Sabdapalon
Nayagenggong dan Darmagandul tokoh fiktif
dalam sastra Jawa
Paling terkenal
dan paling fenomenal.Pertarungan Madzab di Tanah Jawa penyebab kehancuran Kerajaan Islam.
Kerajaan Demak yang Bermadzab yang sama denga Wali Sanga; Kemudian di hancurkan Oleh Jaka Tingkir Pendiri Kerajaan Panjang yang bermadzab yang sama Denga Siti Jenar. Dalam setiap kisah penghancuran Kerajaan yang ber-begron Agama, karena beda keyakinan; sehingga Bangunan fisik dan Buku ajarannya pun dihancurkan tanpa bekas. Sehingga Bekas Kerajaan demak dan Kerajaan Panjang yang hancur pula, pun mengalami nasib yang sama. Hancur Lebur Tanpa Jejak. Pertarungannya pun tidak berhenti pada masalah Politik Negara. Dalam Karya Sastra pun, terjadi pergumulan sengit, seperti Karya Sastra di bawah ini. Saya Pribadi, tidak bermaksud untuk memihak yang sana atau pun yang sini. Karena saya, berkeyakinan Bahwa HANYA DIA. YANG MAHA BENAR. Soal Madzab, itu hanya Warna Dunia. Karya sastra semacam ini di Tanah Jawa; di isi mantra yang sangat kuat oleh Penggubahnya, walaupun Negara pernah mebredelnya. tidak bisa hilang 100 %.. Itulah ketinggian ilmu para Pujangga Jawa di masa lalu, yang bisa digunakan sebagai cermin bagi GENERASI SELANJUTNYA.
Kerajaan Demak yang Bermadzab yang sama denga Wali Sanga; Kemudian di hancurkan Oleh Jaka Tingkir Pendiri Kerajaan Panjang yang bermadzab yang sama Denga Siti Jenar. Dalam setiap kisah penghancuran Kerajaan yang ber-begron Agama, karena beda keyakinan; sehingga Bangunan fisik dan Buku ajarannya pun dihancurkan tanpa bekas. Sehingga Bekas Kerajaan demak dan Kerajaan Panjang yang hancur pula, pun mengalami nasib yang sama. Hancur Lebur Tanpa Jejak. Pertarungannya pun tidak berhenti pada masalah Politik Negara. Dalam Karya Sastra pun, terjadi pergumulan sengit, seperti Karya Sastra di bawah ini. Saya Pribadi, tidak bermaksud untuk memihak yang sana atau pun yang sini. Karena saya, berkeyakinan Bahwa HANYA DIA. YANG MAHA BENAR. Soal Madzab, itu hanya Warna Dunia. Karya sastra semacam ini di Tanah Jawa; di isi mantra yang sangat kuat oleh Penggubahnya, walaupun Negara pernah mebredelnya. tidak bisa hilang 100 %.. Itulah ketinggian ilmu para Pujangga Jawa di masa lalu, yang bisa digunakan sebagai cermin bagi GENERASI SELANJUTNYA.
Buku yang sangat
di benci oleh kalangan TERTENTU
Walau pembuka
cerita di Tembang No. 12..
Di awali dengan
kalimat Basmalah ...
Tapi bahasa
Sastra Jawa ..
Penuh makna di
balik kata ...
Jika
bisa menjaring ILMU
dibalik Sastra..
Jika
bisa mengurai cahaya di balik kata
Masukilah kandungan
sastra ini..
Jika tidak ..
jangan coba-coba..!!!!
Akan
tersesat.. oleh bahasa Sastra JAWA.
Darmagandul;
bukan sastra sembarang sastra..
jika
salah cerna – sesat yang didapat.
HATI HATILAH!! MENELAAH KARYA SASTRA. “JAWA”
INGAT
.. INI karya Sastra --- bukan sejarah.. sebatas menambah wawasan..
“Aja
mung Ngaji Syariat bloko – jangan cuma Mengaji Syariat apa adanya”
“Pujo
Prayitno / Pen Sanjaya”
TERJEMAHAN BEBAS
DAN NASKAH ASLI DARMAGANDUL
JILID I
JILID I
Penerbit : “Keluarga
Soebarno” – Solo
Tanpa – Tahun.
Penyadur dan
penterjemah: Pujo Prayitno
Edit Pujo Prayitno
KINANTI / XIV : 5
Agama Jawa tumurun // agamane buda budi // iku AGAMA MA’RIFAT //
MAJAPAHIT ---- KERAJAAN BERAGAMA HINDU
Masyarakat Jawa.. sepanjang sejarah -- tidak pernah mempermasalahkan AGAMA
Yang bisa menjadi masalah -- Jika Sikap dan Cara yang dipergunakan
Berlawanan dengan adat dan Sopan santun budaya jawa...
Masyarakat Jawa.. sepanjang sejarah -- tidak pernah mempermasalahkan AGAMA
Yang bisa menjadi masalah -- Jika Sikap dan Cara yang dipergunakan
Berlawanan dengan adat dan Sopan santun budaya jawa...
DAFTAR ISI
1. Dhandhanggula (Raden Patah diangkat Bupati Demak oleh Prabu Brawijaya dan
Perjalanan Sunan Benang ke Kediri)
2. Asmaradana (Debat Ilmu antara Butalocaya dengan Sunan Benang)
3. Dhandhanggula (Permusyawatan Para Wali menyusun rencana menyerang
Majapait)
4. Pangkur (Kisah Penghancuran Majapahit oleh pasukan Demak dan Sultan
Demak mendapat amarah Nyi Ageng Ngampelgading ).
5. Sinom (Nasihat dan kemarahan Nyi Ageng Ngampelgading kepada
Sultan Demak, dengan memberi contoh cerita masa lalu akibat dari perbuatan anak
melawan orang tuanya sendiri).
6. Dhandhanggula ( Dalam hati Sunan Benang membenarkan Nasihat Nyi Ageng
Ngampelgading // Namun dalam Tata lahir
Sunan benang memberi nasihat Kepada Sultan Demak tentang kebenaran
langkah yang diambil, sehingga Sultan demak kebingungan. Yang akhirnya memilih
saran dan nasihat Sunan Benang gurunya; untuk terus menjadi Raja Di Tanah Jawa ).
7. Sinom (Raden Sahit duta sultan demak berhasil menemukan Raja
Brawijaya yang lolos saat pengahancuran Majapahit di Blambangan (Banyuwangi). Prabu Brawijaya punya rencana akan menyebrang
ke Bali untuk menyusun kekuatan guna menyerang Demak dengan cara akan
mengumpulkan kekuatan dari Kerajaan kecil mulai Bali ke timur; Kalimatan dan
Sumatra. Rencana tersebut akhirnya bisa di gagalkan oleh Sunan Kalijaga; bahkan
Sunan Kalijaga berhasil meng-Islamkan Prabu Brawijaya.
8. Pangkur (Prabu Prabiwijaya mengajak kedua abdinya Sabdopalon –
Nayagenggong untuk bersama-sama Masuk Islam. Akan tetapi kedua abdinya tidak
mau dan terjadilah perdebatan ilmu (masuk wilayah bahasa Sufi Jawa ) antara
Prabu Brawijaya dan abdinya). (Memasuki Ilmu Hakikat).
9. Durma (Nasihat Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya).
10. Pangkur (Kisah perpisahan antara Sabda palon dengan Prabu
Brawijaya. Kisah asal mula Nama Banyu wangi. Kisah perjalanan Prabu Brawijaya
bersama Sunan Kali dan kisah berubahnya air yang berbau wangi
menjadi banger setelah empat hari ).
11. Hasmaradana (Kisah meninggalnya Prabu Brawijaya, serta wasiatnya kepada
Sunan Kali).
12. Dhandhanggula (Membuka Rahasia (Tafsir) di balik cerita yang termuat di
dalam Serat Babat tentang Hancurnya Majapahit)
13. Mijil (Sunan Kali menjaga agar cerita leluhur Jawa tidak punah.
Beliau mencipta wayang. Kisah perjalanan Sayid Anwar Cucu nabi Adam ke Tanah
Jawa dan diambil menantu raja Jin Tanah Jawa serta Menjadi Raja.
14. Kinanthi (Yang dimaksud Agama Buda Budi adalah agama di Tingkat
Ma’rifat).
15. Megatruh (Perbedaan jenis huruf
di dunia).
16. Pucung (Nasihat Kalamwadi kepada Isterinya, tentang sikap
seorang istri kepada suaminya)
17. Asmaradana (Nasihat Kalamwadi kepada Isterinya, tentang, pedoman kebahagian
dalam berumah tangga).
18. Kinanti (Kalam wadi
menjelsakan lokasi tempat peninggan Prabu Jayabaya Raja Kediri).
Yang bisa saya simpulkan dari Karya Sastra ini, Walau berbegron
Agama dalam menghancuran Kerajaan di Tanah Jawa; jika menggunakan cara yang
licik; Tuhan pun akan menghukumnya. Kerajaan yang mengunakan Syariat Islam
untuk mengatur pemerintahan dan ketika Hukum Syariat ditegakkan hanya sebatas
untuk urusan Politik Negara, saja maka;
umurnya pun gak akan lama. Demak; Pajang; Mataram, kemudian di Jajah
Belanda sehingga Mataram pecah jadi dua (Solo – Yogya). Itulah ujud PERINGATAN
TUHAN.
Soal Agama di
Tanah Jawa. Tidak pernah ada larangan dan tidak pernah terjadi perang hanya
karena Beda Agama.. TIDAK ADA seorang rajapun yang membatasi AGAMA.
Jika Sabdapalon
Nayagenggong dianggap menyalahkan suatu Agama... .. Sedangkan dalam kisah..
mereka adalah yang Mengasuh Semua Raja di Tanah Jawa, dimana raja tidak pernah
melarang Agama apapun berkembang di Tanah Jawa; Dan Sabdapalon mengatakan Agama
Buda Budi – Sedang pada Jaman Majapahit rajanya beragama HINDU –
DIMANAKAH LETAK
KESALAHANNYA.. Apakah Sabdapalon yang salah ataukah : .......???????????/?????
!!!!!!! (Hati-hati – kata di balik sastra Jawa).
i. DHANDHANGGULA
Orang jaman dahulu // jika membaca Serat ini // sambil dilagukan seperti youtube : http://www.youtube.com/watch?v=DIldUahQd2k
Edit : Pujo Prayitno
1.
Kedandangan
wedaring mamanis // Labet saking wus manjing sarira // Suka-suka karemene //
Barubah temahipun // nawung wingit ing saben wanci // hing ngungkih panalangsa
// napak Darma Gandul // jumanane
lumuntura // sahistane sinaroja hawit dening // labaning Suksma nasa.
2.
Naham mangkya
bubukaning kawi // maha dibya ingkang halul tapa // Kalamwadi jejuluke // kang
dadya garwanipun // Arum – Marum Dyah
Perjiwati // asrameng sonya pringga // sajuga ri nudju // sang wiku neng
pacrabakan // ingkang ngadep siswa sawiji kang Mursit // putus sakeng guna.
Inilah sebagai
pembuka ilmu // ada seorang yang sangat sakti ahli bertapa // Yang bernama
Kalamwadi// mempunyai isteri yang bernama / Arum-Marum Dyah Perjiwati //
bertempat tinggal di Sonyapringga // pada suatu hari // Sang pertapa sedang duduk
di ruang pertemuan // yang menghadapnya adalah satu-satunya murid yang sangat
cerdas // dan menguasai berbagai keahlian.
3.
Darmagandul
pepabarabireki // nala wingit limpat
grahitanya // lan sang dwija meh tan pae // marma kasok sihipun // wus
prasasat joga pribadi // rinten ratri datan sah // neng ngarsa sang wiku //
samana sang siswa tama // lagya ana kang dadya ribenging galih // lon matur
mring sang tapa.
Darmagandul itu
namanya // berotak cerdas ahli nalar // dengan Sang pertapa hampir tidak pernah
terpisah // hingga turtumpahlah kasih sayangnya kepadanya // dikisahkan pada
saat itu sang siswa // sedang memikirkan sesuatu // dan menyampaikan yang
dipikirnya dengan lembut kepada Sang Pertapa gurunya,
4.
Duh sang dwija
kang jwanjana murti // ingkang mugi linepatna duka // kawula nyuwun pitaken //
kang dadya purwanipun // tiyang Jawi santun Agami // nilar Agami Buda //
ngrasuk Sarak Rasul // punika sebab punapa // kados pundi bubukane nguni-uni//
sang wiku rum ngandika.
Wahai sang tapa
yang mumpuni // semoga hamba dijauhkan dari amarah sang Tapa // Hamba mohon bertanya
// apa yang menjdi penyebab // Bangsa
Jawa berganti aturan hukum // meninggalkan aturan hukum Budi (Agama Hakikat) //
memilih hukum Syariat // itu apa sebabnya // bagai manakah awal mula ceritanya
// Sang Tapa pelan berkata .
5.
Lamun sira takon
ing bab iki // ingsun datan wruh sawiji apa // amung yen manut tuture // radyan
budi guruku // embuh bener lan embuh sisip // nanging panduganingwang// bener
nora luput // krana cocog wujudira// tilasane isih kena den tingali // nanging
sun kira nyata.
Jika engkau bertanya
tentang hal itu // Aku tidak mengetahuinya // namun jika menurut perkataan dari
// Sang Budi guru dalam diriku // entah benar entah salah // akan tetapi
menurut perasaanku // benar dan tidak salah // karena cocok dengan keadaan //
peninggalan masa lalu yang masih bisa dilihat // dan menurutku demikianlah
adanya.
6.
Nanging ingsun
wedi macak tulis // luput-luput tumbal umuringwang // awit wong jawa lumrahe //
lamun ana kang purun // anarbuka wadining Hadji // wus pasti pinejahan // marma
sun tan ayun // tutur critane kang nyata // purwanira wong jawa salin agami //
miyak wadining Nata.
Namun Aku takut
merangkai tulisan untuk menjelaskannya // salah-salah menjadi tumbal umurku //
sebab orang jawa pada umumnya // jika ada yang berani // membuka rahasia Raja
// pasti dihukum mati // oleh karena itu aku tidak berani // menyampaikan
cerita yang sesungguhnya // tentang penyebab mengapa orang jawa berganti Hukum
yang dianutnya // sebab akan membuka
rahasia raja.
7.
Darmagandul
aturira aris // inggih leres duk jamaning kuna // praja gung jawi lumrahe //
kang dados daharipun // woh wit budi kalawan kuldi // ing mangke karsa dahar //
woh wit kajeng kawruh // kagungan panggalih panjang // jekti ngowel mring
ngumurira wadya lit // kang lepat sawatara.
Darmagandul
berkata dengan sopan // memang benar bahwa pada jaman dahulu // Kerajaan besar
di Jawa pada umumnya // yang menjadi panutan dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah // buah dari budi dan kuldi // Sedangkan jaman sekarang yang
menjadi pedoman adalah // buah dari ilmu // dan mempunyai panjang angan //
sehingga pendeklah umurnya sehingga rakyat
kecil // yang sementara salah.
8.
Malah dadya
penget kang prayogi // ngawikani kang leres lan lepat // wikan misil kupiyane
// sang dwija alon wuwus // yen mengkana yogya sun Hanggit // nanging amung
sadarma // nganggit tulis wuwus // Dyan Budi kang darbe karsa // bener luput yektine amung sadarmi // yen ora
sun tulisa.
Itu justru dijadikan
nasehat yang baik // sehingga bisa digunakan untuk mengetahui yang benar
dan salah // dan mengetahui ibarat itu semua // Sang Tapa pelan berkata // jika
demikian segera saya buat cerita // namun hanya sekedarnya saja // dengan membuat
tulisan kata // dan Budi-lah yang menginginkannya // benar dan salahnya
sesungguhnya hanya sekedarnya saja// jika tidak saya tulis.
9.
Nora wurug ingsun
den dukani // wit kang prentah iku kaelingan // lan iya akeh asile // supaya
wong kang cubluk // wong jawa salin agama // pada ninggal agamane buda budi //
ganti Agama Islam.
Akhirnya saya
akan dimarahi // karena yang memerintah saya adalah kesadaran // dan juga akan
banyak hasilnya // agar orang yang bodoh // mengetahui mengapa orang Jawa sekarang
berganti Aturan hukumnya // meninggalkan aturan hukum buda budi (hakikat ) //
berganti aturan hukum menjadi syari’at
Islam.
10.
Caritane
Nagri Majapahit // angitane pujangga ing kunna // pralambang pasemon kabeh //
yen tinulis lugu // babatira ing Majapahit // buka kekeran Raja // pujanggane
takut // mila anyemoni kewala // supayane wong bodho aja mangerti // carita
kang sanyata.
Cerita
tentang kehancuran Majapahit // yang dibuat oleh para Pujangga jaman dahulu //
hanya dibuat sebagai ibarat saja // Jika
ditulis apa adanya // Cerita Babat tentang Majapahit // akan membuka
pertengkaran dan rahasia Raja // itulah penyebab mengapa para pujangga menjadi
takut // sehingga membuat cerita ibarat saja // agar orang bodoh tidak
memahaminya // tentang cerita yang sesungguhnya.
11.
Marma janma jawi
mata sidji // akhli budi ngerti caritane // Majalengka sabenere // karana wong
kang cubluk //nrima mangan woh kayu kuldi // tan pisan ngerti mangan // woh
budi woh kawruh // mung nrima kabar kewala // nora dungkap carita kang elok
gaib // samar kalingan padang.
Hanya orang jawa
yang menggunakan mata hati // dan yang
ahli budi saja yang memahami cerita atas // kehancuran Kerajaan Majapahit yang
sebenarnya // karena orang yang bodoh // menerima saja makan buah kuldi //
tidak pernah mengerti karena tidak pernah
memakan buah budi dan buah kawruh (ilmu)
// dan hanya menerima kabar burung saja // sehingga tidak bisa memahami apa
sebenarnya dibalik cerita yang aneh dan rahasiaitu, dan // sangat samar tertutup terang./samar.
12.
BISMILLAH
HIR RAHMA NIR RAHIM // mugi para agung tanah jawa // dipun agung aksamane //
de ulun kami purun // kumolancang meksa linuwih // mangun carita kuna //
ingkang wus katutup // tur tanpa pathokan kitab // tuduh tutur ing
sama-samaning urip // mung tukul sing engetan.
Diawali dengan
bacaan Basmalah // semoga para pinisepuh Tanah Jawa // berkenan memberikan maaf
dan ampunannya // karena aku telah berani –beraninya // dan begitu lancangnya
memaksakan diri merasa mampu // membangun kembali cerita masa lalu // yang
telah tertutup // dan tanpa dasar kitab // atau pun petunjuk dan carita dari yang hidup di masa itu // dan ceita ini
dibangun hanya berdasarkan hasil pemikiran sendiri.
13.
Pan mengkene
purwane ing nguni // Prabu Brawijaya Majalengka // kasamaran pamriksane //
klimput galih Sang Prabu // kurang yitna ing tata lahir // akrama Putri Cempa//
wong Agama Rasul // ing sajroning sih-sinisihan // karon lulut sang garwa
asring ngaturi // kodjah lan ingkang raka.
Dan beginilah
ceritanya// Prabu Brawijaya Raja Majapahit // tergoda pandangannya // terbawa
keinginan hati sang Prabu // dan kurang hati-hati dalam bertindak // beliau kemudian
menikahi sorang putri dari Negeri Cempa (Sebelah Utara Kamboja) // seorang Putri beragama Syariat // dan pada
saat berkasih-kasihan // serta pada saat memadu asmara sang putri sering
memberi // cerita kepada sang Prabu.
14.
Ingkang mulya Agama
Islam,// yen katimbang lan Agama Buda // Sarak Rasul unggul dewe// ature wantu-wantu // Sri Narendra panggalih
gingsir // mireng aturing garwa // tan kawiyos tutuk // tan lami pulusanira //
Putri Cempa tutuwi marang Sang Putri // anama Sayit Rakhmat.
Bahwa yang paling
bagus adalah Aturan Hukum Islam (Syariat ) // jika dibandingkan dengan Aturan
Hukum Buda ( Agama di tingkat Hakikat. Pen) // Ilmu Syariat itu paling tinggi
// begitu yang disampaikan sang Prutri berkali-kali // Sehingga goyanglah
pemikiran Raja // karena terlalu seringnya mendengar penyampaian sang Putri
tentang hal itu // tapi tidak terucap
dengan kata-kata // Tidak lama kemudian keponakan dari // sang Putri Cempa
datang berkunjung // Keponakannya bernama Sayit Rakhmat.
15.
Nyuwun dukuh neng
Ngampel gading // nyuwun idi anggelar Sarengat // Kanjeng Rasul Agamen // Sang
Brawijaya Prabu // sapanyuwunira pinaring // sira Sang Sayit Rakhmat // hanulya
dudukuh// Surabaya Ngampel Denta // nggelaraken Sarengat Andika Nabi //
Muhammad Rasulullah.
Memohon diijinkan
bertempat tinggal di Ngampel Gading (Surabaya Utara. Pen) // Dan memohon pula
untuk diijinkan menyebarkan Ilmu Syariat // Agama Kanjeng Rasul // Sanga Raja
Brawijaya // kemudian mengabulkan segala permohonanya // sehingga Sayit Rakhmat
// kemudian bertempat tinggal // di Surabaya – di Ampel Denta // dan Menyebarkan
Syariat Nabi // Muhammad Rasulullah.
16.
Nulya akeh
Maolana prapti // saking Ngarab samya angajawa // asowan Ngarsa Sang Rajeng //
pra samya nyuwun dukuh // neng pasisir wus antuk idi // ing ngiden ing Sang
Nata // sapanyuwunipun // lama-lama saya ngrebda // tanah jawa kang samya ganti
Agami // Ganti Agama Ngarab.
Kemudian disusul
datangnya para Ulama // dari Arab datang ke Pulau Jawa // kemudian datang
menghadap kepada Raja // untuk memohon ijin bertempat tinggal // di Wilayah
pesisir // serta semuanya mendapatkan ijin Raja // tentang apapun yang menjadi
permohonannya // lama kelamaan berkembanglah // bahwa di Tanah Jawa banyak
orang jawa yang berganti Agama // Berganti Agama Ngarab.
17.
Sayit Rakhmat
dadya gununganing // paguron wong Islam sadaya // Benang Tuban dudukuhe // Sayid Rakhmat Puniku // Maolana saking ing Ngarbi
// tedak Njeng Rasulullah// mila dados guru // panutane Jawi Islam // Kabeh
kenut kerut wong Jawa Pasisir // Maguru Sayit Rakhmat.
Sayit Rakhmat
sebagai panutan // bagi Perguruan orang
Islam di tanah Jawa // Benang Tuban tempat tinggalnya // Sayit Rakhmat adalah
// seorang Maolana dari Arab // Keturunan Kanjeng Rasulullah // dan menjadi
guru // serta menjadi Panutan orang
Islam di Tanah Jawa // Semua orang pesisir terbawa // dan berguru kepada Sayit
Rakhmat.
18.
Samya masuk Agama
Islam // ing sa satanah Jawa ingkang nyangga// pasisir lor sapangulon // masuk
Agama Rasul // pada tinggal Agama Budi // Awit wetan Blambangan sapangulanipun
// tekan ing Banten negara // pada tinggal Agama Buda sami // ganti Agama Arab.
Semuanya masuk dan memeluk Agama Islam //
Bahwa yang menyangga Pulau Jawa dalah penduduk // di Wilayah Pesisir Utara ke
barat // Semuanya telah memeluk Agama Syariat // serta telah meninggalkan Agama
Hakikat // Molai dari timur Wilayah Blambangan (Banyuwangi ) ke Barat // hingga
Wilayah Banten // semuanya telah meninggalkan Agama Buda // dan beganti memeluk
Agama Arab. (Syariat)
19.
Kena bujuk dalil
Alif Lam Mim, andalikal rahabapi udan// lil muttkim enak dewe // kedanan mring
ashadu, mila tinggal agama lami // wus kanggo sewu warsa // pikukuhing luhur // Agama luhur
pribadya // macung dewe mring Pangeran Maha Suci // anyebut Budi Hawa.
Terkena bujuk
dalil Alif lam mim dan sterusnya //
// // sehingga meninggalkan
Agama yang lama // yang telah belaku selama seribu tahun // Patokan leluhur
(sebagai patokan dalam mengatur system Negara) // Agama (untuk jadi pedoman
mengatur Negara ) yang paling luhur // Menghadap langsung kepada Pangeran Yang
Maha Suci // dengan menyebut Budi Hawa.
20.
Budi ikut Dzat-ira Hyang Widdi // apan iku kareping manah // nurut budi
karepe // wajib jalma puniku // kang miturut ahlining Budi // lawan kareping
manah // puniku tinurut // manungsa wignya punapa // obah osik iya darma
anglakoni // Budi ingkang ngobahaken.
Budi adalah sebagai
penghubung Dzat Tuhan // Jika ada
keinginan hati // maka ikutilah budi // Manusia seharusnya demikian // Jika
bersumber dari Sang Budi // yang didorong juga oleh keinginan hati // itulah
yang harus diikuti // Manusia punya kekuatan apa // Gerak, pikiran dan dalam
menjalankan kewajiba hidup yang harus dijalankan // semuanya adalah Budi yang
menggerakkan.
21.
Biyen ana putrane
Sang Haji // kang patutan saking Putri Cina // aneng Palembang lahire // Dyan
Patah namanipun // angajawa sowan rama // esmu kewran ing galih Sri Narpati //
paring sebutan putra.
Ada seorang putra
sang Raja // Yang lahir dari Putri Cina // dan dilahirkan di Palembang // Yang
bernama Raden Patah // Pergi ke Jawa menghadap Sang ayah (Raja Brawijaya) //
Sang Raja kebingunan // untuk memberi sebutan kepada putranya.
22.
Dene maro tiga
ingkang jinis// yen miturut ing rama Narendra // Jawa Buda Agamane // leluri
ing luluhur // putra Raja mijil ing ardi // kasebut nama Bambang // yen miturut
Ibu // Cina iku aranira // yen Wong Arab Sayit sebutanireki // yen nurut ing
lanjaran.
Disebabkan karena,
dari tiga keturunan // Jika dilihat dari garis keturunan Raja Jawa, maka
Buda Agamanya // itu Jika mengikuti
garis keturunan leluhur Jawa // Jika Putra raja lahir di Gunung // akan disebut
dengan nama Bambang // dan Jika menurut garis keturunan Ibu akan disebut Cina
// Tapi jika dari keturunan Arab, Sayit sebutannya // Itu sebutan berdasarkan
garis keturunan.
23.
Sri Narendra
sigra animbali // pra nayaka mundut panglimbangan // ingkang dadya prayogane //
sesebutaning sunu // Patih Gajahmada wotsari // yen pareng karsa Nata //
Putrane Pukulun // pinaringan sebutan Babah // ngirib-ngirib leluhur paduka
nguni // kasebut Nama Bambang.
Sang Raja segera
mengundang // Para bawahannya untuk minta pertimbangan // apa yang terbaik // bagi
sebutan untuk nama anaknya // Patih Gajah mada memberi pertimbangan // Jika
sang raja berkenan // Putra paduka raja // berilah sebutan nama Babah // meniru
leluhur paduka raja sejak dahulu // putranya akan disebut dengan nama Bambang,
24.
Putra
dalem Ibu Cina Gusti // lahir sabrang Agamane Islam // nami babah prayogane //
tegese babah hiku // babar wonten sanes negari // suka kang sami miarsa// Patih
aturipun // mupakat para nayaka // Putra Nata kang lahir Palembang Nagri //
namane Babah Patah.
Putra
paduka ibunya seorang Cina // lahir di lain daerah dan beragama Islam // sebaiknya diberi
sebutan nama Babah // Arti dari babah adalah // Lahir di lain negara //
semuanya senang mendengar saran // dari pati Gajahmada // Semua Abdi raja
sepakat bahwa // Putra Raja yang lahir di Palembang // diberi nama “Babah Patah”.
25.
Raden Patah
sakalngkung ajrih // yen nampika paparinging Nata // jroning tyas sanget
mandongkol // ananging lahiripun // samudana suka lan sipi // samana babah
Patah // pan lajeng jinunjung // jumeneng Dipati Demak // madanani Bupati urut
pasisir // Demak sapangulonya.
Raden Patah
sangat takut // apabila menolak pemberian nama tersebut // padahal di dalam
hatinya sangatlah mendongkol // namun, dalam tata lahirnya // dibuat bersikap
senang dan ikhlas denga mendapat nama tersebut // Kemudian Raden Patah
dinobatkan // menjadi Hadipati Demak // kedudukannya menyamai semua Bupati yang
berada di daerah pesisir // Molai dari Demak ke Barat.
26.
Iku purwanira duk
ing nguni // bangsa Jawa blaster lawan Cina // pada babah sebutane // punika
critanipun // Raden Patah ingkang murwani // misuwur cakren donya // putranya
Sang Prabu // kang lahir Nagri Palembang // patutan lawan putri cina nguni //
namane Babah Patah.
Itulah awal cerita
jaman dahulu // Orang Jawa yang kawin blester dengan Cina // akan disebut
dengan nama Babah // begitulah ceritanya // Raden Patah yang mengawalinya // hinga
sekarang terkenal di seluruh dunia // Putra sang Raja // yang lahir di
Palembang // Lahir dari putri Cina // bernama “Babah Patah”.
27.
Den kramaken
antuk Ngampel gading // wayahipun Kyageng Ngampel Denta // ingkang nunggil
Agamane // kaprenah mantu putu // lan Kyageng ing Ngampel gading // rinengga
duk panggihnya // aneng Majalangu // sawuse antara dina kinen pindah neng Demak
nama Dipati // dalem dusun Bintara.
Kemudian
dikawinkan dengan seorang putri dari Ampel // Cucu Sunan Ampel // yang agamanya
sama // Raden Patah sebagai menantu putu // dengan Kiyai Ageng di Ampel Gading
// pada saat pernikahannya diadakan kemeriahan // di Keraton Majapahit //
Setelah beberapa hari kemudian; keduanya disuruh pindah ke Demak dengan jabatan
sebagai Bupati // dan bertempat tinggal di Dusun Bintara.
28.
Rasen Patah awit
duk ing lahir // aneng Plembang anama wus Islam // Klilan angletarekaken //
marang Agamanipun // Raden Kusen jinunjung linggih // anama Hadipatya // aneng
Nagri Terung // lama-lama saya ngrebda // Sarak Rasul pra Ngulama nyuwun idi //
pangkat sebutan Sunan.
Raden sejak molai
lahir // di Palembang memang sudah beragama Islam // dan di beri kebebasan
untuk melestarikan // agama yang dianutnya // Raden Kusen adiknya oleh Raja
Brawijaya di beri jabatan // sebagai Adipati // di Negri Terung (Madura) //
semakin lama berkembanglah // Agama syariat. Dan para Ulama mohon untuk
diperkenankan // menggunakan pangkat dengan sebutan “Sunan”.
29.
Pardikane
Sunan iku Budi // uwitira kawruh kaelingan // kang becik lawan kang awon // yen
akeh uwohipun // Budi ngerti kelingan becik // wajibe sinuwunan // kawruh
ingkang luhur // wektu iku pra Ngulama
// tyase bener utawane iya becik // pan durung arsa cidra.
Makna
di balik kata Sunan adalah Budi // bersumber dari ilmu kesadaran diri //
tentang yang baik dan jelek // jika
banyak buahnya // Budi akan memahami
tentang segala kebaikan // Wajib
memohon // Ilmu yang luhur // Ketika itu para Ulama // Jalan pikirannya masih
benar dan baik // dan juga masih belum
berkhianat.
30.
Ciptanira
Brawijaya Haji // Pra-Ngulama masuk Gama
Buda // dene Sunan sebutane // lawan klakuwanipun // cegah dahar lawan aguling
// yen wong Agama Makam Agamaning Rasul // sirik cegah dahar nendra // mung
nuruti rasaning lesan lan diri // yen cegah mangan rusak.
Menurut perasaan
hati Sang Prabu Brawijaya // bahwa para Ulama itu termasuk dalam Tingkat Agama
Hakikat // Karena menggunakan sebutan Sunan,, tentulah sama antara tindakan dan
sebutannya // tindakannya mencegah banyak makan dan tidur // karena jika orang
masih di tingkat // Agama Syariat // menghindari tindakan; tidak makan dan
tidur (Tafakur/bertapa) // Hanya menuruti rasa mulut dan rasa diri saja//
apabila mencegah makan akan rusak.
31.
Prabu Brawijaya
paring idi // lama-lama agama wus ngrebada // ana nalar elok aneh // gaib samar
kalangkung // nora kena dipun kawruhi // netra karna lan grana // miwah lesan
iku // weruhe saking engetan // jroning utek iku lamun den kawruhi // Raden
Budi ngandika.
Oleh karena
pemahaman Raja demikian maka Sang Raja Brawijaya mengijinkan // sehingga
lama-kelamaan Agama berkembang sangat pesat // Ada nalar elok aneh // Gaib
samar teramat sangat samar // tidak boleh untuk diketahui // baik oleh mata,
telingan, hidung // dan juga mulut // bisa diketahaui hanya oleh kesadaran diri
(eling) // kesadaran otak itu jika boleh
di pahami // Sang Budi-lah yang akan mengatakan.
32.
Luwih-luwih kang
maca myang miyarsi // nganggep temen antanapi ora // katimbangan sabenere //
yen tan nganggepa estu // kabeh buku carita Jawi // tan ana kang carita // yen
doraha iku// samangkya maksih wujudndya // tilasane maksih kena den priksani //
kahanan jaman kuna.
Terlebih lagi
yang membaca dan yang mendengar hanya sebatas cerita // maka, akan menganggap
benar di antara yang salah // pergunakanlah pertimbangan dengan seharusnya //
jika menganggap tidak benar // semua buku cerita Jawa // tidak ada yang
bercerita // jika cerita itu bohong // sekarang masih ada bukti ujudndya //
peninggalannya masih bisa dibuktikan // keadaan pada jaman dahulu.
33.
Duk jamane Nagri
Majapahit // Suna Benang sumadya lelana // marang kediri karsane // sabat kalih
tutu pungkur// sapraptane neng lor Kediri // tanah ing Kartasana // kalangan
ing banyu // kali Brantas nuju bena // saking kulon anabrang ing wetan kali//
wus prapta pinggir wetan.
Pada jaman
Majapahit // Ketika itu Sunan benang
akan mengembara // Ke Kediri yang menjadi tujuannya // kedua abdinya
mengiring di belakangnya // setelah sampai di sebelah utara Kediri // di daerah
Kertasana // terhalang sungai besar // Sungai Brantas sedang banjir // Sang
Sunan, Dari arah barat sungai menyeberang ke sebelah timur sungai // Sampailah
di sebelah timur sungai.
34.
Ndangu janma
ingkang tengga gagi// Niti gati Agamane apa tanah kene kag dena angge // apa
wus Islam Tuhu // apa isih Agama Budi // Ki bandar aturira // ing riki pukulun
// kang limrah Agama Kalang // sarak Buda inggih ngangge sawatawis // dene
agami enggal.
Bertanyalah Sunan
Benang kepada tukang perahu yang menyeberangkannya // Agama apakah yang di anut
di daerah sini // Apakah telah beragama Islam yang sebenarnya // Apakah masih
Agama Budi // Tukang perahu menjelaskan // Di daerah sini wahai Sunan // pada
umumnya beragama Kalang // Aturan Agama Buda juga masih dipakai sedikit //
sedang Agama baru .
35.
Sarak Rasul
inggih bribik-bribik // ingkang limrah tiyang ngriki sadaya // sami Kalang Agamane
// amulyakaken Bandung // Bandawasa den anggep Nabi // lamun dinten jumungah//
wage Wuye Wuku // punika dinten rahayu// kendel
karya neda eca seneng ati // tan kesah saking wisma.
Syariat Rasul
juga masih sedikit-sedikit // pada umumnya orang di daerah sini // masih
beragama Kalang // masih memulyakan Bandung Bandawasa yang di anggap nabi //
Jika hari Jum’at Wage, Wuku Wuye // itu adalah hari baik // libur kerja makan
enak dan bersenang senang // tidak pergi dari rumah.
36.
Sunan Benang
angandika aris // yen mangkono wong kenen sadaya // pada gedah agamane //
tegese gedah iku // nora ireng lan oran putih // pantes arane tanah // kuta
gedah iku // ki bandar matur prayoga // dawuh tuwan kawula ingkang nekseni //
katelah prapteng mangkya.
Suna Benang berkata pelan // jika demikian semua
orang di daerah ini // masih Gedah agamanya // yang dimaksud Gedah adalah tidak
hitam dan tidak putih // pantaslah jika daerah ini saya beri nama Kota
Gedah // tukang perahu menyetujuinya //
nama tersebut, tukang perahulah sebagai saksinya // sehingga sampai sekarangpun
daerah tersebut bernama “Gedah”.
37.
Tanah Kutha
salering Kediri // ingarananan tanah kutha gedah // nanging mung manut lumrahe
// tan wruh asale tembung // wit tan ngerti critane dihin // ran tanah kutha
gedah // kalumrahe misuwur // Sang wiku malih ngandika // lah ta sabar sira
amintaha warih // imbon marang ing desa.
Daerah di sebelah
utara Kediri // Disebut tanah kota Gedah // kebanyakan hanya menyebutnya sebatas
nama kota saja // dan tidak mengetahuai tentang asal mula nama tersebut //
karena tidak mengetahuai cerita asal-usul naman tersebut // mengapa daeraha
tersebut terkenal dengan nama “Gedah” // Kemudian Sunan Benang // menyuruh
abdinya untuk minta air // air bekam (air persedian untuk memasak) kepada penduduk,
38.
Kali iki nuju
banjir // banyu buthek kurang sukcinira // anglarani yen den ombe // lan iki
wayah luhur // arsa wulu lan shalat mami // sabat siji gya mentar // malbeng
dukuh Patuk // wismane amung sajuga // datan ana wong lanang sawiji-wiji //
estri kang tengga wisma.
Karena sungai
sedang banjir // dan airnya keruh sehingga menurutnya, kurang suci // serta
bisa menyebabkan sakit jika diminum // dan sekarang sudah memasuki waktu shalat
dhuhur // saya akan wudhu dan Shalat // satu abdinya segera berangkat //
memasuki dukuh Patuk // hanya ada satu rumah // dan tidak satu pun laki-laki
yang ditemuinya // hanya seorang wanita yang sedang menunggu rumah itu.
39.
Maksih prawan
anendeng birahi // nuju nenun aneng ngemper jaba //sabat prapta lan wuwuse //
bok ngaten neda banyu // bening imbon ingkang aresik // bok prawan bagja mulat
// salah ciptanipun // kinira kakung njejawat // bok perawan arengu den-nya
mangsuli // sumahur tembung kasar.
Masih gadis yang
baru memasuki masa puber // sedang menenun di teras rumah // sahabat sunan
datang dan mengatakan // Wahai gadis, saya mohon minta air // air bekam yang
bening // Sang gadis ketika melihat
utusan sunan // salah perkiraan // dia mengira bahwa laki-laki itu, laki-laki yang suka menggoda wanita // si
gadis dengan sikap tidak senang menjawab // dengan kata-kata kasar.
40.
Dika santri
mentas liwat kali // njaluk banyu imbon aranira // ngriki tan wonten lumrahe //
tiyang angimbu banyu // njawi uyuh kula puniki // imbon bening saringan// yen
dikarsa ngunjuk // santri kesah tan pamitan // gerundelan sigra matur sang
Ngayogi // lir kasebut ing ngarsa.
Kamu santri baru
melewati sungai // meminta air bekam // di sini pada umumnya tidak ada yang membekam air // kecuali air kencing saya
ini // air bekam jernih dan telah disaring // jika kau ingin minum // Santri
pergi tanpa pamit // sambil mengomel dan
menyampaikan hal tersebut kepada Sunan Benang // seperti kata gadis tersebut.
41.
Sunan Benang
dukanya tan sipi // dadya nebda karsa anyupata // lumrahe ing tanah kene //
muga laranga banyu // jalma estri jwa laki-laki // yen durung prawan tuwa //
miwah kakungipun // dadiya jajaka tuwa // sanalika kali Brantas mili alit //
lajeng nyimpang mengetan.
Sunan Benang
sangatlah marah // hingga berkata sambil melaknat // semua tanah yang berada di
daerah ini // semoga sulit air // para gadis dan jejakanya // jadilah perawan
tuwa // dan juga pemudanya // jadilah jejaka tuwa // seketika sungai Brantas mengekecil
alirannya // kemudian aliran airnya berubah mengarah ke arah timur.
42.
Nrajang dusun
wana miwah sabin // pinten-pinten dusun karisakan // katrajang kali ngalihe //
kali ingkang rumuhun // dadya asat prapta sa’mangkin // ki bandar langkung eram
// ing kasektenipun // neggih Kanjeng Sunan Benang // sigra lajeng tindaknya
dateng Kediri // Katelah prapteng mangkya.
Melanda dusun
hutan dan sawah // banyak desa yang menjadi rusak // dilanda aliran air yang
berubah arah // dan sungai aslinya //
menjadi kecil aliran airnya sampai sekarang // Tukang perahu sangatlah heran //
atas kesaktian // dari Sunan Benang // kemudian Sunan Benang melanjutkan
perjalanan ke Kediri // sehingga terkenal sampai sekarang.
43.
Tanah kutha Gedah
awis warih // mengulon lelakon wolung pal // limalas pal mengalore // mangidul
banyu sumur // dene ingkang alaki rabi //wus kaliwat saking mangsa //wayah
manak telu // jaka tuwa prawan tuwa // awit saking sabdane Hyang Maha yekti //
Kanjeng Sunan ing Benang.
Daerah kuta Gedah
adalah daerah sulit air // ke arah barat sejauh delapan pal // lima belas pal
ke arah utara // ke arah selatan sejauh air sumur // sedang yang akan menikah
// usianya sudah kelewat umur // yang seharusnya sudah beranak tiga // Jejaka
tuwa perawan tuwa // disebabkan oleh laknat dari yang sangat sakti // yaitu
Sunan Benang.
44.
Kawuwusa demit Ni
Palencing // danyangira sumur Tanjung desa // ginubel anak putune // Nyai kula
angsung wruh // wonten janma saking ing Tubin // namane Sunan Benang // remen
aru biru // sikara tanpa karana // siya-siya sami umate Hyang Widdi // ubale kaprawiran.
Diceritakan demit
Ni Palencing // danyang penunggu sumur tanjung desa // diserbu anak cucunya //
Nyai, saya beri kabar // ada seseorang berasal dari Tuban // bernama Sunan
Benang // senang mencampuri urusan orang // membuat bencana tanpa ada sebab //
berbuat sia-sia kepada sesama makhluk Tuhan // memamerkan kesaktianya.
45.
Lepen ageng kang
saking Kediri // den sotaken sanalika asat // menggok ngetan kidul kuwe //
ngrusake wana dusun // lan nyupata tiang ing ngriki // telate saking mangsa //
laki rabinipun // yen wong lanang jaka tuwa // ingkang estri hajwa laki-laki //
yen durung prawan tuwa.
Sungai besar yang
dari arah Kediri // dipindah alirannya seketika kering // berbelok ke arah
Tenggara // meruksa hutan dan desa // dan memberi supata ke penduduk di sini //
akan terlambat // menikah // jika pemuda akan menjadi jejaka tua // yang wanita
tidak akan menikah // jika belum menjadi perawan tua.
46.
Lan ing ngriki
tanah den wastani // Kutha Gedah awis ingkang toya // dene teka salah gawe // daweg
sami ginanggu // dipun teluh dimen mati // Nyi Plencing duk miyarsa // hature
nak putu // sigra metuk Sunan Benang // tan kuwawa celak sarira lir geni //
lumayu nunjang-nunjang.
Dan daerah ini //
di beri nama Gedah serta sulit air // sedang yang tidak menerimakannya // akan
di ganggu // di santet sampai mati // Nyi Plencing ketika mendengat // laporan
anak cucunya // segera menemui Sunan Benang // akan tetapi dia tidak kuat
mendekat, karena badan Sunan Benang bagaikan api // lari tunggang langgang.
47.
Mring Kediri
sigra tur udani // ing ratune Ki Butalocaya // manggen guwa Sela bale (sekarang
terkenal dengan nama Gua Sela Mangleng. Pen) // sukuning Wilis Gunung // sisih
wetan kang den enggeni // mangsuli kang carita // pruwane rumuhun // Kiyahi
Butalocaya // Patihe Sri Jabaya Narpati // arane Kyahi Daha.
Menuju ke Kediri dan sega memberitahukan // kepada rajanya, Butalocaya
// yang beristana di Gua Sela Bale // di kaki Gunung Wilis // sisi sebelah
timur // kembali pada cerita // bahwa dahulunya // Kyai Butalocaya adalah //
seorang patih Raja Sri Jayabaya // di Kerajaan Daha.
48
Ingkang cikal
bakal ing Kediri // lan kang rayi aran kyahi Da...... /Sri Jayabaya dawuhe//
ran Daha gya pinundut // pan kinarya aran negari// ananging linironan // aran
ing Sang Prabu // Kiyahi Butalocaya // pan kinarya Patihe Sri nara pati // Sang
Prabu Jayabaya.
Yang menjadi
cikal bakal Kediri // dan adiknya yang bernama Da....// Sri Jayabaya memerinthkan
// untuk mengambil kata daha // sebagai nama kerajaan // kemudian diganti //
sebutannya oleh sang raja // Kyai Butalocaya // dijadikan sebagai patih // Raja
Jayabaya.
49
Buta iku buteng
ingkang harti // buteng iku bodo tan wruh sastra // Buto pan bodo yektine //
Lo; kowe tegesipun // caya kena den pracayani // Kyahi Butalocaya// bodo temen
mengku // tur mantep setya mring praja // marmanira kinarya Patih Sang Haji //
Sang Prabu Jayabaya.
Buta itu buteng
artinya // buteng itu bodoh tidak paham ilmu sastra // Buto berarti bodoh // Lo; artinya kamu // caya itu
bisa dipercaya // Kyai Butalocaya // bodoh akan tetapi jujur // dan setia
kepada raja // sehingga dijadikan sebagai patih oleh sang Haji // Sang Prabu
Jayabaya.
50.
Awit ana
sesebutan Kyahi //kyahi Daha teturutanira // ngayomi anak putune // ing kanan
kering dusun // kyahi Daha kang dipun ungsi // Jengkare Sri Narendra // sing
Ngastina Kratun // jujug wismane Ki Daha // sinugatan sawadya kuswa geng alit
// mila gung sihing Nata.
Awal mula sebutan
Kyai // adalah sebutan Kyai Daha dan keturunannya // bermakna yang melindungi
anak cucunya// yang berada di kanan kiri desa // Kyai Daha sebabagi jujugan
untuk mengungsi // Tidak perduli pembesar dan rakyat jalata semuanya di jamu //
sehingga sangat besarlah kasih sayang Raja.
51.
Ran Ki Daha
pinundut Narpati // pan kinarya namanireng desa // nanging liniru namane //
Kiyahi Tunggulwulung // dadya senapati ngajurit // muksane Sri Narendra //
lawan putranipun // Nimas Ratu Pagedongan // Kyahi Butalocaya lan ingkang rayi
// kalihe samya muksa.
Sebutan Ki Daha
diambil oleh raja // dan dijadikan menjadi nama desa // namun diganti namanya
// Kyai Tunggulwulung // dijadikan senopati prajurit // Ketika sang raja muksa
// bersama dengan sang putri yang bernama // Nimas Ratu Pagedongan //
Butalocaya beserta adiknya // keduanya juga muksa.
52.
Nini Ratu
Gedongan kinardi // Ratuning kang demit Nuswa Jawa // segara kidul kutahne
//pinaringan jujuluk // nama Nimas Ratu Nginangin // kayanganing samudra //
sagunging lelembut // daratan miwah lautan // kanan kering ing tanah Jawi
sumiwi // mring Ratu Pagedongan.
Nini Ratu
Pagedongan dijadikan // menjadi Ratu-nya demit Tanah Jawa // di Laut selatan
kekuasaannya // mendapatkan julukan // dengan nama Ratu Angin-angin //
kerajaannya di samodra // Semua demit daratan dan lautan // dan daerah kanan
kiri Pulau Jawa semua tunduk // kepada
Ratu Pagedongan.
53.
Awit saking
karsanya Sang Haji // Kyahi Butalocaya pinernah // manggen Guwa Sela – Bale //
dene Ki Tunggulwulung // pan pinernah ing Kelud Ardi // rumeksa kawahira //
rikalane metu // hajwa ngrusakake desa // duk samana Ki Butalocaya linggih //
manggen kursi kencana.
Kemudian raja
memerintahkan // kepada Kyai Butalocaya diperintah untuk // bertempat tinggal
di Guwa Sela Bale // sedangkan Ki Tunggulwulung // bertempat tinggal di Gunung
Kelud // bertugas memelihara kawah // ketika lahar keluar // agar tidak merusak
desa // dan ketika Ki Butalocaya sedang duduk // di kursi kencana.
54.
Lemek babut
linebaran sari // kenibutan badak kenin kanan // ingkang sowan neng ngarsane //
Ki Patih Mega Mendung // putra kalih siniwing ngarsi // Panji sekti di guna //
Panjisari lahut // lagya eca guneman rasa // lawan Patih miwah ingkang putra
kalih // kagyat ing praptanira.
Beralasnkan babut
yang diberi wewangian // diapit badak di kanan kirinya // dan menghadap
kepadanya // Ki patih Megamendung // kedua putranya berada di depannya // yang
bernama Panji Sekti diguna // Panji Sari Lahut // ketika sedang asyiknya
membicarakan ilmu hakikat // dengan patih dan kedua putranya // tiba-tiba dikagetkan
oleh datangnya.
55.
Danyang Tanjung
tani Nyai Plencing // gupuh-gupuh anungkemi pada // angaturaken tiwase // kyahi
kula atur wruh // karisakan lering Kediri // wonten djanma sajuga sektinya
kalangkung // namanira Sunan Benang // Saking Tuban// Karsane dateng Kediri //
subrata lelana.
Danyang dari
Tanjungtani yang bernama Nyi Plencing // tergopoh-gopoh datang menghaturkan
sembah // menyampaikan berita // wahai Kyai hamba menyampaikan berita // tentang
kerusakan di daerah sebelah utara Kediri // Ada manusia sendirian, yang sangat
sakti // bernama Sunan Benang // dari Tuban // bermaksud ke Kediri // bersama
abdinya untuk mengembara.
ii. ASMARADANA
https://www.youtube.com/watch?v=BQLaDuVIUJU
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Katah ature Nyi
Plencing // kadya kang kasebut ngarsa // ngaturaken ing tiwase // lelembut
miwah manusa // Kyahi Butalocaya // duk miyarsa kalangkung bendu // mubal
ingkang pancandriya.
Banyak sekali
yang disampaikan Nyi Plencing // seperti tersebut di muka // dan menyampaikan
banyaknya korban // demit dan manusia // Kyai Butalocaya // ketika mendengarnya
menjadi sangat marah // terbakarlah pancaindranya.
2.
Sigra denira
nimbali // jin peri lan prayangan // kerigan anak putune // pratane sareng
prahara // sakedap wus samekta // sakapraboning prang pupuh // sigra budal
sabalanya.
Segera memanggil
// Jin peri dan perayangan // berserta anak cucunya // ketika datang, dengan di
iringi prahara // sekejap saja telah siap // berserta dengan peralatan
perangnya // segera berangkatlah mereka beserta pasukannya.
3.
Sakedap pan
sampun prapti // sahelering Kukum Desa // Butalocaya minda wong // Kyahi Sombre
wastanira // wadyane tan katingal // tur awendran kathahipun // wau Ki
Butalocaya
Sekejap saja
telah sampai // di sebelah utara desa // Butalocaya menyamar berujud manusia //
bernama Kyai Sombre // pasukannya tidak kelihatan // dan berjumlah sangat
banyak // diceritakan bahwa Ki Butalocaya.
4.
Mandeg marga
ngisor sambi // anganti ing praptanira // Sunan Benang saking eler // Sunan
Bonang nora samar // kang ngadeg tengah marga // demit ratu arsa ngganggu //
katara awak dahana.
Berhenti di bawah
pohon sambi // menunggu datangnya // Sunan Benang dari utara// Sunan benang
mengetahui // bahwa yang berdiri di tengah jalan // adalah Ratunya Demit yang
akan menggagunya // terlihat dari badanya yang bagaikan api.
5.
Wadya lit kang samya
ngiring // sumingkir lumayu tebah // datan kuwawa panase // caket lawan Sunan
Benang // miwah Butalocaya // kalihe sarira latu // Sunan Benang tan kuwawa.
Pasukan yang
mengiringnya // segera berlari menyingkir // tidak kuat menahan panas // dekat
dengan Sunan Benang // demikian juga Butalocaya // keduanya berbadan api //
Sunan Benang tidak kuat.
6.
Hanyelak ratuning
demit // tanapi Butalocaya // datan kuwawa panase // caket lawan Sunan Benang
// sabat kalih kantaka // laheng katisen angguguh // angandika Sunan Benang.
Mendekati Ratunya
Demit // demikian juga Butalocaya // tidak kuat menahan panas // dekat dengan
Sunan Benang // Dua sahabat Sunan pingsan // merasakan kedinginan karena demam
// berucaplah Sunan Benang.
7.
Butalocaya
siereki // metuk marang praptaningwang // ngalih aran Kyahi Sombre // apata
pada raharja // Kagyat Butalocaya // dene Sunan Benang weruh // iya marang
jeneng ingwang.
Butalocaya kamu
// menemui kedatanganku // kamu berganti nama Kyai Sombre // Apakah pada
selamat // terkejutlah Butalocaya // bahwa Sunan Benang mengetahui // nama
dirinya.
8.
Wusana Locaya
angling // dene paduka uninga // ganti aran Kyahi Sombre // angandika Kanjeng
Sunan // ingsun tan kasamaran // yen sira ratu lelembut // Kediri Butalocaya.
Kemudian
Butalocaya berkata // bahwa engkau bisa mengetahui // saya berganti nama
menjadi Kyai Sombre // berkatalah Kanjeng Sunan // saya tidak akan tertipu //
bahwa kamu adalah Raja Jin // wilayah Kediri bernama Butalocaya.
9.
KI Butalocaya
angling // Paduka tiyang punapa // dene aneh wangunane // mengangge pating
karembyah // dede pangangge Jawa // dapur kaya walangkadung // dede wangunan
wong Jawa.
Ki Butalocaya
heran // Paduka manusia jenis apa // mengapa berpenampilan aneh // berbusana
tidak karuan // tidak berpakaian model Jawa // mirip seperti belalang sembah //
bukan penampilan orang Jawa.
10.
Sunan Benang
ngandika ris // ingsun iki Bangsa Ngarab // Sayit Kramat araningong //
wismaningsun Benang Tuban // dene ta karsaningwang // arsa mring Kediri ingsun
// amriksani patilasan.
Sunan Benang
halus berkata // saya ini Bangsa Arab // Sayit Kramat julukanku // bertempat
tinggal di Benang – Tuban // sedangkankan keinginanku // ingin pergi ke Kediri
// ingin melihat peninggalan.
11.
Kadatonira ing
nguni // Maha Prabu Jayabaya // ing kene ngendi enggone // Nauri Butalocaya //
wetan leres punika // dusun Menang wastanipun // tilasan sadaya sirna.
Bekas kerajaan di
masal lalu // Maha Raja Jayabaya // dimanakah tempatnya // menjawablah
Butalocaya // persis di sebelah timur dari sini // Dusun Mamenang namanya //
peninggalannya semuanya musnah.
12.
Kedatonira sang
Haji // miwah pasanggrahan sirna // tuwin tilas kedatone // Nimas Ratu
Pagedongan // taman Bagenda Watya // pasangrahan Dana Catur // mung kantun
araning Desa.
Bekas bangunan
keraton // dan bekas pesanggrahan musnah // juga bekas keraton // milik Ratu
Nimas Pagedongan // yang bernama Taman Bagenda Watya // Pesanggrahan Dana Catur
// hanya tinggal nama desa.
13.
Kahurugan siti
pasir // lahar saking Kelud Harga // wangsul kawula pitaken // paduka gendak
sikara // ing anak putu Adam // nyabdaken kang boten patut // jaka tuwa prawan
tuwa.
Terpendam tanah
pasir // lahar dari gunung Kelud // balik saya bertanya // Paduka berbuat jahat
// kepada cucu Adam // menyabda yang tidak pantas // jejaka tua dan perawan tua.
14.
Kalawan nyukani
nami // tanah ngriki Kita Gedah // lan paduka ngelih lepen // nyabdaaken awis
toya // tanah ngriki sadaya // siya-siya tanpa urus // sikara datanpa dosa.
Dan juga memberi
nama // daerah di sini dengan nama Kota Gedah // dan juga paduka memindahkan
aliran sungai // dan menyabda sulit air
// di seluruh wilayah ini // sia-sia tanpa guna // menyiksa tanpa dosa.
15.
Geng-genging
susah wong urip // laki rabi lalu mangsa // sayekti dangu pancere // titahing
latta wal Hujwa // wit saking sabda Tuan// lan sapinten susahipun // tiyang
kang katrajang bena.
Sebesar-besarnya
kesusahan hidup // adalah menikah terlambat waktu // jelas akan lama
berkembangnya // makhluknya latta wal hujwa // yang disebabkan oleh sabda Tuan
// dan betapa kesusahan yang diderita // penduduk terkenan bencana banjir
bandang.
16.
Ngalihe lepen
Kediri // nyimpang ngetan nyabrang Desa// sawahe tegal kabeh // pinten-pinten
karisakan // kasusahaning jalma // lawan pinten susahipun // tiyang kaline kang
asat.
Memindah aliran
sungai Kediri // berpindah arah mengalir ke timur melanda Desa // dan semua
sawah serta tegal // banyak sekali menimbulkan kerusakan // menyebabkan
kesengsaran makhluk // dan juga betapa susahnya // penduduk dengan keringnya
sungai.
17.
Yekti kekirangan
warih // tambah paduka sotena // tanah ngriki sadayane // dumadosna awis toya
// salami-laminira // siya-siya tanpa urus // sikara tanpa prakara.
Berakibat
kekurangan air /// justru paduka habiskan // air di wilayah sini seluruhnya //
kau jadikan sulit air // selama-lamanya // perbuatan sia-sia yang tidak berguna
// berbuat siksa tanpa sebab.
18.
Njeng Sunan
angandika aris // mulane sun weh aran // tanah Kuta Gedah kene // sebab
agamaning janma // tan ireng datan petak // tetepe agama biru // awit agamane
kalang.
Sang Sunan pelan
berkata // makanya saya beri nama // di daerah sini dengan nama Kota Gedah //
sebab agama yang dianut penduduknya // tidak hitam dan tidak putih // tetapnya
Agama Biru // sebab agamanya setengah-setengah.
19.
Sun Sotaken
larang warih // sun njaluk banyu tan angsal // mula sun elih kaline // katekana
larang toya // tanah kene sadaya //mula sun sotake iku // jaka tuwa prawan
tuwa.
Saya habiskan airnya
sehingga sulit air // karena saya meminta air tidak boleh // makanya saya
pindahkan aliran sungainya // jadilah sulit air // tanah di walayah sini
seluruhnya // saya habiskan selurunya // saya sabda jaka tua perawan tua.
20.
Sebab kang ingsun
jaluki // banyu mangsuli tan angsal // bocah wadon prawan balegh // nahuri
Butalocaya // punika mboten timbang // lawan kalepatanipun // Tuan sabdaaken
mangkana.
Sebab yang saya
mintai // air menjawab tidak boleh // seorang gadis akhir baleg // menjawab
Butalocaya // itu sangat tidak adil // di banding dengan kesalahannya // kemudian
Tuan sabda menjadi demikian.
21.
Kang lepat tiyang
satunggil // ingkang susah tiyang kathah // mboten timbang lan hukume // punika
angger punapa // kang Tuan tindakena // sawenang-wenang mring makhluk //
mlarati janma kathah.
Yang kau anggap
salah satu orang // yang menanggung akibatnya orang banyak // sangat tidak
sebanding dan hukum // apa yang kau jadikan pedoman // atas tindakan Tuan //
berbuat sewenang-wenang terhadap makhluk // membuat miskin orang banyak.
22.
Katura kang darbe
nagri // paduka manggih hukuman // kang malarat langkung abot // sabab
angrisaken tanah // sami Tuan sotena // ing ngriki murahing banyu // dados asil
panggesangan.
Jika di laporkan
kepada yang berkausa // Paduka akan mendapatkan hukuman // yang miskin semakin berat // sebab mengakibatkan
tanah menjadi rusak // karena tuan habiskan // yang semula di sini mudah
mendapatkan air // yang bisa menghasilkan untuk penghidupan.
23.
Laki rabi
alit-alit // enggal mencaraken tiyang // kawulanya Hyang Manon // Paduka sanes
Narendra // ngaru biru agama// tiyang dahwen namanipun // anyukani nama tanah.
Manikah masih
kecil // cepat berkembangnya manusia // hamba Tuhan // Padukan bukan raja //
mengurusi agama orang lain // orang syirik namanya // memberi nama suatu
daerah.
24.
Ngowahke tulis nagari
// ngandika Sinuwun Benang // nadyan katuran Sang Katong // Sang Prabu ing
Majalengka // ingsun masa wedia // mungsuh Ratu Majalanggu // ambekis
butalocaya.
Merubah
administrasi Negara // menjawablah Sunan Benang // walau dilaporkan kepada raja
// Sang Prabu di Majapahit // aku tidak takut // tehadap Ratu Majapahit //
menggeramlah Butalocaya.
25.
Rembag paduka
puniki // dede rembag akhli praja // rembuge wong nyunggi tempe // ngandelaken
yen digdaya // bok sampun sumakeyan // kinasihan ing Hyang Agung // sugih sanak
malaekat.
Omongan paduka
ini // bukan kata-kata seorang ahli negara // omongannya orang menyunggi tempe
// mengandalkan kesaktiannya // janganlah bersikap demikian // Tuan telah menjadi
kekasih Yang Maha Agung // memiliki banyak sahabat yang berupa malaikat.
26.
Ing sakarsa dadi
// apan boten kalepatan // siya dahwen patiopen // tetep wong gendak sikara //
nadyan ing Tanah Jawa // yekti wonten wong kang langkung // prawira kadi
Paduka.
Setiap keinginan
tuan terkabul // apa tidak mendapatkan salah //
berbuat sia-sai mengurusi yang bukan urusannya // tetap orang yang
berbuat jahat // walau di Tanah Jawa // pasti ada orang yang melebihi //
kesaktian paduka.
27.
Nanging sami ahli
budi // ajrih bebenduning Dewa // yen siya sami bangsane // siya-siya tanpa
krana // punapa gih Paduka // tungggalanipun rumuhun // Hajisaka Ratu Mendang.
Namun mereka ahli
Hakikat // takut hukuman Tuhan // jika bebuat jahat kepada bangsa sendiri //
berbuat sia-sia tanpa sebab // apakah paduka // masih saudara dengan cerita
masa lalu // Hajisaka Ratu di Medang.
28.
Murit sabate
Ijajil // dados ratu Tanah Jawa // mung tigang tahun lamine // mengkrat saking
Tanah Jawa // sadaya sumber toya // ing Mendang saurutipun // binekta minggat
sadaya.
Murid dan sahabat
Ijajil // menjadi raja di Tanah Jawa // hanya selama tiga tahun // minggat dari
Tanah Jawa // semua sumber air // di Medang dan sekitarnya // dibawa minggat
semua.
29.
Djisaka wong
saking Ngarbi // tuwin tiyang saking Ngarab // pramila sami wateke // suka
karya sriking janma // paduka ngaku
Sunan // yekti simpen Budi Luhur // mamrih ayuning Buana.
Ajisaka berasal
dari Arab // dan orang yang berasal dari Arab // makanya sama wataknya // suka
berbuat sirik terhadap makhluk // Paduka mengaku sebagai Sunan // tentu
menyimpan Budi luhur // agar tenteramlah dunia.
30.
De wujud Tuan
puniki // jajil belis tiningalan // tan
tahan ginoda rare // mijil mubal gelis duka // niku sunaning menda // yen Sunan
djanma satuhu // simpen budi luhur panjang.
Sedangkan tindakan
Tuan sekarang // bagaikan jajil iblis yang terlihat // tidak tahan digoda anak
kecil // cepat sekali keluar marahnya //
itu sikap Sunannya kambing // jika Sunan yang sesungguhnya // berpikiran panjang
dan berbudi luhur.
31.
Gih niku cobaning
Widhi // begal Nabi Olya Raja // kang sirna timbang tantinge // mung gugu karsa
priyangga // niksa wong tanpa dosa // gih punika marganipun // paduka manggih
cilaka.
Itulah ujian
Tuhan // memotong ilmu Nabi Auliya raja // siapa saja yang kehilangan
pertimbangan dalam bertindak // hanya menuruti nafsu diri // menyiksa orang
tanpa dosa // itulah jalan yang tuan pilih// yang mengarahkan ke arah celaka
hidup tuan.
32.
Pratanda Tuan
samangkin // wus yasa nraka jahanam // yen wus dados Tuan angge // siram
salebeting kawah // wedang kang mumpal-mumpal // kawula bangsa lelebut , sanes
alam lan manusa.
Itu sebagai tanda
bahwa Tuan sekarang // sedang membangun neraka jahanam // jika sudah jadi akan
Tuan pake // mandi di dalam kawah // kawah wedang yang bergejolak // hamba
bangsa jin // beda alam dengan manusia.
33.
Prandene maksih
mengeti // rahayuning manusa // Paduka wangsulken age // lepen ingkang sampun
asat // miwah risaking tanah // wangsula kadi rumuhun // yen paduka boten
karsa.
Akan tetapi masih
bisa mengerti // ketentraman hidup manusia // Segeralah paduka kembalikan seperti semula // sungai yang telah kering //
dan juga rusaknya tanah // kembalikan seperti semula // jika paduka tidak mau.
34.
Mangsulken kadi
rumiyin // sadaya manusa Jawa // kang Islam sami sun teluh // kajenge pejah
sadaya // kawula nyuwun bala // dateng kanjeng Ratu Ayu // Nginangin kang neng Samodra.
Mengembalikan
seperti semula // seluruh orang Jawa // yang beragama syariat akan saya santet
// agar mati semua // saya akan minta bantuan // kepada Kanjeng Ratu Ayu //
Angin-angin yang berada di Samudra.
35.
Sunan Benang duk
miyarsi // padune Butalocaya // rumangsa kaluputane // nyikara wong tanpa dosa
// alon dennya ngandika // Butalocaya wruhanmu // ingsun iki bangsa Sunan.
Sunan Benang
ketika mendengar // penyampaian Butalocaya // merasa salah dalam tindakannya //
menyiksa penduduk tanpa dosa // pelan beliau berkata // Butalocaya ketahuilah
// Ingsun bangsa Sunan.
36.
Tan kena mangsuli
malih // ing wuwus kang wus kawedal // amung sun wangeni bae // lawase pan
nyatus warsa // sabda ningsun tambara // baliya kadi rumuhun // ambekis
Butalocaya.
Tidak boleh
menarik kata // ucapan yang telah keluar // hanya saja saya beri batas //
lamanya tiap seratus tahun // sabda ingsun beru akan netral // akan kembali
seperti semula // menggeramlah Butalocaya.
37.
Gih wangsulan
sak punika // yen ta wangsul sak punika
// kadi ing wau-waune // paduka kawula banda // Sunan Benang ngandika // tan
kena mangsuli wuwus // sun pamit nyimpang mangetan.
Kembalikanlah
sekarang juga // jika tidak dikembali sekarang juga // dan kembali seperti
semula // Paduka akan saya ikat // Sunan Benang berkata // Tidak boleh mencabut
ucapan // saya ijin, menyimpang jalan ke arah timur.
38.
Wohing kayu sambi
iki // saiki sun mehi aran // yeku kecacil arane // lir bocah cilik tukaran //
demit wong pecicilan // rebut bener ngadu kawruh // prakara rusaking tanah.
Buah pohon sambi ini
// saya beri nama // Kecacil namanya // seperti pertengkaran anak kecil //
demit banyak tingkah // berebut kebenran mengadu ilmu // masalah rusaknya
tanah.
39.
Susahe janma lan
demit // sun suwun marang Rabana // woh sambi loro karyane // dadya asem dagingira
// wijine metu lenga // asem semon ulat kecut // demit padu lan manusa.
Dan masalah
kesengsaraan penduduk serta demit // saya mohon kepada Tuhan // Buah pohon
sambi akan menjadi dua // asam rasanya // bijinya mengeluarkan minyak // Asam
bermakna sindiran sikap cemberut // demit bertengkar dengan manusia.
40.
Tegese
lenga puniki // demit mleleng janma lunga // dadiya seksi ing tembe // yen sira padu lan Igwang // katelah prapteng mangkya // woh
sambi cacil ranipun // Sang Wiku malih ngandika.
Arti minyak
adalah // demit mleleng jalma pergi // yang menjadi saksi di belakang hari //
jika kamu bertengkar dengan saya // terkenal sampai sekarang // Buah pohon
sambi bernama Cacil // Sang Sunan berkata lagi.
41.
De gon sun ketemu iki // kang lor aran desa Singkal
// ing kene Desa ing Sumbre // dene nggone wadyanira // kang ana kidul ika
// Kawanguran aranipun // Sunan Benang
sigra mesat.
Tempat pertemuan
ini // sebelah utara saya beri nama Desa Singkal // di sini saya beri nama Desa
Sombre // sedang tempat pasukanmu // yang berada di selatan itu // saya beri
nama Desa Kawanguran // Sunan Benang segera berangkat.
42.
Malumpat mring
wetan kali // katelah prapta samangkya // tanah Kuta Gedah kene // ana desa
Kawanguran // Sumbre lawan ing Singkal // tegese Wanguran weruh // Singkal
sekel nemu akal.
Melompat ke
seberang timur sungai // terkenal sampai sekarang // di Wilayah Kota Gedah //
ada Desa yang bernama Kawanguran // Sumbre dan desa Singkal // arti kata
Wanguran adalah mengetahui // Singkal berarti
terjepit/tertekan menemukan akal.
43.
Butalocaya nututi
// tindakira Sunan Benang // ing Desa Bogem jujuge // hamriksani reca Buda //
sirah dwi badan juga // neng ngisor wreksa trenggulun // woh nedeng mateng
gelasah.
Butalocaya
menyusul // kepergian Sunan Benang // menuju ke Desa Bogem // melihat arca Buda
// berkepala dua satu badan // di bawah pohon trenggulun // yang sedang berbuah
lebat berjatuhan dan berserakan.
44.
Suna benang
ngasta Kudi // das reca buta sinempal // Butalocaya ngling songol // punika iyasanira
// Sang Prabu Jayabaya // kinarya pralamangipun // tekade Janma estri Jawa.
Sunan benang
memegang Kudi (golok berbentuk mirip gambar wayang yang bernama Bagong) //
Kepala arca di potong // Butalocaya berkata sengol // itu buatan // Sang Raja
jayabaya // sebagai lambang // jalan pemikiran wanita Jawa.
45
Benjang alam
Nungsa Srenggi // sinten janma ningalana // mring raca niku wujude // anulia
sami wuninga // tekatira wanita // tanah Jawa iku besuk, angandika Sunan
Benang.
Besok alam
Nusantara // siapa saja yang melihat // ujud arca tersebut // barulah akan
paham // begitulah jalan pikiran wanita // tanah jawa yang akan datang //
berkatalah Sunan Benang.
46.
Sira iku bangsa
demit // wani padu lan manungsa // demit kumentus arane // nahuri Butalocaya //
inggih kaot punapa // dika Sunan kula Ratu // angandika Sunan Benang.
Kamu itu bangsa
Jin // berani membantah manusia // Demit bergaya pintar namanya // menjawablah
Butalocaya // kan tidak ada salahnya // engkau Sunan Saya Raja Jin //
berkatalah Sunan Benang.
47.
Woh kayu
trenggulun ini // saiki sun wehi aran // kentos mungguh ing perlune // dadya
saksining sun wuntat // yen ingsun kekerengan// lan demit ingkang kumentus //
prakara rusaking praja.
Buah pohon
Trenggulun ini // sekarang saya beri nama // Kentos yang artinya // menjadi
saksi di masa yang akan datang // bahwa saya bertengkar kata-kata // dengan
demit yang sok pintar // tentang rusaknya negara.
48.
Katelah prapta
samangkin // wit trenggulun ewohira // pinuka kentos arane // awit saking sabdanira
// Kanjeng Sinuwun Benang // punika pituturipun
// rahadyan Budi sung karya.
Dikenal sampai
sekrang // pohon trenggulun buahnya // bernama kentos // oleh sabdanya // Sunan
Benang// itulah ceritanya // Raden Budi yang memberitahukan.
49.
Sigra tindak sang
Ngayogi // mangaler ing wayah ngasar // pan arsa shalat karsane // ana sumur
jawi desa // tan ana timbanira // ginolingaken kang sumur // ngambil wulu
lajeng shalat.
Segera
berangkalah sang Sunan // ke arah utara di waktu Ashar // karena akan menjalankan
Shalat // ada sebuah sumur di luar desa // tidak ada timbanya // digulingkanlah
sumur tersebut // kemudian mengambil air wudhu terus Shalat.
50.
Katelah prapta
samangkin // sumur iku ing ngaranan // sumur gumuling kaprahe // Sunan Benang
kang golingna // iku pituturira // Radyan Budi guruku // embuh bener luputira.
Dikenal sampai
sekarang // sumur tersebut diberi nama // sumur terguling dikenalnya // Sunan
Benang yang menggulingkannya // itulah ceritanya // Dari suara Budi guruku //
entah benar dan salahnya.
51.
Lajeng tindaknya
Sang Yogi // Desa Nyahen sampun prapta // miyat reca buto wadon // neng
ngiosring wreksa dadap // nedheng kembang wohira // tibeng kanan keringipun //
ing reca Buta baranang.
Kemudian Sang
Sunan melanjutkan perjalanan // dan sampailan di Desa Nyahen // terlihatlah
sebuah arca raksasa perempuan // yang berada di bawah pohon dadap // yang
sedang berbunga dan berbuah // jatuh di sebelah kanan kirinya // dari arca raksasa
perempuan tersebut.
52.
Sunan Benang
aningali // ing wujud reca Buta // eram dene sing agede // madhep ngulon
njengkang lenggah // nembelas kaki inggilnya // ubenge bangkekaniun // sadasa
kaki tan kurang.
Sunan Benang
melihat // ujud dari arca Buta tersebut // heran karena teramat besarnya //
menghadap ke barat duduknya // enambelas kaki tingginya // lingkar pinggangnya
// sepuluh kaki tidak kurang.
53.
Pama den elih
unggyaning // wong hastha tus tan kuwawa // yen ora lawan prantine // sinempal
bahune kanan // bathukira kerowak // Ki Butalocaya muwus // paduka nyata
dahwenan.
Andaikan dipindah
tempatnya // oleh delapan ratus orang tidak akan kuat // jika tidak menggunakan
alat // dipatahkanlah salah satu tangannya // dibuatlah luka di dahinya // Ki
Butalocaya menegurnya // Engkau memang orang sirik.
54.
Reca buta
becik-becik // rinusak tanpa prakara // saniki awon warnine // ing nguni
iyasanira // Sang Prabu Jayabaya // lan punapa asilipun // paduka ngrusak
gupala.
Arca buta yang
bagus // kau rusak tanpa sebab // sekarang jadi buruklah rupanya // dahulu itu
adalah buatan // Sang Prabu Jayabaya // dan apakah untungnya // Paduka merusak
arca tersebut.
55.
Sunan Benang
ngandika ris // mulane iki sun rusak // jwa pindundi ing wong akeh // senajenan
kinutukan // yen wong muji brahala // tetep aran kapir kupur // sasar lahir
batinira.
Sunan pelan
berkata // mengapa ini saya rusak // agar tidak dihormati orang gbanyak // di
beri sesajen dan bakar dupa // apabila orang mengagungkan arca // tetap disebut
orang kafir kufur // tersesat lahir batinnya.
56.
Ki
Butalocaya angling // Janma Jawa wus uninga // yen reca Jawa wujude // datan
adarbe kuwasa // sanes lata walhuja // mila ing ngurmatan iku // sinajenan
kinutugan.
Ki
Butalocaya termangu // Orang Jawa telah paham // bahwa sebuah arca di Jawa //
tidak akan mempunyai kuasa // bukan lata walhujwa // mengapa di hormati dan //
diberi sajen dan di bakari Dupa itu dengan maksud.
57.
Supados sadaya
demit // sampun manggen siti wreksa // punika medal hasile / dados tedaning
manusa // mila sinung panggenan // kinen manggen reca wahu // wus manggen
wonten gupala.
Agar semua demit
di wilayah itu // tidak bertempat tinggal di tanah, sawah dan tegalan // yang
menghasilkan // yang hasilnya akan dimakan manusia // makanya tempat arca itu
angker // agar supaya demit bertempt tinggal di arca batu tersebut // setelah
bertempat tinggal di arca.
58.
Paduka tundung
mring pundi // wus wajibe brekasakan // reca guwa panggonane // ganda arum kang
tinedha // sarira seger sumyah // yen
wus manggon reca wau // gon kiwa neng ngandap wreksa.
Engkau usir
kemana // sudah seharusnya jin brekasakan // arca dan gua sebagai tempat
tinggalnya // di sebelah kiri di bagian bawah arca tersebut.
59.
Samar ayom sepi
resik // senenging manah kalintang // wus ngraos sanes alame // demit kelawan
manusa // mila sumingkir ngiwa // sampun manggen reca kayu // paduka gendak
sikara.
Terlindung,
sejuk, sepi dan bersih // betapa senang hatinya // telah merasa bahwa beda alam
// antara Jin dan manusia // makanya menyingkir ke sebelah kiri // setelah
bertempat tinggal di arca dan pohon // engkau ganggu.
60.
Tetep paduka wong
jail // siya samining tumitah // sami makhluking Hyang Manon // aluwung manusa
Jawa // ngurmati wujud reca // kang ginambar waunipun // pantes simpen budi
hawa.
Tetap engkau
termasuk orang jahil/usil // menyia-nyiakan sesama makhluk // sama-sama makhluk Tuhan // lebih
baik sikap orang Jawa // merawat sebuah arca // yang digambar sebelumnya //
pantaslah orang jawa menyimpan Budi pekerti hawa.
61.
Wangsul tiyang
bangsa Ngarbi // sami sujud Ka’bat ollah // tugu sela ing wujude // niku
langkung saking sasar // Sunan Benang ngandika // Kakbah ollah Mekkah iku //
Nabi Brahim ingkang yasa.
Kembali kepada
orang Arab // bersujud kepada Ka’bah Allah // tugu batu bentuknya // itu lebih
dari sesat (Jangan salah Tafsir – jika
belum paham carilah ilmunya. Pen) // Sunan Benang menjelaskan // Ka’bah Allah
di Mekkah itu // Nabi Ibrahim yang membuatnya.
62.
Hingkono pusering
bumi // sinung tanda tugu sela // sinujudan ing wong akeh // sapa sujud Kahbat
ollah // Allah paringg ngapura // luputira kabeh kang wus // Butalocaya atanya.
Disitulah pusat
bumi // diberi tanda tugu dari batu // tempat arah sujud orang banyak // siapa
saja yang bersujud di ka’batullah // Allah akan memberi ampunan // atas segala
kesalahannya // Butalocaya bertanya.
63.
Niku tandane
punapi // yen angsal sih pangapura // sadaya kaluputane // napa tampi tanda
tanda hasta // serat mawi cap reta // saking pangeran kang Agung // angandika
Sunan Benang.
Apah ujud dan
tandanya // jika mendapatkan ampunan // segala kesalahannya // apa akan
menerima tanda tangan // surat dengan bercap reta // dari Tuhan Yang Agung //
berkatalah Sunan Benang.
64.
Kang kasebut
kitab mami // yen mati antuk kamulyan // Ki Butalocaya bekos // pejah malih yen
angsala // kamulyan kang sanyata // wonten donya sampun korut // sasar nembah
tugu sela.
Itu yngang disebut
di dalam kitab ku // jika meninggal mendapat kemuliaan // Ki Butalocaya
menggeram // Setelah meninggal dunia pun tidak akan mendapatkan // Kemuliaan
yang nyata // sedang masih di dunia telah keliru // menyembah tugu dari batu.
65.
Yen wus nrima
nembah Curi // sae minggah kelud harga // kathah sela ageng sae // iyasanireng
Pangeran // samya wujud pribadya // medal saking ing sabda Kun // iku wajib
sinujudan.
Jika hanya menyembah
batu // lebih baik naik saja ke puncak gunung Kelud // banyak batu besar yang
bagus-bagus // buatan Tuhan // terbentuk dengan sendirinya // tercipta dari
sabda KUN // itulah yang seharusnya yang kau sujudi.
66.
Dawuhing Hyang
Maha Luwih // sadaya manusa dunya // wikanana mring Betolahe // apan raganing
manusa // betolah kang sanyata // prau yasaning Hyang Agung // wajib rineksa
jinaga.
Perintah Yang
Maha Segalanya // manusia di seluruh dunia // Pahamilah tentang Baitullah // di
dalam raga manusia // Baitullah yang sebenarnya // Perahu ciptaan Yang Maha
Agung // wajib dirawat di jaga.
67.
Sinten
wruh asaling diri // wikan budi hawanira // gih punika tuladane // nadyan
shalat ratri siang // yen nganggo raga gelap // kawruhira sasar susur //
kasasar nembah mring sela.
Siapapun yang
paham asal diri // memahami Budi dan hawa nafsunya // itulah tauladannya //
Walau shalat siang malam // jika menggunakan raga gelap // ilmunya tersesat
jauh // tersesat menyambah batu.
68.
Tugu iyasaning
Nabi // Nabi niku gih manusa // kawulanira Hyang Manon // pinaringan wahyu
nyata // wignya sugih engetan // sidik paningale terus // weruh sakdurung
winarah.
Tugu buatan Nabi
// Nabi juga manusia // Makhluk Tuhan // di anugerahi Wahyu Tuhan // pandai
kaya pemikiran // tejam mata hatinya dan juga // mengetahui sesutu yang belum
terjadi.
69.
Kang yasa reca
puniki // Maha Prabu Jayabaya // inggih kakasih Hyang Manon // pinaringan wahyu
mulya // wignya sugih engetan // sidik paningale terus // weruh sakdurung
winarah.
Yang membuat arca
tersebut // Maha Prabu Jayabaya // Juga kekasih Tuhan // mendapat anugerah
wahyu utama // pandai kaya pemikiran // tajam matahatinya dan juga //
mengetahui sesuatu yang beum terjadi.
70.
Paduka pathokan
tulis // wong Jawa patokan sastra // batuwah luri luhure // sami anyungkemi
kabar // muhung ta nyungkemana // kabar tulis luri luhur // tulise kenging
pinriksa.
Engkau berpedoman
pada tulisan // Orang Jawa berpatokan ilmu nyata // petuah menurut leluhur //
sama sama mempercayai cerita // walau patuh pada // kabar yang tertulis dan
kabar dari para leluhur // tulisannya bisa dilihat.
71.
Wong nyungkemi
kabar Ngarbi // tan wruh wujude ing ngrika // embuh dora embuh yektos // gega
ujare wong nglompra // mila tuwan Ngajawa // adol umuk sade kawruh // mulyane
nagari Ngarab.
Oran yang percaya
kabar budaya Arab // tidak melihat ujud yang sebenarnya di sana // entah dusta
ataupun nyata // percaya cerita para pengembara // makanya Tuan pergi ke Tanah
Jawa // menjual cerita menjual ilmu // kebaikan tentang budaya Arab.
72.
Dene kawula udani
// wujude nagari Mekkah // manusane arang cewok // tanah padas awis toya //
tanem tuwuh tan medal // panas benter awis jawah // wong kang budi akhli nalar.
Sakerang saya
beri tahu // gambaran tentang Mekkah // orangnya jarang cebok // tanahnya
padas sulit air // tanaman sulit hidup
// berhawa panas jarang hujan // orang yang ahli Budi ahli nalar.
73.
Mastani Mekkah
nagari // kenging musibating Allah // nagri cilaka arane // wonge nebut
siya-siya // marang asmaning Allah // katah sade bangsanipun // kinarya rencang
tumbasan.
Mengatakan bahwa
tanah Arab // mendapat musibating Allah //
tanah celaka sebutannya // orang nya menyebut sia-sia // hanya sebatas
menyebut Asma Allah // Banyak yang
menjual bangsanya sendiri // sebagai barang yang bisa diperjual belikan.
74.
Jinamah datanpa
kawin // pinadaken sato kewan // ingkang sanes agamane // tan enget sami manusa
// sami turuning Adam // paduka kesah den gupuh // paduka tiyang duraka.
Dijamah tanpa
nikah // disamakan dengan hewan // yang berbeda Agamanya // tidak ingat bahwa sama-sama manusia // sama-sama keturunan Adam // Segeralah engkau pergi //
Paduka orang Durhaka.
75.
Nagri Tanah Jawi
ngriki // nagari kang sukci mulya // madya asrep lan panase // tanah pasir
mirah toya // barang tinanem dadya // jaler bagus estri ayu // madya luwes kang
wicara.
Negeri Tanah jawa
di sini // Negeri yang suci mulia // berhawa sedang dingin dan panasnya //
bertanah berpasir banyak mengandung air // segala yang di tanam tumbuh // Pria
tampan wanita cantik // halus dan ramah ketika bicara.
76.
Rembag paduka
puniki // dede rembaging sarjana // rembage wong thethe hore // pracaya kang
nora nyata // yen Tuan arsa wikan // tengahing jagad satuhu // ing ngriki gen
kula lenggah.
Omongan paduka
itu // Bukan omongan sarjana // omongan orang rendahan // meyakini yang tidak
nyata // jika Tuan ingin mengetahui // Puser jagad sesungguhnya // di sinilah
tempat saya duduk.
77.
Paduka ukur
samangkin // yen cidra rembag kawula // kawula sampeyan jotos // rembag Paduka
kasasar // tanda yen kirang nalar // kirang neda budi kawruh // aremen siya
sikara.
Silahkan Paduku
ukur sekarang // jika bohong kata-kata saya // saya kamu pukul // Omongan
Paduka itu salah // menunjukan bahwa kurang pemikiran // kurang memahami Budi
dan Ilmu // sehingga senang menganiaya.
78.
Kang yasa reca
puniki // Maha Prabu Jayabaya // langkung tuwan digdayane // paduka mangsa
sageda // ngepal langkahing jagad. (jaman) // paduka kesah den gupuh // yen tan
kesah sapunika.
Yang membuat arca
ini // Maha Prabu Jayabaya // Melebihi Tuan kesaktiannya // Paduka tidak
bakalan bisa // menghentikan perputaran jaman // Paduka segeralah pergi // jika
tidak pergi sekarang juga.
79.
Sun undangken ari
mami // Tunggulwulung Kelud Arga // paduka kawula kroyok // paduka mangsa
meenanga // anunten kula bekta // mlebet kawah redi Kelut // sayekti paduka
susah.
Saya akan panggilkan
adik saya // Tunggulwulung di Gunung Kelud // Paduka saya keroyok // Padaka
tidak bakalan menang // kemudian paduka akan saya bawa // masuk kedalam kawah
Gunung Kelud // pasti Paduka sengsara.
80.
Napa Paduka
kepengin // manggen sela kados kula // sumangga mring Selabale // dadosa murid
kawula // Sunan Benang ngandika // tan nedya nurut rembugmu // sira setan brekasakan.
Apakah Paduka menginginkan
// Bertempat tingga di batu seperti saya // silahkan pergi ke Selabale //
menjadi murid saya // Sunan Benang berkata // tidak bakalan saya mengikuti
akata-katamu // kamu setan brekasakan.
81.
Sanadyan kawula
demit // taksih pangkat demit Raja // langgeng mulya salamine // paduka dereng
kantenan // yen mulya lir kawula // yen tekad paduka rusuh // aremen siya
sikara.
Walau pun hamba
Jin // masih pangkat Jin Raja // langgeng hidup selamanya // Paduka belum tentu
// Mulia seperti hamba // Jika tindakan Paduka kotor // senang menyiksa.
82.
Mila paduka
ngejawi // wonten ngarab sanget nakal // dadya karan tiyang awon // yen Tuwan
nayaka mulya // mokal kesah sing praja // mila oncat saking Ngarbun // wus
pasti salah lan raja.
Makanya Paduka
pergi ke Jawa // karena di Arab sangat nakal // sehingga dituduh orang sebagai jahat
// Jika Tuan Pejabat tinggi // tidak mungkin meninggalkan kerajaan // Makanya
meninggalkan Arab // pastilah punya salah terhadap Raja.
83.
Tandane wonten
ing ngriki // Tuan taksih ngulondara // mahosi adating uwong // angaru biru
agama // damel risaking tanah // mahoni rupa wus bagus // kasebut
angger-angger.
Buktinya di sini
// Tuan masih mengembara // merubah kebiasan orang // mencampuri Agama //
membuatan kerusakan wilayah // merusak ujud yang sudah bagus // Tersebut dalam
Undang-Undang.
84.
Wong maoni wangun
becik // lan karya risaking tanah // maoni adating wong // agama luluhur kuna
// wajib Ratu aniksa // binuwang dateng Menadu // ngandika Sinuhun Benang.
Orang mengubah
ujud yang sudah baik // dan membuat kerusakan tanah // merobah adat budaya
orang lain // Agama leluhur kuna // hukumnya Wajib raja untuk menyiksanya // di
buang ke Menado // berkatalah Sunan Benang.
85.
Woh
kembange dadap iki // saiki sun wehi aran // kembange celung arane // aran
ledung uwohira // ingsun kacelung nalar // kalawan katladung rembug // dadya
saksinipun wuntat.
Buah
dan bunga pohon dadap ini// sekrang saya beri nama // Bunga Celung namanya //
Ledung nama buahnya // Ingsun kalah nalar // dan juga dibantah kata // jadilah
saksi di belakang hari.
86.
Sun
padu lan ratu demit // kalah kawruh kalah nalar // katelah prapta samangke //
woh dadap kledung ranira // kacelung kembangira // Sang Wiku malih nabda rum //
sun pamit mulih maring Benang.
Saya berbantahan
dengan demit // kalah ilmu kalah nalar // dikenal sampai sekarang // nama buah dadap
adalah Kledung // Celung nama bunganya // Sunan Benang kemudian pelan berkata
// saya ijin pulang ke Benang.
87.
Paduka kesah den
aglis // akarya sangaring kisma // yen dangu-dangu neng kene // akarya susahing
kathah // anarik larang pangan // panas benter awis jawah // Sunan Benang sigra
mentar.
Paduka, segeralah
pergi // akan sangarnya kisma // jika terlalu lama di sini // akan membuat
banyak orang susah // dan menyebabkan mahalnya bahan makanan // membuat hawa
panas dan jarang hujan // Sunan Benang
segera berangkat .
88.
Ki Butalocaya
mulih // wadyane kinen bubaran // yata ganti winiraos // nagari ing Majalengka
// Sang Prabu Brawijaya // enjing siniweng wadya gung // balabar lir gula
drawa.
Ki Butalocaya
pulang // pasukan dibubarkan // kemudian gantilah yang diceritakan // Di negeri
Majapahit // Sang Prabu Brawijaya // suatu pagi di hadap para punggawa kerajaan
// membelabar bagaikan Gula Jawa.
iii.
DHANDHANGGULA
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Patih Gajahmada
awot sari // duh pukulun kawula tur wikan// pun patik tampi serate // Abdi Tuan
Temenggung// Kertasana atur upekti // Nagari Kertasana // asat lepenipun //
kang saking Kediri pejah // nimpang
ngetan salering kota Kediri // kenging ing sabdanira.
Patih gajahmana
memberi kabar // Wahai paduka raja, hamba menyapaikan kabar // Hamba selaku
Patih telah menerima surat // dari Abdi
Tuan Tumenggung // Kertasana,, mengabarkan // bahwa di wilayah Kertasana //
sungainya kering // sungai yang dari kediri mati // Sungai menyimpang ke timur
dari sebelah Utara Kota Kediri // karena terkena sabdanya.
2.
Sunan Benang
Ngulama ing Tuban // pinten-pinten dusun karisakan // sampun katur sadayane //
lir kang kasebut ngayun // langkung duka Sri Narapati // Ki Patih Gajahmada //
ing ngagnya lumaku // amriksa mring Keratsana // anitiya wadya lit asiling bumi
// kang risak dening toya.
Suna Benag Ulama
dari tubab // banyak dusun menjadi rusak // dan telah disampaikan semuanya //
seperti tersebut di depan // Sangat murkanya Sang Raja // Ki Patih Gajahmada //
segerlah berangkat // lihatlah daerah Kertasana // berilah rakyat kecil hasil
bumi // yang rusak karena banjir.
3.
Sunan Benang
kinen animbali // tan alami praptaning caraka // Ki Gajahmada ature // estu
leres pukulun // Kertasana kasatan warih // duta kang saking Tuban // manembah
umatur // Pukulun Ngulami Benang // tan pinanggih nuju kesah saking panti //
tan wikan purug ira.
Sunan Benang
disuruhnya untuk dipanggil // tidak berapa lama sampailah utusan // Ki
Gajahmada menyampaikan laporan // sungguh benarlah tuan Raja // Kertasana
kehabisan air // Utusan yang di di utus
pergi ke Tuban // datang menyembah menyampaikan kabar // Wahai Sang Raja Ulama di Benang // tidak hamba ketemukan, karena
sedang bepergian // tidak ada yang
mengetahui ke mana perginya.
4.
Angandika Nata
esmu runtik // iku Patih pra Ngulama Ngarab // nora lamba ing karepe // wiku
ndong aranipun // putih jaba jerone kuning // nora marem dedekah // neres
ringin kurung // Heh patih sira tundunga // Bangasa Ngarab kang aneng pulo Jawi
// mundak ngribeti praja.
Berkatalah sang
Raja dengan setengah marah // Wahai Patih para Ulama Arab // tidak jujur
kehendaknya // Wiku ndong sebutannya // putih di luar di dalamnya kuning // tidak puas dedekah // neres pohon beringin
kurung // Wahai patih kamu usirlah // Bangsa Arab yang berada di Tanah Jawa //
biar tidak membuat kerusakan negara.
5.
Amung Demak lawan
Ngampel Gading // sun lilani aneng tanah Jawa // nglestarekna Agamane // liyane
loro iku // lah ulihna asale lami // lamun tan arsa lunga // pukulen ing pupuh
// matur Patih Gajahmada // inggih leres ing karsa paduka Gusti // Ngulama
Giripura.
Hanya di Demak
dan Ngampel Gading // yang saya ijinkan tetap berada di Tanah Jawa // melestarikan
Agamanya // selain dari dua daerah itu // kembalikanlah ke asal mulanya // jika
tidak mau pergi // pukulah dengan perang // Berkatalah Gajahmada // Sangatlah
tepat perintah peduka // Ulama Kerajaan Giri .
6.
Tigang warsa tan
sowan Sang Haji // boten asok ubektining
praja // nedya rerempon ciptane // tan ngrasa ngising nguyuh // nginum neda
teng Tanah Jawi // lan malih namanira // Santri Giri iku // ngungkuli Asma
Paduka // apaparab Suhunan Ngahenal Yakin // puniku tembung arab.
Tiga tahun tidak
datang menghadap Sang Haji // Tidak memberikan upeti sebagai tanda bakti //
sengaja rerempon ciptnya // Tidak merasa bahwa mereka berak kencing// minum, makan di Tanah Jawa // dan
juga yang namanya // Santri di Giri itu // melebih Asma Paduka // berjuluk
Susuhunan Ngainal Yakin // itu Bahasa
Arab.
7.
Jawanipun
Sunan hiku Budi // Jarwanipun Ngahenal makripat // yakin wikan weruh dhewe //
nama tingal kang terus // surasane ing tembung Jawi // nama Prabu Satmata //
niku asma luhur // nglangkungi asma Paduka // Ngirb-ngirib tingale Hyang Maha
Sukci // wikan tan kasamaran.
Bahasa
Jawanya, Sunan itu Budi // Arti ‘Ainal itu Ma’rifat // Yakin itu mengetahui
dengan sendirinya // Nama melihat yang terus // jika diterjemahkan kedalam Bahasa
jawa // Bernama Prabu Satmata // itu nama luhur // melebihi Asma paduka //
Meniru-niru Maha Tahunya Yang Maha Suci // Mengetahui atas segala sesuatu.
8.
Ngalam donya
boten wonten kalih // ingkang asma Sang Prabu Satmata // mung Bathara Wisnu
dewe // kala jumeneng Ratu // wonten Medang Kasapta nagri // ngandika Sri
Narendra // pukulen prang pupuh // Ki Patih matur sandika // sigra budal
kalawan angirit baris // gepuk ing Giri Pura.
Di dunia tidak
ada dua // yang bernama Sang Prabu Satmata // Hanya Bathara Wisnu sendiri //
Ketika menjadi Ratu // Di Medang Kasapta Negri // berkatalah Sri Narendra //
hantamlah dengan perang // Ki patih berkata akan dilaksanakan // Segeralah
berangkatlah sang patih dengan membawa
pasukan // untuk menyerbu Kerajaan Giri.
9.
Bubar giris
wadyabala Giri // tan kawawa lumawan ngayuda // Ki Gajahmada pamuke // Sunan
Giri lumayu // marang Benang panggih
Sang Yogi // aminta kekuatan // lumawan prang pupuh // nadahi wong Majalengka
// tan cinatur prangira wong Majapahit // lawan ing Giri pura .
Bubar ketakutan
pasukan Giri // tidak kuat melawan perang // menghdapi amukan Gajahmada //
Sunan Giri mengungsi // ke Benang bertemu dengan Sunan Benang // memohon
bantuan // untuk melawan perang // menghadapi pasukan Majapahit // tidak
diceritakan perang antara Majapahit // melawan pasukan Giri.
10.
Sampun kocap
babat Majapahit // Anggitira pujangga ing kuna // amrih gancar caritane // ing
wektu mangsa iku // Tanah Jawa wus meh sepalih // ngrasuk Agama Islam //
Pasisir sadarum // iring lor sa’urutira // lan tengahan ing kidul maksih netepi
/ Agama Budi Hawa.
Telah tertuang di
Serat Babat Majapahit // Buatan Pujangga jaman dahulu // Agar mudah dalam
mengurai ceritanya // pada masa itu // Tanah jawa hampir separuh // telah
memeluk Agama Islam // di semua wilayah pesisir // Pesisir sebelah utara
seurutnya // Sedangkan Pulau Jawa bagian Tengah dan Selatan masih tetap // Agama Hakikat Budi Hawa.
11.
Pan sinigeg crita
Majapahit // Sunan Benang wus rumangsa lepat // antuk nata dudukane // tan
harsa kendel dangu // aneng wisma numpak palwa glis // lan Sunan Giripura//
mring Demak wus pangguh // lan Hadipati Bintara // pan ing ngebang wruhanira ki
Dipati // iki tekaning mangsa.
Sampai di sini
dipotonglah cerita Majapahit // Sunan benang telah menyadari kesalahannya //
mendapat amarah Raja // tidak mau berlama-lama // berada di rumah // segera
naik perahu // bersama dengan Sunan Giri // menuju ke Demak dan bertemulah //
dengan Adipati Bintara // Kemudian memberi masukan dengan mengatakan //
Ketahuilah wahai Ki Dipati Demak Bintoro // saat sekaranglah telah sampai pada
waktunya.
12.
Risakira Nagri
Majapahit // umurira satus tigang warsa // saka panawangku kene // kang kelar
dadi Ratu // mengku ing Rat sa-Tanah Jawi // genteni Ramanira // kapraboning
Ratu // mung sira iku kang kelar // awit saking karsaning Hyang Maha Luwih //
semengko rembug ingwang.
Hancurnya
Kerajaan Majapahit // umurnya seratus tiga tahun // dari penerawanganku bahwa
// Yang kuat menjadi Ratu // menguasai seluruh Tanah Jawa // menggantikan
Ayahmu // untuk menjadi raja // hanya kamulah yang kuat // sebab sudah menjadi
kehendak Tuhan // sekarang pendapat saya.
13.
Lah rusaken Nagri
Majapahit // lawan alus demit ingkang samar // awja kawentar ing ngakeh //
sowana Bakda Mulut // rumantiya sikeping jurit // sawadyabalanira // pra Sunan
sadarum // miwah sagunging Dipatya // bawahira kang wus manjing ing Islami //
kumpulan aneng Demak.
Hancurkan
kerajaan Majapahit // dengan cara halus dengan cara diam-diam menyusup dan
menyamar // dengan rahasia jangan sampai ketahuan // menyusup dengan membawa
perlengkapan perang // seluruh pasukanmu // dan seluruh para Sunan // beserta
seluruh Adipati // bawahanmu yang telah memeluk Agama Islam // Kumpullkan dulu
di Demak.
14.
Samudana
ngadekake Masjid // yen wus kumpul sun kang aweh nalar // marang para Sunan
kabeh // miwah para Tumenggung // kang wus salin Gama Ngarabi // sayekti nurut mring wang //
pra Sunan sadarum // umatur Sang Adipatya // ulun ajrih ngrisak Nagri Majapahit
// mungsuh Bapa tur Nata.
Samarkan
dengan alasan mendirikan Masjid // jika telah berkumpul saya yang akan
menjelaskan // kepada semua Sunan // dan juga kepada para Tumenggung // yang
telah berganti Agama Syariat // pasti akan menuruti apa kata saya // semua para
Sunan // Menjawablah Sang Adipati Bintoro // Saya takut menyerang Majapahit //
Memusuhi ayah dan juga Raja.
15.
Kaping
tiganipun ambeciki // sung nugraha kamukten neng donya // punapa sun walesake
// mung setya tuhu ulun // dawuhipun suwargi // Kyai Susuhunan Ngampel Denta //
tan parenga mungsuh // mring Rama sanadyan Buda // pan punika jalaran ulun
dumadi // wujud gesang punika.
Yang
ke tiga telah berbuak baik // memberi nugraha dan kebahagiaan hidup di dunia //
apa yang seharusnya hamba lakukan // Hanya patuh dan setia hamba // Nasihat
almarhum // Kyai Sunan Ampel // tidak boleh memusuhi // Orang tua sendiri walau
beragama Buda // karena beliau sebagai sebab hamba menjadi ada // berujud hidup
di dunia ini.
16.
Buda
kapir kapire pribadi // nama Bapa wajib linuhurna // lan dereng wonten lepate
// Kanjeng rama mring ulun // Sunan Benang ngandika aris // sanadyan mungsuh Bapa //
mbeciki lan Ratu // nora ana walatira // ngrusak kapir Buda kawak sira manggih
// ganjaran swarga mulya.
Buda kafir,
kafirnya pribadi // Yang namanya orang tua wajib dijunjung tinggi // dan juga
tidak ada kesalahannya // Ayah hamba terhadap hamba // Sunan Benang pelan
berkata // Meski memusuhi orang tua // mengganti seorang raja dengan yang lebih
baik // tidak ada walatnya // menghancurkan Buda kafir tuwa engkau akan
mendapatkan // ganjaran surga mulya.
17.
Sunan Ngapel iku
santri miri // gundul bentul budeng tan wruh nalar // mung jago godogan bae //
sapira kawruhipun // Sayit Rakhmat ing Ngampel Gading // bocah lahiran Cempa //
tan padha lan ingsun // Sayit kramat Sunan Benang // tedak Rasul kang pinuji
wong sak bumi // panutane wong Islam.
Sunan Ampel itu
Santri miri // Gundul bentul budeng tidak paham nalar // hanya jago godogan
saja // seberapalah ilmunya // Sayit Rakhmat di Ampel Gading // anak kelahiran
Cempa // tidak sama dengan ingsun // Sayit Kramat Sunan Benang // Keturunan
Rasul yang di hormati manusia seluruh bumi // Rasul sebagai panutan orang
Islam.
18.
Sira mungsuh
Ramanira Aji // nadyan dosa-dosa wong sajuga // tur tuwa kapir wujude // yen
kalah Bapakmu // sayektine wong tanah Jawi // samya Islam sadaya // sapira
begjamu // nugrahanireng Pangeran // tikel ping mbuh sihing Hyang kang Maha
Sukci // kang tumiba mring sira.
Engkau melawan
orang tuamu raja // meski dosa.. hanya dosa satu orang saja // dan sudah tua,
kafir keadaannya // Jika ayahmu kalah // sesungguhnya orang Tanah Jawa // akan
menjadi Islam semua // Betapa besar untungmu // mendapatkan anugrah Tuhan // berkali lipat tak terhitung jumlahnya atas anugrah dari Yang Maha Suci // yang akan
kau dapatkan.
19.
Satemene Rama
nira Aji // luwih siya putu marang sira // ingkang dadi pratandane // sira
pinaring juluk // aran babah iku tan becik // tegesa aran babah // iku aran saru // bage mati mage
gesang // wiji Jawi ginawa mring cina
putri // mulane ibunira.
Sesungguhnya
orang tuamu raja // telah menyia-nyiakan dirimu // sebagai tandanya tandanya //
kau di beri julukan // sebutan Babah itu tidak baik // arti kata Babah // itu
sebutan tidak sopan // entah mati entah hidup // biji dari jawa berada di dalam
putri cina // makanya ibumu.
20.
Pinaringken
Palembang Dipati // Arya Damar wong Prambanan buta // amegat sih sayektine //
tetep galih tan ayu // ramanira Sri Narapati // mulane rembug ingwang //
walesen lan alus // ing lahir aja katara // ing batine sesepen rahe den enting
// mamahen balungira.
Dikasihkan kepada
Adipati Palembang // Arya Damar yang berasal dari Prambanan buta //
sesungguhnya memutus cinta // tetap tidak baik // orang tuamu Raja // makanya
pendapat ku // balaslah denga halus // tata lahir jangan nampak // dalam batin
hisaplah darahnya sampai habis // kunyahlah tulangnya.
21.
Sunan Giri
anambungi angling // ingsun iki putu linurugan // mring ramanta utusane // tan
ana dosaningsun // ingaranan reraton mami // sebab tan arsa seba // marang
Majalangu // sumbare si Gajahmada // yen kacandak ingsun arsa den kuciri // lan
kinen guyang sona.
Sunan Giri
menambahi pendapat // saya ini wahai cucu di serang // oleh utusan oang tuamu
// padahal tidak ada kesalahanku // dituduh bahwa kerajaanku // hanya sebab tidak
mau menghadap // ke kerajaan Majapahit // sumbarnya Gajahmada // jika
tertangkap saya akan dikuciri // dan juga disuruh memandikan anjing.
22.
Lan sakehe
santriningsun sami // akeh cina kang samya ngajawa // neng Giri sun Islamake //
kang muni kitab ingsun // yen Wong Islam ngislamaken kapir // yekti tampa
ganjaran // sawarga ing besuk // mulane keh bangsa cina // kang mring Giri sun
Slamaken sadaya sami // sun anggep kulawarga.
Dan kebanyakan
dari santriku // adalah dari cina yang pergi ke Jawa // meng-Islamkan orang
kafir // menurut kitab ku // jika orang Islam meng-Islamkan orang kafir //
pasti akan mendapat pahala // balasan suarga nantinya // makanya banyak orang
cina // pergi ke Giri dan saya Islamkan semuanya tanpa kecuali // saya anggap
sebagai keluarga.
23.
Praptaningsun
kene ngungsi urip // marang sira wedi Gajahmada // lawan ramanira angger
// dene sengit kalangkung // mring wong
santri kang Puji Dikir // ing ngaran lara ayan // awan sore esuk //yen sira tan
ngukuhana // yekti rusak Agama Muhammad Nabi // nahuri Sang Dipatya.
Kedatanganku ke
sini mengungsi mencari hidup // kepadamu karena saya takut kepada Gajahmada //
dan juga kepada ayahandamu // karana mereka sangat bencinya // kepada para
santri yang selalu puji dzikir // dituduh sakit ayan // siang sore pagi // jika
engkau tidak jadi penguasa // pasti rusak Agama Nabi Muhammad // menjawablah
sang Adipati Demak.
24.
Niku
leres ingkang anglurugi // wong reraton tan ngrasa kaprenah // mring ratu kang
mbawahake // wus wajibe den ukum // linurugan dipun pateni // dika boten
rumangsa // mangan ngising nguyuh // wonten jroning Tanah Jawa // kang makaten
punika wus datan sisip // Sunan Benang ngandika.
Itu benarlah yang
menyerang mu // karena kau menjadi raja bawahan tidak merasa hormat // kepada Raja
penguasa // sudah seharusnya di hukum // di serang dan dibunuh // engkau tidak
merasa // makan, buang air besar dan kencing
// di Tanah Jawa // yang demikian itu tidak salah // Sunan Benang
berkata.
25.
Yen ta sira
rembug wektu iki // kaprabone putu ramanira // yen sira anti surude // sayekti
pasrahipun // mring Dipati ing Panaraga // krana putra pangarsa // miwah putra
mantu // ing Pengging Ki Dayaningrat // mangsa pasrah kaprabon mring sira kaki
// de sira putra ngandap.
Jika kau
bicarakan sekarang // merebut kekuasanan orang tuamu // jika kau tunggu meninggalnya
// pasti akan dipasrahkan // kepada Adipati Ponorogo // Karena putra sulung //
atau kepada menantunya // di Pengging yang bernama Ki Jayaningrat // tidak
bakalan di serahkan kepadamu // karena dirimu anak urutan bawah.
26.
Nora wajib
jumeneng Narpati // mumpung iki na lawang menga // Giri dadi jalarane //
hangrusak Majalangu // nadyan mati mungsuh lan kapir // yekti tampa ganjaran //
mati nemu ayu // nampani sawarga mulya // wus wajibe wong Islam mati lan kapir
// nyungkemi mring Agama.
Tidak berhak
menjadi raja // mumpung sekarang pintu sedang terbuka // penyerangan ke giri
yang yang menjadi sebabnya // sekarang waktunya menghancurkan Majapahit //
meski mati melawan kafir // pasti akan mendapat pahala // meninggal dengan
mendapatkan anugerah // mendapatkan
Surga mulia // sudah seharusnya orang Islam mati melawan kafir // membela
agamanya.
27.
Lawan wajibira
ing ngaurip // angupaya nugraha neng donya // darajat kang luhur dewe // yen
urip nora weruh // nora melik darajat lahir // lamun sipat manusa // mesti
melikipun // mengku praja angreh wadya // apan ratu kalipahira Hyang Widdi //
nganggo sakarsa dadya.
Dan juga
kewajiban hidup // berusaha mendapatkan anugrah di dunia // derajat hidup yang
paling tinggi // jika hidup tidak tau // tidak menginginkan derajat lahir //
jika masih bersifat manusia biasa // pasti menginginkannya // menjadi raja
menguasai rakyanya // jika menjadi raja sebagai wakil tuhan // apapun yang diinginkannya terwujud.
28.
Satemene sira wus
pinasti // dadi ratu aneng Tanah Jawa // gumanti ramanta angger // nanging tata
lahiripun // kudu sandi den Ikhtiari // rinebut lawat aprang // iku saratipun
// yen sira tan ikhtiara // sayektine sihing Hyang pinundut bali // sira nampik
sihing Hyang.
Sesungguhnya kamu
sudah digariskan // menjadi raja di Tanah Jawa // menggantikan kedudukan raja
ayahanda // namun dalam tata lahir // harus disyarati dengan ikhtiar usaha //
direbut dengan jalan perang // itulah syaratnya // jika tidak engkau ikhtiari
// pastilah takdir tuhan akan ditarik kembali // karena engkau menolak takdir
tuhan.
29.
Ingsun amung
darma anjurungi // kang wus weruh sadurung winarah // sun semprong wus katon
njengleh // simrawang kawruh Ingsun // nora samar ing dalem ghaib // sira
ingkang katingal // sing sih Hyang Mahagung // dadi Ratu Tanah Jawa // amurwani
nyalini Agama Sukci // berat Agama Buda.
Hamba hanya
sekedar mendukung // saya sudah mengetahui hal yang belum terjadi // Saya intip
sudah nampak dengan jelasnya // menggunakan ilmu ku // sudah nampak jelas di
dalam gaib // kaulah yang terlihat // yang mendapat anugerah Tuhan // yang
menguasai Agama Suci // membuang Agama Buda.
30.
Katah-katah dawuh
Sang ngayogi // ngebang-ebang marang Sang Dipatya // mamrih ngadeg kasurane //
angrusak Majalangu // den misili carita Nabi // kang padha ngrusak Bapa //
Kapir nemu ayu // ingsun iki wong wis tuwa // menangana adegira Narapati //
paring idi mring sira.
Banyak-banyaklah
yang disampaikan sang Sunan // membakar semangat sang Adipati // agar bangkit
semangatnya // untuk menghancurkan Majapahit // diberilah contoh cerita Nabi //
yang bertindak memusuhi ayah sendiri // yang masih kafir akan mendapatkan
keselamatan // saya ini orang yang sudah tua // apabila umurku sampai dengan dinobatkannya
dirimu menjadi raja // saya akan memberi restu kepada dirimu.
31.
Rahayune adegira
Haji // muteringrat mengku Tanah Jawa // lestariya sabanjure // Sang Dipati
umatur // yen makaten karsa Sang Yogi // kawula amung darma // lumampah satuduh paduka kang botohan //
Sunan Benang pangandikanira aris // ya iku sun karepna.
Agar selamat
selama engkau menjadi raja // Raja besar yang menguasai Tanah Jawa //
lestarilah seterusnya // Dan Adipati mengatakan // jika demikian kehendak sang
Guru // hamba hanya sekedar // menjalankan perintah padukalah sebagai botohnya
// Sunan Benang berkata lembut // Itulah yang saya harapkan.
32.
Yen wus gelem
sira sun botohi // lah kirima layang
arinira // Dipati Terung den age // kang rapet tembung halus // lah antepen arinireki // apa abot
mring Nata // apa bot sadulur // tuwa tur tunggal agama // yen adimu dipati
Terung ngrujuki // adegira Narendra.
Jika sudah mau
kau saya botohi // buatlah surat kepada adikmu // Adipati Terung dengan segera
// susunlah kalimatnya dengan halus // dan tanyakanlah kepada adikmu // apa
lebih berat kepada raja // apa lebih berat saudara // saudara tua yang sama
Agamanya // jika adikmu Adipati terung setuju // dirimu yang menjadi Raja.
33.
Gampang banget
ngrusak Majapahit // Majalengka sapa den endelna // yen uwis balik si Kusen //
si Gugur isih timur // mangsa dadak waniya getih // Gajahmada wus tuwa //
wungkuk ambelengkuk // den thuthuk bae palastra // mangsa kelar nadahi yudamu
kaki // sigra Sang Hadipatya.
Sangatlah mudah
menghancurkan Majapahit // Majapahit siapakah yang bisa di andalkan // jika si
Kusen sudah mendukung kita // Si Gugur masih kecill // tidak bakalan berani
melihat darah // Gajahmada sudah terlalu tua // bungkuk // dipukul pelan saja
pasti mati // tidak akan kuat menghadapi seranganmu anakku // segeralah sang
Adipati.
34.
Kirim serat mring Terung Dipati // tan alami prapta kang
caraka // wus tinampen wangsulane // lan Bupati sadarum // samudana ngedegken
Masjid // tan lama sami prapta // pra Sunan sadarum // miwah kang para Bupatya
// pakumpulan perlu ngedegaken Masjid // sawuse
Masjid dadya.
Mengirim surat
kepada Adipati Terung // tidak lama sampailah sang utusan // telah diterima
balasannya // bersama dengan semua Bupati // disamarkan dengan membangun Masjid
// tidak lama kemudian semuanya sudah datang // Seluruh Sunan // Seluruh Bupati
// berkumpul mendirikan Masjid // setelah masjid berdiri.
35.
Para Sunan lan
para Bupati // Shalat Subuh neng Masjid sadaya // sawusnya bakda Shalate //
tinutup korinipun // Sunan Benang ngandika haris // lah sagung Para Sunan //
Bupati sadarum // lamun rembug sira padha // Sang Dipati Bintara sun degken
Haji // mengkurat Tanah Jawa.
Semua Sunan dan
Bupati // menjalankan Shalat subuh di Masjid // Setelahnya Shalat // ditutuplah
pintunya // Sunan Benang berkata // Wahai semua para Sunan // dan para Bupati
semuanya // Jika sepakat semuanya // Sang Adipati Bintara , saya angkat menjadi
raja // menguasai seluruh Tanah Jawa.
36.
Sarta mbedah
kraton Majapahit // ngrusak kapir nora nemu dosa // nampani suwarga tembe //
yen sira padha rembug // prayogane ing dina iki // Ki Dipati Binatara // ingsun
angkat Ratu // mumpung wus kumpul sadaya // para Sunan lan sagung para Dipati
// samekta saha wadya.
Serta
menghancurkan Majapahit // Menghancurkan kafir tidak berdosa // akan menerima
surga besuknya // jika semua sepakat // sebaiknya hari ini juga // Ki Adipati
Bintara // Saya nobatkan menjadi Raja // mumpung telah berkumpul semua //
seluruh Sunan dan seluruh Bupati // lengkap dengan pasukannya.
37.
Para Sunan lan
para Dipati // sabiyantu jumurung ing karsa // Sunan Benang timbalane // sadaya
tyasnya limut // kaya age tempuking jurit // angrusak Majalengka // anggempur
karatun // yata Pangran Siti Jenar // duk
miyarsa micoreng sajroning galih // lah iki tutur apa.
Semua sunan dan
Bupati // sependapat dan mendukung // segala rencana Sunan Benang // Semua yang
hadir pikirannya melayang // seolah-olah segera menyerbu // menghancurkan
Majapahit // menyerang kerajaan // diceritakan Pangeran Sitijenar // ketika
mendengar rencana tersebut hatinya menolak, dan mengatakan // Apa-apan ini.
38.
Siti
Jenar sumundul turnya ris // kados pundi ing karsa paduka // dene asalah
karsane // Sri Majapahit punjul // sih kawula para marta sih // ambeg ngumala
retna // adil mring wadya gung // teka arsa pinrih cidra // napa mboten angsal
benduning Hyang Widdi.
Sitijenar
memberanikan diri menyampaikan dengan kata-kata halus // Bagimanakah kehendak
paduka // Apakah kesalahan // Raja Majapahit yang mempunyai banyak kelebihan //
mangasihi rakyatnya adil terhadap rakyat kecil // berjiwa mulia // adil
terhadap para pembesarnya // tiba-tiba akan dihianati // apakah tidak akan
mendapatkan murka Tuhan.
39.
Duk
kalane praptane pra Wali // binecikan pinaringan papan // inguja ing sakarepe
// tan ana aru biru // teka dadak pinrih tan becik // kawula datan rembag ing
karsa Pukulun // punapa Jeng Rasulullah // kang sinebut arane Nabi sinelir //
ngajani budi cidra.
Ketika
datangnya para Wali // diterima dengan baik di beri tempat tinggal // di biarkan
sekehndaknya // tidak pernah diganggu // tiba tiba akan dihancurkan // hamba
tidak sepakat dengan rencana paduka // Apakah Kanjeng Rasul Allah // yang
tersebut sebagai pemimpin para Nabi // mengajari sifat hianat.
40.
Teka
anak anglanggar ing jurit // marang Bapa kapindhone Raja // ping telu angsung
kamukten // napa tan panggih bendu // marang Gusti kang Maha Sukci // kapindo
Rasulullah // ing pangraos hulun // Jeng Nabi nayakaningrat // dene mboten
kinen ngukum tiyang becik // mring Wali lan Ngulama.
Tiba-tiba anak
diajak menyerang // kepada orangtuanya sendiri, yang kedua kepada rajanya //
yang ketiga telah memberi kesenangan hidup // apakah tidak akan mendapat murka
// dari Gusti Yang Maha Suci // yang kedua Dari Rasulullah // menurut perasaan
hamba // Kanjeng Nabi Raja diraja // tidak memerintahkan menghukum orang baik
// kepada Wali dan ‘Ulama.
41.
Yen makaten
ing panugi mami // ing karsane pra wali
sadaya // amung pamrih ing risake // bapa kalwan sunu // mburu kathah isine
kendil // bingah yen angsal brekat // yen akeh wong lampus // mila darbe mbeg
tan arja // wong weh becik wekasan binalang tai // kados karsa paduka.
Jika demikian
menurut perasaanku // rencana para Wali semua // hanya menginginkan hancurnya
// hubungan orang tua dengan anak // mengejar kekayaan semata // senang jika
mendapatkan berkat // jika banyak orang mati // sehingga mempunyai rencana
jahat // Orang yang telah memberi kebaikan dibalas denga kotoran orang // seperti perbuatan paduka.
42.
Duk miyarsa
sagungin pra Mukmin // ing wuwuse Pangran Siti Jenar // sakalangkung ing
lingseme // Suna Benang duk ngrungu //
dukanira yayah sinipi // heh apa jajil laknat // ingkang sira wuwus // Wali
cilik kurang ajar // nganggo wani nyanyampahi karsa mami // pan sira bosen
gesang.
Ketika mendengar
semua para mukmin// mendengar ucapan Pangeran Sitijenar // sangatlah malunya //
Sunan Benang ketika mendengar // sangatlah murkanya // Heh.. apa jajil laknat
// apa yang kau katakan // Wali kecil kurang ajar // berani-beraninya menyalahkan
rencanaku // apakau kau bosan hidup.
43.
Pilh endi mati
karo urip // lamun ora miturut kaseng wang // amesti mati rinampok // Siti
Jenar asendu // dudu Siti Jenar sayekti // lamun wedi palastra // Gya rinebut
pupuh // Siti Jenar pinejahan // Sunan
Giri kang kinen nglawe nelasi // tumuli ana swara.
Pilihlah mati
atau hidup // jika tidak mengikuti kehendakku // pastilah mati di rampok //
Sitijenar berkata dengan perasaan sedih // Bukan Sitijenar asli // jika takut
mati // segeralah Sitijenar diserang // Siti Jenar dibunuh // Sunan Giri yang
disuruh membunuhnya // kemudian terdengar suara.
44.
Eling
eling Ngulama ing Giri // sira nora sun wales neng kerat // sun wales neng
donya bae // den enget sira besuk // lamun ana Narendra Jawi // kanthi wong
bangsa tuwa // sun lawe gulumu // Sunan Giri duk miyarsa // besuk wani iya ing
samengko wani // ingsun mangsa mukira.
Ingatlah wahai
Ulama Giri // Kau tidak kubalas di akhirat // akan ku balas didunia saja //
ingatlah kau yang akan datang // Jika telah ada Raja Jawa // didukung oleh
orang bangsa tua // saya ikat lehermu // ketika Sunan Giri mendengarnya // yang
akan datang saya berani sekarang pun saya berani // ingsun tidak bakalan
menghindar.
45.
Wus
mangkana karsane Sang Yogi // nglestareken ing sakarsanira // Dipati Demak
adege // gya ing ngidenan sampun // sang Dipati jumeneng Haji // amengku Tanah
Jawa // jejuluking Prabu // Senapati Jimbuningrat (Jin Bun. Pen)// Patihira iya
saking Ngatasangin // nama Patih Mangkurat.
Telah demikian
kehendak Guru // melanjutkan rencananya // Adipati Demak diangkat sebagai raja
// segara mendapatkan restu sudah // Sang Adipati dinobatkan menjadi Raja //
Menguasai seluruh Tanah Jawa // Bergelar lah sang prabu // Senapati
Jimbuningrat (Jin Bun ). Patihnya berasal dari atasangin // bernama Patih
Mangkurat.
46.
Dupi enjang
samekta ngajurit // para Sunan lan para Bupatya // memba garebeg ampahe //
Riaya Bakda Mulud // wadya alit tan ana ngerti // wawadinireng lampah // amung
pra Tumenggung // kang sampun Agama Islam // para Sunan lan sagung para Bupati
// Sunan Giri lan Benang.
Ketika sudah pagi
bersiaplah seluruh pasukan // Semua Sunan dan Bupati // Bagaikan gerebeg
jalannya // Riyaya Bakda Mulud // rakyat kecil tidak mengerti // langkah
rahasia // hanya para Tumenggung // yang sudah beragama Islam // semua Sunan
dan Bupati // Sunan Giri dan Benang.
47.
Datan tumut marang
Majapahit // sangsalane wus sepuh tan kuat // amung paring idi bae // rahayuwa
ing laku // shalat kajat wonten ing Masjid // amung kang para Sunan // lan para
Tumenggung // umiring Sultan Bintara // tan winarna marga lampahing baris //
kocapa Majalengka.
Tidak ikut pergi
ke Majapahit // Karena sudah tua dan tidak kuat // hanya memberi restu saja //
agar selamat di perjalanan // Menjalan Shalat Hajat di dalam Masjid // hanya
semua Sunan // dan para Tumenggung // yang mengiringi Sultan Bintara // Tidak
diceritakan perjalannya // Diceritakan tentang Majapahit.
48.
Patih Gajahmada
sampun prapti // saking Giri wus malebeng pura // prapta ngarsane Sang Rajeng
// nembah saha wotsantun // abdi dalem dinuta Gusti // mukul prang Giri Pura //
lumawan prang pupuh // senapatining
ngalaga // bangsa Cina sampun agami Islam // kang nami Secasena.
Patih Gajahmada
telah kembali // dari Kerajaan Giri dan masuk ke dalam keraton // datang
menghadap kepada sang Raja // menyembah dan melaporkan // Hamba diutus Gusti //
menyerang Kerajaan Giri // tejadilah perang besar // senapati perang // dari
bangsa Cina dan sudah beragama Islam // yang bernama Secasena.
49.
Mangsah ngrana
pamuke lir belis // sawadyane tri atus sadaya // sami pacak kawignyane // tuhu
lamun pinunjul // mawi serban mangangge kaji // mangsahe sami mecak //
abdidalem bingung // inggih binedrong sanjata // ting jengkelang kang mati kena
ing mimis // pun Secasena pejah.
Melawan pasukan
perangnya bagaikan setan // bersama pasukannya yang berjumlah 300 orang //
menguasai beladiri tingkat tinggi // nyata memang pasukan elit // memakai
sorban berpakaian kaji // musuhnya telah siap // hamba sampai bingung //
akhirnya digempur senjata // bergelimpanglah yang mati terkena peluru //
sedangkan Secasena gugur.
50
Sakantune kang
gesang angisis // wadya Giri ngili wana arga // tuwin ngambang samudrane //
Sunan Giri lumayu // dateng Benang kawula usir // ngulama Giri Benang // lajeng
numpak prahu // layar ngambang ing lautan // amba kinten lajeng minggat dateng
ngarbi // tan wangsul angajawa.
Yang masih hidup
melarikan diri // pasukan giri melarikan diri meunju hutan dan gunung // Serta
berlayar di samudra // Sunan Giri melarikan diri // menuju Benang saya usir //
Ulama dari Giri dan Benang // semuanya naik kapal // berlayar di lautan // saya
kira melarikan diri menuju Arab // tidak akan kembali ke Jawa.
51.
Sri Narendra
angandika aris // sira Patih paringa uninga // mring si Patah dipun age //
dawuhana karsaningsun // yen ngulama Benang lan Giri // yen ana Nagri Demak //
dicekela gupuh // katur bandan neng ngarseng wang // dosanira santri Benang
ngrusak bumi // tanah ing Kartasana.
Sang Raja pelan
berkata // Hai patih berilah kabar // dengan segera kepada si Patah // atas
perintah saya // jika Ulama Benang dan Giri // jika berada di Demak //
segeralah di tangkap // jadikan tahanan di hadapanku // kesalahan santri Benang
merusak bumi // tanah di Kertasana.
52.
Dosanira Ngulama
ing Giri // nora arsa seba marang ingwang // sedya reraton karepe // Patih
sandika mundur // sapraptane ing pancaniti // lajeng minta parentah // gandek
kang den utus // mundi nawala Narendra // marang Demak kasaru caraka prapti //
saking Pati Bupatya.
Kesalahan Ulama giri
// tidak mau menghadap kepada ku // ingin mendirikan kerajaan sendiri // Patih
menjalankan perintah Raja // sesampainya di Pancaniti // segera memerintahkan //
Gandek yang di utus // Membawa surat raja // ke Demak belum sampai berangkat
datanglah utusan // dari Bupati Kabupaten Pati.
53.
Caos serat katur
mring Ki Patih // gya tinampan binuka winaca // kang ponang serat ungele //
sembah sumungkem ulun // Menak Tunjung ing Nagri Pati // katur Ki lurah Patya
// kawula tur unjuk // samangkya Dipati Demak // Babah Patah sampun madeg
Narapati // wonten ing Nagri Demak.
Menyampaikan
surat kepada sang Patih // Segera di buka dan dibaca .// isi surat yang
berbunyi // Hamba sembah sungkem hamba // Menak Tunjung di Negeri Pati //
Teruntuk Sang Patih // Hamba menyampaikan kabar // Sekarang Adipati Demak //
Babah Patah telah dinobatkan menjadi Raja // Di keraton Demak.
54.
Sunan Benang
kelawan Giri // ingkang dadya pangajenging karsa // angebang-ebang kalihe / ing
ngadegaken Ratu // mengsah Nata miwah Sudarmi // samangkya babah Patah // awrat
gurunipun // angentengaken Sudarmi // wus ing ngestren madegira Narapati //
amengku Tanah Jawa.
Sunan Benang di
Giri // yang menjadi pemuka segala rencana // Keduanya yang menghasul // Raden
Patah di nobatkan sebagai Raja // melawan raja dan ayah sendiri // sekarang
Babah Patah // lebih berat kepada gurunya // menganggap ringan orang tuanya
sendiri // Sudah ing ngestren diangkatnya menjadi Raja // Menguasai seluruh
Tanah Jawa.
55.
Ingkang ngangkat
Bupati pasisir // sawadyane kang Islam sadaya // ingkang ngidini ngadege //
para Sunan sadarum // saha bala samya ngideni // mangrurah Majalengka // de
jejulukipun // Senapati Jimbuningrat // kang penuji kan den embun wong sabumi
// samangkya sampun budal.
Yang mendukung
semua Bupati pesisir // beserta pasukannya yang semuanya sudah beragama Islam
// Yang mengijini berdirinya // Semua Sunan // dan juga wadya bala mengijini //
akan menyerang Majapahit // dengan berjuluk // Senopati Jimbuningrat // yang
dihormati yang disuyudi manusia seluruh bumi // sekarang sudah berangkat.
56.
Mukul ing prang
Nagri Majapahit // saha wadya sakapraboning prang // keh tri leksa prajurite //
menggah ing kunjukipun // ngarsa dalem Sri Narapati // sumangga Lurah Patya //
titi suratipun // Pati tanggal kaping tiga // Wulan Mulud warsa awaling Jimakir
// sewu tri atus astha. (3 Mulud 1308 H. Pen).
Untuk menyerang
kerajaan Majapahit // dan juga pasukan beserta peralatan perangnya // sebanyak
tigapuluh ribu prajurit // untuk disampaikan kepada // Sang Maha Raja //
Silahkan saya serahkan kepada Ki Patih // tanggal surat // Pati tanggal tiga //
bulan Mulud Tahun awal Jimakir // seribu tiga ratus delapan..
57.
Mangsa Sanga
Prangbakat wukuning // Kyana Patih wusnya maos serat // Jetung gereng kerot //
tumengeng tawang nebut // Hyang Bathara Dewa kang luwih // langkung gawok tyas
ingwang // wong Islam sadarum // datan becik kandutannya // Agamane nakal alame
basiwit // tan nglingi ing wuntat.
Pranata mangsa ke
Sanga Wuku : Prangbakat // Setelah sang Patih membaca surat // termangu menahan
marah // menengadah ke langit menyebut // Hyang Bathara Dewa yang Maha Luwih //
hamba tidak habis pikir // seluruh orang Islam // tidak baik pikirannya //
Agamanya nakal jiwanya jahat // tidak ingat belakang harinya.
iv.
PANGKUR
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Kyai Patih
wangsul mring Pura // prapteng ngarsa
manembah matur aris // duh Pukulun
Maha Prabu // amba atur uninga // putra dalem ing Demak samangkya sampun
// madeg Nata wonten Demak // Jejulukira Narpati.
Ki Pati kembali
ke keraton // setelah menghadap sang Raja pelan berkata // Wahai Maha Prabu //
Hamba menyampaikan berita // Putra paduka di Demak sekarang telah // menobatkan
diri menjadi Raja di Demak.
2.
Senapati
Djimbuningrat // para Sunan ingkang ngangkat
ngideni // miwah Bupati sadarum // pasisir kang wus Islam // putra Tuan
samangke wus budhal nglurug // nggecak Nagri Majalengka // akarya buwana balik.
Berjuluk Senapati
Jimbuningrat // Para Sunan yang menganggkat dan yang merestui // dan juga
seluruh Bupati // pesisir yang telah beragama Islam // Putra tuan sekarang
telah berangkat menyerang // menyerang Majapahit // akan dijadikan hancur
lebur.
3.
Kagyat Sang Nata
miyarsa // getun ngungun dangu datanpa angling // njegereg gereng-gereng mangu
// kagagas ing wardaya // ingkang Putra lan para Wali sadarum // kolu ngrusak
Majalengka // sakarepe den turut.
Terperanjatlah
sang Nata setelah mendengarnya // menyesal diam tidak bergerak // diam membisu
marah melamun // dinalar secara akal // anaknya dan seluruh para Wali // tega
menghancurkan Majapahit // padahal segala keinginan Wali dipenuhi.
4.
Ing ngiden
pinaring pangkat // dene mangke karya buwana balik // rinuruh datan kapangguh
// den nalar-nalar wudar // lahir batin tan ana ingkang tinemu // ingkang dadi
sababira // kang Putra lan pra Ngulami.
Dijinkan dan
diberi pangkat // akan tetapi sekarang akan menghancurkan // dipikir tidak
masuk akal // di nalar malah tidak masuk akal // dengan cara lahir dan cara
batin tidak nyambung // yang menjadi penyebabnya // anaknya dan para Ulama.
5.
Teka arsa ngrusak
pura // sungkawanya Ratu gung kang linuwih //sinemonan ing Dewa Gung // tyase
kumbang mahesa // dipun mangsa tumane kinjir sadarum // wasana alon ngandika //
Maha Prabu Majapahit.
Tiba-tiba akan
menghancurkan keraton // Kesedihan Raja besar // diibaratkan oleh Dewa Agung //
Pikirannya Kumbang Mahesa // dimakan kutu kinjir seluruhnya // kemudian pelan
berkata // Maha Raja Majapahit.
6.
Patih apa
sababira // ya si Patah lan sagung pra Dipati // arsa ngrusak Majalangu // tan
tolih kabecikan // Patih Gajahmada manembah umatur // cupet pepet tyas kawula
// tan saged umatur Gusti.
Patih apakah
sebabnya // Si Patah dan seluruh Bupati // akan menyerang Majapahit // Tidak
melihat kebaikan // Sambil menyenbah Gajahmada berkata // hamba tidak bisa berpikir // tidak bisa
bicara wahai tuan raja.
7.
Dene tebih saking
nalar // den saeni walese datan becik // cidra lan sebutan buku // pikukuhe
wong Jawa // tiyang Jawi ingkang ngerti agal alus // wajibe yen binecikan //
sayektine males becik.
Sangat jauh dari
nalar // diberi kebaikan membalas dengan
tidak baik // tidak sama dengan apa yang terkandung dalam Kitab // orang jawa
yang memahami yang kasar dan yang halus // seharusnya jika diberi kebaikan // akan membalas dengan kebaikan.
8.
Amung lagya tiyang
Islam // sinaenan teka ambalang tai // tetep lawan sebutipun // anebut nama
Allah, ila-ila tiyang Islam batosipun putihe jaba kewala // nanging jeronipun
kuning.
Akan tetapi orang
Islam (saat itu) // diberi kebaikan malah dibalas dengan melempar kotoran
manusia // tetap tidak sesuai dengan ucapannya // Menyebut Asma Allah // Tiada
Tuhan selain Allah // orang Islam (saat itu ) sesungguhnya hanya putih di luar
saja // akan tetapi dalamnya kuning.
9.
Beda
sebute tyang Buda // nebut Jagad Dewa Gung kang linuwih // Jagat iku raganipun // Dewa Budi lan Hawa // kang sinebut
raga budi karepipun // ngluhurken Namaning Hedzat // iku Puji kang Prayogi.
Beda dengan dengan
sebutan orang Buda // menyebut Jagad Dewa Gung Kang Linuwih // Jagat itu adalah
raganya // Dewa itu Budi dan Hawa Nafsu // yang disebut raga budi maksudnya //
mensucikan asmaning Dzat // itu puji yang sangat baik.
10.
Anebut
Nabi Muhammad // Rasulullah panunggul para Nabi // Mochamad makaman kubur //
kubur rasa kang salah // milanipun bengak-bengok enjing surup // nekem weteng
calumikan // jungkar – jungkir ngambung bumi.
Menyebut
Nabi Muhammad // Rasulullah pemimpin para Nabi // Muhammad makaman kubur //
mengubur rasa yang salah // makannya teriak-teriak pagi dan senja // menekan
perut berkecumik // berjungkir-jungkir mencium tanah.
11.
Sakehing
pangan winada // trancam cacing pecel kucing sinirik // dendeng kethek opor
lutung // botoke ula sawa // soto sare pindang kirik pindang asu // bekakak
babi andapan // gorengan kodok lan cindil.
Banyak
jenis makanan yang dihindari // trancam cacing pecel kucing dihindari //
dendeng kethek opor lutung // botok ular sawah // soto rase pindang kirik
pindang anjing // bekakak babi anakan // gorengan kodok dan anak tikus.
12.
Gecok mentah lintah mentah // becek sona
cemeng ingkang kebiri // kare kuwuk bistik gembluk // niku nami kang kharam //
langkung sengit kalamun ningali Asu //
amba kinten terusing tyas // batine resik paceran.
Gecok mentah lintah mentah // becek anjing
hitam yang dikebiri // kare kuwuk bistik gembluk // itu semua makanan haram //
begitu bencinya jika melihat anjing // saya kira sampai ke dalam hati //
hatinya lebih bersih dibanding selokan.
13,
Ing wus ngadel kawula // marang Santri dennya
sengit kepati // tan arsa anggepok asu // ulame den kharamena // mung wadose
den karsakna saben dalu // kinalalken tanpa pisah // mila ulame sinirik.
Hanya mempercayai ucapan // kepada santri
sangat membencinya // tidak mau tersentuh anjing // dagingnya di haramkan //
hanya kemaluannya di gunakan tiap malam (digunakan untuk obat kuat dengan cara
dibungkus dan diikatkan di badan) // dihalalkan tidak pernah berpisah //
makanya dagingnya di hindari.
14.
Gumujeng guguk Sang Nata // ya mangkono
kojahe yayi Dewi // Putri Cempa marang ingsun // Mula celeng lan sona // karo
iki kinaramken iwakipun // Asu nesu asalira // Celeng Iku colong
maling.
Tertawa keras sang Raja // seperti itulah apa
yang disampaikan sang Dewi // Putri Cempa kepada saya // makanya babi hutan dan
anjing // keduanya di haramkan dagingnya // Asu (anjing) nesu (marah ) asala
mulanya // Celeng (babi hutan ) itu Colong maling (mencuri).
15.
Ngandika Sri Brawijaya // wruhanira Patih
prakara iki // sun dewe kang maha luput // gegamang mring Agama // kang wus
kaggo luluhur turun tumurun // kagiwang ing aturira // Yayi Dewi Dwarawati.
Berkatalah Raja Brawijaya // ketahuilah wahai
Patih masalah ini // saya sendiri yang sangat salah // meremehkan terhadap
Agama // yang telah dianut oleh leluhur sejak jaman dahulu // terbujuk oleh
penyampaian // Dewi Dwarawati. (Permaisuri).
16.
Yen iwakira pinangan // marang janma tekate
nenulari // demen colong sugih nesu // kaya celeng lan sona //
Patih Gajahmada manembah umatur // dene gelare prayoga // jebul batine
penyakit.
Jika dagingnya di makan // oleh manusia akan
tertular // Suka mencuri dan mudah marah // bagaikan Babi hutan dan anjing //
Patih Gajahmada sambil menyembah berkata // Tata lahirnya sangat bagus // akan
tetapi tata batinnya penyakit.
17.
Yen Agama Rasulullah // suci mulya tinimbang
lan liyaning // dadya tyasingsun kalulun // kagiwang aturing dyah // sun ideni
para Ngulama sadarum // mencarken Agama Islam // Ing Jawa urut pasisir.
Jika Agama Rasulullah // Suci mulia dibanding
dengan Agama lainnya // itu yang menjadikan saya termakan kata // terbujuk
rayuan sang putri // makanya saya ijinkan semua para Ulama // menyebarkan Agama
islam // di Tanah Jawa di seluruh bagian pesisir.
18.
Sasenengira wong Jawa // manjing Islam manira
datang menging // dene iku tukulipun // teka nasar belasar // nora ana kabecikan
kang tinemu // ilang tataning manungsa // den beciki angalani.
Terserah sekehendak hati orang Jawa // jika
ingin memeluk Agama Islam saya tidak melarangnya // sedangkan sekarang
tumbuhnya // menjadi sesat dan salah // tidak ada kebaikan yang ditemukan //
hilang tata aturan manusia // diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
19.
Rata-rata awonira // ora ana siji kang akhli
Budi // iku gawoke tyasingsun // mung manis rembag ngarsa // ing batine
angandut watu sagenuk // kinarya ambandem sirah // jwa nganti mindo gaweni.
Rata-rata jelek semua // tidak ada satupun
yang ahli Hakikat // itulah heran saya // hanya manis kata di depan // dalam
batin menyimpan batu sebesar tempat menyimpan beras (jaman dahulu) . digunakan
untuk melempar kepala // sehingga jangan sampai dua kali kerja.
20.
Djanma Islam watakira // kaya tikus praptane
dingkik dingkik // jaluk pangan urip
lemu // ingsun umbar angrebda ngentekake pariku salumbung bandung //
ingsun dewe tan keduman // mati wareg tampa tai.
Orang Islam wataknya // seperti tikus datang
mengintip-intip // minta makan hidup gemuk // saya biarkan kemudian menyebar
menghabiskan padiku sebanyak lumbung bandung // saya sendiri tidak kebagian //
mati kenyang makan kotoran manusia.
21.
Warege mung wareg susah // tanpa lari beras
pariku enting // telas den mangsa ing tikus // tekate luwih sasar // Puji Dzikir kinarya ngijir
pakewuh // shalat kinarya laladan // tuladan panggawe sisip.
Kenyangnya hanya kenyang kesusahan // tanpa
tahu ke mana beras padi ku habis // habis dimakan tikus // cita-citanya lebih
sesat // Puji Dzikir hanya menghitung kesulitan // Shalat hanya sebagai tutup
// memberi contoh perbuatan yang salah.
22.
Manganggo seta lir setan // putih jaba ing
jero abang langking // sun suwun maring Dewa Gung // Sajroning kasusahan //
tinarima dening Dewa kang linangkung // kuwalik ing imanira // manjalma wong
kucir benjing.
Berpakaian putih seperti setan // putih
luarnya dalamnya Merah menyala // saya berdoa kepada Dewa agung // dalam
kesusahan // dikabulkan oleh Dewa yang maha luwih // terbaliklah imanmu //
berubah menjadi orang berkuncung dimasa yang akan datang.
23.
Dene tan wruh kabecikan // sun beciki welase
angalani // sabdanira Ratu agung sajroning kasusahan // tinarima dening Dewa
kang linangkung // sineksenan ing bawana // pratanda jumeglug muni.
Karena tidak mengetahui kebaikan // saya beri
kebaikan di balas dengan kejahatan // sabda sang Ratu Agung dalam kesusahan //
dikabulkan oleh Dewa yang maha lebih // disaksikan alam dunia // ditandai suara
menggelegar terdengar.
24.
Geter dedet herawatya // hawit iku kuntul ana
kang kuncir // Sunan Ngulama sadarum // ngrangkep nama walikan // pratandaning
katrima panyuwunipun // Maha Prabu Brawijaya // marang Dewa kang linuwih.
Bergolak gelap gulita di angkasa // sejak
itulah burung bangau ada yang berkuncir // Semua Sunan dan Ulama // merangkap
nama terbalik // tanda diterima permohonannya // Maha Prabu Brawijaya // oleh
sang Maha Dewa.
25.
Katelah prapta samangkya // para Sunan
Ngulama Para wali // kuntul kucir githokipun // ngandika Sri Narendra // heh ta
Patih paran kang dadi rembugmu // prakara praptaning mengsah
// Santri ingkang ngrebut nagri.
Dikenal sampai sekarang // para Sunan Ulama
dan para Wali // seperti burung bangau berkuncir di belakang kepalanya // berkatalah
sang Raja // wahai Patih apa yang saran yang bisa kau berikan // untuk
menghadapi kedatangan musuh // pasukan santri yang akan merebut negara.
26.
Apa linawan ing ngaprang // apa ora Patih
matur wotsari // duh Pukulun Maha Prabu // sahajangira ajang // sinegahan ing ngaprang sawontenipun // Sang Prabu aris
ngandika // heh kawruhana Patih.
Apakah dilawan dengan perang // apa tidak.
Patih berkata pelan // Wahai sang Prabu // karena tidak ada persiapan perang //
hadapi dengan perang seadanya // sang Prabu sopan berkata // wahai patih
ketahuilah.
27.
Abot sanggane si Patah // pra Bupati pasisir
eka kapti // wus nunggal Agamanipun // sawadyabalanira / lah wawasen
senapatining prang pupuh // Dipati
Terung Nagara // timbangmu abot mring ngendi.
Berat tanggung jawab si Patah // Semua Bupati
pesisir mendukungnya // telah memeluk agama yang sama // beserta seluruh
pasukannya // dan coba dinalar sebagai senopati perang besar // Adipati Terung
// menurutmu berat ke mana.
28.
Si Patah kalawan ingwang // Patih Gajahmada
umatur aris // panimbang amba Pukulun // awrat mring padukendra // ingkang
ngangkat sing ngandap prapta ngaluhur // jinunjung dadya manggala // ing Terung
nama Dipati.
Antara si Patah dibanding saya // Patih
Gajahmada sopan berkata // menurut hamba lebih berat kepada paduka raja // yang
telah menganggkat dari orang biasa menjadi terhormat // dinobatkana menjadi
pemuka / di terung dengan Jabatan Bupati.
29.
Sri Narenddra angandika // kiraningsun Dipati
Terung balik // ngentengaken marang ingsun // abot sadulur tuwa // kapindone
wus nunggal agamanipun // tunggal tanah kelahiran // mulane sun kira balik.
Sang raja berkata // menurut perkiraan saya
Adipati Terung berbalik // meninggalkan saya // lebih berat terhadap saudara
tua // keduanya sudah satu agama // satu tanah kelahirannya // makanya
menurutku di akan berbalik.
30.
Getun ngungun ing tyasing wang // de si Patah
balik dadi Narpati // dijaluka krana alus // Nagara Tanah Jawa / sun paringaken
lamun becik tembungipun // umuringsun kari pira // mung kamuksan sun ulari.
Menyesal termangu pikiran ku // Si Patah
berbalik ingin Menjadi Raja // diminta secara halus // Negara Tanah Jawa //
akan ku berikan jika dengan kata kata yang baik // umurku tinggal berapa hari
lagi // hanya Muksa yang ku cari.
31.
Teka pinikul ing ngaprang // tinggal tata
adate bangsa iki // tan ana panantangipun // anganggo adat kewan //nora nganggo
pratingkah bener lan luput // mungsuh Bapa kanpindo Raja // ping tiga agawe
becik.
Mengapa harus dengan jalan perang // meninggalkan
tatacara adat berperang // tidak ada tantangan perang // menggunkan cara
kelakuan hewan // tidak menggunakan cara yang benar dan juga salahnya // Berani
memusuhi ayahnya sendiri yang kedua Raja // yang ke tiga memberi kebaikan.
32.
Yen ingsun lawan ing prang // ingsun wirang
ginuyu bumi langit // Bapa mungsuh lawan Sunu // sinurak mring Jawata // tan
rumangsa wong tuwa wus ciklu bengkuk // sun tandingne para muda // sun arsa
lolos mring Bali.
Jika saya lawan dengan perang // saya malu di
tertawakan bumi langit // Ayah melawan anak // Disoraki oleh Dewa // tidak
merasa orang tua yang sudah bungkuk // saya lawankan dengan yang masih muda //
saya pribadi akan meloloskan diri menuju ke Bali.
33.
Hing wuri mangsa bodoa // suguhana ing
ngaprang sawatawis // aja angrusak wadya Agung // lan sira timbalana //
putraningsun Dipati Pengging den gupuh // lan Dipati Panaraga // sakapraboning
ngajurit.
Di belakang terserah lah // hadapilah pereng
sekedarnya // jangan merusak para petinggi // dan sekarang panggilah // Adipati
Pengging segera // dan juga Adipati Ponorogo // lengkap dengan pasukannya.
34.
Yen Manira nimbalana // mring sagunging wadya
ing manca nagri // kasusu praptaning mungsuh // wadya Demak wus celak //
mungsuh Santri sayekti perange rusuh // atinggal tataning ngaprang // santri
kendil ngrayah asil.
Jika saya meminta bantuan // pasukan dari
manca negara // akan kedahuluan musuh // pasukan Demak sudah dekat // musuh
dengan santri sudah pasti perangngnya ngawur // meninggalkan aturan perang //
santri kendil hanya memburu hasil.
35.
Manira iki wus tuwa // nora kelar jenengi ing
ngajurit // perak marang surut Ingsun // adoh marang ngayuda // ngendelaken si
Gugur pan maksih timur // lagya eca ginem rasa // kasaru gegering jawi.
Saya ini sudah tua // tidak kuat menjadi
prajurit // sudah dekat dengan umur saya // jauh dari kekutan untuk perang //
mengandalkan si Guru yang masih muda // sedang enak-enaknya berbicara //
datanglah geger di luar.
36.
Wong Demak angepung pura // para Sunan samya
mangsah ngawaki // gugup tyasira Sang Prabu // lolos saking djro pura // Sabda
Palon Naya Genggong atut pungkur // Kyana Patih Gajahmada // bramantya umangsah
jurit.
Pasukan Demak mengepung keraton // para Sunan
turun tangan sendiri // teperanjat hati sang Raja // melarikan diri dari dalam
keraton // Sabdapalon Naya Genggong mengikuti dari belakang // Sang Patih Gajah
mada // keluar menyerang.
37.
Astha Bupati Nayaka // jaga Praja pra mantri
magersari // kang samya sumiweng Prabu // pra putra punakawan // samya gugup
sareng nyandak sampluk ngamuk // angsahe lir singa lodra // sadaya wus ambeg
pati.
Semua pimpinan pasukan // yang bertugas
menjaga keraton mantri magersari // yang mengabdi kepada raja // para putra
pembantu // terperanjat mengambil tombak
menyerang // tingkahnya bagaikan singa marah // semuanya telah siap mati.
38.
Tri leksa wadya ing Demak // tigang ewu wadya
ign Majapahit // sareng campuh ing prang pupuh // bedil muni sapisan // campuh
ruket tumbak akalian sangkuh // pedang lameng lan kalewang // arangsang rinangsang keris.
Tigapuluh ribu pasukan Demak // Tigaribu
pasukan Majapahit // campur perang menjadi satu // senapan berbunyi sekali //
perang dekat tumbak dan sangkur // pedang tameng dan kelewang // serang
menyerang dengan keris.
39.
Wong Majalengka lir parang // kadya alun
wadya Demak nagari // kang tinempuh kukuh bakuh // wadya Demak anunjang //
tumpek ngarsa ing wuri prapta gumulung // pra Wali miwah Ngulama // sumedya
mati prang sabil.
Orang Majapahit bagaikan parang // seperti
ombak pasukan Demak // yang diserang sama kuatnya // pasukan Demak menerjang //
mengepung dari muka dan belakang datang bergelombang // para Wali dan “Ulama //
berniat mati dalam perang sabil
40.
Surake kadya ampuhan // para mukmin tan
kendat Puji Dzikir // La ila ha illallahu // Muhammad Ralullah // La kaolla
kuwata saking Hyang Agung // djayaha wadya ing Demak // apese wong Majapahit.
Soraknya sangat bergemuruh // para mukmin
tiada putus ber dzikir // la ila ha illa Allah // Muhammad rasul Allah / la
khaula wa la kuwwata dari Tuhan yang Maha Agung // Jayalah pasukan Demak //
celakalah pasukan Majapahit.
41.
Para Sunan lan para Bupatya // samya mangsah
ngawaki ing ngajurit // guru santri para kaum
// wong Majalengka tadah // pra Bupati sadaya angamuk punggung // kang
tinempuh tetumpesan // kang wuri anunjang wani
Para Sunan dan Buati // semua menyerang
mendahului para prajurit // Guru santri dan ulama // pasukan Majapahit menghadapinya // semua Bupati semuanya
mengamuk menyerang // yang diserang semuanya mati // yang di belakang menyerang
balik.
42.
Wantune karoban lawan // wong tri ewu
tumpesan ing ngajurit // amung kari lejeripun // Patih lan pra Bupatya //
ngamuk liwung kang katrajang bubar mawut // binedrong saking mandrawa // astha
bupati ngemasi.
Karena lawan tidak sebanding // tiga ribu
pasukan Majapahit tumpes // hanya
tinggal pemimpinnya saja // Patih dan Bupati // menyerang dengan tanpa
perhitungan // yang diterjang bubar berpencar // diserang dari belakang //
delapan Bupati meninggal dunia.
43.
Rahaden Lembupangarsa // putra Nata angamuk
mobat mabit // tinadahan Sunan Kudus // rame
watang winatang // dangu-dangu Rahaden winatang glampus // Gajahmada
mengsah yudha // ngamuk anglir banteng kanin.
Raden Lembupeteng // Putra raja mengamuk
berputar-putar // dihadapi oleh Sunan Kudus // rame saling serang // lama-lama
raden lembupeteng di lempar tombak hingga meninggal dunia // Gajahmada
menyerang // mengamuk bagaikan bantheng yang terluka.
44.
Kyai Patih lir tugu waja // datan pasah tapak
tilasing kikir // tanapi tapaking palu // myang sisaning gurenda // teguh
timbul kuat kengkeng otot lunyu // tan ana braja tumama // kang katrajang bubar
ngisis.
Sang Patih bagaikan tugu baja // Tidak mempan
segala senjata tajam // // // memakai ajian teguh timbul hingga sangat kuat dan
ototnya licin // tidak ada keris yang bisa melukai // yang di terjang bubar
melarikan diri.
45.
Angamuk lir liman meta // kang katrajang
lebur atumpes tapis // wangkenya matumpuk undung // siniwi wuri kanan // kanan
kering kang tinempuh bubar mawut // kang pejah tadah gelasah // pinedang dening
ki Patih.
Mengamuk bagaikan gajah meta // yang
terlewati semuanya mati // bangkainya bertumpuk tumpuk // dkepung dari belang dan
dari kanan // kanan kiri yang di terjang bubar menyelamatkan diri // yang
meninggal berserakan // terkena pedang sang Patih Gajahmada.
46.
Binedong saking tebihan // kadi grimis tibane
ponang mimis // kadya udan tibeng watu // tan ana kang tumama // Sunan Ngudung
nulya mangsah ngembat lawung // lumarah tumbak tan pasah // Kyana Patih males
haglis.
Dilempar tombak dari jauh // bagaikan gerimis
jatuhnya tombak // bagaikan hujan yang jatuh di batu // tidak ada melukainya //
sunan Ngudung maju menghadapinya // di lempar tombak tidak mempan // Sang patih
segera membalasnya.
47.
Hanggoco lawan curiga // Jaja butul Sunan
Ngudung Ngemasi // ing ngabyukan wadya agung // sapira kuatira // wong sajuga
Ki Gajahmada wus lampus // kuwandanya hilang musnah // nulya na swara kapyarsi.
Ditusuk menggunakan keris // Dada tembus
Sunan Ngudung tewas // Kemudian dikeroyok oleh pasukan dengan jumlah yang
sangat banyak // seberapa kekuatannya // hanya seorang diri dan akhirnya ki
Gajahmada tewas // dan hilang bersama dengan raganya // kemudian terdengar
suara.
48.
He eling-eling wong Islam // den beciki
satemah angalani // ngrebat Praja mamrih lampus // sun wales sira benjang // ingsun ajar weruh nalar bener
luput // sun damoni gitokira // rambutmu sun cukur bersih.
Hai .. ingat-ingat orang Islam // diberi
kebaikan mebalas kejahatan // merebut kerajaan agar mati // akan kubalas engkau
besok // ingsun ajari agar tau antara yang benar dan salah // akan ku tiap
tengkuk mu // rambutmu akan ku cukur habis.
49.
Pra Sunan manjing jro pura // angulati Sang
Nata tan pinanggih // jroning pura amung kantun // Ratumas Dwarawatya // ing
ngaturan mring Benang sumingkir sampun // wadya lit manjing jro pura /
anjejarah ngrayah gusis.
Para Sunan masuk ke dalam keraton // mencari
Sang Raja tidak menemukannya // di dalam keraton hanya tertinggal // Permaisuri
Ratu mas Dwarawati // kemudian di ajak pergi ke Benang berangkat sudah // para prajurit masuk ke
dalam keraton // Menjarah semuanya yang ada sampai habis.
50.
Wadya lit tan ana lawan // Raden Gugur lolos
tan bekta dasih // Dipati Terung gya rawuh // byantu ngrayah jro pura //
Buku-buku betuwah Budha tinunu // tan ana kari satunggal // pikukuh Agama Budi.
Prajurit sudah tidak menemukan musuh lagi //
Raden Gugur lolos tidak membawa pembantu // Adipati Terung segera datang //
Membantu menjarah ke dalam keraton // Buku-buku ajaran Buda dibakar // tidak
satupun tertinggal // Aturan Agama Buda.
51.
Wong cilik bubar sumebar // beteng bangsal
Terung ingkang jageni // wong Islam Prajurit Terung // prentahe sang Dipatya //
yen wong Buda ngungsi beteng kinen nglampus // wong Buda ngungsi wana arga //
kang teluk kumpul jro puri.
Rakyat jelata bubar melarikan diri // beteng
bangsal pasukan Terung yang menjaganya // Orang Islam Prajurit Terung //
Diperintah oleh Adipatinya // jika orang buda mengungsi dan lewat beteng disuruh membunuhnya // Orang buda melarikan
diri ke dalam hutan dan gunung // yang menyerahkan diri berkumpul di dalam
keraton.
52.
Layone para nayaka Buda Islam kinumpulaken
sami // sadaya sami kinubur // sakidul wetan Pura // winastanan
ing Trilaya kuburipun // kubure para putra palastra // Rahadyan
Lembupangarsi.
Jenazah para prajurit Buda dan Islam
dikumpulkan semua // semuanya dikubur // di sebelah tenggara keraton //
kuburannya di beri nama TRILAYA (sekarang lebih dikenal Makam Taralaya ) //
Makam dari Putra raja yang meninggal // Raden Lembupeteng.
53.
Wong Buda kang teluk ing prang // pan sadaya
ing Ngislamaken sami // sigra kinen nebut // Muhammad Rasulullah // marang
Asmanira Allah ingkang Agung // lan kinen maca Shahadat // sawusira tigang ari.
Orang Buda yang menyerahkan diri // semuanya
di Islamkan semua // disuruh menyebut Muhammad rasulullah // dan juga Nama
Allah Yang Maha Agunng // dan disuruh membaca Shahadat // setelah tiga hari.
54.
Sigra budal Sultn Demak // marang Ngampel
anyare tigang ari // ingkang pinatah ing pungkur // baris neng Majalengka //
Kyana Patih Mangkurat Bupati Terung // jagani pakewuhing prang // yen ana wadya
ambalik.
Berangkatlah Sultan Demak // menuju ke Ampel
menginap tiga hari // yang di tinggal di belakang // baris di Majapahit // Sang
Patih Amangkurat Bupati terung // Menjaga ancaman perang // Jika ada prajurit yang
menyerang balik.
55.
Senapatining ngayuda // Sunan Kudus neng
beteng dennya baris // dadya wakile Sang Prabu // Nganthi wadya Ngulama //
tigang atus Shalat Kajat saben dalu // yen siang anderes Qur’an // terbangan
dzikiran tahlil.
Senopati perang // Sunan Kudus berjaga di
beteng // dan Menjadi wakil Sang Raja // membawahi para Ulama // tigaratus
orang jumlahnya Shalat khajat tiap malam // jika siang membaca Al-Qur’an // terbangan
Dzikir dan tahlil.
56.
Wadya saparo binekta // marang Ngampel pra
Sunan Bupati // samya umiring Sang Prabu // prapta ing Ngampeldenta // Cinarita
Jeng Sunan Ngampel wus surut // amung
kantun ingkang garwa // putri asal saking Tubin.
Separuh pasukan di bawa // menuju Ampel dan
juga para Sunan dan Bupati // semuanya mengiring Sang Raja // sampailah di
Ampel Denta // Dikisahkan Sunan Ampel telah meninggal dunia // hanya tingggal
sang Isteri // Putri dari Tuban.
57.
Putrane Sang Arya Teja // kang kagarwa Jeng
Sunan Ngampelgading // sasedanira Sang wiku // Nyi Ageng nglestantuna // aneng
Ngampel pan maksih sinepuh-sepuh // mring wadya ing Surabaya // Jeng Sultan
mangsah ngabekti.
Putri dari Arya Teja // yang dinikahi oleh
Sunan Ampel Gading // Sepeninggal sang Wali // Nyi Ageng melesatarikan // di
Ampel karena masih dianggap sesepuh // oleh masyarakat Surabaya // Jeng Sultan
menghaturkan sembah.
58.
Rinangkul lungayanira // ganti-ganti Pra
Sunan angsung taklim // miwah Bupati sadarum // ganti mangsah tur sembah //
wusnya tata kang wayah tur sembah matur // eyang kawula tur wikan // ing
Majalengka nagari
Dirangkul oleh sang Nyai // bergantian para
Sunan memberi salam // dan juga semua Bupati // bergantian menghaturkan sembah
// setelah semuanya selesai Sang Cucu sambil menyembah menyampaikan // Wahai
eyang hamba menyampaikan kabar // Majapahit negari.
59.
Pan sampun kawula bedah // Kanjeng Rama lolos
saking nagari // kalawan pun Adi Gugur // ical boten kantenan // Patih
Gajahmada lumawan ing pupuh // tinadahan para Sunan // Jeng Sunan ngudung
Ngemasi.
Telah saya hancurkan // Kanjeng rama lolos
dari Keraton // demikia juga Adik- si Gugur // hilang tidak karuan // Patih
Gajahmada melawan perang // dihadapi para Sunan // Sunan Ngudung terbunuh.
60.
Den suduk Ki Gajahmada // Gajahmada inggih
sampun ngemasi // ulun sampun madeg Ratu // amengku Tanah Jawa // Wasta Ulun
inggih Senapati Djimbun // Inggih Panembahan Plembang // ngadaton Demak Nagari.
Di tusuk Ki Gajahmada // Gajahmada juga telah
meninggal dunia // Hamba telah menjadi Raja // menguasai seluruh Tanah Jawa //
Julukan hamba Senapati Djimbun // dan Juga Panembahan Plembang // Kerajaan
berada di Demak.
61.
Sowan kawula punika // ing paduka eyang
anyuwun idi // tetep hulun dados Ratu // mengku rat Tanah Jawa // run tumurun
prapteng putra wayah besuk // sampun wonten aralira // sampung wonten kang
nyelani.
Kedatangan hamba sekarang // Menghadap paduka
eyang mohon restu // untuk tetap menjadi Raja // menguasai seluruh tanah jawa
// sampai dengan turunan dan anak cucu hamba // jangan sampai ada halangan
apapun // jangan sampai ada yang menyelanya.
62.
Nyai Ageng duk miarsa // ingkang wayah
rinangkul den tangisi // ginagas sajroning kalbu // dosa geng tri prakara //
mungsuh Ratu sudarma kang sarta angsung // nugraha kemukten donya // rinusak
tanpa prakawis.
Nyai Ageng ketika mendengar // sang cucu
dipeluk dan di tangisi // di pikir di dalam kalbu // dosa besar tiga macam //
Memusuhi Raja, orang tua yang telah memberi // nugraha kenikmatan dunia //
dirusak tanpa sebab.
63.
Datan enget kabecikan // Sanga Prabu
Brawijaya Narapati // para Ngulama sadarum // ing nguja sakarsanya //
pinaringan siti sapametunipun // wong Jawa kang nedya gantya // Agama tan den wangeni.
Tidak mengingat kebaikannya // Sang Prabu Brawijaya
raja // para ulama semuanya // di dibebaskan semaunya // di beri wilayah
beserta hasil buminya // orang Jawa yang berniat berganti // Agama tidak
dilarangnya.
64.
Ing mangke winales hala // tanpa dosa amung tan arsa ganti // Agama Rasul lolahu //
lolos saking jro pura // tanpa wadya tan karuan dunungipun // seda lawan
sugengira // wusana ngandika raris.
Sekarang dibalas dengan kejahatan // tanpa
dosa hanya karena tidak mau berganti // Agama syariat rasul // melarikan diri
dari dalam keraton // tanpa pengawal dan
tidak diketahui dimana tempatnya // meninggal ataukah hidup // kemudian berkata
pelan.
65.
Putu sun takon ing sira // satemene tutura
kang sayekti // sapa ramamu satuhu // sapa kang ngangkat sira // dadi Ratu haneng Tanah Jawa iku // lan sapa ngideni
sira // apa sabab sira wani.
Wahai cucu,, saya bertanya kepadamu //
berkatalah dengan sejujurnya // siapakah sebenarnya ayahmu // siapakah yang
mengangkat dirimu // menjadi raja di tanah jawa ini // siapakah yang memberi
ijin kepadamu // apakah sebabnya engkau berani.
66.
Wani ngrusak Majalengka // salah apa Sang
Prabu Majapahit // dene sira kamipurun // sikara tanpa dosa // ingkang wayah
alon denira umatur // saking wartine pun biyang // sudarma kawula yekti.
Berani menghancurkan Majapahit // apakah
kesalahan Sang Raja Majapahit // sehingga kau berani // menyerang tanpa dosa //
Sang cucu pelan berkata // Menurut apa yang dikatakan ibu hamba // Ayah saya
sesungguhnya.
67.
Sanga Prabu Majalengka // Brawijaya
jejulukira Haji // ingkang ngangkat dados ratu // amengku Tanah Jawa // Pra
Bupati pasisir sadayanipun // kang nglindungi para Sunan // sawadya sabyantu
kapti.
Sang Raja Majapahit // Brawijaya nama sang
Raja // Yang menobatkan saya menjadi raja // penguasa tanah jawa // para Bupati
pesisir semuanya // yang melindungi seluruh Sunan // beserta seluruh pasukan
sepakat yang membantunya utuk.
68.
Ngrusak Nagri Majalengka // prakawis amung
tan arsa ganti // Agama Rasul lohahu // kawula tan duraka // anyirnaken Sudarma
kang kapir kupur // Buda kawak nganggak-agak // dawuh lir kawung tan eling.
Menghancurkan Majapahit // masalahnya hanya
karena tidak mau berganti // Agama Syariat rasul // hamba tidak durhaka //
memusnahakan ayah yang kafir kufur // Buda tuwa berlagak // memerintah bagaikan
pelangi tidak sadar.
69.
Tan Arsa Agama Islam // duk miarsa Nyai Ageng
sru anjerit // kang wayah rinangkul gapyuk // duh putu wruhanira sira iku
// nemu durakeng Hyang Agung // dosanira
tri prakara // mungsuh Ratu tur Sudarmi.
Tidak mau memeluk Agama Islam // setelah mendengar
jawabanya, Nyai Ageng menjerit keras // Sang cucu dipeluk erat // Wahai cucuku
ketahuilah olehmu // ksesungguhnya kamu akan mendapat kemarahan Tuhan // dosamu
tiga macam // Melawan raja dan juga ayahandamu.
70.
Kang beciki sung nugraha // sira wani ngrusak
tanpa prakawis // anane Islam lan kupur // sapa kang karya Islam amung siji
Pangeran Kang Maha Luhur // tan kena pineksa peksa // diniyat ganti agami.
Yang telah berbuat baik kepadamu dan memberi anugrah // kau berani merusak kerajaanya
tanpa sebab //sedangkan adanya Islam dan kufur // siapakah yang membuat Islam
// hanya satu, yaitu Tuhan Yang Maha Luhur // tidak bisa dipaksa-paksakan //
agar berganti Agama.
71.
Lamun durung karsanira // prapteng pati yekti
dipun andemi // nyungkemi Agamanipun .. yen wus pinaringena // dening Allah tan
susah pinardi iku // wus pasti karsa
priyangga // angrasuk Agama Nabi.
Jika belum kehendak Tuhan // Sampai mati pun
akan di anut // memeluk Agamanya // jika telah mendapat hidayah // dari Allah
tanpa di paksa pun // pasti dengan sendirinya // memeluk Agama Nabi.
72.
Pangeran kang sipat Rahman // nora akon
utawa nora menging // wong salin Agma iku // sasenenge priyangga // nora niksa
wong kapir kang nora luput // tan ganjar marang wong Islam // ingkang tumindak
tan yekti.
Tuhan yang Maha Pengasih // tidak menyuruh
pun tidak melarang // manusia untuk berganti Agama // sesuka hatinya pribadinya masing-masing //
tidak akan menyiksa orang kafir yang tidak bersalah // dan tidak memberi pahala
kepada orang Islam // yang bertindak tidak baik.
73.
Mung bener lan luputira // den hadili lawan
teteping hadil // lalar-lulure hasalmu // hibumu putri Cina // nembah Pik-Kong
wujud gambar reca watu // tan kena sira menginga // mring wong kapir Buda budi.
Hanya benar dan salah dirimu //yang akan
diadili dengan seadil-adilnya // urut-urutlah asalmu // Ibumu putri cina //
menyembah Pik-Kong berupa gambar arca batu // tidak boleh engkau menghalangi //
kepada orang kafir buda budi.
74.
Tanda tekatmu lapisan // tekat santri anganggo
adat katri // mula blero paningalmu // tan weruh leres lepat // amung jare
angaku putra sang Prabu // mulo sira kolu Bapa // angrusak tanpa prakawis.
Bukti bahwa cita-citamu bohong // bertekad
santri mengunakan adat ketiga // maka tertipulah penglihatanmu // tidak melihat
benar dan salah // Hanya sebatas kabar mengaku putra raja // sehingga keu tega
terhadap orang tuamu // berbuat kerusakan tanpa sebab.
75.
Beda tekade wong Jawa // Jawa Jawi mengerti
mata siji // yekti weruh bener luput // kang becik lan kang ala // yekti wedi
mring Bapa kapindo Ratu // beciki angsung nugraha // iku wajib den bekteni.
Jauh berbeda dengan perbuatan orang jawa //
orang yang menggunakan mata hati // pasti paham mana yang benar dan salah
// yang baik dan buruk // pasti hormat
kepada orang tua, yang kedua kepada raja // yang telah berbuat baik memberi
anugerah // itu wajib di junjung tinggi.
76.
Eklase jroning wardaya // nora niyat bekti
marang wong kapir // niyat bekti Bapa Ratu // wus wajibe manusia // bekti Bapa
ing Ratu lan pinisepuh // wong tan bekti Ratu Bapa // urip tanpa mata yekti.
Niatkan dalam dalam hati // tidak berniat
menghormati orang kafir // berniatlah berbakti kepada ayah bunda // sudah
kewajiban tiap manusia // menghormati orang tua, raja dan para sesepuh // orang
yang tidak berbakti kepada raja dan orang tua // hidupnya pasti tanpa mata.
77.
Putu sun misili crita // panjenengan wong
agung Kuparmani // akrama putri Maddayun // putra Prabu Nusirwan // kapir kawak
kumawak dawuk abawuk // pada lawan Ramanira // prandene den Haji-haji.
Wahai cucuku, saya beri contoh cerita //
kisah orang besar dari Kuparmani // menikah dengan putri Mandayun // putri raja
nusriwan // kafir tu jelek sejeleknya // sama dengan orang tuamu // akan tetapi
tetap di hormati.
78.
Tur iku bapa mratuwa // suprandene wong menak
wedi asih // tur sengit mring mantunipun // sabab seje Agama // minta sraya Pra
Ratu kang sampun wudu // kinen nyirnaken wong Menak // wong agung meksa
wedyasih.
Itu pun hanya ayah mertua // akan tetapi
orang menak takut menyayanginya // dan membenci menantunya // sebab beda agama
// minta bantuan raja yang sudah ber wudhu // disuruh membunuh orang Menak // akan
tetapi orang besar tetap mencintainya.
79.
Iku palupi utama // kalakuan kang kanggo wong
linuwih // tan kaya tekatmu putu // Bapa disiya-siya // dupeh kapir Buda kawak
run-tumurun // tan arsa ganti Agama // puniku dudu prakawis.
Itu contoh yang baik // perbuatan dari orang
sakti // tidak seperti perbuatanmu cucuku // orang tua kau sia-sia // karena
Buda tua dari turunan // tidak mau berganti Agama // itu bukan alasan.
80.
Jalaran rusaking praja // apa sira wus
nganggo angaturi // putu marang sudarmamu // kinen salin Agama // Sultan Demak
alon denira umatur // kawula dereng aturan // ngaturi salin Agami.
Sebagai alasan untuk merusak negara // apakah
dirimu sudah menyampaikan ajakan // wahai cucuku kepada orang tuamu // untuk
berganti Agama // Sultan Demak pelan berkata // Hamba belum menyampaikan ajakan
// mengajak untuk berganti Agama.
81.
Nyi Ageng gumujeng duka // luwih luput
tindakira puniki // nadyan para Nabi rumuhun // Ibrahim miwah Musa // tuwin
Nabi Muhammad ingkang sira nut // pada mungsuh wong tuwa // prakara salin
Agami.
Nyi Ageng tertawa marah // lebih salah
tindakanmu itu // meski para Nabi dahulu // Ibrahim dan Musa // dan juga nabi
Muhammad yang kau anut // sama-sama bermusuhan dengan orang tua // disebabkan masalah
ganti Agama.
82.
Naging tan sepen aturan // ginelaran mukjizat
temen Nabi // atas karsaning Hyang Agung // kinen ngrata Agama / tan tinurut
wong tuwa banjur den mungsuh // nadyan mungsuh lan wong tuwa // lahir batine
tan sisip.
Akan tetapai tidak bosan-bosan mengajaknya //
dengan menunjukkan mukjizat sebagai seoang Nabi // atas kehendak Tuhan //
disuruh menyebarkan Agama // hanya karena tidak diturut oleh orang tuanya kemudian dumusuh // sedang memusuhi orang tua
// lahir batin tetap salah.
83.
Balik ingkang kaya sira // kaya ngapa
mukjizatira kaki // yen nyata kalipat-tolahu // wenang nyalini sarak // atas
saking karsaning Hyang Maha Agung // age sira wetokena // nyatane ingsun arsa
wrin.
Kembali pada dirimu // seperti apakah
mukjizatmu // jika benar kholifah Allah
// diperbolehkan mengganti Agama // atas perintah Tuhan yang maha Agung //
segeralah kau keluarkan // perlihatkanlah mukjizatmu aku ingin melihatnya.
84.
Kang wayah alon turira // boten kadah
mukjizat kados Nabi // mung miturut ungeling buku // yen ngislamaken wong kopar
// yekti tampa ganjaran suwarga besuk // Nyi Ageng gumujeng latah // ujar jare
den sungkemi.
Sang cucu pelan berkata // saya tidak
mempunyai mukjizat seperti Nabi // hanya berdasar bunyi kitab // jika
meng-Islamkan orang kafir // pasti mendapat pahala surga besok // Nyai Ageng
tertawa keras // hanya sebatas katanya kau jadikan patokan.
85.
Jare bukune wong Arab // dudu buku pusakane
leluri // mung kesusu minta lemu // sugih daging dagangan // wong ngumbara
tinurut // sakarepipun kang nglakoni
susah rusak // mung raganira pribadi.
Kata buku orang Arab // bukan buku pusaka
leluhur // hanya tergesa ingin gemuk// mempunyai banyak daging dan dagangan //
seorang pengembara kau turut // yang berbuat sekehendaknya sedang yang menerima akibatnya dan menjadi susah dan rusak // hanya ragamu pribadi.
86.
Tanda kawruhira mentah // nora mateng
terus iang lahir batin // kena bujuk
wong busuk // wani Bapa tur Raja // mung kasusu kepengin jumeneng Ratu //
muteringrat Tanah Jawa // Sinome nora pinikir.
Itu bukti ilmumu masih mentah // belum matang
dan belum merasuk dalam lahir dan batin // terkena rayuan orang jahat // berani
kepada orang tua dan raja // karena tidak sabar ingin menjadi Raja // menguasai
seluruh Tanah Jawa // sedangkan akibatnya tidak terpikirkan.
v. S I N O M
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sira Santri
sesantrenan // dudu Santri ahli Budi // dalilmu kitab katatah // ing kawruh
kang gampang rumpil // ngedelken desthar putih // punika putihing kuntul //
cemer memangsanira // putih jaba ing jro abrit // tanpa guna maca Kitab saben
dina.
Kamu santri dari
menyantri // bukan santri ahli hakikat // dalilmu bersumber dari banyak kitab
// ilmu yang mudah dan sulit // mengandalkan kertas putih // itu seperti
putihnya burung Bangau // kotor makanannya // putih di luar di dalam merah //
tak berguna membaca kitab itu tiap hari.
2.
Duk suwargi
mratuanira // sira sowan nyuwun idi // arsa bedah Majalengka // Kyai geng nora
marengi // dhawuhe wanti wanti // aja mungsuh bapa ratu // bareng saiki seda //
dawuhe kok trajang wani // Santri apa wani nerak marang dosa.
Ketika mertuamu
masih hidup // kau datang mohon ijin // akan menghancurkan Majapahit // Kyai
besar tidak mengijinkan // perintahnya wanti-wanti // Jangan memusuhu ayah dan
raja // sekarang setelah ayah mertuamu meninggal dunia // perintahnya kau
langgar // santri apakah berani melanggar perintah mertua menuju dosa.
3.
Sira jaluk idi
mring wang // tetepmu dadi Narpati // mutering Rat Tanah Jawa // ingsun tan
wenang ngideni // bangsa cilik tur estri // tan wenang ngideni Ratu // aran
walik buana // idiku temah mlarati // balik sira wajib paring idi mring wang.
Engkau mohon restu
kepadaku // untuk tetap menjadi raja // menguasai seluruh tanah jawa // saya
tidak berwenang memberi restu // saya ini orang kecil dan wanita // tidak
berwenang memberi restu kepada raja //
itu terbalik namanya // restuku berakibat miskin // justru dirimu yang
seharusnya memberi restu kepadaku.
4.
Karana
Kalipatolah // ing sajroning Tanah Jawi
// sira dewe ingkang tuwa // saucapmu idu geni // kang kaya awak mami // tuwa
tuwas aranipun // metu awan kemulan // metu enjing wedi warih // amung sira
tetep tuwan Nata.
Karena kau khlifah // di tanah jawa //
engkaulah yang paling tua // segala ucapanmu mandi // sedangkan yang seperti
diriku // tua tak berguna sebutannya // keluar siang berselimut // keluar pagi
takut air // hanya engka tetap tuan raja.
5.
Putu sun misili
sira // carita patang prakawis // wong gege kaprabon Nata // ing Kitab Kiyamat
muni // kraton Nagara Mesir // panjenengan Nabi Dawud // putranira kang tuwa //
Habesalam ingkang nami // mungsuh Bapa nggege kaprabon Nata.
Cucuku saya kasih
contoh // empat macam cerita // orang yang merebut tahta raja // di dalam kitab
Kiyamat menyebutkan // kerajaan di Mesir // beliau Nabi Dawud // anak tertuanya
// bernama Habeselam // melawan orang tua merebut tahta.
6.
Jeng Dawud
kengser sing Praja // Habesalam kang gumanti // sawuse antara mangsa // Nabi
Dawud sarta dasih // wangsul amukul Nagri // Sang Habesalam lumayu // gya
ngungsi wana wasa // ginawa bandang turanggi // pan kacangkol tenggaknya neng
lata wreksa.
Nabi Dawud
lengser sebagai raja // Habesalam yang menggantikannya // setelah berapa waktu
// Nabi Dawud beserta rakyatnya // pulang menyerang kembali // Sang Habesalam
lari // mengungsi ke dalam hutan // dan dia dirbawa lari oleh kudanya //
kemudian tenggorokannya tertancap di batang kayu wreksa.
7.
Kudane terus
lumajar // Habesalam iku keri // tenggoke kajiret lata // gumantung lata
ngemasi // iku kukuming Widdi // yen wong wani Bapa Ratu // malih ana carita
ing Tanah Jawa Rumiyin // Ratu Mendang Sang Prabu Dewatacengkar.
Kudanya terus
berlari // Habesalam tertinggal // tenggorokannya terlilit akar hutan //
tergantung lata meninggal dunia // itulah Hukum Tuhan // jika anak durhaka
kepada orang tua // ada cerita lagi di tanah jawa jaman dahulu // Ratu Medang
sang Prabu Dewatacengkar.
8.
Hangege kaprabon
Bapa // Sang Prabu Sindu Haji // kena sabdane kang rama // dadi buta angajrihi
// Santri dahar wong siji // tan lama jenenging Ratu // ana Brahmana prapta //
saking sabrang angajawi // Hajisaka hanggelar kadibyan sulap.
Merebut kerajaan
ayahnya // Sang Raja Sindu haji // terkena kutukan ayahnya // berubah menjadi raksasa
yang menakutkan // santri makan buah satu // tidak lama menjadi raja // Ada
Brahmana yang datang // dari tanah sebrang pergi ke Jawa // Hajisaka
menyebarkan ilmu kesaktian.
9.
Wong Jawa basih
sadaya // mring Dewatacengkar geting // Jisaka den anggep raja // Ratune dipun
perangi // ambyur segara Hindi // salah rupa dadi bajul // mangsa isi samudra
// tan lama nuli ngemasi // mungsuh sarpa jakalinglung wastanira.
Semua orang jawa
sayang padanya // kepada Dewatacengkar benci // Ajisaka dianggap raja // raja
aslinya di perangi // kalah dan menyelam di laut hindi // salah rupa berubah
menjadi buaya // memakan isi lautan // tidak lama kemudian meninggal //karena
kalah bertarung dengan naga Jakalinglung namanya.
10.
Crita nagri
lokapala // nama prabu dana pati // lan Rama Resi Wisrawa // rame prang rebutan
putri //tur Bapa ingkang sisip // prandene meksa kasiku // dinukan mring Jawata
// aja maneh lir sireki // mungsuh bapa sikara tanpa prakara.
Cerita di negara
lokapala // nama rajanya danapati // dan yahanya Resi Wisrawa // berperang
memperebutkan putri // padahal ayahnya yang salah // itu pun masih mendapat
bendu // mendapat murka Tuhan // apalagi hanya dirimu // melawan orang tua
tanpa ada sebabnya.
11.
Sayekti urip
cilaka // patimu malbeng jumani // iku kukuming Pangeran // wong kaya sira iki
// embuh ukuming Widdi // marang sira iku besuk // Sultan Demak miyarsa // Nyai
Ageng denira ngling // analangsa getun kang wus kalampahan.
Pasti celaka
hidupnya // matimu akan masuk neraka // itulah hukuman Tuhan // orang sepertimu
ini // entahlah apa hukuman Tuhan // kepadamu di kelak kemudian hari // Sultan
Demak mendengarnya // semua nasihat Nyai Ageng // bersedih hati dan menyesal
terhadap yang telah terjadi.
12.
Para Sunan lan
pra Bupatya // kang jumurung angrojungi // hadeg mu dadi Narendra // lan bedahe
Majapahit // dosa kedik tur cilik // mung siji murtad ing Ratu // sebab seje
Agama // dosane tan dadi kudis // balik sira dosa gedhe tri prakara.
Semua Sunan dan
Bupati // yang mendukung dan menyetujui // cita-citamu untuk menjadi raja // dan
menyebabkan hancurnya Majapahit // sedikit dosanya dan kecil // hanya satu
dosanya murtad kepada raja // sebab beda agama // dosanya tidak menjadi penyakit
// sedangkan dirimu dosa besar tiga macam.
13.
Hiku Sira tanpa
timbang // gelem bae nglakoni // linebokake loropan // lan sagung para Ngulami
// miwah para Bupati // dene sira tan sumurup // ingkang nemu cilaka // malebu
naraka api // kang nglakoni dosa geng sira priyangga.
Itu tidak kau
perhitungkan // mau-maunya dimasukan // dimasukan kedalam jebakan // oleh semua
para Ulama // dan juga para Bupati // sedangkan engkau tidak mengetahui // yang
menerima celaka // dimasukan ke dalam api neraka // yang melakukan dosa besar
dirimu sendiri.
14.
Tur kelangan Ratu
Bapa // sebutanmu nora becik // rusak tataning manusa // ginuyu hisining bumi
// salawasira wuri // rumaket nama tan barus // katuju menang perang // mungsuh
Bapa kaki-kaki // lah hetungen gunggungen
klupatanira.
Dan juga kamu
kehilangan orang tua raja // julukanmu tidak baik // rusak tata aturan manusia
// ditertawakan isi bumi // selamanya di belakang hari // gandeng dengan
namamu, nama yang tidak baik // karena menang perang // musuh orang tua yang
sudah kakek-kakek // hitunglah semua kesalahanmu.
15.
Nadyan sira
mratobata // maring Pangeran kang luwih // kaya tan oleh ngapura // kakehan
luputmu kaki // dingin mungsuh sudarmi // kapindo murtad ing Ratu // tur
ngrusak kebecikan // apa cacate Sang
Haji // sira rusak prajane tanpa karana.
Walau engkau
bertobat // kepada Tuhan Yang Maha segalanya // sepertinya tidak akan mendapat
pengampunan // terlalu banya dosamu cucuku // yang pertama memusuhi orang tua
// kedua murtad kepada raja // dan
merusak kebaikan // apakah cacat sang raja
// kamu rusak keratonnya tanpa ada penyebabnya.
16.
Dipati ing
Panaraga .. Bathara Katong prajurit //
iku putra Majalengka // Handayaningrat
ing Pengging // hiku mantu Sang Haji // karone prajurit wudu // iku
mangsa trimaha // rusake ing Majapahit // yekti labuh ing Bapa rusaking Praja.
Adipati Ponorogo
–Bathara Katong // itu putra Majapahit // Raja di Pengging // Itu menantu Raja
// keduanya telah Islam // itu tidak akan menerimakan //atas hancurnya
Majapahit // pasti membela ayah dan membela hancurnya keraton.
17.
Iku abot
sangganira // angantep tangkeping jurit // labuh Ratu pindo Bapa // ping telu
ngrebat Nagari // wit timur prapteng making // saben dina ajar pupuh // wus
wignya ngadu bala // aju unduring prajurit // balik sira iku bangsa Ngulama.
Itu berat tanggunganmu
// jika mereka menyerang bersama pasukannya // membela Raja kedua orang tua //
ketiganya merebtu kerajaan // sejak mulai mudanya sampai dewasa // tiap hari belajar perang //
sudah ahli berperang // mengatur pasukannya untuk menyerangan dan bertahan //
sedangkan dirimu itu golongan Ulama.
18.
Kapan gonmu ajar
yuda // mung mangeran Puji Dzikir // lamun bengi shalat kajat // nyilih swarane
Hyang Widdi // Iku yeng diparingi // bisa metu karamatmu // yen datan
pinaringan // jengkinga nganti kepising // tiwas bundas bathukmu tan menang
yuda.
Kapan kau belajar
perang // hanya menuhankan Puji dzikir // malam harinya shalat hajat // meminjam suara Tuhan // itu jika
dikabulkan // bisa keluar kesaktianmu // jika tidak diberi anugerah // walaupun
bersujud sampai mengeluarkan air besar // sampai luka dahimu tidak akan menang
perang.
19.
Ngendelake sugih
Japa // pasa mutih pati geni // amrih mandi tenungira // iku kaki ngapirani //
prakarane wong jurit // ingkang narik asor unggul // hamung carita ngarsa //
kang bener lawan kang sisip // kapindo sugih gaman hatul yuda.
Mengandalkan
banyak mantra // puasa mutih pati geni // agar supaya ampuh santetmu // itu
cucuku.. sangat merugikan // masalah berperang // yang menjadi kalah dan
menang // seperti kisah di depan // yang
benar dan yang salah // dan yang kedua banyak senjata dan ahli berperang.
20.
Timbang
tandingira lawan // akeh kediking prajurit // bener akeh wadyanira // iku kabeh
bangsa santri // mung ajar ngentep kendil // mangsa pecusa prang pupuh // ngendelken
pra Bupatya //pasisir kang Islam sami // Islam anyar adate masih tugelan.
Ukurlah kekuatan
lawan // banyak sedikitnya pasukan //memang benar banyak jumlah pasukanmu //
itu semuanya hanya santri // hanya belajar melempar kendil // tidak mungkin
ahli perang // mengandalkan para Bupati // pesisir yang telah Islam semua //
Islam baru saja biasanya masih setengah-setengah.
21.
Samangsa sampun
ayudya // tekadira mungal-mungil // timbang bener lawan lepat // mangsa meluwa
wong sisip // kang bener den iloni // ambalik madyaning pupuh .. iku tan sira
timbang // mung ngandelken sira wani // dudu laku prakarane wong ngayuda.
Ketika sudah
terjadi perang // tekadnya mudah goyah // mempertimbangkan benar dan salah //
tidak mungkin ikut yang salah // yang benarlah yang dibela // berbalik ketika
terjadi perang // itu tidak kau perhitungkan // hanya mengandalkan kamu berani
// itu bukan menjadi modal perang.
22.
Menurut
sebutan kitab // yen wong mati prang lan
kapir // aran mati sabilolah // ginanjar swarga mbenjang // puniku ngapirani //
kang perang sabil satuhu // hukum ingkang sanyata // patenana ingkang sisip //
lan pendemen urugana bebeneran.
Menurut yag tertulis dalam Kitab // jika orang mati berperang
dengan kafir // disebut mati Sabilullah // mendapat pahala suarga besok hari //
itu tertipu // yang disebut perang sabil yang sebenarnya // berdasarkan hukum
yang nyata // bunuhlah yang salah // dan tutuppilah dengan kebenaran.
23.
Benera
mata satunggal // aja bener mata kalih // samar kalingan papadang //
benere anganan ngering // yen benere wus
sami // nganggo bener mata telu // tegese telu telas // benere mung murih hasil
// najis makruh yen enak kinalalena.
Benar
menurut mata hati // bukan benar menurut dua mata // tertipu tertutup terang //
benarnya goyang ke kanan ke kiri // jika benarnya sudah sama // benar yang
terlihat mata tiga // artinya tiga (telu) habis (telas) // benar yang hanya dengan
pertimbangan hasil // najis makruh jika di khalalkan.
24.
Tandane beneranira
// lan para Sunan ngulami // laku ngrusak Majalengka // nora pisan angengeti //
becikane Sang Aji // mung kasusu enggal lemu // sugih daging dagangan //
sadiyan rayap yen mati // mula tan wruh beciking Ratu lan Bapa.
Itu benar
menurutmu // dan para Sunan Ulama // melakukan penghancuran Majapahit // sama
sekali tidak mengingat // kebaikan sang raja // terburu nafsu agar cepat gemuk
// kaya daging dan dagangan // untuk
persediaan rayap jika mati // makanya tidak melihat kebaikan raja dan orang tua.
25.
Sanajan mungsuh
wong kompra // yen sira murwani sisip //sayekti mati cilaka // sanadyan mungsuh
Islami // yen bebenerane kaki // wus pasti mati rahayu // jwa dumeh kapir
Buda pada // turun Adam Nabi // wujudira
ya manungsa kaya sira.
Walau pun melawan
oang biasa // jika engkau mebela yang salah // pasti mati celaka // walau pun
memusuhi Islam // jika membela kebenaran // sudah pasti mati selamat // jangan
kau anggap kafir Buda semuanya // keturunan Nabi Adam // ujudnya juga sama-sama
manusia seperti dirimu.
26.
Wong
urip ana ing donya // dosane limang prakawis // Dosa Allah lan Muhammad //
kapindo Guru Narpati // ping tiga Yayah wibi // garwa putra kaping Catur //
lima marang sasama // dosa ingkang angka siji / wong kang nganggo goroh
samar-samar.
Manusia hidup di
dunia // dosanya lima macam // dosa kepada Allah dan Muhammad // yang kedua
kepada Guru dan Penguasa // yang ketiga
Ayah Ibu // suami atau istri dan anak yang ke empat // yang kelima dosa kepada
sesama // dosa yang pertama // dosa orang yang berdusta denga samar-samar.
27.
Wong
kang dosa Guru Raja // wong wani Guru Narpati // wong kang dosa yayah rena //
wong wani Bapa lan Bibi // wong dosa garwa siwi // kang tan ngreken garwa sunu
// dosa mring sasama // wong sikara tanpa uwis // lan wong tan wruh
kabecikaning sasama.
Yang
kedua dosa terhadap Guru dan Pengausa // orang yang berani kepada Guru dan
penguasa // ketiga yang dosa kepada kedua orang tua // orang yang durhaka
kepada orang tua // keempat yang dosa kepada suami atau istri dan anaknya //
yang mengabaikan mereka // dosa kepaa sesamanya // orang yang menyiksa tiada
henti //dan orang yang tidak tau kebaikan sesamanya.
28.
Sira timbanga
pribadya // tuturku wus kocap ngarsi // sira kasebut Ngulama // sayekti wruh
bener sisip // Sultan Demak miyarsi // amuwus sajroning kalbu // alon ing
aturira // duh eyang kados punapi // dosa ulun mring Allah matumpa-tumpa.
Keu pertimbangkan
sendiri // uraianku seperti di depan // kau termasuk Ulama // pasti mengetahui
yang benar dan yang salah // Sultan demak mendengar // berkata dalam hati //
pelan perkataannya // Wahai eyang bagaimanakah // dosaku kepada Allah bertumpuk-tumpuk.
29.
Nyi Ageng Ngampel
ngandika // sira tan dosa mring Widdi // dosa mring sudarmanira // Gusti Allah
mung ngadili // kang bener lan kang sisip // ingkang salah dipun ukum //
sineleh aneng kerat //binelok sajroning geni // Sultan Demak umatur sarwi
karuna.
Nyia Ageng Ampel
berkata // kau tidak berdosa kepada Tuhan // kau berdosa kepada orang tua //
Tuhan Allah hanya mengadili // yang benar dan yang salah // yang salah dihukum
// ditaruh di akhirat // dipasung di dalam api // Sultan demak berkata dengan pasrah.
30.
Rehning sampun
kalampahan // punapa winuwus malih // pan amung tedah paduka // ingkang kawula
lampahi // Nyai geng ngandika ris // yen sira nurut rembugku // ramamu ulatana
// katemuwa ngendi-endi // aturana kondur marang Majalengka.
Karena telah
terlanjur // apaguna dibicarakan lagi // hamba mohon petunjuk paduka // apa yag
harus saya lakukan // Nyai Ageng mengatakan // jika engkau mengikuti apa kataku
// Carilah ayahmu // dimanapun kau temukan // ajaklah kembali ke Majapahit.
31.
Yen ramamu isih
karsa // angasto kaprabon Haji // anuli sira junjunga // tetepa kadya ing nguni
// kari pira Sang Aji // yuswane anuli surut // lan sira anyuwuna // ngapura
luputmu kaki // yen tan karsa ramamu jumeneng Nata.
Jika ayahmu masih
menginginkan //untuk memegang kekuasan Raja kembali // segeralah kau angkat
kembali // tetap seperti semula // tinggal berapa-lamakah sang raja // usianya
kemudian akan meninggal dunia // dan kau mohonlah // pengampunan atas
kesalahanmu cucuku // jika ayahmu tidak berkenan menjadi raja kembali.
32.
Suwunen ing
rilanira // ing Jawa sira ratoni // idine kang terus ing tyas // dadi becik lahir batin // tan ginuyu
ing Bumi // sira panciya ramamu // dahar busananira // gawekna kadaton ngardi
// saprabote pandita jwa kongsi kurang.
Mohonlah
kerelaannya // tanah Jawa kau kuasai // ijinya yang terus sampai ke dalam hati
// jadilah baik lahir batinnya // maka tidak akan diterawakan dunia // Jatahlah
ayahmu // Makan dan busananya // buatkan keraton di gunung // lengkap dengan
pelengkapan Pandita jangan sampai kurang.
33.
Heh ta angger
kawruhanira // nadyan wong satanah Jawi // angideni marang sira // tetepmu
ngadeg Narpati // yen nora den ideni // ramanira Sang Prabu // lamun tyase tan
rila // sira ora kelar kaki // dadi Nata neng Jawa sabanjurira.
Wahai cucuku
ketahuilah // walau pun semua orang di Tanah Jawa // mengijinkan dirimu //
tetap menjadi raja // jika tidak mendapat restu dari // Ayahmu sang Raja //
jika hatinya tidak rela // kau tidak bakalan kuat // menjadi raja di tanah jawa
beserta keturunanmu.
34.
Aja dumeh kapir
Buda // iku betuwah Narpati // sawetane tanah Ngajam // yen kongsi gela ing
galih // manawa animbali // putra wayah para Ratu // sawetan Tanah Jawa // sawadya
kaprabon jurit // masih abot sangganira ing ngayuda.
Jangan kau kira
kafir Buda // itu tetaplah raja // sebelah timurnya tanah ngajam // Jika sampai
kecewa hatinya // jika beliau memanggil // anak cucu para raja // sebelah
timurnya tanah Jawa // dan pasukan perang dengan perlengkapannya // masih berat
tanggungjawabmu dalam perang.
35.
Karana
sagung pra Raja // kanan kering Tanah
Jawi // kabeh kawengku santana // pada wiji Majapahit // manawa angengeti //
darbe Ratu pinisepuh // siniya tanpa dosa // angantep tangkeping jurit //
sabiyantu angrebut ing Majalengka.
Karena sumua raja
// sebelah kanan kiri Tanah Jawa // semuanya sebagai kerajaan jajahannya //
semuany keturunan Majapahit // jika mereka ingat // mempunyai Ratu yang
dituakan // di sia-siakan tanpa dosa // maka mereka akan menyiapkan pasukan
perangnya // untk membantu merebut Majapahit.
36.
Yekti prang gedhe
gempuran // kadya jaman Hurubesmi // Majapahit lan Blambangan // pira-pira kang
pepati // tur Menakjinga sisip // prandene pada biyantu // iki wong tuwanira //
bener nganggo ratu luwih // sayektine ing prang nedya pupungkasan.
Pasti akan
terjadi perang besar-besaran // seperti jaman Hurubesmi // Majapahit melawan
Blambangan // banyak sekali korbannya // padahal Menakjingga yang salah // tetap
membantunya // ini orang tuamu // dalam posisi yang benar // pasti akan terjadi perang habis-habisan.
37.
Putu lamun sira
menang // tetep jumeneng narpati // yen kalah den oyak-oyak // kacandak dipun
pateni // wong Islam den kuciri // tur sira iku katempuh // rusaking wadya bala
// kang mati madyaning jurit // pada nagih mring sira besuk neng kerat.
Cucuku jika kau
menang // akan tetap menjadi raja // jika kalah akan diburu // tertangkap akan
dibunuh // orang Islam akan digundul // dan engkau mempunyai tanggungan //
terbunuhnya pasukanmu // yang mati ketika perang // semuanya menagih kepadamu
besok di akherat.
38.
Ramamu jumeneng
Nata // tan lama nuli ngemasi // ing Tanah Jawa kaliya // sira ora andarbeni //
mulane rembuk mami // turuten ingkang satuhu // antinen surut ira // nadyan
prang rebut nagari // mungsuh kadang punika tan dadi ngapa.
Ayahmu kembali
menjadi raja // tidak lama kemudian akan meninggal dunia // Tanah akan jawa
dikuasai oleh orang lain // dan kamu tidak memilikinya // makanya menurut
pendampat ku // ikutilah kata-kata ku // tunggulah sampai Beliau meninggal
dunia // walau berperang berebut negara // melawan saudara itu tidak mengapa.
39.
Sanadyan kalah
menanga // tan ginuyu bumi langit // wus lumrah wong madya pada // lamun
sudarma ngemasi // anak arebut waris // pusaka kang luwih perlu // lamun gege
samangkya // lan bapa rebut nagari // kalah menang dadya geguyoning jagad.
Walaupun kalah
ataupun menang // tidak ditertawakan bumi dan langit // sudah umum di dunia //
jika orang tua meninggal dunia // anak saling berebut warisan // warisan
pusakan yang paling penting // jika perang sekarang // melawan ayah berebut negara // kalah
ataupun menang jadi tertawaan jagad.
40.
Katujune menang
perang // mungsuh Bapa kaki-kaki // wungkuk bengkuk suku tiga // endi sebutanmu
becik // loking janma mung nisthip // iku sira dipun emut // aja nrajang
kanistan // tolehen awakmu kaki // ramanira Ratu Agung Binathara.
Seandainya menang
perang // melawan orang tua yang sudah sepuh // bungkuk berkaki tiga // dimana
letak baiknya // justru akan dikatakan
sebagai makhluk yang hina // itu kau
harus ingat // jangan melanggar kenistaan // lihatlah dirimu cucuku // Ayahmu Ratu Agung.
41.
Ibunira Putri
Cina // Agama miturut Ngarbi // aran janget ing ngatigan // jembar jajahanireki
// dene akendel ngisin // mungsuh Bapa kang wus pikun // saru tinoning katah //
mungguh rembugku samangkin // lah muliha mring nagaranira Demak.
Ibumu putri cina
// agamanya menurut Arab // disebut tiga keturunan // luas jajahannya // mengapa
kamu tidak tau malu // Melawan orang tua yang sudah pikun // sangat tidak
pantas dilihat orang banyak // menurut pendapatku sekarang // kembalilah ke
Demak.
42.
Aja lumaku
pribadya // ngulati Ramamu kaki // manawa giris tyasira // kemlurusen angemasi
// becik Sunan Kali // kinen lumaku angluru // aja anggawa wadya // lumakuwa
cara Santri // yen kapangguh den genahena kewala.
Jangan kau
berangkat sendiri // jika akan mencari ayahmu // Jika perasaan ayahmu takut //
bisa berakibat fatal // lebih baik Sunan Kalaijaga // kau suruh untuk
mencarinya // jangan membawa pasukan // lakukan dengan cara santri // jika
ketemu jelaskanlah saja.
. 43
Yen karsa den
aturana // kondur marang Majapahit // jujug ing Ngampeldenta // yen ora karsa
Sang Haji // aja kok peksa kaki // manawa runtik tyasipun // ngandika anyupata
// punika yekti mlarati // wus mangkata sadina iki bubaran.
Jika berkenan
mohonkanlah untuk // kembali ke Majapahit // pulanglah ke Ampel Denta // jika
beliau tidak berkenan // jangan kau
paksa cucuku // jika sampai marah // akan mengatakan laknat // sungguh
mengakibatkan kerugian // segeralah berangkat dan hari ini juga bubarkan.
44.
Nulya sami
abubaran sawadynira tan kari // Jeng Sultan
kundur mring Demak // Sunan Kali kang ngulati // lumaku cara santri // mung
sabat kalih kang tumut // nurut pasisir wetan // sinigeg Jeng Sunan Kali //
Kanjeng Sultan sawadya anggula drawa.
Kemudian semua
bubar beserta pasukanny tiada yang ketinggalan // Sultan kembali ke Demak //
Sunan Kalijaga yang mencarinya // berjalan dengan cara santri // hanya dua
sahabat yang menyertainya // menelusuri pesisir timur // terpotong kisah sunan
Kali // Kanjeng sultan dan pasukannya (memasuki tembang Dhandhanggula).
vi.
DANDANGGULA
Edit : Pujo Prayitno
1.
Sampun prapta ing
Demak nagari // Kanjeng Sultan Bintara sa wadya // umjung gumuruh swarane //
kang prapta lan kang methuk // suka sukanira tan sipi // ngulama praja desa //
nracak kaulipun // yen jaya prange gustinya // Dzikir mulut beleh sapi wedus
biri // Tahlil dzikir terbangan.
Telah sampailah
di kerajaan Demak // Sultan Bintara beserta pasukannya // Menggema bergemuruh
suaranya // yang datang dan yang menjemput //
kebahagiannya tak henti // Ulama kota dan desa // semua mengadakan
tasyakuran // karena ratunya menang perang // Dzikir lisan memotong sapi
kambing dan biri-biri // Tahlil dzikir dan memainkan musik terbang.
2.
Santri murid samu
kaul ngemis // marang pasar sadina ping sanga // pating garandul kasange //
sapepak ireng butuh // pan kinarya
mumule Nabi // Sultan Bintara panggya // kalawan Sang Wiku // Kangjeng Sinuhun
ing Benang // angandika praptamu pada basuki // lakumu mangun yuda.
Santri murid kaul
meminta-minta // pergi ke pasar sehari sembilan kali // bergelantungan
peralatannya // selengkapnya kebutuhan didapatnya // karena akan digunakan untuk
memuliakan Nabi // Sultan Bintara mengadakan pertemuan dengan Sang Sunan // dan
Kanjeng Sunan Benang berkata // apakah kedatanganmu selamat // dari perjalananmu
beperang.
3.
Apa asor apa
unggul jurit // Kanjeng Sultan alon aturira // sampun bedah karatone // Nagari
Majalangu // pra punggawa kang lawan jurit // samya tumpesing yuda // margi
kaget gugup // Kyana Patih Gajahmada // saha wadya ngamuk punggung ambeg pati
// gaman pedang curiga.
Apakah kalah
ataukah menang perang // Kanjeng Sultan sopan bicara // Telah hancur
kerajaannya // Negara Majapahit // para pasukan yang berperang // semua tumpes
dalam perang // karena terperanjat diserang mendadak// Sang Patih Gajahmada //
beserta pasukannya mengamuk mencari mati // senjata pedang dan keris.
4.
Wadya Demak
panggah hanadahi // kinarocok wadya pra Bupatya // mung Patih kang teguh dewe
// Sunan Ngudung gya nempuh // hanglarihi nanging tan titis // Gajahmada hangrangsang
// dateng Sunan Ngudung // pinarjaya jaja tatas // kapisanan Sunan Ngudung
hangemasi // sigra para Bupatya.
Pasukan Demak
tetap menghadapinya // Dikeroyok para Bupati // hanya sang patih yang paling
kuat // Sunan Ngudung segera maju ke medan laga // melemparkan tombak kurang
titis // Gajahmada balik menyerang // untuk menyerang Sunan Ngudung // Sunan
Ngudung dibunuh dada tembus // hanya sekali tusukan keris sunan Ngudung tewas
// segera semua Bupati.
5.
Para Sunan
panggah hanadahi // pinarbutan Gajahmada pejah // nanging sirna kuwandane //
nulya na swara krungu // angaturken ingkang pepeling // suka Susuhunan Benang
mesem ngandika rum // suwarane wong wis modar // wedi apa besuk wani mengko
wani // mungsuh wong kapir Buda.
Beserta para
sunan melawannya // mengeroyok Gajahmada dan akhirnya tewas // Namun hilang
beserta raganya // kemudian terdengar suara // mengatakan tentang supata //
Gembiralah Sunan Benang sambil tersenyum berkata // kata-kata orang yang telah
mati // takut apa besok berani sekarang juga berani // melawan orang kafir
Buda.
6.
Nora cidra ing
pambatang mami // Majalengka sapa den handelna // yen uwis balik si Kusen // si
Gugur masih timur // mangsa dadak wani ing getih // Gajahmada wus tuwa //
wungkuk hamelengguk // thinuthuk bae palastra // nora kelar nadahi yudamu kaki
// muda sedeng humurnya.
Tidak salah
perkiraan saya // Majapahit siapakah yang dihandalkan // Jika Si Kusen telah
berbalik // Si Guru masih muda // tidak mungkin berani dengan darah //
Gajahmada sudah tua bungkuk // dipuku pelan saja meninggal // tidak kuat
melawan kridamu anakku // masih muda sedang umurnya.
7.
Wadya Demak
lajeng manjing puri // hangulati Jeng Rama tan ana // lolos tan wikan parane //
tuwin pan yayi Gugur // samya lolos tan bekta dasih // kang kantun ing djro
pura // amung kanjeng Ibu // pramewari dwarawatya // kula turi nyingkir mring
Benang rumiyin // nurut atur kawula.
Pasukan Demak
kemudian masuk ke dalam keraton // mencari ayahanda tidak menemukan // lolos
tidak diketahui kemana perginya // dan juga adiku Si Gugur // lolos tidak
membawa pembantu // yang tertinggal di dalam keraton // Hanya Ibu // permaisur
Dwarawati // saya suruh beliau untuk menyingkir ke Benang dahulu // dan dia menuruti
kata-kata hamba.
8.
Wonten dene yayi
Hadipati // nagri Terung wus rumantyeng yuda /// sikep lawan gegamane // lajeng
biyantu pupuh // jarah rayah sajroning puri // buku petuwah Buda // kinumpul
sadarum // lajenge kawula bakar // dimen sirna pikekah Agama Budi // gumujeng
Sunan Benang.
Sedangkan adik
Adipati // negri Terung telah siap bertempur // lengkap dengan persenjataanya
// kemudian membantu perang // menjarah ke dalam keraton // buku Agama Buda //
semuanya dikumpulkan // kemudian saya bakar // agar musnahlah aturan Agama Buda
// tertawalah Sunan Benang.
9.
Iku bener
anggitira kaki // lamun misih buku sarak Buda // wong Jawa awet kapire //
kongsiya sewu taun // mangsa dadak ganti Agami // nut sarak rasul lolah //
datan nedya emut // anebut Asmaning Allah // lawan nebut Asmanira Kanjeng Nabi
// Muhammad Rasul olah.
Itu benar
pemikiranmu anakku // jika masih ada buku Agama Buda // orang jawa awet
kafirnya // walau sampai seribu tahun // tidak bakalan berganti Agama // untuk mengikuti
syariat Rasulullah // tidak bakalan ingat // menyebut Asma Allah // dan juga
menyebut asmanya Kanjeng Nabi // Muhammad rasulullah.
10.
Mangsa niyat
Shalat Kaji Dzikir // Kanjeng Sultan Bintara turira // beteng-beteng sadayane
// ing bangsal lan ing Terung // wadya Islam ingkang Jageni // parentahe Yayi
Mas // Hadipati Terung // kalamun ana wong Buda
// ngungsi beteng sadaya tumpesen sami // dene yen janma Islam.
Tidak akan ada
niyat Shalat haji Dzikir // Sultan Bintara mengatakan // beteng-beteng
seluruhnya // di bangsal Adipati Terung dan // pasukan Islam yang berjaga //
atas perintah // adiku Adipati Terung //
jika ada orang Buda // mengungsi lewat beteng bunuh semua // jika yang beragama
Islam.
11
.Ngungsi beteng
kinen sungi kori // mila tiyang buda buyar hambyar // mawut saparan-parane //
ngungsi mring wana gunung // kang lumawan dipun perangi // kawula tigang dina
// aneng Majalangu // lajeng dateng Ngampel Denta // nyuwun idi tetep kula
dados Haji // mring Ibu mara tuwa.
Melewati beteng
disuruh membukan pintu // makanya orang Buda menyebar // semburat tidak karuan
// melarikan diri ke hutan dan gunung // yang melawan di perangi // hamba
selama tiga hari /// berada di Majapahit // kemudian menuju Ampel Denta // memohon
restu hamba untuk menjadi raja // kepada ibu mertua.
12.
Ingkang tugur
wonten Majapahit // anjageni kang putra santana // yen wonten kang mangkat
tyase // yayi dipati Terung // lawan Patih Mangkurat nenggih // wadyane pra
dipatya // sepalih kang tumut // sapalih kawula bekta // dateng ngampel neng
Terung // sipeng tri ari // minta pakaweting prang.
Yang berada di
Majapahit // untuk berjaga putra kerabat // bila ada yang berangkat tyase //
adiku Adipati terung // dan juga Patih Mangkurat dan juga // pasukan para
Bupati // separuh yang ikut // separuh saya ajak // menuju Ampel di Terung //
menginap tiga hari // minta pakaweting perang.
13.
Kang kawula angge
senapati // ingkang dadya susulih kawula // Ing beteng Terung barise // inggih
Pangeran Kudus // pramugari misesa baris // kanti para Ngulama // sadaya tri
atus // saben dalu Shalat Kajat // Dzikir mulut tansah Muji siang ratri //
Tahlil Dzikir Terbangan.
Yang saya jadikan
Senopati // dan menjadi wakil hamba // berbaris di Beteng terung // yaitu
Pangeran Kudus // pasukan berbaris // bersama
para Ulama // semuanya berjumlah tiga ratus // tiap malam shalat hajat
// Dzikir lisan selalu memuji siang dan malam // Tahlil dzikir terbangan.
14.
Para Sunan lan
para Bupati // gya umiring mring kula sadaya // ulun sapraptaning Ngampel //
wusing pranata ulun // para Sunan para Bupati // nulya lenggah satata // kawula
umatur // kang dadya perlu kawula // nyuwun idi tetep kula dados Haji // mengku
rat Tanah Jawa .
Para Sunan dan
semua Bupati // segera memihak saya semua // sesampainya hamba di Ampel //
setelah saya tata // Para sunan dan Bupati // kemudian menata duduk // saya
menyampaikan // apa yang menjadi keperluan hamba // memohon restu tetapnya saya
menjadi Raja // menguasai Tanah Jawa.
15.
Saha
kula ngaturi udani // bedahipun nagri Majalengka // lan Kangjeng Rama lolose // tuwin pan Yayi Gugur // ugi
lolos tan bekta dasih // pejahe Gajahmada // lumawan ing pupuh // Ibu sanget
dukanira // sarwi muwus nguman-uman dateng mami // tuwin Sunan Ngulama.
Dan juga hamba
memberitahukan // hancurnya Majapahit //dan lolosnya ayahanda // dan juga si
Guru // juga lolos tanpa membawa abdi // Gajahmada terbunuh // dalam peperangan
// Ibuda sangatlah marah // dengan mengatai-ngatai dan menyalahkan hamba //
beserta para Sunan dan Ulama.
16.
Winastan
Janma tanpa Budi // dene tan wruh
kabecikan Raja // asikara tanpa wite // nanging panimbang hulun // inggih leres
Jeng Ibu Nyai // sampun katur sadaya // ing sadukanipun // Nyai Ageng
Ngampeldenta // purwa madya wasananira abersih // putuse kang rinembag.
Dikatakanya
manusia tidak berbudi // karena tidak tau kebaikan raja // menyiksa tanpa sebab
// namun setelah saya pikir // memang benarlah apa yang dikatakan Kanjeng Ibu
Nyai // telah ku sampaikan semua // dan juga kata-kata kemarahan // Nyai Ageng
Ngampel Gading // awal tengah dan akhir sampai bersih // samapi habis yang
dibicarakan.
17.
Sunan
Benang Jetung datan angling // nging sinamur jwa kongsi katara // kang dadya
kaluputane // mring Ratu Majalangu // ing wusana ngandika aris // dene merangi
tatal // nalarira iku // wong wis mati ing nguripan // tekatira mati tengah
nglangi pinggir // nganggo tekat urakan.
Sunan
Benang diam tak berkata // Namun diselimurkan agar tidak terlihat // yang
menjadi kesalahannya // kepada Ratu Majapahit // kemudian berkata pelan //
Ibaratnya memerangi tatal // nalarmu itu // Manusia yang telah meninggal kau
hidupkan kembali // tekadmu mati di tengah berenang ke pinggir // menggunakan
tekad urakan.
18.
Wong kang ngerti
terus lahir batin // mangan gula wus prapteng ing dada // dipun ulu sadayane //
embuh dadine pungkur // luwih karsanira Hyang Widdi // janma kang akhli nalar
// ngarani sireku // ing ngaran bangsa tugelan // nora murni nuwuhake nyawa
kalih // katanda tekat ira.
Orang yang telah
memahami lahir terus kedalam batin // makan gula telah sampai di dada // akan
ditelan semuanya // entah apa jadinya di belakang // terserah apa kehendak
Tuhan // manusia yang ahli nalar // menyebut dirimu // disebut
setengah-setengah // tidak murni menggunakan dua nyawa // terlihat dari
tekadmu.
19.
Mungal-mungil tan
wurung ketail // ing pakewuh dadi tiwasira // marga kurang kantepane // sira
nurut ibumu // ibunira iku pawestri // tan wenang dadi imam // amurwani laku // prakara ngrembug nagara // yen wong
wadon weruhe mung uyah trasi // wus kocap jroning kitab.
Ragu-ragu
akhirnya terjerat // oleh berbagai masalah yang bisa mengakibatkan kematianmu
// karena disebabkan kurang kemantapannya // kau menuruti Ibu-mu // Ibumu itu
wanita // tidak berhak menjadi Imam// menjadi panutan // membicarakan tentang
tata negara // Seorang wanita hanya mengetahui uyah dan terasi // telah
tertulis dalam kitab.
20.
Yen wong kakung
manut mring pawetri // nadyan bojo sanadyan wong tuwa // wus pasti dadi tiwase
// sebab estri puniku // tetep aran uwong sejati // nglowong mung dadi wadah //
tan wenang tinantun // prakara ngrembuk negara // apa maneh bener luputing
Agami // wus pasti sasarira.
Jika seorang
laki-laki dipimpin wanita // meski istri ataupun orang tua // sudah pasti akan
celaka // sebab wanita adalah // tetap disebut manusia sejati // kosong hanya
sebagai wadah // tidak wajib diikuti // ketika membicarakan negara // apalagi
masalah benar dan salah yang menyangkut Agama // pasti akan menjadi tersesat.
21.
Sira aran tiyang
kang sejati // iya iku pikukuhing palwa // nora kena mengleng-mengleng // kudu
jejeg abakuh // aneng tengah amikukuhi // sira wus dadi imam // amurwani laku
// panutan wong jawa Islam // yen tyasira mirang miring nengah minggir // dadi
tiwasing kathah.
Kau disebut orang
sejati // yaitu ibaratnya tiang kapal // tidak boleh ragu-ragu // harus tegak
dengan kuat // ditengah menguatkan // kau telah menjadi Imam // panutan segala
tindakan // menjadi panutan orang Islam
// Jikan batinmu ragu-ragu ke tengah dan ke pinggir // akan mencelakakan
orang banyak.
22.
Para Sunan lan
para Bupati // wus anganggkat sira dadi raja // Ngratoni Wong Jawa kabeh // ran
Senapati Djimbun // kang pinuji di embun sabumi // jaluk idi wanodya // asor
bangsanipun // darajate luhur sira // nadyan tuwa nora wajib angideni /
jenengira Narendra.
Semua sunan dan
Bupati // telah mengangkatmu menjadi Raja // menguasai seluruh tanah Jawa //
dengan bergelar Adipati Jinbun // Yang di puji di sembah orang sedunia //
memohon restu kepada wanita // dari golongan derajat rendahan // lebih tinggi
dirimu derajatnya // Walaupun tua dia tidak wajib untuk memberi restu // kepada
dirimu untuk menjadi raja.
23.
Dadi sira kena
den arani // janma mulya dijak dadi kumpra // anjaluk idi wong jelek // apa
sira tan weruh // sebutne Tajushalatin // lamun bangsa wanodya // apes
duwekipun // tan kena tinari karya // dadi sira anerak angger nagari //
sisikuning kalipah.
Jika demikian
engkau bisa disebut //dari manusia terhomta mejadi manusia biasa // karena
memohon restu manusia rendahan // apakah kau belum memahami // apa yang
tercantum dalam Kitab Tajushalatin // Apabila golongan wanita // maka apes
miliknya // tidak bisa diajak bekerja // jika demikian kamu melanggar
undang-undang negara // terkena siku khalifah.
24.
Upamane ramanira
Haji // sira angkat bali dadi Raja // pulih getih kaya biyen // pra Bupati wus
suyut // animbali kang putra kalih // Dipati Panaraga // miwah putra mantu //
ing Pengging Handayaningrat // nora wurung pasti sira den pateni // sapa kang
ngalangana.
Seandainya orang
tuamu raja // kau angkat kembali menjadi raja // kembali seperti semula //
semua Bupati telah tunduk // kemudian raja memanggil kedua anaknya yang lain //
Hadipati Ponorogo // serta putra mantu // di Keraton Pengging // pastilah
dirimu akan dihukum mati// siapakah yang akan menghalanginya.
25.
Ngilangake mring
endog sawiji // Ibu andap tur seje Agama // wus agawe salah gedhe // murtad ing
Bapa Ratu // wus wajibe dipun pateni // wus sah sebutane kitab // kukume
linampus // tur nora sira pribadya // sawadyamu kang padha biyantu balik // sah
wajib pinatenan.
Menghilangkan satu
anak // dari seorang ibu kelas bawah dan juga beda Agama // dan telah berbuat
kesalahan besar // murtad kepada raja // sudah seharusnya dibunuh // telah
tertulis dalam kitab // hukumannya hukuman mati // dan juga bukan hanya dirimu
sendiri //tapi juga beserta seluruh pasukanmu yang telah membantumu // sah dan
wajib dihukum mati.
26.
Dadi sira kena
den arani // janma rusak kudu angajak-ajak // anggawa pepati akeh // lamun
weruha ingsun // tekatira nengah minggir // mulat wuri lan nagara // ingsun
datan purun // ambotohi marang sira // ingsun sengguh mantep tetep trusing
ngati // mantepe tekadira.
Sehingga dirimu
bisa disebut // Manusia yang rusak dan mengajak-ajak // sehingga membawa korban
sangat banyak // seandainya dari dulu saya mengetahui // tekadmu ke tengah ke
pinggir berubah-ubah // melihat kebelakang dan melihat negara // saya tidak
bakalan bersedia // menjadi botoh dirimu // saya kira engkau sudah mantap dan
kuat sampai ke dalam hati // atas ketekatan dirimu.
27.
Wong kang ngerti
terus lahir batin // mangan gula wus prapta ing dada // dipun ulu sadayane //
embuh dadine besuk // luwih karsanira Hyang Widhi // wus sedya nglawaning prang // mungsuh Bapa Ratu // nadyan Bapa
Ratu Budha // pan wus khalal tan ana batal karami // pinangan Janma Islam.
Manusia yang
telah paham lahir batinnya // makan gula sudah sampai di dada // akan ditelan
semuanya // entah apa jadinya // teserah apa kata Tuhan // sudah diniati
melawan dengan perang // melawan orang tua raja // karena beragama Buda // itu
halal tidak ada batal kharamnya // akan dimakan oleh orang Islam.
28.
Nora
ana ing sawiji-wiji // najis mekruh sadayane sirna // wong kapir asli darbeke
// kang wus kasor prangipun // janma Islam ingkang darbeni // sanadyan ta
wanodya // wenang den dol iku // kinarya batur tumbasan // sampun khalal
jinamah datanpa kawin // wus sah sebutan kitab.
Tidak ada yang
menghalangi // Najis dan makruh semuanya telah sirna // Semua harta milik orang
kafir // jika sudah kalah perang // akan menjadi milik orang Islam // meskipun
itu wanitanya // boleh dijual // seperti barang dagangan // sudah khalal di
jamah tanpa nikah // sudah sah menurut isi dari kitab.
29.
Balik mengko
paranta kang dadi //pungkasane
kekarepanira // tutura sun rungokake // enake atiningsun // lamun tekatira
lestari // ambedah Majalengka // sun ideni iku // dadi Ratu Tanah Jawa //
sabanjure prapteng anak putu benjing // yen sira murungena.
Sekarang kembali
apa yang menjadi // keinginanmu sekarang // sampaikanlah akan saya dengarkan //
terserah apa kata hatimu // apabila tekadmu tetap // inging menghancurkan
Majapahit // saya restui // dirimu
menjadi raja menguasai tanah jawa // samapi dengan anak cucumu // namun jika
dirimu menggagalkan niatmu.
30.
Sira manut
maratuwa estri // ingsun mulih marang nagri Ngarab // aneng kene tanpa gawe //
mangsa wurunga lampus tur tan bisa ngelar agami // lah iya ucapena //
enggal-enggal gothak-gathuk // yen sira alestarekna // genya ngrusak karaton
ing Majapahit // amungsuh Bapa Raja.
Dan jika dirimu
mengikuti apa kata mertuamu perempuan // maka saya kembali pulang ke Tanah Arab
// Di sini sudah tidak ada gunanya // jika tetap bertahan sampai matipun tidak
bisa menyiarkan agama // ayo ucapkanlah // cepat-cepat kau pertimbangkan //
jika kau teruskan // niatmu untuk menghancurkan Majapahit // melawan orangtuamu
raja.
31.
Nanging sira
tetep dadi Haji // Mungsuh Bapa wenang tinobatan // mring Hyang nyuwun
ngapurane // nedya mungsuh wong sepuh // Ratu kapir tan durakani // lupiane wus ana // Pra Nabi rumuhun //
Ibrahim Musa Muhammad // pada musuh wong tuwa kang pada kapir // nemu mulya
raharja.
Kamu akan tetap
menjadi raja // kau melawan orang tua masih bisa bertobat // kepada tuhan mohon
untuk diampuni// karena melawan orang tua // yang kafir itu bukan durhaka //
contohnya sudah ada // kisah Nabi jaman dahulu // Nabi Ibrahim. Musa .
Muhammad// semuanya memusuhi orang tuanya yang kafir // akhirnya mendapatkan
kemuliaan dan selamat.
32.
Lamun wurung
ngrusak Majapahit // sira dosa guru kang
sanyata // luwih gedhe durakane // yen wong dosa ing guru // nora wenang dipun
tobati // sebab kang meruhana // dadalan rahayu // ing ngurip prapteng hantaka
// Kanjeng Sultan Bintara sareng miharsi // Sabdane Sunan Benang.
Jika kau gagalkan
dalam menghancurkan Majapahit // kau nyata-nyata berdosa terhadap gurumu //
lebih besar durhakanya // Jika orang berdosa kepada guru // tidak bisa diampuni
// sebab gurulah yang memberi petunjuk // jalan keselamatan // ketika hidupnya
sampai meninggal dunia // Kanjeng Sultan Bintara, setelah mendangar // apa yang
dikatakan oleh Sunan Benang.
33.
Getun
jegrek dangu datan angling // pan
rumangsa kaluputanira // kabudan laku tingkahe // Maju mundur kabentus // ing
pakewuh kag gampang rumpil // tiba kasandung rasa // kabentus ing wang wung //
kapengkok nalar kang samar // maju mundur duraka// ing lahir batin // mangkono
hosiking tyas,
Menyesal,
dan termangu tanpa bisa berfikir //
karena merasa salah // karena bingung untuk mengambil keputusan // Maju kena
mundur kena // karena menghadapi masalah yang mudah tapi rumit // jatuh
terbentur rasa // terbentur kebingungan // jatuh terduduk oleh nalar yang samar
// Maju mundur tetap durhaka // baik lahir maupun batin// begitulah yang ada
dalam pikiran Sultan.
34.
Yen
wurunga ngrusak Majaphit // dosa marang Guru kang sanyata // luwih gedhe
durakane // yen den banjurna iku // denya ngrusak ing Majapahit // dosa mring
Bapa Raja nanging dadi ratu // malah wenang tinobatan // ing wusana Jeng Sultan
Humatur aris // inggih kula lajengaken.
Jika
menggagalkan menghnacurkan Majapahit // Dosa besar terhadap Guru // lebih besar
durhakanya // jika dilanjutkan // untuk menghancurkan Majapahit // Durhaka
kepada orang tua dan raja, namun akan menjadi raja // dan syah untuk dinobatkan
// akhirnya Jeng Sultan berkata pelan // Iya akan saya lanjutkan.
35.
Gen kawula
ngrusak Majapahit // rehning nguni kawula wus sagah // dateng Ibu Nyi Geng
Ngampel // manawi Rama kondur / kula angkat narpati malih // amengku Tanah Jawa
// kadya ingkang sampun // sayekti kawula cidra // boten wande kawula dipun
dukani // mring Ibu maratuwa.
Untuk
menghancurkan Majapahit // karena saya sudah terlanjur mengatakan sanggup //
kepada Nyi Ageng // apabila ayahanda kembali pulang // saya angkat menjadi raja
kembali // untuk sebagai penguasa tanah jawa // seperti sebelumnya // berarti
saya ingkar janji // tentunya saya akan dimarahi // oleh Ibu mertua.
36.
Kados pundi gen
kula mangsuli // sebab kula cidra ing hubaya // Sunan Benang ngandikane // lah
iku gampang gampung nora susah ngupaya pikir // aja cidra ngubaya // wuwus kang
wus metu // yen Ramanira wus prapta lan sabaha marang nagri Majapahit //
sawadya sangkeping prang.
Apa yang harus
saya katakan // sebab saya ingkar janji // Sunan berkata memberi jalan keluar
// Itu sangat mudah, tidak usah kau
pikir // jangan kau ingkar janji // terhadap janji yang telah kau katakan //
Jika orang tuamu telah kembali segeralah
menghadap ke Majapahit // dengan membawa pasukan perang lengkap dengan
peralatannya.
37.
Kriggen kabeh
Bupati pasisir // sawadyane sikep kapraboning prang // kira wong tri leksa kehe
// para Sunan sadarum // jaken seba mring Majapahit // lamun sira wus panggya
// kalawan Ramamu // sira anyuwuna ngapura // ing sakehe kaluputanira kang wis
// wani Bapa tur Raja.
Ajak semua Bupati
pesisir // bersama pasukannya lengkap dengan peralatan perang // kira-kira
berjulah 30.000 banyaknya // dan juga para sunan semua // ajaklah menghadap ke
Majapahit // jika kau telah bertemu //
dengan orang tuamu // segeralah kau mohon ampun // atas segala kesalahan yang
telah kau lakukan // berani kepada orang tua dan juga raja.
38.
Yen sira wus
holeh pangaksami // ing sakehing kaluputanira // ramamu angkaten Rajeng // Pulo
Jawa Karimun // aja ana ing Tanah Jawi // mundak ngribeti nalar // jenengira
Ratu // jaganen wadya sanambang // sadinane urunan para Bupati // sawadya
sikeping prang.
Jika kau telah
mendapatkan pengampunan // atas segala kesalahanmu // orang tuamu angkatlah
menjadi raja // di Pulau Karimunjawa // jangan berada di Pulau Jawa // akan
menyebabkan kebingungan dalam berfikir // Sedangkan sang raja // jagalah oleh
sepasukan prajurit // setiap harinya dengan biaya dari urunan para bupati //
lengkap dengan peralatan perangnya.
39.
Dimen seda
pinangan ing demit // aneng Krimun saking karsaningwang // dene yen ana murkane // kang putra kalihipun //
Hadipati ing Panaraga // Pengging Handayaningrat // lawanen prang pupuh // wus
lumrah manusa gesang // Bapa seda anak samya rebut waris // pusaka ngrebut
praja.
Biar meninggal
dimakan demit // di Pulau Karimun dengan sendirinya // jika ada murkanya // dari
kedua anaknya // Adipati Ponorogo // dan Pengging Hadiningrat // lawanlah
dengan perang // sudah sewajarnya dalam kehidupan // Sepeninggal orang tua anak
berebut waris // pusaka dan kerajaan.
40.
Sunan
Giri anambungi angling // inggih leres ing karsa paduka // kawula prayogakake
// nanging utamanipun // sampung ngantos amangun jurit // karya risaking praja
// yen pareng pukulun // kawula tenung kewala // Sri Narendra miwah ingkang
putra kalih // kajenge nunten seda.
Sunan Giri
menyambung kata-kata // Betulah apa yang kau katakan // saya setuju // namun
sebaiknya // jangan sampai terjadi perang // bisa mengakibatkan kerusakan
negara // Jika saya di perkenankan // saya santet saja // Sang Raja Brawijaya
beserta kedua putranya // biar meninggal dunia.
41.
Kula
tenung mejahi janma tri // bangsa kapir boten manggih dosa // amrih wilujenging
ngakeh // Sunan Benang amuwus // luwih karepira pribadi // Kanjeng Sultan
Bintara // anambungi wuwus // lere Sunan Giri Pura // pan wus dadya pirembag
saliring kardi // ganti kang kawuwus
Saya
santet membunuh tiga orang // menyantet orang yang kafir tidak berdosa // demi
keselamatan orang banyak // Sunan benang menjawab // terserah saja, itu
keinginanmu // Kanjeng Sultan Bintara // mendukung dengan mengatakan // benar
apa yang akan dilakukan oleh Sunan Giri Pura // karena semuanya sudah masuk
dalam rencana // “” GANTI yang dicerikan :
42.
Tindakira Kanjeng
Sunan Kali // angulati Prabu Brawijaya // lunta-lunta lampahe // sabat kalih
tan kantun // cara santri lampah musafir // nurut pasisir wetan // prateng
dukuh-dukuh // denira ngupaya warta // kang kamargan lolose // Kanjeng Sang
Haji // Sri Nata Brawijaya.
Kisah perjalan
Sunan Kali // dalam mencari kepergian Prabu Brawijaya // terlunta-lunta
jalannya // Dua sahabatnya tidak ketinggalan // berjalan mengunakan cara santri
sebagai musafir // menelusuri tepian pesisir timur // setiap masuk desa-desa //
selalu mencari kabar // di setiap yang dilewatinya atas lolosnya // Sang Raja
// Sri Nata Brawijaya.
vii.
S I N O M
EEdit : Pujo Prayitno
1.
Sang Prabu
prapteng Blambangan // kendel margi pinggir beji // Ratu agung Binathara // bau
denda nyakrawati // mangkya nahen prihatin // rekasa ing tindakipun // kang
munggweng ngarsa Nata // dasih kalih datan tebih // Palonsabda Genggongnaya
gegujengan.
Tibalah sang raja
di Blambangan (Banyuwangi) // beristirahat di pinggir sumber air // Raja besar
bagaikan Dewa // kuat dan berwibawa // sekarang sedang prihatin // sengsara
dalam perjalannya // Yang sedang menghadap Raja // dua abdinya tidak terlalu
jauh // Sabdapalon dan Nayagenggong selalu bercanda.
2.
Kasaru ing
praptanira // Sunan Kali gya ngabekti // sumungkem padha Narendra // ngandika
Sri Narpati // Eh Sahit sira prapti // apa karyamu kang perlu // nututi
lakuningwang // Umatur njeng Sunan Kali // prapta ulun dinuta putra paduka.
Tiba-tiba
datanglah // Sunan Kali yang segera menyampaikan sembah bekti // Sungkem di
hadapan raja // berkatalah sang raja // Eh Sahit engkau datang // apa keperluan
atas kedatanganmu // menyusul langkah kepergianku // Menjawablah sunan Kali //
Kedatanganku sebagai duta putra tuanku raja.
3.
Nusul madosi
paduka // kapanggih ing pundi-pundi // sembah sungkeme kunjuke // ing padha
Paduka Aji // lan nyuwun pangaksami // sadaya ing lepatipun // kamipurun
angrebat // kaprabon tuan Narpati // inggih saking kalimput tyas punggung muda.
Hamba disuruh
mencari paduka // ketemu dimanapun saja // Dia menyampaikan sembah sungkem //
di telapak kaki paduka raja // dan mohon pengampunan // atas segala
kesalahannya // karenan lancang merebut // kekuasaan Paduka Raja // karena
khilaf terdorong oleh jiwa muda.
4.
Kirang priksa
parikrama / kasesa selak kepengin // mangku praja angreh wadya // siniwi para
Bupati // mangkya Putra Sang Aji // rumaos ing lepatipun // darbe Bapa tur Raja
// Ratu Agung nyakrawati // anjengkaken sing ngandap aparing pangkat.
Kurang memahami
sopan santun // tergesa-gesa ingin segera // menjadi raja memerintah punggawa
// dihormati para Bupati // sekarang Putra Paduka // sadar atas kesalahannya //
Mempunyai orang tua dan juga sebagai raja // Raja Besar yang berwibawa // yang
telah mengangkat derajatnya dengan memberi pangkat.
5.
Ing demak nama
Dipatya // temah kalimput ing galih // ngrabat praja mamrih seda // tangeh
malesa prayogi // ing sih paduka gusti // mangke putra tuan emut // darbe Bapa
tur Raja // Ratu Agung nyakrawati // tilar praja tan karuwan dunungira.
Menjadi Bupati
Demak // karena khilaf pikirannya // merebut tahta agar meninggal dunia // dan
tidak mungkin engkau akan membalasnya // karena rasa sayang engkau kepada putra
// sekarang putramu sadar // mempunyai Orang tua dan juga Raja // Raja Besar
yang berwibawa // meninggalkan kerajaan tidak diketahui tempatnya.
6.
Rumaos angsal
duduka // mring kang karya bumi langit // mila kawula dinuta // madosi Paduka
Gusti // kapanggya pundi-pundi // paduka ngaturan kundur // dateng ing
Majalengka // tetepa kadya ing nguni // mengku Praja siniwi para Punggawa.
Merasa mendapat
kemarahan // oleh yang mencipta bumi langit // sehingga saya diutus // mencari
engkau wahai sang raja // ketemu dimanapun saja // engkau dimohon kembali // ke
Majapahit // tetap seperti semula //
mengusai kerajaan dan dihormati para punggawa.
7.
Aweta kinarya
jimat // pinundi pundi pra siwi // wayah buyut myang santana // pinet sawabipun
Gusti // rahayune neng bumi // manawi paduka kundur // putra paduka pasrah //
karaton konjuk Sang Aji // putra tuan nyaosaken pejah gesang.
Bertahan sampai
lama sebagai pusaka // dijungjung tinggi oleh para putra // cucu buyut dan kerabat // untuk diambil barokahnya paduka // agar selamat hidup di dunia // Jika
paduka pulang kembali // putra paduka akan memasrahkan // keraton kepada paduka
// Putra padukan memasrahkan hidup dan matinya.
8.
Pareng boten
kaparenga // putranta nyuwun aksami // sadaya ing kalepatan // mung nyuwun
aksami // sadaya ing kalepatan // mung nyuwun pangkate lami // Demak nama
Dipati // tetepa kadya rumuhun // yen paduka tan arsa // angasta kaprabon
Aji // sinaosan kadaton wonten aldaka.
Boleh ataupun
tidak // putra paduka mohon ampunan // atas segala kesalahannya // hanya mohon
maaf // atas segala kesalahannya // dan mohon pangkatnya yang lama // tetap
menjadi Bupati Demak// tetap sebagaimana sebelumnya // Andaikan engkau tidak
menginginkan untuk // menjadi raja kembali // akan dibangunkan untuk paduka
keraton di Gunung.
9.
Ing pundi ingkang
kinarsa // aldaka kang den depoki // putra paduka kang yasa // sapiratosing
maharsi // putra tuan nyaosi // busana dahar Sang Prabu // nanging nyuwun
pusaka // karaton ing Tanah Jawi // dipun suwun kang rila trusing wardaya.
Terserah dimana
yang kau inginkan // gunung apa untuk dijadikan padepokan //Putra padaku yang
akan membangunnya // lengkap dengan segala keperluannya // Putra paduka akan
menjamin // busana dahar Sang Prabu // namun Sang Putra mohon pusaka //
kerajaan di tanah jawa // Putra paduka mohon dengan keikhlasan paduka lahir
sampai dengan batin paduka.
10.
Ngandika
sri Brawijaya // sun ngrungu aturmu Sahit // nanging tan ingsun gatekna //
karana wus kapok mami // rembugan karo santri // padha nganggo mata pitu //
kabeh mata lapisan // ablero lamun ningali // mulat ngarsa ing wuri jenggung mustaka.
Berkatalah
Sri Brawijaya // saya mendengar semua perkataanmu Sahit // namun tidak ku
perhatikan // karena saya sudah terlanjur tidak percaya // berdialog dengan
santri // semuanya menggunakan 7 mata // semua mata berlapisi // juling jika
melihat // melihat kedepan sedang dibelakangnya memukul kepala.
11.
Caturan
mung manis lesan // batine angandut wedi // kinapyukake ing mata // piceka
mataku siji // mula ingsun beciki //
walese lir munyuk buntung // apa salah manira // rinusak tanpa prakawis //
tinggal tata adat caraning manusa.
Jika
berkata hanya manis di mulut saja// di dalam hatinya mengandung pasir // yang
akan dilemparkan ke mata // butalah satu mataku // semula saya baiki //
membalasnya seperti monyet buntung // apa kesalahan saya // dirusak tanpa ada
sebab // meninggalkan tata cara manusia.
12.
Mukul
prang tanpa panantang // anganggo tataning babi // dudu manusa utama // Sunan
Kali duk miyarsi // pangandika Sang Aji // rumangsa ing lepatipun // denira
melu bedah // karaton ing Majapahit // analongsa kaduwung kaya matiya.
Menyarang tanpa
melakukan tantangan // menggunakan tata cara kelakuan babi // bukan kelakuan
manusia utama // ketika Sunan kali mendengar // segala ucapan sang Raja // barulah
dia sadar atas segala kesalahannya // karena ikut membantu merusak // kerajaan
Majapahit // sedih menyesal serasa akan mati.
13.
Ngrerepa ing
aturira // saduka-duka Sang Aji // kang dumateng putra Tuan // dadosa jimat
paripih // kacancang pucuk weni // kapundi wonten ing ngembun // mandar
amuwuhana // cahya Nurbuat kang wening // rahayune sadaya putra paduka.
Merayulah sunan
Kali dengan mengatakan // sebesar apapun kemarahan paduka Raja // yang tetuju
kepada putra paduka // akan dijadikan pusaka // akan diikat di pucuk pohon Wani
// di sunggi di atas kepala // semoga akan menjadi // cahaya Nurbuat yang
bening // untuk menjadikan keselamatan putra paduka.
14.
Rehning sampun
kalampahan // punapa winuwus malih // namung aksama paduka // sinuwun putra
Sang Aji // mila mangke mangsuli // katepatan ingkang sampun // wangsul karsa
paduka // karsa tindak dateng pundi // angandika Saga Prabu Brawijaya.
Karena hal itu
sudah terlanjur terjadi // apa yang masih bisa dikatakan // hanya ampunan dan
maaf paduka // yang dimohon oleh putra paduka // tidak akan mengulang
kembali // kejadian yang telah terjadi
// kembali kepada paduka // Paduka hendak pergi kemana // berkatalah Sang Prabu
Brawijaya
15.
Saiki karsa
manira // arsa tindak marang Bali // katemu yayi Narendra // wong ngagung
Kalungkung nagri // arsa ingsun wartani // Si Patah Pratingkahipun // sikara
tanpa dosa // lan Ingsun purih nimbali // para Raja kanan kering Tanah Jawa .
Keinginanku sekarang
// ingin pergi ke Bali // untuk menemui adik raja // orang besar di kerajaan
Klungkung // akan saya beritahu // atas kelakuan Si Patah // menyiksa tanpa sebab // saya akan mohon
bantuan untuk memanggil // semua raja di kanan dan kiri Pulau Jawa.
16.
Samekta kapraboning
prang // bleleng Lombok Badung Mangli // Karangasem Jagaraga // Bimma Megora
Mekral // lawan malih nagari // Timur Hambon Halipuru // Guha lan Powa-Powa //
Makasar Menado Boni // Pacet Buton Ternate lan Dore Bandah.
Lengkap dengan
pasukan perangnya // Buleleng, Lombok, Mangli // Karangasem. Jagaraga // Bima,
Megora, Mekral // dan juga kerajaan // Timor, Ambon , Arafuru // Gua dan
Powa-powa // Makasar menado, Bone // Pacet, Biton, Ternate dan Dora Bandah.
17.
Mulu Kote ing
Banjarmas // Siyak Batak luri malih // Dayak Selon Dana Bawang // Riyo Ringga
Tapanuli // Mlabar tanapi Ngacih // Minangkabo Bangkahulu // Nias Lampung
Piyaman // Padang Precih // Padang Tinggi // Hadipati Palembang sun weni wikan.
Mulu kote di
Banjarmas // Siyak, Batak, dan juga // Dayak Selon Dna Bawang // Rio Ringga,
Tapanuli // Malabr dan juga Ngacih // Minagkabo Bengkulu // Nias Lampung
Pariyaman // Padang Precih // Padang Tinggi // sedangkan Adipati Palembang akan
saya beritahu.
18.
Yen anake karo
pisan // sapraptane tanah Jawi // karo sun karya Dipaya // pada amengku nagari
// nanging tan weruh margi // wani mungsuh Bapa Ratu // sun jaluk lilanira //
anake ingsun pateni // sabab murtad ing Bapa kapindo Raja.
Jika kedua
anaknya // setibanya di Tanah Jawa // keduanya ku jadikan Bupati // keduanya
kujadikan raja // Namun tidak tau jalan // Berani melawan orang tua yang juga
Raja // akan kuminta kerelaanya // kedua anaknya akan saya bunuh // sebab sudah
murtad kepada orang tua dan yang kedua kepada Raja.
19.
Lan Ingsun harsa sung
wikan // mring Hongte Cina nagari // yen putrane wus patutan // lan ingsun
kakung sawiji // nanging tan weruh becik // wani mungsuh Bapa Ratu // sun jaluk
lilanira // putrane ingsun pateni // lan sun jaluk biyantu prajurit Cina.
Saya akan
memberitahukan juga // Raja Hongte di Cina // jika putrinya sudah mempunyai
anak // dengan saya,, hanya seorang putra // namun tidak mengetahui kebaikan //
Berani memusuhi orang tuanya sendira yang juga raja // saya mohonkan
keralaannya // cucunya akan saya bunuh // dan saya mohon bantuan prajurit Cina.
20.
Samekta kapraboning
prang // anjunjung nagara Bali // yen wus samekta ngayuda // asikep kaprabon
jurit // manawa pada eling // labet kabecikanipun // kalawana duwe welas //
mring wong wungkuk kaki-kai // yekti teka ing Bali samekteng yuda.
Lengkap dengan
peralatan perangnya // menuju ke kerajaan di Bali // jika semua pasukan sudah
siap // dengan peralatan perangnya // jika masih ingat atas kebaikan // dan
juga jika masih punya rasa kasihan // kepada kakek yang sduah bungkuk // pasti
akan datang ke Bali lengkap dengan pasukannya.
21.
Sun ajak mring
Tanah Jwa // angrebut karaton mami // nadyan prang gedhe gempuran // lan anak
ingsun tan sisip // wit ingsun tan ngawiti // tinggal carane wong agung //
Sunan Kali miyarsa // dawuhe Sri Narpati // pan alegeg ngandika jroning
wardaya.
Akan saya ajak ke
Jawa // untuk merebut kerajaanku // walaupun akan terjadi perang besar-besaran
// melawan anakku sendiri itu tidak salah // karena bukan saya yang mengawali
// dalam menggunakan tidak akan meninggalkan tata cara orang besar seperti
anaku.// Ketika Sunan Kali mendengar // apa yang dikatakan sang raja // terdiam
dan dalam hati berkata
22.
Tan cidra ing
dhawuhe ira // Nyai Ageng Ngampelgading // si iyang wungkuk bergagah / bergigih
gagahi nagri // tan miyat wujud diri // geger wungkuk kulit kisut // lamun iki
banjura // anyabrang marang ing Bali // nora wurung karya perang brata yuda.
Sungguh tidak
salah apa yang dikatakan // oleh Nyai Ageng di Ampel Gading // bahwa si eyang
yang bungkuk // tetap ingin menguasai negara // tidak melihat ujud dirinya //
sudah bungkuk dan berkulit kisut // jika terus melanjutkan // menyeberang ke
Bali // akan terjadi perang Barata Yuda.
23.
Tur Demak mangsa
menanga // karana katindih sisip // mungsuh Bapa pindo Raja // ping telu agawe
becik // yekti wong Tanah Jawi // kang durung Islam satuhu // asih mring Ratu
tuwa // angantep tangkeping jurit // yekti kasor wong Islam tumpesing aprang.
Melawan Demak,
dan Demak tidak mungkin menang // karena di posisi yang salah // melawan orang
tua yang kedua sebagai Raja // yang ketiga telah memberi kebaikan // pasti
semua orang Jawa // yang agama Islamnya belum kuat // lebih memilih membela
Raja yang tua // dan akan melakuka perlawanan melawan Demak // Pasukan Islam
jelas akan kalah.
24.
Wasana alon
turira // duh pukulun Sribupati// upami Tuan lajengna // ing karsa Paduka Haji
// nimbali pra Narpati // tan wurung dadya prang brubuh // punapa boten ngeman
// risake nagari Jawi // sayektine putra paduka kasoran.
Kemudian Suna
Kali berkata pelan // Wahai sang Raja // Jika Tuan terus melanjutkan // apa
yang menjadi keinginan Tuan // memanggil para raja // tentulah akan terjadi
perang besar-besaran // apakah tidak kasihan // atas kerusakan Negri Jawa //
pasti Putra Padukan akan kalah.
25.
Paduka jumeneng
Nata // Tan lama nuli ngemasi // keprabon Nata kaliya // sanes darah Paduka ji
// umpaminipun anjing // rebatan bangkening gembluk // kang kerah tulus kerah
// tumpesan sami ngemasi // daging manah tineda mring sanes sona.
Engkau akan
menjadi raja kembali // tidak berapa lama engkau meninggal dunia // Kerajaan
akan dikuasai orang lain // yang bukan keturunan Paduka raja // jika
diibaratkan anjing // berebut bangkai monyet // yang bertengkar terus
bertengkar // akhirnya keduanya meninggal // dan hatinya akan dimakan anjing
lainnya.
26.
Ngandika Sri
Brawijaya // luwih karsaning Hyang Widdi // Ingsun Ratu Binathara netepi matakku
siji // tan amot mata kalih// siji bener paningalku // ingkang miturut sarak //
pranatane bangsa inggil// yen si Patah ngrasa duwe bapa mring wang.
Berkatalah Sri
Brawijaya // itu terserah kehendak Tuhan // Saya sebagai Raja di Raja.. melangkah
menggunakan satu mata yaitu mata hati // tidak akan bisa jika menggunakan dua
mata // dengan satu mata hati akan benar penglihatanku // yang menurut sarak //
dan aturan bangsa yang luhur // seharusnya si Patah merasa bahwa sayalah ayah
kandungnya.
27.
Kapengin dadi
Narendra // disuwun krana becik // karaton ing Tanah Jawa // sun paringken
lawan aris // ingsun wus kaki-kaki // wus wareg jenenging Ratu // trima dadi
pandita // pitekur ana ing wukir / balik mangke si Patah siya maring wang.
Jika mengingkan
untuk menjadi Raja // diminta dengan cara yang baik // Kerajaan di tanah Jawa
// akan saya kasihkan dengan senang hati // saya sudah kakek-kakek // telah
kenyang menjadi raja // sudah waktunya menjadi pandita // bertafakur di atas
gunung // lihatlah sekarang si Patah menyia-nyiakan diriku.
28.
Sayekti ingsun
tanrila // ing Jawa dipun ratoni // luwih karsaning Sukmana pamintaningsung ing
nguni // Suna Kali Miyarsi //
ngandikanira Sang Prabu // rumangsa tan kaduga // ngaturi Sri Narpati // nulya
muwun sumungkem pada Sang Nata.
Sungguh saya
sangat tidak akan rela // Jika dia yang menjadi raja di Tanah Jawa // lebih
lebih kehendak sukma ku // itulah permohonanku sejak dahulu // Ketika sunan
Kali mendengar perkataan raja// Dia merasa tidak tega // untuk membujuk rayu
sang raja // sambil menangis dia bersujud kepada raja.
29.
Nyaosaken
cundrikira // umatur sarwi anangis // manawi karsanta Nata tan arsa kula aturi
// tan sanget aningali // pratingkah kang langkung saru // kawula nyuwun pejah
// suwawi tuwan telasi datan tahan ginaguyu hisining rat.
Sambil memberikan
keris nya // berkata sambil menangis // Apabila sang raja tidak berkenan atas
nasihat saya // saya tidak ingin melihat // kejadian yang lebih mengerikan //
lebih baik saya mati // bunuhlah saya karena saya tidak akan tahan ditertawakan
se isi dunia.
30.
Kandeg tyas Sri
Brawijaya // tri pandurat tan kena ngling // tebah jaja nenggak waspa // lah
Sahit lungguha dihin // sun pikire kang mening // sun timbange aturmu // temen
lan gorohira // karana ingsun kuwatir // kehing atur manawa sira lamisan.
Seketika berhenti
jalan pikiran raja // termangu tanpa bisa berfikir // menepuk dada menelan air
mata // Wahai Sahit duduklah dahulu // akan saya pikirkan dulu dengan tenang //
saya nalar dulu nasihatmu // antara jujur ataukah dusta // karena saya kuatir
// semua kata-katamu hanya manis di mulut saja.
31.
Eh Sahit iku
Ulama // sun kundur mring Majapahit // Si Patah seba ngarseng wang // getinge
tan bisa mari // dene duwe Sudarmi // Buda kawak kapir kupur // lali tan
ngetang Bapa // sun cinekel kinabiri // sinung karya atunggu lawang pungkuran.
Wahai Sahit
engkau adalah Ulama // jika saja saya pulang ke Majapahit // Si Patah menghadap
kepadau // bencinya tidak akan hilang // Karena mempunyai orang tua //
Kakek-kakek beragama Buda kafir kufur // dengan itu akan lupa kepada ayahnya //
saya akan ditangkap di kebiri // kemudian akan dijadikan penunggu pintu
belakang.
32.
Esuk sore miwah
siang // pinardi sembahyang mami // yen tan bisa dipun guyang // ing blumbang
dikosoki // alang-alang kang garing // iba-iba susah ingsun // rupa ala wus
tuwa // njekukuk kinum ing warih// sru gumujeng Sunan Kalijaga.
Pagi sore dan
juga siang // saya akan diajari sembahyang // jika tidak bisa saya akan
diguyang // di sungai buatan di gosok// menggunakan alang-alang kering //
Betapa sengsaranya hidupku // sudah tua dan berwajah jelek // meringkak di
rendam dalam air // Tertawa keraslah Sunan Kalijaga.
33.
Mokal kadya
punika // kawula kang tanggel benjing // manawi putra Paduka siya ing paduka
Aji // dene bab ing Agami // sakarsa
paduka tinut // namung langkung utama manawi paduka arsi // sarak Rasul anebut
asmaning Allah.
Tidak akan
terjadi hal demikian // saya yang menjadi jaminannya // Jika putra paduka
berbuat demikian kepada paduka tuan raja // sedangkan soal Agama // terserah
apa yang paduka peluk // namun akan lebih baikya jika paduka berkenan //
beragama Syariat Rasul menyebut Asma Allah.
34.
Yen
tan karsa tan punapa // karana babing Agami // tan muhung Shalat Sembahyang
pikekahira Islami // nging sadat kekah ugi // nadyan shalat dingkal-dingkul
yang dereng ngertos Sadat // tetep yen punika kapir // angandika Maha Brabu
Brawijaya.
Jika
tidak berkenan tidak apa-apa // Karena soal keyakinan Agama // buka hanya
Shalat sembahyang saja rukun Islam itu // Syahadat juga termasuk // Jika
menjalankan Shalat berkali-kali jika belum mengerti apa syahadat yang
sesungguhnya // itu masih tetap kafir // Barkatalah Prabu Brawijaya.
35.
Sadat iku kaya
apa // manira durung mangerti // age sira ucapna // mirengna talingan mami //
matur Jeng Sunan Kali // gih punika lapalipun // ngucap Ashadu Allah // la ila
ha illalhi // kaping kalih angucap ashhaduanna.
Syahadat itu
seperti apa // saya belum mengerti // segeralah kau ucapkan // Perdengarkan
kepada telinga saya // Berkatalan Sunan Kali // beginilah kalimatnya // Ashadu
Allah // la ila h illallah // yang kedua mengucapkan Ashadu anna
36.
Muhammadar
Rasulullah // tegese ingsun ngawruhi // pan ora ana Pangeran // amung Allah
kang sejati // lawan ingsun nekseni // Jeng Nabi Muhammad iku // utusanira
Allah // la ila ha illallahi // ya Muhammad Rasulullah kang sanyata.
Muhammad ar
Rasulullah // artinya adalah saya menyaksikan // sesungguhnya tidak ada Tuhan
// hanya Allah saja yang sejati // dan saya menjadi saksi // Kanjeng Nabi
Muhammad itu adalah // utusan Allah //
La ila ha Illallah // ya Muhammad Rasulullah yang sebenar-benarnya.
37.
Wong
kang nembah Puji Aran // tan wikan wujud sejati // atetep dados wong kopar //
tiyang ingkang nembah puji // kang sipat wujud warni // nembah brahala ranipun
// lahir batine sasar // wikana ing lahir batin // tiyang ngucap sumurupa kang
den ucap.
Orang yang menyembah
sebatas nama saja // Tidak memahami wujud aslinya // tetap mejadi orang kopar
// Orang yang melakukan sembah puji // hanya kepada sifat wujud warna //
menyembah berhala namanya // lahir batinnya tersesat // Pahamilah lahir dan
batin // Jika berkata, pahamilah apa yang diucapkan.
38.
Tegese Nabi
Muhammad // Rasulullah kang sejati // Muhammad makam kuburan // kubure rasa sakalir // ragane janma iki // kubure
rasa sadarum // muji badan priyangga // amuji Muhammad Ngarbi // raganing wang wayangan dzating Pangeran.
Arti
dari Nabi Muhammad adalah // Rosulullah, sebenar-benarnya utusan Allah //
Sedangkan Muhammad sendiri sekarang (yang
artinya atau kedudukannya sedang bukan selaku nabi tapi orangnya) sekarang berada
di dalam) kuburan (karena telah meninggal dunia dan sekarang sudah dikubur dan
di jamin jasad Nabi Tidak akan rusak selamanya). // sedangkan kuburan dari semua rasa adalah // raga manusia ini // sebagai tempat
semua rasa yang ada // memuji badan sendiri // sama saja memuji Muhammad Arab
(ketika sedang berkedudukan bukan sedang sebagai nabi )// Raga manusia adalah
sebagai bayangan dzat Tuhan. (Hati-hati memahami tentang hal ini ... jika masih
bingung.. carilah ilmunya sampai ketemu ---- ).
39.
Wujud makam isi
rasa // Rasul rasa kang nusuli // rasa mangan manjing lesan // rasule minggah
suwargi // anglebur tanpa dadi // leleh luluh dadi endut // anyebut Rasulullah
// rupa ala ganda bacin // Nama Allah rupa ala ganda salah. (hati-2 jangan
salah tafsir.Pen).
Wujud makam yang
berisi rasa // Rasul (Dalam ilmu kerata basa jawa ) adalah Rasa yang keluar (nusuli) atau Rasul
adalah yang mengeluarkan rasa // rasa dari makanan mulutlah yang merasakan //
Rasule (utusan) sebagai jalan naik ke surga // menyatukan rasa akan menjadi //
bercampur menjadi lumpur // menyebut rasululah // (dalam ilmu kerata basa jawa
bukan arti yang sebenarnya seperti arti menurut Bahasa Arab ) akan bermakna // rupa jelek berbau bangkai
// Nama Allah ( menurut keratabasa jawa ... bukan allah seperti bahasa Arab) //
rupa ala (rupa jelek berbau salah.
40,
Riningkes
sebutanira // Muhammad Rasulollahi // ingkang dihin iku badan // ping kalih
meruhi tedi // kaping tri weruh ngisi // rasa jro suwarganipun // wus wajibe
manusa // mangeran rasa lan tedi // dadya nebut Muhammad ya Rasulullah.
Diringkas akan
menjadi sebutan (Muhammad Rasulollahi ) tapi ini ditinjau dari kerata basa
(bukan ditinjau dari terjemahan bahasa Arab). // Yang pertama adalah badan //
yang kedua memahami apa yang dimakan // yang ke tiga memahami isi dari // rasa
.. itulah surganya orang makan // sudah seharusnya bahwa manusia // menuhankan
(mencari nikmat) dari rasa makanan // sehingga akan mengatakan Muhammad
Rasululohi. (Makna seperti tersebut di
atas // bukan maka terjemahan dari bahasa arab)
41.
Mulane Santri
Sembahyang // angucap rapal ushalli // angrawuhi asal ira // kang manjing
raganing janmi // asale roch ilapi // tegese Rasul puniku // inggih jatining
rasa // wijile rasa ngurip // mijil saking badaning Muhammad kekah . (Hati-2
jangan salah tafsir. pen).
Makanya ketika
santri akan melaksanakan sembahyang // mengucap rapal ushalli // yang bermakna
“ pahamilah darimana sesungguhnya diri berasal // diri yang masuk ke dalam raga
manusia // itu berasal dari ruh idlafi // arti Rasul adalah // Rasa sejati //
yang mengeluarkan segala rasa ketika hidup // itu berasal dari raga muhammad
yang menjadi panutan.
42.
Lantaran ashadu
Allah // mila pancen munggah Kaji // pinuji ngucap ngertiya // Ashadu Allah ing
nginggil // lamun mboten mangerti // sadat kang kasebut ngayun // tan wikan
kapir Islam // tan weruh purwane dadi //
awit saking kang rapal Ashadu Allah.
Dengan jalan
ashadu Allah // itu sebenar-benar naik haji // benar benar memahami siapakah
yang di Puji (disembah) // Ashadu Allah seperti telah disebutkan sebelumnya //
jika belum mengerti // Sahadat yang telah tersebut di depan // tidak akan
memahami apa yang di maksud Kafir Dalam Islam yang sesungguhnya // Tidak akan
bisa memahami diri berasal darimana dan akan ke mana // bahwa sesungguhnya
semuanya berasal dari yang disebut Ashadu Allah.
43.
Rehning Kanjeng
Rasulullah // punika bangsa Ngarabi // wikan gunggunge manusa // ing donya
muhun sadosin // warninipun mung kalih // estri akaliyan jalu // samya medal
sing makam // sami angsal Roh Ilapi // medal saking makaman badan kang mlekah.
Karena Kanjeng
Rasulullah // itu berbangsa Arab // paham benar jumlah manusia // di dunia
jumlahnya hanya dua belas // jenisnya hanya dua // perempuan dan laki-laki //
semuanya keluar dari makam // yang mendapkan roh idlofi // keluar dari badan
yang merekah.
44.
Rehning Jeng
Muhammad Mekkah // pinaring Wahyu Hyag Widdi // bikak kawruh gaib samar //
sartane sagunging janmi // dadya ingkang pinuji // Muhammad nagari Ngarbun //
sebab kang meruhana tata Agami Islam // Muji Guru Muhammad kang lahir Mekkah.
Karena Kanjeng
Muhammad yang di Mekkah (bukan muhammad yang sebatas bahasa jawa ) // mendapat
anugerah wahyu dari Tuhan // sehingga diberi kemampuan membuka ilmu rahasia
yang amat rahasia // sehingga semua manusia // akan memuji // Muhammad yang berasal dari Arab // Sebab lantaran dia
sebagai jalan memahamkan syariat Agama Islam // Mengagungkan Nabi Muhammad saw.
yang lahir di Mekkah.
45.
Sarat mawas
keblatira // Ka’bahtullah Mekkah Nagri // niku tata kalahiran // eninge ing
dalem batin madep keblat pribadi // ing guwa SIRR ciptanipun // punika
Ka’bahtullah // apan ta raganing janmi // Ka;bahtullah prahu gaweyaning Allah.
Syariat dari
kiblat adalah // Ka’bahtullah di negara
Arab // itu kiblat lahir // Kiblat hakikat itu berada dalam batin sebagai arah
kiblat tiap diri pribadi // berada di dalam sirr tempat yang sangat rahasia //
Itulah Ka’bahtulah secara hakikat // itulah yang dimaksud bahwa raga manusia //
adalah yang memuat Ka’bahtullah ciptaan Allah swt.
46.
Gih betolah gih
makaman // ing raga hulun puniki // wujud guwa siring cipta // damelanira Hyang
Widdi // sun gawa wira wiri // manut siring cipta hulun // pundi panggenan kula
// niku tengah jagad mami // dados keblat raga hulun sipatullah.
Jadi tempat
baitullah yaitu // di dalam diriku ini // berujud dua sirnya cipta // Buatan
Tuhan // saya bawa ke mana-mana // mengikuti siring cipta saya // dimanapun
saya berasa // itulah pusat dunia // yang menjadi kiblat ada dalam raga saya
dari sifatulah.
47.
Pan kinarya
kanyatahan // sipat wujuding Hyang Widdi // pinarengaken kawula // mirsa
nganggo raga dadi // tan wikan andarbeni // tan weruh ing kabulipun // mirsa
hanganggo raga // sun tingali mata siji // kang kagungan wujud Allah tunggil
kula.
Yang menjadi
tempat // sifat wujud dari Tuhan // yang diberikan kepada hamba // di dalam
raga tempat nya // akan tetapi jika tidak memahami bahwa kiblat ada dalam diri
// maka sama saja tidak mengetahui jika hanya // dilihat dengan mata yang ada
di raga // saya lihat menggunakan mata satu (mata hati ) // yang memiliki
segala bentuk itu Allah berada Satu dengan saya.. (Satu bukan menyatu .. dekat
tak bersentuhan jauh tak terjangkau angan .. oran jawa bilang .. cedhak tanpa
senggolan – tebih tanpa wangenan ).
48.
Upami tiyang
ngeklasna // mengagungkan Muhammad Ngarbi // mawas ka’bahtullah Mekkah ,//
sembah sebutan dumugi // upami boten muji // Muhammad kang mijil Ngarbun //
tetep kopar kapiran // tan wikan purwane dadi // awit saking kang rapal wa
saduallah.
Jika orang itu
ikhlas // memuji Muhammad Arab // dengan melihat Ka’batullah Mekkah // sebutan
sembahnya akan sampai // jika tidak mengagungkan // Muhammad yang lahir di
Mekkah // tetap kopar kafir // sama saja tidak memahami asal diri // sebab yang
dimaksud dengan kalimat Wa as hadu Allah.
49.
Pami tiang
minggah wisma // priksa nganggo wisma dadi // sayektine ingkang gadah //narik
sewan saben ari // pituwas nganggo panti // yen tan bayar dipun ukum // siniya
sinikara // linebokaken ing buwi // mila wajib ngabekti kang karya badan.
Seperti orang
yang menempati rumah // tiap hari menyadari menggunakan rumah itu // pastilah
yang punya rumah // menarik sewa tiap hari // sebagai ganti biaya menempati
rumahnya // jika tidak mau membayar sewa
akan dihukum // disiya-siya dan disiksa // dimasukan ke dalam penjara //
sehingga wajib berbakti kepada yang membuat raga.
50.
Sinebut sajroning
kitab // dosane wong mring Hyang Widdi // kang durjana badanira // bekta raga wira wiri // tan wikan asalneki
// salamine jeneng pandung // ambekta raga gelap // den anggo dipun kukuhi //
wus wajibe sinikara dosanira.
Telah disebutkan
di dalam kitab // Dosa manusia kepada Tuhan // yang menyia-nyiakan raganya //
membawa raga ke mana-mana // tapi tidak memahami raga itu dari mana //
selamanya sesat // membawa raga yang
bukan miliknya // dipergunakan dan dikuasainya // sudah seharusnyalah disiksa.
51.
Sanese dosa
punika // dosa guru lan narpati // yayah rena garwa putra // miwah ta marang
sasami // dosa samining jalmi // angsal rekes nyuwun maklum // wong nganggo
raga gelap // dosa mring Allah pribadi // yekti kunjuk rekese nyuwun ngapura.
Selain dosa
tersebut // ada dosa kepada Guru dan penguasa // kedua orang tua dan
putra-putrinya // dan juga dosa terhadap sesama // dosa kepada sesama makhluk
// bisa diampuni dengan jalan memohon maaf // Orang yang menggunakan raga akan
tetapi tidak memahami raga itu dari mana // dosa kepada Allah secara pribadi //
itu harus bertobat mohon pengampunan.
52.
Mila wajibe wong
gesang // sayogya sami ngawruhi // dununge sarak sarengat / hakekat
tharekat yekti // makripat ping
gangsaling // angandika Sanga Prabu // artine kadya paran // kang aran
sarengat iki // alon matur Kanjeng Sunan
Kalijaga.
Kewajiban manusia
hidup itu // sebaiknya bisa memahami // apa yang dimaksud Syarat, Syari’at //
Hakikat, Thariqat yang sesungguhnya // Ma’rifat yang kelimanya // Berkatalah
sang Raja // Seperti apakah artinya // yang disebut dengan Syari’at // Sunan
kalijaga menjelaskannya dengan pelan.
53.
Tegese nama
sarengat // yen sare jengat kan perji // tarekat taren mring garwa / hakekate
sami hapti // den hakken aben wadi // kedah rujuk estri jalu // makripat
ngertos wikan // sarak-sarak laki rabi // ngaben ala wus kaiden yayah rena.
Yang dimaksud
dengan Syarengat // (kerata basa) Jika tidur (meninggalkan urusan dunia ) maka
berdirilah kemaluannya atau rahasianya (Sirnya bangkit) // Tarekat mohon ijin
kepada Istri (Munajat kepada Tuhan) // Makripat mengetahui dan memahami //
syarat rukun nikah (syrarat menyatu dengan tuhan – menyatu bukan bermakna
menjadi satu – sulit kutemukan kalimat yang tepat ) // menyatukan sesuatu
rahasia telah mendapat restu orang tua
(telah mendapat ijin Tuhan untuk menyatukan rasa dengan rasa Tuhan –
Bahasa lainnya – Manunggaling Kawula Gusti – walau makna yang paling pas tidak
bakalan bisa di urai dengan kata ).
54.
Ping kalih
idining Raja // ping tiga saksi sasami // nyuwun idi Bapa biyang // jalaranira
dumadi // nyuwun idi narpati // wewakilira Hyang Agung // saksi dateng sasama
// kahuningana sasami // estri iki dadi betolah kawula.
Yang kedua ijin
penguasa // yang ketiga saksi dari sesamamnya // Mohon restu orang tua // yang
melalui dia kau menjadi ada // mohon ijin penguasa // sebagai wakil Tuhan //
adanya saksi dari sesama agar pernikahan itu di ketahui masyarakat // Isteri
itu menjadi Biatullah makhluk. .
55.
Gen salulut
kawula // shalat dateng Mekkah Kaji // wujudira wujud ana // ananya ana pribadi
// boten Sahadat malih // kang boten mawi Ashadu // pisahe raga sukma // punika
adat Sarani // gih punika sahadat tanpa lawanan.
Tempat mangedu
kasih // ibarat shalat dan pergi Haji // wujud diri wujud yang ada // dan
adanya ada dengan sendirinya // jika sudah di tingkat ini bukan syahadat lagi
namanya // syahadat yang sudah tidak mengucapkan Ashadu (Syahadt Hakikat) //
memisahkan raga dan sukma itu // adat Nasarah (Kristen) // itulah syahadat
tanpa ada lawannya.
56.
Sampun bekta
sampun nilar // jazat paduka kang pasthi // mung ngaturna ing titipan // den
aturna kang nitipi // suka Sri Narapati // duk miyarsa aturipun // Jeng Sunan
Kalijaga // wus gingsir ingkang
panggalih // karsa Islam anbut asmaning Allah.
Jangan di bawa
jangan ditinggal // jazad tiap diri kembalikan denga seharsunya // kembalikan
bahwa itu hanya titipan // dikembalikan kepada yang menitipkan // Senang lah
Sang Raja // setelah mendengar penjelasan // Jeng Sunan Kalijaga // telah
pahamlah dalam pikirannya // sehinga mau memeluk Agama Islam dengan menyebut
Asma Allah.
57.
Sukeng Tyas Sang
Brawijaya // mesem angandika aris // nyata bener Sahit gampang // ngelmune wong
Islam iki // becik ing dina mangkin // ingsun manjing Sarak Rasul // anebut
Nama Allah // Pangeran ingkang sajati // saksenana iki Sahit Islamingwang.
Senanglah hati
Sang Brawijaya // sambil tersenyum berkata // Wahai Sahit memang benar-benar
mudah // ilmu dari orang Islam ini // baiklah sekarang juga // saya memeluk
sarak Rasul // menyebut Asma Allah // Tuhan yang sejati // Kau saksikan wahai
Sahit atas Islam ku ini.
58.
Suna Kali tur
andika // Sang Prabu ngandika malih // yen wus Islam jenengingwang // ingsun kundur Majapahit // pasrah kaprabon
mami // si Patah sun junjung Ratu // mengku rat Tanah Jawa // genteni kaprabon
mami // sun mandita aneng gunung sesingitan.
Sunan Kali
berkata, akulah saksinya // Sang Prabu kemudian berkata // Setelah saya memeluk
Agama Islam // Saya akan pulang ke Majapahit // akan menyerahkan karajaan ku //
kepada si Patah yang akan saya angkat menjadi Raja // menguasai seluruh Tanah
Jawa // menggantikan Tahta saya // saya akan bertafakur di gunung mengasingkan
diri.
59.
Sunan Kali
aturira // langkung jumurung Sang Haji // kados karsa padukendra // mendah
sukanering galih // putranta Sang Dipati // paduka sinunggi ngembun // jinimat
pinusaka // pinuji sinungggi –sunggi // wong sapraja tur tunggil agamanira.
Sunan Kali
mengatakan // saya mendukung langkah Sang Raja // seperti yang engkau kehendaki
itu // alangkah bahagianya hati // Putra
handa Adipati // Engkau akan di angkat di atas kepala // dijadikan pusaka //
diagung-agungkan // oleh rakyat di seluruh negeri yang Agamanya sudah sama
seperti Agama yang Tuan anut.
60.
Suna Kali
angrerepa // ature arum amanis // kewes luwes tur memelas // utamanira Sang
Haji // terusa lahir batin // pratanda Islam satuhu // sampun batin kewala //
lahire mawiya saksi // paras rikma agundul kakos kawula.
Sunan kali merayu
// berkata dengan indah dan manis // indah rapih dan kata-kata yang
membangkitkan rasa iba // Dalam tata lahir harus ada bukti // rambut harus
dipotong pendek seperti saya, kata Suna Kali.
61.
Ngandika Sri
Brawijaya // iya parasana mami // melu gundul kaya sira // Sunan Kali ngasta
gunting // sigra dipun parasi //
mustakane Sanga Prabu // kang rikma datan pasah // umatur Jeng Sunan Kali //
Kados pundi akarsa paduka Sang Nata.
Berkatalah Sri
Brawijaya // silahkan kau cukur saya // ikut gundul seperti dirimu // Sunan
Kali mengambil gunting // segera memotong rambut // yang ada di kepala Sang
Raja // akan tetapi rambutnya tidak bisa dipotong // maka berkatalah Sunan Kali
// Bagaimanakah kehendak engkau wahai Sang Raja.
62.
Karsa dawah
lelamisan // tan terus prapta ing batin // ing batos wus karsa Islam // ing
lahir maksih ngekahi // Agami kang
rumiyin // punika pratandanipun // dene rikma paduka // datan pasah kula
gunting // Islam batos namane Islam Bidalah.
Mengapa hanya
sebatas kata manis di mulut // tidak terus ke dalam hati // dalam batin telah
memeluk Islam // dalam tata lahir masih memeluk // Agama terdahulu // inilah
buktinya // dimana rambut paduka // tidak bisa saya gunting // Islam dalam hati
saja itu bernama Islam Bidalah.
63.
Islame batos
kewala // lahire maksih ngekahi // manawi lahire Islam // batosipun taksih
kapir // kapir ngidaban nami // utamenipun Sang Prabu // lahir batos Islama //
dados mawi netra siji // angadika Maha Prabu Brawijaya.
Islam hanya dalam
hati // lahirnya menganut lain Agama // apabila lahirnya Islam dan hatinya
kafir // Kafir ngidaban namanya // yang paling baik wahai Sang Raja // lahir
dan batinnya Islam // itulah makna menggunakan mata satu // Maka berkatalah
Maha Prabu Brawijaya.
64.
Lah Sahit sira
tutugna // amarsi marang mami // sun wus Islam terusing tyas // ingsun masuk
sarak Nabi // nulya ginunting malih // gya pasah rikma Sang Prabu // wus
waradin sadaya // ing parasira Sang Aji // angandika mring dasih aneng
pungkuran.
Wahai Sahit;
selessaikanlah // mencukur rambutku // saya telah Islam sampai kedalam jiwa //
saya memeluk Syariat Nabi // kemudian dipotong kembali // terpotonglah rambut
sang prabu // telah selesasi semuanya //
sang Raja dalam bercukur // berkatalah kepada abdinya di belakang.
BERSAMBUNG KE JILID : 2
http://bukuj.blogspot.com/2014/01/terjemahan-bebas-dan-naskah-asli.html
Jilid 2nya kok ngga ada... Ada versi aslinya ngga...
BalasHapushttp://bukuj.blogspot.com/2014/01/terjemahan-bebas-dan-naskah-asli.html // Ini jilid 2-nya kang Radhitya Giri Lawu
BalasHapusIni menarik (:
BalasHapus