“MADAME CURIE”
Oleh : EVE CURIE
Penterjemah : Krishna Maruli
Penerbit : N.V. Penerbitan W. Van Hoeve,
Bandung,’S-Gravenhage
Tahun : 1953.
Penyadur : Pujo Prayitno
DAFTAR - ISI
PENDAHULUAN
BAGIAN PERTAMA
Bab. I : MANIA
Bab.II : MASA MEGA MENDUNG
Bab.III : MASA GADIS PERAWAN
Bab.IV : PANGGILAN SUKMA
Bab.V : GURU-RUMAH
Bab. VI : MASA TUNGGU YANG LAMA
Bab.VII : LARI
PENDAHULUAN
Riwayat hidup Marie Curie penuh
kejayaan-kejayaan sehingga timbul keinginan hendak melukiskannya seperti
menceritakan sesuatu hikayat.
Tetapi saya tidak berhak
menambah-nambahi hikayat ini sedikit jua pun. Karena itu tak ada duraikan
sesuatu kejadian yang kepastiannya masih ragu-ragu bagi saya. Tak ada stu
kalimat yang penting saya ganti, bahkan warna bajunya pun tak ada yang saya
karang-karang. Semuanya sesungguhnya terjadi seperti saya ceritakan dan perkataan-perkataan
yang dituliskan di sini sesungguhnyalah terjadi seperti saya ceritakan dan
perkataan-perkataan yang dituliskan di sini sesungguhnyalah telah diucapkannya
juga.
Berkat keluarga saya di Polandia,
teristimewa kakak sulung ibu saya, madame Dluska, saya memperoleh surat-surat
yang penting dan hal-hal khusus yang disaksikan dengan mata sendiri semasa ibu
saya masih muda remaja. Warkat-warkat dan catatan-catatan Marie Curie,
laporan-laporan resmi yang jumlahnya tak terhingga, cerita-cerita dan surat-surat
dari sahabat-sahabat di Prancis dan Polandia, ingatan-ingatan kakak saya, Irene
Joliot Curie, begitu pula akenang-kenangan ipar saya, Frederic Joliot serta
ingatan saya sendiri merupakan bantuan bagi saya untuk menggambarkan
tahun-tahun kemudian. Perasaan terimakasih saya terhadap sahabat-sahabat saya
di Prancis dan Polandia itu adalah tak terhingga.
Dalam Kitab ini saya berikhtiar
menegaskan suatu hal yang dianatara sebanyak kejadian-kejadian dalam hidup
Marie Curie barangkali lebih ajaib dari ciptaannya sendiri sekalipun, yaitu :
ketetapan hatinya; kesucimurnaian semanagtanya yang tak dapat dikeruhkan oleh
megah atau pun rintangan hidup.
Berkat semangatnya yang luar biasa
ini segala nikmat kemegahan dapat ditolak Marie Curie dengan tidak menimbulkan
perasaan pengorbanan baginya.
Berat di rasanya memikul beban
gambaran yang selalu hendak diberikan khalayak ramai baginya; karena tetap
teguhnya pribadinya, ia tak dapat dipengaruhi apa pun jua, sehingga sampai pada
akhirnya ia tak sanggup mengambil sesuatu sikap yang biasanya bergandengan
dengan kemegahan : Ramah tamah, pura-pura manis mulut, kebengisan yang
dibuat-buat dan seolah-olah bersahaja.
Tak pernah ia pandai bertingkah
laku sebagai seorang megah.
Ketika saya lahir, ibu saya
berumur tiga puluh tujuh tahun. Sebelum saya cukup umur mengenalnya dengan
baik, ia telah seorang wanita yang berusisa lanjut dan termasyhur. Walau pun
demikian, “wanita termasyhur” itulah yang terasing bagi saya, mungkin karena
dalam semanagat Marie Curie pikiran kemeghan tak pernah dapat bersarang.
Sebaliknya, saya berperasaan seakan-akan saya senantiasa hidup di samping Marya
Sklodowski, seorang Mahasiswa yang tak mampu, tetapi yang telah penuh cita-cita
semenjak saya belum lahir.
Ketika Marie Curie meninggal
dunia, ia masih menyerupai anak gadis yang muda remaja itu. Perjalanan hidupnya
yang penuh kesulitan, gilang gemilang dan berjangka amat panjang, tak dapat
menyebabkannya ia bertambah besar atau bertambah kecil, bertambah baik atau
bertambah buruk. Pada hari akhirnya ia lemah-lembut, tegar hati, malu, penuh
perhatian untuk segala-galanya seperti semasa ia masih hidup di bawah naungan
keadaan seorang yang tak terkenal. Kepada almarhum ini tak dapat dipaksakan
suatu pemakaman mewah seperti biasanya diberikan Negara kepada warganya yang
ternama. Ia dikebumikan dengan diam-diam dan sederhana di suatu pekuburan di
luar kota, seolah-olah hidup yang baru berakhir itu tak berbeda dari ribuan
yang lain.
Moga-moga saja berkepandaian yang
cukup untuk melukiskan “Mahasiswa Baka” – seperti digambarkan Einstein dengan mengatakan : “Dari semua orang-orang ternama, Madame Curie sajalah
yang tidak dirusakkan oleh kemegahan.” – Beliau mengikuti jejak hidupnya
sendiri dengan tak dipengaruhi jamak dan hampir tak sadar akan tujuan nasibnya,
seolah-olah jalan itu kepunyaan orang lain!.
E.C.
BAGIAN PERTAMA
BAB I. MANIA
Sebagai biasa pada tiap-tiap hari
Ahad semuanya di sekitar sekolah Gymnasium di jalan Nowolipki keadaannya sunyi
senyap. Di atas temboknya tertulis dalam huruf Rusia : “Gymnasium untuk anak
laki-laki”. Gapuranya, di bawah tulisan itu, telah dikancing dan jajar tiang di
situ menimbulkan ingatan kepada suatu candi yang telah ditinggalkan. Segala
tanda hidup telah lenyap dari gedong yang panjang, rendah dan bertingkat satu
itu dengan bilik-biliknya yang terang benderang dimana berderet bangku-bangku
hitam, penuh irisan pisau lempit dan hruf-huruf permulaan nama.
Tak ada terdengar suara selain
dari lonceng gereja Santa Perawan yang mengadzankan sembabyang Vesper dan
waktu-waktu kedengaran dari jalan besar suara roda kereta atau suara ladam kuda
yang menarik sebuah doroschka dengan pelahan-lahan.
Di belakang pagar yang membatasi
pelataran sekolah itu di sebelah muka sedang berkembang empat batang bunga
“Sering” yang kurus dan berdebu; kadang-kadang pelancong-pelancong hari Ahad
menoleh ke belakang apabila mereka, ketika melewati Gymnasium itu, dihinggapi
bau kembang “Sering” yang harusm itu. Hawa telah panas, walau pun baru akhir
bulan Mei. Di Warsawa matahari dan hari dingin serupa bertingkah-tingkahnya dan
pedihnya.
Tetapi walau pun demikian ada
gangguan sunyi-senyap hari Ahad itu. Dari ujung kiri gedong itu, di mana
setinggi dasarnya berkediaman Wladyslaw Sklodowski, guru Ilmu Alam yang
merangkap jabatan pembantu Inspektur Gymnasium itu, berkumandang suara sesuatu
kegiatan gaib. Seolah-olah orang sedang memukul dengan martil dengan tak
berketentuan. Kemudian terdengapula gemuruh suaru jatuhan perancah bercampur
baur dengan tepuk sorak . dan pukulan amrtil lagi ..... Perintah-perintah pendek
dalam bahasa Polandia.
“Hai, peluruku telah habis!”
“Menara itu, Yosep – Bidikkanlah
ke arah menara itu!”
“Jangan, baiklah aku bawakan
engkau puntung-puntung kayu!”
“O-o-o-ooooo!”
Maka terdengarlah rubuhan puntung-puntung kayu
yang berjatuhan dengan gemuruh di atas lantai kayu : Tak ada lagi menara! Suara
berlipat ganda, pelbagai benda beterbangan kian ke mari di awang-awang dan
mengenai barang-barang lain.
Medan pertempuran itu adalah
sebuah bilik empat persegi yang luas, sedang jendela-jendelanya memandang ke
luar kepada pelataran dalam Gymnasium itu. Di setiap sudut kamar itu ada sebuah
tempat tidur kanak-kanak. Empat orang kanak-kanak dari umur lima sampai
sembilan tahun bermain perang di sana dengan teriak-jerit yang mengerikan.
Paman mereka, seorang penggemar damai dan permainan whist dan patience, pada
Hari Natal memberikan sebuah kotak permainan membangun kepada anak-anak.
Sklodowski itu, tetapi pasti tak ada dugaannya bagaimana kelak hadiahnya itu
akan dipergunakan mereka. Beberapa hari lamanya Yosep, Bronia, Hela dan Manaia
dengan manisnya mendirikan kota-kota, jembatan-jembatan dan gereja-gereja
dengan meniru contoh-contoh yang ada dalam kotak kayu tempat permainan itu.
Tetapi tak berapa lama berselang maka puntung-puntung dan balok-balok kayu itu
dipergunakan merekalah menurut kehendak mereka ; tiang-tiang gmerupakan
artileri dan puntung-puntung kecil dipakai sebagai peluru, sedang
arsitek-arsiteknya bertindak selaku jendral besar. Sambil bertiarap Yosep telah
mendapat kemajuan di medan pertempuran dan dengan cara teratur disorongnya
meriam-meriamnya ke depan ke arah musuh. Bagaimana pun sengitnya pertempuran
itu, wajah anak yang sehat dan pintar itu tetap berseri-seri seperti yang layak
bagi seorang panglima perang yang mengetahui kewajibannya. Dari empat serangkai
itu ialah yang tertua dan tercerdik. Lagi pun hanya ia lah orang lelaki di
antara mereka. Di sekelilingnya tak lain dari anak-anak perempuan, semuanya
berpakaian seragam yang teristimewa teruntuk hari Ahad dengan berleher lipat
dan kain celemek hitam yang disulam atas baju itu.
Tetapi sebenarnyalah : Anak-anak
perempuan itu, bagaimana pun kecilnya, berjuang dengan beraninya. Mata Hela
yang berjuang di samping Yosep, menunjukkan semangat perjuangan yang
berapi-api. Hela merasa sangat kesal karena ia baru berumur enam tahun
setengah; ia ingin melemparkan puntung-puntung kayu itu lebih jauh lagi, lebih
bergaya, dan ia cemburu melihat Bronia yang telah berumur delapan tahun. Bronia
montok perawakannya, penuh kegiatan, rambutnya putih-kuning yang bergelepar
apabila ia dengan gagap-gempita melindungi pasukan-pasukannya yang disusunnya
antara ke dua jendela dalam bilik itu.
Di pihak Bronia seorang
aide-de-camp yang amat kecil dan berpakaian celemek yang disulam, sedang sibuk
memungut mesiu dan peluru sambil berlari-lari dari batalyon yang satu ke
batalyon yang lain dengan muka merah murup dan bibir yang kering karena
banyaknya ia berteriak dan ketawa.
“Mania!!!”
Anak itu terkejut, dengan
tiba-tiba ia tak bergerak dan melepaskan kain celemeknya yang baru diisinya
penuh dengan puntung-puntung kayu. Maka berpelantinganlah sejumlah besar
puntung-puntung balok-balok ke atas lantai.
“Mengapa?”
Zosia, anak sulung keluarga
Sklodowski, amsuk ke dalam kamar itu. Meskipun ia belum berumur duabelas tahun,
di samping anak-anak yang lebih muda itu nampaknya ia lebih tua. Rambutnya
berwarna putih keabu-abuan dan disikat ke ebelakang terlepas di atas bahunya.
Parasnya cantik dan berseri-seri, sedang matanya arip dengan warna kelabuan...
“Kata Ibu kau bermain terlampau
lama. Berhentilah engkau!”
“Tapi Bronia memperlakukan aku –
aku musti mengangkut puntung-puntung kayu baginya”.
“Ibu menghendaki kau datang
sekarang.”
Setelah bergundah sebentar, Mania
memegang tangan kakaknya itu dan meninggalkan medan perjuangan itu dengan
segala kebesaran yang selayaknya.
Tak gampang berperang pada usia
lima tahun dan anak kecil yang telah letih itu dalam hatinya tak berapa
berkeberatan meninggalkan medan pertempuran itu.
Dari bilik yang di sebelah
terdengar suara berturut-turut memanggil pelbagai nama mengulit : “Mania –
Maniusia – Anciupecio .... Orang-orang Polandia menggemari benar memakai
nama-nama timangan dengan mempergunakan kata-kata yang didpendekkan. Elah
turun-temurun dalam keluarga Sklodowski dibiasakan menyebutkan “Zosia” untuk
menggantikan Sophie, nama kecil anak perempuan mereka yang tertua; “Bronia”
dipakai untuk Bronislawa, Helena dipendekkan menjadi “Hela” dan Yosep menjadi
“Yosio”. Tetapi tak seorang pun mendapat nama timangan sebanyak Marya, anak
bungsu Sklodowski. “Maniusia” adalah nama ringkasan yang biasa baginya.
“”Maniusia” nama timangannya “Anciupecio” nama tambahan yang diberikan
kepadanya sejak masih ayunannya.
“Anciupecio-ku, alangkah kusutnya
rambutmu itu. Alangkah merahnya mukamu!”
Dua buah tangan yang terlampu
pucat dan terlampau kurus menyimpulkan pita-pita kain celemek yang terlepas
tadi dan mengelus-elus rambut keritingnya yang merupakan bingkai di keliling
paras anaknya yang kelak akan menjadi seorang sarjana ternama. Dengan
berangsur-angsur anak itu pun lega dalam pengulitan ibunya.
Tak terhingga saang Mani terhadap
ibunya. Dalam perasaan Mania tak ada lagi di dunia ini orang semanis, sebaik
dan sepintar ibunya itu.
Nyonya Sklodowski adalah anak
sulung seorang tuan tanah. Bapaknya, Felix Boguski, termasuk golongan bangsawan
pemilik tanah kecil-kecilan yang banyak terdapat di Polandia. Karena terlampau
miskin untuk tinggal di atas tanahnya sendiri, ia terpaksa mengurus harta benda
keluarga-keluarga yang lebih kaya. Pe pendingin dan pemalu serkawinannya penuh
romantikL Ia mencintai gadis bangsawan yang tak mempunyai uang, tetapi
turunannya lebih tinggi, dilarikannya perawan itu dan mereka nikah, walau pun
orang tua tunangannya menentang perkawinan mereka itu. Bertahun-tahun berselang
sejak itu dan penggoda dahulu telah menjadi orang tua penuh uban, pendingin dan
pemalu sedang kekkasihnya telah merupakan seorang nenek yang cerewet.
Dari enam orang anak mereka
sesungguhnyalah nonya sklodowski yang terpintar dengan pribadi yang sangat
berimbangan. Sifat-sifat perangai bangsa Slavonia tak merusakkan budi
pekertinya; ia tidak tau bertingkah-tingkah dan sifat gelisah atau gugup adalah
asing baginya. Ia mendapat pendidikan yang utama di suatu sekolah di jalan
Treta di kota Warsawa, dan kemudian diputuskannya mencurahkan tenaganya untuk
perguruan. Mula-mula ia ditempatkan sebagai guru pada sekolah itu juga dan
akhirnya ia diangkat di sana menjadi kepala sekolah. Ketika guru Wladyslaw
Sklodowski memningnya dalam tahun 1860, ia mendapat seorang istri yang
sempurna. Benar, uangnya tak ada, tetapi turunannya baik dan ia rubiah serta
rajin. Di hadapannya terbentang suatu jabatan yang bagus. Lagipula ia pandai
main piano sebagai penggemar musik dan dengan suara jelita dan penuh rindu
dendam segala lagu-lagu romance yang digemari chalayak ramai pada masa itu
dapat dinyanyikannya.
Selain dari itu ia amat cantik
pula. “Orang” berpendapat bahwa sebenarnyalah mereka merupakan sepasang jodoh :
keluarga Sklodowski termasuk golongan bangsawan pemilik tanah kecil-kecilan
yang dihancurkan oleh bencana-bencana Polandia. Tempat asal mula turunan itu,
Sklody, adalah sekumpulan tempat-tempat pertanian yang letaknya kira-kira
seratus kilometer sebelah utara Warsawa. Beberapa keluarga yang satu sama lain
mempunyai pertalian sanak saudara dan berasal dari Skloody memakai nama
Sklodowski. Menurut kebiasaan yang banyak tersebar dahulu kala tuan tanah di
sana memperkenankan penyewa-penyewanya memakai alamatnya. Tugas jamak mereka adalah
pertanian, tetapi dalam zaman penuh kegelisahan ini harta-benda itu semuanya
berpecah-pecahan karena kemiskinan pemiliknya. Sungguh pun nenek moyangnya
turunan Wladyslaw Sklodowski adalah langsung dari dia – dalam abad ke delapan
belas masih memiliki beberapa ratus hektare tanah dan biar pun nenek moyangnya
tadi pada masa itu masih dapat hidup bermewahan; malah turunannya masih dapat
hidup selayaknya sebagai tuan tanah, tapi lain halnya dengan Yosep, bapak guru
yang masih muda remaja itu, Dengan pengharapan memperbaiki keadaan hidupnya
yang sederhana itu dan didorong keinginan menyemarakan nama yang dibanggakannya
itu, maka Sklodowski ini mencurahkan tenaga dan minatnya pada pelajaran.
Sehabis perjalanan hidup yang terombang-ambing oleh pergolakan dan peperangan,
ia diangkat menjadid direktur gymnasium untuk anak-anak lelaki di suatu kota
yang penting, yaitu Lublin. Ialah orang terpelajar yang pertama dalam
keluarganya.
Turunan-turunan Boguski dan
Sklodowski biasanya mempunyai kelamin-kelamin yang besar jumlah anaknya: yang
satu enam orang yang lain tujuh orang; di antara mereka ada petani-petani,
guru-guru sorang notaris dan seorang suster biara.. Beberapa orang dari itu
luar biasa akhlaknya : seorang abang Sklodowski, bernama Henryk Boguski,
merupakan seorang dilettan yang berkeyakinan, bahwa ia sanggup menciptakan pekerjaan-pekerjaan
budiman sekalipun penuh bahayanya. Dan Ladislaw Sklodowski, abang guru itu,
seorang bon-vivant yang tak mau tau
bersusah, berturut-turut menjadi mahasiswa di Petersburg, perwira semasa
pemberontakan Polandia; penggubah syair Provence dan ahli hukum semasa
pembuangannya ke Toulouse dan setelah kembali di tanah airnya, notaris di suatu
propinsi. Dengan tak ada hentinya ia terapung-apung antara tenggelam dan
timbul. Dalam ke dua-dua keluarga itu terdapat pribadi yang romantis di samping
pribadi yang berimbang-imbangan, begitu pula orang-orang budiman di samping
orang kelana gagah perkasa. Orang tua Marie Curie adalah termasuk golongan para
budiman.
Bapak maupun nenek Marie Curie
belajar di Niversitas di Petersburg; sehabis belajar di sana bapaknya itu
kembali ke Warsawa memberi pelajaran ilmu pasti dan ilmu alam. Ibunya mempunyai
sejarah baik sebuah sekolah teruntuk anak-anak gadis dari golongan orang
baik-baik di kota itu. Delapan tahun lamanya suami istri tinggal pada tingkat
pertama di jalan Freta. Rumah itu mempunyai tinjauan ke luar kepada suatu
pelataran dalam, di mana langkah-langkah berliit laksanan buntal-buntal dari
jendela yang satu ke jendela yang lain. Mannakala setiap pagi guru itu
meninggalkan rumahnya, di ruang pelajaran sebelah muka telah berkumandang suara
pemuda-pemuda yang menantikan pelajaran pertama.
Tetapi apabila dalam tahun 1868
Wladyslaw Sklodowski meninggalkan sekolah itu, di mana ia selama ini mengajar,
karena ia diangkat menjadi guru dan pembantu isnpektur di gymnasium di jalan
Nowolipki, maka istrinya terpaksa menyesuaikan dirinya pada suatu cara hidup
yang baru. Tak mungkin baginya mengurus rumah yang diserahkan kepada suaminya
berhubung dengan pekerjaannya yang baru itu. Jika di samping itu diteruskannya
memimpin sekolahnya sendiri. Dengan perasaan sayang ditinggalkannya sekolahnya
itu dan ia pindah dari Jalan Freta , di mana beberapa bulan sebelum itu, pada
tanggal 7 Nopember 1967 lahir Marie Curie – Mania ....
“ He, tidurkan engkau,
Anciupecio-ku?”
Mania yang duduk berjongkok di
atas ebuah dingklik dekat kaki ibunya menggelengkan kepalanya.
“Tidak Ibu .. senang aku duduk di
begini.”
Nyonya Sklodowski mengelus-elus
dahi anak bungsunya itu dengan jari-jarinya yang kurus itu. Tak ada yang lebih
senang dirasa anak itu selain dari gerak tangan yang dikenalnya itu. Sepanjang
ingatannya tak pernah ia dicium ibunya. Tak ada diketahuinya perasaan suka cita
yang lebih sedap selain dari mendekati perempuan juita ini, apabila ia dengan
termenung dan dengan tanda-tanda yang hampir tak kenyataan, suatu perkataan,
suatu senyuman, suatu pandangan manis, menimbulkan perasaan baginya bahwa
ibunya menjaga hidupnya yang muda dengan kasih sayang tak terhingga. Ia belum
menerti kekejaman apakah yang menyebabkan kebiasaan-kebiasaan ibunya itu dan
mengapa terpaksa mencari kesunyian dan kesenyatapan. Ibunya itu sakit parah.
Tanda-tanda pertama yang menunjukkan penyakit Tuberculose menjelma setelah
Mania lahir dan sejak lima tahun penyakit itu bertambah berat, walau pun
dokter-dokter menjalankan segala daya-upaya untuk mencegahnya. Tetapi perempuan
yang berani dan rubiah itu menghendaki supaya di rumahnya jangan ada yang
melhat penglihatannya itu. Senantiasa gagah, tetap berpakaian cermat, ia selalu
sibuk menjalankan kewajibannya dalam rumah tangganya. Seolah-olah ia
seorang-orang yang segar bugar. Menurut kemauannya sendiri ia menaati beberapa
peraturan yang dipegangnya teguh : ia memakai piring mangkok yang teristimewa
teruntuk dia dan anak-anaknya tak pernah diciuminya. Dari penyakitnya yang kejam
itu tak banyak kentara bagi anak-anaknya ... sewaktu-waktu batuknya mendadak
didengar merek dari biliknya, bayangan duka cita diwajah bapak mereka dan
kalimat : “Sembuhkanlah Ibu kami, ooh Tuhanku” yang sejak beberapa lama
digabungkan pada doa sembahyang malam.
Perempuan muda itu telah berdiri
dan ia menyuruh anaknya yang memegangnya itu pergi ke luar.
“Biarkanlah aku sendirian,
Maniusia .. :Ada perlu.”
“Bolehkah aku tinggal di sini?”
Bolehkan aku membaca?”
“Lebih suka ibu kalau kau pergi ke
taman kita. Lihatlah, alangkah bagusnya hari ini!”
Perasaan malu kentara pada pipi
Mania, apabila ia menyebutkan soal “membaca”; ketika pada tahun yang lampau
Bronia yang tak merasa senang, karena ia saja yang belajar Alif Bata,
memutuskan memakai adiknya itu sebagai, “kelinci percobaan” maka diajaknyalah
Mania bermain-main “Sekolah”. Beberapa minggu lamanya ke dua-dua anak itu
menyusun huruf-huruf kertas tebal berdamping-dampingan, kadang-kadang dalam
susunan yang tak karuan. Tetapi pada suatu hari Bronia diminta orang tuanya
membaca di hadapan mereka dan ia gagap dalam satu kalimat yang sangat
bersahaja. Mania tak sabar lagi dan ditarinya buku itu dari tangan Bronia.
Dengan lancar dibacanyalah kalimat pertama dari buku itu. Mula-mula ia merasa
bangga, karena sekelilingnya sunyi-senyap dalam ia meneruskan “Permainan” yang
mangasyikkan itu. Tetapi tiba-tiba ia terkejut dengan sangatnya. Dipandangnya
orang tuanya yang terperanjat, dilihatnya pula Bronia yang merajuk; dengan
gagap ia mengeluarkan perkataan yang hampir tak terdengar. Air matanya tak
tertahankannya lagi dan ia tersedu-sedu : Bukan lagi seorang anak ajaib, tetapi
seorang anak berumur empat tahun yang menangis dengan air mata bercucuran
sambil mengatakan dengan suara meratap : Tak aku perbuat lagi itu! Tak dengan
sengaja aku perbuat itu .... bukan salah ku itu!! Salah Bronia itu!! Karena
amat gampangnya itu.. !
Dengan putus asa tiba-tiba Mania
berpikir bahwa orang tuanya tak akan dapat memaafkannya karena ia belajar
membaca!.
Sejak peristiwa yang mengagumkan ini
anak itu pun semakin biasa melihat huruf-huruf besar dan tanda-tanda baca dan
kalau pun ia tak mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih menakjubkan adalah itu
disebabkan orang tuanya menjaga dengan hati-hati supaya jangan diberikan
kitab-kitab ke padanya. Sebagai pendidik-pendidik yang bijaksana mereka takut
klau-kalau anak itu menjadi dewasa terlampau lekas dan setiap kali tangannnya
hendak mengambil buku kanak-kanak yang banyak bersebaran di rumah itu, maka
terdengarlah : Lebih baik engkau main-main dengan puntungan-puntungan kayu ...
Di manakah bonekamu itu?... Nyanyikanlah dulu lagu itu !.... Atau seperti hari
ini : -- Lebih suka aku kau main-main di taman kita.
Mania menoleh ke arah pintu yang
dilaluinya tadi sebelum masuk ke dalam kamar ibunya itu. Suara puntung-puntung
yang berpelanting-guling, jerit teriakan yang menembus sekat bilik itu,
semuanya menunjukkan baginya bahwa tak akan ada temannya melancong di taman.
Juga dari sebelah dapur tak ada harapannya, karena dengung suara yang tak ada
hentinya, serta kegiatan riuh : babu-babu sedang menjalankan proses di sana,
menandakan bahwa mereka sedang sibuk memasak makanan siang.
“Baiklah, aku cari Zosia.”
“Carilah Zosia”.
“Zoisa....! Zosia....!.
Sambil berpegangan tangan dua kaka
beradik itu melintasi tempat bermain, di mana setiap hari anak-anak
berkejar-kejaran dan berlompat-lompatan; mereka melewati gedong-gedong
gymnasium itu dan tiba dalam sebuah taman besar dan agak datar yang berpintu
kayu lapuk. Rumput yang jarang tumbuhnya, pohon-pohon yang tertgun antara
dewala-dewala, semuanya menghamburkan bau tanah, bau alam.
“Zosia, apakah kita segera pergi
ke Zwola?”
“Belum lagi – nanti bulan Juli.
Kau masih ingat Zwola?”
Mania yang ingatannya luar biasa
terangnya, masih belum lupa segala-galanya: hujan lebat pada musim panas yang
lampau ketika mereka berkecimpung dalam air hujan..., boneka-boneka yang dibuat
mereka dengan diam-diam dari tanah liat sehingga baju-baju dan kain-kain
celemek mereka penuh kotoran lumpur; tepat penjemuran pakaian mereka yang hanya
mereka lah yang mengetahui letaknya papan penjemuran itu; pohon linde tua yang
kadang-kadang dipanjat oleh tujuh atau delapan orang gmenurut permufakatan
antara misan-misan dan teman-teman bermain; pernah juga diangkat mereka si
“kecil” itu ke atas pohon itu, karena tangannya masih terlampau lemah, dan
kakinya terlampau pendek, untuk memanjatnya sendiri. Dahan-dahan besar yang
dilingkungi daun-daun teduh berkerisikan. Kadang-kadang mereka pergunakan itu
untuk menyimpan buah-buahan kruisbes yang mereka kumpulkan dan bortol mentah
atau kers yang mereka petik.
Dan loteng di rumah Marki di mana
panasnya tak tertahan tempat Yosep menghafalkan daftar kali-kaliannya dan
dimana Mania pernah mereka timbuni dengan gandum. Dan Bapak Skrzypowski yang
mempergunakan cambuknya dengan berdas-das kalau ia mengemudikan kendaraannya.
Dan kuda-kuda paman Xavier!”
Dari keluarga mereka yang besar
itu selalu ada orang yang menjadi tani, sehingga anak-anak dari kota itu
senantiasa mendapat kesempatan berlibur secara meriah; di tiap-tiap propinsi
ada beberapa Sklodowski, beberapa Baguski yang mengusahakan tanah bumi Polandia
dan sekali pun rumah mereka tak berapa mewah perabotannya, tetapi tempat
penginaan untuk guru dan keluarganya pada musim panas senantiasa tersedia.
Kendatipun kemiskinan hidup mereka, tak akan pernah Mania terpaksa
menginap di tempta penumpangan umum yang
biasanya dibanjiri penduduk Warsawa. Pada musim panas anak orang cerdik pandai
ini bertukar menjadi seorang anak petani yang sehat dan kuat, atau lebih tepat
mengatakan : Ia kembali menjadi anak petani yang selaras dengan tabiat
bangsanya.
“Ayo, kita lari ... Aku mau
bertaruh bahwa aku lebih lekas tiba dalam taman itu! Panggil Zosia yang
menjalankan kewajibannya sebagai ibu dengan segala kebaktian.
“Aku tak mau berlari, aku suka kau
cerita......”
Tak seorang pun, sekalipun guru
atau istrinya, sepandai Zosia bercerita. Angan-angannya membumbui cerita-cerita
dan dongeng-dongeng dengan rupawan waarna ajaib yang serupa dengan keindahan
gubahan-gubahan oleh seorang ahli musik. Juga lakon-lakon pendek dikarangnya
dan dipertunjukkannya dengan bersemangat untuk saudara-saudarinya yang hatinya
tertawa oleh permainannya itu. Berkat kepandaiannya sebagai penulis dan
keahliannya dalam membaca, dapatlah ia seluruhnya memikat hati Mania yang
saling berganti ketawa terbahak-bahak dan gemetar sambil mendengarkan
cerita-cerita penuh angan-angan yang kadang-kadang pertaliannya susah dipahami
seorang anak kecil berumur lima tahun.
Tak berapa lama maka anak-anak itu
pun kembali ke rumah dan semakin didekati mereka ggedong gymnasium itu, semakin
perlahan-lahan berbicara anak tertua dari yang dua itu. Meskipun cerita (yang
dikarang karangnya sambil menceritakannya) belum habis, dengan
sekonyong-konyong dihentikan Zosia
ceritanya itu. Dengan tiba-tiba mendiam mereka melewati jendela anjung kanan
gymnasium itu. Di belakang jendela-jendela yang semuanya memakai kain jendela
dari renda yang serupa, sehingga seorang tuan yang didbenci dan ditakuti
keluarga Sklodowski dengan sangatnya :
Iwanow, direktur Gymnasium itu, yang merupakan wakil pemerintah Tsar di antara
dinding sekolah itu.
Pada tahun 1872 berbangsa Polandia
“Warga Rusia”, adalah berarti bernasib malang, apabila seorang Polandia
termasuk golongan intelligentzia yang bersemangat perlawanan, suatu golongan
yang did antara lapisan-lapisan lain menderita lebih banyak karena perbudakan
yang ditimpakan atas mereka.
Justru satu abad berselang sejak
raja-raja yang loba (yaitu tetangga Polandia yang telah dilemahkan dan
menakut-nakutinya), memutuskan keruntuhan negara itu. Tiga pembagian
berturut-turut telah menoreh negeri yang malang itu dalam pecahan-pecahan yang
dengan resmi menjadi daerah-daerah Jerman, Rusia dan Austria. Bangsa Polandia
telah berontak terhadap penjajahnya. Dengan sia-sia belaka : belenggu-belenggu
yang mengikat mereka hanya menjadi lebih kencang lagi. Setelah refolusi 1821
yang perkasa itu digagalkan, maka Tsar Nikolaas mengeluarkan
peraturan-peraturan hukuman yang berat untk bagian Polandia yang menjadi daerah
Rusia. Para pemuda yang setia kepada tanah air mereka, ditangkap secara
besar-besaran dan di kirim ke dalam pembbuangan. Harta benda mereka di sita....
Pada tahun 1863 daya upaua
diusahakan sekali lagi, tetapi gagal pula : kaum pemberontak hanya bersenjata
tombak, arit dan pentung dalam menghadapi bedil-bedil pasukan-pasukan Tsar.
Setelah berjuang delapan belas bulan lamanya denegan berputus asa, maka
didirikanlah di atas kubu-kubu Warsawa lima buah tiang penggantungan di mana
tergantung-gantung mayit pemimpin-pemimpin pemberontakan itu.
Sehabis peristiwa yang menyedihkan
itu, segala ikhtiar dijalankan untuk menaklukan Polandia yang tak mau dibunuh
itu. Rombongan-rombongan pemberontak yang dibelenggu diangkut ke medan-medan es
dan salju di Siberia; sebaliknya agen-agen, guru-giri dan pegawai-pegawai Rusia
membanjiri Polandia tak terkira-kira banyaknya. Tugas mereka? Mengamat-amati
bangsa Polandia, melarang buku-buku dan surat-surat kabar yang dicurigai dan
sedikit demi sedikit menghapuskan pemakaian bahasa sendiri. Dalam satu
perkataan : membunuh jiwa rakyat. Tetapi sebaliknya di pihak seberang segera
diatur dan disusun perlawanan. Pengalaman-pengalaman yang pahit memberikan
keyakinan kepada bangsa Polandia, bahwa pada masa itu tak ada sedikit pun
kemungkinan bagi mereka untuk merebut kemerdekaan kembali dengan jalan
kekerasan. Karena itu, mereka harus menunggu-nunggu dan menentang akibat-akibat
tunggu menunggu itu : Kelembikan dan putus asa.
Sekarang gperjuangan dipindahkan
ke lapangan yang lain. Pahlawan-pahlawan rakyat Polandia tak berjuang lagi
melawan kaum Kozak dengan bersenjatakan arit seperti Louis Narbutt yang ternama
itu yang ketika ia tewas menyerukan : “Alangkah berbahagianya tewas untuk tanah
air!” Pahlawan-pahlawan itu sekarang merupakan cerdik pandai, para seniman,
pendita-pendita dan guru-guru sekolah; kepada mereka lah bergantung semangat
turunan-turunan yang akan datang. Keberanian mereka terletak dalam kerelaan
mereka memaksakan diri bermuka dua, lebih baik menderita penghinaan daripada
kehilangan jabatan yang masih dibenarkan Tsar dipangku mereka dan dari mana
mereka secara tersembunyi dapat membina pemuda dan pemimpjn rakyat mereka.
Itulah sebabnya maka ditiap-tiap
sekolah di Negeri Polandia dalam selubung hormat tersembunyi permusuhan oleh
yang dialahkan terhadap golongan yang menang; karena itulah para guru yang
terusik bertentangan dengan direktur-direktur yang mengintip-intip; pihak
Sklodoski terhadap pihak Iwanow.
Iwanow, yang tinggal di jalan
Nowolipki, sangta dibenci. Kadang-kadang dengan tak merasa belas kasihan
terhadap nasib orang bawahannya (yang terpaksa memberikan pelajaran dalam
bahasa Rusia kepada anak-anak kebangsaan mereka sendiri), ia beralih dengan
sekonyong-konyong dari perkataan-perkataan manis kepada tuduhan-tuduhan
sekasar-kasarnya. Dengan rajin Iwanow (yang sangat kurang pula terpelajarnya)
mengintai dalam kerja anak-anak yang tinggal dalam sekolah itu kalau-kalau ada,
“Sifat-sifat polonisme” yang kadang-kadang
terselip dalam karangan-karangan murid-murid itu. Pergaulannya dengan
guru Sklowski amat renggangnya, setelah pada suatu hari Sklodowski, dalam
memeprtahankan seorang muridnya , dengan tenang menyerukan kepada Iwanow :
“Tuan Iwanow, kalau anak ini membuat salah, adalah itu pasti karena ia khilaf.
Tuan juga pernah, bahkan kerap kali, khilaf menulis huruf Rusia. Saya yakin
bahwa tuan, seperti juga anak ini, membuat salah itu tak dengan sengaja!”.
Tentang Iwanow itu jugalah
Sklodowski berbicara dengan istrinya dalam suara berbisik ketika Zosia dan
Mania sehabis pulang dari pelancongan mereka, masuk ke dalam kamar kerja bapak
mereka.
Nyonya Skloodowski membungkuk di
hadapan pekerjaannya, suatu pekerjaan yang berat juga. Dengan pisau belati dan
sebuah pusut ia membikin sepatu. Telah menjadi tabiatnya bahwa pada perasaannya
tak ada pekerjaan yang terlampau rendah baginya. Setelah beban kewajiban ibu
dan penyakitnya memaksanya tinggal di rumah, maka dipelajarinyalah pekerjaan
tukang sepatu dan sekarang gharga sepasang sepatu yang dibikinnya bagi anaknya
yang banyak menghabiskan sepatu itu, adalah hanya semahal harga kulit sepatu
itu.
Sepatu yang sepasang ini buta kau.
Maniusia! Lihatlah bagaimana senangnya kakimu di dalamnya!.
Mania melihat-lihat bagaimana
tangan ibunya menggunting sebuah tapak sepatu dan mempergunakan tali rami.
Bapaknya duduk dengan malasnya di kursi yang sangat disukainya. Alangkah
senangnya memnajat ke atas lututnya itu. Ah, jangan! Ia bosan mendengar
percakapan orang-orang dewasa itu! “Iwanow – polisi – Tsar pembuangan komplotan
Siberia ....” Sejak lahirnya mania telah mendengar perkataan-perkataan itu
setiap hari dan walau pun kurang terng
baginya makna perkataan-perkataan itu, diberikannya suatu arti yang menakutinya
pada ke lima kalimat itu. Oleh bisikan intuisinya ia menarik diri dan
menjauhkan saat manakala ia kelak dapat mengertinya. Sambil menguncikan dirinya
dalam impian kanak-kanak, ia berpaling
dari orang tuannya dan suara-suara yang mengaisihinya yang kadang-kadang
terganggu kalau gunting bergerak pada kult atau martil memukul paku.
Dengan angkuh ia berjalan-jalan
dalam bilik itu dan kadang-kadang ia berhenti sambil menghadapi benda-benda
yang disayanginya. Kamar kerja itu lah bilik yang sebagus-bagusnya dalam rumah
orang tuanya itu, setidak-tidaknya itu lah yang terbanyak menarik perhatian
Mania. Meja tulis besar dari kayu mahoni bermodel Perancis dan kursi bertangan
dalam bangunan Restauratie bersalut kain Pluche yang tak dapat lusuh itu,
mengagumkannya. Alangkah baiknya terpelihara perabot rumah itu! Alangkah
berkilatnya! Kelak, apabila ia telah lebih tua dan bersekolah, ia akan mendapat
tempat pada salah satuujung meja tulis yang banyak lacinya itu, di mana setiap
malam anak-anak Sklodowski datang berkumpul mengerjakan pelajaran di rumah
mereka.
Sebuah gambar besar dengan bingkai
emas-emasan yang menghias dinding, rumah itu melukiskan seorang biskop, tetapi
tak ada perhatian Mania untuk itu, walau pun menurut pendapat tersendiri dalam
keluarga Sklodowski gambar itu adalah ciptaan Titian. Ia hanya mempunyai
perhatian untuk sebuah jam besar berwarna hijau yang terletak di atas meja itu
dan untuk sebuah menja bundar yang dibawa seorang misannya pada tahun yang
lamapu dari Palermo : atasan meja itu merupakan papan catur dan tiap-tiap
persegian empat di dalamnya dibuat dari semacam jubin batu marmer.
Dengan melewati sebuah lemari kaca
yang terletak di atasnya sebuah cangkir porselin Sevre (dihiasi dengan sebuah
peripih Lodewijk XVIII, yang selalu dilarang kepda Mania mendekatinya sehingga
ia setakut-takutnya melihat cangkir itu), tibalah anak itu di depan benda-benda
yang digemarinya benar. Yan g sebuah tergantung di dinding dan merupakan sebuah
barometer yang jarum panjangnya berkilat di atas pelatnya dan dibersihkan guru
itu pada waktu-waktu tertentu dengan teliti, sedang anak-anaknya
memperhatikannya sepenuhnya; benda yang lain ialah sebuah lemari kaca dengan
beberapa papan di mana tersimpan pelbagai alat-alat yang bagus dan
mengagumkannya; saluran-saluran diperbuat dari kaca, timbangan-timbangan kecil,
contoh-contoh barang galian, bahkan sebuah electroscop dari emas.
Dulunya Sklodowski biasanya pada
waktu pelajaran membawa itu semuanya ke tampat pelajaran, tetapi sejak pihak
atasan memerintahkan menguranginya pelajaran ilmu pasti, lemari itu selalu
tinggal tertutup. Mania tak dapat mengerti untuk apakah dipergunakan
barang-barang yang indah itu semuanya. Pada suatu hari, ketika ia dengan
berjingkat melihat-lihat itu semuanya dengan mata yang tertawan oleh
keherannya, dengan sepintas lalu bapaknya menyebutkan nama barang-barang itu :
alat-alat untuk kegunaan ilmu alam. Nama yang ganjil. Tak lupa ia nama itu –
tak pernah ia lupa sesuatu apap pun jua – dan dengan girangnya diulanginya nama
itu sambil bernyanyi.
BAB. II. MASA MEGA MENDUNG
“Marya Sklodowski!”
“Saya encik!”
“Ceritakanlah serba sedikit
tentang Stanislas Augustus!”
“Stanislas Augustus dinobatkan
menjadi raja Polandia pada tahun 1764. Ia cerdik, sangat terpelajar dan sahabat
apra seniman dan para penulis. Ia menginsafi kekurangan-kekurangan yang
melemahkan kerajaannya dan ia berikhtiar mencari salah satu cara mencegah
kekacauan negara. Sayang sekali tak ada keberaniannya....”
Murid yang berdiri dalam bangkunya
dan melafalkan pelajarannya dengan suara yang tegas dan nyaring itu tak banyak
bedanya dari teman-temannya se sekolahan. Pakaian seragam kains erasi berwarna
biru muda dengan kancing baja serta leher putih yang di kanji, menyebabkan anak
yang berumur sepuluh tahun itu lebih kecil nampaknya. Tetapi di manakah kerang
rambutnya yang berkeriting, pendek, berwarna putih kuning, selalu kusut itu
yang biasanya menghiasi kepada Anciupecio? Dan rambutnya terlampau kencang
diikat dengan sebuha pita kecil, sehingga rambut keritingnya tertarik ke belakang
telinganya yang bagus potongannya itu, dan mukanya hampir kasar nampaknya.
Hela, yang duduk di bangku sebelah Mania, sekarang rambut berjalinan yang lebih
tebal menggantikan kerolnya yang panjang.
Pakaian cermat, hiasan rambut yang
rapi, itulah peraturan perguruan encik Sikorska.
Gurunya yang duduk di belakang
meja tulisnya, juga berpakaian cermat. Bajunya sutera hitam yang lehernya
diperlengkapi dengan balin, tak pernah bersifat model baru dan lagi ecik
Antonine Tupolska bukan seorang perempuan berparas cantik. Parasnya itu jelek
dan kasar. Encik Tupolska yang baisanya dinamakan “Tupoia”, adalah guru ilmu
hitung dan sejarah merangkap opseter pula : dalam jabatan inilah ia kerap kali
terpaksa bertindak secara keras taerhadap mania yang bersemangat kemerdekaan
dan bertegar hati sebagai turunan “Sklodowska”. Tetapi walau pun demikian,
dalam pandangannya terhadap Mania tersimpul dengan nyata perasaan kasih sayang.
Ia bangga karena keutamaan muridnya yang berumur dua tahun lebih muda dari
teman-teman sekelasnya dan tak pernah ia susah belajar, bahkan senantiasa ia
nomor wahid dalam pelajaran-pelajaran berhitung, sejarah, kesustraan, Bahasa
Jerman, Prancis dan Katekismus.
Dalam kelas itu sunyi-senyap,
bahkan ada lagi yang melebihi kesenyapan itu. Pelajaran sejarah selalu
menimbulkan suasana kerajinan yang bersemangat. Mata dua puluh dua orang anak
gadis yang seolah-olah dibakar api cinta tanah air, dan paras kasar Tupoia
menggambarkan semangat yang bergelora. Apabila Mania sambil membicarakan raja
yang telah lama wafat itu menerangkan dengan suara merdu : sayangsekali tak ada
keberaniannya, maka adalah diucapkannya itu dengan suatu gairah yang ajaib.
Guru yang tak berparas cantik itu
dan anak-anak gadis penuh khidmat mendengarkan pelajaran sejarah Polandia dalam
bahasa Polandia seakan-akan bersekutu dalam suatu komplotan.
Dengan sekonyong-konyong mereka
semuanya terkejut seolah-olah sesungguhnyalah mereka bersekutu dalam suatu
komplotan; dalam serambi muka terdengar dengan perlahan-lahan suara lonceng
listrik.
Tanda ini segera meninggalkan
kesibukan luar biasa, walau pun dalam pada itu, segala-galanya dilakukan dengan
tenang. Tupoia berdiri dengan cepat dan mengumpulkan selekas-lekasnya segala
bukunya yang tersebar di sana-sini. Tangan-tanagn gesit mengambil buku-buku
tulis dan kitab-kitab pelajaran dalam bahasa Polandia dari meja-meja tlis dan
menghimpunkannya dalam kain celemek lima orang murid yang dengan cepat
menghilang ke bilik tidur anak-anak yang tinggal di sana. Beberapa kursi di
geser, meja tulis di buka dan di tutup kembali dengan perlahan-lahan. Murid
yang lima orang itu dengan bersesak nafas duduk kembali pada tempatnya
masing-masing. Maka dibukalah pintu sebelah gang bilik itu ....
Di muka pintu berdiri, berpakaian
seragam yang bagus guntingannya dan ukurannya sesak sempit, celana kuning, baju
pendek berwarna biru dengan kancing berkilat : Inspektur sekolah-sekolah
partikelir dalam kota Warsawa : Tuan hornberg. Badannya tegap dan rambutnya
dipangkas menurut potongan Jerman. Mukanya gemuk, matanya tajam dan kaca
matanya bergagang emas. Dengan tak mengatakan sesuatu apa, inspektur itu
memandang murid-murid dalam kelas itu. Di sisinya kepala sekolah itu, encik
Sikorska, juga memandang anak-anak gadis itu, pada lahirnya dengan tenang
tetapi apda batinnya penuh ketakutan yang disembunyikan! Hari ini tak banyak
waktu berlebihan .... segera sesudah jaga pintu sekolah itu memberikan tanda
seperti telah dimafakatkan, maka Hornberg telah mendahului encik yang
mengiringnya, naik ke atas dan masuk ke dalam kelas. Apakah semuanya telah
ddibereskan?
Semuanya telah beres. Dua puluh
lima orang anak gadis smembungkuk di atas pekerjaan mereka mempergunakan bidal
jari-jari sambil sibuk membuat rumah kancing dengan rapi dalam
potongan-potongan kain bertiras .... Gunting-gunting dan gelendong-gelendong
benang besebaran sana-sini di atas meja tulis yang telah dikosongkan. Tupoia
dengan muka merah dan pembuluh darahnya melembung, sengaja mengembangkan sebuah
kitab tulisan huruf Rusia di atas meja tulisnya.
“Anak-anak gadis ini setiap minggu
mendapat pelajaran menjahit selama dua jam, tuan Inspektur!” kata kepala
sekolah itu dengan tenang dalam bahasa Rusia. Hornberg mendekati guru Topia.
“Tadi encik membaca dengan
bersuara. Buku apakah itu?”
“Cerita-cerita Krylow. Baru hari
ini kami mulai.”
Tupoia menjawab dengan segala
ketenangan. Lambat laun warna pipinya telh kembali seperti biasa. Dengan suatu
gerak tangan yang pura-pura tak disengaja, Hornberg mengangkat tutup meja tulis
yang terdekat letaknya. Tak ada sesuatu apa. Tak ada buku tulis, kitab pun tak
ada.
Setelah memilin benang dengan
teliti dan mencucukkan jarum masing-masing ke dalam kain tirasnya, maka
murid-murid itu menghentikan pekerjaan mereka. Dengan tak bergerak mereka duduk
dengan tangan bersedakap, semuanya serupa dalam pakaian hitam berleher putih.
Sekonyong-konyong paras anak gadis yang dua puluh lima orang itu seolah-olah
lebih tua nampaknya. Air muka mereka tan menunjukkannsuatu apa, tetapi di
belakangnya tersembunyi ketakutan berbaur dengan kelicikan dan dendam.
Hornberg menerima kursi yang
disuguhkan encik Tupolska kepadanya dan ia pun duduk dengan malasnya.
“Panggillah salah seorang dari
anak-anak gadis itu ke sini!”.
“Di barisan ke tiga dengan
sendirinya Mania berpaling muka ke arah jendela. Ddalam hatinya ia mendoa : “Oh
Tuhanku, izinkanlah jangan aku dipanggilnya. Jangan aku ..... jangan aku!”.
Tetapi ia tau juga, baha ia lah
yang akan dipanggil. Ia tahu bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
inspektur kerajaan, ialah yang selalu ditunjuk gurunya, karena ia lah yang
terpintar dan ia pandai bicara bahasa Rusia dengan lancar.
Apabila didengarnya namanya di
panggil, maka ia pun berdiri. Perasaannya seolah-olah ia menjadi panas, bukan,
seolah-olah ia menjadi dingin. Perasaan malu yang haiban mencekik lehernya.
“Mendoalah engkau, diperintahkan
Hornberg dengan muka malas dan kesal.
Dengan suara merata Mania
mengucapkan doa “Bapa kami”, dengan tak ada khilafnya. Salah satu dari
penghinaan yang dirancang oleh Tsar ialah memaksa anak-anak bangsa Polandia
setiap hari mengucapkan doa katolik dalam bahasa Rusia. Dengan cara demikian
disuruhnya dengan kedok menghormatinya anak-anak itu merendahkan agama mereka
sendiri.
Kembali sunyi.
“raja-raja Tsar manakah sejak
Catharina II memerintah Rusia kita yang suci itu?”
Catharina II, Paul I, Alexander I,
Nikolas I, Alexander II.
Inspektur itu senang hatinya.
Ingatan anak ini kuat benar. Dan sebutan-sebutan perkataannya! Tak ada bedanya
seolah-olah ia lahir di Sint Petersburg.
“Sebutkana nama-nama dan
gelaran-gelaran anggota-anggota keluarga kerajaan.
“Seri Baginda Ratu Tsarina, Seri
Baginda Raja Tsarewitch Alexander, Seri Paduka Mangkubumi..........
Setelah Mania selesai
menyebutkannya semuanya, maka Hornberg tersenyum. Sungguh bagus ini! Tuan itu
tak melihat atau tak mau melihat bagaimana Mania dengan gugup dan muka tak
berseri berikhtiar menyembunyikan perasaannya hendak berontak.
“Di antara pemangku-pemangku
jabatan, gelaran manakah dipakai untu Tsar?”
“Wielczestwo.”
“Dan bagaimanakah gelran saya?”
“Wysokorodie.”
Inspektur itu suka benar
menanyakan hal ikhwal remehan tentang tingkat-tingkat kederajatan semacam itu
yang dianggapnya lebih penting dari mengeja atau berhitung. Semata-mata untuk
kesenangannya sendiri ia bertanya lagi :
“Siapakah yang memerintah kita?”
Untuk menyembunyikan amta mereka
yang berapi-api itu, kepala sekolah dan gurunya merenung melihat buku-buku di
hadapan mereka. Karena jawabnya kurang cepat datangnya, maka Hornberg
mengulangi pertanyaan itu dengan suara bengis sambil menggertak.
“Siapakah yang memerintah kita?”
“Seri Baginda Raja Alexander II,
Tsar segala rakyat Rusia, jawab Mania dengan lesu dan muka pucat.
Pemeriksaan telah selesai. Pegawai
itu bangun dari kursinya dan setelah memberi salam secara ringkas, maka ia pun
pergi ke kelas yang lain. Diiringi oleh ecik Sikorska.
Maka Tupoia mengangkat kepalanya.
“Datanglah sini, jantung hatiku!”
Mania keluar dari bangkunya dan
pergi menuju gurunya yang dengan tak berkata apa-apa menciuminya di dahinya.
Maka, sedang kelasnya seolah-olah hidup kembali, air matanya pun bercucuran
dengan bersedu-sedu memberikan kelegaan baginya.
Tadi Inspektur datang! --- Tadi
Inspektur datang!.
Dengan gelisah anak-anak sekolah
itu menceritakan berita ini kepada ibu mereka yang menjemput mereka dari
sekolah dan menunggu di muka gedong sekolah itu. Murid-murid yang berpakaian
panas dan orang-orang dewasa yang kelihatannya gemuk karena pakaian musim
dingin, beserak dengan cepat di kaki lima yang diliputi oleh salju pertama
dalam tahun itu. Mereka berbicara dengan berbisik; tiap orang yang melancong di
sana atau tiap-tiap orang yang mengembara atau pun berdiri melihat-lihat di
muka kaca toko-toko, mungkin merupakan mata-mata polisi yang menyamar.
Kepada bibi Michlowska – bibi
Lucia – yang datang menjemput kakak-beradik itu, diberikan Hela laporan yang
bersemangat tentang kejadian hari itu.
“Hornberg memajukan
pertanyaan-pertanyaan tadi kepada Mania .... dan mania menjawabnya dengan baik
sekali ... sesudah itu ia menangis .. Rupa-rupanya Isnpektur itu tak ada
memberikan celaan apa-apa di kelas mana pun.
Hela, pengobrol itu, bercerita
dengan berbisik. Mania berjalan di samping bibinya dengan tak mengatakan
sesuatu apa. Walau pun telah beberapa jam beselang sejak pertanyaan-pertanyaan
itu dimajukan ke padanya, ia masih merasa gugup. Ia tk menyuai
kegelisahan-kegelisahan yang timbul dengan mendadak itu; ia membenci
pertunjukan penghinaan yang selalu memaksanya berdusta-dusta.
Karena perkunjungan Hornberg ini
kesedihan-kesedihan dalam hidup Mania bertambah berat lagi dirasanya. Adakah
lagi baginya ingatan masa kecilnya sebagai orang yang tak mengetahui kesusahan?
Bencana yang berturut-turut datangnya menimpa rumah Sklodowski itu sehingga
keempat tahun belakangan bagi Mania merupakan suatu masa impian dalam gelap
gulita.
Mula-mula ibunya berangkat ke Nice
dengan Zosia. Kepada Mania dikatakan bahwa manakala ibunya kembali dari
perawatannya di sana, ia akan segar bugar kembali seperti sedia kala. Akan
tetapi setelah aak itu bertemu lagi dengan ibunya sehabis perpisahan salam satu
tahun, hampir tak dikenalnya alagi ibunya yang telah merupakan seorang
perempuan tua karena dirundung nasib malang.
Dalam musim rontok tahun 1873
mereka kembali dari liburan. Ketika Sklodowski pada permulaan tahun pelajaran
yang baru datang kembali dengan keluarganya di Jalan Nowolipki untuk mengulangi
menunaikan kewajibannya, maka didapatnyalah sepucuk surat resmi di atas meja
tulisnya: Atas perintah yang berwajib pembayaran gajinya dihentikan, rumahnya
dicabut dari dia dan begitu pula gelarannya sebagai pembantu Inspektur. Ia telah
menjadi seorang-orang yang dikeluarkan dari masyarakat.
Secara kejam direktur sekolah itu
telah membalas dendamnya terhadp seorang bawahan yang kurang takluk kepadanya.
Ia lah yang menang. Setelah beberapa kali berpindah-pindah, maka keluarga
Sklodowski memasuki sebuah rumah di simpang Jalan Nowolipki dan Carmelita.
Dengan tak kentara kehidupan
mereka telah mengalami perubahan berhubung dengan kesukaran dalam kauangan
mereka. Mula-mula guru itu mengambil dua tiga orang murid yang membayar makan
di rumahnya, kemudian lima, delapan, bahkan sampai sepuluh orang. Kepada
anak-anak yang dipilihnya iu dari bekas muridnya, diberikannya pemondokan,
makanan dan pelajaran-pelajaran istimewa. Rumah itu menjadi korat-karit seperti
rumah penginapan umum dam ketulusan dalam hidup keluarga telah hilang lenyap.
Tindakan-tindakan ini terpaksa
diambilnya bukan saja karena penghasilan Sklodowski berkurang atau berhubung
dengan pengorbanan-pengorbanan yang harus didberikannya untuk membayar
perawatan istrinya di Riviera.
Terseret-seret oleh seorang
iparnya dalam suatu spekulasi berahaya, Sklodowski, yang biasanya selalu
berhati-hati, kehilangan dalam waktu yang singkat tiga puluh ribu rubel yang
merupakan uang simpanannya. Diusik oleh perasaan menyesal dan takut akan hari kemudian,
ia berputus asa sejak itu dan didorong oleh iman hati yang terlampau
memberatinya, ia selalu menuduh dirinya bahwa ia memiskinkan keluarganya dan
menghilangkan mas kawin untuk anak-anaknya.
Tetapi dalam Bulan Januari 1876,
tepat dua tahun yang lampau, barulah Mania secara kejam mengethaui bencana yang
sebenarnya.
Seorang anak yang bayar makan di
sana, dihinggapi penyakit demam kepialu dan penyakit itu menular kepada Bronia
dan Zosia. Alangkah sengsaranya masa itu! Dalam bilik yang satunya ibunya tak berdaya
menahan-nahan batuknya bangkit dan dalam bilik yang lain dua orang anak gadis
mengerang menggigil karena padana demamnya. Pada suatu hari Rabu datanglah
dengan mata bengkak karena tangisnya bapak mereka menjemput Yosep, Hela dan
Mania serta membawa mereka ke tampat kakak mereka yang tertua, Zosia,
berpakaian putih, dengan tangan berkatup dalam sebuah keranda dengan muka tak
berdarah yang seolah-olah mengandung senyuman. Alangkah cantiknya ia, sekalipun
rambutnya telah digunting pendek sekali.
Buat Mania itu aalah pertama
kalinya ia berdekatan dengan malakalmaut. Itulah penguburan yang pertama
kalinya dihadirinya dengan berpakaian hitam sedang Bronia yang mulai sembuh itu
duduk tersedu-sedu dalam tempat tidurnya dan ibunya yang terlampau lemah untuk
pergi ke luar rumah menyeret-nyeret badannya dari jendela yang satu ke jendela
yang lain agar, dengan pandangannya dapat diikutinya sejauh mungkin kereta
mayit anaknya yang dengan perlahan-lahan menju melalui jalan Carmelita.
“Kita ambil jalan memutar,” nak!
Saya mau beli apel sebelum datang hari dingin pertama.
Bibi Lucia, yang pintar yang baik
budi itu, melangkah dengan cepat sambil mengiring keponakan-keponakannya ke
arah taman Saksia yang pada hari petang di bulan Nopember itu sunyi senyap
nampaknya. Tiap-tiap kesempatan dipergunakannya untuk membawa anak-anak itu
keluar mengambil hawa yang sehat, jauh dari rumah yang selalu tertutup, di mana
ibu mereka menjadi layu karena batuk keringnya. Asal jangan mereka juga
dihinggapi penyakit itu! Hela nampaknya sehat benar tetapi Mania pucat dan
murung.
Setelah mereka melalui taman
Saksia itu, maka bibi dan keponakan-keponakannya menuju bagian lama kota
Warsawa, tempat lahir Mania. Di sini jalan-lajan lebih bagus daripada di bagian
baru kota itu. Di bawah atap-atapnya yang besar, berwarna putih dan miring,
rumah-rumah di medan Stare Miasto bertembok ab-abuan warnanya karena tuanya,
dihiasi dengan ukir-ukiran yang tak terhitung banyaknya. Pigura-pigura orang
keramat, birai-birai merupakan mahkota , dan gambar-gambar binatang yang
dipakai sebagai papan alamat rumah makan dan toko-toko.
Suara lonceng-lonceng dengan
pelbagai bunyi-bunyian kedengaaran bersilang-siur di udara yang sedang
mendingin itu. Gereja-gereja di sana mengingatkan Mania pada masa mudanya. Ia
mendapat permandian suci dalam Gereja Santa Maria; komuninya yang pertama
dibuatnya dalam gereja Dominikana pada suatu hari yang tak dapat dilupakannya,
ketika ia dan misannya Henriette bersumpah tak kan mengenai hosti itu dengan
gigi mereka. Dalam gereja Santo paulus kerap kali anak-anak gadis itu datang
mendengarkan khutbah hari Minggu yang diucapkan dalam bahasa Jerman. Juga
amedan Nowe Miasto tak asing bagi Mania. Di sini keluarga Sklodowski berdiam
setahun lamanya, ketika mereka masih baru tamat dari gymnasium. Seasa itu
tiap-tiap pagi anak ini ergi ke gereja Ibu suci yang menaranya ajauh meningkat
di atas sungai yang mengalir di sana.
Bibi menandakan mereka msuk ke
dalam tempat sebhayang itu. Setelah Mania melalui pintu Gothik yang sempit dan
melangkah beberapa jauh dalam silam hari, maka Mania berlutut dengan gemetar.
Alangkah sedihnya datang kemari dengan tak ikut Zosia yang telah meninggal
dunia itu dan dengan tak hadirnya ibunya yang rupa-rupanya tak mendapat
perlindungan lagi dari Tuhan.
Mania dmenunjukan doanya kepada
Tuhan yang dipercayainya. Ia mendoakan dengan segenap hatinya dan dengan putus
asa untuk ibunya yang disayanginya lebih dari segala-galanya di dunia ini.
Sebagai tukarnya ditawarkannya
hidupnya sendiril guna melepaskan ibunya dari bahaya maut ia bersedia
mengorbankan jiwanya sendiri.
Sehabis embahyang mereka keluar
dari gereja itu dan menurun ke tepi sungai dengan melalui sebuah tangga yang
tak rata. Air kuning sungai Weichsel mengalir mengelilingi beting-beting yang
di tengah-tenegahnya merupakan pulau-pulau dan berkelocak ke pinggir kali itu
yang penuh tempat berenang yang terapung-apung dan tempat pencucian.
Tamabangan-tambangan yang panjang dan berwarna abu-abuan yang di musim pana
dipergunakan rombongan-rombongan bersuka ria untuk bermain-main di air;
sekarang kosong dan tinggal. Segala yang merupakan hidup dekat sungai itu,
terhimpun sekeliling perahu-perahu penjual buah appel. Ada dua buah perahu
semacam itu di sana. Dua perahu besar, sempit dan lancip terbenam dalam air
hampir sampai kepada bibirnya. Pemilik perahu itu juga berpakaian kulit domba,
menyingkapkan merang buat mengunjukkan
barang perniagaannya. Buah-buah appel yang merah, keras dan berkilat itu
merupakan muatan yang indah di bawah lapisan merang sebagai pelindungnya
terhadap dingin es. Ratusan, bahkan ribuan buah appel bertimbun dalam perahu.
Buah-buahan itu didatangkan dari sebuah udik sungai Weichsel, yaitu Kazmierz,
sebuah kota yang indah; beberapa hari berselang sebelum buah-buahan itu tiba di
sini.
“Aku memilihnya, buah appel kita!”
Memanggil Hela sambil di tanggalkannya sarung tangannya dan tas sekolahnya di
letakkan di sampingnya. Mania pun dengan segera mengikutinya. Tak ada yang
dapat menghiburkan anak-anak gadis itu sebaik pekerjaan ini, karena setiap
bahagiannya diketahui dan disukai mereka. Buah appel itu dipungut satu persatu,
dibolak-balik dan sesudah itu dilemparkan dalam sebuah keranjang rantingan.
Kalau terdpat di antaranya busuk, maka dibuanglah itu dengan melengkung ke dalm
air dan dilihat bagaimana buah yang merah bundar itu terbenam. Apabila
keranjang itu telah penuh, maka mereka naik ke darat dengan appel yang
sebagus-bagusnya dalam tangan mereka. Appel itu dingin dan bergeretak di antara
gigi, tetapi enak mengeratnya sampai habis, sedang bibi Lucia membicarakan
harganya dan mengunjuk salah seorang dari anak-anak yang berkeliaran di sana
untuk menyandang persediaan buah yang berharga itu ke rumah.
Jam lima. Setelah habis minum teh,
babu-babu membersihkan meja besar dan memasang lampu minyak tanah yang tergantung
dalam kamar itu.. Inilah saat belajar. Anak-anak yang bayar makan di sana,
tinggal dalam kamar mereka berdua atau bertiga. Anank-anak guru itu berkumpul
semuanya dalam kamar makan yang didjadikan kamar kerja. Buku-buku tulis dan
kitab mereka dibuka dan segera terdengarlah dari segala sudut suara bergumam
komat-kamit yang sama bunyinya dan bertahun-tahun lamanya suara semacam itu
yang menjadi suara utama dalam rumah itu.
Yang seorang tak dapat menghafal
syair-syair bahasa Latin, kalau suaranya tak terdengar; yagn seorang lagi tak
dapat menghafal bilangan-bilangan tahun atau pelajaran-pelajarannya. Jika tak
diperdengarkan suaranya. Di setiap sudut tempat bekerja rohani itu ada yang
mengeluh sambil belajar bersungguh-sungguh. Semuanya susah sulit pula! Beberapa
kali guru itu terpaksa menghiburkan hati seorang muridnya, jika anak itu
berputus asa, apabila ia, walau pun ia mengerti benar apa yang diterangkan
kepadanya dalam bahasa Polandia, tak dapat memahaminya, apalagi mengulanginya
dalam bahasa Rusia, bahasa resmi itu, sekali pun ia berikhtiar bersungguh
–sungguh mengerti dan mengulanginya!
Mania tak pernah mengalami
kesulitan-kesulitan semacam itu. Ingatannya luar biasa sehingga, apa bila ia
dengan tak ada sifat melafalkan sebuah syair yang hanya dua akali dibacanya,
teman-teman sekolahnya menuduhnya bahwa Mania memperolok-olok mereka dengan
jalan terlebih dahulu menghafal pantun itu dengan tersembunyi. Jauh lebih dulu
dari yang lain-lain Mania siap mempelajari pelajarannya dan kerap kali ia
membantu seorang temannya yang berkeluh kesah, biar pun aar ada pekerjaannya
maupun didorong oleh perasaan persahabatan yang jamak baginya.
Tetapi lebih suka seperti pada
malam ini, duduk di meja besar membaca buku dengan sikunya di atas meja,
tangannya menumpu kepalanya dan ibu jarinya menutupi telinganya sebagai
perlindungan terhadap Hela yang tak dapat menghafal pelajarannya dengan tak
berteriak. Penangkal itu sebenarnya tak perlu : karena sibuknya membaca bukunya
itu dengan sekejap mata saja Mania tak mengetahui lagi apa yang terjadi di sekelilingnya.
Kurnia kesangupannya mencurahkan
seluruh perhatiannya dalam suatu hal, inilah sifat yang luar biasa pada Mania
yang selainnya adalah merupakan anak yang biasa dan sehat; tetapi sifat Mania
ini sangat menggelikan kakak dan teman-temannya. Tak terhitung berapa kali
sudah Bronia dan Hela bersama-sama dengan murid-murid yang bayar makan di rumah
mereka mengaduh seribut-ributnya sambil mendekati adik mereka itu, tetapi tak
sedikitpun mereka berhasil mengganggunya, sehingga sekejap mata pun Mania tak
menoleh dari bukunya. Hari ini mereka berikhtiar merekakan cara yang lebih
tepat dan Henriette Michlowski, anak bibi Lucia mengajak mereka berbuat
nakal.Dengan menjingkat mereka mendekati Mania dan mendirikan semacam perancah
di sekitar Mania yang sedikit pun tak bergerak. Di sisinya kiri-kanan dua buah
kursi, di belakangnya sebuah lagi, di atasnya dua buah pula dan sebuah lagi di
puncaknya merupakan mahkota usaha mereka. Sesudah itu mereka menyelimpat dengan
diam-diam dan pura-pura mereka belajar sambil menunggu-nunggu. Lama mereka
menunggu-nunggu itu; anak yang asyik membaca itu tak melihat apa pun jua. Tak
didengarny berbisik-bisik, maupun tertawa yang ditahan-tahan, maupun
bayangan-bayangan kursi di atas kepalanya tak dilihatnya. Ada setengah jam ia
duduk dalam keadaan semacam itu dengan tak mengetahui tentang limasan yang
ujung-ujungngya di belakangnya. Sehabisnya ia membaca satu bab, maka
ditutupnyalah bukunya dan ia menganggkat
kepalanya. Dengan suara gemuruh segala-galanya runtuh. Kursi-kursi
berpelantingan di lantai. Hela meraung-raung kegirangan. Bronia dan henriette
berjaga-jaga kaerna takut akan pembalasan dendam. Tetapi Mania sedikit pun tak
mengacuhkannya. Tak dapat ia marah atau girang karena jenaka yang mengejutkannya.
Matanya yang abu-abuan warnanya itu memandang secara linglung-engak sebagai
seorang melindur berjalan yang dibangunkan dengan kejam dari impiannya.
Dihapusnya bahunya yang agak keras dikenai kursi tadi, diambilnya bukunya dan
ia pergi dengan buku itu ke bilik yang di sebelah. Ketika ia melampaui
“orang-orang besar” itu ia hanya mengucapkan dua perkataan : “Gelo’ni!”
Itulah suatu pernyatan tenang yang
sekali-kali tak disukai “orang-orang besar itu”.
Saat-saat syor semacam itu yang seolah-olah menelannya, itulah
yang mengingatkan rawanan hari Mania semasa mudanya. Maka dibacanyalah saling
berganti buku-buku sekolah, syair-syair, cerita-ceirta perwira dan kitab-kitab
lapangan tehnik yang dipinjamnya dari perpustakaan bapaknya. Dengan cara
demikianlah ia buat beberapa waktu menghalau pikiran-pikiran muram yang
mengejar-ngejarnya seperti hantu. Lupalah ia mata-mata Eusia,
perkunjungan-perkunjungan Hornberg, tak diingatnya lagi muka lesu bapaknya yang
lemas lurus dalam pekerjaannya yang tak memberikan penghasilan yang cukup
baginya dan dilupakannyalah juga kegaduhan yang menetap dalam rumahnya itu.
Begitu pula ia tak menghiraukan kewajibannya bangun pagi-pagi, apabila ia,
sedang masih setengah tidur, terpaksa meninggalkan bangku tidurnya beralas kain
pluche yang kasurnya selalu meluncur; karena kamar tidur anak-anak Sklowdowski
itu jualah dipergunakan sebagai kamar makan, di mana pagi-pagi murid-murid yang
bayar makan bersarapan.
Dilupakanyalah hal-hal yang
menuktinya : takut akan penyiksaan oleh pihak penindas, takut akan agama dan
takut akan penyakit dan mati. Bisikan sukamanya menyebebkan ia berikhtiar
melarikan diri dari suasana yang terlalu memberatinya.
Tetapi hanya sebentar sajalah ia
dapat melepaskan diri dari genggaman ketakutan itu. Serta ia kembali kenyataan,
lalu dengan sekonyong-konyong segala-galanya telah meulih pula; terlebih-lebih
kekuatirannya berkenaan dengan kesehtan ibunya. Si sakit yang dulunya cantik
molek itu, sekarang hanya merupakan bayangan saja lagi. Dan sekali pun semua
orang menghiburkan dan membesarkan hatinya. Mania merasa bahwa pengabdiannya
dan doanya itu semuanya tak dapat lagi mengelakkan kejadian yang telah mendekat
itu.
Juga si sakit sendiri memikirkan
saat yang mengandung bencana itu. Di dorong prasaan yang menjadi tabiat
baginya, ia ingin bersiap untuk yang akan datang dan ia tak suka perjalanan
rumah tangganya murat-marit karena itu. Pada tanggal sembilan bulan Mei 1878,
atas permintaannya sendiri dokternya digantikan oleh seorang pendita. Hanya
paderi itulah yang dapat mengetahui serba sedikit tentang penderitaan perempuan
ini; tentang kesedihn hatinya karena ia terpaksa menyerahkan pemeliharaan
anak-anaknya yang empat orang itu kepada suaminya yang dicintainya itu,
tenetang ingatannya kepada pikiran-pikiran yang mengusiknya berhubung dengan
hari kemudian anak-anaknya yang masih muda remaja dan sekarang harus
ditinggalkannya;ntentang Maniusia yang baru saja berumur sepuluh tahun...
Kepada keluarganya hanya
diunjukkannya muka yang sentosa yang pada saat-saat akhirnya mendapat kemurnian
yang menakjubkan. Ia meninggal seperti dikehendakinya sendiri : dengan tak
meracau, dengan tak ada belarakan. Suaminya, anak-anaknya semuanya berjaga di
samping tempat tempat tidurnya dalam sebuah bilik yang rapi dan teratur. Dan
matanya yang besar dan merawan hati itu dimana maut telah berselubung,
berpaling saling berganti kepada lima orang yang mukanya bergerising,
seolah-olah perempuan yang menghadapi ajalnya itu meminta ampun karena ialah
menjadi sebab-musabab duka-cita sebanyak itu.
Masih cukkup kekuatannya meminta
diri dari seorang demi seorang. Lambat-laun kelemahannya mengalahkannya
berangsur-angsur. Bara api yang terakhir dalam hidupnya memberikan kesempatan
lagi baginya menggerakkan tangannya, mengucapkan suatu perkataan, memberikan
Tandasalib – dengan sangat gemetaran – guna memberikan berahnya untuk segenap
keluarganya; dan perkataan terakhir dibisikkannya dengan hela nafasnya yang
penghabisan sambil ia memandang suami dan anak-anaknya : “Kekasihku!”
Dengan berpakaian perkabungan
untuk ke dua kalinya Mania menjalani rumahnya dengan perasaan sedih. Belum
dapat ia menyesuaikan dirinya kepada keadaan yang baru itu, yaitu Bronia tidur
sekarang dalam kamar yang dahulu di tempati ibunya; hanya ia dan Hela lagi yang
tidur di atas bangku beralas kain pluche itu. Saben pagi datang seorang suster,
yang dipanggil bapaknya dengan tergopoh-gopoh, memberikan perintah kepada
babu-babu, mengatur makanan orang-orang yang bayar makan di sana dan sambil
lalu menongak anak-anak itu berpakaian. Sklowski memberikan segala waktu yang
tak dibutuhinya untuk pekerjaannya, kepada anak-anaknya. Tetapi ia hanyapat
memberikan pemeliharaan seorang lelaki yang canggung.
Di masa kecilnya Mania telah
mengenal kekejaman hidup. Kekejaman untuk bangsa-bangsa, kekejaman untuk seorang
manusisa.
Zosia telah meninggal, ia telah
kehilangan ibu. Dalam kehilangan kasih sayang ibunya itu dan dalam kehilangan
perlindungan seorang gkakak, Mania yang pantang mengeluh itu, bertambah besar
dalam keadaan seolah-olah ia ditinggalkan.
Hatinya besar tetapi ia tak
tawakal. Apabila ia berlutut di Gereja Rum-Katholik yang dahulu di kunjunginya
dengan ibunya, ia merasa suatu perlawanan yang tak tertentu dalam hatinya. Tak
lagi dengan cinta kasih seperti sedia kala ia menyebutkan nama Tuhan yang
menimpakan bencana atas dirinya, yang menhancurkan kegembiraan, impian dan
kasih sayang di sekitarnya, padahal ia tak mengetahui apakah kesalahannya.
BAB. III. MASA GADIS PERAWAN
Dalam sejarah tiap-tiap keluarga
ada masa perkembang biak. Berdasarkan sebab musabab yang tak dikenal, dapatlah
suatu keluarga berkat tenaganya yang berlebih-lebihan, kemurniannya dan
kebahagiannya, dibedakan dari turunan-turunan yang mendahuluinya ata yang
menggantikannya.
Masa itu tiba juga bagi keluarga
Sklowski yang telah banyak berkorban kepada nasib sengsara. Ketika Zosia
meninggal dunia,ia seolah diambil jadi seorang sandera di antara lima orang
anak-anak yang bersemangat dan cerdik pandai. Dalam empat orang yang lain itu
(yang lahir dari seorang ibu berpenyakit tering dan seorang bapak cerdik pandai
yang membanting tulang), terkandung kesakitan yang tak dapat dikatakan, Meraka
mematahkan segala tantangan, menyingkirkan segala yang menghalang-halangi agar
dapat dicapai tujuan mereka dan keempat-empatnya mereka akan menjadi
orang-orang yang pelik.
Begitulah mereka dudu sekeliling
meja sarapan pada suatu hari bercuaca dalam musim semi 1882.
Hela : Besar dan molek; dalam umur
enambelas tahun ia merupakan lambang “kecantikan” dalam keluarganya. Bronia :
paras muda remaja, kulit halus dan rambut emas-emasan, Yosep anak sulung,
berpakaian mahasiswa, berawak tegap.
Mania....? Sebenarnya Mania
nampaknya amat sehat, bahkan ia bertambah gemuk dan pinggangnya dalam pakaian
yang sempit potongannya itu jauh dari ramping. Karena ia anak bungsu, pada masa
ini ialah yang terkurang juitanya. Tetepai seperti juga kaka-kakaknya, mukanya
berseri-seri dan memikat hati, sedang matanya bercahaya, rambutnya putih kuning
dan kulitnya halus sebagai yang lazim bagi wanita bangsa Polandia.
Hanya anak-anak yang termuda masih
berpakaian seragam; Hela warna biru, murid yang rajin pada perguruan
Sikorska; Mania berwarna merah tua, umur
empat belas tahun dan terpinta di sekolah gymnasium kerajaan. Di Gymnasium juga
lah Bronia menamatkan pelajarannya pada tahun yang lampau dan ketika itu ia
mendapat bintang emas yang menyemarakan namanya pula.
Bronia bukanlah seorang anak
sekolah lagi, melainkan seroang perawan muda. Ia lah yang mengendalikan rumah
tangga meraka menggantikan suster yang pekerjaanya semuanya tak memuaskan. Ia
lah yang memegang buku rumah tangga dan ia juga yang menjaga orang-orang yang
bayar makan di sana – yang bayar makan senantiasa ada, hanya muka dan namanya
yang bertukar-tukar; menurut kebiasaan kaum wanita yang telah dewasa rambut
Bronia disanggulnya dan bajunya yang panjangnya sampai ke tanah memakai
tournuire dan punca serta berkancing yang tak terhitung banyaknya. Yosep juga
dianugerahi bitang emas seperti Bronia, ketika ia tamat dari Gymnasium untuk
anak laki-laki. Adik-adiknya iri hati, tetapi juga bangga kerana Yosep
mengunjungi kliah-kuliah fakultas kedokteran. Alangkah baiknya nasib anak itu!.
Di dorong keinginan hendak belajar
juba, anakanak Sklodowski yang tiga lagi telah terlebih dahulu mengutuki
peraturan-peraturan Unipersitet kota warsawa yang tak boleh dikunjungi kaum
wanita. Tetapi dengan gembira mereka mendengarkan cerita-cerita abang mereka
tentang “Universitet Tsar”, di mana orang-orang bangsa Rusia yang himmahnya
tinggi dan orang-orang bangsa Polandia yang ditindas memberikan kuliah-kuliah
yang tak berapa tinggi mutunya.
Sambil mengobrol mereka meneruskan
sarapannya. Roti, mentega, kepala susu, selai, semuanya menghilang seolah-olah
disebabkan sesuatu mukjizat...
“Yosep, malam ini kami belajar
berdansa dan kami menghndaki engkau mengawal kami, “ Kata Hela.
“Apakah kau pikir, Bronia, masih
dapat aku pakai bajuku itu, kalau telah diseterika dengan baik-baik?”
“Tak ada bajumu yang lain, karena
itu terpaksa juga kaupakai itu.” Jawab Bronia aberfilsafat.
“Lewat jam tiga nanti kita
bereskan itu, kalau kau telah pulang ke rumah.”
“Baju kalian amat bagusnya!” kata
Mania dengan tegas.
“Ah, tak ada pengertianmu tentang
itu. Kau masih terlampau kecil untuk itu.”
Kumpulan anak-anak itu bubar dan
Bronia membersihkan meja makan, Yosep pergi ke luar dengan buku-bukunya, Hela
dan Mania berlari-lari ke dapur sambil bertolak-tolakan.
“Roti saya!” Serdelki saya ... Di
mana mentega?”
Walau pun telah makan dengan
secukupnya, mereka masih memikirkan perut mereka! Pekrbekalan makan di sekolah,
seketika mengaso pada jam sebelas, ditaruh mereka dalam kertas pembungkus :
roti, beberapa potong sosis yang dibumbui secara Polandia yang terkenal itu,
Serdelki, sebuah Appael....
Mania menutup tempat perbekalannya
dan menyandang sebuah tas sekolah di bahunya.
“Lekaslah!” nanti tak dapat kau
menepati janjimu!” kata Hela dengan berolok-olok dan ia bersiap juga untuk
berangkat.
“Ah... tidak. Baru setengah
sembilan. Sampai nanti sore!”
Di tangga rumah dijumpainya dua
orang anak-anak yang bayar makan di sana. Mereka pun pergi ke sekolah
Gymnasium, tetapi mereka tak tergesa-gesa.
Sekolah Gymnasium, asrama
sekolah-sekolah lain ...., masa-masa muda remaja Mania penuh perkatan-perkataan
semacam itu. Sklodowski mengajar di Gymnasium, Bronia baru tamat Gymnasium,
Mania sekarang masuk ke sekolah itu,Yosep di Universitas. Hela di sekolah
Sikorska ... Bahkan rumah mereka itu pun merupakan sekolah! Dalam pandangan Mania seluruh dunia ini adalah satu
perguruan besar dengan tak ada lain dari guru-guru dan murid-murid di
sekelilingnya, yang hanya diperintah oleh satu cita-cita ; BELAJAR!”
Sejak mereka pindah dari Jalan
Carmelita yang muram di jalan Leschen, mereka tak berapa lagi terganggu oleh
anak-anak yang bayar makan di sana. Di jalan Leschen rumah mereka itu bagus
sekali; bangunan temboknya yang bersemangat dengan langkan-langkan yang
ditumbuhi oleh tanaman menjajar. Dan karena luasnya tingakt pertama rumah itu,
dapatlah dipergunakan oleh keluarga Sklodowski empat bilik dari tingkat
pertama, terpisah dari anak-anak, yang bayar makan di sana.
Dengan membawa tasnya, di
belakangnya, Mania tergopoh-gopoh pergi ke rumah keluarga Zamoyski yang
dinamakan “Istana Biru”. Gapura rumah itu disingkirkannya melaluinya dan dari
samping ia masuk pelataran dalam yang dijaga oleh sebuah singa gangsa. Tiba-tiba
ia berhenti dengan kecewa : tempa itu kosong.
Terdengar lah suara memanggilnya
dengan ramahnya :
“Janganlah kau pergi lagi,
Maniusia .... Kazia datang segera.
“Oh, terima kasih Nyonya...
Selamat pagi Nyonya!”
Dari salah satu jendela sebelah
bawahan nyonya Przyborowski, istri pengurus perpustakaan keluarga Zamoyski,
yang berambut kehitaman yang ditarik dengan kencang menjadi dandan permakotaan,
memandang dengan perasaan kasih sayang kepada anak gadis berpipi montok dan
berpandangan berseri-seri itu yang sejak dua tahun menjadi sahabat karib
anaknya.
“Datanglah nanti soere minum teh
di sini. Saya masak Pacski nanti untuk kalian dan saya sediakan es coklat yang
kau sukai itu!”
“Tentu kau datang!”, panggil Kazia
yang datang lari-lari dari tangga dan memegang tangana temannya itu.”
“Marilah kita buru-buru, Mania,
sudah terlambat kita...”
“Ya, hampir aku balikkan cincin
singa itu!.”
Setiap hari Mania datang menjemput
Kazia yang menunggunya di muka pintu rumah mereka. Jika tak ada dilihatnya
orang di tempat yang ditentukan itu, maka diangkatnyalah cincin yang berat dan
tersimpan dalam cungur singa itu., lalu di letakkannya di atas hidung singa itu
serta melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Jika Kazia melihat cincin itu, maka
ia mengerti bahwa Mania telah melewati tempat itu dan bahwa ia harus
bergopoh-gopoh kalau ia mau menyusulnya....
Kazia ini sangat baik hatinya. Ia
lincah, matanya nyalang dan riang, orang tuanya warga biasa yan g
memanjakannya. Tetapi Mania juga dimanjakan dan diperlakukan mereka sebagai anak
kandung mereka sendiri; mereka beikhtiar, agar Mania dapat melupakan bahwa ia
tak beribu lagi. Tetapi dari pelbagai hal-hal kecil dalam rupa anak-anak gadis
yang berpakaian merah tua itu dapat diterka dengan gampang bahwa yang seorang
mendapat pemeliharaan ibunya yang setiap pagi menghiasi rambutnya dengan
cermat, sedang yang seorang lagi, yang baru berumur empatbelas tahun
setengah,berangkat besar dalam rumah di mana seorang pun tak mengacuhkannya.
Dengan bergandeng-tangan anak-anak
gadis itu melalu jalan Zabia yang sempit itu. Sejak petang kemarin mereka tak
berjumpa lagi dan banyak lah yang hendak mereka bicarakan satu sama lain!”
Percakapan mereka hampir melulu mengenai soal gymnasium di sbeelah kota Krakow.
Pindah dari sekolah Sikorska yang
semata-mata bersifat polandia dan menjadi murid sekolah resmi di mana semangat
kerusiaan yang diutamakan, adalah merupakan suatu peralihan besar, Perubahan
itu adalah perlu, karena hanya sekolah-sekolah gymnasium kerajaan yang
dibenarkan memberikan ijazah yang syah, tetapi Mania dan Kazia membalas dendam
mereka dengan mengucapkan pelbagai perkataan berisi kebencian terhadap para
guru dari Ruisa, sambil tak melupakan guru bangsa Jerman, mending, yang bosen
mereka melihatnya dan terlebih-lebih terhadap encik Mayer yang dibenci mereka
berhubung dengan sindiran-sindirannya sebagai opseter Sekolah itu.
“Mayer” yang kecil perawakannya,
rambutnya merah tua dengan penuh minyak rambut dan bercenela yang tak
bergerisik untuk keperluan mengintip-intip, adalah musuh istimewa bagi Mania.
Segala-galanya didpersalahkannya Mania : tabiat tegar dan senyuman yang
menghinakan apabila Mania—menurut Mayer – mendengarkan celaan-celaannya yang
melukai hati Mania itu.
“Saya larang kau memandang saya
secara demikian....” dengan merendah, pernah Mayer berkata dengan menggagap
kemarahan.
“Tai tak aku dapat berbuat lain!” jawab Mania dengan lancang,
karena lebih tinggi perawakannya dari anak-anak yang lain itu.
Dari hari ke hari perang terus
menerus antara encik yang malis dan murid yang terlampau meredeka itu.
Penempuhan yang sehebat-hebatnya meletup pada tahun yang lampau : Encik Mayer
mendapati Mania dan Kazia – ketika ia dengan tak disangka-sangka masuk ke dalam
keas pelajaran -- bertndak-tandak di
antara bangku-bangku karena kegirangan dengan pembunuhan atas Tsar Alexande II
yang kematiannya menenggelamkan kerajaannya ke dalam kencah perkabungan.
Salah satu akibat tersedih oleh
penindasan politik adalah kekejaman yang ditimbulkannya antara yang ditindas.
Mania dan Kazia penuh perasaan dendam, yang tak dapat dirasai oleh orang-orang
yang hidup dalam kemerdekaan. Meskipun mereka sendiri lemah-lembut tabiatnya
dan mereka bersifat kesatria, mereka menganut kesusilaan tersendiri – yait
kesusilaan bangsa Slavia –-- yang meluhurkan dendam menjadi suatu kebajikan dan
menyamakan ketaatan dengan tak ada keberanian.
Sebaliknya kebaktian mereka
terhadap yang disayanginya, diberikan anak-anak gadis itu dengan perngorbanan
secara lebih bersemangat. Mereka memuja-muja guru ilmu pasti mereka yang masih
mudan dan gagah itu dan begitu pula guru ilmu alam, ke dua-duanya bangasa
Polandia dan karena itu teman seperjuangan mereka . Bahkan terhadap beberapa
orang Rusia mereka sangat sangsi-sangsi dalam perasaan mereka, umpamanya.
Mikieszin yang untuk menganugerahi seorang murid, dengan diam-diam memberikan
sebuah kitab syair oleh Nekrassoww, seorang pengarang syair yang berhauan
fefolusioner! Murid-murid itu heran melihat bagaimana kadang-kadang tanda-tanda
persetujuan datang dari pihak musuh sendiri. Tidaklah semuanya orang di negeri
Rusia yang suci itu, termasuk rakyat yang setia kepada Tsar-nya.
Dalam kelas Mania duduk
berdampingan murid-murid bangsa Polandia, Yahudi, Rusia dan Jermanl tak pernah
ada percederaan yang sungguh-sungguh antara mereka. Karena mereka semuanya
masih muda dan mengerjakan pekerjaan yang serupa, maka segala perbedaan
kebangsaan dan agama terhapus. Apabila mereka kelihatan sedan sibuk
bertolong-tolongan waktu bekerja atau bermain-main seketika mengaso, mungkin
timbul sangkaan bahwa di antara mereka ada persatuan yang bulat.
Tetapi segera sesudah mereka
meninggalkan sekolah, mereka masing-masing memiliki kembali bahasa sendiri,
cinta tanah air sendiri, agama sendiri.
Lebih angkuh dari yang lain-lain,
karena mereaka merasa di buru, maka anak-anak gadis bangsa Polandia itu
memilih jalan mereka dendiri dengan
berkumpul-kumpul menjumpai satu sama lain pada waktu minum teh dimana tak
dibenarkan mengundang bangsa Rusia atau Jerman.
Perasaan tak s! Segala-galanya
mereka pandang salah, mulai dari perasaan kasih sayang terhadap orang asing
sampai kepada suka cita yang tak disengaja dalam mendengarkan
pelajaran-pelajatan dari mulut orang-orang yang menindas mereka dan suka cita
yang dirasai mereka seketika menerima pendidikan “Resmi” ini, yang pada hakikatnya mereka harus benci.
Di musim panas yang lampau Mania
menulis dengan perasaan malu suatu pengakuan kepada Kazia, yang terharu
membacanya.
“Tahukan engkau, Kazia, kendati
segala-galanya, saya menyayangi gymnasium kita. Mungkin kau akan menertawakan
aku, tetapi walau pun demikian, aku katakan bahwa aku menyayanginya benar. Baru
sekaranglah aku insafi itu. Janganlah kau pikir kau rindu kepadanya!”
Bukan, sekali-kali tidak! Tetapi
memikirkan bahwa tak berapa lama lagi aku akan pergi kembali ke sana tak berapa
menyedihkan perasaanku lagi dan dua tahun yang aku perlu lagi mengunjunginya,
tak berapa berat lagi rasanya, tak berapa pedih dan tak berapa lama seperti
pendugaanku semula>”
Selain dari taman Lazienki, dimana
mereka biasanya duduk-duduk waktu mengaso, hanya taman Saksia-lah yang disukai
Mania. Setelah mereka melalui pagar besinya, maka Mania dan Kazia mengikuti
suatu jalan yang berpohon-pohon di tepinya sampai ke istana itu. Mereka
amelewati jajar tiang yang indah dalam istana Saksia itu dan menyeberang sebuah
medan yang luas. Tiba-tiba Mania menjerit :
Kita telah leat patung itu.
Marilah kita kembali dengan segera!.
Dengan tak membantah Kazia
berpaling.
Kesalahan yang dilakukan ke dua
orang anak kecil itu bagi mereka merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni.
Di tengah-tengah medan Saksia (Sekarang medan Filsudski), itu ada sebuah tugu
peringatan yang dikelilingi empat buah singa dengan tulisan “Ditahbiskan kepada
orang-orang bangsa polandia yan tetap setia kepada Raja mereka.”
Tanda peringatan oleh Tsar
terhadap penghianatan-penghianatan yang menjadi teman sekutu penindas itu
menjemukan pecinta-pecinta tanah air yang setia; telah dibiasakan mereka
meludah setiap kali melewati tanda “Penghormatan” itu. Apabila oleh akrena
kelaian dilupakan itu maka haruslah orang itu kembali memperbaiki kesalahannya
itu. Setelah menunaikan kewajiban mereka, maka Mania dan Kazia meneruskan
percakapan mereka.
“Nanti malam orang berdansa di
rumah, kata Mania. Datanglah melihatnya.”
“Ya. Oh, maniusia, kapankah kita
juga boleh berdansa?” Kan kita telah pandai benar berdansa Wals, mengeluh Kazia
yang tak sabar lagi.
Kapan? Manakala anak-anak gadis
yang masih bersekolah itu telah “diterima” oleh “Dunia”. Sebelum itu mereka
hanya dibolehkan memahirkannya antara dan dengan sesama mereka sendiri dan dari
seorang ahli ballet Gymnasium itu mereka mendapat pelajaran berdansa Lanciers,
Polka, mazurka dan oberek. Juga duduk mereka bersama-sama menonton pelajaran
berdansa yang setiap minggu diberikan di rumah Sklodowski dimana berkumpul anggota-anggota
muda dari keluarga-keluarga kenalan guru itu.
Sebelum tiba dimana mereka
mendapat undangan dari para pemuda, mereka harus tinggal berbulan-bulan lagi di
gymnasium yang gedongnya sekarang telah mereka dekati. Teman-teman mereka telah
masuk ke dalam. Di sana berjalan Wulf, kecil, mata biru dan Ania Rottert,
seorang anak bangsa Jerman, hidung pesek, terpintar nomor dua di kelas Mania;
datang pula Leonie Kunicka.
Tetapi mengapakah Kunicka? Matanya
bengkak karena menangis dan baju Leonie yang biasanya berpakaian cermat, hari
ini seolah-olah tak diperdulikannya.
Mania dan Kazia tak ketawa lagi,
mereka tergopoh-gopoh mendatangi sahabt mereka itu.
“Ada apa? Mengapakah engkau,
Kunicka?”
Muka Kunicka yang halus itu tak
berdarah lagi. Dengan susah payah ia mengeluarkan perkataannya.
“Abangku ..... turut dalam
komplotan ... ia dituntut .... sejaka tiga hari kami tak tahu ia di mana ...
Dengan tersedu-sedu disambungnya pula “Besok ia digantung>’
Anak-anak gadis itu dengan
terkejut berkerumun mendekati Kunicka, hendak memajukan pertanyaan-pertanyaan
ke padanya dalam keinginan menghiburkannya. Tetapi dengan suara bengis encik
Mayer memerintahkan dengan pendek : “Ayo, cukuplah mengobrol itu. Lekas!”
Mania karena terperanjatnya tak
dapat mengeluarkan perkataan sesuatu apa pun dan perlahan-lahan ia pergi ke
tempatnya. Beberapa kejap berselang mereka masih bermimpikan musik dan pesta
dansa. Sekarang sambil mendengarkan dengungan kalimat-kalimat pertama dalam
pelajaran ilmu bumi yang tak diikhtiarkannya juga mengertinya, Mania melihat
muka pemuda yang bersemangat dan terhukum itu – penggantungan. Algojo dan tali
penggantungan....
Malam itu enam orang anak berumur
limabelas tahun tak pergi belajar berdansa, tetapi mereka berjaga di kamar yang
sempit di rumah Leonie Kunicka. Mania, Hela, Bronia datang bersama-sama dengan
Kazia dan kakaknya Ula berjaga sampai parak siang. Bersama-sama mereka
mengucapkan kemarahan hati mereka dengan air mata bercucuran. Dengan penuh
kebaktian dan kasih-sayang mereka amengurus anak gadis yang untung malang itu, mereka
menjaram kelopak matanya yang bengkak itu dan mendesaknya minum teh panas.
Waktu berselang sangat lambat, tetapi juga sangat cepat bagi anak-anak gadis,
yang empat orang di antaranya masih berpakaian sekolah seragam.
Ketika fajar menyingsing dan sat
akhir tiba, maka anak-anak gadis itu berlutut dan mendoa dengan berbisik sambil
menutup mukanya dengan tangannya.
Satu bintang emas, dua bintang
emas, tiga bintang emas. Bintang ke tiga teruntuk Mania dan merupakan penutup
pelajarannya di sekolah pada tanggal 12 Juni 1883.
Dalam hari terik panas diumumkan
nama-nama mereka yang mendapat hadiah dan pujian, pidato-pidato diucapkan yang
disambut dengan tepuk sorak. Sesudah itu para guru mengucapkan selamat. Dengan
sekumpul bunga mawar tertusuk dibaju pestanya yang menurut kebiasaan warnanya
serba hitam. Mania meminta diri, bersumpah kepada teman-temannya akan menulis
surat setiap minggu dan ia meninggalkan gymnasium di Krakow itu untuk
selama-lamanya dengan hadiah-hadiahnya berupa buku-buku Rusia yang terus terang
disebutkannya “mengerikan” (apakah lagi bahayanya pada hari terakhir di
sekolah?) sambil bergandengan tangan dengan bapaknya yang bangga karena hasil
hasil yang dicapai Sklodowaki muda itu.
Mania telah kerja keras – dan
belajar baik sekali. Sklodowski memutuskan supaya anaknya itu, sebelum ia
memilih sesuatu jabatan, mengaso setahun di luar kota.
Cuti setahun lamanya! Mungkin
orang menyangka bahwa anak yang luarbiasa pintarnya itu dihinggapi oleh
semangat yang datang terlampau cepat yang menyebabkan Mania mempelajari
buku-buku ilmu pengetahuan secara tersembunyi. Tetapi bukanlah begitu
keadaannya .... dalam masa peralihan dari jaman kanak-kanak ke jaman
perawanmanakala tubuhnya mengalami perubahan-perubahan, air mukanya bertambah halus,
dengan tiba-tiba Mania menjadi kelesa. Buku-bukunya tak diperdulikannya dan
untuk pertama kalinya ... tetapi juga untuk penghabisan kalinya --- ia mengecap
nikmat hidup bermalas-malasan.
“Tak ada akau memikirkan adanya
semacam ilmu ukur dan aljabar” ditulisnya kepada Zakia. “Telah lupa aku itu
semuanya” Jauh dari Warsawa dan gymnasium ia menginap di rumah sanak saudaranya
di luar kota berbulan-bulan lamanya dan sebagai tukarnya diberikannya
pelajaran-pelajaran yang tak tertentu bagi anak-anak mereka atau pun dibayarnya
uang pemondokan yang tak besar jumlahnya. Di sanalah ia menyerah diri kepada
nikmat hidup.
Alangkah senangnya hidupnya di
sana! Alangkah riangnya dan mudahnya dengan tiba-tiba jauh lebih muda daripada
masa mendung disebabkan pancaroba ketika ia masih kanak-kanak! Di antara salah
satu darmawisata dan waktu mengaso, hampiir tak didapatnya kekuatan mengambil
pena dan menggambarkan nikmat kenyamanan itu dalam surat-surat yang dimulainya
dengan : “Setanku!”
Mania kepada Kazia :
“Selaind ari memberikan pelajaran
bahasa Perancis selama satu jam kepada seorang anak kecil, aku tak lakukan
apa-apa, sedikitpun tidak – bahkan pekerjaan menyulam yang telah ku mulai tak
kuteruskan lagi .... Sedikitpun tak aku atur pekerjaanku sehari-hari.
Kadang-kadang aku bangun jam sepuluh dan kadang-kadang jam empat atau lima
(pagi-pagi bukan petang). Tak ada ku baca buku-buku yang bersifat berat, hanya
cerita-cerita cinta yang lucu dan tak karuan. Karena itu dalam perasaanku, aku
seorang yang sangat bodoh, walau pun ijazahku memberikan aku derajat dan
kedudukan seorang terpelajar. Kadang-kadang aku tertawa dalam diriku sendiri
dan aku sangat puas memikirkan kebodohanku yang sebulat-bulatnya itu!
Kami berjalan-jalan di hutan dalam
beberapa rombongan, kami bermain-main simpai dan bola tangkis (sedikit pun aku
tak pandai main ini!), kami bermain kucing dan tikus dan permainan kanak-kanak
yang lain. Karena banyaknya arbai di sini, dengan lima grozy dapat dibeli satu
porsi bedar, artinya, sepiring dalam penuh dan ditambah lagi dengan semangkuk
penuh di atasnya. Sayang, sekarang tak musimnya lagi, apabila saya pulang
nanti, sehingga rakus saya tak terhingga.
Kerap kali kami berayun-ayun, amat
derasnya dan amat tingginya, kami mandi, kami menangkap udang.... Setiap hari
Minggu kuda di pasang dan kami pergi ke
misa. Sesudah itu kami pergi mengunjungi rumah paderi. Kedua-duanya
paderi itu di sana amat cerdik dan jenaka dan kami sangat bergirang di rumah
itu.
Beberapa hari kami menginap di
Zwola. Di sana ada seorang pelakon, bernama Kotarbinski, yang menghiburkan
kami. Banyak lag-lagu yang dinyanyikannya dan pantun-pantun dibacanya, banyak
kami berjenaka dan banyak kami dipetiknya buah bes; karena itu pada hari
perpisahan kami menganyam baginya, sebuah karangan bunga mawar beserta kembang
lain dan seketika kendaraan kami melewatinya, kami lemparkan karangan bunga itu
ke padanya sambil menyerukan : “Hiduplah Tuan Kotarbinski!” Dengan segera
diletakkannya bunga itu di atas kepalanya dan rupanya sesudah itu dibawanya
karangan bunga itu dalam kopornya sampai ke Warsawa! Alangkah senangnya waktu
di Zwola itu! Orang selalu banyak di sana dan suasana kebebasan, persamaan dan
kemerdekaan yang tak dapat disangka-sangka .. Sewaktu kami dalam perjalanan
pulang. Loncet selalu menyalak-nyalak sehingga kami putus asa....
Loncet mempunyai peranan yang
penting dalam kehidupan keluarga Sklodowski. Sekira diajar dengan baik,
dapatlah diajar pointer itu selaku anjing pemburu yang pintar. Tetapi Mania,
kakaknya yang dua orang lagi dan Yosep telah memberikannya pendidikan yang tak
baik. Diugung, dipeluk-peluk dan disuap dengan makanan-makanan enal. Lacet
menjadi seekor binatang yang megerajai keluarga Sklodowski. Perabot rumah
dirusaknya, jambangan-jambangan kembang ditumbangkannya, makanan yang bukan teruntuk
dia dihabiskannya, dan tamu-tamu dilompatinya sebagai mengelu-elukannya tetapi
dicobak-cabiknya topi-topi atau sarung-sarung yang mereka tinggalkan dalam gang
rumah itu.Begitulah banyaknya kebajikan-kebajikan yang dipelajarinya oleh kasih
sayang pengasuh-pengasuhnya yang setiba musim panas berebut-rebutan siapa yang
mendapat kehormatan membawa “Maharaja” itu selama masa cuti.
Dalam setahun bermalas-malas itu,
seketika nampakna seolah-olah hasrat rohani Mania tertidur, anak gadis itu
diresapi oleh suatu nafsu yang akan terus menetap salam hidupnya padanya :
Cinta terhadap alam. Apabila ia, sekali ini di propinsi ini dan lain kali di
propinsi sana memperhatikan silih bergantinya musim tahun, senantiasa lah
dijumpainya keindahan-keindahan baru dalam negeri Polandia di mana sanak
saudaranya hidup berserak-serak.
Nyaman benar perbumian Zwola
dimana tak ada yang mengalang-alangi pemadangan selain dari kaki langit yang di
sini nampaknya lebih jauh letaknya dari ditempat-tempat lain di dunia ini.
Di Zswieryzyce dekat rumah paman
Xavier ada sebidang tanah rumput dan pemiaraan kuda yang lengkap dengan
limapuluh ekor kuda turunan baik. Dengan berpakaian celana pinjaman dari
misan-misannya yang tak berapa bagus guntingannya, Mania belajar naik kuda.
Tetapi tak terhingga
kegembiraannya seketika ia buat pertama kalinya melihat pegunungan Karphaten.
Puncak-puncak gunung yang diselimuti salju, daru-daru tgap yang menghitam
mengagumkan dan memanterai anak yang datang dari tanah datar itu! Tak
dilupakannya lagi betapa ia melancong-lancong di pegunungan itu sepanjang
jalanan kecil dengan permadani tanaman bes berwarna biru, gubug-gubu g orang
gunung di mana setiap benda mengunjukkan keahlian si pembuatnya dalam ukiran
kayu; dan di atas ekali, amat tingginya dan terdesak sebagai sebuah cebol di
antara puncak-puncak gunung itu; sebuah danau kecil yang airnya jernih dan
dingin serta biru warnanya serbiru mata, sehingga danu itu disebutkan “Mata
Laut”.
Di sekitarnya itulah, dekat
perbatasan Galicia, Mania menginap pada musim dingin di rumah pamannya,
Zdzislaw, notaris di Skalbmierz. Tuan rumah itu seorang periang, istrinya amat
cantik dan anak-anak perempuannya hanya memikirkan suka ria. Masakan Mania tak
meraa betah di sana? Tiap-tiap minggu kedatangan seorang tamu atau akan tibanya
saat sesuatu pesta, merupakan suatu tanda kegaduhan. Orang tua mereka mengurus
daging dari perburuan, anak-anak gadis itu memasak juadah atau menjahit ==
dengan tergopoh-gopoh dalam kamar mereka == pita untuk pakaian berpancawarna
yang akan dipergunakan untuk samaran pada kulig yang akan datang.
Kulig..... Dapatkah itu disamakan
dengan pesta dansa biasa? Tidak, sekali-kali tidak! Kulis itu adalah campuran
kegembiraan karnaval dengan perjalanan yang mengagumkan dan memanteraikan.
Dengan melalui padang salju, berangkatlah pada suatu malam Mania beserta
misan-misannya dalam samaran sebagai petani petani dari Krakau dengan dua buah
pengeretan dan diselimuti dengan selimut-selimut yang tebal.
Anak-anak muda berkuda dan
berpakaian petani yang amat indahnya mengiringi mereka dengan membawa
obor-obor. Di antara pohon-pohon cemara berkilap-kilapan obor-obor yang lain
dan malam yang dingin itu penuh musik; telah dekat pengeretan dengan empat
orang pemain musik bangsa Yahudi dari sebuah kampung; selama dua hari dua malam
mereka dengan biolanya melagukan wals, krakowiak dan mazurka yang akhirnya
dinyanyikan oleh para hadirin bersama-sama. Orang-orang yahudi itu main terus
sampai tiga, lima, sepuluh pengeretan yang lain yang mendengar
nyanyian-nyanyian itu datang mendekatinya. Kendati segala bantingan dan
lereng-lereng curam yang diliputi es serta memeningkan kepala itu, tak pernah
pemain musik itu salah not dan dengan perasaan seorang yang menang perang di
antarkanlah rentengan dengan malaman ii kepada tempat mengaso yang pertama.
Maka melompatlah serombongan
pemuda dengan gemuruh dari pengeretan-pengeretan itu, pintu rumah orang
diketok, penghuninya pura-pura heran ... beber apa kejap sesudah itu
pemain-pemain musik itu diangkat ke atas sebuah meja dan pesta dansa pun dimulailah
dalam kelap kelipan obor dan suluh, sedang minuman yang telah disediakan
terlebih dahulu, dikeluarkan dari bufet. Sesudah itu diberikanlah suatu tanda
mengosongkan rumah itu. Semuanya hilang : orang-oarng yang bertopeng, penghuni
rumah, makanan, kuda, pengeratan segal agalnya! Orang-orang berdansa sekarang
telah bertambah banyak; dengan melalui hutan mereka pergi ke rumah yangg lain
dan dari sana ke rumah yang lain pula dan begitu seterusnya : Ada-ada saja
rombongan baru yang ikut naik pengeretan. Matahari etrbit dan mata hari
terbenam. Pemain biola hampir tak dapat mengaso dan tidur sebentar dalam sebuah
lumbung di sini-sana bersama-sama dengan para pedansa yang telah letih lesu.
Tetapi walau pun demikian, apabila pada malam ke dua rentengan pengeretan itu
dengan ramai dan gemuruh gemerincing serta letupan cemeti berhenti di muka
rumah yang terbesar di daerah itu dimana pesta dansa “yang sebenarnya” akan
dirayakan, maka orang-orang Yahudi itu telah memulai krakowiak yang pertama
dengan suatu fortissimo yang mendengungkan kemenangan, sedang orang-orang lain
memilih tempat untuk dansa gambaran. Maka datanglah seorang pemuda, berpakaian
rami putih yang disulam, dengan tergopoh-gopoh menjemput pedansa wanita yang
terpintar : Seorang anak gadis, tegap, berumur enambelas tahun, bernama Mania
yang dalam pakaian pestanya berupakan baju beludru berlengan bullet dari kain
rami dan pita-pita panjang dalam segala warna yang dibuat dari mayang dan
berkibaran di dandanan kepalanya itu merupakan seorang anak gadis dari
pegunungan.
Mania menceritakan kegembiraannya
kepada Kazia sebagai berikut :
“Aku turut dalam satu kulig....
Tak dapat aku menggambarkannya bagaimana lucu dan meriahnya itu, terlebih-lebih
kalau pakaian-pakaiannya bagus dan pemuda-pemudanya perlente dandanannya.
Pakaian saya amat bagus. Sehabis kulig pertama sya meghadiri kulig ke dua yang
amat meriah juga. Banyak pemuda gagah dari Krakau ayng pandai benar bedansa!
Pengawal-pengawal sebaik itu jarang didapati! Jam delapan pagi kami berdansa
penghabisan kali ..... mazurka.....”
Kenikmatan-kenikmatan ini akan
memuncak lagi. Sekembalinya Mania dalam bulan Juli 1884, datanglah seorang
nyonya mengunjungi Sklodowski di rumahnya di Warsawa. Nyonya itu ialah Gravin
de Fleury, seorang bangsa Polandia bekas murid nyonya Sklodowski yang kawin
dengan seorang bangsa Perancis. Karena anak-anak guru itu belum mempunyai
rancangan untuk waktu liburan mereka, maka diundangnyalah anak-anak yang dua
itu menginap di rumahnya di luar kota.
“Ini terjadi pada suatu hari
Minggu” ditulis Mania kepada Kazia, “Dan malam Selasa kami berangkat, Hela dan
saya, kami menerima kawat, bahwa di stasiun kami akan dijemput dengan sebuah
kendaraan. Sekrang kami telah berminggu-minggu di kempa dan seharusnya saya
menceritakan kepada engkau bagaimana hidup kami di sini – tetapi akrena tak ada
keberanian kami di sini penuh kenikmatan. Letaknya Kempa ialah di pertemuan
sungai Narew dengan seungai Biebrza, dengan perkataan lain : Tak kekurangan air
mandi dan perairan untuk berperahu-perahu yang sangat saya gemari. Saya sedang
belajar mendayung --- dan saya telah
mendapat kemajuan untuk berenang pun amat semangatnya di sini. Kami perbuat apa
yang timbul dalam pikiran kami, kadang-kadang kami tidur pada siang hari; kami
berdansa, kami bersuka ria tak karuan, sehingga kadang-kadang sepantasnyalah
kami dimasukkan dalam rumah orang gila.....”
Cerita Mania tak banyak
dibesar-besarkan. Baju kegilaan yagn tak berbahaya bertiup di rumah besar yang
dikelilingi kedua sungai yang lebar itu dengan airnya yang jernih dan merata
itu. Dari jendela kamar mereka anak-anak gadis itu melihat sejauh mata
memandang tak lain dari air dan tebing-tebing sungai yang ditumbuhi dengan
tanaman-tanaman yang menghijau dan kerap kali digenangi sungai yang membanjir
itu menjadi lapangan air di mana langit nampak berkilau-kilau.
Tak berapa lama maka Hela dan
Mania keduanya lah yang menjadi pemimpin pemuda pemudi yang tinggal di Kempa
itu. Tuan rumah dan istrinya memainkan peranan yang menarik hati : Apabila
bersama-sama maka mereka memberikan petuah-petuah, memarahi dan seolah-olah
mereka akan bertindak keras terhadap perbuatan-perbuatan gegabah yang dilakukan
para pemuda dan pemudi itu. Tetapi jika mereka sendirian maka mereka turut
secara tersembunyi bersekutu dengan pihak yang bersalah dengan memberikan
bantuan seberapa perlu dan dengan mengunjukkan sikap bersabar terhadap para
pemuda pemudi itu.
Apakah mereka akan perbuat hari
ini? Naik kuda? Mencari jamur? Atau buah bes atau pun melancong di hutan? Ah,
itu semuanya terlampau jinak! Mania hendak meminta Yan Moniuszko, adik Madame
de Fleury, pergi kem kota yang berdekatan mengurus beberapa hal. Ketika Yan tak
ada di rumah, maka Mania dengan bantuan teman-temannya menggantungkan segala
yang ada di kamar anak muda itu pada balok-balok loteng kamarnya : tempat
tidurnya, mejanya, kursi-kursinya, kopor-kopornya, pakaian-pakaiannya,
segala-galanya! Dan apabila Moniuszko kembali di rumah, terpaksa ia dalam hari
gelap berjuang dengan perabot-perabot “Dari langit”.
Dan alangkah lezatnya makanan-makanan
yang disediakan untuk tamu-tamu agung anu! Makanan yang tidak teruntuk bagi
“Anak-anak”? Mustahil! Seketika para tamu pergi melihat-lihat taman rumah itu,
maka dipakai merekalah kesempatan itu buat menghabiskan dengan lekas segala
makanan yang enak itu; mereka dudukkan di meja yang telah kosong itu sebuah
boneka : Ini menggambarkan graaf de Fleury yang telah kekenyangan. Boneka ini
diperbuat mereka dengan tergopoh-gopoh lalu mereka pun larilah. Di mana dicari
yang bersalah itu? Hari itu dan hari-hari lainnya di musim panas itu? Setiap
kali mereka berbuat salah mereka, menghilang seperti bayangan. Jika mereka
disangka di kamar mereka, ternyata lah berguling-guling di rumput dalam taman;
apabila timbul pikiran, bahwa mereka sedang melancong, maka kedapatan lah
mereka di gudang di bawah tanah sedang menghabiskan sebuah keranjang penuh buah
bes yang dicuri mereka dari dapur dan manakala akhirnya menjelang pergi jam
lima nampaknya semuanya nyaman. Maka adalah itu semata-mata karena Mania dan
Hela serta pengikut-pengikutnya memilih waktu matahari terbit untuk mandi di
sungai. Hanya ada satu cara mendatangkan mereka dengan segera, yaitu
menjanjikan kepada mereka salah satu keramian, charade atau malam dansa ....
cara itu dipakai Gravin de Fleury seboleh-bolehnya. Dalam waktu delapan minggu
diadakannya tiga kali pesta dansa, dua pesta taman, darmawisata dan pesta di
air .... Suaminya dan ia sendiri mendapat penghargaan dari pada pemuda dan
pemudi itu karena kemurahan hati mereka itu. Anak-anak muda itu menyayangi
mereka benar-benar. Kadang-kadang mereka dengan mendadak mengikhtiarkan sesuatu
untuk yang menyenangkan hati keluarga de Fleury. Seketika dirayakan hari mereka
kawin empat puluh tahun yang lampau, maka datanglah dua orang utusan mereka
mempersembahkan sebuah karangan sayur mayur yang besar dan indah yang beratnya
lima puluh kilo dan mereka diundang duduk di bawah sebuah langit-langit yang
permai buatannya. Dalam sunyi senyap yang bersemarak, maka anak gadis yang
termuda membacakan sebuah pantun istimewa untuk pesta itu. Pantun itu adalah
ciptaan Mania, yang dibuatnya ketika ia mendapat ilham di kamarnya sambil
melangkah-langkah panjang. Akhirnya pantun itu adalah begini bunyinya :
Pada hari peringan Santo Lodewijk.
Kami mengharapkan darmawisata.
Undanglah, seorang satu, untuk kami,
anakmuda
Agar kami mengambil teldan tuan dan nyonya
Dan secepat mungkin
Kami menghadapi penghulu nikah.
Permohonan itu segera dikabulkan.
Tuan dan Nyonya de Fleury mengumumkan bahwa akan diadakan pesta dansa yang
meriah. Nynya rumah memesan juadah, buntal-buntal kembang dan lilin. Mania dan
Hela bermusyawarah tentang pakaian mereka untuk malam itu.
Tak gampang memikirkan cara
berpakaian semanis-manisnya dengan keadaan tak mampu : setiap tahun tukang
menjahit yang didatangkan di rumah, hanya membikin dua buah baju; sebuah untuk
pesta dan sebuah lagi untuk sehari-hari.
Kakak adik itu menghitung uang
mereka dan mengambil suatu keputusan. Walau pun tule alas penutup baju Mania
tak berapa bagus lagi, tetapi pakaian bawahnya dari kainsatin biru masih baik
keadaannya. Karena itu perlu dibeli semurah-murahnya kain tarlatan biru
pengganti kain tule itu. Selain dari itu di sana-sini beberapa pita dan kembang
pita untuk menghiasi baju itu. Perlu pula dibeli sepatu dansa dari kult yang
emas-emasan; di tanam bunga perlu dipetik kembang sebagai korsase dan bunga
mawar untuk dirambut.
Pada malam itu, ketika pemain
musik telah sibuk menyetem dan menyelaraskan perkakas musik mereka dan Hela
dengan cantiknya menggaya di rumah yang dihiasi itu, Mania bercermin untuk
menghabiskan kalinya. Semuanya bagus nampaknya. Kain tarlatan yang halus dan
kaku itu, kembang-kembang yang bari dipetik menghiasi parasnya yang muda itu
dan sepatu baru yang indah itu --- sepeatu yang menjelang pagi akan dicampakkan
Mania ke sudut kamarnya akrena kebanayakan berdansa sehingga tak ada lagi
tapaknya!.
Beberapa tahun kemudian ibu saya
menggambarkan masa gembira itu kepada saya dengan suara perlahan-lahan dan
perasaan tawakal. Saya pandang mukanya yang letih lesu itu, laju karena
setengah abad penuh kesusahan dan pekerjaannya. Dana saya merasa bersyukur
kepada Tuhan yang mengijinkan perempuan ini – sebelum dipikulkan ke atas
bahunya sebuah panggilan hidup yang tak mengenal belas kasihan --- mengikuti
kulig-kulig yang meriah dalam sebuah pengeretan dan menghabiskan sepasang
sepatu kulit emas-emasan dalam hanya satu malam berpesta.
BAB. IV : PANGGILAN
SUKMA
Telah saya ikhtiarkan melukiskan
Mania semasa kanak-kanak dan semasa amenjelang gadis, ketika ia bekerja dan
sedang bermain-main. Badannya sehat, hatinya jujur, lemah lembut dan periang.
Selain dari itu ia seorang bersifat penyayang dan menurut guru-gurunya,
“Kecerdikannya mengagumkan sehingga ia seorang murid yang utama.” Tetapi pada
umumnya tidak da dalam tabiatnya.
Marilah sekarang saya tunjukkan
suatu gambaran yang lain, yaitu lukisan seorang perawan remaja. Gambaran ini
lebih berat pandangannya. Dalam hidup Mania segala bayangan-bayangan yang disayanginya
telah terhapus dan sampai pada hari akhirnya hanya kenang-kenangannya sajalah
yang tinggal apdanya. Juga dalam persahabatannya telah timbul
perubahan-perubahan. Karena ia tak sekolah lagi, maka apertalian
persahabatannya yang amat kukuh nampaknya itu telah renggang dengan cepat
disebabkan tak ada lagi pergaulan sehari-hari yangg mengikatnya. Hidupnya
sekarang dipengaruhi oleh dua orang penuh kebajikan, pengertian dan rasa
penghormatan, yaitu bapaknya dan kakak sulungnya.
Berdampingan dengan dua jiwa-sekawan
inilah saya ingin menggambarkan Mania membentuk hari kemudiannya dalam dunia
pikirannya.
Tetapi jikau kebanyakan orang
memasang angan-angan mereka setinggi langit, maka adalah impian Mania yang
kelak akan menjadi Marie Curie yang termasyhur itu amat sederhananya, walau pun
dahulu kala nampaknya ia terlampau berani.
Aapbila dlam bulan September Mania
kembali ke Warsawa di rumah bapaknya yang baru dekat gedong gymnasium dari
semasa kanak-kanaknya, ia masih kemabukan kenikmatan tak bekerja selama setahun
itu.
Berkat suatu perubahan yang
penting dalam keadaan hidup keluarga Sklodowski maka dapatlah ia menukar
rumahnya di jalan Leszno dengan sebuah rumah di jalan Nowolipki. Guru yang
usianya telah lanjut itu masih mendapat pekerjaannya di sekolah itu, tetapi ia
tidak menerima anak-anak bayar makan lagi di rumahnya itu. Mania dan
keluarganya sekarang menghuni sebuah rumah yang lebih kecil . lebih nyaman
tetapi juga lebih papa keadaannya. Iklimnya dan orang-orangnya seolah-olah
mengandung undangan untuk bertukar pikiran dan belajar.
Orang-orang yang bertemu untuk
pertama kalinya dengan sklodowski berpendapat bahwa ia susah didekati. Pengaruh
mengajar selama tiga puluh tahun di sekolah menengah itu seolah-olah
diselubungi oleh semacam kebesaran, sedang dari kenyataan-kenyataan yang tak
besar artinya dapat diterka bahwa ia seorang gpegawai yang sempurna : pakaian
hitam, perkataan-perkataan yang ditimbang dengan seksama. Segala sesuatu
dilakukannya denga suatu rancangan yang tertentu. Jika ia menulis surat maka
kalimat-kalimatnya tersusun dengan sewajar dan tulisannya berupa buntak. Kalau
di masa libur ia pergi berjalan-jalan dengan anak-anaknya tak ada yagn tidak
diurusnya terlebih dahulu. Sebelum berangkat dipelajarinya sebuah pedoman
penunjuk jalan bagi para pelancong ke tempat-tempat yang terpenting dan sambil
berjalan-jalan ditarik guru itulah perhatian anak-anaknya itu dengan kata-kata
yang terpilh untuk keindahan alam atau keutamaan sesuatu tugu peringatan.
Mania tak melihat
kebiasaan-kebiasaan ahli pendidik itu. Tetapi baginya bapaknya yang sangat
disayanginya itu merupakan tempatnya berlindung dan seorang yang
dipertuankannya. Dalam pikirannya bapaknya itu dipandangnya sebagai seorang
yang kealimannya tak terbatas.
Tetapi sebenarnya pula bahwa
Sklodowski mengetahui segala-galanya, ata pun hampir segala-galanya. Di negeri
manakah di Eropa didapat sekarang ini seorang guru yang belum kenamaan
mempunyai pengetahuan umum macam itu?
Kepala rumah tangga ini yang yang selalu berusaha supaya anggaran rumah
tangganya tetap dalam keseimbangan masih sempat lagi memperluas dan memperdalam
ilmu pengetahuannya dengan mempelajari kitab-kitab yang dibelinya dengan
bersussah payah. Tetapi menurut pendapatnya sendiri adalah itu suatu keadaan
jamak jika ia senantiasa mengikuti kemajuan kemajuan ilmu kimia dan ilmu alam.
Begitu pula sudah sepantasnya lah menurut pikirannya ia pandai berbahasa
Yunani, Latin dan selain dari bahasa Polandia dan Rusia – juga bahasa Perancis,
Ingris dan Jerman. Kemahirannya menterjemahkan gubahan-gubahan gancaran dan
tembang oleh pujangga-pujangga luar negeri ke dalam bahasa sendiri dipandangnya
juga sebagai suatu keadaan yang biasa. Jika tak ada pekerjaannya maka
dituliskannya lah pantun-pantun yang dicatetnya dengan cermat dalam sebuah
kitab tulis sekolah seperti : Untuk sahabt-sahabat saya waktu hari tahunan.
Pidaro sewaktu pesta kawin. Untuk bekas murid-murid saya.
Tiap-tiap malam minggu Sklodowski
dan keempat anaknya itu berkumpul dan mereka membicarakan kesusastraan. Smabil
minum teh panas yang beruap-uap di tengah-tengah sunyi senyap rumah itu maka
orang tua mereka itu membaca syair atau sesuatu cerita, yang didengarkan mereka
dengan gairah yang bukan dibuat-buat : Guru yang kepalanya telah botak itu dan
mukanya gemuk tenang sehingga janggutnya yang memutih itu nampaknya lebih
panjang, memang mempunyai kemahiran yang luar biasa dalam seni kalam.
Demikianlah Mania tiap-tiap malam minggu mendengarkan gubahan-gubahan
pujangga-pujangga dari jaman purbakala dengan perantaraan suatu suara yang tak asing
lagi baginya. Dahulu suara itu menceritakan dongengan-dongengan dan
hikayat-hikayat perjalanan kepadanya atau pun membimbingnya ke dalam hikayat
David Copperfield yang diterjemahkan Sklodowski dengan langsugn dari kitab itu
dalam bahasa Polandia. Dan sekarang suara itu juga lah – walau pun telah amoh
karena banyaknya dipakai waktu mengajar di sekolah gymnasium – yag membacakan
ciptaan-ciptaan pengarang-pengarang romantis yang di Polandia dipandang sebagai
penyair-penyair dari kalangan-kalangan yang tertindas dand ari mereka yang
mengadakan pertentangan. Slowacki, Krasinski dan Mickiewicz umpamanya!.
Tak akan dilupakan Mania
pertemuan-pertemuan pada malam minggu itu. Berkat pimpinan bapaknya itu, maka
hidup Mania diliputi suatu suasana yang lazim di kalangan cerdik pandai dan
jarang di dapat oleh anak-anak gadis yang lain. Suatu pertalian yang erat
mengikatnya dengan bapaknya yang dengan cara yang mengharukan berdaya upaya
mempelikkan hidup anaknya itu. Perasaan kasih syangnya terhadap bapaknya
membisikan kepada Mania suatu kekuatiran bahwa di belakang ketenangan
jasmaninya itu ada tersimpan godaan rohani, yaitu duka cita seorang balu yang
tak dapat diobati, duka cita seorang pegawai yang ditakdirkan Allah menjadi
seorang pegawai bawahan dan usikan sesal berkabut yang masih tetap membangkit
kesalahannya karena berspekulasi dahulu, sehingga hartanya yang tak banyak itu
hilang lenyap. Kadang-kadang apabila ia lupa diri karena tak sabar lagi, maka
terdengarlah ia mengeluh.
Bagaimanakah sampai aku kehilangan
uang itu? Padahal maksud saya hendak memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya
bagi anak-anakku dan saya ingin supaya mereka pergi bertamasya ke luar negeri
... Sekarang semuanya angan-anganku telah runtuh ! Uang saya tak ada lagi dan
tak dapat lagi aku membantu anak-anakku, bahkan tak berapa lama lagi, maka aku
sendirilah yang akan menjadi beban bagi anak-anakku itu! Bagaimanakah nanti
nasibmu sekalian?
Dengan pedihnya guru itu mengeluh
sambil berpaling ke jrusan anak-anaknya itun dengan pengharapan bahwa mereka
akan membantah keluh kesahnya itu secara meriah untuk meghiburkannya. Mereka
duduk di sekeliling lampu minyak tanah dalam kamar bekerja yang kecil dan
dihiasi dengan tanaman-tanaman yang dipelihara dengan rapi. Empat wajah dengan
penuh keteguhan hati, empat senyuman gagah berani dan dari semua mata yan
bersinar-sinar itu oleh akrena cahayanya berwarna biru sampai ke abu-abuan
memancarkan semangat yang serupa, harapan yang serupa : Kami masih muda , kami
kuat dan pasti kami akan menang!.
Kekawatiran Sklodowski itu adalah
pada tempatnya, kaerna keadannya dalam tahun yang penting ini untuk menentukan
ansib anak-anak muda itu di kemudian hari sangat menegcewakan.
Tak sukar mengartikan masalahnya
itu : dari gajinya yagn tak berapa lama lagi akan diganti dengan suatu
pensiunan yang rendah sekali hampir tak dapat kepala rumah tangga itu membayar
sewa rumahnya, belanja makanan dan upah seorang pelayan. Daji terpaksalah mulai
sekarang Yosep Bronia, Hela dari Mania mencahari nafkah mereka sendiri.
Maka pikiran yang pertama-tama
timbul dalam hati anak-anak ini yang sejak dari orang tua mereka berasal dari
golongan perguruan tentulah pula : Memberikan pelajaran.
“Mahasisiwa ketbiban bersedia
memberikan pelajaran-pelajaran” – “Pe;ajaran-pelajaran istimewa dalam berhitung,
ilmu bumi dan bahasa perancis oleh seorang anak gadis yang berijazah.”
Anak-anak Sklodowski itu sekarang
termasuk lapisan kamum muda cerdik pandai di Warsawa yang memberikan
pelajaran-pelajaran di rumah.
Pekerjaan itu adalah suatu
pekerjaan yang tak mengenal balas kasihan. Sebelum berumur tujuhbelas tahun
Mania telah menemui kesulitan-kesulitan dan menderita penghinaan-penghinan yang
biasa did alami oleh seorang guru istimewa. Berjalan melalui seluruh kota,
walau pun hujan dan hari dingin. Murid-murid yang nakal atau malas dan orang
tua mereka yang membiarkan guru-guru istimewa itu menunggu-nunggu berlama-lama
dalam gang-gang peranginan )mintalah encik Sklodowski tunggu sebentar .... anak
saya akan datang seperempat jam lagi), atau orang tua yang semata karena lalai
lupa pada habis bulan membayar sejumlah uang rubel yang tak banyak kepadanya,
padahal uang itu senga dibutuhkannya dan diharapkannya akan menerimanya hari
itu juga!
Demikian berlalu musim dingin
tahun itu.
Di jalan Nowolipki perjalanan
hidup tak berbeda dari hari ke hari.
“Tak ada kabar yang dapat
kuceritakan dari sini”, tulis Mania. “Tanam-tanaman bagus tumbuhnya, azalea
sedang berbunga, Lancet baring di atas alas tidurnya dan Gucia, tukang jahit di
rumah kami sedang sibuk mengubah potongan baju saya yang baru saja suruh celup
: amat rapinya dan sangat bagusnya nanti baju saya itu. Baju Bronia telah siap
dan bagus nampakna. Tak banyak saya menulis surat, karena tak ada waktu saya,
apalagi uang. Seorang nyonya yang kami kenal dengan perantaraan teman-teman
datang menanyakan pelajaran-pelajaran, tetapi ketika Bronia mengatakan bahwa
bayarannya setengah rubel sejam maka ia pun lari, seolah-olah rumah kami
terbakar!”
Apakah Mania hanya merupakan
seorang gadis yang tak mempunyai mas kawin, tetapi rajin dan cerdik serta
inginmendapat murid lebih banyak? Ukan ..... Keadaan memaksanya menerima
pekerjaan guru istimewa yang dilaksanakannya dengan gagah berani, tetapi di
samping itu ada lagi tersembunyi hidupnya yang lain dan bersemangat. Seperti
tiap-tiap orang wanita Polandia dari kalangan dewasa itu maka Mania-pun penuh
Cita-cita.
Tetapi ada suatu hasrat yang umum
bagi semua orang-orang muda, yaitu cita-cita terhadap tanah air sendiri. Keinginan berbakti terhdap Polandia adalah
mendahului segala keinginan perseorangan dalam rancangan hari kemudian mereka
dan membelakangkan soal perkawinan dan percintaan. Yang seorang bermimpikan
perjuangan yang dahsyat dan mempertaruhkan jiwanya dalam suatu komplotan sedang
seorang lagi impiannya ialah berjuang denagn buah penanya. Seorang yang lagi
mempunyai impian gaib, karena aliran katholicismepun juga merupakan suatu
sewaka dan benteng pertahanan terhadap penindas yang berlainan agamanya itu.
Bagi Mania sendiri impian gaib itu
telah menghilang, walau pun mengingat kebiasaannya di rumah dan berdasarkan
sopan santun ia masih tetap menjalankan kewajibannya menurut agamanya; akan
tetapi kepercayaan yang telah diguyahkan kematian ibunya itu lambat laun hilang
lenyap. Setelah kehilangan pengaruh besar dari ibunya yang rubia itu maka anak
gadis itu menerima pimpinan sejak enam tahun dari bapaknya, seorang Katholik
yang tak saleh dan pada batinnya seorang yang tak ada agamanya. Dan dari
imannya semasa kanak-kanak hanya tinggal suatu keinginan remang-remang suatu
keinginan tak tertentu hendak memuja-muja yang jujur dan mulia.
Walaupun di antara teman-temannya
banyak yang berhaluan refolusioner dan meskipun tak segan-segan ia meminjamkan
paspornya kepada teman-temannya itu, akan tetapi Mania sendiri tak berhajat
lagi turut melakukan pengarahan atau melemparkan bom ke arah kendaraan Tzar
atau gubernur kota. Dalam kalangan inetelegensia telah timbul suatu gerakan
yang hebat dengan tujuan hendak menghapuskan “Angan-angan belaka yang tak ada
isinya”. Tak ada lagi pengaduan-pengaduan yang tak ada gunanya dan tak ada lagi
tindakan-tindakan liar untuk memulihkan kemerdekaan bangsanya. Yang masih ada
harganya ialah hanya berusaha dan mengumpulkan modal maknawi yang besar untuk
Polandia dan memajukan rakyatnya yang dengan sengaja dibiarkan tinggal bodoh
oleh pihak yang berkuasa dalam negeri itu. Dalil-dalil filsafat pada masa itu
mengalirkan kecenderungan yang berhaluan maju ini ke arah suatu jurusan
tertentu. Begitulah sejak beberapa tahun aliran “Positivme” yang dianut oleh
Auguste Comte dan Herbert Spencer telah membanguan semacam dunia pikiran yang
baru di Eropa. Sebaliknya serempak dengan itu pekerjaan Pasteur Darwin dan
Claude Bernard memperoleh pengaruh yang amat besardalam lapangan ilmu pasti.
Mereka di Warsawa, seperti di tempat-tempat lain, tetapi terlebih-lebih di kota
itu, telah ditinggalkan pendirian berhaluan Romatik. Buat sementara tak
diacuhkan lagi perasan dan kesenian. Para pemuda yang biasanya cenderung kepada
paling-palingan dengan tiba-tiba memeentingkan ilmu kimia dan ilmu hayat
daripada kesusastraan dan menukar pemujaan pujangga-pijangga dengan pujaan
terhadap sarjana-sarjana. Tetapi jikalau di nergara-negara merdeka pikiran baru
ini dapat berkembang biak dengan
terang-terangan, maka di Polandia adalah berlainan halnya. Karena di sana
tiap-tiap pertumbuhan kemerdekaan maknawi dicurigai, sehinggaa teori-teori yang
baru itu di sana hanya dapat melangkah ke depan dengan melalui jalan di bawah
tanah.
Tak lama setelah Mania kembali di
Warsawa maka ia pun mengadakan perhubungan dengan kalangan “Positivis” yang
bersemangat itu. Seorang wanita, yaitu encik Piasecka dapat mempengaruhinya.
Guru sekolah gymnasium ini yang berambut putih kuning, kurus dan menarik hati,
walau pun tak cantik, berumur kira-kira duapuluh enam tahun. Ia mencintai
seorang mahasiswa, bernama Norblin yang baru diusir dari Univesitet karena
kegiatannya dalam lapangan politik. Selaind ari itu encik Piasecka mempunyai
minat besar terhadap dalil-dalil yang baru itu.
Mula-mula Mania agak mencurigai
dan takut akan pikiran-pikiran temannya itu, karena terlampau modern menurut
pendapatnya, tetapi segera ia dipengaruhi selurunya oleh encik Piasecka itu.
Bersma-sama dengan kakanya Bronia dan temannya Bronia, bernama Marya Rakowska,
ia diperkenankan turut menghadiri kuliah-kuliah “Univesitet kilat” untuk
pelajaran-pelajaran ilmu urai, ilmu hayat , dan ilmu tumbuh-tumbuhan serta ilmu
pengetahuan masyarakat yang diberikan dengan Cuma-Cuma dan suka rela oleh
guru-guru kepada pemdua dan pemudi yang ingin memperluas pengetahuan mereka.
Pelajaran-pelajaran itu diberikan dengan sembunyi di rumah encik Piasecka atau
di rumah orang lain. Delapan sampai sepuluh orang murid datang berkumpul di
sana dan membuat catetan-catetan. Mereka meminjamkan brosur-brosur dan
karangan-karangan antara sesama mereka. Ingar sekcil-kecilnya pun mengejutkan
mereka, karena jika mereka ditemui polisi maka berartilah itu penjara bagi
mereka.
“Kenang-kenangan saya kepada masa
dan suasana persahabatan rohani itu masih terang bagi saya”, tulis Marie Curie
empat puluh tahun kemudian. “Tak banyak alat-alat kami dan hasil-hasil yang
kami capai juga tak besar artinya, tetapi saya tetap percaya bahwa hanya
saran-saran yang membimbing kami pada masa itu sajalah yang berdaya menuju
kemajuan masyarakat yang sebenarnya. Tak dapat kita
mengharapkan akan memperbaiki dunia ini kalau kita tidak perbaiki manusia itu.
Untuk itu kita semuanya harus berikhtiar menyempurnakan diri kita sendiri dalam
keyakinan bahwa kita masing-masing memikul pertanggungan jawab kita sebagai sebahagian
dari Kemanusiaan. Adalah menjadi kewajiban seseorang bagi kita masing-masing
membantu manusia yang harus dibantu.
Peranan Universitet Kilat bukanlah
semata-mata menyempurnakan pendidikan mereka yang telah tammat dari gymnasium,
karena murid-muridnya itu sebaliknya mendidik orang-orang lain pula. Berkat
ajakan encik Piasicka maka Mania memberikan pelajaran-pelajaran kepada kaum
wanita dari kalangan rakyat jelata. Ia mengadakan ceramah bagi buruh wanita di
sesuatu perusahaan menjahit dan ia mengumpulkan kitab demi se kitab, sebuah
perpustakaan kecil dalam bahasa Polandia untuk kegunaan kaum buruh wanita itu.
Maka dapatlah difahammkan
bagaimana gadis yang berumur tujuh belas tahun itu kemabukan semangat yang
bergelora. Semasa kanak-kanak ia telah hidup berdampingan dengan dewa-dewi yang
gaib, yaitu alat-alat ilmu alam kepunyaan bapaknya dan sekalipun pada masa itu
belum menjadi “kebiasaan” mencurahkan minat terhadap ilmu pengetahuan, tetapi
bapaknya telah memindahkan hasrat untuk belajar yang berapi-api dalam dirinya
itu kepada anaknya itu. Akan tetapi bagi Mania dunia ilmu alam itu belum lagi
memuaskan gairahnya yang meluap-luap itu. Auguste Comte .... kemajuan sosial
... gadis remaja itu tidak memikirkan mempelajari ilmu pasti dan ilmu kimia
saja. Ia hendak mengubah susunan masyarakat yang biasa dan ia ingin memberikan
penerangan kepada rakyat pada umumnya...., dengan pikiran-pikirannyan yang
berhaluan maju itu dan berkat tabiat ksatryanya itu adalah Mania merupakan
seorang wanita sosialis dalam arti kata yang semurni-murninya. Tetapi walau pun
demikian ia tak bersedia menjadi anggota perkumpulan mahasiswa sosialis yang
ada di Warsawa; hasratnya untuk timbangan bebas, takut akan semangat kepartaian
dan cintanya terhadsap Polandia menyebabkan ia berpaling dari marxismesebagai
suatu ajaran internasionallisme. Pertama-tama dan di atas segala-galanya yang
dikehendakinya ialah berbakti terhadap tanah airnya. Belum diinsyafinya bahwa
pada suatu masa ia harus memilih antara angan-angannya itu. Karena semangat gairahnya
itu dicampur-barukan-nyalah perasaan cintanya terhadap tanah airnya dan
pikiran-pikirannya mengenai humanisme serta keinginan-keinginannya tentang ilmu
pengetahuan.
Tetapi ditengah-tengah
sistim-sistim ilmu pengetahuan dan kegaduhan-kegaduhan semasa itu Mania tetap
tinggal seorang yang menawan hati, seolah-olah ia dipengaruhi sesuatu mukjizat.
Pendidikan seksama dan luhur yang
diterimanya dari orang tuanya serta suri tauladan dari orang-orang terhormat
yang melindungi masa remajanya menjaga supaya ia jangan terjerumus dari ujung
yang satu ke ujung yang lain. Tabiatnya didselubungi sesuatu kebesaran yang tak
terlukiskan, suatu gaya kemuliaan dalam semangatnya, bahkan dalam gairahnya
pun. Selama hidupnya tak pernah ia memainkan peranan sipemberontak dan tak
pernah ia menunjukkan kelakuan yang tidak senonoh. Mania yang dalam
pendiriannya bebas merdeka itu tak pernah mempergunakan sesuatu perkataan yang
tak pantas. Tak pernah timbul keinginannya hendak menghisap sigaret sebatang
pun.
Apabila ada waktu terluang baginya
sehabis memberikan pelajaran-pelajaran di rumah-rumah muridnya atau kepada
buruh wanita di luar kursus ilmu ilmu urai yang diikutinya dengan sembunyi,
maka Mania mengupet membaca dan menulis dalam kamarnya. Tetai yang dibacanya
sekarang bukanlah lagi “Cerita-cerita percintaan yang tak karuan”, melainkan
Dostojewski dan Gontcharow dan buku “ Mereka yang dibebaskan” oleh Boleslaw
Prus yang melukiskans esama pemudi Polandia yang haus akan pengetahuan. Buku
peringatan sehari-hari Mania merupakan santiran hidup kebatinan seorang muda
remaja yang karena lobanya kelam-kabut dalam kepandaian-kepandaiannya yang
beraneka corak itu : sepuluh lembar halaman dengan gambaran-gambaran untuk
menghiasi dongengan-dongengan oleh La Fontaine. Pantun-pantunYesus oleh Renan :
Seorang pun tak pernah seperti dia mementingkan bahagia Kemanusiaan terhadap
kebanggan duniawi .. dsb. Karangan-karangan dalam bahasa Rusia mengenai
soal-soal filsafat suatu kutipan dari Louis Bland, selembar halaman dari
Brandes. Sesudah itu gambar-gambar bunga dan binatang pula. Selanjutnya Heine
dan de Musset, Sully Prudhomme dan Francois Coppee yang diterjemahkan Mania
dalam bahasa Polandia sebagai syair.
Karen bagaimana pun, anak gadis
“Emansipasi” yang memandang tiap-tiap kebanggaan sebagai perbuatan rendah dan
telah memotong rambutnya yang permai putih kuning itu sampai hampir habis
semuanya, dengan sembunyi mengeluh ketika membaca pantun-pantun yang indah
tetapi rendah mutunya yang disalinnya seluruhnya:
“Jika ku katakan bahwa, bagaimana
pun, kucintai ka”.
“Siapa mengetahui apa yang akan
kau katakan, sekali pun matamu warna merah tua atau belau>”
Mania berhati-hati jangan mengakui
terhadap teman-temannya yang tak bersabar bahwa digemarinya juga “Selamat
tinggal Suzon” atau “Jambangan yang pecah”,. Pada dirinya sendiri pun ia hampir
tak mau mengakuinya. Dengan berpakaian sederhana dan paras yang amat muda
nampaknya karena rambutnya yang dipotong pendek itu, sehingga ia merupakan
seorang gadis kecil berlari-lari Mania dari rapat ke ceramah, membantah-bantah
dan bergelisah. Jika ia membacakan pantun-pantun bag teman-temannya maka
dipilihnyalah petuah-petuah asnyk yang digubahnya dilahirkan dengan gairah yang
memikat hati, sehingga bagi golongan ini syair-syairnya itu telah merupakan
semacam Syahadat :
Carilah sinar kebenaran;
Carilah jalan-jalan baru yang
belum di kenal.
“Sekali pun pandangan manusia
berjarak lebih jauhan.
Tak akan luput ia dari
kenikmatan-kenikmatan Allah.
Tiap-tiap masa mempunyai
idam-idamannya sendiri,
Dan menyangkal impian-impian
kemarin hari.
Angkatlah obor Pengetahuan.
Ninalah ciptaan baru dalam
pekerjaan abad-abadan.
Dan dirikanlah istana Hari
Kemudian....
Apabila Mania memberikan sebuah gambaran
besama-sama dengan Bronia di sampingnya kepada Marya Rakowska, maka diperlukannya
lah menulis di bawah pemberian itu semacam syahadat pula; “Untuk seorang
Positivis”, yang mempunyai cita-cita luhur dari dua orang idealis yang
positif.”
Kedua-dua orang “Idialis positif”
ini berjam-jam lamanya berikhtiar merancang suatu rancangan untuk hari kemudian
mereka. Tetapi sayang, maupun Asnyk, mau pun Brandess tak dapat menunjukkan
sesuatu jalan bagi mereka untuk belajar di kota Warsawa, karena di sana
Universitas tidak terbuka untuk kaum wanita. Juga tak dapat mereka memberikan
cara-cara yang ajaib sehingga Mania dan Bronia mendapat kemungkinan untuk
mengumpulkan harta dengan cepat dengan memberikan pelajaran-pelajaran seharga
setengah rubel se jam!.
Karena Mania bersifat Kasatria
maka ia putus asa memikirkan keadaannya itu. Tabiat anak bungsu dalam keluarga
Sklodowski itu merasa sebagai panggilan sukma baginya untuk memberikan
pertolongan kepada siapa pun jua. I merasa bertanggung jawab untuk hari
kemudian abang dan kakak-kakaknya itu. Untunglah Yosep dan Hela tidak
menimbulkan kekuatiran baginya. Anak muda itu kelak akan menjadi tabib dan Hela
yang cantik dan periah itu – walau pun bimbang antara kemungkinan meneruskan
pelajarannya dan mencari penghidupannya sebagai penyanyi – bernyanyi
sekehendaknya dan mendapat ijazah-ijazah dengan gampang sambil menolak beberapa
lamaran kawin.
Tetapi Bronia! ... Cara
bagaimanakah dapat dibantunya Bronia? Sejak tamat sekolahnya ialah yang memikul
segala beban rumah tangga mereka > Mania mengetahui bahwa yang terutama
mengusik pikiran kakaknya itu ialah keinginannya pergi belajar ke Parisuntuk
menjadi dokter dan sesudah itu kembali ke Polandia membuka praktek sedniri di
sesuatu tempat di luar kota. Anak gadis itu memang telah dapat berhasil juga
mengadakan simpanan sedikit-sedikit, tetapi untuk tinggal di luar negeri adalah
mahal belanjanya! Beberapa bulan, bahkan beberapa tahun lagikah ia harus
menunggu-nunggu?
Karena tabiatnya itu tak dapat
lagi Mania merasa senang melihat kaaknya itu gelisah dan berputus asa. Hasrat
hidupnya sendiri tak diingatnya lagi karena itu. Ia lupa bahwa ia sendiri pun
tertarik oleh sesuatu kekuatan ajaib ke “Negeri Idam-idamannya” itu dan bahwa
kerap kali ia memimpikan hendak menjalani ribuan kilometer yang memisahkannya dari
Paris, Sorbonne, untuk memuaskan kehausannya mencari pengetahuan yang baginya
merupakan iti hidupnya dan kelak akan dismbangkannya dalam baktinya guna
pekerjaan pendidikan di Warsawa di tengah-tengah Negeri Polandia yang
dicintainya itu. Jika hari kemudian Bronia memberatkan hati Mania adalah itu
karena, selaind ari persatuan darah, ada lagi pertalian yang lebih murni
mengikatnya kepada anak gadis ini. Setelah ibu mereka meninggal dunia maka
kakaknya itulah yang merupakan naungan ibu baginya. Dalam keluarga yang hidup
dalam kerukunan persatuan itu dua kakak beradik ini merasa anguran pula satu
sama lain. Waatak mereka satu sama lain bersilengkap-lengkapan : Yang tertua
dengan sifatnya yang praktis dan pengalamannya itu menimbulkan perasaan
penghormatan bagi mania sehingga dalam kesulitan-kesulitan hidupnya, bagaimana
pun kecilnya, ia datang membentngkannya ke hadapan kakaknya itu. Yang termuda
lebih galak dan isin serta merupakan sahabat karib bagi Bronia yang kasih
sayangnya terhadap adiknya itu bercampur baur dengan suatu perasaan berterima
kasih dalam keyakinan bahwa ada suatu hutang yang harus dilunasinya.
Pada suatu hari ketika Bronia
menulis cakar angka-angka di atas secarik kertas dan untuk ke sekian kalinya
menghitung-hitung yang ada padanya, atau lebih tepat lagi yang tak ada padanya,
maka diambil – Mania-lah suatu keputusan yang tegas.
“Telah beberapa lama saya
memikirkannya. Juga dengan bapak kita sudah saya bicarakan ini. Saya pikir saja
telah mendapat suatu jalan!.
“Jalan?
Mania menarik tempat duduknya
dekat kakaknya itu. Hadiah yang hendak ditawarkannya itu amar seninya. Karena
itu ia harus menimbang perkataan-perkataanya dengan seksama.
“Dengarlah Bronia! Berapa bulankah
lamanya kau dapat hidup di Paris dengan uang simpananmu itu?”
“Uang sayay cukup buat membayar ongkos perjalanan ke sana dan untuk
belajar setahun di Universitas” Jawab Bronia dengan cepat.
“Tetapi kau tahu juga, Bronia
bahwa pelajaran Tabib itu lima tahun
lamanya.
“Ya, aku tahu”
“Kau mengerti juga, Bronia bahwa
dengan pelajaran-pelajaran seharga setengah rubel sejam tak dapat kita mencapai
suatu apa.”
“Mengapakah kau berkata demikian
Mania?”
“Lebih baik kita bekerja
bersama-sama. Jikalau kita berjuang terpisah-pisah tak akan pernah kita
masing-masing dapat berangkat dari sini. Padahal dengan cara yang saya rancang
ini pada musim gugur tahun ini kau dapat berangkat – beberapa bulan lagi....”
“Mania, kau gila!”
“Bukan. Mula kau mengumpulan uang
simpananmu itu. Sesudah itu akan saya usahakan mengirim uang : bapak juga akan
mengirim uang pula untuk pelajaranku sendiri kelak. Apabila engkau telah
mendapat Ijazahmu maka tibalah gelarku dan kaulah yang membantu aku.”
Air mata Bronia becucuran. Telah
diinsyafinya keluhuran tawaran ini, tetapi dalam usul yang baru disampaikan
Mania itu masih ada soal yang belum terang baginya.
“Saya tak mengerti, Mania....
Apakah kau pikir kau dapat memperoleh sesuatu pencaharian yang cukup untuk
belanja hidupmu serta membelanjai aku dan di samping itu mengadakan simpanan
pula lagi.
“Denganrkanlah sekarang, “jalan
besar” yang saya pikirkan itu. Saya hendak mencari pekerjaan sebagai guru
rumah. Dengan cara demikian saya mendapat pemondokan dan makanan dengan
Cuma-Cuma dan di samping itu saya menerima empatratus rubel setahun, barangkali
lebih lagi dari itu .... Kau lhat semuanya akan terus dengan baik.
“Mania .... Maniusia .. sayang!”
Bukanlah soal pekerjaan rendah
yang mengharukan Bronia, karena sebagai seorang “Idialis” yang sejati, seperti
adiknya itu juga, ia membenci segala pandangan masyarakat yang bersifat
memihak. Bukan .. yang mengharukan Bronia ialah memikirkan bahwa guna
memberikan kemungkinan beginya memupai pelajarannya dengan segera, Mania telah
menghukum dirinya sendiri menerima suatu jabatan yang tak menarik hati dan
harus pula ia menunggu-nunggu lama. Karena itu dibantahnyalah Mania.
“Mengapakah aku yang harus pergi
dahulu?” Lebih baik kita balikan! Kau sangat pintarnya dan cerdiknya ...
barangkali lebih pintar lagi dari saya. Dengan segera kau akan mencapai hasil.
Mengapa saya?”
“Bronia, janganlah kau mengigau!
Kau telah berumur dua puluh tahun dan saya baru tujuhbelas. Kau telah menunggu-nunggu begitu lama, sedang saya
sendiri masih sabar menunggu. Begitu jugalah pendapat Bapak kita :
Sepantasnyalah yang tertua pergi duluan. Manakala kau telah mempunyai praktek
sendiri dapatlah aku berenang dalam lautan uangmu itu – memang saya harapkan
itu! Dengan cara demikian kita bertindak dengan bijaksana dan secara
praktis....
Pada suatu hari dalam bulan
September 1885 seorang anak gadis pendiam menunggu gelerannya di ruangan mukka
sebuah kantor perantara untuk buruh pengejaran. Dari dua buah bajunya yag
menjadi kepunyaannya dipakainya yang tersopan. Sebuah topi hitam menutupi
rambutnya yang sejak beberapa bulan telah dipanjangkannya kembali. Guru rumah
sekali pun ia seorang “Positivis” tak dibenarkan berambut pendek : Guru rumah
itu harus rapi, seperti orang-orang lain, ta ada bedanya dengan dari khalayak
ramai.
Pintu dibuka dan Mania pun bangun
dari tempat duduknya itu. Dengan sekonyong-konyong ia gugup. Dengan tak
disengajanya tangannya memegang beberapa surat-surat. Dalam kamar di sebelah
duduk seorang nyonya yang gemuk di belakang sebuah meja tulis yang amat kecil.
“Apakah yang encik ingini?”
“Saya mencari pekerjaan sebagai
guru.”
“Adakah sesuatu hal yang merupakan
pujian bagi encik?”
“Ya.... Telh pernah saya memberikan
pelajaran-pelajaran. Inilah suarta-surat keterangan dari orang tua murid-murid
saya dan inilah ijazah saya.
Kepala kantor itu mempersaksikan
surat-surat Mania itu dengan teliri. Ada yang menarik perhatiannya. Maka
diangkatnyalah kepalanya melihat ke arah Manaia dengan perhatian yang lebih
banyak.
“Encik fasih berbahasa Jerman,
Rusia, Perancis, Polandia dan Ingris?”
“Saya Nyonya, bahasa Ingris kurang
dari yang lain-lain, tetapi pelajaran-pelajaran di sekolah dapat saya berikan,
Saya tammat dari sekolah Gymnaisum dengan mendapat anugerah bintang Emas.
“Oh... dan berapakah gaji yang
Encik kehendaki?”
“Empat ratus rubel setahun, di
luar pemondokan dan makanan saya.”
“Empat ratus rubel,” Kata nyonya
itu pula mengulanginya dengan tak menunjukkan bagaimana pendapatnya. Sipakah
orang tua Encik?”
“Bapak saya guru di sekolah
gymansium.
“Baiklah, saya akan memintakan
keterangan-keterangan yang diperlukan. Tak berapa lama lagi saya akan dapat
memberikan pekerjaan bagi encik. Tetapi berapatahunkah umur Encik?”
“Tujuhbelas tahun, kata Mania dan
mukanya merah sambil ia tersenyum dengan senyuman yang seolah-olah hendak
melemahkan keberatan yang mungkin timbul!.
“.... tak berapa lama lagi umur
saya delapan belas tahun!”
BAB.V :
GURU RUMAH
Mania menulis kepada misannya
Henriette pada tnggal 10 Desember 1885.
“Henriette yang tercinta, sejak
kita berpisah hidup saya sebagai seorang hukuman. Seperti kau ketahui saya
bekerja di keluarga B., seorang pengacara. Sekali pun untuk musuh saya yang
sebesar-besarnya saya tidak mengharapkan agar ia hidup dalam neraka semacam
ini! Akhirnrya pergaulan saya dengan nyonya B., menjadi renggang benar sehingaa
hati saya tak sabar lagi dan saya
nyatakan dengan terus terang kepadanya rasa hati kalbu saya. Karena perasaan
kami terhadap satu sama lain tidak berbeda, maka tak ada lagi salah faham
antara kami.
Rumah keluarga B., ini adalah
salah satu dari rumah-rumah orang kaya yang berbahasa Perancis- alangkah
buruknya bahasa mereka itu kala ada tamu dan yang menunggu enam bulan sebelum
membayar hutang-hutang mereka, padahal mereka memboroskan uang mereka, akan
tetapi berkikir memakai minyak lampu. Lima orang palayan meladeni keluarga yang
nampaknya berhaluan liberal ini, tetapi sebenarnya mereka hidup dalam suasana
kebodohan yang mengecewakan. Selin dari itu bersimaharajalela di sini penyakit
memfitnah yang dilahirkan dengan kata-kata yang muluk-muluk, umpatan-umpatan
yang tak mengetahui belas kasihan.
Yang menguntungkan bagi saya dalam
hal ini ialah pengetahuan saya tentang kemnusiaan bertambah. Sekarang saya
insyafi gambar-gambar dalam roman memang ada juga dalam kenyataan sehari-hari
dan bahwa haruslah disingkirkan bergaul dengan orang-orang yang akhlaknya telah
dirusakkan oleh godaan uang...”
Tetapi benarlah lukisan yang
diberikan oleh Mania itu. Surat-surat dari guru rumah itu menunjukkan dengan
lebih nyata lagi bagaimana sopan santun-nya kebathinan keluarga yang telah
ditinggalkannya itu. Di antara kenalan-kenalannya dari kalangan cerdik pandai
pernah Mania bertemu dengan orang-orang yang pengetahuannya bertingkat ugahari,
tetapi hampir tak pernah dijumpainya di antaranya itu orang-orang durjana atau
yang sifatnya mementingkan hitungan rugi laba atau pun yang tak mempunyai rasa
hormat diri. Di rumahnya sendiri tak pernah didengarnya perkataan kasar, atau
yang tak senonoh. Pertengkaran-pertengkaran antar sesama mereka dan kata-kata
umpatan pasti akan mengerikan anak-anak Sklodowski itu. Setiap kebodohan,
pendirian picik atau kata lancang mengherankan Mania dan menimbulkan
keinginannya hendak menentangnya.
Walau pun merupakan suatu lawan
asas yang aneh, akan tetapi mungkin berkat tabiat utama dan kecerdikan
teman-teman Mania itulah tercapai suatu pemecahan dalam teka-teki ini : Apakah
sebabnya tidak lebih dulu kepintaran luar biasa. Mania yang budiman itu
mendapat perhatian? Apakah sebabnya tak di suruh ia pergi belajar ke Paris dan
sebaliknya dibiarkan ia menjabat pekerjaan guru rumah? Dalam sesuatu lingkungan
yang tingkat pengetahuannya bersifat ugahari saja memang dengan segera ternyata
kecerdikan luar biasa yang mengagumkan orang banyak, tetapi di sini dalam rumah
yang satu itu juga Yosep, Bronia, Hela dan Mania berlomba-lomba kepintarannya.
Karena itu lah maupun dari yang melihat tanda-tanda kebesaran jiwa pada salah
satu dari antara anak-anak itu. Tak seorang pun, mau pun Mania sendiri,
menyangka, bahwa Mania berlainan kadarnya dari abang dan kakak-kakaknya itu.
Jika dibandingkan dirinya dengan
keluarganya maka perasaan sederhana hampir menjadi perasaan dina, tetapi di
tengah-tengah keluarga-keluarga kalangan rakyat biasa yang menjadi
majikannyasekarang ia meningkat di atas segala-galanya. Maka diinsyafinya
sendirilah keutamannya dan keinsyafan ini memberikan perasaan puas juga
baginya. Tak pernah diperdulikannya sedikit pun hak-hak istimewa berdasarkan
keturunan dan kekayaan dan tak pernah ia goncang hatinya karena perasaan
cemburu, akan tetapi asal-usullnya dan pendidikan yang diterimanya membanggakan
dirinya. Yang diperoleh Mania dari pengalaman-pengalamannya pertama bukanlah hanya
hikmat filsfat tentang kemanusiaan dan tentang “Orang-orang yang akhlaknya
dirusakkan godaan uang,” tetapi diinsyafinya pula bahwa rancangan yang
diusulkannya dahulu kepada Bronia harus ditinjau kembali.
Ketika diterimanya pekerjaannya itu di Warsawa
ialah hrapannya akan dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan tak
menghukum dirinya karena itu menjadi seorang buanagan. Karena aia tetap tinggal
dalam kota itu maka besarlah manfaatnya baginya disebabkan
keringanan-keringanan berhubung dengan kemungkinan mengunjungi bapaknya setiap
hari dan mengadakan perhubungan denegan teman-temannya dari Universitas Kilat
serta siapa tahu – menmbah pengetahuannya dengan menghadiri beberapa kuliah
malam.
Tetapi pengorbanan yang satu
penyeret pengorbanan yang lain. Belum cukup lagi pahitnya nasib gadis yang
malang ini. Pencahariannya tak mencukupi dan selain dari itu terlampau banyak
pula uangnya dipakainya. Gaji berceceran karena belanjaannya sehari-hari,
sehingga habis bulan tak banyak lagi tersimpannya.
Akan tetapi walau pun demikian ia
harus bersiap membantu Bronia yang telah berangkat dengan Marya Rakowska ke
Paris dan hidup di sana secara sederhana di Quartier Latin. Dan segera bapaknya
akan menerima pensiunnya pula sehingga dibutuhinya bantuan oleh Mania. Apakah
lagi dayanya?
Maka Mania berfikir panjang!
Kira-kira tiga minggu yang lampau diperolehnya kabar tentang kemungkinan
pekerjaan sebagai guru rumah di luar kota deengan gaji yang lumayan juga ...
Antara berpikir dan bertindak tak ada lagi jangkahnya! Diterimanya lah kehidupan di salah ssatu
profinsi yang terpencil, walau pun keputusannya itu merupakan suatu loncatan
dalam gelap gulita. Ini berarti perpisahan beberapa tahun lamanya dari mereka
yang disayanginya dan menemui sunyi sepi yang sebulat-bulatnya. Tetapi tak ada
lagi jalan lain baginya! Gajinya di sana lebih besar dan di daerah terpencil
itu tak ada kesempatan mengeluarkan uang yang banyak.
“alangkah bodohnya tak kupikirkan
ini lebih dulu, padahal saya menggemari tinggal di lura kota,,” Katanya dalam
dirinya sendiri.
Keputusannya ini diberitahukannya
kepada misannya :
“Tak akan lama aku tinggal
meredeka, karena walau pun mula-mula aku bimbang sebentar, mulai besok telah ku
terima suatu pekerjaan di luar kota, yaitu di daerah Plock, dengan gaji
lmaratus rubel setahun, mulai tanggal satu Januari. Pekerjaan ini jualah yang
ditawarkan kepada saya beberapa waktu yang lampu, tetapi tak saya terima.
Orang-orang itutak senang dengan guru rumah mereka yang sekarang, karena itu
mereka ulangi lagi menawarkannya kepada saya. Selainnya mungkin saya juga tak
akan memuaskan bagi mereka!”
1 Januari 1886, hari Mania
berangkat untuk suatu perjalanan jauh di waktu hari dingin, akan tetap dalam
ingatannya sebagi suatu tanggal yang berisi kesedihan hidup baginya. Dengan
gagah berani ia memohon diri dari bapaknya yang diberikannyaa alamatnya yang
baru : Keluraga Szcozuki, Przasnysz.
Ia telah naik dalam kereta api dan
sejenak lamanya masih dilihatnya tokoh bapaknya yang kecil itu, ssambil
memandangnya dengan senyuman sedih. Maka ia pun rebah di atas bangkunya dan
suatu perasaan sepi memberatinya sebagai suatu beban, karena baru sekali inilah
ia pernah seorang diri dalam hidupnya!
Dengan tiba-tiba suatu perasaan
takut menggenggam anak gadis yang berumur delapan belas tahun ini. Mania gemetar
keisinan dan ketakutan sambil ia meneruskan
perjalannya dalam kereta api yang membawanya ke suatu rumah yang asing
baginya dan menuju orang-orang yang tak dikenalnya. Sekiranya orang-orang baru
ini serupa pula tabiatnya dengan orang-orang yang beru ditinggalkannya itu!
Sekiranya bapaknya jatuh sakit sepeninggalnya itu! Apakah ia akan bertemu lagi
dengan baaknya itu! Apakah bukan perbuatan kegialan ini yang dilakukannya
sekarang? Berbagai pertanyaan menggoda pikiran gadis yang duduk berdempet dekat
kaca jendela kereta api itu sambil memandang padang sabana berliput salju yang
disinari oleh matahari sedang menghilang. Berkali-kali disapunya air matanya
yang mengaburi pandangannya, tetapi selalu bercucuran kembali.
Tiga jam dalam kereta api
pengeretan sepanjang jalan-jalan yang lurus dan melalui sunyi senyap malam
musim dingin. Nyonya dan tuan S. Yang menjabat pekerjaan tuan tanah mengurus
sebahagian dari tanah-tanah kepunyaan keluarga pangeran Czatoryski, seratus
kilometer dari Warsawa. Setibanya pada waktu malam sedingin es itu di muka
pintu rumah majikannya yang baru itu maka dilihat Mania-lah dengan letih lesu
karena perjalannya tadi, sebagai dalam impian, tuan rumah itu dengan
perawakannya tegap tinggi, istrinya berwajah kelabuan dan anak-anak yang memandangnya
dengan mata penuh pertanyaan.
Guru rumah yang gbaru datang itu
disuguhkan nyonya S. Secangkir teh panas dengan perkataan-perkataan lemah
lembut. Sesudah itu diunjukkan nyonya S. Kepada Mania kamarnya di tingkatan
pertama dan segera tinggallah anak gadis itu seorang diri di tengah-tengah
barang-barangnya yang tak banyak itu.
Mania menulis kepada misannya
Henriette pada tanggal 3 Pebruari 1886.
... Sudah sebulan saya sekarang di
sini. Karena itu telah cukup waktu bagi saya menyesuaikan diri saya kepada
pekerjaan saya yang baru ini. Sampai sekarang saya merasa senang, keluarga S.
Ini adalah orang-orang baik-baik. Saya telah bersahabat dengan puteri seulung
mereka, Bronka, dan karena itu hidup saya di sini bertambah senang. Murid saya,
Andzia yang ak berapa lama lagi berumur sepuluh tahun adalah seorang anak yang
patuh, tetapi amat joroknya dan dimanjakan. Tetapi, tak ada bahagia yang
sempurna di dunia ini!.
Di daerah ini tak banyak orang
bekerja. Yang dipikirkan orang di sini tak lain dari bersuka ria dan karena
kami di rurmah ini agak menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan semacam ini
maka disebarkan oleh orang-orang lah berupa-rupa dongengan tentang kami.
Cobalah pikirkan, sepekan setelah tiba di sini mereka sampai hati mencemarkan
nama saya, karena saya yang belum berkenalan seorang pun di sini tak bersedia
menghadiri pesta dansa di Karwacz, yang merupakan pusat tempat bersuka-tia di
daerah ini. Selamanya saya tak merasa menyesal saya tak pergi ke sana, karena
baru jam satu siang tuan dan nyonya S. Pulang dari pesta dansa itu : Saya
merasa girang karena saya luput dari percobaan ini, terlebih-lebih sebab waktu
itu badan saya tidak kuat.
Pada malam Tigaraja di sini
diadakan pesta dansa. Geli hati saya melihat para undangan di pesta itu.
Congkak benar mereka untuk digambar oleh pelukis sendiri : Anak-anak gadis
merupakan itik gangsa yang tak berani membuka mulut mereka atau pun kelakuan
mereka sangat mengecewakan. Memang ada juga nampaknya di antara mereka yang
pandai berpikir tetapi pada hemat saya sampai sekarang Bronka –encik S.
Dapatlah disamakan laksana mutiara nadir, berkat akal budinya dan tafsiran
hidupnya.
Saya bekerja tujuh jam sehari :
empat jam dengan Andzia dan tiga jam dengan Bronka. Memang agak banyak juga
jumlah jam bekerja itu, tetapi apa boleh buat! Kamar saya di atas, nyaman dan
sunyi.
Keluarga S. Ini banyak anaknya :
tiga orang lelaki di Warsawa (seorang di universitet, dua orang di sekolah
berpemondokan). Di rumah : Bronka (delapan belas tahun), Andzia (sepuluh
tahun), Stas yang berumur tiga tahun dan Marychna, seorang anak perempuan kecil
berumur enam bulan, Stas amat lucunya. Pengasuhnya menerangkan kepadanya bahwa
Tuhan berada dimana-mana. Maka Stas-pun bertanya dengan muka penuh ketakutan :
“Alan ditangka-Nyakah aku?” Akan digigit-Nya kah aku?”
Di sini Mania berhenti menulis
suratnya itu dan meletakkan penanya di atas meja tulisnya yang ditempatkannya
dekat pintu kamarnya itu dengan tak menghiraukan hawa dingin.
Pandangan yang disaksiskannya dari
sana masih dapat menimbulkan tertawaannya! Bukankah menggelikan hati jika,
setelah sampai dalam sebuah rumah di luar kota dengan keyakinan akan dapat
melihat di sekelilingnya padang-padang rumput dan hutan-hutan, kenyataan bahwa yang terlihat
sesudah jendela di buka untuk pertama kalinya ialah sebuah corong asap suatu
kilang yang meningkat dan menutup pandangan mata serta mengotori hawa dan
meludahkan kepulan asap hitam tebal?
Berklio-kilo meter disekitanya tak
ada sebatang pohon kecilpun, tak ada padang rumput : Tak ada selain dati
tanah-tanah yang ditanami penuh dengan lobak-gula yang pada menjelang musim
rontok dimuat di atas pedati lembu dan diangkut dengan perlahan-lahan ke kilang
gula. Di depan kilang itu kaum petani sedang menabur, mencabut rumput dan
mengetam. . Dekat gedong-gedong dari batu merah itu penuh pondok-pondok
penduduk kampung Krasiniec. Malahan sungai yang mengalir di sana itu pun
merupakan budak untuk kilang nitu : bersih ia sampai di sana, tetapi kotor
penuh dengan busa ditinggalkannya kilang itu.
Tuan S. Seorang ahli pertanian
yang faham dalam lapangan tehnik bertugas menjalankan penilikan atas
pengusahaan duaratus hektare kebun lobak-tebu. Amat kayanya, karena sebagian
besar dari sero-sero kilang itu dimilikinya. Di rumahnya itu, seperti juga di
rumah yang lain-lain, adalah kilang itu merupakan pusat perhatian orang
berbicara.
Tetapi tak ada yang mengagumkan
dalam hal ini, karena walau pun kilang itu menguasai segala-galanya di daerah
itu, adalah perusahaan itu sederhana saja besarnya seperti berpuluhan yang lain
dalam propinsi itu. Tanah Szcozuki itu tak berapa luasnya, tetapi dalam negeri
ini yang penuh dengan pertanahan-pertanahan luas tak berarti duaratus hektare.
Memang keluarga Szcozuki itu kaya, tetapi bukan terlampau kayanya. Dan walau
pun rumahnya nampaknya lebih bagus dari rumah-rumah kaum tani di sekitarnya tiu
belum lah bagaimana pun juga, dapat didbandingkan itu dengan sebuah kota. Lebih
banyak rumah itu menyerupai sebuah gedong tuan tanah yang dikerumuni tanaman
tambat dan berserambi kaca penuh peranginan.
Yang memberikan keindahan alam di
sana ialah hanya sebuah taman bunga yang pada musim panas amat permai nampaknya
dengan tanah lapang rumputnya, semak-semaknya dan lapangannya untuk bermain
Croquet yang dilindungi sebuah pagar “Esdorrn” yang ditebas pendek. Di sebelah
lain rumahn itu ada sebuah kebun
buah-buahan dan berjauhan dari sana nampak empat buah atap berwarna
merah, yaitu atap lumbung-lumbung dan kandang-kandangn kuda dan lembu untuk
empat puluh ekor kuda dan enampuluh ekor sapi. Selainnya sampai ke kaki langit
hanya tanah kelabuan dengan tanaman lobak-gula!.
“ Ah tak perlu aku berkeluh
kesah!” kata Mania dalam dirinya sendiri sambil menutup jendelanya itu.
Benarlah kilang itu tak bagus nampaknya, tetapi berkat kilang itu-lah daerah
ini lebih ramai dari pada yang lain-lain. Senantiasa ada orang yang daang dari
Warsawa atau yang pergi ke sana. Di kilang itu bekerja sekeumpulan
insinyur-insinyur dan direktur-direktur yang peramah hati dan dapat dipinjam di
sana buku-buku dan majalah-majalah. Nyonya S. Itu musykil tabiatnya, tetapi
hatinya baik. Sebabnya ia tak selalu bertindak sopan santun terhadap saya
mungkin karena dahulu ia sendiri pun bekerja sebagai guru-rumah, tetapi
sekarang lebih beruntung dari saya. Suaminya amat baik hatinya, puterinya yang
sulung laksana dewa dan anak-anaknya yang lain tak berapa menyusahkan saya.
Saya merasa beruntung juga! Dan setelah berseduh-seduh tangannya di atas emanas
yang karena tingginya dari lantai ke loteng mengisi sebuah sudut kamarnya itu,
maka disambung Mani-lah suratnya itu, sambil menunggu seruan yang memerintahkan
“Encik Marya!” di balik pintunya menandakan bahwa majikannya memerlukannya.
Guru-rumah yang mrasa sepi itu
banyak mengirim surat sekalipun maksudnya ialah hanya agar dapat banyak balsan
pula dan berita dari kota. Sedng pekan menjelang bulan diceritakan Mania-lah
kepada keluarganya segala pengalamannya sebagai egawai rendahan yang
pekerjaannya diseling-seling kewajiban, “menemani” atau lepasan lelah yang
terpaksa.
Kepada misannya Henriette yang
telah kawin di Lwoe, di suatu propinsi, dan tetap berhaluan positivis dengan
penuh keyakinan dipercayakannya dengan tak ada hempangannya segala
renungan-renungannya yang sedalam-dalamnya, perasaan muringnya dan harapannya :
Mania menulis kepada Henriette
pada tanggal 5 April 1886 :
“... Sya hidup seperti yang lazim
dalam kedudukan seorang sebagai saya ini. Saya memberikan pelajaran-pelajaran,
saya baca buku-buku, tetapi janganlah kau pikir bahwa pekerjaan ini bukan sulit
karena setiap kali datang tamu yang baru di sini terkacau-balau lah pembagian
pekerjaan saya sehari-hari menurut aturan yang telah saya rancang terlebih
dahulu. Kadang-kadang saya makan hati karena ini, sebab Andzia adalah seorang
dari anak-anak yang dengan gembira mempergunakan segala perhatian pekerjaan dan
tan mungkin lagi menggerakkannya bekerja kembali sesudah perhatian itu. Hari
ini saya bertengkar pula karena tak mau ia bangun pada waktu yang biasa.
Akhirnya terpakasa saya memegang tangannya dan menariknya dari tempat tidurnya.
Dalam hati saya amat amarahnya perasaan saya. Tak dapat kau rasakan bagaimana
ha-hal kecil semacam ini berjam-jam lamanya menyakiti hati saya, tetapi saya
harus menjaga supaya saya tetap menang!.
“Kau bertanya apakah yang menjadi
buah tutur orang banyak di sini? Tak lain dari omong kosong saja! Yang menjadi
buah tutur di sini ialah hanya soal tetangga, pesta dansa dan jamuan malam.
Kalau untuk bedansa memang jarang akan didapati anak-anak gadis yang lebih
pandai berdansa. Semuanya mereka berdansa dengan rapinya. Sebenarnya mereka
bukan tak baik, bahkan di antaranya ada yang pula yang pintar, tetapi
pengetahuannya tak luas dan pesta-pesta gila-gilaan yang tak ada putusnya itu
tidak memberikan kemajuan bagi mereka. Mau pun untuk anak-anak gadis, mau pun
untuk kaum pemuda di sini perkataan-perkataan seperti “positivisme” dan
“masalah buruh” dsb. Adalah merupakan pengartian-pengartian yang dibenci
mereka, itu pun sekiranya mereka pernah mendengar perkataan-perkataan itu,
tetapi jarang ini kejadian. Jikalau dengan keluarga-keluarga yangg lain memang
keluarga S. Ini dpat dikatakan berpengetahuan. Tuan S. Kolot pendiriannya,
tetapi akal budinya baik, sifat-sifatnya menawan hati dan tak banyak
tingkah-tingkahnya. Istrinya agak susah dalam pergaulan, tetapi jika pandai
orang mengambil hatinya, baik juga ia. Saya pikir ia suka juga melihat saya.
Sekiranya kau dapat melihat
bagaimana baiknya tingkah laku saya di sini! Tiap-tiap hari Ahad dan hari besar
saya pergi ke Gereja dan tak pernah saya mengatakan sakit kepala atau demam
untuk tinggal di rumah. Hampir tak pernah saya menyinggung soal pelajarann
untuk kaum wanita. Pada umumnya selalu saya berhati-jhati dalam segala ucapan
saya selaraskan dengan kedudukan saya.....
Pada waktu hari paskah nanti saya
pergi beberapa hari ke Warsawa. Kalau saya ingat ini seolah-olah hati saya akan
pecah, sehingga dengan susah paya saya menekan perasaan sukaria saya itu ...
Walau pun Mania secara mengoceh
melukiskan “Kelakuannya yang menjadi suri tauladan itu”, akan tetapi dalam
dirinya tersimpan sesuatu pribadi yang gagah berani dan suci murni yang tak
dapat hidup lama dalam suatu suasana biasa-biasa saja. Dalam jiwanya masih
hidup “Idealis Posisitf” dari dahulu dan ia merasa terpaksa berbakti dan
berjuang.
Karena setiap hari ia bertemu di
jalan-jalan berlumpur dengan anak-anak kaum tani, lelaki dan perempuan,
semuanya berpakaian papa, beruka bebal dan rambut merah, maka timbullah dalam
hati Mania sesuatu pikiran.
Apakah salahnya jika dalam dunia
Szcozuki yang kecil ini duwujudkan dalil-dalil mutakhir yang disayanginya itu?
Setahun yang lampau dimimpikannya hendak “memberikan penerangan” bagi rakyat.
Nah, inilah suatu kesempatan yang baik! Anak-anak di kampung ini pada umunya
masih buta huruf sebagian besar. Mereka yang bersekolah belajar tulisan Rusia.
Alangkah baiknya jika diberikannya peajaran-pelajaran bahasa dan sejarah
nasional mereka !
Guru rumah itu bertukar pikiran
dengan encik S. Yang dengan segera menyetujuinya dan berjanji akan membantunya.
“Pikirkanlah baik-baik,” kata
Mania, untuk mengembangkan gairah anak gadis itu. “Jika kita diadukan pastilah
kita akan dibuang ke Siberia!
Akan tetapi tak ada yang lebih
menularnya pengaruhnya dari pada keberanian. Dalam mata Bronka dilihat Mania
bersinar-sinar kegembiraan dan keteguhan hati. Karena itu hanya persetujuan
tuan rumah sajalah yang diperlukan lagi dan sesudah itu dapatlah dimulai
memberikan sarana dengan hati-hati di dalam pondo-pondok kaum tani itu.
Mania kepada Henriette pada
tanggal 13 September 1886.
“.... Pada musim panas yang lampau
sebenarnya ada kesempatan bagi saya pergi berlibur, tetapi saya tak tahu akan
ke mana saja pergi, karena itu saya tinggal di Szcozuki saja. Tak mau saya
mengeluarkan uang untuk pergi ke pegunungan Karpatia. Banyak pelajaran-pelajaran
saya berikan kepada Andzia dan banyak buku saya baca dengan Bronka. Selaind ari
itu saya memberiekan pelajaran se jam sehari bagi anak seorang buruh sebagai
pendidikan untuk pergi sekolah. Di luar ini Bronka dan saya mengajarkan
anak-anak kaum tani selama dua jam sehari. Hampir satu kelas banyaknya. Karena
ada sepuluh orang murid dkami itu. Mereka belajar dengan rajin, akan tetapi kerap
kali amat sukar pekerjaan kami itu. Yang menghiburkan hati saya ialah
hasil-hasil yang kami capai itu lambat laun bertambah baik, bahkan dengan cepat
pula. Karena itu tiap-tiap hari sibuk saja bekerja dan di samping itu saya
belajar juga untuk saya sendiri buat memperluas pengetahuan saya ...
Mania kepada Henriette pada bulan
Desember 1886.
.... Jumlah murid-murid saya dari
kalangan petani sekarang telah berjumlah delapan belas orang. Tentu mereka tak
semuanya datang bersama-sama, karena tak dapat saya laksanakan itu, tetapi
sekarang pun mengajar mereka masih memakai waktu dua jam sehari. Setiap hari
rabu dan sabtu lebih lama sedikit saya bersama-sama mereka, sampai jam lima.
Ini dapat saya laksanakan karena kamr saya di tingkatan pertama dan berpintu
sendiri ke luar sehingga pekerjaan saya tak mengganggu siapa pun juga selama
saya menunaikan kewajiban saya. Anak-anak kecil itu menggembirakan dan
menghibur hati saya...”
Bagi Mania cukup lagi mendengar
Andzia membacakan pelajaran-pelajarannya, bebekerja dengan Bronka atau un
menjaga supaya Yulk yang datang dari Warsawa dan dipersembahkan pula kepadanya
jangan tertidur di hadapan buku-bukunya .... Apabila itu telah siap semuanya
maka pergilah anak gadis itu ke kamarnya dan menunggu didengarnya suara bakiak
kecil dan langkah kaki yang tak bersepatu yang menandakan bagi Mania bahwa
murid-muridnya telah tiba. Supaya mereka lebih senang mencoret-coret garis
sentak tulisan mereka, maka dipinjamnyalah sebuah meja dan beberapa kursi dari
kayu. Dari uang simpanannya dikorbankannya uang pembeli buku-buku tulis yang
tipis dan tangkai pena yang dipegang mereka dengan jari-jari yang kaku dan
canggung. Apabila tujuh atau delapan orang dari anak-anak itu duduk dalam kamar
yang besar dan ber cat putih itu maka cukuplah pekerjaan Mania dan Bronia untuk
memelihara ketertiban dan membantu mereka yang sambil mengeluh mengeja
kata-kata yang sulit.
Tak semuanya anak-anak itu besih
dan berpakaian rapi; di antaranya ada anak-anak pesuruh wanita, penyewa tanah
dan buruh kilang. Mereka berkerumun sekeliling baju hitam dan rambut putih
Mania. Nampaknya tak berapa manis anak-anak itu dan sebagian dari mereka suka
lalai dan keras kepala, tetapi pada kebanyakan dari anak-anak itu nampak dengan
nyata dalam mata mereka yang berseri-seri itu suatu keinginan besar hendak
mencapai hasil dalam pekerjaan yang berat itu : membaca dan menulis. Dan
apabila tujuan yang hina dina itu telah tercapai dan apabila huruf-huruf hitam
dan besar di atas kertas putih dengan tiba-tiba mengandung arti maka terharulah
hati Mania karena gembiranya melihat kebanggan anak-anak itu dan kekaguman
orang tua mereka yang kadang-kadang walau pun buta huruf, berdiri dalam kamar
itu menghadiri pelajaran-pelajaran anak-anak mereka.
Direnungkannyalah berapa banyaknya
kemauan baik yang tak dipergunakan, berapa banyaknya kepintaran terbuang di
antara orang-orang yang parasnya telah dirusakkan hujan panas. Terhadap lautan
kebodohan itu Mania meraa lemah dan tak berdaya!.
BAB. VI :
MASA TUNGGU YANG
LAMA
Anak-anak petani yang masih kecil
itu tak ada menyangka bahwa “encik Marya” dengan pikiran muram merenungkan
kekurangan pengetahuannya sendiri. Tak diketahui mereka bahwa angan-angan guru
mereka itu ialah menjadi murid kembali, karena lebih suka ia belajar daripada
mengajar.
Alangkah sedihnya bagi Mania
memikirkan bahwa pada saat ia melihat pedati-pedati mengangkut lobak tebu
keliling, pada saat itu jugalah di Berlin, Wien, di Petersburg dan London
beribu-ribu pemuda dan pemudi sedang mendengarkan pelajaran-pelajaran dan
ceramah-ceramah, sedang bekerja dalam balai penyelidikan, musium dan rumah
sakit! Terlebih-lebih memikirkan bahwa padad universitet Sorbonne yang
termasyhur itu dapat belajr ilmu pasti, ilmu masyarakat, ilmu kimia dan ilmu
alam!
Lebih suka Mania belajar di Negra
Perancis daripada negara yang lain manapun, karena akebesaran dan kemuliaan
Perancis merawan hatinya sedang di Berlin da Petersburg pemerintahnya menindas
Bangsa Polandia. Di Prancis kemerdekaan dijunjung-tinggi, segala perasaan dan
semua agama dihormati dan semua orang yang sengsara dan diburu dari negeri
manapun mendapat suaka di sana. Mungkinkah tiba lagi saatnya bagi Mania ia naik
kereta api ke Paris? Mungkinkah masih ditakdirkan Allah kepadanya bahagia
sebesar itu?
Mania sendiri telah putus
harapannya. Telah duabelas bulan lamanya ia tinggal di suatu profinsi dalam
keadaan yang menegcewakan, sehingga angan-angannya telah goyah dan runtuh.
Walau pun keyakinannya dan impiannya penuh semangat akan tetapi bukanlah ia
seorang yang mengejar-ngejar bayangan-bayangan saja. Apabila dipikirkannya
dengan sadar bagaimana keadaannya maka dilihat ania-lah dengan terang bahwa
kedudukannya itu nampaknya tak asa mengandung harapan lagi di hari kemudiannya.
DI Warsawa bapaknya segerra akan memelukannya dan di Paris Bronia membutuhkan
bantunnya beberapa tahun lagi sebelum ia mendapat mata pencaharian sendiri. Dan
ia sendiri, Mania, sekarang tinggal di Szozuki sebagai guru rumah. Rancangannya
untuk mengumpulkan suatu dana yang dahulu dipandangnya dapat terlaksana
sekarang menyebabkannya tersenyum. Angan-angan kanak belaka, katanya! Tak akan
mungkin lagi dapat ia melarikan diri dari tempat semacam Szcozuki itu!.
Tetapi biarpun demikian,
seolah-olah ada suatu kekuatan batin yang deras mendorongnya sehingga tiap-tiap
malam ia bekerja dan mempelajari ilmu masyarakat dan ilmu fisik dari buku-buku
yang dipinjamnya dari perpustakaan kilang itu. Di samping bekerja sampai larut
malam itu diperluasnya pula pengetahuannya dalam ilmu pasti dengan perantaraan
surat menyurat dengan bapaknya!.
Semuanya nampaknya seolah-olah tak
ada lagi belas kasihan baginya. Sebagai seorang buangan ke daerah yang
terpencil ini tak ada lagi yang memimpinnya atau yang memberikan nasihat bagi
Mania. Dengan meraba-raba dan boleh dikata untung-untungan dicarinya jalannya
sendiri dalam sesatan ilmu pengetahuan yang hendak dikumpulkannya itu tetapi
harus terlebih dahulu dipungutnya dari buku-buku yang telah usang. Apabila sewaktu-waktu
ia kehilangan semangat maka dicampakkannya lah buku-bukunya itu dengan amrahnya
seperti anak-anak kaum tani itu membuangkan kitab pelajaran mereka kalau mereka
putus asa dalam ikhtiar mereka dalam belajar membaca. Tetapi biarpun demikian
diteruskannya usahanya itu dengan ketegaran hati seorang tani.
“Kesusasteraan dan ilmu masyarakat
kedua-duanya menarik perhatian dan minat aya”, tulis Mania empat puluh tahun
kemudian, “Tetapi dalam pekerjaan bertahun-tahun itu untuk mencari anguran saya
yang sebenarnya, akhirnya saya berpaling ke lapangan ilmu pasti dan ilmu fisik.
Dalam pelajaran-pelajaran saya
seorang diri itu banyak saya menemui kesulitan-kesulitan, karena pendidikan
berdasarkan ilmu pengetahuan yang saya peroleh di sekolah jauh dari lengkap –
jauh kurangnya dari pendidikan di Prancis. Saya coba mencukupi yang kurang itu
menurut pendapat saya sendiri dari buku-buku yang sewaktu-waktu saya temukan di
mana pun juga. Cara kerja serupa ini lah saya bisa bekerja sendiri dengan tak
ada pimpinan, sehingga banyak soal-soal saya pelajari yang kelak membawa faedah
bagi saya....”.
Semasa itu ditulisnya dari
Szcozuki :
Mania kepada Henriette, bulan
Desember 1886 :
“..... Kadang-kadang saya bekerja
mulai dari jam delapan sampai pukul setengah duabelas dan dari jam dua sampai
setengah delapan dengan tak ada putus-putusnya. Dari setengah duabelas hingga
jam dua kami melancong dan makan siang. Sehabis minum teh petang saya membaca
dengan Andzia – kalau ia tak nakal hari itu – dan sebaliknya kami bicara-bicara
atau saya lanjutkan kerja tangan saya yang juga pada waktu mengajar tak tanggal
dari dekat saya. Jam sembilan malam saya tumpahkan tenaga saya untuk buku-buku
saya dan bekerjalah saya, kalau sekiranya tak ada terjadi sesuatu dengan
sekonyong-konyoong yang menghalang-halanginya...”
Telah saya biasakan bangun jam
enam setiap pagi supaya dapat belajar lebih banayk, tetapi tak senantiasa dapat
saya laksanakan ini. Kami menginap di sini seorang tua yang sangat baik
hatinya, yaitu Andzia punya bapak serani dan atas permintaan nynya S. Saya ajak
dia mengajar saya main catur, agar ada kerjaannya. Kadang-kadang saya turut
main kartu sebagai pemain yang keempat dan inilah semuanya menghambat saya dan
buu-buku pelajaran saya itu.
Dewsa ini saya sedang membaca :
1. Physica, oleh Daniel, Jilid I
telah tamat saya baca.
2. Sosiologi, oleh Spencer, dalam
bahasa Perancis.
3. Pelajaran-pelajaran ilmu urai
dalam Ilmu Fa’al, oleh Paul Bers, dalam bahasa Rusia.
Buku-buku ini saya
berselang-seling karena klau saya telan terus menerus satu pelajaran saja, maka
kepala saya yang telah penuh padat itu akan pecah! Kalau saya rasa tak berdaya
lagi membaca dengan ada gunanya maka saya carilah soal-soal aljabar dan ilmu
ukur yang selalu meminta perhatian sepenuhnya, sehigga dengan cara demikian
saya kembali kepada jalan semula.
Bronia menulis dari Paris bahwa ia
menemui kesulitan-kesulitan berhubung dengan ujian-ujiannya, bahwa ia kerja
akeras dan bahwa kesehatannya terganggu.
“.... Rancangan saya untuk
kemudian hari? Tak ada rencana saya, atau lebih tepat lagi saya katakan
rancangan saya itu sembarangan dan sederhana saja, sehingga tak ada artinya
menyebutkannya. Saya berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan ini dengan segala
daya upaya yang ada pada saya dan kalau tak ada lagi kekuatan saya kelak, maka
saya akan ucapkan selamat tinggal kepada dunia ini : Tak akan banyak kerugian
karena daku, ratap tangis bagiku tak akan lama tak akan lebih lama dari pada
untuk orang-orang lain.
Dewasaini hanya rancangan saya.
Beberapa orang mengatakan bahwa, bagaimana pun juga, saya harus menderita
penyakit yang dinamakan orang : Cinta. Ini lah yang tak sesuai dengan
rancangan-rancangan saya itu. Kalau pun dahulu saya mempunyai
rancangan-rancangan yang lain adalah itu sekarang telah hangus semuanya, telah
sya kuburkan, telah saya kuncikan dan lupakan karena seperti kau ketahui juga :
pagar-pagar tembok lebih kuat daripada kepala-kepala yang hendak
meruntuhkannya.”
Pikiran-pikiran remang terhadap
membunuh diri itu, kalimat berisi kecewa dan sindiran tentang cinta itu perlu
diberikan keterangannya. Menerangkannya itu bukanlah pekerjaan yang sulit.
Boleh disebutkan itu, “Hikayat roman seorang gadis miskin”. Telah banyak
roman-roman bersifat sentimen yang menceritakan semacam ini.
Hikayat Mania ini mulai tatkala ia
menjadi cantik-molek, walau pun pada masa itu ia belum mempunyai kehalusan yang
terlihat dari gambaran-gambarannya di kemudian hari. Tetapi anak gadis yang
dahulu kala agak terlmpau tegap perawakannya itu sekarang telah cantik manis.
Warna mukanya dan rambutnya merawan hati, pergelangannya dan mata kakinya amat
rampingnya. Dan walau pun air mukanya tidak rata dan semppurna, akan tetapi
merawan hati juga, karena tanda ketegaran hati yang tersimpul dekat mulutnya,
karena matanya berwarna kelabu yang besar nampaknya disebabkan tajamnya
pandangannya.
Maka tatkala anak sulung keluarga
S, itu Casimir namanya, datang dari warsawa, mula-mula untuk beberapa hari
besar, kemudian semasa libur panjang, maka bertemulah di rumah orang tuanya itu
seorang guru rumah yang pandai berdansa, mendayung, bersepatu es dan di samping
itu jenaka dan berpenedidikan, yang pandai pula mengarang syair serta naik kuda
atau mengendari kereta brik, tetapi dalam pada itu berbeda amat berbedanya –
secara gaib dari anak-anak gadis yang dikenalnya sebelum itu. Maka ia pun jatuh
cinta terhadap Mania, sedang Mania sendiri yang dibalik keyakinan-keyakinan
refolusionernya itu menyimpan suatu hati yang lekas terharu, mencintai
mahasiswa muda dan pintar dan gagah itu pula. Umur Mania belum ada sembilanbelas
tahun dan Casimir lebih tua sedikit dari dia. Dirancang mrekalah hendak kawin.
Nampaknya tak ada yang
menghalang-halangi perkawinan merek. Sebenarnya, di Szcozuki Mania hanya “encik
Marya” guru rumah keluarg S., tetapi semuanya telah sayang kepadanya : Tuan S.
Kerap kali melancong dengan Mania di padang-padang sedang nyoya S.
Melindunginya dan Bronia menyayanginya dengan sangatnya. Banyak diunjukkan
mereka perhatian mereka terhadap Mania dan beberapa kali diundang mereka
bapaknya, abangnya dan kakak-kakaknya. Pada hari lahirnya diberikan mereka
Mania hadiah-hadiah dan bunga. Karena itu tak ada syak wasangka Casimir bahkan
hampir dengan penuh kepercayaan dan pengharapan dimintanyalah persetujuan orang
tuanya untuk pertunangan mereka.
Tak perlu ia menunggu lama untuk
jawabannya. Bapaknya gusar, ibunya hampir jatuh pingsan. Ia, Casimir jantung
hati mereka, hendak kawin dengan seorang anak gadis yang tak mempunyai harta
sehingga terpaksa ia mencari pekerjaan sama orang lain! Pada hal bila saja
dikehendaki dapat ia meminang gadis jodoh yang sebaik-baiknya di seluruh daerah
itu! Apakah ia telah menjadi gila?
Dengan sekejap mata telah
didirikan kembali pagar tembok timbangan kemasyarakatan yang memihak dalam
rumah keluarga S. Yang membanggakan diri memandang Mania sebagai seorang teman.
Kenyataan bahwa anak gadis ini berketurunan baik, berpengetahuan, cerdik, dan
mempunyai nama yang tak cemar oleh suatu apap pun, sedang bapaknya sendiri
seorang yang dihormati di Warsawa, tak dapat meruntuhkan tembok itu dan tak berarti
terhadap empat buah perkataan yang tak mengetahui belas kasihan : Mustahil
menikahi seorang guru rumah!.
Kaena petuah-petuah dan
sesalan-sesalan ini maka mahasiswa itu pun goncang mengambil keputusan. Ia
bukan seorang berhati yang teguh dan ia takut berselisih dengan keluarganya.
Mania berkecil hati karena penghinaan oleh orang-orang yang lebih rendah dari
dia itu, san diambilnya sutu sikap yang tak pada tempatnya dengan menarik diri
serta membungkam. Telah diputuskannya bahwa sedikit pun tak akan dipirkannya
lagi tentang peristiwa ini.
Tetapi percintaan itu samalah
jalannya dengan hasrat mencari nama : kedua-duanya dapat dihukum mati, tetapi
belumlah cukup itu untuk mematikannya.
Tak sampai hati Mania mengambil
keputusan yang berat tetapi yang setepat-tepatnya dalam hal ini, yaitu
berangkat dari sana. Ia takut menguatirkan bapaknya. Selain dari itu tak
mungkin baginya meninggalkan pekerjaan sebagus itu : Karena uang simpanan
Bronia telah habis terpaksalah ia dengan bapaknya membelanjau pelajarannya di
Paris. Iap-tiap bulan dikirimkannya kepada Bronia limabelas, kadang-kadang dua
puluh rubel, yaitu hampir setengah dari gaji sebesar itu? Antara keluarga S.
Dan Mania tak ada pembicaraan langsung dan tak ada percekcokan. Karena itu
lebih baik menerima penghinaan itu dan pura-pura tak ada yang terjadi!
Hidupnya pun berlangsung lah
seperti sedia kala. Mania memberikan pelajaran, merengut terhadapat Andzia dan
dibangunkannya Julek yang selalu tertidur ketika bekerja rohani. Pekerjaannya
di kalangan anak-anak kaum tani dilanjutkannya dan seperti sedia kala
ddipelajarinya buku-buku ilmu kimia, walau pun dalam dirinya ia menertawakan
ketegaran hatinya yang tak ada gunanya itu. Ia main catur, menghadiri pesta
dansa dan melancong melaui hujan dan panas hari ...
“Pada musim dingin”, ditulisnya di
kemudian hari “padang-padang salju yang meluas itu indah juga nampaknya dan
kami mengadakan perjalanan dengan kereta pengeretan. Sewaktu-waktu hampir tak
kami kenal lagi jalanan itu.
“Jaga lah jangan sampai tersessat,
saya serukan kepada kusir kami itu. Maka ia pun menjawab : “Sudah lama kita
sesat! Atau : jangan lah takut encik, akan tetapi pada saat itu terbaliklah
kereta itu. Tetapi bencana-bencana semacam itu hanya menambah kegirangan kami
dalam perjalanan serupa itu.
“.... Saya masih ingat juga lagi
bahwa kami mendirikan sebuah pondok salju yang indah seketika salju
berhimpun-himpun di apdang-padang itu. Kami dapat duduk di dalamnya dan
memandang dari dalam ke laur melihat-lihat luasan yang memutih merah jambu...”
Tak beruntung dalam percintaan,
kecewa dalam keinginan belajar dan selalu kekurangan uang disebabkan kehabisan
gajinya setelah dibantunya yang lain-lain itu, berikhtiar lah Mania melupakan
nasibnya dan kebiasaannya sehari-hari seolah-olah ia seorang yang terkandas di
suatu pulau. Selalu ia berhubungan dengan keluarganya, bukan untuk meminta
bantuan dari mereka, bahkan bukan untuk mengucapkan kata-kata sakit hatinya,
tetapi di setiap suratnya itu ia memberikan nasihat dan ditawarkannya
bantuannya kepada mereka. Yang diingininya ialah agar keluarganya mendapat
hidup yang selayaknya.
Mania kepada Yosep pada tanggal 9
Maret 1887.
“,.... Pada hemat saya lebih baik
kau pinjam uang seratus rubel untuk tinggal di Warawa daripada pergi mengumpet
dalam suatu propinsi yang terpencil. Janganlah kau marah, abang sayang, kalau
saya berkata bodoh sekarang, karena kau tahu bahwa saya dari dulu biasa
menyatakan pikiran saya dengan terus terang.
Tetapi kau sendiri mengetahui
bahwa menurut pendapat umum pun tak mungkin lagi ada kesempatan memperluas dan
memperdalam pengetahuan atau membuat percobaan-percobaan, jikalau kau telah
membuka praktek di sesuatu kota kecil. Srupalah itu dengan masuk kubur dengan
tak ada kemungkinan untuk ke luar lagi dari sana, karena kalau tak ada di sana
rumah sakit, rumah obat atau buku-buku maka kelalaian dan kealpaan lah
akibatnya, sehingga akemauan baik yang cukup banyak pun tak dapat memberikan kemajuan lagi. Saya
akan bersedih hati sekiranya engkau sendiri mengalami sedemikian, karena saya
sendiri telah putus harapan akan mendapat kesempatan lagi menjadi seorang yag
ada artinya, sehingga engkau dan Bronia sajalah yang akan dapat memuaskan hemat
tingggi saya. Engkau dan Bronia keduanya tentu akan dapat menyesuaikan hidupmu
denga kurnia yang pasti ada tersembunyi dalam keluarg kita dan yang tak akan
kunjung padam itu, malahan akan menyala-nyala keluar dengan perantaraan salah
seorang dari kita! Semakin kusesali diriku sendiri semakin besarlah
pengharapanku terhadap engkau dan Bronia....
Barangkali engkau menertawakan aku
atau angkat bahu mendengar petuah-petuah sya ini, karena tak bisa aku menulis
semacam ini, tetapi ini saya tumpahkan dari hati yang suci murni. Telah lama
saya pikirkan ini, bahkan semenjak kau mullai belajar di Warsawa....
Di samping itu ingat jugalah
bagaimana girangnya bapak kita nanti kalau kau berdekatan dengan dia! Kau
disayanginya benar, lebih dari pada salah seorang dari kita semuanya!
Pikirkanlah sekiranya Hela kawin dengan tuan B. Dan engkau berangkat dari
warsawa, siapakah lagi yang akan tinggal di dekatnya, tinggalah ia seorang
diri? Alangkah sedihnya hatinya nanti! Pada hal engkau dan bapak dapat tinggal
bersama-sama dan semuanya akan dapat terurus dengan beres! Tetapi jangan kau
lupa berhemat memakai tempat, kalau-kalau kami pulang kembali!”
Mania menulis pada tanggal 1 April
1887 kepada Henriette yang telah melahirkan seorang anak yang tak bernyawa :
“... Alangkah pedihnya perasaan
seorang ibu yang telah mengalami percobaan-percobaan sedemikian banyaknya
dengan percuma! Asal kita mengatakan dengan tawakkal : “Takdir llah dan kita
harus tunduk kepada kemauan-Nya!” Maka dengan cara sedemikian dapatlah
kesedihan itu di obati walau pun untuk sebahagian saja! Tetapi sayang, tak
semua orang mendapat lipur-lara semacam itu. Sekeliling saya kulihat abagaimana
beruntungnya orang-orang yang dapat menerima keterangan serupa ini, tetapi yang
ganjilnya ialah bahwa semakin saya insyafi bagaimana beruntungnya mereka itu
semakin tak berdaya rasanya saya turut beriman dan beruntung seperti mereka itu.
Mania menulis kepada Yosep pada
tanggal 20 Mei 1887 :
“... Saya belum tahu apakah murid
saya, Andzia turut dalam ujian, tetapi saya sendiri telah gemetar memikirkannya
sekarang. Minatnya dan ingatannya sangat mengecewakan! Begitu pula Julek!
Ikhtiar mengajar mereka serupa dengan mendirikan gedong di antara pasir, karena
bila mereka telah mempelajari sesuatu hal maka yang diajarkan kemarin mereka
telah lupa pula. Sewaktu-waktu mengajar itu merupakan siksaan bagi saya. Selain
dari itu saya takut melihat diri saya sendiri, karena kadang-kadang perasaan
saya seolah-olah saya menjadi bodoh disebabkan hari-hari berselang malam dengan
cepat dengan tak ada membawa kemajuan dalam pelajaran saya sendiri. Juga
pelajaran-pelajaran bagi anak-anak kampung di sini telah saya hentikan
berhubung dengan misa-misa semasa bulan menghormati Maria ini.
Padahal tak banyak yang
kukehendaki untuk menyenangkan hati saya : Yang saya ingin hanyalah perasaan
bahwa saya telah berbakti ....”
Selnjutnya berhubung dengan
gagalnya niat perkawinan Hela :
“Dapatlah saya fahamkan bagaimana
cinta akan dirinya melukai hati Hela itu ... Lambat laun pandangan saya
terhadap orang lelaki sangat bagusnya! Kalau mereka tak mau kawin lagi dengan
seorang anak gadis yang tak mempunyai harta, baiklah! Tak ada orang yang
memintanya berbuat demikian, akan tetapi apakah gerangan perlunya mereka
menghina pula lagi, apakah perlunya mencuri ketenangan hati seorang anak yang
tak bersalah?
“.... Saya harap mendapat kabar
yang menghiburkan hati saya dari engkau! Kerap kali saya bertanya dalam hati
saya bagaimanakan keadaanu sekrang dan apakah engkau tak menyesal tinggal di
warsawa? Tentu tak perlu saya kuatir, karena saya yakin bahwa engkau akan dapat
mengatasi kseulitan-kesulitan mu itu. Untuk kamum wanita selalu lebih sukar
tetapi bahkan saya sendiri masih mempunyai harapan yang remang-remang bahwa sya
tidak akan tenggelam seluruhnya...”
Mania kepada Henriette pada
tanggal 10 Desember 1887.
“..... Janganlah kau percaya
berita-berita yang mengatakan bahwa tak berapa lama lagi saya akan kawin,
karena tak ada alasannya berita-berita itu; omong kosong itu telah disebarkan
orang di seluruh daerah ini, bahkan di Warsawa pun telah tersiar kabar ini.
Walau pun saya tak dapat menghambat-hambatnya saya takut akan mendapat kesulitan-kesulitan
karena itu.
Rancangan-rancangan saya untuk
hari kemudian sangat sederhana : hasrat saya ialah mempunyai suatu tempat diam
bersama-sama dengan Bapak kita. Orang tua itu memerlukan saya, ingin benar ia
supaya tinggal di rumah, karena rindunya kepada saya! Untuk merebut kemerdekaan
saya kembali dan mempunyai rumah sendiri saya bersedia mengorbankan setengah
jiwa saya.
Karena itu sedapat mungkin saya
akan berangkat dari Szcozuki ini, tetapi beberapa waktu lagi baru mungkin ini.
Saya akan menetap di Warsawa dan akan menerima pekerjaan di sesuatu sekolah,
sedang di samping itu saya akan menabah pencaharian saya dengan memberikan
pelajaran-pelajaran istimewa. Ini sajalah yang saya ingin. Tak ada faedahnya
bersusah-susah dalam hidup manusia ini....
Mania kepada Yosep pada tanggal 18
Maret 1888.
“Yosua sayang, untuk surat ini
akan saya pergunakan perangko saya yang penghabisan. Karena saya tak mempunyai
uang lagi, satu sen pun tidak, tak akan dapat lagi saya mengirim surat kepadamu
sebelum hari-hari besar yang akan datang, terkecuali kalau kebetulan saya
memperoleh perangko lagi.
Maksud surat saya ini ialah
mengucapkan selamat berhubung dengan hari-harimu dan percayalah engkau, jika
saya terlambat menulis surat ini adalah itu semata-mata disebabkan saya tak
mempunyai uang dan perangko secukupnya, Suatu hal yang sangat menyusahkan hati
saya. Seperti kau ketahui, bagaimana keluhan saya karena keinginanku hendak
pergi ke Warsawa untuk beberapa hari! Jangan lagi kubicarakan tentang pakaianku
yang hampir tak terpakai lagi dan perlu diurus .... Tetapi rohanipun saya tak
dapat lagi berdaya. Ah, sekiranya saya dapat pergi beberapa hari dari suasana
yang mengerikan dan membekukan pikiran saya ini dan meninggalkan
teguran-teguran serta pengawasan-pengawasan yang mengamat-amati saya dengan tak
ada putusnya : setiap perkataan saya, air muka saya, gerak-gerik saya!
Keinginan saya pergi dari sini serupa dengan kebutuhan orang mandi air dingin
pada terik panas! Selain dari itu banyak lagi sebab-sebab saya mengingini perubahanitu!.
Sejak beberapa lama Bronia
mengirim surat lagi kepada saya. Pasti ia pun tak mempunyai perangko lagi ...
Jikalau ada perangkomu, kirimlah aku surat, inilah permintaanku! Ceritakanlah
dengan jelas segala yang terjadi di rumah, karena surat-surat dari ayah dan
hela penuh keluh kesah, tetapi saya bertanya dalam hati saya apakah
sebenarnyalah keadaan di sana mengecewakan. Saya kuatir dan di samping itu ada
pula pelbagai kesukaran-kesukaran saya di sini yang ingin saya ceritakan, akan
tetapi baiklah jangan. Sekiranya saya tak memikirkan Bronia, hari ini juga saya
minta lepas dari pekerjaan saya dan mencahari yang glain, bagaimana pun
bagusnya gaji saya dalam pekerjaan saya yang sekarang.”
Mania menulis kepada temannya
Kazia (yang telah memberitahukan pertunangannya dan akan menemuinya beberapa
hari) pada tanggal 25 Oktober 1888 :
“Tak ada sedikit pun dari yang
engkau percayakan kepadaku itu menurut pendapat saya terlebih-lebih dan tak ada
yang merupakan tertawaan bagi saya. Bagaimanakah mungkin adik angaktmu ini akan
tidak mempunyai perhatian untuk segala sesuatu yang mengenai dirimu,
seolah-olah itu semuanya mengenai diri saya sendiri?
Saya sendiri bersikap girang dan
kerap kali saya selubungi perasaan saya yang perasaannya sederhana perasaan
saya ini, tetapi tak berdaya mengubah tabiat mereka itu, harus menyembunyikan
isi hati kalbu mereka itu sebaik-baiknya. Tetapi apakah kau pikir ada
faedahnya? Sekali-kali tidak! Dalam kebanyakan hal saya terbawa-bawa karena
semangat saya yang berapi-api itu dan.... ya, maka diucapkanlah kata-kata yang
disessali di kemudian hari, tetapi disessali pula dengan berlebih-lebihan.
Surat saya ini agak pedih sedikit,
Kazia, tetapi tak ada jalan lain bagi saya. Kau tulis bahwa kau telah mengalami
masa sepekan yang terbagus dalam hidup mu selam ini dan saya, sebaliknya, di
mana liburan ini hidup berpekan-pekan dalam ekadaan yang tak akan pernah kau
alami. Beberapa hari di antaranyasangat berat bagi saya, dan hanya suatu hal
yang meringankan beban sya itu, yakni keteguhan hati saya melaluinya dengan
kepala tegak (kau lihat, sikap saya yang dahulu memanaskan hati encik Mayer
terhadap saya masih ada pada saya).
“.... Kau akan berpendapat bahwa
aku dipengearuhi perasaan, Jangan takut, tak akan saya ulangi kesalahan saya
itu, tetapi pada masa akhir-akhir ini saya amat gelisah. Ada beberapa orang
yang bersalah dalam hal ini, tetapi ini tidak akan menjadi halangan bagi saya
datang gke ttempatmu dengan suka ria seperti sedia kala. Alangkah banyaknya
yang akan kita bicarakan! Baiklah saya bawa sebuah gembok untuk mulut
kita,kalau tidak, kita tidak akan tertidur sebelum parak siang! Apakah ibumu
akan menjadikan limonade dan es coklat untuk kita seperti sediakala?”
Mania menulis kepada Yosep,
Oktober 1888.
“Dengn sedih hati saya melihat almanak
saya : Hari ini telah saya pergunakan lima buah perangko, beum lagi kertas
tulis. Karena itu akan lama dapat lagi saya menceritakan sesuatu apa kepadamu.
Cobalah pikirkan, saya belajar ilmu kimia dari sebuah kitab. Tetntu kau
mengarti bahwa banyak hasilnya, tetapi apalah dayaku, karena tak ada kesempatan
lagi saya amengadakan pecobaan percobaan!
Dari paris saya dikirimi sebuah
album oleh Mania. Alangkah bagusnya barang itu!”
Mania kepada Henriette pada
tanggal 25 Nopmeber 1888.
“Saya sangat sedih hati, karena
angin baratlah yang mengawani kami
sekarang setiap hari, ditambah pula denan hujan, bajir dan lunpur.
Hari ini napaknya langit lebih bercuaca, tetapi angin masih
meraung dalam cerobong pemanas kamar. Hawa dingin tak sampai membekukan,
sehingga sepatu es, saya tergantung saja dalam lemari. Barangkli kau tak
mengetahui bahwa dalam propinsi ini hawa beku dan segala kenikmatan yang
berhubungan dengan itu bagi kami sama pentingnya dengan percekcokan antara kaum
kolot dan kaum muda di Galicia ....
Tetapi janganlah aku pikir bahwa
karena hal itu ceritamu itu bosan saya mendengarnya : sebaliknya, saya merasa
puas kalau saya lihat bahwa di dunia ini masih ada tempat manusia bekerja,
malahan berpikir! Jikalau kau hidup di tengah-tengah perdebatan, adalah hidup
saya merupakan hidup siput-siput dalam air sungai yang keruh. Untung lah ada
harapan saya segera akan bangun dari mati berangai ini.
Saya bertanya dalam hati saya
bagaimanakah pendapatmu jika kau liha saya kembali, apakah menurut pendapatmu
masa yang lalu di tengah-tengh orang-orang lain itu berfaedah bagi saya atau
tidak. Orang semuanya bependapat bahwa selama saya diam di Szcozuki saya tengah
dangat berubah, mau pun jasmani, mau pun rokhani. Hal ini tidaklah
mengherankan. Tat kala saya tiba di sini saya belum berumur delapan belas tahun
dan alangkah banyaknya ayang saya alami selama ini? Ada beberapa waktu yang
bagi saya pasti merupakan saat-saat yang sepahit-pahitnya dalam hidup saya.
Semuanya saya rasai dengan hebatnya, dengan kehebatan jasmani : maka saya
tegurlah diri saya dan berkat kekuatan tabiat saya kemenangan adalah di pihak
saya, sehingga seolah-olah saya bangun dari suatu tengahmalam ... Aturan dasar
yang terpenting ialah : Jangan mau dikalahkan
manusia, maupun oleh peristiwa peristiwa.
Saya menghitung ghari dan jam yang
memisahkan saya dari heri-hari besar dan haro-hari berankat pulang ke rumah.
Keinginan mendapat kesan-kesan yang baru, perubahan, hidup, gerakan, semuanya
ini sewaktu-waktu seakan-akan mecekik leher saya, sehingga hampir saya gila
melakukan sesuatu perbuatan untuk memutuskan belenggu kebiasaan sehari-hari
yang telah lapuk itu. Untunglah banyak pekerjaan saya sehingga hanya jarang
timbul godaan itu dalam hati saya.
Inilah tahun penghabisan di sini
bagi saya. Karena itu semakin perlu saya berdaya upaya sebanyak mungkin agar
murid-murid saya itu lulus dalam ujian mereka nanti!.
BAB. VII : L A
R I
Telh tiga tahun sejak “Encik
Marya” menjadi guru rumah. Tiga tahun tersepi dan membosankan : kerja banyak
tetapi uang tak ada, beberapa keriaan yang tak ada artinya, suatu kesedihan.
Tetapi sekarang mulai lah hidup Mania (yang smapai sekian merta saja
perjalanannya) ada geraknya walau pun dengan lambat-laun dan dengan tak
ternyata. Di Paris, Warsawa, dan di Szcozuki terjadi peristiwa-peristiwa yang
meskipun tak penting nampaknya tetapi mengandung kemungkinan magi Mania untuk
mendapat kemenangan dalam pertarungan yang mempertaruhkan hidupnya itu.
Setelah Sklodowski dipensiuankan
sebagai pegawai, maka berusaha mendapat suatu pekerjaan yang memberikan untung
banyak baginya. Hendak diusahakannya membantu anak-anaknya tiu dan dalam bulan
april 1888 diterima lah suatu pekerjaan yang banyak kesukaran-kesukarannya
serta tak mengenal belas kasihan : Ia diangkat menjadi pemimpin sebuah rumah
pendidikan untuk anak-anak yang nakal di Studzieniec, tak berapa jauh dari
Warsawa.
Suasana dan sekitarnya semuanya
tak menyenangkan di sana, terkecuali gajinya yang agak tinggi juga, sehingga
dengan segera dapat diberikannya sebagian kepada Bronia untuk belanja pelajarannya.
Yang pertama-tama dilakukan Bronia
sekarang ialah memperingati Mania supaya jangan lagi dikirimnya uang kepadanya
dan tindakannya kedua ialah meminta kepada bapaknya agar dari empat puluh rubel
yang dikirimnya itu tiap-tiap bulan disimpannya delapan rubel guna mebayaran
kembali dengan berdikit-dikit uang yang diterimanya dari Mania. Mulai saat itu
bintang Mania yang sampai sekarang tak bercahaya lagi bertambah lama bertambah
terang.
Surat-surat mahasiswa ketabiban
dari Paris membawa kabar lain pula dari sana. Bronia telah bekerja. Ia telah
lulus dalam ujiannya. Dan ia telah bercinta-cintaan! Cinta kepada seorang
bangsa Polandia bernama Casimir Dluski, seorang temannya belajar yang cerdik
dan penuh kebajikan. Keadaannya yang laur biasa hanyalah ia tak diperkenankan
tinggal di Polandia, kalau tidak ia akan terbuang ke luar negeri.
Tugas Mania di Szcozuki hampir
berakhir. Dalam tahun 1889, mulai dari Hari St Yohannes, tak dibutuhkan lagi
tenaganya di sana. Karena itu haruslah ia mencari pekerjaan yang lain. Guru
rumah yang masih muda itu telah mengetahui suatu jabatan pada seorang pengusaha
besar di Warsawa. Inilah perubahan yang telah lama diidamkan Mania itu!.
Pada tanggal 13 Maret 1989, Mania
menulis kepada Kazia :
“Lima minggu lagi Hari Paskah ...
Tanggal yang penting bagi saya, karena pada saat itulah nasb saya mendapat
kepastian. Selain pekerjaan pada tuan F. Itu ada lagi tawaran lain bagi saya.
Saya bimbang antara pekerjaan yang dua itu dan saya tak tahu yang mana akan
saya pilih!.
“... Pikiran saya tak lain dari
mengingat Hari Paskah. Kepala seolah-olah terbakar oleh rancangan-rancanagan
saya sebanyak itu! Tak tahu aku lagi apa akan kuperbuat! Mania engkau ini
sampai hari akhirnya akan tetap merupakan mesiu...”
Selamat tinggal Szcozuki dan pedagang-pedagang
lobak tebu! .... Dengan senyuman manis – pada kedua belah pihak agak terlampau
manis --- Mania memohon diri dari keluarga Szcozuki. Terlepas dari belenggunya
ia kembali ke Warsawa dan mengecap hawa udara tempat lahirnya yagn disayanginya
itu.
Tetapi segera sesudah itu ia telah
duduk lagi dalam kereta api dalam perjalanannya ke suatu kota permandian yang
tak ramai dekat Laut Timur, yaitu Zoppot, ttempat majikannya yang baru menunggu
kedatangannya.
Mania menulis dari Zoppot kepada
Kazia pada tanggal 14 Juli 1889.
“Perjalanan saya berlangsung
dengan baik, walau pun perasaan faalku semula tidak menggembirakan aku ... Tak
seorang pun yang merampok aku ... bahkan tak seorang pun yang mencobanya – dan
tak sekalipun aku khilaf seketika bertukar kereta api yang lima kali itu,
sedang semua serdelki habis aya makan : hanya roti dan gula-gula yang saya
habiskan.
Selama perjalanan saya itu, saya
selalu dilindungi orang-orang ramah-tamah yang memebantu saya mengatasi segala
kesulitan-kesulitan. Karena saya takut kalau-kalau mereka dalam keramahannya
akan menghabiskan perbekalan saya juga, maka saya sembunyikan sedikit serdelki
saya itu dari mereka!
Tuan dan Nyonya F. Menunggu saya
di stasiun kereta api. Amat baik hati suami istri itu dan saya suka melihat anak-anak
mereka itu. Saya pikir karena ia semuanya akan berjalan dengan beres dan
sepantasnyalah itu!”
Kehidupan dalam Hotel Schultz,
yang menurut Mania selalu dikunjungi oleh seragam orang saja yang hanya
membicarakan soal pakaian dan soal-soal lain yang tak penting semacam itu, tak
ada seling-selingannya.
“Dinginhawanya di sini, semua
aorang tinggal di rumah : Nyonya F. Suaminyam ibunya – mereka itu semuanya
muring-muring, sehingga sekiranya mungkin saya ingin mengumpet di bawah tanah!”
Tetapi tak lama lagi maka
ibu-bapak anak-anak dan guru rumah itu kembalilah ke Warsawa.
Tahun berikutnya berarti bagi anak
gadis itu suatu masa libur yang agak menyenangkan hatinya sedikit. Nyonya .
amat cantiknya, sangat gayanya dan kaya sekali! Ia mempunyai baju mantel dari
bont yang banyak jumlahnya dan intan-permata. Dalam lemarinya tergantung
baju-baju gaun buatan Worth dan salonnya dihiasi dengan sebuah gambaranya
berpakaian malam kebesaran. Semasa inilah Mania sebagai penonton mempersaksikan
barang-barang yang indah-indah dan menawan hati seperti hanya dapat dimiliki
oleh seorang wanita yang kaya dan dimanjakan, akan tetapi tak akan pernah
dimilikinya sendiri.
Buat pertama kalinya tetapi juga
untuk penghabisan kalinya Mania bertemu dengan kemewahan! Hidupnya bertambah senang
berkat baik hati Nyonya F, yang tertawan hatinya oleh encik Marya yang manis
itu sehingga dimana-mana dipujinya Mania dan dimintanya supaya guru rrumah itu
hadir disegala jamuan makan dan pesta dansa....
Tetapi pada suatu hari datanglah
surat dari Paris yang diterima Mania seolah-olah ia disambar petir. Surat
diatas kerta bergariskan kotak yang ditulis Bronia diantara dua kuliah. Dalam
surat itu ditawarkannya rumahnya yang baru bagi Mania untuk tahun yang akan
datang!
Bronia menulis dari Paris kepada Mania
dalam bulan Maret 1890: “Jika semuanya berjalan seperti kami harapkan pastilah
bahwa saya akan menikah menjelang masa libur ini. Tunangan saya sewaktu itu
telah siap belajar kedokteran dan saya sendiri hanya satu ujian saja lagi yang
perlu saya tempuh. Beberapa tahun lagi kami akan tinggal di Paris untuk
ujian-ujian lanjutan saja dan sesudah itu kami akan kembali ke Polandia.
Rancangan kami ini sangat bagusnya, bagaimanakah pendapatmu? Jangan kau lupa,
umur saya telah dua puluh empat tahun – yang tak ada artinya – tetapi tunangan
sya itu sudah berumur tiga puluh empat tahun, suatu hal yang memang penting!
Jika menunggu-nunggu lagi tentu kami akan ditertawakan!
... Tetapi sekarang kau sendiri,
Mania sayang, sdah waktunyalah kau membina hidupmu sendiri! Sekiranya tahun ini
kau simpan beberapa ratus rubel, maka dapat lah kau tahun depan datang ke Paris
dan tinggal bersama-sama kami, sehingga tak perlu lagi kau memikirkan
pemondokan dan makananmu. Ratusan rubel yang saya maksud itu pasti kau perlukan
untuk membayar pendaftaranmu di Sorbonne. Tahun pertama kau tinggal
bersama-sama kami. Apabila tahun ke dua tahun ke tiga kami tidak di sini lagi,
seburuk-buruknya jikaarangkali sebaiknyalah jika kau tukar uangmu itu sekarang,
karena sekarang nilainya dewasa ini masih bagus, tetapi mungkin nanti harganya
akan turun...”
Tetapi janganlah pikirkan bahwa
Mania membalas surat itu dengan gembira atau bahwa iamerasa beruntung dan
bersedia berangkat. Masa pembuangan bertahun-tahun itu sebaliknya dari
menyakiti hatinya, telah emngakibatkan ia hampir kegilaan segan mengambil
sesuatu tindakan; karena ia telah berjanji akan tinggal bersama-sama dengan
bapaknya, karena ia ingin membantu kakaknya Hela dan abangnya Yosep, maka ia
tak bersedia lagi pergi dari sana. Inilah jawabannya atas undangan Bronia itu :
Mania menulis dari Warsawa kepada
Bronia apda tanggal 12 Maret 1890:
“Bronia yang ku cinta, saya sangat
bodohnya sampai sekarang ini dan seumur hidup akan tinggal bodohlah saya atau
lebih baik saya katakan : Tak pernah saya beruntung dan tetap nasib saya sial!
Saya memimpikan Paris sebagai
Penebusan Dosa, tetapi telah lama saya putus harapan akan pergi ke sana. Dan
sekarang kesempatan itu ditawarkan kepada saya tetapi tak tahu saya putusan apa
harus saya ambil ... Saya takut menceritakannya kepada bapak kita : Saya pikir
besar hatinya mengingat maksud saya akan tinggal bersma-sama dengan dia tahun
depan seperti telah lama diidamkan-idamkannya; saya ingin memberikan perasaan
bahagia kepadanya pada usia lanjut ini.
Sebaliknya saya bersedih hati
memikirkan bagaimana terbuang-buang saja pemberian-pemberian saya selama
ini yang tentu ada juga harganya. Selain
dari itu telah saya janjikan Hela akan berikhtiar sedapat mungkin agar dapat ia
pulang ke rumah tahun depan dan mencoba mendapat pekerjaan untuk dia di Warswa.
Kau tak tahu bagaimana kasihannya saya melihat dia! Hela akan tetap merupakan
“Anak yang belum akal baligh” dalam keluarga kita dan menjadi kewajiban sayalah
rasanya menjaga dia – sebenarnya-lah dibutuhkannya penjagaan ini!”
Tetapi tentang kau sendiri,
Bronia, saya harap supaya kau berikan seluruh tenagamu untuk kepentingan Yosep
– janganlah hiraukan perasaan itu! Bukankah dalam Injil tertulis dengan tegas :
“Ketoklah pintu itu, dan ia akan terbuka untuk negkau!” Bahkan sekali pun cinta
dirimu sendiri harus disampaikan sedikit, apalah artinya itu? Permintaannyang diajukan dengan ramah dan hormat tak akan
dapat menghina seorang pun. Alangkah bagusnya kalau sya menulis surat
itu! Tegaskanlah kepada nyonya itu baha bukanlah soal jumlah uang yang tidak
besar itu yang penting, tetapi dengan beberapa ratusan rubel itu saja adalah
kemungkinan bagi Yosep untuk tinggal di Warsawa dan belajar di sana sambil
memperdalam pengetahuannya; tegaskan juga bahwa hari kemudian-nya bergantung kepada
uang itu, sedang kepintarannya akan terbuang-buang saja jika ia tidak dapat
bantuan itu .... Tulislah itu dengan jelas, Broneczka, karena kalau tulis dia
sekedar meminjam uang itu saja, tak akan dihiraukannya riwayatnya itu :
bukanlah begitu caranya untuk mencapai sesuatu hasil di dunia ini. Sekiaranya
pun dirasanya kau terlampau mendesak-desak apalah slahnya itu? Apakah salahnya
asal tercapai maksud kita itu! Apakah memang telah terlamau banyak permintaan
kita itu? Bukankah banyak lagi orang-orang yang kadang-kadang lebih lancang
pula? Berkat bantuan ini dalapatlah Yosep berbakti bagi masyarakat,s edang
sebaliknya jika pergi ke suatu propinsi pasti ia akan terbenam!
Kau bosan mendengan cerita saya
ini tentang Hela, Yosep dan Bapak kita dan dengan uraian hari kemudian saya
yang telah gagal ini. Berat rasanya hari saya dan saya bersedih hati sehingga
saya insyaf bahwa tulisan ini semuanya akan meracuni kebahagianmu itu. Hanya
engkau lah dari kita sekeluarga yang berbahagia. Maafkanlah saya, tetapi hal-hal
yang menyedihkan hati saya sedemikian banyaknya, sehingga susah bagi saya
mengakhiri surat ini dengan gembira.”
Bronia kerkanjang dan berdalil.
Sayang baginya, alasan yang terpenting tak dapat dimajukannya : ia terlampau
miskin sehingga tak dapat ia membayar
belanja perjalanan adiknya itu atau memaksakannya naik kereta api ke Paris.
Akhirnya diputuskanlah bahwa Mania akan tinggal setahun lagi di Warsawa apabila
pekerjaannya sama nyinya F. Telah selesai. Ia akan tinggal bersama-sama dengan
bapaknya yang sejak belum berapa lama telah berhenti dari pekerjaannya di
Studzieniec itu. Mania akan menambah uang simapanannya dengan memberikan
pelajaran-pelajaran. Sesudah itu ia pun akan berangkatlah.
Sehabis hidupnya di propisi yag
mematahkan semangatnya itu bersambung dengan pergaulan duniawian yang ramai itu
di rumah Nyonya F. Kembalilah Mania ke suasana yang disayanginya itu, yaitu
rumahnya sendiri, berdekatan dengan bapaknya dan percakapan-percakapan yang
membangkitkan semangat. Pintu Universitet Kilat telah terbuka kembali untuk
Mania. Dan – suatu kegembiraan yang tak ada tolok bandingannya, suatu peristiwa
yang sangat penting artinya : buat pertama kalinya Mania masuk ke dalam suatu
laboratorium!.
Pada nomor 66 disesuatu jalanan di
anak kota Crocovie, di sebelah belakang suatu pelataran dengan tanaman bunga
“Sering” yang sedang berbunga adalah suatu gedong bertingkat satu yang
diterangi oleh jendela-jendela yang amat kecilnya. Seorang misan Mania bernama
Yosep Boguski adalah direktur apa yang disebutkan : Musium untuk Dagang dan
Pertanian. Nama yang sengaja pongahnya itu dipilih sebagai tameng untuk
mengelabui mata pihak yang berkuasa bangsa Rusia. Karena “Musium” tidak akan
menimbulkan curiga! Tak ada halangannya jika di balik jendela-jendela sesuatu
musium diberikan pelajaran-pelajaran dalam ilmu alam untuk anak-anak muda nagsa
Polandia!
Tak banyak waktu terluang bagi
saya untuk bekerja dalam laboratorium itu “Di tulis Madame Curie di kemudian
hari”. “Biasanya hanya pda waktu malam sehabis makan atau pada hari-hari ahad.
Di sana sya dilepaskan bekerja sendirian. Saya mencoba meniru beberapa
percobaan-percobaan yang diuraikan dalam buku-buku ilmu fisika dan ilmu kimia,
tetapi hasilnya kadang-kadang amat berlainan. Sewaktu-waktu saya menjadi berani
kalau saya mencapai sesuatu hasil yang baik, tetapi kadang-kadang saya putus
asa pula karena tak ada hasilnya atau disebabkann kecelakaan berhubung dengan
kekurang pengalaman. Pada umumnya dapatlah saya katakan bahwa kepandaian saya
dalam hal mengadakan percobaan-percobaan berkat ikhtiar-ikhtiar pertama itu
mendapat kemajuan juga, walau pun mula-mulanya saya alami bahwa dalam hal-hal
semacam ini tk dapat tercapai hasil mau pun dengan cepat mau pun deengan
gampang.”
Apabila ia diwaktu larut malam
kembali di rumah sesudah ditinggalkannya dengan perasaan menyesal segala
elektrometer, tabung kimia berisi percobaan-percobaannya, dan
timbangan-timbangan, maka Mania bertukar pakaian dan rebah di atas bangku
tidurnya yang tak berapa lebar itu. Tetapi ia tak dapat tertidur. Semacam kegelisahan
rohani yang amat berlainan sekali dari yang dialaminya sampai sekarangmenggoda
pikirannya sehingga ia tetap terjaga. Pangglan sukmanya yang selalu tinggal
smar-samar dengan tiba-tiba menjelma dan mendesaknya menuruti suatu perintah
tersembunyi. Dengan sekonyong-konyong anak gadis itu merasa gelisah dan
seolah-olah ia dikejar. Seketika jari-jarinya yang manis dan sigap itu memegang
tabung-tabung kimia kepunyaan Musium untuk Dagang dan Pertanian itu, maka
dengan gaibnya kembalilah Mania kepada kenang-kenangannya yang remang-remang
dari amsa kanak-kanak dahulu : Yaitu kepada alat-alat ilmu alam kepunyaan
bapaknya yang terletak dalam lemarinya dan digemarinya untuk permainannya. Maka
didapatnyalah kembali pertalian hidupnya.
Walau pun di waktu malam seolah-olah
ia kedemaman, tetapi pada siang hari nampaknya tenang saja. Kepada orang-orang
di sekitarnya disembunyikannya perasaannya yang tak sabar lagi dan
menggelisahkannya itu. Yang dikehendakinya ialah supaya bapaknya dalam
bulan-bulan terakhir mereka tinggal bersama-sama ini hidup dengan tenang dan
berbahagia. Ia turut mengatur perkawinan abangnya dan dicarinya pekerjaan untuk
Hela. Mungkin ada suatu pikiran untuk kepentingan dirinya sendiri yang
menyebabkan tak ditetapkannya hari berangkatnya : menurut perkiraannya masih
dicintainya Casimir S. Walau pun hatinya tertarik ke Paris oleh suatu kekuasaan
yang mendesak, akan tetapi diinsyafinya pula bahwa perpisahan bertahun-tahun
akan melukai hatinya.’ Dalam bulan September 1891 tatkala Mania berlibur di Zakopane,
di pegunungan Karpatia dengan penghharapan akan bertemu dengan Csimir S. Di
sana, maka diberikan Sklodowski lah kepada Bronia suatu gambaran yang jelas
tentang keadaan sebenarnya :
Sklodowski menulis kepada Bronia
pada bulan September 1891 :
“Mania terpaksa tinggal di
Zakopane. Tanggal 13 baru iakembali ke sini disebabkan ia dihinggapi penyakit
batuk yang mendadak dan karena ia pilek yang menurut dokter akan terus menerus
selama semusim didngin, jika tak dijaganya supaya ia sembuh dengan segera. Anak
jenaka itu! Salahnya sendiri jugalah itu, karena selalu ditertawakannya orang
–orang yang terlalu berjaga-jaga dan tak pernah ia mau berpakaian menurut
keadaan iklim suasana.
Ditulisnya kepada saya bahwa ia
amat sedih hatinya; saya kuatir kesedihannya itu dan karerna kedudukannya tak
mempunyai kepastian, kesehatannya terganggu. Ada suatu rahasia berhubung dengan
hari kemudiannya yang hendak dibicarakannya dengan saya sekembalinya dari
Zakopane. Sebenarnya telah dapat saya fahamkan masalah yang menggoda pikirannya
itu dan saya tidak atahu apakah saya haruss bergirang atau kuatir. Kalau
perasaan ffal saya tak salah maka mungkin duka citanya yang dahulu akan datang
kembali. Tetapi apabila maksudnya hendak menyusun hidupnya menurut keinginan
hatinya dan guna bahagia dua orang, barangkali sepantasnyalah diatasi
kesulitan-kesulitan itu. Selain dari itu tak ada yang saya ketahui dengan
pasti!
Undanganmu supaya ia datang ke
Paris yang menimpa Mania, dengan sekonyong-konyong turut pula menambah
perasaannya tak tenang dan gugup itu. Saya tahu bagaimana besrnya keinginannya
hendak mendekati seumber pengetahuan yang selalu menjadi impiannya itu, akan
tetapi keadaannya yang menjadi impiannya itu, akan tetapi keadaannya dewasa ini
kurang baik dan saya keberatan juga, kalau ia berangkat sebelum ia sembuh
seluruhnya, berhubung dengan musim dingin di Paris yang akan menambah
kesulitannya lagi. Yang lain-lain biarlah jangan saya bicarakan, terlebih lagi
jika ia terpaksa berpisah dari saya, tetapi ini adalah soal ke dua. Kemarin
saya mengirim surat kepadanya dan saya coba menggirangkan hatinya. Kalau ia
tinggal di Warsawa dan sekiranya pun ia tak mengajar lagi, masih cukup uang
ssaya untuk membelanjainya dan saya sendiri selama setahun lagi.
Dengan gembira kudengar bahwa
tunanganmu Casimir dalam sehar wal’afiat saja. Alangkah ajaibnya sekiranya kamu
kaka-beradik masing-masing hidup di samping seorang bernama Casimir!”
Akan tetapi di Zakopane ketika dua
orang muda menaiki gunung berlangsung pembicaraan yang menentukan nasib Mania.
Tatkala mahasiswa itu untuk kesekian kalinya mengakui kebimbangannya dan
ketakutannya, maka diucapkan Maniayang diusik sampai di luar batasan itu
perkataan-perkataan yang menghancurkan segala harapannya :
“Kalau tak sanggup melihat
bagaimana membereskan hubungan kita ini, bukanlah kewajibanku mengajarkankannya
kepada engkau. Maka diputuskan anak gadis itu lah pertalian renggang yang masih
mengikatnya itu sampai sekarang ini. Tak ditahan-tahannya lagi perasaannya tak
sabar itu. Dihitungnya tahun-tahun yang dialaminya dengan perasaan tak sabar
itu. Telah delapan tahun beselang sejak ia tamat dari gymnasium dan sejak enam
tahun ia bekerja sebagai guru rumah. Bukan lagi ia seorang gadis setengah
dewasa yang masih menghadapi hidupnya seluruhnya. Beberapa minggu lagi
berumurlah ia duapuluh empat tahun!
Maka dengan sekonyong-konyong ia
minta tolong keada Bronia :
Dari Warsawa ditulisnya kepada
Bronia pada tanggal 23 September 1891 :
“... Bronia, sekarang aku minta
balasan yang tegas. Kabarkanlah apakah sebenarnya kau dapat memberikan
pemondokan bagi daku, akrena maksud saya akan datang ke Paris. Uang saya cukup
untuk membayar ongkos-ongkoss perjalanan saya ini. Karena itu kalau kau dapat
memberikan makananku dengan tak sampai menyusahkan keuanganmu, tulislah surat kepada
saya. Ini akan menggemberikan dan memberanikan saya sehabis percobaab-percobaan
sedih yang saya alami semusim panas ini dan yang akan mempengaruhi hidup saya
selama-lamanya. Tetapi sebaliknya saya tak mau menjadi beban bagi engkau!
Karena kau sedang hamil barangkali
dapatlah saya kau pergunakan dirumahmu. Kirimlah kabar bagaimana pendapatmu
tentang hal ini. Sedapat mungkin kabarkan lah apa saya boleh datang dan
beritahukan juga ujian-ujian mana yang harus saya tempuh untuk diperkenankan
belajar di Sorbonne itu dan apabila selambat-lambatnya pendaftaran terbuka
untuk menjadi mahasiswa. Permintaan saya, balaslah surat ini dengn segera.
Kirim salam saya bagi kamu berdua.
Di mana-mana saja boleh kau
tempatkan aku, tak ada halangannya tiu! Saya berjanji bahwa saya tidak akan
mengganggu dan menyusahkan bagi kamu atau mengotorkan rumahmu itu. Permintaanku
berikanlah aku balasan dengan terus terang!”
Kalau Bronia tidak membalsa surat
itu dengan kawat adalah itu karena mengirim kawat adalah suatu kemewahan yang
tak terbayar karena mahalnya. Kalau Mania tak berangkat dengan kereta api yang
paling pertama adalah itu disebabkan perlu dahulu dihitungnya ongkos-ongkos
perjalanannya itu dengan teliti seperti seorang pelit menghitung hartanya.
Diletakannya segala uang rubelnya di atas meja dan bapaknya menambahkannya
dengan suatu jumlah yang sederhana, tetapi besar artinya baginya. Maka
dihitungnyalah uang itu semuanya.
Sekian banyaknya untuk paspor,
sekian banyak untuk ongkos kereta pai ...
Janganlah sampai bodoh mengambil
kelas tiga – yang termurah di Rusia dan Perancis – dari Warsawa ke Paris,
untunglah dibagian Jerman ada kelas empat yang tak berbilik-bilik dan hampir
seburuk kereta pengangkut barang : dua bangku berhadapan dan ditengahptengahnya
ruangan kosong yang dapat didpergunakan sebaik-baiknya dengan memakai bangku
lipat.
Selaind ari itu jangan lupa
nasihat-nasihat Bronia yang bijaksana itu dan mengatakan agar dibawanya dari
rumah segala keperluannya sehingga di Paris tak perlu lagi ia mengeluarkan uang
utnuk itu. Kasur, tempat tidur, sprei dan handuk untuk Mania, semuanya telah di
krim terlebih dahulu sebagai barang muatan. Pakaian dalamnya dari kain rami
yang kuat, pakaian-pakaiannya, sepatunya, topinya yang dua itu semuanya telah
dikumpulkan di atas bangkunya dan disampingnya sebiah kopor kayu yang bagus,
berwarn merah tua, menurut buatan dusun, tetapi amat kuat dengan tutupnya
ternganga yang dihiasi anak gadis itu dengan hruf hiitam yang besar-besar
sebagai huruf permualaan namanya : M.S,!
Tiba-tiba ia terharu dan digoda
oleh perasaan sesal diri sambil memeluk bapaknya yang dilimpahinya dengan
kata-kata manis dan isin, seolah-olah ia meminta maaf:
“Tak akan lama saya di sana ...
dua tahun, selambat-lambatnya tiga tahun! Segera sesudah saya tamat belajar dan
menempuh beberapa ujian maka saya akan datang kembali da kita akan tinggal
bersama-sama untuk selama-lamanya.... Kita akan berpisah lagi, bukan...?
“Ya, Maniusia yang kusayangi,
berbisik orang tua dengan suara parau sambil dipeluknya anaknya itu. Belajarlah
engkau dengan rajin! Selamat bahagia!
Dalam malam gemuruh karena suara
peluit gerbong dan suara rodanya berlarilah kereta kelas empat itu melalui
negeri Jerman.
Di atas kursi lipatnya dan kakinya
berselimut serta segala barang-barangnya disekelilingnya yang sewaktu-waktu
dibilangnya dengan teliti duduklah Mania dengan gembira. Diingtanya msa dahulu
kala dan direnungkan keberankatannya sekarang yang telah lama diidam-idamkannya
itu. Dicobanya memikirkan hari kemudiannya dan ia bermaksud akan kembali dengan
segera ke kota tempat lahirnya dan menjadi guru di sana.
Ketika ia naik kereta api itu tak
sedikit pun timbul dalam pikirannya bahwa ia telah memilih antara gelap dan
terang, antara hari-hari yang kecil artinya dan suatu hidup yang besar dan
mengagumkan!.
TAMAT.
Bersambung Bagian KEDUA...