RINGKASAN
SELURUH ISI SASTRA JAWA SERAT CENTHINI 12 JILID
Gubahan : Ki Sumidi Adisasmita
(Bahasa Jawa)
Alih Bahasa Oleh : Drs. Darusuprapta
Dosen Fak. Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gajahmada
Penerbit : U.P. INDONESIA
Yogya * 1975
Penyadur: Pujo Prayitno
CENTHINI
JILID I.
1.
Kitab Centhini Jilid I berisi 87 pupuh, yalah pupuh 1
sampai dengan pupuh 87.
2.
Isi cerita : Syech Wali Lanang datang ke Pulau Jawa,
menurunkan Kangjeng Sunan di Giri (Giri Gajah), Kangjeng Sunan di Giri II (Giri
Pura), dan Kangjeng Sunan di Giri III (Giri Parapen). Kerajaan Giri ditundukkan
oleh Kangjeng Sultan Agung Mataram ke. Ke tiga puteranya lolos mengembara. Yang
tua laki-laki bernama Raden Jayengresmi, yang diiringkan oleh dua orang santri
bernama Gathak dan Gathuk, berkelana sampai di Krang Kagengan daerah Banten.
Yang ke dua juga laki-laki bernama Raden Jayengsari dan yang ke tiga perempuan
bernama Ni Ken Rancangkapti, diiringkan oleh seorang santri bernama Buras, tiba
di Sokayasa daerah Banyumas.
3.
Pupuh pertama Tembang Sinom, bait awal sebagai berikut :
Sri narpatya sudibya // talatahing Nuswa Jawi //
Surakarta Adiningrat // Agnya ring kang wadu carik // Sutrasna kang kinanthi //
mangun reh cariteng dangu // Sangyaning kawruh Jawa // Inginpun tinrap kakawin
// mrih tan kemba karya dangan kang miyarsa.
Terjemahan :
Sang Putra mahkita Jawa // di Wilayah Pulau Jawa //
Surakarta Adiningrat // memerintahkan kepada hambanya juru tulis // Sutrasna yang dipercaya // menggubah
cerita lama // semua ilmu jawa // dihimpun dalam tembang // supaya tidak
membosankan tapi menggembirakan bagi yang mendengarnya.
Kutipan di atas diambil dari Centhini Surya Surarjan.
Menurut Centhini Purwadiningratan, baginilah bunyinya :
Sri narpatya sudibya // talatahing Nuswa Jawi //
Surakarta Adiningrat // Agnya ring kang wadu carik // Sutrasna kang kinanthi //
mangun reh cariteng dangu // Sangyaning kawruh Jawa // Tinengran Serta Centhini
// kang minangka dadya lajering carita.
Terjemahan :
Sang Putra mahkita Jawa // di Wilayah Pulau Jawa //
Surakarta Adiningrat // memerintahkan kepada hambanya juru tulis // Sutrasna yang dipercaya // menggubah
cerita lama // semua ilmu jawa //Dinamakan Kitab Centhni // yang menjadi isi
pokok cerita.
4.
Adapun urutan ringkasan isi ceritanya, sebagai berikut :
I. Pembukaan, kemudian
menceritakan Babad Giri.
1.
Syech Wali Lanang datang dari Juldah tiba di Jawa, di
ampel. Terus pergi ke Blambangan, diambil menatu oleh Raja Blambangan, namun
dibenci, isterinya mengandung, ditinggalkan// Patih Samboja mendapat murka Raja
Blambangan, pergi dari Blambangan, mengabdi ke Majapahit.
2.
Isteri Syech Wali Lanang melahirkan putra laki-laki //
atas perintah Raja Blambangan bayi itu dihanyutkan di laut // dipungut oleh Saudagar berlayar dari Bali //
diserhakan kepada Nyai Randha Samboja di Giri // setelah berumur 12 tahun
disuruh berguru kepada Sunan Ampel // yang kemudian terkenal dengan nama Santri
Giri // dipersaudarakan dengan Santri Benang Putra Sunan Ampel // Setelah
dewasa keduanya bermaksud pergi ke Makkah // di Malaka bertemu dengan Syech
Wali Lanang yang kemudian dianjurkan agar kembali ke Pulau Jawa // Santri Giri
diberinama Prabu Satmaka // Santri Benang diberinama Prabu Nyakrakusuma.
3.
Santri Giri pulang kembali ke Giri // bergelar Satmaka di
Giri // Nyai Randha Samboja meninggal // Diangkat menjadi Susuhunan di Giri //
bergelar Prabu Satmaka di Giri Gajah // diambil menantu oleh Sunan Ampel.
4.
Prabu Brawijaya mengutus Patih Gajahmada menundukkan Giri
// Sunan Giri sedang menulis Kitab Qur’an dengan Qalam // Qalam dipuja menjadi
keris // lalu mengamuk // Tentara Majapahit mundur // kalam datang kembali
bermandikan darah // diberi nama Kalamunyneng // Sunan Giri Wafat // Digantikan
oleh Puteranya bernama Sunan Dalem // bergelar
Sunan Giri II atau Sunan Giri Kadhaton // tidak lama lalu waat // digantikan
oleh putranya bernama Sunan Parapen // bergelar Sunan Giri Parapen.
5.
Prabu Brawijaya mengirimkan utusan menundukkan Giri //
Tentara Giri kalah // Sunan Parapen lolos // Tentara Majapahit menyerang makam
// keluar kumbang menyengat tentara yang menyerang // pasukan Majapahit mundur
// Sunan Giri berkuasa kembali.
6.
Kerajaan Majapahit telah ditundukkan oleh Raden Patah
seorang putra Raja Majapahit sendiri // Raja Majapahit melarikan diri // Sunan
Parapen datang ke Demak untuk merundingkan pergantian pemerintahan // Sebagai
sarat Sunan Parapen dinobatkan menjadi Raja Majapahit selama 40 hari // lalu
diserhkan kepada Raden Patah // Raden Patah dinobatkan menjadai Raja di Demak.
7.
Setelah Demak rusak // Sunan Giri bersepakat dengan para
Bupati Wilayah Jawa bagian Timur menobatkan Sultan Pajang // Tatkala itu Sunan
Giri meramalkan bahwa Kyai Ageng Mataram kelak menurunkan Raja Besar di Jawa //
Bahkan Giri pun dikuasainya // Kyai Ageng Mataram memberikan persembahan keris
selengkapnya dan setelah diterima kemudian dikambalikan lagi // Para Bupati
diperintahkan membuatkan telaga pemandian // Setelah jadi diberi nama Telaga
Patut.
8.
Setelah Sultan Pajang mangkat //
Panembahan Senopati di Mataram mengirimkan utusan ke Giri // menanyakan tentang ramalan Sunan Giri dahulu // Panembahan Senopati menyerang Jawa bagian
Timur // Barisan Jawa Timur dibawah pimpinan // Pangeran Surabaya // Tiba-tiba
datang utusan dari Giri melerai // mereka berdua dipersilahkan memilih wadah
atau isi // Pangeran Surabay memilih isi // // Panembahan Senopati mendapatkan
wadah.
9.
Lebih kurang tiga tahun kemudian Panembahan
Senopati wafat // digantikan oleh puteranya bergelar Ingkang Sinuhun Prabu
Anyakrawati // Tidak lama kemudian wafat // digantikan oleh putranya bergelar
Sultan Agung Anyakrakusuma.
10.
Pangeran Surabaya dan para Bupati di
Jawa Timur datang menghadap ke Giri mohon ijin untuk menyerang Mataram. Sunan
Giri tidak menyetujuinya // tapi mereka berkeras hati menyerang Mataram.
Kemudian ternyata serangannya tidak berhasil.
11.
Sultan Agung Mataram memerintahkan untuk memanggil
Pangeran Pekik Surabaya agar datang menghadap ke Mataram. Kedatangan Pangeran
Pekik di Mataram sangat menggembirakan Sultan Agung // diberinya tempat tinggal
yang kemudian terkenal dengan nama Surabayan. Pangeran Pekik dikawinkan dengan
Kangjeng Ratu Pandhansari, adik Sultan Agung. Kemudian diperintahkan
menundukkan Giri.
12.
Pangeran Pekik berdua dengan Kangjeng Ratu Pandhansari
beserta para punggawa mempersiapkan pasukan. Pada waktu malam hari Pangeran
Pekik pergi menyamar memasuki Giri, bertemu dengan Sunan Giri dan putra
angkatnya yang bernama Endrasena, seorang pedagang Cina yang telah memeluk
Agama Islam. Sunan Giri tetap tidak mau tunduk kepada Mataram. Kemudian pasukan
Pangeran Pekik menyerang Giri.
13.
Sunan Giri dan Endrasena mengerahkan pasukannya. Serangan
pasukan Surabaya dapat dilawannya.
14.
Kangjeng Ratu Pandhansari menghimpun kembali pasukan
Surabaya yang cerai berai. Setelah kesatuan dan keeraniannya pulih kembali lalu
disusunlah siasat perangnya.
15.
Pertempuran tentara Giri dengan Surabaya berkobar lagi.
Endrasena gugur di medan perang, tentara Giri bubar berlarian.
16.
Ke tiga orang putra Giri lolos, Raden Jayengresmi
diiringkan oleh dua orang abdi bernama Gathak dan Gathuk // Raden Jayengsari
dan Niken Rancangkapti diiringkan oleh seorang abdi bernama Buras.
17.
Pangeran Pekik dan Kangjeng Ratu Pandhansari datang masuk
di Kedaton Giri. Sunan Giri dengan segenap keluarganya diboyong ke Mataram.
Semua harta bendanya dibawa serta.
18.
Berita tentang tunduknya Giri dilaporkan kepada Kangjeng
Sultan Agung di Mataram. Sunan Giri sekeluarga diberi tempat tinggal di
Mataram.
II. Perjalanan Raden
Jayengresmi yang kemudian bernama Syekh Amongraga.
1.
Raden Jayengresmi tiba di Surabaa, meneruskan perjalanan
melihat-lihat bekas kerajaan Majapahit, Candri Brawu, Candi Bajangratu, bertemu
dengan penjaganya bernama Ki Purwa.
2.
Di Blitar melihat-lihat candi Panataran. Masih termasuk
juga daerah Blitar, di Desa Gaprang melihat arca bernama Ki Gaprang, di hutan
Lodhaya melihat gong bernama Ki Pradhah, di Desa Pakel bertemu dengan Ki Carita
yang menceritakan tentang pakaian Kangjeng Ratu Kidul yang tersimpan di
tengah-tengah hutan Lodhaya.
3.
Di Tuban melihat pohon randu alas yang sangat besar,
sumur batu, dan mata air bernama Sumberbekti.
4.
Di Bojonegoro, di hutan Bago melihat-lihat sendhang
bernama Sugihwaras. Kemudian bertemu dengan makhluk halus bernama Ratu Mas
Tranggana Wulan seorang Putri Majapahit yang bertapa kemudian menjadi makhluk
halus merajai hutan Bago, yang memberikan keterangan tentang burung dhandhang,
burung prenjak, Sato Kukang (sejenis kera) dan burung pelatuk.
5.
Di Desa Kedhaton di gunung Pandhan menyaksikan tulang
besar-besar banyak. Di Gunung Gendrasari dan arca bernama Drepa. Di Desa
Padhangan bertemu dengan Kepala Desa bernama Ki Padhang yang menceritakan
tentang terjadinya arca Drepa tersebut : Konon dahulu kala ada seorang
laki-laki bertapa, jatuh cinta kepada Dewi Gendrasari yang bertapa di puncak
Gunung Gambirlaya, cintanya ditolak, kemaluannya dipotong mati, berubah rupa
menjadi arca tersebut.
6.
Di Desa Dhandher, melihat-lihat tempat pemujaan api,
bertemu dengan Kepala Desanya yang memberikan uraian tentang pengetahuan
mengenai ukuran landaian serta tombak. Tiba di Dhandhangngilo, menyaksikan
sumber minyak tanah.
7.
Di Kasangan bertemu Ki Jatipitutur yang menceritakan
tentang cerita Prabu Jaka (Prabu Ajisaka) raja Purwacarita ketika mengembara
membunuh ular, menimbulkan gara-gara. Setelah gara-gara berakhir Prabu Jaka
datang di rumah seorang janda bernama
Kasihan di dukuh Sakeh, jatuh cinta terhadap anak perempuannya bernama Ni
Rarasati. Lahirlah seekor naga dinamakan Nginglung kemudian dipasaklah mulutnya.
Suara tangisnya menggegerkan desa Kasanga. Tiba di Kasanga Jayengresmi
menyaksikan bekas pertapaan Naga Nginglung. Terus ke arah Barat melihat bekas
Keraton mendhangkamulan, lewat sendang Crewek sumber air asin, tiba di kuwu
melihat latusan lumpur garam, kemudian berpisahan dengan Ki Jatipitutur.
8.
Perjalanan terus ke Barat sampai di desa Sesela, bertemu
dengan Kyai Pariwara yang bercerita tetang :
a). Pemali Kyai Ageng Sela;
b). Dongeng ketika Kyai agung Sela menangkap halilintar
lalu dipersembahkan ke Demak, kemudian jadilah wasiat naluri api halilintar,
dan pusaka alat bercocok tanam di Keraton Mataram.
c). Cerita sebidang sawah tanah Kyai Ageng Sela.
9.
Sampai di Gubug, melihat merapi, bertemu dengan Datuk
Bahni yang memberikan uraian tentang :
a). Perhitungan hari untuk memasang tarup;
b). Pilihan hari untuk peresmian pengantin;
c). Larangan hari untuk bersetubuh;
d). Pengetahuan tentang senggama;
e). Perhitungan tentang hari naas para Nabi.
10.
Dari Merapi ke Utara sampai di Prawata, bertemu Kepala
Desanya bernama Ki Darmajati, istrinya bernama Nyai Darmawati mempunyai anak
perempuan cantik bernama Rara Surendra. Kemudian melihat-lihat bekas kerajaan
Prawata.
11.
Lalu tiba di Demak, menyaksikan Masjid buatan para Wali,
di bawah tepat Khutbah tumbuh gelagah wangi. Perjalanan diteruskan ke daerah
Jepara.
12.
Tiba di Gunung Murya, berziarah ke Makam Sunan Muryapada,
bertemu Buyut Sidasedya, memberikan uraian tentang :
a). Perhitungan saat orang bepergian menurut tanggal;
b). Perhitungan saat para Nabi menurut hari;
c). Saat keberangkatan orang bepergian menurut tapak
langkah kaki;
d). Saat Nabi;
e). Saat perbintangan;
f). Saat kelahiran bayi dan kelepasan nyawa.
g). Ukura pakarangan menurut depa dan tapak kaki;
h). Ukuran rumah, tiang, usuk.
i). Ukuran pagar;
j). Jarak pendhapa dan rumah belakang;
k). Pembikinan kandang tempat memelihara hewan;
l). Penjinakan binatang.
13.
Sampai di Pekalongan, datang di Panegaran, berguru kepada
Wasi Kawiswara, diajar tentang Kitab Nitisruti serta tingkahlaku yang tergolong
nista madya dan Utama.
14.
Tiba di Gunung Slmaet, bertemu Syekh Syekh Sekardelima,
yang menguraikan tentang.
a). Suluk Wali sembilan.
b). Cerita beringin sungsang, asal mula kehidupan, dan
hidup, jalan dan tujuan serta tempat kematian.
c). Suluk tapa lima macam :
1). Tapa bumista
2). Tapa anarima
3). Tapa geniyara
4). Tapa banyuara
5). Tapa ngluwat
d). Suluk langit tujuh :
1). Langit jasmani
2). Langit Nabati
3). Roh nabsani
4). Roh Ruhani
5). Roh nurani
6). Roh rababdi
7). Roh kapi.
e). Anugerah, kepribadian manusia, nafsu empat macam.
15.
Di gunung Sawal, ketemu Wasi Narawita, lalu berdebat.
16.
Di Gunung Carema, bertemu Resi Singgunkara, yang
menguraikan tentang :
a). Wariga gemet, perhitungan buruk baiknya hari menurut
perhitungan Wuku tiga puluh.
b). Perhitungan naga Jatingarang untuk keperluan orang
berpindah tempat tinggal.
17.
Di Gunung Tampomas, bertemu Syekh Trenggana, isterinya
bernama Sitaresmi, anaknya perempuan bernama Ni Ruhkanti. Raden Jayengresmi
diajar ilmu kasidan dengan jalinan Wangsalan, Tidak berapa lama kemudian Syekh
Trenggana moksa. Ni Rukhkanti diajar oleh Raden Jayengresmi tentang martabat
tujuh tingkat. Ni Rukhkanti bersama ibunya diboyong ke Cirebon.
18.
Di Gunung Mandhdalawangi, ketemu Ajar Suganda, yang
menguraikan tentang :
a). Perhitungan iladuni, buruk baiknya hari
b). Pranatamangsa, hari-hari yang baik untuk memasang
atap rumah.
c). Candrasengkala, petunjuk perhitungan sengkalan,
keterangan mengenai kata-kata yang berwatak 1 sampai denagn10.
d). Pengetahuan tentang watak tanggal yang buruk ata pun
baik, dari tanggal 1 sampai dengan 30.
19.
Di Bogor bertemu Ki Wargagati Kepala Desa Bogor, yang
menguraikan tentang :
a). Ajaran laku puasa pujian hari.
b). Tanda-tanda jaman hru-hara, kiyamat Kubra.
Kemudian Raden Jayengresmi melihat-lihat bekas Kerajaan
Pajajaran.
20.
Di Gunung Salak, Raden Jayngresmi dibantu oleh Ki
Wiragati mendirikan pertapaan.
21.
Syekh Ibtahim bergelar Kyai Ageng Karang, bersedih hati
karena kehilangan anak laki-laki. Mendapat alamat memperoleh ganti bilamana
dengan memboyong pertapa di Gunung Salak. Syekh Ibrahim segera bertemu dengan
Raden jayengresmi, lalu beserta kedua abdinya Gathak dan Gathuk diboyongnya.
Setelah tiba di Karang selalu diajar mengenai samudra rahmat.
III. Perjalanan Raden
Jayengsari dan Niken Rancangkapti diiringkan oleh abdinya bernama Buras.
1.
Perjalanan sampai di Sidacerna, Pendok PesantrenKi Amat
Sungep. Pada waktu malam hari lolos menuju ke arah Timur, karena khawatir kalau
ketahuan pasukan Surabaya.
2.
Beristirahat di pinggir sendang Pasuruan, lalu terus ke
telaga Gati.
3.
Kemudian ke Timur ke Banyubiru.
4.
Lalu masuk hutan di kaki Tengger, nelihat-lihar air
terjun baung.
5.
Menyaksikan candi Singasari di Singasari.
6.
Di Sisir melihat sumber Sanggariti.
7.
Di Desa Tumpang menyaksikan candi Tumpang.
8.
Di Desa Kidal melihat-lihat candi Kidal.
9.
Tiba di Gunung Tengger, singgah di Desa Tosari, bertemu
Buyut Sudarga. Raden Jayengssari diantarkan ke lautan pasir.
10.
Di Desa Ngadisari, di Tengger bertemu Resi Satmaka Pemuka
Agama Budha, menceritakan tentang :
a). Cara mengobati penyakit dan orang melahirkan anak.
b). Macam-macam Agama Budha “Makakuhan” dan “Padewan”
enam macam.
c). Peraturan Agama Sambo, Brama, Indra, Wisnu, Bayu dan
Kala.
Raden Jayengsari ganti menceritakan tentang :
Syariat para Nabi yang menyiarkan Agama “ 1. Adam 2. Sis,
3. Nuh, 4. Ibrahim, 5. Daud, 6. Musa, dan 7. Isa, serta 8. Syariat Nabi Penutup
Muhammad Rasulullah.
Ki Buyut menceritakan kisah Sri Sedana, ketika Dewi Sri
menjadi ular sawah menjaga Ken Raketan anak Kyai Wrigu di Gilingwesi, pemali
bayi anak Kyai Wrigu, hingga Dewi Sri dan Dewi Tisnawati pulih kembali seperti
kadaan semula. Setelah Dewi Sri bercerita kepada Ki Wrigu, para bidadari lalu
moksa. Dewi Sri dan Tisnawati membagikan Rizki.
11.
Tiba di Desa Klakah, bermalam di rumah Umbul Sadyana.
Pada waktu malam heri pergi ke telaga Dago menyaksikan nyala api gunung
Lamongan.
12.
Di Desa Kandhangan daerah Lumajang ketemu Syekh
Amongbudi, memberikan uraian tentang wudlu dan Shalat.
13.
Di Argapura ketemu Syekh Wahdat, menguraikan tentang :
a). Dzat Sifat Asma Af’al Tuhan.
b). Perincian sifat 20, yaitu : 1. Nafsiyah = 1; Salbiyah
= 5; Manganiyah = 7; Maknawiyah = 7 jumlah keseluruhannya = 20.
14.
Di Gunung Rawun, ketemu Retna Tan Timbangsih, menguraikan
tentang :
a). Khadis Markum.
b). Lembang empat macam nafsu yang dilukiskan berupa
empat buah negara yang saling bermusuhan. Akhirnya Nafsu Mutmainah menang dapat
memperoleh puteri tiga orang.
15.
Di Banyuwangi singgah bermalam di Dukuh Nglicin, melihat
candi Selacendhani, bertemu denegan juru kunci bernama Menakluhung,
memberitahukan bahwa candi Selacendhani itu pada masa yang lalu adalah tempat
bertapa Raja Menakjingga atau Urubisama. Dahulukala tempat itu bernama Candi
Macanputih.
16.
Ki Hartati dan Raden Jayengsari, Niken Rancangkapti serta
Santri Buras berlayar meninggalkan pelabuhan Ragajampi menuju ke Pekalongan. Ki
Hartati menyerahkan ke dua orang anak angkat itu kepada istrinya, dan sangat
disayanginya.
Ki hartati mengajarkan tujuh macam cita-cita serta
hatungan menyeribu hari. Nyi Hartati mengajarkan Ken Rancangkapti tentang arti
jari lima. Beberapa lamanya kemudian Nyi Hratati meninggal dunia dan dimakamkan
di Sragi. Ki Hartati mengajarkan perhitungan selamatan orang meninggal dunia.
Sedekah selamatan menyeribu hari meninggalnya Nyi Hartati. Selesai berkenduri
Ki Hartati masuk ke ruang dalam ia ternyata meninggal dunia dengan memancarkan
cahaya. Jenazahnya dimakamkan berjajar dengan istrinya.
17.
Raden Jayengsari dengan adiknya serta abdinya meninggalkan
Sragi, berjalan ke arah Tenggara, mendaki gunung Prau turun, tiba di Dukuh
ketemu Lurah Ki Gunawan, diminta singgah di Gunung Diyeng. Menyaksikan sendang
Sumur Jalatundha, Kawah Candradimuka, dan candi-candi, serta keindahan alam
Diyeng.
Ki Gunawan menerangkan hal ikhwal yang berkaitan dengan
candi-candi :
a). Watak tiga tokoh Kurawa, yaitu : Sri Duryudana, Patih Suman dan Resi Durna.
b). Watak Pandhawa lima dan Sri Bathra Kresna,
c). Watak lima orang Istri Sang Arjuna, yaitu : 1. Wara
Sumbadra, 2. Wara ulupi, 3. Wara Manuhara, 4, Wara Gandawati, 5. Wara
Srikandhi.
18.
Pagiharinya berangkat ke Sokayasa. Di suatu ladang
bertemu Bayn Ragatruna, terus dibawa menghadap kepada Syekh Akadiyat di
Sokayasa. Istri Syekh Akadiyat bernama Siti Wuryan mempunyai anak laki-laki
bernama Mas Cebolang. Mas Cebolang pergi meninggalkan Sokayasa. Kedua orang
tuanya bersedih. Kedatangan Raden Jayengsari dan Niken Rancangkapti diterima
dengan senang hati. Kehadiran mereka sebagai ganti atas kepergian anaknya.
Raden Jayengsari. Niken Rancangkapti dan santri Buras terus menetap di
Sokayasadi kaki Gunung Bisma Wilayah Banyumas.
IV. Centhini Jilid I, Babad
Giri Tamat.
Diakhiri dengan bait penutup sebagai berikut :
KINANTHI :
Tan ra wuse yen kawuwus // Kang sih sinisihan lan siwi //
sigeg gantya kang winarna // sareng ing lampahireki // Carita kinarya gantya //
Megatruh ingkang winarni.
Terjemahannya :
Tidak akan ada akhirnya jika diceritakan // merka yang
sedang saling berkasih dengan anaknya // Terputus dan berganti yang diceritakan
// tentang yang sedang melakukan perjalanan // digubah dalam Lagu Megatruh.
CENTHINI
JILID II.
1.
Kitab Centhini Jilid II berisi 87 pupuh, yaitu pupuh 88
sampai dengan pupuh 174.
2.
Isi Cerita : Mas Cebolang putra Ki Akadiyat di Sokayasa
yang diikuti oleh empat orang santri berkelana di daerah Banyumas, Cilacap,
Sumbing, Mergawati, Rawa Pening, Gunung Tidar, Barabudur, Mendut, tiba di
Mataram pada Jaman Sultan Agung.
3.
Permulaan pupuh 88, tembang megatruh, bait pertam
berbunyi seperti berikut :
MEGATRUH
Putranipun Seh Akadiyat kang nglangut // Mas Cebolang
wastaneki // satuhu lamun binagus // lir lanyapan munggeng kelir // amung
pasemone wadon.
Artinya :
Putra Syekh Akhadiyat yang sedang berkelana // Yang
bernama Mas Cebolang // Sungguh bagus rupanya // bagaikan wayang lanyapan kelir
// hanya roman mukanya seperti wanita.
4.
Adapun urutan ringkasan ceritanya, sebagai berikut :
4,1,
Mas Cebolang beserta empat orang Santri yang bernama
Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwitri, pergi meninggalkan Sokayasa. Singgah
berziarah di makam lawat datang langsung ke rumah Demang Srana. Ziarah di makam
Syekh Jambukarang. Banyak serangga binatang melata yang mengerikan.
4.2.
Perjalanannnya tibad id daerah Purbalingga, melihat air
mancur Surawana, mata air muncar. Bermalam di Desa Temon, bertemu dengan Kepala
Desa ki Dati. Menyaksikan Tebat Pancasari.
4.3.
Tiba di Banyumas langsung melihat batu Lumpang lalu naik
rakit ke hilir Sungai Serayu.
4.4
Berhenti di Cilacap, naik ke Depok Arjabinangun, bertemu
Ki Ajar Naradi, dijamu kemudian diajak pergi menjelajah tanah ujung dan gua
Limusbuntu. Melihat Gua Selapethak, berbentuk rumah dan pendapa, bekas keraton
Raksasa. Terus ke Segara anakan, naik perahu ke Karangbolong, lalu ke ujung
alang, Gunung Ciwiring, menyaksikan Pulau Bandung tempat tumbuhnya Kembang
Wijayakusuma yang dijaga burung bayan, tampak indah dari jauh. Cerita Sri
Kresna melabuh kembang Wijayakusuma beserta wadahnya menjadi Pulau Bandung.
4.5
Meneruskan perjalanan sampai di Jumprit, melihat mata air
kali Praga di gunung Sundara. Bertemu dengan Ki Gupita, bercerita tentang Ki
Jumprit, asal mula kera keramat peliharaan Ki Jumprit, turun temurun menjadi
pendaran.
4.6
Tiba di Mergawati Kedu bertemu lurah Ki Lebdaswaninda, di
situ singgah lama, diajari tentang ciri-ciri kuda, dalam hal : warna bulu kuda,
nama dan wataknya, cara memilih dan tanda-tanda kuda betina, cara merawat
ciri-ciri buruk, perhitungan waktu membeli kuda, perhitungan hari kelahiran
kuda, rajah lidah kuda, perhitungan waktu memindahkan kuda.
4.7.
Tiba di Gunung Sumbing, bertemu Dhanyang Candhikyuda dan
Rantansari, mandi di sendang bedhaya, melihat mata air pikatan.
4.8.
Pergi ke Ambarawa, sampai di gunung Jambu, Telaga Pening,
Ziarah ke makam Prabu Brawijaya. Terkena bencana terliput pedut.
4.9
Berbalik kembali ke selatan, tiba di Gunung Tidar,
padepokan Syekh Wakidiyat dengan empat orang Endang, Mas Cebolang tertarik akan
keemepat orang endang itu, dikawinnya semua. Mas Cebolang diajar oleh Syekh
Wakidiyat mengeni : Perilaku asmara enam macam, peraturan tentang nikah, cerai,
talak, rujuk, rukun, khuluk dan maskawin. Keterangan tentang delapanbelas macam
wanita yang tidak boleh diperistri, uraian tentang muhrim wali dan cerai tanpa
talak, rapak, syarat nikah, doa nikah dan tata-tertib nikah.
Mas Cebolang akan melanjutkan perjalanan, mencerikan
empat orang istrinya, menyerahkan kembali kepada Syekh Wahidiyat, mohon diri
berangkat pergi menuju ke arah selatan.
4.10
Tiba di Barabudur, terus ke Mendut, bermalam semalam.
4.11.
Terus pergi ke Mataram, meunpang rumah modin bernama Ki
Amat Tengara, jejaka anak janda miskin di Kauman. Mas Cebolang memberikan buah
tangan hasil dari Mangunah.
4.12..
Ziarah ke makam Panembahan Senopati di belakang masjid
Besar.
4.13.
Dari masjid besar diminta singgah di rumah Ki Amongtrustha.
Waktu malam hari mendengarkan gamelan, dilayani oleh para teledek. Diajari
tentang ulah asmara, pembuka pembangkit rasa maupun penahan rasa.
4.14.
Siang hari melihat gajah dan harimau kepunyaan raja, lalu
pergi ke pasar membeli keris, singgah ke tempat pandai besi untuk meminta
keterangan tentang keris. Empu Ki Anom mengajarkan hak ikhwal keris : Tentang
bentuk keris lurus dan keris berluk, cerita para raja yang memberikan tambahan
macam ragam bentuk keris, tentang keris berluk : 3 – 5 – 7 - 9 – 11 – 13 – 15 – 16 – 17 – 19 – 21- 23
-25 – 27 – 29, diteruskan dengan uraian tentang bentuk mata tombak baik yang
lurus maupun yang berluk.
4.15.
Pada waktu malam hari bertamu ke rumah Ki Bawaraga, Lurah
penabuh gamelan, berdiskusi masalah gendhing dan gamelan (alat musik jawa).
Setelah lepas tengah malam kembali pulang.
4.16.
Mas Cebolang diajak bertamu ke tumah Ki Madiaswa lurah
panegar, hamba raja pengasuh kuda, memperbincangkan tentang masalah kuda.
Diajari tentang : aswatali rajanari, cara mengendarai kuda, cara mengajar kuda,
cara menjinakan kuda binal, keterangan tentang bentuk tubuh kuda, dan warna
kulitnya bertalian dengan wataknya.
4.17.
Hari lain Mas Cebolang diajak oleh Amat Tengara menghadap
Kyai Juru Pujangkara. Memperoleh ajaran tentang perhitungan hari untuk
memperbaiki rumah, mendirikan rumah, perhitungan hari dan pasaran kelahiran
bayi, perhitungan tabir gempa bumi.
4.18.
Lewat tengah malam mereka berdua minta diri, tapi esok
harinya mereka berdua diminta kembali lagi. Kyai Juru Pujangkara sedang
menerima kedatangan Nyai Cundhamundhing, seorang jagal penjual daging.
Memperbincangkan tentang nama warna dan macam-macam baigna daging kerebau.
4.19.
Tiba-tiba datang Nyai Padmacitra, juru sungging,
menuturkan macam-macam kain lukis. Lukisan kain yang menjadi pantangan, dan
pantangan-pantangan membikin kain berlukis.
4.20.
Kemudian datang Nyai Sriyatna, menguraikan tentang
macam-macam syarat sajian orang punya hajat pengantin : Pendheman (yang
dipendam), guwakan (yang dibuang), sajian tarup, sajian dandang pawon (tempat
mengukus nasi di dapur), sajian majang patanen (hiasan di ruang tengah), sajian
adus (sajian di tempat mandi), sajian paes ( sajian di tempat merias
pengantin), sajian cukur penganti
laki-laki, sajian nikah, sajian penghulu, penebusa kembar mayang
majemukan, (Selamatan bersama), memule (memuliakan dan berkirim doa kepada
nenek moyang), syarat pengantin boyong, sepasaran (Selamatan selepas lima
hari).
4.21.
Tiba-tiba Nyai Lurah dari dalam Keraton datang,
mengajarkan tentang lamaran, peningset (pengikat pertunangan), bubak kawah
(menikahkan anak sulung, pertama kali menyelenggarakan pernikahan), tumplak
punjen (menikahkan anak bungsu, menikahkan anak yang tarakhir), dan upacara
mempertemukan Penegantin.
4.22.
Mereka bercakap-cakap sampai larut malam baru
beristirahat. Pagi harinya, Kyai Juru Pujangkara duduk di pendopo di hadapan
Modin Pak Giniyah. Mereka membicarakan cara menerangkan tujuan selamatan
memuliakan arwah nenek moyang, penerimaan sumbangan, penerimaan lamaran,
kedatangan calon pengantin pria menghambakan diri kepada orang tua calon
pengantin wanita, midadareni (Perjamuan malam hari menjelang peresmian
perkawinan). Menyelenggarakan tahlilaln, kelengkapan pakaian orang yang
berhajat menikahkan anak, prosesi pernikahan pada pagi hari, upacara
mempertemukan pengantin pada malam hari. Para tamu duduk berkelompok. Kyai Pengulu Amat
Kategan menguraikan tentang turunnya lailatul Qadar, hal mukjizat, keramat,
mangunah dan istijrat, tanda-tanda wali dan derajatnya, serta Ajaran Nabi
khidir kepada Nabi Musa.
4.23.
Katib Imam
menceritakan cerita Siti Maryam permaisuri Raja Baghdad dan tingkahlaku Perdana
Menteri Baghdad.
4.24.
Ki Rasika juru kunci di Glagaharum menceritakan makam
Prabu Ngamarta di Demak, bersamaan waktu dengan pendirian pusat kerajaan di
Glagahwangi (Demak). Cerita ketika Sunan Kalijaga bertemu dengan Prabu
Ngamarta, lalu menguraikan makna Surat Kalimasada. Prabu Ngamarta menyerahkan
Keropak bergambar Wayang dan Kitab Bratayudha serta silsilah para Pandhawa.
Kemudian Prabu Ngamarta mangkat, dimakamkan di Demak. Gambar dan Kitab keropak
diserahkan kepada Sunan Giri, lalu dijadikan pola oleh para Wali di dalam
membuat Wayang Kulit. Kemudian diuraikan tentang
asal-usul delapan orang wali.
4.25.
Ki Harjana, santri di Jatisari, ahli perhitungan,
menguraikan tentang perhitungan menirahkan orang sakit.
4.26.
Ki Amat sotama memberitahukan pahala bagi orang yang
hafal Kitab Al-Qur’an, apalagi mengerti murad maksudnya. Dilanjutkan dengan
cerita raja Stambul yang hafal Kitab Qur’an dan mendapat cobaan Tuhan karena
tidak percaya akan kekuasaan Allah, serta cerita raja Stambul yang hafal Kitab
Al-Qur’an dengan Putri Raja Negsyam.
4.27.
Ki Wirangsuwignya, lurah juru tari, membentangkan tentang
ragam tari wireng, dan asal mula tari bedhaya Serimpi.
4.28.
Ki Demang Basman menceritakan tentang cara mencari hari
baik untuk mendirikan rumah menurut para petani.
4.29.
Kyai Sumbaga, lurah juru sungging, memberikan uraian
mengenai asal mula adanya wayang purwa, wayang kidang kencana, dimulai oleh Sri
Jabaya di Mamenang, dilukiskan di daun Tal. Di Keraton Demak digubah wayang
kidang kencana. Para Wali menggubah wayang gedhog, wayang klitik, wayang golek,
wayang topeng. Di Kraton Mataram Ingkang Sinuhun Prabu Anyakrawati menggubah
wayang kulit dengan memisah-misahkan tangannya, bersamaan waktu itu
diciptakanlah wayang kulit Arjuna Wanda (Ekspresi) Jimat. Ingkang Sinuhun Prabu
Anyakrakusuma menciptakan wayang kulit Arjuna Wanda (Ekspresi Mangu).
4.30.
Ki Marbot Kita memberikan keterangan hal mandi pada hari
Rebo-Wekasan (Hari Rabu terakhir dalam Bulan Sapar), dan hal berpuasa Sunnat,
berpusa di luar Bulan Ramadhan.
4.31.
Ki Sopana, abdi dalem jajar carik, memberikan keterangan
mengenai huruf yang paling tua, yalah huruf Ibrani ciptaan bangsa Israil, mirip
huruf Hindu, Cara membaca dari kiri ke kanan, dipakai pada jaman Nabi Ibrahim
dn Raja Namrud. Di tambah cerita tatkala Raja Namrud terbang ke angkasa
mendengar peringatan Tuhan. Kemudian diceritakan berkembangnya bahasa dan huruf
tatkala membangun menara di babil menjadi 73 macam.
4.32.
Pada waktu malam hari Pengantin dipersilahkan tidur, di
luar tirai dijaga oleh wanita-wanita.
1). Nyai Atikah, seorang Ulama wanita, menceritakan
cerita seorang wanita bernama Ni Kasanah yang berbakti dan setia kepada
suaminya.
2). Cerita ketika Dara Murtasiyah akan dikawinkan dengan
Sayid Ngarip, dinilai cinta kasihnya oleh Nabi Sulaiman.
3). Cerita ketika Siti Aklimah kedatangan Dewi Patimah,
putera Rasul. Setelah kembali suaminya tiba, Siti Aklimah didakwa berbuat
serong disakiti setengahmati, tetapi tetap setia dan selalu berbakti kepada
suaminya. Kemudian Siti Aklimah dipanggil menghadap Tuhan naik ke Surga.
Suaminya bingung mencari, hingga mati dan masuk ke neraka. Akhirnya karena
pertolongan Siti Aklimah mereka berdua naik ke Surga.
4.33.
Pagi harinya Kyai Pujastuti menugaskan juru masak untuk
mempersiapkan saji-sajian serta syarat-syaratnya mengadakan ruwatan Murwakala,
dengan mengambil cerita lakon Partadewa. Saat larut malam terdapat adegan
pendeta raksasa di pertapaan Ringinsapta bernama Resi Kresnakesawa dengan
adiknya perempuan bernama Endang Mardadari. Sang Parta ada di Tinjomaya
bergelar Prabu Kalithi. Akhirnya Resi Kresnakesawa berganti rupa kembali
menjadi sri Kresna, sedangkan Endang Mardadari kembali menjadi Sumbadra.
4.34.
Uraian mengenai pemboyongan pengantin, keterangan tentang
kelengkapan perkawinanya, kain lemes, dan barang bawaan yang bermacam-macam.
Kyai Pujangkara memberi Pelajaran kepada anak perempuannya tentang kewajiban
seorang istri kepada suaminya, cara memelihara rumah tangga, dan tata susila.
Pengantin diboyong mempelai wanita naik joli, mempelai pria naik kuda.
4.35.
Setelah perhelatan di rumah Kyai Pujangkara selesai, Mas
Cebolang dan keempat orang santrinya serta Ki mat Tengara diperbolehkan pulang.
Singgah melihat meriam milik raja. Penjaganya bernama Ki Narataka, pamannya
Modin Ki Amat Tengara. Ki Nataka menerangkan nama dan asalnya 20 pucuk meriam
milik raja, menceritakan cerita Patih Satama dan Nyai Satami, ketika
diperintahkan mencari senjata meriam oleh Arya Bengah raja di Galuh, akhirnya
Kyai Patih beserta istrinya berganti ujud menjadi dua pucuk meriam,
dipersembahkan kepada Raja di Galuh.
4.36.
Di tengah perjalanan pulang ke kauman, mereka berpapasan
dengan Ki Cendhanilarsa, abdi dalemn metengan (hamba raja tuna netra), juru
cerita dan juru tembang kesayangan raja.
4.37.
Centhini Jilis II Tamat : Berisi cerita perjalanan Mas
Cebolang, mulai dari Sukayasa sampai datang di Mataram, diakhiri dengan bait
penutup berbunyi, sebagai berikut :
MASKUMAMBANG :
Ki Tengara tanya bapak saking pundi // iyah dek Ki Amat
// gumubryug lan tikyasneki // wasi koncung sasarengan.
Artinya :
Ki Tengara bertanya bapak dari mana // ya hai Ki Amat //
Gemuruh beserta dengan ...... ?(tikyasneki) // ayo bernyanyi bersama tembang
Pucung.
CENTHINI
JILID III.
1.
Kitab Centhini jilid III berisi 82 pupuh, yaitu pupuh ke
175 sampai dengan pupuh 256.
2.
Isi Cerita : Mas Cebolang berseerta pengirimnya di
Mataram, lalu pindah ke Kepuran,
Prmbanan, Kajoran, Tembaat, Wanakerta, Pajang dan Lawean.
3.
Permulaan puluh 175, tembang Pucung, bait pertama
berbunyi, sebagai berikut :
PUCUNG :
Pan apanggih si anak kalihan Tamu // Ki Mas Cebolang //
lan rencang sakawan santri // ah wangune boya lidok pethek ingwang.
Artinya :
Telah bertemu si anak dengan tamu // Ki Mas Cebolang //
dan kawannya empat orang santri // kiranya tidak kelirulah dugaanku.
4.
Adapun uraian ringkasan isi ceritanya, sebagai berikut :
Mas Cebolang beserta pengiringnya empat orang santri
masih ada di Mataram :
4.1.
Masih meneruskan pembicaraan dengan Ki Cendhanilaras,
menceritakan tatkala Ki Harda mencari syarat agar menjadi kaya ke hutan Roban,
hingga terkabul.
4.2.
Mas Cebolang diminta datang ke rumah Tumenggung
Sujanapuran, tempat abdi Sujanapura, ialah Pujangga di Kraton Mataram, di rumah
di gedung “Dhimpil” (rumah samping), diminta membaca buku Lokapala kawi, lalu
membahas : “Sastra Jendara”, “Sastra Cetha”, serta permusyawaratan para Dewa :
a). Hyang Basuki menguraikan ajaran “Paksi Rumawati”.
b). Hyang Panyarikan (Sriyana) menguraikan ajaran
“Praman”, macam ragam aksara “Denta Wyanjana”, macam-macam pasangan aksara, dan
tanda-tanda kelengkapan huruf.
c). Hyang Indra membentangkan ringkasan “Heneng Hening”.
c). Hyang Wisnu menguraikan tentang kedudukan huruf Ngezam,
pandangan uraian lapal, Allah Muhammad.
d). Menjadikan huru-hara. Uraiannya segera dicabt, tenang
kembali, para Dewa kembali duduk lagi.
e). Puncak iktikad pada akhirnya permusyawaratan yaitu
bahwa Bangsa Hejan itu adalah pemja api.
f). Kemudian uraian tentang penyusunan “Sastra Jendra
Hayuningrat”.
g). Uraian mengenai perwatakan : 1. Surya. 2. Bumi, 3.
Maruta (angin), 4. Jaladri (air/laut), 5. Langit.
h). Tingkatan yang disebut “Panca Dumadya”, perkembangan
menjadi lima macam, yaitu : 1. Panca Purwanda, 2. Panca Pramana, 3. Panca
Dumadya, 4. Panca Driya, 5. Panca Prabawa.
i). Permusyawaratan berakhir, para Dewa Moksa.
4.3.
Sang Kawindra Pujangga raja, memberikan petunjuk mengenai
perhitungan “Naptu” cara mencari tanggal bulan yang akan datang, serta hari dan
perkanannya.
a). Uraian tentang : “Kurup”, pasaran, tahun, windu,
naptu Huruf Jawa, untuk memperhitungkan nama diri, nama suami istri dan nasib
peruntungannya dalam perkawinan.
b). Mas Cebolang diperingatkan agar tidak terlalu lama
menetap di Mataram, karena banyak godaannya.
c). Lalu ia mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
4.4.
Kyai Ajar Sutikna di Kepurun, sahabat Ingkang Sinuhun
dipanggil raja menghadap ke kraton, kembalinya singgah di rumah Ki Amat
Tengara, ketemu Mas Cebolang, memberitahukan tentang :
a). Baik buruknya hari untuk perkawinan dan bepergian,
perhitungan “Rakam” dan “Bincil”.
b). Riwayat hidupnya ketika muda hingga bertempat tinggal
di Kepuran serta diambil sahabat karib oleh Kangjeng Sinuhun.
c). Peratuan bermain kartu.
4.5.
Cerita perjalanan Mas Cebolang ke Kepurun, di kaki gunung
Merapi, kyai Sutikna itu hidup membujang, tidak beristri, pada waktu masa muda
hidup berpetualang. Ia paham ciri-ciri wanita dan tahu betul akan seluk beluk
bersuami-istri.
a). Uraian tentang pemilihan wanita yang baik dijadikan
istri ada 7 macam.
b). Uraian tentang 21 macam firasat wanita.
c). Uraian mengenai tanda-tandan wanita, pemilihan istri,
pemeliharaan istri, dan pemahaman asmaragama.
d). Uraian mengenai pencegahan persetubuhan.
e). Uraian menggenai persetubuhan yang baik, cara
memperhatikan terlepasnya benih hingga berhasil pembuahan, terjadinya
pembuahan.
f). Keterangan tentang keadaan benih ketika di dalam
kandungan, dipakai sebagai lambang ilmu karena gaibnya.
g). Petunjuk mengenai penjagaan benih sampai dengan saat
kelahiran bayi yang sempurna tiada tercela.
h). Patrap tata-cara persetubuhan yang memuaskan hati
wanita.
i). Ki Amat tengara dipersilahkan pulang dulu ke Mataram,
diberitahukan bahwa dirinya akan diwisuda menjadi Khatib.
j). Mas Cebolang masih tinggal di Kepurun, membahas
masalah wanita yang mencari daya upaya sarana agar dicintai pria.
k). Uraian tentang 8 macam kewajiban pendeta serta
pembagian kepangkatannya masing-masing.
l). Uraian tentang asal mulanya 8 orang wali membagi-bagi
ajaran-ajarannya, mulai jaman Demak akhir sampai dengan jaman Pajang,
dilanjutkan ajaran para guru jaman Mataram.
4.6.
Tiba di Prambanan ketemu Lurah Harsana penjaga candi,
melihat-lihat candi Sewu dan Candi Jongrangan. Lurah Hasanah menceritakan riwayatnya
candi ketika jaman Pengging mulai cerita Prabu Dewanataraja di Pengging, dan
cerita Prabu Dipanata di Salembi beserta putra-putranya, berperang dengan Prabu
Karungkala raja prambanan. Karungkala mati terbunuh oleh Gitrasena anak
Didpanata. Adik Karungkala yang bernama Rara Jongrang minta bantuan raksasa
Darmamaha, setelah dinobatkan bergelar Prabu Baka. Citrasena dan Darmamaya
tidak dapat mengalahkan Baka. Raden Badung anak Citrasena menyusul ke medan
perang. Bandung dapat mengalahkan Baka. Bandung tertarik kepada Rara Jongrang.
Rara Jongrang bersedia apabila Bandung dapat membikinkan seribu candi semalam
jadi. Pagi harinya kurang satu. Rara Jongrang disabdakan Bandung menjadi arca
batu.
4.7.
Pgi hari Mas Cebolang minta diri kepada Lurah harsana,
melanjutkan perjalanan ke arah timur laut, tiba di Kajoran. Menjelang gmeghrib
datang ke masjid, bertemu dengan Khatib Kyai Ngabdulmartaka. Sehabis Isa
membaca dan membahas kitab Suluk Hartati.
a). Uraian tentang : “Bngas”, hari hidup hari sedang hari
mati, “Sangkan paran”, ilmu kesunyataan.
b). Duduk menghadap Panembahan Kajoran di langgar,
mendapatkan keterangan tentang : terjadinya benih, berdirinya Aku, keadaan
Dzat, sifat 20, dinding Jalal, tabir Dzat, makna Kitab Bayan Alip. Wejangan :
Tahta mahligai di Betal Makmur, tahta mahligai di betal mukaram, tahta mahligai
di betal mukadas, serta beberan rahsa sebagai pembuka 6 macam asmara; Wejangan
: Peneguh Iman, dan Syahadat Jati. Uraian tentang : Suahid, mayat dan atmanya;
Ketetapan 4 macam shalat, kapir serta Islam; Ajaran : Asal-usul tubuh, tuntunan
budi, pembahasan Pancaindra, pandangan Mata Hati, hening Heneng Huning, dan
Pancamaya.
c). Keterangan tentang : 3 macam bagian hati; yaitu :
Karmendriya, Antarendriya, Mayendriya, ke tiganya terrmasuk dalam Pancamaya,
yaitu : Lima macam gerak hati.
4.8.
Mas Cebolang diiringkan oleh keempat orang santri
meneruskan perjalanan. Tiba di hutan mencari tempat singgah karena akemalaman.
Bertemu Ki Wreksdikara Lurah Kalang di Kemplong, diajak singgah ke tempat
tinggalnya.
a). Uraian tentang asal mula orang Jawa dmembangun rumah
berbahankan kayu, sejak sang Adipati Santan, Ponggawa negara jaman Prabu
Jayabaya di Mamenang.
b). Macam ragam rumah berkerangka kayu.
c). Cara memlih kayu, nama dan daya gaib kayu jati
serta ketepatan penggunaannya, 11 macam.
d). Jenis-jenis kayu jati yang dihindari pemakaiannya, 16
macam.
e). Cara menebang kayu jati serta pengerjaanya hingga
menjadi ramuan kerangka rumah.
f). Cara dan macam ragamnya membikin sirap.
g). Macam ragam sambungan kayu.
h). Nama-nama jenis sambungan kayu serta penguncinya.
i). 4 golongan bentuk atap rumah, yaitu : Joglo, Limasan, Kampung, Masjid.
j). Perbedaan bentuk atap joglo, 7 macam; Limasan, 10
macam; kampug, 9 macam; masjid, 3 macam.
k). Perhitungan ukuran rumah dengan “Pancasuda”, alat
ukur yang dipakai telapak kaki, yang diukur panjang “Blandar”, dan “Pengeret”,
dengan hitungan : Sri-kitri-gana-liyu-pokah.
l). Pembicaan mengenai macam-macam “Gendhing terbang”.
4.9
Mas Cebolang melanjutkan perjalanan, tiba di Tembayat
bertemu dengan Modin Ki Sahabodin, berjiarah ke makam Ki Ageng Pandhanarang
atau Pangeran Tembayat, dan ke makam Syekh Domba.
a). Pembicaraan mengenai : Makna mengucapkan salam,
kedudukan Hari Raya, dan Halal bil halal.
b). Riwayat ki Gedhe Pandhanarang ketika dicoba oleh
Sunan Kalijaga, mencangkul tanah mendapatkan bongkaham emas. Ki Gedhe mohon
berguru, diminta menyusul ke Bukit Jabalkat di Tembayat. Ki Gedhe dengan
istrinya berangkat menyamar sebagai fakir. Nyai Gedhe membawa tongkat buluh
berisi permata dan keratan emas. Ketika tiba di Salatiga disamun. Nyai Gedhe
mengejar Ki Gedhe, baru terkejar ketika tiba di Bayalali. Penyamun Ki
Sambangdalan mengejarnya, merebut tongkat Ki Gedhe, disabdakan berubah rupa
menjadi domba, bertobat dan mohon ampun, lalu diminta mengikuti perjalanan.
c). Tiba di Tembayat mereka bertiga menerap, domba
bertugas mengisi air Sembahyang. Dengan disaksikan oleh Sunan Lepen, Ki Gedhe
Pandhananrang bernama Pangeran Tembayat, dan domba diruwat, kembali seperti
sedia kala, bernama Syekh Domba.
d). Perbincangan tentang pemuliaan mayat.
e). Pembicaraan Pengeran Tembayat dengan Ki Anom dari
Mataram. Pangeran Tembayat pada waktu itu yalah putra Ki Gedhe Pandhananrang
Adipati Semarang. Sedangkan empu ki Anom itu yalah kemenakan Sunan Kali.
Kangjeng Pangeran bertanya kepada Ki Anom mengenai makna kelengkapan keris,
yang jumbuh (Sesuaim sepadan) dengan ilmu.
f). Ki Anom menguraikan kesepadanan keris dengan ilmu
sesuai dengan ajaran Sunan Kalijaga, dalam hal bentuknya, rangkanya, nama
bagian-bagiannya serta hulu kersinya hingga selesai dengan telitinya.
g). Pangeran Tembayat menguraikan : Ilmu Pesangatan,
ketepatan saat Nabi, buruk baiknya hari, ihtisar perhitungan saat dan tatal.
h). Mas Cebolang dan pengikutnya memperlihatkan
kemahirannya bermain sihir, mengadakan pertunjukan membuat orang banyak
terheran-heran. Pada waktu itu bertepatan dengan hari kelahiran Kangjeng
Pangeran.
h). Sola jawab tentang : Fasik, munafik, kenduri, malam
hari rya Idhul Fitri, puasa Bulan Besar dan Qurban Kekah.
4.10.
Perjalanan Mas Cebolang sampai di Wanakerta, ketemu orang
tua bernama Ki Wanakarta, ia murid Ki Pujangkara dai Mataram.
a). Pembicaraan tentang watak wanita ditilik dari hari
kelahirannya dan wirasat watak wanita.
b). Perhitungan hari yang baik untuk membikin sumur.
c). Uraian tentang janggka perpindahan kraton dari
Mataram ke Kartasura.
d). Padan kata bagian-bagian badan, dan padan kata isi
perut manusia.
e). Bab sebutan isi istana, mulai dari raja sampai dengan
hamba sahaya.
f). Padan kata nama-nama binatang.
g). Bab obt-obatan, obt khusus bagi pria dan khasiat
“Anggi”.
h). Bab lambang-lambang watak buruk.
4.11.
Mas Cebolang meneruskan perjalanan ke Pajang, bertemu
orang tua bernama Ki Mastuti, mutihan di Pajang. Ki Mastuti membentangkan
silsilah Kangjeng Sultan Pajang serta urutan dari Sultan Bintara.
a). Cerita tatkala Sang Prabu Brawijaya menderita sakit
kelamin, sembuh setelah bersetubuh dengan wanita Wandhan. Wanita itu hamil,
melahirkan anak laki-laki diberi nama Bodnhan Kejawan, kemudian sampai menurunkan
Kangjeng Sultan Agung. Mas Cebolang akan berjiarah ke makam Ki Ageng Enis di
lawean diantarkan oleh Ki Mastuti.
4.12.
Tiba di Masjid Lawean pada waktu dhuhur,Bertemu dengan Ki
Jimat Ngabdul Ngatyanta yang sedang menerima kedatangan adiknya bernama Ki Sali
dan Sala. Pembicaraan mengenai jangka Pulau Jawa.
a.) Ki Sali membentangkan Jangka Pulau Jawa menurut
keterangan Prabu Jayabaya yang berdasarkan Kitab Musasar, ajaran Maulana Syekh
Ngali Samsuzen. Dalam jangka itu terbagi menjadi tiga jaman menurut tahun
surya, masing-masing tujuhratus tahun, lalu dibagi lagi tujuh-tujuh, jadi
masing-masing berusia seratus tahun. Kemudian dibagi lagi tiga-tiga, berumur
33,33 tahun dan 34 tahun, sampai pada jaman kiamat. Adapun perlambang negara
sampai akhir jaman, dimulai jalan Negara Pajaran, kemudian yang terakhir Raja
yang ke tujuh, Wallahu a’lam.
5.
Centhini Jilid III Tamat : Berisi cerita perjalanan Mas
Cebolang dari Mataram sampai Lawean. Diakhiri dengan bait-bait penutup berbunyi
demikian :
GAMBUH :
Lah Jebeng uwu putus // wedharing kang jangka jaman wau
// karsaning Hyang Sri jayabaya Kadhiri // tinambahan ing pangawruh // mawujud
dadi pasemon.
Roncene tan sun wuwus // ing pasemon amung dunungipun //
ana jaman tataning karaton Jawi // pitung rambahan pinocung // dhewe-dhewe kang
lelakon.
ARTINYA :
Wahai anakku sudah selesailah // uraian jangka jaman itu
// atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa // oleh Sri Jabaya raja Kediri //
ditambah dengan pemberitahuan // berwujud menjadi perlambang.
Perinciannya tidak kuuraikan // dalam perlambang, hanya
letaknya // pada jaman tata pemerintahan Keraton Jawa // tujuh kali (kemudian
berganti) tembang Pucung // perjalanan hidup masing-masing.
CENTHINI
JILID IV.
1.
Kitab Centhini Jilid IV berisi 65 pupuh, mulai pupuh 257
sampai dengan pupuh 321. Pada bagian belakang disisipkan 1 pupuh Sarkara 17
bait dan 1 pupuh Sinom 1 bait.
2.
Isi cerita : Mas Cebolang melanjutkan perjalanan, sampai
di Majasta, Banyubiru, Wanagiri, Pacitan, Slaung, Gunung Wilis, Wirasaba
(Majakerta).
3.
Pupuh 257 bertembang Pucung, bait permulaan berbunyi,
sebagai berikut :
PUCUNG :
Pitung kraton Pajajaran awitipun // prapteng akhir jaman
// nanging kang nenem nagari // lawan ingkang jumeneng Sri Nareswara.
ARTINYA :
Tujuh kerajaan, Pejajaran yang permulaan // sampai akhir
jaman // tapi keenam negara (yang lain) // serta dengan raja yang memerintah.
4.
Adapun urutan ringkasan isi ceritanya, demikian :
4.1.
Masih melanjutkan cerita Mas Cebolang ketika ada di
Lawean :
a).
Ki Sali, seorang
gberasa dari dusun Sala meneruskan uraiannya tentang perlambang Jayabaya. Perlambang
jaman tujuh kerajaan sampai dengna musnahnya alam kehidupan Pulau Jawa, mulai
dari Kerajaan Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura dan
Surakarta, terus sampai pada kerajaan yang gaib, jaman kacau balau.
Menceritakan sejak Pulau Jawa mengalami jaman sejahtera sampai dengan jaman
kiamat kubra.
b).
Kyai Jimat menreangkan hadis sabda Nabi tentang
tanda-tanda hari Kiamat sampai 56 macam. Merajalelanya durhaka dan maksiat,
serta kacau-balaunya jaman pengrusakan Islam maupun keimanan manusia.
c).
Kemudian menceritakan : Suri tauladan kesetiaan seperti
halnya Syaid Markabah. Ia seorang yang penuh berbakti kepada Tuhan dan kepada
rajanya di Negara Mesir. Ia dicoba oleh raja, penghidupannya diganggu, namun ia
tetap setia kepada raja dan tetap percaya akan kemurahan Tuhan Yang Maha
Pengasih. Akhir cerita Sayid Markabah dijadikan Perdana Menteri oleh sang
RajaNgabdurakhman raja di Negara Mesir.
4.2.
Waktu pagi hari sesudah subuh setelah makan pagi Mas
Cebolang berangkat menuju ke arah Timur, tiba di Gunung Kendheng Kidul, lalu
meneruskan ke Majasta. Ki Jayawilasa, kepala tanah perdikan Majasta telah
mengetahui akan kedatangan tamu, memerintahkan untuk bersiap-siap, ia menjemput
di pinggir kali.
a).
Ki Jayawilasa menceritakan asal mulanya batang pohon asam
di pinggir kali itu mengecil di tengah : Ki Kebokenanga Pengging mati dibunuh
Sunan Kudus, sanak keluarga di Pengging hendak melawan tapi mundur semua karena
terkena daya perbawa wali, Jenazah Ki Kebokenanga dimakamkan di sebelah Timur
Laut rumah, tujuh hari kemuadian istri Ki Kebokenanga meninggal dunia, anaknya
bernama Mas Karebet sangat merasa, setelah dewasa ia menjadi pimpinan pasukan
Tamtama di Demak, membunuh Dhandhangawuk diusir, bertemu Ki Ageng Butuh Ngerang
di bukit Kendheng, disuruh berguru kepasa Ki Ageng Banyubiru, dipersaudarakan
dengan Mas Manca, tiga bulan kemudian disuruh pergi ke Demak dengan singgah di
Mejasta, rakitnya ditambatkan pada batang pohon asam itu. Mas Karebet atau Jaka
Tingkir terus pergi ke Demak.
b).
Dieruskan dengan silsilah juru kunci Banyubiru. Mas
Cabolang terus ke Banyubiru dan Taruwangsa.
4.3
Tiba di Taruwangsa bertemu dengan Ki Sahid, berjiarah ke
makam Ki Ageng Banjaransari :
a).
Datang di Sendang Watukapa mencelupkan keris.
b).
Datang di Telaga Purusa bertemu dengan Ki Suhud, terus ke masjid untuk shlat
“Ashar, kemudian dilanjutkan berjiarah ke makam, bertahlil. Mas Cebolang merasa
ingin bertemu dengan Syekh Arcaranu yang sudah berbadan sukma, terdengar suara
akan dipenuhi kelak bilamana sudah kawin. Gempa bumi sesaat, setelah reda
mereka meninggalkan makam.
c).
Ki Suhud mengantarkan Mas Cebolang sampai di Teleng, Sendhangsanga, kemudian
minta diri kembali.
4.4.
Mas Cebolang dengan pengiringnya terus ke Timur, tiba di
Sendang Girimarta, bertemu dengan seorang laki-laki muda anak Ketib Winong di
Mataram bernama Indrasmara. Orang itu menerangkan bahwa dulu ia akan belajar
mengaji ke Panaraga, tapi ketika tiba di Wanagiri tertambat hatinya oleh
seorang gadis. Mas Cebolang dipersilahkan singgah di rumahnya.
a).
Pembicaraan mengenai keyakinan manusia, baik mana Tasawuf ataukah Fikih.
Indrasmara mengakui lebih menyukai fikih, karena dengan terus ia dapat
mendamaikan madu, istrinya sebanyak empat orang.
b).
Indrasmara menerangkan tentang ilmu Asmaragama, perihal wirasat wanita, dan
tatalaksana asmara.
c).
Uraian cara mengetahui bagian-bagian tubuh yang peka terkena sentuhan
pembangkit asmara berdasarkan warna kulit masing-masing.
d).
Haji Nurgiri, mertua Indrasmara membentangkan tentang daya perbawa asma Tuhan
99 macam, bersumber dari Malikulkhusna, serta kegunaan asma-ulkhusna 99 macam
sampai tamat.
4.5
Mas Cebolang tiba di Paricara, Wilayah Wanagiri. Di
tempat itu ada seorang janda muda yang cantik, ialah yang menjadi Demang di
Paricara. Mas Cebolang menyamar sebagi seorang wanita bernama Ken Suwadi.
Mereka berdua dapat berkasih-kasihan dengan sepuas hati. Bilamana siang hari
Mas Cebolang menjadi wanita cantik, tapi apabila malam tiba ia menjadi pria
tampan, mereka berdua saling menumpahkan kasih mesranya selama tiga hari tiga
malam.
4.6.
Mas Cebolang melanjutkan perjalanan sampai di Pringkuku,
terus ke selatan bertemu dengan seorang laki-laki bernama Ki Dermayu, juru
kunci penjaga tumbal (Penangkal) Pulau Jawa berupa tempayan di puncak gunung
karang.
a).
Pemberitahuan bahwa esok harinya akan datang seorang Brahmana Hindu akan
memasang kelambu diteruskan dengan keterangan asal mulanya pemasangan tumbal di
Pulau Jawa.
b).
Melihat-lihat tempayan tumbal berisi semacam tulang tulang, tapi berlainan atas
penglihatan ke lima orang itu.
c).
Sang Brahmana Siddi datang diiringkan oleh para sahabatnya mengganti kelambu
selubung berupa kain kesting putih.
d).
Riwayat hidup Mas Cebolang, baik yang sudah lewat atau pun yang masih akan
datang ditebak oleh Sang Brahmna.
e).
Sang Brahmana mengajarkan tentang aturan dan tingkat-tingkatan para siswa
menurut ajaran budha Gaotama, yaitu :
1.
Upasaka, siswa yang melakukan Pancasila.
2.
Sangha, Siswa piluhan yang melaksanakan Asthasila.
3.Samana
atau Biksu, yang melaksanakan Dasasila.
f).
Uraian Ajaran Agama Budha, hidup berulang kali, karena pekerti cipta hidup yang
bernama “Tanha” serta daya kekuatan yang menunjangnya disebut ‘Karma”
mengakibatkan terjadiknya “Cakra Manggilingan” (Perputaran Roda Hidup).
g).
Kemudian uraian ajaran Agama Budha tingkat ke empat yang disebut “Patobat
pambirating Panandhang” (Bertobat untuk membebaskan penderitaan), agar hidup
sempurna bebas lepas dari perputaran roda hidup.
h).
Uraian menggenai tujuan dan cita-cita yang diidam-idamkan dalam kesempurnaan
Budha, serta petunjuk tentang watak-watak manusia yagn sesat, yang harus
disingkiri ada dua macam yalah “Tanha” dan ‘Karma”.
i).
Pembicaraan mengenai perbedaan “Karma” dan “Lokil makfu;”, serta yang disebut
baik dan buruk.
j).
Persoalan berat mana “Ilmu” dengan “Laku”
k).
Mas Cebolang membicarakan Serat Rama,
membahas keutamaan watak Wibisana dan Kumbakarna.
l).
Sang Brahmana menceritakan cerita Sultan Abdulkarim Kubra, diambil dari Kitab
Tajusalatin. Sultan menyiksa pengemis, kemudian Sultan dimusnahkan beserta hamba
sahayanya, para penasehatnya menangis sedih, dipersalahkan akrena tidak
meninggalkan saja raja yang durhaka, sebagaimana halnya Eibisana yang
meninggalkan kakaknya Raja Durhaka.
m).
Ajaran Rama setelah tiba kembali di Ayudya, pembicaraan tentang tepatnya
kelepasan kematian.
n).
Sang Brahmana menjamu makan minum secara di kapal, kemudian kembali naik ke
kapal membongkar jangkar melanjutkan pelayarannya.
4.7
Mas Cebolang meneruskan perjalanan ke timur, tiba di
Dusun Silaung, bertemu petinggi desa bernama Nursubadya :
a).
Menceritakan banyak orang di Silaung yang mengembara menjadi “Warok” dan
“Gemblakan”.
b).
Menyaksikan bagaimana sesungguhnya warok itu, barisan warok, dan perkelahian
warok di pasar Pucang.
c).
Melihart warok berkelahi berebut “Jatilan” di Pasar Mayang.
d).
Menyaksikan adat kebiasaan warok-warok di Panaraga.
e).
Mas Cebolang belajar “Gemblakan”, dengan para jathil, ia “Digemblak” oleh
Warok-warok, ditukar dengan istri-istri para warok.
f).
Mas Cebolang membaca kitab Ma’nawi pegon, bagian yang menceritakan ketika Nabi
Isya menemukan Kepala Raja Ngesam.
g).
Cerita Raja Ngesam, raja durhaka, setelah mati hidup lagi, bertobat, bertapa
selama 800 tahun, mati, naik ke Surga.
4.8.
Perjalanan Mas Cebolang sampai di asrama Majenang di
Gunung Wilis, bertemu dengan Euekh Madyasta.
a).
Mas Cebolang diminta melagukan “Syahadat kurais”
dengan gaya mataram, ditiru oleh para santri di asrama Majenang.
b).
Syekh Madyasta bercerita : seseorang bertapa empat tahun lamanya, mendapatkan
lailatulkadri berupa tiga buah batu, istrinya diberitahu, mereka berebutan
dalam memintanya, hingga keliru ucapannya, berulang-ulang tiga buah batu itu
dilontarkan ke atas teteap berupa batu belaka.
c).
Cerita tentang keadilan dan kemurahan
hati, di seluruh dunia ini hanya dibagi dua. Prabu Nusirwan di Madayin memiliki
watak adil separuh bagian dari keadilan di seluruh dunia, sedang yang separuh
bagian lagi dimiliki oleh orang-orang lain di seluruh muka bumi ini. Dalam hal
watak bermurah hati, separuh bagian dari keseluruhan di dunia ini ada pada diri
Katimtayi, kemurahan hatinya melebihi raja-raja, ia merelakan harta bendanya
dan bahkan umurnya.
d).
Syekh Madyasta mengajarkan ilmu kana sahabt kepada Mas Cebolang serta
santrinya, setelah tengah malam hari mereka berkenduri.
e).
Pada pagi harinya Panggawe diminta melagukan suluk Janturan Raja Ngamarta
berserta pada Pandhawa sekeluarga, dengan membeberkan arti nama mereka masing-masing dan watak maupun
kepribadian mereka. Lalu ucapan janturan Raja Mandura, dan kemudian Raja
Ngastina, berikutnya janturan adegan Hyang Girinata, semuanya runtut tiada
celanya..
f).
Ganti Nurwitri diminta mengucapkan janturan wayang gedhog, berurut-urutan
seterusnya. Kemudian menyebutkan gelar-gelar raja beserta dengan nama-nama
perdana meneterinya.
g).
Syekh Madyasta menerangkan Kitab Wadu Haji atau Raja Kapa-Kapa, mengenai
bermacam-macam ponggawa dan tentara, sebutan-sebutannya maupun
kewjiban-kewajibannya.
4.9.
Selesai
uraian Kitab Wadu Haji, Mas Cebolang mohon diri, akan meneruskan perjalanan ke
Wirasaba (Majakerta). Disetujui diminta datang langsung ke rumah Ki Pangulu
Jamali. Setibanya di rumah Ki Pangulu dijamu minum dan makan bersama di
pendopo. Nyai Pengaulu rajin melayani. Mas Cebolang disediakan rumah pondokan
di dekat pintu gerbang. Ia memberikan buah tangan lima keranjang penuh berisi
garam, terasi dan lauk-pauk dari hasil mangunahnya. Sehabis Sembahyang ia
menghadap Ki Adipati, mengadakan pemicaraan sebentar, kemudian diperbolehkan
beristirahat.
Pekerjaan Mas Cebolang di Wirasaba bermain terbang rebana
dan bermain sulap, termasyhur, tapi mahal ongkosnya, maka jarang orang
mengundang.
Pada waktu iru istri Ki Adipati akan melahirkan setelah
genap bulannya tida pula lahir-lahir. Ki Adipati berndzar, bilamana segera
lahir dan selamat semua akan mengundang Mas Cebolang bermain terbang rebana dan
bermain sulap. Jadilah bayi lahir dengan selamat semua, maka lekas-lekaslah
mempersiaplan tempat untuk menyelenggarakan permainan.
5.
Centhini Jilid IV Tamat
: Memuat kisah perjalanan Mas Cebolang mulai dari Majasta sampai datang
di Wirasaba. Diakhiri dengan bait penutup, berbunyi sebagai berikut :
SINOM :
Dipati mangayubagya // Jabangbayi nulya lahir // raharja
sadayanira // marma puputan nimbali // Ki Cabolang Nurwitri // lawan santrinya
sadarum // siyang ing kabupatyan // gelakan anambut kardi // mangke ratri
wedhare amangun suka.
Artinya :
Ki Adipati menyetujui // bayi segera lahir // semua
selamat // maka setelah kering tali pusarnya, mengundang // Ki Cebolang (dan)
Nurwitri // dengan segenap santri pengiringnya // siang hari di Kabuaten //
sibuk bekerja bersiap-siap // nanti malam diselenggarakan permainan yang
menyenangkan.
CENTHINI
JILID V.
1.
Kitab Centhini Jilid V berisi 36 pupuh, mulai pupuh 321
sampai dengan pupuh 356.
2.
Isi cerita : Di Wirasaba Mas Cebolang beruat rusuh,
ketika akan ditangkap dapat meloloskan diri, mengembara di gunugn Semeru,
pulang kembali ke Sokayasa, dikawinkan dengan Niken Rancangkapti. Ayahandanya
waat, lalu pindah membuka desa di Wanataka.
Raden jayengresmi ada di Karang berganti nama Syekh
Amongraga, Gthak – Gathuk berganti nama Jamal – Jamil. Pindah dari Karang ke
Wanamarta, di situ dijadikan guru Ki Bayi Panurta serta ke dua orang anaknya.
3.
Pupuh 321, berteebang Sinom, bait permulaan berbunyi
demikian :
SINOM :
Anuju wulan purnama // lir raina padhang neki // badhene
wetan pandhapa // anggene ananggap singir // pepak sajen mawarni // sekar
konyoh lawan kutug // sekul tumpeng megana // warni pasar anepeki // salawate
neng sajeng salawe reyal.
Artinya :
Bertepatan dengan bulan perunama // terang benderang
bagaikan siang ghari // akan terletak di sebelah timur pendapa // tempatnya
bermain singir // lengkap saji-sajiannya bermacam-macam // buratsari dan dupa
setanggi // nasi tumpeng “megana” // “”Jajan Pasar” penuh // Uang Shalawat
duapuluh lima real di dalam tuak.
4.
Adapun urutan ringkasan isi ceritanya sebagai berikut :
4.1.
Kelanjutan cerita Mas Cebolang beserta keempat orang
santri pengiringnya di Kabupaten Wirasaba. Sang Bupati bernadzar mengundang Mas
Cabolang untuk mempertunjukan kemahirannya. Saji-sajian penuh lengkap.
Mas Cebolang
memang tampan dan berwajah bagus rupawan, lagi pandai-pandai memilih
pakaian sepantasnya. Ia diiringkan oleh para santrinya, mendendangkan syair
dalam alunan suara yang merdu merayu, menggema mengguncangkan hati wanita yang
mendengarkan. Banyak orang terpesona menyaksikan. Salah seorang selir Ki
Adipati bernama Jae Manis jatuh cinta kepada Mas Cebolang, mereka berdua
senantiasa saling bertukar pandang. Jae Manis duduk bersama para penabuh gamelan.
Permainan sulap Mas Cebolang bermacam-macam, banyak orang
menyaksikan terheran-heran, dan banyak wanita bergaya agar menarik perhatian
Mas Cebolang.
a).
Mas Cebolang mulai bermain sulap : Biji semangka ditanam, seketika tumbuh
subur, berbunga, berbuah sebesar periuk. Para selir diminta memungutnya, Sang
Bupati gembira amenyaksikan.
b).
Janur kuning disulap menjadi ular naga.
c).
Daun benda menjadi kura-kura.
d).
Bulu burung ddimasukkkan ke dalam kurungan, didendangkan lagu pantun, seketika
itu bulu berubah menjadi burung hidup bermacam-macam beterbangan.
e).
Jentera disulap menjadi harimau, orang-orang yang menonton berlarian,
wanita-wanita takut terbirit-birit. Mas Cebolang berseru bahwa harimau itu
tidak berbahaya. Kemudian harimau disulap kembali menjadi jentera.
f).
Santri [engiringnya diikat, dikurungi, namun setelah dibuka sudah terlepas
ikatannya.
g).
Ki Adipati melepas nadarnya menaburkan uang dana 15 anggris kepada para
penonton. Mas Cebolang diminta menaburkan di tengah-tengah lingkaran penonton,
orang-orang saling berebutan dangan ramainya. Mas Cebolang jatuh terlentang
dikangkangi orang banyak.
h).
Setelah pertunjukan selesai Mas Cebolang dengan segenap santri pengiringnya
dihadiahi pakaian semua.
i).
Sang Adipati tertarik akan Nurwitri. Pada suatu hari Mas Cebolang diminta
datang dengan berpakaian seperti wanita. Mas Cebolang dan Nurwitri disuruh
berdendang berganti-gantian. Ki Adipati semakin bersuka ria, sampai-sampai
memperlakuakn Mas Cebolang sebagaimana wanita, begitu mereka bergantian. Dalam
pada itu Mas Cebolang mencari kesempatan bermain asmara dengan Jae Manis.
Perbuatannya ketahuan Ki Adipati, Ki Adipati sangat marah, memerintahkan untuk
menangkap Mas Cebolang dan membunuhnya. Mas Cebolang mendengar berita itu,
segera meloloskan diri bersama dengan santri pengiringnya masuk ke hutan. Ia
bermaksud untuk pulang dan akan bertobat kepada ayahandanya.
4.2.
Peringatan
santri Saloka : Mas Cebolang diajak mendaki gunung Semeru, tempat Buyut
Danadarna yang telah berbadan sukma. Mereka lima orang segera berangkat dengan
berpuasa “pati geni” selama tujuh hari. Tiba di puncak gunung Semeru kosong,
tidak bertemu sesuatu pun, maksudnya tidak mendapatkan restu. Lalu beralih
pergi ke gua Sigala, perjalanannya dipercepat, dan dijadikan taruhan, jika tidak
menjumpai sesuatu pun lebih baik menemui ajalnya. Ke empat santri pengiringnya
disuruh pulang kembali namun tidak ada yang mau dan mereka tetap akan mengikuti
perjalanan Mas Cebolang ke mana pun jua. Sehari-hari perjalanannya sangat
sulit. Menjelang senja mereka Shalat Hajat di tepi jurang. Begitu mereka tujuh
malam berkhalwat di dalam gua yang sunyi senyap. Pada waktu yang demikian itu
Mas Cebolang mendpat rakhmat dapat melihat sang pertapa, sedang keempat santri
pengiringnya tak mengetahui apa pun. Mas Cebolang bersujud di kaki Sang
Pertapa, berserah diri dan bertobat dengan penuh kesungguhan. Ia dijamu makanan
yang amat lezat cita rasanya, hanya diperkenankan bermalam di situ selama
semalam, pagi harinya diharuskan pulang kembali ke Sokayasa. Mas Cebolang
diberi tahu bahwa ayahandanya mengangkat dua orang anak sebagai putranya,
seorang pria dan seorang wanita, ke duanya putra Giri, bernama Jayengsari dan
Rancangapti. Mas Cebolang lalu masuk ke dalam gua, diberi wejangan tentang :
a).
Kesejatian “Wahyu Jatmika” lambang-lambang pada bayangan cermin rias, sebagai
lambang “jisim” dan “hidup” lambang nyawa makhluk.
b).
Arah dan sikap shalat, caranya menghadap Tuhan.
4.3.
Mas
Cebolang mohon restu, pagi-pagi hari segera mohon diri pulang kembali ke
Sokayasa, ingin melihat tamu di rumahnya.
Di
Sokayasa Kyai Akadiyat telah selesai mengajarkan ilmunya yang gaib-gaib kepada
Dyan Jayengssri, ditumpahkan kasih sayangnya sepenuhnya, hingga ia lupa akan
anaknya sendiri. Kyai Akadiyat pun mengetahui bahwa tiada lama lagi Mas
Cebolang akan datang kembali dengan mendapatkan anugerah Tuhan.
Waktu
sore hari sehabis “Ashar, Kyai Akadiyat duduk di langgar, mengajarkan ilmu
kelepasan kematian kepada Jayengsari.
Tiba-tiba
Mas Cebolang datang menjatuhkan diri bersujud di kaku ayahandanya, ia menangis
tersedu-sedu serta menyatakan rasa sesalnya. Setelah reda disuruh ayahandanya
untuk bersujud di hadapan Dyan jayengsari sebagai saudara tuanya.
Beberapa
waktu kemudian Mas Cebolang dikawinkan dengan Ken Rancangkapti. Mereka berdua
hidup rukun, saling barkasih sayang, diberinya rumah sendiri.
Taida
lama antaranya Kyai Akadiyat suami istri meninggal dunia. Sebulan kemudian di
Sokayasa kedatangan dua orang santri dari Surabaya, diduga utusan Pangeran
Pekok yang ditugaskan mencari putra-putri Giri.
Pada
suatu hari, Raden Jayengsari, Mas Cebolang dan Ken Rancangkapti, diiringkan
oleh santri Buras, meninggalkan Sokayasa, berjalan di sepanjang hutan Gunung
Kidul menuju ke arah barat.
4.4.
Setelah
beralan tiga malam tiba di Gunung Lima, bertemu dengan seorang pertapa bernama
Syekh Hercaranu, yaitu keturunan Ki Ageng Banyubiru. Pertapa itu berpesan
jangan sampai beranimelawan kepada yang sedang mendapatkan “Nuriingrat” yaitu
Sinuhun Sultan Agung. Janganlah meniru sikap ayahandanya yaitu Jeng Sunan Giri.
Mereka yang dipesan mengikrarkan rasa tunduknya sama sekali tidak akan berani
mengadakan perlawanan seperti yang sudah lalu.
Syekh
Hercaranu memberikan petunjuk agar supaya selamat, mereka diminta berganti
nama. Jayengsari supaya bernama Syekh Mangunarsa, Mas Cebolang bernama Syekh
Anggungrimang, Buras berganti nama Monthel, sedangkan ken Rancangkapti tetap
tidak usah bernama lain.
Mereka
disuruh bertapa di dalam hutan yang terletak di antara bukit dan dikitari
jurang, yaitu di Wanataka.
Mereka
kemudian disuruh memegang kain dan memejamkan matanya. Sebetar kemudian mereka
telah tiba di Wanataka. Tampak indah asramanya, masjidnya dilingkungi pohon
kelapa, seperti desa lama bermacam-macam tanamannya. Desa itu hasil pujaan sang
pertapa. Kemudian para sanak keluarga di Sokayasa menyusul ke Wanataka.
4.5.
Ganti
menceritakan kisah perjalanan Raden jayengresmi, tiba di Karangkagengan wilayah
Banten, beralih nama Syekh Amongraga. Gathak dan gathuk berganti nama Jamal dan
jamil. Ki Ageng Karangkagengan memberi petunjuk kepada Syekh Amongraga agar
pergi ke Wanamarta dai Daerah Bang Wetan, ke tempat kediaman Ki Bayi Panurta
yang mempunyai seorang anak gadis bernama Ni Ken Tambangraras. Syekh Amongraga
supaya kawin dengan Ken Tambangraras.
4.6.
Syekh
Amongraga singgah di dukuh Maledari, bertemu dengan Ki Buyut Wasi Bagena. Ki
Buyut mempunyai dua orang anak bernama Ni Ken Pangliring dan Ni Rarar Sumekar.
a).
Bertukar pikiran dalam berbagai hal : Ilmu Ketuhann, petunjuk Gedung Adiluhung,
yang disebut Rata Kemala Kusuma Dunia, Tunggal Kesejatian Sukma, Alif yang
masuk raga, Ilmu sejati kesejatian rasa, kesejatian Sastra, kesejatian sunnat,
kesejatian fardhu, kesejatian Shalat, dan kesejatian Ruh.
b).
Kemudian pembicaraan mengenai ana yang disebut anugerah apa yang dimaksudkan
> Di dalam Pria terdapat wanita, dan di dalam wanita terdapat pria, serta
uraian tentang kesejatian Pria dan kesejatian wanita.
4.7.
Syekh
Amongraga tiba di dukuh Ngandong Tinunu, bertemu dengan Syekh Sukmasidik,
mempunyai anak perempuan bernama Rara Megatsih. Syekh Amongraga diterima dan
dijamu baik-baik.
a).
Membicarakan menegani : Ruh, kesejatian hidup, kesejtian Dzatullah, empat macam
nafsu : Amarah. Luamah, Sufiah dan Mutmainah.
4.8.
Perjalanan
Syekh Amongraga di sepanjang Gunung Kendheng, sampai di daerah Majalengka
datang di Dukuh Wanamarta, bertemu dengan Ki Bayi Panurta, istrinya bernama Ni
Malarsih, mempunyai tiga orang anak. Yang sulung perempuan bernama Ni Ken
Tambangraras, belum mau kawin karena belum ada yang berkenan di hati, meski telah
banyak santri-santri erkenal melamar, semua ditolaknya. Tambangraras ini kelak
kawin dengan Syekh Amongraga. Anak yang ke dua laki-laki bernama Jayengwesthi,
kelak disebut juga Jayengasmara atau Jayengresmi. Ia sudah beristri bernama
Turida dan sudah berumah tangga sendiri. Anak yang ke tiga laki-laki bernama
Jayengraga, ia pun sudah beristri bernama Rarasati. Ni Ken Tambangraras
mempunyai seorang pelayan wanita yang masih muda belia bernama Centhini, kelak
Centhini ini menjadi istri santri Monthel nama lain Santri Buras.
Orang-orang
di Wanamarta lainnya yang disebut-sebut yaitu : Nuripin, santri pengiring Syekh
Amongraga, santri pesuruh bernama Luci, dan santri Jalauddin. Lalu adik-adik Ki
Bayi Panurta yaitu : Ki Suwarja, Ki Waradhustha, Ki Kulawirya, dan Panukma,
Panamr,s erta dalang-dalang di Wanamarta : Cermasana, Widigun, Widileksana,
Tunjungkara dan Gandasana. Kemudian penghulu Basaruddin semula bernama Santri
Bawuk.
Di
tempat kediaman Jeyengraga membicarakan tentang :
a).
Keutamaan ilmu bilamana dapat selaras dengan tanggapan kalbu.
b).
Soal jawab mengenai keadaan Tuhan sebelum bumi dan langit ada, ketika alam
semesta masih kosong.
c).
Yang ada Cuma “La Takyun Kun” sebelumnya “Nukat Gaib”, “Wilayat” “Gaibul
Ghuyub”, “Gaib-uuwiyah”, keadanya tidak tampak.
d).
Dalil-dalil Qur’an.
e).
Benih-benih kesempurnaan, puncak-puncak keilmuan.
Ki
Bayi Panurta sedang duduk di masjid kecil, mengajar para cucu dan anak-anak
kemenakannya. Santri-santri yang sudah besar mengadakan sarasehan. Ken
Tambangraras pun turut mengajar. Tibaa-tiba datang Syekh Amongraga diantarkan
oleh Jayengwesthi dan Jayengraga.
a).
Renungan tentang makna : “Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” ---
“Sukma manjing badan, badan maning sukma” – dan tentang : Cahaya malaikat, Nabi
serta Wali semua.
b).
“Jirim kang wujud jirim jriyah kawijah” --- keadaan segala-galanya – “panasnya
kang jirim, anseistidilal”, -- yaitu kelemahan makhluk yang tidak memiliki
kekuasaan, bagaikan sampah disamudra. Tuhan tidak bertempat, tapi tempat yang
tidak bertempat, tidak dapat diperkirakan. Demikianlah yang betul-betul mukmin,
berhak menolak atau pun memilih, ketika belum terbuka hatinya oleh kekuasaan
Tuhan.
c).
Perlambang sukma merasuk tubuh, tubuh merasuk sukma, yang menjadi bentengnya
hati sanubari, dibuka oleh “Ikhram”, yang salah tangkap ilmu akan “roh ilapi”,
dibuka dengan “Shalat” maka jadilah “Sukma”.
d).
Uraian bab cahaya malaikat yang lewat hati.
e).
Syekh Amongraga bershalat satu raka’at, memberi salam, lalu bertafakur
mengheningkan cipta dalam kegaiban Tuhan, meningkat dalam Thariqat, dan Mikrad,
melepaskan pandangan, sesaat terpusat, menarik tujuh macam jaman : 1. Alam
Kamil, 2, Alam Misal, 3. Alam Ajsam, 4. Alam Arwah, lengkapnya tujuh dengan
tiga macam kegaiban : 1. Wakiddiyat, 2. Wahdat, 3. Akaddiyat, semua gaib,
suhul, hening, tak tercampur baur, kepastian takdir tak terselip, tahu akan
pembagian “Asya-a”.
f).
Mengajarkan tiga macam kelepasan padangan yang utama.
1.
Lapas pandangan akan sifat.
2.
lepas pandangan akan Af’al.
3.
Lepas pandangan akan Dzat.
g).
Segenap makhluk hidup itu tak lain adalah ujud Tuhan. Ki Bayipanurta
menyarahkan anaknya Ken Tambangraras kepada Syekh Amongraga. Bersedia menerima
asalkan selalu saling menurut. Syekh Amongraga disediakan pondokan di rumah
Jayengwesthi. Ki Bayi memberi pelajaran kepada putrinya mengenai “ Enam macam
tingkah laku perkawinan, serta suri tauladan kuna tentang wanita yang bakti
kepada suaminya, yaitu Murtasiyah istri Syekh Ngarip dan Johar Mani. Tingkah
laku perkawinan yang harus diperhatikan, yaitu : “Ajrih” (Tunduk), “Asih”
(Kasih), Sumerep ing karsa (maklum akan hasrat), “Ngimanaken” (Mengimankan),
“mbangung turut” (patuh), “Labuh ing laki” (menjalankan perintah suami).
Pembicaraan
Ki Bayi dengan istrinya tentang rencana perkawinan putrinya dengan sederhana.
Jayengwesthi yang bertindak selaku besan. Sekat-sekat dinding rumahnya dibuka,
dihias dengan “tuwuhan”. Kemudian ternyata bahwa perhelatannya diselenggarakan
dengan besar-besaran, atas kehendak keras Ni Malarsih untuk merayakan perkawinan
putrinya yang hanya satu itu.
DAKON
DAKON
Pada waktu malam “Midaddareni” (Malam menjelang saat pernikahan), rumha Ki Bayipanurta penuh sesask oleh sanak keluarganya. Orang-orang tua membicarakan perhitungan “bincilan”, ramalan “panagan” dan macam-macam perhitungan perkawinan yang lain. Tamu-tamu tidak tidur semalam suntuk sambil bermain catur, setelah malam bermain rebana. Tiap-tiap sela untuk istirahat menikmati hidangan minum dam makan. Sebagian ada yang bermain “macanan, “wong-wongan” dan “dham-dhaman”. Tengah malam mengadakan kenduri bertempat di Pendapa dan di Masjid. Ki bayi merokok “kalukuk benggala”, Ki Widiguna minum madat, banyak ceritanya yang lucu-lucu. Di dalam rumah wanita mengelilingi Ni Malarsih, ada yang bermain “Cuki” dan “dhakon” Setelah makan diteruskan berjaga-jaga semalam penuh diselingi dengan perbincangan yang memberahikan sehingga menyebabkan para muda terangsang.
Di
rumah Jayengwesthi, temepat pondokan calon pria, ramai riuh rendah, orang-orang
bersyair, sedang Syekh Amongraga minta diri menyepi menyendiri di malam yang
sunyi. Jayeng raga yang membikin ramai pendapa. Cermasana yang membanyol,
diselingi dengan permainan rebana. Banyak orang dari lain desa datang.
Jayengraga membaca rawi. Cermasana dan Widiguna bercerita lucu, sebagian ada
yang bermain “emprak”. Waktu beristirahat diberi penyegar “Rujak Kopyor”. Senu
dan Surat diberi pakaian wayang, menari “gambyong”. Jamal dan Jamil bermain
“emprak”, seperti orang berenang di air, memperlihatkan kekuatannya ilmu
karang.
Di
rumah Jayengraga sendiri dipukul gamelan, dimeriahkan oleh Kulawirya. Maka,
setelah lewat larut malam, Jayengraga mengajak berpindah ke rumahnya. Senu dan
surat turut, demikian halnya para dalang : Cermasana, Widiguna, Widileksana,
Tunjungkara, dan Gandasana, serta Nuripin, Imanarsa dan Gus Dawut.
Pagi
hari bubar, sesudah subuh Ki Bayi diiringkan oleh para ssantri duduk di
Pendapa, meminta adiknya Panukmapanamar dan anaknya Jayengraga agaar berhias
untuk menyaksikan pernikahan pengantin.
5.
Kitab
Centhini V Tamat : Memuat isi cerita Mas Cebolang di Wirasaba, meloloskan diri
mengembara di gunung Semeru, pulang kembali ke Sokayasa sampai dengan kisah
perjalanan Syekh Amongraga diiringkan oleh Jamal dan Jamil ke Wanamarta.
Diakhiri dengan bait penutup berbunyi, sebagai berikut :
SARKARA- DHANDHANGGULA :
Dene sira kulup Jayengragi // ingkang kidul masa bodho
sira // rampunge barang rakite // lan wong magersarimu // prayoganen ingkang
angiring // amrang ing kakangira // ing paningkahipun // kang putra matur
sandika // ngling mring garwa marenea sun tuturi // mijila ing Pendhapa.
Artinya :
Sedangkan anakku Jayengraga // terserah kepadamu mereka
yang ada di rumah selatan // sampai selesai beres segala-galanya // sedag orang
“magersarimu” // pilihlah sepantasnya siapa-siapa yang mengiringkan kakakmu //
waktu upacara pernikahan // anaknya menyatakan kesanggupannya // berkata kepada
istrinya : ke marilah kuberitahukan // keluarlah ke Pendhapa.
CENTHINI
JILID VI.
1.
Kitab Centhini Jilid VI berisi 15 pupuh, mulai pupuh panjang,
dari pupuh 357 sampai dengan 372.
2.
Isi cerita : Syekh Amongraga diambil menantu oleh Ki
Bayipanurta, dikawinkan dengan Putri sulungnya yang bernama Ni Ken
Tambangraras. Penganti diarayakan oleh
segenap para sanak keluarga berganti-ganti, tiap malam mendendangkan “Singiran”
(Kidung puji-pujian mirip dzikir), bekenduri, tiap siang duduk-duduk mengadakan
sarasehan tentang berbagai macam ilmu.
3.
Pupuh 357 tembang Mijil, baik permulaan berbunyi, sebagai
berikut :
MIJIL :
Sigra kang garwa Ni Ken Malarsih // lampahiro alon //
prapteng ngarsa amipit silane // jatmikane semune awingit // tingkah ngati-ati
// ketange yen luput.
Artinya :
Ni Ken Malarsih istrinya segera // berjalan pelahan-lahan
// tiba di hadapannya duduk bersila rapi // tenang nampak berwibawa // sikapnya
berhati-hti // jangan sampai keliru.
4.
Adapun urutan ringkasan isi ceritanya, sebagai berikut :
4.1
Lanjutan
menceritakan perkawinan Syekh Amongraga dengan Ni Ken Tambangraras di
Wanamarta.
a).
Upacara ijab nikah dan bertemunya pengantin. Sebelum ijab nikah pengantin
wanita dipingit selama tiga hari. Saji-sajian lengkap semua. Segenap tenaga
yang membantu diberi pakaian baru. Orang-orang di Wanamarta semua memberikan
sumbangan sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal berpakaian mereka saling
berlebih-lebihan. Orang-orang muda berpakaian sebagus-bagusnya. Sumbangan uang
berlimpah-limpah. Setengah orang menyumbang kerbau, lembu, angsa, itik dan ayam.
b),
Pakaian dan perhiasan pengantin wanita : Ni Ken Tambangraras dilulut, diberi
berpakaian dan perhiasan serba bersahaja, namun tetap cantik menarik, berikal
rambut cukupan, pengikatnya berhiaskan kembang argulo. Ni Centhini dirias
menjadi “patah” (pendamping pengantin).
c).
Pakaian dan perhiasan Ki Bayipanurta : Berkain “Keling” bertabur, bersabuk
“sindur”, berikat pinggang “Cathok”, memakai golok suasa, bertasbih merjan,
berbaju jubah kain merah, berbaju dalam kain kiper putih, berkancing baju
merah, bertutup kepala “kuluk bathokan”, beledu hitam, berpasang condhong.
“Kanigara” berenda “balenggen”, beralas kaki kulit unta berwarna merah.
d).
Pakaian dan perhiasan Ni Malarsih : Berkain sembagi hijau, bersabuk “sindur”,
beraju “gelar konur” putih, bercincin “tajug” putih.
e).
Pakaian dan perhiasan para tamu berwarna warni, tak ada seorang pun berpakaian
kumal. Kyai Demang Purwasani dari Pegarwaja murid Ki Bayipanurta datang
berkendaraan kuda, berpakaian keprajuritan. Kyai Wanahita, seorang tua dari
dusun Pucangan, yang dihormati dan dimuliakan oleh segenap orang Wanamarta
datang juga akan menyaksikan pengantin. Ia berkain “Limar” biru, beraju
“kemanyon” bertutup kepala “kuluk kropak” lama, berikat kepala sekali belit,
bertasbih “genitri” bersabuk “tali datu”.
f).
Pakaian dan perhiasa pengantin pria : Syekh Amongraga berpakaian serba putih,
berkain “ bretis” bersabuk mori, berbaju “caweni gelar konus”, bertutup kepala
“kuluk” putih, bersurban putih, berimong “sebe” putih bertasbih manik air,
berasal kaki sengkelat putih, tidak memakai golok ataupun keris.
g).
Ijab nikah : Penghulu Basarudin maju menikahkan, saksi-saksi berdoa, taklik,
setelah selesai lalu bersalaman dengan Ki Bayipanurta. Syekh Amongraga bersujud
di pangkuan Kyai Wanahita, kemudian bersalaman dengan Penghulu. Saji-sajian
diusung dibagi-bagi, Penghulu mendapatkan separoh. Kemudian 25 “ambengan”
diusung ke luar dibagi-bagikan merata.
h).
Pakaian dan perhiasan pengantin bertemu : Ni Ken Tambangraras berkain halus
“genes” putih, berlukis “semen parang tritis”, bersabuk singset, dibagian muka
disimpul menganjur, ber “udhet” putih berperada indah, bercincin zamrut mirah
merah, bersubang berpermata “intan bumi”, bertusuk rambut “herthathit”
bergemerlapan, berbedak mengawan menipis.
i).
Ni Cnethini diberi berpakaian dan berhias seperti pengantin, tampak tambah
cantik rupawan.
j).
Upacara bertemunya pengantin : Pengantin pria diarak serta diiringi
tabuh-tabuhan bergemuruh, disebut “salawatan singir”, suaranya
melengking-lengking. Jamal dan jamil di muka. Jayengraha menggaya di muka,
makin tampak tampan. Pengantin pria, Syekh Amongraga berjalan penuh perbawa,
wajahnya bercahaya berseri-seri, sambil berdzikir. Tiba di Pendopo berhenti,
sejenak menanti persiapan di dalam rumah. Ni Centhini dibimbingdi sebelah kiri,
selalu berdekatan dengan Ni Ken Tambangraras, di sebelah kanan ibunya, di
sebelah belakang Ni Turida dan Ni Rarasati.
k).
Syekh Amongraga diapit oleh Ki Bayipanurta di sebelah kiri, dan Jayeng Westhi
serta Jayengraga di sebelah kanan. Suaranya bergemuruh riuh rendah.
l).
Bertemunya pengantin di tengah-tengah pintu, saling melontarkan sekapur sirih,
telur di rendam di dalam air kembang setaman dipecah, airnya disiramkan,
diusapkan setitik air di ubun-ubunnya tiga kali. Ni Ken Tambangraras lalu
berjongkok menyembah. Kemudian keduanya dibimbing ke pelaminan. Ki Buyut
menungguinya. Selesai upacara bertemunya pengantin mereka bubar, tiba saatnya
waktu maghrib.
m).
Pada waktu malam hari mempelai berdua masuk ke dalam peraduan. Syekh Amongraga
selalu memberikan pelajaran kepada istrinya. Ni Centhini duduk menghadap di
dekatnya, maka semua pelajaran yang diberikan ia pun turut mendengarkan.
Pelajaran mengenai : Kesejatian syahadat, letak Rukun Shalat, letak rasa
sejati, kesejatian pria maupun wanita, penyerahan diri terhadap suami.
n).
Keesokan harinya datang tujuh orang tamu berkendaraan kuda, mereka adalah
orang-orang dari Gresik. Sedayu, Tuban dan Rembang untuk memberikan sumbangan
sebesar duapuluh real. Setelah para tamu kembali, Syekh Amongraga diminta oleh
Ki Bayipanurta untuk menerangkan Kitab Ibnu Kajaru : Selamat dan bahayanya
hidup, keajaiban Tuhan, Shalat Sunnat hidup, wajib dan kifayah, dua macam
fardlu, Islam dengan menjalani Fardlu.
o).
Ki Bayipanurta memikirkan calon rumah tempat tinggal pengantin, mencari
mana-mana yang layak. Pembicaraan tentang bentuk-bentuk rumah, para adik Ki
Bayipanurta dan putra-putranya masing-masing memberikan saran.
p).
Para adik Ki Bayipanurta minta diperkenankan memboyong pengantin masing-masing
semalam, Ki Bayipanurta setuju. Mula-mula pengantin diboyong ke rumah anak
sulung, selama sehari semalam. Lalu ke rumah anak ke dua juga selama sehari
semalam. Keesokan harinya ganti diboyong ke rumah adik-adik Ki Bayi, demi
keinginan mereka memberikan penghormatan kepada pengantin. Setelah sepekan
kemudian kembali ke rumah Ki bayi. Penghulu Basarudin juga minta diperbolehkan
memboyong pengantin sesudah sepekan, selama semalam saja. Ki Bayi pun
memperkenankan.
r).
Syekh Amongraga memberikan pelajaran kepada Ni Ken Tambangraras mengenai :
perlunya “laku bagi Ilmu”, pembagian-pembagian Shalat, penyebar luasan kasih
sayang Tuhan kepada segenap para mukmin maupun segenap makhluk, letak sifat 20,
wirid makrifat, ajaran sifatullah, dan Dzatullah, hingga fajar menyingsing. Ni
Ken Tambangraras mendapatkan kemurahan Tuhan, sinar wajahnya bertambah
bercahaya dari sebab mendapatkan ilham Tuhan.
s).
Pembicaraan mengenai pengetahuan: Tembang Macapat dan obat-obatan.
5.
Kitab
Centhini Jilid VI Tamat : Berisi cerita perkawinan Syekh Amongraga dengan Ni
Ken Tambangraras puteri Ki Bayipanurt di Wanamarta. Bait terakhir berbunyi,
sebagai berikut :
PUCUNG :
Ingkang wuku sinta mulya besaripun // dinten sareng
tanggal // Kamis Wage wukuneki // Tolu Tamat ing sataunipun Lonthang.
Artinya :
Wuku Sinta lalu Besar // bulannya bertepatan hari //
Kamis Wage, wuku // Tolu. Tamat selama setahun (Berikutnya Tembang Lonthang).
CENTHINI
JILID VII
1.
Kitab Centhini Jilid VII berisi 31 pupuh, mulai pupuh
panjang, dari pupuh 373 sampai dengan pupuh 403..
2.
Isi cerita : Syekh Amongraga dibuatkan rumah, setelah
jadi lalu ditempati, upacara boyongan menempati rumah baru.. Banyak pelajaran
Syekh Amongraga ditumpahkan kepada Ni Ken Tambangraras istrinya, mereka berdua
memadu kasih selama 40 hari 40 malam, sangat menggembirakan hati para orang
tua.
3.
Pupuh 373 berbentuk tembang Lonthang, bait permulaan
berbunyi, sebagai berikut :
LONTHANG :
Nulya kang gumanti ing Taun Jimawal // tanggalipun sasi
Sura dinten Tumpak // Wage wuku Julungwangi // nulya wulan.
Artinya :
Kemudian berganti tahun Jimawal // bulan Sura, hari
Tumpak // Wage wuku Julungwangi // kemudian bulan.
4.
Adapun urutan ringakasan isi ceritanya, sebagai berikut :
4.1.
1. Masih melanjutkan cerita di
Wanamarta :
a).
Pada waktu pagi hari Ki Bayipanurta suami istri duduk di hadap oleh Syekh
Amongraga berdua. Ki Kulawirya juga berdua dan Penghulu Ki Basarudin. Mereka
memperbincangkan ,engenai : Pengetahuan obat-obatan, bab “kurup kamsiyah” cara
menghitung tanggal permulaan tahun, “kurup penanggalan”, perhitungan naas,
“panagan” serta “parijalan”.
b).
Pada jam 10.00 Ki Bayipanurta mengajak bubar, para kerabat masing-masing
pulang. Mempelai berdua pergi ke langgar hanya diikuti oleh Ni Centhini. Syekh
Amongraga memberi pelajaran kepada istrinya dan para iparnya mengenai : Ksejatian
penglihatan, kesejatian pengucapan, kesejatian pengetahuan, dan tentang “wahyu
Jatmika” rasa hening, kesempurnaan ke-Esaan.
c).
Setelah larut malam di peraduan Syekh Amongraga, memberi pelajaran kepada
istrinya tentang kesejatian puji, setelah fajar menyingsing pergi ke masjid
menjadi imam dalam sembahyang Sybuh.
d).
Pada waktu makan pagi, bertempat di Pendapa mereka membicarakan persoalan riba,
dan masalah tiga macam : 1. Badan, 2. Mulut, 3. Hati.
e).
Pada waktu malam hari Syekh Amongraga mengajari istrinya tentang empat macam
amal saleh dalam kehidupan :
1.
Sarengat, Iman demi kebaktian kepada Tuhan.
2.
Tarekat, Iman demi pemuliaan kepada Tuhan.
3.
Hakekat, Iman demi pemusatan kepada Tuhan.
4.
Makrifat, Iman demi “Peng-ujlatan” kepada Tuhan.
f).
Pada waktu pagi hari Ki Bayipanurta suami istri sekerabat berkunjung ke tempat
Ki Penghulu, makan pagi bersama, sambil membicarakan tentang sahnya berpuasa di
Bulan Ramadhan, tiga macam tingkatan yang disebut : Mukmin Ngam, Khas, dan
Kawa’i; keterangan tentang : Batal dan makruh.
g).
Pada waktu malam hari Syekh Amongraga mengajari istrinya tentang sebelas macam
“Daim” (kelestarian – Kekekalan) dalam keutamaan Islam, yaitu : 1. Fardlu daim,
2. Niat daim, 3. Syahadat daim, 4. Ilmu daim, 5. Shalat daim, 6. Makrifat daim,
7. Tauhid Daim, 8. Iman daim, 9. Junun daim, 10. Sakarat daim, 11. Mati daim.
Setelah pagi hari mereka berdua bersama bersembahyang Subuh.
h).
Pada waktu pagi hari Ki Bayipanurta sekerabat duduk bersama membicarakan
tentang keutamaan lima macam Rukun Islam serta kekuatan masing-masing, yaitu :
1. Syahadat, 2. Shalat, 3. Zakat, 4. Siam, 5. Haji.
i).
Pada waktu malam hari mempelai berdua di temepat peraduan, mengajarkan : Kesempurnaan
Sembah Sujud dan puji-puji, “Heneng” dan “ Hening”, Ni Centhini mendengarkan di
luar.
k).
Pada waktu pagi hari mereka duduk di Pendapa, memperbincangkan bab dalil Qur’an
“Kulu Syai’in Wadahu”. Syekh Amongraga memberikan penjelasan hal : tak
menyebabkan mati maupun hidup, tak memberikan anugerah maupun siksaan, tak
mengubah bagian tiap-tiap makhluk.
l).
Ketika mempelai berdua diboyong ke temepat Ki Kulawirya, pada malam harinya
Syekh Amongraga memberi pelajaran kepada istrinya mengenai : Tiga macam
ketepatan kekaburan wirid, yakni : Kekaburan Dzat, Sifat, af’al; pembahasan
Asma Wajibul Wujud, tahu akan kesejatian Esa, tahu akan kesejatian hampa; dua
macam jaman kekaburan, yakni : Jaman lumrah dan ajaman ajaib; dua macam jenis
kekaburan, yaitu : Kekaburan tidur dan kekaburan pandangan.
m).
Pada waktu pagi hari Ki Bayipanurta suami istri datang, bersoal jawab tentang
enam macam sunnat af’al, yaitu : Sunnat Shalat, sunnat Minal sitri, Raka’atal
witri, sunnat Tahajud, Sunnat dhuha, berjama’ah.
n).
Pada waktu malam hari Syekh Amongraga mengajari istrinya bab : kesejatian sifat
Tuhan yang sempurna, bab : Lafal La ilahaillallah; Bab : rangkaian sifat 20
perincian Shalat Subuh, dhuhur, Asyar, maghrib, Isya.
o).
Pada waktu pagi hari memperbincangkan hal ikhwal dunia dan akhirat : Lim macam
hal dunia, yaitu : 1. Berbuat baik kepada sesama, 2. Menyempurnakan mayat, 3.
Mengawinkan anak perempuan, 4. Menghukum kesalahan, 5. Mengembalikan hutang.
Lima
macam hal akhirat, yaitu : mempelajari ilmu; syari’at, thiroqat, hakikat,
ma’rifat, 2. Beribadat shalat lima waktu, 3. Memandikan dan menyalatkan mayat,
4. Sabar, tawakal, tak mudah goyah pendirian; 5. Berperikemanusiaan, tanpa
pamrih diri.
p).
Berikutnya uraian mengenai syarat-syarat agar orang mendapatkan keturunan,
usaha-usaha untuk memperkuat dakar dan memuaskan sanggama ke dua belah pihak.
2. Mendirikan rumah untuk
tempat tinggal Syekh Amongraga dan Ni Ken Tambangraras.
a).
Ki Bayipanurta mengundang adik-adiknya dan anak-anaknya serta dengan bantuan
orang banyak mendirikan rumah, dan masjid dengan kolam beralirkan air jernih,
taman dan kebun penuh tumbuh-tumbuhan, serta kandang burung dara maupun kandang
kuda. Semeua selesai selama empat hari. Karena dikerjakan dengan penuh
kerukunan dan penuh semangat. Letak rumah baru ini di kampung Pananggungan, di
sebelah timur rumah Ki bayipanurta. Setelah rumah Syekh Amongraga selesai
dikerjakan lalu diperiksa dan diteliti oleh Ki Bayipanurta, tak ada celanya.
Lalu mereka duduk bersama di pendapa makan pagi.
Pembicaraan
tentang :
1.
Kesenangan memelihar burung dara, dan obat-obatan bagi burung dara.
2.
Keseimbangan kehendak dalam meneguk ilmu.
3.
Rusaknya kematian.
4.
“Ugeran” kehidupan.
5.
Rusaknya tapa, dan tentang sarat-sarat boyongan.
b).
Pada waktu malam hari Syekh Amongraga mengajarkan bab : 1. Anugerah kematian,
2. Pengetahuan tentang diri pribadi, 3. Terjadinya benih manusia di dalam
rahim, 4. Perincian tentang jazad; 5. Kenikmatan manusia.
3. Upacara boyongan ke rumah
baru di sebelah timur.
a).
Pindah dari rumah sebelah barat ke rumah sebelah Timur, diarak bagaikan
pengantin, berpakaian serba indah, waktu sesudah sembahyang Jum’at, setelah
kenduri “Apem” di pendapa. Arak-arakan boyongan sebagai berikut : Di muka kembar mayang diiringkan terbang
rebana, di belakangnya penganti berdua bepayung kebesaran, diikuti oelh para
sanak keluarga. Setelah tiba di rumah, baru mereka duduk di lantai,
wanita-wanita duduk berjajar, para snatri duduk di halaman, kenduri disajikan
diiringi doa hajat pemuliaan.
Syekh
Amongraga mengajarkan kesempurnaan ilmudengan membentangkan isi kitab ;
Tambiyulapilin, Sitin, dan Samarkandi, serta 12 kitab lagi. :
b).
Waktu malam hari mengjar istrinya bab :
1.
Kesejatian Iman dan Tauhid,
2.
Hakekat makna ilmu Ma’rifat.
3.
Ilmu yang bermuara pada samudra hati.
4.
Kesejatian Allah.
5.
Puncak Ilmu
6.
Kesejatian pria dan kesejatian wanita, yaitu “Rasul Rasa, yang mulia, ke duanya
Esa juga.
c).
Tambangraras telah mencakup ilmu yang ditumpahkan suaminya Syekh Amongraga
dengan sempurna. Sehabis sembahyang Subuh mereka berdua masuk ke dalam peraduan
memadu kasih sepuas hati. Ni Centhini tiada ayal lagi akan hal ikhwal pengantin
berdua, segera memberitahukan kepada Nyai Malarsih.
d).
Pagi harinya Nyai Malarsih datang dengan membawa jamu-jamu, mempersiapkan
kenduri 12 “Ambengan” menyiarkan keparipurnaan pengantin kepada segenap sanak
keluarga.
e).
Syekh Amongraga mohon kepada ayah mertuanya untuk mengganti nama Jayengwesthi
dengan Jayengresmi, mewarisi namanya sendiri, dsietujui, lalu disirakan di
seluruh desa.
f).
Malamhari Syekh Amongraga mebgajari istrinya, bab :
1.
Keseejatian kerja yang utama.
2.
Kesejatian hidup dan kesejatian mati.
3.
Pemusatan sembah dan puji.
4.
Kepercayaan akan dalil.
5.
Pemusatan ilmu rasa jati.
6.
Pemusatan senggama, pengalapan rasa, dan pertemuan “Rahsa”.
4. Selama 40 hari pengantin senantiasa diliputi kasih mesra. Lepas
Sembahyang Isya, Syekh Amongraga berbicara dengannistrinya minta diri akan
berkelana. Banayak pesan atau pun petunjuk diberikan untuk menghiburnya. Bahkan
sepeninggalnya pun diperbolehkan kawin lagi. Tamabangraras segera hancur luluh
hatinya seperti lolos persendiannya, mohon diperkenankan mengikuti pengembaraan
suaminya ke mana juapun, hingga ajal menjelang. Syekh Amongraga tidak goyah
pendiriannya, tetap teguh kehendaknya untuk mencari kedua adiknya. Jayengsari
dan Rancangkapti. Tambangraras disambut tangannya dibimbing ke peraduan,
dicumbu rayu dengan merdu. Tambangraras tak kuasa menolak, memadu kasih sepuas
hati. Setelah keduanya bersuci diri, segera tidur bersama-sama. Tambangraras
tertidur dengan lenanya. Menjelang fajar menyingsing Syekh Amongraga lolos
meninggalkan Wanamarta, hanya dengan diiringi oleh santri Jamal dan Jamil,
dengan meninggalkan tiga pucuk surat, sepucuk surat untuk istrinya, sepucuk
lagi kepada ayah mertuanya, dan yang sepucuk lagi kepada ke dua iparnya. Pagi
hari ketika Ni Ken Tambangraras bangun, terkejut bukan kepalang melihat
suaminya tidak ada lagi, ia jatuh tidak sadarkan diri. Ni Centhini bingung,
segera berlari memberitahukan ke barat. Ki Bayipanurta berdua dengan istrinya
serta anak-anaknya lekas-lekas datang ke rumah timur. Tiga pucuk surat dari
Syekh Amongraga dibacanya, mereka semua kemudian mengerti bahwa Syekh Amongraga
pergi melanjutkan pengembaraannya, mereka semua bersedih hati.
5. Perjalanan Syekh Amongraga berserta pengiringnya tiba di gua Sirupan, dekat dusun
Cadhuk, termasuk wilayah Prabalingga, ketemu juru kunci gua bernama Ki
Nitipala, ia menceritakan bahayanya gua, hingga pernah ada seseorang yang
meninggal dunia, di sekitar daerah itu banyak pertapaan di hutan yang gawat.
a).
Kemudian mendaki gunung Gendhing, bersamadi selama 40 hari.
b).
Turun dari puncak gunung, melewati telaga mata air sungai Gandhu, kali bengawan
di daerah Besuki, berpuasa selama 7 hari.
c).
Menyusur kaki gunugn Semeru, tiba di
gunung Songsong, tepi jurang, rongga batu luas memuat 1.000 orang.
d).
Berputar menjelajah wilayah Semeru selama sebulan lebih tiga hari, tiba di
bukit Binangin, bukit Renteng, bukit Selamanik dan telaga Muncar.
e).
Terus ke Panarukan memasuki hutan mendaki gunung Putri, jurangnya sulit dilalui
berbatu putih runcing, tiba di gua Kawidadaren, sangat gawat, puncaknya
berlubang terang, di dalam gua terdapat danau, Syekh Amongraga menyepi di situ
10 hari lamanya.
f).
Berjalan lurus ke arah timur, tiba di pantai muara sungai, terus mendaki gunung
Sedana, menanjak di puncak, tinggal selama 7 hari.
g).
Lalu turun menuju ke gunung Janriliriduk, singgah tiga hari, terus ke gunung
Wotrayung, singgah selama 7 hari.
h).
Menuju ke arah barat, tiba di mata airnya di hutan Sandi, singgah di situ
semalam.
i).
Terus berjalan ke arah selatan menyeberang sungai Blambangan, menjorok masuk ke
darah Jember.
j).
Tiba di pantai, naik rakit ke pulau Nusabarong, kosong tak seorang pun
terdapat, bermacam-macam tanam-tanaman tumbuh, terdapat candi batu besar
berpahat, di situ bertafakur, bersamadi.
6. a). Di Wanamarta Kyai Bayipanurta mengadakan kenduri dikepung oleh segenap warga desa.
Lima bulan telah berlalu belum juga mendapatkan berita kepergian Syekh
Amongraga, seseorang santri yang mengaji di Wanamarta menceritakan pernah
bertemu Syekh Amongraga di Panarukan, ia berjalan ke arah timur. Ki Bayipanurta
terheran-heran.
b).
Ni Ken Tambangraras tidak mau berganti pakaian, hingga pakaiannya lusuh kumal,
tak berpisah dengan rukuknya, setiap hari Jum;at dan Anggara Kasih selalu
mengadakan sedekah, memuliakan “Semara Bumi” Pulau Jawa.
7. a_.Syekh Amongraga
di Pulau Nusabarong selama 7 Jum’at 42 hari, tidak mencari rahmat lahiriah,
melainkan mencari kemungkinan keadaan di kemudian hari, berakhirnya kekuasaan
raja-raja di Mataram. Lepasa Fajar sidik lalu menyiapkan rakit, dihnyutkan alun
ke arah utara, mendarat di Daerah jember.
b).
Perjalanan langsung memintas gunung, memasuki gua-gua, emnuruni lurah dan
jurang menyusup hutan sampai di daerah Lumajang. Memasuki gua Dalem, gawat dan
gelap pekat, banyak pepohonan tumbuh, bermacam-macam suara hantu bergemuruh.
Syekh Amongraga segera beristighfar, suara-suara sekejap lenyap. Tiba di gunung
Gilang, banyak orang bersunyi-sunyi. Syekh Amongraga terus mendaki ke atas,
banyak terdapat tulang dan tengkorak. Tiba-tiba timbul “gara-gara” angin ribut dan gempa bumi, suara
bergemuruh dan tanah bergoyang, tapi Syekh Amongraga tiada goyah hatinya,
akhirnya godaan lenyap.
c).
Syekh Amongraga sampai di gunung Cawang di lerengnya menjadi tempat
peristirahatan orang-orang yang menyepi.
d).
Berjalan ke barat menyusup hutan, tiba di gunung Cempaka wilayah Lamongan,
berjajar dengan gunung Arjuna. Mendaki naik ke puncak, banyak terdapat
buah-buahan, dan airnya jernih. Melihat wanita cantik datang bergantian,
sesungguhnya makhluk halus. Syekh Amongraga tiada tergoda, maka hanya
menampakkan diri sebentar lalu musnah. Di tempat itu tinggal selama setengah
bulan.
e).
Lalu turun ke barat laut, menuju ke gunung Lawang, terus ke Selakeping, menuju
ke gunung Mayadarawati, tapal batas Lumajang dengan Ngantang. Tiba di gunung
Drekila, telaga retna, gunung Sampora, bukit Andong, bukit Perunggu, bukit Pegat,
terus ke arah barat daya sampai di daerah rawa-rawa, menyusup hutan belukar
tiba di gunung Kelut daerah Kediri.
f).
Syekh Amongraga mendaki gunung Kelut, sangat gawat, tiada antara lama terdengar
suara menggelegar, seketika jatuh debu hujan abu. Kemudian ia berdoa, hujan abu
berhenti.
8. a). Di Wanamarta Ki Bayipanurta mengakan
kenduri “Majemukan”, selamatan bersama orang banyak, dikepung goleh para sanak
keluarga, para putra dan para orang tua-tua. Mereka saling bertanya-tanya kabar
beritanya Syekh Amongraga, tidak terdapat kepastian. Mereka semua bersedih
hati, berdoa bersama-sama, berkenduri lalu bubaran.
b).
Di dalam rumah Ki Bayipanurta suami istri selalu bersedih hati menyaksikan
anaknya Ni Ken Tambangraras, senantiasa menghibur tak henti-hentinya, mereka
berdua menunggui di “Gandhok” belakang.
9. a). Syekh Amongraga
menyepi di puncak bukit Kelut, di barat daya gunung Mendhong, selama 50 hari.
Meneruskan
perjalanan ke Lodhaya, siang malam
terdengar banyak harimau mengaum. Lalu datang di gunung Sakethi. Sejak dari
Lumajang sampai di daerah Imagiri tidak menjumpai tanah yang datar rata,
semuanya berbukit-bukit berderet berhubung-hubungan. Banyak gua kecil-kecil di
sepanjang pantai selatan yang disinggahi.
b).
Perjalanannya terus tiba di Wajak Watu-urip, gunung Gethak, gunung Selandhaka,
gunung Wajak, sendhang Wajak, guan Menak, gunung Buthak, gua kumitir, di dalam
gua itu luas berliku-liku.
c).
Terus ke barat tiba di gunung Wilis daerah Panaraga. Turun ke arah barat laut
ke telaga Ngebel, beristirahat sebentar di Ngebel Balebatur, lalu naik ke
gunung Gebyog Bale Latu, terus mendaki bukit Calam, sebagai pintu gerbang bukit
Telaga Ngebel, tiba di puncaknya tampak seperti lautan bersih tak bersampah.
Berkeliling mengitari tepi telaga, pemandangannya indah menyenangkan hati. Di
sebelah selatan tampak air mengalir ke desa, mengairi persawahan. Bertemu
dengan seorang pertapa, bernama Angganala berasal dari dusun Saba. Ia bersedih
hati karena sawahnya tak menjadi. Diberinya perunjuk syarat penolak hama, yaitu
: ekor “Walangkapa” (sejenis tupai), diberi berangkai ranting bambu hitam
dibawa berjalan di pematang mengitari sawah.
d).
Ki Annganala mengantarkan berjalan mengelilingi gunung mengitari telaga mulai
dari arah selatan = gunung Karang. Selakawak, Selapangel, Selatambak,
Tunggangan, Watukodhok, Manuhara, Balelatu, Calamagung, Sampelwatan, gunung
Patukkan, Bathokan, Kendheng, Pragak, Kumambang, Medacin, Bunglegi, 17 puncak
bukit itu menelilingi telaga, jalannya hanya sebuah.
e).
Terus berjalan menyaksikan sendang bermacam-macam. Mencoba mengukur kedalaman
air telaga, mempersiapkan rakit dengan batang bambu dan alat penduga dari akar
pepohonan disambung-sambung serta diberi berbandul batu. Ternyata tempat yang
paling dalam berukuran 253 depa, dan yang paling dangkal berukuran 102 depa.
Satu setengah bulan lamanya Syekh Amongraga tidak turun dari rakit, terus
menerus di tengah-tengah telaga. Jamal dan Jamil yang naik ke daratan mencari
buah-buahan untuk dimakan.
f).
Syekh Amongraga serta santri Jamal Jamil minta diri kepada Ki Angganala untuk
melanjutkan perjalanan berjalan menuju ke arah selatan, bila malam hari
bermalam di hutan, jarang sekali menjumpai orang, tiap menjumpai puncak bukit
atau pun gua disinggahi, sampai di pantai laut selatan, tiba di gunung Puser,
Topeng, Munjit, Gowang, Wungu, Cula, Pangon Brok, Telu, Dhanyang, Marabangun,
Sitirebah, Banakaki, Pura, Pregut dan Gunung Sakethi. Hampir tiap gua pada
gunung-gunung itu disinggahi, misalnya : Bekel, Pacal, Rngu, jangleng, Remit,
Sedheng, Cumbu, Kreteng, Gupit, Leter, Cerong, Sangsang, Karag, Tarup, So,
Sempati, Bureng, Racun, Tuwak, Lapis, Bentur, Brondong, Sejana, Kemukus.
Perjalanannya
terus tiba di daerah Pacitan, melalui banyak gunung dan gua.
10. a). Syekh Amongraga
berjalan di sepanjang pantai daerah Kaberahan, tiba di sagara anakan, tepi
pantainya melengkung menjorok ke arah utara seperti periuk, diapit bukit, tiba
di wukir lima, terletak di sebelah timur segara anakan, singgah di gua
Selagenthong 3 hari.Tersus singgah di Watu Kembul, Luweng Sirah Blereng, Luweng
Upas, Pringgading, Sumber Puser, Kareman Jatiwulung, Sidalaya, Kemaya di puncak
Wukir Lima, Tempat “Kabuyutan” dan “kayangan” yang gawat.
b).
Kemudian mendaki bukit-bukit, memasuki gua-gua di lereng-lerangnya, seperti :
gunung Lanang, Suralaya, Samapura, Gembel, Kukusan, Bathok, Manik, tiba di
gunung Karanggajah di tepi laut. Jumlah gunung yang mengelilingi segara anakan
ada 99 buah.
c).
Syekh Amongraga memasuki gua Sraboja, gua yang tampak menganga pada bagian
bawah kaki gunung di sebelah barat daya, jalan yang menuju ke gua sangat
berbahaya. Kelihatan banyak terdapat peninggalan-peninggalan kuna, diatur
tersendiri tak ada yang menyamainya. Ada pintu gerbangnya rangkap tiga, di sisi
kiri-kanan terdapat seperti “tuwuhn” : pisang tundhun, tebu. “Cengkir (kelapa
muda) makin masuk ke dalam makin gelap, dilanda burung lawet
berbondong-bondong. Di situ menyepi 10 hari.
d).
Ke luar dari gua Sraboja bertemu seroang laki-laki bernama Arisbaya, bertempat
tinggal di Wukir Lima. Ia menerangkan bahwa gua Sraboja itu sangat gawat dan
berahaya. Ki Arisbaya bercerita : Dahulu kala ada raja dari seberang lautan
datang ke Pulau Jawa bernama raja Sasrabaja, berkendaraan gajah, istri-istrinya
dinaikan pelana, Langsung datang ke Gunung Kidul, bercengkerama di situ, tempat
itu disebut Jaticancangan terletak di atas gunung Cenggung. Kemudian ke arah
timur ke Kelayar, berhenti di tepi laut di atas batu karang besar menyabung
ayam, tempat itu kemudian disebut Karangdlem dan karang Pangabensawung.
Kemudian para punggawanya bertempat tinggal menetap di skelilingnya, disebut
negara Kabarahan. Setelah musnah tinggal bekas-bekasnya, kraton Prabu Sasraboja
menjadi gua Sraboja.
5.
Kitab Centhini Jilid VII tamat : Isi cerita Syekh
Amongraga boyongan ke rumah baru kemudian lolos berkelana mengembara. Bait
terakhir berbunyi, sebagai berikut :
JURUDEMUNG :
Sangkep kaprabon narendra // sauparaning ratu // wong
kang wus sinung pandulu // katingal sawentehira // barang sakeh kang kadulu //
sira Ki Syekh Amongraga // amirangrong dennya ndulu.
Artinya :
Serba lengkap istana raja // dengan segala upacara
kerajaan // orang yang sudah dikaruniai penglihatan batin // dapat melihat
sewajarnya // segala sesuatu yang dilihatnya // ia Ki Syekh Amongraga //
melihat dengan terharu.
CENTHINI
JILID VIII
1.
Kitab Centhini Jilid VIII berisi 103 pupuh, , dari pupuh
404 sampai dengan pupuh 506..
2.
Isi
cerita : Syekh Amongraga lolos ke arah tenggara sampai di gunung Semeru,
Banyuwangi, pulau Nusabarong, ke barat sepanjang gunung Sekethi, masuk ke ga
Sraboja, gua Kalak, telaga Madirda, Dalepih, gunung Lawu, gunung Adeg.
Jamal
Jamil mulai menggiarkan ilmu karang. Perjalanan di lanjutkan ke arah Baratdaya
sampai di gunung Sapikul, bedhoyo, Semanu Gua Langse, Songpati, tiba Kanigara.
Mereka
yang ditinggalkan di Wanamarta bersedih hati.. Jayengresmi (Jayengwesthi/
Jayengasmara), Jayengraga, Kulawirya, serta Nuripin pergi mencarinya ke arah
tenggara, menginap di dusun Kepleng, ke Kedungbayangan, Gunung Selamangleng,
ketemu Syekh Ragayuni, tiba di pulung bertemu janda Widada (Sembada).
3.
Pupuh
404 bertembang Wirangrong, baik permulaan berbunyi, sebagai berikut :
WIRANGRONG :
Seh Mongraga ngandika ris // marang Ki Arisbaya lon //
yen mangkono pamanira yun // pan arsa udani // telenging Kabarehan // Payo
Paman Arisbaya.
Artinya :
Syekh Amongraga berkata lembut // kepada Ki Arusbaya,
pelan-pelan : //
Jika demikian kehendak Paman // memang ingin melihat //
Ayoh paman Arisbaya.
4.
Adapun
urutan ringkasan isi ceritanya, demikian :
4.1.
a).
Meneruskan cerita di istana Kabarehan. Syekh Amongraga di iringkan oleh Ki
Arisbaya masuk ke dalam Istana. Banyak terdapat bermacam-macam makhluk halus
memperdengarkan suara, bergemuruh dahsyat melengking-lengking menakutkan,
seperti suara orang berbondong-bondong mengungsi. Selama empat malam bersamadi
di tempat itu.
b).
Syekh Amongraga menalnjutkan perjalanan, terus menyusur gunung Sakethi (gunung
Sewu), gunung bungkak, Keren, Cawik. Dandang Prumpung dan lain-lainnya. Tiba di
gua Kalak bertemu dengan Ki Lokasraya. Di Gua Kalak Syekh Amongraga singgah 21
hari, mandi di tempat mata air, menuruni lantai masuk ke Song Putri. Jalannya
sempit, pintu gua bagaikan jari-jari karang memancar. Di Dalam song Putri
melihat semacam alat kelengkapan tempat tidur berbau harum mewangi, lengkap
dengan kasur, bantal dan gulingnya, wadah rias, tempat seperti peti, tempat air
dan tempat nasi. Ki Lokasraya menerangkan betapa sulitnya jalan masuk ke Song
Putri itu, hanya orang yang beruntunglah yang dapat masuk ke situ.
4.2.
Perjalanan
diteruskan ke arah timur laut sepanjang gunung Sakethi melewati perbukitan
seperti bukit Salumba, Curak, Purak, Belah menyeberangi Kali Bandha, mendaki
gunung Senggama, melihat telaga Madirda, tempat minum kuda sembrani, lalu naik
ke pertapaan Andongbang di bukit Retawu, bersemadi selama empat malam.
4.3.
Kemudian
ke gunung Delapih, bertemu dengan seseorang yang sedang mencangkul memberi
peringatan agar berhati-hati. Tiba di dusun Wiratha wilayah Wanagiri,
melanjutkan perjalanan ke arah tenggara, tiba di Delapih, jalannya sulit,
melihat hutan Terahan pintu gerbang Delapih, menyusur tepi kali bengawan sampai
di Delapih, dikelilingi bukit kecil, terdapat banyak binatang buas. Syekh
Amongraga bersamadi, segenap godaan lenyap. Terdengar suara makhluk halus,
seperti pemimpinnya.
Selesai
bersamadi terdengar lambang kembang mekar tampak, bertawakuf berserah diri. Di
depannya kelihatan gunung Delapih penuh lebat berhiaskan bunga-bungaan
berwarna-warni, menambah keindahan alam pegunungan, menggembirakan hati siapa
pun yang memandangnya. Lalu melihat gua atau raksasa. Di dalamnya terdapat
seperti tempat tidur batu hitam berkilat berkilauan, di selanya mengalir air
jernih. Tampak gua Jatharatu Kenyapuri.
4.4.
a).
Meneruskan perjalanan ke Timur laut, sampai di gunung
Lawu, lewat jembatan batu Sela-andha, tiba di Pangaribaya, mendaki ke
Marcukundha, Watu Cakra Srengenge, singgah di Pakelengan, lalu timbul perbawa
gara-gara menakutkan, gunung Lawu beruara menggelebar, gelap pekat meliputi di
sana-sini. Terdengar seperti suara orang berteriak-teriak di tengah medan
pertempuran.
b).
Naik memanjat ke Argadalem, melewati Prepat Kepanasana. Argadiyeng, tiga malam
bersamadi di Argadalem. Terus menuju ke Argadumilah, tiba di Pakayangan, puncak
Selabinatur, meletakkan “Sanggar” pada pohon “Tajug”. Melihat Burung Jalak
gading sepasang meniup rendah berebut-rebutan bagaikan menunjukkan jalan,
burung itu diikuti serasa tahu arah yang ditujunya. Ternyata tiba di kawah
Candradimuka, duduk di Sela Mandragini, jaman dahulu adalah tempat penyiksaan.
c).
Melanjutkan perjalan dengan selalu mengikuti arah
terbangnya burung jalak gading. Tiba di Karang Kawidadaren, terus ke
Sanggar-Agung dan gunung Pethapralaya, lalu ke arah tenggara datang di
Tenjamaya, terus ke Cemara-Sewu, turun tiba di Telagapasir, kemudian ke
Telaga-Sandi, jalak gading tetap senantiasa menunjukkan jalan.
d).
Kembali memanjat lagi dari dukuh Gandasuli lalu ke Selabantheng, Cemara Lawang,
Gua Segala-gala, menyaksikan harimau mengunyah-ngunyah padas di Selapasah.
Terus ke Argadalem, Argatiling, Arga Pasar, Sela Canggah, Selalumur,
Selageseng. Burung jalak tadi masih selalu menunjukkan jalan.
e).
Tiba di Jatijempina di Puncak Arga Tiling. Sangat gawat berbahaya, di situ
adalah kahyangan Giri Nata. Jarangsekali orang yang kuasa menjangkau tempat
itu, selain orang yang punya kelebihan, dan yang tidak gentar hatinya. Di
Tempat itu Syekh Amongraga bersamadi.
4.5.
a).
Kemudian melewati gunugn-gunung seperti : Pawenang Bayu, Sadewa, Candhirengga,
Rimbi, Kalithi, Aji, Bintulu, Sukuh dan Tambak. Di situ terdapat banyak
arca-arca berhala, bangunannya tersusun sepertu pura, ada yang mirip tembok
benteng kraton. Menurut cerita konon kraton Brajamusthi demikian pula adiknya
yang bernama Prabakiswa dan Arimbi.
4.6.
a).
Duduk beristirahat pada batu Brajamusthi di tengah tebat, batu itu besar sekali
menjorok ke jurang. Ketemu penjaga gunung Lawu bernama Wasi Wregasana. Ia
memberitahu jumlah puncak Gunung Lawu itu ada 15 banyaknya. De sebelah selatan
ada 7, di Utara 8, Yang di sebelah Selatan adalah : 1. Arga Dalem, 2. Arga
Dumilah, 3. Arga Pethapralaya, 4. Arga Mayang, 5. Arga Cakrakembang, 6. Arga
Tenjomaya, 7. Arga Mayang.
Di
Sebelah Utara.
a.
Arga Tiling, 2. Arga Pekareman, 3. Arga Sadewa, 4. Arga Pamenang, 5. Arga
Cendhirengga, 6. Arga Bayu, 7. Arga Rimbi,8. Arga Kalithi.
Ke
15 Puncak itu sangat gawat berbahaya.
b).
. Perbincangan tentang :
1.
Perilaku ke Budha-an, tidak makan daging danbuah jerami.
2.
“Pawukon” dengan segala macam kelengkapan.
3.
“Mangsa”, “Padewan”, “Pandangon”, “Pancasuda”, “Sengkan Turunan”, “Tali wangke”
“Sampar wangke” dan “Paringkelan”.
4.
“Budi” rahasia Buda.
5.
“Pakem” ugeran bagi Maharesi.
6.
Anugerah kehidupan.
7.
Pemusatan tapa bagi Mahaaresi.
c).
Syekh Amongraga menebak perilaku “panitisan” Ajar Wregasana diberi penerangan
dan uraian hingga hatinya meraa puas, minta berguru kepada Syekh Amongraga,
masuk Agama Islam, berganti nama Wregajati.
4.7.
a).
Melanjutkan perjalanan menyeberang kali Sara ke barat datang di gunung Adeg,
lalu bertirakat di puncak gunung Bangunselama kira-kira setengah bulan.
b).
Jamal-Jamil mencari upaya mendirikan perguruan “Ojrat”, (Permainan terbang
rebana dengan cerita siksaan dan pahala di alam akhirat), banyak memberikan
“mangunahnya” (keistimewaan atau kelebihan dari karena imannya), orang-orang
desa di sekitarnya terpikat berbondong-bondong berguru kepadanya, Jamal-Jamil
dimuliakan orang banyak.
c).
Syekh Amongraga ditemui oleh Kepala Desa Lemahbang, bawahan Pangeran Jayaraga,
bernama Sutagati.
d).
Jamal-Jamil menjemput Syekh Amongraga, diiringkan oleh santri-santri
murid-muridnya. Diperintahkan membikin masjid, setelah jadi terus dipakai.
Jamal- Jamil setiap malam membikin tontonan yang aneh-aneh. Membalik
penglihatan orang-orang, mereka berkerumun berdesak-desakan menyaksikan
keanehan tersebut.
e).
Syekh Amongraga senantiasa duduk di pengimaman. Jamal Jamil membagi santri-santrinya dalam sembilan
bagian, msin- masing dikepalai seseorang, setia hari mengajarkan ilmu karang.
4.8.
Syekh
Amongraga bersepakat akan melanjutkan perjalanan ke Mataram. Jalannya melewati
Jatisaba, suatu hutan tepian yang sempit, gunung Sarembat, Kabaseng,
menyeberang kali Oya, ke selatan tiba di hutan Jaketra, datang di gunung
Jimbaran, singgah di gunung Sambiradin. Perjalanan Syekh Amongraga dan Jamal –
Jamil itu diikuti oleh 700 orang santri.
4.9..
a).
Tiba di Pegunungan Sakethi (Gunung Tumpeng Sewu),
terus sampai di gunung Gora, daerah Ciring, bagian selatan pinggir lautan,
Dusun Kanigara banyak terdapat tempat-tempat yang gawat, tiga buah guanya
menyeramkan, yaitu : Gua Manganti, Guna Celor, gua Songpati, pintu masuk ke
tiga buah gua itu semuanya ddigenangi gulungan ombak laut Kidul.
b).
Di Hutan Giring banyak terdapat bekas pertapaan. Syekh Amongraga memilih dusun
Kanigara menjadi tempat persinggahannya. Memerintahkan membikin masjid, sehari
semalam jadi. Lalu membagi-bagi daerah kelurahan, menetapkan nama masing-masing
lurah dengan kata “Jati”. Seorang pengiring bernama Jiwayuda diganti bernama Ki
Gorajati, ia ditugaskan menjadi imam masjid di Magora. Ki Gorajati itu tahu
benar keadaan medan daerah itu.
c).
Sehabis sembahyang Jum’at Syekh Amongraga singgah di gunung Jakatuwa, diikuti
1800 orang santrinya. Berduyun-duyun memenuhi tempat.
d).
Berangkat menuju ke arah barat daya, tiba di hutan Jati Giring. Syekh Amongraga
bertirakat di gua Celor. Lalu ke Gua Manganti di tepi Kali Oya, masuk ke dalam
gua, di lantainya banyak terdapat kulit pinang layu, sisa sadak, dan potongan
sirih. Gorajati berbisik, memberitahu bahwa gua itu
adalah tempat Sinuhun Sultan Agung Berkhalwat. Agaknya belum selang lama
beliau meninggalkan, terbukti baunya yang harum semerbak mewangi. Syekh
Amongraga lalu bersamadi memohon restunya, diikuti oleh Ki Wregajati dan
Gorajati.
e).
Sampai di Meladan menyaksikan dua buah batu hitam bulat sebesar periuk
dinamakan batu Sangsang, ditemui juru kunci bernama Ki Batulata. Barangsiapa
kuat mengangkat “Sela Cantheng”, batu itu serta membawa berputar mengitari tiga
kali, maka yang dicita-citakan terkabul.
f).
Perjalanan diteruskan ke Drekaki, diiringi oleh Ki Batulata, melihat kedung
airnya dan banyak ikannnya, kedung larangan milik Sinuhun Sultan Agung.
4.10.
Tiba
di pesisir kidul berhenti di gunung Bungas, pantai tempat berhantamnya
gelombang ombak lautan bernama Gunung
Putri. Lalu masuk ke gua Songpati, jalnnya harus memperhatikan pasang surunya
ombak mengalun, sangat gawat berbahaya dan sulit, di bawahnya terhampar samudra
luas menggelora, di atasnya deras mengalir air terjun dari gunung Bungas. Konon
hanya Ki Bangkung yakni Sinuhun Sultan Agung sendirilah yang telah dapat
memasukinya. Syekh Amongraga serta ke tiga orang santri pengiringnya mencoba
masuk ke dalam gua itu.
4.11.
Dari
gua Songpati terus ke Kanigara. Jamal-Jamil membuat “Tarub” (tempat berteduh)
yang lebar bagi para santri pengiringnya “Bekel” (Kepala Desa) di Kanigara
bernama Ki Wanamenggala. Syekh Amongraga memerintahkan membikin masjid, tujuh
hari selesai. Santrinya berjumlah 3.000 orang . dengan”Lurah” (Kepalanya) 12
orang. Tiap-tiap hari mengadakan keramian. Bersuka ria, menyelenggarakan
pertunuukan “Emprak”, “Ojrat”, dan “Tetegar ing tawang” (berkalana di angkasa),
sering juga “layar neng laut” (berlayar di laut), tak berbeda rasanya berkelana
did angkasa maupun berlayar di laut. Tiap malam hari bermain rebana dan
berdzikir. Jama;-Jamil menumpahkan segenap kemahirannya mempertunjukan
permainan yang elok dan aneh, menyebabkan para santri tercengang terheran-heran.
4.12.
a).
Keadaan di Wanamarta.
b).
Ki Bayipanurta beserta segenap sanak
keluarganya laki-laki dan perempuan duduk berkumpul di serambi,
memperbincangkan kabar beritanya Syekh Amongraga bermacam-ragam yang mereka
ketahui. Ki Sembagi memberitahukan perhitungan yang hasilnya buruk. Ki Bayi
memberitahukan impiannya, tiga buah giginya tanggal, setelah dihitung menjadi
enam. Ki Sembagi menghitung-hitung keburukan akibatnya. Ni Ken Tambangraras
mempersiapkan kenduri, malam hari mereka mengaji hingga khatam, lalu
berkenduri.
4.13.
Malam
hari berikutnya Jayengresmi (jayengwesthi), Jayengraga dan Kulawirya bersepakat
akan mencari Syekh Amongraga yang telah pergi selama 14 bulan lalu. Menjelang
dinihari mereka bertiga berangkat diiringkan oleh Nuripin.
4.14.
a).
Mereka berempat pergi ke arah Selatan, waktu matahari terbenam singgah di dusun
Kepleng, bertemu petinggi bernama Suradigdaya, dipersilahkan singgah, dijamu.
Suradigdaya mempunyai anak gadis remaja bernama Matiyah, panggilannya Endhuk,
dan kemenakan perempuan seorang janda muda.
b).
Para santri di dusun Kepleng gemar bermain tabuh-tabuhan. Kulawirya mengajak
bermain, jadilah tayuban dengan penari wanita bernama Gendra. Jayengresmi
menyingkir ke “Tajug” (langgar”. Jayngraga mendekati Matiyah pelan-pelan, tidak
berhasil, tapi memperoleh si jandan muda. Kulawirya mendapatkan Gendra.
4.15.
a).
Meneruskan perjalanan ke hutan Selambur, melewati hutan Bagendul, beristirahat
di bawah pohon Kesambi, Jayengresmi membentangkan bab “Kiparat” dan “Nikmat”.
4.16.
a).
Melanjutkan perjalanan datang di Dusun Palemahan, terus ke Dusun Mamenang, lalu
ke kedung Bayangan, beristirahat di tepi kedung, bersoal jwab tentang “Tekad
tirakat” dan “ilmu wahyu jatmika”. Kemudian meneruskan perjalanan ke gunung
Klotok, datang di dusun Pakuncen, bertemu dengan Keua Desa bernama Ki Wanatawa,
minta diantarkan naik ke puncak bukit.
b).
Jayengresmi bertanya kepada Ki Wanatawa, kalau-kalau melihat tiga orang
bertirakat di situ. Dijawab tidak ada. Mereka berempat pada waktu malam harinya
menyepi di gua Selamangleng di Gunung Klotok itu.
4.17.
a).
Datang di pakareman, bertemu pertapa bernama Syekh Ragaynu, tampak duduk tanpa
tikar diapit kitab berjilid-jilid. Di Gunung Kalenglengan ia seorang diri,
mereka tamu-tamunya dijamu makanan. Syekh Ragayuni memberi perlambang tempat
tinggalnya Syekh Amongraga, berupa seperti ayam betina kian mencari tempat
bertelur. Kini letaknya di arah barat daya, tiak usah disusul, tidak urung
kelak akhirnya akan bertemu jua.
b).
Pembicaraan mengenai : ilmu perlambang perpaduan mahluk dan khalik, perlambang
kehidupan orang bagaikan orang bepergian yang singkat sejenak di tengah
perjalanan, penyatuan raa sejati, pemusatan semebahyang, pandangana terhadap
Tuhan. Sikap hidup masing-masing keyakinan, tauhid kesejatian yang sempurna.
c).
Akhirnya Syekh Ragayuni mau berterus terang menunjukkan tempat tinggal Syekh
Amongraga yang pasti, yaitu di Wanataka, di tempat itulah kelak mereka bertemu.
d).
Pada waktu pagi hari mereka mohon diri, bersalam-salaman, pada saat itu juga
Syekh Ragaynu musnah tak berbekas, tangan mereka masih tetap mengacung, mereka
sangat heran, lalu mereka membaca istighfar.
4.18.
a).
Perjalanan dilanjutkan tiba di dusun Pulung, bermalam di rumah Penghulu
Jabaludin. Terdengar suara gamelan dipukul. Dberitahu bahwa itu bunyi gamelan
di rumah janda Sembada. Seorang janda kaya raya, tidak mempunyai anak, banyak
memberikan dana, bels kasih kepada sesama orang yang menderita.
b).
Jayengresmi bertukar pendapat dengan Penghulu Jabaludin bab sahnya zakat dan
fitrah.
c).
Anak gadis penghulu Jabaludin bernama Sangidah tertarik hatinya kepada
tamu-tamu itu, tapi tidak ditanggapinya.
d).
Kulawirya, Jayengraga diiringkan oleh Nuripin lolos pergi ke tempat janda
Sembada, dengan dalih mencari tempat bermalam, diterima di “bale” watangan”.
Nyi Sembada sudah agak lanjut usianya, tapi masih gemar merias diri, ia
tertarik dengan tamunya. Dipanggillah kesayangannya seorang janda muda bernama
Biyang Kacer, ia sering disuruh merangsang nafsu birahi lelaki yang
diinginkannya. Jadilah Kulawirya seketiduran dengan Semebada, dan Jayengraga
dengan Kacer.
e).
Seorang kaum bernama Duljaya sangat dungu, kemaluannya istimewa, ia selalu
ditugaskan melayani Nyi Sembada.
f).
Seorang ronggeng bernama Madu datang dengan kelengkapan gamelan ditanggap di rumah
janda Nyi Sembada.
g).
Selama Kulawirya dan Jeyangraga menetap di rumah janda Nyi Sembada mereka
berbuat tidak senonoh. Sedang Jayengresmi selalu mengajari Penghulu Jabaludin
tentang : Laba riba dan rejeki haram. Laba riba adalah keuntungan yang tidak halal,
sedang rejeki haram sudah disebutkan di dalam sarak. Lagi diajari mengenai tiga
macam kewaspadaan, yaitu tahu akan “Wajib Rasul”.
-
Sidik : Benar dalam ucapannya.
-
Amanat : Penuh keyakinan bisa dipercaya.
-
Tablegh : Pecaya kekepada sesama.
Kemudian
tiga macam “Mokal rasul”
a)
Gidib : Mengingkari syari’at.
b).
Kiyanat : Berkhianat.
c).
Kitman : Bersembunyi.
Ditambahlagi
pelajaran tentang perlunya wudu dan sembahyang, uraian mengenai tiap-tiap
rukun, batal dan haramnya makanan, langkah bertobat laku maksiat.
5.
Kitab
Centhini Jilid VIII Tamat : berisi cerita lolosnya Syekh Amongraga mulai dari
Wanamarta ke arah tenggara sampai datang di pulau Nusabarong, ke barat tiba di
pegunungan Sakethi daerah Mataram, Kulawirya, Jayengresmi, Jayengraga, Nurupin
mencarinya, datang di Pulung bertemu janda Nyi Sembada (Widada). Bait terakhir
berbunyi sebagai berikut :
PUCUNG
:
Mung
sireku bae lawan niyagamu // kene wong wus ana // gamelan gedhe abecik //
sakarepmu tutug anjurudemunga.
Artinya
:
Hanya
engkau saja beserta dengan penabuhmu // karena di sini sduah ada // gamelan
besar lengkap lagi bagus // sekehendakmu dan sepuas hatimu (berganti tembang
juru demung).
CENTHINI
JILID IX
1.
Kitab Centhini Jilid IX berisi 76 pupuh, , dari pupuh 507
sampai dengan pupuh 582
2.
..Isi cerita : Di Pulung Jayengresmi dengan pengiringnya
bernadar bermain “Tayuba”. Beralih ke gua Padhali, melihat pohon beringin
berbuah nangka. Datang di Padangeyan ketemu Syekh Sidalaku. Melihat-lihat gua
Sentor, lalu datang di Paranten, bertemu Dhatuk Danumaya, terus mendaki gunung
Bayangkaki. Pergi ke Tegoran ke rumah penjahat, ditangkap. Pergi ke Dukuh
Longsor, bermalam di rumah Modin Nur Bayin, bertemu dengan Ranamenggala,
diminta menunjukan jalan.
3.
Pupuh 507 bertembang Jurudemung, bait permulaan berbunyi,
demikian :
JURUDEMUNG :
Wis Madu melbuweng wisma // dandana kang sarwa luhung //
ayun-ayunan warnamu // sesenengira busana // pilihana ingkang mungguh //
rongggeng mbok Madu turira // inggih anulya umasuk.
Artinya :
Sudahlah Madu masuklah ke dalam rumah // berpakaianlah
yang serba indah // berhiaslah secantik-cantinya // berpakaianlah sessuka
hatimu // pilihlah yang serasi // ronggeng mbok Madu menyahut // baiklah lalu
ia masuk.
4.
Adapun urutan ringkasan isi ceritanya, seperti berikut :
4.1.
a).
Permainan “Tayuban” di rumah janda Sembada di Pulung. Yang bermaksud mengadakan
“Tayuban” itu adalah janda Semebada, dengan mengundang tamu banyak, memenuhi di
sepanjang tepi pendapa. Kulawirya, Jayengraga menjadi tamu. Nuripin menjadi
sinoman, melayani tamu-tamu. Penghulu Jabaludin datang berdua dengan istrinya.
Jayengresmi tidak turut hadir dalam keramian itu. Ni Sangidah juga tidak turut
hadir, tetap tinggal di rumah, ia jatuh cinta kepada Jayengresmi, tapi tidak
dilayani. Ia lalu menyusul melihat “tayuban” disetai hambanya bernama Biyah,
duduk dekat janda muda bernama Tarijah yang mempunyai kekasih bernama Janawang.
Kaum Duljaya membantu penyelenggaraan “tayuban”. Janda muda Kacer diberi
berpakaian ronggeng mendampingi ronggeng bernama Madu, namanya diganti Gendam.
b).
Tamu bernama Wiradikewuh menari diiringi gending “Onang-onang”, lalu Surawijaya
menari dengan gendidng “Lunggadhung”. Kulawirya menari berulang kali.
Jayengraga mendapat giliran menari panji, lalu menyelinap untuk tidur bersama
dengan jadna muda Tarijah di rumahnya. Belum lagi puas tiba-tiba Janawang
datang, langsung menarik keras-keras Jayengraga ke luar rumah.
c).
Janda Sembada berulangkali turut menari dan minum arak hingga mabuk. Penghulu
Jabaludin dipaksa minum arak, lalu menari dilayani oleh Madu, tombok membayar
uang berkali-kali hingga habis uangnya. Pada malam itu juga janda Nyi Sembada
terlaksana dapat melampiaskan nafsu sahwatnya dengan Kulawirya dan orang
laki-laki lainnya yang datang di temepatnya.
4.2.
a).
Pagi hari saat matahari terbit, Kulawirya, Jayengraga, Jayengresmi, diiringkan
oleh Nuripin berangkat dari Palung melanjutkan perjalanan ke gua Padhali,
bertemu dengan orang setengah umur bernama Ki Sinduraga, yang rumahnya di dusun
Tajug, dipersilahkan duduk teratur berkumpul di “Balai watangan”, dijamu,
dilayani oleh anak perempuannya jadna muda bernama Wasita dan anak gadisnsya
bernama Warsiki.
b).
Ki Sinduraga menerangkan bahwa di dalam gua Padhali itu terdapat gua
Triamalawang, yang ke arah selatan menuju ke gua Bayangkaki, yang ke arah timur
menuju ke Padhangeyan, yang ke arah barat menuju ke gunung Wijil wilayah Pedan.
Gua Padhali itu sangat luas, dapat memuat orang banyak sekali.
c).
Ada ke anehan : Pohon beringin kembar, Kelor, sawo, semboja berbuah nangka,
pertanda bahwa permohonannya terkabul. Cita-citanya terlaksana.
d).
Jayengraga menanyakan dusun Wengker. Mendapat jawaban bahwa itu adaah Kraton
lama, terkenal disebut Katongan, tempat makam Batahara Katong. Pada jaman
adipati Panji Putra Pranaraga, disebut Pure Wengker.
e).
Ki Sinduraga bercerita bahwa ketika masih jejaka, mempunyai sahabt karin
sembilan orang, yaitu :
1.
Cariksutra; 2. Carikmudha; 3. Kidang Wiracapa, pelindung ketentraman di
Lembuasta, daerah Kalangbret; 4. Wargasastra, kemudian terkenal dengan nama Ki
Syekh Sidalaku di gunung Padhangeyan.; 5. Harsengbudi; 6. Sinduraga; 7.
Malarcipta, mempunyai santri bernama Bawuk; 8. Arundaya, kemudian bernama
Bayipanurta di Wanamarta; 9. Danumaya, kemudian bernama Ki Dhatuk.
Santri
Bawuk setelah menjadi penghulu bernama Basarudin. Ki Sidnuraga menceritakan
juga pengalamannya ketika masih menjadi santri.
f).
Pembicaraan tentang : Sembilan Tingkat Delajat Islam (Martabat dalam Agama
Islam) :
1.
Mukmin Ngam, mendapat aral sebangsa riya.
2.
Mukmin Ngabid, menyucikan yang dimakan.
3.
Mukmin Saleh, berusaha berbudi pekerti baik.
4.
Mukmin jahadah, ahli tapa.
5.
Mukmin salik, berjalan di jalan Tuhan.
6.
Mukmin supi, orang yang bening hatinya.
7.
Mukmin ngarip, orang yang hanya memandang Tuhan.
8.
Mukmin ngasik, orang yang rindu kepdaTuhan.
9.
Mukmin mukip, orang yang hanya berbakti kepada Tuhan belaka, naiknya menjadi
Auliya Allah.
4.3.
a).
Pada waktu malam hari bermain terbang rebanaber si’ir, pagiharinya berangkat ke
gunung Padhangeyan, disertai juru penunjuk jalan bernama Ki Wanalela melewati
Seladhakon, dusun Pakuncen, tanah makam leluhur Pranaraga, penghulunya bernama
Amat Diman, tiba di Watutowok, beka “towok) (sejenis tombak) milik Panji dulu
tatkala berburu di hutan perburuan, mereka singgah di Jenangan.
b).
Seteelah matahari condong ke barat mereka amendaki bukit menghadap Ki Syekh
Sidalaku, semula bernama Ki Wargasastra, kawan seperguruan Ki Bayipanurta.
Syekh Sidalaku mempunyai dua orang murid bernama Pakuraga dan Pakujiwa. Mereka
yang datang menghadap memberitahukan tujuannya mencari saudara yang pergi
berkelana.
c).
Pada waku larut malam, Ki Syekh Sidalaku beserta mereka bertiga ke luar
menikmati keindahan purnama terang bulan. Di bukit Padhangeyan banyak terdapat
bekas peninggalan para pertapa dari jaman kuna. Mereka berjalan ka arah utara,
sampai di gua Sentor, di dalamnya terdapat banyak keanehan. Misalnya tempat
tidur batu berwarna-warni, ada yang hitam, berbunga, kemreh-merahan. Mereka di
dalam gua selama sepuluh hari. Gua Sentor itu adalah temepat bersamadhi Nyai
Ageng Jenangan yaitu Sang Raja Pendeta Rara Kilisuci saudara perempuan raja di
Kediri. Sedang tempat untuk mengambil anginterletak di puncak bukit.
d).
Kemudian memberikan ajaran menganai : Bertemunya ilmu sarak dengan Agama Budha,
yakni harus taukhid akan hadits para Ambiya munajat terhadap Hyang Agung,
menghadap dekat di hadapan Hyang Widdhi. Lalu ketepatan uraian kitab
Panitisastra : bab keutamaan tingkah-laku manusia, bab hilangnya bsia ular
maupun buasnya harimau oleh japamantra, gajah tunduk karena angkus, raja marah
reda karena kata-kata penggawa. Kemudian bab kesusastraan : membicarakan
mengenai sandi dan penyusunan kata-kata hingga menjadi gubahan tembang.
4.4.
a).
Perjalanan mereka lanjutkan ke gunung Bayangkaki, diantarkan oelh Ki Pakujiwa.
Waktu hendak mencapai ke puncak gunung pancabaya timbul, sesaat awan gelap
meliput, hujan lebat jatuh, padahal wktu itu musim kemarau. Mereka semua
tergelincir jatuh ke bawah, sampai di dusun Paranten. Jayengresmi dan
Jayengraga berdoa, kemudian pancabaya berangsur lenyap.
b).
Seorang laki-laki lanjut usianya datang ia berselimut kain usang, berikat
kepala “mogan” kumal, bertongkat kayu berhiaskan cincin selaka. Ia itu lah Ki
Danumaya, yang juga bernma Ki Dhatuk, saudara seperguruan Ki Arundaya yang
kemudian bernama Ki Bayipanurta di Wanamarta. Lalu mereka diantarkan naik
mendaki gunung Bayangkaki, memanjat menanjak, tiba di Seladheku, pintu gerbang
Bayangkaki, melewati gua-gua gelap dan dalam.
c).
Ki Dhatuk mengajarkan hal ihwal keduniawian dan keakhiratan : Jangan terpukau
oleh duniawi, akibatnya menjadikan budi rendah dan hina. Lalu menerangkan
cacat-cela watak tabiat manusia. Kemudian Ki Dhatuk menyuruh mereka supaya ke
Ngawi, Kalangbret, Trneggalek, Lembuasta, tempat kidang Wiracapa, barangkali
dapat memperoleh berita saudara mereka yang mereka cari. Kulawirya minta
pertolongan Ki Dhtuk memberikan penunjuk jalan. Ki Dhatuk menolak, hal itu
tidak baik, karena akan mengurangi kesulitan yang harus ditempuh, mengurangi
manfaat tirakat, sedangkan sebaiknya harus dicapai dengan susah payah agar
bermanfaat tirakatnya.
4.5.
a).
Perjalanan mereka sampai di dusu Tagaron, bertemu denga benggolnya penjahat
ulung, ia menjadi petinggi, bernama Candrageni. Mereka diterima di rumahnya,
bermalam di situ. Setelah matahari terbenam Candrageni memerintahkan pesuruhnya
untuk mengundang tetangga-tetangganya, semuanya penjahat. Mereka datang dengan
membawa “Bedudan” (tabung menghisap mdat), serta berpakaian yang tdiak teratur. Seorang demi seorang mereka
berdatangan hingga rumah itu penuh sesak, sampai-sampai ada yang tidak
mendapatkan tempat duduk. Penjahat-penjahat itu di antaranya beranama :
Brajalamatan, Gemblangcerang, Gagaksetra, Brajalintang, Cabeguna, Berangkecer,
Sandhangrowa, Jarangan, Pretiyuyu, Merakjamprong.
b).
Selama mereka duduk berkumpul itu yang mereka perbincangkan adalah : Berlomba
berlebih-lebihan memperlihatkan ilmunya mengenai saat “ Raja muka”, “bincilan”,
“Kalamudheng”, “panagan”, “nujum jaya”, perhitungan hari dan pasaran demi
berhasilnya kejahatan, membeberkan japa mantra dan jaya-jaya, “aji lembu
sakilan”, “Aji setan waringut”, “Aji semar kuning”, memamerkan perbawa
kesaktian dan kekebalan mereka. Cara mereka berbicara menggunakan kata-kata
sandi, kata-kata kiasan.
Misalnya
Candrageni bertanya kepada temannya : “Sapa kang oleh paran, aramban janur
janganan”, “Siapa pun yang memdapat arah
tujuan, akan memerik janur dan sayuran”.
Brajalamatan
menyahut : “Janganan kang celak-celak maksih sami pundhes, wikan tebih tineba,
mring tanah ngrika kathah ron lembayung”, (Sayur yang dekat-dekat masih pendek
pucuknya, entahlah did teempat yang jauh, di daerah sana niscaya banyak daun
lembayung”.
c).
Jamuan yang disajikan semua masih baru saja matang dimasak, di hidangkan di
hadapan mereka : Jadah, jenang, pisang bertandan-tandan, tebu berbatang-batang,
mereka semua ramai menawarkan. Mereka yag menghisap madat sambil sibuk
membicarakan sebaik-baiknya tingkah laku penjahat yang harus ditempuh,
diselingi dengan bunyi alat penghisap madat yang berselat selit. Bermacam ragam
tingkah laku para penjahat menyombongkan diri menunjukkan kelebihan
masing-masing, memang mereka ibarat penjelmaan syaithan. Banyak juga percakapan
mereka tentang tawarnya mantra, dan saling membuka rahasia menentertawakan
tidakan mereka melakukan kejahatan.
d).
Candrageni berkali-kali mempersilahkan tamunya tidur, tapi mereka menjawab toh
tiada lama lagi fajar sudah akan menyingsing. Maka para penjahat itu lalu
memberikan isyarat saling mengejapkan mata, sejenak mereka ketiduran memejamkan
mata sambil menghisap madat. Di luar terdengar bunyi burung hantu bertalu-talu
bersahut-sahutan. Mereka yang singgah bermalam sudah merasa bahwa akan
disergap. Jayengresmi lalu memusatkan pikiran, bersamadi, memohon kekuatan
semoga diselamatkan dari segala mara bahaya. Kulawirya pun sudah bersiaga
bersiap-siap.
e).
Candrageni memberikan isyarat bahwa gerakannya dimulai. Brajalintang memahami
isyarat itu, demikian halusnya Brajalamatan dan Gemblangserang mereka mengajak
segera bertindak, para penjahat itu segera menyerang menerjang bersama.
Jayengresmi Jayengraga dan Kulawirya sudah siap sebelumnya, maka mereka tak
gentar menghadapinya. Banyak penjahat yang luka maupun tewas, bahkan takut lalu
lari berhamburan.
f).
Pada waktu itu fajar telah menyingsing. Jayengresmi jayengraga Kulawirya dan
Nuripin segera meninggalkan rumah itu. Berangkat dari Tagaron menuju ke dusun
Longsor. Petingginya bernama Ranamenggala. Modinnya bernama Nurbayin. Nurbayin
mempunyai tiga orang anak gadis, telah kelewat dewasa belum juga bersuami,
karena buruk rupanya. Masing-masing bernama Banem, banikem, baniyah. Mereka
yang datang singgah bermalam di rumah modin Nurbayin, bukan di rumah Petinggi
Ranamenggala. Jamuan dikirim dari rumah Petinggi, disajikan oleh ke tiga orang
gadis anak Modin Nurbayin.
g).
Mereka menceritakan peristiwa yang abru saja dialami di Dusun Tagaron, bahwa
semalam disergap penjahat. Ki Petinggi Rranamenggala memanggil tiga orang
Tagaron yang kelihatan ada di longsor, mereka itu adalah : jarangan, Pratiyuyu,
dan Merakjamprong. Mereka datang berselimut kain dengan sangat takutnya.
Berkata bahwa perbuatannya itu hanya mengikuti jejak Brajalamatan. Ke tiga
orang penjahat itu diperingatkan, mereka tunduk, dan berganti nama sebagaimana
biasanya nama kebanayakn petani.
h).
Diterangkan bahwa dusun Longsor itu seluas sembilan jung, di antaranya termasuk
wilayah Pranaraga, jurang dan bukitnya termasuk daerah Trenggalek Wulan, dengan
dua orang Demang, Demang Kidang Wiracapa di Trenggalek Lembuasta dan Demang
Wiracana di Trenggalek Wulan. Kulawirya ingin sekali bertemu dengan Demang
Kidang Wiracapa di Lembuasta.
i).
Pembicaraan mengenai pertanian usaha-usaha agar segala macam yang ditanam dapat
hidup subur, hal-hal yang harus disingkiri dalam mengerjakan pertanian, dan
syarat-syarat penyelenggaraan pertanian yang baik.
j).
Waktu larut malam bubar, Jayengraga memperoleh tempat tersendiri di dalam rumah.
Nurbayin dengan istrinya masuk ke dalam ruang dalam. Ke tiga orang anak
gadisnya bangkit nafsu birahinya, sering menyaksikan tingkah laku orang tuanya
bilamana mengadakan hubungan asmara, ibunya menumpang di atas, dikira
demikianlah halnya kebiasaan yang berlaku, pada hal sesungguhny disebabkan
karena ayahnya sudah tua. Banem dan Banikem mendapatkan kepuasan melampiaskan
nafsu birahinya denegan Jayengraga, sedang Baniyah berkeluh kesakitan karena
menghadapi dzakar yang senantiasa kaku melempang.
k).
Pada waktu pagi hari lepas subuh jayengresmi, Jayeng raga, Kulawirya,
diiringkan Nuripin, disertai Ki Petinggi Ranamenggala meninggalkan rumah Modin
Nurbayin meneruskan perjalanan.
5.
Kitab
Centhini Jilid IX Tamat : Berisi cerita perjalanan Jayengresmi beserta dengan
pengiringnya mulai dari dusun Pulung bermain “Tayuban” sampai ke dukuh Longsor.
Bait terakhir berbunyi demikian :
SARKARA
:
JAYENGRESMI
Ki Kulawiryeki // sawusira samya sesalaman // adan umangkat lampahe //
Ranamenggala gupuh // amencalang aneng ing ngarsi // kang tinilar sungkawa //
cuwa manahipun // ya ta kang samya lumampah // turut dhadhah wau ta Ki
Jayengragi // neng sendhang maskumambang.
ARTINYA
:
Jayengresmi
(dan) Kulawirya // setelah ebrsalam-salaman // lalu berangkat pergi //
Ranamenggala segera // memelopori berjalan di depan // mereka yang ditinggalkan
bersedih // Kecewa hatinya // mereka yang pergi berjalan // di sepanjang
padang, sedangkan Ki Jayengraga di sendang bagaikan mas terapung (Berganti
pupuh Maskumambang).
CENTHINI
JILID X
1.
Kitab Centhini Jilid X berisi 57 pupuh, , dari pupuh 583
sampai dengan pupuh 639
2.
Isi cerita : jayengresmi dengan pengiringnya singgah di
kedung bagong, lalu ke Lembuasta. Jayngraga kawin dengan Rara Widuri. Pulang
singgah ke gunung Rajegwesi, terus ke gunung Wajakwatu-urip, tiba di Wanamarta.
Syekh Amongraga dilabuh di Tanjungbang, jamal-Jamil
memberitahukan ke Wanamarta, menjadikan sedih. Sunan Giri wafat di Mataram.
3.
Pupuh 583 berbentuk tembang Maskumambang, bait permulaan
berbunyi sebagai berikut :
MASKUMAMBANG :
Methuk marga wus tundhuk lampahira ris // nut ing
pagalengan // asri kang peksi munyanjing // de cucingguling branjangan.
ARTINYA :
Menjemput id jallan, sudah bertemu, jalannya
perlahan-lahan // mengikuti sepanjang pematang // Indah, burung-burung berkicau
pagi hari // Cucingguling (dan) branjangan.
4.
Adapun urutan rngkasan isi ceritanya, demikian :
4.1.
a).
Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya dan pengiring Nuripin melanjutkan perjalanan
ke desa Lembuasta, singgah di kedung Bagong, sangat gawat, banyak ikan besar
kecil menampakkan diri, tapi tak ada orang berani mengambilnya, pasti celaka,
begitulah adat yang telah berlaku.
b).
Tiba-tiba datang Ki Jakerti dari Trenggalek Wulan, bercerita : Dulu kedung
Bagong itu bernama telaga Sasi, suatu taman yang sangat indah, tempat
bercengkerama putera raja Singasari bernama Arya Banyakwulan sampai kepada Arya
Menak Sopal. Mereka sangat kasih sayang kepada ikan air tawar piaraan. Konon
Menak Sopal musnah tiada bekasnya di telaga itu. Sudah sejak dulu kala sampai
sekarang tiada ubahnya selalu terdengar bunyi gamelan bertalu-talu dan suara
dalang mempergelarkan wayang. Begitu selamanya, maka telaga itu lalu terkenal
disebut dengan nama Kedung Bagong.
4.2
a).
Semalam mereka bertirakat di kedung Bagong. Pagi harinya mereka berpisah dengan
Ki Jiwakerti dan Ki Ranamenggala. Tiba di Lembuasta bertemu penghulu
Astradenta, diantar menemui Kyai Demang Kidang Wiracapa, diterima dengan senang
hati. Istrinya bernama Ken Widaryati diminta menyajikan jamuan. Mereka hanya
memiliki seorang anak perempuan, mempunyai kegemaran menjelajahi hutan dan
gunung, bernama Retna Ginubah. Dari sebab kegembiraannya, pada malam hari menyelenggarakan
pemetasan topeng. Persiapannya dimulai sejak “Wisan Gawe” (Waktu selesai
bekerja di ssawah pagi hari + jam 11.00), seolah-olah seperti orang akan
emngadakan perhelatan. Pelasanaannya dibantu oleh Wirakara, Wirabraja, dan
Nayakenthi. Pendapa rumahnya diberi teratag daun kelapa, pada lantai pinggirnya
dibentangkan tiakr berlajuran. Setelah persiapan selesai mereka lalu menabuh
gamelan, para tamu mereka pun turut menabuh, teledek berdendang merdu.
b).
Lepas isa pertunjukan sudah siap dimulai. Tiga Saudara Ki Demang Kidang
Wiracapa, yaitu : Wiracana, Wirakara, dan yang bungsu Wirabraja telah siap di
pendapa. Datang tamu Mas Demang Prawiracana dari Trenggalek Wulan Suami istri
dengan anak gadisnya bernama Ken Widuri serta
para adiknya yaitu : Mancanapura, Singabancana, Wirajana dan mangunjana,
Kulawirya dan Jayengraga diminta turut menari, disediakan pakaian indah dan
tampan.
Mendadak
datang Retna Ginubah berkendaraan kuda terus langsung masuk ke pendapa,
memberitahu bahwa telah berpapasan dengan Syekh Amongraga serta dua orang
santri pengiringnya Jamal-Jamil. Meminta agar Ken Widuri membedaki Jayengraga
dan ronggengnya membedaki Kulawirya. Karena mereka akan turun menari. Retna
Ginubah minta diri pergi lagi. Dicegah tiada juga mau.
Tari Topeng
Tari Topeng
c).
Gamelan mulai bertalu, berjejal-jejal wanita melihat. Pertunjukan topeng
dimuali. Kulawwirya menjadi raja di Jenggala. Jayengraga menjadi Panji
Kasatrian. Berganti pertunjukannya “Kiprah Gandrung” mempesona hati, gerak
langkahnya gagah hebat, memukau mereka semua yang menyaksikan. Rara Widuri
jatuh cinta kepada jayngraga, tiba-tiba maju ke tengah pentas merebahkan diri
dalam pelukan Jayengraga. Semua mereka yang menonton gempar, hiruk pikut
terjadilah kegegeran. Bunyi gamelan berhenti, sanak keluarga Ngabei Prawiracana
hendak bertindak demi harga diri mereka. Sedangkan Kulawirya bersiap membela
Jayengraga. Tiba-tiba datang Retna Ginubah, menyarankan agar Rara Widuri
dikawinkan saja dengan Jayengraga. Mereka setuju, pernikahan dilakukan
mendadak, dengan persiapan asal jadi. Jayengraga dan Rara Widuri dirias, lalu
upacara ijab nikah, terus dipertemukan dengan “Pondhongan”, upacara pengantin
pria mendukung pengantin wanita. Setelah upacara perkawinan selesai Retna
Ginubah segera minta diri pergi lagi. Pengantin berdua dipersilahkan masuk ke
dalam tempat peraduan. Pertunukan topeng dilanjutkan lagi di pendapa. Rara
Widuri benar-benar mengalami malam pertama yang mengesankan, karena mahirnya
jayengraga berulah asmara di malam pengantin. Mereka berdua sepuas hati
menumpahkan hasratnya bermain asmara.
4.3.
a).
Hari berikutnya Ngabei Prawiracana akan mengadakan upacara “mengundhuh”
pengantin di Trenggalek Wulan pada saat genap lima hari perkawinan. Jayengresmi
tidak berkeberatan. Sedang Kyai Kidang Wiracapa menyerahkan tempatnya untuk
penyelenggaraannya. Ngabei Prawiracana bersepakat dengan istrinya menunjuk
saudara-saudaranya mempersiapkan penyelenggaraan pesta perkawinan tersebut.
b).
Kyai Kidang Wiracapa memerintahkan menanggap wayang
klitik sambil duduk bertukar pikiran, membahas skeseusaian lambang wayang
dengan lambang ilmu, sebagai lambang hakikat yang sejati. Kemudian mereka
membahas makna rasa topeng silih bergantinya kedok bagaikan dzat saling merasuk
ke dalam berbagai raga, dan makna rasa yang dijalin di dalam kecabulan, tiada
tergoda memandang kemaluan.
Tiba-tiba
datang perlengkapan tempat tidur pengantin dan binatang-binatang sembelihan,
serta gamelan lengkap dengan penabuhnya. Diputuskan malam hari itu mengadakan
“Selawatan”, bermain terbang rerbana dan bersingir. Kebetulan waktu itu di
tempat Penghulu kedatangan santri 50 orang. Setelah lepas Isya, banyak santri
berdatangan. Lalu mereka mulai berdzikir singir di tajug. Jayengresmi dan
jayengraga turut merawai. Setelah tengah malam Jayengraga dipersilahkan mengaso
dengan Widuri, mereka berdua bermain asmara sepuas hati. Ni Widuri selalu minta
bersyahwat. Jayengraga mengeluh kewalahan. Tak kuasa mengimbangi. Larut malam
mereka yang bersingir bubar, para santri pulang membawa “berkat”. Malam hari
itu Kulawirya mebyuruh memanggil penabuh “gender” bernama Ni Asemsore ke
pendoponya. Ia disuruh memijit-mijit, diteruskan dengan bermain asmara. Karena
kenikmatan yang berkelebihan, Kulawirya lupa daratan, akhirnya terkena serangan
Rajasinga, menegrang kesakitan kemaluannya bengkak.
4.4.
a).
Kidang Wiracapa duduk berkumpul di Pendapa dengan para tamu beserta sanak
keluarganya. Para penyumbang berdatangan lewat pintu muka dan pintu belakang.
Kulawirya merasa sakait, tidak dapat turut duduk berkumpuldi pendapa. Tamu-tamu
dari Prnaraga berdatangan, mereka itu di antaranya adalah : Raden Ngabei
Wijakangka. Ngabei Wirapati, Demang Malangdewa. Setiap tamu datang di isyarati
dengan bunyi tembakan di luar dan “glebet Jethotan”. Ada yang datang berdua
dengan istrinya berkendaraan kuda. Jumlah tamu lebih dari dua puluh orang.
Malam harinya dipergelarkan pertunjukan wayang purwa dengan dalang Ki
Gunawangsa.
b).
Ki Kulawirya bermimpi bertemu dengan Jamal Jamnil, ia diberi petunuk obat
penyakitnya. Dakarnya supaya dikenakan kepada kuda betina, dilendiri dengan
daun Wora-waribang dan daun Sundalmalam, dipipis – diperas – disaring lalu
dioleskan pada dzakar sebelumnya. Petunjuk dalam impian itu dilaksanakan dengan
dibantu oleh nuripin dan dirangsang oleh ronggeng bernama Grepet. Ternyata
penyekitnya dapat sembuh.
c).
Setelah lepas subuh wayang “tancep Kayon” (Wayang gunungan ditancapkan
ditengah-tengah panggung kelir pertanda
pertunjukan sudah selesai). Matahari terbit, fajar menyingsing, mereka
bersama-sama makan pagi, jamuan makan dan minum penuh sesak, gamelan ditabuh
berbunyi merdu mendayu-dayu. Kidang Wiracapa membicarakan akan menyelenggarakan
“tayuban” pada malam harinya, dengan
mengundang ronggeng bernama Gendra dari Kalangbret, dan Madu dari Pulunglumba,
serta Teki dari Daleman yang dibawa serta bertemu oleh Puspagati.
d).
Pagi hari itu mereka bermain mengadu ayam jago di halaman pekarangan, sedang di
pendapa diadakan permainan mengadu puyuh. Waktu tengah hari mereka berhenti
bermain, makan siang bersama. Setelah waktu dhuhur mereka beristirahat, para
santri sembahyang Dhuhur di masjid. Jayengraga diminta datang ke rumah dalam,
Ni Widuri telah lama menanti, maka segera bermain asmara sepuas hati.
e).
Malam hari sehabis Isya mereka semua berpakaian indah-indah. Pengantin
Jayengraga setelah selesai berpakaian segera berpamitan kepada istrinya akan ke
luar, tapi istrinya menggandeng mengajak seketiduran lagi.
Tari Gambyong
Tari Gambyong
, dilanjutkan “Ginonjing”. Jayengraga minta sampur, sikap, solah dan tingkahnya hebat menarik hati, ke tiga orang ronggeng bergulat dekat mengitari, semua kasmsaran kepada Jayengraga. Para penonton ramai berdesak-desakan berbuat tidak senonoh. Ketika bunyi gong terakhir mendengung, ketiga ronggeng itu menjatuhkan diri ke muka bertiraikan sampur bagaikan sekat penutup berkasih mesra. Tersebutlah Ni Widuri tiada tahan mencegah gejolak hati, mengira suaminya bermain asmara dengan ketiga ronggeng. Maka segera ia ke pendapa, sambil meraih senapanuntuk kemudian dipukullkan kepada ke tiga orang ronggeng. Sanggul mereka bertiga pun ditarik-tariknya hinga terlepas. Maka di pendapa menjadi geger. Ni Widuri dibawa mundur ke rumah belakang sambil meronta-ronta. Ke tiga orang ronggeng bubar ke luar, dipegang oleh Kulawirya dan Jayengraga, di bawa ke rumah pondokkannya. Jayengraga takut, tidak masuk ke dalam rumah, di pondokan berkasih-kasihan dengan dua orang pemuda tampan, bernama Laba dan Wukir. Kulawirya melayani ke tiga orang ronggeng berganti-ganti. Mereka yang bermain berseenang-senang di pendapa besar bubaran. Ni Widuri selalu menangis, ibu dan neneknya memperingatkan dan menasehati.
4.5.
Pagi
hari para tamu sudah berkumpul di pendapa, mereka meminta diri akan kembali ke
Pranaraga. Hari itu bertepatan dengan genap sepekan pengantin, diadakan kenduri
selamatan, Mas Demang Prawiracana menyerahkan semua sumbangan dan pemberian
kepada Jayengraga. Tapi Jayengraga menolak, lalu diserahkan kepada Ni Widuri.
Jayengraga belum juga mau masuk ke dalam rumah, masih tetap bertempat tinggal
di pondokan Kulawirya dan Santri Nuripin, dilayani oleh Laba dan Wukir. Sedang
Jayeng Resmi senantiasa bertempat di langgar. Ni Widuri berhati-hati menanti
kedatangan Jayengraga suaminya, menanggung rindu tak tertahankan.
4.6.
Pagi
hari yang ke tujuh, Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya minta diri kepada Kyai
Kidang Wiracapa akan kembali pulang ke Wanamarta. Kepergiannya disetujui,
dipersilahkan makan pagi terlebih dahulu. Sesudah sembahyang Subuh mereka
berangkat.
4.7.
Ni
Widuri yang ditinggalkan pergi suaminya menjadi linglung, selalu mengigau
seperti kemasukan makhluk halus. Ayah bundanya sangat sedih, bangkit marahnya
kepada menantunya. Maka lalu memerintahkan kepada sanak-keluarganya untuk
menyusulnya. Apabila tiada juga mau kembali supaya dibinasakan saja. Tiba-tiba
datang Retna Ginubah mengendari kuda dengan diiringkan anjingnya. Di muka
pendapa ia turun, terus masuk dan menyarankan agar kepergian utusan itu
diurungkan.
Retna
Ginubah sanggup mengobati Ni Widuri. Ia segera mengambil ramuan obat-obatan
dari sanggulnya berupa bunga gambir putih. Kepalanya didongakkan dan ramburnya
dipilin keras lalu ujungnya dicambukkan. Widuri menjerit menangis keras, terus
disiram air satu jum mukanya hingga terengah-engah, mengaduh memilukan,
akhirnya berangsur sembuh seketika. Orang-orang menjadi gembira hatinya, lalu
mereka kembali ke Trenggalek Wulan.
4.8
Perjalanan
Jayengresmi dengan pengiringnya sampai di gunung Rajegwesi, mereka bertirakat
sebagai pengasah budi. Kemudian terus pergi ke Kalangbret, singgah di dukuh
Gubug, lalu datang ke gunung Purwa, bertemu Pendeta bernama Ki Ekawardi, ia
dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi. Istri dan cucunya perempuan
bernama Rara Muryati dipanggilnya
menghadap. Syekh Ekawardi mengaku kawan seperguruan Ki Bayipanurta. Ia
mengajarkan tentang : Laku langkah orang mengbadi, sikap rendah diri, tata
sastra dan tata kata. Kemudian dilanjutkan dengan bertukar pikiran mengenai :
Hakekat makna segala ilmu “Kajatmikan” (Ketenangan hati) :
1.
“Kajatmikaning Silakrama “ (Ketenangan hati dalam kesusilaan).
2.
“Kajatmikaning Sabdakrama” (Ketenangan hati dalam bertutur kata).
3.
“Kajatmikaning Surengkarya” (Ketenangan hati dalam melaksanakan tugas).
4.
“Kajatmikaning Karyabukti” (Ketenangan hati dalam mendapatkan makanan).
5.
“Kajatmikaning Pasuwitan” (Ketenangan hati dalam Pengabdian).
4.9.
Pagi
hari lepas sembahyang Subuh, Jayengresmi dengan pengiringnya mohon diri
melanjutkan perjalanan, menuju ke arah selatan, lalu ke timur, tiba di gunung
Wajak, gunung Budhel dan gunung Tengeng, dusun Wajakwatu-urip, terus
menyeberang bengawan Rawa, ke timur, ke selatan, tiba di dusun Rawa, welihat
sendang Wajakpatimbulan, kemudian naik mendaki gunung Pakareman. Singgah
semalam, pagi hari turun ke gunung Tengeng, terus masuk ke Gua Menak,
bertirakat semalam.
4.10.
a).
Berganti menceritakan keadaan di Wanamarta.
b).Pada
hari Jum;at, leps sembahyang Jum’at, Ki Bayipaburta dengan istrinya mengunjungi
rumah Ni Ken Tambangraras. Tambangraras masih selalu bersedih hati, sejak
ditinggalkan suaminya tidak mau berganti pakaian, sedang rukuknya yang semula
berwarna putih bersih hingga menjadi kotor kelabu penuh debu. Ia senantiasa
dihibur oleh ayah budanya agar tersapu kesedihannya, namun ia tetap diam tak
mengucapkan sepatah kata jua. Ayah bundanya kembali pulang.
c.
Waktu ‘Asyar, Jayengresmi beserta pengiringnya telah datang kembali ke
Wanamarta, mereka langsung pulang ke rumah masing-masing.
d).
Sehabis sembahyang Isya, Ki Bayipanurta dan Ni Malarsih serta Ni Daya
berkunjunglagi ke rumah Ni Ken
Tambangraras. Pada waktu itu Tambangraras tengah bersiap-siap mengatur
“ambengan” kenduri untuk memuliakan Kangjeng Nabi, mohon berkah restu bagi
mereka yang sedang berkelana mengembara.
e).
Tiba-tiba datang pra sanak saudaranya, penghulu Basarudin, Jayengresmi,
Jayengraga, Kulawirya dan Nuripin. Mereka yang baru datang di sambut dengan
gembira.
f).
Sesudah berkenduri, Jayengresmi menceritakan kisah perjalanannya berkelana
mencari Syekh Amongraga, selama satu bulan tidak berhasil, hingga kembali ke
Wanamarta. Mereka yang mendengarkan cerita itu sangat beriba hati. Apalagi
Tambangraras sangat berputus asa, tak tau apa yang harus dilakukan. Ia dihibur
dan dinasehati banyak-banyak oleh Ayahandanya. Setelah malam hari mereka bubar.
4.11.
a).
Perjalanan Syekh Amongraga di Gunung Kidul daerah Mataram.
b).
Di Gunungkidul wilayah Mataram, Syekh Amongraga membuat ketakjuban orang
banyak, Jamal-Jamil sepuas-puasnya membeberkan ilmu karang, banyak orang
tertarik mengakibatkan rusaknya Syari’at, tata hidup manusia seperti binatang,
tanpa menjalankan Sembahyang dan tanpa melakukan pernikahan.
c).
Syekh Amongraga menjelajahi tempat-tempat Sinuhun Sultan Agung berkhalwat
menyepi : Ke Gua Langse, Manganti, Songpati, Marapi, tapi selalu telah
didahului oleh Sinuhun Sultan Agung. Maka Syekh Amongraga erasa malu,
bersunyi-sunyi di dalam “tajug” (Sanggar pamujan). Pada saat itu sampailah
masa-masa yang harus dilalui berakhir.
d).
Berita perbuatan Jamal – Jamil di Kanigara, Gunung Kidul, menggemparkan
masrakat. Hingga Ki Penghulu dan para ulama melaporkan kepada Sinuhun Sultan
Agung, bahwa di Gunung Kidul ada orang membuka “Kijab” (Tabir rahasia wajah
Tuhan), mempertunjukan shihir, menyebakan bingung linglungnya orang gbanyak.
e).
Sinuhun Sultan Agung lalu menugaskan Ki Tumenggung Wiraguna dan Ngabei
Wirajamba ke Gunugn Kidul untuk mengusut dan menghukum Syekh Amongraga.
f).
Wiraguna berangkat dengan “Panekar Mantri” 40 orang, dan ulama 10 orang. Tiba
di dusun Kanigara ketika matahari terbenam. Di Masjid menyaksikan perbuatan
Jamal-Jamil yang menggemparkan. Setelah selesai sembahyang Isya menemui Syekh
Amongraga, menyampaikan perintah Sinuhun Sultan Agung. Syekh Amongraga berserah
diri kepada kehendak Sultan. Ia lalu disuruh masuk ke dalam keranjang panjang
diusung ke laut, tiba di pantai disahut alun ditelan gelombang ke tengah
samudra. Wiraguna di dalam hati menduga dirinya berhdapan dengan Auliya seperti
Pangeran Panggung di Demak jaman dahulu. Tiada lama kemudian terdengar suara
memberi salam. Wiraguna menjawab dengan gagap. Syekh Amongraga menyampaikan
ucapan terima kasihnya. Para utusan semua kembali, sedang keranjang panjang tadi
tiba-tiba terhempas ombak ke pantai dengan kosong.
g).
Jamal – Jamil selalu mengikuti tindakan utusan Sinuhun Sultan Agung memberi
hukuman Syekh Amongraga dengan bersembunyi-sembunyi. Setelah mereka berdua
menyaksikan keranjang panjang yang berisi Syekh Amongraga ditelan gelombang,
lalu dihempaskan kembali ke pantai dengan kosong, dan kemudian utusan Sultan
Agung kembali ke Mataram, Jamal – Jamil bermaksud segera kembali ke Wanamarta
untuk memberitahukan kepada Ki Bayipanurta.
h).
Setelah tiba di Wanamarta bertemu dengan Ki Bayipanurta serta para sanak
keluarga. Jamal – Jamil memberitahukan peristiwa yang dialami Syekh Amongraga
di pantai Samudra Kidul.
Tambangraras
mendengar berita itu seketika jatuh pingsan tiada sadarkan diri. Sesudah
beberapa waktu lamanya Jamal – Jamil mohon diri hendak pulang ke Karang. Mereka
yang ditinggalkan senantiasa diliputi kabut kesedihan.
i).
Utusan Sinuhun Sultan Agung tiba di Mataram pada waktu matahari terbenam,
mereka terus pulang ke rumah masing-masing. Pagi hari menghadap Sultan di balai
penghadapan melaporkan pelaksanaan tugasnya, sangat mengherankan mereka yang
mendengar. Sinuhun Sultan Agung lalu bersabda, bahwa sesungguhnya Syekh
Amongraga memang dengan sengaja minta jazadnya disempurnakan oleh wibawa
kekuasan raja. Jadi peristiwa itu bukanlah suatu hukuman, melainkan suatu cara
yang mengantarkan jalannya kembali ke alam kesempurnaan. Para utusan lalu
diperkenankan mundur, sedang Sultan segera kembali masuk ke dalam istana.
4.12.
Sunan
Giri Parapen wafat di Mataram.
4.13.
Sunan
Giri Parapen sekeluarga telah cukup lama ada di Mataram, disediakan tempat
tinggal berdekatan dengan Kangjeng Pangeran Pekik. Ketika mendengar berita
Kangjeng Sultan Agung mengirimkan utusan untuk menghukum santri berasal dari
tanah Timur yang membeberkan ilmu Sihir, Kangjeng Sunan Giri terketuk hatinya,
merasa tentu putranya yang sulung yang lolos mengembara. Maka betapa sedih rasa
hatinya tak dapat dilukiskan, akhirnya ia wafat, dimakamkan di lingkungan Makam
Kasenapaten. Putra-Putri yang ditinggalkan dan turut bertempat tinggal di
Mataram banyak yang mengabdi kepada Kangjeng Sultan Agung, menjadi ulama dan
menjadi juru. Hanya seorang yang ditunjuk pulang kembali ke Giri untuk menjaga
leluhur mereka.
4.14.
Di
Wanamarta tiap-tiap hari Ni Ken Tambangraras masih selalu tiada sadarkan diri.
Para sanak keluarganya siang malam berjaga-jaga terus menerus seraya
menghiburnya. Ni Ken Tambangraras selalu tidur menelungkup dengan memeluk
gulingngya, tidak bergerak dan tidak bersuara, air matanya senantiasa meleleh
tiada putus. Ki Bayipanurta pun selalu diliputi kesedihan.
5.
Centhini
jilid X Tamat : Berisi cerita kisah perjalanan Jayengresmi mencari Syekh
Amongraga tidak ketemu. Syekh Amongraga di labuh di Laut Kidul. Sunan Giri
Wafat di Mataram di rundung kesedihan. Di akhiri dengan bait penutup berbunyi,
sebagai berikut :
SINOM
:
Obah
wau para kadang // mingset denira alinggih // angurmati ingkang prapta // Ki
Bayi lasan kang swami // kendel denira nangis // samya angulapi eluh // Ki Bayi
lawan garwa // sigra mring tilam umanjing // samya mire pra ari putra sadaya.
Artinya
:
Bergeraklah
para kerabat // duduk mereka beringsut // menghormat yang baru datang // Ki
Bayi suami istri // mereka berhenti menangis // dan menghapus air matanya // Ki
Bayi suami istri // segera masuk ke dalam ruang tidur // para adik dan putranya
semua menyibak.
CENTHINI
JILID XI
Tayub
Tayub
1.
Kitab Centhini Jilid XI berisi 50 pupuh, , dari pupuh 639
sampai dengan pupuh 688. Pada bagian permulaan terselip satu pupuh berisi 5
bait.
2.
Isi cerita : Kesedihan di Wanamarta Ni Ken Tambangraras
dipinang dari Panataran, lalu lolos pergi ke Wanataka, bertemu Syekh
Mangunarsa, dan Anggungrimang, kemuddian bertemu Syekh Amongraga, seterusnya
menyepi di Pulau Palanggatan, di tengah-tengah juranggjangkung.
3.
Pupuh 639 bertembang Kinanthi, bait permulaan berbunyi,
sebagai berikut :
KINANTHI :
Warnanen kang andon nglangut // ing siyang dalu lumaris
// anerajang jurang-jurang // sengkan pereng-pereng rumpil // datan kawarna
laminya // andungkap sampun sawarsi.
Artinya :
Diceritakan mereka yang berkelana // siang malam berjalan
// menerjang jurang-jurang // tebing tinggi, terjal dan lereng dalam curam //
tak terlukiskan lamanya // hampir menjelang satu tahun.
4.
Adapun urutan ringkas isi ceritanya, sebagai berikut :
4.1.
Menceritakan
kesedihan hati Ni Ken Tambangraras dan Ki Bayipanurta serta sanak keluarganya.
Tiba-tiba Jamal – Jamil datang memberitahukan musnahnya Syekh Amongraga dilabuh
di Tunjungbang, di laut kidul. Makin memuncak kesedihan meliputi Wanamarta. Para
orang-orang tua menghibu Ni Ken Tambangraras, mereka antarakan ke rumahnya.
Jatuh rebah tertelungkup di atas kasur dan menangis sejadi-jadinya. Ki Bayi dan
istrinya menyusul ke rumah Tambangraras (Pupuh sisipan).
4.2.
Ni
Ken Tambangraras telah mendapatkan kekuatan kembali menjadi janda muda yang
tengah mekar, banyak orang datang meminang, tapi senantiasa ditolak. Terasa
suaminya masih hidup.
43.
a). Di Panataran Menak Pasagi meninggalkan dua orang
anak, yang tua bernama Bayi Kudasrenggara, yang muda bernama Ki Sawojajar. Ki
Sawojajar masih muda, bewajah bagus lagi berilmu tinggi serta masih jejaka
berlum beristri. Ki Kuda srenggara
mengutus Ki Budiman dan Ki Sembagi pergi melamar ke Wanamarta dengan membawa
bermacam-macam barang pemberian. Pinangannya di tolak, karena Tambangraras
belum ingin berumah tangga, masih mengharapkan timbulnya Syekh Amongraga
kembali. Ki Kudasrenggara marah, bermaksud merusak Wanamarta, memanggil
Ranggajanur dari Wanagiri dan Gagakrimang menyuruh membunuh Ki Bayipanurta dan
melarikan Ni Ken Tambangraras. Nyi Puspita, istri Ki Kudasrenggara pergi minta
tolong kepada juru sungging Ki Dewangga untuk membikinkan gambar Ki Sawojajar.
Setelah jadi sama seperti yang digambar, dibawa oleh Ki Ranggajanur dan
Gagakrimang berangkat ke Wanamrta. Mereka berdua singgah dulu di pertapaan
Gunung Wilis, bertemu dengan pertapa, mendapat pesan agar berhati-hati terhadap
cobaan wanita. Tiba di Wanamarta telah lepas senja. Mereka melepaskan “Aji
Sirep” mantera menidurkan orang. Penjaga-penjaga menjadi mengantuk tertidur
dengan lelapnya, senjata mereka dikumpulkan. Laju masuk ke dalam halaman
pekarangan, pintu rumahnya dikunci, tapi setelah ditiup dapat terbuka.
b).Kemudian
mereka sampai di tempat Tambangraras, ia sedang menghibur hati membaca kitab Suluk.
Ranggajanur menyaksikan Tambangraras seketika terkena panah asmara, ia jatuh
cinta. Tatkala ia memaksa hendak menjamah Tambangraras, ia jatuh terbanting
berkaparan di tanah, mengeluh memanggil-manggil Gagakrimang adiknya.
Gagakrimang terkejut mendengar suara itu, lalu masuk ke dalam ruang dalam.
Tambangraras membuka tirai penutup, penjahat minta ampun dijawab : Jadilah
seperti katamu sendiri. Seketika sembuh sebagai semula, berterus terang akan
tujuannya seraya menyerahkan gambar lukisan Ki Sawojajar. Ketika gambar dibuka
musnahlah sunggingannya hingga terhapus. Ranggajanur terkejut menyaksikan dan
terheran-heran.
Tambangraras
kemudian memberi ganti pakaian kepada kedua orang utusan itu. Setelah diterima
ke duanya mohon diri, mundur ke luar dengan sangat takutnya.
4.4.
Tambangraras
masuk ke dalam ruang tidur dengan menanggung rasa sangat sedih. Ketika tertidur
bermimpi merasa seperti tidur berdampingan dengan suaminya. Tatkala terbangun
sangat kecewanya, menangis sedih, hendak bunuh diri, tetapi selalu dicegah dan
diingatkan oleh Ni Centhini. Keputusannya : Ke duanya bersiap-siap akan pergi
meloloskan diri pada waktu malam hari. Setelah malam tiba, mereka lolos
berjalan dengan susah payah, membawa bekal “Maskul” dan sisir, berpakaian
bertambal-tambal. Tambangraras berganti nama Ni Selabrangti. Perjalanan kedua
orang wanita itu terlunta-lunta, bilamana berhenti beristirahat mereka selalu
berdzikir.
4.5.
a).
Di dukuh Wanataka, Syekh Mangunarsa dan Ki Santri Monthel sangat memusatkan
tapa dan Shalatnya. Mereka senantiasa membicarakan masalah Rukun Shalat.
b).
Perjalanan Ni Selabrangti dan Centhini sampai di Wanataka, hendak bertemu
dengan Syekh Mangunarsa. Setelah bertemu dipersilahkan duduk, dan santri
Monthel diutus memberitahu kepada Syekh Syekh Anggungrimang dan Ni Rancangkapti
untuk mempersiapkan jamuan. Syekh Mangunarsa sendiri masih hidup membujang.
4.6.
a).
Bertukar pikiran mengenai perincian Iman dan Islam, serta ketepatan Syhadat.
b).
Membicarakan tentang : Lima macam mandi yang perlu dilakukan oleh wanita, yaitu
: 1. Mandi Kel (Mandi Haid yang pertama kali); 2. Mandi Jinabat (Setelah
senggama); 3. Mandi Wiladah (Setelah melahirkan anak); 4. Mandi nifas (waktu
selepas 40 hari setelah melahirkan anak); 5. Mandi mayit (waktu meninggal
dunia).
Dua
macam mandi yang perlu dilakukan oleh Pria, yaitu :
1.
Mandi Jinabat (Waktu setelah senggama); 2. Mandi mayit (waktu meninggal dunia).
c).
Yang disebut : “Perlu”, “Sunnat”, “Wudlu”, “Hakekat”, “Makrifat”, “Lintang
Windu Manila”, dan “Tauhid”.
4.7.
a).
Ketika bertukar pikiran bab Tauhid, Syekh Mangunarsa merasakan terdapatnya
persamaan ajaran dengan Ni Selabrangti. Maka lalu bertanya siapakah yang
mengajarinya, Ni Selabrangti menerangkan : Bahwa yang mengajari dulu adalah
suaminya bernama Syekh Amongraga, ia semula bernama Jayengresmi, lalu pergi
mencari saudara perempuannya bernama Ni Rancangkapti dan saudara laki-lakinya
Ki Jayengsari. Perjalanannya sampai di Mataram, didakwa merusak sarak, dihukum
dilabuh di Laut Kidul hingga meninggal dunia. Itulah sebabnya Ni Selabrangti
lolos dari Wanamarta, bermaksud untuk bela pati.
b).
Selesai menerangkan Ni Ken Tambangraras menangis, Syekh Mangunarsa tergetar
juga hatinya ikut menangis, Ni Rancangkapti pun menjerit menangis, merebahkan
diri pingsan terus meninggal. Anggungrimang menangisi istrinya, Mangunarsa
terdiam diri, tidak bisa berkata apa-apa, menyaksikan kematian adiknya.
4.8.
Waktu
fajar menyingsing pada pagi harinya Syekh Amongraga datang. Mayat Rancangkapti
belum dimandikan, segera dibangunkan, lalu bangkit sebagai orang baru saja
bangun tidur. Mangunarsa dan Rancangkapti tercengang memandang Syekh Amongraga.
Ni Selabrangti segera bersujud di kaki Syekh Amongraga, lalu menerangkan kepada
Manguanrsa dan Rancangkapti bahwa yang baru saja datang itu adalah Syekh Amongraga,
semula bernama Jayengresmi. Mereka segera tunduk bersujud keharuan.
4.9.
Syekh
Amongraga yang telah berbadan sukma berkata lembut memberikan wejangan mengenai
kelainan alam. Syekh Amongraga mengawinkan Ni Centhini dengan Ki Monthel,
semula bernama santri Buras.
4.10.
Kemudian
Syekh Amongraga membikin “Asrama tanpa wisma” di jurang Jangkung, di tengah
Pulau Palanggatan, tiga hari selesai. Syekh Amongraga suami istri lalu bertapa
bersamadi di situ. Tiada lama mereka berdua menjadi sempurna berbadan sukma,
menginjak di alam gaib, menciptakan pura dihias indah di alam “Walikan”.
Sedangkan bila bertemu dengan para adik-adiknya bertempat di Sendang Klampeyan.
4.11.
Di
Wanamarta sepeninggal Ni Ken Tambangraras diliputi kabut kesedihan. Ni Ken
Tambangraras meninggalkan surat bahwa kepergiannya mencari suaminya. Nyi
Malarsih sangat bersedih hati, bermimpi bertemu anaknya berduaan, makin
rindulah kepada mereka berdua. Ki Bayipanurta bingung hatinya, lalu memanggil
ke dua orang anaknya, memberitahukan impian ibunya. Ia menduga bahwa mereka
berdua masih hidup. Maka Jayengresmi dan jayengraga disuruh mencarinya. Turida
istri Jayengresmi dan Rasajati istri Jayengraga, keduanya sangat sedih akan
ditinggalkan suami mereka. Setelah dihibur ke duanya agak berkurang sedihnya,
meski hanya pada lahirnya.
4.12.
a).
Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga sampai di Ardipala, inging bertemu dengan
Syekh Malangkarsa, singgah di dukuh di rumah janda Tilarsa. Janda baru, masih
muda lagi kayaraya. Mempunyai anak gaid dua orang cantik-cantik, bernama Ni
Sumarsa dan Ni Warsiki. KE dua orang anak gadis itu jatuh cinta kepada ke dua
orang tamunya. Malam hari bermalam di situ, hampir saja terjadi permainan
asmara.
b).
Pagi hari minta diri akan melanjutkan perjalanan ke Ardipala, singgah di dukuh
gunung Sidapaksa, tiba di warung tempat perhentian para pedagang masuk ke rumah
bertemu seorang gkakek-kakek, mengajarkan ilmu kepujanggan dari Empu Yogiswara.
c).
Pagi hari minta diri, diantarkan ke Ardipala. Sahabat Syekh Malangkarsa
bertempat di empat arah : Syekh Pariminta di arah utara, Syekh Modang di arah
Selatan, Syekh Amongsari di arah Timur, Syekh Tresnaraga di arah barat.
Jayengresmi dan Jayengraga diterima dengan senang hati oleh Syekh Malangkarsa
jamuan disiapkan oleh Ni Ulangan.
d).
Jayengresmi memberitahukan tujuan kedatangannya, mencari saudara perempuan yang
pergi mencari suaminya. Dahulu sudah dicari-cari tidak juga ketemu. Syekh
Malangkarsa memberitahukan kabar hal-ikhwal Syekh Amongraga yang dikenai
hukuman di Tunjungbang.
e).
Mendadak datang Syekh Modang, memberitahukan bahwa santrinya melihat dua orang
perempuan berjalan, bernama Selabrangti dan Centhini, keduanya datang dari
Wanamarta menuju ke Wanataka. Jayengresmi mengira bahwa itu Tambangraras, yang
berganti nama Selabrangti.
f).
Tiba-tiba datang Santri Monthel memberi salam, memberitahukan akan pergi ke
Wanamarta membawa surat dari Syekh Amongraga, ia disuruh singgah ke Ardipala
terlebih dahulu. Surat itu dikirimkan ke Wanamarta kepada ayahanda serta kepada
Jayengresmi dan Jayengraga.
g).
Jayengresmi dan Jayengraga bingung, kemudian bermaksud hendak bertapa ke
Ardisalah, berganti nama Amongresmi dan Amongkarsa. Ki Monthel lalu minta diri
meneruskan perjalanan, dan mendapat pesan berita untuk disampaikan kepada
ayah-bundanya, bahwa Jayengresmi dan Jayengraga ada di Ardipala.
h).
Pagi harinya Jayengresmi dan Jayengraga minta diri kepada Syekh Malangkarsa
untuk pergi bertapa, kepergiannya disetujui, diantarkan oleh Syekh Modang dan
Tresnaraga. Setelah tiba di Ardisalah lalu menyepi, sedang yang mengantarkan
segera kembali.
4.13.
a).
Di Wanamarta Ni Turida istri Jayengresmi dan Ni Rarasati istri Jayengraga
melupakan makan dan tidur, bertekad keras untuk menyusul suaminya. Pada waktu
malam hari lolos dan Wanamarta, pergi berdua tanpa pengiring, masuk ke hutan
Durgama yang amat berbahaya. Banyak tampak makhluk-makhluk halus penjaga hutan
menggoda, tapi ke dua wanita itu tiada goyah tekadnya. Mereka berdua lebih
senang lekas mati. Tiba-tiba Bathara Kala datang menemui, menunjukkan tempat tinggal
suaminya di Ardisalah.
b).
Pagi hari mereka berdua berangkat pelan-pelan, meninggalkan hutan Drubiksa,
datang di padang Pengembalaan yang luas. Banyak orang berpapasan tertarik
hatinya menyaksikan. Seorang santri tertambat hatinya menggoda, diajak bersoal
jawab apabila dapat menjawab ke duanya tak keberatan diperistri. Soalnya
demikian : Sebelum bumi dan langit ada, jika mati, di mana tempatnya? Ternyata
soal itu tidak terjawab.
c).
Perjalanan mereka berdua sampai di hutan bergunung. Di situ bertemu dengan
pertapa yang sudah tujuh tahun tinggal di dalam gua. Pertapa memberi petunjuk
kepada dua orang wanita itu tempat tinggal suami mereka. Ke duanya diminta
untuk berhati-hati, karena masih akan ada satu kali lagi godaan yang harus
dijumpainya, dan diberi tahu bahwa kedatangan mereka akan ditolak oleh para
suami mereka, maka harus tabah serta berhati-hati.
d).
Setelah mohon diri mereka berdua melanjutkan perjalanan mendaki gunung,
berjalan tersesast, merangkak-rangkak sangat susahnya. Tiba-tiba menyaksikan
pedukuhan kecil tampak indah. Mereka berdua singgah untuk menanyakan letak
Ardisalah itu.
e).
Syekh Laras dan Syekh Resmi sudah tahu bahwa istri mereka datang menyusul,
Setelah ketemu kedua istri itu memeluk kaki mereka serta menangis keras-keras.
Mereka berpura-pura mati, maka makin menjadi-jadi tangis mereka, kedua orang
suami itu dipeluk erat-erat. Tapi itu dimaksudkan untuk mencoba betapa besar
cinta mereka terhadapnya. Kemudian setelah sadar kembali, ke dua orang istri
masing-masing dipeluknya hangat-hangat.
4.14.
Di
Wanamarta, Ki Bayipanurta dan Nyi Malarsih bersedih hati, karena ditinggalkan
oleh ketiga orang anaknya dan seorang anak menantunya. Tiba-tiba datang santri
Monthel membawa surat Syekh Amongraga dari Wanataka dan surat Jayengresmi – Jayengraga
dari Ardipala. Ki Bayi suami istri kegirangan, santri Monthel diberi hadiah
pakaian, kemudian mohon diri kembali ke Wanataka.
4.15.
Hari
lain Ki Bayipanurta dan Nyi Malarsih berpakaian seperti orang sudra papa
berjalan mengembara dari Wanamarta. Nyi Malarsih berjalan di muka, ki
Bayipanurta di belakang. Mereka berdua berganti nama, Ki Bayi bernama Arundaya,
Nyi Malarsih bernama Malarresmi.
Perjalanan
Ki Arundaya dan Nyi Malarresmi menuju ke Ardibustam, melewati Ardimuncar tempat
sahabatnya bernama Syekh Ardimuncar dan Arundarsa. Tiba di Ardimuncar bertemu
Syekh Ardimuncar dan Arundarsa. Istri Syekh Ardimuncar bernama Purnaningsih.
Pada waktu malam hari bertukar pikiran tentang ilmu : Masalah takdir dan
tauhid, dalil dan hidayat.
4.16.
Terus
melanjutkan perjalanan sampai di Ardibustam, bertemu teman lamanya bernama Ki
Harsengbudi dengan istri Niken Wiyadi. Waktu malam hari membicarakan ilmu : Bab
Tauhid dan Iman.
4.17.
Pagi
hari berangkat dari Ardibustam diantarkan oleh empat orang santri, berjalan ke arah
selatan, memasuki hutan Jembulan yang sangat gawat, dilarang orang menyebutkan
barang sesutu yang dijumpai. Ketika datang di dekat Jembul, banyak godaan
timbul bermunculan. Setelah melewati pusat hutan Jembul, empat orang santri
telah menunjukan arah jalan yang ke Gunungsari, ke rumah Carik Sutra. Kemudian
para santri minta diri kembali.
4.18
Riba
di Gunungsari bertemu Carik Sutra, ia adalah saudara seperguruan Ki
Bayipanurta. Carik sutra sedang duduk bersama dengan empat orang istrinya yang
cantik-cantik. Istri ertama sudah ditalak, tinggal tiga orang istrinya yang
kemudian senantiasa mengikuti, masing-masing bernama Sumardi, Wilapa, Suresmi.
Arundaya memuji-muji Ki Carik Sutra yang pesolek serta memiliki banyak istri
cantik-cantik lagi muda-muda.Arundaya juga mengingatkan kembali keberanian
serta keperwiraan carik Sutra ketika masih muda, meski bentuk tubuhnya akecil
bagaikan Gandhik” (Batu Giling). Sehabis makan mereka bermain tembang rebana,
bersingir, para istri “Andulengi” (melagukan).
Waktu
fajar menyingsing Ki Arundaya, Ni Malarresmi Ki Carik Sutra, Ki Carik Mudha,
keluar dari pedessaan, dua santri petunjuk jalan berjalan di muka, seorang lagi
membawakan bekal perjalanan berjalan di belakang. Di sepanjang jalan mereka
senantiasa memperbincangkan ilmu, membicarakan anugerah Tuhan.
Waktu
Asyar mereka beristirahat di sendang Balara. Sesudah Asyar mendaki bukit ke
Ardipala. Mereka diantarkan oelh Ki Basariman, bertemu dengan Syekh Malangkarsa
serta istrinya Ni Malangresmi. Ke empat orang tamu itu bermalam di rumahnya.
Bermacam-macam jamuan diberikan oleh Syekh Malangkarsa, sambil membicarakan :
Empat macam ugeran ilmu, yaitu : Saei’at, Tariqat, Hakikat, makrifat. Adapun
ugeran Syari’at adalah : Kasdu takrul yakin, yakat : ‘Niat angyekteni anekani”.
Ugeran Tarikat yaitu : Suci badan lisan ati”. Ugeran Hakikat yaitu : Iman,
Tauhid, Makrifat”. Ugeran Ma’rifat yaitu : “Sukur, suka, rila”.
4.19.
Syekh
Medang dan Tresnaraga di utus ke Ardisalah memanggil Jayengresmi dan Jayengraga
yang telah berganti nama Syekh Raras dan Syekh Resmi. Keduanya berjalan
cepat-cepat mendaki gunung memasuki hutan yang penuh dengan berbagai bahaya.
Kemudian didapatkannya Syekh Raras dab Syekh Resmi beserta istri masing-masing.
Keduanya dijamu berbagai makanan berasal dari “Mangunah” (Kelebihan karena
Iman), mereka yang sedang bertapa. Utusan memberi tahu bahwa ayah budan mereka
mencari mereka di Ardipala. Mereka jawab bahwa kelak akan bertemu dan berkumpul
di Jurangjangkung di Wanataka. Utusan lalu minta diri, beberapa langkah berjalan
tiba-tiba mereka berdua menjadi bingung, tidak mengetahui jalan mana yang harus
ditempuh. Mendadak angin angin puting beliung meniup keras, keduanya terangkat
terbang ke langit bagaikan layang-layang, jatuh di Ardipala, segera
memberitahukan perjalannya dari awal sampai akhir. Mereka yang mendengar merasa
berlega hati.
4.20.
Pagi
hari Ki Arundaya beserta Nyi Malarresmi istrinya akan melanjutkan perjalanan ke
Wanantaka. Syekh Malangkarsa sanggup mengantarkan dengan diiringkan oleh
Pariminta dan Amongsari, tidak ketinggalan Syekh Modang dan Tresnaraga. Syekh
malangkarsa minta diri kepada istrinya. Sehabis subuh mereka makan pagi dan
setelah persiapan bekal mereka siap semua mereka lalu berangkat. Ki Carik Sutra
dan Carik Mudha juga turut berangkat bersama, di tengah perjalanan mereka
menyimpang pulang ke Gunungsari.
Waktu
marahari condong ke barat pada saat anak-anak menggembalakan ternaknya mereka
tiba di daerah “Patugaran” (Tanah tegalan), tiada lama berselang dukuh Wanataka
dan Wanasari telah kelihatan, tampak terdapat tujuh gerombol kecil-kecil. Di
Suatu “Plegungan”, tempat berangi-angin di bawah naungan pohon rimbun, mereka
beristirahat di dekat sendang Kalampeyan. Yaitu tempat menyepi Syekh Mangunarsa
dan Syekh Anggungrimang.
4.21.
Pada
waktu itu Syekh Mangunarsa sedang bertafakur di tempat penyepian, didatangi
oleh Syekh Amongraga bersama Ni Ken Tambangraras istrinya memberitahukan
kedatangan ayahanda Ki Bayipanurta dan Ibunda Nyi Malarsih serta Syekh
Malangkarsa dengan sahabatnya dua orang. Ia berpesan bilaman Ki Bayipanurta
ingin bertemu dipersilahkan menyepi di Pulau Palanggatan kelak akan bertemu
juga dengan ke dua orang anaknya di Ardisalah. Syekh Amongraga beserta istri
lalu minta diri pergi. Syekh Mangunarsa kemudian pulang memerintahkan Ni Centhini
dan santri Monthel mempersiapkan jamuan.
4.22.
Ki
Bayipanurta beserta segenap pengiringnya memasuki dukuh Wanataaka, bertemu
santri Monthel dan Ni Centhini, ke duanya turut mengiringkan menemui Syekh
Mangunarsa, Ken Rancangkapti dipanggil datang.
Ki
Bayipanurta beserta istri dipersilahkan menyepi di Pulau Palanggatan. Lepas
waktu Isya mereka berangkat bertirakat ke pulau Palanggatan. Mereka suami istri
lama bertafakur di jurang jangkung, senantiasa mengharap kedatangan
anak-anaknya. Menjelang tiga malam mereka berdua bersunyi-sunyi, anak-anaknya
belum juga muncul. Mereka dikirim makanan tapi ditolak di kembalikannya.
Syekh
Amongraga menyaksikan ayah ibu mertuanya bersunyi-sunyi dengan sedih hati di
Jurangjangkung. Ia lalu menghirup para adiknya yang bertempat di Ardisalah.
Tiga pasang suami istri itu kemudian tampak berkumpul di alam “Ngalimut”
(Gaib), lalu bersimpuh bersujud di hadapan ayah ibu mereka. Ki Bayipanurta
sangat kagum dan terharu menyaksikan kegaiban dan keajaiban Syekh Amongraga.
Setelah beberapa waktu kemudian mereka minta diri ke alam gaib, berjanji kelak
akan bertemu lagi di dukuh Wanataka. Karena Syeh Mangunarsa ingin sekali
bertemu dengan Jayengresmi dan Jayengraga, demikian halnya Syekh Malangkarsa,
maka kemudian mereka akan berkumpul di pedukuhan, lalu minta diri kembali ke
alam gaib.
Ki
Bayipanurta suami istri pulang dari Jurangjangkung kembali ke Wanataka, memberi
tahu kepada Syekh Mangunarsa bahwa telah bertemu dengan Syekh Amongraga dan Ni
Ken Tambangrras, Jayengresmi dan Ni Turida, Jayengraga dan Ni Rarasati.
Syekh
Malangkarsa minta kepada Syekh Mangunarsa untuk bertemu dengan Syekh Amongraga,
dijanjikan kelak pada hari Kamis malam Jum’at, mereka akan menyepi di sendang
Kalampeyan. Setelah mereka semua bersamadi, Syekh Amongraga suami istri serta
para adik-adiknya Jayengresmi dan Jayengraga masing-masing juga dengan
sitrinya, datang bersujud menyatakan kebaiktian mereka di hadapan ayah bunda
mereka, dan bersalam-salaman dengan yang lain. Mereka membahas bermacam-macam
Ilmu.
Syekh
Amongraga memerintahkan kepada Ni Ken Rancangkapti adinya untuk menghiadangkan
jamuan panganan. Jayengresmi dan Jayengraga berserta istrinya masingmasing
diminta turut makan, agar tidak kembali ke alam gaib. Setelah selesai Syekh
Amongraga dengan istri minta diri kembali ke alam halus.
Pada
waktu itu dukuh Wanataka menjadi ramai, karena banyak tamu datang, yaitu :
Kibayipanurta, Nyi Malarsih, Syekh Malangkarsa, Jayengresmi, Ni Turida,
Jayengraga, Ni Rarasati, Ki Pariminta, Ki Amongsari. Mereka menerima kedatangan
tamu-tamu itu, adalah : Syekh Mangunarsa, Syekh Anggungrimang, Ni Ken
Rancangkapti, serta pembantu santri Monthel dan Ni Centhini.
Setelah
beberapa hari kemudian, Syekh Malangkarsas, Pariminta dan Amongsari beserta
para santri pengiringnya minta diri kembali ke Ardipala. Mereka berangkat dari
dukuh Wanataka pada waktu sehabis subuh, setelah mereka bersama-sama makan
pagi.
Ki
Bayipanurta beserta Istrinya tinggal di Wanataka selama sepuluh hari. Siang
maupun malam selalu dapat bertemu dengan Syekh Amongraga dan Ni Ken
Tambangraras. Waktu fajar menyingsing, sesudah makan pagi Ki Bayipanurta berdua
berangkat dari Wanataka kembali ke Wanamarta. Ia minta diri kepada Syekh
Mangunarsa sekerabat. Para anak Ki Bayipanurta belum dapat ikut pulang mereka
bersujud menyatakan bakti mereka di hadapaan ayah budannya. Afapun yang
mengantarkan adalah ? Santri Monthel, Ni Centhini, Ki Saloka, Ki Saloda,
Prakosa, Darmadana dan Darmaduta.
4.23.
Perjalanan
Ki Bayipanurta suami istri ke Wanamrta berhenti di dukuh Paguran, di rumah
santri Nuripin. Mereka orang-orang di desa Paguran bersedih hati. Ki
Bayipanurta meneruskan perjalanannya, waktu matahari terbenam tiba di
Wanamarta. Nuripin berjalan di muka, sampai di regol bertemu dengan Ki
Kulawirya, Ki Bayipanurta berserta istri masuk ke rumah. Tiba-tiba datang tiga
orang istri Kulawirya, dan para sanak keluarga semeua. Mereka berkumpul duduk
berkeliling di pendapa berkenduri dengan pemberian doa oleh Penghulu Basarudin.
Mereka duduk-duduk hingga tengan malam.
Pagi
harinya dilanjutkan lagi bertempat di Pendapa. Banyak sanak keluarga datang
mengucapkan selamat. Ki Bayipanurta lalu memberitahukan kisah perjalannnya
berkelana dengan istrinya mengembara selama dua bulan tujuh hari.
Setelah
beberapa hari kemudian, para santri dari Wanataka, Ki Monthel dan Ni Centhini
mohon diri akan kembali. Keberangkatan mereka diuluskan, mereka diberi bekal
banyak oleh Ki Bayipanurta dan para kerabat. Perjalanan mereka sampai di
Pagutan. Nuripin dan Jayayuda beserta dua kebekelan bawahannya mengantarkan sampai
di Wanataka. Setelah beberapa hari mereka lalu kembali ke Wanamarta.
4.24.
Lepas
waktu Asyar Syekh Manguanrsa duduk berunding dengan para adiknya, memutuskan
agar Jayengresmi dan Jayengraga membuka pedukuhan baru di sebelah selatan
Jurangjangkung. Tiba-tiba datang Syekh Amongraga dengan istri untuk minta diri
akan berkelana mengembara di hutan Tawangsunya. Mereka berdua suami istri lalu
lenyap, menjelajah seluruh Pulau Jawa.
Kemudian
dengan kekuatan daya ciptanya ia membikin “Kutha Waja” (Kota Baja), terletak di
sebelah selatan Pulau Keapa, lengkap dengan istana yang indah dan
berkeramat,penuh dengan buah-buahan yang lezat lebat. Syekh Amongraga bertempat
tinggal di kota baja di tengah-tengah lautan, banyak pedagang berlayar singgah
di situ.
4.25.
Ada
pendeta dari Bangkahulu bernama Datuk Ragarunting beserta 80 rang sahabat
pengiringnya. Ki Datuk sangat termasyhur kelebihannya, ia bemasud hendak
berdebat ilmu degan Syekh Amongraga. Ketika Ki Datuk datang di “Kutha Waja”, di
pulau besi, Ki Datuk menyaksikan berbagai macam kegaiban dari kekeramatan Syekh
Amongraga. Misalnya : Tata tertib istana seperti keadaan di sorga, dan terdapat
suara yang tiada berupa. Ketika berdebat dalam hal ilmu timbul perselisihan.
Para pengiring ki Datuk diperintahkan menangkap Syekh Amongraga, tapi mereka
semua jatuh dengan sendirinya.
Akhirnya
Ki Datuk mencoba rasa ikhlas Syekh Amongraga. Dimintanya istrinya, ternyata
diberikan juga. Ia minta diri kembali ke Bangkahulu, bahkan dipersilahkan
membawa harta benda sebanyak-banyaknya. Di pantai sudah tidak ada lagi perahu
sebuah pun. Lalu minta perahu kepada Syekh Amongraga. Seketika itu juga
tersedia perahu banyak sekali.
Ketia
berlayar Ki Datuk dengan para pengiringnya yang membawa Ni Ken Tambangraras itu
sampai di tengah-tengah samudra, Syekh Amongraga yang ditinggalkan itu
memusatkan ciptanya untuk menghancurkan kota baja di pulau besi itu kembali
menjadi lautan seperti semula. Ia lalu menolong istrinya di bawa ke asrama yang
gaib. Datuk Ragarunting sangat terkejut meneyaksikan Ni Ken Tambangraras musnah
tiada berbekas. Para santri bingung, diperintahkan mencarinya. Pada saat itu
juga air laut bergelora dan bersuara gemuruh, perahunya terlontar sampai di
tempat asalnya, mereka berjatuhan di tanah dalam keadaan telanjang bulat. Ragarunting
menghibur para santri sahabatnya agar dengan hati tetap mengikuti ajaran
Syari’at.
4.26.
Syekh
Amongraga bersama dengan Ni Ken Tambangraras istrinya berkelana di angkasa di
atas awan. Tambangraras makin besar rasa baktinya terhadap suaminya, karena
semula mengira sudah tidak akan dapat bertemu lagi. Mereka berdua mengembara di
sepanjang pegunungan di pesisit kidul. Singgah di gua Langse selama 20 hari,
kedatangan Ki Darmengbudi, seorang tua berumur 60 tahun. Fua Langse tempatnya
seperti istana. Ki Darmengbudi dijamu berbagai jamuan berasal dari
“Mangunah”nya, ia ingin berguru, dicoba dengan disuruh terjun ke dalam laut,
dilaksanakan, lalu ia melihat “Jagad walikan” ( Dunia terbalik / dunia gaib),
seperti duduk menghadap Syekh Amongraga. Ki Darmeng budi kemudian diwejang
tentang segala rupa ilmu kesejatian, lalu terlontar terbang ke angkasa sampai
di Palembang jatuh di masjid. Seketika wabah penyakit di situ lenyap, sehingga
menyebabkan kehidupannya menjadi sejahtera.
4.27.
Ada
seorang bernama Ki Ragaresmi, ia seorang pengembara ahli tapa, banyak
“mangunah”nya, yang telah diperbuatnya. Waktu matahari terbenam berpapasan
dengan Syekh Amongraga yang tampak bercahaya menyala. Dikiranya bukan manusia.
Ki Ragaresmi lalu berguru kepada Syekh Amongraga, dicoba disuruh terjun ke
dalam api ciptaan dan dilaksanakannya, hanyut dalam siksaan sejati. Ia menetap
bertempat di “Jagad Walikan” menghadap Syekh Amongraga lalu diwejang ilmu
kesejatian.
Kemudian
Syekh Amongraga menciptakan tempat yang indah serta menjamu tamunya itu dengan
makanan yang berasal dari “mangunah”nya. Oleh Ni Ken Tambangraras diwejang pula
tentang penyatuan Tuhan. “Pandakening marang Ing sun”. Setelah pemberian
wejangan selesai, Syekh Amongraga, Ni Ken Tambangraras (Selabrangti) dan Ki
Ragaresmi (Raga asmara) bermaksud meninjau ke Wanataka, perjalanannya menuju ke
arah timur laut.
4.28.
Jayengresmi
dan Jayengraga telah lima tahun membuka tanah di Wanataka. Mereka berdua
membentuk dua buah pedukuhan kembar, sebuah di sebelah utara dan satu lagi di sebelah
selatan. Para sanak saudara dari Wanamarta sudah banyak yang datang meninjau
seperti : Kulawirya, Wiradhustha, Panuksma, Panamar, Luwaran, Malangbong, Senu,
Surat.
Jayengresmi
dan jayengraga merasa sudah rindu kepada ayah-bundanya. Dari sebeb rasa rindunya
yang sangta, hingga mereka jatuh sakit. Mereka berdua akan pulang kembali ke
Wanamarta dengan masih menantikan bisikan yang membukakan pintu hati mereka.
Mereka berdua lalu pergi ke tempat Syekh Mangunarsa.
Syekh
Mangunarsa sedang duduk bersama dengan Anggungrimang menjelang sembahyang
berjamaah di Masjid. Tiba-tiba datang Syekh Amongraga, Ni Ken Tambangraas dan
Ki Ranggaresmi langsung datang di sebelah Utara mimbar, tak ada seorang pun
mengetahuinya. Sehabis sembahyang selesai barulah tampak kelihatan. Mereka
segera bersujud. Ki Ranggaresmi dikenalkan kepada para sanak keluarganya selaku
seorang “Nujebba”.
Syekh
Amongraga memberi tahu kepada Jayengresmi dan Jayengraga bahwa telah lima tahun
mereka membuka tanah, pohon-pohon kelapa yang ditanamnya telah berbunga. Sudah
tiba waktunya menjenguk ayah – Ibu ke Wanamarta. Lalu minta kepada Syekh
Amongraga dan Anggungrimang untuk mengantarkan. Rancangkapti ingin juga ikut.
Syekh Amongraga tidak berkeberatan. Lepas waktu Asyar Syekh Amongraga minta
diri, sampai di luar rumah musnah tak keliahatan.
Syekh
Anggungrimang mendesak kepada Syekh Mangunarsa sehabis Isya ingin bertemu
dengan Syekh Amongraga di Jurangjangkung. Jadilah mereka berangkat bertuntunan.
Waktu Maghrib sampai Isya mereka ada di Jurangjangkung. Selesai melakukan
ibadah lalu bertafakur, kemudian bertemu dengan Syekh Amongraga dan Ni Ken
Tambangraras di Selasumayana (Batu terbentang). Di situ mereka bersoal jawab
tentang “Tekad” sampai larut malam, kemudian mereka disuruh kembali.
4.29.
Perjalanan
dari Wanataka ke Wanamarta. Lepas waktu Subuh mereka berkumpul makan pagi
bersama, lalu mengatur persiapan perjalanan, dengan lima orang santri pengiring
pembawa bekal perjalanan. Syekh Mangunarsa menyerahkan Wanataka kepada para
santri, Jayengresmi menyerahkan dukuhnya kepada santri Monthel, Jayengraga
kepada Ki Paturun dan Martaduta. Setelah siap semua mereka segera berangkat,
yakni : Syekh mangunarsa, Anggungrimang dan Ni Rancangkapti, Jayengresmi dan Ni
Turida, Jayengraga dan Ni Rarasati, mereka berjalan beriring-iringan.
Perjalanan
mereka tiba di Sendang Balara, di situ berhenti, bertemu dengan Penghulu
Basariman, lalu diantarkan ke rumah Syekh Malangkarsa di Ardipala.
5.
Centhini
jilid XI Tamat : Isi cerita : Kesedihan di Wanamarta, Ni Ken Tambangraras
dilamar dari Panataran, hingga sampai para kerabat dari Wanataka berangkat ke
Wanamarta. Bait terakhir berbunyi, demikian :
JURUDEMUNG
:
Sira
den rumat ing wisma // gegelara klasa alas // myang jrambah lampitiun //
ingkang liningan sandika // gya lumampah maring pintu // kalangkung dennya
kasmaran // Malangkarsa meing tatamu.
Artinya
:
Kau
rawatlah rumah // bentangkanlah tiar halus // dan lampir di lantai rumah / ia
yang disuruh siap melaksanakan // segera berjalan ke pintu // sangat
tertariklah // Malangkarsa kepada para tamunya.
CENTHINI
JILID XII
1.
Kitab Centhini Jilid XII berisi 33 pupuh, , dari pupuh
689 sampai dengan pupuh 722. Di antaranya yang baku sampai dengan pupuh 708.
2.
Isi cerita : Jayengresmi dan Jayengraga pulang dari
Wanataka ke Wanamarta. Ki Bayipanurta wafat digantikan oleh Puteranya. Syekh
Amongraga bertemu Sinuhun Sultan Agung di Gunung Telamaya.
3
Pupuh 689 bertembang Asmarandhana, bait permulaan
berbunyi sebagai berikut :
ASMARANDHANA :
Kae Seh Malangkarseki // mjil paregolanira // pangguh lan
para tamune // gupuh dennya uluk salam// pan samya sinauran // ngalaikum
assalammu // laju ngacaran kewala.
Artinya :
Irulah Syekh Malangkarsa // keluar dari pintu gerbang //
bertemu dengan para tamu // segera menyampaikan salam // semua dijawabnya //
alaikum assalammu // terus dipersilahkan masuk saja.
4.
Adapun urutan ringkas isi ceritanya demikian :
4.1.
Pertemuan
di rumah Syekh Malangkarsa di Wukirpala.
Syekh
Malangkarsa menerima rombongan tamu yang berjalan dari Wanataka ke Wanamarta.
Saling menanyakan keselamatan mereka, kemudian para tamu dijamu minuman, sirih,
dan makan. Syekh Malangkarsa akan turut serta mengantarkan ke Wanamarta. Waktu
malam hari bermain terbang rebana, bersingiran, bermain emprak. Nyi Pelangi,
istri Syekh Modang jatuh cinta kepada Jayengraga, diketahui oleh Ni Turida dan
Rarasati.
Syekh
Amongraga dengan istri hadir, beserta muridnya bernama Syekh Ragaresmi, mereka
ingin turut serta bermain terbang rebana. Ni Peangi diminta “Andulengi”
(melagukan), syairnya masalah delapan macam mas kawin, kewajiban istri berguru
kepada suami utama. Mereka berganti-ganti bermain emprak dan berlagu “Singir”.
Sehabis
Subuh Syekh Amongraga minta diri ke alam gaib. Mereka yang lain melanjutkan
perjalanan ke Wanamarta. Syekh Malangkarsa turut mengiringkan dengan dua orang
sahabatnya Syekh Amongsari dan Syekh Modang yang disertai Ni Pelangi istrinya.
Penghulu Basariman selaku penunjuk jalan, Ki Pariminta dan Tresnaraga menunggu
rumah, Ki Palakarti, Darmadana, Prakosa, dan Martaduta disuruh kembali ke
Wanataka untuk menjaga pedukuhan.
4.2.
Perjalanan
mereka amsuk dan keluar hutan, jika kemalaman pun bermalam juga di dalam hutan.
Mereka sampai di Gunungsari, di rumah Ki Carik Sutra. Kedatangan mereka
disambut baik-baik, dijamu, dan ditanyai tujuan mereka pergi ke Wanamarta.
Carik Sutra ingin turut sera juga dengan diikuti istrinya yang tua bernama Ni
Wilapa. Carik Mudha pun tertrik pula pergi ke Wanamarta untuk bertemu dengan Ki
Bayipanurta.
Waktu
malam hari mereka membahas berbagai ilmu : Kewaspadaan kesempurnaan, hdiup
menemukan mati, mati menemukan hidup. Uraian tentang “Babad” dan
“Candrasangkala” (perhitungan waktu menurut tahun bulan), bagi gunung-gunung di
Pulau Jawa. Membicarakan : “Kerata basa”, dan watak huruf pada tiap nama orang.
Lalu mereka bermain terbang-rebana dengan gending “Sekar-Gadhung” Ni Wilapa
“andulengi” (melagukan” singir suluk “Rara Mbathik” Ni Pelangi ganti
“Andulengi) (melagukan) singir suluk “Tatanen”.
4.3.
Pagi
hari setelah makan pagi mereka berangkat lagi. Selaku penunjuk jalan yaitu : Ki
Setraderma, Ki Monthel, dan Jatingarang. Tiba di perbatasan hutan Jembul,
mereka beristirahat, bersembhayang Dhuhur. Setraderma amenceritakan betapa
gawat hutan Jembul itu dan mengingatkan jangan sampai ada di antara mereka yang
berbuat jahat, membicarakan segala sesuatu yag terdengar maupun yang terlihat.
Di Hutan Jembul itu banyak makhluk halus yang nakal menjengkelkan, gemar
mengganggu orang lewat. Bermacam-macam godaan mereka alami di hutan Jembul itu,
yaitu :
a).
Berpapasan dengan orang banyak berjalan beriring-iriganl
b).
Terdengar seperti suara dalang mempertunjukan wayang, dengan suara gendang yang
dipukul terus menerus;
c).
Melihat orang banyak berjalan salin berbicara, serta mengejek mereka yang
berpapasan.
d).
Terlihat ada ronggeng diiringkan gamelan, diikuti oleh “Thuyul” (Pesinden yang
baru belajar), mendendangkan lagu.
Mereka
dapat terhidnar dari segala macam godaan makhluk halus tersebut.
Nyi
Pelangi istri Ki Modang masih berusaha mencari daya upaya mendekati Jayengraga.
Waktu itu mendengar suara banteng merenggut rumput, ia terkejut menubruk
Jayengraga, memeluk lambung dan memegang erat-erat dzakar jayengraga yang
menegang sebesar leher kucing muntah. Nyi Pelangi lalu jatuh seperti kerasukan,
mulutnya berkomat-kamit, dan kemaluannya mengeluarkan darah seperti haid. Ia
segera ditolong oleh Syekh Mangunarsa. Setelah sadar kembali ia menceritakan
bahwa dirinya seperti diperkosa oleh orang yang tinggi besar perawakannya. Ia
disirihnya agar bertaubat, jangan sampai mempunyai angan-angan yang tidak baik.
4.4.
Perjalanan
mereka singgah di dukuh Bustam, tempat Ki Harsengbudi, di antarkan oleh santri
Putih dan santri Belang, Ki Harseng hudi meminta Nyi Wiyadi istrinya untuk
meniapkan jamuan. Ki Carik Sutra memberitahukan tentang tujuan perjalanan
mereka.
Mereka
duduk bersama sambil menikmati jamuan makan panganan seraya mengadakan
pembahasan bab “Sifat” serta “Isbat”.
Pagi
hari Syekh Mangunarsa beserta segenap pengiringnya minta diri untuk melanjutkan
perjalanan. Ki Harsengbudi berhasrat keras untuk ikut mengiringkan ke Wanamrta,
ingin bertemu dengan Ki Arundaya. Santri Putih disuruh mengiringkannya, sedang
istrinya diminta tinggal. Istrinya setuju, kemudian setelah semuanya siap
mereka berangkat.
4.5.
Singgah
di Ardimuncar, tempat pertapaan Syekh Ardimuncar dengan istrinya Purnaningsih.
Waktu
matahari telah condong ke barat, rombongan mereka berhenti singgah di tepi mata
air. Mereka beristirahat sambil membuka bekal makan panaganan bersama. Lalu
meneruskan perjalanan sampai di kaki Ardimuncar, terus diantarkan oleh santri
Ki Samurca dan Ki Murca, diterima oleh Syekh Ardimuncar beserta istNyi
Purnaningsih. Ki Arundarsa adik Syekh Ardimuncar diminta datang.
Sesudah
Isya mereka duduk bersama di ruang pendapa. Jamuan telah diatur, mereka makan
bersama dengan lahapnya sepuas hati. Setelah selesai diundurkan, diganti dengan
panganan makanan kecil, sambil membicarakan masalah : “Kodrat” dan “Wiradat”.
Kemudian bermain terbang rebana, bersingir, dinyanyikan berganti-gantian. Nyi
Wilapa “Andulangi” (Melagukan), suluk “Bethak rara suci pralambanging ngelmi”.
Nyi Pelangi ‘Andelungi” (melagukan) “Ojrat” ( cerita siksa dan anugerah di
jaman akhirat). Pembahasan lambang ilmu Islam empat perkara : Syai’at, Tariqat,
Haqiqat, Ma’rifat; kesejatian langit dan bumi, sorga dan neraka, serta contoh
buah jerami.
4.6.
Datang
di tengah hutan Kakas.
Waktu
fajar menyingsing rombongan berangkat dari Ardimuncar. Ki Ardimuncar dan Ki
Arundarsa turut serta, sehingga jumlah menjadi 25 orang. Waktu matahari
terbenam tiba di tengah hutan Kakas, rombongan beristirahat di suatu taman
yanag sangat indah. Lalu ada orang datang turut duduk bersama. Orang-orang itu
memberikan berbagai buah-buahan dan ubi-ubian. Mereka kemudian membikin
perapian dan membenamkan ubi-ubian ke dalamnya.
Waktu
malam hari mereka meratib bersama bertafakur dan berdzikir hingga khusyuk.
Ketika Ki Monthel sadar kembali ia menangis terperanjat melihat harimau banyak
turut serta tidur bersama. Ternyata orang-orang yang baru berdatangan itu
adalah harimau gadungan.
4.7.
Pagi
hari melanjutkan perjalanan, rombongan meninggalkan hutan Kakas menuju ke dusun
Kepleng, terus memasuki hutan Taruman, tiada jauh dari bukit Manik yang
terkenal dengan hutannya Jenggalamanik. Nyi Turida dan Nyi Rarasati teringat
bahwa dulu kala pernah datang di bukit Manik bukit yang gawat, berbahaya lagi
menakutkan.
Waktu
tengah hari tiba di tengah-tenegah hutan Saba. Mereka beristirahat di situ.
Lepas sembahyang mereka duduk bersama bertukar pikiran berbagai ilmu.
4.8.
Menjelang
fajar menyingsing mereka bersembhayang Subuh, setelah mempersiapkan segala
perlengkapan kemudian berangkat lagi, tiba di rumah Nuripin, ia lalu memukul
kenthongan mengumpulkan rakyatnya. Setelah rakyat datang diberitahu akan
kedatangan tamu tersebut. Mereka lalu menyiapkan jamuan.
Sehabis
Isya para tamu duduk bersama di pendapa, dijamu jamuan sekedarnya.
Pagi
hari setelah subuh nuripin bersama Ki Monthel memberitahu kepada Ki Bayipanurta
akan kedatangan para putranya beserta para tamunya.
4.9.
Tiba
di Desa Krajan Wanamarta.
Ki
Bayipanurta baru saja sembuh dari sakitnya selama empat setengah bulan. Ia
dihadap oleh para adiknya ; Ki Suwarja, Wiradustha, Panukma, Panamar,
Kulawirya,Jumena, Jempina, Sembagi, Lawatan, Malangbong, Lipura, dan Penghulu
Basarudin, serta istri Ni Ken Malarsih. Nyi Sumbali, dan Nyi Andaya. Mendadak
datang Nuripin dan ki Monthel memberitahukan akan kedatangan para putra beserta
dengan para Ulama.
Ki
Bayipanurta senang sekali mendengar berita itu, seketika sembuh sama seklai
dari sakitnya, terus mengatur persiapan penerimaan tamu. Ki Wuragil dan
Kulawirya dengan bawahannya ditugaskan menjemput tamu ke Pagutan. Para kerabat
yang lain menjemput di pasar. Ki Bayipanurta serta para orang tua-tua
menyongsong di pintu gerbang. Jamuan pun diperintahkan untuk dipersiapkan.
Para
tamu datang berbondong-bondong memasuki desa “Krajan” Wanamarta. Ketika tiba di
pintu gerbang dipersilahkan laju menuju ke Pendapa. Mereka mengucapkan salam
dan terus saling bersalam-salaman. Para putra suami istri bersujud menyatakan
kebaktiannya di hadapan ayah bunda mereka. Mereka saling bertangis-tangisan.
Kemudian jamuan dihidangkan hingga penuh sesak , dinikmati dengan lahapnya
bersama-sama.
4.10.
Hari
pertama di Wanamarta.
Waktu
Dhuhur para tamu pria bersembahyang bersama di Masjid. Para tamu putri masuk ke
dalam rumah belakang. Ki Bayipanurta membagi-bagi tempat pemondokan para tamu
masing-masing. Semuanya serba mendapatkan perhatian dan terpelihara baik-baik.
Sehabis
Isya duduk bersama di pendapa membaca Qur’an sampai khatam, lalu makan
panaganan, terus meratib dan bermain terbang rebana, kemudian membahas masalah
: Kelengkapan Islam, Rukun Islam, letak keyakinan hidup-matinya manusia; dan
kesutapaan dengan mengungkapkan Serat Wiwaha, dibahas perseuaiannya dengan
sorga.
4.11.
Hari
yang ke dua di Wanamarta.
Pagi
hari para tamu berkumpul di pendapa, banyak pemberian berdatangan. Kemudain
mereka berkenduri dengan doa Penghulu Basarudin.
Sore
hari mereka berkumpul lagi di pendapa. Ki Bayipanurta meminta kepada Syekh
Mangunarsa agr dapat ebrtemu dengan Syekh Amongraga. Dijanjikan kelak, hari
kamis malam Jum’at, waktu bertirakat di tempat yang sunyi. Keinginan Ki
Bayipanurta dapat terlaksana.
4.12.
Hari
yang ke tiga di Wanamarta.
Banyak
para tamu pria maupun wanita ingin turut bertirakat, agar dapat bertemu dengan
Syekh Amongraga. Mereka minta ijin kepada Syekh Mangunarsa, disetujui. Sehabis
Isya mereka sejumlah 16 orang pergi ke tempat menyepi. Mereka smua meratib dan
berdzikir bersama-sama.
Kemudian
Syekh Amongraga dan Ni Ken Tambangraras serta Syekh Ranggaresmi datang, duduk
di tempat duduk indah yang telah disediakan. Tambangraras bersujud menyatakan
kebaktiannya di hadapan Ayah Budanya. Syekh Amongraga menguraikan : Ilmu
kesempurnaan pemujaan, kesejatian hidup, keadaan Tuhan, kejelasan “Kawula Gusti”,
hakekat “Sembah” dan “Suksma”, jalan dan tempat kematian.
Menjelang
fajar menyingsing mereka bersembahyang Subuh. Syekh Amongraga minta diri
kembali ke alam gaib, sekejap mereka bertiga lenyap dari penglihatan.
4.13.
Hari
yang gkeempat di Wanamarta.
Pagi
hari para tamu duduk bersama di Pendapa, makan pagi dan makan panaganan. Lalu mereka
semua mohon diri akan kembali ke tempat masing-masing. Mereka berkemas-kemas.
Ki Bayipanurta memberi mereka bekal perjalanan dan banyak pemberian. Di antara
para tamu itu adalah : Syekh Mangunkarsa, Syekh Anggungrimang, Nyi
Rancangkapti, Syekh Ardimuncar, Ki Harsengbudi, Ki Arundarsa, ki Carik Sutra,
Ki Carik Mudha, Syekh Malangkarsa, Syekh Modang, Ki Pariminta. Setelah mereka
saling bersalam-salaman lalu berangkat, diiringkan oleh 30 orang santri.
Perjalanan
mereka di jalan, tidak diceritakan, mereka semua telah tiba di tempat mereka
masing-masing dengan selamat.
5.
Kitab
Centhini Jilid XII tamat, Jilid yang penghabisan, diakhiri dengan bait penutup
yang berbunyi sebagai berikut :
SARKARA
:
Ngecer
laku ingkang wus aprapti // dhepokira nenggih sowang-sowang // susuguh marang
tamune // tan inang lan ing dangu // enjangira laju lumaris // ingkang
anglantur lampah // marang dunungipun // mangulon tujuning sedya // saya suda
lampahe kang arsa mulih // pamungkas Wanataka.
Artinya
:
Mengurangi
jumlah yang berjalan, mereka yang sudah datang // di tempat mereka masing-masing
// mereka menjamu kepada para tamu // tak berbeda dengan yang sudah-sudah //
pagi hari berjalan laju // mereka yang melanjutkan perjalanan // ke tempat
tinggal mereka // ke Barat tujuan mereka // makin berkurang jumlah mereka yang
berjalan pulang // terakhir ke Wanataka.
TAMBAHAN
1.
Berikutnya terdapat tambahan : Dua buah bait penutup yang
mengandung peringatan, berbunyi sebagai berikut :
671. SARKARA :
671.
SARKARA :
Pan pinungut wedharing palupi // punang Serat Centhini
karannya // wewejangan pamungkase // memardi maring kawruh // ing kajaten
jatining urip // wikane reh kaanan // ananing Maha Gung // Sajati-jatining
janma // wus jinajah jejering janma majaji // kang jinurung ing seja.
Maka diputuskanlah uraian pelajaran // yang
bernama Serat Centhini ini // penutup wejangan // usaha mencapai ilmu //
kesejatian hidup // pengetahuan akan hal ikhwal // keadaan Yang Maha Agung //
kesejatian manusia // telah dijelajahi hakikat manusia yang bernailai // yang
direstui maksudnya.
672.
Kadarpaning panggalih sang aji // kang jinumput
wijanganing kata // tinaliti saturute // tetelane tinutur // titi tatas
tataning gati // sakwehning kang kinata // wus samya ingimpun // ala-ayuning
pakaryan // kawruh miwah ngelmuning kang lair-batin // windhar mring pra mudha.
Keinginan hati raja // yang dipungut (itu
hendaknya) makna kata // diteliti berturut-turut // keterangan diingat-ingat //
jelas tandas teratur akan maksudnya // semua yang diceritakan // sudah dihimpun
// buruk baiknya perbuatan // pengetahuan dan ilmu lahir batin // diuraikan
kepada para muda.
2
Lalu ditambah lagi dengan nukilan dari kitab Centhini
Jalalen. Pupuh 709 bertembang sinom 18 bait, pertama berbunyi, sebagai berikut
:
SINOM :
Wonten sujana taruna // mider-mider anderpati // nungsa
jawa prenahira // sing tanah wus denideri // Balambangan Patani // ing Cempa
Palembangipun // Surapringga Tandhesan // ing Tuban miwah Kedhiri // ing
Koripan ing Giri myang Lembuasta.
Artinya :
Ada seorang pemuda // berkelana dengan penuh keberanian
// di Pulau Jawa // tempat-tempat yang sudah didatangi // Blambangan, Patani //
Cempa, Palembang // Surapringga, Tandhes // Tuban dan Kediri // Kahurian, Giri
dan Lembuasta.
2.1
Ada
seorang muda ahli tapa dari Cempa bernama Ki Jatiswara. Ia mengembara
menjelajahi Pulau Jawa mencari adiknya bernama Ki Sajati. Ia mendapat “wangsit”
(Ilham) agar bertemu dengan Syekh Amongraga. Pertemuan dilakukan di Balaicipta
(Tempat ciptaan) yang dikitari dengan pertamanan indah. Mereka duduk di
Yasakembang (bangunan terapung).
Jatiswara
membuat soal : Bab Hakekat Asma. Ken Selabrangtilah yang diminta menjelaskan.
Lalu bertanya lagi : Tentang Islam dan Kafir, nafi dan isbat. Semua terjawab
sesuai dengan pendapat Jatiswara.
Jatiswara
ditanyai siapakah orang tuanya. Ia mengaku anak anjing. Syekh Amongraga tertawa
menambah : Anjing merah belang.
Jatiswara
mengajak bersembunyi berkejar-kejaran, ia segera lenyap, lalu dicari, ketemu di
balik awan putih. Lenyap lagi, ketemu di dalam gua. Jatiswara menjadi lautan,
Syekh Amongraga, Tambangraras, Ragaresmi. Kemudian mencipta ikan api di dalam
lautan, air laut panas mendidih.
Jatiswara
merasa kalah, segera lenyap pergi ke dukuh Wanacandra, untuk bertemu dengan
Syekh Ragamana, yang termasyhur memiliki banyak santri. Jatiswara dan Syekh
Ragamana membicarakan masalah syari’at yang diisbatkan dengan orang yang
menggarap sawah.
Syekh
Ragamana mempunyai seorang anak gadis cantik telah dewasa tapi belum kawin
bernama Ni Ken Sakati. Ia jatuh cinta kepada Jatiswara. Waktu larut malam
mendatangi tempat Jatiswara tidur untuk mendambakan kasihnya. Ia dihibur dan
dirayu di tempat tidur hingga tertidur lelap. Setelah subuh ditinggalkan.
Kemudian
Jatiswara bertemu dengan Syekh Baka, pertapa di tepi Samudra. Ia dissuruh
mengambil permata yang terdapat di dalam gua. Jatiswara segera memasuki gua,
setelah lewat sembilan pintu gua, barulah ia menemukan permata yang dicarinya.
Kemudian ia pulang kembali ke Cempa akan menjadi raja. Di perjalanan bertemu
adiknya Ki Sajati, yang juga bernama Ragaasmara atau Ragaresmi murid Ni
Selabrangti. Adiknya diajak merebut kembali negaranya yang ddiduduki Raja
Pratokal. Jadilah Pratokal kalah perangnya, dan menyerahkan putrinya. Akhirnya Jatiswara
menjadi raja, sedang Ki Sajati menjadi patihnya.
Sampai
sekianlah tambahan yang dinukilkan dari kitab Centhini Jalalen. Akhirnya disambung
lagi dengan cerita di Wanamarta.
2.2.
Ki
Bayipanurta dan Nyi Malarsih wafat.
Tiada
antara lama dengan pulang kembalinya Jayengresmi dan Jayengraga, ke dua orang
putranya yang telah dapat mencapai kasunyatan tiada berbeda dengan Syekh
Amongraga. Ki Bayipanurta jatuh sakitlagi. Syekh Amongraga dan Tambangraras
sudah mengetahui bahwa sat wafat ayah bundyanya telah menjelang tiba tiada lama
lagi. Maka mereka berdua datang segera mendekati ayahandanya, membisiki telinga
kirinya, lalu batuk, Ki bayipanurta ttelah membeberkan layar kematian. Saat itu
juga Nyi Malarsih menyaksikan tanda-tandan kelepasan kematian suaminya. Ia turut
serta berbela mati, seketika jatuh terlentang diterima di pangkuan
Tamabangraras. Setelah jelas bahwa Nyi Malarsih juga wafat, lalu dijajarkan
dengan Ki bayipanurta.
Syekh
Amongraga menghibur para sanak keluarga, mereka diminta menyiapkan perlengkapan
untuk menyucikan jenazah. Setelah perlengkapan siap, dua jenazah itu disucikan
degan didsaksikan oleh Syekh Amongraga berdua dengan Tambangraras. Selesai
dimandikan terus dibungkus dengan kain kafan putih, diletakkan berjajar, para
kerabat lalu menshalatkan. Jenazah lalu dimakamnkan. Sesudah pemakaman selesai,
mereka mengiringkan jenazah kembali ke pendapa berkenduri. Siangnya mereka berjamaah
di masjid, setelah selesai mereka diminta mengadakan shalat jenazah, kemudian
mereka bubar.
2.3.
Sepeninggal Kyai Bayipanurta dan Nyai
Malarsih, kedudukannya digantikan oleh ke dua orang putranya : Jayengresmi dan
jayengraga. Selamatan memuliakan sampai menyeribui hari, para santri di
Wanamarta mengaji bersama-sama, banyak sedekah disajikan. Jayengresmi pindah
menempati rumah besar.
Ketenteraman
Wanamarta di bawah pemerintahan jayengresmi dan Kayengraga. Jayengresmi menjadi
guru para santri pria maupun wanita, mengajarkan hukum syarak, jayengraga yang
mengatur tatatertib keadaan desa.
2.4.
Syekh
Amongraga beserta istri Ni Ken Tambangraras berkeinginan sekali menurunkan
raja. Mereka bertemu Kangjeng Sultan Agung yang menyamar sebagai pertapa di
bukit Telamaya. Setelah mereka berdebat demi hasratnya untuk bersatu menjelma
menjadi keturunan raja, Syekh Amongraga dan Ni Ken Tambangraras diminta menjadi
“Gendhon” (lundi, berenga) dua ekor. Sesudah jadi, lalu dibawa sultan pulang
kembali ke Keraton Mataram.
Setibanya
di istana Mataram, kangjeng Sultan Agung bersembahyang Subuh, dilanjutkan
berdzikir dan meratib. Ketika fajar menyingsing lalu memanggil Permaisuri,
Kangjeng Ratu Pandhansari beserta suaminya Pangeran Pekik, dan minta bumbung
tabung bambu, bumbu, serta anglo pemanggang berbara api.
Setelah
mereka bertiga yang dipanggil menghadap, mereka diberi penjelasan mengenai
kehendak Sultan, semua sangat bergembira. Ketika Sultan memungut bumbung berisi
lundhi (berenga) kemudian menuangkan ke dalam wadah bumbu. Permaisuri dan Ratu
Pandhan lari kejijikan.
Sultan
lalu memanggang lundi (berenga) jantan, banyak keluh kesahnya terdengar, minta
dipindhkan ke dalam kembang Wijayamulya. Setelah masak kemudian mereka makan
bersama. Tak antara lama kemudian mereka yang menghadap diperbolehkan mundur.
2.5.
Diceritakan
kemudian bahwa Kangjeng Sultan Agung di Mataram dengan Permaisuri berputra
pria, sedangkan Kangjeng Ratu Pandhansari dengan Pangeran Pekik berputra
wanita. Setelah kedua orang putra itu dewasa dikawinkan. Sesudah Sinuhun Sultan
Agung wafat, putra pria tadi menggantikan ayahandanya menjadi raja bergelar
Sinuhun Amangkurat I. Lama naik tahta berputra Pangeran Adipati Anom.
Pemerintahan Sinuhun Amangkurat I Kurang bijaksana, sering menghukum para
punggawa negara baik tingkat tinggi atau pun tingkat rendah, tanpa diteliti
kesalahannya terlebih dahulu. Pangeran Adipati Anom membela rakyat, membikin
gerakan perlawanan Trunajaya, menghancurkan Mataram, tiba di Daerah Banyumas
menderita sakit parah hingga wafat, jenazah dimakamkan di Tegalarum, kemudian
terkenal dengan nama Sinuhun Sumare Tegalarum (Raja yang dikebumikan di
tegalarum), terpisah jauh dari makam para leluhurnya di Mataram. Akhirnya
Pangeran Adipati Anom itu dinobatkan menjadi raja di Kartasura bergelar Sinuhun
Amangkurat II.
3.
Tamatlah
kitab Centhini Jilid XII dengan tambahan-tambahan seperti tersebut di atas.
Isi
cerita : jayengresmi dan Jayengraga kembali pulang ke Wanamarta, sampai kepada
pertemuan Syekh Amongraga dengan Sinuhun Sultan Agung di bukit Telamaya.
Diakhiri
dengan bait penutup, bait yang ke 55 dari pupuh 722 bertembang Asmarandhana,
demikian :
ASMARANDHANA
:
Titi
tamat ingkang tulis // telas ingkang cinarita // Seh Mongraga lalakone //
kongsi umadeg narendra // kendhang tekeng pralaya // karan Sunan Tegalarum //
kapisah sumarenira.
ARTINYA
:
Selesai
tamatlah gubahan // yang telah menceritakan // perjalanan hidup Seh (A)mongraga
// hingga menjadi raja // terusir sampai wafat // terkenal dengan nama Sunan
Tegalarum // Terpisah makamnya.
T A M A T
Selesai diringkas pada hari
Rabu Kliwon, tanggal 24 Sapar Ehe 1892 atau 17 Agustus 1960, di Yogyakarta,
oleh Ki Sumidi Adisasmita.
ooOOoo
Selesai diterjemahkan pada
hari Kamis Legi, tanggal 8 Sawal, Jimakir 1906 atau 24 Oktober 1971 Jam. 07.00
di Semarang. Oleh : Drs. Darusuprapta.
ooOOoo
Nahhhhh... Pujo
Prayitno...Tinggal menyadur saja, selesai pada Hari Sabtu, tanggal 28 Juni
2014. Bertapan 1 Ramadhan 1435 H.
Di Kota Sepanjang Kecamatan
Taman Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur – Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar