itu.
Jika Allah swt. menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya. Dia akan
menggugurkan keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya sendiri
dan jadilah ia sebagia orang yang diikhlaskan Allah swt. (mukhlash) bukannya
berikhlas (mukhlish).”
Sahl berkata : “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish)
sajalah yang mengetahui riya.”
Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan : “Riya kaum ‘arifin
lebih baik daripada ikhlas para murid.”
Dzun Nuun berkata : “Kekikhlasan adalah apa yag
dilindungi dari kerusakan musuh.”
Abu Utsman mengatakan : “Keikhlasan adalah melupakan
padnangan makhluk melalui perhatian yang terus menerus kepada khlaik.”
Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar : “Keikhlasan berarti
bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya.”
Dikatakan : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya
Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan serta tindakan.”
Dikatakan pula : “Keikhlasan berarti mengikat diri
sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik.”
As-Sary mengatakan : “Orang yang menghiasi dirinya di
hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti tercampak dari
penghargaan Allah swt.”
Al-Fudhail berkata : “Menghentikan amal-amal baik karena
manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas
berarti Allah menyembunyikan dari dua penyakit ini.”
Al-Junayd mengatakan : “Keikhlasan adalah
rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui
sedikit pun mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya
hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak
mampu mempengaruhinya.”
Ruwaym menjelaskan
: “Ikhlas dalam beramal kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak
menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat.”
Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah : “Apakah hal terberat
pada diri manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya
bagian di dalamnya.”
Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi
menjawab : “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah swt.
untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”
Salah seorang Sufi menuturkan : Aku menemui
Sahl bin Abdullah pada hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular
di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di pintu. Ia berseru : Masuklah!
Tidak seorang pun dapat mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu
pun di atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak mengikuti shalat
Jum’at? Aku menjawab “Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh
perjalanan sehari semalam. Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat
kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat,
kemudian keluar. Sahl berdiri di sana, melihat ke arah orang banyak, dan
berkata : Banyak orang mengucapkan “Laa ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas
amatlah sedikit.”
Makhul berkata : “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas
seama empat puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari
hati pada lisannya.”
Yusuf bin al Husain berkomentar : “Milikku yang paling
berharga di atas dunia inni adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah
berjuang untuk membebaskan hatiku dari riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia
muncul dalam warna yang lain!.”
Abu Sulaiman berkata : “Jika seorang hamba berikhlas,
maka terpotonglah waswas dan riya”.
27.
KEJUJURAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs. At-Taubah :19).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah
saw. bersabda :
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh
hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebgaia orang
yang jujur, dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat
dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Hr. Abu Dawud dan
Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persolana,
dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula
ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan
Allah swt. :
“.... Maka mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan orang-orang
yang menetapi kejujuran (Shiddiqin) para syuhada’ dan orang-orang ssaleh.” (Qs.
An-Nisa’ :69).
Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq
(kejujuran). Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan
berarti orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan
kata-kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang penuh
anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah bila batin seseorang
selaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam
kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua
kata-kata, perbuata dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan : “Barangsiapa ingin
agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh pada kejujuran, sebab Allah
swt. bersama-sama orang yang jujur.”
Al-Junayd berkata : “Orang yang jujur berubah empat puluh
kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada dalam satu keadaan selama
empat puluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Jika orang yang
jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lisannya tidak akan
mengatakannya.”
Dikatakan : “Bersikap jujur berarti menegaskan kebenaran,
meskipun terancam kebinasaan.”
An-Naqqad mengatakan : “Sikap jujur berarti mencegah
kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar : “Sikap benar adalah
setia kepada Allah swt. dalam tindakan,”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Seorang
hamba yang menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum
semerbaknya kebenaran.”
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan : “Orang yang jujur
adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika rahasianya diungkapkan.
Allah swt. berfirman : “Maka, inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang
jujur.” (Qs. Al-Baqarah :94).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu hari Abu Ali
ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba Abdullah bin Munazil berkata
kepadanya : “Wahai Abu Ali, siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada
jalan untuk lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai Abdullah,
siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya. ‘Maka disaat
itulah Abdullah merebahkan diri, membentangkan kedua tangannya, menundukkan
kepalanya dan mengatakan : “Aku mati sekarang.” Abu Ali pun diam terpaku
karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi apa yang dilakukan Abdullah,
karena Abu Ali masih terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari
ikatan dunia.”
Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di hadapan
sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara mereka berteriak, Abu Abbas
memarahinya dengan kata-kata : “Matilah engkau!” Wanita itu bangkit, maju
beberapa langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku telah mati.” Kemudian
ia jatuh ke tanah dan mati.”
Al-Wasithy berkata : “Kejujuran adalah keyakinan yang
kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan niat.”
Dikatakan : “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada
seorang pemuda di antara para sahabtnya, yang bertubuh kurus kering, dan Abdul
Wahid bertanya kepadanya : “Apakah engkau telah terlalu lama memperpanjang
puasamu?” Pemuda itu menjawab : “Aku juga bukan memperpanjang berbuka. Kemudian
Abdul Wahid bertanya : Apakah engkau telah memperpanjang waktu bangun untuk
shalat malammu?” Pemuda itu menjawab : Bukan, bukan pula aku telah
memperpanjang tidur.” Lalu Abdul Wahid pun bertanya : Apakah yang telah
membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu menjawab : “Hasrat yang selalu berkobar dan
rahasia terpendam yang abadi.” Abdul Wahid berseru, Dengarlah! Betapa beraninya
pemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju dua langkah dan berteriak : “Ya
Allah, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang juga!” lalu ia pun
jatuh dan meninggalkan dunia ini.”
Abu Amr az-Zajjajy menuturkan : Ibuku meninggal, dan aku
mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan harga limapuluh dinar dan
kemudain berangkat menunaikan ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang
penggali saluran air bertanya kepadaku : “Apa yang engkau bawa ?” Aku berkata
dalam hati : “Kejujuran adalah yang terbaik.” Dan aku menjawab : “Uang lima
puluh dinar.” Ia berkata : “Serahkanlah kepadaku!” Maka akupun memberikan
kantong uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di dalamnya, dan
ternyata memang ada limapuluh dinar. Berkatalah ia : “Ambillah kembali uangmu!”
Kejujuranmu menyentuh hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata :
“Niaklah kudaku” Aku balik berkata : Aku tidak menginginkannya.” Ia berkata :
“Harus...!” dan terus memaksaku menaiki kudanya. Kahirnya setelah aku bersedia
naik di atasnya, ia berkata : Aku di belakangmu.” Satu tahun kemudian ia
berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku hingga akhir hayatnya.”
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan : “Orang jujur tidak
memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau ibadat utama bagi Allah
swt.”
Al-Junayd berkata : “Inti kejujuran adalah bahwa engkau
berkata jujur di wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur tidak akan selamat
kecuali berdusta.”
Dikatakan : “Tiga hal tidak penah lepas dari seorang
jujur ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di wajahnya.”
Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as. : “Wahai
Daud, barangsiapa menereima apa yang kukaakan dengan sejujurnya dalam hatinya niscaya
Aku akan mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk manuisa dalam lahiriahnya.”
Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi bersma
Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah : “Ibnu Sitanbah mengatakan kepadaku : “Campakkanlah
segala apa yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala sesuatu yang ada padaku,
kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai Ibrahim, janganlah engkau
membebani pikiranku!. Campakkanlah keerikatanmu! Maka dinar itu pun lalu
kulemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan. Wahai Ibrahim, campakkanlah
keterikatanmu!” Lalu aku ingat bahwaaku masih memiliki beberapa tali sandal
cadangan, yang lalu kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap
kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku.
Ibrahim bin Sitanbah mengatakan : “Inilah orang yang beramal dengan Allah swt.
secara jujur.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Kejujuran adalah pedang
Allah, tidak satu pun di letakkan padanya, kecuali akan terpotong.
Sahl bin Abdullah mengataka : “Awal penghianatan
orang-orang jujur adalah menculnya keraguan dengan dirinya.”
Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly
memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang besi. Mengambil sebatang
besi yang merah membara, meletakkannya di telpak tangannya dan berkata : “Inilah
kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata : “Aku lebih suka menghabiskan
waktu semalam bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa daripada berperang dengan
pedangku di Jalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan : “Kejujuran
adalah seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya, atau engkau dilihat
seperti apa adanya dirimu.”
Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda
kejujuran, ia menjawab : “Orang yang jujur adalah orang yang manakala tidak
peduli akan ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas
ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya
kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah popularitasnya di
antara manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci bila perbuatan buruknya
dilihat oleh orang banyak, Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang
demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-orang jujur.”
Salah seoran Sufi berkomentar : “Jika seseorang tidak
memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka pelaksanaan keajiban-kewajiban
agamanya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkeseorang bertanya : “Apakah
kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjwab : “Kejujuran.”
Dikatakan : “Jika engkau mencari Allah swt. dalam
kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cermin yag di dalamnya engkau akan
melihat semua keajabiban dunia dan akhirat.”
Dikatakan : “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa
takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan bermanfaat bagimu.
Janganlah menipu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, padahal
pasti ia akan merugikanmu.”
Dikatakan juga : “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi
persahabatan seorang pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan : “Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya
untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan : “Lingkup pembicaraan itu demikian
luas hingga (sebetulnya) orang tidak perlu berdusta.”
Dikatakan : “Seorang pedagang
yang jujur tidak pernah melarat.”
28.
MALU
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat
segala perbuatannya?” (Qs. Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).
Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang
sebenar-benarnya.” Mereka berkata : “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi
Allah, dan segala puji bagi-Nya!.” Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu yang
sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah swt.
hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya
dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang
yang menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan
duniawi. Orang yang melakukan semua ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang
sebenarnya di hadapan Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh
Al-Hakim).
Sebagian hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu tetap
hidup dalam hatimu dengan cara berteman dengan orang yang dipermalukan orang
lain.”
Ibnu Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu adalah
rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa engkau
merasakan kegentaran dalam hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah
engkau lakukan di hadapan Allah swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat orang
berbicara, malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang gelisah.”
Abu Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang
malu, namun tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti telah terkena
istidraj.”
Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin
al-Haddad datang kepada Abdullah bin Munazil, yang menanyakan kepadanya, “Anda
datang dari mana?” Ia menjawab : “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.”
Abdullah bertanya kepadanya : “Apa topik pembicaraannya?” Dijawabnya : “Tentang
malu.” Abdullah berkomentar : “Menkajubkan sekali, bahwa orang yang belum
pernah merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara tentang malu?”
As-Sary berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke
dalam hati seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan zuhud, maka mereka akan
menetap. Jika tidak, mereka akan meneruskan perjalanan.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Pada generasi
pertama Kaum Muslimin, orang mengamalkan agama sampai agama menjadi lemah. Pada
generasi kedua, merekea menekankan kesetiaan, sampai kesetiaan lenyap. Pada
generasi ketiga, mereka menekankan keksatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada
generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai malu itu lenyap. Sekarang
orang beramal karena hasrat dan takut.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Dia (istri
al-Aziz) telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud (melakukannya pual) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat
tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf :24), pengertian : “Tanda” di sini adalah,
bahwa di saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung yag ada di
sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya : “Apa yang engkau lakukan?” Ia menjawab :
“ “Aku merasa malu di hadapannya.” Yusuf berkata : “Aku lebih punya alasan lagi
untuk malu di hadapan Allah swt.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu.”
(Qs. Al-Qashash :24), bahwa ia malu Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu
seandainya Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan rumah, adalah
jenis malu yang muncul dari penghormatan kepada tamu.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman : “Wahai
hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa akan
kekuranganmu, Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk, dan Aku tidak akan
meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan.”
Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat
shalat di luar masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan shalat di dalam?”
Laki-laki itu menjawab : “Saya malu memasuki rumah Allah karena telah
bermaksiat kepada-Nya.”
Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu
adalah, bahwa ia tidak pernah terlihat dalam situasi yang membuatnya malu.
Sebagian Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar dan
melwetti rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di tempat itu, sedang
kudanya merumput dekat kepalanya. Kami membangunkan orang itu dan bertanya
kepadanya. “Tidakkah engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh
binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab : “Di hadapan-Nya, aku
malu menakuti apa pun selain Dia.” Kemudian diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan
tidurnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Nasihatilah
dirimu. Jika engkau menghirauikan ansihat itu, maka nasihatilah manusia. Jika
tidak, maka malulah kepda-Ku untuk menasihati manusia.”
Diaktakan bahwa ada beberapa macam malu. Yang pertama
adalah malu dikarenakanpelanggaran, seperti malu Nabi Adam as. Ketika ditanya :
“Apakah engkau berniat lari dari Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena malu
di hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas, seperti malu para
malaikat yang mengatakan : “Maha Suci Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak
sebagaimana layaknya Engkau disebah.” Yang ketiga adalah malu karena
mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang menutupkan sayapnya ke tubuhnya
karena malu kepada Allah, Yang keempat adalah malu karena kemuliaan hati,
seperti malu rasulullah saw. ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-tamu
beliau, dan Allah swt. lalu berfirman : “.... dan jika kamu selesai makan,
keluarlah kamu semua tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53).
Yang kelima adalh malu karena enggan, seperti malu Ali bin AbuThalib ra. Ketika
menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw. tentang hukumnya
madzy (lendir yang mengalir dari alat kelamin laki-laki, keluar air mani)
karena mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah malu karena terlalu remeh untuk
diungkapkan, seperti malu Musa as. Ketika munajat : “Aku mengajukan suatu
kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan Allah
lalu menjawab kepadany : “Minalah kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan
jerami untuk domba-dombamu.” Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi
kenikmatan, yang merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang distempel
kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan di akhirat. Di dalam buku itu
tba-tiba tertulis : “Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu
menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya bin
Muadz berkata, Maha Suci Dzat Yang didustai hamba, sedang Dia mereasa mau,
padahal dosa itu datang dari sang hamba.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda
celaka seorang manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu,
hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”
Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku
telah mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku merasa
malu jika tidak mengabulkan doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa
malu kepada-Ku.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Bagi manusia yang malu di
hadapan Allah swt. ketika ia taat, mka Allah akan malu ketika ia melakukan
dosa.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa
malu menebabkan pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa malu adalah mencairnya
organ-organ tubuh manusia sebelah dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan
kepadanya.
Dikatakan : “Malu adalah mengkerutnya hati manusia untuk
mengagungkan kebesaran Tuhan.”
Dikatakan juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan
sekumpulan manusia, memperingatkan dan menasihati mereka, maka kedua
malaikatnya berseru kepadanya : “Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau
memperingatkan saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di hadapan Tuhanmu,
sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab : “Penglihatan
pada rahmat Allah swt. terus tercurah dan penglihatan terhadap keterbatasan
diri. Di antara keduanya kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,
Muhammad al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan
pernah merasakan sengatan malu, yang memakai robekan batas-batas yang
ditetapkan Allah atau merusak janji.” Dikatakannya pula : “Keringat mengalir
keluar dari orang yang merasa malu. Ia adalah anugerah yang ditempatkan di
dalam dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam dirinya, maka ia akan
dijauhkan dari malu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti
meninggalkan semua tendensi di hadapan Allah swt.
Abu Bakr al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua
rakaat kepada Allah swt. Tiba-tiba kau membatalkannya karena merasa malu
seperti seorang pencuri (yang tertangkap basah).”
SEPANJANG : 14 DESEMBER 2013
UNTU KELANJUTAN ;; DI SAMBUNG BAGIAN KE DUA
UNTU KELANJUTAN ;; DI SAMBUNG BAGIAN KE DUA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar