IMAM AL-QUSYAIRY
AN-NAISABURY
“RISALATUL
QUSYAIRIYAH”
(INDUK ILMU TASAWUF BAB : IV)
Penerbit : RISALAH
GUSTI - SURABAYA
Tahun : April 1997
Alih Bahasa : Mohammad Luqman Hakiem
Penyadur : Pujo Prayitno
BAB IV.
KONDISI RUHANI DAN KAROMAH
DATAR ISI
1.
KARAMAH PARA WALI
2.
URGENSI WALI DAN KEWALIAN
3.
MIMPI
4.
WASIAT BAGI PARA MURID
1.
KARAMAH PARA
WALI
Edit : Pujo Prayitno
Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan.
Dalil atas perkenannya : “Bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara
yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar
prinsipal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat
(Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka
tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.”
Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang
yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar, maka kemunculan
seperti karamah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang menunjukkannya, bahwa
definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa
membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil
dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekluatif. Pembedaan itu tidak bisa
dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan
oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain
adalah karamah itu sendiri, sebgaimana kami isyaratkan.
Karamah tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang
kontra adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat
kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.
Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan aanya
perbedaan antara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ishaq al-Isfirayainu ---
rahimahullah ta’ala – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenran para
Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana
aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yag menunjukkan jatinya sebagai
ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memliki ilmu
pengetahuan.” Dia juga menegaskan : “Para Wali memiliki karamah, yang serupa
dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu’jizat bagi
para Nabi, itu tidak benar.”
Imam Abu Bakr bin Furak – rahimahullah – berkata :
“Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang mendapatkan
mu’jizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu’jizat menunjukkan kebenaran dalam
ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian, mu’jizat tersebut
menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik. Maka yang terakhir
isi disebut karamah. Tidak disebut mukjizat, walau pun karamah tersebut sejenis
dengan mu’jizat. Namun ada perbedaan.
Di antara perbedaan-perbedan mu’jizat dan karamah, bahwa
mu’jizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara pada Wali, harus
menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi --- shalat dan salam Allah semoga
melimpah padanya – mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran uacapannya.
Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya,
juga tidak memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu
merupakan cobaan.
Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu Bakr
al-Asy’ary, berkata : “Mu’jizat itutentu bagi para Nabi, dan karamah khusus
bagi para Wali, sebagaimana mu’jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para wali
tidak ada mu’jizat. Sebab salah satu syarat dari mu’jizat adalah disertai
dengan dakwah kenabian yang didasarkan mu’jizat tersebut. Mu’jizat sendiri
tidak dikatakan sebagai mu’jizat dilihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi
mu’jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya. Apabila salah satu syarat
saja cacat, tidak dikategorikan mu’jizat. Salah satu syarat mu’jizat adalah
dakwah kenabian. Sedangkan Wali tidak mendakwahkan kenabian. Dan yang muncul
dari Wali tidak disebut sebagai mu’jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang,
kami yakini dan kami patuhi. Syarat-syarat mu’jizat secara keseluruhan atau
lebih, ada dalam sayarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas. Sedangkan
karamah adalah suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru. Sebab sesuatu
yang bersifat qadim, tidak dikhususkan pada seseorang. Sifat karamah adalah
kontra terhadap adat kebiasaan. Muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba
sebagai keistimewaan dan keuatamaan. Kadang-kadang gkaramah diperoleh melalui
ikhtiar dan doanya, kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidak bisa mendapatkan
karamah. Kadang pula muncul di luat ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu.
Seorang Wali tidak diperintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalau toh
pun muncul semacam itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu
diperbolehkan.”
Ahli hakikat berbeda padang mengenai Wali : apakah dia
boleh mengetahui atau tidak, bahwa dirinya itu seorang wali?
Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata : “Tidak boleh
seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus
menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat atas
kebolehannya. Pandanganninilah yang kami pilih dan kami prioritaskan. Tetapi
hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali harus
mengetahui bahwa dirinya itu Wali. Namun masing-masing di antara mereka boleh
mengenalnya sebagai wali, sebagaimana masing-masing diperbolehkan untuk tidak
mengenal mereka. Apabila sebagaian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa
salah seorang di antara ada yang Wali, maka pengetahuannya itu tergolong
sebagai karamah yang dimiliinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan
kenyataannya harus merata bagi semua Wali. Bahkan kalau toh seorang Wali tidak
mempunyai karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda
dengan para Nabi, mereka wajib mempunyai mu’jizat. Sebab Nabi diutus untuk
dakwah kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak
bisa diketahui kecuali melalui mu’jizat. Sementara Wali tidak diwajibkan
berdakwah melalui karamahnya kepada makhluk. Begitu pula tidak harus setiap
Wali itu mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat,
membenarkan sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan dalam hadis, sebagai
ahli surga.
Sedangkan pendapat mereka yang tidak memperkenankan
seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, dikhawatirkan ia harus keluar dari
rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya perubahan
akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa takut
dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt. justru menambah
dan meningkatkan banyak rasa takutnya.
Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang bertumpu pada
karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus berupaya
mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis karamah,
seperti : Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata karena
pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga mereka
lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.
Secara keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah
bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para jumhur ahli ma’rifat
juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadis dan hikayat yang
menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya karamah tersebut
sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa diragukan. Hal-hal yang muncul
dari kaum Sufi dan hikayat dikenal banyak orang, apalagi kisah-kisah mereka,
sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.
Dalil-dalil atas semua itu ditegaskan oleh
Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika
mengatakan : “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip.” (Qs. An-naml :40). Padahal sahabat Sulaiman as. Ini bukan termasuk
seorang Nabi,
Sedang sebuah
atsar datang dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. ketika sedang
berkhutbah Jum’at, tiba-tiba berkata “ Wahai Sariyah! Tetap saja engkau di
bukit itu!.” Umar meneriakan suaranya itu dan didengar pula oleh Sariyah pada
saat itu. Sehingga tentara Islam menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah
bukit pada saat itu pula.
Bila ditanyakan : “Bagaimana diperbolehkan menampakkan
karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas
mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para
Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam-Nya?”
Jawabnya : “Karamah-karamah tersebut bertemu dengan
mu’jizat Nabi Kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar Islamnya,
karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara ummatnya
muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut. Sebab
kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari
pengikutnya. Sedangkan derajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi –
Alaihis salam – karena adanya ijma’ atas perkara tersebut.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya mengenai masalah ini,
jawabnya : “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi – semoga Allah swt.
melimpahkan salam keapda mereka – ibarat tempat air (geriba) yang di dalamnya
ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu, sepadan dengan
apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedangkan geribanya adalah ibarat Nabi
Kita Muhammad saw.
KARAMAH DALAM
AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Ketahuilah bahwa karamah-karamah paling agung bagi para
Wali adalah, kelanggengan taufiq untuk selalu taat kepada Allah saw. terjaga
dari maksiat dan segala hal yang menyimpang. Sahl bin Abdullah meriwayatkan : “Siapa yang zuhud di dunia selama empatpuluh hari, dengan
niat yang benar dari hatinya dan ikhlas, maka dia akan ditampakkan karamahnya.
Namun jika tidak muncul karamahnya, semata karena zuhudnya tidak benar.”
Maka Sahl ditanya : “Bagaimana karamah tersebut muncul bagi orang tersebut?”
Sahl menjawab : “Dia mengambil sekehendaknya, sebagaimana dia berkehendak dan
kapan saja ia berkehendak.”
a.
Karamah yang disebut dalam Al-Qur’an
1.
Al-Qur’an banyak menyebutkan contoh soal karamah yang
muncul dari para Wali. Kami sebutkan, diantaranya firman Allah swt. tentang
Maryam as, dan beliau bukan termasuk Nabi ataupun Rasul :
“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik
dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria
pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakaria berkata : “Hai Maryam, darimana kamu memperoleh
(makanan) ini?” Maryam menjawab : “Makana itu dari sisi Allah, Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Qs. Ali Imran
:37).
Firman-Nya pula :
“Dan goyanglah pangkal pohon itu ke arahmu, niscaya pohon
itu akan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Qs. Maryam :25).
2.
Kisah Ashhabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul,
seperti anjing yang berbicara dengan mereka.
3.
Kisah Dzulqarnain, dan kompetensi yang diberikan oleh
Allah swt. yang tidak diberikan kepada orang lain.
4.
Hal-hal yang
muncul dari tangan Khidir as, yakni perkara-perkara yang berbeda dengan adat
kebiasaan, dimana hanya Khidhr yang mampu. Beliau bukan Nabi, tetapi Wali.
b.
Karamah yang
disebut dalam As-Sunnah :
(1)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. yang
berssabda : “Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi : “Isa bin Maryam, bayi di masa
Juraij, dan seorang bayi lain.”
Juaraij adalah seorang hamba yang taat di masa Bani
Israil. Dia punya seorang ibu. Suatu hari dia shalat, tiba-tiba ibunya
memanggil : “Juraij!” panggil si ibu. “Tuhan, apakah aku meneruskan shalat atau
memenuhi panggilan Ibu?” kata Juraij dalam hatinya. Namun Juraij tetap saja
shalat, dan panggilan ibunya terulang lagi. Juarij pun tetep saja shalat lagi.
Kemudian ibunya merasa jengkel, lantas berdoa : “Ya Allah, jangan kau ambil
nyawa Juraij hingga wajah seorang pelacur Engkau tampakkan di hadapannya.”
Di sana ada seorang pelacur di zaman Bani Israil. Pelacur
ini berkata pada banyak orang : “Aku akan menggoda Juraij hinnga ia mau
berzina.” Pelacur itu pun mendatangi tempat Juraij, namun gagal menggodanya.
Di dekat suaru Juraij ada seorang penggembala yang biasa
tidur di dekat suraunya. Ketika Juraij menolak tawaran sang pelacur, pelacur
itu beralih merayu si penggembala. Dan penggembala itu pun mau menyetubuhinya.
Akhirnya pelacur itu hamil. Ketika melahirkan, orang-orang menanyakan anak
siapa gerangan? Pelacur itu menjawab : “Ini anaknya Juraij.” Lalu Kaum Bani
Israil mendatangi suraunya, merobohkan dan memaki-maki Juraij.
Ketika itu Juraij sedang shalat, lantas berdoa kepada
Tuhannya, dan mendekati so bocah : “Hai bocah, siapa ayahmu?” tanya juraij.
Bocah itu menjawab : “Ayahku adalah penggembala.”
Kaum Bani Israil sangat menyesali tindakannya, dan
meminta maaf pada Juraij. Mereka mengatakan pada Juraij : “Kami akan membangun
kembali suraumu.” Namun Juraij menolaknya, dan dia bangun sendiri seperti
bangunan semula.
(2)
Hadis tentang Gua : Rasulullah saw. bersabda : “Tiga
laki-laki dari orang terdahulu sebelum kalian berangkat pergi. Mereka akhirnya
harus menginap dan msuk ke dalam gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit
menggelincir, sehingga menutup pint gua. Mereka berkata : “Demi Allah, kita
tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah
lantaran amal-amal kita yang saleh.”
Salah sorang di antara mereka berkata : “Aku mempunyai
dua orang tua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu,
juga keluargaka sebelum keduanya. Suatu hari aku disibukkan pekerjaan, sampai
aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku
membuat susu untuk minuman sore bagi keduanya. Ketika kuhidangkan untuk mereka,
ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan
mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri,
sementara tempat minum ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka
berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun, lalu meminum minuman sore
itu.
Ya Allah, bila
yang kulakukan itu semata hanya untuk Diri-Mu, maka bukakanlah kai, dari kesulitan
di dalam gua ini.” Lalu batu itu pun bergeser sedikit, namun belum memberi
peluang mereka untuk keluar.
Orang kedua berkata : “Ya Allah, aku punya adik
misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu
dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun.
Suatu ketika dia datang padaku, dan kuberi sertaus duapuluh dinar. Dengan
syarat ia mau untuk berduaan saja antara diriku dengan dirinya. Maka kami pun
berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkta :
“Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.” Maka aku merasa
berdoa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah
gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya.
Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami
dari keslitan dalam gua ini.” Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih
belum mampu keluar dari pintu gua.
Kemudian orang ketiga berkata : “Ya Allah, sesungguhnya
aku mempekerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka
semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun
upah itu aku simpan dan kukembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil
berkata : “Hai, Abdullah, mana upahku itu.” Kujawab : “Upahmu itu adalah semua
yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu.” Dia berkata
: “Hai Abdullah kamu jangan menghinaku!.” Aku katakan : “Aku tidak menghinamu.”
Latas kuceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya diambil dan digiringnya,
tidak disisakan sama sekali. Ya Allah, apabila yang kulakukan itu semata demi
Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.” Batu itu bergeser
lagi. Merekapun akhirnya bisa keluar dari gua.”
Hadis ini termasuk hadis shahih yang muttafaq alaih.
2.
URGENSI WALI DAN
KEWALIAN
Edit : Pujo Prayitno
MAKNA WALI
Apakah arti Wali?
Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik pandang, Pertama
: Wali ber-wazan fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti ‘aliim, qadiir,
dan yang sejenisnya . Makna terminologinya adalah : Orang yang senantiasa
berkompeten dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.
Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul, sepeti
qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti orang yang
dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu
langgeng dan terus menerus dalam ketaatn. Maka, bagi Wali tidak dihiasi akhlak
kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Alalh melanggengkan
Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Alalh swt. berfirman :
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs.
Al-A’raaf :196).
KE-MA’SHUM-AN
WALI
Apakah Wali itu selalu terjaga dari dosa (ma’shum)?
Wali tidak harus bersyarat ma’shum, sebagaimana para
Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (Mahfudz) agar tidak terus menerus
melakukan dosa, apabila tergelincir atas salah, maka sifat menjaga diri itu
memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya : “Apakah orang yang ‘arif itu pernah
berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, sembari
membacakan ayat : “Dan adala ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti
berlaku.” (Qs. Al-Ahzaab :38).
Bila ditanyakan : “Apakah rasa takut itu gugur dalam diri
Wali?”
Dijawab : “Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu
telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang
sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.
As-Sary as-Saqathy berkata : “Bila salah seorang memasuki
kebun yang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada
burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas :
“Assalamu’alaikum wahai Wali Allah.” Jika sang Wali tadi tidak takut bahwa
salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”
MELIHAT ALLAH
DENGAN MATA
Apakah dibenarkan melihat Alalh di dunia dengan mata,
jika ditinjau perspektif karamah?
Jawabnya : “Pandangan yang kuat menegaskan penglihatan
tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama. Tetapi aku
mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari Musa
al-Asy’ary, beliau berkata : “Bahwa masalah meliaht Alalh di dunia dengan mata,
ada dua pendapat : “Ungkapan Abu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul
Kabiir.”
PERUBAHAN KONDISI
RUHANI PARA WALI
Apakah seseorang bisa menjadi wali dalam suatu kondisi
ruhani tertentu, kemudian pada tahap berikutnya kondisi ruhani itu berubah?”
Dikatakan : “Bagi orang yang menjadikan syarat kewalian
itu harus adanya ketetapan kondisi ruhani, maka perubahan itu tidak
diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani
tersebut dia beriman secara hakiki – walaupun kondisi ruhani bisa berubah
setelah itu – maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi
ruhani tertentu , yang kemudian kondisi ruhaninya berubah. Inilah pandangan
yang kami pilih.”
Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain
dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan
akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen ini,
akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu boleh mengetahui
bahwa dirinya adalah Wali.
WALI DAN TIPUDAYA
YANG DITAKUTI
Apakah rasa takut tipudaya/cobaan dari Allah itu bisa
hilang dari diri Wali?
Dijawab : “Bila dia sirna dari obyek penyaksian, terlebur
dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang
tersirnakandari tipudaya karena kelimpahan kewalian yang ada padanya. Sedangkan
rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”
WALI DALAM
KEADAAN SADAR
Apakah kondisi umum yang dialami oleh para Wlai dalam
keadaan sadar?
Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap benar dalam
menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih sayang,
kepedulian terhadap sesama makhluk dalam berbagai situasi dan kondisi. Rasa
cinta kasihnya melebar kepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka
terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap
mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka,
tanpa tendesnsi apa pun dari mereka. Para Wali selalu memiliki ketergantungan
hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkan segala bentuk tindakan yang
menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka;
membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari
berbagai arah terhadap apa yang menjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai
keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap
kejelekan-kejelekan mereka. Menjaga diri dari penyaksian terhadap
kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di
dunia maupun di akhirat.
KI-MA’SHUMAN PARA
SYEIKH
Tidak seyogyannya murid meyakini bahwa para Syeikh (guru
ruhani) itu ma’shum (terjaga dari dosa). Seharusnya murid berhati-hati dengan
tetap husnudzan kepada para syeikh. Menjaga diri bersama ilmu, dengan sikap
membedakan antara mana yang terpuji dan mana yang tercela.
MURID DAN HARTA
DUNIA
Setiap murid, yang di dalam hatinya masih tersisa
kepentingan harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan. Tetapi bila
dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari hartanya,
kemudian ia berharap bisa mengkhususkan dari harta itu untuk kebaikan, berarti
si murid itu telah memaksa dirinya. Lebih bahaya lagi bila ia kembali
secepatnya kepada dunia. Sebab tujuan murid adalah membuang ketergantungan
(selain Alalh swt.), yaitu keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk
kepentingan amal-amal kebajikan. Sangat tercela bila murid keluar dari obyek
harta dan modalnya, lantas dia sendiri justru menjadi tawanan pekerjaannya.
Karena itu seyogyanya dia menyamakan sikapnya, baik harta itu ada ataupun
tidak, sampai dirinya tidak terganggu byang-bayang kemiskinan, tidak membuat
orang lain gelisah, walaupun orang lain itu Majusi.
PENERIMAAN SYEIKH
PADA MURID
Penerimaan hati syeikh terhadap murid, merupakan bukti
paling benar atas kebahagiannya. Bila seseorang ditolak oleh hati syeikh, maka
tidak diragukan lagi, dalam beberapa waktu penolakan itu akan menjadi nyata.
BERGAUL DENGAN
ORANG YANG BANYAK BICARA
Salah sati penyakit yang amat pelik dalam tharikat ini
adalah bergaul dengan orang yang banyak bicara (omong kosong). Sebab hati akan
disibukkan dengan persoalan makhluk. Padahal Allah swt. berfirman :
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal
di sisi Alalh adalah perkara besar.” (Qs. An-Nuur :15).
Fath al-Mushaly berkata : “Aku berguru kepada tigapuluh
syeikh. Rata-rata mereka tergolong Wali Abdal. Semuanya berwasiat kepadaku
ketika aku berpisah denga mereka : “Takutlah kalian bergaul dengan orang yang
banyak obrolannya: “kata para syeikh itu.
Apa yang mereka ucapkan tentang berbagai keragu-raguan
dan dongeng-dongeng dari orang tua. Lebih baik kita turunkan tirai atas semua
itu. Sebab cerita-cerita itu menjadi cermin kemusyrikan dan taman kekufuran.
Na’udzubillahi Ta’ala dari datangnya keburukan.
DENGKI
Di antara penyakit murid adalah hasrat yang memasuki
nafsunya, berupa kedengkian terhadap sesama teman, dan merasa emosi atas
keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. pada temannya dalam tharikat ini.
Sementara dia sendiri tidak mendapatkan seperti yang diraih oleh yang lain.
Ketahuilah, bahwa semua perkara itu telah dibagi oleh Allah swt. Hamba hanya
bisa selamat, apabila si hamba lebih mencukupkan diri pada Wujud Alalh swt.
Yang Haq, dan menerima apa pun ketentuan dari Kemurahan dan Kenikmatan-Nya.
PRIORITAS
Ketahuilah, bahwa kewajiban murid apabila sudah sepakat
terjun, harus memperioritaskan yang lain secara totoal dibanding diri sendiri.
Baik orang yang lapar ataupun orang yang kenyang harus diprioritaskan,
dibanding dirinya. Dia juga harus merasa menjadi murid setiap orang yang jelas
sebagai syeikh, walaupun dia sendiri lebih pandai dari orang tersebut.
GERAK
Adapun etika murid dalam sima’. Maka bagi murid tidak
diperkenankan bergerak-gerak dalam sima’ yang muncul karena ikhtiarnya sendiri.
Apabila muncul bisikan ruhani, sedangkan
dirinya tidak mampu menahan gerak, maka sekedar ekspresi luapan bisikan yang
menyebabkan gerak, masih ditolerir. Apabila luapan ruhani yang datang tadi
sudah hilang, dia harus tetap duduk dan tenang. Apabila dia meneruskan gerak
untuk menarik ekstase, tanpa adanya limpahan dan desakan/darurat, maka gerak
dalam sima’nya tidak dibenarkan. Bila masih kembali demikian, berarti dia tidak
mendapatkan keterbukaan hakikat.
PERGI DAN
BERPINDAH TEMPAT
Apabila murid diuji dengan pangkat kedudukan atau
pergaulan omong kosong, serta mulai jatuh cinta pada wanita, sementara tidak
ada syeikh yang menunjukkan jalan keluarnya, dia boleh pergi dan pindah tempat.
Di antara para syeikh berkata : “Bila seorang ‘arif
berbicara menegnai ilmu pengetahuan, maka masa bodohkan dia. Sebab seharusnya
seorang ‘arif mengkabarkan tentang tahapan-tahapan, bukan ilmu pengetahuan.
Bagi yang ilmunya lebih dominan dibanding tahapan-tahapannya, maka dia adalah
pakar ilmu, bukannya penempuh suluk.”
PEDULI PADA PAR FAKIR
Bila murid peduli membantu pada para fakir, maka hiburan
hati mereka adalah rasa lapangnya terhadap murid. Karena itu tidak seyogyanya
murid kontra terhadap kata hatinya, sehingga dalam berkhidmat pada kaum fakir
harus benar-benar ikhlas, mencurahkan tenaganya semaksimal mungkin.
SABAR ATAS CELAAN
Apabila murid memilih menjalani darma baktinya bagi orang
orang fakir, dia harus sabar dengan celaan orang banyak. Dia juga harus berbuat
sepenuh jiwa dalam darma baktinya terhadap mereka. Apabila mereka tidak memuji
atas kepeduliannya, dia harus mencerca dirinya, agar hati para fakir itu lega.
Walaupun dia mengerti bahwa dirinya sebenarnya tidak bersalah.
Bila orang-orang semakin mencacinya, dia harus menambah
pengabdian dan kebaikan kepada mereka. Karena saya mendengar Imam Abu Bakr bin
Furak berkata : “Bila engkau tidak sabar di atas palu, maka mengapa engkau
menjadi landasan palu.?”
MENJAGA ADAB SYARIAT
Didasarkan pula pada kaitan di atas, seorang murid harus
menjaga adab syariat, menjaga tangannya untuk tidak meraih hal-hal yang haram
dan syubhat, menjaga indera dari hal-hal yang diharamkan, menyertai nafas
bersama Allah swt. dengan menjauhkan dari segala kealpaan, tidak menuangkan
racun jiwa yang di dalamnya ada syubhat di bejana darurat. Apalagi di
waktu-waktu yang bebas dan luang untuk ikhtiar.
Di antra perilaku murid adalah melanggengkan mujahadah
dalam meninggalkan syahwat. Siapa yang bersesuaian dengan syahwatnya, akan
sirna kesuciannnya. Perilaku terburuk bagi murid justru ketika dia kembali lagi
kepaa syahwat yang pernah ditinggalkannya.
MENJAGA JANJI
DENGAN ALLAH SWT.
Bagi murid harus menjaga janji bersama Allah swt. Apabila
ia meruska janji di jalan cita-cita, ia sebdanding dengan murtad dari agama,
bagi kalangan ahli dzahir. Bagi seorang murid seyogyanya tiak berjanji dengan
Allah swt. terhadap segala hal dengan ikhtiar dan kemauannya sendiri. Sebab,
dalam keharusan-keharusan syariat, ada sesuatu yang harus dipenuhi semaksimal
mungkin. Allah swt. berfirman : “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal
kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memelihara
dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Qs. Al-Hadiid :27).
MENJAUHI
PENGHAMBAAN DUNIAWI
Di antara perilaku murid, hendaknya menjauhkan diri dari
penghamba dunia. Bergaul mereka adalah racun yang mematikan. Karena mereka
menyerap potensi murid, sedangkan jiwa murid semakin berkurang bersama mereka :
“Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya.” (Qs. Al-Kahfi :28).
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari
kantongnya demi taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan ahli tasawuf mengeluarkan
makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama
Allah swt.
3.
MIMPI
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan
di dalam kehidupan di akhirat.” (Qs. Yunus :64).
Dikatakan : “Yang dimaksud ayat tersebut adalah mimpi
yang baik (ar-Ru’yal Hasanah) yang dilihat oleh seseorang atau diperlihatkan
padanya.”
Riwayat dari Abu Darda r.a. yang berkata : “Aku bertanya
kepada Nabi saw. tentang ayat : “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan
dunia dan di dalam kehidupan di akhirat.” Maka Nabi saw. bersabda : “Bagi
mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan di dalam kehidupan di
akhirat.” Maka Nabi saw. bersabda : “Tak seorng pun bertanya padaku tentang
ayat tersebut sebelum kamu. Ayat tersebut adalah mimpi yang baik, yang dilihat
oleh seseorang atau diperlihatkan kepadanya.” (Hr. Tirmidzi, Thabrani dan
Ahmad. Hadis ini menurut Tirmidzi tergolong hadis hasan).
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Mimpi itu datangnya dari Allah, sedangkan mimpi
lamunan itu datang dari setan.” (H.r. Bukhari).
Sabdanya pula :
“Barangsiapa bermimpi melihat aku, maka dia benar-benar
melihatku. Sebab setan tidak bisa menyerupaiku.” (H.r. Tirmidzi).
Makna hadis tersbut adalah bahwa yang dimaksud adalah
mimpi yang benar. Takwilnya juga benar. Sedangkan mimpi seperti itu merupakan
bagian dari karamah.
Perwujudan mimpi itu adalah bisikan yang masuk dalam
hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh
perasaan tidak tenggelam dalam tidur. Lantas orang menduga seakan-akan ia dalam
keadaan terjaga, dan melihat dengan sebenarnya. Padahal itu semua adalah
proyeksi atau gambaran yang tertanam dalam hati mereka. Ketika rasa fisik telah
hilang dari mereka, yang tertinggal adalah obyek-obyek imajinasi yang diketahui
melalui rasa dan bersifat langsung. Kondisi seperti itu sedemikian menguat di
benak pemiliknya. Pada saat terjaga kondisi kondisi tersebut melemah karena
terdomeniasi oleh kondisi-kondisi indrawi yang ada dalam kenyataan, serta
munculnya pengetahuan langsung. Contohnya, seperti orang yang disinari oleh
lampu di tempat yang gelap gulita. Apabila matahari terbit, cahaya matahari
akan mengalahkan cahaya lampu tersebut, sehingga cahay lampu terserap oleh
cahaya matahari. Bagi orang yang berada dalam kondisi tidur , dia seperti orang
yang berada di bawah cahaya lampu tadi. Sedangkan orang yang terjaga seperti
orang yang berada di siang hari. Orang yang terjaga akan ingat apa yang
tergambar saat tidurnya, termasuk hal-hal atau peristiwa yang datang dalam
hatinya di saat tidur. Kadang-kadang yang datang tadi dari sisi setan,
kadang-kadang dari desakan-desakan nafsu, kadang pula dari malaikat, dan malah
terkadang dari merupakan pengetahuan langsung dari Allah swt. yang pada mulanya
kondisi-kondisi tersebut dikreasikan dalam hatinya. Dalam hadis disebutkan : “Mimpi yang paling benar di antara kalian adalah yang
paling benar ucapannya.”
Ketahuilah, tidur itu bermacam-macam : Ada tidur lalai
dan tidur biasa, keduanya tidak terpuji, bahka tercela. Sebab tidur seperti itu
adalah saudara kematian. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan menegaskan :
“Tidur merupakan saudara kematian.” Allah swt. juga berfirman : “Dan Dia-lah
yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di
siang hari.” (Qs. Al-An-aam :60).
Firmannya pula :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (Qs. Az-Zumar :42).
Dikatakan : “Bila dalam tidur itu ada suatu kebaikan,
jelas bahwa di surga pun ada tidur.”
Dikatakan pula : “Ketika Allah swt. mempertemukan tidur
kepada Adam As. Di surga, pada saat itulah Hawa keluar. Dan setiap bencananya
selalu muncul ketika Hawa muncul.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika Ibrahim As. Berkata kepada Ismail as. : “Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu.” (Qs.
Ash-Shaffaat :102), maka Ismail as. Berkata : “Wahai ayah, inilah balasan orang
yang tidur (lupa) Kekasihnya. Seandainya engkau tidak tidur, pasti engkau tidak
diperintah menyembelih anak.”
Dikatakan : “Allah swt. menurunkan wahyu kepada Daud as.
: “Sungguh berdusta, orang yang mengaku mencintai-Ku, namun ketika malam telah
gelap, ia tertidur lelap.”
Tidur itu merupakan kebalikan ilmu. Karenanya asy-Syibly
berkata, : “Sekali terlelap, dalam kehidupan seribu tahun, adalah sesuatu yang
buruk.” Katanya pula : “Allah swt. Tampak padaku dan berfirman : “Siapa yang
tidur, dan alpa, siapa yang alpa, dia terhalang.” Sejak saat itu asy-Syibly
bercelak dengan garam, sehingga takpernah dilanda tidur. Dalam konteks inilah
para Sufi mendendangkan syairnya :
Mengherankan sekali bagi pecinta
Bagaimana dia tidur
Sedang tidur bagi pecinta
Sungguh dilarang
Disebutkan : “Murid, makannya ketika lapar, tidurnya
ketika sangat kantruk, dan bicaranya ketika terpaksa.”
Dikataka : “Ketika Adam as. Tidur dalam keadaan hadirnya
hati, dikatakan padanya, “Inilah Hawa, agar engkau bisa tentram kepadanya.
Inilah balasan orang yang tidur di kala hadir.”
Dikatakan : “Bila engkau dalam keadaan hadir, janganlah
tidur, Tidur dalam keadaan hadir berarti beradab yang buruk. Bila gaib hati
Anda, berarti Anda tergolong mereka yang menyessal dan mendapat bencana. Sedang
orang yang tertimpa bencana tidak bisa dilanda
tidur.”
Bagi ahli mujahadah, tidurnya merupakan karunia dari
Allah kepada mereka. Allah swt. menganggap indah pada hamba yang tidur dalam
sujudnya, dengan firman-Nya : “Lihatlah kamu sekalian pada hamba-Ku, ruhnya ada
di sisi-Ku dan jasadnya ada di hadapan-Ku.”
Yakni, ruhnya ada di tempat rahasia, sedang badannya di
hamparan ibadat.
Dikatkan : “Siapa saja yang tidur dalam keadaan suci,
ruhnya diizinkan mengelilingi Arasy, dan sujud kepada Allah swt. sebagaimana
firman-Nya : “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.” (Qs. An-Naba’ :9).”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Ada seorang laki-laki yang mengadu kepada salah seorang syeikh karena terlalu
banyak tidur. Syeikh tersebut menjawab : “Pegilah kamu, dan bersyukurlah kepada
Allah swt. atas kesehatan yang diberikan-Nya. Sebab banyak orang yang mengeluh
sakit karena ingin bisa tidur.”
Dikatakan : “Tak ada yang lebih berat bagi iblis, melainkan
bila si tukang maksiat tidur. Lalu iblis itu berkata : “Kapan dia bangun lagi
dan melakukan perbuatan maksiat kepada Allah swt.?”
Saya juga endengar Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq berkata :
“Syah al-Kirmany selalu terjaga, kemudian sekali ia dilanda ketiduran. Dalam
tidurnya bermimpi melihat Allah swt. Setelah mimpi itu ia selalu berusaha untuk
tidur. Ketika hal itu ditanyakan, dia hanya menjawab mealui untaian syair :
Kulihat girangngya kalbu dalam mimpiku
Karenanya aku berhasrat untuk dilanda kantuk dan tidur.”
Dikisahkan, bahwa ada seorang memiliki dua murid.
Keduanya kemudian bertengkar. Salah satu berkata : “Tidur itu baik. Sebab
manusia pada saat itu tidak melakukan maksiat.” Kemudian yang satu berucap :
“Terjaga itu baik, sebab pada saat itu dia mengenal Allah swt.” Kemudian
keduanya mengadukan kepada Syeikh : “Untuk Anda yang berpendapat bahwa tidur
lebih utama, maka mati itu lebih baik bagimu dibanding hidup. Kalau Anda yang
berpandangan terjaga lebih baik daripada tidur, berarti hidup lebih baik bagi
Anda daripada mati.”
Konsep
Juga disebutkan bahwa ada seorang laki-laki membeli budak
wanita. Ketika malam tiba lelaki itu berkata pada budaknya :
“Gelarlah tempat tidur.”
“Tuanku, apakah tuanku punya Tuan?”
“Ya.”
“Apakah tuanmu juga tidur?” tanya budak itu.
“Tidak.”
“Apakah engkau tidak malu bila engkau tidur, sedang
Tuanmu tidak tidur?” kata budak wanita itu.
Dikaakan : “Bocah kecil putri Sa’id bin Jubair bertanya :
“Mengapa engkau tidak tidur?” Jubair menjawab : “Karena neraka jahanam tidak
bisa menidurkan aku.”
Dikatakan bahwa ketika Rabi’ah bin Khaitsam meninggal
dunia, seorang bocah wanita bertanya pada ayahnya, tetanggl Rabi’ah : “Ayah,
kemana hilangnya silinder yang ada di rumah tetangga kita?” Ayah bocah itu
menjawab : “Tetangga kita yang saleh itu benar-benar berdiri sejak sore hingga
pagi hari.” Lantas bocah itu menghayalkan, bahwa tetangga yang saleh itu
hilang. Karena ia tidak bisa naik ke atap kecuali malam hari, dan di atas atap
itu tetangganya berdiri.
Salah seorang Sufi berkata : “Dalam tidur ada makna-makna
yang tidak didapat dalam jaga, antara lain bisa menlihat Rasulullahsaw., para
sahabat dan ulama salaf, yang tidak bisa kita lihat saat jaga. Begitu juga
dalam tidur bisa melihat Allah swt. dan ini merupakan keistimewaan yang Agung.”
Dikatakan : “Abu Bakr al-Ajiry melihat Allah swt. dalam
mimpinya. Allah lalu berfirman padanya : “Mintalah apa kebutuhanmu.” Lantas Abu
Bakr mendoa : “ Ya Allah, ampuni seluruh pendusta dari ummat Muhammad saw.”
Maka Allah swt. menjawab : “Aku lebih utama dari pada kamu dalam hal ampunan.
Karena itu minta saja apa kebutuhanmu.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Aku bermimpi
bertemu Nabi saw. lalu Nabi bersabda kepadaku : “Siapa yang berhias diri demi
manusia dengan sesuatu padahal Allah Maha Tahu kebalikannya, Allah akan
mencelanya.”
Al-Kattany berkata : “Aku mimpi bertemu Nabi
Isa as. Lalu al-Hasan bertanya : “Aku ingin membuat stempel, apa yang harus
kutulis pada stempel itu?” Maka Isa as. Menjawab : “Tulislah : “Laa Ilahaa
Illallah Al-Malikul Haqqul Mubiin.” Kalimat tersebut merupkan akhir ayat dalam
Injil.
Abu Yazid al-Bisthamy meriwayatkan : “Aku mimpi bertemua
Allah swt. lantas aku bertanya kepada-Nya : “Bagaimana aku menempuh jalan
kepada-Mu?” Allah berfirman : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Diceritakan bahwa Ahmad bin Hadhrawaih bermimpi melihat
Tuhannya. Allah berfirman padanya : “Hai Ahmad, setiap manusia saling mencari
dari-Ku, kecali Abu Yazid. Sebab dia mencari Aku.”
Yahya bin Sa’id al-Qaththan bercerita : “Aku bermimpi
melihat Tuhanku. Lalu aku memohon : “Tuhan, berapa lama aku memohon kepada-Mu,
namun belum Engkau kabulkan?” Allah swt. menjawab : “Wahai Yahya, Aku
sesungguhnya senang mendengarkan suaramu.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Aku bermimpi melihat Amirul
Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. dan kupinta : “Nasihatilah aku wahai Amirul
Mukminin!.” Lalu beliau berkata : “Betapa bagusnya perasaan orang-orang kaya
yang peduli pada fakir, sementara karena mencari pahala dari Allah swt. Dan
lebih baik dari itu apabila orang-orang fakir bebas dari orang-orang gkaya,
hanya bergantung kepada Allah swt. Aku masih meminta : “Tambah lagi wahai
Amiurl Mukminin.” Lantas beliau bersyair :
Aku benar-benar telah mati
Lalu aku jadi hidup
Dan tidak lama lagi
Engkau bakal mati.”
Dikatakan : “Sufyan ats-Tasury muncul dalam mimpi, lalu
ditanaya : “Apa yang telah dilakukan Allah kepadamu?” Dia menjawab : “Dia
mengasihiku.” Lalu ditanya lagi : “Bagaimana keadaan Abdullah ibnul Mubarak?”
Dia menjawab : “Oh, dia tergolong gorang yang msuk kepada Tuhannya setiap hari dua
kali.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Syeikh
Abu Sahl ash-Sah’luky bermimpi bertemu Abu Sahl az-Zujjajy. Az-Zujajy berkata
dengan janji keabadian. Maka dia ditanya : “Apakah yang telah dilakukan Allah
padamu?” Az-Zujjajy menjawab : “Persoalan di sana lebih mudah dibanding yang
kita duga.”
Al-Hasan bin Ashim asy-Syaibany dimimpikan, lalu dia
ditanya, : “Apa yang telah dilakukan Allah kepadamu?” Dia menjawab : “Tiada
sesuatu dari Yang Maha Murah, kecuali kemuliaan.”
Sebagian Sufi dimimpikan oleh beberapa orang. Di
antaranya ada yang ditanya mengenai kondisinya. Dia menjawab :
Perhitungkanlah kami, dan
Selamilah, kemudian
Berharaplah, maka
Raihlah kemuliaan
Hasan a;-Bashry masuk sebuah masjid untuk shalat maghrib.
Ternyata imam masjid tersebut adalah orang ajam (non-Arab). Al-Bashry tidak mau
shalat makmum di belakangnya, karena khawatir logat ajam imam itu tidak fasih.
Ketika tidur a;-Bashry bermimpi bertemu seseorang yang bertanya : “Kenapa Anda
tidak shalat di belakangnya?” Sungguh, seandainya Anda shalat di belakangnya,
dosamu yang telah lalu akan diampuni semua.”
Malik bin Anas tampak dalam mimpi, lalu ditanya : “Apa
yang dilakukan Allah swt. padamu?” Dia menjawab : “Allah mengampuni dosaku,
karena satu ucapan, yang diucapkan oleh Utsman bin Afan r.a. ketika melihat
jenazah, Subhaanal Hayyi al-Ladzi laa Yamuut. (Maha Suci Dzat Yang Maha Hidup
dan tidak pernah mati).”
Ketika malam kematian Hasan al-Bashry, seseorang
dimimpikan, seakan pintu-pintu langit dibuka. Dan seolah-olah ada suara yang
memanggil : “Hai perhatikanlah, Hasan al-Bashry datang kepada Allah swt. dan
Allah swt. Ridha kepadanya.”
Saya mendengar Abu Bakr bin Asykib berkata : “Aku
bermimpi bertemu Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky dalam kondisi yang sangat bagus.
Kutanyakan padanya : “Apa yang telah dilakukan Allah padamu?” Beliau menjawab :
Jangan engkau menulis dengan
Catatan yang menggembirakanmu
Kelak di Hari Kiamat
Engkau melihatnya.”
Dikisahkan : “Al-Junayd mimpi bertemu iblis dalam keadaan
telanjang. Junayd bertanya pada iblis : “Apa kau tidak malu dengan manusia.”
Iblis menjawab : “Mereka? Mereka itu bukanlah manusia. Yang namanya manusia itu
adalah mereka yang ada di masjid Syanuziyah, yang menyakiti tubuhku dan
membakar hatiku.” Junayd berkata : “ Ketika aku bangun, aku bergegas pergi ke
masjid. Kulihat jamaah di sana sedang menundukkan kepalanya dalam keadaan
tafakur. Ketika melihatku, mereka berkata : “Jangan Anda ditipu oleh omongan
kotor (iblis).”
An-Nashr Abadzy dimimpikan di Mekkah al-Mukarramah,
setelah beliau wafat. Beliau ditanya : “Apa yang dilakukan Allah padamu? Beliau
menjawab : “Aku disambut dengan sambutan kemuliaan. Kemudian aku dipanggil :
“Apakah setelah bertemu, lalu berpisah?” Aku menjawab : “Tidak, wahai Dzat Yang
Maha Agung.” Dan diriku tidak dikubur di liang lahat, sampai aku bertemu dengan
Al-Ahad.”
Dzun Nuun al-Mishry dimimpikan, dan ditanya : “Apa yang
telah dilakukan Allah padamu?” Dia menjawab : “Aku memohon tiga kebutuhan
ketika masih di dunia. Sebagian kebutuhan itu dipenuhi. Aku berharap sisanya
juga diberikan. Sedangkan aku juga memohon kepada-Nya agar diberi bagian satu
dari sepuluh yang ada di tangan Malaikat Ridhwan, dan dia memberikannya
sendiri. Aku memohon agar Dia menjauhkan satu dari sepuluh siksa yang ada di
tangan malaikat Malik. Dan aku memohon agar Allah memberiku rezeki agar diberi
dzikir melalui lisan keabadian.”
Dulaf asy-Syibly dimimpikan setelah wafatnya. Ditanya :
“Apa yang telah dilakukan Allah swt. kepadamu?” Dia menjawab : “Allah swt.
tidak menuntutku dengan beragai bukti atas berbagai pengakuan, kecuali satu
hal, Ketika pada sutu hari aku berkata : “Tak ada kerugian yang lebih besar
daripada kerugian (tidak masuk) surga dan masuk neraka.” Lalu Allah bertanya
kepadaku, : “Kerugian mana yang lebih besar dibanding kerugian untuk (tidak)
bertemu dengan-Ku?”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ahmad
al-Jurairy mimpi bertemu al-Junayd, dan al-Jurairy bertanya : “Apa kabar wahai
Abul Qasim?” Dia menjawab : “Isyarat-isyarat itu telah sirna, dan ibarat-ibarat
itu telah tampak. Tak ada yang memberi manfaat kepada kita kecuali
tasbih-tasbih yang kita ucapkan setiap pagi.”
An-Nabajy berkata : “Suatu hari aku sangat menginginkan
sesuatu. Lantas malamnya aku bermimpi, seakan-akan ada yang berucap : “Baguskah
bagi kemerdekaan murid untuk menghinakan seorang hamba, padahal dia mendapatkan
dari Tuannya apa yang dikehendaki.”
Ahamd ibnul Jalla’ berkata : “Ketika memasuki Madinah,
aku telah kehabisan harta. Aku mendatangi kuburan Nabi saw. lantas berkata, :
“Aku adalah tamumu. Tiba-tiba aku dilanda kantuk, saat tertidur aku mimpi
bertemu Nabi saw. dan beliau memberiku roti. Kumakan separo, selanjutnya aku
bangun. Ternyata separo roti yang kumakan masih ada.”
sDikatakan : “Utbah al-Ghulam mimpi bertemu bidadari
dengan rupa yang sangat cantik. Bidadari itu berkata kepadanya : “Wahai Utsbah,
aku sangat merindukanmu. Ingatlah, engkau jangan beramal dengan amal-amal yang
bisa menghalangi diriku dan dirimu.” Lalu Utbah menjawab : “Dunia kutalak tiga,
dan aku tak akan pernah kembali padanya, hingga aku menemuimu.”
Saya mendengar Manshur a;-Masghriby berkisah : “Aku
melihat seorang Syeikh di negeri Syam, punya masalah besar. Kebiasaan
sehari-ahrinya selalu gemetar ketakutan. Lalu dikatakan kepadaku : “jika Anda
ingin menyenangkan Syeikh ini bersama Anda, ucapkanlah salam padanya, dan
berkata : “Semoga Allah memberimu rezeki bidadari.” Dia pasti senang
mendapatkan doa seperti itu darimu.” Lantas aku bertanya sebab-sebab yang
menimbulkan gejala seperti yang dialami syeikh itu. Dijawab : “Dia itu bermimpi
melihat bdiadari. Lalu mimpi itu memberikan kesan yang mendalam di hatinya.”
Aku pun lewat dan mengucapkan salam apdanya, lalu kuucapkan pula : “Semoga
Allah dan mengucapkan salam padanya, lalu kuucapkan pula : “Semoga Allah
memberimu rezeki bdiadari.” Dan tiba-tiba syeikh itu menjadi riang.”
Diceritakan bahwa Abu Ayyyub as-Sikhtiyany melihat
jenazah pelaku maksiat. Kemudian masuk ke sebuah lorong sempit, karena tak
ingin ikut menshalati jenazah itu. Salah satu di antara mereka ada yag bermimpi
dan bertanya kepada mayit : “Apa yang telah dilakukan Allah padamu?” Mayit itu
menjawab : “Allah telah mengampuni dosaku, dan Allah swt. berfirman kepadaku :
“Katakanlah kepada Ayyub as-Sikhtiyany : (Katakanlah, Kalau seandainya kamu
menguasi perbendaharaan-perbendahraan rahmat Tuhanku, niscaya perbendahraan itu
kamu tahan, karena takut membelanjakannya).”
Dikatakan : “Malam setelah wafatnya Malik bin Dinar,
seseorang bermimpi, melihat pintu-pintu langit terbuka. Lalu ada suara
memanggil : “Ahai ingatlah! Malik bin Dinar telah menjadi penduduk surga!.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada malam hari setelah
wafatnya Dawud ath-Tha’y, aku melihat cahaya dan malaikat yang sedang naik
serta malaikat yang sedang turun. Aku bertanya : “Malam apakah ini?” Para
malaikat itu menjawab : “Ini adalah malam bagi kematian Dawud ath.Tha’y, surga
benra-benar menjadi indah atas kedatangan ruhnya.”
Saya pernah bermimpi melihat guru saya, Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq, dan saya bertanya : “Apa yang telah dilakukan Allah swt. kepada
Anda?” Beliau menjawab : “Tiada ampunan sebagai derajat yang besar di sana,
yang lebih sedikit derajatnya daripada yang ada di sana. Seseorang diberi ini
dan itu.”
Lalu dalam mimpi saya, manusia yang dimaksud oleh syeikh
tadi adalah seseorang yang melakukan pembunuhan tanpa dasar yang haq.
Ketika Kuraz bin Wabrah meninggal, ia dimimpikan,
seakan-akan ahli kubur sedang keluar dari kuburnya dengan pakaian putih serba
baru. Lalu ditanyakan : “Apa, semua ini?” Dijawabnya : “Para ahli kubur sedang
diberi pakaian serba baru, karena kedatangan Kuraz bin Wabrah.”
Yusuf ibnul Husain dimimpikan setelah wafatnya : “Apa
yang telah dilakukan Allah swt. kepada diri Anda?” Ia menjawab : “Dia telah
mengampuniku.” Kemudain ditanya lagi : “Karena apa Allah swt. mengampuni Anda?”
Yusuf al-Husain menjawab : “Selama aku bergaul, aku tidak pernah bergurau.”
Abdullah az-Zarrad dimimpikan, dan ditanya : “Apa yang
telah dilakukan Allah swt. kepada Anda ?” Allah telah mendudukan diriku dan mengampuni setiap
dosaku yang telah kulakukan di dunia, kecuali satu dosa. Aku merasa malu untuk
mengakuinya. Lalu dosa itu berhenti pada uratku, sehingga daging wajahku
berjatuhan.” Ditanyakan kepadanya lagi.” Apa yang terjadi?” Abdullah menjawab :
“Sutu hari aku melihat sosok yang sangat bagus, lalu aku malu menyebutkannya.”
Saya mendengar Abu Bakr ar-Rasyidy berkata : “Aku
bermimpi melihat Muhammad ath-Thausy, dan beliau berkata : “Katakan kepada Abu
Sa’id ash-Shaffar sang sastrawan :
Kami tak mampu bergeser dari cinta.
Sungguh demi kehidupan cinta
Kamu sekalian telah bergeser, kami tak pernah
Kesibukanmu telah melalaikan kami
Karena persahabatan dengan jalan yang lain
Kamu ucapkan kata perpisahan, namun tidak bagi kami
Siapa tahu,Tuhan Yang mengatur segalanya
Baka mempertemukan kami setelah kematian nati
Seperti semula
Tiba-tiba aku terbangun, dan kukataka kepada Abu Sa’id
ash-Shaffar. Ia menjawab, “Setiap hari Jum’at aku ziarah ke kuburnya. Pada
Jum’at ini, sungguh (menyesal) aku tidak menziarahinya.”
Salah seorang Sufi meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu
Rasulullah saw. sementara di sisinya ada jamaah para fuqara yang
mengelilinginya. Pada saat itu, tiba-tiba dua malaikat turun dari langit, salah
satu tangan dua malaikat itu memegang bejana tempat air, dan tangan yang lain
memegang kendi. Bejana itu diletakkan di depan Rasululllah saw. Lantas Rasul
pun mencuci tangannya. Kemudian diputar kepada mereka, sehingga mereka pun
mencucui tangan mereka. Lalu bejana itu sampai di hadapanku. Salah satu
malaikat itu berkata kepada yang satunya : “Hai, jangan kamu tuangkan air itu
pada tangannya, sebab orang ini bukan kelompok mereka!” Lalu aku bertanya
kepada Rasulullah saw. : “Wahai Rasulullah, bukankah telah diriwayatkan dari
engkau, bahwa engkau bersabda : “Seseorang beserta orang yang dicintainya?”
Rasul saw. menjawab : “Benar”. Aku berkata, : “Dan mencintai Anda dan mencintai
para fakir itu.” Lalu Rasul saw. bersabda : “Tuangkan air itu pada tangannya,
sebab ia termasuk kalangan mereka.”
Diriwayatkan dari Umar al-Hammal, yang berkata :
“Maaf-maaf.” Ia ditanya : “Apa arti doa tersebut?” Ia menjawab : “Pada mulanya,
aku seorang pemanol. Suatu hari aku membawa kiriman tepung. Kuletakkan beban
itu, untuk istirahat sejenak. Lantas aku mengeluh, “ Tuhanku, seandainya Engkau
beri aku dua buah potong roti sehari tanpa harus susah payah, raanya aku sudah
cukup dengan dua potong itu.” Tiba-tiba ada dua orang laki-laki sedang
bertengkar. Aku maju untuk mendamaikan. Namun salah seorang yang hendak memukul
lawannya dengan suatu benda, mengenai kepalaku. Wajahku berdarah. Pemilik rumah
datang, lalu mencekal keduanya. Ketika melihatku berlumuran darah, aku ikut
diseretnya, karena menyangka aku terlibat dalam perkelahian. Akhirnya aku
dijebloskan di penjara. Beberpa waktu ketika aku mendekamdi penjara, setiap
hari aku dikirim dua potong roti. Suatu malam aku bermimpi, ada suara orang
berkata kepadaku : “Bukankah kamu telah meminta dua potong roti setiap hari
tanpa harus bersusah payah. Sementara kamu tidak pernah minta maaf.” Lalu aku
bangun, dan kuucapkan : “Maaf, maaf.” Tiba-tiba pintu penjara diketuk : “Mana
yang namanya Umar si pemanol?” Lantas mereka memberikan jalan keluar bagiku.”
Riwayat dari Muhammad al-Kattany : “Di antara murid kami
ada yang terkena penyakit di kedua matanya. Lalu ditanya : “Apakah tidak
sebaiknya Anda berobat?” Ia menjawab : “Aku berkeinginan untuk tidak mengobati
sampai sehat dengan sendirinya.” Lalu Aku bermimpi, seakan-akan ada suara
mengatakan : “Seandainya keinginan seperti itu ada pada semua penghunia neraka,
Kami akan mengeluarkan mereka dari neraka.”
Riwayat dari al-Junayd yang mengatakan : “Aku bermimpi
seakan-akan berbicara kepada banyak orang. Lantas malaikat mengehntikanku, lalu
berrtanya : “Apa yang paling bisa mendekatkan ahli taqarrub kepada Allah swt.?”
Aku menjawab : “Amal yang tersembunyi dengan timbangan yang memadai.” Lalu
malaikat itu meninggalkan aku seraya berkata : “Kalimat yang tepat, demi
Allah!.”
Ada seseorang berkata kepada ‘Ali’ bin Zaid : “Aku
bermimpi semalam melihat Anda, seakan-akan Anda adalah ahli surga.” “Ali
menjawab : “Bisa jadi setan mempunyai maksud tertentu. Lantas aku berlindung
dari setan itu. Lalu setan itu menyosokkan padaku lewat seseorang, seperti apa
yang diinginkannya.”
Dikatkan “Atha as-Sulami dimimpikan, dan ditanya : “Anda
ini tergolong orang terundung duka begitu lama,lalu apa yang telah dilakukan
Allah swt. kepada Anda?” Ia menjawab : “Demi Allah, ingatlah, kedukaan itu
telah diikuti oleh istirahat yang panjang dan kesenangan abadi.” Ditanyakan
kepadanya lagi : “Pada derjat mana Anda berada?” Atha’menjawab : “Bersama
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dan para shiddiqin.”
Dikatakan : “Al-Auzi dijumpai dalam mimpi, dan berkata :
“Aku tidak pernah melihat derajat yang lebih tinggi di sana, dibanding derajat
para ulama, kemudian baru derajat orang-orang yang selalu dirundung kesusahan.”
An-Nabajy berkata : “Ada yang mengatakan dalam mimpiku :
“Barangsiapa menyerahkan rezekinya kepada Allah swt. akan ditambah kebajikan
akhlaknya, dan dirinya dimurahkan dalam nafkah, serta sedikit waswasnya dalam
shalat.”
Zubaidah dimimpikan oleh seseorang dan ditanya : “Apa
yang telah Allah swt. lakukan kepadamu?” Ia menjawab : “Allah swt.
mengampuniku.” Ditanya lagi : “Apakah karena nafkah yang banyak engkau berikan
di jalan-jalan menuju Mekkah al-Mukarramah?” Ia menjawab : “tidak!” Soal
pahalanya kembali pada pemiliknya. Tetapi Allah mengampuniku karena niatku.”
Sufyan ats-Tsaury muncul dalam mimpi dan ditanya : “Apa
yang telah Allah swt. lakukan atas diri Anda?” Sufyan menjawab : “Aku tetapkan
salah satu telapak kakiku di atas ash-Shirath dan telapak kaki yang lain di
surga.”
Ahmad bin Abul Hawary berkisah : “Aku bermimpi melihat
gadis yang begitu cantik, dengan riasan cahaya di wajahnya. Aku berkata
kepadanya : “Betapa bersinarnya wajahmu.” Gadis itu bertanya : “Ingatlah
semalam ketika Anda menangis?” Aku menjawab : “Ya.” Gadis itu berkata :
“Airmata Anda kubawa dan kuusapkan ke wajahku. Wajahku tiba-tiba jadi seperti
ini.”
Yazid ar-Raqasy mimpi bertemu Nabi saw. lalu dibacakan
suatu ayat. Lantas Nabi saw. bersabada : “Bukankah ini bacaan, lalu mana
tangisam?”
Al-Junayd berkata :
“Aku semalam bermimpi seakan-akan ada dua malaikat turun dari langit.
Salah satu dari mereka bertanya : “Apakah kejujuran itu?” Lalu kukatakan :
“Tepat janji.” Yang lain berkata : “Suatu kejujuran lalu naik membumbung.”
Bisyr al-Hafi dimimpikan, lalu ditanya : “Apa yang telah
dilakukan Allah swt. kepada diri Anda?” Ia menjawab : “Allah mengampuniku. Dan
berfirman kepadaku : “Apa Aku tidak malu wahai Bisyr, engkau takut kepada-Ku
dengan rasa takut sedemikian rupa.?”
Dikatakan : “Abu Sulaiman ada-Darany dimimpikan semalam,
ditanya, : “Apa yag telah dilakukan Allah swt. kepada Anda?” Abu Sulaiman
menjawab : “Dia mengampuniku, dan tiada sesuatu yang lebih menderitakan diriku
dibanding isyarat-isyarat kaum sufi.”
Ali ibnu Muwafiq berkata : “Suatu hari aku sedang
memikirkan mengenai pekerjakan keluargaku dan kemiskinan yang menimpa mereka.
Lalu aku bermimpi,ada secarik kertas bertuliskan : “Bismillahirrahmaanirrahiim,
Wahai Ibnul Muwafiq, apakah engkau takut kemiskinan sedangkan Aku adalah
Tuhanmu?” Saat menjelang akhir malam ada seorang laki-laki memberiku kantong,
di dalamnya ada limaribu dinar, sembari berkata : “Ambillah ini untukmu, wahai
orang yang keyakinannya lemah.”
Al-Junayd berkata : “Aku bermimpi, seakan-akan berada di
hadapan Allah swt. kemudian Dia berfirman kepadaku : “Wahai Abul Qasim,
darimana engkau mendapatkan kalam yang engkau ucapkan?” Lalu aku menjawab :
“Aku tidak bicara kecuali benar : “Allah swt. berfirman : “Engkau benar.”.
Abu Bakr al-Kattany berkisah : “Aku
bermimpi bertemu seorang pemuda yang amat tampan. Aku bertanya : “Siapakah
Anda?” Ia menjawab : “Takwa!” Aku bertanya lagi : “Dimana Anda menetap?” Ia
menjawab : “Di hati yang susah.” Kemudian ia berkelebat pergi menghilang. Aku
menoleh, tiba-tiba ada seorang wanita legam yang bengis. Aku bertanya kepadanya
: “Siapakah Anda?” Ia menjawab : “Tawa ria!” Aku bertanya : “Di mana tempat
tinggalmu?” Dijawabnya : “Di setiap hati yang girang gembira nan alpa.” Lalu aku
bangun, dan sejak saat itu aku tidak pernah tertawa, kecuali bila sudah tidak
tahan lagi.”
Abu Abdullah bin Khafif menceritakan : “Aku bermimpi
bertemu Rasulullah saw. yag seakan-akan bersabda kepadaku : “Siapa yang
mengenal jalan menuju kepada Allah swt. ia akan menempuhnya. Bila orang itu
kembali menjauhi, Allah swt. akan menyiksanya dengan siaksaan yang belum pernah
dirasakan oleh siapa pun di alam ini.”Dulaf asy-Syibly dimimpikan, dan ditanya
: “Apa yang dilakukan Allah swt. kepada diri Anda?” Ia menjawab : “Dia
mendebatku, sampai aku tidak berdaya. Ketika Dia melihat ketidakberdayaku, Dia
melimpahkan padaku dengan limpahan rahmat-Nya.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku bermimpi
seakan-akan ada orang berkata : “Hai Abu Utsman, Takutlah kamu kepada Allah
swt. dalam menempuh kefakiran, walaupun sekedar semut kecil.”
Dikatakan : “Abu Sa’id al-Kharraz mempunyai seorang anak
yang telah meninggal dunia mendahuluinya. Lalu ia bermimpi bertemu dengan
anaknya : “Wahai anakku, berwasiatlah kepadaku!.” Katanya, “ Ayah”, kata
anaknya. “Janganlah bekerjasama dengan Allah swt. dengan sikap penakut!” Abu
sa’id meminta : “Anakkau, tambahlah wasiatmu,” Anak itu berkata : “Ayah.”
Jangan kontra kepada Allah swt, dalam perkara yag menjadi tuntutanmu!.” Abu
Sa’id masih meminta : “Tambahlagi wahai anakku!” Lalu anak itu berkata :
“Jangan engkau pakai jubahmu (sebagai tabir) antara dirimu dengan Allahswt.!”
Maka sejak saat itu, selama tiga puluh tahun Abu Sa’id tidak pernah memakai
jubah.”
Dikisahkan : “Do antara salah seorang Sufi berdoa : “Ya
Allah, Aku memohon sesuatu yang tidak membuat-Mu bahaya, dan memberi manfaat
kepada kami, Janganlah Engkau larang bagi kami!” Tiba-tiba dalam mimpinya
seakan-akan ada suara : “Demi dirimu, sesuatu yang membahayakn dirimu dan tidak
memberi manfaat bagimu, tiggalkan!.”
Diriwayatkan dari Abul Fadhl al-Asfahany yang berkata :
“Aku mimpi bertemu Rasulullah saw. dan aku berkata : “ Wahai Rasulullah,
mohonkan kepada Allah swt. agar Dia tidak merusak imanku!.” Rasulullah saw.
bersabda : “Yang itu adalah sesuatu, dimana Allah swt. benar-benar telah
merampungkannya.”
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Kharraz :
“Aku menyaksikan iblis dalam mimpi. Kuambil tongkatku untuk memukulnya. Lalu
dikatakan kepadaku : “Iblis tidak lari dari tongkat itu. Yang membuatnya lari
bila muncul cahaya yang ada di dalam hati.”
Salah seorang Sufi berkata : “Aku berdoa untuk Rabi’ah
al-Adawiyah. Lalu aku bermimpi meliahtnya, dan berkata : “Hadiah-hadiahmu telah
sampai kepada kami dalam lapisan-lapisan cahaya, dan terbungkus oleh sapu
tangan dari cahaya.”
Riwayat dari Sammak bin Harb yang berkata : “Mataku buta,
lalu kau bermimpi, ada orang berkata : “Datanglah ke sungai Euphrat,
menyelamlah di sana, dan bukalah kedua matamu!” Lalu kulakukan perintahnya, dan
mata ku pun sembuh, aku dapat melihat kembali.”
Dikisahkan : “Bisyr al-Hafi dimimpikan, dan ditanya :
“Apa yang telah Allah swt. lakukan kepadamu?” Ia menjawab : “Aku melihat Tuhanku – Azza wa
Jalla – berfirman kepadaku : “Selamat datang wahai Bisyr. Aku benar-benar telah
mewafatkanmu pada hari yag Ku pastikan. Dan tidak seorang pun di muka bumi yang
lebih kucintai dibanding dirimu.”
4.
WASIAT BAGI
PARA MURID
Edit : Pujo Prayitno
Langkah perama yang harus dijejakkan oleh penempuh
(al-murid) tharikat ini, adalah ia harus melangkah di atas jalan kejujuran hati
yang benar, agar benar pula membangun yang berdasarkan prinsip yang shahih.
Sebab para syeikh berkata : “Mereka terhalang untuk sampai kepada Allah swt.
(Wushul) disebabkan mereka menelantarkan prinsip-prinsip akidah (al-ushul).
Begitupun Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Awal mula
bagi penempuh adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah swr. Bersih
dari segala dugaan dan keserupaan, jauh dari kesesatan dan bid’ah, muncul dari
bukti-bukti dan hujjah. Bagi seorang murid, menjadi cela bila mengaitkan diri
apda suatu madzab yang bukan madzab dari tharikat ini. Tidak ada pengaitan
seorang sufi kepada suatu madzab yang berbeda dengan tharikat kaum Sufi,
kecuali menyimpulkan akan kebodohannya. Tentang madzab tharikat ini. Sebab,
hujjah dalam persoalan mereka lebih jelas dibanding kaidah madzab mana pun.”
Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan haids,
adakalanya cenderung gpada penggunaan akal dan pikiran. Sementara para Syeikh
golongan Sufi melampaui semuanya. Bagi manusia pada umumnya, suatu tampak gaib,
namun bagi kalangan Sufi tampak jelas. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan
tumpuan, namun bagi kalangan Sufi pengetahuan maujud dari Allah swt. Yang Maha
Haq. Mereka adalah kalangan yang senantiasa bertemu dengan Allah swt. (ahlul
wishal) sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (ahlul
istidlal) : “Para Sufi itu, sebagaimana diungkapkan penyair :
Malamku, bersama wajah-Mu, cemerlang
Sedang kegelapan meliputi manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang
Tidak satu pun zaman dalam periode Islam, melainkan
selalu ada seorang syeikh dan para tokoh Sufi ini, yang memiliki ilmu tauhid
dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan ummat dari kalangan para ulama
pada waktu itu. Benar-benar telah berpasrah diri kepada syeikh tersebut,
bertawadlu’ dan menyerap berkat darinya. Kalau saja tidak karena keistimewaan
dan citra khuss bagi mereka, akan terjadi persoalan sebaliknya. Inilah yang
dialami oleh Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy-Syafi’y – semoga Allah swt.
meridhai mereka berdua – datanglah Syaiban ar-Ra’y.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Wahai Abu Abdullah, aku ingin
mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian
pengetahuan.” Maka asy-Syafi’y berkata : “Jangan Anda lakukan.” Namun Ahmad
tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban : “Apa pendapatmu, bila ada
orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia
tidak mengerti shalat mana yang terlupakan?” Syaiban menjawab : “Wahai Ahmad,
itulah hati yang alpa terhadap Allah swt. Kewajibannya ia harus belajar adab,
sehingga tidak lupa Tuannya.” Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban
Syaiban. Ketika sadar, asy-Syafi’y berkata kepada Ahmad : “Bukankah sudah
kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila
orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Sufi) saja
sedemikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan
fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf
asy-Syibly di Masjid al-Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu
Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy-Syibly. Suatu hari para
murid Abu Amran bertanya kepada asy-Syibly tentang masalah haid, dengan
tendensi ingin mempermalukannya. Asy-Syibly menjawab dengan berbagai padangan
ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah
haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy-Syibly sambil berkata :
“Wahai Abu Bakr, engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid
yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga
pandangan saja.”
Dikatakan : “Abul Abbas bin Suraij adalah seorang ualama
fiqih yang pernah menghadiri majelis al-Junayd r.a. dan mendengar penuturannya.
Kemudian Abul Abbas ditanya : “Apa
pandanganmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab : “Aku tidak mengerti apa yang
diucapkan al-Junayd. Namun aku tahu ucapan tersebut merupakan lompatan, yang
bukan tergolong lompatan kebatilan.”
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, : “Anda
berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang
dipanggil dengan nama al-Junayd. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?”
Abdullah lalu menghadiri majelis al-Junayd. Ia bertanya kepada al-Junayd
tentang tauhid, lalu Junayd menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas
kembali bertanya kepada al-Junayd : “Tolong Anda ulang ucapan tadi bagiku!”
AL-Junayd mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata :
“Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah Anda ulangi sekali
lagi!.” Lantas al-Junayd pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain
lagi. Abdullah berkata : “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang Anda ucapkan.
Tolonglah Anda uraikan untuk kami!.” Al-Junayd menjawab : “Kalau Anda
memperkenankannya, aku kan menguraikannya.”
Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan
al-Junayd serta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip akum Sufi
merupakan prinsip paling shahih, dan para syeikhnya merupakan tokoh besar
manusisa, ulamanya adalah yag paling alim di antara manusia. Bagi para murid
yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap tujuan
mereka, maka para syeikh inilah yang menjaga apa yang tersistimewa, berupa
terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan
orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah,
sementara dirinya tidak kompeten untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin
menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia
bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama
salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Sufi ini, sebab mereka lebih
utama dari yang lain.”
Al-Junayd berkata : “Jika Nada, mengetahui bahwa Allah
swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu
tasawuf, dimana kita bericara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita,
tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.”
Apabila telah mengikat dirinya dengan Allah swt. sang
murid harus memperoleh ilmu syariat, bisa dengan jalan penelitian (tahqiq) atau
melaui cara bertanya kepada imamnya, mana kewajiban-kewajiban yag harus dijalankan.
Bila di antara mereka berselisih pandangan soal syariat, si murid harus
mengambil pandangan yang lebih hati-hati dan lebih teliti. Di samping itu, ia
herus berusaha keluar dari lingkaran khilafiyah(al-khuruj minal khilaf). Sebab
kemurahan (rukhshah) dalam syariat hanya diperuntukan bagi mereka yang lemah
dan mendapatkan kesibukkan dan hajat yang amat mendesak. Sedangkan kesibukan
para murid, tidak lain hanyalah bersibuk diri bersama Allah swt. Karena itu
dikatakan, : Apabila si fakir turun dari derajat hakikat kepada rukhshah
syariat berarti ikatannya dengan Allah swt. telah rusak. Janji antara dirinya
dengan Allah swt. juga rusak. Kemudian bagi murid, harus belajar adab dengan
seorang syeikh. Apabila dalam menempuh jalan Sufi
ini murid tidak mendapatkan seorang syeikh ruhani, ia tidak akan bahagia
selamanya.” Karena itu Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Siapa pun yang tidak
memilki guru, maka setanlah imamnya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Pohon, apabila tumbuh dengan sendirinya, hanya tumbuh dengan
daunnya, tetapi tidak berbuah. Begitu pula murid, apa bila tidak berguru dengan
Syeikh, lalu menyerap begitu saja ajaran tasawuf melalui metodenya sendiri,
maka murid itu adalah penghamba hawa nafsu, yang tidak akan lestari.”
Bila si murid hendak menempuh jalan ruhani (suluk)
setelah melampaui semua itu, pertama-tama yang harus dilakukan adalah tobat
kepada Allah swt. dari segala kesalahan. Mengggalkan seluruh dosanya baik dosa
lahir maupun batin, dosa kecil maupun besar. Ia pun harus rela dengan caci
maki, tidak akan terbuka hatinya untuk menjalani tharikat ini. Dalam contoh
seperti itu, para Sufi telah menempuhnya. Setelah itu murid harus melakukan
pembuangan segala ikatan dan kesibukan. Karena bangunan tharikat ini berada di
atas kekosongan hati (selain Allah swt.).
Dulaf asy-Syibly berkata kepada Ali al-Hyshry pada awal
mula penempuhan jalan ruhaninya : “Apabila masih ada kepedulian selain Allah
swt. dalam hati Anda, dari hari Jum’at ini ke Jum’at yang akan datang, haram
bagi anda menghadiri majelisku.”
Bila si murid ingin keluar dari kaitan-kaitan yang ada,
pertama-tama ia harus keluar dari harta bendanya. Sebab harta itu yang dapat
memalingkan dari Allah swt. Tidak seorang muridpun ditemukan yang memasuki
persoalan tasawuf, sementara dalam dirinya masih ada keterkaitan dengan dunia,
melankan keterkaitan-keterkaitan duniawi itu akan menariknya keluar dari dunia
tasawuf. Kedua, bila telah keluar dari harta benda, murid harus keluar dari
tahta/status sosial. Terlibat mengejar pangkat merupakan faktor pemutus yang
amat besar. Bila penolakan dan penerimaan manusia terhadap dirinya masih belum
diterima dengan hati yang sama – dimana tidak ada manfaat secara pribadi,
bahkan membuat dirinya mendapatkan kesusahan, karena pergaulan dengan sesama
itu, bahka ia tidak mendapatkan pengukuhan dan atau pemberkatan – karena
tekanan pengucilan orang-orang terhadap ucapan-ucapan ini, bagaimana pun tetap
tidak dibenarkan berhasrat kepada mereka. Bagaimana pemberkatan manusia itu
dibenarkan? Sementara mereka harus keluar dari status sosial dan kepangkatan
mereka? Mengapa? Sebab, pemberkatan dan pengejaran status kepangkatan di mana
manusia marupakan racun yang mematikan bagi dirinya.
Apabila seorang murid keluar dari harta dan tahtanya, ia
harus membenarkan dan meluruskan akidahnya antara dirinya dengan Allah swt.
Disamping itu dia tidak boleh berbeda pandangan dengan
syeikhnya. Dalam berbagai isyarat yang ditujukan kepadanya. Berbeda padangan
dengan syeikh, bagi seorang murid, merupakan bahaya besar. Karena awal
perjalanan ruhaninya merupakan bukti bagi seluruh usianya.
Syarat lain bagi murid, tidak boleh ada ganjalan
kontradiksi terhadap syeikhnya. Bila dalam benaknya mempunyai persepsi bahwa
dirinya, di dunia dan akhirat mempunyai kemampuan dan nilai, atau merasa paling
hebat di muka bumi, maka cita-citanya tidak shahih. Karena seharus nya ia
berjuang agar mengenal Tuhannya, bukan berjuang untuk mendapatkan status
dirinya.
Disinilah, adanya perbedaan antara orang yag mengharapkan
Allah swt. dan orang yang mengharapkan status kepangkatan, baik harapanitu
untuk dunianya maupun akhiratnya.
Selain itu, murid wajib menjaga rahasia batinnya, bahkan
dari kancing bajunya sekalipun, kecuali hanya kepada syeikhnya. Kalau murid
memendam rahasia nafas jiwanya terhadap syeikhnya, berarti ia telah menghianati
kesantrian terhadap syeikh.
Apabila terjadi suatu perbedaan dengan petunjuk
syeikhnya, ia wajib berikrar di hadapan syeikh pada saat itu pula, kemudian
menyerahkan sepenuhnya kepada syeikh, hukuman apa un yang dijatuhkan kepadanya
atas tindak keburukan dan sikatp kontranya. Hukuman itu terkadang, ia disuruh
bepergian atau perintah yang diketahuinya. Bagi para syeikh sendiri tidak
dibenarkan melampaui apa yag menjadi kesalahan para murid. Karena hal demikian
berarti menelantarkan hak-hak Allah swt.
Syeikh tidak boleh menuntun murid dengan suatu dzikir
apabila murid belum menyingkirkan segala ketergantungan duniawi, namun,
seharusnya seorang syeikh cukup melatihnya saja. Namun apabila sang syeikh
telah menyaksikan murid melalui hatinya, bahwa murid telah benar hasrat
utamanya, maka syeikh harus membuat syarat agar murid ridha terhadap apa yang dihadapi dalam tharikat ini berupa bagian
bagian praktis dari aturannya. Maka, demikian syeikh mengambil janji kepada
murid untuk tidak berpaling dari tharikat ini, manakala murid menghadapi
berbagai masalah seperti kesengsaraan,
kehinaan, kefakiran, kepedihan dan penyakit.
Sang murid dilarang menebarkan sikap meremehkan, tidak
boleh mencari kemudahan ketika tertimpa
kekurangan dan desakan, tidak lebih dahulu meminta dan tidak bersikap
malsa-malasan. Sebab kemandegan murid dalam waktu senjangnya merupakan
keburukan. Perbedaan antara senjang dan mandeg : bahwa senjang waktu masih ada
peluang untuk kembali meneruskan hasrat atau keluar dari cita-cita penempuhan.
Sementara kemadegan, berarti berhenti menempuh jalan ruhani, karena dorongan
menikmati kemalasan. Setiap murid yang madeg, pada awal hasratnya tidak akan
memperoleh sesuatu.
Apabila syeikh memberikan latihan kepadanya, syeikh harus
menuntun sebagian dzikir sebagaimana yang ditunjukan. Syeikh memerintahkan
kepada murid untuk mengingat ucapan dzikir tersebut melalui lisan, kemudian si
murid dianjurkan untuk menyelaraskan ucapan dzikir dengan hatinya. Lalu syeikh
menegaskan kepada murid : “Berteguhlah dirimu untuk melanggengkan dzikir itu,
seakan-akan kamu, dengan hatimu bersama Tuhanmu selamanya. Jangan ada ucapan
dzikir selain ucapan ini, semaksimal mungkin!.”
Selanjutnya Syeikh memerintahkan kepada
murid agar senantiasa melanggengkan suci dari hadas *thaharah); tidak tidur
kecuali dilanda kantuk; mengurangi makan sedikit demi sedikit secara bertahap,
sehingga terbiasa. Bagi Syeikh, hendaknya tidak memerintahkan murid agar
meninggalkan kebiasaannya secara serentak. Sebab dalam hadis dijelaskan :
“Sesungguhnya benih yang tumbuh tidak pada tanah akan pupus, dan pertumbuhannya
tidak lestari,”
Murid dianjurkan untuk memprioritaskan khalwat dan
‘uzlah. Ketekunannya dalam kondisi seperti itu --- tidak mustahil --- untuk
menghilangkan bahaya-bahaya yang mengancam agama, serta bisikan-bisikan yang
mengganggu hati.”
Ingatlah, kondisi seperti itu --- keraguan dalam akidah –
tidak akan sunyi dari perjalanan permulaan seorang murid dalam menempuh hasrat
spiritualnya. Apalagi bila si murid memiliki kecerdasan hati, seringkali
menghadapi cobaan-cobaan seperti itu. Bahkan hampir semua murid mengalaminya.
Tugas syeikh, apabila melihat muridnya ada yang memiliki
kecerdasan seperti itu, seharusnya diarahkan dengan argumentasi rasional. Sebab
dengan pengetahuan seperti itu, tidak mustahil akan selesai permasalahannya,
terutama untuk menghapus keragguan benaknya. Bila syeikhnya memberikan firasat,
akan kekuatan dan keteguhan pada diri murid dalam menempun tharikat ini, si
murid diharuskan bersabar dan melestarikan dzikirnya, sampai muncul cahaya
penerimaan, dan muncul rahasia mentari wushul. Dalam waktu dekat akan terjadi
hal-hal seperti itu. Namun kejadian seperti itu tidak akan muncul kecuali pada
individu-individu murid. Sedangkan yang umum, tetapi untuk mereka dikembalikan
pada kontemplasi dan perenungan berbagai ayat, dengan syarat untuk memperoleh
ilmu tentang dasar-dasar agama, sekedar untuk kebutuhan mendessak bagi murid.
Ingatlah, bagi para murid, secara khusus, akan
mendapatkan ujian-ujian dalam menggapai pintu tharikat ini. Karenanya, bila
mereka menyendiri dalam tempat-tempat dzikir atau majelis-majelis sima’, atau
yang lain, jiwanya sering diganggu, dan kepeduliannya sering dihembusi oleh
kemungkaran-kemungkaran yang mengatakan bahwa Allah swt. Suci dari semua itu,
disamping si murid tidak dipersepsikan adanya nuansa syubhat yang batil pada
bisikan-bisikan itu. Tetapi gangguan itu tidak berjalan lama. Pada saat-saat
seperti itu, kepedihan luar biasa menimpa si murid, sampai pada batas, dimana makian
yang paling kotor, ucapan yang paling keji, dan bisikan yang paling busuk, yang
tidak dapat diungkapkan oleh si murid kepada siapa pun. Inilah gangguan
terberat yang menimpa dirinya. Tugas si murid bila terganggu seperti itu,
adalah tidak memperdulikan bisikan-bisikan itu dengan tetap melestariakn
dzikir, kembali kepada Allah swt. mempertahankannya dengan sikap konsisten.
Bisikan-bisikan itu bukanlah hembusan-hembusan setan, tetapi merupakan gangguan
naffsu. Apabila hamba dapat menandinginya dengan cara meninggalkan orientasi
pada gangguan tersebut, maka gangguan itu akan putus dengan sendirinya.
Di antara adab murid, atau bahkan kewajiban-kewajiban
yang menjadi tugasnya, adalah menetapi tempat penempuhannya. Murid jangan
sampai pergi sebelum menempuh Jalan, sebelum hatinya wushul kepada Allah swt.
Sebab, pergi dengan waktu yag bukan pada waktu yang ditentukan, merupakan racun
yang mematikan. Selain itu murid tidak akan meraih harapannya, bila pergi pada
saat yang bukan waktunya.
Apabila Allag swt. menghendaki murid suatu kebaikan, Dia
akan meneguhkan di awal penempuhan ruhaninya. Tetapi bila Allah swt.
menghendaki keburukan apda murid, Allah swt. akan mengembalikan pada suasana
semula, keluar dari wahana penempuhan, kembali dengan pekerjaan dan situasi
semula, sebelum memasuki gerbang tharikat.
Apabila Allah swt. menghendaki murid dengan suatu cobaan,
Allah swt. melemparkan pada wahana keterasingan. Inni pun bila si murid akan
mendapatkan kebaikan wushul kepada-Nya. Apabila ia penempuh muda, jalan yang ditempuh
adalah berkhidmat secara lahiriah dengan sepenuh jiwanya kepada para fakir. Ia
berada di bawah satu taraf mereka dalam tharikat ini. Ia ddan orang gyang
sejenjang, secara lahiriah harus menampakan sikap sopan. Mereka berhenti ketika
sedang dalam perjalanan. Pangkal dari bagian mereka dalam tharikat ini, adalah
memenuhi sasaran yang dihasilkannya, mengunjungi tempat-tempat di mana ia
menempuh perjalanan, menemui orang-orang yang lanjut usia dengan ucapan salam,
menyaksikan fenomena-fenomena, dan berjalan dengan penuh etika kesopanan.
Kewajiban mereka adalah senantiasa pergi, sehingga tidak tergoda untuk berbuat
dosa. Sebab orang muda, bila menemukan
keringanan dan godaan, ia berada di gerbang cobaan. Bila ia dicoba dengan
cobaan itu, hendaknya, jalan yang ditempuh adalah menghormati orang-orang
lanjut usia, melayani kepentingan para sahabt dan meninggalkan konflik dengan
mereka, mengentas beban yang bisa meringankan si fakir. Berupaya sepenuhnya,
agar tidak melukai hati sang syeikh.
Tugas kewajiban bersahabat dengan orang-orang fakir,
bahwa mereka kelak akan mencacinya. Dan bagi murid tidak boleh mencaci mereka,
kemudian membenarkan dirinya. Murid harus memandang bahwa dirinya mempunyai
kewajiban terhadap masing-masing dari para fakir itu. Sebaliknya dirinya tidak
memiliki hak maupun kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.
Kewajiban murid, tidak boleh kontra dengan siapa pun.
Bila kebenaran ada di pihaknya, sebaiknya ia diam saja. Malah, ia harus
menampakkan keserasian dengan siapa saja.
Setiap murid, yang berpapasan dengan suatu tempat yang di
sana ada tawa, kegaduhan, atau tempat orang lewat, maka ia tidak boleh
mendatanginya. Apabila berada dalam kumpulan orang-orang fakir, baik ketika di
rumah atau bepergian, seyogyanya sang murid tidak berselisih padang dengan
mereka secara lahir, baik dalam hal makanan, puasa, diam dan gerak. Kalaupun
berselisih, sebaiknya berselisih lewat batin saja. Demikian pula, sang murid
sebaiknya menjaga hatinya untuk senantiasa bersama Allah swt.
Apabila para fakir itu mengajak makan misalnya, sang
murid seyogyanya makan satu atau dua suapan. Ia tidak boleh memberi peluang
bagi nafsu syahwatnya sendiri.
Wirid yang bersifat lahiriah, bukan termasuk adab para
murid, Kaum Sufi, senantiasa berupaya menyingkirkan bisikan-bisikan dan
menerapi akhlak-akhlak mereka serta membuang sifat buruk dari hatinya. Bukan
justru memperbanyak kebajikan. Yang menjadi keharusan bagi dirinya adalah
menegakkan ibadat-ibadat fardhu dan sunnah. Sedangkan ibadat tambahan seperti
shalat-shalat sunnah, maka melanggengkan dzikir dalam hati, lebih utama bagi
mereka. Modal utama seorang murid adalah mendekati masing-masing adab itu dengan
kelapangan jiwa, dan menghadapinya dengan penuh ridha, sabar atas kefakiran dan
kepedihan, meninggalkan (sikap) minta-minta dan konflik, baik dalam keadaan
terhimpit maupun lapang, dan lebih membatasai diri untuk sekedarnya saja. Siapa
saja yang tidak bersabar untuk semua itu, lebih baik pergi saja ke pasar.!
Siapapun yang masih memiliki kesenangan sebagaimana
manusia pada umumnya, maka harus memenuhi selera itu seperti kebanyak manusia,
dengan kerja keras dan memeras otak. Apabila murid mendisiplinkan diri dengan
melestarikan dzikir, memprioritaskan khalwat, lantas dalam khalwatnya menemukan
hal-hal yang tidak ditemukan oleh kalbunya, baik dalam keadaan tidur, jaga atau
antara tidur dan jaga; berupa bisikan yang didengar atau makna hati yang
disaksikan, hal-hal yag menentang adat kebiasaan, maka sebaiknya ia tidak
terpaku atau disibukkan oleh hal-hal seperti itu selamanya. Tidak selayaknya
murid menunggu datangnya peristiwa-peristiwa ruhani seperti itu. Sebab,
peristiwa seperti itu, merupakan ganggguan-gangguan yang menjauhkan murid dari
Allah Yang Maha Benar dan Maha Luhur.
Apabila murid mendapatkan peristiwa ruhani seperti di
atas, ia harus melaporkan kepada syeiknya, sampai hatinya benar-benar bersih
dan kosong dari itu semua. Sementara bagi sang syeikh, menjaga rahasia batin si
murid, agar tidak diketahui oleh yang lainnya, dan syeikh pun harus menegaskan
bahwa peristiwa seperti itu hanya masalah kecil. Sebab, semua itu tidak lain
hanyalah informasi-informasi ruhani. Sedangkan berorientasi pada informasi
ruhani merupakan makar atau cobaan. Sebaiknya murid menghaindari untuk meneliti
secata detail peristiwa-peristiwa ruhaninya. Lebih baik ia konsentrasi pada
cita-citanya yang lebih luhur lagi, dari sekedar menggapai informasi ruhani
itu.
Ingatlah, bahwa di antara bahaya terbesar bagi murid,
manakala murid merasa senang atas apa yang yang datang dalam batinnya, berupa
kedekatan-kedekatan Allah swt. kepadanya, dan anugerah-Nya yang dilimpahkan
kepadanya. Semisal merasa gembira, bahwa Allah swt. mengilhamkan : “Aku
mengkhusukan dirimu dalam hal ini, dan aku menyingkirkan semua persoalanmu.” Maka
bila saja ia mengucapkan. : “Dengan meninggalkan ini.” Pasti dalam waktu dekat
hal-hal yang tampak mukasyafah hakikat akan segera dihanguskan darinya.
Penjelasan masalah ini termasuk hal-hal yang tidak diperkenankan dalam beberapa
kitab.
Di antara aturan-aturan murid adalah apabila tidak
menemukan syeikh yang dapat mendidikadab jiwanya di tempat tinggalnya,
seharusnya ia hijrah kepda syeikh yag memiliki derajat di zamannya untuk
memberi pelajaran petunjuk hati para murid, kemudian mukim di sisi syeikh, dan
dilarang pergi dari tempatnya sampai ada waktu yang sudah diizinkan oleh
syeikh.
Ingatlah, menjadi kewajiban, bahwa mengenal
Tuhannya Baitullah harus didahulukan dibanding ziarah ke Baitullah itu sendiri. Kalau saja
dalam dirinya tidak mengenal Tuhan Baitullah, sma sekali tidak wajib menziarahi
Baitullah. Orang-orang muda yang pergi menunaikan ibadah Haji, yang dilakukan
tanpa melalui petunjuk syeikhnya, merupakan indikasi bahwa orang-orang itu
hanya mengikuti semangat nafsu semata. Mereka menanamkan dirinya sebagai
pengikut tharikat ini, padahal keberangkatannya tidak memiliki dasar.
Indikasinya, mereka tidak memiliki bekal keberangkatan, kecuali bekal
perpecahan jiwanya. Padahal, apabila mereka
berangkat dari jatidirinya satu langkah saja, niscaya selangkah itu lebih baik
dibanding seribu kali bepergian.
Di antara syarat bag murid pula, bila berziarah kepada
seorang syeikh, murid harus masuk dengan penuh rasa hormat, memandangnya dengan
wajah yang ramah. Apabila sang Syeikh menyilahkan dngan suatu sambutan, tentu,
sambutan itu merupakan anugerah kenikmatan.
Sepanjang, 02
Januari 2014
Lanjut pada Bab :
V Para Tokoh Sufi
BAB PENUTUP
Ada di blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar