Dimensi ke empat
dalam Ilmu Hakikat Jawa : Ilmu tahap awal untuk bisa memahami ilmu batin orang
jawa / Dasar-dasar Ilmu Rasa
Yang berhak berkata Aku, Ingsun, Pribadi, Dhewek.. Itu Hanya Dia (Dia-lah Allah Yang Tiada Tuhan Selain Dia ) . manusia sebatas dipinjami.
TERJEMAHAN BEBAS & NASKAH ASLI SERAT -
JATIMURTI
Penerbit : Yayasan UP. DJOJOBOJO - Surabaya
Penerjemah : Pujo Prayitno
1. TERJEMAHAN BEBAS
2. NASKAH ASLI
(Dibawah terjemahan).
PESAN
Penerjemah
: Pujo Prayitno
1.
Setiap setelah selesai dibaca, simpanlah, jangan ditaruh
sembarangan.
2.
Jangan dibaca oleh sembarang orang, hanya untuk yang
benar-benar pencari ilmu tentang batin.
3.
Bagi yang sudah mebacanya, walaupun paham dan senang,
jangan untuk bahan perbincangan dengan dengan sembarang orang.
oooOOOooo
.Siapapun yang mau menjalankan pesan pesan tersebut di
atas, termasuk disebut mejaga atau menghormati dirinya sendiri.
Penerjemah
: Pujo Prayitno
SARAN
DARI YANG MEMBUAT buku INI
Penerjemah
: Pujo Prayitno
1.
Pertamanya bacalah sekedarnya sampai tamat.
2.
Ulangi dari awal dengan pelan dan tenang.
3.
Jika sudah tamat ke dua kalinya. Simpanlah. Dalam membaca
yang ketiga dan seterusnya : tidak harus urut.
oooOOOooo
Pada awalnya tidak terang isinya
Namun jika sering disimpan dan dibaca dengan teliti dan
terus-menerus belajar
Semakin lama, semakin meningkat kejelasannya
Ditandai Sandi Tahun : Kawruh Raras Basuking Tyas
Penerjemah
: Pujo Prayitno
ISI BUKU
1. Pesan
2. Saran dari yang
membuat buku ini
3. Jatimurti Alam
Garis
4. Alam Bidang
5. Alam Jirim
6. Alam Kajaten/Yang
Nyata Adanya
7. Pramana
8. Pangesti, adalah
Kerja Batin mengikuti Keyakinan
9. Penjelasan Ukuran
Yang Keempat.
10. 27 uraian
pedoman.
11. Ringkasan Ilmu :
1 s.d 7.
12. Pertanyaan dan
Jawaban yang dimaksud Serat Jatimurti.
Penerjemah
: Pujo Prayitno
JATIMURTI
1. Penerjemah
: Pujo Prayitno
KEADAAN NYATA, oleh karena ada keadaan yang nyata,
berarti juga ada keadaan yang TIDAK NYATA.
Segala sesuatu yang ada, sesungguhnya berasal dari yang
ada. Yang tidak ada, sesungguhnya berasal dari tidak ada. Contohnya : Anak yang
bernama Dipa, atau kambing, kacang, jambu, asap, api, awan, adanya semua itu
hanya sementara, kemudian kembali tidak ada lagi. Bagaimana bisa disebut ada,
karena adanya hanya seperti gerak gelombang, bergelombang kemudian hilang,
kemudian ada gelombang lainnya lagi, kemudian hilang juga, begitulah
seterusnya. Jelas di sini, bahwa gelombang itu sebenarnya tidak ada. Yang tetap
disebut ada itu adalah airnya yang bergerak menjadi gelombang, bukan
gelombangnya. Gerakan air yang seperti itu, disebut dengan nama : Ombak. Ombak
itu bukan yang ada, hanya menjadi saja, .Jelas bahwa menjadi itu bukan yang
jadi.
Demikian juga isi seluruh alam ini, seperti : Gunung;
bumi, matahari, bulan, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, jika dipikir,
sebelumnya memang tidak ada, maka kesemuanya itu sesungguhnya memang tidak ada,
hanya : kejadian saja. Tidak benar-benar ada, atau : keadaan bohongan.
->>>>> Ora ana apa-apa, Mung
Allah kang ANA, Yaiku kang ana sa-bener-benere. Kasebut : KAHANAN JATI, tegese
: Kang Temen Anane. <<<< ----
->>>> Tidak ada apa-apa, Hanya
Allah yang tetap ada, itu disebut : KEADAAN NYATA, yang benar adanya.
<<<<-------
Cinta dunia itu bagaikan menabrak bayangan saja, tidak
akan bisa terpegang, apanya yang bisa dipegang, karena adanya tidak benar-benar
ada. Sangat menginginkan dunia itu bagaikan sangat menyenangi ilusi, akhirnya
akan hilang tiada bekas.
===>> Alam dunia itu jalan, ya harus
dilwati sesuai yang seharusnya, namun itu tidak nyata walaupun telah
dikuasainya <<====
===>> Siapapun yang melewati jalan, harus
paham, bahwa apapun yang ada di depannya, walaupun harus didatanginya, namun
hanya akan dilewati saja. <<====
oooOOOooo
Bedanya tentang dunia dan tentang yang nyata :
Alam dunia, jika dibanding dengan kedudukanTuhan, bisa
digambarkan seperti gambar film di tv, dibanding dengan : orang, rumah,
pepohonan dan sebagainya, pemeran film tersebut.
Pemeran film itu berujud “Jisim” yang bertempat di
“jirim” sehingga bisa bertempat di luar TV.
Sedangkan film nya sendiri, hanyalah berupa bayangan, yang tidak
mempunyai ketebalan, yang hanya bisa berada pada layar kaca saja. Sedangkan
adanya pun, hanya tergantung pada adanya layar kaca TV.
Jika ingin memahami : Apakah bedanya alam dunia dan Alam
Nyata, cukup jika bisa memahami : bagaimanakah beda antara GARIS dengan BIDANG.
Beda antara garis jika dibanding dengan BIDANG, sama saja dengan : BIDANG jika
dibanding dengan RUANG. Sedangkan beda antara “JIRIM” sangatlah jauh, saman
saja beda antara ALAM jika dibandingkan dengan ALAM NYATA (keadaan yang
sesungguhnya).
oooOOOooo
Bagaimanakah bedanya ?
Bedanya sangatlah jauh, bukan hanya sekedar beda, namun
bukan yang bisa dibandingkan, artinya : PERBANDINGAN YANG TIDAK SEMESTINYA.
Antara besarnya kuman dan besarnya bumi, walaupaun sangat
tidak sebanding jika diperbandingkan, namun masih bisa diperbandingkan, sebab
kedunya termasuk jenis “ Sedangkan ALAM NYATA dengan ALAM DUNIA, sangat jauh
beda jenisnya, jadi sama sekali tidak bisa diperbandingkan. Apakah mungkin 3
liter bisa dibandingkan dengan 3 Hektar? Apakah bisa jika dibanding dengan
daun?.
oooOOOooo
Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini, akan
diterangkan terlebih dahulu , tentang beda antara : GARIS, BIDANG dan RUANG. (Jirim).
Jika seseorang menginginkan untuk bisa memahami dengan
tepat tentang kedudukan alam terhadap alam nyata (kahanan kajaten). Pahamilah
terlebih dahulu; bagaiman kedudukan garis terhadap suatu bidang, dan juga ;
juga bagaimana kedudukan bidang terhadap ruangan (jirim); serta bagaimana :
kedudukan bidang terhadap alam nyata (kahanan jati). Hal tersebut seperti juga
kedudukan bidang terhadap ruang, serta bagaimana kedudukan garis terhadap
bidang.
Hal tersebut bisa dinalar, sebagai berikut : Apakah garis
itu dan bagaimana kedudukan garis terhadap bidang ó Bidang itu apa dan bagaimana bidang itu terhadap Jirim
(alam) --- dua masalah tersbut untuk menggambarkan : Jirim (alam) itu apa dan
bagaimana hubungannya dengan yang nyata (kahanan jati). (Catatan : Ada contoh seperti ini : Garam dimasukan ke dalam laut,
garam hilang dan menyatu dengan laut. Itu sebagai gambaran menyatunya hamba
dengan Tuhan, itu juga benar. Namun perbandingan antara Alam Maya (alam dunia)
dengan Alam Nyata (kahanan jati) tidak bisa digambarkan dengan contoh Garam dan
Laut. Apakah sebabnya ? : Garam dan laut, dua-duanya adalah dari jenis “Jirim”
dan juga masih bisa dipisah. Buku ini menjelaskan kedudukan Jirim terhadap alam
nyata (kahaanan jati) itu sepeti sebeuah warna yang menempati suatu bidang).
Sekarang akan dijelaskan terlebih dahulu tentang garis,
bidang dan jirim : bagimana hubungan antara yang satu dengan yang lainnya,
sebab akan digunakan sebagai contoh yang teepat tentang masalah kedudukan Jirim
(alam) terhadap Alam yang sesungguhnya (Kahanan Jati.)
Langkah selanjutnya akan di praktekan dengan penjelasan
sebagai berikut :
a.
Apakah
garis itu dan bagaimana kddudukan garis terhadap bidang-hamparan.
Garis itu, berapapun jumlahnya, jika di jajarkan dan
dirapatkan bagaimana pun juga, tidak akan bisa membentuk menjadi bidang,
(permukaan), karena garis itu, tidak mempunyai ketebalan. Oleh karena garis itu
tidak mempunyai ketebalan, maka walaupun dikumpulkan tetap tidak akan bisa
membentuk bidang atau suatu permukaan.
Bidang atau suatu permukaan itu bukan garis, akan tetapi
mempunyai watak : mengandung garis tanpa batas jumlahnya. (Cataten : Di dalam suatu bidang, bisa diisi dengan
garis seberapa pun banyaknya tetap akan muat).
b.
Bidang itu apa dan bagaimana kedudukannya
terhadap jirim.
Bidang, berapa banyak pun jumlahnya, tidak akan bisa
membentuk kibik (jirim). Karena yang namanya bidang itu tidak mempunyai
ketebalan. Dan karena bidang itu tidak mempunyai ketebalan, walaupun
dikumpulkan tidak akan bisa membentuk Jisim. Sehingga Jisim itu, bukan bidang,
namun mempunyai sifat : mengandung bidang yang tidak terbatas jumlahnya. (Catatan : Sebuah jisim bisa di isi beribu-ribu bidang
tanpa merassa sesak).
Sehingga, yang tidak mengerti, akan mengira bahwa jirim
itu terbentuk dari berkumpulnya banyak bidang. Hal demikian, itu salah.
Demikian juga sebaliknya : Jika bidang dianggap sebagai bagian kecil dari
jirim, itu juga tidak benar.
c.
Jisim
itu apa dan bagaimana kedudukannya terhadap Yang Nyata.
Jisim, seberapapun besarnya, atau seberapapun banyaknya,
tetap tidak bisa menjadi Yang Nyata (Kajaten). Karena jisim itu bukan nyata.
Sebab hanya berupa jirim. Karena bukan yang nyata, walaupun menyatu dan
dikumpukan semuanya tetap bukan Yang nyata adanya. Sehingga : Yang benar-benar
nyata adanya bukan jisim ataupun jirim.—namun yang benar adanya itu : Menguasai
jirim seberapapun besarnya serta juga jisim seberapa pun banyak dan warnanya. (Catatan : Di dalam nyata adanya, itu bisa memuat jisim
yang sangat banyak dan tanpa batas besarnya. Semua alam yang saling masuk
memasuki antara alam yang satu dengan alam lainnya, semuanya berada di yang
nyata adanya. Bisa digambrkan seperti halaman buku yang berada di sebuah buku.
Seluruh isi alam ibarat tulisan yang berada pada tiap halaman buku).
Sehingga bagi yang tidak paham akan mengira bahwa yang
nyata adanya itu berasal dari berkumpulnya jirim atau seluruh alam beserta
isinya, yang tanpa batas besarnya dan tanpa bilangan jumlahnya. Hal seperti
adalah salah. Dan juga sebaliknya. Jika jirim diangap sebagai bagian kecil dari
yang nyata adanya.
( (Catatan : artinya adalah : jsim kasar
dan jisim latif (ruh) dianggap bagian dari : Dzat), Jelas hal itu
sangat tidak benar.
Uraian di atas, adalah sebagai pedoman dalam hal berfikir
bagi manusia tentang yang nyata adanya.
Jangan sampai mengaap Dzat Tuhan disamakan dengan jirim yang bertemepat. Atau
dikira atom atau pun molekul sebgai pembentuk alam dan isinya, itu sangatlah
sesat. Walaupun digunakan pada alam halus, itu tetap sesat.
Juga sesat jika dianggap sebagai ruh, karena ruh adalah
sebuah jirim yang bertempat , dan mempunyai watak yang berubah-ubah.
oooOOOooo
Dengan dasar pengertian tersebut di atas, tidak akan
membingungkan jalan pikiran manusia untuk memahaminya, dan juga bisa memahami
maksud dari gambaran, pedoamn atau dalil yang akan mengarahkan budi manusia
kepada yang nyata adanya. Seperti umpamanya :
1.
Apa sebabnya yang nyata adanya tidak bisa dibayangkan.
Atau apa sebabnya keadaan semua alam tidak bisa dipergunakan untuk
menggambarkan yang nyata adanya.
2.
Bagaimana sesungghnya bahwa yang nyata adanya tidak bisa
dipahami dan dibayangkan oleh manusia.
3.
Bagaimanakah pengertiannya : Yang Nyata Adanya berada
pada batin setiap yang ada dan tidak berada di luar atau pun di dalam, juga :
“Semua yang ada sudah bersama yang nyata danya, dan juga : Sesunggyhnya semua
tidak ada hanya Dzat-lah yang ada.
4.
Bagaimanakah penejelasannya : Dzat itu adalah tunggal
(murni) tanpa ada pembagian, semua alam (dunia dan semua alam halus) bukan
bagian dari Dzat. Jadi : bukan berasal dari menyatunya semua alam, dan
lain-lainya : Tentang yang disampaikan oleh Rasul.
Itu semua bisa jelas, setelah digambarkan terlebih
dahulu tentang penempatan garis terhadap
bidang, serta : bidang terhadap jirim, karena itu sebgai penggambaran ;
Pengetrapan jirim terhadap yang nyata adanya.
Ketika jisim bertempat tinggal dalam jirim, bagaikan
warna (merah, hijau) yang ada di sebuah bidang.
Semua jirim yang bergantung terhadap yang nyata adanya,
bagaikan bidang yang bergantung pada jirim yang punya bidang tersebut.
Jadi : Yang nyata adanya ketika berada di batin setiap
sesuatu, bagaikan jisim yang terlihat di dalam bidang atau rupanya.
Begitu juga, disebut tidak di luar dan tidak didalam,
bagaikan sebuah buku yang terlihat dari sisi-sisi halamannya.
Sehingga ada kalimat “Tidak
ada sesuatu pun, hanya Dzat yang benar adanya” itu seperti buku yang tidak bisa dibandingkan
dengan tiap halamannya, atau tulisannya atau gambar-gambar di dalamnya; karena
: Rupa, tulisan atau pun gambar-gambar yang ada di dalamnya, walaupun ada namun
tidak dianggap ada oleh jumlah lembaran kertas (jirim) (Warna itu bukan wujud
bagi jirim yang punya warna).
oooOOOooo
Sekarang akan menjelaskan tentang luas gerak dari
martabat garis di dalam martabat bidang, dan luas gerak martabat bidang dengan martaba jirim, kemudian, martabat
jirim dengan martabab yang benar adanya.
Untuk menggambarka
hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
I.
ALAM GARIS
Edit : Pujo Prayitno
Garis, bidang, jirim, yang nyata adanya, semuanya adalah
alam, yang dimaksud alam di sini adalah : suatu martabat yang ditempati).
Alam garis sangatlah sempit, yang menempati alam garis
adalah “titik”. Titik hanya bisa bergerak di alam garis sebatas panjang dari
garis tersebut. Artinya hanya bisa bergerak maju dan mundur, tidak bisa bergerak
ke arah kanan dan ke kiri, hanya ke depan dan belakang saja.
Titik tida punya cara untuk menyimpang. Sehingga jika
sebuah titik dihalangi geraknya di depan di belakangnya, tidak ada tempat untuk
bergerak, kecuali memasuki alam sebuah bidang. Sedangkan untuk bisa memasuki
alam sebuah bidang, jika berganti ujud seperti cara dari bidang, artinya :
membentuk bidang kecil atau bulatan kecil, sehingga sudah tidak berbentuk titik
dari garis yang tidak mempunyai ketebalan (tidak menganggap dirinya di alam
garis, tapi menganggap dirinya berada di alam sebuah bidang atau hamaparan). (Catatan : Yang menganggap adalah yang sedang membaca buku
ini, bukan si Titik. Mundur, maksudnya di sini adalah : Ke arah belakang dari
yag sedang membaca buku ini; Maju, juga ke arah yang sedang membaca buku ini.
Tidak lain : Rasa dan anggapan yang membaca buku ini, yang sedang mencari ilmu
tentang kesempurnaan).
II. ALAM BIDANG
Edit : Pujo Prayitno
(Catatan kaki : Tanah itu bidang yang rata
seperti juga permukaan air yang tenang).
Alam sebuah bidang lebih lebar dibanding alam garis.
Sebab di alam sebuah bidang tidak hanya arah depan dan belakang saja, juga ada
kiblat/arah kiri dan kanan. Sehingga dengan ditambah arah kiri dan kanan,
jumlah jenis gerakannya sangatlah banyak, ke muka, belakang, kanan, kiri, dan
menyerong dengan sudut yang terkecil, sehingga bisa bergera ke banyak arah.
Sehingga jika sebuah bulatan kecil dihalangi geraknya dari muka dan belakang,
serta kanan dan kiri, maka masih bisa bergerak menyerong yang sangat banyak.
Namun, jika bulatan itu di kurung oleh garis yang berupa
lingkaran, maka tidak akan mendapat tempat lagi. Sebab di alam sebuah bidang
tidak ada kiblat/arah bawah dan atas. Bulatan tersebut tidak mempunyai cara
untuk keluar dari bidang. Gerakannya hanya mengikuti alam bidang, bagaikan
gamabar film di layar kaca TV. Akan selalu berada di dalam kaca TV,tidak bisa
keluar dari layar kaca untuk masuk ke alam Jirim. Sedangkan yang bertampat di
alam jirim adalah jisim. Seperti : Batu, kayu, air, manusia, hewan dan sebagainya.
Sehingga untuk bisa masuk ke alam jirim, apabila berubah sifat mengikuti cara
yang digunakan di alam jirim. Artinya : Berbentuk jirim, sudah tidak berujud
bulatan. Tidak beranggapan sedang di alam sebuah bidang, akan tetapi menganggap
sedang berada di alam jirim.
(Catatan
: Jisim itu bahasa Arab, yang dimaksud jisim adalah : Batu, kayu, manusia,
angin, air, kertas, matahari, bumi dan sebagainya. Orang Jawa menyebutnya
dengan “wujud” sedangkan api, cahaya, bayangan, pelangi, suara itu semua bukan
jisim).
Jirim juga bahasa Arab, artinya : Ruangan yang
ditempati jisim, seperti : kubus sebuah dadu. Itu selalu menempati jirim yang
bentuknya dadu serta besarnya sebesar dadu. Namun jika jirim hanya dimaknai
ruangan saja : kurang pas, yang benar, jisimnya masuk dalam kata jisim. Untuk
lebih mudahnya : Tiap jisim itu jirim, namun tidak semua jirim itu jisim, sebab
alam hampa itu jirim, namun bukan jisim. Sedangkan batu itu, jirim yag keras.
Jirim yang keras itu disebut jisim.
III. ALAM JIRIM
Edit : Pujo Prayitno
Alam jirim lebih luas dibanding alam sebuah bidang, sebab
tidak hanya mempunyai kiblat depan, belakang, kiri, kanan saja. Akan tetapi
juga mempunyai kiblat atas dan bawah. Sehingga jika jisim dibatasi lingkaran,
masih punya tempat yang luas untuk bergerak, sebab bisa : Naik dan uturn, ke
kiri dan kanan, maju mundur, serong kanan kiri, menyamping ke atas dan bawah,
sekehendaknya bagaikan lalat terbang atau ikan yang berenang.
Namun, jik ajirim dibungkus dengan barang yang lebar atau
kotak, tidak akan mendpat tempat lagi, sebab di alam jirim, yang ada di
dalamnya pastilah jisim, yang membutuhkan jirim untuk bertempat tinggal,
kecuali bisa masuk ke alam yang nyata adanya (kejaten). Sedangkan untuk bisa
memasuki alam Nyata, jika berubaha sifat mengikuti cara alam yang nyata adanya.
Artinya : Tidak mengaku berujud jisim, tapi merasa sebagai Alam yang nyata
adanya (kejaten). Dn tidak merasa bertempat di alam jirim, justru menguasi atas
jirimnya.
(Catatan
: Sedangkan yang beranggapan seperti itu adalah kajaten (alam yang nyata
adanya) bukan orang kejaten. Yaitu rasa jati dari yang sedang membaca buku ini,
bukan anggapan yang ada di angan-angan).
.
IV. ALAM KAJATEN/YANG
NYATA ADANYA
Edit : Pujo Prayitno
Alam yang nyata adanya sangatlah luas
(membingungkan), tidak bisa dibayangkan luasnya, walaupun dilihat dengan budi, tidak akan bisa ketemu jika dibandingkan dengan jirim, sebab di alam yang nyata adanya ada kiblat
lagi yang disebut kbilat lahir dan kiblat batin. Semua jirim menempati di alam
lahir kajaten. Sedangkan alam lahir dan alam batin , adalah kiblat yang tidak
bisa dibayangkan oleh manusia.
Oleh karena kajaten berada di sisi batin dari jirim atau
badan yang menguasai jirim, sehingga kajaten tidak membutuhkan jirim untuk
bertempat tinggal, justru malah menguasai seluruh tempat. Seperti penguasaan
jisim terhadap alam bidang. Atau seperti penguasaan alam bidang terhadap alam
garis. Sehingga jika kajaten bungkus dengan gedung baja yang kuat yang
berbentuk seperti kulit buah kemiri, tetap masih luas gerakannya, dan tidak
berakibat apa-apa. Seperti seekor kuda yang dikurung oleh lingkaran dari pensil
yang dibuat di permukaan kulit di tubuh kuda tersebut.
Alam yang nyata adanya (kejaten) tidak bisa dipengaruhi
oleh apapaun karena bukan jirim, dan selalu benar, dan sebagai sumber dari
segala kebenaran.
Yang menguasai alam yang nyata adanya (kajaten), adalah :
INGSUN, artinya : Pribadi = Aku, berdiri sendiri menguasai seluruh ciptaan, dan
telah diakui oleh seluruh isi alam atau yang mengaku dari isi seluruh alam.
Sedangkan alam yang bukan jirim, tidak bisa dibayangkan
dengan menggunakan alam jirim, sebab bukan ukurannya. Jika dipaksakan akan
menjadi seperti membandingkan antara batu dengan warna yang ada dipermukaan
batu., atau seperti satu meter persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh
karena itu, yang bisa dilakukan manusia hanya memperkirakan saja keadaan di
alam jirim, karena alat yang digunakan manusia (perasaaan manusia) bukan menggunakan rasa yang sebenarnya. Jika
persaan manusia dibandingkan dengan rasa yang sebenarnya (rasa jati), seperti
membandingkan antara warna dipermukaan benda dibang dengan isi benda yang
berwarna tersebut. Bisa juga digambarkan seperti wayang yang sedang di mainkan
oleh dalang dibandingkan dengan isi pikiran dalang yang sedang memainkannya.
Bagi sang dalang pikiran wayang itu yang sedang dimainkan itu tidak ada, hanya
pikiran dalang yang ada. INTINYA YANG BISA
DILAKUKAN MANUSIA HANYALAH DIAM. (Tuhanlah dhalangnya).
Diamnya, bisa digambarkan : Ketika wayang sedang tidak
digunakan, sudah tidak diberi pikiran oleh dhalang, pikirannya akan kembali
kepada dhalang. Sehingga wayang akan menjadi “Diam” Begitulah seharusnya sikap manusia ketika
memasuki alam yang nyata adanya (kajaten). Sebab untuk bisa memasuki alam yang
nyata adanya (kajaten) menggunakan Nirmala.
Maksudnya : Hilang sifat manusianya oleh kekuatan keyakinan dengan tekad bahwa
ujud dari Yang Nyata adanya bukan Jirim. Setelah bisa menghilangkan sifat
manusianya, maka akan terganti masuk ke alam yang nyata adanya (kajaten), tidak
jauh beda dengan garis yang masuk ke alam bidang, atau warna yang masuk ke alam
jirim. Sehingga kata yang tepat, tidak ada kata memasuki, jelasnya : Berganti
anggapan, berganti rasa, dari gerak kepada diam, dari ciptaan kepada pencipta,
dari kejadian menuju ke yang jadi, dari tipuan menuju kenyataan, atau dari
kebohongan menuju alam yang nyata adanya (kajaten).
Sehingga tidak boleh dianggap memasuki, karena alam yang
nyata adanya (kajaten) tidak bisa dumasuki (tercampuri), karena alam suci murni
dan langgeng, seperti halnya alam bidang yang tidak kecampuran kecampuran alam
garis, atau seperti jisim di kulit hewan Bunglon yang tidak berkurang dan tidak
tercampuri oleh beragnti-ganti warna kulitnya.
Oleh karena alam yang nyata adanya (kajaten) itu bukan jirim,
sehinga tidak ada bentuk dan sifat. Bentuk itu artinya : Besar kecil, lebar
sempit, sebentar lama, banyak sedikinya, dan lainnya. Sedangkan sifat itu,
adalah pemisahan, contohnya, Ini badan
, ini penglihatan, ini penciuman, ini pendengaran, ini hidup, semuanya telah
menyatu : Ya badan, ya penglihatan, ya penciuman, ya pendengaran, ya hidup
selanjutnya. (Catatan : Keadan menyatu dalam bahasa
Aarab dikatakan dengan : “HU”. Maksudnya
dalah Alam nyata, dan juga “Hu” rasa sejati, dan juga “Hu” hidup sejati, dan
juga “Hu” penglihatan sejati, dan sebagainya. Kesemuanya itu mengandung maksud
konsentrasi kepada yang satu, tidak membanding-bandingkan).. tidak
memilih : ini, itu, dahulu, sekarang, besok, di sini, di situ, di sana, aku,
dia, atas, tengah, bawah. (Catatan : Sedangkan yang ada
di alam yang nyata adanya (kajaten).adalah :
Ini, sekarang, di sini, aku, namun rasanya tidak sama seperti rasa di alam
jirim).
Karena bukan jirim sehingga tidak ada arah utara,
selatan, bawah, atas, timur, barat, depan, belakang, atau pun juga kiri dan
kanan. Kiblat (aah) alam yang nyata adanya (kajaten) hanya lahir dan batin.
Pribadi yang telah menguasai alam yang nyata adanya (kajaten) berada pada inti
batin, artinya : ada di inti kiblat yang arahnya dari lahir menuju batin (inti
batin). Dari arah pribadi semua kiblat menuju arah lahir. (maaslah ini bisa
digambarkan : Dari arah pusat utara semua kiblat arahnya ke selatan, tanpa ada
timur dan barat). Catatan : Yang telah tersebut di
atas, sebagai pedomannya adalah : Rasa, dan rasa tidak bisa diurai kata-kata.
Yang bisa menyaksikan hanyanya yang sama rasanya (Tunggal rasa).
Kiblat dari Jirim (Utara, selatan, timur, barat, bawah,
atas, kiri, kanan, depan, belakang), semuanya ada di sisi lahir dari pribadi,
seperti timur barat yang berada di sebebelah selatan pul utara.. Catatan : Pul utara – Kutub Utara). Sebab yang disebut
alam jirim, sebenarnya adalah wajah dari alam yang nyata adanya (kajaten).
Karena bukan jirim, tidak bisa rusak, karena tanpa alat,
sehingga tidak pernah salah, lupa, bingun dan sejenisnya. Karena tanpa nafsu,
sehingga lepsa dari gembira, sedih, senang, benci, bosan dan sejenisnya. Karena
tanpa pembagian, sehingga tan bagian dan tanpa hitungan. Kata tanpa bilangan
itu artinya : Tidak ada jumlahnya.
Artinya : Walau pun salah jika disebut banyak, namun tidak perlu disebut
dengan kata : satu, sebab satu juga adalah bilangan, satu dan banyak. Keduanya
akan menjadi aneh jika membicarakan alam yang nyata adanya (kajaten), Sebab
dari kata satu akan minta pembanding, yaitu dua, tiga dan seterusnya. (adanya
satu karena ada dua, tiga). Memang benar sering disebut satu. Namun kata satu
dalam ilmu alam yang nyata adanya (kajaten),
tidak sama maksudnya dengan kata : Satu kuda, satu buah jeruk. Untuk
lebih jelasnya ada kata-kata Jawa “ Ora ana
apa-apa kejaba mung pribdai” //”Tidak ada apa-apa kecuali hanya pribadi yang
ada”
Isi kandungannya memang seperti itu adanya. Sedangkan
makna dari kalimat : : Tidak ada apa-apa kecuali hanya ...Kalimat iut di alam
jirim bukanlah kata yang aneh, akan tetapi jika berbicara alam yang nyata
adanya (kajaten), itu termasuk aneh. Bentuk anehnya dalah mengapa harus ada
kata-kata : “Tidak ada apa-apa kecuali hanya ..... Apakah sebabnya? Itu
maknanya hampir sama dengan ketika orang mengatakan “Air itu tidak ada yang
bukan air” ataupun Dunia dan seluruh dunia adalah dunia. (Catatan : alam yang nyata adanya (kajaten), kadang juga
dikatakan pasti salah, karena kata itu menunjukan kesalahan ingatan atau juga
tertipunya rasa yang sedang berkata, kemudian akan dibantah sendiri dengan
kalimat tersebut .. namun yang tidak mengaakan apa-apan belum tentu tidak
salah, pada umumnya justru banyak salahnya dibanding dengan yang mengatakannya).
Karena tidak ada
pembagian dan hitungan, sehingga Kata Tuhan dan hamba ketika berada di alam
yang nyata adanya (kajaten), itu akan menjadi aneh, menjadi anehnya disebebkan
karena ada perbandingan., antara hamba dibandingkan dengan Tuhan. Samam saja
seperti kuda dibandingkan dengan warna kuda, atau gelang emas dibandingkan dengan
emas yang menjadi bahan dari gelang tersebut. Warna kuda tidak seharusnya
dibandingkan dengan yang mempunyai warna , sebab warna itu permukaan alam
jirim, bukan wujud. Gelang emas itu berasal dari emas, berasal itu yang
menjadi, bukan wujud. (Catatan : Wujud itu bahasa Arab,
artinya ada, bukan wujud yang bermakna tidak ada jisimnya).
Rasa perasaan manusia di alam jirim (alam yang tidak
nyata) untuk bisa memasuki alam nyata, apabila bisa melupakan (tidak menganggap
wujud) atas jirim, jisim, dan segala yang aneh menurut Alam Yang Nyata adanya
(kajaten). : Di dalam keheningan, disebut : Cengeng.
Hilanglah rasa perasaan sebagai manusia dan masuk ke
dalam rasa Alam Yang Nyata adanya (kajaten), seperti hilangnya wajah tertutup
oleh jisim dari yang menguaasai wajah tersebut. Bagaikan hilangnya gelang
tertutup oleh emas bahan membuat gelang tersebut, bagaikanhilangnya huruf
tertutup oleh tinta yang untuk menulis. Atau juga seperti hilangnya daya hidup
wayang ketika sedang dimainkan oleh dhalang, tetutup oleh cipta pikiran dhalang
yang sedang memainkan wayang tersebut, atau pun juga seperti model gambar yang
sedang dibuat, hilang masuk ke dalam pikiran orang yang sedang melukisnya.
oooOOOooo
Hubungan antara garis dengan bidang, bidang dengan jisim,
jisim dengan Alam Yang Nyata adanya (kajaten), agar lebih jelasnya akan
dijelaskan sikap seperti di bawah ini.
A = b = c :dari 1 sampai dengan 8.
(Catatan : Maksud dari kalimat yang ada
dibagian (a) sama dengan kalimat di bagian b dan c. Jika paham terhadap isi di
kalimat a dan b serta pada penerapan katanya, tentu akan bisa memahami kalimat
yang berada di c).
1.
a. Tidak ada alam garis yang bisa
berdiri sendiri, pasti bergantung pada alam bidang.
b. Tidak ada bdiang bidang yang bisa
berdiri sendiri, pasti bergantung pada alam jirim.
c. Tidak alam jirim yang bisa
berdiri sendiri, pasti bergantung pada Alam Yang Nyata adanya (kajaten).
2.
a. Tidak ada alam garis yang tidak
bertempat di alam bidang, dan tidak ada alam bidang yang meninggalkan alam
garis, keduanya saling menetapkan.
b. Tidak ada alam bidang yang tidak
bertempat di alam jirim, dan tidak alam jirim yang meninggalkan alam bidang,
keduanya saling menetapkan.
c. Tidak alam jirim yang tidak
berada di Alam Yang Nyata adanya (kajaten), dan tidak Alam Yang Nyata adanya
(kajaten) yang meninggalkan alam jirim, keduanya saling menetapkan.
3.
a. Garis itu bukan bidang, akan
tetapi garis yang membentuk sifat dari bidang, seperti : Persegi, bundar, dan
oval.
b.Bidang itu bukan jirim, akan
tetapi bidang yang membentuk sifat dari jirim, seperti : merah putih, bulat,
kolom.
c. Jirim itu bukan Alam Yang Nyata
adanya (kajaten), akan tetapi jirim yang membentuk sifat dari Alam Yang Nyata
adanya (kajaten), seperti : Matahari, manusia, pepohonan, sir, pikiran, nur.
4.
a. Tidak usah menanyakan sifat dari
bidang, kadang kala akan diketahui garisnya, sebab sifat bidang sudah terlihat
dari garisnya.
b. Tidak usah menanyakan sifat dari
jirim, kadang kala akan dikatahui bidangnya, sebab sifat dari jirim terlihata
dari bidangnya.
c. Tidak usah menanyakan sifat dari
Alam Yang Nyata adanya (kajaten), kadang kala akan diketahui sifat dari Alam
Yang Nyata adanya (kajaten) ada di jirimnya.
5.
a. Garis itu yang menyebabkan bidang
mempunyai sifat segi empat, segi tiga, ataupun bulat. Demikian juga bidang itu
bukan garisnya, bukan segi empatnya, bukan segitiganya dan bukan bulatnya. Jadi
yang manakah yang disebut bidang? Untuk bisa menunjukan itu, tidak bisa hanya
ditunjuk dengan ujung pena, harus diraba menggugnakan telapak tangan, sebab
ujung pena hanya bisa menunjukan garis bukan bidang.
b. Bidang itu yang menyebabkan jirim
mempunyai sifat bulat penuh, kolom, merah, hijau, atau putih. Demikian juga
jirim itu bukan bidang. Bukan bulat penuhnya, bukan kolomnya, bukan merahnya,
hijaunya atau putihnya. Terus, yang manakah yang disebut jirim? Untuk bisa
menunjukan hal tersbut tidak cukup hanya diraba menggunakan telapak tangan
saja, harus juga dirasakan denegan pikiran, sebab, telapak tangan hanya bisa
meraba bidangnya saja tidak bisa msuk ke dalamnya.
c. Jirim itu yang menyebabkan Alam
Yang Nyata adanya (kajaten) mempunyai sifat hidup, mobah, mosik, sifat kayu,
sifat batu, sifat manusia, sifat matahari. Demikian juga Alam Yang Nyata adanya
(kajaten) itu bukan jirim, bukan hidupnya, bukan gerak-geriknya, bukan kayunya,
bukan manusianya atau mataharinya. Dan yang manakah yang yang disebut Alam Yang
Nyata adanya (kajaten) ? Untuk
bisa memahami hal tersebut tidak hanya menggunakan pikiran saja, akan tetapi
rasa sejati, sebab pikiran hanya bisa sampai di alam jirim saja. Tidak akan
bisa memasuki tentang Tuhan.
6.
a. Bulatan itu bertempat di bidang,
bukan di garis, justru garislah yang berada di bulatan.
b. Jisim itu bertempat di Jirim,
bukan di bidang, justru bidanglah yang bertempat di bidang.
c. Pribadi itu bertempat Alam Yang
Nyata adanya (kajaten), bukan di jirim, justru jirim yang bertempat di pribadi.
7.
a. Bidang itu bersifat : Segi empat,
segi tiga dan sebagainya, terlihat dari garisnya, naman sifatnya adah
bentuknya.
b. Jirim itu bersifat : Merah, hitam,
hijau dan sebagainya, terlihat dari
bidangnya, nama sifatnya adalah warna.
c. Alam Yang Nyata adanya (kajaten)
itu, Kayu, batu, manusia, jin, angin, matahari, cipta dan sebagainya, terlihat
dari jirimnya, nama sifatnya adalah jisim.
8.
a. Bentuk itu bukan wujud dari
bidang, hanya sifat bidang saja.
b. Warna itu bukan wujud dari jirim,
hanya sifat jirim saja.
c. Jirim itu bukan wujud dari Alam
Yang Nyata adanya (kajaten), hanya sifat Alam Yang Nyata adanya (kajaten).
9.
a. Bentuk garis (bulat, segitiga)
yang menjadikan sifat bidang, artinya, bidang yang berbentuk bulat, segitu dll,
b. Bentuk bidang (merah, hijau) yang
menjadi sifat jirim, jirim yang berwana merah, berwarna hijau dll.
c. Bentuk jirim (kayu, batu,
manusia, bulan), yang menjadikan sifat Alam Yang Nyata adanya (kajaten),
artinya yang sedang menjadi kayu, yang sedang menjadi batu, yang sedang menjadi
manusia, dan yang sedang menjadi bulan itu Yang Nyata adanya (kajaten). (Catatan : Kayunya, batunya, manusianya, bulannya, dan
sebagainya dlam Bahasa Arab disebut sifat Wujudiyah. Sedang ketika sedang
menjadi kayu, batu, manusia, bulan dan sebagainya disebut sifat Maknawiyah. Sifat maknawiyah
yang menjadikan sifat wujudiyah, seperti : Kahunuhumuridan (adanya Tuhan
berkehendak), menciptakan sifat yang disebut iradat (kehendak) disebut iradat
yaitu, bergerak dan berfikirnya makhluk, yang disebut makhluk itulah jirim,
yaitu jisim atau sifat Yang Nyata adanya (kajaten) (sifat baru).
10.
a. Bulat, segitiga, itu sifat
bidang, terlihat apda garisnya.
b. Merah, hijau, itu sifat jirim,
terlihat pada kulitnya.
c. Manusia, bulan, pancaindra, nur,
budi, itu sifat Yang Nyata adanya (kajaten), itu sifat Yang Nyata adanya
(kajaten), terlihat pada jirimnya (Catatan : Jirm
yang tidak terbatas besarnya, yang memuat semua jisim adalah yang kosong, yang
disebut Gunung : Cakrawala, itulaha wajah Yang Nyata adanya (kajaten),
tergantung pada Alam Yang Nyata adanya
(kajaten), saling menguatkan, segala jenis jisim yang berada di jirim, adalah
sebagai warna yang ada di segala rupa.
11.
a. Sifat dari bidang terlihat dari bentuk garis (ketika sedang berbentuk,
lingkaran atau sudut ), namun itu bukan wujud dari bidang, Bukan beloknya,
bukan lingkarannya, atau bentuk tidak beraturan, sebab yang disebut bidang itu
adalah : bentuk seutuhnya dari yang nampak pada garisnya, artinya : Yang
berbelok, yang melingkar, yang tidak beraturan, sehingga hanya “yang” nya saja.
b. Saifat dari jirim, yaitu :
keadaan bidang ( yang berwarna merah,
hitam, atau putih) namun wujud dari jisim itu, bukan merahnya, hitamnya atau
putihnya; sebab yang disebut bidang itu adalah : bentuk seutuhnya dari yang
nampak pada sebuah bidang, artinya : Yang merah, yang hitam, yang putih,
sehingga hanya “yang” nya saja.
c. Saifat dari Yang Nyata adanya
(kajaten), yaitu : keadaan jirim ( yang
sedang mendai batu, kayu, manusia, bumi) ) namun wujud dari Yang Nyata adanya
(kajaten) itu, bukan batunya, kayunya, atau buminya; sebab yang disebut Yang
Nyata adanya (kajaten) itu adalah : bentuk seutuhnya dari yang nampak dari
jirim, artinya : Yang sedang menjadi batu, manusia atau bumi, sehingga hanya
“yang” nya saja.
SEHINGGA
:
a. Bulatnya, segi empatnya, berada
pada badannya, yaitu si Bidang.
b. Merah-merah, hiaju-hijau, berada
pada badannya, yaitu si jirim.
c. Batunya, manusia, ada berada pada
badanya, yaitu Yang Nyata adanya (kajaten).
LEBIH JELASNYA :
13.
a. Bulatnya, segiempatnya, dialam
bidang : tidak ada. Yang ada hanya bidang (sisi dari jirim),
b. Merah-merah, hijauhijau, di alam
jisim : tidak ada. Yang ada hanya jisim (bentuk seutuhnya) yang ada di jirim.
c. Kayu, manusia, bumi, di alam Yang Nyata adanya (kajaten) : Tidak
ada. Yang ada hanya Yang Nyata (Akhadiyah) yang sedang menjadi batu, manusia,
bumi dsb.
oooOOOooo
V. PRAMANA
Edit : Pujo Prayitno
Rasa dan perasaan tiap manusia, yaitu : pikiran, nafsu,
senang, susah, sakit, cinta, benci,
takut, malu, gatal .... dan lain sebagainya. Itu bukan rasa yang sesungguhnya,
kesemuanya itu adalah rasa yang baru, karena hanya datang dan pergi di dalam
rasa yang Sejati.
Segala rasa dari pancaindra, bisa digambarkan sebagai
bayangan dari rasa yang sejati.
Sedangkan bayangan tersebut terlihat pada sifat yang
langgeng, yang sangat jernih dan jelas. Yang bisa dianggap sebagai Cermin dari
Yang Nyata Adanya (Kajaten). Yaitu sumber dari semua rasa baru atau pohon dari
cipta dan rahsa.
Cermin Yang Nyata Adanya (Kajaten), disebut : Pramana.
Pramana adalah Cermin Sejati, yang dipergunakan untuk
melihat bayangan Rasa Jati.
Pramana dipergunakan di alam Yang Nyata Adanya (Kajaten),
dipergunakan untuk menyatakan semua rasa dari makhluk (maya) atau rasa baru
yang selalu berubah-ubah.
Yang Nyata Adanya (Kajaten) itu adalah Dzat yang besifat
Pramana itu tadi.
oooOOOooo
VI. PANGESTI, Adalah :
KERJA
BATIN MENGIKUTI KEYAKINAN
Edit : Pujo Prayitno
Manusia bisa sampai pada tingkat Pramana atau kembali
pada jaman Pramana, adalah dengan jalan menghilangkan atau melupakan rasa baru
sedikit demi sedikit secara rutin. Dalam setiap harinya diusahakan mengurangi
berkembangnya tuntuan rasa, sampai dengan benar-benar bisa menegndalikan barulah bisa pulang ke Pramana.
Oleh karena telah jelas bahwa degala bentuk keadaan yang
baru atau segala cerita dunia dan segala rasa yang hadir pada adalah ujud dari getaran atau atau gerakan,
sehingga untuk menghilangkannya hanya dengan satu cara yaitu “DIAM”
Segala rasa yang hadir sebagai tamu terhadap diri manusia
termuat di dalam Pramana, bagaikan segala bentuk dan segala warna termuat di
dalam Kaca Benggala.
Pramana berada pada Pribadi, bagaikan menyalanya cahaya
pada sebuah kawat yang bersinar. Atau bagaikan terapungnya caha di dalam kaca,
dan sifat kaca, yang ada di dalam kaca.
Pribadi (jati) adalah ujud seutuhnya, sebagai tempat bagi
Pramana.
Menyatunya pramana, dari sepinya cipta dan rasa.
Munculnya pribadi, dari sepi dan hilangya Pramana.
Sepi atau hilang.. tergantung dari Eneng (ketenangan
jiwa).
Merasa tergantung. Dari kekuatan Anggapan disertai tekad.
Ada, tergantung dari. Konsentrasi melihat.
Sirna tergantung dari : LUPA.
Dibawah inilah sebagai gambarannya : A ----- B ---- C.
CONTOH A : Sebuah bidang mengandung garis. Jika yang
dilihat hanya sebatas garisnya saja, dan lupa pada bidangnya, sehingga bidang
tersebut di dalam pikiran hanya terlihat sebagai garis saja. Dan sebaliknya
jika yang diingat dalam pikiran adalah bidangnya, dan tidak memikirkan garis
nya, maka yang terlihat jelas adalah bidangnya yang terlihat di dalam citanya.
Jika : bidang yang berbentuk sgi lima, jika yang dilihat hanya garis di sisi
bidang, maka yang terlihat di dalam cipta hanya : Ada garis berjumlah 5 saling
bertemu, entah bagaimana bentuk bidangnya (walaupun garis itu ada di dalam
bidang), Dan sebaliknya, jika jika dilihat bidangnya, dan tidak memikirkan
garisnya, maka garis akan hilang dari perhatian, sedang yang masuk ke dalam
pikiran : adalah bidang yang berbentuk segilima (Sehingga : Oleh karena dengan
adanya bidang yang berbentuk segi lima tersbut, maka akan diketahui bahwa
bidang tersebut mengandung garis berjumlah5 buah, hanya saja 5 garis tersebut
tidak dianggap adanya, karena ternyata garis iu hanyalah sisi dari sebuah
bidang).
CONTOH B : Jirim mengandung bidang, jika hanya sebuah
bidang hanya dilihat warnanya saja, maka jisim tidak akan terlihat, hanya merah
hijaunya saja yang masuk ke dalam pikiran. Jika yang dipikir itu Jirim, dan
tidak memikirkan warnanya, maka warna tidak akan masuk ke dalam pikiran, yang
ada dalam pikiran adalah Jisim. Contoh : Dadu yang berwarna belang, merah,
hitam putih (Catatan : Dadu mempunyai eenam sisi, tiap sisi beda warna), itu
jika yang dipikir hanya warnanya saja, dan tidak memikirkan kayunya, maka yang
masuk ke dalam pikiran hanya : bidang segi empat berwana merah, gadeng dengan
bidang segi empat hitam, kemudian bersambung dengan bidang segi empat warna
putih, dan seterusnya, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri,
entah bagaimana bentuk kayunya karena tidak terpikir ( Walau bidang itu
bergantung kepada kayu).
Dan sebaliknya, jika yang dipikir adalah kayunya, dan
tidak memandang warnanya, maka yang ada dalam pikiran adalah : Ada sebuah kayu
yang berwarna belang merah hitam putih. (dan dengan sendiri akan diketahui kayu
itu mempunyai bidang enam buah, dan mempunyai 12 garis, hanya saja bidang dan
garis tersebut tidak dianggap adanya).
CONTOH C : Jati menguasai jisim, jika hanya jisim yang
diperhatikan, dan tidak memperhatikan kajaten / yang nyata (Pribadi), maka
kajaten tidak dianggap adanya (tidak merasa bahwa bergantung kepada pribadi
yang tunggal), hanya jirimnya saja yang dirasa dan dipikirkannya. Dan jika yang
diperhatikan adalah Pribadinya, dan tidak menganggap adanya jisim, maka jisim
akan hilang dari dalam cipta (disebut LUPA), yang ada tingggal Jatinya /yang
nyata adanya (Pribadi), yang berada di dalam rasa tunggal. Umpamanya : Jati itu
merengkuh cakrawala dan semua jisim, akan tetapi jika yang diperhatikan hanya
jsim-nya saja, pasti yang di rasa hanya : ada ruangan yang sangat luas (dunia)
yang berisi bermacam-macam jisim, berupa kayu, batu, matahari, manusia, hewan
dan sebagainya, yang saling terpisah, tidak mengira bahwa itu semua bergantung kepada yang satu yang
kekal, (walaupun adanya jirim bergantung
kepada adanya kajaten). Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya bahwa it hanya
sebatas bayangan saja (jadi-jadian), dan hanya sekejap saja adanya kemudian
akan hilang. Berjuta tidak merasa bahwa segala yang nampak di dunia dengan
segala peristiwanya sesungghnya hanya bayang-bayang saja yang berada di Cermin
Pribadi. Sehingga hanya tertipu oleh bayang-bayang di dalam cermin (Pramana)
lupa pada cerminnya, terlebih lagi terhadap yang sedang berkaca. (Walaupun bayangan tergantung adanya cermin, dan
adanya cermin bergantung kepada pribadi yang bercermin) Sebaliknya :
Jika yang diperhatikan Pribadi-nya, yaitu Jati-nya, sehingga lupa kepada yang
namanya jisim, maka yang ada tinggal Pramana, menuju kepada cermin, yang
disebut Asarira Pramana (berbadan Pramana), (dan kemudian akan diketahui
mengandung bayan-bayang yang tergelar, hanya saja tidak dianggap wujud, sebab
ternyata yang nampak di gelar adalah
cipta pribadi).
oooOOOooo
Keterangan di atas, untuk lebih jelasnya lagi, seperti
berikut :
RASA hamba atau maya, adalah :
1. Mata hanya melihat rupa.
2. Telinga hanya mendengar semua bunyi.
3. Hidung hanya mencium bau.
4. Kulit hanya merasakan semua benda.
5. Lidah hanya merasakan makanan.
6. Pikir hanya memahami segala kejadian.
7.Hati hanya merasakan senang, susah, sakit, nyaman dan
sebagainya.
8. Dan sebagainya yang sangat banyak jenisnya.
Inti dari kesemuanya itu disebut RASA yang ada di dalam
perasaan manusia, yaitu : Gambar atau bayang-bayang (lebih mudahnya itu hanya tamu yang datang
dan pergi. Penerjemah) dari RASA YANG SEJATI.
Munculnya bayang-bayang ---- karena ada cermin.
Ada manusia yang perasaannya tertipu oleh bayang-bayang
--- ada yang yang yakin kepada cermin sebagai tempat semua bayang-bayang.
Oleh karena telingan memahami suara tercampur rasa kulit
oleh benda-benda dan tercampur lagi seperti yang telah tersebut – disebabkan
oleh hal itu, maka kamudian manusia punya anggapan (keyakinan) bahwa “ DUNIA
itu ADA”.
DUNIA MENJADI ADA karena, AKU menganggapnya ADA.
Adanya dunia
tergantung adanya kita (yang sedang membaca ini), lebih jelasnya : Alam menjadi
ada tergantung adanya kita ( yang sedang membaca ini). Lebih jelasnya lagi :
Adanya Alam tergantung dari rasa dan perasaan yang sekarang sedang membaca
uraian ini (COBA – hayati DAN rasakan...
Pen).
Sedangkan adanya rasa yang sedang membaca ini bergantung
kepada adanya “RASA JATI – yaitu PRIBADI yang TUNGGAL.
Sebenar-benarnya rasa adalah rasa dan perasaan yang
sedang membaca buku ini dan juga adanya dunia – itu sebagai tanda bahwa “
Pangeran ana, iya INGSUN PRIBADI kang ANA”
Jadi yang ditandai adanya atau yang disaksikan adanya itu
sesungguhnya bukan kita (orang yang sedang membaca buku ini), bukan dunia
sebenarnya “ Adanya Pangeran Yang Maha Sempurna, Dzat Yang Kekal Adanya, yaitu
: Jatinya yang membaca buku ini. Sedangkan dunia hanya sebagai saksi saja.
Namun--- yang benar adalah yang seperti itu --- jika kita
hanya percaya atau sangat mengakui adanya diri sendiri dan dunia saja, maka
tidak akan ada alam yang sejati, karena terbawa oleh anggapan kita sendiri,
sehingga hanya ada rasa dalam diri sendiri saja, persis seperti tidak adanya
jirim, sebab yang diingat-ingat ahanya wananya saja.
Dan sebaliknya. Jika kita sangat mengagungkan atau sangat
yakin kepada INGSUN, sampai dengan kekuatan keyakinan dan tekad bisa
mengalahkan kekuatan rasa aku – hamba maya) serta merasa rendah dan tidak suci
diri, maka kita akan merasa bahwa sesungguhnya kita aalah manusia yang berbadan
Bathara atau Pramana.
Kemudian, Sang Diri Pramana masih bisa mengapai
kesempurnaan, jika konsentrasi terhadap Kajaten bisa menghilangkan cermin, dan
tinggal kejaten yang ada, yaitu PRIBADI yang bercermin, yang telah menguasai
semua jirim dan menganggap Pramana. Dengan Sifat Sajaata itu, tidak akan
ragu-ragu tentang Cermin dan semua bayangan yang ada.
oooOOOooo
Keterangan yang yang telah dijelaskan di atas janganlah
sampai salah terima lagi : Menganggap bahwa manusia bisa membuktikan kajaten.
Anggapan seperti itulah yang menyebabkan berhenti hanya di alam jirjm, karena
mengadakan keadaan yang tida sejati,
Tidak satu pun manusia yang bisa menyatakan
kajaten. Sesungguhnya yang menyatakan kejaten adalah kejaten itu sendiri. Hanya pengaruhnya saja yang memperngaruhi Budidaya
manusia (Catatan : Yang disebut ikhtiar (usaha – budidaya) itu sejatinya adalah
takdir, sebab, adanya ikhtiar bergantung pada takdir, sehingga berjalannya
adalah menuju takdir. Yang demikian itu, jika yang dilihat ikhtiarnya, maka
takdirnya akan menjadi tidak ada, jika yang dilihat takdirnya, maka ikhtiarnya
tidak ada. Manusia harus berikhtiar, namun anggaplah : Takdir itulah yang ada.
Atau anggaplah bahwa takdir itu ada, akan tetapi jangan sampai tidak ikhtiar.
Orang yang menganggap takdir itu ada, akan tetapi tidak ber-ikhtiar, atau
berikhtiar, namun tidak menganggap takdir itu tidak ada, kedua-duanya sama-sama
keliru/salah.
Yang disebut manusia itu sebetulnya tidak ada. Yang
mempunyai nama si Suta, si Naya, itu pun hanya nama saja. Oleh karena tidak
ada, apakah akan bisa bergerak dan berpikir? Sudah pasti yang menyebabkan gerak dan berpikir adalah yang benar-benar
adanya, bukan yang sebenarnya tidak ada.
Untuk bisa memahami Rasa Jati tika telah hilang anggapan
bahwa dirinya itu ada, sampai dengan hubungan batin menyatu tanpa di niati.
VII.
PENJELASAN
UKURAN YANG KE EMPAT
Edit
: Pujo Prayitno
Di depan telah dijelaskan, Jika Kajaten dibandingkan
dengan jiri, sama saja : Jirim dibandingkan dengan bidang, atau bidang
dibandingkan dengan garis.
Juga dijelaskan, bahwa Kajaten bisa di isi dengan Jirim
yang tak terbilang julahnya, yang saling memasuki bersilangan dalam satu
tempat, serta tidak menyebabkan Kajaten menjadi penuh ataupun berdesakan. Tidak
berdesakannya hal tersebut seperti tidak berdesakannya Jirim jika diisi oleh
bidang yang tak terbilang banyaknya, (Coba diingat : Buku tebal : Itu jirim
yang berisi bidang yang sangatlah banyak. Bentuk dari bidang adalah
halaman-halamannya. Buku setebal 2 cm, halamannya tidak kurang dari 200 lembar,
padah lembarannya masih mempunyai ketebalan, Seandainya ada orang yang bisa
membagi-bagi lagi dari lembaran halaman tersebut, sampai dengan setipis
mungkin, pasti halaman lembaran buku tersebut tidak akan terhitung.. Itu belum
enghitung banyaknya bidang atau lembaran
yang ada di dalam buku yang tegak, yang datar dan juga yang mmenyilang )
Itu semua menggambarka, tentang bab tidak berdesakannya
Kahanan Jati ketika di isi jirim yang tidak terbilang jumlahnya, yang saling
masuk memasuki dalam satu tempat. Seperti umpamanya jirim dari manusia ketika
dirasa menggunakan pikiran, bagaikan hanya berujud badan kasar saja, sebab isi
di dalamnya tidak terlihat. Namun sebenarnya ada jisim latif (halus) yang
menyatu dalam jisim kasar tersebut,
namun tidak saling bersentuhan. Yang kasar tidak membuat repot yang halus. Yang
halus pun tidak membuat t repot yang kasar. Jisim Latif tidak hanya satu,
jumlahnya sangatlah banyak, sebab ada yang agak halus, ada yang halus, ada yang
sangat halus, ada yang sangat-sangat halus, Selian itu juga yang sama halusnya
justru lebih banyak, akan tetapi tidak saling bersentuhan, oleh perbedaan
dayanya.
Yang berada di dalam angan-angan, Nafsu, budi, sir, rahsa
dan sebagainya. : Itu semua daya dari jisim latif (Manusia hanya mersakan
pengaruhnya saja, yaitu dengan cara bisa berfikir, merasa senang susah, nafsu,
kasihan, takut, sakit, punya keinginan,
meraba dan sebagainya, namun tidak mengetahui ujud ari jisim atif, jika belum
berbadan Bathara).
Itu semua penyebab dari adanya rasa dan perasaan di dalam
diri manusia jumlahnya menjadi tidak
terbilang banyaknya. Itu tidak lain pengaruh dari daya jisim-jisim latif yang
yang sangat banyak pengaruh dayanya.
Masing-masing jisim mempunyai alam sendiri-sendiri, dan
juga masing-masing alamnya tidak saling bersentuhan (Catatan : Alam dunia itu
berujud Jirim yang tidak terukur besarnya, yang disebut Awang-uwung atau
Cakrawala, Selain alam dunia, ada alam halus yang sangat banyak, satu dan
dalinnya berujud jirim yag tanpa batas besarnya, berisi awang-uwung). Alam-alam
tersebut antara ssatu dengan lainnya tidak saling bersentuhan, sebab
masing-masing alam berada di Kajaten,
bagikan lembaran-lembaran buku menempati di dalam buku, sehingga bukan alam yang menempati alam. Sedangkan
huruf yang berada di tiap halaman buku, itu sebagai ibarat isi dari seluruh
alam).
Tidak bersentuhannya jisim-jisim tersebut, seperti halnya
tidak bersentuhannya halaman bidang yang berada di jirim. Lebih jelasnya :
Jirim-jirim tersebut tidak begandengan, semua hidup sendiri-sendiri di dalam
Kajaten, sebab semua mengambangn berada pada tempatnya sendiri-sendiri di dalam Kajaten, Seperi
halnya tiap halaman buku bertempat sendiri-sendiri di dalam sebuah buku, jadi,
bukan halaman buku bertempat di halaman
buku.
oooOOOooo
Oleh karena uraian yang telah dijelaskan di atas sangat
tinggi, sehingga tidak bisa dirasakan jika hanya menggunakan pkiran saja. Dan
tidak bisa hanya diangan-angan atau di kira-kira. Karen bukan yang sebenarnya
jika di rasa menggunakan rasa yang bukan rasa jati, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Oleh karenan Yang Nyata adanya (Jati) adalah tempat dari berbagai
jirim yang tidak terhitung jumlahnya, yang saling tampat menempati dalam satu
tempat, dan setiap jirim bisa diukur menggunakan ukuram M3 (meter kubik). Dan
ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur luas dari Yang Nyata adanya (kajaten)
itu bukan meter kubik (M3). Sebutan ukurannya
: Ukuran yang ke empat (Dimensi ke empat).
Untuk kejelasan ukuran yang ke empat (Dimensi ke empat),
sebagai berikut :
1. Meter (M) disebut ukuran panjang,
digunakan untuk mengukur panjang garis, disebut satu dimensi.
2. Meter persegi (M2), disebut
ukuran lebar, digunakan untuk mengukur lebar dari bidang, disebut dua dimensi.
3. Meter kubik (M3) liter dan
sebagainya, digunakan untuk mengukur ukuran isi, disebut 3 dimensi.
Sedangkan Yang Nyata) adanya (kajaten), tidak bisa diukur
menggunakan tiga jenis ukuran tersebut, sebab bukan jirim/benda, justru sebagai
tempat dari kesemuanya itu. Sehingga yang digunakan untuk mengukur adalah
ukuran yang ke empat atau Dimensi keempat. Yaitu ukuran yang digunakan untuk
mengukur luar atau pengaruh dari Yang Nyata adanya (Kajaten). Ukuran yang
keempat, atau dimensi keempat, jika bisa disamakan maka akan di tulis (M4),
Keterangan tambahan :
1. Ukuran di antara depan dan
belakang dari yang sedang membaca buku ini disebut : Ukuran garis, disebut
Dimensi satu : M1.
2. Ukuran garis dari depan ke
belakang di kalikan dengan garis dari samping kiri dan kanan, akan menjadi
ukuran bidang, disebut Dimensi dua : M2.
3. Ukuran bidang tersebut dikalikan
dengan garis antara atas dan bawah, akan ketemu ukuran jirim, akan ketemu
ukuran jirim, Disebut Dimensi tiga : M3.
4. Ukuran jirim tersebut, dikalikan
lagi dengan ukuran antara lahir dan batin dari yang sedang membaca buku ini. Akan
ketemu ukuran : Maha besar yang nyata adanya (kajaten) dari yang sedang membaca
buku ini, Disebut Dimensi ke empat : M4.
ADANYA ALAM-ALAM
DAN MAKHLUK YANG BERMACAM-MACAM
Segala jenis Jirim, baik yang kasar dan yang halus,
semuanya adalah CIPTA Tuhan.
Kalimat tersebut, maksudnya : Jika Yang Nyata adanya
(kahanan jati) tidak mecipta bumi, langit, bintang, bulan, jin, peri dan
sebagainya, semuanya itu tidak akan ada. Jika masih di cipta, maka “masih ada”.
Jika sudah tidak dicipta lagi, maka “Tidak ada”. Ruh atau nyawa manusia itu
sangat banyak jenisnya, yang menyebabkan adanya rasa dan perasaan, sangat
beragam macamnya, kesemuanya hanyalah ciptaan, yang mengambang di atas “Rasa
Yang Nyata adanya” (Rasa Jati). Bagaikan mengambangnya warna dari sisi luar jisim,
atau seperti gambar yang ada dalam angan-angan, adanya hanya mengambang saja di
dalam angan-angan.
TUHAN itu adalah PRIBADINYA ( Adanya = ujudnya =
seutuhnya = badannya – Akhadiyah-nya), Keadaan yang berujud ciptaan, itu semua
adalah yang mengambang, menurut ukuran TUHAN, kesemuanya itu bukan wujud. Jika
semua ciptaan itu di hapus oleh Tuhan, semuanya akan sirna. Menghapusnya, bisa
digambarkan : mengadakan gambar dalam angan-angan (Jika seseorang
mengingat-ingat suatu benda , umpamanya : bunga, maka di dalam angannya seperti
ada gambar bunga, itu yang disebut : gambar dari angan-angan)., atau bagaikan
bunglon (Iguana pohon), menghilangkan warna kuning yang ada di jisimnya
(badannya) diganti dengan warna hijau atau warna merah.
Oleh karena di dalam diri manusia itu ada banyak ALAM
jisim latif yang mempunyai daya kekuatan
dan menempati alam yang berbeda-beda di dalam diri manusia, maka manusia
itu bisa masuk ke dalam alam yang bermacam-macam jenisnya. Alam jisim yang
paling besar dayanya itu yang lebih berpengaruh, artinya : mempunyai kekuasaan
untuk mengajak roh-roh lainnya masuk ke dalam alamnya. (padahal hanya menutupi
saja). Yang kecil dayanya itu yang tertutupi atau tidak dianggap adanya.
(karena tertutupi). Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut : Jika seseorang yang
besar daya kekuatan dalam dirinya adalah nafsu amarahnya, maka akan mudah masuk
ke dalam alam nafsu amarah, kemudian akan saling pengaruh mempengaruhi (saling
bisa melihat), antar makhluk yang di bawah kekuasaan nafsu amarah. Nafsu atau roh
lainnya juga dirasakan daya kekuatannya, namun tidak dianggap jisimnya itu ada.
Hanya jisim nafsu amarah yang dianggap ada. Jika manusia yang besar daya
kekuatannya adalah pikirannya, maka akan mudah masuk ke dalam alam pikiran,
kemudian saling pengaruh mempengaruhi dengan sesama makhluk yang menggunakan
daya alam pikiran, sedangkan roh lainnya dirasakan dayanya, namun tidak danggap
ada. Hanya alam jisim pikir yang dianggap ada. Jika yang besar daya
kekuatannya adalah alam Budi, itu akan
mudah masuk ke alam budi, dan seterusnya.
Oleh karena demikian, maka watak dari makhluk mempunyai
anggapan : Hanya satu alam saja yang ada, yaitu alam di badan yang paling besar
daya kekuatannya. Sedangkan badan lainnya yang kalah kekuatannya : Tertutup,
artinya : Setiap badan yang tidak jelas terleihat dalam setiap harinya tidak
dianggap ada wujud dan alamnya (Bagaikan sebuah computer yang di install
berbagai macam program, namun program yang sering digunakan adalah hanya
program yang di sukai saja oleh pemakainya, sehingga program lainnya seolah
tidak ada karena tidak pernah dipakai. Pen,).
Dengan demikian, watak dari makhluk mempunyai anggapan :
Hanya satu alam saja yang ada, yaitu alam badan yang paling besar daya
kekuatannya. Sedangkan badan lainnya, yang kalah kekuatannya : tetutupi,
maksunya adalah : Badan yang tidak terlihat dengan jelas dalam setiap harinya
tidak dianggap bahwa tidakada alam dan wujudnya.
Hanya rasanya saja yang dirasakan, namun ujud dari rasa
tidak dianggap sebagai tanda bahwa ada jirim-nya. Bagi manusia yang hidup di
alam dunia, yang dianggap ada hanya badan wadag saja. Demikian juga tentang
keberadaan alam, hanya alam dunia saja yang dianggap ada. Banyak orang yang
tidak percaya, jika ada badan halus dan alam halus. Dan juga banyak orang yang salah
pemahamannya, dikira bahwa rasa dan perasaan beraneka ragam dan selalu
berubah-ubah setiap harinya, itu berasal dari badan kasar, sehingga tidak di
rasa bahwa di dalam dirinya ada jisim latif yang bermacam-macam daya
pengaruhnya.
Agar mudah diterima penjelasa tentang hal ini : Ibaratkan
rasa dari biskuit Roti mari, tidak dianggap bahwa rasa asinnya berasal dari
garam, manisnya dari gula, gurihnya dari susu, dan sebagainya, kemudian :
Kesemua rasa itu dianggap berasal dari : Biskuit rati mari saja. (Rasa yang ada
di dalam biskuit roti mari adalah rasa baru yang berasal dari berbagai macam
rasa yang telah menyatu menjadi satu rasa – itu sebagai gambaran dari rasa diri
manusia yaitu rasa pancaindra-nya. Sehingga : Rasa diri itu adalah RASA BARU
atau hanya jadi-jadian, yang semula tidak ada kemudian menjadi ada, serta akan
menjadi tidak ada lagi).
Bahwa sebenarnya tiap- tiap jisim latif hanya mempunyai
satu jenis rasa dan daya pengaruhnya, dan tidak akan pernah berubah. Umpamanya
: Jisim yang berwatak belas kasih, selamanya akan mengajak pada perbuatan belas
kasih. Jisim yang berwatak iri dan dengki, selamanya akan selalu mengajak pada
perbuatan iri dan dengki. Jisim yang berwatak jubriyah dan sombong, selamanya
akan selalu mengajak pada perbuatan jubriyah dan sombong. Jisim yang berwatak
benar dan terang, selamanya akan mengajak pada perbuatan benar dan terang,
Jisim yang berwatak cinta dan berbakti kepada Tuhan, selamanya akan berbuat
mengajak cinta dan berbakti kepada Tuhan. Jisim mempunyai daya gelap, bodoh,
selamanya juga akan mengajak pada perbuatan kegelapan dan kebodohan, selamanya.
Sehingga berubah-ubahnya rasa dan perasaan manusia dalam
setiap harinya adalah disebabkan dari
timbul dan tenggelamnya jisim yang bermacam-macam tersebut, karena pengarah daya
kekuatan alam dan daya kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Berubah-ubahnya
watak manusia juga karena pengaruh dari daya kekuatan jisim yang bermacam-macam
tersebut.
Berkurangnya kekuatan jisim yang berwatak rendah akan
menjadikan munculnya kekuatan jisim yang berwatak luhur, sehingga akan
menghilangkan kesusahan hidup. Atau jika kekuatan jisim yang luhur telah
muncuk, maka akan mengurangi daya kekuatan jisim yang berwata rendah, karena
terdesak dan akan bergantikan, kemudian akan dinilai : Orangnya semakin baik
wataknya.
Jisim yang sering muncul dan sering dipergunakan
kekuatannya, semakin lama semakin kuat dan semakin besar dayanya, semakin besar
daya kekuatannya semakin bisa menggeser yang lainnya. Sebaliknya : Jisim yang
jarang muncul dan jarang dipergunakan daya kekuatannya, semakin lama semakin
berkurang kekuatannya. Jika sama sekali tidak pernah dipergunakan,
lama-kelamaan akan hilang musnah.
oooOOOooo
Yang telah dijelaskan diatas, adalah keterangan tentang
adanya makhluk yang berbeda-beda badannya, berbeda-beda alamnya, serta
bertingkat-tingkat martabatanya. Ada yang disebut : Hyang Latawalhujwa, Hyang
Nurcahya, Hyang Nur-rasa, Bathara Guru, Bathara Endra, jin, peri, manusia,
hewan, gandarwo, brekasakan dan lain sebagainya.
(Saran : Adanya makhluk yang bermacam-macam tersebut,
sebaiknya dilupakan saja, jangan dianggap ada, karena bisa menyebabkan salah
pengertian, sehingga bisa berakibat salah dalam memahaminya. Dan juga, bagi
Kajaten (Yang nyata adanya) itu semua bukan wujud, hanya jadi-jadian saja dan
bukan yang sebenarnya ada. Manusia yang baik jalan pikirannya, tidak akan
percaya tentang yang tidak nyata )
Sekarang jelaslah : Yang disebut Yang nyata adanya
(kahanan jati), adalah adanya diri sendiri yang sebenar-benarnya.
oooOOOooo
Manusia, sebelum mencari kesempurnaan, wajib mencari
kebijaksanaan dan kesucian. Caranya : Menghidupkan daya kekuatan budi, serta
mematikan daya kekuatan nafsu jahat. ( Ingat : Hidup itu sering dipergunakan,
lemah itu jarang dipergugnakan, mati itu tidak pernah dipergunakan dayanya),
Setiap ada kehendak yang muncul, harus diperhatikan dengan cara dirasakan : Apa
berasal dari kekuatan budi, apa dari kekuatan nafsu. Jika berasal dari kekuatan
nafsu, bantahlah sendiri. Jika berasal dari kekuatan budi, walaupun badan
lainnya malas, harus dipaksa. Jika bisa demikian, Budi-lah yang besar daya
kekuatannya.
Di dalam angan untuk dibiasakan mengikuti petunjuk Budi
agar bisa mengerem nafsu, jangan sampai kalah oleh nafsu.
27 uraian
pedoman
1. Penerjemah
: Pujo Prayitno
1.
Tidak ada apa-apa kecuali hanya “dhewek” (Pribadi)
beserta “Rasa” (Rasa itu.. tanpa batas jumlah dan jenisnya, sedangkan (Dhewek”
: Hanya “Yang Satu” Kekal). Itu maksud dari lafal “ La ilaha Illallah, Muhammad
Rasulullah”.
2.
Jika orang yang bernama Dhadhap di sentuh, maka hanya
Dhadhap sendiri merasakan, Si Waru dan si Suta tidak akan ikut merasakan. Namun
hal demikian jangan dianggap ada pribadi dua atau tiga. Sebagai gambaran : Ada
seseorang yang disentuh jari kakinya, maka hanya jari kakainya saja yang
terasa, sedangkan bagian badan lainnya tidak ikut merasakan. Jika yang di
sentuh itu matanya, maka hanya matanya yang terasa, dan seterusnya. Oleh karena si Dhadhap mempunyai rasa yang
banyak yang ada di dalam dirinya, apakah kemudian di sebut bahwa si Dhadhap itu
banyak. Kan tidak. Yang seperti itu jadikan contoh makna dari pedoman No.1 di
atas.
3.
Si Suta bukan si Naya, Si Naya bukan si Krama. Rasa si
Suta bukan rasanya si Naya, Rasanya si Naya bukan Rasanya si Krama. Ringkasnya
: Sendiri-sendiri, karena rasa satu dengan satunya pisah sendiri-sendiri. Namun
: Walau rasa itu terpisah-pisah, semuanya adalah rasanya sendiri (Pribadi –
aku). Dasar pribadi itu menurut rasanya Suta, menurut rasanya Naya, menurut
rasanya Krama. Ibaratnya : Orang satu mempunyai rasa di kepala, rasa di tangan,
rasa di lidah dan seterusnya. (Rasakan yang teliti).
4.
Manusia itu menyatu dengan Yang nyata adanya (kahanan
jati), di Pribadinya sendiri. Hanya rasa dan perasaannya saja yang saling
terpisah. Sehingga : menyatu dengan yang menguasai, namun yang dikuasai saling
terpisah-pisah. Oleh karena yang dikuasai sebenarnya tidak ada, sehingga jika
yang di perhatikan hanya yang menguasai, maka diri akan hilang. Hanya yang
menguasai yang ada. Jika yang diperhatikan adalah dirinya, maka yang menguasai
akan hilang, sehingga jelaslah bahwa, itulah yang disebut tipuan.
5.
Yang disebut dengan kata (Dalam Bahasa
Jawa) Ingsun, Pribadi, Dhewek atau AKU,
adalah yang menguasai semua rasa dan perasaan, itulah yang disebut Dzat Wajibul
Wujud, yaitu yang tidak ber-arah dan tidak ber-tempat, adalah Yang Lembut tidak bisa diambil, namun Kebesarannya memenuhi
dunia. Adalah yang tidak bisa dibayangkan, adalah Yang Kekal Yang Awal dan Yang
Akhir. Adalah Yang Kebesarannya tidak terukur, huruf hanya mampu mengatakan dengan
Ukuran Yang Ke empat (hanya untuk menggambarkan saja), adalah yang disebut
“Yang Nyata adanya” (KAHANAN JATI); adalah Yang Tanpa Warna, Tanpa Rupa namun
semua warna dan rupa berasal darinya, adalah yang paling di cintai oleh semua
makhluk, adalah yang Yang Tidak Ada banding-Nya, tidak ada Yang
Menyekutukannya, adalah yang dibahasakan dalam bahasa Jawa “Kombang Mangajabing
Tawang Sepi, adalah Yang Menjaga Jiwa, adalah yang disebut Jati Ning Rat,
Adalah Yang bersinggasana pada Inti Kalbu, Yang Menguasai batin semua makhluk,
adalah Tuhan Seluruh Alam, Adalah Pusat Kiblat, adalah Yang tidak berada di
luar atau pun di dalam, adalah Yang memiliki sifat dua puluh, Adalah pemberi
Daya Hidup setiap Ruh yang ada di badan.
Oleh karena itu, jangan dianggap remeh dan menyepelekan
apa yang disebut dengan kata Ingsun, Aku, Dhewek. Jangan sampai salah menyebut
“Pribadi” disamakan dengan menyebut
“Diri”.
6.
Jika ada pertanyaan : Pribadi itu berujud atau tidak.
Jawablah begini : “Semuanya tidak ada wujud” Hanya “Pribadi” yang wujud.
7.
Bagi yang belum paham, akan mengira bahwa yang disebut
dengan kata “Aku” adalah berujud Jirim (manusia), dan se dunia hanya ada satu,
yaitu orang yang mengira seperti itu (Seperti yang sedang membaca buku ini).
Sedangkan orang lain, walaupun mereka menyebut dirinya dengan kata “Aku”, dan
mereka masing-masing mempunyai rasa dan perasaan sendiri-sendiri, namun
semuanya tidak dianggap sebagai Pribadi (Aku). Bahkan menganggap bahwa Tuhan
Allah di anggap bukan pribadi.
Bagi yang belum paham juga akan mengira bahwa bahwa Yang
Nyata adanya (Kahanan Jati), adalah Bumi, langit, matahari, bulan, manusia,
tumbuh-tumbuhan dan sebagainya yang ada di dunia ini. Soal Mati, lebur atau
berubah : Hanya dianggap sudah semestinya hal itu terjadi, tidak akan tumbuh
kesadaran bahwa segala yang ada di dunia ini adalah bukan Yang Nyata Adanya
(Kahanan jati). Walaupun dijelaskan bahwa Tuhan itu yang tetap Kekal serta yang
menciptakan segalanya termasuk dunia seisinya, akan tetapi yang dipahaminya
tetap menganggap bahwa Tuhan itu adalah Jirim yang berteempat, serta ujudnya
nyata seperti manusia, hanya saja di dunia ini tidak ada yang menyamai ke Maha Sucian-Nya. ANGGAPAN YANG SEPERTI ITU
lebih baik diganti.!!!!!.
8.
Siapapun yang menginginkan derajat Waskita atau kelebihan,
akan tetapi di dalam batinnya merasa bangga atas kelebihan dirinya, karena
mempunyai kemampuan lebih / waskita, walaupun itu benar adanya, itu tetap masih
berada pada keleibihan “Diri”, karena telah kehilangan “Dirinya”, yang
disebabkan masih terbawa oleh perasaan “Diri’nya. Hal demikian karena hanya
terpusat memperhatikan dirinya sendiri, bukan terpusat pada adanya “PRIBADI”.
Ketika sudah bisa memahami ke-Mahakuasa-an “Pribadi”, tidak akan menganggap
diri, sebab Pribadi sesungguhnya adalah yang menguasai semu Diri, dan tidak
pilih kasih, karena tanpa pertimbangan, yang menguasai semua diri. Jika sudah
tidak mengaku sebagai siapa-siapa, atau
tidak bisa menguasai semua diri karena merasa bukan siapa-siapa, sudah pasti
akan hilang rasa bangga diri atau
kesadaran adanya diri dengan sendirinya. (Pribadi Yang Tetap ada ).
9.
Semua makhluk sebenarnya dalam rasa dan perasaannya
meng-Agung-kan “Pribadi”. Dan Pribadilah yang paling dicintainya, paling
disayanginya, dan yang paling di bela. Akan tetapi karena makhluk ada yang
tidak memahami tentang Pribadi, akhirnya salah dalam anngapannya, yaitu :
“Diri” dikira “Pribadi” (Yang dianggap sebagai Pribadi adalah dirinya sendiri).
Terjadi hal demikian karena untuk membedakan “Diri” dan “Pribadi” itu memang
teramat sangat sulit.
10,
Aku ada di dalam
badanku; itu salah, yang benar : Badanku ada di dalam Aku.
Aku berada di surga atau neraka; itu salah, yang benar :
Surga dan Neraka ada di dalam Aku.
Aku berada di dunia yang berlapir tujuh, itu salah, yang
benar : Dunia lapis tujuh ada di Aku.
11.
Yang disebut “Aku” itu bukan badan, bukan rasa, bukan
angan-angan, bukan budi,bukan nyawa. Badan, Rasa, angan-angan, budi, nyawa itu
semua adalah “Jirim”, Yang dikuasai oleh “Aku”. Sedang “Aku” adalah bingkainya.
Oleh karena rasa dan perasaan manusia tidak bisa untuk
membuktikan bingkai tersebut, maka kewajiban dari semua nyawa adalah hanya
Tunduk, menyatu uuntuk menuju inti Kalbu. Semua rasa dan perasaan harus bersatu
di Pusat Batin, hanya itulah kewajiban Nyawa.
Ketika nyawa sedang berjalan dari lahir menuju batin,
tidak lain : Rasa yang menyebar semakin hilang, semakin sentausa, semakin
berkurang. Maksudnya : Semakin menjauhi Tata lahir dan semakin mendekati batin.
Untuk bisa menjadi kuat, tidak lain jika sering di terapkan kekuatannya,
diarahkan dari lahir menuju batin (Samadhi, Tafakur – khalwat).
Berjalannya nyawa dari lahir menuju batin, jika dilakukan
dengan tekun, semakin lama akan semakin mudah,
tidak sulit, sebab tertolong oleh kekuatan dari Yang Nyata adanya (Kajatan),
(Didorong oleh Pribadi), Pada akhirnya : Nyawa ama sekali tidak mempergunakan dayanya, hanya daya Yang
Nyata adanya (kajaten) yang bergerak. Itu yang disebut : “CENGENG”
12.
Ketika rasa dan perasaan belum bening, maka dan dan
perasaan lah yang dikira “Pribadi” oleh rasa dan perasaan diri. Artinya : Si
rasa perasaan akan mengaku sebagai yang ada agar diangap sebagai : “AKU. Dan
ternyata memang, rasa dan perasaan manusia tidak bisa dipergunakan untuk bisa
mengetahui yang menguasainya. Ketika
digunakan untuk merasakan justru akan menghalangi dan menutupi. Oleh karena
seperti adanya, agar manusia bisa mengetahui yang Maha Kuasa, tidak ada lagi
jika sudah bisa tidak merasa, yaitu : Rasa dan perasaannya kembali kepada yang
menciptakan rasa (Pribadi) atau Rasa Yang Nyata adanya / Rasa kang sejati. Jika
daya kekuatan rasa dan perasaan sudah tidak ada yang menutupi, maka hanya
Pribadi yang ada, di situlah batu bisa mengetahui dan mengerati tentang
(Dheweke –Aku – Ingsun – Pribadi), adalah yang mempunyai rasa perasaan, bukan
rasa dan perasaan yang dimiliki.
13.
Si Suta sedang menuju pada inti batinya sendiri, itu
sesungguhnya: Si Suta sedang menuju kepada Inti batin dari seluruh manusia se
dunia, sebab Inti batin si Suta adalah juga Inti Batin semua makhluk. Akan
tetapi setelah sampai di dinti batin, si Suta sudah tidak ada lagi, tergantikan
oleh Pribadi, yang ketika sedang menguasai batin semua makhluk. ( Kata :
“Sedang” dalam bahasa Kajaten (Yang
Sejati), Tidak awal dan tidak ada akhir).
14.
Tidak ada nyawa yang berdiri sendiri. Pasti bergantung
kepada Kajaten (Yang Nyata Adanya). Kajaten tanpa nyawa juga tidak bisa,
kedua-duanya saling menetapkan.
Barang yang adanya tergantung pada yang lain, disebut
Negatif, Seperti : Hijau adalah negatif dari daun, Daun negatifnya Hijau,
Kuning atau merah. Demikian juga : Kajaten itu negatifnya nyawa, Nyawa
negatifnya kajaten, Si Suta negatifnya kajaten. Kajaten negatifnya si Suta.
Si Suta butuh Kajaten, sebab adanya si Suta berasal dari
Kajaten. Sedangkan Kajaten, walaupun tidak membutuhkan si Suta, akan tetapi
membutuhkan nyawa dari selain si Suta, sebagai negatifnya. Menguasai pasti
membutuhkan yang dikuasai, seperti halnya daun yang membutuhkan salah satu dari
: Warna Hijau, merah, kuning, atau pun pith.
Oleh karena Kajaten adalah yang menguasai seluruh nyawa,
maka manusia tidak usah mengingat-ungat untuk bisa menguasai alam, Menurutlah
apa kehendak dari Pribadi saja. Kadang juga perjalanan nyawa sampai kepada inti
batin, jika demikian maka sudah pasti bisa menguasai seluruh nyawa, karena
negatif.
15.
Penyebab si Suta tidak bisa mengetahui Kajjaten sebab, si
Suta terhalang oleh penglihatan sendiri, Si Suta tidak bisa menghayati dan merasakan,
disebabkan juga karena terhalang oleh angan-angannya sendiri. Dan si Suta
terhalang oleh rasanya sendiri juga terhalang oleh perasaaannya sendiri atau
juga terhalang oleh Pancaindranya sendiri. Itulah penyebabnya, walau pun si
Suta itu ada tapi tidak bisa mengetahuinya. (Yang tidak mengetahui itu rasa
orangnya). Untuk bisa mengetahui adalah dengan jalan apabila rasa di dalam si
Suta sudah tidak ada. : Sampai dengan tidak ada bekasnya rasa. Dan yang bisa
mengetahui adalah bukan si Suta, akan tetapi : “Jatinya”.
Walau pun bukan si Suta atau pun tetangganya, namun tetap
Dheweke (Pribadi). Hanya saja bedanya
adalah yang tadinya “Menjadi Suta” kemudian tidak lagi menjadi Suta. (Berhenti
menjadi Suta). Terjadi hal yang demikian, sebab yang bernama si Suta ternyata
memang tidak ada,yang sebenarnya ada hanyalah “Dheweke/Pribadi, Ingsun”. Dialah
yang Tunggal , ujud segala rasa, Juga sebagai segala keadaan yang ada di dunia.
16.
Pada saat
angan-anganmu sedang sedang tenang, dan nafsumu sedang tenang juga, dun juga
pkiranmu sedang tidak memikirkan banyak hal, hanya sedang tertuju pada yang
satu yang paling mulia, itulah pikiran yang sedang menuju ke arah kajaten,
sampai di situ kumu sudah dekat untuk sampai ke Budimu, dan jika telah sampai
di tingkat itu, maka angan-anganmu akan terang dan bening.
17.
Beda antara dunia dan akhirat adalah : bukan sekarang
dengan yang akan datang, akan tetapi hanya lahir dan batin. Dalam tata lahir
ada di alam dunia, dalam tata batin ada di alam akherat. Sehingga : Sekarang
juga aku ada di Akhirat, sedangkan yang sedang berada di alam dunia adalah rasa
dan perasaan yang dikuasai oleh “AKU”. Ujud dari rasa yang terkuasai, seperti :
Pikiran, senang dan susahnya hati, terang gelapnya penglihatan, Bisa melihatnya
mata terhadap segala yang ada di dunia, terdengarnya suara oleh telinga, Manis
pahitnya rasa di lidah, halus dan kasarnya rasa di telapak tangan, Sehat dan
sakitnya badan, dan sebagainya. Itu semua bukan Rasa Jati. Hanya bayangan dari
Rasa yang sejati.
18.
Untuk bisa sampai ke Yang Nyata adanya (Kasunyatan),
tidak bisa dengan mengandalkan Guru ilmu batin atau pun Kitab. Yang paling
penting adalah “Menyiksa diri”, Mengetrap kan anggapan, dan sucinya hati.
Namun, tanpa guru, tidak akan bisa.
19.
Semakin tipisnya hawa nafsu disertai dengan ketebalan
kepercayaan terhadap tidak adanya apa-apa kecuali hanya Tuhanlah Yang Ada, itu
: Akan menjauhkan dari segala bencana, dan mendekatkan pada keselamatan, untuk
saat sekarang atau pun di masa yang akan datang.
20.
Surga itu adalah buatan hati, Neraka pun buatan hati.
Oleh karena itu yang terpenting dari segala yang terpenting adalah mennyucikan
hati.
21.
1. Tidak ada
kejadian apapun yang bukan kehendak Tuhan. Meskipun tidak ada satupun kejadian
yang tanpa sebab. Karena sesungguhnya sebab dan akibat dari sebab : Ke
dua-duanya adalah kehendak Tuhan.
2. Tidak ada kejadian pun yang tanpa sebab. Walaupun
sebab tersebut sebetulnya tidak memberi bekas apapun. Karena sesunggunya ketika
Tuhan menciptakan segala kejadian adanya akan selalu di dampingi oleh sebab.
(Tuhan itu ucapan manusia untuk menyebut Sejatinya. Itu kata Kajaten yang diucapkan
menggunakan mulut manusia).
22.
Tidak perlu terlalu berat mencintai ciptaan (Dunia),
cintailah Sang Pencipta. Namun jangan benci kepada ciptaan, sebab di situ : Ada
Sang Pencipta.
23.
Allah sangatlah dekat. Dan segala sesuatu yang paling
dekat pun masih kalah dekat. Dibanding nyawapun masih kalah dekat. Akan tetapi
banyak manusia yang mengira jauh. : Hal demikian pun tidak salah. Sebab, yang
disebut jauh dan dekat hanya ada dalam perkiraan. Jelasnya, sebagai berikut :
Jauh dan dekat, keduanya saya ibaratkan benda. Benda itu
pasti bertempat. Bertempat di perkiraan. Perkiraan pun bertempat. Bertempat di yang mempunyai perkiraan. Tidak
ada lagi yang menguasai segala perkiraan, hanyalah Allah semata.
24.
1. Si Suta sekarang ada, dulu tidak ada, Walaupun demikian,
Adanya si Suta dari tidak ada. Kalimat demikian juga benar, namun maksud dari
kalimat adanya dari tidak ada : Tidak mudah. Adalah hal yang aneh, jika sesuatu
bergantung kepada yang hampa. Hampa itu hanya bisa sepi, tanpa rasa. Dan tidak
akan bisa Suta keluar dari dalam sepi.
2. Si Suta sekarang ada, dahulu juga sudah ada, namun
belum lahir ke dunia. Sehingga adanya si
Suta adalah dari ada. Kalimat demikian juga benar, namun maksud dari kalimat
Adanya dari Ada, tidak mudah, sebab kalaimat belum ada sudah ada, itu tanpa
makna (Sesuatu yang timbal balik tidak bisa bersatu). Lain dari hal itu, bahwa
yang mempunyai nama si Suta adalah setelah dia lahir. Sebelum lahirnya si Suta,
tidak ada yang ditetapkan dengan nama si Suta. Dan juga bahwa si Suta adala
ciptaan yang berubah-ubah, mirip dengan sebuah ombak atau pun awan. Oleh karena
adanya si Suta tidak selalu tetap. Sedangkan sebelum dia lahir diberi nama si
Suta, itu seperti si Suta ketika berumur berapa tahun, apa seperti Sita ketika
masih anak-anak, apa seperti Suta ketika bayi, apa seperti Suta ketika sudah
tua.
Hal demikian agar lebih jelasnya, sebagai berikut :
Sebelum si Suta ada, Yang ada adalah “Jati”-Nya atau
“Pribadi’-nya, sama halnya Jati dari SI Dadap, ringkasnya : Jati dari semua
ciptaan.
Walau pun Pribadi tersebut tidak di jelas-jelaskan :
Sesuatu yang satu, tunggal atau utuh, jika dirasakan dengan teliti, akan
nampaklah jika : Hanya Yang Satu atau Tunggal. Dan jika di rasakan : Tidak
harus disebut Satu. Kata “Satu” itu adalah kata seseorang yang dibantah sendiri
karena pikirannya sedang bingung. Sama halnya ketika seseorang menyatakan bahwa
malam itu tidak bersamaan dengan siang.
Maksud dari kata “Pribadi” juga sudah mengandung makna
“Yang Hanya Satu”, sehingga di sebut Pribadi, sebab tanpa ada perbandingan.
Seandainya masih ada yang untuk perbandingan, tidak akan disebut Pribadi, sebab
tidak pribadi.
25.
Jika di rasa menggunakan rasa yang
sesungguhnya, Asal muasal dari segala kesalahan, dan juga segala pintu yang
mengarah kepada penasaran, sesungguhnya dan tidak lain karena disebabkan oleh
manusia-nya yang tidak bisa merasakan beda antara “DHIRI” Dengan “PRIBADI”,
sehingga “Dhiri” dianggap sebagai “Pribadi”. Dan juga sebaliknya, bahwa asal
muasal dari Yang Utama atau pintu yang mengarah kepada yang Terang, adalah
disebabkan manusia yang telah bisa merasakan perbedaan antara “Diri” dan
“Pribadi”.
Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut : Semula berasal
dari Pedoman Kodrat ; Bahwa, segala sesuatu yang hidup, sangat mencintai
Pribadinya, besar cintanya tidak ada bandingannya, tidak ada Cinta yang
besarnya bisa melebihi cinta ke pada Pribadinya. Jika dilihat dengan dasar
Kodrat, hal demikian itu memang benar, sebab sesungguhnya “Tidak ada apa-apa”
hanya Pribadi Yang Ada.
Namun .... .. karena yang dianggap “Pribadi” adalah
“Diri”, yaitu Jirim (kasar dan halus), akhirnya Cinta yang besarnya tidak
terukur tersebut jatuh kepada “Diri”. Sehingga dirilah yang sangat di
agung-agungkan.
Dan sikap Cintanya
atau mengagung diri tersebut, seperti berikut :
Diumpamakan seseorang yang tidak mau mengalah satu kata
pendapat, satu langkah tindakan, atau dibela sampai mati kesalahan diri yang
sudah jelas, sampai dengan dibela sekuat budi dan membolak-balik nalar, agar
dirinya tidak terlihat buruk atau kesalahannya. Itu jika ditelusuri rahasianya, bahwa yang demikian kemudian akan
ditemukan, bahwa pangkal dari besarnya cinta yang demikian adalah Cinta Kepada
“Pribadi”. Terjad hal yang demikian hanya disebabkan karena kesalahan saja.
Yaitu : Diri dirasa sebagai Pribadi, atau Jirim dianggap Yang Nyata Adanya
(Kahanan Jahti).
Jika saja bisa memisah antara Diri dan Pribadi, pasti
akan terjadi yang sebaliknya. Artinya, justru akan menghukum dan membantah
nafsu dirinya yang mengajak kepada hal seperti tersebut. Sebab tindakana yang
demikian sama saja membuat kegelapan dirinya sehingga berakibat semakin
tertutup untuk bisa mengenal “Pribadinya”.
Yang menyebabkan manusia ketempatan watak Ego, jahil,
dengki, Sombong, mengaku pinter dan sebagainya : Semua itu tumbuh dari rasa
hati yang mengajak kepada Mengagungkan diri. Dirinya agar terlihat lebih
segalanya dibanding diri lainnya. Tidak saja pemikiran orang lain yang di suruh
berpikir seperti itu, bahkan pikirannya sendiri di ajak oleh hawa nafsunya
supaya menganggap paling baik , luhur dan benar tentang dirinya. Pikirannya
sendiri pun menurut, sehinga tidak sadar bahwa sikap yang demikian itu adalah
salah atau jelek, dan juga bisa berakibat tidak percaya bahwa sebagai penyebab
kegelapan diri yang disebabkan oleh sikap yang demikian.
Manusia yang mengalami hal demikian disebabkan karena :
Sangat mencintai dirinya sendiri. Penyebab cinta diri seperti itu awal mulanya
berasal ari Cinta kepada Pribadi. Akhirnya beralih cinta kepada diri
disebabkan karena salah anggapan.
Penyebab salah anggapan seperti,
karena membedakan diri dengan Pribadi amatlah sulit dan tidak bisa dijelaskan
dengan rangkaian huruf yang berupa kata-kata.
Orang yang Jubriya, kibir, bid’ah, sombong, dan
sebagainya : semuanya tumbuh dari : Angan-angan yang mengajak untuk meluhurkan
diri. Pemikiran ayng demikian disebut Percaya atau menganggap, bahwa dirinya
itu : Kuasa, Baik, luhur dan benar.
Oleh karena semakin cintanya kepada diri, maka semakin
hilang Pribadinya (Bagaikan hilangnya jirim karena bidang), sehingga Syari’at
Agama sangat melarang orang yang Jubriya, kibir, bid’ah, sombong, dan
sejenisnya. Adanya larangan tersebut dikarenakan Sayang Tuhan dan penjagaan
Tuhan terhadap manusia, jangan sampai manusisa salah anggapan, sehingga tidak
mengetahui Pribadinya. Itu bukan karena Guru yang tidak menyukai watak yang
demikian, dan bukan karena kesiku (hukuman Tuhan di dunia). Kata kesiku
(hukuman Tuhan di dunia) arti sebenarnya ; Terjerat atau tersesat dikarenakan
tindakannya sendiri.
Kata : Jubriyah dan sebagainya, Bahasa jawanya :
Kumingsun (punya anggapan dirinya seperti Tuhan), Karena bukan Ingsun, sehingga
di Ingsun-ingsun-kan, sehingga menghilangkan Ingsun yang asli, dan mengadakan
jirim, Yang bnar : Menghilangkan Jirim, hanya Ingsun yang ada.
Watak yang tumbuh karena sangat cinta diri, itulah yang
melupakan Pribadi, Jika di gelar banyak sekali gambarannya. Seperti : Manusia
yang gila hormat, Sombong, itu karena menganggap diri satu.
Yang lainnya ada manusia yang mempunyai watak malas
berbuat kebajikan, itu awalnya karena salah anggapan, Dirinya dianggap sebagai
Pribadinya.
Yang lainnya ada manusia yang mempunyai watak Iri,
dengki, panas hati, itu tidak lain disebabkan sangat membela kepentingan diri.
Ada orang yang suka menyalahkan orang yang sedang salah
serta suka menyanjung orang yang sedang beruntung, itu juga berasal dari rasa
hati yang mengajak untuk menonjolan diri.
Ada orang yang malas mendapat pertolongan atau nasihat
dari orang lain, dan suka mengaku telah memberikan bantuan atau nasihat kepada
orang lain. Itu juga disebabkan oleh nafsu yag mengajak kepada mengagungkan
dirinya.
Ada orang yang sangat bernafsu tentang segala hal : Itu
juga karena sangat membela dirinya.
Ada orang yang malas mengakui kebaikan yang ada pada diri
orang lain, serta sukanya mengaku dirinya yang terbaik, itu juga disebabkan
karena sangat cinta diri, dan karena tidak mengetahui “Pribadi”. Dan
lain-lainnya. Semua watak jelek, tidak lain
disebabkan karena “Tidak mengetahui
Pribadinya”.
Semakin manusia itu bisa memilah-milah antara diri dan
Pribadi, akan semakin berkurang watak yang mengajak untuk meluhurkan dirinya
sendiri, karena yang di akui adalah Sejatinya dari semua diri yang ada.
Anggapan bahwa Pribadi yang ada, sangatlah besar dayanya, karena mampu
menghapus watak yang jelek, dan akan tergantikan oleh watak sabar, cinta kasih,
ikhlas, tenteram yang pada akhirnya akan menjadikan Budi menjadi bersih.
Sebelum berbadan Bathara sudah bisa merasakan Rakhmat, merasakan rasa yang
mulia, nikmat dan manfaat melebihi orang yang kaya dan yang luhur.
Manusia, pada saat bekerja atau istirahat dari kerja,
pada waktu siang dan malam, jangan sampai terputus “Eling” ingat bahwa Pribadi
yang ada. Dhiri yang bersifat Pribadi.
Itulah mana dari Lafal : “La ilaha illallah, Muhammad
Rasulullah”
26.
Menerangkan, waktunya menggunakan dan membuang alat. ( A
sampai F).
CONTOH A : Orang yang pandai menggunakan Egrang atau bersepeda, itu bukan hanya orang yang
kuat. Walaupun orang yang kurus dan lemah, jika sudah ahli, kepandainya
melebihi orang gemuk dan kuat.
Demikian juga, pada saat sedang belajar keahlian, awalnya
juga membutuhkan kekuatan. Kekuatan berguna untuk menolong cnggungnya. Jika
telah hilang rasa canggungnya, kekuatan tidak dipergunakan lagi. Yang dipakai
hanyalah : Keahliannya.
Maksudnya : Kekuatan adalah alat yang harus diupayakan
dan dipergunakan ketika seseorang sedang belajar menggunakan egrang (naik
tongkat), ketika belum ahli. Setelah mendapatkan keahlian (hasil dari rasa
karena selalu memperhatikan), kemudian akan mengurangi penggunaan kekuatannya,
karena sudah berganti alat yang bernama keahlian. Pada akhirnya kekuatan
bagaikan tidak berguna lagi, karena telah tergantikan oleh keahlian.
Dari hasil pengalaman yang demikian, akhirnya kita
mempunyai patokan : Alat itu harus diupayakan ketika belum punya, dan
dipergunakan ketika masih diperlukan, akan tetai harus ditinggal ketika kita
sudah tidak membutuhkannya lagi. Sehingga salah jika kita malas mencari sebelum
mempunyai, atau malas mempergunakan ketika masih memerlukan, Namun sangatlah
keliru ketika terus-terusan mempergunakan alat saja.
CONTOH B : Anak kecil yang belum mengetahui dan belum
merasakan manfaat mandi dan manfaat belajar, tentunya tidak akan mau mandi atau
pun belajar. Bagi anak yang demikian perlu di sanjung atau diberi hadiah ketika
mau mandi dan belajar, terkadang juga perlu diberi hukuman atau dimarahi ketika
tidak mau mandi dan belajar. Pengaruh sanjungan dan hadiah menumbuhkan
keinginan dan kehendak untuk mandi dan belajar. Pengaruh hukuman dan dimarahi
akan menumbuhkan rasa takut dan malu.
Rasa ingin, rasa takut, rasa malu, adalah alat yang
menumbuhkan kehendak dan menolak rasa malas. Dari kehendak akhirnya akan
menjalankan. Dari seringnya menjalankan secara rutin akan menghasilan keahlian
dan menghasilkan rasa manfaat dari mandi dan belajar. Setelah paham dan telah
bisa merasakan sendiri manfaatnya sehingga sudah tidak diperlukan lagi alat
yang berupa sanjungan, hadiah, hukuman dan dimarahi, karena sudah berganti
dengan rasa dan pemahaman.
CONTOH C : Orang baik itu, bukan hanya orang yang suka
terhadap perbuatan baik dan benci terhadap perbuatan jahat. Walaupun tidak
melakukan perbuatan baik serta tidak membenci perbuatan jahat, jika dasar
wataknya baik, itu akan lebih baik dibanding dengan yang suka perbuatan baik
dan benci perbuatan jahat. Demikian juga ketika sedang berusaha berkelakuan
baik (karena belum baik), juga harus senang kepada perbuatan baik, juga harus
membenci perbuatan jahat. Manfaat dari rasa suka dan
benci terhadap perbuatan baik dan buruk adalah
untuk menjauhkan diri dari perbuatan jahat dan mendekatkan kepada perbuatan
baik, jika sudah mendapatkan yang baik, maka sudah tidak membutuhkan lagi alat
yang berupa rasa suka dan rasa benci, sebab yang bermanfaat adalah : Baiknya, bukan rasa suka dan
bencinya, justru rasa suka dan benci : sebagai pengganggu, karena yang namanya rasa
benci dan suka adalah berasal dari dorongan nafsu.
(Mempergunakan alat ketika masih diperlukan, itu bisa
diibaratkan : Menaiki kendaraan ketikan belum sampai ke tempat tujuan. Begitu juga
sebaliknya: meninggalkan kendaraannya di tempat parkir ketika sudah tidak
dipergunakan lagi, karena telah samapi di tujuan).
CONTOH D : Manusia utama itu bukan yang malu ketika
diriinya diremehkan dan senang ketika di puja. Walau pun jika manusia itu tidak
suka di puja dan tidak malu ketika diremehkan, jika dasar dirinya sudah
mengerti dan Eling (sadar) (Sudah sadar kepada Sejatinya, dan sudah tidak
menganggap kepada dirinya) itu manfaatnya melebihi yang senang di agungkan dan
malu jika diremehkan. Itu semua usaha Budi agar bisa sampai kepada Terang dan
ingat : Pada awalnya menginginkan untuk di sanjung dan malu jika di cela.
Kegunaan dari alar tersebut adalah untuk membangkitkan nafsu yang mengajak
kepada keutamaan, serta menghlangi nafsu yang mengajak kepada kenistaan, dan
jika sudah sampai kepada keutamaan, dan meninggalkan perbuatan nista, karena
sudah terang budinya, maka tidak akan mengharapkan lagi sanjungan dan tidak
malu jika di cela oleh siapapun juga. (Ini yang bernama mengundurkan diri, menghadap
kepada Pribadi / telah hilang sifat ego diri). Karena nafsu yang mengajak
kepada perbuatan nista telah musnah, tergantikan oleh Rasa Tunggal, yaitu
menyatunya Budi dengan kesadaran diri (Eling). Setelah menghilangkan nafsu yang
mengajak kepada perbuatan nista kemudian berusaha untuk menghilangka nafsu yang
mengharapkan sanjungan dan nafsu malu jika di cela. Sebab itu juga penghalang
kabgi Kajaten.
(Tidak mau mempergunakan alat selagi masih memerlukannya,
itu salah; dan juga masih salah jika sudah seharusnya meninggalkan alat tapi
masih mempertahan alat tersebut dan terus dipergunakan karena merasa diri yang
memiliki alat tersebut).
Shingga mengharapkan sanjungan dan malu jika di cela,
harus dihilangkan, sebab itu juga termasuk nafsu yang akan menyesatkan
angan-angan. Jelasnya : Cara menyesatkan yang dilakukan nafsu tersebut :
Angan-angan yang mengajak mengaku sebagai diri yang sejati (rasa ego diri).
Siapapun yang mempertahan ego diri, akan kehilangan
Pribadinya, dan lupa bahwa sesungguhnya Jati yang ada. Oleh sebab itu, yang
harus diikuti : “Budi, sebab itu sebagai petunjuk jalan : mengarahkan kepada
kebenaran, seperti. Menunjukan jalan bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa, hanya
Pribadi yang Tunggal yang ada. Dan juga yang memberi tahu bahwa yang di sanjung
dan di cela itu hanya bayang-bayang saja di dalam Pramana (Cirmin diri), yang
sebentar lagi akan sirna. Sedangkan yang sanjungan atau pun celaan itu adalah
rasa yang tidak sejati (maya) yang mengambang di dalam Pribadi Yang Tunggal.
Ringkasnya : Yang menyanjung dan yang disanjung keduanya adalah tipuan,
sebenarnya tanpa makna.
Sekarang jelaslah bahwa rasa hati yang senang kepada
sanjungan dan malu ketika di cela, itu hanya alat yang dipergunakan dalam waktu
singkat saja. Ketika akan masuk ke Kajaten, alat tersebut harus dibuang (Naik
kendaraan, jika telah sampai tujuan harus turun dari kendaraan).
CONTOH E : Ketengan Samadi, Tapa, Tafakur; itu tidak
harus berapa di tempat yang sunyi sepi, walaupun berada di tempat yang ramai
jika sudah ahli memusatkan pikiran, akan bisa melebihi dari yang berada di
tempat yang sepi. Namun juga dalam menempuhnya, harus berada di tempat yang
sepi. Manfaat tempat yang sepi untuk melancarkan agar tidak mudah terperanjat
dan pikiran yang bukan-bukan. Jika telah terlatih, temapt kesepian sudah tidak
diperlukan, yang diperlukan adalah : Ahlinya.
CONTOH F : Manusia sempurna itu bukan hanya orang memilih
perbuatan baik, menolak perbuatan maksiat, walaupun menjalankan perbuatan
maksiat dan berkumpul dengan orang yang berbuat jahat, jika hatinya benar-benar
suci; maka sucinya melebihi orang yang semuci suci. Begitupun, ketika sedang
mencari kesucian, harus memilih perbuatan baik, yang bergaul dengan orang
jahat, juga harus tidak mengerjakan perbuatan jahat. Manfaat dari memiih yang baik,
dan menjauhi perbuatan tercela adalah untuk melancarkan atau menghilangkan
Gelapnya Budi karena belum suci, belum berpisah dengan sifat jahat (agar tidak
mudah terpelseset). Jika sudah terang budi hawanya serta telah berpisah dengan
kejahatan, sudah tidak perlu menolak dan memilih, yang terpenting : Usahanya
dan berpisahnya dengan sifat jahat.
27.
Pennyebab kesalahan angapan, yaitu :
Ada yang berada pada diri; dan ada yang berada pada
Pribadi :
Jika berada dalam diri, akan menyatu dengan angan-anan, menimbulkan
sifat mengagungkan diri (Kumingsun). Jika ada pada Pribadi, menyatu dengan Rasa
Tunggal, menjadikan “TEKAD”.
oooOOOooo
Manusia yang sedang mencari Yang Nyata Adanya (Kajaten),
wajib, agar selamat : Harus percaya atas kekuasaan yang berada pada dirinya.
Ketika sedang belajar jangan dibantah sendiri agar bisa berhasil, artinya :
Jangan menyalahkan diri sendiri. Dan juga harus diketahui sebab tidak bolehnya menyalahkan diri sendiri.
Mengapa dirinya sendiri tidak boleh disalahkan, karena
gerak dan berpikirnya manusia atau gerak hati manusia untuk mencapai
kesempurnaan, sesungguhnya adalah Af’al (Gerak) Tuhan. Sehingga jika manusia
tidak percaya diri, sama saja tidak percaya kepada af’al-nya Tuhan. Atau tidak
percaya atas Kekuatan Tuhan. Jika tidak percaya atas Kekuasaan Tuhan yang ada
pada Dirinya, jalan keselamatan akan tertutup oleh karena menyalahkan diri
sendiri, yang pada akhirnya diri akan menjadi celaka sungguhan karena anggapan
pribadinya.
Namun jangan sampai punya anggapan : “Dirinya bisa dan
kuasa”. Hati-hatilah atas kesalahan dari
anggapan. Walaupun anggapan itu berada di dalam batin, itu akan terlihat
di dalam sikap.
Tuntunan Agama : Jika mengaku Allah disebut Kadariyah;
Jika tidak mengaku disebut Jabariyah. Dan keduanya tidak benar.
Jika mengaku disebut kufur; jika menolak disebut Kafir,
namun jika tidak mengaku dan tidak menolak disebut Kopar.
Bagaimanakah benarnya? Bisa mengetahui yang benar jika telah bisa membedakan antara “DIRI” dan
“PRIBADI”, sebab arti ibarat, tidak lain agar Memahami “JATINYA” serta
“Meninggalkan Dirinya”.
===è>>.TAMAT
ISI SERAT JATIMURTI <<<<ç===
RINGKASAN ILMU : i SAMPAI DENGAN VII
I.
Rasa adalah tanda
dari nyawa, artinya :
Bisa merasakan,
karena hidup,
Tanda hidup :
Bisa merasa.
Nyawa itu berujud
Jirim, yaitu sifat dari Yang Nyata adanya (Kajaten).
II.
Rasa diri manusia
ada tiga macam :
1. Rasa badan
/Jazad
2. Rasa hati;
3. Rasa kesadaran
diri.
Sehingga manusia
itu, mempunyai tiga daya hidup :
1. Nyawa dari
badan : Biasa disebut : Rasa.
2. Nyawa Hati :
Biasa disebut ; Hati.
3. Nyawa
kesadaran/ingatan : Biasa disebut : Budi.
Ringkasnya :
Manusia seutuhnya
itu adalah bersatunya tiga rasa : Budi, Hati dan Rasa.
“Rasa” yang
berada terdepan dikala hidup di dunia.
III.
Budi; Hati; Rasa
: Hidup di alamnya sendiri-sendiri.
Alam Budi disebut :
Guruloka (Baitalmakmur).
Alam Hati disebut :
Endraloka (Baitalmukharam )
Alam rasa disebut :
Janaloka (Baitalmukhadas)
Budi dasarnya adalah Kepala : Berpusat di Otak.
Ati dasarnya adalah Dada : Berpusat di inti jantung.
Rasa dasarnya di seluruh badan : Berpusat di Kemaluan.
Keterangan :
Hidup manusia di dunia, sebenarnya yang berada di dunia
adalah badan kasarnya (Jazad), yaitu hidupnya rasa badan kasarnya (jazadnya).
Sedangkan hatinya tidak ikut berada di dunia, dan selalu hidup di
Baitalmukharam, sedangkan Budi-nya : hidup di Baitalmakmur. Hidup ketiganya
menjadi satu, namun antara yang satu dengan lainya tidak bersentuhan.
IV.
Yang harus diperjuangkan oleh manusia :
Yang pertama adalah beningnya Budi, yang disebut :
Kebijaksanaan.
Kemudian : Yang Nyata adanya (Kajaten) : Kesempurnaan
(Kasampurnan).
V.
Bagaimakan caranya untuk bisa menjernihkan Budi atau
Kebijaksanaan ?
Sesungguhnya di diperjuangkan oleh para pencari kebenran
(Ngelmu) itu tidak lain berpusat pada :
1. Mengikuti Budi, (Budi akan selalu benar).
2. Mengekang hidunya hati ( Mengekang hawa nafsu).
3. Mengekang hidupnya rasa (Nafsu Syahfat dan makanan).
Hidup maksudnya sering dipergunakan daya kekuatannya.
Mengekang : artinya semakin dikurangi daya kekuatannya.
Keterangan :
1. Hidupnya rasa hati, jika dikekang, daya hidupnya tidak
hilang, hanya saja beralih yang kemudian akan menghidupi Budi, sehingga Budi
akan menjadi semakin besar dayanya, disebut bijaksana; artinya : Terang;
Ketenagan rasa dan hati disebut : Tenteram, Tenang, Bahagia sejati.
2. Yang mana saja
yang besar nyalanya ; itu yang kuat dayanya, yang akan menjadi pemimpin hidup;
artinya : Menguasai; Jika yang besar daya hidupnya Rasa, maka manusia akan
dikuasai rasa, sehingga merasa ada di alam Janaloka.
Jika yang besar hidupnya hati, manusia akan dikuasai
hati, kemudian akan merasa hidup di alam Endraloka.
Jika yang besar hidupnya Budi, maka manusia akan dikuasai
Budi, akan masuk di alam Budi, akan merasa hidup di alam Guruloka, disebut berbadan Bathara.
Jika masuk di alam Guruloka barulah disebut Bijaksana atau Pramana, itulah
jalan yang menuju ke kesempurnaan.
VI.
“Yang dirasa”
-------- “Rasanya”
------- “Yang
Merasakan”.
Yang disebut alam adalah “Yang di Rasa”; Bukan “Rasanya”
dan bukan “Yang Merasakan.”
Yang disebut “Nyawa” itu adalah “Yang dipergunakan untuk merasakan”,
artinya “Rasa”;
bukan “Yang di Rasa” dan bukan “Yang merasakan”
Yang disebut Kajaten itu bukan “Yang dirasa”; dan bukan
yang dipergunakan untuk merasakan; Yang benar adalah : “Yang Merasakan”.
Yang
dirasa disebut “Alam Kabir”
Yang dipergunakan untuk merasakan disebut alam “Sahir”
Yang merasakan disebut “Kajaten”
Yang
dirasa sebetulnya itu “tidak ada”, sebab adanya
tergantung kepada adanya Rasa. Sedangkan Rasa tergantung kepada adanya Yang
Merasakan.
Sehingga
sesungguhnya tida ada apa-apa, hanya “Yang Merasakan” Yang ada.
# “Lupa” artinya : Tertipu oleh yang di rasa. Tidak ingat pada
rasanya, apalagi terhadap “Yang Merasakan”.
# Eling (Ingat/Sadar), Paham terhadap rasanya, tidak tertipu oleh
Rasa.
# Sempurna artinya : Paham terhadap “Yang Merasakan” tidak tertipu
oleh rasanya; apalagi oleh “Yang dirasa”.
VII.
Penjelasan kata “Yang Merasakan”
Yang Merasakan berasal dari kata : “Yang” dan “Merasakan”
Yang itu intinya; Merasakan itu pekerjaannya.
Yang Merasakan; disaat merasakan menggunakan “Rasanya”,
bukan mempergunakan “Yang” nya. Sehingga : “Yang “ itu, hanya menguasai, tetal
kekal tidak pernah berubah. Sebab pekerjaan merasakan sudah di awali oleh Nyawa
alat untuk merasakan.
(Semua yang berujud Jirim, bagi Kajaten hanya sebatas
gerak-gerakan saja – ciptaan – tidak bisa dibayangkan tentang ujud dari
gerakan.. sebab ada kiblat lahir dan ada kiblat batin).
oooOOOooo
PERTANYAAN DAN JAWABAN YANG DIMAKSUD
SERAT JATIMURTI
Apa yang dimaksud dari buku ini ?
Ialah : Mencari sikap tekad dan juga anggapan yang benar
tentang Yang Nyata Adatanya (Kahanan Sejati), yang tumbuh dari nalar yang
terang dan kusus.
Sikap Tekad serta anggapan yang benar tersebut harus
ditata dengan Terangnya Nalar. Sedangkan Terangnya Nalar didapat dati Terangnya
: Apakah sebenarnya Alam Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati) serta apa artinya
orang mencari ilmu. Terangnya tidak lain harus diteliti dengan benar dan
dipilah-pilah.
Jika manusia tidak salah dalam pengertiannya dan tidak
salah dalam keyakinannya (Anggapannya) tentu tidak akan salah dalam tekad, sehingga jika tidak salah dalam
tekadnya, sehingga tidak salah dalam sikap, yaitu sikap dari tekad
(Konsentrasinya), juga sikap hati (watak), juga sikat raga (tingkah laku).
Apa artinya sikap dari tekad ?
Sikap dari tekad
maksudnya : Ketika menata batin, bagaimana seharusnya dan kemana
arahnya. Namun, bagaimanakah cara menyebutkannya dan menguraikannya, karena hal
itu berujud Rasa. Apakah ada orang yang bisa menjelaskan “RASA”. Contohnya :
Rasa Asin itu, bagaimana cara menerangkannya. Sebab kata Asin kan hanya untuk
menyebutkan saja, tidak akan bisa menjelaskan rasa. (Manusia akan bisa
menjelaskan rasa asin jika seseorang bisa meminjamkan lidahnya).
Penjelasan dari kata Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati) dan
juga keterangan ilmu ukur yang ke empet : Juga hanya berujud uraian yang
menjelaskan ilmu (pengertian). Ilmu itu bukan tekad, dan juga bila diarasakan
denegan sungguh-sungguh, ilmu tersebut sebagai suatu cata pemahaman yang bisa
menumbuhkan : Rasa Rumangsa, Keyakinan hingga sampai ke dalam tekad.
Kita akan mengaku bahwa keyakinan dan tekad yang benar
akan diperoleh oleh seseorang yang mengkonsentrasikan pikirannya dan merasakan
ilmunya. Sebab jika seseorang belum mengerti apa-apa, maka belum mempunyai
tekeyakinan dan tekad yang bagaimana-bagaimana.
Apa perlunya seseorang harus mempunyai tekad dan
keyakinan yang benar ?
Sangatlah besar daya kekuatan tekad yang benar atau
keyakinan yang epat bagi Yang Nyata adanya (Kahanan Jati), Sebab, tekad atau
keyakinan itu akan menghasilkan sikap (Sikap Rasa dan sikap Budi kelakuan),
seperti berikut :
1.
Menghilangkan anggapan sebagai Ingsun, merasa besar diri,
merasa pintar dan sebagainya. Manusia yang benar keyakinanya kepada Yang Nyata
adanya (Kahanan Jati), itu tiap langkah dan tiap ucapannya akan terlihat dari
sikap, jika jauh dari megharapkan sesuatu, artinya tidak bermaksud menonjolkan
diri. Apakah sebabnya ? : Karena merasa bahwa dirinya yang sesungguhnya bukan
yagn sedang terlihat sebagai jirim tersebut., kesemuanya bukan Yang Nyata
Adanya (yang Sejati) dan dalam waktu singkat akan sirna.
2.
Menghilangkan watak banyak keinginan, banyak yang ingin
dimiliki, banyak kesenangan dan sebagainya. Apakah sebabnya : adalah karena
rasa dan perasaannya bahwa dunia sangatalah tidak berarti dan sangat sebentar.
Kaerna bukan Yang Nyata Adanya. Dheweke (Pribadi) Yang Nyata adanya : Kekal
berada dalam kesucian dan tidak membutuhkan apa-apa.
3.
Menghilangkan watak membenci, panas hati, mudah marah dan
sebagainya, karena merasa bahwa dirinya sama dengan orang lain. Semua yang
berujud Jirim : Sipatnya sendiri, Semua rasa : Rasanya sendiri; dan kesemuanya
itu bukan bukan Yang Nyata Adanya (Kahanan Jati).
4.
Menghilangkan watak mudah goyah, gampang heran, gampang
mengeluh, kawatir dan sebagainya, karena tebal kepercayaannya bahwa Dia yang
sejati Yang Nyata Adanya tidak memilih yang ini yang itu. Semua yang ada
berasal dari Dia, dengan menggunakan Hukum keadilan karena sifatnya. Selain
dari itu tidak ada sesuatu yang kekal (Senang susah dan sebagainya) kecualia
hanya Dia yang sejati.
5.
Menghilangkan watak suka bohong, karena merasa bahwa
bohong itu sama saja menipu hatinya sendiri, dan tumbuhnya berasa dari harapan
yang sangat tidak berarti.
6.
Menumbuhkan watak sopan santun, kasih sayang, tenteram,
menerima, ikhlas, suka menolong, sabar dans ebagainya, sebab telah paham bahwa
orang lain sama dengan dirinya, semua orang : sama dengan sifatnya sendiri,
semua rasanya sendiri, apa lagi yang namanya dirinya, itu bukan Dia yang
sesungguhnya.
Pada angka 1 s/d 6 tersebut di atas, kegunaannya untuk
menjernihkan Budi. Jernihnya Budi akan menjadikan terang jalan yang menuju Ke
Ketajam jiwa. Ketajaman jiwa yang mengarahkan pada Kesempurnaan, sehingga :
1. Menusia yang ingin mencapai terangnya Budi, harus
membuang kotoran hati. Cara untuk membuang kotoran hati : harus menggunakan
terangnya Budi. Keduanya harus berjalan beriringan.
2. Merncari terang
dengan jalan membuagn kotoran hati tersebut : harus benar penerapannya
keyakinannya kepada Kajaten, sedangkan untuk bisa benar keyakinannya kepada
Kajaten, dengan jalan harus menghilangkan kotoran hati dengan jalan
menjernihkan Budi. Keduanya saling dukung mendukung dengan jalan bersama
beriringan.
Dalam berjaan bersamaan dengan jalan sedikit demi
sedikit. Mencari ilmu untuk menjernihkan Budi serta memperbagus watak, bisa
diibaratkan : Menjalankan kereta dengan jalan menarik relnya, sedangkan mencari
ilmu dengan jalan menghilangkan kotoran hati, bisa diibaratkan : menjalankan kereta
dengan cara memutar rodanya. Terangnya adalah : Ketika saling tarik-menarik
antara laju kereta dengan berputarnya roda sperti saling tarik menariknya upaya
mencari jalan terang dengan jalan menghllangkan kotoran hati. Berjalannya
kereta : mempunyai pengaruh terhadap berputarnya roda. Berputarnya roda
berpengaruh terhadap lajunya kereta. Demikian juga kejernihan hati dan laku
utama ; dayanya juga menghilangkan kotoran hati, bisa digambarkan : Orang yang
membuang kotoran akan menemukan terang.
Lebih baiknya dirasakan dalam hati :
Orang menarik kereta, awalnya berat, namun lama-lama akan
berkurang beratnya, sebab tertolong oleh daya dorong (enegrgi). Pada akhirnya
akan hilang daya beratnya, karena kereta akan berjalan dengan sendirinya tanpa
ditarik lagi dan tanpa di putar lagi rodanya. Justru malah bergantian : yang
menari kereta malah naik di atas kereta yang udah berjalan tadi. Itu jadikanlah
sebagai contoh berjalannya jiwa menuju batin. Segala urusan pada mulanya memang
sulit, apalagi masalah mencari ilmu kesempurnaan. Namun, walaupun sulit
bagaimanapun, semakin lama akan semakin berkurang kesulitannya, dan pada
akhirnya : Hilang kesulitannya, sebab daya dari nyawa tertolong oleh daya
Kajaten, kemudian akan bergantian : Nyawa tidak ikut mengeluarkan daya apa pun,
hanya daya Kajaten yang ada. Ingsung, yang berada pada pusat batin, selalu
menarik nyawa yang berjalan menuju kajaten. Semakin dekat kepada pusat batin,
samakin mendapat daya dari Kajaten.
Dzat itu apa, bagaimana dan seperti apa?
Apakah ada manusia yang bisa membuktikan ?
Orang yang menyebut : Hanya dapatkan sebutan. Orang yang
merasakan : hanya akan mendapat : Rasa. Orang yang memahami sifat : akan
mendapatkan sifat.
Sebutan, Rasa dan Sifat, itu bukan : Dzat (Kajaten).
Sehinga : Dzat tidak bisa disebutkan, tidak bisa dirasakan, tidak bisa
disifati. Ringkasnya : Cep tan kena kinecap (Diam tak bisa dikatakan). Tidak
bisa di kira-kira, tidak bisa dibayangkan. Hanya bisa dinyatakan menggunakan
Kajaten, artinya : Menggunakan : Rasa yang Gaib.
Oleh karena RASA bergantung kepada
pusat perhatian, SIRNA bergantung kepada “LUPA”, dan juga manusia harus
mempunyai keyakinan bahwa tidak adanya apa-apa selain Dzat, sehingga DZAT tidak
bisa dibayangkan, atau digambarkan, sehingga bagaimana sikap memusatkan perhatian
kepada adanya “KAJATEN” dan menghilangkan segala yang digelar ????
Seperti ini :
Yang pertama harus memahami arti dari orang mencari ilmu,
yaitu apakah sesungguhnya ilmu untuk mengetahui Kahanan Jati, dan mana yang
bukan, bagaimana keterangannya dan sebagainya. Setelah manusia mendapatkan
pemahaman yang benar dan terang tentang yang sangat halus, disitulah keyakanan
akan ada dengan sendirinya, tidak dengan dibuat, dan juga tekad akan tumbuh
dengan sendirinya, tidak dengan jalan dicari. Sedangkan jika sudah ketempatan
keyakinan dan tekad, maka SIKAP juga ada dengan sendirinya, yaitu sikap dari
tekad, juga sikap hati, juga sikap dari tingkah laku.
Sudah pastilah pada aalnya tidak bgitu jelas karena belum
tetap tempatnya, dan belum begitu benar penempatannya, namun semakin lama
semakin terang, semakin menempati dan semakin tepat tempatnya. Pada akhirnya
akan selalu ada selamanya, walaupun dengan berjalan, dengan bekerja dan dengan
tidur : Keyakinan dan tekad tersebut akan selalu menetap dan menempati tempat.
Sewaktu-waktu Samadi – tafakur, keyakinan dan tekad selalu siap dan mendorong
jalannya rasa.
Arti sebenarnya dari keyakinan dan kepercayaan, adalah :
Sikap untuk mengadakan. Namun bukan hasil pemikiran, gambaran atau
membayang-bayangkan, jadi hanya arah hati yang menuju pusat batin. Apakaharti
sesungguhnya “Arah”? Seumpama : Orang menghadap ke utara, itu harus melihat
segala rupa yang berada di utara, karena menghadap yang seperti itu : hanya
sikap. Seperti itu juga tentang manusia menghadap kepada batin, jangan melihat
apa-apa, artinya : Melupakan (tidak memperdulikan) segala yang nampak dan
segala rasa ketika sedang malakukan Samadi/Tafakur.
Hilangnya dunia karena : Lua, makna lupa : Hilang rasa
dan perasaan hamba karena terbawa daya keyakinan dengan niat yang disertai
tekad. Walau pun yakin dan niat yang
disertai tekad pada awalnya berasal dari : Kehendak sang hamba, namun besarnya
daya mampu menarik daya dari hamba, sampai dengan daya hamba musnah terbawa daya
niat dengan tekad, yang menyatu dengan daya Kajaten.
Sekali lagi : Keyakinan dengan niat yang disertai tekad
tumbuh sendiri dan menempatkan diri sendiri, dayanya sangat hebat, dan pada
akhirnya berubah menjadi daya Kajaten.
oooOOOooo
Keterangan Ringkasan Terakhir
Pertama kita mencari pemahaman, disebut : Ilmu yang
dijalankan (Ngelmu), alatnya : Pikiran dan rasa. Dari ilmu yang dijalankan akan
tumbuh keyakinan disertai niat dan tekad. Setelah mendapatkan keyakinan beserta
niat dan tekad, ilmu yang dijalankan mulai tidak berguna. Pikiran diperlambat.
Yaitu harus membuang pikiran dan meringkas kehendak yang beraneka rupa (Diam).
Disatukan menjadi stu, menyatu dengan Tekad.
Tekad adalah : Leng (Konsentrasi) menuju pada inti batin
(Pribadi).
Leng (Konsentrasi) : itu akan berubah menjadi daya Kajaten,
yang bisa menghilangkan daya baru yang lain semuanya.
Berjalan rasa dan perasaan gar tidak berbelok-belok,
dengan jalan merayap pada tali hidup, yang menggandeng semua kehidupan dan
hidup yang kekal (panas), itu yang menjadi pedoman dan sebagai arah tujuan.
(Sempurnanya masalh ini haru punya guru). Jika dilakukan dengan terus menerus
dan kuat melaksanakannya (Tidak ada
pikiran yang menyelanya dan tidak ketiduran) Hilanglah bayang-bayang di dalam
cermin, yang tinggal hanyalah cerminnya. Pada akhirnya : Hilanglah cerminnya :
Tinggalah yang “Bercermin”.
Pribadi yang ada di pusat batin itu yang mana?
Pusat batin itu yang mana ?
Memusatkan Hati menuju pusat batin itu bagaimana ?
Pertanyaan seperti itulah yang menyebabkan manusia membuat Serat Jatimurti; Tasawuf, Hidayatjati
dan sebagainya, agar : Yang bertanya merasakan ilmu. Kemudian tumbuhlah
pikirannya dan keyakinannya yang semakin lama semakin mapan, sebagai
bagaimanakah orang harus menunjukan RASA dengan Kata-kata atau dengan rangkaian
huruf ? Sebab... Kata-kata hanya bisa menyebutkan saja, tidak bisa menjelaskan
RASA, dari RASA yang disebutkan.
HANYA SAMPAI DI ISI DAYA KEKUATAN KATA-KATA
T A M A T
Sepanjang, Sidoarjo, 31 Januari 2014.
SERAT -
JATIMURTI
Penerbit : Yayasan UP. DJOJOBOJO - Surabaya
Penyadur : Pujo Prayitno
PENGET
4.
Saben nembe kawaos . kasinggahna, sampun kaselehaken
sa-enggen-enggen.
5.
Sampun kawaos dening sok tiyange. Ngemungna ingkang remen
saestu ngudi kawruh kabatosan.
6.
Ingakng sampun maos, sanajan mangertosa sarta remene,
sampun ka-angge ngendikan kaliyan sadhengah tiyang.
ooooOOOOOOOooooo
Sinten kingkang karsa netepi pepenget inginggil punika ,
kalebet nama mundhi utawi ngluhuraken
kabatosanipun piyambak.
PAMRAYOGANE
KANG GAWE LAYANG IKI
4.
Dhisike diwaca grambyangan satamate
5.
Di baleni saka wiwitan kanthi alon lan sareh.
6.
Yen wis tamat kapindhone. Disinggahke. Pamacane kang
kaping telune lan sabanjure : oran perlu urut.
7.
Sanajan wis tamat ping telu ping pat, disinggahna, kanggo
simpenan..
ooooOOOOOOOooooo
Wiwitan ora terang swasanane
Nanging yen kerep disinggahake lan diwaca titi sarta
letari pamarsudine,
Sangsaya lawas, sangsaya mundhak terange
Sinengkelan :
Kawruh Raras Basuking Tyas
ISI BUKU
13. Penget
14. Pamrayogane kang gawe layang iki
15. Jatimurti
16. Bab : I bab Alam
Garis
17. Bab : II bab Alam Lumah
18. Bab : III bab Alam Jirim
19. Bab : IV bab Alam
Kajaten
20. Bab : V bab Alam Pramana
21. Bab : VI bab Pangesthi, Yaitu gaweyan ing batin manut
panganggep
22. Bab : VII bab Nerangke ukuran kang kaping pat
23. Ananing Alam-alam lan Makhluk maneka warni
24. Ancer-ancer 27 warna 1 s/d 27
25. Ringkesin kawruh I nganti VII
26. Pitakon lan wangsulan maksude Layang Jatimurti
27. Keterangan ringkesan (pungkasan).
JATIMURTI
Edit : Pujo Prayitno
KAHANAN JATI, Rehning ana kahanan jati, iya ana kahanan
kang ora sejati.
Barang kang ana iku temene maune mula ana, Sing ora ana,
maune ya ora ana. Umpamane : Bocah sing aran Dipa, apa wedhus, kacang jambu,
kukus, geni, mega, kabeh mau anane mung sawatara wektu, banjur bali ora ana
maneh. Kepriye anggone di arani ana, wong anane kaya pendhukule ombak,
mendhukul, nuli ilang, njur ana
pendhukul liya maneh, ning ya njur ilang maneh, mangkono sabanjure. Cetha ing
kene, yen si-pendhukul iku temene ora ana. Sing tetep jeneng ana iku : banyune,
kang mendhak – mendhukul, dudu si pendhukule. Tingkahe banyu mengkono mau,
katelah aran : Ombak. Wose : Ombak iku dudu sing ana, mung : Kadadeyan. Cetha
yen kadadeyan iku dudu sing dadi.
Mangkono uga, isen-isenign ALAM sak-kutu-kutu walang
atagane, kaya : gunung, bumi, srengenge, rembulan, manungsa, kewan, tetuwuhan,
rehne tinemune nalar maune ora ana, dadi kabeh mau satemene ya ora ana, mung :
Kadadeyan. Ora temen ana, utawa : Kahanan gorohan.
->>>>> Ora ana apa-apa, Mung
Allah kang ANA, Yaiku kang ana sa-bener-benere. Kasebut : KAHANAN JATI, tegese
: Kang Temen Anane. <<<< ----
Tresna marang kahanan ndonya iku padane nubruk
ayang-ayangan, mangsa kenoa dicekel, jer anane ora temenan. Kapencut marang
kahanan ndonya iku kayadene mbungahi kepati-kapati, jebul ilang tanpa lari.
===>> Donya iku dalan, iya kudu di ambah
apa methine, nanging dudu benere yen dirungkebana <<====
===>> Sing sapa ngambah dalan, kudu
sumurup, yen kang ana ing sangarepe, sanajan diparanana, mung bakal diliwati
bae. <<====
oooOOOooo
Bedane kahanan ndonya lan kahanan jati :
Kahanan ndonya yen katimbang lan anane Pangeran, kena
kaumpamakake gambar sorot (bioskop) kang ana ing geber, katadhing lan kahanane
: wong, omah, wit-witan, lsp, kang digambar mau.
Kang digambar mau wujud “Jisim” dumunung ing “Jirim”,
bisa manggon ana ing sajabaning geber. Balik gambar mau, mung wujud
ayang-ayangan, tanpa kandel, mung dumunung ing raening geber. Denen anane ya
gumantung marang ananing geber.
Yen arep sumurup : Kepriye bedane kahanan ndonya karo
kahanan jati, cukup anggere sumurup : kepriye bedane garis karo lumah (raen). Bedane
garis katanding lan raen mau, padha bae lan bedane : raen manawa katanding lan
kibik (brang/jirim). Denen bedane raen karo “Jirim”, nyamleng padha lan bedane
ALAM yang katanding karo KAHANAN JATI.
oooOOOooo
Kapriye Ta Bedane ?
Bedane luwih denig gedhe, ora mung basa
beda, malah dudu timbangane, tegese : DUDU MESTINE KATANDHINGAKE.
Gedhene tengu lan gekdhene Bumi, sanajan banget anggone
ora timbang, ewadene meksa kena ditimbang, marga karo-karone padha bangsane
jirim. Nanging, yen kahanan jati karo kahanan ndonya, dudu bangsane, dadi ora
kena ditandhing babapisan. Apa ukuran 3 liter kena ditandhing karo 3 hektar?
Apa iyo kena ditanding karo godhong?
oooOOOooo
Mungguh tetelane prakara iku manawa katerangake dhisik
ing bab beda-bedaning : “GARIS, RAEN,
sarta JIRIM.
Yen wong sumedya mangerti kalawan pratitis ing bab etrape
alam mungguhing kahanan jati, kang sayoga mangertiya dhisik : Kepriye etrape
garis mungguhing raen, apadene : kepriye etrape raen mungguhing jirim, dene
nalare : etraping jirim mungguhing kahanan jati iku, kayadene etrping raen
mungguhin jirim lan uga kaya etraping garis mungguhing raen.
Panganggone nalar iku mangkene : Garis iku apa lan
kepriye tumraping raen ó raen iku apa lan
kepriye lan kepriye tumraping jirim (alam)
==== rong prakara iku nuli kanggoa pepindhan : Jirim (alam) iku apa lan
kepriye tumraping kahanan Jati. (Catetan Kaki : Ana
pepindan mengkene : uyah kacemplungake ing segara, sienaning uyah awor dadi
siji lan segara, iku dadi pepindhan woring kawula Gusti, iya bener. Nanging
tetandhingan KAHANAN (kahanan kang ora sejati karo kahanan jati), ora kena
diumpamakake UYAH karo SEGARA. Apa sebabe
: Uyah lan segara karo-karone padha bangsaning jirim, sarta isih bisa
pisah. Layang iki nyurupe yen etrape jirim marang kahanan jati iku kaya
raening jirim marang jirim kang mawa
raen iku. Anadene jisim kang nganggo jirim iku tumraping kahanan jati mung
kayadene wawernan kang ngenggoni raen.)
Ing saiki kang kapretalakeka dhisik bab garis, raen sarta
jirim : Kapriye kahanane lan kapriye etrape siji lan sijine, awit bakal kanggo
pepindhan kang pratitis ing bab etrape jirim (alam) marang kahanan jati.
Dene prayogane kudu kapretalakake sarana patrap mangkene
:
d.
Garis
iku apa lan kepriye mungguhing raen.
Garis iku sanajan sapira-pira kehe, kajejer-jejer pipit
meksa ora bisa mujudake lumah (raen) awit sarupaning garis pancen padha tanpa
raen. Sarehning siji-sijine tanpa raen babarpisan, kalumpukake kabeh iya ora
bisa mudujake lumah utawa raen.
Dadi : lumah mengkono dudu garis, nanging duwe watak :
mengku garis kang tanpa wates cacahe. (Catetan kaki
: Sa-jeroning raen kena di iseni garis maeu-ewu, ora bakal sesak. )
e.
Raen
iku apa lan kapriye mungguhing jirim.
Raen sanajan sapira-pira kehe, katumpuk-tumpuk, meksa ora
bisa mujudake kubik (jirim) awit sarupaning raen padha tanpa kandel. Yen
siji-sijine tanpa kandhel babarpisan kalumpukkake kabeh iya ora dadi jisim.
Dadi jisim mangkono dudu raen, nanging
duwe watak : Mengku raen kang tanpa wates cacahe. (Catetan
kaki : Sa-jeroning jisim kena di iseni raen maeu-ewu, ora bakal sesak. )
Kongsi kang ora sumurup banujur ngira yen jirim iku
kadadeyan saka pakumpulaning raen akeh. Kang mangkono iku luput. Mangkono uga
kosokbaline : Yen raen dianggep perangan cilik saka jirim, iya ora bener.
f.
Jisim
iku apa lan kapriye mungguhing kahanan jati.
Jisim sanajan dikayangapa gedhene, utawa sanajan
sapira-pira kehe, panjing-pinanjing, meksa ora dadi kajaten, awit sarupaning
jisim pancen dudu jatine, sebab mung arupa jirim. Sarehning siji-sijine dudu
jatine, sanajan paning-pinanjingan, kalumpuke kabeh iya dudu kajaten. Dadi :
Kajaten mangkono dudu jisim utawa jirim --- naging kabeh kagungan watak :
Mengku marang jirim kang tanpa wates gedhene lan jisim kang tanpa wilangan
cacahe lan warnane, (Catetan kaki : Ing kajaten
kena di-iseni jisim pira-pira kang tanpa wilangan cacahe utawi tanpa wates
gedhene, ora bakal sesak (Alam pira-pira kang siji-sijine wujud awung-awung
kang tanpa wate gedhene : padha panjing-pinanjing. Siji-sijine dumunung ing kajaten,
etrape kaya kaca-kacaning buku dumunung ing buku. Isining alam upama tulisan
kang ana ing kaca-kaca mau). Kongsi kang ora sumurup banjur ngira,
kahanan jati iku kadadeyan saka pakumpulaning jirim utawa alam saisine, kang
tanpa wates gedhene lan tanpa wilangan cacahe. Kang mangkono iku luput, mangono
uga kosokbaline : yen jirim di-anggep perangan cilik saka kahanan jati (Catetan kaki : Lire yaiku : jisim kasar lan jisim latip
(ruh) dianggep perangan cilik saka : Dzat), iya ora bener.
Kang kapretalakake ing dhuwur iku nalar kang prayoga ke-enggo watoning
pamikir lan panganggeping manungsa ing bab kahanan kang sajati, aja kongsi
keliru : Dzat sajati ka-anggep kaya bangsane jirim kang manggon, utawa
disengguh atom utawa molekul kang mujudake alam sa-isine kabeh, iku sakethi
luput, najan katumrapna alam ka-alusan, iya ora bener.
Uga durung bener, manawa ka-anggep bangsaning roh, jer
roh utawa nyawa iku iya jirim kang manggon, iku sipat kang kanggonan watak owah
gingsir.
oooOOOooo
Sarana dhadhasar pangerti kang kaprelakake ing dhuwur
mau, pikiring manungsa ora bakal bingung utawa kewran panyekele, sarta banjur
bisa mangerti terang marang kareping pepindhan, ancer-ancer utawa dalil kang
nuntun budining manungsa marang kahanan kang sajati. Kaya umpamane :
5.
Kepriye sebabe kahanan jati ora kena kinaya ngapa, utawa
sebabe sarwananing kahanan ing alam kabeh ora kena dianggo ngumpamakake kahanan
jati.
6.
Kapriye nalare dene kahanan jati ora kena kinira kira
utawa cinakrabawa ing manungsa.
7.
Kapriye pangretine ; kahanan jati dumunung ing batinne
sakehing kahanan tur ora kajaba ora kajero, sarta : “Sakehing kahanan wis karo
jatine apadene : Sajatine ora ana apa-apa mung Dzat Kang Ana.
8.
Kapriye keterangane : Dzat iku kahanan tunggal (murni)
kang tanpa perangan, sakehing alam (donya lan sakehing alam kaalusan) dudu
perangan saka Dzat, dadi : Dudu kadadeyan saka kalumpuking sakehe alam, lan
liya-liyane : prakara kang kamot ing kawruh Rasul.
Iku kabeh bisane terang, tetela saka anggunem dhisik
etraping garis mungguhing raen, sarta : Raen mungguhing jirim, awit iku bakal
kanggo pipindan : etraping jirim marang kahanan jati.
Sawarnaning jisim enggone dumunung ing jirim, kaya warna
(abang, ijo), anggone dumunung ing raen. (bidang).
Sakehing jirim (awung-awung utara enggoning jisim) olehe
gumantung marang kahanan jati : kaya raen olehe gumantung marang ananing jirim
kang duwe raen iku.
Dadi : Kahanan jati anggone dumunung ing batine sakehing
kahanan, kaya jisim enggone kaprenah sajroning raen.
Mengkono uga, enggone ora kejaba ora kejero, iku kaya
buku anggone kaprenah ing tembing endine kaca-kacane.
Mangkono maneh enggone katembungake “Ora ana apa-apa, mung Dzat kang ana. Iya
kaya dene si buku enggone ora tanding anane karo ananing kaca-kacane utawa
tulisane utawa gambar-gambare buku iku : awit : Raen, tulisan utawa
gambar-gambar mau, sanajan ana-a, ora kaanggep wujud tumraping jirim
(deluwang). (Warna iku dudu wujud tumrape jirim kang duwe warna, ..).
oooOOOooo
Ing saiki kari mratelakake tatandhinganing jembare
(kobete utawa tebane) kahananing martabat garis karo martabating raen, nuli
kahananing martabat raen karo martabating jirim, banjur : kahananing martabat
jirim karo martabat kajaten.
Enggone mratelakake prakara iku sarana patrap mangkene :
( I ngati tumeka IV).
VIII. ALAM GARIS
Edit : Pujo Prayitno
(Garis, lumah, jirim, kajaten, iku kabeh alam, alam iku
tegese : martabat kang linungguhan ).
Alam garis iku banget anggone rupek, kang lungguh ing
alam garis, yaiku : “Cecek”, si cecek kang ana ing alame mau mung nurut enggon
sa-uruting garis. Lire mung maju karo mundur, ora ana kiblat kiwa lan tengen,
mung ngarep lan mburi..
Dadi cecek mau ora duwe cara nyimpang. Mulane upama di
cecek dicegat ing ngarp lan ing mburine, ora oleh panggonan maneh, kajaba yen
banjur manjing alam lumah. Dene bisane manjing ing alam lumah manawa salin
wujud kang manut caraning lumah, tegese : arupa lumah ciut utawa bunderan
lembut, dadi wis ora wujud ceceking garis (ora ka-anggep manggon ing garis,
nanging manggon ing lumah) (Catetan kaki : Kang
nganggep kudu kang maca, dudu si cecek. Mundur, karepe ing kene : menyang
mburine kang maca layang iki. Maju, menyang ngarepe kang maca layang iki. Ora
liya : rasa lan panganggepe kang maca layang iki, kang ngudi kawruh
kasampurnan.).
IX. ALAM LUMAH
Edit : Pujo Prayitno
(Catetan kaki : Lemah iku raen kang rata
kaya jrambah utawa banyu kang meneng).
Alam lumah, luwih jembar tinimbang alam garis. Sebab, ing
alam lumah ora mung ana ngarep karo mburi bae, uga ana keblat kiwa serta
tengen, ananging kiwa lan tengen andadekake luwih dening kober, sebab antarane
ngarep lan kiwa, kiwa lan mburi, mburi lan tengen, apadene tengen lan ngarep :
Apa ener kang tanpa wates cacahe, mulane umpama bunderan cilik dicegat ngarep
mburi utawa kiwa lan tengen, isih oleh panggonan kang kobet.
Nanging, umpama bunderan mau kinubeng ing garis atemu
gelang, ora oleh panggonan liyane, marga ing alam lumah ora ana keblat ngisor
lan dhuwur. Bundheran mau ora duwe cara metu saka sa-jabane raen, bola-bali
mung nurut raen, kaya gambar sorot, kang ana ing geber, tansah dumung ing raene
geber, ora bisa metu saka sa-njabaning geber banjur manggon ing jirim. Dene
kang lungguh ing alam jirim, yaitu jisim, kayata : Watu, Kayu, banyu, manusa,
kewan lan sapanungalane. Mulane bisane manjing ing alam jirim, manawa salin
wujud kang manut caraning alam jirim. Tegese : awujud jirim, dadi wis ora wujud
bunderan, ora ka-anggep maggon ing raen. Ka-anggep manggon ing jirim. (Catatan kaki : Jisim iku tembung Arab, kang diarani Jisim
iku : Watu, kayu, manusa, angin, benyu, daluwang, srengenge, bumi
sapanunggalane. Wong Jawa anggone ngarani wujud, dene geni, sorot,
ayang-ayangan, keluwung, swara iku kabeh dudu jisim..
Jirim, iya tembung Arab, tegese : klowongan kang
di enggoni ing jisim, kaya umpamane dhadhon, iku tansah ngenggoni jirim kang
wangune dhadhon sarta gedhene sadhadhone, Ananging yen jirime mung ditegesi
klowongan bae : kurang patisis, benere, jisime kudu katut marang tembung jisim,
gampange mangkene : saben jisim wis mesthi jirim, nanging ora angger jirim
mesthi jisim, awit awang-uwung iku jirim, nanging dudu jisim. Dene watu, iku
jirim kang atos, jirim kang atos mau banjur ka-aranan jisim.).
X. ALAM JIRIM
Edit : Pujo Prayitno
Alam jirim luwih jembar tebane katimbang alam lumah, awit
ora mung duwe keblat ngarep, mburi, lan kiwa, tengen bae, uga duwe keblat
ngisor lan dhuwur, mulane yen jisim kinubengan iang garis temu gelang, isih
oleh panggonan kang jembar, awit bisa : munggah mudhun, mengiwa menengen, maju
mundur, ngawe mengiwa lan menengen, ngewas mendhuwur lan mengisor :
sakarep-karep kayadene aburing laler utawa nglangining iwak.
Ananging, yen jirim iku kabungkus ing barang kang amba
lendhuk kaya beruk, utawa kaya pethi, ora oleh panggonan maneh, sebab ing alam
jirim iku, sarupane kang lungguh mesthi jisim, dadi kabeh butuh jirim di-enggo
manggon, ora ana carane kahanan kang ora manggon utawa ora butuh jirim, kajaba
yen bisa manjing ing kajaten. Dene bisane manjing ing kajaten manawa salin
kahanan manut caraning kajaten. Tegese,: Ora ngaku wujud jisim, rumasa ngaku
kajaten, dadi ora rumangsa manggon ing jirim, malah mengku marang jirime. (Cathetan kaki : Dadi kang nganggep mangkono iku : kajaten,
dudu wong Kajaten, iya rasa jatine kang maca layang iki, dudu panganggep kang
katindakkake ing angen-angen).
.
XI. ALAM KAJATEN
Edit : Pujo Prayitno
Kajaten iku banget anggone kobet,
(membingungkan), ora kena kinira jembaring tebane, kongsi ora kena ginayuh ing
budi, ora temu tinemu yen katimbang ing jirim,
marga ing kajaten ana keblat maneh sinebut
lahir dan batin. Sakehing jirim dumunung ing sisih lahiring kajaten, dene
antarane lahir lan batin, iku keblat kang ora kena kinaya ngapa dening
manungsa.
Sarehning kajaten iku
jumeneng batining jirim utawa awak kang mengku marang jirim, mulane kajaten
ora butuh jirim kanggo manggon, malah mengku
marang sakehing enggon, kaya pamengkune jisim
marang raene, utawa kaya pamengkuning raen marang garise. Dadi umpama kahanan jati digedhong wesi kang rapet kaya
cangkok kemiri, isih kobet banget sarta ora dadi sabab apa-apa. Ora dadine sabab
mau kayadene jaran kinubengan ing tapaking potelot atemu gelang, sarta tapaking
potelot mau ana ing kulite si jaran. (Al-Hallaj).
Kajaten ora nandang (katanggapan) apa-apa,
sebab dudu jisim sarta tansah pernah, mala
andhoking sakeh pernah.
Kang lungguh ing kajaten,
yaiku : ingsun, tegese : pribadi = dhewek = aku, jumeneng jejer sakehe
kadadiyan, yaiku kang diakoni dening makhluk se-isining alam kabeh utawa kang
andhaku marang sa-isining alam kabeh. Terange yen kasebut ing basa Walanda
nganggo tembung : Ikhied = hoolf eigen = hooger Zalf.
Mungguh kahanan kang dudu jirim
iku ora pisan-pisan kena kinira-kira dening kahanan kang arupa jirim, awit dudu timbangane, yen meksa kackrabawa
kadadeyane banjur kaya watu katandhing karo warna ing raining watu, utawa kaya
semeter persegi katadhing karo semeter. Anjaba saka mangkono, kabisaning
manungsa iku nganggit ngira nuju marang kahanan kang wujud jirim, sebab rasa pangrasaning manungssa (piranti kang
di-enggo nyakrabawa) dudu rasa kang sejati. Yen rahsaning manungsa katandhing
lan rasa jati, kadadeyane iya kaya warna ing raen katandhing lan barang
gembleng, kang mengku raen mau. Utawa kena kasanepakake ciptaning wayang kang
lagi dilakokake ing dhalang; katanding
lan ciptaning dhalang kang lagi nglakokake wayang iku. Tumraping
dhalang; cipta wayang iku ora ana, mung ciptaning dhalang kang ana : tanpa
timbangan. Cekake, bagiyaning
manungsa : “Meneng”.
Enenge, kena kaumpamakake : salah sawijining cipta wayang leren, ora kacipta maneh dening
dhalang, mulih marang ciptane dhalang. Dadi iya mung “meneng”,
Iya iku thok patrape manungssa manjing ing kajaten, sebab manjinge marang kajaten
sarana nirmala,. Tegese : Sirna kamanungsane dening kekuwataning pangangep
kanthi iktikad yen wujude kang satemene dudu jirim. Sasirnaning kamanungsane
banjur kagentenan ing ananing kajaten,
ora beda garis manjing ing raen utawa warna manjing ing jirim, mulane
patitising tembung, ora ana manjing, cethane : Salin panganggep, salin rasa :
saka obah menyang meneng, saka ciptan marang kang nyipta, saka kadadeyan marang
kang dadi, saka sulapan marang kasunyatan, utawa saka gorohan marang katajen.
Mulane ora kena ka-anggep manjing, sebab kahanan jati ora
kepanjingan (kawoworan), ananging sukci murni tetep langgeng, kaya raen enggone
ora kawoworan garis utawa kaya jisim-ing
bunglon anggone ora kalong ora wuwuh dening molah malihing aluse.
Sarehning kahanan jati iku dudu jirim, mulane tanpa
wewejangan dan wiwijangan. Wewejangan iku tegese : Gedhe cilike, amba ciyute,
sedhela lawase, akeh sethithike, sapapadhane. Dene wiwijangan iku
panyilah-nyilah, kayata, iki wan, iki pandulu , iki panganda, iki pangrungu,
iki urip, kabeh wis jumbuh : iya awak iya pandulu, iya pangganda, iya
pangrungu, iya urip sabanjure. (Catetan : Kahana kang
jumbuh iku ing basa Arab kasebut nganggo tembung : “Hu”. Karepe iya iku kahanan
jati, iya “Hu” rasa jati, iya “Hu” urip sejati, iya “Hu” pandulu kang sejti,
sapiturute. Kang mangkono mau maksude : ngesti sawiji ora nganggo nyilah-nyilah).
Lan uga ora ana panyilah-nyilah mangkene : iki, iku, ika. Biyen, saiki, besuk,
kene, kono, kana. Kowe, aku, dheweke. Dhuwur, tengah, ngisor. (Catetan : Kang tumrap ing kajaten mung : iki, saiki, kene,
aku, tengah, nanging rasane ora padha karo kang tumrap ing alam jirim).
Sarehne dudu jirim mulane tanpa lor kodul, ngisor dhuwur
, wetan kulon, ngarep mburi apadene kiwa
tengen. Keblating katajen mung lahir lan
batin. Pribadi kang nglungguhi kajaten jumeneng poking batin, tegese : ing
pungkas-pungkasaning keblat kang enere saka lahir marang batin (puling batin).
Saka ing pribadi kabeh keblat enere marang lahir. (Prakara iki kena
kaumpamakake : saka ing pul lor kabeh keblat enere mengidul, tanpa wetan kulon)
(Catetan : Kabeh kang kasebut iku panjupuking pathokan
mung saka : rasa, ora kena diterangake. Saksine mung kang tunggal rasa).
Keblating jirim (lor, kidul, wetan, kulon, ngisor,
dhuwur, kiwa, tengen, ngarep, mburi), kabeh dumunung ing sisih lahiring
pribadi, kaya wetan kulon anggone dumunung ing sisih kiduling pul lor. Catetan : Pul lor : Kutub Utara (takokna marang kang sumurup
kawruh falak). Awit, kang aran
jirim iku sajatine mung raening kajaten.
Sarehning dudu jisim, luput ing rusak, sarehning tanpa
prabot, mulane luput ing sayah, lali, bingung, sapapadhane. Sarehning tanpa
nafsu, mulane luput ing bungah susah, dhemen, gething, bosen sapanunggalane.
Sarehning tanpa wiwijangan, dadi tanpa perangan lan tanpa wilangan. Tembung
tanpa wilangan iku tegese : Ora ana cacahe. Lire mangkene : Sanajan luput
banget umpama diarani akeh, ewadene ora perlu diarani naganggo tembung : siji,
awit siji iku uga wilangan, siji lan akeh, karopisan dadi aneh tumrap ing
kahanan jati, awit rasaning tembung siji iku anjaluk tatandingan, yaiku loro,
telu sabanjure. (Anane siji marga ana loro telu). Iya bener sok disebut siji,
nanging tembung siji kang tumrap ing kahanan jati ora nunggal surasa karo kang
tumrap ing tetembungan : jaran siji, jeruk siji. Murih terange, anggone
nembungake mangkene : “Ora ana
apa-apa kajaba mung : Pribadi.”
Bobote wis kasebut mangkono, surasaning tetembunngan :
“Ora ana apa-apa kajaba mung “ – senajan tumraping alam jirim ora aneh, ewadene
tumrape ing kahanan jati : iya aneh. Anehe dene andadak dibicara nganggo “ ora
ana apa-apa kajaba mung ....” sebabe apa? Iku larase kaya wong celathu : banyu
iku ora ana kang dudu banyu, utawa : jagad sa jaga kabeh iya jagad. (Catetan : Kajaten sok uga digunem, mesthi lupute, awit gunem
iku sajatine nuduhake katliwaning engetan utawa kalimputing rasane kang
anggunem, kang banjur dipadoni dhewe nganggo guneme iku – nanging kang ora
anggunem, durung mesthi yen ora kalimput, malah kang akeh luwih kalimput
katimbang kang anggunem).
Sarehning ora ana wiwijangan lan wilangan, surasaning
tembung Gusti lan kawula tumiba ing kahanan jati uga dadi aneh. Anehe dene ana
titimbangan, yaiku kawula ditimbang karo Gusti, temahan kaya jaran ditimbang
karo pancal, utawa gelang katanding karo emas kang dadi gelang iku. Pancal iku
ulesing jaran, dudu mesthine katandhingake karo kang duwe ules, sebab ules iku
ing atasing jirim : dudu wujud. Gelang iku kadadiyaning emas, kadadiyan iku ing
atase sing dadi : dudu wujud. (Catetan : Wujud, iku
tembung Arab, tegese ana. Dudu wujud, tegese ora ana jisime.)
Rasa rasaning manungsa ing alam jirim (kahanan kang ora
temen) bisane luluh ing rasa kang sejati (rasaning kahanan kang temen ) manawa
nglalekake ( ora nganggep wujud) marang jirim, jisim lan sarupane kang aneh
tumraping kajaten : ing sajroning eneng, arane : cengeng.
Luluhing rasa kamanungsan marang rasa kang sejati kaya
sirnaning raen kaling-kalingan jisim kang mengku raen iku, kaya sirnaning
gelang kaling-kalingan emas kang dadi
gelang iku, kaya sirnaning tulis kaling-kalingan mangsi kang mujudake tulisan
iku, utawa kaya sirnaning ciptane wayang kang lagi linakokake ing dhalang : kaling-kalingan
ciptaning dhalang kang lagi nglakokake wayang iku, utawa maneh kaya dhapuring
gambar kang lagi diwangun, sirna marang ciptaning wong kang lagi mangun dhapur
ing gambar iku.
oooOOOooo
Tatadhinganing garis karo raen, raen karo jisim, apadene
jisim karo kajaten, murih terange kapratelakake nganggo patrap kaya ing angka
ngisor iki :
a = b = c 1 nganti
tumeka 8
(Catetean : Larasing ukara a padha lan ing
ukara b tuwinc. Yen mangerti mrang surasaning
ukara a lan b sarta eling marang etraping tembungane, tartampu bisa
anggapi surasaning ukara c.)
1.
a. Ora ana garis madeg dhewek mesthi gumantung marang
ananing raen.
b. Ora ana ren madeg dhewem mesthi gumantung marang
ananing jirim
c. Ora ana jirim
madeg dhewem mesthi gumantung marang ananing kajaten.
2.
a. Ora ana garis kang ora dumunung
ing raen, lan ora ana raen atinggal garis, karone tetep tinetepan.
b. Ora ana raen kang ora dumunung
ing jirim, lan ora ana jirim atinggal raen, karone tetp tinetepan.
c. Ora ana jirim kang ora dumunung
ing kajaten lan ora ana kajaten atinggal jirim, karone tetep tinetepan.
3.
a. Garis iku dudu raen, nanging
garis mujudake sisipataning raen, kayata : persegi, bunder, lonjong.
b. Raen iku dudu jirim, nanging raen
mujudake sisipataning jirim, kayata : abang, putih, bunder memet, gilig.
c. Jirim iku dudu kajaten, nanging
jirim mujudake sisipataning kajaten, kayata : Srengenge, manungsa, wit, sir,
pikir, nur.
4.
a. Ora pelu nakokake sisipataning
raen sok uga kawruhan garise, awit sisipataning raen wis ana ing garise.
b. Ora perlu nakokake
sisipataning jirim, sok uga kawruhan
raene, awit sisipataning jirim wis ana ing raene.
c. Ora perlu nakokake sisipataning
kajaten, sok uga kawruhan jirime , awit sisipataning kajaten ana ing jirime.
5.
a. Garis iku marakake raen duwe
sipat pesagi, maju telu utawa bunder. Samono uga raen iku dudu garise, dudu
pesagine, dudu maju telune lan dudu bundere. Lah kang endi ta kang jeneng raen?
Patrape mratelakake ora kena mung dituding nganggo pucuking pen, kudu digrayang
nganggo epek-epek, awit pucuking pen mung bisa nuduhake garis.
b. raen iku marakake jirim duwe
sipat bunder memet, giling, abang, ijo
utawa putih. Samonouga jirim iku dudu raene, dudu bunder memete, dudu gilige,
lan dudu abang ijone, lah kang endi ta kang jeneng jirim? Patrape mratelakake
ora kena mung digrayangi nganggo epek-epek, kudu dirasa nganggo pikiran, awit
epek-epek iku mung bisa nuduhake raen.
c, Jirim iku marakake kajaten
kagungan sipat urip, mobah mosik, ngayu, matu, anjanma, nyrengenge. Semono uga
kajaten iku dudu jirime, dudu uripe, dudu mobah mosike, dudu kayune, watune,
jalmane utawa srengengene. Lah kang endi ta kang jeneng kajaten ? Patrape nyatakake ora kena mung nganggo
pikiran, kudu nganggo rasa kang sejati, awit pikiran iku mung bisa nyatakake
jirim.
6.
a. Dununge bunderan iku ing raen,
ora ing garis, malah si garis kang dumunung ing bunderan.
b. Dununge jisim iku ing jirim, ora
ing raen, malah si raen kang dumunung
ing jisim.
c. Dununge pribadi iku ing kajaten,
ora ing jirim, malah jirim kang dumunung ing pribadi.
7.
a. Sipating raen, yaiiku : pesagi,
bunder, maju telu sapanunggalane, kapasrahake ing garise. Arane sipat mau :
wangun.
b. Sipating jirim, yaiku : abang,
ireng, ijo sapanunggalane, kapasrahake ing raene. Arane sipat mau : warna.
c. Sipating kajaten, yaiku : Kayu,
watu, manungssa, jim, angin, srengenge, cipta sapanunggalane, kapasrahake ing
jirime. Araning sipat mau : jisim.
8.
a. Wangun : iku dudu wujud tumraping
raen, mung sipating raen bae.
b. Warna : iku dudu wujud tmraping
jirim, mung sipating jirim.
c. Jirim iku dudu wujud tumraping
kajaten, mung sipating kajaten.
9.
a. Kahananing garis (bunder, maju
telu) ndadekake sipating raen, tegese : sing bunder utawa maju telu itu raene.
b. Kahananing raen (abang, ijo)
ndadekake sipating jirim, tegese : sing abang- sing ijo iku jirime.
c. Kahananing jirim (kayu, watu,
janma, rembulan) ndadekake sipating kejaten. Tegese : sing ngayu, sing matu,
sing njalma lan ngrembulan iku jatine. Catetan :
Kayune, watune, janmane, rembulane, sapanunggalane ing basa Arab diarani sipat
wujudiyah. Dene pangayune, pamatune, panjanmane, pengrembulane sapanunggalane
karanan sipat maknawiyah. Sipat maknawiyah mujudake sipat wujudiyah kayata :
kahunuhumuridan (ananing Allah karsa) nganakake sipat kang aran iradat (karsa)
ka-aranan iradat yaiku mobah mosiking makhluk, kang aran makhluk iya kahananing
jirim, yaiku jisim utawa sipating kajaten (sipat anyar).
10.
a. Bunder, maju telu, iku sipating
raen, katon ana ing garise.
b. Abang, ijo, iku sipating jirim,
katon ana ing raene
c. Manungsa, rembulan, pancadriya,
nur, budi, iku sipating kajaten, katon ana ing jirime. (Catetan
: Jirim kang tanpa wates gedhene, kang ngamot sakehing jisim adalah kang
kothong, sok kasebut gunung : Cakrawala . Iku minangka raening kajaten,
gumantung ing kajaten, tetep tinetepan, sawernaning jisim ana ing jirim mau
minangka wawarnan kang ana ing raen,
11.
a. Sisipataning raen ya iku :
kahananing garis (anggone manggon, mubeng utawa nekuk) nanging wujuding raen dudu : enggoke, dudu ubenge utawa nekuke,
awit kang jeneng raen mono : blegere utawa jengrenge kahananing garis, tegese
yaiku kang menggok, mubeng utawa nekuk, dadi : “kang” bae.
b. Sisipataning jirim, yaiku :
kahaning raen (enggone abang, ireng utawa putih), nanging wujuding jisim dudu :
abange, irenge, utawa putihe, , awit kang jeneng jisim mangkono : glegere utawa
jenggrenge kahananing raen, tegese yaiku : kang abang, ireng, utawa putih. Dadi
kang-e bae.
c. Sisipataning kajaten, yaiku :
kahananing jirim (enggone matu, ngayu, njanma. Mbumi) nanging wujuding kajaten
dudu : watune, kayune, utawa bumine. Awit kang jeneng kajaten mangkono :
glegere, utawa jengrenge kahananing jirim, tegese yaiku – kang : matu, njanma,
utawa mbumi. Dadi “kang: e bae.
D A D I :
12
a. Bundere, pesegine, kawengku ing
awake, yaiku : si raen.
b. Abang-abang, ijo-ijo, kawengku
ing awake, yaiku : si jirim.
c. Kawaton, kamanungsan, kawengku
ing awake, yaiku : Sejati.
TERANGE :
13
a. Bundere, pesagen, ing atasing
raen : ora ana. Kang ana mung raen (sisihing jisim) kang ana ing kiwa, tengen,
ngarep, mburi, ngisor, dhuwur apadene ing tengahe.
b. Abang-abang, ijo-ijjo, ing
atasing jisim : ora ana. Kang ana mung jisim (gemblenge) kang ana ing jirim.
c. Kayu, manungsa, bumi, ing atasing
kajaten : Ora ana. Kang ana mung jati (Akhadiyate) kang ngayu, njanma lan
mbumi.
oooOOOooo
XII.
PRAMANA
Edit : Pujo Prayitno
Rasa-pangrasane wong utawa pancandriya, yaiku : pikiran,
nafsu, bunga, susah, lara, kepenak, dhemen, gething, wedi, isin, gatel ........ lan liya-liyane. Iku
kabeh rasa kang dudu sajati, kang anyar anane, kang lunga teka sajroning Rasa
kang sajati.
Rasaning pancandriya kena kaumpamakake ayang-ayanganing
Rasa kang sajati.
Anadene ayang-ayangan mau katon ana ing sipat kang
langgeng, kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kaanggep pangiloning
kajaten, yaiku asale sakehing rasa anyar utawa uwiting cipta lan rahsa.
Pangilon kajaten mau karanan : Pramana.
Dadi Praman iku pangilon sajati, kang ka-anggo nonton
ayang-ayanganing Rasa Jati.
Pramana ka-anggo ing kahanan jati ginawe nyatakake
rasa-rasaning makhluk (maya) utawa rasa anyar kang molah malih.
Kahanan jati iku Dat kang asipat Pramana mau.
oooOOOooo
XIII. PANGESTI, Yaiku :
GAWEYAN
ING BATIN MANUT PANGANGGEP
Edit : Pujo Prayitno
Lakuning manungsa nyatakake Pramana utawa mulih marang
jamaning Pramana, ora liya nyirnakake (nglalekake) rasa anyar saka sethithik
kanthi surti. Ing saben dina ka-anggkah sudaning tumangkare, kongsi ing
wusanane bisa mulih marang Pramana.
Sarehning wus tetela yen sarupaning kahanan anyar iku
wujud geter utawa obah-obahan, dadi sirnane ora ana maneh mung saka “meneng”
(mari obah).
Rasa pangrasane manungsa kamot ing Pramana, kaya rurupan
lan wawernan kamot ing kaca benggala.
Pramana kumambang ing Pribadi, kaya kumambanging cahya
ing kawat kang mencorong, utawa kaya kumambanging cahya lan rasaning kaca : ana
ing kacane (gedhahe).
Pribadi (jati) iku gleger utawa gemblenge, enggon
kahananing Pramana.
Maligining Pramana, saka lenyeping cipta lan rasa.
Nyataning Pribadi, saka lenyeping Pramana.
Lenyep, gumantung ing : Eneng.
Rumasa, gumantung ing : Kuwating panganggep kanthi
iktikad.
Ana, gumantung ing : Pengesthi.
Sirna, gumantung ing : Lali
Ing ngisor iki umpamane : A ---- B
----- C.
UMPAMA A : Raen mengku garis, yen kang kaesthi garise
bae, lali marang raene, iku si raen sajroning cipta, kari garise katon ngegla
ana ing cipta. Kosokbaline yen kang di-eling-eling raene, ora mikir marang
garise, kari raene njenggereng ana ing cipta. Umpama : Raen maju lima, yen kang
kaesthi garise , iku sing katon ana ing
ciptane mung : ana garis lilima padha gathuk atemu gelang, embuh kapriye raene
(sanajan ananing garis gumantung marang ananing raen). Kosokbaline : yen kang
di-eling-eling raene, ora mikir marang garise, iku si garis sirna sajroning
cipta, dene kang ana ing cipta : Raen kang wangun maju lima. (Sabanjure : awit
saka ananing raen maju lima mau, banjur kasumurupan uga yen mengku garis lima,
mung bae garis lima ora ka-anggep ana wujude, awit tetela yang garis iku mung
sisihing raen bae).
UMPAMA B : Jisim mengku raen, yen kang kacipta mung WARNA
kang ana ing raen, iku si jisim sirna ora rinasa, mung abang ijone kang maujud
ana ing cipta. Dene yen kang kacipta : JIRIME, ora mikir marang warnane, warna
mau ora mujud ana ing cipta. Jisime kang maujud. Umpama : Dhadhon kang
belang-belang abang-ireng putih (Catetan : Raene nenem,
umpamakna : saben raen beda warnane), iku yen kang pinikir mung warnane
bae, ora mikir marang kayune, tartamtu kang katon ing pikir mung : Ana raen
abang wangune pesagi, gandheng lan raen ireng uga pesagi, nuli gathuk lan raen
putih uga pesagi, sapiturute, siji-sijine dumunung ing panggonane dhewe-dhewe,
embuh kepriye wanguning kayune (Sanajan ananing raen gumantung marng ananing
kayu).
Kosokbaine yen kang rinasa kayune, ora ngesti marang
raene, ing kono kang mungal ana ing cipta : ana kayu siji kang belang belang
abang ireng putih (sabanjure : Uga kasumurupan yen mawa raen nenem sarta garis
rolas, mung bae raen ora –kaanggep wujud),
UMPAMA C : Jati mengku jisim, yen kang kagatekake jisime
bae, ora nglewa marang kajatene (Pribadi) iku kajatene ora ka-anggep ana (ora
rumasa yen kumambang utawa gumantung ing Pribadi kang tunggal) mung jirime bae
kang mungal ing rasa pangrasa. Dene yen kang ka-estokake PRIBADINE, ora
nganggep wujud marang jisim, temahan si jisim lenyep ora karasa ing dalem cipta
(lali) kari jatine, (Pribadine) kang nyata ing Rasa Tunggal. Umpama : Jati iku
mengku cakrawala sajisime kabeh, bisa ngayu, matu, nyrengenge, nyuta, ngrama,
ngwan sapanunggalane sarana jirime, ewasemana yen kang kaesthi jirime bae,
amenthi kang rinasa mung : ana awang-uwung isi jisim warna-warna, arupa kayu,
watu srengenge, suta, krama, kewan, sapanunggalane, kang padha pisah-pisah, ora nyana yen gumantung marang kahanan sawiji kang
langgeng. (Sanajan ananing jirim gumantung marang , ananing kajaten).
Sewu ora nyana yen iku mung kadadiyan (daden-daden) kang sawetara mangsa engkas
malih utawa ilang. Sayuta ora rumangsa yen kang katon gumelar mau sejatine mung
ayang-ayangan sajroning pangilone Pribadi, dadi dhapur korup marang
ayang-ayangan sajroning pangilon (Pramana) lali marang pangilone, luwih maneh
marang kang ngilo. (Sanajan ananing ayang-ayangan
gumantung marang ananing pangilon, sarta
ananing pangilon gumantung marang anane Pribadi kang ngilo). Kosokbaline : Yen
kang kaesthi Pribadine, yaiku jatine, ing kono salaline, marang wujuding jisim,
kari Pramana, yaiku marang pangilon, aran asarira Pramana (Uga banjur
kasumurupan yen mengku ayang-ayangan katon gumelar, mung bae ora kaanggep)
wujud, awit tetela yen kang katon gumelar ciptaning Pribadi.
oooOOOooo
Nalar ing dhuwur iku murih mundhak terange maneh,
kapratelakake mangkene :
Rasa-rasaning kawula utawa maya, yaiku :
1. Weruhing mripat marang rerupan.
2. Krunguning kuping marang skehing
swara.
3. Krasaning grana marang sakehing
gegandan.
4. Krasaning kulit marang sakehing barang.
5. Krasaning ilat marang sakehing
pepanganan.
6. Pangertining pikir marang
sakehing kadadiyan.
7. Rasa-rasaning ati marang bungah,
susah, lara kapenak, sapanunggalane.
8. Lan liya-liyane kabeh.
Wana-warna, akeh.
Wose kabeh mau ka-aranan rasaning wong, yaiku : gambar
utawa ayang-ayanganing Rasa kang sejati.
Mulane ana –ayang-ayangan, awit ana pangilon.
Ana manungsa kang rasane korup ing ayang-ayangan, ana
kang yakin marang pangilon, dununging sakehing ayang-ayangan.
Jalaran saka weruhing kuping marang swara kaworan
krasaning kulit marang barang-barang kaworan maneh kang kasebut mau kabeh --- ing
kono manungsa bajur duwe panganggep (Pangandel) yen : “Donya iku ana.
Anane donya sebab aku nganggep ana.
Anane donya gumantung marang anane kita (kang maca layang
ini). Terange : Ananing Alam, gumantung
marang anane kita (kang maca layang iki). Terange : Ananing Alam
gumantung marang rasa-rasane kang maca layang iki (muga den raksakna).
Denen ananing rasa kang maca layang iki
gumantung marang ananing “Rasa Jati iya Pribadi kang Tunggal.”
Dadi sajatine : Ananing alam donya iku ora kanggo
pratandha yen donya iku ana. Mangkono maneh : Ananing rasane kang maca layang
iki, iya ora kanggo tandha yen kang maca layang iki ana, Sebab :
Bener-benere : Ananing rasa-rasane kang maca layang iki
dalah ananing donya – iku kanggo tandha yen : “Pangeran ana iya Ingsun Pribadi kang Ana.”
Dadi kang diprandani anane utawa kang disekseni ing anane
iku sejatine dudu kita (wong kang maca layang iki) lan dudu donya sabenere :
“Ananing Pangeran Kang Sampurna, Dzat kang langgeng anane yaiku : Jatine kang maca iki. Dadi
jagad iku mung saksi bae.
Ananging – sanajan benere mangkono – yen kita mung tansah
ngandel utawa kabanjur-banjur ngengkoki marang ananing dhiri lan donya bae,
mesthi dadi ora ana kahanan kang sajati, katarik anggep kita dhewe, temah mung
rasa-rasaning dhiri kang ana, jibles kaya ora ananing jirim sebab mung
di-elingi warnane bae.
Kosokbaline : Manawa kita ngegungake panganggep utawa
pangandel marang INGSUN, kongsi kukuwataning panganggep lan iktikad ngalahake
dayaning rahsaning kawula (maya) sarta rumasa marang asor lan gorohing wonge, iku kita banjur
rumasa yen sajatine manungsa kang sarira Bathara utawa Pramana.
Wasana Sang sarira Pramana isih wenang nggayuh
kasampurnan. Manawa pangesthine marang kajaten nyirnakake pangilon, kari
kajaten kang ana, yaiku pribadi kang ngilo, kang mengku marang sakehing jirim
lan nganggep marang Pramana : Sipat kang sajati. Ing kono ora samar marang
pangilon dalah ayang-ayangane kabeh.
oooOOOooo
Prakara ing dhuwur iku aja keliru tampa maneh : Ka-anggep
wong bisa nyatakake kajaten. Iya panganggep mangkono iku kang marakake kandeg
ana ing jirim, jer nganakake kahanan kang ora sejati.
Ora ana manungsa bisa nyatakake kajaten, yektine kang
nyatakake kajaten iya kajaten. Mung prabawane bae kang mahanai BUDIDAYANING
manungsa. (Catetan : Kang aran ihtiar (budidaya)
iku sejatine uga takdir, sebab ananing ikhtiar gumantung ing takdir, dadi
lakune marani takdir. Kang mangkono iku yen kang kaesthi ikhtiare, takdir iku
ora ana, yen kang kaesthi takdire, ikhtiar iku ora ana. Manungsa kudu ikhtiar,
nanging nganggepa : takdir kang ana. Utawa nganggepa ananing takdir, nanging
aja banjur ora ikhtiar. Wong nganggep ananing
takdir kang banjur ora ikhtiar, utawa
ikhtiar kang banjur ora nganggep ananing takdir, karo-karone padha kelirune.)
Kang aran wong iku sanyatane ora ana. Kang apeparab si
Suta si Naya : iya mung pangaran-aran bae. Sarehning ora ana, apabisa mobah
mosik. Wis mesthi sing nganakake obah sarta osik mau : sing temen anane, dudu :
sing sejatine ora ana.
Sumuruping rasa jati saka sirna panganggepe marang
ananing dhirine, kongsi karekating batin nunggal tanpa sinedya.
XIV. BAB NERANGAKE UKURAN KANG KAPING PAT
Edit : Pujo Prayitno
Ing ngarep kapretalakake, yen kajaten katandhing lan
jirim papadhane : jirim katandhing lan rae, utawa : raen katandhing lan garis.
Uga kapretelakake, yen kajaten kena di-iseni jirim kang
tanpa wilangan kehe kang padha panjing pinanjing dadi sa-enggon-enggon sarta
ora agawe sesaking kajaten. Olehe ora
sesak iku kaya dene ora sesake si jirim manawa kaisenan raen tanpa wilangan.
(mara elinga : buku kang kandel, iku jirim kang isi raen tanpa wilangan.
Wujuding raen yaiku kaca-kacane. Buku kang kandele 2 cm, kacane ora kurang saka
200, mangka deluwange isih duwew kandel. Umpama wong bisa nyigar-nyigar
deluwange kongsi satipis-tipise, tartamtu kahing raene ora kena diitung. Iku
durung ngetung maneh kahing raen kang nurut kandeling buku, kang malang, kang
mujur, kang ngadeg, apadene kang mayat).
Iku mau dadi pepindhan ing bab ora sesake kahanan jati
kaisenan jirim tanpa wilangan kang padha panjing pinanjing dadi sa-enggon. Kaya
umpamane jiriming manungsa, kalane lagi dirasa nganggo pikiran, kaya-kaya mung
wujud barang wadhag thok, sebab ing njerone buntet. Ananging sabenere ana jisim
latif kang awor lan jisim wadhag iku, nanging ora gepokan. Kang kasar ora
ngewuh-ewuhi kang alus. Kang alus ora ngewuh-ewuhi kang kasar. Jisim latif mau
ora mung siji, kehe tanpa wilangan, awit ana kang rada alus, ana kang alus, ana
kang alus banget, ana kang luwih saka alus banget. Kajaba iku, malah akeh kang
padha aluse, ewadene meksa ora gepokan, dening seje-seje dayane.
Kang ana angen-angen, nafsu, budi, sir, rahsa
sapanunggalane : kabeh dayaning jisim
latif. (Manungsa mung ngrasakake dayane bae, yaiku anggone bisa mikir, ngrasa
bungah susah, nepsu, welas, giris, lara, kepenak, duwe karep, anggraita
sapanunggalane, ananging ora weruh marang wujude jisim latif, manawa durung
sarira bathara).
Mulane rasa pangrasane manungsa tanpa wilangan cacahe.
Ora liya iya saka dayaning jisim-jisim latif kang warna-warna dayane.
Siji-sijine jisim padha duwe alam dhewe-dhewe, sarta
siji-sijining alame ora gepokan. (Catetan : Alam
donya iki wujud jirim kang tanpa wates gedhene, ka-aranan awang-uwung utawa
cakrawala. Kajaba alam donya, ana alam ke-alusan pirang-pirang, siji-sijining
alam awujud jirim kang tanpa wates gedhene (awang uwung isine). Alam-alam mau
siji lan sijine ora gepokan, sebab siji-sijining alam padha kumambang ing
kajaten, kaya dene kaca-kacaning buku manggon ing buku, dadi ora alam manggon
ing alam. Anadene tulisan kang ana ing kaca-kacaning buku, iku dadi pipindhan
isining alam).
Olehe ora gepokan jisim-jisim mau, kaya dene ora gepokane
raen-raen kang dumunung ing jirim. Terange : jirim-jirim mau ora gegandhengan,
padha urip dhewe-dhewe ana ing kajaten, awit padha kumambang dhewe-dhewe ana
ing kajaten, kayadene kaca-kacaning buku padha manggon dhewe-dhewe ana ing
buku, dadi ora kaca manggon ana ing kaca.
oooOOOooo
Awit saka dhuwure nalar kang kapretalakake iku, ora kena
yen mung rinasa nganggo pikiran. Dadi ora cukup yen mung gnagas-gagas utawa
kinira-kira, jer dudu benere dirasa nganggo rasa kang ora sejati (maya), kaya
kang wus kapratelakake ing ngarep. Sarehning kahanan jati iku awak kang mengku
marang ananing jirim kang tanpa wilangan cacahe, kang panjing pinanjing dadi
saenggon-enggon, mangka siji-sijining jirim kena ka-ukur nganggo ukuran M3.
Dadi ukuran kang kanggo ngukur kobeting
kajaten iku dudu M3 Kena ka-aranan : ukuran kang kaping pat.
Tetelane tembung
ukuran kang kaping pat, mangkene :
1. Meter (M), elo sabangsane, arane
ukuran lajuran, gunane kanggo ngukur dawane garis, kasebut ukuran kang kapisan.
2. Meter pesegi (M2),
Hektar sabangsane, arane ukuran jembar, gunane kanggo ngukur jembaring raen,
kasebut ukuran kang kapindho.
3. Meter Kubik (M3), liter
sabangssane, arane ukuran isi, gunane kanggo ngukur gedhe cilikign jirim, kasebut
ukuran kang kaping telu.
Dene kajaten, ora kena ka-ukur nanggo ukuran telung warna
iku, awit dudu jirim, amalh kang didunungi ing jirim, dadi kang di enggo ngukur
yaiku ukuran ukuran kang kaping pat (vieder dimentie). Yaiku ukuran kang
di-enggo ngukur kobete utawa tebane kajaten.
Ukuran kang kaping pat iku. Umpama lumrahe, panulise
nganggo aksana M4. Keterangane maneh :
1. Ukuran antaraning ngarep lan
mburine kang maca layang iki arane : ukuran garis, kasebut ukuran sapisan,
yaiku : M1.
2. Ukuraning garis saka ngarep
menyang mburi mau katangkarake karo : ukuraning garis antaraning kiwa lan
tengen, ketemu ukuran raen, kasebut ukuran kapindho, yaiku M2.
3. Ukuraning raen mau katangkarake
maneh karu ukuran antaraning ngisor lan dhuwur, banjur katemu ukuraning jirim,
kasebut ukuran kaping telu, yaiku M3.
4. Ukuran Jirim iku mau katangkarake
maneh karo ukuran antaraning lahir lan batine kang maca layang iki. Katemune
ukuran kobeting kajaten kang maca layang iki, kasebut ukuran kang kaping pat,
yaiku : M4.
ANANING ALAM-ALAM LAM KAHLUK MANEKA WARNA
Sarupaning jirim, kang kasar lan kang alus, kabeh
ciptaning Pangeran.
Ujar iku tegese : Yen kahanan jati ora nyipta dadi marang
bumi, langit, lintang, rembulan, jim, peri, sapanunggalane, mangsa anoa mau
kabeh. Yen isih kacipta, isih dadi. Mari kacipta, mari ana. Roh utawa nyawaning
manungsa pirang-pirang jinis, akg mahanani rasa pangrasa warna-warna, kabeh iku
ciptan, kang kumambang ing rasa kang sajati, kaya kumambange warna ana ing
raening jisim, utawa kaya gambar ing pangangen-angen kumambang ing angen-angen.
Pangeran iku pribadine (anane = glegere = gemblenge =
jejere = awake == akhadiyate) kahanan kang wujud ciptan, kang kumambang mau
kabeh.
Tumraping Pangeran, kabeh mau dudu wujud. Manawa ciptan
mau kasirep ing Pangeran, kabeh sirna. Panyirepe kena kaumpamakake : ngedhepake
gambar ing pangangen-angen (Yen wong kelingan rupane barang, umpama : kembang, ing
pangangen-angene kaya ana gambar kembang, iku den arani : gambar
pangangen-angen) utawa kaya bunglon ngilangi warna kuning kang ana ing
jisime (badane), kasalinan warna ijo utawa warna abang.
Sarehne adege manungsa (dhiri) iku mengku jisim latif
pirang-pirang warna, kang padha duwe daya dhewe-dhewe sarta padha nglungguhi
alam dhewe-dhwe, mulane manungsa bisa manjing ing alam rupa-rupa. (Jisim kang nunggal daya : nunggal alam, Dadi alam iku
sejatine daya tunggal) Kang endi kang gedhe dayane : iku kang ngorupi,
tegese : kuwasa ngajak roh-roh iiyane marang alame. (Sajatine ngaling alingi
bae). Kang endi akng sathithik dayane, korup, yaiku ora dianggep ana
(kaling-kalingan). Terange mangkene : Sawijining manungsa manwa kang gedhe
dayaning nafsu amarah, iku gampang bisane kalebu ing alaming anfsu amarah,
banjur daya-dinayan (weruh wineruhan) karo sarupaning makhluk kang pada korup
ing nafsu amarah. Roh liyane uga dirasakake dayane, nanging ora disengguh ana
jisime, mung jisiming nafsu amarah kang dianggep ana. Manawa manungsa kang
gedhe dayaning pikirane, gampang bisane manjing ing alam pikiran, banjur
daya-dinayan karo makhluk kang nganggo badan pikiran. Roh liya-liyane isih
karasakake dayane, nanging ora ka-anggep maujud. Mung jisiming pikir kang di
anggep maujud. Yen kang gedhe dayaning budine, enggal bisane menyang alam budi,
sapiturute.
Sarehning mangkono, wataking makhluk duwe penganggep :
“Mung alam siji kang ana” yaiku alaming badan kang gedhe dhewe dayane. Badan
liya-liyane kang kalah daya : kelimput, lire
yaiku : Badan kang ora dinulu cetha ing saben dina ora disengguh ana
wujude lan ana alame.
Mungrasane bae, kang dirasakake, nanging ananing rasane
ora di-anggep pratanda yen ana jirime. Tumrape manungsa kang urip ing alam
donya, mung badan wadhag kang dianggep ana, mangkono uga bab alam, iya mung
alam donya thok kang di-anggep ana. Akeh abe wong kang ora percaya yen ana
badan alus alam alus. Kajaba iku akeh wong keliru surup : disengguh rasa
pangrasane warna-warna kang molah-malih saben dina iku tuwuh saka badan kasar,
dadi ora dirasa yen adeging dhirine kadadeyan saka jisim latif kang warna-warna
dayane.
Murih gampange nalar iki : Umpamakna raaning kuwih mari,
ora disengguh asine saka uyah, legine saka gula, gurihe saka puhan, sabanjure :
Kabeh mung dianggep saka . Marine bae (Kang aran
rasaning mari (rasa anyar kadeyan saka woring rasa warna-warna kang wus gulet
dadi siji, iku pipindhan rasaning dhiri (wong) yaiku rasaning pancandriya. Dadi
: rasa dhiri iku RASA ANYAR uawa RASA DADEN-DADEN, kang maune ora ana dadi ana,
sarta bakale ora ana maneh).
Mangka sabenere siji-sijine jisim latif mung saprakara
daya rasane, lan panggah ora owah-owah, unpama : jisim kang watak welas asih,
salawas-lawase iya tansah ngajak welas asih. Jisim kang ngajak marang
kadrengken lan pasaten iya panggah enggone drengki lan panasten. Jisim kang
nuwuhake jubriyah lan adigung, salawase tansah ngajak jubriyah lan adigung.
Jisim kang ngajak padhang lan bener : salawase iya ngajak padhang lan bener.
Jisim kang watak tresna bekti ing Gusti, salawase iya ngajak tresna lan bekti
ing Gusti. Jisim kang dayane peteng, bodho lan weya : salawase iya ngajak
peteng, bodho lan weya. Jisim kang ngajak marang turu, sahwat lan kesed,
salawase ngjak mangkono.
Dadi molah-malihing rasa pangrasaning wong ing saben dina
iku jalaran saka timbul keleming jisim kang warna-warna mau, katarik saka
dayaning alam lan saka dayane dhewe.
Molah-malihing watake manungsa iya saka suda wuwuhing dayane jisim kang
warna-warna mau.
Sudane dayaning jisim kang asor ndadekake wuwuhing dayane
jisim kang luhur dening tanpa rubeda, utawa wuwuhing dayane jisim kang luhur
nyunyuda dayaning jisim kang asor dening kendhih utawa kesuk, banjur diarani :
wonge mundhak becik watake.
Jisim kang kerep timbul, sarta kerep ka-empakake dayane,
lawas-lawas dadi kuwat utawa gedhe dayane, sangsaya gedhe dayane sangsaya
kuwasa ngilmputi liya-liyane. Kosokbaline : kang arang timbul utawa arang
di-empakake dayane, saya lawas saya seuda dayane. Yen ora tau babarpisan
ka-empakake, lawas-laws mati (sirna).
oooOOOooo
Kang kasebut ing dhuwur mau dadi katerangan bab ananing
makhluk kang beda-beda badane, dhewe-dhewe alame sarta tnddha-tundha martabate.
Ana kang sinebut : Hyang Latawalhujwa, Hyang Nurcahya, Hyang Nur-rasa, Bathara
Guru, Bathara Endra, Jin, Peri, Manungsa, Kewan, Gandarwo, brekasakan, lan
lya-liyane.
(Pamrayoga : ananing makhluk rpa-rupa mau becik
dilalekake bae, aja dianggep ana, awit adhakane keliru surup, luput ing
panyakrabawane. Kajaba iku, kabeh mau
tumraping kajaten dudu wujud, mung wujudan utawa kadadiyan. Pikiring manungsa
becik kang ora pracaya marang kahanan kang ora sajati, murih aja kongsi dadi
gagasan).
Saiki tetela : Kang aran kahanan jati iku kahanane dhewe
kang sabener-benere.
oooOOOooo
Manungsa sadurunge nggayuh kasampurnan, wajibe anggayuh
kawicaksanan lan kasukcen, patrape : Ngurip-urip dayaning budi sarta marang
dayaning nafsu kang ala (Elinge : Urip iku saka kereping empan, lemper utawa
kendho saka kuranging empan, matine : saka ora tau di-empakake dayane). Saben
ana kakarepan kang tuwuh, kudu weweka sarana karasakake : Apa saka dayaning
budi apa saka dayaning nafsu. Yen saka dayaning nafsu , kabataha dhewe. Yen
tuwuh saka ing budi, sanadyan badan liyane lumuh, kudu dipeksa. Yen bisa
mangkono, budi kang gedhe dayane.
Angen-angen kang mengkoni karem, manuta pituduh ing budi
enggone ngereh nafsu. Aja kalah karo nafsu.
ANCER-ANCER
27 WARNA 1 NGANTI TUMEKA 27
Edit : Pujo Prayitno
1.
Ora ana apa-apa kajaba mung dhewek kanthi rasa. (rasa iku
tanpa wates wilangan lan wiwijangan, dene dhewek : sawiji tetep langgeng). Ing
dhuwur iku maksuding lapal : La ila ha illa Allah, Muhammad al-Rasulullah.
2.
Yen si Dhadhap di-duuk, mung si Dhadhap dhewe kang krasa,
si Waru si Suta ora melu krasa, sapiturute. Nanging kang mangkono mau aja
ndadekake panganggep marang ananing pribadi loro telu. Umpamakna : yen
sawijining wong didumuk drijine, iya mung drijine kang krasa, peranganing badan
liyane ora melu krasa. Yen kang kadumuk mripat, iya mung mripat kang krasa,
sapiturute. Wasana sarehning si Dhadhap mengku rasa akeh sarta wijang-wijang,
apa banjur ka-aranan si Dhadhap mengku rasa akeh. Rak ora. Kang mangkono mau
dadiya pipindhan surasaning ancer-ancer (1) mau.
3.
Si Suta dudu si Naya, Si Naya dudu si Krama. Rasaning si
Suta dudu rasane si Naya. Rasane Naya dudu rasane Krama. Ringkese :
dhewe-dhewe, marga rasa siji lan sijine padha pisah-pisah. Nanging : sanajan
rasa mau pisah-pisah, kabeh rasane dhewe
(pribadi – aku). Dhasar pribadi iku apengrasa Suta sarta apengrasa Naya tuwin
apengrasa Krama. Sanepane : wong siji apngerasa sirah, apngerasa tangan, apnegrasa
ilat sapiturute. Rasakna kang memet.
4.
Manungsa iku padha nunggal kahanan jati kang jumeneng
pribadi, mung rasa pangrasane kang padha pisah-pisah. Dadi : nunggal kang
mengku, nanging kang kawengku padha pisah-pisah. Sarehning kang kawengku mau
sajatine ora ana, dadi yen kang kasthi
mung sing mengku, dhirine sirna. Mung kang mengku kang ana. Dene yen kang
kaesti dhirine, kelangan kang mengku, nanging sejatine tetela, yaiku kang aran
sulap.
5.
Kang kasebut nganggo tembung ingsun,
pribadi, dhewek utawa aku, yaiku kang mengku marang sakehing rasa prangrasa,
yaiku kang aran Dat Wajibul Wujud, yaiku kang ora arah ora enggon, saben enggon
ka-enggonan, iya ingkang lembut ora KENA JINUMPUT, NANGING gedhene ngebaki
jagad. Yaiku kang ora kena kinayangapa. Yaiku kang langgeng ora wiwitan ora
wekasan. Yaiku kang bobote kaukur nganggo ukuran kang kaping pat. Ya iku kang
aran kahanan jati. Ya iku kang tanpa warna tanpa rupa, nanging sakehing warna
rupa-rupa iku rupane. Ya iku kang ditresnani dhewe dening sarupaning makhluk.
Ya iku kang tanpa timbangan ora ana kang nyekuthoni. Ya iku kang binasakake
kombang mangajabing tawang sepi. Ya iku kang among jiwa. Ya iku kang aran jatiningrat.
Ya iku kang dumunung ing poking batin, mengku marang batine makhluk kabeh. Ya
iku kang mangerani ing alam kabeh. Ya iku kang ora kajaba ora kajero. Ya iku
tengahing arah. Ya iku kang sipat rong puluh. Ya iku kang nguripi siji-sijining
nyawa kang ana ing badan.
Awit saka iku, aja pepeka lan gumampang marang kang kok
arani nganggo tembung aku utawa dhewek. Yen kliru, kok arani pribadi ---- iku
diri.
6.
Yen ana pitakon : Pribadi iku wujud apa ora. Wangsulane
mangkene : Kabeh-kabeh ora wujud, mung pribadi kang wujud.
7.
Panyana kang durun sumurp, kang sok disebut nganggo
tembung aku iku awujud jirim (uwong) sarta sajagad mung ana siji, yaiku wong
kang nyana mau. (Catetan : kaya kang gmaca layang iki)
Dene wong liyane, senajan yen ngarani awake nganggo tembung aku, sarta kabeh
padha duwe rasa pangrasa, nanging kabeh ora di-anggep pribadi (aku). Senajan
Gusti Allah uga ka-anggep dudu pribadi. (Dadi Allah iku di-anggep ewoning
tangga).
Kag kinira kahanan jati dening kang durung sumurup; ya
iku bumi, langit srengenge, rembulan, manungssa, tetuwuhan liya-liyane kang
gumelar kabeh. Prakara mati, lebur utawa malih : Mung di-anggep wis mesthina
mangkono, ora marakake tuwuh panggraitane yen kang gumelar iku dudu kahanan
jati. Senajan disemurupake yen Pangeran iku tetep langgeng sarta kang anitahake
kahanan kabeh, ewadene panampaning atine meksa ka-anggep bangsane jirim kang
manggon, sarta miji anane kaya dene manungsa, mung kaceke ing donya kee oara
ana kang mirib ig kaluhura-Ne. Panganggep kang mangkono becik di owahi.
8.
Sing sapa nggayuh kawakithan utaa kaluwihan, mangka ing
batin dhemen marang papandhingan diri, dening enggone waskitha utawa duwe
kaluwihan, sanajan tetese, iya isih dadi titimbanganing dhiri, marga ke-elingan
pribadine, dening korup ing dhirine. Kang mangkono mau awit mung angesti marang
adeging dhiri, ora ngesti kang jumeneng pribadi. Samangsa ngesti jumenenging
pribadi, mangsa gelema ngengkoki marang sawijining dhiri, awit pribadi iku
jatine sakehing dhiri, ora nganggo pilih kasih, marga tanpa timbangan, dadi
lupute ora ngengkoki sapa-sapa, iya ngengkoki sakehing diri. Dene yen ora
ngengkoki sapa-sapa, utawa ngengkoki sakehing dhiri, wis mesthi banjur sirna
watake ing bab papandhingan dhiri, kang kalawan ora sinedya.
9.
Sarupaning makhluk iku satemene padha ngluhurake pribadi
kang mengku marang rasa pangrasane. Iya pribadi iku kang disenengi dhewe dening
sarupaning makhluk, ditresnani dhewe lan dilabuhi dhewe. Ananging ssarehning
makhluk iku ora awas marang pribadine, wekasan keliru ing panganggep, yaiku :
dhiri disengguh pribadi (kang dianggep pribadi mau dhirine). Mulane kaya
mangkono, awit mbedakake dhiri karo pribadi iku pancen angel.
10.
Aku ana ing sanjeroning badanku, iku keliru, benere :
badanku ana ing aku.
Aku ana ing swarga utawa naraka, iku keliru, benere :
swarga utawa naraka ana ing aku.
Aku manggon ing jagad pepitu, iku keliru, benere : jagad
pepitu ana ing aku.
11.
Kang aran aku iku dudu badan dudu rasa, dudu angen-angen,
dudu budi, dudu nyawa. Badan, rasa, angen-angen, budi, nyawa, iku kabeh jirim,
kang kawengku ing aku, dene aku iku wengkune.
Sarehning rasa-rasane manungsa ora kena kanggo nyatakake
wengku mau, mula wajibing nyawa-nyawa mung sumungkem, gumulung tumuju marang
oking batin. Sakehing rasa pangrasa kudu ssa-iyeg, gumeleng nunu marang batin,
mung mangkono wajibing nyawa.
Kalane nyawa lagi lumaku saka lair marang batin, ora kena
ora : rasa kang sumebar sangsaya kukud, sangsaya santosa, sangsaya akeh kang
kukud. Lire : sangsaya ngedohi keblat lair, nyedhaki batin. Bisane santosa
(kuwat) ora liya saka kerep ka-empakake dayane ginawe lumaku saka lair marang
batin (samadi – tafakkur).
Lakuning nyawa saka lair marang batin mau manawa lestari,
saya suwe saya mayar, ora rekasa, awit kapitulungan ing dayaning kajaten
(jinurung ing pribadi). Wekas-wekasane : nyaa ora migunakake dayane babarpisan,
mung maligi dayaning kajaten, yaiku kang diarani : Cengeng.
12.
Nalika rasa pangrasa durung nirmala, iya rasa pangrasa
iku kang disengguh pribadi dening si rasa pangrasa. Tegese si rasa-pangrasa
ngaku-aku supaya di-anggepa : aku. Dadi rasa-pangrasane manungsa iku tetela
pancen ora bisa weruh marang kang mengku. Enggone ngrasa tumibane malah
ngaling-alingi. Rehning kaya mangkono, bisane manungsa weruh marang kang mengku
: ora ana maneh kajaba yen ora ngrasa, yaiku : rasa pangrasa bali marang kang
mengku (pribadi – rasa kang sajati). Yen wis ora kaling-kalignan dayaning rasa
pangrasa, mung pribadi kang ana. Ing kono lagi weruh marang dheweke, yaiku sing
darbe rasa pangrasa, dudu rasa pangrasa kang kadarbe.
13.
Si Suta nuju poking batine dhewe, iku satemene : Si Suta
mau ngener marang poking batine manungsa sa-jagad, awit poking batine si Suta
iku iya poking batine makhluk kabeh. Ananging satekane ing poking batin, si
Suta wis ora ana, kagentenan ing pribadi, kang nalika iku lagi mengku marang
batine sakehing makhluk, (tembung : lagi tumrape kajaten ora wiwitan ora wekasan).
14.
Ora ana nyawa maded dhewe, mesti gumantung ing kajaten.
Kajaten atinggal nyawa iya ora bisa, karo-karone tetep-tinetepan.
Barang kang madege katetepake ing liyane, ing basa manca
karanan : Negatief. Kayata : ijo iku negatife godhong. Godhong negatife ijo,
kuning utawa abang.mangkono uga : kajaten iku : negatfie nyawa, nyawa negatife
kajaten. Si Suta negatife kajaten, kajaten negatife si suta.
Si suta butuh kajaten, awit adege si Suta saka ing
kajaten. Dene kajaten, senajan ora butuh si Suta, nanging butuh nyawa saliyane
si Suta, awit sajak negatif. Wengku mesthi butuh kang winegku, kaya godong
anggone butuh marang salah siji saka : ijo, abang, kuning utawa putih.
Sarehning kajaten iku wengkuning nyawa kabeh, manungsa
ora susah ngeling-eling bisane mengku marang alam, sumungkema pribadine bae.
Sok uga lakuning nyawa tumeka ing poking batine, wis mesthi mengkune marang
sakehing nyawa, awit negatif.
15.
Si Suta mulane ora bisa nyipati marang kajaten, awit
kaling-kalingan dening pandulune si Suta. Mulane ora bisa nyakra bawa, sebab
kaling-kalingan ing angen-angen si Suta. Mulane ora bisa ngrasakake marang
jatine, awit kaling-kalingan dening
raane si Suta. Cekake : mulane si Suta ora bisa nyatakake jatine, sebab
kaling-kalingan dening rasane si suta
(Pancadriyane). Anggere si suta isih ana, iya aora bisa weruh . (Sing ora weruh
mau rasaning uwnge). Weruhe yen rasa Sutane wis ora ana : tanpa tilas, dadi
kang werh mau dudu si Suta, yektine : Jatine.
Ewadene sanajan duduwa si Suta, iya dudu tanggane si Suta,
isih ajeg dhewe, mung kacek maune “nyuta” banjur ora. (mari Nyuta). Mulane
mangkono, awit kang jeneng si Suta iku pancen ora ana, kang ana mung : Dhewek.
Dhewek mangkono kahanan tunggal jumeneng jejere sakehing rasa, uga jumeneg
awake sakehe kadadeyan kang gumelar iki kabeh. Rehning mangkono, yaiku malihane
si Suta, dhasar iku kang maune dadi si Suta.
16.
Ing swijining mangsa, manawa angen-angenmu panuju meneb,
dening nafsumu panuju lerem, sarta ora tuwuh osikmu kang mangro mratelu,
negmungna osik sawiji mulya, ya iku osik kang lerege, mung nuju marang kajaten,
ing kono kowe wus andungkap tumeka ing budimu. Angen-angenmu karasa padhang
awening.
17.
Bedane donya karo akherat iku dudu : saiki kro besuk,
mung lair rkaro batin. Lair ana ing alam donya, batine ana ing akherat. Dadi :
saiki uga aku ana ing akherat, dene kang
ana ngalam donya iku rasa pangrasa kang kawengku ing aku. Rasa kang kawengku
iku wujude kayata : pikiran, bungah susahing ati, padhang petenging mripat,
weruhing mripat marang kahanan kang gumelar, krunguning kuping marang swasra,
legi paiting rasa ilat, grejel kasaping angan, lara kepenaking badan. Lan
liya-liyane. Iku kabeh dudu rasa kang sajati. Mung ayang-ayanganing rasa kang
sajati.
18,
Nggayuh kasunyatan ora kena
ngendel-endelake guru ngelmu utawa layang. Kang perlu mulasara dhiri, etraping
panganggep lan sucining ati. Nanging tanpa guru : ora dadi.
19.
Tipising hawa nafsu kinanthenan kandel kumandeling
kaparcayan ora ananing apa-apa saliyene Pangeran, iku : ngedohake coba rencana,
nyepakake karahayon, sanajan tumrap saiki utawa besuk.
20.
Swarga iku yasaning ati, Naraka iya yasaning ati. Awit
saka iku perluning perlu ora kaya wong mbenerake lakuning atine.
21.
1. Ora ana kadadeyan kang dudu
karsane Pangeran, sanajan ora anaa kedadeyan kang tanpa sebab. Pancen sabab
dalah kang disababi : karo-karoning karsaning Pangeran.
2. Ora ana kadadeyan kang tanpa
sebab, sanajan sebab mau sejatine ora nglabeti. Pancen Pangeran anggone
nganakake kadadeyan mau karsane dikantheni sabab. (Pangeran
iku tembunging manungsa kanggo ngarani marang jatine, Pribadi, iku tembunging
kajaten kang kaucapake nganggo lesaning manungsa).
22.
Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden, tresnaa
marang : sing dadi. Nanging aja gething marang daden-daden, sabab ing kono : ana
sing dadi.
23.
Allah banget cedhake, malah sarupane kang padha
cedhak-cedhak iku kabeh kalah cedhak, sanajan nyawa isih kalah cedhak. Ewadene
wong sok nyana adoh : iya bener : awit kang aran adoh iku dununge mung ana ing
panyana. Terange mangkene :
Adoh karo cedhak iku, karo pisan dak umpamakake barang.
Barang iku mesthi manggon, amnggone ing panyana. Panyana iku manggon, yaiku ana
ing kang mengku panyana. Ora ana maneh kang mengku panyana kajaba Allah. (Allah iku pribadi dalah rasa. Kabeh Pangeran : Pribadi
Rasul rasane).
24.
1,
Si Suta saiki ana, biyen ora ana. Rehne mangkono, si Suta
iku anane saka ora. Tembung mangkono iya bener, nanging karepa tembung anane
saka ora : ora gampang. Nglengkara manawa kahanan gumandhul marang suwung.
Suwung iku bisane mung sepi, tanpa rasa, ora bisa metu sutane.
2.
Si Suta saiki ana, biyen iya wis ana, nanging durung lair
ing alam donya. Dadi si Suta iku anane saka ana. Tembung mangkono iku uga
bener, nanging karepe tembung ana saka ana ora gampang, awit temung durung ana
wis ana, iku tanpa teges (prakara kang akosokbali ora bisa kumpul). Kajaba saka
iku, kang katetepan jeneng si Suta iku janjine rak sawise lahir. Sadurunge lair
si Suta, ora ana kang katetepan jeneng si Suta. Lan maneh si Suta iku
daden-daden kang molah malih, jebles ombak utaw mega. Sarehne kahanane si Suta
ora ajeg, mangka sadurunge lair dijenengake si Suta, lah nalika durung lair mau
kaya Suta nalika umur pirang taun, apa kaya nalika Suta nalika umur bocah, apa
kaya Suta nalika bayi, apa kaya Suta tuwa.
Iku mung mungguh patitise mangkene :
Sadurunge si Suta ana, kang ana jatine utawa pribadine si
Suta. Sebabe durung ana awit jati mau durung
Nyuta. Bareng jati mau Nyuta, pa=Nyutane mujudake daden-daden kang
diparabi si Suta. Lawase enggone ana ks Sutan mau sajroning wektu kalane jati
isih Nyuta. Yen jati lerem anggone Nyuta, daden-daden kang diparabi Suta mari
ana. (Pa-Nyutane (anggone Nyuta) jati iku nganggo
jirime. Jati ora owah gingsir sebab mengkana-mengkene pasrah marang jirime.
Ancer-ancer 7.c.).
Anadene kang aran jatine si Suta iya uga jatine si Naya,
uga jatine si Dadap, ringkese : jatining daden-daden kabeh.
Sanajan pribadi iku ra-a dicethak-cethakake : Sawise
tunggal utawa wungkul, sok uga dirasakake kang memet, mesthi banjur tetela yen
: Ora kena ora mesthi mung sawiji utawa tunggal, malah yen dirasa : Ora perlu
diarani siji. Tembung siji iku tembung wong kang madoni pikire dhewe kang lagi
bingung. Padha bae karo wong kang nyethak-nyethakake yen bengi iku ora bareng
karo awan.
Rasaning tembung pribadi uga wus ngemu rasa ssawiji.
Mulane diarani pribadi, awit tanpa timbangan. Umpama ana timbangane, ora
diarani pribadi, awit ora pribadi.
25.
Yen rinasa kang temenan, wijining sakehe kaluputan,
apadene lawang kang marang panasaran, sejatine ora liya saka manungsa enggone
ora bisa ngrasakake bedaning “dhiri” kari “Pribadi”, jongsi dhiri dianggep Pribadi. Mangkono
uga kosok baline, wijining kautaman utawa lawang kang marang papadhang iya saka
bisane manungsa ngrasakake bedaning dhiri lan Pribadi.
Terange mangkene : Sakawit saka ugering kodrat : sarupane
kang urip tresna bangat marang pribadine, gedhening sih tresna tanpa timbangan,
ora ana katresnan kang gedhene ngungkuli
katresnan marang Pribadine. Mungguh ugering kodrat mangkono iku wis
benere, jer sejatine ora ana apa-apa, mung pribadi kang ana.
Ananging ---- sarehnig kang di-anggep pribadi mau dhiri,
yaiku jirim (kasar lan alus) wekasan katresnan kang gedhene tanpa wates mau
tumibane marang dhiri kang kudu diluhur-luhurake.
Patrpa anggone tresna utawa ngluhurake dhiri mau mangkene
:
Kaya umpamane wong lumuh ngalah ujar sakarepe, laku
satindak, utawa kepati-pati ngalingi kaluputane kang wis tetela, kongsi
dilabuhi ngetog budi lan ngingar-inger nalar, murih awake ora katon ala utawa
luput. Iku yen diurus mungguh suwadine, ing kono banjur ketemu, yen uwite saka
bangeting tresna marang pribadi. Enggone nemahi kaya mangkono mung marga saka
kelirune bae, yaiku L dhirine dirasa Pribadine utawa jirim disengguh kahanan
jati.
Kang saumpama bisa misah dhiri lan pribadi, mesthi dadi
kosokbalene, liremalah ngukum lan mbantah nafsune kang ajak kaya mengkono, awit
mengkono iku agawe pepeteng, sangsaya banget anggone sulap marang pribadine.
Kang marakake manungsa kedunungan watak kegedhen melik,
jahil, drengki, dahwen, gumedhe, kumingsun, kuminter, ewan lan
sapanunggalane : kabeh tuwuh saka rasa
ati kang ajak ngluhurake dhiri.
Dhirine katon luwih lan oleha kang luwih katimbang
liyane. Ora mung pikire wong liya kang dipurih mangkono, dalah pikire dhewe uga
di ajak dening nafsune supaya nganggepa becik, luhur lan bener marang dhirine
mau. Pikire dhewe uga manut, kongsi ora percaya yen patrape mau luput utawa
ala, uga ora percaya yen peteng marga saka patrape.
Wong nemahi kaya mangkono sebab saka : tresna marang
dhiri. Sebabe tresna marang dhiri sakawit saka : tresna marang pribadi. Mulane
dadi tresna marang dhiri mung saka keliru penganggep. Sebabe keliru penganggep.
Awit mbedakake dhiri karo pribadi iku, luwih dening ewuh sarta oran kena
diterangake naggo tembung.
Wong jubriyahm kibir bidngah, sombong sapanunggalane :
kabeh tuwuh saka : angen-angen kang ngajak ngluhurake dhiri. Pikir kang
mangkono iku arane pracaya utawa nganggep, yen dhirine iku kawasa, becik, luhur
sarta bener.
Sarehning saya tresna marang dhiri, saya kelangan
pribadine (kaya ilanging jirim karo raen), mulane saraking Agama nglarangi
banget marang wong jubriya, kibir bidngah, sombong sapanunggalane. Larangan mau
sejatine saka pangeman lan rumeksane marang manungsa, aja kongsi kleru
pangangep, ora weruh marang pribadine,
dadi jalaran ora saka guru kang ora dhemen marang watak kang mangkono, lan ora
jalaran saka disikokake ing Pangeran. Tembug kesiku iku tegese kang sejati K
kasrimped utawa kesasar dening pratrap dhewe.
Tembung : Jubriya sapanunggalane, tembunge Jawa :
Kumingsun (duwe panganggep kaya ingsun), sarehning dudu ingsun, maka
di-ingsun-ingsunake, temah nyirnakake ingsun, nganakake jirim. Benere :
nyirnakake jirim, nganakake ingsun.
Wewatekan kang tuwuh saka bangeting tresna marang dhiri,
kang nglalekake marang pribadi, yen kabeber akeh warnane. Kayata : Saweneh
manungsa karem marang kahurmatan, angkuh utawa sikon, iku uwite saka ngengkoki
dhiri siji.
Sarehning manungsa duwe watak epeh, lumuh gawe kabecikan,
iku sakawit saka keliru penganggep, dhirine disengguh pribadine. Saweneh
manungsa duwe watak meren, murinan, panasten, iku ora liya jalaran iya anggone
mbaukapine karo salah sawijining dhiri.
Ana wong kang dhemen nutuh wong kaluputan sarta dhemen
ngalem wong kang lagi kabeneran, iku iya saka rasa ati kang ngajak ngatonake
dhirine.
Ana wong lumuh rumasa oleh pitulung utawa pitutur ssaka
liyan, dhemen ngaku aweh pitulung utawa pitutur marang liyan : iku jalaran iya
saka nafsu kang ngluhurake dhirine.
Ana wong watak buterapn ing bab prakara-prakara rupa-rupa
: iku iya saka bangete olehe ngiloni dhiri siji.
Ana wong watake lumuh medharake kabecikan dhirine, iku
sebabe iya saka tresna marang dhiri. Ora sumurup marang pribadi.Lan
liya-liyane. Sakehing wawatekan kang aa : sebab ora liya saka ora sumurpe marang
pribadine.
Manungsa saya bisa nyilah-nyilah dhiri lan pribadine,
saya sauda watake kang kumudu-kudu ngluhurake dhiri, marga kang di-engkoki
jatine sakehing dhiri. Dadi : lupute
oran ngengkoki sawiji-wiji, iya ngnegkoki sakehing dhiri. Panganggaep kang
mangkono, gedhe banget dayane, kawasa nyirnakake wawatekan kang ala, kang
kasebut mau kabeh. Banjur nganakake watak sabar, welas asih, sumeleh, rila,
lega, legawa, ayem, tentrem, narima, wasana ndadekake weninging budi ().
Sadurunge sarira Bathara wis ngicipi rakhmat, ngenyami rasa kang mulya, nikmat
lan munpangate ngungkuli wong sugih lan luhur.
Manungsa, sajroning nyaburgawe utawa leren saka nyabut
gawe, ing wayahrina lan wengi, aja peagr elinge yen ---- pribadi kang ana.
Dhiri sipate pribadi.
Yaiku maksuding lapal : Lailaha-illallah, Muhammad Rasulullah.
oooOOOooo
26.
Mratelakake mangsane wong nganggo lan mbuwang piranti,
(Umapa A nganti F).
UMPAMA A : Wong kang pinter nunggal egrang utawa sepedah iku
ora dupeh wong kang rosa, Sanajan kuru lan ringkih, yen wis prigel, wasise
ngungkulu kang lemu lan rosa.
Semono uga, kalane lagi sinau marang kaprgelan, kudu
nganggo karosan uga. Gunaning karosan kanggo mitulungi ing kidhunge. Yen wis
mari kidhung, karosan ora di-enggo. Kang di-enggo mung : prigele.
Lire ing dhuwur iku :
Karosan iku piranti kang kudu di-upaya landi-engg ing
wong sinau nunggang egrang kalane durung prigel. Saise oleh kaprigelan
(oleh-olehane rasane kang tansah niniteni)ing kono wis wiwit nyuda
panganggoning karosan, dening wis salin piranti : kaprigelan. Ing wusanane
karosaning awak prasasat ora kanggo. Di salini kaprigelan.
Saka nalar kang mangkono iku, kita nemu wawaton : piranti
iku di-upaya kalane durung ana lan kudu di-enggo kalane isih perlu nganggo.
Dadi luput manawa kita lumuh nupaya nalika durung duwe utawa lumuh nanggo
kalane isih perlu nganggo, nanging : iya keliru manawa kebanjur (karem) ana ing
piranti bae.
UMPAMA B : Bocah kang
durung sumurup lan ngrasa marang paedahe adus lan sinua, tartampu ora gelem
nglakoni adus lan sinau. Tumrap bocah kang mangkono perlu di-alembana utawa
diganjar manawa gelem adus lan sinau, terkadang iya perlu diwenehi paukuman
utawa disrengeni manawa ora gelem adus lan sinau. Dayane pangalembana lan
ganjaran nuwuhake kapenginan lan karep marang adus lan sinau, dayaning ukuman
lan pengrang-erang nuwuhake wedi lan isin.
Mungguh kepengin, wedi apadene isi, kabeh iku dadi
piranti kang nuwuhake karep lan nulak marang kesed, utawa lumuhe. Awit dening
karep dadi nglakoni. Awit saka nglakoni marambah-rambah, tuwuh pangreten lan
rasane marang paedahing adus lan sinau. Sawuse cukup pangretene lan bisa
ngrasakake dhewe, ing kono wis ora nganggo piranti kang arupa kepengin marang
pangalembana lan wedi marang paukuman, marga wis disalini ing pangreten lan
rasa.
UMPAMA C :
Wong becik iku ora dupeh kang dhemen marang panggawe becik sarta gething
marang panggawe ala. Senajan ora dhemen marang panggawe becik sarta ora gething
marang panggawe alan, yen dhasare watake wong mau becik, iya luwih becik
katimbang kang dhemen panggawe becik lan gething marang panggawe ala. Samono
mau kalane lagi nggegulang kalakuwan kang becik : (rehning durung becik) iya
kudu kang dhemen marang panggawe becik, sarta kudu gething marang panggawe ala.
Mungguh gunane dhemen karo gething mau supaya ngedohna si ala, nyedhakake
marang si becik, yen wis oleh dhasar becik, wis ora susah nganggo piranti
dhemen utawa gething marang sabarang prakara, awit kang mumpangati : becike, dudu si dhemen karo si
gething, malah dhemen lan gethinge : ngrubedani, awit kang aran gething karo
dhemen iku dayaning nafsu.
(Nganggo piranti nalikane isih perlu nganggo, iku kena
kaumpamakake : nunggang tunggangan nalikane durung tekan ing panggonan kang
dituju. Mangkono uga kosokbaline : ninggal piranti samangsane wis ora perlu
nganggo, iku kayadene wong kudu mudhun sakan tunggangan samangsane wis tekan
ing enggon).
UMPAMA D : Manungsa kang utama iku satemene
ora dupeh kang isin marang panacad lan seneng marang pangalembana. Sanajan
manungsa iku ora dhemen misuwur lan ora isin kacacad ing wong, manawa yektine
dhasar mangerti lan eling (jalaran mengkoki jatine, ora nganggep marang
dhirine) iku mumpangate ngungkuli kang dhemen misuwur lan isin dicacad.Semnono
mau pamardining budi murih bisa tumeka ing papadhang le eling : sakawit kudu
melik ka-alembana lan isin kacacad (miturut ugering reh kaprawiran). Gunaning
ppiranti iku kanggo ngajokake nafsu kang marang ka-utaman, serta menggak nafsu
kang marang kanistahn, dene yen wus kaleksanan tumeka ing kautaman, lumuh
marang kanistahn, dening wis awas budine – ing kono wis mangsane ora susah
melik ing pangalembana lan aja isin di cacad sapa bae, (Iki kang aran
ngungkurake dhiri, madhep marang pribadi), awit nafsu kang marang kanisthan wis
nirmala waluya, kagentenan ananing rasa tunggal, woring budi eling. Sasirnaning
nafsu kang marang kanisthan, kari nyirnakake nafsu kang melik ing pangalembana
lan isin dicacat, awit iku rereged tumraping kajaten.
(Lumuh nganggo piranti kalane isih perlu nganggo : iku
keliru. Nanging iya uga luput manawa benere wis atinggal piranti teka kabanjur
nganggo piranti bae dening piranti mau rinasa utawa disengguh sing duwe
piranti).
Mulane melik ing pangalembana lan isin kacacad kudu
kasirnakake, awit iku uga nafsu kang nasarake angen-angen. Lire si nafsu
enggone nasarake yaiku : angen-angen di-ajak ngengkoki dhiri siji.
Mangka yen ngengkoki dhiri, kelangan pribadine, lali yen
jati kang ana. Awit saka iku, kang wajib diturut : Budi, awit iku tuduh marga :
nymurupake marang bener, kayata nyumurupake marang ora anane apa-apa mung
pribadi kang tunggal, dadi iya nuduhake yang kang di-alembana lan di cacad iku
mung ayang-ayangan sajroning pramana (pangilone pribadi), kang sawatara mangsa
engkas bakal sirna. Dene kang ngalembana utawa nacad iku rasa kang ora sejati
(maya) kang kumambang ing Pribadi kang tunggal ringkese : kang ngalembana lan
kang di-alembana : karo pisan padha gorohe, sajatine tanpa tanja.
Awit saka iku tetela yen rasaning ati kang seneng marang
pangaembana lan isin kacacad, iku mung dadi piranti kang dianggo ing sawatara
mangsa bae. Manawa arep manjing jaten, piranti iku kudu dibuwang (wong
nununggang, yen wis tekan ing panggonan, kudu mudhun saka tunggangane).
UMPAMA E. : Antenging samadi, iku ora dupeh
ana ing panggonan kang sepi nyenyet, sanajan dumununga ing papan kan akeh
swara, yen wis prigel ngempakake pangesthi, bisa tetep ngungkuli kang dumunung
ing pasepen. Samono uga pamardining kabisan, kudu dumunung ing papan kang sepi.
Gunaning sepi kanggo nglumohi ing kagetan. Lan nyut-nyutane. Yen wis lantih sepining
panggonan wis ora perlu, kang perlu : Kaprigelane.
UMPAMANE F : Manungsa kang
sampurna iku ora dupeh wong kang milih panggawe becik, nampik marang panggawe
maksiat, sanajan nglakonana panggawe maksiyat sarta ngumpulana wong kang dhemen
marang panggawe ala, yen atine dhasar suci (kalis karo ala) sukcine ngungkuli
wong kang padha sumuci-suci. Semono mau, kalane lagi ngudi marang kasukcen, iya
kudu milih panggawe becik, aja awor wong ala, sarta kudu lumuh nglakoni
panggawe kang bisa nggandeng nafsu kang ala. Gunane milih kang becik, ngedohi
panggawe ala mau kanggo nglumohi ing petenging budine lan enggone durung sukci,
durung gkalis karo ala (gampang keplesete).Yen wis padhang budine sarta kalis
karo ala, ing kono wis ora perlu nampik milih, kang perlu : wewekane lan kalise
karo ala.
27.
Kelira-kleiruning panganggep, yaiku :
Ana kang tumiba marang dhiri, ana kang tumiba marang
Pribadi,
Yen tumiba marang dhiri, nunggal karo angen-angen
nganakake ambek kumingsun.
Yen tumiba marang Pribadi, nunggal karo Rasa Tunggal,
nganakake tekad.
oooOOOooo
Manungsa nggayuh marang kajaten iku wajibe. Bisa widhadha
: Kudu nganti pracaya marang pangawasa kang dumunung ing dhirine. Enggone
nggayuh aja dipaido bisane kaleksanan, tegese : aja ngapesake marang dhirine.
Samono mau iya kudu sumurup sebabe dhirine ora kena di-apesake.
Mulane dhirine ora kena di apesake, awit mobah mosiking
manungsa utawa krenteg krekate manungsa anggone nggayuh kasampurnan, sajatining
apngaling Pangeran, dadi yang manungsa ora percaya marang dhirine, prasasat ora
percaya marang apngaling Pangeran, utawa ora ngandel marang kawasaning
Pangeran. Yen ora percaya marang kawasaning Pangeran kang dumunung ing dhirine,
dalaning widada kapepetan ing pamaidone dhewe, wekasan dhirine bisa uga dadi
apes temenan marga saka anggepe pribadine.
Ananging aja banjur duwe panganggep : dhirine bisa utawa
kuwasa. Awit saka iku di-awas marang keliara keliruning panganggep. Sanajan
keliruning panganggep iku dumunung sa-jroning batin, ewadene bisa atara lan
kerasa, awit katon ana ing patrap.
Wulanging Agama: Manawa ngaku Allah arane tekad
kadariyah. Yen ora ngaku arane tekad Jabariyah. Karopisan ora bener.
Yen ngaku disebut kufur, yen mungkir diarani : kafir,
nanging yen ora ngaku ora mungkir ka-aranan : kopar.
Kapriye benere ? Bisane sumurup bener manawa bisa
ngrasakake bedaning dhiri lan Pribadi, awit maksuding kiyas, ora liya mung
murih ngengkokana jatine sarta ngungkurna dhirine.
=è>TAMAT ------
SURASANING SERAT JATIMURTI <ç==
RINGKESING
KAWRUH I NGANTI TUMEKA VII
I.
Kang diarani nyawa iku uriping rasa
Kang diarani rasa iku pratandhaning nyawa. Tegese
Mulane bisa ngrasa, awit urip.
Tandhaning urip : bisa ngrasa.
Nyawa iku wujud jirim, yaiku sipating kajaten.
II.
Rasa-rasaning
manungsa ana telung golongan :
1. Rasaning badan wadhag
2. Rassaning ati
3. Rasaning engetan.
Dadi manungsa mengku urip telu :
1. Nyawa badan lumrahe mung diarani : rasa.
2. Nyawaning ati : lumrahe mung diarani : ati.
3. Nyawaning engetan, lumrahe mung diarani : Budi.
CEKAKE :
Adeging manungsa iku woring rasa tetelu : budi; ati;
rasa.
Rasa, kang dadi pangareping urip ngalam donya.
III
Budi --- ati --- rasa : padha urip ing ngalame
dhewe-dhewe.
Alaming bumi diarani :
Guruloka (Betalmakmur)
Alaming ati diaranai :
Endraloka (Betalmukharam)
Alaming rasa diarani :
Janaloka (Betalmukadas)
Budi lamabrane sirah, telenge ing uteg.
Ati lambarane dhadha, telenge ing jantung.
Rasa lambarane badan sakojur, telenge ing farji.
Keterangan :
Manungsa urip ing alam donya, iku sejatine kang dumunung
ing alam donya mung badane wadhag, yaiku uriping rasa badan kang wadhag.
Denen, atine ora melu ana ing ngalam donya, tansah urip
ana ing betalmukharam, dene budine : urip ing betalmakmur. Kauripan tetelu dadi
siji, nanging siji-sijine ora gepok senggol.
IV
Kang di udi dening manungsa :
Dhisike :
Weninging budi disebut : kawicaksanan.
Banjur :
Kajaten, disebut : Kasampurnan.
V
Kapriye patrape
nggayuh weninging budi utawa kawicaksanan?
Satemene kang di gugulang dening para ulah ngelmu iku
lerege ora liya mung :
1. Manut budine, (awit Budi iku mesthi bener).
2. Meper : uriping ati (Nafsu)
3. Meper : uriping rasa.
Urip, dening kerep ka-empakake dayane
Peper : dening disudani empane.
Keterangan :
1. Uriping raa lan ati, manawa peper, dayaning uripe ora
ilang, mung ngalih banjur nguripi budi, ing kono budi dadi gedhe dayane,
diarani wicaksana, tegese : padhang. Lempering rasa lan ati di-arani : tentrem,
lerem utawa ayem.
2. Kng endi kang
gedhe urube : iku kang kuwat dayane, dadi pangareping urip, tegese : ngorupi.
Yen kang gedhe uriping rasa manungsa karup ing rasa, banjur rumangsa ana ing
Janaloka (sareH), Yen kang gedhe uriping ati, manungsa korup ing ati, banjur
rumangsa ing Endraloka. Yen kang gedhe uriping Budi, manungsa kurop ing
Guruloka, aran sarira Bathara. Ngambah Guruloka lagi jeneng wicaksana utawa
pramana, ing kono dalan kang marang kasampurnan.
VI
Kang dirasa --- rasane – kang ngrasa.
Kang di arani alam iku kang dirasa, dudu rasane lan dudu
kang ngrasa.
Kang diarani nyawa iku kang di enggo ngrasa, tegese :
rasa, dudu kang di rasa lan dudu : kang ngrasa.
Kang di-rasa diarani : ngalan Kabir.
Kang di enggo ngrasa diarani : ngalam sahir
Kang ngrasa diarani : kajaten.
Kang dirasa iku sejtine ora ana, awit anane gumantung
marang anane rasa. Ananging rasa gumantung marang anane kang ngrasa.
Dadi sejatine ora ana apa-apa, mung kang ngrasa kang ana.
Tembung lali, tegese : korup marang kang di rasa, ora
ngelingi rasane, luwih-luwih marang kang ngrasa.
Eling, tegese : Awas marang rasane, ora korup marang kang
di rasa.
Sampurna, tegese : awas marang kang ngrasa, ora korup
marang rasane, luwih-luwih marang kang di-rasa.
VII
Keterangane tembung kang ngrasa.
Kang ngrasa saka : Kang lan ngrasa.
Kang : iku enenge, ngrasa : iku panggawene.
Kang ngrasa enggone ngrasa nganggo rasane, ora nganggo
kange, Dadi : kang, iku mung mengku, tetep langgeng ora owah gingsir, sebab
pagaweyan ngrasa wis diwakili ing nyawa piranti ngrasa. (Sarupane kang wujud
jirim, tumrape kajaten mung obah-obahan – dadiyan – ora kena kinaya ngapa bab
patraping obah, awit ana keblat lahir dan batin).
oooOOOooo
Pitakon lan wangsulan maksude layang Jatimurti
Apa maksude layang iki ?
Yaiku : marsudi patraping tekad apadene panganggep kang
bener mungguh ing kahanan kang sajati, tuwuh saka nalar kang terang lan kusus.
Patraping tekad sarta panganggep kang bener mau kudu
dinata kanthi padhanging nalar. Dene padhanging nlar tinemune saka terang
marang : apa lire kahanan jati sarta apa tegese wong ngudi kawruh. Terange ora
njaba kudu kajereng kang genah asilah.
Yen manungsa ora luput ing pangerti lan ora keliru ing
panganggo (pangadel) tartamtu ora keliru ing tekad, dene yang ora keliru ing
tekad, iay ora keliru ing patrap, iya patraping tekad (lenge), iya patraping
ati (watak), iya patraping raga (solah bawah).
Apa tegese patraping tekad ?
Patraping tekad, tegese : anggon nata lakuning batin,
kapriye lenge utawa elote.
Ananging kapriye ta enggone ngarani utawa nembungake,
rehning mangkono mau awujud rasa. Apa ana wong
bissa nuduhake : rasa. Umpamane : rasa kang sok di-arani nganggo tembung
asin, iku kepriye enggone mratelakake. Awit tembung : asin rak mung di enggo
ngarani bae, ora bisa nuduhake rasa (Wong bisa nuduhake rasa asin manwa ana
wong bis nyilihi ilat),
Jerenge tembung kahanan jati apadene keterangan kawruh
ukuran kang kaping pat : iya mung wujud unen-unen kang mratelakake kawruh
(pangreten). Kawruh iku dudu tekad, semono uga manawa di rasakake kang temenan,
kawruh mau dadi srananing panggraita kang banjur nuwuhake : rasa rumasa,
panganggep kongsi tumeka ing tekad.
Kita bakal ngaku yang panganggep lan tekad kang bener iku
tenimu sajroning wong ngempakake pikir lan ngrasak-ngrasakake kawruh. Awit yen
wong durung ngerti apa-apa, iya durung duwe tekad apa-apa, jalaran durung duwe
penganggep kapriye-kapriye.
Apa perlune wong duwe tekad lan panganggep kang bener ?
Gedhe banget dayaning tekad kang bener utawa pangangep
kang pratitis mungguh ing kahanan jati. Awit tekad utawa penganggep iku mahanani patrap
(patraping rasa lan budi kelakuwan) kaya : 1 ngangti 6.
1.
Nyrinakak anggep kumingsun, gumedhe, kuminte,
sapanunggalane. Manungsa kang bener mungguh
ing panganggepe maring kahanan kang sajati, iku lakune satindak lan
ujare sakecap tansah katitik ana pasemon, yen sepi ing pamrih, tegese sepi saka
ing anggep mitontonake dhiri. Apa ta sebabe : iya saka rumangsa yen dheweke
satemene dudu kang katon jirim iku, kabeh-kabeh dudu kahanan kang sajati sarta
sawatara mangsa engkas bakal sirna.
2.
Nyirnakake watk
melikan, penginan, sugih pakareman sapanunggalane : Apa sebabe : iya saka rasa
lan rumasa yen donya iku luwih dening sepele sarta mung sedhela, jer dudu
kahanan jati. Dhewekang sajati. Langgeng ana ing kasukcen ra butuh apa-apa.
3.
Nyirnakake watak gethingan, panasten, murinan, sugih duka
sapanunggalane, awit rumasa yen dhirine padha lon wong liya. Kabeh kang wujud
jirim : sipatendhewe. Kabeh rasa : rasane dhewe, sarta kabeh-kabeh dudu kahanan
kang sejati.
4.
Nirnakake watak kagetan, gumunan, gimiran, ngresulan,
uwas, sumelang spanunggalane, awit saka kandel piyandele yen dheweke kang
sajati ora ika iki. Kabeh panggawe saka dheweke kang enggone nindakake kukum
ngadil marang sipate, Kajaba iku ora ana prakara kang langgeng (bungah susah
sapanunggalane) kajaba mung dhewe kang sajati.
5.
Nyirnakake watak demen goroh, dening rumasa yen goroh iku
gawe gorohing atine dhewe, sarta tuwuhe mung saka pamrih kang banget enggone
sepele.
6.
Nganakake watak lembah manah, welas asih, ayeman,
tentrem, narima, sumeleh, dhemen tetulung, rilan, tawayuh, sapanunggalane, awit
sumurup yen wong liya padha lan badane, kebh uwong : sipate dhewe, kabeh rasa :
rasane dhewe, apamaneh dhirine iku dudu
dhewe kang bener.
Ing angka 1 nganti 6 mau, dayane ambeningake budi. Bening
budi ndadekake awas marang dalan kang marang kawicaksanan : Kawicaksanan dadi dalan
marang kasampurnan, dadi :
1). Manungsa nggayuh marang padhanging budi, kudu mbuwang
reregeding ati. Patrape mbuwang reregeding ati : kudu kanthi padhanging budi.
Karone kudu tumindak bareng.
2). Marsudi padhang kanti mbuwang reregeding ati mau :
kudu bener panganggepe mungguh ing kajaten, dene bisane bener panganggepe
mungguh ing kajaten, aranane iya kudu mbuwang reregeding ati kanthi madhangake
budi. Karone tetp tinetepan, kudu tumindak bareng.
3). Enggone tumindak bareng mau saka sethithik. Ngudi kawruh
sarana madhangake budi sarta mbeciki watak, kena ka-umpamakake : Ngajokake
kereta sarana ka-ubengake rodhane. Lire yaiku : enggone tarik tinarik ajuning
kereta karo ubenging roda kaya tarik tinariking panggayuh papadhang ilanging
rereged. Ajuning kerata : dayane ngubengake rodha, ubenging rodha dayane
ngajokake kereta. Mangkono uga papdhang lan cipta utama : dayane nyirnakake
rereged, titimbangan : wong mbuwang rereged nemu pepadhang.
Prayoga ka-anggit sajroning ati.
Wongnggeret kereta wiwitane rekasa, nanging suwe-suwe
suda rekasane, awit kapitulungan ing daya laku (energie). Wekasane sirna
rekasane, awit kereta banjur lumaku dhewe tanpa digeret lan di-ubengake
rodhane, malahan genten : kang nggered nunggang ing kereta kang wus lumaku
dhewe mau. Iku dadiya pipindhan lakuning jiwa menyang batin. Sabarang prakara
wiwitane panecn angel, apamaneh prakara ngudi kawruh kasampurnan. Naging angele
di-kayangapa, lawas-lawas suda angele, wekasane : sirna angele, awit dayaning
nyawa kapitulungan ing dayaning kajaten.
Banjur genten : nyawa ora melu namakake daya apa-apa, mligi dayaning kajaten.
Ingsun ing telenging batin, tansah narik nyawa kang lumaku menyang kajaten.
Sangsaya cedhak lan pusering batin, sangsasya oleh dayaning kajaten (jinurung
ing pribadine).
Dzat iku apa, kapriye, kaya apa ?
Apa ana wong bisa mratelakake ?
Wong ngarani : mung oleh : aran. Wong ngrasakake, mung
oleh : rasa. Wong nypati, mung oleh : sipat.
Aran, rasa apadene sipat, iku dudu : Dzat (kajaten). Dadi
Dzat ora kena diarani, ora kena dirasakake, ora kena disipati. Cekake : Cep tan
kena kinucap. Tan kena cinakrabawa, tan kena kinayangapa. Kenane mung
dinyatakake nganggo kajaten, tegese nganggo gaibing rasa.
Rehning ana gumanthung ing pangesti, sirna gumantung ing
lali, sarta manungsa kudu duwe panganggep marang ora ananing apa-apa kajaba
mung Dzat, mangka Dzat ora kena cinakrabawa, utawa kinayangapa, lan kepriye
patrape ngesti marang ananing kajaten lan nyirnakake kang gumelar ??
Mangkene : Dhisike kudu terang marang tegese wong ngudi kawruh,
yaiku nalar-nalaring pangudi kawruh apa ka-aran kahanan jati, endi kang dudu,
kepreye keterangane lan liya-liyane. Sawuse uwong kadunungan ing pangerti kang
benre lan terang mungguh ing ka-alusan, ing kono panganggep mau banur mapan
dhewe, ora kalawan digawa, sarta tekad iya banjur thukul dhewe, ora klawann
digoleki. Dene yen wus kadunungan ing panganggep lan tekad, ing kono patrap iya
dadi karepe dhewe, iya patraping tekad, iya patraping ati, iya patraping solah
bawa.
Iya tartamtu bae ta wiwitane durung patiya terang durung
tetep ing pamanggone, lan durung patiya bener ing pamapane, nanging saya lawas
saya terang, saya manggon lan saya mapan. Wasana tansah kasandhang salawase,
sanajan karo lumaku, karo nyambutgawe lan karo turu : panganggep lan tekad mau
tansah manggon lan mapan. Samangsa-mangsa semadi, panganggep lan tekad cumawis
njurung lakuning rasa.
Lire panganggep utawa pangandel, yaiku : Patrap enggone
nganakake. Naging dudu pangira-iraning pikir, panggambar utawa pagentha-etha,
dadi mung adeping ati marang pusering batin. Apa ta lire andhep? Umapamkna :
wong madhep mengalor, iku kudu : ndeleng rurupan kang dumunung ing elor, awit
adhep mangkono mung : patrap. Uga mangkono bab wong madhep marang batin, aja
ndulu apa-apa; tegese : Nglalekna (ora merduli) sarupane kang katon lan karasa
sa-jeroning semadhi.
Sirnaning jagad saka : Lali. Liring lali : Sirna rasa
pangrasaning kawula dening katut dayaning
panganggep kanthi iktikad. Senajan panganggep kanthi iktikad mau skawit
saka : panggawening kawruh, nanging gedhening dayane kawawa narik dayaning
kawula, kongsi dayaning kawula sirna katut dayaning iktikad, kang awor dayaning
kajaten.
Sepisan engkas : Panganggep kanthi iktikad thukul dhewe
sarta mapan dhewe, dayane ngebat-ebati, sarta ing wekasan malih dadi dayaning
kajaten.
Katerangan Ringkesan (pungkasan)
Sakawit, kita mbudi marang pangerti, diarani : ngelmu.
Pirantine : pikiran lan rasa. Saka ngelmu tuwuh panganggep kanthi iktikad.
Sawise kadunungan panganggep kanthi iktikad, ngelmu wiwit ora kanggo, pikiran
karindhikake. Dadi kudu mbuwang pikiran kang akeh-akeh, sarta ngringkes karep
kang rupa-rupa (meneng) kagelengake dadi sisi, awor lan tekad.
Lakune rasa pangrasa murih ora menggak-menggok, sarana
rambatan talining urip, kang nggandeng uriping dumadi lan urip kang langgeng
(panas) iku kang minagka pandom lan rambatan. (Sampurnaning prakara iki kudu
ka-gurokake). Manawa lestari lan kukuh enggone gandhulan (ora keselanan gagasan
lan ora katuron) sirna ayang-ayangan sajeroning pangilon, kari pangilone.
Wekas-wekasane : Sirna pangilone, Kari kang ngilo.
Pribadi ing Telenging batin iku sing endi?
Teleng batin iku endi?
Ngadepake ati marang telenging batin iku kapriye ta?
Iya pitakon mangkono iku sebabe uwong nganggit layang
Jatimurti, Tasawuf, hidayatjati sapapadhane, supaya : kang takon ngrasakna
kawruh. Banjur tuwuh panggraita lan panganggepe kang saya lawas saya mapan,
awit kapriya ta wong nudhuhake Rasa nganggo Tembung? Mau mula tembung iku mung
kanggo ngarani, ora bisa nuduhake Rasa, kang diarani.
Mung tekan semene dayaning Tembung.
Oooo==== T A M A T ====ooO
SEPANJANG, 26 Januari 2014
Minggu Kliwon, 24 Mulud 1947 H.